STUDI ANALISIS KEBIJAKAN UMAR BIN KHATAB DALAM PENERAPAN HUKUMAN CAMBUK BAGI PEMINUM MINUMAN KERAS
SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata I Dalam Ilmu Syari’ah
Disusun Oleh:
YAYAN M ROYANI NIM : 062211006
JURUSAN JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2010
i
Drs. Maksun, M.Ag. Perum Griya Indo Permai A 22 Tambak Aji Ngaliyan Semarang Ahmad Furqon, LC.,M.A. Jln. Karonsih Timur raya V/28 Ngaliyan Semarang PERSETUJUAN PEMBIMBING Lamp : 4 Naskah eks Hal : Naskah Skripsi An. Sdr. Yayan M Royani Kepada Yth. Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Assalamu alaikum Wr.Wb Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini saya kirimkan naskah skripsi Saudara : Nama
: Yayan M Royani
Nim
: 062211006
Jurusan
: Jinayah Siyasah
Judul Skripsi
:“STUDI ANALISIS KEBIJAKAN UMAR BIN KHATAB DALAM PENERAPAN HUKUMAN CAMBUK
BAGI
PEMINUM
MINUMAN
KERAS” Dengan ini saya mohon kiranya skripsi saudara tersebut dapat segera dimunaqosahkan. Demikian harap menjadi maklum. Wassalamu alaikum Wr.Wb Semarang, 10 Desember 2010 Pembimbing I,
Pembimbing II,
Drs. Maksun, M.Ag. NIP :1975121 8200501 1 002
Ahmad Furqon, LC.,M.A. NIP :19680515 199303 1 002
ii
PENGESAHAN Nama
: Yayan M Royani
NIM
: 062211006
Jurusan
: Jinayah Siyasah
Judul Skripsi
:“STUDI ANALISIS KEBIJAKAN UMAR BIN KHATAB DALAM PENERAPAN HUKUMAN CAMBUK
BAGI
PEMINUM
MINUMAN
KERAS”
Telah dimunaqosahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, dan dinyatakan lulus dengan predikat cumlaud / baik / cukup, pada tanggal : 21 Desember 2010 dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana Strata 1 tahun akademik 2010 / 2011 Semarang, 21 Desember 2010 Ketua Sidang,
Sekretaris Sidang,
Rupi’i, M. Ag. NIP: 19730702 199803 1 002 Penguji I,
Drs. Maksun, M.Ag. NIP :1975121 820050 1 002 Penguji II,
Prof. Dr. Mushlich Shabir, M.A NIP: 19560630 198103 1 003 Pembimbing I,
Drs. H. Miftah AF, M. Ag. NIP: 19530515 198403 1 001 Pembimbing II,
Drs. Maksun, M.Ag. NIP :1975121 820050 1 002
Ahmad Furqon, LC.,M.A. NIP :19680515 199303 1 002
iii
Motto
”
”
“Barang siapa yang bersungguh-sungguh, maka dia akan mendapatkan” )
(
iv
PERSEMBAHAN Skripsi ini penulis persembahkan untuk orang-orang yang telah dengan ikhlas berkorban dan membantu penulis dalam mengarungi perjalanan panjang menggapai cita-cita Untuk Bapak H. Asep Dudung dan Ibu Hj. Nur Laila, kedua orang tua yang sangat penulis cintai. Tiada henti-henti penulis panjatkan doa kepada Allah Swt, semoga ayahanda dan ibunda selalu ada dalah rahmat dan karunianya di dunia dan akhirat. Tidak lupa untuk Ustadz Deni Rustandi, M. Ag dan Ustadzah Nunung Aviah sebagai kakak penulis yang selalu memotivasi untuk segera menyelesaikan studi demi sebuah perjuangan. Tentunya keponakan penulis yang imut-imut, Izza, Abidah dan jagoan Subhan, jangan nakal ya... Untuk keluarga besar Pondok Pesantren APIKK 509 Kaliwungu beserta PAC IPNU Kaliwungu. Segenap pimpinan Rektorat IAIN Walisongo dan para pegawainya. Para Pimpinan Fakultas Syari’ah dan para pegawainya. Tidak mungkin penulis lupakan jasa-jasa para dosen yang telah membekali penulis dengan ilmu pengetahuan. Untuk Para senior di Justisia dan PMII atas segala
bimbingan dan
arahannya. Sahabat-sahabat angkatan 06 di Justisia, al MAPABA Rasya, PMII Rasya, dan PMII Komisariat. Para pengurus DEMA periode 2010 yang sangat penulis banggakan, juga pengurus SMI periode 2010. Tidak lupa Rekan dan rekanita di PW IPNU Jateng. Untuk semua kader dan aktifis di Justisia, PMII, KSMW, JQH, FOSIA, dan HMJ SJ, terus berjuang.
v
DEKLARASI Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab,
penulis
menyatakan
bahwa
skeipsi ini tidak berisi materi yang telah pernah
ditulis
orang
lain
atau
diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak
berisi
satupun
pikiran-pikiran
orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 21 Desember 2010 Deklarator,
Yayan M Royani Nim 062211006
vi
ABSTRAKSI
Para ulama berbeda pendapat tentang penerapan hukuman cambuk bagi peminum minuman keras, madzhab syafi’i dan hanafi menyatakan bahwa hukuman bagi peminum minuman keras harus di cambuk sejumlah empat puluh kali. Berbeda dengan pendapat keduanya, menurut ulama maliki dan hambali peminum minuman keras dicambuk sebanyak delapan puluh kali. Perbedaan pendapat tersebut di dasarkan pada kebijakan Umar bin Khatab yang mula-mula menerapkan hukuman cambuk empat puluh kali sebagaimana pendahulunya (Rasulullah dan Abu Bakar) kemudian karena keadaan sosial yang berubah Umar menambah hukuman menjadi delapan puluh. Penambahan inilah yang sampai saat ini menjadi perdebatan para ulama, sehingga memerlukan penelitian tentang kebijakan Umar bin Khatab dalam penerapan hukuman cambuk bagi peminum minuman keras. Untuk menspesifikasikan permasalahan, terlebih dahulu kita harus mengetahui kebijakan Umar dalam penerapan hukuman cambuk bagi peminum minuman keras secara jelas. Kedua, mengetahui bagaimana formulasi ijtihad Umar bin Khatab dalam penerapan hukuman cambuk bagi peminum minuman keras. Ketiga, mengetahui latar belakang serta alasan Umar dalam penambahan hukuman cambuk bagi peminum minuman keras. Metodologi yang dipakai berupa metode komparatif pendapat para ulama dan analisis nash yang terkait dengan ketentuan hukuman cambuk. Dengan menggunakan pendekatan maslahah mursalah dalam melihat konteks permasalahan sosial yang terjadi pada masa tersebut. sehingga metodologi ini diharap dapat memberikan gambaran yang jelas tentang penerapan hukuman cambuk yang di tetapkan Umar dan mengambil istinbath hukumnya pada saat ini. Dari metode komparatif pendapat ulama dan nash dengan menggunakan pendekatan maslahah dapat ditemukan temuan: pertama, bahwa dalam had peminum minuman keras tidak ditemukan ketentuan yang baku pada zaman Rasul dan Abu Bakar sampai akhirnya ditetapkan Umar bin Khatab dengan melihat kemasalahatan umum dan ijma’ para sahabat. Sedangkan pada masa Rasul dan Abu Bakar ketentuan pasti dari hukuman cambuk hanya pada penerapam dera, tidak pada ketentuan cambuk dan hitungan yang pasti. Kedua, yang dimaksud kemaslahatan umum yaitu kemaslahatan untuk mengantisipasi masyarakat Arab yang mulai terjerumus kepada gemar meminum minuman keras dan meremehkan agama. Umar mencoba menetapkan hukuman cambuk sesuai pendapatnya karena tidak mendapatkan alasan yang pasti dalam ketentuan hadis Nabi yang baku. Ketiga, Dengan menggunakan pendekatan maslahah mursalah semakin memperjelas ketentuan hukum yang diterapkan Umar bagi peminum minuman keras yaitu delapan puluh kali cambukan setelah sebelumnya Umar menentukan sebanyak enam puluh kali dan empat puluh kali. Ketika kemaslahatan yang ditetapkannya belum maksimal, Umar memutuskan untuk berkumpul bersama para sahabat dan mengadakan ijma’ yang akhirnya menetapkan hukuman bagi peminum minuman keras sebanyak 80 kali cambukan, meskipun dalam kenyataanya ketetapan ijma’ tersebut masih dipertanyakan para ulama.
vii
KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat ilahi rabbi, karena hanya dengan rahmat dan hidayahnya skripsi ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi besar Muhammad Saw, yang telah membawa Islam sebagai agama dan rahmat bagi seluruh alam. Penulis sangat sadar, bahwa hanya karena pertolongan Allah Swt dan dukungan semua pihak lahir maupun batin, akhirnya penulis dapat melalui semua rintangan dalam menyelesaikan tugas akhir ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih sebesar- besarnya kepada: 1. Yth. Prof Dr. H. Muhibbin, M. Ag. (Pgs. Rektor IAIN Walsiongo) yang telah memimpin IAIN selama menjabat dengan bijaksana, demi masa depan institusi yang lebih baik. 2. Yth. Dr. Imam Yahya (Dekan Fakultas Syari’ah), penulis ucapkan selamat atas terpilihnya sebagai Dekan baru Fakultas Syari’ah. Semoga dibawah pimpinannya Syari’ah bisa lebih berjaya. 3. Yth. Drs. Maksun, M.Ag. Atas bimbingan, masukan dan motifasinya untuk selalu melanjutkan garapan meskipun banyak halangan dan rintangan menghadang. Juga atas kesabarannya dalam membimbing penulis yang terkadang tidak teratur dalam bimbingan. 4. Yth. Ahmad Furqon, LC.,MA. Atas bimbingan, koreksian dan gagasangagasan yang telah diberikan, tentunya banyak pengetahuan baru yang penulis dapatkan. Juga intensitas bimbingan selama penggarapan, tanpa ketulusannya penulis akan banyak mendapatkan kesulitan.
viii
5. Yth. Kajur, Sekjur, dan Biro Judul Jinayah Siyasah. Beserta segenap dosen Fakultas Syari’ah yang telah memberikan ilmunya tanpa pamrih. Juga segenap pegawai Fakultas Syari’ah yang selalu direpotkan mahasiswa. 6. Ibu Hj. Nurlaila dan Bapak H. Asep Dudung, kedua orang tua yang telah berkorban segalanya demi masa depan penulis. Ungkapan yang tidak dapat terucap dengan kata-kata, hanya doa yang dapat penulis panjatkan untuk kebahagian tanpa akhir bagi keduanya di dunia dan akhirat. Ustadzah Nunung Aviah dan Ustadz Deni Rustandi, M.Ag. yang selalu memotifasi penulis untuk segera lulus. Bagi 3 kurcaci keponakan penulis yang amat dicintai (Nur Izza Daniyah Millati, Abidah Munsyifah, dan si jagoan Subhan). Semoga menjadi anak yang sholeh dan sholehah. 7. KH. Ridwan Amin dan KH. Maghzunun Irja, pengasuh Ponpes APIKK 509 Kaliwungu sekaligus murabbi ruh penulis yang telah membekali ilmu yang tidak ternilai harganya. Sebagai santri, penulis selalu mengharap ridlo serta menanti fatwa dan mau idzoh khasanahnya. 8. Segenap pengurus dan santri Ponpes APIKK 509, Kang Mansur, Kang Rahmat, Kang Jali, Kang Dalhar, Kang Aziz dan kang-kang lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih atas pinjaman kitab, menjaga lemari dan kopi kental tentunya. 9. Segenap sahabat-sahabat senior di
PMII dan Justisia atas semua
bimbingan dan dukungannya dalam menjalani proses pengkaderan. Penulis ucapkan terima kasih banyak atas pengetahuan dan pengalaman yang telah diberikan.
ix
10. Segenap sahabat angkatan 06 di PMII Rasya dan Justisia, Khoirudin (al Pae), Vian, Ubed (Sang PU), Tamam, Taufik Robot, Nikmatul Umrah, Aniqoturrasyidah
(Bendum
DEMA),
Ely
Nurrahmah
(al
Mae),
Aniqotussa’adah (Bendum Rasya 06), Uswatun, Hima, dan 200an sahabat ALMAPABA 06 lainnya yang tidak mungkin disebutkan satu persatu. All my special friand. 11. Segenap sahabat Komisariat 06 yang include didalamnya pengurus DEMA dan SMI 2010. Zaki Mubarok (Wapres yang mantap), Rofik, Komis Naryoko, Arifuddin, Afandi, Anaf, Faturahman, Aripin, Kholis, Tabi’in, Taufik Efendi, Qurin, Adib, Oni, Zauhari Sofi, Supriyanto (Gajok), Heri, Dedi, Mustofa, Fifit, Nisa, Witi, Intani, Yaya, dan sahabat-sahabat lainnya yang belum disebut. All my best friend. 12. Aktifis Justisia (Encep, Nazar, Yani, Syafi’i, dan all wadyabala) ayo tunjukan karyamu. Aktifis KSMW ( Rektor Anam Khan, Rohwan, Umam, Tajudin, Ali, silah) tetap istiqomah berdiskusi lho. Aktifis Rasya (Arif Kera, Juki, Endang, Salamah, Asiroh, Aslamiyah dan sahabat lainnya) terus bergerak. Dan untuk the Cors 07 tetap idealis sahabat. Para aktivis FOSIA dan JQH yang tidak mungkin penulis lupakan. 13. Dulur-dulur di HMJB, Kang Rouf, Kang Nunu, Kang Asep, Kang Fatur Menwa, Kang Presiden Ubai, Kang Iki dan untuk akang-teteh, abang none dimanapun berada. 14. Mahasiswa kampung damai Semarang, undangan kalau ada kegiatan ya.
x
15. Rekan dan rekanita IPNU Jateng terkhusus departemen Pers dan Wacana (Mas Ikrom ngapuntene molor terus, Mas Jojo, Mas Rouf dan Mas Hamdani). Saatnya bangkit. 16. Posko 22 KKN ke 55 Desa Luwung (Aziz Kordes, Umar, Haris, Indra, Duroh, Nikmah dan Lulu) untuk kenangan tak terlupakan, kapan kumpulkumpul lagi? 17. Teman-teman di paket SJ A 06 (Mukarom, Wahib, Mujab, Wa Aji, Zia, Firsti dan Dian) maupun B (Sofi’i, Kiswandi, Rifqi, Najmiati, Zami, dll). 18. Para penghuni surga (Kantor DEMA), Risya Islami, Ma’ruf dan Husni Mushonnifin (Bojes). Thanks ya atas pinjaman sandang, pangan dan papannya. Tidak lupa penghuni Istana PKM Syari’ah (Toni, Khudori, Sukran dan para penghuni baru) ayo bersih-bersih. 19. Terkhusus Eneng Fufu, jalan masih panjang. Gantungkan cita-citamu setinggi langit. Yang sabar ya. Semoga menjadi amal baik yang dan menjadi pahala yang berlipat ganda dari Allah Swt. Penulis sadar bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan penulis dalam banyak hal, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun dari pembaca sangat penulis harapkan.
xi
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .........................................................................................i NOTA PEMBIMBING ..................................................................................ii HALAMAN PENGESAHAN .........................................................................iii HALAMAN DEKLARASI.............................................................................iv HALAMAN MOTTO ....................................................................................v HALAMAN ABSTRAK.................................................................................vi HALAMAN PERSEMBAHAN ......................................................................vii HALAMAN KATA PENGANTAR................................................................viii DAFTAR ISI ..................................................................................................xii BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ......................................................................1 B. Rumusan Masalah ...............................................................................14 C. Tujuan Penulisan Skripsi ....................................................................15 D. Telaah Pustaka ....................................................................................15 E. Metode Penelitian ................................................................................18 1. Sumber Data ....................................................................................18 2. Metode Pengumpulan Data .............................................................20 3. Metode Analisis Data ......................................................................20 F. Sistematika Penulisan Skripsi .............................................................22 BAB II. KETENTUAN UMUM HUKUMAN CAMBUK DALAM PIDANA ISLAM A. Pengertian Hukuman Cambuk dan Cara Pelaksanaannnya.................24 B. Ketentuan Hukuman Cambuk dalam Jarimah Peminum Minuman Keras ...................................................................................36 C. Penerapan Hukuman Cambuk Bagi Peminum Minuman Keras Masa Nabi Muhammad SAW dan Abu Bakar RA .............................44 D. Pendapat Para Ulama Tentang Hukuman Cambuk dalam Jarimah Peminum Minuman Keras...........................................49
xii
BAB III. KEBIJAKAN UMAR BIN KHATAB DALAM PENERAPAN HUKUMAN CAMBUK BAGI PEMINUM MINUMAN KERAS A. Biografi Umar Bin Khatab ..............................…………..………......54 1. Umar bin Khatab di Masa Nabi................................................... .56 2. Umar bin Khatab di Masa Abu Bakar ...........................................60 3. Pemerintahan Umar bin Khatab ...................................................61 4. Kehidupan Sosial Masa Umar bin Khatab dan Hasil Ijtihadnya....64 B. Kebijakan Umar bin Khatab dalam Penerapan Hukuman Cambuk Bagi Peminum Minuman Keras...........................................67 C. Metodologi Ijtihad Umar bin Khatab dalam Penerapan Hukuman Cambuk Bagi Peminum Minuman Keras dan Ketetapan Hukumnya..73
BAB IV. ANALISIS KEBIJAKAN UMAR BIN KHATAB DALAM PENERAPAN HUKUMAN CAMBUK BAGI PEMINUM MINUMAN KERAS
A. Analisis Kebijakan Umar bin Khatab dalam Penerapan Hukuman Cambuk Bagi Peminum Miuman Keras .............................................75 B. Analisis Alasan Umar bin Khatab dalam Penambahan Hukuman Cambuk Bagi Peminum Minuman Keras ...........................................89 C. Kontroversi Penerapan Hukuman Cambuk Pada Zaman Modern.......99
BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan ...................................................................................... 102 B. Saran .................................................................................................104 C. Penutup .............................................................................................104
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................105 LAMPIRAN-LAMPIRAN ..................................................................................106
xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Islam sebagai agama yang selalu sesuai dengan perkembangan zaman tidak menolak perubahan dan perkembangan. Sebagai agama yang terakhir dan rahmatan lil alamin tentunya menjadi problem solving permasalahan kekinian bagi pemeluknya. Tidak ada permasalahan yang tidak dapat ditemukan jawabannya dalam agama Islam. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari agama yang benar (dinul haq). Dalam perkembangannya, umat Islam saat ini dianggap terbelakang dibanding umat agama besar lain di dunia (Yahudi dan Nasrani). Meskipun secara eksplisit kita tidak bisa memakai oposisi binner dalam memaknai Islam yang diwakili wilayah Timur sedangkan agama non Islam (yahudi dan Nasrani) mewakili wilayah Barat. 1 Keterbelakangan umat Islam tidak hanya dalam bidang teknologi dan pengetahuan, lebih dari itu dalam bidang hukum sebagai social engineering. Sampai saat ini masih banyak orang Islam yang pemahamannya masih
1
Menurut Mu’ammar Qadhahafi di Arab atupun Negara Barat terdiri dari masyarakat yang heterogen dalam memeluk kepercayaan, sehingga pertikaian antara Barat dan Timur bukanlah berdasar kepercayaan (agama) lebih dari itu merupakan persaingan antara strata kedudukan kelas sebuah negara. Lihat Mahmuod Ayoub, Islam dan Teori Dunia Ketiga, Pemikiran Keagamaan Mu ammar Qadhdhafi, Bogor: Humaniora Press, 2004, hlm. 117.
normatif dan kaku sehingga menjadi kurang toleran. Akibatnya hukum Islam menjadi kaku, ekslusif dan belum bisa menyentuh realitas sosial2. Kesalahan paradigma tentang tujuan hukum Islam sebatas kepatuhan terhadap teks tidak lepas dari realita perkembangannya. Dinamika hukum Islam (dialektika fiqh) terbentuk oleh interaksi antara wahyu dan rasio. Kombinasi dua paradigma pemikiran inilah yang mendorong tradisi ijtihad. Dalam sejarah pertumbuhan hukum Islam terdapat dua aliran di kalangan para pendiri mazhab. Kelompok pertama dikenal dengan ahl ra yi (mereka mengedepankan rasio sebagai ”panglima” dalam memahami al Quran), sedangkan kelompok kedua dikenal dengan ahl hadis (mereka mengedepankan Hadis Nabi dalam memahami al Quran). Kelompok pertama memberikan peluang adanya manivestasi rasio/akal dalam memahami otoritas wahyu. Sedangkan kelompok dua menolaknya 3. Begitu juga dalam mensikapi perkembangan zaman, kelompok ahl hadis cenderung mempertahankan idealitas wahyu tanpa memberikan accomodative thinking. Artinya, apa yang tersurat dalam kalam ilahi adalah final, sakral, permanen dan tidak dapat diubah. Model pemikiran tersebut
2
Pemahaman Islam yang normatif sebenarnya berangkat dari pola fikir yang deduktif, yakni ajaran Islam yang diyakini benar secara mutlak itu kemudian dipahami apa adanya tanpa melalui proses berpikir dengan melibatkan secara langsung persoalan-persoalan realitas sosial yang plural. Islam masih dipandang sebagai ajaran-ajaran langit yang selamanya melangit, sebab model pola pikir inilah Islam mandul dalam misinya menjadi agen social of change, lihat Mu’arif, Pembaruan Pemikiran Islam, Bantul: Pondok Edukasi, 2005, Hlm. 10. 3 Madzhab yang dimaksud tidak spesifik untuk madzhab dalam fiqih, secara historis perkembangan madzhab pemikiran berawal dari madzhab daerah, yang terkenal pada masa awal yaitu madzhab Iraqi dan Hijazi. Menurut Ali al Khaffi seorang anggota badan riset Islam (Majma al Buhuts Islamiyah) aliran Iraq lebih cenderung longgar dan bersandar kepada penalaran, analogi dan tujuan-tujuan hukum (maqoshid al syari ah). Sebaliknya mazhab Hijaz lebih condong kepada mengikuti hadis yang berkembang. Lihat Sumanto al Qurtubi, KH. MA. Sahal Mahfudh Era Baru Fiqih Indonesia, Yogyakarta: Cermin, 1999, hlm Vdan 5.
2
sebagian besar masih dianut oleh masyarakat Indonesia. Sebagai akibatnya yaitu sakralitas fiqih, karena secara tidak langsung fiqih merupakan menifestasi dari penafsiran al Quran dan Hadis dalam bidang hukum. Lain halnya kelompok ahl ra yi. Bagi mereka, adalah satu tuntutan zaman, manakala proses interaksi wahyu-rasio berjalan seiring. Artinya, suatu keniscayaan bagi wahyu untuk menerima bagi segala kemungkinan interpretasi akal. Tidak terlepas dari pergulatan keberpihakan kepada tekstualiatas yang diwakili ahl hadis dan kontekstualitas yang diwakili ahl ra yi. Keduanya mempunyai satu tujuan yaitu kemaslahatan bagi kehidupan umat Islam, hal tersebut berdasarkan tujuan tasyri .4 Secara embrional kecenderungan ortodoksi yang tekstualis dan formalistik ini bermula sejak masa-masa awal. Yakni ketika beberapa sahabat, antara lain Bilal bin Abi Rabah, secara tegas menolak ijtihad Umar. Adalah Umar bin Khatab dalam sejarah dikenal sebagai khalifah yang kontroversial, tegas dan berani. Ijtihad yang dia lakukan baik dalam bidang politik, sosial, ekonomi dan hukum dalam banyak hal sering berseberangan dengan praktek Nabi.5
4
Tasyri adalah bentuk mashdar dari kata syara a yang berarti membuat syariat. Tasyri’ memiliki tiga pondasi. Pertama, tidak adanya kesempitan sebaliknya harus bertujuan melapangkan. Kedua, memperingankan tidak memberatkan. Ketiga, tasyri dilakukan secara bertahap. Lihat Khudlori Bik, Tarehk at Tasyri al Islamy, Mesir: Maktabah Tijariyah Qubra, 1965, hlm. 17. 5 Muhammad Husain Haekal, Umar bin Khatab (Sebuah Telaah Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya Masa itu) diterjemahkan Ali Audah, Jakarta: Litera AntarNusa, 2008, hlm. vi.
3
Dia membentuk diwan-diwan sebagai aparatur pemerintahannya seperti di Persia,6 menetapkan rampasan perang (ghanimah) dan upeti (fa i) yang merupakan barang tetap milik negara tidak hanya seperlimanya,7 memberi
gaji
kepada
tentara,
menghapuskan
hak
mu allafah
qulubuhum8memperoleh bagian zakat, tidak melakukan hukuman potong tangan, memperberat hukuman pemabuk dan sebagainya. Semua yang dilakukan Umar bin Khatab itu dalam rangka mencapai kemaslahatan. Tidak terlepas dari metodologi yang dipakai Umar bin Khatab dalam rangka keluar dari kungkungan tekstulitas al Quran dan Sunnah Nabi. Dalam sejarahnya Umar tetap menjalankan seluruh peraturan lewat koridor yang telah dilakukan rasul atau himbauannya. Di antara hasil kebijakan Umar yang pernah ditetapkan yaitu kebijakannya tentang penambahan hukuman cambuk bagi peminum minuman keras. Penetapan Umar dalam menambah hukuman cambuk bagi peminum minuman keras ternyata berimplikasi terhadap hukum yang diistinbathkan para ulama fiqih klasik maupun kontemporer. Banyak pendapat para ulama fiqih yang berbeda tentang ketetapan penambahan Umar terhadap hukuman cambuk bagi peminum minuman keras. 9
6
Ibid., hlm. 249. Ibid., hlm. 671. 8 Al-Sayyid al-Sabiq memberikan pengertian al-Muallaf sebagaimana yang dikutip dalam tafsir al-Manar, yaitu: sekelompok orang yang dibujuk hatinya agar bergabung dengan Islam, atau mereka menahan diri dari melakukan kejahatan terhadap orang-orang Islam, atau orang-orang yang jasanya diharapkan untuk membantu dan membela kaum muslimin. Lihat, al-Sayyid alSabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid I, hlm.328. 9 Perbedaan pendapat terkait dengan hukum yang ditetapkan Umar dalam penambahan hukuman jilid bagi peminum minuman keras adalah ta’zir atau had itu sendiri. Kelompok besar syafi’iah menyetujui bahwa itu adalah ta’zir, sebaliknya ketiga imam selain Syafi’i menjadikannya sebagai had bagi peminum minuman keras. Khudlori Bik, loc. cit., hlm. 649. 7
4
Umar menentukan hukuman cambuk bagi peminum minuman keras pada awal pemerintahannya sebanyak 40 kali, masih mengikuti pendahulunya yaitu Nabi dan Sahabat Abu Bakar. Kebijakannya berubah pada akhir pemerintahannya menjadi 80 kali. Adapun keputusan tersebut berdasarkan usulan para sahabat, karena keadaan masayarakat pada waktu itu sangat menggemari minuman keras. 10 Alasan Umar menambahkan hukuman menjadi 40 kali cambukan, tidak terlepas dari sebab utama yaitu membuat jera para pemabuk untuk berhenti meminum minuman keras. Umar menambahkan hukuman menjadi 60 kali, dianggap belum mencegah kejahatan tersebut maka Umar menambahkan menjadi 80 kali.11 Secara historis Umar mempunyai alasan sosiologis. Sebagai khalifah Umar mempunyai tanggung jawab membenahi kehidupan masyarakat. Ketika terjadi sebuah distabilisasi karena suatu fenomena, ketegasan dalam menyelesaikan sebuah permasalahan mutlak dibutuhkan bagi seorang pemimpin. Terkait dengan maraknya minuman keras pada masa Umar, menuntutnya untuk memecahkan permasalahan sesuai dengan kemaslahatan. Ijtihad yang dilakukan Umar tetap berpijak pada ketetapan al Quran dan hadis, adapun faktor sosiologis menjadi landasan permasalahan yang harus diselesaikan dengan merujuk kepada keduanya. Permasalahan dalam penambahan hukuman cambuk bagi peminum minuman keras ini dimulai dari
10
Muhammad Ruwas Qal’aji, Mausu ah Fiqih Umar Ibn Khattab, Kuwait: Maktabah al Falah, t.th , hlm. 81. 11 Muhammad Abdul ‘Aziz al Halawy, Fatawa wa Aqdhiyya Amirul Mu minin Umar Ibn Khathab, Kairo: Maktabah al Qur’an, 1986, hlm. 267.
5
ketetapan Umar bin Khatab untuk menghukum seorang laki-laki dari kalangan Muhajirin yang dahulu ikut hijrah pertama kali. Umar memvonisnya dengan hukuman cambuk, sebaliknya laki-laki tersebut tidak puas dengan keputusan Umar. Laki-laki itu memprotes Umar dengan alasan tidak ada hukum yang mendasari ketetapan Umar untuk memberi hukuman cambuk. Lalu Umar balik bertanya terkait ayat yang mengandung kandungan bahwa seorang pemabuk tidak dapat didera/cambuk. Laki-laki tersebut membacakan salah satu ayat dari al Quran. (#qãZtB#uä¨r (#qs)¨?$# $tB #sŒÎ) (#þqßJÏèsÛ $yJŠÏù Óy$uZã_ ÏM»ysÎ=»¢Á9$# (#qè=ÏJtãur (#qãZtB#uä šúïÏ%©!$# ’n?tã §øŠs9 ÇÒÌÈ tûüÏYÅ¡ósçRùQ$# •=Ïtä† ª!$#ur 3 (#qãZ|¡ômr&¨r (#qs)¨?$# §NèO (#qãZtB#uä¨r (#qs)¨?$# §NèO ÏM»ysÎ=»¢Á9$# (#qè=ÏJtãur Artinya: Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh Karena memakan makanan yang Telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, Kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, Kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.(QS. Al-Maidah: 93)12 Laki-laki tersebut berkilah bahwa dirinya adalah orang-orang saleh yang gemar berbuat kebajikan. Bahkan dia menambahi, bahwa dirinya pernah ikut perang bersama Rasulullah. Menurutnya Allah menyukai orang sepertinya, sehingga tidak ada alasan bagi Umar untuk menghukumnya. Mendengar penjelasan tersebut, Umar meminta pertimbangan kepada sahabat yang lain. Kemudian Ibnu Abbas memberikan opsi yang menyatakan bahwa ayat di atas merupakan dalil bagi orang-orang terdahulu sebelum 12
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1996, hlm.
223.
6
diharamkannya khamr dan sebagai argumen bagi orang-orang munafik. Kemudian Ibnu Abbas membacakan ayat al Quran: Ç`»sÜø‹¤±9$# È@yJtã ô`ÏiB Ó§ô_Í‘ ãN»s9ø—F{$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur çŽÅ£øŠyJø9$#ur ã•ôJsƒø:$# $yJ¯RÎ) (#þqãYtB#uä tûïÏ%©!$# $pkš‰r'¯»tƒ ÇÒÉÈ tbqßsÎ=øÿè? öNä3ª=yès9 çnqç7Ï^tGô_$$sù Artinya: Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatanperbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan .(QS ALMaidah: 90)13 Selanjutnya Ali bin Abi Thalib ikut memberikan argumen, baginya apabila seseorang meminum khamr, maka orang tersebut akan merasa melayang (fly), setelah melayang orang tersebut akan berbicara seenaknya dan membuat fitnah, sedangkan orang yang membuat fitnah harus dikenakan hukuman cambuk sebanyak 80 kali cambukan. Akhirnya Umar menghukum laki-laki tersebut dengan 80 kali cambukan.14 Perdebatan ulama fiqih dalam menetapkan hukuman tambahan Umar terhadap pemabuk dari 40 cambukan menjadi 80 cambukan sangat erat dengan ketetapan had bagi peminum minuman keras. Selama ini hanya had bagi peminum minuman keras yang tidak terdapat hitungan yang ditetapkan dalam nash al Quran. Sehingga untuk menetapkan had bagi pemabuk harus menelusuri ketetapan Sunnah Nabi. 15 Untuk hadis yang menyatakan had bagi peminum minuman keras adalah 40 cambukan.
13
Ibid., hlm.222. Muhammad Abdul ‘Aziz al Halawy, loc.cit.,hlm. 266. 15 Muhammad Baltaji, Metodologi Ijtihad Umar Bin Khatab, diterjemahkan oleh Masturi Irham dari Manhaj Umar bin Khatab fi at Tasyri”, Jakarta: Khalifa, 2005, hlm. 287. 14
7
. 16
(
)
Artinya: Dari Anas bin malik ra. Sesungguhnya telah dihadapkan kepada Nabi Saw. Seorang lelaki yang meminum khomr, lalu beliau mencambuknya dengan pelepah kurma kira-kira 40 kali cambukan. (HR. Muslim). Jika mengambil ketetapan hadits tersebut, kebijakan Umar bin Khatab dalam penambahan hukuman cambuk bagi peminum minuman keras sebanyak 40 kali adalah ta’zir.17 Akan tetapi, karena ketetapan tersebut tidak berdasarkan nash al Quran, maka Umar berijtihad dengan menyesuaikan keadaan demi sebuah kemaslahatan yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat, sebagaimana dilaksanakan Nabi pada masanya.18 Karena ketentuan pelaksanaan hukuman had oleh Rasulullah telah menjadi ketetapan. Sedangkan Umar menetapkan tambahan cambuk sebanyak 40 kali, maka ketetapan tersebut bertentangan dengan hadis Nabi yang menyatakan bahwa penambahan hukuman cambuk pada ta’zir
tidak
diperbolehkan melebihi 10 cambuk. Lebih dari itu, suatu saat Umar pernah menambahkan hukuman cambuk sebanyak 20 kali. 19
:
. 20
(
)
16 Abu al-Husayn bin Hajjaj al-Qusyairy, Shahih Muslim, Bairut: Dar al Ihya’ al-Turas al-Arabiyyah, t.th, hlm. 116. 17 Menurut Imam Syafi’i dan satu riwayat dari pendapat imam Ahmad. Sedangkan menurut Imam Malik dan Imam Abu Hanifah untuk peminum minuman keras adalah delapan puluh kali jilid (dera). Abi Abdullah ‘Abdussalam ‘Alausi, Ibanatul Ahkam Syarh Bulugul Marom, Beirut: Darul Fikr, 2008, hlm. 117. 18 Muhammad Baltaji, loc.cit., hlm. 299. 19 Penambahan hukuman jilid yang dilaksanakan pada seorang pemabuk ketika bulan Ramadhan. Pemberian hukuman ta’zir dengan alasan menghormati bulan suci Ramadhan. Muhammad Ruwas Qal’aji, loc.cit., hlm. 83. 20 Abu al-Husayn bin Hajjaj al-Qusyairy, op. cit., hlm. 118.
8
Artinya: Dari Abu Burdah Al Anshori, bahwa dia pernah mendengar Rosulullah Shallahu alaihi wasallam bersabda: seseorang tidak boleh di dera lebih dri sepuluh kali, melainkan hukuman telah jelas ditetapkan oleh Allah Swt. (HR. Muslim) Jika melihat hadis di atas penambahan hukuman untuk ta’zir dengan cambukan melebihi 10 kali adalah dilarang. Hal tersebut terkait dengan esensi dari ta’zir sendiri yaitu untuk mendidik.21 Pendapat ini disepakati oleh Imam Ahmad, Ishak dan Syafi’iyah. Adapun lainya menyetujui bahwa ta’zir boleh melebihi dari sepuluh cambukan, alasan tersebut melihat sunnah Umar yang menambahkan 40 Cambuk. Berbeda ketika penambahan yang dilakukan Umar bukanlah ta’zir akan tetapi merupakan taysri dari jumlah had bagi peminum minuman keras. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat dalam menyimpulkan ketetapan Umar dalam menambah hukuman Cambuk sebagai had bagi peminum minuman karas. Adapun dalil hadis yang mendasari pemasalahan tersebut sebagai berikut.
. 22
: (
:
)
Artinya: Diriwayaan dari muslim dari Ali bin Abi Thalibib dalam riwayat Walid ibnu uqbah: Nabi Muhammad Saw mencambuk empat puluh sedangkan Abu Bakar empat puluh, dan Umar delapan puluh. Semua itu adalah sunnah dan ini lebih aku sukai. (HR. Muslim).
21
Menurut bahasa ta’zir dapat diartikan mencegah atau menolak, begitu juga dapat diartikan mendidik. Menurut Abdul Qodir Audah dalam At tayri al Jinaiy Al Islamy yang relevan dalam pengertian ta’zir adalah mencegah atau menolak, kemudian diartikan mendidik. Adapun secara definitif menurut al Mawardi, ta’zir adalah hukuman yang mendidik atas perbuatan dosa (ma’siyat) yang hukumannya belum ditetapkan oleh Syara’. Sedangkan menurut Wahab Zuhaili memberikan definis hampir sama dengan al Mawardi, Ta’zir menurut syara’ adalaha hukuman yang ditetapkan atas perbuatan ma’siyat atau jinayah yang tidak dikenakan, Khudlori Bik, loc. cit., hlm. 685. 22 Abu al-Husayn bin Hajjaj al-Qusyairy, loc. cit., hlm. 117.
9
Jika meneliti hadis diatas, ditemukan bahwa belum ada ketentuan pasti terkait dengan hitungan hukuman cambuk bagi peminum minuman keras. Ali bin Abi Thalib menyatakan bahwa hitungan 40 kali yang dilaksanakan oleh Rasulullah adalah sunnah begitu juga yang dilakukan Abu Bakar. Sehingga semuanya bisa diakomodir sebagai landasan menetapkan hukuman.23 Bisa dipahami, apa yang dilakukan Umar dan sahabat yang lain terkait dengan penambahan hukuman cambuk merupakan ketentuan sunnah. Hal tersebut dikarenakan keadilan bagi sahabat tidak diragukan, selain itu pendapat para sahabat dapat dijadikan landasan untuk istinbath hukum fiqih. Akan tetapi permasalahan sesungguhnya terletak pada ketetapan yang telah dilaksanakan Rasulullah, apakah ketetapannya diakui sebagai sunnah yang mutlak wajib diikuti (had bagi peminum minuman keras)? atau sebatas hukuman yang tidak terikat dan pelaksanaannya didasarkan kepada kemaslahatan yang diperlukan. Akibat perbedaan inilah para ulama berbeda pendapat terkait hukuman had bagi peminum minuman kerasa. Menurut pendapat Imam Muhamad Nawawi ibnu Umar al Jawi, tambahan yang dilakukan oleh Umar bin Khatab adalah ta’zir. Dengan alasan bahwa ketetapan yang pasti dari hukuman peminum minuman keras adalah 40 cambukan sebagaimana ketetapan Rasul. Apabila 80 cambuk adalah had maka tidak diperbolehkan meninggalkannya, sedangkan ketentuan yang pasti adalah 40 cambuk maka tambahannya adalah ta’zir. 24
23 24
Muhammad Baltaji, loc.cit., hlm. 293. Muhammad Nawawi al Jawi, Tausyih Ala Ibnu Qosim, Surabaya: Darul Ulum, t.th,
hlm. 248.
10
Dalam
kitab
karangannya
dia
Tausyih
Ala
Ibnu
Qosim
menambahkan: bagi yang menyatakan hitugan 80 adalah had, mereka beralasan tidak akan ada ta’zir kecuali dalam jinayat yang mutlak dan had yang telah ditentukan hitungannya dalam al Quran. Sedangkan had untuk peminum minuman keras belumlah mutlak. 25 Berbeda dengan pendapat Syeh Ibnu Ahim al Bajuri, menurutnya hitungan 80 telah sesuai dengan nash, dan tidak ada pengecualian untuk mengurangi atau menambah. Pembagian hitungan terdiri dari 40 yang telah disepakati oleh Nabi Muhammad dan Abu bakar pada masanya, adapun tambahan 40 terkait dengan akibat yang dilahirkan dari had mabuk itu sendiri. Apabila seseorang mabuk maka ia akan berbicara sesuatu yang buruk, maka apabila akibat yang dilahirkan menjurus kepada qhozaf atau iftara hukumannya menjadi 80 cambukan. Hitungan tersebut disesuaikan dengan had-had yang lain yang telah ditentukan jumlahnya dalam nash Al Quran.26 Menurut Syeh Ibnu Abdullah Abdussalam Alausi dalam kitab Ibanatul Ahkam, bahwa tafsiran dalam kalimat jaridataini mempunyai dua makna, apabila jaridataini diartikan satu kesatuan maka pukulan jumlah cambuk keseluruhan adalah 40. Sedangkan pendapat lain bahwa jaridataini harus dikembalikan kepada mufrodnya yaitu jaridah. Maka untuk satu jaridah 40 cambuk, sehingga jumlahnya menjadi 80 cambukan.27
25 26
Ibid., hlm. 249. Ibnu Qosim al Gozi, Hasyiah Syarh Ibnu Ahim al Bajuri, Beirut: Darul Fikr, 2005, hlm.
351. 27
Abi Abdullah Abdussalam Alausi, loc. cit., hlm. 104.
11
Pendapat yang berbeda disampaikan Imam ar Rofi’i, bahwa ta’zir yang lahir dari Jinayat peminum minuman keras tidak dibatasi. Menurutnya boleh lebih dari 80 cambuk ataupun tidak. Dengan alasan, ketetapan had yang telah dikhususkan adalah 40, adapun 40 lainnya merupakan ta’zir. Ketika ketentuan tambahan 40 adalah ta’zir, tidak ada keterikatan untuk menetapkan 40 cambukan. Menurutnya secara historis tambahan 40 adalah hasil ijma’ sahabat, sehingga tambahan tersebut bisa disesuaikan pula dengan keadaan zaman sekarang.28 Meskipun begitu, karena itu adalah ijma’ sahabat sudah seharusnya menjadi pertimbangan istinbath hukum. Senada dengan pendapat Imam ar Rofi’i, pendapat Syeh Abu Bakar Ibnu Muhammad Syata Addimyati dalam kitabnya
anatuThalibibin.
Hitungan 40 cambukan merupakan kebiasaan yang ada pada zaman Rasulullah, maka sangatlah terbuka untuk meyesuaikan dengan kebiasaankebiasaan setiap zaman. Bisa disimpulkan bahwa hukuman peminum minuman keras boleh disesuaikan dengan keadaan bisa 80 cambukan atau kurang.29 Setelah mendapati akan perbedaan pendapat para ulama tentang hukum dari penambahan cambuk bagi peminum minuman keras, tentunya dibutuhkan analisis bagaimana sebenarnya alasan Umar bin Khatab dalam menetapkan kebijakannya. Terkait dengan hal tersebut analisis sejarah sangat 28
Ibnu Qosim al Gozi, op.cit., hlm. 352. Dalam kitabnya Syeh Abu Bakar ibnu Muhammad Syato Addimyati tidak menjelaskan secara mendetail apakah diperbolehkan kurang dari hitungan empat puluh. Apabila had dalam minuman keras hanya merupakan kebiasaan pada zaman rosululah, maka jika harus ditafsiri secara heurmenetik bisa dianalogikan sesuai kebutuhan zaman. Sejauh ini beliau hanya menetapkan dalam hitungan 80, lihat Abu Bakar ibnu Muhammad Syato Addimyati, anatutholibin, Baerut: Darul ‘Ashosoh, 2005, hlm. 177. 29
12
menentukan bentuk hukum yang dapat diistinbathkan dari kebijakan Umar. Realita sosial serta metodologi ijtihad ketika Umar mencoba keluar dari kebiasaan yang selama ini dilakukan Nabi (Sunnah Nabi) dan Abu bakar akan menjadi acuan terhadap bentuk penetapan hukum bagi peminum minuman keras zaman sekarang. Dalam sejarah perkembangan sosial masa pemerintahan Umar tidak lepas dari pertentangan mentalitas jahiliyah dan mentalitas Islam. Masih gemarnya masyarakat Arab dengan kesenangan khususnya meminumminuman keras membutuhkan usaha yang keras dalam penyadarannya. Tidak mengherankan apabila ayat yang berkaitan dengan larangan meminum minuman keras secara bertahap.30 Dalam menghadapi masyarakat Arab yang masih gemar meminum minuman keras khususnya di Syam dan di luar Syam, Umar sangatlah tegas. Tentunya memberlakukan hukum tersebut berdasarkan tujuan-tujuan tasyri yang ditetapkan Rasul’. 31 Dalam mengambil keputusan, Umar tidak lupa mengikuti sunnah Nabi yaitu dengan musyawarah bersama sahabat. Dalam musyawarahnya sahabat Ali bin Abi Thalib menyarankan: ”pendapat saya didera dengan delapan puluh pukulan seperti hukum tuduhan palsu; sebab kalau dia minum ia akan mabuk, kalau sudah mabuk mengigau, kalau sudah mengigau berdusta”. maka, Umar mengikuti pendapat Ali bin Abi Thalib
30
Larangan meminum khomr dalam al Quran diturunkan sebanyak tiga kali secara bertahap yang terdapat dalam surat al Baqoroh: 219, Surat Annisa: 43, al Maidah: 90-91dan Annahl: 67. 31 Muhamad Husain Haekal, loc. cit., hlm. 740.
13
yaitu menetapkan 80 cambukan bagi peminum minuman keras.32 Sebagian pendapat usulan tersebut bukan dari Ali bin Abi Thalib, akan tetapi dari Abdurahman bin Auf. 33 Meskipun mengikuti pendapat sahabat Ali, hakikatnya keputusan tersebut merupakan keputusan bersama. Antara sahabat muhajirin dan anshar yang hadir pada waktu itu. Disamping keputusan bersama dan merupakan ijma’. Umar mempunyai i’tikad bahwa maksud diberlakukanya had bertujuan membersihkan dan memberikan efek jera bagi orang yang berma’siat. Maka dengan tegas Umar menambahkan hukuman guna mencapai tujuan dari had.34 Bertolak dari pemikiran di atas penulis ingin mengetahui lebih dalam mengenai kebijakan Umar dalam penerapan hukuman cambuk bagi peminum minuman keras dan alasannya. Akhirnya, dalam penulisan karya ilmiah ini penulis akan memberi judul “ Studi Analisis Kebijakan Umar Bin Khatab Dalam Penerapan Hukuman Cambuk Bagi Peminum Minuman Keras”.
B. Rumusan Masalah Untuk membuat permasalahan menjadi lebih spesifik dan sesuai dengan titik tekan kajian, maka harus ada rumusan masalah yang benar-benar fokus. Ini dimaksudkan agar pembahasan dalam karya tulis ini, tidak melebar dari apa yang dikehendaki. Dari latar belakang yang telah disampaikan di atas, ada beberapa rumusan masalah yang bisa diambil; 32
Muhamad Husain Haekal, loc. cit., hlm. 726. Abdurrahman bin Auf berkata bahwa had yang paling ringan (rendah) Adalah delapan puluh kali dera, Umar akhirnya menyetujui pendapat tersebut. Ahmad Wardi Muslich, loc. cit., hlm. 77. 34 Abi Abdullah ‘Abdussalam ‘Alausi, loc. cit., hlm. 105. 33
14
1. Bagaimana ketentuan hukuman cambuk bagi peminum minuman keras yang ditetapkan Umar bin Khatab? 2. Bagaimana formulasi metodologis atas Ijtihad Umar bin Khattab dalam penerapan hukuman cambuk bagi peminum minuman keras.? 3. Apa latar belakang serta alasan Umar bin Khatab dalam penambahan hukuman cambuk bagi peminum minuman keras?
C. Tujuan Penulisan Skripsi Tujuan dari penulisan karya ini sebenarnya adalah untuk menjawab apa yang telah dirumuskan dalam perumusan masalah diatas. Diantara beberapa tujuan dari penelitin ini adalah. 1. Mengetahui ketentuan hukuman cambuk bagi peminum minuman keras yang ditetapkan Umar bin Khatab. 2. Mengetahui bagaimana formulasi metodologis atas Ijtihad Umar bin Khattab dalam penerapan hukuman cambuk bagi peminum minuman keras. 3. Mengetahui latar belakang serta alasan Umar bin Khatab dalam penambahan hukuman cambuk bagi peminum minuman keras.
D. Telaah Pustaka Sejalan dengan permasalahan yang telah penulis paparkan diatas, penulisan ini bertujuan untuk mengetahui ketentuan hukum atas kebijakan Umar dalam penerapan hukuman cambuk bagi peminum minuman keras dan
15
alasannya secara konferhensif dari nash sharih dan pendapat para ulama klasik maupun kontemporer serta memberikan kesimpulan dari hasil muqoronah dan penelitian tersebut. Disamping
itu untuk mengetahui
metodologi yang dipakai Umar bin Khatab dalam ijtihadnya. Selama ini bentuk ijtihad yang dilakukan Umar bin Khatab terkait penambahan hukuman cambuk bagi peminum minuman keras dan yang melatar belakangi hanya dapat dilacak dari karya-karya orang lain yang tersebar dalam karya ilmiah para intelektual Islam, kitab klasik dan penulis kontemporer yang peduli pada perubahan konsep fiqih. Diantaranya skripsi karya Ali Masyari dengan judul Formulasi Metodologi Fiqh Umar Ibn Khattab (Studi Atas Model Ijtihad Umar Ibn Khattab Dan Signifikansinya Terhadap Pembaruan Hukum Islam) (Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2007). Skripsi ini berisi metodologi ijtihad Umar secara umum. Meskipun dalam beberapa contoh dibahas tentang kebijakan Umar dalam penambahan hukuman cambuk bagi peminum minuman keras, tetapi tidak secara mendalam sehingga tidak dapat menjawab seputar permasalahan tersebut. Skripsi karya Ali Mawahib dengan judul Studi Analisis Pendapat Imam Syafi i Tentang Had Khamr (Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2007). Skripsi ini berisi tentang metodologi yang di pakai Imam Syafi’i dalam istinbath hukum terkait had bagi peminum minuman keras, yaitu al Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
16
Selain skripsi, tesis karya Muhammad Baltaji dalam masternya di Fakultas Syariah Universitas Kairo, yang berjudul Manhaj Umar Ibn Khathab fii at-Tasyri: Diraasatu Mustaw abah li-Fiqhi Umar wa-Tandziimaatihi. (Diterbitkan oleh Penerbit Khalifa dengan judul Metodologi Ijtihad Umar bin al-Khathab, 2003). Di salah satu bab buku ini dibahas tentang metodologi ijtihad Umar ibn Khatab terkait penambahan hukuman cambuk bagi peminum minuman keras, akan tetapi dalam bahasannya tidak terdapat kesimpulan yang tepat mengenai hukum dari penambahan hukuman cambuk bagi peminum minuman keras. Sampai saat ini penulis belum menemukan ada pembahasan secara spesifik terkait permasalahan ketetapan hukum kebijakan Umar dalam penerapan hukuman cambuk bagi peminum minuman keras serta metodologi yang dipakainya dalam berijtihad. Oleh sebab itu, penulis merasa perlu melakukan penelitian dan membuat karya ilmiah ini.
E. Metode Penelitian Penelitian ini akan difokuskan kepada istinbath hukum dari ketentuan penerapan hukuman cambuk yang ditetapkan Umar bin Khatab, selama ini ditemukan banyaknya perbedaan pendapat dari kalangan ahli fiqih. Permasalahan tersebut terkait dengan ketentuan hukum dan batasan dari had peminum minuman keras.
17
1. Sumber Data Karena penelitian ini merupakan studi terhadap atas hasil pemikiran seorang dari seorang tokoh, maka data-data yang dipergunakan lebih merupakan data pustaka. Penulis menggunakan data sekunder dan data tambahan sebagai penunjang. a. Data sekunder adalah data-data yang berasal dari orang kedua atau bukan data yang datang langsung dari orang pertama. Artinya data ini merupakan interpretasi dari seorang penulis terhadap buah pikir dan kebijakan Umar bin Khattab. Diantara karya-karya yang mengupas buah pikir dari Umar bin Khattab yang akan dipergunakan sebagai bahan rujukan dalam penelitian ini adalah, Mausu ah Fiqh Umar Ibn Khattab, Karya Muhammad Ruwas Qal’aji yang diterbitkan oleh Maktabah al Falah Kuwait yang belum ada terjemahannya, Fatawa wa Aqdhiyya Amirul Mu minin Umar Ibn Khathab yang ditulis oleh Muhammad Abdul ‘Aziz al Halawy, yang diterbitkan oleh Maktabah al Qur’an, Kairo, belum ada terjemahan. Selanjutnya buku Metedologi Ijtihad Umar bin Al-Khattab karya Muhammad baltaji yang diterbitkan Khalifa, Jakarta. Buku ini diterjemahkan oleh Masturi. Selain itu yang menjadi rujukan utama adalah Umar bin Khatab
Sebuah Telaah Mendalam
Tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya Masa Itu , yang ditulis oleh Muhammad Husain Haekal yang diterbitkan oleh litera AntarNusa, Jakarta.
18
b.
Data tambahan sebagai penunjang diantaranya: at Tasyri al Jinai al Islami, yang ditulis oleh Abdul Qodir Audah, yang diterbitkan oleh Muassasah Risalah, Beirut. Kitab Ibanatul Ahkam Sarh Bulugul Marom, karya Abi Abdullah ‘Abdussalam ‘Alausi, yang diterbitkan Darul Fikr, Beirut. Tarekh Tasyri al Islami (Sejarah Pembinaan Hukum Islam) karya Khudlori Bik yang diterjemahkan oleh Mohammad Zuhri, penerbit Darul Ihya Indonesia. Kitab Tausyeh Ala Ibnu Qosim karya Muhammad nawawi al Jawi, diterbitkan darul Ulum Surabaya tanpa tahun. Kitab Hasyiah anatu Thalibin karangan Abu Bakar ibnu Sayid Muhammad Syata ad Dimyati. Penerbit Darul Ashosoh Beirut. Kitab Kifayatul Ahyar fi Hali Ghoyatul Ihtishor karya Imam Taqiyudin Abi bakar Muhamad al Husna, penerbit Thoha Putra Semarang. Selain kitabkitab klasik buku sekunder lainnya adalam Hukum Pidana Islam penulis Ahmad Wardi Muslich, penerbit Sinar Grafika Jakarta. Adapun sebagai buku penunjang adalah Nalar Fiqih Kontemporer penulis Hasbi Umar. penerbit Gaung Persada Press Jakarta. Buku KH. Sahal Mahfudz Era Baru Fiqih Indonesia, penulis Sumanto al Qurtubi, penerbit Cermin Yogyakarta.
19
2. Metode Pengumpulan Data Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma kualitatif, 35 karenanya metode pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode pengumpulan data library research36 yang mengandalkan atau memakai sumber karya tulis kepustakaan. Metode ini penulis gunakan dengan jalan membaca, menelaah buku-buku dan artikel yang berkaitan dengan tema penelitian ini.
3. Metode Analisis Data Analisa data yang dilakukan dalam penelitian ini pada dasarnya merupakan proses pengorganisasian dan mengurutkan data ke dalam kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan pola, tema yang dapat dirumuskan sebagai hipotesa kerja.37 Jadi yang pertama kali dilakukan dalam analisa data ini adalah pengorganisasian data dalam bentuk mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, memberi kode dan mengkategorikannya. Tujuan pengorganisasian dan pengolahan data tersebut adalah untuk menemukan tema dan hipotesa kerja yang akhirnya diangkat menjadi teori.38
35
Adalah penelitian yang bersifat atau memiliki karakteristik, bahwa datanya dinyatakan dalalm keadaan sewajarnya, atau sebagaimana aslinya (natural setting), dengan tidak dirubah dalam bentuk simbol-simbol atau bilangan. Penelitian kualitatif ini tidak bekerja menggunakan data dalam bentuk atau diolah dengan rumusan dan tidak ditafsirkan / diinterpretasikan sesuai ketentuan statistik / matematik. Hadawi dan Mimi Martin, Penelitian Terapan, Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1996, hlm. 174. 36 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Yogyakarta: Andi Ofset, 1997, hlm. 9. 37 Anas Saidi, Makalah-makalah Metodologi Penelitian, (makalah tidak diterbitkan), hlm 43. 38 Ibid.
20
Berdasarkan
data
yang
diperoleh
untuk
menyusun
dan
menganalisa data-data yang terkumpul dipakai metode deskriptif-analitik. Metode deskriptif-analitik ini akan penulis gunakan untuk melakukan pelacakan dan analisa terhadap nash sharih serta pemikiran, biografi dan kerangka metodologis pemikiran Umar bin Khattab. Selain itu metode ini akan penulis gunakan ketika menggambarkan dan menganalisa pemikiran Umar bin Khattab saat beliaunya melakukan formulasi ijtihadnya. Lebih dari itu. penulis menggunakan metode ini untuk menganalisis pendapat para ulama dalam memberikan kesimpulan tentang hasil ijtihad Umar khususnya dalam masalah penambahan hukuman cambuk bagi peminum minuman keras. Kerja dari metode deskriptif-analitik ini yaitu dengan cara menganalisis data yang diteliti dengan memaparkan data-data tersebut kemudian diperoleh kesimpulan. 39 Untuk mempertajam analisis, metode content analysis (analisis isi) juga penulis gunakan. Content analysis (analisis isi) digunakan melalui proses mengkaji data yang diteliti. Dari hasil analisis isi ini diharapkan akan mempunyai sumbangan teoritik.40
39
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 1992, hlm. 210. 40 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Jogjakarta: Rake Sarasin, 1996, hlm. 51.
21
F. Sistematika Penulisan Untuk memperoleh gambaran yang jelas serta mempermudah dalam pembahasan, maka secara keseluruhan dalam penelitian skripsi ini terbagi menjadi lima bab, dimana setiap bab memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lainnya. Secara umum gambaran sistematikanya adalah sebagai berikut:
Bab 1
: Pendahuluan Berisi aspek-aspek utama penelitian yang meliputi: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan skripsi, telaah pustaka, Metode penulisan skripsi ,sistematika penulisan skripsi.
Bab II
: Ketentuan umum tentang hukumam cambuk, ketentuan hukuman cambuk dalam jarimah peminum minuman keras, penerapan hukuman cambuk pada masa Nabi Muhammad, Abu Bakar serta pendapat para ulama ketentuan hukuman cambuk dalam jarimah peminum minuman keras dan kontroversi penerapan hukuman cambuk pada masa sekarang.
Bab III
: Biografi Umar bin Khatab, Kebijakan Umar bin Khatab dalam penambahan hukuman cambuk bagi peminum minuman keras, Metodologi serta ketetapan hukumannya.
Bab IV
: A. Analisis Kebijakan Umar bin Khatab dalam penerapan hukuman cambuk bagi peminum minuman keras. 1. Metodologi ijtihad Umar bin Khatab dalam penambahan hukuman cambuk bagi peminum minuman keras.
22
2. Ketetapan hukum kebijakan Umar
bin Khatab dalam
penambahan hukuman cambuk bagi peminum minuman keras. B. Analisis terhadap alasan Umar bin Khatab dalam penambahan hukuman cambuk bagi peminum minuman keras. Bab V
: Merupakan akhir dari pembahasan skripsi ini yang meliputi kesimpulan, saran-saran dan penutup.
23
BAB II KETENTUAN UMUM HUKUMAN CAMBUK DALAM PIDANA ISLAM
A. Pengertian Hukuman Cambuk dan Cara pelaksanaannnya. Hukuman cambuk dalam bahasa Arab disebut dengan Jild. Secara etimologi Jild berasal dari bahasa arab jalada yajlidu yang berarti memukul atau mendera41. Selain itu dapat diartikan pukulan cambuk.42 Adapun Pengertian disini dibatasi kepada hukuman cambuk dalam syari’at Islam. Yaitu hukuman yang terdapat dalam had peminum minuman keras, qozaf, pezina ghoiru muhson dan ta’zir. 43 Adanya ketentuan hukuman cambuk sesuai dengan ketentuan dalam al Quran. Untuk hukuman pezina dan penuduh zina terdapat dalam surat an Nur:
’Îû ×psùù&u‘ $yJÍkÍ5 /ä.õ‹è{ù's? Ÿwur ( ;ot$ù#y_ sps•($ÏB $yJåk÷]ÏiB 7‰Ïnºur ¨@ä. (#rà$Î#ô_$$sù ’ÎT#¨“9$#ur èpu‹ÏR#¨“9$# z`ÏiB ×pxÿͬ!$sÛ $yJåku5#x‹tã ô‰pkô¶uŠø9ur ( Ì•ÅzFy$# ÏQöqu‹ø9$#ur «!$$Î/ tbqãZÏB÷sè? ÷LäêZä. bÎ) «!$# ÈûïÏŠ ÇËÈ tûüÏZÏB÷sßJø9$# Artinya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka
41
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ Pentafsiran al Quran, 1973, hlm. 89. Adapun dalam kamus munjid: : : .( : ). : lihat, Munjid fil Lughoh wal A’lam, Bairut: Darul Masyrik, 1987, hlm. 86. 42 Farid ‘asroh dan wahid dahroh, Kitab at Ta rifat, Baerut: Darul Kitab al ‘Alamiyah, 1988, hlm. 76. 43 Muhammad Ruwas Qal’aji, Mausu ah Fiqih Umar Ibn Khattab, Kuwait: Maktabah al Falah, t.th , hlm. 192.
24
disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. (an Nur: 2)44
tûüÏZ»uKrO óOèdr߉Î=ô_$$sù uä!#y‰pkà- Ïpyèt/ö‘r'Î/ (#qè?ù'tƒ óOs9 §NèO ÏM»oY|ÁósßJø9$# tbqãBö•tƒ tûïÏ%©!$#ur ÇÍÈ tbqà)Å¡»xÿø9$# ãNèd y7Í´¯»s9'ré&ur 4 #Y‰t/r& ¸oy‰»pky- öNçlm; (#qè=t7ø)s? Ÿwur Zot$ù#y_ Artinya: Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.45 Dari kedua ayat diatas menerangkan bahwa hukuman cambuk merupakan ketentuan yang disyari’atkan. Akan tetapi, secara inplisit belum diterangkan bagaimana hukuman tersebut dilaksanakan dan bagaimanakah ketentuannya. Sebagaimana dalam pemberian sanksi dalam syariat Islam, tidak seperti hukuman had lainnya, hukuman cambuk terkesan lentur dan tidak mempunyai ketentuan baku. Sebagaimana dalam sebuah riwayat, salah seorang sahabat yaitu Qudamah ibnu Madz’un terkena had hukuman cambuk. Umar bin Khatab berkata: ”bawakan aku cambuk”, maka datanglah seorang membawakan cambuk, Umar mengambilnya dan berkata: ”apakah kamu melakukan ini karena ada keterkaitan kerabat?”. Kemudian dibawakan cambuk yang pas dan akhirnya dilaksanakan hukuman cambuk.46 Dari riwayat di atas, Umar menetapkan asas kesamaan hak di mata hukum, bahwa meskipun hukuman cambuk dapat disesuaikan dengan kondisi
44
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1996, hlm.
45
Ibid., hlm. 587 Muhammad Ruwas Qal’aji, op.cit.,191.
223. 46
25
yang terhukum, Umar mengharuskan tidak ada indikasi nepotisme ataupun kolusi, seluruhnya harus bedasarkan penilaian objektif. Keterangan tersebut sesuai dengan sunah yang dilaksanakan Nabi dalam hadis berikut:
: : 47
.
Artinya: sesungguhnya seorang lelaki mengaku berzina dan menghadap Rasul, akhirnya Rasul memanggil sahabat untuk diambilkan cambuk, kemudian didatangkan cambuk yang pecah ujungnya. Nabi berkata lebih dari ini , kemudian didatangkan cambuk yang belum terpotong ujungnya. Nabi berkata antara keduanya . Maka didatangkanlah cambuk yang lentur yaitu yang telah sering dipakai untuk penunggang kuda, kemudian menyuruhnya (HR. Malik) Keterangan diatas menunjukan bahwa hukuman dalam cambuk tidak bermaksud untuk mendatangkan kemadaratan bagi terhukum. Dalam hukuman cambuk, ketentuan had merupakan ketetapan. Akan tetapi, jika melihat ketentuan asas hukum pidana Islam salah satunya harus mengandung manfaat dan kondisional. Maka dalam pelaksanaannya hukuman cambuk dalam had bisa fleksibel.48 Ketetapan tersebut sebenarnya tidak hanya berlaku untuk hukuman cambuk, sebagaimana dalam hukuman qishos ataupun perzinahan. Dalam
47 Hadis Zaid bin Aslam adalah hadis mursal yang hanya mempunyai satu saksi yaitu Abdurazak dari riwayat Muamar bin Yahya bin Abi Katsir dan semisalnya. Adapun lainnya dari ibnu Wahab dari Kuriab Maula bin Abbas hadis ini dirwayatkan Imam Malik dalam al Muawta’ . Imam Al Syaukani, Nailul Autor,Jilid III, Baerut: Darul Kitab al ‘Alamiyah, t.th. hlm. 347. 48 Asas hukum pidana Islam merupakan landasan aturan pelaksanaan hukum pidana Islam, yang kesemuanya diambil dari dalil al Quran maupun al Hadis. Yang terkait dengan Asas kondisional terdapat dalam al Baqoroh ayat 178 dan surat Annisa ayat 92. Adapun yang terkait dengan asas pemaafan sesuai dalam al Maidah ayat 13 dan al ’Araf ayat 199.
26
qishos terdapat asas pemafaan dan perdamaian, begitu juga dalam zina terdapat asas praduga tidak bersalah. Dalam hadis yang lain:
: :
: .
: :
. Artinya: diriwayatkan dari Abu Amamah bin Sahal dari Said bin Sa id bin Ubadah berkata: dilingkungan kami terdapat seorang lelaki yang lemah dan sakit, tidak ada yang mengurusi hidupnya kemudian dia berzina dengan budak perempuan pemimpinya. Kemudian Sa ad menceritakan hal tersebut kepada Nabi, adapun lelaki tersebut seorang muslim. Nabi berkata: pukulah dia dengan had, mereka berkata wahai Rasulullah sesungguhnya dia lebih lemah dari apa yang rasul sangka. Apabila kita memukulnya, maka kita membunuhnya. Kemudian Nabi berkata ambilah gulungan berisi seratus ranting kemudian pukulah satu kali pukulan. Saad berkata mereka mengerjakannya . Diriwatkan Imam ahmad dan Ibnu majah, juga Abi Daud yang makna riwayatnya dari Abi Amamah bin Sahal dan dari beberapa sahabat Anshor. Dari bagian riwayat berisi apabila kita membawa kepada hadapanmu ya Rasul, maka tulangnya akan hancur, padahal dia hanya kulit yang membalut tulang. 49
Hadis Abi Amamah ini dikeluarkan juga oleh Imam Syafi’i dan Baihaqi dan berkata ”ini adalah hadis yang terjaga kemursalannya dari Abi Amamah. Juga diriwayatkan Daruqutni dari Pulaih dari Abi Sali dari Sahal bin Saad dan berkata ” sangat diragukan dari Pulaih adapun yang benar adalah dari Abi Hazim dari riwayat Amamah bin Sahal bin Hunaif dari bapaknya. Juga dirwayatkan Tobroni dari hadis Abi Ammah bin sahal dari Abi Said al Hudri dan berkata” apabila bila jalur riwayat semuanya benar dan terjaga, maka Abi Amamah telah mendapatkannya dari para sahabat dan mengirimkannya kepada yang lain. Juga dirwayatkan Abu Daud dari Hadis Zuhri dari Abi Amamah dari seorang lelaki Anshor, adapun lafadznya:
" : :
Begitu juga dikeluarkan oleh Nasai dari hadis Abi Amamah bin sahal bin Hunaif diriwayatkan dari bapaknya dengan lafadz yang diriwyatkan Abi Daud, adapun dalam sanadnya Abdul ’ala bin Amir as Sa’labi. Dalam kitab Bulugul Marom menyatakan bahwa hadis ini hasan akan tetapi dipertanyakan kemursalanya. Ibid., hlm. 348.
27
Hadis diatas menerangkan kondisi secara umum bahwa hukuman cambuk sangatlah kondisional. Jika secara umum hukuman cambuk sangat kondisional, maka sangat memungkinkan bagi hukuman cambuk peminum minuman keras lebih subjektif terkait penerapannya dalam mencapai tujuan hukum.50 Sebagaimana menurut riwayat dari Abdurahman bin Abdullah bin Khalid bin Ibrahim bin Ahmad al Farbari al Bukhori Abdulah bin Abdul Wahab al Hajibi Khalid bin al Haris bin Sofyan Atsauri bin Abu Husain Berkata:” saya mendengar Amir Sa’ad an Nakhoi berkata” saya mendengar Ali bin Abi Thalib berkata: ”saya tidak akan menghukum had seseorang kemudian dia meninggal kecuali bagi peminum minuman keras, maka meskipun dia dihukum mati tetap akan dilaksanakan hukuman tersebut. Hal tersebut karena Rasul tidak pernah menyunahkannya”.51 Begitu juga sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah: datang kepada Nabi seseorang yang meminum minuman keras, Nabi berkata: ”pukulah dia”, Abu Hurairah berkata: ”maka dari kita ada yang memukul menggunakan tangan, ada juga yang menggunakan sandal bahkan dengan baju”. Ketika semua orang telah pergi sebagian kaum ada yang berkata:
50
Yang dimaksud denga tujuan hukum adalah Tasyri ,Tasyri’ sendiri memiliki tiga pondasi. Pertama, tidak adanya kesempitan sebaliknya harus bertujuan melapangkan. Kedua, memperingankan tidak memberatkan. Ketiga, tasyri dilakukan secara bertahap. Lihat Khudlori Bik, Tarehk at Tasyri al Islamy, Mesir: Maktabah Tijariyah Qubra, 1965, hlm. 17. 51 Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin hazm al Andalusi, Al Mahalli, Jilid 13 Bairut: Darul Fikr, hlm.112. Hadis tersebut berbunyi: : . Artinya: diriwayatkan dari Ali bin Abi Tholib, dia berkata: saya tidak akan mencambuk seeorang ketika dia divonis hukuman mati dalam had, kecuali bagi peminum minuman keras maka diyatnya tetap harus dilaksanakan. Oleh karena Rasulallah Saw tidak menyunahkannya (HR, Muttafaq Alaih yaitu dari Abu Daud dan Ibnu Majjah).
28
”semoga Allah melaknatmu” Nabi berkata: ”janganlah kalian begitu, yaitu meminta syetan menolongnya”.52 Selain itu, sebagaimana diriwayatkan Bukhari dari Maki bin Ibrahim dari al Ja’di dari Yazid bin Hafshah dari Assaib bin Yazid berkata: ”kita mendatangi peminum minuman keras pada zaman Rasul, kepemimpinan Abu Bakar dan pertengahan kekhilafahan Umar, kita memukul dengan menggunakan tangan, sandal dan ranting. Sampailah pada kepemimpinan Umar maka peminum minuman keras dicambuk sebanyak 40 kali, apabila meracau dan sampai fasik dikenakan hukuman sebanyak 80 kali”.53 Karena dalam sunnah tidak terdapat ketentuan pasti, para Ulama mempunyai kriteria berbeda dalam pelaksanaan hukuman had, sebagaimana pendapat Ibnu Qudamah dalam al Mugni terkait permasalahan penerapan hukuman cambuk dalam had. Bagi lelaki dalam seluruh bentuk hukuman had harus di cambuk dengan menggunakan cambuk, dalam keadaan berdiri, tidak dibotaki, dibentangkan, diikat dan wajahnya harus ditutup. Para ulama perbedaan pendapat apakah lelaki dihukum dalam keadaan berdiri atau duduk. Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i terhukum harus dicambuk dalam keadaan berdiri. Sebaliknya menurut Imam Malik dan Imam Hambali harus dalam keadaan duduk karena Allah tidak memerintahkan untuk duduk, juga
52
Hadis tersebut berbunyi: : : : : . : . Artinya: diriwayatkna dari Abu Hurairah berkata: kehadapan kami dibawa seorang lelaki yang telah meminum minuman keras, maka Rasul berkata: pukulah dia, kemudian Abu Hurairoh berkata: dari kita ada yang memukulnya dengan tangan, Sendal dan kain. Maka ketika orang itu pergi, sebagian kami berkata ”semoga Allah menghinakan dia”. Kemudian Nabi berkata”janganlah kalian mengatakan hal itu, jangan kamu membantu setan terhadapnya. (HR Ahmad, Bukhori dan Abu Daud). 53 Abdullah bin Ahmad bin Qudamah al Muqoddasi Abu Muhammad, Almugni fi fiqhil Imam Ibnu Hambal asy Syaibani, jilid 10, Bairut: Darul Fikr, hlm.113.
29
dikarenakan orang yang terkena hukuman cambuk dalam had disamakan dengan wanita.54 Adapun Ali bin Abi Thalib pernah berkata bahwa setiap anggota tubuh (jasad) mempunyai haknya dalam had kecuali wajah dan kemaluan. Adapun bagi orang yang dicambuk maka pukulah lalu tutuplah kepalanya dan wajahnya kemudian harus dalam keadaan berdiri karena hal tersebut merupakan alasan untuk memberikan setiap anggota tubuh haknya dari pukulan. Jika dikatakan bahwa Allah tidak memerintahkan untuk dilaksanakan hukuman dengan berdiri, begitu juga Allah tidak memerintahkan dihukum dengan cara duduk. Maka harus mengamalkan dengan dalil yang lain.55 Pada dasarnya tidak diperkenankan mengkiaskan laki-laki kepada perempuan dalam hal penerapan hukuman had. Karena sesungguhnya wanita dikuatirkan terbuka auratnya dengan cara tersebut. Perempuan ataupun lakilaki mendapatkan hak yang sama dalam penerapan pukulan yaitu untuk mendapatkan hak bagi setiap angggota tubuh, kecuali anggota tubuh vital yang dapat menyebabkan kematian yaitu kepala, wajah dan kemaluan. Menurut pendapat Imam Malik tempat pukulan adalah punggung dan yang hampir mendekati punggung, sedangkan menurut Abu Yusuf untuk kepala dapat dipukul juga karena Ali tidak melarangnya. Dalam anggota yang dilarang, Ibnu Qudamah sependapat dengan Imam Malik, yaitu selain dari tiga anggota tubuh tersebut tidak dapat membunuh seseorang. Adapun yang dimaksud Abu Yusuf dengan 54 55
Ibid., hlm.114. Ibid.
30
memperbolehkan pukulan untuk kepala merupakan pelajaran tidak sampai membunuhnya. Adapun terkait dengan mengikat terhukum, Ibnu Mas’ud berpendapat hal tersebut bukan bagian dari syari’at Islam, karena selama ini para sahabat mencambuk terhukum tidak pernah mengikatnya. Lebih dari itu, para sahabat membiarkan terhukum dengan menggunakan baju bahkan dua baju. Berbeda apabila yang menutupinya adalah jubah atau baju musim panas yang dapat mempengaruhi pukulan, jika terhukum masih menggunakannya maka pukulan tidak akan terasa. adapun menurut Imam Malik bahwa pukulan diharuskan langsung mengenai badan.56Adapun menurut Ibnu Mas’ud tidak ada perbedaan pendapat ulama bahwa Allah Swt tidak memerintahkan untuk menelanjangi terhukum, akan tetapi memerintahkan untuk dicambuk, sehingga barang siapa yang mencambuk diatas baju seseorang maka dinggap telah dicambuk. Sedangkan alat yang digunakan untuk mencambuk diharuskan sebuah cambuk, kecuali dalam had bagi peminum minuman keras. Sebagian pendapat ulama memperbolehkan menggunakan tangan, sandal dan baju. Adapun alasannya sebagaimana hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah ”maka dari kita ada yang memukul menggunakan tangan, ada juga yang menggunakan sandal bahkan dengan baju”. Pada dasarnya, Nabi memberlakukan ketentuan tersebut dalam rangka memulai sebuah aturan baru. 57
56
Ibid.,hlm. 115. Sebagaimana turunnya ayat khamer secara bertahap yaitu dalam al Quran diturunkan sebanyak tiga kali yang terdapat dalam surat al Baqoroh: 219, Surat Annisa: 43, al Maidah: 9091dan Annahl: 67. 57
31
: 58
(
:
)
Artinya: Dirwayatkan dari Abu Hurairoh Sesungguhnya didatangkan seorang laki-laki yang meminum minuman keras kepada Nabi Muhammad SAW, kemudian Nabi berkata: pukulah dia, Abu Hurairoh berkata: dari kita ada yang memukulnya dengan tangan, sandal dan baju.(HR. Abu Daud) Jika melihat hadis Rasul yang lain yaitu ”jika seseorang meminum minuman keras maka cambuklah dia”. Dari ketentuan tersebut dapat diambil kemaklumannya bahwa alat yang digunakan adalah cambuk sebagaimana disyariatkan dalam hukuman cambuk bagi pezina. Sedangkan
para
khulafaurrasyidin dalam penerapannya menggunakan cambuk. Ada lima hal yang perlu diperhatikan dalam hukuman cambuk. Pertama, Jalid (orang yang mencambuk). Dalam hal ini orang yang berwenang atau diberi wewenang oleh seorang sultan atau khalifah. Adapun persyaratan bagi seorang yang mencambuk diantaranya harus mempunyai porsi tubuh yang sedang-sedang saja. Bukan orang yang terlalu kuat ataupun sebaliknya terlalu lemah. Orang tersebut mempunyai pengetahuan tentang seluk beluk hukuman cambuk. Diriwayatkan bahwa Umar memilih porsi seorang algojo untuk mencambuk yaitu Ubaidullah Ibnu Abi Malikah.59 Kedua, sauth (cambuk), seperti halnya syarat orang yang mencambuk, cambuk yang dipergunakan haruslah yang biasa saja dan diusahakan lentur.
58 59
Al Syaukani, loc.cit., hlm. 363. Muhammad Ruwas Qal’aji, loc.cit., hlm.193.
32
Tidak terlalu pendek atau sebaliknya terlalu panjang dan keras. Adapun tujuannya supaya tidak menyakitkan orang yang dicambuk.60 Dari riwayat yang lain, yaitu ketika Umar akan melaksanakan hukuman had. Dibawakan baginya cambuk, Umar berkata: ”bawakan aku cambuk yang lebih lentur”, merasa kurang pas Umar meminta cambuk yang lebih keras. Kemudian Umar berkata: ”pukulah dan jangan sampai terlihat ketiak, berikanlah setiap anggota sesuai haknya.61 Ketiga, Majlud (orang yang dicambuk atau terpidana), bisa dikarenakan terkena had ataupun terkena ta’zir. Meskipun seorang itu sedang dalam keadaan sakit, maka ketetapan hadnya sama yaitu dicambuk. Sebagaimana dalam salah satu riwayat bahwa Umar menghukum sahabat Qudamah dengan had khamr meskipun dalam keadaan sakit.62 berbeda dengan had, ketika seorang mendapatkan hukuman ta’zir, maka tidak boleh dilaksanakan hukuman samapai seseorang tersebut sehat. Keempat, sifat al jild (sifat hukuman cambuk), ada beberapa syarat ketika seseorang melaksanakan hukuman cambuk. Diantaranya, tidak diperkenankan untuk memukul dengan sangat keras sehingga mencelakakan dan mengoyak kulit. Dalam sebuah riwayat, Umar mengirimkan seseorang untuk dicambuk kepada Mu’thi ibnu Aswad al ’Adawi. Ketika Umar melihat hukuman yang dikenakan sangatlah keras, Umar berkata: ”apakah kamu mau 60
Dalam Bahasa Arab yang dinamakan cambuk adalah sebagaimana dalam kamus munjid: : . : lihat, Munjid fil Lughoh wal A’lam,loc.cit.,hlm. 363. 61 Muhammad Ruwas Qal’aji, loc.cit., hlm.194. 62 adapun tata caranya sesuai dengan ketatapan dalam hadis Zaid bin Aslam yaitu dengan segenggam dari seratus lidi atau ranting. Imam Al Syaukani, loc.cit., hlm. 365.
33
membunuhnya, berapa kalikah kamu memukulnya?”,”delapan puluh” jawab Mu’ti. Kemudian Umar menyuruh untuk menghentikan pukulan dan jadikan pukulan yang keras itu sebagai pengganti dari dua puluh sisanya. Kelima, al makan li iqomat al jild (tempat hukuman jild dilaksanakan). Tempat untuk melaksanakan hukuman cambuk bisa dilaksanakan dimana saja, kecuali tempat yang tidak diperbolehkan untuk pelaksanaan hukuman had.63 Lain dari itu, bagi hukuman had diharuskan membedakan antara bagian tubuh yang menerima hukuman cambuk, sebaliknya dalam ta’zir tidak terdapat aturan. Disyaratkan pula hukuman cambuk berdasarkan kemaslahatan bukan berdasarkan ingin menolong yang menyebabkan tidak objektifnya hukuman cambuk. Dalam kitab Alkafi ketentuan mencambuk lebih spesifik kepada peminum minuman keras, dengan hukuman 80 kali cambukan terhukum dicambuk menggunakan cambuk dan harus melepas pakaian, akan tetapi tanpa di penjara atupun diusir dari kampung halaman. Untuk ketentuan dalam pelaksanaan hukuman cambuk juga perlu memperhatikan beberapa ketentuan. Diaharapakan pukulan diantara pukulan yang keras dan pukulan yang pelan. Cambuk yang dipakai merupakan cambuk pertengahan tidak terlalu besar maupun kecil. 65Diambil dari musim antara
63
Muhammad Ruwas Qal’aji, loc.cit., hlm.192. Abu Umar Yusuf bin Abdullah bin Abdul Bari al Qurtubi, Alkafi fi Fiqhi Ahlilmadinah (Maktabah Syamilah), jilid 2, Bairut: Darul Kutub al Ilmiah, hlm. 210. 65 Sebagaimana pelaksanan hukuman cambuk di negri serambi mekah, syaratnya menggunakan rotan berdiameter 0,75-1 centimeter, panjang satu meter, dan tidak mempunyai ujung ganda. Pencambuk adalah anggota Wilayatul Hisbah (Polisi Syariat Islam). Hukuman cambuk dilaksanakan di tempat terbuka agar dapat disaksikan oleh orang banyak dengan dihadiri jaksa dan dokter. Tempat pencambukan di atas alas berukuran minimal 3×3 meter. 64
34
panas dan dingin, posisi terhukum harus duduk tidak ditali kemudian dipukul bagian punggungnya dan dua pundak tidak semua anggota tubuh. Untuk wanita disamakan dengan laki-laki yaitu dengan kedaan duduk, perbedaannya terletak penutup aurat yang harus menyeluruh.66 Sebelum pelaksanaan diharap untuk memaparkan ketentuan dalam penerapan hukuman cambuk. Untuk waktu pelaksanaannya tidak dipisah antara hari pelaksanaan dan besoknya, kecuali ditakutkan akan membahayakan terhukum. Untuk selanjutnya tidak mencambuk seorang terhukum dalam keadaan mabuk sampai dia dapat merasakan sakit juga tidak dalam keadaan sakit. Untuk wanita hamil ditunggu sampai melahirkan, untuk yang meminum pada bulan Ramadan ditambah dengan ta’zir pada bulan itu juga. Sebagaimana yang telah dilaksanakan oleh Amir Ibnu Zubair, bagi orang yang menghukum diharapkan tidak orang yang teralu kuat juga tidak terlalu lemah.67
Posisi pencambuk berdiri di sebelah kiri terhukum. Jarak pencambuk dengan terhukum 0,75-1 meter dengan wilayah pencambuk di punggung (bahu sampai pinggul). Jarak tempat pencambukan dengan masyarakat yang menyaksikan paling dekat 10 meter. Pencambukan dihentikan sementara apabila terhukum mengalami luka dan diperintahkan oleh dokter berdasarkan pertimbangan medis atau terhukum melarikan diri sebelum hukuman selesai dilaksanakan. Terhukum tetap diharuskan memakai baju tipis yang menutup aurat yang telah disediakan serta berada pada posisi berdiri tanpa penyangga bagi terhukum pria dan dalam posisi duduk bagi terhukum perempuan. Terhukum paling sedikit akan menerima enam kali dan paling banyak delapan kali cambukan. www.solusihukum.com 66 Abdullah bin Ahmad bin Qudamah al Muqoddasi Abu Muhammad, loc.cit., hlm. 115. 67 Abdullah bin Ahmad bin Qudamah al Muqoddasi Abu Muhammad, loc.cit., hlm. 116.
35
B. Ketentuan Hukuman Cambuk dalam Jarimah Peminum Minuman Keras Meskipun hukuman cambuk bagi peminum minuman keras sangatlah subjektif karena tidak terdapat dalam al Quran. Semua ulama fiqih sepakat bahwa meminum minuman keras merupakan jarimah yang hukumannya adalah
had.
Alasan
penetapannya
tidak
terlepas
dari
konsekuensi
pengharamannya dalam nash. Menurut Imam Taqiyudin dalam kitab Kifayatul Ahyar terkait alasan bahwa hukuman had bagi peminum minuman keras wajib dilaksanakan karena meminum minuan keras merupakan dosa besar yaitu penyebab hilangnya akal, maka ketentuan tersebut telah menjadi suatu kemadaratan yang berlaku diseluruh kepercayaan. 68 Dalam Islam peminum minuman keras dapat dikatagorikan fasiq, karena menjaga akal termasuk asasiah yang lima dan telah tertera dalam kitab Allah. Seabagaimana dirwayatkan dari Imam Malik beliau mendengar bahwa Rasulullah
berkata:
”akan
menjadi
sebagain
kaum
dari
ummatku
menghalalkan berjudi dan minuman keras, taruhan dan lainnya”. Perkataan Imam Malik memang sesuai dengan hadis yang dirwayatkan dari Abu Hurairah:
: : .
68
Taqiyudin Abi Bakar bin Muhammad al Husaini, Kifayatul ahyar fi Hali Goyatul Ihtishor, jilid 2, Damaskus: Darul Khoir, 1994. hlm. 178. 69 Al Syaukani, loc.cit., hlm. 525
36
Artinya: dari Abdurahman bin Ghonmin berkata: telah dikabari dari Abu Amir atau Abu Malik al Asyari mendengar bahwa Nabi berkata: akan menjadi sebagian dari ummatku menghalalkan farji wanita, kain sutra, minuman keras dan alat musik (HR. Bukhori) Begitu juga sebagaimana diriwayatkan Malik al Asy’ari, bahwa sebagaian manusia dari ummat Nabi akan meminum minuman keras dan menamainya bukan dengan namanya juga besenang-senang dengan taruhan dan
memainkan
alat
musik
di
atas
kepalanya,
maka
menenggelamkannya dan menjadikan mereka kera dan babi adapun
Allah alat
musik adalah alat untuk bersenang senang. Sebagaimana pendapat sahabat, adapun perasan anggur yang terlalu dan dicampur dengan sari kurma dan sari keju haram secara ijma’ meskipun itu banyak ataupun sedikit.70 Ungkapan tersebut sesuai dengan hadis:
. Artinya: manusia dari ummatku akan gemar meminum Khamr dengan nama yang lain, mereka terlena dengan alat musik diatas kepalanya dan nyanyian-nyanyian, maka Allah menenggelamkan mereka ke bumi dan menjadikan diantara mereka kera dan babi. (HR. Ibnu Majah) Konsekuensi dari hadis di atas adalah menghukumi khamr haram bagi peminumnya, dan barang siapa yang menghalalknnya seseorang tersebut telah menjadi kafir, sebagaimana perintah Nabi bahwa sesuatu yang memabukan banyak ataupun sedikit jika diminum maka hukumnya haram.
70
Taqiyudin Abi Bakar bin Muhammad al Husaini, op.cit.,hlm 178 Hadis tersebut sebenarnya merupakan terusan dari hadis riwayat al Bukhori tentang kesenangan dunia. Imam Al Syaukani, loc.cit., hlm. 525 71
37
Dalam perkembangannya ketatapan hukuman cambuk bagi peminum minuman keras bisa dilihat dari nash yang menetapkan keharamannya. Menurut Ibnu Qoyim, hikmah ditasyri’kannya hukuman had bagi peminum minuman keras berdasarkan ayat al Quran surat al Maidah ayat 90:
ô`ÏiB Ó§ô_Í‘ ãN»s9ø—F{$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur çŽÅ£øŠyJø9$#ur ã•ôJsƒø:$# $yJ¯RÎ) (#þqãYtB#uä tûïÏ%©!$# $pkš‰r'¯»tƒ ÇÒÉÈ tbqßsÎ=øÿè? öNä3ª=yès9 çnqç7Ï^tGô_$$sù Ç`»sÜø‹¤±9$# È@yJtã Artinya: Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatanperbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.72 Dalam hal ini Ibnu Qoyim membagi dua alasan pokok mengapa Khamr diharamkan sehingga ditetapkan had bagi pelakunya, pertama dikarenakan akan membawa permusuhan dan saling perpecahan diantara kaum muslimin. Kedua dapat melalaikan seseorang dari shalat. Yang mendasari semuanya itu tidak lain adalah hilangnya akal. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kerusakan disebabkan oleh hilangnya akal begitu pula sebaliknya, kemaslahatan tidak dapat dicapai kecuali dengan akal. 73 Dia menambahkan, efek yang dari kecanduannya generasi muda dalam minuman keras ialah kehancuran sebuah negara. Alasan yang mendasar dengan hilangnya akal seseorang akan melakukan kerusakan yang tidak terkontrol, orang akan kehilangan harta bendanya. Akan tetapi menurut Ibnu
72
Departemen Agama RI, loc.cit., hlm. 558 Bakar Abdullah Abu Zubaid, Alhudud Watta zir Inda Ibnu al Qoyim, Riyadh: Darul Ashosoh, 1415. hlm. 267. 73
38
Qoyim pengharaman dalam minuman keras bukan terkait hukuman akan tetapi pencegahan.74 Ibnu Qoyim memberikan penjelasan terkait hikmah dibalik penetapan hukuman cambuk dalam had bagi peminum minuman keras. Disamping untuk membersihkan pelaku dan pelajaran baginya, juga untuk menjadi pelajaran untuk yang lain. Dalam hal ini Ibnu Qoyim dipihak yang mengatakan bahwa Syari’ah ditetapkan sebagai pembeda dari dua hal yang sama dan penyatu bagi dua hal yang berbeda. Hal tersebut untuk menetapkan hukuman cambuk bagi peminum minuman keras tidak sampai kepada hukuman mati. Karena sesungguhnya disyariatkannya sesuatu sesuai kemadaratan dan kerusakanya. Karena ketetapan hukuman cambuk bagi peminum minuman keras tidak terdapat dalam al Quran. Maka kita harus mencari ketentuan yang didapat atau ditemukan dalam sunnah Nabi, adapun yang mendasarinya sebagaimana dalam hadis Rasul:
: :
:
. .
Artinya: dari Abdullah bin Amar berkata: Rasulullah SAW bersabda: barang siapa yang meminum minuman keras maka cambuklah dia, apabila mengulangi maka cambuklah dia, apabila mengulangi cambuklah dia, apabila masih mengulangi maka bunuhlah dia. Abdullah bekata: berikan kepadaku seorang lelaki peminum minuman keras yang keempat kalinya maka untuk kalian aku akan membunuhnya . (HR Ahmad)
74
yang dimaksud dari Ibnu Qoyim bahwa keharaman yang ditentukan untuk pencegahan dan menjaga akal, karena sesungguhnya ada sebagian kaum yang diharamkannya seseuatu sebagai hukuman. Sebagaimana dalam surat Annisa ayat 160. Ibid. 75 Al Syaukani, loc.cit., hlm. 369.
39
Berbagai golongan dari para ulama berbeda pendapat terkait dengan menetukan hukuman cambuk, ada yang berpendapat bahwa Rasul tidak menentukan hukuman cambuk kecuali sahabat setelah Rasul. Sebagian lain berpendapat tidak ada sama sekali had dalam jarimah peminum minuman keras karena Rasul sama sekali tidak pernah mewajibkannya. Lainnya berpendapat bahwa Rasul menetapakan had akan tetatapi setelah itu timbulah perbedaan pendapat.76 Ketentuan hukuman cambuk ini dibatasi terhadap hitungan yang diperdebatkan para ulama setelah masa para sahabat. Menurut Abdul Qodir Audah ketentuan hukuman cambuk belum ditentukan kecuali ketika masa khalifah Umar bin Khatab sebanyak 80 kali cambukan. Yaitu ketika mendapatkan saran dari sahabat Ali bin Abi Thalib. Adapun argumen yang yang dikemukakan Ali terkait dengan akibat yang timbul karena meminum minuman keras.77 Menurut Muhammad Baltaji, hukum yang ditetapkan Umar bin Khatab bukanlah suatu ketentuan yang pasti, tidak adanya ketentuan yang ditetapkan pada masa Rasul ataupun sahabat, dalam hal ini hukuman cambuk dikembalikan kepada kemaslahatan yang terjadi pada setiap qurun. 78 Beberapa pendapat tentang hukuman cambuk di kalangan para Ulama, menurut Imam Malik dan Abu Hanifah berdasarkan riwayat dari Imam Ahmad hukuman cambuk bagi peminum minuman keras adalah 80 kali
76 Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Hazm al Andalusi, loc.cit., jilid 13, hlm. 113. Dan dalam kitab Nailul Autor,hlm. 364. 77 Abdul Qodir Audah, Tasyri Aljinai al Islami Muqoronan bil Qonunil Wad i, Jilid II, Bairut: Muassaah Risalah, 1968. hlm 506. 78 Muhammad Baltaji, Metodologi Ijtihad Umar Bin Khatab, diterjemahkan oleh Masturi Irham dari Manhaj Umar bin Khatab fi at Tasyri”, Jakarta: Khalifa, 2005, hlm. 287.
40
cambukan. Sedangkan menurut Imam Syafi’i berdasarkan riwayat lain dari Imam Ahmad sebanyak 40 kali cambukan, akan tetapi tidak apa-apa kalau seorang Imam menambahnya sampai 80 kali cambukan. Maka 40 cambuk merupakan had sedangkan sisanya adalah ta’zir. Abu Hanifah sendiri tidak membedakan antara orang yang mabuk atau yang meminum minuman keras dalam hukuman.79 Adapun penyebab dari perbedaan pendapat Ulama dalam hitungan dikarenakan dalam al Quran tidak membatasi had bagi peminum minuman keras.
Sedangkan
dalam
riwatnya
Rasul
ataupun
para
sahabat
(Khulafaurrasyidin) belum menetapkan secara bersama batasan had cambuk bagi peminum minuman keras. Rasulullah sendiri melaksanakan hukuman cambuk berdasarkan banyak dan sedikitnya seseorang mabuk atau meminum minuaman keras, adapaun batasannya beliau tidak pernah melebihi dari 40 kali cambukan. Sampai datanglah masa Abu Bakar mencambuk peminum minuman keras sebanyak 40 kali cambukan, setelah sebelumnya menanyakan kepada sahabat Rasul, berapa kali Rasul melaksanakan hukuman cambuk bagi peminum minuman keras.80 Ketika datang masa Umar bin Khatab, masyarakat waktu itu sangat gemar meminum minuma keras. Maka umar bermusyawarah dengan para sahabat, akhirnya menerima usulan dari Abdurhman bin Auf yaitu 80 kali cambukan dengan alasan bahwa ukuran paling sedikit dari had adalah 80 kali 79 80
Ibid., hlm. 289 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hlm. 245.
41
cambukan. Kemudian Umar menyebarkannya kepada Khalid ibnu Walid dan Abu Ubadah di Syam. 81 Adapun menurut Ali bin Abi Thalib dari hasil musyawarah bahwa hukuman bagi peminum minuman keras disamakan dengan hukuman qozaf, dengan alasan bahwa apabila seseorang mabuk akan menuduh seperti layaknya orang yang melakukan jarimah qozaf.82 Dalam satu riwayat bahwa Ustman bin Affan didatangi Walid bin ’Uqbah yang menemukan seorang pemabuk dengan laki-laki lain sebagai saksi, yang satu bersaksi bahwa pelaku meminum khamr sedangkan lainnya bersaksi bahwa pelaku memuntahkannya, Umar berkata, dia tidak akan memuntahkannya sebelum dia meminumnya. Kemudian Ustman berkata kepada Ali laksanakanlah had, maka Ali berkata kepada Adullah bin Ja’far laksanakanlah had, kemudian diambilah cambuk untuk pelaksanaannya. Kemudian Ali memutuskan untuk memukul 40 kali dan berkata: ”cukuplah sebagaimana Nabi mencambuk yaitu 40 kali. Abu Bakar 40 kali dan Umar 80 kail, kesemua itu adalah sunnah dan ini lebih aku sukai”.83hal tersebut sesuai dengan hadis:
. 84
: (
:
)
Artinya: Diriwayaan dari muslim dari Ali bin Abi Thalib dalam riwayat Walid ibnu uqbah: Nabi Muhammad Saw mencambuk empat puluh 81 Abdul Qodir Audah, loc.cit., hlm. 506. 82 Muhammad Husain Haekal, Umar bin Khatab (Sebuah Telaah Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya Masa itu) diterjemahkan Ali Audah, Jakarta: Litera AntarNusa, 2008, hlm. 727. 83 Abdul Qodir Audah, loc.cit., hlm. 507. 84 Abu al-Husayn bin Hajjaj al-Qusyairy, Shahih Muslim, Bairut: Dar al Ihya’ al-Turas alArabiyyah, t.th, hlm. 117.
42
sedangkan Abu Bakar empat puluh, dan Umar delapan puluh. Semua itu adalah sunnah dan ini lebih aku sukai. (HR. Muslim). Terkait dengan ketentuan cambuk bagi peminum minuman keras yang berbeda dengan had lainnya, Sebagaimana diriwatkan Ali bin Abi Thalib, dia berkata: ”saya tidak melaksanakan had kepada seseorang kemudian dia meninggal (dihukum mati). Kecuali bagi peminum minuman keras diatnya tetap
aku
laksanakan,
karena
Nabi
tidak
mencontohkan
kepada
kita”.85penuturan tersebut sesuai dengan hadis:
:
. Artinya: diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, dia berkata: saya tidak akan mencambuk seeorang ketika dia divonis hukuman mati dalam had, kecuali bagi peminum minuman keras maka diyatnya tetap harus dilaksanakan. Oleh karena Rasulullah Saw tidak menyunahkannya (HR, Muttafaq Alaih yaitu dari Abu Daud dan Ibnu Majjah). Adapun berbedaan pendapat para ulama yang menyetujui 80 kali cambukan, berdasarkan bahwa hitungan tersebut adalah ijma’ sahabat. Sedangkan ijma’ merupakan salah satu sumber hukum. Adapun yang berpendapat 40 kali mendasari pendapatnya dari peristiwa Ali mencambuk Walid bin Uqbah sebanyak 40 kali dengan perkataannya bahwa Nabi mencambuk sebanyak 40, Abu bakar 40 kali dan Umar 80 kali dan aku lebih menyukai ini (80 kali cambukan ). Ulama yang setuju dengan hitungan 40 berpendapat bahwa apa yang dikerjakan Nabi merupakan hujjah, maka tidak 85
Dalam ketetapan hukuman terpidana mati, semua hukuman dalam ketentuan had ataupun qishos dituntaskan dengan hukuman mati, berbeda dengan hal tersebut untuk ketetapan hukuan had bagi peminum minuman keras. Muhammad Baltaji, loc.cit.,hlm. 289. 86 Al Syaukani, loc.cit., hlm. 369.
43
boleh meninggalkannya. Adapun ijma’ tidak berlaku bagi pekerjaan yang menyalahi Nabi, Abu Bakar dan Ali, adapun tambahan Umar dapat dikatagorikan sebagi ta’zir.87
C. Penerapan Hukuman Cambuk Bagi Peminum Minuman Keras Masa Nabi Muhammad SAW dan Abu Bakar RA Sumber mutlak yang bisa dijadikan rujukan untuk mengetahui ketetapan Rasul pada zamannya adalah riwayat hadis. Sehingga dalam pembahasan penerapan hukuman cambuk bagi peminum minuman keras lebih spesifik kepada penafsiran riwayat hadis yang berkaitan.
: :
:
. (
).
Artinya: dari Abdullah bin Amar berkata: Rasulullah SAW bersabda: barang siapa yang meminum minuman keras maka cambuklah dia, apabila mengulangi maka cambuklah dia, apabila mengulangi cambuklah dia, apabila masih mengulangi maka bunuhlah dia. Abdullah bekata: hadapkan kepadaku seorang lelaki peminum minuman keras yang keempat kalinya maka aku akan membunuhnya . (HR Ahmad) Sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadis diatas bahwa ketentuan hukuman bagi peminum minuman keras pada zaman nabi adalah hukuman Cambuk. Hadis diatas sekaligus menerangkan bentuk ketentuan had bagi peminum minuman keras yang dalam al Quran tidak disebutkan bentuk
87
Abdul Qodir Audah, loc.cit., hlm. 506 Hadist ini diriwayatkan juga oleh al Harats ibn Abi Usamah dalam musnadnya. Derajat hadis ini Munqoti . lihat Teungku Muhammad Hasybi as Sidqi, Koleksi Hais-hadis Hukum, Semarang: PT Pustaka Rizki Utama, 2001, hlm 195. juga di Syaukani, loc.cit., hlm. 369. 88
44
hukumannya. Berbeda dengan hal tersebut, bagi pezina atau yang lain dari ketentuan hudud yang hukumannya telah ada dalam al Quran. Pada awalnya, hukuman cambuk bagi peminum minuman keras lebih lentur dibanding dengan hukuman zina. Hukuman seratus cambuk secara terang dalam al Quran menandakan kepastian hukuman, begitupun dengan alat yang digunakan berupa cambuk. Adapun dalam meminum minuman keras ketentuan yang dilaksanakan Rasul masih
membutuhkan penafsiran
kepastiannya, apakah sama dengan had yang lain atau lebih ringan sebagaimana hadis dibawah.
: 89
(
).
Artinya: Anas ibn Malik r.a Menerangkan, Sesungguhnya Nabi Saw memukul peminum minuman keras dengan pelepah kurma dan sandal. Dan Abu Bakar mencambuknya sebanyak empat puluh kali (HR. Bukhari). Jika merujuk kepada hadis di atas, hukuman bagi peminum minuman pada zaman Rasul dipukul dengan pelepah kurma dan sandal. Tentunya ketetapan tersebut berbeda dengan ketetapan bagi pezina. terdapat sedikit keringanan berupa pilihan menggunakan sandal. Hadis diatas dikuatkan dengan hadis di bawah.
) ( Artinya: dan diriwayatkan dari Uqbah bin al Haris berkata: Nu man atau Ibnu Nu man dibawa kehadapan Nabi dan dia peminum minuman 89
Abi Abdullah Muhamad Ibnu Ismail al Bukhori, Matan Albukhori Bihayiyatissanadi, juz 4, Daru Ihyail Kutub Al Arobiyah, tth, hlm. 325 90 Ibid., hlm. 326
45
keras(dalam keadaan mabuk). Kemudian Rasul menyuruh orang yang berada di dalam rumah untuk memukulnya, dan aku diantara orangorang yang memukulnya. Kami memukulnya dengn pelepah kurma dan sandal.(HR. Ahad dan Bukhori). Jika melihat hadis di atas, ketentuan hukuman yang diberikan tidak hanya dengan pelepah kurma dan sandal, bahkan ada sebagian orang yang memukul. Melihat hal tersebut terlihat tidak ada sebuah kepastian yang mengharuskan memberi hukuman pada meminum minuman keras dengan menggunakan cambuk saja. Bahkan dalam pemberian hukuman masih terkesan hanya sebuah peringatan. Hadis di atas dikuatkan dengan hadis berikut.
:
.(
.
Artinya: dari Saib bin Yazid berkata: datang kepada kami pada masa Raulallah Saw seorang peminum minuman keras dan masa pemerintahan Abu Bakar dan pertengahan pemerintahan Umar, maka kami melaksanakan hukuman dengan memukul memakai tangan tangan, sandal dan kain. Sampai pada masa pertengahan pemerintahan Umar maka diberlakukan empat puluh cambukan, dikala jumlah pemabuk sudah melampaui batas dan sudah sangat berani, diberlakukanlah delapan puluh kali cambukan.(HR Bukhori) dari ketentuan hadis diatas menerangkan bahwa ketentuan dari hukuman cambuk masa Rasul dan Abu bakar sangatlah lentur. Dengan kondisi penghormatan kepada nabi yang begitu besar, kesepakatan dalam menjalankan hukuman cambuk bagi peminum minuman keras tidaklah paten. Sampai
91
Ibid.
46
akhirnya Umar yang menetapkan cambuk sekaligus hitungannya menjadi dasar dalam memberi hukuman bagi peminum minuman keras.
:
: : :
.
: . (
).
Artinya: diriwayatkna dari Abu Hurairah berkata: kehadapan kami dibawa seorang lelaki yang telah meminum minuman keras, maka Rasul berkata: pukulah dia, kemudian Abu Hurairoh berkata: dari kita ada yang memukulnya dengan tangan, Sendal dan kain. Maka ketika orang itu pergi, sebagian kami berkata semoga Allah menghinakan dia . Kemudian Nabi berkata janganlah kalian mengatakan hal itu, jangan kamu membantu setan terhadapnya. (HR Bukhori). Terkait dengan alat yang digunakan pada masa tersebut sangat disesuaikan dengan kondisi, tidak ada ketentuan pasti terkait penggunaan cambuk sebagai alat saut-satunya dalam hukuman cambuk. Pada masa tersebut lebih mementingkan substansi hasil dari sebuah hukuman dari pada alat menghukum. Ketentuan tersebut tidak lepas dari pengertian had itu sendiri, Tidak hanya dalam alat yang digunakan, begitupun dalam hitungan yang ditetapkan sebagaimana hadis di bawah.
. 93
(
)
Artinya: Dari Anas bin malik ra. Sesungguhnya telah dihadapkan kepada Nabi Saw. Seorang lelaki yang meminum khamr, lalu beliau mencambuknya dengan pelepah kurma kira-kira 40 kali cambukan. (HR. Muslim).
92
Ibid. 93 Abu al-Husayn bin Hajjaj al-Qusyairy, Shahih Muslim, Jakarta: Dar al Ihya’ al-Kutub al-Arabiyyah, t.th, hlm. 116.
47
Hitungan yang ditetapkan Rasul adalah 40 kali cambukan, hal tersebut sekaligus memberikan kepastian dari bentuk hukuman cambuk bagi peminum minuman keras. Kepastian tersebut diikuti oleh Abu Bakar sampai pertengahan pemerintahan Khalifah Umar. Hadis di atas dikuatkan dengan hadis di bawah.
: : (
).
:
Artinya:Diriwayatkan dari Anas RA: Sesungguhnya kepada Rasulullah telah dihadapkani seorang laki-laki yang meminum minuman keras, maka rasul memukulnya dengan dua pelepah kurma sebanyak empat puluh kali, Anas berkata: dan dilaksanakan oleh Abu Bakar ketika datang masanya Umar dimusyawarhkanlah dengan yang lain, berkata Abdurrahman: hukuman had yang paling rendah adalah delapan puluh, maka Umar menyuruhnya. (HR. Muslim) Pada zaman Nabi ketentuan bagi peminum minuman keras jelas 40 kali cambukan. Adapun pada masanya, ketetapan bagi terhukum hanya untuk perasan dari anggur. Akan tetapi pada akhirnya ulama menetapkan bahwa pengertian dari alkhmr sendiri adalah Satru atau menutup akal, sehingga semua jenis minuman keras yang dapat memabukan adalah khamr. Khususnya Imam Syafi’i yang menekankan bahwa sedikit ataupun banyak, apabila sesuatu dapat menyebabkan mabuk maka sesuatu tersebut menjadi haram.95
94
Ibid. Menurut Imam Syafi’i, pada sebagian manusia yang mengatakan bahwa apabila seseorang meminum minuman keras kemudian tidak mabuk, maka dia tidak berhak untuk dikenakan had. Akan tetapi menurutnya hal tersebut bertentangan dengan riwayat Nabi dan di tetapkan Umar dan sahabat Ali sebelumnya, jadi menurutnya untuk mengtahui seseorang telah mabuk, apabila dia meminum minuman keras kemudian dia mengaku atau ada saksi yang mengetahui yang mana teman-teman dalam perkumpulannya meminum lantas mabuk. Meskipun begitu, segolongan ulama syaifi’iyah diantaranya al Qodi Abuth Thaiyib menetapkan bahwa mencambuk peminum arak tidak boleh dengan cambuk. Al Qhodi Husein mngharuskan mencambuk dengan cambuk. An Nawawy dalam syarah Muslim berkata: boleh dengan pelepah 95
48
D. Pendapat Para Ulama Tentang Hukuman Cambuk dalam Jarimah Peminum Minuman Keras Pendapat para ulama
difokuskan kepada pendapat para ulama
kalangan imam madzhab empat dan pendapat ulama lainnya yang terkenal. Pada dasarnya Imam Syaf’i menyetujuai bahwa hukuman cambuk bagi peminum minuman keras adalah 40 kali cambukan. Ketetapan yang Nabi putuskan merupakan ketetapan final, meskipun tidak menutup kemungkinan seorang Imam melebihkan hukumannya dalam katagori ta’zir. Ijma’ yang dilakukan pada masa Umar tidak merupakan ketetapan jika berbeda dengan sunnah sebelumnya.96 Sependapat
dengan
Imam
Syafi’i,
Menurut
pendapat
Imam
Muhammad Nawawi ibnu Umar al Jawi, tambahan yang dilakukan oleh Umar bin Khatab adalah ta’zir. Terkait dengan ketentuan had, maka harus jelas dan pasti. Jika hitungan 80 adalah kepastian hukuman had, maka 40 kali ketetapan Rasul menjadi tidak berlaku. Sebaliknya jika kepastian had 40 kali maka sudah seharusnya tambahan sampai 80 kali adalah ta’zir.97 Imam Nawawi juga berpendapat bahwa bagi yang menyatakan hitungan 80 adalah had, mereka beralasan tidak akan ada ta’zir kecuali dalam jinayat yang mutlak dan had yang telah ditentukan hitungannya dalam al Quran. Sedangkan had untuk peminum minuman keras belumlah mutlak.
kurma, boleh dengan sepatu dan ujung-ujung kain dan boleh dengan cambuk. Teungku Muhammad Hasybi as Sidqi, loc.cit,.hlm.190. 96 Termasuk dari sarat Ijma’ yaitu berdasarkan al Quran atau sunnah sebelumnya. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, pent; Saefullah Ma’shum, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994. hlm. 316. 97 Muhammad Nawawi al Jawi, Tausyih Ala Ibnu Qosim, Surabaya: Darul Ulum, t.th, hlm. 248.
49
Akan tetapi alasan tersebut menjadi rancu ketika ketetapan Rasul merupakan ketetapan final bagi bentuk hukaman had. 98 Dalam kitab Ibanatul Ahkam Syekh Ibnu Abdullah Abdussalam Alausi, berpendapat bahwa tafsiran dalam kalimat jaridataini mempunyai dua makna, pertama, jaridataini yang diartikan mempunyai satu kesatuan. Kedua, makna jaridataini harus dikembalikan kepada mufrodnya yaitu jaridah. Maka untuk satu jaridah 40 cambuk, sehingga jumlahnya menjadi 80 cambukan.99 Menurut Ibnu Qosim hitungan 80 telah sesuai dengan nash, dan tidak ada pengecualian untuk mengurangi atau menambah. Pembagian hitungan terdiri dari 40 yang telah disepakati oleh Nabi Muhammad dan Abu bakar pada masanya, adapun tambahan 40 terkait dengan akibat yang dilahirkan dari had mabuk itu sendiri. Apabila seseorang mabuk maka ia akan berbicara sesuatu yang buruk, maka apabila akibat yang dilahirkan menjurus kepada qozaf atau iftara (lemas) hukumannya menjadi 80 cambukan. Hitungan tersebut disesuaikan dengan had-had yang lain yang telah ditentukan jumlahnya dalam nash Al Quran.100 Pada dasarnya ketetapan yang di maksud Ibnu Qosim di kembalikan kepada sejarah, yaitu Pendapat Ali bin Abi Thalib ketika menetukan tambahan hukuman bagi peminum minuman keras di zaman Khalifah Umar. Pada waktu itu pendapat Ali yang mengqiaskan hukuman had peminum minuman keras dengan qozaf. 98
Ibid., hlm. 249. Yang dimaksud dengan jaridataini adalah dua pelepah kurma. Abi Abdullah ‘Abdussalam ‘Alausi, Ibanatul Ahkam Syarh Bulugul Marom, Beirut: Darul Fikr, 2008, hlm. 104. 100 Ibnu Qosim al Gozi, Hasyiah Syarh Ibnu Ahim al Bajuri, Beirut: Darul Fikr, 2005, hlm. 351. 99
50
Adapun menurut Imam ar Rofi’i, bahwa ta’zir yang lahir dari Jinayat peminum minuman keras tidak dibatasi. Pendapat tersebut berimplikasi terhadap ketentuan ta’zir yang lahir dari jinayat tersebut. Menurutnya bahwa penambahan hukuman cambuk boleh lebih dari 80 cambuk ataupun tidak. Dengan alasan, ketetapan had yang telah dikhususkan adalah 40, adapun 40 lainnya merupakan ta’zir. Ketika ketentuan tambahan 40 adalah ta’zir, tidak ada keterikatan untuk menetapkan 40 cambukan sebagai tambahan. Jika melihat secara historis tambahan 40 adalah hasil ijma’ sahabat, sehingga tambahan tersebut bisa disesuaikan pula dengan keadaan zaman sekarang.101 Sedikit berbeda dengan ulama sebelumnya, Syeh Abu Bakar Ibnu Muhammad Syata Addimyati dalam kitabnya
anatuThalibin menjelaskan
hitungan 40 cambukan merupakan kebiasaan yang ada pada zaman Rasululallah, maka sangatlah terbuka untuk menyesuaikan dengan kebiasaankebiasaan setiap zaman. Bisa disimpulkan bahwa hukuman peminum minuman keras boleh disesuaikan dengan realita sosial. 102Pendapat ini sesuai dengan banyaknya perbedaan pendapat para ulama tentang ketentuan Rasul dalam mempraktekan hukuman cambuk bagi peminum minuman keras. Menurut pendapat Imam Syihabudin Ahmad Ibnu Idris al Qura Dari Ulama Maliki mempunyai pendapat yang berbeda, bahwa ketetapan 80 puluh cambukan bagi peminum minuman keras merupakan ketetapan, Umar 101
Ibid., hlm. 352 Dalam kitabnya Syeh Abu Bakar ibnu Muhammad Syato Addimyati tidak menjelaskan secara mendetail apakah diperbolehkan kurang dari hitungan empat puluh. Apabila had dalam minuman keras hanya merupakan kebiasaan pada zaman Rasululah, maka jika harus ditafsiri secara heurmenetik bisa dianalogikan sesuai kebutuhan zaman. Sejauh ini beliau hanya menetapkan dalam hitungan 80, lihat Abu Bakar ibnu Muhammad Syato Addimyati, anatutholibin, Baerut: Darul ‘Ashosoh, 2005, hlm. 177. 102
51
menjadikan acuan sebagaimana hitungan setiap pukulan yang dilakukan Rasul memakai pelepah kurma dan sandal, sebagaimana diterangkan diatas bahwa setiap pukulan pelepah kurma dihitung empat puluh, ketika digabung maka hasilnya delapan puluh. Kemudian Umar atas pendapat sahabat yang lain khususnya mengikuti pendapat Ali menetapkan paling sedikit hukuman had adalah 80 kali. Lain dari pendapat di atas, berdasarkan riwayat Sa’ad ibnu Abbas bahwa had cambuk bagi peminum minuman keras adalah 80 kali, karena apabila 40 kali itu sama dengan hukuman budak.103 Mewakili pendapat dari ulama madzhab Hambali, menurut Ibnu Qudamah menanggapi pendapat Ali tentang penambahan hukuman bagi peminum minuman keras. Menurutnya Oleh karena jinayah peminum minuman keras terkait dengan menjaga akal yang termasuk maqosid al Syari ah dan tanggung jawab dunia akhirat, maka tidak bisa disamakan dengan hukuman qozaf saja, sehingga penambahan menjadi 80 kali. Karena sesungguhnya penambahan dari 40 kali bisa menjadi 100 kali seperti pada had zina. Pendapat Ibnu Qudamah tersebut berdasarkan riwayat sahabat. Adalah Ali yang mendasari alasannya kepada riwayat ketika Walid bin ’Uqbah mendapatkan hukuman cambuk atas perintah Ustman, kemudian Ali berkata bahwa Rasulullah mencambuk peminum minuman keras sebanyak 40 kali, Abu Bakar 40 kali dan Umar 80 itu semua merupakan sunnah. Oleh 103
Menurut Ali bin Abi Tholib, bagi hukuman peminum minuman keras harus ditentukan dalam ketentuan khusus, meskipun alasan yang digunakan Ali untuk disamakan dengan qozaf karena ada persamaan sebab akibat yang ditimbulkan dari meminum minuman keras. Akan ttapi secara substansial tidak bisa diasamkan dengan had qozaf itu sendiri. Dengan alasan, apabila qozaf bisa dijadikan rujukan, tidak menutup kemungkinan had zina juga bisa menjadi rujukan pula. Muhammad Arofah ad Dasuki, Hasyiah ad Dasuki a la Syarhil Kabir, (Maktabah Syamilah), ilid 4, Bairut: Darul Fikr, t.th. hlm. 156.
52
karena itu merupakan had bagi sebuah tindak pidana, maka had meminum minuman keras harus dikhususkan hukumanya, tidak seperti had dalam qozaf ataupun zina. 104 Masih Menurut Ibnu Qudamah, Rasulullah tidak menetapkan hukuman 40 sebagai ketetapan had. Karena apabila hukuman cambuk 40 kali merupakan ketetapan, maka para sahabat akan bersepakat dengan hitungan tesebut. Bisa dianggap bahwa hitungan dalam hukuman cambuk bagi peminum
minuman
keras
dapat
berdasarkan
ijtihad
pada
setiap
zaman.105pendapat tersebut senada dengan pendapat Imam al Rofi’i.
104 105
Abdullah bin Ahmad bin Qudamah al Muqoddasi Abu Muhammad, loc.cit., hlm. 118. Abdullah bin Ahmad bin Qudamah al Muqoddasi Abu Muhammad, loc.cit., hlm. 119.
53
BAB III KEBIJAKAN UMAR BIN KHATAB DALAM PENERAPAN HUKUMAN CAMBUK BAGI PEMINUM MINUMAN KERAS
A. Biografi Umar Bin Khatab Umar bin Khatab lahir dari kabilah Umar, ayahnya al Khattab bin Nufail bin Abdul Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurt bin Razah bin Adi bin Ka’ab. Adi adalah saudara Murrah, kakek Nabi yang ke delapan. Ibunya Hantamah binti Hasyim bin al Mughirah bin Abdullah bin Umar bin Makhzum. Lahir setelah tiga belas tahun kelahiran Nabi. 106 Ayahnya seseorang yang terpandang di masyarakatnya, tetapi dia tidak kaya bahkan tidak mempunyai Khadam. Meskipun begitu Khattab sebenarnya cerdas dan pemberani. Dengan tangkas dan tabah ia memimpin Banu Adi dalam perang Fijar. Dengan ketokohannya tidak heran Khattab menginginkan anak yang banyak. Sehingga banyak perempuan yang dinikahinya tidak karena birahi tapi bertujuan memperbanyak keturunan. Diantara para istrinya yaitu Hantamah binti Hasyim bin al Mughirah dari Banu Makhzum yang masih sepupu Khalid bin Walid dari pihak ayah. Semasa kanak-kanak Umar layaknya anak-anak suku Kuraisy lainnya. Yang kemudian membedakan dengan yang lainnya ia sempat belajar baca106
Muhammad Husain Haekal, Umar bin Khatab (Sebuah Telaah Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya Masa itu) diterjemahkan Ali Audah, Jakarta: Litera AntarNusa, 2008, Hlm. 8.
54
tulis, hal yang jarang sekali terjadi di kalangan mereka. Dari semua suku Kuraisy ketika Nabi di utus hanya tujuh belas orang yang pandai baca tulis. Tidak mengherankan ketika dewasa Umar akan menjadi pribadi yang jenius yang langka dan berbeda dengan yang lain.107 Sesudah Umar beranjak dewasa Umar menjadi pengembala Unta ayahnya di Dajnan atau tempat lain di pinggiran kota Mekkah. Seperti pemuda-pemuda lainnya di Mekkah Umar gemar meminum khamr (minuman keras) sampai belebihan. Bahkan melebihi yang lain. Tidak terlewatkan, Umar juga gemar terhadap perempuan dan tergila-gila pada gadis cantik. Sehingga dapat disepakati bahwa Umar ahli dalam meminum minuman keras dan mencumbu perempuan. Sesudah masa muda mencapai kematangan, Umar terdorong untuk menikah. Kecenderungan banyak kawin sudah diwarisi dari masyarakatnya dengan harapan mendapat banyak anak. Dalam hidupnya itu Umar mengawini sembilan perempuan yang kemudian memberinya dua belas keturunan. Pada masa jahiliyah Umar terkenal dengan keberaniannya, setiap kali ada pertandingan gulat Umar selalu menang. Hal tersebut dikarenakan secara mental menuruni sifat bapaknya yang kasar dan pekerja keras, sedangkan dari ciri fisik Umar temasuk memliki perawakan yang tinggi dan tegap.
108
pada
masa remaja pertumbuhan Umar melebih kawan-kawan sebayanya dia lebih tinggi dan lebih besar.
107
Muhammad Baltaji, Metodologi Ijtihad Umar Bin Khatab, diterjemahkan oleh Masturi Irham dari Manhaj Umar bin Khatab fi at Tasyri”, Jakarta: Khalifa, 2005, hlm. 18. 108 Muhammad Husain Haekal, op.cit, Hlm.12.
55
1. Umar bin Khatab di Masa Nabi. Sebagaimna
sebelumnya,
Umar
merupakan
pemuda
yang
pemberani, setelah masuk Islampun Umar tetap menjadi pemberani, sehingga tidak pelak Umar mengumumkan keislamannya di depan para kafir Quraisy secara terang-terangan. Sebelumnya umat Islam tidak diperbolehkan sholat di Ka’bah, berkat kegigihan Umar akhirnya mereka diperbolehkan sholat disana.109 Seiring dengan sikapnya yang tegas dan berterus terang, Pendampingan beliau terhadap Nabi Muhammad sudah tidak diragukan lagi, beberapa peristiwa menjadi bukti ketegaran dan ketabahannya dalam mendampingi perjuangan Rasul. Sebagaimana yang dilakukannya ketika akan melaksanakan hijrah ke Yatsrib Umar dengan keberaniannya mendatangi kafir Quraisy ketika mereka berada di depan serambi Ka’bah dengan berkata: ”Wajah-wajah celaka! Allah menista orang-orang ini!barang siapa ingin meratapi ibunya, ingin anaknya menjadi yatim atau istrinya menjadi janda, temui aku di balik lembah itu”, seraya menenteng pedang dan panah. Dimana pada waktu itu, muslimin keluar dengan mengendap-endap. 110 Dalam beberapa peristiwa Umar bin Khatab sangat dipercayai Nabi, bahkan perkataanya dan pandangannya banyak yang sesuai dengan Asbabunnuzul turunnya sebuah ayat. Sebagai contoh pada awal permulaan adzan, ketika itu Rasulullah sedang memikirkan bagaimana caranya 109
Muhammad Husain Haekal, loc.cit, Hlm.38 Muhammad Yusuf al Khandahlawi, Hayatu al Sahabah, jilid 2, Bairut: Darul Fikr, 1992, hlm. 4. 110
56
memanggil kaum muslimin untuk melaksankan sholat. Pada awalnya usul untuk memanggil adzan dengan terompet, akan tetapi Rasul tidak merasa cocok yang akhirnya memerintahkan Umar untuk membuat genta. Pada waktu penetapan, Umar terlambat datang yaitu setelah turunnya wahyu tentang adzan. Ketika Umar mendengarkan adzan lafal tersebut ternyata sebagaimana yang diimpikannya.111 Pendapat lain yang bertepatan dengan wahyu ketika Umar berpendapat terkait tawanan perang Badar, dengan tetap berpegang pada ketegasan, Umar menyarankan untuk membunuh para tawanan perang dengan alasan mereka akan kembali memusuhi Islam bila mendapatkan kebebasan. Pada waktu itu para sahabat bersepakat untuk menanganinya dengan tebusan. Setelah itu turunlah ayat
šcr߉ƒÌ•è? 4 ÇÚö‘F{$# ’Îû šÆÏ‚÷Wム4Ó®Lym 3“uŽó r& ÿ¼ã&s! tbqä3tƒ br& @cÓÉ
Dalam mimpinya Umar melihat seorang lelaki yang membawa genta, Umar menanyakan apakah genta tersebut akan dijual untuk keperluan memanggil sholat, kemudian orang tersbut malah melafalkan adzan sebagai contoh yang lebih baik dari genta. Muhammad Husain Haekal, loc.cit, hlm.44. 112 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1996, hlm. 109
57
tetap ikut berperan dalam peperangan tersebut. dalam keadaan terdesak Umarlah dari salah satu sahabat yang mengobarkan untuk tetap semangat kepada kaum muslimin ketika beredar berita bahwa Rasul telah terbunuh, setelah mengetahui bahwa Nabi masih hidup, Umar pulalah yang termasuk sahabat pelindung Nabi paling gigih dari serangan Khalid bin Walid yang ingin membunuh Nabi. Adapun terkait dengan ijtihad Umar masa Rasul tidak terlepas dari perbedaan pendapat dan usulannya kepada Rasul, sebagaimana dalam kasus Abdullah bin Ubai seorang munafiq yang berpaling dari Rasul. Ketika kematiannya Rasul ikut mensolatkan, akan tetapi Umar memperingatknnya dengan ayat al Quran surat at Taubah ayat 80.
4 öNçlm; ª!$# t•Ïÿøótƒ `n=sù Zo§•sD tûüÏèö7y™ öNçlm; ö•ÏÿøótGó¡n@ bÎ) öNçlm; ö•ÏÿøótGó¡n@ Ÿw ÷rr& öNçlm; ö•ÏÿøótGó™$# ÇÑÉÈ tûüÉ)Å¡»xÿø9$# tPöqs)ø9$# “ωöku‰ Ÿw ª!$#ur 3 ¾Ï&Î!qß™u‘ur «!$$Î/ (#rã•xÿŸ2 öNåk¨Xr'Î/ y7Ï9ºsŒ Artinya: Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja). kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampunan kepada mereka. yang demikian itu adalah Karena mereka kafir kepada Allah dan RasulNya. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik. (QS at Taubah: 80) 113 Nabi tersenyum dengan semangat Umar menyerang orang yang telah meninggal seraya berkata:”kalau saya tahu dengan menambah lebih dari
tujuh
puluh
dapat
diampuni
akan
kutambah.”
Nabi
menyembahyangkan juga ikut mengantar sampai selesai penguburan. Setelah itu turunlah ayat 84 surat at Taubah. 113
Ibid., hlm.201
58
«!$$Î/ (#rã•xÿx. öNåk¨XÎ) ( ÿ¾ÍnÎŽö9s% 4’n?tã öNà)s? Ÿwur #Y‰t/r& |N$¨B Nåk÷]ÏiB 7‰tnr& #’n?tã Èe@|Áè? Ÿwur ÇÑÍÈ šcqà)Å¡»sù öNèdur (#qè?$tBur ¾Ï&Î!qß™u‘ur Artinya: Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka Telah kafir kepada Allah dan rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.(Qs at Taubah: 84)114 Sebagaimana contoh diatas, yang paling terlihat yaitu turunnya wahyu yang berkaitan dengan pelarangan minuman keras.115 Prediksi pendapat dan argumen Umar yang selalu mendapatkan tempat khusus memang tidak hanya berdasar dari sistem rasio dan logika yang kemudian dapat dipertanggung jawabkan. Lebih dari itu, pandangan Umar lebih berat kepada keislamannya yang mendalam. Disamping secara Umum pendapat Umar terhadap kepentingan publik sebelum turunnya wahyu, mengenai hubungan dengan Rasul secara pribadi dalam pandangan Umar bukan tidak sama dengan segala urusan Muslimin
yang
lain.
Oleh
karenanya
tidak
segan-segan
ia
membicarakannya dengan Nabi. Bukhari menyebutkan dengan mengacu kepada Aisyah yang mengatakan: ”Umar berkata kepada Nabi”; ”pasangkanlah hijab kepada istri-istrimu”. Tetapi Nabi tidak melakukan. Ketika itu istriistri Nabi malam-malam pergi ke tempat orang buang air. Suatu ketika Umar bin Khatab melihat Saudah binti Zam’ah maka Umar
114
Ibid.,hlm. 206 Kegemaran meminum minuman keras telah mendarah daging di suku Quraisy, pandangan Umar bahwa minum minuman keras dapat membakar amarah hati orang dan dapat membuat peminumnya saling mengecam dan memaki. Sehubungan dengan hal tersebut Umar menanyakan kepada Rasul, lalu turunlah ayat Quran surat al Baqoroh ayat 219. Setalah itu turunlah ayat secara berurutan mengenai minuman keras. Muhammad Husain Haekal, loc.cit, Hlm.55 115
59
berkata:” saya mengenal anda Saudah”. Harapan saya supaya memakai hijab, maka Allah menurunkan ayat hijab.116
2. Umar bin Khatab di Masa Abu Bakar. Setelah Rasulullah meninggal yang masih tidak menerima kematianya adalah Umar bin Khatab, dengan berdiri di depan muslimin berkata bahwa Rasul seperti Isa putra Maryam yang diangkat dan akan dikembalikan. meskipun begitu, dalam kesedihannya yang mendalam Umar tetap mempertimbangakan keadaan kaum muslimin. Maka dengan segera Umar menghadap Abu Ubaidah bin al Jahroh untuk membaiatnya. Dengan halus Abu Ubaidah menyarankan untuk membaiat Abu Bakar. Bertepatan kaum Ansor telah berkumpul di Staqifah Banu Saidah untuk membaiat Sa’d bin Ubadah. Dalam keadaan tersebut Umar membai’at Abu Bakar meskipun sebelumnya dia menjadi calon yang diaujukan Abu Bakar. 117 Umar melihat hal tersebut dari kemaslahatan bukan kepentingan pribadi, meskipun secara politis dia bisa memangku jabatan tersebut. Setelah khalifah Abu Bakar memimpin Umar menjadi Wazirnya yang selalu mendampingi dan memberikan saran kepada khalifah. Meskipun sering terjadi pertentangan seperti permasalahan pengiriman pasukan Usamah, yang enggan membayar zakat sampai permasalahan Kholid bin 116
Muhammad Husain Haekal, loc.cit, Hlm.57 Dalam keadaan yang mendesak, kedua kelompok mempunyai calon masing-masing untuk menjadi khalifah. Umar berpendapat bahwa tidak ada dua orang pemimin dalam satu kapal, dalam perdebatan yang semakain memans akhirnya Abu bakar mengangkat tangan Umar dan Abu Ubadah, lalu menawarkan untuk dipilih kaum muslimin. Akan tetapi sebaliknya justru Umar meminta kepada Abu Bkar untuk membentangkan tangannya dan dibaiat oleh kaum muslimin. Muhammad Husain Haekal, loc.cit, Hlm.69 117
60
Walid. keduanya tetap saling menghormati dan lebih mengutamakan urusan ummat daripada pribadi. Tidak terlepas dari hal tersebut Umar menjadi kekuatan utama di balik keberhasilan pemerintahan Abu Bakar.118 Beberapa peristiwa yang tidak lepas dari peran Umar dimasa pemerintahan Abu Bakar, diantaranya usulan Umar untuk mengumpulkan al Quran dikarenakan banyaknya yang meninggal pada pertempuran di Yamamah sekaligus terbunuhnya Zaid adik Umar.
3. Pemerintahan Umar bin Khattab. Masa pemerintahan Umar adalah masa penaklukan, dengan kemenangan yang selalu diraih daulah Islamiyah sampai mencapai Afganistan dan Cina di sebelah timur. Anatolia dan laut Kaspia di utara, Tunis dan sekitarnya di Afrika Utara. Di bagian barat dan kawasan Nubia di Selatan. Secara politik Umar ingin menggabungkan semua ras Arab kedalam satu kesatuan yang membentang dari teluk aden selatan sampai ke ujung utara pedalaman Samawah. Karena kekuasaan di sana berada di tangan Arab Banu Lakhm dan Banu Gassan. dengan kepentingan dalam persatuan Arab dibawah naungan Islam telah mengilhaminya untuk menjadikan hijrah Rasul sebagai permulaan kalender Arab. Selam itu bangsa Arab belum menentukan secara pasti kalender yang digunakan. Terkadang menggunkan tahun gajah atupun
118
Muhammad Baltaji, loc.cit, Hlm. 14
61
peristiwa-peristiwa lain yang penting dalam sejarah peperangan orangorang Arab. Dengan kekuasaan yang sangat luas, tidak lantas keperibadian Umar berubah. Lebih dari itu justru Umar semakin teliti dan lebih hati-hati dalam mengambil keputusan. Dengan penuh kasadaran dan hati-hati dia mengatur seluk beluk pasukan dan perjalannya sampai ke soal se kecilkecilnya, maju atau mundur dalam sebuah pertempuran. Sampai-sampai dia ikut bersama panglima pasukan mengatur strategi perang. Meskipun begitu, secara organisatoris pada masanya tidak terlalu sistematis. Meskipun kekuasaan sudah sangat luas, dia tidak menerapkan sistem oraganisasi yang cukup rinci yang berlaku untuk seluruh kawasan Arab. Atau bahkan mengambil sistem pemerintahan yang umum berlaku di Irak. Atau sistem pemerintahan Bezantium yang sudah berjalan di Syam untuk diberlakukan di Semenanjung Arab.119 Akan tetapi, pada masanya Umar telah menerapkan prinsip-prinsip demokrasi dengan membangun pemerintahan sipil yang sempurna. Baginya sama rata dalam hak dan kewajiban sebagai hamba tuhan adalah keharusan. Tidak mengherankan apabila para pejabat pada masanya sangat mengedepankan kesederhanaan.120 Dengan kejayannya dapat menaklukan berbagai wilayah, maka tidak heran pada saat inilah seorang khalifah bergelar Amirul Mukminin.
119 120
Muhammad Husain Haekal, loc.cit., Hlm.70 Drs. Syamsul Munir Amin, MA, Sejarah Peradaban Islam, Jakrta: Amzah, 2007, hlm.
103
62
121
Akan tetapi secara rinci dijelaskan Husein Haikal dalam bukunya,
bahwa suatu hari Umar duduk di Masjid selesai memberikan pedoman kepada Muslimin mengenai kebijaksanaannya, dan bahwa sudah tiba saatnya untuk mereka laksanakan. Abu Ubaidah datang kepadanya untuk mengucapkan selamat tinggal sehubungan keberangkatannya ke Irak memimpin pasukan yang sudah berkeumpul di sekitar bendera, di ikuti oleh orang-orang yang tidak sedikit jumlahnya. Semua mereka menyambut kahaliafah-khalifah Rasulullah itu. Dengan kata-kata yang di ulang, gelar ini terasa berat diucapkan dan berat pula di telinga. Apa yang bergejolak dalam hati Umar menjadi pembicaraan mereka pula. Sementara dalam keadaan demikian tiba-tiba salah seorang dari mereka tampil menyambut Umar dengan kata-kata: ”salam sejahtera bagimu ya Amirul Mukminin”, mendengar gelar baru ini orang menyambutnya dengan gembira disertai senyum tanda setuju.122
121
Ibid., hlm. 99. Ada dua sumber terkait siapa yang pertama memanggil Umar dengan sebutan Amirul Mukminin, sumber pertama mengatakan al Mughirah bin Syu’bah yang pertama memanggilnya dengan gelar ini. Sumber kedua menatakan bahwa Umar menulis surat kepada wakilnya di Irak agar mengirim dua orang yang tangguh dan terpandang untuk dimintai keterangan mengenai keadaannya disana. Maka diutus Adi bin Hatim at Ta’i dan Labid bin Rabi’ah. Sesampai di Madinah, setelah menambatkan Unta mereka di serambi Masjid mereka masuk. Mereka menemuai Amr bin As ”izinkan kan kami menemui Amirul Mukminin” kata mereka, Amr berkata: saya masuk menemui Umar seraya berkata :”Amirul Mukminin” dijawab dengan mengatakan ” yang anda katakan itu akan saya pakai. Muhammad Husain Haekal, loc.cit, Hlm. 111 122
63
4. Kehidupan Sosial Masa Umar bin Khatab dan Hasil Ijtihadnya Alangkah besarnya perkembangan yang terjadi di negri-negri Arab selama lima belas tahun setelah pembebasan kota Mekah. Kebesaran tersebut bisa dibilang sebagai perkembangan. Dalam waktu begitu singkat berpindah dari paganisme kepada Islam, dari kabilah-kabilah dan kelompok yang bercerai berai bermusuhan kepada yang saling membantu dengan politik umum dan tujuan bersama.123 Beberapa sektor yang terlihat berubah dalam masa sosial Umar diantaranya sektor Agama (kepercayaan, sektor ekonomi dan sektor politik. Sebagai contoh dalam bidang kepercayaan, orang Arab terdahulu menyembah berhala dan percaya terhadap ramalan. Berbagai macam undian dengan menggunakan anak panah untuk menentuan alamat baik ataupun buruk. Jika menginginkan sesuatu mereka membawa Azala, yaitu beberapa batang kayu atau batu yang ditulis“ perintah” pada yang kedua “larangan” dan yang ketiga dibiarkan kosong., untuk menjadi pilihan. Pada masa Umar penumpasan terhadap kesyirikan sangatlah maksimal. Kepercaan kepada Allah menghapus semua bentuk peribadatan zahiliyah dan bentuk bentuk undian nasib. Secara umum perubahan sosial yang terjadi pada masa Umar bisa dilihat dari usaha Umar sendiri dengan mengadakan ijtihad-ijtihad baru. Pada dasarnya Umar berijtihan setelah dan sebelum menjabat sebagai khalifah. Pada zaman Abu Bakar kabilah-kabilah yang dekat dengan
123
Muhammad Husain Haekal, loc.cit, Hlm. 686
64
Madinah menolak menunaikan zakat dan Abu Bakar bertekad untuk memerangi mereka. Ia mengumpulkan para sahabat untuk dimintai pendapat. Tetapi sebagian mereka menentang termasuk didalamnya Umar bin Khatab. Mereka berpendapat jangan memerangi orang yang sudah beriman.124 Selain itu ketika terjadi perang Yamamah, Umar berpendapat bahwa peperangan yang menewaskan banyak hufadz harus segara diantisipasi suapaya al Quran tidak hilang. Akhirnya memberiakn usulan kepada Abu Bakar untuk segera mengemupulkan al Quran yang berserakan dari lempengan-lempengan, dari tulang-tulang bahu, kepingankepingan pelepah kurma dan dari hafalan orang. Adapun ketika menjabat sebagai khalifah diantara hasil ijtihadnnya yaitu menghapus pemberian zakat kepada muallaf . Dimasa Rasul dan Abu Bakar hal tersebut masih dilaksanakan berdasarkan firman Allah (al Quran 9:60)
öNåkæ5qè=è% Ïpxÿ©9xsßJø9$#ur $pköŽn=tæ tû,Î#ÏJ»yèø9$#ur ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur Ïä!#t•s)àÿù=Ï9 àM»s%y‰¢Á9$# $yJ¯RÎ) 3 «!$# šÆÏiB ZpŸÒƒÌ•sù ( È@‹Î6¡¡9$# Èûøó$#ur «!$# È@‹Î6y™ †Îûur tûüÏBÌ•»tóø9$#ur É>$s%Ìh•9$# †Îûur ÇÏÉÈ ÒO‹Å6ym íOŠÎ=tæ ª!$#ur Artinya: Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana 124
Muhammad Husain Haekal, loc.cit, Hlm. 740
65
. Dengan alasan pada saat umat Islam sudah kuat, tidak ada lagi istilah seorang muslim yang perlu disejukan hatinya. Al-Sayyid al-Sabiq memberikan pengertian al-muallaf sebagaimana yang dikutip dalam tafsir al-Manar, yaitu : sekelompok orang yang dibujuk hatinya agar bergabung dengan Islam, atau mereka menahan diri dari melakukan kejahatan terhadap orang-orang Islam, atau orang-orang yang jasanya diharapkan untuk membantu dan membela kaum muslimin.125 Diantara tindakan, ijtihad Umar Ibn Khattab itu adalah: Umar Ibn Khattab tidak membagi-bagikan tanah taklukkan (ghonimah) kepada tentara Muslim yang ikut berperang. Menurut Imam Abu Ubayd alQosyim bin Salam, pada masa Abu Bakar menjadi khalifah beliaunya menyamakan bagian harta rampasan perang pada umat Islam. Abu Bakar tidak melebihkan bagian antara orang Islam satu dengan yang lainnya. Pendapat khalifah pertama ini mendapat kecaman para sahabat, menurut mereka harus ada perbedaan bagian antara sahabat yang satu dengan yang lain, karena, adanya perbedaan dalam masuk Islam dan berjihad demi membela Islam. 126 Lain halnya dengan ghonimah, ijtihad Umar yang cukup controversial lagi adalah masalah penetapan ummul walad. Pada masa Nabi Muhammad SAW dan Abu Bakar ummul walad dapat diperjual
125
al-Sayyid al-Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid I, hlm.328. Mengenai perbedaan pendapat dikalangan khulafa ur rasidin mengenai masalah yang muncul dikalangan mereka dapat dilihat secara gamlang dalam. Fatthiy al-Durayniy, Al-Manahij Al-Ushuliyah fi al-Ijtihad bi al-Ra yi fi al-Tashri al-Islamy, Damsiq; Dar al Kitab al-Hadits, 1975, Cet. I, hlm. 13-15 126
66
belikan, diwariskan dan dihadiahkan ketika majikannya meninggal dunia. Sewaktu
Umar
Ibn
Khattab
menjadi
khalifah
beliaunya
tidak
memberlakukan ketetapan sebagaimana yang dilakukan pada masa Nabi Muhammad SAW dan Abu Bakar. Lebih lanjut Umar Ibn Khattab menegaskan bahwa ummul walad dapat menikmati kemerdekaannya setelah majikannya meninggal dunia. .127
B. Kebijakan Umar bin Khatab dalam Penerapan Hukuman Cambuk Bagi Peminum Minuman Keras Dengan ketaatannya sebagai sahabat yang mendapatkan tempat istimewa dihadapan Rasul, sangat tidak mungkin mengambil sebuah kebijakan tanpa dasar yang pasti untuk dijadikan pijakan. Tentunya sebelum menentukan kebijakan dalam hal penambahan hukuman cambuk bagi peminum minuman keras Umar telah berfikir matang akan kebijakan yang dikeluarkannya. Dari riwawat Ibnu Abbas bahwa orang yang meminum minuman keras pada zaman Rasul di pukul dengan tangan, sandal atau tongkat. Kemudian Rasul Saw wafat jumlah mereka semakin banyak, sehingga khalifah Abu Bakar mengambil keputusan untuk menjatuhkan hukuman cambuk sebanyak empat puluh kali. Sepeninggal Abu Bakar, ketentuan hukuman ini masih dilaksanakan pada zaman Umar. 128 Sampai suatu saat Umar datang membawa sahabat muhajirin yang dulu ikut hijrah pertama dan telah meminum minuman keras. Maka Umar 127
Fazlur Rahman, Islamic Methodologi in History, Karachi: Central Institute of Islamic Research, 1965, hlm. 275 128 Muhammad Abdul ‘Aziz al Halawy, Fatawa wa Aqdhiyya Amirul Mu minin Umar Ibn Khathab, Kairo: Maktabah al Qur’an, 1986, hlm. 145.
67
dalam amar putusannya menetapkan hukuman dengan hukuman cambuk. Sebaliknya laki laki tersebut tidak puas dengan putusan Umar. ”Mengapa tuan menjatuhkan hukuman cambuk kepadaku?” Sementara di antara kita ada kitab Allah?” Tanya laki-laki itu. Karena merasa tidak bersalah. ”kitab Allah yang mana yang menerangkan bahwa aku tidak boleh menjatuhkan hukuan cambuk kepadamu?” tanya Umar kepada laki-laki tersebut. Sesungguhnya Allah telah berfirman dalam kitabnya, tidak ada dosa bagi orang-orang beriman dan mengerjakan amal sholeh karena menkonsumsi yang telah mereka makan dahulu. Bila mereka bertakwa serta beriman dan mengerjakan amalan-amalan saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan berbuat kebajikan.(Qs Al Maidah). Samentara aku adalah termasuk orang-orang yang beriman dan berbuat kebaikan, kemudian bertaqwa dan tetap beriman sera berbuat baik kepada rang lain. Aku juga penah ikut perang bersama Rasulullah Saw. Dalam perang Badar, Uhud dan peperangan lainnya. ”kilah laki-laki yang terpidana yang tidak memahami keputusan Umar.”Apakah kalian tidak mendapatkan jawaban atas pertanyaan tesebut”, tanya Umar kepada para sahabat. 129 Sesungguhnya ayat tersebut turun sebagai alasan bagi orang-orang terdahulu yaitu sebelum khamr diharamkan. Yaitu bagi mereka yang terlanjur menegak
khamr
dan
sebagai
argumen
bagi
orang-orang
munafik.
Sesungguhnya Allah telah berfirman ”wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (menegak) khamr, berjudi. Berkurban untuk berhala dan mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu termasuk orang-orang yang beruntung. (al Maidah ayat 90). Maka kalau ia termasuk orang-orang beriman dan beramal saleh, sesungguhnya Allah telah melarangnya untuk menegak khamr.130Melihat hal tersebut, Sebelum memutuskan hukuman Umar
129
Ibid. Lihat juga Muhammad Abdul ‘Aziz al Halawy, Fatwa dan Ijtihad Umar bin Khatab, Penj. Zubair Suryadi, Surabaya: Risalah Gusti, 2003, hlm. 265. 130 Ibid., hlm. 267.
68
meminta pendapat sahabat dan akhirnya Ali bin Abi Thalib memberikan pendapat. Bahwa sesungguhnya seseorang apabila minum khamr, maka ia mabuk, kalau sudah mabuk akan merasa melayang (fly), dan kalau sudah melayang ia akan berbicara seenaknya dan membuat fitnah, sedangkan orang yang membuat fitnah harus dikenakan hukuman cambuk sebanyak delapan puluh kali, pendapat Ali memberikan argumentasi hukum. Akhirnya dalam amar putusan, Umar menjatuhkan hukuman cambuk sebanyak delapan puluh kali. Riwayat diatas menjadi alasan sosiologis sebagai bukti bahwa pada zaman tersebut masyarakat Arab sangat gemar meminum minuman keras. Lebih parah dari itu, mereka sudah berani mempermainkan ayat al Quran untuk melegitimasi kemunkaran yang mereka perbuat. Riwayat terkait penambahan hukuman oleh Umar juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Saib bin yazid, dia berkata: ”Kami pernah melihat peristiwa seseorang peminum minuman khamr di masa Rasulullah memerintahkan Abu Bakar dan di awal pemeintahan Umar, kemudian kami menjatuhkan sanki pukulan kepadanya dengan tangan atau sandal atau selendang. Kemudian akhir pemerintahan Umar, beliau menetapkan hukuman cambuk sebanyak empat puluh kali, kalau si peminum sampai melebihi batas (mabuk) dan fisik, maka ia dijatuhi hukuman cambuk sebanyak delapan puluh kali”. 131 Dalam hal ini Umar telah menerapkan kebijakannya melalui ra yi kemaslahatan umum tanpa melangkahi ketentuan dari para pendahulunya. Tanpa harus menghilangkan hukuman sebanyak empat puluh kali, Umar tetap menerapkan hukuman tambahan sebagai tuntutan kemaslahatan ummat.
131
Ibid., hlm. 267.
69
Diriwayatkan Abdurrazaq dengan sanad shahih dari Ubaid bin Umair yang tidak jauh berbeda dengan hadis yang disampaikan oleh Saib. Dalam hadis yang disampaikan oleh Ubaid bin Umair menerangkan bahwa Umar menetapkan hukuman cambuk kepada para pemabuk sebanyak empat puluh kali. Ketika Umar melihat bahwa tindakan tersebut tidak mencegah kejahatan, maka Umar menetapkan hukuman menjadi enam puluh kali. Akan tetapi hukuman tersebut ternyata tidak membuat jera para penggemar minuman keras, akhirnya Umar menerapkan hukuman sebanyak delapan puluh kali. Dengan hukuan seberat ini Umar berkata:” ini adalah hukuman had paling ringan”.132 Abu Daud dan Nasa’i meriwayatkan bahwa Khalid bin Walid pernah mengirim surat kepada Umar. ”sesungguhnya banyak orang yang kecanduan khamr, sementara mereka menganggap ringan dengan hukuman yang ada,” tulis Khalid dalam suratnya. Pada saat Umar menanggapi surat dari Khalid ini, di masjid banyak sahabat Anshar dan Muhajirin, diantara mereka Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdurahman bin Auf dan Tholhah bin Ubaidullah dan Zubai bin Awam. Maka Umar meminta pertimbangan kepada mereka dalam menetapkan hukumannya. Menurut pendapat Ali bahwa seseorang mabuk dia tidak akan sadarkan diri dan asal berbicara, maka pantas untuk dihukum delapan puluh kali. Sedangkan menurut Abdurahman bin Auf bahwa hukuman had minimal adalah delapan puluh kali. Merekapun membuat konsensus hukum (ijma’), bahwa para pecandu khamr dijatuhi hukuman cambuk sebanyak delapan puluh kali. Dalam hal ini, Umar tidak hanya menetapkan bahwa hukuman bagi peminum minuman keras adalah delapan puluh kali. Lebih dari itu, Umar juga yang menetapkan bahwa Hukuman bagi pemabuk harus menggunakan dera atau cambuk. 133 132
Ibid., hlm. 268. Muhammad Baltaji, Metodologi Ijtihad Umar Bin Khatab, diterjemahkan oleh Masturi Irham dari Manhaj Umar bin Khatab fi at Tasyri”, Jakarta: Khalifa, 2005, hlm. 265. 133
70
Umar telah mengalihkan hukuman yang ringan menjadi berat dengan menambahkan jumlahnya bahkan melipat gandakannya. Demikian itu karena Umar melihat kondisi masyarakat (sosial) yang berbeda-beda, dan dengan dilaksanakan hukuman itu diharapkan bisa membuahkan hasil, yaitu mencegah berkembangnnya tindak kejahatan dalam masyarakat, sehingga masyarakat akan bersih dari faktor-faktor yang merusak.134 Dari kebijakan yang telah di tetapkan Umar tentunya tidak hanya melihat realita sosial yang membutuhkan kemaslahatan. Dari sisi riwayat hadis, juga dijadikan pertimbangan oleh Umar bin Khatab. Jika melihat riwayat hadis
: ).
: : (
Artinya:Diriwayatkan dari Anas RA: Sesungguhnya kepada Rasulullah telah dihadapkani seorang laki-laki yang meminum minuman keras, maka rasul memukulnya dengan dua pelepah kurma sebanyak empat puluh kali, Anas berkata: dan dilaksanakan oleh Abu Bakar ketika datang masanya Umar dimusyawarhkanlah dengan yang lain, berkata Abdurrahman: hukuman had yang paling rendah adalah delapan puluh, maka Umar menyuruhnya. (HR. Ahmad, Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi)
Umar bin Khatab masih mengikuti pendahulunya yaitu mencambuk peminum minuman keras sebanyak empat puluh kali cambukan. Akan tetapi, melihat realita sosial yang semakin parah. Umar akhirnya bermusyawarah dengan para sahabat. Dari pendapat yang muncul, ada pendapat Ali bin Abi 134 135
Muhammad Abdul ‘Aziz al Halawy, op.cit. Teungku Muhammad Hasybi as Sidqi, op.cit.
71
Thalib menyamakan had peminum minuman keras dengan qozaf
karena
kesamaan akibat yang ditimbulkan. Begitu juga dengan pendapat Abdurahman bin Auf bahwa hukuman pemabuk harus mengikuti jumlah minimal dalam had yaitu delapan puluh kali. Hal tersebut wajar jika melihat hadis-hadis rasul yang masih membutuhkan penafsiran, diantaranya hadis
: :
:
. (
).
Artinya: dari Abdullah bin Amar berkata: Rasulullah SAW bersabda: barang siapa yang meminum minuman keras maka cambuklah dia, apabila mengulangi maka cambuklah dia, apabila mengulangi cambuklah dia, apabila masih mengulangi maka bunuhlah dia. Abdullah bekata: hadapkan kepadaku seorang lelaki peminum minuman keras yang keempat kalinya maka aku akan membunuhnya . (HR Ahmad) Hadis diatas menerangkan kondisi secara umum bahwa hukuman cambuk sangatlah kondisional. Jika secara umum hukuman cambuk sangat kondisional, maka sangat memungkinkan bagi hukuman cambuk peminum minuman keras lebih subjektif terkait penerapannya dalam mencapai tujuan hukum. Sebagaimana menurut riwayat dari Abdurahman bin Abdullah bin Khalid bin Ibrahim bin Ahmad al Farbari al Bukhari Abdulah bin Abdul Wahab al Hajibi Khalid bin al Haris bin Sofyan Atsauri bin Abu Husain Berkata:” saya mendengar Amir Sa’ad an Nakhoi berkata” saya mendengar Ali bin Abi Thalib berkata: ”saya tidak akan menghukum had seseorang kemudian dia meninggal kecuali bagi peminum minuman keras, maka meskipun dia dihukum mati tetap akan dilaksanakan hukuman tersebut. Hal tersebut karena Rasul tidak pernah menyunahkannya”.137 136
Hadist ini diriwayatkan juga oleh al Harats ibn Abi Usamah dalam musnadnya. Derajat hadis ini Munqoti . lihat Teungku Muhammad Hasybi as Sidqi, Koleksi Hais-hadis Hukum, Semarang: PT Pustaka Rizki Utama, 2001, hlm 195. juga di Syaukani, loc.cit., hlm. 369. 137 Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin hazm al Andalusi, Al Mahalli, Jilid 13 Bairut: Darul Fikr, hlm.112.
72
C. Metodologi Ijtihad Umar bin Khatab dalam Penerapan Hukuman Cambuk Bagi Peminum Minuman Keras dan Ketetapan Hukumnya. Konsensus ijma’ yang dilaksanakan para sahabat merupakan alasan ketetapan hukuman cambuk sebanyak delapan puluh kali oleh Umar, meskipun secara spesifik ijma’ tersebut berlandaskan qiyas yang diusulkan Ali bi Abi Thalib dan Abdurahman bin Auf. Perkembangannya selanjutnya Umar tetap memberikan hukuman cambuk maksimal sebanyak delapan puluh kali. Sebagaimana ijma’ yang dilakukan untuk mengistinbathkan sebuah hukum, ketetapan Umar sebelumnya telah memberikan konsekuensi dasar hukum yang diambil. Sebelum terjadinya ijma’ yang menetapkan hukuman sebanyak delapan puluh kali, Umar telah melaksanakan hukuman dengan berbagai cara, hemat penulis Umar berijtihad dengan menggunakan maslahah mursalah.138 Selama ini tidak ada ketentuan yang pasti tentang hukuman cambuk bagi peminum minuman keras dalam nash sharih. Selama itu pula tidak ada keputusan bersama dari para sahabat, sehingga masing-masing langsung merujuk kepada riwayat-riwayat Nabi yang dapat dijadikan rujukan. Ijma’ yang dilaksanakan pada masa Umar ternyata tidak menjadi ketentuan yang pasti, para sahabat diantaranya Ustman, Ali dan Abdullah bin Ja’far mendera peminum minuman keras sebanyak empat puluh kali setelah
138
Alasan menjadikan maslahah mursalah sebagai istinbath hukum karena ketetapan yang ditetapkan Umar tidak berlandaskan keutuhan teks yang membahas tentang hukuman cambuk bagi peminum minuman keras. Bahkan pertimbangan yang keluar sama sekali dari kemaslahatan untuk peminum minuman keras itu sendiri, yaitu kemaslahatan umat secara umat, dimana umat muslim pada waktu itu sudah mulai meremehkan agama dan banyak kasus yang disebabkan oleh maraknya peminum minuman keras. Maslahah sendiri mempunyai definifi manfaat, secara terminologi yaitu mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka memlihara tujuan-tujuan syari’. Nasrun Haroen, Uhul Fiqh I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm. 114.
73
kematian Umar.139hal tersebut tidak lepas dari prediksi para sahabat bahwa konsensus yang dilaksanakan pada zaman Umar bukanlah sebuah ijma’.140 Hemat penulis, bahwa ijma’ yang ditetapkan pada saat itu adalah ijma sukuti.141 Perbedaan pendapat para ulama yang dalam penerapan hukuman cambuk bagi peminum minuman keras tidak merujuk kepada ijma’ yang telah ditetapkan Umar dikarenakan yang mendasari dari ijma’ tersebut adalah qiyas yang diusulkan Ali bin Abi Thalib, dan kemaslahatan umum yang diusung Umar. Ketika kemaslahatan dan perbedaan pandangan ulama tentang qiyas yang
mendasari
berubah,
maka
berubah
juga
hukum
yang
dapat
diistinbathkan. Ijtihad Umar yang dianggap konsisten dalam melihat permasalahan penerapan hukuman cambuk bagi peminum minuman keras adalah maslahah mursalah. Jika melihat realita pada zamannya, di mana daerah kekuasaan Islam sangat luas, melihat kemaslahatan secara umum sangat dibutuhkan. Umar dalam melihat kasus ini mengembalikannya kepada kemaslahatan syar i secara umum.
139
Muhammad Baltaji, loc.cit, Hlm. 289. Asy Syaukani berkata: ”para sahabat tidak bersepakat untuk menentukan batasan tertentu (dalam jumlahnya). Dan tidak ada ketentuan khusus bahwa Rasul telah menetapkan hukuman kepada para peminum minuman keras. Akan tetapi Rasul pernah mendera peminum minuman keras dengan sandal, pernah dengan pelepah kurma, dan pernah dengan menggunakan kedua-duanya bersama-sama. Pernah Rasul mendera mereka dengan keduanya ditambah dengan sabetan kain, dan pernah pula dengan pukulan dan sandal. Adapun dasar dari ketentuan-ketentuan di atas adalah cara perkiraan belaka. Oleh karena itu, dalam sebuah riwayat Anas Radhiyallahu Anhu, ia berkata, ”Antara empat puluh”. Muhammad Baltaji, loc.cit, Hlm. 290. 141 Ijma Sukuti adalah pendapat sebagian mujtahid pada satu masa tentang hukum suatu masalah dan tersebar luas, sedangkan sebagian mujtahid lainya hanya diam saja setelah meneliti pendapat mujtahid yang dikemukakan. Ijma Sukuti ini pengaruhnya terhadap hukum tidak meyakinkan, karenanya para ulama ushul fiqh menempatkannya sebagai dalail dzanni, lihat Nasrun Haroen, loc.cit., hlm. 57. 140
74
BAB IV ANALISIS KEBIJAKAN UMAR BIN KHATAB DALAM PENERAPAN HUKUMAN CAMBUK BAGI PEMINUM MINUMAN KERAS
A. Analisis kebijakan Umar bin Khatab dalam Penerapan Hukuman Cambuk Bagi Peminum Miuman Keras. Pada dasarnya, ketentuan had bagi peminum minuman keras telah terdapat dalam nash al Quran. Bahkan secara bertahap al Quran menerangkan pelarangan meminum minuman keras dengan tujuan supaya di terima masyarakat Arab. Karena minuman keras merupakan kebiasaan yang telah mendarah daging.142 Jika dilihat dari kebijakan Umar pada masanya, maka kebijakan tersebut merupakan ijtihad seorang faqih yang tidak diragukan kedlobitannya. Sebagaimana khalifah sebelum Umar yaitu Abu bakar dan sesudahnya Ustman bin Affan dan Ali Bin Abi Thalib yang merupakan Khulafaurasyidin, mereka mempunyai wewenang dalam membuat kebijakan atas dasar ijtihad mereka.143 Maka sebagai sahabat, Umar tidak akan pernah meninggalkan sunnah Nabi. Termasuk dalam seluruh bentuk ijtihadnya. Tanpa terkecuali dalam kasus pemabuk. Untuk menganalisis kebijakan Umar bin Khatab terkait hal 142
Sebagaimana dalam ayat yang diturunkan secara bertahap, hal tersebut menunjukan bahwa masyarakat Arab sangat gemar dalam meminum minuman keras. Ayat tersebut terdapat dalam surat al Baqoroh: 219, Surat an Nisa: 43 dan surat Annahl: 67. 143 Para sahabat termasuk para mujtahid mutlak, bahkan dijadikan sebagai pijakan dalam pengambilan istinbat hukum Islam, dalam ilmu ushul fiqh disebut madzhab sahabi, meskipun begitu ada banyak perbedaan pendapat terkait fatwa-fatwa yang dapat dijadikan pijakan hukum. sebagaimana menurut al Amidi Mujtahid dibagi menjadi dua, yaitu mujtahid mutlak dan mujtahid madzhab. Lihat al-Ahkam fi Ushul al-Ahkam, Baerut: Dar al Kutub al-Ilmiyyah, Juz IV, hlm. 171. lihat juga Satria Efendi M Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Predana Media Group, 2009, hlm. 169.
75
tersebut, tentunya analisis nash sunnah akan menjadi pijakan dasar, untuk menentukan sejauh mana Umar bin khatab berpijak pada sunnah Nabi. Permasalahan
yang mendasar pada kasus ini adalah penambahan
hukuman cambuk oleh Umar menjadi delapan puluh, yang sebelumnya tidak pernah ditetapkan oleh Nabi dan Abu Bakar. Dalam hal ini, untuk mendapat kejelasan substansi sunnah, kodifikasi dari hadis Nabi akan memberikan gambaran umum terkait apa yang dapat diambil dari ketentuan-ketentuan Nabi. Hadis yang dapat diteliti bermula dari sebuah riwayat, dimana Rasulullah menemui orang yang telah meminum khamr dan bersabda, ”pukulah dia” Abu Hurairah berkata, ”sebagian kita ada yang memukul dengan tangan, ada yang dengan sandal, ada pula yang hanya menderanya dengan pakaian kita.144 Dalam riwayat Abu Yusuf, ”Rasulullah mendera orang yang meminum minuman keras dengan empat puluh kali cambukan. Abu Bakar juga empat puluh, dan disempurnakan Umar dengan delapan puluh kali dera. Semua itu adalah sunnahku”145 Dalam riwayat al Bukhari dan Ahmad, Dari As Saib bin Yazid, Ia berkata: di zaman Rasulullah, masa Abu Bakar dan awal masa Umar, kita 144
Imam Al Syaukani, Nailul Autor,Jilid IV, Baerut: Darul Kitab al ‘Alamiyah, t.th. hlm.
145
Sebagaimana dalam hadis
314. . : : ) Artinya: Diriwayaan dari muslim dari Ali bin Abi Tholib dalam riwayat Walid ibnu ”uqbah: ”Nabi Muhammad Saw menjilid empat puluh sedangkan Abu Bakar empat puluh, dan Umar delapan puluh. Semua itu adalah sunnah dan ini lebih aku sukai. (HR. Muslim). Lihat Abu al-Husayn bin Hajjaj al-Qusyairy, Shahih Muslim, Jakarta: Dar al Ihya’ al-Kutub al-Arabiyyah, t.th, hlm. 117. (
76
mendatangi peminum minuma keras. Tindakan kita terhadap mereka itu adalah memukul mereka dengan tangan, sandal dan sorban kita. Ketika datang masa khalifah Umar, kita masih mendera meraka dengan empat puluh kali cambukan. Karena para peminum minuman keras itu meremehkan dan tidak merasa jera dengan hukuman empat puluh, kita lantas menghukumnya dengan delapan puluh kali cambukan.146 Sebagaimana kita lihat dalam riwayat Abu Hurairah, bahwa Rasul bersabda, ”pukullah mereka” dengan tidak memberikan batasan dan jumlah tertentu, bagaimana caranya, dan dengan apa mereka harus di cambuk. Sehingga sebagian sahabat ada yang memukul mereka dengan tangannya, ada yang dengan sandalnya dan ada juga yang dengan pakaiannya. Dan ini juga yang telah diriwayatkan oleh As Saib bin Yazid. As Saib juga menambahkan, bahwa hukuman ini tidak hanya berlaku pada masa Rasul, akan tetapi berlaku juga pada masa khalifah Abu Bakar, dan awal-awal pemerintahan Umar. Pada saat itu, mereka (Rasul dan para Khalifah),
menghukum
peminum
minuman
keras
dengan
pukulan
menggunakan tangan, sandal, sorban mereka.147 Pada perkembangan selanjutnya, Umar menetapkan kepada peminum minuman keras empat puluh kali cambukan. Hal ini dilakukan setelah para
146
Imam Al Syaukani, op.cit. 147 Hadis tersebut berbunyi: :
. lihat Abi Abdullah Muhamad Ibnu Ismail al Bukhori, Bihayiyatissanadi, juz 4, Daru Ihyail Kutub Al Arobiyah, tth, hlm. 326.
77
Matan
Albukhori
peminum di hukum, tetapi mereka tidak merasa jera, dan bahkan menyepelekan hukuman empat puluh cambukan itu. Sehingga akhirnya Umar menambahkan dengan dera sebanyak delapan puluh kali. Dari riwayat ini dan riwayat Abu Hurairah di depan, dapat kita ketahui bahwa, Umarlah yang menentukan batasan atau jumlah hukuman dera pada peminum minuman keras. Yaitu dengan menjadikannya empat puluh kali, kemudian dengan delapan puluh kali deraan. Akan tetapi dalam sebuah riwayat dari Anas bin Malik dari Imam Muslim: Bahwa Rasulullah dan Abu Bakar sebelum Umar, telah mendera peminum minum minuman keras dengan empat puluh kali cambukan.148 dalam sebuah riwayat yang disebutkan oleh Imam al Bukhari, Muslim dan Ahmad, bahwa Rasul mendera dengan mengunakan pelepah kurma dan sandal (dengan tanpa ada batasan jumlah). Dan bahwa Abu Bakar juga mendera dengan empat puluh kali deraan.149 Dari kumpulan hadis di atas, Pertama-tama yang harus kita perhatikan adalah, menentukan batasan hukuman yang diberikan Rasul kepada peminum minuman keras (pada masa beliau), karena kita harus mengikuti sunnah. Dan berdasarkan riwayat-riwayat di atas, dapat disimpulkan ada dua kemungkinan. pertama, Rasul tidak menentukan batasan tertentu, sebagaimana yang terdapat dalam riwayat Abu Hurairah dan As Saib bin Yazid. Kedua, bahwa Rasul mendera peminum minuman keras ini dengan membatasi jumlahnya yaitu 148
hadis tersebut berbunyi
. lihat Abu al-Husayn bin Hajjaj al-Qusyairy, loc.cit.,hlm.117. 149
(
)
. lihat Abi Abdullah Muhamad Ibnu Ismail al Bukhari, op.cit.,hlm. 325.
78
empat puluh kali dera. Sebagaimana dalam riwayat Abu Yusuf yang diperkuat oleh riwayat Muslim. Jika mengambil kemungkinan pertama, maka kita anggap hukuman kepada peminum minuman keras adalah ta’zir. Hukuman yang batasannnya tidak ditentukan.150 Bukan sebagai had (hukuman yang batasannnya telah ditentukan syara’). Riwayat ini dikuatkan oleh riwayat Ali bin Abi Thalib. Ia berkata.”Setiap saya memberikan hukuman had, kepada seseorang. Meskipun ia sampai meninggal, saya tidak merasakan apa-apa (tidak merasa bersalah), kecuali pada peminum khamr. Jika mereka meninggal, saya merasa bertanggung jawab (ada yang mengganjal di hati saya). Hal ini karena Rasul tidak pernah menyunnahkannya (untuk membunuhnya)”. 151 Dan jika mengambil kemungkinan kedua, berarti menganggap bahwa hukuman meminum minuman keras merupakan had sejak zaman Rasul. Dan batasan jumlahnya adalah empat puluh kali cambukan. Masing-masing dari kumpulan hadis di atas telah dijadikan rujukan dalil oleh golongan-golongan tertentu, untuk memperkuat pendapatnya masing-masing. Dari itu, kita harus berusaha mencari riwayat yang lebih rajih (kuat). Dengan cara membidiknya dari segi sanadnya. Yaitu riwayat mana yang sanadnya lebih rajih. Maka itulah yang kita pilih. Akan tetapi dari hadis yang telah dipaparkan diatas, menurut hemat penulis semuanya dapat
150
Secara bahasa Ta’zir bermakna memberi pendidikan etika, sedangkan menurut terminologi syara’ bermakna memberi pendidikan etika atas perbuatan dosa yang tidak ada ketentuan had (hukumannya) dan tidak ada ketentuan denda (kafarahnya)nya. Lihat Abu Bakar ibnu Muhammad Syato Addimyati, anatutholibin, jilid IV, Baerut: Darul ‘Ashosoh, 2005, hlm. 166. 151 Imam Al Syaukani,op.cit.,hal 231.
79
dipertanggung jawabkan sanadnya, dengan pertimbangan bahwa para perawi merupakan orang orang yang terpercaya. Menurut pendapat Imam Muhamad Nawawi ibnu Umar al Jawi, tambahan yang dilakukan oleh Umar bin Khatab adalah ta’zir. Dengan alasan bahwa ketetapan yang pasti dari hukuman peminum minuman keras adalah 40 cambukan sebagaimana ketetapan Rasul. Apabila 80 cambuk adalah had maka tidak diperbolehkan meninggalkannya, sedangkan ketentuan yang pasti adalah 40 cambuk maka tambahannya adalah ta’zir. 152 Berbeda dengan pendapat Imam Nawawi, Dalam satu riwayat shahih berbunyi, ”bahwa jika didatangkan kepada Umar, seseorang yang meminum minuman keras, maka ia menderanya dengan delapan puluh kali deraan. Dan jika datang kepadanya seorang peminum miuman keras secara kebetulan (tidak
sering),
maka
ia
menderanya
dengan
empat
puluh
kali
cambukan”.153dari kedua hadis di atas menjelaskan bahwa Umar menghukum peminum minuman keras dengan 80 kali cambukan. Ibnu al Qoyim pun berpendapat sama, dengan berkata: ”Umar bin Khatab telah memberikan bermacam-macam hukuman kepada peminum minuman keras, pernah dia menghukum mereka dengan 152
Muhammad Nawawi al Jawi, Tausyih Ala Ibnu Qosim, Surabaya: Darul Ulum, t.th,
hlm. 248. 153
Hadis terkait riwayat tersebut berbunyi :
. .( Artinya: dari Saib bin Yazid berkata: datang kepada kami pada masa Raulallah Saw seorang peminum minuman keras dan masa pemerintahan Abu Bakar dan pertengahan pemerintahan Umar, maka kami melaksanakan hukuman dengan memukul memakai tangan tangan, sandal dan kain. Sampai pada masa pertengahan pemerintahan Umar maka diberlakukan empat puluh cambukan, dikala jumlah pemabuk sudah melampaui batas dan sudah sangat berani, diberlakukanlah delapan puluh kali cambukan.(HR Ahmad dan Bukhori) lihat, Abi Abdullah Muhamad Ibnu Ismail al Bukhori, Matan Albukhori Bihayiyatissanadi, juz 4, Daru Ihyail Kutub Al Arobiyah, tth, hlm. 171.
80
menggunduli kepalanya, pernah mengasingkannya, pernah juga ia menambahkan empat puluh kali dera, setelah mereka menerima dera yang diwajibkan Rasulullah dan Abu Bakar. Yaitu empat puluh. Dan pernah juga ia membakar toko yang dipergunakan untuk menjual minuman tersebut”.154 Assyatibi berpendapat sama sebagaimana pendapatnya di depan, bahwa Rasul tidak menetapkan batasan tertentu bagi peminum minuman keras.155 Assyaukani berkata: ”para sahabat tidak bersepakat untuk menentukan batasan tertentu (dalam jumlahnya). Dan tidak pernah ada ketentuan khusus bahwa Rasul menetapkan hukuman kepada para peminum minuman keras”. Akan tetapi, Rasul pernah mendera peminum khamr dengan sandal, pernah dengan pelepah kurma dan pernah dengan keduanya bersamasama. Pernah rasul mendera meraka dengan menambah deraan kain. Dan pernah juga dengan pukulan dan sandal. Adapun dasar dari ketentuanketentuan di atas adalah dengan perkiraan belaka. Oleh karena itu, dalam riwayat Anas RA. Ia berkata, ”Antara empat puluh”.156 Dari pemaparan di atas, dapat kita pahami bahwa, sudah menjadi hal yang tidak diragukan lagi, bahwa setiap peminum minuman keras harus dihukum, yaitu dengan pukulan, dera atau cambuk. Ini yang menjadi kesepakatan semua riwayat yang ada. Akan tetapi, pada kejadian-kejadian atau kasus-kasus tentang hukuman kepada para peminum minuman keras, Rasul tidak menentukan batasan dan ketentuan dera atau cambuk. Beliau hanya memerintahkan kepada para 154
Ibnul Qoyyim Muhammad bin Abu Bakar bin Ayub, Alam al Muwaqi in, jilid.II. Mesir: al Manar, tth, hlm 138. 155 Muhammad Baltaji, Metodologi Ijtihad Umar Bin Khatab, diterjemahkan oleh Masturi Irham dari Manhaj Umar bin Khatab fi at Tasyri”, Jakarta: Khalifa, 2005, hlm. 290. 156 Imam Al Syaukani,Jilid VII, loc.cit.,hal 231.
81
sahabat untuk memukul para peminum minuman keras. Kemudian para sahabat melaksanakannya. Sebagian mereka ada yang memukul menggunakan tangan, sandal atau dengan kain. Atau pada kejadian lain, mereka memukul dengan pelepah kurma. Jika dilihat dari riwayat-riwayat tersebut, bahwa Rasul dalam semua kejadian
yang
berkenaan
dengan
peminum
minuman
khamr
tidak
memerintahkan untuk mendera dengan jumlah dan batasan tertentu, sebagaimana beliau tidak memerintahkan kepada para sahabat untuk memukul dengan alat tertentu. Akan tetapi perintah Rasul itu tidak lebih merupakan perintah secara umum, yaitu untuk memberikan hukuman secara mutlak kepada peminum minuman khamr.157 Kemudian, setelah kematian Rasul, ketika para sahabat ingin memberikan hukuman kepada para peminum minuman keras (karena mereka ingin sekali mengikuti jejak rasul secara persis) maka mereka saling bertanya tentang jumlah dera pada masa Rasul, agar mereka mencambuk sama persis dengan Rasul. Mereka kemudian mengira-ngirakan cambukan Rasul dengan empat puluh atau antara empat puluh. Dari itu, maka Abu Bakar mencambuk para peminum minuman keras dengan jumlah empat puluh kali. Dari perkiraan-perkiraan ini, datanglah beberapa riwayat yang mengatakan Rasul mendera dengan empat puluh kali. Abu Bakar juga empat puluh kali. Dari sikap para sahabat menjurus kepada mengira-ngira cambukan
157
Muhammad Baltaji, loc.cit.,hlm. 290.
82
yang dilaksanakan Rasul dengan empat puluh. Dengan perkiraan tersebut dapat dikatan Rasul mencambuk dengan empat puluh. Jika demikian, berarti ada perbedaan yang sangat tipis antara dua kemungkinan, bahwa Rasul telah menetapkan empat puluh dalam kasus apapun, dan bahwa empat puluh ini adalah batasan tertentu, seperti had-had Allah yang lain. Atau sahabatlah yang mengira-ngirakan apa yang terjadi pada zaman Rasul, yaitu empat puluh atau hanya kurang lebihnya saja.158 Kemungkinan pertama tidak pernah terjadi sama sekali. Dengan alasan adanya riwayat-riwayat shahih yang lain, khususnya dua riwayat Abu Khurairah dan As Saib bin Yazid. Sehingga kemungkinan kedualah yang terjadi. Perbedaan yang tipis ini yang hampir tidak dapat diketahui dapat mendatangkan pertentangan secara dzahir pada riwayat riwayat hadis yang sangat beragam. Padahal pada hakikatnya antara riwayat-riwayat itu tidak ada pertentangan sama sekali. Diriwayatkan oleh Ibnu Rusyd dari beberapa ulama, bahwa Rasul dalam masalah ini tidak menentukan batasan tertentu. Rasul hanya mendera para peminum minuman keras dengan memakai sandal, dengan cambukan yang tidak ditetapkana hitungannya. Kemudian Abu Bakar bermusyawarah dengan para sahabat, berapa kali Rasul mendera para peminum minuman khamr? maka mereka mengira-ngirakan dengan empat puluh.
158
Muhammad Baltaji, loc.cit.,hlm.291.
83
Diriwayatkan dari Abu Said Al Khudzri, bahwa sanya Rasul memukul para peminum minuman keras menggunakan dua sandal sebanyak empat puluh kali. Umar kemudian mengganti setiap pukulan dengan satu kali dera atau cambukan.159 Diriwayatkan dari sanad lain, yang lebih kuat riwayat sebelumnya. Dari Said al Khudzri, bahwasanya Rasul mendera para peminum minuman keras empat puluh kali cambukan. Riwayat ini berasal dari Ali bin Abi Thalib dari Nabi Saw, dengan jalan riwayat yang lebih kuat (rajih) dan riwayat inilah yang dipakai imam Syafi’i. 160 Dengan demikian kita dapat menerima dan mengumpulkan semua riwayat yang ada. Kita juga dapat menerima pendapat yang mengatakan bahwa Rasul menetapkan empat puluh dalam satu atau dua kasus. Akan tetapi tidak pada keseluruhan kasus yang terjadi. Sebagaimana yang ditunjukan oleh riwayat-riwayat shahih yang lain. Penerimaan ini sesungguhnya tidak bertentangan dengan gambaran terhadap masalah ini (hukuman terhadap peminum minuman keras). Karena Rasul dalam satu kesempatan menetapakan jumlah tertentu, dan tidak pada kesempatan yang lain. Ini membuktikan bahwa tidak ada batasan tertentu, dalam artian batasan syar’i yang harus ditetapkan dalam keadaan atau kasus yang berbeda. Dalam satu kesempatan, Rasul melihat adanya maslahat untuk memukul dengan memakai kain, sandal atau dengan tangan. Namun dalam 159
Teungku Muhammad Hasybi as Sidqi, loc.cit.,hlm.185. Abu al Walid Muhammad bin Ahmad bin Rasyad al Qurtubi al Andalusi, Bidayatul mujtahid wa Nihayah al Muqtasid, Jilid II, Mesir: Ahmad Kamil, 1917. hlm. 371. 160
84
kesempatan lain, beliau melihat ada kemaslahatan dengan menyambuk para peminum minuman keras dengan empat puluh kali deraan. Dan dalam kesempatan lain dengan pelepah kurma, dan seterusnya sesuai dengan keadaan sang peminum khamr tersebut. Dari sini dapat kita ketahui bahwa batasan yang dipergunakan oleh para sahabat (atau hanya sebagian saja) sebagaimana Rasul mendera dengan empat puluh kali, didasarkan pada satu atau dua kejadian saja. Yaitu sebagaimana yang mereka saksikan bahwa Rasul mendera para peminum minuman keras dengan empat puluh kali atau sepadannya dengan itu. Sebagaimana ditetapkan dera dengan jumlah yang jelas, padahal Rasul hanya memerintahkan untuk memukul secara mutlak (tanpa batasan tertentu), dengan tidak memberikan batasan tertentu yang harus diikuti, sehingga tambahan terhadap hukuman ini semata-mata hanyalah untuk menakut nakuti saja. Dan ketika Rasul mengurangi hukuman peminum minuman keras kurang dari empat puluh berarti hukuman itu tetap had.161 161
Pertentangan para ulama, tidak hanya pada batasan hukuman bagi peminum minuman keras, lebih dari itu terkait esensi dari meminum minuman keras merupakan hukuman had atau ta’zir. Untuk mengetahuinya kita harus mengetahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dari had dan ta’zir. Had secara ijma’merupakan hukuman yang telah ditentukan hitungan dan batasannya oleh syara’. Akan tetapi menurut Ibnul Qoyim, bahwa yang dimaksud dengan had bukanlah hukuman bagi kejahatan tertentu, yang dimaksud syara’ dengan had sebenarnya adalah ialah setip hukuman terhadap setiap kejahatan besar maupun kecil. Lihat Teungku Muhammad Hasybi as Sidqi, op.cit.,hlm.203. adapun ta’zir adalah hukuman yang diberikan selain syara’. Secara bahasa bermakna memberikan pendidkan etika, sedangkan menurut syara’ bermakna memeberikan pendidkan etika atas perbuatan dosa yang tidak ada ketentuannya had ataupun denda. Adapun dalil hukum sebelum ijma’ adalah firman Allah Swt: ãA%y`Ìh•9$# šcqãBº§qs% ’n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ Ÿ@žÒsù ª!$# óOßgŸÒ÷èt/ 4’n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4
àM»ysÎ=»¢Á9$$sù ìM»tGÏZ»s% ×M»sàÏÿ»ym É=ø‹tóù=Ïj9 $yJÎ/ xáÏÿym ª!$# 4 ÓÉL»©9$#ur tbqèù$sƒrB Æèdy—qà±èS ÆèdqÝàÏèsù £`èdrã•àf÷d$#ur ’Îû
ÆìÅ_$ŸÒyJø9$# £`èdqç/ÎŽôÑ$#ur ( ÷bÎ*sù Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
85
Dari gambaran ini, dapat kita simpulkan, bahwa riwayat hadis yang berhubungan dengan masalah ini adalah hadis shahih. Kita dapat menerima riwayat yang berasal dari Ali bin Abi Thalib yang menerangkan bahwa Rasul Saw pernah mendera empat puluh kali. Di samping itu, kita juga dapat menerima riwayat yang mengatakan bahwa Rasul tidak menetapkan jumlah dera dalam banyak kasus khamr. Jika menelaah kembali perkataan Ali bin Abi Thalib. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Hazm” semuanya adalah sunnah” sebagai konsekuensi bahwa Rasul pernah mendera empat puluh kali. Abu Bakar juga empat puluh sedangkan Umar delapan puluh kali. Hal tersebut dapat diartikan bahwa Rasul mendera 40 kali, beliau tidak menetapkan batasan dan jumlah dera dalam semua kasus minuman keras. Dan selanjutnya kaum muslimin begitu juga adanya, yaitu tidak menetapkan batasan dan jumlah dera. jika demikian maka keputusan Umar bin Khatab dengan melebihkan hukuman lebih dari empat puluh dianggap sunnah. Riwayat ini juga telah diriwayatkan Abu yusuf. Arti perkataan ”semua adalaha sunnahku” adalah sebagaimana dalam suatu riwayat dari Ali, dari Nabi yang mengatakan bahwa beliau mendera dengan batasan tertentu yaitu empat puluh kali, akan tetapi hanya kebetulan
dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. Lihat Ahkamul Fuqoha (Solusi Problema Aktual Problema Hukum Islam), Surabaya: Lajnah Ta’lif Wan Nasyr (LTN) NU, 2007, hlm. 591.
86
atau karena keadaan tertentu (hanya dalam kasus-kasus tertentu), dan bukan dalam kasus khamr. Jika tidak, bagaimana mungkin keputusan Umar juga termasuk sunnah. Padahal Rasul telah mentapkan dengan empat puluh. Jika kita menggabungkan riwayat ini dengan perkataan Ali bahwa Rasul tidak menyunnahkan hukuman bagi peminum minuman keras dengan batasan atau jumlah tertentu dan jika kita menggabungkan riwayat ini dengan riwayat-riwayat lain, yang datang dari Abu Hurairah dan As Sain bin Yazid, maka kita akan mendapatkan kesimpulan bahwa Rasul tidak menetapkan bentuk hukuman yang baku bagi peminum minuman keras. Meskipun secara riwayat, Rasul tidak menentukan bentuk hukuman bagi peminum minuman keras. Para ulama bersepakat bahwa meminum khamr itu termasuk dalam had. Sebagaimana telah menjadi ijma’ untuk menentukan hukuman bagi peminum minuman keras dengan hukuman tertentu. Tidak dengan hukuman pelanggaran lain. Dari situ kita dapat mengetahui, bahwa terdapat hikmah mendalam dalam menyebutkan hukuman bagi peminum minuman keras. Yaitu bahwa hukuman ini telah ditetapkan oleh Rasul dengan cara memukul atau mencambuk, dalam artian umum. akan tetapi beliau tidak menetapkan jumlah atau batasan cambuk tersebut. Bahkan beliau menyerahkannya kepada para hakim untuk menentukan hukuman sesuai keadaaan dan pertimbangan yang layak. Dengan begitu, dalam masalah ini, terkumpul antara bentuk hukuman yang ditentukan dengan batasan yang belum ditentukan.
87
Dapat dikatan bahwa sudah menjadi ijma’ para sahabat untuk memberikan hukuman dera kepada setiap peminum minuman khamr. Adapun perbedaan meraka dalam menetapkan jumlah dera. Dalam artian, mereka bersepakat dalam menentukan hukumannya yaitu dera, dan berbeda pendapat dalam menentukan jumlah dan batasannya. Karena hal itu tergantung pada keadaan dan kasus peminum khamr. Menurut Assyaukani bahwa para sahabat tidak bersepakat dalam menentukan batasan dan jumlah tertentu. Rasul juga tidak menetapkan jumlah batasannya. Kemudian Asyaukani melanjutkan perkataan, sebaiknya kita melaksanakan apa yang ada dalam syari’at, karena kesemuanya adalah boleh. Bagaimanapun model dan jenis dera yang diberikan kepada peminum khamr, sudah berarti melaksanakan syari’at, sebagaimana yang telah ditunjukan oleh perkataan dan perbuatan Rasul dalam hadis, barang siapa meminum khamr, maka berikanlah hukuman dera kepadanya. Hukuman dera atau cambuk yang diperintahkan, adalah dera yang dilaksanakan oleh Rasul (meskipun ada sebagaian sahabat yang menjelaskan jumlahnya) dengan tidak ada dalil yang menerangkan kewajiban untuk mendera dalam jumlah tertentu, yang tidak sah jika kurang atau lebih dari itu. 162
Bahkan menurut Ibnul Mundzir, At Thabari dan yang lain, dikisahkan dari sebagian ulama, bahwa minum khamr tidak ada hadnya, hanya saja ada ta’zirnya.
162
Pendapat
mereka
berdasarkan
Imam Al Syaukani,Jilid VII, loc.cit.,hal. 319-320
88
pada
riwayat-riwayat
yang
dinisbatkan kepada Rasul dari para sahabat, yaitu untuk memukul mereka dengan pelepah kurma dan sandal. Hemat penulis, dengan adanya ijma’ sahabat pada masa kekhalifahan Umar bin Khatab, dapat dijadikan landasan untuk dijadikan acuan. Bahwa hukuman bagi peminum minuman keras sebanyak 80 kali bisa dijadikan landasan pengambilan hukum maksimal bagi pemabuk, tentunya dengan semua alasan yang melatar belakanginya. Sehingga kesemuanya merupakan sunnah dan seluruh jumlah yang ditetapkan adalah had. 163
B. Analisis Alasan Umar bin Khatab dalam Penambahan Hukuman Cambuk Bagi Peminum Minuman Keras. Jika melihat Realita sosial yang terjadi pada zaman Umar bin Khatab. Yaitu pada masa ekspansi daulah Islamiyah dimana banyak bermunculan masalah-masalah baru yang harus diselesaikan. Umar bin Khatab sebagai khalifah dituntut untuk memberikan solusi dari ajaran Islam yang Rahmatan lill’alamin. Secara khusus termasuk di dalamnya kasus bagi para pemabuk yang merajalela di kalangan Arab. Permasalahan dalam penambahan hukuman cambuk bagi peminum minuman keras ini sebagaimana telah diterangkan di bab sebelumnya dimulai
163
Bagi ulama yang berpendapat bahwa hukuman yang ditetapkan Umar sebanyak 80 kali adalah had dan ta’zir, hal tersebut sangat dimungkinkan. Meskipun terdapat hadis yang menyatakan bahwa hukuman cambuk untuk hukuman ta’zir tidak boleh melebihi dari sepuluh kali cambukan, dengan Umar tetap melaksanakannya bukan berarti dia melanggar ketentuan sunnah. Karena pada dasarnya hadis tersebut diberlakukan bagi hukuman ta’zir yang bersifat mendidik sebagaimana bapak pada anaknya. Begitu juga dengan bukti sebagian para sahabat yang menta’zir dengan mencambuk lebih dari dua puluh kali. Lihat Ahkamul Fuqoha, loc.cit., hlm. 593. juga lihat Teungku Muhammad Hasybi as Sidqi, loc.cit.,hlm.205.
89
dari ketetapan Umar bin Khatab untuk menghukum seorang laki-laki dari kalangan muhajirin yang dahulu ikut hijrah pertama kali. Umar memvonisnya dengan hukuman cambuk, sebaliknya laki-laki tersebut tidak puas dengan keputusan Umar. Laki-laki itu memprotes Umar dengan alasan tidak ada hukum yang mendasari ketetapan Umar untuk memberi hukuman cambuk. Lalu Umar bertanya terkait ayat yang mengandung kandungan bahwa seorang pemabuk tidak dapat di dera/cambuk. Laki-laki tersebut membacakan salah satu ayat dari al Quran. (#qãZtB#uä¨r (#qs)¨?$# $tB #sŒÎ) (#þqßJÏèsÛ $yJŠÏù Óy$uZã_ ÏM»ysÎ=»¢Á9$# (#qè=ÏJtãur (#qãZtB#uä šúïÏ%©!$# ’n?tã §øŠs9 ÇÒÌÈ tûüÏYÅ¡ósçRùQ$# •=Ïtä† ª!$#ur 3 (#qãZ|¡ômr&¨r (#qs)¨?$# §NèO (#qãZtB#uä¨r (#qs)¨?$# §NèO ÏM»ysÎ=»¢Á9$# (#qè=ÏJtãur Artinya: Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh Karena memakan makanan yang Telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, Kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, Kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.(QS. Al-Maidah: 93)164 Laki-laki tersebut berkilah bahwa dirinya adalah orang-orang saleh yang gemar berbuat kebajikan. Bahkan dia menambahi, bahwa dirinya pernah ikut perang bersama Rasulullah. Menurutnya Allah menyukai orang sepertinya, sehingga tidak ada alasan bagi Umar untuk menghukumnya. Mendengar penjelasan tersebut, Umar meminta pertimbangan kepada sahabat yang lain. Kemudian Ibnu Abbas memberikan opsi yang menyatakan bahwa ayat diatas merupakan dalil bagi orang-orang terdahulu sebelum 164
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1996,
hlm. 223.
90
diharamkannya khamr dan sebagai argumen bagi orang-orang munafik. Kemudian Ibnu Abbas membacakan ayat al Quran: Ç`»sÜø‹¤±9$# È@yJtã ô`ÏiB Ó§ô_Í‘ ãN»s9ø—F{$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur çŽÅ£øŠyJø9$#ur ã•ôJsƒø:$# $yJ¯RÎ) (#þqãYtB#uä tûïÏ%©!$# $pkš‰r'¯»tƒ ÇÒÉÈ tbqßsÎ=øÿè? öNä3ª=yès9 çnqç7Ï^tGô_$$sù Artinya: Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatanperbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan .(QS AL-Maidah: 90)165 Selanjutnya Ali bin Abi Thalib ikut memberikan argumen, baginya apabila seseorang meminum khamr, maka orang tersebut akan merasa melayang (fly), setelah melayang orang tersebut akan berbicara seenaknya dan membuat fitnah, sedangkan orang yang membuat fitnah harus dikenakan hukuman cambuk sebanyak 80 kali cambukan. Akhirnya Umar menghukum laki-laki tersebut dengan 80 kali cambukan.166 Jika dinalisis dari kronologi kejadian di atas, kita dapat mengurutkan metodologi Itihad Umar bin Khatab dalam memberikan keputusan pada beberapa tahapan. Pertama, ketika Umar mendapatkan masalah yang dihadapi maka Umar mengembalikannya kepada sunnah Rasul. Terbukti dengan memberlakuan mencambuk peminum minuman keras sebanyak empat puluh kali pada awal kekhalifahannya sampai akhirnya setelah ada perkembangan sosial yang baru diperlukan penyesuaian menjadi delapan puluh.
165
Ibid., hlm.222. Muhammad Abdul ‘Aziz al Halawy, Fatawa wa Aqdhiyya Amirul Mu minin Umar Ibn Khathab, Kairo: Maktabah al Qur’an, 1986, hlm. 266. 166
91
Kedua, ketika permasalahan tidak dapat terpecahkan dengan dalil yang telah ada dalam al Quran dan sunnah maka para sahabat sebagai mana Umar berijtihad dengan menggunakan ra yu.167Termasuk dalam kebijakan Umar ketika memberi hukuman bagi pemabuk. Sebelum adanya ijma’ dengan pertimbangan sahabat, Umar telah menghukum sebanyak 60 kali. 168 Bahkan menurut Ibnul Qoyim Umar bin Khatab telah memberikan bermacam-macam hukuman kepada peminum minuman keras, dia pernah menghukum mereka dengan menggunduli kepalanya, pernah mengasingkannya, pernah juga ia menambahkan empat puluh kali dera, setelah mereka menerima dera yang diwajibkan Rasulullah dan Abu Bakar. Yaitu empat puluh. Dan pernah juga ia membakar toko yang dipergunakan untuk menjual minuman tersebut.169
167
Pada zaman sahabat, ijtihad menggunakan ra’yu merupakan jalan keluar dari kebuntuan ketika tidak dapat mendapatkan dalil dari al Quran maupun sunnah, dan hal tersebut telah diperbolehkn Nabi dengan hadis: : , : : , :.( ) : Artinya: Rasulullah bertanya kepada Mu adz, Bagaimakah engkau mengambil tindakan hukum yang dihadapkan kepadamu, hai Mu adz? ia menjawab, aku akan menetapkan hukum (atas dasar) Kitab Allah. Nabi Muhammad SAW bertanya lagi, Bagaimana jika tidak engkau temui dalam Kitab Allah? Ia menjawab, akan kutetapkan atas dasar Sunnah Rasulullah Saw?Nabi Muhammad SAW bertanya lagi, bagaimana jika tidak engkau temui dalam Sunnah Rasulullah saw? Ia menjawab, aku akan berijtihad dengan ra yu (pikiranku) dan aku akan berusaha keras. Maka Rasulullah saw.menepuk-nepuk dadanya (Mu adz). Dan beliau bersabda, segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah sesuai dengan yang diridhoi Allah dan Rasulnya. Lihat Abu Daud, Sunan Abi Daud, Kairo : Musthafa al-Babi alHalabi, 1952, Juz II, hlm. 272. Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, Beirut: Dar al- Fikr, 1967, Juz I, hlm. 157 168 Diriwayatkan Abdurrazaq dengan sanad shahih dari Ubaid bin Umair yang tidak jauh berbeda dengan hadis yang disampaikan oleh Saib. Dalam hadis yang disampaikan oleh Ubaid bin Umair menerangkan bahwa Umar menetapkan hukuman cambuk kepada para pemabuk sebanyak empat pulu kali. Ketika Umar melihat bahwa tindakan tersebut tidak mencegah kejahatan, maka Umar menetapkan hukuman menjadi enam puluh kali. Akan tetapi hukuman tersebut ternyata tidak membuat jera para penggemar minuman keras, akhirnya Umar menerapkan hukuman sebanyak delapan puluh kali. Dengan hukuan seberat ini Umar berkata” ini adalah hukuman had paling ringan. Lihat Muhammad Abdul ‘Aziz al Halawy, op.cit.,hlm. 268. 169 Ibnul Qoyyim Muhammad bin Abu Bakar bin Ayub, Loc.cit.
92
Tentunya
kebijakan
Umar
dalam
menggunakan
ra yu
tetap
berlandaskan kemaslahatan sosial masyarakat. Jika dilihat dari kemaslahatan pada kasus di atas, terdapat pada pencegahan merebaknya para peminum minuman keras. Dimana hukuman yang selama ini diterapkan tidak dapat mencegah dan mendatangkan kemaslahatan, maka dibutuhkan aturan baru. Oleh sebab jika hal tersebut dibiarkan, maka keadaan akan semakin buruk. Selama ini berbagai cara mereka lakukan untuk melegalkan pebuatan tersebut, termasuk diantaranya memanipulasi ayat al Quran. Maka, kekuatiran Umar dan para sahabat sangatlah logis. Disamping karena merebaknya para pemabuk juga karena kerusakan moral yang berujung pada lahirnya orang-orang yang meremehkan agama. Untuk mengatasinya, Umar melihat kemaslahatan syar’i sebagai tujuan utama. Umar mencoba menerapkan esensi dan nilai substansi dari sunnah Nabi yang dilaksanakan sebelumnya. Sehingga terkesan mengenyampingkan dzahir teks sunnah itu sendiri. Jika kita telaah, terlihat bahwa kebijakan- kebijakan Umar bin Khattab bertentangan dengan perintah al Qur’an dan al Sunnah yang berlaku sebelumnya. Padahal dari substansi ayat dan sunnah itu sendiri mengandung kemaslahatan. 170
Dengan
kemaslahatan
tersebut
Umar
melandasi
kebijakannya. Kemaslahatan yang di maksud Umar dalam penambahan hukuman cambuk bagi peminum minuman keras dapat dikatagorikan dalam dua 170
Sementara, al-Syatibi mengungkapkan bahwa tujuan dari diturunkannya syari`at tidak lepas dari tiga kategori, daruriyyat, hajiyyat dan tahsiniyyat. Lihat Al-Syatibi, al-Muwafaqaat fi Ushul al-Ahkam, Dar el-Fikr, Juz II, hlm 3-5.
93
kemungkinan. Pertama, sebagai maslahah mu tabarah, yaitu kemaslahatan yang bersifat hakiki yang meliputi lima jaminan besar (Maqoshid as Syari ah)171. Dalam hal ini, disyari atkannya hukuman bagi peminum minuman keras karena merusak akal. Sehingga termasuk dari asasiah yang harus dijaga. Hal tersebut merujuk kepada tujuan khusus diharamkannya minuman keras. Begitupun dengan kebijakan Umar apabila dalam penambahan hukuman semata-mata bertujuan mewujudkan kehendak syar’i. Adapun kemungkinan kedua, yaitu ketika maslahah mu tabarah yang masih berkaitan dengan esensi nilai sebuah teks tanpa mengkiaskannya akan berubah menjadi maslahah mursalah jika kemaslahatan yang dimaksud bertumpu kepada kemaslahatan syar’i secara umum, tanpa ada teks yang menopangnnya secara rinci.172Sebagaimana jika Umar memberikan tambahan hukuman bagi peminum minuman keras tidak hanya bertujuan khusus untuk menjaga esensi kesehatan akal dan yang berkaitan dengan pelarangannya sebagaimana tujuan dari nash, lebih dari itu bertujuan untuk menjaga kepentingan umum yang meliputi mempertahankan nilai ketetapan hukum syar’i, keamanan dan nilai-nilai
Maqoshid as Syari ah umum lainnya.
Termasuk didalamnya membendung berkembangnya para pemabuk.
171
Muhammad Abu Zahroh, Ushul al Fiqh, penj. Saefullah Ma’sum, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995, hlm. 424. 172 Maslahah Mursalah yaitu suatu kemaslahatan yang tidak ada nash juz i (rinci) yang mendukungnya, dan tidak ada pula yang menolaknya dan tidak ada pula ijma’ yang mendukungnya, akan tetapi kemaslahatan ini didukung oleh sejumlah nash melalui cara istiqra (induksi sejumlah nash). Jika melihat esensi qiyas, maka didapatkan bahwa yang bisa dijadikan illat adalah sifat yang mulaim (sesuai). Adapun sifat mulaim tersebut bisa berupa mu tabar(ditunjuk langsung oleh nash), mulghi(ditolak nash) dan ada yang mursal (yang tidak didukung dan ditolak oleh nash juz i, tetapi didukung secara umum oleh sejumlah nash). Lihat Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1996, hlm. 113.
94
Jika melihat realita sosial pada masa Umar, substansi penambahan hukuman dari pelarangan minuman keras lebih kepada solusi untuk mencegah menyebarnya para peminum minuman keras dan
orang-orang yang
meremehkan agama. Tidak hanya terhadap substansi kemadaratan dari minuman keras itu sendiri. Karena pada dasarnya, semua sepakat bahwa khamr hukumnya haram dan mendatangkan kemadaratan. Maka, hemat penulis bahwa metode yang dipakai Umar dalam mengistinbatkan hukum untuk peminum minuman keras adalah maslahah mursalah. Alasan Umar memakai metode maslahah mursalah dalam istinbath hukum menjadi kuat
jika kita coba mengaplikasikan, riwayat hadis yang
menyatakan bahwa Nabi mencambuk peminum minuman keras sebanyak 40 kali, begitu juga Abu Bakar sampai akhirnya Umar dengan 80 Kali. Bisa dilihat
bahwa
Umar
mengambil
keputusan
yang
berbeda
dengan
pendahulunya. Secara kritik teks telah disampaikan diatas bahwa masih terdapat kerancuan dari ketetapan Nabi terkait dengan batasan hukuman bagi peminum minuman keras. Dari ketidak mutlakan tersebut tentunya sangat memungkinkan bagi Umar mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan akalnya demi kemaslahatan bersama. Dalam mengatasi permasalahan kekinian, dimana pergaulan bebas mempengaruhi prilaku masyarakat dalam menkonsumsi minuman keras dan obat-obatan terlarang berujung kepada rusaknya generasi penerus bangsa. Parahnya lagi, beredarnya kasus miras oplosan menjadi cirii rendahnya kesadaran masyarakat terhadap bahaya miras. Sebagai agama yang sholihun
95
likulli makanin wazamanin dituntut untuk memberikan solusi yang solutif terhadap permasalahan tersebut. Bercermin pada kasus Umar bin Khattab, dengan memakai metode maslahah mursalah diharapkan dapat mengkolaborasikan seluruh disiplin ilmu untuk mencapai kemaslahatan yang sesuai dengan syari’at. Ketiga, Sebagai sosok tauladan tentunya Umar tidak secara langsung menggunakan metode ra yu dalam mengambil keputusan yang tetap. Demi mendapatkan kesepakatan, sebagaimana dalam riwayat terkait sebab penambahan hukuman bagi pemabuk yang ditetapkan Umar. Dengan jelas Umar mencoba mengakomodir pendapat para sahabat sebagai jalan keluar. Diantara pendapat yang disepakati adalah pendapat Ali bin Abi Thalib yang mencoba mengkiaskan
hukuman peminum minuman keras dengan had
qodzaf. Jika dilihat dari sudut pandang maslahah, Sahabat Ali telah menggunakan metode maslahah mursalah dan
Hanafi. 173
Setelah
Umar
cukup
menurut ulama madzhab Syafi’i mendapatkan
keyakinan
atas
pandangannya, maka Umar memutuskan hukuman bagi peminum minuman keras adalah delapan puluh kali yang akhirnya disepakati dan menjadi ijma’ pada masanya.174
173
Pada dasarnya hukum maslahah mursalah termasuk sumer hukum yang masih dipertanyakan di antara ulama fiqh. Golongan madzhab Syafi’i dan hanfi tidak menganggap maslahaha mursalah sebagai sumber hukum yang berdiri sendir, dan memasukannya kedalam katagori qiyas. Lihat Muhammad Abu Zahroh,op.cit.,hlm. 428. 174 Ijma’ dibagi menjadi dua, ijma’sarih dan ijma’ sukuti, ijma’sareh adalah kesepakatan dari para mujtahid dimana masing-masing mujtahid menyatakan persetujuannya. Sedangkan ijma’ sukuti adalah sebagian ulama mujtahid menyatakan pendapatnya, sedangkan ulama mujtahid lainnya hanya diam saja. Lihat Satria Efendi M Zein, loc.cit.,hlm.129.
96
Dari beberapa tahapan dapat kita gabungkan dalam tiga poin sebagaimana berikut: Pertama, Umar tidak pernah berfikir untuk menambah hukuman peminum minuman keras, kecuali setelah keadaan sosial masyarakat berubah dengan menyebarnya kegemaran meminum minuman keras ditengahtengah masyarakat. Meraka menganggap remeh empat puluh kali dera. Mereka menghina hukuman ini, dan tidak henti hentinya untuk meminum minuman keras. Mereka menyepelekan had meminum khamr. Dan bahkan di antara mereka ada yang mencoba menta’wilkan ayat-ayat al Quran untuk pembenaran mereka dalam meminum khamr. Karena hal itu, Umar merasa kuatir jika meminum khamr semakin berkembang dan semakin menggejala. Maka ia kemudian berijtihad dengan melihat kemaslahatan secara umum yang kemudian di amini oleh kaum muslimin, sebagai upaya untuk mengantisipasi kerusakan sedini mungkin. Kedua, Umar tidak melaksanakan dera delapan puluh kali, kecuali terlebih dahulu ia bermusyawarah dengan para sahabat. Maka Ali (atau sahabat lain) memberikan isyarat untuk menambahnya dengan delapan puluh kali dera. Hal ini diqiyaskan dengan perbuatan membual (membuat buat) dan had qodzaf (orang yang menuduh zina). Usulan tersebut kemudian disetujui oleh jumhur sahabat, dengan ditandai diamnya mereka dalam musyawarah tersebut.175 Ketiga, konsensus yang dilaksanakan pada waktu itu bukan merupakan ijma’ yang disetujui untuk istinbath hukum selanjutnya. Adapun alasan yang
175
Muhammad Abdul ‘Aziz al Halawy, loc.cit.,hlm. 268.
97
mendasari ketentuan ijma’ dapat dijadikan alasan sebagai istinbath hukum untuk keadaan yang
sesuai. Ijma’ yang berlandaskan qias dan maslahah
mursalah menjadi perdebatan tersendiri di kalangan para ulama. Jumhur Ulama ushul fiqh mengatakan bahwa ijma’, sebagai upaya para mujtahid dalam menetapkan hukum suatu kasus yang tidak ada hukumnya dalam nash, harus mempunyai landasan nash dan qiyas. Apabila ijma’ tidak mempunyai landasan maka ijma’ tidak sah. Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang jenis landasan ijma’ tersebut.176Meskipun mayoritas para ulama memperbolehkan mengambil landasan dari dalil qat i dan dzonni, terdapat pula yang berpendapat bahwa ijma’ harus dari dalil qat i. Ulama Zhahiriyyah, Syi’ah dan Ibn Jabir al Thabari mengatakan bahwa dalil ijma’ harus dalil qat i. Menurut meraka ijma’ merupakan dalil qat i, sehingga tidak mungkin dalil qat i berlandaskan dalil dzanni seperti hadis ahad dan qiyas, karena hasil dari yang dzanni akan tetap dzanni.177 Sejalan dengan perbedaan pendapat tentang menjadikan qiyas sebagai landasan ijma’, para ulama juga berbeda pendapat tentang maslahah mursalah sebagai ijma’. Para ulama menerima maslahah mursalah sebagai landasan ijma’ dengan syarat bahwa apabila kemaslahatan berubah, maka ijma’pun bisa berubah.178 Hemat penulis, kesepakatan yang ditetapkan Umar adalah ijma’ yang berlandaskan kemaslahatan umum tidak berlandaskan qiyas. Jika melihat dari
176 177
Nasrun Haroen,loc.cit., hlm.60. Ibn Hazm al Andalusi, al Ahkam fi Ushul al Ahkam, Bairut: Dar al Fikr, Jilid IV, hlm.
515. 178
Nasrun Haroen, loc.cit.,hlm. 61.
98
metode sahabat Ali yag mengqiyaskan pemabuk dengan qozaf tidaklah sesuai dengan syarat illat qiyas, diaman illat harus bisa ditetapkan dan diterapkan pada hukum yang lain. Perkataan menuduh berzina dan berbohong tidak selalu terjadi pada orang yang meminum minuman keras. Hal tersebut menjadi kelemahan ketika qozaf menjadi landasan illat untuk peminum minuman keras,
sehingga tidak
mengherankan apabila para sahabat
kembali
memberlakukan hukuman cambuk empat puluh kali setelah kematian Umar.
C. Kontroversi Penerapan Hukuman Cambuk Pada Zaman Modern Kontroversi penerapan hukuman cambuk pada zaman modern dilihat dari sudut padang penegakan HAM. Hal ini merupakan permasalahan klasik yang menyatakan bahwa hukuman cambuk tidak memenuhi unsur keadilan dan dianggap melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).179 Penerapan hukuman cambuk dianggap bertentangan dengan hak asasi manusia biasanya terjadi di Negara yang tidak berasaskan Islam. Sebab utamanya, karena secara kultur mereka tidak menemukan pembenaran. Nilai moral yang selama ini subjektif, tentunya akan menentukan suatu aturan yang formal dan rasional sekalipun. Sebagaimana penerapan hukuman cambuk di Aceh, bagi sebagian warga Indonesia masih menuai kontroversi. Ada yang setuju dan sebaliknya. Hukuman cambuk
ini dianggap sadis dan tidak
179
manusiawi yang
HAM sendiri merupakan pandangan yang sangat subjektif, kepantasan umum merupakan aspek dasar dari ketentuan sebuah aturan diberlakukan. Dalam hal ini, jilid dianggap sebagai budaya orang Arab yang tidak pantas diikuti. Ulil Absor Abdalla. Dkk, Islam Liberal dan Pundamental Sebuah Pertarungan Wacana, Yogyakarta: eLSAQ, 2007. hlm. 8.
99
mengakibatkan dianggap tidak adil, meskipun pada dasarnya sebuah sanki dapat diterapkan berdasarkan kesepakatan. Masih dianggap suatu kewajaran jikalau banyak yang menilai hukum cambuk tersebut tidak adil. Tapi tampaknya hal itu bukan disebabkan kelemahan hukum-hukum Islam, melainkan lebih adanya kekeliruan aturan dalam implementasinya. 180 Memang kalau melihat bentuk hukumannya, maka dicambuk sepertinya sadis hingga tampak tidak manusiawi. Sedangkan bentuk hukuman penjara atau denda (uang) seperti yang selama ini ditentukan hukum-hukum konvensional tampak lebih berperasaan dan yang pasti lebih ringan. Inilah mungkin salah satu alasan menilai hukum cambuk melanggar HAM. Jika melihat alasan teoretis untuk menolak pendapat tersebut. Konsep HAM sepertinya tidak ada yang melarang seseorang dikenai sesuatu hukuman akibat kesalahan yang telah diperbuat. Yang ada, larangan penyiksaan terhadap siapa pun dalam bentuk apa pun. Beberapa ruang lingkup HAM yang turun dalam empat generasi antara lain hak politik, ekonomi dan sosial budaya, dan pembangunan. Adapun yang relevan dalam bahasan ini adalah hak sipil, yang eksistensinya satu paket dengan hak politik. Dalam lingkup itulah penyiksaan dilarang. Tapi tampaknya berbeda antara disiksa dan dihukum. Hukuman jelas aturannya, yaitu sebagai ganjaran atas tindak kejahatan yang telah secara sah dan meyakinkan terbukti. Hanya orang bersalah sajalah yang layak diganjar
180
Http//www.solusihukum.com
100
hukuman. Sebab itu, yang dihukum bisa orang kuat maupun orang lemah, asalkan sudah divonis salah. Jadi ada motif-motif kebenaran sehingga seseorang bisa dijatuhi hukuman. Lain halnya dengan penyiksaan. Di sini, seseorang bebas disiksa bukan karena dirinya pihak yang salah. Penyiksaan bisa terhadap pihak yang salah atau benar sekalipun. Dan penyiksa pasti pihak yang lebih kuat. Dalam kerangka itu, ketika dicambuk dianggap sadis atau tak berperikemanusiaan tetap saja hal itu mengandung (faktor) kebenaran. Tentu saja tidak keliru kalau yang bersalah dihukum. Sebab itu, kesadisan dalam hukuman cambuk bukan siksaan melainkan hukuman. Berarti tidak melanggar HAM.
101
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari pembahasan di atas, ada beberapa poin penting yang harus dicatat. Diantaranya adalah: 1. Hukuman Cambuk bagi peminum minuman keras berbeda dengan ketentuan had lainnya. Tidak terdapat ketentuan pasti dalam al Quran. Untuk menelusurinya harus berdasarkan riwayat hadis Nabi. Hukuman cambuk yang dilaksanakan pada zaman Rasul dan Abu Bakar dilaksanakan sebanyak 40 kali cambukan. Umar bin Khatab sebagai khalifah ketiga mengeluarkan kebijakan baru yang berbeda dari pendahulunya yaitu dengan memberi hukuman cambuk sebanyak 80 kali bagi peminum minuan keras. Kebijakan tersebut merupakan hasil ijtihadnya dengan melihat kemaslahatan secara umum, kemudian dia bermusyawarah dengan para sahabat yang akhirnya melahirkan Ijma’ pada masanya. 80 merupakan batas maksimal dari had peminum minuman keras menurut Umar bin Khatab, karena sebelumnya Umarpun melaksanakan hukuman sebanyak 40 kali dan 60 kali. 2. Adapun formulasi metodologis yang dipakai Umar bin Khatab melihat permasalahan ini adalah muqaranah riwayat sunnah. Metode ini mencoba mengumpulkan sebanyak-banyaknya riwayat hadis terkait permasalahan
102
tersebut pada masa Rasul untuk mendapatkan kesimpulan yang komperhensif. Dari hasil penelitian ternyata Umar tidak menemukan ketentuan pasti hukuman yang ditetapka Rasul. Sehingga dalam ijtihadnya Umar meminta pendapat sahabat untuk melihat ketentuan Nabi dalam melaksanakan hukuman. Adapun pendekatan yang dipakai Umar adalah maslahah mursalah. Yaitu kemaslahatan berdasarkan aspek sosiologis. Sebagaimana tidak ada ketentuan 80 yang ditetapkan Nabi, Umar mencoba menentukan berdasarkan
rasionalitas
kemaslahatan
umum
dalam
menentukan
kebijakannya. 3. Alasan yang mendasar penambahan hukuman bagi peminum minuman keras, disebabkan masyarakat Arab terjerumus dalam gemar meminum minuman keras dan menganggap remeh agama. Hal tersebut sesuai dengan riwayat hadis yang menerangkan tentang awal penentuan hukuman cambuk 80 kali yang ditetapkan Umar. Dari hasil muqaranah riwayat hadis lain yang terkait permasalahan ini, didapatkan kesimpulan baru bahwa Rasul tidak menentukan secara pasti ketentuan hitungan hukuman cambuk bagi peminum minuman keras. Sehingga Umar tidak mendapatkan beban untuk menentukan kebijakan baru dalam menyikapi masalah yang beredar di masayarakatnya. Dalam hal ini Umarlah yang menetukan secara pasti bentuk hukuman dan hitungan hukuman cambuk bagi peminum minuman keras.
103
B. Saran-saran Dari uraian tentang Umar, ada dua hal pokok yang perlu ditindak lanjuti; 1. Para fuqoha perlu meneladani model ijtihad Umar bin Khatab dalam mengeluarkan fatwa. Yaitu dengan menggunakan pendekatan kontekstual dalam memakai nash sebagai landasan hukum. 2. Dalam perbedaan pendapat para fuqoha mengenai batasan hukuman bagi peminum minuman keras yang ditetapkan Umar bin Khatab dapat menjadi kazanah keilmuan bagi yang ingin meneliti. 3. Dalam pemberantasan beredarnya minuman keras di Indonesia, sebagai umat muslim terbesar diharap dapat memberikan sumbangsih pemikiran, diantaranya dengan mempertimbangkan metode ijtihad Umar bin Khatab.
C. Penutup Puji Syukur ke hadirat ilahi, karena berkat rahmat dan hidayahnya penulis dapat merampungkan penulisan skripsi ini. Terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu kelancaran penggarapan tulisan sederhana ini. Tiada Gading yang tak retak. Begitu juga skripsi ini. Tentu masih banyak kekurangan dan kesalahan. Saran dan kritik sangat penulis harapkan untuk perbaikan di masa yang akan datang. Semoga skripsi ini bermanfaat. Amin.
104
DAFTAR PUSTAKA
Abi Bakar, Taqiyudin bin Muhammad al Husaini, Kifayatul ahyar fi Hali Goyatul Ihtishor, jilid 2, Damaskus: Darul Khoir, 1994. Abdullah, bin Ahmad bin Qudamah al Muqoddasi Abu Muhammad, Almugni fi fiqhil Imam Ibnu Hambal asy Syaibani, jilid 10, Bairut: Darul Fikr. tth. Abu Zahrah, Muhammad, Ushul Fiqih, pent; Saefullah Ma’shum, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994. Abdalla, Ulil Absor. Dkk, Islam Liberal dan Pundamental Sebuah Pertarungan Wacana, Yogyakarta: eLSAQ, 2007. Abdullah Abi, Muhamad Ibnu Ismail al Bukhori, Matan Bihayiyatissanadi, juz 4, Daru Ihyail Kutub Al Arobiyah, tth.
Albukhori
‘Alausi, Abi Abdullah ‘Abdussalam, Ibanatul Ahkam Syarh Bulugul Marom, Baerut: Darul Fikr, 2008. Al Syaukani, Nailul Autor,Jilid III, Baerut: Darul Kitab al ‘Alamiyah, t.th. Al-Syatibi, al-Muwafaqaat fi Ushul al-Ahkam, Juz II, Dar el-Fikr. Tth. Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 1992. Athol, Nathisul, Arif Fahrudin (edt), Hermeneutika Transendental: dari Konfigurasi Filosofis Menuju Praksis Islamic Studies, Yogyakarta: IRCiSoD, 2003. Audah, Abdul Qodir, Tasyri Aljinai al Islami Muqoronan bil Qonunil Wad i, Jilid II, Bairut: Muassaah Risalah, 1968. Ayoub, Mahmuod, Islam dan Teori Dunia Ketiga, Pemikiran Keagamaan Mu ammar Qadhdhafi, Bogor: Humaniora Press, 2004. Asroh Farid dan wahid dahroh, Kitab at ‘Alamiyah, 1988
Ta’rifat, Baerut: Darul Kitab al
Bakar Abdullah, Abu Zubaid, Alhudud Watta zir Inda Ibnu al Qoyim, Riyadh: Darul Ashosoh, 1415.
105
Baltaji, Muhammad, Metodologi Ijtihad Umar Bin Khatab, diterjemahkan oleh Masturi Irham dari Manhaj Umar bin Khatab fi at Tasyri”, Jakarta: Khalifa, 2005. Bik, Khudlori, Tarehk at Tasyri al Islamy, Mesir: Maktabah Tijariyah Qubra, 1965. Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1996. Durayniy, Fatthiy , Al-Manahij Al-Ushuliyah fi al-Ijtihad bi al-Ra yi fi alTashri al-Islamy, Damsiq; Dar al Kitab al-Hadits, 1975. Daud Abu, Sunan Abi Daud, Kairo : Musthafa al-Babi al-Halabi, 1952, Juz II. Gozi, Ibnu Qosim, Hasyiah Syarh Ibnu Ahim al Bajuri, Baerut: Darul Fik, T.th. Haekal, Muhammad Husain, Umar bin Khatab (Sebuah Telaah Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya Masa itu) diterjemahkan Ali Audah, Jakarta: Litera AntarNusa, 2008. Hadawi dan Mimi Martin, Penelitian Terapan, Yogyakarta: Gajahmada University Press,1996. Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Yogyakarta: Andi Ofset,1997. Halawy, Muhammad Abdul ‘Aziz, Fatawa wa Aqdhiyya Amirul Mu minin Umar Ibn Khathab, Kairo: Maktabah al Qur’an, 1986. Halawy, Muhammad Abdul ‘Aziz, Fatwa dan ijtihad Umar bin Khatab, Penj. Zubeir Suryadi, Surabaya: Risalah Gusti, 2003. Hasybi as Sidqi, Teungku Muhammad, Koleksi Hais-hadis Hukum, Semarang: PT Pustaka Rizki Utama, 2001. Haroen Nasrun, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1996. Husayn, Abu bin Hajjaj al-Qusyairy, Shahih Muslim, Jakarta: Dar al Ihya’ alKutub al-Arabiyyah, T.th. Ibnul Qoyyim Muhammad bin Abu Bakar bin Ayub, Alam al Muwaqi in, jilid.II. Mesir: al Manar, tth. Qurtubi, Sumanto, KH. MA. Sahal Mahfudh Era Baru Fiqih Indonesia, Yogyakarta: Cermin, 1999.
106
Mu’arif, Pembaruan Pemikiran Islam, Bantul: Pondok Edukasi, 2005. Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Jogjakarta: Rake Sarasin, 1996. Muhammad, Abu Ali bin Ahmad bin hazm al Andalusi, Al Mahalli, Jilid 13 Bairut: Darul Fikr, T.th Muslich, Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005. Munir Syamsul, Amin, MA, Sejarah Peradaban Islam, Jakrta: Amzah, 2007. Nawawi, Muhammad al Jawi, Tausyeh Ala Ibnu Qosim, Surabaya: Darul Ulum, T.th. Qal’aji, Muhammad Ruwas, Mausu ah Fiqih Umar Ibn Khattab, Kuwait: Maktabah al Falah. Rahman, Fazlur, Islamic Methodologi in History, Karachi: Central Institute of Islamic Research, 1965. Saidi, Anas, diterbitkan).
Makalah-makalah
Metodologi
Syato Addimyati, Abu Bakar ibnu Muhammad, ‘Ashosoh, T.th.
Penelitian,
(makalah
tidak
anatuThalibin, Beirut: Darul
Taqiyudin, Abi Bakar bin Muhammad al Husaini, Kifayatul ahyar fi Hali Goyatul Ihtishor, jilid 2, Damaskus: Darul Khoir, 1994. Umar Abu, Yusuf bin Abdullah bin Abdul Bari al Qurtubi, Alkafi fi Fiqhi Ahlilmadinah (Maktabah Syamilah), jilid 2, Bairut: Darul Kutub al Ilmiah. Walid, Abu Muhammad bin Ahmad bin Rasyad al Qurtubi al Andalusi, Bidayatul mujtahid wa Nihayah al Muqtasid, Jilid II, Mesir: Ahmad Kamil, 1917. hlm. 371. Yunus Mahmud, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ Pentafsiran al Quran, 1973 Yusuf Muhammad, al Khandahlawi, Hayatu al Sahabah, jilid 2, Bairut: Darul Fikr, 1992.
107
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Nama NIM TTL Alamat Bapak Pekerjaan Ibu Pekerjaan
: Yayan M Royani : 062211006 : Tasikmalaya 9 Februari 1987 : Jamanis Tanjung Mekar Rt. 03/ 05 Tasik Malaya Jawa Barat : H. Asep Dudung : Wiraswasta : Hj. Nurlela : Ibu Rumah tangga
Pendidikan 1999
: 1. SDN Tanjung Pura Satu
Tahun
2. Pondok Modern Gontor 1 Ponorogo
Tahun
3. Pondok Pesantren APIKK 509 Kaliwungu
Tahun
2004 2010 Organisasi
: 1. Bagian Kesenian OPPM Gontor 2. Sekretaris Pondok Pesantren APIKK 509 Kaliwungu 3. Ketua ALMAPABA PMII Rayon Syari’ah 4. Ketua Rayon PMII Rayon Syari’ah 5. Ketua I PMII Komisariat IAIN Walisongo 6. Pimred Jurnal Justisia Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo 7. Wakil Direktur UKMI KSMW IAIN Walisongo 8. Pengurus PAC IPNU Kaliwungu 8. Pengurus PW IPNU Jateng 9. Presiden DEMA IAIN Walisongo
Semarang, 23 Desember 2010
Yayan M Royani NIM. 062211006
108