STUDI KASUS 1 Emirsyah Satar: Garuda ‘Terbang’ karena Berbenah Saturday, September 3rd, 2011 oleh : Ario Fajar Kesuksesan PT Garuda Indonesia Tbk sebagai maskapai penerbangan unggulan bukan karena ‘plat merah’, tetapi performa layanan dan kualitas sumber daya manusia yang tidak diragukan. Namun, berita bagus ini tidaklah ‘turun dari langit’. Perlu pembenahan yang maksimal di tubuh manajemen Garuda. Pernyataan tersebut diungkapkan Direktur Utama PT. Garuda Indonesia Tbk, Emirsyah Satar. “Ini bukan hanya keberhasilan satu dua orang tapi juga keberhasilan managemen yang mau berbenah dan berubah.” Milestone Garuda Indonesia dimulai pada tahun 2005-2006. Saat itu, Garuda berusaha untuk survive dari keterpurukan. Tahun 2007-2009 proses dimana turnaround dilakukan. Tahun 2010 hingga sekarang adalah masa pertumbuhan Garuda Indonesia yakni dengan mencipatakan inovasi dan membenahi sistem. Keberhasilan itu ditunjang dari dua aspek. Pertama layanan dan kedua SDM. Untuk layanan misalnya, Garuda Indonesia sudah sejak empat-lima tahun silam melakukan pembenahan. Mulai dari branding hingga mencari identitas/karakter pesawat ditengah banyaknya maskapai lokal dan asing. Emir mengatakan salah satu cara mengembangkan perusahaan adalah dengan menjadi unik. Saat maskapai penerbangan lain menerapkan low cost carrrier, Garuda Indonesia justru semakin meningkatkan pelayanan. Layanan Garuda Indonesia tersebut dengan sebutan Garuda Indonesia Experience yang diluncurkan sebagai salah satu bentuk penyajian kualitas layaan khas Indonesia yang digali dari akar kebudayaan Indonesia. Garuda Indonesia Experience diluncurkan diakhir tahun 2009. Nuansa yang disajikan kental akan budaya Indonesia. Mulai dari senyum yang ramah para pramugari, seragam batik khas Indonesia, makanan cita rasa Indonesia, hingga wangi-wangian aromaterapi yang sangat Indonesia. “Kami rancang se-Indonesia mungkin agar identitas keIndonesia-annya keluar dan mengena dibanyak orang,” terang Emir. Layanan khas Indonesia tersebut mencakup unsur lima indera, mulai dari apa yang dilihat, dirasa, dihirup, didengar dan diraba. Kekayaan budaya Indonesia menjadi hal utama dalam pelayanan Garuda Indonesia. Pertama, penglihatan. Misalnya dinding di kantor atau di executive lounge yang dibuat seperti anyaman gedek bambu, begitu juga partisi dipesawat pun bermotif anyaman gedek bambu. Kedua adalah rasa. Garuda Indonesia menyajikan makanan-makanan khas Indonesia seperti pudding lidah buaya, nasi uduk, dan sate padang. Ketiga, pendengaran. Garuda Indonesia menyiapkan musik khas Indonesia yang diarrasemen secara modern oleh musikus terkenal Addie MS. Untuk hal yang berkaitan dengan indera penciuman, Garuda Indonesia ingin
memperkenalkan arometrapi khas Indonesia. “Inilah yang tidak dipunya maskapai lain,” ujar Emir bangga . Unsur-unsur tersebut ada dalam layanan Garuda Indonesia Experience. Hal ini merupakan konsep layanan baru Garuda Indonesia yang memadukan keramahtamahan Indonesia yang khas dengan aspek keselamatan dan kenyamanan yang dipersembahkan secara efisien dan efektif oleh SDM yang profesional. Maskapai penerbangan kebanggaan masyarakat Indonesia ini pun telah mempercantik diri dan semua detail pelayanan ditingkatkan.Tujuan pembenahan dan inovasi tersebut adalah ketika penumpang asing mau ke Indonesia akan merasa sudah berada di Indonesia ketika masuk pesawat Garuda Indonesia, sementara bagi orang Indonesia yang mau keluar negeri, mereka akan merasa seperti di rumah sendiri sampai saat meninggalkan pesawat. Sebagai bagian dari program peningkatan kepada penumpang, Garuda Indonesia memetakan setidaknya 28 touch point pelayanan, mulai dari pre journey hingga post journey untuk kenyamanan para penumpang. Mulai dari saat pemesanan tiket, boarding, check-in, di atas pesawat, hingga sampai tempat tujuan. Untuk menjaga kualitas ke 28 touch point pelayanan tersebut, setiap sebulan sekali dilakukan evaluasi dan kontrol sesuai unit masing-masing. Selain itu, Garuda Indonesia juga memiliki layanan yang tidak dimiliki maskapai penerbangan lokal ataupun asing. Layanan tersebut bernama Immigration on Board. Immigration on Board adalah pemberian visa diatas pesawat bagi para penumpang yang menggunakan jasa penerbangan Garuda Indonesia. Dengan demikian, para penumpang mendapatkan kenyamanan karena tidak harus antre pada counter imigrasi pada saat kedatangan. Visa on board ini merupakan pelayanan pertama di duniadan hanya satu-satunya pelayanan pemberian visa bagi wisatawan. Untuk pengembangan kualitas SDM, Garuda Indonesia secara berkesinambungan melakukan training dan pembekalan pengetahuan serta keterampilan kepada seluruh karyawan. Baik level atas hingga level bawah. Emir menegaskan, citra perusahaan bukan hanya dilihat dari aktivitas promosi dan pemasaran yang besar saja, tapi juga dari perilaku sumber daya manusia yang bekerja diperusahaan tersebut. Pertanyaan Kasus 1: 1. Apa yang menjadi keunggulan dari PT Garuda Indonesia Tbk sehingga dapat menjadi maskapai penerbangan unggulan? 2. Bagaimana cara PT Garuda Indonesia Tbk menciptakan keunggulan kompetitifnya? 3. Apa yang dilakukan PT Garuda Indonesia Tbk untuk dapat melalui masa keterpurukannya? 4. Menurut kelompok anda, tantangan apa saja yang mungkin dihadapi PT Garuda Indonesia Tbk di masa mendatang?
STUDI KASUS 2 Sabtu, 03/09/2011 15:25 WIB Amerika Semakin Dekati Masa Resesi Angga Aliya - detikFinance Jakarta - Data tenaga kerja Amerika Serikat (AS) stagnan di Agustus, memunculkan kembali kekhawatiran kembalinya masa resesi. Hal ini juga menekan Presiden AS Barack Obama dan Federal Reserve menyediakan lebih banyak stimulus dalam membantu perekonomian. Untuk pertama kalinya tahun ini, pertumbuhan ekonomi AS gagal menciptakan lapangan kerja baru berdasarkan laporan bulanan Departemen Tenaga Kerja AS. Para pengamat awalnya berharap ada penambahan 75.000 tenaga kerja baru di Agustus lalu, tetapi mereka menjadi tidak yakin setelah banyaknya tanda-tanda resesi Makin parahnya krisis utang di Eropa serta situasi politik AS mengenai anggaran dan utang, sudah membuat Lembaga Pemeringkat Standard & Poor's memangkas peringkat utang AAA milik AS. Langkah tersebut menyulut aksi jual besar-besaran di pasar sahama Wall Street bulan lalu, juga mendorong jatuhnya kepercayaan bisnis dan konsumen. "Ekonomi berusaha berjuang keras melawan badai, yang tampak makin gencar terjadi dalam beberapa bulan terakhir," kata Senior Strategi Makro TD Securities Millan Mulraine di New York, dikutip dari Reuters, Sabtu (3/9/2011). Setelah mendengar berita tersebut, investor mulai melarikan aset-asetnya, membuat pasar saham ambruk, harga emas melambung tinggi dan imbal hasil surat utang treasuri AS turun. Stagnannya pertumbuhan data tenaga tenaga kerja AS juga dipicu oleh mogok kerja 45,000 karyawan Verizon Communications. Para karyawan itu sudah kembali bekerja dan akan kembali dihitung dalam data September mendatang. Namun, walau jumlah tersebut ikut dihitung tapi data yang dilaporkan sudah terlalu berlubang. Data pengangguran sudah menembus 9,1% sejalan dengan adanya pertumbuhan lapangan pekerjaan. Dengan data pengangguran yang cukup besar itu, Presiden Obama mendapat tekanan yang besar dalam mencari jalan ciptakan lapangan kerja. Langkah ini menjadi kunci dalam kemenangan kampanye Obama pada pemilihan berikutnya. Presiden AS Barack Obama, pada pidatonya Kamis lalu mengatakan, pemerintah setempat akan meluncurkan sebuah program yang diharapkan bisa menyediakan lapangan pekerjaan dan meningkatkan penerimaan pajak.
"Dia akan mengumumkan secara spesifik apa yang akan dilakukan sehingga bisa meningkatkan pertumbuhan lapangan kerja dan ekonomi sekaligus," kata Penasihat Ekonomi Obama, Gene Sperling kepada Reuters. Pertanyaan Kasus 2: Apa saja yang menjadi ciri-ciri perekonomian suatu negara sedang mengalami masa resesi? 2. Menurut kelompok anda, langkah apa saja yang bisa diambil pemerintah AS untuk memulihkan keadaan perekonomian negaranya? 3. Jelaskan dampak resesi ekonomi ini terhadap bisnis di AS? 4. Apakah resesi ekonomi AS dapat mempengaruhi bisnis di Indonesia? Jelaskan! 1.
STUDI KASUS 3 Melanggengkan Pertumbuhan Bisnis Waralaba Thursday, April 28th, 2011 oleh : Sudarmadi Tak semua bisnis waralaba tumbuh sehat meski dari luar tampak tumbuh cepat. Diam-diam malah banyak yang berguguran. Bagaimana pemain waralaba mapan menyiasati pertumbuhannya agar terkendali? Model pengembangan bisnis melalui sistem waralaba memang menjanjikan masa depan bisnis yang luar biasa. Dalam banyak bidang bisnis, waralaba benar-benar menawarkan masa depan baru yang sering di luar dugaan pemiliknya. Tak hanya pada level dunia, di Indonesia pun banyak usaha yang mampu membukukan pertumbuhan supercepat berkat ekspansi berbasis waralaba. Tengoklah Indomaret dan Alfamart yang kini sanggup melipatgandakan gerai hingga ribuan, menjamur dari kota-kota besar hingga pelosok kampung. Di bidang pendidikan, kita bisa melihat contoh kiprah Primagama dan LP3I yang total gerainya sudah ratusan. Atau Apotek K24 yang, meski termasuk pendatang baru, sudah punya lebih dari 200 gerai. Lalu di bidang peralatan kantor, Veneta System juga menarik karena bisnis tinta isi ulang ini sanggup menghidupi lebih dari 1.800 karyawan di 120 gerai. Itu belum termasuk ratusan usaha waralaba di bidang makanan dan restoran. Dari minggu ke minggu selalu saja terdengar berita resto waralaba yang menawarkan keunikan konsep waralabanya. Mereka seakan-akan berlomba memberi pengumuman bahwa sekarang jumlah gerainya sudah sekian dan telah tersebar di banyak kota. Meski demikian, pantas disayangkan, di lain sisi masih ada sebagian atau bahkan banyak pemilik waralaba (franchisor) yang hanya sibuk memperbanyak jumlah gerai, dan kurang memperhatikan kinerja para pembeli waralabanya (franchisee). Alhasil, kinerja gerai franchisee pun memble. Mereka banyak yang tutup karena terus merugi dan tak bisa menutup biaya operasional. Bisa jadi bisnis si franchisor masih bertahan dan tetap punya banyak gerai, tetapi hal itu lebih disebabkan munculnya banyak pembeli waralaba baru, menggantikan gerai-gerai milik franchisee lama yang sudah gulung tikar sebelum masa perjanjian waralaba habis. Jelas, sebuah kenyataan yang rasanya kurang fair. Bukan asal sebut, fenomena yang tak fair itu diam-diam masih marak di dunia waralaba Indonesia. Di sinilah perlunya franchisor mengelola usaha lebih serius, sehat, adil, dan berorientasi jangka panjang. Muaranya mesti sama-sama untung: bisnis franchisor berkembang cepat dan para franchisee puas dengan keuntungan yang ada. Tak ada salahnya bila melihat apa yang dilakukan sejumlah franchisor mapan dalam membangun pertumbuhan yang bervisi jangka panjang.
Tak ubahnya sebuah perkawinan, bisnis waralaba adalah kerja sama dua belah pihak: franchisor dan franchisee. Sebaik apa pun kualifikasi pembeli waralaba, usahanya akan sulit berkembang jika tak punya keunikan atau daya tarik pasar. Sebaliknya, meski jenis waralabanya menarik dan terbukti untung di berbagai lokasi, bisa jadi tak akan berkembang bila pembeli waralaba tak kompeten dan kurang komitmen mengembangkan gerainya. “Semuanya harus right from beginning, benar dari permulaan,” Anthonius Thedy, Presdir TX Travel, menjelaskan pengalamannya. Dalam memilih investor, menurut Anthon, “Mesti super selektif, tidak asal jual waralaba demi mendapatkan franchise fee di awal.” Penjelaskan Anthon sejalan dengan keyakinan Yafet Wiyanto, GM PT Veneta Media Usaha. “Kami sangat selektif memilih investor karena mesti outlet itu nantinya milik investor, dia membawa brand kami, Veneta. Kalau ada satu outlet yang merusak brand image kami, bahaya, bisa rusak seluruhnya. Ini yang mesti dicegah dari awal dengan memilih investor yang benar,” papar Yafet bersemangat. Pola di TX Travel mungkin bisa menjadi sedikit contoh. Demi mengendalikan pertumbuhan dan stabilitas, Anthon menentukan prosedur yang cukup unik dan berlapis dalam memilih mitra investor yang melamar waralabanya. “Saya lakukan controlling, cek orangnya. Pertama kali ketemu dulu, dari situ saya akan tahu sreg atau nggak dengan orangnya. Kalau dari pertemuan pertama sudah nggak seneng, nggak ada pertemuan kedua,” ungkap mantan pemandu wisata yang sukses membangun TX Travel hingga punya 141 gerai ini. Bila dari pertemuan pertama merasa terkesan, Anthon melanjutkan ke langkah berikutnya: menjalin komunikasi. Selama masa berkomunikasi itu, dalam seminggu calon pembeli waralaba harus mengirim 100 pertanyaan ke Anthon. “Dari caranya bertanya saya akan bisa tahu orang itu mitra yang benar atau nggak. Kalau oke, masuk pertemuan face to face kedua,” lanjut Anthon yang mulai mewaralabakan TX Travel tahun 2004. Nah, pada pertemuan kedua, dia selalu mensyaratkan calon mitra membawa keluarganya agar saling mengenal. “Kalau dia seorang istri, harus ajak suaminya. Kalau seorang suami, mesti ajak istri. Kalau seorang bujangan, mesti sama orang tuanya.” Pada pertemuan kedua, biasanya Anthon meminta calon investor menjelaskan apa mimpinya dalam 20 tahun ke depan. Bila oke, baru masuk pertemuan ketiga. Setelah itu, dia akan mengajukan sekitar 50 pertanyaan yang bersifat studi kasus. Karena ini bisnis travel, contoh pertanyaannya adalah: bagaimana bila menjumpai pesawat tidak jadi berangkat terbang padahal pelanggan sudah membayar tiket ke TX? “Kasusnya dari yang gampang sampai sulit. Dari situ saya ingin tahu orang itu punya business sense atau nggak. Kalau nggak punya business sense tapi saya rekrut, percuma saja. Saya akan capek sendiri,” Anthon menjabarkan prinsip kehati-hatiannya. Baginya, pemilihan investor yang tepat sangat penting agar pembeli waralabanya benar-benar bisa untung dalam berbisnis, sekaligus tak merugikan TX Travel. Karena alasan itu pula, Anthon mensyaratkan pembeli waralabanya mesti seorang owner operator (investor yang
mengoperasikan sendiri bisnisnya), bukan sekadar owner investor yang pasif alias tak terlibat di operasional. Bahkan untuk itu, Anton diam-diam juga melakukan psikotes kepada calon mitra. “Rahasia suksesnya, harus right from beginning, cari investor yang tepat,” Anthon sekali lagi menegaskan. Cara TX Travel seperti itu dibenarkan Lilik Agung, Mitra Pengelola Highleap Consulting. Menurutnya, memilih mitra waralaba tak akan jalan bila melihat modal uang semata tanpa melihat jiwa wirausaha. “Sebagus-bagusnya sistem dan produk yang diwaralabakan, tetap tidak bisa berjalan apabila mitra waralabanya tidak memiliki jiwa wirausaha,” Lilik menandaskan. Selain pemilihan investor, penting juga kedisiplinan dalam mengatur pembagian wilayah operasional para franchisee agar semua untung, tidak saling memakan satu sama lain (kanibal). LP3I termasuk waralaba yang sudah bagus menjalankan hal ini. Di LP3I, untuk membuka cabang — baik berupa LP3I College maupun LP3I Cource Center — selalu ada studi demografi dulu untuk melihat potensi pasar. Kalau sudah tak ada peluang untuk buka cabang baru, atau kalau toh dibuka hanya sekadar menutup biaya operasional, sebuah cabang tak akan dibuka di suatu tempat. “Karena itu, kami sudah menutup pintu waralaba untuk wilayah Jakarta walaupun peminatnya banyak sekali,” ujar Aspizain Chaniago, Direktur Pengembangan Bisnis LP3I. Saat ini LP3I memiliki cabang LP3I College di 48 titik, sementara jumlah LP3I Course Center telah ada di 120 titik. LP3I College hanya akan dibuka lagi sekitar empat cabang di Jawa Tengah dan empat cabang di Jawa Timur karena semua kota sudah terdapat cabang LP3I. “Kami terus akan melakukan percepatan pertumbuhan, dengan catatan, pertumbuhan yang tidak mengganggu. Wilayah dan orientasi pasar harus masuk. Tidak etis kalau asal buka dan cari franchise fee,” ujar Aspizain seraya menjelaskan, di Sumatera hanya akan buka gerai lagi di Jambi. Bagi Aspizain, pola pikir berbisnis waralaba yang benar tak bisa disamakan dengan berbisnis ala pedagang. “Kerja sama franchise ini lima tahun dan selama itu akan terus berhubungan (dengan) pembeli waralaba,” katanya. Apalagi, biaya investasi waralaba LP3I tidak kecil. Untuk LP3I College, total investasi per gerai sekitar Rp 1,3 miliar. Dengan alasan itu, selain tidak mau memberi janji-janji muluk di awal – misalnya, tingkat imbal hasil (ROI) yang cepat — LP3I juga lebih melihat para pembeli waralabanya dalam semangat pembinaan. Pihaknya rutin melakukan pertemuan dengan investor secara one on one untuk melihat permasalahan yang terjadi serta peluang-peluang peningkatan kinerja. “Kami sangat berkepentingan profit mereka besar karena kalau keuntungan besar, setoran ke LP3I pusat pasti juga lebih besar,” dia menjelaskan. Tak hanya itu, pengelola LP3I pun menekankan pentingnya membangun sistem dan standard operating procedure (SOP) yang baik agar semua cabang bisa untung. “Merek saja tak cukup. Sistem dan SOP perlu karena itu yang mengawal operasional. SOP pun mesti dinamis mengikuti perkembangan pasar,” kata Aspizain. Tentu dalam hal ini bukan sekadar membangun sistem atau SOP itu sendiri, tetapi juga mengimplementasikan dan disiplin mengawasi. “Kami
tak bisa menyerahkan sepenuhnya ke investor karena bisa keluar dari SOP,” ujarnya. “Pada umumnya investor lebih suka memotong anggaran di sana-sini agar lebih efisien dan cepat untung tapi akhirnya pelayanan tidak standar. Sedangkan franchisor harus berpikir jangka panjang dan kepentingan yang lebih luas.” Dia memberi contoh pengadaan LCD proyektor di kelas-kelas LP3I. SOP dari LP3I pusat menegaskan, tiap kelas harus ada satu LCD proyektor demi kelancaran belajar-mengajar. Namun, ada investor yang kemudian mencoba efisiensi dengan memakai satu LCD untuk bergantian dua kelas sehingga tak sesuai dengan standar. Tentu pihaknya segera menegur bila menemukan kasus demikian. Juga, soal pengelolaan dan pembukuan keuangan. Investor juga harus didik membuat pembukaan keuangan dengan benar. Utomo Njoto, konsultan waralaba senior dari FT Consulting, sependapat. Menurutnya, beberapa merek waralaba yang jaringannya luas terkuak bahwa ternyata mereka rapuh. Umumnya karena kurang serius mengawasi kualitas produk dan layanan. Ada juga yang ambruk karena ketidaksiapan struktur organisasi, manajemen SDM, riset & pengembangan, serta inovasi di tengah persaingan yang makin tajam dan rumit. “Franchise tak bisa sekadar tumbuh, harus dikelola organisasinya, dikelola pertumbuhannya dan harus mampu hidup jangka panjang,” demikian pesan Utomo. Dengan alasan itu pula, kelengkapan kelembagaan franchisor juga perlu dibangun agar bisa menopang pertumbuhan, sekaligus bisa membina dan melayani para franchisee. Kasus di Veneta mungkin bisa menjadi rujukan. Di jaringan refill center ini ada dua kelengkapan organisasi untuk membantu kinerja para franchisee, yakni field coordinator dan staf store relations. Para field coordinator itu dibagi per wilayah. Tugas mereka melalukan pengawasan dan audit operasional. Kalau dibandingkan dengan perusahaan pada umumnya, keberadaan mereka layaknya seorang petugas quality assurance. Merekalah yang memastikan cabang-cabang menerapkan standar yang diperlukan. Adapun staf store relations bertugas melayani segala kebutuhan toko di cabang dan mewakili Veneta dalam berkomunikasi perihal sisi operasional dengan para pengelola toko. Masih di Veneta, perusahaan menyediakan pelatihan tersentralisasi bagi para pengelola cabang. Karena itu, ada ruangan khusus di pusat yang tiap minggu selalu digunakan untuk pelatihan, baik masalah teknis maupun pelayanan. Semua karyawan di cabang harus dilatih di pusat pelatihan sebelum diterjunkan ke lapangan. “Semua karyawan di cabang, termasuk yang di Sorong, Papua dan Sulawesi, mesti dikirim training di pusat dulu. Ini persyaratan standar kami,” Yafet menginformasikan. Di TX Travel dilakukan praktik manajerial yang unik untuk membantu para franchisee. Tiap bulan para franchisee diajak kumpul bersama untuk rapat. Bagi mereka yang berasal dari Indonesia Barat, tempat berkumpulnya dipusatkan di Jakarta, sementara yang dari Indonesia Timur berkumpul di Surabaya. “Jarang sekali ada franchisor yang berani mengumpulkan
seluruh franchisee-nya bersama-sama, lho!” ujar Anthon bangga. Forum seperti itu digunakan Anthon untuk membahas permasalan dan peluang bersama, sekaligus bagaimana menghadapinya. Sebut contoh, ada ancaman dari kalangan perbankan atau operator seluler yang kini juga mulai jualan tiket. Selain itu, juga untuk updating info produk baru, sistem baru ataupun teknologi di TX Travel. Bila diamati, pengelola waralaba yang bertanggung jawab biasanya memperhatikan semua aspek yang terkait dengan pertumbuhan bisnis. Tidak asal cepat buka cabang baru tetapi tidak melihat seberapa kokoh fondasinya. LP3I mungkin termasuk yang cukup hati-hati dalam ekspansi, khususnya dalam mengembangkan waralaba LP3I College. Mengapa? Ini terkait dengan slogan citra dan positioning LP3I College yang sejak awal didengungkan sebagai college dengan keahlian penempatan kerja bagi lulusannya. Pasti ada penempatan kerja bagi semua lulusannya. Konsekuensinya, LP3I tak bisa asal buka cabang tanpa melihat seberapa cepat kemampuannya memberikan tempat kerja bagi lulusannya. Pihak LP3I, saking seriusnya memikirkan hal itu, dalam periode tertentu selalu mengumpulkan perusahaan mitra yang paling banyak menyerap lulusannya. Mereka dikumpulkan di hotel berbintang dan diberi penghargaan atas jasanya merekrut lulusan LP3I. Karena mengembangkan komunitas dan membangun relationship itu, kini LP3I bisa memiliki ribuan perusahaan mitra. Pola pikir yang kurang-lebih sama tetapi pada jalur yang lain dijalankan manajemen Veneta. Dua tahun lalu, Veneta sempat mengerem pertumbuhan. Bukan karena tak ada peminat waralaba baru, melainkan karena melihat rantai pasoknya yang mulai menipis. Kapasitas pabrik hampir mentok. Dengan alasan itu, tahun 2010 mereka membangun manufaktur baru di Sentul dan Surabaya. “Kalau kami paksakan buka banyak cabang baru, takutnya pasokan produk terganggu sehingga volume bisnis para franchisee bisa dirugikan,” Yafet menerangkan. Maklum, semua produk tinta dan refill yang dijual toko Veneta memang merupakan produk hasil pabrik sendiri. Nah, saat ini, karena pabrik sudah ditambah menjadi tiga unit, pertumbuhan cepat bisa dikejar, dengan tetap melihat daya serap pasar. “Sekarang untuk melayani 500 cabang pun kapasitasnya masih cukup,” katanya. Jadi, Veneta membangun kaitan di industri hulu sebelum memacu pertumbuhan. Harus diakui, kebanyakan franchisor memang dikelola entrepreneur baru sehingga kemampuan manajerialnya masih setengah-setengah. Dari sisi produk, misalnya, kebanyakan masih belum mengembangkan produk secara dinamis dari waktu ke waktu dan cenderung puas dengan keunikan produk yang ditemukan di awal. Padahal, kualifikasi produk makin mudah ditiru sehingga yang di awal dinilai unik dalam dua atau tiga tahun bisa menjadi produk biasa. Sebuah produk paritas yang tak punya nilai diferensiasi. Bila franchisor-nya malas mengembangkan produk seperti itu, pasti, yang kelabakan adalah para franchisee. Pernyataan itu bukan isapan jempol, sudah biasa terjadi pada waralaba makanan. Entah sudah berapa ratus investor yang bangkrut membeli waralaba makanan. Baik itu berjenis makanan
burger, ayam goreng (crispy chicken), kebab, makanan celup-celup, jus, maupun produk lainnya. Sebagian dari mereka bangkrut bersama ambruknya franchisor. Namun yang paling tragis, bila pembeli franchise sudah ambruk sementara franchisor masih bisa melenggang seraya menjual waralaba ke pihak lain yang tak tahu kelemahan waralaba itu – atau malah tak mau tahu. Soal pengembangan produk ini mungkin kreativitas TX Travel bisa menjadi inspirasi. “Produk saya kembangkan, kalau tidak akan saling makan atau market size tak berkembang,” Anthon memberi alasan. Saat ini TX Travel punya empat produk yang dijual, yakni tiket pesawat, paket wisata, tiket kamar hotel dan tiket kapal persiar (cruise). Dan, di bisnis ini TX bukan pemain kecil. Untuk bisnis tiket kapal pesiar, misalnya, TX Travel merupakan kontributor terbesar penjualan Star Cruise (kapal wisata Singapura) di Indonesia. Dengan pilihan produk yang beragam itu, para franchisee bisa leluasa menjual produk yang disukai pelanggan di sekitarnya. Tak hanya produk yang beragam, tetapi juga inovasi produk. Anthon menceritakan beberapa paket wisatanya ke luar negeri yang jauh lebih murah dari kompetitor. Dia, misalnya, membuat paket wisata ke Hong Kong-Shenzen-Makao selama enam hari hanya Rp 4,9 juta. Sementara pemain lain menetapkan harga Rp 10 juta. “Ini hasil kreativitas, karena di Makao kami bisa menemukan hotel lama bintang 4 yang baru selesai renovasi sehingga masih murah tarifnya. Ini tak gampang karena seperti menemukan lubang jarum.” Contoh lain, TX Travel punya paket tur ke Beijing tujuh hari enam malam dengan biaya hanya Rp 4,9 juta. Melalui paket ini, sudah termasuk mengunjungi ikon-ikon wisata paling ternama di kota itu seperti Tiananmen Square, Forbidden City dan Temple of Heaven; mencicipi makanan yang paling populer (Peking roast duck); menaiki Great Wall; bermain ski indoor di Qiaobo Ice & Snow World; mengunjungi Bird Nest Stadium dan Panda Zoo, serta ke Tianjin naik bullet train. Apakah bisa murah karena memakai hotel bintang dua atau melati di Beijing? “Tidak. Ini bintang 5. Jaraknya dari Wang Fu Jin sekitar 30 menit perjalanan, tapi ini bintang lima lho,” Anthon meyakinkan. Menurutnya, selain kreatif dan aktif mencari mitra, pihaknya mendapatkan diskon harga bagus karena memberangkatkan tamu dalam jumlah besar. Paket produk kreatif seperti itu juga dia buat untuk tujuan wisata ke Bangkok, Korea, Guanzhou, Makao, dll. “Setiap minggu kami ada pemberangkatan ke luar negeri,” katanya. Di produk hotel pun, peluang para franchisee TX Travel menjual kamar hotel semakin besar karena sudah ada 160 ribu hotel domestik dan internasional yang menjadi mitra TX. “Kami bisa punya mitra sebanyak itu karena menggandeng banyak kumpulan jaringan hotel. Tidak saya dekati satu per satu. Prinsipnya, harus memperbanyak jaringan. Everybody is my friend,” Anthon yang menargetkan di 2013 punya 500 cabang TX Travel ini berprinsip. Dengan pola pengembangan produk seperti itu, dia berharap, bukan hanya pelanggan TX Travel yang bertambah, tetapi growth spending per pelanggan juga naik. Bila diamati, selain inovasi produk, rata-rata usaha waralaba yang bisa tumbuh konsisten juga berkat strategi pemasaran yang lebih maju daripada rata-rata pemain di bisnisnya, terutama
dari cara-cara promosinya. Mereka umumnya rajin dan kreatif dalam mencari celah promosi. Bukan semata-mata berpromosi untuk mencari calon franchisee, tetapi demi menambah basis pelanggan akhirnya (pengguna produk). Veneta, selain aktif berpromosi melalui acara-acara talkshow, pameran di mal dan apartemen, juga selalu hadir di event pameran komputer. Adapun TX Travel membagi promosinya jadi tiga level (nasional, regional dan lokal). Sementara LP31 bahkan biasa blocking time di televisi, selain beriklan di teve, radio, media massa cetak, dll. Berpromosi semacam itu sangat diperlukan agar kue pasar makin berkembang sehingga di antara pembeli waralaba yang sama tidak saling makan. Ya, betapapun usaha waralaba memang sangat tergantung pada komitmen dan kejujuran para franchisor, di samping keuletan franchisee. Mereka yang lebih tahu kapan saat tancap gas dan kapan saat mengerem. Tanpa itu, kecepatan pertumbuhan jumlah cabang dan pembeli waralaba hanya akan menjadi bom waktu yang bisa merontokkan bisnis itu sendiri. Menarik mengamati apa yang dilakukan Veneta di tahun 2009-10. Meski saat itu banyak peminat waralaba, pengelola Veneta memilih melakukan konsolidasi internal setelah pada tahun-tahun sebelumnya selalu tumbuh berlipat. “Kami gunakan untuk konsolidasi: membangun pabrik baru, melakukan profesionalisasi dengan merekrut sejumlah profesional dari luar, dan menyempurnakan sistem yang ada,” kata Yafet. Cara itu pula yang tampaknya sedang dikembangkan Apotik K24 saat ini. Bulan-bulan ini K24 juga tengah menuju peralihan karena sudah menunjuk profesional sebagai CEO baru, menggantikan CEO sebelumnya yang juga pemilik, Gideon Hartono. Dalam proses profesionalisasi bisnis ini, K24 menunjuk konsultan luar, tidak dilakukan sendiri. Cara yang tentu saja tepat karena umumnya wirausaha waralaba terbilang hebat dalam hal spirit kewirausahaan tetapi lemah dalam pengalaman manajerial. Di sinilah pentingnya menggandeng mitra konsultan atau orang yang berpengalaman mengelola organisasi skala besar. Tanpa itu, upaya mencapai pertumbuhan yang stabil dan menguntungkan semua pihak akan sulit diraih. Lilik melihat perkembangan bisnis waralaba yang mengalami pertumbuhan luar biasa membawa berita menggembirakan sekaligus mencemaskan. “Menggembirakan karena ada berbagai macam pilihan waralaba, dus ada gairah dari masyarakat untuk menjadi wirausaha. Mencemaskan karena bisnis waralaba menjadi kerumunan. Banyak orang berlomba-lomba mewaralabakan bisnisnya. Walau punya sedikit cabang, langsung diwaralabakan. Ini yang mencemaskan. Mereka melakukan penetrasi pasar dengan kencang tanpa didukung sistem yang andal,” paparnya. Sementara itu, Utomo mewanti-wanti, idealnya usaha waralaba memang menjadi jaringan besar. Meski demikian, realitasnya tidak semua waralaba harus dan bisa menjadi besar. “Ada yang model bisnisnya memang tidak mungkin tumbuh besar dalam jumlah gerai, dan ini sahsah saja, asal arus kas memungkinkan franchise itu tidak sekadar survive,” demikian pesan Utomo. Selain itu, dia juga mengingatkan agar tak salah pilih franchisee. “Ada yang tidak cocok
jadi franchisee, misal orang superkreatif, superpower, sulit tunduk pada sistem yang sudah ada, mudah kecewa mendalam, dll.” Kalau salah pilih, akan menjadi duri dalam daging”. Pertanyaan Kasus 3 : 1. Mengapa beberapa bisnis dengan sistem waralaba bisa gagal? 2. Jelaskan tantangan utama dalam mengembangkan bisnis waralaba? 3. Sebutkan kiat-kiat dalam memilih dan mengembangkan bisnis waralaba? 4. Menurut kelompok anda, bagaimana prospek binis waralaba ke depan?
STUDI KASUS 4 Karyawan Cerdas Perusahaan pun Kuat Thursday, July 29th, 2010 (SWA) oleh : A. Mohammad BS Demi meningkatkan pengetahuan karyawannya dan mengantisipasi fenomena pembajakan SDM terampil yang dimilikinya, Astra Graphia mengembangkan sistem Knowledge Management. Bagaimana liku-likunya dan apabenefit yang sudah dirasakan? Sebuah kredo bisnis menyebutkan bahwa salah satu kunci untuk memenangi persaingan adalah kekuatan dari karyawan yang cerdas (knowledge worker).Logikanya, semakin cerdas karyawan di perusahaan, semakin mudah pula perusahaan menghadapi perubahan dan memenangi kompetisi. Lalu, bagaimana cara meningkatkan pengetahuan karyawan secara efektif dan efisien? Mengirim mereka ke lembaga pelatihan, sekolah, atau seminar agar terjadi peningkatan pengetahuan tampaknya bukan solusi efektif dan efisien jika jumlah karyawannya banyak. Sebab, hal itu akan menelan biaya besar dan butuh waktu yang lama. Nah, salah satu solusi untuk meningkatkan pengetahuan di lingkungan internal perusahaan adalah dengan menerapkan sistem Knowledge Management (KM).Salah satu perusahaan yang telah menerapkan konsep manajemen pengetahuan adalah PT Astra Graphia (AG).Perusahaan distributor eksklusif dari Xerox ini telah menerapkan KM sejak tahun 2000. Menurut Jusuf D. Salim, CIO AG sekaligus Direktur Sistem & Solusi PT AGIT, ada dua alasan utama yang memungkinkan AG mengadopsi sistem KM. Pertama, sebagai show case, karena Xerox yang dulunya terkenal sebagai copier company harus bertransformasi menjadi document & knowledge management solution provider. “Document is not only a piece of paper. Nilai dokumen terletak pada isinya, contents,” ujar Jusuf. Jusuf menjelaskan, sejak dulu prinsipal perusahaannya, Xerox, memang terkenal dengan inovasi produknya. Misalnya, pada 1993, Xerox merupakan initial backing untuk Howard Shao dan John Newton, ketika perusahaan pembuat kapal terbang Boeing meminta dibuatkan solusi Electronics Data Management System (EDMS) atau Enterprise Contents Management (ECM) untuk informasi tak terstruktur (unstructured information) mereka. Dari proyek Boeing itulah kemudian lahir produk Documentum dan DocuShare. Alasan kedua penerapan KM di AG adalah mempercepat arus informasi.Dampak yang diharapkan adalah efisiensi biaya. Ketika itu, Jusuf mengenang, AG mempunyai lebih dari 70 lokasi kantor cabang di Indonesia dengan sekitar 400 teknisi dan analis sistem. Tentunya, para teknisi dan analis sistem ini perlu diberi informasi terkini dari mesin-mesin Xerox yang mereka servis. Sebenarnya, bisa saja informasi itu dikirimkan ke mereka melalui surat elektronik (surel), tetapi untuk mencari kembali informasi akan menjadi masalah. “Karena itu, kami luncurkan DocuShare di intranet Astra Graphia,” ucap Jusuf. Jusuf berpendapat, KM merupakan gabungan antara strategi bisnis, TI dan manajemen SDM.Nah, sejalan dengan perkembangan pesat TI, pertambahan informasi begitu cepat dan berlimpah.“Tantangannya adalah how to capture our staff knowledge and experiences, dan bagaimana mengelola informasi itu.Ini memerlukan sebuah tool,” Jusuf memberi alasan.“Selain
itu, banyak teknisi dan system analyst AG yang dibajak kompetitor.Ini merupakan tantangan.KM is the answer. ” Tentu saja, pengembangan sistem KM di AG tersebut dilakukan secara bertahap, sejalan dengan perkembangan pemanfaatan TI di AG. “IT is the base infrastructure to have a good KM,” Jusuf menegaskan. Pada 1990, AG sudah mempunyai sistem surel korporat.Padahal, ketika itu masih sedikit perusahaan yang menggunakan surel.Dalam surel ini biasanya ada informasi dalam wujud attachment.Namun, di sini pihak AG menghadapi masalah, yakni bagaimana melacak atau mencari kembali informasi yang ada pada saat diperlukan.Nah, pada 1997 AG memutuskan mengembangkan DocuShare―yang diperkenalkan secara nasional pada tahun 2000. Selain itu, diperkenalkan juga suatu sistem untuk tim teknisi yang disebut Eureka. Eureka merupakan aplikasi KM dengan kombinasi penggunaan sistem Oracle Database dan webbased DocuShare. Di dalam Eureka terdapat kumpulan “knowledge” para teknisi Xerox sedunia. Melalui Eureka inilah para teknisi Xerox sedunia dapat meng-input penemuan mereka, berbagi pengalaman ataupun cara menangani problem dengan cepat dan, yang tak kalah penting, informasinya dapat dicari dengan mudah. Saat ini, AG juga mempunyai sistem e-Learning, baik yang menyangkut informasi produkproduk Xerox, software dan hardware, maupun pengetahuan umum seperti IT management, project management, hingga materi-materi yang sangat teknis. Diakui Jusuf, dalam pengembangan KM ini ada kendala yang dihadapi. Terutama, dari karyawan sebagai pengguna sistem.Pasalnya, sistem hanyalah alat, sedangkan input-nya tetap dari manusia.Jadi, kunci keberhasilan KM ini apakah mereka mau menggunakannya dengan tepat atau tidak. Maka, lanjut Jusuf, di AG dibuatkan standar: informasi umum/biasa yang lebih dari 1MB dan distribusinya lebih dari lima orang harus dimasukkan ke dalam DocuShare. Dengan begitu, informasi dapat disimpan dan hemat biaya bandwidth.Dan, setiap departemen mempunyai tanggung jawab untuk menyediakan kontennya.Ketika informasi (data) di DocuShare sudah sangat banyak (besar), diperlukan content owner untuk merawat informasi.Untungnya, di dalam DocuShare ada fasilitas untuk meng-update berdasarkan versi data. Guna menyiasati penumpukan informasi, dibuatkan peraturan: informasi yang tidak pernah diakses lagi lebih dari lima tahun akan diarsip. Lalu, apabenefit yang sudah diperoleh? Melalui pengembangan KM ini, diklaim Jusuf, pihaknya bisa memperoleh beberapa keuntungan. Antara lain: membantu perusahan, terutama dalam hal knowledge retention dan proses edukasi ke karyawan menjadi lebih mudah. Selain itu, AG juga tidak perlu terlalu banyak menyelenggarakan in-class training untuk menambah ilmu. Sebab, kapan dan di mana pun proses pelatihan bisa dilakukan. Juga, jika teknisi atau analis sistem mendapatkan problem yang belum pernah mereka temukan, mereka bisa mencari contoh kasusnya di sistem database.Dengan begitu, pemecahan masalahnya pun lebih cepat.“Tentunya, ini berdampak pada customer satisfaction.Manajemen pun bisa mendapatkan informasi yang lebih akurat untuk analisis dan mengambil keputusan,” ungkapnya. Menurut Jusuf, ke depan AG akan terus mengadopsi solusi TI sesuai dengan kebutuhan. Termasuk, berencana mengadopsi sistem e-Document. Melalui solusi itu tempat penyimpanan akan lebih hemat, karena pihaknya tidak perlu menyewa gudang untuk menyimpan bukti-bukti transaksi sampai 10 tahun. Sayangnya, Pemerintah Indonesia belum mengenal dan
memperbolehkan e-Document sebagai bukti.Padahal, di negara-negara maju seperti Amerika Serikat atau Australia sudah diperbolehkan. “Juga akan membantu pelanggan AG untuk implementasi KM, dari prosespemindahan hard copy hingga konversi data menjadi XML-based text supaya bisa diakses manajemennya. Termasuk merekomendasikan solusi yang tepat bagi pelanggan berdasarkan pengetahuan dan best practice yang telah kami miliki,” Jusuf memaparkan. Yang jelas, keberadaan KM yang berbasis Web ini sangat dirasakan manfaatnya oleh karyawan AG. Soebandi, misalnya, menilai KM memudahkannya dalam mengakses informasi (pengetahuan), sehingga dapat mempercepat proses pengambilan keputusan. Pasalnya, KM di AG sudah dikembangkan dalam bentuk portal, sehingga bisa memberikan akses kepada setiap karyawan untuk melakukan sharing informasi, baik itu dalam bentuk artikel maupun yang sifatnya lebih formal. “Sebenarnya, manfaat terbesar adanya KM yang baik adalah merangsang tumbuhnya ide dari setiap karyawan, baik itu yang simple maupun yang lebih sophisticated,” ujar Manajer Dukungan Pelanggan AG itu. Manfaat adanya KM juga diakui Suyanto Tjoeng. Menurut Manajer Global Services – Marketing and Support AG ini, adanya KM memungkinkan karyawan AG menangkap tacit knowledge, berbagi info aktivitas,serta memelihara dan mempercepat penciptaan knowledge. “Kami menggunakan KM tools untuk media komunikasi pemasaran, seperti berbagi info produk, solusi dan case study,” ujar Suyanto. Implementasi KM yang dilakukan AG ini dinilai praktisi dan pengamat TI Richard Kartawijaya sebagai langkah tepat.Sebab, menurut Richard, keberadaan KM sangat penting, terutama bagi perusahaan besar. Pasalnya, tanpa KM ketahanan perusahaan akan sangat lemah. “Perusahaan-perusahaan besar seharusnya berpikir tentang ketahanan perusahan.Salah satu ketahanan perusahaan adalah menjaga knowledge dalam perusahan itu tidak hilang,” katanya menerangkan. Menurut Richard, peran TI dalam KM cukup penting, yakni sebagai tulang punggung utama dalam infrastruktur. Pasalnya, transfer pengetahuan dalam sistem KM melalui e-learning. “Aplikasi bukanlah yang paling penting, namun bagaimana KM ini bisa digunakan dan isinya bisa dipakai oleh orang lain.” Supaya implementasi KM berhasil, menurut Richard, ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan.Pertama, faktor manusianya.Faktor ini sangat menentukan, sebab orang punya kemauan, pemikiran dan motivasi sendiri-sendiri. Jadi, bagaimana bisa memotivasi orang untuk bisa bekerja, menggunakan, dan berbagi informasi dengan yang lain. Kedua, faktor budaya. Ini lebih pada grup atau tim yang saling memengaruhi. Memengaruhi ini sangat penting karena jika pengaruhnya positif dan mendukung KM dan e-learning, perusahaan tersebut akan semakin kuat. (*) Reportase: Moh. Husni Mubarak Pertanyaan Kasus 4: 1. 2. 3. 4.
Mengapa Knowledge Management menjadi sangat penting bagi perusahaan? Peranan apa yang diberikan SDM dalam penerapan Knowledge Management? Benefit apa sajakah yang didapat dari Knowledge Management? Tantangan utama apakah yang dihadapi perusahaan Astra Graphia?
STUDI KASUS 5
Pertanyaan Kasus 5: 1. Apa yang membuat bisnis yogurt heavenly blush dapat bertahan ditengah-tengah persaingan bisnis yang ketat? 2. Bagaimana yogurt heavenly blush merespon kebutuhan pasarnya? 3. Bagaimana rencana pengembangan bisnis yogurt heavenly blush di masa mendatang? 4. Menurut kelompok anda, bagaimana prospek bisnis yogurt ke depan dan apa tantangannya?