STRUKTUR KOMUNITAS MEIOFAUNA DI KAWASAN MANGROVE DESA BUKIT BATU DAN TANJUNG LEBAN, KABUPATEN BENGKALIS Dewi Putri Arni1, Radith Mahatma2, Khairijon3 1
Mahasiswa Program Studi S1 Biologi FMIPA-UR Dosen Bidang Zoologi Jurusan Biologi FMIPA-UR 3 Dosen Bidang Ekologi Jurusan Biologi FMIPA-UR Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Kampus Bina Widya Pekanbaru 28293, Indonesia
[email protected] 2
ABSTRACT The information of meiofauna community structure of mangrove areas in Indonesia is still limited compared to the mangrove area. This study aimed to assess the community structure and abundance of meiofauna in mangrove areas, Desa Bukit Batu and Tanjung Leban, Bengkalis Regency. Samples were collected from plots that ditributed on transect line based on the lowest and highest tide point. Meiofauna abundance in each plot between the two villages were analyzed with ANOVA, while the difference between meiofauna abundance of these two villages was performed by t test. The result indicated that meiofauna which were found at the study site consisted of 5 taxa namely, Nematodes, Copepods, Ostracoda, Olygochaeta and Polychaeta. The average abundance of meiofauna was 31,62 ind/10 cm2. It was also found that Nematodes was the most abundance taxa followed by Copepoda at all villages. One way ANOVA results showed the abundance of meiofauna in each plot was not significantly different (Desa Bukit Batu: Fhit = 0.78, P >0.05 and Desa Tanjung Leban: Fhit = 1.61 (P >0.05). While the abundance of meiofauna between two villages performed by t test was significantly different states (Thit = -4,60 P< 0.05). Keywords : Bengkalis regency, mangrove area, meiofauna. ABSTRAK Informasi mengenai struktur komunitas meiofauna di kawasan mangrove di Indonesia masih sangat sedikit dibandingkan luasnya area mangrove. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji struktur komunitas dan kelimpahan meiofauna di kawasan mangrove Desa Bukit Batu dan Tanjung Leban, Kabupaten Bengkalis. Sampel diambil dalam plotplot yang terdistribusi pada garis transek berdasarkan titik surut terendah dan pasang tertinggi. Kelimpahan meiofauna pada tiap-tiap plot antara kedua desa dianalisis dengan Anova, sedangkan perbedaan kelimpahan meiofauna antara kedua desa dilakukan dengan uji t. Dari hasil menunjukkan bahwa meiofauna yang ditemukan pada lokasi penelitian terdiri dari 5 taksa yaitu Nematoda, Copepoda, Ostracoda, Olygochaeta dan Polychaeta. Kelimpahan rata-rata meiofauna sebesar 31,62 ind/10 cm2. Hasil analisis Repository FMIPA
1
Anova satu arah menunjukkan kelimpahan meiofauna dalam tiap plot tidak berbeda nyata (Desa Bukit Batu: Fhit=0,78 P>0,05 dan Desa Tanjung Leban: Fhit=1,61 (P>0,05). Sedangkan kelimpahan meiofauna antara kedua desa yang dilakukan dengan uji t menyatakan berbeda secara signifikan (Thit = -4,60 P<0,05). Kata Kunci : Kabupaten Bengkalis, kawasan mangrove, meiofauna. PENDAHULUAN Meiofauna merupakan hewan multiseluler yang dapat ditemukan di berbagai tipe habitat, baik habitat yang bervegetasi maupun yang tidak bervegetasi. Habitat bervegetasi (seperti alga, lamun dan mangrove) dan habitat yang tidak bervegetasi (seperti hamparan pasir pantai yang luas dan pantai berbatu) dapat menciptakan habitat tersendiri bagi meiofauna dan memiliki karakteristik yang khas dan berbeda satu dengan lainnya (Higgins & Thiel 1988; Giere 1993). Meiofauna sebagai salah satu fauna bentik yang mampu berasosiasi dengan mangrove, yaitu dengan ditemukannya meiofauna pada sedimen sekitar perakaran mangrove. Kehadiran meiofauna dalam ekosistem mangrove memiliki berbagai peranan yang sangat penting, yaitu sebagai rantai penghubung dalam aliran energi, siklus materi dari alga planktonik hingga ke konsumen tingkat tinggi, berpengaruh dalam siklus biogeokimia yang terkait pada akumulasi bahan organik dan anorganik, berperan dalam menyuburkan dasar perairan serta meningkatkan produktivitas bentik, meningkatkan regenerasi nutrient di lingkungan bentik, menyumbangkan pengaruh interaktif pada biota bentik lainnya melalui kompetisi, simbiosis, predasi serta asosiasi, dan sebagai bioindikator dalam menilai kondisi Repository FMIPA
suatu lingkungan (Mirto et al. 2000). Kabupaten Bengkalis merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Riau yang didominasi oleh sumberdaya alam hutan mangrove. Keberadaan mangrove di pesisir kabupaten Bengkalis memiliki berbagai fungsi secara biologi, ekologi dan ekonomi. Desa Bukit Batu dan Tanjung Leban terletak di Kecamatan Bukit Batu Kabupaten Bengkalis yang memiliki kawasan mangrove dengan potensi dan produktivitas sumberdaya alam laut yang cukup tinggi. Padatnya aktivitas masyarakat disepanjang pesisir maupun perairan kawasan mangrove berdampak terhadap perubahan kualitas lingkungan. Perubahan kualitas lingkungan tersebut dapat menyebabkan penyebaran individu tiap jenis dan kestabilan komunitas fauna menjadi rendah. Pengukuran kualitas lingkungan perairan dan pesisir dapat dilakukan dengan indikator biologi. Salah satu kelompok fauna penting dalam mengukur perubahan kualitas lingkungan adalah meiofauna (Lasmana 2004). Secara umum kajian tentang meiofauna di kawasan mangrove telah banyak dilakukan oleh peneliti dari luar negeri (Bouwman 1987; Higgins et al. 1988; Rodriguez et al. 2003; Dittman 2001), tetapi di Indonesia kajian tentang meiofauna di kawasan mangrove masih tergolong sedikit khususnya di Kabupaten Bengkalis. 2
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Pengambilan sampel meiofauna dilaksanakan di Kawasan Mangrove Desa Bukit Batu dan Tanjung Leban Kecamatan Bukit Batu Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Waktu pengamatan dan identifikasi meiofauna dilakukan pada bulan Oktober 2014 di Laboratorium Zoologi FMIPA UR. Alat dan Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian terdiri dari sampel meiofauna, sampel analisis fraksi sedimen, formalin 4%, aquades, plastik, Rose Bengal 1 % dan alkohol 70 %. Alat-alat yang digunakan ialah corer sampler terbuat dari pipa PVC ukuran diameter 4,4 cm (2,2 inci) dan panjang 30 cm, alat tulis, petridish, pipet tetes, jarum suntik, Hand Refractometer, pH meter, thermometer, kamera digital, sieve atau saringan logam bertingkat yang berukuran 1,7 mm, 355 µm dan 0,045 mm, botol koleksi, dan mikroskop stereo Olympus SZX7. Prosedur Penelitian Deskripsi Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dilakukan pada kawasan mangrove desa Bukit Batu dan Tanjung Leban Kecamatan Bukit Batu Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Kabupaten Bengkalis merupakan wilayah kepulauan terletak pada pesisir Timur Pulau Sumatera dibatasi oleh 00 17’ - 20 30’ Lintang Utara dan 1000 52’ - 1020 00’ Bujur Timur. Topografi wilayah ini merupakan daratan rendah dengan ketinggian ±50 m di atas
Repository FMIPA
permukaan laut. Secara geografis kabupaten Bengkalis sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan pesisir yang berada pada gugusan pulau dan berbatasan langsung dengan selat malaka. Pengambilan sampel Lokasi sampling dilakukan pada kawasan mangrove Desa Bukit Batu dan Tanjung Leban. Pengambilan sampel dilakukan pada garis transek berdasarkan titik surut terendah dan pasang tertinggi yang berukuran 100 m, masing-masing titik dibuat ke dalam 5 plot berukuran 1 m x 1 m dengan jarak antar plot adalah 10 m. Pada tiap plot disampling sebanyak 3 kali pengulangan dan disampling 1 kali pengulangan di kawasan mangrove kedua desa tersebut untuk analisis fraksi sedimen. Sampel meiofauna diambil dengan pipa PVC berdiameter 4,4 cm dan panjang 30 cm yang dibenamkan hingga kedalaman 10 cm pada substrat mangrove. Sampel meiofauna yang diperoleh dimasukkan ke dalam botol plastik untuk kemudian dilarutkan dengan formalin pada konsentrasi akhir 4%. Sampel kemudian dibawa ke laboratorium untuk di isolasi dari substrat dengan menggunakan metode penyaringan bertingkat Selanjutnya sampel yang tertahan pada saringan 0.045 mm dimasukkan kedalam toples dan diwarnai dengan Rose Bengal 1 % di dalam cawan petri. Penyortiran pada sampel dilakukan dari kelompok taksa terbesar (Kelas) dan disimpan dalam alkohol 70%, kemudian pengamatan dilakukan dengan menggunakan mikroskop stereo olympus SZX7. Jenis meiofauna diidentifikasi dengan menggunakan buku Introduction to The Study of Meiofauna (Higgins and Thiel
3
1988) dan 2009).
Meiobenthology
(Giere
Analisis Data Kelimpahan Meiofauna Kelimpahan merupakan jumlah individu persatuan luas (Brower dan Zar 1989). D= a/b Keterangan: D = Kelimpahan meiofauna (individu/ 10 cm2) a = Jumlah meiofauna yang dihitung (individu) b = Luas lingkaran Corer (cm2) Diketahui luas penampang Corer dalam satu kali penyamplingan: = x 2,2 cm x 2,2 cm = 15,19 cm2. Kelimpahan meiofauna pada tiaptiap plot antara kedua desa dianalisis dengan Anova satu arah dengan tingkat kepercayaan 95% (α=0,05), sedangkan perbedaan kelimpahan meiofauna antara kedua desa dilakukan dengan uji t. Kedua uji statistika tersebut dilakukan dengan program MINITAB 16.0 (Meyer dan Krueger). HASIL DAN PEMBAHASAN Meiofauna yang ditemukan di kawasan mangrove Desa Bukit Batu dan Tanjung Leban Kabupaten Bengkalis berjumlah 2882 individu yang terdiri dari 5 taksa yaitu Nematoda, Copepoda, Ostracoda, Olygochaeta dan Polychaeta. Komposisi meiofauna dalam penelitian ini di dominasi oleh Nematoda dan Copepoda masing-masing sebesar 78%, dan 21 %, sementara taksa lainnya ditemukan dalam jumlah sedikit (gambar 1).
Repository FMIPA
Hasil penelitian ini memiliki kesamaan dengan beberapa penelitian yang dilakukan pada kawasan mangrove lainnya seperti Sasekumar (1994), Olafsson (1995), Vanhove et al. (1995), Zhou (2001), Armenteros et al. (2006), dan Zulkifli (2008). Masing-masing penelitian tersebut melaporkan bahwa komposisi meiofauna yang ditemukan pada suatu kawasan mangrove didominasi oleh Nematoda dan Copepoda. 1% 21% 78%
Nematoda Copepoda Lain-lain
Gambar 1. Komposisi meiofauna di kawasan mangrove Desa Bukit Batu dan Tanjung Leban Kabupaten Bengkalis. Lain-lain terdiri dari Ostracoda, Olygochaeta dan Polychaeta. Kehadiran Nematoda yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan taksataksa lainnya karena didukung oleh berbagai keunggulan secara morfologi, reproduksi dan adaptasi. Tingginya tingkat kehadiran Nematoda juga dilaporkan oleh Zhou (2001) di kawasan mangrove subtropika Hongkong yang menemukan Nematoda sebesar 88% dari total meiofauna yang ditemukan. Gwyther (2000) pada penelitian di kawasan mangrove Australia selatan menjumpai dominasi Nematoda sebesar 87% dari total meiofauna. Armenteros et al. (2006) juga melaporkan bahwa Nematoda
4
ditemukan sebesar 88% pada kawasan mangrove Teluk Batabano Kuba. Kehadiran Nematoda sebagai taksa yang paling dominan tidak hanya ditemukan pada kawasan mangrove saja, namun pada sejumlah habitat lainnya seperti yang dilaporkan oleh Armenteros et al. (2007) Nematoda memberikan kontribusi sebesar 95% dari total kelimpahan meiofauna di habitat padang lamun Teluk Batabano, Kuba. Selain pada habitat lamun, kehadiran Nematoda juga terlihat dominan pada beberapa habitat pantai berpasir (Kotwicki et al. 2005). Pada habitat estuari, Nematoda juga menjadi taksa paling dominan yang ditemukan oleh Kapusta et al. (2005) di Armazem Lagoon, Brazil dan Chen et al. (2012) di Serawak, Malaysia. Begitu pula pada habitat pantai berbatu kehadiran Nematoda masih tinggi (Fraschetti et al. 2006) maupun pada habitat terumbu karang (Armenteros et al. 2009). Taksa meiofauna yang kehadirannya tertinggi setelah Nematoda adalah Copepoda (21%). Tingginya kehadiran Copepoda dapat dijelaskan oleh beberapa faktor seperti keunggulan secara morfologi, reproduksi maupun adaptasi. Dalam beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya pada kawasan mangrove juga menemukan hasil yang serupa dimana Copepoda merupakan taksa yang kehadirannya melimpah setelah Nematoda, seperti kawasan mangrove Malaysia (Sasekumar 1994; Long dan Karim 1990). Tidak hanya Nematoda, Copepoda juga ditemukan pada habitat lainnya. Copepoda menduduki taksa kedua terbanyak setelah Nematoda pada beberapa habitat lain seperti habitat pantai berpasir (Rodriguez et al. 2003; Kotwicki et al. 2005). Pada habitat terumbu karang,
Repository FMIPA
Copepoda merupakan taksa dari meiofauna yang signifikan ditemukan (Raes dan Vanreusel 2005). Selain itu, di habitat estuari kehadiran Copepoda tercatat paling signifikan ditemukan setelah Nematoda (Kapusta et al. 2005; Ansari et al. 1993; Somerfield dan Warwick 1995). Kelimpahan Meiofauna Kelimpahan rata-rata meiofauna di kawasan mangrove Desa Bukit Batu dan Tanjung Leban Kabupaten Bengkalis sebesar 31,62 ind/10 cm2. Nematoda memiliki kelimpahan tertinggi sebesar 24,54 ind/10 cm2, selanjutnya kelimpahan Copepoda sebesar 6,61 ind/10 cm2 (Gambar 2). Kelimpahan meiofauna yang diperoleh pada kawasan mangrove Desa Bukit Batu dan Tanjung Leban Kabupaten Bengkalis ini lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan pada kawasan mangrove lainnya seperti dilaporkan Olaffson (1995) pada kawasan mangrove Afrika dengan kelimpahan rata-rata 1493 ind/10 cm2. Selanjutnya, Sergio et al. (2003) juga melaporkan bahwa di kawasan mangrove Santa Catarina Brazil sebesar 1586 ind/10 cm2. Demikian juga dengan penelitian Xuan et al. (2007) di kawasan mangrove Vietnam dengan kelimpahan meiofauna 1156 ind/10 cm2. Nurmalisyah (2013) dan Neri (2013) juga mencatat kelimpahan meiofauna di kawasan mangrove Bandar Bakau dan Desa Basilam Baru dengan kelimpahan rata-rata 820,28 ind/10 cm² dan 682,03 ind/10 cm2. Sedangkan pada habitat lainnya juga ditemukan kelimpahan rata-rata meiofauna yang lebih tinggi jika dibandingkan pada penelitian ini, seperti pada kawasan pantai berlumpur
5
sebesar 2900 ind/10 cm2 (Feder dan Paul 1980), serta pada kawasan rumput laut di Pujada Bay dengan kelimpahan 5310 ind/10 cm2 (Troch et al. 2008). 24,54 25 20 15 6,61
10 5
0,46
0 Nematoda
Gambar
2.
Copepoda
Lain-lain
Rata-rata kelimpahan meiofauna (ind/10 cm2) berdasarkan taksa di kawasan mangrove Desa Bukit Batu dan Tanjung Leban Kabupaten Bengkalis. Lain-lain terdiri dari Ostracoda, Olygochaeta dan Polychaeta.
Kelimpahan meiofauna pada suatu kawasan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor abiotik dan biotik. Faktor abiotik yang mempengaruhi kelimpahan di habitatnya antara lain ukuran butir sedimen. Komposisi meiofauna dapat dipengaruhi oleh ukuran butir sedimen yang ada didalamnya (Higgins dan Thiel 1988). Ukuran butir sedimen merupakan faktor penting dalam menyediakan ruang untuk meiofauna yang berada dalam habitat. Semakin halus ukuran butir sedimen maka ketersediaan ruang akan makin sedikit dan meiofauna yang mendiami memiliki ukuran yang kecil. Sebaliknya, jika semakin kasar ukuran butir sedimen
Repository FMIPA
maka ruang-ruang yang tersedia akan semakin besar serta ukuran meiofauna yang menempati ruang pun semakin besar ukurannya. Dengan demikian, ukuran butir sedimen dapat mempengaruhi taksa dan kelimpahan meiofauna (Funch et al. 2002; Nybakken dan Bertness 2005). Bahan organik merupakan salah satu faktor biotik yang memiliki peranan dalam menentukan kelimpahan meiofauna. Pada sedimen kasar, kandungan bahan organik lebih rendah karena partikel yang halus tidak mengendap. Sedangkan pada sedimen halus, kandungan bahan organik lebih tinggi daripada sedimen kasar yang berhubungan dengan kondisi lingkungan yang tenang sehingga memungkinkan pengendapan sedimen lumpur diikuti oleh akumulasi bahan organik ke dasar perairan (Rosa dan Bemvenuti 2005). Faktor biotik lainnya yang diduga mampu mempengaruhi kelimpahan meiofauna adalah proses bioturbasi, adanya proses pengadukan sedimen oleh meiofauna. Bioturbasi dapat memberikan dampak negatif dengan menyebabkan kekeruhan karena adanya sedimentasi yang menghalangi penetrasi cahaya yang masuk ke dalam air dan menganggu proses fotosintesis oleh alga bentik. Hal ini mengakibatkan produktivitas primer menjadi rendah dan ketersediaan oksigen menjadi berkurang. Adanya gangguan yang terjadi pada permukaan sedimen dapat menghambat perkembangan larva meiofauna. Selain memberikan dampak negatif, proses bioturbasi juga dapat memberikan dampak positif yaitu pengadukan sedimen yang menyebabkan peregangan agregat antar partikel sedimen oleh organisme seperti kepiting penggali sehingga terjadi
6
pertukaran air dan udara dalam lapisan sedimen sehingga dapat mempengaruhi suplai air dan oksigen yang diperoleh organisme meiofauna yang berada pada kedalaman yang berbeda (Lindsay dan Woodin 1996). Adanya pemangsaan juga dapat mempengaruhi kelimpahan meiofauna. Umumnya meiofauna merupakan jenis makanan yang digemari oleh makrofauna. Peningkatan rata-rata kelimpahan meiofauna pada batas antara sedimen-air, hal ini disebabkan tidak adanya pemangsaan. Selain itu, karaktersitik sedimen yang halus juga dapat mendukung habitat meiofauna sebagai perlindungan dan pencegah adanya pengaruh yang besar terhadap predator (Barnes dan Hughes 2004). Struktur Komunitas dan Kelimpahan Meiofauna pada Desa Bukit Batu dan Tanjung Leban Komposisi meiofauna pada dua kawasan mangrove yaitu Desa Bukit Batu dan Tanjung Leban menunjukkan bahwa taksa Nematoda dan Copepoda yang kehadirannya paling tinggi jika dibandingkan dengan taksa lainnya. Pada kedua desa tersebut terlihat bahwa Nematoda adalah taksa yang paling mendominasi dan dilanjutkan oleh taksa lainnya yang terdiri dari Ostracoda, Olygocaheta dan Polychaeta. Persentase kelimpahan Nematoda yang diperoleh pada Desa Bukit Batu dan Tanjung Leban berkisar 61-79%, diikuti oleh Copepoda dengan kisaran 20-37% sedangkan persentase kelimpahan taksa lainnya yang terdiri dari Ostracoda, Olygochaeta dan Polychaeta tergabung dalam kisaran 1-2% (Gambar3).
Repository FMIPA
Desa Bukit Batu
37%
2%
Nematoda
61%
Copepoda Lain-lain
Desa Tanjung Leban
20%
1% Nematoda
79%
Copepoda Lain-lain
Gambar
3.
Persentase kelimpahan meiofauna di kawasan mangrove Desa Bukit Batu dan Tanjung Leban Kabupaten Bengkalis. Lain-lain Ostracoda, Olygochaeta dan Polychaeta.
Pada Desa Bukit Batu didominasi oleh vegetasi Rhizophora sp., dan pada Desa Tanjung Leban didominasi oleh vegetasi Rhizophora sp.dan Avicennia sp. Selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurmalisyah (2013), Neri (2013) dan Suryani (2014) yang menemukan persentase kelimpahan Nematoda tertinggi pada vegetasi Rhizophora sp. Tingginya kelimpahan Nematoda di tiap plot kedua desa disebabkan oleh lokasi sampling vegetasi Rhizophora sp. dan Avicennia sp. berdekatan dan terpapar langsung dengan area pasang surut pantai. Hal ini menyebabkan terjadinya sirkulasi air laut yang dinamis pada kedua jenis vegetasi mangrove yang secara tidak langsung juga membawa kandungan
7
bahan organik serta unsur-unsur hara lebih banyak. Kelimpahan rata-rata individu meiofauna pada kedua desa di dominasi oleh Nematoda yaitu dengan kisaran kelimpahan 2,63-46,45 ind/10 cm2. Selanjutnya diikuti oleh Copepoda dengan kisaran kelimpahan 1,58-11,65 ind/10cm2 (Gambar 4).
46,45
50
Desa Bukit Batu
40 30 20 10
11,65 2,63
1,58
0,11 0,82
Desa Tanjung Leban
0 Nematoda Copepoda Lain-lain
Gambar
4.
Kelimpahan rata-rata 2 (ind/10cm ) meiofauna berdasarkan taksa di kawasan mangrove Desa Bukit Batu dan Tanjung Leban Kabupaten Bengkalis.
Pada beberapa plot ditemukan adanya plot yang ditumbuhi dan tidak ditumbuhi oleh pohon mangrove. Pada plot yang ditumbuhi oleh pohon mangrove, maka sistem perakaran mangrove dan naungan kanopinya d a p a t memberikan habitat dan tempat berlindung bagi meiofauna. Sehingga meiofauna akan terhindar dari kekeringan dan dapat bertahan hidup (Gwyther 2000). Selain itu, adanya pohon mangrove yang ditemukan pada beberapa plot dapat berpengaruh terhadap ketersediaan nutrisi yang lebih banyak dikarenakan
Repository FMIPA
sumbangan detritus dari serasah mangrove (Danovaro dan Gambi 2002). Hal ini dapat mempengaruhi kelimpahan pada tiap plot dalam penelitian ini. Perbedaan rata-rata kelimpahan meiofauna pada tiap plot di antara kedua desa dalam penelitian ini di analisis menggunakan ANOVA satu arah dengan tingkat kepercayaan 95%. Hasil analisis menunjukkan bahwa kelimpahan rata-rata meiofauna pada tiap plot di Desa Bukit Batu adalah tidak berbeda nyata dengan Fhit=0,78 (P>0,05) lebih kecil dari Ftab=1,96 dan di Desa Tanjung Leban juga tidak menunjukkan berbeda nyata dengan Fhit=1,61 (P>0,05) lebih kecil dari Ftab=1,94. Sedangkan perbedaan kelimpahan meiofauna pada kedua desa dalam penelitian ini dilakukan menggunakan uji t dengan tingkat kepercayaan 95%. Hasil analisis menunjukkan bahwa kelimpahan meiofauna di antara kedua desa adalah berbeda secara signifikan (Thit = -4,60 P<0,05). Adanya perbedaan kelimpahan yang signifikan antara kedua desa, diduga terjadi karena perbedaan ukuran partikel sedimen. Dari analisis fraksi sedimen pada Desa Bukit Batu memiliki tingkat persentase lumpur sebesar 100%, sedangkan pada Desa Tanjung Leban memiliki persentase lumpur sebesar 71,19% dan pasir 28,81%. Ukuran butir sedimen juga penting dalam mengontrol kemampuan sedimen untuk menahan dan mensirkulasi air dan udara. Ketersediaan air dan oksigen dalam celah-celah sedimen diperlukan untuk kehidupan meiofauna (Nybakken dan Bertness 2005). Sirkulasi air melalui celah-celah dalam sedimen adalah penting karena pergerakan air ini dapat memperbarui suplai oksigen dan
8
suplai makanan serta dapat mencegah kondisi kekeringan bagi meiofauna. Sirkulasi air akan berlangsung dengan baik jika berada pada sedimen berbutir kasar dan berkurang pada sedimen berbutir halus (lumpur) (Giere 1993). KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian diperoleh 5 taksa meiofauna yaitu, Nematoda, Copepoda,Ostracoda, Olygochaeta dan Polychaeta, dengan Nematoda dan Copepoda yang mendominasi pada masing-masing kawasan mangrove. Kelimpahan ratarata taksa meiofauna di kawasan mangrove Desa Bukit Batu dan Tanjung Leban Kabupaten Bengkalis sebesar 31,62 ind/10 cm2. Hal ini menunjukkan bahwa kelimpahan rata-rata meiofauna dalam penelitian ini masih terbilang rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian di kawasan mangrove lainnya. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala dan Laboran Laboratorium Zoologi dan Fotomikrografi Jurusan Biologi FMIPA Universitas Riau atas izin dan fasilitas yang diberikan selama penelitian. Selanjutnya terima kasih penulis ucapkan kepada semua pihak terkait yang telah mendukung dan membantu baik secara moril maupun materil sehingga penelitian ini dapat terlaksana. DAFTAR PUSTAKA Ansari ZA, Sreepada RA, Matondkar SGP, Parulekar AH. 1993. Meiofaunal Stratification in Relation to Microbial Food in a
Repository FMIPA
Tropical Mangrove Mud Flat. Tropical Ecology 32(2): 204-216. Armenteros M, Martin I, Williams JP, Creagh B, Gonzalez-Sanson G, Capetillo N. 2006. Spatial and Temporal Variations of Meiofaunal Communities from the Western Sector of the Gulf of Batabano, Cuba. Estuaries and Coasts 29: 124-132. Armenteros M, Williams JP, Hidalgo G, Gonzalez-Sanson G. 2007. Community Strucrure of Meioand Macrofauna in Seagrass Meadow and Mangroves from NW Shelf of Cuba (Gulf of Mexico). Rev Invest Mar 28(2): 139-150. Armenteros M, Creagh B, GonzalezSanson G. 2009. Distribution Patterns of Meiofauna in Coral Reefs from the NW Shelf of Cuba. Rev Invest Mar 30(1): 3743. Barnes RSK, Hughes RN. 2004. An Introduction to Marine Biol. 3rd edition. Oxford: Black Well Science Ltd. Bouwman LA. 1987. Meiofauna. pp. 140-156. In: Baker JM and Wolf WJ, editors. Biological Surveys of Estuarine and Coastal. Cambridge University Press. Cambridge. Brower JE, Zar JH. 1989. Field and Laboratory Method For Biology. Brown Company Publisher. Dubuque. Chen CA, Long SM, Rosli NM. 2012. Spatial Distribution of Tropical
9
Estuarine Nematode Communities in Sarawak, Malaysia (Borneo). The Raffles Bulletin of Zoology 60(1): 173181.
Higgins RP, Thiel H. 1988. Introduction to Study of Meiofauna. Washington D.C: Smithsonian Institution Press. Washington DC. 488 P.
Danovaro R, Gambi C. 2002 . Biodiversity and Rophic Structure of Nematode Assemblages in Seagrass Systems: Evidence for of Coupling With Changes in Food Availability. Journal Marine Biology 141(4): 667-677.
Kapusta SC, Wurdig NL, Bemvenuti CE, Ozorio CP. 2005. Meiofauna Structure in Tramandai-Armazem Estuary (South of Brazil). Acta Limnol Bras 17(4): 349-359.
Ditmann S. 2001. Abudance and Distribution of small infauna in mangrove of Missionary Bay, North Queenslands, Australia. Rev Biol Trop 29(2): 535-544. Feder, H.M., and A.J. Paul. 1980. Seasonal Trends in Meiofaunal Abudance on Two Beaches in Port Valdez, Alaska. Syesis 13;27-36. Fraschetti S, Gambi C, Giangrande A, Musco L, Terlizzi A, Danovaro R. 2006. Structural and Functional Response of Meiofauna Rocky Assemblages to Sewage Pollution. Marine Pollution Bulletin 52: 540-548. Giere O. 1993. Meiobenthology. The Microscopic Motile Fauna of Aquatic Sediments. SpringerVerlag. Berlin. Gwyther J. 2000. Meiofauna in Phytalbased and Sedimentary Habitats of a Temperate Mangrove Ecosystem a Preliminary Survey. Procced Roy Soc Vict 112(2): 37-151.
Repository FMIPA
Kotwicki L, Troch MD, Malinga BU, Gheskiere T, Wesawski JM. 2005. Horizontal and Vertical Distribution of Meiofauna on Sandy Beaches of the North Sea (The Netherlands, Belgium, France). Helgol Mar Res DOI 10.1007/s10152-005-0001-8. Lasmana AH. 2004. Struktur Komunitas Meiofauna di Perairan Bojonegara, Teluk Banten, Kabupaten Serang. [Skripsi]. Program Studi Ilmu Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Lindsay SM, Woodin SA. 1996. Quantifying Sediment Disturbance by Browsed Spionid Polychaetes: Implications for Competitive and Adult-larva Interactions. J exp Mar Biol Ecol 196: 97-112. Mirto ST, Rosa L, Danovaro R, Mozzola A. 2000. Microbial and Meiofaunal respon to intensive Mussel-farm Biodeposition in Coastal Sediments of the Western
10
Mediterranean. Mar Pollut Bull 40(3): 244-252.
Coastal and Shelf Science 58: 63-69.
Neri E. 2013. Kelimpahan Meiofauna di Kawasan Mangrove Desa Basilam Baru Dumai Provinsi Riau. [Skripsi]. Jurusan Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Riau. Pekanbaru.
Rosa LC, Bemvenuti C. E. 2005. Meiofauna in the soft-bottom habitats of the patos Lagoon estuary (South Brazil). Fundacao Universidade Federal do Rio Grande. Acta Grande. Acta Limnol. Brazil. 17 (2): 113-121.
Nurmalisyah. 2013. Komunitas Meiofauna di Kawasan Mangrove Bandar Bakau Dumai Provinsi Riau. [Skripsi]. Jurusan Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Riau. Pekanbaru.
Sasekumar A. 1994. Meiofauna of A Mangrove Shore on the West Coast of Peninsular Malaysia. Raffles Buletin of Zoology 42(4): 901-915.
Nybakken JW, Bertness MD. 2005. Marine Biology: An Ecological Approach. 3rd Edition. Rearson Benyamin Cummings. New York.
Sergio AN, Galluci F. 2003. Meiofauna and Macrofauna Communities in a Mangrove from the Island of Santa Catarina, South Brazil. Hydrobiologia 505: 159–170.
Olafsson E. 1995. Meiobenthos in Mangrove Areas in Eastern Africa with Emphasis on Assemblage Structure of Freeliving Marine Nematodes. Hydrobiologia 312: 47-57.
Somerfield PJ, Rees HL, Warwick RM. 1995. Interrelationships in Community Structure between Shallow-Water Marine Meiofauna and Macrofauna in Relation to Dredgings Disposal. Marine Ecology Progress Series 127: 103-112.
Raes M, Vanreusel A. 2005. The Metazoan Meiofauna Associated with a Cold-water Coral Degradation Zone in the Porcupine Seabight (NE Atlantic). Cold-water Corals and Ecosystem Spriger-Verlag 821-847.
Suryani. 2014. Struktur Komunitas Meiofauna di Kawasan Mangrove Desa Teluk Uma Kabupaten Karimun. [Skripsi]. Jurusan Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Riau. Pekanbaru.
Rodriguez JG, Lastra M, Lopez J. 2003. Meiofauna Distribution Along a Gradient of Sandy Beaches in Northern Spain. Estuarine
Troch De Marleen De, Jenny Lynn Melgo-Ebarle, Lea AngsincoJimenez, Hendrik Gheerardyn And Magda Vincx. 2008. Diversity and habitat selectivity
Repository FMIPA
11
of harpacticoid copepods from sea grass beds in Pujada Bay, the Philippines. Journal of the Marine Biological Association of Vanhove S, Vincx M, Van GD, Gijselinck W, Schram D. 1995. The Meiobenthos of Five Mangrove Vegetation Types in Gazi Bay, Kenya. Hydrobiologia 247: 99-108. Xuan QN, Vanreusel A, Thanh NV, Smol N. 2007. Biodiversity of Meiofauna in the Intertidal Khe Nhan Mudflat, Can Gio Mangrove Forest, Vietnam with Special Emphasis on Free Living Nematodes. Ocean Science Journal 42(3): 135-152.
Repository FMIPA
the United Kingdom. 88(3): 515526.
Zhou H. 2001. Effect of Leaf Litter Addition on Meiofaunal Clonization of Azoic Sediment in a Subtropical Mangrove in Hong Kong. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 256; 22-121. Zulkifli. 2008. Dinamika Komunitas Meiofauna Intertisial di Perairan Selat Dompak Kepulauan Riau [Disertasi]. Program Studi Ilmu Kelautan. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
12