STRES KERJA DAN KEPUASAN KERJA GURU-GURU DI RINTISAN SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL (RSBI) Sherlly Kusumadewi Sutarto Wijono Susana Prapunoto
Magister Sains Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
[email protected] [email protected] [email protected]
Abstract The aim of this study is to measure the relationship between job stres and job satisfaction using TARSQ (Teacher Attribution of Responsibility for Stres Questionnaire) adapted from McCormick and TJSQ (Teacher Job Satisfaction Questionnaire) adapted from Lester. The participants were the teachers from private Junior High School Surakarta (SMP 3K Surakarta). There were 41 teachers involved in this study. The determinants of Job Stres that have been examined under this study include personal aspect, behavior aspect, cognitive aspect, physiology aspect, and organizational aspect. The aspect of Job satisfaction are challenging work, promotion and salary, working condition, colleagues, and leadership. Pearson Correlation analyses were used to investigate the hypothesized relationship. The result showed r = -0.392 with p = 0,011 < 0.05. There was a negative significant relationship between job stres and job satisfaction. Keywords: job stres, job satisfaction, TARSQ, TJSQ
Pekerjaan menjadi hal yang penting dalam kehidupan manusia. Menurut Landy dan Conte (dalam Ahsan, Abdullah, Fie, & Alam, 2009), sebagian besar orang dewasa menghabiskan waktunya untuk bekerja dalam rangka pengembangan karirnya.
Hal
ini
membuat
70
persen
manusia
dapat
memenuhi
tugas
perkembangannya. Kerja berkaitan erat dengan kepuasan kerja. Kepuasan kerja adalah sebuah indikator pencapaian di dalam tugas perkembangan karir, seperti yang diungkapkan Sidek (dalam Ahsan, et al., 2009). Kepuasan kerja juga 189
berasosiasi dengan kognisi, emosi dan perilaku menurut pendapat Limbert (dalam Ismail, Yao, & Yunus, 2009) dan kesejahteraan individu sesuai pendapat Nassab (dalam Ismail, et al., 2009). Rendahnya
kepuasaan
kerja
dapat
menjadi
indikator
penting
untuk
ketidakproduktifan perilaku pekerja dan dapat menghasilkan perilaku seperti absen sesuai penemuan Spector, Martin dan Miller (dalam Khan & Raza, 2007) dan pergantian pekerja sebagaimana ditemukan oleh Spector, Dupre, Day (dalam Khan & Raza, 2007). Kepuasan kerja berguna untuk membangun kualitas kerja yang baik, tempat kerja, dan kerja itu sendiri. Jika kepuasan kerja ini tercapai maka terdapat sinergi yang baik antara pekerja dan organisasi dimana individu bekerja, sehingga sama-sama memberikan dampak yang positif. Setiap orang memiliki tingkat kepuasan kerja yang berbeda. Seringkali suatu organisasi beranggapan bahwa tingkat gaji atau upah merupakan faktor utama dalam mencapai kepuasan kerja, sehingga asal pekerja atau karyawan mendapat upah yang tinggi ataupun layak maka akan mencapai kepuasan kerja yang tinggi. Namun pada kenyataaannya karyawan yang sudah mendapat gaji tinggi tetap saja ada yang tidak merasa puas dalam pekerjaannya. Hal ini menimbulkan adanya turnover, tingkat absensi yang tinggi dan berbagai hal lain yang membawa dampak buruk bagi suatu organisasi. Hal ini disebabkan karena faktor kepuasan kerja bukan berdasarkan gaji saja tetapi ada faktor lain yaitu pekerjaan itu sendiri, kepangkatan atau promosi, kepemimpinan perusahaan tersebut, dan rekan kerja karyawan tersebut seperti yang dikemukakan oleh Lester (dalam Nobile & McCormick, 2005). Semua faktor ini mempengaruhi efektivitas sumber daya manusia atau kinerja individu dalam menentukan kepuasan kerjanya. Kepuasan kerja menjadi begitu penting karena apabila seseorang tidak mencapai kepuasan kerja maka tidak akan ada sinergi yang baik antara perusahaan dan karyawan sehingga akan membawa banyak dampak negatif bagi perusahaan atau organisasi tersebut. Apabila pekerjaan yang merupakan salah satu aspek kepuasan kerja terlalu berat (overload), maka individu dapat mengalami stres kerja. Kehidupan kerja adalah salah satu bagian yang penting dalam aktivitas keseharian manusia, dan hal ini sering dikaitkan dengan stres. Berdasarkan pada alam yang kompetitif dari lingkungan kerja, banyak individu menghabiskan waktu mereka untuk bekerja yang berkaitan juga dengan tujuan kerja yang menghasilkan sumber stres (stressor) yang mempengaruhi pekerjaan dan kehidupan pribadi. 190
Banyak individu sering mengkhawatirkan hasil pekerjaan mereka, yang seringkali
dapat
menyebabkan
efek
pada
bagaimana
individu
tersebut
memperlakukan orang lain, atau bagaimana berkomunikasi dengan pelanggan atau teman sekerja. Sebagai contoh, orang dengan tingkat stres kerja yang tinggi tidak akan puas dengan pekerjaannya. Akibatnya, orang tersebut juga tidak akan merasa nyaman dalam bekerja di dalam organisasi. Mungkin orang tersebut akan merasa frustasi atau bosan ketika mereka mempunyai masalah dengan pelanggan atau teman sekelompoknya. Ini dapat menyebabkan efek negatif pada organisasi dan dirinya sendiri. Untuk itulah, sangat penting bagi para pekerja dan perusahaan untuk menyadari bahwa stres dan penyebab stres itu sendiri dapat menyebabkan berbagai macam efek negatif. Seiring dengan perkembangan zaman, universitas pun semakin banyak beberapa tahun lalu. Sejalan dengan pesatnya pertumbuhan jumlah dan perkembangan universitas di Malaysia, masalah yang dihadapi oleh staff akademik universitas di Malaysia pun menjadi lebih banyak dan lebih kompleks, terutama untuk menghadapi persaingan dengan universitas lain. Hampir semua universitas memasang serta merancang tujuan baru untuk bersaing dengan universitas lain. Seluruh staf akademik dan non akademik dilibatkan dalam mencapai tujuan tersebut. Tuntutan ini dapat menyebabkan staf universitas tersebut mengalami stres dan dapat berdampak pada kepuasan kerja mereka, bahkan secara fisik maupun psikis. Hasil penelitian Ahsan et al. (2009) menunjukkan bahwa stres kerja berhubungan negatif dengan kepuasan kerja. Artinya kepuasan kerja akan menurun apabila level stres kerja itu meningkat, dan begitu pula sebaliknya. Bukan hanya di lingkungan akademis saja, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Bokti dan Talib (2009), ternyata di lingkungan militer di Malaysia pun berpeluang besar untuk mengalami stres dalam pekerjaannya. Hasil penelitian tersebut menunjukkan kepuasan kerja juga berhubungan negatif dengan stres kerja. Hal ini berarti stres kerja akan meningkat ketika kepuasan kerja menurun, begitu pula sebaliknya. Penelitian yang dilakukan oleh Nobile dan McCormick (2007) di sekolah Katolik di Australia pada guru dan anggota stafnya, menunjukkan bahwa stres kerja berhubungan kuat dengan kepuasan kerja. Setiap variabel yang ada pada stres kerja atau aspeknya (faktor siswa, faktor informasi, faktor personal, faktor sekolah dan faktor stres secara umum) berhubungan erat dengan setiap aspek dari 191
kepuasan kerja. Aspek kepuasan kerja meliputi supervisi, teman sekerja, hubungan dengan kepala sekolah, kondisi kerja, pekerjaan itu sendiri, tanggung jawab pada pekerjaannya, variasi tugas, umpan balik, serta hubungan dengan siswa. Korelasi negatif antara kepuasan kerja dengan stres kerja makin diperjelas oleh hasil penelitian dari Ismail, et al. (2009). Mereka menemukan bahwa stres kerja, yang dibagi menjadi stres kerja secara fisik dan psikis berhubungan erat dengan kepuasan kerja pada pengajar akademik di institusi perguruan tinggi di Kuching, Malaysia. Jadi ketika kepuasan kerja meningkat maka stres kerja akan menurun, begitu pula sebaliknya. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa stres kerja berhubungan negatif secara signifikan dengan kepuasan kerja. Namun, hasil penelitian dari Vokic dan Bogdanic (2007) ternyata bertentangan dengan hasil–hasil penelitian sebelumnya. Vokic dan Bogdanic (2007) meneliti di sebuah sekolah kecil di Kroasia, dan hasilnya menunjukkan stres kerja tidak berhubungan negatif secara signifikan dengan kepuasan kerja. Dari berbagai hasil penelitian ini kemudian muncul berbagai argumen. Salah satu argumen mengatakan bahwa tipe kepribadian dan kepuasan hidup perlu diperhatikan sebagai variabel moderator. Dosen dan guru mempunyai peranan yang sama di dalam bidang pendidikan, yaitu bertugas mendidik, mengajar generasi bangsa agar menjadi sukses dan berguna di kemudian hari. Guru adalah seorang pengajar suatu ilmu. Di Indonesia, guru umumnya merujuk sebagai pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik. Di Indonesia saat ini pemerintah menaruh pendidikan sebagai posisi tertinggi atau dengan kata lain sebagai prioritas utama dan APBD sudah dialokasikan sebanyak 70 persen untuk pendidikan (Dinas Pendidikan, 2011). Pemerintah juga menuntut guru-guru dari Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA) untuk bekerja secara profesional dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa (Joko, 2009). Berdasar hal ini, penulis melihat guru di Indonesia mempunyai tuntutan kerja yang tinggi, yaitu ada tuntutan yang lebih besar dan berat. Hal ini ditambah lagi dengan adanya program baru, yaitu Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) dari pemerintah. Semua guru dituntut agar mampu bekerja secara profesional dan dapat berbahasa Inggris aktif dan pasif.
192
Tuntutan yang tinggi ini dapat membuka peluang meningkatnya tingkat stres pada guru. Tuntutan kerja yang tinggi sebagai sekolah RSBI ini juga dialami oleh guru SMP Kristen yang berada di Surakarta, yang resmi menjadi RSBI pada tahun 2009 dan menjadi Cambridge University Center pada tahun 2007. Ada dua program yang dijalankan di SMP ini yaitu program internasional yang sesuai dengan kurikulum Cambridge, dan program reguler yang sesuai dengan kurikulum milik pemerintah. Di sini guru dituntut agar dapat menguasai bahasa inggris baik aktif maupun pasif serta mendidik anak dengan cara yang maksimal sehingga bisa bersaing di kancah internasional. Guru-guru juga dituntut untuk mengumpulkan lesson plan untuk setahun di awal semester dan adanya grading system atau proses penilaian yang berbeda untuk siswa pada program international. Beban pekerjaan yang tidak ringan ini membuat guru-guru tersebut lebih rentan untuk mengalami stres kerja, dan pada gilirannya akan berdampak pada kepuasan kerja. Seperti yang disebutkan di atas bahwa kepuasan kerja adalah variabel yang sangat penting. Kepuasan kerja harus dicapai oleh individu sehingga dapat memberikan dampak yang positif bagi organisasi atau sekolah maupun diri sendiri, atau dengan kata lain dapat membentuk sinergi yang positif. Menurut McCormick (1997), aspek stres kerja dapat ditinjau dari sisi subjektif, perilaku, kognitif, fisiologis, dan keorganisasian. Aspek subjektif ini berhubungan dengan keadaan emosional individu itu sendiri seperti perasaan gelisah, muram, sedih, tidak tenang, dan lain-lain. Aspek perilaku berkaitan dengan tindakan yang dimunculkan seperti makan berlebihan, menggigit jari akibat dari aspek subjektif sebelumnya. Aspek kognitif berhubungan dengan pengambilan keputusan dan konsentrasi. Aspek fisiologis berhubungan dengan reaksi dari dalam tubuh individu, sedangkan aspek keorganisasian berhubungan dengan tuntutan pekerjaan yang berat, hubungan dengan teman sekerja, dan peran kerja yang ambigu. Seperti yang diungkapkan di atas, stres kerja berhubungan negatif dengan kepuasan kerja. Artinya jika seorang individu mengalami stres kerja maka akan berdampak kepada kepuasan kerjanya, beberapa hasil penelitian telah mendukung hal tersebut. Menurut Lester (dalam Nobile & McCormick, 2007), aspek kepuasan kerja adalah pekerjaan, imbalan, kepangkatan, kepemimpinan dan rekan kerja. Kepuasan kerja berkaitan erat dengan stres kerja. Apabila seseorang mengalami stres kerja, ini
193
dapat menjadi prediktor perilaku yang dapat berdampak pada kepuasan kerja (Rini, 1998). Berpijak dari hal-hal tersebut di atas, serta adanya pro dan kontra penelitian terdahulu, peneliti ingin meneliti hubungan antara stres kerja dan kepuasan kerja pada guru di SMP di Surakarta (RSBI). Peneliti bertanya apakah ada hubungan negatif antara stres kerja dan kepuasan kerja pada Guru di SMP di Surakarta (RSBI). Adapun tujuan penelitian adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan yang negatif antara stres kerja dan kepuasan kerja pada Guru SMP di Surakarta (RSBI). Secara teoritis, hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi psikologi, khususnya Psikologi Industri dan Organisasi mengenai stres kerja dan kepuasan kerja serta sebagai referensi pengetahuan mengenai stres kerja dan kepuasan kerja. Secara praktis dapat memberikan masukan bagi para pembaca dan guru umumnya mengenai stres kerja dan kepuasan kerja dalam lingkup pendidikan yaitu sekolah.
STRES KERJA Menurut Rini (1998), stres adalah perasaaan tertekan yang dialami karyawan dalam menghadapi pekerjaan. Nobile dan McCormick (2007) berpendapat bahwa stres atau tekanan jiwa merupakan suatu keadaan wajar. Stres terbentuk dalam diri manusia sebagai respon terhadap setiap hasrat atau kehendak. Khan dan Raza (2007) menjelaskan bahwa stres kerja adalah suatu kondisi yang terjadi akibat penyimpangan dari kondisi-kondisi optimum yang tidak dapat dengan mudah diperbaiki sehingga mengakibatkan ketidakseimbangan antara tuntutan pekerjaan dengan kemampuan pekerja. Stres kerja biasanya terjadi apabila individu memberi respon yang tidak memadai terhadap lingkungan. Ketimpangan ini terjadi apabila organisasi menuntut pekerja melebihi batas kemampuannya. Olaitan, Oyerinde, dan Kayode (2010) menyatakan bahwa stres kerja yang tinggi dapat terjadi bila dalam lingkungan pekerjaan terdapat suatu ketidakpastian akan harapan-harapan yang dapat dicapai oleh anggota organisasi. Berdasar uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa stres kerja merupakan perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan, yang dialami individu dalam lingkungan kerja atau suatu respon adaptif yang dirasakan oleh individu terhadap
194
lingkungan kerja dan mengakibatkan tekanan pada kondisi fisik, psikis, sosial maupun perilaku. Ada beberapa aspek stres kerja berdasar Teacher Attribution of Responsibility for Stres Questionnaire atau TARSQ yang disusun oleh McCormick (1997) di dalam lingkup pendidikan di Australia. Aspek stres kerja tersebut dijabarkan sebagai berikut: (a)
subyektif adalah perasaan yang hanya dapat dirasakan oleh individu yang mengalaminya sendiri, misalnya perasaan gelisah, lesu, muram, merasa lelah, kehilangan kesabaran, merasa harga diri rendah, merasa tersisih dari rekan kerja
(b)
perilaku
mencerminkan
tindakan
individu
yang
ditampilkan
atau
dimunculkan sebagai akibat dari stres, misalnya makan berlebihan atau malas makan, mudah marah (c)
kognitif meliputi individu tidak dapat berkonsentrasi dengan baik, tidak dapat memfokuskan pikirannya pada satu hal, tidak bisa mengambil keputusan dengan baik
(d)
fisiologis meliputi aspek yang dapat dilihat dari fisik, seperti denyut jantung meningkat, gangguan pencernanaan, tekanan darah labil
(e)
organisasi ini mencakup peran manajemen sekolah, beban pekerjaan yang berlebih, dan hubungan dengan teman sekerja.
Penelitian Ahsan, et al. (2009) mengatakan bahwa aspek stres kerja selain peran manajemen, beban pekerjaan yang berlebih, dan hubungan teman sekerja, terdapat juga aspek peran yang ambigu, tekanan performansi dan tuntutan dari rumah.
KEPUASAN KERJA Menurut Jewell dan Siegall (dalam Ben-Ari, Krole, & Har-Even, 2003), kepuasan kerja adalah sikap yang timbul berdasarkan penilaian terhadap situasi kerja. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa karyawan yang puas lebih menyukai situasi kerjanya daripada tidak menyukainya. Kepuasan kerja atau job satisfaction
adalah
keadaan
emosional
yang
menyenangkan
menyenangkan berdasar sudut pandang karyawan
atau
tidak
terhadap pekerjaannya.
Kepuasan mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Ini tampak 195
dalam sikap positif karyawan terhadap pekerjaan dan segala sesuatu yang dihadapi lingkungan kerjanya (Khan & Raza, 2007). Menurut Lester (dalam Nobile, 2007), ada lima aspek yang mempengaruhi tingkat kepuasan kerja guru, yaitu: 1. Kerja yang secara mental menantang Guru cenderung lebih menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberi mereka kesempatan untuk menggunakan ketrampilan dan kemampuan mereka dan menawarkan beragam tugas, kebebasan dan umpan balik mengenai betapa baik mereka telah mengerjakan tugasnya. Karakteristik ini membuat kerja secara mental menantang. Pekerjaan yang terlalu kurang menantang menciptakan kebosanan, tetapi yang terlalu banyak menantang menciptakan frustasi dan perasaan gagal. Pada kondisi tantangan yang sedang, kebanyakan guru akan mengalami kesenangan dan kepuasan. Jadi dapat dikatakan, sesuaikah kemampuan guru dengan bobot pekerjaan yang diterima. 2. Ganjaran dan promosi yang pantas Guru menginginkan sistem upah dan kebijakan promosi yang mereka persepsikan
sebagai adil, tidak kembar arti dan segaris dengan
penghargaan mereka. Bila upah dilihat sebagai adil didasarkan pada tuntutan pekerjaan, tingkat ketrampilan individu dan standar pengupahan komunitas, kemungkinan besar akan dihasilkan kepuasan. Tentu saja, tidak semua orang mengejar uang. Banyak guru yang bersedia menerima uang yang lebih kecil untuk bekerja dalam lokasi yang lebih diinginkan atau dalam pekerjaan yang kurang menuntut atau mempunyai keleluasaan yang lebih besar dalam bekerja. Keleluasaan jam kerja dan keyakinan sebagai salah satu bentuk pengabdian mereka dalam bidang pendidikan juga ikut menentukan kepuasan kerja guru. Tetapi hal penting yang menautkan antara upah dengan kepuasan bukanlah jumlah mutlak uang yang dibayarkan; lebih penting adalah persepsi keadilan. Serupa dengan hal itu, guru berusaha mendapatkan kebijakan dan promosi yang adil. Promosi memberikan kesempatan untuk pertumbuhan pribadi, tanggung jawab yang lebih banyak, dan status sosial yang ditingkatkan. Oleh karena itu, individuindividu yang mempersepsikan bahwa keputusan promosi dibuat dalam 196
cara yang adil (fair and just) kemungkinan besar mengalami kepuasan dari pekerjaan mereka. 3. Kondisi kerja yang mendukung Guru peduli akan lingkungan kerja baik untuk kenyamanan pribadi maupun untuk memudahkan mengerjakan tugas yang harus dilakukan. Temperatur, cahaya, suara dan faktor lingkungan lain seharusnya tidak ekstrem (terlalu banyak atau terlalu sedikit), misalnya terlalu panas, terlalu remang-remang. Di samping itu, kebanyakan guru lebih menyukai bekerja di sekolah yang mempunyai fasilitas yang bersih dan relatif modern, dan dengan alat-alat dan peralatan yang memadai. 4. Rekan kerja yang mendukung Relasi antar manusia lebih daripada sekedar uang atau prestasi yang berwujud
dalam kerja. Bagi kebanyakan guru, kerja juga mengisi
kebutuhan akan interaksi sosial. Oleh karena itu, tidaklah mengejutkan bila mempunyai rekan sekerja yang ramah dan mendukung menghantar ke kepuasan kerja yang meningkat. Guru lebih suka bertukar ilmu dengan koleganya dan bertukar pendapat serta berbincang-bincang dengan guru yang lain. 5. Kepemimpinan Perilaku serta kepemimpinan kepala sekolah juga merupakan determinan utama dari kepuasan. Hasil–hasil penelitian menunjukkan bahwa kepuasan guru dapat ditingkatkan bila kepala sekolah bisa bersifat ramah dan dapat memahami, menawarkan pujian kinerja yang baik, mendengarkan pendapat guru, dan menunjukkan suatu minat pribadi terhadap diri mereka.
METODE Penelitian ini menggunakan dua variabel, yaitu stres kerja sebagai variabel bebas dan kepuasan kerja sebagai variabel terikat. Populasi penelitian ini adalah guru-guru SMP 3K Surakarta. Guru-guru yang mengajar di SMP adalah lulusan perguruan tinggi, minimal sarjana strata satu. Beberapa guru ada yang S2 dan S3. Guru-guru di SMP 3K mempunyai visi dan misi yang sejalan dengan Sekolah 3K, yaitu bertujuan untuk mencetak profil siswa yang religius, inovator, pemikir, pemerhati,
memiliki
integritas,
pembawa
pengambil resiko, dan komunikator. 197
solusi,
berpengetahuan,
reflektor,
Jumlah guru di SMP 3K Surakarta ada 73 guru, sedangkan jumlah siswa di SMP adalah 489 siswa. Teknik sampling yang dilakukan adalah Simple Random Sampling. Metode pengumpulan data dengan skala, sedangkan metode analisis data menggunakan teknik analisis korelasi Pearson Product Moment.
HASIL Stres Kerja Guru Dalam penelitian ini, diperoleh rerata sebesar 35.6829 dalam kategori sedang dengan jumlah subjek (n) 41 orang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sebagian guru-guru di SMP 3K mengalami stres kerja dalam taraf sedang dalam mengahadapi tuntutan dan tugas yang ada berkaitan dengan adanya sistem penilaian dan pengajaran yang baru termasuk RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) serta tugas-tugas dan tuntutan-tuntutan yang ada. Dalam perhitungan, diperoleh nilai minimal 26 dan nilai maksimal 50. Untuk menentukan tinggi rendahnya hasil pengukuran stres kerja digunakan 5 kategori, yaitu: sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, sangat rendah. Jumlah item 15 dengan pilihan jawaban 4 yaitu sangat setuju, setuju, tidak setuju, dan sangat tidak setuju. Maka skor maksimum yang dapat diperoleh adalah 4 dikali 15 yaitu 60, dan skor minimum yang dapat diperoleh adalah 1 dikali 15 yaitu 15. interval tersebut dapat ditentukan kategori sebagai berikut : 51 ≤ x < 60
: stres kerja sangat tinggi
42 ≤ x < 51
: stres kerja tinggi
33 ≤ x < 42
: stres kerja sedang
24 ≤ x < 33
: stres kerja rendah
15 ≤ x < 24
: stres kerja sangat rendah
198
Berdasarkan
Tabel 1 Frekuensi dan Presentase Hasil Pengukuran Stres Kerja Skor
Kategori
Frekuensi
Persentase (%)
51 ≤ x < 60
Sangat tinggi
42 ≤ x < 51
Tinggi
5
12.20
33 ≤ x < 42
Sedang
27
65.85
24 ≤ x < 33
Rendah
9
21.95
15 ≤ x < 24
Sangat rendah 41
100%
Rata-rata
35.6829
Standar deviasi
5.41959
Kepuasan Kerja Guru Dalam penelitian ini, diperoleh rerata sebesar 46.7561 dalam kategori sedang dengan jumlah subjek (n) 41 orang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sebagian guru-guru di SMP 3K mengalami kepuasan kerja dalam taraf tinggi dalam hal pekerjaan itu sendiri, sistem upah serta tunjangan yang diberikan, kondisi kerja, rekan kerja, serta kepemimpinan. Dalam perhitungan, diperoleh nilai minimal 36 dan nilai maksimal 58. Untuk menentukan tinggi rendahnya hasil pengukuran stres kerja digunakan 5 kategori, yaitu: sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, sangat rendah. Jumlah aitem 15 dengan pilihan jawaban 4 yaitu sangat setuju, setuju, tidak setuju, dan sangat tidak setuju. Maka skor maksimum yang dapat diperoleh adalah 4 dikali 15 sehingga didapat hasil 60, dan skor minimum yang dapat diperoleh adalah 1 dikali 15 sehingga didapat hasil 15. Berdasarkan interval tersebut dapat ditentukan kategori sebagai berikut : 51 ≤ x < 60
: kepuasan kerja sangat tinggi
42 ≤ x < 51
: kepuasan kerja tinggi
33 ≤ x < 42
: kepuasan kerja sedang
24 ≤ x < 33
: kepuasan kerja rendah
15 ≤ x < 24
: kepuasan kerja sangat rendah
Frekuensi dan presentase hasil pengukuran variabel kepuasan kerja berdasarkan kategori tesebut di atas akan nampak pada Tabel 2 berikut ini :
199
Tabel 2 Frekuensi dan Presentase Hasil Pengukuran Kepuasan Kerja Skor
Kategori
Frekuensi
Persentase (%)
51 ≤ x < 60
Sangat tinggi
12
29.27%
42 ≤ x < 51
Tinggi
24
58.53%
33 ≤ x < 42
Sedang
5
12.20%
24 ≤ x < 33
Rendah
15 ≤ x < 24
Sangat rendah 41
100%
Standar
Rata-rata
46.7561
deviasi
4.76330
Analisis Korelasi Stres Kerja dan Kepuasan Kerja Berdasarkan hasil analisa data menggunakan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Karl Pearson, yaitu tekhnik analisis korelasi Product Moment, diperoleh hasil sebagai berikut: r = -0.392 dengan p = 0,011 <0,05 yang berarti ada hubungan yang negatif signifikan antara stres kerja dan kepuasan kerja pada Guru-guru di SMP 3K Surakarta. Tabel 3 dan Tabel 4 berikut ini menjelaskan korelasi yang diperoleh dan level signifikansinya. Tabel 3 Rerata dan Standar Deviasi Stres Kerja dan Kepuasan Kerja Mean
Std. deviasi
N
Stres Kerja
35.6829
5.41959
41
Kepuasan Kerja
46.7561
4.76330
41
200
Tabel 4 Hasil Korelasi antara Stres Kerja dan Kepuasan Kerja pada Guru-guru di SMP KKK Stres kerja Stres kerja
Pearson Correlation
Kepuasan kerja 1
Sig. (2-tailed)
.011
N Kepuasan kerja
-.392*
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
41
41
-.392*
1
.011
N
41
41
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
PEMBAHASAN Ada hubungan yang negatif signifikan antara stres kerja dan kepuasan kerja pada guru- guru di SMP KKK Surakarta. Tingkat stres kerja termasuk dalam kategori sedang dimana skor yang didapat berkisar pada 33 ≤ x < 42, yang ditunjukkan dengan rata-rata 35,6829 dengan standar deviasi 5,41959, dan presentase 65,85%. Sedangkan analisis hasil pengukuran variabel kepuasan kerja dosen tergolong tinggi dimana skor yang didapat berkisar pada 42 ≤ x < 51, yang ditunjukkan dengan ratarata 46,7561 dengan standar deviasi sebesar 4,76330 dan presentase 58,53%. Berdasarkan hasil analisis korelasi Product Moment, diperoleh hasil dengan besarnya koefisien r = -0,392 dengan p<0,05 yang berarti ada hubungan yang negatif signifikan antara stres kerja dan kepuasan kerja pada guru-guru di SMP KKK Surakarta (RSBI). Berdasarkan hasil analisis korelasi Product Moment, diperoleh hasil dengan besarnya koefisien r = -0,392 dengan p<0,05 yang berarti hipótesis penelitian diterima. Jadi ada hubungan yang negatif signifikan antara stres kerja dan kepuasan kerja pada Guru-guru di SMP 3K Surakarta. Hal ini menunjukkan bahwa meningkatnya stres kerja akan menyebabkan menurunnya kepuasan kerja dan menurunnya stres kerja akan meningkatkan kepuasan kerja. Pada penelitian ini diperoleh data bahwa sebagian guru mengalami stres kerja pada kategorisasi sedang (65,85%), dan kepuasan kerja pada kategorisasi tinggi (58,83%). Hasil dari penelitian ini sama seperti penelitian sebelumnya yang sudah pernah dilakukan beberapa peneliti dari luar negeri. Penelitian yang dilakukan oleh Ahsan (2009) menunjukkan stres kerja berhubungan negatif dengan kepuasan kerja. 201
Artinya kepuasan kerja akan menurun apabila level stres kerja itu meningkat, dan begitu pula sebaliknya. Selain itu, penelitian Nobile dan McCormick (2005) di sekolah katolik di Australia pada guru dan anggota staffnya menghasilkan bahwa stres kerja berhubungan kuat dengan kepuasan. Setiap aspek yang ada pada stres kerja atau lima aspeknya (faktor siswa, faktor informasi, faktor personal, faktor sekolah dan faktor stres secara umum) berhubungan erat dengan setiap aspek dari kepuasan kerja, dimana aspek kepuasan kerja berisi aspek supervisi, teman sekerja, hubungan dengan kepala sekolah, kondisi kerja, pekerjaan itu sendiri, tanggung jawab pada pekerjaannya, variasi tugas, umpan balik, serta hubungan dengan siswa. Hasil penelitian ini juga diperkuat oleh sebuah penelitian yang dilakukan oleh Ismail dan Yao (2009) bahwa stres kerja, yang dibagi menjadi stres kerja secara fisik dan psikis berhubungan erat dengan kepuasan kerja pada pengajar akademik di institusi perguruan tinggi di Kuching, Malaysia. Jadi ketika kepuasan kerja meningkat maka stres kerja akan menurun, begitu pula sebaliknya. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa stres kerja berhubungan negatif signifikan dengan kepuasan kerja. Selain hasil penelitian ini sesuai dengan beberapa hasil penelitian sebelumnya, ada beberapa hal lain yang dapat dijelaskan berdasarkan hasil penelitian ini. Pertama, guru-guru yang bekerja di SMP 3K mempunyai kesadaran bahwa semakin mendapat tekanan yang moderat memungkinkan mereka memperoleh perasaan puas. Kedua, guru-guru menyukai adanya tantangan yang membuat dirinya tertekan tetapi dapat memuaskan mereka dalam bekerja. Ketiga, guru-guru terbiasa menghadapi tugas-tugas yang membuat diri mereka berkompetisi sehingga memacu mereka untuk menghadapi tekanan kerja sehingga keberhasilan ini membuat mereka puas atas kinerjanya. Hasil penelitian penulis pada guru-guru di SMP 3K Surakarta bertentangan dengan hasil penelitian dari Vokic dan Bogdanic (2007). Mereka meneliti di sebuah sekolah kecil di Kroasia, dan hasilnya stres kerja tidak berhubungan negatif signifikan dengan kepuasan kerja. Ada berbagai argumen di sini, salah satunya adalah tipe kepribadian dan kepuasan hidup sebagai variabel moderator. Mereka berkesimpulan bahwa stres kerja dan kepuasan kerja dapat berhubungan signifikan positif dimana stres kerja dan kepuasan kerja tidak berhubungan secara berlawanan.
202
Berdasar hasil penelitian di SMP 3K ini menunjukkan bahwa setiap aspek yang terdapat pada stres kerja akan secara kuat mempengaruhi kepuasan kerja, atau dapat dikatakan setiap aspek yang terdapat pada stres kerja adalah faktor penting dalam menentukan kepuasan kerja seorang guru. Dalam penelitian ini, 41 orang guru-guru di SMP 3K Surakarta diminta untuk mengisi angket stres kerja dan kepuasan kerja guru. Hal ini menunjukkan bahwa skor stres kerja dan kepuasan kerja yang telah diperoleh merupakan hasil penilaian guru mengenai stres kerja dan kepuasan kerja yang mereka alami selama ini. Namun demikian, generalisasi hasil penelitian ini hanya terbatas pada populasi penelitian ini saja sehingga penerapan hasil penelitian pada ruang lingkup yang lebih luas dengan karakterisitik yang berbeda perlu memperhatikan faktor-faktor lain yang belum diikutkan dalam pengolahan data di dalam penelitian ini. Faktor – faktor tersebut antara lain masa kerja, gender (meskipun terdapat di dalam angket sebagai variabel demografik, tetapi pada perhitungannya penulis hanya mempertimbangkan dan mengolah data secara statistik pada stres kerja dan kepuasan kerja beserta aspek yang terkandung di dalam masing-masing variabel), motivasi kerja, komitmen organisasi. Berdasarkan analisis hasil pengukuran variabel penelitian stres kerja di SMP 3K Surakarta yang mejadi sampel penelitian (N = 41 orang) tergolong dalam kategorisasi sedang dimana skor yang didapat berkisar pada 33 ≤ x < 42, yang ditunjukkan dengan rata-rata 35.6829 dengan standar deviasi 5.41959, dan prosentase 65,85%. Sedangkan analisis hasil pengukuran variabel kepuasan kerja dosen tergolong tinggi dimana skor yang didapat berkisar pada 42 ≤ x < 51, yang ditunjukkan dengan rata-rata 46.7561 dengan standar deviasi sebesar 4.76330 dan prosentase 58.53%. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis dapat dilihat terdapat kecenderungan guru yang mengalami stres kerja pada kategorisasi sedang maupun rendah akan merasa lebih puas di dalam pekerjaannya daripada guru yang mengalami stres kerja yang lebih tinggi; karena kepuasan kerja guru di SMP 3K Surakarta dipengaruhi oleh berbagai faktor stres kerja yang disebutkan oleh McCormick (1997). Penelitian ini menunjukkan bahwa guru-guru di SMP 3K Surakarta yang mengalami stres kerja dipengaruhi oleh faktor subjektif, faktor perilaku, faktor kognitif, faktor fisiologis dan faktor keorganisasian. Dimana guru yang mengalami stres kerja apabila ia mengalami perasaaan gelisah, lesu, muram, merasa lelah 203
kehilangan kesabaran, merasa harga dirinya rendah dan merasa tersisih dari rekan kerja. Yang kedua, guru yang mengalami stres kerja yang tinggi juga dimunculkan dalam bentuk perilaku seperti makan berlebihan atau malas makan serta mudah terpancing emosi dan marah kepada orang-orang di sekelilingnya. Yang ketiga, guru yang mengalami stres kerja tinggi juga menyebabkan faktor kognitif individu tidak bisa berkonsentrasi dengan baik dimana individu tersebut tidak dapat memfokuskan pikirannya pada satu hal, hal ini menyebabkan seseorang tidak dapat berpikir positif dalam menghadapi masalah yang menimpanya. Yang keempat, guru yang megalami stres kerja juga dimunculkan atau dapat dilihat dari fisik seperti denyut jantung meningkat, gangguan pencernaan, dan tekanan darah. Dan yang terakhir, stres kerja guru juga dipengaruhi oleh keorganisasian, dimana keorganisasian di sini mencakup peran manajemen sekolah, beban pekerjaan yang berlebih di sekolah, hubungan dengan teman sekerja. Guru yang mempunyai stres kerja sedang mengindikasikan bahwa semua aspek yang disebutkan di atas ia alami tetapi ia dalam taraf yang tidak terlalu ekstrem tinggi, melainkan hanya cukup. Hal ini mengakibatkan level kepuasan kerja sebagian besar guru-guru SMP 3K Surakarta menjadi tinggi, sehingga dapat dikatakan bahwa guru-guru di SMP 3K mempunyai kepuasan kerja yang tinggi. Dari sini bisa kita lihat bahwa ada hubungan yang negatif signifikan antara stres kerja dan kepuasan kerja pada Guru-guru di SMP 3K Surakarta.
DAFTAR PUSTAKA Ahsan, N., Abdullah, Z., Fie, D.Y.G., & Alam, S.S. (2009). Study of job stress and job satisfaction among university staff in Malaysia: Empirical study. European Journal of Social Science, 8(1), 1-15. Alma,B., & Riduwan. (2009). Metode dan teknik menyusun proposal penelitian. Bandung: Alfabeta. Atkinson, R.L., Atkinson, R.C., Smith, E.E., & Bem, D.J. (2004). Pengantar psikologi (5th ed.). Batam: Interaksara. Ben-Ari, R., Krole, R., & Har-Even, D. (2003). Differential effects of simple frontal versus complex teaching strategy on teacher’ stress, burnout, and satisfaction. International Journal of Stress Management, 102, 3-18. Bokti, N.L., & Talib, M.A. (2009). A preliminary study on occupational stress and job satisfaction among male navy personnel at a naval base in Lumut Malaysia. The Journal of International Social Research, 2, 176-189. Borg, M.G., Riding, R.J., & Falzon, J.M. (2001). Stress in teaching: A study of occupational stress and its determinants, job satisfaction and career commitment among primary school teacher. Journal of Educational Administration, 31, 24-43. 204
Chaplain, R.P. (1995). Stress and job satisfaction: A study of english primary school teachers. Journal of Educational Psychology, 15, 145-153. Dinas Pendidikan. (2011). Indikator pemenuhan sekolah bertaraf internasional (SMP-rintisan sekolah bertaraf internasional). Semarang: Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Ismail, A., Yao, A., & Yunus. (2009). Relationship between occupational stress and job satisfaction: An empirical study in Malaysia. Journal of Romanian Economic Malaysia, 34, 134-142. Joko, W. (2009). Wajah pendidikan Indonesia era reformasi. Jakarta: Kayla Pustaka. Khan, M.A., & Raza, A. (2007). Occupational stress and coping mechanism to increase job satisfaction among supervisors at Karachi pharmaceuticals. Journal of Economics and Technology, 2, 234-245. McCormick, J. (1997). Occupational stress of teachers: Biographical differences in a large school system. Journal of Educational Administration, 35, 189-196. Nobile, J., & McCormick, J. (2007). Job satisfaction and occupational stress in Catholic primary schools. The Journal of Social Psychology, 52, 1-23. Olaitan, L.O., Oyerinde,O., & Kayode, O. (2010). Prevalence of job stress among primary school teachers in South West, Nigeria. African Journal of Microbiology Research, 4, 1-18. Rini, J.F. (1998). Stres kerja. Jakarta: E-Psikologi. Sulistyastuti, D.R., & Purwanto. (2007). Metode penelitian kuantitatif: Untuk administrasi publik dan masalah-masalah sosial. Yogyakarta: Gava Media. Sulistyo, J. (2010). Enam Hari Jago SPSS 17. Yogyakarta: Cakrawala. Troman, G. (2000). Teacher stress in the low trust society. British Journal of Sociology of Education, 21, 67-84. Vokic & Bogdanic. (2007). Individual differences and occupational stress perceived: A Croatian survey. Journal of Croatia Economic and Bussiness, 12(16), 14-32. Wahyono, T. (2009). Dua puluh lima model analisis statistik dengan SPSS 17: Memahami tekhnik analisis statistik secara sistematis dan praktis. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Wright. (2006). Causal and assosiative hypotheses in psychology. Journal of American Psychological Association, 12(2), 190-213.
205