STUDI FENOMENOLOGI PENGALAMAN PERAWAT INSTALASI GAWAT DARURAT (IGD) DALAM MERAWAT PASIEN TERLANTAR PADA FASE END OF LIFE DI RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG 1
2
3
Maria Imaculata Ose , Retty Ratnawati , Retno Lestari 1 Universitas Borneo Tarakan 2,3 Staf Pengajar Magister Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
ABSTRAK Pasien terlantar dalam keadaan kritis yang memasuki fase End of Life sering dirawat di IGD. Kondisi tanpa ada keluarga yang mendampingi dan lingkungan IGD yang sibuk dan bising menjadi hambatan juga tantangan dalam perawatan End of Life. Perawatan pasien terlantar dalam tahap End of Life membutuhkan penanganan yang bertujuan memberikan rasa nyaman, ketenangan, kedekatan dukungan social. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi pengalaman perawat dalam merawat pasien terlantar dalam fase End of Life di ruang IGD RSUD dr. Saiful Anwar Malang. Desain penelitian dengan metode kualitatif dengan pendekatan Fenomenologi interpretif, yang melibatkan 7 perawat IGD. Data dikumpulkan melalui Indepth interview dan dianalisis dengan menggunakan analisa tematik Braun & Clark. Hasil penelitian menghasilkan 7 tema yaitu 1. merasakan hati tersentuh pada pasien terlantar menjelang ajal 2. Tidak membedakan perlakuan pada pasien terlantar dengan pasien lain yang menjelang ajal 3. Menghargai harkat dan martabat pasien 4. Memilih perawatan suportif sebagai tindakan terbaik 5. Terpaksa meninggalkan pasien tanpa pendampingan spritual 6. Mengalami konflik dalam menempatkan pasien terlantar yang menjelang ajal 7. Mengharapkan situasi lingkungan kerja yang mendukung. Kesimpulan adalah perawat bersikap profesional, menghormati harkat dan martabat dalam memberikan perawatan tanpa membedakan perlakuan dengan pasien lain yang menjelang ajal. Perasaan hati yang tersentuh muncul saat merawat pasien terlantar yang menjelang ajal tanpa didampingi keluarga. Perawatan End of Life lebih berfokus pada perawatan suportif, sedangkan dukungan spiritual tidak dapat diberikan di IGD karena karakteristik lingkungan yang sibuk dan lebih memprioritaskan pasien kritis. Hal ini menimbulkan konflik dan dilema bagi perawat sehingga diperlukan adanya ruangan khusus dan tim kerohanian untuk menyiapkan kematian yang damai dan bermartabat. Kata Kunci: Pasien terlantar, End of Life, Perawatan Gawat Darurat. Abstract Homeless patients who are encountering the End of Life phase are regularly admitted to the emergency department. Barriers to treating these patients arise due to no family assistance and unconducive environment. Treatments given to the patients who are facing the End of Lifephase should be able to make the patients feel comfortable, calm, and socially supported. This research aimed to explore the experiences of the nurses who care for the homeless patients in the emergency department of RSUD dr. Saiful Anwar Malang. This research was designed qualitatively employing the interpretive phenomenological approach. There were seven nurses participating in this study. Data was obtained through an in-depthinterview and analyzed by the Braun & Clark’s thematic analysis. The results have successfully found seven themes: 1. Nurses feel touched at the moment the patients are facing the dead 2. Nurses give mutual treatments to all patients, including the homeless 3. Nurses respect the homeless 4. Nurses prefer supportive treatments as the best intervention 5. Nurses have to leave the homeless without any spiritual assistance 6. Nurses face conflicts where to place the homeless 7. Nurses expect a conducive working environment. In conclusion the nurses maintained their professionalism, respected the homeless patients, gave mutual treatments to the patients. They felt touched because there was no family assisted the patients when they were struggling at the edge of their life. Treatments given to the patients at the End of Life phase were focused more on supportive treatments. No spiritual assistance could be provided by the emergency department due to busy environment and priority given to other dying patients. These have become problematic for the nurses. So, the availability of rooms for the homeless and spiritual teams can be helpful to prepare the patients die in peace and dignity. Keywords: Homeless Patients, End of Life, Emergency of Nursing. Jurnal Ilmu Keperawatan, Vol:4, No.2; Korespondensi : Maria Imaculata Ose. Universitas Borneo Tarakan. Alamat: Jl. S. Mahakam Asmil Kompi C 613 Kampung 4 Tarakan.Email.
[email protected]. No. Hp 085652149185 www.jik.ub.ac.id 171
PENDAHULUAN
perawat, terutama jika tidak ada yang
Instalasi Gawat Darurat (IGD) merupakan unit
mendampingi.
pertama dalam pelayanan kesehatan
di
cukup banyak pasien terlantar. Berdasarkan
pasien
Laporan Tahunan RSUD dr. Saiful Anwar
sesuai dengan tingkat keadaan gawat darurat.
(2014) di IGD menerima pasien terlantar pada
Dalam hal ini perawat dituntut untuk mampu
tahun 2012 sebanyak 69 orang, pada tahun
dalam
memberikan
2013 sebanyak 55 orang pasien terlantar, dan
pelayanan secara profesional. Kondisi pasien
tahun 2014 mengalami peningkatan 75 orang
yang datang ke IGD bervariasi, baik yang
pasien yang terlantar.
mengancam jiwa maupun yang menjelang
Berdasarkan pengamatan peneliti pada bulan
ajal. Pasien dengan kondisi mengancam
desember 2015 di IGD RSUD dr.Saiful Anwar,
nyawa berfokus pada tindakan resusitasi,
perawat tidak dapat maksimal menemani dan
sedangkan pada pasien yang menjelang ajal
selalu berada mendampingi disisi pasien
lebih berfokus pada perawatan End of Life.
terlantar ini. Persepsi perawat pada pasien
End of Life Care diberikan pada pasien yang
terlantar dengan End of Life bukanlah pasien
menjelang meninggal atau fase kritis dengan
yang prioritas lagi. Banyak pasien lain dalam
menerapkan
kondisi
Rumah Sakit yang memprioritaskan
berkomunikasi
Teori
dan
Peaceful End of Life.
IGD RSUD dr. Saiful Anwar
emergency
yang
membutuhkan
(Ruland & Moore, 1998 dalam Aligood &
penanganan sehingga perawat tidak memiliki
Tomey, 2014). Teori iniyang mencakup konsep
banyak waktu untuk fokus membantu pasien
persiapan yang baik dalam menghadapi
terlantar melewati fase End of Life.
kematian. Intervensi dalam konsep teori ini dilakukan yang bertujuan pasien merasa bebas dari rasa nyeri, merasa kenyamanan, merasa dihargai, dihormati dan berada dalam kedamaian dan ketenangan juga merasa dekat dengan orang dirawatnya.
Wolf, (2015) menyebutkan bahwa perawat di IGD sudah menyediakan End of Life Care, dan perawat mengakui sudah menerapkan End of Life Care namun terdapat keterbatasan dalam pelaksanaan
fase
End of
Life
meliputi
beberapa hal yaitu pengalaman perawat, dan
Beckstrand et al (2015) menyebutkan perawat
pengetahuan perawat,
mengalami hambatan dalam memberikan
jumlah perawat
pelayanan End of Lifeyang baik pada pasien
dengan kondisi yang kritis. IGD merupakan
yang tidak memiliki identitas. Selain itu
lingkungan yang sibuk, bising dan memiliki
perawatan End of Life menjadi sulit dilakukan
privasi yang sangat rendah. Kondisi ini
dan
menyebabkan
menimbulkan
permasalahan
bagi
Jurnal Ilmu Keperawatan – Volume 4, No. 2 November 2016 172
persepsi perawat,
saat menghadapi pasien
pasien
terlantar
tidak
mendapatkan perawatan End of Life. Hal ini
yang berkerja di IGD dalam rawat pasien
sangat
yang
terlantar dengan fase End of Life belum
dibutuhkan untuk perawatan pasien terlantar
banyak diuraikan secara komprehensif dan
dalam tahap End of Life, yang membutuhkan
mendalam,
sehingga
penanganan
terhadap
pengalaman
bertolak
belakang
yang
memberikan
rasa
dengan
bertujuan
dan
dalam makna
ketenangan,
pengalaman IGD dalam merawat pasien
kedekatan dukungan sosial. Hal ini sejalan
terlantar dengan fase End of Life penting di
dengan
lakukan.
penelitian
nyaman,
untuk
eksplorasi
yang
dilakukan
oleh
Beckstand et al (2015) yang menyebutkan IGD merupakan bukan tempat yang ideal
saat
menghadapi kematian.
METODE Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi iinterpretif.
Hasil wawancara pada beberapa perawat IGD
Partisipan dalam penelitian ini adalah perawat
RSUD dr.Saiful Anwar menyatakan bahwa
yang berkerja di ruang IGD RSUD dr. Saiful
pasien terlantar yang menjelang ajal biasanya
Anwar. Tahap pemilihan partisipan dengan
sendiri
teknik
tanpa
ada
yang
mendampingi
purposive
sampling
berdasarkan
menimbulkan rasa keprihatinan oleh perawat.
kriteria inkulsi dan memilih partisipan yang
Tantangan lain dalam pelaksanaan End of Life
sudah
yaitu kurangnya staf, kurangnya dukungan
pertimbangan agar dalam pengambilan data
sosial (penyediaan tokoh agama, dukungan
dan Indepth interview partisipan tidak merasa
keluarga), waktu, dan tidak ada area khusus
canggung, dan kaku serta mendapatkan
untuk pasien terlantar yang menjelang ajal.
informasi yang lebih mendalam. Adapun
Penelitian ini bertujuan melihat pengalaman
kriteria partisipan adalah: (1) Perawat yang
perawat IGD merawat pasien terlantar dalam
memiliki pengalaman kerja 8-19 tahun di
fase End of Life. Adanya kunjungan pasien
ruang Critical Care IGD RSUD dr.Saiful Anwar,
terlantar dalam fase End of Life yang tidak
dikenal
(2) Perawat
oleh
peneliti,
dengan
yang memiliki pengalaman
memiliki keluarga sehingga perawat memiliki
pengalaman merawat pasien terlantar pada
tanggung jawab dalam mendampingi pasien
fase End of Life (3) Pendidikan partisipan D3
terlantar
keperawatan-S1
di
IGD.
Kondisi
IGD
yang
Keperawatan
(4)
Dalam
mengambarkan lingkungan perawatan yang
keadaan sehat secara fisik, (5) Bersedia
sibuk dan intensitas kerja yang cepat.
sebagai partisipan dengan menandatangani
Penelitian
dengan
surat kesediaan menjadi partisipan. Proses
pembahasan mengenai pengalaman perawat
seleksi terhadap partisipan diawali dengan
dan
literatur
terkait
www.jik.ub.ac.id 173
peneliti bertemu Kepala Perawatan ruang
menempatkan
Critical Care kemudian menjelaskan tujuan
menjelang ajal
dari penelitian. Pengambilan data dimulai dari
lingkungan kerja yang mendukung.
kepala ruangan sebagai partisipan kunci, selanjutnya
dikembangkan
ke
partisipan
lainnya. Pada penelitian ini, saturasi data dicapai pada wawancara partisipan ke tujuh. Data
dikumpulkan
melalui
mendalam(Indepth
wawancara
interview)dengan
pertanyaan terbuka dan dikembangkan oleh peneliti.Analisis
data
dilakukan
dengan
pasien
terlantar
yang
8. Mengharapkan situasi
Tema Merasa hati tersentuh pada pasien terlantar menjelang ajal Merasa kasihan mengandung makna rasa iba hati dan menyatakan rasa belas kasih. Merasa kasihan terbangun dari perasaan kasihan, empati, iba dan rasa penyesalan. Ungkapan perasaan kasihan partisipan sebagai berikut: “…..yah
menggunakan Analisa tematik Braun & Clark
aslinya
dilema
memandang gak keluarganya
yang terdiri dari 6 tahapan.Penelitian ini telah
di
sini itukan
kasihan sebenarnya…” (P3)
mendapatkan laik etik di RSUD dr. Saiful
“….kalau perasaan kasihan pasti ada ..
Anwar
yah terbentur juga .. (P4) HASIL
“ ....yang terlintas pasti empati itu yah
Hasil penelitian ini menemukan ada 8 tema
ada .. (P4))
berdasarkan analisis tematik Braun &Clack
“ …ehm.... kasihan yah... apalagi yang
(2006) yang dilakukan. Delapan tema yang
tidak ada keluarganya…”(P7)
dihasilkan
dalam
penelitian
ini
mengambarkan pengalaman perawat IGD merawat pasien terlantar dalam fase End of Life yaitu1. Merasakan hati tersentuh pada pasien terlantar menjelang ajal
2. Tidak
membedakan perlakuan pada pasien terlantar
Ungkapan partisipan diatas dapat disimpulkan bahwa
partisipan
tersebut
merasakan
tersentuh, iba, rasa belas kasih ketika melihat dan merawat pasien-pasien terlantar yang tidak ada keluarganya dengan kondisi yang menjelang ajal.
dengan pasien lain yang menjelang ajal 3. Menghargai harkat dan martabat pasien 4. Memastikan tidak ada kecurangan pemberian nota dinas
5. Memilih perawatan suportif
sebagai tindakan terbaik
6.
Terpaksa
meninggalkan pasien tanpa pendampingan spritual
7.
Mengalami
konflik
dalam
Tema Tidak membedakan perlakuan pada pasien terlantar
dengan pasien lain yang
menjelang ajal. Perlakuan menjadi perbuatan yang dikenakan terhadap sesuatu atau orang lain. Tidak membedakan perlakuan pada pasien terlantar
Jurnal Ilmu Keperawatan – Volume 4, No. 2 November 2016 174
dengan pasien lain yang menjelang ajal
terlantar tetaplah seorang manusia seutuhnya
mengandung makna kontekstual perawat
yang
memberikan hak dan perlakuan yang sama
perlakuan yang layak. Hal ini diungkapkan
bagi setiap pasien yang datang ke IGD
oleh partisipan :
mana
tetap
“..yah
keluarga. Walaupun pasien terlantar tidak
memandang itukan kasihan sebenarnya
memiliki keluarga dan kondisi yang sangat
cuman mr.x ..mr.x jugakan manusia
memprihatikan dari segi hygiene namun
..”(P1)
secara psikologis perawat tidak membedakan-
“…Mr
bedakan pasien dari sisi terlantar maupun
manusia…...mr.x kan manusia ..” (P3)
tidak terlantar.
“..sama-sama manusia .. terlantar atau
x
dilema
mendapatkan
walaupun pasien tersebut tidak memiliki
“..Sama….. gak ada bedanya antara
aslinya
wajib
di
dipandang
sini
sebagai
tidak terlantar sama saja ..”(P5)
telantar dan tidak terlantar….”(P1)
Selain memandang pasien terlantar sebagai
“…jadi kalau saya pribadi tidak ada
seorang manusia seutuhnya, sikap berusaha
perbedaan pada pasien terlantar yang
memberikan pelayanan secara manusiawi
kritis ..“(P7)
pada pasien terlantar, perawat memposisikan
“…gak memperlakukan lebih.. menurut
seandainya pasien sebagai keluarganya. Hal
saya sesuai dengan kebutuhnya…saya
ini menjadi suatu alasan kuat untuk berusaha
kira gak ada sih bedanya perlakuan
memberikan pelayanan yang layak, dalam
..”(P5)
fase menjelang ajal.
Tema Menghargai Harkat dan Martabat pasien terlantar Dari
tema
ini
mengupayakan
dibangun
dari
memberikan
subtema perawatan
“…....andaikan itu keluarga saya yang diposisi itu .. saya tidak bisa melakukan tindakan apa-apa ..makanya saya tetap melakukan yang terbaik ….”(P4)
menjelang ajal yang baik dan bermartabat.
Tema memilih perawatan suportif sebagai
Mengupayakan
tindakan terbaik
memberikan
perawatan
menjelang ajal yang baik dan bermartabat
Perawatan suportif menjadi tindakan yang
mengandung arti melakukan usaha perawatan
terbaik bagi pasien-pasien yang menjelang
menjelang
dengan
ajal. Perawatan suportif mengandung makna
sebagai
perawatan yang diberikan setelah tindakan
Pasien
resusitasi dan usaha komprehensif dinyatakan
ajal
memperlakukan seseorang
yang pasien
dengan
baik terlantar
manusiawi.
www.jik.ub.ac.id 175
dan ditentukan tidak berhasil. Usaha suportif
lebih tinggi.Tema terpaksa meninggalkan
adalah perawatan lanjutan pada pasien tanpa
pasien
melakukan intubasi dan pembukaan jalan
dibangun dari subtema lebih memprioritas
nafas
yang
pasien yang harapan hidup lebih tinggi, tidak
menjelang ajal perawatannya lebih berfokus
mampu melakukan pendampingan spiritual
pada kebutuhan fisik dan kebutuhan dasar.
dan mengalami ketidakseimbangan antara
Perawatan
suportif
kebutuhan
dasar
secara
non-invasif.
Pasien
tanpa
pendampingan
spiritual
dalam
pemenuhan
beban kerja dan tenaga perawat.
meliputi
pemberiaan
Perawat IGD lebih memprioritas pasien yang
oksigen, pemberiaan cairan, obat-obatan
harapan hidup lebih tinggi. Hal ini seperti yang
antinyeri.
diungkapkan oleh partisipan:
“…Kalau perawatan...... yang menjelang
“Kalau ada pasien lain yang gawat.. ya
ajal harus di ini ... gak .. jadi itu hanya
prioritas tetap pada pasien yang hidup
istilah secara umum-umum... sama saja ..
dulu
secara medis itu atau kesehatan itu yah
kepentingannya menyelamatkan nyawa ..
sudah
(P2)”
kita..
prosedurnya,
sudah
melakukan
obat-obatnya
ini
sudah
masuk... seperti itu oksigen, cairan ini tetap kita berikan……”(P3)
….
kalau
yang
pertama
kita
“...... kita memprioritaskan apa yang masih bisa kita dilakukan dengan pasien yang lain ... dibanding dengan pasien
“…kalau saya oksigen tidak stop, infus tetap jalan tapi tidak ada tindakan yang lain ... yah sudah … sudah terpasang itu kita tidak melepas itu ... berarti alat yang terpasang pada saat resusitasi, sebelum
terminal” (P4) “kalau saya secara pribadi sendiri ..itu saya yang mendominakan pasien yang belum terminal..”(P6)
resusitasinya dinyatakan gagal yah sudah
“kita secara psikologis kita meningkat
dibiarkan saja sampai meninggal ... “(P2)
yang harapan hidupannya
Tema Terpaksa meninggalkan pasien tanpa
..”(P6) “… disini banyak pasien
pendampingan spiritual
lebih tinggi
..kalau ada
terlantar
kondisi yang gawat lainnya tentu saja
menjelang ajal ketika ada pasien kritis yang
yang hidup dulu,.. tetap yang hidup dulu
membutuhkan penanganan, menjadi pilihan
...... kalau penyelamatan nyawa itu
yang dilakukan oleh partisipan, memilih
utama, kemudian nanti baru menyiapkan
pasien yang prioritas harapan hidup yang
pasien yang terlantar untuk berangkat
Meninggalkan
pasien
yang
Jurnal Ilmu Keperawatan – Volume 4, No. 2 November 2016 176
dengan tenang” (P3)
“…..kalau sisi kerohaniannya protokolnya
Dukungan spiritual ini menjadi bagian dalam pemberian pelayanan pasien menjelang ajal. IGD RSUD dr. Saiful Anwar telah memiliki Standar
Operasional
Pelayanan pelayanan
Kerohanian pasien
(terminal).
yang
Perawat
Prosedur terkait
untuk dengan
menjelang belum
ada ... tapi aplikasinya disini belum berjalan…..” (P6) “…..tapi dalam SOP boleh didampingi oleh rohaniawan .. ustad.... tapi di rumah sakit ini belum ada tampaknya …”(P6)
ajal
Perawat menyadari pasien terlantar juga
dapat
harus mendapatkan dukungan spiritual dalam
mengaplikasikan pelayanan kerohanian pada
menghadapi
ajal.
Terbatasnya
pasien terlantar karena banyaknya beban
tingginya beban kerja dan tidak adanya team
kerja dan kurangnya tenaga perawat. Namun
khusus
apabila pasien tersebut memiliki keluarga
dukungan spiritual yang dilakukan perawat
maka perawat akan memfasilitasi keluarga
pada pasien yang menjelang ajal dilakukan
untuk memberikan dukungan ke rohanian
dengan
atau spiritual.
menghadapi pasien tersebut.
kerohanian
spontan
dalam
dan
waktu,
pelaksanaan
situasional
saat
“…tetap mbak fasilitas keluarga .. bukan
“...…kalau saya pribadi seperti itu ... yang
hanya memanggil keluarga .. tapi memberi
jelas dalam kita mimpin doa bukannya
kesempatan keluarga untuk memberikan
tidak mau atau tidak bisa yang jelas...
dukungan kepada pasiennya .. kita sendiri
banyak
kalau terlibat ke pasiennya saya kira gak….
diselesaikan (P6)
Itu kalau ada keluarganya…(P2)
“…cuman kalau masalah spritual itu yang
Belum adanya team kerohanian dan belum adanya tenaga rohaniawan yang membantu memberikan dukungan spiritual.
pekerjaan
lain
yang
harus
kurang di kita ......”(P3) “…..misalnya
mr.x
datang
gak
ada
keluarganya sudah gak sadar lagi .. masuk dengan trauma atau kadang dengan
“Kalau di IGD ..selama di IGD sih saya
penyebab
belum pernah dikunjungi oleh petugas
keluarga yah .. setahu saya tidak pernah
kerohanian.... mungkin yang belum kita
dilakukan“…nanti kalau kita mimpin doa
punya itu adalah layanan kerohanian
nanti di komplainin yang lain... (P5)
(P2).
“….Selama ini perawatan umum saja,
“…pendampingan oleh rohaniwan kita
belum ada perawatan secara khusus
hanya sebatas wacana…”(P1)
spritual yah hanya spontan aja .. tapi yah
lain
dan
tidak
didampingi
www.jik.ub.ac.id 177
kadang-kadang
kita
mesti
harus menginfus atau lainnya istilahnya
ngomong...”(P1)
lebih membantu yang lain (P3)
“….gak ada ... atau belum pernah ada kita berikan dukungan spiritual….yah cuman ...... kalau secara spontan yah….”(P5) Tugas perawat di IGD selain melakukan tindakan mandiri, perawat juga bertugas dalam
kelengkapan
kelengkapan
administrasi
dokumentasi
pasien
dan yang
menjadi tanggung jawab perawat IGD.. “…kita harus di tuntut administrasi, kelengkapan dokumentasi, pasien yang akan pindah keruangan ... jika kita tidak mengerjakan itu .. maka IGD akan penuh
Jumlah tenaga perawat dengan beban kerja yang tidak seimbang dirasakan oleh partisipan sehingga
tidak
mampu
melakukan
pendampingan secara maksimal. Kurangnya tenaga perawat mengurangi keterlibatan dalam
pendampingan
secara
intens.
Pendampingan dalam makna kontekstual yaitu
memberikan
emosional,
dukungan
sosial,
secara
kenyamanan
juga
memberikan perasaan ketenangan hati bagi pasien yang menghadapi fase menjelang ajal.
…” (P7)
“..
secara halnya petugasnya juganya
“…tapi kan kita juga ada dibebani dengan
kurang secara BOR .. pasiennya juga tidak
target ..dibebani dengan
mana yang
wes karuan seperti itu ….ditambah lagi
harus kita prioritaskan... tergantung dari
kondisi disini situasi yang sulit jumlah
kondisi pasien..”(P4)
pasiennya 100, kita yang jaga cuman ber
“…semuanya perawat jadi multi fungsi
4 .. tenaganya sangat jauh “.... dan
selama perawatan disini .. “(P6)
memang di protokol didampingi seperti
Peran perawat di IGD selain melaksanakan
ini.. tapi kalau dalam aplikasinya kita kan
fungsi
mandirinya,
melaksanakan
tindakan
perawat
juga
minimal dari petugas kebutuhan
yang
kolaborasi
dan
diharapan kendalanya sumber dayanya
kegiatan atas instruksi dari tenaga medis
minimal sekali ..”(P3)
lainnya.
“…karena kan .. jumlahnya terbatas ..
“..nanti kalau dokternya sudah mungkin
tenaga
kesehatannya..beban
gak bisa mengejar yah.... yang lebih
perawat
sangat
dominan perawatnya..”(P2)
pasiennya tidak sesuai .. ...perawatnya
banyak
..
kerja jumlah
“… bukan kita tidak mau yah .. yang lain pasien juga banyak yang memerlukan .. mungkin juga dokternya memerlukan kita
Jurnal Ilmu Keperawatan – Volume 4, No. 2 November 2016 178
lebih sedikit dan tidak ideal ... ” (P7)
Tema
Mengalami
menempatkan
pasien
konflik terlantar
dalam yang
menjelang ajal
..... histeris pasiennya …”(P2) Tema Mengharapkan situasi lingkungan kerja yang mendukung.
IGD RSUD dr. Saiful Anwar tidak memiliki ruangan khusus untuk pasien-pasien yang menjelang ajal. Seperti yang diungkap oleh partisipan dibawah ini “…kalau ruangan khusus disini gak ada .. ruangannya yah general seperti p1, p2 dan P3 sebenarnya sih kalau idealnya, sangat tidak ideal .. …” (P6) “…kendalanya itu pasien P1 datang tempat penuh .. kita berbenturan yaitu, kalau mau mengeser .. sudah di label
Adanya team kerohanian yang diharapkan dapat lebih berperan dan berfokus dalam memberikan pendampingan dan dukungan spiritual pada pasien-pasien yang menjelang ajal terutama bagi pasien yang tidak memiliki dan didampingi oleh keluarga. Harapan ini di ungkapkan oleh partisipan sebagai berikut: “….. tetap ada pendampingan dari pihak rumah sakit pada fase ajal itu harusnya ada team bimbingan rohani...”(P4)
pasien menjelang ajal .. tidak ada
“……pasien yang tidak ada keluarganya
tindakan tapi menunggu ajal tuh ...taruh
bisa kita lakukan dengan menjelang ajal
ditempat yang agak kepinggir sedikit
harus ada team
yang mungkin nanti dengan catatan tidak
harapannya….”(P3)
yang berperan……
sampai melupakannya..” (P2) Harapan adanya sarana ruangan khusus untuk Hambatan lain yang muncul yaitu dalam
perawatan pasien-pasien yang menjelang ajal
kesulitan menjaga dan mempertahankan
baik pasien terlantar maupun yang memiliki
privasi pasien. Banyaknya pasien yang tidak
keluarga.
memiliki ruangan khusus untuk pasien yang
diharapkan pasien mendapatkan suasana
menjelang ajal menjadi suatu kesulitan untuk
yang lebih nyaman, dan tenang.
menjaga dan mempertahankan privasi pada pasien tersebut. seperti yang diungkap oleh partisipan :
“….
Dengan adanya ruangan khusus
mungkin
perlu
dipikirkan
atau
disiapkan ruangan khusus untuk pasien yang menjelang ajal mau terlantar atau
“ ….karena saya sudah beberapa kali
tidak, apa yah istilah ruangan khusus,
menemui eh .. apa yah .. sebelahnya
semacam
tidak
ruangan kecil sehingga kalau itu ingin
meninggal
sebenarnya,
meninggalnya jauh P1, pasiennya di p3
ruangan
upacara
khusus,
melakukan upacara dalam kecil-kecilan www.jik.ub.ac.id 179
kita bisa…...memfasilitasi atau mungkin
menjadikan
ingin berdoa disana lebih privasi…”(P2)
menyedihkan.
“….harapan saya .. memang harus ada
Mengatasi perubahan psikologis yaitu dengan
tempat.. kalau untuk IGD..... memang
mengendalikan
perasaan,
dimana
tempat pasien DNR itu harus ada …oh iya
membedakan
simpati
empati,
kalau lingkungannya lebih tenang kan
menyampingkan empati, tidak terpengaruh
lebih enak membimbing..”(P3)
oleh perasaan. Pengendalian dan mengatasi
yang
sangat
perlu disadari oleh perawat IGD untuk tetap
Perawat memiliki kecenderungan merasa hati tersentuh dan terharu pada pasien yang dirawat secara langsung. Pasien terlantar yang menjelang ajal hanya sendiri tanpa ada dan
pendampingan
perawatannya.
Hal
kecenderungan
munculnya
psikologis
hal
perubahan psikologis yang dirasakan sangat PEMBAHASAN
dukungan
suatu
timbul
ini
dalam
menjadikan
perasaan
perubahan tersentuh,
mengalami suatu perasaan yang berbeda saat merawat pasien terlantar yang menjelang ajal,
bersikap
professional
dalam
melakukan
perawatan pasien terlantar yang menjelang ajal.
Bersikap
professional
dengan
memberikan perawatan caring secara fisik, secara emosional dan psikologis. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Hudak & Gallo (2010) yang menyatakan bahwa perawat peka dalam membangun rasa empati pada pasien, tapi bukan perawat yang kehilangan kendali.
menjadi tersentuh, muncul perasaan kasihan, iba, empati dan rasa penyesalan karena tidak ada keluarga yang mendampingi dalam tahap akhir dalam kehidupan yang dirasakan oleh perawat. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Enggune., et al 2014 yang menyebutkan bahwa perasaan empati dan perasaan sedih merupakan dampak dari seringnya merawat pasien yang meninggal dan merupakan suatu hal yang wajar. Fridh,
Sikap
menghargai
harkat
dan martabat
menjadi bagian dalam perawatan pasien terlantar yang menjelang ajal. Watson (2010) menyebutkan perawat menunjukan nilai-nilai humanistic (rasa kemanusian) dengan nilai kebaikan, empati dan caring pada pasien dengan mengutamakan kepentingan pasien yang akan berdampak rasa kebahagian dan kepuasaan dari perawat tersebut.
Forsberg, & Bergbom, (2009) menyebutkan
Perawatan pasien terlantar yang menjelang
bahwa pasien yang meninggal dalam keadaan
ajal kondisi End of Life membutuhkan fokus
tanpa
memberikan perawatan suportif. Perawatan
didampingi
oleh
keluarga
akan
Jurnal Ilmu Keperawatan – Volume 4, No. 2 November 2016 180
suportif yang diberikan yaitu perawatan lanjut
spritual
kebutuhan dasar, memberikan kenyamanan
penyediaan perawatan menjelang kematian
dan mengobservasi juga memonitor pasien
yang optimal
terlantar yang menjelang ajal. Bailey, Murphy, & Porock(2011) menyebutkan pasien di IGD dengan perawatan suportif untuk mengontrol gejala. Situasi kerja yang kurang mendukung, terlebih di IGD pasien-pasien yang harapan hidupnya lebih tinggi menjadi prioritas. Kondisi Prioritas berdasarkan tingkat dan level kegawatan dari setiap pasien. Decker, lee, Morphet (2014) menyebutkan Situasi IGD yang sibuk, dengan banyaknya tuntutan, mungkin
sulit
untuk
memberikan
pendampingan kematian yang baik. Bailey, Murphy, & Porock(2011) dan Chan (2011) menyebutkan bahwa pasien-pasien dengan resusistasi selalu didahului diatas perawatan End of Life. Ketidakmampuan perawat untuk mendampingi
spiritual
ini
menimbulkan
dilema bagi perawat saat disisi lain perawat menyadari kebutuhan spiritual bagi pasien namun disisi lain lingkungan kerja dan banyaknya tugas dan pasien lain yang membutuhkan
perhatian
dari
perawat.
Perawat memiliki peran dalam melakukan intervensi secara langsung atau
mengatur
akses untuk mendapatkan perawatan spiritual bagi pasien yang menjelang ajal. Tingginya tuntutan,
dan
mempengaruhi
dan
kurangnya menjadi
waktu hambatan
keterampilan interpersonal dalam penyediaan
dari
seorang
Penempatan
perawat
ruangan
untuk
menjadi
suatu
permasalahan yang terjadi di IGD, terbatasnya ruangan dengan jumlah pasien yang melebihi kapasitas area P1 maka mengeser pasien karena tidak adanya ruangan khusus untuk pasien
yang
menjelang
mengalami
kesulitan
ajal.
Perawat
menjaga
dan
mempertahankan privasi pasien dan pasien lain karena ruangan yang menyatu dan terlihat oleh pasien lain menimbulkan dampak psikologis yang tidak kenyaman bagi pasien lain.Lingkungan merupakan
kerja
prasyarat
yang
kondusif
perawat
untuk
menyediakan perawatan End of Life yang berkualitas. perawat sangat membutuhkan ruangan perawatan yang khusus untuk pasien yang menjelang aja. Perawatan pasien dalam tahap End of Life, yang membutuhkan penanganan memberikan
yang rasa
bertujuan nyaman,
untuk
ketenangan,
kedekatan suport sosial (Beckstrand et.al, 2012, Decker, et.al, 2015).Perawatan pasien yang menjelang fase End of Life melibatkan berbagai displin yang meliputi pekerja sosial, ahli agama, perawat, dokter (dokter ahli atau dokter umum yang berfokus pada perawatan yang holistic meliputi fisik, emosional, sosial, dan spiritual. (Hockenberry &Wilson, 2005).
www.jik.ub.ac.id 181
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai
dapat dijadikan gambaran kondisi IGD pada
sarana evaluasi pelayanan perawatan End of
umumnya di Indonesia.
Life maupun perawatan pada pasien terlantar.
KESIMPULAN
Evaluasi yang dilakukan sebagai perbaikan
Perawat
dan penyempurnaan pelayanan End of Life.
menghormati harkat dan martabat pasien
diharapkan
dalam memberikan perawatan. Konflik batin,
dengan
mempertimbangkan
tetap
bersikap
profesional
adanya team kerohanian dan team khusus
emosi, perasaan hati
yang berfokus untuk pendampingan, dan
dengan melihat kondisi pasien terlantar
dukungan spiritual pada pasien terlantar yang
menjelang ajal.
tersentuh muncul
menjelang ajal di IGD. Penelitian ini memiliki keterbatasan, yaitu peneliti tidak mengeksplorasi terkait upaya kolaboratif perawat dengan dokter dan anggota lain dari tim perawatan kesehatan. Kolaborasi bagian dari tanggung jawab dalam merawat
pasien.
Fokus
tenaga
medis
penanganan dan pengobatan pada pasien dengan harapan hidup yang lebih tinggi, sehingga tidak berperan secara nyata pada pasien dalam transisi pasien yang menjelang ajal dirumah Sakit RSUD dr. Saiful Anwar.
Dukungan spiritual tidak dapat diberikan namun perawatan suportif menjadi bagian perawatan terbaik bagi pasien terlantar yang menjelang ajal. Tantangan dan hambatan dalam perawatan End of Life yaitu kondisi lingkungan kerja di IGD tidak adanya team kerohanian dan tidak adanya ruangan khusus untuk pasien yang End of Life. Selain itu pelayanan IGD yang lebih memprioritaskan pasien dengan kesempatan hidupnya lebih tinggi.
Penelitian ini hanya dilakukan terbatas di satu
Adanya fasilitas ruangan yang khusus dan
rumah
team
sakit
yang
tentunya
memiliki
kerohanian
bagi
pasien
terlantar
perbedaan kebijakan dan keterkaitan dengan
diharapkan dapat menyiapkan kematian yang
lembaga-lembaga yang berhubungan dengan
damai dan bermartabat dengan tidak adanya
kebijakan bagi pasien terlantar di rumah sakit
perlakuan
yang lainnya. Sehingga hasilnya mungkin tidak
terlantar dengan pasien lain yang menjelang
yang
berbeda
antara
pasien
ajal.
DAFTAR PUSTAKA Alligood, M., & Tomey, A. (2014). Nursing Theorist and Their Work. Sixth Edition. St
Louis Missoury : Mosby Elseveir. Bailey, C., Murphy, R., & Porock, D. (2011).
Jurnal Ilmu Keperawatan – Volume 4, No. 2 November 2016 182
Trajectories
of
end-of-life
care
in
the
emergency department. Annals of Emergency Medicine,
Enggune, M., Ibrahim, K., & Agustina, H. R.
362–
(2014). Persepsi Perawat Neurosurgical
369.http://doi.org/10.1016/j.annemergmed.2
Critical Care Unitterhadap Perawatan
010.10.010
Pasien
Beckstrand., et, al. (2015). Rural Emergency
Keperawatan Padjadjaran, 2(1).
Nurse’s
57(4),
Bahasa, Kemdikbud (Pusat Bahasa).
End
experiences:
of
Life
stories
care from
obstacle the
Menjelang
Ajal.Jurnal
Fridh, I., Forsberg, A., & Bergbom, I. (2009).
last
Doing one’s utmost: Nurses' descriptions
frontier. Journal Of Emergency Nursing. 1-
of caring for dying patients in an intensive
9
care environment. Intensive and Critical
Braun, V & Clark, V. (2006). Using Thematic Analysis
in
Psychologi.
Qualitative
Research in Psychology 3 (77-101). Chan,
G.
K.
(2011).
Trajectories
Clinician
Narratives
of
of
Patient Transitions to the End of Life. Journal
of
Pain
Management,
and
42(6),
Hudak, C., & Gallo, B. (2010). Keperawatan kritis pendekatan holistik (Edisi 6. Vol. 1).
Approaching Death in the Emergency Department :
Care Nursing, 25(5), 233–241.
Symptom 864–881.
http://doi.org/10.1016/j.jpainsymman.20
Jakarta:
Buku
Kedokteran
EGC.
(Hockenberry &Wilson, 2005) Laporan
Tahunan
RSUD dr. Saiful Anwar
(2014) Wolf, L,. A., Altair M. D, et al.
(2015).
Exploring the management of death: Emergency nurses’ perceptions of
11. Decker, K., Lee, S., & Morphet, J. (2015). The experiences of emergency nurses in providing end-of-life care to patients in the emergency department.
Challenges and facilitators in the Provision of end-of-life care in the Emergency department.
Journal Of
Emergency Nursing. 41 (5) : e23-e33
Ebta Setiawan. Kamus Besar Bahasa Indonesia
Watson, J (2010). Caring science and the next
Online. 2012-2016 versi 1.9: Badan
decade of holistic healing:transforming
Pengembangan
self and system from inside out.
dan
Pembinaan
www.jik.ub.ac.id 183