STRATEGI PENGURANGAN GAS RUMAH KACA MELALUI KONVERSI LIMBAH CAIR PABRIK KELAPA SAWIT MENJADI ENERGI LISTRIK (Studi Kasus di Provinsi Lampung)
SARONO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “Strategi Pengurangan Gas Rumah
Kaca Melalui Konversi Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Menjadi Energi Listrik (Studi Kasus Di Provinsi Lampung)” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Maret 2014
Sarono F361100151
RINGKASAN SARONO. Strategi Pengurangan Gas Rumah Kaca Melalui Konversi Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Menjadi Energi Listrik (Studi Kasus Di Provinsi Lampung). Dibimbing oleh ENDANG GUMBIRA SA’ID, ONO SUPARNO, SUPRIHATIN, dan UDIN HASANUDIN. Kelapa sawit merupakan salah satu tanaman unggulan dan memegang peranan strategis dalam perekonomian Indonesia, baik di masa lalu maupun untuk masa yang akan datang. Di samping sebagai sumber devisa negara, kelapa sawit juga menjadi sumber kehidupan sebagian penduduk di Indonesia. Dewasa ini Indonesia merupakan produsen kelapa sawit terbesar di dunia. Di Provinsi Lampung kelapa sawit juga merupakan salah satu komoditas perkebunan yang penting. Perusahaan yang memiliki pabrik pengolahan kelapa sawit (PKS) berjumlah 13 unit. Strategi pengembangan industri kelapa sawit di Provinsi Lampung diarahkan pada usaha perkebunan skala rakyat. Dalam proses pengolahan tandan buah segar (TBS) kelapa sawit menjadi minyak kelapa sawit kasar (CPO) dihasilkan limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS) dalam jumlah besar. LCPKS memiliki nilai Chemical Oxygen Demand (COD) yang tinggi, sehingga dapat memberikan dampak negatif bagi lingkungan. Di Indonesia LCPKS selama ini ditangani dengan cara relatif sederhana, sehingga menyebabkan emisi gas rumah kaca. CPO dan produk turunan kelapa sawit Indonesia dianggap tidak ramah lingkungan, salah satunya karena dalam penanganan LCPKS belum banyak PKS yang memiliki fasilitas penangkapan gas metana. Di sisi lain, gas metana (biogas) tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi terbarukan. Tujuan penelitian ini adalah (1) mendapatkan gambaran tentang permasalahan penanganan LCPKS di Provinsi Lampung, (2) mendapatkan kondisi suhu terbaik teknologi proses pengolahan LCPKS yang sesuai dengan kebutuhan di Provinsi Lampung, (3) mendapatkan peta kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman penanganan LCPKS di Provinsi Lampung, (4) memperoleh dan menganalisis nilai kandungan teknologi (technoware, humanware, infoware dan orgaware) penanganan LCPKS di Provinsi Lampung, dan (5) memformulasikan strategi yang tepat untuk implementasi pengolahan LCPKS menjadi energi listrik pada masa yang akan datang. Penelitian dilakukan menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif dengan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi lapangan, pengukuran di laboratorium, wawancara langsung dengan responden, dan brainstorming. Data sekunder diperoleh dari kajian pustaka, jurnal ilmiah, laporan-laporan teknis dari institusi terkait, dan lembaga penelitian. Identifikasi dan karakterisasi permasalahan penanganan LCPKS dilakukan menggunakan metode deskriftif. Analisis kandungan teknologi (technology content) penanganan LCPKS menggunakan metode THIO (technoware, humanware, infoware, dan orgaware). Analisis kandungan teknologi dilakukan antar PKS yang ada di Lampung dan PKS Tandun milik PTPN V Riau. Pengembangan alternatif teknologi pengolahan LCPKS dilakukan dengan melakukan penelitian analisis kondisi suhu terbaik proses produksi biogas yang dianalisis dengan metode deskriptif kuantitatif. Perumusan strategi implementasi menggunakan metode SWOT (strength, weakness, opportunity, threat) dan AHP (Analytical Hierarchy Process). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pabrik kelapa sawit di Provinsi Lampung berjumlah 13 unit PKS dengan total kapasitas terpasang 622 ton/jam, efisiensi pemanfaatan utilitas sekitar 45% dengan kendala utama ketersediaan bahan baku TBS yang terbatas. Pada tahun 2011 potensi LCPKS yang dihasilkan PKS di Provinsi Lampung mencapai 1.286.595 m3 dengan nilai COD rata-rata di atas 40.000 mg/L. Semua pabrik kelapa sawit
di Provinsi Lampung telah memiliki instalasi pengolahan LCPKS seperti yang disyaratkan oleh pemerintah. Hasil penelitian analisis kondisi suhu terbaik proses menunjukkan bahwa fermentasi LCPKS pada suhu 55oC, 45oC, dan 27-28oC berturut-turut memerlukan waktu 42 hari untuk menurunkan COD 86,86%; 57 hari untuk menurunkan COD 84,31 %; dan 196 hari untuk menurunkan COD sebesar 57,25 %. Produksi metana pada fermentasi LCPKS pada suhu 55oC, 45oC, dan 27-28oC berturut-turut adalah 0,28 m3; 0,25 m3; dan 0,19 m3 untuk setiap kg Penyisihan COD. Fermentasi LCPKS pada suhu 55oC, 45oC, dan 27-28oC berturut-turut mampu menghasilkan biogas dengan kandungan metana 65,44%; 62,57%; dan 59,15%. Penerapan teknologi CSTR pada suhu fermentasi 55oC selama 42 hari, pada tahun 2011 berpotensi menghasilkan energi listrik sebesar 5,29 MWh dan berpotensi menurunkan emisi GRK sebesar 203.584 ton CO2e. Kandungan teknologi proses penanganan LCPKS di Provinsi Lampung hampir sama antara perusahaan milik pemerintah (BUMN), perusahaan milik swasta yang telah go public, dan perusahaan milik swasta yang belum go public (baru sebatas cukup memadai). Nilai kandungan teknologi diseluruh PKS di Provinsi Lampung masih berada di bawah nilai kandungan teknologi di PTPN V Tandun, yang telah menerapkan teknologi penangkapan metana dan mengkonversinya menjadi energi listrik. Untuk dapat menerapkan teknologi penangkapan gas metana menjadi energi listrik di semua PKS di Provinsi Lampung, peningkatan kinerja technoware, humanware, infoware, dan orgaware (THIO) mutlak diperlukan. Strategi yang menjadi prioritas utama untuk implementasi pemanfaatan LCPKS menjadi energi listrik adalah (1) Pembuatan regulasi yang mewajibkan semua PKS memanfaatkan energi listrik yang bersumber dari biogas LCPKS, (2) Mendorong peningkatan infrastruktur yang menunjang bisnis biomasa berbasis kelapa sawit, dan (3) Pembuatan petunjuk pelaksanaan yang akomodatif tentang penjualan energi listrik berbasis biogas ke PT PLN (Persero). Dari hasil penelitian juga disarankan hal-hal berikut : (1) Diperlukan regulasi pemerintah tentang pengaturan pembangunan pabrik kelapa sawit terutama PKS yang tidak memiliki kebun kelapa sawit sendiri, (2) Diperlukan regulasi pemerintah tentang batas maksimum emisi gas rumah kaca yang berasal dari unit pengolahan LCPKS, (3) Diperlukan petunjuk pelaksanan yang lebih detil tentang Permen ESDM No 4 tahun 2012, (4) Sosialisasi yang lebih luas tentang insentif-insentif yang diberikan pemerintah kepada badan usaha atau perseorangan yang melakukan proses pengolahan limbah menjadi energi listrik perlu dilakukan secara menyeluruh dan kontinyu. Dari hasil penelitian disarankan agar para pemangku kepentingan pengembangan industri kelapa sawit melakukan penelitian lebih lanjut tentang (1) model-model kemitraan pemanfatan energi listrik dari LCPKS untuk masyarakat disekitar pabrik kelapa sawit, (2) Pemanfaatan air buang dan sludge hasil dari proses pengolahan LCPKS, dan (3) Aplikasi suhu termofilik pada proses produksi biogas dengan sistem sinambung. Kata Kunci : Penangkapan metana, Energi listrik, LCPKS, GRK, dan Strategi
SUMMARY SARONO. The Greenhouse Gas Reducing Strategy by Converting Palm Oil Mill Effluent into Electricity (Case Study in Lampung Province). Supervised by ENDANG GUMBIRA SA’ID, ONO SUPARNO, SUPRIHATIN, and UDIN HASANUDIN. Palm oil is one of prime plants and it has strategic role in Indonesia economy in the past, present, and future. In addition to being one of national income sources, palm oil also becomes living making of many people in Indonesia. Currently, Indonesia is the biggest palm oil producing country in the world. Palm oil in Lampung province is also an important plantation commodity. There were 13 palm oil mill units operating in Lampung. Strategies of palm oil industry development were directed to plantation corporations in public scales. The reason wass the limited plantation fields compared to high public interests to make palm oil plantation investments. Processing of palm oil fresh fruit bunches into crude palm oil (CPO) results in a lot of palm oil mill effluent (POME). POME has high values of BOD and COD, suspended solid and total solid content that result in negative effects for the environment. POME in Indonesia has been processed in a relatively simple procedure so that POME produces foul odor and methane gas emission. Methane gas emission is one of greenhouse gasses contributing to global warming with 20-30 folds stronger effect than carbon dioxide gas. United States government even stated that Indonesia palm oil derivative products were environmentally unfriendly considering facts that Indonesia only had 5.5% POME processing system to capture methane gas. On the other hand, methane gas is a biogas being able to use a source of renewable energy production. The objectives of this research were (1) to obtain initial descriptions of POME processing problems; (2) to evaluate contents of POME processing technologies; (3) to determine the best temperature conditions of technology processing POME according to necessities; and (4) to formulate proper strategies in implementing POME processing for electric energy in Lampung province. This research used quantitative and qualitative approaches with primary and secondary data. Primary data were obtained from field observations, measurements in the laboratory, direct interviews with respondents, and brainstorming. Secondary data were obtained from literary study, scientific journals, technical reports from related institutions, and research institutions. Identification and characterization of POME handling problems used descriptive method. The analysis of POME handling technology contents used THIO method. The strategy formulation used SWOT and AHP methods. The alternative technology development for POME processing was conducted with biogas production process optimization research which was analyzed with descriptive and quantitative methods. The results showed that there were 13 units of palm oil mills in Lampung province with total capacity of 622 tons/hour. The utility efficiency was about 45% with a main problem of limited raw material availability. In 2011, the POME potential produced by palm oil mills in Lampung province reached 1,286,595 m3 with average COD value above 40,000 mg/L. All palm oil mills in Lampung province had POME processing units as required by the government.
POME fermentation at 55oC, 45oC, and 27-28oC required respectively 42 days to reduce COD 86.86%, 57 days to reduce COD 84.31%, and 196 days to reduce COD 57.25%. Methane productivity of POME fermentation at 55oC, 45oC, and 27-28oC are respectively 0.28 m3, 0.25 m3, and 0.19 m3 for each kilogram Penyisihan COD. POME fermentation at 55oC, 45oC, and 27-28oC were respectively able to produce biogas with highest content of methane of 65.44%, 62.57%, and 59.15%. CSTR technology application at fermentation in 55oC during 42 days is potential to produce 5.29 MWh electric energy and reduce 203,584 ton of CO2e GHG emission. The technological contents in handling POME in Lampung province were almost the same from government owned corporations (BUMN), go-public private corporations, and non-go-public private corporations. The technology contribution coefficient (TOC) value of PTPN V Tandun was higher than the same TOC of palm oil mills in Lampung province. The improvement of technoware, humanware, infoware, and orgaware were absolutely required by palm oil mills in Lampung province to be able to apply methane gas catching technology conversion into electric energy. Strategies that become main priorities in implementing POME use into electric energy were (1) making regulations that require all palm oil mills to use electric energy coming from POME biogas; (2) encouraging infrastructure improvements that support biomass business based on palm oil, and (3) making accommodative conducting guidance about selling of palm oil based electric energy to PT PLN (Company Limited). Considering the research results, some suggestions were drawn as follows (1) Government regulations about palm oil mill buildings that do not own their own palm oil plantation are required. (2) Government regulations about greenhouse emission maximum threshold coming from palm oil mill units are required. (3) A more detail conducting guidance on Regulation of Ministry of Natural and Mineral Resource Number 4 in 2012 is required. (4) a wider socialization about incentives granted by governments to business institution or individual who process industrial waste into electric energy needs to be done continually and comprehensively. The research results need further researches on (1) the partnership models in using electric energy from POME for public around the palm oil mills; (2) the use of liquid waste and sludge as results of POME processing into electric energy; and (3) the termophylic temperature application at biogas production process with a continuing system. Keywords: Methane capture, Electrical energy, POME, GHG, and Strategy
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
STRATEGI PENGURANGAN GAS RUMAH KACA MELALUI KONVERSI LIMBAH CAIR PABRIK KELAPA SAWIT MENJADI ENERGI LISTRIK (Studi Kasus di Provinsi Lampung)
SARONO
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji pada Ujian Tertutup: Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti Prof Dr Ir Ani Suryani, DEA
Penguji pada Ujian Terbuka: Prof Ir Dr Muhammad Romli, MSc Dr Ir Dadan Kusdiana, MSc
Judul Disertasi
: Strategi Pengurangan Gas Rumah Kaca Melalui Konversi Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit menjadi Energi Listrik (Studi Kasus di Provinsi Lampung) Nama Mahasiswa : Sarono NIM : F361100151 Disetujui Oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir E Gumbira Sa’id, MADev Ketua
Prof Dr Ono Suparno, STP, MT Anggota
Prof Dr-Ing Ir Suprihatin Anggota
Dr Ir Udin Hasanudin, MT Anggota Diketahui Oleh
Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Machfud, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian : 16 Desember 2013
Tanggal Lulus :
Disertasi
: Strategi Pengurangan Gas Rumah Kaca Melalui Konversi Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit menjadi Energi Listrik (Studi Kasus di Provinsi Lampung) ama Mahasiswa : Sarono _1 : F3 611 00151 Disetujui Oleh
Komisi Pembimbing
of Dr If E Gurnbifa Sa'id, MADev Ketua
Prof Dr Ono Supamo, STP, MT Anggota
Prof Dr-Ing Ir Suprihatin . Anggota
Dr Ir Udin Hasanudin, MT Anggota Diketahui Oleh Pascasarjana
Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian
Tanggal Ujian : 16 Desember 2013
Tanggal Lulus :
t 0 MAR 201 4
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2012 hingga Januari 2013 ini berjudul Strategi Pengurangan Gas Rumah Kaca Melalui Konversi Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit menjadi Energi Listrik (Studi Kasus di Provinsi Lampung). Penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih kepada para personalia dibawah ini : 1. Prof Dr Ir E. Gumbira Sa’id, MADev selaku ketua komisi pembimbing yang telah banyak memberikan motivasi, bimbingan dan arahan sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. 2. Prof Dr Ono Suparno, STP, MT selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan koreksian dan masukan terhadap penulisan disertasi ini. 3. Prof Dr-Ing Ir Suprihatin, selaku anggota komosi pembimbing yang telah memberikan inspirasi, bimbingan, dan koreksian yang banyak terhadap penyelesaian disertasi ini. 4. Dr Ir Udin Hasanudin, MT, selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, dan koreksian yang banyak terhadap penyelesaian disertasi ini. 5. Prof Dr Ir Machfud, MS dan Dr Ir Eng Taufik Djatna selaku ketua dan sekretaris Program Studi Teknologi Industri Pertanian atas dorongan semangat dan kelancaran birokrasi selama pengusulan dan penyelesaian disertasi ini. 6. Semua sivitas akademika Program Studi Teknologi Industri Pertanian Fateta IPB yang telah memberikan bantuannya sampai penulisan disertasi ini selesai. 7. Ibu Nurjanah dan semua karyawan Departemen Teknologi Industri Pertanian Fateta IPB yang telah memberikan kemudahan proses administrasi dan pelayanan selama persiapan dan penyelasaian penulisan disertasi. 8. Ayahanda H. Siswowiyono dan lbunda Suratmi, atas dorongan dan semangat untuk terus maju serta do’a yang selalu dipanjatkan kepada Allah SWT, sehingga penulisan disertasi dapat diselesaikan tepat pada waktunya. 9. Istri dan anak-anakku tercinta Sri Astuti, SE, Tiara Dewi Puspita, dan Nadira Kencana Dewi atas keikhlasan, pengorbanan, dan dorongan semangat serta do’a yang tulus selalu dipanjatkan kepada Allah SWT, sehingga penulisan disertasi dapat diselesaikan tepat pada waktunya. 10. Kakanda Wiyono, Surip, Dra Sudarini, Dra Daryuni, Dra Sumiyati, dan Adinda Ir Edwin Sunarno atas dorongan dan semangat untuk terus maju serta do’a yang selalu dipanjatkan kepada Allah SWT, sehingga penulisan disertasi dapat diselesaikan tepat pada waktunya. 11. Pimpinan dan karyawan Fakultas Pertanian UNILA, khususnya Laboratorium Teknologi Pengolahan Limbah Agroindustri atas kesempatan yang dibarikan untuk melakukan penelitian dan peminjaman fasilitas, sehingga disertasi dapat diselesaikan tepat pada waktunya. 12. Pimpinan dan karyawan Politeknik Negeri Lampung atas kesempatan yang diberikan serta motivasi yang diberikan, sehingga penulisan disertasi dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
13. Teman-teman seangkatan TIP 2010 dan teman-teman Asrama Beldes Dramaga atas bantuan data, informasi, program, pemikiran, dan pengertian, sehingga penulisan disertasi dapat diselesaikan tepat pada waktunya. 14. Derbie Octania Suryanto, Veronika Setyawati, dan A Syihab Fahmi QRM atas segala bantuan dan kerjasama selama pelaksanaan penelitian dan penulisan disertasi. 15. Teman-teman kerja di Laboratorium Pengelolaan Limbah Agroindustri THP Unila yaitu Pak Ir Ribut Sugiharto, MSc, Pak Joko Sugiyono, Julfi Restu Amelia, Suyanti, Vigih Pratiwi, Hartono, dan Siluh Putu Nuryanti, atas segala bantuan dan kerjasama selama pelaksanaan penelitian. 16. Ucapan terimakasih juga saya ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung, mulai dari penyusunan rencana penelitian, pelaksanaan penelitian, sampai dengan penulisan disertasi ini. Akhirnya, semoga disertasi ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2014
Sarono
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xv
DAFTAR GAMBAR
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
xvii
DAFTAR ISTILAH
xix
1. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Ruang Lingkup Penelitian Manfaat Penelitian Kebaruan Penelitian 2. TINJAUAN PUSTAKA Emisi Gas Rumah Kaca Pengolahan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Dekomposisi Anaerobik Produksi Biogas Hasil-hasil Penelitian Terdahulu 3. METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian Waktu dan Tempat Penelitian Tatalaksana Penelitian 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi dan Karakterisasi Permasalahan Unit Penanganan LCPKS Analisis Kondisi Suhu Terbaik Proses Produksi Biogas dari LCPKS Analisis Internal, Analisis Eksternal, dan Analisis SWOT Penanganan LCPKS Analisis Strategi Implementasi LCPKS Menjadi Energi Listrik 5. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
1 4 4 5 5 6 8 11 18 19 22 22 24 36 39 50 56 69 70
DAFTAR PUSTAKA
71
LAMPIRAN
77
RIWAYAT HIDUP
156
DAFTAR TABEL 1.1 1.2 1.3 2.1 2.2 3.1 3.2
Luas Areal Tanaman Kelapa Sawit dan Produksi CPO Indonesia Perkirakan Jumlah Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Indonesia Karakteristik Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Karakteristik Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit dan Baku Mutunya Kinerja Berbagai Metode Penanganan LCPKS Secara Anaerobik Penilaian Bobot Faktor Strategis Eksternal Penilaian Bobot Faktor Strategis Internal
1 2 3 9 21 28 28
3.3 Matriks SWOT (strength, weaknesses opportunties threats) 3.4 Skala Banding Secara Berpasangan 4.1 Rekapitulasi Hasil Identifikasi PKS dan Potensi LCPKS Di Provinsi Lampung tahun 2011 4.2 Karakterisasai Limbah Cair PKS di Provinsi Lampung 4.3 Profil Proses Penanganan LCPKS di Provinsi Lampung 4.4 Hasil Karakterisasi LCPKS , Sludge, dan Campuran LCPKS & Sludge 4.5 Hasil-hasil Penelitian tentang Penurunan COD dan Penangkapan Gas Metana dari LCPKS 4.6 Hasil Perhitungan Energi yang Dihasilkan dan Pengurangan Emisi GRG dari LCPKS di Provinsi Lampung tahun 2011 4.7 Perhitungan emisi metana dan biogas yang dihasilkan dari LCPKS (Dasar 1 ton TBS diolah) 4.8 Matriks IFE Penanganan LCPKS menjadi Energi Listrik di Provinsi Lampung 4.9 Matriks EFE Penanganan LCPKS menjadi Energi Listrik di Provinsi Lampung 4.10 Batas Atas (UL) dan Batas Bawah (LL) Derajat Kecanggihan Komponen Teknologi Penanganan LCPKS di Lampung 4.11 Kandungan Teknologi Penanganan LCPKS di Lampung (BUMN) 4.12 Kandungan Teknologi Penanganan LCPKS di Lampung (Perusahaan Swasta yang Sudah Go Public) 4.13 Kandungan Teknologi Penanganan LCPKS di Lampung (Perusahaan Swasta) 4.14 Batas Atas (UL) dan Batas Bawah (LL) Derajat Kecanggihan Komponen Teknologi Penanganan LCPKS di Lampung dan PTPN V Tandun 4.15 Kandungan Teknologi Penanganan LCPKS di Provinsi Lampung 4.16 Kandungan Teknologi Penanganan LCPKS di PTPN V Tandun 4.17 Faktor yang Berperan dalam Strategi Implementasi Pemanfaatan LCPKS Menjadi Energi Listrik 4.18 Aktor dalam Strategi Implementasi Pemanfaatan LCPKS menjadi Energi Listrik 4.19 Rekapitulasi Hasil Penentuan Skala Prioritas Strategi Implementasi Pemanfaatan LCPKS menjadi Energi Listrik
30 33 36 37 38 39 46 48 49 51 53 58 59 59 60 61 62 62 66 66 68
DAFTAR GAMBAR 2.1 Skema Biodegradasi Anaerobik Bahan Organik Kompleks (Romli, 2010) 3.1 Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian 3.2 Tahap-tahap Pelaksanaan Penelitian 3.3 (a) Anaerobic bioreactors “Bench Scale Advance Methane Fermentation” (50 L capacity) ; (b) Gas Flow Meter 3.4 Diagram Alir Pelaksanaan Penelitian Optimasi Proses Produksi Biogas dari LCPKS 4.1 Penyisihan COD dan Waktu Fermentasi LCPKS pada Suhu Fermentasi Berbeda
11 23 25 25 26 40
4.2 Pola Produksi Biogas Fermentasi LCPKS pada Suhu Bereda 4.3 Perubahan Nilai pH LCPKS selama Proses Fermentasi pada Suhu yang Berbeda 4.4 Pola Penurunan Nilai COD LCPKS pada Suhu Fermentasi yang Berbeda 4.5 Nilai Penyisihan COD LCPKS pada Suhu Fermentasi yang Berbeda 4.6 Pola Produksi Biogas Komulatif dari LCPKS pada Suhu Berbeda 4.7 Produksi Metana Total yang Dihasilkan dari LCPKS pada Suhu Fermentasi yang Berbeda 4.8 Komposisi Biogas yang Dihasilkan dari LCPKS pada Suhu Fermentasi yang Berbeda 4.9 Perkembangan Produksi CPO dan LCPKS Provinsi Lampung (2009-2011) 4.10 Potensi Pengurangan Emisi GRK dari LCPKS di Provinsi Lampung 4.11 Potensi Produksi Energi Listrik dari LCPKS di Provinsi Lampung 4.12 Matriks IE (Internal-Eksternal) Penanganan LCPKS di Provinsi Lampung 4.13 Matriks SWOT Implementasi Pemanfaatan LCPKS menjadi Energi Listrik di Provinsi Lampung 4.14 Penyederhanaan Proses Penanganan LCPKS di Lampung 4.15 Diagram THIO Penanganan LCPKS di Provinsi Lampung 4.16 Diagram THIO Penanganan LCPKS di Lampung dan PTPN V Tandun 4.17 Struktur Hirarki Implementasi Pemanfaatan LCPKS menjadi Energi Listrik
41 41 42 43 44 44 45 47 47 50 54 55 56 60 63 65
DAFTAR LAMPIRAN 1. Kode Nama Perusahaan, Kapasitas Pabrik, Jenis Produk, dan Lokasi Pabrik Kelapa Sawit di Provinsi Lampung 2. Sumber Bahan Baku, Luas Kebun, dan Luas Pabrik Kelapa Sawit di Provinsi Lampung 3. Produksi dan Rendemen PKS di Provinsi Lampung (2009-2011) 4. Kapasitas Terpasang, Produksi CPO, dan Produktivitas PKS di Provinsi Lampung (2009-2011) 5. Produksi CPO dan Potensi Limbah Cair PKS di Provinsi Lampung (2009-2011) 6. Karakterisasai Limbah Cair PKS di Provinsi Lampung 7. Jenis Kolam Penanganan LCPKS di Provinsi Lampung 8. Pemanfaatan LCPKS di Provinsi Lampung 9. Fasilitas Penanganan LCPKS di Provinsi Lampung 10. Manajemen Penanganan LCPKS di Provinsi Lampung 11. Analisis Sosial Penanganan LCPKS di Provinsi Lampung 12. Kondisi Listrik dan Harapan Masyarakat terhadap Penanganan LCPKS di Provinsi Lampung 13. Aplikasi Permen ESDM No 4 Tahun 2012 di Provinsi Lampung 14. Produksi Biogas Fermentasi LCPKS pada Suhu Berbeda
77 77 78 79 80 81 81 82 83 85 85 86 87 88
15. Nilai pH Fermentasi LCPKS pada Suhu Berbeda 16. Data Penurunan Nilai COD LCPKS selama Fermentasi pada Suhu Berbeda (%) 17. Data Penurunan Nilai COD LCPKS selama Fermentasi pada Suhu Berbeda (g/L LCPKS) 18. Komposisi Biogas LCPKS pada Fermentasi Suhu 27-28oC (%) 19. Komposisi Biogas LCPKS pada Fermentasi Suhu 45oC (%) 20. Komposisi Biogas LCPKS pada Fermentasi Suhu 55oC (%) 21. Perhitungan Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca dari LCPKS di Provinsi Lampung 22. Perhitungan Potensi Energi dari LCPKS di Provinsi Lampung 23. Data Analisis Faktor Internal Implementasi Pemanfaatan Limbah Cair PKS (POME) menjadi Energi Listrik 24. Rekapitulasi Data Penentuan Rating pada Analisis Faktor Internaal Implementasi Pemanfaatan Limbah Cair PKS (POME) menjadi Energi Listrik 25. Data Analisis Faktor Eksternal Implementasi Pemanfaatan Limbah Cair PKS (POME) menjadi Energi Listrik 26. Rekapitulasi Data Penentuan Bobot dan Rating pada Analisis Faktor Eksternal Implementasi Pemanfaatan Limbah Cair PKS (POME) menjadi Energi Listrik 27. Rekapitulasi Data Batas Atas (UL) dan Batas Bawah (LL) Derajat Kecanggihan Komponen Teknologi PKS Milik BUMN di Lampung 28. Rekapitulasi Data Batas Atas (UL) dan Batas Bawah (LL) Derajat Kecanggihan Komponen Teknologi PKS Milik Perusahaan Swasta Go Public di Lampung 29. Rekapitulasi Data Batas Atas (UL) dan Batas Bawah (LL) Derajat Kecanggihan Komponen Teknologi PKS Milik Perusahaan Swasta di Lampung 30. State-of-the-Art Proses Pendinginan dan Pengendapan PKS di Lampung 31. State-of-the-Art Proses Anaerobik di PKS Lampung 32. State-of-the-Art Proses Aerobik di PKS Lampung 33. State-of-the-Art Proses Pemanfaatan Akhir Limbah Cair di PKS Lampung 34. State-of-the-Art Humanware di PKS Lampung 35. State-of-the-Art Infoware di PKS Lampung 36. State-of-the-Art Orgaware di PKS Lampung 37. Rekapitulasi Data Batas Atas (UL) dan Batas Bawah (LL) Derajat Kecanggihan Komponen Teknologi PKS di Provinsi Lampung 38. Rekapitulasi Data Batas Atas (UL) dan Batas Bawah (LL) Derajat Kecanggihan Komponen Teknologi PKS di PTPN V Tandun 39. State-of-the-Art Proses Pendinginan dan Pengendapan di PKS Provinsi Lampung dan di PTPN V Tandun 40. State-of-the-Art Proses Anaerobik di PKS Provinsi Lampung dan di PTPN V Tandun 41. State-of-the-Art Proses Aerobik di PKS Provinsi Lampung dan di PTPN V Tandun
91 92 93 94 95 95 96 97 98
102 104 108
110 110
111
112 112 113 113 114 114 115 116 116
117 117 118
42. State-of-the-Art Proses Pemanfaatan Akhir Limbah Cair di PKS Provinsi Lampung dan di PTPN V Tandun 43. State-of-the-Art Humanware di PKS Provinsi Lampung dan di PTPN V Tandun 44. State-of-the-Art Infoware di PKS Provinsi Lampung dan di PTPN V Tandun 45. State-of-the-Art Orgaware di PKS Provinsi Lampung dan di PTPN V Tandun 46. Faktor yang Berperan pada Strategi Implementasi Pemanfaatan LCPKS menjadi Energi Listrik di Provinsi Lampung 47. Aktor yang Berperan pada Strategi Implementasi Pemanfaatan LCPKS menjadi Energi Listrik di Provinsi Lampung 48. Alternatif Strategi Implementasi Pemanfaatan LCPKS menjadi Energi Listrik di Provinsi Lampung pada Aktor Pemerintah Indonesia 49. Alternatif Strategi Implementasi Pemanfaatan LCPKS menjadi Energi Listrik di Provinsi Lampung pada Aktor Pengusaha PKS 50. Alternatif Strategi Implementasi Pemanfaatan LCPKS menjadi Energi Listrik di Provinsi Lampung pada Aktor Masyarakat Internasional
118 119 119 120 121 128 138 144 150
DAFTAR ISTILAH 1 2
3
Anaerobik AHP (Analytical Hierarchy Process) Asetogenesis
4
Asetoklasik
5
Asidogenesis
6
Biogas
7
COD (Chemical oxygen demand)
8
Penyisihan COD
9
CPO (Crude palm oil)
10 CSTR (Completely stirred tank reactor)
Suatu kondisi tanpa adanya oksigen bebas Suatu teknik untuk mendukung proses pengambilan keputusan yang bertujuan untuk menentukan pilihan terbaik dari beberapa alternatif yang dapat diambil Tahap proses konversi asam-asam organik (propionat dan butirat) menjadi asam asetat Bakteri metanogen yang mengkonsumsi asam asetat menjadi metana Tahap proses konversi molekul organik berukuran besar menjadi asam-asam organik Suatu campuran gas-gas, terutama metana dan karbondioksida yang dihasilkan dari proses degradasi anaerobic molekul organik Ukuran kandungan bahan organik di dalam limbah yang dapat dioksidasi secara kimiawi, dengan menggunakan oksidator kimia kuat dalam medium asam Jumlah bahan organik yang dapat didegradasi oleh mikroorganisme per satuan waktu di dalam bioreaktor Minyak kelapa sawit mentah yang berwarna kemerahmerahan yang diperoleh dari hasil ekstraksi atau dari proses pengempaan daging buah kelapa sawit Reaktor tangki teraduk sempurna (komposisi dalam reaktor seragam) yang beroperasi dalam keadaan tunak
11 Efek Rumah Kaca
12 GRK (Gas rumah kaca)
13 Hidrogenotopik 14 Hidrolisis 15 LCPKS
16 Mesofilik 17 Metana
18 Metanogenesis 19 POME 20 Sludge
21 TSS (Total suspended solid)
22 VSS (Volatile suspended solid)
23 Termofilik 24 THIO (Technoware,
Fenomena terperangkapnya reradiasi gelombang panjang dari permukaan bumi oleh gas-gas rumah kaca, sehingga menyebabkan penghangatan bumi Gas-gas di atmosfer yang memiliki kemampuan untuk menyerap reradiasi matahari yang dipantulkan oleh bumi, sehingga menyebabkan suhu di permukaan bumi menjadi hangat, yaitu: karbondioksida (CO2), dinitro oksida (N2O), metana (CH4), sulfurheksaflorida (SF6), perflorokarbon (PFCs), dan hidroflorokarbon (HFCs) Bakteri metanogen yang mengkonsumsi 20rganic20 membentuk metana Proses enzimatis pemecahan bahan organik komplek (makromelekul) menjadi monomernya Limbah cair pabrik kelapa sawit adalah produk samping berbentuk cairan yang dihasilkan dari proses ekstraksi buah kelapa sawit Kisaran suhu menengah untuk pertumbuhan mikroorganisme, antara 20–45oC dengan suhu optimum 35oC Gas yang tidak berwarna, tidak berbau, dan mudah terbakar yang merupakan komponen utama biogas, dengan formula kimia CH4 Tahap terakhir proses anaerobik yang mengkonversi asam asetat dan hidrogen menjadi metana Palm oil mill effluent adalah produk samping berbentuk cairan yang dihasilkan dari proses ekstraksi buah kelapa sawit Produk samping yang dihasilkan dari proses penanganan limbah cair dan sludge (lumpur) yang tersusun dari bahan organik dan organik, yang merupakan sumber makanan bagi mikroorganisme Salah satu parameter yang digunakan untuk pengulkuran kualitas air. Pengukuran TSS berdasarkan pada berat kering partikel yang terperangkap oleh filter, biasanya dengan ukuran pori tertentu. Umumnya, filter yang digunakan memiliki ukuran pori 0.45 µm (Clescerl, 1905 dalam Seandy, 2010). Besarnya kandungan biomassa yang terdapat di dalam air limbah. Selain biomassa aktif, kemungkinan juga akan terukur biomassa tidak aktif seperti metabolit padat dan bahan organik (Maryanti, 2011) Kisaran suhu tinggi untuk pertumbuhan mikroorganisme, antara 50–65oC dengan suhu optimum 55oC Suatu metode untuk mengevaluasi kandungan teknologi dari suatu proses transformasi input menjadi output
humanware, infoware, orgaware) 25 SWOT (strength, Alat untuk menyusun suatu strategi dalam mengembangkan weaknesses, suatu kegiatan yang didasarkan pada asumsi bahwa suatu opportuntie, threats) strategi yang efektif memaksimalkan kekuatan dan peluang
1
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelapa sawit merupakan salah satu tanaman unggulan dan memegang peranan strategis dalam perekonomian Indonesia, baik dimasa lalu maupun untuk masa yang akan datang. Di samping sebagai sumber devisa negara, kelapa sawit juga menjadi sumber kehidupan sebagian penduduk di Indonesia. Ditjen Perkebunan (2012), melaporkan bahwa pada tahun 2002, jumlah tenaga kerja yang tertampung dalam usaha kelapa sawit sekitar 2,9 juta orang meningkat menjadi 3,4 juta jiwa pada tahun 2011. Di samping itu, kelapa sawit juga berperan memperbaiki pendapatan petani kelapa sawit. Sebagai gambaran petani kelapa sawit yang memiliki lahan sekitar 2 Ha mampu memperoleh pendapatan Rp. 2-4 juta perbulan (Janurianto, 2011). Produk minyak kelapa sawit dan turunannya juga merupakan sumber devisa negara yang penting dan meningkat dari tahun ke tahun. Penerimaan devisa dari produk olahan kelapa sawit meningkat dari US$ 3.247,53 juta (2005) menjadi US$ 17.253 juta (2010). Kontribusi devisa yang diperoleh dari ekspor minyak kelapa sawit dan produk turunannya terhadap total nilai ekspor non-migas Indonesia juga mengalami peningkatan yang signifikan. Pada tahun 2005, kelapa sawit hanya memberi kontribusi 5,84 % dari nilai ekspor nonmigas (US$ 49.757,7 juta), meningkat menjadi 17,60% dari nilai ekspor nonmigas (US$ 87.691,8 juta) di tahun 2010 (Ditjen Perkebunan, 2011). Dewasa ini Indonesia merupakan produsen kelapa sawit terbesar di dunia, produksi dan luas arealnya telah melampaui Malaysia. Produksi Crude Palm Oil (CPO) tahun 2011 mencapai 23,522 juta ton dengan luas areal perkebunan kelapa sawit sebesar 8,993 juta hektar (Ditjen Perkebunan, 2012). Janurianto (2011), memprediksi pada tahun 2020 luas panen kelapa sawit akan mencapai 9,7 juta Ha dengan produksi CPO 44 juta ton. Pertumbuhan produksi CPO dan luas areal tanaman kelapa sawit Indonesia dari tahun 1980 sampai 2011 dapat dilihat pada Tabel 1.1. Tabel 1.1 Luas Areal Tanaman Kelapa Sawit dan Produksi CPO Indonesia Tahun
Rakyat
Produksi CPO (000 Ton) Luas (000 Ha) PemePemeSwasta Total Rakyat Swasta Total rintah rintah 1 499 221 721 200 84 290 377 1,247 789 2.413 372 463 1.127 3.634 7.001 588 2.403 4.158 1.906 1,461 9.190 17.665 606 3.409 6.767 6.358 2,117 8.679 17.540 603 3.879 7.364 6.923 1,938 9.801 19.324 630 4.181 7.873 7.518 2,005 10.036 19.760 637 4.321 8.036 7.668 2,056 12.451 23.522 678 4.562 8.993 8.974 2.097
1980 6 1990 292 2000 1.167 2007 2.752 2008 2.882 2009 3.061 2010 3.078 2011 3.752 Pertumbuhan 20,14 1,39 8,17 (%/thn) Sumber : Ditjen Perkebunan, 2012
10,57
33,71
3,96
22,06
21,45
2
Dalam proses pengolahan tandan buah segar (TBS) kelapa sawit menjadi minyak kelapa sawit kasar (CPO) dihasilkan rendemen sekitar 21,5-23 persen, sisanya berupa hasil samping atau limbah berbentuk cair, padat dan gas/uap. Limbah padat terdiri atas tandan buah kosong (16-23%), serat perasan buah (1126%), bungkil inti sawit (4%), cangkang (4-6%), dan limbah padat lain (16,5%) (Wicke et al., 2008). Proses pengolahan kelapa sawit termasuk industri yang menghasilkan limbah cair (Limbah cair pabrik kelapa sawit = LCPKS) dalam jumlah besar. Menurut Yuliasari et al. (2001), setiap ton tandan buah segar (TBS) akan menghasilkan LCPKS sekitar 0,75-0,90 m3 atau setiap ton CPO menghasilkan 3,33 ton LCPKS. Satu unit pabrik kelapa sawit (PKS) berkapasitas olah 60 ton TBS/jam menghasilkan LCPKS sebanyak 45-54 m3. Menurut Mahajoeno et al. (2008), setiap ton TBS kelapa sawit akan menghasilkan rata-rata 120-200 kg minyak mentah, 230-250 kg tandan kosong kelapa sawit (TKKS), 130-150 kg serat/ fiber, 60-65 kg cangkang, 55-60 kg kernel, dan air limbah 0,7 m3. Menurut Wu (2010), LCPKS yang dihasilkan pabrik pengolahan kelapa sawit di Malaysia untuk setiap ton produksi CPO adalah 2,5-3 ton. Hasil samping proses produksi tersebut berasal dari air kondensat rebusan 36% (150-175 kg/ton TBS), air drab klarifikasi 60% (350-450 kg/ton TBS) dan air hidrosiklon 4% (100-150 kg/ton TBS). Tabel 1.2 menunjukkan perkiraan jumlah LCPKS yang dihasilkan di Indonesia dengan asumsi setiap ton CPO menghasilkan 3 ton LCPKS (Ditjen Perkebunan, 2012). Tabel 1.2 Perkirakan Jumlah Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Indonesia CPO (ton) 721.000 1980 2.413.000 1990 7.001.000 2000 17.665.000 2007 17.540.000 2008 19.324.000 2009 19.760.000 2010 23.522.000 2011 Sumber : Ditjen Perkebunan, 2012 Tahun
LCPKS (ton) 2.163.000 7.239.000 21.003.000 52.995.000 52.620.000 57.972.000 59.280.000 70.566.000
LCPKS merupakan sumber pencemar potensial yang dapat memberikan dampak serius bagi lingkungan, sehingga pabrik dituntut untuk menangani limbah ini melalui peningkatan teknologi pengolahan. LCPKS memiliki nilai BOD, COD, padatan tersuspensi dan kandungan total padatan tinggi merupakan sumber pencemar sangat potensial. Pembuangan limbah cair pabrik kelapa sawit ke dalam perairan umum berpotensi mencemari air minum, mengurangi kadar oksigen terlarut, menurunkan kesehatan ikan dan udang dalam badan air sekitarnya atau biota perairan (Lam dan Lee, 2011). Karaktetistik LCPKS dapat dilihat pada Tabel 1.3. Penelitian lain yang dilakukan Mahajoeno, et al. (2008), memberikan hasil analisis karakteristik kimia LCPKS menunjukkan bahwa LCPKS bersifat koloid, kental, coklat atau keabu-abuan, pH 4,4-5,4 dan mempunyai rerata kandungan COD 49,0-63,6 g/L; BOD 23,5-29,3 g/L; total padatan 26,5-45,4 g/L dan padatan terlarut 17,1-35,9 g/L. Keseluruhan parameter LCPKS tersebut berada di atas ambang baku
3
mutu peruntukan yang telah ditetapkan MENKLH (1995), sehingga LCPKS berpotensi sebagai pencemar lingkungan. Tanpa adanya upaya untuk mencegah atau mengelola secara efektif akan timbul dampak negatif terhadap lingkungan, seperti timbulnya bau, pencemaran air dan perairan umum di sekitar pabrik, dan gas rumah kaca yang berdampak pada perubahan iklim global (Ahmad et al., 2003). Tabel 1.3 Karakteristik Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit No Parameter 1 2
Nilai pH Biological Oxygen Demand (BOD) (mg/L) 3 Chemical Oxygen Demand (COD) (mg/L) 4 Total Padatan (mg/L) 5 Padatan Tersuspensi (mg/L) 6 Padatan Menguap (mg/L) 7 Minyak dan Lemak (mg/L) 8 Nitrogen Amoniak (mg/L) 9 Total Nitrogen (mg/L) Sumber : 1 Tong, 2011 2 Mahajoeno, 2008
Rata-rata1
Selang1
Rata-rata2
4,2 25.000
3,4 – 5,2 10.250 – 43.750
4,4 27.720
51.000
15.000 – 100.000
56.200
40.000 18.000 34.000 6.000 35 750
11.500 – 79.000 5.000 – 54.000 9.000 – 72.000 130 – 18.000 4 – 80 180 -1.400
28.240 15.150 29.300 2.770
Di Indonesia LCPKS selama ini umumnya ditangani dengan cara relatif sederhana, yaitu dengan mengalirkan dan membiarkan terdekomposisi di dalam sistem kolam (ponding system). Di dalam sistem tersebut, bahan organik sebagian besar terdegrasi secara anaerobik dan menyebabkan bau busuk serta menimbulkan emisi gas metana. Emisi metana berkontribusi terhadap pemanasan global karena merupakan gas rumah kaca (GRK) dengan kekuatan 20-30 kali lebih kuat dibandingkan dengan gas karbon dioksida (Porteous, 1998). Hasil penelitian Tong (2011) menyatakan bahwa pada tahun 2009 dengan produksi CPO 19,324 juta ton Indonesia diduga menghasilkan emisi gas rumah kaca sebesar 15,61 x106 ton setara emisi gas CO2. Menurut Suprihatin et al. (2008), setiap ton TBS akan menghasilkan 184,4 kg setara emisi gas CO2. Bahkan Pemerintah Amerika Serikat melalui US Environmental Protection Agency (EPA) mengeluarkan Notice of Data Availibility (NODA) pada tanggal 27 Januari 2012 yang menyatakan produk turunan kelapa sawit Indonesia tidak ramah lingkungan. Salah satunya adalah karena dalam penanganan limbah cair pabrik kelapa sawit hanya 5,5 % dari 608 unit pabrik yang memiliki fasilitas penagkapan gas metana (The US Environmental Protection Agency, 2012). Di sisi lain, gas metana (biogas) hasil dari proses dekomposisi anaerobik bahan organik tersebut memiliki kandungan energi tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi terbarukan. Khemkhao et al. (2012) menyatakan bahwa LCPKS yang memiliki organic loading rates (OLR) antara 2,2 dan 9,5 g COD perliter perhari dengan perombakan anaerobik dapat menghasilkan biogas 13,2 liter/hari. Menurut Suprihatin et al. (2008), pabrik minyak kelapa sawit dengan kapasitas olah 60 ton TBS/jam, memiliki potensi untuk memperoleh manfaat sebesar Rp 300 juta/tahun, yang berasal dari pemanfaatan biogas sebesar Rp 240 juta/tahun dan insentif melalui proyek CDM Rp 66 juta/tahun.
4
Menurut Tan et al. (2012), setiap ton CPO akan menghasilkan emisi gas rumah kaca sebesar 971 kg CO2 eq, tetapi jika menggunakan sitem penangkap gas metana yang mampu menangkap 85 % biogas, maka emisi gas rumah kaca yang dihasilkan hanya 506 kg CO2 eq per ton CPO. Hal ini menunjukkan bahwa sumber utama gas rumah kaca dari pabrik adalah biogas dari LCPKS dan dapat digunakan sebagai sumber energi terbarukan. Menurut Tong (2011), PKS dengan kapasitas produksi 60 ton TBS/jam atau 360.000 ton TBS/tahun akan menghasilkan LCPKS sebanyak 216.000 m3/tahun dengan total COD 10.800 ton/tahun. Produksi LCPKS tersebut dapat menghasilkan CH4 sebanyak 2.657 ton/tahun atau biogas 6.726.318 m3/tahun atau setara dengan energi yang dihasilkan 133.398.934 MJ/tahun atau 31.859.243 M Cal./tahun atau 37.039 MWh/tahun. Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan unggulan Provinsi Lampung yang tersebar hampir di seluruh kabupaten di Provinsi Lampung. Tahun 2009 luas areal tanaman kelapa sawit di Provinsi Lampung mencapai 153.160 ha dengan produksi 364.862 ton, dan nilai ekspor mencapai US $ 891.137.310 atau 21,83 % dari ekspor hasil perkebunan. Perusahaan yang memiliki pabrik pengolahan kelapa sawit (PKS) berjumlah 13 unit dengan kapasitas terpasang 622 ton TBS/jam (Darminto, 2010). Dari latar belakang tersebut, perlu dilakukan analisis secara mendalam permasalahan penanganan limbah cair PKS di Provinsi Lampung dikaitkan dengan strategi kesiapan implementasi teknologi yang lebih modern. Salah satu sifat yang khas pada LCPKS adalah adanya lapisan minyak yang menutupi permukaan LCPKS tersebut (Tong, 2011). Lapisan minyak tersebut akan mengganggu keluarnya gas metana dari dalam LCPKS, oleh karena itu penarapan suhu yang lebi tinggi diharapkan dapat melarutkan minyak ke dalam limbah sehingga gas metana mudah keluar. Di samping itu, suhu juga akan mempengaruhi kecepatan pertumbuhan mikroorganisme kelompok metanogen (Poh dan Cong, 2009). 1.2 Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menghasilkan strategi pengurangan gas rumah kaca dari limbah cair pabrik kelapa sawit dan pemanfaatannya sebagai sumber energi listrik. Tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Mendapatkan gambaran tentang permasalahan penanganan LCPKS di Provinsi Lampung, (2) Mendapatkan kondisi suhu terbaik teknologi proses pengolahan LCPKS yang sesuai dengan kebutuhan di Provinsi Lampung, (3) Mendapatkan peta kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman penanganan LCPKS di Provinsi Lampung, (4) Memperoleh dan menganalisis nilai kandungan teknologi (technoware, humanware, infoware dan orgaware) penanganan LCPKS di Provinsi Lampung, (5) Memformulasikan strategi yang tepat untuk implementasi pengolahan LCPKS menjadi energi listrik pada masa yang akan datang. 1.3 Ruang Lingkup Penelitian (1) Pemetaan kondisi permasalahan penanganan LCPKS di Provinsi Lampung, mencakup: (a) penentuan peta kekuatan, kelemahan, dan permasalahan
5
penanganan LCPKS, (b) evaluasi kandungan teknologi proses penanganan LCPKS, (c) analisis kuantitas dan karakteristik LCPKS. (2) Analisis alternatif-alternatif perbaikan teknologi yang perlu dilakukan untuk menangani LCPKS di Provinsi Lampung, mencakup suhu 27-28oC, suhu 45oC, dan suhu 55oC. (3) Analisis strategi implementasi penanganan LCPKS menjadi energi listrik. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Dapat digunakan sebagai rujukan ilmiah bagi para peneliti dan perguruan tinggi, investor, pemerintah provinsi, dan pemerintah untuk perencanaan perbaikan unit pengolahan LCPKS yang ramah lingkungan. (2) Diharapkan menjadi acuan dalam pengembangan standar penanganan LCPKS, sehingga dapat memperkuat daya saing industri kelapa sawit Indonesia. (3) Usulan pengembangan yang direkomendasikan diharapkan dapat dijadikan acuan bagi pengembangan pengolahan LCPKS di Indonesia. 1.5 Kebaruan Penelitian (1) Penelitian analisis kondisi suhu terbaik proses produksi biogas LCPKS dilakukan pada skala lanjut (Bench Scale Advance), yaitu 50 L menggunakan sistem CSTR pada suhu 27-28oC, suhu 45oC, dan suhu 55oC. (2) Penerapan prinsip-prinsip manajemen teknologi dalam pengolahan LCPKS secara holistik, mulai dari analisis technology content, analisis kebutuhan teknologi, introduksi teknologi, sampai analisis stretegi implementasi teknologi dengan menggunaan metode SWOT dan AHP dalam penanganan LCPKS menjadi energi listrik di Indonesia (3) Penelitian dilakukan pada seluruh populasi yang menjadi wilayah studi kasus, sehingga dapat mewakili suatu wilayah dengan karakteristik tertentu. Karakteristik PKS di Provinsi Lampung adalah (a) Kepemilikan PKS (BUMN, swasta yang telah go public, dan swasta yang belum go public); (b) Integrasi pabrik dan kebun (terintegrasi antara pabrik dengan kebun dan tidak terintegrasi antara pabrik dengan kebun); (c) Rasio kelistrikan Provinsi Lampung baru mencapai 62 % (di bawah rata-rata nasional 67,98%); (d) Jarak PKS dengan gardu induk PLN relatif dekat ( < 10 km).
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Emisi Gas Rumah Kaca Perubahan iklim merupakan tantangan paling serius yang dihadapi dunia pada saat ini. Beberapa bukti baru dan kuat yang muncul dalam studi mutakhir memperlihatkan bahwa masalah pemanasan yang terjadi 50 tahun terakhir disebabkan oleh tindakan manusia. Sejak tahun 1960-an, penyebab utama meningkatnya suhu bumi adalah akibat efek rumah kaca yang menurut sebagian ahli disebabkan oleh meningkatnya kandungan gas karbon dioksida dan partikel polutan
6
lainnya di atmosfer bumi. Efek rumah kaca disebabkan karena meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca (Trismidianto et al., 2008). Gas rumah kaca (GRK) adalah gas-gas di atmosfer yang memiliki kemampuan untuk menyerap radiasi matahari yang dipantulkan oleh bumi, sehingga menyebabkan suhu di permukaan bumi menjadi hangat. Menurut konvensi PBB mengenai perubahan iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change-UNFCCC, 2005), terdapat enam jenis gas yang digolongkan sebagai GRK, yaitu: karbondioksida (CO2), dinitro oksida (N2O), metana (CH4), sulfurheksaflorida (SF6), perflorokarbon (PFCs), dan hidroflorokarbon (HFCs). (1) Karbondioksida (CO2) Karbon merupakan salah satu bahan yang terdapat di udara sebagai karbon dioksida (CO2), di air sebagai CO2 terlarut, dan di tanah sebagai bebatuan karbonat. Karbon adalah bahan dasar penyusun semua kehidupan, senyawasenyawa tersebut dimakan oleh konsumen, sehingga karbon berpindah-pindah dari tanaman ke hewan dan dari hewan kembali lagi ke udara berupa gas. Unsur karbon dalam CO2 bukan termasuk polutan udara dan merupakan komponen normal yang terdapat dalam susunan udara. CO2 yang secara terusmenerus mengalami sirkulasi ke dalam dan ke luar atmosfer melalui aktivitas tanaman dan hewan merupakan hal yang normal dan tidak menimbulkan kerusakan. Adanya aktivitas manusia yang bertambah menyebabkan siklus tersebut terganggu sehingga jika diakumulasikan dari seluruh aktivitas yang terjadi maka akan terjadi kenaikan CO2 di atmosfer dan menyebabkan adanya efek rumah kaca (Trismidianto et al., 2008). Houghton (2009) menyatakan bahwa selama kurun waktu 100 tahun gas karbon dioksida meningkat 44 % dari 250 part per million (ppm) saat sebelum revolusi industri menjadi 360 ppm, hal tersebut termasuk dalam perubahan yang luar biasa cepat. Gas karbon dioksida tambahan tersebut sebagian besar berasal dari bahan bakar fosil. Walaupun lautan dan proses alam lainnya mampu mengurangi karbondioksida di atmosfer, aktivitas manusia yang melepaskan karbondioksida ke udara jauh lebih cepat dari kemampuan alam untuk menguranginya. Pada tahun 1750 terdapat 281 molekul karbondioksida pada satu juta molekul udara (281 ppm), pada Januari 2007, konsentrasi karbondioksida telah mencapai 383 ppm (peningkatan 36 persen). Jika prediksi tersebut benar, maka pada tahun 2100, karbondioksida mencapai konsentrasi 540 hingga 970 ppm. (2) Metana Houghton (2009), menyatakan bahwa gas rumah kaca kedua terbesar yang menyebabkan terjadinya pemanasan global adalah metana, karena metana menyumbang sekitar 15% dari total gas rumah kaca. Menurut Newman (2000) gas metana dapat terbentuk dari selulosa dan hemiselulosa, dengan prosesnya terjadi dalam 3 (tiga) tahapan biologis yang terpisah, yaitu: Selulosa → gula (glukosa) → asetat → CH4 + CO2 Sebagian besar produksi metana berasal dari limbah domestik seperti kotoran sapi, sludge, dan pembuangan domestik. Trismidianto et al. (2008), menyatakan gas metana terbentuk akibat penguraian zat-zat organik dalam kondisi anaerobik pada air limbah. Metana adalah produk penting yang terbentuk dari hasil degradasi bahan organik oleh bakteri di lingkungan seperti tanah tergenang,
7
lahan basah, muara, sedimen air tawar dan laut, serta saluran pencernaan binatang. Setiap tahunnya ada 350-500 juta ton gas metana yang dihasilkan dari peternakan, penggunaan bahan bakar fosil, gas alam, kultivasi padi, dan lahan tempat pembuangan akhir sampah. Emisi metana merupakan gas yang juga potensial mencemari lingkungan bahkan berkontribusi dalam pemanasan global. Walaupun gas karbodioksida merupakan gas yang paling berpengaruh terhadap pemanasan global, radiasi gas metana lebih tinggi dibandingkan karbondioksida. Pemanasan metana terhadap atmosfer meningkat 1% setiap tahunnya, dan hewan ternak berkontribusi menghasilkan gas metana sebesar 3% dari total gas rumah kaca (Tyler and Ensminger, 2006). (3) Dinitro Oksida Menurut Houghton (2009), dinitro oksida adalah gas insulator panas yang sangat kuat. Dinitro oksida dihasilkan terutama dari pembakaran bahan bakar fosil. Dinitro oksida dapat menangkap panas 300 kali lebih besar dari karbondioksida. Konsentrasi gas tersebut telah meningkat 16 persen bila dibandingkan masa preindustri. (4) Gas lainnya Menurut Houghton (2009), gas rumah kaca lainnya dihasilkan dari berbagai proses manufaktur adalah campuran hidroflourinasi dihasilkan dari peleburan alumunium. Hidrofluorokarbon (HCFC-22) terbentuk selama manufaktur berbagai produk, termasuk busa untuk insulasi, perabotan (furniture), dan tempat duduk di kendaraan. Lemari pendingin di beberapa negara berkembang masih menggunakan klorofluorokarbon (CFC) sebagai media pendingin yang selain mampu menahan panas atmosfer juga mengurangi lapisan ozon, yakni lapisan yang melindungi bumi dari radiasi ultraviolet. Kontribusi gas rumah kaca terhadap pemanasan global tergantung dari jenis gasnya. Setiap gas rumah kaca mempunyai potensi pemanasan global (Global Warming Potential – GWP) yang diukur secara relatif berdasarkan emisi CO2 dengan nilai 1 (satu). Semakin besar nilai GWP maka akan semakin bersifat merusak (Sugiyono 2006; Tyler dan Ensminger 2006). CO2 merupakan gas rumah kaca yang terpenting karena kontribusinya yang paling tinggi terhadap efek rumah kaca, yaitu sebesar 55% (Hougthon, 2009). Setiap gas rumah kaca memiliki GWP berbeda-beda dan dibandingkan dengan besarnya GWP CO2. CH4 memiliki GWP 20-30 kali lebih tinggi dibandingkan gas CO2 (Porteous, 1998) dan menurut Venterea (2005), CH4 memiliki GWP 23 kali lebih tinggi dibandingkan gas CO2. Dengan demikian gas-gas rumah kaca termasuk gas yang menimbulkan efek rumah kaca yang menyebabkan terjadinya pemanasan global. 2.2 Pengolahan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Proses pengolahan kelapa sawit termasuk industri yang menghasilkan limbah cair (Limbah cair pabrik kelapa sawit = LCPKS) dalam jumlah besar. Menurut Yuliasari et al. (2001), setiap ton TBS akan menghasilkan LCPKS sekitar 0,75-0,9 m3 atau setiap ton CPO menghasilkan 3,33 ton LCPKS. Menurut Mahajoeno et al. (2008), setiap ton tandan buah segar (TBS) akan menghasilkan LCPKS 0,7 m3. Di Malaysia setiap ton CPO akan menghasilkan LCPKS sebanyak 2,5-3 ton (Wu, 2010).
8
LCPKS yang dihasilkan pabrik pengolah kelapa sawit ialah air kondensat, air cucian pabrik, air hidrocyclone atau claybath. Jumlah air buangan tergantung pada sistem pengolahan, kapasitas olah dan keadaan peralatan klarifikasi. Air buangan separator yang terdiri atas sludge dan kotoran dipengaruhi oleh: a) Jumlah air pengencer yang digunakan pada vibrating screen atau pada screw press. b) Sistem dan instalasi yang digunakan dalam stasiun klarifikasi yaitu klarifikasi yang menggunakan decanter menghasilkan air limbah yang kecil. c) Efisiensi pemisahan minyak dari air limbah yang rendah akan mempengaruhi karakteristik limbah cair yang dihasilkan (Rahardjo, 2009). Sampai saat ini LCPKS di Indonesia masih ditangani dengan cara relatif sederhana yaitu dengan mengalirkan dan membiarkan terdekomposisi di dalam sistem kolam (ponding system). Di dalam sistem tersebut, bahan organik sebagian besar terdegrasi secara anaerobik dan menyebabkan bau busuk serta menimbulkan emisi gas metana. Sistem pengolahan anaerobik limbah cair mempunyai keuntungan nyata dibanding sistem pengolahan aerobik, antara lain dioperasikan hampir tanpa energi tambahan, mampu menurunkan beban pencemar berat hingga sedang dan terbentuk lumpur sebagai pengganti pupuk organik (kompos). Rancangan teknik perombakan anaerobik dalam sistem kolam biasanya merupakan serangkaian kolam terbuka yang tersusun atas beberapa kolam. Sistem tersebut mampu menyisihkan kandungan BOD hingga 95 %, namun dalam jangka waktu yang lama yakni 55 hari hingga 110 hari sehingga membutuhkan lahan instalasi yang sangat luas (Ahmad et al., 2012). LCPKS merupakan sumber pencemar potensial yang dapat memberikan dampak serius bagi lingkungan, sehingga pabrik dituntut untuk menangani limbah tersebut melalui peningkatan teknologi pengolahan. LCPKS memiliki nilai BOD, COD, padatan tersuspensi dan kandungan total padatan tinggi merupakan sumber pencemar sangat potensial. Beberapa hasil penelitian karaktetistik LCPKS dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tanpa adanya upaya untuk mencegah atau mengelola secara efektif akan timbul dampak negatif terhadap lingkungan, seperti timbulnya bau, pencemaran air dan perairan umum di sekitar pabrik, dan gas rumah kaca yang berdampak pada perubahan iklim global (Ahmad et al., 2003). Tabel 2.1 Karakteristik Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit dan Baku Mutunya No Parameter 1 2
Rata-rata1
Nilai pH 4,2 Biological Oxygen 25.000 mg/L Demand (BOD) 3 Chemical Oxygen 51.000 mg/L Demand (COD) 4 Total Padatan 40.000 mg/L 5 Padatan Tersuspensi 18.000 mg/L 6 Minyak dan Lemak 6.000 mg/L 7 Total Nitrogen 750 mg/L 8 Suhu Sumber : 1 Tong, 2011 2 Mahajoeno, 2008 3 Wu, 2008 4 MENKLH, 1995
Rata-rata2
Rata-rata3
4,4 27,72 g/L
4,5 29.000 mg/L
Baku Mutu4 6-9 0,11 g/L
56,20 g/L
64.000 mg/L
0,25 g/L
28,24 g/L 15,15 g/L 29,30 g/L 27,70 g/L 57 oC
23.000 mg/L 22.000 mg/L 7.000 mg/L 1200 mg/L -
0,25 g/L 0,10 g/L 0,03 g/L 0,02 g/L -
9
Rahardjo (2009), telah melakukan penelitian unit pengolahan LCPKS di PTPN VIII PKS Kertajaya Kabupaten Lebak Propinsi Banten. Limbah cair yang berasal dari Unit Sludge Separator dan Unit Pencucian (klarifikasi) dialirkan ke bak fatpit. Limbah dalam fatpit dipanaskan dengan menggunakan steam pada suhu 8595oC. Pada suhu tersebut minyak yang masih terkandung dalam air limbah akan mudah lepas. Minyak yang dapat diambil kembali (oil recovery) dari unit tersebut adalah 0,8-1,2 %. Waktu tinggal (Detention Time)Td = 16 Jam. Dimensi unit tersebut adalah luas 6 x 40 m2 dan kedalaman 0,8 m (bila dihitung dari data waktu tinggal dan debit Q sebesar 18 ton/jam). BOD dari fatpit tersebut adalah 30.000 40.000 ppm dengan pH sekitar 4-5. Proses kedua adalah anaerobik yang diakomodasikan dalam bak berjumlah empat buah dan dioperasikan secara berurutan. Limbah cair yang masuk ke dalam bak anerobik tersebut adalah limbah cair dari fatpit dan limbah cair Unit Kondensat Sterilisasi, Pencucian Hydro Cyclone dan dari Unit Demineralisasi. Waktu tinggal (total) Td = 40 hari (bila dihitung dari pembagian volume dengan debit diperoleh Td = 38,4 hari), dengan dimensi untuk setiap baknya adalah luas 20 x 40 m2 dan kedalaman sekitar 3-4 meter. Mutu BOD dari air limbah yang keluar dari proses anaerobik tersebut sekitar 3000 ppm dengan pH antara 5-6. Bak anaerobik tersebut merupakan bak terbuka dan dianggap berproses anaerobik karena kedalaman baknya yang sampai 4 meter (Rahardjo, 2009). Proses terakhir adalah aerobik yang diakomodasikan dalam empat buah bak (pond). Luas total unit aerobik tersebut adalah 75 x 40 m2 dengan kedalaman 1,5 meter. Waktu Tinggal Td = 60 hari (bila dihitung dari pembagian volume dengan debit diperoleh Td 62,5 hari). Proses aerobik dianggap dapat terlaksana hanya dengan kontak udara di permukaan kolam, tanpa aerator mekanik atau blower. BOD limbah yang keluar dari unit tersebut sekitar 200-230 ppm dengan pH sekitar 7. Dalam pengoperasiannya sebagian dari air limbah yang keluar dari unit anaerobik dipergunakan untuk menyiram tanaman (Rahardjo, 2009). PPKS (Pusat Penelitian Kelapa Sawit) Medan telah mengembangkan teknologi pengolahan LCPKS yang disebut RANUT (Reaktor Anaerobik Unggun Tetap) (Ditjen PPHP Deptan, 2006). Sistem pengolahan tersebut dibuat dalam skala pilot plant. Reaktor berdiameter 40 cm dan tinggi 250 cm, serta berjumlah dua buah. Didalamnya terdapat unggun tetap yang menggunakan media pendukung berupa potongan pipa-pipa PVC (dengan dinding bergelombang). Dalam proses pengolahannya, limbah cair dari kolam fatpit mengalir ke dalam RANUT pertama dari bawah ke atas. Sebagian cairannnya diresirkulasikan untuk mengencerkan limbah cair yang baru masuk dan menaikkan pH nya, sedangkan sebagian besar cairannya mengalir ke dalam RANUT kedua yang mempunyai arah aliran dari atas ke bawah. Cairan dari RANUT kedua sudah dapat memenuhi ketentuan BML (baku mutu lingkungan) dibuang ke badan air penerima. Gas yang dihasilkan dari proses anaerobik ditampung dan diukur dengan menggunakan Gas Meter (Ditjen PPHP Deptan, 2006). Hasil dari percobaan dalam pengoperasian RANUT menunjukkan bahwa kecepatan pengurangan COD sebagai fungsi dari laju pembebanan tidak memperlihatkan perbedaan berarti antara reaktor pertama dan kedua. Laju pembebanan sebesar 8 kg O2/m3/hari dapat menghasilkan laju degradasi sebesar 90%. Laju pembebanan maksimum yang digunakan adalah 10,5 kg O2/m3/hari. Waktu penahanan hidrolisis minimum adalah 1,3 hari, sedangkan maksimum 20 hari. Produksi gas spesifik sekitar 0,55 m3/kg COD terlarut. Kandungan gas metana
10
bervariasi antara 62% sampai 67%, dengan rata-rata sebesar 64%. Kebutuhan energi dalam mengoperasikan sistem tersebut hanya untuk memompa limbah cair dan resirkulasi cairan. Energi yang dibutuhkan sebesar 4 KWh per m3 limbah cair yang diolah per meter tinggi reaktor. Pada skala penuh dibutuhkan listrik sekitar 36 KWh per m3 limbah cair yang diolah. Perbandingan antara energi listrik yang dibutuhkan dengan potensi energi listrik yang dihasilkan menunjukkan bahwa kebutuhan listrik 0,035 KWh/m3 limbah cair sangat kecil dibandingkan dengan potensi produksi 16-32 KWh/H/m3 (Ditjen PPHP Deptan, 2006). Satu kelemahan dalam sistem RANUT adalah adanya kemungkinan terjadinya penyumbatan dalam reaktor karena terbentuknya biofilm yang berlebihan dan timbulnya endapan disekitarnya. Jika limbah cair mengandung terlalu banyak padatan tersuspensi (lebih dari range 1000-5000 mg/l), maka pertumbuhan bakteri akan terlalu cepat dan hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya penyumbatan dalam reaktor. Resiko terjadinya penyumbatan pada reaktor kedua (aliran dari atas ke bawah) adalah lebih besar lagi, dengan demikian keterbatasan dari penggunaan sistem RANUT tersebut adalah COD terlarut berkisar antara 6 dan 8 kg/m3/hari dengan jumlah padatan tersuspensi tidak lebih dari 5000 mg/l (Rahardjo, 2009). Dalam upaya meningkatkan efisiensi pengolahan limbah cair pabrik kelapa sawit, Ahmad et al. (2012), telah melakukan pengujian bioreaktor hibrid anaerobik dengan menggunakan media amobilisasi sel yang berbeda yakni media tandan kosong sawit dan media pelepah sawit dalam mengantisipasi perubahan secara tibatiba laju alir umpan akibat peningkatan produksi pabrik kelapa sawit. Hasil penelitian Ahmad et al. (2012), menunjukkan bahwa bioreaktor hibrid anaerobik yang diuji dengan peningkatan laju alir umpan secara tiba-tiba pada laju alir umpan 3.750 L/hari, 5.000 L/hari dan 7500 L/hari mempunyai rasio asam lemak volatil dengan alkalinitas dibawah 0,1, sehingga sistem mempunyai kestabilan yang tinggi. Dengan demikian, peningkatan laju alir umpan secara tiba-tiba tidak mempengaruhi kinerja bioreaktor hibrid anaerobik fasa tunggal karena kestabilan bioreaktor relatif tinggi sehingga proses pengolahan limbah cair berlangsung dengan baik. 2.3 Dekomposisi Anaerobik 2.3.1 Proses Dekomposisi Anaerobik Di Indonesia teknologi perombakan (dekompisisi) anaerobik merupakan salah satu bagian strategi pengelolaan air limbah atau buangan industri yang cukup berdayaguna dan efektif. Penerapan teknologi tersebut selain murah dan praktis untuk buangan dengan beban organik, mampu mereduksi energi terkandung dalam limbah untuk pengelolaan lingkungan. Perombakan anaerobik secara luas digunakan untuk memantapkan padatan organik terkonsentrasi (memadat/lumpur), dengan BOD lebih besar dari 10.000 mg/l, dipindahkan dari tangki-endap, filter biologik, dan pembangkit lumpur aktif. Beberapa pembangkit menggunakan perombak anaerobik sebagai langkah pertama membuang kelebihan zat nitrogen dari aliran sisa sebelum perlakuan aerob (Romli, 2010). Perombakan anaerobik secara alami terjadi di sedimen sungai/aliran dan kolam yang tidak teraerasi cukup, yang mengubah senyawa karbon menjadi gas metana, nitrogen dan asam sulfida (penyusun gas rawa dan sawah), sebagai pengganti karbon dioksida maupun air yang dihasilkan dalam perombakan aerob.
11
Dalam lingkungan anaerobik mikroorganisme berperan membebaskan metana dari asam asetat antara lain Methanosarcina, Methanococcus, Methanobacterium, dan Methanobacillus.Gambar 2.1 menunjukkan proses perombakan yang terjadi pada digester anaerobik. Senyawa Organik Komplek
Protein
Karbohidrat
Lemak
Asam Amino
Gula Sederhana
Asam Lemak
Hidrolisis
H2S, NH3 Fermentasi
Asam volatil, Alkohol
H2
CO2
Asetogenesis Asam Asetat
H2
CO2
Metanogenesis CO2 Gambar 2.1
CH4
Skema Biodegradasi Anaerobik Bahan Organik Kompleks (Romli, 2010)
(1) Hidrolisisis. Tahap hidrolisis merupakan tahapan yang paling awal terjadi pada proses anaerobik, dalam tahap tersebut terjadi pemecahan dari senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana (monomer). Senyawa kompleks tersebut, antara lain adalah protein, karbohidrat, dan lemak, dimana dengan bantuan eksoenzim dari bakteri anaerobik, senyawa tersebut akan diubah menjadi monomer (Deublein et al., 2008). Bakteri yang berperan dalam tahapan hidrolisis tersebut Clostridium yang dapat mendegradasi limbah yang mengandung selulosa. Protein dihidrolisis dengan adanya enzim protease dan peptidase, sedangkan lemak yang terdapat dalam bahan baku dihidrolisis dengan adanya enzim lipase yang diekresi oleh bakteri Clostridium. (2) Acidogenesis atau fermentasi. Tahap perombakan bahan hasil hidrolisis menjadi bahan organik yang lebih sederhana seperti keton dan alkohol. Menurut Romli (2010), tahap acidogenesis merupakan tahapan perombakan bahan organik hasil hidrolisis yang difermentasi menjadi berbagai produk akhir, meliputi asam-asam format, asetat, propionat, butirat, laktat, suksinat, etanol, karbondioksida, dan gas hidrogen. Pembentukan asam-asam organik tersebut terjadi dengan bantuan bakteri, seperti Pseudomonas, Eschericia, Flavobacterium, dan Alcaligenes (Deublein and Steinhauser, 2008).
12
(3) Acetogenesis. Acetogenesis adalah tahap pembentukan senyawa asetat, karbondioksida dan hidrogen. Menurut Romli (2010), bakteri metanaogen tidak dapat menggunakan produk-produk fermentasi atau hasil dari tahap acidogenesis dengan atom karbon lebih dari dua untuk pertumbuhannya. Bakteri ini hanya menggunakan sumber-sumber energi sederhana, misalnya asetat, metanol, metilamin, CO2, dan H2. Produk-produk dari tahapan acidogenesis seperti asam propionat, butirat dan etanol perlu dikonversi terlebih dahulu menjadi asam asetat sebelum digunakan oleh bakteri metanogenik. Dalam proses oksidasi tersebut dihasilkan hidrogen dan karbondioksida, dan bakteri yang berfungsi untuk proses konversi tersebut dikenal dengan bakteri asetogen. Selain dari oksidasi propionat dan butirat serta etanol, asam asetat juga dihasilkan oleh bakteri homoasetogen. Bakteri tersebut mengkonversi karbondioksida dan hidrogen menjadi asam asetat. Bakteri yang melakukan konversi tersebut adalah Acetobacterium woodee dan Clostridium aceticum. (4) Metanogenesis merupakan proses yang sangat penting dalam digester anaerobik. Selama proses metanogenesis karbondioksida direduksi menjadi metana dan air, asetat dikonversi menjadi metana dan karbondioksida. Bakteri penghasil metana antara lain Methanococcus, Methanobacteria, dan Methanosarcina. Kebanyakan bakteri metanogen bersifat mesofilik dengan kisaran suhu optimum 20oC-40oC, namun bakteri metanogen juga dapat ditemui pada suhu termofilik. Terbentuknya gas metana terjadi karena adanya reaksi dekarboksilasi asetat dan reduksi CO2 (Deublin and Steinhauser, 2008), sebagai berikut: CH3COOH CO2 + 4 H2
CH4 + CO2 (dekarboksilasi asetat) CH4 + 2 H2O (reduksi CO2)
Terdapat dua kelompok utama bakteri yang bertanggung jawab dalam pembentukan metana, yaitu bakteri metanogen asetoklastik dan bakteri metanogen pengguna hidrogen. Metanogen asetoklastik mekonversi asam asetat menjadi metana, sedangkan metanogen pengguna hidrogen melakukan penyisihan hidrogen untuk menghasilkan metana. Menurut Romli (2010), mekanisme reaksi pada fermentasi anaerobik dilakukan melalui empat tahap, yaitu sebagai berikut : (1) Acid forming bacteria menguraikan senyawa glukosa menjadi : a. C6H12O6 + 2 H2O
CH3COOH + 2 CO2 + 4 H2 (asam asetat)
b. C6H12O6
CH3CH2CH2COOH + 2 CO2 + 2 H2 (asam butirat)
c. C6H12O6 + 2 H2
2 CH3CH2COOH + 2 H2O (asam propionat)
(2) Acetogenic bacteria menguraikan asam propionat dan asam butirat menjadi : a. CH3CH2COOH
CH3COOH + CO2 + 3 H2 (asam asetat)
13
b. CH3CH2CH2COOH
2 CH3COOH + 2 H2 (asam asetat)
(3) Acetoclastic methane menguraikan asam asetat menjadi : CH3COOH
CH4 + CO2 (metana)
(4) Methane bacteria mensintesa hidrogen dan karbondioksida menjadi : 4 H2 + CO2
CH4 + 2 H2O (metana)
Digester anaerobik dapat berupa digester satu tahap atau digester dua tahap. Digester satu tahap terdiri dari sebuah tangki digester yang digunakan untuk mengolah limbah cair yang biasanya tidak kontinyu. Sedangkan digester dua tahap terdiri dari dua tangki digester yang disusun secara seri. Dalam proses perombakan bahan organik, pada digester dua tahap, tahapan pertama digunakan sebagai unit pencampuran secara kompleks dan optimasi dekomposisi oleh bakteri perombak. Sedangkan tahapan kedua untuk mengolah supernatan yang keluar dari digester pertama (Romli, 2010). Biokonversi anaerobik bahan organik adalah suatu teknologi yang dikembangkan untuk melindungi lingkungan melalui pengelolaan limbah dan air limbah. Produk akhir biokonversi anaerobik adalah biogas, campuran metana dan karbon dioksida yang bermanfaat sebagai sumber energi terbarukan. Perombakan anaerobik merupakan proses sederhana secara teknologi membutuhkan energi rendah untuk mengubah bahan organik dari berbagai jenis air limbah, buangan padat dan biomas menjadi metana. Aplikasi biokonversi anaerobik yang lebih luas, menjadi kebutuhkan dalam usaha menuju pembangunan berkelanjutan dan produksi energi terbarukan. Kecenderungan tersebut didukung oleh pertumbuhan kebutuhan pasar akan energi "hijau" oleh optimisasi substansial biokonversi anaerobik, terutama perkembangan modern sistem ko-perombakan dan "laju tinggi" (Romli, 2010). Sistem pengolahan dengan perombak anaerobik laju tinggi seperti reaktor UASB (Upflow Anaerobikic Sludge Blanket), Filter Anaerobik (Anaerobikic Filter) dan Proses Kontak (Anaerobik Contact Process) kurang layak untuk perombakan jenis lumpur, tetapi baik dikonsentrasikan pada air limbah (limbah cair) dan atau bagian dari suatu sistem beberapa fase. Waktu tinggal lumpur lebih lama dibanding waktu tinggal hidraulik, karena kotoran tertahan dalam reaktor. Sistem laju tinggi lebih baik untuk aliran limbah dengan padatan mengendap rendah (Romli, 2010). 2.3.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perombakan Anaerobik Perombakan anaerobik merupakan proses biologis, yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Faktor pengendali utama antara lain, suhu, pH, dan senyawa beracun (Poh dan Cong, 2009). Proses perombakan anaerobik untuk pembentukan biogas dipengaruhi oleh dua faktor yaitu biotik dan abiotik. Faktor biotik berupa mikroorganisme dan jasad aktif di dalam proses perombakan sistem anaerobik. Faktor abiotik meliputi pengadukan, suhu, pH, substrat, kadar air substrat, rasio C/N dan P dalam substrat dan kehadiran bahan toksik (Poh dan Cong, 2009).
14
Suhu merupakan faktor penting yang mempengaruhi aktifitas mikroorganisme. Suhu optimal proses perombakan anaerobik (fermentasi) dibedakan menjadi tiga macam yaitu suhu termofil (45-60)oC untuk penghancuran cepat dan produksi tinggi (m3 gas/m3 bahan per hari) serta waktu retensi pendek bebas dari desinfektan, suhu mesofil 27-40oC (suhu kamar ruang/lingkungan), dan suhu kryofil < 22oC (banyak dipengaruhi udara musim sedang, biaya relatif lebih murah) (Metcalf and Eddy, 2003). Pada kondisi kryofilik (5-25oC), proses perombakan berjalan lambat. Pada kondisi mesofilik (30-40oC), perombakan berlangsung cukup baik dan terjadi percepatan proses perombakan dengan kenaikan suhu, serta kondisi termofilik (45-65oC) untuk bakteri termofil dengan perombakan optimal pada 55oC (Poh dan Cong, 2009). Proses perombakan anaerobik sangat peka terhadap perubahan suhu, suhu optimal termofil umum pada kisaran 52-58oC, namun dampak negatif dapat terjadi pada suhu lebih tinggi dari 60oC. Hal tersebut disebabkan oleh toksisitas ammonia meningkat dengan meningkatnya suhu, sementara pengenceran substrat pada suhu tinggi memudahkan difusi bahan terlarut. Di lain pihak pada suhu di bawah 50oC laju pertumbuhan bakteri termofil rendah dan lebih rendah dari pada laju tinggal hidraulik. sehingga populasi mikroorganisme dapat tercuci (washout) (Deublein and Steinhauser, 2008). Waktu tinggal merupakan faktor penting, periode waktu tetap dipertahankan antara laju beban ke dalam perombak dan potensi penghilangan bahan yang dicerna (digestat). Dua faktor tersebut saling berhubungan dan karena itu mempertahankan kondisi optimal kedua parameter penting untuk meningkatkan efisiensi proses perombakan. Perombak anaerobik efisien adalah reaktor yang menghasilkan banyak biogas atau jumlah biomas lebih banyak tercernak. Kondisi tersebut dapat dilakukan dengan mengoperasikan reaktor pada beban input biomas tinggi atau dengan menurunkan waktu tinggal. Pada kondisi operasi sama perombak termofil lebih efisien dari pada perombak mesofil (Poh dan Cong, 2009). Menurut Sompong et al. (2008), keuntungan proses termofil dibandingkan dengan proses mesofil adalah sebagai berikut : (a) Waktu tinggal organik dalam pembangkit biogas lebih singkat karena laju pertumbuhan bakteri termofil lebih tinggi dibandingkan dengan laju pertumbuhan bakteri mesofil. (b) Pembasmian organisme patogen lebih baik, ini merupakan keuntungan sangat penting (c) Meningkatkan pemisahan bahan padatan dari fase cair (d) Degradasi asam lemak rantai panjang lebih baik (e) Residu pembentukan biomas rendah (f) Meningkatkan kelarutan dan ketersediaan substrat. Kerugian proses termofil antara lain derajat ketidakstabilan tinggi, jumlah konsumsi energi lebih tinggi/besar, dan risiko hambatan ammonia tinggi (Sompong et al., 2008). Interval pH selama pembentukan biogas adalah 6,8-8,5 dan nilai pH di luar interval tersebut dapat menyebabkan proses tidak seimbang. Parameter pH berpengaruh pada pertumbuhan bakteri dan mempengaruhi disosiasi amonia, sulfida dan asam-asam organik, yang merupakan senyawa penting untuk proses perombakan anaerobik. Tingkat keasaman perombak anaerobik terutama dikendalikan sistem penyangga bikarbonat yang juga dikendalikan oleh tekanan parsial CO2 dan konsentrasi alkali maupun komponen asam fase cair. Beberapa senyawa seperti asam
15
organik dan karbon dioksida menyebabkan penurunan nilai pH, sebaliknya senyawa seperti amonia akan meningkatkan nilai pH. Nilai pH pada reaktor termofil lebih tinggi dari pada reaktor mesofil (Bitton, 1999). Pembentukan asetat berlangsung selama degradasi substrat dalam perombak anaerobik, tetapi akumulasi asetat tidak dapat diketahui langsung dari nilai pH yang menurun. Konsentrasi asetat akan melebihi konsentrasi yang dapat dideteksi sebagai perubahan pH. Oleh karena itu, jika pH dalam reaktor berkurang, hal tersebut menunjukkan konsentrasi asetat tinggi sehingga proses perombakan terhambat. Nilai pH bukan indikator yang baik untuk ketidakseimbangan fermentasi biomas kotoran hewan. Nilai pH yang umum untuk proses fermentasi LCPKS berkisar pH 6,7-8,5, perubahan pH tiba-tiba merupakan isyarat pemberian pakan melimpah. Bakteri campuran terlibat dalam proses perubahan bentuk (tranformasi) senyawa organik kompleks dengan bobot molekul tinggi menjadi metana. Interaksi sinergi diantara berbagai kelompok mikroorganisme terjadi pada perombakan anaerobik LCPKS. Dalam kondisi anaerobik asam asetat (cuka) direduksi menghasilkan gas metana oleh Methanosarcina, Methanococcus, Methanobacterium, dan Methanobacillus. Terdapat dua kelompok bakteri metanogen penting pada proses anaerobik, yaitu metanogen hidrogenotrofik (menggunakan H/ kemolitotrofik) mengubah hidrogen dan CO2 menjadi metana, dan metanogen asetotrofik (asetoklastik) metanogen pemisah asetat, mengubah asetat menjadi metana dan CO2 (Bitton, 1999). Aktifitas mikroorganisme membutuhkan beberapa jenis unsur hara, bergantung pada komposisi kimia bahan sel. Konsentrasi minimum unsur hara yang dibutuhkan sebaiknya ada dalam substrat/media agar dapat menjadi pakan organisme perombakan anaerobik (Wellinger, 1999). Nutrisi itu adalah hidrogen, nitrogen, oxigen, dan carbon sebagai bahan utama penyusun bahan organik. Sulfur untuk sintesis asam amino, fosfor adalah komponen penting dalam asam nukleat. Kalium, kalsium, magnesium, dan besi dibutuhkan untuk aktifitas enzim dan komponenkomponen logam kompleks. Sepuluh unsur di atas sebaiknya terdapat dalam konsentrasi sekitar 10-4 M. unsur lain yang sebaiknya terdapat dalam konsentrasi lebih kecil, misalnya Nikel (Ni) penting untuk pertumbuhan bakteri anaerobik. Konsentrasi tinggi Ca, Mg, K dan Na dapat menjadi faktor penghambat. Sementara konsentrasi rendah (0,01-0,005 M) kation-kation sel tersebut dapat aktif dan meningkatkan proses perombakan, akibatnya terjadi hubungan antar kation-kation berbeda (Wellinger, 1999). Bahan baku (substrat) dengan rasio C/N tinggi dicampur dengan rasio C/N rendah akan memberikan rerata rasio komposisi input sesuai kadar optimal produksi biogas yang diinginkan. Seperti di Cina, rasio C/N seimbang diperoleh dari campuran sekam padi pada dasar perombak dengan kotoran/limbah domestik. Di Nepal dan India pengumpanan perombak dengan kotoran gajah dicampur limbah kotoran manusia memungkinkan keseimbangan rasio C/N mendorong produksi biogas stabil. Jenis limbah (substrat) peternakan umum kandungan nitrogen (N) tinggi dibandingkan kadar karbon (C). Rasio karbon terhadap nitrogen limbah yang ditambahkan ke perombak sebaiknya berbanding 20 bagian C dan 1 bagian N (1619:1) untuk memperoleh produksi optimum metana. Residu panen pertanian dan sayuran, biasanya berkadar N rendah tapi tinggi kadar C, dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kinerja perombak dengan mencampur kadar N tinggi limbah peternakan, dan dapat memberi lebih baik rasio C:N untuk produksi biogas (Wellinger, 1999). Konsentrasi substrat (rasio C:N:P) terkait kebutuhan nutrisi
16
mikroorganisme, homogenitas dan kandungan air padatan tersuspensi (SS); padatan total (TS) dan asam lemak volatil (VFA) (Bitton, 1999). Senyawa kompleks organik tidak dapat dimanfaatkan secara langsung oleh bakteri didalam proses metabolisme, karena membran sel bakteri hanya dapat dilewati oleh senyawa organik sederhana seperti glukosa, asam amino dan asam lemak volatil. Proses penguraian senyawa kompleks organik menjadi senyawa organik sederhana berlangsung pada proses hidrolisis yang dilakukan oleh kelompok bakteri hidrolitik. Limbah cair mengandung senyawa kompleks organik pengendali proses terletak pada tahap hidrolisis, karena proses hidrolisisnya lebih lambat dibanding tahap proses lain. Senyawa kompleks organik dihidrolisis mengikuti kinetika reaksi orde satu. Hidrolisis akan mempengaruhi kinetika proses keseluruhan karena tahap yang berlangsung paling lambat dapat mempengaruhi laju keseluruhan (Ahmad et al., 2001). Biomasa yang digunakan pada proses hidrolisis terlebih dulu diadaptasikan pada substrat yang digunakan. Proses hidrolisis karbohidrat menjadi senyawa terlarut berlangsung atas bantuan enzim ekstraseluler yang dikeluarkan oleh kelompok bakteri hidrolitik. Proses hidrolisis protein dilakukan oleh enzim protesase menjadi polipeptida dan asam amino (Ahmad et al., 2001). Enzim protease terdiri dari peptidase dan proteinase, yang dihasilkan oleh satu genus yaitu Clostridium. Laju reaksi hidrolisis susbstrat tunggal lebih cepat dibanding substrat campuran, karena dalam susbstrat tunggal hanya terdapat satu komponen yang dihidrolisis tanpa gangguan oleh komponen lain, sedang substrat campuran terjadi hidrolisis multi-komponen secara simultan dan menghambat laju hidrolisis. Senyawa paling lambat dihidrolisis adalah minyak dan lemak, karena konstanta hidrolisis terkecil, berarti minyak atau lemak merupakan faktor pengendali dalam proses hidrolisis campuran maupun tunggal. Hidrolisis protein pada kondisi anaerobik adalah lebih rendah dibanding laju hidrolisis karbohidrat. Ahmad et al. (2001), menyatakan bahwa lipid terhidrolisis dengan sangat lambat dan lipid menjadi pembatas laju keseluruhan hidrolisis. Pada kondisi termofil degradasi lipid non polar sangat lambat dibanding dengan komponen polar demikian pula dalam biodegradasi senyawa kompleks organik secara anaerobik. Penguraian senyawa komplek mengikuti kinetika reaksi hidrolisis orde satu. Laju reaksi hidrolisis karbohidrat pada substrat lebih cepat dibandingkan laju reaksi protein. Senyawa mudah didegradasi misalnya, protein dan lemak dapat menghambat proses perombakan anaerobik. Senyawa-senyawa tersebut mengandung asam lemak rantai panjang dalam jumlah berlebihan dapat menghambat mikroorganisme dalam pembangkit biogas. Penambahan senyawa secara mendadak ke dalam digester dapat menghambat proses perombakan anaerobik, tetapi bergantung pada kecepatan proses hidrolisis, dengan proses fermentasi berikutnya. Umumnya lipid memiliki kandungan energi tinggi dan kandungan itu dapat didegradasi sempurna menjadi biogas. Jika pembangkit biogas diadopsi untuk mendegradasi konsentrasi tinggi lemak, banyak produksi biogas dapat diperoleh. Efek yang sama terhadap protein juga dapat terjadi. Biomasa dengan kandungan protein tinggi dapat menghambat proses perombakan. Oleh karena itu, diperlukan periode waktu tinggal lebih lama jika input biomas memiliki kandungan protein tinggi. Periode waktu cukup diperlukan agar supaya pemecahan sempurna protein menjadi satuan yang lebih kecil (Ahmad ., 2001). Beberapa unsur dapat menyebabkan kematian bakteri anaerobik, misalnya logam berat dan pelarut organic, tetapi banyak pula senyawa-senyawa racun dapat
17
diserap oleh bahan netral dalam perombak, dengan demikian proses perombakan dapat terhindar dari efek negatif (Ahmad et al., 2003). Senyawa dan ion tertentu dalam substrat dapat bersifat racun, misalnya senyawa dengan konsentrasi berlebihan ion Na+ dan Ca+ > 8 g/l; K+>12 g/l; Mg++ dan NH4+ > 3 g/l, sedangkan Cu, Cr, Ni dan Zn dalam konsentrasi rendah dapat menjadi racun bagi kehidupan bakteri anaerobik (Bitton, 1999). Biasanya pengadukan diputar perlahan sekitar 15-50 rpm, begitu pula tidak semua jenis dapat disesuaikan untuk semua substrat. Pengaduk pneumatik dan hidraulik terbatas untuk mengencerkan substrat, misalnya kotoran babi dengan potensi pembentukan skum rendah. Pengaduk bentuk kapak digunakan untuk kotoran sapi yang mengandung banyak jerami, tetapi juga dapat digunakan pada substrat yang lebih encer. Pengaduk yang paling banyak digunakan adalah penyampur pendorong, lebih lentur terhadap komposisi substrat dan bentuk maupun ukuran perombak (Wellinger, 1999). Proses perombakan anaerobik juga dipengaruhi oleh beberapa faktor ketidakseimbangan. Perombakan anaerobik merupakan proses kompleks bergantung pada keseimbangan antara senyawa dan unsur yang ada. Demikian juga proses tersebut bergantung pada interaksi antara kelompok-kelompok bakteria dan keseimbangan senyawa sebagai pakan diantara jenis mikroorganisme vital agar diperoleh hasil biogas terbesar. Dampak negatif dapat terjadi oleh ketidakseimbangan, sehingga fermentasi anaerobik secara total dapat berhenti atau menurun. Menurut Wellinger (1999), alasan-alasan utama ketidakseimbangan proses terebut adalah sebagai berikut: (a) Beban hidraulik berlebihan terjadi jika waktu tinggal dalam perombak anaerobik lebih singkat dibandingkan laju pertumbuhan bakteri. Bakteri dalam reaktor tidak cukup waktu tumbuh dan akan tercuci (wash-out). Kenyataan beban hidraulik berlebih bila volume efektif reaktor menurun karena akumulasi bahan inert (misal: lumpur dan pasir). Beban organik berlebihan dapat terjadi ketika kandungan bahan organik tinggi dibebankan ke dalam reaktor. Pada kondisi demikian bakteri tidak mampu memecah senyawa organik, sehingga proses perombakan anaerobik akan berjalan lamban. (b) Bahan racun dapat berupa senyawa yang sudah ada dalam biomasa atau senyawa yang dihasilkan selama proses fermentasi anaerobik. Hal tersebut dapat terjadi jika biomasa kaya protein dicernak, menghasilkan sejumlah besar ammonia yang menyebabkan hambatan ammonia. Fermentasi dapat juga menjadi lambat jika biomas terolah mengandung konsentrasi lemak yang tinggi, didegradasi menjadi senyawa beracun (asam lemak rantai panjang). (c) Substrat asetogenik berlebih meski tidak toksis, kenaikan konsentrasi asam organik merupakan peringatan bahwa produksi asam berlebih dari pada yang dikonsumsi. Pemberian umpan (beban organik) yang tidak seimbang dapat menyebabkan kenaikan konsentrasi asam organik. Oleh karena itu, konsentrasi dan komposisi asam sebaiknya diukur dalam interval waktu lebih sempit dari pada respons. Ketidakseimbangan proses dapat diketahui dari konsentrasi H2 dan CO. 2.4 Produksi Biogas Gas metana merupakan gas hasil fermentasi anaerobik dari bahan organik. Campuran gas metana (CH4), karbondioksida(CO2), sedikit gas hydrogen (H2),
18
hidrogen sulfida (H2S), serta nitrogen (N2) tersebut dikenal dengan istilah biogas. Biogas mengandung 60-70% metana dan sisanya merupakan gas-gas lainnya. Khanal (2008) menyatakan bahwa senyawa organik kompleks seperti protein, karbohidrat, dan lemak ditransformasi menjadi produk-produk yang lebih sederhana seperti asam amino, gula-gula sederhana, dan asam lemak berantai panjang serta gliserin, melalui aktivitas enzim ekstraseluler yang dihasilkan oleh bakteri fermentatif. Mikroorganisme anaerobik dapat mengkonversi biomassa menjadi bioenergi. Pada fermentasi anaerobik, bahan organik berperan sebagai elektron donor dan aseptor. Hal yang penting adalah porsi yang mendominasi dalam pembentukan metana adalah hasil fermentasi anaerobik yakni asetat sebagai elektron donor dan elektron akseptor. Produksi metana seperti itu dikenal sebagai acetotrophic methanogenesis (Khanal, 2008). Menurut Rahardjo (2009), untuk mengefektifkan proses perombakan dalam proses anaerobik maka perlu diperhatikan faktor sirkulasi atau pengadukan yang berfungsi untuk mempertinggi singgungan antara bakteri dengan substrat sehingga aktivitas bakteri dapat berjalan lebih cepat. Biogas hasil perombakan anaerobik limbah organik terutama tersusun atas metana 55-70%, karbon dioksida 30-45%, sedikit hidrogen sulfida, amonia maupun gas lain yang konsentrasinya kurang dari 1%, diantaranya hidrogen, nitrogen, karbon monoksida dan hidrokarbon terhalogenasi serta siloxan. Gas pengotor (impuritis) tersebut harus dihilangkan, karena dapat menyebabkan korosi, endapan dan beban peralatan. Substansi yang perlu diperhatikan antara lain: H2S; Siloxan; Senyawa Aromatik; CO2 ; Oksigen dan Nitrogen serta senyawa halogen (Cl2-F2). Biasanya gas campuran jenuh dengan uap air, juga terdapat partikel debu (Kapdi et al., 2004). Mutu biogas sebagai bahan bakar setidaknya mengandung 85% metana dan 14% nitrogen. Untuk menghilangkan sejumlah senyawa-senyawa tersebut banyak proses dikembangkan, agar biogas efektif sebagai bahan bakar kendaraan dengan konsentrasi metana meningkat. Hal tersebut dapat dilakukan terutama dengan menghilangkan karbondioksida, dan meningkatkan nilai energi gas melalui perbaikan sistem penyimpanan volume gas sehingga pemanfaatannya lebih lama. Penghilangan karbondioksida memberi kualitas biogas konstan termasuk nilai energi (kalor). Saat ini terdapat empat metode berbeda secara komersial digunakan untuk menghilangkan karbondioksida, untuk mencapai baku mutu bahan bakar kendaraan atau kualitas gas alam yang diinjeksikan dalam jaringan gas alam, yakni: 1) proses perombakan dan 2) proses upgrading biogas hasil perombakan (Kapdi et al., 2004). Dua metode umum digunakan untuk menghilangkan H2S adalah aerasi dan pemberian FeCl3 ke dalam lumpur perombak. Asam sulfida (H2S) selalu ada dalam biogas walau konsentrasinya bervariasi. Senyawa tersebut yang harus dihilangkan untuk menghindari korosi pada kompresor, tangki penyimpan gas maupun mesin. H2S sangat reaktif, pada kebanyakan jenis logam dan reaktifitasnya meningkat sejalan bertambahnya konsentrasi dan tekanan, juga adanya air dan penurunan suhu. Oleh karena itu H2S harus segera dihilangkan pada proses peningkatan mutu biogas. Metode komersial yang sangat umum digunakan untuk menghilangkan H2S adalah spons besi, pelet oksida besi, karbon aktif, penyerap air, penyerap NaOH, cara filter bed, dan striping maupun rekoveri udara, absorpsi air, absorpsi poliethilen glykol, saringan molekul karbon dan pemisahan membran (Kapdi et al., 2004) . Pemanfaatan biogas dalam teknologi pembakaran mesin internal (mesin berbahan bakar gas/BBG), sangat andal dan telah berkembang. Ribuan mesin bbg telah dioperasikan di areal/ satuan-satuan pengelolaan limbah, tempat-tempat
19
landfill, dan pembangkit biogas. Ukuran mesin gas berkisar kira-kira 12 kW pada peternakan kecil hingga ukuran beberapa MW pada skala besar dan di tempat-tempat sampah dengan skala lebih luas. Sebuah mesin diesel dapat diperbaiki kembali menjadi mesin berbahan bakar gas atau mesin berbahan bakar ganda (hybrid) kirakira 8-10 % disel diinjeksikan untuk pemanasan mesin (ICRA, 2005). Penyimpanan biogas dibutuhkan banyak tabung gas, kompresor serta gasometer tutup apung pengatur tekanan gas untuk keperluan rumah tangga. Bentuk gas tidak sekompak bentuk cair, tetapi setidaknya dapat digunakan untuk sarana angkutan lokal. Meskipun bahan bakar ideal untuk kendaraan berbentuk cair, namun pencairan metana memerlukan biaya atau energi besar, sekitar 20-30% dari biaya produksi, tergantung skala produksi (Kapdi ., 2004). 2.5 Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu Limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS) merupakan sumber pencemar lingkungan yang serius jika langsung dibuang di sungai, hal ini disebabkan oleh nilai COD dan BOD yang sangat tinggi (Chan et al., 2012). Oleh karena itu, LCPKS harus diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke perairan umum. Di sisi lain LCPKS dengan nilai COD yang tinggi memiliki potensi sebagai sumber energi. Saat ini, banyak penelitian telah dilakukan dengan tujuan untuk menangani sekaligus memanfaatkan LCPKS sebagai sumber energi (gas metana). Penelitian dengan tujuan untuk mempercepat proses penurunan nilai COD LCPKS dan mendapatkan energi dari degradasi COD LCPKS telah dilakukan oleh Mohammadi et al. (2011). Perlakuan penelitian tersebut adalah cara aktivasi mikroorganisme pada sludge LCPKS, yaitu perlakuan bahan kimia (kloroform 0,1%), perlakuan asam (HCl 6 N), perlakuan heat-shock (100oC selama 1 jam), perlakuan pembekuan dan pencairan, dan perlakuan basa (NaOH 2 N). Sludge yang telah diaktivasi selanjutnya digunakan sebagai sumber mikroorganisme yang digunakan untuk fermentasi pembuatan biogas dari LCPKS. Jumlah sludge yang digunakan adalah 10 % dari total LCPKS. Fermentasi dilakukan pada suhu 35oC, kecepatan agitasi 120 rpm, pH awal diatur 5,5. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan heat-shock merupakan perlakuan yang paling sederhana dan bermanfaat. Hal ini karena mampu menghasilkan rendemen H2 0.41 mmol H2/g COD dan Penyisihan COD 86% (Mohammadi et al., 2011). Abdurahman et al. (2011), menyatakan bahwa sistem membran anaerobik (MAS = membrane anaerobic system) untuk menangani LCPKS merupakan alternatif yang murah dan efektif. Secara keseluruhan hasil penelitian menunjukkan bahwa efisiensi penyisihan COD meningkat dari 96,6% menjadi 98,4% dengan waktu retensi hidrolik (HRT) dari 600,4 menjadi 6,8 hari. Pada kondisi steady states pertama tercapai pada COD umpan 60.000 mg/L; COD permeate 997 mg/L; produksi gas 250,5 L/hari; rendemen gas total 0,25 L/g Penyisihan COD/hari dengan persentase gas metana 72 %; produktivitas gas CH4 0,25 L/g COD/hari. Pada kondisi steady states keenam tercapai pada COD umpan 87.000 mg/L; COD permeate 1.400 mg/L; produksi gas 420 L/hari; rendemen gas total 0,85 L/g Penyisihan COD/hari dengan persentase gas metana 67,7 %; produktivitas gas CH4 0,57 L/g COD/hari. Menurut Khemkhao et al. (2011), peningkatan kinerja bioreaktor jenis upflow anaerobic sludge bed (UASB) untuk penanganan POME dapat dilakukan dengan penambahan kitosan. Penambahan citosan dengan konsentasi 2 mg/g padatan dilakukan pada awal fermentasi POME pada suhu 37oC. Suhu selama proses
20
fermentasi ditingkatkan secara bertahap dari 27oC sampai 57oC. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan citosan tersebut mampu meningkatkan produksi biogas secara nyata, terutama pada suhu 57oC. Peningkatan kinerja bioreaktor UASB terjadi karena kitosan dapat membantu proses granulasi lumpur pada POME (Khemkhao et al., 2011). Penanganan POME menggunakan bioreaktor jenis integrated anaerobic– aerobic bioreactor (IAAB) telah dilakukan untuk memperbaiki proses konvensional yang selama ini ada (Chan et al., 2012). IAAB adalah konfigurasi bioreaktor baru yang mengintegrasikan proses anaerobik dan aerobik dalam satu reaktor. Pada penelitian penanganan POME dengan bioreaktor IAAB tersebut suhu bioreaktor sekitar 28oC dengan kapasitas bioreaktor 24 L. Secara keseluruhan efisiensi pengurangan chemical oxygen demand (COD), biochemical oxygen demand (BOD), dan total padatan tersuspensi (TSS) dalam kondisi tunak mencapai lebih dari 99% pada tingkat pembebanan organik (OLR) dari 10,5 g COD/L hari. Pada kondisi tersebut produktivitas metana sebesar 0,24 L metana/g Penyisihan COD dan konsentrasi metana dalam biogas rata-rata 64% (Chan et al., 2012). Choi et al. (2013) mengembangkan sistem gabungan reaktor anaerobik tingkat tinggi (combined high-rate anaerobic reactors) untuk menangani POME. Sistem ini terdiri atas anaerobic hibrid reaktor (AHR) + anaerobic baffled filter (ABF) dan AHR + anaerobic downflow filter (ADF). Sistem dioperasikan pada kondisi mesofilik (36 ± 1oC), pH dalam AHR diatur pada 7 ± 0,5 menggunakan NaHCO3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efisiensi penyisihan COD secara keseluruhan mencapai 93,5%; produksi biogas mencapai 110 L/hari pada OLR 18,9 kg COD/m3/hari; produkstivitas metana mencapai 0,171-0,269 L metana/g Penyisihan COD; dan konsentrasi gas metana berkisar antara 59,5-78,2 %. Keuntungan lainnya dengan gabungan reaktor anaerobik tingkat tinggi adalah pengaturan pH hanya dilakukan pada awal operasi saja. Mahajoeno et al. (2008) melakukan penelitian dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh faktor biotik dan abiotik terhadap total produksi biogas pada fermentasi LCPKS dalam sistem curah skala laboratorium. Perlakuan dalam penelitian tersebut adalah jenis dan jumlah starter, bahan abiotik yang digunakan, yaitu NaOH dan Ca(OH)2, pH, agitasi, dan suhu substrat. Pengaruh faktor abiotik dan biotik terhadap total produksi biogas sama dengan faktor yang mempengaruhi laju produksi biogas, yaitu jenis dan konsentrasi inokulum. Dalam hal ini kondisi terbaik dihasilkan dari kolam anaerobik dengan konsentrasi inokulum 20%. Faktor abiotik Ca(OH)2 dapat meningkatkan total produksi biogas, demikian pula pH netral (7), dan peningkatan suhu. Hal ini terjadi karena proses pembentukan biogas dari perombakan LCPKS dilakukan oleh mikrobia, sehingga jenis dan konsentrasi inokulum sangat perpengaruh terhadap produksi biogas. Substrat dengan pH netral dapat mempercepat pembusukan, sehingga bakteri metanogenik mudah melakukan perombakan substrat membentuk biogas, sehingga produksi biogas meningkat. Agitasi dapat meningkatkan total produksi biogas,karena dengan agitasi kondisi substrat menjadi homogen dan kontak inokulum dengan substrat lebih intensif, sehingga inokulum bekerja lebih optimal. Inokulum yang homogen dan kontak dengan substrat yang merata dapat menyebabkan mikrobia bekerja dengan optimal (Mahajoeno et al., 2008). Suhu dapat mempercepat proses perombakan, sehingga dapat meningkatkan produksi biogas. Pada suhu substrat 40oC dihasilkan biogas relatif lebih tinggi dibandingkan suhu 30°C. Hasil ini menunjukkan bahwa suhu substrat berpengaruh
21
meningkatkan produksi biogas. Hal ini dimungkinkan karena suhu dapat meningkatan reaksi kimia, sehingga memacu peningkatan perombakan senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana, yang dapat dimanfaatkan lebih cepat dan memudahkan aktivitas bakteri metanogenik membentuk biogas (Mahajoeno et al., 2008). Beberapa hasil penelitian tentang kinerja berbagai metode penanganan LCPKS secara anaerobik dapat dilihat pada Tabel 2.2. Tabel 2.2. Kinerja Berbagai Metode Penanganan LCPKS Secara Anaerobik Jenis Bioreaktor
Filtrasi Anaerobik
OLR (kg COD/m3 hari)
HRT (hari)
Konsentrasi Metana (%)
Penyisih an COD (%)
Pustaka
4,50
15
63
94
UASB
10,63
4
54,2
98,4
Fluidized bed
40,00
0,25
DTT
78
Digester Anaerobik
2,16
20
36
80,7
Kolam Anaerobik
1,40
40
54,4
97,8
11,58
3
71,9
97
CSTR
3,33
18
62,5
80
IAAB
10,50
13
64
99
Najafpour et al. (2006) Tong dan Jaafar (2006) Chan et al. (2012)
Sistem gabungan reaktor anaerobik tingkat tinggi (AHR + ABF) dan (AHR + ADF) DTT: data tidak tersedia
18,90
DTT
59,578,2
93,5
Choi et al. (2013)
UASFF
Borja dan Banks (1994a) Borja dan Banks (1994b) Borja dan Banks (1995) Yacob et al. (2005) Yacob et al. (2006)
3 METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian Salah satu masalah besar industri kelapa sawit Indonesia adalah penanganan limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS) yang menghasilkan emisi gas rumah kaca. Penanganan LCPKS selama ini hanya dialirkan ke dalam sistem kolam terbuka dan menjadi masalah lingkungan. Di dalam sistem tersebut, sebagian bahan organik terdegradasi secara anaerobik, membentuk metana dan melepaskannya ke atmosfir yang dapat berdampak negatif terhadap lingkungan baik lokal maupun global. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah penanganan LCPKS dengan menggunakan bioreaktor anaerobik atau dengan sistem kolam tertutup (covered pond system). Sistem tersebut memungkinkan untuk menangkap dan memanfaatkan produksi gas metana sebagai bahan bakar. Gas metana (biogas) hasil dari proses dekomposisi anaerobik bahan organik LCPKS tersebut memiliki
22
kandungan energi dan dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi terbarukan (Suprihatin et al., 2008). Khemkhao et al. (2012) menyatakan bahwa LCPKS yang memiliki organic loading rates (OLR) antara 2,2 dan 9,5 g COD perliter perhari dapat menghasilkan biogas 13,2 liter/hari. Menurut Mahendra (2013), pengolahan LCPKS menjadi energi listrik dapat menghasilkan keuntungan ganda, yaitu keuntungaan dari aspek lingkungan dan keuntungan dari aspek finansial. Kebutuhan energi Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada periode 2012-2031 PT PLN (Persero) memprediksi kebutuhan energi listrik Indonesia akan meningkat rata-rata 10,1% per tahun. Hal ini lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan kebutuhan listrik selama 10 tahun terakhir yang mengalami peningkatan rata-rata 9,2%/tahun (PT. PLN, 2012). Dalam rangka memenuhi kebutuhan energi listrik nasional, pemerintah melakukan diversifikasi energi melalui peningkatan pengembangan energi baru terbarukan, termasuk energi yang berasal dari limbah industri pertanian. Teknologi produksi bioenergi merupakan teknologi tepat guna untuk pengelolaan LCPKS yang memiliki nilai BOD dan COD tinggi. Dari uraian di atas, maka perlu dilakukan identifikasi dan karakterisasi permasalahan secara menyeluruh dan mendalam tentang penanganan LCPKS. Selanjutnya dilakukan formulasi teknologi yang sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan serta dilengkapi analisis strategi implementasi yang tepat untuk mengatasi masalah LCPKS. Secara ringkas kerangka pemikiran konseptual penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.1. KONDISI PENGOLAHAN LCPKS SAAT INI
SISTEM KOLAM TERBUKA (Biaya Tinggi, Emisi Gas Rumah Kaca, Pencemaran Sumber Air, Bau Tidak Sedap)
KEBUTUHAN ENERGI
IDENTIFIKASI DAN KARAKTERISASI PERMASALAHAN PENANGANAN LCPKS
KAJIAN PUSTAKA
ANALISIS KONDISI SUHU TERBAIK PROSES PRODUKSI BIOGAS
KETERSEDIAN TEKNOLOGI
FORMULASI STRATEGI (Analisis internal dan eksternal penanganan LCPKS)
ANALISIS STRATEGI IMPLEMANTASI USULAN IMPLEMENTASI
Gambar 3.1 Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian
23
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian telah dilaksanakan dari bulan Juni 2012 sampai dengan bulan Januari 2013. Tempat penelitian dilaksanakan sesuai tahap-tahap penelitian adalah sebagai berikut: (a) Penelitian identifikasi dan karakterisasi unit penanganan LCPKS serta analisis kandungan teknologi dilaksanakan di seluruh pabrik kelapa sawit di Provinsi Lampung yang berjumlah 13 unit dan berada di lima kabupaten, dengan sebaran sebagai berikut: (1) Kabupaten Lampung Selatan satu unit PKS, (2) Kabupaten Lampung Tengah empat unit PKS, (3) Kabupaten Way Kanan dua unit PKS, (4) Kabupaten Tulang Bawang tiga unit PKS, dan (5) Kabupaten Mesuji tiga unit PKS. (b) Patok duga atau studi banding pemanfaatan metana dilakukan di PTPN V Unit Usaha Tandun Provinsi Riau. (c) Lokasi pengambilan sampel LCPKS dan sludge untuk kondisi suhu terbaik proses produksi biogas adalah PKS milik PTPN VII Unit Usaha Bekri Lampung Tengah. (d) Penelitian analisis suhu proses produksi biogas dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Limbah Agroindustri, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung dan Laboratorium Analisis Politeknik Negeri Lampung. (e) Penelitian analisis IFE (Internal Factor Evaluation), EFE (External Factor Evaluation), SWOT (strength, weakness,opportunity, threat) dan strategi implementasi pengolahan LCPKS menjadi energi dilaksanakan di Provinsi Lampung, Jakarta, dan Bogor. (f) Pengayaan materi dilakukan pada acara-acara seperti seminar, konferensi, workshop yang diselenggarakan oleh Masyarakat Perkelapasawitan Indonesia (MAKSI) di Bogor, Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) di Jakarta, Kementerian ESDM di Bandar Lampung, Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia (IKABI) di Bogor, International Conference and Exhibition of Palm Oil (ICEPO) 2012 dan ICEPO 2013 di Jakarta. 3.3 Tatalaksana Penelitian Pelaksanaan penelitian dibagi menjadi empat tahap yaitu tahap I identifikasi dan karakterisasi permasalahan unit penanganan LCPKS, tahap II formulasi pemecahan masalah dengan melakukan analisis suhu terbaik proses produksi biogas tahap III analisis internal, eksternal unit penanganan LCPKS, dan tahap IV analisis strategi implementasi pengembangan. Secara keseluruhan tahap-tahap penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.2. 3.3.1 Identifikasi dan Karakterisasi Permasalahan Penanganan LCPKS Penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Data yang dikumpulkan bersumber dari data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi langsung ke lapangan, pengukuran di laboratorium, wawancara langsung dengan responden (para pakar, praktisi, akademisi, birokrat), dan brainstorming. Data sekunder diperoleh dari kajian pustaka, jurnal ilmiah, laporanlaporan teknis dari institusi terkait, lembaga penelitian. Data sekunder lainnya adalah
24
dari BPS kabupaten/kota, BPS Provinsi Lampung, Masyarakat Perkelapasawitan Indonesia (MAKSI), Bisnis Indonesia, Majalah, dan BPS pusat. TAHAP I
TAHAP II
Identifikasi dan karakterisasi permasalahan Survey lapang, brainstorming, indept interview Identifikasi dan karakterisasi unit penanganan LCPKS di Provinsi Lampung Analisis deskriptif
Analisis kondisi suhu terbaik proses produksi biogas
TAHAP IV
TAHAP III
Analisis strategi implementasi Survey lapang, Brainstorming indept interview a. Analisis kandungan teknologi unit penanganan LCPKS b. Analisis strategi yang tepat untuk implementasi pengolahan LCPKS menjadi energi listrik Analisis THIO (technoware, humanware, infoware, orgaware) dan Analisis AHP (Analytical Hierarchy Process)
Penelitian laboratorium Mendapatkan kondisi suhu proses produksi biogas yang efisien dari berbagai perlakuan Analisis deskriptif
Analisis internal dan eksternal penanganan LCPKS Survey lapang, brainstorming, indept interview a. Analisis kekuatan dan kelemahan pengolahan LCPKS b. Analisis peluang dan tantangan pengolahan LCPKS c. Analisis SWOT pengolahan LCPKS menjadi energi listrik Analisis IFE, EFE, dan SWOT (strength, weakness,opportunity,threat)
Gambar 3.2 Tahap-tahap Pelaksanaan Penelitian Identifikasi penanganan LCPKS dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan profil setiap unit pengolahan LCPKS di Provinsi Lampung. Dilaksanakan survey dan diskusi mendalam dengan karyawan, mandor, manager, pakar dan pemerintah daerah, khususnya Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) kabupatan dan provinsi di Lampung. Survey dilakukan untuk mendapatkan data dan informasi yang detil tentang unit pengolahan LCPKS, seperti potensi limbah cair yang dihasilkan, karakteristik LCPKS, tahapan proses pengolahan limbah, peralatan pengolahan limbah, kapasitas unit pengolahan limbah, data teknis unit pengolahan limbah, sumberdaya manusia yang menangani LCPKS, pemanfaatan LCPKS saat ini, dan sebagainya. Data yang terkumpul dikelompokkan, ditabulasi, dan dianalisis sesuai dengan keperluan.
25
3.3.2 Analisis Kondisi Suhu Terbaik Proses Produksi Biogas dari LCPKS Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan kondisi suhu terbaik pada fermentasi anaerobik di dalam bioreaktor pada skala sekitar 50 m3 untuk setiap satuan percobaan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskripsi dengan menyajikan hasil pengamatan dalam bentuk tabel dan grafik dan kemudian dianalisis secara deskriptif. Penelitian menggunakan dua bioreaktor dengan kapasitas masing-masing 50 L. Perlakuan penelitian adalah suhu, yaitu suhu kamar (27-28oC), suhu 45oC ± 3oC; dan suhu 55oC ± 3oC. Peralatan yang digunakan adalah bioreaktor anaerobik Bench Scale Advance Methan Fermentation; Model AR-50L-3 dengan kapasitas 50 L yang dilengkapi dengan pengaduk (bioreaktor CSTR) (Gambar 3.3.a), gasflow meter jenis Wet Gas Meter (Gambar 3.3.b); Model W-NK 0.58, gas sampler bag, pH meter HM-20P, neraca analitik, desikator, furnace model EPTR-13K, reactor unit DRB200, HACH spektrofotometer DR/4000U, gas cromathography, serta alat-alat analisis lainnya. Bahan yang digunakan pada penelitian adalah sludge dan limbah cair pabrik kelapa sawit yang diperoleh dari PTPN VII Unit Usaha Bekri Lampung Tengah, K2Cr2O7, H2SO4 pekat, HgSO4, Ag2SO4, bufer 4 & 6, gas N2, aquades, aquabides, dan bahan analisis lainnya. Penelitian dilakukan dengan dua tahap yaitu tahap awal dan tahap utama, seperti dapat dilihat pada Gambar 3.4. Penelitian awal yang dilakukan adalah menentukan karakteristik limbah cair PKS, sludge, dan campuran limbah cair PKS dan sludge dengan perbandingan 80 % dan 20 %. Pengamatan pada karakterisasi meliputi nilai pH, COD, Total Suspended Solid (TSS), dan Volatil Suspended Solid (VSS).
(a)
(b)
Gambar 3.3 (a) Anaerobic bioreactors “Bench Scale Advance Methane Fermentation” (50 L capacity) ; (b) Gas Flow Meter.
26
LCPKS
Sludge
Tahap awal Karakterisasai
Karakterisasi
PENCAMPURAN LCPKS 80 % Sludge 20 %
Karakterisasi
Tahap utama FERMENTASI Suhu 55oC, Suhu 45oC Suhu Kamar (27-28oC)
PENGAMATAN Produksi Biogas, COD, Suhu, pH, Komposisi Biogas (CO2, CH4, dan N2)
Gambar 3.4 Diagram Alir Pelaksanaan Penelitian Kondisi suhu terbaik Proses Produksi Biogas dari LCPKS. Penelitian utama digunakan untuk mengetahui potensi biogas limbah cair PKS pada suhu yang berbeda, yaitu suhu kamar, suhu 45oC +/- 3oC; dan suhu 55oC +/- 3oC sekaligus sebagai perlakuan. Parameter yang diamati adalah volume biogas, suhu, pH, COD, dan komposisi biogas (CH4, CO2, dan N2). Pengamatan volume biogas dan suhu dilakukan setiap hari. Pengamatan pH, COD, dan komposisi biogas dilakukan satu kali dalam tujuh hari. Prosedur pengukuran parameter-parameter tersebut adalah sebagai berikut: (1) Pengukuran Volume Gas Pengukuran produksi biogas menggunakan gasflowmeter. Hasil yang ditunjukkan oleh gas meter dicatat ke dalam lembar data setiap hari. Volume biogas didapat dengan cara mengurangkan pencatatan hari ini dengan pencatatan hari sebelumnya (Shinagawa Corporation, 2006). (2) Pengukuran pH dan Suhu Analisis pH dan suhu limbah dilakukan dengan menggunakan alat pH meter secara langsung setelah sampel limbah dikeluarkan dari dalam bioreaktor. Caranya dengan memasukkan pH meter ke dalam sampel limbah sambil diaduk kemudian dicatat nilai pH dan suhu yang terbaca pada alat (DKK-TOA Corporation, 2004).
27
(3) Pengukuran COD Sampel limbah keluaran dari bioreaktor dihomogenkan dengan cara diaduk. Sebanyak 0,2 mL atau 200 µL sampel LCPKS diambil dengan menggunakan mikropipet, dan dimasukkan ke dalam vial yang berisi reagen COD kemudian dipanaskan menggunakan reactor unit DBR200 pada suhu 150oC selama dua jam. Setelah dipanaskan, vial dikeluarkan dan dibiarkan sampai suhu ruang kemudian dilakukan pengukuran nilai COD dengan menggunakan HACH Spektrofotometri DR4000 pada panjang gelombang 620 nm (HACH Company, 2004). (4) Pengukuran Komposisi Biogas Pengukuran komposisi biogas dilakukan dengan cara menampung gas yang terbentuk pada bioreaktor ke dalam gas sampler, kemudian sampel gas dianalisis dengan menggunakan Gas Chromathography (GC) untuk mengetahui jenis gas yang ada serta konsentrasinya (Shimadzu Corp., 2004). 3.3.3 Analisis Internal, Analisis Eksternal, dan Analisis SWOT Penanganan LCPKS Tahap penelitian ini bertujuan untuk memunculkan faktor-faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor-faktor eksternal (peluang dan ancaman) dalam pengolahan LCPKS menjadi energi listrik di Provinsi Lampung. Identifikasi faktor internal dan eksternal dilakukan menggunakan metode brainstorming dan Focus Group Discussion dengan pakar dan stakeholder serta pengkajian dari penelitianpenelitian yang terdahulu. Narasumber dan pakar yang terlibat berasal dari akademisi, praktisi, dan birokrat. Hasil identifikasi selanjutnya dikelompokkan menjadi empat kelompok faktor, yaitu kelompok faktor kekuatan, kelompok faktor kelemahan, kelompok faktor peluang, dan kelompok faktor ancaman. Dari sejumlah kelompok faktor yang telah dirumuskan selanjutnya dilakukan analsisi dengan menggunakan metode analisis IFE dan EFE, dan analisis SWOT (David, 2006). (1) Analisis IFE dan EFE Analisis faktor internal dapat dilakukan menggunakan matriks IFE (Internal Factor Evaluation), sedangkan analisis faktor eksternal dapat dilakukan dengan menggunakan matriks EFE (External Factor Evaluation). Tahap-tahap yang harus dilakukan dalam menyusun matriks IFE dan EFE adalah : (1) mengidentifikasi semua kekuatan dan kelemahan pada matriks IFE serta semua peluang dan ancaman pada matriks EFE, (2) Penentuan bobot setiap variabel, dan (3) Penentuan peringkat (rating). Penentuan bobot dilakukan dengan jalan mengajukan analisis faktor strategis internal dan eksternal kepada pihak pakar dengan metode Paired Comparison. Metode Paired Comparison ialah metode yang digunakan untuk memberikan penilaian terhadap bobot setiap faktor penentu eksternal dan internal. Penentuan bobot setiap variabel digunakan skala 1, 2, dan 3, dengan kriteria penilaian sebagai berikut : Nilai 1 : jika indikator horisontal kurang penting dari pada indikator vertikal. Nilai 2 : jika indikator horisontal sama penting dibandingkan indikator vertikal. Nilai 3 : jika indikator horisontal lebih penting dibanding indikator vertikal
28
Bentuk penilaian pembobotan faktor strategis eksternal dapat dilihat pada Tabel 3.1, sedangkan bentuk penilaian pembobotan faktor strategis internal dapat dilihat pada Tabel 3.2. Bobot setiap variabel diperoleh dengan menentukan nilai setiap variabel terhadap jumlah keseluruhan variabel menggunakan rumus yang digunakan David (2006) sebagai berikut :
ai = ∑ Keterangan : ai = Xi = n = i =
………………………………….…………………………………. (1)
bobot variabel ke-i nilai variabel ke-i jumlah variabel 1, 2, 3, ...n
Tabel 3.1 Penilaian Bobot Faktor Strategis Eksternal Faktor Strategis Eksternal
A
B
C
...
Total
A
...
...
...
...
...
B
...
...
...
...
...
C
...
...
...
...
...
... Total
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
Sumber : David (2006)
Tabel 3.2 Penilaian Bobot Faktor Strategis Internal Faktor Strategis Internal
A
B
C
...
Total
A
...
...
...
...
...
B
...
...
...
...
...
C
...
...
...
...
...
... Total
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
Sumber : David (2006) Penentuan peringkat atau rating pada matrik IFE dilakukan oleh pihak-pihak terkait dan memahami permasalahan. Menurut David (2006), perhitungan rating untuk masing-masing faktor dilakukan dengan cara memberikan skala 1 (poor) hingga 4 (outstanding). Pemberian nilai peringkat didasarkan pada kekuatan industri
29
kelapa sawit dalam hal pemanfaatan LCPKS menjadi energi listrik. Pemberian nilai peringkat didasarkan pada keterangan berikut : Nilai 4 : Kekuatan utama Nilai 3 : Kekuatan minor Pemberian nilai peringkat didasarkan pada kelemahan industri kelapa sawit dalam hal pemanfaatan LCPKS menjadi energi listrik. Pemberian nilai peringkat didasarkan pada keterangan berikut : Nilai 2 : Kelemahan minor Nilai 1 : Kelemahan utama Pengisian matrik EFE juga dilakukan oleh pihak-pihak terkait dan memahami permasalahan. Pemberian nilai peringkat didasarkan pada peluang industri kelapa sawit dalam hal pemanfaatan LCPKS menjadi energi listrik. Pemberian nilai peringkat didasarkan pada keterangan berikut : Nilai 1 : Peluang sangat rendah Nilai 2 : Peluang rendah Nilai 3 : Peluang tinggi Nilai 4 : Peluang sangat tinggi Pemberian nilai peringkat didasarkan pada ancaman industri kelapa sawit dalam hal pemanfaatan LCPKS menjadi energi listrik. Pemberian nilai peringkat didasarkan pada keterangan berikut : Nilai 1 : Acaman sangat tinggi Nilai 2 : Acaman tinggi Nilai 3 : Acaman rendah Nilai 4 : Acaman sangat rendah Selanjutnya untuk nilai dari pembobotan dikalikan dengan peringkat pada tiap faktor dan semua hasil kali tersebut dijumlahkan secara vertikal untuk memperoleh total skor pembobotan. (2) Analisis SWOT Analisis SWOT ialah alat untuk menyusun suatu strategi dalam mengembangkan suatu kegiatan. Analisis SWOT didasarkan pada asumsi bahwa suatu strategi yang efektif memaksimalkan kekuatan dan peluang, serta meminimalkan kelemahan dan ancaman. Analisis SWOT digunakan untuk memperoleh hubungan antara faktor eksternal dengan faktor internal. Dengan analisis ini, kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness), yang merupakan faktor internal dapat diidentifikasi, begitu pula peluang (opportunity) dan ancaman (threat), yang merupakan faktor eksternal (David, 2006). Setelah dilakukan analisis dengan matriks IFE dan EFE, dilanjutkan dengan analisis matriks SWOT. Analisis SWOT bertujuan memaksimalkan kekuatan (strength) dan peluang (opportunities) dan meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (threats). Analisis SWOT menghasilkan empat kemungkinan alternatif strategi yaitu startegi S-O, strategi W-O, strategi W-T, seperti dapat dilihat pada Tabel 3.3.
30
Tabel 3.3 Matriks SWOT (strength, weaknesses opportunties threats) IFAS
EFAS
Kekuatan (Strength)
Kelemahan (Weakness)
Menentukan 5-10 faktorfaktor kekuatan internal
Menentukan 5-10 faktorfaktor kelemahan internal
Strategi S-O
Peluang (Opportunity) Menentukan 5-10 faktorfaktor peluang eksternal
Strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang
Strategi S-T
Ancaman (Threats) Menentukan 5-10 faktorfaktor ancaman eksternal
Strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman
Strategi W-O Strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang
Strategi W-T Strategi yang meminimalkan kelemahan untuk menghindari ancaman
Sumber : David (2006) Keterangan : IFAS : Internal Strategic Factors Analysis Summary EFAS : External Strategic Factors Analysis Summary 3.3.4 Strategi Implementasi Pengembangan Penanganan LCPKS (1) Analisis THIO (Technoware, Humanware, Infoware dan Orgaware) Pada tahap analisis strategi implementasi dilakukan evaluasi kandungan teknologi dengan Metode Analisis THIO (Technoware, Humanware, Infoware dan Orgaware) dengan mengacu pada kriteria penilaian yang dikemukakan GumbiraSaid (2004). Berdasarkan analisis tersebut dapat diidentifikasi permasalahan dalam penanganan limbah cair PKS di Provinsi Lampung. Pendekatan teknometrik bertujuan untuk mengukur kontribusi gabungan dari keempat komponen teknologi dalam suatu proses transformasi input menjadi output. Kontribusi gabungan tersebut dapat juga disebut sebagai kontribusi teknologi. Koefisien Kontribusi Teknologi atau Technology Contribution Coefficient (TCC) diformulasikan sebagai fungsi multiplikatif (Panda dan Ramanathan, 1997) dan (Smith dan Sharif, 2007), berikut :
TCC = Tt * Hh * Ii * Oo
…………………………………………..…. (2)
dimana : T, H, I, O = kontribusi technoware, humanware, infoware, dan orgaware. t, h, i, o = intensitas kontribusi T, H, I, O terhadap TCC. Untuk menghitung kandungan teknologi, diperlukan beberapa tahap pelaksanaan analisis, sebagai berikut :
31
Tahap 1. Mendeskripsikan tahapan-tahapan transformasi penanganan limbah cair PKS yang akan dihitung kandungan teknologinya. Tahap 2. Melakukan estimasi derajat kecanggihan (degree of sophisticated) komponen teknologi. Derajat kecanggihan komponen teknologi ditentukan dengan memberikan skor skala sembilan (antara 1-9). Hasil estimasi tersebut memberikan batas atas (upper limit, UL) dan batas bawah (lower limit, LL) bagi setiap komponen teknologi. Adanya tumpang tindih pemberian skor di antara derajat kecanggihan mengindikasikan bahwa dalam praktik batas pemisah yang jelas antara level yang berurutan tidak mungkin dilaksanakan. Prosedur pemberian skor adalah sebagai berikut : (a) Melakukan uji kualitatif dan kumpulkan semua informasi yang berkaitan dengan keempat komponen teknologi. (b) Berdasarkan uji kualitatif tersebut, identifikasi semua item i technoware, dilambangkan dengan Ti, (seperti proses pendinginan & pengendapan, proses anaerobik, proses aerobik, dan proses pemanfaatan akhir untuk kasus penanganan LCPKS) dan kategori j humanware, Hj, (seperti pekerja, supervisor, manajer, personil riset) yang muncul dalam proses transformasi produksi, sedangkan infoware (I) dan orgaware (O) diidentifikasi hanya pada level perusahaan, sehingga tidak mempunyai item atau kategori. (c) Memberikan skor 1-9 kepada setiap Ti, Hj, I, dan O. Skor 1-9 tersebut mengandung implikasi bahwa skor paling kecil merupakan batas bawah dan skor paling besar adalah batas atas dari derajat kecanggihan komponen teknologi yang bersangkutan. Batas bawah dan batas atas untuk technoware disimbolkan dengan LTi dan UTi, untuk humanware dengan LHj dan UHj, dan untuk infoware dan orgaware karena tidak mempunyai item atau kategori cukup dilambangkan masing-masing dengan LI dan UI serta LO dan UO. Tahap 3. Melakukan penilaian terhadap tingkat kemutakhiran atau state-of-the-art setiap komponen teknologi berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. Posisi setiap komponen di antara batas bawah dan batas atas bergantung pada kriteria state-of-the-art. Tahap 4. Menghitung kontribusi setiap komponen teknologi (component contribution). Berdasarkan hasil-hasil perhitungan derajat kecanggihan dan tingkat kemutakhiran di atas, maka menurut Alkadri et al. (1999) kontribusi setiap komponen teknologi dapat dihitung menurut persamaan berikut : Ti
= 1/9 [ LTi + STi (UTi – LTi)], dimana i = 1, 2, 3 … n. …………...(3)
Hj = 1/9 [ LHj + SHj (UHj – LHj)], dimana j = 1, 2, 3 … n. ……….....(4) I
= 1/9 [ LI + SI (UI – LI)] ………………………………………… (5)
O
= 1/9 [ LO + SO (UO – LO)] …………………………………….. (6)
32
dimana : Ti, Hj, I, O
= kontribusi setiap item i technoware, item j humanware, infoware, dan orgaware terhadap TCC LT, LH, LI, LO = batas bawah untuk technowar, humanware, infoware, orgaware ST, SH, SI, SO = state-of-the-art untuk technowar, humanware, infoware, orgaware UT, UH, UI, UO = batas atas untuk technowar, humanware, infoware, orgaware Untuk mencapai kontribusi total semua item i technoware dan seluruh kategori j humanware, maka nilai Ti dan Hj harus diagregasi dengan menggunakan bobot yang tepat berdasarkan formula berikut :
T = H =
∑ ∑
, dimana i = 1,2,3 …, n ……………………………….. (7)
∑ ∑
, dimana j = 1,2,3 …, n …………………………….... (8)
dimana ui mengacu pada biaya investasi technoware untuk item i dan vj merujuk pada jumlah tenaga kerja untuk kategori j (Alkadri et al., 1999). (2) Analisis AHP (Analytical Hierarchy Process) Dilakukan dengan tujuan untuk menentukan strategi yang akan ditempuh dalam implementasi pengolahan LCPKS menjadi energi listrik pada masa yang akan datang. Metode yang digunakan adalah Analytical Hierarchy Process (AHP) (Saaty, 2000) dan secara matematis dijelaskan oleh Marimin dan Maghfioh (2011), dengan tahapan sebagai berikut : Tahap 1. Identifikasi Sistem Identifikasi system dilakukan dengan cara mempelajari beberapa rujukan untuk memperkaya ide atau berdiskusi dengan pakar untuk mendapatkan semua konsep yang relevan dengan permasalahan. Tahap 2. Penyusunan Hirarki Dalam penyususnan hirarki atau struktur keputusan dilakukan dengan menggambarkan elemen sistem atau alternatif keputusan ke dalam suatu abstraksi sistem hirarki keputusan. Tahap 3. Komparasi Berpasangan Penentuan tingkat kepentingan pada setiap tingkat hirarki atau penilaian pendapat dilakukan dengan teknik komparasi berpasangan (pairwise comparison). Teknik komparasi berpasangan yang digunakan dalam AHP dilakukan dengan wawancara langsung pada responden. Responden bisa seorang ahli atau bukan, tetapi terlibat dan mengenal baik permasalahan tersebut. Untuk mengkuantitatifkan data yang bersifat kualitatif tersebut digunakan nilai skala komparasi 1-9. Skala yang di usulkan tersebut diatas dapat dilihat pada Tabel 3.4.
33
Tabel 3.4 Skala Banding Secara Berpasangan Intensitas Pentingnya
Definisi
Penjelasan
1.
Kedua elemen sama pentingnya
Dua elemen menyumbangnya sama besar pada sifat itu
3.
Elemen yang satu sedikit lebih penting dari yang lainnya
Pengalaman dan pertimbangan sedikit menyokong satu elemen atas yang lain
5.
Elemen yang satu sangat penting ketimbang elemen yang lain
Pengalaman dan pertimbangan dengan kuat menyokong satu elemen yang lainnya.
7.
Satu elemen jelas lebih penting dari elemen lainnya
Satu elemen dengan kuat disokong dan dominannya telah terlihat dalam praktek
9
Satu elemen mutlak lebih penting ketimbang elemen lainnya
Bukti yang menyokong elemen yang satu atas yang lain memiliki tinggi yang mungkin menguatkan
Nilai-nilai diantara dua pertimbangan yang berdekatan
Kompromi diperlukan antara dua pertimbangan
2,4,6,8
Nilai kebalikan dilakukan jika untuk aktifitas i mendapat satu angka bila dibandingkan dengan j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i Sumber : Saaty, 2000 Tahap 4. Matriks Pendapat Individu Formulasi matrik pendapat individu adalah sebagai berikut :
C1 C2 A = (aij) = … . Cn
C1 1 1/a12 . . 1/a1n
C2 a12 1 . . 1/a2n
…. …. …. …. …. ….
Cn a1n a2n . . 1
Dalam hal ini C1, C2, … Cn adalah set elemen pada satu tingkat keputusan dalam hirarki. Kuantifikasi pendapat dari hasil komparasi berpasangan membentuk matrik n x n. Nilai aij merupakan nilai matrik pendapat hasil komparasi yang mencerminkan nilai kepentingan Ci terhadap Cj. Tahap 5. Pengolahan Horizontal Pengolahan horizontal dilakukan dengan empat tahap yaitu : 1) Perkalian baris (z) dengan menggunakan rumus
34
zi =
∏
ij,
(i,j= 1,2, …, n), ……………………………... (9)
2) Perhitungan vector prioritas atau vector eigen
∏
ij
eVPi =
(i, j = 1,2, …, n), …………….… (10)
∑
∏
ij
eVPi = elemen vector prioritas ke-i 3)
Perhitungan nilai eigen maksimum, dengan rumus : VA = aij x VP, dengan VA = (Vai) ……….……………………. (11) VB =
dengan VB = (Vbi) .....…....................…………..…….. (12)
λ max = ∑
i,
untuk i = 1,2,…., n .....….………………..….. (13)
VA = VB = vektor antara 4) Perhitungan indeks konsistensi (CI) dengan rumus: λmax. - n CI =
…………………..………………………... (14) n–1 Nilai pengukuran konsistensi diperlukan untuk mengetahui kekonsistenan jawaban dari responden yang akan berpengaruh terhadap keabsahan hasil. Tahap 6. Pengolahan Vertikal Pengolahan vertikal digunakan untuk menyusun prioritas pengaruh setiap elemen pada tingkat hirarki keputusan tertentu terhadap sasaran utama. Jika NPpq didefinisikan sebagai nilai prioritas pengaruh elemen ke-p pada tingkat ke-q terhadap sasaran utama, maka : NPpq = ∑
NPHpq (t,q-1) x NPTt (q-1) ...………………………….. (15)
Untuk p = 1,2,3, …, r t = 1,2,3, …., s
35
Keterangan: NPpq = nilai prioritas pengaruh elemen ke-p pada tingkat ke-q terhadap sasaran utama NPHpq = nilai prioritas pengaruh elemen ke-p pada tingkat ke-q NPTt = nilai prioritas pengaruh elemen ke-t pada tingkat ke q-1
Tahap 7. Matriks Pendapat Gabungan Matriks gabungan merupakan matriks baru yang elemen-elemennya berasal dari rata-rata geometrik elemen matrik pendapat individu yang nilai rasio konsistensinya (CR) memenuhi syarat, dengan formula sebagai berikut :
Xg =
∏
i,
….....……….........……………...………. (16)
Keterangan : Xg = rata-rata geometrik n = jumlah responden (1, 2, 3…, n) Xi = penilaian responden ke i
Tahap 8. Revisi Pendapat Revisi pendapat dapat dilakukan apabila nilai konsistensi rasio (CR) pendapat cukup tinggi (lebih besar dari 0,1) dengan mencari deviasi RMS (Root Mean Square) dari baris-baris (aij) dan perbandingan nilai bobot baris terhadap bobot kolom dan merevisi pendapat pada baris yang mempunyai nilai terbesar.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Identifikasi dan Karakterisasi Unit Penanganan LCPKS Hasil identifikasi dan karakterisasi PKS dan unit penanganan LCPKS dapat dilihat pada Lampiran 1 sampai Lampiran 13. Rekapitulasi hasil identifikasi PKS dan potensi LCPKS di Provinsi Lampung tahun 2011 dapat dilihat pada Tabel 4.1. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa kapasitas pabrik kelapa sawit di Provinsi Lampung sangat bervariasi dari kapasitas kecil (25 ton/jam) sampai kapasitas besar (72 ton/jam). Secara umum kapasitas riil fasilitas masih sangat kecil yakni (45%), yang menunjukkan bahwa efisiensi penggunaan fasilitas sangat rendah. Hasil diskusi dan pengamatan di lapangan menunjukkan adanya animo yang sangat besar dari investor lokal untuk mendirikan pabrik kelapa sawit yang tidak diimbangi dengan ketersediaan bahan baku (TBS) yang mencukupi. Ketersediaan lahan untuk pengembangan perkebunan skala besar (lebih dari 5.000 Ha) di Provinsi Lampung sudah sangat sulit, sehingga PKS mengandalkan bahan baku yang berasal dari masyarakat (Darminto, 2010).
36
Tabel 4.1 Rekapitulasi Hasil Identifikasi PKS dan Potensi LCPKS Di Provinsi Lampung tahun 2011 Kode Nama Perusahaan
Kapasitas PKS (Ton/Jam) 45 25
Jumlah TBS (Ton) 161.551 110.825
Produksi CPO (Ton) 35.168 25.427
Kapasitas Riil (%) 58,66 72,43
Rendemen CPO (%) 21,77 22,94
Potensi LCPKS (m3) 121.163 83.119
1. 2.
PT. A PT. B
3.
PT. C
45
180.999
40.741
65,72
22,51
135.749
4.
PT. D
72
288.058
65.186
65,37
22,63
216.043
5.
PT. E
60
170.984
38.398
46,56
22,46
128.238
6.
PT. F
70
199.781
44.798
46,63
22,42
149.836
7.
PT. G
40
116.889
25.599
47,75
21,90
87.667
8. PT. H 9. PT. I 10. PT. J 11. PT. K 12. PT. L 13. PT. M Jumlah
45 45 40 30 45 60 622
97.334 115.724 25.026 61.840 103.886 82.562 1.715.459
21.411 25.400 4.801 12.236 21.675 16.623 377.461
35,34 42,02 10,22 33,68 37,72 22,48 45,06
22,00 21,95 19,18 19,79 20,86 20,13 22,03
73.001 86.793 18.770 46.380 77.914 61.922 1.286.595
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kemampuan PKS di Provinsi Lampung dalam mengekstrak minyak kelapa sawit (CPO) dari bahan baku (TBS) cukup baik dengan rendemen rata-rata 22,03%. Hal ini menunjukkan teknologi yang digunakan untuk mengolah tandan buah segar cukup memadai. Beberapa pabrik hanya mampu mengekstrak minyak kelapa sawit lebih rendah dari 20 %, karena bahan bakunya merupakan hasil tanaman yang berumur kurang dari tujuh tahun (buah pasir). Potensi produksi LCPKS di Provinsi Lampung cukup besar. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa setiap ton TBS menghasilkan sekitar 0,7-0,8 m3 LCPKS atau rata-rata 0,75 m3 LCPKS, sehingga pada tahun 2011 potensi LCPKS di Lampung mencapai 1.286.595 m3. Hasil penelitian Mahajoeno et al. (2008), menunjukkan bahwa setiap ton tandan buah segar (TBS) kelapa sawit menghasilkan rata-rata air limbah 0,7 m3. LCPKS di Provinsi Lampung memiliki potensi untuk digunakan sebagai bahan baku biogas, karena didukung oleh data hasil karakterisasi LCPKS yang diperlihatkan pada Tabel 4.2. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa nilai COD adalah di atas 40.000 mg/L. Menurut Tong (2011), besaran COD LCPKS di Malaysia adalah sekitar 51.000 mg/L, sedangkan menurut Mahajoeno (2008), LCPKS di Sumatera Selatan besarnya 56.200 mg/L. Menurut Mahajoeno (2008), nilai COD LCPKS menunjukkan banyaknya kandungan bahan organik di dalam limbah cair. Nilai COD LCPKS sangat tergantung pada mutu TBS dan proses ekstraksi. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa nilai COD LCPKS pabrik di Provinsi Lampung bervariasi antara 41.000 – 50.250 mg/L. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada umumnya sumber daya manusia yang menangani LCPKS merupakan tenaga kerja pada bagian produksi. Tenaga kerja yang menangani LCPKS dari PKS berkapasitas 60 ton TBS/jam berjumlah antara dua sampai lima orang dengan pendidikan SLTA atau sederajat. Di samping
37
pendidikan formal, umumnya tenaga kerja yang berkerja pada unit penanganan LCPKS juga mendapat pendidikan tambahan berupa pendidikan baik internal maupun eksternal perusahaan. Tabel 4.2. Karakterisasi Limbah Cair PKS di Provinsi Lampung Kode Nama Perusahaan PT. A PT. B PT. E PT. F PT. H PT. I PT. J PT. K PT. L PT. M
COD (mg/L) 41.250 41.000 42.000 44.750 50.250 43.000 46.000 44.500 44.500 46.000
pH 5,6 5,2 5,4 5,2 5,0 5,2 5,6 5,4 5,4 5,2
Kadar Lemak (mg/L) 1,402 1,572 2,003 1,993 2,211 2,388 1,926 1,770 1,974 2,320
TSS (g/L) 52,235 48,004 45,333 47,105 54,500 50,004 42,533 44,775 44,923 49,535
Selama ini peralatan yang digunakan untuk menangani LCPKS masih sangat sederhana, yakni berupa saluran limbah yang terbuat dari beton, pipa-pipa PVC, dan pompa. Kolam-kolam yang digunakan biasanya terbuat dari tanah atau yang lebih maju terbuat dari beton/tembok. Pengaliran limbah cair dari kolam satu ke kolam yang lain dilakukan dengan bantuan pompa atau berdasarkan gaya gravitasi atau perbedaan ketinggian. Saat ini semua pabrik kelapa sawit di Provinsi Lampung telah memiliki instalasi pengolahan air limbah LCPKS seperti disyaratkan oleh pemerintah. Luas instalasi pengolahan air limbah LCPKS bervariasi tergantung dari kapasitas PKS. Total luas instalasi pengolahan air limbah LCPKS berkisar antara 2,5 Ha sampai 6 Ha. Pemerintah Provinsi Lampung mensyaratkan semua pabrik harus memiliki instalasi pengolahan air limbah (IPAL) yang memadai sebelum pabrik beroperasi (Pemerintah Provinsi Lampung, 2010). Profil unit penanganan LCPKS di Provinsi Lampung dapat dilihat pada Tabel 4.3. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa semua pabrik kelapa sawit di Provinsi Lampung melakukan penanganan limbah cair dengan menggunakan sintem kolam (ponding system). Ponding system merupakan proses penanganan limbah cair pengolahan hasil pertanian yang paling umum. Hal ini disebabkan selain biayanya yang murah, juga mampu menurunkan beban cemaran yang signifikan (Indrasti, 2012).
38
Tabel 4.3. Profil Proses Penanganan LCPKS di Provinsi Lampung Kode Nama Perusahaan PT. A PT. B PT. C PT. D PT. E PT. F PT. G PT. H PT. I PT. J PT. K PT. L PT. M
Kolam Pendinginan
Kolam Anaerobik
Kolam Fakultatif
Kolam Aerobik
Kolam Indikator
Kolam
Kapasitas
Retensi
Kapasitas
Retensi
Kapasitas
Retensi
Kapasitas
Retensi
Kapasitas
Retensi
Cadangan
(m3)
(Hari)
(m3)
(Hari)
(m3)
(Hari)
(m3)
(Hari)
(m3)
(Hari)
(m3)
67 55 50 - 60 50 - 60 50 - 60 50 - 60 50 - 60 50 - 60 50 - 60 50 - 60 50 - 65 55 55 - 70
450 2.600 2.600 2.600 -
17.000 3.936 4.800 9.600 9.000 12.000 7.200 4.800 4.050 3.000 6.000 8.100 8.000
21 14 10 - 16 10 - 16 12 - 16 12 - 16 12 - 16 12 - 16 12 - 16 12 - 16 14 14 10 - 15
1.280 750 750 1.200 1.260 900 750 1.350 1.200 1.280 900 -
4 5 - 10 5 - 10 4-6 4-6 4-6 5 - 10 5 - 10 5 - 10 5 - 10 4-7 -
1.000 1.000 2.500 3.500 2.500 2.500 2.500 2.500 2.500 2.500 1.000 1.000 2.000
2.250 956 750 1.350 1.080 1.040 960 1.125 960 1.080 800 900 1.008
3-4 3 3-4 3-4 3-4 3-4 3-4 3-4 3-4 3-4 3-5 3-5 3-5
Keterangan : LA : land application PU : Dibuang ke perairan umum
32.000 16.400 18.000 21.600 22.500 30.000 18.750 15.000 18.000 6.000 10.800 15.000 21.000
1 5 4-8 5 -
Pemanfaatan akhir* LA LA LA LA LA LA LA LA LA PU PU PU PU
39
Secara umum pabrik kelapa sawit melakukan proses penanganan limbah cair yang hampir sama, yaitu penurunan suhu limbah cair dilanjutkan proses anaerobik dan proses aerobik. LCPKS kemudian dialirkan ke kolam indikator. Beberapa pabrik memiliki kolam fakultatif, yang merupakan transisi dari kolam anaerobik dan kolam aerobik. Proses anaerobik terjadi selain karena kedalaman kolam (diatas lima meter), juga karena terjadinya lapisan sisa minyak yang menutup permukaan kolam. Salah satu kelemahan penanganan limbah cair dengan sistem kolam adalah waktu yang diperlukan cukup lama, sehingga memerlukan kolam yang luas. Hasil penelitian menunjukkan waktu paling cepat untuk proses penanganan LCPKS adalah 180 hari, sedangkan paling lama adalah 360 hari. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa perbedaan antara pabrik satu dengan pabrik yang lain terletak pada pemanfaatan limbah akhir. Limbah hasil penanganan LCPKS ada yang dimanfaatkan sebagai pupuk cair (land application), tetapi ada yang tidak dimanfaatkan sama sekali atau langsung dibuang ke perairan umum. Umumnya PKS yang tidak memiliki kebun kelapa sawit sendiri limbah hasil penanganannya dibuang ke perairan umum. Salah satu PKS telah memanfaatkan LCPKS sebagai sumber air untuk menyiram pada pembuatan kompos yang berasal dari tandan kosong dan sebagai media budidaya Spirulina dan Chlorella. 4.2 Analisis Kondisi Suhu Terbaik Proses Produksi Biogas dari LCPKS 4.2.1 Karakterisasi LCPKS dan Sludge Limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS) yang digunakan adalah limbah cair pabrik kelapa sawit yang baru keluar dari pipa pembuangan. Sludge yang digunakan adalah sludge yang berasal dari akhir kolam anaerobik terakhir (kolam keempat). Karakterisasi LCPKS dan sludge yang digunakan untuk penelitian dapat dilihap pada Tabel 4.4. Tabel 4.4 Hasil Karakterisasi LCPKS, Sludge, dan Campuran LCPKS & Sludge Parameter Pengamatan Suhu (oC) pH COD (mg/L) TSS (mg/L) VSS (mg/L) Warna Aroma
Limbah Cair Campuran Sludge PKS LCPKS 80 % & Sludge 20% 50 – 70* 26 - 27 26 - 27 5,63 - 5,64 8,15 - 8,35 6,07 - 6,29 43.375 - 51.000 41.250 - 52.000 19.500 - 28.750 46.174 - 55.328 21.448 - 54.540 40.851 - 44.336 12.324 - 20.720 6.751 - 9.850 19.572 - 24.950 Coklat susu Hitam gelap Coklat susu agak gelap Khas (tidak Berbau busuk Berbau busuk menyengat berbau busuk) menyengat Keterangan : * menunjukkan suhu saat LCPKS keluar dari pabrik Tabel 4.4 menunjukkan bahwa LCPKS memiliki parameter yang nilainya melebihi ambang untuk dibuang ke perairan umum ((MENKLH RI No 51, 1995). Tabel tersebut juga memperlihatkan bahwa nilai COD yang tinggi, yaitu di atas 40.000 mg/L, memiliki potensi sebagai bahan pencemar lingkungan sekaligus berpotensi menghasilkan gas metana sebagai sumber energi listrik. Menurut data empiris degradasi sempurna 1 kg COD dapat menghasilkan 0,35 m3 gas metana pada kondisi STP.
40
Menurut Soesanto (2012), pabrik kelapa sawit dengan kapasitas 60 ton/jam mampu menghasilkan energi listrik sebesar 2 MW. 4.2.2 Waktu Fermentasi Data hasil penelitian produksi biogas fermentasi LCPKS pada suhu berbeda dapat dilihat pada Lampiran 14. Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu yang diperlukan untuk kesempurnaan fermentasi LCPKS tidak sama antara suhu kamar (2728oC), suhu 45oC, dan suhu 55oC. Pada suhu 55oC fermentasi LCPKS hanya memerlukan waktu 42 hari untuk menurunkan COD sebesar 86,86% dari COD 43.375 mg/L menjadi COD 5.700 mg/L. Pada suhu 45oC fermentasi LCPKS memerlukan waktu lebih lama yaitu 57 hari untuk menurunkan COD 84,31% atau dari COD 51.000 mg/L menjadi COD 8.000 mg/L. Pada suhu kamar (27-29oC), fermentasi LCPKS memerlukan waktu jauh lebih lama yaitu 196 hari untuk menurunkan COD 57,25% atau dari COD 51.000 mg/L menjadi COD 21.800 mg/L. Hubungan antara waktu fermentasi dan Penyisihan COD dapat dilihat pada Gambar 4.1. Choorit dan Wisarnwan (2007) menyatakan bahwa proses fermentasi LCPKS pada suhu termofilik empat kali lebih cepat dibandingkan dengan fermentasi pada suhu mesofilik.
COD removal (%) dan Waktu fermentasi (hari)
250 196
200
COD removal (%) Waktu Fermentasi (hari)
150 100
86.86
84.31 57,25
56 42
50 0 27-28
45
55
Suhu (oC)
Gambar 4.1 Penyisihan COD dan Waktu Fermentasi LCPKS pada Suhu Fermentasi Berbeda Gambar 4.2 menunjukkan pola produksi biogas dari LCPKS pada suhu fermentasi yang berbeda. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa waktu adaptasi (lag fase) mikroorganisme pada suhu kamar mencapai 151 hari, suhu 45oC adalah 25 hari, dan suhu 55oC mikroorganisme langsung aktif menghasilkan biogas. Hal ini menunjukkan bahwa mikroorganisme yang aktif melakukan perombakan anaerobik adalah mikroorganisme golongan termofilik seperti Methanosarcina, Methanococcus, Methanobacterium, dan Methanobacillus (Badiei et al., 2012).
41
Biogas (L/L LCPKS/hari)
2.50 2.02
2.00 1.50
1.47 0.96 0.72
1.00
0.76
0,83
0.50
1 5 9 13 17 21 25 29 33 37 41 45 49 53 57 142 146 150 154 158 162 166 170 174 178
0.00
Waktu Fermentasi (hari)
Gambar 4.2 Pola Produksi Biogas Fermentasi LCPKS pada Suhu Berbeda ( 55oC; suhu 45oC; suhu 27-28oC)
suhu
4.2.3 Tingkat Keasaman (pH) LCPKS Data nilai pH fermentasi LCPKS pada suhu berbeda dapat dilihat pada Lampiran 15. Hasil pengukuran terhadap nilai pH LCPKS selama fermentasi pada suhu yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 4.3. Dari gambar tersebut terlihat bahwa campuran antara LCPKS 80% dan sludge 20% memiliki pH yang relatif asam, yaitu 6,07-6,29. Hasil pengukuran awal menunjukkan bahwa pH LCPKS yang baru keluar dari pabrik adalah 5,63-5,64, sedangkan pH sludge yang diambil dari akhir proses kolam anaerobik adalah 8,15-8,35. Setelah dilakukan pencampuran dengan porsi LCPKS 80 % dan sludge 20 %, maka nilai pH-nya menjadi 6,07-6,29. Menurut Ahmad et al. (2012), LCPKS merupakan koloid berwarna coklat susu dengan pH 4-5, nilai pH LCPKS banyak dipengaruhi olah mutu bahan baku yaitu tandan buah segar (TBS). 8.50 8.00
pH
7.50 7.00 6.50 6.00 5.50 0 7 14 21 28 35 42 49 56 63 70 77 84 91 98 105 112 119 126 133 140 147 154 161 168 175 182 189 196
5.00
Waktu Fermentasi (hari) Gambar 4.3 Perubahan Nilai pH LCPKS selama Proses Fermentasi pada Suhu yang Berbeda ( suhu 55oC; suhu 45oC; suhu 27-28oC) Selanjutnya pH campuran tersebut merupakan pH awal dari proses fermentasi. Perubahan pH dari asam ke basa terlihat pada suhu fermentasi 55oC lebih cepat dibandingkan suhu fermentasi 45oC dan suhu kamar. Hal ini diduga karena kapasitas buffer (buffer capacity) larutan LCPKS yang digunakan nilainya sama, tetapi proses
42
penbentukan basa organik (NH4+ dari komponen protein) pada fermentasi suhu 55oC lebih cepat dibandinkan dengan fermentasi pada suhu 45oC dan suhu 27-28oC. Kapasitas buffer (buffer capacity) suatu larutan adalah suatu ukuran kemampuan larutan penyangga dalam mempertahankan pH-nya yang tergantung dari konsentrasi komponen-komponen yang ada di larutan tersebut baik secara absolut maupun secara relatif (Chang, 2005). Setiap kelompok mikroorganisme memiliki suhu optimum untuk berkembang yang berbeda-beda. Pada kelompok mikroorganisme termofilik seperti Methanosarcina, Methanococcus, Methanobacterium, dan Methanobacillus suhu optimumnya sekitar 5060oC, sehingga pada suhu tersebut proses degradasi makromolekul (protein, lemak, dan karbohidrat) menjadi mikromolekul dan basa organik lebih cepat, sehingga pH cepat naik. Menurut Choi et al. (2013) pH optimum untuk fermentasi LCPKS dalam kondisi anaerobik adalah 6,8-7,2. Menurut Badiei et al. (2012), mikroorganisme yang banyak berkembang pada suhu mesofilik (40-50oC) adalah kelompok Streptococcus sekitar 50%, kelompok Lactobacillus sekitar 30%, dan kelompok Clostridium sekitar 20%. Kelompok mikroorganisme mesofilik tersebut lebih lambat dibandingkan dengan termofilik dalam konversi bahan organik menjadi asam organik. Di samping itu, kenaikan suhu sampai batas tertentu akan mempercepat proses reaksi konversi makromolekul menjadi mikromolekul. 4.2.4 Penurunan Nilai COD dan Penyisihan COD Hasil penelitian penurunan nilai COD dan Penyisihan COD LCPKS selama fermentasi dapat dilihat pada Lampiran 16 dan Lampiran 17. Chemical Oxygen Demand (COD) merupakan jumlah oksigen yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk mendegradasi bahan organik secara kimia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase penurunan nilai COD pada suhu 55oC lebih cepat dibandingkan dengan suhu 45oC dan suhu kamar. Pada fermentasi suhu 55oC hanya memerlukan waktu 42 hari untuk menurunkan nilai COD 86,86%, sementara pada suhu fermentasi 45oC memerlukan waktu selama 56 hari untuk menurunkan nilai COD 84,31 %, bahkan pada suhu kamar untuk menurunkan COD 57,25 % memerlukan waktu sampai 196 hari, seperti pada Gambar 4.4. COD (%/hari)
120 100 80 60 40 20 0 7 14 21 28 35 42 49 56 63 70 77 84 91 98 105 112 119 126 133 140 147 154 161 168 175 182 189 196
0
Waktu Fermentasi (hari) Gambar 4.4 Pola Penurunan Nilai COD LCPKS pada Suhu Fermentasi yang Berbeda ( suhu 55oC; suhu 45oC; suhu 27-28oC) Pada Gambar 4.4 terlihat bahwa fermentasi pada suhu 55oC, suhu 45oC, dan suhu kamar mikroorganisme langsung aktif yang ditandai terjadi penurunan nilai COD pada tujuh hari pertama. Pada penelitian ini sumber mikroorganismenya adalah sludge
43
CODremoval (%)
yang berasal dari akhir proses anaerobik terakhir (kolam 4) instalasi pengolahan akhir limbah (IPAL) yang diduga kaya akan beberapa bakteri seperti Clostridium, Escherichia coli dan Enterobacter (Chen et al., 2005; Chong et al., 2009). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa mikroorganisme-mikroorganisme tersebut banyak terdapat di dalam tanah, lumpur, dan kompos (Hu dan Chen, 2007; Wang dan Wan, 2009). Penurunan nilai COD pada suhu 55oC lebih cepat dari suhu 45oC dan suhu kamar, diduga disebabkan oleh kenaikan suhu akan meningkatkan keaktifan mikroorganisme (Sompong et al., 2008). Penurunan nilai COD menunjukkan telah terjadi proses pendekomposisian bahan organik oleh aktivitas mikroorganisme. Bahan-bahan organik yang terkandung di dalam LCPKS berupa senyawa kompleks telah diuraikan menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana oleh mikroorganisme. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Penyisihan COD pada suhu 55oC lebih tinggi dibandingkan dengan fermentasi suhu 45oC dan suhu kamar, seperti pada Gambar 4.5. Mohammadi et al. (2011) pernah melakukan penelitian untuk mempercepat peningkatan nilai Penyisihan COD dari LCPKS dengan berbagai cara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan nilai Penyisihan COD yang paling cepat adalah perlakuan panas (heat-shock) yang menghasilkan Penyisihan COD 86 %. 100.00 90.00 80.00 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00
84.31
86.86
45
55
57.26
27-28
Suhu (oC)
Gambar 4.5 Nilai Penyisihan COD LCPKS pada Suhu Fermentasi yang Berbeda 4.2.5 Produksi Biogas dan Komposisi Biogas Data hasil penelitian komposisi biogas LCPKS selama fermentasi dapat dilihat pada Lampiran 18 sampai Lampiran 20. Produksi metana/Penyisihan COD menunujukkan kemampuan sistem reaktor untuk menghasilkan metana (liter) dari satu gram COD. Konversi secara sempurna setiap satu gram COD dapat menghasilkan 0,35 L metana. Gambar 4.6 memperlihatkan pola produksi biogas LCPKS selama fermentasi. Gambar 4.7 memperlihatkan total produksi metana/Penyisihan COD LCPKS pada suhu fermentasi yang berbeda.
44
Produksi Biogas Komulatif (L/L LCPKS)
25.00 20.42 20.00
16.97
15.00 10.00
8.23
5.00
1 5 9 13 17 21 25 29 33 37 41 45 49 53 57 142 146 150 154 158 162 166 170 174 178
0.00 Waktu Fermentasi (Hari)
Produksi Metana/COD removal (m3/kg )
Gambar 4.6 Pola Produksi Biogas Komulatif dari LCPKS pada Suhu Berbeda ( 55oC; suhu 45oC; suhu 27-28oC) 0.30
0.24
suhu
0.28
0.25 0.20
0.16
0.15 0.10 0.05 0.00 27-28
45
55
Suhu (oC) Gambar 4.7
Produksi Metana Total yang Dihasilkan dari LCPKS pada Suhu Fermentasi yang Berbeda
Hasil perhitungan kandungan CH4 dari biogas hasil fermentasi LCPKS pada suhu 55oC menghasilkan produktivitas metana 0,28 L/g COD. Hasil tersebut masih dibawah konversi secara stoikhiometri (0,35 L/g), hal ini diduga karena proses methanogenesis yang tidak sempurna. Ketidaksempurnaan proses methanogenesis disebabkan oleh kondisi tidak 100% anaerobik, sehingga digunakan untuk pembentukan sel mikroorganisme. Proses degradasi secara anaerobik melibatkan sejumlah bakteri yang berbedabeda, terutama oleh empat tipe reaksi, yaitu hidrolisisis, acidogenesis, acetogenesis, dan methanogenesis (Baloch et al., 2007). Pada tahap hidrolisisis, senyawa kompleks dengan bantuan eksoenzim dari bakteri anaerobik diubah menjadi monomer. Tahap merupakan tahapan perombakan bahan organik hasil hidrolisis yang difermentasi menjadi berbagai produk akhir, meliputi asam-asam format, asetat, propionat, butirat, laktat, suksinat, etanol, karbondioksida, dan gas hidrogen. Pembentukan asam-asam organik tersebut terjadi dengan bantuan bakteri, seperti Pseudomonas, Eschericia, Flavobacterium, dan Alcaligenes.
45
Tahap ketiga adalah tahap acetogenesis yaitu pembentukan senyawa asetat, karbondioksida dan hidrogen. Produk-produk dari tahapan acidogenesis seperti asam propionat, butirat dan etanol perlu dikonversi terlebih dahulu menjadi asam asetat sebelum digunakan oleh bakteri metanogenik. Bakteri ini mengkonversi karbondioksida dan hidrogen menjadi asam asetat. Bakteri yang melakukan konversi tersebut adalah Acetobacterium woodee dan Clostridium aceticum. Tahap terakhir adalah tahap metanogenesis yaitu proses karbondioksida direduksi menjadi metana dan air, asetat dikonversi menjadi metana dan karbondioksida. Bakteri penghasil metana antara lain Methanococcus, Methanobacteria, dan Methanosarcina. Dengan kelebihan substrat yang diumpankan kedalam bioreaktor, maka bakteri acidogen dan acetogen menjadi semakin aktif dan semakin cepat tumbuh, sehingga semakin banyak bahan organik dikonversi menjadi asam lemak volatil yang menyebabkan menurunnya pH. Bakteri metanogen tidak dapat bekerja secara optimal pada pH yang rendah. Hal ini menyebabkan ketidak seimbangan antara acidogenesis dan methanogenesis karena proses didominasi oleh proses acidogenic dan aktivitas methanogenesis kurang baik didalam sistem. Hasil analisis komposisi biogas dari fermentasi LCPKS pada suhu yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 4.8. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa fermentasi pada suhu 55oC menghasilkan biogas dengan kandungan gas metana lebih tinggi dibandingkan dengan fermentasi pada suhu 45oC dan suhu kamar. Choi et al. (2013) melaporkan bahwa menggunakan alat high-rate anaerobic reactors dalam mengolah LCPKS dapat menghasilkan biogas dengan rendemen 0,171–0,269 L/g Penyisihan COD dengan konsentrasi gas metana mencapai 59,5-78,2%. Sebaliknya fermentasi pada suhu 55oC menghasilkan biogas dengan kandungan gas pengotor (CO2 dan N2) yang lebih kecil dibandingkan dengan feremntasi pada suhu 45oC dan suhu kamar. Hal ini sangat penting dalam proses produksi biogas sebagai bahan bakar, terutama untuk energi listrik. Penghilangan karbondioksida memberi kualitas biogas dan nilai energi (kalor) menjadi lebih tinggi (Kapdi et al., 2004). Beberapa hasil penelitian tentang penurunan COD dan penangkapan gas metana dari LCPKS dapat dilihat pada Tabel 4.5.
Komposisi Biogas (%)
120.00 100.00
2.10
2.52
0.97
80.00
38.76
34.50
33.60
60.00
N2 (%) N 2 (%)
40.00 59.15
65.44
62.57
CO CO2 (%) 2 (%)
CH4 (%) CH 4 (%)
20.00 0.00 27-28
45
55
Suhu (oC)
Gambar 4.8 Komposisi Biogas yang Dihasilkan dari LCPKS pada Suhu Fermentasi yang Berbeda
46
Tabel 4.5 Hasil-hasil Penelitian tentang Penurunan COD dan Penangkapan Gas Metana dari LCPKS Penyisihan COD (%)
Kandungan Metana Tertinggi (%)
78,0-94,0
DTT
Borja dan Banks (1995)
98,4
54,2
Borja dan Banks (1994)
89,5–97,5
62,0–84,0
Najafpour et al. (2006)
Anaerobic pond
97,8
54,4
Yacob et al. (2006)
Anaerobic digester
80,7
36,0
Yacob et al. (2005)
UASFF
97,0
71,9
Najafpour et al. (2006)
CSTR
80,0
62,5
Tong and Jaafar (2006)
IAAB
99,0
64,0
Chan et al. (2012)
Sistem gabungan reaktor anaerobik tingkat tinggi (AHR + ABF) dan (AHR + ADF)
93,5
78,2
Choi et al. (2013)
CSTR (suhu 55oC + pengadukan 100 rpm)
86,86
67,58
Hasil penelitian
CSTR (suhu 45oC + pengadukan 100 rpm)
84,31
67,58
Hasil penelitian
CSTR (suhu 27 - 28oC + pengadukan 100 rpm)
57,25
60,70
Hasil penelitian
Metode Fluidized bed UASB UASFF pada berbagai penanganan limbah cair
Sumber Rujukan
Keterangan : DTT : data tidak tersedia 4.2.6 Potensi Energi Listrik dan Pengurangan GRK dari LCPKS Di Provinsi Lampung Sampai pada tahun 2011 perusahaan yang memiliki pabrik pengolahan kelapa sawit di Provinsi Lampung berjumlah 13 unit tersebar di lima kabupaten, yaitu Kabupaten Lampung Selatan satu unit, Kabupaten Lampung Tengah empat unit, Kabupaten Tulang Bawang tiga unit, Kabupaten Mesuji tiga unit, dan Kabupaten Way Kanan dua unit. Total kapasitas terpasang pabrik kelapa sawit di Provinsi Lampung mencapai sekitar 622 ton TBS/jam. Perkembangan produksi CPO dan angka estimasi LCPKS selama tiga tahun (2009-2011) dapat dilihat pada Gambar 4.9.
47
1,132
Produksi CPO/LCPKS (ribuan ton)
1,200
1,057 960
1,000 800 600 400
352
320
CPO
377
LCPKS
200 2009
2010
2011
Tahun
Gambar 4.9 Perkembangan Produksi CPO dan LCPKS Provinsi Lampung (2009-2011)
Reduksi GRK (Ton CO2e)/thn
Potensi produksi LCPKS di Provinsi Lampung meningkat dari tahun ke tahun. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa setiap ton TBS menghasilkan sekitar 0,75 m3 LCPKS atau 3 ton LCPKS/ton CPO, sehingga pada tahun 2011 potensi LCPKS di Provinsi Lampung mencapai 1.132.382 ton atau 1.286.595 m3. Hasil penelitian Ditjen Perkebunan (2012), menunjukkan bahwa setiap ton tandan buah segar (TBS) kelapa sawit akan menghasilkan rata-rata air limbah 0,7 m3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fermentasi pada suhu 55oC selama 42 hari mampu menurunkan COD 86,86% atau dari COD 43.375 mg/L menjadi COD 5.700 mg/L. Menurut IPCC (2006), gas metana merupakan gas rumah kaca (GRK) dengan kekuatan 21 kali lebih kuat dibandingkan dengan gas karbon dioksida. Berdasarkan data produksi pabrik kelapa sawit tahun 2011, maka potensi pengurangan gas rumah kaca dari LCPKS di Provinsi Lampung mencapai 203.584 ton CO2e/tahun, dengan sebaran pada setiap kabupaten seperti pada Gambar 4.10. Perhitungan energi yang dihasilkan dan pengurangan emisi GRG dari LCPKS dapat dilihat pada Tabel 4.6 dan Tabel 4.7. 54.763
60,000
52.528
55.535
50,000 40,000 27.606
30,000 20,000
13.152
10,000 Lampung Selatan
Lampung Tengah
Tulang Bawang
Mesuji
Way Kanan
Kabupaten
Gambar 4.10 Potensi Pengurangan Emisi GRK dari LCPKS di Provinsi Lampung
48
Tabel 4.6 Hasil Perhitungan Energi yang Dihasilkan dan Pengurangan Emisi GRG dari LCPKS di Provinsi Lampung tahun 2011 Kabupaten Uraian TBS diolah (ton/tahun) COD masuk (mg/L) COD keluar (mg/L) Produksi LCPKS (m3/ tahun) CH4 Dihasilkan (m3/ tahun) Biogas Dihasilkan (m3/ tahun) LHV Biogas (MJ/ m3) Konsentrasi CH4 (%) Energi (MJ/ tahun) Energi (MJ) Efisiensi Konversi Energi (%) Power Dihasilkan (MW) CH4 Dihasilkan (mol CH4/ tahun) CH4 Dihasilkan (kg CH4/ tahun) Emisi CO2 (ton CO2e/ tahun) Emisi CO2 (kg CO2e/ton TBS)
Lampung Selatan
Lampung Tengah
Tulang Bawang
Mesuji Lampung
Way Kanan
Total Provinsi Lampung
110.825 43.375 5.700 83.119 876.821 1.339.885 23 65,44 30.817.357 0,98 35 0,34 39.144 626.301
461.447 43.375 5.700 346.086 3.650.857 5.578.938 23 65,44 128.315.566 4,07 35 1,42 162.985 2.607.755
442.619 43.375 5.700 331.965 3.501.894 5.351.306 23 65,44 123.080.033 3,90 35 1,37 156.335 2.501.353
467.954 43.375 5.700 350.966 3.702.338 5.657.607 23 65,44 130.124.970 4,13 35 1,44 165.283 2.644.527
232.613 43.375 5.700 174.460 1.840.375 2.812.310 23 65,44 64.683.121 2,05 35 0,72 82.160 1.314.554
1.715.459 43.375 5.700 1.286.595 13.572.286 20.740.046 23 65,44 477.021.047 15,13 35 5,29 605.906 9.694.490
13.152 119
54.762 119
52.528 119
55.535 119
27.605 119
203.584 119
49
Tabel 4.7 Perhitungan emisi gas metana dan biogas yang dihasilkan dari LCPKS (dasar 1 ton TBS diolah) Uraian TBS diolah CPO dihasilkan Produksi LCPKS Nilai COD masuk Nilai COD keluar Potensi Emisi GRK
Input data untuk perhitungan : Rendemen (TBS => CPO) Produksi LCPKS COD masuk COD keluar Produktivitas metana GWP gas metana Efisiensi pengurangan COD Konsentrasi metana dalam biogas LHV Biogas (65,44 % metana) Efisiensi Konversi Energi Biogas
Unit ton TBS ton CPO m3 kg COD kg COD m3 CH4 kmol CH4 kg CH4 kg CO2e
Nilai 1 0,22 0,75 43,37 5,70 7,91 0,35 5,65 118,68
% (Hasil penelitian) m3/ton TBS (Yuliasari et al., 2001) mg/L (Hasil penelitian) mg/L (Hasil penelitian) L metana/g COD LCPKS (Hasil penelitian) kg CO2/kg CH4 (IPCC, 2006) % (Hasil penelitian) % vol. (Hasil penelitian)
22,03 0,75 43.750 5.700 0,28
MJ/ m3 (Pourmovahed et al., 2011) % (Yuswidjajanto, 2012)
21 86,86 65,44 23 35
Hasil penelitian di Thailand menunjukkan bahwa jika menggunakan penangkapan biogas maka emisi gas rumah kaca yang dihasilkan adalah 750 kg CO2e/ton CPO atau sekitar 150 kg CO2e/ton TBS, jika tidak menggunakan penangkapan biogas adalah 1.087 kg CO2e/ton CPO (Kaewmai et al., 2012). Menurut Tan et al. (2012), setiap ton CPO akan menghasilkan emisi gas rumah kaca sebesar 971 kg CO2e, tetapi jika menggunakan sitem penangkap gas metana, maka emisi gas rumah kaca yang dihasilkan hanya 506 kg CO2e per ton CPO atau 101,2 kg CO2e/ton TBS. Di sisi lain, gas metana hasil dari proses dekomposisi anaerobik bahan organik tersebut memiliki kandungan energi tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi terbarukan. Khemkhao et al. (2012) dan Kamahara et al. (2010) menyatakan bahwa LCPKS yang memiliki organic loading rates (OLR) antara 2,2 dan 9,5 g COD perliter perhari dengan perombakan anaerobik dapat menghasilkan biogas 13,2 liter/hari. Menurut Tong (2011), PKS dengan kapasitas produksi 60 ton TBS/jam atau 360.000 ton TBS/tahun akan menghasilkan LCPKS sebanyak 216.000 m3/tahun dengan total COD 10.800 ton/tahun. Produksi LCPKS tersebut dapat menghasilkan CH4 sebanyak 2.657 ton/tahun atau biogas 6.726.318 m3/tahun atau setara dengan
50
Potensi Energi Listrik (MW)
energi yang dihasilkan 133.398.934 MJ/tahun atau 31.859.243 M Cal./tahun atau 37.039 MWh/tahun. Menurut Soesanto dan Walandouw (2012), pabrik kelapa sawit dengan kapasitas 60 ton/jam akan menghasilkan LCPKS sebesar 21.500 m3 memiliki potensi menghasilkan energi listrik sebesar 2 MW. Hasil penelitian menunjukkan bahwa total potensi energi yang dihasilkan dari proses penangkapan gas metana LCPKS menjadi energi listrik di Provinsi Lampung mencapai 5,29 MW dari 1.715.459 ton TBS. Dari total energi listrik tersebut tersebar di lima kabupaten seperti dapat dilihat pada Gambar 4.14. Potensi energi yang dihasilkan dari setiap pabrik kelapa sawit di Provinsi Lampung sangat berbeda antara pabrik satu dengan yang lain. Hal ini disebabkan oleh kapasitas pabrik yang berbeda, mutu bahan baku, dan efisiensi pemakaian kapasitas riilpabrik. Jika kita bandingkan dengan penelitian-penelitian terdahulu, maka potensi energi dari LCPKS di Provinsi Lampung sangat rendah. Hal ini terjadi karena efisiensi pemanfaatan kapasitas riilrata-rata yang rendah yaitu 45%. 1.60
1,42
1,37
1,44
1.40 1.20 1.00 0,72
0.80 0.60 0.40
0,34
0.20 Kab. Lampung Kab. Lampung Selatan Tengah
Kab. Tulang Bawang
Kab. Mesuji
Kab. Way Kanan
Gambar 4.11 Potensi Produksi Energi Listrik dari LCPKS di Provinsi Lampung Pengolahan limbah cair industri minyak kelapa sawit dengan bioreaktor anaerobik dan pemanfaatan biogas sebagai pengganti bahan bakar minyak bumi/fosil dapat berkontribusi pada praktek produksi minyak kelapa sawit yang berwawasan lingkungan, sehingga produk sawit Indonesia lebih diterima di pasar internasional. Namun, perlu dicatat bahwa akurasi estimasi potensi emisi dan manfaat yang dapat diperoleh dari penggunaan biogas sebagai sumber energi alternative, sebaimana diilustrasikan di atas, dipengaruhi oleh akurasi input data yang terkait, terutama produksi biogas spesifik, komposisi biogas, porsi bahan organik yang terdegradasi secara anaerobik, harga biogas dan harga reduksi emisi (Suprihatin et al., 2012). 4.3 Analisis Internal, Analisis Eksternal, dan Analisis SWOT Penanganan LCPKS 4.3.1 Analisis Faktor Internal Data analisis faktor internal implementasi pemanfaatan LCPKS menjadi energi listrik dapat dilihat pada Lampiran 42 dan Lampiran 43. Matriks hasil analisis IFE penanganan LCPKS menjadi energi listrik dapat dilihat pada Tabel 4.15. Berdasarkan penilaian responden terhadap faktor kunci internal diperoleh total skor IFE adalah 2,514. Hasil tersebut menunjukkan bahwa posisi strategis industri kelapa
51
sawit di Provinsi Lampung berada pada posisi rata-rata dalam memanfaatkan kekuatan yang dimilikinya untuk menghadapi kelemahan internal. Alat perumusan strategis menggunakan Matriks Internal Factor Evaluasi (IFE) dapat digunakan untuk meringkas dan mengevaluasi kekuatan dan kelemahan suatu industri, termasuk industri kelapa sawit. Matriks IFE juga dapat memberikan dasar untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi hubungan diantara bidang-bidang fungsional tersebut, sehingga pemahaman yang baik mengenai faktor-faktor strategi internal yang dimasukkan lebih penting dibandingkan angkanya sendiri (David, 2002). Tabel 4.8 Matriks IFE Penanganan LCPKS menjadi Energi Listrik di Provinsi Lampung Faktor Penentu Faktor Kekuatan A PKS di Lampung telah memiliki unit pengolahan LCPKS dengan kapasitas yang cukup B Komitmen pimpinan PKS untuk mengikuti peraturan tentang lingkungan hidup cukup tinggi C Semua PKS telah memiliki SDM yang khusus dalam menangani LCPKS D LCPKS di Lampung memiliki potensi sebagai sumber energi (COD > 40.000 mg/L) E Semua PKS di Lampung memiliki lokasi yang tidak terlalu jauh dengan gardu jaringan PLN Faktor Kelemahan F Komitmen pimpinan perusahaan terhadap pemanfaatan LCPKS menjadi energi masih rendah G Biaya pengadaan teknologi pengolahan LCPKS menjadi biogas masih sangat tinggi H Belum semua pimpinan PKS di Lampung memahami Permen ESDM No 4 Tahun 2012 I Belum ada contoh industri PKS yang menjual energi berbasis biogas ke PT PLN (Persero) J Kapasitas riilPKS terpakai di Lampung masih rendah (kurang dari 60%) Jumlah
Bobot
Rating
Total Skor
Prioritas
0,095
3,67
0,350
IV
0,106
4,00
0,425
I
0,102
3,50
0,356
II
0,094
3,75
0,354
III
0,097
3,17
0,308
V
0,113
1,17
0,132
II
0,095
1,50
0,142
III
0,111
1,17
0,130
I
0,096
1,58
0,152
IV
0,089
1,83
0,164
V
1
2,514
Tabel 4.15 menunjukkan bahwa komitmen pimpinan PKS untuk mengikuti peraturan tentang lingkungan hidup merupakan kekuatan utama yang dimiliki oleh
52
kalangan industri kelapa sawit di Provinsi Lampung dengan jumlah skor 0,425. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Provinsi Lampung memiliki PKS sebanyak 13 unit yang tersebar di lima kabupaten. Semua PKS telah mengikuti semua peraturan berkaitan dengan lingkungan hidup yang diwajibkan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Salah satu bukti bahwa PKS taat untuk mengikuti peraturan pemerintah adalah semua PKS telah memiliki unit pengolahan limbah cair dan SDM yang khusus dalam menangani LCPKS. Hal ini menjadi modal dasar yang positif jika pemerintah mentargetkan 60 % PKS memiliki fasilitas methane capture pada tahun 2022. Menurut Mahendra (2013), penyebab para pemilik PKS tidak membangun fasilitas methane capture adalah komitmen pemilik PKS yang rendah, tidak ada peraturan yang mewajibkan, dan biaya investasi yang mahal. Selain itu, insentif yang ditawarkan pemerintah kurang menarik dan persyaratannya terlalu sulit dipenuhi (Soerawidjaja, 2012). Berdasarkan hasil analisis Matriks IFE, diketahui bahwa kelemahan utama adalah belum semua pimpinan PKS di Provinsi Lampung memahami Permen ESDM No 4 Tahun 2012. Permen tersebut berisi tentang mandatori dari pemerintah bahwa PT PLN (Persero) harus membeli energi listrik dari masyarakat yang berbahan baku biogas dengan harga Rp 975,00/kwh. Hal ini disebabkan oleh rendahnya komitmen pimpinan perusahaan terhadap pemanfaatan LCPKS menjadi energi listrik dan biaya pengadaan teknologi pengolahan LCPKS menjadi biogas masih sangat tinggi (Wirawan, 2012). 4.3.2. Analisis Faktor Eksternal Data analisis SWOT faktor eksternal implementasi pemanfaatan LCPKS menjadi energi listrik dapat dilihat pada Lampiran 44 dan Lampiran 45. Matriks hasil analisis EFE penanganan LCPKS menjadi energi listrik dapat dilihat pada Tabel 4.16. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa komitmen pemerintah yang sangat tinggi untuk membeli energi berbasis limbah merupakan peluang yang sangat besar untuk dimanfaatkan oleh kalangan industri kelapa sawit di Provinsi Lampung. Hal ini didukung oleh mulai terbukanya peluang pasar terhadap biomasa berbasis kelapa sawit seperti cangkang dari biji kelapa sawit. Peluang tersebut juga dikuatkan oleh kebutuhan energi dunia yang cenderung terus meningkat dan kebutuhan energi dalam negeri yang belum tercukupi (Winarno, 2012). Dalam rangka mendorong pengembangan tenaga listrik dari pembangkit tenaga listrik yang menggunakan energi terbarukan termasuk biogas dan menata kembali pengaturan pembelian kelebihan tenaga listrik (excess power) dari masyarakat, maka pemerintah berkomitmen dengan mengeluarkan Permen ESDM No. 4 Tahun 2012. Permen tersebut menugaskan PT PLN (Persero) membeli kelebihan tenaga listrik (excess power) dari masyarakat yang menggunakan energi terbarukan dengan harga tertentu (Hutapea, 2012). Industri kelapa sawit di Provinsi Lampung menghadapi peluang sekaligus ancaman dalam implementasi penanganan LCPKS menjadi energi listrik. Matriks EFE dapat memberi penjelasan mengenai peluang dan ancaman yang dihadapi industri kelapa sawit dalam penanganan LCPKS menjadi energi listrik. Berdasarkan hasil analisis Matriks EFE, diperoleh jumlah skor rata-rata untuk faktor kunci eksternal adalah sebesar 2,651 artinya kemampuan perusahaan untuk memanfaatkan peluang yang ada dan mengatasi ancaman-ancaman yang dihadapi oleh perusahaan berada pada kondisi menengah.
53
Faktor-faktor yang menjadi ancaman utama adalah belum adanya regulasi yang mewajibkan PKS melakukan penangkapan gas metana dari LCPKS dan pada tahap implementasi penjualan energi ke PLN (Persero) masih menemui banyak kendala (Soerawidjaja, 2012). Beberapa kendala penjualan energi listrik yang diproduksi oleh masyarakat ke PT PLN (Persero) antara lain tuntutan kontinyuitas dan biaya penyambungan dari pembangkit ke gardu induk PLN (Adhi, 2012). Tabel 4.9 Matriks EFE Penanganan LCPKS menjadi Energi Listrik di Provinsi Lampung Faktor Penentu Faktor Peluang A Kebutuhan energi dunia dan dalam negeri belum tercukupi dan cenderung terus meningkat B Komitmen pemerintah untuk membeli energi berbasis limbah sangat tinggi C Komitmen dunia dan Indonesia untuk menurunkan emisi GRK D Mulai terbukanya peluang pasar terhadap biomasa berbasis kelapa sawit E Kampanye pemanfaatan energi yang bersumber dari energi terbarukan semakin kuat Faktor Ancaman F Subsidi pemerintah terhadap energi yang bersumber dari fosil masih tinggi G Keberlanjutan program CDM diragukan dan harga perdagangan karbon sangat rendah H Biaya pembangunan unit pengolahan LCPKS menjadi biogas masih mahal I Belum ada regulasi yang mewajibkan PKS melakukan penangkapan gas metana dari LCPKS J Pada tahap implementasi penjualan energi ke PLN (Persero) masih menemui banyak kendala Jumlah
Bobot
Rating
Total Skor
Prioritas
0,097
3,17
0,309
III
0,111
3,33
0,370
I
0,098
2,67
0,261
IV
0,101
3,25
0,329
II
0,095
2,67
0,252
V
0,093
2,33
0,217
III
0,089
2,58
0,230
IV
0,107
2,50
0,267
V
0,110
1,83
0,202
I
0,099
2,17
0,214
II
1
2,651
Berdasarkan dari perhitungan matriks IFE dan EFE diperoleh jumlah skor rata-rata sebesar 2,514 dan 2,651. Penggabungan antara nilai IFE dan EFE pada matriks IE akan menunjukkan posisi implementasi pemanfaatan LCPKS menjadi energi listrik berada pada sel ke lima (V) seperti yang diperlihatkan pada Gambar 4.15. Berdasarkan gambar matriks IE tersebut dapat diketahui bahwa pemanfaatan LCPKS menjadi energi listrik di Provinsi Lampung berada pada sel lima (V), sehingga strategi terbaik yang sebaiknya dilakukan adalah menjaga dan mempertahankan (hold and maintain) posisi yang selama ini sudah diraih. Kebijakan yang umum dari strategi ini adalah dengan melakukan penetrasi pasar dan mengembangkan produk baru. Artinya pemilik dan manajemen PKS harus
54
mempertahankan posisinya dengan terus mengembangkan produknya, termasuk biogas dan biomasa yang lain. Bentuk strategi yang dihasilkan pada matriks IE hanya menghasilkan strategi alternatif secara umum tanpa adanya implementasi yang lebih teknis pada perusahaan. Oleh karena itu, matriks IE dilengkapi juga oleh matriks SWOT yang berupa langkah-langkah kongkrit untuk dilakukan oleh perusahaan.
Total Rata-rata Tertimbang EFE
Total Rata-rata Tertimbang IFE Kuat Rata-rata Lemah (3,0 - 4,0) (2,0 - 2,9) (1,0 - 1,9) Tinggi (3,0 - 4,0)
I
II
III
Sedang (2,0 - 2,9)
IV
V
VI
Rendah (1,0 - 1,9)
VII
VIII
IX
Gambar 4.12 Matriks IE (Internal-Eksternal) Penanganan LCPKS di Provinsi Lampung 4.3.3 Analisis Strength, Weakness, Opportunities, dan Threats (SWOT) Setelah melakukan analisis terhadap faktor internal dan eksternal, selanjutnya dapat diformulasikan alternatif strategi dengan menggunakan Matriks SWOT, yang merupakan kombinasi dari strategi kombinasi SO (strengths-Opportunities), ST (Strenghts-Threats), WO (Weaknesses-Opportunities) dan WT (WeaknessesThreats). Perumusan strategi yang dibangun dengan menggunakan Matriks SWOT dapat dilihat pada Gambar 4.16. Dari analisis Matriks SWOT diperoleh enam jenis strategi yang dapat dijelaskan sebagai berikut : 1) Strategi Strengths-Opportunity (SO) Strategi SO adalah strategi menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk memanfaatkan peluang yang ada, maka strategi yang sebaiknya dilakukan adalah (a) pembuatan regulasi yang mewajibkan semua PKS memanfaatkan energi listrik yang bersumber dari biogas LCPKS (POME) dan (b) mendorong peningkatan infrastruktur yang menunjang bisnis biomasa berbasis kelapa sawit 2) Strategi Weakness-Opportunity (WO) Strategi WO adalah strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang. Strategi WO yang dapat digunakan yaitu (a) sosialisasi Permen ESDM No 4/ 2012 kepada para pengambil keputusan/pimpinan PKS dan (b) pembuatan contoh pemanfaatan LCPKS menjadi biogas dan energi listriknya dibeli PT PLN (Persero). 3) Strategi Strengths-Threats (ST) Strategi ST yaitu strategi memanfaatkan kekuatan untuk menghindari ancaman, yaitu pembuatan petunjuk pelaksanaan yang akomodatif tentang penjualan energi listrik berbasis biogas ke PT PLN (Persero).
55
4) Strategi Weakness-Threats (WT) Strategi WT merupakan strategi untuk mengurangi kelemahan dan menghindari ancaman. Strategi yang dapat diambil adalah pengembangan teknologi biogas berbasis LCPKS yang murah untuk digunakan kepentingan sendiri. Kekuatan (Strengths)
IFAS
1. Komitmen PKS mengikuti peraturan yang berlaku cukup tinggi 2. Semua PKS telah memiliki SDM yang khusus menangani LCPKS 3. LCPKS berpotensi sebagai sumber energi listrik 4. Semua PKS telah memiliki unit pengolahan LCPKS
EFAS 5. Lokasi PKS tidak terlalu jauh dengan gardu PLN Peluang (Opportunities) 1. Komitmen pemerintah membeli energi berbasis limbah sangat tinggi 2. Mulai terbukanya peluang pasar terhadap biomasa kelapa sawit 3. Kebutuhan energi belum mencukupi dan cenderung terus meningkat 4. Komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi GRK 5. Kampanye pemanfaatan energi terbarukan semakin kuat Ancaman (Threaths) 1. Belum ada regulasi penangkapan gas metana dari LCPKS 2. Implementasi penjualan energi ke PLN masih banyak kendala. 3. Subsidi pemerintah terhadap energi fosil masih tinggi
Strategi SO
Kelemahan (Weakness) 1. Belum semua pimpinan PKS memahami Permen ESDM No. 4/ 2012 2. Komitmen PKS dalam memanfaatkan LCPKS menjadi energi rendah 3. Pengadaan teknologi biogas dari LCPKS masih mahal 4. Belum ada contoh PKS yang menjual energi listrik biogas ke PT PLN 5. Kapasitas riilPKS terpakai masih rendah ( < 50%) Strategi WO
SO-1: Pembuatan regulasi WO-1: Sosialisasi PERMEN yang mewajibkan semua ESDM No 4/ 2012 PKS memanfaatkan kepada para pengambil energi listrik yang keputusan di PKS bersumber dari biogas WO-2: Pembuatan contoh LCPKS (POME) pemanfaatan LCPKS menjadi biogas dan SO-2: Mendorong peningkatan energi listriknya dibeli infrastruktur yang PT PLN (Persero) menunjang bisnis biomasa berbasis kelapa sawit
Strategi ST Pembuatan petunjuk pelaksanaan yang akomodatif tentang penjualan energi listrik berbasis biogas ke PT PLN (Persero)
Strategi WT Pengembangan teknologi biogas berbasis LCPKS yang murah untuk digunakan kepentingan sendiri
4. Keberlanjutan CDM diragukan dan harganya cerus melemah 5. Biaya pembangunan Biogas dari LCPKS masih mahal
Keterangan : IFAS : Internal Strategic Factors Analysis Summary EFAS : External Strategic Factors Analysis Summary Gambar 4.13 Matriks SWOT Implementasi Pemanfaatan LCPKS menjadi Energi Listrik di Provinsi Lampung
56
4.4 Analisis Strategi Implementasi Pemanfaatan LCPKS menjadi Energi Listrik 4.4.1 Analisis Kandungan Teknologi Dalam melakukan analisis kandungan teknologi digunakan dua fokus analisis, yaitu kandungan teknologi antar PKS di Provinsi Lampung dan analisis kandungan teknologi PKS di Provinsi Lampung dibandingkan dengan PKS PTPN V Unit Usaha Tandun Provinsi Riau. Analisis kandungan teknologi antar PKS di Provinsi Lampung dibedakan antara PKS milik BUMN (dua pabrik: A dan B), PKS milik perusahaan swasta yang telah go public (Go Public Companies) (dua pabrik: C dan E), dan PKS milik perusahaan swasta yang belum go public (Private Conpanies) (sembilan pabrik: D, F, G, H, I, J, K, L, dan M). 4.4.1.1 Kandungan Teknologi Penanganan LCPKS di Provinsi Lampung (a) Proses Penanganan LCPKS di Lampung Proses penanganan LCPKS (POME) menjadi energi listrik di Lampung belum ada. Sampai saat ini yang ada adalah proses penanganan LCPKS sebelum dibuang ke perairan umum atau dimanfaatkan menjadi pupuk cair (land application). Tahapan penanganan LCPKS Di Provinsi Lampung dapat dikelompokkan menjadi empat tahap proses transformasi seperti dapat dilihat pada Gambar 4.14.
Pendinginan & Pengendapan
Perombakan Anaerobik
Perombakan Aerobik
Pemanfaatan Akhir
Gambar 4.14 Penyederhanaan Proses Penanganan LCPKS di Lampung Dari Gambar 4.14 dapat dilihat bahwa proses penanganan LCPKS sangat sederhana dan hampir sama dengan proses penanganan limbah cair industri pengolahan hasil pertanian secara umum. Proses transformasi yang dikaji meliputi hal-hal berikut : (1) Proses Pendinginan dan Pengendapan Proses ini merupakan suatu proses pendinginan suhu LCPKS, penghilangan pasir, tanah, dan kotoran yang sifatnya mudah mengendap. Proses pendinginan dan pengendapan umumnya memerlukan waktu sekitar tiga sampai lima hari. Keluaran dari proses tersebut harus memenuhi persyaratan suhu cairan sekitar 30–60oC dan kotoran (pasir dan tanah) jumlahnya diusahakan sedikit mungkin. (2) Proses Perombakan Anaerobik Proses anaerobik merupakan tahapan perombakan yang dilakukan mikroorganisme secara anaerobik. Pada tahap proses anaerobik terjadi konversi dari makro molekul (protein, lemak, dan karbohidrat) menjadi bahan berupa gas metana (CH4). Dekomposisi anaerobik merupakan proses mikroorganisme tumbuh dan menggunakan energi dengan memetabolisis bahan organik dalam lingkungan anaerobik dan menghasilkan gas metana. Keluaran dari proses
57
tersebut harus memenuhi persyaratan, terjaadinya penurunan nilai BOD dan COD, menghasilkan gas metana, dan menghasilkan aroma tidak sedap. (3) Proses Perombakan Aerobik Pada tahap perombakan aerobik terjadi penyerapan oksigen oleh molekul air, penguapan gas-gas mudah menguap (volatile), dan aktifnya mikroorganisme yang memerlukan oksigen. Keluaran dari proses tersebut harus memenuhi persyaratan, yaitu terjadi peningkatan oksigen terlarut dan nilai COD rendah (kurang dari 5.000 ppm). (4) Proses Pemanfaatan Akhir Proses pemanfaatan akhir LCPKS yang sering dilakukan pada saat ini adalah land application. Proses land application dilakukan dengan cara memompakan LCPKS ke dalam sistem irigasi tanaman kelapa sawit. Selain sebagai sumber air, LCPKS juga berfungsi sebagai pupuk organik (Ditjen PPHP Deptan, 2006). (b) Derajat Kecanggihan Komponen Teknologi Penanganan LCPKS di Provinsi Lampung Batas bawah (LL) dan batas atas (UL) derajat kecanggihan setiap komponen teknologi ditentukan dengan metode skoring. Pada kasus pengolahan LCPKS di Provinsi Lampung terjadi sedikit perbedaan antara PKS milik BUMN, PKS milik perusahaan yang sudah go public dan perusahaan swasta yang belum go public. Data hasil rekapitulasi penentuan batas bawah (LL) dan batas atas (UL) derajat kecanggihan setiap komponen teknologi PKS di Provinsi Lampung dapat dilihat pada Lampiran 27 sampai Lampiran 29. Hasil perhitungan LL dan UL untuk setiap komponen teknologi dapat dilihat pada Tabel 4.10. (c) State-of-the-art dan Hasil Perhitungan Kandungan Teknologi Penanganan LCPKS di Provinsi Lampung Data hasil penelitian State-of-the-art dan hasil perhitungan kandungan teknologi penanganan LCPKS di Provinsi Lampung dapat dilihat pada Lampiran 30 sampai Lampiran 36. Berdasarkan kriteria-kriteria yang ditetapkan, state-of-the-art dan hasil perhitungan kandungan teknologi penanganan LCPKS di Lampung dapat dihitung seperti dapat dilihat pada Tabel 4.11 sampai Tabel 4.13.
58
Tabel 4.10 Batas Atas (UL) dan Batas Bawah (LL) Derajat Kecanggihan Komponen Teknologi Penanganan LCPKS di Lampung Derajat Kecanggihan Komponen Teknologi
BUMN
PT Go Public
PT Swasta
LL
UL
LL
UL
LL
UL
1,20
3,00
1,20
3,20
1,00
3,00
1,60
3,20
1,60
3,20
1,20
3,00
Proses Aerobik
1,20
3,20
1,20
3,20
1,00
3,00
Proses penanganan akhir limbah HUMANWARE Pekerja
3,80
5,40
3,80
5,80
1,20
5,00
1,40
3,00
1,20
3,00
1,20
3,00
Supervisor Manajer/Eksekutif
1,60 2,20
3,40 3,40
1,40 2,20
3,40 3,40
1,40 1,20
3,00 3,20
INFOWARE
4,00
5,80
3,40
6,40
3,40
6,20
3,80
5,40
3,60
6,00
3,40
5,60
TECHNOWARE Proses Pendinginan dan Pengendapan Proses Anaerobik
ORGAWARE
Keterangan
BUMN, PT Go Public, dan PT Swasta : peralatan dan metodenya masih dilakukan secara sederhana dan alami. BUMN, PT Go Public, dan PT Swasta : dilakukan di dalam kolam dengan kedalaman lebih dari 5 m. Di PKS milik BUMN telah merencanakan penangkapan gas metana BUMN, PT Go Public, dan PT Swasta : Peralatan dalam proses aerobik masih manual dan prosesnya sangan sederhana. BUMN dan PT Go Public telah dimanfaatkan untuk land application, sedangkan PT Swasta ada yang land application ada yang belum Pada level pekerja dan supervisor di BUMN, PT Go Public, dan PT Swasta tidak memiliki kemampuan adapting dan improving. Pada level eksekutif di BUMN dan PT Go Public lebih perhatian dibandingkan eksekutif di PT Swasta dalam penanganan LCPKS. Pemanfaatan teknologi informasi antar PKS di Lampung untuk penanganan LCPKS hampir sama. Organisasi yang menangani LCPKS di Lampung hampir sama yaitu dari bagian produksi.
59
Tabel 4.11 Kandungan Teknologi Penanganan LCPKS di Lampung (BUMN) No
I 1.1
1.2 1.3 1.4
II 2.1 2.2 2.3 III IV
Komponen Teknologi
TECHNOWARE Proses Pendinginan dan Pengendapan Proses Anaerobik Proses Aerobik Proses penanganan akhir limbah HUMANWARE Pekerja Supervisor Manajer/Eksekutif INFOWARE ORGAWARE
Batas Bawah LTi
Batas Atas UTi
Bobot
STi
Kontribusi Normal Ti
Kontribusi Total
1,20
3,00
0,27
0,19
0,10
0,26
1,60 1,20 3,80
3,20 3,20 5,40
0,08 0,35 0,39
0,19 0,21 0,49
0,50 0,20 0,20
1,40 1,60 2,20 4,00 3,80
3,00 3,40 3,40 5,80 5,40
0,28 0,64 0,68 0,26 0,34
0,21 0,31 0,34 0,50 0,48
0,20 0,20 0,60 1,00 1,00
SoA
0,30
0,50 0,48
Keterangan : SoA = State of the art Tabel 4.12 Kandungan Teknologi Penanganan LCPKS di Lampung (Perusahaan Swasta yang Sudah Go Public) No
Komponen Teknologi
I TECHNOWARE 1.1 Proses Pendinginan dan Pengendapan 1.2 Proses Anaerobik 1.3 Proses Aerobik 1.4 Proses penanganan akhir limbah II HUMANWARE 2.1 Pekerja 2.2 Supervisor 2.3 Manajer/Eksekutif III INFOWARE IV ORGAWARE
Batas Bawah LTi
Batas Atas UTi
Bobot
STi
Kontribusi Normal Ti
Kontribusi Total
1,20
3,20
0,27
0,19
0,10
0,26
1,60 1,20 3,80
3,20 3,20 5,80
0,07 0,34 0,37
0,19 0,21 0,51
0,50 0,20 0,20
1,20 1,40 2,20 3,40 3,60
3,00 3,40 3,40 6,40 6,00
0,26 0,62 0,68 0,25 0,32
0,19 0,29 0,34 0,46 0,49
0,20 0,20 0,60 1,00 1,00
SoA
0,30
0,46 0,49
60
Tabel 4.13 Kandungan Teknologi Penanganan LCPKS di Lampung (Perusahaan Swasta) No
Komponen Teknologi
I TECHNOWARE 1.1 Proses Pendinginan dan Pengendapan 1.2 Proses Anaerobik 1.3 Proses Aerobik 1.4 Proses penanganan akhir limbah II HUMANWARE 2.1 Pekerja 2.2 Supervisor 2.3 Manajer/Eksekutif III INFOWARE IV ORGAWARE
Batas Bawah
Batas Atas
SoA
Kontribusi Normal
LTi
UTi
STi
Ti
1,00
3,00
0,27
1,20 1,00 1,20
3,00 3,00 5,00
1,20 1,40 1,20 3,40 3,40
3,00 3,00 3,20 6,20 5,60
Bobot
Kontribusi Total
0,17
0,10
0,18
0,08 0,34 0,24
0,15 0,19 0,23
0,50 0,20 0,20
0,26 0,64 0,30 0,23 0,27
0,19 0,27 0,20 0,45 0,44
0,20 0,20 0,60 1,00 1,00
0,21
0,45 0,44
Hasil perhitungan pada Tabel 4.11 sampai Tabel 4.12 tersebut disajikan dalam bentuk diagram THIO (Gambar 4.15). Dari diagram tersebut menunjukkan bahwa adanya kesamaan nilai-nilai THIO PKS di Lampung, terutama dalam aspek Orgaware dan Infoware. Terlihat proses penanganan LCPKS yang dikelola BUMN dan perusahaan swasta go public relatif lebih baik dibanding perusahaan swasta dalam aspek Technoware dan Humanware. Technoware Perusahaan Go Public
0.8 0.6
BUMN Perusahaan Swasta
0.2 0.2 0.8
0.6
0.4
0.2
0.4
0.6
0.8
Orgaware
Humanware
0.4
0.2 0.4 0.6 0.8
Infoware
Gambar 4.15 Diagram THIO Penanganan LCPKS di Provinsi Lampung
61
4.4.1.2 Kandungan Teknologi Antara PKS di Provinsi Lampung dan PTPN V Tandun Provinsi Riau (a) Derajat Kecanggihan Komponen Teknologi Penanganan LCPKS Data hasil rekapitulasi penentuan batas bawah (LL) dan batas atas (UL) derajat kecanggihan setiap komponen teknologi antara PKSI di Provinsi Lampung dan PKS PTPN V Tandun dapat dilihat pada Lampiran 37 dan Lampiran 38. Penentuan batas bawah (LL) dan batas atas (UL) derajat kecanggihan setiap komponen teknologi digunakan metode skoring. Pada kasus pengolahan LCPKS di Provinsi Lampung dan PKS di PTPN V Tandun hasil perhitungan LL dan UL untuk setiap komponen teknologi dapat dilihat pada Tabel 4.14. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa unit penanganan LCPKS PTPN V Tandun lebih baik dalam proses kolam anaerobiknya. Hal ini terjadi karena PTPN V Tandun telah melakukan penangkapan gas metana untuk digunakan sebagai energi listrik. Tabel 4.14 Batas Atas (UL) dan Batas Bawah (LL) Derajat Kecanggihan Komponen Teknologi Penanganan LCPKS di Lampung dan PTPN V Tandun
Komponen Teknologi
PKS Lampung LL UL
PTPN V Tandun LL UL
Keterangan
TECHNOWARE Proses Pendinginan dan Pengendapan
1,20 3,20 1,40
Proses Anaerobik
1,20 3,20 3,80
Proses Aerobik
1,20 3,40 1,20
Proses penanganan akhir limbah HUMANWARE
3,60 5,60 4,00
Pekerja Supervisor Manajer/Eksekutif
1,20 3,40 1,20 1,40 3,40 1,60 1,60 3,40 4,20
INFOWARE
3,40 6,20 4,00
ORGAWARE
3,60 5,80 6,60
3,20 Peralatan penangan limbah cair di PKS Lampung dan PTPN V Tandun masih manual dan prosesnya masih alami. 7,40 PKS Lampung : Dibiarkan terbuka di dalam kolam dengan kedalaman lebih dari 5 m. PTPN V Tandun : Dilakukan penangkapan gas metana. 3,40 PKS Lampung dan PTPN V Tandun masih manual dan prosesnya sangat sederhana. 5,60 Dialirkan dan dimanfaatkan untuk land application 3,00 Pekerja dan supervisor di PKSI Lampung 4,20 dan PTPN V Tandun memiliki kemampuan 6,00 adapting dan improving yang sama, sedangkan eksekutif di PKS Lampung lebih rendah dibandingkan eksekutif di PTPN V Tandun dalam penanganan limbah cair. 6,60 Pemanfaatan teknologi informasi di PKS Lampung hampir sama dengan yang digunakan di PTPN V Tandun 8,20 Organisasi penanganan limbah cair di PKS Lampung belum terlalu jelas, sedangkan di PTPN V Tandun cukup jelas.
Menurut Mahendra (2013), pemanfaatan biogas dari LCPKS telah dilaksanakan oleh PTPN V Unit Tandun Provinsi Riau sejak tahun 2011. Dalam pelaksanaannya PTPN V Unit Tandun menggunakan teknologi covered in-ground
62
anaerobic digester (cigar) untuk mengolah LCPKS menjadi biogas. Selanjutnya biogas yang dihasilkan digunakan untuk membangkitkan boiler yang menghasilkan energi listrik. Dari hasil penghematan akibat subtitusi biogas untuk bahan bakar selama satu tahun sebesar Rp 3.301.322.000.00. (b) State-of-the-art dan Hasil Perhitungan Kandungan Teknologi Penanganan LCPKS di Provinsi Lampung dan PKS PTPN V Tandun Data hasil rekapitulasi penentuan state-of-the-art setiap komponen teknologi antara PKSI di Provinsi Lampung dan PKS PTPN V Tandun dapat dilihat pada Lampiran 39 dan Lampiran 45. State-of-the-art setiap komponen teknologi dinilai skornya berdasarkan kriteria yang ditentukan oleh pakar. Hasil penelitian penentuan state-of-the-art dan hasil perhitungan kandungan teknologi PKS di Provinsi Lampung dan PKS PTPN V Tandun dapat dilihat pada Tabel 4.15 dan 4.16. Tabel 4.15 Kandungan Teknologi Penanganan LCPKS di Provinsi Lampung No
Komponen Teknologi
I TECHNOWARE 1.1 Proses Pendinginan dan Pengendapan 1.2 Proses Anaerobik 1.3 Proses Aerobik 1.4 Proses penanganan akhir limbah II HUMANWARE 2.1 Pekerja 2.2 Supervisor 2.3 Manajer/Eksekutif III INFOWARE IV ORGAWARE
Batas Batas Kontribusi SoA Bawah Atas Normal Bobot LTi UTi STi Ti 1,20
3,20
0,28
0,196
0,10
1,20 1,20 3,60
3,20 3,40 5,60
0,09 0,34 0,40
0,154 0,216 0,489
0,50 0,20 0,20
1,20 1,40 1,60 3,40 3,60
3,40 3,40 3,40 6,20 5,80
0,36 0,62 0,62 0,27 0,33
0,221 0,293 0,302 0,462 0,480
0,20 0,20 0,60 1,00 1,00
Kontribusi Total 0,24
0,28
0,46 0,48
Tabel 4.16 Kandungan Teknologi Penanganan LCPKS di PTPN V Tandun No
Komponen Teknologi
I TECHNOWARE 1.1 Proses Pendinginan dan Pengendapan 1.2 Proses Anaerobik 1.3 Proses Aerobik 1.4 Proses penanganan akhir limbah II HUMANWARE 2.1 Pekerja 2.2 Supervisor 2.3 Manajer/Eksekutif III INFOWARE IV ORGAWARE
Batas Batas Bawah Atas LTi UTi
Bobot
STi
Kontribusi Normal Ti
Kontribusi Total 0,55
SoA
1,40
3,20
0,30
0,216
0,10
3,80 1,20 4,00
7,40 3,40 5,60
0,82 0,34 0,45
0,752 0,217 0,525
0,50 0,20 0,20
1,20 1,60 4,20 4,00 6,60
3,00 4,20 6,00 6,60 8,20
0,82 0,86 0,88 0,37 0,59
0,297 0,426 0,643 0,551 0,838
0,20 0,20 0,60 1,00 1,00
0,53
0,55 0,84
63
Hasil perhitungan pada Tabel 4.15 dan Tabel 4.16 tersebut dapat pula disajikan dalam bentuk diagram THIO (Gambar 4.16). Diagram tersebut memperlihatkan adanya kesenjangan nilai-nilai THIO di PKS Lampung dan PTPN V Tandun, sehingga jika PKS di Provinsi Lampung ingin menerapkan teknologi penangkapan gas metana menjadi energi listrik, maka PKS di Provinsi Lampung harus meningkatkan Technoware, Humanware,Infoware, dan Orgaware. Technoware 1
PKS PTPN V Tandun
0.8 0.6
PKS Lampung
0.2 0.2 0.8
0.6
0.4
0.4
0.2 0.2
0.6
0.8
1
Orgaware
Humanware
0.4
0.4 0.6 0.8 1
Infoware
Gambar 4.16 Diagram THIO Penanganan LCPKS di Lampung dan PTPN V Tandun 4.4.2 Analisis AHP (Analytical Hierarchy Process) Hasil analisis SWOT menunjukkan bahwa terdapat enam strategi yang perlu dipilih untuk implementasi pemanfaatan LCPKS menjadi energi listrik di Provinsi Lampung. Strategi-strategi tersebut adalah sebagai berikut: a. Pemerintah membuat regulasi yang mewajibkan semua PKS memanfaatkan energi listrik yang bersumber dari biogas LCPKS b. Mendorong pemerintah meningkatkan infrastruktur yang menunjang bisnis biomasa berbasis kelapa sawit c. Sosialisasi Permen ESDM No. 4/2012 kepada para pengambil keputusan/ pimpinan PKS d. Pembuatan contoh pemanfaatan LCPKS menjadi biogas dan energi listriknya dibeli PT PLN (Persero). e. Pembuatan petunjuk pelaksanaan yang akomodatif tentang penjualan energi listrik berbasis biogas ke PT PLN (Persero). f. Pengembangan teknologi biogas berbasis LCPKS yang murah untuk digunakan bagi kepentingan sendiri.
64
Penentuan skala prioritas strategi dilakukan dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) dengan narasumber dari pelaku bisnis, konsultan bisnis, akademisi, pemerintah pusat dan daerah. Beberapa keuntungan metode AHP antara lain dapat diterapkan untuk memecahkan berbagai problema yang terukur, tidak terukur, maupun yang memerlukan suatu judgment, dan menghasilkan model tunggal yang mudah dipahami (Saaty, 2000; Wang et al., 2011). Struktur hirarki strategi implementasi pemanfaatan LCPKS menjadi energi listrik dapat dilihat pada Gambar 4.17. Data hasil penelitian penentuan faktor yang berperan dalam strategi implementasi pemanfaatan LCPKS menjadi energi listrik dapat dilihat pada Lampiran 46 dan rekapitulasinya dapat dilihat pada Tabel 4.17. Hasil analisis menunjukkan bahwa dari kelima faktor tersebut faktor komitmen pemerintah untuk membeli energi berbasis limbah sangat tinggi menempati prioritas pertama dengan bobot 28,89 %. Dewasa ini komitmen pemerintah untuk membeli energi berbasis limbah sangat tinggi, hal ini dapat dilihat dari regulasi dalam bentuk Peraturan Menteri ESDM tentang harga energi listrik berbasis limbah yang disesuaikan secara regular (Hutapea, 2012). Faktor yang kedua adalah kebutuhan energi dunia dan dalam negeri belum tercukupi dan cenderung terus meningkat, dengan bobot 25,97 %. Pada periode 2012-2031 PT PLN (Persero) memprediksi kebutuhan energi listrik Indonesia akan naik rata-rata 10,1% per tahun. Hal ini lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan kebutuhan listrik selama 10 tahun terakhir yang mengalami peningkatan rata-rata 9,2%/tahun. Pada tahun 2011 rasio kelistrikan Indonesia baru mencapai 67,98% dan ditargetkan mencapai 91 % di tahun 2019 (PT. PLN, 2012). Bahkan di Provinsi Lampung pada tahun 2011 rasio kelistrikan baru mencapai 45 %, dari jumlah kepala keluarga 1.575.974 KK (BPS Propinsi Lampung, 2012). Faktor yang ketiga adalah mulai terbukanya peluang pasar terhadap biomasa berbasis kelapa sawit, dengan bobot 18,33%. Biomasa yang sudah memiliki peluang pasar adalah cangkang kernel kelapa sawit. Cangkang kernel kelapa sawit digunakan untuk campuran batubara pada mesin boiler (Yuswidjajanto, 2012). Faktor yang keempat adalah komitmen dunia dan Indonesia untuk menurunkan emisi GRK. Faktor kelima adalah kampanye pemanfaatan energi yang bersumber dari energi terbarukan semakin kuat.
65
IMPLEMENTASI PEMANFAATAN POME MENJADI ENERGI ENERGI MENJADI LISTRIK LISTRIK
Goal :
Faktor : Kebutuhan Energi Dunia Terus Meningkat
Komitmen Pemerintah Untuk Membeli Energi
Komitmen Dunia terhadap Emisi GRK
Peluang Pasar Biomasa Kelapa Sawit
Kampanye Energi Terbarukan Semakin Kuat
Aktor : Pemerintah Indonesia
Pengusaha PKS
Masyarakat Internasional
Strategi : Regulasi Kewajiban PKS POME >> Biogas
Peningkatan Infrastruktur Biomasa Kelapa Sawit
Sosialisasi PERMEN ESDM No 4 thn 2012
Pembuatan Contoh Industri Biogas POME dibeli PT PLN
Gambar 4.17 Struktur Hirarki Implementasi Pemanfaatan LCPKS menjadi Energi Listrik
Pembuatan Juklak yang Akomodatif Penjualan Listrik ke PT PLN
Pengembangan Teknologi Biogas Berbasis POME yang Murah
66
Tabel 4.17 Faktor yang Berperan dalam Strategi Implementasi Pemanfaatan LCPKS Menjadi Energi Listrik Faktor-faktor
Bobot (%)
Prioritas
A Kebutuhan energi dunia dan dalam negeri belum tercukupi dan cenderung terus meningkat B Komitmen pemerintah untuk membeli energi berbasis limbah sangat tinggi C Komitmen dunia dan Indonesia untuk menurunkan emisi GRK D Mulai terbukanya peluang pasar terhadap biomasa berbasis kelapa sawit E Kampanye pemanfaatan energi yang bersumber dari energi terbarukan semakin kuat
25,97
II
28,89
I
16,81
IV
18,33
III
10,00
V
Data hasil penelitian penentuan aktor yang berperan dalam strategi implementasi pemanfaatan LCPKS menjadi energi listrik dapat dilihat pada Lampiran 47 dan rekapitulasinya dapat dilihat pada Tabel 4.18. Hasil analisis menunjukkan bahwa dari ketiga aktor tersebut, aktor Pemerintah Indonesia menempati prioritas pertama dengan bobot 48,96 %. Pemerintah Indonesia sebagai aktor memiliki peran yang penting yaitu regulator. Peraturan yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia dapat memaksa pengusaha PKS untuk mebangun methane facilities. Pemerintah Indonesia yang dimaksud adalah badan atau kementerian yang ditugaskan oleh negara untuk mengatur tentang implementasi Pemanfaatan LCPKS Menjadi Energi Listrik. Pemerintah Indonesia dalam hal ini dapat Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Perindustrian, Kementerian ESDM, atau lintas kementerian. Keberhasilan implementasi pemanfaatan LCPKS menjadi energi listrik juga sangat tergantung pada komitmen pengusaha PKS (Mahendra, 2013). Hal ini karena pengusaha PKS sebagai subjek dan sekaligus sebagai obyek dalam pelaksanaan. Lebih lanjut Mahendra (2013) menyatakan bahwa selama ini sudah ada beberapa PKS yang melakukan implementasi penangkapan gas metana atas inisiataif pengusaha. Sedangkan Masyarakat Internasioal yang mencakup LSM penggiat lingkungan dan konsumen, perannya paling kecil, hal ini karena peran yang diberikan tidak mengikat secara langsung. Tabel 4.18 Aktor dalam Strategi Implementasi Pemanfaatan LCPKS menjadi Energi Listrik Aktor
Bobot Gabungan
Prioritas
A Pemerintah Indonesia
48,96
I
B Pengusaha PKS
29,86
II
C Mayarakat Internasional
21,17
III
67
Data hasil penelitian penentuan skala prioritas strategi implementasi pemanfaatan LCPKS menjadi energi listrik dapat dilihat pada Lampiran 48 sampai Lampiran 50 dan rekapitulasinya dapat dilihat pada Tabel 4.19. Tabel tersebut memperlihatkan bahwa strategi pembuatan regulasi yang mewajibkan semua PKS memanfaatkan energi listrik yang bersumber dari biogas LCPKS menempati urutan pertama. Mahendra (2013) menyatakan bahwa pemanfaatan LCPKS menjadi energi listrik akan berdampak positif terhadap industri kelapa sawit nasional. Dampak positif yang dapat diperoleh adalah (1) pengurangan emisi gas rumah kaca dari gas metana, (2) penghematan energi, walaupun industri kelapa sawit saat ini merupakan industri surplus energi, (3) penghilangan dampak negatif lainnya seperti bau tidak sedap, dan (4) memunculkan peluang bisnis baru, yaitu produksi dan distribusi biogas. Munculnya strategi yang mewajibkan semua PKS memanfaatkan energi dari LCPKS akan berdampak positif terhadap industri kelapa sawit nasional, yaitu: (1) Pengurangan gas rumah kaca dari pemanfaatan gas metana (2) Penghematan energi, walaupun industri kelapa sawit saat ini merupakan industri surplus energi. Pemenfaatan biogas dapat mengurangi penggunaan biomasa yang lain, sehingga PKS memungkinkan untuk mendapat pendapatan dari penjualan biomasa, seperti cangkang kelapa sawit (3) Penghilangan dampak negatif lainnya seperti bau tidak sedap (4) Memunculkan peluang bisnis baru, yaitu produksi dan distribusi biogas terkompres untuk mobil, seperti yang telah dilakukan para peneliti di Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan. Tabel 4.19 juga memperlihatkan bahwa strategi kedua adalah mendorong peningkatan infrastruktur yang menunjang bisnis biomasa berbasis kelapa sawit. Kelapa sawit sebagai sumber energi belum tergali secara maksimum. Potensi sumber energi dari kelapa sawit antara lain cangkang, sabut buah, dan batang kelapa sawit. Karakteristik energi yang berasal dari biogas LCPKS memiliki potensi untuk digunakan PKS itu sendiri, sedangkan biomasa yang lain memiliki potensi untuk dijual. Oleh karena itu, peningkatan infrastruktur yang menunjang bisnis biomasa berbasis kelapa sawit penting untuk ditingkatkan. Pembuatan petunjuk pelaksanaan yang akomodatif tentang penjualan energi listrik berbasis biogas ke PT PLN (Persero) menempati prioritas ketiga. Strategi ini berkaitan dengan kenyataan di lapangan bahwa sampai saat ini belum ada PKS yang memproduksi biogas dan kelebihan energinya di jual ke PT PLN (Persero). Walaupun sudah ada Permen ESDM No. 4 tahun 2012 yang menyatakan bahwa PT PLN (Persero) wajib membeli energi listrik berbasis biogas LCPK seharga Rp 975,00/kwh tetapi kenyataan di lapangan masih manyak masalah. Tabel 4.19 memperlihatkan bahwa strategi pengembangan teknologi biogas berbasis LCPKS yang murah untuk digunakan kepentingan sendiri menempati prioritas kelima. Hal ini mungkin para pemilik PKS lebih senang membeli teknologi yang sudah ada dari pada mengembangkan teknologi sendiri. Hasanudin (2013) menyatakan bahwa sebagian besar teknologi biogas dari limbah hasil pertanian berasal dari luar negeri.
68
Tabel 4.19 Rekapitulasi Hasil Penentuan Skala Prioritas Strategi Implementasi Pemanfaatan LCPKS menjadi Energi Listrik
Strategi Implementasi Pemanfaatan LCPKS menjadi Energi Listrik A Pembuatan regulasi yang mewajibkan semua PKS memanfaatkan energi listrik yang bersumber dari biogas LCPKS (POME)
Pemerintah Indonesia (48,96 %) 0,3677
Pengusaha Masyarakat PKS Internasional (29,86 %) (21,17 %) 0,2099 0,2581
Bobot Gabungan
Skala Prioritas
29,73
I
B Mendorong peningkatan infrastruktur yang menunjang bisnis biomasa berbasis kelapa sawit
0,1857
0,1562
0,2279
18,58
II
C Sosialisasi PERMEN ESDM No 4/ 2012 kepada para pengambil keputusan/ pimpinan PKS
0,0753
0,1505
0,1024
10,35
VI
D Pembuatan contoh pemanfaatan LCPKS menjadi biogas dan energi listriknya dibeli PT PLN (Persero).
0,1417
0,1505
0,1004
13,56
IV
E Pembuatan petunjuk pelaksanaan yang akomodatif tentang penjualan energi istrik berbasis biogas ke PT PLN (Persero).
0,1445
0,2246
0,1866
17,73
III
F Pengembangan teknologi biogas berbasis LCPKS yang murah untuk digunakan kepentingan sendiri
0,0851
0,1083
0,1247
10,04
V
69
5 SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Total kapasitas terpasang pabrik kelapa sawit di Provinsi Lampung mencapai 622 ton/jam. Pada tahun 2011 kapasitas terpakai (riil) sekitar 45% dengan kendala utama bahan baku yang terbatas. Semua pabrik kelapa sawit di Provinsi Lampung telah memiliki unit pengolahan LCPKS seperti yang disyaratkan oleh pemerintah. Secara umum pabrik kelapa sawit melakukan proses penanganan limbah cair yang hampir sama, yaitu penurunan suhu LCPKS, proses anaerobik, dan proses aerobik. LCPKS kemudian dialirkan ke kolam indikator untuk selanjutnya dialirkan ke perairan umum. Beberapa PKS memanfaatkan LCPKS sebagai pupuk cair (land application), tetapi ada juga yang tidak dimanfaatkan sama sekali atau langsung dibuang ke perairan umum. Salah satu PKS telah memanfaatkan limbah cair sebagai sumber air untuk menyiram pada proses pembuatan kompos dan sebagai media budidaya Spirulina dan Chlorella. Fermentasi LCPKS pada suhu 55oC, 45oC, dan 27-28oC berturut-turut memerlukan waktu 42 hari untuk menurunkan COD 86,86%; 57 hari untuk menurunkan COD 84,31 %; dan 196 hari untuk menurunkan COD sebesar 57,25 %. Produksi metana pada fermentasi LCPKS suhu 55oC, 45oC, dan 27-28oC berturut-turut adalah 0,28 m3 ; 0,25 m3; and 0,19 m3 untuk setiap kg Penyisihan COD. Fermentasi LCPKS pada suhu 55oC, 45oC, dan 27-28oC berturut-turut mampu menghasilkan biogas dengan kandungan metana 65,44%; 62,57%; dan 59,15%. Penerapan teknologi CSTR pada suhu fermentasi 55oC selama 42 hari berpotensi menghasilkan energi listrik sebesar 5,29 MW dan berpotensi menurunkan emisi GRK sebesar 203.584 ton CO2e. Faktor kekuatan utama yang menjadi landasan untuk implementasi LCPKS menjadi energi listrik di Provinsi Lampung adalah (1) Adanya komitmen yang tinggi dari pimpinan PKS mengikuti peraturan pemerintah yang berlaku, (2) Semua PKS telah memiliki SDM yang khusus menangani LCPKS, dan (3) LCPKS berpotensi sebagai sumber energi listrik karena mililiki nilai COD lebih dari 40.000 mg/L. Sedangkan faktor kelemahan yang harus diperhatikan adalah (1) Belum semua pimpinan PKS memahami Permen ESDM No 4 tahun 2012, (2) Rendahnya komitmen pimpinan PKS dalam memanfaatkan LCPKS menjadi energi listrik, dan (3) Pengadaan teknologi biogas dari LCPKS masih mahal. Pengembangan pengolahan LCPKS menjadi energi listrik didukung oleh adanya peluang, yaitu (1) Adanya komitmen yang tinggi dari pemerintah untuk membeli energi berbasis limbah, (2) Mulai terbukanya peluang pasar terhadap biomasa kelapa sawit, dan (3) Peningkatan kebutuhan energi secara terus menerus. Ancaman yang perlu diperhatikan adalah (1) Belum ada regulasi yang mengatur penangkapan gas metana dari LCPKS, (2) Implementasi penjualan energi ke PLN masih banyak kendala, dan (3) Subsidi pemerintah terhadap energi fosil masih tinggi. Kandungan teknologi proses penanganan LCPKS di Provinsi Lampung hampir sama antara perusahaan milik pemerintah (BUMN), perusahaan milik swasta yang telah go public, dan perusahaan milik swasta yang belum go public (baru sebatas cukup memadai). Nilai kandungan teknologi diseluruh PKS di Provinsi Lampung masih berada di bawah nilai kandungan teknologi di PTPN V Tandun, yang telah menerapkan teknologi penangkapan metana dan mengkonversinya menjadi energi listrik. Untuk dapat menerapkan teknologi penangkapan gas metana menjadi energi listrik di semua
70
PKS di Provinsi Lampung, peningkatan kinerja technoware, humanware, infoware, dan orgaware (THIO) mutlak diperlukan. Enam strategi yang menjadi prioritas utama untuk implementasi pemanfaatan LCPKS menjadi energi listrik adalah (1) Pembuatan regulasi yang mewajibkan semua PKS memanfaatkan energi listrik yang bersumber dari biogas LCPKS, (2) Mendorong peningkatan infrastruktur yang menunjang bisnis biomasa berbasis kelapa sawit, (3) Pembuatan petunjuk pelaksanaan yang akomodatif tentang penjualan energi listrik berbasis biogas ke PT PLN (Persero), (4) Pembuatan contoh pemanfaatan LCPKS menjadi biogas dan energi listriknya dibeli PT PLN (Persero), (5) Pengembangan teknologi biogas berbasis LCPKS yang murah untuk digunakan kepentingan sendiri, dan (6) Sosialisasi Permen ESDM No. 4/2012 kepada para pengambil keputusan/ pimpinan PKS. 5.2 Saran Diperlukan regulasi pemerintah tentang (1) pengaturan pembangunan pabrik kelapa sawit terutama PKS yang tidak memiliki kebun kelapa sawit sendiri dan (2) batas maksimum emisi gas rumah kaca yang berasal dari unit pengolahan LCPKS. Diperlukan petunjuk pelaksanaan yang lebih rinci Permen ESDM No 4 tahun 2012 tentang harga pembelian tenaga listrik oleh PT PLN (Persero) dari pembangkit tenaga listrik yang menggunakan energi terbarukan skala kecil dan menengah. Sosialisasi yang lebih luas tentang insentif-insentif yang diberikan pemerintah kepada badan usaha atau perseorangan yang melakukan proses pengolahan limbah menjadi energi listrik perlu dilakukan secara menyeluruh dan berkelanjutan. Perlu dilakukan penelitian lanjut tentang (1) model-model kemitraan pemanfaatan energi listrik dari LCPKS untuk masyarakat di sekitar pabrik kelpa sawit, (2) Pemanfaatan air buangan dan sludge hasil dari proses pengolahan LCPKS menjadi energi listrik, dan (3) Aplikasi suhu pada proses produksi biogas dengan sistem kontinyu. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ditjen Dikti Depdikbud atas bantuan finansial penelitian ini melalui skim Penprinas MP3EI Tahun 2012. Terima kasih juga disampaikan kepada seluruh pimpinan perusahaan PKS di Provinsi Lampung, dan kepada Direksi dan Pimpinan PTPN V, atas bantuan data, informasi, dan diskusi. Ucapan terimakasih juga disampaikan untuk Laboratorium Pengelolaan Limbah Agroindustri, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung dan Laboratorium Analisis Politeknik Negeri Lampung. DAFTAR PUSTAKA Abdurahman NH, Rosli YM, and Azhari NH. 2011. Development of a membrane anaerobic system (MAS) for palm oil mill effluent (POME) treatment. Desalination, 266: 208–212. Adhi AC. 2012. Pemanfaatan pembangkit bioenergi untuk mengurangi penggunaan BBM dan peningkatan akses listrik. Lokakarya Analisis dan Evaluasi Program
71
Bioenergi Dirjen EBTK Kementerian ESDM. Bandar Lampung, 10-11 September 2012. Ahmad A, Setiadi T, Syafilla M, dan Liang OB. 2001. Studi kinetika reaksi hidrolisis senyawa kompleks organik dalam proses biodegradasi anaerob. J. Biosains. 1: 1016. Ahmad AL, Ismail S, and Bhatia S. 2003. Water recycling from palm oil mill effluent using membrane technology. Desalination. 157: 87-95. Ahmad A, Bahruddin, Said ZA, dan David A. 2012. Uji kinerja bioreaktor hibrid anaerob dalam mengolah limbah cair pabrik kelapa sawit dengan beban kejut. Prosiding Seminar Nasional dan Kongres MAKSI 2012. Bogor, 26 Januari 2012. APHA. 1998. Standard method for examination of wastewater. 20th Edition. American Public Health Association.Washington DC. Alkadri, Ati Widiati, Aunur Rofiq Hadi, Dodi Slamet Riyadi, Dwi Martono Arlianto, Fathoni Moehtadi, Hamid, Kusrestuwardhani, Muchdie, Nunu Noviandi, Siswanto, Sewoyo, Socia Prihawantoro, Sri Handoyo Mukti, Sri Rudatin. 1999. Manajemen Teknologi untuk Pengembangan Wilayah (Konsep Dasar, Contoh Kasus, dan Implikasi Kebijakan). Edisi Revisi. Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta. Badiei M, Jamaliah MJ, Nurina A, Siti RSA, Lim SS, Kamaruzzaman MA. 2012. Microbial community analysis of mixed anaerobic microflora in suspended sludge of asbr producing hydrogen from palm oil mill effluent. International Journal of Hydrogen Energy. 37: 3169-3176. Baloch MI, Akunna JC, and Collier PJ. 2007. The Performance of a phase separated granular bed bioreactor treating brewery wastewater. Bioresource Technol. 98: 1849-1855. Bitton G. 1999. Wastewater microbiology. 2nd Edition. Wiley-Liss Inc. NewYork. Borja R and Banks CJ. 1994a. Anaerobic digestion of palm oil mill effluent using an up-flow anaerobic sludge blanket reactor. Biomass and Bioenergy. 6: 381-389. Borja R and Banks CJ. 1994b. Treatment of palm oil mill effluent by upflow anaerobic filtration. Journal of Chemical Technology and Biotechnology. 61: 103-109. Borja R and Banks CJ. 1995a. Response of an anaerobic fluidized bed reactor treating ice-cream wastewater to organic, hydraulic, temperature and pH shocks. Journal of Biotechnology. 39: 251-259. Borja R and Banks CJ. 1995b. Comparison of an anaerobic filter and an anaerobic fluidized bed reactor treating palm oil mill effluent. Process Biochemistry. 30: 511-521. Borja R and Banks CJ. 1994c. Anaerobic digestion of palm oil mill effluent using an up-flow anaerobic sludge blanket reactor. Biomass and Bioenergy. 6: 381-389. Chan YJ, Mei FC, and Chung LL. 2010. Biological treatment of anaerobically digested palm oil milleffluent (POME) using a lab-scale sequencing batch reactor (SBR). Journal of Environmental Management. 91: 1738-1746. Chan YJ, Mei FC, Chung LL. 2012. An integrated anaerobic–aerobic bioreactor (IAAB) for the treatment of palm oil mill effluent (POME): Start-up and steady state performance. Process Biochemistry. 47: 485–495. Chang R. 2005. Kimia Dasar: Konsep-konsep Inti. Edisi ketiga. Alih Bahasa Suminar Setiati Achmadi. Penerbit Erlangga. Jakarta.
72
Chen WM, Tseng ZJ, and Lee KS, Chang JS. 2005. Fermentative hydrogen production with clostridium butyricum CGS5 isolated from anaerobic sewage sludge. Int. J. Hydrogen Energy. 30: 1063-1070. Chong MF, Abdul RR, Shirai Y, Hassan MA. 2009. Biohydrogen production by clostridium butyricum EB6 from palm oil mill effluent. Int. J. Hydrogen Energy. 34: 764-771. Choi WH, Chang HS, Sung MS, Praveen AG, Jeong JK, Joo YP. 2013. Anaerobic treatment of palm oil mill effluent using combined high-rate anaerobic reactors. Bioresource Technology. Xxx: xxx- xxx. Choorit, W. and Wisarnwan, P. 2007. Effect of Temperature On The Anaerobic Digestion Of Palm Oil Mill Effluent. Electronic Journal of Biotechnology. 10: 376-385 Darminto F. 2010. Komoditas perkebunan unggulan (Komoditi Kelapa Sawit). Dinas Perkebunan Provinsi Lampung. Bandar Lampung. David FR. 2006. Strategic Management: Concepts and Cases. 10th Ed. Alih bahasa : Ichsan Setyo Budi. Penerbit Salemba Empat. Jakarta. Deublin D and Steinhauser A. 2008. Biogas from waste and renewable resource. Wiley-VCH Verlag GmbH & Co. KgaA. Weinheim. Ditjen Perkebunan. 2011. Policy of government of indonesia on sustainable palm oil (ISPO). International Conference and Exhibition of Palm Oil. Jakarta, 11-13 May. Ditjen Perkebunan. 2012. Statistik Perkebunan Indonesia 2012. Ditjen Perkebunan Deptan. Jakarta. Ditjen PPHP Deptan. 2006. Pedoman Pengelolaan Limbah Industri Kelapa Sawit. Ditjen PPHP Deptan. Jakarta. Gumbira-Sa’id E., Rachmayanti M, dan Muttaqin Z. 2004. Technology management of agribusiness: The key to the global competitiveness of agribusiness products, 2nd Ed. Ghalia Indonesia, Jakarta. HACH Company. 2004. DR/4000 Spectrophotometer Models 48000 and User Manual 08/04 3ed. HACH Company World Headquarters. Corolado. Hasanudin U. 2013. Potensi penyediaan energi dari limbah industri sawit, tepung tapioka, dan peternakan. Lokakarya dan Seminar Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia (IKABI). Bogor, 10-11 September 2013. Houghton SJ. 2009. Global Warming: The Complete Briefing. 4th Edition. Cambridge University Press. Hu B and Chen SL. 2007. Pretreatment of methanogenic granules for immobilized hydrogen fermentation. Int. J. Hydrogen Energy. 32: 3266-3273. Hutapea M. 2012. Capaian pengembangan bioenergi. lokakarya analisis dan evaluasi program bioenergi Dirjen EBTK Kementerian ESDM. Bandar Lampung, 10-11 September 2012. ICRA. 2005. Biomass for electricity generation in ASEAN. Background Paper, Final Version 7.0. http://www.Innovation Energie Developpment (IED). ICRA. ECASEAN programme.org/pdf (8 Februari 2012). Indrasti N S. 2012. Prinsip dasar dalam penerapan produksi bersih pada agroindustri. Pelatihan Pengolahan Limbah Agroindustri Menuju Produksi Bersih. Bogor, 27 Juni 2012. IPCC. 2006. Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories, Prepared by the National Greenhouse Gas Inventories Programme, Eggleston H.S., Buendia L., Miwa K., Ngara T. and Tanabe K. (eds). Published: IGES, Japan.
73
Janurianto A. 2011. The role of palm oil business players to people prosperity: “BSP” Experience. International Conference and Exhibition of Palm Oil. Jakarta, 11-13 May 2011. Kaewmai R, Aran HK, Charongpun M. 2012. Greenhouse gas emissions of palm oil mills in thailand. International Journal of Greenhouse Gas Control. 11: 141-151. Kamahara H, Udin H, Anugerah W, Ryuichi T, Yoichi A, Naohiro G, Hiroyuki D, Koichi F. 2010. Improvement potential for net energy balance of biodiesel derived from palm oil: A case study from Indonesian practice. biomass and bioenergy. 34:1818-1824. Kapdi AA, Vijay VK, Rajest S K, and Prasat R. 2004. Biogas scrubbing compression and storage: perspectives and prospectus in india context. Renewable Energy. 4: 1-8. Khemkhao M, Nuntakumjorn B, Techkarnjanaruk S, and Chantaraporn P. 2011. Effect of chitosan on UASB treating POME during a transition from mesophilic to thermophilic conditions. Bioresource Technology 102: 4674–4681 Khemkhao M, Nuntakumjorn B, Techkarnjanaruk S, and Phalakornkule C. 2012. UASB performance and microbial adaptation during a transition from mesophilic to thermophilic treatment of palm oil mill effluent. Journal of Environmental Management. 103: 74-82. Khanal SK. 2008. Anaerobic Biotechnology for Bioenergy Production. USA: Blackwell Publishing. Lam MK and Keat TL. 2011. renewable and sustainable bioenergies production from palm oil mill effluent (pome): win–win strategies toward better environmental protection. Biotechnology Advances Journal. 29:124-14. Marimin dan Maghfiroh. 2011. Aplikasi Teknik Pengaambilan Keputusan dalam Manajemen Rantai Pasok. Cetakan kedua. IPB Press. Bogor Mahajoeno E, Lay BW, Sutjahjo SH, dan Siswanto. 2008. Potensi limbah cair pabrik minyak kelapa sawit untuk produksi biogas. Biodiversitas. 9:48-52. Mahendra B. 2013. Methane capture utilization for power plant. International Conference and Exhibition on Palm Oil. JICC Jakarta, 7-9 May 2013. MENKLH. 1995. Buku Panduan Penerapan Produksi Bersih pada Industri Kelapa Sawit. KLH-RI-NORAD. Jakarta. Metcalf and Eddy. 2003. Wastewater Engineering: Treatment, Disposal, and Reuse. 4th ed. McGraw-Hill. Singapore. Mohammadi P, Ibrahim S, Suffian M, Annuar M, Sean L. 2011. Effects of different pretreatment methods on anaerobic mixed microflora for hydrogen production and COD reduction from palm oil mill effluent. Journal of Cleaner Production. 19: 1654-1658. Najafpour GD, Zinatizadeh AL, Mohamed AR, Hasnain IM, and Nasrollahzadeh H. 2006. High-rate anaerobic digestion of palm oil mill effluent in an upflow anaerobic sludge-fixed film bioreactor. Process Biochemistry. 41: 370-379. Panda H and K Ramanathan. 1997. Technological capability assessment as an input for strategic planning: Case Studies at Electricitd de France and Electricity Berating Authority of Thailand. Technovation. 17:359-390. Pemerintah Provinsi Lampung. 2010. Peraturan Gubernur Lampung No 7 Tahun 2010 tentang Baku Mutu Air Limbah bagi Usaha dan/atau Kegiatan di Provinsi Lampung. Bandar Lampung.
74
Pourmovahed A, Opperman T, and Lemke B. 2011. Performance and efficiency of a biogas CHP system utilizing a stirling engine. International Conference on Renewable Energies and Power Quality (ICREPQ’11) Las Palmas de Gran Canaria (Spain), 13th to 15th April. Porteous A. 1998. Energy from Waste: A wholly acceptable waste-management solution. Applied Energy. 58: 177-208 PT PLN (Persero). 2012. Statistical of PLN 2011. PT PLN (Persero). Jakarta. Rahardjo PN. 2009. Studi banding teknologi pengolahan limbah cair pabrik kelapa sawit. J. Teknik Lingkungan. 10:9-18. Romli M. 2010. Teknologi pengolahan limbah anaerobik. TML Publikasi. IPB. Bogor. Saaty TL. 2000. The Analytical Hierarchy Process: Planning Priority Setting Resources Allocation. Edition 2nd. McGraw Hill Int. Book Company, New York. Shimadzu Corporation. 2004. GC-2014 Gas Chromathography Instruction Manual. Shimadzu Corporation Analitical and Measuring Instrument Division. Kyoto. Japan. Shinagawa Corporation. 2006. Gas Production Instrustion Manual. Sinagawa Corporation. Japan. Smith R and Sharif N. 2007. Understanding and acquiring technology assets for global competition, Technovation. 27: 643–649. Soerawidjaja HT. 2012. Pengembangan kemampuan dalam negeri untuk mendukung kemandirian energi berbasis sumber daya hayati. Lokakarya Analisis dan Evaluasi Program Bioenergi Dirjen EBTK Kementerian ESDM. Bandar Lampung, 10-11 September 2012. Soesanto C dan Walandouw LKS. 2012. Indonesia Experience in Developing Biogas Utilization from POME. International Conference and Exhibition on Palm Oil. JICC Jakarta Indonesia, 8-10 May 2012. Sompong OT, Poonsuk P, Nugul I, Srisuda D, and Birkeland NK. 2008. Optimization of simultaneous thermophilic fermentative hydrogen production and COD reduction from palm oil mill effluent by thermoanaerobacterium-rich sludge. Int. J. Hydrogen Energy. 33: 1221-1231. Sugiyono A. 2006. Penanggulangan Pemanasan global di sektor pengguna energi. Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca. 7: 15-19. Suprihatin, Indrasti NS, dan Romli M. 2008. Potensi penurunan emisi gas rumah kaca melalui pengomposan sampah. Jurnal Teknologi Industri Pertanian. 18: 53-59. Suprihatin, Gumbira-Sa’id E, Suparno O, dan Sarono. 2012. Potensi limbah cair pabrik kelapa sawit sebagai sumber energi alternatif. Prosiding Seminar Nasional PERTETA. Malang, 30 Nopember-2 Desember 2012. Tan YA, Muhamad H, Zulkifli H, Vijaya S, Puah CW, and Choo YM. 2012. GHG emissions inventories and mitigation strategies in the oil palm sector. 3rd International Conference on Oil Palm and Environment (ICOPE). Bali, Indonesia.22-24 February 2012. The US Environmental Protection Agency. 2012. Notice of data availability concerning renewable fuels produced from palm oil under the RFS Program. EPA-HQ-OAR2011-0542; FRL-9608-8. Tong SL. 2011. Recent developments on palm oil mill residues biogas recovery and utilisation. International Conference and Exhibition of Palm Oil. Jakarta, 11-13 May 2011.
75
Tong SL and Jaafar AB. 2006. POME Biogas capture. upgrading and utilization”. Palm Oil Engineering Bulletin. 78: 11-17 Trismidianto, Samiaji T, Hermawan E, Martono, dan Hadi M. 2008. Studi penentuan konsentrasi CO2 dan Gas Rumah Kaca (GRK) Di Wilayah Indonesia. SMART (Seminar on Application and Research in Industrial Technology). Jurusan Teknik Mesin dan Industri FT UGM Yogyakarta, 27 Agustus 2008. Tyler H D, and Ensminger M E. 2006. Dairy Cattle Science: Fourth Edition. Pearson Education Inc. New Jersey. United Nations Framework Convention on Climate Change-UNFCCC. 2005. Key GHG Data: Greenhouse Gas Emissions Data for 1990-2003. The United Nations Framework Convention on Climate Change. http://unfccc.int/national reports/ annex i ghg inventories/reporting requirements/items/2759.php. (8 Januari 2012) Venterea RT, Burger M, and Spokas KA. 2005. Nitrogen oxide and fertilizer management. Journal Environment. 34:1467-1477. Vijaya S, Ma AN, Choo YM. 2010. Capturing biogas: a means to reduce green house gas emissions for the production of crude palm oil. American Journal of Geoscience. 1: 1-6. Wang JL and Wan W. 2008. Comparison of different pretreatment methods for enriching hydrogen-producing cultures from digested sludge. Int. J. Hydrogen Energy. 33: 2934-2941. Wellinger A. 1999. Process Design of Agricultural Digesters. http://www. homepade. 2. nifty.com/biogas/cont/ref.doc/wherefdrcom/d.14prod.gas.pdf (23 Februari 2012). Wicke B, Veronika D, Martin J, Andre F. 2008. Different palm oil production systems for energy purposes and their green house gas implications. Biomass and Bioenergy. 32:1332-1337. Winarno D. 2012. Pengembangan Technopreneurship untuk Mengoptimalkan Pengembangan dan Pemanfaatan Bio-Energi. Lokakarya Analisis dan Evaluasi Program Bioenergi Dirjen EBTK Kementerian ESDM, Lampung, 10-11 September 2012. Wirawan SS. 2012. Solusi Jitu Penanggulangan Krisis Bahan Bakar Minyak (BBM), Perspektif Teknolog. Lokakarya Analisis dan Evaluasi Program Bioenergi Dirjen EBTK Kementerian ESDM, Lampung, 10-11 September 2012. Wu T. Yeong, Abdul WM, Jamaliah MJ, Nurina A. 2010. Pollution control technologies for the treatment of palm oil mill effluent (POME) Through end-ofPipe Processes. Journal of Environmental Management. 9:1467-1490. Yacob S, Hassan MA, Shirai Y, Wakisaka M, Subash S. 2005. Baseline study of methane emission from open digesting tanks of palm oil mill effluent treatment. Chemosphere. 59: 1575-1581. Yacob S, Hassan MA, Shirai Y, Wakisaka M, Subash S, 2006. Baseline Study of methane emission from anaerobic ponds of palm oil mill effluent treatment. Science of the Total Environment. 366: 187-196. Yuliasari R, Darnoko, Wulfred K and Gindulis W. 2001. Pengolahan limbah cair kelapa sawit dengan reaktor anaerobik unggun tetap tipe aliran ke bawah. Warta PPKS. 9: 75-81. Yuswidjajanto T. 2012. Produksi energi dari limbah biomassa. Pelatihan Pengolahan Limbah Agroindustri Menuju Produksi Bersih. Bogor, 27 Juni 2012.
77
Lampiran 1 Kode Nama Perusahaan, Kapasitas Pabrik, Jenis Produk, dan Lokasi Pabrik Kelapa Sawit di Provinsi Lampung Kode Nama Perusahaan PT. A PT. B PT. C PT. D PT. E PT. F PT. G PT. H PT. I PT. J PT. K PT. L PT. M
Kapasitas Pabrik (ton/jam) 45 25 45 72 60 70 40 45 45 40 30 45 60
Jenis Produk
Lokasi Pabrik
CPO dan PKO CPO CPO dan PKO CPO CPO CPO CPO dan PKO CPO CPO CPO CPO CPO CPO
Lampung Tengah Lampung Selatan Tulang Bawang Mesuji Lampung Tengah Tulang Bawang Way Kanan Mesuji Way Kanan Lampung Tengah Tulang Bawang Lampung Tengah Mesuji
Lampiran 2 Sumber Bahan Baku, Luas Kebun, dan Luas Pabrik Kelapa Sawit di Provinsi Lampung
Kode Nama Perusahaan PT. A PT. B PT. C PT. D PT. E PT. F PT. G PT. H PT. I PT. J PT. K PT. L PT. M
Sumber Bahan Baku (%) Sendiri
Masyarakat
60 60 50 60 60 60 50 50 10 -15 30 5 - 10 5 50 - 70
40 40 50 40 40 40 50 50 85 - 90 70 90 - 95 95 30 - 50
Luas Kebun Sendiri (Ha) 6.000 5.000 5.205 9.277 5.038 9.249 12.000 5.578 1.100 2.500 500 50 2.403
Luas (Ha) Pabrik 7 - 10 7 - 10 17 20 16 15 17 16 17 12 15 16 20
UPL Cair 3-4 3-4 4-6 5-6 5-6 4-5 4-5 3-4 4-5 6-8 2,5 - 5 2,5 - 5 4-5
78
Lampiran 3 Produksi CPO dan Rendemen PKS di Provinsi Lampung (2009-2011) NO
Kode Nama Perusahaan
Kapasitas (Ton/Jam)
TBS (Ton) 2009 2010
2011
CPO (Ton) 2009 2010
2011
Rendemen (%) 2009 2010 2011
1
PT. A
45
148.142
128.226
161.551
31.684
27.043
35.168
21,39 21,09
21,77
2
PT. B
25
92.333
114.100
110.825
20.579
25.489
25.427
22,29 22,34
22,94
3
PT. C
45
187.696
185.468
180.999
40.741
40.741
40.741
21,71 21,97
22,51
4
PT. D
72
294.513
294.790
288.058
65.186
65.186
65.186
22,13 22,11
22,63
5
PT. E
60
178.492
189.956
170.984
39.402
41.788
38.398
22,08 22,00
22,46
6
PT. F
70
208.741
220.232
199.781
45.969
48.753
44.798
22,02 22,14
22,42
7
PT. G
40
119.995
127.704
116.889
26.268
27.859
25.599
21,89 21,82
21,90
8
PT. H
45
115.577
105.525
97.334
25.149
22.971
21.411
21,76 21,77
22,00
9
PT. I
45
110.920
106.237
115.724
24.155
23.130
25.400
21,78 21,77
21,95
10
PT. J
40
4.087
18.501
25.026
800
3.530
4.801
19,57 19,08
19,18
11
PT. K
30
-
-
61.840
-
-
12.236
-
-
19,79
12
PT. L
45
-
120.617
103.886
-
25.695
21.675
- 21,30
20,86
13
PT. M
60
-
82.562
-
-
16.623
-
-
20,13
1.611.355 1.715.459 319.935
352.185
377.461
21,91 21,86
22,03
Jumlah
622 1.460.497
79
Lampiran 4 Kapasitas Terpasang, Produksi TBS, dan Kapasitas Riil PKS di Provinsi Lampung (2009-2011) Kapasitas Terpasang (Ton/Jam) (Ton/Thn) 45 275.400
Produksi TBS (Ton/Thn) 2009 2010 2011 148.142 128.226 161.551
Kapasitas Riil PKS (%) 2009 2010 2011 53,79 46,56 58,66
1
Kode Nama Perusahaan PT. A
2
PT. B
25
153.000
92.333
114.100
110.825
60,35
74,57
72,43
3
PT. C
45
275.400
187.696
185.468
180.999
68,15
67,35
65,72
4
PT. D
72
440.640
294.513
294.790
288.058
66,84
66,90
65,37
5
PT. E
60
367.200
178.492
189.956
170.984
48,61
51,73
46,56
6
PT. F
70
428.400
208.741
220.232
199.781
48,73
51,41
46,63
7
PT. G
40
244.800
119.995
127.704
116.889
49,02
52,17
47,75
8
PT. H
45
275.400
115.577
105.525
97.334
41,97
38,32
35,34
9
PT. I
45
275.400
110.920
106.237
115.724
40,28
38,58
42,02
10
PT. J
40
244.800
4.087
18.501
25.026
1,67
7,56
10,22
11
PT. K
30
183.600
-
61.840
-
-
33,68
12
PT. L
45
275.400
120.617
103.886
-
43,80
37,72
13
PT. M
60
367.200
-
82.562
-
-
22,48
Jumlah
622
3.806.640
1.715.459
36,88
41,46
44,97
NO
1.460.497
1.611.355
80
Lampiran 5 Produksi CPO dan Potensi Limbah Cair PKS di Provinsi Lampung (2009-2011) NO
Kode Nama Perusahaan
Kapasitas (Ton/Jam)
2009
CPO (Ton) 2010
2011
Potensi LCPKS (m3) 2010
2009
2011
1
PT. A
45
31.684
27.043
35.168
111.107
96.170
121.163
2
PT. B
25
20.579
25.489
25.427
69.250
85.575
83.119
3
PT. C
45
40.741
40.741
40.741
140.772
139.101
135.749
4
PT. D
72
65.186
65.186
65.186
220.885
221.092
216.043
5
PT. E
60
39.402
41.788
38.398
133.869
142.467
128.238
6
PT. F
70
45.969
48.753
44.798
156.556
165.174
149.836
7
PT. G
40
26.268
27.859
25.599
89.996
95.778
87.667
8
PT. H
45
25.149
22.971
21.411
86.683
79.144
73.001
9
PT. I
45
24.155
23.130
25.400
83.190
79.677
86.793
10
PT. J
40
800
3.530
4.801
3.066
13.876
18.770
11
PT. K
30
-
-
12.236
-
12
PT. L
45
-
25.695
21.675
-
13
PT. M
60
-
-
16.623
-
-
1.095.373
1.208.516
Jumlah
622
319.935
352.185,31
37.7460,79
90.463
46.380 77.914 61.922 1.286.595
81
Lampiran 6 Karakterisasai Limbah Cair PKS di Provinsi Lampung Kode Nama Perusahaan
COD (mg/L)
pH
Lemak (mg/L)
TSS (g/L)
PT. A
41.250
5,6
1.402
52,2349
PT. B
41.000
5,2
1.572
48,0040
PT. E
42.000
5,4
2.003
45,3331
PT. F
44.750
5,2
1.993
47,1045
PT. H
50.250
5,0
2.211
54,5002
PT. I
43.000
5,2
2.388
50,0035
PT. J
46.000
5,6
1.926
42,5332
PT. K
44.500
5,4
1.770
44,7750
PT. L
44.500
5,4
1,974
44,9231
PT. M
46.000
5,2
2.320
49,5348
Lampiran 7 Jenis Kolam Penanganan LCPKS di Provinsi Lampung Kode Nama Perusahaan
Cooling
Kolam-kolam Anaerobik Aerobik
Indikator
Peralatan
PT. A
ya
ya
tidak
tidak
Pompa dan pipa
PT. B
ya
ya
ya
ya
Pompa dan pipa
PT. C
ya
ya
ya
ya
Pompa dan pipa
PT. D
ya
ya
ya
ya
Pompa dan pipa
PT. E
ya
ya
ya
ya
Pompa dan pipa
PT. F
ya
ya
ya
ya
Pompa dan pipa
PT. G
ya
ya
ya
ya
Pompa dan pipa
PT. H
ya
ya
tidak
PT. I
ya
ya
ya
ya
Pompa dan pipa
PT. J
ya
ya
ya
ya
Pompa dan pipa
PT. K
ya
ya
tidak
PT. L
ya
ya
ya
ya
Pompa dan pipa
PT. M
ya
ya
ya
ya
Pompa dan pipa
tidak
tidak
Pompa dan pipa
Pompa dan pipa
82
Lampiran 8 Pemanfaatan LCPKS di Provinsi Lampung Kode Nama Perusahaan
Biogas
Pemanfaatan LCPKS Minyak Pupuk parid ya ya
Land Application ya
PT. A
Tahap studi
PT. B
belum
belum
ya
ya
PT. C
belum
belum
ya
ya
PT. D
belum
belum
ya
ya
PT. E
belum
belum
ya
ya
PT. F
belum
belum
ya
ya
PT. G
belum
belum
ya
ya
PT. H
belum
belum
ya
ya
PT. I
belum
belum
ya
ya
PT. J
belum
belum
ya
belum
PT. K
belum
belum
ya
belum
PT. L
belum
belum
ya
belum
PT. M
belum
belum
ya
ya
Keterangan : Ya = perusahaan sudah memanfaatankaan LCPKS sebagai biogas/ pupuk/ minyak parid/ land application Belum = perusahaan belum memanfaatankaan LCPKS sebagai biogas/ pupuk/ minyak parid/ land application
83
Lampiran 9 Fasilitas Penanganan LCPKS di Provinsi Lampung
NO
Kode Nama Perusahaan
Kapasitas (Ton/jam)
Limbah Cair (m3/Thn)
Kolam Cooling Kapasitas Retensi 3 (m ) (Hari)
1
PT. A
45
26.376
2.250
2
PT. B
25
19.070
3
PT. C
45
4
PT. D
5
Kolam Anaerobik Kapasitas Retensi 3 (m ) (Hari)
3-4
32.000
67
956
3
16.400
55
30.556
750
3-4
18.000
50 - 60
72
48.889
1.350
3-4
21.600
50 - 60
PT. E
60
28.798
1.080
3-4
22.500
50 - 60
6
PT. F
70
33.598
1.040
3-4
30.000
50 - 60
7
PT. G
40
19.199
960
3-4
18.750
50 - 60
8
PT. H
45
16.058
1.125
3-4
15.000
50 - 60
9
PT. I
45
19.050
960
3-4
18.000
50 - 60
10
PT. J
40
3.600
1.080
3-4
6.000
50 - 60
11
PT. K
30
9.177
800
3-5
10.800
50 - 65
12
PT. L
45
16.256
900
3-5
15.000
55
13
PT. M
60
12.467
1.008
3-5
21.000
55 - 70
84
Lampiran 9 Karakterisasai Proses Penanganan LCPKS di Provinsi Lampung (Lanjutan)
NO
Kode Nama Perusahaan
Kapasitas (Ton/jam)
Kolam Fakultatif Kapasitas Retensi 3 (m ) (Hari)
Kolam Aerobik Kapasitas Retensi 3 (m ) (Hari)
Kolam Indikator Kapasitas Retensi 3 (m ) (Hari)
Kolam Cadangan (m3)
1
PT. A
45
450
1
17.000
21
-
-
1.000
2
PT. B
25
2.600
5
3.936
14
1.280
4
1.000
3
PT. C
45
-
-
4.800
10 - 16
750
5 - 10
2.500
4
PT. D
72
-
-
9.600
10 - 16
750
5 - 10
3.500
5
PT. E
60
-
-
9.000
12 - 16
1.200
4-6
2.500
6
PT. F
70
-
-
12.000
12 - 16
1.260
4-6
2.500
7
PT. G
40
-
-
7.200
12 - 16
900
4-6
2.500
8
PT. H
45
-
-
4.800
12 - 16
750
5 - 10
2.500
9
PT. I
45
-
-
4.050
12 - 16
1.350
5 - 10
2.500
10
PT. J
40
-
-
3.000
12 - 16
1.200
5 - 10
2.500
11
PT. K
30
2.600
4-8
6.000
14
1.280
5 - 10
1.000
12
PT. L
45
2.600
5
8.100
14
900
4-7
1.000
13
PT. M
60
-
-
8.000
10 - 15
-
2.000
-
85
Lampiran 10 Manajemen Penanganan LCPKS di Provinsi Lampung
PT. A
4
SLTA
Ya
Lama Kerja (tahun) 10 -20
PT. B PT. C PT. D PT. E PT. F PT. G PT. H PT. I PT. J PT. K PT. L PT. M
4 5 4 3 2 2 2 2 2 2 2 2
SLTA SLTA SLTA SLTA SLTA SLTA SLTA SLTA SLTA SLTA SLTA SLTA
Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya
10 2-6 2-5 2-7 2-5 3-6 2-4 3-4 1-2 2-4 2-4 2-4
Kode Nama Perusahaan
Jumlah (orang)
Pendidikan
Training
Keterangan lain Dibawah bagian produksi Di bawah bag. Produksi Di bawah bag. Produksi Di bawah bag. Produksi Di bawah bag. Produksi Di bawah bag. Produksi Di bawah bag. Produksi Di bawah bag. Produksi Di bawah bag. Produksi Di bawah bag. Produksi Di bawah bag. Produksi Di bawah bag. Produksi Di bawah bag. Produksi
Lampiran 11 Analisis Sosial Penanganan LCPKS di Provinsi Lampung Kode Nama Perusahaan PT. A PT. B PT. C PT. D PT. E PT. F PT. G PT. H PT. I PT. J PT. K PT. L PT. M
Jarak UPL ke Keluhan terhadap dampak Limbah Cair Pabrik Permukiman Manajemen Karyawan Masyarakat (meter) (meter) 100 400 Tidak ada Tidak ada Tidak ada 100 600 Tidak ada Tidak ada Tidak ada 150 1.000 Tidak ada Tidak ada Tidak ada 150 1.000 Tidak ada Tidak ada Tidak ada 100 500 Tidak ada Tidak ada Tidak ada 150 1.000 Tidak ada Tidak ada Bau tidak sedap 150 1.000 Tidak ada Tidak ada Tidak ada 200 700 Tidak ada Bau tidak Bau tidak sedap sedap 200 1.500 Tidak ada Tidak ada Tidak ada 100 700 Tidak ada Tidak ada Tidak ada 150 500 Tidak ada Tidak ada Bau tidak sedap 150 400 Tidak ada Tidak ada Tidak ada 200 800 Tidak ada Tidak ada Tidak ada
86
Lampiran 12 Kondisi Listrik dan Harapan Masyarakat terhadap Penanganan LCPKS di Provinsi Lampung Kode Nama Perusahaan
Kondisi Listrik Masyarakat Sumber Kondisi
PT. A
PLN
Sering mati lampu (paling tidak seminggu sekali) Kadang setiap hari, kadang sebulan tidak mati Sering mati lampu
PT. B
PLN
PT. C
PLN
PT. D
PLN
Sering mati lampu
PT. E
PLN
Sering mati lampu
PT. F
PLN
Sering mati lampu
PT. G
PLN
Sering mati lampu
PT. H
PLN
Sering mati lampu
PT. I
PLN
Sering mati lampu
PT. J
PLN
Sering mati lampu
PT. K
PLN
Sering mati lampu
PT. L
PLN
PT. M
PLN
Sering mati lampu,tegangan tidak stabil Sering mati lampu,tegangan tidak stabil
Harapan Masyarakat Perusahaan menyediakan listrik untuk lingkungan, bayar tidak masalah yang penting lebih murah dan tidak sering mati Perusahaan menyediakan listrik untuk lingkungan, bayar tidak masalah yang penting lebih murah dan tidak sering mati Perusahaan menyediakan listrik untuk lingkungan, bayar tidak masalah yang penting lebih murah dan tidak sering mati Perusahaan menyediakan listrik untuk lingkungan, bayar tidak masalah yang penting lebih murah dan tidak sering mati Perusahaan menyediakan listrik untuk lingkungan, bayar tidak masalah yang penting lebih murah dan tidak sering mati Perusahaan menyediakan listrik untuk lingkungan, bayar tidak masalah yang penting lebih murah dan tidak sering mati Perusahaan menyediakan listrik untuk lingkungan, bayar tidak masalah yang penting lebih murah dan tidak sering mati Perusahaan menyediakan listrik untuk lingkungan, bayar tidak masalah yang penting lebih murah dan tidak sering mati Perusahaan menyediakan listrik untuk lingkungan, bayar tidak masalah yang penting lebih murah dan tidak sering mati Perusahaan menyediakan listrik untuk lingkungan, bayar tidak masalah yang penting lebih murah dan tidak sering mati Perusahaan menyediakan listrik untuk lingkungan, bayar tidak masalah yang penting lebih murah dan tidak sering mati PT KRL menyediakan listrik untuk lingkungan pabrik saja. Perusahaan menyediakan listrik untuk lingkungan
87
Lampiran 13 Aplikasi Permen ESDM No 4 Tahun 2012 di Provinsi Lampung Kode Nama Perusahaan PT. A
PT. B
PT. C PT. D PT. E
PT. F PT. G PT. H PT. I
PT. J
PT. K
PT. L
PT. M
Tanggapan terhadap Permen ESDM No 4 Tahun 2012
Tanggapan terhadap Harga Pembelian Energi Listrik Rp.975,/kwh
Sudah tahu, tapi bagaimana realisasi dilapangan tergantung Pimpinan/Direksi Sudah tahu, tapi bagaimana realisasi dilapangan
Harga bagus, sedang tender untuk pelaksanaan, Harapannya tidak rumit dalam membuat MoU Menunggu hasil dari PT. PNB, Biomas yang lain saja yang dijual (ada pasar), biogasnya untuk kebutuhan sendiri Harga tidak mempermasalahkan, tapi kemudahan untuk menjual ke PLN (bagaimana biaya jaringan, biaya pemasangan, biaya gardu, dll) Harga mungkin sudah bagus, tetapi belum jelas ke PLNnya, alternatifnya Biomas lainnya dijual, listrik biogasnya diolah untuk operasional sendiri. Mencontohkan PT GMP kelebihan energi sampai saat ini juga untuk kepentingan sendiri Pimpinan pernah menginformasikan, tetapi belum fokus ke limbah cair. Harga mungkin ok, tapi MoU denan PLN bagaimana (pasokan minimal, kontinyuitas, biaya jaringan, dll. Jika ada perusahan yang sudah jalan) Kelompok bisnis yang lain (Etanol) sedang mengembangkan biogas, tapi juga masih digunakan sendiri. Harga yang penting logis, yang jadi masalah biasanya di lapangan terutama teknisnya.
Sudah tahu, implementasi menunggu dari kantor pusat Sudah tahu, tapi bagaimana realisasi dilapangan Sudah tahu, realisasi menunggu keberhasilan di Tapioka Sudah tahu, tapi bagaimana realisasi dilapangan Sudah tahu, tapi bagaimana realisasi dilapangan Belum tahu secara jelas, kondisi pabrik tutup. Sudah tahu, implemetasi menunggu dari perusahaan yang sudah berhasil Sudah tahu, pesimis dengan kondisi kapasitas yang sangat rendah Belum tahu, menunggu keberhasilan pabrik-pbrik sejenis. Masih ragu-ragu bisa tidak, kalau bisa berapa energi yang dihasilkan Belum tahu secara detil, pernah mendengar dari media masa Belum tahu secara detil.
-
-
88
Lampiran 14 Produksi Biogas Harian Fermentasi LCPKS pada Suhu Berbeda (L/L LCPKS) o
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42
I 0,02 0,02 0,02 0,03 0,01 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,01 0,00 0,01 0,01 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,01 0,02 0,04 0,02 0,02 0,03 0,02 0,01 0,01 0,01 0,01 0,00 0,01 0,01 0,01 0,01 0,00 0,01 0,01 0,01 0,01
II 0,06 0,06 0,06 0,06 0,03 0,02 0,01 0,01 0,01 0,03 0,01 0,03 0,02 0,00 0,02 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Rata-rata 0,04 0,04 0,04 0,04 0,02 0,01 0,01 0,01 0,01 0,02 0,01 0,02 0,01 0,00 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,02 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,01 0,00 0,01 0,00 0,00 0,00
o
o
Suhu 27-28 C
Hari ke
Suhu 55 C
Suhu 45 C I 0,46 0,15 0,30 0,21 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,02 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,02 0,01 0,00 0,00 0,61 0,71 0,74 1,09 0,80 1,79 1,86 1,74 1,41 2,22 1,68 0,70 0,37 0,65 0,68 0,53 0,24 0,18
II 0,25 0,08 0,14 0,59 0,00 0,15 0,05 0,05 0,04 0,04 0,04 0,03 0,02 0,03 0,01 0,05 0,02 0,00 0,00 0,01 0,04 0,05 0,01 0,01 0,03 0,05 0,05 0,07 0,06 0,09 0,11 0,13 0,17 0,21 0,24 0,29 0,42 0,60 0,67 1,08 1,84 1,26
Rata-rata 0,36 0,11 0,22 0,40 0,00 0,08 0,03 0,02 0,02 0,02 0,03 0,02 0,01 0,01 0,01 0,02 0,01 0,00 0,00 0,00 0,03 0,03 0,01 0,01 0,32 0,38 0,39 0,58 0,43 0,94 0,98 0,94 0,79 1,21 0,96 0,50 0,40 0,63 0,68 0,80 1,04 0,72
I 0,51 0,31 0,09 0,08 0,12 0,12 0,13 0,29 0,17 0,12 0,12 0,12 0,05 0,19 0,18 0,12 0,27 0,08 0,26 0,23 0,22 0,25 0,13 0,33 0,43 0,50 0,42 0,73 1,73 1,41 2,13 0,96 0,47 0,46 0,86 0,50 0,73 0,72 0,48 0,04 0,01 0,04
II 0,34 0,16 0,06 0,05 0,08 0,08 0,09 0,05 0,06 0,08 0,04 0,08 0,04 0,08 0,01 0,08 0,09 0,03 0,05 0,08 0,07 0,06 0,20 0,27 0,30 0,30 0,80 0,94 1,27 1,51 1,91 1,97 1,79 1,07 0,74 1,00 0,66 0,31 0,15 0,01 0,02 0,01
Rata-rata 0,42 0,23 0,07 0,07 0,10 0,10 0,11 0,17 0,12 0,10 0,08 0,10 0,04 0,14 0,10 0,10 0,18 0,05 0,16 0,16 0,14 0,16 0,16 0,30 0,36 0,40 0,61 0,84 1,50 1,46 2,02 1,47 1,13 0,76 0,80 0,75 0,69 0,51 0,31 0,03 0,02 0,02
89
Lampiran 14 Produksi Biogas Harian Fermentasi LCPKS pada Suhu Berbeda (L/L LCPKS) (Lanjutan) o
43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164 165
I 0,01 0,01 0,00 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,00 0,01 0,00 0,00 0,00 0,00 0,01 0,02 0,02 0,29 0,03 0,02 0,02 0,02 0,04 0,06 0,12 0,14 0,08 0,16 0,23 0,42 0,34 0,43 0,56 0,83 0,55 0,20 0,19 0,21 0,19 0,12 0,13
II 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,01 0,01 0,01 0,02 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,02 0,01 0,03 0,02 0,29 0,03 0,03 0,02 0,02 0,03 0,05 0,12 0,10 0,19 0,35 0,35 0,33 0,34 0,38 0,38 0,33 0,43 0,50 0,40 0,30 0,29 0,13 0,16
Rata-rata 0,00 0,00 0,00 0,00 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,01 0,01 0,03 0,02 0,29 0,03 0,02 0,02 0,02 0,04 0,05 0,12 0,12 0,14 0,26 0,29 0,37 0,34 0,40 0,47 0,58 0,49 0,35 0,29 0,26 0,24 0,13 0,15
o
o
Suhu 27-28 C
Hari ke
Suhu 55 C
Suhu 45 C I 0,43 0,06 0,09 0,34 0,47 0,77 0,29 0,29 0,05 0,05 0,04 0,03 0,05 0,03 -
II 1,03 0,73 1,09 1,14 1,24 1,08 1,23 0,82 0,53 0,45 0,21 0,11 0,12 0,06 -
Rata-rata 0,73 0,39 0,59 0,74 0,86 0,93 0,76 0,55 0,29 0,25 0,12 0,07 0,08 0,04 -
I -
II -
Rata-rata -
90
Lampiran 14 Produksi Biogas Harian Fermentasi LCPKS pada Suhu Berbeda (L/L LCPKS) (Lanjutan) o
166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 Jumlah
I 0,19 0,10 0,17 0,19 0,18 0,25 0,26 0,26 0,25 0,19 0,21 0,13 0,14 0,14 8,67
II 0,16 0,21 0,16 0,17 0,16 0,17 0,14 0,12 0,14 0,17 0,17 0,13 0,11 0,13 8,30
Rata-rata 0,18 0,16 0,17 0,18 0,17 0,21 0,20 0,19 0,20 0,18 0,19 0,13 0,12 0,13 8,48
o
o
Suhu 27-28 C
Hari ke
Suhu 55 C
Suhu 45 C I 22,15
Rata-rata II 18,94 20,55
I 8,67
II 8,30
Rata-rata 8,48
91
Lampiran 15 Nilai pH Fermentasi LCPKS pada Suhu Berbeda o
Hari ke
I
Suhu 27-28 C II Rata-rata
o
I
Suhu 45 C II Rata-rata
o
I
Suhu 55 C II Rata-rata
0
6,29
6,29
6,29
6,29
6,29
6,29
6,07
6,07
6,07
7
5,89
5,91
5,90
6,02
6,60
6,31
6,38
6,10
6,24
14
5,83
5,77
5,80
5,74
6,76
6,25
6,48
6,60
6,54
21
5,83
5,77
5,80
6,04
6,40
6,22
6,61
7,01
6,81
28
5,81
5,81
5,81
6,42
6,38
6,40
7,63
8,35
7,99
35
5,83
5,85
5,84
7,15
6,41
6,78
8,13
8,25
8,19
42
5,82
5,88
5,85
9,36
6,64
8,00
8,19
8,21
8,20
49
5,86
5,70
5,78
8,89
7,29
8,09
-
-
-
56
5,85
5,83
5,84
8,06
8,10
8,08
-
-
-
63
5,83
5,93
5,88
-
-
-
-
-
-
70
5,92
5,96
5,94
-
-
-
-
-
-
77
5,84
6,10
5,97
-
-
-
-
-
-
84
5,95
6,05
6,00
-
-
-
-
-
-
91
6,12
5,68
5,90
-
-
-
-
-
-
98
6,10
6,08
6,09
-
-
-
-
-
-
105
6,12
6,38
6,25
-
-
-
-
-
-
112
6,22
6,08
6,15
-
-
-
-
-
-
119
6,45
6,53
6,49
-
-
-
-
-
-
126
6,44
6,52
6,48
-
-
-
-
-
-
133
6,50
6,60
6,55
-
-
-
-
-
-
140
6,55
6,35
6,45
-
-
-
-
-
-
147
6,54
6,50
6,52
-
-
-
-
-
-
154
6,61
6,61
6,61
-
-
-
-
-
-
161
6,77
6,85
6,81
-
-
-
-
-
-
168
6,84
7,14
6,99
-
-
-
-
-
-
175
7,61
7,51
7,56
-
-
-
-
-
-
182
7,79
7,81
7,80
-
-
-
-
-
-
189
7,88
7,72
7,80
-
-
-
-
-
-
196
7,88
7,86
7,87
-
-
-
-
-
-
92
Lampiran 16 Data Penurunan Nilai COD LCPKS selama Fermentasi pada Suhu Berbeda (%) o
Hari ke
I
Suhu 27-28 C II Rata-rata
o
I
0
100,00
100,00
7
97,65
100,00
98,82
92,55
14
96,76
98,53
97,65
21
96,08
96,86
28
95,31
35
Suhu 45 C II Rata-rata
100,00 100,00 100,00
o
I
Suhu 55 C II Rata-rata
100,00
100,00
100,00
100,00
92,27
92,41
62,25
55,33
58,79
87,35
84,22
85,78
46,11
47,95
47,03
96,47
64,02
68,33
66,18
43,23
44,38
43,80
93,82
94,58
56,57
58,65
57,60
29,63
31,24
30,43
93,20
92,18
92,68
52,76
53,94
53,36
28,59
31,82
30,20
42
90,10
91,47
90,78
48,53
56,22
52,38
12,68
13,60
13,14
49
88,24
89,02
88,63
40,10
51,08
45,59
-
-
-
56
88,65
84,69
86,67
17,65
13,73
15,69
-
-
-
63
84,10
85,31
84,71
-
-
-
-
-
-
70
84,31
84,31
84,31
-
-
-
-
-
-
77
81,24
85,75
83,48
-
-
-
-
-
-
84
83,08
82,22
82,65
-
-
-
-
-
-
91
82,78
80,86
81,81
-
-
-
-
-
-
98
82,37
79,59
80,98
-
-
-
-
-
-
105
75,00
79,51
77,25
-
-
-
-
-
-
112
75,33
77,06
76,19
-
-
-
-
-
-
119
75,49
74,75
75,12
-
-
-
-
-
-
126
74,51
75,14
74,81
-
-
-
-
-
-
133
74,51
74,51
74,51
-
-
-
-
-
-
140
69,61
73,14
71,37
-
-
-
-
-
-
147
69,80
71,37
70,59
-
-
-
-
-
-
154
64,25
67,51
65,88
-
-
-
-
-
-
161
63,73
54,71
59,22
-
-
-
-
-
-
168
59,92
56,16
58,04
-
-
-
-
-
-
175
55,90
57,82
56,86
-
-
-
-
-
-
182
55,33
57,22
56,27
-
-
-
-
-
-
189
46,18
53,82
50,00
-
-
-
-
-
-
196
39,31
46,18
42,75
-
-
-
-
-
-
93
Lampiran 17 Data Nilai COD LCPKS Selama Fermentasi pada Suhu Berbeda (g/L LCPKS) o
Hari ke
I
Suhu 27-28 C II Rata-rata
o
I
Suhu 45 C II Rata-rata
o
I
Suhu 55 C II Rata-rata
0
51,00
51,00
51,00
51,00
51,00
51,00
43,38
43,38
43,38
7
49,80
51,00
50,40
47,20
47,06
47,13
27,00
24,00
25,50
14
49,35
50,25
49,80
44,55
42,95
43,75
20,00
20,80
20,40
21
49,00
49,40
49,20
32,65
34,85
33,75
18,75
19,25
19,00
28
48,61
47,85
48,23
28,85
29,91
29,38
12,85
13,55
13,20
35
47,53
47,01
47,27
26,91
27,51
27,21
12,40
13,80
13,10
42
45,95
46,65
46,30
24,75
28,67
26,71
5,50
5,90
5,70
49
45,00
45,40
45,20
20,45
26,05
23,25
-
-
-
56
45,21
43,19
44,20
9,00
7,00
8,00
-
-
-
63
42,89
43,51
43,20
-
-
-
-
-
-
70
43,00
43,00
43,00
-
-
-
-
-
-
77
41,43
43,73
42,58
-
-
-
-
-
-
84
42,37
41,93
42,15
-
-
-
-
-
-
91
42,22
41,24
41,73
-
-
-
-
-
-
98
42,01
40,59
41,30
-
-
-
-
-
-
105
38,25
40,55
39,40
-
-
-
-
-
-
112
38,42
39,30
38,86
-
-
-
-
-
-
119
38,50
38,12
38,31
-
-
-
-
-
-
126
38,00
38,32
38,16
-
-
-
-
-
-
133
38,00
38,00
38,00
-
-
-
-
-
-
140
35,50
37,30
36,40
-
-
-
-
-
-
147
35,60
36,40
36,00
-
-
-
-
-
-
154
32,77
34,43
33,60
-
-
-
-
-
-
161
32,50
27,90
30,20
-
-
-
-
-
-
168
30,56
28,64
29,60
-
-
-
-
-
-
175
28,51
29,49
29,00
-
-
-
-
-
-
182
28,22
29,18
28,70
-
-
-
-
-
-
189
23,55
27,45
25,50
-
-
-
-
-
-
196
20,05
23,55
21,80
-
-
-
-
-
-
94
Lampiran 18 Komposisi Biogas LCPKS pada Fermentasi Suhu 27-28oC (%) CO2
Hari ke I
II
CH4 Rata-rata
I
II
N2 Rata-rata
I
II
Rata-rata
7
9,47
12,02
10,75
0,48
0,62
0,55
90,05
87,23
88,64
14
69,59
65,23
67,41
3,02
5,25
4,13
27,39
29,44
28,41
21
65,87
64,98
65,43
7,42
10,65
9,04
26,71
24,22
25,47
28
68,65
66,28
67,47
4,18
7,05
5,62
27,17
26,67
26,92
35
71,41
71,34
71,38
25,11
23,44
24,27
3,48
5,11
4,30
42
45,86
48,04
46,95
16,65
19,08
17,87
37,49
32,88
35,19
49
44,36
43,22
43,79
16,32
23,16
19,74
39,32
33,16
36,24
56
57,66
54,25
55,95
32,95
31,04
32,00
9,39
14,71
12,05
63
62,42
56,35
59,38
33,34
35,66
34,50
4,24
8,00
6,12
70
62,96
60,60
61,78
31,78
36,22
34,00
5,25
3,18
4,22
77
65,34
62,44
63,89
29,66
35,44
32,55
5,00
2,12
3,56
84
63,16
65,00
64,08
32,53
35,07
33,80
2,31
1,93
2,12
91
52,93
57,23
55,08
34,71
35,69
35,20
12,36
7,08
9,72
98
53,49
50,07
51,78
38,36
36,44
37,40
8,15
13,49
10,82
105
58,89
59,05
59,97
37,89
38,02
37,00
3,22
2,84
3,03
112
56,19
55,03
55,61
42,35
39,15
40,75
1,46
5,82
3,64
119
57,68
54,88
56,28
38,82
42,38
40,60
3,50
2,74
3,12
126
48,60
46,46
47,53
49,49
46,93
48,21
1,91
6,61
4,26
133
43,17
43,95
43,56
52,64
56,24
54,44
2,19
1,81
2,00
140
38,27
42,31
40,29
56,47
58,05
57,26
2,25
2,64
2,45
147
30,42
42,44
36,43
61,34
59,50
60,42
4,23
2,06
3,15
154
39,38
40,66
40,02
57,68
56,22
58,45
2,94
2,12
1,53
161
38,39
40,85
39,62
60,00
56,48
58,24
1,61
2,67
2,14
168
38,76
40,22
39,49
60,35
56,25
58,30
0,89
3,53
2,21
175
37,72
38,02
37,87
59,51
61,89
60,70
2,77
0,09
1,43
182
37,35
38,53
37,94
61,06
57,94
59,50
1,59
3,53
2,56
189
37,54
39,34
38,44
60,06
60,34
60,20
2,40
0,32
1,36
196
39,35
38,05
38,70
60,27
58,23
59,25
0,37
3,72
2,05
95
Lampiran 19 Komposisi Biogas LCPKS pada Fermentasi Suhu 45oC (%) CO2
Hari ke
CH4 Rata-rata
I
II
N2
I
II
Rata-rata
I
II
Rata-rata
7
34,41
32,8
33,61
37,22
40,9
39,06
28,37
25,1
26,73
14
34,29
27,79
31,04
29,18
27,34
28,26
36,53
43,37
39,95
21
26,04
28,16
27,1
25,84
19,5
22,67
48,12
52,21
50,16
28
44,63
45,57
45,1
25,09
22,29
23,69
30,28
30,97
30,63
35
52,49
50,78
51,64
35,67
42,75
39,21
11,84
5,24
8,54
42
32,57
30,63
31,6
66,82
68,33
67,58
0,61
0,71
0,66
49
33,01
35,2
34,35
65,61
63,4
64,51
0,04
0,17
0,11
56
36,38
38,728
37,55
57,17
54,11
55,64
6,45
7,16
6,81
Lampiran 20 Komposisi Biogas LCPKS pada Fermentasi Suhu 55oC (%) CO2
Hari ke I
II
7
44,05
46,59
14
53,24
21
CH4 Rata-rata
I
II
45,32
36,75
38,48
54,79
53,02
46,30
37,02
36,71
37,37
28
33,27
34,85
35
34,25
42
31,25
N2 Rata-rata
I
II
Rata-rata
37,62
19,20
14,93
17,07
45,66
45,98
0,46
1,56
1,01
62,04
62,12
62,08
0,94
0,17
0,56
34,06
65,32
64,23
64,78
1,41
0,92
1,17
36,01
35,13
64,12
63,82
63,97
1,63
0,17
0,90
31,95
31,60
66,39
68,76
67,58
0,36
1,29
0,83
96
Lampiran 21 Perhitungan Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca dari LCPKS di Provinsi Lampung TBS Diolah No 1 2 3 4 5
Potensi LCPKS
Nama Kabupaten Kab. Lampung Selatan Kab. Lampung Tengah Kab. Tulang Bawang Kab. Mesuji Kab. Way Kanan Provinsi Lampung
(Ton) 110.825 461.447 442.619 467.954 232.613
(m3) 83.119 346.086 331.965 350.966 174.460
COD in 43.375 43.375 43.375 43.375 43.375
1.715.459
1.286.595
43.375
COD (mg/L LCPKS) Penyisihan COD out COD 5.700 37.675 5.700 37.675 5.700 37.675 5.700 37.675 5.700 37.675 5.700
37.675
Lampiran 21 Perhitungan Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca dari LCPKS di Provinsi Lampung (Lanjutan)
No 1 2 3 4 5
Nama Kabupaten Kab. Lampung Selatan Kab. Lampung Tengah Kab. Tulang Bawang Kab. Mesuji Kab. Way Kanan
Provinsi Lampung
Emisi CO2
Produksi CH4 (m3) 876.821 3.650.857 3.501.894 3.702.338 1.840.375
kmol CH4 39.144 162.985 156.335 165.283 82.160
kg CH4 626.301 2.607.755 2.501.353 2.644.527 1.314.554
kg CO2e 13.152.312 54.762.852 52.528.417 55.535.074 27.605.631
kg CO2e/t.FFB 118,68 118,68 118,68 118,68 118,68
13.572.286
605.906
9.694.490
203.584.287
118,68
97
Lampiran 22 Perhitungan Potensi Energi dari LCPKS di Provinsi Lampung
No
Nama Kabupaten
1 2 3 4 5
Kab. Lampung Selatan Kab. Lampung Tengah Kab. Tulang Bawang Kab. Mesuji Kab. Way Kanan
Produksi CH4
LHV Biogas
Konsentrasi CH4
Produksi Biogas
(m3)
(MJ/ m3)
(%)
23 23 23 23 23
0,6544 0,6544 0,6544 0,6544 0,6544
(m3) 1.339.885 5.578.938 5.351.306 5.657.607 2.812.310
13
0,6544
21.194.590
876.821 3.650.857 3.501.894 3.702.338 1.840.375
Provinsi Lampung
13.869.739
Lampiran 22 Perhitungan Potensi Energi dari LCPKS di Provinsi Lampung (Lanjutan)
No
Energi Diproduksi
Nama Kabupaten
Produksi Energi
(MW) 0,98 4,07 3,90
Energi (%) 35 35 35
(MW) 0,34 1,42 1,37
1 2 3
Kab. Lampung Selatan Kab. Lampung Tengah Kab. Tulang Bawang
(MJ/day) 84.431 351.549 337.206
4
Kab. Mesuji
356.507
14.854
4,13
35
1,44
5
Kab. Way Kanan
177.214
7.384
2,05
35
0,72
15,13
5,29
Provinsi Lampung
1.335.549
(MJ/h) 3.518 14.648 14.050
Efisiensi Konversi
1.306.907
54.454
98
Lampiran 23 Data Analisis Faktor Internal Implementasi Pemanfaatan Limbah Cair PKS (LCPKS) menjadi Energi Listrik a.
Responden I
Faktor Kunci A B C D E F G H I J Total
A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
Total
Bobot
2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 11
1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 11
1 1 2 1 2 3 3 1 1 1 16
1 1 1 2 2 3 3 2 3 2 20
1 1 2 2 2 3 3 2 2 3 21
1 1 3 3 3 2 3 1 1 2 20
1 1 3 3 3 3 2 1 1 1 19
1 1 1 2 2 1 1 2 3 3 17
1 1 1 3 2 1 1 3 2 3 18
1 1 1 2 3 2 1 3 3 2 19
11 11 16 20 21 20 19 17 18 19 172
0,064 0,064 0,093 0,116 0,122 0,116 0,110 0,099 0,105 0,110 1
Keterangan : A. PKS di Lampung telah memiliki unit pengolahan LCPKS dengan kapasitas yang cukup B. Komitmen pimpinan PKS untuk mengikuti peraturan tentang lingkungan hidup cukup tinggi C. Semua PKS telah memiliki SDM yang khusus dalam menangani LCPKS D. LCPKS di Lampung memiliki potensi sebagai sumber energi (COD > 40,000 mg/L) E. Semua PKS di Lampung memiliki lokasi yang tidak terlalu jauh dengan gardu jaringan PLN F. Komitmen pimpinan perusahaan terhadap pemanfaatan LCPKS menjadi energi masih rendah G. Biaya pengadaan teknologi pengolahan LCPKS menjadi biogas masih sangat tinggi H. Belum semua pimpinan PKS di Lampung memahami Permen ESDM No 4 Tahun 2012 I. Belum ada contoh industri PKS yang menjual energi berbasis biogas ke PT PLN (Persero) J. Utilitas PKS terpakai di Lampung masih rendah (kurang dari 60%)
99
Lampiran 23 Data Analisis Faktor Internal Implementasi Pemanfaatan Limbah Cair PKS (LCPKS) menjadi Energi Listrik (Lanjutan) b. Responden II Faktor Kunci A B C D E F G H I J Total
c.
A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
Total
Bobot
2 2 2 1 2 2 2 2 2 2 19
2 2 2 2 2 1 2 1 1 2 17
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 20
3 2 2 2 2 1 2 2 2
2 2 2 2 2 1 2 2 2 2 19
2 2 3 3 3 2 2 2 2 2 23
3 2 2 2 2 2 2 2 2 2 21
2 2 3 2 2 2 2 2 2 2 21
2 2 3 2 2 2 2 2 2 2 21
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 20
22 20 23 20 21 17 20 19 19 20 201
0,109 0,100 0,114 0,100 0,104 0,085 0,100 0,095 0,095 0,100 1
A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
Total
Bobot
2 3 3 1 2 3 3 3 3 2 25
1 2 2 2 2 3 2 3 3 2 22
1 2 2 2 2 3 3 3 3 2 23
3 2 2 2 2 3 3 3 3 1 24
2 2 2 2 2 2 2 3 3 1 21
1 1 1 1 2 2 1 1 2 1 13
1 2 1 1 2 3 2 1 2 2 17
1 1 1 1 1 3 3 2 1 1 15
1 1 1 1 1 2 2 3 2 2 16
2 2 2 3 3 3 2 3 2 2 24
15 18 17 16 19 27 23 25 24 16 200
0,075 0,090 0,085 0,080 0,095 0,135 0,115 0,125 0,120 0,080 1
2 20
Responden III
Faktor Kunci A B C D E F G H I J Total
100
Lampiran 23 Data Analisis Faktor Internal Implementasi Pemanfaatan Limbah Cair PKS (LCPKS) menjadi Energi Listrik (Lanjutan)
d. Responden IV Faktor Kunci A B C D E F G H I J Total
e.
A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
Total
Bobot
2 3 2 2 2 3 2 3 2 1 22
1 2 1 1 1 2 1 2 1 1 13
2 3 2 2 2 1 1 1 2 2 18
2 3 2 2 2 3 3 3 2 2 24
2 3 2 2 2 3 3 3 2 2 24
1 2 3 1 1 2 1 2 1 1 15
2 3 3 1 1 3 2 3 2 1 21
1 2 3 1 1 2 1 2 1 1 15
2 3 2 2 2 3 2 3 2 2 23
3 3 2 2 2 3 3 3 2 2 25
18 27 22 16 16 25 19 25 17 15 200
0,090 0,135 0,110 0,080 0,080 0,125 0,095 0,125 0,085 0,075 1
A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
Total
Bobot
2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 12
2 2 1 1 1 2 1 2 1 2 15
3 3 2 2 1 1 1 1 1 2 17
3 3 2 2 1 1 2 1 1 1 17
3 3 3 3 2 3 2 3 2 1 25
3 2 3 3 1 2 2 2 1 1 20
3 3 3 2 2 2 2 3 2 2 24
3 2 3 3 1 2 1 2 1 2 20
3 3 3 3 2 3 2 3 2 1 25
3 2 2 3 3 3 2 2 3 2 25
28 25 23 23 15 20 16 20 15 15 200
0,140 0,125 0,115 0,115 0,075 0,100 0,080 0,100 0,075 0,075 1
Responden V
Faktor Kunci A B C D E F G H I J Total
101
Lampiran 23 Data Analisis Faktor Internal Implementasi Pemanfaatan Limbah Cair PKS (LCPKS) menjadi Energi Listrik (Lanjutan)
f.
Responden VI
Faktor Kunci A B C D E F G H I J Total g.
A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
Total
Bobot
2 2 3 3 2 3 1 3 1 2 22
2 2 3 3 2 1 1 2 1 2 19
1 1 2 2 3 1 1 1 2 3 17
1 1 2 2 3 3 1 2 2 2 19
2 2 1 1 2 3 1 3 2 2 19
1 3 3 1 1 2 1 3 2 2 19
3 3 3 3 3 3 2 3 2 2 27
1 2 3 2 1 1 1 2 1 1 15
3 3 2 2 2 2 2 3 2 1 22
2 2 1 2 2 2 2 3 3 2 21
18 21 23 21 21 21 13 25 18 19 200
0,090 0,105 0,115 0,105 0,105 0,105 0,065 0,125 0,090 0,095 1
Responden VII
Faktor Kunci A B C D E F G H I J Total
A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
Total
Bobot
2 1 2 1 3 3 3 3 1 1 20
3 2 1 1 2 1 1 1 2 1 15
2 3 2 1 3 3 3 3 2 2 24
3 3 3 2 3 3 2 3 3 2 27
1 2 1 1 2 3 3 3 2 2 20
1 3 1 1 1 2 1 1 2 2 15
1 3 1 2 1 3 2 3 2 2 20
1 3 1 1 1 3 1 2 3 2 18
3 2 2 1 2 2 2 1 2 2 19
3 3 2 2 2 2 2 2 2 2 22
20 25 16 13 20 25 20 22 21 18 200
0,100 0,125 0,080 0,065 0,100 0,125 0,100 0,110 0,105 0,090 1
102
Lampiran 24 Rekapitulasi Data Penentuan Rating pada Analisis Faktor Internaal Implementasi Pemanfaatan Limbah Cair PKS (LCPKS) menjadi Energi Listrik No
Faktor Penentu
Faktor Kekuatan Semua PKS di Lampung telah memiliki unit pengolahan LCPKS yang cukup A B C
Komitmen pimpinan PKS untuk mengikuti peraturan tentang lingkungan hidup cukup tinggi Semua PKS telah memiliki SDM yang khusus dalam menangani LCPKS
LCPKS di Lampung memiliki potensi sebagai sumber energi (COD > 40,000 mg/L) Semua PKS di Lampung memiliki lokasi yang tidak terlalu jauh dengan gardu E induk PLN Faktor Kelemahan D
F G H I J
Komitmen pimpinan perusahaan terhadap pemanfaatan LCPKS menjadi energi masih rendah Biaya pengadaan teknologi pengolahan LCPKS menjadi biogas masih sangat tinggi Belum semua pimpinan PKS di Lampung memahami Permen ESDM No 4 Thn 2012 Belum ada contoh industri PKS yang menjual energi berbasis biogas ke PT PLN (Persero) Utilitas PKS terpakai di Lampung masih rendah (kurang dari 60%)
Responden 3 4
1
2
5
6
4
4
4
3
3
3
4
4
4
4
4
4
3
3
4
3
4
3
4
4
4
4
4
4
3
3
3
3
3
4
1
2
1
1
1
1
2
1
1
1
1
2
1
1
1
1
1
1
2
1
2
2
2
2
2
2
2
2
1
2
103
Lampiran 24 Rekapitulasi Data Penentuan Rating pada Analisis Faktor Internaal Implementasi Pemanfaatan Limbah Cair PKS (LCPKS) menjadi Energi Listrik (Lanjutan) No
Faktor Penentu
Faktor Kekuatan PKS di Lampung telah memiliki unit pengolahan LCPKS dengan A kapasitas yang cukup Komitmen pimpinan PKS untuk mengikuti peraturan tentang lingkungan B hidup cukup tinggi Semua PKS telah memiliki SDM yang khusus dalam menangani LCPKS C D E
LCPKS di Lampung memiliki potensi sebagai sumber energi (COD > 40,000 mg/L) Semua PKS di Lampung memiliki lokasi yang tidak terlalu jauh dengan gardu jaringan PLN
Faktor Kelemahan Komitmen pimpinan perusahaan terhadap pemanfaatan LCPKS menjadi F energi masih rendah Biaya pengadaan teknologi pengolahan LCPKS menjadi biogas masih G sangat tinggi Belum semua pimpinan PKS di Lampung memahami Permen ESDM No 4 H Tahun 2012 Belum ada contoh industri PKS yang menjual energi berbasis biogas ke PT I PLN (Persero) Utilitas PKS terpakai di Lampung masih rendah (kurang dari 60%) J
7
8
9
Responden 10 11 12
4
4
3
4
4
4
3,67
4
4
4
4
4
4
4,00
3
4
3
4
4
4
3,50
4
4
4
3
3
3
3,75
3
3
4
3
3
3
3,17
2
1
1
1
1
1
1,17
1
2
2
2
2
1
1,50
2
1
2
1
1
1
1,17
1
1
1
1
2
2
1,58
1
2
2
2
2
2
1,83
Rata-rata
104
Lampiran 25 Data Analisis Faktor Eksternal Implementasi Pemanfaatan Limbah Cair PKS (LCPKS) menjadi Energi Listrik a.
Responden I
Faktor Kunci A B C D E F G H I J Total
A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
Total
Bobot
2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 29
3 2 1 3 3 1 1 3 2 2 21
3 1 2 3 3 3 2 3 3 3 26
3 3 3 2 1 1 1 2 1 1 18
3 3 3 1 2 1 1 3 1 2 20
3 1 3 1 1 2 1 3 3 3 21
3 1 2 1 1 1 2 3 3 3 20
3 3 3 2 3 3 3 2 3 3 28
3 2 3 1 1 3 3 3 2 1 22
3 2 3 1 2 3 3 3 1 2 23
29 21 26 18 20 21 20 28 22 23 228
0,1272 0,0921 0,1140 0,0789 0,0877 0,0921 0,0877 0,1228 0,0965 0,1009 1
Keterangan : A. Kebutuhan energi dunia dan dalam negeri belum tercukupi dan cenderung terus meningkat B. Komitmen pemerintah untuk membeli energi berbasis limbah sangat tinggi C. Komitmen dunia dan Indonesia untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca D. Mulai terbukanya peluang pasar terhadap biomasa berbasis kelapa sawit E. Kampanye pemanfaatan energi yang bersumber dari energi terbarukan semakin kuat F. Subsidi pemerintah terhadap energi yang bersumber dari fosil masih tinggi G. Keberlanjutan program CDM diragukan dan harga perdagangan karbon sangat rendah H. Biaya pembangunan unit pengolahan Limbah Cair PKS (LCPKS) menjadi biogas masih mahal I. Belum ada regulasi yang mewajibkan PKS melakukan penangkapan gas metan dari Limbah Cair PKS (LCPKS) J. Pada tahap implementasi penjualan energi ke PLN (Persero) masih menemui banyak kendala
105
Lampiran 25 Data Analisis Faktor Eksternal Implementasi Pemanfaatan Limbah Cair PKS (LCPKS) menjadi Energi Listrik (Lanjutan)
b. Responden II Faktor Kunci A B C D E F G H I J Total c.
A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
Total
Bobot
2 2 2 2 3 2 3 3 2 2 23
2 2 2 2 2 2 3 3 2 2 22
2 2 2 2 2 2 3 3 2 2 22
2 2 2 2 2 2 3 2 2 2 21
1 2 2 2 2 1 3 1 2 2 18
2 2 2 2 3 2 3 2 2 2 22
1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 11
1 1 1 2 3 2 3 2 2 2 19
2 2 2 2 2 2 3 2 2 2 21
2 2 2 2 2 2 3 2 2 2 21
17 18 18 19 22 18 29 21 19 19 200
0,0850 0,0900 0,0900 0,0950 0,1100 0,0900 0,1450 0,1050 0,0950 0,0950 1
Responden III
Faktor Kunci A B C D E F G H I J Total
A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
Total
Bobot
2 2 3 3 2 1 1 2 2 2 20
2 2 1 2 2 1 1 1 2 1 15
1 3 2 3 3 3 2 3 3 3 26
1 2 1 2 2 1 1 1 2 1 14
2 2 1 2 2 1 1 1 2 1 15
3 3 1 3 3 2 1 3 3 3 25
3 3 2 3 3 3 2 3 3 3 28
2 3 1 3 3 1 1 2 2 2 20
2 2 1 2 2 1 1 2 2 1 16
2 3 1 3 3 1 1 2 3 2 21
20 25 14 26 25 15 12 20 24 19 200
0,1000 0,1250 0,0700 0,1300 0,1250 0,0750 0,0600 0,1000 0,1200 0,0950 1
106
Lampiran 25 Data Analisis Faktor Eksternal Implementasi Pemanfaatan Limbah Cair PKS (LCPKS) menjadi Energi Listrik (Lanjutan) d. Responden IV Faktor Kunci A B C D E F G H I J Total e.
A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
Total
Bobot
2 3 3 2 2 3 3 2 3 3 26
1 2 2 1 1 2 2 1 2 1 15
1 2 2 1 1 2 2 1 2 1 15
2 3 3 2 2 3 3 3 3 2 26
2 3 3 2 2 3 3 2 3 2 25
1 2 2 1 1 2 2 1 2 1 15
1 2 2 1 1 2 2 1 2 1 15
2 3 3 1 2 3 3 2 3 2 24
1 2 2 1 1 2 2 1 2 1 15
1 3 3 2 2 3 3 2 3 2 24
14 25 25 14 15 25 25 16 25 16 200
0,0700 0,1250 0,1250 0,0700 0,0750 0,1250 0,1250 0,0800 0,1250 0,0800 1
A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
Total
Bobot
2 1 3 2 3 2 1 2 2 2 20
3 2 3 2 3 2 1 2 2 1 21
1 1 2 1 2 1 1 1 1 1 12
2 2 3 2 2 1 1 2 2 1 18
1 1 2 2 2 1 1 1 1 1 13
2 2 3 3 3 2 2 3 3 3 26
3 3 3 3 3 2 2 2 3 2 26
2 2 3 2 3 1 2 2 2 2 21
2 2 3 2 3 1 1 2 2 1 19
2 3 3 3 3 1 2 2 3 2 24
20 19 28 22 27 14 14 19 21 16 200
0,1000 0,0950 0,1400 0,1100 0,1350 0,0700 0,0700 0,0950 0,1050 0,0800 1
Responden V
Faktor Kunci A B C D E F G H I J Total
107
Lampiran 25 Data Analisis Faktor Eksternal Implementasi Pemanfaatan Limbah Cair PKS (LCPKS) menjadi Energi Listrik (Lanjutan) f.
Responden VI
Faktor Kunci A B C D E F G H I J Total
g.
A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
Total
Bobot
2 3 2 1 1 2 1 3 3 3 21
1 2 1 2 1 2 1 1 1 3 15
2 3 2 3 2 3 2 3 3 2 25
3 2 1 2 1 2 1 2 2 1 17
3 3 2 3 2 3 2 3 3 3 27
2 2 1 2 1 2 1 3 3 3 20
3 3 2 3 2 3 2 3 3 3 27
1 3 1 2 1 1 1 2 1 2 15
1 3 1 2 1 1 1 3 2 2 17
1 1 2 3 1 1 1 2 2 2 16
19 25 15 23 13 20 13 25 23 24 200
0,0950 0,1250 0,0750 0,1150 0,0650 0,1000 0,0650 0,1250 0,1150 0,1200 1
Responden VII
Faktor Kunci A B C D E F G H I J Total
A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
Total
Bobot
2 2 1 1 1 2 2 3 2 3 19
2 2 1 1 1 2 1 1 2 2 15
3 3 2 3 2 3 2 3 3 2 26
3 3 1 2 1 2 1 2 2 1 18
3 3 2 3 2 3 2 3 3 3 27
2 2 1 2 1 2 1 3 3 3 20
2 3 2 3 2 3 2 3 3 3 26
1 3 1 2 1 1 1 2 1 3 16
2 2 1 2 1 1 1 3 2 2 17
1 2 2 3 1 1 1 1 2 2 16
21 25 14 22 13 20 14 24 23 24 200
0,1050 0,1250 0,0700 0,1100 0,0650 0,1000 0,0700 0,1200 0,1150 0,1200 1,0000
108
Lampiran 26 Rekapitulasi Data Penentuan Bobot dan Rating pada Analisis Faktor Eksternal Implementasi Pemanfaatan Limbah Cair PKS (LCPKS) menjadi Energi Listrik No
Faktor Penentu
Peluang A Kebutuhan energi dunia dan dalam negeri belum tercukupi dan cenderung terus meningkat B Komitmen pemerintah untuk membeli energi berbasis limbah sangat tinggi
Responden 4 3
5
6
2
4
3
4
1
2
4
1
2
4
3
2
3
4
C
Komitmen dunia dan Indonesia untuk menurunkan emisi GRK
3
3
3
1
2
2
D
Mulai terbukanya peluang pasar terhadap biomasa berbasis kelapa sawit
3
3
4
3
3
3
E
Kampanye pemanfaatan energi yang bersumber dari energi terbarukan semakin kuat
2
3
2
2
3
3
3
2
2
2
2
2
Keberlanjutan program CDM diragukan dan harga perdagangan karbon sangat rendah Biaya pembangunan unit pengolahan LCPKS menjadi biogas masih mahal
4
2
1
1
3
4
3
3
2
1
2
2
Belum ada regulasi yang mewajibkan PKS melakukan penangkapan gas metan dari LCPKS Pada tahap implementasi penjualan energi ke PLN (Persero) masih menemui banyak kendala,
2
1
2
2
3
1
2
4
1
1
2
2
Ancaman F Subsidi pemerintah terhadap energi yang bersumber dari fosil masih tinggi G H I J
109
Lampiran 26 Rekapitulasi Data Penentuan Bobot dan Rating pada Analisis Faktor Eksternal Implementasi Pemanfaatan Limbah Cair PKS (LCPKS) menjadi Energi Listrik (Lanjutan) No
Faktor Penentu
Peluang A Kebutuhan energi dunia dan dalam negeri belum tercukupi dan cenderung terus meningkat B Komitmen pemerintah untuk membeli energi berbasis limbah sangat tinggi
7
Responden 10 11 8 9
12
3
4
4
3
3
3
3,17
4
4
3
3
4
4
3,33
Rata-rata
C
Komitmen dunia dan Indonesia untuk menurunkan emisi GRK
1
4
4
3
3
3
2,67
D
Mulai terbukanya peluang pasar terhadap biomasa berbasis kelapa sawit
4
3
4
3
3
3
3,25
E
Kampanye pemanfaatan energi yang bersumber dari energi terbarukan semakin kuat
2
3
3
3
3
3
2,67
2
2
2
3
3
3
2,33
Keberlanjutan program CDM diragukan dan harga perdagangan karbon sangat rendah Biaya pembangunan unit pengolahan LCPKS menjadi biogas masih mahal
1
2
2
3
4
4
2,58
2
3
1
3
4
4
2,50
Belum ada regulasi yang mewajibkan PKS melakukan penangkapan gas metan dari LCPKS Pada tahap implementasi penjualan energi ke PLN (Persero) masih menemui banyak kendala,
1
2
1
2
3
2
1,83
2
2
2
3
2
3
2,17
Ancaman F Subsidi pemerintah terhadap energi yang bersumber dari fosil masih tinggi G H I J
110
Lampiran 27 Rekapitulasi Data Batas Atas (UL) dan Batas Bawah (LL) Derajat Kecanggihan Komponen Teknologi PKS Milik BUMN di Lampung
Komponen Teknologi
I
TECHNOWARE Proses Pendinginan dan Pengendapan Proses Anaerob Proses Aerobik Proses penanganan akhir limbah HUMANWARE Pekerja Supervisor Manajer/Eksekutif INFOWARE ORGAWARE Lampiran 28
Derajat Kecanggihan Lower Limit (LL) Upper Limit (UL) RataRataII III IV V I II III IV V rata rata
1
1
1
1
2
1,20
3
3
3
3
3
3,00
1 1
2 1
2 1
1 1
2 2
1,60 1,20
3 3
3 3
3 3
3 3
4 4
3,20 3,20
4
4
4
4
3
3,80
6
6
5
6
4
5,40
1 1 1 4
1 1 2 5
1 1 2 4
2 2 2 5
2 3 4 2
1,40 1,60 2,20 4,00
3 3 3 7
3 3 3 7
3 3 3 6
3 3 3 6
3 5 5 3
3,00 3,40 3,40 5,80
4
4
4
5
2
3,80
6
5
6
6
4
5,40
Rekapitulasi Data Batas Atas (UL) dan Batas Bawah (LL) Derajat Kecanggihan Komponen Teknologi PKS Milik Perusahaan Swasta Go Public di Lampung
Komponen Teknologi TECHNOWARE Proses Pendinginan dan Pengendapan Proses Anaerob Proses Aerobik Proses penanganan akhir limbah HUMANWARE Pekerja Supervisor Manajer/Eksekutif INFOWARE ORGAWARE
I
Derajat Kecanggihan Lower Limit (LL) Upper Limit (UL) RataRataII III IV V I II III IV V rata rata
1
1
1
1
2
1,20
3
3
4
3
3
3,20
2 1
1 1
2 1
1 1
2 2
1,60 1,20
3 3
3 3
3 3
3 3
4 4
3,20 3,20
4
4
4
4
3
3,80
6
6
7
6
4
5,80
1 1 2 4
1 1 1 3
1 1 2 4
1 1 2 4
2 3 4 2
1,2 1,4 2,2 3,4
3 3 3 7
3 3 3 7
3 3 3 8
3 3 3 7
3 5 5 3
3,0 3,4 3,4 6,4
4
4
4
4
2
3,6
6
6
7
7
4
6,0
111
Lampiran 29 Rekapitulasi Data Batas Atas (UL) dan Batas Bawah (LL) Derajat Kecanggihan Komponen Teknologi PKS Milik Perusahaan Swasta di Lampung
Komponen Teknologi TECHNOWARE Proses Pendinginan dan Pengendapan Proses Anaerob Proses Aerobik Proses penanganan akhir limbah HUMANWARE Pekerja Supervisor Manajer/Eksekutif INFOWARE ORGAWARE
I
Derajat Kecanggihan Lower Limit (LL) Upper Limit (UL) RataRata II III IV V I II III IV V rata -rata
1
1
1
1
1
1,0
3
3
3
3
3
3,0
1 1
1 1
1 1
1 1
2 1
1,2 1,0
3 3
3 3
3 3
3 3
3 3
3,0 3,0
1
1
1
1
2
1,2
6
6
5
5
3
5,0
1 1 1 3 4
1 1 1 4 3
1 1 1 4 4
1 1 1 4 4
2 3 2 2 2
1,20 1,4 1,2 3,4 3,4
3 3 3 7 6
3 3 4 8 6
3 3 3 7 6
3 3 3 6 6
3 3 3 3 4
3,0 3,0 3,2 6,2 5,6
112
Lampiran 30 State-of-the-Art Proses Pendinginan dan Pengendapan PKS di Lampung BUMN Kriteria Tingkat kecepatan proses Kapabilitas unit menampung LCPKS Teknologi yang digunakan Peralatan yang digunakan Pengontrol proses Penggunaan energi Total STi
I
II
III IV
V
2 8
2 9
2 8
3 8
7 8
2 3 0 0
2 2 0 0
3 2 0 0
3 2 0 0
2 2 2 0
PT Go Public Ratarata 3,2 8,2 2,4 2,2 0,4 0 16,4 0,27
I
II
III IV
V
2 8
2 9
2 8
2 8
7 8
2 3 0 0
2 2 0 0
3 2 0 0
3 2 0 0
2 2 2 0
PT Swasta Ratarata 3 8,2 2,4 2,2 0,4 0 16,2 0,27
I
II
III
IV
V
2 8
2 9
2 8
2 8
7 8
2 3 0 0
2 2 0 0
3 2 0 0
2 2 0 0
2 2 2 0
Ratarata 3 8,2 2,2 2,2 0,4 0 16 0,27
Lampiran 31 State-of-the-Art Proses Anaerobik di PKS Lampung BUMN Kriteria Kualitas kolam anaerobik Peralatan untuk proses fermentasi anaerobik Pengontrol proses Penangkapan gas metan Proses pengadukan Total STi
PT Go Public I
II
III IV
V
5
Ratarata 3
2
2
3
3
0
0
0
0
0
0
3 0 0
3 0 0
1,2 0 0 4,2 0,08
0 0 0
0 0 0
0 0 0
I
II
III IV
V
2
2
3
3
0
0
0
0 0 0
0 0 0
0 0 0
PT Swasta I
II
III
IV
V
5
Ratarata 3
2
2
3
2
5
Ratarata 2,8
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0 0 0
3 0 0
0,6 0 0 3,6 0,07
0 0 0
0 0 0
0 0 0
3 0 0
3 0 0
1,2 0 0 4 0,08
113
Lampiran 32 State-of-the-Art Proses Aerobik di PKS Lampung BUMN Kriteria Waktu proses (hari) Bahan kolam aerobik Peralatan untuk proses fermentasi aerobik Pengontrol proses Efektivitas kerja kolam Total STi
PT Go Public I
II
III IV
V
3 4
Ratarata 4,4 3,6
4 3
5 3
5 4
5 4
4
2
3
3
3
3
0 7
2 6
0,4 6,2 17,6 0,35
0 5
0 7
0 6
I
II
III IV
V
4 3
5 3
5 4
5 4
3
3
3
0 5
0 7
0 6
PT Swasta I
II
III
IV
V
3 4
Ratarata 4,4 3,6
4 3
5 3
5 4
4 4
3 4
Ratarata 4,2 3,6
3
2
2,8
3
3
3
3
2
2,8
0 6
2 6
0,4 6 17,2 0,34
0 5
0 7
0 6
0 6
2 6
0,4 6 17 0,34
Lampiran 33 State-of-the-Art Proses Pemanfaatan Akhir Limbah Cair di PKS Lampung BUMN Kriteria Pemanfaatan limbah cair setelah diolah Peralatan pemanfaatan limbah Luas lahan teraliri/PKS 45 ton/jam Total STi
PT Go Public
PT Swasta
I
II
III IV
V
Ratarata
I
II
III IV
V
Ratarata
I
II
III
IV
V
Ratarata
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
1
1
1
1
3
1,4
3
3
2
3
4
3
3
3
2
2
4
2,8
3
3
2
2
4
2,8
6
6
7
7
2
5,6
6
6
7
6
2
5,4
4
4
3
2
2
3
11,6 0,39
11,2 0,37
7,2 0,24
114
Lampiran 34 State-of-the-Art Humanware di PKS Lampung BUMN Kriteria Pekerja Jumlah, pendidikan dan pengalaman Supervisor dan manajer Pemahaman tentang sifat dan manfaat limbah cair PKS CEO Komitmen untuk menangani limbah
PT Go Public I
II
III IV
V
3
Ratarata 0,3
3
3
2
2
7
6
0,64
6
6
7
7
6
0,64
7
7
7
I
II III IV V
3
3
2
3
6
6
7
6
6
7
PT Swasta I
II
III
IV
V
3
Ratarata 0,26
3
3
2
2
3
Rata -rata 0,26
6
6
0,62
6
6
7
7
6
0,64
7
6
0,68
3
2
3
3
4
0,30
Lampiran 35 State-of-the-Art Infoware di PKS Lampung BUMN Kriteria Seberapa banyak informasi yang dimiliki dan seberapa banyak pula yang dimanfaatkan Keterkaitan informasi dengan sumbersumber dan para pengguna informasi Pembaharuan informasi dari waktu ke waktu Kemampuan berkomunikasi dengan pengguna informasi Total SI
PT Go Public
I
II
3
3
RataIII IV V rata 4 4 3 3,4
0
0
0
0
2
3 3
3 3
4 3
4 3
3 3
PT Swasta
3 3
RataIII IV V rata 4 3 3 3,2
0,4
0 0
0
0
2
0,4
0 0
0
0
2
0,4
3,4 3
3 3 3 3
4 3
3 3
3 3
3,2 3
3 3 3 3
3 3
3 3
2 2
2,8 2,8
10,2 0,26
I II
9,8 0,25
II
III
IV
V
3 3
3
3
3
Rata -rata 3
I
9 0,23
115
Lampiran 36 State-of-the-Art Orgaware di PKS Lampung BUMN Kriteria Organisasi unit penanganan limbah cair Otonomi unit penanganan limbah cair Pengembangan organisasi Total SO
PT Go Public
PT Swasta
I
II
III IV
V
3
3
3
4
3
Ratarata 3,2
3
3
4
4
5
3,8
3
3
4
3
5
3,6
3
3
3
3
3
3
3
3
3
4
3
3,2
3
3
3
3
3
3
3
3
3
2
3
2,8
10,2 0,34
I
II
III
IV
V
3
Ratarata 3
3
3
2
2
2
Ratarata 2,4
I
II
III IV
V
3
3
3
3
9,6 0,32
8,2 0,27
116
Lampiran 37 Rekapitulasi Data Batas Atas (UL) dan Batas Bawah (LL) Derajat Kecanggihan Komponen Teknologi PKS di Provinsi Lampung Komponen Teknologi Responden I TECHNOWARE Proses Pendinginan dan Pengendapan Proses Anaerob Proses Aerobik Proses penanganan akhir limbah HUMANWARE Pekerja Supervisor Manajer/Eksekutif INFOWARE ORGAWARE
Derajat Kecanggihan PKS di Lampung LL (lower limit) UL (upper limit) RataRataII III IV V I II III IV V rata rata
1
1
1
1
2
1,2
3
4
3
3
3
3,2
1 1 4
1 1 3
1 1 4
1 1 4
2 2 3
1,2 1,2 3,6
3 3 6
4 4 6
2 3 6
3 3 6
4 4 4
3,2 3,4 5,6
1 1 1 4 4
1 1 1 3 4
1 1 1 4 4
1 1 1 4 4
2 3 4 2 2
1,2 1,4 1,6 3,4 3,6
3 2 3 7 6
4 4 3 7 7
3 3 3 7 6
4 3 3 7 6
3 5 5 3 4
3,4 3,4 3,4 6,2 5,8
Lampiran 38 Rekapitulasi Data Batas Atas (UL) dan Batas Bawah (LL) Derajat Kecanggihan Komponen Teknologi PKS di PTPN V Tandun Komponen Teknologi
Derajat Kecanggihan PKS PTPN V Tandun LL (lower limit) UL (upper limit) RataRataII III IV V I II III IV V rata rata
Responden
I
TECHNOWARE Proses Pendinginan dan Pengendapan
1
1
1
2
2
1,4
3
4
3
3
3
3,2
3 1 4
5 1 5
4 1 4
4 1 4
3 2 3
3,8 1,2 4,0
7 4 6
7 3 6
8 3 6
8 3 6
7 4 4
7,4 3,4 5,6
1 1 4 3 7
1 1 5 5 7
1 1 4 4 7
1 1 4 4 7
2 4 4 4 5
1,2 1,6 4,2 4,0 6,6
3 3 6 7 8
3 3 6 6 9
3 4 6 7 9
3 5 6 8 9
3 6 6 5 6
3,0 4,2 6,0 6,6 8,2
Proses Anaerob Proses Aerobik Proses penanganan akhir limbah HUMANWARE Pekerja Supervisor Manajer/Eksekutif INFOWARE ORGAWARE
117
Lampiran 39 State-of-the-Art Proses Pendinginan dan Pengendapan di PKS Provinsi Lampung dan di PTPN V Tandun Kriteria Tingkat kecepatan proses Kapabilitas unit menampung Limbah Cair PKS Teknologi yang digunakan Peralatan yang digunakan Pengontrol proses Penggunaan energi Total
I 2 8 2 2 0 0
PKS di Lampung III IV V Rata-rata 2 2 7 3,2 8 8 8 8,0 3 3 2 2,4 3 3 2 2,4 0 2 2 0,8 0 0 0 0,0 16,8
II 3 8 2 2 0 0
STi
I 2 8 2 2 0 0
PTPN V Tandun III IV V Rata-rata 3,2 2 2 7 9 8 8 8,2 2,6 3 3 3 2,8 3 3 4 1,0 0 2 3 0,4 0 0 2 18,2
II 3 8 2 2 0 0
0,28
0,30
Lampiran 40 State-of-the-Art Proses Anaerobik di PKS Provinsi Lampung dan di PTPN V Tandun PKS di Lampung Kriteria Kualitas kolam anaerobik Peralatan untuk proses fermentasi anaerobik Pengontrol proses Penangkapan gas metan Proses pengadukan Total STi
PTPN V Tandun
I
II
III
IV
V
Rata-rata
I
II
III
IV
V
Rata-rata
2 0 0 0 0
2 0 0 0 0
3 0 0 0 0
5 0 3 0 0
5 0 3 0 0
3,4 0 1,2 0 0 4,6 0,092
7 6 10 10 10
7 6 10 10 10
8 7 10 10 10
8 7 8 8 8
8 7 5 8 8
7,6 6,6 8,6 9,2 9,2 41,2 0,824
118
Lampiran 41 State-of-the-Art Proses Aerobik di PKS Provinsi Lampung dan di PTPN V Tandun Kriteria
I 5 3 3 0 6
Waktu proses (hari) Bahan kolam aerobik Peralatan untuk proses fermentasi aerobik Pengontrol proses Efektivitas kerja kolam Total
II 5 3 3 0 5
PKS di Lampung III IV V Rata-rata 6 6 3 5 3 3 4 3,2 3 3 2 2,8 0 2 2 0,8 7 6 2 5,2 17,0
STi
I 5 3 3 0 6
II 5 3 3 0 5
PTPN V Tandun III IV V Rata-rata 6 6 3 5 4 3 4 3,4 3 3 2 2,8 0 2 2 0,8 7 6 2 5,2 17,2
0,3
0,3
Lampiran 42 State-of-the-Art Proses Pemanfaatan Akhir Limbah Cair di PKS Provinsi Lampung dan di PTPN V Tandun Kriteria
PKS di Lampung
PTPN V Tandun
I
II
III
IV
V
Rata-rata
I
II
III
IV
V
Rata-rata
Pemanfaatan limbah cair setelah diolah
3
2
4
4
3
3,2
3
3
4
4
8
4,4
Peralatan pemanfaatan limbah Luas lahan teraliri/PKS 45 ton/jam
2 6
3 6
3 7
4 7
4 2
3,2 5,6
3 6
3 6
3 7
4 7
5 2
3,6 5,6
Total STi
12,0 0,4
13,6 0,5
119
Lampiran 43 State-of-the-Art Humanware di PKS Provinsi Lampung dan di PTPN V Tandun Kriteria Pekerja Jumlah, pendidikan dan pengalaman Supervisor dan manajer Pemahaman tentang sifat dan manfaat limbah cair PKS CEO Komitmen untuk menangani limbah cair
I 3
PKS di Lampung Rata-rata II III IV V 3 2 4 6 0,36
PTPN V Tandun Rata-rata III IV V 9 8 6 0,82
I 9
II 9
6
6
7
6
6
0,62
9
9
10
8
7
0,86
6
6
7
6
6
0,62
9
9
10
8
8
0,88
Lampiran 44 State-of-the-Art Infoware di PKS Provinsi Lampung dan di PTPN V Tandun PKS di Lampung Kriteria
PTPN V Tandun
I
II
III
IV
V
Rata-rata
I
II
III
IV
V
Rata-rata
Seberapa banyak informasi yang dimiliki dan seberapa banyak pula yang dimanfaatkan Keterkaitan informasi dengan sumber-sumber dan para pengguna informasi Pembaharuan informasi dari waktu ke waktu
3
3
4
4
3
3,4
6
6
7
5
5
5,8
0
0
0
2
2
0,8
0
0
0
2
2
0,8
3
3
4
4
3
3,4
6
6
6
4
3
5
Kemampuan berkomunikasi dengan pengguna informasi
3
3
3
4
3
3,2
3
2
3
4
4
3,2
Total SI
10,8 0,27
14,8 0,37
120
Lampiran 45 State-of-the-Art Orgaware di PKS Provinsi Lampung dan di PTPN V Tandun PKS di Lampung Kriteria Organisasi unit penanganan limbah cair Otonomi unit penanganan limbah cair Pengembangan organisasi Total SO
PTPN V Tandun
I
II
III
IV
V
Rata-rata
I
II
III
IV
V
Rata-rata
3
3
3
3
3
3,0
6
7
6
6
6
6,2
3
3
4
4
5
3,8
6
6
6
6
6
6,0
3
3
3
3
3
3,0 9,8 0,33
6
5
5
6
5
5,4 17,6 0,59
121
Lampiran 46 Faktor yang Berperan pada Strategi Implementasi Pemanfaatan LCPKS menjadi Energi Listrik di Provinsi Lampung a. Responden I Faktor-faktor A
Kebutuhan energi dunia dan dalam negeri belum tercukupi dan cenderung terus meningkat
B
Komitmen pemerintah untuk membeli energi berbasis limbah sangat tinggi
C
Komitmen dunia dan Indonesia untuk menurunkan emisi GRK
D
Mulai terbukanya peluang pasar terhadap biomasa berbasis kelapa sawit
E
Kampanye pemanfaatan energi yang bersumber dari energi terbarukan semakin kuat Kosistensi : 0,0909 (konsisten)
A
B
C
D
E
Bobot
Rangking
1
1
3
3
1
0,2783
II
1
3
3
3
0,3467
I
1
1
1
0,1156
IV
1
3
0,1439
III
1
0,1156
IV
122
b. Responden II Faktor-faktor A
Kebutuhan energi dunia dan dalam negeri belum tercukupi dan cenderung terus meningkat
B
Komitmen pemerintah untuk membeli energi berbasis limbah sangat tinggi
C
Komitmen dunia dan Indonesia untuk menurunkan emisi GRK
D
Mulai terbukanya peluang pasar terhadap biomasa berbasis kelapa sawit
E
Kampanye pemanfaatan energi yang bersumber dari energi terbarukan semakin kuat Kosistensi : 0,0927 (konsisten)
A
B
C
D
E
Bobot
Rangking
1
3
1
3
3
0,3152
II
1
1
3
3
0,2031
III
1
7
5
0,3319
I
1
3
0,0887
IV
1
0,0611
V
123
c. Responden III Faktor-faktor A
Kebutuhan energi dunia dan dalam negeri belum tercukupi dan cenderung terus meningkat
B
Komitmen pemerintah untuk membeli energi berbasis limbah sangat tinggi
C
Komitmen dunia dan Indonesia untuk menurunkan emisi GRK
D
Mulai terbukanya peluang pasar terhadap biomasa berbasis kelapa sawit
E
Kampanye pemanfaatan energi yang bersumber dari energi terbarukan semakin kuat Kosistensi : 0,0878 (konsisten)
A
B
C
D
E
Bobot
Rangking
1
1
1
1
3
0,2121
II
1
5
3
5
0,4039
I
1
1
1
0,1235
IV
1
5
0,1886
III
1
0,0718
V
124
d. Responden IV Faktor-faktor A
Kebutuhan energi dunia dan dalam negeri belum tercukupi dan cenderung terus meningkat
B
Komitmen pemerintah untuk membeli energi berbasis limbah sangat tinggi
C
Komitmen dunia dan Indonesia untuk menurunkan emisi GRK
D
Mulai terbukanya peluang pasar terhadap biomasa berbasis kelapa sawit
E
Kampanye pemanfaatan energi yang bersumber dari energi terbarukan semakin kuat Kosistensi : 0,0713 (konsisten)
A
B
C
D
E
Bobot
Rangking
1
1
3
1
5
0,2953
I
1
5
1
3
0,2953
I
1
1
1
0,0999
III
1
5
0,2370
II
1
0,0724
IV
125
e. Responden V Faktor-faktor A
Kebutuhan energi dunia dan dalam negeri belum tercukupi dan cenderung terus meningkat
B
Komitmen pemerintah untuk membeli energi berbasis limbah sangat tinggi
C
Komitmen dunia dan Indonesia untuk menurunkan emisi GRK
D
Mulai terbukanya peluang pasar terhadap biomasa berbasis kelapa sawit
E
Kampanye pemanfaatan energi yang bersumber dari energi terbarukan semakin kuat Kosistensi : 0,0986 (konsisten)
A
B
C
D
E
Bobot
Rangking
1
1
3
3
5
0,3262
II
1
5
5
5
0,4001
I
1
1
1
0,0886
IV
1
7
0,1308
III
1
0,0542
V
126
f. Responden VI Faktor-faktor A
Kebutuhan energi dunia dan dalam negeri belum tercukupi dan cenderung terus meningkat
B
Komitmen pemerintah untuk membeli energi berbasis limbah sangat tinggi
C
Komitmen dunia dan Indonesia untuk menurunkan emisi GRK
D
Mulai terbukanya peluang pasar terhadap biomasa berbasis kelapa sawit
E
Kampanye pemanfaatan energi yang bersumber dari energi terbarukan semakin kuat Kosistensi : 0,0927 (konsisten)
A
B
C
D
E
Bobot
Rangking
1
1/7
1
1/5
1
0,1309
IV
1
1/5
1/3
1/3
0,0844
V
1
1
1
0,2492
II
1
1
0,3105
I
1
0,2250
III
127
g. Pendapat Gabungan Faktor-faktor A
Kebutuhan energi dunia dan dalam negeri belum
A
B
C
D
E
1
Bobot
Rangking
0,2596
II
0,2889
I
0,1681
IV
0,1832
III
0,1000
V
tercukupi dan cenderung terus meningkat B
Komitmen pemerintah untuk membeli energi
1
berbasis limbah sangat tinggi C
Komitmen dunia dan Indonesia untuk menurunkan
1
emisi GRK D
Mulai terbukanya peluang pasar terhadap biomasa
1
berbasis kelapa sawit E
Kampanye pemanfaatan energi yang bersumber dari energi terbarukan semakin kuat Kosistensi : konsisten
1
128
Lampiran 47 Aktor yang Berperan pada Strategi Implementasi Pemanfaatan LCPKS menjadi Energi Listrik di Provinsi Lampung Faktor (1) Kebutuhan energi dunia dan dalam negeri belum tercukupi dan cenderung terus meningkat a. Responden I
Pemerintah Indonesia Pengusaha PKS Masyarakat Internasional Kosistensi : 0,0291 (konsisten)
Pemerintah Indonesia
Pengusaha PKS
Masyarakat Internasional
Bobot
Rangking
1
5 1
3 1 1
0,6586 0,1562 0,1852
I III II
b. Responden II
Pemerintah Indonesia Pengusaha PKS Masyarakat Internasional Kosistensi : 0,00291 (konsisten)
Pemerintah Indonesia 1
Pengusaha PKS 5 1
Masyarakat Internasional 1 1/3 1
Bobot
Rangking
0,4806 0,1137 0,4054
I III II
c. Responden III
Pemerintah Indonesia Pengusaha PKS Masyarakat Internasional Kosistensi : 0,000 (konsisten)
Pemerintah Indonesia
Pengusaha PKS
Masyarakat Internasional
Bobot
Rangking
1
5 1
5 1 1
0,7142 0,1428 0,1428
I II II
129
d. Responden IV
Pemerintah Indonesia
Pemerintah Indonesia
Pengusaha PKS
Masyarakat Internasional
Bobot
Rangking
1
7
3
0,6941
I
1
1
0,1315
III
1
0,1744
II
Bobot
Rangking
0,4353 0,4869 0,0778
I III II
Pengusaha PKS Masyarakat Internasional Kosistensi : 0,0803 (konsisten) e. Responden V
Pemerintah Indonesia Pengusaha PKS Masyarakat Internasional
Pemerintah Indonesia 1
Pengusaha PKS 1 1
Masyarakat Internasional 5 7 1
Kosistensi : 0,0126 (konsisten) f. Pendapat Gabungan
Pemerintah Indonesia Pengusaha PKS Masyarakat Internasional Kosistensi : -
Pemerintah Indonesia 1
Pengusaha PKS
Masyarakat Internasional
1 1
Bobot
Rangking
0,59656 0,20622
I II
0,19712
III
130
Faktor (2) Komitmen pemerintah untuk membeli energi berbasis limbah sangat tinggi a. Responden I
Pemerintah Indonesia Pengusaha PKS Masyarakat Internasional Kosistensi : 0,00291 (konsisten)
Pemerintah Indonesia
Pengusaha PKS
Masyarakat Internasional
Bobot
Rangking
1
3 1
7 3 1
0,6694 0,2426 0,0879
I II III
b. Responden II
Pemerintah Indonesia Pengusaha PKS Masyarakat Internasional Kosistensi : 0,000 (konsisten)
Pemerintah Indonesia 1
Pengusaha PKS 3 1
Masyarakat Internasional 3 1 1
Bobot
Rangking
0,6000 0,2000 0,2000
I II II
c. Responden III
Pemerintah Indonesia Pengusaha PKS Masyarakat Internasional Kosistensi : 0,0385 (konsisten)
Pemerintah Indonesia
Pengusaha PKS
Masyarakat Internasional
Bobot
Rangking
1
3 1
5 3 1
0,6369 0,2583 0,1047
I II III
131
d. Responden IV
Pemerintah Indonesia
Pemerintah Indonesia
Pengusaha PKS
Masyarakat Internasional
Bobot
Rangking
1
1
7
0,5146
I
1
3 1
0,3879 0,0975
II III
Pengusaha PKS 1 1
Masyarakat Internasional 5 5 1
Bobot
Rangking
0,4546 0,4546 0,0909
I I II
Pengusaha PKS Masyarakat Internasional Kosistensi : 0,080 (konsisten) e. Responden V
Pemerintah Indonesia Pengusaha PKS Masyarakat Internasional
Pemerintah Indonesia 1
Kosistensi : 0,000 (konsisten) f. Pendapat Gabungan
Pemerintah Indonesia Pengusaha PKS Masyarakat Internasional Kosistensi : -
Pemerintah Indonesia 1
Pengusaha PKS
Masyarakat Internasional
1 1
Bobot
Rangking
0,5751 0,3087
I II
0,1162
III
132
Faktor (3) Komitmen dunia dan Indonesia untuk menurunkan emisi GRK a. Responden I
Pemerintah Indonesia Pengusaha PKS Masyarakat Internasional Kosistensi : 0,000 (konsisten)
Pemerintah Indonesia
Pengusaha PKS
Masyarakat Internasional
Bobot
Rangking
1
3 1
3 1 1
0,600 0,200 0,200
I II II
b. Responden II
Pemerintah Indonesia Pengusaha PKS Masyarakat Internasional Kosistensi : 0,0291 (konsisten)
Pemerintah Indonesia 1
Pengusaha PKS 5 1
Masyarakat Internasional 3 1 1
Bobot
Rangking
0,6586 0,1561 0,1851
I III II
c. Responden III
Pemerintah Indonesia Pengusaha PKS Masyarakat Internasional Kosistensi : 0,0291 (konsisten)
Pemerintah Indonesia
Pengusaha PKS
Masyarakat Internasional
Bobot
Rangking
1
5 1
3 1 1
0,6586 0,1561 0,1851
I III II
133
d. Responden IV
Pemerintah Indonesia
Pemerintah Indonesia 1
Pengusaha PKS 7
Masyarakat Internasional 3
Bobot
Rangking
0,6940
I
1
1
0,1315
III
1
0,1744
II
Bobot
Rangking
0,1884 0,0809 0,7306
I
Pengusaha PKS Masyarakat Internasional Kosistensi : 0,0803 (konsisten) e. Responden V
Pemerintah Indonesia Pengusaha PKS Masyarakat Internasional
Pemerintah Indonesia 1
Pengusaha PKS 3 1
Masyarakat Internasional 1/5 1/7 1
II
Kosistensi : 0,0649 (konsisten) f. Pendapat Gabungan
Pemerintah Indonesia Pengusaha PKS Masyarakat Internasional Kosistensi : -
Pemerintah Indonesia 1
Pengusaha PKS
Masyarakat Internasional
1 1
Bobot
Rangking
0,5599
I
0,1449
III
0,2950
II
134
Faktor (4) Mulai terbukanya peluang pasar terhadap biomasa berbasis kelapa sawit a. Responden I
Pemerintah Indonesia Pengusaha PKS Masyarakat Internasional Kosistensi : 0,0803 (konsisten)
Pemerintah Indonesia
Pengusaha PKS
Masyarakat Internasional
Bobot
Rangking
1
1/3 1
1 7 1
0,1744 0,6941 0,1315
II I III
b. Responden II
Pemerintah Indonesia Pengusaha PKS Masyarakat Internasional Kosistensi : 0,0291 (konsisten)
Pemerintah Indonesia 1
Pengusaha PKS 1/5 1
Masyarakat Internasional 1 3 1
Bobot
Rangking
0,1561 0,6586 0,1851
III I II
c. Responden III
Pemerintah Indonesia Pengusaha PKS Masyarakat Internasional Kosistensi : 0,000 (konsisten)
Pemerintah Indonesia
Pengusaha PKS
Masyarakat Internasional
Bobot
Rangking
1
1 1
3 3 1
0,4285 0,4285 0,1428
I I II
135
d. Responden IV Pemerintah Indonesia
Pengusaha PKS
Masyarakat Internasional
Bobot
Rangking
1
1/3
1
0,1744
II
1
7
0,6941
I
1
0,1315
III
Pemerintah Indonesia Pengusaha PKS Masyarakat Internasional Kosistensi : 0,0803 (konsisten) e. Responden V
Pemerintah Indonesia
Pengusaha PKS
Masyarakat Internasional
Bobot
Rangking
1
1/5
3
0,1884
II
1
7
0,7306
I
1
0,0810
III
Pemerintah Indonesia Pengusaha PKS Masyarakat Internasional Kosistensi : 0,0649 (konsisten) f. Pendapat Gabungan
Pemerintah Indonesia Pemerintah Indonesia Pengusaha PKS Masyarakat Internasional Kosistensi : -
Pengusaha PKS
Masyarakat Internasional
1 1 1
Bobot
Rangking
0,2244 0,6412
II I
0,1344
III
Faktor (5) Kampanye pemanfaatan energi yang bersumber dari energi terbarukan semakin kuat
136
a. Responden I
Pemerintah Indonesia Pengusaha PKS Masyarakat Internasional Kosistensi : 0,000 (konsisten)
Pemerintah Indonesia
Pengusaha PKS
Masyarakat Internasional
Bobot
Rangking
1
1 1
1/3 1/3 1
0,2000 0,2000 0,6000
II II I
b. Responden II
Pemerintah Indonesia Pengusaha PKS Masyarakat Internasional Kosistensi : 0,0291 (konsisten)
Pemerintah Indonesia 1
Pengusaha PKS 3 1
Masyarakat Internasional 1 1/5 1
Bobot
Rangking
0,4051 0,1139 0,4806
II III I
c. Responden III
Pemerintah Indonesia Pengusaha PKS Masyarakat Internasional Kosistensi : 0,0291 (konsisten)
Pemerintah Indonesia
Pengusaha PKS
Masyarakat Internasional
Bobot
Rangking
1
3 1
1 1/5 1
0,4051 0,1139 0,4806
II III I
137
d. Responden IV
Pemerintah Indonesia
Pemerintah Indonesia 1
Pengusaha PKS 3
Masyarakat Internasional 1
Bobot
Rangking
0,4051
II
1
1/5 1
0,1139 0,4806
III I
Pengusaha PKS 2 1
Masyarakat Internasional 1/3 1/3 1
Bobot
Rangking
0,2493 0,1571 0,5936
II III I
Pengusaha PKS Masyarakat Internasional Kosistensi : 0,0291 (konsisten) e. Responden V
Pemerintah Indonesia Pengusaha PKS Masyarakat Internasional
Pemerintah Indonesia 1
Kosistensi : 0,0536 (konsisten) f. Pendapat Gabungan Pemerintah Indonesia Pemerintah Indonesia Pengusaha PKS Masyarakat Internasional Kosistensi : -
Pengusaha PKS
Masyarakat Internasional
1 1 1
Bobot
Rangking
0,3329
II
0,1398
III
0,5271
I
138
Lampiran 48 Alternatif Strategi Implementasi Pemanfaatan LCPKS menjadi Energi Listrik di Provinsi Lampung pada Aktor Pemerintah Indonesia a. Responden I Alternatif Strategi Implementasi Pemanfaatan LCPKS menjadi Energi Listrik pada Aktor Pemerintah Indonesia
A
B
C
D
E
F
Bobot
Rangking
Pembuatan regulasi yang mewajibkan semua PKS A memanfaatkan energi listrik yang bersumber dari biogas LCPKS
1
3
5
5
5
5
0,4414
1
1
3
3
3
3
0,2177
2
1
3
3
3
0,1386
3
1
1
3
0,0800
4
1
1
0,0667
5
1
0,0555
6
B
Mendorong peningkatan infrastruktur yang menunjang bisnis biomasa berbasis kelapa sawit
C
Sosialisasi PERMEN ESDM No 4/ 2012 kepada para pengambil keputusan/ pimpinan PKS
D
Pembuatan contoh pemanfaatan LCPKS menjadi biogas dan energi listriknya dibeli PT PLN (Persero).
E
Pembuatan petunjuk pelaksanaan yang akomodatif tentang penjualan energi listrik berbasis biogas ke PT PLN (Persero).
F
Pengembangan teknologi biogas berbasis LCPKS yang murah untuk digunakan kepentingan sendiri
Kosistensi : 0,0619 (konsisten)
139
Lampiran 48 Alternatif Strategi Implementasi Pemanfaatan LCPKS menjadi Energi Listrik di Provinsi Lampung pada Aktor Pemerintah Indonesia (Lanjutan) b. Responden II Alternatif Strategi Implementasi Pemanfaatan LCPKS menjadi Energi Listrik pada Aktor Pemerintah Indonesia
A
B
C
D
E
F
Bobot
Rangking
Pembuatan regulasi yang mewajibkan semua PKS A memanfaatkan energi listrik yang bersumber dari biogas LCPKS
1
3
5
5
5
5
0,3523
1
1
3
3
3
3
0,1716
2,5
1
3
3
3
0,1092
5
1
1
3
0,1429
4
1
1
0,1716
2,5
1
0,0525
6
B
Mendorong peningkatan infrastruktur yang menunjang bisnis biomasa berbasis kelapa sawit
C
Sosialisasi PERMEN ESDM No 4/ 2012 kepada para pengambil keputusan/ pimpinan PKS
D
Pembuatan contoh pemanfaatan LCPKS menjadi biogas dan energi listriknya dibeli PT PLN (Persero).
E
Pembuatan petunjuk pelaksanaan yang akomodatif tentang penjualan energi listrik berbasis biogas ke PT PLN (Persero).
F
Pengembangan teknologi biogas berbasis LCPKS yang murah untuk digunakan kepentingan sendiri
Kosistensi : 0,0523 (konsisten)
140
Lampiran 48 Alternatif Strategi Implementasi Pemanfaatan LCPKS menjadi Energi Listrik di Provinsi Lampung pada Aktor Pemerintah Indonesia (Lanjutan) c.
Responden III Alternatif Strategi Implementasi Pemanfaatan LCPKS menjadi Energi Listrik pada Aktor Pemerintah Indonesia
A
Pembuatan regulasi yang mewajibkan semua PKS memanfaatkan energi listrik yang bersumber dari biogas LCPKS
B Mendorong peningkatan infrastruktur yang menunjang bisnis biomasa berbasis kelapa sawit C Sosialisasi PERMEN ESDM No 4/ 2012 kepada para pengambil keputusan/ pimpinan PKS D Pembuatan contoh pemanfaatan LCPKS menjadi biogas dan energi listriknya dibeli PT PLN (Persero). E Pembuatan petunjuk pelaksanaan yang akomodatif tentang penjualan energi listrik berbasis biogas ke PT PLN (Persero). F Pengembangan teknologi biogas berbasis LCPKS yang murah untuk digunakan kepentingan sendiri Kosistensi : 0,0989 (konsisten)
A
B
C
D
E
F
Bobot
Rangking
1
5
3
3
3
5
0,3139
1
1
5
3
3
1
0,2614
2
1
1/3
1/3
1/2
0,0430
6
1
1
3
0,1386
3,5
1
3
0,1386
3,5
1
0,1046
5
141
Lampiran 48 Alternatif Strategi Implementasi Pemanfaatan LCPKS menjadi Energi Listrik di Provinsi Lampung pada Aktor Pemerintah Indonesia (Lanjutan) d. Responden IV Alternatif Strategi Implementasi Pemanfaatan LCPKS menjadi Energi Listrik pada Aktor Pemerintah Indonesia A Pembuatan regulasi yang mewajibkan semua PKS memanfaatkan energi listrik yang bersumber dari biogas LCPKS B
C
D
E
F
Mendorong peningkatan infrastruktur yang menunjang bisnis biomasa berbasis kelapa sawit Sosialisasi PERMEN ESDM No 4/ 2012 kepada para pengambil keputusan/ pimpinan PKS Pembuatan contoh pemanfaatan LCPKS menjadi biogas dan energi listriknya dibeli PT PLN (Persero). Pembuatan petunjuk pelaksanaan yang akomodatif tentang penjualan energi listrik berbasis biogas ke PT PLN (Persero). Pengembangan teknologi biogas berbasis LCPKS yang murah untuk digunakan kepentingan sendiri
Kosistensi : 0,0787 (konsisten)
A
B
C
D
E
F
Bobot
Rangking
1
3
5
3
5
5
0,4277
1
1
5
1
1
3
0,1734
2
1
1/3
1/3
1/3
0,0448
6
1
1
1/3
0,1104
5
1
1
0,1218
3,5
1
0,1218
3,5
142
Lampiran 48 Alternatif Strategi Implementasi Pemanfaatan LCPKS menjadi Energi Listrik di Provinsi Lampung pada Aktor Pemerintah Indonesia (Lanjutan) e. Responden V Alternatif Strategi Implementasi Pemanfaatan LCPKS menjadi Energi Listrik pada Aktor Pemerintah Indonesia
A
B
C
D
E
F
Bobot
Rangking
Pembuatan regulasi yang mewajibkan semua PKS A memanfaatkan energi listrik yang bersumber dari biogas LCPKS
1
1
5
1
1
5
0,2462
3
1
1
1/3
1/3
1
0,0998
4
1
1/3
1/3
1/3
0,0636
6
1
1
3
0,2494
1,5
1
3
0,2494
1,5
1
0,0917
5
B
Mendorong peningkatan infrastruktur yang menunjang bisnis biomasa berbasis kelapa sawit
C
Sosialisasi PERMEN ESDM No 4/ 2012 kepada para pengambil keputusan/ pimpinan PKS
D
Pembuatan contoh pemanfaatan LCPKS menjadi biogas dan energi listriknya dibeli PT PLN (Persero).
E
Pembuatan petunjuk pelaksanaan yang akomodatif tentang penjualan energi listrik berbasis biogas ke PT PLN (Persero).
F
Pengembangan teknologi biogas berbasis LCPKS yang murah untuk digunakan kepentingan sendiri
Kosistensi : 0,0638 (konsisten)
143
Lampiran 48 Alternatif Strategi Implementasi Pemanfaatan LCPKS menjadi Energi Listrik di Provinsi Lampung pada Aktor Pemerintah Indonesia (Lanjutan) Responden Gabungan Alternatif Strategi Implementasi Pemanfaatan LCPKS menjadi Energi Listrik pada Aktor Pemerintah Indonesia A Pembuatan regulasi yang mewajibkan semua PKS memanfaatkan energi listrik yang bersumber dari biogas LCPKS B Mendorong peningkatan infrastruktur yang menunjang bisnis biomasa berbasis kelapa sawit C Sosialisasi PERMEN ESDM No 4/ 2012 kepada para pengambil keputusan/ pimpinan PKS D Pembuatan contoh pemanfaatan LCPKS menjadi biogas dan energi listriknya dibeli PT PLN (Persero). E Pembuatan petunjuk pelaksanaan yang akomodatif tentang penjualan energi listrik berbasis biogas ke PT PLN (Persero). F Pengembangan teknologi biogas berbasis LCPKS yang murah untuk digunakan kepentingan sendiri Kosistensi : 0,0738 (konsisten)
A
B
C
D
E
F
1
1
1
1
1
1
Bobot
Rangking
0,3677
1
0,1857
2
0,0753
6
0,1417
4
0,1445
3
0,0851
5
144
Lampiran 49 Alternatif Strategi Implementasi Pemanfaatan LCPKS menjadi Energi Listrik di Provinsi Lampung pada Aktor Pengusaha PKS a. Responden I Alternatif Strategi Implementasi Pemanfaatan LCPKS menjadi Energi Listrik pada Aktor Pengusaha PKS A Pembuatan regulasi yang mewajibkan semua PKS memanfaatkan energi listrik yang bersumber dari biogas LCPKS B Mendorong peningkatan infrastruktur yang menunjang bisnis biomasa berbasis kelapa sawit C Sosialisasi PERMEN ESDM No 4/ 2012 kepada para pengambil keputusan/ pimpinan PKS D Pembuatan contoh pemanfaatan LCPKS menjadi biogas dan energi listriknya dibeli PT PLN (Persero). E Pembuatan petunjuk pelaksanaan yang akomodatif tentang penjualan energi listrik berbasis biogas ke PT PLN (Persero). F Pengembangan teknologi biogas berbasis LCPKS yang murah untuk digunakan kepentingan sendiri Kosistensi : 0,0665(konsisten)
A
B
C
D
E
F
Bobot
Rangking
1
1
3
3
1
3
0,2741
1
1
1
1
1
1
0,1582
3
1
1
1
1/3
0,1097
4
1
1/3
1
0,1097
4
1
1
0,19
2
1
0,1582
3
145
Lampiran 49 Alternatif Strategi Implementasi Pemanfaatan LCPKS menjadi Energi Listrik di Provinsi Lampung pada Aktor Pengusaha PKS (Lanjutan) b. Responden II Alternatif Strategi Implementasi Pemanfaatan LCPKS menjadi Energi Listrik pada Aktor Pengusaha PKS A Pembuatan regulasi yang mewajibkan semua PKS memanfaatkan energi listrik yang bersumber dari biogas LCPKS B Mendorong peningkatan infrastruktur yang menunjang bisnis biomasa berbasis kelapa sawit C Sosialisasi PERMEN ESDM No 4/ 2012 kepada para pengambil keputusan/ pimpinan PKS D Pembuatan contoh pemanfaatan LCPKS menjadi biogas dan energi listriknya dibeli PT PLN (Persero). E Pembuatan petunjuk pelaksanaan yang akomodatif tentang penjualan energi listrik berbasis biogas ke PT PLN (Persero). F Pengembangan teknologi biogas berbasis LCPKS yang murah untuk digunakan kepentingan sendiri Kosistensi : 0,0886 (konsisten)
A
B
C
D
E
F
Bobot
Rangking
1
1/5
1/3
1/3
1/5
1
0,0678
6
1
1
1
1/3
3
0,1865
3
1
1
1/3
3
0,1713
4
1
3
3
0,2469
2
1
3
0,2689
1
1
0,0685
5
146
Lampiran 49 Alternatif Strategi Implementasi Pemanfaatan LCPKS menjadi Energi Listrik di Provinsi Lampung pada Aktor Pengusaha PKS (Lanjutan) c. Responden III Alternatif Strategi Implementasi Pemanfaatan LCPKS menjadi Energi Listrik pada Aktor Pengusaha PKS A Pembuatan regulasi yang mewajibkan semua PKS memanfaatkan energi listrik yang bersumber dari biogas LCPKS B Mendorong peningkatan infrastruktur yang menunjang bisnis biomasa berbasis kelapa sawit C Sosialisasi PERMEN ESDM No 4/ 2012 kepada para pengambil keputusan/ pimpinan PKS D Pembuatan contoh pemanfaatan LCPKS menjadi biogas dan energi listriknya dibeli PT PLN (Persero). E Pembuatan petunjuk pelaksanaan yang akomodatif tentang penjualan energi listrik berbasis biogas ke PT PLN (Persero). F Pengembangan teknologi biogas berbasis LCPKS yang murah untuk digunakan kepentingan sendiri Kosistensi : 0,0787 (konsisten)
A
B
C
D
E
F
Bobot
Rangking
1
3
3
3
1
3
0,3231
1
1
1
1
3
1
0,1553
2
1
3
1
1
0,1553
2
1
1
1
0,1077
4
1
1
0,1293
3
1
0,1293
3
147
Lampiran 49 Alternatif Strategi Implementasi Pemanfaatan LCPKS menjadi Energi Listrik di Provinsi Lampung pada Aktor Pengusaha PKS (Lanjutan) d. Responden IV Alternatif Strategi Implementasi Pemanfaatan LCPKS menjadi Energi Listrik pada Aktor Pengusaha PKS A Pembuatan regulasi yang mewajibkan semua PKS memanfaatkan energi listrik yang bersumber dari biogas LCPKS B Mendorong peningkatan infrastruktur yang menunjang bisnis biomasa berbasis kelapa sawit C Sosialisasi PERMEN ESDM No 4/ 2012 kepada para pengambil keputusan/ pimpinan PKS D Pembuatan contoh pemanfaatan LCPKS menjadi biogas dan energi listriknya dibeli PT PLN (Persero). E Pembuatan petunjuk pelaksanaan yang akomodatif tentang penjualan energi listrik berbasis biogas ke PT PLN (Persero). F Pengembangan teknologi biogas berbasis LCPKS yang murah untuk digunakan kepentingan sendiri Kosistensi : 0,0665 (konsisten)
A
B
C
D
E
F
Bobot
Rangking
1
1
3
3
1
1
0,2287
1
1
3
3
1
1
0,2287
1
1
1
1
1
0,1099
4
1
1
1
0,1099
4
1
1
0,1321
3
1
0,1904
2
148
Lampiran 49 Alternatif Strategi Implementasi Pemanfaatan LCPKS menjadi Energi Listrik di Provinsi Lampung pada Aktor Pengusaha PKS (Lanjutan) e. Responden V Alternatif Strategi Implementasi Pemanfaatan LCPKS menjadi Energi Listrik pada Aktor Pengusaha PKS A Pembuatan regulasi yang mewajibkan semua PKS memanfaatkan energi listrik yang bersumber dari biogas LCPKS B Mendorong peningkatan infrastruktur yang menunjang bisnis biomasa berbasis kelapa sawit C Sosialisasi PERMEN ESDM No 4/ 2012 kepada para pengambil keputusan/ pimpinan PKS D Pembuatan contoh pemanfaatan LCPKS menjadi biogas dan energi listriknya dibeli PT PLN (Persero). E Pembuatan petunjuk pelaksanaan yang akomodatif tentang penjualan energi listrik berbasis biogas ke PT PLN (Persero). F Pengembangan teknologi biogas berbasis LCPKS yang murah untuk digunakan kepentingan sendiri Kosistensi : 0,0671(konsisten)
A
B
C
D
E
F
Bobot
Rangking
1
1
3
3
3
1
0,2648
1
1
1
3
3
3
0,2648
1
1
1
1
1
0,1273
2
1
1/3
1
0,0889
3
1
1
0,1273
2
1
0,1273
2
149
Lampiran 49 Alternatif Strategi Implementasi Pemanfaatan LCPKS menjadi Energi Listrik di Provinsi Lampung pada Aktor Pengusaha PKS (Lanjutan) Responden Gabungan Alternatif Strategi Implementasi Pemanfaatan LCPKS menjadi Energi Listrik pada Aktor Pengusaha PKS A Pembuatan regulasi yang mewajibkan semua PKS memanfaatkan energi listrik yang bersumber dari biogas LCPKS B Mendorong peningkatan infrastruktur yang menunjang bisnis biomasa berbasis kelapa sawit C Sosialisasi PERMEN ESDM No 4/ 2012 kepada para pengambil keputusan/ pimpinan PKS D Pembuatan contoh pemanfaatan LCPKS menjadi biogas dan energi listriknya dibeli PT PLN (Persero). E Pembuatan petunjuk pelaksanaan yang akomodatif tentang penjualan energi listrik berbasis biogas ke PT PLN (Persero). F Pengembangan teknologi biogas berbasis LCPKS yang murah untuk digunakan kepentingan sendiri Kosistensi : 0,0161(konsisten)
A
B
C
D
E
F
1
1
1
1
1
1
Bobot
Rangking
0,2099
2
0,1562
3
0,1505
4
0,1505
4
0,2246
1
0,1083
5
150
Lampiran 50 Alternatif Strategi Implementasi Pemanfaatan LCPKS menjadi Energi Listrik di Provinsi Lampung pada Aktor Masyarakat Internasional a. Responden I Alternatif Strategi Implementasi Pemanfaatan LCPKS menjadi Energi Listrik pada Aktor Masyarakat Internasional A Pembuatan regulasi yang mewajibkan semua PKS memanfaatkan energi listrik yang bersumber dari biogas LCPKS B Mendorong peningkatan infrastruktur yang menunjang bisnis biomasa berbasis kelapa sawit C Sosialisasi PERMEN ESDM No 4/ 2012 kepada para pengambil keputusan/ pimpinan PKS D Pembuatan contoh pemanfaatan LCPKS menjadi biogas dan energi listriknya dibeli PT PLN (Persero). E Pembuatan petunjuk pelaksanaan yang akomodatif tentang penjualan energi listrik berbasis biogas ke PT PLN (Persero). F Pengembangan teknologi biogas berbasis LCPKS yang murah untuk digunakan kepentingan sendiri Kosistensi : 0,0555 (konsisten)
A
B
C
D
E
F
Bobot
Rangking
1
1
3
3
1
1
0,2254
1
1
3
3
1
1
0,2254
1
1
3
1
1
0,1301
4
1
1/3
1
0,0751
5
1
1
0,1876
2
1
0,1563
3
151
Lampiran 50 Alternatif Strategi Implementasi Pemanfaatan LCPKS menjadi Energi Listrik di Provinsi Lampung pada Aktor Masyarakat Internasional (Lanjutan) b. Responden II Alternatif Strategi Implementasi Pemanfaatan LCPKS menjadi Energi Listrik pada Aktor Masyarakat Internasional A Pembuatan regulasi yang mewajibkan semua PKS memanfaatkan energi listrik yang bersumber dari biogas LCPKS B Mendorong peningkatan infrastruktur yang menunjang bisnis biomasa berbasis kelapa sawit C Sosialisasi PERMEN ESDM No 4/ 2012 kepada para pengambil keputusan/ pimpinan PKS D Pembuatan contoh pemanfaatan LCPKS menjadi biogas dan energi listriknya dibeli PT PLN (Persero). E Pembuatan petunjuk pelaksanaan yang akomodatif tentang penjualan energi listrik berbasis biogas ke PT PLN (Persero). F Pengembangan teknologi biogas berbasis LCPKS yang murah untuk digunakan kepentingan sendiri Kosistensi : 0,0910 (konsisten)
A
B
1
1
1
C
D
E
F
Bobot
Rangking
3
3
1/3
1
0,1927
2
3
3
1
1
0,2314
1
1
1
1
1
0,1113
4
1
1
1
0,1113
4
1
1
0,1927
2
1
0,1605
3
152
Lampiran 50 Alternatif Strategi Implementasi Pemanfaatan LCPKS menjadi Energi Listrik di Provinsi Lampung pada Aktor Masyarakat Internasional (Lanjutan) c. Responden III Alternatif Strategi Implementasi Pemanfaatan LCPKS menjadi Energi Listrik pada Aktor Masyarakat Internasional A Pembuatan regulasi yang mewajibkan semua PKS memanfaatkan energi listrik yang bersumber dari biogas LCPKS B Mendorong peningkatan infrastruktur yang menunjang bisnis biomasa berbasis kelapa sawit C Sosialisasi PERMEN ESDM No 4/ 2012 kepada para pengambil keputusan/ pimpinan PKS D Pembuatan contoh pemanfaatan LCPKS menjadi biogas dan energi listriknya dibeli PT PLN (Persero). E Pembuatan petunjuk pelaksanaan yang akomodatif tentang penjualan energi listrik berbasis biogas ke PT PLN (Persero). F
Pengembangan teknologi biogas berbasis LCPKS yang murah untuk digunakan kepentingan sendiri
Kosistensi : 0,0898 (konsisten)
A
B
C
D
E
F
Bobot
Rangking
1
3
1
3
1
3
0,2656
1
1
3
3
1
3
0,2211
2
1
1
1
1
0,1277
4
1
1
3
0,1277
4
1
3
0,1842
3
1
0,0737
5
153
Lampiran 50 Alternatif Strategi Implementasi Pemanfaatan LCPKS menjadi Energi Listrik di Provinsi Lampung pada Aktor Masyarakat Internasional (Lanjutan) d. Responden IV Alternatif Strategi Implementasi Pemanfaatan LCPKS menjadi Energi Listrik pada Aktor Masyarakat Internasional A Pembuatan regulasi yang mewajibkan semua PKS memanfaatkan energi listrik yang bersumber dari biogas LCPKS B Mendorong peningkatan infrastruktur yang menunjang bisnis biomasa berbasis kelapa sawit C Sosialisasi PERMEN ESDM No 4/ 2012 kepada para pengambil keputusan/ pimpinan PKS D Pembuatan contoh pemanfaatan LCPKS menjadi biogas dan energi listriknya dibeli PT PLN (Persero). E Pembuatan petunjuk pelaksanaan yang akomodatif tentang penjualan energi listrik berbasis biogas ke PT PLN (Persero). F Pengembangan teknologi biogas berbasis LCPKS yang murah untuk digunakan kepentingan sendiri Kosistensi : 0,0864 (konsisten)
A
B
C
D
E
F
Bobot
Rangking
1
1
5
5
1
3
0,3047
1
1
5
3
1
1
0,233
2
1
1
1
1
0,0867
6
1
1
1
0,0944
5
1
3
0,1781
3
1
0,1028
4
154
Lampiran 50 Alternatif Strategi Implementasi Pemanfaatan LCPKS menjadi Energi Listrik di Provinsi Lampung pada Aktor Masyarakat Internasional (Lanjutan) e. Responden V Alternatif Strategi Implementasi Pemanfaatan LCPKS menjadi Energi Listrik pada Aktor Masyarakat Internasional A Pembuatan regulasi yang mewajibkan semua PKS memanfaatkan energi listrik yang bersumber dari biogas LCPKS B Mendorong peningkatan infrastruktur yang menunjang bisnis biomasa berbasis kelapa sawit C Sosialisasi PERMEN ESDM No 4/ 2012 kepada para pengambil keputusan/ pimpinan PKS D Pembuatan contoh pemanfaatan LCPKS menjadi biogas dan energi listriknya dibeli PT PLN (Persero). E Pembuatan petunjuk pelaksanaan yang akomodatif tentang penjualan energi listrik berbasis biogas ke PT PLN (Persero). F
Pengembangan teknologi biogas berbasis LCPKS yang murah untuk digunakan kepentingan sendiri
Kosistensi : 0,0855 (konsisten)
A
B
C
D
E
F
Bobot
Rangking
1
3
3
5
1
1
0,3031
1
1
3
3
1
3
0,2128
2
1
1
1/3
1/3
0,0652
6
1
1
1
0,0939
5
1
1
0,1773
3
1
0,1476
4
155
Lampiran 50 Alternatif Strategi Implementasi Pemanfaatan LCPKS menjadi Energi Listrik di Provinsi Lampung pada Aktor Masyarakat Internasional (Lanjutan) Responden Gabungan Alternatif Strategi Implementasi Pemanfaatan LCPKS menjadi Energi Listrik pada Aktor Masyarakat Internasional A Pembuatan regulasi yang mewajibkan semua PKS memanfaatkan energi listrik yang bersumber dari biogas LCPKS B Mendorong peningkatan infrastruktur yang menunjang bisnis biomasa berbasis kelapa sawit C Sosialisasi PERMEN ESDM No 4/ 2012 kepada para pengambil keputusan/ pimpinan PKS D Pembuatan contoh pemanfaatan LCPKS menjadi biogas dan energi listriknya dibeli PT PLN (Persero). E Pembuatan petunjuk pelaksanaan yang akomodatif tentang penjualan energi listrik berbasis biogas ke PT PLN (Persero). F Pengembangan teknologi biogas berbasis LCPKS yang murah untuk digunakan kepentingan sendiri Kosistensi : 0,0402 (konsisten)
A
B
C
D
E
F
1
1
1
1
1
1
Bobot
Rangking
0,2581
1
0,2279
2
0,1024
5
0,1004
6
0,1866
3
0,1247
4
156
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sri Bhawono, Kabupaten Lampung Tengah pada tanggal 13 November 1968, sebagai anak nomor enam dari tujuh bersaudara dari pasangan Ayahanda Siswowiyono dan Ibunda Suratmi. Pada tahun 1990 penulis menyelesaikan studi tingkat Sarjana pada Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Pada tahun 1994 penulis mendapat kesempatan melanjutkan studi program Magister pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan bantuan dana BPPS, dan lulus tahun 1997. Kemudian pada tahun 2010 penulis diberikan kesempatan untuk melanjutkan studi ke program Doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan bantuan dana BPPS. Penulis mulai bekerja sejak tahun 1992 sebagai tenaga pengajar pada Politeknik Negeri Lampung sampai sekarang. Penulis menikah dengan Sri Astuti, SE pada tahun 1999 dan dikaruniai dua orang anak, yaitu Tiara Dewi Puspita (13 tahun) dan Nadira Kencana Dewi (4 tahun). Selama mengikuti program S-3, penulis menjadi anggota dan pengurus Masyarakat Perkelapasawitan Indonesia (MAKSI). Karya ilmiah yang telah disajikan dan merupakan bagian dari program S-3 penulis adalah sebagai berikut: Nama Seminar/Konferensi/ Jurnal EnvironmentAsia ISSN 19061714 Terindex Thomson Reuters, Scopus, DOAJ, EBSCO host, and etc.
Penyelenggara/ Penerbit dan Waktu
No
Judul Artikel Ilmiah dan Penulis
1
Evaluation on Technological Content of Waste Water Treatment In Palm Oil Mills in The Province of Lampung, Indonesia (Sarono, E. Gumbira-Sa’id, Ono Suparno, Suprihatin, dan UdinHasanudin)
2
Strategi Implementasi Pemanfaatan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Menjadi Energi Listrik (Studi Kasus Di Provinsi Lampung) (Sarono, E. Gumbira-Sa’id, Ono Suparno, Suprihatin, dan UdinHasanudin)
Jurnal Teknologi Industri Pertanian (Jurnal Terakreditasi Dikti)
Dept. Teknologi Industri Pertanian, IPB Bogor Submitted : 30 Jul. 2013 Accepted : 6 Nov. 2013
3
Study On The Pattern Of Biogas Production from Palm Oil Mill Effluent (POME) at Different Temperatures ) (Suprihatin, E. Gumbira-Sa’id, Ono Suparno, UdinHasanudin, dan Sarono)
Bioresource Technology Terindex Scopus, Impact Factor: 5.172
Elsevier Submitted : 22 Okt. 2013
4
A Study on The Potency of Electrical Energy Production and Greenhouse Gas Reduction from POME (A Case Study In Lampung Province) (Sarono, E. GumbiraSa’id, Ono Suparno, Suprihatin, dan UdinHasanudin)
Regional Conference and Workshop on Life Cycle Thinking On Energy, Food and Agriculture In Asia
Kementerian ESDM and SBRC IPB Bogor 24-26 Juni 2013
Thai Society of Higher Education Institutes on Environment (TSHE) Received : 24 Aug. 2013 Accepted : 28 Okt. 2013
157
5
Study on Effect of Temperature Increase on the Productivity of Methane from POME Fermentation (Sarono, E. Gumbira-Sa’id, Ono Suparno, Suprihatin, dan UdinHasanudin)
2nd International Conference on Adaptive & Intelligent Agroindustry
TIP IPB, AGRIN, George Mason University 16-17 Sept 2013
6
Feasibility analysis of palm oil mill effluent utilization as a source of electrical energy (Suprihatin, E.
The International Symposium on Agricultural and Biosystem Engineering (ISABE) 2013
Faculty of Agricultural Technology, UGM 28-29 Agustus 2013
Seminar Nasional Universitas Trisakti Jakarta
FALTL USAKTI – Menko Bidang Perekonomian RI 20 Nov. 2012
Gumbira-Sa’id, O. Suparno, D.O. Suryanto, Sarono) 7
Analisis Kandungan Teknologi Proses Penanganan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Di Provinsi Lampung (Sarono, E. GumbiraSa’id, Ono Suparno, dan Suprihatin)
8
Potensi Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Sebagai Sumber Energi Alternatif (Suprihatin, E.Gumbira Sa’id, Ono Suparno dan Sarono)
Seminar Nasional PERTETA 2012
PERTETA & Universitas Brawidjaya Malang 30 Nov.- 2 Des 2012
9
A Study on The Potency of Electrical Energy Production and Greenhouse Gas Reduction from Palm Oil Mill Effluent (POME) (A Case Study In Lampung Province) (Sarono, E. Gumbira-Sa’id, Ono Suparno, Suprihatin, dan UdinHasanudin)
Seminar Tahunan Masyarakat Perkelapasawitan Indonesia/MAKSI 2013)
Masyarakat Perkelapasawitan Indonesia/MAKSI 25 Sept. 2013
10
Analysis of Technological Content of Waste Water Treatment In Palm Oil Mill Effluent (POME) (Sarono, E. Gumbira-Sa’id, Ono Suparno, Suprihatin, dan UdinHasanudin)
International Conference and Exhibition on Palm Oil 2013 (POSTER)
GAPKI, DMSI, MAKSI 7-9 Mei 2013
11
Study On The Potency Of Electrical Energy Production And Greenhouse Gas Reduction From Palm Oil Mill Effluent (Pome) In Lampung Province (Sarono, E. GumbiraSa’id, Ono Suparno, Suprihatin, dan UdinHasanudin)
Palm Oil Industry Development Conference (POIDeC) 2013(POSTER)
Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) 16-17 Okt. 2013