STRUKTUR HUKUM AKAD RAHN DI PEGADAIAN SYARIAH KUDUS Oleh : Ahmad Supriyadi*
Abstrak Pembahasan tentang gadai syariah volumenya masih sangat langka, hal ini wajar karena lembaga yang mengembangkan gadai syariah juga sangat minim, misalnya Pegadaian Syariah Kudus. Gadai Syariah merupakan suatu gejala ekonomi lahir semenjak regulasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 jo. UndangUndang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Regulasi ini di respon oleh Dewan Syariah Nasional dengan mengeluarkan fatwa Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn dan juga fatwa Nomor 26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas. Kegiatan gadai syariah ini merupakan sistem hukum baru di dalam sistem hukum di Indonesia. Kondisi ini didasarkan pada lahirnya perjanjian-perjanjian yang belum ada dalam sistem hukum perdata di Indonesia misalnya ar-rahn. Karena Sistem ar-rahn berasal dari sistem hukum Islam. Ketiadaan aturan ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan akan banyak masalah yang terjadi. Sedangkan penelitian tentang struktur hukum pegadaian syariah dalam perspektif hukum Islam dan Hukum positif belum banyak dan hanya beberapa orang misalnya Zainuddin Ali, Abdul Ghofur Anshori dan Nur Aliyah. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan dengan pengambilan datanya melalui observasi dan quesioner. Untuk bisa menyelesaikan rumusan masalah yang ada peneliti menggunakan pendekatan sistem dengan pemahaman bahwa dalam pegadaian syariah itu operasionalnya menggunakan sistem tertentu Dosen STAIN Kudus dan Mahasiswa Program Doktor Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang *
EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
1
Ahmad Supriyadi
dan pendekatan yang lain yaitu pendekatan normatif yang digunakan untuk menganalisis praktik pegadaian syariah dari sisi norma. Struktur hukum dalam pegadaian syariah yang telah penulis teliti di Pegadaian Syariah Kudus dapat di simpulkan. Bahwa struktur hukum perjanjian yang di buat oleh para pihak yaitu struktur hukum gadai pada perjanjian gadai. Struktur hukum gadai yang di lakukan di Pegadaian Syariah Kudus memuat : suatu perbuatan hukum oleh seseorang atau rahin mengikatkan diri pada orang lain atau murtahin untuk memperoleh pinjaman uang dengan jaminan berupa benda bergerak. Perjanjian ini dalam struktur hukum perdata termasuk perjanjian bernama yang mempunyai sifat timbal balik, di satu sisi punya hak dan di sisi lain punya kewajiban secara timbal balik. Perjanjian demikian itu termasuk perjanjian konsensuil obligatoir, karena terbentuknya perjanjian itu berdasarkan konsensus dan yang di perjanjikan mengandung unsur ekonomi. Kata Kunci: Struktur Hukum, Akad Rahn, Pegadaian Syariah
A. Latar Belakang Masalah. Islam telah mengatur pemeluknya dalam segala aspek kehidupan melalui syariah yang dituangkan dalam kaedah-kaedah dasar dan aturan-aturan. semua pemeluk Islam di wajibkan untuk mentaatinya ataupun mempraktikkan dalam praksis kehidupan. Sehingga sangat wajar bila interaksi antara sesama umat Islam yang berdasarkan syariah perlu mendapat kajian yang serius karena umat perlu panduan keilmuan supaya tidak salah berperilaku. Karena itu perlu pengkajian aturan Islam dalam seluruh sisi kehidupan kita sehari-hari, diantaranya yang berawal dari interaksi sosial dengan sesama manusia, khususnya dalam hal ekonomi. Pinjam meminjam dalam ekonomi adalah sesuatu yang lazim di lakukan oleh para pelaku ekonomi. Walau demikian meminjam untuk menanggung kebutuhan hidup berupa makan dan minum dengan pinjaman yang terlalu besar, tidaklah di anjurkan oleh Islam. Sedangkan pinjaman yang berkaitan dengan harta untuk modal usaha sangat di anjurkan, dengan dasar bahwa uang yang di miliki oleh para aghniya supaya mempunyai nilai manfaat yang lebih. Berdasarkan fenomena ini pemerintah merasa prihatin karena kelemahan orang menjadi lahan yang enak bagi para pemilik modal. 2
Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2012
Struktur Hukum Akad Rahn Pegadaian Syariah Kudus
Karena itulah pemerintah mendirikan lembaga formal tentang pegadaian. Lembaga formal tersebut dibagi menjadi dua yaitu lembaga bank dan lembaga nonbank. Lembaga nonbank inilah pemerintah telah memfasilitasi masyarakat dengan suatu perusahaan umum (perum) yang melakukan kegiatan pegadaian yaitu Perum Pegadaian yang menawarkan pinjaman yang lebih mudah, proses yang jauh lebih singkat dan persyaratan yang relatif sederhana dan mempermudah masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dana. Hal ini kegiatan bagi masyarakat yang beragama non Islam. padahal Indonesia berpenduduk sebagian besar beragama Islam. Perum Pegadaian melihat masyarakat Indonesia yang sebagian besar beragama Islam, maka ia meluncurkan sebuah produk gadai yang berbasiskan prinsip-prinsip syariah sehingga masyarakat mendapat beberapa keuntungan yaitu cepat, praktis dan menentramkan, produk yang dimaksud di atas adalah produk Gadai Syariah. Perusahaan umum pegadaian adalah satu-satunya badan usaha di Indonesia yang secara resmi mempunyai ijin untuk melaksanakan kegiatan lembaga keuangan berupa pembiayaan dalam bentuk penyaluran dana ke masyarakat atas dasar hukum gadai seperti dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1150. Tugas pokoknya adalah memberikan pinjaman kepada masyarakat atas dasar hukum gadai (Heri Sudarsono, 2004:156). Undang-undang ini di atur lebih lanjut oleh Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 tentang Perusahaan Umum Pegadaian. Kegiatan Gadai Syariah merupakan suatu gejala ekonomi yang baru lahir semenjak regulasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 jo. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Regulasi ini di respon oleh Dewan Syariah Nasional dengan mengeluarkan fatwa Nomor 25/ DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn dan juga fatwa Nomor 26/DSN-MUI/ III/2002 tentang Rahn Emas. Kegiatan gadai syariah yang baru ini melahirkan sistem hukum baru di dalam sistem hukum di Indonesia. Kondisi ini didasarkan pada lahirnya perjanjian-perjanjian yang belum ada dalam sistem hukum di Indonesia misalnya ar-rahn. Sistem ar-rahn berasal dari sistem hukum Islam yang di tulis dalam kitab-kitab fiqih baik klasik maupun kontemporer yang kemudian di implementasikan oleh EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
3
Ahmad Supriyadi
masyarakat Indonesi. Implementasinya memunculkan masalah baru di dalam hukum positip yaitu adanya dualisme sistem yaitu pegadaian konvensional yang pengaturannya mengacu pada hukum positip murni dan pegadaian syariah yang mengacu pada hukum Islam. Pegadaian syariah secara yuridis belumlah mempunyai dasar hukum yang kuat bila dilihat dari sisi hukum positip, karena belum adanya UU yang mengaturnya. Hal ini menimbulkan ketidak pastian hukum tentang pegadaian syariah, lebih-lebih bila ada perbuatan hukum yang bermasalah dan pasti akan ditanyakan bagaimana hukumnya? Walaupun saat ini belum pernah di dengar adanya suatu masalah hukum menyangkut pegadaian syariah, tapi di kemudian hari akan ada suatu wanprestasi di dalam implementasi produk-produk pegadaian syariah. Karena itu semua akan membutuhkan hukum. Di sisi lain masyarakat yang belum paham tentang syariah selalu bertanya apa dan bagaimana pegadaian syariah serta bagaimana operasionalnya? Tapi mereka juga ada kecurigaan tentang produk-produk yang di keluarkan oleh pegadaian syariah. Misalnya mempertanyakan apa bedanya pegadaian syariah dengan konvensional. Hal diatas menunjukkan kurangnya pemahaman masyarakat terhadap pegadaian syariah. Akibat yang di timbulkan adalah mereka kurang menyukai pegadaian syariah. Padahal umat Islam di Indonesia adalah penduduk mayoritas yang berinteraksi ekonomi secara syariah. B. Rumusan Masalah Akad rahn di Pegadaian Syariah Kudus merupakan perbuatan hukum yang tidak memiliki kepastian hukum dan dibutuhkan suatu pencarian kebenaran struktur hukumnya, sehingga dapat diambil rumusan masalah yaitu: Bagaimana struktur hukum akad rahn di Pegadaian Syariah Kudus dari perspektif hukum positif dan hukum Islam? C. Metode Penelitian Penelitian yang berjudul struktur hukum pegadaian syariah dalam perspektif hukum Islam dan hukum positif (suatu tinjauan 4
Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2012
Struktur Hukum Akad Rahn Pegadaian Syariah Kudus
yuridis normatif terhadap praktek pegadaian syariah di Kudus) adalah Penelitian mengenai praktik dan sistem hukum di Pegadaian syariah yang merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Untuk menyelesaikan rumusan masalah, peneliti menggunakan pendekatan sistem dengan tujuan mendapatkan sistem yang saling berhubungan antara satu produk dengan produk lain di Pegadaian Syariah dan juga dengan pendekatan yuridis normatif untuk menemukan gambaran yang komprehensip mengenai struktur hukum yang ada dalam praktik Pegadaian Syariah. Obyek penelitian ini adalah praktik produk-produk Pegadaian Syariah dan subyeknya adalah seluruh pegawai atau karyawan di Pegadaian Syariah Kudus dan para nasabahnya. Data yang diperoleh berupa data primer yang dikumpulkan dengan metode wawancara dan observasi. Wawancara untuk menggali data, dilakukan kepada manajer dan para nasabah di Pegadaian Syariah, kemudian dianalisis dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Setelah data terkumpul selanjutnya dilakukan pengelompokan data dan memberi kode-kode tertentu kemudian dilakukan pengolahan data secara kualitatif melalui tahapan seleksi, klasifikasi dan kategorisasi berdasarkan kelompok masalah, kemudian dilakukan analisa dengan pendekatan yuridis dan normatif. Dalam proses analisa data ini setidaknya peneliti akan menggunakan beberapa tahap: dimulai dengan analisa deskriptif yang memungkinkan peneliti menguraikan hasil penelitian apa adanya, lalu dilanjutkan dengan analisa hermeneutic yaitu memberikan makna-makna yang ditemukan dalam hubungannya dengan aktivitas. Selanjutnya analisa dan kesimpulan yang logis, utuh, terpadu dan bisa dimengerti dengan menggunakan metode induktif. Laporan hasil penelitan ini berupa data sekunder dan data primer yang dikumpulkan dan dianalisis secara kualitatif kemudian disajikan dalam bentuk deskriptif yaitu laporan yang memberikan gambaran secara menyeluruh dan sistematis. D. Telaah Pustaka Telaah pustakan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang utuh terhadap implementasi rahn menurut hukum Islam, dimana EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
5
Ahmad Supriyadi
rahn itu merupakan term yang diadopsi dari hukum Islam, kemudian di implementasikan di Indonesia. Pengertian Pegadaian Syariah Kegiatan pegadaian syariah merupakan bagian obyek kajian dari ekonomi syariah. Kegiatan ini di zaman Rarulullah telah di praktikkan oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana dalam sejarah nabi pernah membeli makanan dengan menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi. Walaupun kegiatan ini sudah lama ada, namun karena kurang di gali oleh para ilmuan, sehingga kesulitan untuk mendefinisikannya dalam Bahasa Indonesia. Bahkan kegiatan ini dalam term fiqih sering ada tapi untuk mempraktikkan belum bisa memasyarakat seperti sekarang ini. Pemahaman tentang pegadaian syariah dapat di lihat dari dua sisi, yaitu dari sisi pegadaian syariah sebagai lembaga perum dan juga pegadaian syariah dari sisi komersial atau menjalankan produk-produk yang di keluarkan oleh lembaga tersebut. Karena itu pembahasan ini nanti pada bab-bab berikutnya akan mengacu pada dua hal itu yaitu pada lembaga dan pada sisi komersial. Pegadaian syariah di terjemahkan dari kata ar-rahn dalam kitab-kitab fiqih (pemikiran hukum Islam) seperti dalam bidayah almujtahid. Ar-Rahn artinya secara terminologi adalah jaminan hutang atau gadai (Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdhor,1998:996), begitu juga dalam kamus Hans Wehr (1980:363) bahwa ar-rahn is deposit as security. Atas dasar dua pengertian secara terminologi itu dapat di simpulkan bahwa ar-rahn adalah pegadaian atau jaminan hutang. ArRahn pengertian secara bahasa artinya “tetap”, “berlangsung”, dan “menahan” (Wahbah Zuhaili, 2002:4202). Adapun pengertian ar-rahn yang dimaksud adalah menahan harta yang dimiliki oleh peminjam uang sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya جعل الشئ وثيقة بدينBarang yang dijadikan jaminan tersebut haruslah punya nilai jual atau yang memiliki nilai ekonomis, sehingga pihak yang menahan barang memperoleh kepastian jaminan bahwa peminjam akan melunasi pinjamannya dan bila tidak dapat melunasinya pihak penerima gadai dapat menjual barang jaminan sebagai pembayaran atas piutang nasabah (Sayyid Sabiq,1987:169). 6
Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2012
Struktur Hukum Akad Rahn Pegadaian Syariah Kudus
Karena itu gadai syariah perlu di cermati unsur-unsur yang ada dalam setiap kegiatannya. Menurut penulis bahwa gadai itu ada karena adanya suatu hubungan antara satu orang atau lebih dengan seorang atau lebih dalam lingkup menjadikan barang sebagai jaminan atas pembiayaan yang diberikan oleh murtahin. Dikatakan satu orang bila yang bertemu hanya pihak rahin dan murtahin saja. Tapi bila barang yang di gadaikan (marhun) itu milik saudaranya, maka pihak yang bertemu tidak hanya dua orang tetapi tiga orang. Hubungan antara mereka tidak hanya sekedar hubungan tetapi merupakan hubungan hukum, karena hubungan yang di lakukan oleh para pihak akan menimbulkan akibat hukum. Sedangkan hubungan hukum yang dimaksud adalah melakukan kesepakatan bahwa pihak rahin sepakat menyerahkan barang untuk ditahan oleh murtahin dan membayar biaya perawatan dan sewa tempat penyimpanan serta asuransi sedangkan murtahin sepakat untuk memberikan pinjaman uang. Atas keterangan tersebut menurut penulis bahwa gadai syariah adalah hubungan hukum antara satu orang atau lebih dengan seorang atau lebih dengan kata sepakat untuk mengikatkan dirinya bahwa di satu pihak (rahin) bersedia menyerahkan barang untuk ditahan oleh murtahin dan membayar biaya perawatan dan sewa tempat penyimpanan serta asuransi sedangkan murtahin sepakat untuk memberikan pinjaman uang tertentu sebesar nilai taksir. Pengertian tersebut perlu juga memperhatikan pengertianpengertian yang di uraikan oleh para ahli hukum Islam antara lain : Rahn menurut Ahmad Azhar Basyir (1983:50) perjanjian menahan suatu barang sebagai tanggungan utang. Karena itu perbuatan yang dilakukan adalah menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan syariah sebagai tanggungan utang. Rahn menurut Sulaiman Rasjid (1976:295) adalah menjadikan suatu barang sebagai jaminan dalam utang piutang untuk memberikan kepercayaan dan keyakinan bahwa hutang itu akan ia bayar, dan bila ia tidak bisa membayar, barang tersebut bisa di jual oleh pemberi hutang. Menurut pemahaman Fadly “rahn” berarti pemenjaraan. Misalnya perkataan mereka (orang Arab), “rahanasy syai-a” artinya apabila sesuatu itu terus menerus dan menetap. Allah berfirman: “Tiaptiap diri bertanggung jawab atas perbuatannya.” (QS Al-Muddatsir: 38). EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
7
Ahmad Supriyadi
Adapun menurut istilah syara’, kata rahn ialah memperlakukan harta sebagai jaminan atas hutang yang dipinjam, supaya dianggap sebagai pembayaran manakala yang berhutang tidak sanggup melunasi hutangnya. (Fathul Bari V: 140 dan Manarus Sabil I: 351). Atas dasar pengertian-pengertian di atas perlu di ambil satu pemahaman sebagai patokan dalam pengertian gadai syariah yang mencakup unsur-unsur antara lain : (a) Ada syarat subyek yaitu : orang yang menggadaikan (rahin) dan orang yang menerima gadai (murtahin) keduanya ada syaratsyarat tertentu : 1. Telah dewasa menurut hukum 2. Berakal 3. Mampu atau cakap berbuat hukum (b) Ada syarat obyek yaitu : barang yang dapat di gadaikan (marhun) dengan syarat-syarat tertentu antara lain: 1. Benda yang mengandung nilai ekonomis 2. Dapat di perjual belikan dan tidak melanggar undangundang. 3. Barang milik rahin 4. Benda bergerak (c) Adanya kata sepakat (sighot) yaitu : kata sepakat setelah negosiasi antara rahin dan murtahin yang kemudian di implementasikan dalam perjanjian. E. Hasil Penelitian 1. Struktur Hukum Akad Rahn di PERUM Pegadaian Syariah Kudus. PERUM Pegadaian Syariah memiliki beberapa produk gadai yang telah di operasionalkan sejak adanya unit syariah hingga sekarang. Produk-produk itu antara lain: 1.1. Produk Ar-Rahn (Gadai Syariah) a. Gadai Syariah Kudus Gadai syariah di Pegadaian Syariah adalah merupakan skim pinjaman yang mudah dan praktis untuk memenuhi kebutuhan dana bagi masyarakat dengan sistem gadai yang sesuai dengan syariah dengan cara menyerahkan agunan berupa emas perhiasan, berlian, elektronik dan kendaraan 8
Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2012
Struktur Hukum Akad Rahn Pegadaian Syariah Kudus
bermotor (Sumber: liflet Pegadaian Syariah). Atas dasar liflet peneliti memberikan definisi yang spesifik bahwa rahn adalah hubungan hukum yang dilakukan oleh rahin dan marhun untuk memberikan pinjaman berupa uang dari marhun sedangkan rahin menyerahkan sesuatu barang bergerak sebagai jaminan atas kemampuannya mengembalikan uang, dan membayar biaya sewa tempat dan pemeliharaan. Berdasarkan liflet produk gadai syariah ini mempunyai beberapa keuntungan antara lain: a) Meningkatkan daya guna barang bergerak karena barang yang di gadaikan berupa motor, cukup di gadaikan BPKBnya. Sehingga motor masih dapat di pakai oleh rahin dan dapat menghasilkan keuntungan. b) Prosedur pengajuan dan syarat-syarat untuk mendapatkan pinjaman uang sangat mudah dan cepat c) Barang di taksir secara valid dan cermat sehingga nilai taksiran bisa optimal d) Jangka waktu pinjaman fleksibel tidak di batasi, bebas menentukan pilihan pembayaran e) Barang gadai di jamin aman dan di asuransikan f) Sumber dana dan akad sesuai dengan syariah b. Tahap-Tahap Pelaksanaan gadai syariah Adapun untuk mendapatkan pinjaman dengan skim gadai syariah ini ada beberapa tahapan yang di lalui : a) Tahap Pengajuan Pada tahap ini seorang nasabah apabila ingin mendapatkan pinjaman dari Pegadaian Syariah ia harus datang dengan memenuhi beberapa persyaratan : 1. Menyerahkan copy KTP atau identitas resmi lainnya; 2. Menyerahkan barang sebagai jaminan yang berharga misalnya berupa emas, berlian, elektronik, dan kendaraan bermotor; 3. Untuk kendaraan bermotor, cukup menyerahkan dokumen kepemilikan berupa BPKB dan copy dari STNK sebagai pelengkap jaminan; 4. Mengisi formulir permintaan pinjaman; 5. Menandatangani akad EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
9
Ahmad Supriyadi
Setelah syarat-syarat ini terpenuhi, nasabah membawa barang jaminan disertai photo copy identitas ke loket penaksiran barang jaminan. Barang akan ditaksir oleh penaksir, kemudian akan memperoleh pinjaman uang maksimal 90% dari nilai taksiran. Tahap berikutnya adalah tahap perjanjian yang dilakukan sebagai berikut: b) Tahap Perjanjian Pada tahap perjanjian, pihak rahin harus datang sendiri dan melakukan negosiasi terlebih dahulu atas perjanjian yang di buat oleh pihak Pegadaian Syariah. Bila pihak rahin tidak sepakat, boleh membatalkan untuk tidak jadi meminjam uang di Pegadaian Syariah. Namun bila telah sepakat atas perjanjian yang ada, maka nasabah langsung menandatangani akad tersebut. Adapun akad yang di gunakan dalam perjanjian gadai syariah ini adalah akad ijroh atau Fee Based marhun yang bisa di sebut ijarah yakni rahin dimintai imbalan sewa tempat, ujroh pemeliharaan marhun dalam hal penyimpanan barang yang di gadaikan. Apa yang diperjanjikan? Hal-hal yang di perjanjikan dalam perjanjian gadai syariah adalah : (a) Judul perjanjian yaitu akad rahn. (b) Hari dan tanggal serta tahun akad (c) Kedudukan para pihak yaitu (1) kantor cabang pegadaian syariah yang diwakili oleh kuasa pemutus marhun bih, dan oleh karenanya bertindak untuk dan atas nama serta kepentingan CPS, disebut sebagai pihak pertama. (2) rahin atau pemberi gadai adalah orang yang nama dan alamatnya tercantum dalam surat bukti rahn ini. (d) Hal-hal yang diperjanjikan dalam gadai syariah antara lain : (1) rahn dengan ini mengakui telah menerima pinjaman dari murtahin sebesar nilai pinjaman dan dengan jangka waktu pinjaman sebagaimana tercantum dalam surat buku rahn. (2) Murtahin dengan ini mengakui telah menerima barang milik rahn yang digadaikan kepada murtahin, dan karenanya murtahin 10
Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2012
Struktur Hukum Akad Rahn Pegadaian Syariah Kudus
berkewajiban mengembalikannya pada saat rahin telah melunasi pinjaman dan kewajiban-kewajiban lainnya. (3) Atas transaksi rahn tersebut diatas, rahn dikenakan biaya administrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. (4) Apabila jangka waktu akad telah jatuh tempo, dan rahin tidak melunasi kewajiban-kewajibannya, serta tidak memperpanjang akad, maka rahin dengan ini menyetujui dan atau memberikan kuasa penuh yang tidak dapat ditarik kembali untuk melakukan penjualan atau lelang marhun yang berada dalam kekuasaan murtahin guna pelunasan pembayaran kewajiban-kewajiban tersebut. Dalam hal hasil penjualan atau lelang marhun tidak mencukupi untuk melunasi kewajiban-kewajiban rahin, maka rahin wajib membayar sisa kewajibannya kepada murtahin sejumlah kekurangannya. (5) Bilamana terdapat kelebihan hasil penjualan marhun, maka rahin berhak menerima kelebihan tersebut, dan jika dalam jangka satu tahun sejak dilaksanakan penjualan marhun, rahin tidak mengambil kelebihan tersebut, maka dengan ini rahin menyetujui untuk menyalurkan kelebihan tersebut sebagai shodaqah yang pelaksanaannya diserahkan kepada murtahin. (6) Apabila marhun tersebut tidak laku dijual, maka rahin menyetujui pembelian marhun tersebut oleh murtahin minimal sebesar harga taksiran marhun. (7) segala sengketa yang timbul yang ada hubungannya dengan akad ini yang tidak dapat diselesaikan secara damai, maka akan diselesaikan melaui Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) adalah bersifat final dan mengikat. (e) Membubuhkan tandatangan menunjukkan persetujuan akad rahn. Selain akad rahn, ada pula akad ijaroh yang tujuannya adalah untuk memperjanjikan biaya-biaya yang berkaitan dengan rahn. Adapun perjanjian ijarah setelah akad rahn isinya adalah sebagai berikut : 1. Berisi judul akad yaitu akad ijarah 2. Hari dan tanggal serta tahun akad 3. Keterangan tentang kedudukan para pihak : (1) EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
11
Ahmad Supriyadi
Kantor Cabang Pegadaian Syariah sebagaimana tersebut dalam surat bukti rahn ini yang dalam hal ini diwakili oleh kuasa pemutus marhun bih dan oleh karenanya bertindak untuk dan atas nama serta kepentingan CPS untuk selanjutnya disebut sebagai Mu’ajjir. (2) Musta’jir adalah orang yang nama dan alamatnya tercantum dalam surat bukti rahn ini. 4. Pengakuan adanya akad rahn sebelumnya yang isinya : (1) bahwa musta’jir sebelumnya telah mengadakan perjanjian dengan muajjir sebagaimana tercantum dalam akad rahn yang juga tercantum di dalam surat bukti rahn ini, dimana musta’jir bertindak sebagai rahin dan muajjir bertindak sebagai murtahin dan oleh karenanya akad rahn tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan akad ini. (2) bahwa atas marhun berdasarkan akad diatas musta’jir setuju dikenakan ijarah. 5. Kesepakatan tentang akad ijarah, yang isinya adalah : (1) para pihak sepakat dengan tarif ijarah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, untuk jangka waktu per-sepuluh hari kalender dengan ketentuan penggunaan ma’jur selama satu hari tetap dikenakan ijarah sebesar ijarah per-sepuluh hari. (2) Jumlah keseluruhan ijarah tersebut wajib di bayar sekaligus oleh musta’jir kepada mu’ajjir diakhir jangka waktu akad rahn atau bersamaan dengan dilunasinya pinjaman. (3) apabila dalam penyimpanan marhun terjadi hal-hal di luar kemampuan musta’jir sehingga menyebabkan marhun hilang/rusak tak dapat dipakai maka akan diberikan ganti rugi sesuai ketentuan yang berlaku di PERUM Pegadaian. Atas pembayaran ganti rugi ini musta’jir setuju dikenakan potongan sebesar marhun bih + ijarah sampai dengan tanggal ganti rugi, sedangkan perhitungan ijarah dihitung sampai dengan tanggal penebusan / ganti rugi. Simulasi perhitungan gadai syariah berdasarkan akad ujroh (fee based marhun) : 12
Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2012
Struktur Hukum Akad Rahn Pegadaian Syariah Kudus
Biaya yang di perhitungkan dalam membayar upah meliputi sewa pemakaian tempat, pemeliharaan marhun dan asuransi marhun. Maka perhitungan yang di lakukan adalah: Ijarah = Taksiran barang x Tarif (Rp.) x Jangka waktu 10.000,- Hari Misalnya : nasabah memiliki 1 keping Logam Mulia seberat 25 gram dengan kadar 99,99% asumsi harta per gram emas 99,99%= Rp. 300.000,- maka cara menghitungnya adalah sebagai berikut: • Taksiran =25 gr. x Rp. 300.000,- = Rp. 7.500.000,• Uang Pinjaman =90%xRp.7.500.000,- = Rp. 6.750.000,• Ijaroh /10 hari = 7.500.000,- x 80 x 10 = Rp. 60.000, Rp.10.000,10 • Biaya Administrasi = Rp. 25.000,Jika nasabah menggunakan marhun bih selama 26 hari, ijaroh ditetapkan dengan menghitung per 10 hari x 3 maka besar ijaroh adalah Rp. 180.000,- (Rp. 60.000,- x 3) ijaroh di bayar pada saat nasabah melunasi atau memperpanjang dengan akad baru. Di Pegadaian Syariah, tarif yang biasa di kenakan pada nasabah dapat di lihat dalam gambar berikut ini (Daftar Tabel dari Pegadaian Syariah) : Tarif Ijarah dan Biaya Administrasi Gadai Syariah (Rahn) Gol ong an
A B C D E F G
UP Min
UPMax
Rp. Rp. 20,000 150,000 151,000 500,000 501,000 1,000,000 1,005,000 5,000,000 5,010,000 10,000,000 10,050,000 20,000,000 20,100,000 50,000,000
Pembul atan UP
Rp. 1,000 1,000 1,000 5,000 10,000 50,000 100,000
Pemb ulatan Ijarah
Tarif Ijarah
Rp. 100 100 100 100 100 100 100
Rp. 80 80 80 80 80 80 80
Periode
Biaya
Penghitung an Ijarah Rp. Per 10 hari Per 10 hari Per 10 hari Per 10 hari Per 10 hari Per 10 hari Per 10 hari
Administr asi Gadai Rp. 1,000 5,000 8,000 16,000 25,000 40,000 50,000
Biaya Admini strasi Surat Hilang Rp. 1,000 2,000 3,000 4,000 4,000 4,000 4,000
Ket.
c) Tahap Realisasi Perjanjian Pada tahap realisasi akad yang telah di sepakati bersama dan telah di tandatangani oleh kedua belah EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
13
Ahmad Supriyadi
pihak, maka tahap selanjutnya adalah realisasi penyerahan pinjaman kepada rahin. d) Tahap Akhir Gadai Pada tahap akhir gadai, yang di kerjakan adalah sebelum berakhirnya gadai, pihak murtahin (Pegadaian Syariah) memberikan informasi kepada rahin bahwa pinjaman akan berakhir. Setelah di sampaikan maka rahin akan membayar sejumlah uang yang di pinjam dan biayabiaya penyimpanan selama gadai. Dalam hal ini proses pelunasan bisa dilakukan kapan saja sebelum jangka waktunya, baik dengan cara sekaligus ataupun di angsur. Namun apabila pihak rahin tidak mampu membayar sebesar uang pinjamannya di tambah biaya sewa tersebut, maka barang di lelang oleh Pegadaian Syariah untuk membayar, sedangkan bila ada sisanya uang akan di kembalikan kepada rahin, tapi bila uangnya kurang untuk menutupi pinjaman dan biayanya maka pihak rahin di minta untuk membayar kekurangannya. Tapi pada kenyataan bahwa rahin sering tidak membayar kekurangan dari uang pinjamannya. e) Realisasi Pelelangan Barang Gadai Pelelangan barang gadai di sebabkan karena pihak rahin tidak mampu membayar seluruh hutangnya beserta biaya-biaya yang harus di tanggungnya. Karena itu pihak murtahin diperbolehkan untuk menjual atau melelang barang yang telah di gadaikan kepada murtahin. Adapun meknisme penjualannya adalah sebagai berikut: (a) Pihak rahin mewakilkan kepada murtahin untuk menjualkan barang yang digadaikan; (b) Pihak murtahin akan menginformasikan secara umum melalui pengumuman bahwa akan diadakan lelang pada tanggal tertentu. (c) Pihak murtahin melaksanakan lelang yang sesuai dengan prosedur. Salah satu cara pelelangan barang gadai di pegadaian syariah adalah (Zainuddin Ali,2008:51): (1). Ditetapkan harga emas oleh pegadaian pada saat pelelangan dengan margin 2% untuk pembeli. 14
Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2012
Struktur Hukum Akad Rahn Pegadaian Syariah Kudus
(2). Harga penawaran yang dilakukan oleh banyak orang tidak diperbolehkan karena dapat menyebabkan kerugian bagi rahin. Karena itu, pihak pegadaian melakukan pelelangan terbatas, yaitu hanya memilih beberapa pembeli. (3). Hasil pelelangan akan digunakan untuk biaya penjualan 1% dari harga jual, biaya perwatan dan penyimpanan barang dan sisanya dikembalikan kepada rahin. (4). Sisa kelebihan yang tidak diambil selama setahun, akan diserahkan oleh pihak pegadaian kepada baitul maal. 2. Analisis Yuridis Dan Normatif Praktik Rahn di PERUM Pegadaian Syariah Kudus 2.1. Analisis Hukum Positip Terhadap Praktik Gadai di PERUM Pegadaian Syariah Kudus Analisis ini didasarkan pada hukum perdata yang ada di Indonesia dan merujuk pada KUH Perdata dengan meninggalkan beberap prinsip yang tidak sesuai dengan hukum Islam misalnya tentang riba, ataupun hal-hal lain yang tidak sesuai dengan hukum Islam. Pada asasnya bahwa hutang itu harus di bayar. Setiap orang yang mempunyai hutang ia mempunyai kewajiban untuk membayar sebesar hutang uang yang dipinjam. Tetapi bila sesorang bisa meminjam uang dengan pembayarannya di tangguhkan maka ia harus memberikan jaminan atas kemampuannya untuk membayar. Karena itu gadai pada prinsip adalah memberikan jaminan bahwa seseorang bisa membayar hutangnya. Gadai dalam Islam di sebut rahn tapi dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata Pasal 1150 juga telah ada yang memberikan pengertian bahwa gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau orang lain atas namanya, dan memberikan kekuasaan kepada si berpiutang untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang berpiutang lainnya, dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya, setelah barang itu di gadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan (J. Satrio,1996:97). EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
15
Ahmad Supriyadi
Dalam perjanjian tersebut telah di uraikan tentang para pihak atau disebut subyek perjanjian. Subyek perjanjian diatas ada dua yaitu rahin dan murtahin dan ini telah di atur dalam Pasal 1150 KUH Perdata. Di dalam perjanjian yang di perjanjikan adalah barang yang di gadaikan bahwa barang yang digadaikan yaitu berupak cicin. Barang tersebut adalah termasuk benda bergerak sebagaimana di atur dalam Pasal 1150 jo 1152 KUH Perdata. Karena itu barang gadai bisa benda bergerak dan bisa juga surat berharga. Tentang penyerahan barang gadai diletakkan dengan membawa benda gadai di bawah kekuasaan kreditur atau di bawah kekuasaan pihak ketiga sebagaimana pasal 1152. Penyerahan barang gadai di Pegadaian Syariah telah memenuhi pasal tersebut yang faktanya si rahin menyerahkan marhun bih kepada murtahin. Perjanjian gadai menurut ilmu hukum, termasuk perjanjian riil dan sifatnya konsensuil. Dikatakan riil karena benda yang dijadikan jaminan benar-benar diserahkan kepada murtahin dan dikatakan konsensui, bahwa perjanjian ini lahir karena ada kata sepakat dari para pihak. 2.1.1. Perumusan Gadai Perumusan tentang gadai sebagaimana dalam Pasal 1150 KUH Perdata telah menjadikan suatu ikatan hukum yang di akibatkan dari perjanjian gadai bahwa seseorang yang mendapatkan utang dengan menjaminkan barang berupa barang bergerak dan akan di bayar di kemudian hari. Kata ”gadai” disini memiliki dua arti yaitu sebagai benda gadai dan juga hak gadai. 2.1.2.Para Pihak dalam Gadai Para pihak yang terlibat dalam perjanjian gadai adalah raahin (pemberi gadai) dan murtahin (penerima jaminan). 2.1.3. Barang yang di Gadaikan 2.1.4. Penyerahan Barang Gadai 2.2. Analisis Hukum Islam Terhadap Praktik Rahn di PERUM Pegadaian Syariah kudus PERUM Pegadaian Syariah telah mengeluarkan beberapa produk jasa antara lain : gadai syariah, jual beli emas logam mulia 16
Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2012
Struktur Hukum Akad Rahn Pegadaian Syariah Kudus
(produk mulia) dan arrum. Dari tiga produk tersebut ada praktik produk pegadaian syariah yang hampir sama yaitu arrum dengan gadai syariah. Jasa-jasa tersebut telah didipraktikkan sebagaimana perjanjian yang didiskripsikan di atas yang berlandaskan prinsip-prinsip syariah. Secara umum perjanjian yang di gunakan dalam operasional jasa-jasa tersebut adalah akad rahn, akad ijarah dan akad jual beli murabahah. a. Gadai Syariah Gadai syariah atau rahn telah di perbolehkan oleh alQur’an dan as-Sunnah untuk bermuamalah berdasarkan gadai. Dasarnya adalah :
ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚﭛ ﭜ ﭝ ﭞ ﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ ﭦﭧ ﭨ ﭩ ﭪﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯ ﭰﭱ ﭲ ﭳﭴﭵ Dan jika kamu dalam perjalanan (safar) dan kamu tidak dapati penulis, maka hendaklah ada jaminan (borg sebagai barang gadaian) yang kamu pegangi. Maka jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah orang yang dipercayai itu menunaikan amanahnya (hutangnya) dan hendaklah ia takut kepada allah Tuhannya (Qs. Al-Baqarah, 283)
Sedangkan akad yang telah terjadi di Pegadaian Syariah telah di atur mulai dari nama akad, subyek dan obyek akad, para pihak dalam akad bahkan sampai pada penyelesaian akad. Hal ini bila merujuk pada norma-norma yang ada dalam fiqih muamalah menurut Khalid Samhudi, bahwa akad rahn harus mempunyai empat rukun antara lain (internet september 11,2007) : (a) Al Rahn atau Al Marhuun (barang yang digadaikan) (b) Al Marhun bih (hutang) (c) Shighat (d) Dua pihak yang bertransaksi yaitu Raahin (orang yang menggadaikan) dan Murtahin (pemberi hutang). Sedangkan dalam referensi lain menyebutkan bahwa rukun rahn itu terdiri dari (Mahsin Hj. Mansor,1992:68):
EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
17
Ahmad Supriyadi
(a) Al-rahin adalah orang yang menggadaikan barang untuk mendapatkan pinjaman uang; (b) Al-murtahin adalah orang penerima gadai karena ia memberikan pinjaman uang; (c) Al-marhun adalah barang yang dijadikan jaminan hutang; (d) Sighat adalah ijab dan qabul. Para pihak yang bertransaksi bisa juga tidak hanya dua pihak tetapi bisa tiga pihak yaitu : pihak raahin, pihak murtahin dan pihak ketiga yang menjamin atas hutang-hutang raahin. Hal ini bisa terjadi pada saat barang yang di gadaikan itu milik orang lain, atau barang itu telah di jual kepada pihak ke-tiga. Pihak ke-tiga tersebut di sebut juga pemberi gadai atau raahin hanya saja tanggung jawabnya hanya terbatas sebesar benda gadai yang ia berikan, sedangkan lebih dari itu tetap menjadi tanggungan debitur raahin sendiri. Pihak ketiga pemberi gadai tidak mempunyai hutang tetapi secara yuridis ia mempunyai tanggungjawab dengan benda gadaiannya. Bila menganalisis perjanjian yang di buat oleh para pihak, keempat rukun yang di butuhkan oleh perjanjian rahn telah terpenuhi. Bahkan yang di perjanjikan tidak hanya itu saja, ada hal-hal lain yang di perjanjikan berkaitan dengan al-rahin antara lain : a. Harus membayar uang pemeliharaan dan keamanan; b. Membayar biaya administrasi; c. Membayar asuransi; d. Membayar denda bila telat dalam pelunasan hutang; e. Menjual barang yang di gadaikan bila tidak mampu melunasi hutangnya. Sedangkan penerima gadai juga ada perjanjian yang kedua belah sepakati antara lain: (a) Wajib memelihara barang dan mengamankan dari segala kerusakan; (b) Akan mengganti barang apabila karena kelalaian petugas gadai untuk mengamankan dan memelihara barang gadai; (c) Menyerahkan barang gadai bila rahin telah melunasi pinjamannya. 18
Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2012
Struktur Hukum Akad Rahn Pegadaian Syariah Kudus
Berdasarkan penjelasan dalam fiqih muamalah, akad yang dibuat oleh para pihak di Pegadaian Syariah telah memenuhi rukun yang tercantum dalam akad gadai syariah tersebut. Sedangkan syarat rahn dalam fiqih muamalah menurut Khalid Samhudi adalah sebagai berikut (internet september 11,2007) : (1) Syarat yang berhubungan dengan transaktor (orang yang bertransaksi) yaitu Orang yang menggadaikan barangnya adalah orang yang memiliki kompetensi beraktivitas, yaitu baligh, berakal dan rusyd (kemampuan mengatur). (2) Syarat yang berhubungan dengan Marhun bih (barang gadai) ada dua: (a) Barang gadai itu berupa barang berharga yang dapat menutupi hutangnya baik barang atau nilainya ketika tidak mampu melunasinya. (b) Barang gadai tersebut adalah milik orang yang manggadaikannya atau yang diizinkan baginya untuk menjadikannya sebagai jaminan gadai. (c) Barang gadai tersebut harus diketahui ukuran, jenis dan sifatnya, karena Al rahn adalah transaksi atau harta sehingga disyaratkan hal ini. (3) Syarat berhubungan dengan Al Marhun bihi (hutang) adalah hutang yang wajib atau yang akhirnya menjadi wajib. Landasan dalam operasionalisasi gadai syariah adalah Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 yang menyatakan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn diperbolehkan dengan ketentuan sebagai berikut : a. Ketentuan Umum : 1. Murtahin (penerima barang) mempunya hak untuk menahan Marhun (barang) sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi. 2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin Rahin, dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan perawatannya. EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
19
Ahmad Supriyadi
3. Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin. 4. Besar biaya administrasi dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman. 5. Penjualan marhun (a) Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera melunasi utangnya. (b) Apabila rahin tetap tidak melunasi utangnya, maka marhun dijual paksa/dieksekusi. (c) Hasil Penjualan Marhun digunakan untuk melunasi hutang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan. (d) Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin. b. Ketentuan Penutup (a) Jika salah satu pihak tidak dapat menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. (a) Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari terdapat kekeliruan akan diubah dan disempurnakan sebagai mana mestinya. Perjanjian yang di bahas selain syarat dan rukun ada juga tentang pembiayaan terhadap pemeliharaan dan perawatan barang gadai. Menurut Khalid Samhudi Ada beberapa ketentuan dalam gadai setelah terjadinya serah terima yang berhubungan dengan pembiayaan (pemeliharaan), pertumbuhan barang gadai dan pemanfaatan serta jaminan pertanggung jawaban bila rusak atau hilang, diantaranya: (a) Pemegang barang gadai Pemegang barang gadai adalah murtahin selama perjanjian belum berakhir. sebagaimana firman Allah:
20
Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2012
Struktur Hukum Akad Rahn Pegadaian Syariah Kudus
وض ُة ُ َو ِإن ُكن ُت ْم َعلَى َس َف ٍر َول َْم َت ِج ُدوا َكات ًِبا َف ِر َه َ ان َّم ْق ُب
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).(QS. 2:283) dan sabda beliau:
ان َم ْر ُهو ًنا َ الد ِّر ُي ْش َر ُب ِإ َذا َك َ الظَّ ْه ُر ُي ْر َك ُب ِإ َذا َك َّ ان َم ْر ُهو ًنا َول ََب ُن َو َعلَى ا َّلذِ ي َي ْر َك ُب َو َي ْش َر ُب َن َف َق ُت ُه
Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan dan susu (dari hewan) diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan yang minum memberi nafkahnya. (Hadits Shohih riwayat Al Tirmidzi).
(b) Pembiayaan pemeliharaan dan pemanfaatan barang gadai Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang digadaikan adalah milik orang yang menggadaikan (Raahin) dan Murtahin tidak boleh mengambil manfaat barang gadaian tersebut kecuali bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diambil air susunya, maka boleh menggunakan dan mengambil air susunya apabila ia memberikan nafkah (dalam pemeliharaan barang tersebut). Pemanfaatannya tentunya sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan. Hal ini di dasarkan sabda Rasululloh SAW :
ان َم ْر ُهو ًنا َ الد ِّر ُي ْش َر ُب ِإ َذا َك َ الظَّ ْه ُر ُي ْر َك ُب ِإ َذا َك َّ ان َم ْر ُهو ًنا َول ََب ُن َو َعلَى ا َّلذِ ي َي ْر َك ُب َو َي ْش َر ُب َن َف َق ُت ُه
Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan dan susu (dari hewan) diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan yang minum memberi nafkahnya. (Hadits Shohih riwayat Al Tirmidzi).
Penulis kitab Al Fiqh Al Muyassar menyatakan: Manfaat dan pertumbuhan barang gadai adalah hak pihak penggadai, karena itu adalah miliknya. Tidak boleh orang lain mengambilnya tanpa seizinnya. Bila ia mengizinkan murtahin (pemberi hutang) untuk mengambil manfaat barang gadainya tanpa imbalan dan hutang gadainya EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
21
Ahmad Supriyadi
dihasilkan dari peminjaman maka tidak boleh, karena itu adalah peminjaman hutang yang menghasilkan manfaat. Adapun bila barang gadainya berupa kendaraan atau hewan yang memiliki susu perah, mak diperbolehkan murtahin mengendarainya dan memeras susunya sesuai besarnya nafkah tanpa izin dari penggadai karena sabda Rasululloh:
الد ِّر ُي ْش َر ُب ِب َن َف َق ِت ِه ِإ َذا َ الر ْه ُن ُي ْر َك ُب ِب َن َف َق ِت ِه ِإ َذا َك َّ ان َم ْر ُهو ًنا َول ََب ُن َّ ِذ الن َف َق ُة ب ر ش ي و ب ك ر ي ي ل ا َى ل ع و ا ن و ه ر م ان َّ َ َ ْ ً َّ ُ َ َ َ ُ ْ َ ُ ْ َ َك َ َ
Al Rahn (Gadai) ditunggangi dengan sebab nafkahnya, apabila digadaikan dan susu hewan menyusui diminum dengan sebab nafkah apabila digadaikan dan wajib bagi menungganginya dan meminumnya nafkah. (HR Al Bukhori no. 2512). Ini madzhab Hanabilah. Adapun mayotitas ulama fiqih dari hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah mereka memandang tidak boleh murtahin mengambil manfaat barang gadai dan pemanfaatan hanyalah hak penggadai dengan dalil sabda Rasululloh:
ل َُه ُغ ْن ُم ُه َو َعل َْي ِه َغ َر ُم ُه
Ia yang berhak memanfaatkannya dan wajib baginya biaya pemeliharaannya. (HR Al daraquthni dan Al Hakim)
Khalid Samhudi menambahkan suatu keterangan yang diambil dari Ibnul Qayyim. Beliau memberikan komentar atas hadits pemanfaatan kendaraan gadai dengan pernyataan: Hadits ini menunjukkan kaedah dan ushul syari’at yang menunjukkan bahwa hewan gadai dihormati karena hak Allah dan pemiliknya memiliki hak kepemilikan dan murtahin (yang memberikan hutang) memiliki padanya hak jaminan. Bila barang gadai tersebut ditangannya lalu tidak dinaiki dan tidak diperas susunya tentulah akan hilang kemanfaatannya secara sia-sia. Sehingga tuntutan keadilan, analogi (Qiyas) dan kemaslahatan penggadai, pemegang barang gadai (murtahin) dan hewan tersebut adalah Murtahin mengambil manfaat mengendarai dan memeras susunya dan menggantikannya dengan menafkahi (hewan tersebut). Bila murtahin menyempurnakan pemanfaatannya 22
Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2012
Struktur Hukum Akad Rahn Pegadaian Syariah Kudus
dan menggantinya dengan nafkah maka dalam hal ini ada kompromi dua kemaslahatan dan dua hak. (c). Perpindahan kepemilikan dan Pelunasan hutang dengan barang gadai Barang gadai tidak berpindah kepemilikannya kepada murtahin apabila telah selesai masa perjanjiannya kecuali dengan izin orang yang menggadaikannya (Raahin) dan tidak mampu melunasinya (Kholid Syamhudi). Pada zaman jahiliyah dahulu apabila telah jatuh tempo pembayaran hutang dan orang yang menggadaikan belum melunasi hutangnya kepada pihak yang berpiutang, maka pihak yang berpiutang menyita barang gadai tersebut secara langsung tanpa izin orang yang menggadaikannya. Lalu Islam membatalkan cara yang dzalim ini dan menjelaskan bahwa barang gadai tersebut adalah amanat pemiliknya ditangan pihak yang berpiutang, tidak boleh memaksa orang yang menggadaikannya menjualnya kecuali dalam keadaan tidak mampu melunasi hutangnya tesebut. Bila tidak mampu melunasi saat jatuh tempo maka barang gadai tersebut dijual untuk membayar pelunasan hutang tersebut. Apa bila ternyata ada sisanya maka ia milik pemilik barang gadai tersebut (orang yang menggadaikan barang tersebut) dan bila harga barang tersebut belum dapat melunasi hutangnya, maka orang yang menggadaikannya tersebut masih menanggung sisa hutangnya. Demikianlah barang gadai adalah milik orang yang menggadaikannya, namun bila telah jatuh tempo, maka penggadai meminta kepada murtahin (pemilik piutang) untuk emnyelesaikan permasalah hutangnya, karena itu adalah hutang yang sudah jatuh tempo maka harus dilunasi seperti hutang tanpa gadai. Bila ia dapat melunasi seluruhnya tanpa (menjual atau memindahkan kepemilikian) barang gadainya maka murtahin melepas barang tersebut. Bila ia tidak mampu melunasi seluruhnya atau sebagiannya maka wajib bagi orang yang menggadaikan (Raahin) untuk menjual sendiri barang gadainya atau melalui wakilnya dengan izin dari murtahin dan didahulukan murtahin daalam EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
23
Ahmad Supriyadi
pembayarannya atas pemilik piutang lainnya. Apabila penggadai tersebut enggan melunasi hutangnya dan menjual barang gadainya, maka pemerintah boleh menghukumnya dengan penjara agar ia menjual barang gadainya tersebut. Apabila tidak juga menjualnya maka pemerintah menjual barang gadai tersebut dan melunasi hutang tersebut dari nilai hasil jualnya. Inilah pendapat madzhab Syafi’iyah dan Hambaliyah. Malikiyah memadang pemerintah boleh menjual barang gadainya tanpa memenjarakannya dan melunasi hutang tersebut dengan hasil penjualannya. Sedangkan Hanafiyah memandang murtahin boleh menagih pelunasan hutang kepada penggadai dan meminta pemerintah untuk memenjarakannya bila nampak ia tidak mau melunasinya. Tidak boleh pemerintah (pengadilan) menjual barang gadainya, namun memenjarakannya saja sampai ia menjualnya dalam rangka menolak kedzoliman. Pendapat yang lebih kuat, pemerintah menjual barang gadainya dan melunasi hutangnya dengan hasil penjualan tersebut tanpa memenjarakan sang penggadai tersebut, karena tujuannya adalah membayar hutang dan itu terrealisasikan dengan hal itu. Ditambah juga adanya dampak negatip sosial masyarakat dan lainnya pada pemenjaraan. Apabila barang gadai tersebut dapat menutupi seluruh hutangnya maka selesailah hutang tersebut dan bila tidak dapat menutupinya maka tetap penggadai tersebut memiliki hutang sisa antara nila barang gadai dan hutangnya dan ia wajib melunasinya. Demikianlah keindahan islam dalam permasalah gadai, tidak seperti yang banyak berlaku direalitas yang ada. Dimana pemilik piutang menyita barang gadainya walaupun nilainya lebih besar dari hutangnya bahkan mungkin berlipat-lipat. Ini jelas perbuatan kejahiliyah dan kedzoliman yang harus dihilangkan. Akad yang telah di lakukan oleh para pihak juga memuat kapan berakhirnya suatu perjanjian. Menurut ketentuan syariat bahwa apabila hal-hal yang diperjanjikan itu telah terpenuhi yaitu hutang telah di bayar oleh rahin, maka perjanjian itu telah berakhir. Namun bia rahin belum mampu membayar hutangnya, ia di perbolehkan membayar 24
Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2012
Struktur Hukum Akad Rahn Pegadaian Syariah Kudus
biaya pemeliharaan dan penyimpanan barang kemudian diadakan pembaharuan dalam perjanjian gadai syariah. Jadi perjanjian yang baru di buat juga teramasuk perjanjian yang benar-benar baru menurut berlakunya perjanjian. Tentang ketidakmampuan rahin dalam membayar hutang, dalam syariat Islam di perbolehkan untuk menjual barang gadai yang ada di kekuasaan murtahin. Hal ini Sayyid Sabiq (1987:145) berpendapat bahwa klausula murtahin berhak menjual barang gadai pada waktu jatuh tempo perjanjian gadai, itu diperbolehkan. Karena barang yang digadaikan hak penguasa telah berpindah ke murtahin dalam hal menjual. Atas dasar keterangan tersebut berakhirnya perjanjian rahn karena hal-hal berikut ini (Abdul Ghafur Anshori, 2006:98) : (a) Barang telah diserahkan kembali kepada pemiliknya; (b) Rahin membayar hutangnya; (c) Dijual dengan perintah hakim atas perintah rahin; (d) Pembebasan hutang dengan cara apapun, meskipun tidak ada persetujuan dari pihak rahin. F. SIMPULAN Berdasarkan deskripsi tentang struktur hukum akad rahn yang telah penulis teliti di Pegadaian Syariah Kudus dapat di simpulkan, bahwa struktur hukum akad rahn yang di buat oleh para pihak yaitu rahin dan marhun meruupakan struktur hukum gadai pada akad rahn. Tapi struktur ini berbeda dengan gadai konvensional yang memberikan pinjaman uang dengan meminta bunga atas sejumlah uang yang dipinjam, sedangkan gadai syariah atau rahn meminta imbalan atas sewa tempat menaruh barang gadai atau marhun bih dan biaya pemeliharaannya. Struktur hukum gadai yang di lakukan di Pegadaian Syariah Kudus memuat: suatu perbuatan hukum oleh seseorang atau rahin mengikatkan diri pada orang lain atau murtahin untuk memperoleh pinjaman uang dengan jaminan berupa benda bergerak. Perjanjian ini dalam struktur hukum perdata termasuk perjanjian bernama yang mempunyai sifat timbal balik, di satu sisi punya hak dan di sisi lain punya kewajiban secara timbal balik. Perjanjian demikian itu termasuk perjanjian konsensuil obligatoir, EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
25
Ahmad Supriyadi
karena terbentuknya perjanjian itu berdasarkan konsensus dan yang di perjanjikan mengandung unsur ekonomi. Struktur hukum tersebut telah diatur dalam KUH perdata dan telah diatur dalam hukum perdata yang berasal dari hukum Islam. Struktur hukum ini mempunyai kekhususan dimana ia berasal dari struktur hukum Islam yang di adopsi dari budaya Islam di zaman Arab. Karena itu rahn yang diimplementasikan oleh gadai syariah mempunyai landasan hukum Islam yang kuat dan landasan hukum perdata Indonesia yang kuat, dengan tidak mempraktikkan bunga dalam praktik gadai. Berdasarkan kesimpulan tersebut, ada beberapa saran yang perlu penulis sampaikan kepada publik bahwa : 1. Keberadaan Pegadaian Syariah Kudus merupakan lembaga yang baru dan membutuhkan kreatifitas umat Islam dalam mengembangkan produk-produk tentang kegiatan syariah yang dilakukan, karena itu hendaklah semua komponen umat Islam mendukung dengan bertransaksi di Pegadaian Syariah Kudus. 2. Hendaknya Pegadaian Syariah mempunyai payung hukum yang lebih jelas dan spesifik dari undang-undang karena gadai syariah mempunyai spesifik perilaku, sehingga mempunyai kepastian hukum dalam melakukan kegiatan-kegiatan syariah yang berkaitan dengan gadai syariah.
26
Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2012
Struktur Hukum Akad Rahn Pegadaian Syariah Kudus
DAFTAR PUSTAKA
Abduk Kadir Muhammad, 1998, Hukum Perusahaan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Abdul Ghofur Anshori, 2006, Gadai Syariah di Indonesia Konsep, Implementasi dan institusionalisasi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Abdul mannan,1995, Islamic economic, Theory and Practice, terjemahan oleh M. Nastangin, Teori dan Praktik Ekonomi Islam,Penerbit PT. Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta. Abdullah bin Abdulmuhsin Alturki dan Abdulfatah Muhammad Al Hulwu, Mughni, Ibnu Qudamah Tahqiq, cetakan kedua tahun 1412H, penerbit hajar, Kairo, Mesir. Abdullah bin Muhammad Al Thoyaar, Abdullah bin Muhammad Al Muthliq dan Muhammad bin Ibrohim Alumusa, cetakan pertama tahun1425H Kitab Al Fiqh Al Muyassarah, Qismul Mu’amalah, Madar Al Wathoni LinNasyr, Riyadh, KSA hal. 115 Abu Abdillah al-Maghribi, Mawâhib al-Jalîl, V/2, Dar al-Fikr, Beirut, cet.II. 1398. Abu Bakr Jabr Al Jazairi, 2005, Ensiklopedia Muslim, Minhajul Muslim, Penerbit Buku Islam Kaffah, Edisi Revisi. Adiwarman A. Karim,2006, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, PT. Raja Grafindo, Jakarta. Ahmad Azhar Basyir, 1983, Hukum Islam tentang Riba, Utang-Piutang Gadai, al-Ma’arif, Bandung. Al Jawi, Shiddiq. Kerjasama Bisnis (Syirkah) Dalam Islam. Majalah Al Waie 57 Al-Amaanah al ‘Aamah Lihai’at Kibar Al Ulama, 1422H, Abhaats Hai’at Kibaar Al Ulama Bil Mamlakah Al Arabiyah Al Su’udiyah, Cetakan I. Ali Anwar Yusuf,2002, Wawasan Islam, Setia Pustaka,Bandung. EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
27
Ahmad Supriyadi
An Nabhani, Taqiyuddin. 1996. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Surabaya: Risalah Gusti. Ari Agung Nugraha, 2004, Gambaran Umum Kegiatan Usaha Pegadaian Syariah, http://ulgs.tripod.com. Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdhor,1998, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, Penerbit Multi Karya Grafika, Yogyakarta. Biro Perbankan Syariah, Produk Perbankan Syariah, Karim Business consulting dan Bank Indonesia, Jakarta. Choiruman Pasaribu Dan Sukarwardi K Lubis, 2004, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Sinar Grafika, Jakarta. Dewan Syari’ah Nasional, Fatwa Tentang Hawaluh, No. 12 / DSN – MUI / IV / 2000, Majelis Ulama Indonesia Djuhaendah Hasan,1999, Analisis Hukum Ekonomi Terhadap Hukum Pegadaian syariah di Indonesia, Magister Hukum Bisnis Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta. Emmy Pangaribuan S., 1999, Analisis Hukum Ekonomi Terhadap Hukum Persaingan, Makalah penataran hukum perdata dan ekonomi, UGM, Yogyakarta. Ghazali, al-Mustasyfa, dikutip oleh Umar Chapra,2000, Islam dan tantangan Ekonomi, Penerjemah Ichwan Abidin, Penerbit Gema insani Press bekerja sama dengan tazkia Institut, Jakarta. Hans Wehr, 1980, A Dictionary of Modern Written Arabic, Libanon Beirut. Heri Sudarsono,2008, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Penerbit Ekonosia,Yogyakarta. Hikmanto Juwono, 1998, Analisa Ekonomi Atas Hukum Pegadaian syariah. Makalah disampaikan dalam seminar tentang Pendekatan ekonomi dalam pengmbangan sistem hukum nasional dalam rangka globalisasi, diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UNPAD bekerjasama dengan BAPENAS, 30 April 1998, Bandung. HR. Ibnu Majah No.2421, kitab al-Ahkam;Ibnu Hibban dan Baihaqi. http://alislamu.com/index Ibn Muflih al-Hanbali, al-Mubdi’, IV/213, al-Maktab al-Islami, Beirut. 1400 ; 28
Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2012
Struktur Hukum Akad Rahn Pegadaian Syariah Kudus
Ibnu Rusy, Bidayah al-Mujtahid wa nihayah al-Muqtashid, Daarul Fikr. ------------------, Bidayatul Mujtahid, Asy-syifa’ terjemahan, semarang. Ibnu Taimiyah, Majmuk Fatawa, Daarul Ma’rifah Kairo. Ikhwan A.Bisri : 2008, Makalah Pelatihan Perbankan Syariah, tidak di publikasikan. Imam Nawawi dengan penyempurnaan Muhammad Najieb Al Muthi’I, cetakan tahun 1419H,Al Majmu’ Syarhul Muhadzab, Dar Ihyaa Al TUrats Al ‘Arabi, Beirut. J.Satrio, 1992, Hukum Perjanjian, PT.Citra Aditya Bhakti, Jakarta. James Stoner, 1986, manajemen, erlangga, Jakarta. Johannes Ibrahim,2004, Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia Modern, Rafika Aditama, Bandung. Keraf, 1991, Etika Bisnis Membangun Citra Bisnis Sebagai Profesi Luhur, Kanisius, Yogyakarta. M. Dahlan Yacub Al-Barry, 2001, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Arkola, Surabaya. Mahmud Syaltut,1985, al-Islam, Aqidah wa syariah, Bulan Bintang, Jakarta. Moch Rifa’i,2008, Perbankan Syari’ah, Wicaksono, Semarang. Mochtar effendi,1996, manajemen, Suatu Pendekatan Berdasarkan Ajaran Islam, Penerbit Bhratara, Jakarta. Moh Rifai, Moh Zuhri, Salomo, 1978,Terjemah Khulashah Akhyar, Semarang: CV. Toha Putra. Moh. Rifa’i,2002, Konsep Perbankan Syariah, Penerbit wicaksana Semarang. Mohammad Sobari,2000, Islam dan Manajemen, disampaikan dalam pelatiahan Perbankan syariah, Institut Tazkia, Jakarta. Muchdarsyah Sinungan,1994, Strategi Manajemen Bank Menghadapi Tahun 2000, PT. Rineka Cipta, Jakarta. Muhamad Djumhana,1993, Hukum Perbankan di Indonesia, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. ----------------, 1996, Rahasia Bank (Ketentuan dan Penerapannya di Indonesia) Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
29
Ahmad Supriyadi
Muhammad bin Ahmad ar-Ramli al-Anshari, Ghâyah al-Bayân Syarh Zabidi ibn Ruslân, I/193, Dar al-Ma’rifah, Beirut.; Muhammad Ridwan, 2004,Manajemen Baitul Maal wa Tamwil (BMT), UII Press, Yogyakarta. Muhammad Syafi’i Antonia, 2001, Bank Syari’ah Dari Teori Ke Praktek, Gema Insani Jakarta. Muhammad, Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syariah (Mudharabah dalam Wacana Fiqih dan Praktik Ekonomi Modern), Penerbit BPFE UGM, Yogyakarta. Nindyo Pramono, 1999, Mengenal Lembaga Pegadaian syariah di Indonesia Sebuah Pendekatan dari Perspektif Hukum Ekonomi, Magister Hukum Bisnis Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta ---------------------, 1992, Perkembangan Aspek Hukum Perseroan Dalam Era Globalisasi Dalam Kaitannya Dengan Etika Bisnis, Fak. Hukum UGM,Yogyakarta. ---------------------, 2001, Hutang Menurut Pandangan Majelis Hakim Niaga, Makalah UGM, tidak dipublikasikan. Prasentiantono Toni A. 1997, Agenda Ekonomi Indonesia, Gramedia, Pustaka Utama, Jakarta. PT. Danareksa, 1997 Pasar Modal Indonesia Pengalaman dan Tantangan, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, Jakarta Hlm. 238 Purwosutjipto, H.M.N., Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Pengetahuan Dasar Hukum Dagang, Cetakan ke-5, Penerbit Djambatan, Jakarta. Rasiman Rasyid, Fiqih Islam Sayyid Sabiq, 1987, Fiqhus Sunnah Vol. III, Daarul Kitab al-’Arabi, Beirut. Simorangkir OP. 1983, Etika dan Moral Pegadaian syariah ind. Hill Coo. Jakarta Hlm. 10 Siti Fatimah, 2008,Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek Hiwalah di BMT BIF Gedung Kuning Yogjakarta, Thesis UIN Sunan Kalijaga Yogjakarta. Siti Ismijati Jenie, 1996, Beberapa Perjanjian Yang Berkenaan Dengan Kegiatan Pembiayaan, Magister Hukum Bisnis, UGM, Yogyakarta. 30
Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2012
Struktur Hukum Akad Rahn Pegadaian Syariah Kudus
Subekti dan R. Tjitrosudibio, 1996, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramita, Jakarta. Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung Sudikno Mertokusumo, 1991, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberti, Yogyakarta. Sulaiman Rasjid, 1976, al-Fiqh al-Islami, Penerbit at-Tahiriyyah Jakarta. Sulaiman Rasjid, 1994, Fiqih Islam, Sinar Baru Al Gesindo, Bandung, Susilo,YS.Triandaru, Sigit, etc.2000:180 Sutan Remy Sjahdeni, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, Grafiti, Jakarta, Hlm. 159. Syeikh Abdullah Al Bassaam, Kitab Taudhih Al Ahkam Min Bulugh Al Maram, cetakan kelima tahun 1423, Maktabah Al Asadi, Makkah, KSA T.M.Hasbi Ash-Shiddieqy,1975, Beberapa Permasalahan Hukum Islam,Penerbit Tintamas, Jakarta. Veronica Komalawati, 1984, Hukum dan Etika Dalam Praktik Dokter, Sinar Harapan, Jakarta. Wahbah Zuhaili, 2002, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Jilid 4, Daar al-Fikr, Beirut. Warkum Sumitro, 1996, Asas-Asas Perbankan Islam dan LembagaLembaga Terkait, raja Grafindo Persaada, Jakarta. Wiroso, 2008, Konsep Perbankan Syariah, Penyaluran Dana Bank Syariah, makalah disampaikan dalam Pelatiahan Perbankan Syariah STAIN Kudus. Wiroso, 2008,Konsep Perbankan Syariah, Komparasi Bank Syariah dan Bank Konvensional, makalah disampaikan dalam Pelatiahan Perbankan Syariah STAIN Kudus. Wiroso, 2008,Konsep Perbankan Syariah, Penghimpunan Dana, makalah disampaikan dalam Pelatiahan Perbankan Syariah STAIN Kudus. Wiroso,2008, Konsep Perbankan Syariah, Jasa Keuangan, makalah disampaikan dalam Pelatiahan Perbankan Syariah STAIN Kudus. EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam
31
Ahmad Supriyadi
Yusuf Qardhawi, 1995, Norma dan Etika Ekonomi Islam, terjemahan, Gema Insani, Jakarta. Zainuddin Ali, 2008, Hukum Gadai Syariah, Sinar Grafika, Jakarta. Zainul Arifin, 2003,Dasar-Dasar Manajemen Bank Syari’ah, Penerbit Alvabet, Jakarta. Zainul Arifin, Kebutuhan Fitrah Manusia Sebagai Pilar Kegitan Ekonomi Syari’ah, Khutbah Idul Fitri 1419 H (Jakarta : Yayasan Bina Sarana Masjid Raya Al-Ittihad).
32
Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2012