STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS KAITANNYA DENGAN KERAGAMAN MANGROVE DI DESA MUNTE KECAMATAN BONE-BONE KABUPATEN LUWU UTARA
SKRIPSI
RISWAN L111 09 254
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN DEPARTEMEN ILMU KELAUTAN FAKUTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2016
STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS KAITANNYA DENGAN KERAGAMAN MANGROVE DI DESA MUNTE KECAMATAN BONE-BONE KABUPATEN LUWU UTARA
Oleh: RISWAN
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pada Program Studi Ilmu Kelautan Fakultas Ilmu Kelautan dan PerikananUniversitas Hasanuddin
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN DEPARTEMEN ILMU KELAUTAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2016
i
Abstrak Riswan (L111 09 254). Struktur Komunitas Makrozoobentos Kaitannya Dengan Keragaman Mangrove Di Desa Munte Kecamatan Bone-Bone Kabupaten Luwu Utara. Dibawah Bimbingan Prof. Dr. Amran Saru,ST, M.Si sebagai Pembimbing Utama dan Dr. Ahmad Bahar,ST, M.Si sebagai Pembimbing Anggota.
Mangrove merupakan tumbuhan pantai yang hidupnya dipengaruhi oleh pasang surut air laut surut air laut, dan makrozoobentos merupakan hewan yang distribusinya dipengaruhi olehkeberadaan mangrove. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan juni 2014-september 2014 diperairan desa Munte Kec. Bone-Bone Kab. Luwu Utara dengan tujuan untuk mengetahui struktur komunitas makrozoobentos kaitannya dengan keragaman mangrove di desa Munte kecamatan Bone-Bone Kabupaten Luwu Utara. Penelitian ini meliputi penutupan mangrove, kerapatan mangrove, kepadatan makrozoobentos, salinitas, suhu, pH, substrat, BOT, arus dan pasang surut. Hasil yang diperoleh jenis mangrove Bruguiera sp paling banyak ditemukan pada semua stasiun dan bentos jenis Tellina sp paling banyak ditemukan pada semua stasiun. Keberadaan bentos jenis Tellina sp berkaitan erat dengan jenis mangrove Bruguiera sp. Hasil Analisis data Spss menunjukan tidak adanya perbedaaan nyata antara setiap stasiun baik itu mangrove dan makrozoobentos.
Kata
Kunci
:
Penutupan
Mangrove,
Kerapatan
Mangrove,
Kepadatan
Makrozoobentos, One WayAnnova.
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Skripsi : Struktur Komunitas Makrozoobentos Kaitannya Dengan Keragaman Mangrove Di Desa Munte Kecamatan Bone-Bone Kabupaten Luwu Utara Nama
: Riswan
Stambuk
: L 111 09 254
Program Study
: Ilmu Kelautan Skripsi Telah Diperiksa dan Disetujui Oleh :
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Prof.Dr. Amran Saru ST, M.Si NIP. 19670924 199503 1 001
Dr. Ahmad Bahar, ST,M.Si NIP. 19700222 199803 002
Mengetahui : Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan,
Ketua Program Studi Ilmu Kelautan,
Prof. Dr. Ir. Jamaluddin Jompa, M.Si NIP.1961 1201 1987 03 2002
Dr. Mahatma Lanuru, ST, M.Sc NIP. 19701029 199503 1 001
Tanggal Lulus :
Juni 2016
iii
RIWAYAT HIDUP Riswan, lahir di Rabangodu Kota Bima pada tanggal 26 Agustus. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Buah hati dari pasangan Drs. Abdul Haris dan Nurjannah. Pada tahun 1996 Lulus di Taman Kanak-Kanak Seruni Desa Talabiu, tahun 2002 Lulus di SDN Inpres Talabiu Kec. Woha, tahun 2005 lulus di SMP Negeri 1 Kab. Bima, tahun 2008 Lulus di SMA Negeri 1 Kab. Bima dan pada tahun 2009 diterima di Jurusan Ilmu Kelautan melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Penulis pernah terlibat sebagai salah satu panitia dalam kegiatan Seminar Nasional Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Tekhnologi Kelautan Indonesia (HIMITEKINDO). Di bidang organisasi penulis aktif di Senat Mahasiswa Kelautan Universitas Hasanuddin (SEMA Kelautan –UH) masa kepengurusan 2010/2011 sebagai Divisi Advokasi. Selain organisasi kampus penulis juga terlibat sebagai Voolunteer (2012/2013) di Lembaga Swadaya Masyarakat Mangrove Action Project (MAP) Indonesia. Pada tahun 2012 penulis melaksanakan kegiatan Kuliah Kerja Nyata Profesi di Campalagian Sulawesi Barat. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan penulis menyusun skripsi dengan judul “Struktur Komunitas Makrozoobentos Kaitannya Dengan Keragaman Mangrove Di Desa Munte Kecamatan Bone-Bone Kabupaten Luwu Utara”.
iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkah dan rahmat yang diberikan-Nya sehingga Tugas Akhir ini dapat di selesaikan juga sesuai waktunya. Salawat serta salam juga penulis panjatkan kepada Nabi besar Muhammad SAW yang selalu menjadi suri tauladan bagi kita semua. Syukur Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul Struktur Komunitas Makrozoobentos Kaitannya Dengan Keragaman Mangrove Di Desa Munte Kecamatan Bone-Bone Kabupaten Luwu Utara, sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar sarjana pada Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin. Dalam penyusunan skripsi ini penulis menyadari sepenuhnya banyak dihadapkan dengan kendala dan tantangan, khususnya terbatasnya waktu yang tersedia dan literature yang sulit didapatkan serta keterbatasan-keterbatasan lainnya. Namun, semoga skripsi ini bisa memberikan manfaat bagi setiap pembaca dan semoga dapat menjadi bahan rujukan dalam melakukan kegiatan-kegiatan penelitian lebih lanjut. Semoga Allah SWT selalu memberikan rahmat dan hidayah -Nya kepada kita semua, Amin. Makassar, Juni 2016 Penulis
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Awal penelitian hingga penyususunan skripsi ini tidak terlepas dari peran berbagai pihak yang sudah memberikan saran, motivasi, doa, dan bantuan materi sehingga selesainya skripsi ini. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih setulusnya dan pernghargaan kepada : 1. Bapak Prof,Dr. Amran Saru ST, M.Si dan Dr. Ahmad Bahar, ST,M.Si selaku pembimbing dalam penyelesaian skripsi yang telah banyak membantu dalam berbagai hal terlebih untuk waktu di sela-sela kesibukan yang telah diluangkan bagi penulis untuk berkonsultasi, memberikan saran dan motivasi dalam penyelesaian skripsi. 2. Bapak Ir. Marzuki Ukkas, DEA, Dr. Supriadi, ST,M.Si dan Prof.Dr.Ir. Rohani Ambo Rappe, M.Si selaku dosen penguji yang telah menguji, memberikan tanggapan, dan saran untuk penyempurnaan skripsi ini. 3. Bapak Dr. Khairul Amri, ST, M,Stud sebagai penasehat akademik, yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan sehingga penulis dapat menjalani perkuliahan dengan baik. 4. Dekan, Wakil Dekan, Ketua Jurusan dan para Dosen Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, yang telah membagikan ilmu pengetahuan dan pengalamannya kepada penulis. 5. Para staf Jurusan Ilmu Kelautan, FIKP, yang telah membantu dan melayani penulis dengan baik dan tulus.
vi
6.
Kedua orang tua penulis, Ayahanda tercinta Drs. Abdul Haris dan Ibunda tercinta
Nurjannah,
yang
selama
ini
membimbing,
mendoakan,
dan
memberikan dorongan selama masa studi. 7.
Saudara-saudaraku di Koslet (2009. Terima kasih untuk kebersamaannya selama perkuliahan, canda tawa dan hari-hari yang sunguh berkesan.
8.
Untuk semua pihak yang telah membantu tapi tidak sempat disebutkan satu persatu, terima kasih untuk segala bantuannya. Semoga skripsi ini bisa memberikan manfaat dan Semoga Tuhan Yang Maha
Esa membalas semua bentuk kebaikan dan ketulusan yang telah diberikan oleh semua pihak penulis.
vii
DAFTAR ISI DAFTAR ISI .............................................................................................................. i DAFTAR GAMBAR .................................................................................................. x DAFTAR TABEL ..................................................................................................... xi DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................. xii I. PENDAHULUAN ................................................................................................. 13 A. Latar Belakang................................................................................................ 13 B. Tujuan dan Kegunaan..................................................................................... 14 C. Ruang Lingkup ............................................................................................... 14 II. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................... 15 A. Mangrove ...................................................................................................... 15 1. Komposisi Jenis Mangrove ............................................................................ 15 2. Kerapatan Jenis Mangrove ............................................................................ 16 3. Struktur Komunitas Mangrove ...................................................................... 17 4. Aspek Ekologis Ekosistem Mangrove ............................................................ 17 B. Makrozoobentos ............................................................................................ 17 1. Distribusi Makrozoobentos............................................................................. 18 2. Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E), dan Dominansi (C) ....................... 19 C. Parameter Oseanografi ................................................................................. 22 1. Salinitas ......................................................................................................... 22 2. pH.................................................................................................................. 22 3. Suhu .............................................................................................................. 22 4. Substrat ......................................................................................................... 23 5. Bahan Organik Total (BOT) ........................................................................... 23 6. Arus ............................................................................................................... 24 7. Pasang surut ................................................................................................. 24 III. METODE PENELITIAN ..................................................................................... 26 A. Waktu dan tempat ......................................................................................... 26 B. Alat dan Bahan .............................................................................................. 26 C. Prosedur Penelitian ....................................................................................... 27 1. Tahap Persiapan ........................................................................................... 27
viii
2. Observasi Awal dan Penentuan Stasiun ........................................................ 28 3. Pengambilan Data ........................................................................................ 28 D. Analisis Data.................................................................................................. 33 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................ 37 A. Gambaran Umum Lokasi ............................................................................... 37 B. Komposisi Jenis Mangrove ............................................................................ 39 C. Penutupan Mangrove .................................................................................... 41 D. Kerapatan Mangrove ..................................................................................... 42 E. Kepadatan Makrozoobenthos ........................................................................ 43 F. Parameter Lingkungan .................................................................................. 44 1. Suhu .............................................................................................................. 44 2. Salinitas ......................................................................................................... 45 3. pH (Derajat Keasaman) ................................................................................. 45 4. Pasang surut ................................................................................................. 46 5. Arus ............................................................................................................... 46 6. Bahan Organik Total (BOT) ........................................................................... 47 7. Hubungan sedimen dengan marozoobents......................................................38 G. Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (C) Makrozoobentos................................................................................................. 49 H. Analisis PCA .................................................................................................. 50 V. SIMPULAN DAN SARAN .................................................................................. 52 A. Simpulan......................................................................................................... 52 B. Saran .............................................................................................................. 52 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 54 LAMPIRAN.................................................................... Error! Bookmark not defined.
ix
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
Gambar 1. Peta Penelitian perairan Desa Monte Kecamatan Bone-bone Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. ........................................................... ..26 Gambar 2. Contoh tehnik pengambilan data mangrove...........................................17 Gambar 3. Contoh teknik pengambilan sampel makrozoobentos ........................... 29 Gambar 4. Komposisi jenis mangrove seluruh stasiun ........................................... 28 Gambar 5. Grafik penutupan basal mangrove ........................................................ 42 Gambar 6. Grafik kerapatan mangrove.....................................................................32 Gambar 7. Grafik total kepadatan makrozoobentos ............................................... 43 Gambar 8. Grafik pasang surut .............................................................................. 46 Gambar 9. Hubungan BOT dengan makrozoobentos...............................................38 Gambar 10. Hubungan sedimen dengan makrozoobentos......................................39 Gambar 11. Hasil analisis PCA.................................................................................41
x
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
Tabel 1. Kategori indeks keanekaragaman............................................................. 20 Tabel 2. Kategori indeks keseragaman (E) (Odum, 1993). ..................................... 21 Tabel 3. Kategori indeks dominansi (C) (Odum, 1993). .......................................... 21 Tabel 4. Kriteria kandungan bahan organik dalam sedimen ................................... 23 Tabel 5. Skala Wentworth untuk mengklasifikasi partikel-partikel sedimen (Hutabarat dan Evans, 2000). ..................................................................................... 32 Tabel 6. Krikteria penutupan dan Kerapatan mangrove .......................................... 34 Tabel 7. Parameter lingkungan............................................................................... 44 Tabel 8. Indeks Keanekaragaman(H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (C) ........ 40
xi
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
Lampiran 1. Hasil oneway anova Kerapatan Mangrove ......................................... 48 Lampiran 2. Nilai rata-rata tinggi muka air laut (MSL) ............................................ 50 Lampiran 3. Kecepatan arus .................................................................................. 52 Lampiran 4. Analisis Jenis Sedimen ...................................................................... 54 Lampiran 5. Indeks Ekologi Makrozoobenthos di Stasiun Pengamatan ................. 55 Lampiran 6. Kerapatan Jenis Mangrove ................................................................ 56 Lampiran 7. Hasil analisis BOT...............................................................................57 Lampiran 8. Penutupan Jenis pohon Mangrove ..................................................... 58 Lampiran 9. Hasil Analisi XLstat ............................................................................ 63 Lampiran 10. Foto Kegiatan Lapangan .................................................................. 64 Lampiran 11. Spesies makrozoobentos di lokasi penelitian ..... Error! Bookmark not defined.
xii
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan yang membentuk komunitas tersebut didaerah pasang surut, hutan mangrove atau yang sering disebut hutan bakau. Hutan bakau merupakan sebagian wilayah ekosistem pantai yang mempunyai karakter unik dan khas dan memiliki potensi kekayaan hayati. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove (Wijayanti, 2007). Salah
satu
makrozoobenthos.
organisme
infauna
di
ekosistem
mangrove
yaitu
Makrozoobenthos adalah organisme yang hidup di dasar
perairan (epifauna) atau di
dalam substrat dasar perairan (infauna) dengan
ukuran lebih besar dari 1 mm (Odum, 1993). Makrozoobentos memanfaatkan ekosistem mangrove sebagai habitat utama. Struktur ekosistem mangrove yang dalam kondisi terlestarikan akan menimbulkan rantai makanan bagi biota yang kompleks. Makrozoobentos yang memiliki habitat pada dasar mangrove merupakan salah satu mahluk hidup yang berhubungan langsung dengan keberadaan dan fungsi perlindungan dari mangrove. Makrozoobentos yang terus menerus berinteraksi dengan mangrove dan sedimen yang dibawa arus menuju lautan merupakan salah satu indikator penting dalam menganalisa sejauh mana peranan mangrove dalam menetralisir keadaan ekosistem disekitarnya (Kasmini, 2014). Benthos relatif hidup menetap, sehingga baik untuk digunakan sebagai petunjuk kualitas lingkungan, karena selalu kontak dengan limbah yang masuk ke habitatnya. Kelompok hewan tersebut dapat lebih mencerminkan adanya
13
perubahan faktor-faktor lingkungan dari waktu ke waktu (Rosenberg, 1993 dalam Anggi, 2013). Keberadaan hewan benthos pada suatu perairan, sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan, baik biotik maupun abiotik. Faktor biotik yang berpengaruh diantaranya adalah produsen, yang merupakan salah satu sumber makanan bagi hewan benthos. Faktor abiotik,faktor fisika-kimia air yang meliputi: suhu, arus, oksigen terlarut (DO), kebutuhan oksigen terlarut (BOT) dan tipe substrat dasar (Allard dan Moreau, 1987 dalam Ayu, 2005). Penggunaan
makrozoobenthos
sebagai
indikator
kualitas
perairan
dinyatakan dalam bentuk indeks biologi. Kemudian oleh para ahli biologi perairan, pengetahuan ini dikembangkan, sehingga perubahan struktur dan komposisi organisme perairan karena berubahnya kondisi habitat dapat dijadikan indikator kualitas perairan (Rosenberg,1993 dalam Anggi, 2013).
B. Tujuan dan Kegunaan Tujuan
dari
penelitian
ini
untuk
mengetahui
struktur
komunitas
makrozoobentos kaitannya dengan keragaman mangrove di desa Munte Kecamatan Bone-Bone Kabupaten Luwu Utara. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi penelitian selanjutnya yang akan melakukan penelitian struktur komunitas makrozoobentos kaitannya dengan keragaman mangrove.
C. Ruang Lingkup Ruang lingkup dari penelitian ini adalah Penutupan Mangrove, Kerapatan Mangrove, Kepadatan Makrozoobentos, Salinitas, Suhu, pH, Substrat, Bot, Arus dan Pasang Surut.
14
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mangrove Mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan yang membentuk komunitas tersebut di daerah pasang surut, hutan mangrove atau yang sering disebut hutan bakau merupakan sebagian wilayah ekosistem pantai yang mempunyai karakter unik dan khas dan memiliki potensi kekayaan hayati. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove (Wijayanti, 2007). Sukardjo (1996), mendefinisikan hutan mangrove sebagai sekelompok tumbuhan yang terdiri atas berbagai macam jenis tumbuhan dari famili yang berbeda, namun memiliki persamaan daya adaptasi morfologi dan fisiologi yang sama terhadap habitat yang dipengaruhi oleh pasang surut. Menurut Supriharyono (2002) mangrove memiliki fungsi Secara fisik, hutan mangrove berfungsi untuk menjaga garis pantai agar tetap stabil, mereduksi energi gelombang hingga 60% sehingga dapat mengurangi dampak terjadinya tsunami, peredam angin, badai, dan pelindung abrasi. Sebagai daerah asuhan (nursery grounds), daerah mencari makanan (feending grounds), dan daerah pemijahan (spawning grounds) bagi berbagai jenis ikan, udang dan biota laut lainnya. 1.
Komposisi Jenis Mangrove Komposisi hutan mangrove terdiri dari asosiasi Avicenia sp, Soneratia sp,
Rhyzopora sp, Bruguiera sp, Ceriops sp, Lumnitzera sp, dan Xylcarpus sp. Nypa merupakan batas hutan mangrove dan hutan rawa atau hutan pantai. Susunan
15
formasi dari masing-masing di atas sangat dipengaruhi oleh kadar garam yang semakin ke darat semakin berkurang (Talib, 2008). Jenis pohon yang berbeda membentuk zonasi vegetasi antara tempat yang satu dengan yang lain berbeda. Zonasi adalah mintakat atau suatu daerah yang dicirikan oeh suatu organisme atau biota yang hidupnya melimpah dan mendominasi serta seragam pada daerah tertentu, zonasi tumbuhan mangrove mempunyai variasi pada lokasi yang berbeda (Talib, 2008). Hutan mangrove memiliki zona tumbuh tertentu. Pembagian zona ini di mulai dari bagian yang paling kuat mengalami pengaruh angin dan ombak yakni zona terdepan yang digenangi air berkadar garam tinggi dan ditumbuhi pohon pionir (Soneratia sp). Dari depan kebelakang zona tumbuh mangrove antara lain: 1.
Zona yang paling depan yakni; tumbuhan Avicenia sp (api-api) yang berasosiasi dengan Sonneratia sp, zona ini mengahadapi ombak, tanah berlumpur agak lembek dengan salinitas tinggi.
2.
Zona Rhyzopora (mange-mange) umumnya didominasi dengan tanaman bakau jenis Rhyzopra sp. Pada beberapa tempat berasosiasi dengan jenis seperti Bruguiera sp (tongke).
3.
Zona bruguiera, umumnya didominasi oleh tanaman bakau jenis Bruguiera sp. Pada beberapa tempat sering dijumpai berasosiasi dengan jenis lain seperti Ceriops tagal. Salinitas sedang.
4.
Zona kering dan Nypa. Pada zona ini salinitas airnya sangat rendah dan tanahnya keras serta kurang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Daerah ini umumnya didominasi oleh tumbuhan Nypa (Nypa fruticans).
2.
Kerapatan Jenis Mangrove Kerapatan jenis mangrove merupakan jumlah individu mangrove yang
ditemukan dibagi dengan luas area pengamatan, yaitu 100 m2 yang merupakan
16
luas dari transek yang dipergunakan. Dengan menghitung kerapatan jenis mangrove pada masing-masing stasiun, maka akan terlihat jenis spesies-spesies apa saja yang ditemukan pada masing-masing transek, sehingga distribusi dari masing masing jenis dapat terlihat dengan jelas. Makin besar kerapatan suatu jenis, makin banyak individu jenis tersebut per satuan luas (Talib, 2008). 3.
Struktur Komunitas Mangrove Struktur komunitas merupakan susunan individu-individu dari beberapa
jenis atau spesies yang terorganisir membentuk komunitas (Wirakusumah 2003) dalam (Afnia. 2006). Dengan demikian struktur komunitas mangrove meliputi susunan spesies-spesies mangrove yang ditemukan di suatu zona tertentu. 4.
Aspek Ekologis Ekosistem Mangrove Fungsi hutan mangrove secara ekologis diantaranya sebagai tempat
mencari makan (feeding ground), tempat memijah (spawning ground), dan tempat berkembang biak (nursery ground) berbagai jenis ikan, udang, kerang dan biota laut lainnya, tempat bersarang berbagai jenis satwa liar terutama burung dan reptil. Bagi beberapa jenis burung, vegetasi mangrove dimanfaatkan sebagai tempat istirahat, tidur bahkan bersarang. Selain itu, mangrove juga bermanfaat bagi beberapa jenis burung migran sebagai lokasi antara (stop over area) dan tempat mencari makan, karena ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang kaya sehingga dapat menjamin ketersediaan pakan selama musim migrasi (Howes et al., 2003 dalam Heru, 2013).
A. Makrozoobentos Salah satu organisme infauna dan epifauna di ekosistem mangrove yaitu makrozoobentos. Makrozoobentos adalah organisme yang hidup di dasar perairan (epifauna) atau di
dalam substrat dasar perairan (infauna) dengan
ukuran lebih besar dari 1 mm (Odum, 1993).
17
Bentos adalah organisme yang mendiami dasar perairan atau tinggal dalam sedimen dasar perairan. Bentos mencakup organisme nabati yang disebut fitobenthos dan organisme hewani yang disebut zoobentos (Odum, 1993). Ketika air surut, organisme akan kembali ke dasar perairan untuk mencari makan. Beberapa makrozoobentos yang umum ditemui di kawasan mangrove Indonesia adalah makrozoobentos dari kelas Gastropoda, Bivalvia, Crustacea, dan Polychaeta (Arief, 2003). Makrozoobentos memiliki siklus hidup yakni hanya hidup sebagai bentos dalam separuh saja dari fase hidupnya, misalnya pada stadia muda saja atau sebaliknya. Pada umumnya cacing dan bivalvia hidup sebagai bentos pada stadia dewasa, sedangkan ikan demersal hidup sebagai benthos pada stadia larva (Nybakken, 1992). Menurut
(Knox
1986
dalam
Ihlas
2001),
mengklasifikasikan
makrozoobentos berdasarkan cara makannya kedalam lima kelompok yaitu : Hewan pemangsa, hewan penggali, hewan pemakan detritus yang mengendap dipermukaan, hewan yang menelan makanan pada dasar, hewan yang sumber bahan makannya dari atas permukaan. 1.
Distribusi Makrozoobentos Makrozoobentos yang menetap di kawasan mangrove kebanyakan hidup
pada substrat keras sampai lumpur, beberapa makrozoobentos yang umum ditemui di kawasan mangrove Indonesia adalah makrozoobentos dari kelas Gastropoda, Bivalvia, Crustacea, dan Polychaeta (Arief, 2003). Distribusi hewan makrozoobentos sangat ditentukan oleh sifat fisika, kimia dan biologi perairan. Sifat fisika yang berpengaruh langsung terhadap hewan makrozoobentos adalah kedalaman, kecepatan arus, kekeruhan, substrat dasar
18
dan suhu perairan. Sedangkan sifat kimia yang berpengaruh langsung adalah derajat keasaman dan kandungan oksigen terlarut (Odum, 1971). Ditambahkan oleh (Krebs 1978) bahwa faktor biologi perairan yang mempengaruhi komunitas hewan bentos adalah kompetisi (persaingan ruang hidup dan makanan), predator (pemangsa) dan tingkat produktivitas primer. Masing-masing faktor biologi tersebut dapat berdiri sendiri akan tetap ada kalanya faktor tersebut saling berinteraksi dan bersama-sama mempengaruhi komunitas pada suatu perairan. 2.
Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E), dan Dominansi (C) Makrozoobentos baik digunakan sebagai bioindikator disuatu perairan
karena habitat hidupnya yang relatif tetap. Perubahan kualitas air, ketersediaan serasah
dan
substrat
hidupnya
sangat
mempengaruhikelimpahan
dan
keanekaragaman makrozoobentos. Kelimpahan dan keanekaragaman sangat bergantung
pada
toleransi
dan
tingkat
sensitivnya
terhadap
kondisi
lingkungannya. Kisaran toleransi dari makrozoobentos terhadap lingkungan berbeda-beda (Wilhm, 1975 dalam Marsaulina, 1994) Komponen lingkungan baik yang hidup (biotik) maupun yang tak hidup (abiotik) mempengaruhi kelimpahan dan keanekaragaman biota air yang ada pada suatu perairan, sehingga tingginya kelimpahan individu tiap jenis dapat dipakai untuk menilai kualitas suatu perairan. Menurut (Ina, 1989 dalam Tenribali, 2015) mengatakan bahwa nilai indeks keanekaragaman (H’) terbesar didapatkan jika semua individu yang diperoleh berasal dari satu jenis atau genera yang berbeda-beda dan keanekaragaman mempunyai nilai kecil atau sama dengan 0, jika suatu individu berasal dari satu atau hanya beberapa jenis (Tabel 1).
19
Tabel 1. Kategori indeks keanekaragaman No
Keanekaragaman (H‘)
Kategori
1.
H’ < 2
Rendah
2.
2 < H’ < 3,00
Sedang
3.
H’ ≥ 3, 00
Tinggi
Nilai indeks keanekaragaman Shannon-Wiener berkisar antara 0 - ~ dengan krikteria sebagai berikut: Jika H’ < 2
: keanekaragaman genera/spesies rendah. Penyebaran jumlah individu tiap genera/spesies rendah, kestabilan komunitas rendah
dan keadaan perairan telah tercemar.
Jika 2 < H’< 3 : keanekaragaman sedang, penyebaran jumlah individu sedang dan Jika H’> 3
kestabilan perairan telah tercemar sedang.
: keanekaragaman tinggi, penyebaran jumlah individu tiap spesies tiap genera tinggi, kestabilan komunitas tinggi dan perairan belum tercemar.
Keseragaman
(E)
dapat
menunjukan
keseimbangan
dalam
suatu
pembagian jumlah individu tiap jenis. Keseragaman (E) mempunyai nilai yang besar jika individu ditemukan berasal dari spesies atau genera yang berbedabeda, semakin kecil indeks keseragaman (E) semakin kecil pula keseragaman jenis dalam komunitas, artinya penyebaran jumlah individu tiap jenis tidak sama, ada kecenderungan didominasi oleh jenis tertentu. Indeks keseragaman merupakan angka yang tidak bersatuan, besarnya berkisar 0-1. Nilai indeks keseragaman (E) yaitu 0,75 < E < 1,00 menandakan kondisi komunitas yang stabil. Komunitas yang stabil menandakan ekosistem tersebut mempunyai keanekaragamn yang tinggi, tidak ada jenis yang dominan serta pembagian jumlah individu (Odum, 1993) (Tabel 2). 20
Tabel 2. Kategori indeks keseragaman (E) (Odum, 1993). No.
Keseragaman (E)
Kategori
1.
0,00 < E < 0,50
Komunitas Tertekan
2.
0,50 < E < 0,75
Komunitas Labil
3.
0,75 < E < 1,00
Komunitas Stabil
Dominansi jenis organisme dalam suatu komunitas ekosistem perairan diketahui dengan cara menghitung indeks dominansi dari organisme tersebut. Nilai indeks dominansi berkisar antara 0 sampai dengan 1. Dimana semakin mendekati satu maka ada organisme yang mendominasi ekosistem perairan, sebaliknya jika mendekati nol maka tidak ada jenis organisme yang dominan (Odum, 1993). Hubungan antara keragaman, keseragaman dan dominansi terkait satu sama lain, dimana apabila organisme beranekaragam berarti organisme tersebut tidak seragam dan tentu tidak ada yang mendominasi (Tabel 3).
Tabel 3. Kategori indeks dominansi (C) (Odum, 1993). No.
Dominansi (C)
Kategori
1.
0,00 < C < 0,50
Rendah
2.
0,50 < C < 0,75
Sedang
3.
0,75 < C < 1,00
Tinggi
Dominansi jenis diperoleh menurut indeks dominansi Simpson, dimana nilainya berkisar antara 0 – 1 dengan kriteria sebagai berikut (Odum, 1993): C = ~ 0, berarti tidak ada jenis yang mendominasi atau komunitas dalam keadaan stabil.
21
C = ~1, berarti ada dominansi dari jenis tertentu atau komunitas dalam keadaan tidak stabil.
B. Parameter Oseanografi 1.
Salinitas Salinitas dapat mempengaruhi penyebaran organisme benthos baik secara
horizintal, maupun vertikal. Secara tidak langsung mengakibatkan adanya perubahan komposisi organisme dalam suatu ekosistem. (Odum, 1993). Gastropoda yang bersifat mobile mempunyai kemampuan untuk bergerak guna menghindari salinitas yang terlalu rendah, namun bivalvia yang bersifat sessile akan mengalami kematian jika pengaruh air tawar berlangsung lama (Effendy, 2000 dalam Syamsurisal, 2011). Menurut Hutabarat dan Evans (1985) kisaran salinitas yang masih mampu mendukung kehidupan organisme perairan, khususnya fauna makrobenthos adalah 15 - 35‰. 2.
pH pH merupakan faktor pembatas bagi organisme yang hidup di suatu
perairan.
Perairan
dengan
pH
yang
terlalu
tinggi
atau
rendah
akan
mempengaruhi ketahanan hidup organisme yang hidup didalamnya (Odum, 1993). Effendy (2000) menambahkan bahwa sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai kisaran pH sekitar 7 – 8,5. Oksigen terlarut merupakan variabel kimia yang mempunyai peran penting sekaligus menjadi faktor pembatas bagi kehidupan biota air (Nybakken, 1988). 3.
Suhu Tiap organisme perairan mempunyai batas toleransi yang berbeda
terhadap perubahan suhu perairan bagi kehidupan dan pertumbuhan organisme perairan. Hewan laut misalnya hidup dalam batas-batas suhu tertentu. Ada yang
22
mempunyai
toleransi
yang
bersifat euriterm. Ada bersifat stenoterm. Hewan
besar
pula yang
terhadap
yang hidup
perubahan
toleransinya dizona
suhu, kecil
pasang-surut
disebut disebut
dan
sering
mengalami kekeringan mempunyai daya tahan yang besar terhadap perubahan suhu. Kisaran suhu yang baik bagi kehidupan organisme perairan adalah antara 18-30 oC (Nontji, 2002). 4.
Substrat Substrat sangat penting bagi organisme yang hidup didasar perairan, baik
pada air yang diam maupun air mengalir. Substrat dapat digolongkan atas substrat lumpur, substrat lumpur berpasir, dan substrat pasir. Pada umumnya substrat dasar yang berlumpur lebih disenangi oleh bentos dari pada dasar yang berupa pasir (Mayasari, 2011). 5.
Bahan Organik Total (BOT) Bahan organik merupakan bahan yang bersifat kompleks dan dinamis,
berasal dari sisa tanaman dan hewan yang terdapat di dalam tanah yang mengalami perombakan. Sedimen pasir kasar umumnya memiliki jumlah bahan organik yang sedikit dibandingkan jenis sedimen halus, karena sedimen sedimen pasir kasar kurang memiliki kemampuan untuk mengikat bahan organik yang lebih banyak. Sebaliknya, jenis sedimen halus memiliki kemampuan cukup besar untuk mengikat bahan organik. Karena bahan organik sedimen memerlukan proses aerasi. Standar bahan organik total yang diperbolehkan agar organisme dapat hidup berkisar 0,68 – 17 ppm (Ukkas, 2009 dalam Anggi, 2013). Menurut Reynold (1971) mengklasifikasikan kandungan bahan organik dalam sedimen yaitu terlihat dalam (Tabel 4). Tabel 4. Kriteria kandungan bahan organik dalam sedimen
23
No
Kandungan bahan organik (%)
Kriteria
>35 17 – 35 7 – 17 3,5 – 7 < 3,5
Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah
1 2 3 4 5
6.
Arus Gelombang dan arus dapat merubah struktur dan fungsi ekosistem
mangrove pada lokasi yang memiliki gelombang dan arus yang cukup besar biasanya hutan mangrove mengalami abrasi sehingga terjadi pengurangan luasan hutan, Gelombang dan arus juga berpengaruh langsung terhadap distribusi spesies misalnya buah yang terbawa gelombang dan arus sampai menemukan substrat yang sesuai untuk menancap dan akhirnya tumbuh dan Gelombang dan arus berpengaruh tidak langsung terhadap sedimentasi pantai dan pembentukan padatan padatan pasir di muara sungai. Terjadinya sedimentasi dan padatan padatan pasir ini merupakan substrat yang baik untuk menunjang pertumbuhan mangrove (Parcival and Womersley, 1975 dalam Kusmana, 1995). 7.
Pasang surut Pasang yang terjadi di kawasan mangrove sangat menentukan
zonasi
tumbuhan dan komunitas hewan yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove (Parcival and Womersley, 1975 dalam Kusmana, 1995). secara rinci pengaruh pasang terhadap pertumbuhan mangrove dijelaskan sebagai berikut: a.
Lama pasang
24
1) Lama terjadinya pasang di kawasan mangrove dapat mempengaruhi perubahan salinitas air dimana salinitas akan meningkat pada saat pasang dan sebaliknya akan menurun pada saat air laut surut 2) Perubahan salinitas yang terjadi sebagai akibat lama terjadinya pasang merupakan faktor pembatas yang mempengaruhi distribusi spesies secara horizontal. 3) Perpindahan massa air antara air tawar dengan air laut mempengaruhi distribusi vertikal organisme b.
Durasi pasang 1) Struktur dan kesuburan mangrove di suatu kawasan yang memiliki jenis pasang diurnal, semi diurnal, dan campuran akan berbeda. 2) Komposisi spesies dan distribusi areal yang digenangi berbeda. Menurut durasi pasang atau frekuensi penggenangan. Misalnya: penggenagan sepanjang waktu maka jenis yang dominan adalah Rhizophora mucronata dan jenis Bruguiera serta Xylocarpus kadang kadang ada.
c.
Rentang pasang (tinggi pasang) 1) Akar tunjang yang dimiliki Rhizophora mucronata menjadi lebih tinggi pada lokasi yang memiliki pasang yang tinggi dan sebaliknya. 2) Pneumatophora Sonneratia sp menjadi lebih kuat dan panjang pada lokasi yang memiliki pasang yang tinggi.
25
III. METODE PENELITIAN A.
Waktu dan tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni-September 2014 dengan
jangka waktu tersebut meliputi studi literatur, survey lapangan, pengambilan dan pengolahan data. Lokasi penelitian yang bertempat di perairan Desa Munte Kecamatan Bone-bone Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan (Gambar 1). Identifikasi bentos dilakukan di Laboratorium Ekologi Laut, analisis bahan organik total (BOT) serta analisis besar butir sedimen dilakukan di Laboratorium Geomorfologi dan Manajemen Pantai, Jurusan Ilmu Kelautan, Universitas Hasanuddin.
Gambar 1. Peta Penelitian perairan Desa Monte Kecamatan Bone-bone Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan.
B.
Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS (Global Positioning
System) untuk menentukan posisi titik koordinat tiap-tiap stasiun, kantong sampel untuk menyimpan sampel, roll meter untuk mengukur jarak tiap stasiun
26
pengamatan, alat tulis menulis untuk mencatat data dan sampel yang didapat, spidol permanen untuk pelabelan sampel, kertas label untuk menandai sampel, sekop berukuran 20 cm x 20 cm untuk mengambil sampel makrozoobentos dan sedimen, kamera digital untuk mendokumentasikan kegiatan penelitian, cool box untuk menyimpan sampel yang telah diambil, jaring ukuran 0.5 cm untuk memisahkan
makrozoobentos
dengan
sedimen,
ayakan
sedimen
untuk
menyaring butiran sedimen, timbangan digital untuk mengukur berat sedimen, oven untuk mengeringkan sedimen, seive net untuk memisahkan jenis sedimen, tanur
untuk
memijarkan
sedimen,
buku
identifikasi
digunakan
untuk
mengidentifikasi jenis makrozoobentos. Untuk pengukuran data oseanografi digunakan pH meter untuk mengukur pH perairan, termometer untuk mengukur suhu perairan, handrefraktometer untuk mengukur salinitas perairan, layang-layang arus untuk mengukur kecepatan arus, kompas bidik untuk mengetahui arah arus, stopwatch untuk mengukur waktu, sedangkan bahan yang digunakan yaitu alkohol 70% untuk mengawetkan sampel makrozoobentos.
C. Prosedur Penelitian Penelitian ini dibagi ke dalam beberapa tahap yaitu tahap persiapan, observasi
awal
dan
penentuan
stasiun,
pengambilan
data
mangrove,
makrozoobentos serta pengukuran parameter lingkungan. 1.
Tahap Persiapan Tahap ini meliputi studi literatur dan pengumpulan data yang berhubungan
dengan penelitian, survei lapangan serta mempersiapkan alat-alat yang akan digunakan selama penelitian di lapangan.
27
2.
Observasi Awal dan Penentuan Stasiun Observasi
awal
dilakukan
untuk
mendapatkan
gambaran
secara
menyeluruh mengenai stasiun penelitian. Adapun metode yang digunakan di dalam menentukan lokasi stasiun adalah “Purposive Random Sampling” yakni lokasi stasiun yang ditentukan berdasarkan areal Mangrove yang akan diteliti. Sedangkan setiap stasiun dilakukan pengulangan sebanyak lima kali. Masingmasing posisi geografis stasiun direkam menggunakan GPS (Global Positioning System). 3.
Pengambilan Data
a.
Mangrove Pengambilan data mangrove dilakukan dengan membuat plot 10×10m
pada setiap stasiun dengan menggunakan transek dan dilakukan pengulangan sebanyak 5 kali. 10 m
10 m
10 m
10 m
10 m
10 m
10 m
10 m
10 m
10 m
Gambar 2. Pengambilan data mangrove.
b.
Penutupan Mangrove Mengestimasi persentase penutupan mangrove dengan menempatkan
transek kuadran (10 m x 10 m) pada setiap titik sampling pada transek line tersebut. Untuk pengamatan persen penutupan mangrove dilakukan dengan menghitung berapa persen suatu spesies menutupi areal dalam tiap sub plot
28
pengamatan. Untuk komposisi jenis dilakukan dengan cara menghitung setiap jenis spesies kemudian membandingkan seberapa persen jumlahnya terhadap seluruh jenis mangrove. Dan untuk kerapatan mangrove dilakukan dengan cara menghitung banyaknya individu yang terdapat dalam setiap plotnya c.
Makrozoobentos Pengambilan sampel makrozoobentos dilakukan dengan menggunakan
skop dengan kedalaman kurang lebih 20 cm pada setiap transek berukuran 10 m x 10 m. Dalam transek diambil sampel makrozoobentos, masing-masing diambil pada keempat sudut transek kuadran dan pada bagian tengah transek kuadran. Sampel yang telah diambil kemudian disaring dengan menggunakan jaring dan organisme makrozoobentos yang tersaring diambil dan dimasukkan ke dalam kantong sampel, dan diberi label stasiun, kemudian diberi pengawet alkohol 70 %. Identifikasi makrozoobentos dilakukan di laboratorium Biologi Laut dengan bantuan buku identifikasi Bunjamin Dharma (1988).
10 m
10 m Gambar 3. Contoh teknik pengambilan sampel makrozoobentos
4.
Pengukuran Parameter Lingkungan Pengukuran parameter lingkungan antara lain, pengukuran parameter fisika
(Pasang surut, arus, serta sedimen) dan parameter kimia (suhu, salinitas, pH,
29
dan bahan organik total sedimen). Metode pengukuran parameter lingkungan sebagai berikut: a.
Arus Pengukuran arus dilakukan pada masing-masing stasiun pengamatan.
Pengukuran kecepatan arus dilakukan dengan menggunakan layang-layang arus dan stopwatch. Sedangkan arah arus ditentukan dengan menggunakan kompas bidik dengan mengamati arah datangnya arus. Kecepatan arus dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
V=s/t dimana :
V = Kecepatan arus (meter/detik) s = Jarak tempuh layang-layang arus t = Waktu (detik)
b.
Suhu Suhu diukur dengan menggunakan termometer dan dilakukan langsung
dilapangan pada stasiun pengamatan. Nilai yang ditunjukkkan oleh termometer yang digunakan kemudian dicatat. c.
Salinitas Pengukuran salinitas dilakukan dengan menggunakan handrefraktometer
dan dilakukan langsung pada stasiun pengamatan. Sampel air diambil, kemudian handrefraktometer ditetesi air dan mencatat nilai salnitas yang terlihat pada handrefraktometer. d.
Kandungan Bahan Organik Total (BOT) Proses analisa bahan organik total (BOT) pada sampel sedimen sebagai
berikut:
30
1)
Cawan porselen tempat sampel dipanaskan dalam oven pada suhu 1050C selama 1 jam, kemudian cawan kosong tersebut ditimbang sebagai berat awal/berat cawan kosong (BCK).
2)
Sampel sedimen yang sebelumnya telah dihaluskan sebanyak ± 10 gram dimasukkan dalam cawan porselen, lalu ditimbang sebagai berat sampel (BS).
3)
Cawan porselen berisi sampel sedimen tadi dimasukkan dalam tanur dengan suhu ± 6000C selama 3 jam, lalu didinginkan dalam desikator selama 30 menit kemudian ditimbang sebagai berat akhir/berat setelah pemijaran (BSP). Kandungan BOT sedimen dihitung menggunakan rumus berikut :
Kandungan bahan organik (berat BOT) = (BCK + BS) – BSP
Sedangkan persentase kandungan bahan organik total sampel sedimen dihitung dengan rumus : % BOT =
Dimana:
(𝐵𝐶𝐾+𝐵𝑆)− 𝐵𝑆𝑃 𝐵𝑆
atau
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐵𝑂𝑇 𝐵𝑆
× 100
% BOT =persentase bahan organik total BCK = berat cawan kosong (gram) BS
= berat cawan sampel awal (gram)
BSP = berat setelah pemijaran (gram) e.
pH Pengukuran pH perairan dilakukan pada setiap stasiun pengamatan
dengan menggunakan kertas pH dan dilakukan langsung di lapangan. Sampel yang telah diukur menggunakan kertas pH kemudian dicocokkan berdasarkan standar warna kemudian dicatat nilainya.
31
f.
Sedimen Untuk sampel sedimen dilakukan analisa butir dengan menggunakan
metode Dry Sieving berdasarkan skala Wentworth (Hutabarat dan Evans, 2000). Metode pengayakan digunakan untuk menentukan distribusi ukuran butiran sedimen. Skala Wentworth (Tabel 1) digunakan untuk mengklasifikasikan sedimen menurut ukuran butirannya. Analisa sampel sedimen dengan metode pengayakan kering untuk mengetahui ukuran butir sedimen. Adapun prosedur pengayakan adalah sebagai berikut: 1) Sampel sedimen, dibersihkan kemudian dikeringkan agar dapat disaring. 2) Sebanyak 100 gram sampel sedimen ditimbang sebagai berat awal, selanjutnya dimasukkan ke dalam sieve net yang telah tersusun secara berurutan dengan ukuran >2 mm, 2-1 mm, 1-0,5 mm, 0,5-0,25 mm, 0,250,125 mm, 0,125-0,625 mm, < 0,0625 mm. Kemudian mengayak sampel sehingga didapatkan pemisahan masing-masing partikel sedimen. 3) Sampel sedimen dipisahkan dari ayakan, selanjutnya dimasukkan ke dalam cawan petri untuk ditimbang. 4) Sampel kemudian diklasifikasi berdasarkan skala Wentworth (Tabel 2). Tabel 5. Skala Wentworth untuk mengklasifikasi partikel-partikel sedimen (Hutabarat dan Evans, 2000). Ukuran (mm) Keterangan > 256 2 – 256 1–2 0,5 – 1 0,25 – 0,5 0,125 – 0,25 0,0625 – 0,125 0,0039 – 0,00625 < 0,0039
Kerakal Kerikil Pasir sangat kasar Pasir kasar Pasir agak kasar Pasir halus Pasir sangat halus Lanau Lempung
Untuk pengolahan data sedimen menggunakan rumus (Hariyadi, 1992 dalam Risal, 2012).
32
Menghitung % berat sedimen :
Berat Hasil Ayakan % Berat =
X 100% Berat Awal
Menghitung % berat kumulatif:
% Kumulatif = % Berat 1 + % Berat 2 + % Berat 3 +.... % Berat n
D. Analisis Data 1.
Pengolahan data mangrove Komposisi Jenis Mangrove Untuk menghitung Komposisi jenis mangrove menggunakan rumus
(Bengen 2002 dan Kusmana 1997),
Komposisi Jenis =
Jumlah Jenis Luas Plot
Penutupan Mangrove Untuk menghitung Penutupan mangrove menggunakan rumus: (Amran, 2013)
Ci =
∑BA A
dan
Rci =
𝐶𝑖 ∑𝐶
Dimana : Ci = penutupan jenis (i) dalam satu unit area A = luas total plot ( m2 ) ∑C= jumlah penutupan dari semua jenis Rci = penutupan relatif jenis i ( % ) DBH= lingkar batang ( m )
33
BA = 𝜋 𝐷𝐵𝐻 2/4 Kerapatan Mangrove Untuk menghitung kerapatan mangrove menggunkan rumus :
K=
ni A
Dimana : K = kerapatan (pohon/m2) Ni = jumlah tegakan dari setiap jenis mangrove A = luasan kuadrat (10 x 10 m2). Kondisi penutupan dan kerapatan mangrove dinilai berdasarkan krikteria baku kerusakan mangrove yang dikeluarkan dalam Kepmen LH No 201 tahun 2004 yaitu Tabel 6. Krikteria penutupan dan Kerapatan mangrove Krikteria
Penutupan ( % )
Kerapatan ( Pohon/ha )
≥ 75 ≥ 50 - ≤ 75 ≤ 50
≥ 1500 ≥ 1000 - ≤ 1500 ≤ 1000
Sangat padat Sedang Jarang
Baik Rusak
2. Pengelolaan data makrozoobenthos a.
Kepadatan Makrozoobentos Kepadatan individu makrozoobentos dihitung dengan menggunakan rumus
(Odum, 1971):
𝐾=
ni A
dimana : K = Kepadatan individu (ind/m2) ni = Jumlah individu Makrozoobentos A = Luas transek kuadran
34
Untuk melihat keanekaragaman, keseragaman dan dominansi pada tiaptiap stasiun maka dilanjutkan dengan menghitung indeks keanekaragaman, keseragaman dan dominansi. Adapun untuk pengolahan datanya adalah sebagai berikut:
b.
Indeks Keanekaragaman (H’) Indeks Keanekaragaman dihitung dengan menggunakan rumus “Shannon
Index of Diversity” (Odum, 1971):
H’= - ∑ (
𝑛𝑖 𝑁
) In (
𝑛𝑖 𝑁
)
dimana : H’ = Indeks Keanekaragaman ni = Jumlah individu setiap spesies N = Jumlah individu seluruh spesies c.
Indeks Keseragaman (E) Indeks Keseragaman dihitung dengan menggunakan rumus “Evenness
Index” (Odum, 1971):
E=
𝐻′ 𝐼𝑛 𝑆
dimana : E = Indeks Keseragaman H’ = Indeks Keanekaragaman S = Jumlah seluruh spesies d.
Indeks Dominansi (C) Indeks Dominansi dihitung dengan menggunakan rumus “Index of
Dominance” dari Simpson (Odum, 1971):
35
C=∑(
𝑛𝑖 2 ) 𝑁
dimana: C = Indeks Dominansi ni = Jumlah individu tiap spesies N = Jumlah individu seluruh spesies
36
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Lokasi Calon Kawasan Konservasi Perairan Daerah, Kabupaten Luwu Utara berada di Kelurahan/Desa Poreang, Kecamatan Tana Lili. Kecamatan Tana Lili merupakan kecamatan baru yang berasal dari pemekaran wilayah Kecamatan Bone-bone. Luas wilayah Kecamatan Tana Lili adalah sebesar 14,75 Km² atau sebesar 9,87% dari luas Kecamatan Tana Lili (149,41 Km2). Desa Poreang berbatasan langsung dengan Desa Munte dan Karondang di sebelah barat. Sedangkan batas sebelah utara berbatasan dengan Desa Bungadidi, dan di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Luwu Timur dan sebelah Selatan berbatasan dengan Teluk Bone. Sampai dengan tahun 2012, tingkat kepadatan penduduk di Desa Poreang masih tergolong rendah. dengan luas wilayah 14,75 Km² dan jumlah penduduk sebanyak 2150 orang, maka tingkat kepadatan penduduk di kecamatan ini hanya sebesar 146 orang per Km². Dengan kata lain setiap Km luas wilayah di Kecamatan Tana Lili secara rata-rata hanya didiami oleh 146 orang. Pada tahun yang sama, jumlah
penduduk laki-laki
sebanyak 1085 orang dan jumlah
penduduk
perempuan 1060 orang. Dengan demikian maka rasio jenis kelamin adalah sebesar 102 yang artinya dari setiap 100 penduduk perempuan terdapat 102 penduduk lakilaki. Jumlah rumah tangga di Desa Poreang sebesar 460 keluarga, dengan ratarata jumlah anggota keluarga sebesar 5 orang (BPS dan Bappeda Luwu Utara, 2013). Dari 469 KK, 113 KK sudah menempati rumah yang permanen, namun sebagiaan besar masih bukan permanen (356 rumah). Kondisi kesehatan lingkungan belum baik, tidak memiliki jamban sendiri, meskipun sudah terdapat
37
saluran pembuangan limbah cair.
Walaupun demikian, sebagian besar
penduduk masih membakar sampah rumah tangga sebagai cara pemusnahan sampah.
Ditunjang oleh kondisi alamnya yang subur, Desa Poreang
mempunyai potensi yang besar di bidang pertanian. Pengelolaan sektor pertanian secara optimal diharapkan dapat meningkatkan pendapatan asli daerah. Pada tahun 2012, produksi padi di kecamatan ini mencapai 8 4 7 ,23 ton yang dihasilkan dari lahan seluas 244,79 Ha. Selain itu produksi jagung sebesar 10,8 ton, dari lahan seluas 8,46 Ha.
Sedangkan produksi kedelai
sebesar 6,10 ton dari lahan seluas 4,1 Ha. Untuk hasil perkebunan, berhasil diproduksi kelapa dalam sebesar 61,43 ton dari lahan kebun seluas 45,5 Ha. Untuk coklat diproduksi sebesar 138,68 ton dari lahan seluas 193,5 Ha. Produksi perkebunan yang tinggi dihasilkan dari kelapa sawit dengan total produksi di tahun 2012 sebesar 1.019,37 ton dari lahan seluas 279 Ha. Babi merupakan hewan ternak besar yang paling banyak terdapat di Desa Poreang. Pada tahun 2012, populasi babi mencapai 249 ekor. Selain itu juga terdapat sapi (92 ekor), kambing (52 ekor). Untuk jenis unggas yang paling banyak terdapat adalah ayam buras dengan populasi mencapai 3.381 ekor dan itik sebanyak 123 ekor. Luasan tambak di Desa Poreang menempati urutan kedua terluas setelah Desa Rampoang. Luasan tambak di Desa Poreang yaitu seluas 231 Ha. Selain itu juga terdapat kolam ikan seluas Ha. Besarnya produksi ikan (ikan bandemg) dari tambak di Desa Poreang yaitu sebesar 432 ton, dan ikan air tawar (ikan mas) sebesar 2 ton. Untuk usaha penangkapan di Desa Poreang tercatat 33 unit perahu, masing-masing 23 perahu dengan mesin tempel, dan sisanya 10 unit tanpa mesin (BPS dan Bappeda Luwu Utara, 2013).
38
B. Komposisi Jenis Mangrove Berdasarkan hasil penelitian ini ditemukan 4 jenis mangrove yang tersebar di lima stasiun seperti pada gambar 4.
Stasiun 1 13% Bruguiera sp Soneratia sp
87%
Stasiun 2 5% 25% Soneratia sp Bruguiera sp Avicenia sp 70%
Stasiun 3 3% 11% Bruguiera sp Soneratia sp Rhizophora sp 86%
39
Stasiun 4 26%
15% Bruguiera sp Avicenia sp
1%
Rhizophora sp 58%
Soneratia sp
Stasiun 5 16% Bruguiera sp Soneratia sp 84%
Gambar 4. Komposisi jenis mangrove seluruh stasiun Pada gambar diatas didapatkan jenis mangrove pada lokasi penelitian, pada stasiun 1 terdiri dua jenis yaitu Bruguiera sp dengan penutupan 87% dan Soneratia sp dengan pentupan 13%. Stasiun
2 terdiri dari tiga jenis yaitu
Soneratia sp dengan penutupan 25%, Bruguiera sp dengan penutupan 70% dan Avicenia sp 5%, Stasiun 3 terdiri dari tiga jenis yaitu Bruguiera sp dengan penutupan 86%, Soneratia sp dengan penutupan 11%, Rhizophora sp dengan penutupan 3%, Stasiun
4 terdiri dari 4 jenis yaitu Bruguiera sp dengan
penutupan 15%, Avicenia sp dengan penutupan 58%, Rhizopora sp dengan penutupan 1%, Soneratia sp dengan penutupan 26%, serta stasiun 5 terdiri dari dua jenis yaitu Bruguiera sp dengan penutupan 84% dan Soneratia sp dengan penutupan 16%.
40
Bruguiera sp paling banyak ditemukan pada seluruh stasiun dikarenakan jenis Bruguiera sp merupakan ciri dari perkembangan tahap akhir dari hutan pantai, serta tahap awal dalam transisi menjadi tipe vegetasi daratan, dan pada lokasi penelitian terdapat tambak dan sungai yang menyebabkan salinitas rendah. Jenis ini toleran terhadap daerah terlindung maupun yang mendapat sinar matahari langsung. Mereka juga tumbuh pada tepi daratan dari mangrove, sepanjang tambak serta sungai pasang surut dan payau. Ditemukan di tepi pantai hanya jika terjadi erosi pada lahan di hadapannya. Substrat-nya terdiri dari lumpur, pasir dan kadang-kadang tanah gambut hitam. Kadang-kadang juga ditemukan di pinggir sungai yang kurang terpengaruh air laut, hal tersebut dimungkinkan karena buahnya terbawa arus air atau gelombang pasang (Akhzan, 2014).
C. Penutupan Mangrove Berdasarkan hasil penelitian maka didapatkan penutupan mangrove perstasiun seperti yang ditampilkan pada (gambar 5).
Penutupan Mangrove Seluruh Stasiun Penutupan Basal (Cm²/M²)
3,50 3,00 2,50 2,00
1,62
1,67
1,50
1,82 1,48 1,06
1,00 0,50 0,00 1
2
3
4
5
Stasiun
Gambar 5. Grafik penutupan basal mangrove seluruh stasiun. Penutupan basal mangrove mangrove pada semua stasiun berkisar antara 1.06% sampai 1.82%. Pada stasiun 1 penutupan basal mangrove yaitu 1.62%,
41
stasiun 2 yaitu 1.67%, stasiun 3 yaitu 1.48%, stasiun 4 yaitu 1.06%, dan stasiun 5 yaitu 1.82%. Menurut Lahabu (2015), faktor – faktor yang mempengaruhi nilai tutupan jenis ialah lingkar batang pohon dan basal area dalam satu lokasi pengambilan sampel, yang paling berpengaruh dalam menentukan besarnya diameter batang adalah jenis umur pohon, dengan lamanya pertumbuhan umur suatu pohon, maka pohon tersebut akan bertambah besar, semakin besar diameter batang pohon maka semakin besar nilai tutupan mangrove.
D. Kerapatan Mangrove Kerapatan mangrove merupakan jumlah total tegakan dari suatu jenis mangrove tertentu dalam suatu unit area. Dari hasil penelitian maka didapatkan kerapatan mangrove seperti pada (gambar 6).
Kerapatan Mangrove Seluruh Stasiun
Kerapatan (Pohon/Ha)
3000 2500 2000
1760
1500 1000
1140
1340 860
800
500 0 1
2
3
4
5
Stasiun
Gambar 6. Grafik kerapatan mangrove Berdasarkan standar baku kerapatan mangrove yang dikeluarkan oleh kepmen LH no. 201 tahun 2004 kondisi mangrove pada lokasi penelitian tergolong dalam kategori baik dengan kriteria sangat padat (≥1500 pohon/ha). Kerapatan pohon mangrove pada lokasi penelitian berkisar antara 800 – 1760 pohon/ha. Kerapatan pohon paling padat terdapat pada stasiun 4 dimana pada
42
stasiun ini ditemukan jenis mangrove Bruguiera sp, Soneratia sp dan Avicenia sp, dan Avicenia sp yang mendominasi ataupun yang paling banyak jumlahnya. Hasil uji oneway anova memperlihatkan hasil yang signifikan pada beberapa stasiun (P < 0.05) yaitu antara stasiun 1 dengan 4 dan stasiun 4 dengan 5 (lampiran 2). Semakin banyak tegakan yang diperoleh dalam stasiun maka nilai kerapatan semakin besar.
E. Kepadatan Makrozoobenthos Kepadatan makrozoobentos didefinisikan sebagai jumlah individu yang terdapat di dalam sedimen per satuan luas, biasanya dalam satuan meter kuadrat atau sentimeter kuadrat. Dari hasil penelitian maka didapatkan kepadatan makrozoobentoz seperti (pada gambar 7).
Total Kepadatan makrozoobentos (ind/m²)
Total kepadatan 250 205 185
200
140
150
95
100
75
50 0 1
2
3
4
5
Stasiun
Gambar 7. Grafik total kepadatan makrozoobentos. Total kepadatan makrozoobentos paling banyak ditemukan pada stasiun 1 dengan nilai yaitu 205 ind/m2, dan total kepadatan makrozoobentos paling sedikit pada stasiun 3 dengan nilai 75 ind/m2. Salah satu faktor yang mempengaruhi rendahnya total kepadatan pada stasiun 3 yaitu memiliki jenis substrat halus, dimana jenis substrat halus memiliki kandungan oksigen rendah.
Menurut 43
Hutchinson (1993) dalam Yeanny (2007) keanekaragaman makrozoobentos di perairan juga dipengaruhi oleh jenis substrat dan kandungan organik substrat. Derajat Keasaman (pH) sangat penting mendukung kelangsungan hidup organisme akuatik karena pH dapat mempengaruhi jenis dan susunan zat dalam lingkungan perairan dan tersedianya unsur hara serta toksisitas unsur renik. Sastrawijaya (1991) dalam Yeanny (2007) kondisi perairan yang sangat asam atau basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terganggunya metabolisme dan respirasi, dimana pH yang rendah menyebabkan mobilitas kelangsungan hidup organisme perairan.
F. Parameter Lingkungan Parameter lingkungan merupakan faktor yang
dapat mempengaruhi
karakterisitik di dalam suatu ekosistem. Adapun parameter lingkungan terukurdalam penelitian ini dapat dilihat pada (tabel 8). Tabel 7. Parameter lingkungan No 1
Stasiun I
Stasiun II
Stasiun III
Stasiun IV
Stasiun V
Kisaran
Kisaran
Kisaran
Kisaran
30.9-30.6 30.75 24-22
31-30.9
29-27.1
28.3-28.1
30.95 26-25
28.05 15
28.2 15-13
23 6.4-5.53
25.5 5.58-5.22
15 6.01-5.08
14 6-5.36
BOT (%)
5.96 1.93-1.44
5.4 3.79-1.90
5.54 5.57-3.56
5.68 2.25-1.55
Rata-rata
1.68
1.90
12.81
4.57
Kisaran 30.6-30.4 30.5 28-26 27 6.38–6.07 6.22 2.27-1.76 2.02
Parameter Lingkungan suhu (°C ) Rata-rata
2
Salinitas (‰) Rata-rata
3
pH Rata-rata
4
1. Suhu Dari hasil penelitian diperoleh suhu dari stasiun penelitian yaitu berkisar antara 30,95 – 28,2°C. Dimana suhu terendah terdapat pada Stasiun 4, yaitu 28,2°C, sedangkan suhu tertinggi terdapat pada Stasiun 2, yaitu 30,95°C. Nilai rata-rata suhu yang didapatkan dari semua stasiun yaitu 29,69°C.
44
Nilai suhu pada lokasi penelitian masih berada pada kisaran optimum untuk pertumbuhan mangrove dan makrozoobenthos. Menurut Ihlas (2001) dalam Syamsurizal (2011) bahwa suhu yang ditolerir oleh makrozoobenthos dalam hidup dan kehidupannya berkisar antara 25˚C - 53˚C. nilai kisaran ini mampu mendukung hidup yang layak dalam ekosistem dimana mereka hidup. 2.
Salinitas Dari hasil penelitian diperoleh pengukuran salinitas berada pada kisaran 15
– 28o/oo, salinitas terendah terdapat pada stasiun 4 yaitu 14 ‰ dan salinitas tertinggi terdapat pada stasiun 5 yaitu 27 ‰ , nilai rata-rata salinitas pada semua stasiun yaitu 20,9‰. Menurut Khow (2002) dalam Mardi (2014) mengatakan bahwa masing-masing jenis mangrove memiliki toleransi yang berbeda terhadap tingginya salinitas lingkungan, batas ambang toleransi tumbuhan mangrove diperkirakan mencapai batas 90‰, kadar salinitas disekitar hutan mangrove tergantung dari bertambahnya volume air tawar yang mengalir dari sungai dan salinitas tertinggi terjadi pada musim kemarau. Menurut Hubarat dan Evans (1985) dalam Syamsurizal (2011) kisaran salinitas yang masih mampu mendukung kehidupan organisme perairan, khususnya fauna makrozoobenthos adalah 15 - 35‰. 3.
pH (Derajat Keasaman) Tingkat keasaman yang diperoleh pada stasiun penelitian berkisar 5,4 –
6,22, tingkat keasaman terendah pada stasiun 2 yaitu 5,4 dan tingkat keasaman tertinggi pada stasiun 5 yaitu 6,22. Nilai rata-rata pH pada semua stasiun yaitu 5,76. Menurut Odum (1994) dalam Simamora (2009) kehidupan organisme akuatik toleran pada kisaran nilai pH yang netral. pH yang ideal bagi organisme akuatik pada umumnya terdapat antara 7 – 8,5. Kondisi perairan yang bersifat
45
sangat asam maupun sangat basa akan menyebabkan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya metabolisme dan respirasi. 4.
Pasang surut Pasang surut merupakan gerakan naik turunnya permukaan air laut yang
berlangsung secara periodik dan disebabkan gaya tarik benda-benda astronomis dan gaya sentrifugal bumi. Pasang surut yang didapatkan pada lokasi peneltian dapat dilihat pada (gambar 8).
250 200
Cm
150 100 50
05:00
03:00
01:00
23:00
21:00
19:00
17:00
15:00
13:00
11:00
09:00
07:00
05:00
03:00
01:00
23:00
21:00
19:00
17:00
15:00
0
Waktu
Gambar 8. Grafik pasang surut Berdasarkan hasil pengamatan pada lokasi penelitian didapatkan nilai rata-rata tinggi muka air laut yaitu 68 cm (lampiran 2). Sementara itu pada grafik pasang surut diatas dapat diketahui tipe pasang surut pada lokasi penelitian yaitu tipe pasang surut semi diurnal yang artinya dalam satu hari terjadi dua kali pasang dan dua kali surut. 5.
Arus Kecepatan arus di lokasi penelitian berkisar antara 0,6 – 1,2 m/det dengan
rata-rata sebesar 1,0 m/det (Lampiran 3). Kecepatan arus secara tak langsung akan memepengaruhi substrat dasar perairan. Menurut Hasmawati (2001) dalam
46
Iman (2014)
Berdasarkan kecepatannya maka arus dapat dikelompokkan
menjadi arus sangat cepat (> 1 m/dt), arus cepat (0,5 – 1 m/dt), arus sedang (0,1 – 0,5 m/dt), dan arus lambat
(< 0,1 m/dt). Dari pengelompokkan tersebut
didapatkan bahwa kondisi arus dilokasi penelitian masuk dalam kategori cepat, hal ini disebabkan karena banyaknya terumbu karang yang rusak atau hancur sehingga tidak mampu menghalangi pergerakan arus (Mason, 1981). 6.
Hubungan Bahan Organik Total (BOT) Dengan Makrozoobentos Pada
stasiun
3
dengan
nilai
BOT
12.81
ditemukan
41
jenis
makrozoobentos, stasiun ini merupakan stasiun dengan nilai BOT dan jumlah jenis makrozoobentos tertinggi. Pada stasiun 1 dengan nilai BOT 1.6 ditemukan 15 jenis makrozoobentos, stasiun ini merupakan stasiun dengan nilai BOT dan jumlah jenis makrozoobentos terendah. Pada stasiun 2 dengan nilai BOT 1.9 ditemukan 28 jenis makrozoobentos. Pada stasiun 4 dengan nilai BOT 4.57 ditemukan 38 jenis makrozoobentos. Sedangkan pada stasiun 5 dengan nilai BOT 2.02 ditemukan 17 jenis makrozoobentos (Gambar 9).
Jumlah Jenis Makrozoobentos
45 40 35 30 25 3
20 15 10 5
4
2 5
1
0 1,6
1,9
12,81
4,57
2,02
BOT
Gambar 9. Hubungan BOT dengan jumlah jenis makrozoobentos Berdasarkan hasil analisis dan grafik di atas, ditemukan bahwa semakin tinggi nilai BOT, maka jumlah jenis makrozoobentos yang ditemukan juga
47
semakin tinggi. Menurut (Zulkifli 1988) yang menyatakan bahwa kelimpahan
makrozoobentos erat kaitannya dengan ketersedian bahan organik yang terkandung dalam substrat. 7.
Hubungan Sedimen Dengan Makrozoobentos Pada stasiun 3 dengan jenis sedimen pasir halus ditemukan 41 jenis
makrozoobentos, stasiun ini merupakan stasiun dengan nilai besar butir sedimen terkecil yaitu 0.19 mm dan jumlah jenis makrozoobentos tertinggi. Pada stasiun 5 dengan jenis sedimen pasir sedang ditemukan 17 jenis makrozoobentos, stasiun ini merupakan stasiun
dengan nilai besar butir
sedimen terbesar yaitu 0.37 mm. hal ini hampir sama dengan stasiun 1, dimana pada stasiun ini jenis sedimennya yaitu pasir sedang dengan nilai besar butir 0.29 mm dan ditemukan 15 jenis makrozoobentos. Pada stasiun 2 dengan jenis sedimen pasir sedang ditemukan 28 jenis makrozoobentos, stasiun ini memiliki nilai besar butir sedimen yaitu 0.26 mm. Sedangkan pada stasiun 4 jenis sedimen pasir sedang ditemukan 38 jenis makrozoobentos, stasiun ini memiliki nilai besar butir sedimen 0.19 (Gambar 10).
Jumlah Jenis Makzoobentos
45 40 35 30 25 3
20 15 10 5
4
2 5
1
0 0,29
0,26
0,19
0,19
0,37
Sedimen
Gambar 10. Hubungan sedimen dengan jumah jenis makrozoobentos
48
Berdasarkan hasil analisis dan grafik diatas ditemukan bahwa besar butir sedimen mempengaruhi jumlah jenis makrozobentos. Dimana semakin kecil besar butir sedimen, maka jumlah jenis makrozoobentos semakin banyak. Menurut (Rafni 2004) hai ini dsebabkan karena sedimen berlumpur lebih mengikat bahan organik dengan teksturnya yang padat dan cenderung halus, sedangkan tekstur sedimen berpasir cenderung tidak mengikat begitu banyak bahan organik karena teksturnya yang kasar dan bersifat terpisah-pisah.
G. Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (C) Makrozoobentos. Nillai indeks ekologi (indeks Keanekaragaman H’, Keseragaman E, dan Dominansi C) secara umum untuk semua stasiun pengamatan disajikan dalam bentuk (Tabel 10). Tabel 8. Indeks Keanekaragaman(H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (C) Stasiun Keanekaragaman (H') Keseragaman (E) Dominansi (C) 1 2.036 0.819 0.175 2 2.705 0.936 0.078 3 1.622 0.833 0.253 4 2.552 0.942 0.089 5 1.882 0.905 0.033 Indeks keanekaragaman (H’) makrozoobentos pada lokasi penelitian tergolong rendah sampai sedang dimana pada stasiun 3 dan 5 indeks keanekaragaman masuk dalam kategori rendah sedangkan pada stasiun 1, 2 dan 4 indekas keanekaragaman masuk dalam kategori sedang. Menurut Odum (1993) Indeks keseragaman (E) pada lokasi penelitian memperlihatkan bahwa pada semua stasiun keseragaman (E) makrozoobentos berada pada komunitas stabil. Menurut Odum (1993) Indeks dominansi (C) pada lokasi penelitian memperlihatkan untuk stasiun 1,2,3,4 dan 5 masuk dalam kategori rendah.
49
H. Analisis PCA Untuk melihat hubungan komposisi jenis mangrove, kerapatan mangrove, kepadatan makrozoobentos serta faktor oseanografi, maka dilakukan anilisis PCA sperti yang ditampilkan pada (gambar 9).
Biplot (axes F1 and F2: 82.28 %) 5 Gastropoda 4 3 2
Komposisi
Suhu
F2 (18.34 %)
2
Salinitas Bivalvia
1 Kerapatan 4 Polychaeta
0 -1
1 Substrat
3
5 -2
BOT
-3
pH
Arus
-4 -6
-5
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
5
6
F1 (63.94 %)
Gambar 11. Hasil Analisis PCA Hasil PCA memperlihatkan adanya 4 kelompok yang terbentuk yaitu kelompok pertama pada stasiun 2 dicirikan oleh suhu, salinitas dan bivalvia, dimana bivalvia yang diperoleh pada stasiun ini yaitu 16 ind/cm2. Bivalvia mampu tolenasi terhadap suhu antara 25˚C - 28˚C, Menurut (Islami, 2013) bivalvia juga mampu mempertahankan hidup pada kisaran salinitas 30‰ - 33‰. Menurut (Dibyowati, 2009) Kelas bivalvia mampu hidup pada substrat pasir halus sampai sedang, bivalvia berlimpah di lingkungan dengan substrat berpasir karena anggota ini mampu menggali liang di dalam pasir dan diantara butiran pasir. Kelompok kedua pada stasiun 1 dan 5 dicirikan oleh substrat dan pH, dimana substrat yang diperoleh pada stasiun ini yaitu jenis substrat pasir sedang dan pasir halus. Kelompok ketiga pada stasiun 3 dicirikan oleh polycaeta, BOT dan
50
arus, dimana polycaeta yang diperoleh pada stasiun ini yaitu 6 ind/cm2 dan BOT yang diperoleh yaitu 12.81 %.Menurut (Ukkas, 2009 dalam Anggi, 2013) Standar bahan organik total yang diperbolehkan agar organisme dapat hidup berkisar 0,68 – 17 ppm.
Kelompok 4 pada stasiun 4 dicirikan oleh gastropoda dan
Kerapatan mangrove, dimana gastropada yang diperoleh yaitu 10 ind/cm2 dan kerapatan mangrove yang diperoleh 8800 pohon/Ha.
51
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan Dari perolehan data dan hasil pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa : 1. Di Desa Munte Kec. Bone-Bone ditemukan 4 jenis mangrove, yaitu Bruguiera sp, Soneratia sp, Avicenia sp, dan Rhyzopora sp. Kerapatan jenis mangrove tertinggi terdapat pada stasiun 4 yaitu 1760 (pohon/Ha) dengan 3 jenis mangrove yang ditemukan. Dan penutupan mangrove pada semua stasiun masuk dalam kategori rusak dengan penutupan jarang. 2. Ditemukan 3 kelas makrozoobenthos pada daerah mangrove, yaitu Bivalvia, Gastropoda dan Polycaeta. Makrozoobentos yang paling banyak ditemukan berasal dari kelas Bivalvia yang terdapat pada stasiun 1 dengan jenis Tellina ramies dan Tellina sp. Dan Gastropoda yang paling banyak terdapat pada stasiun 2 dengan jenis Ceritium sp, Chliton sp, Notocholis venestula, Nerita sp, Chliton ovalaniense, Cerithium uberneum, Nassarius sp, dan Hebra sp. 3. Struktur komunitas mangrove yang memiliki kerapatan ≥ 1500 (Pohon/ha) masuk dalam kategori sangat padat
ditemukan
jenis makrozoobenthos
Tellina ramies, Tellina sp, Strombus sp, Polycaeta, Phasianella sp, Tellina radiata, Cerithium uberneum, Natica sp, dan Morulla sp. 4. Kepadatan makrozoobentos yang tinggi terdapat pada stasiun 1 dengan jenis yang ditemukan Tellina ramies, Tellina sp, Granulifusus sp, Polycaeta, Vexillum sp, Risssoina sp, dan Cerithium uberneum.
B. Saran Untuk mendapatkan informasi yang lebih luas mengenai Makrozoobentos dan Mangrove, sebaiknya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai
52
Struktur Komunitas Makrozoobentos Kaitannya Dengan Keragaman Mangrove Di Desa Munte Kecamatan Bone-Bone Kabupaten Luwu Utara.
53
DAFTAR PUSTAKA Ahmad. 2013. Sebaran dan keanekaragaman ikan target pada kondisi dan topografi terumbu karang di pulau samatellulompo kabupaten pangkep. Skripsi. Jurusan Ilmu Kelautan. FIKP.Universitas Hasanuddin. Makassar. Andi. 2002. 10 Model Penelitian dan Pengolahnnya dengan SPSS 14. Edisi IV. ANDI OFFSET. Yogyakarta. WAHANA KOMPUTER. Semarang. Amran. S., 2013. Mengungkap Potensi Emas Hijau Di Wilayah Pesisir. Masagena Press. Makassar. Arief, A. M. P., 2003. Hutan Mangrove Fungsi dan Manfaatnya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Ayu, P.R. dkk. 2005. Kajian Distribusi Dan Keberadaan Makrobenthos Dalam Hubungannya Dengan Suhu Di Aliran Sungai Air Panas Cangar Kota Batu. Fakultas sains dan teknologi. Universitas Airlangga. Surabaya. Bunjamin D. (1988), Siput dan Kerang Indonesia, Penerbit Erlangga. Jakarta. Dibyowati,A. 2009.Keanekaragaman Molusca (BIvalvia dan Gastropoda) Di Sepanjang Pantai Carita,Pandeglang,Banten.FMIPA.IPB.Bogor. Flazia.A.N. 2006. Struktur Komunitas Mangrove dan Implikasinya pada Kegiatan Rehabilitasi di Pesisir Brebes, Jawa Tengah. Departemen Sumber Daya Peraiaran.FPIK.IPB.Jawa Tengah. Howes,J.,D.Bakewell,&Y.R.Noor.(2003).Panduan Studi Burung Pantai, Bogor: Wetlands International-Indonesia Programme. Hsuan K. 1978. Orders and Families of Malayan Seed Plants. Singapore University Press. Hubarat,S dan evans,S, 1985. Pengantar oseanografi. Penerbit UI – press. Jakarta. Ihlas. 2001. Struktur Komunitas Makrozoobentos Pada Ekosistem Hutan Mangrove di Pulau Sarapa Kecamatan Liukang Tupabiring Kabupaten Pangkep. Sulawesi Selatan. Iman, N.A. 2014. Kesesuaian lahan untuk perencanaan rehabilitasi mangrove dengan pendekatan analisis elevasi di kuri caddi, kabupaten maros. Skipsi. Jurusan Ilmu Kelautan. FIKP. Universitas Hasanuddin. Makassar. Irawan B. 2004b. Keanekaragaman Jenis Lamun dan Vegetasi Mangrove di Wilayah Pesisir Propinsi Gorontalo. Laporan Survey Tematik Wilayah Pesisir Propinsi Gorontalo.
54
Islami,M.M. 2013. Pengaruh Suhu dan Salinitas Terhadap Bivalvia. Oseana.UPT Balai Konservasi Biota Laut Ambon,LIPI, Vol XXXVIII, No 2. Kasmini, Lili. 2014. Identifikasi Populasi Makrozoobentos Di Kawasan Ekosistem Mangrove Desa Ladong Aceh Besar. STIKIP Bina Bangsa Getsempena. Banda Aceh. Krebs, C. J.1978. A review of Chitty's hypothesis of population regulation. Canadian Journal of Zoology 56: 2463-2480. Kusmana, C. S. Takeda, and H. Watanabe. 1995. Litter Production of Mangrove Forest in East Sumatera. Lahabu, Y. 2015. Kondisi ekologi mangrove di pulau Mantehage Kecamatan Wori Kabupaten Minahasa Provinsi Sulawesi Utara. Jurnal pesisir dan laut tropis, vol 2 nomor 1. Mardi. 2014. Keterkaitan Struktur Vegetasi Mangrove Dengan Keasaman Dan Bahan Organik Total Sedimen Pada Kawasan Suaka Margasatwa Mampie Di Kecamatan Wonomulyo Kabupaten Polewali Mandar.Skirpsi. Jurusan Imun Kelautan. FIKP. Universitas Hasanuddin. Makassar. Marpaung. F.A.A. 2013. Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Ekosistem Mangrove Silvofishery Dan Mangrove Alami Kawasan Ekowisata Pantai Boe Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar.Skripsi.Universitas Hasanuddin. Makassar. Mayasari, I. 2011. Keanekaragaman Makrozoobentos di Ekosistem Mangrove Iboih Sabang Provinsi Aceh. Skripsi. Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala. Marsulina, L. 1994. Keberadaan dan Keanekaragaman Makrozoobentos di Sungai Semayang Kecamatan Sunggal. Medan:Karya Tulis. Lembaga Penelitian Universitas Sumatra Utara. Mason, C. F., 1981. Biology of freshwater Pollution. Scientic and technical. Longman Singapure Publisher Ptc. Ltd. Singapore. Nontji, A. 2002. Laut Nusantara. Jakarta: Djambatan. Noor YL,Khazali M dan Suryadipura INN. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Bogor : Wetland International – Indonesia Programme. Nybakken, J.W., 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Indonesia. Odum, E. P. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Diterjemahkan oleh T. Samingan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 697 hal.Odum,E.P., 1971, Fundamental Of Ecology, Third Edition. Sounder Company.Toronto. Odum, E. P. 1994. Dasar-dasar ekologi. Edisi ketiga. Gadjah mada university press. Yogyakarta.
55
Rafni, R. 2004. Kajian Kapasitas Asimilasi Beban Pencemar di Perairan Teluk Jobokuto Kabupaten Jepara Jawa Tengah. Sekolah Pasca Sarjana. InstitutPertanian Bogor. Bogor. Resh, V. H. and D. M. Rosenberg. 1993. Freshwater Biomonitoring and Benthic Macroinvertebrates. Chapman and Hall. New York. London. Risal, M. 2012. Analisis Kondisi Dan Keragaman Lamun Pada Beberapa Pulau Di Kota Makassar.Skripsi. Jurusan Ilmu Kelautan. FIKP. Universitas Hasanuddin. Makassar. Setiawan. H.2013. Status ekologi hutan mangrove pada berbagai Tingkat ketebalan (ecological status of mangrove forest at various thickness levels.Jurnal.Vol 2. No 2. Makassar. Soemartini. 2008. Principal Component Analysis (PCA) sebagai Salah Satu Metode untuk Mengatasi Masalah Multikolinieritas.Jurusan Statistika. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Padjajaran. Bandung. Soepardi. 1986. Sifat dan ciri tanah. Modul pembelajaran. Institute pertanian bogor. Bogor. Sukardjo, S. 1996. Gambaran umum ekologi mangrove di Indonesia Lokakarya Strategi Nasional Pengelolaan Hutan Mangrove di Indonesia. Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi lahan, Departemen Kehutanan, Jakarta: 26 hal. Supriharyono, 2002., pelestarian dan pengelolaan sumber daya alam di wilayah pesisir tropis. Cetakan ke-2. Gramedia pustaka utama. Jakarta. Simamora, R. D. 2009. Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi.Skripsi. Departemen Biologi. FMIPA. Universitas Sumatra Utara. Medan. Syamsurisal. 2011. Studi Beberapa Indeks Komunitas Makrozoobenthos Di Hutan Mangrove Kelurahan Coppo Kabupaten Barru.Skripsi. MSP. FIKP. Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang. Yeanny, S.M.2007. Keanekaragaman Makrozoobentos di Muara Sungai Belawan. Jurnal Biologi Sumatra, No 2 Vol 2, Hal 37-41. Medan. Talib, F. M., 2008. Struktur Dan Pola Zonasi (Sebaran) Mangrove Serta Makrozoobenthos Yang Berkoeksistensi, Di Desa Tanah Merah Dan Oebelo Kecil Kabupaten Kupang.Skripsi. Program studi ilmu dan teknologi kelautan Fakultas perikanan dan ilmu kelautan Institut pertanian bogor. IPB. Bogor. Tenribali. 2015. Distribusi makrozoobentos kaitannya dengan struktur komunitas lamun di daerah kawasan konservasi laut daerah (kkld) kec. Bone-bone. Kab. Luwu utara. Skripsi. Jurusan ilmu Kelautan.FIKP.Universitas Hasanuddin. Makassar.
56
Tomlinson. 1986. The Botany of Mangrove. Cambridge University Press. Wijayanti, T,. 2007. Konservasi Hutan Mangrove Sebagai Wisata Pendidikan. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan vol. 1 Edisi Khusus.
Zulkifli. 1988. Pelimbahan Bahan Organik dan Hubungannya dengan Komunitas Bivalva di Muka Perairan Muara Sungai Angke Jakarta. Thesis Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. 106 halaman.
57