STUDI ANALISIS TEORI NASIKH-MANSUKH RICHARD BELL DALAM BUKU BELL’S INTRODUCTION TO THE QURAN
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Dalam Ilmu Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadits
Oleh: Moch. Khoirul Anam NIM : 084211008
FAKULTAS USHULUDDIN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2012
MOTTO
&óx« Èe≅ä. 4’n?tã ©!$# ¨βr& öΝn=÷ès? öΝs9r& 3 !$yγÎ=÷WÏΒ ÷ρr& !$pκ÷]ÏiΒ 9ösƒ¿2 ÏNù'tΡ $yγÅ¡ΨçΡ ÷ρr& >πtƒ#u ôÏΒ ô‡|¡ΨtΡ $tΒ ∩⊇⊃∉∪ íƒÏ‰s% Artinya: Ayat mana saja yang Kami nasakhkan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS: [2] al-Baqarah: 106)1
1
Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah Al-Qur’an Al-Hikmah, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama, Bandung: Diponegoro, 2007, hlm 29
DEKLARASI
Penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi ataupun tulisan yang pernah diterbitkan oleh orang lain, termasuk juga pemikiran-pemikiran orang lain, kecuali informasi yang penulis peroleh dari referensi yang menjadi bahan rujukan bagi penelitian ini.
Semarang, 22 Mei 2012 Deklator,
Moch. Khoirul Anam NIM: 084211008
KATA PENGANTAR
Bismillahir Rahamannir Rahim Segala bagi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, bahwa atas taufiq dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini berjudul Studi Analisis Teori Nasikh-Mansukh Richard Bell dalam Buku Bell’s Introduction to the Quran, disusun untuk memenuhi salah syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata satu (S. 1) Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang. Dalam penyusunan skripsi ini penulis dapat mendapatkan bimbinganbimbingan dan saran-saran dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Kepada Prof. Dr. Muhibbin, MA, selaku pengemban Rektor IAIN Walisongo Semarang. 2. Bapak Dr. Nasihun Amin M. Ag selaku Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang yang telah merestui pembahasan skripsi ini. 3. Bapak Dr. Imam Taufiq, M. Ag dan Bapak Drs. Iing Misbahuddin, L c. MA selaku Dosen pembimbing I dan Dosen Pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini. 4. Ibu Lulut Widyaningrum M. Ag selaku Pimpinan Perpustakaan Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, yang telah memberikan ijin dan layanan kepustakaan yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini. 5. Para Dosen Pengajar di lingkungan Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo, yang telah membekali berbagai pengetahuan sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi. 6. Kepada kedua orang tua kami (Abah Sudarmo) dan (Umi Rafi’atun), serta kakak dan adik-adik, yang selalu mendoakan dan memberikan dorongan kepada penulis demi kesuksesan studi ini penulis juga mengucapkan trimakasih yang tak terhingga.
7. Tidak lupa penulis ucapkan banyak trimakasih kepada Dr. Phil. Syahiron Syamsudin, MA. ( dosen UIN SUKA Yogyakarta) Dr. Almakin M. A. (dosen UIN SUKA Yogyakarta) sdan tidak lupa penulis ucapkan banyak trimakasih kepada Dadan Rusmana M. Ag (dosen UIN Sunan Gunung Jati Bandung) di mana mereka yang telah banyak wawasan, pengarahan dan memberikan masukkan serta dorongan terhadap penulis, sehingga skripsi ini menjadi selasai dengan baik. 8. Trimakasih kepada KH. Abdul Basyir Hamzah, Umi Khafidlotul ‘Ulya beserta seluruh keluarga besar santri Pon-Pes Al-Anwar Suburan- Mranggen Demak, yang selama telah memberiakan Wadah dalam menimba ilmu serta senantiasa memberikan inspirasi dan motifasi baik spiritual maupun material. 9. Dan taklupa seluruh teman-teman Civitas Akademika Fakultas Ushuluddin , terlebih kepada teman-teman Tafsir-Hadist periode 2008, IAIN Walisongo Semarang, dan taklupa penulis ucapkan banyak trimaksih kepada saudara Muslih Qasidul Haqq, yang telah banyak memberikan kontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung telah membantu dalam penyusunan skripsi ini. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh sekali untuk dikatakan sempurna. Oleh karena itu dengan lapang dada dan penuh keikhlasan penulis menerima kritik dan saran dari semua pihak guna kesempurnaan skripsi ini. Semarang, 22 Mei 2012
Penulis
Moch. Khoirul Anam NIM: 084211008
ABSTRAK
Skripsi ini membicarakan tentang kata nasikh dalam al-Qur’an, kata ini diulang sebanyak empat kali, yaitu dalam QS: 2: 106, 7: 154, 22: 52 dan 45: 29. Masing-masing dapat diartikan menghapus, membatalkan, mengganti dan memindahkan. Dalam perkembangannya ayat-ayat di atas dipergunakan sebagian ulama’ menjelaskan arti nasikh-mansukh dalam al-Qur’an. Untuk masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah Bagaimana Pandangan Richard Bell terhadap Nasikh-Mansukh? Bagaimana pandangan Cendikiawan terhadap persoalan nasikh-mansuk? Bagaimana kontribusi Richard Bell terhadap pengembangan Ilmu tafsir dan Ulum al-Qur’an. Secara eksplisit orientalis ini mengakui nasikh al-Qur’an dalam arti pembatalan, penghapusan, dan penggantian ayat terdahulu dengan ayat yang datang kemudian. Menurut Richard Bell bahwa al-Qur’an memiliki kegandaan sumber wahyu, yaitu Allah sebagai sumber utama dan Muhammad SAW. Menurut Bell, unit-unit wahyu orisinal terdapat dalam bagian-bagian pendek alQuran. Hal ini disebabkan pandangannya yang menempatkan Muhammad sebagai revisor al-Quran, walaupun dalam koridor inisiatif ilahi. Richard Bell, dipengaruhi dan termotivasi dengan kepentingan politis serta mengikuti jejak pendahulunya, sehingga kajiannya terlihat prejudistik, dari pada karya yang objektif. Ia juga mengatakan bahwa al-Qur’an yang ada sekarang merupakan hasil `dari modifikasi orang-orang Muslim setelah kematian Muhammad. Richard Bell juga mengatakan bahwa sumber historis utama dari ajaran-ajaran al-Qur’an adalah agama Kristen, sehingga dengan metodologi historis dan filologis yang digunakan Richard Bell, dalam hal ini menurutnya sudah dapat mengupas al-Qur’an, dari sisi penafsirannya. Di dalam memahami dan mengeksplorasi ayat-ayat al-Qur’an yang menurut Richard Bell mengalami nasikh-mansukh, dia berusaha memaksakan (takalluf) al-Qur’an agar dapat berbicara sendiri dengan menekankan pada aspek metodologinya. Akibatnya penafsirannya terhadap teori (revisi) nasikhmansukhnya tersebut menjadi ahistoris. Hanya saja kemudian Richard Bell memosisikan nasikh dengan menggunakan arti revisi yang berimplikasi pada makna (perbaikan), koreksi, serta tambahan, suatu ayat terhadap ayat berikutnya. Bagi Bell, arti nasikh sama dengan derevasi yang mempunyai dua titik kesamaan yaitu: berulang turunnya ayat-ayat al-Qur’an dan proses tentang perbaikan kandungan ayat yang dilakukan Muhammad. Dalam khazanah kaidah-kaidah kajian Tafsir dan Ulum al-Qur’an yang sudah dirumuskan oleh mufassir, apa yang dilakukan Richard Bell di dalam konsepnya terhadap teori nasikh-mansukh ternyata kurang memperhatikan disiplin kedua ilmu tersebut secara komprehensif, salah satunya mengenai ilmu munasabah (korelasi ayat atau antar surat).
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB DAN LATIN
Transliterasi yang digunakan dalam penulisan skripsi ini, bersumber dari pedoman Arab-Latin yang diangkat dari keputusan menteri Agama dan Menteri pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Nomor 158 Tahun 1987 dan Nomor 0543/U/1987, selengkapnya adalah sebagai berikut: 1. Konsonan Fonem konsonan dalam bahsa Arab yang dalam system tulisan Arab dilambangkan dengan huruf, dalam transliterasi ini sebagian dilambangkan dengan huruf dan sebagian dilambangkan dengan tanda, dan sebagian lagi dengan huruf dan tanda sekaligus. Di bawah ini daftar transliterasi huruf Arab dan Translitrasinya dengan huruf latin. Huruf Arab
Nama
ا
alif
ب
Ba
Huruf Latin Tidak dilambangkan B
Nama Tidak di lambangkan
ت
Ta
T
Te
ث
sa
S
Es (dengan titik di atas)
ج
jim
J
Je
ح
Ha
H
Ha (dengan titik di bawah)
خ
kha
Kh
Ka dan ha
د
Dal
D
De
د
Zal
Z
Zet (dengan titik di atas)
ر
Ra
R
Er
ز
Zai
Z
Zet
س
Sin
S
Es
ش
Syin
Sy
Es dan ye
ص
Sad
S
es (dengan titik di bawah)
ض
Dad
D
de (dengan titik di bawah)
Be
ط
Ta
T
Te (dengan titik di bawah)
ظ
Za
Z
Zet (dengan titik di bawah)
ع
‘ain
‘
Koma terbalik (di atas)
غ
Gain
G
Ge
ف
Fa
F
Ef
ق
Qaf
Q
Ki
ك
Kaf
K
Ka
ل
Lam
L
El
م
Mim
M
Em
ن
Nun
N
En
و
Wau
W
We
ه
Ha
H
Ha
,
Hamzah
‘
Apostrof
ي
Ya
Y
Ye
2. Vokal Vocal tunggal Arab, seperti vocal dalam bahasa Indonesia, terdiri dari vocal tunggal atau monoftrong dan vocal rangkap atau diftrong. a. Vokal Tunggal Vocal tunggal dalam bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harakat, transliterasinya sebagai berikut: Huruf Arab
Nama
Huruf Latin
Nama
----------------
Fathah
A
A
----------------
Kasrah
i
I
---------------
dhammah
u
U
b. Vocal Rangkap Vokal rangkap bahasa arab yang lambangnya berupa gabungan antara harakat dan huruf, dan transliterasinya berupa gabungan huruf. Yaitu: Huruf Arab --------ي
Nama Fathah dan ya
Huruf Latin
Nama
ai
a dan i
-------و
-
Kataba
-
Fa’ ala
-
Zukira
Fathah dan wau
ﻛﺘﺐ ﻓﻌﻞ دﻛﺮ
au
-
yazhabu
- su’ ila - kaifa -
haula
a dan u
ﻳﺪﻫﺐ ﺳﺌﻞ ﻛﻴﻒ
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................
i
HALAMAN NOTA PEMBIMBING ............................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................
iii
HALAMAN MOTTO ....................................................................................
iv
HALAMAN DEKLARASI ............................................................................
v
HALAMAN KATA PENGANTAR ..............................................................
vi
HALAMAN ABSTRAK ...............................................................................
viii
TRANSLITERASI .........................................................................................
ix
DAFTAR ISI ...................................................................................................
xi
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
xiv
BAB I
BAB II
: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .......................................................
1
B. Pokok Masalah ......................................................................
8
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ..........................................
8
D. Tinjauan Pustaka ...................................................................
13
E. Metodologi Penulisan ...........................................................
14
F. Sistematika Pembahasan ......................................................
16
: TINJAUAN
UMUM
TENTANG
TEORI
NASIKH-
MANSUKH DALAM AL-QUR’AN A. Deskripsi teori Nasikh-Mansukh ..........................................
17
1. Devinisi teori Nasikh-Mansukh .....................................
17
2. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan teori NasikhMansukh..........................................................................
21
3. Ruang lingkup teori Nasikh-Mansukh ............................
29
4. Macam-macam teori Nasikh-Mansukh ...........................
31
5. Hikmah teori Nasikh- Mansukh ......................................
41
B. Bukti-bukti adanya teori Nasikh-Mansukh ...........................
43
1. Beberapa Aspek tentang teori Masikh-Mansukh ............
43
2. Pengulangan ayat teori Nasikh- Mansukh ...................... 45 3. Sifat dan Implikasi Nasikh-Mansukh .............................. 47 4. Karekteristik teori Nasikh-Mansukh ............................... 49 C. Pandangan Ulama terhadap teori Nasikh-Mansukh.............. 51 1. Pandangan Ulama Klasik ................................................ 53 2. Pandangan Ulama Modern .............................................. 60 3. Pandangan Ulama Kontemporer ..................................... 63 BAB III
: TEORI NASIKH MANSUKH DALAM BUKU BELL’S INTRODUCTION TO THE QUR’AN A. Biografi dan latar belakang Richard Bell ............................ 71 B. Karya-karya Richard Bell ..................................................... 73 C. Pendekatan Richard Bell ....................................................... 74 1. Pendekatan Filologisme .................................................. 75 2. Pendekatan Historisme.................................................... 76 3. Historisme – Fenomenologis ......................................... 80 4. Pendekatan Objektif Hermeneutik ................................. 81 D. Pandangan Richard Bell Terhadap al-Qur’an ....................... 83 E. Pendapat Richard Bell tentang teori Nasikh-Mansukh dalam buku Bell’s Introduction to the Qur’an..................... 102
BAB IV
: ANALISA A. Konstruksi Richard Bell terhadap teori Nasikh-Mansukh .... 129 F. Posisi Richard Bell dalam pandangan cendikiawan ............. ..138 B. Kontribusi Richard Bell terhadap pengembangan teori Nasikh-Mansukh dan Ulum at-Tafsir ................................... 181
BAB V
: PENUTUP A. Kesimpulan ........................................................................... 189 B. Saran – saran ......................................................................... 193
DAFTAR KEPUSTAKAN DAFTAR RIWAYAT LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel. 1.
Konstruksi Metodologi Tafsir Richard Bell ................................. 136
Tabel. 2.
Analisis konstruksi teori revisi (Nasikh- Mansukh) Richard Bell, dalam buku (Bell’s Introduction to the Qur’an)................... 137
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Agama Islam merupakan objek studi sarjana barat, bahkan Islam sudah menjadi karir sarjana barat yang melahirkan orientalis dan Islamolog barat dalam jumlah yang besar. Sarjana barat menaruh perhatian yang besar dalam studi Islam karena mereka mamandang Islam bukan sekedar agama tetapi juga merupakan sumber peradaban dan kekuatan sosial, politik dan kebudayaan yang patut diperhitungkan.2 Sementara kaum muslimin dihadapkan pada pluralitas etnis, relijius, ilmu pengetahuan, pemikiran keagamaan, dan hitrogenitas kebudayaan dan peradaban. Secara langsung maupun tidak langsung, telah terjadi interaksi kultural dengan ragam muatannya, perubahan dan dinamika masyarakat terus bergulir, tentu saja hal ini mewarnai cara pandang dan cara pikir kaum muslimin, sebagai sebuah konsekuensi yang logis yang tak terhindarkan.3 Eropa menaruh perhatian akademik terhadap al-Qur’an sejak kunjungan Peter the Venerable yang mulia, Biarawan Cluny, ke Toledo pada catur wulan ke dua Abad XII. dan berhasil membuat naskah Cluniac Corpus (naskah salinan dari Gereja Clunny) merupakan salah satu naskah yang diterjemahkan tersebut adalah al-Qur’an.4 Tradisi ini terus berlangsung hingga abad modern oleh sarjana-sarjana terkemuka yang berkosentrasi terhadap studi al-Qur’an.5 Ia sangat memperhatikan seluruh permasalahan Islam, lalu membentuk tim dan menugasi mereka untuk menghasilkan serangkaian karya yang akan menjadi dasar akademik perkenalan intlektual dengan Islam. Robert Retenensis dari Ketton berhasil Menerjemahkan al-Qur’an ke dalam bahasa latin pada bulan juli 1143, tertutup dalam penafsiran tunggal.
2
Joesoef Sou’yb, Orientalis dan Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1985, hlm. 24. A. Rofiq, (ed.), Studi Kitab Tafsir, Yogyakarta, Teras, cet I, 2004, hlm. 27. 4 Dadan Rusmana, Al-Qur’an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat, Bandung, Pustaka Setia, cet I, 2006, hlm. 84. 5 Ibid., hlm. 34. 3
Tradisi akedemis Islamologi Barat dalam Studi al-Qur’an ini terus berlangsung pada abad pertengahan, terutama masa renaissance dan aufklarung, hingga abad modern atau bahkan hingga era postmodernisme. Sebagai fakta historisnya adalah sejumlah teks mengenai berbagai dimensi alQur’an yang lahir dari para Islamolog terkemuka. Teks-teks itulah yang menunjukkan dan membuktikan antusias, intensitas, dinamisme, paradigma, dan orientasi wacana Islamologi Barat dalam studi al-Qur’an dari masa kemasa. Kajian sarjana muslim terhadap pemikiran Barat tentang al-Qur’an pada umumnya berkisar pada konsep subtansialnya, sedangkan penelitian mengenai metodologi yang dipergunakan masih sangat kurang dilakukan.6 Membaca korpus orientalis seputar al-Qur’an memang tidak mudah. Di samping penguasaan dibidang bahasa (Eropa maupun Semitik), terutama sekali diperlukan pengetahuan dan pemahaman yang menyeluruh dan mendalam atas khazanah atas intlektual Islam itu sendiri, bukan asal mengetahui sepotong-sepotong atau setengah-setengah. Jika modal kita paspasan, amat bersar kemungkinan terpukau oleh pendapat yang sekilas menyakinkan, namun sesungguhnya rapuh secara metodologis maupun epistimologis.7 Edward W. Said, berpendapat bahwa studi ketimuran merupakan disiplin keilmuan yang secara meterial dan intlektual berkaitan dengan ambisi politik dan ekonomi Eropa. Orientalisme telah menghasilkan gaya pemikiran yang dilandaskan pada distingsi teologis dan epistimologis antara Timur dan Barat. Dalam waktu yang panjang, orientalisme Barat telah mengembangkan cara-cara pembahasan tentang Timur dengan memapankan suprioritas budaya Barat atas budaya Asing.8
6
Moh. Natsir Mahmud, “Al-Qur’an di mata Barat, Studi Evaluatif”, dalam Jurnal AlHikmah, No. 12, Januari- Maret 1994, hlm. 16. 7 Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta, Gema Insani, cet I, 2008, hlm. 233. 8 Abdul Basith Junaidi, (et,al), Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet I, 2009, hlm. 253.
Kontak langsung pengenalan Barat terhadap Islam terutama dimasa perang salib (Perang salib I: 1096 – 1099 M).9 Antara tahun 650 – 1100 M. Bahan-bahan tentang Islam di barat belum tersedia.10 Akibat perang salib masyarakat Barat khususnya kelompok intlektual mulai menaruh perhatian terhadap Islam. Akan tetapi akibat itu pula menimbulkan kesalahpahaman bangsa Barat terhadap Islam dan dalam perkembangan selanjutnya meningkatkan
usaha
misionaris
kesalahpahaman
tersebut
sehingga
menimbulkan pandangan negatif terhadap Islam. Dalam wacana Islamologi Barat sendiri, studi kritis al-Qur’an merupakan “menu utama”, sekaligus merupakan kajian paling sensitif dibandingkan dengan kajian lainnya. Para Islamolog menaruh perhatian terhadap kritis al-Qur’an dalam berbagai aspek, dari teks al-Qur’an sendiri hingga terjemahan al-Qur’an. Di dunia ini ada lebih dari 600 terjemah alQur’an dalam berbagai bahasa. Di Prancis, misalnya, sebagai bekas negara Katolik yang berpenduduk 60 juta dan mayoritasnya tidak lagi menganut agama tradisional menurut perhitungan Darwis Khudori, ada sekitar 40-an terjemah al-Qur’an, puluhannya
berbahasa
Prancis
(Bandingkan
dengan
Indonesia
yang
penduduknya 200 juta dan mayoritasnya adalah muslim, berapa banyaknya terjemahan al-Qur’an yang dapat di baca?).11 Keterkaitan umat Islam dalam kajian al-Qur’an sejak masa awal hingga pada masa kini jelas tidak banyak mengundang pertanyaan yang bernada sinis, bahkan dipandang sebagai suatu keharusan, sebab al-Qur’an merupakan kitab utama mereka dan menjadi pegangan hidup keberagamaan mereka. Sebaliknya, pertanyaan atau bahkan kecurigaan sering dialamatkan
9
Dadan Rusmana, loc. cit.,
10
Karel A. Steenbrink, Mencari Tuhan Dengan Kaca Mata Barat, Yogyakarta, Fakultas
Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga, t.th., Jilid III, hlm. 44 11
Darwis Khudori, “Catatan atas le Coran Jacquis Berque”, dalam Qur’an, Vol. 5, No. 2, 1994, hlm. 74 - 75
Jurnal Ulumul
oleh para islamolog Barat ketika umat Islam mengahadapi fenomena bahwa para sarjana Barat yang notabene -nya non muslim. Salah satu pangkal kecurigaan tersebut muncul karena sering terjadi perbedaan visi, prespektif, metodologi dan pendekatan dalam kajian-kajian alQur’an dari kedua eksponen (Muslim dan Islamolog Barat) yang berbeda latar belakang ini. Misalnya, jika kaum muslim melakukan kajian untuk mendapatkan petunjuk yang terkandung didalamnya, para sarjana barat memperlakukan hanya sebagai naskah (scripture).12 Bahkan diantara mereka yang beranggapan bahwa suatu ketatapan hukum yang ditetapkan oleh suatu kondisi telah menjadi mansukh apabila ada ketentuan lain yang berbeda akibat adanya kondisi lain, seperti printah untuk bersabar atau menahan diri pada periode Mekkah di saat kaum muslimin lemah dianggap telah dinasikh oleh perintah atau izin kaum muslimin pada periode Madinah, sebagaimana ada yang beranggapan bahwa ketetapan hukum Islam yang membatalkan hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir.13 Ketidakseimbangan antara Timur dan Barat semacam ini jelas merupakan akibat dari pola sejarah yang selalu berubah. Selama kejayaan sejak abad ke VIII hingga XVI, Islam memang menjadi “raksasa” yang mendominasi kawasan-kawasan di dunia, baik di Timur maupun di Barat. Bahkan pada masa-masa itu, Islam menjadi kekuatan yang sangat menakutkan bagi Barat.14 Sehingga pandangan orang-orang Barat, termasuk para sarjana Barat, terhadap Islam, Nabi Muhammad SAW, al-Qur’an, dan lain-lain, sejak abad pertengahan hingga kini bersifat variatif.15 Perbedaan prespektif tafsir hingga
12 13
Ibid., hlm. 76. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, Bandung, Mizan, cet II, 1992, hlm. 144. 14
Edward W. Said, Orientalisme; Menggugat Hegemoni Barat, dan Mendudukan Timur
sebagai Subjek, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet I, 2010, hlm. 315. 15
Dadan Rusmana., op. cit. hlm. 32.
abad ke 16 M. tidak menyeret untuk ditinjau sumber Bibel yang menjadi dasar dan tempat suatu kebenaran. Namun, Ibn kastir membuktikan kekeliruan orang-orang Yahudi yang mempertahankan ajaran agama mereka dan menolak ajaran Islam dengan dalih tidak mungkin Tuhan membatalkan ketetapan-ketetapan yang termaktub dalam Taurat, menyatakan: Tidak ada alasan yang menunjukkan kemustahilan adanya nasikh atau pembatalan dalam hukum-hukum Allah, karena dia Tuhan hukum sesuai kehendak-Nya dan melakukan apa saja yang di ingikan-Nya.16 Para ilmuan dan pemikir Barat telah memasukkan dan menerapkan metode ini di dalam kajian-kajiannya terhadap al-Qur’an sejak abad ke 19 M. diantara mereka adalah. Abraham Geiger Pembahasan mengenai revisi alQur’an di bawah ini lebih banyak didasarkan pada pendapat Richard Bell dalam buku Introduction to the Quran beberapa keterangan Richard Bell ini kemudian di tahqiq (diklarifikasi) dan disempurnakan serta diberi komentari oleh Montgomery Watt dalam bukunya Bell’s Introduction to the Qur’an, namun pada dasarnya buku tersebut masih utuh karya Richard Bell. Bentuk revisi tersebut dimungkinkan berbentuk suatu pengulangan wahyu dalam bentuk ayat yang direvisi. Doktrin nasikh, misalnya menurut Bell, memberikan justifikasi terjadinya revisi dalam al-Qur’an. Dalam buku Bell’s introduction to the Qur’an karya Richard Bell, menurut pandangan Islam, karena al-Qur’an merupakan kalamullah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad oleh Malaikat, maka tidak mungkin ada revisi (perbaikan) atas kemauan Nabi sendiri hal ini di jelaskan dalam sejumlah ayat misalnya, (Q.S: Yunus: 15) 17 “Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan Pertemuan dengan Kami berkata: "Datangkanlah al Qur’an yang lain dari in atau gantilah dia". Katakanlah: "Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat)jika mendurhakai tuhan-ku".(Q.S:Yunus:15) 16
Ibid., hlm. 32 W. Montgomery Watt, Bell’s Introduction to the Qur’an, Edinburgh: Edinburgh at the University, 1991, hlm. 86 17
Elaborasi doktrin nasikh-mansukh ini bahkan pada abad ke-8 hingga abad ke- 11 telah mencapai suatu porsi yang mengerikan dan dramatis dalam sejarah pemikiran Islam. Ibnu Syihab Al-Zuhri ( W. 742) ia telah menyebut 42 ayat yang telah di Nasikh, Al-Nahhas (W. 949). Mengidentifikasikan bahwa dalam al-Qur’an terjadi 138 ayat yang yang di nasikh, Ibnu Salamah (1020 W) mengemukakan 238 ayat, Ibnu Atta’iq (1308 W) menyebutkan terdapat 231 ayat yang di nasikh. Pada era As-Suyuti ayat mansukhat terjadi reduksi menjadi 20 ayat, lalu Syekh Waliyullah ayat yang di nasikh tinggal 5 ayat, lalu dimasa Sayid Ahmad Khan (1889W) kemudian secara tegas memproklamirkan bahwa tidak ada doktrin nasikh-mansukh sebagaimana di pahami oleh kalangan fuqoha. 18 Penjelasan di atas memberi pengetahuan bahwa betapa besar perhatian sarjana Barat, dalam studi al-Qur’an yang meskipun banyak memperlihatkan kekeliruan-kekeliruan di dalamnya, Namun sangat besar andilnya dalam studi Islam pada umunya. Tulisan ini hendak melihat pandangan Richard Bell tentang al-Qur’an pada term teori nasikh-mansukh sebab tema tersebut banyak mewarnai tulisan-tulisan sarjan Barat tentang Islam khusunya al-Qur’an, tema tersebut akan menghasilkan suatu konklusi yang mungkin positif atau bahkan negatif menurut Islam. Richard Bell memandang bahwa wahyu al-Qur’an memiliki kegandaan sumber wahyu, yaitu Allah sebagai sumber utama dan Muhammad SAW, sebagai sumber kedua. Menurut Richard Bell, unit-unit wahyu orisinil terdapat dalam bagianbagian pendek al-Qur’an. Dia juga menghubungkan dengan beberapa ayat yang bisa disebut “Satanic Verses” (ayat-ayat setan), di samping itu Richard Bell juga menambahkan di dalam penemuaannya bahwa al-Qur’an terdapat ayat rajam, ayat ini diperuntukkan untuk orang dewasa yang melakukan perzinaan. Hal ini disebabkan menurutnya terdapat revisi yang menunjukkan
18
hlm. 81.
Taufik Adnan Amal, Sejarah Rekontruksi Al-Qur’an, Yogyakarta, FKBA, cet I, 2001,
adanya
keterlibatan
Nabi
Muhammad
sebagai
perefolmulasian
peredaksian al-Qur’an, Walaupun sebenarnya dalam koridor inisiatif ilahi.
atau 19
Sekalipun peredaksian, termasuk perubahan atau revisi al-Qur’an yang dilakukan oleh Nabi Muhammad di bawah sinaran Tuhan, hal itu tetap menunjukkan adanya sisi manusiawi dari al-Qur’an.20 Membahas penelitian mengenai pandangan Richard Bell sebagai sarjana Barat terhadap al-Qur’an ternyata masih kurang dilakukan oleh sarjana muslim, khususnya mengenai teori nasikh-mansukh dalam karya Richard Bell, yaitu “Bell’s Introduction to the Qur’an”. Penelitian ini dilakukan karena timbulnya hambatan mental penulis dalam membaca karya-karya Richard Bell terlebih dalam teori nasikhmansukh, karena hal ini merupakan pukulan terberat khususnya bagi penulis sendiri dan umumnya bagi umat itu Islam sendiri, dan penulis akan mencoba menerangkan ayat-ayat yang dianggap nasikh-mansukh yang dalam penelitian ini di pusatkan kepada buku Bell’s Introduction to the Qur’an. Oleh karena itu tafsir harus selalu terbuka untuk dikritisi dan tidak perlu disakralkan mengingat ia merupakan human construction yang relatif, intersubjektif, dan tentatif. Selain itu, penelitian ini juga dimaksudkan untuk melakukan kritisisme guna mencari sintesa kreatif dari prinsip-prinsip nasikhmansukh yang ditawarkan oleh Richard Bell tersebut. Hasil dari sintesa diharapakan dapat menjadi sumbangan keilmuan dalam studi tafsir dan ulum al-Qur’an di era kontemporer. Bagi penulis, pengembangan teori nasikh-mansukh yang Richard Bell kostruksikan itu harus dikritisi serta diawali dengan perubahan dan pengembangan epistemologi maupun metodologi penafsiran nasikh-mansukh dalam bingkai bayany, burhany, dan irfany, karena dengan hal itu mampu mengantarkan pengajinya memahami al-Qur’an secara komprehensif, dialektis, kritis, reformatif, dan transformatif sehingga produk penafsiran itu
19
Dadan Rusmana, Al-Qur’an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat, Bandung, Pustaka Setia, cet I, 2006, hlm. 293. 20 Ibid., hlm. 294
senantiasa mampu menjawab tantangan dan problem yang dihadapi umat manusia. Penelitian secara kritis ini menjadi sangat penting untuk dilakukan karena akan memberikan sumbangan yang cukup bagi khazanah keilmuan Islam, terutama dalam bidang pengembangan teori ilmu nasikh-mansukh yang Richard Bell tawarkan itu. Dengan melihat permasalahan di atas, maka banyak muncul masalah tentang teori nasikh-manskuh itu sendiri. Di sini penulis mencoba untuk memberikan kritikan melalui argument para cendikiawan (Ulama), terhadap ayat-ayat yang dianggap mengalami reivisi serta adanya pengulangan ayat menurut Richard Bell dalam buku Bell’s Introduction to the Qur’an, tulisan ini juga untuk melihat konstribusinya dalam pengembangan kajian tafsir serta ulum al-Qur’an. B. Pokok Masalah Mengacu kepada latar belakang diatas, maka skripsi ini akan diarahkan untuk menjawab masalah-masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pandangan Richard Bell terhadap teori Nasikh-Mansukh dalam karya Bell’s Introduction to the Qur’an ? 2. Bagaimana pandangan cendikiawan terhadap teori Nasikh-Mansukh Richard Bell ? 3. Bagaimana kontribusi Richard Bell terhadap pengembangan kajian Tafsir dan Ulum al-Qur’an? C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan penelitian a. Penelitan ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran penafsiran Richard Bell, tentang teori Nasikh-Mansukh baik dari segi historis, metodologis, maupun konsep subtasial lainnya. b. Penelitian ini untuk mengetahui adanya pandangan cendikiawan muslim terhadap teori nasikh-mansuk Richard Bell, pada metodemetode yang digunakan Richard Bell sehingga umat Islam tidak
merasa ada gangguan psikologis terhadap karya-karyanya yang tidak sejalan dengan keyakinan umat Islam. c. Penelitian ini juga bertujuan untuk melihat adanya kontribusi Richard Bell terhadap pengembangan kajian Tafsir dan Ulum al-Qur’an, sehingga dengan adanya kontribusi ini akan memberikan dampak positif kepada kaum muslimin, terutama dalam ranah kajian keislaman modernitas. 2. Kegunaan penelitian a. Secara akademis, penelitian ini merupakan salah satu sumbangan sederhana bagi pengembangan studi al-Qur’an. Dan untuk untuk kepentingan setudi lanjutan, diharapkan juga berguna sebagai bahan acuan, referensi dan lainnya bagi para penulis lain yang ingin memperdalam studi tokoh dan pemikiran. b. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan dalam ranah studi keislaman pada umumnya dan studi al-Qur’an pada khhususnya. D. Tinjauan Pustaka Tulisan dan pemikiran para orientalis (Barat) tentang nasikh-mansukh bukanlah
merupakan
wacana
yang
baru
atau
kontemporer,
tetapi
sepengetahuan penulis belum ada sebuah buku atau karya tulis yang secara khusus membahas tentang “Studi Analisis teori nasikh mansukh Richard Bell”, kebanyakan teori nasikh-mansukh yang telah dilakukan itu masih bersifat deskriptif dan apresiatif, ternyata teori tersebut banyak dibahas secara acak dan juga mengikuti tema yang berkaitan dengannya. Penulis menemukan dalam buku, Syaikh Muhammad Ghazali dimata Yusuf Qardawi, karya Yusuf Qardawi, beliau menjelaskan tentang teori nasikh mansukh serta mengatakan dari pendapat ulama besar dan sejarawan yang ahli dalam bidang fikih yaitu Al-Khudhari, bahwa ia menolak naskh sama sekali dan menyatakan tidak ada naskh dalam al-Qur’an, yang ada adalah takhsis‘am, atau taqyid-mutlak, atau tafsil mujmal, kemudian pendapat ini didukung
oleh Rasyid Ridha yang menjelaskan ayat (2;106), beliau menilai bahwa ayatayat al-Qur’an itu terdiri dari takwiniyah
dan taklifiyah.
Adapun yang
dimaksud nasikh disini adalah ayat-ayat takwiniyah. Sedangkan ayat-ayat taklifiyah tidak ada yang di nasikh. Makna takwiniyah jelas, yaitu peristiwaperistiwa luar biasa yang ada para Nabi dan berbeda-beda pula sesuai dengan perbedaan zaman.21 Penulis juga menemukan dalam buku, Tekstualitas al-Qur’an Kritik terhadap Ulumul Qur’an, karya Nasr Hamid Abu Zaid,
bahwa beliau
berpendapat jika ulama tidak memasukan “penangguhan” ini kedalam masalah nasikh dan mansukh makamemastikan fungsi nasikh sebagai bentuk kemudahan, kelonggaran, dan memberikan tanggapan terhadap tasyri’, menjadikan seluruh yang dinasikh masuk kedalam masalah “penangguhan” sehingga pengertian mengganti dalam ayat-ayat yang telah kami bicarakan sebelumnya adalah pengganti hukum-hukum, bukan mengubah teks, dengan cara membatalkan yang lama dengan yang baru baik secara tekstual maupun hukumnya. Memahami pengertian nasikh sebagai penghapusan teks secara total bertentangan dengan semangat mempermudah, dan memberikan tahapan dalam tasyri’.22 Dalam buku, Membumikan al-Qur’an, fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat, karya Prof. Dr. Quraish Shihab, M. A. Menilai dan memberikan tawaran kepada kelompok penolak dan pendukung nasikh dalam hal ini agaknya dibutuhkan usaha untuk merekonsialisasi antara kedua kelompok ulama tersebut, misalnya dengan jalan meninjau kembali pengertian istilah nasikh yang dikemukakan oleh ulama’
muta’akhir, sebagai usaha
mereka meninjau istilah yang dilakukan oleh ulama’ mutaqaddim.23 Sementara itu di dalam keterangan buku Dekonstruksi Sya’riah, karya, Abdullah 21
an-
Na’im,
beliau
telah
menjelaskan
bahwa
perlunya
Yusuf Qardawi, Syaikh Muhammad Al-Ghazali dimata Yusuf Qardawi, Terj. Drs. Masykur Hakim, Bandung, Mizan, cet III, 1997, hlm. 98. 22 Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an Kritik terhadap Ulumul Qur’an, Terj. Khoiron Nahdliyin, Yogyakarta, LKiS, cet V, edisi revisi, 2005, hlm. 150 23 Quraish Shsihab, Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung, Mizan, cet II, 1992, hlm. 147
mempertimbangkan kembali prinsip naskh terakit terutama adanya keharusan untuk dapat memperlakukan teks-teks al-Qur’an secara relevan sesuai konteks masanya. Dalam hal ini an-Na’im membedakan secara tegas antara isi pesan dari ayat-ayat al-Qur’an yang diwahyukan selama periode Mekkah dengan ayat-ayat periode Madinah. Menurutnya ayat Makkah bersifat universal, sedangkan ayat-ayat Madaniyyah bersifat sektarian dan deskriminatif. Sehingga ayat Mekkah terkesan memiliki pesan yang primer dan fundamental. Sementara ayat-ayat Madinah merupakan teks skunder. Dengan tawaran pengertian dan pemikiran naskhnya, an’Na’im menolak adanya penghapusan terhadap teks-teks alQur’an.24 Sedangkan menurut kitab Mabahis fi U’lum al- Qur’an, karya Syaikh Manna’ al- Qattan: dalam karya tersebut, beliau mengatakan bahwa sesungguhnya nasikh itu hanya ada pada ayat-ayat yang menjelaskan perintah dan larangan saja, begitu juga halnya jika ayat tersebut menunjukkan tuntutan dan suatu pemberitaan yang mana semua itu masih menunjukkan perintah dan larangan, yang semua itu tidak ada kaitannya terhadap ayat-ayat yang berhungan dengan keyakinan.25 Penulis juga menemukan dalam buku Bell’s Introduction to the Qur’an, dalam karya W. Mongomery Watt, beliau menilai bahwa mengenai teori nasikh-mansukh, jika teori-teori fuqaha yang belakangan dan teori-teori lainnya dibedakan dengan apa yang dikatakan oleh al-Qur’an sendiri, akan terlihat bahwa berbagai proses telah terjadi yang mungkin dapat dipahami dalam istilah “revisi”.
Dapat diperkirakan bahwa Nabi melakukan
“revisi”(nasikh) selaras apa yang dipahaminya sebagai petunjuk Ilahi. Mungkin bisa berbentuk pengulangan wahyu dalam bentuk yang telah direvisi.26
24
Sulamul Hadi Nurmawan, Nasikh Mansukh menurut Pemikiran Abdullah Ahmad anNa’im, Skripsi tidak diterbitkan, Jurusan Tafsir Hadits, UIN SUKA, Yogyakarta, 2003, hlm. 74. 25 Manna’ al- Qattan, Mabahis fi Ulum Al-Qur’an, Singapura, Haramain, t.th., hlm. 233. 26 W. Montgomery Watt, Pengantar Studi Al-Qur’an, Penyempurnaan atas Karya Richard Bell, Terj. Taufik Adnan Amal, Jakarta, Rajawali Pers, cet II, 1995, hlm. 142.
Disisi lain penulis juga menemukan pembahasan mengenai nasikhmansukh dalam buku Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an karya Taufik Adnan Kamal,
beliau mengatakan: “bahwa dalam penetapan al-Qur’an sebagai
sumber pertama hukum Islam juga memberikan peran penting dalam upaya penyusunan atau aransemen kronologis kitab suci tersebut, hal ini tercermin jelas dalam berbagai bahasan tradisional tentang nasikh- mansukh para sarjana muslim mengakui adanya perbedaan dalam ayat-ayat al-Qur’an yang menetapkan peraturan bagi komunitas muslim dan mereka menjelaskan bahwa ayat yang paling akhir diturunkan untuk satu masalah tertentu telah menghapus seluruh ayat
yang turun sebelumnya masalah itu ada
berkontradiksi dengan ayat lainnya”.27 Penulis juga menemukan dalam buku Metodologi fikih Islam Kontemporer, dalam karya Muhammad Sahrur, bahwa beliau mengemukakan bahwa tidak ada yang menjustifikasi untuk menetapkan ayat-ayat yang (mansukhat) yang karena umat menjadi tersesat, saling membunuh
dan
terpecah menjadi berbagai aliran dan golongan, karena Nabi melalui kemampuannya dengan mudah tidak memasukkan (dalam al-Qur’an).28 Sementara dalam buku Pengantar studi al-Qur’an, karya W. Montgomery Watt. Terj. Taufik Adnan Amal, beliau mengatakan bahwa bentuk revisi paling sederhana adalah bentuk “pengumpulan” atau mengumpulkan unit-unit kecil yang pada mulanya turun sebagai wahyu. Ada pijakan untuk berpendapat bahwa proses ini dimulai oleh Nabi sendiri, yakni proses tersebut berlangsung saat diterimanya wahyu-wahyu.29 Sementara dalam bentuk skripsi penulis menemukan peryataan imam as-Syafi’i mengenai Naskh-Mansukh dalam al-Qur’an, bahwa itu adalah nasikh bukanlah bentuk pembatalan, tetapi lebih merupakan bentuk penghentian atau terminasi suatu ketentuaan oleh ketentuan yang lain. Naskh
27
Taufik Adnan Amal, Sejarah Rekontruksi Al-Qur’an, Yogyakarta: FKBA, cet I, 2001,
hlm. 81 28
Muhammad Shahrur, Metodologi Islam Kontemporer, Terj. Shahiron Syamsuddin, Yogyakarta: Elsaq, cet V, 2008, hlm. 131
adalah suatu bentuk penjelasan (bayyan) yang tidak menyebabkan penolakan penyeluruhan terhadap ketentuan asal. Naskh adalah suatu penjelasan, dalam pengertian bahwa ia menceritakan kepada kita tentang terminasi suatu ketentuan, cara dan waktu terminasinya, apakah seluruh ayat atau sebagian saja yang terminasi, dan tentu saja ketentuan baru yang menggantinya.30 Dalam kesempatan yang berbeda penulis juga menemukan persoalan nasikh-mansukh, menurut pandangan Dr. Quraish Shihab, bahwa beliau juga mengakui nasikh-mansukh yang terjadi dalam al-Qur’an yang berorientasi seputar hukum syara’ dan suatu kondisi ke kondisi lainnya. Sehingga dengan peryataan ini nasikh dalam al-Qur’an bukan berarti manghapus atau menghilangkan hukum di dalamnya, namun nasikh dinilai bermakna perpindahannya hukum dari suatu kaum dengan kondisi tertentu kepada kaum lain dalam kondisi tertentu pula yang disesuaikan dengan konteks situasi dan hukum Islam.31 Dikesempatan yang lain penulis juga mendapatkan tema yang menjelaskan tentang persoalan nasikh-mansukh. Menurut Ibrahim al-Abyadi, beliau mengatakan bahwa semua masalah yang berhubungan dengan nasikhmansukh merupakan suatu tartib hukum yang dikehendaki oleh perkembangan hukum samawi yang diatur dengan turunnya al-Qur’an secara sepotong-demi sepotong sesuai dengan keadaan kaum muslimin dan perkembangan kehidupan mereka, sebagai ada kaitannya dengan masalah as-bab an- nuzul , di mana ayat turun sepotong-potong.32 Dari telaah pustaka di atas yang penulis lakukan, terlihat belum ada pemikir yang mencoba membahas secara khusus mengenai Studi analisis Teori nasikh-mansukh Richard Bell dalam buku Bell’s Introduction to the Qur’an, dengan kajian tokoh. Oleh karena itu, penelitian ini menjadi sangat penting dilakukan guna untuk melihat secara secara komprehensif tentang 30
Zahrudin, Nasikh-Mansukh dalam al-Qur’an menurut Imam as-Syafi’i, Skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Ushuluddin, IAIN Walisongo Semarang, 1998, hlm. 58 31 Abdul Mukid, Nasikh-Mansukh menurut Quraish Shihab, skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Ushuludin, IAIN Walisongo Semarang, 2001, hlm. 51 32 Ibrahim al-Abyadi, Sejarah al-Qur’an, Terj. Halimuddin S.H, Jakarta: Renika Cipta, cet I, 1992, hlm. 137
model Studi analisis Teori nasikh-mansukh Richard Bell dalam buku Bell’s Introduction to the Qur’an dalam perspektif tokoh tersebut. E. Metode Penulisan Adapun metode yang digunakan dalam penulisan ialah deskriptifanalitis. Dari situ, langkah awal yang ditempuh adalah mengumpulkan datadata yang dibutuhkan, baru kemudian dibutuhkan klasifikasi, deskripsi kemudian analisis. Alat penelitian ini digunakan jenis penelitian, sumber data, metode pengumpulan data, dan metode analisis data, sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Penelitian ini jenis menggunakan penelitian kualitatif, yaitu suatu penelitian yang dilakukan dengan cara melakukan penelitian pustaka (library rescarch) ini fokus dalam menggunakan data, dan meneliti bukubuku kepustakaan dan karya-karya dalam bentuk lain. 2. Sumber Data Sasaran atau objek utama penelitian
ini adalah
penafsiran
terhadap teks-teks yang terkait dengan nasikh- mansukh menurut Richard Bell dan data-data yang sesuai dengan tema dari berbagai sumber yang berkaitan dengan pokok pembahasan yang penulis angkat, baik itu bersifat primer seperti karya Richard Bell Bell’s Introduction to the Qur’an. Dan karya-karya tulisan lainnya di berbagai buku media. Sedangkan data sekundernya di ambil dari data terulis yang berupa buku-buku, jurnal maupun artikel yang berkaitan dengan teori nasikh mansukh dalam alQur’an. 3. Teknik Pengumpulan data Merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan menghimpun dan menganalisis dokumen berupa buku-buku, artikel dan makalah yang Richard Bell tulis.
Namun, penulisan ini lebih menekankan terhadap
karya Richard Bell yaitu “Bell’s Introduction to the Qur’an”. 4. Teknik Analisis Data
Data yang telah terkumpul akan di analisis dengan beberapa metode, yaitu: a. Metode Diskiptif-Analisis. Metode ini digunakan dalam rangka memberikan gambaran data yang ada serta memberikan interpretasi terhadapnya, serta melakukan analisis interpretatif. Sedangkan metode analisis yang digunakan untuk melakukan pemeriksaan analisis secara konsepsional atas makna yang terkandung dalam istilah-istilah yang digunakan dan peryataan-peryataan yang di buat. b. Metode Hermeneutik. Metode ini digunakan dalam rangka untuk mencari pemahaman yang berkisar diseputar teks dan pengarangnya, dengan mengarah pada keterkaitan teks dan latar belakang pengarang tafsir, serta kepentingan pengarang dalam mengambil gagasannya pada soal teks dalam masalah ini, maka buku Bell’s Introduction to the Qur’an akan dibahas sedemikian rupa dengan menganalisa kostruksi Richard Bell serta menjelaskan baik buruknya dalam mengantarkan analisis buku tersebut, khususnya di telaah dengan pemahaman tersebut. F. Sistematika Pembahasan Secara keseluruhan, kajian dalam penelitian ini terdiri dari lima bab, yang masing-masing bab memelilki sub bab tersendiri. Bab pertama merupakan pendahuluan yang bersifat latar belakang masalah, alasan pemilihan judul, pokok masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, penegasan istilah, telaah pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika pembahasan. Bab kedua, Pada kedua ini berisi tentang tinjauan umum nasikhmansukh Al-Qur’an yang meliputi, bab ini memiliki tiga sub, sub yang pertama deskripsi teori nasikh-mansukh meliputi definisi, sejarah nasikhmansukh, ruang lingkup nasikh mansukh, dan hikmah nasikh-mansukh dalam Al-Qur’an, pada sub yang kedua, tentang pandangan Ulama terhadap teori nasikh-mansukh, meliputi pandangan Ulama klasik, ulama modern dan ulama kontemporer, pada sub bab yang terakhir ini meliput bukti-bukti adanya teori
nasikh-mansukh dalam Al-Qur’an, beberapa aspek teori nasikh-mansukh pengulangan ayat nasikh-mansukh, karekteristik teori nasikh mansukh, mukjizat teori nasikh-mansukh dalam Al-Qur’an. Pengulasan pada beberapa sub bab tersebut dianggap penting karena mempunyai peranan senteral dari pembahasan tentang nasikh-mansukh al-Qur’an. Bab ketiga penulis akan mengulas biografi Richard Bell serta mengulas sekilas tentang latar belakang tokoh tersebut. Juga akan diulas tentang seputar karya-karya beliau, mengenai latar belakang ditulisnya karya tersebut, metodologi dan pendekatan yang dipakai oleh Richard Bell, kritik terhadap metodologi, pandangan Richard Bell terhadap al-Qur’an, pendapat Richard Bell tentang teori nasikh-mansukh dalam buku Bell’s Introduction to the Qur’an, dengan demikan nantinya penulis diharapkan dapat mengetahui alasan-alasan tokoh tersebut ketika memberikan sistematis tertentu mengenai objek kajian ini, yaitu teori nasikh-mansukh dalam buku Bell’s Introduction to the Qur’an. Bab keempat penulis berupanya menganalis pandangan-pandangan Richard Bell yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya (bab tiga). Dalam bab ini akan ditemukan konstruksi Richard Bell terhadap teori Nasikh-. Pada sub berikutnya akan di temukan posisi Ricard Bell dalam pandangan cendikiawan (Ulama). Pada sub yang terakhir juga akan dipaparkan kontribusi Richard Bell terhadap pengembangan kajian tafsir dan ulum al-Qur’an, hal ini yang merupakan bentuk aplikasi dari metode yang digunakan oleh tokoh tersebut. Dari padanya penulis dalam bab ini di arahkan dalam bentuk penafsiran Richard Bell mengenai objek yang dikaji. Bab terakhir (kelima) adalah penutup yang berisi kesimpulankesimpulan tentang pokok soal dari skripsi ini. Walaupun ini adalah kesimpulan secara umum tentang pandangan Richard Bell terhadap teori nasikh-mansukh dalam buku Bell’s Introduction to the Qur’an yang ada di dalamnya.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TEORI NASIKH- MANSUKH
A. Diskripsi teori Nasikh-Mansukh 1. Definisi Nasikh-Mansukh Kata nasikh dan mansukh merupakan bentuk ubahan dari kata naskh, kata tersebut adalah berbentuk masdar, dari kata kerja masa lampau (fi’il madli) nasakha, dari sisi bahasa33 kata nasikh sendiri memiliki banyak makna, bisa berarti: a. Menghilangkan (al-Izalah), sebagaimana firman Allah swt.
’s+ø9r& #©_yϑs? #sŒÎ) HωÎ) @cÉ
!$yϑ‾ΡÎ) (#þθä9$s% ãΑÍi”t∴ム$yϑÎ/ ÞΟn=ôãr& ª!$#uρ 7πtƒ#u šχ%x6¨Β Zπtƒ#u !$oΨø9£‰t/ #sŒÎ)uρ ∩⊇⊃⊇∪ tβθßϑn=ôètƒ Ÿω óΟèδçsYø.r& ö≅t/ 4 ¤tIø'ãΒ |MΡr& Artinya: Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya Padahal Allah lebih mengetahui apa 33
Musthafa Zaid, an-Naskh fi al-Qur’an al-Karim, Dirasat Tasyri’iyyah Tariyyati Naqdiyyah, Jilid I, Dar al-Wafa, al-Mansyurah, cet III, 1987, hlm. 55. Ahmad Mushtafa alMaraghiy, Tafsir al-Maraghiy, Juz I, Beirut, Dar al-Turats al-Arabiy, cet III, t.th., hlm. 187.
yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui. (QS. [16] al-Nahl: 101)34. c. Bisa juga berarti at-Tahwil ( peralihan) dalam hal ini menurut asySijistani, di mana beliau termasuk dari golongan ulama yang ahli dalam bidang bahasa, sebagaimana yang berlaku peristilahan ilmu Fara’id (Pembagian harta pusaka), yaitu
تنا سخ المواريس
yakni
pengaliahan bagian harta waris dari A kepada B.35 d. Bisa bermakna al-naql“ Pemindahan” dari satu tempat ketempat yang lain, misalnya: kalimat ( )نسخت الكتابyang berarti “memindahkan” atau “mengutip” persis menurut kata dan penulisannya.36 Sebagaimana menurut Ahamd Von Denffer, ia mengatakan bahwa kata naskh berarti (an active participle) yang mempunyai arti (abrogating), sedangkan mansukh berarti (passive), yang mempunyai arti (the abrogated). hal ini merupakan suatu teknis aturan dalam bentuk bahasa, yang pasti ada pada wahyu al-Qur’an, dengan adanya penghapusan berarti di sini melibatkan pihak orang lain. Yang pada asalnya sesutu yang dihapus berarti berhungan dengan istilah mansukh, sedangakan sesuatu yang menghapus berhubungan dengan nasikh.37 Dari bebrapa definisi tentang naskh diatas, Nampak bahwa naskh memiliki makna yang berbeda-beda, ia bisa berarti membatalkan, menghilangkan, menghapus, menggalihkan dan sebagainya, yang di hapus disebut mansukh dan yang dihapus disebut nasikh, namun dari sekian
34
Musthafa Zaid, op. cit., hlm. 56-57. Abdul Adim az-Zarqaniy, Manahil al- Irfan; fi Ulum al-Qur’an, Jilid II, Beirut, Lebanon, Dar al-Fikr, 1988, hlm. 175. asy-Syaukaniy, Fath al-Qadir, Juz I, Beirut, Lebanon, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet I, 1994, hlm. 158. 36 Subhi Shalih, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Beirut, Dar al-‘Ilm, lil Malayin, cet XVII, 1988, hlm. 260. az-Zarkasyi, al-Burhan fi-Ulum al-Qur’an, Beirut, Dar al-Fikr, cet II, 1988, hlm. 34, Manna’ al- Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Singapura: Haramain, t.th., hlm. 232. Abd Mun’im an-Namr, Ulum al-Qur’an al-Karim, Beirut, Dar al-Kitab, cet II, 1983, Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet II, 2011, hlm. 171. Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Jilid I, Beirut, Lebanon, Dar al-Ilmiyyah, hlm. 336-337, az-Zarqaniy, loc. cit., 37 Muhammad Von Denffer, Ulum al-Qur’an, An-Introduction to Sciences of the Qur’an, hlm. 104. 35
banyak definisi itu, menurut tarjih ahli bahasa, pengertian nasikh yang mendekati kebenaran adalah naskh dalam pengertian al-Izalah, yakni: ( رفع ( )الشيئ واثبات غيره مكانهberarti mengangkat sesuatu dan menetapkan selainnya pada tempatnya).38 Sebagaimana
dalam
pengertian
etimologi,
naskh
dalam
termenologipun memiliki pengertian yang berbeda-beda, sebagai mana pendapat yang mengatakan bahwa naskh adalah mengangkat atau menghapus hukum syara’ dengan dalil hukum (khitab) yang lain.39 Sementara sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa definisi naskh menurut istilah adalah mengangkat hukum syar’i dengan dalil syara’ yang lain, ini dapat dipandang sebagai definisi yang cermat. Sejalan dengan bahasa Arab yang mengartikan kata “naskh” sama dengan “meniadakan” dan “mencabut”, beberapa ketentuan hukum syari’at yang oleh asy-Syari’ (Allah dan Rasul-Nya) dipandang tidak perlu di pertahankan, dicabut dengan dalil-dalil yang kuat dan jelas serta berdasarkan pada kenyataan yang dapat dimengerti, untuk kepentingan suatu hikmah dan hanya diketahui oleh orang-orang memilki ilmu sangat dalam.40Ada juga yang berpendapat bahwa nasikh adalah mengangkat hukum syara’ dengan dalil syara’ yang datang kemudian dengan menghilangkan ‘amal pada hukum-hukumnya atau menetapkannya.41 Dari beberapa devinisi diatas yang paling mendekati kebenaran dengan pengertian nasikh adalah definisi yang pertama dan terakhir, yakni mengangkat hukum syara’ dengan dalil syara’ yang lain yang datang kemudian,42 Maksudnya hukum atau undang-undang yang terdahulu
38
Mushthafa Zaid, al-Naskh fi al-Qur’an al-Karim, Juz I, Beirut, Dar al-Fikr, 1991, hlm. 67. asy- Syaukaniy, Fath al-Qadir, Jilid I, Beirut, Lebanon, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet I, 1994, hlm. 158-159. 39 Manna’ al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Singapura, Haramain, t.th., hlm. 232, az-Zarqaniy, op. cit., hlm. 176. 40 Subhi Shalih, op. cit., 261. Ahmad Von Denffer, op. cit., hlm. 105. 41 Abd Mun’im an-Namr, Ulum al-Qur’an al-Karim, Beirut, Dar al-Kitab, cet II, 1983, hlm. 183. 42 Muhammad Abd ‘azhim az-Zarqaniy, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an, Juz II, Beirut: Lebanon, Dar al-Fikr, cet I, hlm. 176.
dibatalkan atau dihapus oleh undang-undang baru, sehingga undangundang yang lama tidak berlaku lagi.43 Dalam termenologi hukum Islam (fiqih) hukum yang dibatalkan namanya mansukh, sedangkan hukum yang datang kemudian (menghapus) disebut nasikh. Perlu diketahui di sini bahwa yang dibatalkan adalah hukum syara’ bukan hukum akal dan pembatalan itu karena adanya tuntutan kemaslahatan.44 Adapun syarat-syarat Nasikh sebagai berikut: a. Hukum yang yang dibatalkan itu adalah hukum syara’ b. Pembatalan itu datangnya dari khitab (tuntutan syara’) yang hukum mansukh.45 c. Pembatalan hukum itu tidak disebabkan berakhirnya waktu berlakunya hukum. d. Sebagaimana yang ditunjukkan khitab itu sendiri, seperti firman Allah SWT: “Kemudian sempurnakanlah puasa malam…..(QS: [2] al-Baqarah: 187)
sampai
(datang)
Berakhirnya puasa dengan datangnya malam tidak dinamakan nasikh, karena ayat itu sendiri telah menentukan bahwa puasa tersebut berakhir ketika malam tiba. e. Khitab yang men-nasikh-kan itu datangnya kemudian dari khitab yang di-naskh-kan. f. Hukum yang dinasikh-kan bukan suatu hukum yang disepakati oleh akal sehat tentang baiknya atau buruknya. Misalnya kejujuran (baik), aniaya (buruk) dan lain-lain. g. Keadaan kedua nas tersebut saling bertentangan dan tidak dapat dikompromikan satu sama lain.46 43
Abd Mun’im Namr, op.cit., hlm. 184. Sebagaimana hadis Nabi Saw. فنقول.....)كنت نھيتكم عن زيارة القبور اال فزروھا( وقد تضمن ھدا الحديث االمر المنسوخ واالمر الناسح معا .....تحمير الزيارة القبور منسوخة 44 asy- Syaukaniy, loc. cit., hlm. 158. az-Zarqaniy, op. cit., hlm. 179. 45 az-Zarqaniy, op. cit., hlm. 180. Ibn al-Jauzi, Nawasikh al-Qur’an, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1985, hlm. 23-24.
Adapun Rukun nasakh ada empat, yaitu a. an-Nasikh ()اداة النسخ, yaitu peryataan yang menunjukan pembatalan (penghapusan) berlakunya hukum yang telah ada. b. Nasikh ()الناسخ, yaitu: Allah SWT, karena Dia-lah yang membuat hukum dan Dia pula yang membatalkannya, sesuai dengan kehendakNya. Oleh sebab itu, nasikh itu hakikatnya adalah Allah SWT. c. Mansukh ()المنسوخ, yaitu: yaitu hukum yang di batalkan, dihapuskan, atau dipindahkan. d. Mansukh ‘anhu, ()المنسوخ عنه,yaitu: orang yang dibebani hukum.47 2. Sejarah pertumbuhan dan perkembangan teori nasikh-mansukh a. Sejarah pertumbuhan teori nasikh-mansukh Asal mula timbulnya teori nasikh ialah bermula adanya ayatayat yang menurut anggapan mereka saling bertentangan dan tidak dapat dikompromikan.48 Pengertian harfiah dari kata nasikh di atas pada satu sisi tanpak mengisyaratkan ruang lingkup obyek (kajian) nasikh mansukh yang cukup luas disatu pihak. Dan sejarah nasikh mansukh dipihak lain. Memiliki ruang lingkup yang cukup luas, ketika nasikh mansukh dipahami dalam konteks internal ajaran Islam, akan tetapi merambah dalam pendekatan eksternal antar agama; dan tepatnya syar’iat Nabi atau Rasul yang satu dengan syari’at nabi dan rasul Allah yang lain.49 Sedangkan hal ini memiliki sejarah yang panjang, artinya karena persoalan nasikh mansukh tidak terbatas pada sejarah penurunan al-Qur’an, akan tetapi jauh melampaui pada masa-masa itu
46
Abu Zahrat, Ushul Fiqh, Terj. Saefullah Ma’sum (et,al), Jakarta, Pustaka Firdaus, cet IX, 2005, hlm. 293-294. Nashruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet II, 2012, hlm. 175. 47 Abu Zahrat, op. cit., hlm. 252. 48 az-Zarqaniy, op. cit., hlm. 180. 49 Ibid., hlm. 190-193.
yakni dalam hubungan dalam penurunan kitab Taurat (perjanjian Lama) dan Injil (Perjanjian Baru) di pihak yang lain.50 Nasikh mansukh alam konteks eksternal agama yang lazim dikenal dengan sebutan al-bada’ memang diperselisihkan dikalangan antar pemeluk agama itu sendiri tentang kemungkinannya. Bagi kalangan Islam nasikh-mansukh eksternal agama sangat dimungkinkan keberadaannya baik secara nalar (al-Dalil al-‘Aqliy) maupun berdasarkan pendengaran / periwayatan (al-dalil al-naqliy). Sedang kelompok Nasrani, secara mutlak kemungkinan al-Bada’ antar agama itu, baik menurut logika akal maupun menurut periwayatan (teks kitab suci) yang mereka yakini. Konsep bada’ harus ditentang berdasarkan teks (kitab) suci meskipun kemungkinannya secara nalar sangat bisa dibenarkan Penolakan Yahudi dan Nasrani terhadap kemungkinan
bada’
dan penerimaan kaum muslimin terhadap naskh antar agama, pada dasarnya timbul karena adanya perbedaan paham ketiga agama ini terhadap konsep kenabian dan sekaligus kitab sucinya.51 Berbeda dengan Dr. Wahbah Zuhail, beliau mengatakan bahwa orang-orang Yahudi membuat naskh dalam pengertian bada’ satu arti. Adapun perbedaan antara naskh dan bada’, yaitu: Nasikh itu merubah ibadah yang tadinya halal menjadi haram, atau sebaliknya. Sedangkan bada’ menghilangkan sesuatu dengan penuh tuntutan.52 Berlainan
dengan
kaum
muslimin
sebagai
pengikut
Muhammad Saw. Yang sudah pasti mengikuti kenabian Musa dan Isa berikut kitab suci masing-masing kitab suci yang telah disampaikannya yakni kitab Taurat dan Injil, orang-orang Yahudi menolak kenabian Isa dan kenabian Muahammad sekaligus berikut kitab sucinya al-Qur’an,
50
M. Amin Suma, “Nasikh Mansukh dalam Tinjauan Historis, Fungsional, dan Shar’i”, dalam Jurnal Al- Insan, Kajian Islam, Vol. 1, No. 1, Januari 2005, hlm. 29. 51 Ibid., hlm 30. 52 Wahbah Zuhail, Tafsir Munir, Jilid I, Beirut, Lebanon, Dar al-Fikr al-Muassar, cet I, 1991, hlm. 261-268.
meskipun pada saat yang bersamaan, mereka mengimani kenabian Musa dan terutama pengakuannya kepada Isa yang tidak sebatas Nabi tetapi lebih mereka menaikan kedudukannya sebagai “ Tuhan”, sebutan Tuhan Yesus dan Tuhan anak yang meraka sematkan kapada Isa, sebagaimana petunjuk kuat terhadap penuhanan Isa bin Maryam oleh pemeluk Nasrani. Bila orang-orang Yahudi menerima keberadaan bada’ maka dengan sendirinya ,mengakui Nabi Isa dengan Injilnya, dan pada gilirannya mereka auto metically dan menerima kehadiran Nabi Muhammad Saw dan al-Qur’annya. Konsekwensinya mereka harus melepas kitab tauratnya. Demikian pula dengan orang-orang Nasrani dahulu. Jika sekiranya mereka menerima bada’ atau tepatnya naskh eksternal agama, maka dengan sendirinya akan menanggalkan kitab Injil dan mengimani kenabian Nabi Muhammad Saw.53 Ada jelas bahwa kondisi dan situasi mendesak yang menyebabkan lahirnya Ilmu Nasikh-Mansukh adalah juga yang menyebabkan munculnya ilmu asbab an-Nuzul, karena ahli-ahli hadits tidak sepakat bahwa rasulullah saw memberikan isyarat tentang kedua ilmu tersebut, atau memerintahkan untuk menyusun keduanya baik secara eksplisit maupun implisit. Hal ini adalah suatu yang menguatkan pendapat kita.54 yang telah diriwayatkan oleh Ibn Mas’ud dalam sebuah hadits masyhur yang dijadikan sandaran oleh orangorang yang berpendapat adanya naskh kami pandang lebih dekat ke khurafat. Persoalan nasikh dalam al-Qur’an bermula dari suatu pemahaman, sebagaimana firman Allah swt.
53
Muhammad Amin Suma, op. cit., hlm. 30. Muhammad Shahrur, Metodelogi Fikh Islam Kontemporer, Terj. Sahiron Syamsudin, Yogyakarta: Elsaq, cet I, 2005, hlm .138. 54
ϵŠÏù (#ρ߉y`uθs9 «!$# Îöxî ωΖÏã ôÏΒ tβ%x. öθs9uρ 4 tβ#uöà)ø9$# tβρã−/y‰tFtƒ Ÿξsùr& ∩∇⊄∪ #ZÏWŸ2 $Z'≈n=ÏF÷z$# “Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an? Kalau kiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak didalamnya. (QS. [4] anNisa: 82). Ayat al-Qur’an tersebut diatas merupakan prinsip yang diyakini kebenarannya oleh setiap muslim. Namun, demikian, para ulama’ berbeda pendapat tentang bagaimana menghadapi ayat-ayat yang pintas lalu menunjukkan adanya kontradiksi. Dari sinilah kemudian timbul pembahasan tentang nasikh-mansukh.55 Dari ayat diatas hal ini menjelaskan bahwa ayat-ayat al-Qur’an tidak mempunyai perbedaan-perbedaan yang signifikan antara ayat satu dengan ayat yang lainnya sementera di tempat lainnya al-Qur’an mengatakan. Sebagaimana firman Allah swt.
öΝs9r&öΝn=÷ès? 3 !$yγÎ=÷WÏΒ ÷ρr& !$pκ÷]ÏiΒ 9ösƒ¿2 ÏNù'tΡ $yγÅ¡ΨçΡ ÷ρr& >πtƒ#u ôÏΒ ô‡|¡ΨtΡ $tΒ ∩⊇⊃∉∪ íƒÏ‰s% &óx« Èe≅ä. 4’n?tã ©!$# ¨βr& “Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? (QS; [2] al-Baqarah : 106) Abu Muslim Al-Asfahani menolak anggapan bahwa ayat yang sepintas kontradiktif, diselesaikan dengan jalan nasikh-Mansukh lantas ia, mengajukan proyek takhsis sebagai antitesa Nasikh-Mansukh. Menurutnya al-Qur’an adalah syari’ah yang muhkam, jadi tidak ada yang mansukh.
55
M.Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, cet XV, 1992, hlm. 143.
“Tidak datang kepadanya kebatilan al-Qur’an baik depan maupun dari belakang yang diturunkan dari sisi tuhannya yang maha bijaksana lagi maha terpuji (QS. [41] al-Fushilat: 42)56. Sementara syarat dalam al-Qur’an itu bersifat kekal karena itu ia berlaku sepanjang masa. Persoalan nasikh mansukh tidaklah mudah untuk menentukan. Sedangkan
menurut
DR.
Muhammad
Shahrur
telah
mengatakan ketika membahas nasikh-mansukh bahwa ia adalah ilmu yang muncul setelah masa Nabi, adapun latar belakang kehadiran ilmu tersebut adalah: 1) Perubahan konsep jihad menjadi konsep perang dan permusuhan konsep dakwah dengan cara hikmah dan nasihat menjadi dakwah melaluin perang. 2) Menghilangkan konsep beramal atas dasar perhitungan ukhrawi dan menggantikan dengan kreteria-kreteria yang tidak jelas dan lonm,ggar seperti syafa’at, kewalian, perantaraan dan karamah yang kuncinya terletak di pemuka agama. 3) Terpatrinya konsep Jabariyyah dan meniadakan secara total peran manusia. 4) Mengabaikan akal pikiran (logika) dan terpatrinya konsep penyerahan kepada orang lain dalam membuat keputusankeputusan.57 b. Beberapa istilah yang menyerupai nasikh Ada beberapa bentuk pemberlakuan hukum baru sebagai pengganti hukum lama yang sering menjadikan pembicaraan dikalangan ulama ushul.
56
Subhi Shalih, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Beirut, Lebanon, Dar al-‘Ilm lil Malayin, cet XVII, 1988, hlm. 241. 57 Muhammad Shahrur, loc. cit.,
Dikalangan ulama’ terdahulu (al-Muataqqimin) arti naskh lebih umum dari apa yang telah dipakai oleh ulma ushul. Pemberlakuan muqayyad terhadap mutlaq atau muqayyad, mereka anggap juga sebagai nasikh .men-takhshish kan lafadz umum mereka anggap juga naskh, baik dengan dalil yang terpisah maupun dalil yang bersambungan. Mereka juga memasukan bayan terhadap lafazd mujmal atau muhkam sebagai naskh. Pencabutan hukum syara’i yang datang belakanganpun mereka artikan dengan naskh. Dalam pengertian ahli ushul, yang terakhir ialah yang mereka sebut dengan naskh. Yaitu:58 1) Taqyid dan muqayyad Memang pengamalan dalil yang datang belakangan sebagai pengganti pengamalan dalil yang terdahulu, juga terlihat pada taqyid, lafadz mutlak pada lahirnya seperti ditinggalkan. Dengan demikian, maka kemutlakan lafadz itu tidak digunakan lagi karena yang digunakan adalah apa yang dimaksud oleh lafad muqayyad, sehingga kedudukan muqayyad terhadap mutlaq ibarat kedudukan nasikh terhadap mansukh. 2) Bada’ Dari segimunculnya kitab kedua (yang datang belakangan) yang membawa hukum baru setelah ada hukum lama yang ditetapkan dengan khitab pertama (terdahulu), ada anggapan yang menyamakannya dengan bada’ yaitu munculnya sesuatu setelah sebelumnya tidak diketahui.59 Dalam kata bada’ tergantung anti negatif yaitu kejahilan (ketidaktahuan) pembuat hukum tentang apa yang akan terjadi kemudian sehingga ia merasa perlu untuk mencabutnya kembali, karena bada’ itu tidak bisa dinisbatkan kepada Allah sebagai 58
Amir Syafruddin, Ushul Fiqih, Jilid I, Jakarta, Kencana Media Group, cet IV, 2009,
hlm. 254. 59
Ibid., hlm 255, az-Zarqaniy, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an, Jilid II, Beirut, Lebanon, Dar al-Fikr, 1988, hlm. 180-181.
pembuat hukum, karena Allah maha tahu apa yang akan terjadi, dengan demikian naskh bukanlah bada’.60 Menurut Ibnu Hazm menyatakan bahwa bada’ itu seperti seseorang menyuruh melakukan suatu perbuatan, sedangkan ia tidak tahu keadaan yang akan terjadi yang mungkin akan menyebabkan ia harus mengubah suruhannya. Sedangkan naskh berarti menyuruh seseorang melakukan sesuatu perbuatan, dan ia sendiri mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya, juga mengetahui pada sewaktu waktu ia akan mencabut suruhannya untuk menggantinya dengan suruhan lain. Dari keterangan di atas, maka jelaslah bahwa seseuai dengan sifat Allah swt., naskh itu berbeda dengan Bada’, meskipun dari luar kelihatan sama. 3) Istisna’ Dalam naskh juga terdapat bentuk pengecualian, yaitu pengecualian bagi masa kedua dari pemberlakuan perintah untuk selamanya. Namun antara naskh dengan istisna terdapat perbedaan. Istisna (pengecualian) adalah sebagiannya (dari lafadz umum, kemudian dikecualikan dengan sebagiannya. Jumlah pengecualian itu (al-Mutsanna) adalah sebagian dari lafadz umum, sehingga tidak ada keharusan untuk memberkukan secara umum, kecuali ap yang tertinggal setelah dikecualikan. Dalam naskh keadaannya tidaklah demikian, sesuatu yang dilarang melakukannya pada hari ini memang. Sudah dimaksud meninggalkannya dari hari kemarin. Kita tidak diberikan beban hukum terhadap apa yang waktu ini telah di-nasakh. Dengan demikian,
dapat
dikatakan
bahwa
nasakh
itu
semacam
pengecualian. Setiap nasakh ada pengecualian tetapi tidak setiap pengecualian adalah nasakh.61
60 61
Ibid., hlm. 256. Ibid., hlm. 257.
4) Takhshis Pada dasarnya naskh berlaku terhadap seluruh satuan pengertian (afrad) yang terkandung dalam mansukh, namun ada pula nasakh yang hanya mengenai sebagian afrad, sehingga lafadz tersebut masih berlaku terhadap sebagian afrad lain yang tidak dinasakh. Dengan demikian timbul kemiripannya dengan takhsis yang hanya mengeluarkan sebagian afrad lafad umum. Meskipun demikian antara nasakh dengan takhsis terdapat perbedaan; di antara perbedaan terpokok adalah:62 a) Naskh adalah mengeluarkan hukum setelah hukum itu berlaku, sedangkan
yang
dikeluarkan
pada
takhsis
dan
tidak
diberlakukan lagi dari lafadz umum adalah hukum yang belum pernah berlaku sama sekali. b) Takhshis itu menjelaskan bahwa apa yang keluar keumuman lafadz, tidak dimaksudkan untuk memberi petunjuk lafad itu, sementara nasakh menjelaskan bahwa pada aspek yang keluar dari keumuman suatu lafad tidak bermaksud menciptakan beban
hukum,
meskipun
dari
segi
lafadnya
memang
menunjukan demikian. c) Naskh tidak akan terjadi kecuali dengan khitab pembuat hukum, baik dalam bentuk nash al-Qur’an maupun hadist Nabi, sedangkan takhshis dapat terjadi dengan qiyas dan dalil aqli lainnya. d) Takhshis itu tidak dapat menentukan ayat yang mengandung perintah, juga tidak berlaku pada ayat yang mengandung larangan, sedangkan nasikh bertujuan untuk menentukan ayatayat yang bersifat perintah dan larangan, dengan demikian
62
Sedangkan az-Zarqaniy membagi perbedaan antara naskh dan takhshis ini menjadi tujuh, untuk selanjutnya disebut az-Zarqaniy, op. cit., hlm. 184.
maka dapat menasakh sebagian hukum-hukum yang sudah ditentukan oleh Rasulullah saw.63 3. Ruang lingkup teori nasikh-mansukh Berdasarkan surat al-Baqarah ayat 106, maksudnya adalah ayat al-Qur’an yang allah telah dinaskh (diganti, ditukar, dan dihapuskan) atau yang ditinggalkan, itu olehnya akan didatangkan lagi ayat yang lebih baik atau yang seumpama serupa atau yang sebandingnya. Jelasnya ayat yang adatang kemudian itu lebih baik dari pada yang datang lebih dahulu atau yang di ditinggalkannya dan sekurangsekurangnya yang datang kemudian itu sebanding serupa dengan yang datang lebih dahulu. Dengan ini jelaslah adanya ayat didalam alQur’an yang nasikh dan yang mansukh, yang mengganti atau menghapuskan dan yang diganti atau dighapuskan. Pada dasarnya, kami lebih cenderung pada pendapat fuqaha yang menyatakan adanya nasakh dalam al-Qur’an. Menurut analisa Jumhur fuqaha, di dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang dinasakh hukumnya. Hanya saja perlu diketahui bahwa para ulama’ telah bersepakat tentang mutawatirnya al-Qur’an hanyalah nas-nas yang mutawatir pula, sehingga hadist-hadist ahad ini tidak dapat manaskh pula. Karena faktor utama yang dijadikan dasar nasakh adalah adanya pertentangan (ta’arudh), sedangkan ta’arudh itu hanya bisa terjadi pada dua nash yang sama tingakat sanadnya.64 Ayat 106 dari surat al-Baqarah itu, menurut Syahrur, yang dimaksud dengan naskh pada ayat tersebut adalah naskh anatara syari’at samawi, sebagaimana juga dapat dipahami dari surat. Firman Allah swt.
63
Perbedaan naskh dan takhshis, oleh Abdul Adzim az-Zarqaniy, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an, Juz II, Beirut, Lebanon, Dar al-Fikr, t.th., hlm. 185. 64 Muhammad Abu Zahrat, Ushul Fiqh, Jakarta, Pustaka Firdaus, cet IX, 2005, hlm. 303. Manna’ al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Singapura, Haramain, t.th., hlm. 237.
(#þθä9$s% ãΑÍi”t∴ム$yϑÎ/ ÞΟn=ôãr& ª!$#uρ 7πtƒ#u šχ%x6¨Β Zπtƒ#u !$oΨø9£‰t/ #sŒÎ)uρ ∩⊇⊃⊇∪ tβθßϑn=ôètƒ Ÿω óΟèδçsYø.r& ö≅t/ 4 ¤tIø'ãΒ |MΡr& !$yϑ‾ΡÎ) “Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya Padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui. (QS. [16] an-Nahl: 101) Bahwa kata “ayat” dalam dua ayat tersebut di artikan oleh Syahrur sebagai risalah samawi bukan sejumlah ayat dalam al-Qur’an sebagaimana yang diduga oleh kebanyakan orang. Bukanlah ditunjukan kepada ayat-ayat al-Qur’an atau hukumhukum tersebut yang tersebut didalamnya, tetapi ditunjukkan atas ayat atau hukum-hukum yang telah didatangkan atau diturunkan oleh Allah atas orang-orang yang telah datang terlebih dahulu pada masa sebelum al-Qur’an diturunkan, ialah kaum ahli kitab (Yahudi-Nasrani) jadi ayat tersebut itu berarti: Bahwa barang apa yang datang dari Nabi yang terdahulu, yang telah Allah hapuskan atau diganti atau dia tinggalkan lantaran dari lamanya masa yang telah lewat, itu pastilah ia turunkan lagi yang lebih baik dan lebih sempurna,atau sekurang-kurang yang semisal. Bahwa dalam arti ruang lingkup terhadap nasikh-mansukh ini harus sesuai: 1) Hukum yang nasikh-maupun yang mansukh adalah hukum syara’ 2) Dalil pengangkat hukum tersebut adalah khitab syar’i yang datang kemudian dari khitab yang hukumnya mansukh. 3) Hukum yang mansukh tidak terikat dibatasi dengan waktu tertentu, jika tidak demikian maka itu bukanlah termasuk urusan naskh, karena ia berakhir dengan sendirinya dengan berakhirnya masa berlakunya.65
65
Ibn al-Jauzi, Nawasikh al-Qur’an, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1985, hlm. 23-24, az-Zarqaniy, op. cit., hlm. 180.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa naskh itu dianggap benar jika: 1) Pembatalan
itu
dilakukan
melalui
tuntutan
syara’
yang
mengandung hukum dari syar’i (Allah dan Rasulnya) sesuatu yang membatalkan ini disebut nasikh. Dengan demikian, habisnya masa berlaku suatu hukum pada seseorang, sepertinya wafatnya seseorang atau hilangnya kecakapan bertindak hukum seseorang atau hilangnya ‘illat (motivasi) hukum, tidak dinamakan naskh. 2) Sesuatu yang dibatalkan itu adalah hukum syara’. Pembatalan hukum
yang
dilakukan
ditengah-tengah
masyarakat
yang
sumbernya bukan syara’ atau pembatalan istiadat jahiliah melalui khitab (tuntutan) syara’ tidak dinamakan nasakh. 3) Hukum yang membatalkan hukum terdahulu, datangnya kemudian. Artinya hukum syara’ yang dibatalkan itu lebih dahulu datangnya dari hukum yang membatalkan.oleh sebab itu, hukum yang berkaitan dengan syarat dan yang bersifat istisna’ (pengecualian) tidak dinamakan nasakh.66 4. Macam-macam teori Nasikh-Mansukh tilawah (bacaan) dan hukumnya Menurut az-Zarkasyi dan az-Zarqaniy67, di dalam al-Qur’an terdapat tiga macam naskh. Yaitu: a. Naskh dari segi bacaan dan hukumnya sekaligus. Dengan adanya naskh ini bacaan dan tulisan ayatpun tidak ada lagi, termasuk hukum ajarannya telah terhapus dan terganti dengan hukum baru.68 Secara umum memuat nasikh hukum dengan sendirinya, berserta nasikh hukum beserta bacaannya dan pendapat ini yang banya dipilih oleh Jumhur Ulama’.69 66
Ibn Arabi, op. cit., hlm. 4 Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin. op. cit., hlm. 251 az-Zarqaniy, op. cit., hlm. 214-215. 68 Abdul Mun’im an-Namr, Ulum al-Qur’an al-Karim, Beirut, Lebanon, Dar al-Kitab, cet II, 1983, hlm. 118. 69 Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Jilid I, Beirut, Lebanon, Dar al-Ilmiyyah, t.th., hlm. 336-337. 67
Sebagaimana
model
ini
diikuti
oleh
imam
al-Tabari,
Zamakhsari, dan Tabarsi, beliau tidak terpaku pada satu model saja seperti di atas, namun beliau semua lebih memilih dalam perkara naskh ini, ada yang memilih dua atau tiga model naskh sekaligus, yaitu naskh al-hukm duna al-tilawah dan naskh hukm wa al-tilawa, sebagaimana yang dipilih oleh Tabari,
sedangkan menurut Imam
Zamakshari dan Tabarsi, memilihat ketiga model naskh sekaligus, yaitu: naskh hukm wa al-tilawa dan naskh al- tilawa duna al-hukm.70 Misalnya ayat tentang penghapusan keharaman kawin saudara satu susuan
karena sama-sama menetek pada seorang ibu dengan
sepuluh kali susuan dengan lima kali susunan saja. Hukum telah naskh ini telah disepakati oleh ulama berdasarkan ijma’, khususnya yang menyetujui naskh. Sedangakan dalil yang menunjukkan terjadinya nasikh macam ini yakni.71
ﻛﺎ ﻓﻴﻤﺎ اﻧﺰل ﻋﺸﺮ رﺿﺎ ﻋﺎت ﻣﻌﻠﻮﻣﺎ:ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻬﺎ ﻗﺎﻟﺖ ت ﻳﺤﺮﻣﻦ ﺑﺨﻤﺲ ﻣﻌﻠﻮﻣﺎت ﻓﺘﻮﻓﻲ رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ وﻫﻦ ﻣﻤﺎ ﻳﻘﺮا ﻣﻦ اﻟﻘﺮان “Dari ‘Aisyah r.a berkata: termasuk ayat al-Qur’an yang dinuzulkan ( ayat yang menerangkan) sepuluh kali susunan yang diketahui itu menjadikan mahram (haram dikawini), lalu dinaskh lima kali susuan yang nyata. Maka menjelang wafat Rasulullah, ayat-ayat itu yang termasuk yang dibaca dari alQur’an.” Sebagaimana pendapat tersebut dikutip oleh Adul Mun’im anNamr ia menyatakan bahwa ayat yang menjadikan objek perubahannya serta adanya naskh pada al-Qur’an, menurutnya
penilaian secara
global bahwa segala perkara dalam al-Qur’an itu mengalami persoalan naskh (perubahan). Namun hanya saja pada masalah perintah
70
Syamsuri, dan Kusmana, Pengantar Kajian al-Qur’an, Tema Pokok, Sejarah dan Wacana Kajian, Jakarta, Pustaka al-Husna Baru, cet I, 2004, hlm. 41. 71 Abdul Mun’im an-Namr, loc. cit.,
kewajiban dan hal itu membutuhkan suatu penjelas, sehingga secara umum al-Qur’an memuat dua unsur pokok, yaitu:72 1) Memuat beberapa kaidah dan beberapa keutamaan yang sangat orgen. 2) Memuat ketentuan-ketentuan terhadap persoalan hukum. Seperti: a) Dalam
al-Qur’an
menjelaskan
kebutuhan
primer
yang
berhubungan dengan kaidah-kaidah tertentu seperti iman kepada Allah, Malaikat, kitab-kitab, rasul-rasulnya, dan hari akhir. Dan mengandung potensi keutamaan yang berhubungan dengan budi pekerti, seperti: jujur, tolong-menolong, kasih sayang dll. b) Disamping itu al-Qur’an menjelaskan beberapa persoalan terkait nasikh-mansukh, karena kedua tersebut selalu ada dari waktu ke waktu. Lebih lanjut Ia juga menjelasakan tentang persoalan Naskh alhukmi wa al-Tilawah, ini relatif sedikit ayat yang membahas pada persoalan tersebut hanya terdapat dua ayat saja, yang mana pada waktu itu mereka menukil hadis ghorib, ketika itu mereka meriwayatkan dari riwayat Aisyah RA. Hal ini telah dijelaskan dalam kitab bukhari dan muslim.
ﺛﻢ, ﻛﺎ ن ﻓﻲ ﻣﺎ اﻧﺰل ﻣﻦ اﻟﻘﺮان ﻋﺸﺮ رﺿﻌﺎت ﻣﻌﻠﻮﻣﺎت ﻳﺤﺮﻣﻦ وﺗﻮﻓﻲ رﺳﻮل اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ وﻫﻦ ﻓﻴﻤﺎ ﻳﻘﺮا, ﻧﺴﺨﺖ ﺑﺨﻤﺲ ﻣﻌﻠﻮﻣﺎت ((ﻣﻦ اﻟﻘﺮان “Ketika ayat al-Qur’an diturunkan berkenaan dengan 10 kali (susuan) yang diharamkan, kemudian menggati menjadi 5 kali (susuan), pendapat rasulullah memang seperti apa yang dibaca oleh rasuluallah. Apa bila ada dua ayat yang masih (kontradiksi) kemudian Rosul telah wafat, sementara sahabat membacakan kedua ayat tersebut,
72
Abdul Mun’im an-Namr, op. cit., hlm. 119. M. Quraish Shihab, Membumikan alQur’an; Pesan dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung, Mizan, cet XV, 1997, hlm. 40.
lalu bagaimana solusinya? Dan bagaimana cara me-naskh bacaan dan hukumnya secara bersamaan, apakah naskh hanya berfaedah secara hukumnya saja? Dalam hal ini disetujui oleh Imam Syafi’i, sementara dari Imam Ibn Hambal tidak menyetujui adanya hal tersebut. Adapun naskh pada persoalan ayat saja, itu berfungsi untuk membatasi hukum dan mengganti ayat al-Qur’an. 73 Menurut kitab al-Intishar, karya Qodhi Abu Bakr, beliau menjelaskan bahwa orang-orang yang menolak nasikh itu tidak membenarkan naskh, hal itu karena sudah ditetapkan oleh hadis ahad. b. Menaskh hukumnya dan menetapkan bacaannya. Maksudnya, tulisan dan bacaannya tetap ada dan boleh dibaca, sedangkan isi hukumnya sudah dihapuskan, dalam pengertian tidak boleh diamalkan. Sementara menurut Zamakhsyari dalam bagian ini terdapat dalam al-Qur’an sebanyak 63 ayat.74 Misalanya, ketentuan mendapatkan nafkah dan tempat tinggal selama ‘iddah satu tahun, terdapat pada ayat 240 dari surat al-Baqarah tentang istri-istri yang dicerai suaminya harus ber’idah selama satu tahun dan dan masih berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal selama ‘iddah selama satu tahun. Sementara menurut al-Qadhi Abu alAmali, bahwa dalam al-qur’an itu tidak terdapat naskh mansukh kecuali di pada dua tempat: salah satunya terdapat dalam. QS: [33] alAhzab: 50 dan 52. Menurut al-Qadhi abu al-Ma’ali: tidak ada nasikh dalam alQur’an yang lebih dahulu dari pada mansukh, kecuali didua tempat salah satunya: (QS. al-Ahzab: 50) menasikh QS.al-Ahzab;52). Dan disebagian yang lain pada QS.al-Baqarah:142, ayat ini didahulukan bacaannya tetapi ayat ini di mansukh dengan (QS.al-
73
Abdul Mun’im an-Namr, Ibid., hlm 219. az-Zarqaniy, op. cit., hlm. 211. az-Zarkasyi, op. cit., hlm. 45. Ibn al-Jauzi, op. cit., hlm 13. Abi Abdul Jarir al-Thabari, Tafsir al-Thabari, Jilid I, Beirut, Lebanon, Dar-al-Kutub al-Ilmiyyah, cet I, 1992, hlm. 526. asySyaukaniy, Fat al-Qadir, Jilid I, Beirut, Lebanon, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet I, 1994, hlm. 158. 74
Baqarah:144). Faidah didahulukan naskh di sini adalah untuk menguatkan hukum ayat yang dinaskh sebelum mengetahuinya ayat yang men-nasikh-nya.75 c. Naskh bacaan ayat tanpa menaskh hukumnya. Maksudnya, tulisan ayatanya sudah dihapus, sedangkan hukumya masih tetap berlaku. Menurut perhitungan para peneliti ayatayat yang telah dihapus hukumnya kurang lebih terdapat 144 ayat.76 Dalil yang menetapkan adanya naskh ini adalah hadits ‘Umar bin khatab dan Ubai Bin Ka’ab yang berkata:
ﻛﺎ ن ﻓﻴﻤﺎ اﻧﺰل ﻣﻦ اﻟﻘﺮان اﻟﺸﻴﺦ واﻟﺸﻴﺨﺔ ادازﻧﻴﺎ ﻓﺎرﺟﻤﻮﻫﻤﺎ اﻟﺒﺘﺔ ﻧﻜﺎﻻ ﻣﻦ اﷲ “Termasuk dari ayat al-Qur’an yang diturunkan adalah ayat yang menjelaskan “ Orang tua dan orang tua perempuan itu jikalau keduanya berzina, maka rajamlah sekaligus sebagai balasan dari Allah.77 Dari ayat itu Umar bin Khatab r.a berkata: “jika manusia bertanya: Beliau lalu menambahi keterangan didalam al-Qur’an (kitab Allah) sesungguhnya saya telah menulis dengan tangan saya sendiri. (HR: Bukhari yang bersanad Muallaq.78 Faedah ditetapkannya bacaan dan di-nasakh hukmnya ada dua: pertama, mengingat al-Qur’an kalam Allah agar mendapat pahala bagi yang membacanya. Kedua, untuk meringankan beban hukum bagi para muallaf.79
75
az-Zarkasiy, loc. cit., Ibrahim al-Abyadi, Sejarah al-Qur’an, Terj. Halimuddin S.H., Jakarta, Rineka Cipta, cet I, 1992, hlm 109-113. 77 az-Zarkasiy, op. cit., hlm. 41. 78 az-Zarkasiy, op.cit., hlm. 42. 79 Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet II, 2011, hlm. 174. Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilmu Ushul Fiqh, Singapura, Haramain, cet II, 2004, hlm 222-225. 76
Adapun bentuk nasakh di sini menurut Muhammad Abu Zahrat membagi naskh menjadi 4 macam yaitu: sharih, dhimmi, juz’i dan kulli, yaitu:80
1) Nasakh Sharih Yaitu suatu naskh yang terang, tegas dinyatakan dalam nash yang kedua, bahwa ia me-naskh-kan nash yang pertama atau suatu nash dimana syar’i menyebutkan dengan jelas dalam pentasyri’an
yang
menyusul
terhadap
pembatalan
penetapan
hukumnya yang terdahulu. Misalnya sabda Nabi:81
ﻛﻨﺖ ﻧﻬﻴﺘﻜﻢ ﻋﻦ زﻳﺎرة اﻟﻘﺒﻮراﻻﻓﺰروﻫﺎ ﻓﺎﻧﻬﺎﺗﺪﻛﺮﻛﻢ اﻻﺧﺮ “Aku pernah melarang kamu berziarah kubur, Ingatlah, ziarah ke kubur, karena sesungguhnya ziarah kubur mengigatkan kamu akan kehidupan akhirat. (HR. Ibn Majah) Dalam hadist tersebut dinyatakan asbab al-Wurud-nya bahwa suatu ketika Nabi Saw. melarang umat Islam berkunjung ke kekuburan. Agaknya hal ini disebabkan oleh orang-orang yahudi dan Nasrani, tetapi setelah kaum muslim menghayati arti tauhid dan larangan syirik kekhawatiran tersebut menjadi sirna, dan ketika itu Nabi Saw. memperbolehkan bahkan menganjurkan ziarah kubur.82 Ziarahilah kubur, karena hal tersebut dapat mengigatkan kalian kepada akhirat. Dalam hadist lain di Rasulullah Saw bersabda:
اﻧﻤﺎ ﻧﻬﻴﺘﻜﻢ ﻋﻦ ادﺧﺎر ﻟﺤﻮم اﻻﺿﺎﺣﻲ ﻻﺟﻞ اﻟﺪاﻓﺔ اﻻﻓﺎدﺧﺮوا 80
Ibid., hlm. 172. Totok Jumantoto dan Syamsul Munir, Kamus Ilmu Ushul Fikh, t.k., Amzah, cet I, 2005, hlm. 253. Nasaruddin Baidan, loc. cit., Abdul Wahab Khalaf, op. cit., hlm. 223. 82 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, cet II, 1992. hlm. 353. Manna al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Singapura, Haramain, t.th., hlm. 234. Bahwa hadist tersebut HR. Hakim, sebagaimana dari sahabat Nabi. melalui peryataan Anas bin Malik dalam beberapa kisah sahabat ketika itu beliau berada di dekat sumur ma’unah, 81
“Aku melarang kamu menyimpan daging kurban hanyalah karena penumpukan. Ingatlah, simpanlah daging itu. Nasikh sharih ini banyak terdapat dalam hukum positif, karena mayoritas undang-undang dibuat untuk menggantikan lebih dahulu. 2) Nasakh Dhimmi Yaitu: nasikh yang untuk mengisyaratkan hukum yang berlawanan dengan hukum yang terdahulu darinya atau suatu nasakh dimana syar’i tidak menyebutkan secara terang terangan dalam
pensyariatannya
yang
terdahulu,
akan
tetapi
ia
mensyariatkan hukum baru yang bertentangan dengan hukumnya yang terdahulu, padahal tidak mungkin untuk mensintesakan antara kedua hukum itu, kecuali dengan membatalkan salah satu dari keduanya, sehingga nash yang munyusul dengan me-naskh-kan terhadap yang terdahulu secara kandungannya (dhimmi).83 Nasakh dhimmi banyak terdapat dalam penetapan hukum Ilahi. Contohnya firman Allah SWT.
#öyz x8ts? βÎ) ßNöθyϑø9$# ãΝä.y‰tnr& u|Øym #sŒÎ) öΝä3ø‹n=tæ |=ÏGä. tÉ)−Fßϑø9$# ’n?tã $ˆ)ym ( Å∃ρã÷èyϑø9$$Î/ tÎ/tø%F{$#uρ Ç÷ƒy‰Ï9≡uθù=Ï9 èπ§‹Ï¹uθø9$# ∩⊇∇⊃∪ Artinya: Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orangorang yang bertakwa. (QS. [2] al-Baqarah:180) Ayat di atas menunjukan bahwa apabila seseorang yang memiliki harta yang banyak dan datang tanda-tanda maut, maka
83
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, Terj. Saefullah Ma’sum (et,al), Jakarta, Pustaka Firdaus, cet IX, hlm. 295. Totok Jumantoto dan Samsul Munir Amin, Kamus Ushul Fiqh, t.k., Amzah, cet I, 2005, hlm. 253-255.
wajib berwasiat secara ma’ruf. Kemudian datang firman Allah tentang pembagian warisan: (QS. an-Nisa: 11)
4 È÷u‹sVΡW{$# Åeáym ã≅÷VÏΒ Ìx.©%#Ï9 ( öΝà2ω≈s9÷ρr& þ’Îû ª!$# ÞΟä3ŠÏ¹θム“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan. (QS. [4] an-Nisa:11) Ayat di atas menunjukkan bahwa Allah menentukan bagian harta peninggalan setiap pemilik harta kekayaan diantara para pewarisnya sesuai dengan sesuatu yang dituntut oleh hikmahnya, dan pembagian tersebut tidak kembali sebagai hak orang yang mewariskan sendiri. Hukum ini bertentangan dengan hukum yang pertama dalam padangan jumhur Ulama. 3) Nasakh kulli Yaitu,
pembuat
dulu
membatalkan
hukum
yang
disyariatkan sebelumnya dengan suatu pembatalan secara kulli (keseluruhan) dalam kaitannya dalam setiap individu para mukallaf. Seperti membatalkan ‘iddah wanita yang ditinggalkan oleh suaminya selama satu tahun dengan iddah-nya empat bulan sepuluh hari, sebagimana firman Allah SWT:
Zπ§‹Ï¹uρ %[`≡uρø—r& tβρâ‘x‹tƒuρ öΝà6ΨÏΒ šχöθ©ùuθtGムtÏ%©!$#uρ 4 8l#t÷zÎ) uöxî ÉΑöθy⇔ø9$# ’n<Î) $è≈tG¨Β ΟÎγÅ_≡uρø—X{ “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah Berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). (QS. [2] al-Baqarah; 240) Kemudian Allah Berfirman:
£ÎγÅ¡à'Ρr'Î/ zóÁ−/utItƒ %[`≡uρø—r& tβρâ‘x‹tƒuρ öΝä3ΖÏΒ tβöθ©ùuθtFムtÏ%©!$#uρ ( #Zô³tãuρ 9åκô−r& sπyèt/ö‘r& “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (QS. [2] al-Baqarah; 234) 4) Nasakh Juz’i Yaitu, pembuatan hukum secara umum uyang meliputi setiap perseorangan dari mukhallaf, kemudian ia membatalkan hukum ini dengan kaitannya dengan sebagian individu atau pembuat hukum mensyariatkan hukum secara mutlaq, lantas membatalkan untuk sebagian kondisi, nash yang membatalkan pemberlakuan hukum yang pertama sekali, akan tetapi ia membatalkannya dalam kaitannya dalam sebagian individu atau sebagian kondisi. Contoh firman Allah SWT:
u!#y‰pκà− Ïπyèt/ö‘r'Î/ (#θè?ù'tƒ óΟs9 §ΝèO ÏM≈oΨ|Áósßϑø9$# tβθãΒötƒ tÏ%©!$#uρ 4 #Y‰t/r& ¸οy‰≈pκy− öΝçλm; (#θè=t7ø)s? Ÿωuρ Zοt$ù#y_ tÏΖ≈uΚrO óΟèδρ߉Î=ô_$$sù ∩⊆∪ tβθà)Å¡≈x'ø9$# ãΝèδ y7Í×‾≈s9'ρé&uρ “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baikbaik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik. (QS: [24] an-Nur: 4) Firman ini menunjukan orang yang menuduh zina wanita baik-baik, dan tidak dapat menunjukan buktinya maka orang tersebut didera dengan hukuman delapan puluh kali deraan, baik penuduhnya itu suaminya sendiri atau orang lain.
Dan firmanAllah SWT:
öΝßγÝ¡à'Ρr& HωÎ) â!#y‰pκà− öΝçλ°; ä3tƒ óΟs9uρ öΝßγy_≡uρø—r& tβθãΒötƒ tÏ%©!$#uρ zÏϑs9 …çµ‾ΡÎ) «!$$Î/ ¤N≡y‰≈uηx© ßìt/ö‘r& óΟÏδωtnr& äοy‰≈yγt±sù ∩∉∪ šÏ%ω≈¢Á9$# “Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar.(QS. [24] An-Nur: 6) Ayat ini menunjukan jika penuduh berzina itu adalah suaminya sendiri,maka ia tidak dihukum dera, akan tetapi ia dan istrinya saling bersumpah li’an. Jadi nash yang kedua me-nasakhkan hukum tuduhan zina dalam kaitannya dengan para suami. Nasakh ini merupakan nasakh juz’i, sebab jika pada pertama kalinya pembuat hukum mensyariatkan hukum nash yang umum atas dasar keumumannya atau nash yang tidak mutlak sesuai dengan kemutlakannya, kemudian sesudah ittu dengan masa tenggang ia mensyariatkan hukum bagi sebagian satuan satunya, atau dibatasi dengan suatu batasan. 84 Dari sini timbul pertanyaan yang sangat besar dalam benak kita, apa urgensi dari nasikh-mansukh ini? Bukanlah jika bacaan dan hukumnya tetap berlaku akan dapat menambah lahirnya pahala berganda dari pada melakukan hukumnya. Dalam hal ini zarkasyi memberi jawaban, yakni agar tampak kadar ketaatan umat dalam persiapan mengusahakan diri memenuhi panggilan dengan jalan zhann tanpa menuntuk jalur pasti, sebagai terjadi pada Ibrahim
84
Ibid., hlm 256. Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet II, 2011, hal, 173. az-Zarqaniy, op. cit., hlm. 266.
ketika bergagas memenuhi perintah Allah untuk menyembelih puteranya yang disampaikan lewat mimpi.85 5. Hikmah teori Nasikh- Mansukh Allah sebagai pembuat syari’at akan memperlihatkan hikmah dari mengadakan naskh. Menurut Manna’ al-Qattan, sedikitnya ada lima katagori hikmah yang terkadung dalam naskh. Yaitu:86 a. Hikmah secara umum Bahwa adanya naskh ini untuk menunjukkan bahwa syari’at Islam merupakan syariat paling sempurna yang menaskh syari’atsyariat yang datang sebelumnya, karena syari’at Islam berlaku untuk setiap situasi dan kondisi, maka adanya naskh ini berfungsi menjaga kemaslahatan umat.87 b. Hikmah naskh tanpa pengganti Terkadang ada naskh terhadap suatu hukum tetapi tidak ditentukan dengan hukum lain sebagai penggantinya, selain bahwa ketentuan hukumnya sudah berubah. Misalnya naskh terhadap hukum wajib memberikan sedekah sebelum menghadap Rasulluah dari ayat 12 surat al-Maidah, yang oleh ayat 13 hukum itu dihapuskan (mansukh) tetapi tidak disebutkan hukum penggantinya, selain bahwa kewajiban itu sudah tidak berlaku lagi. Hikmah ini untuk menjaga kemaslahatan manusia sebab dengan penghapusan kewajiban bersedekah itu lebih baik dan lebih menyenangkan mereka. Maksudnya seseorang akan bebas bertanya dan menghadap beliau tanpa harus mempersiapkan dana untuk bersedekah terlebih dahulu. c. Hikmah naskh dengan pengganti yang seimbang
85 86
az-Zarkasiy, loc.cit., Manna’ al-Qattan, Mabahis fi Ulum Al-Qur’an, Singapura, Haramain, t.th., hlm. 240-
241. 87
Ahmad Mushtafa al-Maraghiy, Tafsir al-Maraghiy, Juz I, Beirut, Dar al-Turats alArabiy, cet III, t.th., hlm 187. az-Zarqaniy, op. cit., hlm. 194-196.
Naskh, di samping menghapuskan ketentuan juga menentukan hukum baru sebagai penggantinya. Penggantiannya itu sering seimbang atau sama dengan ketentuan yang dihapusnya. Misalnya naskh tentang ketentuan menghadap kiblat ke Bait al-Muqaddas sebagai terdapat dalam (QS. [2] al-Baqarah:144). d. Hikmah Naskh dengan pengganti yang lebih berat Hikmah semacam ini dapat dilihat dalam (QS. [4] al-Nisa’: 15) yang menjelaskan tentang hukuman kurungan terhadap istri-istri yang menyeleweng selingkuh), ketentuan tersebut dinaskh dengan hukuman yang lebih berat, yakni hukuman jilid (cambuk) hingga cambuk (QS. [24] al-Nur: 4)
100 kali
Hikmah ini dibuat dalam upanya
menambah kebaikan dan pahala. e. Hikmah Naskh dengan pengganti yang lebih ringan Hikmah ini dapat dilihat mengenai rasio kekuatan tentara islam dengan antara musuh dengan berbanding 1:100 dalam ayat 65 surat alAnfal dinaskh dengan ayat 66 surat yang sama yaitu rasio itu hanya 1:2 saja. Hikmah ini bertujuan untuk memberi dispensasi kepada umat agar bisa merasakan kemurahan Allah SWT.88 Al-Maraghi menjelaskan hikmah adanya naskh dengan menyatkan bahwa hukum-hukum tidak di undangkan kecuali untuk kemaslahatan manusia dan hal ini berubah atau berbeda akibat perbedaan waktu dan tempat, sehingga apabila ada satu hukum yang diundangkan pada suatu waktu karena adanya kebutuhan yang mendesak (ketika itu) kemudian kebutuhan tersebut berakhir, maka merupakan suatu tindakan bijaksana apabila ia naskh (dibatalkan) dan diganti dengan hukum yang sesuai dengan waktu, sehingga dengan demikian ia menjadi lebih baik dari hukum semula atau sama dari manfaatnya untuk hamba-hamba Allah swt. Lebih jauh dikatakannya bahwa hal ini sama dengan obat-obat yang diberikan kepada pasien. 88
Manna’ al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Singapura, Haramain, t.th., hlm. 240241. Supiana dan M. Karman, Ulum al-Qur’an, Bandung, Pustaka Islamika, cet II, 2002, hlm. 160.
Para Nabi dalam hal ini berfungsi sebagai dokter, dan hukum-hukum yang diubahnya sama dengan obat-obat yang diberikan oleh dokter.89 Dalam hal ini penulis setuju dengan pendapat syaikh Maraghi sebagaimana penjelasan di atas, bahwa hukum bersifat kondisional yang dapat berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan masyarakat tertentu sehingga hukum tesebut menjadi lebih baik lagi dari hukum yang lalu dan setidaknya hukum tersebut memiliki kualitas yang sepadan dengan hukum-hukum yang telah lalu, sebagaimana pada penjelasan yang sudah lewat. B. Bukti-bukti adanya Teori Nasikh-Mansukh 1. Beberapa Aspek tentang Teori Nasikh-Mansukh Perlu diketahui bahwa dalam persoalan ini tidaklah mudah menentukan ayat nasikh-mansukh itu, pengetahuan tentang nasikhmansukh mempunyai fungsi dan manfaat besar bagi kalangan bagi para ahli ilmu, terutama fuqaha, mufassir, dan ahli ushul, agar pengetahuan tentang hukum tidak menjadi kacau oleh sebab itu terjadi (perkataan sahabat atau tabi’iin) yang mendorong agar mengetahui ayat itu. Dalam membicarakan tentang nasikh-mansukh, beberapa ulama’ menerapkan bebrapa ketentuan, menurut Zarqaniy apabila ada dua ayat yang saling bertentangan dan tidak dapat dikompromikan, maka harus diketahui urutan ayat-ayat tersebut seluruhnya, logikanya jika antara ayat nasikhah dengan ayat mansukhah itu terjadi tanaqut (pertentangan), maka orang tersebut menyakini adanya pertentangan sesama (internal) ayat alQur’an padahal, kemungkinan terjadi pertentangan sesama ayat al-Qur’an itu sama sekali ditolak oleh al-Qur’an sebagai mana terdapat dalam surat. (QS. [4] an-Nisa 82) . Padahal kenyataan bahwa di dalam al-Qur’an sama selaki tidak ditemukan ayat-ayat yang pertentangan antara yang satu dengan yang lain. Jika demikian halnya, tepatkah ada naskh mansukh dalam al89
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, cet XV, 1992, hlm. 145.
Qur’an?90 Oleh karena itu, dalam memahami nasikh harus berdasarkan nash yang jelas (sharih) dan bersumber dari Rasulullah saw. Hal ini berdasarkan sahabat, ketika menemukan dua ayat yang kelihatan bertentangan mereka suka menggunakan kalimat ayat ini dinuzulkan setelah ayat itu ()نزلت ھده االية بعد تلك االية, atau ayat ini dinuzulkan sebelum ayat itu ( ) نزلت ھده االية قبل تلك االيةatau ayat ini diturunkan pada tahun sekian( )نزلت ھده االية عام كداmisalnya kiblat yang mulanya di Baitul Maqdis di Palistina, sebagaimana terdapat dalam AlQur’an al-Baqarah ayat 143, setelah ada dalil yang menghapuskannya QS.ayat 144, maka kiblat tersebut tidak berlaku lagi dan diganti dengan masjidil Haram.91 Naskh hanya terjadi pada printah dan larangan baik yang diungkapkan dengan jelas (sharih) maupun yang diungkapkan lewat kalimat berita, yang menggunakan arti printah atau larangan. Nasikh tidak terjadi pada hal-hal yang berhubungan dengan aqidah, adab, dan akhlaq, serta pokok-pokok ibadah dan mu’alamah, nasikh juga tidak terjadi pada berita yang jelas tidak bermakna thalab (tuntutan, perintah, atau larangan) seperti: (al-Wa’d) janji dan (al-Wa’id) ancaman. Sementara itu Suyuthy memperkuat bahwa karena nasikh ini erat hubungannya dengan hukum, maka yang terdapat di dalamnya hanya halhal yang berhubungan dengan printah dan larangan, adapun kalimat berita yang mengandung tuntutan (thalab), termasuk janji dan ancaman, nasikh tidak berlaku, begitu juga kaitannya dengan aqidah dan akhlak. Sebab printah terhadap keduanya sudah jelas, berlaku untuk selamanya dan tidak ada perbedaan secara individu maupun secara kolektif.92 2. Pengulangan terhadap Teori Nasikh-Mansukh
90
Muhammad Amin Suma, “Nasikh-Mansukh dalam tinjauan Historis, Fungsional, dan Shar’i”, dalam Jurnal al-Insan, Kajian Islam, Vol. 1, No. 1, Januari 2005, hlm. 37. 91 Muhammad Bakr Ismail, Dirasat fi Ulum al-Qur’an, Beirut, Dar al-Manar, cet I, 1991, hlm. 296. Supiana dan Karman, Ulum al-Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir, Pustaka Islamika, Bandung, cet I, 2002, hlm. 151. 92 Jalal al-Din asy-Suyuthiy, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, Juz II, Beirut: Dar al-Fikr, t.th., hlm. 33. Manna’ al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Singapura: Haramain, t.th., hlm. 233
Dalam al-Qur’an kata naskh dan derevisinya terdapat empat konteks.93 Konteks pertama QS, al-Hajj:52 dari periode Mekkah Tengah, disusul QS,al-Jitsiyyah ayat 29 dan QS, al-‘Araf ayat 154 dari periode Mekkah akhir, kemudian QS. al-Baqarah ayat 106 dari periode Madinah. Dalam QS. al-Hajj ayat 52 naskh diungkap dengan kata yansakh; berarti menghilangkan, sedangkan dalam QS. al-Jatsiyyah ayat 29 diungkap dengan kata nastansikh; berarti kami menyuruh menyalin atau mereka secara tertulis apa-apa yang dilakukan oleh manusia di dunia. Sementara dalam QS. al-‘Araf ayat 54 diungkap dengan kata nuskhah, yang berarti salinan (rekaman) tertulis, berisi petunjuk dan rahmat. Salinan tertulis ini tidak lain adalah wahyu yang diberikan kepada Nabi Musa. Jadi ayat-ayat yang diturunkan di Mekkah, kata naskh bisa mengambil dua pengertian, yaitu menghapuskan dan merekam secara tertulis. Perlu di ingat bahwa surat-surat al-Qur’an itu dapat dibagi pada ayat yang masuk dalam katagori nasikh dan ada yang tidak masuk dalam katagori tersebut,94 sehingga para mufassir memberikan penjelasan bahwa beberapa surat yang mengandung nasikh-mansukh dalam al-Qur’an itu hanya terdapat 25 surat. Yaitu: Surat al-Baqarah, Surat al-Taubah, Surat Ali-Imran, Surat Ibrahim,Surat an-Nisa, Surat an-Nahl,Surat al-Maidah, Surat Maryam, Surat al-Anfal, Surat al-Ambiya, Surat al-Hajj, Surat alNur, Surat al-Furqon,Surat al-Syu’ara, Surat al-Akhzab, Surat al-saba, Surat al-Mu’minu, Surat al-Asyura, Surat al-Dzariyat, Surat al-Thur, Surat al-Waqi’ah, Surat al-Mujaddalah, Surat al-Muzamil, Surat al-Takwir, Surat al-‘Asr. Dan ada diantara ulama’ yang mengatakan bahwa dalam al-Qur’an terdapat mansukh tetapi tidak terdapat Nasikh, hal ini terdapat 40 surat. Yaitu: 93
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung, Mizan, cet XV, hlm. 143. Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal, Kontekstual al-Qur’an, Bandung, Mizan, cet II, 1990, hlm 29. Supiana dan Karman, Ulumul al-Qur’an, Bandung, Pustaka Islamika, cet I, 2002, hlm. 158 94 Muhammad bin Abdillah Badr Al-Din az-Zarkasiy, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, Juz II, t.k., 1988, hlm. 40.
Surat al-An’am, Surat al-‘Araf, Surat Yunus, Surat Hud, Surat alRa’d, Surat al-Hijr, Surat Subhan, al-Kahfi, Taha, al-Mu’minun, Surat alNaml, Surat al-Qasas, al-‘Ankabut, Surat al-Rum, Surat Lukman, Surat Sajdah, Surat Al-Malaikat, Surat Al-Shafaat, Surat Shad, Surat al-Zumar, Surat Fushilat, Surat al-Zuhruf, Surat al-Dhukhan, Surat al-Jatsyiah, Surat al-Ahqaf, Surat Muhammad, Surat Qaff, Surat al-Najm, Surat al-Qomar, Surat al-Mumtahanah, Surat Nun, Surat al-Ma’arij, Surat al-Mudatsir, Surat al-Qiyamah, Surat al-Insan, Surat ‘Abasa, Surat al-Thariq, Surat alGhasyiah, Surat al-Tin, dan Surat al-Kafirun. Dan sebagian diantara mereka yang mengatakan bahwa beberapa surat dalam al-Qur’an yang mengalami nasikh saja tetapi tidak mengalami mansukh itu hanya terdapat di enam surat, yaitu: Terdapat di Surat al-Fath, Surat al-Hasr, Surat al-Munafiqun, alTaghabun, Surat al-Thalaq, dan Surat al-‘Alaq. Dan beberapa surat dalam al-Qur’an yang tidak terdapat nasikhmansukh ini terdapat di empat puluh tiga surat, yaitu: Surat al-Fatihah, Surat Yusuf, Surat Yassin, Surat al-Hujuraat, Surat al-Rahman, Surat al-Hadid, al-Shaf, Surat al-Jumuah, Surat alTahrim, Surat al-Mulk, Surat al-Haqqh, Surat Nuh, Surat al-Jin, Surat alMursalat, Surat al-Naba’ Surat al-Nazi’aat, Surat al-Infithaar, Surat alMuthafifin, Surat al-Insyiqaq, Surat al-Buruj, Surat al-Fajr, Surat al-Balad, Surat al-Syams, Surat al-Lail, Surat al-Dhuha, Surat al-Insyirah, Surat alQalam,
Surat al-Qadr, Surat al-Infikak, al-Zalzalah, Surat al-‘Adiyat,
Surat al-Qariah, Surat al-Takastur, Surat al-Humazah, Surat al-Fiil, Surat Qurayis, Surat al-Din, Surat al-Kaustar, Surat al-Nasr, Surat al-Lahab, alIkhlas, Surat al-Falq, dan Surat al-Nas.95 3. Sifat dan Implikasi Nasikh-Mansukh Naskh merupakan pokok masalah yang memilki kompleksitas yang luas dan tinggi dalam teologi dan fiqih (yurispridensi) Islam. Paling tidak ada dua jenis naskh yang diterima oleh mayoritas oleh ahli hukum 95
Ibn Jauziah, op. cit., hlm. 39-40. az- Zarkasiy, op. cit., hlm. 40-41.
Muslim, nask hukmi wa al-Tiwalah (penghapusan hukum maupun teksnya) dan naskh al-hukm duna al-Tilawah, (penghapusan hukum tetapi tidak teksnya).96 Secara fungsional, seperti ditegaskan oleh Muhammad Mahmud Hijazi,
keberadaan
nasikh
mansukh
dalam
pembentukan
dan
pembangunan hukum sangatlah signifikan, bahkan benar-benar esensial (daruri). Terutama ditengah-tengah umat (bangsa) yang pembangunan hukumnya tengah mengalami pertumbuhan dan perkembangan sangat cepat. Dalam dunia medis dan kedokteran misalnya, apa yang tampak sesuai untuk dijadikan obat pada hari ini, belum tentu cocok sebagai obat untuk hal yang sama esok harinya.97 Jenis naskh yang pertama berhubungan dengan sejumlah ayat yang pada suatu saat dikatakan oleh Nabi sebagai bacaan al-Qur’an, namun kemudian Nabi sendiri mengatakan bahwa ayat-ayat tersebut tidak lagi dianggap bagian dari al-Qur’an. Di sini kita tidak menaruh perhatian pada fenomena seperti itu karena jelas hal itu bukan merupakan isi hukum. Ayat-ayat yang diperbincangkan oleh umat Islam itu, tidak ada gunanya untuk tujuan ini. Kita lebih memusatkan pada jenis nasikh yang kedua, dimana suatu teks masih menjadi bagian dari al-Qur’an tetapi dianggap tidak berfungsi secara hukum. Prinsip nasikh yang diterima oleh sebagian besar ahli hukum Islam terlepas dari adanya pandangan antara beberapa persoalan, apakah suatu ayat tertentu telah atau belum dihapus oleh ayat-ayat yang lain dan apakah sunah dapat menghapus hukum al-Qur’an, atau sebaliknya, namun mereka menyepakati naskh itu sendiri.98 Sebagaimana contoh: bahwa pelegalan al-Qur’an terhadap praktek perbudaan dimasa awal-awal Islam yang kemudian dihapuskan sama
96
Abdullah An-Na’im, Dokonstruksi Syariah, Terj. Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani, Yogyakarta, LKiS, cet I, 1994, hlm. 111. 97 Muhammad Amin Suma, “Nasikh Mansukh dalam Tinjauan Historis, Fungsional, dan Shar’i”, dalam Jurnal al-Insan, Kajian Islam, Vol. 1, No. 1, Januari 2005, hlm. 27. 98 Abdullah An-Na’im, op. cit., hlm. 112.
sekali mengisyaratkan pengakuan al-Qur’an terhadap teori naskhmansukh. demikian juga halnya dengan pengalihan arah kiblat dari masjid al-Aqsa ke Masjid al-Haram, pembolehan nikah Mut’ah yang kemudian diharamkan, pelarangan ziarah kubur yang kemudian dibolehkan, dan lainlain yang teramat banyak jumlahnya.99 Sehingga tidak keliru jika dikatakan juga bahwa Rasul sering mentoleransi perbedaan-perbedaan tersebut, bahkan beliau mentoleransi perbedaan pemahaman para sahabat menyangkut ucapan-ucapan beliau.100 Namun perlu diingat kembali, bahwa mengingat prinsip naskh (dalam pengertian yanlg sesuai dengan diskusi sekarang ini), telah lebih dahulu muncul pada akhir abad pertama Islam, namun status dan peranannya selama periode paling awal tidak jelas. Tampak misalnya, ia mengandung pengertian yang terbatas bagi banyak sahabat Nabi saw, yang mencari ayat al-Qur’an berikutnya untuk menciptakan suatu pengecualian, pengkhususan makna, atau memperjelas ayat-ayat yang lebih awal katimbang menghapus keseluruhan. Secara
signifikan
terungkap
bahwa
teori
naskh
seperti
dikembangkan dan diterapkan oleh para ahli hukum tidak mempunyai referensi dari Nabi, karena tidak ditemukan apapun dari Nabi tentang adanya ayat-ayat yang dihapus dalam al-Qur’an dalam pengertian penghapusan hukum suatu ayat yang masih dalam bagian dari teks alQur’an. Inilah mungkin mengapa kita menemukan perbedaan pandangan yang begitu luas dikalangan para sahabat mengenai ayat–ayat yang dihapus dan ayat-ayat yang masih mengikat dan yang masih berfungsi.101 Harus diingat kembali bahwa pembaruan internal yang dilakukan dalam kerangka syari’ah tidak memadai lagi ketika berhadapan dengan isu-isu hukum publik, selama ijtihad dalam kerangka syari’ah tidak dapat diuji validitasnya (meskipun dalam masalah-masalah yang telah diatur 99
Muhammad Amin Suma, op. cit., hlm. 31. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung, Mizan, cet XV, 1992, hlm. 364. 101 Muhammad Amin Suma, op. cit., hlm. 112. 100
oleh teks al-Qur’an dan sunah jelas dan terperinci, maka tidak ada satupun prinsip dan aturan yang berkaitan dengan status perempuan non-Muslim yang dapat disetujui atau harus diubah melalui ijtihad modern untuk menggunakan istilah yang historis.102 Sehingga dalam hal ini Muhammad Syaltut menyimpulkan bahwa: a. Dalam
masalah
akidah,
penetapan
nasikh-mansukh
haruslah
menggunakan argumentasi yang bersifat qath’iy’. b. Hal-hal yang tidak bersifat qath’iy, dan terjadi perbedaan pendapat di dalamnya, tidak dapat dianggap sebagai masalah aqidah, dan tidak pula pendapat oleh kelompok tertentu dalam masalah tersebut merupakan pendapat yang (pasti) benar, sedangkan selainnya salah. dan c. Kitab-kitab yang membahas mengenai teologi, itu tidak hanya berisi tentang masalah kewajiban saja yang harus diikuti, bahkan ia memiliki kualitas yang tinggi, disamping itu memiliki potensi pada beberapa teori ilmiah di mana argumentasinya saling bertentangan sehingga teori tersebut bisa dipastikan, merupakan hasil dari konsensus ijtihad para Ulama’.103 4. Karekteristik Teori Nasikh- Mansukh a. Adanya pertentangan (Ta’rudl) antara hukum dengan hukum yang lain. Jika terjadi pertentangan antara dua zhahir nash al-Qur’an, maka kedua nash tersebut harus di pertemukan dengan berbagai cara untuk mempertemukan kedua nash adalah sebagai berikut: 1) Jika salah satu dari kedua nash tersebut menunjukkan pengertian khusus (khash), jika yang lain berbentuk umum (‘Aam), maka nash yang khash tersebut mentakhsis yang ‘am.104
102
Ibid., hlm. 114. Quraish Shihab, op. cit., hlm. 367. 104 Ibn Jauzi, Nawasikh al-Qur’an, Beirut, Lebanon, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th., hlm. 23. az-Zarqaniy, op. cit., hlm. 211. 103
2) Bila salah satu dari keduanya ketentuan ketentuan dasar syari’at, sementara nash yang lainnya menyalahinya, maka nash-nash yang menyalahinya harus dita’wilkan sehingga nash tersebut dapat dipertemukan, sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab ta’wil. 3) Apa
bila
tidak
ada
jalan
yang
dapat
ditempuh
untuk
mempertemukan kedua nash yang zhahirnya bertentangan tersebut, maka mujtahid mengambil nash yang lebih kuat sanadnya. Jika salah satu dari keduanya berupa ayat-ayat al-Qur’an, yang satunya berupa hadits ahad maka hadist tersebut masuk dalam katagori hadis yang lemah sanadnya. Jika jalan tersebut tidak dapat ditempuh, maka nash yang menjelaskan pada hukum yang mengharamkan suatu perbuatan, lebih didahulukan dari pada nash yang memperbolehkannya. Namun, menurut pendapat yang lain nash di atas dibiarkan saja jika timbul saatnya nash tersebut diketahui, maka nash yang datangnya lebih akhir (belakangan) menaskh nash yang datang lebih dahulu. Disinilah obyek nasikh (yang mengganti) dan mansukh (yang diganti)105 b. Ayat mansukh turun lebih dahulu dari pada nasikh. Sebagaiman terdapat dalam (QS. [2] al-Baqarah:240), dan ayat (QS. [2] al-Baqarah: 234), bertentangan dengan (QS: [4] al-Nisa: 43) pada ayat-ayat tersebut menjelaskan bahwa keberadaan nasikh mansukh dalam artian perubahan dan penggantian hukum suatu masalah dalam lingkungan hukum Islam (fiqih) hingga sekarang masih dan ingsyaallah akan terus berlanjut, termasuk di Indonesia. Penghalalan, kemudian pengharaman dan penghalalan kembali produk Ajinomoto di Indonesia lebih kurang dua tahun yang lalu, merupakan salah satu contoh pemberlakuan nasikh mansukh dalam lingkungan hukum shar’i yang ditopang dengan kaidah “al-Hukmu yadurru ma’a ‘illatihi wujudan wa’adaman” yang telah disebutkan di atas. 105
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Terj. Saefullah Ma’sum (et,al), Jakarta, Pustaka Firdaus, cet IX, 2005, hlm. 282-283
Demikian pula dengan kemungkinan pencabutan pembatalan keharaman hukum vasektomi yang semula diduga kuat (zann) akan menjadi penghalang permanen bagi pelakunya dari kemungkinan memberikan pembuahan (kehamilan) kepada istri tetapi dengan cara rekonsialisasi, vasektomi kemudian sekarang ini telah bisa diatasi.106 C. Pandangan Ulama terhadap Teori Nasikh-Mansukh Abdul Wahab al-Khallaf berpendapat bahwa memeng terdapat nasikh sebelum Rasulullah wafat. Namun setelah wafat beliau tidak ada lagi nasikh itu.107 Suyuti lebih jauh merinci ayat-ayat naskh dan macam-macam naskh.108 Muhammad bin ‘abdullah az-Zarkasiy dan az-Zarqaniy kedua beliau cenderung menolak nasikh.109 Sedangkan jumhur ulama menyetujui adanya naskh termasuk imam Syafi’i dan imam-imam yang lain. Para ulama’ berbeda pendapat mengenai me-nasikh al-Qur’an dengan sesama al-Qur’an, hal ada tiga, sebagaimana keterangan di masa atas, 110
apalagi
dengan
persoalan
me-nasikh
al-Qur’an
dengan
al-Hadits.
Kebanyakan ulama atau yang umum dikenal dengan sebutan Jumhur, berpendirian bahwa me-nasikh sebagian ayat al-Qur’an dengan sebagian yang lain hukumnya boleh bahkan diantara mereka ada yang tidak keberatan untuk menasakh al-Qur’an dengan al-Hadits.111 Di samping alasan-alasan di atas, mereka berpendapat bahwa dalam alQur’an, secara implisit, memang mengandung konsep nasikh. Oleh karena itu, jika seorang ingin menafsirkan al-Qur’an, maka ia harus terlebih dahulu mengetahui tentang nasikh dan mansukh112
106
Muhammad Amin Suma, “Nasikh-Mansukh dalam Tinjauan Historis, Fungsional, dan Shar’i”, dalam Jurnal al-Insan, Kajian Islam, No. 1, Vol. 1, Januari 2005, hlm. 31-32. 107 Abdul Wahab Khallaf, op. cit., hlm 222. Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet II, 2011, hlm. 176. 108 asy-Suyuti, op. cit., hlm. 21-22. 109 az-Zarkasiy, Badr Al-Din Muhammad bin Abdillah, al-Burhan fi Ulum al- Qur’an, jilid II, Dar al-Fikr, 1988, hlm. 44. az- Zarqaniy, op. cit., hlm. 239. 110 az-Zarqaniy, op. cit., hlm. 236-237. 111 Muhammad Amin Suma, op. cit., hlm. 32. 112 asy-Suyuthi, op. cit., hlm 27. az-Zarkasiy, op. cit., hlm 29. az-Zarqaniy, op. cit., hlm. 174-175.
Diskursus nasikh sudah ada bersama dengan munculnya keinginan umat Islam mempelajari al-Qur’an secara mendalam sejak periode sahabat hingga sekarang. Bersamaan dengan munculnya diskursus nasikh ini, terdapat perbedaan tentang terminologi nasikh. Para ulama mutaqaddimin (abad I hingga abad III H) memperluas arti nasikh sehingga mencakup: 1. Pembatalan hukum yang ditetapkan terlebih dahulu terjadi oleh hukum yang ditetapkan kemudian. 2. Pengecualian hukum yang bersifat oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian. 3. Penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar 4. Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat. Sehingga
perbedaan
pendapat
dikalangan
ulama
sulit
untuk
dihindarkan, baik dari peristilahan hingga hakikat naskh sendiri dalam alQur’an. Bahkan diantara mereka yang beranggapan bahwa suatu ketetapan hukum yang ditetapkan oleh suatu kondisi tertentu telah menjadi mansukh apabila ada ketentuan lain yang berbeda akibat adanya kondisi lain, seperti misalnya perintah untuk bersabar atau menahan diri pada periode Mekkah disaat kaum muslimin lemah, dianggap telah di-nasikh oleh perintah atau izin berperang pada periode Madinah, sebagaimana yang beranggapan bahwa ketetapan hukum Islam yang membatalkan hukum yang berlaku pada masa pra-Islam merupakan dari pengertian nasikh.113 Secara garis besar, ada dua kelompok pendapat yang membicarakan naskh ini; pertama kelompok yang setuju (pro) kedua kelompok- kelompok yang tidak setuju (kontra), yang dipelopori oleh Abu Muslim al-Isfahaniy.
113
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung, Mizan, cet XV, 1992, hlm. 144. Abdul Azim az-Zarqaniy, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an, Jilid II, Al-Halabiy, Mesir, 1980, hlm. 254. az-Zarkasiy, Badr al-Din Muhammad bin Abdillah, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, Jilid II, Dar al-Fikr, 1988, hlm 49. Manna’ al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Singapura, Haramain, t.th., hlm. 242.
i.
Pandangan Ulama’ Klasik. Abu Qasim yang dikenal dengan Abu Salamah telah menyatakan bahwa dalam al-Qur’an hanya sekitar 43 surat terdapat di dalamnya nasikh mansukh; 6 surat nasikh saja; dan 40 surat mansukh saja. Sedangkan Zarkasiy mengatakan bahwa dalam al-Qur’an terdapat 43 surat yang di dalamnya tidak mengalami nasikh dan mansukh, 6 surat yang nasikh saja, 40 surat yang mansukh saja, 31 surat yang nasikh dan mansukh.114 Imam bin Abdillah Muhammad bin barakat al-Sa’di. Beliau menyaksikan perkataan al-Nakhas. Perlu diketahui kembali bahwa alQur’an diturunkan dari langit secara utuh (satu kesatuan) dalam al-kitab, yaitu di dalam lauh al-Mahkfudz, sebagaimana firman Allah Swt:
∩∠∪ tβρã£γsÜßϑø9$# āωÎ) ÿ…絡yϑtƒ āω ∩∠∇∪ 5βθãΖõ3¨Β 5=≈tGÏ. ’Îû Pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. (QS. {56} al-Waqiah: 78-79) Sehingga dari sini para ulama berselisih pendapat dikatakan mansukh yaitu apa yang telah di angkat bacaannya ketika diturunkannya al-Qur’an. Sebagaimana mengangkat pekerjaannya. Kemudian dari sini timbul pertanyaan sederhana apa hikmah dari ditetapkan hukumnya? Sesungguhnya hal itu untuk membuktikan kadar ketaqwaan terhadap umat terhadap tindakan pengendalian diri pada prasangka yang tidak dapat menghantarkan untuk mencari jalan keluarnya. Maka mereka bergagas untuk mencari sesuatu, sebagaimana Nabiyullah Ibrahim Khalilullah AS, bersegera untuk menyembelih anaknya diwaktu tidur. karena tidur itu lebih dekat dalam proses penerimaan wahyu.115 Adanya menurut para pendukung ini didasarkan kepada (QS. [16] al-Nahl: 101), dan QS. [2] al-Baqarah: 106).
114 115
hlm. 44.
az-Zarkasiy, op. cit., hlm. 40. az-Zarkasiy, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, Jilid II, Beirut, Dar al-Fikr, cet II, 1988,
!$yϑ‾ΡÎ) (#þθä9$s% ãΑÍi”t∴ム$yϑÎ/ ÞΟn=ôãr& ª!$#uρ 7πtƒ#u šχ%x6¨Β Zπtƒ#u !$oΨø9£‰t/ #sŒÎ)uρ ∩⊇⊃⊇∪ tβθßϑn=ôètƒ Ÿω óΟèδçsYø.r& ö≅t/ 4 ¤tIø'ãΒ |MΡr& “Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya Padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.(QS. [16] an-Nahl: 101) Berdasarkan ayat di atas bahwasanya Allah swt, telah menurunkan ayat di tempat yang lain sebagai pengganti ayat yang telah turun di masa lalu, sehingga pendapat ini menjadi tendensi khusus bagi para pendukung nasikh.
¨βr& öΝn=÷ès? öΝs9r& 3 !$yγÎ=÷WÏΒ ÷ρr& !$pκ÷]ÏiΒ 9ösƒ¿2 ÏNù'tΡ $yγÅ¡ΨçΡ ÷ρr& >πtƒ#u ôÏΒ ô‡|¡ΨtΡ $tΒ ∩⊇⊃∉∪ íƒÏ‰s% &óx« Èe≅ä. 4’n?tã ©!$# Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? (QS: [2] al-Baqarah: 106) Ayat tersebut berbicara, bahwa Allah swt, berfirman secara konkrit dan jelas dalam ayat tersebut, di mana peryataan Allah benar-benar mengganti ayat satu dengan ayat yang lain dengan yang lebih baik lagi atau dengan yang semisal. Menurut penulis ayat ini
berarti dapat dikonotasikan
dengan persoalan tentang hukum, bahwa ketentuan hukum dari hukum satu kehukum yang lain merupakan suatu perbaikan yang terus di lakukan sepanjang peradaban manusia, sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad saw., dengan melihat situasi dan kondisi masyarakat setempat, sehingga terciptalah masyarakat yang Baldatun Thayibatun wa rabun gofur dengan berprinsip kepada norma-norma kemanusian, dengan demikian ayat tersebut banyak
dikalangan ulama yang mengambil ayat ini sebagai pijakan atau landasan berfikir ke teori nasikh. Dan berdasarkan pernyataan Ali Bin Abi Thalib kepada seorang Hakim:
ﻫﻠﻜﺖ واﻫﻠﻜﺖ,اﺗﻌﺮف اﻟﻨﺎﺳﺦ ﻣﻦ اﻟﻤﻨﺴﻮخ ﻗﺎل ﻻ “Apakah kamu mengerti tentang nasikh-mansukh? Tidak, jawabnya. (kalau begitu) kamu binasa dan membinasakan orang lain, ujar Ali). Dijelaskan oleh mereka syari’at yang dibawa setiap rasul itu menaskh syari’at yang datang sebelumnya.ayat 48 dari surat al-Maidah sebagaimana
yang
telah
dikemukakan
mereka
menunjukan
diperbolehkannya nasikh ayat sebagai dimaksud. Hal ini merupakan penolakan ayat yang berlaku bagi mereka. Kendati mereka sepakat adanya naskh dalam al-Qur’an, namun dalam penerapannya terjadi perbedaan pendapat. Imam Malik, Madzhab Abu Hanifah, dan jumhur Mutakallimin dari Asy ‘ariyyah dan Mu’tazilah mereka sepakat bahwa nasikh tidak terjadi antar ayat dalam al-Qur’an semata, tetapi sunah pun dapat menaskh al-Qur’an, alasan mereka bahwa al-Qur’an
sebagaimana al-Sunnah,
merupakan wahyu Allah swt.
∩⊆∪ 4yrθムÖóruρ āωÎ) uθèδ ÷βÎ) ∩⊂∪ #“uθoλù;$# Çtã ß,ÏÜΖtƒ $tΒuρ “Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (QS. [53] al-Najm 3-4). Karena sunah yang dapat menasikh al-Qur’an hanyalah sunnah yang Mutawatir, sedangkan hadis ahad tidak menaskhnya, karena termasuk dalil zhanni dan al-Qur’an termasuk dalil Qat’i.116 Sedangkan
116
Muhammad ‘Abd al-‘Azhim az-Zarqaniy, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an, Jilid II, Beirut, Dar al-Fikr, 1980, hlm. 241.
Imam Syafi’i117 (w 204 H) Ahmad bin Hambal dan Madzhab al-Zhahiri menolak bahwa al-sunnah dapat menaskh al-Qur’an, sebab kedudukan Rasullullah
hanya
sebagai
dasar
dalam
menjelaskan
al-Qur’an.
Sebagaimana firman Allah swt.
öΝÍκös9Î) tΑÌh“çΡ $tΒ Ä¨$¨Ζ=Ï9 tÎit7çFÏ9 tò2Ïe%!$# y7ø‹s9Î) !$uΖø9t“Ρr&uρ 3 Ìç/–“9$#uρ ÏM≈uΖÉit7ø9$$Î/ ∩⊆⊆∪ šχρã©3x'tGtƒ öΝßγ‾=yès9uρ “Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan, (QS. [16] al-Nahl: 44). Pada masa sebelum Abu Muslim al-Isfahaniy dan kawan-kawan (254-322 H.)118 mayoritas ulama tanpa ragu menetapkan ayat-ayat yang termasuk nasikh dan ayat-ayat yang termasuk mansukh. Ia kemudian diikuti oleh para ulama mutaakhirin.119 Berbeda dengan pendapat jumhur, Abu Muslim al-Isfahaniy, juga di dukung oleh az-Zarqaniy kedua beliau ini (menolak adanya naskh) dan namun, bagi yang sependapat dengannya mengatakan bahwa QS. alBaqarah: 106. Yang oleh para pendukung naskh kata ayat sebagian ayat alQur’an yang mengandung ketentuan-ketentuan hukum, diartikan oleh mereka mukjizat Nabi Muhammad,120 Sebagaimana firman Allah swt.
117
Prihal me-nasikh al-Qur’an dengan sunah, beliau menolak dan tidak membenarkan sama sekali, Maksudnya beliau ialah mengagungkan kitabullah dan Sunnah Rasulnya serta menjaga saling keterkaitan dan kecocokannya. Jika kedua-duanya tidak cocok maka sunnah dinasikh oleh al-Qur’an. Subhi Shalih, Mabahis fi Ulumil al-Qur’an, Beirut, Lebanon, Dar al-‘Ilm lil Malayin, cet XVII, 1985, hlm. 340. al-Risalah, karya Imam asy-Syafi’i. 118 Nama lengkapnya adalah muhammad bin Bahr, dikenal dengan Abu muslim alashfahani penganut Madzhab Mu’tazilah, termasuk Ulma’ahli Tafsir kenamaan. Wafat pada tahun 322 H. Subhi Shalih, loc. cit., 119 Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet II, 2011, hlm. 177. 120 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung, Mizan, cet XV, 1992, hlm. 147-148.
7πtƒ$t↔Î/ $uΖÏ?ù'uŠù=sù ÖÏã$x© uθèδ ö≅t/ çµ1utIøù$# È≅t/ ¥Ο≈n=ômr& ß]≈tóôÊr& (#þθä9$s% ö≅t/ ∩∈∪ tβθä9¨ρF{$# Ÿ≅Å™ö‘é& !$yϑŸ2 “Bahkan mereka berkata (pula): "(Al Qur’an itu adalah) mimpimimpi yang kalut, malah diada-adakannya, bahkan Dia sendiri seorang penyair, Maka hendaknya ia mendatangkan kepada kita suatu mukjizat, sebagai-mana Rasul-rasul yang telah lalu di-utus". (QS. [21] al-Anbiya: 5) Selanjutnya
mereka
mengatakan
bahwa
seandainya
Allah
membolehkan adanya nasikh, maka hal ini mencerminkan adanya dua kebatilan, yakni ketidaktahuan-Nya dan sesuatu yang sia-sia.121 Hal ini jelas bertentangan dengan.
AΟŠÅ3ym ôÏiΒ ×≅ƒÍ”∴s? ( ϵÏ'ù=yz ôÏΒ Ÿωuρ ϵ÷ƒy‰tƒ È÷t/ .ÏΒ ã≅ÏÜ≈t7ø9$# ϵ‹Ï?ù'tƒ āω ∩⊆⊄∪ 7‰ŠÏΗxq “Yang tidak datang kepadanya (Al Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. (QS. [41] Fushilat: 42) Atas dasar ayat ini, Abu Muslim, mengatakan bahwa ayat-ayat yang terdapat dalam al-Qur’an tidak ada yang batal. Oleh karena itu jika nasikh diartikan membatalkan, maka yang demikian itu bertentangan dengan ayat tersebut. Atas dasar itu ia lebih suka menyebut kata naskh dengan istilah takhshis122. Karena untuk mencabut bagian-bagiannya saja, harus ditempuh dengan majaz. Kata “keumuman” adalah subjek pokok bagi setiap bagian, tidak membatasi bagian-bagian lainnya kecuali disertai pengkhususan. Pengkhususan bila terjadi pada berita-berita hadist dan lain-lain, sedangkan nasikh tidak terjadi pada sebaliknya. Diantara dalil-dalil yang 121
az-Zarqaniy, op. cit., hlm 199. Karman dan Supiana, Ulumul Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir, Bandung, Pustaka Islamika, cet I, 2002, hlm. 155. 122 Definisi takhshis adalah membatasi dengan keumuman sesuatu hanya pada baianbagiannya, dan membatasi seperti itu tidak benar-benar mencabut beberapa bagian dari ketetapan hukum. az-Zarqaniy, op. cit., hlm. 184-185.
melandasi “pengkhususan” ialah fikiran dan perasaan, di samping kitabullah dan Sunnah Rasul. Adapun pendapat bahwa al-Qur’an itu tidak nasikh, sebagaimana dikemukakan oleh Abu Muslim Al-Ashfahani yang berargumentasi: a. Sekiranya al-Qur’an ada yang di-mansukh-kan berarti ada sebagian yang dibatalkan. b. Al-Qur’an adalah syari’ah yang kekal dan pribadi sampai hari kemudian, hal ini menghendaki hukumnya untuk berlaku untuk sepanjang masa dan tidak ada yang dinasakhkan. Kebanyakan hukum al-Qur’an bersifat kulli bukan juz’i, dan penjelasan dalam al-Qur’an bersifat ijmal bukan tafshil, ini dikehendaki agar tidak ada hukum yang dimansukhkan. c. Tentang ayat-ayat yang dikatakan telah dihapuskan bacaannya misalnya tentang rajam, sangat diragukan kebenarannya, ini nampak dengan kata-kata Umar sendiri. “kalau tidak karena khawatir bahwa orang-orang yang berkata” :Umar telah menambahkan kitab Allah”. Tentu aku akan menulisnya, karena kita telah membacanya.123 d. Dalam menjawab pertanyaan yang berbunyi:
¨βr& öΝn=÷ès? öΝs9r& 3 !$yγÎ=÷WÏΒ ÷ρr& !$pκ÷]ÏiΒ 9ösƒ¿2 ÏNù'tΡ $yγÅ¡ΨçΡ ÷ρr& >πtƒ#u ôÏΒ ô‡|¡ΨtΡ $tΒ ∩⊇⊃∉∪ íƒÏ‰s% &óx« Èe≅ä. 4’n?tã ©!$# “Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan(manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? (QS. [2] al-Baqarah: 106) Abu Muslim menafisirkan bahwa kata lafal yang disitu dengan kata mu’jizat, kalau Abu Muslim al-Ashfahani dan rekan-rekannya dianggap telah mencampur pengertian naskh dengan Rasulullah saw, menurut Zarqaniy dalam Manahil Irfan fi Ulum al-Qur’an, beliau berkata:
123
Nashruddin Baidan, op. cit., hlm. 78.
pada ayat tersebut beliau menunjukan bahwa larangan menasikh al-Qur’an dengan sunah, karena sunah tidak lebih baik dari pada al-Qur’an, dan tidak menerima selain al-Qur’an-dengan al-Qur’an. atau ayat pada kitab sebelum al-Qur’an, yang di-mansukh-kan oleh al-Qur’an.124 Oleh karena itu, munculah kaidah yang mnyebutkan:
ﻻﻧﺴﺦ ﻟﺤﻜﻢ ﺷﺮﻋﻲ ﻓﻲ اﻟﻘﺮان او اﻟﺴﻨﺔ ﺑﻌﺪ وﻓﺎةاﻟﺮﺳﻮل ص م واﻣﺎ ﻓﻲ ﺣﻴﺎ وﻣﺴﺎﻳﺮﺗﻪ اﻟﻤﺼﺎﻟﺢ ﻧﺴﺦ ﺑﻌﺪ اﻻﺣﻜﺎم,ﺗﻪ ﻓﻘﺪ اﻗﺘﻀﺖ ﺳﻨﺔ اﻟﺪرج ﺑﺎﻟﺘﺸﺮﻳﻊ .اﻟﺘﻲ وردت ﻓﻴﻬﻤﺎ ﺑﺒﻌﺾ ﻧﺼﻮ ﺻﻬﻤﺎ ﻧﺴﺨﺎ ﻛﻠﻴﺎ اوﻧﺴﺨﺎ ﺟﺰﺋﻴﺎ “Tidak ada nasakh (penghapusan) terhadap hukum syara’ dalam alQur’an ataupun sunah setelahnya Rasul Saw. adapun ketika ketika masa hidup beliau .Adapun pada masa hidupnya, sunah keter tahapan dalam pembentukan hukum dan kesejalanannya dengan kemaslahatan menghendaki penghapusan sebagian hukum yang ada dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dengan sebagian nash keduanya dengan penghapusan secara keseluruhan atau penghapusan sebagian.125 Pengertian takhshish (pengkhususan), dan dianggap juga bersikap “tidak sopan” terhadap Allah karena lebih suka menggunakan kata takhshish yang dibuatnya sendiri dari pada menggunakan kata nasikh yang diyatakan oleh al-Qur’an, maka orang-orang yang bertahan pada istilah naskh bersikap sangat berlebih-lebihan dalam masalah itu.126 Karena pada dasarnya persoalan takhshis tidak boleh menasikh.127 ii.
Pandangan Ulama Modern Pengertian yang demikian luas dipersempit oleh ulama yang datang kemudian (muta’akhirin). Menurut mereka nasikh terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian, guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan yang terakhir. 124
az-Zarqaniy, op. cit., hlm. 240. Totok Jumantoto dan Samsul Munir Amin, Kamus Ushul Fiqh, t.k., Amzah, cet I, 2005, hlm. 250. Manna’ al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Singapura, Haramain, t.th., hlm. 236. 126 Subhi Shalih, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Beirut, Lebanon, Dar al-‘Ilm lil Malayin, cet XVII, 1988, hlm 342. Manna’ al-Qattan, loc. cit., 127 az-Zarqaniy, op. cit., hlm. 242 125
Para ulama tidak berselisih pendapat tentang adanya ayat-ayat alQur’an yang mencakup pada butir-butir b, c, dan d, yang dikemukakan oleh ulama mutaqaddimin tersebut, Namun istilah yang diberikan untuk hal-hal tersebut bukannya naskh tetapi takhshis (penghkususan).128 Lalu kemudian menjadi perselisihan adalah butir a, dalam arti adalah ayat yang dibatalkan hukumnya atau tidak? Para ulama yang menyatakan adanya nasikh dalam pengertian tersebut mengemukakan alasan-alasan berdasarkan aql dan naql (al-Qur’an).129 Perkembangan nasikh-mansukh semakin menyempit sebagaimana yang diungkapkan oleh ulama-ulama modern seperti Muhammad Abduh (w 1325 H), Muhammad Rasyid Ridha, dan Taufiq Siddiqi (w 1298 H). semua mendukung pendapat Abu Muslim al-Isfahaniy, Abduh misalnya berpendapat bahwa kata-kata dalam al-Qur’an QS.al-Baqarah ayat 106 ditafsirkan secara metafor (majaz), yakni mukjizat, hal ini dapat dipahami dalam kaitannya dengan ayat berikutnya, al-Baqarah ayat; 107 dan 108, sebagai ayat jawaban permintaan orang-orang bani Israil dan kroni-kroni Fir’aun yang menghendaki mukjizat khusus.130 Namun berbeda dengan Syaikh Manna’ al-Qattan beliau termasuk menerima pernyataan nasikh- mansukh dalam al-Qur’an, dengan melontarkan beberapa kreteria secara tegas: “bahwa cara mengetahui nasikh mansukh itu ada beberapa cara”. Yaitu: harus mengetahui dalil secara jelas sharih, harus ada (Ijma’) kesepakatan umat terhadap persoalan mana dalil yang nasikh dan mana dalil yang mansukh, dan mengetahui sejarah orang-orang mutaqaddimin dan orang-orang mutaakhirin. Beliau juga menambahkan bahwa dalam masalah nasikh-mansukh itu tidak ada kaitannya dengan persoalan ijtihad, tidak mengandung peryataan dari ahli
128
M. Quraish Shihab, loc. cit., az-Zarqaniy, loc.cit., 130 Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar, Jilid I, Mesir: Dar al-Manar, t.th., hlm. Supiana dan Karman, Ulumul al-Qur’an, Bandung, Pustaka Islamika, cet I, 2002, hlm. 156. 129
tafsir dan tidak ada dalil yang dianggap samar bertentangan dengan dalil yang sudah jelas.131 Lalu munculah mufasir dari Indonesia, Hasbiy al-Shiddiqi, beliau juga mengguatkan pendapat Isfahaniy ia mengatakan bahwa ayat yang kelihatan bertentangan satu dengan yang lainnya, sesungguhnya ayat itu bisa dikompromikan, misalnya melalui pentakwilan salah satu ayat yang dipandang kontradiktif itu. Ia menyuguhkan contoh ayat, yakni pada surah al-Baqarah ayat 180 tentang mawaris. Ayat ini menurut pendukung nasikh dan mansukh dianggap batal, padahal menurut al-Isfahaniy tidaklah bertentangan dengan ayat mawaris, karena tidak ada pertentangan antara memberi pusaka dengan wasiat tentang sebagian pemberian dari Allah swt. Namun sekiranya tetap dipandang mansukh, maka ayat waris dianggap sebagai pen-takhshis-an. 132
Menurut Hasbiy, ia menyatakan dengan ringkas kami terangan takwil-takwil yang dapat dipergunakan untuk menghilangkan pendakwaan naskh dalam ayat-ayat ini, sebagaimana ia mengikuti pendapat ar-Razi nyata kepadanya mufassir besar menolak adanya nasikh dalam al-Qur’an, di mana ia juga condong dengan pendapatnya Abu Muslim. Menginggat bahwa dasar menetapkan naskh ialah bertentangan, maka apabila hilang pertentangan ini, dengan sendirinya maka pendakwaan naskh itu menjadi gugur, dengan berpegang bahwa tidak ada nasikh maka menurut Hasbiy merasa puaslah karena tegasnya bahwa seluruh al-Qur’an ayat-ayatnya berlaku Muhkamat.133 Berbeda
halnya
menurut
Ibn
Jauzi,
ketika
menanggapi.
Sebagaimana firman Allah swt.
131
Manna’ al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Singapura, Haramain, t.th., hlm. 234 az-Zarqaniy, op. cit., hlm 242-243. T. M. Hasbiy al-Shiddiqie, Sejarah dan Pengantar Tafsir dan Ulumul Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang, cet VII, 1980, hlm. 126. Karman, Ulumul Qur’an, Bandung, Pustaka Islamika, cet I, 2002, hlm. 157. 133 Ibid., 132. 132
èπ§‹Ï¹uθø9$# #öyz x8ts? βÎ) ßNöθyϑø9$# ãΝä.y‰tnr& u|Øym #sŒÎ) öΝä3ø‹n=tæ |=ÏGä. ∩⊇∇⊃∪ tÉ)−Fßϑø9$# ’n?tã $ˆ)ym ( Å∃ρã÷èyϑø9$$Î/ tÎ/tø%F{$#uρ Ç÷ƒy‰Ï9≡uθù=Ï9 “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (QS. [2] al-Baqarah:180) Menurutnya ayat ini menjadi perselisihan dikalangan mufassir, apakah wasiat itu wajib atau tidak? Hal ini memiliki dua pendapat.134 Sesungguhnya wasiat itu sunah bukan wajib menurut golongan Sa’bi dan Nakha’i karena ia mengambil dalil ”sesuatu yang sudah diketahui kebaikannya maka tidak ada kewajiban baginya dan dikuatkan oleh kata (al-al-Mutaqqin) bahwa kewajban tidak bisa ditentukan berdasarkan nilai ketakwaan seseorang. Pendapat yang kedua, bahwa wasiat itu wajib lalu di salin (dinasikh), menurut kebanyakan mufassir, mereka berdalih pada kata (kutiba) kata ini menggandung arti kewajiban, sebagaimana firman Allah, (kutiba ‘alaikum al-siyam). Kemudian pendapat yang kedua inilah yang digunakan oleh kebanyakan ulama, meskipun terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang wajibnya berwasiat serta nasikh, namun nantinya tetap mangalami mansukh dalam hal ini terdapat tiga pendapat; a. Pendapat pertama semua ayat yang berkaitan dengan wasiat maka hukumnya wajib disalin (mansukh). b. Sesunggunhnya persoalan nasikh terhadap ayat wasiat itu hanya urusan kedua orang tua. c. Nasikh yang berkaitan pada ayat wasiat itu hanya pada orang yang berhak mendapat warisan tidak di-nasikh oleh kerabat dan orang yang tidak berhak mendapat warisan. Menurutnya ayat diatas tidak tejadi 134
Al-Hafidh Jamaluddin Abi al-Farj Abd al-Rahman Bin Al-Jauzi al-Farsyi alBaghdadhi, Nawasikh al-Qur’an, Beirut, Lebanon, Dar al-Kutub, al-Ilmiyyah, t.th., hlm. 58.
pertentangan, tidak ada pen-takhsihsi-han dan tetap mengalami nasikhmansukh.135 Ayat wasiat menurut Hasbiy, mewajibkan untuk kerabat, sedangkan waris mengecualikan kerabat yang menerima waris di dalam umumnya ayat. Lebih lanjut ia mengatakan ibu bapak tidak selamanya mengambil waris ibu bapak bisa mengambil waris bisa juga tidak, mungkin
disebabkan
pembunuhan. iii.
oleh
perbedaan
agama,
perbudakan
dan
136
Pandangan Ulama Kontemporer Abdullah An-Na’im beliau merupakan ulama yang bereksperimen melalui Absolutisme (Fundamentalisme) dan sekularisme umat islam, dalam menjawab tantangan discourse kontemporer: keadilan, demokrasi, kebebasan manusia sebagai individu dan kewajibannya terhadap lingkungannya. Tampak jelas jawaban yang diberikan oleh umat Islam itu belum memadai, untuk tidak mengatakan mengecewakan. Jawaban fundamentalistik diajukan sebagai upanya menegaskan bahwa masalah yang muncul kemudian adalah naskh itu permanen, yang demikian adalah teks-teks Mekkah yang lebih awal itu tidak dapat dipraktikan di masa depan. Menurut Ustad Mahmod, hal ini tidak mungkin, jika demikian halnya, maka tidak ada halnya pewahyuan teksteks tersebut.137 Dia juga berpendapat bahwa membiarkan naskh menjadi permanen berarti membiarkan umat islam menolak bagian dari agama mereka yang terbaik. Ia menjelaskan, bahwa naskh secara esensial merupakan proses logis dan dibut uhkan dalam penerapan teks-teks yang tepat dan menunda penerapan teks yang lain sampai saat yang memungkinkan penerapan teks itu tiba.
135
az-Zarqaniy, loc. cit., Ibn al-Jauzi, op. cit., hlm. 59-60. T. M. Hasbiy, hlm loc. cit., 137 Abdullah Ahmad An-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, Yogyakarta, LKiS, cet I, 1994, 136
hlm. 110
Muhammad Syahrur, menolak adanya konsep nasikh dalam alQur’an, selain karena pemahaman tentang nasikh seperti itu merupakan produk dari pemerintahan yang tirani, juga karena tidak ditemukan riwayat yang mengatakan bahwa nabi Muhammad saw. telah memerintah para sahabatnya untuk meletakkan suatu ayat dari al-Qur’an ditempat yang lain atas nama nasikh dan mansukh, demikian juga tidak pernah sampai secara Mutawatir beliau mengisyaratkan atau menyebutkan hal ini. 138 Namun meskipun demikian bahwa Syahrur tetap mengakui keberadaan konsep naskh sebagaimana dalam surat al-Baqarah ayat 106, menurut Syahrur , nasikh dalam ayat tersebut diatas adalah naskh antar syariat-syariat samawi, sebagaimana juga dapat dipahami dari surat anNahl ayat 101; kata “ayat” dalam dua ayat tersebut di atas diartikan oleh Syahrur sebagai risalah samawi dan bukan sejumlah ayat dalam al-Qur’an sebagaimana yang di duga oleh sebagian orang-orang. Setiap ayat menurut Syahrur memilki bidang area, dan setiap hukum memiliki ruang untuk pengamalannya. Oleh karena itu tidak mungkin ada pergantian ayat-ayat yang memuat syariat yang satu bagi rasul yang satu, tetapi pasti terjadi pergantian syari’at di antara syari’at yang berbeda-beda dan rasul yang datang berurutan.139 Nasr
Hamid
Abu
Zaid,
menurutnya
Ulama’
kuno
mengklasifikasikan pola-pola nasikh dalam al-Qur’an sesuai dengan berbagai konsep yang berbeda-beda mengenai nasikh. Apa bila kita memperhatikan watak teks yang me-nasikh dan di-nasikh maka kita berada dalam wilayah membandingkan antara al-Qur’an dan Hadits. Apakah boleh teks al-Qur’an di-nasikh dengan teks-teks sunnah? Dalam menjawab pertanyaan ini, ulama berselisih pendapat. Menurutnya, ada yang berpendapat bahwa al-Qur’an hanya dapat di-nasikh dengan al-Qur’an, seperti yang difirmankan oleh Allah swr, ayat apa saja yang kami naskh atau kami buat terlupakan, akan kami datangkan 138 139
Muhammad Syahrur, op. cit., hlm. 275. Ibid., hlm. 192.
yang lebih baik darinya ataub yang sebanding dengannya, ‘maka mengatakan: ‘yang sebanding dengan al-Qur’an hanyalah al-Qur’an.’140 Ada yang berpendapat, bahkan al-Qur’an dapat di-nasikh dengan sunah dengan sunnah juga berasal dari Allah swt. Allah berfirman Allah berfirman: Dan, tidaklah ia (Nabi) mengatakan berdasarkan hawa nafsu. Sebagai contohnya adalah ayat wasiat.....yang ketiga, apabila sunnah berasal dari perintah Allah melalui wahyu maka ia dapat me-nasikh. Apabila berasal dari ijtihad maka tidak dapat me-nasikh. Diceritakan dari ibn Habib an-Naisaburi dalam tafsirnya. Asy-Syafi’i mengatakan: “Sekiranya al-Qur’an di-nasikh dengan sunnah saat itu ada al-Qur’an yang menguatkannya, dan sekiranya sunnah di-naskh dengan al-Qur’an maka bersamaan dengan itu ada hadits yang memperkuatkannya. Ini terjadi karena ada kesesuaian al-Qur’an dengan Sunnah.”141 Menurut pendapat Asy-Syafi’i, al-Qur’an hanya dapat di-nasikh oleh al-Qur’an. Oleh karena itu, hadist mutawatir, apalagi hadist Ahad tidak dapat me-nasikh-nya. Pendapat Asy-syafi’i karena berdasarkan pada zhahir nash-nash al-Qur’an yaitu: QS. al-Baqarah: 106, an-Nahl: 101, arRa’ad: 39.142 Sebenarnya, kontradiksi antara pendapat-pendapat semacam ini muncul karena tidak ada perbedaaan antara teks agama, dan batas-batas yang memisahkan antara teks tersebut tidak dikenali. Sikap Asy-Syafi’i paling dekat dengan konteks teks dilihat dari pendapat yang dipeganginya, bahwa tataran teks yang berkaitan dengan nas hukum, sepadan. Kalaupun Az-Zarkasyi menolak pendapat asy-Syafi’i, ketika mengatakan: “Bukti dari firman-Nya adalah dipergunakannya hukum cambuk dalam hukuman zina terhadap janda yang dirajam sebab dalam hal ini yang mengugurkannya hanyalah sunnah, perbuatan Nabi Saw.”. 140
Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an, Kritik terhadap Ulumul Qur’an, Terj. Khoiron Nahdliyyin, Yogyakarta, LKiS, cet IV edisi Revisi, 2005, hlm. 150. 141 Ibid., hlm. 150. 142 Abu Zahrat, Ushul Fikh, Terj. Saeful Ma’sum (et,al), Jakarta, Pustaka Firdaus, cet IX, 2005, hlm. 304.
Dalam perspektif pemahaman dalam fenomena nasikh, Nasr Hamid Abu Zaid mengatakan, bahwa ulama kuno tidak lepas dari kekeliruan, dan kekeliruan ini muncul karena tidak ada sikap kritis terhadap riwayat-riwayat yang berkaitan dengan ilmu naskh dan mansukh pada satu sisi, dan pada sisi lain mereka mengedepankan pola penukilan saja dari ulama kuno dan menkompromikan antar pendapat, ijtihad, dan riwayat meskipun masalah ini berkaitan dengan pengetahuan tentang asbabun Nuzul. Oleh karena itu, masalah ini membutuhkan ijtihad, tidak sekedar berhenti dengan upaya mengkompromikan antara riwayat yang ada.143 Sementara itu Sayyid Qutb menilai bahwa beliau mengakui adanya naskh dalam al-Qur’an. Ini dapat dilihat ketika beliau menafsirkan kandungan ayatb 106 surat al-Baqarah,144dalam ayat tersebut beliau menilai sebagaimana Allah swt., menunjukan mukjizat rasul yang telah lalu, maupun mukjizat para rasul setelahnya.145Beliau juga mengemukakan hal nasikh yakni “peralihan” (ta’dil) sebagian perintah ataupun ketentuan hukum seiring perkembangan masyarakat Muslim, secara khusus secara konteks ayat tadi menyangkut tahwil al-Qiblah (peralihan Qiblah) ataupun ketentuan hukum yang ada pada kitab yang terdahulu. Bahkan naskh mencakup hukum takwini. Kenyataan demikian sering digunakan oleh orang-orang Yahudi untuk menyangsikan kebenaran al-Qur’an.146 Bila dicermati, Qutb menggunakan dua term: ta’dil (pengalihan) dan nasikh (penghapusan). Menurut Mahmud Arif, term pertama lebih digunakan untuk menunjukan nasikh ketentuan hukum ayat al-Qur’an dengan ketentuan hukum al-Qur’an yang lainnya, yakni: penghapusan hukum tasyri’ yang tidak sesama dengan al-Qur’an, penghapusan syari’at terdahulu dan penghapusan hukum takwini. Dengan ta’dil ia melihat naskh 143
Nasir Hamid Abu Zaid, op. cit., hlm. 151. Abdul Mustaqim (ad.), Studi Al-Qur’an Kontemporer, Wacana Baru Berbagai Metodelogi Tafsir, Yogyakarta, Tiara Wacana, cet I, 2002, hlm. 115. 145 Sayyid Qutb, Tafsir Fi Dhilalil al-Qur’an, Jilid I, Beirut, Dar Syuruq, cet XVII, 1992, hlm. 99 146 Abdul Mustaqim (ed.), loc. cit., 144
tidak sampai berakibat pada hapus dan disfungsinya ketentuan hukum pertama oleh ketentuan hukum kedua. Ketentuan hukum pada ayat yang pertama masih berlaku, meski tidak lagi sepenuhnya.147 M. Quraish shihab merupakan ulama’ kontemporer beliau menyatakan bahwa persoalan nasikh-mansukh dalam hal ini beliau cenderung memahami pengertian naskh
dengan pergantian atau
pemindahan dari satu wadah kewadah yang lain, sebagaimana pengertian etimologi kata nasikh. Dalam arti bahwa kesemua ayat al-Qur’an tetap berlaku. Tidak ada kontradiksi, yang ada hanya pergantian hukum bagi masyarakat atau orang tertentu, karena kondisi yang berbeda. Dengan demikian ayat hukum yang tidak berlaku lagi baginya, tetap dapat berlaku bagi orang-orang lain yang kondisinya sama dengan kondisi mereka semula. Pemahaman seperti akan membantu dakwah Islamiyah, sehingga ayat-ayat hukum yang bertahap tetap dapat dijalankan oleh mereka yang kondisinya sama atau mirip dengan kondisi umat Islam pada awal masa Islam.148 Muhammad Abu Zahrat dalam Ushul fikh-nya, menanggapi (QS. [2] al-Baqarah: 108) “Apakah kamu menghendaki untuk meminta kepada Rasul kamu seperti Bani Israil meminta kepada Musa pada jaman dahulu? Demikian juga pada firman Allah dalam surat (QS. [16] al-Nahl: 101 yang berbunyi:
7πtƒ#u šχ%x6¨Β Zπtƒ#u !$oΨø9£‰t/ #sŒÎ)uρ “Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya (QS. [16] an-Nahl : 101) Pengertian ayat di sini adalah mu’jizat. Seandainya yang dimaksud ayat” dalam kedua firman di atas adalah ayat al-Qur’an, maka sebenarnya kedua firman tersebut juga tidak menunjukan atas terjadinya naskh dalam 147
Ibid., hlm. 116. M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung, Mizan, cet XV, 1992, hlm. 147. 148
al-Qur’an, tetapi sekedar menunjuk bahwa ayat al-Qur’an dapat di-nasakhkan. Oleh karena itu, harus dibedakan antara pengertian telah terjadi naskh, dengan pengertian dapat terjadi nasikh.149 Di samping itu ayat-ayat yang konon harus di-nasikh-kan, pada hakikatnya dapat dikompromikan, baik dengan jalan ta’wil maupun dengan jalan takhsihs, yang tentu hal ini lebih baik dari pada menasikhnya. Setelah beliau mengadakan pengajian terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang menurut jumhur telah di nasikhkan, ternyata sebenarnya ayat-ayat tersebut masih dapat dikompromikan dengan mudah, baik dengan jalan takhsihs maupun dengan ta’wil, bahkan terkadang untuk mengkompromikan ayatayat tersebut tidak memerlukan takhsihs atau ta’wil, sebagaimana firman Allah swt.
sπyèt/ö‘r& £ÎγÅ¡à'Ρr'Î/ zóÁ−/utItƒ %[`≡uρø—r& tβρâ‘x‹tƒuρ öΝä3ΖÏΒ tβöθ©ùuθtFムtÏ%©!$#uρ ( #Zô³tãuρ 9åκô−r& “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya. (QS. [2] al-Baqarah: 234) Dengan firman Allah swt.
$è≈tG¨Β ΟÎγÅ_≡uρø—X{ Zπ§‹Ï¹uρ %[`≡uρø—r& tβρâ‘x‹tƒuρ öΝà6ΨÏΒ šχöθ©ùuθtGムtÏ%©!$#uρ 4 8l#t÷zÎ) uöxî ÉΑöθy⇔ø9$# ’n<Î) “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah Berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). (QS. [2] al-Baqarah 240) Pada hakikatnya, kedua nash di atas tidak terjadi pertentangan sama sekali, hingga tidak perlu nasikh, sebagaimana yang telah kami jelaskan pada halaman 43 lalu.
149
Abu Zahrat, op. cit., hlm. 302.
Menurut Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal Pengabean, kata manasikh yang menjadi landasan teori nasikh dan mansukh bisa mengandung salah satu dari dua makna yang digunakan pada periode Makkah. Jika makna “menghapuskan” digunakan, maka pengertian ayat ini jika Tuhan menghapuskan atau menjadikan ayat terlupakan, maka dia akan mendatangkan yang lebih baik atau yang setara dengannya. Tetapi jika dihubungkan dengan konteks sebelum dan sesudahnya, kata ayat berarti bukti kenabian. Dengan kata lain, orang-orang kafir dari kalangan ahl-Kitab dan kaum musyrikin (105) minta bukti kenabian Nabi Muhammad, sebagaimana yang diminta oleh kaum Nabi musa (108, 117118). Jadi kedua makna itu, secara kontekstual tidak berkaitan dengan teori nasikh dan mansukh sebagaimana yang berlaku dalam fiqh. Jika merujuk pada ayat sebelum dan sesudahnya, maka alternatif kedua dipandang lebih tepat.150 Abu Jamin Rohman, menilai bahwa konsep nasikh dalam alQur’an menurutnya al-Qur’an pengganti Injil, dan kitab nabi-nabi terdahulu, seperti kitab Nabi Daud, Nabi Musa, dan Nabi Isa. Walau demikian, ia akan menjelaskan tentang kandungan ayat QS: 2; 106. Berdasarkan Qur’an, dan logis bahwa Allah telah menurunkan wahyu-Nya setiap nabi-Nya di berbagai zaman: termasuk Nabi Daud, Musa, Isa, Muhammad dan nabi-nabi lainnya. Risalah ini berusaha memeriksa sejauhnya, bahwa pengertian kata-kata pada ayat di atas bukanlah ditunjukkan kepada Qur’an, sebagaimana yang diduga oleh sebagian orang, di mana al-Qur’an menyebutkan.151firman Allah swt. Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Qur’an) sebagai kalimat yang benar dan adil tidak ada yang dapat merubah - rubah kalimatkalimat-Nya dan Dia lah yang Maha Mendengar lagi Maha mengetahui. (QS: [6] al-An’am :115)
150
Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal, Tafsir Kontekstual al-Qur’an, Bandung, Mizan, cet II, 1990, hlm. 29. dikutip oleh Supiana dan Karman, op. cit., hlm. 158. 151 Abu Jamin Rohman, Pembicaraan di Sekitar Bibel dan Al-Qur’an, Jakarta, Bulan Bintang, cet II, 1990, hlm. 243.
Penyelidikan menunjukan bahwa ayat-ayat mansukh itu betul-betul ditunjukkan alamatnya bagi penghapusan Al-Kitab, yakni kitab-kitab yang telah diturunkan oleh Allah swt., bagi umat-umat terdahulu di zamannya, sebelum nabi Muhammad saw., dasar-dasar penyelidikan ini bisa dibaca pada QS. [2] al-Baqarah ayat 105 dan 107.
BAB III TEORI NASIKH MANSUKH DALAM BUKU BELL’S INTRODUCTION TO THE QUR’AN
A. Biografi dan latar belakang Richard Bell Richard Bell merupakan orientalis yang hidup pada akhir abad ke-19 dan awal ke-20. dengan beberapa karyanya Ia adalah seorang pakar Lingusitik ketimuran terutama dalam bahasa Arab “Arabic Language”, dan menjadi dosen di Universitas di Edinburgh London, Inggris. Bell mengawali karirnya sebagai sarjana al-Qur’an lewat publikasi bahan-bahan kuliahnya di Universitas Edinburgh, The Origins of Islam in its Crhistian Environment (1926). Diantara orientalis sezamannya, ia adalah pakar ketimuran yang disegani karena kecermatannya dalam melanjutkan kajian-kajiannya dalam menyangkut Islam.152 Seperti dituturkan sebelumnya bahwa cerita Islam. Muhammad dan alQur’an pada abad petengahan cenderung didistorsikan. Semua tuduhan terhadap Nabi Muhammad saw. ditunjukkan untuk memojokkan pada predikat nabi palsu. Langkah pertama kearah pandangan yang lebih berlangsung mulai abad ke -19 yang diperkasi oleh Thomas Carlyle ketika ia mentertawakan mereka yang memandang Muhammad Saw sebagai penipu yang menjadi pendiri salah satu agama besar di dunia. Namun kemudian terdapat sebagai sarjana yang berusaha menyelamatkan kejujuaran Nabi.153 Menurut Watt,154 secara keseluruhan para orientalis masa ini mempunyai pandangan lebih baik dan telah berpendapat bahwa Nabi benarbenar seorang yang tulus dan bertindak sejujurnya. Diantaranya adalah:
152
W. Montgomery Watt, Bell’s Introduction to the Quran, Edinburgh, Edinburgh University Press, 1991, hlm. 179-180. selanjutnya disebut W. Montgomery Watt. 153 http://anwarsy.files.wordpress.com 2012/01/ kajian orientalis terhadap al-Qur’anHadis. PDF diunduh pada 18 Maret 2012. 154 William Montgomery Watt, lahir pada tanggal 14 Maret 1909 di Ceres, File, Skotlandia. Ia adalah pemikir studi-studi keislaman dari Britamia Raya, dan salah seorang orientalis dan sejarawan utama tentang Islam dan dunia Barat. W. M. Watt, adalah seorang
1. Tor Andre menelaah pengalaman nabi dari sudut psikologi dan menemukan bahwa pengalaman kenabian benar-benar sejati.155 2. Frans Buhl yang menekankan makna kesejarahan yang bermakna luas dari gerakan keagamaan yang dinagurasi Muhammad. 3. Richard Bell, yang berbicara tentang karekter praktis dan faktual dari kegiatan Muhammad sebagai pribadi dan bahkan seorang Nabi.156 Suasana diskursus orientalisme ini secrara intens mempengaruhi Richard Bell. Namun selebihnya, Richard Bell yang hidup pada akhir ke -19 sampai
tahun
1960-an
masih
kelihatan
sekali
dipengaruhi
suasana
kolonialisme. Sebagaimana diungkapkan oleh Qomaruddin Hidayat, “ciri dan posisi orientalime kelihatannya memang terlalu sulit untuk mengelak dari anggapan bahwa studi dan disiplin ini lebih bersifat ideologis dan merupakan anak kandung imperialisme dan kolonialisme.157 Maka menjadi wajar jika orientalisme kemudian mendapat sorotan atau malah, dapat disebut serangan tajam dari sejumlah orang-orang Timur. Hal itu, sudah tentu, membuktkan bahwa keilmuan orientalisme mempunyai ekses bagi terjadinya ketegangan atau bahkan konflik antara Muslim dan Kristen. Ini artinya, bahwa prolem hubungan Islam dengan Barat juga dapat ditemukan akar-akarnya pada tradisi orientalisme.158 Pada akhir abad ke-19, pencapaian-pencapaian ini mulai mendapat dukungannya secara material dengan keberhasilan Eropa dalam menduduki seluruh wilayah Timur dekat (kecuali kawasan-kawasan Ustmani yang dikuasi sesudah tahun 1918. Dan seperti kita ketahui, kekuatan-kekuatan kolonial
profesor studi-studi Arab dan Islam di Universitas Edinburgh antara tahun 1964-1979. Selebihnya baca biografi W. M. Watt. http://anwarsy.files.wordpress.com 2012/01/ kajian orientalis terhadap al-Qur’an-Hadis. Pdf diunduh pada 18 Maret 2012. 155 W. Montgomery Watt, op. cit., hlm. 17-18. 156 http://anwarsy.files.wordpress.com 2012/01/ kajian orientalis terhadap al-Qur’anHadis. PDF diunduh pada 18 Maret 2012. 157 Muhammad Muslih, Religious Studies, Prolem Hubungan Islam dan Barat Kajian atas Pemikiran, Karel A. Steenbrink, Yogyakarta, Belukar, cet I, 2003, hlm. 75. 158 Ibid., hlm. 76.
utama dalam usaha pendudukan ini adalah Inggris dan Prancis meskipun Rusia dan Jerman juga tidak dapat kita abaikan peranannya.159 B. Karya-karya Richard Bell Dilihat dari karya-karyanya, ia merupakan seorang orientalis yang konsisten dalam kajiannya, yang tema sentralnya berkisar pada kajian alQur’an terutama dalam sastranya. Diantara karya-karyanya, baik berupa buku maupun dalam bentuk jurnal adalah: 1. Karya- karyanya yang berupa buku dan telah diterbitkan, antara lain: a. Richard Bell, (1953). Introduction to the Quran, Edinburgh at the University. b. Richard Bell, (1937-1939). The Quran Translation with a Critical Rearrangement of the surah, 2 jilid. Edinburgh: T & T Clark. c. Richard Bell, ( 1926), The Origins of
Islam in I’ts Chrsitian
environment. London: Macmillan. d. Richard Bell, (1925), The Origin of Islam in Its Christian Environment, Edinburgh University.160 e. A Commentaray on the Qur’an, (1991), t.p 2. Karya-karyanya dalam bentuk Jurnal a. ‘A dupcliate in the Koran; the Composition of Surah xxiii, Moslem World, xviii (1928), 227-33. b. ‘Who were the Hanifs?’ ibid, xx (1930), 120-4. c. Richard Bell, “The Origin of Id Al-Adha”, ibid. xxiii (1933), Dalam Moslem World, 117- 20 d. Richard Bell, “Surat al-Hasr (59)”. Dalam The Moslem World, xxxviii (1948). e. Richard Bell, 1948. (The Men of the A’raf (vii, 44)”, ibid. xxii dalam The Moslem World, xxii (1932), 43-8 159
Edward W. Said, Oreintalisme Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukan Timur sebagai Objek, Terj. Ahmad Fawaid, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet I, 2010, hlm. 150. 160 Dadan Rusmana, Al-Qur’an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat, Bandung, Pustaka Setia, cet I, 2006, hlm. 347-348. Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, Yogyakarta, FKBA, cet I, 2001, hlm. 113 dan 121.
f. Richard Bell, 1937. “Muhammad’s Pilgrimage Proclamation”, Journal of the Royal Asiatic Society, g. Richard Bell, “Muhammad Vision”. Dalam The Muslim World no. 24, 1934. h. ‘Muhammad’s Call’, ibid. xxiv. (1934), 13-19. i. ‘Muhammad and previous Messengres’, ibid. xxiv. 330-40 j. ‘Muhammad’s and Divorce in the Qur’an’, ibid. xxxviii (1939), 55-62. k. ‘Surah al-Hashr: a study of its composition’, ibid. xxxviii (1948), 2942. l. ‘Muhammad’s pilgrimage Proclamation’, Journal of the Royal Asiatic Society, 1937, 233-44. m. ‘The Development of Muhammad’s Teaching and Prophetic Consciousness’, School of Oriental Studies Bulletin, Cairo, Juni 1935, 1-9 n. ‘The Beginnings of Muhammad’s Relegious Activity’, Transactions of the Glasgow University Oriental Society, vii (1934-4), 16-24. o. ‘The Sacrifice of Ishmael,’ ibid. x. 29-31 p. ‘The Style of the Qor’an,’ ibid. xi (1942-4), 9-15. q. ‘Muhammad’s Knowledge of the Old Testement’, Studia Semitica et Orientalia, ii (W.B. Stevenson Festschrift), Glasgow, 1945, 1-20.;161 C. Pendekatan Richard Bell Banyak metode yang digunakan oleh sarjana Barat dalam studi Islam adalah salah satu faktor yang amat penting dalam melakukan dialog konstruktif dengan mereka. Sebab metode yang mereka gunakan akan mewarnai alur fikir dan turut menentukan konseptualisasi dan konklusi yang dihasilkan. Ada beberapa metodologi pendekatan yang digunakan oleh Richard Bell dalam meneliti al-Qur’an, yaitu:
161
159.
Richard Bell, Pengantar al-Qur’an, Terj. Lilian D. Tejasudhana, INIS, 1998, hlm.
1. Pendekatan Filologisme Filologi, kata Yunani yang secara harfiah berarti kesukaan atau kata, yang digunakan dalam arti pengajian teks atau penelitian yang berdasarkan teks, misalnya dalam bidang ilmu sastra dan ilmu sejarah. Filologi merupakan metode penelitian yang berdasarkan pada analisis pada teks, baik teks berupa karya sastra, dokumen arsip maupun teks kitab suci. Anailisis tersebut bisa berupa bacaan, perbandingan antara berbagai teks atau variasi dari teks yang sama, penerapan kritik teks, ataupun penyelidikan mengenai asal- usul teks itu. Sejak zaman Resnaisance, metode ini semakin berkembang dan diperluas di Eropa sehingga dapat dianggap sebagai salah satu faktor dari perkembangan dan kecemerlangan sejumlah besar ilmu pengetahuan di Eropa sampai abad ke-19. Pengaruh lebih besar dalam ilmu sastra, ilmu sejarah dan ilmu bahasa. Filologi berkembang pesat pada renaissance Eropa dan menjadi arus utama metode penelitian Barat klasik dalm mengkaji Islam.162 Pendekatan ini merupakan pendekatan yang pertama yang digunakan Barat dalam kajian ketimurannya. Pendekatan ini mulanya timbul sebagai usaha kajian Barat melalui teks-teks ketimuran. Karenanya analisis Linguistik Timur sangat intens dalam kajian pendekatan ini. Pendekatan ini lebih banyak melahirkan metodologi kajian kebahasaan dan sastra. Kritik sumber pertama kali muncul pada abad ke-17 dan ke-18 M. Ketika para sarjana Bibel menumukan berbagai makna yang kontradiksi, pengulangan dan perubahan di dalam gaya bahasa, dan kosa kata Bibel.163 Selain pendekatan ini dipergunakan oleh Richard Bell, juga digunakan oleh John Wansbrough, Theodore Noldeke, Blachere, Gustav Weil dan Scwally dalam kajian dan analisa tentang formasi sastra dan kronologi alQur’an.
162
Moh. Natsir Mahmud, “Al-Qur’an di Mata Barat, Studi Evaluatif”, dalam Jurnal alHikmah, No 2, Januari-Maret 1994, hlm. 6-12. 163 Ibid., hlm. 45.
2. Pendekatan Historisme164 Dalam sejarah perjalanan orientalisme, historisme merupakan ciri yang paling menonjol, karena para orientalis dalam melakukan studinya memperlakukan agamanya (dalam hal ini Islam) sebagai gejala sosial budaya yang selalu berkesinambungan. Dengan dalih ilmiah mereka tidak pernah melihat kebenaran agama.165 Dalam setudi al-Qur’an, historisme memandang bahwa Nabi Muhammad menyatakan dirinya sebagai Nabi merupakan penyerupaan penyerupaan terhadap ajaran tentang Nabi dalam kitab Taurat dan Injil dan wahyu yang disampaikan muncul dan inspirasinya berdasarkan kondisi lingkungan dan kitab suci sebelumnya. Richard Bell, misalnya melihat pengaruh Kristen dalam al-Qur’an. Pengaruh itu pada mulanya bersifat polemik kemudian mengikuti salah satu sekte Kristen di Syiria yang menolak penyaliban Yesus Kristus.166 Pada umumnya sikap historisme mempengaruhi sarjana Barat di bidang penelitian agama sejak pertengahan abad ke-19. Menurut Hasan Hanafi, sejak itu orientalisme telah muncul membawa revolusi paradigma riset ilmiah atau aliran politik yang memang khas abad ke -19 itu, terutama positivesme, historisme, saintisme, rasialisme, dan nasionalisme.167 Pendekatan ini dalam studi al-Qur’an di gunankan oleh Richard bell, W. Montgomery Watt, John Wansbrough, dan D. B. Macdonald, terutama dalam menelusuri sumber-sumber al-Qur’an.
164
Historisme muncul pada abad ke-19. Tokoh utamanya adalah Leopold von Ranke (1795-1886), seorang sejarawan terkemuka dari Jerman. Historisme muncul bebarengan dengan munculnya teori evolusi Carles darwin (1809-1882). Historisme mneggunakan era baru, semacam revolusi Copernicus dalam tradisi ilmiah Barat dan abad ke sembilanbelas sampai perempat pertama abad ke duapuluh. Meskipun sampai sekarang masih terdapat sejumlah sarjana Barat menerapkan prespektif historisme dalam tulisan mereka. Historisme berpandangan bahwa suatu entitas, baik itu institusi, nilai-nilai maupun agama berasal dari lingkungan fisik, sosio cultural dan sosio religius tempat entitas itu muncul. Penjelasan mengenai entitas sudah cukup melalui penemuan asal usulnya dan hakikat mengenai suatu seluruhnya dipahami dalam perkembangannya 165 Muhammad Muslih, Religious Studies, Problem Hubungan Islam Barat Kajian Atas Pemikiran, Karel A. Steenbrink, Yogyakarta, Blukar, cet I, 2003, hlm. 85. 166 Richard Bell, The Origin and ins Cristian Environment, London, Frank Cass & Co, LTD 1925, hlm. 73. 167 Muhammad Muslih, loc. cit.,
Munculnya
historisme
menurut
Fuck-Frankfurt
mendorong
kecenderungan dalam studi al-Qur’an di Barat yang mengasalkan alQur’an dan Islam dari kitab suci dan tradisi Yahudi dan Kristen. Sarjana Barat yang menggunakan metode pendekatan historisme dalam studi alQur’an, diantaranya adalah Maximen Rodinson. Tor Andrae, A.Juffery, Willian Muir, D.B. Macdonald, A.Guillaume, Richard Bell, A.T. Welch, A.I. Katsh, W. Montgomery Watt, dan J. Wansbrough.168 Dengan demikain historisme menurut Fazlur Rahman169 dan FuckFrankfurt mendorong kecenderungan dalam studi al-Qur’an di Barat yang mengasalkan al-Qur’an dan Islam dari kitab suci dan tradisi Yahudi dan Kristen. al-Qur’an dilihat hanyalah sebagai karya sastra yang hebat dari Muhammad bahwa ajara-ajaran al-Qur’an hanyalah imitasian ajaran Musa, ajaran Ibrahim, dan ajaran Isa.170 Dalam studi Islamolgi awal, historisme dipergunakan untuk mencari sebab atau asal usul kerasulan Muhammad SAW. beberapa islamolog mencari asal-usul dalam tradisi Yahudi dan Kristen. Seperti William Muir,171 Macdonald,172 dan Richard Bell mereka merupakan 168
Dadan Rusmana, Al-Qur’an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat, Bandung, Pustaka Setia, cet 1, 2006, hlm. 127. 169 Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok-Pokok al-Qur’an, Terj. Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka, 1993, hlm. 200. 170 Ibid., hlm. 127. 171 William Muir adalah orientalis Inggris yang juga seorang birokrat, administrator Inggris. Dia lahir pada 27 April 1819. Muir pernah bekerja di Administrator Perkotaan Kongsi dagang Hindia Timur, dan menetap di India dalam waktu yang lama (1837-1876). Akhirnya ia menjadi sekretaris pemerintah India (1865). Kemudian menjadi wakil pemerintah wilayah Barat Daya (1868). William Muir dengan penuh semangat menyerang Islam dan mempertahankan matia-matian keyakinan Kristen. Tulisannya (Mizan al-Haqq) mendapat perhatian dari pemikir Islam Sunni as-sahraspuri dengan bukunya yang berjudul Idhar al-Haq, dan demi pemikir Syi’i, Muhammad Hadi Ibn Wildar al-Luknawi. Untuk kepentingan misionarisnya, karya ini diterjemahkan dalam bahasa Urdu. William Muir menjelaskan pengakuan kaum muslimin berdasarkan kesaksian al-Qur’an sendiri terhadap kebenaran kitab suci Taurat dan Injil. TulisanTulisan Muir di atas denagan ditambah berbagai tukisan Willian Muir yang lain kemudian dikumpulkan dalam sebuah buku berjudul The Life of Mahomet and History of Islam. William pernah menjadi anggota pengelola administrasi Universitas Edinburg di Sotlandia (1885-1903). Ia meninggal di Edinburgh pada 11 juli 1905. Abdurarhman Badawi, Ensiklopedi Tokoh Orientalis, Terj. Amroeni Drajat. Yogyakarta, LKiS, Cet II, 2003, hlm. 254-255. 172 Macdonald adalah orientalis kelahiran Inggris yang menetap di Amerika Serikat. Macdonald lahir di Glossgow pada tahun 1863, dan meninggal pada 6 September 1943. Ia termasuk ilmuan yang kuatv ilmunya , dan sangat semangat dalam penyebaran ajaran Kristen, dengan banyak bergembleng calon-calon misionaris di Sekolah Kennedy untuk dikirim sebagai
orientalis yang memprogandakan bahwa sumber utama kenabian Muhammad dan al-Qur’an adalah tradisi agama Kristen. Sementara C.C. Torrey, Guillaume, dan Wansbrough memandang bahwa sumber utama kenabian Muhammad dan al-Qur’an adalah tradisi Talmudik (Yahudi). Sementara, disisi lain banyak orientalis yang menyatakan bahwa Yahudi dan Kristen telah memberikan kontribusi besar bagi kenabian Muhammad dan al-Qur’an, seperti diwakili oleh W. Montgomery Watt.173 Sedangkan
para
orientalis
yang
menggunakan
pendekatan
historisisme sering menolak kenabian Muhammad sebagai pristiwa transhistoris, melainkan menempatkan nabi Muhammad sebagai pencipta wahyu, al-Qur’an yang diambil dari kitab sebelumnya atau pengalaman keagamaan pribadinya. tulisan ini akan mengemukakan ada dua diantranya J. Wansbrough yang mengasalkan
al-Qur’an dan tradisi Yahudi dan
perjanjian lama dan Richard Bell yang mengasalkan al-Qur’an dari tradisi kitab suci Kristen.174 Sebagaimana juga dikatakan oleh Fazlur Rahman, bahwa karyakarya yang berusaha mencari antesenden-antesenden Yudeo-Kristiani di dalam Al-Qur’an. Richard Bell dan John Wansbrough merupakan dua islamolog yang masing-masing mewakili Kristen dan Yahudi, berusaha membuktikan bahwa al-Qur’an tidak lebih merupakan replikasi atau mimesis dari Injil dan Taurat. Karya-karya yang mencoba untuk membuat rangkaian kronologis dari ayat-ayat al-Qur’an. Dan karya tersebut hanya menjelaskan aspek-aspek tertentu saja dari ajaran al-Qur’an.175
misinaris Kristen di berbagai penjuru dunia. Karya ilmiah Macdonald tidak begitu mendalam. Ia banyak mempelajari kajian-kajian tentang beragama dalam Islam, seperti Alif Lailah wa Lailah, karya ilmiah Macdonald yang paling penting ialah Perkembangan Ilmu Kalam, dan perundangundangan dalam Islam, (New York, 1903, Biografi al-Ghazali”, dimuat dalam Journal America, Organization Society, juz 20, (1899), hlm. 32-71, serta beberapa tulisan lain dimuat di berbagai majalah. Abdurarhman Badawi, Ensiklopedi Tokoh Orientalis, Terj. Amroeni Drajat. Yogyakarta, LKiS, cet II, 2003, hlm. 254-255. 173 Ibid., hlm. 128. 174 Nastir Mahmud, op. cit., hlm. 7. 175 Fazlur Rahman, op. cit., hlm. XI.
Bell juga berpendapat bahwa wahyu yang dialami oleh Muhammad merupakan peristiwa supernatural. Pengetahuan tentang agama Kristen diaktualkan sebagai wahyu melalui trance-medium (keadaan taksadar diri) dalam suasana mistik seperti kehidupan para dukun (kahin).176 Bell mengartikan wahyu dengan sugesti yang muncul sebagai kilasan inspirasi (the flash of inspiration). Bagi Bell, sugesti terjadi secara natural. Menurut Bell, wahyu yang dialami oleh Muhammad merupakan pristiwa mengagumkan dan penuh misteri.177 Peristiwa misteri menurut Bell masih natural, tetapi beberapa interpretasi muncul terhadap peryataan Bell itu. Vahidudin berpendapat bahwa peristiwa misteri dalam pengalaman wahyu menurut Bell sudah tergolong peristiwa supernatural. Demikian pula Nizamat juga berpendapat bahwa kekuatan misterius merupkan fenomena kewahyuan dan sebagai peristiwa yang luar biasa. Bell memandang bahwa peristiwa misterius dan mengagumkan itu masih terjadi dalam lingkup natural. Tetapi ada peryataan Bell bahwa dalam proses terjadinya wahyu, Muhammad benar-benar melihat malaikat Jibril, seperti dalam pemahamannya terhadap ayat QS: 81:23, Bell menyatakan: “Reasserted in surah 81 that he had seen the messenger on the clear horizon, is I think and indication that something of the sort had already happened to him.” (ditegaskan kembali dalam surat 81 bahwa ia (Muhammad) melihat malaikat dicakrawala yang jernih. Saya pandang bahwa indikasi yang demikian benar-benar tejadi pada dirinya. Penjelasan Bell tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa meskipun dia semula berusaha mereduksi wahyu sebagai fenomena natural, tetapi kontardiksi terjadi dalam pernyataannya bahwa Nabi melihat Jibril dalam peristiwa wahyu.178 Para Islamolog biasanya mendiskripsikan dan menganalisis tematema al-Qur’an sebagaimana yang “tertera” secara eksplisit dalam alQur’an dan yang dipahami oleh umat Islam sendiri. Metode cross176
Dadan Rusmana, op. cit., hlm. 181. Ibid., hlm. 182. 178 Ibid., hlm. 182. 177
referntiality of the Qur’an, dalam arti bahwa seluruh ayat yang berkaitan dengan topik-topik tertentu digabungkan dan dikomparasikan dengan tujuan mendapatkan pengertian yang komprehensif, merupakan grand method dalam hal ini. Metode tersebut, yang dalam literatur Arab diistilahkan dengan al-Tafsir al-Maudhu’i tidaklah asing bagi sarjanasarjana Muslim.179 3. Pendekatan Historisme – Fenomenologis Pendekatan ini menggabungkan dua pendekatan sebelumnya, pendekatan ini dipergunakan oleh W. M. Watt, yang diklaim sebagai islamolog yang objetif, terbuka dan memilki simpatik dengan Islam, melalui pendekatan ini Richard Bell dan juga muridnya dimana kedua melihat al-Qur’an mimiliki kegandaan sumber ganda. Watt, menilai bahwa al-Qur’an merupakan firman Alllah, tatapi diciptakan melalui pengalaman pribadi Nabi Muhammad, namun, ia juga berusaha menganologikan fenomena kewahyuan nabi Muhammad dengan konsep Kristen.180 Bagaimanapun juga, fenomenologi empiris masa-masa awal berbeda dengan fenomenologi agama klasik yang berkembang pada paruh pertama abad ke-20 dan mungkin banyak dikenal melalui karya Belanda Garardus van der Leew.181 Konsekwensi logis sebagai pengkaji yang hidup dalam tradisi ke ilmuan, bagaimanapun sikap kelatahan intelektual adalah wajar. Richard Bell sendiri dalam kajiannya banyak terpengaruh oleh karya-karya sebelumnya, seperti Abraham Geiger, Theodore Noldeke, Gustav
Weil,
Fredrich Schwally, Regis Blachere, dan Hartwig Hirschfeld mengenai penanggalan kronologi al-Qur’an, dan lainnya. Kecenderungan Bell untuk mengeksplour lebih jauh lagi, ia secara optimal dan maksimal di dalam menggunakan metode yang ada di atas. Sehingga Bell, dengan mudah menangkap pesan dan sekaligus 179
Ibid., hlm. 116-117. Natsir Mahmud, op. cit., hlm. 26. Dadan Rusmana, op. cit., hlm. 48. 181 Ahmad Norma Permata, (ed.), Metodologi Studi Agama, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet I, 2000, hlm. 303. 180
memberikan
aplikasi
penafsiran
terhadap
teori
naskh-mansukh
berdasarkan keinginannnya sendiri, di samping itu ia juga bertendensi kepada kitab karya ulama muslim, seperti Imam Suyuti, dalam kitab alItqan, disamping itu Bell, hidup di era modern tentunya sangat mungkin jika pendekatan yang banyak digunakan oleh sarjana-sarjana modernkontemporer penuh dengan nuansa epistimologi dan metodologis, kedua unsur tersebut digunakan untuk memahami al-Qur’an, Injil, serta kitabkitab klasik, sejarah, dan peninggalan-peninggalan kuno, sehingga dapat dipahami berdasarkan keinginannya sendiri. 4. Pendekatan Hermeneutik Obyektif Setelah sejarah dalam fenomena ini, belum dikaji tentang fenomena metode-metode Barat dalam kajian al-Qur’an dan takwilnya, sebuah kajian yang akhirnya dikenal dengan “pembacaan kontemporer”. Seorang peneliti dari Syria, Abdur Rahman al-Hajj telah memberikan kontribusi ilmiah awal seputar sejarah fenomena yang berbahaya, pada tahun 1999 M. Dalam artikel yang berjudul “Zhahirah al-Qira’at alMu’ashirah
wa
Idiyulujiya
al-Hadatsah”
(Fenomena
Pembacaan
kontemporer dan idiologi Modernisme). Jika era klasik masih cenderung menekankan pada praktek eksegetik yang cenderung liner-atomistic alam manafsirkan al-Qur’an, serta menjadikan al-Qur’an sebagai subjek, maka tidak demikian halnya pada era modern dan kontemporer cenderung bernuansa hermeneutik yang lebih menekankan pada aspek epistimologis dan metodologis dalam mengkaji al-Qur’an, untuk menghasilkan al-Qur’an yang produktif alqiraah al-muntijah, katimbang bacaan yang repitive (al-qiraah attikrariyyah) atau pembacaan yang ideologis-tendensius (al-qiraah almughridlah) sebagaimana diyatakan oleh Rogger Trigg bahwa paradigma hermenutik adalah : The paradigm for hermeneutics is interpretation of the traditional text, were the problem must always be how we can come to
understand in our own context something whidh was written in radically different sitution.182 Jika dikaitkan dengan proses interpretasi teks-teks maka objek hermeneutika dalam diskursus filsafat modern terkait dengan masalah masalah yanng timbul diseputar apa yang dikenal sebagai “prolem hermeneutis”. Problem semacam ini timbul dengan sendirnya ketika seseorang disodori teks yang masih asing dan berusaha ia pahami. Pada kondisi demikian, terjadi kesenjangan pemahaman akibat perbedaan latar belakang teks dengan pembacanya akibat perbedaan jarak, waktu dan kebudayaan yang melingkupi keduanya.183 Dalam pengkajian dalam teks-teks sastra, umumnya para pengkritik menerapkan dua bentuk kritik, yakni kritik ekstrinsik (naqd alkhariji) dan kritik instrisik (naqd al-dakhili). Kritik ekstrinsik diarahkan pada kritik pada sumber, kajian holistik holistik terhadap faktor-faktor ekternal munculnya suatu karya, baik sosio grafis, religio kultural maupun determisasi politis untuk memetakan karya sastra dalam konteksnya secara porposional. Adapun kritik instrisik diajukan pada kritik redaksi, bentuk, diksi, simbol-simbol, indeks, dan isi, teks sastra dengan analisis linguistik yang ketat sehingga mampu menguak makna yang dikehendaki teks.184 Metode ini berdiri di atas aliran filsafat strukturalisme, terutama strukturalisme linguistik, seperti dipaparkan di atas, yang meruyak pada dekade tahun 1960-an dan tahun 1970-an di Cekoslavia, Amerika, Jerman, Inggris, Rusia, dan Prancis. Metode ini jelas mengarahkan pengkajiannya pada studi strukur teks, termasuk distudi bahasa dan sastra dan pendekatan obyektif. Bagi kaum strukturalisme-linguistik, kitab-kitab suci tak ubahnya sebgai karya literatur yang hadir apa adanya dan satu-satunya jalan untuk memahaminya adalah dengan melakukan analisis struktur dan sistem yang 182
Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet I, 2008, hlm. 86. 183 Ibid., hlm. 32. 184 Dadan Rusmana, loc. cit.,
tanda, berdiri otonom, menampilkan dirinya melalui jaringan sistem tanda sehingga memungkinkan pembaca mengajak dialog dengannya. Salah satu bentuk strukturalisasi linguistik dalam mendekati kitab suci muncul dalam bentuk semiologi atau semiotika.185 Perbedaan tajam antara Vulgata dan Codek Sinaiticius semakin tampak, ketika dikemukakannya Manual of Dicipline yang ditemukan pasca-perang dunia ke-2 pada gua-gua batu dibelahan laut barat Mati yang dinisbahkan kepada sekte Essai, Jemaat Nasrhani pada pertengahan abad ke-1 M. Naskah tua tersebut berbahasa Ibrani dan kemudian dikenal sebagai manuskrip Laut Mati’ (the dead Sea Scroll). Penerapan metode ini dalam kajian al-Qur’an pernah diupayakan oleh Richard Bell dalam merelokasi kronologi unit-unit oisinal wahyu. Namun, berbeda dengan Richard Bell yang berangkat dari tradisi kesarjanaan
Kristen,
sementara
penerapan
metode
tersebut
oleh
Wansbrough tampaknya lebih berada dalam tradisi kesarjanaan Yahudi katimbang tradisi Kristen.186 D. Pandangan Richard Bell terhadap al-Qur’an Kitab suci menempati kedudukan sumber hukum yang paling penting dan paling asasi dalam agama Islam. Al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus berupa buku lengkap, melainkan ayat demi ayat dalam masa 23 tahun, menurut perkembangan perikeadaan, baik di kota Mekkah maupun di Yastrib (Madinah).187 Setiap ayat yang dihafalkan itu dihafalkan oleh para pengikut Nabi besar Muhammad SAW. dan dituliskan pada pelepah-pelepah tamar yang diraut dan disusun rapi, seperti halnya bambu-bambu yang disusun rapi lontar di Bali dan pustaha di tanah Batak. Sebagaiannya dicetak pada lembaran parekeman dan lembaran papirus. Juru surat yang mencatat setiap ayat itu berjumlah 23 orang, sejak masa di kota Mekkah sampai masa di kota Yastrib, yaitu: Abu Bakar Siddiq, 185
Ibid., hlm. 139. Ibid., hlm. 147. 187 Joesoef Sou’yb,. Orientalis dan Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1985, hlm. 121. 186
Umar Bin Khatab, Utsaman Bin Affan, Ali Bin Abu Thalib, Zubair Bin Awam, Ubay Bin Ka’ab, Zaid bin Sabit, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Muhammad bin Salamah, Arqam bin Abi Arqam, Iban bin Sa’id bin Ash, Khalid bin Sa’id bin ‘Ash, Tsabit bin Qais, Hanzalah bin Rabi’ah, Khalaid bin Walid, Abdullah bin Arqam, Abdullah bin Zaids bin Abi Rabbihi, ‘Alalak bin Utbah, Mughairah bin Sa’abah, Sajjal, Syarahabil, Bin Hasanah, dan yang paling banyak dan paling khusus ditugaskan mencatatnya ialah Zaid bin Sabit dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan.188 Himpunan itu mula-mula tersimpan di tangan Hafsaf bin Umar, janda Nabi Muhammad SAW. putri khlaifah Umar bin Khattab, baru pada masa pemerintahan khlaifah Utsman bin Affan (23-35H/ 644-655M), himpunan catatan tresebut lantas disusun merupakan mushaf (buku) seperti yang tercatat sekarang, oleh sebuah tem yang ditunjuk oleh khalifah Ustman di bawah pimpinan Zaid bin Tsabit, dan penyusunan ayat pada setiap surah mengikuti petunjuk yang pernah diberikan oleh Nabi Besar Muhammad SAW pada masa hidupnya.189 Dalam melaksanakan tugasnya, Zaid menetapkan kreteria yang ketat untuk setiap ayat yang dikumpulkannya. Ia tidak menerima berdasarkan hapalan, tanpa didukung oleh tulisan. Kehati-hatian diperlihatkan oleh ucapannya sebagai mana tertuang di akhir hadist yang diriwatkan oleh Bukhari “......Hingga kami temukan akhir surat at-Taubah (9) pada tangan Abu Huzaimah al-Anshari,” ungkapan ini tidak menunjukan pada akhir surat al-Taubah (9) itu tidak mutawatir, tatapi hanya menujukkan bahwa hanya Abu Huzaimah al-Ansahari lah yang menulisanya. Zaid dan sahabat-sahabat lainnya menghafalkan saja tidak memiliki tuisannya. Sikap
kehatian
hatian
Zaid
dalam
mengumpulkan
al-Qur’an
sebenarnya atas dasar pesan Abu Bakar kepada Zaid dan Umar. Abu Bakar
188 189
Ibid., hlm. 121. Ibid., hlm. 122.
berkata: “duduklah kalian di pintu masjid. Siapa saja yang datang kapada kalian membawa catatan al-Qur’an dengan dua saksi catatlah.190 Naskah otentik dari masa khlaifah Ustman itu dewasa ini masih dijumpai tiga buah, tersimpan di musium di Tashkent (Uni Soviet), Museum di Istambul (Turki) dan Museum di Kairo (Mesir), dikenal dengan mushaf Utsmani,
bahkan
mushaf
yang
tersimpan
di
Tashkent
itu
masih
memperlihatkan bekas-bekas genangan darah Ustman bin Affan sewaktu terbunuh dinihari selagi membaca kitab suci Al-Qur’an, sehabis shalat Subuh.191 Pasca era formatif, perkembangan tafsir berikutnya memasuki era afirmatif yang berbasis pada nalar ideologis. Era formatif ini terjadi pada abad pertengahan ketika tradisi penafsiran Qur’an lebih di dominasi oleh kepentingan-kepentingan politik madzhab, atau ideologi keilmuan tertentu, sehingga al-Qur’an sering kali diperlukan sekedar sebagai legitimasi bagi kepentingan-kepentingan tersebut. Para mufassir pada era ini pada umumnya sudah diselimuti “jaket ideologi” tertentu sebelum mereka menafsirkan alQur’an. Akibatnya al-Qur’an cenderung “diperkosa” menjadi kepentingan sesaat untuk membela kepentingan subjek (penafsir atau penguasa)192 Richard Bell, sebagai refresentasi sarjana Kristen, misalnya, mengatakan bahwa Muhammad banyak terpengaruh suasana polemis di kalangan orang-orang Kristen Arab. Pada masa Mekkah dan awal Madinah, Muhammad dan al-Qur’an kemudian terpengaruh oleh ajaran Kristen.193 Misalnya menurut Bell, QS. al-Ikhlas bukanlah merupakan hasil polemik antara Nabi Muhammad dan orang Kristen, melainkan terhadap orang musyrik 190
Jalaluddin Suyuti, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, Jilid I. Beirut, Dar al-Fikr, t.th., hlm. 60. Rahison Anwar, Pengantar Ulum al-Qur’an, Bandung, Pustaka setia, cet I, 2009, hlm. 76 191 Ibid., hlm. 122. 191 فمن جاء كما بشاھدين على شيء من كتا ب ﷲ فا كتباه, اقعدا على باب المسجد:في قول ابي بكر لعمر وزيد وواضخ ان تفسير ابن حجر, لكن رجاله ثقات,)وھو حديث منقطع اخرجه من ابو داوود( من طريق ھشام ابن عروة عن ابيه كا الشاھد الواحد على الحفظ, حظ فيه اال كتفاء بشاھد واحد علي الكتابة. يال. Subhi Shalih, Mabahis fi Ulum alQur’an, Beirut, Dar al-‘Ilm - lil Malayin, cet XVII, 1988, hlm. 76. 192 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Ygyakarta, LKiS, cet I, 2011, hlm. 46 193 Dadan Rusmana, Al-Qur’an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat, Bandung, Pustaka Setia, cet I, 2006, 128-129.
yang mempercayai banyak Tuhan dan mempercayai bahwa Tuhan mempunyai tiga anak perempuan (allata, al-uzza, dan manat). Akan tetapi kisah tentang penolakan penyaliban Yesus dalam al-Qur’an diklaim, diambil oleh Nabi Muhammad saw dari arah satu sekte Kristen di Syiria.194 metode historis yang sama dipergunakan Bell untuk menjelaskan fenomena kewahyuan yang dialami Nabi Muhammad saw. Telaahnya banyak menggunakan dan mencari landasan pada unconciousness, dalam psikonalisis. Oleh karena itu, hitorisisme kritis didominasi oleh konsep-konsep seperti: frustasi, stres, kompensasi, neorosis, dan trance. Pendekatan ini digunakan untuk meneliti kejiwaan tokoh sejarah yang dikenal dengan istilah psycho-history.195 Sedangkan menurut Abu Bakar Aceh, beliau mengatakan “Sejarah dari pada mushaf imam itu telah lahir salinan-salinan al-Qur’an yang banyak sekali dicetak di Timur dan di Barat, di mana isinya sesuai dengan yang asli itu, dan terseber ke seluruh penjuru dunia, seperti yang didapati sekarang ini.196 Meskipun menurut Richard Bell, seandainya Nabi Muhammad saw tidak bisa menulis, dia bisa menyuruh juru tulis, dan ada hadis namun pada hadist tersebut (Muqatti’)197 yang menyatakan bahwa juru tulis dipakai untuk mencatat wahyu. Dalam surat 87: 6 disebutkan, “Kami akan membacakan (Al Qur’an) kepadamu (Muhammad) Maka kamu tidak akan lupa. Bahwa Nabi Muhammad lupa, ini bisa dianggap untuk mengisyaratkan bahwa ia tidak mempercayai ingatannya sendiri lalu menuliskan serta menghafalkan pesan-pesan yang diwahyukan sebelum menyatakan didepan umum. Sindiran orang-orang Mekkah tentang kisah kuno yang dia suruh tuliskan untuk itu sendiri menyiratkan bahwa di Mekkah dia setidaknya dicurigai sudah menyuruh orang menuliskan (25:6), kalau dan ini mungkin 194
Ibid., hlm. 140. Ibid., hlm. 129. 196 Abu Bakar Aceh, Sejarah al-Qur’an, Solo, Ramadhani, cet VI, 1989, hlm. 39. 195
saja, dia telah menyuruh orang untuk menuliskan sebagian dari Quran, dia tentunya akan merahasiakan ini. Di Madinah dia diharapkan bahwa setidaknya amanat-amanat hukumnya sudah dicatat. Laporan mengenai “pengumpulan” pertama dari alQur’an sesudah wafatnya Nabi Muhammad oleh Zait bin Sabit menyiratkan bahwa sebagian sudah ditulis di atas potongan papirius dan bahan lain.198 Hasil karya Zaid adalah ‘kumpulan kertas’ di atas lembaran –lembaran (suhuf) dan ini akhirnya diteruskan menjadi milik hafsah. Seperti dipersoalkan di atas, sangat tidak mungkin bahwa ada ‘kumpulan’ resmi seperti yang telah digambarkan.tetapi hampir pasti bahwa hafsaf memilki semacam ‘lembaran’. Jadi mungkin saja, bahwa banyak dari Quran telah dituliskan dalam satu dan lain bentuk semasa hidup Nabi Muahmmad.199 Di dalam transliterasi al-Qur’a buku Bell’s Introduction to the Qur’an oleh Richard Bell, kadang-kadang wawasan-wawasannya yang hebat yang berkembang menjadi tema-tema yang agak eksentrik. Misalnya Bell mengatakan bahwa sebagian besar dari diskontinuitas ayat-ayat al-Qur’an adalah karena orang-orang yang menyalin ayat-ayat tersebut tidak dapat membedakan depan dan belakang dari meteri-materi di mana ayat-ayat tersebut mula-mula sekali dituliskan.200 Karenanya kalau ada yang menulis tidak dengan aksara itu, tidaklah menjadi persoalan yang esensial, selama dapat dibaca dengan benar. Demikian menurut ibn Khaldun.201 Selain karena selama ini asumsi yang mengatakan rasm utsmani itu adalah tauqifi, seperti pandangan imam Ahmad Ibn Hambali dan Zaki Mubarak, lebih banyak didasarkan pada penafsiran hermeneutik lebih banyak sandaran nash. Menurut Richard Bell, al-Qur’an bukanlah risalah teologi, bukan pula kitab perundang-undangan atau kumpulan kutbah, tetapi rasanya al-Qur’an 198
Manna’ al- Qatthan, op. cit., hlm. 148. Nashruddin Baidan, op. cit., hlm. 56. 200 Fazlur Rahman, Pokok-Pokok Tema dalam al-Qur’an, Terj. Anas Mahyuddin, Bandung, Pustaka, cet II, 1996, hlm. xiv. 201 H. J. Jassin, Kontroversi al-Qur’an Berwajah Puisi, Jakarta, Grafiti, cet I, 1995, hlm 273. 199
lebih merupakan ramuan (medley) ketiganya, dan ditambah berbagai “mutiara” yang bertebaran di dalamnya. “Pewahyuannya” tentang selama kurang dua puluh tahun, disaat Nabi Muhammad Saw bangkit dari posisi seorang pembaru keagamaan yang tidak terkenal di kota asalnya,. Mekkah menjadi penguasa aktual di kota Madinah dan sebagian besar jazirah Arab. Karena wahyu turun sesuai dengan kebutuhan lingkungan yang senantiasa bergerak dan berubah selaras dengan kaum Muslimin selama masa-masa tersebut, maka wajar kalau gaya kitab suci al-Qur’an berubah-ubah pula. Lebih dari itu, Bell, juga mengatakan bahwa
al-Qur’an yang ada
sekarang ini adalah hasil modifikasi orang-orang Muslim setelah kematian Muhammad saw. Richard Bell juga menjelaskan bahwa sumber historis utama dari ajaran-ajaran al-Qur’an adalah agama Kristen.202 Kekhawatiran Bell bahwa para sahabat tidak ada yang menghafal keseluruhan al-Qur’an karena tersebarnya tulisan yang berimplikasi kepada munculnya varian yang sangat banyak, tidak beralasan.203 Perubahan terjadi besar-besaran dalam bentuk pengungkapan kelihatnnya sangat dibutuhkan. Bell mengikuti jejak sarjana-sarjana Eropa pendahulunya dan mengemukakan pendahulunya dalam mengemukakan bahwa al-Qur’an merupakan buah karya Muhammad. Seperti Fredrich Schwally, yang berbeda dengan Noldeke ketika merevisi “Geschicthe des Qorans, Schwally mengungkapkan pengaruh Kristen lebih dominan di dalam Islam dibanding Yahudi. Selain itu, Wilhem Ruddolph, seorang pakar perjanjian lama dan meraih gelar doktor pada tahun 1920, menulis desertasinya yang berjudul Die Abhangigkeit des Qorans von Judentum und Cristentum (ketergantungan alQur’an terhadap Yahudi dan Kristen). Disertasi tersebut diterbitkan
di
Stuttgart pada tahun 1922. Dalam disertasinya, Rudoplh menyimpulkan bahwa sebenarnya Islam berasal dari Kristen (Islam is actually vom Christentum
202
Abdul Basith Junaidi, (et,al), Islam dalam berbagai Pembacaan Kontemporer, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet I, 2009, hlm. 309. 203 Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur’an, Jakarta, Gema Insani, cet III, 2007, hlm. 93.
ausgegangen), dalam pandangan Rudoplh, Kristen adalah ‘buaian Islam’ (die Wiege des Islam). Senada dengan Rudoplh , Tor Andrae menulis (Der Ursprung des Islam und das Christentum (asal mula Islam dsan Kristen). Tor Andrae berpendapat bahwa ajaran-ajaran Islam memiliki contoh-contoh yang jelas dalam Literatur Syiriak (die Predigt des Qorans hat bestimmte Volbilder in der syirischen Literatur). Andre menyatakan: “konsep kenabian sebagai sesuatu yang hidup dan aktual, sesuatu yang milik sekarang dan yang akan datang , sukar sejauh yang aku lihat, muncul di dalam jiwa Muhammad jika ia tidak mengetahui mengenai Nabi-Nabi dan kenabian yang telah diajarkan Yahudi dan gereja Kiristen di Timur.204 Menegaskan pengaruh Kristen terhadap al-Qur’an, Richard Bell (m. 1953) menulis sebuah buku berjudul The Origin of Islam in its Environmet (London: 1926). Di dalam buku tersebut, Richard Bell berpendapat bahwa pengaruh tersebut datang dari tiga pusat: Syiria, Mesopotamia dan Ethiopia. Bell meneliti ilmu pengetahuan Kristen yang ada di Arab Selatan (South Arab) sebelum kedatangan Islam. Menurut Bell, puisi-puisi yang ada sebelum munculnya Islam menyentuh aspek-aspek Kristen seperti gereja, tempattempat Ibadah, gong dan bel, acara-acara seremonial Kristen dan lainnya. Bell berpendapat bahwa kosa kata Aramik dan Ethiopia yang digunakan oleh orang-orang
Kristen,
diketahui
oleh
Muhammad,
yang
selanjutnya
memasukkan ke dalam al-Qur’an.205 Kritik Adams tersebut di atas salah satunya diarahkan kepada Richard Bell. Richard Bell mengemukakan bahwa Islam tidak lain hayalan imitasi dari agama Kristen. yang digunakan dalam Islam, berbicara tentang karakter praktis yang faktual dari kegiatan Muhammad pribadi dan bahkan sebagai seorang Nabi. Dalam buku The Qur’an Origin of Islam in its Christian Environment, Richard Bell Al-Qur’an menurutnya, tidaklah lain adalah
204 205
Ibid., hlm. 141. Ibid., hlm. 143.
produk Muhammad yang disusun berdasarkan tradisi Bibel yang sudah berkembang saat itu di Mekkah.206 Sehingga untuk memperkuat persepsi bahwa al-Qur’an tidak lain hanyalah produk Muhammad, Richard Bell dalam artikelnya “ Muhammad’s Vissions” mencoba menganalisis fenomena wahyu Muhammad Menurutnya, kata “wahy” dan derivasinya yang terdapat dalam al-Qur’an, baik dalam konteks komunikasi antar makhluk maupun komunikasi antara Tuhan dan makhluk-Nya, mengandung konotasi “suggestion” (anjuran), “inspiration” (inspirasi), atau prompting (dorongan atau bisikan), untuk melakukan sesuatu yang dimaksud oleh pemberi “anjuran” atua inspirator. Ia menyatakan bahwa: The Fundamental sense of the word as used in the Quran seems to the communication of ab idea by some quick, suggestion or prmpting, by as we might say, a flash of inspiration. Contoh hal ini, menurut Bell adalah “anjuran” Tuhan kepada lebah untuk membuat sarang-sarangnya di gunung-gunung (An-Nahl. [16]: 68) dan “inspirasi” Tuhan kepada kepada Nabi Nuh membuat perahu (Hud. [11] :3637). Dengan demikian, menurut Bell, Muhammad hanyalah penerima perintah atau anjuran untuk membuat al-Qur’an berdasarkan ajaran-ajaran yang telah mapan saat itu, termasuk doktrin-doktrin Kristen. Selain itu, Richard Bell berpendapat bahwa wahyu yang dialami Nabi Muhammad merupakan peristiwa natural, bukan peristiwa supranatural. Serta Ia juga menilai sebagai desakan atau perintah untuk berbicara. Demikian pula Richard Bell tetap mendudukan peristiwa dialog Jibril dan Nabi. Muhammad sebagai sesuatu yang natural, seperti pemahaman terhadap (QS. At- Takwir (81): 23, “Reasserted in surah 81 that be bad seen the messenger on the clear horizon, is I think and indication that something of the sort bad already happened to him”.207
206
Dadan Rusmana, Al-Qur’an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat, Bandung, Pustaka Setia, cet I, 2006, hlm. 180. 207 Ibid., hlm 180.
Pengetahuan tentang agama Kristen diaktualkan sebagai wahyu melalui trance-medium (keadaan tak sadar diri) dalam suasana mempraktikan kehidupan kahin ini melalui meditasi, sebagaimana tersirat QS.73 ayat 1-8. Ayat ini dipahami Bell bahwa Muhammad bagun dan bermeditasi pada malam hari untuk memudahkan mendapatkan wahyu. Ia kemudian seakan-akan mendapatkan wahyu, padahal hanya dari bisikan dari luar, “It is his speaking which he is explaining and defending.” (pembicaran sendiri yang ia nyatakan dan pertahankan (sebagai wahyu).208 Ayat tersebut juga ditafsiri oleh Richard Bell sebagai kesibukan Muhammad dalam menyusun al-Qur’an, memilih waktu malam hari sebagai yang paling kuat kesannya dan paling pantas dalam pembicaraan”, yakni waktu ketika gagasan-gagasan demikian jelas dan ketika kata-kata yang tepat sebagian besar mudah ditemukan. Wahyu, menurutnya, sebagai sugesti yang muncul sebagai kiasan inspirasi (the flash of inspiration) natural, sekaligus mengagumkan dari penuh mesteri. Menurutnya, wahyu yang dialami oleh Muahammad merupakan peristiwa yang menagagumkan dan penuh mesteri, peristiwa natural bisa. Menurut Bell, proses mendapatkan inspirasi yang tepat harus senantiasa diawali dengan meditasi. Namun pikirannya dalam keadaan yang tidak terkosentrasi atau dalam keadaan pasif, seringkali inspirasi tersebut tidak muncul. Hal ini diisyaratkan oleh QS. Maryam [19]: 24; QS. [5] al- Maidah: 101; QS. [22] Al-Hajj: 52). Sering Nabi mengalami keraguan dalam menangkap inspirasi, karena Nabi Muhammad sendiri menyadari bahwa setan terkadang campur tangan dalam pewahyuan. Hal, ini diindikasikan (QS. [22] Al-Hajj: 52), yang dikatakan merujuk pada insiden “ayat-ayat setaniah” yang berkaitan dengan (QS. [53] An-Najm: 19-20). Dalam menanggapi pandangan Bell tentang fenomena kewahyuan yang berada dalam tatanan natural, Vahiduddin dan Nizamat Jung, berpendapat bahwa peristiwa mesteri dalam pengalaman wahyu menurut Bell sudah tergolong peristiwa supernatural dan sebagai peristiwa yang luar biasa. 208
Ibid., hlm 181.
Selebihnya menurut Watt, pendapat-pendapat Bell di atas bersal dari dugaan suatu kesulitan yang tidak bisa diatasi Bell adalah bahwa ahwa bukanlah satusatunya kata kerja yang berarti “mewahyukan”, kata-kata nazzala dan anzala dalam pengertian yang serupa.209 Mengulangi kembali seraya menambahkan kritikan kepada isu kompilasi al-Qur’an pada zaman Abu Bakar, Richard Bell menunjukkan memang teks yang dikumpulkan atas perintah Abu Bakar itu adalah teks pribadi bukan teks revisi resmi. Argumentasinya sebagai berikut:210 Pertama, sampai wafatnya Muhammad, tidak ada rekaman wahyu yang
otoritatif
dan
tersusun.
Padahal,
Muhammad
sendiri
telah
mengumpulkan dan menyusun banyak lembaran-lemabaran dan susunan tersebut diketahui oleh para sahabat (.....Muhammad himself had brought together many revealed passages and given them a difinite order, and that this order was known and adhered to by his Companions). Kedua, berdasarkan pada jumlah hadis yang berbeda, tidak ada kesepakatan mengenai siapa sebenarnya yang menggagas dan menghimpun alQur’an Umar atau Abu Bakar. Ketiga, motif menghimpun al-Qur’an disebabkan banyaknya para Qurra, yang meninggal dalam perang Yamamah tidaklah tepat. Hanya sedikit dari Qurra yang meninggal. Schwally menyebutkan hanya dua orang saja. Kebanyakan yang meninggal adalah para muallaf. Selain itu, berdasarkan riwayat hadits, banyak materi wahyu yang ditulis. Jadi jika para penghapal alQur’an meninggal, maka ini tidak akan menimbulkan kekhawatiran bahwa bagian dari al-Qur’an akan hilang.211 Keempat, seandainya koleksi itu adalah resmi, niscanya koleksi tersebut akan disebarkan karena memiliki otoritas. Namun, bukti itu tidak ada. Mushaf yang lain juga dianggap otoritatif di berbagia daerah. Perdebatan yang mendorong versi al-Qur’an di bawah kekhalifaan Utsman tidak akan muncul 209 210
Ibid., hlm. 182-183. Adnin Armas, Metodologi Studi Al-Qur’an, Jakarta, Gema Insani, cet III, 2007, hlm.
89. 211
Ibid., hlm. 90.
jika mushaf resmi di dalam kekhalifahan Abu Bakar ada. Mushaf resmi tersebut pasti menjadi rujukan. selain itu, pendapat Umar yang menyatakan bahwa ayat al-rajam itu, ada di dalam al-Qur’an adalah tidak konsisten jika ‘Umar memiliki Mushaf resmi. Kelima, dan ini alasan yang paling benar menurut Bell, seandainya Zayd menghimpun mushaf yang resmi, maka Umar tidak akan menyerahkan teks tersebut ke Habsah, anaknya. Ini menunjukkan bahwa mushaf yang ada pada hafsah bukanlah mushaf resmi. Jadi, Richard Bell menyimpulkan “himpunan” lengkap al-Qur’an yang resmi pada kekhalifahan Abu Bakar tidak ada. Richard Bell yakin hadis mengenai al-Qur’an dihimpun pada masa kekhalifahan Abu Bakar dielaborasi hanya untuk menghindari supaya ‘himpunan’ al-Qur’an yang pertama kali bukanlah yang muncul belakangan. Mengomentari mushaf pribadi yang dihimpun Abu Bakar dan Umar, Regis Blachere menyatakan Abu Bakar dan Umar menyebut Zayd menghimpun al-Qur’an karena perasaan inferior (orang bawahan) di banding oleh para sahabat lain yang terlebih dahulu memiliki mushaf.212 1. Jejak Pendahulu Richard Bell tentang Kronologi al-Qur’an. Dalam proses kronologi yang dilakukan oleh pra pendahulunya ini nantinya kan berimplikasi kepada hipotesa Bell, dalam memberikan interpretasi terhadap formasi al-Qur’an itu sendiri, adapun nama-nama para pendahulunya, antara lain: a. Gustav Weil Titik awal perhatian Barat terhadap kajhian al-Qur’an dapat dikatakan bermula dengan karya Gustav Weil,213 Weil dipandang sebagai sarjana Barat yang pertama melakukan kajian penanggalan alQur’an dan pendiri madzhab penanggalan empat periode, lewat karya monumentalnya, Historisch Kritische Einleuitung in der Koran, pada 212
Ibid., hlm. 90-91. Muhammad bin Lutfi as-Shibagh, Limahat Fi Ulumul Qur’an, Wa At-Tijahati Al-Tafsir, Lebanon, al-Maktabah al-Islamiy, cet, III, 1990, hlm. 110-111. 213 Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, Yogyakarta, FKBA, cet I, 2001. hlm. 105, untuk selanjutnya lihat kronologi al-Qur’an Gustav Weil.
1844. Ia menerima teori sarjana muslim bahwa surat-surat al-Qur’an merupakan unit-unit dari wahyu sehingga dapat disusun dalam suatu tatanan kronologis dengan berpijak pada hadis-hadis. Akan tetapi, ia berbeda dengan sarjana muslim ketika membagi surat-surat Makiyyah dalam tiga periode: periode awal, periode tengah, periode akhir. Sementara periode Madinah diterimanya.214 b. Theodore Noldeke dan Schwally Asumsi yang di adopsi oleh Weil dari para sarjana muslim, tiga kreteria
aransmen
kronologi
dan
sistem
penanggalan
empat
periodenya, sebenarnya, sisitem penanggalan empat periode Noldeke di atas karena dipengaruhi sistem penanggalan yang dirumuskan oleh Gustav Weil,215
kemudian diadopsi Noldeke (1860) dan Schwally
(1909) dalam karya mereka, Geschichte des Qorans216 (Ester Teil, “bagian pertama”), dengan sejumlah perubahan pada susunan kronologis surat-surat al-Qur’an, belakangan karya patungan Noldeke dan Schwally ini mempengaruhi Regis Blechere dalam terjemahan alQur’annya, Le Coran: Traduction Selon un Essai de Reclassement des Sourates (1945-1950). Yang pada halaman selanjutnya akan penulis jelaskan.217 Perbincangan oleh sebagian orientalis di masa Ustman, sebagaimana mareka mendakwakan, bahwa Ustman tidak menyimpan naskah wahyu seluruhnya, sesungguhnya Ustman hanya bersandar kepada keterangan sebagian tafsir serta disertai dengan peralihan
214
Untuk melihat klasifikasi surat-surat al-Qur’an versi Noldeke secara lengkap lihat, Rohison Anwar, Pengantar Ulum al-Qur’an, Bandung, Pustaka Setia, cet I, 2009, hlm. 67- 68. Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, Yogyakarta, FKBA, cet I, 2001 hlm. 106. 215 Ibid., hlm 106. 216 Dr. Theodore Noldeke (1836-1930) adalah seorang orientalis terkemuka di Jerman yang khusus mendalami bahasa Siryani, Arab dan Persi, Semit dan Ibrani. Noldeke termasuk ilmuan yang berumur panjang, sekitar 94 tahun, dan dengan usia yang panjang itu, menjadikannya menempati posisi yang tertinggi diantara para orientalis di Jerman. Abdurahman Badawi, Enslikopedi Tokoh Orientalis, Terj. Amroeni Drajat, Yogyakarta, LKiS, cet I, hlm. 274. 217 Taufik Adnan Amal, loc. cit.,
tempat (peralihan fakta) pada sebagian ayat.218 Mereka mengemukakan pendapatnya tentang kitab suci al-Qur’an, sebagai berikut:219 Artinya: kita tidak hanya mempunyai tanggapan-tanggapan yang penuh keseluruhan watak Muhammad itu, bahkan mempunyai karya-karya yang otentik, al-Qu’an yang disampaikan oleh nama Allah swt. Sekalipun demikian tokoh yang luiar biasa yang menarik dan menberikan itu dalam banyak hal ini tetap merupakan teka-teki. Banyak sekali mendali Agama Yahudi dan agama Kristen, tapi hanya melalui laporan lisan belaka. Sekalipun tetap merupakan soal apakah betul Muhammad itu tak pandai baca dan bisa tulis, tetapi pasti ia tidak pernah membaca Bibel ataupun kitab- kitab lainnya. Tokohtokoh tempat dan mengumpulkan informasi mengenai agama-agama tua yang monoteisme itu pastilah pihak yang kurang pelajar terlebih khusus guru pembimbingnya dalam kitab Kristen. Edisi kedua di revisi dan diperluas oleh Friedrich Schwally dan lainnya muncul dalam tiga jilid pada 1909 dan 1939, serta dicetak ulang melalui proses foto mekanik pada tahun 1961, sehubungan dengan kronologi al-Qur’an, Noldeke mengasumsikan suatu gaya alQur’an yang progesif dari bagian-bagian yang puitis yang agung pada masa awal kepada wahyu-wahyu yang berwujud prosa panjang pada masa belakangan, Ia mengakui tradisi Islam dalam pembagian alQur’an kedalam surat-surat yang sebagian besar isinya diwahyukan di Mekkah dan di Madinah tatapi lebih jauh ia membagi surat-surat Makiyah ke dalam tiga periode.220 c. Regis Blachere Regis Blechere (1900-1973)221 dalam terjemahan al-Qur’annya, Le Coran: Traduction Selon un Essai de Reclassement des Sourates 218
Akram Abdul Khalifah al-Adzalimi, Jam ‘u al-Qur’an, Dirasat Tahliliat li Marwiyat, Berut, Lebanon, Dar-Kutub al-Ilmiyyah, 1971, hlm. 275. 219 Joesoef Sou’yb. Orientalis dan Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1985, hlm. 126-127. 220 Taufik Adnan Amal, loc.cit., 221 Blechere di lahirkan pada 30 Juni 1900 di Paris. Blechere melakaukan perjalanan bersama orang tuanya ke arah Maghribi pada tahun 1915. Ayahnya di tugaskan pada urusan
(1945-1950). Dalam terjemahan ini, ia menyusun surat-surat al-Qur’an secara kronologis yang hanya berbeda dari susunan Noldeke-Schwally dalam beberapa hal. Asumsi dasar penanggalan menjadi empat pseriode beserta kreterianya diterima sepenuhnya oleh Blachere.222 Sehubungan dengan kronologi Blachere, dapat dikemukakan bahwa ia terlalu terpengaruh oleh sistem penanggalan NoldekeSchwally, yang pada gilirannya membuat asumsinya terhadap bagianbagian individual al-Qur’an sebagai unit wahyu yang orisinal tidak begitu mencuat dalam upanya penanggalannya.223 d. Hartwig Hirschfeld Memasuki abad ke-20, Hartwig Hirschfeld mengintrodusir sistem penanggalan kronologi al-Qur’an dalam New Research into the Compostion and the Quran. Karya ini dianggap sebagai tren baru kajian kronologi al-Qur’an dikarenakan aransemen al-Qur’an Trobosan
baru
dalam
upaya
merekostruksi
kronologi
pewahyuan al-Qur’an dilakukan oleh Hartwig Hirschfeld lewat karyanya, New reserches into to the Composition and Exsegesis of the Qur’an, yang terbit di london pada tahun 1902. Dalam hal ini Hirschfeld mengajukan suatu aransemen kronologi al-Qur’an yang didasarkan oleh karekter atau fungsi bagian-bagian individual alQur’an sebagai unit-unit wahyu tradisional. Ia juga meninggalkan asumsi tradisional islam tentang surat sebagai unit wahyu orisinal yang telah mempengaruhi perkembangan kajian kronologi al-Qur’an di Barat.224 Posisi
Hirschfeld
sangat
menarik,
sekalipun
aransemen
kronologisnya memeliki sejumlah cacat yang jelas, dan karenanya tidak
perdagangan kemudian ditugaskan kebagian administrasi di Maroko. Blechere menempuh pendidikan menengah di Prancis di gedung Putih. Setelah menyelesaikan sarjana mudanya , ditugaskan menjadi pengawas di madrasah Maula Yusuf di Rabat. Abdurrahman Badawi, op. cit., hlm 32. 222 Taufik Adnan Amal, loc. cit., 223 Ibid., hlm. 107. 224 Ibid., hlm. 112.
begitu diterima. Ia telah melakukan upanya rintisan untuk penerapan sastra terhadap al-Qur’an dan memperkenalkan kembali asumsi yang telah lama tertimbun dibalik hiruk-pikuk kajian kronologi al-Qur’an: bahwa dalam usaha memberi penanggalan terhadap kitab suci tersebut perhatian semestianya diarahkan pada bagian-bagian induvidual (periocopes) alQur’an sebagai unit-unit wahyu orisinal, bukan pada surat-surat.225 Asumsi semacam ini, sebagaimana di utarakan dijustifikasi secara sepenuhnya sumber-sumber tradisional yang menjadi tumpuan kajiankajian kronologi. Belakangan, asumsi Hirschfeld terutama tentang bagianbagian induvidual al-Qur’an sebagai unit-unit orisinal wahyu menjadi prinsip pembimbing dalam upaya paling terelaborasi sejauh ini untuk mengidentifikasi dan memberi penanggalan unit-unit wahyu orisinal yang dilakukan oleh Richard Bell.226 Pendek
kata al-Qur’an telah menjadi sasaran penelitian yang
sangat cermat selaras dengan metode kritik Untuk melihat bentuk kronologis dari empat periode dari beberapa tokoh yang berbeda seperti William Muir, Noldeke-Schwally, dan Hirschfeld, bisa melihat langsung pada bukunya Taufik Adnan Amal, dengan judul buku Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an. Di terbitkan di Yogyakarta, oleh FKBA, dari halaman 101 – 113. 2. Kronologi Al-Qur’an Richard Bell Usaha-usaha yang belakangan, terutama yang dialakukan oleh Richard Bell, berupaya untuk menyelesaikan tugas tersebut dengan menyerahkan semua energinya untuk menyusun seluruh kronologi teks alQur’an sampai sekecil-kecilnya. Akibatnya, karyanya itu sungguh sangatsangat ekstrensik, ia lebih mencerminkan karya dari sosok patalogis dari seseorang misionaris Scot katimbang karya mengenai susunan kronologis revelasi al-Qur’an.227 Para orientalis misionaris tersebut memang 225
Ibid., hlm. 117. Ibid., hlm. 116. 227 Rohison Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an, Bandung, Pustaka Setia, cet I, 2009, hlm. 226
67.
menghendaki agar umat Islam membuang tuntunan Rasuluallah saw, sebagaimana orang Kristen meragukan dan akhirnya mencampakkan ajaran Jesus.228 Meskipun banyak sarjana muslim yang menganggap usaha-usaha Barat semacam itu sebagai ilmiah (prinsip penentuan turunnya ayat dalam matriks biografis sirah, menurut pandangan mereka bukanlah serangan idiologis terhadap kitab suci), kecil kemungkinan dapat dihasilkannya suatu karya yang lebih dari sekedar generelalisasi kasar dan umum, bahkan melalui metode-metode modern terbaik sekalipun.229 Kajian utama Bell tentang kronologi al-Qur’an, dari sarjana Barat direpresentasikan dalam karya-karya Richard Bell. kajian utamanya mengenai al-Qur’an terdapat dalam The Quran Translated with a Critical Rearrangement of the Suras ( dua jilid, masing-masing terbit pada tahun 1937 dan 1939), meskipun dalam suatu bentuk yang tidak lengkap. Beberapa kekurangannya diperbaiki oleh artikel-artikelnya dan sebagian lagi oleh karyanya, Introduction to the Qur’an, yang terbit pada tahun 1953. Buku terakhir belakangan, direvisi oleh William Montgomery Watt, dalam Bell’s Introduction to the Qur’an terbit pada tahun 1960.230 Meskipun dalam bentuk yang tidak begitu lengkap, ditemukan dalam dua jilid terjemahan al-Qur’annya, The Qur’an Translated, with a critical Rearranggement of the Suras. Ketidak lengkapan karya ini disebabkan sejumlah besar catatan yang menjelaskan secara rinci alasanalasan yang mengarahkan Bell kepada kesimpulan-kesimpulannya tidak pernah diterbitkan. Namun sebagian dari kekurangan ini dapat diperbaiki oleh artikel-artikelnya, serta sebagian lagi oleh karyanya: Introduction to the Qur’an (1953) dan A Commentary on the Qur’an (1991).231
228
Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme, Jakarta, Gema Insani, cet I, 2008, hlm.
9. 230
Ibid., hlm. 67. Taufik Adan Amal, Sejarah Rekonstruksi Al-Qur’an, Yogyakarta, FKBA, cet I, 2001, hlm. 113. Dadan Rusmana, op. cit., hlm. 317. 231
Sebagaimana yang telah diungkapkan di atas, Bell menerima asumsi Hirschfeld bahwa unit-unit wahyu orisinal adalah bagian-bagian pendak al-Qur’an, selanjutnya ia berpendapat bahwa sebagian besar pekerjaan “mengumpulkan” unit-unit wahyu ini ke dalam surat-surat dilakukan
sendiri oleh Muhammad di bawah inspirasin ilahi. Dalam
proses “pengumpulan” tersebut, Muhammad juga dibawah inspirasi Ilahi –telah merivisi bagian-bagian al-Qur’an, termasuk memperluas, mengganti ayat-ayat lama dengan yang baru., menyesuaikan rimanya dan lain-lain. Perivisian juga melibatkan dokument-dokument wahyu yang telah direkam secara tertulis. Sebagaimana Zaid menetapkan kreteria yang ketat setiap ayat yang dikumpulkannya, lihat penjelasan sebelumnya232. Asumsi Bell tentang perevisian dan dokument tertulis wahyu ini yang merupakan bukti-bukti kontroversial dalam gagasan tentang penanggalan al-Qur’an barangkali diterjemahkan terlebih dahulu agar bisa diapresiasi atau dikritik secara proporsional.233 Penanggalan Bell didasarkan pada suatu asumsi yang teliti terhadap setiap surat yang mengakibatkan pemilahan-pemilahan suratsurat
al-Qur’an
kedalam
bagian-bagian
komponen-komponennya.
Analisis, semacam ini meskipun pekerjaan penanggalan telah kompleks, dengan sendirinya memaperoleh hasil-hasil tertentu, misalnya melalui pengakuan dan adaya sumbangan-sumbangan alternatif suatu ayat atau ungkapan. Bell juga melakukan suatu ikhtiar untuk tidak membacakan ke dalam bagian ungkapan al-Qur’an lebih dari yang dikemukakan bagian tersebut secara aktual. Hal ini berarti ia mengesampingkan pandangan para mufassir Muslim belakangan sejauh pandangan-pandangan tersebut tampak dipengaruhi oleh perkembangan-perkembangan teologis yang muncul kira-kira lama setalah Nabi wafat dan hanya berupaya memahi 232
Manna’ al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Singapura, Haramain, t.th., cet III,
hlm. 126. 233
Taufik Adnan Amal, loc. cit.,
setiap bagian al-Qur’an menurut makna yang dipahami para pendengar pertamanya. Seperti lazimnya para sarjana muslim dan Barat lainnya, Bell menerima kerangka kronologis yang lazim tentang kehidupan Nabi sebagaimana terdapat dalam sirah Ibn Hisyam (w 833), yang diterima Bell terutama sekali adalah kronologi periode Madinah, dan hijrah tahun (622) sampai Nabi wafat SAW (623) Berpijak pada berbagai asumsi di atas, Bell kemudian melakukan rekonstruksi historis yang sangat terelaborasi terhadap wahyu-wahyu Muhammad saw, yang terhimpun di dalam al-Qur’an. Ia memang tidak mengajukan suatu sistem penanggalan yang kaku, tetapi secara “provesional” menyimpulkan bahwa komposisi al-Qur’an terbagi menjadi tiga periode utama:234 a. Periode awal yang darinya tersisa beberapa “ayat pertanda” dan perintah untuk menyembah Tuhan;. b. Periode al-Qur’an yang mencakup bagian akhir periode Mekkah dan satu atau dua tahun pertama di Madinah, ketiga tugas Muhammad adalah memproduksi suatu Qur’an, suatu kumpulan pelajaran untuk peribadatan; dan c. Periode kitab, bermula pada penghujung tahun kedua setelah kedua tahun hijriyah, Muhammad
mulai memproduksi suatu kitab suci
tertulis. Menurut Bell, al-Qur’an yang ada dewasa ini tidak mesti dibagi menjadi tiga periode tersebut, karena sejumlah “ayat pertanda” telah dijalin ke dalam bagian peribadatan dari periode al-Qur’an, dan kumpulan bahan dari periode kedua ini juga telah direvisi untuk membentuk bagian kitab periode ketiga.235 Suatu survei terhadap capaian-capaian Penelitian terhadap penanggalan provesional Richard Bell atas bagian-bagian induvidual al234
Ibid., hlm. 115 Ibid., hlm. 116. Dadan Rusmana, Al-Qur’an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat, Bandung: Pustaka Setia, cet I, 2006, hlm. 319 235
Qur’an memperlihatkan, bahwa ia hanya memandang 19 surat-surat Makiyyah yaitu:236 Surat 50; 53; 55; 69; 75; 79; 80; 82; 86; 88; 89; 91; 92; 93; 95; 96; 99; 104; dan 113.. tetapi secara keseluruhan surat ini disimpulkan memiliki bahan dari berbagai masa selama periode Mekkah. Beberapa surat pendek lainnya –surat 102; 105; 112; dan 114- diduga sebagai surat-surat utuh dari periode Madinah. Surat 1; 94; 103; 106; 107; dan 108, menurutnya bisa Makiyah atau Madaniyah. Sementara untuk surat 100; 101; 109; dan 111, ia tidak mengemukakan opininya.237 Lebih jauh ia memandang 24 surat sebagian surat-surat Madaniyah, tetapi menganggapnya memiliki sejumlah besar bahan dari masa-masa yang berbeda selama periode Madinah. Surta-surat lainnya sejumlah 57 surat dipandang Bell memiliki sejumlah besar bahan baik dari masa sebelum maupun setelah hijrah: 33 surat di antaranya memilki sebagian besar bahan dari peiode Makkah dengan revisi dan tambahan dari periode Madinah. Surat ke 6; 7; 12; 13; 15; 17; 18; 21; 25; 26; 34; 36; 37; 38; 41; 44; 51; 52; 54; 56; 68; 70; 71; 72; 73; 74; 76; 77; 78; 81; 84; dan 90sementara 24 surat yang tersisa memiliki sebagian besar bahan dari periode Madinah dengan beberapa bagian dari periode Mekkah, atau didasarkan pada bahan-bahan periode Mekkah- surat 10; 11; 14; 16; 19; 20; 23; 27; 28; 29; 30; 31; 32; 35; 39; 40; 42; 43; 45; 46; 47; 83; 85; dan 97.238 Dengan demikian, Bell membedakan anatara penanggalan unit wahyu orisinal dan penanggalan revisinya yang belakangan pada masa Nabi. Sistem penanggalan semacam ini jelas memberi peluang sangat
236 237
Taufik Adnan Amal, loc. cit., hlm. 116. Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal, Tafsir Kontekstual, Bandung, Mizan, 1989,
hlm. 87. 238
Taufik Adnan Amal, loc. cit.,
kecil untuk menyusun surat-surat al-Qur’an ataupun unit-unit wahyu secara keseluruhan ke dalam tatanan kronologis.239 Barbagai capaian Bell dalam upaya memberi penanggalan unitunit wahyu al-Qur’an pada faktanya telah menunjukan karekter tentatif, lantaran asumsinya mengenai perevisian al-Qur’an manjadi sangat kompleks, juga sulit diterima oleh kaum Muslimin sekalipun revisi itu dilakukan dibawah inspirasi Ilahi. Selain itu pijakan asumsinya yakni elaborasi doktrin nasikh-mansukh masih diperdebatkan dan cenderung ditolak sarjana Muslim modern. Demikian pula sebagian besar kesimpulan penanggalannya bersifat sangat umum dan meragukan, terlebih lagi untuk unit wahyu Makiyah dalam karyanya banyak ditemukan kesimpulan penanggalan seperti “Meccan, with later additions”, “early revised in Medina”, “Meccan, With Medinan additions,” passibly “early Madinan, with later additions”, atau “Meccan (?),
“Medinan (?), “ “early (?), “date
uncertain,” dan lainnya, yang justru tidak memberikan kejelasan tentang penanggalannya.240 E. Pandangan Richard Bell Tentang Teori Nasikh-Mansukh 1. Pengertian Nasikh-Mansukh Menurut Richard Bell Menurut Richard Bell bahwa al-Qur’an memiliki kegandaan sumber wahyu, yaitu Allah sebagai sumber utama dan Muhammad SAW. Menurut Bell, unit-unit wahyu orisinal terdapat dalam bagian-bagian pendek al-Qur’an. Hal ini disebabkan pandangannya yang menempatkan Muhammad sebagai revisor al-Qur’an, walaupun dalam koridor inisiatif illahi.241 Bentuk revisi tersebut dimungkinkan suatu bentuk pengulangan wahyu dalam bentuk yang telah direvisi. Doktrin nasakh, misalnya
239
Ibid., hlm. 116. Ibid., hlm. 117. 241 Dadan Rusmana, Al-Qur’an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat, Bandung, Pustaka Setia, cet I, 2006, hlm. 264. 240
menurut Bell, memberikan justifikasi terjadinya revisi dalam al-Qur’an. Dalam diskursus Islamolog, bahwa definisi nasakh tidak berbeda dengan definisi yang telah diberikan oleh para ulama Muslim. Thomas Patrick Huges dalam Dictionary of Islam, menerjemahkan kata nasakh dengan to demolish (menurunkan), render void (salinan atau terjemahan) dan, to destroy (membinasakan).242 Sebagaimana dikataan oleh John Wansbroug,243 John Burton.244 Mengatakan bahwa secara etimologis nasikh berarti “replecement” atau “exchange” (tabdil), “suppression” (ibthal), dan “abrogation”. Dengan berdasarkan kepada (QS. al-Baqarah: 106, an-Nahl: 110, dan al-Hajj: 52. Dalam arti terminologi para Islamologi di atas menyepakati bahwa nasakh adalah proses pergantian, perubahan dan pengalihan ketentuan suatu ayat terdahulu oleh ketentuan ayat yang akan datang kemudian. Richard Bell berpendapat bahwa berpijak pada keseluruhan ayat ini, tidak dapat dipungkiri bahwa suatu revisi al-Qur’an telah terjadi, bukan hanya sebatas perubahan. Ia mengatakan: “in the light of these verses, it cannot be denied that some revision of the Quran (at is was publicy proclaimede) took place. This was admittet by Muslim scholars in their doctrine of abrogation (alnasikh wa al-mansukh),. The ide underlying the doctrineis that cartain commands to thes Muslims in the Quran only of temporary application, and thet when circumstances changed they were abrogated or refaced by othhers. Becouse the commande were word of god however, they continued to be recited as part of the Quran. (Berdasar pada keseluruhan ayat ini, tidak dapat disangkal bahwa revisi al-Qur’an telah terjadi. Hal ini telah diakui oleh para cendikiawan muslim dalam doktrin Nasikh- Mansukh-nya. Gagasan yang mendasari doktrin ini adalah penerapan perintah-perintah tertentu bagi orang-orang muslim dalam al-Qur’an yang bersifat sementara, dan ketika suatu 242 243
Ibid., hlm. 264.
John Wansbrough, Quranic Srudies, Oxford, 1977, hlm. 34. John Burton, The Collection of The Qur’an, London: Cembridge University Press, 1977, hlm. 46-57. 244
berubah, perintah-perintah tersebut diubah atau diganti oleh printah lainnya. Namun, perintah-perintah itu merupakan kalam Allah, ia harus dibaca sebagai bagian al-Qur’an.245 Menurut Bell, walaupun mengakui adanya doktrin nasikh adalah al-Qur’an, karena umat Islam memandang al-Qur’an sebagai kalam logos Allah, tidak mungkin adanya revisi (perbaikan) al-Qur’an atas kemauan Muhammad sendiri. Hal ini dijelaskan dalam sejumlah ayat, misalnya: Ketika tanda-tanda (atau ayat-ayat) kami dibacakan kepada mereka sebagai bukti-bukti, maka orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan kami berkata: “datangkanlah :”tidak patut bagiku untuk mengubahnya atas kemauanku sendiri; aku hanya mengikuti apa-apa yang telah diwahyukan kepadaku, seandainya aku mendurhakai Tuhan, maka aku takut adzab besar.” (QS.[10] Yunus:15) 2. Doktrinal Nasikh-Mansukh dalam buku Bell’s Introductio to the Qur’an Perintah untuk melewatkan sebagian malam dengan sembahyang yang dikemukakan pada permulaan, sebagaimana firman Allah swt. QS: [73] al-Muzammil: 1-4).
¸ξ‹Î=s% çµ÷ΖÏΒ óÈà)Ρ$# Íρr& ÿ…çµx'óÁÏoΡ ∩⊄∪ Wξ‹Î=s% āωÎ) Ÿ≅ø‹©9$# ÉΟè% ∩⊇∪ ã≅ÏiΒ¨“ßϑø9$# $pκš‰r'‾≈tƒ ∩⊆∪ ¸ξ‹Ï?ös? tβ#uöà)ø9$# È≅Ïo?u‘uρ ϵø‹n=tã ÷ŠÎ— ÷ρr& ∩⊂∪ “Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit. Atau lebih dari seperdua itu. dan bacalah Al Qur’an itu dengan perlahan-lahan. Ayat ini telah dihapus dan dibatalkan oleh ayat panjang di penghujung surat tersebut (yakni QS. [73] al-Muzammil 20). “Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. dan Allah menetapkan ukuran 245
W. Montgomery Watt, Bell’s Introduction, to the Qur’an, Edinburgh: Edinburgh at the University Press, 1991, hlm. 86-100, pada sub bab ini, penulis banyak dibantu oleh terjemahan Taufik Adnan Amal dan Lilian D. Tejasudhana, dalam buku Pengantar studi alQur’an.
malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, Maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Qur’an. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Qur’an dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai Balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. dan mohonlah ampunan kepada Allah; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. [73] al-Muzammil: 20). Hal ini tidak diragukan mengingat tanggung jawab kemasyarakatan Nabi dan para pemimpin muslim di Madinah, sehingga tidaklah diinginkan jika mereka harus “bergadang” disebagian besar waktu malam. Selain itu untuk melengkapi tentang kemungkinan adanya revisi ini, bagian al-Qur’an penting lainnya harus disetir, selain ayat-ayat di atas, Richard Bell juga menyetir beberapa hadist yang menggambarkan bagaimana Muhammad saw, mendengar seseorang membacakan al-Qur’an di sebuah masjid dan menyadarinya bahwa bagian al-Qur’an yang dibacakan itu berisi sesuatu ayat yang telah dilupakannya. “Dari abu Bakar bin Abi Syaibah dan Abu Kuraib, keduanya berkata bahwa Abu Usamah telah mengatakan: ia menerima dari Hasyim al-Dastawai dari ayahnya Aisyah. Bahwasanya pada suatu malam Nabi mendengar
seseorang
membaca.
Berkatalah
ia,
‘Semoga
Allah
memberikan rahmat baginya yang telah menggingatkanku akan suatu ayat yang aku telah melupakannya sebagai bagian dari surat.”246 (HR. Bukhari dan Muslim; jalur sanad dan redaksinya menurut Muslim. Hadist serupa pula diriwayatkan bersumber dari Ibn Namir dari Ubaidah dan Abu Mu’awiyah dari Hisyam dari ayahnya dari Aisyah).
246
Imam Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawi, Jilid III. Mesir: al-Hijazi, Juz 6, t.th., hlm.75.
Menurut Bell, hal menarik lainnya yang mengindikasikan adanya revisi al-Qur’an adalah perbedaan teks mushaf dan qira’ah-nya dari para sahabat Muhammad saw. salah satunya adalah tambahan Ubay bin Ka’ab terhadap Q.S. al-Baiyyinah [98] ayat 2 dengan kata-kata agama disisi Tuhan adalah hanifiyyah sambah (hanifiyya yang moderat). Redaksi Ubay pada QS. Ali Imran [3] ayat 1 yang biasanya dibaca dengan “Agama di sisi Tuhan adalah Islam” dibaca oleh Ubay dengan “ Agama di sisi Tuhan adalah hanifiya sambah.247 Jadi perintah itu melewatkan sebagian besar waktu malam dengan bersembahyang yang dikemukakan pada permulaan surat 73 (persisnya dalam QS.al-Muzammil [73]:1-4) dihapus atau dibatalkan oleh ayat panjang dipenghujung surat tersebut (QS.al-Muzammil [73]:20). Hal ini tidak dapat dirugikan mengigat tanggung jawab kemasyarakatan Nabi dan para pemimpin Muslim Madinah, sehingga tidaklah diinginkan jika mereka harus “bergadang” di sebagian besar waktu malam. Betapapun kutipan-kutipan yang baru dikemukakan di atas ini jika diterima begitu saja –memberi petunjuk tentang susuatu yang lebih luas katimbang yang dibayangkan dalam doktrin penghapusan. Maka yang di gembar-gemborkan tentang isu nasikh-mansukh, soal adanya surat tambahan versi kaum Shi’ah, isu “Gharaniq dan lain sebagainya.248 Untuk melengkapi kajian kemungkinan adanya revisi, Bell menghubungkannya dengan beberapa ayat yang bisa disebut “Satanic Verses” (ayat-ayat setan) al-al-gharaniq. Kisah gharanic al-Ula (satanic verses) ini merupakan kisah yang sering disitir oleh para orientalis untuk menunjukkan sisi kemanusian Nabi Muhammad. William Muir, misalnya menggunakan kisah ini untuk membuktikan kepalsuan risalah Nabi Muhammad. Pandangan Wiliam Muir ini dikritik pedas oleh Husein Haikal sebagai sebuah kisah yang 247
Subhi Shalih, op. cit., hlm. 16. Syamsuddin Arif, “al-Qur’an, Orientalisme dan Luxenberg”, dalam Muhammad Amin Suma, “Nasikh Mansukh dalam Tinjauan Historis, Fungsional, dan Shar’i”, dalam Jurnal AlInsan, Kajian Islam, Vol. 1, No. 1, Januari 2005, hlm. 11-12. 248
tidak berdasar. Tor Andrae pun melontarkan kritik kepada para orientalis yang menukil kisah ini sebagai sikap yang terburu-buru dan tidak selektif. Menurut Andrae, sekilas saja kisah itu memiliki banyak kelemahan dan kontradiksi. Kebanyakan para orientalis menukil kisah ini Ibn Saad, sejarawan Muslim pada abad ke-19 masehi dalam karyanya berjudul Thabaqat alKubra. Ibn Saad menguatkan kisah tersebut dengan sebuah hadist yang didengarnya pada abad ke-3 H, lebih kurang lebih dari setengah abad sepeninggal Nabi Muhammad saw. Namun demikian berdasarkan penelitian At-Turmudzi, hadist ini memiliki kelemahahan sanad, yaitu karena terdapat nama Abdullah ibn Hattab. Menurut At-Turmudzi dalam Usd Al-Ghabah, Abdullah Ibn Hattab ternyata tidak hidup sezaman dengan Nabi. Dengan demikian, hadist ini Munqatti’ (putus sanad atau sanadnyua tidak bersambung hingga Nabi Muhammad saw. Kisah ini pun memiliki saluran lain yang diterima oleh at-Tabarani (wafat 311 H/ 973 M), yang dinukilnya dari tafsir At-Thabari. Namun, berdasarkan penelitian para Muhaddist, termasuk Ibn Hajr Asqalani, hadis ini
memilki
kelemahahan
pula.
Penyebabnya
adalah
hadist
ini
diriwayatkan oleh Muhammad Ibn Kaab. Menurut Ibn Hajar Al-Asqalani dalam Tahgdzib Al-Tahdzib, berdasarkan urutan Bukhari mengenai biografi Muhammad bin Kaab adalah adalah tabiin. Yang hidup sezaman dengan Nabi Muhammad adalah ayahnya, yaitu Kaab. Dengan demikian, hadist al-Gharaniq al-ula dari jalur Muhammad bin Kaab pun sifatnya Munqatti’. 249 249
Hadist Munqatti’ menurut bahasa mengikuti wazan fa’il dari bentuk masdar alInqitha’u dimana ia memilki arti (terputus), lawan dari kata al-Itisal (bersambung). Sedangkan menurut arti istilah ‘ulama mutaakhirin ahli hadits ialah hadits yang tidak bersambung sanadnya dikarenakan tidak menyebutkan seorang rawi, dengan kata lain bahwa hadist tersebut tidak menyebutkan orang yang menyampaikan, orang menghubungkan atau orang yang . maka hadist tersebut sepertinya masih berbentuk nama yang umum ditinjau dari segi keumumanny. Ada tiga deskripsi pada hadist tersebut, yaitu: dikatakan munqati’ karena membuang sanad yang pertama.atau membuang sanad yang terakhir, bisa juga membuang dua sanad sekaligus yang bersamaan dari segi kedudukan tempatnya. Menurut penjelasan Ibn Hajar al-Asqalani dalam kitab “Fi al-Nuhbah wa Syarkhiha. Abu Habsin Mahmud Tahan, Taisir al-Musthalah al-Hadits, Singapura, Jidah, Haramain, 1985, hlm. 77-78.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa alasan yang demikian Richard Bell yang mengukuhkan adanya revisi dalam al-Qur’an dengan menyandarkan kepada riwayat al-Gharaniq al-ula dapat dipandang memiliki kelemahan. Demikian pula pendapat-pendapat lainnya dari para orientalis yang menyandarkan kepada kisah tersebut memiliki kelemahan mendasar pada sumber kisah itu sendiri. Kami tidak mengutus sebelumu (Muhammad seorang Rasul atau Nabi pun, melainkan ketika ia membentuk keinginannya, setan mamasukan (sesuatu) kedalam formulasinya; maka Tuhan menghapuskan apa-apa yang telah dimasukkan setan, kemudian Tuhan menyesuaikan tanda-tandanya (atau ayat-ayatnya) agar Dia menjadikan apa-apa yang telah dimasukkan setan itu adalah suatu ujian bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan kasar hatinya....dan agar orang-orang yang berilmu dapat mengetahui bahwa itu merupakan keberangasan dari Tuhanmu dan mengimaninya. (QS. [22] al-Hajj: 52f). Kisah “Garanik al-Ula” merupakan bahan cemooh dikalangan orientalis tempo dulu terhadap misi Nabi besar Muhammad SAW. dan bahkan mereka jadikan ‘bukti’ untuk menyatakan kepalsuan risalah Nabi besar Muhammad saw, terutama oleh Sir William Muir (1819-1950) dalam karyanya Life of Mohamet, Histor of Islam, pertama kali yang memeberitahukan adalah Prof Dr. Tor Andrae250, seorang orientalis berkebangsaan Jerman, menulis sebagai berikut: “Ibnu Sa’ad, seorang ahli sejarah dari abad ke -9 Masehi, menceritakan bahwa suatu Muahmmad mengizinkan sebagain mukmin berhijrah ke Habsy untuk menghindarkan tindakan kekerasan yang mengancamnya dan seganap pengikutnya, ia pun sangat berkeinginan untuk tidak menerima seuatu wahyu yang akan membangkitkan suatu kebencian kaumnya. Ia berhasrat untuk merebut hati mereka itu.251 Menurut Bell, satanic verses dimaksud untuk dipaksakan masuk kedalam dua (atau tiga) ayat yang menyusuli QS. [53] al-Najm: 19-20, walaupun
251
belakangan
dibuang,
Joeseof Sou’yb, op. cit., hlm. 152.
Muhammad
diberitakan
telah
mengharapkan wahyu yang akan membimbing pada pedagang Mekkah menerima agamanya, ketika turun kepada bagian berikut: “Sudah kamu pertimbangkan al-Latta dan Al-‘Uzza, dan Manat, yang ketiga, yang paling kemudian”. (QS. [53] al-Najm: 19-20)252 Kisah yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Tor Andrea itu sama dengan apa yang diungkapkan oleh Muhammad Ridha dalam Muhammad, Rasul Allah, serta sama juga dengan yang diungkapkan oleh Dr. Husain Haikal dalam Hayatu Muhammad. Hanya saja, kalau Prof. Dr. Tor Andrea mengakhiri kisah sampai situ, tapi Muhammad Ridha dan Dr. Muhammad Husain Haikal memungut lanjutan kisah yang diberikan Ibn Sa’ad ahli sejarah pada ke-9 M itu sebagai berikut: “Muahmmad beroleh kenyataan tentang kekeliruannya, dan berkata: Saya telah menyipatkan kepada Allah kaliamat-kalimat yang tidak diwahyukan’, makan Allah menurunkan wahyu yang berbunyi: “dan sesungguhnya hampir mereka memalingkan dikau dari apa yang telah kami wahyukan kepadamu, agar engkau membuat yang lain secara bohong tehadap kami, dan kalau sudah begitu tetulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia. Dan kalau kami tidak memperkuat hati mu, niscahaya hampir engkau condong sedikit kepada mereka. Kalau terjadi demikian, niscahaya kami akan merasakan kepada mu (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan begitu (pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati, dan engkau akan tidak mendapat seseorang penolongpun terhadap kami’, dengan begitu Nabi balik kembali mencela dan menista dewi-dewi pujaan kaum Quraiys itu, dan suku Quraisy (di Mekkah) pun berbalik melakukan tindakan-tindakan kekerasan dan siksaan terhadap Nabi dan para Sahabat’. Demikian kisah lanjutan dalam pemberitaan Ibnu Sa’ad, seorang ahli sejarah (wafat 231 H/ 845 M). Kisah “Garanik al-Ula” itu amat mendeskriditkan Nabi besar Muhammad saw, yang fungsi risalahnya adalah mengembangkan dan mempertahankan keyakinan tauhid, tetapi berdasarkan kisdah itu Nabi besar Muhammad saw, berbalik menganut keyakinan
syirik.
Sekalipun
belakangan
dinyatakan
sadar
akan
kekeliruannya, tatapi fungsi risalah Nabi Muhammad saw, dengan kisah
252
Dadan Rusmana, op. cit., hlm 270. Joeseof Sou’yb, loc. cit.,
itu telah cacat sekali, dan kaum orientalis telah melukiskannya sebagai seorang yang oportunis253, seorang yang berpendirian rusak.254 Menurut Bell, ayat ini diinformasikan terdapat terusannya yang belakangan dibuang yaitu: Mereka inilah yang menjadi perantara-perantara orang yang syafa’atnya sangat diharapkan asalkan mereka tidak dilupakan, ”Disebut pula tidak ada informasi yang menyebutkan beberapa lama Muhammad saw, baru menyadari bahwa bagian di atas tidak datang dari Tuhan., karena ia menerima suatu wahyu yang mengoreksinya adalah dua ayat yang kemudian. “Apakah laki-laki untuk kamu dan perempuan untuk-Nya yang demikian itu tentunya pembagian yang tidak adil.” (QS. An-Najm (53): 21-23). Lalu ayat lain menunjukkan orang-orang pangan Mekkah mendesak muhammad membuat wahyu-wahyu yang lebih menyenangkan diri mereka, kira-kira dengan membolehkan pengakuan tertentu kepada berhala-berhala sebagai Tuhan-Tuhan yang lebih rendah: Mereka hampir saja memalingkanmu, dari apa-apa yang telah kami wahyukan kepadamu agar kamu mengada-adakan sesuatu yang lain terhadap kami. Kalau kami tidak meneguhkan kamu (muhammad), maka hampir saja condong sedikit kearah mereka. Jilka terjadi demikian . kami akan membuat kamu merasakan kehidupan ganda dan kematian ganda, dan kamu tidak akan menemukan seorang penolongpun terhadap kami. (QS. [17] alIsra’:73-75) Nabi pasti yakin bahwa ayat-ayat di atas merupakan wahyu-wahyu yang benar, dan karenanya ia tidak dapat merenung-renung dengan sengaja untuk menukar ayat-ayat tertentu sebagai wahyu. Walau demikian, al-Qur’an berbicara berbagai cara di mana perubahan-perubahan
terjadi
atas
inisiatif
Tuhan.
Tuhan
bisa
menyebabkan Muahammad melupakan beberapa ayat-ayat tetapi juga ia 253
Oportunis adalah orang yang menjalankan politik oportunisme, sedangkan oportunisme sediri adalah suatu paham politik yang tak berasas dan menunggu kesempatan atau keadaan yang menguntungkan; politik kotor; politik angin. Partanto, Pius A, & Al-Barry, M. Dahlan, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, t.th., hlm. 544. 254 Joeseof Sou’yb, op. cit., hlm. 154.
berbuat demikian, maka dia akan mewahyukan ayat-ayat lain sebagai penggantinya: Kami akan sebabkan kamu membaca, dan kamu tidak akan lupa, kecuali apa-apa yang telah di kehendaki Tuhan.....(QS.87:6f). Ayat berikut mungkin pula merujuk kepada hal ini, tetapi dapat pula merujuk kepada hal-hal selain wahyu yang dilupakan: ...dan ingatlah kepada Tuhanmu ketika kamu lupa, dan katakanlah: “mungkin Tuhanku akan membimbingku kepada sesuatu yang lebih dekat kepada kebenaran (rashad) dari pada itu” (QS.18:24). Juga terdapat ayat-ayat yang berkaitan dengan Tuhan yang menghapuskan atau senbaliknya memindahkan dan mengubah bagianbagian wahyu tertentu: Tuhan atau menghapuskan atau menetapkan apa-apa yang dikenhendaki-Nya; dan sisi-Nya “induk kitab”(QS.13:39). Dan ketika kami pertukarkan ayat satu dengan yang lannya dan Tuhan mengetahui apa-apa yang diturunkannya mereka berkata: “kamu muhammad hanyanlah seorang yang mengada-ada”, bukanlah demikian, tetapi kebanyakan dari mereka tidak mengetahui (QS.16:101). 3. Aplikasi penafsiran Richard Bell terhadap ayat-ayat Nasikh-Mansukh. Di dalam aplikasi penafsiran ayat-ayat Nasikh-mansukh yang dilakukan oleh Richard Bell, ini terdapat tujuh bentuk aplikasi, yaitu: a. Aplikasi penafsiran tentang Proses al-Jam’u. Jika perhatian yang semestinya juga dicurahkan pada kata-kata di dalam al-Qur’an QS. 75:17 yang diucapkan oleh Tuhan (atau mungkin malaikat-malaikat) kepada Muhammad: “kamilah yang berhak mengumpulkannya dan membacakannya, :maka proses” pengumpulan bagian-bagian wahyu yang terpisah untuk membentuk surat-surat juga dilakukan oleh Muhammad sembari megikuti inisiatif Illahi; disini kata yang diterjemahkan, dengan mengumpulakn” , jam’ merupakan kata yang belakang digunakan untuk “mengumpulkan” alQur’an setelah wafatnya Nabi.
Dalam pendekatan yang dilkukan oleh John Wansbrough lebih jauh ungkap Rippin adalah skiptisisme, ketika menjawab pertanyaan yang diajukan mengenai ketidakpercayaan atas sumber-sumber Islam. Pandangan ini sama dengan John Burton yang memandang bahwa ada kontradiksi dalam sumber muslim tentang pengumpulan al-Qur’an.255 Bentuk revisi yang paling sederhana adalah “pengumpulan” atau mengumpulkan unit-unit kecil yang pada mulnya turun sebagai wahyu. Ada pijakan untuk berpendapat bahwa proses ini dimulai oleh Nabi sendiri, yakni proses tersebut berlangsung saat diterimanya wahyu-wahyu. Hal ini tampaknya dikandung oleh QS.75:17 yang telah disebutkan di atas, keseluruhan bagian al-Qur’an ini adalah sebagai berikut: Jangan kamu gerakan lidahmu di dalamnya untuk membacanya secara tergesa-gesa; atas kamilah pengumpuannya dan pembacaanya; jika kami bacakan, ikutilah bacaannya, kemudian atas kamilah penjelasannya (QS. [al-Qiyamah] 75 ;16-19). Penjelasan yang yang paling memungkinkan terhadap kata “mengumpulkan” (jam’) di sini adalah bahwa bagian-bagian wahyu yang semula telah diterima Nabi secara terpisah, kini dibacakan ulang baginya dengan dikombinasikan antara satu dengan yang lainnya. Ketika musuh-musuh Islam ditantang untuk membuat satu surat QS. 10:38 atau sepuluh surat QS. 11:13 seperti yang telah diwahyukan kepada Nabi, maka implikasi dari tantangan ini adalah bahwa dalam tangan Muhammad telah ada sepuluh unit wahyu yang dapat disebut “surat-surat”. b. Aplikasi Penafsiran tentang konsep Penanggalan Penanggalan bagian al-Qur’an kedua QS.11:13 paling lambat adalah ayat Madaniyyah awal, dan hal ini memungkinkan penambahan surat-surat lainnya sebelum Nabi wafat.
255
Abdul Mustaqim (ed. ), Studi Al-Qur’an Kontemporer, Wacana Baru Berbagai Metodelogi Tafsir, Yogyakarta, Tiara Wacana, cet I, 2002, hlm. 218.
Diantara macam pembuka surat (fawatih al-Suwar) yang tetap aktual pembahasannya hingga sekarang ini adalah huruf Muqatha’ah. Menurut Watt, huruf-huruf yang terdiri dari huruf-huruf alpabet (hijaiyah) ini, selain mandiri juga mengandung banyak mengandung banyak Misterius, karena sampai saat ini belum ada pendapat yang dapat menjelaskan masalah itu secara memuaskan.256 Akan tetapi, dalam pandangan W. Montgomery Watt, dalam kasus-kasus tertentu, pemecahan gossens tidak masuk akal atau didasarkan pada penyusunan kembali kandungan dan pengubahan bagian-bagian surat tertetu secara drastis. Lebih jauh lagi menurut Watt, ia tidak berhasil menjelaskan menggapa beberapa surat memiliki judul serupa, seperti yang terkandung dalam kelompok-kelompok surat dengan huruf-huruf yang sama dengan permulaannya. Demikian pula para sarjana Muslim selalu memandang bahwa huruf-huruf misterius merupakan bagian teks yang diwahyukan dan tidak ditambahkan oleh para “pengumpul” al-Qur’an yang belakangan, maka sangat mungkin bahwa kelompok surat-surat ini telah ada sebagai kelompok-kelompok surat pada masa Nabi. Dr. Subhi Shalih, umpamanya mengkritik penafsiran-penafsiran di atas. Untuk kelompok ahli tafsir, mengapa huruf-huruf (Qaf), umpamanya, di tafsirkan dengan singkatan nama (al-Qadir), bukan al(Qahir), atau (al-Quddus), atau (al-Qawi). Lebih lanjut ia mengatakan, maengapa kata ain mesti menunjukkan nama (al-Alim) bukan (al‘Aziz), begitu seterusnya.257 Menurut Dr. X, menurutnya semua itu sekedar permainan Muhammad” ia tidak percaya kalau huruf (Qaf) adalah lambang yang
256
W. Montgomery Watt, Bell’s Introduction to the Qur’an, Edinburgh, Edinburgh at The University Press, 1991, hlm. 60-62. Supiana dan M. Karman, Ulumul Qur’an, dan Pengenalan Metodologi Tafsir, Bandung, Pustaka Islamika, cet I, 2002, hlm. 171. 257 Subhi Shalih, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Bairut, Dar al-‘Ilm lil Malayin, cet XVII, 1988, hlm. 102.
memiliki arti al-Qur’an, sesuai dengan jumlah total suratnya yaitu 114 surat, ia menilai bahwa hal itu adalah suatu kebetulan.258 Jika Bismi-illah juga merupakan dari bagian teks asli, maka hal ini dapat digunakan sebagai alasan untuk berpendapat bahwa permulaan surat tersebut (yakni huruf-huruf misterius setidak-tidaknya berasal dari Nabi Muhammad.259 Lebih jauh, perbedaan-perbedaan besar dalam panjangnya surat hampir tidak dapat dijelaskan oleh perbedaan-perbedaan pokok bahasan, rima atau bentuk jenis kreteria yang mungkin digunakan para pengumpul al-Qur’an dan hal ini memberi kesan bahwa sebagian besar al-Qur’an tersusun dalam surat-surat sebelum para pengumpul memulai pekerjaannya. Dengan demikian secara menyeluruh, adalah mungkin kalau sebagian besar pekerjaan “mengumpulkan” al-Qur’an telah dilakukan oleh Nabi di bawah bimbingan proses pewahyuan yang terus menerus. Jadi apa yang dilakukan oleh Richard Bell, penulis melihat bahwa Bell memaksakan apa yang ada dalam fawatih suwar untuk supaya masuk dalam pemikirannya, sehingga kesimpulan dan pandangannya cenderung di tolak oleh jumhur ulama’ mufassir, adapun kajian kritik atas pemikiran Richard Bell mengenai fawatih suwar, akan penulis bahas pada bab IV. c. Aplikasi penafsiran tentang konsep Rima (Ayat dan Surat) Selanjutnya perlu dicatat, tidak hanya bagian-bagian wahyu yang dikumpulkan secara bersama-sama untuk kemudian terbentuk surat-surat, tetapi ketika pengumpulan ini dilakukan beberapa penyesuaian (adaptasi) juga teah dilakukan. Satu bukti untuk proses ini pemunculan rima-rima yang tersembunyi. Akan terlihat bahwa terkadang, ketika suatu bagian wahyu dengan suatu purwakanti di tambahkan ke dalam surat yang memilki purwakanti yang berbeda, 258
Mustafa Mahmud, Dialog dengan Atheis, Terj. Maimun Syamsudin, Yogyakarta, Mitra Pustaka, cet I, 2002, hlm 198. 259 Subhi Shalih, loc. cit.,
ungkapan-ungkapan ditambahkan untuk memberi bagian tambahan tersebut purwakanti surat di mana ia disisipkan. Sebagai suatu contoh untuk hal ini, surat (QS. [23] al-Mu’minun:12-16) dapat dianalisis. La-qad khalaqna-al-insana min sulala /min tin Tsumma ja’alnahu nutfa / fi qarari makin Tsumma khalaqna al-nutfa ‘alaqa Fa khalaqna al-‘alaqata mudgha / Fa-khalaqna al-mudghata ‘izaman / Fa-kasawna al-‘izama lahma / Tsumma ansha’nahu khlaqa akhara / Fa tabarraka-illahu ahsanu –l-khaliqin Tsumma inna-kum ba’da dzalika la-mayyitun Tsumma inna-kun yawma-l-qiyamati tub’athun Terjemahan ayat-ayat ini mungkin sebagia berikut:260 12 telah kami ciptakan manusia dari suatu sari pati / dari lempung Kemudia kami jadikan ia suatu mani / dalam wadah yang kukuh Kemuddian kami jadikan mani itu suatu gumpallan darah, Kemudian kami jadikan gumplan darah itu sepotong daging Kemudian kami jadikan daging itu tulang-belulang, kemudian kami bungkus tulang-tulang itu dengan daging, kmudian kami ciptakan ia suatu makhluk yang baru / maha suci tuhan pencipta yang paling baik Kemudian setelah itu kamu benar-benar akan mati. Kemudian pada hari berbangkit kamu akan dibangkitkan. Dalam contoh di atas, harus disimak bahwa ayat-ayat, seperti terlihat, berima- i Pada contoh di atas, menurut Richard Bell ayatayatnya, seperti terlihat, berirama dalam- i (l)- tepatnya in atau unyang
merupakan
purwakanti
pada
surat
tersebut
secara
keseluruhannya. Namun pada ayat ke 14 sampai panjang, dan lebih lanjut dapat dipilah-pilah ke dalam enam ayat pendek, lima diantaranya berima –a, sementara yang ke enam yang dianggap yang tidak bermanfaat maknanya berima dalam in, rima -a yang sama juga dapat ditemukan dalam ayat 12 dan 13 dengan menghilangkan frase penutupnya 260
(yakni
ungkapan
W. Montgomery Watt, op. cit., hlm. 91.
setelah
garis
miring).
Dengan
menghilangkan fase berima penutup ini, ayat 12 sampai 14 merupakan suatu bagian pendek yang terdiri dari tujuh ayat yang berima dalam –a, dan
melukiskan
dalam
penciptaan
manusia
sebagai
tanda
kemahakuasaan kreasi Tuhan. Harus dicatat bahwa kata sulala, diterjemahkan sebagai sari pati” untuk menyelaraskannya dengan ungkapan berikut, dapat juga berarti “bagian terpilih dari sesuatu” atau “apa yang ditarik ke luar dengan hati-hati” dan juga “mani”; dalam satu-satunya tentang kata tersebut di dalam al-Qur’an, dikatakan bahwa sementara manusia pertama diciptakan pertama dari lempung, maka anak keturunannya berasal dari sulala, “ sari pati air”. Jadi penghilangan ungkapanungkapan rima tampaknya memberi suatu makna yang lebih baik dan lebih jelas terhadap ayat-ayat di atas. Selanjutnya dapat diduga bahwa ayat 15 dan ayat 16 ditambahkan sebagai bagian penyesuaian untuk bagian al-Qur’an tersebut dalam surat ini. Bagian selanjutnya surat tersebut al-Qur’an alMukminun
[23]
ayat
17-22,
menunjukkan
tanda-tanda
telah
diberlakukan dalam cara yang sama, apabila ungkapan penutup dengan rimanya dilepaskan, maka terdapat bekas-bekas suatu purwakanti dalam bentuk fa’il (tara’iq, fawakih, dan lain-lain). Sejumlah bagian al-Qur’an juga tampak telah diperlukan dalam cara yang sama.261 Diantara kasus-kasus yang menarik adalah satu atau dua kasus di mana rima surat berubah dalam surat ke 3 misalnya, bagian pertama (hingga sekitar ayat 20) berima dalm -a (l), dan demikian pula bagian akhirnya dari ayat 190 hingga ayat 200. Namun sebagian besar bagian pertengahan surat
ini berima dalam –i(l). Dekat titik di mana
perubahan pertama terjadi, terdapat suatu bagian (ayat 33 sampai ayat 41) yang menuturkan kisah Maryam dan Zakariya di mana beberapa ayatnya-yakni ayat-ayat 37,38,39,40,41 berirama dalam -a(l), mesti 261
Hal yang serupa juga terjadi pada QS. 3:33ff.,45ff.;10:7-10;13:2ff.; 14:24ff.;14:24ff.;16:10ff., 48ff.,51ff.; 25:45ff., 53ff.; 61ff.; 27:59ff.; 31:15-20; 40:57ff., 69ff.; 41:9ff.; 43:9ff. W. Montgomery Watt, op. cit., hlm 196.
tampak memungkinkan bahwa ayat-ayat lain telah memiliki ungkapanungkapan yang ditambahkan agar berirama dalam –i(l), misalnya penhujung ayat 36 adalah (al-shaytan) jika al-rajim dihilangkan. Jadi terlihat seakan-akan suatu bagian rima -i(l) telah di sisipkan kedalam suatu surat yang yang semula berima dalam –a(l) dan suatu upaya telah dilakukan untuk menyambung dua unit menjadi satu secara cermat. Kesan ini semakin kuat bila di simak bahwa rima i(l) yang muncul dipenghujung ayat 18 dimuati suatu ungkapan dengan konstruksi sulit yang lebih mengarah kepada ayat 21 katimbang ayat 19 dan ayat 20. Contoh-contoh lain mengenai hal senada yang bertalian dengan suatu perubahan rima muncul dalam QS.13:2-4 dan 19:51-58. Juga terdapat berbagai bagian al-Qur’an di mana ungkapanungkapan rima yang terlebih dahulu berada di dalamnya. Dalam kasuskasus semacam ini, seseorang tidak dapat memastikan bahwa revisi telah dilakukan atasnya, namun apabila ungkapan ditemukan di penghujung sejumlah ayat yang berurutan seperti QS. 6:95-99, 102104, maka adalah masuk akal untuk berasumsi bahwa ungkapan telah disisipkan agar bagian yang tidak berima pada mulanya menjadi berima. Dalam dua kasus surat yaitu (QS. 6:84-87; 38:45-48), hal ini tampak dilakukan dengan suatu daftar nama-nama, dan terdapat pula suatu kasus yang dapat diperbandingkan dalam QS.19:51-57. 262 d. Aplikasi Penafsiran terhadap konsep Gramatikal Cara
lain
penyesuaian
bagian-bagian
al-Qur’an
dapat
diilustrasikan dengan QS.6:141-144, ayat-ayat ini tidak dapat dikonstruksikan secara gramatikal seperti yang terlihat, tetapi setiap ayatnya dapat dipilah ke dalam dua bagian. Bagian yang pertama mengemukakan daftar karunia-karunia Tuhan dalam hasil bumi dan hewan-hewan, tetapi dalam bagian yang kedua, telah dimasukkan ke
262
Ibid., hlm. 92
dalam daftar ini kalimat-kalimat yang membabat makanan pantangan orang-orang pangan. Demikian pula, dalam QS.7:57, 58, tanda kemurahan Tuhan dalam menghidupkan
kembali tanah mati serta bermacam-macam
respon tanah-tanah yang berbeda mungkin merupakan suatu semile tentang berbagai respon manusia terhadap pesan illahi telah diubah dengan menyisipkan ke dalam kalimat-kalimat bukti penguat kebangkitan kembali manusia, sisipan-sisipan ini ditandai dengan suatu perubahan kata ganti yang muncul tiba-tiba dari “Dia” kepada “Kami”, yang mengaku kepada Tuhan. 263 Komentar-komentar (glosses) merupakan sautu karekteristik yang lazim dari manuskrip-manuskrip Yunani, Latin dan lainnya. Komenter-komentar tersebut merupakan penjelasan pendek suatu ketidakjelasan, kemungkinannya pertama kali ditulis di tepi manuskrip oleh pembaca tertentu dan kemudian secara keliru di gaungkan kedalam teks oleh penyalin belakangan. Walaupun sangat meragukan jika al-Qur’an berisi sejenis komentar dalam pengerjaannya yang ketat, tetapi terlihat sesuatu yang mendekati ragam komentar ini dalam QS.2:85. Yang dimulai dari ayat sebelumnya, bagian al-Qur’an ini berbunyi:264 Ingatlah ketika kami buat suatu perjanjian dengan kamu tentang ketentuan-ketentuan berikut; kamu tidaka akan menumpahkan darahmu sendiri, anatar satu dengan lainnya; dan kamu tidak akan mengusir dirimu dari tempat-tempat kediamanmu. Kemudian kamu berikrar, sedangkan kamu sendiri mnejadi saksi-saksinya.(QS. 2: 84) Namun terdapat juga tambahan-tambahan lain yang mustahil dapat dilakukan tanpa otoritas. Ungkapan yang keliru ditempatkan dalam QS.[2] al-Baqarah: 85), “Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan mengusir segolongan daripada kamu dari 263 264
Ibid., hlm. 93. Ibid., hlm. 94.
kampung halamannya, kamu bantu membantu terhadap mereka dengan membuat dosa dan permusuhan; tetapi jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, Padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang bagimu. Apakah kamu beriman kepada sebagian Al kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah Balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat. Klausa tentangan penebusan tawanan-tawanan tampaknya merupakan klausa campuran. Dalam translation-nya menganggap bahwa klausa tersebut merupak bagian dari ketentuan perjanjian dari ayat
sebelumnya
(yakni
QS.2:84),
yang
memang
sangat
memungkinkan tetapi tidak dapat dipastikan. Jika klausa ini dilepaskan, klausa berikutnya yang dengan pelepasan tersebut dapat diterjemahkan “meskipun diharamkan bagi kamu” menjadi amat jelas tanpa penambahan ungkapan “pengusiran mereka”, ikhrajuhum. Dengan demikian, terdapat suatu dugaan kuat bahwa ungkapan “pengusiran mereka” merupakan suatu komentar atau tambahan yang dibuat setelah klausa tentang penebusan tawanan dicampurkan contohcontoh penambahan atau pergantian yang bersifat menjelaskan ini dapat ditemukan dalam QS.6:12,20; 7:92; 21:47; 27:7; 41:17; 76:16. 265
Kasus paling mencolok terhadap dipenghujung surat 101 (ayat 9 hingga ayat 11):....”ibunya akan menjadi hawaya, dan tahukah kamu apakah itu? Api yang sangat panas.”Hawaya” agaknya bermakna “tidak memiliki anak” lantaran meninggal atau tertimpa nasib jelek yang menimpa sang anak; tetapi tambahan dalam surat ini memberikan kesan bahwa Hawaya merupaka nama neraka.
265
W. Mongtgomery Watt, loc. cit.,
e. Penafsiran terhadap konsep Penambahan dan Sisipan Bagian al-Qur’an lain yang agak mirip adalah QS.90:12-16. Tambahan dan sisipan bentuk lain dapat dijelaskan dari surat-surat yang lebih pendek. Dalam surat 91 terlihat bahwa bagian utamanya, ketika pertama kali diwahyukan, berakhir pada ayat 10; tatapi bagian ini kemudian diikuti oleh suatu ringkasan kisah kaum Tsamud yang mungkin telah ditambahkan untuk memberi ilustrasi moral, atau hanya ditempatkan begitu saja lantaran persamaan rima. Ayat 6 dam ayat 7 dari surat 88 dan ayat 34 dalam surat 78 dapat dipandang sebagai sisipan lantaran adanya keterputusan antara ayat 32 dan ayat 35.266 Dalam surat 87, perubahan yang tiba-tiba dramatis pada ayat 16 menandakan adanya suatu penambahan yang barangkali berlangsung pada wahyu awal, tapi mungkin juga lebih belakangan. Dalam surah (QS. 74:31) secara jelas data dipandang sebagai sisipan dengan adanya gaya dan panjang ayat yang berbeda dari ayat-ayat disekitarnya. Menurut Watt, Bell, juga menambahkan tambahan-tambahan ayat lain seperti dalam QS. 2:85, meskipun tambahan ini dianggap oleh Watt sesuatu yang mustahil, Hal ini berkaitan dengan pergeseren doktrin predistinasi yang berlangsung pada masa-masa Madinah. Syarat-syarat yang diperkenalkan dengan kata illa, “kecuali” sering digunakan secara khusus. Seperti dalam QS. 87:7 dan 95:6, di mana illa memasukkan suatu ayat yang lebih panjang dan memiliki karekteristik susunan kata (fraseologi) periode Madinah, ke dalam suatu bagian al-Qur’an dari masa awal yang memiliki ayat-ayat berbentuk pendek. Penambahanpenambahan semacam ini, yang seakan-akan membuat tambahantambahan tersebut benar-benar merupakan suatu modifikasi yang berbeda dari pernyataan di mana ditempatkan, pasti telah dimasukan secara langsung. Setidak-tidaknya dalam beberapa kasus penambahan
266
Ibid., hlm 95.
ini kita dapat melihat beberapa pijakan untuk membuat pengecualian. 267
Tambahan-tambahan yang lebih panjang terkadang bisa dibedakan secara mudah. Jadi dalam surat 73, sesuatu ayat yang panjang muncul di penghujung yang dengan memasukkan suatu rujukan kepada kaum muslimin yang turut serta berperang secara jelas dapat dipandang sebagai ayat madaniyyah, dan hal ini, diakui oleh setiap orang. Tetapi keseluruhan ayat lain dalam surat tersebut khususnya dibagian awal berbentuk ayat-ayat pendek mengena merupakan karekteristik bagian-bagian awal. Alasan untuk perubahan ini
adalah
bagian
al-Qur’an
di
permulaan
surat
telah
merekomendasikan semabahyang malam yang terlalu berlebihan, maka anjuaran moderisnya menjadi penting ketika di Madinah.268 Tambahan-tambahan dipertengahan surat juga merupakan hal yang biasa dalam al-Qur’an umpama bagian-bagian surat 19 memiliki purwakanti dalam –iyya, tetapi purwakanti demikian disela ayat 34 sampai ayat 40 yang umumnya memiliki purwakanti dalam -i(l). Ayat ini mengisahkan Maryam dan Isa, serta mengkritik kesalahpahaman umum doktrin Kristen dengan menolak gagasan tentang Tuhan yang memiliki anak. QS. 2:130-134 melarang pengembalian bunga yang berlipat ganda yakni riba, dan menjadikan ganjaran surga bagi mereka yang bertindak dermawan, bagian ini secara jelas diakhiri dengan ungkapan –rima ayat 134, tetapi dua ayat berikutnya memberi gamabaran lebih lanjut tentang orang-orang yang berbuat baik dengan bertobat dan memohon ampunan, serta berisi suatu janji ganjaran surga yang sebagian besar merupakan pengulangan. Surat 22 ayat 5 sampai ayat 8 menekankan tentang kebangkitan kembali sebagai sejalan dengan kemahakuasan Tuhan yang seharusnya dimanifestasikan, dan menutup perbincangan dengan mengejek orang267 268
Ibid., hlm. 95. Ibid., hlm. 96.
orang yang “tidak memiliki pengetahuan” petunjuk, atau kitab yang bercahaya,” dan mendesak yang sebaliknya. Ayat 9 dan ayat 10 yang menyusuli dua ayat sebelumnya, jelas ganjil karena tidak hanya membahas adzab ukhrawi, tetapi juga “kehinaan dan kehidupan yang sekarang ini”. Perubahan nada dan sikap ini jelas memperlihatkan bahwa ayat tersebut tidak berasal dari bagian orisinalnya, dalam surat QS. 37:73132 terdapat pengisahan berbagi tokoh Injil, yang dalam tiga kasus terakhir dengan refrain: “demikianlah kami benar-benar memberi ganjaran kepada orang-orang yang berbuat baik; sesungguhnya dia termasuk diantara hamba-hamba kami yang beriman.” Namun dalam kisah Ibrahim, refrain ini (ayat 110f) diikuti dengan suatu peryataan mengenai anak keturunan Ibrahim dan Ishaq ayat 112f. f. Aplikasi penafsiran terhadap konsep sambungan Alternatif Karekteristik gaya al-Qur’an yang penting adalah sambungansambungan alternatif yang saling menyusul dalam teks. Alternatif kedua ditandai dengan suatu keterputusan dalam makna dan keterputusan dalam kostruksi gramatikal, karena penghubungnya bukanlah hal-hal yang baru saja didahuluinya, tatapi dalam hal-hal yang berada dalam jarak tertentu dibelakangnya; juga bisa terdapat pengulangan suatu kata atau ungkapan. Jadi QS. 23:63, yang berbicara secara terus menerus menjalankan perbuatan buruk, diikuti oleh tiga bagian yang diawali oleh hatta’ idza, “hingga ketika”, secara berturutturut mulai dari ayat 64, 79, dan 99. Adalah mungkin dengan suatu pengetahuan, menghubungkan ayat 77 dengan ayat 76, tetapi ayat 99 tidak mungkin dihubungkan dengan ayat 98, kata-kata hatta idza, betapapun mengisyaratkan suatu perujukan kepada sesuatu yang melanjutkannya. Ayat 99f. Dalam kenyataannya merupakan sambungan yang cocok dari ayat 63, sebagaimana tampak jelas jika kita membacanya secara bersama-sama:
ayat-ayat diawali dengan dua patah kata hatta idza merupaka alternatif dan barangkali merupakan kelanjutan yang kemudian dari ayat 63.269 Demikian pula, surat QS. 5:42 diawalai dengan ungkapan samma ‘una lil kadzib, yang sama sekali tidak berhubungan ayat sebelumnya, namun ungkapan yang sama muncul dalam ayat 41; dan jika bagian ayat 41; mulai dari ungkapan ini sampai akhir ayat tersebut dihilangkan, maka ayat 42 sesuai dengan awal bagian ayat 41. Dengan demikian, disini terdapat sumbangan alternatif-alternatif.270 Contoh lain dapat dilihat di penghujung surat 39, di mana terdapat suatu ayat (75) yang terisolasi. Ayat ini menyusuli suatu suasana pengadilan Akhirat dan secara jelas merupakan bagiannya; tetapi suasana tersebut telah berakhir, putusan telah ditetapkan, orangorang kafir telah digiring ke neraka Jahanam, orang-orang takwa telah masuk surga; lalu kita temukan diri kita kembali kepada suasana pengadilan dimana putusan akan dikemukakan dengan sebenarsebenarnya, ungkapan ini yang muncul dalam ayat 69, menunjukkan posisi asli ayat 75; ayat ini menyusuli ungkapan pertama ayat 69 dan mengakhiri suasana pengadilan; pada suatu tahab yang belakangan, ayat 75 itu digantikan dengan deskripsi yang lebih panjang lagi dalam ayat 69 sampai ayat 74. Adakalanya perubahan rima disertai dengan penggantian semacam itu. Jadi QS. 80:34-37 memiliki purwakanti dalam ih, sementara ayat 38 sampai ayat 42-yang berkaitan sama baiknya dengan ayat 33-memiliki purwakanti dalam a–yang berulang terus pada keseluruhan bagian sisa surat tersebut, lebih sering lagi, kemunculan kata rima atau ungkapan rima yang sama merupakan suatu tanda bahwa pengganti semacam itu telah dibuat, karena versi yang baru berujung dalam rima yang sama dengan rima yang digantikannya. 269
Ibid., hlm. 97
Jadi dalam surah 2 ayat 102 dan ayat 103, keduanya berujung kata
law
kanu
ya’lamuna
“jika
mereka
mengetahui”,
yang
menimbulkan suatu dugaan bahwa ayat terakhir (103) dimaksudkan menggantikan ayat sebelumnya 102. Dalam surat 3, akhiran yang sama menunjukkan bahwa ayat 144 merupakan suatu pengganti untuk ayat 145. Fenomena yang sama juga dapat ditemukan dalam QS. 9:117, 118; 34:52,53; 45:28,29: 72:24,27-28. Dalam kasus kasus semacam ini, sambungan-sambungan alternatif sering berada dalam susunan penanggalan yang terbalik, sambungan dari masa yang belakangan muncul duluan, tatapi yang demikian bukanlah suatu aturan tetap. Bukti lebih lanjut mengenai perubahan dan perbaikan dapat dilacak dengan mendekati al-Qur’an dari sudut pokok-bahasan dan minyimak
bagian-bagian
yang
membahsa
situasi-situasi
yang
menimbulkan kesulitan dan prolem khusus bagi Nabi dan umat. Dalam bagian-bagian al-Qur’an semacam ini, sering terdapat berbagai hal yang membingungkan. Kasus yang sederhana adalah hal yang bertalian
dengan
puasa.
mengharapkan
dukungan
memperlihatkan
dirinya
Ketika dari hendak
hijarah
ke
orang-orang belajar
dari
Madinah,
Nabi
Yahudi
dan
mereka.
mengatakan bahwa Nabi memperkenalkan kepada kaum
Hadis Muslim
puasa ‘Asyura orang-orang Yahudi dilakukan pada hari penebusan dosa yang diawali dengan beberapa hari kebaktian khusus. Belakangan, puasa dibulan Ramadhan diwajibkan. Nah dalam QS.2:183-185, kedua puasa ini terletak bersampingan; ayat 184 menetapkan puasa dalam jumlah hari tertentu, sedangkan ayat 185 menetapakan puasa di bulan Ramadhan. Kedua ayat ini tentunya dibaca berturut-turut dan “sejumlah hari tertentu” dalam ayat pertama dipandang lebih dikhususkan (ditakhshsiskan) dengan menyebut bulan Ramadhan pada bulan selanjutnya. Tetapi sejumlah hari tertentu, secara wajar bukankah padanan dari satu bulan, dan pengulangan ungkapan dalam kedua ayat tersebut
menunjukkan bahwa ayat yang satu dimaksudkan untuk menggantikan ayat yang lain, dalam kenyataannya, merupakan sambungansambungan alternatif ayat 183.271 Hukum perkawinan dalam surat 4 merupakan kasus jelas lain tentang sambungan-sambungan alternatif, ayat 23 menetapkan diharamkannya
derajat-derajat
hubungan
perkawinan,
dan
memproduksi daftar hukum Mozaik dari beberapa penyesuaian terhadap adat- istiadat orang-orang Arab. Bahwa reproduksi ini dilakukan dengan sengaja, diperlihatkan oleh ayat 26
yang
mengatakan: “Tuhan hendak......membimbing kamu dalam adat istiadat orang-orang sebelum kamu.” Namun kemudian pada suatu masa yang belakang terjadi pengendoran sehingga ayat 25 sampai ayat 30 serta mungkin ayat 27 digantikan dengan ayat 26 ditambahkan sebagai akhiran surat. Akhiran-akhiran yang sama pada ayat-ayat 26, 27 dan 28 menunjukkan bahwa pengantian-penggantian telah dilakukan. Perubahan qibla arah yang dituju dalam sembahyang adalah contoh lainnya. Bagian-bagian al-Qur’an yang membahas masalah ini sangat membingungkan QS.2:142-152, khusus ayat 141 tidak dapat dipahami sebagaimana adanya. Namun ketika dianalisis, ayat-ayat ini memiliki kandungan: (a) wahyu pribadi kepada Nabi yang berisi pemecahan terhadap permasalahan yang dihadapinya ayat 144,149; (b) suatu maklumat kepada masyarakat, menggunakan bagian (a) yang diikuti oleh suatu seruan untuk ketaatan yang didasarkan pada rasa syukur QS. 144, 150-152; dan (c) bentuk akhir peraturan tersebut ayat 144. Proses pengenalan agama Ibrahim diuraikan secara global kepada kita dalam QS.2:130-141. Proses ini mengambil bentuk dalam jawaban-jawaban terhadap penegasan orang-orang Yahudi dan Kristen ayat 135, mereka berkata,”jadilah kamu orang Yahudi dan Kristen dan kamu akan memperoleh petunjuk”. Penegasan ini kemudian diikuti 271
Ibid., hlm, 98.
oleh tiga jawaban yang diawali oleh “katakanlah”. Ayat 139-141 mengklaim bahwa Nabi dan umatnya mempunyai hak untuk menyembah Tuhan sesuai dengan cara mereka sendiri sebagaimana Ibrahim dan keturunannya, Ibrahim dan keturunannya merupakan suatu masyarakat keagamaan independen yang telah lama berlalu. g. Aplikasi penafsiran terhadap konsep ayat-ayat politheis Bagian al-Qur’an ini terputus dan diganti dengan ayat-ayat 136,138, di mana dikatakan bahwa Nabi dan umatnya berdiri dalam satu garis dengan Ibrahim dan keturunannya. Musa, Isa serta seluruh Nabi lainnya. Bagian ini kembali dimodifikasi dengan penyisipan ayat 137 ke dalam ayat 138. Akhirnya jawaban dalam surat 135 dimasukkan, menyatakan kepercayaan Ibrahim, yang menetapkan seorang hanif dan bukan serang politeis. Ayat 130 hingga ayat 134 merupakan lebih lanjut. 272 Yang merupak bagian Nabi Ibrahim juga menimbulkan kesulitan. Upacara tersebut diakui dan para pengikut Muhammad dianjurkan ikut ambil bagian di dalamnya tetapi sebagai para hanif – pengikut para Nabi Ibrahim bukan sebagai para politeis QS. 22:31 binatang-binatang kurban harus dikirim ke Mekkah QS. 22:33,34. Namun ketika kaum Muslimin diserang oleh kafilah Mekkah dan khususnya setelah pertempuran Badar yang menimbulkan pertempuran darah, menjadi sangat berbahaya bagi mereka untuk berkunjung ke Mekkah. Karena itu ditetapkan bahwa binatang yang persembahkan sebagai kurban bisa disembelih kenegeri sendiri dan dagingnya diberikan oleh fakir miskin. Hal ini dapat disimpulkan dari QS. 22:2937. Peperangan di bulan-bulan haram yang melahirkan kesulitan. Sikap Nabi Muhammad dapat dijelaskan dengan menganalisis surat 9 pada bulan-bulan ini, mulanya diakui sebagai periode gencatan senjata, dengan disampaikannya wahyu yang terdiri dari QS.9:36a, 2,5: tetapi 272
Ibid., hlm, 99.
karena
pengunduran
menyelasaikan
tahun
hitungan
hari
qamariyyah
dalam
Arab
satu
dengan
bulan
guna
musim-musim
didekritkan dari Mekkah, maka kesalahfahaman dari bulan-bulan mana saja terhitung sebagian bulan haram muncul dengan segera. Karena itu dikeluarkan maklumat ilahi yang seluruhnya terdapat dalam QS.9: 36,37, yang menghapuskan pengunduran hitungan bulan dan menetapkan perang dengan orang-orang politeis harus dilakukan secara terus-menerus, ayat-ayat dibuang yang membahas bulan-bulan haram, sekarang terlihat dalam ayat 2 dan ayat 5 yang dikaitakan dengan persoalan terhadap persetujuan-persetujuan yang dibuat oleh orang-orang politeis barang kali perjanjian alHudaibiya. Namun, mana yang telah diinformasikan bagian awal surat tersebut, hal ini juga merupakan suatu maklumat untuk menunaikan haji dan kemungkinannya diubah dan ditambahkan untuk tujuan tersebut setelah penaklukan kota Makkah.273 Kekalahan kaum Muslimin di Uhud merupakan suatu pukulan telak terhadap rasa percaya diri umat. Bagian al-Qur’an yang membahas pertempuan tersebut sangat kacau balau QS. 3:102-179. Analisis terhadap bagian al-Qur’an ini memperlihatkan bahwa ada suatu amanat yang dimaksud untuk disampaikan sebelum perang, yang terdiri dari ayat-ayat QS. 102, 103, 112,115, 123, 139, 145, 151, 158, 160. Ayat-ayat ini mungkin dari ayat 139 dan seterusnya disampaikan ulang dengan perubahan-perubahan kecil, pada suatu saat setelah pertempuran selesai. Reaksi atas kekalahan kaum Muslimin tampak dalalm celaan terhadap diri Nabi karena tanpa otoritas telah menjanjikan bantuan dari Malaikat (ayat-ayat 121,124,125 dan bagian ayat 26 sampai ayat 29. Ayat-ayat dan bagian inilah yang kemudian direvisi sebagai suatu penjelasan dan celaan terhadap para pengikut pengikut Nabi.
273
Ibid., hlm. 100.
Bahwa Nabi condong penuh amarah kepada para pengikutnya, hal ini ditunjukan pada ayat yang terpisah 159. Bagian dari penuturan kasar diletakan dalam ayat 152 samapai ayat 154, suatu bagian yang telah direvisi dan belakangan ditambah suatu pengertian yang lebih lembut. Dalam kenyataannnya. Kita dapat melihat yang dikarenakan kekalahan itu berangsur-angsur itu lebih lembut dan lebih bermurah hati terhadap kaum Mukminin. Akhirnya ketika kehancuran telah teratasi, bagian dari amanat asli digunakan lagi dalam suatu sambungan yang ditambahkan setelah ayat 110, mungkin dalam persiapan untuk menyerang suku Yahudi al-Nadir (110-114).274 Barangkali lantaran karekter tentatif yang mendominasi sistem penanggalan Bell inilah sehingga rancangannya itu tidak begitu diterima di kalangan sarjana yang menggeluti al-Qur’an. Pengaruh sistem penanggalan Bell hanya terbatas dikalangan murid-muridnya seperti W. Montgomery Watt dan A.T. Welch. Tetapi mesti diakui bahwa Bell memang berhasil menetapkan beberapa unit wahyu terutama dari periode Madinah secara gerak akurat. Lebih jauh, ia juga patut dihargai lantaran upayanya bersama Hirschfeld untuk memperkenalkan kembali asumsi tradisional Islam yang selama berabad-abad telah ditinggalkan, yakni bahwa dalam upaya memberi penanggalan pada al-Qur’an perhatian semestinya diarahkan pada bagian-bagian induvidual
(pericopes) kitab suci
tersebut sebagai unit-unit wahyu orisinal, bukan pada surat-surat.275
274
Ibid., hlm. 100 Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, Yogyakarta, FKBA, cet I, 2001, hlm. 117. 275
BAB IV ANALISA
A. Konstruksi Richard Bell terhadap teori Nasikh-Mansukh Secara umum teori konstruksi (Genre) Richard Bell ini, berpijak pada satu kesimpulannya mengenai hakikat bahasa. bahasa dalam al-Qur’an bukanlah semata-semata kumpulan dari kosa kata, melainkan kumpulan dari sistem relasi (anna al-lughat laysat majmu’ atan min al-lafdhi bal majmu’ atun minal ‘alaqat). Teori umum mengenai bahasa ini merupakan “pintu masuk” dalam analisisnya mengenai bahasa al-Qur’an.276 Ia Juga beranggapan bahwa al-Qur’an memiliki bentuk revisi yang paling sederhana yang dilakukan oleh Nabi adalah mengumpulkan unit-unit kecil wahyu, yang semula diterima secara terpisah, ke dalam surat-surat. Dalam proses ini beberapa adaptasi dilakukan, yang dapat dibuktikan dalam pemunculan rima-rima tersembunyi. Jadi ketika, suatu unit wahyu dari purwakanti tertentu ditambahkan ke dalam suatu surat yang memiliki purwakanti
yang
berbeda,
ungkapan-ungkapan
ditambahkan
untuk
menyesuaikan unit tersebut dengan purwakanti surat di mana ia disisipkan. Contohnya adalah: QS. 41: 9-12.277 Menurut Bell, puisi-puisi yang ada sebelumnya Islam menyentuh aspek-espek Kristen seperti Gereja, tempat-tempat Ibadah, Gong dan Bel, acara-acara seremonial Kristen dan lainnya. Bell juga berpendapat bahwa kosa kata Aramaik dan Ethiopia yang digunakan oleh orang-orang Kristen, di ketahui oleh Muhammad saw, yang selanjutnya memasukkannya ke dalam alQur’an.278 Pendekatan Richard Bell merupakan suatu analisis redaksi dan formasi sastra 276
al-Qur’an,
yang
mengarah
pada
pendekatan
historis,
dalam
Nur Kholis Setiawan, al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, Yogyakarta, Elsaq, cet I, 2005, hlm. 260. 277 Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, Yogyakarta, FKBA, cet I, 2001, hlm. 114. 278 Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an, Jakarta, Gema Insani, cet I, 2005, hlm. 142-143.
perkembangannya bukan merupakan hal yang baru. Penulis menilai bahwa Gustav Weil, Theodore Noldeke, Friedrich Schwally, William Muir, Hubert Grimme, Hartwig Hirshfield dan para pendahulunya, secara initens banyak menggunakan
pendekatan
ini,
terutama
dalam
menentukan
sistem
penanggalan al-Qur’an, dalam beberapa hal, seperti diakui oleh para ilmuwan, pendekatan filologis memiliki keakuratan, termasuk dalam keotentikan manuskrip, sebagaimana para orientalis, seperti John Wansbrough mampu membuktikan ketidakotentikan Bibel dengan menggunakan pisau analisis dan pendekatan yang sama. Hal yang serupa juga diungkapkan oleh Richard C. Martin, Ia menambahkan bahwa pendekatan dalam bidang al-Qur’an banyak didominasi dengan mengggunakan pendekatan filologisme dan sejarah, ini memunculkan kerancauan berkepanjangan antara sejarah teks tersebut dengan sejarah penyelamatan, yang secara implisit terkandung di dalamnya. Ini perlu dipecahkan, dengan memandang teks al-Qur’an dan tafsirnya sebagai ungkapan pandangan-pandangan dunia Islam. Lewat benturan strukturalisme inilah yang dicoba. 279 Seiring dengan munculnya Renaissans, (zaman Kebangunan)280 munculah alasan-alasan baru dalam studi Islam. Pertama, adanya ingin tahu budaya-budaya asing, khususnya filologi klasik yang menjadi paradigma untuk memahami budaya lain. Kedua, kepentingan dan politik orang Eropa yang meningkatkan volume perjalanan ke Dunia Timur. Ketiga, lahirnya studi al-kitab dan semitis dengan menjadikan studi bahasa dan teks-teks Arab sebagai alat yang bermanfaat.281 Terkait dengan masalah orientalisme, kajian ini memiliki identitas kumulatif dan identitas bersama, suatu identitas yang sangat kuat, disebabkan 279
Richard C. Martin,”Analisis Struktural dan al-Qur’an, pendekatan baru dalam kajian teks Islam”, Dalam Jurnal Ulumul Qur’an; jurnal Ilmu dan Kebudayaan, Vol. 5, No. 4, Tahun 1992, hlm. 345. 280 Renaissance itu dipelopori oleh Albertus Magnus (1206-1208) dan Thomas Aquinas (1225-1274. Joesoef Sou’yb, Orientalisme dan Islam, Jakarta, Bulan Bintang, cet II, 1990, hlm. 74. 281 Abdul Basith Junaidi, (et, al), Islam dalam Berbagai Bacaan Kontemporer, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet I, 2009, hlm. 252.
karena kajian ini memiliki relasi yang kuat dengan keilmuan tradisional (ilmuilmu klasik, kitab Injil, filologi), lembaga masyarakat pemerintah, perusahaanperusahaan
dengan,
masyarakat-masyarakat
geografis,
universitas-
universitas), dan karya-karya tulis tertentu (bukan perjalanan, eksplorasi, fantasi, deskripsi eksotik). Relasi pengetahuan inilah yang membuat orientalisme selalu melahirkan sejenis konsensus ketimuran bahwa hal-hal tertentu, jenis-jenis peryataan tertentu, dan jenis karya tertentu tentang Timur selalu dianggap sesuatu yang benar dan dianggap final.282 Namun berbeda dengan manuskrip yang lainnya, untuk mengetahui dan memahami al-Qur’an tidak bisa bila hanya mengandalkan pendekatan bahasa dan sastranya. Demikian dalam membuktikan keotentikan al-Qur’an. Pendekatan yang integral, termasuk pendekatan historis dan sosiologis, akan mampu menghasilkan pemahaman yang integral pula. Oleh karena itu, bahwa dari sisi historis, al-Qur’an merupakan kitab suci yang keotentikannya mampu terjaga hingga kini. Secara sosiologis, 1. Situasi
penduduk
Arab
sangat
besar
perannya
dalam
menjaga
keotentikannya. 2. Pengaruh al-Qur’an yang besar dalam mengubah jalannya peradaban merupakan pertanda bahwa al-Qur’an bukan bersumber dari kekuatan dari kekuatan manusia murni. Ajaran-ajaran yang universal, komprehensif dan kenyal (adaptif), bahkan mengandung ajaran-ajaran yang bersifat predektif, meruppkan indikator pula yang menguatkan kemustahilan bahwa Muhammad SAW. yang berlatar budaya Quraisy (jahiliyah) mampu membuat al-Qur’an. 3. Beberapa
riwayat
menegaskan
bahwa
penulisan
al-Qur’an
telah
berlangsung sejak zaman Nabi dan pembukuan al-Qur’an telah terjadi sejak khalifah pertama (Abu Bakar al-Siddiq). Sebagain besar dari faktorfaktor ini, merupakan indikator yang kredibiltasnya dapat dipertanggung
282
Edward W. Said, Orientalisme;Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukan Timur sebagai Subjek, Terj. Ahmad Fawaid, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet I, 2010, hlm. 311.
jawabkan, dan secara utuh sejarah membuktikan bahwa al-Qur’an bukanlah produk manusia. Dalam beberapa hal al-Qur’an memang seakan-seakan mengisyaratkan bahwa di dalamanya ada ayat-ayat yang dirubah, dihapus atau diganti. Namun, dalam perkembangan terakhir, para ulama’ mutaakhirin menyebutkan bahwa semua ayat yang terdapat dalam ayat al-Qur’an tidak hanya memiliki redaksi denotasi saja melainkan dalam waktu-waktu tertentu sebagaian ayat al-Qur’an mempunyai redaksi konotasi, kapan ayat tersebut berlaku denotasi dan kapan ayat tersebut berlaku konotasi. Dengan mempertimbangkan setting sejarah, soiso-kultural, problem masyarakat tertentu, dengan demikian hukum dapat berubah-ubah. Meskipun pada ayat (2: 196) tersebut diartikan dengan makna denotasi, bukan menegaskan terjadinya nasikh dengan secara intens, hanya saja mengisyaratkan kekuasaan Allah untuk merubah atau menggantinya dengan yang sesuai atau lebih baik “na’ti bi khairin minha au misliha”. sebagaimana penulis sudah jelaskan pembahasannya di atas. Dari ayat tersebut diisyaratkan bahwa bahwa nasikh yang dimaksud jika diartikan ayat yang denotatif bukanlah didasarkan pada ketidak tahuan Allah saw, melainkan lebih merupakan kebijakan Allah saw, dalam meringankan dan mendasari ketentuan hukum manusia dengan ketentuan yang sebanding atau lebih baik, sesuai dengan (taklif) pembebanan dan keterbatasan manusia, juga bersifat kondisional sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat setempat. Dalam kasus di atas, Richard Bell menilai bahwa sumber al-Qur’an itu memiliki kegandaan sumber yaitu Tuhan dan Muhammad SAW, dan dia mengadopsi pandangan-pandanang yang mengikuti aliran pendukung naskh al-Qur’an. Hal ini sekali lagi dikarenakan pandangan Richard Bell yang secara koheren yang menekuni persoalan al-Qur’an hingga memicu terjadi adanya persoalan kajian nasikh juga, yang pada akhirnya adalah untuk membuat ragu umat Islam dan memporak-porandakan Islam, dan hal itu menjadi tujuan utamanya, meskipun dalam sekian bukunya terlebih dalam buku Bell’s
Introduction to the Qur’an (Pengantar al-Qur’an),
ia menjelaskan bahwa
tujuan akhirnya itu adalah untuk menklasifikasi serta memetakan dan juga memilih redaksi Tuhan dan tambahannya (redaksi Nabi). Pandangan ini secara latah ingin membuktikan bahwa al-Qur’an yang terbukukan sekarang memiliki keterlibatan (andil) manusia (Muhammad Saw). Pada dasarnya Richard Bell sepakat bahwa nasikh adalah proses penggantian atau penghapusan ayat dengan ayat lain yang lebih bertendensi pada peralihan ketentuan hukum. Namun, dikarenakan dugaan dan pandangan tentatifnya itu, bagi dia arti nasikh difokuskan hingga pada arti derevisinya yaitu, perubahan, tambahan, salinan, koreksian atau revisi. Menurut Bell arti proses revisi (Tuhan) al-Qur’an dan naskh al-Qur’an, hal ini ada kaitannya asbab an-nuzul, dan hal ini tidak bisa dipisahkan pada persoalan yang pada akhirnya sulitnya bagi kaum muslim dalam menentukan mana yang dahulu dan mana yang terakhir ayat yang diturunkan, dengan mempertimbangkan sebab-sebab nuzul-nya, menurut Bell hal tersebut memiliki proses yang sama yaitu berulang penurunan ayat al-Qur’an sebagai pengganti terdahulu dan proses perbaikan teks serta konteks al-Qur’an. Padahal pendapat ulama klasik-hingga ulama kontemporer memahami arti nasikh yang berbeda-beda, ada yang menyakini dan ada yang tidak menyakini, pada umumnya mereka juga mengakui adanya naskh, sebagaimana pembahasan yang telah lalu. Lain halnya menurut Bell yang memahami tentang makna naskh ini cenderung menyimpang, karena makna naskh sebenarnya bukan ditendensikan untuk menghapus secara total ayat-ayat alQur’an, namun persoalan naskh lebih diarahkan untuk mengantisipasi perkembangan situasi dan kondisi dengan ketentuan sementara yang sesuai dengan zaman dan pelakunya. Hal tersebut sesuai dengan peryataan kebanyakan ulama kontemporer. Sedangkan makna naskh yang dikonstruk oleh Bell tidak lain adalah sebuh proses perbaikan (revisi) dan penambahan ayat-ayat oleh Muhmmad saw, sebagaimana penjelasan pada bab III. Penentuan tentang unit-unit wahyu di atas menurut penulis adalah hanya suatu gaya (genre) yang didasarkan pada anggapan bahwa sejumlah
besar surat yang ada di dalam al-Qur’an mengandung bahan-bahan dari berbagai periode pewahyuan. Posisinya hanya menyentuh teori perevisian Bell dalam pengertian minimal yakni pengumpulan unit-unit induvidual wahyu ke dalam surat dan lebih parahnya ia melihat asumsi perevisianya yang lebih jauh melihat dalam proses pengumpulan tersebut dalam wahyu-wahyu al-Qur’an yang secara konstan menurutnya tengah mengalami revisi menurut periodenisasi, pendek kata yakni telah mengalami perluasan, yang pada akhirnya memicu ketidak orisinalitas al-Qur’an, melalui penggantian unit-unit wahyu lama dengan bahan-bahan baru, adaptasi dengan penambahan berupa penyesuaian rima atau sekedar sisipan, dan lainnya. Masalah yang pertama yang diajukannya, mengenai penyusunan alQur’an yang dipersepsikan dilakukan oleh Nabi saw, secara keilmuan bukanlah hal yang baru. Para ulama sepakat bahwa susunan ayat adalah tauqifi (bersumber dari petunjuk Rasul). Sedangkan susunan surat telah menimbulkan polemik dikalangan ulama, polemik ini berkembang luas dikalangan ulama muslim, yang dalam aplikasinya menghasilkan beberapa pendapat yaitu: Pertama,
adalah
sebagian
ulama
yang
berkeyakinan
bahwa
pentadwinan al-Qur’an dan formasi surat yang ada adalah tauqifi (sesuai dengan petunjuk Rasul. Kedua adalah bagian ulama yang berkeyakinan bahwa pentadwinan al-Qur’an dan formasi surat yang ada sekarang adalah ijtihadi (berdasarkan ijtihad para Sahabat), Ketiga adalah pendapat moderat; mengatakan bahwa sebagian susunan ayat ditetapkan oleh Rasulullah dan sebagian lagi merupakan ijtihad para sahabat.283 Persepsi kedua inilah yang diadopsi Bell yang kemudian dikonfirmasikannya melalui proses lafaz jam’u. Sedangkan Malik bin Nabi menegaskan bahwa orang-orang zaman sekarang hampir tidak memungkinkan untuk merasakan keluhuran disebabkan kekurang fasihan penguasahan bahasa Arab dan tingkat pengetahuan tentang
283
142.
Manna’ al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Singapura, Haramain, t.th., hlm. 141-
renovasi sastra Arab yang kurang disertai penurunan rasa kebahasaan yang lentur.284 Lebih lanjut Malik, mengatakan bahwa ak-Qur’an turun sebagai i’jaz yang menekankan pada aspek sastra sehingga mampu melemahkan kegenialitasan sastrawi pada zaman turunnya. Ia bahkan mampu menata sastra Arab dari sastra periode kebahasaan (dialek) jahiliyah pra Islam ke bahasa yang teratur secara ilmiyah, untuk membawa pikiran peradapan baru alQur’an lahir dalam bentuk sastra baru yang tidak melepaskan rima sya’ir, namun dikombinasikan dengan bentuk baru yaitu kalimat.285 Dengan itu menurut al-Jurjani, beliau berkeyakinan bahwa tidak ada seorangpun yang bisa memahami dan menjelaskan keunggulan serta kesempurnaan bahasa dan susastra al-Qur’an serta proporsional tanpa memperhatikan dan mempertimbangkan “konstruksinya” (al-nazhm). Untuk itulah al-Nazhm merupakan aspek yang menjadi ciri pembeda genre teks alQur’an dibandingkan dengan genre teks lainnya seperti puisi, prosa, dan lainnya.286Melalui syair Arab artinya mengetahui maksud dari ayat-ayat yang sukar pengertiannya itu dicari padanan pemakaian dan maknanya dalam sya’ir-sya’ir Arab. Sebagian besar ulama tetap menjadikan sya’ir sebagai salah satu cara dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an.287 Sedangkan kritik Arkoun mengenai tradisi Barat adalah bahwa orientalis atau Islamolog Barat hanya mendekati Islam melalui karyanya tulis para tokoh yang dianggap besar mewakili dan mereka sangat positivis mengingkari hal-hal yang berada di luar jangkauan manusia. Dari sini Arkoun menentang saintifisme yang meniadakan aspek-aspek yang irrasional. Kitab suci al-Qur’an sekitar 15 abad yang lalu mencanangkan tantangan (al-tahadda) kepada orang-orang yang mengingkarinya untuk dapat menandinginya, tetapi tak seorang pun mampu menjawab tantangan tersebut. 284
Malik bin Nabi, Fenomena al-Qur’an, Terj. Saleh Mahfoed, Bandung, al-Ma’arif, 1983, hlm. 225. 285 Ibid., 286 Nur Khalis Setiawan, loc. cit., 287 Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet II, 2011, hlm. 271
Mereka bahkan tak sanggup menirunya karena memang al-Qur’an, di samping memang bukan kreasi manusia juga tak mungkin diungguli.288 Dengan demikian masing-masing generasi mempunyai kemungkinan sendiri untuk membangun konstruksi dan pemahamannya tentang Islam atau teks al-Qur’an. lalu bagaimana bila semua itu digunakan untuk membaca alQur’an
dan pemikiran-pemikiran lainnya. Untuk memudahkan pembaca
dalam memahami konstruk metodologi yang ditawarkan oleh Richard Bell adalah: Tabel I Peta Konstruksi Metodologi Tafsir Richard Bell Asumsi Dasar
Bell
memandang
bahwa
al-Qur’an
memiliki
kegandaan sumber wahyu, yaitu Allah sebagai sumber utama dan Muhammad sebagai sumber kedua. Pendekatan
Ideal approach dan Empirical approach, Psyco approach.
Metode dan Corak
Kritis historis dan kritis filologis, di mana dalam kajiannya itu didominasi oleh konsep-konsep seperti: frustasi, setres, kompensasi, neorosis dan trance.
Kerangka Analisis
Memeriksa ketetapan makna (langauge accuracy), pengujian terhadap konsistensi historis dan filosofis terhadap penafsiran yang telah ada (literatur klasik), dan prinsip etis sebagai verifikasi.
Sedangkan untuk melihat dari seluruh hasil dari formasi ayat-ayat alQur’an yang mengalami revisi yang dieksplorasi oleh Richard Bell, dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:
288
Supiana dan M, Karman, Ulumul Qur’an dan Pengenalan Tafsir, Bandung: Pustaka Islamika, cet I, 2002, hlm. 223
Tabel II Analisis konstruksi teori revisi (Nasikh- Mansukh) Richard Bell, dalam buku (Bell’s Introduction to the Qur’an) No
1
2
Aplikasi Penafsiran Doktrinal NasikhSurat & Ayat Mansukh • Asumsi dasar QS:Yunus, (10); 15, QS. al-Haqqah , (69): 44-47, revisi QS. al-Isra’(17); 73-75, • Satanic Verses/ QS. al-‘Ala (87):6f, QS, al-Baqarah,(2):106, al-Gharanic QS, al-Kahfi, (18): 24, QS, ar-Ra’d, (13): 39, QS. an-Nahl, (16): 101, • Ayat Rajam QS. al-Isra’(17): 41, QS. al-Isra’ (17): 81. QS, al-Hajj (22): 52, QS, al-Najm (53): 19-20, QS, al-Najm (53): 21-22 QS, an-Nur (24); 21, dan al-Ahzab (33),
Bukti-bukti Nasikh-Mansukh • Proses Jam’u
•
Kemunculan Rima
•
Keganjilan Gaya al-Qu
Hipotesisis Atas kemauan Nabi saw., sendiri. Nabi membuat wahyuwahyu Muhammad melupakan beberapa ayat. Wahyu yang dilupakan Tuhan menghapus atau sebaliknya Kemungkinan adanya revisi. Muhammad mengharapkan wahyu. Rasul mengoreksi ayat Mustahil ayat rajam termasuk bagian alQur’an
Surat & Ayat
Hipotesis
QS, al-Qiyamah: (75); 17-19 QS, al-Mukminun (23);12-16, 1722. QS, Ali Imran (3): 130-134 QS, al-An’am (6): 95-99 dan 102104, (6); 84-87; dan QS, Shad (38): 45-48, QS, Maryam (19): 51-57. QS, al-An’am (6): 141-144 QS, al-‘Araf (7): 57-58 QS, al-Hajj (22): 5-8 QS, ash-Shaffat (37): 73-132. QS, al-Baqarah (2); 85. QS, al-Baqarah (2), 84, QS, al-An’am (6); 12 dan 20, al‘Araf (7): 92, al-Anbiya (21): 47 dan 104; an-Naml (27): 7; alFushillat (41): 17; al-Insan (76): 16. QS, al-Haqqah (69): 3; alMudatsir (74): 14; al-Mursalat (82): 17; al-Muthaffifin (83): 8 dan 9; ath-Thariq (86): 2; al-Balad (90): 12; (97): 2; al-Qariah (101): 3 dan 10; dan al-Humazah (104) QS, al-Qari’ah (101): 10. QS, al-Qari’ah (101); 9-11
Adanya perubhan, minimal tata letak. Nabi meletakan rimarima. Pengulangan janji surga. Bagian tidak berirama menjadi berirama, dan tampak dilakukan dengan daftar nama. Ayat ini dapat diilustrasikan Perubahan kata ganti yang muncul tiba-tiba. Pengejekan orangorang yang tidak memiliki pengetahuan. Adanya kasus dalam Ibrahim refrain,(1-10) Munculnya glosses (komentar-komentar) Tambahan pada masa belakangan. Ibunya akan menjadi Hawiyah. Perubahan tiba-tiba dramatis
•
Sambungansambungan alternatif
QS, al-Balad (90): 12-16, QS,asy-Syams:(91):10,alGhasyiah (88); 6-7, an-Naba’ (78): 32 dan 35. Al‘Ala (87): 16 QS, al-Mudatsir(74): 31 QS, al-Baqarah: 85, 84 Qs, al-An’am (6):12 dan 20; alA’raf (7): 92; al-Anbiya(21): 47 dan 104; an-Naml (27):7; Fushshillat (41): 17;al-Insan (76):16. QS, al-Haqqah (69):3; al-Mudatsir (74): 27; (77): 14; al-Mursalat (82):17; al-Mutaffifin (83): 8, dan 9; ath-Thariq (86): 2; al-Balad (90):12 ;(97): 2; al-Qariah (101): 3 dan 10; dan al-Humazah (104):5, QS, al-Qariah (101): 10, QS, al-Mukminun (23): 63,64,79 dan 99, QS, al-Maidah (5):42,41(ungkapan muncul), QS, Az-Zumar(39):75 QS, al-Baqarah: 101ff, 135, 144, 183, dan 196, Ali Imran (3):48,102, 143, 152,170,dan 181, QS, An-Nisa(4):23ff,dan 131ff, QS,alMaidah(5):41ff,48ff,72ff,dan 90, QS,al-An’am(6):87ff, QS,al‘Araf(7):40ff, dan 165, QS,alAnfal (8):72f;at-Taubah (9) 81ff., 86ff., 111ff., 117ff. Q.S.Yunus(10):104ff;Q.S. Hud (11):40ff;Q.S. Ibrahim (13)19ff; Q.S. Al-Hijr (15) 87ff.;Q.S. AnNahl(16)16ff.;Q.S.Al-Isra’ (17) 45ff; Q.S. AnNaml(27):38ff.,Q.S. Saba(34):51ff;Q.S. Fathir(35):29ff;Q.S.Yasin (36):79ff;Q.S.Az-Zumar (39):47ff., dan 69; Q.S. AlMu’minun (40) 30ff;Q.S.AlJatsiyah (45) 27ff; Q.S.Qaf (50) 22ff;Q.S.AlQamar(54):43ff;Q.S. AlHadid(57):13ff;Q.S Al-Hasyr(59) 5ff;Q.S. AlMunafiqun(72);25ff.;Q.S‘Abasa (80) 33ff., QS, Abasa(80):34-37 QS,al-Baqarah(2):102-103 QS, Ali Imran(3):144 dan 155, QS,At-Taubah(9):117-118;
Sebagai sisipan gaya yang panjang. Pengulangan suatu kata atau ungkapan. ungkapan muncul pada ayat 41, sampai akhir dihilangkan, maka ayat 42 sama seperti awal ayat 41. Ayat 75 tampaknya terisolasi, dimana sudah ada pada ayat 69-74. Kasus lain yang menonjol. Memiliki purwakanti, ih, sementara ayat 3342, purwakanti a, Mengganti ayat sebelumnya (102) Ayat 144 mennganti ayat 155. Susunan penanggalan yang terbalik, yang belakangmuncul duluan, tetapi bukanlah aturan yang tetap. Muncul dalam jalinan versi-versi alternatif. Pengulangan ayat yang dimaksudkan untuk mengganti ayat yang lain. Penggantian penggantian telah dilakukan. Khusus ayat 41, tidak bisa dipahami sebagaimana adanya. a).wahyu berisi tentang solusi Nabi. b).menggunakan bagian a diikuti seruan agar mau bersyukur.c).bentuk akhir peraturan pada ayat (144). mengambil jawaban dan penegasan orangorang Yahudi. bagian terputus ayat136-138, lalu bagian ini dimodifikasi dengan penyisipan 137 ke dalam 138, ayat 130134 tambahan lebih
•
alternatif dalam tema Wacana
Saba(34):52-53; alJatsiyah(45):28-29; dan Nuh(72):24 dan 27-28. QS, Ali Imran(3):126-129 dan, Yasin(36):1-6. QS, al-Baqarah(2):183-185 QS.An-Nisa(4):23,24,25,27 dan 28 QS, al-Baqarah(2):142-152 QS, al-Baqarah(2):130-141, QS, al-Hajj(22):31 QS, al-Hajj(22):33-34 QS,at-Taubah (9):36a,2 dan 5 QS, at-Taubah(9):36-37 QS, Ali Imran(3):102-179 102,103,112,115,117, 123,139,143,145,151,158 dan 160 QS,Ali Imran(3):121,124,125 dan bagian-bagian dari 126-129 QS. ali-Imran(3):152-154 dan 159,
lanjut. Binatang Qurban Harus dikirim ke mekkah. Bisadisembelih dinegeri sendiri, karena keadaan di Makah tidak aman. Kesimpulannya dari 29-37. Pengunduran hitungan dalam satu bulan, dengan didekritkan dari Makkah. Menetapkan perang dengan orang-orang politeis secara terus menerus. Ayat-ayat yang dibuang, yang bahas bulan haram dapat dilihat ayat 2 dan 5. Adanya suatu amanat yang untuk disampaikan sebelum perang, terdiri ayat Nabi tanpa otoritas telah menjanjikan bantuan malaikat. Nabi cenderung penuh amarah kepada pengikutnya, dan penuturan kasar Nabi. Ayat 110, satu sumbangan untuk menyerang suku Yahudi al-Nadzir (110114).
B. Posisi Richard Bell dalam pandangan cendikiawan. Ada sekelompok orang yang berbicara tentang dan menulis tafsir alQur’an padahal mereka tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang kaidah dan bahasa Arab, termasuk pengetahuan tentang pola pembentukan kata konjugasi (tasrif)-nya. Karena itu, mereka cenderung melakukan penyimpangan dalam menafsirkan al-Qur’an dan memberikan arti etimologis
suatu lafadz al-Qur’an dengan arti lain yang tidak sesuai, baik dari arti yang hakikinya maupun dalam arti kiasannya.289 Di sini penulis tidak menemukan buku-buku tafsir ataupun buku karya ilmiah yang secara khsusus membahas tentang permasalahan teori revisi Richard Bell, melainkan penulis hanya menemukan pandangan cendikiawan ulama yang membahas teori tersebut. Kendati demikian penilaian Richard Bell terhadap teori nasikh mansukh di pandang oleh sekoleganya ataupun sesudahnya cenderung melenceng jauh. Berikut ini penulis akan merilist pandangan-pandangan cendikiawan muslim yang tergabung dalam kelompok Oksidentalis, di mana mereka hidup setelah Richard Bell, dan komenter-komentarnya penulis fokuskan terhadap pandangan Richard Bell mengenai al-Qur’an, terlebih dalam discourse teori nasikh dan mansukhnya. Adapun para Oksidentalis tersebut penulis hanya mambatasi cendikiawan’ berasal dari Timur Tengah dan Indonesia yang konsen terhadap kajian Barat, untuk itu karena mengingat keterbatasan bahan dan literatur buku-buku atau kitab yang penulis temukan masih relatif sedikit. 1. Pandangan cendikiawan Timur Tengah a. Prof. Dr. Hasan Hanafi Dalam karya Hanafi yang berjudul “Muqaddimah fi ‘ilm alIstghrab”, karya ini melawan dari pemikiran orientalisme, dalam buku tersebut
Hanafi
menjelaskan
tugas
Oksidentatalisme
adalah
menghapus Eurosentrisme, yakni mematahkan mitos kebudayaan kosmipolit yang menyatukan seluruh bangsa Barat dan diklaim sebagai kebudayaan yang harus diadopsi seluruh bangsa di dunia jika mereka ingin meninggalkan fase imitasi dan menuju kemoderenan.290 Hubungan yang sempurna sebenarnya terjalin dari tiga komponen. Tuhan sebagai pengirim wahyu, sasaran pengirim wahyu, dan seorang delegasi yang tugasnya hanyalah penyampai wahyu dan 289
Muhammad Husain Az-Dzahabi, Penyimpangan-Penyimpangan dalam Penafsiran, Terj. Hamim Ilyas dan Machnun Husein, Jakarta, Rajawali, cet I, 1986, hlm. 47. 290 Abdul Basith Junaidi, Islam dalam Berbagai Bacaan Kontemporer, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet I, 2009, hlm. 310.
pembawa misi. Yang menjadi sasaran penyampaian wahyu adalah manusia. Sedangkan manusia hidup di alam ini mencari sistem.291 Dengan demikian, menurut al-Qur’an, yang diturunkan Allah sudah tidak orisinil lagi. Karenanya, baik Taurat, maupun Injil, telah mengalami perubahan dari tangan-tangan para penganutnya. hal demikian dijelaskan melalui firman Allah: 292 (QS. [5] al-Maidah: 1314) “(tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuki mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. mereka suka merobah Perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) Senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit diantara mereka (yang tidak berkhianat), Maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. Ayat tersebut secara gamblang menyatakan, baik agama Yahudi maupun Nasrani, keduanya sudah tidak orisinil lagi, karena keduanya telah mengalami perubahan di tangan pemeluknya. Padahal, baik kepada penganut agama Yahudi maupun Nasrani, masing-masing telah di ambil janjinya oleh Allah. Janji tersebut dinamai mitsaq. Kata tersebut berasal dari watsiqa yang secara literal berarti mengikat dan menetapkan. Menurut Djaka Soetapa, Th. D, beliau setuju dengan sikap menuju Oksidentalis, yaitu bahwa para tulisan muslim tentang agama Kristen bersikap apologetis. Dalam suasana yang apologetis itu maka kutipan-kutipan dari sumber Kristen sering tidak mencerminkan halhal yang betul-betul menjadi pendapat atau pandangan Kristen. Orang hanya tertarik dengan ma qala (apa yang dikatakan) dan melupakan
291
Hasan Hanafi, Dari Aqidah Ke Revolusi, Sikap Kita Terhadap Tradisi Lama, Terj. Asep Usman Ismail (et, al), Jakarta, Paramadina, cet I, 2003, hlm. 27. 292 M. Ghalib M, Ahl Kitab, Makna dan Cakupannya, Jakarta, Paramadina, cet I, 1998, hlm. 74-74.
man qala (siapa yang mengatakan) demi membenarkan pendapat sendiri.293
b. Prof. Dr. Fazlur Rahman 1) Kritik Metodologis dan Epistimologi Tafsir Richard Bell Fazlur Rahman menilai bahwa dalam studi Richard Bell tidak ada pengetahuan mengenai al-Qur’an. Hampir semua karya ini hanya membahas pada aspek-aspek tertentu di dalam al-Qur’an dan Rahman melanjutkan dan tidak ada satupun karya Richard Bell yang bersumber dari al-Qur’an itu sendiri. Karya-karya tersebut menunjukkan adanya sebuah pandangan eksternal yang telah mengendalikan. Tidak satu pun di antara karya-karya tersebut yang telah menyajikan al-Qur’an membuat terma-terma sendiri, sebagai sebuah kesatuan.294 Mengenai prinsip direfensiasi yang di maksud dalam konteks metodologi tafsir, menurut Fazlur Rahman, beliau menawarkan suatu prinsip yang sangat penting untuk membedakan anatara nilai ideal moral dan legal moral, sedangkan dalam konteks metodologi tafsir Muahammad Syahrur, yang dimaksud prinsip diferensiasi adalah prinsip membedakan antara kitab anatara kitab ar-Risalah dan Kitab an-Nubuwah.295 Dengan demikian, upaya membedakan secara tegas antara ideal moral dengan legal formal harus menjadi perhatian yang serius bagi seorang mufassir agar tidak terjebak pada pemahaman tekstual al-Qur’an yang terkadang justru mengabaikan nilai-nilai moral. Hal itu bisa dilkuakan dengan cara mencermati konteks internal ayat al-Qur’an maupaun konteks eksternalnya, yaitu 293
Djaka Soetapa, Th. D, “Ibn Hazm atau As-Syahrastani”, Kumpulan Makalah Seminar, Jakarta, 1990, hlm. 20. 294 Dadan Rusmana, al-Qur’an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat, Bandung, Pustaka Setia, cet I, 2006, hlm. 117. 295 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta, LKiS, cet I, 2011, hlm. 135.
kondisi sosio-historis masyarakat Arab pada waktu suatu ayat itu diturunkan.296 Sementara itu, Muahammad Syahrur memandang salah satu prolem yang terbesar dalam penafsiran al-Qur’an adalah prolem aplikasi metodologi penafsiran al-Qur’an. Untuk itu, menurutnya direfensiasi tegas mana yang merupakan Kitab ar-Risalah dan mana yang merupakan Kitab an-Nubuwah sehingga aplikasi metode pembacaan kontemporer memperoleh akurasi secara ilmiah.297 2) Kritik pergantian ayat dalam al-Qur’an Kritik terhadap dotrin Nasikh-Mansukh Richard Bell, Rahman kembali mengkritik bahwa kita kembali kepada masalah “penggatian” ayat-ayat tertentu kepada ayat-ayat lainnya di dalam al-Qur’an. Inilah arti yang sediakala dari perkataan nasikh, menurutnya perkataan ini bukanlah doktrin hukum mengenai pembatalan hukum mengenai pembatalan hukum seperti yang dibelakang hari tumbuh di dalam tubuh Islam dan merupakan usaha untuk menghilangkan perbedaan-perbedaan makna yang nyata diantara ayat-ayat tertentu.298 Kita telah mengetahui bahwa ayat-ayat tertentu digantikan oleh ayat-ayat lainnya melalui printah Allah swt atau melalui wahyu-Nya. Al-Qur’an menjelaskan bahwa ketika orang-orang Mekkah mendesak muhammad untuk mengubah doktrin al-Qur’an sehingga meraka dapat terima, beliau menjawab bahwa hanya Allah swt., saja yang dapat membuat perubahan itu, seang ia sama sekali tidak berdaya: (QS. Yunus [10]: 15-16). Ketika ayat-ayat yang jelas dibacakan kepada mereka maka diantara mereka yang tidak ingin bertemun dengan kami 296
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet II, 2011, hlm. 5. 297 Abdul Mustaqim, op. cit., hlm. 141 298 Fazlur Rahma, Pokok-Pokok Al-Qur’an, Terj. Anas Mahyudin, Bandung: Pustaka, cet II, hlm 1996, hlm. 131
(dihari kebangkitan nanti) berkata: bahwalah al-Qur’an yang lain atau ubahlah yang ini’. Katakanlah bahwa aku tidak berhak mengubahnya, aku hanhya mengikuti apa-apa yang diwahyukan kepadaku; jika aku mengingkari Tuhanku aku takut akan hukuman dihari yang besar nanti. Jika Allah menghendaki niscaya aku tidak akan menyampaikan kepada kalian dan diapun tidak akan mengabarkannya kepada kalian-tidaklah kalian pikirkan bahwa (sebagian besar) hidupku telah kulewatkan bersama kalian?” (QS. [10] Yunus: 15-16). Di dalam al-Qur’an banyak sekali bukti-bukti bahwa ketika Nabi pada waktu-waktu tertentu mengiginkan perkembangan ke arah tertentu, teryata wahyu Allah menunjukan arah yang lain: “ Jangan gerakan lidahmu (sebelum menerima wahyu) dengan ceroboh karena mengharapkan wahyu seperti apa yang telah engkau iginkan. Sesungguhnya kamilah yang menghimpunkannya dan membacakannya-jadi jika kami membacakannya hendaklah engkau
turuti.
Dan
setelah
itu
Kamilah
yang
berhak
menjelaskannya”.299 (QS. [75] al-Qiyamah: 16-19). Rahman mengiginkan al-Qur’an dan Sunnah sebagai barometer dalam penelitian fenomenologi agama Islam. Ketika ada peneliti Barat (nonmuslim) yang akan melakukan kajian agama Islam, mereka harus tetap mengapresiasi, bersimpati, dan menghargai eksistensi al-Qur’an dan Sunnah sebagai pegangan pokok umat Islam yang tidak dapat diganggu gugat eksistesinya. Amin Abdullah menegaskan kembali sikap Rahman tersebut. Ia, dengan mungutip Lakotos dan Fazlur Rahaman, menyatakan bahwa hard core atau Islam normatif tidak boleh diganggu gugat, sedang protective belt atau “Islam historis” bisa diuji, dipertannyakan, dan direkonstruksi.300
299
Ibid., hlm. 132 Abdul Basith Junaidi, (et,al), Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet I, 2009, hlm. 216 300
Kaitannya dengan di atas, al-Qur’an mempunyai jalinan yang erat dengan agama sebelumnya yang mempunyai latar belakang historis. Fazlur Rahman mengungkapkan untuk mendapat latar belakang historis harus dicari dalam tradisi Arab sendiri bukan pada tradisi Yahudi atau Kristen. Dari hal ini tampak bahwa al-Qur’an tetap transenden, tapi disesuaikan dengan masyarakat waktu itu dan mempunyai segi universal. Persoalan apakah ada keterpengaruhan ajaran Islam dengan agama sebelumnya dan apakah Islam berdiri sendiri walaupun ia berasal dari Yahudi dan Kristen telah banyak dikaji oleh banyak orientalis. Mereka ini bersemangat untuk membuktikan secara geneologis Islam berasal dari agama sebelumnya. Menurut Fazlur Rahman yang terpenting bukanlah orisinalitas Islam, melainkan persepsi Muhammad mengenai dirinya sendiri dan misinya yang berhubungan erat dengan Nabi-Nabi sebelumnya dan agamaagama mereka serta kaum mereka.301 Para sejarawan yang menulis jenis tafsir ini lupa bahwa penekanan kisah-kisah al-Qur’an tidak terletak pada jalan ceritanya, tetapi tetapi pada aspek pesan moral yang dikandungnya. Dengan demikian adalah suatu penyimpangan ketika kisah-kisah al-Qur’an ditafsirkan dengan perincian yang tidak subtansial. Penyimpangan dalam tafsir historis lebih jelas lagi ketika tafsir itu dimasuki Israiliyat, yakni legenda-legenda YahudiNasrani yang masuk dalam tafsir. Lebih parah lagi ketika Israiliyat yang dimasukan ke dalam tafsir masuk dalam katagori Maudhu’ (palsu). Eksistensi Israiliyat dalam tafsir historis tidak saja merupakan penyimpangan, lebih lagi ia, menurut Syaltut, telah menjauhkan umat Islam dari mutiara-mutiara al-Qur’an.302
301 302
196
Ibid., hlm. 222 Rohison Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, cet I, 2009, hlm.
Setelah memaparkan penjelasan dari Fazlur Rahman terkait dengan kritik epistimologi dan metodologi terhadap Richrad Bell, penulis menilai bahwa ketergantungan pemikiran Bell ini tidak bisa dilepaskan oleh tokoh-tokoh sebelumnya seperti Sir William Muir, Tor Andrea, Noldek, Regis Blechere, Friedrich Schwally dan Hartwing Hirschfeld, sehingga dengan bercermin kepada alur transmisi keilmuan Bell, bisa dipastikan bahwa Bell menjadi korban pendahulunya, kendati demikian metodologi Bell banyak mengarah kepada Historis-filologis, yang hanya bersifat afirmatif dengan mengedepankan nalar ideologis. sehingga al-Qur’an sering kali diperlukan hanya sebagai justifiasi bagi kepentingan ideologi tersebut. akibatnya, muncul sikap otoritarianisme, fanatisme, dan sektarianisme madzhab sehingga memunculkan sikap truth claim dan saling mengkafirkan satu dengan yang lain. Dan penulis menambahkan bahwa metodologi yang di tawarkan oleh Richard Bell dalam teori nasikh-mansukhnya dapat dihentikan dengan menggunakan nalar kritis, karena penulis merasa tidak puas melihat produk-produk yang dihasilkan oleh Bell berdasarkan penafsirannya yang konvensional yang dinilai sangat ideologis, otoriter, hegemonik, dan sektarian sehingga menyimpang dari tujuan utama diturunkannya al-Qur’an. Jika al-Qur’an dipahami secara komprehensif, holistik, dan kontekstual maka ia akan menjadi solusi alternatif dalam menjawab prolem modernitas. c. Prof. Dr. Subhi Shalih Kritik terhadap teori penanggalan Richard Bell. seperti dalam karya “Mabahis fi Ulum al-Qur’an”, Dr. Subhi mengkritisi beberapa pandangan orientalis diantaranya. 1) Kritik terhadap kronologis al-Qur’an Richard Bell Menurutnya Bell juga pengikut Weil dalam penyusunan kronologi al-Qur’an, ia mengawali karirnya sebagai sarjana al-
Qur’an lewat publikasi dari bahan-bahan kuliah yang diberikannya di Edinburgh University, The Origin of Islam in Its Christian Environment, (1926) kajian utamanya mengenai penanggalan alQur’an, meski dalam bentuk yang tidak lengkap, dapat dietmukan dalam karya terjemahannya, The Quran Translation with a Critical Rearrangement Of The surashs, 2 jilid.(1937), meskipun dalam bentuk yang tidak lengkap. Beberapa kekurangannya diperbaiki oleh artikel-artikenya dan sebagain lagi oleh karyanya, Intoduction to the Qur’an, yang terbit pada tahun 1953, buku terakhir ini, belakangan, direvisi oleh William Montgomery Watt dalam buku Bell’s Introduction To The Koran (1960)303 Sementara itu Fazlur Rahman, Ia sapakat dengan Rudi Peret dalam menolak pendapat Richard Bell tentang dapat direkonstruksinya rangkaian kronologi al-Qur’an, meskipun salah satu karyanya Bell yakni Introduction to the Qur’an yang telah disempurnakan oleh muridnya, W. Montgomery Watt, dipandang Rahman sebagai “amat bermanfaat.”304 Selain itu juga nama-nama lain yang berusaha menyusun al-Qur’an secara kronologis diantaranya: A Rodwell menyusun buku The Koran, Translation With de Suerash Arranged in Cronological Order yang diterbitkan di London tahun 1861, dan Blachere yang menyusun buku Le Coran, Traduction Selon un Essei de Reclassement des Sourates yang diterbitka di Paris tahun 1949-1951.305 Buku Blachere ini mendapat penilaian dari Dr. Subhi Salih, karya Blachere ini sangat cermat. hal ini didasarkan pada penilaian 303
Subhi Shalih, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Beirut: Lebanon, Dar ‘Ilm lil-Malayin, cet XVII, 1988, hlm. 177. Karman, M. & Supiana. Ulumul Qur’an, dan Pengenalan Tafsir, Bandung: Pustaka Islamika, cet 1, 2002, hlm 114. Dadan Rusmana, al-Qur’an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat, Bandung: Pustaka Setia, cet I, 2006, hlm. 317 304 Taufik Adnan Amal, Islam Tantangan Modernitas, Studi atas Hukum Fazlur Rahman, Bandung: Mizan, cet III, 1992, hlm, 138 305 Karman, M. & Supiana. Ulumul Qur’an, dan Pengenalan Tafsir, Bandung: Pustaka Islamika, cet 1, 2002, hlm 114
ilmiahnya buku tersebut sangat menonjol, namun dalam buku tersebut dari segi bobot isinya berkurang, sebab sisitematika suratsurat al-Qur’an yang disusun secara kronologis itu tidak berdasarkan pedoman yang memiliki kredibelitas. Sebagaimana Blachere sendiri mengakui karyanya bahwa metode yang selama ini ia gunakan hanya sekedar untuk mencari-cari atau mencobacoba metode tanpa menggunakan pedoman yang pasti. Bahkan, ia juga mengatakan bahwa cara yang ditempuhnya didasarkan pada pendapatnya jika al-Qur’an merupakan titik tolak yang dapat dijadikan pedoman dalam pembagian terhadap khazanah perkembangan Islam, sistematika surat-surat al-Qur’an, dan pertumbuhan ajaran-ajaran Nabi Muhammad saw.306 Oleh sebab itu, Syaikh Zarqani mengatakan bahwa susunan dan urutan al-Qur’an sepenuhnya berdasarkan dari petunjuk Nabi Muhammad yang dibimbing langsung oleh Malaikat Jibril. Diriwayatkan oleh sebuah hadist, Malaikat Jibril berkata kepada Muhammad “letakanlah ayat ini dalam surah ini, dan urutan yang kesekian.” (HR. Ahmad). Dalam kesempatan laian Syaikh Zarqani mengatakan bahwa tidak seorang pun dari Sahabat atau khalifah, seperti Abu Bakar, Umar bin al-Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, yang ikut campur dalam penyusunan urutan al-Qur’an. Semuanya mengikuti petunjuk Nabi Muhammad. Penyusunan al-Qur’an yang digagas oleh Abu bakar, hanyalah sebatas mengumpulkan tulisantulisan al-Qur’an yang tercatat di pelepah kurma, kulit binatang, dan diberbagai benda lainnya. Untuk dijadikan dalam satu Mushaf. Demikian juga penyusunan al-Qur’an dimasa Utsman. Tidak melampaui apa yang telah tercatat dan tertata dalam Mushaf. Kedua ushaha tersebut 306
Subhi Shalih loc. cit., Karman, M. & Supiana. loc. cit., Agung Abdul Khalifah alDilami, Jam’u al-Qur’an, Dirasat Tahliliyat li Marwiyat, Beirut: Lebanon, Dar-al-Kitab alIlmiyah, 1971, hlm. 373
tetap mengikuti urutan dan susunan al-Qur’an yang telah digariskan oleh Rasulullah saw.307 Al-Qur’an menurut Fazlur Rahman hanya dapat dipahami secara kronologis dan antara satu dengan yang lainnya merupakan kebutuhan. Dalam memperkuat argumennya Rahman memberikan ilustrasi tentang mukjizat dan komunitas yang berkembang akibat perbedaan waktu.308 Menurut penulis Richard Bell bukanlah orang yang baru dalam mengkaji kronologi al-Qur’an ia teropsesi dan termotifasi dengan para pemikir sebelumnya. Untuk itu teori nasikh- mansukh yang Bell kontruksikan masih perlu dikaji kembali karena menurut penulis konstruksi Bell, masih jauh dengan apa yang cendikiawan ulama’ rumuskan. Untuk itu dalam memahami teori nasikh mansukh penulis katakan: hal ini tidak bisa terlepas dari keterpengaruhan ulum alQur’an diantaranya. Ilmu sejarah al-Qur’an, munasabah, ilmu asbab an-nuzul, di dalam ilmu asbab an-nuzul tentu ada kaidah ibrah, al-‘Ibrah bi umum al-lafdz la bi khusish al-sabab, al-ibrah bi khusuhi as-sabab la bi ‘umum al-lafdzi, kaidah Nazil, ta’addudun nazil wa sabab al-wahid, sabab al-wahid wa ta’addudun nazil, namun yang sekarang di era kontemporer muncul kaidah al-‘ibrah bi maqasyidus Syari’ah. Serta kurangnya pemahaman tentang ulum at-Tafsir maupun ulum al-Qur’an secara komprehensif. 2) Kritik terhadap ayat-ayat Misterius (Fawatihus Suwar) dalam alQur’an. Menurut Subhi Shalih, bahwa Noldeke berpendapat tentang bagaimana hukum fawatihus Suwar dalam al-Qur’an, ia menilai bahwa itu termasuk
tambahan yang dimasukkan ke dalam al-
Qur’an, yakni sebagai simbol (inisial) dari huruf belakang atau 307
Amir Fasol Fath, The Unity of al- Qur’an, Jakarta: Pustaka al-Kaustar, cet I, 2010,
hlm. 54-55 308
Abdul Mustaqim (ed. ), op. cit., hlm 225
belakang dari nama-nama Sahabat yang mempunyai naskah suratsurat tertentu.309 Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Abbas pada kata (kafha-ya-ain-shad), kaf, inisal Karim, ha
inisial, had, ya’ inisial
hakim, ain inisial ‘alim, shad inisial shadiq, 310 Noldeke, adalah orang pertama kali mengemukakan dugaan bahwa
huruf-huruf
ini
merupakan
petunjukan
nama
pengumpulnya, misalnya, sin sebagai kependekan dari nama Sa’id bin Waqqas, min dari nama Mughirah, nun dari nama Utsman bin Affan, dan ha dari nama Abu Hurairah.311 Namun, pendapat Noldeke ini sangat keliru, sebab, selain ia tidak beralasan juga karena bersifat spikulatif.312 Menurut Husein At-Thabathaba’i, menganggap bahwa huruf-huruf muqata’ah itu hanya terjadi di permulaan surat saja, demikian itu tidak mungkin terjadi kecuali hanya ada di dalam kitab-kitab Samawi, dengan bertujuan untuk menjelaskan ayatayat tersebut.313 Karena itu tidak mungkin jika kita bandingkan dengan penyusunan sebuah karya tulis atau artikel dengan menambah atau memperbanyak huruf-huruf tertentu sesuai dengan yang tertera dalam pembukuannya, selain Allah swt., Tuhan yang maha mengetahui segala sesuatu yang memiliki kemampuan menghitung dengan kecepatan tak terhingga serta lebih cermat dari komputer. Tuhan maha menegetahui segala sesuatu, sehingga tidak mungkin ada kekeliruan pada-Nya. Sedang huruf-huruf terputus pada pembukaan surat-surat tertentu sebagaimana dibicarakan di atas
309
Subhi Shalih, op. cit., hlm 241. Karman dan Supiana, op. cit., hlm. 179-180 Subhi Shalih, op. cit., hlm. 239 311 Rohison Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, cet I, 2009, hlm 101. Karman dan Supiana, Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka Islamika, cet I, 2002, hlm. 180 312 Karman dan Supiana, loc. cit., 313 Al-‘Alamah Husein at-Thabathaba’i, al-Mizan Fi Tafsir al-Qur’an, Jilid XVIII, IranMuassasah Isma’iliyan, cet V, 2000, hlm. 6-7 310
merupakan bagian kecil ilmu Tuhan yang disisipkan oleh al-Qur’an untuk kita ungkap pada suatu ayat.314 Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?...(QS. [41] Fushshilat: 53) Lebih lanjut ia mengatakan bahwa rahasia yang saya ungkapkan dari rangkaian huruf-huruf tersebut sebagai satusatunya rahasia yang terkandung dibaliknya. Tapi ia sebatas pengantar awal, di mana tidak ada yang tahu sejauh mana batas yang kita selami. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa temuan ini sebagai argumen bantahan terhadap tuduhan bahwa al-Qur’an adalah karangan Muhammad saw., sendiri. Selain rangkaian dalam huruf al-Qur’an kita juga masih berhadapan dengan mesteri rangkaian kata yang tidak disusun sembarangan tanpa maksud tertentu.315 Setelah menguraikan pendapat di atas, mengenai yat-ayat yang di anggap misterius oleh Richard Bell, penulis katakan itu tidak benar bahwa ayat-ayat fawatih as-suwar, kendati demikian itu sebenarnya hanya dalam wilayah pengetahuan Allah swt., bebarapa ulama’ tafsir klasik hingga modern sepakat hal tersebut yang dapat mengetahui adalah Allah swt., Meskipun ada sebagian ulama’ yang megatakan serta mendefinisikan masing-masing arti dari fawatih suwar. Penulis yakin inilah yang menjadi lahan empuk bagi Richard Bell, ketika mufassir saling berbeda pendapat, terhadap masalah itu. Untuk itu penulis menilai bahwa Bell kurang tepat jika dikatakan fawatih suwar masih bersifat misterius.
314
Mustafa Mahmud, Dialog dengan Atheis, Terj. A. Maimun Syamsudin, Yogyakarta: Mitra Pustaka, cet I, 2002, hlm. 202 315 Ibid., hlm. 203
d. Dr. Edward W. Said Dalam buku Edward W. Said, yang berjudul Orientalisme, beliau menilai bahwa orientalisme selama ini telah gagal baik secara historis maupun secara politis, sekaligus beliau
mengajak bahwa,
bagaimanapun, pemikiran dan pengalaman modern telah mengajarkan kepada kita agar bersikap peka apa yang tampak dalam suatu “representasi” dalam pengajian “the outhers”, dalam pemikiran rasial, dalam penerimaan secara taklid buta atas otoritas dan gagasan otoriter, dalam peranan sosial- politik kaum intlektual, dan dalam kesadaran kritis yang skeptis. Barangkali, jika kita mengigat bahwa kajian mengenai pengalaman manusia biasanya memiliki konsekuensi etis dan politis, baik dalam artinya yang buruk maupun paling baik, maka kita tidak akan mengabaikan begitu saja kewajiban kita sebagai cendikiawan.316 Edward menganggap kegagalan orientalisme sebagai kegagalan intlektual dan juga kegagalan kemanusian. Karena keputusan untuk mengambil oposisi-oposisi yang kukuh terhadap sesuatu kawasan dunia yang dianggapnya asing bagi dunia sendiri, orientalisme telah gagal dalam mengidentifikasi dirinya dengan pengalaman manusia yang sebenarnya. Beliau juga telah menggugat akar-akar persepsi Barat yang keliru terhadap dunia Timur (Oriental), dalam hal ini dunia Islam. Singkatnya bagi Said, citra Barat tentang Islam adalah hasil konstruksi untuk tidak menyebutnya imajinasi liar-Barat sendiri, yang jauh menyimpang dari realitas sebenarnya.317 Jika kalau saja kita sedikit memetik manfaat dan bangkitnya kesadaran politis dan historis bangsa-bangsa didunia pada abad ke 20. Kita sebenarnya sudah bisa
316
Edward W. Said, Oreintalisme Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukan Timur sebagai Objek, Terj. Ahmad Fawaid, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet I, 2010, hlm. 512 317 Ayzumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia, Jakarta: Paramadina, cet I, 1999, hlm. 66
melawan hegemoni orientalisme yang telah mendunia itu, berikut dengan semua bentuk pengungkapan hegemoni yang dimunculkan.318 Dengan demikian Richard Bell dinilai sebagai orang yang menyimpang dari ajaran-ajaran Kristen, karena Bell berlebihan dengan penilaiannya terhadap agama Islam, sehingga tidak heran kalau Bell pada awal-awal, pemikirannya banyak tidak mendapat respon dari koleganya, dengan demikian pada awalnya banyak karya-karya Bell yang tidak diterbitkan dan jarang sekali muncul di media.
e. Prof. Dr. Musthafa Azami kritik orientalis Richrad Bell terhadap kompilasi al-Qur’an, melalui karyanya, The History of the Qur’anic Text, Tampaknya terdapat pintu gerbang yang digunakan sebagai alat penyerangan terhadap teks al-Qur’an, salah satu adalah menghujat tentang penulisan dan kompilasinya. Dengan semangat pihak orientalis mempertanyakan mengapa, jika al-Qur’an sudah ditulis sejak zaman Nabi Muhammad saw., umar merasa khawatir dengan kematian para huffaz pada peperangan Yamamah, memberitahu Abu Bakar akan kemungkinan lenyapnya Kitab Suci ini lantaran kematian mereka.319 Lebih jauh lagi mengapa bahan-bahan yang telah ditulis tidak disimpan dibawah pemeliharaan Nabi Muhammad saw., sendiri? Jika demikian halnya mengapa pula Zaid bin Thabit tidak dapat mamanfaatkan dalam menyiapkan Suhauf itu? Meskipun berita itu diriwayatkan oleh al-Bukhari dan dianggap sah oleh semua kaum muslimin, penjelasan itu tetap dianggap oleh kalangan orientalis apa yang didektekan sejak awal dan penulisannya dianggap palsu. Azami menilai, bahwa kemungkinan karena kedangkalan ilmu, berlaga tolol (tajahul), atau pengingkaran terhadap kebijakan kaum Muslimin merupakan permasalahan sentral yang melingkari pendirian 318
Edward W. Said, loc. cit., Mustafa Azami, Sejarah Teks al-Qur’an dari Wahyu sampai Kompilasi, Terj. Sohirin Solihin, (et,al), Jakarta: Gema Insani, cet I, 2005, hlm. 338 319
mereka. Katakanlah terdapat satu naskah al-Qur’an milik Muhammad saw., mengapa beliau menyerahkan kepada sahabat untuk disimak dan dimanfaatkan? Besar kemungkinan, diluar perhatian, tiap nasikhmansukh, munculnya wahyu baru, ataupun perpindahan urutan ayatayat tidak akan tercermin dalam naskah dikemudian hari, tentu beliau akan membuat informasi keliru dan melakukan sesuatu yang merugikan manfaatnya.
umatnya;
kerugian
yang
dirasa
lebih
besar
dari
320
Dalam kitab limahati fi ulumul Qur’an karya Dr. Lutfi asSibagh, ia mengambil pendapat as-Suyuti dalam al-Itqan-Nya, dia mengatakan memang dalam peryataan as-Suyuti terhadap mushaf yang sudah disepakati oleh Habsah. Dengan demikian as-Suyuti menilai bahwa ini ada kaitannya dengan khabar, dimana Isnadnya Munqatti’ (terputus), Di mana imam as-Suyuti mengambail dari hadis yang diriwayatkan oleh Abi as-Syaibah dalam kitab “al-Masahif ”, yang berbunyi: “anna awala man samma al-muhafa mushafan huwa Abu Bakr. “sesunggunhnya orang yang pertama kali memberikan nama mushaf adalah Abu Bakar.321 Menurut Syah Wali Allah, wahyu-wahyu yang disampaikan skepada nabi dihujamkan kedalam hatinya, lalu melaui lisan, Nabi menyampaikannya kepada para sahabat sabil memerintahkan mereka untuk menulis serrta menghafalkannya, kebetulan masyarakat yang bersentuhan dengan al-Qur’an menggunakan aksara yang ditulis dari kanan ke kiri, karenanya kalau ada yang menulis tidak dengan aksara itu, tidaklah menjadi persoalan yang esensial, selama dapat dibaca dengan benar.322
320
Ibid., hlm. 338 M. Bin Lutfi as-Sibagh, Limahat fi Ulum al- Qur’an, wa at-Tijahat al-Tafsir, Lebanon: Maktabah Islamiy, cet III, 1990, hlm. 110 322 H. B. Jassin, Kontroversi al-Qur’an Berwajah Puisi, Jakarta: Grafiti, cet I, 1995, hlm 272-273 321
Jika naskah itu terdapat, mengapa Zaid bin Thabit tidak memakainya sebagai narasumber di zaman pemerintahan Abu Bakar? Sebelumnya telah saya kemukakan guna untuk mendapat legitimasi sebuah dokumen, seorang murid pasti bertindak sebagai saksi mata dan menerima secara langsung dari guru pribadinya. jika unsur kesaksian tidak pernah terwujud, adanya buku seorang ilmuwan yang telah meninggal dunia, misalnya akan menyebabkan kehilangan nilai teks itu. Demikianlah yang dilakukan oleh Zaid bin Tsabit. Dalam mendikte ayat-ayat al-Qur’an kepada para Sahabat, Nabi Muhammad saw., melembagakan sistem jalur riwayat yang lebih terpercaya didasarkan pada hubungan antara murid dengan guru; sebaliknya karena beliau tidak pernah menyerahkan bahan-bahan tertulis, maka tidak ada unsur kesaksian yang terjadi pada naskah kertas kulit yang dapat digunakan sebagai sumber utama untuk tujuan perbandingan, baik oleh Zaid maupun yang lain.323 Sejarah mencatat bahwa Zaid ketika itu menumukan kesulitan karena ketika beliau dan sekian banyak Shahabat menghapal ayat (QS.9:128). Tetapi naskah yang ditulis dihadapn Nabi saw. tidak ditemukan. Syukurlah pada akhirnya naskah naskah tersebut ditemukan juga ditangan seorang Sahabat yang bernama Abi Huzaimah
al-Anshari.
Demikianlah
terlihat
betapa
Zaid
menggabungkan antara hafalan sekina banyak sahabat dan sekian naskah yang ditulis di hadapan Nabi saw., dalam rangka memelihara keotentikan al-Qur’an. Sedangkan menurut Qurais Shihab menilai bahwa dengan demikian dapat dibuktikan dari tata-tata kerja dan data-data sejarah bahwa al-Qur’an yang kita baca sekarang ini adalah otentik dan tidak berbeda sedikitpun dengan apa yang diterima dan dibaca oleh
323
Ibid., hlm. 338
Rasulullah saw., lima belas abad yang lalu.324 Sekali lagi bahwa kenapa Umar khawatir akan kehilangan al-Qur’an karena syahidnya para huffadz? Beliau menegaskan karena hal ini menyangkut hukum kesaksian.325 Sebagaimana dikatakan oleh Mustofa as-Siba’i, bahwa diantara tujuan kegaiatan orientalis, imperialis dan kolonialis ialah untuk melepaskan nilai-nilai akhlaq yang dimiliki pemuda dan pemudi Islam di negeri-negeri Islam. Mereka menjauhkan tata krama dan adab serta akhlak Islam dari pemuda- pemudi Islam dengan tuduhan bahwa tata krama itu sudah ketinggalan zaman, kolot, mundur, dan lain sebagainya. Itelio Godio, berusaha melakukan semua itu ketika itu ia bekerja sebagai tenaga pengajar di lembaga Arab Thanjah pada tahun 1949.326 Suatu lajnah yang ditugaskan mengumpulkan dan menulis alQur’an dengan diketuai oleh Zaid bin Zaid r.a. yang tidak perlu kita bentangkan lagi di sini, akan tetapi wajarlah jika banyak orientalis seperti Richard Bell untuk mengancam al-Qur’an di masanya, karena al-Qur’an sangat menakjubkan. Penulisan secara ilmiah pertama kali dilakukan oleh umat Islam dengan usaha yang teratur dan mendapat restu dari umat Islam sendiri. f. Prof. Dr. Yusuf Qardawi Berbeda dengan Yusuf Qardawi (1926) dikenal sebagai tokoh ikhwanul Muslimin sampai sekarang, yang bertentangan dengan ide Islam Liberal pada umumnya. Yaitu masalah kesesatan orang-orang Kristen dan Yahudi, karena berlebih- lebihan. Di situ Qardawi mengatakan, “Takutlah akan berlebih-lebihan dalam agama. (kaum) sebelumnya telah binasa karena berlebih-lebihan.”
324
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam kehidupan Masyarakat, Bandung, Mizan, cet XV 1997, hlm. 25. 325 H. B. Jassin, op. cit., hlm. 339. 326 Ahmad Muhammad Jamal, Membuka Tabir Upaya Orientalis dalam Memalsukan Islam, Bandung, Dipenogoro, Alih bahasa As’ad Yasin B. A, cet I, 199,1 hlm. 115.
Kaum yang dimaksud adalah kaum agama lain, khususnya Ahli Kitab Yahudi dan Kristen dan terutama sekali Kristen. Pendapat Qardhawi itu jelas bertentangan 180 derajat dengan konsepsi teologipluralis yang dikembangkan oleh Islam liberal, yang menganggap bahwa Nasrani dan Yahudi bukan kaum kafir. Padahal dengan tegas Qardhawi menyatakan bahwa kaum Kristen dan Yahudi adalah kaum kafir. Menurut Qardhawi, kekafiran Yahudi dan Nasrani adalah sesuatu yang amat jelas. Masalah kekafiran dua agama itu, menurut Qardhawi, telah ditegaskan oleh puluhan ayat al-Qur’an dan Hadits. Bukan semata-mata oleh satu, dua ayat al-Qur’an. Masalah itu adalah bagian dari “al-Ma’lum min dinil al-Islam bidh-dharuurah” (sesuatu agama Islam yang elementer, kalangan awam mengetahuinya). Qardhawi sama sekali tidak respek dengan kaum “Islam liberal”. Bahkan, ia mengecam kelompok itu sebagai kelompok oarang-orang yang berusaha menyerang dasar-dasar akidah dan tsaqafah Islam. Bahkan ada yang mengajak kita untuk membuang seluruh ilmu-ilmu al-Qur’an (Ulumul al-Qur’an) dan seluruh warisan ilmu pengetahuan al-Qur’an ketong sampah, untuk kemudian memulai membaca al-Qur’an dari nol dengan bacaan kontemporer, tanpa terikat oleh suatu ikatan apa pun, tidak berpegang pada ilmu pengetahuan sebelumnya. Juga tidak dengan akidah dan aturan yang telah ditetapkan oleh ulama’ umat Islam semenjak berabad-abad silam. Visi yang kontradiktif antara pemikiran orientalis dengan pendangan Islam lebih disebabkan dari dimensi metodologis yang diterapkan secara keliru oleh mereka. Misalnya, pendekatan Historis dalam kajian al-Qur’an lebih merupakan pendekatan yang tidak akurat. Karena aspek asbab al-Nuzul (proses turun) al-Qur’an bukanlah peristiwa yang empiris. Meskipun tidak dibantah ia adalah bersifat pencermatan empirik namun beda dalam tataran transhistoris metaempirik.
Pendekatan historis dalam kajian keislaman menimbulkan nilai yang berbeda tergantung dalam bidang apa yang dikaji. Metode ini memiliki kelemahan di mana menempatkan sisi luar dari fenomena keagamaan yang dikaji dan tidak mampu mengungkapkan makna yang esensial dan subtansial. Kekurangan tersebut sering juga tersebut didukung oleh tidak tersedianya sumber kajian yang lengkap dan sumber yang salah.327 Dengan demikian, kritik sejarah yang dilakukan dalam alQur’an menampilkan sosok al-Qur’an sebagai sesuatu yang historis dan non historis. Al- Qur’an dikatakan historis karena ia menerangkan jalinan kesinambungan wahyu tuhan sebelumnya dengan adanya penyesuaian wahyu dan tempak serta kondisi. Tampaknya dari sisi ini Muhammad
Abduh
menjustifikasi
pandangan
ini
ketika
mengemukakan teori evolusi wahyu di mana wahyu Allah yang sesuai dengan taraf kemajuan umat manusia dan kesempurnaannya adalah wahyu Nabi Muhammad saw. Oleh karena untuk itu, tidak heran kalau dalam al-Qur’an ada kesamaan dalam kitab-kitab sebelumnya kemudian baru menjiplaknya. Sedangkan kajian al-Qur’an dalam bingkai non-historis mendapat hasil esensi wahyu yang berada di luar sejarah dan bersumber dari Tuhan. Tuhan dalam hal ini berdasarkan kehendaknya dapat memilih seorang rasul yang dipercayai untuk menyampaikan tugas suci-Nya.328 Sebagaimana Qordawi, menjelaskan bahwa bisa jadi diantara sebab nasakh adalah merupakan ketentuan manhaj ilahi yang bijaksana yang membagun kehidupan umat secara evolutif (berangsur-angsur) dalam pemberian syariat. Yang membawa umat dari satu fase satu ke
327
Abdul Mustaqim (ad.), Studi Al-Qur’an Kontemporer, Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, Yogyakarta, Tiara Wacana, cet I, 2002, hlm. 218. 328 Ibid., hlm 219.
fase yang lain, hingga akhirnya syariat lengkap dalam bentuknya yang terakhir.329 Dalam konteks ini, dapat dipahami firman Allah swt., ayat-ayat tentang ‘shaum’ puasa.(QS.al-Baqarah:183-184). Al-Bukhari dan yang lainnya meriwayatkan dari Salmah bin Akwa dan dari Ibnu Umar, seperti yang lain meriwayatkan dari Mu’adz: bahwa firman Allah swt., dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin” adalah hukum fase yang pertama. Saat itu puasa hanya dijadikan pilihan, kemudian akhirnya diwajibkan oleh ayat yang berikutnya: (QS. al-Baqarah:185). Menurut Qardawiy pada masa kini, masih ada orang-orang yang meluaskan dakwaan nasikh dengan dalil yang lemah atau tanpa dalil.330 Sebagaimana peryataan Zarqaniy dalam Kitab Manahil Irfan fi Ulum al-Qur’an, beliau mengatakan: “diantara dalil-dalil yang tidak menerima naskh dan tidak pula mengurangi (dalil), adalah masalah shaum yang terjadi pada ayat tersebut. Karena masalah itu masuk dalam wilayah pokok-pokok ibadah dan muamalat, dan itu merupakan bukti yang benar, karena kedua hal tersebut langsung berhungan dengan ibadah Mahdhah (yaitu ibadah yang secara langsung kepada Allah swt).331 2. Pandangan cendikiawan Indonesia a. Prof. Dr. Quraish Shihab Salah satu buktinya Richard Bell adalah bahwa munculnya rima-rima yang tersembunyi tampaknya, terkadang bahwa setiap bacaan dengan asonansi ditambahkan pada surah berasonansi lain, frase-frase ditambahkan untuk memberikan asonansi yang belakangan, contoh yang telah dikemukakan adalah QS. al-Mu’minun (23): 12-16. 329
Yusuf Qardhawi, Berinteraksi dengan al-Qur’an, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani, Jakarta, Gema Insani, cet II, 2000, hlm. 468. 330 Ibid., hlm. 468. 331 az-Zarqaniy, op. cit., hlm. 213.
Orientalis ini juga berpendapat bahwa ada bagian-bagian alQur’an yang ditulis pada masa awal karier Nabi Muhammad saw, tetapi ada lagi sesudah itu ditulis di samping atau di belakang “kertas” yang dimaksud adalah segala jenis bahan yang digunakan untuk menuliskan
ayat-ayat
al-Qur’an.
Contoh
lain
yang
telah
dikemukakannya adalah QS. al-Ghasyiyah. Di sana digambarkan mengenai hari kiamat dan nasib orang-orang durhaka, kemudian dilanjutkan gambaran orang-orang yang taat ayat 10-21,332 Ayat 17-20 menurutnya tidak punya kaitan pikiran, baik dengan apa yang disebutkan sebelumnya maupun sesudahnya, dan hal ini ditandai dengan
rimanya. Bell kemudian mengemukakan
hipotesanya bahwa ayat 17-20 ditempatkan disana karena ayat-ayat itu ditemukan tertulis di bagian belakang ayat-ayat 13-16. Selanjutnya ia berpendapat, dalam kasus khusus ini bahwa ayat 13-16 yang ditandai dengan rima dari ayat-ayat sebelumnya, adalah tambahan dan ayat-ayat itu, dan kebetulan ditulis pada sisi belakang potongan kertas yang sudah berisi ayat 17-20.333 Melihat masalah ini.
Dr. M. Quraish Shihab, dalam karya
Tafsir al-Misbah, Pesan, kesan, dan Keserasian al-Qur’an, beliau membantah peryataan-peryataan, pada surat dan ayat-ayat yang di rumuskan oleh Richard Bell di atas. Menurutnya pendapat ini tidak benar,
karena
seperti
dikemukakan
di
atas,
riwayat-riwayat
membuktikan bahwa bukan sahabat Nabi saw, bahkan bukan pula Nabi Muhammad saw. atau malaikat Jibril as. Yang menyusun sistematika penurunan ayat dan surah, tatapi yang menyusunnya adalah Allah swt., sendiri. Khusus untuk kasus QS. al-Ghasiyyah, bagaimana mungkin penempatannya dilakakan oleh para penulis al-Qur’an, sedangkan surah itu turun di Mekkah, jauh sebelum pengumpulan al-Qur’an pada 332
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Vol. I, Jakarta, Lentera Hati, cet X, 2008, hlm. xix 333 Ibid., hlm. xix.
masa Abu Bakar dan ‘Utsman ra. Bagaimana mungkin mereka yang telah menyusunnya, padahal surah ini amat sering diabaca oleh Nabi Muahmmad saw. bukankah beliau membacanya tiap malam pada shalat witir, sebagaimana telah banyak diriwayatkan oleh sekian banyak ulama dan melalui sekian banyak sahabat Nabi saw, dan tentu ini diikuti oleh sahabat-sahabat beliau, bahkan hingga kini oleh umatnya. Nabi juga membacanya pada saat shalat Idul Fitri yang tentu terdengar sesuai dengan susunan itu oleh ribuan kalau enggan berkata puluhan ribu – umat Islam. Menurut penulis, Memang mengakuui bahwa dalam al-Qur’an itu benar, ada rima yang berbeda dalam rangkaian ayat-ayat yang ditemukan dalam satu tempat. Ini bukan saja dalam rangka membuktikan bahwa al-Qur’an bukan syair sebagai mana dituduhkan sementara kaum musyrikin, tetapi juga untuk tidak menimbulkan kejenuhan mendengar atau membaca ayat-ayat yang rimanya terus menerus sama, dan yang lebih penting dari itu, pergantian rima itu dapat menyentak, sehingga melahirkan perhatian bagi pembacanya atau pendengarnya, menyangkut pesan yang dikandung ayat yang berbeda rimanya itu. Kendati demikian, tidak dapat disangkal bahwa ada ayat-ayat al-Qur’an yang menimbulkan pertanyaan tentang penempatannya. Seperti surah al-Ghasyiyyah yang dijadikan salah satu contoh oleh orientalis Richard Bell. lebih lanjut M. Quraish Shihab memberikan analogi, bahwa kita juga dapat menunjuk surah al-Baqarah yang berbicara tentang haramnya babi sambil mengandengkannya dengan uraian tentang ancaman terhadap yang enggan menyebarluaskan pengetahuan, anjuran bersedekah, kewajiban menegakkan hukum, wasiat sebelum mati, kewajiban memelihara hubungan suami istri, dan seterusnya yang-menurut para kritikus-tidak saling berkait.334
334
Ibid., hlm. xx.
Untuk menanggapi pertanyaan dan kritikan itu, lahirlah salah satu bahasan khusus dalam studi al-Qur’an yang dianamai ilmu alMunasabah, yang pada initinya adalah menjawab pertanyaan “Menggapa ayat atau surah itu ditempatkan setelah ayat atau surah ini?” Menurut Imam az-Zarkasyi, ilmu didasarkan pada keyakinan bahwa al-Qur’an ibarat bangunan yang bagian-bagiannya saling menguatkan. Ia laksana kesatuan kalimat yang tidak bisa dilepaskan antara satu dengan yang lain.335 Imam az-Zarkasyi menambahkan bahwa ilmu ini sangat urgen, sebab, berfungsi untuk menguji kesahihan struktur kalimat, dan ilmu ini menjadikan setiap bagian kalimat berkaitan dan saling menyempurnakan dengan yang lain. “kajian pertama yang harus dilakukan adalah menjelaskan posisi setiap ayat, apakah berhubungan bahkan menyempurnakan ayat yang sebelumnya atau ayat tersebut independen. Dan bagaimana hubungan ayat yang independen dengan ayat sebelumnya” terangnya.336 Prof. Dr. M. Quraish Shihab, memberikan contoh mengenai al- munasabah dalam tafsirnya al-Misbah, bahwa adanya hubungan antara surat pada ayat (QS. (2): 106) , yang berbicara tentang ayat nasikh, hal ini adanya keterkaitan dengan ayat setelahnya 107, menurutnya, redaksi semacam ini, menagandung kecaman yang lebih pedas dari pada yang redaksinya ditunjukan langsung kepada yang dimaksud. 337 Lebih lanjut, beliau mengatakan bahwa penutup pada ayat 106 dan keseluruhan ayat 107, dapat juga sebagai argumentasi tentang kebijaksanaan Allah untuk melakukan naskh dan penundaan di atas. b. Prof. Dr. Nashruddin Baidan
335
Amir Fasol Fath, The Unity of al- Qur’an, Jakarta, Pustaka al-Kaustar, cet I, 2010, hlm. 331. Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet II, 2011, hlm. 183-188. 336 Ibid., hlm. 332. 337 M. Quraish Shihab, op. cit., hlm. 290.
1) Kritik Nashruddin Baidan terhadap ayat-ayat yang mengandung Syair. Sebagian ulama menolaknya karena cara seperti itu menurut mereka berarti menjadikan syair sebagai asal dari alQur’an padahal al-Qur’an itu sendiri tidak menyukai syair-syair seperti penyair yang mengubah syair tersebut sebagaimana ditegaskan Allah dalam ayat 224-226 dari surat al-Syu’ara’ sebagai berikut:338
7Š#uρ Èe≅à2 ’Îû öΝßγ‾Ρr& ts? óΟs9r& ∩⊄⊄⊆∪ tβ…ãρ$tóø9$# ãΝßγãèÎ7®Ktƒ â!#tyè’±9$#uρ ∩⊄⊄∉∪ šχθè=yèø'tƒ Ÿω $tΒ šχθä9θà)tƒ öΝåκ¨Ξr&uρ ∩⊄⊄∈∪ tβθßϑ‹Îγtƒ Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap- tiap lembah, dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya)? (QS. [42] asy- Syu’ara’: 224-226) Dalam surat Yasin ayat 69 ditegaskan pula bahwa Allah tak pernah mengajarkan syair kepada Nabi Muhammad saw dan tak pantas syair itu baginya.
×β#uöè%uρ Öø.ÏŒ āωÎ) uθèδ ÷βÎ) 4 ÿ…ã&s! Èöt7.⊥tƒ $tΒuρ t÷èÏe±9$# çµ≈oΨôϑ‾=tæ $tΒuρ ∩∉∪ ×Î7•Β Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah layak baginya. Al Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan. (QS. [36] Yasin: 69) Hal itu mereka lakukan karena al-Qur’an diturunkan dalam bahasa arab sebagaimana tidak bisa disangkal oleh siapapun. Berdasarkan kenyataan itu jelas bagi kita bahwa mereka sebenarnya tidak menjadikan syair dalam memahami ayat-ayat suci 338
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet II, 2011, hlm. 270.
sebagaimana dituduhkan oleh kelompok pertama tadi, melainkan sebagai alat bantu dalam upanya mamahami ayat-ayat itu. Jadi mereka tidak pernah menganggap syair-syair arab sebagai asal atau rujukan dari al-Qur’an. Jika demikian halnya, maka tidak ada salahnya bila kita menggunakan syair arab dalam memahami al-Qur’an selama tidak menganggap syair tersebut asal dari al-Qur’an melainkan hanya sekedar memudahkan pemahaman. Sebagaimana contoh kata “andada” yang terdapat pada enam tempat dalam al-Qur’an yaitu ayat 22 dan 165 dari surat al-Baqarah; ayat 30 dari Ibrahim; 33 dari Saba’; ayat 8 dari al-Zumar; dan ayat 9 dari al-Fushilat.339 2) Kritik terhadap Model bacaan al-Qur’an (Qiraat al-Qur’an) Menurut Nashruddin Baidan, beliau cenderung kepada pendapat Ibn Al-Jaziri yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf dalam hadist Nabi adalah tujuh dalam membaca al-Qur’an, meskipun terdapat bacaan yang sangat bervariasi, lebih dari tiga puluh bacaan, namun semua perbedaan ittu tegasnya kembali kepada tujuh. Pendapat ini juga didukung oleh Zarqani.340 Dengan dibukukannya pada tahab kedua pada masa Utsman bin Affan, maka perbedaan Qira’at yang pada mulanya amat menonjol dan pada variasi bacaan yang sangat beragam, menjadi berkurang dan terkendali secara baik. Hal itu dimungkinkan, karena mushaf tersebut tidak diberi tanda-tanda baca seperti titik, koma, harkat, dan sebagainya. Dalam rangka itu, Puin kemudian mengklaim bahwa ia telah menemukan mushaf lama di Yaman yang konon mengandung qiraah yang lebih awal dari qiraah tujuh yang terkandung dalam 339
Ibid., hlm. 271. Kamil Musa dan Ali Dukhruj, Kaifa Nafham al-Qur’an, Dirasat fi alMadzahib al-Tafsir wa Itijahatiha, Beirut, Lebanon, 1992, hlm. 157-158. 340 Nashruddin Baidan, Ibid., hlm. 100. Adapun dari ketujuh macam model bacaan, bisa dilihat selengkapnya dalam buku tersebut.
mushaf Utsmani, walaupun mushaf itu tidak lengkap dan sangat berbeda
dengan
Mushaf
Utsmani.
Manuskrip
Sana’a
itu
mengandung qiraah tujuh atau qiraah sepuluh karena qiraah yang ada dalam manuskrip itu mengandung qiraah yang lebih banyak dari qiraah tujuh, sepuluh, atau empat belas. Menurut Armas, bahwa pendapat puin tidak memiliki landasan yang kukuh. Banyaknya qiraah yang terdapat dalam manuskrip itu tidak semestinya benar, karena qiraah tersebut sudah keluar dari qiraah empat belas yang memuatkan bacaan mad. Jadi qiraah yang banyak itu hanyalah qiraah yang syadh (ganjil, menyimpang) ataupun maudhu’ (palsu). Jadi qiraah yang ada dalam manuskrip itu adalah lemah (dhaif).341 Dari itu ayat-ayat al-Qur’an dapat dibaca dalam berbagai qira’at sesuai dengan dengan qira’at dan sesuai dengan apa yang diajarkan Rasul Allah; tetapi tidak sebebas seperti ketika belum diulang dalam pembukuannya. Jadi pembukuan di masa Utsman, tidak mengakibatkan hilangnya bacaan-bacaan yang lain; bahkan sebaliknya,
memberikan
pengakuan
secara
resmi
terhadap
kebenaran qira’at tersebut, dan diakui secara sah oleh para ulama selama qira’at itu tidak keluar atau bertentangan dengan apa yang termaktub dalam mushaf Utsmani.342 Dengan peryataan di atas bahwa Bell dalam memahami qiraa’at dalam al-Qur’an masih bersifat dangkal terhadap ilmu tersebut, kendati demikian bahwa Richard Bell belum bisa membedakan mana riwayat yang sahih dan mana riwayat yang dhaif. Di sini letak kelemahan Richard Bell, dia tidak mengenal mana riwayat yang benar dan mana riwayat lemah. Seharus dalam memahami ilmu tersebut harus banyak memakan literatur dan
341
Adnin Armas, Pengaruh Kristen – Orientalis Terhadap Islam Liberal, Jakarta, Gema Insani, cet II, 2004, hlm. 65. 342 Nashruddin Baidan, op. cit., hlm. 116-117.
perangkat-perangkat lainnya. Agar dapat tercapainya pemahaman yang objektif. c. H. B. Jassin Perdebatan-perdebatan tentang apakah al-Qur’an cenderung pada gaya puitisi atau prosa, dalam literatur Islam telah hadir jauh sebelum H. B Jassin mempuitisasikan ayat-ayat al-Qur’an. Secara mayoritas ulama jumhur (ulama kebanyakan) menyatakan tanpa
dipuitisasikan,
sesungguhnya
ayat-ayat
al-Qur’an,
bahwa telah
mengandung nilai puisi yang sangat agung, karena itu, Taha Husain dalam upanya mengkompromikan dua pandangan yang kontradiktif satu sisi menganggap al-Qur’an puisi, prosa dan al-Qur’an.343 Semua ini mendiskripsikan di mana al-Qur’an kumpulan puisi ataupun prosa. Struktur bahasa al-Qur’an dengan perubahan rima yang tiba-tiba; pengulangan kata rima yang sama dengan penggandengan ayat; pencampuran pokok bahasa asing ke dalam satu bagian al-Qur’an yang homogen; keterputusan dalam konstruksi gramatikal; perubahan yang tiba-tiba dalam panjang ayat; peralihan mendadak dalam suasana dramatis dari kata ganti tunggal dan jamak; dan segala bentuk keunikan lain yang belum terungkap merupakan karekteristik tersendiri dari ciri khas al-Qur’an.344 d. Dr. Moh. Nastir Mahmud Kritik Pendekatan
terhadap
metodologi
historisisme
dalam
historisisme
studi
al-Qur’an
Richard
Bell.
tidak
akan
menghasilkan konklusi yang positif dalam pandangan Islam. Dalam sejarah Barat sungguh terdapat banyak aib dan cela namun sangat disayangkan, jarang ditemukan oksidentalis yang membantah opini orientalis.345
343
H. B. Jassin, Kontroversi al-Qur’an Berwajah Puisi, Jakarta, Grafiti, cet I, 1995, hlm.
271. 344
Ibid., hlm. 272. Syauqi Abu Khalil, Islam Menjawab Tuduhan, Jakarta, Pustaka al-Kautsar, cet I, 2006, hlm. xxvi. 345
Karena itu historisisme melakukan eksplanasi terhadap objek penyelidikannya. Eksplanasi dilakukan oleh pihak outsider (pihak luar). Akibat negatif dari posisi sebagai outsider menurut Hall: “The danger of the position of “being ‘outsider’ is that the date of being studied can easily reduced to fit metodological categories”.(bahaya posisi sebagai pihak ‘outsider’ data yang diteliti dengan mudah direduksi untuk mencocokan dengan kategori-kategori metodologi). Outsiders dapat dianggap benar atau memadai jika pengikut agama tersebut mengiyakan pernyataan tersebut, selanjutnya, Rahman memerinci syarat-syarat bagi outsiders ketika ingin meneliti agama orang lain. Mereka harus tidak mempunyai sikap bermusuhan, prasangka. Mereka harus berfikir terbuka (open minded), bersikap simpati, jujur dan penuh ketulusan. Sikap itulah yang akan mampu menyisihkan, bahkan menghapuskan prolem perbedaan insiders dan outsiders.346 Demikian pembuktian-pembuktian yang paling mencolok untuk menegaskan kepalsuan kisah “Garanik al-Ula” itu. Tangkisan tokoh-tokoh Islam itu ternyata berpengaruh kepada tokoh-tokoh orientalis pada masa belakangan.347 Ringkasan kisah Al-Gharaniq yang kontroversial tersebut adalah sebagai berikut: “Rasulullah membaca surah (QS. [53] an-Najm: 19-20) di Makkah, ketika sampai pada ayat yang berbunyi:
∩⊄⊃∪ #“t÷zW{$# sπsWÏ9$¨W9$# nο4θuΖtΒuρ ∩⊇∪ 3“¨“ãèø9$#uρ |M≈‾=9$# ãΛä÷ƒutsùr& “Maka Apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) mengaggap Al Lata dan Al Uzza, dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)? (QS. [53] an-Najm: 19-20) Setan memasukkan dalam Nabi kata-kata berikut: 346
Abdul Basith Junaidi, (et,al), Islam dalam berbagai Pembacaan Kontemporer, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet I, 2009, hlm. 313. 347 H. M. Joesoef Sou’yb, op. cit., hlm. 161-162. Syauqi Abu Khalil, Islam Menjawab Tuduhan, Jakarta, Pustaka al-Kautsar, cet I, 2006, hlm. 76.
. وان ﺷﻔﺎﻋﺘﻬﻦ ﻟﺘﺮﺟﻰ, ﺗﻠﻚ اﻟﻐﺮاﻧﻴﻖ اﻟﻌﻠﻰ “Mereka semua adalah Tuhan yang agunbg syafa’atnya selalu duharapkan.” Setelah
mendengar
kalimatya
tersebut,
orang-orang
musyrik berkata, “Hanya pada hari ini, Tuhan-Tuhan kita disebutkan dengan baik.” Ketika Nabi Muhammad saw bersujud diakhir surah, orang-orang muslim dan orang-orang kafir bersujud secara bersamaan. Kemudian Allah menurunkan ayat tersebut: {QS.[22]:Al-Hajj 52}. Dan (al-Hajj [22]: 42-44) (al-Hajj [22]: 4952)348 Rana Kabbani, dalam buku Menggugat kesalah Pahaman Barat, beliau menilai secara intlektual, Richard Bell tidak mungkin memahami dalam keadaan apa pun dalam tradisi yang sudah jelas bermusuhan,
bahkan
menjadi
paranoid.
Lagi
pula
ada
kemungkinan tuduhan ini yang pertama kali disebut oleh pengikut Zorester yang menyusup ke dalam Islam dengan tujuan menghancurkan kekuatan dan pengaruhnya, dan terutama doktrin terpenting tentang monoteisme. Sebagian besar komentator terkemuka menyangkal bahwa Nabi pernah menyatakan bahwa dewa-dewa itu kembali menjadi keramat, dan bagaimana juga tidak bukti bahwa “Ayat-ayat Setan” pernah muncul di dalam al- Qur’an. Namun hal ini tidak akan menghalangi orientalis untuk menusuk-nusuk legenda tersebut sebagai bukti, bahwa Nabi Muhammad saw., adalah orang yang haus dengan kekuasaan dan manipulator yang tak berprinsip dan yang sedia membuka doktrin yang paling fundamental untuk memperoleh dukungan dari berbagai kepentingan yang bercokol di Mekkah. Pandangan inilah yang disebar luaskan oleh Salman Rusdie yang diperdebatkan itu. 348
hlm. 383.
Amir Fasol Fath, The Unity of al- Qur’an, Jakarta, Pustaka al-Kaustar, cet I, 2010,
e. Dr. Taufik Adnan Amal Taufik Adnan Amal mengkritk secara komprehensif tentang unit-unit wahyu yang diasumsikan dan dielaborasikan oleh Richard Bell. Asumsi radikal Bell ini, selain memiliki kelemahan yang telah disinggung di atas, barang kali tidak logis. Jika al-Qur’an secara terus menerus mengalami revisi seperti yang dimaksud Bell, maka orangorang yang berupaya menghafal al-Qur’an pada masa Nabi tentunya akan mengalami kesulitan serius dengan adanya berbagai perubahan yang konstan dalam kandungan kitab tersebut, dan hal ini agak sulit dibayangkan. Ketika unit-unit wahyu telah ditetapkan, maka langkah selanjutnya adalah memberi penanggalan terhadapnya. Suatu kajian dalam perkembangan misi kenabian Muhammad saw., dalam pentas sejarah, untuk menemukan pijakan bagi penanggalan al-Qur’an, mesti dilakukan terlebih dahulu. Kesepakatan yang eksis dalam berbagai sistem penanggalan tentang butir-butir khas dalam wahyu-wahyu yang awal akan sangat membantu dalam menetapkan unit-unit wahyu yang bisa dikelompokkan dan diberi penanggalan dari masa tersebut. Demikian pula berbagai rujukan historis yang ada dalam al-Qur’an misalnya (30: 2-5). Bagian-bagian al-Qur’an yang merekondisikan peperangan atau berbicara tentang pengikut-pengikut Nabi yang terlibat dalam pertempuran. Ungkapan-ungkapan Muhajirun, Anshar, alladzina fi qulubihim maradl, munafiqun, dan lainnya, secara jelas berasal dari hijarah. Di samping itu, bahan-bahan tradisional juga akan memberikan banyak pentunjuk di dalam penanggalan unit-unit wahyu tertentu. Tentu saja penyusunan rangkaian kronologis unit-unit wahyu al-Qur’an semacam itu membutuhkan upaya-upaya keserjanaan yang serius dan memakan waktu lama. Bahkan upaya penyusunan sistem penanggalan ini sebagaimana diyakini oleh Fazlur Rahman dan Rudi
Paret barangkali merupakan keniskalaan. Tetapi asumsi-asumsi dasar yang telah diutarakan di atas paling tidak akan sangat membantu mengarahkan kita pada penetapan rangkaian kronologis “kasar” unitunit wahyu dalam kajian-kajian tafsir tematis kronologis, yang dewasa ini mendominasi peta perkembangan tafsir al-Qur’an. Dalam menanggapi pandangan Bell tentang Fenomena kewahyuan yang berada dalam tatanan natural, Vahidudin dan Nizamat Jung berpendapat bahwa peristiwa mesteri dalam pengalaman wahyu menurut Bell sudah tergolong peristiwa supranatural dan sebagai peristiwa yang luar biasa.349 f. Dr. Amir Faisol Fath Kritik Hipotesa Richard Bell terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Menurut Amir, melalui karyanya “The Unity of Al-Qur’an” Ia menjelaskan bahwa para Ulama telah sepakat kalau al-Qur’an disusun berdasarkan petunjuk langsung dari Nabi Muhammad saw., atau bersifat tauqifi. Imam Zarkasyi mengatakan bahwa urutan ayat-ayat dalam dalam satu surah, dan peletakan “basmalah” di awal surah juga tauqifi. Tidak ada keraguan dan perbedaan pendapat antara ulama. Oleh karena itu, maka tidak boleh ada pertentangan.350 Imam Zarkasiy dalam kitab al-Burhan misalnya melarang penulisan dengan mengubah sesuatu yang pernah ada walaupun dalam bahasa arab sekalipun. Lantaran meunurutnya pandangannya, dalam penulisan seperti yang dikenal selama ini mengandung banyak rahasia. Ia telah menyingkap sebagian dari rahasia-rahasia itu. Terlebih dalam tradisi penulisan mushaf al-Qur’an terhadap doktrin yang menyatakan bahwa: “sesuatu yang menyimpang dari kesepakatan rasm Utsmani adalah bid’ah”.351 349
Dadan Rusmana, al-Qur’an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat, Bandung, Pustaka Setia, cet I, 2006, hlm. 182. 350 Amir Fasol Fath, The Unity of al- Qur’an, Jakarta, Pustaka al-Kaustar, cet I, 2010, hlm. 53. 351 H. B. Jassin, Kontroversi al-Qur’an Berwajah Puisi, Jakarta, Grafiti, cet I, 1995, hlm. 273.
Imam As-Suyuthi mengatakan bahwa kesepakatan ulama dan berbagai riwayat sahih yang menyatakan bahwa susunan al-Qur’an adalah tauqifi dan tidak bisa dipersoalkanm. Sebab, di dalamnya tidak terdapat pertentangan dan perbedaan. Beliau lalu mengutip pendapat Ja’far bin Zubair yang menyatakan bahwa penempatan ayat-ayat dalam sebuah surat dilakukan dibawah petunjuk yang Nabi Muhammad saw. Dan tidak ada perbedaan pendapat anatara kaum Muslimin mengenai masalah ini. Syaikh Zarqani misalnya mengatakan bahwa ulama telah sepakat kalau susunan dan urutan al-Qur’an seperti yang kita lihat dalam mushaf yang kita baca sehari-hari, dilandasakan pada arahan dan petunjuk langsung Nabi Muhammad saw yang menerima bimbingan dari Allah swt., tidak ada ruang untuk ijtihad dalam menyusun al-Qur’an.352 Al-Maududi juga mengatakan bhwa susunan dan urutan alQur’an dalam mushaf merupakan struktur yang satu dan saling menguatkan dan yang lansung bersumber dari Allah swt., tidak ada penambahan atau pengurangan di dalamnya. Ia berkata, “susunan dan urutan al-Qur’an tidak dikerjakan berdasarkan inisiatif para sahabat. Nabi Muhammad saw, sendiri yang menyusunnya berdasarkan petunjuk dari Allah swt., bukti hal tersebut adalah firman-Nya yang berbunyi: “dan bacalah al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan,” (alMuzammil: 4). Ayat ini menegaskan bahwa al-Qur’an telah direncanakan menjadi sebuah kitab sejak pertama kali diwahyukan. Sebuah kitab harus disusun dan diurutkan secara benar. Oleh sebab itu, Al-Maududi menolak pendapat kaum orientalis dan beberapa pemikir lain yang menyatakan bahwa surah dan ayat-ayat al-Qur’an tidak disusun secara
352
Ibid., hlm. 54. Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet II, 2011, hlm 188.
benar berdasarkan bukti tema-tema al-Qur’an yang tercerai berai dan terpisah.353 Cara pandang yang komprehensif hal ini yang disampaikan oleh Muhammad Al-Ghazali, karena merupakan cara yang benar dalam mempelajari al-Qur’an. Sementara cara pandang partikular laksana tubuh yang lumpuh, sebagian anggota tidak berfungsi dengan baik. Tubuh tersebut takkan pernah berfungsi dengan sempurna selama masih lumpuh, jadi kita harus memandang al-Qur’an dengan cara yang komprehensif dan menyeluruh. Oleh sebab itu, ayat pertama al-Qur’an diawali dengan kalimat berikut (QS.al-Alaq: 1-7).354 Perintah pertama ayat di atas adalah membaca. Membaca dengan nama Allah swt, bukan membaca yang hanya diperuntukan bagi kemajuan peradaban, atau untuk ilmu pengetahuan. Kemudian ayat 3-5, ayat ini memasuki masalah ekonomi dan kemasyarakatan secara bersamaan. Titik ini merupakan tempat kesewenang-wenangan dan
kesombongan
mereka
ketika
mendapatkan
kemewahan,
memperoleh nikmat, serta mempunyai harta yang melimpah. Menurut Prof. Dr. Quraish Sihab, kata iqra terambil dari akar kata qara’a pada mulanya berarti “menghimpun”, yang diterjemahkan dengan “bacalah”, menurutnya tidak mengharuskan adanya suatu teks tertulis yang dibaca, tidak pula harus diucapkan sebingga terdengar oleh orang lain. Karenannya anda dapat menemukan, dalam kamus-kamus bahasa
beranekaragam
menyampaikan,
arti
menelaah,
dari
kata
membaca,
tersebut,
antara
mendalami,
lain,
meneliti,
mengetahui ciri-cirinya, dan sebagainya, yang semuanya dapat dikembalikan kepada hakikat “menghimpun” yang merupakan arti akar kata tersebut. Kita tidak penjelasan tentang objek perintah
353 354
Amir Faisal Fath, op. cit., hlm. 395. Ibid., hlm. 449.
membaca tersebut dari redaksi wahyu pertama ini, dan karena itu ditemukan beraneka ragam pendapat para ahli tafsir.355 Di samping itu Muhammad al-Ghozali pemikir Kontemporer, menolak tafsir yang menggunakan metode partikular dalam mengkaji al-Qur’an, seperti menolak penafsiran orang yang menghalalkan minuman keras dangan melihat pada surat an-Nahl, tanpa melihat ayatayat lainnya yang terdapat ditempat yang berbeda.356 h. Kritik Penulis terhadap konstruksi Richard Bell357 Dari beberapa cendikiawan ulama Timur Tengah dan Indonesia setelah menguraikan secara kritis terhadap gagasan sekaligus produk dari seorang orientalis berkebangsaan Inggris yaitu Richard Bell, sebagai dasar landasan bagi penulis, maka bagi penulis sendiri ketika memberikan kritik konstruksi metodologi Richard Bell terhadap nasikh-mansukh, hal ini penulis menggunakan pisau analisis hermeneutik kritis-oyektif dan analisis-kritis wacana kebahasan358, yang di pelopori oleh Hebermas, secara umum untuk melihat gagasangagasan teori nasikh mansukh Richard Bell serta konstruk metodologi, yang dibangunnya, antara lain yaitu: Penulis mengkritik metodologi biblical criticism,359 oleh Richard Bell dalam al-Qur’an, mengatakan bahwa al-Qur’an dalam 355
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung, Mizan, cet XV, hlm. 167. 356 Amir Faisal Fath, op.cit., hlm. 450. 357 Penulis di sini adalah Moch. Khoirul Anam. S.Th.I mahasiswa Jurusan Tafsir-Hadist, Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang angkatan 2008. 358 Hermeneutik ini bertujuan untuk mengungkap kepentingan dibalik teks, kendati memberikan penilaian positif atas gagasan Gadamer yang mempertahankan dimensi sejarah hidup pembaca. Hebermas menempatkan ‘sesuatu’ yang berada diluar teks sebagai problem hermeneutiknya. Kata-kata ‘Sesuatu’ di sini dimaksudkan untuk memahami dimensi ideologis penafsir dan teks, sehingga dia megandaikan teks bukan sebagai medium pemahaman sebagaimana dipahami dua model hermeneutik sebelumnya. Aksin Wijaya, Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan, Yogyakarta, Magnum, cet I, 2001, hlm. 149. Telewicara dengan Aksin Wijaya, pada hari Ahad, 8 Juli 2012, 08:00. 359 Biblical criticism adalah Metode kritik Injil (historical-Biblical critical-method), tidak dapat diterima untuk diaplikasikan serta dicocokan dengan metode-metode ulumul Qur’an yang diletakkan oleh ulama Islam. Karena metode ulumul Qur’an diciptakan untuk mengukuhkan prinsip yang menjadi sandaran epistimologi bahwa al-Qur’an adalah tanzil dari Tuhan semesta Alam. Ia dijaga dengan perhatian Allah dan umat Islam selama perjalanan berabad-abad lamanya
pandangan umat Islam bukan sebuah kitab yang diilhamkan oleh Allah kepada seorang laki-laki yang diberi otoritas untuk membuat redaksi dari dirinya sendiri. Hakikatnya al-Qur’an adalah kalam Allah swt, yang sesungguhnya seperti yang ditetapkan dalam lauh Mahfudz dan diturunkan kepada Muahmmad saw., pada zaman tertentu dengan pelantara malaikat Jibril. Adapun kekhususan suci yang keluar dari kitab ilahi ini tak hanya mencetak makna-makna teks belaka (subtansi), tetapi juga mencetak huruf-hurufnya (bentuk), kata-kata dan maknanya dari Allah swt. Dengan melihat uraian di atas penulis katakan Richard Bell juga kurang memahami kaidah nuzul dan kajian semantik al-Qur’an, sehingga hasilnya keliahatan prejudistik atau dugaan semata, penulis juga mendapat dukungan dari murid Bell yaitu, William Montgomery Watt, dalam buku Bell’s Introduction to the Qur’an, bahwa pendapatpendapat Bell di atas berasal dari dugaan suatu kesulitan yang tidak bisa diatasi oleh Richard Bell, jika kata hawa bukankah satu-satunya kata kerja yang berarti “mewahyukan”. Kata-kata nazala dan anzala dipergunakan dalam pengertian serupa. Kedua kata tersebut muncul tiga kali lebih sering katimbang dari pada bentuk turunan kata ahwa (sekitar 250 berbanding 78 kata). Dengan demikian kritik penulis terhadap Richard Bell secara tidak langsung dapat memberikan efek jera dan dapat mengkritisi pemikiran beliau melalui sikap orientalisnya, bahwa orang Kristen sudah tidak sejalan dan cenderung menyimpang dari norma-norma kerberagamaan, dengan cara pandang partikular yang dilakukan Richard
Bell
terhadap
ayat-ayat
al-Qur’an
porandakan
keorisinalitas
al-Qur’an
serta
tematiknya.
Menurutnya,
bahaya
yang
dapat merusak
memporakkesatuan
disebabkan
oleh
hingga kiamat datang menurutnya tidak dapat diterima dari segala bentuk permainan, perubahan dan penyelewengan. Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi al-Qur’an Kaum Liberal, Jakarta, Perspektif kelompok Gema Insani, cet I, 2010, hlm. 184. Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur’an, Jakarta, Gema Insani, cet III, 2007, hlm. 46-47.
ketidakmampuan melihat al-Qur’an secara komprehensif adalah memisah surat atau ayat dari surah atau ayat yang lain atau menjadikan al-Qur’an sebagai kitab yang terpisah yang akan menyengsarakan kehidupan umat Islam. Dari uraian di atas penulis memberikan kritikan terhadap Richard Bell, bahwa dalam menjelaskan hubungan antara satu ayat dengan ayat yang lain, yang mengindikasikan bahwa tujuan konteks surat adalah memperbaiki dan membersihkan halangan internal yang berupa penyimpangan dan kerusakan sehingga bisa menjdai pemenang agama
bukanlah
kemenangan
induvidual,
melainkan
untuk
kemenanangan prinsip-prinsip agama yang suci dan jalan kebenaran yang kokoh, maka prinsip amal dan pekerti yang mulia itu disambungkan dengan pembicaraan tentang perang. Penulis setuju dengan statement Dr. Abdul Mustaqim360, dalam buku Epistemologi Tafsir Kontemporer, beliau memberikan penjelasan dengan cara menganalisis komposisi dan struktur teks secara cermat oleh karena itu, teks harus dipandang sebagai sesuatu yang otonom di mana seorang mufassir dituntut bersikap kreatif dan tidak perlu lagi disibukkan dengan persoalan bagaimana mendeteksi konteks historis ayat tersebut. Dalam hal ini, penggunaan munasabah dalam Ulum alQur’an dan prinsip maqashid asy-syari’ah dalam ushul fiqih yang telah dirumuskan oleh para ulama terdahulu dapat di maksimalkan untuk menemukan prinsip-prinsip moral universal tersebut. Terlepas dari kekurangan dan kelebihan yang ada, metodologi penafsiran yang ditawarkan Rahman telah memberikan alternatif baru bagi pengembangan penafsiran al-Qur’an, terutama untuk memberikan solusi untuk memberikan kecenderungan penafsiran al-Qur’an yang subjektif, parsial, dan tekstualis-literalis yang menjadikan penafsiran menjadi kering dari nilai-nilai etis. 360
Beliau adalah dosen tetap Tafsir di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, lihat biografi
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta, LkiS, cet I, 2011.
Dengan berlandaskan atas pemikiran Nashruddin Baidan, penulis katakan bahwa Richard Bell, masih terbawa dengan pendapat sebagian kecil ulama yang menilai bahwa menggunakan riwayat dengan pendekatan syair. Sebetulnya riwayat yang menggunakan syair jika tidak ditemukan penafsiran dari al-Qur’an, sunah, dan perkataan sahabat. Jika tidak didapati ketiganya maka baru mencari syair-syair pada masa lalu dengan berdasarkan sumber yang benar. Dengan demikian Bell masih kelihatan ceroboh dalam mengambil sikapnya. Berkenaan dengan hal ini penulis menilai bahwa pendekatan historisisme dan filologisme yang Richard Bell gunakan dalam metodologi studi al-Qur’an itu bersifat reduksionis. Sebagaimana peryataan Royster beliau mengatakan bahwa pendekatan historisisme dan filologisme yang berusaha mencari akar institusi, beliau menolak hal-hal yang bersifat fundamental dan berusaha memperluas dasar teoritisnya, tetapi akibatnya menampilkan hasil yang kurang ilmiah. Di samping itu penulis didukung dengan pernyataan Maryam Jamilah bahwa kesalahan yang paling besar di masa modern adalah reduksionisme, di mana hal yang besar dijelaskan dalam tarap yang sangat kecil dan hal yang tinggi dijelaskan dalam taraf yang lebih rendah. Wahyu yang bersifat supranatural dijelaskan sebagai fenomena natural. Penulis sendiri tidak sepakat dengan pernyataan Richard Bell yang menyatakan bahwa dengan mengaransmen bentuk rima-rima, awal dan akhiran surat bersenandung sama, namun, penulis melihat Richard Bell tidak konsisten dengan teori rimanya, masih banyak lagi dalam ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung rima. penulis menilai bahwa penggunaan rima yang ada di akhir surat dalam al-Qur’an merupakan suatu bentuk genre tersndiri, sehingga otentisitas al-Qur’an tidak bisa dibantah dari segi apapun. Kendati demikian sejarah telah membuktikan bahwa kaum sharfah yang ingin memalingkan isi alQur’an baik dari redaksi, maupun teks-nya, tetapi Allah swt., tetap
menjaganya. Adapun bentuk rima-rima dalam al-Qur’an merupakan bagian dari nilai estetika tersendiri, ketika dibaca agar si pembaca dan pendengarnya tidak merasa jenuh dan bosan. Secara kompleks penulis simpulkan bahwa Bell belum bisa memahami arti munasabah dalam alQur’an secara komprehensif. Di dalam memahami dan mengeksplorasi ayat-ayat al-Qur’an yang mengalami nasikh-mansukh oleh Richard Bell yang berusaha untuk memaksakan al-Qur’an agar dapat berbicara sendiri dengan menekankan pada aspek metodologinya, untuk itu penulis sepakat dengan pandangan Fazlur Rahman bahwa rasionalisasi penafsiran yang terlalu dipaksakan justru cenderung mengabaikan dimensi sastra dan aspek kesejarahan. Akibatnya penafsirannya terhadap teori nasikhmansukhnya tersebut menjadi ahistoris. Oleh karena itu, para ulama dan cendikiawan seperti Abu Hayyan al-Andalusi, asy-Syathibi, Rasyid Ridha, Amin Kulli, Ibn Khaldun, Mustafa az-Azami, Musthafa as-Siba’i, Nasr Hamid Abu Zaid dan Yusuf Qordowi mereka kecenderungan tafsir yang demikian ditolak. Dengan melihat peryataan Yusuf Qardawi dan para ilmuanlain, penulis menilai, bahwa melalui pendekatan historis yang di lakukan oleh Richard Bell kemukakan sebagaimana di pembahasan lalu, di dalam kajian keislaman menimbulkan nilai yang berbeda tergantung dalam bidang apa yang dikaji. Metode ini memiliki kelemahan di mana menempatkan sisi luar dari fenomena keagamaan yang dikaji dan tidak mampu mengungkapkan makna yang esensial dan subtansial. Kekurangan tersebut sering juga tersebut sering juga didukung oleh tidak tersedianya sumber kajian yang lengkap dan sumber yang salah. Pada aspek lain, al-Qur’an dapat menampilkan sosok yang historis dan non historis, dikatakan historis karena ia menerangkan jalinan kesinambungan wahyu Tuhan sebelumnya dengan adanya penyesuaian wahyu dan tempak serta kondisi. Tampaknya dari sisi ini
Muhammad
Abduh
menjustifikasi
pandangan
ini
ketika
mengemukakan teori evolusi wahyu di mana wahyu Allah yang sesuai dengan taraf kemajuan umat manusia dan kesempurnaannya adalah wahyu Nabi Muhammad saw. Pendapat ini dipertegas oleh William Montgomery Watt dalam buku Bell’s Intodution to the Qur’an. Menurut Watt al-Qur’an bukanlah sajak yang pada setiap bait harus berujung konsonan atau vokal. Dalam pandangannya al-Qur’an lebih merupakan purwakanti, walau tidak mesti aksentuasinya selalu terletak pada bentuk kata akhir sebuah ayat. Pada surat al-Ikhlas misalnya, keempat ayatnya berirama-ad dengan mengesampingkan dengan bunyi-bunyi nada; pada surat al-Fiil (SQ. 105), ayat-ayat berirama –il dengan mengesampikan dengan vokal-vokal akhir dan membolehkan -ul pada salah satu akhir ayat. Sementara pada surat yang lebih panjang
(QS. 54), -r menjadi
konsonan rima dan mendominasi hampir pada setiap ayat, pada pada vokal-vokal akhir variasi –i dan –u bahkan –a muncul dalam posisi sebagai fail (bentuk yang paling umum berupa satu suku kata vokal pendek –r yang demikian menjadi konsonan rima). Menurut penulis bahwa al-Qur’an bukanlah prosa atau puisi, sisi lain prosa membagi kalam menjadi tiga macam: prosa atau puisi. sebab disatu sisi, walaupun didalamnya lebih cenderung ke prosa dengan kelaziman prosa mursal dan kata bersajak Arab, pada sisi yang lain justru cenderung puitis. Dalam pandangannya al-Qur’an lebih merupakan purwakanti, walau tidak mesti aksentuasinya selalu terletak pada bentuk kata akhir sebuah ayat. Penulis menilia bahwa al-Qur’an tidak selamanya bersajak meskipun ada pada akhir ayat-ayat tertentu memiliki sajak, dengan demkian penulis menambahkan, dengan munculnya varianvarian al-Qur’an karena Allah swt., menjadikan al-Qur’an agar mendapat perhatian khusus dan semakin diimani oleh hambanya serta
mudah untuk di ingat dan di hafalkan, karena itu al-Qur’an mengandung aspek i’jaz yang tinggi. Dengan metode tematik Richard Bell yang diaplikasikannya kedalam seluruh konsep nasikh mansukhnya dalam al-Qur’an. penulis mengatakan bahwa Bell bersikap takafful, di mana ayat-ayat yang setema dapat dielaborasikan sedemikian rupa untuk merekonstruksi dan menemukan Weltaneshcaung al-Qur’an mengenai tema yang dikaji. Sehingga konsepnya tidak boleh bertentangan dengan pandangan dunia al-Qur’an itu sendiri, karena penulis berangkat dari jargon al-Qur’an yang mengatakan “bahwa ayat al-Qur’an saling menafsirkan satu dengan yang lainnya” al-Qur’an yufassiru ba’dhahu ba’dha. Dengan prinsip tersebut, pemahaman yang komprehensif dan holistik dapat dicapai melaui metode tematik. Dengan demikian alQur’an sudah dapat berbicara dengan sendirinya, tanpa dipaksakan. Penulis juga menilai terkait dengan “ayat-ayat setan” yang dijadikan tendensi khusus oleh Richard Bell itu berdasarkan dari hadis maudu’. Jadi jelas hadis tersebut hanya dibuat-buat saja oleh rawirawinya di masa itu, lalu ini dijadikan dasar penetapan oleh Richard Bell. Dalam hal ini penilaian penulis juga mendapat dukungan dari Muhammad Abduh di mana beliau menolak pendapat yang menafsirkan ayat ini dengan kisah “al-Gharaniq” karena kisah tersebut adalah bohong, dan tidak sesuai dengan tema dan makna yang dikandung dalam al-Qur’an. Ia berkata, “sekarang kembalilah pada cara tafsir yang memaknai ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan makna yang diakandung oleh kata-katanya, dan ditunjuk secara jelas oleh kalimat-kalimatnya, dan hanya Allah yang maha mengetahui kebenarannya”. Akhirnya, setelah memaparkan semua upaya dan percobaan peradaban Barat dalam interaksi mereka dengan teks-teks sucinya, ada pertanyaan yang sangat mengelisahkan kebanyakan peneliti, padahal
jawabannya sudah hampir dapat diketahui pasti. Ketika bandingkan posisi al-Qur’an sebagain kitab suci yang tak ada bandingannya dalam Islam dengan posisi Bibel sebagai kitab suci Kristen, maka akan jelaslah bahwa al-Qur’an memiliki kehususan dan keistimewaan yang sangat tinggi. Dari sudut pandang eksternal apabila bisa dikatakan demikian al-Qur’an adalah satu-satunya kitab, sementatar Bibel adalah perpustakaan besar yang menghimpun berbagai kitab yang banyak (ingat bentuk plural “Biblia)” dalam bahasa Yunani.. Penulis juga menambahkan bahwa al-Qur’an merupakan khazanah sastra arab yang berdiri sendiri berbeda dengan Richard Bell yang menimbang keorisinalitas al-Qur’an dengan sistem rima, puisi, soneta, dan prosa, serta pengumpulan dan sebagainya hal ini sangatlah tidak relvan dan tidak tepat. Di samping itu yang harus perlu dipahami dalam mengkaji alQur’an itu harus mempersiapkan perangkat-perangkat tafsir sehingga produknya tidak dinilai cenderung parsial yang subjektif, dalam hal ini apa yang digagas oleh Bell masih bersifat parsial semata-semata karena kurangnya pemahamannya mengenai perangkat tafir dan ulum al-Qur’an. serta perlunya melihat sastra al-Qur’an pada isi yang mengagumkan, universal, prediktif, komprehensif dan adaptif. Dan hal inilah yang tidak disentuh oleh Bell di dalam hipotesanya di atas. Dia menyiratkan
ketidakteraturan
surat-surat,
tema-tema,
serta
ia
menganggap adanya iltifat dalam suatu ayat hal ini ia nilai adanya intervensi pihak luar dalam upanya penyusunan redaksi al-Qur’an. Penulis juga menambahkan sebagaimana peryataan Dr. Musthafa as-Siba’i dalam karyanya al-Istisriqaq wal Mustasriqun, beliau menilai bahwa orientalis sesungguhnya tidak mengambil ilmu dari gurunya. Mereka berlaku setera seperti anak-anak kecil, melompat-lompat padanya, lalu keluar dalam bentuk kependetaan. Kemudian memasukkan kepalanya dalam kebingungan impian. Dan menyangka jika ia memiliki sesuatu padahal tidak diketahuinya.
C. Kontribusi Richard Bell terhadap teori Nasikh-Mansukh dan Ulum alQur’an. Keterkaitan Richard Bell dalam memberikan kontribusi dalam bidang nasikh-mansukh dan ulum al-Qur’an, hal ini tidak bisa terlepaskan dari keterpengaruhan muridnya yaitu: W. Montgomery Watt, sebagaimana ia akui, di dalam karyanya Bell’s Introduction to the Qur’an ia telah berhasil menyempurnakan karya gurunya itu.361 Dalam pentas sejarah pengembangan nasikh-mansukh oleh para mufassir muslim dalam membentuk suatu karya tentunya tidak bisa terlepaskan juga dari keterkaitan oleh murid-muridnya sehingga menjadi mahakarya yang sempurna, dalam hal ini sebagaimana mufassir muslim seperti M. Abduh dan M. Rasyid Ridha dalam menyempurnakan karya gurunya itu, kini karya itu masyhur dengan sebutan Tafsir al-Manar, menurut Ibrahim Ahmad al-‘Adawiy, sebagaimana dikutip oleh Prof. Dr. Rif’at asSauqi, peryataan beliau sebagai berikut:362 Bahwa orang yang paling dekat dengan M. Abduh adalah M. Rasyid Ridha, sebab, sebagaimana diakui oleh Rasyid Ridha sendiri, kedekatan dan keterkaitan seorang murid kepada gurunya yang senantiasa memberikan tuntutan dan bimbingan, sebagaimana yang berlaku dalam kebiasaan dan pandangan kaum sufi. Begitu juga kaitannya dengan pengembangan nasikhmansukh dan ulum al-Qur’an seperti tokoh mufassir muslim klasik ini seperti: Imam Jalal al-Din al-Mahalli dan Jalalu al-Din asy-Suyuti, yang pada akhirnya lahirlah karya yang fenomenal mayshur dengan sebutan
Tafsir
Jalalain, al-Qur’anul Karim. 363
361
W. Montgomery Watt, Bell’s Introduction to the Qur’an, Edinburgh, at the University
Press, 1991, hlm. v 362
Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh,
Kajian Masalah
Akidah dan Ibadah, Jakarta, Paramadina, cet I, 2002, hlm. 43 363
378
Manna’ al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Singapura, Haramain, t.th., hlm. 366-
Di dalam pengembangan teori nasikh-mansukh dan Ulmu al-Qur’an rupanya terdapat nilai positif maupun negatif, meskipun ia seorang orientalis yang dikritik habis-habisan oleh cendikiawan muslim. Adapun dalam bentuk negatifnya sebagaimana penulis sudah dijelaskan di awal pada bab III dan IV. Richard Bell secara tidak langsung sudah meberikan kontribusi terhadap para cendikiawan muslim, mereka merasa terpanggil untuk mengasah kemampuan akal mereka, ketika ada permasalah yang mencuat di belantika disiplin ilmu yang terkait dengan ilmu-ilmu tafsir, sehingga para mufassir seakan-akan mendapat ilmu baru, dan membuka cakrawala yang Bell kembangkan, meskipun teorinya di tentang. Sedangkan dalam pengembangan ulum al-Qur’an bahwa Bell memberikan langkah yang patut kita semua memberikan apresiasi sedalam dalamnya kepada Bell, dengan susah payahnya beliau dapat menemukan sejarah dari kronologi al-Qur’an secara instan dapat di nikmati oleh pecinta ilmu arkeologi dan fiolologi dalam mengembangkan kajian Islam, meskipun konsepnya oleh cendikiawan muslim ditentang. Didalam pengembangan khazanah ilmu-ilmu al-Qur’an, Bell ternyata banyak didukung oleh orientalis kontemporer yang mana pandangan mereka positiif, diantaranya adalah: W. Motgomery Watt, Marshall G.S Hodson, John O. Voll, John L. Esposito, dan Joques Jomier, di mana mereka dinilai oleh kalangan cendikiawan Muslim bahwa kajian yang mereka kontribusikan merupakan suatu investestigasi awal tentang al-Qur’an, tidak saja menarik untuk dibaca tatapi juga dapat menghentikan pemikiran kita dalam memberi penilaian terhadap mereka, para sarjana orientalis ini, yang mempunyai kepedulian terhadap al-Qur’an. terlepas dari pretensi sebagai seorang Kristen yang ingin mendalami al-Qur’an, ia telah memberikan kontribusi penting dalam khazanah Ulum al-Qur’an yang sedikit tidaknya telah membuka mata cakrawala para pemberhati studi al-Qur’an. Seiring munculnya Renaissans, munculah alasan-alasan baru dalam studi Islam, Pertama, adanya rasa ingin tahu tentang budaya-budaya asing, khususnya filologi klasik yang menjadi paradigma untuk memahami budaya lain. Kedua, adanya kepentingan ekonomi dan politik orang Eropa yang
meningkatkan volume penjalanan kedunia Timur. Ketiga, lahirnya studi alKitab dan semitis dengan menjadikan studi bahasa dan teks-teks Arab sebagai alat yang bermanfaat.364 Uraian yang telah dikemukakan sejauh ini memperlihatkan berbagai gagasan dan sudut pandang yang berkembang dikalangan sarjana baik muslim maupun Barat tentang pewahyuan secara kronologis al-Qur’an yang terbentang sekitar 23 tahun, baik ketika Nabi menetap di Mekkah maupun setelah Nabi hijrah ke Madinah. Sebagaimana telah ditunjukkan di atas, berbagai sistem penanggalan yang mendasarkan diri pada asumsi surat sebagai unit wahyu terlihat tidak memadahi serta tidak setia kepada karekter asasi bahan-bahan tradisional penanggalan al-Qur’an itu sendiri. Karena itu asumsi, tradisonal lainnya tentang bagian-bagian al-Qur’an sebagai unit wahyu mesti dipegang kembali dalam upanya pemberian penanggalan terhadap kitab suci tersebut.365 Menurut Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal Pengabean, menanggapi berbagai aransmen kronologis yang dikemukakan para sarjana baik muslim maupun Barat, memiliki kelemahan tertentu, aransemenaransemen kronologi yang didasarkan pada asumsi surat sebagai unit wahyu orisinal tentu saja memiliki sejumlah kelemahan, terutama karena dalam satu surat mungkin ayat-ayatnya turun tidak secara sekaligus. Bahan-bahan tradisonal, seperti hadist, as-babun nuzul, nasikhmansukh, dan lain-lain banyak memperlihatkan bagian-bagian individu alQur’an bagian-bagian ayat, dari beberapa ayat dan sejumlah kecil surat pendek-sebagai wahyu orisinal. Dengan demikian menurut keduanya, bahwa asumsi-asumsi yang dikemukakan oleh Hirschfeld dan Richard Bell tentang bagian-bagian induvidual al-Qur’an sebagai unit wahyu menurutnya dapat dibenarkan. Sebagaimana mufassir muslim seperti Aisyah bin as-Sya’ti mengklaim kebenaran final dengan makna “riil” al-Qur’an tersebut, tetapi salah satu 364
Abdul Basith Junaidi, (et,al), Islam dalam Pembacaan Kontemporer, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet I, 2009, hlm. 252. 365 Dadan Rusmana, op. cit., hlm. 328.
keuntungan yang dapat diperoleh dari studi-studi karya Bintu as-Sya’ti dan Amin Kulli tentunya akan sama, juga tidak dikatakan mengungguli keuntungan-keuntungan yang diperoleh dalam studi tafsir-tafsir klasik yang tingkat pentingnya tampaknya dihargai tinggi oleh para sarjana Barat. Menurutnya mufassir sejati memang sangat jarang kebanyakan karya tafsir merupakan suatu bentuk campuran dari jenis tafsir kendati begitu semua karya tentang al-Qur’an berisi diskusi-diskusi filologis secara luas. Bahkan semua tafsir yang mengkaitkan antara al-Qur’an dan ilmu pengetahuan modern. Namun orang harus ingat rata-rata kalangan muslim modern, karena latar belakangan pendidikan dasar memengaruhinya, lebih memahami secara baik masalah-masalah filologi yang dimunculkan oleh al-Qur’an dari pada rata-rata orang Kristen Barat terhadap teks dan masalah-masalah filologi Injil.366 Penelusuran di atas juga mengimplikasikan kebutuhan akan sistem kronologi yang baru. Sistem kronologi ideal, menurut Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal, semestinya dilandaskan atas beberapa asumsi berikut: Pertama, unit wahyu orisinal adalah bagaian-bagian pendek al-Qur’an dapat
berupa
potongan
ayat-ayat,
atau
surat-surat
pendek.
Untuk
mengidentifikasi unit wahyu orisinal ini, gagasan atau tema, gaya al-Qur’an, serta bahan-bahan tradisional dapat dijadikan pegangan.367 Kedua, dalam menatapkan penanggalan suatu unit wahyu orisinal, perkembangan misi kenabian Muhammad dan komunitas muslim pada masa kewahyuan al-Qur’an mesti menjadi rujukan historis yang pasti, maka penanggalannya bisa ditetapkan secara lebih tepat, misalnya QS: (30): 2-5, berisi tentang kekalahan Bizantium atau Persia, surat Ali Imran QS: (3), 121129 tentang perang Badar, QS; at-Taubah (9): 25-27, tentang perang Hunain, dan lain-lain. Jika unit wahyu berisi suatu tema yang hanya muncul pada periode tertentu, penanggalannya munkin ditetapkan, seperti tema Jihad yang hanya muncul pada periode Madinah. 366
J. J. G. Jansen, Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern, Terj. Hairussalim dan Syarif Hidayatullah, Yogyakarta, Tiara Wacana, cet I, 1997, hlm. 123-124. 367 Ibid., hlm. 329.
Demikian pula, jika unit wahyu berisi suatu tema yang muncul dalam periode tertentu, penanggalannya juga dapat dilakukan, seperti tema Anshar dan Muhajirin yang hanya muncul setelah Nabi Muhammad dan para pengikutnya yang berasal dari Mekkah hijrah ke Madinah. Di samping itu, bahan-bahan tradisional juga dapat memberikan petunjuk di dalam penanggalan unit-unit wahyu tertentu. Dengan demikian, tugas berat dalam penyusunan kronologi al-Qur’an berpangkal dari pembacaan ulang terhadap sejarah kehidupan Nabi Muhammad saw., dan komunitas muslim masa kenabian. Penyusunan sistem kronologi yang dicita-citakan itu membutuhkan upaya-upaya keserjanaan yang serius butuh waktu yang lama, terlebih lagi untuk kepentingan tafsir tematik. Untuk sementara capaian-capaian yang ada dibidang kronologi al-Qur’an dapat dimanfaatkan sebagai pijakan kasar dalam studi-studi al-Qur’an dan Tafsir. Para pengkaji al-Qur’an diharapkan agar tidak
bertumpu
pada
suatu
penanggalan
saja,
melainkan
mampu
memanfaatkan keseluruhan sistem teknologi secara optimal perhatian terhadap konteks sastra al-Qur’an serta perkembangan misi kenabian Muhammad saw., dan komunitas muslim pada periode pewahyuan akan memberi arah pada pengkaji dalam menetapkan rangkaian kronologi untuk studi lanjut berdasarkan sistem-sistem penanggalan yang ada.368 Tentu saja asumsi ini megimplementasikan kemustahilan penyusunan surat-surat al-Qur’an dalam suatu tatanan kronologis, dan akan menjadikan penentuan penanggalan bagian-bagian al-Qur’an sebagai sebuah pekerjaan yang amat kompleks, bahkan mungkin tidak dapat selesaikan secara konklusif. Minimnya informasi historis yang akurat tentang unit-unit wahyu yang menjadi karekteristik utama-utama riwayat asbab al-Nuzul akan merupakan kendala terbesar dibidang ini. Dengan demikian, langkah utama dalam penyusunan kronologi semacam ini adalah penentuan unit-unit wahyu dalam sebagian besar surat alQur’an yang memiliki kandungan ayat dari periode pewahyuan. Seperti 368
Ibid., hlm. 329.
terlihat di atas, ada kesepakatan dalam berbagai sistem penanggalan mengenai sejumlah kecil surat yang dipandang sebagai unit-unit wahyu oirisinal. Baik dari periode Makiyah ataupun dari Madaniyah. Dalam kasus semacam ini, pekerjaan yang tersisa menentukan masa pewahyuannya secara lebih akurat. Tetapi sehubungan dengan surat-surat yang memiliki kandungan unit wahyu dari berbagai masa. Maka penentuan unit-unitnya barangkali dapat dilakukan dengan menerapkan metode analisis sastra yang berpijak pada kesatuan gagasan dan gaya al-Qur’an baik prosaik maupun puitis atau analisis wacana. Selain itu bahan-bahan tradisional juga akan memberi kontribusi dalam hal ini. Teori yang menyatakan bahwa susunan al-Qur’an sering disebabkan beberapa bacaan ditulis pada sisi belakang lembaran lain, hal ini dijabarkan secara rinci untuk seluruh al-Qur’an oleh Richard Bell. Namun hasilnya dimasukkan dalam karyanya Transilation dengan berbagai alat tipografi sebagai mana pembagian ditengah halaman. Makin kita kaji hasil ini, makin kita terkesan oleh jerih payahnya dan kepiawaiannya. Karya yang sangat rinci ini akan mendapat perhatian oleh para cendikiawan selama waktu yang lama. Dalam hipotesisnya tentu tidak boleh kita tolak begitu saja, satu hal yang adalah bahwa sudah ada naskah tulisan sejak zaman awal sekali. Bahwa mungkin ada beberapa versi tulisan mengenai bagian-bagian Quran yang disimpan oleh orang-orang berbeda.369 Namun, menurut Bell, ini tidak semata-mata khusus pada dokumen tertulis, melainkan dengan istimewa penanggalan dokumen itu menurut dia menjadi penyebab beberapa aspek pengurutan teksnya. Harus diakui apa yang dikatakannya memang terkadang terjadi. Sebaliknya ada surah dalam (80 dan 96) yang menyatukan bagian-bagian yang tidak berhubungan; dan Bell rupanya hanya menerima kenyataan ini tanpa mencoba menerpkan teorinya.370 Jadi bisa disimpulkan bahwa, setidaknya selama beberapa waktu, siapapun yang bertanggung jawab untuk mengumpulkan al-Quran tidak terlalu 369 370
Ibid., hlm. 92. Ibid., hlm. 93.
mencemasi tidak hanya berkesinambungan alur pikiran dalam surah bisa saja terjadi tanpa disebabkan penulisan bacaan di belakang surah lain. Ini membuat beberapa rekonstruksi Richard Bell yang panjang lebar (seperti dalam contoh (surah 2 dan 9) semakin meragukan. Dalam kasus tertentu pasti tidak ada kepastian yang besar mengenai cara
yang
tepat
untuk
menerapkan
hipotesanya,
tetapi
seandainya
penerapannya sudah tepat, itu tidak akan menambah apa-apa kepada pemahaman kita tentang Islam awal. Dalam hal ini hipotesa Bell bertentangan dengan bukti yang menunjukkan adanya revisi dan perubahan. Kalau analisis bacaan tentang qiblat benar, maka itu menambah wawasan kita mengenai dalamnya reorintasi kebijakan negara Islam sekitar bulan maret sekitar tahun 624.371 Mengisyaratkan bahwa Nabi Muhmmad menerima wahyu dan mengombinasikannya (dan barang kali menyesuaikan) dengan wahyu sebelumnya. Ini menyiratkan lebih jauh bahwa wahyu mungkin diulang, barangkali dsengan istilah yang agak berbeda. Ini menjadi semakin penting jika kita ingat banyaknya jumlah pengulangan frase lanjutan-lanjutan alternatif. Jadi, mungkin saja dengan berasumsi bahwa beberapa bacaan sudah diwahyukan dalam bentuk yang agak berbeda dalam kesempatan yang berbeda, yang diingat oleh orang muslim perorangan dalam bentuknya yang berbeda-beda, bahwa para ‘pengumpul’ menghadapi masalah yang luar biasa. Mereka tentu tidak ingin melewatkan sekecil apapun wahyu yang orisinil, namun jumlah bahannya begitu luas sehingga tidak mungkin mencakup semuanya. Hal ini bisa menjelaskan mengapa beberapa teks Utsmani terasa perlu, sehingga dalam hal ini teori nasikh-mansukh yang ditawarkan oleh Richard Bell, dapat memberikan suatu kontribusi terhadap perkembangan Ulum al-Qur’an dan perlu digaris bawahi betapa perlunya kajian secara rinci yang telah dilakukan oleh Richard Bell atas teks al-Quran diperhalus.372 371 372
Ibid., hlm. 93. Ibid., hlm. 94.
Terlepas dari kekurangan yang ada dalam teori naskh mansukh yang Richard Bell kontruksikan itu sekiranya dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan tafsir yang ada di indonesia, tentu saja dengan memperhatikan lokalitas budaya dan konteks keindonesiaan. Pada waktu yang sama perlu para cendikiawan didorong untuk memusatkan perhatian pada bagian-bagian dari pokok bahasan nasikh-mansukh dan Ulum al-Qur’an yang dapat memberikan sumbangan untuk memperdalam pemahaman tentang khazanah keilmuan dalam disiplin ilmu tafsir dan ilmu-ilmu al-Qur’an di masa-masa awal Islam. Menurut penulis dalam mengkontekstualisasikan teori nasikhmansukh harus dibagun berdasarkan perinsip-prinsip sebagai berikut: pertama, menjaga hal-hal yang subtantif dan konstan (ihtiram ats-tsawabit) yang menjadi kesepakatan bersama secara rasional yang menjadi komunitas akademi mufassir sehingga akan melahirkan produk tafsir yang lebih otoritatif yang lebih otoritatif-intersubjektif dan tetap mencerminkan pandangan yang pluralistik, bukan monolitik, kedua, untuk menghindari pemaksaan gagasan ekstra Qur’ani seperti yang di lakukan oleh Richard Bell, al-Qur’an tidak boleh diposisikan sebagai justifikasi teori ilmiah, tatapi
hanya boleh
diposisikan sebagai inspirasi dan motivasi bagi pengembangan ilmu pengetahuan, ketiga, pengembangan tafsir di era kontemporer ini tidak harus meninggalkan turats (warisan keilmuan masa lalu) sama sekali sehingga terjadi diskontinuitas sejarah keilmuan menganai teori nasikh-mansukh. Sebab, apa yang dianggap sebagai turats tidak berguna di saat sekarang boleh jadi akan berguna disaat yang akan datang. Dalam hal ini penting yang harus di catat bahwa perubahan pengembangan nasikh-mansukh meniscayakan perubahan dan pengembangan konstruksi nasikh-mansukh. Sebab, bila zaman dan kondisi telah berubah, tatapi jika konstruksi nasikh-mansukh yang digunakan tidak berubah maka perkembangan nasikh-mansukh sangat mungkin akan berjalan di tempat.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Setelah penulis melakukan deskripsi, analisis sekaligus mengkritisi teori nasikh-mansukh Richard Bell dalam buku Bell’s Introduction to the Quran, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Secara eksplisit orientalis ini mengakui nasikh al-Qur’an dalam arti pembatalan, penghapusan, dan penggantian ayat terdahulu dengan ayat yang datang kemudian. hanya saja dalam teorinya dia mengembangkan arti derevisi revisi itu sendiri, yang cenderung diartikan memasukkan, menambah, mengurangi, memaksakan ayat-ayat al-Qur’an kepada ayat – ayat yang lain. Menurut Richard Bell bahwa al-Qur’an memiliki kegandaan sumber wahyu, yaitu Allah sebagai sumber utama dan Muhammad SAW. Menurut Bell, unit-unit wahyu orisinal terdapat dalam bagian-bagian pendek al-Quran. Hal ini disebabkan pandangannya yang menempatkan Muhammad sebagai revisor al-Quran, walaupun dalam koridor inisiatif illahi. Munculnya orientalis Richard
Bell, karena dipengaruhi serta
termotivasi dengan kepentingan politis pada waktu itu, sehingga kajiannya terlihat prejudistik, dari pada karya yang objektif. Ia juga mengatakan bahwa al-Qur’an yang ada sekarang ini adalah hasil modifikasi orangorang Muslim setelah kematian Muhammad, Bell, Ia juga menyimpulkan bahwa sumber historis utama dari ajaran-ajaran al-Qur’an adalah agama Kristen. Sehingga metodologi yang digunakan Richard Bell dalam hal ini adalah melalui pendekatan historis dan filologis dengan dua pendekatan itu menurutnya sudah dapat mengupas al-Qur’an, dari sisi penafsirannya. Metode kritis historis dan filologis Richard Bell yang diramu dengan metode tematik yang dilahirkannya agaknya dimaksudkan untuk mereformasi kesan adanya kontradisi internal dalam al-Qur’an yang dahulu menjadi alasan para ulama untuk menggulirkan konsep nasikh-mansukh.
Implikasi tersebut jika diaplikasikan kedalam bentuk teori revisi Richard Bell terhadap penafsiran al-Qur’an menurutnya: bahwa al-Qur’an bersifat“ de-sakralisasi” teks yang mengarah pada kontektualisasi makna teks, dalam arti bahwa ketentuan tekstual yang bersifat legal-formal dapat diketepikan demi meraih nilai ideal moralnya. Hanya saja, bagi Richard Bell, untuk sampai pada makna kontekstual tersebut, seorang mufassir harus menemukan original meaning terlebih dahulu melalui pendekatan sosio-historis. Sebab, bentuk-bentuk pengetahuan Richard Bell termasuk bentuk penafsirannya, pada situasi tertentu ia cenderung berkuasa dan menjadi juru tafsir satu-satunya yang dianggap benar atau realitas. Akibatnya ia cenderung otoriter dan menyingkirkan tafsir-tafsir lain yang di anggap menyimpang dari mainstream pemikiran yang umum. Dalam konteks ini Richard Bell termasuk salah seorang orientalis dengan menyandang gelar mufassir kontemporer yang menggunakan nalar kritis untuk memberikan kritik dan revisi terhadap hasil penafsiran konvensional para ulama sebelumnya. 2. Banyak cendikiawan muslim yang menilai Richard Bell di dalam memberikan kontribusi terkait dengan aplikasi penafsiran ayat-ayat yang dianggap mengalami revisi (nasikh-mansukh) para ulama yang hidup di masanya atau setelahnya mereka merasa terpanggil untuk memberikan kritikan sangat tajam, sedangkan para orientalis yang hidup dimasanya juga menilai bahwa Richard Bell bersifat sangat ambisius, hingga pada akhirnya tidak ada respon dari sekoleganya. Di dalam memahami dan mengeksplorasi ayat-ayat al-Qur’an yang dia anggap mengalami nasikh-mansukh, Bell berusaha memaksa al-Qur’an agar bisa berbicara sendiri dengan menekankan pada aspek metodologinya, penulis sepakat dengan pandangan Fazlur Rahman Rahman bahwa rasionalisasi penafsiran yang terlalu dipaksakan justru cenderung mengabaikan
dimensi
penafsirannya
terhadap
sastra teori
dan
aspek
kesejarahan.
nasikh-mansukhnya
tersebut
Akibatnya menjadi
ahistoris. Oleh karena itu, para ulama dan cendikiawan seperti Abu Hayyan al-Andalusi, asy-Syathibi, Rasyid Ridha, Amin Kulli, Ibn Khaldun, Mustafa az-Azami, Musthafa as-Siba’i, Nasr Hamid Abu Zaid dan Yusuf Qordowi mereka kecenderungan tafsir yang demikian menolak. Dengan metode tematik Richard Bell yang diaplikasikannya ke dalam seluruh konsep nasikh mansukhnya dalam al-Qur’an. penulis mengatakan bahwa ia bersikap (pemaksaan) takalluf di mana ayat-ayat yang setema dapat dielaborasikan sedemikian rupa untuk merekonstruksi dan menemukan Weltaneshcaung al-Qur’an mengenai tema yang dikaji. Dengan demikian Richard Bell, merupakan salah satu dari sekian banyak orientalis yang secara tegas memploklamirkan teori nasikhmansukh terhadap ayat-ayat al-Qur’an, hal ini membuat para cendikiawan muslim menjadi gerah terhadap apa yang dilakukan oleh Richard Bell terkait dengan penafsiran ayat yang di anggapnya mengalami revisi, para ulama sepakat dan menilai bahwa Richard Bell, sekali lagi cenderung untuk memaksakan ayat-ayat al-Qur’an (takalluf) agar masuk dalam konsepnya, di samping itu para cendikiawan juga menilai bahwa apa yang dilakukannya cenderung menyelewengkan (iltifat) terhadap ayat-ayat alQur’an, baik dalam bentuk ayat yang mengalami korelasi (muansabah) suatu ayat terhadap ayat yang lain. Sehingga hal ini cenderung memicu bahwa al-Qur’an terasa keluar dari manhajnya, baik dari manhaj bayaniy, burhaniy. Dan ‘irfaniy. Kelemahan teori revisi Richard Bell ini adalah bahwa ia hanya dapat diterapkan untuk memehami ayat-ayat hukum dan sulit atau bahkan tidak bisa diterapakan untuk menafsirkan ayat-ayat non hukum. lagi pula, terdapat jarak yang terlalu jauh antara situasi sekarang dengan saat ditrurnkanya al-Qur’an sehingga menurut hemat penulis tetap ada unsur subjektivitas penafsir di dalamnya. Dengan demikian, bisa jadi apa yang disebut sebagai makna otentik tidak lagi benar-benar otentik (quasi otentik).
Penulis juga menilai bahwa ketika Richard Bell menjelasakan dan menguraikan tentang konsep teori revisi ia cenderung gegabah dalam mengambil sikap terhadap ayat-ayat al-Qur’an, yang pada akhirnya dinilai cenderung mengeksploitasi serta memanipulasi ayat-ayat al-Qur’an juga kurangnya pemahaman mengenai teori nasikh-mansukh sebagaimana apa yang telah dilakukan oleh para ulama dan cendikiawan muslim lainnya. 3. Sekian banyaknya kritikan tajam yang ditujukan kepada Richard Bell, seorang sarjana dari kebangsaan Inggris ini, penulis sampaikan bahwa keterkaitannya dengan teorinya terhadap ayat-ayat yang mengalami nasikhmansukh, sebagaimana apa yang dilakukan oleh cendikawan ulama, pada dasarnya teori revisi yang dilakukan oleh Richard Bell menjadikan suatu sumbangsih keilmuan tersendiri bagi sarjana-sarjana sesudahnya, terlepas dari konsepnya yang bertolak belakang. Namun, dalam hal ini ada kaitannya dengan Ulum at-Tafsir, di mana kajian ini menjadi pangkal dari teori nasikh-mansukh yang Richard Bell telah lahirkan dengan berdasarkan konsep-konsepnya, penulis mengatakan diakui atau tidak, baik secara langsung atau tidak, penulis menilai bahwa apa yang dilakukan Richard Bell secara tidak langsung sudah memberikan kontribusi yang relevan bagi kita serta banyak mengajarkan kepada kita semua, terlepas dari konsepnya yang cenderung memaksakan serta dianggap memanipulsi ayat-ayat al-Qur’an. Penulis menilai bahwa apa yang dilakukan Richard Bell, terkait dengan teorinya merupakan langkah awal secara tidak langsung Richard Bell adalah orientalis yang pertama kali yang pernah mengukir sejarah, yang pada akhirnya dapat mewarisi generasi-generasi sebelum maupun sesudahnya dari sejumlah tokoh orientalis, meskipun gagasannya banyak ditolak dan diremehkan oleh sekoleganya, hal itu tidak mempengaruhi pemikirannya. Richard Bell juga memiliki jalur transmisi keilmuan yang cukup relevan dari jejak pendahulu-pendahulunya, hingga pada akhirnya dapat melahirkan teori revisi, begitu juga halnya apa yang telah dilakukan oleh cendikiawan muslim yang tidak bisa terlepas dari jejak pendahulunya
hingga akhirnya mereka melahirkan teori nasikh-mansukh serta dapat melahirkan cendikiawan-cendikiawan sesudahnya. B. Saran- Sarana 1. Konsep naskh merupkan objek kajian yang sangat penting dan krusial juga kajian yang bersifat sensitif. Oleh karena itu, perlu adanya penelitian dan kehati-hatian agar jangan terjadi kesemena-menaan dalam menetapkan apakah nas telah dinasikh atau tidak, jangan hanya persoalanya karena ditemukan adanya pertentangan dengan nass lannya. 2. Melihat minimnya penelitian kajian-kajian orientalis, hendaknya institut memperkaya literatur-literatur orientalis guna mendorong kajian-kajian yang intensif sebagai upanya menciptakan iklim keterbukaan untuk berdialog dengan kajian mereka, juga melatih kalangan akademisi bersikap lebih kritis. 3. Untuk mengembangkan penafsiran di indonesia, diperlukan keberanian intlektual untuk mengubah paradigma epistemologi penafsiran nasikhmansukh dari nalar ideologis ke nalar kritis. Sebab, perkembangan tafsir nasikh-mansukh sangat dipengaruhi oleh perubahan dan perkembangan dari waktu ke waktu. Denga demikian, meski situasi dan kondisi telah berubah, bila epistemologi tafsirnya tidak berubah maka pengembangan tafsirnya akan mengalami stagnasi. Akibatnya, tafsir akan terjebak pada pengulangan pendapat-pendapat masa lalu yang belum relevan dengan konteks ke indonesiaan. Bahkan jangan sampai mengalami kemandulan dalam memberi solusi terhadap prolem sosial keagamaan masyarakat kontemporer. 4. Karena konsep naskh mengalami perkembangan dan waktu ke waktu, maka masih banyak untuk diperbincangkan kembali.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Hikmah, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama, Bandung: Diponegoro, 2007 ‘Ala, Abdul. Dari Modernisme ke Islam Liberal, Jakarta: Paramadina, 2003 Abi Bakr, asy-Suyuti, Jalal al-Din Abdur Rahman bin al-Durr al-Mansur, fi alTafsir al-Ma’stur, Juz I, Beirut: Lebanon, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet I, 1990 Al-Ghazali. Syaikh Muhamma dimata Yusuf Qardawi, Terj. Drs. Masykur Hakim, Bandung: Mizan, cet III,1997 Aceh, Abu Bakar, Sejarah al-Qur’an, Solo: Ramadhani, cet VI, 1989 Adzalimi, Agung Abdul Khalifah, Jamu Al-Qur’an, Dirasat Tahliliat Li Marwiyat, Berut: Lebanon, Dar Kutub al-Ilmiyyah, 1971 Abyadi, Ibrahim. Sejarah al-Qur’an, Terj. Halimuddin S.H., Jakarta: Rineka Cipta, cet I, 1992 Ali bin Muhammad, as-Syaukani, Al-Imam Muhammad bin, Fath Al-Qadir, Baina al-Riwayat wa al-Dirayah min Ulum al-Tafsir, juz I, Beirut: Lebanon, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet I, 1994 Azami, Mustafa. Sejarah Teks al-Qur’an dari Wahyu sampai Kompilasi, Terj. Sohirin Solihin, (et,al), Jakarta: Gema Insani, cet I, 2005 Ali Dukhruj dan Kamil Musa. Kaifa Mafham al-Qur’an, Dirasat fi al-Madzahib al-Tafsiriyyah wa Ittijahatiha, Beirut: Lebanon, 1992 Amal, Taufik Adnan dan Pengabean, Syamsu Rizal. Tafsir Kontekstual, Bandung: Mizan, 1989 _________________, Sejarah Rekontruksi Al-Qur’an, Yogyakarta: FKBA, cet I, 2001 _________________, “al-Qur’an dimata Barat” dalam Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. 1, 1990 _________________, Islam Tantangan Modernitas, Studi atas Hukum Fazlur Rahman, Bandung: Mizan, cet III, 1992 Abdullah, Amin. “Perlunya Sikap Oksidentalisme”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an; jurnal Ilmu dan Kebudayaan, Vol. 5, No. 3, Tahun 1992
Aminudin. Pengantar Apresiasi Karya Sastra, Bandung: Sinar baru Al-Gensindo, 1995 Anwar, Rahison. Pengantar Ulum al-Qur’an, Bandung: Pustaka setia, Cet, I, 2009 Arif, Syamsuddin. Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gema Insani, cet I, 2008 Armas, Adnin, Metodologi Bebel dalam Stusi al-Qur’an, Jakarta: Gema Insani, cet I, 2005 Armas, Adnin. Pengaruh Kristen – Orientalis Terhadap Islam Liberal, Jakarta: Gema Insani, cet II, 2004 Ashabuni, Ali. At-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an, ’alaam al-kutub, t.k, t.th Azra, Ayzumardi. Konteks Berteologi di Indonesia, Jakarta: Paramadina, cet I, 1999 Badawi, Abdur Rahman. Ensiklopedi Tokoh Orientalis, Terj. Amroeni Drajat. Yogyakarta: LKiS, cet II, 2003 Baharun, Hasan. Islam Esensial; Kajian Membumikan Suanah Jakarta: Pustaka Amani, cet I, 1998
Rasulillah,
Baiquni, N. A, (et.al), Indeks Al-Qur’an, Cara Mencari Ayat al-Qur’an, Surabaya: Arkola, t.th Baqi, Muhammmad Fu’ad Abdul. Mu’jam al-Mufahras li al-Fadzil al-Qur’an, Dar al-Fikr, cet II, 1981 Bell, Richard, To The Quran Translation with a Critical Re Arenggement of the Surah. 2 Jilid. Edinburgh: T& T Clark, t.th Burton, John. The Source Of The Quran Law, Islamic Theories Of Abrogation Of The Quran, Edinbugh, 1990 Boisard, Marcel A. Humanisme dalam Islam, Terj. H.M. Rasyid, Jakarta: Bulan Bintang, 1980 Cummings, Louise. Pragmatik, Sebuah Perspektif Multidisipliner, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet I, 2007. David Power. “The Exegicial Genre Nasikh Al-Qur’an wa mansukhuhu”, dalam andrae Rippin, Approaches to the History of the Interpretation of the Quran, oxford, 1988
Denffer, Ahmad Von. Ulum al-Qur’an, An Introduction to the Sciences of the Quran, Dzahabi, Muhammad Husein. Penyimpangan-Penyimpangan dalam Penafsiran, Terj. Hamim Ilyas dan Machnun Husein, Jakarta: Rajawali, cet I, 1986 Faruk. Pengantar Sosiologi Sastra, dari Strukturalisme Genetik sampai Postmodernisme, Edisi Rsevisi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet 1, 2010 Fath, Amir Faisal. The Unity of al- Qur’an, Jakarta: Pustaka al-Kaustar, cet I, 2010 Fauzi, Ihsan Ali “Studi Islam Agenda Timur-Barat”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an; Jurnal Ilmu Dan Kebudayaan, Vol. 5, No. 3, Tahun 1992 G. S. Hodgson, Marshall. The Venture of Islam, Iman dan Sejarah dalam Peradapan Dunia Masa klasik, Jakarta: Paramadina, cet I, 2002 Ghazali, Muhammad. Syaikh dimata Dr. Yusuf Qardawi, Terj. Drs. Masykur Hakim, Bandung: Mizan, cet III, 1997 Hanafi, Hasan. Dari Aqidah Ke Revolusi, Sikap Kita Terhadap Tradisi Lama, Terj. Asep Usman Ismail (et,al), Jakarta: Paramadina, cet I, 2003 Husaini, Adian. Wajah Peradapan Barat; dari Hegemoni Kristen ke dominasi Sekuler Liberal, Jakarta: Gema Insani, cet I, 2005 Huges, Thomas Patrick. Dictonary of Islam, India: Cosmo Publication, 1982 Ismail, Muhammad Bakr. Dirasat fi Ulum Alqur’an, cet I. Beirut, Dar al-Manar, 1991 Ibn Jauzi, al-Farsy al-Baghdadhi, Al-Hafidh Jamaluddin Abi al-Farj Abd alRahman Nawasikh al-Qur’an, Beirut: Lebanon, Dar al-Kutub, al-Ilmiyah, t.th Ibn Arabi, al-Ma’afiri, al-Qadhi Abi Bakr Muhammad bin Abdillah bin Muhammad bin Abdillah Maliki, Naskh wa al-Mansukh fi al-Qur’an alKarim, Beirut: Lebanon, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet III, 2006 Jamal, Muhammad. Membuka Tabir Upaya Orientalis Islam, Alih Bahasa, As’ad Yamin, Bandung: Dipenogoro, cet I, 1991 Jumantoto, Totok dan Amin, Samsul Munir. Kamus Ushul Fiqh, t.k, Amzah, cet I, 2005 Jassin, H. B, Kontoversi al-Qur’an Bewajah Puisi, Jakarta: Grafiti, cet I, 1985
Junaidi, Abdul Basith (et,al), Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet I, 2009 Jansen, J. J. G. Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern, Terj. Hairussalim dan Syarif Hidayatullah, Yogyakarta: Tiara Wacana, cet I, 1997 Jomier, Jacques. Horizon al-Qur’an, Membahas Tema-Tema Unggulan dalam alQur’an, Terj. Hasan Basri, Jakarta: BKTAP, cet I, 2002 Jakub, Ismail H, Tk, Orientalisme dan Orientalisten, prihal Ketimuran dan Para Ahli Perihal Ketimuran, Surabaya: C.V. Faizan, t.th Jursy, Shalahuddin. Membumikan Islam Progesif, Terj. M. Aunul Abied Shah, Jakarta: Paramadina, cet I, 2004 Karman, M. & Supiana. Ulumul Qur’an, dan Pengenalan Tafsir, Bandung: Pustaka Islamika, cet 1, 2002 Khaalil, Shawki Abu, Ph. D., Membela Agama Tauhid; Argumen Ilmiah untuk Menjawab Cercaan Orientalisme terhadap Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet I, 2005 Khalil, Abu Syauqi. Islam Menjawab Tuduhan, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, cet I, 2006 Khalaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqh, Singapura: Haramain, cet II, 2004 Khudori, Darwis. “Catatan atas le Coran Jacquis Berque”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. V, No. 2, 1994 Kabbani, Rana. Menggugat Kesalah Pahaman Barat, Terj. Julia Sumanto dan Samsiah Soedamo, Jakarta: Temprint, cet II, 1992 Maraghiy, Ahmad Mushtafa. Tafsir al-Maraghiy, Juz I, Beirut: Dar al-Turats alArabiy, cet III, t.th M, M. Ghalib. Ahl Kitab, Makna dan Cakupannya, Jakarta: Paramadina, cet I, 1998 Mahfudz, Muhsin “Arah Baru Hubungan Orientalisme dan Oksidentalisme”, dalam Al-Fikr: Jurnal Pemikiran Islam, Vol. 13, No. 1, Tahun 2009 Manna’ al-Qattan. Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Singapura: Haramain, t.th Mahmud, Mustafa. Dialog dengan Atheis, Terj. Maimun Syamsudin, Yogyakarta: Mitra Pustaka, cet I, 2002
Martin, Richard C. ”Analisis Struktural dan al-Qur’an, pendekatan baru dalam kajian teks Islam”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an; Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, Vol. 5, No. 4, Tahun 1992 Moh, Natsir, Mahmud “Al-Qur’an di mata Barat, Studi Evaluatif”, dalam Jurnal Al-Hikmah, No. 12, Januari- Maret 1994 Muhammad, Muslih. Religious Studies, Problem Hubungan Islam Barat Kajian Atas Pemikiran, Karel A. Steenbrink, Yogyakarta: Blukar, cet I, 2003 M. Echols, Johan dan Shadily. Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, cet XXVI, 2005 Mukid, Abdul. Nasikh-Mansukh menurut Quraish Shiahab, Skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Ushuludin, IAIN Walisongo Semarang, 2001 Mustaqim, Abdul, (ed.), Studi Al-Qur’an Kontemporer; Wacana Baru berbagai Metodologi Tafsir, Yogyakarta: Tiara Wacana, cet I, 2002 _______________, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: LKiS, cet I 2011 _______________, Pergeseran Epistimologi Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet 1, 2008 Na’im, Abdullah Ahmad. Dekonstruksi Syari’ah, Yogyakarta: LKiS, cet I, 1994 Namr, Abd Mun’im. Ulum al-Qur’an al-Krim, Bairut: Dar al-Kitab, cet II, 1983 Nabi, Malik bin. Fenomena al-Qur’an, Terj. Saleh Mahfoed, Bandung: alMa’arif, 1983 Nashruddin Baidan. Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet II, 2011 Nawawi, Imam. Shahih Muslim bi Syarh An-Nawawi, Juz 6, Mesir: Al-Hijazi, Jilid III, t.th Nawawi, Rif’at Syauqi. Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, kajian Masalah Akidah dan Ibadah, Jakarta: Paramadina, cet I, 2002 Nurmawan, Sulamul Hadi. Nasikh Mansukh Menurut Pemikiran Abdullah Ahmad an-Na’im, Skripsi tidak diterbitkan, Jurusan Tafsir Hadits, UIN SUKA, Yogyakarta, 2003 Partanto, Pius A, & Al-Barry, M. Dahlan, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, t.th
Qardhawi, Yusuf. Berinteraksi dengan al-Qur’an, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani, Jakarta: Gema Insani, cet II, 2000 Qutb, Sayyid. Tafsir Fi Dhilalil al-Qur’an, Jilid I, Beirut- Dar Syuruq, cet XVII, 1992 Rahman, Fazlur. Metode dan Alternatif Neomoderisme Islam, Bandung: Mizan, t,th _____________. Islamic Revelation, Edinburgh at the University Press, 1969 _____________. Pokok-Pokok Tema dalam al-Qur’an, Terj. Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka, cet II, 1996 Rais, M. Amin. “Belajar Ke Barat, Tapi Anti Orientalis”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an; Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, Vol. 5, No. 3, Tahun 1992 Rohman, Abujamin. Pembicaraan di Sekitar Bibel dan Al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang, cet II, 1990 Ridha, Rasyid. Tafsir al-Manar, Jilid I, Beirut: Lebanon, Dar-Ilmiyah, t.th Rofiq, A, (ed.), Studi Kitab Tafsir, Yogyakarta: Teras, cet I, 2004 Rusmana, Dadan. al-Qur’an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat, Bandung: Pustaka Setia, cet 1, 2006 Rabbani, Wakhid Bakhsh Capt. Sufisme Islam, Terj. Burhan Wirasubrata, Jakarta: Sahara publishers, cet I, 2004 Shiddiqie, T.M. Hasbiy, Sejarah dan Pengantar Tafsir dan Ulumul Qur’an, Cet VII, Jakarta: Bulan Bintang, 1980 Sibagh, M. Bin Lutfi. Limahat fi Ulumul Qur’an, wa at-Tijahat al-Tafsir, Lebanon: Maktabah Islamiy, cet III, 1990 Suyuti, Muhammad Jalaluddin. al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, Jilid I, t.th Syahbah, Abu Muhammad Syaikh. Studi al-Qur’an al-Karim,Menelusuri Sejarah Turunnya al-Qur’an, Terj. Tafik Rahman, Bandung: Pustaka Setia, cet I, 1992 Syaikh, Ahmad. al-Mustaqqafun al-‘Arab wa al-Gharb, Kairo: al-Markaz al-‘Ara liddirasat al-‘Arabiyah, cet I, 2000
Said, Edward W. Oreintalisme Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukan Timur sebagai Objek, Terj. Ahmad Fawaid, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet I, 2010 Salim, Fahmi. Kritik terhadap Studi al-Qur’an Kaum Liberal, Jakarta: Prespektif kelompok Gema Insani, cet I, 2010 Sumaryono. Hermeneutik, Yogyakarta: Kanisius, 1993 Sou’yb, Joesoef. Orientalis dan Islam, Jakarta: Bulan bintang, 1985 Senoung, Ilham B. Hermeneutik Pembebasan, Metodologi Tafsir Al-Qur’an Menurut Hassan Hanafi, Bandung: Teraju, cet II, 2002 Shahrur, Muhammad. Metodelogi Fiqh Islam Kontemporer, Terj. Sahiron Syamsudin, Yogyakarta: Elsaq, Cet V, 2008 Setiawan, M. Nur Kholis. Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, Yogyakarta: Elsaq, Cet I, 2005 Shalih, Subhi. Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Beirut: Lebanon, Dar al-‘Ilm, lil Malayin, cet XVII, 1988 Shihab, Quraish. Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, cet XV, 1992 ______________. Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Vol. I, Jakarta: Lentera Hati, cet II, 2008 Steenbriink, Karel A. Mencari Tuhan Dengan Kaca Mata Barat, Fakultas pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga,Yogyakarta, Jilid III. Stefan Titscher, (et.al), Metode Analisis Teks dan Wacana, Terj. Ghazali, (et.al), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, cet I, t.th Soetapa, Djaka. “Ibn Hazm atau As-Syahrastani, Kumpulan Makalah Seminar, seri INIS, Jilid VII, Jakarta: 1990 Suma, M. Amin. “Nasikh Mansukh dalam Tinjauan Historis, Fungsional, dan Shar’i”, dalam Jurnal Al- Insan, Kajian Islam, Vol. 1, No. 1, Januari 2005 Syafruddin, Amir. Ushul Fiqih, Jilid I, Jakarta: Kencana Media Group, cet IV, 2009 Syamsuri, dan Kusmana. Pengantar Kajian al-Qur’an, Tema Pokok, Sejarah dan Wacana Kajian, Jakarta: Pustaka al-Husna Baru, cet I, 2004
Tahan, Abu Habsin Mahmud. Taisir al-Musthalah al-Hadits, Singapura, Jidah, Indonesia, al-Haramain, 1985 Thabathaba’i, Al-‘Alamah Husein. al-Mizan Fi Tafsir al-Qur’an, Jilid XVIII, Iran-Muassasah Isma’iliyan, cet V, 2000 Thabari, Muhammad bin Jarir, Abi Ja’far, Tafsir al-Thabari, Jami’ al-Bayan an Ta’wil al-Qur’an, Juz I, Beirut: Lebanon, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet I, 1992 Wansbrough, John. Quranic studies, London: Oxfrod University Pess, 1977 Watt, W. Montgomery. Bell’s Introduction to the Quran, Edinburgh: Edinburgh at the University Press, 1991 ___________________. Pengantar Studi Al-Qur’an, Penyempurnaan atas Karya Richard Bell, Terj. Taufik Adnan Amal, Jakarta: Rajawali Pers, cet II, 1995 ___________________. Fundamentalisme Islam dan Modernitas, Terj. Taufik Adnan Amal, Jakarta: PT Raja Garfindo, cet I, 1997 ___________________. Pengantar al-Qur’an, Terj. Lilian D. Tejasudhana, INIS, 1998 Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah Al-Qur’an Al-Hikmah, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama, Bandung: Diponegoro, 2007 Zahrudin. Nasikh-Mansukh dalam al-Qur’an menurut Imam as-Syafi’i, Skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Ushuluddin, IAIN Walisongo Semarang, 1998 Zahrah, Muhammad Abu. Ushul Fiqh, Terj. Saefullah Ma’sum (et.al), Jakarta: Pustaka Firdaus, cet IX, 2005 Zaid, Nasr Hamid Abu. Tekstualitas Al-Qur’an Kritik terhadap Ulumul Qur’an, Terj. Khoiron Nahdliyin, Yogyakarta: LKiS, cet V, edisi revisi, 2005 Zarkasyi, Abdullah. al-Burhan fi-Ulum al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, cet II, 1988 Zarqani, Abd Azhim. Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an, Bairut: Lebanon, Dar al-Fikr, Jilid II, 1988 Zuhail, Wahbah. Tafsir Munir, Beirut: Lebanon, Dar al-Fikr al-Muassar, jilid I, cet I, 1991
Zaid, Musthafa. an-Naskh fi al-Qur’an al-Karim, Dirasat Tasyri’iyyah Tariyyati Naqdiyyah, Jilid I, Dar al-Wafa, al-Mansyurah, cet III, 1987 http://anwarsy.files.wordpress.com 2012/01/ kajian orientalis terhadap al-Qur’anHadis. PDF diunduh pada 18 Maret 2012.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap Tempat Tanggal Lahir Alamat Alamat Domisili Semarang Nama Ayah Pekerjaan Orang Tua Alamat E-Mail No. Hp Latar Belakang Pendidikan a. Pendidikan Formal
b. Pendidikan Non-Formal Demak Pengalaman Organisasi
: Moch. Khoirul Anam : Demak, 18 Agustus 1989 : Bukit Meranti, Belilas. Kec. Seberida. Kab. Rengat Pekanbaru- Riau : Bagun Harjo, RT/03RW/08, kec. Tembalang-Semarang : Sudarmo : Wiraswata :
[email protected] : 085641982348 / 085326676868 : SDN 042 Pulau Burung Tembilahan Riau (1995-2001) : MTs. Futuhiyyah 1 Mranggen Demak (2002-2005) : MAK Futuhiyyah 1 Mranggen Demak (2004-2008) : IAIN Walisongo Semarang, Jurusan Tafsir Hadits : PON-PES Al-Anwar Suburan Mranggen : Anggota HMJ Tafsir-Hadits 2008-2009 : Anggota SMF Fakultas Ushuluddin 20102011
Penulis,
Moch. Khoirul Anam NIM: 084211008