STRUKTUR KOMUNITAS CENDAWAN SAPROB BERSPORA ASAL SERASAH MERANTI (SHOREA spp.) DI HUTAN PENELITIAN DRAMAGA, BOGOR
ISRAWATI HARAHAP
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Struktur Komunitas Cendawan Saprob Berspora Asal Serasah Meranti (Shorea spp.) di Hutan Penelitian Dramaga, Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juni 2013 Israwati Harahap NIM G351110071
RINGKASAN ISRAWATI HARAHAP. Struktur Komunitas Cendawan Saprob Berspora Asal Serasah Meranti (Shorea spp.) di Hutan Penelitian Dramaga, Bogor. Dibimbing oleh GAYUH RAHAYU dan IMAN HIDAYAT. Hutan hujan tropis Indonesia didominasi oleh Dipterocarpaceae. Salah satu spesies dari Dipterocarpaceae yang memiliki nilai ekonomi tinggi adalah meranti (Shorea spp). Indonesia merupakan daerah endemik meranti dan beberapa spesies meranti sudah mulai dibudidayakan. Di hutan alaminya, meranti memiliki peranan yang penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem karena menghasilkan serasah yang melimpah sebagai sumber nutrisi bagi kelangsungan hidup mikroorganisme termasuk cendawan saprob. Beberapa cendawan saprob merupakan dekomposer kayu dan daun serta berperan penting dalam siklus nutrien pada areal pertanaman meranti, karena mampu mendegradasi lignoselulosa menjadi senyawa yang lebih sederhana. Komunitas cendawan saprob pada serasah meranti di Indonesia belum pernah dilaporkan. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan agar informasi tentang ragam dan populasi cendawan yang mengkolonisasi serasah meranti diketahui. Penelitian ini memiliki dua tujuan utama yaitu (1) mengetahui struktur komunitas cendawan saprob pada serasah daun dan ranting meranti yang meliputi keanekaragaman, kekayaan dan kemerataan spesies cendawan; (2) mengetahui spesies-spesies cendawan saprob yang melimpah dan dominan pada serasah meranti. Sampel berupa serasah daun dan ranting meranti dikumpulkan dari Hutan Penelitian Dramaga. Sampel diambil dari 13 titik dalam area seluas 50 m x 50 m. Sampel diletakkan dalam kantong plastik zip lock disegel dan diberi label. Sampel kemudian dibawa ke laboratorium dan diberi kertas tisu yang telah dilembapkan. Sampel diperiksa di bawah mikroskop untuk melihat adanya tubuh buah cendawan dan mengamati ciri mikroskopis. Cendawan diidentifikasi berdasarkan ciri morfologi. Spora diisolasi menggunakan teknik isolasi spora tunggal dan dipelihara sebagai biakan spora tunggal. Biakan diidentifikasi secara morfologi dan secara molekuler berdasarkan daerah ITS ribosomal DNAnya. Sebanyak 260 sampel serasah meranti, 54.7% serasah daun dan 45.3% serasah ranting menunjukkan adanya spora atau tubuh buah cendawan. Sebanyak 29 spesies cendawan terdiri dari 7 askomiset (24.1%) dan 22 spesies cendawan anamorf yang terdiri dari 12 soelomiset (41.4%) dan 10 hifomiset (34.5%) telah diidentifikasi. Askomiset terdiri dari Annulohypoxylon purpureonitens, Diatrype chlorosarca, Didymosphaeria epidermidis, Lophiostoma sp., Lophodermium sp., Pemphidium sp., Valsa sp., Soelomiset terdiri dari Coniella musaiaensis, Coryneum betulinum, Hendersoniopsis thelebola, Lasiodiplodia theobromae, Lasmeniella guaranitica, Leptodothiorella sp., Massariothea themedae, Pestalotia guepinii, Pestalotiopsis sp., Pseudolachnea hispidula, Septoriella sp., dan Soelomiset sp. 1, sedangkan hifomiset terdiri dari Beltraniella portoricensis, Cryptophialoidea fasciculata, Hermatomyces sphaericus, Kiliophora ubiensis, Minimidochium setosum, Monodisma fragilis, Nodulisporium sp., Stilbella fimetaria, Virgatospora echinofibrosa dan Hifomiset sp. 1. Diantara 29 spesies itu, lima spesies dapat diisolasi yaitu Annulohypoxylon purpureonitens, Beltraniella
portoricensis, Cryptophialoidea fasciculata, Kiliophora ubiensis dan Hifomiset sp. 1. Beltraniella portoricensis dan Pemphidium sp. termasuk kategori cendawan yang sangat sering ditemukan pada serasah daun meranti, sedangkan Cryptophialoidea fasciculata dan Lasiodiplodia theobromae adalah spesies yang sering ditemukan pada serasah ranting meranti. Komunitas cendawan bersifat spesifik substrat. Komunitas cendawan pada serasah ranting lebih beragam dibandingkan pada serasah daun. Rasio C/N pada substrat serasah diduga berkaitan erat dengan struktur komunitas cendawan tersebut. Kata kunci: Cendawan saprob, serasah, Shorea spp., struktur komunitas
SUMMARY ISRAWATI HARAHAP. Community structure of sporulating fungi on decaying litter of Shorea spp at Dramaga Research Forest, Bogor. Supervised by GAYUH RAHAYU and IMAN HIDAYAT Indonesian tropical rain forests are dominated by the Dipterocarpaceae. One of the most valuable Dipterocarpaceae is Shorea. Indonesia is a centre of endemic of Dipterocarpaceae and this tree is now being cultivated. In natural forests, Shorea spp. has an important role in maintaining the balance of the ecosystem because they produce abundant lignocellulosic rich substrates as a source of nutrients for the survival of microorganisms including saprobic fungi. Fungi have been known as the major wood and leaf decomposer organisms and they play an important role in the nutrient cycle in Shorea spp. plantation because they degrade lignocellulosic materials into a more simple compound. A few study on the community structure of litter degrading fungi on Shorea spp. has been done, but none from Indonesia. With highly diversity of Shorea spp. in Indonesia, survey on the fungal diversity on Shorea spp. litter is necessary in order to enrich the information regarding fungal community inhabiting Shorea spp. litter. Therefore, this study has two main objectives, as follows: (1) unreaveling the community structure of sporulating fungi on leaf and branch litter of Shorea that includes diversity, species richness and evenness of fungi; (2) to know the most abundant and dominant species of fungi in Shorea spp. litter. Leaf and branch litter samples were collected in 50 m x 50 m area at Dramaga Research Forest. Samples were placed in a zip lock plastic bag, sealed and labeled. Samples were then brought to the laboratory and moistened by placing wet tissue into these plastic bags. Samples were examined under microscopes to find fruiting bodies, and the microscopic features of the fungi were observed and noted. The fungi were mainly identified morphologically and those that can be isolated were identified further using molecular approach on the bases of the sequence of their ITS region. Of 260 samples, about 54.7% leaf litters and 45.3% branch litters were infested by the fungi and detected either in the form of spores or fruiting bodies. About 29 fungal species composed of 7 ascomycetes (24.1%) and 22 anamorphs that comprised of 12 coelomycetes (41.4%) and 10 hyphomycetes (34.5%) were identified. The ascomycetes are Annulohypoxylon purpureonitens, Diatrype chlorosarca, Didymosphaeria epidermidis, Lophiostoma sp., Lophodermium sp., Pemphidium sp., Valsa sp., The coelomycetes are Coniella musaiaensis, Coryneum betulinum, Hendersoniopsis thelebola, Lasiodiplodia theobromae, Lasmeniella guaranitica, Leptodothiorella sp., Massariothea themedae, Pestalotia guepinii, Pestalotiopsis sp., Pseudolachnea hispidula, Septoriella sp., Coelomycete sp 1., and the hyphomycetes are Beltraniella portoricensis, Cryptophialoidea fasciculata, Hermatomyces sphaericus, Kiliophora ubiensis, Minimidochium setosum, Monodisma fragilis, Nodulisporium sp., Stilbella fimetaria, Virgatospora echinofibrosa and Hyphomycete sp. 1. Of those species, 5 species can be isolated that were Annulohypoxylon purpureonitens, Beltraniella portoricensis, Cryptophialoidea fasciculata, Kiliophora ubiensis and Hyphomycete sp 1. Beltraniella portoricensis and Pemphidium sp. were the most
frequent species found on leaf litter, while those of branch litter were Cryptophialoidea fasciculata and Lasiodiplodia theobromae. The fungal community was subtrate specific. The community on decaying branch litter was more diverse than those on leaf litter. C/N ratio of the substrate were closely related to the fungal community structure. Key words: saprobic fungi, litter, Shorea spp., community structure
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
STRUKTUR KOMUNITAS CENDAWAN SAPROB BERSPORA ASAL SERASAH MERANTI (SHOREA spp.) DI HUTAN PENELITIAN DRAMAGA, BOGOR
ISRAWATI HARAHAP
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Mikrobiologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji luar komisi : Prof Dr Mien A. Rifai
Judul Tesis : Struktur Komunitas Cendawan Saprob Berspora Asal Serasah Meranti (Shorea spp.) di Hutan Penelitian Dramaga, Bogor Nama : Israwati Harahap NIM : G351110071
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Gayuh Rahayu Ketua
Dr Iman Hidayat Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Mikrobiologi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Anja Meryandini
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 9 Juli 2013
Tanggal Lulus:
PRAKATA Alhamdulillahirobbilalamin, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitan dengan judul Struktur Komunitas Cendawan Saprob Berspora Asal Serasah Meranti (Shorea spp.) di Hutan Penelitian Dramaga, Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Gayuh Rahayu selaku ketua komisi pembimbing, Dr Iman Hidayat sebagai anggota komisi pembimbing, atas segala bimbingan, arahan, waktu, tenaga, pikiran, serta nasehat sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof Dr Mien A. Rifai sebagai penguji luar komisi dan Prof Dr Anja Meryandini sebagai ketua program studi mikrobiologi yang telah banyak memberikan masukan dan saran demi kesempurnaan tesis ini. Disamping itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Yeni, Ibu Mia, Alin, Reva, Mbak Nur, Mas Dian, dan seluruh staf pegawai LIPI-Cibinong yang telah banyak membantu penulis dalam penelitiannya. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Floreta Fiska Yuliarni, Vivi Oktavianis, Ibu Nani Radiastuti, Ibu Tatik Hartanti, Kemala S. Nagur, Lismayana Hansur, Rahayu Fitriani Wangsa Putri, teman-teman di Mikrotropisian 2013, Lisdayanti, Reikha Rahmasari, Novita Karunia Sari, Uswatun Hasanah, Latifatul Hayati, Siti Komariyah, dan adik-adik di Wisma Bintang atas bantuan, doa dan motivasinya. Ucapan terima kasih yang teristimewa penulis sampaikan kepada Ayahanda M.M Harahap dan Ibunda Erni Helmida, atas doa yang tidak pernah putus, nasehat serta motivasi yang selalu diberikan kepada penulis, serta kepada Abang Hamdani Harahap, Kakak Kiki Maryuni Harahap & Abang Fadly Herman, Rachmat Harahap, Muhammad Abduh Harahap atas doa dan motivasi yang diberikan kepada penulis. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2013 Israwati Harahap
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
1 PENDAHULUAN
1
Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian 2 METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Pengumpulan Sampel dan Deskripsi Lokasi Pengamatan Cendawan Secara Langsung dan Isolasi Cendawan Penyimpanan Isolat Identifikasi Cendawan Ekstraksi DNA, Amplifikasi PCR dan Sekuensing Analisis Filogenetik Analisis Data Ekologi 3 HASIL DAN PEMBAHASAN Struktur Komunitas Cendawan Saprob Berspora Asal Serasah Meranti 4 SIMPULAN DAN SARAN
1 2 2 3 3 3 3 4 4 4 5 5 5 7 7 37
Simpulan Saran
37 37
DAFTAR PUSTAKA
37
RIWAYAT HIDUP
41
DAFTAR TABEL 1 Parameter lingkungan pada lokasi pengambilan sampel 2 Frekuensi keberadaan dari cendawan saprob berspora penghuni serasah meranti
7 34
DAFTAR GAMBAR 1 Titik sampling serasah daun dan ranting meranti 2 Kurva spesies area dari jumlah spesies cendawan yang diperoleh terhadap jumlah sampel yang diobservasi 3 Komposisi kelompok cendawan yang menginfestasi serasah daun dan ranting meranti 4 Stroma Annulohypoxylon purpureonitens di permukaan ranting, askus dan askosporanya 5 Koloni Annulohypoxylon purpureonitens pada media PDA 6 Kedudukan Annulohypoxylon purpureonitens IPBCC.13.1077 dalam pohon filogenetik 7 Stroma Diatrype chlorosarca yang terbenam pada ranting, askus dengan askosporanya 8 Askoma Didymosphaeria epidermidis yang terbenam pada ranting, askus dan askosporanya 9 Askoma Lophiostoma sp. terbenam dalam ranting, askus, cincin apikal, dan askospora 10 Askoma Lophodermium sp. di permukaan daun, askus, dan askosporanya 11 Askoma Pemphidium sp. di permukaan daun, askus, parafisis dan askospora 12 Stroma Valsa sp. di atas permukaaan ranting, askus dan askospora 13 Konidia Soelomiset sp.1 14 Konidia Coniella musaiaensis 15 Konidia Coryneum betulinum 16 Konidia Hendersoniopsis thelebola 17 Konidia Lasiodiplodia theobromae 18 Konidia Lasmeniella guaranitica 19 Konidia Leptodothiorella sp. 20 Konidia Massariothea themedae 21 Konidia Pestalotia guepinii 22 Konidia Pestalotiopsis sp. 23 Konidia Pseudolachnea hispidula dan setula 24 Konidia Septoriella sp. 25 Konidia Beltraniella portoricensis, sel konidiogen, dan seta 26 Koloni Beltraniella portoricensis pada media PDA 27 Kedudukan Beltraniella portoricensis IPBCC.13.1078 dalam pohon filogenetik 28 Konidia Cryptophialoidea fasciculata, sel konidiogen dan seta 29 Koloni Cryptophialoidea fasciculata pada media PDA
3 8 8 9 10 10 11 11 12 13 14 14 15 15 16 17 17 18 19 20 20 21 22 22 23 24 24 25 25
30 Kedudukan Cryptophialoidea fasciculata IPBCC.13.1079 dalam pohon filogenetik 31 Konidia Hermatomyces sphaericus 32 Konidia Hifomiset sp.1 33 Koloni Hifomiset sp.1 pada media PDA 34 Kedudukan Hifomiset sp.1 IPBCC.13.1081 dalam pohon filogenetik 35 Konidia Kiliophora ubiensis, sel konidiogen dan seta 36 Koloni Kiliophora ubiensis pada media PDA 37 Kedudukan Kiliophora ubiensis IPBCC.13.1080 dalam pohon filogenetik 38 Konidia Minimidochium setosum dan seta 39 Konidia Monodisma fragilis 40 Konidia Nodulisporium sp., dan konidiofor 41 Konidia Stilbella fimetaria dan konidiofor 42 Konidia Virgatospora echinovibrosa, konidiofor dan papila 43 Distribusi kelompok cendawan berdasarkan jumlah spesies cendawan 44 Distribusi kelompok cendawan berdasarkan kelimpahan setiap spesies cendawan 45 Keanekaragaman cendawan berdasarkan indeks Shannon-Wiener pada tigabelas titik pengambilan sampel 46 Analisis koresponden yang memperlihatkan hubungan antara spesies cendawan dengan organ tanaman meranti.
26 26 27 27 27 28 28 29 30 30 31 31 32 33 33 35 36
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang Meranti (Shorea spp.) merupakan anggota Dipterocarpaceae yang tumbuh dominan di hutan hujan tropis Asia Tenggara terutama di Malaysia dan Indonesia. Indonesia memiliki sekitar 143 spesies Shorea yang dapat dikelompokkan ke dalam empat nama perdagangan yaitu meranti merah, meranti kuning, meranti putih dan balau. Pohon ini tersebar di pulau Sumatera, Bangka-Belitung, Kalimantan dan beberapa lokasi di pulau Jawa yang memiliki curah hujan di atas 2000 mm per tahun (Departemen Kehutanan 2007). Kayu meranti dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti kayu lapis, kayu gergajian dan bahan bangunan. Dalam hutan alaminya, meranti menghasilkan serasah yang melimpah sebagai sumber nutrisi bagi kelangsungan hidup mikroorganisme saprob termasuk cendawan. Cendawan saprob sangat besar peranannya dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Cendawan memperoleh nutrisi dari lingkungannya dengan cara dekomposisi serasah melalui proses enzimatik (Thorn et al. 1996). Pada berbagai ekosistem, nutrisi itu juga menjadi sumber makanan bagi berbagai mahluk hidup lain yang menempati ekosistem tersebut. Pada umumnya cendawan mampu mendekomposisi selulosa dan lignin yang merupakan komponen terbesar dari serasah yang sulit didekomposisi. Selain itu, cendawan berperan dalam daur ulang nutrien dan pembentukan humus (Dwivedi & Shukla 1977; Sinha 1982; Osono et al. 2009). Proses dekomposisi dan daur ulang nutrien merupakan aktivitas dari banyak mikrob dalam suatu komunitas. Studi mengenai struktur komunitas cendawan pendegradasi serasah Shorea spp. tidak banyak dilaporkan. Padahal struktur komunitas cendawan saprob perlu diketahui, sebelum proses-proses yang melibatkan cendawan saprob tersebut dimanipulasi untuk kepentingan manusia. Struktur komunitas merupakan suatu konsep yang mempelajari susunan atau komposisi spesies dan kelimpahannya dalam suatu komunitas (Schowalter 1996). Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk menggambarkan struktur komunitas yaitu keanekaragaman spesies, interaksi spesies dan organisasi fungsional (Schowalter 1996). Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah keanekaragaman spesiesnya. Beberapa studi tentang struktur komunitas cendawan saprob dari daerah penyebaran Shorea spp. seperti India dan Thailand pernah dilakukan. Soni et al. (2011) mempelajari komunitas cendawan pada Shorea robusta di India dalam kaitannya dengan perubahan musim. Beberapa jenis cendawan kosmopolit seperti Aspergillus flavus, Aspergillus niger dan Rhizopus stolonifer terlibat dalam dekomposisi serasah sepanjang tahun, sementara Aspergillus fumigatus, Cladosporium cladosporioides, Cladosporium oxysporum, Curvularia indica, dan Curvularia lunata terlibat hanya dalam tiga musim. Beberapa cendawan ektomikoriza yaitu Astraeus hygrometricus, Boletus fallax, Calvatia elata, Mycena roseus, Periconia minutissima, Russula emetica, Scleroderma bovista, Scleroderma geaster, Scleroderma verrucosum dan empat cendawan steril hanya ditemukan pada musim hujan (Juni-Agustus), sedangkan cendawan lainnya seperti Alternaria citri, Gliocladium virens, Helicosporium phragmitis dan
2
Pithomyces cortarum jarang dan hanya ditemukan dalam satu musim. Studi struktur komunitas cendawan pada serasah meranti dilaporkan oleh Osono et al. (2009) di Thailand. Mereka mengisolasi delapan puluh spesies cendawan dari serasah daun Shorea obtusa dan mengamati suksesi cendawan tersebut selama proses dekomposisi. Trichoderma asperellum dan Aspergillus sp. merupakan cendawan yang dominan ditemukan selama proses dekomposisi, sedangkan Nigrospora sp., Cladosporium oxysporum dan Talaromyces sp. menurun selama proses dekomposisi dan satu spesies dalam Amphisphaeriaceae yang belum teridentifikasi mengalami peningkatan selama dekomposisi. Cendawan saprob merupakan bagian dari mikroflora serasah hutan. Salah satu aspek dalam teknik silvikultur intensif yang berkaitan dengan mikroflora serasah adalah pemanfaatan mikroba asal areal pertanaman pohon hutan untuk menunjang pertumbuhan bibit meranti. Keanekaragaman cendawan pendekomposisi serasah daun pada daerah tropis diketahui sangat tinggi (Polishook et al. 1996; Paulus et al. 2003; Santana et al. 2005). Namun, perubahan-perubahan ekosistem dapat menyebabkan kepunahan pada spesies-spesies cendawan pendekomposisi, oleh sebab itu cendawan-cendawan ini perlu dilestarikan. Upaya pelestarian ini hanya dapat dilakukan jika setiap komponen penyusun komunitas dikenal dan diketahui baik spesies maupun perannya di alam. Struktur komunitas cendawan saprob pada serasah meranti di Indonesia belum pernah dilaporkan, padahal Indonesia kaya dengan spesies meranti, oleh sebab itu biodiversitas dari cendawan saprob sangat penting dipelajari dan diharapkan keanekaragaman yang tinggi juga memberikan peluang untuk ditemukannya spesies langka dan spesies baru.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui struktur komunitas cendawan saprob berspora pada serasah daun dan ranting meranti yang meliputi keanekaragaman, kekayaan dan kemerataan spesies cendawan. 2. Mengetahui spesies cendawan saprob yang melimpah dan dominan pada serasah daun dan ranting meranti.
Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian yaitu memberikan informasi awal tentang struktur komunitas cendawan saprob pada serasah daun dan ranting meranti. Informasi dapat dijadikan acuan bagi pengenalan spesies cendawan endemik atau khas serasah meranti, sehingga kedepannya dapat dijadikan sumber data untuk konservasi meranti dan konservasi eksitu cendawan khas serasah meranti.
3
2 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2012 sampai Februari 2013 di laboratorium Mikologi LIPI, Cibinong.
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah serasah daun dan ranting meranti, KOH 3%, media agar air, media Potato Dextrose Agar (PDA), Potato Dextrose Broth (PDB) dan DNA PhythopureTM Kit Extraction (GE Healthcare, UK). Alat-alat yang digunakan adalah GPS (Garmin, USA), hand lens, pH meter, plastik zip lock, dissecting stereo microscope SZX7 (Olympus), compound microscope CX41, mikropipet (Eppendorf), mesin PCR (Takara), minisentrifus (BioExpress), elektroforesis (Mupid-exu) serta alat-alat gelas.
Pengumpulan Sampel dan Deskripsi Lokasi Serasah daun dan ranting meranti dikoleksi dari areal pertanaman meranti di hutan Penelitian Dramaga, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Konservasi dan Rehabilitasi yang terletak di Desa Situ Gede dan Desa Bubulak, Kecamatan Bogor Barat, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Sampel serasah hanya diambil satu kali pada bulan September. Sampel serasah daun dan ranting meranti diambil dari lantai hutan pertanaman tegakan meranti (Shorea javanica, Shorea leprosula dan Shorea selanica) seluas ± 50 m x 50 m. Areal sampling dibagi dalam 13 titik sampling secara diagonal (Gambar 1). Jarak antara titik sampling adalah 3 m. Dari setiap titik diambil 10 sampel serasah daun dan 10 sampel serasah ranting meranti. Ukuran panjang ranting ± 10 cm. 50 m
50 m
Gambar 1 Titik sampling serasah daun dan ranting meranti pada areal seluas 50 m x 50 m
4
Serasah daun dan ranting meranti dari masing-masing titik pengambilan sampel dimasukkan ke dalam kantong plastik zip lock yang berbeda dan diberi kertas tisu yang sebelumnya telah dilembabkan dengan air steril. Kantong plastik zip lock disegel dan diberi label dengan informasi yang berisi nama sampel, titik (GPS) pengambilan sampel, kolektor dan tanggal. Sampel kemudian dibawa ke laboratorium untuk diamati. Pada saat pengambilan sampel, pH tanah dan kadar air tanah diukur. Kadar air serasah, rasio C/N serasah juga dianalisis. Besarnya jumlah sampel dianalisis untuk mengetahui tingkat kecukupan sampel dalam menggambarkan komunitas cendawan saprob berspora. Titik asimtot adalah titik kecukupan sampel.
Pengamatan Cendawan Secara Langsung dan Isolasi Cendawan Cendawan saprob pada serasah daun dan ranting diamati di bawah mikroskop Olympus SZX7. Serasah yang mengandung tubuh buah cendawan dipisahkan berdasarkan kelompok cendawannya. Tubuh buah askomiset dan soelomiset diambil menggunakan pisau spesimen. Jika tubuh buah sudah kering, tubuh buah direhidrasi terlebih dahulu dengan cara diberi satu atau dua tetes air steril atau kalium hidroksida (KOH) 3%. Tubuh buah cendawan yang sudah lembab diletakkan pada gelas preparat untuk dibuat preparat semi permanennya dan selanjutnya diamati dengan menggunakan mikroskop Olympus CX41. Pada hifomiset, struktur reproduksi diambil dengan pinset dan dibuat preparat semi permanen dengan air steril. Preparat semi permanen dibuat bentuk permanennya dengan menggunakan medium shear’s. Morfologi cendawan diamati secara mikroskopis. Data pengamatan mikroskopis ini digunakan untuk identifikasi spesimen. Selain dibuat preparat permanennya cendawan juga diisolasi. Metode isolasi yang dilakukan yaitu isolasi spora tunggal menurut Choi et al. (1999) dengan menggunakan media agar air. Biakan dimurnikan pada media Potato Dextrose Agar (PDA).
Penyimpanan Isolat Cendawan yang berhasil diisolasi, disimpan pada PDA agar tabung yang diberi parafin. Biakan disimpan di IPB Culture Collection (IPBCC).
Identifikasi Cendawan Identifikasi cendawan dilakukan berdasarkan ciri morfologi. Untuk konfirmasi identifikasi secara morfologi, analisis molekuler dilakukan pada semua cendawan yang berhasil diisolasi. Identifikasi morfologi dilakukan secara langsung dari tubuh buah pada serasah daun dan ranting yang sebelumnya telah dibuat preparat semi permanennya. Data morfologi ini dibandingkan dengan data pada kunci identifikasi Askomiset: Hyde et al. (2000) dan Taylor & Hyde (2003). Soelomiset: Nag Raj
5
(1993) dan Sutton (1980). Hifomiset: Ellis (1971, 1976), Carmichael et al. (1980) dan Seifert et al. (2011). Beberapa database pada website dapat dijadikan sebagai acuan cendawan yang sudah pernah dilaporkan seperti: Index Fungorum (Http://www.indexfungorum.org/Names/Names.asp). Mycobank (Http://www. mycobank.org) dan USDA fungus host database (Http://nt.arsgrin.gov/fungaldatabases/fungushost/fungushost.cfm). Acuan lainnya adalah jurnal-jurnal publikasi terbaru yang sesuai dengan spesies cendawan yang ditemukan.
Ekstraksi DNA, Amplifikasi PCR dan Sekuensing Kultur cendawan saprob dianalisis secara molekuler. Biomassa miselium pada media Potato Dextrose Broth (PDB) berumur 3-5 hari dijadikan sumber DNA. Ekstraksi DNA menggunakan DNA PhythopureTM Kit Extraction (GE Healthcare, UK). DNA diamplikasi dengan primer ITS5 (5’-GGAAGTAAAAGTCG TAACAAGG -3’) dan ITS4 (5’-TCCTCCGCTTATTGATATGC-3’) (White et al. 1990) dalam mesin PCR. Setiap tabung berisi 25 μl terdiri dari 10 μl nuclease free water, 12.5 μl Go taq green mastermix TM, ITS5 & ITS4 masing-masing 0.5 μl, DMSO 0.5 μl dan DNA template 1 μl. Amplifikasi PCR dilakukan dengan kondisi PCR yaitu predanaturasi 95oC selama 90 detik, selanjutnya diikuti oleh 35 siklus, denaturasi (95°C, 30 detik), annealing (55°C, 30 detik) dan extension (72°C, 90 detik) dan final extension 72oC selama 5 menit Hasil amplifikasi kemudian dielektroforesis pada gel agarose dengan konsentrasi 1 % dan direndam dalam etidium bromida selama ± 30 menit selanjutnya divisualisasikan dibawah sinar UV (Bio-Rad UV Transilluminator 2000). Hasil PCR dikirim ke 1st Base (Malaysia) untuk disekuensing.
Analisis Filogenetik Sekuen ITS termasuk 5.8S rDNA yang diperoleh akan dibandingkan dengan sekuen dari database the National Center for Biotechnology Information (NCBI) (www.ncbi.nlm.nih.gov) melalui program BLAST (Basic Local Alignment Search Tool). Sekuens homolog akan diambil untuk di-align dengan sekuen yang sedang dianalisa menggunakan program MEGA 5 (Tamura et al. 2011). Pohon filogenetiknya dibangun dengan metoda Neighbour joining menggunakan program MEGA 5 dengan 1000 x ulangan bootstrap.
Analisis Data Ekologi Total jumlah spesies cendawan pada sampel serasah dicatat dan dihitung. Frekuensi keberadaan (FK) setiap spesies cendawan digunakan untuk menetapkan dominansi cendawan pada habitatnya. K A Frekuensi keberadaan dari spesies A = x 100% J
6
Berdasarkan frekuensi keberadaan (FK) pada setiap spesies cendawan, maka cendawan dikelompokkan menjadi sangat sering ditemukan (FK >10%), sering ditemukan (5%< FK ≤10%), kadang-kadang ditemukan (1%< FK ≤5%) dan jarang ditemukan (FK ≤1%). Keanekaragaman spesies dihitung menggunakan indeks keanekaragaman spesies (kekayaan spesies dan kemerataan spesies). Indeks keanekaragaman Shannon digunakan untuk menghitung kelimpahan spesies yang ada (H’). Indeks kekayaan spesies (DMg) digunakan untuk menghitung kekayaan spesies dalam komunitas. Indeks kemerataan digunakan untuk menghitung distribusi setiap spesies pad substrat serasah daun dan serasah ranting meranti. Kisaran kemerataan dari 0 sampai 1. Komunitas dengan nilai kemerataan sama dengan 1 artinya bahwa setiap spesies dalam komunitas memiliki frekuensi keberadaan yang sama (Magurran 1988). Indeks Keanekaragaman Spesies Indeks keanekaragaman spesies cendawan dihitung menggunakan indeks Shannon-Wiener (H’) dengan menggunakan rumus sebagai berikut: H= - pi. ln pi pi kelimpahan relatif
∑ individu dalam spesies ke i ∑ individu semua spesies
Indeks Kekayaan Spesies Indeks kekayaan spesies cendawan (DMg) dihitung menggunakan rumus sebagai berikut: S DMg = ; N
N= Jumlah individu dalam komunitas S= Jumlah spesies dalam komunitas Indeks Kemerataan Spesies Indeks kemerataan spesies cendawan (E) dihitung menggunakan rumus sebagai berikut: E= H’/ln S H’= Nilai indeks Shannon-Wiener S = Jumlah spesies Pada cendawan, individu menunjukkan koloni sehingga satu individu merupakan satu koloni. Hubungan antara komunitas cendawan dan organ tanaman dianalisis menggunakan analisis koresponden sederhana (Simple Correspondence Analysis) menggunakan software Minitab 15.
7
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Struktur Komunitas Cendawan Saprob Berspora Asal Serasah Meranti Sebanyak 260 sampel serasah meranti yang terdiri dari 130 serasah daun dan 130 serasah ranting diamati keberadaan cendawan saprob bersporanya. Dari seluruh sampel serasah, hanya 71 (54.7%) sampel serasah daun dan 59 (45.3%) sampel serasah ranting yang terinfestasi cendawan saprob. Persentase serasah daun yang diinfestasi oleh cendawan lebih tinggi daripada persentase serasah ranting. Hal ini diduga berkaitan dengan kadar air subtrat dan kadar air tanah. Serasah daun memiliki kadar air (3.98%) yang sedikit lebih tinggi dibandingkan kadar air (3.39%) serasah ranting (Tabel 1) dan kadar air kedua substrat ini relatif sangat rendah. Tumpukan daun yang lebih luas daripada ranting di permukaan tanah akan membentuk kondisi lingkungan mikro yang menunjang kehidupan cendawan di permukaan daun yang menghadap ke tanah. Kadar air dan kelembapan udara merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan cendawan terutama dalam proses perkecambahan spora, pertumbuhan miselium dan pembentukan spora (Yoder & Wood 1973). Beberapa cendawan seperti Aspergillus flavus, Aspergillus candidus dan Aspergillus glaucus tumbuh pada subtrat dengan kadar air sekitar 9.3-11.3% (Paderes et al. 1996). Oleh sebab itu kemungkinan lain adalah cendawan saprob yang ditemukan pada serasah tersebut merupakan cendawan yang berada dalam keadaan dorman. Tabel 1 Parameter lingkungan pada lokasi pengambilan sampel Parameter Nilai pH tanah 6 Intensitas cahaya 120 Kadar air tanah 38.34% Kadar air serasah ranting 3.39% serasah daun 3.98% Rasio C/N serasah ranting 67.12 serasah daun 55.97 Jumlah sampel daun yang diperlukan untuk menggambarkan komunitas cendawan saprob berspora berbeda dari jumlah sampel ranting. Peningkatan jumlah sampel serasah yang diobservasi menyebabkan peningkatan jumlah spesies cendawan yang ditemukan dan mencapai maksimum pada titik asimtotnya (Gambar 2). Asimtot dicapai pada sampel ke 72 untuk serasah daun dan sampel ke 100 untuk serasah ranting. Oleh karena itu 130 sampel serasah daun dan 130 sampel serasah ranting yang digunakan dalam penelitian ini, dapat memberikan perkiraan yang layak mengenai komunitas cendawan saprob bersporanya.
8
25 20 15 serasah daaun meranti
10
serasah raanting merantti
5 0 1 9 17 25 33 41 49 57 65 73 81 89 97 105 113 121 129
Jumlah spesies cendawan
Jumlah sampel serasahh meranti
Gam mbar 2 Kuurva spesiess area dari jumlah sp pesies cendawan yangg diperoleh terrhadap jumlah sampel yang y diobseervasi Sebanyak 29 spesiess cendawann ditemukan n pada seraasah rantingg dan daun meraanti yang teelah terinfestasi terdirii dari 7 ask komiset (244.1%) dan 22 spesies cenddawan anam morf (75.9% %) yang teerdiri dari 12 soelom miset (41.4% %) dan 10 hifom miset (34.5% %) (Gambaar 3). Beberrapa genus yang ditem mukan padaa penelitian ini teelah dilaporrkan sebeluumnya oleh Osono et al. a (2009) dan d Soni et al. (2011) sebaggai penghuuni serasahh meranti seperti Beeltraniella, Lophoderm mium, dan Pestaalotiopsis. Cendawan saprob yaang ditemuk kan pada serasah s meeranti juga ditem mukan padaa jenis inanng yang lainn. Oleh karrena itu, daapat dikatakkan bahwa cenddawan saproob ini bersiifat host-reccurence. Wang W et all. (2008) m menemukan lima spesies ceendawan yaang umum menginfesttasi daun Ficus F altissiima, Ficus F fistulossa dan Ficu us semicorddata yaitu B Beltraniella virenns, Ficus beenjamina, Ficus nilgirrica, Lasiiodiplodia theobromaae, Ophiocceras lepttosporum, Periconia byssooides dan Septonema harknessi. Beltranieella nilgiricca dan Lassiodiplodia theobbromae meemiliki FK> > 3%. Shiroouzu et al. (2009) mennemukan B Beltraniella portooricensis memiliki m freekuensi kebberadaan yang y tinggi pada daunn Quercus myrssinaefolia.
Hifomiseet 34.5%
Askomiset 24.1% Soelomiset 41.4%
Gam mbar 3 Kom mposisi keloompok cenddawan yang g menginfesstasi serasahh daun dan rantiing merantii
9
Kelompok cendawan anamorf lebih dominan dibandingkan teleomorf (Gambar 3) seperti yang ditemukan oleh Osono et al. (2009) dan Soni et al. (2011). Pinruan et al. (2007) juga menemukan pertumbuhan anamorf yang lebih cepat dalam menginfestasi daun palem karena mampu menggunakan pati dan gula pada serasah daun palem tersebut. Anggota-anggota komunitas cendawan pada serasah meranti memiliki pertelaan sebagai berikut: 1. Annulohypoxylon purpureonitens Hsieh, Ju & Rogers, Mycologia 97: 844865 (2005) (Xylariaceae) Annulohypoxylon purpureonitens memiliki stroma yang terdapat di permukaan serasah ranting (Gambar 4a), tubuh buah semiglobos, menyerupai bantalan berwarna hitam karbon dengan ostiol. Askus silindris dengan 8 askospora (Gambar 4b), askospora uniseriat, satu sel, berwarna coklat (Gambar 4c) dan memiliki celah kecambah. Miselium pada media PDA (Gambar 5) berwarna putih. Sebanyak 49 spesies Annulohypoxylon telah tercatat dari berbagai wilayah di dunia (Index Fungorum 2013). Annulohypoxylon purpureonitens pertama kali dilaporkan oleh Hsieh et al. pada tahun 2005 (Index Fungorum 2013). Keberadaan Annulohypoxylon purpureonitens di Indonesia belum pernah dilaporkan sebelumnya, oleh sebab itu tulisan ini merupakan laporan yang pertama. Selain pada serasah meranti, Annulohypoxylon tersebar pada beberapa inang diantaranya Alnus glutinosa, Betula pendula, Betula pubescens, Betula pubescens subsp. carpatica, Carpinus betulus, Corylus avellana, Fagus orientalis, Fraximus excelsior, Quercus acutissima, Quercus variabilis, Salix sp. dan Sorbus aucuparia subsp. glabrata (USDA fungus host database 2006).
b b c
c
a
a
Gambar 4 Stroma Annulohypoxylon purpureonitens di permukaan ranting (a), askus (b) dan askosporanya (c)
10
A A
B
Gam mbar 5 Kolooni Annulohhypoxylon purpureonite p ens pada meedia PDA, ppermukaan atas (A) dan perrmukaan baawah (B) Annulohyppoxylon purrpureonitenns IPBCC.13 3.1077 hasiil penelitiann ini berada satu clade denggan isolat Annulohypo A oxylon purp pureonitens (GenBankk accession numbber FM2099452, FM2009451 dan FM209448) F ) dengan niilai bootstraap sebesar 100% % (Gambar 6). Hal inii menegaskaan pengamaatan morfollogi Annuloohypoxylon purpureonitens.
Gam mbar 6 Keddudukan Annnulohypoxyylon purpurreonitens IP PBCC.13.1077 dalam pohoon filogenettik
2. D Diatrype chloorosarca Berk. & Brooome (Diatrrypaceae) Diatrype chlorosarcaa memilikii askoma yang y terbennam di dalaam stroma (Gam mbar 7a), permukaan p stroma datar atau sed dikit cembuung. Askus berbentuk gadaa dengan 8 askosporra, unitunikkat, dan memiliki m peedisel (Gam mbar 7b). Askoospora berbbentuk alanntoid, 2-3 seriat, 1-sel, sub hialinn dan dindding selnya haluss. Sebanyak 495 spesiess Diatrype telah t tercatat dari berbbagai wilayaah di dunia (Indeex Fungorum m 2013). Diatrype D chloorosarca peertama kali dilaporkan oleh Berk.
11
dan Broome pada tahun 1873 (Index Fungorum 2013). Adanya Diatrype chlorosarca pada serasah meranti merupakan catatan baru bagi spesies ini di Indonesia. Diatrype chlorosarca tersebar pada beberapa inang yaitu Archontophoenix alexandrae, Archontophoenix sp., Parashorea plicata, Trachycarpus fortunei, dan Trachycarpus sp. (USDA fungus host database 2006).
a
b
Gambar 7
Stroma Diatrype chlorosarca yang terbenam pada ranting (a), askus (b) dengan askospora.
3. Didymosphaeria epidermidis Fuckel, Jb. nassau. Ver. Naturk. 23-24: 140 (1870) (Didymosphaeriaceae) Didymosphaeria epidermidis memiliki askoma yang terbenam dalam serasah ranting (Gambar 8a). Askus silindris dengan 8 askospora (Gambar 8b). Askospora uniseriat, elipsoid, 2 sel dan berwarna coklat (Gambar 8c). c aa b
Gambar 8 Askoma Didymosphaeria epidermidis yang terbenam pada ranting (a), askus (b) dan askosporanya (c) Didymosphaeria epidermidis pertama kali dilaporkan oleh Fuckel pada tahun 1870 dengan ciri-ciri yaitu memiliki askus silindris dengan 8 askospora, 2 sel, tersusun secara uniseriat. Sebanyak 511 spesies Didymosphaeria telah tercatat dari berbagai wilayah di dunia (Index Fungorum 2013). Didymosphaeria epidermidis yang menginfestasi serasah meranti belum pernah dilaporkan
12
sebelumnya dan spesies ini ditemukan untuk pertama kalinya di Indonesia. Selain pada meranti, spesies ini tersebar pada beberapa inang yaitu Aster ericoides var. platyphyllus, Berberis sp., Berberis vulgaris, Calicotome villosa, Calicotome spinosa, Dalbergia melanoxylon, Erigeron canadensis, Eucalyptus globulus, Philadelphus caucasius, Ribes uva-crispa, Salix caprea, Salix purpurea dan beberapa inang lain (USDA fungus host database 2006). 4. Lophiostoma sp. (Lophiostomataceae) Lophiostoma sp. memiliki askoma yang juga terbenam dalam ranting (Gambar 9a). Askoma akan berada di atas substrat setelah terjadi pelapukan jaringan epidermis inang. Askus berbentuk gada, bitunikat dengan 8 askospora (Gambar 9b) dan memiliki cincin apikal (Gambar 9c). Askospora sedikit fusiform, 2-seriat, eusepta dan hialin (Gambar 9d). Sebanyak 441 spesies Lophiostoma telah tercatat dari berbagai wilayah di dunia (Index Fungorum 2013). Lophiostoma tersebar pada banyak inang diantaranya Abies sp., Acer campestre, Acer cinerascens, Acer negundo, Acer platanoides, Acer saccharum, Achillea millefolium var. alpicola, Aconitum napellus, Aconitium septentrionale, Aegiceras corniculatum, Agropyron sp., Alnus glutinosa, Alnus incana, Amaranthus graecizans, Amelanchier alnifolia, Andropogon sp., Anthriscus silvestris, Arbutus unedo, Archontophoenix alexandrae, Cocos nucifera, Phragmites australis dan pada beberapa inang yang lain (USDA fungus host database 2006). Lophiostoma yang menginfestasi meranti baru pertama kali dilaporkan di Indonesia.
a a
b
b
d
c
Gambar 9
Askoma Lophiostoma sp. terbenam dalam ranting (a), askus (b), cincin apikal (c), dan askospora (d)
13
5. Lophodermium sp. (Rhytismataceae) Lophodermium sp. memiliki askoma subkutikular atau subepidermal, berbentuk elipsoid-fusiform atau elipsoid-oblong, berwarna coklat muda sampai hitam, memiliki sel seperti bibir, askoma sering mengelompok dan dikelilingi atau tidak dengan garis daerah hitam yang tipis (Gambar 10a). Askus silindris, unitunikat dengan 8 askospora (Gambar 10b). Askospora berbentuk filliform, 1-2 sel, lurus, hialin dan memiliki dinding sel yang halus (Gambar 10c). Sebanyak 342 spesies Lophodermium telah tercatat dari berbagai wilayah di dunia (Index Fungorum 2013). Lophodermium asal Indonesia telah dilaporkan sebelumnya sebanyak 5 spesies yang tersebar pada beberapa inang yaitu Calamus sp, Mangifera indica, Scirpus sp, dan Elettaria sp. (USDA fungus host database 2006). Lophodermium yang menginfestasi Shorea baru pertama kali dilaporkan.
b
a
c
Gambar 10 Askoma Lophodermium sp. di permukaan daun (a), askus (b), dan askosporanya (c)
6. Pemphidium sp.(Xyalariaceae) Pemphidium sp. memiliki askoma yang terbenam dibawah pseudostroma, terlihat sebagai piringan berwarna hitam, mengkilap, soliter atau mengelompok (Gambar 11a). Askus silindris, unitunikat dengan 8 askospora (Gambar 11b), memiliki parafisis (Gambar 11c). Askospora silindris, 3-4 seriat, 1 sel dan hialin (Gambar 11d). Dari 17 spesies Pemphidium telah tercatat dari berbagai wilayah di dunia (Index Fungorum 2013), tidak satupun spesies pernah dilaporkan sebelumnya di Indonesia, oleh sebab itu laporan ini merupakan yang pertama. Selain pada meranti, spesies ini tersebar pada beberapa inang yaitu Berlinia sp., Calamus
14
australis, Calamus caryotoides, Calamus moti, Dipterocarpus sp., Jessenia bataua, Mauritia flexuosa, Mauritia sp., Maximiliana regia dan Phenakospermum guianense (USDA fungus host database 2006).
c
a
b d
Gambar 11 Askoma Pemphidium sp. di permukaan daun (a), askus (b), parafisis (c) dan askospora (d)
7. Valsa sp. (Valsaceae ) Valsa sp. memiliki stroma erumpent yang mengandung banyak askoma. Askoma terbenam dalam substrat, berwarna hitam dengan leher ostiol panjang (Gambar 12a), mengelompok atau di dalam lingkaran dalam stroma. Askus berbentuk gada (Gambar 12b) dengan 8 askospora. Askospora alantoid, biseriat, 1-sel dan hialin (Gambar 12c). Sebanyak 865 spesies Valsa yang telah tercatat di dunia (Index Fungorum 2013). Dua spesies Valsa yaitu Valsa eugeniae dan Valsa myrtagena, telah dilaporkan menginfestasi Eucalyptus grandis di Indonesia. Valsa yang menginfestasi Shorea merupakan catatan pertama. Selain itu, Valsa tersebar pada banyak inang diantaranya Abies alba, Abies balsamea, Acer saccharum, Betula alba, Cocos nucifera, Eucalyptus globulus, Fagus sylvatica dan pada beberapa inang lain (USDA fungus host database 2006).
a
c
b
Gambar 12 Stroma Valsa sp. di atas permukaaan ranting (a), askus (b) dan askospora (c)
15
8. Soelomiset sp. 1 Soelomiset sp. 1 memiliki konidia oval, tidak bersepta, hialin, dindingnya halus (Gambar 13) dan konidiofor tidak teramati.
a
Gambar 13 Konidia Soelomiset sp.1
9. Coniella musaiaensis Sutton (Schizoparmaceae) Coniella musaiaensis memiliki konidia fusiform, tidak bersepta, berwarna coklat tua, dengan ukuran 7-10 μm x 3-5 μm (Gambar 14), konidiofor tidak teramati. Coniella musaiaensis pertama kali dilaporkan oleh Sutton pada tahun 1969 dengan ciri-ciri konidia fusiform berukuran 11-16 µm x 3.5-5 µm. Coniella memiliki ciri-ciri miselium terbenam, hialin, bercabang dan bersepta. Konidioma dalam bentuk piknidia, terpisah, bulat, berwarna coklat muda, terbenam dalam substrat memiliki satu lokus dan berdinding tebal. Konidiofor tidak ada. Sel konidiogen enteroblastik, fialid. Konidia berbentuk fusiform, lurus atau falkat, berwarna kuning langsat sampai coklat, tidak bersepta, halus, dan dindingnya tipis atau tebal (Sutton 1980). Sebanyak 26 spesies Coniella telah tercatat di dunia (Index Fungorum 2013). Coniella musaiaensis pertama kali dilaporkan ada di Indonesia. Selain pada meranti, spesies ini terdapat pada Bauhinia malabarica (USDA fungus host database 2006).
Gambar 14 Konidia Coniella musaiaensis
16
10. Coryneum cf. betulinum Schulzer Coryneum ini memiliki konidia fusiform, 4-5 distoseptat, berwarna coklat muda dengan ukuran 18-23 μm x 8-10 μm (Gambar 15). Ukuran konidia ini kurang dari pertelaan yang pertama kali dilihat oleh Schulzer pada tahun 1882 berukuran 31-36 µm x 14-17 µm, lurus, 4-5 distoseptat, meskipun bentuknya sama, konidiofor tidak teramati. Coryneum memiliki ciri-ciri miselium terbenam, bercabang, memiliki septa, dan berwarna coklat muda. Konidioma dalam bentuk aservulus, konidiofor silindris, septat, bercabang pada bagian dasar, berwarna hialin sampai coklat pucat, dibentuk dari pseudoparenkim atas. Konidia berbentuk fusiform atau globos, mengerucut pada bagian dasar, sel pada bagian ujung sering pucat (Sutton 1980). Sebanyak 228 spesies Coryneum telah tercatat dari berbagai wilayah di dunia (Index Fungorum 2013). Catatan tentang Coryneum di Indonesia belum ada. Coryneum penginfestasi serasah meranti juga belum pernah dilaporkan sebelumnya. Selain pada meranti, spesies ini tersebar pada beberapa inang yaitu Betula pendula, Betula rubra, Castanopsis fissa dan Fagus sylvatica (USDA fungus host database 2006).
Gambar 15 Konidia Coryneum cf. betulinum
11. Hendersoniopsis thelebola Höhnel, Annls mycol. 16: 124 (1918) Hendersoniopsis thelebola mempunyai konidia fusiform, bersepta, dengan ukuran 24-27 μm x 5-7 μm (Gambar 16). Hendersoniopsis thelebola pertama kali dilaporkan oleh Höhn pada tahun 1918 dengan ciri-ciri konidioma berukuran 1200 µm x 950 µm, makrokonidiofor berukuran 40 µm x 4.5-6 µm, makrokonidia berukuran 31-53 x 10-12 µm, mikrokonidiofor berukuran 21 x 1.5-2 µm dan mikrokonidia berukuran 6.5-8 x 1.5-2 µm (Sutton 1980). Hendersoniopsis memiliki miselium terbenam, bercabang, bersepta, berwarna coklat pucat sampai hialin. Makrokonidiofor hialin sampai coklat pucat, halus, bercabang dan bersepta pada bagian dasar, silindris, dibentuk dari sel bagian dalam dari dinding lokus. Makrokonidia berwarna coklat pucat, halus, fusiform, pada bagian dasar mengerucut, ujungnya tumpul sampai kerucut, memiliki 2-7 eusepta. Mikrokonidiofor hialin, halus, bercabang, memiliki septa
17
pada bagian dasar, meruncing sampai bagian ujung, dibentuk dari dinding sel pada bagian dalam lokus. Mikrokonidia berbentuk fusiform, falkat, hialin, tidak bersepta dan halus (Sutton 1980).
Gambar 16 Konidia Hendersoniopsis thelebola Sebanyak 1 spesies Hendersoniopsis telah dilaporkan di dunia (Index Fungorum 2013). Hendersoniopsis thelebola yang ditemukan pada penelitian ini akan menambahkan informasi mengenai daerah distribusi dari Hendersoniopsis thelebola dan merupakan laporan pertama di Indonesia. Selain pada meranti, spesies ini tersebar hanya pada beberapa inang yaitu Alnus glutinosa, Alnus hirsuta, Alnus incana dan Alnus viridis (USDA fungus host database 2006).
12. Lasiodiplodia theobromae Griffon & Maubl. (Botryosphaeriaceae) Lasiodiplodia theobromae memiliki konidia elipsoid, pada bagian ujungnya mengerucut, dengan satu septa pada bagian tengahnya, berwarna coklat, dinding selnya tebal dan berukuran17-23 μm x 8-11 μm (Gambar 17). Konidiofor tidak teramati.
Gambar 17 Konidia Lasiodiplodia theobromae
18
Sebanyak 28 spesies Lasiodiplodia telah tercatat dari berbagai wilayah di dunia (Index Fungorum 2013). Lasiodiplodia theobromae pertama kali dilaporkan oleh Griffon dan Maubl. pada tahun 1909 (Index Fungorum 2013). Spesies ini tersebar pada banyak inang diantaranya Acacia crassicarpa, Allium sativum, Aloe vera, Areca catechu, Dipterocarpus sp., Eucalyptus urophylla, Pandanus utilis, Zea mays dan pada banyak inang lain (USDA fungus host database 2006).
13. Lasmeniella guaranitica Petr. & Syd. Lasmeniella guaranitica memiliki konidia bulat, tidak bersepta, berwarna coklat tua, dindingnya tebal, halus, berukuran 6-8 μm x 3-5 dan memiliki pori pada bagian tengah (Gambar 18). Lasmeniella guaranitica pertama kali dilaporkan oleh Petr. dan Syd. pada tahun 1927 dengan ciri konidioma mencapai ukuran 1200 µm, epidermal. Sel konidiogen berukuran 13-14 µm x 1-1.5, konidia 7-9 µm, coklat muda dengan bintik jernih pada bagian tengah nya (Sutton 1980). Spesies Lasmeniella memiliki ciri miselium terbenam, bercabang, hialin, bersepta. Konidioma eustromatik, sub epidermal, sel konidiogen holoblastik, hialin sampai coklat pucat, membengkak pada bagian dasar, silindris sampai meruncing ke atas. Konidia berwarna coklat, berdinding tebal, halus, tidak bersepta, datar, meruncing pada bagian dasar dan sering dengan pori pada bagian tengah (Sutton 1980).
Gambar 18 Konidia Lasmeniella guaranitica Sebanyak 13 spesies Lasmeniella telah tercatat dari berbagai wilayah di dunia (Index Fungorum 2013). Lasmeniella guaranitica yang menginfestasi Achatocarpus sp. telah dilaporkan sebelumnya dari Paraguay (USDA fungus host database 2006). Pada penelitian ini, diperoleh Lasmeniella guaranitica yang menginfestasi meranti di Indonesia dan ini merupakan laporan yang pertama, sehingga dapat menambah informasi mengenai penyebaran dari Lasmeniella guaranitica.
19
14.
Leptodothiorella sp. (Botryosphaeriaceae) Leptodothiorella sp. memiliki konidia silindris dan sedikit membengkak pada bagian ujung, hialin, tidak bersepta dan berukuran 7-8 μm x 2-3 μm (Gambar 19). Leptodotiorella memiliki ciri miselium terbenam, bercabang, bersepta, berwarna coklat sampai coklat muda. Konidioma berbentuk pikinidium, globos sampai subglobos, coklat gelap sampai hitam, terpisah atau bergabung, immersed, dindingnya tebal, dindingnya hialin sampai coklat pucat. Sel konidiogen enteroblastik, fialid. Konidia hialin, tidak bersepta, halus, dengan bentuk silindris, atau sedikit membengkak pada bagian ujung dan terdapat guttulate (Sutton 1980). Sebanyak 16 spesies Leptodothiorella telah tercatat di dunia (Index Fungorum 2013). Leptodothiorella yang berasal dari Indonesia belum pernah dilaporkan sebelumnya. Selain pada meranti, Leptodothiorella tersebar pada beberapa inang yaitu Cedrela toona, Eurycles amboinensis, Ficus pleurocarpa, Murraya exotica, Musa sp., Thymus pulegioides, Vitis vinifera dan Yucca aloifolia (USDA fungus host database 2006).
Gambar 19 Konidia Leptodothiorella sp.
15. Massariothea themedae Sydow, Annls mycol. 37: 249 (1939) Massariothea themedae memiliki konidia fusiform, 7 distoseptat dengan ukuran 80 μm x 27 μm dan berwarna coklat muda (Gambar 20). Massariothea themedae pertama kali dilaporkan oleh Sydow pada tahun 1939 dengan ciri konidioma datar berukuran 600 µm. Konidia fusiform, berlekuk, 6-7 distosepta, berukuran 31.5-44 x 10.5-12 µm (Sutton 1980). Spesies Massariothea memiliki ciri miselium di atas permukaan substrat atau terbenam, bercabang, bersepta dan berwarna coklat. Konidiama eustromatik, terpisah atau bergabung, berbentuk globos sampai rostrate, berwarna coklat gelap sampai hitam, terbenam sampai superfisial, memiliki satu sampai banyak lokus, berdinding tebal dengan warna coklat tua. Sel konidiogen enteroblastik, fialid, dengan bentuk doliform sampai lageniform, hialin, halus. Konidia berwarna coklat, 3-7 distoseptat, pada bagian dasar mengerucut, ujungnya tumpul, halus dan berbentuk silindris (Sutton 1980). Sebanyak 8 spesies Massariothea telah tercatat di dunia (Index Fungorum 2013) diantaranya di Cina, dan Australia. Di Indonesia, Massariothea belum
20
pernah dilaporkan sebelumnya, oleh sebab itu laporan ini merupakan laporan yang pertama. Selain pada meranti, Massariothea tersebar pada beberapa inang yaitu Heteropogon triticeus, Phragmites communis, Sorghum plumosum dan Shorgum vulgare (USDA fungus host database 2006).
Gambar 20 Konidia Massariothea themedae
16. Pestalotia guepinii Desm. (Amphisphaeriaceae) Pestalotia guepinii memiliki konidia fusiform, 6 sel dengan empat sel sentral berwarna coklat, sedangkan sel pada bagian ujung hialin, berukuran 23-31 μm x 8-9 μm dan memiliki setula yang simpel (Gambar 21). Pestalotia guepinii pertama kali ditemukan oleh Desm. pada tahun 1840 dengan ciri konidioma berukuran 200 µm, konidiofor berukuran 10-15 x 1-3 µm, konidia berukuran 21-27 x 6.5-8.5 µm, halus, memiliki 2-5 setula pada pada bagian ujung konidia, sebagian besar berjumlah 3 tidak bercabang, pada bagian ujung tumpul, setula berukuran 4-12 µm (Sutton 1980). Spesies Pestalotia memiliki ciri miselium terbenam, bercabang, septat, coklat. Konidioma eustromatik, hitam atau coklat tua, terbenam kemudian menjadi erumpent. Konidiofor hialin, bercabang secara teratur, septat, halus, dibentuk dari sel pada bagian atas pseudoparenkim, sel konidiogen holoblastik, indeterminate, menyatu, silindris, hialin, halus. Bentuk konidia fusiform, lurus atau sedikit berliku, 6 sel dengan 4 sel sentral berwarna coklat, sel pada bagian ujung hialin dan memiliki setula yang simpel atau bercabang (Sutton 1980).
Gambar 21 Konidia Pestalotia guepinii
21
17.
Pestalotiopsis sp. (Amphisphaeriaceae) Pestalotiopsis sp. memiliki konidia fusiform, 5 sel dengan sel bagian dasarnya hialin dan bagian tengahnya berwarna coklat dengan ukuran 10-11 μm x 3-5 μm, dan memiliki setula yang simpel (Gambar 22). Spesies Pestalotiopsis memiliki ciri miselium terbenam, bercabang, septat, hialin sampai coklat muda. Konidiofor hialin, bercabang dan bersekat pada bagian dasar. Konidia fusiform, 5 sel, pada bagian dasar sel berwarna hialin, sedangkan bagian tengah berwarna coklat dan memiliki setula yang simpel atau bercabang (Sutton 1980). Sebanyak 250 spesies Pestalotiopsis telah tercatat dari berbagai wilayah di dunia (Index Fungorum 2013). Di Indonesia, Pestalotiopsis tersebar pada banyak inang diantaranya Ficus elastica, Myrica javanica, Cocos nucifera dan Elaeis guineensis (USDA fungus host database 2006). Pestalotiopsis yang menginfestasi meranti belum pernah dilaporkan sebelumnya dan ini merupakan laporan yang pertama.
Gambar 22 Konidia Pestalotiopsis sp.
18.
Pseudolachnea hispidula Sutton Pseudolachnea hispidula memiliki konidia fusiform sampai silindris, simpel, hialin, satu septa, berukuran 90-100 μm x 17-23 μm (Gambar 23a) dan pada bagian ujung memiliki satu setula (Gambar 23b). Pseudolachnea hispidula pertama kali dilaporkan oleh Sutton pada tahun 1977 dengan ciri konidioma berbentuk mangkok dengan ukuran 260-850 µm, seta berukuran 400 x 3-5 µm, konidiofor berukuran 20-30 x 1.5-2 µm, konidia bersepta satu pada bagian tengah, eggutulate, pada bagian ujung dan dasar memiliki satu setula, tidak bercabang berukuran 2-3 µm (Sutton 1980). Spesies Pseudolachnea memiliki ciri miselium terbenam, berwarna coklat muda sampai tua, bersekat, bercabang. Konidioma subkutikular atau superfisial, coklat tua sampai hitam. Konidiofor hialin, bercabang pada bagian dasar dan halus. Konidia hialin, fusiform sampai silindris, lurus sampai berliku secara tidak teratur (Sutton 1980).
22
b
a
Gambar 23 Konidia Pseudolachnea hispidula (a) dan setula (b) Sebanyak 20 spesies Pseudolachnea telah tercatat dari berbagai wilayah di dunia (Index Fungorum 2013). Pseudolachnea asal Indonesia belum pernah dilaporkan sebelumnya, oleh sebab itu laporan ini merupakan laporan yang pertama. Selain pada meranti, spesies ini tersebar pada beberapa inang diantaranya Abies sp., Calamagrostis arundinaceae, Morus alba, Phytolacca sp., Robinia pseudoacacia, Salix sp. dan Syringa vulgaris (USDA fungus host database 2006). 19.
Septoriella sp. Septoriella sp. mempunyai konidia silindris, 8 eusepta dengan ukuran 9-14 μm x 71-88 μm, hialin, pada bagian dasarnya mengerucut dan bagian ujungnya tumpul, memiliki dinding yang tipis dan halus (Gambar 24). Spesies Septoriella memiliki ciri miselium terbenam, hialin sampai coklat pucat, bercabang dan bersepta. Konidioma berbentuk piknidium, coklat gelap, terbenam pada substrat, sub epidermal, satu lokus, memiliki dinding yang tebal dan tidak terdapat konidiofor. Sel konidiogen holoblastik, silindris tetapi membengkak pada bagian ujungnya, hialin, halus, dibentuk dari sel bagian dalam dinding lokus. Konidia berwarna coklat pucat, 8 eusepta, ujungnya tumpul dan bagian dasar mengerucut, dindingnya halus, silindris, eguttulate, lurus atau beberapa bengkok tidak beraturan (Sutton 1980).
Gambar 24 Konidia Septoriella sp.
23
Sebanyak 23 spesies Septoriella telah tercatat di dunia (Index Fungorum 2013). Di Indonesia, Septoriella belum pernah dilaporkan sebelumnya, oleh sebab itu laporan ini merupakan laporan yang pertama. Selain itu, Septoriella yang menginfestasi meranti juga belum pernah dilaporkan sebelumnya. Selain pada meranti, spesies ini tersebar pada banyak inang diantaranya Arundo donax, Bambusa sp., Euchlaena luxurians, Ficus alba, Ficus sp., Heteropogon contortus, Pinus montana, Phragmites australis dan pada beberapa inang lain (USDA fungus host database 2006). 20. Beltraniella portoricensis Piroz. & Patil (Hyponectriaceae) Beltraniella portoricensis memiliki konidia amerospora, obovoid, hialin dengan ukuran 14-20 μm x 3-4 μm (Gambar 25a). Sel konidiogen simpodial, coklat muda (Gambar 25b). Seta berwarna coklat tua, tidak bercabang (Gambar 25c). Beltraniella portoricensis pada media PDA (Gambar 26). Beltraniella portoricensis pertama kali dilaporkan oleh Piroz. dan Patil pada tahun 1970 (Index Fungorum 2013) dengan ciri seta lurus, konidiofor kadangkadang muncul dari bagian dasar seta, simpel atau bercabang, sel konidiogen apikal, konidia lageniform sampai simbiform (navikular) berukuran 18-27 x 5-8.5 µm, pada konidia terdapat berkas hialin (Shirouzu et al. 2010). Sebanyak 21 spesies Beltraniella telah tercatat dari berbagai wilayah di dunia (Index Fungorum 2013). Beltraniella portoricensis yang menginfestasi serasah meranti asal Indonesia belum pernah dilaporkan sebelumnya dan ini merupakan laporan yang pertama. Informasi ini berguna untuk mengetahui penyebaran dari Beltraniella portoricensis. Selain pada meranti, Beltraniella portoricensis banyak terdapat pada serasah daun dan tersebar pada banyak inang diantaranya Acacia aulacocarpa, Agathis loranthifolia, Areca catechu, Mangifera indica, Lithocarous edulis, Pinus khasya, Quercus acuta dan pada beberapa inang lain (USDA fungus host database 2006). c
b
a
Gambar 25 Konidia Beltraniella portoricensis (a), sel konidiogen (b) dan seta (c)
24
A
B
Gam mbar 26 Kolloni Beltranniella portorricensis pad da media PD DA, permukkaan atas (A A) dan permuukaan bawaah (B) Beltraniellla portoricensis IPB BCC.13.107 78 berada satu cladde dengan Beltrraniella porrtoricensis (GenBank accession a number n GU U905993) deengan nilai bootsstrap sebesar 87% (Gaambar 27). Hal ini meenegaskan pengamatan p morfologi dari Beltraniella B a portoricennsis.
mbar 27 Keedudukan Beltraniella B p portoricens sis IPBCC.13.1078 dallam pohon Gam filoogenetik
Cryptophiaaloidea fasciculata Khu utub. & Na awawi 21. C Cryptophiialoidea fassciculata meemiliki kon nidia falkat, hialin, tidaak bersepta monofialid, dan berukuran 20-31 μm x 1-2 μm (Gambar 28a). Sel koonidiogen m lagenniform, beruukuran 6-8 μm x 2-3,5 μm, fialid tersusun dalam ikatan/ bundel simpel, dan (Gam mbar 28b). Seta tidak bercabang, b n berwarna coklat (Gam mbar 28c). Crypptophialoideea fasciculaata pada media PDA (G Gambar 29).. Sebanyak 5 spesiess Cryptophhialoidea telah t tercattat di dunnia (Index a pertama kali dilapoorkan oleh Funggorum 20133). Cryptopphialoidea fasciculata Khuttub dan Naw wawi pada tahun 19944 (Index Fun ngorum 20113). Cryptop ophialoidea fasciiculata beluum pernah dilaporkan d a di Indon ada nesia, oleh karena itu llaporan ini meruupakan lapooran yang peertama. Selain pada meeranti, Crypptophialoideea tersebar padaa beberapa inang dianntaranya Beilschmiedia a pendula, Calyptranthhes caroli,
25
Dipterocarpus sp., Eucalyptus urophylla, Licuala longicalycata dan Ocotea nemodaphne (USDA fungus host database 2006). a c b
Gambar 28 Konidia Cryptophialoidea fasciculata (a), sel konidiogen (b), seta (c)
A
B
Gambar 29 Koloni Cryptophialoidea fasciculata pada media PDA, permukaan atas (A) dan permukaan bawah (B) Cryptophialoidea fasciculata IPBCC.13.1079 berada satu clade dengan Lecanicillium saksenae dengan nilai bootstrap sebesar 68% (Gambar 30). Hal ini menegaskan bahwa isolat tersebut merupakan Lecanicillium saksenae. Tetapi berdasarkan pengamatan secara morfologi, Cryptophialoidea fasciculata memiliki seta tidak bercabang, simpel, dan berwarna coklat. Sel konidiogen monofialid, berbentuk lageniform, berukuran 6-8 μm x 2-3.5 μm, fialid tersusun dalam ikatan/ bundel. Konidia berbentuk falkat, hialin, tidak bersepta dan berukuran 20-31 μm x 1-2 μm. Sedangkan Lecanicillium saksenae memiliki hifa aerial, fialid, ramping ke arah apeks. Konidia dimorfik yaitu makrokonidia berbentuk falkat dengan ukuran 6-13 x 1.5-2 μm dan mikrokonidia berbentuk elipsoid sampai fusoid dengan ukuran 2.5-5 x 1.5-2 μm (Sukarno et al. 2009). Adanya perbedaan hasil antara analisis molekuler dan pengamatan morfologi pada isolat ini, diduga karena tidak adanya data sekuen nukleotida dari Cryptophialoidea fasciculata di NCBI/Genbank, sehingga ketika dilakukan analisis filogenetik, sekuen dari Cryptophialoidea fasciculata akan me-alignment
26
ke sekuen s yanng terdekatt yaitu Leecanicillium m saksenae. Dalam iidentifikasi cenddawan, penggamatan seecara morfoologi merup pakan hal yang sangaat penting, sedanngkan analiisis molekuuler dapat memperkuat m atau menduukung dataa morfologi dalam m identifikaasi cendawaan.
Gam mbar 30
Kedudukan Cryptophiaaloidea fassciculata IP K PBCC.13.10079 dalam p pohon filogeenetik
22. H Hermatomyyces sphaerricus (Sacc..) S. Hughees Hermatom myces sphaaericus memiliki m miselium m y yang beraada diatas perm mukaan subsstrat. Koniddia bulat, beerwarna cok klat tua denngan ukurann 22-23 μm x 20--23 μm (Gaambar 31). Sebanyak 4 spesies Hermatomy H yces telah tercatat t darii berbagai w wilayah di duniaa (Index Fuungorum 2013). Hermaatomyces sphaericus peertama kali dilaporkan oleh Hughes pada p tahun 1953. Di Indonesia, Hermatom myces belum m pernah dilapporkan sebeelumnya daan ini meruupakan lapo oran yang pertama. p Teerdapatnya Herm matomyces pada merannti akan meemberikan informasi mengenai m ppenyebaran dari spesies inii. Selain paada merantti, spesies ini tersebarr pada bannyak inang A ccarambola, dianttaranya Accacia pennnata, Alchhornea corrdifolia, Averrhoa Panddanus furcaatus, Coffeaa liberica, Smilax campestris, Syzygium S jaambos dan padaa beberapa innang lain (U USDA funggus host dataabase 2006)).
Gambar 31 3 Konidia Hermatomyyces sphaerricus
27
23.
Hifoomiset sp. 1 Hifoomiset sp.1 memiliki konidia k glob bos, berwarnna coklat tuua dengan uk kuran 6-9 μm x 4-7 4 μm (Gaambar 32). Hifomiset H sp p. 1 pada media m PDA ((Gambar 33 3).
Gambar 32 3 Konidiaa Hifomiset sp. 1
A
B
Gambar 33 Koloni Hifomiset H spp. 1 pada meedia PDA, permukaan p atas (A) dan n permukaaan bawah (B) ( Annalisis filoggenetik darri hifomiseet sp.1 IPB BCC.13.10881 menunju ukkan bahwa isoolat tersebuut berada saatu clade dengan d Arthhropyreniacceae sp. deengan nilai bootsstrap sebesaar 83% (Gam mbar 34).
Gambar 34 3 Keduduukan Hifomiiset sp.1 IPB BCC.13.10881 dalam poohon filogen netik
28
24.
Kiliophora ubiensis Khutub. & Nawawi, Mycotaxon 48:241 (1993) Kiliophora ubiensis memiliki konidia fusiform, hialin, tidak bersepta dengan ukuran 4-14 μm x 1-2 μm (Gambar 35a). Sel konidiogen globos sampai ampuliform, hialin, dengan 4-5 μm x 3-4 μm (Gambar 35b). Seta bersepta, berwarna coklat muda (Gambar 35c). Kultur Kiliophora ubiensis pada media PDA (Gambar 36). Kiliophora ubiensis pertama kali dilaporkan oleh Khutub dan Nawawi pada tahun 1993 dengan ciri miselium sebagian terbenam pada substrat, bersepta, coklat muda sampai coklat, hifa bercabang dengan lebar 2-4 µm, konidiofor berdinding tebal, berbentuk seta, bersepta dengan ukuran mencapai 200 µm dengan lebar 5-7 µm ke arah dasar. Sel konidiogen dibentuk pada bagian tengah dan melalui pori kecil pada konidiofor, enteroblastik, sub hialin, globos sampai sub globos dengan ukuran 4-6 µm, halus. Konidia fusiform berukuran 18-25 µm, sub hialin, coklat muda, simpel dan tidak bersepta. Sebanyak 2 spesies Kiliophora telah tercatat di dunia (Index Fungorum 2013). Kiliophora ubiensis yang ditemukan pada penelitian ini merupakan laporan pertama di Indonesia.
b a
c
Gambar 35 Konidia Kiliophora ubiensis (a), sel konidiogen (b) dan seta (c)
Gambar 36 Koloni Kiliophora ubiensis pada media PDA, permukaan atas (A) dan permukaan bawah (B)
29
Berddasarkan analisis a filoogenetik, Kiliophora K ubiensis IPBCC.13.1080 berada sattu clade denngan Subram maniomycess fusisapropphyticus, tettapi dengan n nilai bootstrap kurang darri 50% (Gaambar 37) sehingga s tiddak dapat ddikatakan bahwa b Kiliophoraa ubiensis memiliki hubungan h kekerabatan k n dengan Suubramaniom myces fusisapropphyticus. Beerdasarkan pengamatan p n secara morfologi, Killiophora ubiiensis berbeda dari d Subram maniomyces fusisaprop phyticus. Kiiliophora ubbiensis mem miliki konidioforr membenttuk seta, beersepta, berwarna cokklat muda. Sel konidiogen globos sam mpai ampuuliform, hiallin, dengan 4-5 μm x 3-4 μm. K Konidia fusiform, hialin, tiddak berseptta dengan ukuran 4-1 14 μm x 1-2 1 μm. Suubramaniom myces fusisapropphyticus meemiliki konnidiofor teg gak lurus, halus, h berseepta 1, berw warna coklat puccat. Sel konnidiogen terrintegrasi, poliblastik, p s simpodial. K Konidia eliipsoid sampai fussiform, haluus dan berw warna coklatt pucat.
Gambar 37 3
Keduddukan Kiliiophora ub biensis IPB BCC.13.10800 dalam pohon p filogennetik
25. Minim midochium setosum Su utton Minimidochium m setosum memiliki m kon nidia hialinn, amerosporra berukuraan 1011 μm x 3-6 3 μm (Gam mbar 38a), memiliki setula pada bagian b ujunngnya. Seta tidak bercabangg, berwarna coklat (Gam mbar 38b). Sebaanyak 8 spesies s Miinimidochiu um telah tercatat t di dunia ((IIndex Fungorum m 2013). Minimidochiu M um setosum m pertama kali k dilaporrkan oleh Sutton S pada tahunn 1970. Miinimidochiuum setosum belum pernnah dilaporrkan sebelum mnya ada di Inddonesia dann ini merupakan laporaan yang perrtama. Selain pada meeranti, Minimidocchium terseebar pada beeberapa inaang diantaraanya Eucalyp yptus tereticcornis dan Samaddera indicaa (USDA funngus host database d 20006).
30
a b
Gambar 38 Konidia Minimidochium setosum (a) dan seta (b)
26.
Monodisma fragilis Alcorn, Trans. Br. Mycol. Soc. 65: 140 (1975) Monodisma fragilis memiliki konidia fusiform, pragmospora dengan 7 septa, hialin, dan berukuran 58 x 9 μm (Gambar 39). Monodisma fragilis pertama kali dilaporkan oleh Alcorn pada tahun 1975 dengan ciri hifa berukuran 2-5 µm, panjang konidiofor 700 µm, lebar 4.5-7.5 µm, konidia 3-13 distosepta dengan ukuran 27-80 x 5-10 µm.
Gambar 39 Konidia Monodisma fragilis Sebanyak 1 spesies Monodisma telah tercatat di dunia (Index Fungorum 2013). Monodisma fragilis sebelumnya telah dilaporkan dari Polandia yang menginfestasi Carex gracilis dan dari Papua Nugini pada Saccharum officinarum (USDA fungus host database 2006). Di Indonesia, Monodisma belum pernah dilaporkan sebelumnya, oleh sebab itu laporan ini merupakan laporan yang pertama. 27.
Nodulisporium sp. (Xylariaceae) Nodulisporium sp. memiliki konidia terdapat pada ujung, amerospora, hialin sampai subhialin kemudian berpigmen berukuran 2-3 μm x 1-2 μm (Gambar 40a). Konidiofor tegak lurus, bercabang, berpigmen (Gambar 40b).
31
Sebanyak 44 spesies Nodulisporium telah tercatat dari berbagai wilayah di dunia (Index Fungorum 2013). Nodulisporium tersebar pada banyak inang diantaranya Abies beshanzuensis, Acca sellowiana, Acer rubrum, Mangifera indica, Pinus strobus, Oryza sativa, Thuja plicata dan pada beberapa inang lain (USDA fungus host database 2006).
b
a
Gambar 40 Konidia Nodulisporium sp. (a) dan konidiofor (b)
28. Stilbella fimetaria Lindau Stilbella fimetaria memiliki konidia satu sel, tidak bersepta, hialin, berukuran 5-7 μm x 2-3 μm (Gambar 41a). Konidiofor berupa sinema (Gambar 41b).
a
b
Gambar 41 Konidia Stilbella fimetaria (a), konidiofor (b) Sebanyak 94 spesies Stilbella telah tercatat di dunia (Index Fungorum 2013). Stilbella fimetaria pertama kali dilaporkan oleh Lindau tahun 1905 (Index Fungorum 2013). Spesies ini tersebar pada banyak inang diantaranya Acer circinatum, Acer rubrum, Allium cepa, Bambusa sp., Eucalyptus sp., Solanum tuberosum, Theobroma cacao dan pada banyak inang lainnya (USDA fungus host database 2006).
32
29. Virgatospora echinofibrosa Finley, Mycologia 59: 538 (1967) Virgatospora echinofibrosa memiliki konidia berbentuk fusiform, bersepta, berwarna hijau, 4 sel berukuran 36-44 μm x 9-11μm (Gambar 42a). Konidiofor berupa sinema (Gambar 42b) dan memiliki papila (Gambar 42c). Virgatospora echinofibrosa pertama kali ditemukan oleh Finley pada tahun 1967 dengan ciri sinema, konidia bersepta, obovoid, alantoid sampai fusiform berukuran 39-50 x 9-15 µm dan pada bagian dasar mengerucut. Sebanyak 2 spesies Virgatospora telah tercatat di dunia (Index Fungorum 2013). Selain pada serasah meranti, spesies ini juga terdapat pada ranting Inga goldmanii (USDA fungus host database 2006).
c a
b
Gambar 42 Konidia Virgatospora echinovibrosa (a), konidiofor (b) dan papila (c) Jumlah spesies cendawan yang ditemukan pada penelitian ini lebih sedikit dari jumlah spesies yang dilaporkan oleh Maria dan Sridhar (2003) dari serasah mangrove, oleh Pinruan et al. (2007) dari serasah palem dan oleh Osono et al. (2009) dari serasah Shorea obtusa (80 spesies). Perbedaan jumlah spesies ini diduga disebabkan oleh perbedaan pengambilan sampel (musim, frekuensi, jumlah dan metode pengambilan sampel). Maria dan Sridhar (2003) menemukan 91 spesies cendawan selama musim hujan-musim panas pada serasah 5 jenis mangrove, Pinruan et al. (2007) menemukan sebanyak 147 spesies cendawan dengan pengambilan sampel selama beberapa bulan. Osono et al. (2009) menggunakan dua metode yaitu metode disinfeksi permukaan serasah daun dan metode pencucian daun, sehingga peluang untuk mengisolasi cendawan yang tidak bersporulasi pada sampel serasah sangat besar. Sebaliknya, penelitian ini hanya menggunakan metode observasi langsung serasah pada satu kali pengambilan sampel. Isolasi dilakukan terbatas pada spora yang ditemukan pada serasah. Metode ini memiliki kelebihan yaitu dapat mengetahui dengan tepat cendawan yang menginfestasi serasah dan mampu membentuk spora pada serasah. Faktor lain yang mempengaruhi jumlah spesies yang ditemukan kemungkinan adalah adanya metabolit sekunder. Shorea memiliki senyawa fenolik, seperti oligostilbenoid, flavonoid, fenil propanoid dan turunan asam fenolik yang dapat menghambat kolonisasi cendawan. Senyawa oligostilben
33
Jumlah spesies
memperlihhatkan bioaaktifitas yanng signifikaan termasukk sebagai annti bakteri (Nitta ( et al. 20002) dan antti cendawaan (Kusumaa & Tachibbana 2007). Rohaiza et al. (2011) tellah mengisoolasi empatt oligostilbeen yaitu (-)-e-viniferinn, (-)-ampellopsin E, (-)-hopeeaphenol daan shoreaphhenol dari ek kstrak asetoon Shorea hopeifolia. Struuktur komunnitas cendaw wan saprob berspora paada serasahh ranting berrbeda dari serasaah daun. Paada serasahh ranting, so oelomiset memiliki m jum mlah spesies dan kelimpahaan yang paling tinggi yaitu y sebany yak 11 spessies dan 36 individu, diikuti d oleh hifom miset (6 sppesies dan 28 individ du) dan askkomiset (5 spesies daan 13 individu). Pada serasaah daun, cenndawan darri kelompokk hifomiset memiliki ju umlah spesies daan kelimpaahan yang paling ting ggi yaitu seebanyak 4 spesies daan 55 individu, askomiset (2 ( spesies dan d 32 individu) dan soelomiset s (1 spesies dan d 1 individu) (Gambar 433 dan Gambbar 44). Seccara umum m, komunitass serasah raanting k dan kelimppahan spesiees tertinggi pada kelom mpok soelom miset. memiliki keragaman Pada serassah daun, hifomiset h m memiliki kerragaman daan kelimpahhan spesies yang tertinggi.
12 10 8 6 4 2 0
11 6
5
4 2
1
Askoomiset
S Serasah ranting S Serasah daun
Sooelomiset
Hifomiset
Kelomppok cendawann
Kelimpahan
Gambar 43 4 Distribussi kelompokk cendawan n berdasarkaan jumlah sppesies cendawan
60 50 40 30 20 10 0
55 36
32
28 Seerasah rantingg
13 3
Seerasah daun
1 Askoomiset
Soelomiset
Hifomiset
n Kelomppok cendawan
4 Gambar 44
Distribbusi kelom mpok cendaawan berdaasarkan kelimpahan setiap s spesiies
K cendawann saprob penghuni p seerasah meraanti berkisar antara 0.3%0 FK 16.9%. Beeltraniella portoricensi p is (16.9%) dan d Pemphiidium sp. (111.5%) term masuk kategori cendawan c y yang sangat sering diteemukan padda serasah ddaun karenaa FKnya > 10% %. Beltranieella adalah cendawan c yang y umum m ditemukann pada daun yang baru guguur dan freekuensinya menurun sejalan deengan prosses pembussukan
34
(Shirouzu et al. 2009). Cryptophialoidea fasciculata dan Lasiodiplodia theobromae penghuni serasah ranting memiliki FK berturut-turut sebesar 5.7% dan 6.5%, sehingga tergolong ke dalam spesies yang sering ditemukan pada serasah ranting. Cendawan lainnya termasuk kedalam kategori kadang-kadang dan jarang ditemukan (Tabel 2). Tabel 2 Frekuensi keberadaan dari cendawan saprob berspora penghuni serasah meranti Nama spesies cendawan Askomiset Annulohypoxylon purpureonitens (Aap) Diatrype chlorosarca (Adc) Didymosphaeria epidermidis (Ade) Lophiostoma sp. (Als) Lophodermium sp. (Ald) Pemphidium sp. (Apd) Valsa sp. (Avs) Cendawan anamorf Soelomiset Coniella musaiaensis (Ccm) Coryneum betulinum (Ccb) Hendersoniopsis thelebola (Cht) Lasiodiplodia theobromae (Clt) Lasmeniella guaranitica (Clg) Leptodothiorella sp. (Cld) Massariothea themedae (Cmt) Pestalotia guepinii (Cpg) Pestalotiopsis sp. (Cps) Pseudolachnea hispidula (Cph) Septoriella sp. (Cst) Soelomiset sp. 1 (Csp) Hifomiset Beltraniella portoricensis (Hbp) Cryptophialoidea fasciculata (Hcf) Hermatomyces sphaericus (Hhs) Kiliophora ubiensis (Hku) Minimidochium setosum (Hms) Monodisma fragilis (Hmf) Nodulisporium sp. (Hns) Stilbella fimetaria (Hsf) Virgatospora echinofibrosa (Hve) Hifomiset sp. 1 (Hh1) Jumlah individu cendawan Jumlah sampel serasah Jumlah spesies
Ranting
Daun
Total
% FK
2 5 3 2 0 0 1
0 0 0 0 2 30 0
2 5 3 2 2 30 1
0.7 1.9 1.1 0.7 0.7 11.5 0.3
3 1 1 17 1 1 2 2 0 1 6 1
0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0
3 1 1 17 1 1 2 2 1 1 6 1
1.1 0.3 0.3 6.5 0.3 0.3 0.7 0.7 0.3 0.3 2.3 0.3
0 15 2 0 1 4 2 0 4 0 77 130 22
44 0 0 2 0 0 0 8 0 1 88 130 7
44 15 2 2 1 4 2 8 4 1 165 260 29
16.9 5.7 0.7 0.7 0.3 1.5 0.7 3.0 1.5 0.3
35
Nama spesies cendaawan Indeks Shhannon-Wieener (H’) Indeks Margalef M DMg M ) Evennesss (E)
Rantingg
Daun
2.608 4.838 0.869
1.205 1.342 0.619
Total
% FK
Indeks Shannon-Wiener
Keannekaragamaan spesies cendawan saprob berspora padaa serasah raanting lebih tingggi dibandinngkan pada serasah dau un. Hal ini ditunjukkann dengan in ndeks Shannon-W Wiener dann indeks Margalef M yaiitu pada serrasah rantinng berturut-turut sebesar 2.608 dan 4.838, 4 sedaangkan padaa serasah daun d berturrut-turut seebesar 1.205 dann 1.342 (Tabbel 2). Keannekaragamaan cendawaan pada seraasah ranting g juga lebih tingggi dibandinggkan pada serasah s daun n hampir dii setiap titikk lokasi sam mpling (Gambar 47). 4 Keanekkaragaman cendawan c diduga d ada kaitannya k ddengan rasio o C/N substrat dan d ukurann substrat. Rasio C/N N pada serrasah rantiing lebih tinggi t dibandinggkan pada serasah daaun (Tabel 1). Menuurut Shearer (1992) dalam d Kodsueb et e al. (20088), tingginyaa rasio C/N N dan kepaddatan kayu aakan mendu ukung pertumbuhhan cendaw wan pada kayu. k Pada palem, Pinnnoi et al. ((2006) men nduga bahwa dinnding sel yang y lebih tebal pada kayu mem miliki lebihh banyak nu utrisi, terutama selulosa dan d pati yaang akan mendukungg pertumbuuhan cendaawan. Promputthha et al. (20002) mengaatakan bahw wa ukuran ranting r Mannglietia garrrettii yang lebih besar daaripada dauunnya meny yebabkan keanekarag k aman cend dawan penghuni ranting lebbih tinggi daripada cendawan c p penghuni ddaun. Hydee dan Sharma (22006) juga mengatakaan bahwa ranting r lebiih tebal dibbandingkan pada daun yangg lebih tipis,, sehingga kolonisasi k cendawan leebih baik. 1.8 8 1.6 6 1.4 4 1.2 2 1 0.8 8 0.6 6 0.4 4 0.2 2 0
1.7 1.3 1.3
1.3 1.2 1
1 0.6
1.2 0..8 0.6 0 0.6
0.6
1 1 0.9 0 0.8 0.8 Serasah rantting
0.3 0 1
0 2
3
0 0 4
5
Serasah dauun 0
0 0 6
7
8
9 10 11 12 13
Lokasi samplin ng Titik L
4 Gambar 45
Keanekkaragaman cendawan berdasarkaan indeks S Shannon-W Wiener (H’) padda tigabelass titik pengaambilan sam mpel
Indeks kemerataan spesies pada serasah s rannting (0.8669) lebih tinggi t dibandinggkan pada serasah daunn (0.619). Indeks I ini menunjukka m an bahwa secara s relatif speesies-spesies cendawann pada seraasah ranting terdistribbusi secara lebih merata pada semua sampel darippada spesiess-spesies yaang ditemukkan pada seerasah
36
daun. Karena indeks kemerataan kurang dari 1 maka pada masing-masing substrat terdapat spesies cendawan saprob yang dominan. Analisis koresponden dari komunitas cendawan pada serasah ranting dan daun memperlihatkan bahwa spesies cendawan seperti Annulohypoxylon purpureonitens, Diatrype chlorosarca, Didymosphaeria epidermidis, Lophiostoma sp., Valsa sp., Soelomiset sp.1, Coniella musaiaensis, Coryneum betulinum, Hendersoniopsis thelebola, Lasiodiplodia theobromae, Lasmeniella guaranitica, Leptodothiorella sp., Massariothea themedae, Pestalotia guepinii, Pseudolachnea hispidula, Septoriella sp., Cryptophialoidea fasciculata, Hermatomyces sphaericus, Minimidochium setosum, Monodisma fragilis, Nodulisporium sp., dan Virgatospora echinofibrosa merupakan cendawan yang umum ditemukan pada serasah ranting. Pada serasah daun meranti, cendawan yang ditemukan yaitu Kiliophora ubiensis, Lophodermium sp., Pemphidium sp., Pestalotiopsis sp., Beltraniella portoricensis, Stilbella fimetaria dan Hifomiset sp. 1 (Gambar 46).
Symmetric Plot Hcf Cmt Cpg A vs Ranting Cht Cst Adc Clt Als Cld Aap Ccm Ccb A de Csp Hms Hhs Hns Cph Hv e Clg Hmf
1,0
Component 1
0,5
0,0
-0,5 Apd Hsf Hh1 Cps Daun Hku Ald Hbp
-1,0 -1,0
-0,5
0,0 0,5 Component 1
1,0
Gambar 46 Analisis koresponden yang memperlihatkan hubungan antara spesies cendawan (akronim) dengan organ tanaman meranti. (Untuk akronim lihat tabel 2) Analisis koresponden memperlihatkan hubungan antara spesies cendawan dengan organ tanaman. Spesies tertentu hanya ditemukan pada serasah ranting meranti atau serasah daun meranti. Perbedaan komposisi komunitas cendawan pada tipe organ yang berbeda pada meranti, mengindikasikan bahwa cendawan pada meranti bersifat substrat spesifik. Informasi mengenai sifat-sifat organ dari tanaman meranti terbatas, sehingga sulit menentukan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perbedaan komunitas pada setiap jenis organ.
37
4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Sebanyak 29 jenis cendawan saprob berspora telah ditemukan pada serasah meranti yaitu Annulohypoxylon purpureonitens, Diatrype chlorosarca, Didymosphaeria epidermidis, Lophiostoma sp., Valsa sp., Soelomiset sp.1, Coniella musaiaensis, Coryneum betulinum, Hendersoniopsis thelebola, Lasiodiplodia theobromae, Lasmeniella guaranitica, Leptodothiorella sp., Massariothea themedae, Pestalotia guepinii, Pseudolachnea hispidula, Septoriella sp., Cryptophialoidea fasciculata, Hermatomyces sphaericus, Minimidochium setosum, Monodisma fragilis, Nodulisporium sp., Virgatospora echinofibrosa pada serasah ranting dan Kiliophora ubiensis, Lophodermium sp., Pemphidium sp., Pestalotiopsis sp., Beltraniella portoricensis, Stilbella fimetaria, Hifomiset sp. 1 pada serasah daun. Keanekaragaman cendawan pada serasah ranting lebih tinggi dibandingkan serasah daun dengan nilai indeks Shannon-Weiner pada serasah ranting yaitu 2.608 dan pada serasah daun sebesar 1.205. Distribusi setiap spesies dalam komunitas cendawan tidak merata pada substrat ranting dan daun. Beltraniella portoricensis dan Pemphidium sp. merupakan cendawan yang paling sering ditemukan pada serasah daun meranti dengan FK sebesar 16.9% dan 11.5%. Cryptophialoidea fasciculata dan Lasiodiplodia theobromae memiliki FK sebesar 5.7% dan 6.5% yang tergolong ke dalam spesies yang sering ditemukan pada serasah ranting meranti, sedangkan spesies cendawan yang lain termasuk ke dalam kategori kadang-kadang dan jarang ditemukan.
Saran Berdasarkan hasil penelitian, banyak hal yang dapat mempengaruhi dominansi suatu spesies cendawan terhadap spesies cendawan yang lain. Oleh karena itu, faktor yang mempengaruhi perbedaan struktur komunitas cendawan pada serasah ranting dan serasah daun sangat sulit ditentukan. Penelitian selanjutnya harus mempertimbangkan semua faktor yang mempengaruhi frekuensi keberadaan cendawan pada meranti terutama pada inang. Untuk mengetahui komunitas cendawan pada serasah meranti secara lengkap, pengamatan pada beberapa musim selama satu tahun diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA Alcorn JL. 1975. Monodisma, a new genus of Hyphomycetes. Trans. Br. Mycol. Soc. 65: 140. Carmichael JW, Kendrick WB, Conners LL, Sigler L. 1980. Genera of Hyphomycetes. Edmonton: The University of Alberta Press.
38
Choi YW, Hyde KD, Ho WWH. 1999. Single spore isolation of fungi. Fungal Divers. 3:29-38. Departemen Kehutanan. 2007. Departemen kehutanan bangun sumber benih dan kebun benih meranti. www.dephut.go.id [11 Mar 2012]. Dwivedi RS, Shukla AN. 1977. Fungal decomposition in relation to carbon dioxide evolution in a tropical sal Forest biome. Proc Indian natn Sci Acad. 43:26-32. Ellis MB. 1971. Dematiaceous Hyphomycetes. Kew, Surrey: CAB International. Ellis MB. 1976. More Dematiaceous Hyphomycetes. Kew, Surrey: CAB International. Finley DE. 1967. Virgatospora: a new genus of Stilbellaceae. Mycologia 59: 538. Fuckel. 1870. Symbolae mycologicae. Jb. nassau. Ver. Naturk. 23-24: 140. Höhnel F. 1918. Mycologische fragmente. Annls mycol. 16: 124. Hsieh HM, Ju YM, Rogers JD. 2005. Molecular phylogeny of Hypoxylon and closely related genera. Mycologia. 97: 844-865. Hyde KD, Taylor JE, Fröhlich J. 2000. Genera of Ascomycetes from palm. Hong Kong: Fungal Diversity Press. Hyde KD, Sarma VV. 2006. Biodiversity and ecological observations on filamentous fungi of mangrove palm Nypa fructicans Wurumb (LiliopsidaArecales) along the Tutong River, Brunei. Indian J Mar Sci. 35:297-307. Index Fungorum. 2013. [Internet]. [diunduh 17 Apr 2013]. Tersedia pada: Http:// www.indexfungorum.org/Names/Names.asp. Khutubutheen AJ, Nawawi A. Kiliophora: a new genus name for the hyphomycete taxon Danaea. Mycotaxon. 48: 241. Kodsueb R, EHC McKenzie, Lumyong S, Hyde KD. 2008.The role of woody debris. Fungal succession on woody litter of Magnolia liliifera (Magnoliaceae). Fungal Divers. 30:55-72. Kusuma IW, Tachibana S. 2007. Antifungal compounds isolated from tropical and temperate woods [Abstrak]. ACS Symposium Series. 954 (Materials, Chemicals, and Energy from Forest Biomass): 377-390. Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. Croom Helm: London Sydney. Maria GL, Sridhar KR. 2003. Diversity of filamentous fungi on woody litter of five mangrove plant species from the southwest coast of india. Fungal Divers. 14:109-126 Nag Raj TR. 1993. Coelomycetous Anamorphs with Appendage-Bearing Conidia. Waterloo: Mycologue Publications. Nitta T, Arai T, Takamatsu H, Inatomi Y, Murata H, Iinuma M, Tanaka T, Ito T, Asai F, Watabe K. 2002. Antibacterial activity of extracts prepared from tropical and subtropical plants on methicillin-resistant Staphylococcus aureus. J Health Sci. 48:273-276. Osono T, Ishii Y, Takeda H, Seramethakun T, Khamyong S, To-Anun C, Hirose D, Tokumasu S, Kakishima M. 2009. Fungal succession and lignin decomposition on Shorea obtusa leaves in a tropical seasonal forest in northern Thailand. Fungal Divers. 36:101-119. Paderes DO, Mew TW, Ilag LL. 1996. Influence of moisture content and length of storage on fungal invasion of paddy rice. Biotropia 10:1-13.
39
Paulus B, Gadek P, Hyde KD. 2003. Estimation of microfungal diversity in tropical rainforest leaf litter using particle filtration: the effects of leaf storage and surface treatment [Abstrak]. Mycol Res. 107:748–756. Pinnoi A, Lumyong S, Hyde KD, Jones EBG. 2006. Biodiversity of fungi on the palm Eleiodoxa conferta in Sirindhorn peat swamp forest, Narathiwat, Thailand. Fungal Divers. 22:205-218. Pinruan U, Hyde KD, Lumyong S, McKenzie EHC, Jones EBG. 2007. Occurence of fungi on tissues of the peat swamp palm Licuala longicalycata. Fungal Divers. 25:157-173. Polishook JD, Bills GF, Lodge DJ. 1996. Microfungi from decaying leaves of two rain forest trees in Puerto Rico. J Ind Microbiol. 17:284–294. Promputtha I, Lumyong S, Lumyong P, McKenzie EHC, Hyde KD. 2002. Fungal succession on senescent leaves of Manglietia garrettii in Doi Suthep-Pui National Park, Northern Thailand. Fungal Divers. 10:89-10. Rohaiza S, Yacoob WA, Din LB, Nazlina I. 2011. Cytotoxic oligostilbenes from Shorea hopeifolia. Afr J Pharm Pharmacol. 5:1272-1277. Santana ME, Lodge DJ, Lebow P. 2005. Relationship of host recurrence in fungi to rates of tropical leaf decomposition. Pedobiologia. 49: 549-564. Schowalter TD. 1996. Insect Ecology: An Ecosystem Approach. San Diego: Academic Press. Seifert K, Jones GM, Gams W, Kendrick B. 2011. The Genera of Hyphomycetes. Utrecht: CBS-KNAW Fungal Biodiversity Centre. Shirouzu T, Hirose D, Fukasawa Y, Tokumasu S. 2009. Fungal succession associated with the decay of leaves of an evergreen oak, Quercus myrsinaefolia. Fungal Divers. 34:87-109. Shirouzu T, Hirose D, Tokumasu S, Anun CT, Maekawa N. 2010. Host affinity and phylogenetic position of a new anamorphic fungus Beltraniella botryospora from living and fallen leaves of a evergreen oaks. Fungal Divers. 43:85-92. Sinha A. 1982. Litter-decomposing mycoflora in relation to different climate conditions. Proc Indian natn Sci Acad. 1:138-146. Soni KK, Pyasi A, Verma RK. 2011. Litter decomposing fungi in sal (Shorea robusta) forests of central India. Nusantara Bioscience. 3:136-144. Sukarno N, Kurihara Y, Ilyas M, Mangunwardoyo W, Yuniarti E, Sjamsuridzal W, Park JY, Saraswati R, Inaba S, Widyastuti Y, Ando K, Harayama S. 2009. Lecanicillium and Verticillium species from Indonesia and Japan including three new species. Mycoscience. 50:369-379. Sutton BC. 1980. The Coelomycetes: Fungi Imperfecti with Pycnidia, Acervuli, and Stromata. Kew, Surrey: Commonwealth Mycological Institute. Sydow H. 1939. Novae fungorum species- XXVII. Annls mycol. 37: 249. Tamura K, Peterson D, Peterson N, Stecher G, Nei M, Kumar S. 2011. MEGA5: Molecular evolutionary genetics analysis using maximum likelihood, evolutionary distance, and maximum parsimony methods. Mol Biol Evol. 28:2731-2739. Taylor JE, Hyde KD. 2003. Microfungi of tropical and temperate palms. Hong Kong: Fungal Diversity Press. Thorn RG, Reddy CA, Harris D, Paul EA. 1996. Isolation of saprophytic Basidiomycetes from soil. Appl Environ Microbiol. 62:4288-4292.
40
USDA fungus host database. 2013. Fungus-host distributions [Internet]. [(15 Sept 2006) diunduh 2013 Apr 17]. Tersedia pada: (Http://nt.arsgrin.gov/fungaldatabases/fungushost/fungushost.cfm). Wang HK, Hyde KD, Soytong K, Lin FC. 2008. Fungal diversity on fallen leaves of Ficus in northern Thailand. J Zhejiang Univ Sci B. 10:835-841. White TJ, Bruns T, Lee S, Taylor JW. 1990. Amplification and direct sequencing of fungal ribosomal RNA genes for phylogenetics. In: PCR Protocols: a guide to methods and applications (eds. M.A. Innis DH Gelfand, JJ Sninsky dan TJ White). Academic Press, New York, USA: 315-322. Yoder DL, Wood JLL. 1973. Fungal spore germination on natural and steril soil. J Gen Microbiol. 74: 107-117.
41
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pekanbaru pada tanggal 7 April 1986 sebagai anak ke3 dari pasangan M.M Harahap dan Erni Helmida. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UNRI, lulus pada tahun 2009. Pada tahun 2011, penulis diterima di Program Studi Mikrobiologi pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2013. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Direktorat Jendral Perguruan Tinggi melalui program Beasiswa Unggulan.