Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
Studi Histopatologi: Pembentukan Sel-Sel Membesar pada Organ Ikan Kerapu Setelah Terinfeksi Megalocytivirus Ketut Mahardika dan Indah Mastuti Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut, PO. Box 140 Singaraja 81101, Bali
[email protected]
Abstract Ketut Mahardika and Indah Mastuti. 2013. Histopathological Study: The Formation of Enlarged Cells in Organ of Grouper Fish Following Experimental Infection of Megalocytivirus. Konferensi Akuakultur Indonesia 2013. The genus of Megalocytivirus (family Iridoviridae) isolates GSDIV (grouper sleepy disease iridovirus) is known to cause mass mortality in cultured of grouper and snapper fishes in Indonesia. Histopathologal sign of GSDIV infection was characterized by the formation of enlarged cells in the spleen and kidney. The aim of this study was to know the starting time and development of the formation of enlarged cells in grouper organs after GSDIV infection. A total of 77 juvenile humpback grouper (Cromileptes altivelis) infected with a virus GSDIV intramuscularly. The fish were taken each day for 5 fish and analyzed by histopathology and PCR. Diseased fish showed decreased appetite after 4 days post-infection followed by symptoms of a weak and silent at the base of the tank, as well as the death occurs after 6 to 9 days post-infection with a total mortality of 92%. Histopathological observations showed enlarged cells begin to form on day 3 post-infection that is 40% of the total observed-spleen. The cells were growing in number with increasing time of infection, followed by the spread of these cells to other organs. PCR analysis showed viral DNA GSDIV first detected on day 2 post-infection (20%) and continues to detect with increasing time of infection. Live fish (8%) after 10 days post-infection showed many assemblies of enlarged cells in the spleen and kidney tissues by PCR forward where still contain viral DNA GSDIV. The results showed that the formation of enlarged cells was developed before the fish showed clinical symptoms or death, and fish that can survive after infected GSDIV still contain GSDIV. Keywords: Enlarged cells; GSDIV; Histopathology; Megalocytivirus; PCR
Abstrak Virus dari genus Megalocytivirus (famili Iridoviridae) isolat GSDIV (grouper sleepy disease iridovirus) diketahui dapat menyebabkan kematian massal pada budidaya ikan kerapu dan kakap di Indonesia. Secara histopatologi infeksi virus GSDIV ditandai adanya formasi sel-sel membesar pada organ limpa dan ginjal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kapan waktu mulai terbentuknya sel-sel membesar pada organ ikan kerapu setelah terjadi infeksi virus GSDIV. Sebanyak 77 ekor juvenil ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) diinfeksi dengan virus GSDIV secara intramuskular. Ikan-ikan tersebut diambil setiap hari sebanyak 5 ekor dan dianalisis secara histopatologi dan PCR. Ikan uji menunjukkan nafsu makan menurun setelah 4 hari pasca infeksi diikuti dengan gejala lemah dan diam di dasar bak, serta kematian terjadi setelah 6 sampai 9 hari pasca infeksi dengan total mortalitas 92%. Pengamatan histopatologi menunjukkan sel-sel membesar mulai terbentuk pada hari ke-3 pasca infeksi yaitu 40% dari total limpa yang diamati. Sel-sel tersebut semakin banyak jumlahnya dengan bertambahnya waktu infeksi, diikuti dengan penyebaran sel-sel tersebut ke organ lainnya. Analisis PCR menunjukkan DNA virus GSDIV pertama terdeteksi pada hari ke-2 pasca infeksi (20%) dan terus meningkat dengan bertambahnya waktu infeksi. Ikan yang hidup (8%) setelah 10 hari pasca infeksi menunjukkan adanya kumpulan sel-sel membesar pada jaringan limpa dan ginjal depan dimana secara PCR masih mengandung DNA virus GSDIV. Hasil tersebut menunjukkan bahwa formasi sel-sel membesar sudah terbentuk sebelum ikan tersebut menunjukkan gejala klinis ataupun kematian, dan ikan yang dapat bertahan hidup setelah terinfeksi virus GSDIV masih mengandung virus GSDIV. Kata kunci: Sel-sel membesar; GSDIV; Histopatologi; Megalocytivirus; PCR
Pendahuluan Megalocytivirus merupakan salah satu genus dalam famili Iridoviridae. Megalocytiviruses adalah virus dsDNA yang menyebabkan infeksi sistemik pada ikan budidaya air tawar maupun
132
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
ikan budidaya air laut. Wabah Megalocytivirus bersifat epizootik yang dapat menyebabkan kematian massal ikan budidaya dalam waktu yang relatif singkat (1-2 minggu dari awal kejadian) sehingga menyebabkan kerugian ekonomi yang cukup besar bagi pembudidaya. Di indonesia, infeksi iridovirus pertama kali dilaporkan menginfeksi dan menyebabkan kematian massal pada ikan ikan kerapu lumpur Epinephelus tauvina di Sumatra (Owen, 1993; Koesharyani et al., 2001). Selanjutnya, iridovirus dilaporkan dapat menginfeksi ikan kerapu lumpur Epinephelus coioides dan E. bleekery (Mahardika et al., 2001; Koesharyani et al., 2001), induk kerapu lumpur (Mahardika et al., 2003), kerapu macan E. fuscoguttatus dan kerapu batik E. polyphekadion (Mahardika et al., 2004b), kerapu sunu Plectropomus indicus (Mahardika et al., 2009b), dan kakap putih Lates calcarifer (Mahardika dan Mastuti, 2010). Infeksi iridovirus pada ikan kerapu dikenal dengan sebutan grouper sleepy disease iridovirus (GSDIV) karena gejala klinis yang ditimbulkan yaitu ikan tidur dengan satu sisi tubuh di dasar bak (Sudthongkong et al., 2002; Mahardika et al., 2004a). Megalocytivirus juga pernah dilaporkan menginfeksi ikan African lampeye dan dwarf gourami yang dipelihara di Sumatra dan diekspor ke Jepang melalui Singapura (Sudthongkong et al., 2002). Infeksi Megalocytivirus dicirikan dengan formasi sel-sel membesar dan sel-sel nekrotik. Di bawah elektron mikroskopi, sel-sel membesar merupakan IBCs (inclusion body bearing cell) yang kemungkinan merupakan sel makrofage yang terinfeksi virus, dan sel tersebut membesar seiring perkembangan badan inklusi (inclusion body) yang secara halus dibatasi oleh membran halus dengan inti dan sitoplasma sel inangnya (Chinchar et al., 2005). Sel-sel membesar pertama ditemukan di jaringan limpa dan ginjal, yang selanjutnya sel-sel tersebut menyebar ke beberapa organ dalam seperti hati, jantung, lambung, usus dan ginjal belakang melalui peredaran darah (Chao et al., 2004; Mastuti dan Mahardika, 2010). Akan tetapi kapan mulai terbentuknya sel-sel membesar tersebut pada jaringan limpa dan ginjal (organ target) belum dilaporkan. Oleh karena itu, dilakukan penelitian infeksi buatan GSDIV secara injeksi intramuskular dan pengambilan sampel ikan setiap hari dengan tujuan untuk mengetahui kapan waktu mulai terbentuknya sel-sel membesar pada organ ikan kerapu setelah terjadi infeksi virus GSDIV secara histopatologi.
Materi dan metode Ikan Uji Ikan uji yang digunakan adalah ikan kerapu bebek (ukuran 4-5 cm). Ikan-ikan tersebut merupakan hasil perbenihan dari hatcheri di BBPPBL-Gondol dan masing-masing di aklitimasi pada bak 500 L sampai digunakan. Sebelum digunakan, masing-masing dua ekor ikan diambil secara acak untuk analisis PCR untuk memastikan bahwa ikan tersebut bebas dari infeksi VNN dan GSDIV mengikuti metode Nishizawa et al. (1997) dan Kurita et al. (1998). Inokulum virus Virus GSDIV diisolasi dari organ limpa ikan kerapu bebek yang terinfeksi secara buatan. Inokulum virus dibuat mengikuti metode Mahardika et al. (2004a) yaitu 1 g organ limpa digerus sampai halus dalam homogeneizer, kemudian ditambahkan 9 mL PBS dan diduk sampai homogen. Larutan tersebut disentrifius dengan kecepatan 3.000 G selama 15 menit. Supernatan diambil dan difiltrasi dengan membran filter ukuran 0,45 µm. Supernatan hasil filtrasi (inokulum virus) disimpan pada suhu -80oC sampai digunakan. Perlakuan Sebanyak 77 ekor ikan uji diinjeksi secara intramuskular dengan 0,1 mL inokulum virus GSDIV per ekor ikan. Ikan uji tersebut dibius terlebih dahulu dengan eugenol (0,1 mL/L air laut) sebelum diinjeksi dengan inokulum virus. Ikan-ikan tersebut kemudian dipelihara dalam bak fiber ukuran 500 L yang dilengkapi dengan aerasi. Ikan-ikan tersebut diberi pakan pelet komersial dua kali sehari. Pengambilan sampel ikan dilakukan setiap hari (5 ekor/hari) secara acak, dan apabila
133
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
terdapat ikan yang sudah moribund atau baru mati juga diambil sebagai sampel. Semua sampel ikan dibedah dan diambil organ dalamnya untuk analisis PCR dan histopatologi. Histopatologi Setengah bagian organ limpa dan ginjal serta semua bagian organ dalam lainnya dari ikan yang baru mati dari uji patogenisitas maupun vasin difiksasi dengan buffer formalin. Organ-organ tersebut kemudian di embadding dengan alkohol bertingkat dan xilene serta di bloking dengan parafin. Prosedur histopatologi mengikuti metode yang diterangkan sebelumnya oleh Mahardika et al. (2001). Polymerase Chain Reaction (PCR) Amplifikasi PCR menggunakan primer 1-F (5’-CTCAAACACTCTGGCTCATC-3’) dan 1-R (5’ GCACCAACACATCTCCTATC-3’), yang berasal dari sekuen DNA pada posisi 959-bp fragmen Pst I dari RSIV (red sea bream iridovirus) (Kurita et al., 1998). Amplifikasi ini menghasilkan berat molekul sebesar 570 bp. Seperempat limpa dan ginjal (± 10 mg) dari sampel ikan diisolasi dan diekstraksi dengan ISOGEN (Wako Nippon Gene, Osaka, Japan) mengikuti prosedur pemakaian. Kondisi amplifikasi PCR mengikuti prosedur yang sebelumnya dikemukakan oleh Kurita et al. (1998).
Hasil dan Pembahasan Ikan yang terinfeksi virus GSDIV menunjukkan gejala klinis berupa nafsu makan berkurang bahkan hilang, diikuti dengan ikan tampak lemah dan berdiam di dasar bak dengan warna tubuh agak gelap. Gejala tersebut mulai terlihat pada hari ke-4 pasca infeksi. Beberapa jam kemudian (6-8 jam) ikan yang lemah akan berbaring atau tidur dengan satu sisi tubuh. Bagian sisi bawah tubuh pucat dan warnanya hilang. Beberapa saat ikan-ikan tersebut akan mati. Gejala klinis berupa tidur dengan satu sisi tubuh merupakan gejala khas dari serangan Megalocytivirus pada ikan kerapu yang dikenal dengan istilah GSDIV (Mahardika et al., 2004a). Gejala lemah, pucat dan tidur di dasar bak diduga sebagai akibat dari kekurangan darah (anemia). Kematian ikan terjadi setalah 6 hari pasca infeksi dan berlanjut hingga hari ke-9 pasca infeksi dengan total kematian mencapai 92,31% (Grafik 1). Tingginya kematian ikan disebabkan karena konsentrasi virus aktif yang terkandung dalam inokulum virus yang digunakan. Tingkat kematian tersebut sesuai dengan prediksi awal melalui uji pendahuluan 50% letal dosis (LD50) dimana inokulum virus yang digunakan menghasilkan 80% kematian.
Grafik1. Mortalitas harian dari ikan kerapu bebek yang diinfeksi virus GSDIV secara buatan. Dua puluh lima ekor ikan sampel 1-5 dpi tidak dihitung.
Pengamatan patologi menunjukkan organ limpa ikan mengalami pembengkakan dengan pinggirannya terlihat tumpul dan berwarna lebih gelap (Gambar 1). Perubahan ini teramati mulai
134
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
hari ke-3 pasca infeksi dan terlihat semakin membesar pada hari-hari berikutnya. Pembengkakan juga terjadi pada organ ginjal depan dan beberapa ikan mengalami pembengkakan pada ujung ginjal belakang. Pembengkakan organ limpa sampai dua kali dari ukuran normal dilaporkan merupakan ciri khas dari infeksi iridovirus (Jung et al., 1997; Chao et al., 2004; Miyazaki, 2007) dan dikenal dengan sebutan spleenomegally.
Gambar 1. Gejala patologis ikan sakit 5 hari pasca injeksi GSDIV, terjadi pembengkakan limpa (tanda panah).
Secara histopatologi, sel-sel membesar yang merupakan ciri khas dari infeksi Megalocytivirus mulai terlihat pada hari ke-3 pasca infeksi pada jaringan limpa. Akan tetapi tidak semua ikan sampel mengandung sel-sel membesar pada jaringan limpanya, hanya 40% dari 5 ekor ikan sampel (Tabel 1). Sel-sel membesar tersebut hanya ditemukan beberapa sel perlapang pandang dari preparat histopatologi limpa (Gambar 2). Persentase sel-sel membesar pada jaringan limpa semakin banyak pada hari berikutnya dan terlihat sangat banyak setelah hari ke-6 pasca infeksi pada ikan-ikan yang baru mati. Semakin banyak sel-sel membesar terbentuk, akan terlihat semakin menurun jumlah sel-sel darah merah. Penurunan jumlah sel darah merah akibat terbentuknya formasi sel-sel membesar mengakibatkan ikan kekurangan sel-sel darah merah untuk transportasi sari-sari makanan ke seluruh tubuh. Sebagaimana telah diketahui bahwa organ limpa dan ginjal merupakan organ pembentuk sel-sel darah (haematopoitic) dan jika terjadi serangan penyakit pada organ tersebut akan menyebabkan menurun sampai hilangnya fungsi organ tersebut yang mengakibatkan terjadinya anemia. Selain itu pertahanan tubuh ikan juga akan menurun karena organ limpa dan ginjal juga sebagai pembentuk sel pertahan tubuh seperti halnya organ limphoid lainnya(thymus dan limphonodus). Oleh karena virus GSDIV menyerang, menginfeksi dan berkembangbiak pada kedua jaringan/organ tersebut (target organ) akan menyebabkan terjadinya penurunan fungsi dari organ tersebut yang berujung pada anemia dan kematian ikan.
2A
2B
2C
2D
2E
2F
2G
2H
A
A
A
Gambar 2. Irisan histopatologi jaringan ikan yang terinfeksi GSDIV. Sel membesar belum terbentuk pada saat 1-2 dpi (2A dan 2B). Sel membesar pada limpa mulai teramati pada saat 3 dpi (2C) dan jumlahnya semakin meningkat (2D). Jumlah sel membesar paling padat teramati pada saat 6 dpi (2E), dan ditemukan pula pada ginjal depan (2F), ginjal belakang (2G) dan jantung (2H). Skala 50µm.
135
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
Sel-sel membesar tidak hanya ditemukan pada organ limpa dan ginjal depan tapi juga ditemukan pada organ ginjal belakang, hati dan jantung. Akan tetapi persentase sel-sel membesar pada ketiga organ tersebut tidak sebanyak persentase sel-sel membesar pada organ limpa dan ginjal depan. Hal tersebut terjadi karena sel-sel membesar pada ketiga organ tersebut merupakan bawaan dari peredaran darah ikan, dimana sel-sel membesar yang terbentuk pada organ limpa dan ginjal depan ada yang terlepas dan mengikuti peredaran darah menuju ke organ-organ lainnya sehingga sel-sel tersebut tidak banyak ditemukan pada ketiga organ tersebut. Akan tetapi persentase jumlah ikan yang mengandung sel-sel membesar pada organ ginjal belakang dan organ hati berkisar antara 20-66,7% dan organ jantung berkisar antara 35,7-83, 3%. Hasil tersebut sesuai dengan laporan kami sebelumnya (Mahardika et al., in pres), sel-sel membesar banyak ditemukan pada organ limpa dan ginjal belakang (5,67-13,67% dan 12,33-18,67% per lapang pandang : 0,93 mm2) akan tetapi sel-sel membesar ditemukan dalam persentase sedikit pada organ hati (0,33-3,0%), organ ginjal belakang (0,33-9,0%) dan organ lambung (0-0,33%). Sedangkan persentase jumlah ikan yang mengandung sel-sel membesar banyak ditemukan pada organ limpa (70,0-100%), ginjal depan (56,3-100%) dan ginjal belakang (33,3-100%). Selanjutnya Chao et al. (2004) melaporkan bahwa sel-sel membesar pertama ditemukan pada organ limpa setelah 64 jam pasca infeksi dan jumlah selsel membesarnya maksimal pada hari ke-5 (120 jam) pasca infeksi. Sel-sel membesar banyak ditemukan pada organ limpa, ginjal depan dan belakang serta insang, akan tetapi sel-sel tersebut sangat sedikit ditemukan pada organ hati, jantung, mata, usus dan daging. Sel-sel membesar tidak ditemukan pada organ otak. Lebih jauh dikatakan bahwa sel-sel membesar tersebut merupakan sel monosit yng terinfeksi oleh megalocytivirus. Sel-sel membesar tidak hanya ditemukan pada ikan yang sakit dan mati terinfeksi GSDIV, tetapi juga ditemukan pada organ limpa dan ginjal depan dari ikan-ikan yang mampu bertahan hidup setelah terpapar virus GSDIV (Tabel 1, Gambar 3). Sel-sel membesar tersebut tidak menyebar satu-persatu di seluruh jaringan limpa tetapi mengumpul membentuk kumpulankumpulan dengan ukuran yang bervariasi seperti melanomacrophage center (MMC). Berbeda dengan MMC, kumpulan sel-sel membesar tersebut tidak mengandung melamin maupun hemosiderin. Mahardika et al. (2004a dan 2009a) melaporkan bahwa kumpulan sel-sel membesar terbentuk akibat reaksi dari protein antivirus yang terdapat dalam sistem pertahanan tubuh ikan kerapu secara alami dalam menghambat perkembangbiakan virus GSDIV pada sel-sel hematopoitik. Sel-sel membesar tersebut merupakan IBCs yang berkembang tidak normal dan beberapa sel mengandung partikel virus GSDIV dalam badan inklusinya. Tabel 1. Persentase dari organ dalam ikan kerapu bebek yang mengandung sel-sel membesar setelah terinfeksi virus GSDIV secara buatan. Sel-sel membesar yang diamati (Enlarged cells were observed) Sampel ikan Limpa Ginjal depan Ginjal belakang Hati Jantung (fish sample) (spleen) (head kidney) (posterior kidney) (Liver) (Heart) 1 dpi 5 live fish 0 0 0 0 0 2 dpi 5 live fish 0 0 0 0 0 3 dpi 5 live fish 40% 0 0 0 0 4 dpi 5 live fish 60% 40% 0 20% 0 5 dpi 5 live fish 100% 100% 20% 40% 0 6 dpi 14 newly dead fish 100% 100% 42,9% 50% 35,7% 7 dpi 10 newly dead fish fish 100% 100% 50% 50% 40% 8 dpi 6 newly dead fish 100% 100% 66,7% 66,7% 83,3% 9 dpi 5 newly dead fish 100% 100% 40% 40% 40% 10 dpi 4 live fish 100% 100% 0 0 0 Keterangan: Sampel ikan pada 1 – 5 dpi diambil secara acak dari ikan yang masih hidup. Ikan yang masih hidup pada 10 dpi, 100% mengandung kumpulan sel-sel membesar dengan ukuran yang bervariasi.
136
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
Partikel virus GSDIV dalam sel tersebut memiliki bentuk yang agak bulat tidak seperti bentuk virus GSDIV aktif yaitu persegi delapan (hexagonal). Kumpulan sel-sel tersebut lambat laun akan berkurang seiring dengan kondisi ikan yang semakin sehat dan kemungkinan ikan tersebut membentuk antibodi spesifik secara alami sehingga ikan-ikan tersebut akan tahan terhadap infeksi virus GSDIV. Akan tetapi rentang waktu kemampuan antibodi yang terbentuk secara alami dalam mempertahankan ikan tersebut dalam serangan virus GSDIV diperlukan penelitian lebih lanjut.
3
Gambar 3. Irisan histopathologi limpa ikan yang bertahan hidup. Terjadi pengumpulan sel-sel membesar yang menyerupai melanomacrophage center (MMC)
Deteksi DNA virus menggunakan spesifik primer megalocytivirus menunjukkan bahwa DNA virus GSDIV dapat terdeteksi dari organ limpa ikan uji setelah 2 hari pasca infeksi (20%) dan terus meningkat pada hari berikutnya (Gambar 4). Hasil ini menunjukkan bahwa DNA virus GSDIV telah sampai dan menginfeksi organ limpa ikan uji 2 hari setelah infeksi dan sebelum terbentuknya sel-sel membesar. Virus dari genus Megalocytivirus menginfeksi sel-sel target melalui proses endocytosis (reseptor-mediated endocytosis). DNA virus masuk ke dalam inti sel dan berkembangbiak (perkembangbiakan virus tahap pertama). DNA virus selanjutnya keluar dari inti sel ke dalam sitoplasma melalui membran inti yang rusak atau pecah (rupture) dan berkembangbiak di dalam VAS (viral assembly site) (perkembangbiakan virus tahap kedua). Di dalam sitoplasma sel tersebut DNA virus akan membentuk partikel virus (viral-concatemer) (Chinchar et al., 2005; Chao et al., 2004; Mahardika dan Miyazaki, 2008). Sedangkan ikan-ikan yang masih bertahan hidup setelah 10 hari pasca infeksi (Tabel 1) positip mengandung DNA virus GSDIV. Hal tersebut menunjukkan bahwa DNA virus tersebut masih dapat terdeteksi dengan primer spesifik walaupun sel-sel yang mengandung virus terlokalisir dalam kumpulan sel-sel membesar. 2 DPI
3 DPI
4 DPI
+-
5 DPI
10 DPI
+-
A
B
Gambar 4. Hasil uji PCR, DNA virus mulai terdeteksi pada 2 dpi 20% dari lima ekor selanjutnya 100% pada hari 3 dpi hingga 9 dpi. Ikan yang bertahan hidup masih posistif terinfeksi virus.
Kesimpulan Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa DNA virus telah dapat terdeteksi 2 hari pasca infeksi dan sel-sel membesar terbentuk setelah 3 hari pasca infeksi pada organ limpa dan 137
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
ginjal depan (organ haematopoitik). Sel-sel membesar sebagai ciri khas dari infeksi GSDIV terbentuk sebelum ikan tersebut menunjukkan gejala klinis ataupun kematian. sedangkan ikan yang mampu bertahan hidup setelah terpapar virus GSDIV masih mengandung sel-sel membesar yang membentuk kumpulan sel dan didalamnya masih mengandung DNA virus GSDIV.
Daftar Pustaka Chao, C.B., C.Y. Chen, Y.Y. Lai, C.S. Lin and H.T. Huang. 2004. Histological, ultrastructural, and in situ hybridization study on enlarged cells in grouper Epinephelus hybrids infected by grouper iridovirus in Taiwan (TGIV). Dis. Aquat. Org., 58: 127-142. Chinchar, G., S. Essbauer, J.G. He, A. Hyatt, T. Miyazaki, V. Seligy and T. Williams. 2005. Family Iridoviridae. In: Fauquet CM, Mayo MA, Maniloff J, Desselberger U, Ball LA (Eds) Virus Taxonomy. Classification and Nomenclature of Viruses. Eighth Report of the International Committee on the Taxonomy of Viruses. Academic Press, San Diego, P 145-162. Jung, S.J., T. Miyazaki, M. Miyata, Y. Danayadol and S. Tanaka. 1997. Pathogenicity of iridovirus from Japan and Thailand for the red sea bream Pagrus major. Fish Sciences 63: 735-740. Koesharyani, I., D. Roza, K. Mahardika, F. Johnny, Zafran and K. Yuasa. 2001. Iridovirus. In: Sugama, K., H. Ikenoue, and S. Kawahara (eds) Manual for fish disease diagnosis-II. Marine fish and crustacean diseases in Indonesia. Gondol Marine Research for Mariculture, Central Research Institute for Sea Exploration and Fisheries, Dep of Marine Affair and Fisheries, and Japan International Cooperation Agency, P 5-7. Kurita, J., K. Nakajima, I. Hirono and T. Aoki. 1998. Polymerase chain reaction (PCR) amplification of DNA of red sea bream iridovirus (RSIV). Fish Pathol 33:17-23. Mahardika, K., I. Koesharyani, K. Sugama, A. Priyono and K.Yuasa. 2001. Histopathological study of iridovirus infection in Epinephelus coioides and Epinephelus bleekeri. In: Sugama K, Ikenoue H, Kawahara S (eds) Proceedings of Mariculture Technology and Sea Farming Development. Jakarta, Indonesia. Japan International Cooperation Agency, Jakarta, P 334-341. Mahardika, K., I. Koesharyani, A. Prijono and K. Yuasa. 2003. Infeksi Iridovirus pada induk kerapu lumpur (Epinephelus coioides) Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Edisi Akuakultur, 9 (1):1115. Mahardika, K., Zafran, A. Yamamoto, and T. Miyazaki. 2004a. Susceptibility of juvenile humpback grouper (Cromileptes altivelis) to grouper sleepy disease iridovirus (GSDIV). Dis Aquat Org, 59:1-9. Mahardika, K., I. Koesharyani and Zafran. 2004b. Uji kerentanan ikan kerapu lumpur, Epinephelus coioides dan kerapu batik, Epinephelus microdon terhadap infeksi iridovirus. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, Edisi Akuakultur,10 (2): 83-88. Mahardika, K., Haryanti, A. Muzaki and T. Miyazaki. 2008. Histopathological and ultrastructural features of enlarged cells of humpback grouper Cromileptes altivelis challenged with Megalocytivirus (Family Iridoviridae) after vaccination. Dis. Aquat. Org., 79: 163-168. Mahardika, K., and T. Miyazaki. 2009a. Electron microscopic features of cultured grunt fin cells infected with Megalocytivirus. Aquaculture Sci., 57 (1): 9-18. Mahardika, K., A. Muzaki and K. Suwirya. 2009b. Pathogenecity of grouper sleey disease iridovirus (GSDIV: Megalocytivirus, Family Iridovirdae) to coral trout grouper Plectrophomus leopardus. Indonesian Aquaculture journal, 4 (2): 121-130. Mahardika, K., I. Mastuti and Haryanti. In pres. Effectivity of inactive GSDIV (grouper sleepy disease iridovirus) vaccine in grouper fish (Cromileptes altivelis and Epinephelus fuscoguttatus) against GSDIV infection. Indonesian Aquaculture journal, 27. Mastuti, I., Y.N. Asih and K. Mahardika. 2010. Quantitative histopathological analysis of enlarged cells derived from humpback grouper, Cromileptes altivelis infected with grouper sleepy disease iridovirus (GSDIV). Indonesian Aquaculture Journal, (2): 91-100. Miyazaki, T. 2007. Color atlas of fish histopathology, Vol. 2. Shin-Suisan Shimbun-Sha, Tokyo, Japan, P 325-335. Nishizawa, T., K. Mori, T. Nakai, I. Furusawa, and K. Muroga. 1994. Polymerase chain reaction (PCR) amplification of RNA of striped jack nervous necrosis virus (SJNNV). Dis Aquat Org 18:103-107 Owen, L. 1993. Report On Sleepy Grouper Disease. Deprt. Of Biomedical and Tropical Veterinary Science, James Cook Univ. of North Queensland Townsville, Australia. 4811. Sudthongkong, C., M. Miyata and T. Miyazaki. 2002. Iridovirus disease in two ornamental tropical freshwater fishes: African lampeye and dwarf gourami. Dis Aquat Org, 48:163-173.
138