PENGEMBANGAN ENERGI TERBARUKAN DARI LIMBAH CAIR PABRIK MINYAK KELAPA SAWIT
EDWI MAHAJOENO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengembangan Energi Terbarukan dari Limbah Cair Pabrik Minyak Kelapa Sawit adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2008
Edwi Mahajoeno NRP P 062020081
RINGKASAN EDWI MAHAJOENO. Pengembangan Energi Terbarukan dari Limbah Cair Pabrik Minyak Kelapa Sawit. Di bawah bimbingan: BIBIANA W. LAY, sebagai ketua, SURJONO H. SUTJAHJO dan SISWANTO, sebagai anggota. Indonesia merupakan negara dengan pertumbuhan industri minyak kelapa sawit terbesar, bahkan akan menjadi produsen utama dunia 2010, yang akan memiliki sumberdaya yang belum tersentuh lebih dari 50 juta ton pertahun. Inovasi pengembangan teknologi pengekstrak biogas dari produk samping pabrik minyak kelapa sawit (LCPMKS) untuk memproduksi bahan bakar terbarukan dan manfaatnya sebagai pengganti bahan bakar kendaraan (solar) dan peralatan internal pabrik mendesak untuk dilakukan. LCPMKS bersifat asam, pH 4, mengandung bahan organik tinggi dan total solid 4-5%, sehingga sangat potensial untuk produksi biogas melalui fermentasi anaerob. Perombakan bahan organik dari LCPMKS menjadi gas metan melalui beberapa tahapan reaksi oleh bakteri asetogenik dan metanogenik, yan berpotensi untuk produksi biogas. Pabrik kelapa sawit di Indonesia berjumlah 320 buah pabrik dan menghasilkan LCPMKS > 40 juta m3/tahun. Volume LCPMKS yang berlimpah, selain sebagai sumber pencemar yang potensial baik tanah, udara maupun lingkungan air, di satu sisi LCPMKS adalah sumber energi terbarukan, dan sampai saat ini belum dimanfaatkan secara optimal, upaya pemanfaaan teknologi anaerob untuk meningkatkan potensi LCPMKS yang berhasil guna, juga menekan terjadinya pencemaran. Pengelolaan LCPMKS di Indonesia umumnya secara konvensional menggunakan beberapa kolam terbuka. Sistem tersebut mudah dan tidak memerlukan teknologi tinggi namun kurang efisien, sehingga memerlukan lahan sangat luas, cepat mengalami pendangkalan, biaya pemeliharaan mahal, emisi gas metan, meningkatkan pencemaran udara, penyebab pemanasan global. Penelitian dilakukan di pabrik minyak kelapa sawit PT. Pinago Utama dengan kapasitas olah pabrik 60 ton TBS/jam menghasilkan LCPMKS sebanyak 700 m3/hari. Tujuan penelitian 1) mempelajari karakteristik dan faktor biotik abiotik yang berpengaruh terhadap laju produksi biogas, total produksi biogas dan efisiensi pengurangan bahan organik dari LCPMKS, 2) mengukur emisi biogas kolam LCPMKS anaerob terbuka, memantau kualitas kolam pengolahan LCPMKS, efisiensi pengurangan bahan organik, dan cara peningkatan kualitas atau pemurnian biogas. 3) merancang dan menguji teknologi perombakan kolam anaerob tertutup laju tinggi dengan perlakuan resirkulasi dan peningkatan suhu gradasi untuk pengelolaan LCPMKS lebih efisien, efektif, dan berdaya guna. 4) mengkaji kelayakan teknoekonomi anaerob tertutup laju tinggi secara ekonomis, dan mendapatkan teknologi pengolahan LCPMKS untuk produksi biogas yang layak diaplikasikan sesuai analisis ekonomi secara sederhana. Hasil penelitian skala laboratorium dilakukan di rumah kaca menggunakan modifikasi bioreaktor anaerob volume 20 L secara curah (batch) menggunakan limbah LCPMKS, waktu fermentasi 12 minggu. Faktor biotik yang diuji adalah lumpur aktif
dari kolam limbah LCPMKS dan kotoran sapi. Sedang faktor abiotik yang diuji antara lain pengaruh penambahan bahan penetral pH, pH substrat awal, agitasi, dan temperatur. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa karakteristik LCPMKS PT. Pinago Utama pH asam, bahan organik tinggi (COD >55; BOD >26; TS >35 dan SS 26 g.l-1), berpotensi sebagai sumber pencemar dan sumber energi terbarukan. Faktor biotik dan abiotik yang dapat meningkatkan produksi biogas dan efisiensi pengurangan bahan organik adalah lumpur aktif konsentrasi 20%, sedang faktor abiotik dengan penambahan Ca(OH)2, pH substrat awal 7, agitasi yang dilakukan sehari satu kali, dan peningkatan suhu termofilik (40oC). Rerata efisiensi pengurangan bahan organik substrat sistem curah relatif tinggi, masing-masing 88 %, 74,8%, 64,4% dan 61% untuk COD, BOD, SS, dan TS. Hasil percobaan baseline study pengelolaan LCPMKS terdiri dari tiga kolam fakultatif anaerob dan tiga kolam aerob. Parameter kualitas limbah COD, BOD, TS dan SS diamati dalam 10 bulan (September 2006 hingga Juni 2007). Pengolahan limbah secara konvensional dengan sistem kolam menghasilkan kualitas limbah dari kolam terakhir, sebelum masuk ke sungai belum memenuhi baku mutu KLH antara lain, COD, BOD, TS, SS dan VS masing-masing adalah COD kolam I- VI 44,1; 5,5; 7,9; 3,9; 0,9; 0,7; BOD 15,3; 3,0; 3,1; 1,3; 0,4; 0,3; TS 30,0; 10,9; 9,8; 5,2; 5,6; 3, ;5 SS 31,6 7,8, 7,4, 2,1, 2,0, 1,6. Persentase penurunan COD (%) kolam I-VI masingmasing 100, 87,3; 82,1; 91,2; 79,6, 98,4. BOD 100, 80,4, 79,7, 91,5, 94,4 98,0. TS 100, 63,0; 67,3; 82,7, 81,3; 88,3. SS 100, 75,3; 76,6 93,4; 93,7; 94,9. VS 100; 81,0; 85,9; 89,7; 93,5; 94,3. Emisi gas metan pada kolam fakultatif anaerob sebesar 3.555 m3/hari/10.800m2 dengan kadar CH4 1935,6 kg/hari, dan potensi pemanasan global 23.866 ton.CO2-e/tahun. Rerata pengurangan bahan rganik > 80% dengan waktu tinggal relatif lama (>10 bulan). Biogas yang dihasilkan dapat dimurnikan dengan Ca(OH)2 dan CaCl2, dan dapat digunakan sebagai pengganti bahan bakar biogas (BBG) jenis lain. Digester kolam anaerob tertutup (bioreaktor) dibangun pada kolam I.1 berkapasitas total 4500 m3, volume kerja 4000 m3, dan aklimatisasi inokulum 20% (b/v) dengan suhu >40 oC. Percobaan optimasi produksi biogas dilakukan dua periode yaitu 2006 - 2007, dengan variasi feeding rate 25 m3/hari sampai dengan 300 m3/ hari masing-masing sela interval 3 hari. Parameter yang diamati antara lain volume biogas, pH, COD, BOD, TS dan SS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa volume gas meningkat secara kontinyu sesuai dengan peningkatan laju pengumpanan LCPMKS. Kinerja optimum bioreaktor adalah laju pengumpanan 200 m3/hari diproduksi biogas sebesar 10.000 m3/hari, dengan efisiensi penurunan organik rerata >90%. Studi kelayakan tekno-ekonomi pembangunan modifikasi bioreaktor diperoleh nilai Break Even Point = 120.992 m3, Net B/C=17348. Net present value (NPV)/Bulan Rp 460.416.000,00,IRR diatas 35%. Operasional produksi PT.Pinago Utama menghasilkan limbah antara 650- 700 m3 setiap hari dapat ditampung dalam tiga reaktor dengan ukuran yang sama akan menghasilkan 40.000 m3 biogas/hari, setara dengan 20.000 L minyak solar. Harga solar industri mencapai Rp 7.000 – 8.000/L, maka hasil yang diperoleh dari limbah kurang lebih 130 juta/hari, atau Rp 33 M/ tahun. Hasil limbah cair mampu mendukung biaya operasional pabrik. Tampak betapa
pentingnya pengolahan LCPMKS dengan inovasi teknologi yang telah diuji terapkan, dan dapat menekan kebutuhan lahan utuk penampungan lebih meluas. Pemasangan digester kolam anaerob tertutup secara tekno-ekonomi sangat layak diaplikasikan dan ramah lingkungan. Hasil percobaan yang diperoleh dari skala laboratorium, base line study dan skala pilot, pengurangan bahan organik yang diukur dari COD, BOD, TS dan SS mengalami penurunan, namun masih di atas ambang baku mutu yang diperuntukkan. Semua percobaan yang dilakukan dapat memproduksi biogas, sehingga LCPMKS dapat digunakan sebagai sumber energi terbarukan, yang disebut bioenergi bersih dan berkesinambungan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa implementasi modifikasi teknologi digester anaerob kolam tertutup laju tinggi dapat dipengaruhi oleh faktor biotik dan abiotik. Pengolahan LCPMKS secara konvensional, yang umum dilakukan oleh pabrik minyak kelapa sawit tidak efisien dan efektif, pemberdayaan LCPMKS kurang optimal, sehingga berdampak pada pemanasan global akibat gas rumah kaca, yang mengancam kehidupan organisme di dunia. Inovasi teknologi pengelolaan LCPMKS pada digester anaerob kolam tertutup laju tinggi, dapat meningkatkan pemberdayaan LCPMKS yang lebih efektif, efisien dan berdaya guna. Menguntungkan industri sehingga mampu meningkatkan daya saing, menciptakan industri bersih, serta mendukung ratifikasi Protokol Kyoto .
ABSTRACT Mahajoeno Edwi. Development of Renewable Energy from Palm Oil Mill Effluent (POME), supervised by Bibiana W. Lay, as Principal Advisor, Surjono H. Sutjahjo and Siswanto as Co-Advisor. Indonesia is a country having the growth largest on palm oil mill, while will be primarily the producers in the world and it have been more than 50 million MT of the hidden resources of POME annually. The innovation on establishing technology of biogas extracting of by-product the palm oil mill to produce the renewable energy and it uses as alternatives vehicle fuel and internal factory equipment were critical conducted. These objectives of the investigation were to: 1) know the effects of chemical, biological and physical factors on anaerobic digestion system the biogas production in the laboratory scale, 2) measure methane emission potential and upgrading biogas quality, and 3) develop the technical digestion anaerobic by closedhigh rate anaerobic lagoon 4) analyze the feasibility of techno-economical biogas plant substrate temperature rising. The results show that POME sludge generated from PT Pinago Utama this substrate is a potential source of environmental pollutants. The biotic factors were kind and concentration of the inoculums sludge of anaerobic lagoon II-B of 20% (w/v) respectively. Both physical and chemical factors pH, pH neutralizer matter Ca (OH)2, temperature ≥40oC, agitation effect to increase biogas production, but in both coagulant concentration. The efficiency removal organics each of parameters average were ≥ 90%, except total solid (TS), 63%. Biogas emission from anaerobic lagoon IIB which its capacity approximately 10.800 m2 was 3.555 m3/day and methane average was 53,4%. Total methane (CH4) emission 1936 kg/day, and global warming potential equivalent to 23.866 ton CO2 equivalent/year. Average efficiency removal organics, ≥80%, and hydrolytic retention time more than 10-12 months. The principles and technological points of the designed-reactor modification were accelerated by actives microbial sludge anaerobic lagoon of working volume substrates. Bioreactor working volume 4000 m3, to add the process component such as agitation, temperature more than 40oC. The optimum biogas production through reactor modification, i.e., feeding rate per days and percentage in removal efficiency, were 200 m3 POME.day-1 and ≥90%, respectively. The feasibility study of techno-economical of the biogas plant modification revealed that developing closed-high rate lagoon for POME treatment plant was much appropriated. Implementation of the innovation another obtains to the renewable energy environmentally and promotes the efficiency of organic removal of pollutant. -----------------------Kata Kunci: Renewable energy, POME, anaerobic digester closed lagoon, pilot scale,
ABSTRACT EDWI MAHAJOENO. Development of Renewable Energy from Palm Oil Mill Effluent (POME), supervised by BIBIANA W. LAY, as Principal Advisor SURJONO H. SUTJAHJO and SISWANTO, as Co-Advisor. The total area of oil palm plantations in Indonesia is about 5,9 million hectares and produces the crude palm oil (CPO) as much 16, 6 million tons palm oil mills (POM) is 350 mills, from which 258 residing in Sumatra. The number of process production of fresh fruits bunch EFB), generate solid wastes such as empty fruit bunch (EFB) about 9 million ton, fiber 5,5 million ton, as well as liquid waste of palm oil mill (POME) more than 40 million ton/year. The utilization of solid and liquid wastes in Indonesia until now has not yet been optimal because of technological limitation. On the other hand to increase industrial competitiveness, and efficiency of oil palm plantation, needs efforts to reduce the production cost. Technology for processing the liquid waste of POM uses a lagoon system, which has a lot of weakness such as: needed a large number of ponds, emission of methane gas, which is contaminating air environment with the global warming potency higher than CO2 emission, long retention hydrolytic time and management expense very high. These problems can be overcome by an Anaerobic Digester Closed Lagoon (ADCL) technology which does not need large ponds, and the evolved can be used as renewable energy to replace fossil fuel. This will assist to overcome the energy crisis in Indonesia. The main objective of this research was to obtain the technology processing of POME to produce biogas in pilot scale, efficient and economically feasible to be applied at industrial scale. To pursue this objective, three step of research activities were conducted i.e.: 1) Study of several different parameters influence the biogas production from POME in laboratory scale, 2) Measurement of emission of methane gas from opened anaerobic lagoon as traditionally, existing conditions in palm oil industries; 3) The production of biogas in pilot scale of Anaerobic Digester Closed Lagoon (ADCL). The experiment results at laboratory scale indicated that the POME has characteristic of high COD > 55, BOD > 27, TS > 35 and SS > 26 g/L, which are potentially water and air pollutions contributing to the change of global climate. In experiment scale biogas can be produced in an optimal condition by using activatedsludge inoculums at 20% concentration (w/v), adjusting the acidity substrate to pH 7,0 by adding Ca(OH)2, agitation, temperature on 40oC. The ponding system on POME treatment commonly installed almost all of POM in Indonesia, result in methane emission significant as cause of global warming. Result of biogas measurement in two hectares of facultative anaerobic lagoon, indicated that emissions of methane gas as much 13.300 m3/ year or equivalent to 24,000 ton CO2-eq/year. Result of experiment on pilot scale with the system of ADCL (Anaerobic Digester Covered lagoon) shows that feeding rate at 200 m3 raw POME/days give the optimum yield of biogas, efficient on removal organic substance reduction, reduction efficiency of COD and some other
parameter equal to > 90% and economically feasible for the application of ADCL system. Ca(OH)2 and CaCl2 is most effective for scrubbing biogas. Thereby that treatment of POME by ADCL are feasible to be applied to replace the conventional technology by lagoon system. Key word: POME, the biotic and abiotic factors, methane emission from anaerobic lagoon, anaerobic digester closed lagoon,
ABSTRACT EDWI MAHAJOENO. Development of Renewable Energy from Palm Oil Mill Effluent (POME), supervised by BIBIANA W. LAY, as Principal Advisor SURJONO H. SUTJAHJO and SISWANTO, as Co-Advisor. The total area of oil palm plantations in Indonesia is about 5,9 million hectares and produces the crude palm oil (CPO) as much 16, 6 million tons palm oil mills (POM) is 350 mills, from which 258 residing in Sumatra. The number of process production of fresh fruits bunch EFB), generate solid wastes such as empty fruit bunch (EFB) about 9 million ton, fiber 5,5 million ton, as well as liquid waste of palm oil mill (POME) more than 40 million ton/year. The utilization of solid and liquid wastes in Indonesia until now has not yet been optimal because of technological limitation. On the other hand to increase industrial competitiveness, and efficiency of oil palm plantation, needs efforts to reduce the production cost. Technology for processing the liquid waste of POM uses a lagoon system, which has a lot of weakness such as: needed a large number of ponds, emission of methane gas, which is contaminating air environment with the global warming potency higher than CO2 emission, long retention hydrolytic time and management expense very high. These problems can be overcome by an Anaerobic Digester Closed Lagoon (ADCL) technology which does not need large ponds, and the evolved can be used as renewable energy to replace fossil fuel. This will assist to overcome the energy crisis in Indonesia. This main objective of this research was to obtain the technology processing of POME to produce biogas in pilot scale, efficient and economically feasible to be applied at industrial scale. To pursue this objective, three step of research activities were conducted i.e.: 1) Study of several different parameters influence the biogas production from POME in laboratory scale, 2) Measurement of emission of methane gas from opened anaerobic lagoon as traditionally, existing conditions in pal oil industries; 3) The production of biogas in pilot scale of Anaerobic Digester Closed Lagoon (ADCL).The experiment results at laboratory scale indicated that the POME has characteristic of high COD > 55, BOD > 27, TS > 35 and SS > 26 g/L, which are potentially water and air pollutions contributing to the change of global climate. In experiment scale biogas can be produced in an optimal condition by using activated-sludge inoculum at 20% concentration (w/v), adjusting the acidity substrate to pH 7,0 by adding Ca(OH), agitation, temperature on 40oC. The ponding system on POME treatment commonly installed almost all of POM in Indonesia, result in methane emission significant as cause of global warming. The measures of facultative anaerobic lagoon have large 2 ha, its show that methane emission were 13.300 m3/year or equivalent to 24. 000 ton. CO2-e/year. The pilot scale on biogas production experiment by ADCL show that feeding rate 200 m3 raw POME/day optimal yield biogas and efficiency removal organic. The latter COD and other parameters were >90%, both Ca (OH)2 and CaCl2 were most effective to upgrading biogas quality, and economical most feasibility ADCL applied. Conclusion of the research revealed that the increment POME treatment by ADCL will be obtain more efficient, effective and environmentally friendly Key word: POME, the biotic and abiotic factors, methane emission from anaerobic lagoon, anaerobic digester closed lagoon,
PRAKATA
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah subhanahu wata’ala atas segala karunia rahmat, nikmat dan hidayah, disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi tentang pemanfaatan biomasa limbah industri perkebunan dengan judul “Pengembangan Energi Terbarukan dari Limbah Cair Pabrik Minyak Kelapa Sawit” ini disusun dengan bantuan pembiayaan dana APBN KMNRT RUK 2005-2006 melalui Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia. Dalam kesempatan ini disampaikan penghargaan yang tinggi dan ucapan terimakasih kepada yang terhormat : 1. Prof. Dr. drh. Bibiana W. Lay, M.Sc. bertindak sebagai ketua komisi pembimbing, Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS, dan Dr. Siswanto, DEA, APU. sebagai anggota komisi pembimbing, atas segala bantuan moril dan materiil, saran mulai dari rencana penelitian hingga penyelesaian penulisan, tidak terhingga pengetahuan yang diberikan, kebijaksanaan, kesabaran, ketegasan, kedisiplinan serta tanggung jawab seorang peneliti ditanamkan secara tidak langsung sejalan dengan proses penyelesaian studi. Hanya Allah SWT yang dapat membalas segala kebaikan, dan sebagai catatan ibadah di sisi Allah SWT. 2. Pimpinan Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia, di Bogor dan penanggung jawab Laboratorium Rekayasa Genetika dan Biomolekuler yang telah memberikan kesempatan menggunakan fasilitas laboratorium. 3. Direktur Utama PT Pinago Utama Palembang yang telah memberikan fasilitas penelitian pada Areal Pengelolaan LCPMKS di Desa Sugiwaras Babatoman Sekayu Musi Banyuasim Sumatera Selatan. 4. Pimpinan Laboratorium Rekayasa Genetika dan Biomolekuler, dan Laboratorium Mikrobiologi dan Bioproses BPBPI Bogor dan teknisi yang dengan kesabaran dan sukarela membantu dari persiapan hingga penyusunan laporan ilmiah ini dengan menggunakan berbagai fasilitas yang ada. 5. Pimpinan Pabrik Minyak Kelapa Sawit dan Pabrik Karet serta Workshop (Bengkel) dan Laboratorium Bio-Dev PT Pinago Utama yang telah memberi
bantuan tenaga, sarana dan peralatan penting dalam penyelesaian pekerjaan lapangan maupun laboratorium. 6. Staf pengajar dan tenaga kependidikan lainnya di lingkup PS PSL dan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor umumnya, atas bantuan pendidikan, layanan administrasi dalam bentuk apapun yang sangat berguna. 7. Ayahanda H. Setiohadi Woerjanto, lbu Hj. Salmiyah dan Ibu A. Marzuki almarhumah yang tercinta serta isteri dan anak-anak tercinta Siti Chalimah, Kautsar Hidayatullah, Nashril Abdillah dan Aldilla Arifatunurrillah, dengan penuh keikhlasan berkorban, pengertian, dorongan dan semangat untuk terus maju serta do’a yang selalu dipanjatkan kepada Allah SWT, sehingga penulisan disertasi dapat diselesaikan. 8. Kakak Nurchikmah Marzuki, Djarwo H. Nurrindrat, serta adiku tercinta Yunaedy, Yunaety dan Eko Wicaksono, Wiwik dan Asjito sekeluarga, Naning Wuryaningsih, saudara/kakakku Drs. Rameli, MSi. sekeluarga dan Drs.H. Totok Supiyanto, MM. sekeluarga yang telah banyak memberikan bantuan materi dan dorongan serta do’a yang tiada henti, serta Ir. Rudy Sigit Darsolo sekeluarga yang banyak membantu baik materiil maupun moril pada akhir-akhir penulisan hingga ujian. 9. Bapak/Ibu/saudara sekaligus teman baik berbagi cerita suka dan duka, yang dapat memberi inspirasi, memotivasi dan menggugah dalam banyak hal baik selama penelitian hingga penulisan disertasi ini antara lain: Ir. Suharyanto, MSi, Dr. Sidikmarsudi, Dr. Tri Panji, Dr.Agus Purwantara, Dr.Happy Widiastuti, Isroi, MSi, Efi SSi, Yanti SSi, Alfana, Annida, Taupan, Nuning, Fitma, Ahmad DS, Ari S., Dewi dan Erwin, serta teman-teman seperjuangan yang tidak dapat saya sebut satu persatu. Semoga disertasi ini dapat memberi manfaat bagi pihak yang memerlukan, dan semoga bimbingan serta semua kebaikan menjadi nilai ibadah di sisi Allah SWT, Amin Amin Yaa Robbal ‘Alamiien. Bogor, Februari 2008
Edwi Mahajoeno
@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak cipta dilingungi undang-undang 1) Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a) Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b) Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor 2) Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin Institut Pertanian Bogor
PENGEMBANGAN ENERGI TERBARUKAN DARI LIMBAH CAIR PABRIK MINYAK KELAPA SAWIT
EDWI MAHAJOENO
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RIWAYAT HIDUP
Edwi Mahajoeno, putra kedua dari tujuh bersaudara, Ayah Setyohadi Woerjanto dan Ibu Salmiyah, dilahirkan pada tanggal 25 Oktober 1960 di Surabaya, menikah tanggal 28 Januari 1988 dengan Siti Chalimah dan dikaruniai tiga anak, 2 putra dan 1 putri, Kautsar Hidayatullah (Surabaya, 14 Oktober 1988), Nashril Abdillah (Tuban, 15 April 1990), dan Aldilla Arifatunurrillah (Tuban, 21 Desember 1994). Penulis menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah pertama di Sidoarjo, yaitu di SD Negeri Kedungrejo I (tahun 1972) dan SMP Negeri Taman (tahun 1975), dan melanjutkan di PPSP IKIP Surabaya (tahun 1979). Gelar sarjana Biologi diperoleh pada 1987, dari Fakultas Biologi Universitas Gajah Mada. Pada tahun 1994 mendapatkan gelar Magister Sains dari UGM Yogyakarta. Pada tahun 2002 melanjutkan studi pada jenjang Doktor (S3) program studi PSL Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor di Bogor. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Dirjen DIKTI melalui BPPS.
DAFTAR ISI
ABSTRACT RINGKASAN DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN
Halaman i iv vi vii viii
BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Tujuan Penelitian 1.3. Manfaat Penelitian 1.4. Kerangka Pemikiran 1.5. Permasalahan 1.6. Hipotesis 1.7. Kebaharuan
1 5 6 6 10 12 13
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Air Limbah PMKS 2.2. Teknologi Perombakan Anaerob 2.2.1. Prinsip-dasar proses perombakan anaerob 2.2.2. Faktor faktor berpengaruh pada perombakan anaerob 2.2.3. Beberapa faktor ketidak seimbangan proses perombakan anaerob 2.2.4. Keuntungan perombakan anaerob 2.3. Produksi Biogas 2.3.1. Kualitas biogas dan penjerapan 2.3.2. Pemanfaatan biogas 2.3.3. Penyimpanan biogas 2.3.4. Biogas sebagai sumber energi terbarukan
14 17 19 20 26 27 29 30 31 32 33
BAB III. OPTIMASI PRODUKSI BIOGAS DARI LIMBAH CAIR PABRIK MINYAK KELAPA SAWIT SKALA LABORATORIUM....... Abstrak Abstract 1. Pendahuluan 2. Metode Penelitian 3. Hasil dan Pembahasan 4. Kesimpulan
36 36 36 37 40 43 64
BAB IV. PENGUKURAN EMISI GAS METAN DARI KOLAM LIMBAH CAIR PABRIK MINYAK KELAPA SAWIT (LCPMKS) Abstrak Abstract 1. Pendahuluan 2. Metode Penelitian 3. Hasil dan Pembahasan 4. Kesimpulan
66 66 66 67 69 72 95
BAB V. OPTIMASI PRODUKSI BIOGAS PADA DIGESTER ANAEROB KOLAM TERTUTUP (DAKT) SKALA PILOT Abstrak Abstract 1. Pendahuluan 2. Metode Penelitian 3. Hasil dan Pembahasan 4. Kesimpulan
96 96 96 97 100 103 122
BAB VI. PEMBAHASAN UMUM Fenomena hasil penelitian
123 139
BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan 7.2. Saran
143 143 145
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
146 156
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Perkembangan konsumsi dan produksi CPO dunia
3
2.
Karakteristik LCPMKS PT Pinago Utama
44
3. 4.
Pengaruh jenis dan konsentrasi inokulum terhadap total produksi biogas skala laboratorium dengan waktu fermentasi 12 minggu Pengaruh penambahan NaOH dan Ca(OH)2 terhadap produksi biogas
46 48
5.
Pengaruh perbedaan pH substrat awal terhadap produksi biogas
49
6.
Pengaruh agitasi terhadap produksi biogas
50
7.
Pengaruh suhu substrat terhadap produksi biogas
51
8.
11.
Profil awal temperatur dan pH pada berbagai titik pengukuran kolam LCPKMS PT. Pinago Utama Monitoring rerata nilai COD, BOD, TS dan VS LCPMKS kolam anaerob dan kolam aerob selama 10 bulan Emisi gas metan, pH, dan suhu berbagai titik sampling kolam fakultatif anaerob Bahan organik berbagai titik sampling kolam fakultatif anaerob
12.
Ringkasan base line study kolam anaerob terbuka
13.
Rerata efisiensi pengurangan bahan organik 10 bulan pada kolam IVI areal pengelolaan LCPMKS Rerata hasil peningkatan kualitas biogas dalam persen sebelum dan sesudah penjerapan Perhitungan tekno-ekonomi pengelolaan LPCKMS digester anaerob kolam tertutup
9. 10.
14. 15.
74 83 85 85 88 90 92 121
DAFTAR GAMBAR . Halaman 1.
Bagan Alir pengembangan produksi biogas LCPMKS
9
2.
Digester anaerob sistem curah untuk produksi biogas skala laboratorium Interaksi jenis, konsentrasi inokulum dan waktu fermentasi terhadap produksi biogas Interaksi pemberian bahan penetral dan waktu fermentasi terhadap produksi biogas Interaksi pH awal dan waktu fermentasi terhadap produksi biogas
43
3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30.
Interaksi pemberian agitasi pada substrat dan waktu fermentasi terhadap produksi biogas Interaksi peningkatan suhu dan waktu fermentasi terhadap produsi biogas Pengaruh jenis dan konsentrasi inokulum terhadap efisiensi pengurangan COD Pengaruh jenis dan konsentrasi inokulum terhadap efisiensi pengurangan BOD Pengaruh jenis dan konsentrasi inokulum terhadap efisiensi pengurangan SS Pengaruh jenis dan konsentrasi inokulum terhadap efisiensi pengurangan TS Pengaruh NaOH dan Ca(OH)2 terhadap efisiensi penguranganTS Pengaruh NaOH dan Ca(OH )2 terhadap efisiensi pengurangan SS Pengaruh NaOH dan Ca(OH )2 terhadap efisiensi pengurangan Pengaruh NaOH dan Ca(OH )2 terhadap efisiensi pengurangan BOD Pengaruh pH substrat awal terhadap efisiensi pengurangan COD Pengaruh pH substrat awal terhadap efisiensi pengurangan BOD Pengaruh pH substrat awal terhadap efisiensi pengurangan TS Pengaruh pH substrat awal terhadap efisiensi pengurangan SS Pengaruh agitasi terhadap efisiensi pengurangan SS Pengaruh agitasi terhadap efisiensi pengurangan TS Pengaruh agitasi terhadap efisiensi pengurangan BOD Pengaruh agitasi terhadap efisiensi pengurangan COD Pengaruh suhu terhadap efisiensi pengurangan SS Pengaruh suhu terhadap efisiensi pengurangan TS Pengaruh suhu terhadap efisiensi pengurangan BOD Pengaruh suhu terhadap efisiensi pengurangan COD Denah lokasi percobaan di areal pengelolaan LCPMKS Visualisasi emisi biogas kolam II-B COD LCPMKS kolam fakultatif anaero (kolam I-III)
45 48 49 50 51
53 53 54 54 56 57 57 57 58 59 59 59 61 61 61 62 62 63 63 63 72 77 77
31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60. 61. 62. 63.
COD LCPMKS kolam aerob (kolam IV-VI) BOD LCPMKS kolam fakultatif anaerob (kolam I-III) BOD LCPMKS kolam aerob (kolam IV-VI) Total solid (TS) LCPMKS kolam fakultatif anaerob (kolam I-III) Total solid (TS) LCPMKS kolam aerob (kolam IV-VI) Padatan tersuspensi (SS) LCPMKS kolam fakultatif anaerob (kolam I-III) Padatan tersuspensi (SS) LCPMKS kolam aerob (kolam IV-VI) Volatil solid (VS) LCPMKS kolam fakultatif anaerob (kolam I-III) Volatil solid (VS) LCPMKS kolam aerob (kolam IV-VI) Lokasi baseline study emisi gas metan kolam II-B Penampung emisi biogas kolam II-B berupa sungkup ukuran 4 m x 6 m x tinggi 0,65 m Kantong penyimpanan sementar emisi gas metan kolan anaerob II-B Efisiensi pengurangan COD LCPMKS selama 10 bulan Efisiensi pengurangan BOD LCPMKS selama 10 bulan Efisiensi pengurangan TS LCPMKS selama 10 bulan Efisiensi pengurangan SS LCPMKS selama 10 bulan Efisiensi pengurangan VS LCPMKS selama 10 bulan Tangki penjerab (scraber) untuk peningkatan kualitas biogas Tabung berkapasitas 36 liter berisi biogas dengan tekanan 8 bar (A). Kompresor (B) dan Kompor (C) dengan bahan bakar Konstruksi kerangka atap bioreaktor modifikasi (ADCL kolam I.1) Rancangan distribusi LCPMKS pada dasar kolam perombakan tertutup tampak atas Rancangan kolam digester anaerob tertutup tampak samping Kolam I.1 sebagai biogas plant modifikasi. Kualitas pH, COD, BOD, TS dan SS substrat bioreaktor persiapan awal operasi Optimasi laju pengumpanan terhadap produksi biogas dan suhu substrat Optimasi laju pengumpanan terhadap produksi biogas dan pH substrat Optimasi laju pengumpanan terhadap efisiensi pengurangan organik COD dan interaksi dengan pH substrat Optimasi laju pengumpanan terhadap efisiensi pengurangan organik COD dan interaksi dengan suhu substrat Optimasi laju pengumpanan terhadap produksi biogas dan efisiensi pengurangan organik substrat COD influen, efluen dan efisiensi perombakan substrat kolam I.1. BOD influen, efluen dan efisiensi perombakan substrat kolam I.1. SS influen, efluen dan efisiensi perombakan substrat kolam I.1. TS influen, efluen dan efisiensi perombakan substrat kolam I.1.
78 78 78 79 79 80 80 81 81 84 86 88 89 89 89 90 90 93 94 104 105 106 107 109 110 111
111 112 113 114 115 116 116
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 2
Naskah Publikasi Jurnal “Potensi Limbah Cair Pabrik Minyak Kelapa Sawit untuk Produksi Biogas Metode Analisis Penelitian
156 161
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan batubara merupakan sumber energi utama di Indonesia, akan tetapi sumber energi tersebut berdampak merusak lingkungan termasuk pencemaran udara, emisi gas rumah kaca dan pemanasan global. Permasalahan lain adalah tingginya harga bahan bakar fosil, kenaikan jumlah impor minyak bumi akibat konsumsi bahan bakar nasional, serta cadangan minyak bumi yang semakin menipis. Dalam energi mix nasional diketahui bahwa lebih dari 50% penggunaan energi nasional didominasi oleh bahan bakar fosil, untuk itu pengembangan energi alternatif menjadi pilihan yang penting. Sudah saatnya semua negara memutuskan ketergantungan terhadap sumber energi fosil beralih ke sumber energi alternatif berbahan baku nabati yang sifatnya terbarukan (Hambali et al. 2007). Usaha mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan, dan pengembangan sumber energi alternatif termasuk bioenergi yang terus diupayakan dan dilakukan. Bioenergi adalah energi terbarukan yang berasal dari biomasa. Biomasa merupakan materi hasil proses fotosintesis, tetapi biomasa juga dapat dihasilkan dari hewan misalkan kulit dan kotoran yang mengandung mikroorganisme. Energi terbarukan dihasilkan dari sumberdaya yang tidak pernah habis, sumber energi terbarukan meliputi, matahari, angin, bumi, air, biomasa dan energi dari limbah (CADDET 1998). Sejak tahun 2006, Indonesia mulai memasuki era kebangkitan energi II, dengan pengembangan energi yang memprioritaskan ekspansi energi alternatif sebagai sumber energi, dan mengurangi penggunaan energi berbasis minyak bumi, melalui peraturan Presiden Republik Indonesia nomer 5 tahun 2006, tentang kebijakan energi nasional. Pemerintah telah menetapkan bauran energi nasional tahun 2025 dengan peran minyak bumi sebagai energi, akan dikurangi dari 52% saat
2
ini, hingga kurang dari 20% pada tahun 2025. Strategi utama yang ditetapkan oleh pemerintah untuk pengembangan bahan bakar nasional dikenal dengan sebutan Fast Track Program, yaitu pengembangan desa mandiri energi sesuai dengan potensi daerah masing-masing. Dengan strategi tersebut diharapkan dalam jangka pendek akan tercipta lapangan kerja dan pengurangan kemiskinan, sehingga jangka panjang akan tercapai keamanan pasokan energi dan pertumbuhan ekonomi (Hambali et al. 2007). Bioenergi merupakan salah satu bentuk energi alternatif yang prospektif untuk dikembangkan. Pengembangan bioenergi bukan saja dapat mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak (BBM) yang harganya terus meningkat, tetapi juga dapat meningkatkan keamanan pasokan energi nasional. Perhatian masyarakat dunia yang semakin meningkat pada penggunaan bahan bakar ramah
lingkungan
seperti
tertuang
dalam
Protokol
Kyoto
menjadikan
pengembangan bioenergi sangat strategis dan menuntut untuk direalisasikan. Indonesia sebagai negara agraris dan tropis, mempunyai kekayaan alam melimpah bermanfaat sebagai sumber bahan baku bioenergi guna menghadapi kelangkaan energi fosil di masa mendatang. Bioenergi bersifat ramah lingkungan, dapat diperbaharui, serta mampu mengeliminasi emisi gas kontaminan dan efek rumah kaca. Bahan baku bioenergi yang melimpah, diantaranya singkong, sagu, kelapa sawit, jarak pagar, dan kelapa, limbah organik, bahkan minyak goreng bekas dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan bioenergi (Indartono 2006). Ketersediaan bahan baku yang melimpah menuntut pengetahuan teknologi pengolahan bioenergi dikuasai dengan baik, agar sumberdaya yang ada tidak sia-sia. Perkembangan energi terbarukan dan kekayaan alam di Indonesia khususnya komoditas pertanian yaitu meningkatnya produksi pertanian minyak kelapa sawit mentah (CPO) menjadi primadona ekspor. Pertumbuhan produksi CPO Indonesia paling tinggi di antara negara produsen CPO lainnya dalam satu dekade terakhir 1995-2004 atau tumbuh 2,7 kali dari 4,2 juta ton pada 1995 menjadi 11,4 juta ton pada 2004, sehingga
kontribusi CPO dunia tahun lalu naik menjadi 38,06%.
3
Produksi CPO dunia meningkat hingga 1,97 kali lipat, pertanda baik bagi industri CPO
secara
nasional
http//:www.djikah.dprin.go.id/query-info/pjp-action/htm
3/1/07. Ekspor Indonesia pada 1995 sampai 2004 tumbuh berlipat dari 1,856 juta ton pada 1995 menjadi 8,05 juta ton pada 2004. Pada 1995 pangsa pasar ekspor CPO Indonesia sekitar 18,2% dari total ekspor CPO dunia yang mencapai 10,194 juta ton. Namun pada 2004 pangsa pasar ekspor Indonesia naik menjadi 34,3% dari total ekspor CPO seluruh produsen CPO dunia yang mencapai 23,4 juta ton. Malaysia dan Indonesia menjadi pemimpin produksi dan ekspor CPO dunia, dengan total pangsa pasar keduanya menjadi 88% dari total ekspor CPO dunia pada 2004. Dalam jangka panjang, diyakini permintaan CPO juga akan terus meningkat seiring dengan adanya penelitian dan pengembangan untuk mengubah minyak sawit menjadi bioenergi, melalui proyek biodiesel untuk mengurangi pemakaian energi dari BBM. http://www.presidenri.go.id/ index.php/fokus/ /1391.html.19/12/2006 Peningkatan permintaan CPO Indonesia yaitu konsumsi domestik dan ekspor sebelumnya meningkat dengan laju 8% per tahun, untuk periode 2000-2005 peluang konsumsi CPO domestik diperkirakan meningkat dengan laju 5-6% per tahun. Selanjutnya untuk periode 2005-2010, laju peningkatan konsumsi diperkirakan 35% per tahun, sehingga konsumsi domestik pada tahun 2005 dan 2010 masingmasing adalah 3,92 juta ton dan 4,58 juta ton. Selain mengandalkan pasar domestik, pasar ekspor merupakan pasar utama CPO Indonesia. Ekspor CPO Indonesia pada dekade terakhir meningkat dengan laju antara 7-8% per tahun. Tabel 1. Perkembangan Konsumsi dan Produksi CPO Dunia Tahun 2001-2005 (juta ton) Uraian
2001
2002
2003
2004
2005
Pertumbuhan/tahun
Produksi
23,94
25,22
28,08
30,89
33,50
8,79%
Konsumsi 23,79
25,09
28,31
29,9
33,03
8,59%
(sumber: Djikah 2007)
4
Tahun 2005 Laju pertumbuhan produksi CPO di Malaysia sebesar 16,5 juta ton, menghasilkan produksamping LCPMKS lebih dari 40 juta ton / tahun (Yacob et al. 2005 a). Emisi metana kolam anaerob antara 35 – 79%, dan kisaran laju alir biogas antara 0,5-2,45 L/menit/m2. Potensi emisi biogas demikian besar sebagai gas efek rumah kaca yang berdampak nyata
terhadap pemanasan global, sehingga
upaya mitigasi GRK menjadi prioritas utama dan mendesak dilakukan (Yacob et al. 2005b). Kondisi yang sama telah berlangsung pula di Indonesia, terutama pada kolam pengelolaan LCPMKS secara konvensional yang umum diterapkan (Yuliasari et al. 2001). Terkait juga dengan kajian yang menyatakan bahwa perluasan areal mencapai 2.960 juta ha untuk perluasan perkebunan kelapa sawit. Satu sisi lahan yang tersedia cukup memadahi untuk memanfaatkan peluang pasar, tetapi harus dilakukan pendekatan yang tepat untuk memperkecil terjadi konflik lahan, air serta lingkungan udara, yang kini menjadi salah satu potret industri kelapa sawit Indonesia untuk dieliminasi dengan mendiseminasikan pembangunan agroindustri kelapa sawit ramah lingkungan (Yuliasari et al. 2001). Prospek industri kelapa sawit semakin cerah, baik di pasar dalam negeri maupun di pasar dunia. Sektor ini akan semakin strategis karena berpeluang besar menjadi motor pertumbuhan ekonomi nasional, dan penyerapan tenaga kerja. Saat ini Indonesia telah menguasai 37% pasar dunia, sementara Malaysia sebesar 42%. Diperkirakan, dalam dua tahun ke depan pangsa pasar Indonesia akan dapat melampaui pangsa pasar Malaysia. Namun, di sisi lain, banyak kalangan meragukan apakah Indonesia mampu mengoptimalkan daya saingnya untuk memperoleh nilai tambah (added value) yang maksimal bagi pembangunan ekonomi nasional. Ini tidak terlepas dari kenyataan, sebagian besar produk kelapa sawit nasional masih diperdagangkan dalam bentuk CPO atau minyak goreng, belum masuk ke dalam tahap industri yang mempunyai nilai tambah besar seperti industri oleo kimia. Dalam rangka mencapai target proyek BBN, pemerintah akan mendorong investasi
5
di sektor sawit. Secara keseluruhan pemerintah telah mencadangkan 24,4 juta ha lahan hingga 2010 mendatang. http//www.dprind.goid.publikasi /siaran.2007 Produksi minyak kelapa sawit membutuhkan air dalam jumlah besar, dan satu ton minyak kelapa sawit menghasilkan 2,5 ton limbah cair, yaitu berupa limbah organik berasal dari input air pada proses separasi, klarifikasi dan sterilisasi. Limbah cair yang dihasilkan dalam jumlah besar dari berbagai tahapan proses fisika, perebusan, pembantingan, penghancuran, pengempaan, klarifikasi dan pemecahan biji. Produksi minyak kelapa sawit (PMKS) berkapasitas olah 60 ton tandan buah segar (TBS)/jam menghasilkan limbah cair sebanyak 42 m3 (Yuliasari et al. 2001). Hasil samping proses produksi tersebut berasal dari air kondensat rebusan 36% (150-175 kg/ton TBS), air drab klarifikasi 60% (350-450 kg/ton TBS) dan air hidrosiklon 4% (100-150 kg/ton TBS) (Loebis dan Tobing 1992, Ahuat 2005). Perkembangan pesat industri minyak kelapa sawit dalam dekade terakhir berakibat semakin besar buangan limbah berbahan baku lignoselulosa. Air buangan pabrik minyak kelapa sawit (PMKS) dengan nilai BOD, COD, padatan tersuspensi dan kandungan total padatan tinggi merupakan sumber pencemar sangat potensial. Pembuangan air LCPMKS ke dalam perairan umum tanpa pengolahan terlebih dahulu mengandung BOD setara dengan BOD buangan populasi 10 juta manusia. LCPMKS berpotensi mncemari air minum, mengurangi kadar oksigen terlarut, menurunkan kesehatan ikan dan udang dalam badan air sekitarnya atau biota perairan (Qu dan Bathhacharya 1997) Pertumbuhan industri kelapa sawit yang cukup pesat menghasilkan LCPMKS sangat melimpah dan berdampak mencemari lingkungan tanah, air dan udara, dengan emisi metana yang potensial. Dengan demikian, di satu sisi potensi produksi biogas yang sangat menjanjikan perlu dilakukan penelitian dan pengembangan sebagai sumber energi terbarukan dan upaya mendukung program pemerintah berkaitan keamanan pasokan energi serta teknologi bersih bagi industri yang diharapkan dapat meningkatkan daya saing di pasaran.
6
1.2. Tujuan Penelitian 1. Mempelajari karakteristik dan faktor biotik abiotik yang berpengaruh terhadap laju produksi biogas, total produksi biogas dan efisiensi pengurangan bahan organik dari LCPMKS, 2. Mengukur emisi biogas kolam LCPMKS anaerob terbuka, memantau kualitas kolam pengolahan LCPMKS, efisiensi pengurangan bahan organik, dan cara peningkatan kualitas atau pemurnian biogas. 3. Merancang dan menguji teknologi perombakan kolam anaerob tertutup laju tinggi dengan perlakuan resirkulasi dan peningkatan suhu gradasi untuk pengelolaan LCPMKS lebih efisien , efektif, dan berdaya guna 4. Mengkaji kelayakan tekno-ekonomi anaerob tertutup laju tinggi secara ekonomis, dan mendapatkan teknologi pengolahan LCPMKS untuk produksi biogas yang layak diaplikasikan sesuai analisis ekonomi secara sederhana.
1.3. Manfaat Penelitian 1. Mendapatkan teknologi pengelolaan LCPMKS yang lebih efisien, efektif, berdaya guna, dan upaya reduksi residu agroindustri 2. Mendapatkan informasi hasil penerapan teknologi tepat guna sebagai bentuk implementasi ratifikasi Protokol Kyoto, dengan teknologi bersih, efisiensi energi dan energi terbarukan 3. Pemanfaatan LCPMKS dengan sistem perombakan anaerob tertutup laju tinggi sebagai bahan penghasil biogas merupakan alternatif peningkatan pengelolaan limbah industri (end of pipe) 4. Mendukung kebijakan pemerintah sektor energi sebagai upaya pemenuhan kebutuhan energi masyarakat pedesaan melalui masyarakat (desa) mandiri energi. 5. Memberi kontribusi bagi khasanah ilmu pengetahuan dan implementasi teknologi tepat guna di daerah-daerah sumber biomas, dengan potensi energi terbarukan yang melimpah dan tidak mencemari.
7
6. Memberi solusi bagi industri untuk menambah keuntungan melalui peningkatan nilai tambah LCPMKS produksi energi ramah lingkungan dengan pemanfaatan keanekaragaman hayati mikroba anaerob, selain dapat.
1.4. Kerangka Pemikiran Pemanfaatan teknologi perombakan anaerob untuk mengurangi beban limbah industri pertanian akhir-akhir ini digiatkan kembali seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan rekayasa sistem produksi bioenergi (biogas). LCPMKS sebagai sumber bioenergi melalui proses fermentasi/perombakan anaerob menjadi biogas sangat potensial, namun belum banyak dimanfaatkan. Di satu sisi kebutuhan energi Indonesia terutama bahan bakar minyak kian bertambah dan harga perolehannya semakin mahal, meskipun pemakaian energi tidak terbarukan berpotensi tinggi sebagai bahan pencemar dan semakin menyusut ketersediaannya. Teknologi produksi bioenergi merupakan teknologi tepat guna untuk pengelolaan LCPMKS yang memiliki nilai BOD dan COD tinggi, berturut-turut lebih dari 20.000 dan 40.000 mg/l. Proses perombakan anaerob LCPMKS terjadi di kolamkolam limbah atau dapat dilakukan pada tangki tertutup tanpa oksigen bebas, yang disebut teknologi digester anaerob. Pengelolaan LCPMKS sistem kolam terbuka umum diterapkan, namun diketahui menjadi sumber pencemar udara yang nyata, penyebab pemanasan global akibat efek gas rumah kaca. Pertambahan kapasitas proses produksi minyak sawit kasar dan produksi perkebunan kelapa sawit yang disebut tandan buah segar (TBS), semakin bertambah besar beban organik yang dibuang ke dalam kolam penampung, sehingga luaran dari kolam pengelolaan tidak memenuhi ambang baku mutu perairan umum yang diperbolehkan. Pengembangan teknologi perombakan anaerob dan rekayasa sistem pembangkit biogas melalui percepatan perombakan bahan organik yang dihasilkan, sebagai penting dilakukan.
alternatif
penanganan yang lebih cepat dan
8
Pengelolaan LCPKMS di Indonesia dalam kurun waktu dua dekade terakhir dan informasi produksi biogas hasil perombakan anaerob LCPMKS skala laboratorium memiliki potensi tinggi untuk dikembangkan. Di samping itu menurut Ma dan Ong (1988) dalam Suzuki et al. (2001), industri kelapa sawit FELDA di Lepas Hilir Malaysia yang bekerjasama dengan pihak Jepang, produksi biogas dari LCPMKS dapat diperoleh rerata 24 m3 biogas dari setiap 1 m3 LCPMKS terfermentasi. Pabrik berkapasitas proses tandan buah segar (TBS) 60 ton/jam dengan asumsi rasio produksi biogas sama, akan mampu menghasilkan 840 m3 biogas per jam, setara dengan energi listrik sebesar 1050 kWj. Di sisi lain, pabrik minyak kelapa sawit dengan kapasitas sama biasa beroperasi 16-20 jam dihasilkan listrik rerata sebesar 21.000 kWj / hari. Sisanya dimanfaatkan untuk keperluan baik pengganti bahan bakar minyak maupun pembangkit energi listrik keluarga (rumah tangga). Sebagai pengganti bahan bakar minyak sisa kebutuhan pabrik dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik dan bahan bakar kalor rumah tangga sebanyak 250-400 keluarga yang terdiri atas 4-5 orang per keluarga per hari (EEREC 2000, Stowell dan Victoria 2000, NAS 1981). Pengelolaan LCPMKS dengan teknologi digesti anaerob kolam tertutup (DAKT), selain menghasilkan biogas, juga memperoleh hasil samping berupa lumpur pekat (sebagai pupuk organik) yang dapat dimanfaatkan untuk pertanian sekitar pabrik. Begitu pula bila biogas yang dihasilkan digunakan untuk berbagai keperluan diantaranya
bahan bakar mobil, energi listrik, dan keperluan pabrik
lainnya. Dengan demikian
untuk kperluan bahan bakar pabrik, baik produksi
maupun mobilisasi dapat terpenuhi, sehingga dapat menekan pengeluaran. Dengan demikian diharapkan dapat meningkatkan daya saing CPO di pasaran dunia. Dampak positif lebih jauh keberadaan energi biogas adalah meningkatkan aktivitas dan ekonomi masyarakat. Pemanfaatan biogas sebagai sumber energi akan mendukung
program
pembangunan.
pemerintah
mengurangi
emisi
CO2
hasil
kegiatan
9
Biogas hasil LCPMKS yang telah ditingkatkan, dapat dimanfaatkan untuk sumber energi pembangkit listrik pabrik minyak kelapa sawit, juga pengganti bahan bakar minyak. Pertimbangan terhadap upaya mengatasi berbagai keterbatasan yang ada dan peluang luaran yang lebih bermanfaat, maka penelitian akan lebih difokuskan pada kajian dan penyelesaian baik pada skala laboratorium, skala semi pilot dan atau pilot. Pelaksanaan penelitian lapang dilakukan di areal kelola LCPMKS PT Pinago Utama Palembang, yang secara keseluruhan dapat diringkas sebagaimana pada bagan alir berikut (Gambar 1.).
10
Tandan Buah Segar
Minyak sawit mentah
Proses produksi minyak kelapa sawit PT. Pinago Sumsel
Limbah padat
Limbah Cair
proses perombakan anaerob sistem curah skala laboratorium (percobaan 1)
proses perombakan anaerob dalam sistem kolam terbuka (percobaan 2)
proses perombakan anaerob dengan resirkulasi dlm sistem kolam tertutup laju tinggi (percobaan 3)
Pengukuran kuantitas biogas
Pemanfaatan biogas
Peningkatan mutu luaran sesuai baku mutu
Pengemasan dan pengompresan Tabung gas (piping)
Pengukuran kualitas LCPMKS
Analisis kelayakan tekno-ekonomi produksi gasbio
Pengukuran kualitas biogas
Optimasi konsentrasi scrubber terbaik
Pemanfaatan Pupuk cair organik
Gambar 1. Bagan alir pengembangan produksi biogas LCPMKS Keterangan :
bagian percobaan yang dilakukan
11
1.5. Permasalahan Agroindustri pabrik minyak kelapa sawit (PMKS) merupakan salah satu industri penghasil limbah cair organik pekat yang dibuang ke lingkungan. Lokasi pabrik umumnya berada di sekitar sumber-sumber air untuk proses produksi. Selain sumberdaya air diambil cukup besar bagi keperluan produksi, juga dibuang limbah yang akan mencemari lingkungan di sekitarnya. Meskipun pengendalian pencemaran organik yang ditimbulkan telah dilakukan dengan menyediakan areal pengelolaan limbah cair dalam kolamyang luas, namun permasalahan serius masih sering terjadi. Limbah cair produk samping proses produksi minyak oleh pabrik biasanya dengan mudah dibuang ke sungai, kurang memperhatikan dampak negatif yang ditimbulkan oleh buangan limbah. Walaupun buangan telah melalui sistem pengendalian air buangan, tetapi luarannya masih belum memenuhi ambang baku mutu air yang diperuntukkan. Bahkan beberapa kasus air buangan tidak mengalami pengolahan terlebih dahulu terutama pabrik dengan kapasitas produksi kecil yang tidak memiliki sistem pengelolaan buangan yang memadai. Penanganan LCPMKS di Indonesia sampai saat ini biasa diolah dengan sistem kolam. Sistem kolam terbuka dilakukan karena cukup sederhana dan dianggap murah, namun sistem demikian mempunyai beberapa kekurangan antara lain diperlukan lahan untuk pengolahan limbah cair sangat luas dan efisiensi perombakan sebesar 60-70%, namun efisiensi perombakan organik kolam anaerob semakin menurun, bahkan di bawah efisiensi perombakan yang dihasilkan di atas. Pengolahan sistem kolam seringkali mengalami pendangkalan sehingga masa retensi lebih singkat (Yuliasari et al. 2001). Limbah cair organik, pekat, dengan konsentrasi BOD dan COD rata-rata sebesar 25 dan 50 g/l dialirkan ke dalam kolam-kolam penampungan yang terdiri atas tiga tahap, berturut-turut kolam pengendapan, kolam anaerob dan kolam aerob, sebelum dibuang ke badan perairan umum (Ahuat 2005). Pengelolaan
LCPMKS
sistem
kolam
terbuka,
selain
dibutuhkan
pertambahan luas areal, terjadi pencemaran udara berupa peningkatan gas efek
12
rumah kaca dan pemanasan global sebagai akibat perombakan anaerob maupun anaerob fakultatif, serta menimbulkan bau tidak sedap dan menyengat. Meskipun banyak faktor lingkungan lain berpengaruh terhadap perombakan limbah cair pada kolam anaerob, juga luaran bahan orgnik masih tinggi belum memenuhi baku mutu air peruntukan. Pengelolaan LCPMKS PT Pinago Utama secara konvensional, yaitu dengan sistem kolam terbuka. LCPMKS dari pabrik mengalir ke kolam-kolam penampungan secara elevasi. Suhu kolam primer mencapai 50-70 oC dan dapat dikutip minyak sebanyak lebih kurang 1%, disebut kolam pendinginan (cooling pond) dan atau kolam pengutipan (oil recovery). Pengolahan LCPMKS dalam kolam anaerob menampung aliran kolam pengendapan, memanfaatkan bakteri anaerob untuk menurunkan konsentrasi BOD dan menetralisir keasaman limbah. Pada kolam anaerob, air limbah dapat digunakan untuk irigasi sekaligus pemupukan tanaman perkebunan sekitar pabrik. namun demikian masih diperlukan kajian dosis perlakuan (keseimbangan hara dan reaksi kimia dalam tanah) dan sangat terbatas (H-Kittikun et al. 2000). Pertumbuhan produksi kelapa sawit dapat berakibat pertambahan bebanorganik, pendangkalan dan memperpendek aktu tinggal organik, sehingga efisiensi perombakan bhan pencemr menurun. Belum adanya erubahankolm anaerob berkurang dan belum mamp menghasilkan limbah sesuai baku mutu lingkungan (Yuliasari et al. 2001) Kegiatan penelitian untuk memecahkan masalah tersebut hingga kini masih sangat terbatas dan belum diterapkan skala lapang. Penanganan dampak negatif LCPMKS terhadap lingkungan, dengan penerapan teknologi bersih, yaitu pemanfaatan potensi optimal LCPMKS dengan teknologi perombakan anaerob sistem kolam tertutup untuk produksi biogas belum pernah diujicobakan, sehingga penting dilakukan. Eksplorasi ilmiah pengelolaan LCPMKS dengan metode digesti anaerob kolam tertutup (DAKT) belum pernah dilakukan. Untuk keperluan penelitian tersebut, diperlukan beberapa tahapan diantaranya, uji
skala
laboratorium, baseline study dalam skala semi pilot, dan skala lapang segera dilakukan untuk dapat diperoleh solusi yang tepat guna dan berhasil guna. Dengan
13
demikian permasalahan yang menjadi tantangan dan perlu dikaji serta dikembangkan dapat dirumuskan sebagai berikut: 1). Bagaimanakah karakterstik LCPMKS, dan pengaruh faktor biotik dan abiotik terhadap produksi biogas sistem curah skala laboratorium, sebagai landasan tataran perkemangan dan aplikasi pada skala yang lebih besar ? 2). Bagaimana emisi gas metan kolam anaerob terbuka LCPMKS sistem kualitas biogas dalam tabung pengumpul? 3). Bagaimana rancangan dan hasil uji teknologi digesti anaerob kolam tertutup laju tinggi dengan perlakuan resirkulasi dan peningkatan suhu gradasi pengelolaan LCPMKS yang lebih efisien efektif dan berdaya guna ? 4) Bagaimana study kelayakan tekno-ekonomi sistem digesti anaerob laju tinggi secara ekonomis, dan sistem tersebut layak diaplikasikan ? 1.6. Hipotesis Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan hipotesis, antara lain: 1. LCPMKS berpotensi sebagai sumber
pencemar lingkungan baik tanah,
udara dan air 2. Faktor lingkungan baik biotik maupun abiotik berpengaruh terhadap peningkatan produksi biogas 3. Pengelolaan LCPMKS sistem konvensional menyebabkan emisi metana dan gas efek rumah kaca 4. Teknologi perombakan digester anaerob kolam tertutup lebih efisiensi dan efektif.
1.7. Kebaharuan (Novelty) Pengelolaan LCPMKS umum menggunakan sistem konvensional, kolam terbuka di atas areal lahan luas dan menimbulkan masalah lingkungan, misalkan emisi gas meta penyebab pemanasan global, bau yang tidak sedap, dan hasil pengolahan yang dikeluarkan dalam bada perairan umum masih diatas baku mutu, sehingga menimbulkan dampak negatif terhadap badan air.
Di Indonesia sampai
14
dengan laporan ini dibuat hampir keseluruhan industri kelapa sawit menerapkan sistem konvensional tersebut. Seiring dengan pertumbuhan produksi perkebunan kelapa sawit yang pesat penerapan sistem demikian tidak memadai, masih banyak memberi dampak negatif terhadap lingkungan di samping tidak memberi nilai tambah apapun bagi perusahaan. Peningkatan
metode
pengelolaan
LCPMKS
menggunakan
teknologi
perombakan anaerob sistem kolam tertutup, selain mengurangi pencemaran lingkungan bagi perairan sekitar dan udara, juga bernilai tambah memberi kontribusi persediaan energi sebagai pengganti bahan bakar minyak solar untuk peralatan mesin industri. Di samping itu peningkatan nilai tambah menguntungkan bagi lingkungan yakni: penurunan konsentrasi bahan pencemar lebih baik, peningkatan efisiensi pengurangan bahan pencemar, diperoleh produk samping (daur ulang) pupuk cair, penghematan areal kolam dan lebih ramah lingkungan serta produksi energi terbarukan. Dengan demikian kebaharuan penelitian ini adalah : 1. Pengembangan sistem mengelolaan LCPMKS yang lebih efisien, efektif dan lebih berdaya guna. 2. Pengembangan sistem pengurangan bahan organik yang lebih cepat skala industri 3. Pengukuran emisi gas metan LCPMKS sistem kolam terbuka skala industri belum pernah dilakukan 4. Teknologi perombakan digester anaerob kolam tertutup laju tinggi dengan resirkulasi pada pengelolaan LCPMKS skala industri belum pernah dilakukan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengelolaan Air Limbah PMKS Indonesia merupakan negara dengan pertumbuhan industri minyak kelapa sawit terbesar di dunia dalam satu dekade tuimbuh hingga 2,7 kali dari 4,2 juta ton pada 1995 menjadi 11,4 juta ton pada 2004, dan kontribusi Indonesia pada produksi crude palm oil (CPO) dunia naik menjadi 38,06 % dari total produksi dunia yang mencapai 29,95 juta ton (Djikah 2007). Produksi CPO pada akhir 2006 diperkirakan melampaui 13,5 juta ton, sementara sasaran jangka menengah pada 2010 Indonesia menjadi eksportir dan produsen CPO terbesar dunia yaitu 18 juta ton dari luas lahan perkebunan 5,6 juta ha (Deprind 2006). Hal ini
diyakini dalam jangka panjang permintaan CPO juga akan terus
meningkat, seiring dengan adanya penelitian dan pengembangan mengubah minyak sawit menjadi bioenergi, termasuk proyek biodiesel dan biogas sebagai energi terbarukan untuk mengurangi pemakaian energi dari bahan bakar minyak bumi (Perpres no.5 RI 2006). Pabrik minyak kelapa sawit (PMKS) rerata mengolah setiap ton tandan buah segar (TBS) kelapa sawit dihasilkan 120-200 kg minyak mentah, 230-250 kg tandan kosong kelapa sawit (TKKS), 130-150 kg serat/ fiber, 60-65 kg cangkang dan 55-60 kg kernel dan air limbah 0,7 m3. Proses ekstraksi produksi minyak sawit mentah dapat dilakukan tiga cara berbeda yakni, proses kering, proses penggorengan dan proses basah. Proses kering (decanter) dihasilkan campuran minyak perikarp dan kernel, proses ini tidak menghasilkan limbah cair. Proses basah lebih banyak digunakan oleh industri minyak sawit, selain lebih mudah proses ekstraksi minyak juga diperoleh produk samping limbah cair. Air limbah yang dihasilkan dari sterilisasi dan ruang separasi minyak secara keseluruhan berupa campuran buangan cair, bahan organik tinggi sebagai pencemar berat. Buangan cair pencemar ringan berasl dari air kondensat, air pendingin, buangan boiler dan buangan sanitasi. Pengelolaan LCPMKS umum diterapkan secara biologis, dialirkan ke dalam kolam-kolam penampungan
16 sebelum akhirnya memasuki badan perairan umum (H-Kittikun et al. 2000, Yuliasari et al. 2001). Sistem pengolahan anaerob limbah cair mempunyai keuntungan nyata dibanding sistem pengolahan aerob, antara lain: dioperasikan hampir tanpa energi tambahan, mampu menurunkan beban pencemar berat hingga sedang dan terbentuk lumpur sebagai pengganti pupuk organik (kompos). Rancangan teknik perombakan anaerob dalam sistem kolam biasanya merupakan serangkaian kolam terbuka yang tersusun atas beberapa kolam (Loebis dan Tobing 1992). Rancangan dan operasi dalam sistem kolam seharusnya mempertimbangkan kebutuhan volume tampung pengendapan lumpur primer, seimbang dengan kelebihan lumpur anaerob. Akumulasi lumpur akan menyebabkan pengurangan volume dan efisiensi pengolahan limbah secara keseluruhan. Banyak faktor menentukan desain maupun operasi sistem pengolahan antara lain, luas dan harga areal lahan, kondisi sekitar areal kolam juga hilangnya sumber energi biogas. Namun demikian biogas belum penting sebagai sumber energi yang diperoleh cukup dari pembakaran cangkang, TKKS, dan janjang kelapa sawit (H-Kittikun et al. 2000). Surplus energi dari sistem kolam terbuka, biaya investasi dan operasi rendah, sederhana, menyebabkan penerapan sistem anaerob tertutup belum mendesak dilakukan oleh PMKS. Walaupun berbagai sistem perombakan anaerob tertutup telah banyak tersedia dan digunakan untuk pengolahan limbah organik, misalnya reaktor pencampuran lengkap (Complete Mixed), (Fixed Film), (Fixed Bed) (Faisal dan Unno 2001), (Anaerobic Filter), (Hybrid System) (Borja dan Banks 1995) dan aliran ke atas lapis lumpur anaerob (Upflow Anaerobic Sludge Blanket) (Lettinga dan Zeeman 1999, Metchalf dan Eddy 2003, Reith et al. 2003). Reaktor atau perombak UASB yang dikembangkan oleh Lettinga et al. (1979), selama dua dekade terakhir telah banyak digunakan untuk pengolahan limbah organik. Reaktor terdiri dari suatu tangki/ tabung (Tinggi/Diameter= 2), di mana aliran limbah ke atas menembus lapisan/selimut limbah organik anaerob yang menempati separuh volume reaktor dengan suatu kerucut penetap terbalik, pada puncak perombak yang memungkinkan separasi padat-cair efisien (Lettinga dan Zeeman 1999). Namun diperlukan keseimbangan operasional sistem perombakan anaerob, terutama stabilitas pengaliran dan laju
17 pengupanan dengan memperhatikan fluktuasi beban, perataan (homogenitas) dan suhu substrat (H-Kittikun et al. 2000). Tiga lingkup minat paling potensial dalam memanfaatkan teknologi perombakan
anaerob
(Technology
Digestion
Anaerobic/TDA),
dalam
pengelolaan limbah organik maupun residu agroindustri. Pertama pengelolaan limbah untuk mengendalikan polusi udara yaitu emisi metana dan bau busuk, minat kedua peningkatan kualitas lumpur (digestat) sebagai pupuk organik yang berdayaguna dan minat ketiga untuk memperoleh produk energi terbarukan (Wellinger 1999). Minat produksi energi dan efisiensi menjadi sasaran utama, maka desain dan perlengkapan teknis digesti anaerob lebih diperlukan untuk dapat memproduksi biogas maksimum, sedangkan minat untuk pengendalian polusi cukup diperlukan desain perombak yang memadai (Wellinger 1999). Perombakan anaerob tertutup merupakan sistem penolahan yang lebih efisien, dan biogas yang dihasilkan dari pengolahan tertutup dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar. Oleh karena energi dan lingkungan merupakan isu yang menarik akhir-akhir ini, pengelolaan limbah industri sawit dengan memanfaatkan teknologi perombak anaerob skala lapang dan minat produksi maksimum biogas, diperlukan desain dan peralatan teknis digesti dengan serta prioritas menerapkan sistem UASB atau kontak anaerob dimodifikasi untuk pengelolaan LCPMKS (Suzuki 2003, Reith et al. 2003). Penerapan TDA umum dilakukan dalam pengelolaan buangan maupun limbah cair dengan konsentrasi bahan organik tinggi, karena dihasilkan biogas sebagai sumber energi terbarukan dan lumpur sebagai pupuk organik. Di samping itu degradasi anaerob bahan organik kompleks menjadi bahan dengan berat molekul rendah lebih efisien, sebagai alternatif pemecahan masalah penumpukan, mengurangi bau menyengat sebagai sumber penyakit (Reith et al. 2003). Potensi terbesar TDA terletak pada industri pertanian sesuai dengan ketersediaan melimpah biomas pertanian. Pembangunan perombak setidaknnya separuh dari kuantitas industri pertanian dalam jangka pendek maupun menengah memberi jumlah signifikan lapangan kerja baru (Werner et al. 1989). Pengembangan TDA yang memfokuskan pada produksi biogas sebagai alternatif pengganti bahan bakar minyak, dan sumber listrik peralatan internal pabrik serta
18 pemenuhan kebutuhan energi rumah tangga pekerja/karyawan telah banyak dilakukan (H-Kittikun et al. 2001). Pemanfaatan TDA pada pengelolaan limbah cair industri pertanian secara umum dapat mengurangi masalah pencemaran lingkungan, memperbaiki kondisi sosial ekonomi masyarakat pedesaan, menyediakan energi terbarukan guna memenuhi kebutuhan energi rumah tangga sekaligus penerapan teknologi tepat guna yang terdapat di seluruh pelosok tanah air
serta
wahana
mewujudkan
mekanisme
pembangunan
bersih
dan
pembangunan berkelanjutan (MenLH 2006).
2.2. Teknologi Perombakan Anaerob Pada hakekatnya, energi yang terkandung dalam bahan organik merupakan energi matahari yang diikat oleh tanaman melalui proses fotosintesis. Pemanfaatan kembali menjadi energi, baik secara langsung maupun tidak langsung adalah pengambilan kembali energi matahari yang terikat biomasa. Proses daur hidup di alam oleh semua makhluk hidup berlangsung melalui berbagai tahapan panjang yang dibedakan menjadi dua arah yaitu, pembentukan (biosintesa) dan pemecahan (biolisa). Kedua proses ini disebut biokonversi, terjadi perubahan bentuk bahan polimer atau produk biomasa berbagai jenis produk nabati maupun hewani berlangsung secara simultan, meskipun terdapat fluktuasi keseimbangan proses akibat berbagai pengaruh (Judoamidjojo et al. 1989). Proses produksi agroindustri menghasilkan air buangan dengan beban organik tinggi, salah satunya adalah pabrik minyak kelapa sawit yang berbahan baku lignoselulosa. Air limbah pabrik minyak kelapa sawit (PMKS) tersusun atas bahan organik dengan nilai BOD, COD dan kandungan padatan tinggi. Air buangan merupakan sumber pencemar sangat potensial. Pengelolaan air limbah industri dengan cara fisika-kimia biasa dilakukan dengan koagulasi dan flokulasi, namun biaya ini sangat mahal walaupun hasilnya cukup memuaskan, sehigga banyak industri kecil tidak sanggup melakukan kegiatan produksi lebih lanjut, karena dianggap mencemari lingkungan perairan sekitarnya (Syafila et al. 2001, Metcalf dan Eddy 2003).
19 Biokonversi anaerob bahan organik suatu teknologi yang dikembangkan untuk melindungi lingkungan melalui pengelolaan limbah dan air limbah. Produk akhir biokonversi anaerob adalah biogas, campuran metana dan karbon dioksida yang bermanfaat sebagai sumber energi terbarukan. Perombakan anaerob merupakan proses sederhana secara teknologi membutuhkan energi rendah untuk mengubah bahan organik dari berbagai jenis air limbah, buangan padat dan biomas menjadi metana. Aplikasi TDA yang lebih luas, menjadi kebutuhkan dalam usaha menuju pembangunan berkelanjutan dan produksi energi terbarukan. Kecenderungan ini didukung oleh pertumbuhan kebutuhan pasar akan energi ”hijau” oleh optimisasi substansial TDA, terutama perkembangan modern sistem ko-perombakan dan ”laju tinggi” (de Mez et al. 2003). Teknologi perombakan (perombakan) anaerob merupakan salah satu bagian strategi pengelolaan air limbah atau buangan industri yang cukup berdayaguna dan efektif. Penerapan teknologi ini selain murah dan praktis untuk buangan dengan beban organik, mampu mereduksi energi terkandung dalam limbah untuk pengelolaan lingkungan dan mampu mendegradasi senyawasenyawa senobiotik maupun rekalsitran (Bitton 1999). Perombakan anaerob secara alami terjadi di sedimen sungai/ aliran dan kolam yang tidak teraerasi cukup, yang mengubah senyawa karbon menjadi gas metan, nitrogen dan asam sulfida (penyusun gas rawa dan sawah), sebagai pengganti karbon dioksida maupun air yang dihasilkan dalam perombakan aerob. Dalam lingkungan anaerob mikroorganisme berperan membebaskan metana dari asam cuka antara lain, Methanosarcina, Methanococcus, Methanobacterium, dan Methanobacillus. Perombakan anaerob secara luas digunakan untuk memantapkan padatan organik terkonsentrasi (memadat/lumpur), dengan BOD lebih besar dari 10,000 mg/l, dipindahkan dari tangki-endap, filter biologik, dan pembangkit lumpur aktif. Beberapa pembangkit menggunakan perombak anaerob sebagai langkah pertama membuang kelebihan zat nitrogen dari aliran sisa sebelum perlakuan aerob (Werner et al. 1989). Sistem pengolahan dengan perombak anaerob laju tinggi seperti reaktor UASB (Upflow Anaerobic Sludge Blanket), Filter Anaerob (Anaerobic Filter) dan Proses Kontak (Anaerob Contact Process) kurang layak untuk perombakan
20 jenis lumpur tetapi baik dikonsentrasikan pada air limbah (limbah cair) dan atau bagian dari suatu sistem beberapa fase. Waktu tinggal lumpur lebih lama dibanding waktu tinggal hidraulik, karena kotoran tertahan dalam reaktor. Sistem laju tinggi lebih baik untuk aliran limbah dengan padatan mengendap rendah. Berbagai jenis perombak pengolahan air limbah digunakan di seluruh dunia, antara lain: • Proses Kontak; System-Biobulk; • Upflow Anaerobic Sludge Blanket ( UASB); • Anaerobic Film Fixed Reactor (AFFR); • Fixed Film Repair Bed / Fluidized System; • Expanded Granule Sludge Blanket (EGSB); • Hybrid System; • Anaerobic Filter (AF) (Reith et al. 2003).
2.2.1. Prinsip-prinsip proses perombakan anaerob Dekomposisi anaerob mikrobiologis merupakan proses mikroorganisme tumbuh dan menggunakan energi dengan memetabolisis bahan organik dalam lingkungan anaerob dan menghasilkan metana. Proses perombakan anaerob dapat dibagi menjadi empat tahap berikut, masing-masing menurut karakteristik kelompok mikroorganisme sendiri. 1). Hidrolisis senyawa polimer organik menjadi senyawa sederhana dapat diserap membran sel mikroba. Hidrolisis karbohidrat menjadi monomernya, protein menjadi asam-asam amino, dan lemak atau minyak menjadi asam-asam lemak rantai panjang ataupun alkohol. 2). Fermentasi senyawa sederhana dalam reaksi bertahap. Proses ini merupakan sumber energi populasi non-metanogenik. Fermentasi hasil hidrolisis tersusun berbagai senyawa organik sederhana terutama asam lemak volatil (VFA) gas-gas CO2 dan H2, beberapa asam laktat dan etanol. Tahap ini dikenal sebagai fermentasi asam atau asidogenesis. 3). Banyak hasil reduksi fermentasi asam harus dioksidasi di bawah kondisi anaerob menjadi asam asetat, CO2, dan hidrogen yang akan menjadi substrat bakteri metana. Konversi ini terjadi jika tekanan hidrogen parsial tetap sangat rendah karena asupan hidrogen oleh metanogen. Bakteri pembentuk oksidasi ini adalah bakteri syntrofik atau disebut juga bakteri asetogen atau mikroba obligat pereduksi proton.
21 4). Tahap akhir pengolahan limbah cair anaerob adalah fermentasi metana: yakni dua tipe reaksi terjadi, pertama CO2 dan H2 diubah menjadi metana dan air, dan tahapan kedua, asetat diubah menjadi metana dan CO2. (Werner et al. 1989). 2.2.2. Faktor-faktor yang berpengaruh pada perombakan anaerob Perombakan anaerob merupakan proses biologis, yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Faktor pengendali utama antara lain, suhu, pH, dan senyawa beracun (de Mez et al. 2003). Proses perombakan anaerob untuk pembentukan biogas dipengaruhi oleh dua faktor yaitu, biotik dan abiotik. Faktor biotik berupa mikroorganisme dan jasad aktif di dalam proses perombakan sistem anaerob. Faktor abiotik meliputi, pengadukan, suhu, pH, substrat, kadar air substrat, rasio C/N dan P dalam substrat dan kehadiran bahan toksik (Wellinger 1999). Bioreaktor
(perombak)
fermentasi
dibedakan
menurut
sistem
pengumpanan (feeding), penggunaan suhu, tingkat fermentasi, dan proses fermentasi dua fase. Berdasarkan sistem pengumpanan, fermentasi dibedakan lebih lanjut dalam: tiga macam cara: fermentasi kontinyu, semi kontinyu dan curah. Fermentasi satu tingkat, fermentasi dilakukan dalam satu tangki atau dapat dilakukan pada dua tingkat atau lebih sehingga terjadi waktu retensi lebih lama tapi dekomposisi bahan organik lebih baik. Fermentasi dua fase dirancang menjadi 2 periode, periode pembentukan asam dan periode pembentukan metana. Keuntungan proses dua fase selain pengendaliannya lebih mudah rendeman gas tinggi. Fermentasi kering, sistem filter sering dilakukan dalam penelitian lebih lanjut (Loebis dan Tobing 1992, Metcalf dan Eddy 2003). Perombak pembangkit biogas secara mendasar terdiri dari dua bagian yaitu, bagian perombakan dan penyimpanan gas. Banyak perombak biogas bersifat curah, limbah organik tinggal dalam tanki selama beberapa waktu dan kemudian dipindahkan setelah produksi gas. Umum perombak kontinyu, lebih efisien, tempat lumpur baru dihasilkan setiap hari, laju produksi gas lebih tinggi per volume perombak, dan mempunyai bagian tambahan tempat komponen bermacam gas bercampur dan bagian akhir tempat lumpur ”masak”. Dalam perombak kontinyu, lebih layak karena mendapat umpan setiap hari. Dimensi
22 reaktor dan potensi biogas bergantung pada: jenis substrat yang dirombak, kuantitas setiap bahan per ton, persentase kandungan bahan organik, dan total padatan (Werner et al. 1989). Suhu merupakan faktor penting mempengaruhi aktifitas mikroorganisme. Suhu optimal proses perombakan anaerob (fermentasi) dibedakan menjadi tiga macam yaitu suhu termofil (45-60) oC untuk penghancuran cepat dan produksi tinggi (m3 gas/m3 bahan per hari) serta waktu retensi pendek bebas dari desinfektan, suhu mesofil 27-40 oC (suhu kamar ruang/lingkungan), dan suhu kryofil < 22 oC (banyak dipengaruhi udara musim sedang, biaya relatif lebih murah) (Metcalf dan Eddy 2003). Pada kondisi kryofilik, 5-25 oC, proses perombakan berjalan lambat, kondisi mesofilik, 30-40
o
C, perombakan
berlangsung cukup baik dan terjadi percepatan proses perombakan dengan kenaikan suhu, serta kondisi termofilik, 45-65 oC untuk bakteri termofil dengan perombakan optimal pada 55 oC (NAS 1981, Bitton 1999). Proses perombakan anaerob sangat peka terhadap perubahan suhu, suhu optimal termofil umum pada kisaran 52-58 oC, namun dampak negatif dapat terjadi pada suhu lebih tinggi dari 60oC. Hal ini disebabkan oleh toksisitas ammonia meningkat dengan meningkatnya suhu, sementara pengenceran substrat pada suhu tinggi memudahkan difusi bahan terlarut. Di lain pihak pada suhu di bawah 50 oC laju pertumbuhan bakteri termofil rendah dan lebih rendah dari pada laju tinggal hidraulik. sehingga populasi mikroba dapat tercuci (washout) (Wellinger 1999). Waktu tinggal merupakan faktor penting, periode waktu tetap dipertahankan antara laju beban ke dalam perombak dan potensi penghilangan bahan yang dicerna (digestat). Dua faktor ini saling berhubungan dan karena itu mempertahankan kondisi optimal kedua parameter penting untuk meningkatkan efisiensi proses perombakan. Perombak anaerob efisien adalah reaktor yang menghasilkan banyak biogas atau jumlah biomas lebih banyak tercernak. Kondisi ini dapat dilakukan dengan mengoperasikan reaktor pada beban input biomas tinggi atau dengan menurunkan waktu tinggal. Pada kondisi operasi sama perombak termofil lebih efisien dari pada perombak mesofil (Lusk 1997).
23 Keuntungan proses termofil dibandingkan dengan proses mesofil adalah: •
Waktu tinggal organik dalam pembangkit biogas lebih singkat karena laju pertumbuhan bakteri termofil lebih tinggi dibandingkan dengan laju pertumbuhan bakteri mesofil.
•
Pembasmian organisme patogen lebih baik, ini merupakan keuntungan sangat penting
•
Meningkatkan pemisahan bahan padatan dari fase cair
•
Degradasi asam lemak rantai panjang lebih baik
•
Residu pembentukan biomas rendah
•
Meningkatkan kelarutan dan ketersediaan substrat.
Kerugian proses termofil antara lain: o Derajat ketidakstabilan tinggi o Jumlah konsumsi energi lebih tinggi/besar o Risiko hambatan ammonia tinggi
(Wellinger 1999).
Interval pH selama pembentukan biogas adalah 6.8-8.5, nilai pH di luar interval ini dapat menyebabkan proses tidak seimbang. Parameter pH berpengaruh pada pertumbuhan bakteri dan mempengaruhi disosiasi ammonia, sulfida dan asam-asam organik, yang merupakan senyawa penting untuk proses perombakan
anaerob.
Tingkat
keasaman
perombak
anaerob
terutama
dikendalikan sistem penyangga bikarbonat yang juga dikendalikan oleh tekanan parsial CO2 dan konsentrasi alkali maupun komponen asam fase cair. Beberapa senyawa seperti asam organik dan karbon dioksida menyebabkan penurunan nilai pH, sebaliknya senyawa seperti ammonia akan meningkatkan nilai pH. Nilai pH pada reaktor termofil lebih tinggi dari pada reaktor mesofil (Bitton 1999) Pembentukan asetat berlangsung selama degradasi substrat dalam perombak anaerob, tetapi akumulasi asetat tidak dapat diketahui langsung dari nilai pH yang menurun. Konsentrasi asetat akan melebihi konsentrasi yang dapat dideteksi sebagai perubahan pH signifikan. Karena itu jika pH dalam reaktor turun menunjukkan konsentrasi asetat tinggi sehingga proses perombakan terhambat. Nilai pH bukan indikator yang baik untuk ketidak seimbangan fermentasi biomas kotoran hewan. Nilai pH yang umum untuk proses fermentasi LCPMKS berkisar pH 6,7 – 8,5,
24 perubahan pH tiba-tiba merupakan isyarat pemberian pakan melimpah (Reith et al. 2003). Bakteri campuran terlibat dalam proses perubahan bentuk (tranformasi) senyawa organik kompleks dengan berat molekul tinggi menjadi metana. Interaksi sinergi di antara berbagai kelompok mikroba terjadi pada perombakan anaerob LCPMKS. Dalam kondisi anaerob asam asetat (cuka) direduksi menghasilkan gas metana
oleh
Methanosarcina,
Methanococcus,
Methanobacterium,
dan
Methanobacillus. Terdapat dua kelompok bakteri metanogen penting pada proses anaerob, yaitu metanogen hidrogenotrofik (menggunakan H/ kemolitotrofik) mengubah hidrogen dan CO2 menjadi metana, dan metanogen asetotrofik (asetoklastik) metanogen pemisah asetat, mengubah asetat menjadi metana dan CO2 (Bitton 1999). Aktifitas mikroorganisme membutuhkan beberapa jenis unsur hara, bergantung pada komposisi kimia bahan sel. Konsentrasi minimum unsur hara yang dibutuhkan sebaiknya ada dalam substrat/media agar dapat menjadi pakan organisme perombakan anaerob (Wellinger 1999). Nutrisi itu adalah: a) Hydrogen H, nitrogen N, oxygen O, dan carbon C sebagai bahan utama
penyusun bahan
organik b.) Sulphur untuk sintesis asam amino c.) Phosphor: komponen penting dalam asam nukleat d.) Kalium K, kalsium Ca, magnesium Mg, dan besi Fe: dibutuhkan untuk aktifitas ensim dan komponen-komponen logam kompleks. Sepuluh unsur di atas sebaiknya terdapat dalam konsentrasi sekitar 10-4 M. unsur lain yang sebaiknya terdapat dalam konsentrasi lebih kecil, misalnya Nikel (Ni) penting untuk pertumbuhan bakteri anaerob. Konsentrasi tinggi Ca, Mg, K dan Na dapat menjadi faktor penghambat. Sementara konsentrasi rendah (0,01-0,005 M) kation-kation sel tersebut dapat aktif dan meningkatkan proses perombakan. Akibatnya terjadi hubungan antar kation-kation berbeda (Werner et al. 1989). Bahan baku (substrat) dengan rasio C/N tinggi dicampur dengan rasio C/N rendah akan memberikan rerata rasio komposisi input sesuai kadar optimal produksi biogas yang diinginkan. Seperti di Cina, rasio C/N seimbang diperoleh dari campuran sekam padi pada dasar perombak dengan kotoran/limbah domestik. Di Nepal dan India pengumpanan perombak dengan kotoran gajah
25 dicampur limbah kotoran manusia memungkinkan keseimbangan rasio C/N mendorong produksi biogas stabil. Jenis limbah (substrat) peternakan umum kandungan nitrogen (N) tinggi dibandingkan kadar karbon (C). Rasio karbon terhadap nitrogen limbah yang ditambahkan ke perombak sebaiknya berbanding 20 bagian C dan satu bagian N (16-19:1) untuk memperoleh produksi optimum metana. Residu panen pertanian dan sayuran, biasanya berkadar N rendah tapi tinggi kadar C, dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kinerja perombak dengan mencampur kadar N tinggi limbah peternakan, dan dapat memberi lebih baik rasio C:N untuk produksi biogas (Wellinger 1999). Konsentrasi substrat (rasio C:N:P) terkait kebutuhan nutrisi mikroba, homogenitas dan kandungan air padatan tersuspensi (SS); padatan total (TS) dan asam lemak volatil (VFA) (Bitton 1999). Senyawa kompleks organik tidak dapat dimanfaatkan secara langsung oleh bakteri di dalam proses metabolisme karena membran sel bakteri hanya dapat dilewati oleh senyawa organik sederhana seperti glukosa, asam amino dan asam lemak volatil. Proses penguraian senyawa kompleks organik menjadi senyawa organik sederhana berlangsung pada proses hidrolisis yang dilakukan oleh kelompok bakteri hidrolitik. Limbah cair mengandung senyawa kompleks organik pengendali proses terletak pada tahap hidrolisis, karena proses hidrolisisnya lebih lambat dibanding tahap proses lain. Senyawa kompleks organik dihidrolisis mengikuti kinetika reaksi orde satu. Hidrolisis akan mempengaruhi kinetika proses keseluruhan karena tahap yang berlangsung paling lambat dapat mempengaruhi laju keseluruhan (Adrianto et al. 2001) Biomasa yang digunakan pada proses hidrolisis terlebih dulu diadaptasikan pada substrat yang digunakan. Proses hidrolisis karbohidrat menjadi senyawa terlarut berlangsung atas bantuan ensim ekstraseluler yang dikeluarkan oleh kelompok bakteri hidrolitik. Proses hidrolisis protein dilakukan oleh ensim protesase menjadi polipeptida dan asam amino (Adrianto et al. 2001). Ensim protease terdiri dari peptidase dan proteinase. Ensim yang dihasilkan oleh satu genus yaitu Clostridium. Laju reaksi hidrolisis susbstrat tunggal lebih cepat dibanding substrat campuran, karena dalam susbstrat tunggal hanya terdapat satu komponen yang dihidrolisis tanpa gangguan oleh komponen lain, sedang
26 substrat campuran terjadi hidrolisis multi-komponen secara simultan dan menghambat laju hidrolisis. Senyawa paling lambat dihidrolisis adalah minyak, lemak, karena konstanta hidrolisis terkecil, berarti minyak atau lemak merupakan faktor pengendali dalam proses hidrolisis campuran maupun tunggal. Hidrolisis protein pada kondisi anaerob adalah lebih rendah dibanding laju hidrolisis karbohidrat. Adrianto et al. (2001) menyatakan bahwa lipid terhidrolisis dengan sangat lambat dan lipid menjadi pembatas laju keseluruhan hidrolisis. Pada kondisi termofil degradasi lipid non polar sangat lambat dibanding dengan komponen polar demikian pula dalam biodegradasi senyawa kompleks organik secara anaerob. Penguraian senyawa komplek mengikuti kinetika reaksi hidrolisis orde satu. Laju reaksi hidrolisis karbohidrat pada substrat lebih cepat dibandingkan laju reaksi protein.. Senyawa mudah didegradasi misalnya, protein dan lemak dapat menghambat proses perombakan anaerob. Senyawa-senyawa ini mengandung asam lemak rantai panjang dalam jumlah berlebihan dapat menghambat mikroba dalam pembangkit biogas Penambahan senyawa secara mendadak ke dalam digester dapat menghambat proses perombakan anaerob. Akan tetapi bergantung pada kecepatan proses hidrolisis, dengan proses fermentasi berikutnya. Umum lipid memiliki kandungan energi tinggi dan kandungan itu dapat didegradasi sempurna menjadi biogas. Jika pembangkit biogas diadopsi untuk mendegradasi konsentrasi tinggi lemak, banyak produksi biogas dapat diperoleh (Indrayati 2003). Efek sama terhadap protein juga dapat terjadi, biomas dengan kandungan protein tinggi dapat menghambat proses perombakan. Oleh karena itu diperlukan periode waktu tinggal lebih lama jika input biomas memiliki kandungan protein tinggi. Periode waktu cukup diperlukan agar supaya pemecahan sempurna protein menjadi satuan yang lebih kecil. (Adrianto et al. 2003). Beberapa unsur dapat menyebabkan kematian bakteri anaerob, misalnya logam berat dan pelarut organik. Tetapi banyak pula senyawa-senyawa racun dapat diserap oleh bahan netral dalam perombak, dengan demikian proses perombakan dapat terhindar dari efek negatif (Adrianto et al. 2003). Senyawa dan ion tertentu dalam substrat dapat bersifat racun, misalnya senyawa dengan
27 konsentrasi berlebihan ion Na+ dan Ca+ > 8 g/l; K+>12 g/l; Mg++ dan NH4+ > 3 g/l, sedangkan Cu, Cr, Ni dan Zn dalam konsentrasi rendah dapat menjadi racun bagi kehidupan bakteri anaerob (Bitton 1999). Substrat dalam perombak biogas pertanian biasanya dicampur sedikit demi sedikit dalam interval waktu per jam hingga beberapa kali sehari. Tenaga digunakan untuk pencampuran bervariasi menurut fungsi ukuran dan bentuk perombak serta komposisi substrat. Diperlukan tenaga berkisar 10-100 Wj/m3 hari. Umumnya > 30 Wj/m3.hari tenaga diberikan untuk pencampuran dengan pertimbangan untuk pengumpanan substrat segar juga penyebaran suhu merata keseluruhan substrat, menghindari pengendapan maupun terjadi buih serta pelepasan gelembung biogas terjerat substrat. Susbtrat sebaiknya diaduk secara mekanik karena cenderung memisah membentuk endapan dan skum. Terutama skum yang terus menerus dilalui emisi biogas mengering sehingga sulit dihilangkan. Selama partikel-pertikel masih basah dan lunak bersatu pada fase cair mengapung ke permukaan skum mudah dihilangkan. Dalam digester lebih besar biasanya digunakan dua-tiga penyampur/pemutar (stirer) dipasang pada berbeda kedalaman perombak. Pada perombak kecil ukuran keluarga (1 x 1 m3) hanya satu stirer dipasang agar hemat. Oleh karena penting, penyampuran skum dan pembentukan sedimen sedapat mungkin dihindari.(Veziroglu 1987) Biasanya penyampur diputar perlahan sekitar 15-50 rpm, begitu pula tidak semua jenis dapat disesuaikan untuk semua substrat. Stirer pneumatik dan hidraulik terbatas untuk mengencerkan substrat, misalnya kotoran babi dengan potensi pembentukan skum rendah. Stirer bentuk kapak digunakan untuk kotoran sapi yang mengandung banyak jerami. Akan tetapi juga dapat digunakan pada substrat yang lebih encer. Stirer yang paling banyak digunakan adalah penyampur pendorong. Mungkin lebih lentur terhadap komposisi substrat dan bentuk maupun ukuran perombak. Di atas suhu fermentasi 40 oC stirer tidak cukup untuk pendinginan (Wellinger 1999).
2.2.3. Beberapa faktor ketidak seimbangan proses perombakan anaerob Perombakan anaerob merupakan proses kompleks bergantung pada keseimbangan antara senyawa dan unsur yang ada. Demikian juga proses ini
28 bergantung
pada
interaksi
antara
kelompok-kelompok
bakteria
dan
keseimbangan senyawa sebagai pakan di antara jenis mikroorganisme vital agar diperoleh
hasil
biogas
terbesar.
Dampak
negatif
dapat
terjadi
oleh
ketidakseimbangan, sehingga fermentasi anaerob secara total dapat berhenti atau menurun. Alasan-alasan utama ketidak seimbangan proses itu antara lain: (Werner et al. 1989). Beban Hidraulik berlebihan terjadi jika waktu tinggal dalam perombak anaerob lebih singkat dibandingkan laju pertumbuhan bakteri. Bakteri dalam reaktor tidak cukup waktu tumbuh dan akan tercuci (wash-out). Kenyataan beban hidraulik berlebih bila volume efektif reaktor menurun karena akumulasi bahan inert (misal: lumpur dan pasir). Beban organik berlebihan daat terjadi ketika kandungan bahan organik tinggi dibebankan ke dalam reaktor. Pada kondisi demikian bakteri tak mampu memecah senyawa organik, sehingga proses perombakan anaerob akan berjalan lamban. Bahan racun dapat berupa senyawa yang sudah ada dalam biomasa atau senyawa yang dihasilkan selama proses fermentasi anaerob. Hal ini dapat terjadi jika biomasa kaya protein dicernak, menghasilkan sejumlah besar ammonia yang menyebabkan hambatan ammonia. Fermentasi dapat juga menjadi lambat jika biomas terolah mengandung konsentrasi lemak yang tinggi, didegradasi menjadi senyawa beracun (asam lemak rantai panjang). Indikator ketidakseimbangan proses perombakan karena susbstrat asetogenik berlebih meski tidak toksis. Kenaikan konsentrasi asam organik merupakan peringatan bahwa produksi asam berlebih daripada yang dikonsumsi. Pemberian umpan (beban organik) yang tidak seimbang dapat menyebabkan kenaikan konsentrasi asam organik. Oleh karena itu, konsentrasi dan komposisi asam sebaiknya diukur dalam interval waktu lebih sempit dari pada respons. Ketidakseimbangan proses dapat diketahui dari konsentrasi H2 dan CO. (Wellinger 1999).
2.2.4. Keuntungan perombakan anaerob Pengelolaan limbah secara anaerob memberi banyak keuntungan antara lain: manfaat pengolahan limbah lebih mudah dan simpel, energi yang
29 bermanfaat, keuntungan lingkungan dan keuntungan ekonomi, yang secara keseluruhan dapat dijelaskan sebagai berikut: a) memberikan sumber energi melalui perolehan kembali (rekoveri) metana (proses menghasilkan energi bersih); proses pengolahan limbah secara alami, anaerob, memerlukan sedikit energi (suhu ambient kebutuhan energi berkisar 0.05-0.1 kWj/m3 atau (0.18-0.36 MJ/m3), bergantung kebutuhan pemompaan dan resikel effluent; b) mengurangi padatan, volume limbah buangan yang dikelola dan beban yang dibuang untuk landfill; produksi lumpur bergantung pada COD yang dirombak, signifikan lebih rendah dibanding proses aerob; c) mengurangi bau dan resikel maksimum dihasilkan kompos tersanitasi baik dan pupuk kaya hara nitrogen (N), phosphate (P) and potassium (K); demineralisasi yang hampir sempurna. d) proses pengolahan anaerob modern mampu mengurangi
beban
organik, kadar COD > 30 g COD/l/hari pada suhu 30 °C hingga 50 g COD/l/hari pada suhu. 40 °C, sekalipun medium pekat limbah cair sangat mudah larut; lumpur anaerob dapat disimpan dalam periode cukup lama tanpa pemberian umpan dan signifikan mengurangi emisi gas rumah kaca. e) biaya pembangunan relatif rendah; keseluruhan siklus hidup pengolahan lebih murah daripada yang lain, kebutuhan ruang lebih rendah dibanding sistem konvensional; maupun pengomposan aerob (Reith et al. 2003, Werner et al. 1989) Selama perombakan anaerob senyawa biodegradabel efektif dihilangkan, meninggalkan senyawa tereduksi dalam efluent, ammonium, senyawa N organik, sulfida, senyawa P organik dan patogen. Pengolahan komplemen laju tinggi lebih lanjut diperlukan sebagai pembangkit energi netral CO2 (listrik dan panas) juga menghindari bau dan emisi metana serta nitrous oksida. Penghematan pupuk dan semprotan bahan kimiawi, mereduksi areal kolam dan perlindungan air tanah. Pengolahan sistem ini akan mengatasi gas rumah kaca secara efektif dan mendukung tujuan Protokol Kyoto. Pengolahan residu organik limbah rumah tangga dan proses pembuatan pakan menawarkan kisaran luas aplikasi
30 lebih lanjut pembangkit biogas pertanian. Hal ini sesuai dengan kebutuhan sistem daur-ulang limbah berkelanjutan. (Werner et al. 1989). 2.3. Produksi Biogas Biogas diproduksi di bawah kondisi dekomposisi anaerob melalui tiga tahap yakni hidrolisis, pembentukan asam dan pembentukan metana (Veziroglu 1991). Semua jenis limbah organik dapat digunakan dalam pembangkit biogas seperti limbah dapur dan kebun, kotoran sapi dan buangan domestik. Efisiensi produksi biogas dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti: ratio Karbon-Nitrogen, kandungan padatan volatil, laju pembebanan, pH, temperatur, toksisitas, larutan dan waktu retensi serta percampuran. Waktu tinggal untuk perombakan mesofil berkisar 30-60 hari, sedang dekomposisi anaerob dapat terjadi pada tiga kisaran suhu psikhrofil (<30 oC), mesofil (30-40 oC) dan termofil (50-60 oC) (Werner et al. 1989). Sumber biomasa atau limbah berbeda menghasilkan biogas perbedaan per jumlah input organik. Biogas dengan kandungan metana 65-70% memiliki nilai kalor sama dengan 5200-5900 kkal energi panas setara 1,25 kwj listrik. (Veziroglu 1991) dan de Baier (2005) menunjukkan bahwa residu pakan asli dengan 30% TR dan 90% TR dapat dihasilkan kira-kira 500-600 m3 biogas per TR atau 150-200 m3 biogas per ton limbah dan biogas yang memiliki kandungan metana 65-70% (de Baier 2005), Warner et al. (1989) menyatakan per kilogram padatan volatil dapat diperoleh 0,3-0,6 m3 biogas. Hobsen (1993) menyarankan biogas yang dihasilkan sebaiknya digunakan untuk pemanasan/ pembakar atau satuan tenaga pembangkit gabungan listrik dan panas (cogeneration heat dan power / CHP) untuk memperoleh efisiensi tertinggi. Hasil samping perombakan anaerob selain produksi biogas adalah lumpur kaya nutrisi, yang berkualitas dan dapat dimanfaatkan untuk pakan tambahan baik untuk sapi maupun unggas (Veziroglue 1991). Kandungan hara meliputi nitrogen (N) murni, Phosphor (P), K Potassium (K) rasio C:N berkurang dan banyak terjadi demineralisasi nutrisi, yang meningkatkan efek dekomposisi (Werner et al. 1989). Dekomposisi lambat dapat mengurai struktur serat, dapat sebagai pembenah tanah yang baik dan meninggalkan sedikit
31 ammonia. Lumpur bebas algae dan patogen: Salmonella, Shigella, Polivirus Hookworm dan telur Schistosoma mempunyai laju fatalistik sesudah 10 hari pada perombak mesofilik (Werner et al. 1989). Lumpur sebagai pengganti pupuk buatan dengan keuntungan konsumsi energi berkurang dan mengurangi polusi udara, air tanah maupun permukaan (Hobsen 1993). Cairan yang terbuang dapat digunakan kembali misal: untuk perikanan, irigasi, pembangkit listrik air dst. (Veziroglu 1991).
2.3.1. Kualitas biogas dan penjerapan (scrubbing) Biogas hasil perombakan anaerob limbah organik terutama tersusun atas metana 55-70%, karbon dioksida 30-45% dan sedikit hidrogen sulfida dan amonia maupun gas lain yang konsentrasinya sangat ≤1%, diantaranya hidrogen, nitrogen, karbon monoksida dan hidrokarbon terhalogenasi serta siloxan. Gas pengotor (impuritis) ini harus dihilangkan, karena dapat menyebabkan korosi, endapan dan beban peralatan. Substansi yang perlu diperhatikan antara lain: H2S; Siloxan;
Senyawa Aromatik; CO2;
Oksigen dan Nitrogen serta senyawa
halogen (Cl2-F2). Biasanya gas campuran jenuh dengan uap air, juga terdapat partikel debu (Kottner 2002). . Menurut Pokja G25 Masyarakat Eropa (2004) kualitas biogas sebagai bahan bakar setidaknya mengandung 85% metana dan 14% nitrogen. Untuk menghilangkan
sejumlah
senyawa-senyawa
dikembangkan, agar biogas efektif sebagai
tersebut
banyak
proses
bahan bakar kendaraan dengan
konsentrasi metana meningkat. Hal ini dapat dilakukan terutama dengan menghilangkan karbondioksida, dan meningkatkan nilai energi gas melalui perbaikan sistem penyimpanan volume gas sehingga pemanfaatannya lebih lama. Penghilangan karbondioksida memberi kualitas biogas konstan termasuk nilai energi (kalor). Pada saat ini empat metode berbeda secara komersial digunakan untuk menghilangkan karbondioksida, untuk mencapai baku mutu bahan bakar kendaraan atau kualitas gas alam yang diinjeksikan dalam jaringan gas alam, yakni: 1) proses perombakan dan 2) proses upgrading biogas hasil perombakan (Kapdi et al. 2004).
32 Dua metode umum digunakan dalam proses perombakan untuk menghilangkan H2S yakni: aerasi dan pemberian FeCl3 ke dalam lumpur perombak. Asam sulfida (H2S): selalu ada dalam biogas walau konsentrasinya bervariasi. Senyawa yang harus dihilangkan untuk menghindari korosi pada kompresor, tangki penyimpan gas maupun mesin. H2S sangat reaktif, pada kebanyakan jenis logam dan reaktifitasnya meningkat sejalan bertambahnya konsentrasi dan tekanan, juga adanya air dan penurunan suhu. Oleh karena H2S berpotensi menyebabkan masalah, segera dihilangkan pada proses peningkatan kualitas biogas. Metode komersial yang sangat umum digunakan untuk menghilangkan H2S adalah: spons besi; pelet oksida besi; karbon aktif; penyerap air; penyerap NaOH; cara filter bed; dan striping maupun rekoveri udara, absorpsi air;
absorpsi poliethilen glykol; saringan molekul karbon dan
pemisahan membran (Kapdi et al. 2004) . Hidrokarbon tinggi ataupun hidrokarbon berhalogen, terutama senyawa Chlorida dan Fluorida ditemukan banyak pada gas landfill (TPA)
Oleh
karenanya dapat menyebabkan korosi mesin CHP, pada ruang pembakaran, pada katub busi, kran dan tabung.
Dengan alasan ini perusahaan mesin CHP
menyarankan batas maksimum hidrokarbon berhalogen dalam
biogas. Gas
sekelumit ini dapat dihilangkan dengan mengubah tekanan tabung yang diisi dengan karbon aktif. Molekul-molekul kecil seperti metana, karbondioksida, oksigen dapat melewati, sementara molekul-molekul lebih besar terjerap. Ukuran pengubah dirancang untuk memurnikan gas selama periode lebih dari 10 jam. Biasanya ada 2 saluran paralel. saluran pertama mengendalikan gas metana sementara lainnya H2S, CO2 dan gas lain-lain.
2.3.2. Pemanfaatan biogas Biogas diproduksi pada digesti anaerob atau tempat-tempat landfill terutama tersusun atas metana (CH4) dan karbon dioxida (CO2) dengan jumlah H2S dan NH3 jauh lebih kecil. Jumlah hydrogen (H2), nitrogen (N2), carbon monoxide (CO), carbodihydrates jenuh atau berhalogen, oxygen, dan siloxanes kadang-kadang ada. Biasanya gas campuran jenuh dengan uap air.
33 Biogas dapat digunakan untuk berbagai keperluan sesuai dengan sifat gas alam. Tidak semua gas dapat dimanfaatkan atau mempersyaratkan sifat baku gas yang sama. Terdapat perbedaan yang dikenal antara kebutuhan pemanfaatan biogas menetap (stationary) dan bahan bakar gas atau kualitas jejaring pipa. Boiler tidak mempersyaratkan kualitas gas tinggi. Gas seharusnya biasa bertekanan sekitar 8 -25 mbar. Disarankan bahwa konsentrasi H2S berkurang hingga lebih kecil 500 ppm (Kapdi et al. 2004). Pemanfaatan biogas dalam teknologi pembakaran mesin internal (mesin berbahan bakar gas/bbg), sangat andal dan telah berkembang. Ribuan mesin bbg telah dioperasikan di areal/ satuan-satuan pengelolaan limbah, tempat-tempat landfill, dan pembangkit biogas. Ukuran mesin gas berkisar kira-kira 12 kW pada peternakan kecil hingga ukuran beberapa MW pada skala besar dan di tempat-tempat sampah dengan skala lebih luas. Sebuah mesin diesel dapat diperbaiki kembali menjadi mesin berbahan bakar gas atau mesin berbahan bakar ganda (hybrid) kira-kira 8-10 % disel diinjeksikan untuk pemanasan mesin (ICRA 2005). Pemanfaatan biogas sebagai bahan bakar kendaraan, digunakan mesin yang sama konstruksinya dengan kendaraan mesin bbg alam. Terdapat lebih dari 3 juta kendaraan berbahan bakar gas alam di dunia dan sekitar 10,000 kendaraan mobil dan bus berbahan bakar biogas. Ini menunjukkan bahwa konstruksi kendaraan menggunakan biogas sebagai bahan bakar kendaraan tidak bermasalah. Hanya saja kebutuhan kualitas biogas yang dihasilkan dari perombak atau landfill terlebih dulu harus dijernihkan (IEA 2002).
2.3.3. Penyimpanan biogas Penyimpanan metana dengan pemampatan (kompresi) sangat tepat untuk pemakaian bahan bakar angkutan lapangan pertanian. Perangkat penyimpanan membutuhkan kompresor, tabung dan penyimpanan yang aman serta bangunan ataupun areal aman untuk penyerapan (absorption) menghilangkan gas impurities yang merusak. Pengendalian teratur menggunakan filter-filter berkualitas membutuhkan pengaturan dan tabung-tabung gas serta peralatan lain yang memiliki masa pakai terbatas. Tabung gas ukuran biasa kualifikasinya setara dengan tabung/botol yang diisi LPG, karena itu kompresi membatasi
34 jumlah metana (WestStar CALSTART Inc. 2004). Tanpa mengabaikan kerugian yang mungkin timbul, untuk jarak jauh metana merupakan bahan bakar terbaik mesin dengan pembakar internal yang ada, emisi gas rumah kaca sangat berkurang meskipun laju pengapian lebih rendah. Akhir-akhir ini pemakaian metana untuk berbagai mesin semakin luas dan handal, sehingga beban operasi menjadi rendah juga gas-gas buang korosif sangat berkurang (Kahpre 1989). Penyimpanan biogas dibutuhkan banyak tabung gas, kompresor serta gasometer tutup apung pengatur tekanan gas untuk keperluan rumahtangga. Untuk mesin yang tidak bergerak dan multiguna misalnya mesin pompa air, pengendali mesin tetap; atau pembangkit listrik. Bentuk gas tidak sekompak bentuk cair, tapi setidaknya dapat digunakan untuk sarana angkutan lokal. Meskipun bahan bakar ideal untuk kendaraan berbentuk cair , namun pencairan metana memerlukan biaya/ energi besar, sekitar 20-30% produksi, tergantung skala produksi maupun harga mahal peralatan kryogeniknya. (Kapdi et al. 2004). 2.3.4. Biogas sumber energi terbarukan Semakin bertambahnya konsumsi energi global dan keterbatasan sumberdaya bahan bakar fosil, dan pengaruh pembakaran yang berdampak negatif di sisi lain telah meningkatkan perhatian seluruh dunia pada pemanfaatan sumber-sumber energi terbarukan termasuk biogas. Kenaikan jumlah bahan limbah organik baik di komunitas perkotaan maupun pedesaan dan produksi ribuan ton lumpur dari limbah dan limbah cair industri pertanian maupun makanan yang berbeda-beda, memicu beberapa permasalahan lingkungan dan ekonomi (Bhattacharya et al. 2003, ICRA 2005). Ketergantungan penggunaan sumberdaya bahan bakar fosil yang semakin bertambah dan permasalahan yang meningkat dari pengelolaan limbah yang tidak efisien memicu penelitian yang meluas pada pencapaian sumber daya energi terbarukan dan baru. Sinar matahari, angin, panas bumi dan mikrohidro power dan akhinya biogas sebagai salah satu di antara sumber-sumber daya energi terbarukan (Demirbas dan Balat 2006). Sebagaimana bentuk bioenergi umumnya, di masa mendatang teknologi biogas tampak berkembang pesat. Sumber energi netral CO2 ini semakin
35 meningkat
seiring
upaya
memenuhi
komitmen
Protokol
Kyoto
dan
memanfaatkan perdagangan emisi CO2. Biogas merupakan energi terbarukan yang fleksibel, dapat menghasilkan panas, listrik sebagai pengganti bahan bakar kendaraan. Selain berupa energi terbarukan, proses perombakan anaerob menghasilkan pupuk berharga dan mengurangi emisi serta bau tak sedap. Oleh karena itu dapat memberikan sumbangan
positif untuk berbagai program
pemerintah. (Brown et al. 1998) Komisi Europa membuat keputusan sangat penting berkaitan dengan peningkatan kualitas maupun kuantitas energi terbarukan secara umum, energi berbasis biomasa. Pada tahun 2010 produksi rata-rata listrik dari sumber terbarui akan meningkat dari 12% hingga 21%. Selanjutnya konsumsi bahan bakar fosil untuk transport secara bertahap juga akan digantikan oleh biomasa hingga mencapai 8 % pada 2020. Swedia menjadi salah satu negara terdepan memproduksi bahan bakar gas (IEA 2002). Amerika Serikat terutama negara bagian California, kendaraan beremisi rendah menjadi isu penting. Projek CalStart yang mempromosikan perubahan ini, menempatkan biogas sebagai bahan bakar alternatif terbaik sebelum ethanol dan hydrogen sebagai bahan bakar sel (West Star-CALSTART 2004). Biogas berbeda dari sumber-sumber energi terbarukan lainnya, keuntungannya terkait pengendalian dan pengumpulan bahan limbah organik, pada saat yang sama dihasilkan pupuk dan air untuk pemakaian kembali irigasi pertanian (Ahring et al. 1999). Dengan mempertimbangkan semakin meningkatnya limbah cair yang menghasilkan bahan organik, misalkan industri minyak sawit (sekitar ≥40 juta ton LCPMKS per tahun). di Indonesia, pengendalian limbah cair dan produksi biogas menjadi tak terhindarkan. Pada penelitian ini teknologi biogas dan manfaat produksi biogas kolam perombakan anaerob laju tinggi PT Pinago Utama sebagai studi kasus analisis tekno-ekonomis dilakukan. Salah satu proses sangat efektif perombakan bahan limbah organik dan pada saat sama memberikan banyak energi yang dibutuhkan adalah perombakan anaerob. Pengembangan teknologi perombakan anaerob pembangkit biogas akan dapat memenuhi sebagian kebutuhan energi masyarakat dengan beranekaragam aplikasi. Penilaian kelayakan secara teknis pembangunan pembangkit biogas dilakukan dengan perhitungan ekonomis keuntungan biogas yang diperoleh (Yeoh 2004). Analisis
36 finansial untuk memperkirakan seberapa besar biaya yang dibutuhkan untuk memproduksi suatu produk, sekaligus menilai kelayakan proses produksi dari nilai tambah atau keuntungan yang diperoleh. Penilaian kelayakan tanpa mempertimbangkan nilai sumberdaya alam dan lingkungan yang digunakan. Jadi dalam hal ini dilakukan perhitungan biaya produksi dan harga jual produk. Selisih kedua nilai ini, diperoleh nilai keuntungan bersih (net benefit) yang dijanjikan. Analisis finansial mencakup penghitungan net present value; cost-benefit ratio; dan internal rate return, sedangkan analisis sensitivitas akan dilakukan bila terjadi perubahan harga bahan bakar konvensional skala nasional (Kadariah 1988, Kadarsan 1995). Keuntungan produksi biogas dari pengolahan anaerob dibandingkan dengan hasil pengomposan antara lain: (Wellinger 1999) 1. mengubah limbah organik menjadi produk bernilai tambah (listrik, panas dan pupuk) 2. memanfaatkan energi dalam bahan organik menjadi listrik dan panas 3. dihasilkan lumpur stabil, mineralisasi nutrien, menghilangkan benih gulma dan patogen, serta mengurangi bau secara nyata 4 membantu mengurangi CO2 dan karenanya mencapai tujuan Protokol Kyoto.
BAB III OPTIMASI PRODUKSI BIOGAS DARI LIMBAH CAIR PABRIK MINYAK KELAPA SAWIT SKALA LABORATORIUM Abstrak LCPMKS bersifat asam, pH 4, mengandung bahan organik tinggi dan total solid 4-5%, sehingga sangat potensial untuk produksi biogas melalui fermentasi anaerob. Perombakan bahan organik dari LCPMKS menjadi gas metan melalui beberapa tahapan reaksi oleh bakteri asidogenik, asetogenik dan metanogenik. Tujuan penelitian mengetahui 1) karakteristik LCPMKS PT. Pinago Utama, 2) mengetahui faktor biotik dan abiotik yang berpengaruh terhadap laju produksi biogas dan total produksi biogas terbentuk, 3) efisiensi pengurangan bahan organik substrat. Penelitian dilakukan dalam bioreaktor anaerob volume 20 L secara curah menggunakan limbah LCPMKS, waktu fementasi 12 minggu. Faktor biotik yang diuji adalah lumpur aktif dari kolam limbah LCPMKS dan kotoran sapi. Sedang faktor abiotik yang diuji antara lain pengaruh penambahan bahan penetral pH, pH substrat awal, agitasi, dan temperatur. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa karakteristik LCPMKS, pH asam, bahan organik tinggi (COD >55; BOD >26; TS >35 dan SS >26 g.l-1), berpotensi sebagai sumber pencemar dan sumber energi terbarukan. Faktor biotik dan abiotik yang dapat meningkatkan produksi biogas dan efisiensi pengurangan bahan organik adalah lumpur aktif kolam II-B konsentrasi 20%, sedang faktor abiotik dengan penambahan Ca(OH)2, pH substrat awal 7, agitasi yang dilakukan sehari satu kali, dan peningkatan suhu termofilik (>40oC). Rerata efisiensi pengurangan bahan organik substrat sistem curah relatif tinggi, masing-masing 88 %, 74,8%, 64,4% dan 61% untuk COD, BOD, SS, dan TS. Kata kunci : LCPMKS, biogas, faktor biotik dan abiotik, efisiensi pengurangan organik
Optimization biogas production from palm oil mill effluent (POME) at laboratory scale Abstract
Palm oil mill effluent (POME) has acidic character, pH 4, containing high organic content and total solid 4-5%. Therefore it is potentially fermentable. Through fermentation anaerob digestion. Anaerobic of organic substance from POME become gas of methane uses some steps reaction by acidogenic, acetogenic and methanogenic bacteria. The research of aimed to 1) characterize palm oil mill effluent from PT. Pinago Utama, 2) know the biotic and abiotic factors the rate of biogas production by anaerobic digestion in batch system, 3) describe efficiency of organic removal from POME. The research was conducted
37
within a 20-L bioreactor 20 L and working volume 15 L POME for 12 weeks in a laboratory scale. Biotic parameter being tested were type and concentration of seed sludge of the lagoon I and II and cow dung, while the abiotic factors were the addition of pH neutralizer, the pH of pre-treated substrate, agitation, and temperature. The result indicated that characteristics of POME were acidic low pH, high organic substance (COD > 55; BOD > 26; TS > 35 and SS >26 g/l), potential pollutant, and source for renewable energy. Biotic and abiotic factor which can increase biogas production and efficiency removal of organic, were activated sludge of lagoon II-B and concentration, 20%, factor of abiotic with addition Ca(OH)2, pH of pre-treated substrate 7, frequency of agitation 1 x everyday, and increase of temperature thermophilic (>40oC). The average of efficiency removals organic from the substrate were high relatively in batch system, which were of 88 %, 74,8%, 64,4% and 61% of COD, BOD, SS, and TS is respectively. ----------------------------------Key word : POME, biogas, biotic-abiotic factors, efficiency removal of organics
1. Pendahuluan Indonesia merupakan negara dengan pertumbuhan industri minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Dalam satu dekade terakhir tumbuh 2,7 kali dari 4,2 juta ton pada 1995 menjadi 11,4 juta ton pada 2004, dan kontribusi Indonesia pada produksi minyak sawit mentah (CPO) dunia naik menjadi 38,06% dari total produksi dunia yang mencapai 29,95 juta ton (Djikah 2007). Produksi CPO pada akhir 2006 diperkirakan melampaui 13,5 juta ton, sementara sasaran jangka menengah pada 2010, Indonesia menjadi eksportir dan produsen CPO terbesar dunia yaitu 18 juta ton dari luas lahan perkebunan 5,6 juta ha, sehingga kelapa sawit termasuk dalam komuditas non migas andalan di Indonesia (Deprind 2006). Dalam jangka menengah dan panjang diyakini permintaan CPO juga akan terus meningkat, seiring dengan adanya penelitian dan pengembangan minyak sawit menjadi bioenergi termasuk proyek biodiesel dan biogas sebagai energi terbarukan, untuk mengurangi pemakaian energi dari bahan bakar minyak bumi (Perpres no.5 RI 2006). Pabrik minyak kelapa sawit (PMKS) mengolah setiap ton tandan buah segar (TBS) kelapa sawit, rerata menghasilkan 120-200 kg minyak mentah, 230250 kg tandan kosong kelapa sawit (TKKS), 130-150 kg serat/ fiber, 60-65 kg cangkang dan 55-60 kg kernel dan air limbah 0,7 m3. Jika Indonesia menjadi
38
produsen CPO terbesar dunia menghasilkan 18 juta ton yang ditargetkan, akan menghasilkan LCPMKS sebanyak 13,6 juta ton (Ditjen Perkebunan 2004). Jika dilihat dari sisi sumber pencemar, maka akan memberikan dampak yang serius, oleh sebab itu pabrik dituntut untuk mengolah limbah guna menurunkan beban pencemar melalui daur ulang. Dalam prosesnya bahan organik dirombak oleh aktifitas mikroorganisme menjadi biogas secara anaerob (anaerobic digestion). Proses ekstraksi produksi minyak sawit mentah umumnya dilakukan dengan proses basah, karena
lebih mudah proses ekstraksi minyak, juga
diperoleh produk samping limbah cair. Air limbah yang dihasilkan secara keseluruhan berupa campuran buangan cair yang berpotensi sebagai sumber pencemar. Pengelolaan buangan cair PMKS umumnya diterapkan secara biologis, dialirkan ke dalam kolam-kolam penampungan sebelum akhirnya memasuki badan perairan umum, limbah yang dibuang umumnya masih di atas ambang batas yang telah ditentukan (H-Kittikun et al. 2000; Yuliasari et al. 2001). Penanganan limbah cair pabrik kelapa sawit di Indonesia sampai saat ini umumnya diolah dengan sistem kolam anaerob terbuka, selanjutnya disebut sistem konvensional, terdiri dari tiga tahap yakni pengendapan, kolam anaerob dan kolam aerob. Penanganan limbah dengan metode demikian membutuhkan lahan luas dan biaya tinggi, tanpa ada manfaat lain yang diperoleh. Di samping itu CO2 dan emisi gas rumah kaca, dan gas lain berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan (atmosfir), terutama kontribusi besar terhadap risiko pemanasan global dan perubahan iklim. Di sisi lain Indonesia telah meratifikasi Protokol Kyoto sejak 1998, oleh karenanya kesepakatan itu mendorong segera melakukan pengurangan emisi gas rumahkaca akibat timbulnya aktifitas pembangunan. Produksi biogas dengan bahan LCPMKS memberikan berbagai keuntungan diantaranya pengurangan
jumlah padatan organik, jumlah
mikroorganisme pembusuk yang tidak diinginkan serta kandungan racun dalam limbah (Judoamidjoyo et al. 1989). Disamping itu residu biogas dapat dimafaatkan sebagai pupuk organik non fitotoksin. Sudrajat et al. (2003) menyatakan bahwa produksi biogas mendapat perhatian karena produk akhir
39
biogas adalah campuran CH4 dan CO2, merupakan gas yang mudah terbakar, sifatnya hampir sama seperti gas alam dan sebagai sumber energi terbarukan. Selain itu melalui fermentasi, bahan organik didegradasi secara anaerobik menjadi bentuk gas yang tidak berbahaya, sehingga menguntungkan bagi teknologi lingkungan dalam penanganan limbah organik. Proses fermentasi anaerobik adalah perombakan organik yang dilakukan oleh sekelompk mikrooeganisme anaerobik fakultatif maupun obligat dalam suatu reaktor tertutup yang dioperasikan pada
temperatur 35oC – 55oC.
Perombakan bahan organik dikelompokkan dalam empat tahapan proses, pertama bakteri fermentatif menghidrolisis bahan polimer menjadi senyawa sederhana yang bersifat terlarut. Tahap kedua monomer dan oligomer dirombak menjadi asetat, H2 dan CO2, sejumlah asam lemak rantai pendek dan alkohol yang disebut tahap asidogenesis. Pada tahap tiga yang disebut fase non-metanogenik menghasilkan asetat, CO2 dan H2, selanjutnya oleh bakteri metanogenik diubah, dan menghasilkan gas metan (Reith et al. 2003, Loebis dan Darnoko 1992, Metcalf dan Eddy 2003) Proses biokonversi metanogenik merupakan proses biologis, yang sangat kuat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Faktor utama pengendali antara lain suhu, pH dan senyawa racun (de Mez et al. 2003). Proses perombakan anaerob bahan organik untuk pembentukan biogas dipengaruhi oleh dua faktor yaitu, biotik dan abiotik. Faktor biotik berupa mikroorganisme dan jasad aktif , sedang faktor abiotik meliputi, pengadukan, suhu, pH, substrat, kadar air substrat, rasio C/N dan P dalam substrat dan kehadiran bahan toksik (Wellinger 1999). Proses biologis merupakan proses fermentasi yang dibedakan beberapa macam, salah satunya adalah sistem curah, yaitu dilakukan dalam satu tangki (digestor), dan dapat diuji dalam skala laboratorium.
1.1. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui karakteristik limbah cair pabrik minyak kelapa sawit PT. Pinago Utama,
40
2. Menentukan kombinasi jenis dan konsentrasi inokulum (faktor biotik) terbaik, serta pengaruh faktor abiotik terhadap laju produksi biogas (L/kg COD/hari) dan total produksi biogas. 3. Mengetahui efisiensi pengurangan bahan organik berbagai perlakuan biotik maupun abiotik 1.2. Luaran Penelitian 1. Diperoleh karakteristik LCPMKS PT Pinago Utama 2. Diketahui kombinasi jenis dan konsentrasi inokulum serta faktor abiotik pada masing-masing perlakuan, yang berpengaruh terhadap laju produksi biogas (L/kgCOD/hari) dan total produksi biogas. 3. Diketahui pengaruh biotik dan abiotik terhadap efisiensi pengurangan bahan organik substrat LCPMKS melalui parameter terukur
2. Metode Penelitian Percobaan dilakukan di rumah kaca Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia Bogor. LCPMKS digunakan sebagai bahan baku substrat dalam reaktor (jerigen) anaerob sistem curah.
Penelitian skala laboratorium
dibagi beberapa percobaan diantaranya karakterisasi LCPMKS, pengaruh komposisi jenis dan konsentrasi inokulum (faktor biotik) dan faktor abiotik terhadap laju produksi biogas (L/kg COD/hari), total produsi biogas setiap perlakuan dan efisiensi pengurangan bahan organik. Jenis dan konsentrasi inokulum, selanjutnya disebut perlakuan biotik, terdiri dari beberapa perlakuan diantaranya adalah: 1) sumber inokulum kotoran sapi 10% (KTS-10%), 2) inokulum lumpur LCPMKS kolam I-10% (LKLM I-10%), 2) inokulum lumpur LCPMKS kolam II-10% (LKLM II-10%), 3) inokulum lumpur LCPMKS kolam I-20% (LKLM I-20%), 4) inokulum lumpur LCPMKS kolam II-20% (LKLM II20%), 5). Tanpa inkulum (kontrol). Pengaruh faktor abiotik yang dimaksud adalah penambahan bahan Ca(OH)2, NaOH, beberapa jenis pH substrat, agitasi, dan pengaruh perbedaan suhu substrat terhadap laju produksi biogas, total
41
produksi biogas dari masing-masing perlakuan dan efisiensi pengurangan bahan pencemar. Proses perombakan anaerob (fermentasi) berlangsung selama 12 minggu dengan interval 2 minggu, dalam kondisi suhu dan tekanan rumah kaca. Produksi biogas ditampung dalam botol plastik air mineral volume 1,5 L melalui slang berdiameter 0,5 cm yang dihubungkan dengan bioreaktor. (Gambar 2.). Parameter yang diukur adalah produksi biogas, efisiensi pengurangan bahan pencemar substrat melalui parameter COD, BOD, TS dan SS (Jawad dan Tare 1999). 2.1. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah jenis dan konsentrasi inokulum (faktor biotik), yaitu kotoran sapi 10%, lumpur kolam satu 10% dan 20%, lumpur kolam dua konsentrasi 10% dan 20%, serta kontrol (tanpa inokulum) Substrat yang digunakan LCPMKS PT Pinago Utama. Perlakuan faktor abiotik diantaranya bahan untuk peningkatan pH yaitu NaOH dan Ca(OH)2, pengaruh pH asam dan netral (4,4; 5,5; 7), agitasi, suhu ( 30°C dan 40°C). Akuades dan bahan kit untuk analisis kualitas limbah. Alat yang digunakan diantaranya, jerigen volume 22 L, slang plastik diameter 0,5 cm, kawat, kerangka besi berlubang, botol air PET volume 1,5 L, korek api, pH elektrik, dan thermometer. 2.2. Pelaksanaan percobaan Penelitian skala laboratorium dilakukan beberapa percobaan tentang karakterisasi LCPMKS, pengaruh faktor lingkungan biotik dan abiotik terhadap laju poduksi biogas (L/kg COD/hari) dan total produksi biogas (L), serta efisiensi pengurangan bahan organik dari limbah cair pabrik minyak kelapa sawit (LCPMKS) PT. Pinago Utama diantaranya adalah :
2.2.1. Karakterisasi LCPMKS Tujuan penelitian mengetahui karakteristik LCPMKS, diukur beberapa sifat kinia, fisika, antara lain : pH, temperatur (oC), BOD (kebutuhan oksigen biologi), COD (kebutuhan oksigen kimiawi), padatan total (TS), padatan
42
tersuspensi (SS), minyak dan lemak kasar, serta total nitrogen (Greenberg et al. 1992).
2.2.2. Pengaruh faktor biotik dan abiotik terhadap laju produksi biogas (L/kgCOD/hari) Tujuan percobaan, menentukan kombinasi jenis dan konsentrasi inokulum terbaik untuk laju produksi biogas (L/kgCOD/hari) dan total produksi biogas Masing-masing perlakuan (liter). Perlakuan jenis dan konsentrasi inokulum meliputi : 1). KTS – 10% 2). LKLM I-10%, 3). LKLM II-10%, 4). LKLM I20%, 5). LKLM II-20%, 6) kontrol (tanpa inokulum). Perlakuan faktor abiotik meliputi a) pemberian bahan peningkatan pH yaitu NaOH dan Ca(OH)2, b) pH substrat awal dengan pH 4,4; 5,5; dan 7, c) agitasi dan tanpa agitasi, d) pengaturan suhu awal 40oC dan suhu ruang. Peubah yang diamati total produksi biogas masing-masing perlakuan baik biotik maupun abiotik. 2.2.3. Pengaruh faktor biotik dan abiotik terhadap produksi biogas (L) Tujuan percobaan mengetahui faktor biotik dan abiotik yang berpengaruh terhadap total produksi biogas dalam masing-masing perlakuan (liter). Jenis perlakuan dan peubah yang diamati baik biotik maupun abiotik sama dengan percobaan (2.2.2.). 2.2.4. Pengaruh faktor biotik dan abiotik terhadap efisiensi pengurangan bahan organik COD, BOD, TS dan SS Tujuan mengetahui efisiensi pengurangan bahan organik dari berbagai perlakuan biotik maupun abiotik. Jenis perlakuan biotik dan abiotik sama dengan percobaan (2.2.2). Peubah yang diamati efisiensi pengurangan bahan organik dari semua perlakuan baik biotik maupun abiotik. Parameter yang diukur meliputi pengurangan bahan organik COD, BOD, TS dan SS setiap waktu fermentasi. Pelaksanaan percobaan dilakukan di rumah kaca, dan cara kerjanya dapat dilihat pada Gambar 2. modifikasi dari (Jawed dan Tare 1999).
43
1 A 2
1
Jerigen 20 L
B
Gambar 2. Digester anaerob sistem curah untuk produksi biogas skala laboratorium (Jawed dan Tare 1999) Keterangan: A. Contoh sketsa pelaksanaan percobaan skala laboratorium sistem curah anaerob tertutup
Bioreaktor (1), substrat LCPMKS (2), botol penampung biogas, (3) botol penampung air (4) lubang pengambilan sampel (5) slang penghubung bioreaktor dan botol penampung biogas (6), inokulum (Jawed danTare 1999) B. Percobaan di rumah kaca, 1. Bioreaktor yang digunakan jerigen volume 22 L, masing-masing bioreaktor diisi substrat 15 liter LCPMKS PT. Pinago Utama, 2. Botol plastik 1,5 liter terisi air. (Jawed dan Tare 1999).
Perlakuan suhu dengan cara jerigen yang berisi substrat dipanaskan dengan heater, dan perlakuan agitasi dengan menggojog secara manual sekali dalam sehari, pada waktu pagi hari. 3. Hasil dan Pembahasan Dalam penelitian skala laboratorium disajikan beberapa hasil diantaranya, karakteristik LCPMKS PT Pinago Utama Palembang, pengaruh faktor abiotik dan biotik terhadap laju produksi biogas (L/kgCOD/hari), total produksi biogas dari masing-masing perlakuan (liter) dan persentase efisiensi pengurangan bahan pencemar LCPMKS sistem curah skala laboratorium.
44
3.1. Karakteristik LCPMKS Tabel. 2. Karakteristik LCPMKS PT Pinago Utama Parameter pH (satuan Internasional) Temperatur (oC) BOD (g/L) COD (g/L) Padatan total (g/L) Padatantersuspensi (g/L) Minyak dan lemak kasar (g/L) Total Nitrogen (g/L)
Nilai Kisaran 4,4 - 4,5 50 - 65 23,4 - 29,28 49,01 - 63,60 26,57 - 45,38 17,00 - 35,88 29,00 - 29,50 27,00 - 28,70
Rata-rata 4,4 57 27,72 56,20 28,24 15,15 29,3 27,7
Bakumutu 6-9 0,11 0,25 0,25 0,10 0,03 0,02
Hasil analisis karakteristik kimia LCPMKS PT. Pinago Utama menunjukkan bahwa limbah bersifat koloida, kental, coklat, atau keabu-abuan dan mempunyai rerata kandungan COD 49,0-63,6; BOD 23,5-29,3; TS 26,5-45,4 dan SS 17,1-35,9 g.l-1. Keseluruhan parameter diatas ambang baku mutu nilai peruntukan yang telah ditetapkan oleh MenKLH (1995), sehingga LCPMKS berpotensi sebagai pencemar lingkungan. Apabila tidak ada upaya untuk mencegah atau mengelola secara lebih efektif, akan menimbulkan dampak negatif yang serius dilingkungan, misalkan timbulnya bau, pencemaran air dan perairan umum sekitar pabrik, dan gasrumah kaca yang berdampak sistem iklim global (Achmad et al. 2003). Hasil pengukuran penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa COD LCPMKS sebesar 35–95 g/L dan 10 – 60 g/L untuk BOD (Paepatung et al. 2006). Hasil pengukuran lain diperoleh COD sebesar 54,56 g/L dan BOD 90,4 g/L (Prasertsan 2006), COD 22,7 g/L dan BOD 44,3 g/L (Zinatizadeh et al. 2006), sedang Yeoh (2004) nilai COD dan BOD yang dihasilkan masing-masing 25 g/L, dan 50 g/L. Hasil penelitian yang diperoleh relatif lebih tinggi bila dibandingkan hasil penelitian sebelumnya, sehingga COD dan BOD serta parameter lain yang jauh diatas baku mutu berpotensi menjadi bahan pencemar lingkungan. Hasil pengukuran berbagai penelitian menunjukkan bahwa nilai COD dan BOD LCPMKS sangat tinggi, sehingga membahayakan apabila tidak ada pengelolaan yang lebih intensif. Battacharya et al. (2003) menyatakan bahwa
45
LCPMKS dengan perombakan anaerob, COD lebih dari 1,5 kg/m3 berpotensi ekonomis. Potensi produksi biogas menurut Ma et al. (1999), 1m3 LCPMKS dapat menghasilkan 20-28 m3 biogas sedang menurut Paepatung (2006) potensi produksi biogas dapat mencapai > 35 kali lipat atau 1 m3 LCPMKS dapat diperoleh hasil konversi menjadi 38,69 m3 dengan metode Biochemial Methne Potential (BMP), karena mengandung bahan organik tinggi dan bahan penghambat sangat rendah. Hal tersebut berpotensi juga pada limbah cair berbagai industri agro lainnya Hasil yang diperoleh dapat dikatakan bahwa karakteristik LCPMKS PT Pinago Utama berpotensi sebagai bahan pencemar yang berdampak negatif terhadap lingkungan maupun perairan, di sisi lain limbah organik secara biokimiawi berpotensi ekonomis sehingga perlu diupayakan peningkatan pengelolaan agar lebih berdaya guna. Pengaruh faktor biotik dan abiotik terhadap laju produksi biogas (L/kgCOD/hari) 3.2.1. Pengaruh faktor biotik Pengaruh jenis dan konsentrasi inokulum yang digunakan menunjukkan pengaruh berbeda, produksi biogas paling baik adalah jenis inokulum lumpur
Laju produksi biogas (L/kg COD/hari)
LCPMKS kolam II, konsentrasi 20% (b/v) (LKLM II-20%) ( Gambar 3, Tabel 3). LKLM2-20%
0.05 0.04 0.04 0.03 0.03 0.02 0.02 0.01 0.01 0.00
KTS-10% LKLM 2-10% LKLM1-20% LKLM 1-10% Kontrol 0
2
4
6
8
10
12
Wakt fermentasi (minggu ke ....) KTS-10%
LKLM 1-10%
LKLM 2-10%
LKLM1-20%
LKLM2-20%
Kontrol
Gambar 3. Interaksi jenis, konsentrasi inokulum dan waktu fermentasi terhadap laju produksi biogas
46
Tabel 3. Pengaruh jenis dan konsentrasi inokulum terhadap total produksi biogas skala laboratorium dengan waktu fermentasi 12 minggu Jenis dan konsentrasi inokulum Kotoran sapi 10% (KTS-10%) Lumpur LCPMKS kolam I- 10% (LKLM I-10%) Lumpur LCPMKS kolam II-10%(LKLM II-10%) Lumpur LCPMKS kolam I-20%(LKLM I-20%) Lumpur LCPMKS kolam II-20%(LKLM II-20%) Kontrol (tanpa inoklum)
Total Produksi biogas (L) 64.5 36.5 55 28 121 22
Pengaruh faktor biotik jenis dan konsentrasi inokulum, diantaranya: 1). KTS – 10%, 2) LKLM I1-10%, 3) LKLM II-10%, 4) LKLM I-20%, 5). LKLM II-20%, 6) kontrol (tanpa inokulum) dalam waktu fermentasi selama 12 minggu, suhu dan tekanan rumah kaca. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kelima perlakuan dan kontrol menunjukkan hasil yang berbeda, dan produksi biogas tertinggi diperoleh dari perlakuan kombinasi jenis lumpur LCPMKS kolam dua, konsentrasi 20 % (LKLM II-20%) sebanyak 121 L. Namun lumpur aktif kolam II konsentrasi 10% menghasdilkan biogas sebanding dengan lumpur aktif kotoran sap 10%, berturut-turut 55 L dan 64,5 L. Dengan demikian lumpur aktif kolam II konsentrasi 20% sesuai untuk digunakan dalam peningkatan awal (start-up). Hal tersebut dapat dipahami karena proses pembentukan biogas dari LCPMKS hasil perombakan mikroba, sehingga peran jenis dan konsentrasi inokulum yang sesuai sangat berpengaruh terhadap produksi biogas (Reith et al. 2003). Hasil interaksi jenis, konsentrasi inokulum dan waktu fermentasi memberikan pengaruh terhadap produksi biogas. Faktor biotik yang berpengaruh paling baik adalah inokulum LCPMKS PT Pinago Utama kolam II, dengan konsentrasi 20% (LKLM II-20%) dalam volume substrat sebanyak 15 L. Jenis dan konsentrasi inokulum sangat penting untuk produksi biogas, karena pembentukan
biogas
merupakan
proses
biofermentasi
LCPMKS,
yang
diperankan oleh mikroba, yaitu jasad hidup yang tumbuh berkembang di dalam substrat. Sahirman (1994) menyatakan bahwa inokulum lebih 12,5% (b/v) volume kerja 2 L, skala laboratorium tidak menunjukkan peningkatan produksi biogas. Sementara hasil penelitian skala laboratorium menunjukkan inokulum
47
LKLM 2-20% (b/v) dengan substrat 15 L, diperoleh laju produksi biogas paling tinggi dibanding konsentrasi lain. Faktor jenis dan konsentrasi inokulum sangat berperan dalam proses perombakan dan produksi biogas. Werner et al. (1989) menyatakan bahwa dekomposisi
anaerob
merupakan
proses
mikroorganisme
tumbuh
dan
menggunakan energi dengan merombak bahan organik dalam lingkungan anaerob dan menghasilkan metana. Proses perombakan terjadi empat
tahap
dengan golongan mikroba yang berbeda. Tahap 1) hidrolitik diperankan oleh bakteri penghidrolisis, 2). Fermentasi sederhana yag akan digunakan sebagai sumber energi mikrobia, 3) reduksi dan oksidasi dalam kondisi anaerob membentuk asam asetat, CO2 dan hidrogen, tahap akhir berupa fermentasi metana. Proses hidrolisis merupakan kunci dari proses perombakan bahan organik, dan terdapat dua kelompok bakteri metanogen penting pada proses anaerob yaitu metanogen hidrogenotrofik (menggunakan H/ kemolitotrofik) mengubah hidrogen dan CO2 menjadi metana, dan metanogen asetotrofik (asetoklastik) metanogen pemisah asetat, mengubah asetat menjadi metana dan CO2 (Bitton 1999). Demikian pula yang dinyatakan oleh Reith et al. (2003) bahwa ada empat tahap yaitu proses hidrolisis protein akan diubah menjadi asam amino, karbohidrat dibah menjadi gula, dan lipid akan diubah menjadi asam lemak rantai panjang dan glyserol. Proses Acidogenesis adalah perubahan gula diubah menjadi asam lemak volatil dan alkohol. Proses berlanjut dengan acetogenesis yang akan merombak asam volatil membentuk asam lain yang lebih sederhana, dan proses terakhir adalah metanogenesis, yang menghasilkan metana dan CO2. Proses perombakan yang terjadi didalam kondisi anaerob dilakukan berbagai macam jenis mikroba, sehingga banyak faktor yang berpengaruh terhadap proses tersebut, baik faktor abiotik maupun biotik. Pengaruh faktor abiotik terhadap produksi biogas diantaranya adalah pengaruh penambahan bahan penetral pH yaitu NaOH dan Ca(OH)2, pH awal substrat, agitasi dan peningkatan suhu. Hasil yang diperoleh dapat dilihat pada grafik interaksi pemberian bahan penetral pH dan aktu fermentasi terhadap laju produksi (Gambar 3 – 7).
48
3.2.2. Pengaruh faktor abiotik terhadap laju produksi biogas Pengaruh masing-masing faktor akan diuraikan dalam sub perlakuan : 1). Pengaruh penambahan NaOH dan Ca(OH)2 NaOH dan Ca(OH)2 adalah bahan yang digunakan untuk memacu peningkatan pH substrat LCPMKS yang bersifat asam, pengaruh penambahan bahan penetral pH terhadap produksi biogas dapat dilihat dalam Gambar 4. dan
Laju produksi biogas ( L/hari/kg COD)
Tabel 4. 0.025
Ca(OH)2
0.02 0.015 0.01
NaOH
0.005 0 0
2
4
6
8
10
12
Waktu fermentasi (minggu ke ....) NaOH Ca(OH)2
Gambar 4. Interaksi pemberian bahan penetral pH dan waktu fermentasi terhadap laju produksi biogas Tabel 4. Pengaruh penambahan NaOH dan Ca(OH)2 terhadap produksi biogas Bahan penetral pH
Produksi biogas (L)
NaOH Ca(OH)2
34 55
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pengaruh penambahan bahan penetral pH memberikan dampak meningkatkan produksi biogas, dan Ca(OH)2 berpengaruh lebih baik dibanding NaOH (Gambar 4., Tabel 4). Total biogas yang diperoleh masing-masing sebesar 55 dan 34 (L). Untuk peningkatan pH umumnya digunakan Ca(OH)2 karena harganya murah, dan hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa Ca(OH)2 memberikan hasil yang lebih baik dibanding dengan NaOH. Hal tersebut dapat dipahami, sekalipun NaOH juga bisa digunakan untuk peningkatan pH, namun unsur tersebut jika bertemu dengan lemak atau minyak akan terjadi penyabunan, sehingga dapat menghambat produksi biogas (Achmad et al. 2003). LCPMKS kaya akan bahan organik diantaranya lemak, sehingga penambahan NaOH mungkin dapat mengganggu proses perombakan substrat, sehingga secara
49
tidak langsung akan mengganggu produksi biogas. Peningkatan pH optimal akan memacu proses pembusukan, sehingga meningkatkan efektifitas kerja mikroba, dampaknya pada peningkatan produksi biogas. 2). Pengaruh pH awal 4,4; 5,5 dan 7 Pengaruh pH awal substrat terhadap produksi biogas dapat dilihat pada
Laju produksi biogas (L/hari/kg COD)
Gambar 5. dan Tabel 5. pH 7
0.02 0.015 0.01
pH 5,5
0.005
pH 4,4
0 0
2 4 6 8 10 Waktu fermentasi (minggu ke)....... pH 4,4
pH 5,5
12
pH 7
Gambar 5. Interaksi pH awal dan waktu fermentasi terhadap laju produksi biogas Tabel 5. Pengaruh perbedaan pH substrat awal terhadap produksi biogas pH substrat pH 4,4 pH 5,5 PH7
Produksi biogas (L) 15.0 20.5 55.0
Perlakuan pH substrat dapat berpengaruh terhadap produksi biogas, dan pH 7 memberikan hasil terbaik untuk meningkatkan produksi biogas, bila dibandingkan dengan pH yang lain. Hal tersebut dapat dipahami, karena pH netral dapat mempercepat pembusukan, sehingga berdampak pada percepatan perombakan dan secara tidak langsung dapat meningkatkan produksi biogas. Pengaruh perubahan pH sangat sensitif terhadap aktifitas mikroba dalam proses fermentasi anaerob (Metcalf dan Eddy 2003). pH netral memacu perkembangan bakteri metana (metanogen), sehingga pada pH tersebut bakteri perombak asam asetat tumbuh dan berkembang secara optimal, hal tersebut berdampak terhadap produksi biogas. Perombakan anaerob
50
merupakan proses biologis, yang sangat kuat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan. Faktor pengendali utama antara lain, suhu, pH, dan senyawa beracun (de Mez et al. 2003). 3) Pengaruh agitasi terhadap laju produksi biogas Faktor abiotik lain adalah agitasi yang berpengaruh terhadap produksi
Laju produksi biogas (L/kg COD/hari)
biogas (Gambar 6. dan Tabel 6.) . 0.02
agitasi
0.015 0.01 0.005 tanpa 0 0
2
4
6
8
10
12
Waktu fermentasi (minggu ke...) agitasi
tanpa
Gambar 6. Interaksi pemberian agitasi dan waktu fermentasi terhadap laju produksi biogas Tabel 6. Pengaruh agitasi terhadap produksi biogas Perlakuan Agitasi Tanpa agitasi
Produksi biogas (L) 55 6
Perlakuan agitasi dimaksudkan untuk membuat kondisi substrat homogen, agar inokulum menyatu dengan substrat, sehingga diharapkan inokulum dapat bekerja secara optimal. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pemberian agitasi berpengaruh lebih baik terhadap peningkatan produksi biogas, dibanding tanpa agitasi. Hasil yang diperoleh masing-asing sebesar 55 L untuk agitasi, dan 6 L tanpa diagitasi (Gambar 6 dan Tabel 6). Hal tersebut dapat dimengerti dengan agitasi substrat akan homogen, inokulum kontak langsung dengan substrat dan merata, sehingga proses perombakan lebih efektif. Agitasi dapat mempengaruhi intensitas kontak antara organisme dan substrat lebih baik dibanding tanpa agitasi. Selanjutnya dikatakan bahwa, pengadukan dimaksudkan agar kontak antara limbah segar dan bakteri perombak yang aktif lebih baik, dan menghindari
51
padatan terbang atau mengendap, yang akan mengurangi keefektifan digester dan menimbulkan ‘plugging’ gas dan luaran lumpur, sehingga dapat dikatakan bahwa pengadukan atau agitasi 100 rpm dapat meningkatkan produksi biogas (Barford dan Cail 1983) 4) Pengaruh peningkatan suhu Pengaruh peningkatan suhu substrat dapat mempercepat proses perombakan, sehingga dapat meningkatkan produksi biogas, yang dapat dilihat pada Gambar 7. dan Tabel 7.
Laju produks biogas (L/kg COD/hari)
0.35
Suhu 40°C
0.3 0.25
Suhu 30°C
0.2 0.15 0.1 0.05 0 0
2
4
6
8
10
12
Waktu fermentasi (minggu ke....) Suhu 30°C
Suhu 40°C
Gambar 7. Interaksi peningkatan suhu dan waktu fermentasi terhadap produksi biogas Tabel 7. Pengaruh suhu substrat terhadap produksi biogas Suhu substrat Produksi biogas (L) o Suhu substrst 30 C 55 o Suhu substrst 40 C 68,5 Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa poduksi biogas meningkat pada suhu substrat lebih tinggi (40oC), sedang suhu lebih rendah (30oC) dihasilkan biogas relatif lebih rendah, masing–masing sebesar 68 L dan 55 L (Tabel 7). Hasil tersebut menunjukkan bahwa suhu substrat berpengaruh meningkatkan produksi biogas. Suhu tinggi dapat memacu perombakan secara kimiawi, perombakan yang cepat akan dimanfaatkan oleh bakteri metanogenik untuk menghasilkan gas metana. Perombakan senyawa kompleks menjadi senyawa lebih sederhana memudahkan bakteri metanogenik membentuk biogas (Metcalf dan Eddy 2003, NAS 1981, Bitton 1999 dan Wellinger 1999). Temperatur air limbah yang hangat dapat meningkatkan
52
reaksi biokimia pada kolam anaerob, dimana bahan organik dirombak menjadi biogas pada kisaran temperatur hangat (mesofilik) antara 30 dan 38 oC. Secara rinci faktor abiotik yang menghasilkan biogas tertinggi adalah pH netral yaitu 6,9 – 7,3, temperatur 30 – 38 oC (Metcalf dan Eddy 2003). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa faktor waktu fermentasi dengan interval 2 minggu berpengaruh terhadap parameter yang diukur salah satunya adalah laju produksi biogas. Hal tersebut dapat dijelaskan karena proses perombakan anaerob berjalan empat tahap oleh kelompok masing-masing organisme konsorsium (Werner et al. 1989). Setiap tahap proses perombakan membutuhkan waktu cukup, sehingga pengaruh faktor waktu fermentasi terhadap substrat dalam kondisi anaerob memberikan hasil yang berbeda pada produksi biogas, semakin lama proses fermentasi semakin meningkat produksi biogas.
3.3.1. Pengaruh faktor biotik terhadap efisiensi pengurangan bahan organik Pengaruh jenis dan konsentrasi inokulum terhadap efisiensi pengurangan bahan organik, dengan mengukur parameter COD, BOD, TS dan SS dapat dilihat pada Gambar 9 – 12. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa faktor biotik yang memberikan pengaruh terbaik untuk efisiensi pengurangan bahan organik COD, BOD, TS dan SS adalah jenis dan konsentrasi inokulum dari lumpur LCPMKS PT Pinago Utama kolam II-B, 20% (LKLM II-20%), dan rerata efisiensi pengurangan bahan organik dari parameter COD, BOD, SS dan TS masing-masing adalah 88%, 68%, 64,4% dan 61,6%. Hasil efisiensi pengurangan bahan organik pada pengolahan LCPMKS sistem curah skala laboratorium antara 62-88%. Efisiensi penurunan bahan organik terendah pada TS dan tertinggi COD (Gambar 8 – 11).
53
Efisiensi pengurangan COD (%)
100 80 60 40 20 0 2
4
6
8
10
12
Waktu fermentasi (minggu ke ....) KTS-10%
LKLM 1-10%
LKLM2-20%
Kontrol
LKLM 2-10%
LKLM1-20%
Efisiensi pengurangan BOD (%)
Gambar 8. Pengaruh jenis dan konsentrasi inokulum terhadap efisiensi pengurungan COD 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 2
4
6
8
10
12
Waktu fermentasi (minggu ke....) KTS-10%
LKLM 1-10%
LKLM2-20%
Kontrol
LKLM 2-10%
LKLM1-20%
Gambar 9. Pengaruh jenis dan konsentrasi inokulum terhadap efisiensi pengurungan BOD
Efisiensi penguragan SS (%)
54
100 80 60 40 20 0 2
4 6 8 10 12 Waktu fermentasi (Minggu ke ....)
KTS-10%
LKLM 1-10%
LKLM 2-10%
LKLM1-20%
LKLM2-20%
Kontrol
Efisiensi pengurangan TS (%)
Gambar 10. Pengaruh jenis dan konsentrasi inokulum terhadap efisiensi pengurungan SS 100 80 60 40 20 0 2
4
6
8
10
12
Waktu fermentasi (minggu ke...) KTS-10%
LKLM 1-10%
LKLM 2-10%
LKLM1-20%
LKLM2-20%
Kontrol
Gambar 11. Pengaruh jenis dan konsentrasi inokulum terhadap efisiensi pengurungan TS Efisiensi pengurangan bahan organik COD meningkat sampai waku fermentasi 8 minggu, dan 10 minggu menunjukkan penurunan hingga akhir pengamatan 12 minggu. Rerata efisiensi pengurangan bahan organik COD sebesar 88%, paling tinggi dibanding parameter lain (Gambar 9).
Efisiensi
pengurangan bahan organik BOD menunjukkan peningkatan sampai pada waku fermentasi 8 minggu, dan 10 minggu menunjukkan penurunan hingga akhir pengamatan 12 minggu. Rerata efisiensi pengurangan bahan organik BOD
55
sebesar 74,8% (Gambar 10) Efisiensi penurunan bahan organik SS menunjukkan peningkatan hingga 8 minggu, dan menurun 10 minggu hingga akhir pengamatan yaitu 12 minggu. Rerata efisiensi penurunannya 62%, lebih rendah dibanding COD dan BOD (Gambar 11). Efisiensi pengurangan bahan organik TS berbeda degan COD, BOD dan SS. Efisiensi pengurangan TS meningkat seiring dengan waktu fermentasi hingga 12 minggu, namun rerata efisiensi penurunannya relatif rendah dibanding dengan parameter lain yaitu
61%, kondisi ini mungkin disebabkan TS merupakan
padatan tersuspensi, tersusun dari lignoselulosa, yang sulit dirombak, sehingga nilai perombakannya relatif rendah. Hasil analisis diatas menunjukkan bahwa pengaruh jenis inokulum dan konsentrasi terhadap efisiensi pengurangan bahan organik pada masing-masing parameter berbeda, namun pengaruh terbaik adalah lumpur LCPMKS kolam II, konsentrasi 20% (LKLM II-20%). Proses perombakan anaerob tertutup, sebagai hasil aktifitas mikroba yang hidup aktif dalam substrat, dan berbagai macam mikroba yang berperan dalam perombakan anaerob, oleh karenanya peran inokulum sangat penting didalam perombakan anaerob. Tobing et al. (1990) menyatakan bahwa efisiensi perombakan TS paling rendah dibanding parameter lain sebesar 53,7%, demikian pula hasil penelitian yang dilakukan, efisiensi pengurangan bahan organik paling rendah TS sebesar 61%, mungkin disebabkan TS tersusun oleh lignoselulose, sehingga relatif sulit proses perombakannya, sedang efisiensi pengurangan COD tinggi, mungkin karena perombakan secara kimia yang tergantung dari faktor lingkungan diantaranya pH, dan suhu (Metcalf dan Eddy 2003, NAS 1981, Bitton 1999). Faktor jenis dan konsentrasi inokulum sangat penting, karena proses perombakan anaerob tertutup yang peran utamanya adalah mikroba sebagai inokulum. Reith et al. (2003) menyatakan bahwa proses perombakan anaerob terjadi beberapa tahapan, dimana masing-masing tahapan diperankan oleh mikroba spesifik, sehingga faktor jenis dan konsentrasi inokulum, serta faktor lingkungan sangat penting dalam proses perombakan. Hal tersebut terlihat adanya penurunan efisiensi dari semua parameter pada waktu fermentasi 8–12 minggu, terkecuali TS. Hal tersebut mungkin aktifitas mikroba untuk perombak total
56
padatan (TS) yang umumnya banyak mengandung lignin sulit dalam melakukan penguraian, sehingga lambat dan memerlukan waktu yang relatif lama dibanding perombakan parameter lain. Dengan demikian efisiensi pengurangan bahan organik TS tetap menunjukkan peningkatan efisiensi hingga waktu pengamatan fermentasi 12 minggu. 3.3.2.Pengaruh faktor abiotik terhadap efisiensi pengurangan bahan organik Pengaruh faktor abiotik terhadap efisiensi pengurangan COD, BOD, TS dan SS terdiri dari faktor kimiawi yaitu penambahan bahan penetral pH dan pH substrat awal, faktor mekanik adalah agitasi dan faktor fisik suhu yang diurai sebagai berikut : 1). Penambahan bahan NaOH dan Ca(OH)2 Pengaruh penambahan bahan penietral pH terhadap efisiensi pengurangan COD, BOD, TS dan SS dapat dilihat pada Gambar (12 – 15)
Efisiensi penguranga TS (%)
70 60 50 40 30 20 10 0 2
4
6
8
10
12
Waktu fermentasi (minggu ke... ) NaOH
Ca(OH)2
Gambar 12. Pengaruh NaOH dan Ca(OH)2 terhadap efisiensi pengurangan TS
Efisiensi penguranga SS (%)
57 100 80 60 40 20 0 2
4
6
8
10
12
Waktu fermentasi (minggu ke ....) NaOH
Ca(OH)2
Gambar 13. Pengaruh NaOH dan Ca(OH)2 terhadap efisiensi pengurangan SS Efisiensi penuruna COD (%)
100 80 60 40 20 0 2
4
6
8
10
12
Waktu fermentasi (minggu ke ....) NaOH
Ca(OH)2
Efisiensi penguranga BOD (%)
Gambar 14.Pengaruh NaOH dan Ca(OH)2 terhadap efisiensi penguranganCOD 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 2
4
6
8
10
12
Waktu fermentasi (minggu ke ....) NaOH
Ca(OH)2
Gambar 15. Pengaruh NaOH dan Ca(OH)2 terhadap efisiensi penguranganBOD
58
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa penambahan NaOH dan Ca (OH)2 memberikan pengaruh yang berbeda terhadap efisiensi penurunan bahan organik baik pada COD, BOD, TS dan SS. Kedua bahan tersebut berpengaruh meningkatkan dari waktu kewaktu fermentasi, namun pengaruh Ca(OH)2 memberikan hasil yang lebih baik dibanding dengan NaOH. Kondisi tersebut mungkin disebabkan Ca(OH)2 berfungsi sebagai peningkatan pH, yang dapat membantu proses pembusukan, sehingga bahan tersebut dapat mendukung proses perombakan. Sedang NaOH juga mampu meningkatkan efisiensi pengurangan bagan oraganik eiring dengan penambahan waktu fermentasi, namun nilai efisiensi lebih rendah dibanding Ca(OH)2. Hal tersebut mungkin karena NaOH jika bertemu dengan minyak terjadi proses penyabunan, dan umumnya NaOH diguakan sebagai campuran pembuatan sabun. Achmad et al. .(2003) menyatakan bahwa NaOH yang bertemu dengan minyak akan mengalami proses penyabuan, menghasilkan gliserol dan asam lemak. Dengan demikian penambahan NaOH untuk peningkatan pH kurang efektif dan dapat menghambat proses perombakan. Pengaruh kedua bahan tersebut terhadap efisiensi penurunan bahan organik pada semua parameter relatif sama. 2) Pengaruh pH substrat awal terhadap pengurangan bahan bahan organik Pengaruh pH menunjukkan bahwa pH substrat awal 7 memberi pengaruh terbaik dalam perombakan, dibanding dengan pH substrat lain, baik pada COD,
Efisiensi penuruna COD (%)
BOD, SS dan TS, hasil tersebut dapat dilihat pada Gambar 16 -19 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 2
4
6
8
10
12
Waktu fermentasi (minggu ke .....)
pH 4,4
pH 5,5
pH 7
Gambar 16. Pengaruh pH substrat awal terhadap efisiensi pengurangan COD
59
Efisiensi penguranga BOD (%)
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 2
4
6
8
10
12
Waktu fermentasi (mnggu ke ...) pH 4,4 pH 5,5 pH 7
Efisiensi penguranga TS (%)
Gambar 17. Pengaruh pH substrat awal terhadap efisieni pengurangan BOD 60 50 40 30 20 10 0 2
4
6
8
10
12
Waktu fermentasi (minggu ke ...) pH 4,4
pH 5,5
pH 7
Efisiensi penguranga SS (%)
Gambar 18. Pengaruh pH substrat awal terhadap efisiensi pengurangan TS 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
2
4 6 8 10 12 Waktu fermentasi (minggu ke ....) pH 4,4
pH 5,5
pH 7
Gambar 19. Pengaruh pH substrat awal terhadap efisiensi pengurangan SS
60
Hasil tersebut juga menunjukkan bahwa pH 7 memberikan proses perombakan lebih efisien dibanding pH lain dan nilai efisiensi meningkat seiring dengan meningkatnya waktu fermentasi . Hal tersebut dapat dipahami karena pH netral dapat mempercepat proses pembusukan, sehingga proses perombakan akan lebih cepat. Tobing dan Poeloengan (2003) menyatakan bahwa perombakan LCPMKS secara biologis dalam lingkungan anaerob akan lebih efisien pada pH 7 -7,5, selanjutnya dikatakan bahwa pH optimal untuk proses perombakan limbah organik adalah 6,5-8 (Loebis dan Darnoko 1992). Tobing dan Naibaho (1991) menyatakan pengurangan bahan pencemar BOD, dan COD > 90% dengan pH 8,2. Dari pernyataan tersebut menunjukkan bahwa peran pH sangat peka terhadap proses perombakan. 3). Pengaruh agitasi terhadap proses perombakan Perlakuan agitasi berbengaruh terhadap proses perombakan COD, BOD, TS dan SS. Pengaruh pelakuan tersebut terlihat dari waktu ke waktu fermentasi, namun agitasi memberikan pengaruh terhadap efisiensi penurunan bahan organik lebih baik dibanding tanpa agitasi, pada semua parameter terukur (Gambar 20– 23) Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa agitasi atau pengadukan berpengaruh lebih baik pada efisiensi perombakan, dibanding dengan tanpa agitasi. Fenomena tersebut terjadi pada semua parameter terukur (21–24). Nampak bahwa peran agitasi sangat kuat untuk proses perombakan dan pengurangan bahan pencemar. Hal tersebut dapat dipahami karena perombakan anaerob merupakan proses biofermentasi, sedang pengadukan berfungsi untuk homoginitas substrat agar kontak mikroba dengan substrat langsung sehingga berdampak lebih baik. Sahirman (1994) menyatakan bahwa pengaturan pH awal dan pengadukan kontinyu 100 rpm pada suhu kamar, sangat berpengaruh terhadap pengurangan bahan pencemar dan peningkatan produksi biogas, karena intensias kontak antara mikroorgnisme dan substrat jauh lebih baik, dan menghindari akumulasi padatan terbang atau pengendapan yang akan mengurangi keefektifan digester dan menimbulkan plugging gas dan lumpur.
Efisiensi penguranga SS (%)
61
100 80 60 40 20 0 2
4
6
8
10
12
Waktu fermentasi (minggu ke ...) agitasi tanpa
Gambar 20. Pengaruh agitasi terhadap efisiensi pengurangan SS Efisiensi penguranga TS (%)
60 50 40 30 20 10 0 2
4
6
8
10
12
Waktu fermentasi (minggu ke ....) agitasi
tanpa
Efisiensi penguranga BOD (%)
Gambar 21. Pengaruh agitasi terhadap efisiensi pengurangan TS 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 2
4
6
8
10
12
Waktu fermentasi (minggu ke ...) agitasi tanpa
Gambar 22. Pengaruh agitasi terhadap efisiensi pengurangan BOD
Efisiensi penguranga COD (%)
62
100 80 60 40 20 0 2
4
6
8
10
12
Waktu fermentasi (minggu ke ......) agitasi
tanpa
Gambar 23. Pengaruh agitasi terhadap efisiensi pengurangan COD
4). Pengaruh peningkatan suhu Pengaruh peningkatan suhu dapat memacu peningkatan perombakan substrat, terlihat nilai efisiensi pengurangan bahan organik meningkat seiring dengan peningkatan suhu, baik pada COD, BOD, SS dan TS. Hasil dapat dilihat
Efisiensi penguranga TS (%)
pada Gambar (24-27) 70 60 50 40 30 20 10 0 2
4
6
8
10
12
Waktu fermentasi (minggu ke ...) Suhu 30°C
Suhu 40°C
Gambar 24. Pengaruh suhu terhadap efisiensi perombakan SS
Efisiensi pengurangan SS (%)
63
100 80 60 40 20 0 2
4
6
8
10
12
Waktu fermentasi (minggu ke ....) suhu 30°C
Suh 40°C
Efisiensi pengranga BOD (%)
Gambar 25. Pengaruh suhu terhadap efisiensi perombakan TS 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 2
4
6
8
10
12
Waktu fermentasi (minggu ke ....) Suhu 30° C
Suhu 40°C
Efisiensi penguranga COD (%)
Gambar 26. Pengaruh suhu terhadap efisiensi perombakan BOD 100 80 60 40 20 0 2
4
6
8
10
12
Waktu fermentasi (minggu ke.....) Suhu 30°C
Suhu 40°C
Gambar 27. Pengaruh suhu terhadap efisiensi perombakan COD
64
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa peningkatan suhu substrat, berpengaruh terhadap peningkatan efisiensi pengurangan bahan organik, dan suhu substrat 40oC lebih baik dibanding dengan suhu 30oC, baik pada TS, SS, BOD dan COD. Fenomena tersebut dapat dipahami, karena temperatur tinggi dapat memacu proses reaksi perombakan dalam sistem anaerob, sehingga dapat meningkatkan efisiensi pengurangan bahan organik pada parameter terukur. Yuliasari et al. (2001) menyatakan bahwa suhu optimal untuk perombakan dalam sistem anaerob antara 35 - 40oC. Metcalf dan Eddy (2003) menyatakan bahwa suhu merupakan faktor penting mempengaruhi aktifitas mikroorganisme, dan suhu optimal proses biofermentasi dibedakan menjadi tiga macam yaitu suhu termofil 40-60 oC proses perombakan cepat dan produksi tinggi, suhu mesofil
27-40 oC, proses perombakan lebih lambat, dan suhu
kryofilik 5-25 oC, proses perombakan berjalan lambat, kondisi mesofilik 3040oC, perombakan berlangsung cukup baik dan terjadi percepatan proses perombakan dengan kenaikan suhu, serta kondisi termofilik, 45-65 oC untuk bakteri termofil dengan perombakan optimal pada 55 oC (NAS 1981, Bitton 1999). 4. Kesimpulan Hasil yang diperoleh dan diuraikan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. LCPMKS PT Pinago Utama bersifat koloida, kental, coklat, atau keabu-abuan dan mempunyai rerata kandungan COD 49,0-63,6; BOD 23,5-29,3; TS 26,5-45,4 dan SS 17,1-35,9 g.l-1. berpotensi mencemari lingkungan 2. Kombinasi jenis dan konsentrasi inokulum terbaik untuk laju produksi biogas, dan total produksi biogas pada LCPMKS 15 L sistem curah skala laboratorium, adalah jenis lumpur LCPMKS kolam II, konsentrasi 20% (LKLM II-20%). LKLM II-20% memberikan pengaruh terbaik dalam peningkatan laju produksi biogas. Juga menghasilkan total produksi biogas tertinggi sebanyak 121 L. Faktor
65
abiotik yang dapat meningkatkan laju produksi biogas dan total produksi biogas adalah penambahan bahan penetral pH Ca(OH)2, pH awal substrat 7, agitasi, dan total produksi biogas yang dihasilkan masing-masing sebesar 55 L. Peningkatan suhu substrat 40o0C menghasilkan biogas sebesar 68,5 L. 3. Faktor biotik LKLM II-20% menghasilkan nilai efisiensi pengurangan bahan organik tertinggi, baik pada COD, BOD, SS dan TS dengan rerata nilai efisiensi penurunannya masing-masing 88%, 74,8%, 62% dan 61%. Sedang pengaruh faktor abiotik yang memberikan hasil perombakan terbaik pada semua parameter adalah penambahan Ca(OH)2, pH substrat awal 7, agitasi, dan peningkatan suhu substrat 40oC.
BAB IV PENGUKURAN EMISI GAS METAN DARI KOLAM LIMBAH CAIR PABRIK KELAPA SAWIT Abstrak Pabrik kelapa sawit di Indonesia berjumlah 320 unit dan menghasilkan LCPMKS > 40 juta m3/tahun. Satu pabrik dengan kapasitas pengolahan 60 ton TBS/jam akan menghasilkan LCPMKS 700 m3/hari. Pengelolaan limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPMKS) di Indonesia umumnya secara konvensional menggunakan beberapa kolam terbuka. Sistem tersebut mudah dan tidak memerlukan teknologi tinggi namun kurang efisien, sehingga memerlukan lahan sangat luas, cepat mengalami pendangkalan, biaya pemeliharaan mahal, emisi gas metan meningkatkan pencemaran udara, penyebab pemanasan global. Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengamati perubahan parameter limbah sesuai kondisi kolam dan sistem pengelolaan LCPMKS 2) mengukur emisi gas metan dari kolam limbah, 3) optimasi penjerapan (scrubbing) CO2 dan H2O untuk pemurnian biogas, 4) uji coba pemanfaatan pengelolaan LCPMKS terdiri dari tiga kolam fakultatif anaerob dan tiga kolam aerob. Parameter kualitas limbah COD, BOD, TS dan SS diamati dalam 10 bulan (September 2006 hingga Juni 2007). Pengolahan limbah secara konvensional dengan sistem kolam menghasilkan kualitas limbah dari kolam terakhir sebelum masuk ke sungai, belum memenuhi baku mutu KLH antara lain, COD, BOD, TS, SS dan VS masing-masing kolam IVI adalah 44,1; 5,5; 7,9; 3,9; 0,9; 0,7; BOD 15,3; 3,0; 3,1; 1,3; 0,4; 0,3; TS 30,0; 10,9; 9,8; 5,2; 5,6; 3, ;5 SS 31,6 7,8, 7,4, 2,1, 2,0, 1,6. Persentase pengurangan COD (%) 100, 87,3; 82,1; 91,2; 79,6; 98,4. BOD 100, 80,4; 79,7; 91,5; 97,4; 98,0 . TS 100,. 80,4; 79,7; 91,5; 97,4; 98,0. SS 100; 75,3; 76,6; 93,4; 93,7; 94,9. VS 100; 81; 85,9; 89,7; 93,5; 94,3. Emisi gas metan pada kolam fakultatif anaerob sebesar 3.555 m3/hari/10.800m2 dengan kadar CH4 1935,6 kg/hari, dan potensi pemanasan global adalah 23.866 ton CO2-e/tahun/kolam. Rerata pengurangan bahan organik > 80% dengan waktu tinggal relatif lama (≥ 10 bulan). Biogas yang dihasilkan dapat dimurnikan dengan Ca(OH)2 dan CaCl2, dan dapat digunakan sebagai pengganti bahan bakar biogas (BBG) jenis lain. Kata kunci : emisi biogas, LCPMKS, sistem konvensional, kolam anaerob
Assessment of biogas emission from anaerobic lagoon of palm oil mill effluent (POME) Abstract Indonesia has 320 units of palm oil mills that generate palm oil mill effluent (POME) > 40 million m3/year. Each of POM with processing capacities of 60 tones of fresh fruit bunches (FFB)/hour will yield 700 m3 POME /day. Operate treatment of POM conventionally uses some lagoons. The system is easy to land area and do not need high technology but less efficient.. At needs wide
67
quickly shallow, expensive maintenance cost, and emitted causes pollution contributing to global warming. The objectives of the research were to 1) monitor the quality of wastewater according to lagoon condition and POME treatment system, 2) measure methane emission from open anaerobic lagoon. 3) optimize scrubbing CO2 and H2O in biogas purification, 4) examine biogas evolved anaerobic lagoon. The findings indicated that pounding system in wastewater were treatment of palm oil mill generated environmental pollutants potentials. The quality of COD, BOD, TS and SS of wastewater were monitored with in 10 months (September 2005 until June 2006). POME treatment both anaerobic and aerobic lagoons in conventional system resulted in wastewater that do not to meet the quality standard of freshwater, i.e., parameters of COD, BOD, TS, and SS lagoon I- VI: COD 44,1; 5,5; 7,9; 3,9; 0,9; 0,7; BOD 15,3; 3,0; 3,1; 1,3; 0,4; 0,3; TS 30,0; 10,9; 9,8; 5,2; 5,6; 3, ;5 and SS 31,6 7,8, 7,4, 2,1, 2,0, 1,6 respectively. Emission of methane from facultative anaerobic lagoon was 3.555 3 m /day/lagoon with consentration CH4 1935,6 kg/day, and global warming potential equivalent to 23.866 ton.CO2-e/year/lagoon. Average of removal organics efficiency, was 80% or higher and hydrolytic retention was longer than 10 months. Efficiency of the removals (%) COD (%) were 100, 87,3; 82,1; 91,2; 79,6; 98,4. BOD were 100, 80,4; 79,7; 91,5; 97,4; 98,0 . TS were 100,. 80,4; 79,7; 91,5; 97,4; 98,0. SS were 100; 75,3; 76,6; 93,4; 93,7; 94,9. VS were 100; 81; 85,9; 89,7; 93,5; 94,3. The quality of emitted biogas can be purificated with Ca(OH)2, and asuitable to be usea as asubstitute of other gas fuel. Key word : biogas emission, POME, open anaerobic pond, ponding system
1. Pendahuluan Indonesia memiliki persediaan biomasa melimpah dari aktifitas fotosintetik sepanjang tahun, diperkirakan lebih dari 50 juta ton biomasa dan terus meningkat seiring meningkatnya kebutuhan minyak kelapa sawit dunia. Limbah cair pabrik minyak kelapa sawit (LCPMKS) belum dimanfaatkan secara optimal dan komersial oleh industri. LCPMKS merupakan limbah terbesar dihasilkan dari proses ekstraksi minyak kelapa sawit. Setiap ton tandan buah segar (TBS) kelapa sawit diperkirakan dihasilkan LCPMKS berkisar antara 0,5 – 0,7 ton (Hassan et al. 2004). Sifat kimiawi yang beragam sepanjang tahun disebabkan oleh kegiatan pabrik dan musim panenan (Yacob et al. 2005a). Kendala nyata dalam proses perombakan anaerob LCPMKS adalah prosedur awal yang memakan waktu dan belum tentu menghasilkan sesuatu yang
68
diharapkan. Masalah tersebut teridentifikasi karena tidak ada konsistensi maupun kemantapan populasi mikroba untuk perombakan (Yacob et al. 2005b). Hassan et al. (2004) menyatakan bahwa limbah dengan nilai rerata BOD 25 g/L dan COD 50 g/L mencemari lingkungan. Ma et al. (1999), Quah dan Gillies (1984) menyatakan bahwa produk akhir perombakan anaerob LCPMKS terutama gas metan dan CO2 dalam perbandingan 65:35, dikenal dengan GRK, dan perkiraan emisi gas metan sebesar 28 m3 setiap ton LCPMKS. Akan tetapi emisi metan dapat saja berubah karena variasi kegiatan pengelolaan LCPMKS. Shirai et al. (2003) dan Yakob et al. (2005a) menyatakan komposisi metan hasil pengolahan LCPMKS secara anaerob antara 35-54%, lebih kecil dibanding nilai yang dilaporkan sebelumnya. Berbagai macam kelemahan dalam pengolahan LCPMKS secara konvensional, menghendaki banyak upaya pengembangan pengolahan LCPMKS. Pengolahan LCPMKS menggunakan teknologi perombakan anaerob telah banyak dilakukan dengan berbagai macam tipe. Faisal dan Unmo (2001) mengolah LCPMKS menggunakan bioreaktor anaerob buffled dengan laju pengumpanan meningkat. Borja dan Banks (1995) menggunakan reaktor anaerob filter, dan Mustapha et al. (2003) menggunakan anaerob fluidized bed Anaerob upflow thermofilik. Najafpour et al. (2005) menyatakan kontaktor rotasi biologik mampu meningkatkan efisiensi reduksi pencemar dan produksi metan. Hasil percobaan pengolahan LCPMKS dengan berbagai macam modifikasi sistem anaerob tertutup, menunjukkan lebih baik dibanding sistem konvensional, namun penerapannya sangat kurang. Di Thailand, penutupan kolam anaerob pada pengolahan limbah cair sistem konvensional telah dilakukan, akan tetapi belum tersedia informasi teknologi biogas yang layak dan ekonomis, serta kesadaran penerapan teknologi ramah lingkungan masih kurang (Paepatung 2006). Biogas hasil perombakan anaerob limbah organik terutama tersusun atas metana, CO2, hidorogen dan amonia. Beberapa senyawa tersebut sebagai pengotor, sehingga harus dihilangkan, karena dapat menyebabkan korosi, endapan dan beban peralatan (Kottner 2002). Pokja G25 Masyrakat Eropa (2004) menyatakan untuk menghilangkan kotoran alam biogas dapat dilakukan dengan berbagi proses, dengan tujuan agar
69
biogas efektif sebagai bahan bakar dengan konsentrasi metana meningkat. Hal ini dapat
dilakukan
terutama
dengan
menghilangkan
karbondioksida,
dan
meningkatkan nilai energi gas melalui perbaikan sistem penyimpanan volume gas sehingga pemanfaatannya lebih lama. Kapdi et al.
(2005) menyatakan
menghilangkan karbondioksida memberi kualitas biogas konstan termasuk nilai energi. Ada beberapa metode berbeda secara komersil untuk menghilangkan CO2, untuk mencapai baku mutu bahan bakar kualitas biogas diantaranya adalah proses perombakan dan proses peningkatan kualitas (upgrading) biogas hasil perombakan.
1.1. Tujuan : 1. Mengamati perubahan parameter dan memantau kualitas LCPMKS 2. Mengukur emisi gas metan kolam LCPMKS 3. Optimasi penjerapan (scrubbing) CO2 dan H2O biogas LCPMKS 4. Ujicoba biogas dari LCPMKS secara kualitatif
1.2. Luaran penelitian 1. Mengetahui kondisi awal setiap kolam LCPMKS sistem konvensional 2. Mengetahui laju emisi gas metan LCPMKS sistem konvensional 3. Diperoleh metode dan bahan penjerap untuk pemurnian biogas 4. Memperoleh produksi energi terbarukan 2. Metode Penelitian Penelitian dilakukan di pabrik minyak kelapa sawit (PMKS) PT Pinago Utama, Kecamatan Babatoman Kabupaten Musi Banyuasin (MuBa), lebih kurang 195 km sebelah barat daya Palembang dalam Propinsi Sumatera Selatan. Penelitian dilakukan di kolam pengelolaan LCPMKS, yang terdiri dari 6 kolam. Pengukuran emisi gas metan pada kolam anaerob II-B (fakultatif anaerob) dengan luas 10.800 m2, dan pemantauan kualitas limbah dilakukan selama 10 bulan dari bulan September 2005 – Juni 2006.
70
2.1. Bahan dan alat Alat dan bahan yang digunakan untuk mengamati perubahan parameter dan sistem pengolahan LCPMKS antara lain, air dan lumpur LCPMKS, termometer, pH elektrik, alat pengambil lumpur (dredge sampler), dan pengamatan visual diantaranya gelembung gas. Pengukuran emisi gas metan digunakan kolam II B (fakultatif anaerob) dengan luas permukaan 10.800 m2. Alat yang digunakan plastik impermiabel kedap udara 0,5 cm untuk membuat sungkup ukuran 6 x 4 x 1m2, kawat, scrubber, kompresor dual fuel tekanan 8 bar, tabung penyimpan biogas bekapasitas 8 liter, gas flowmeter, kantong plastik berukuran 5 m3. Penjerapan atau pemurnian biogas dari LCPMKS digunakan NaOH, CaO, Ethylglikol, Ca(OH)2, CaCl2,. Ujicoba biogas menggunakan kompor gas, dan tungku untuk sterilisasi media jamur (beglog). 2.2. Percobaan dilakukan antara lain : 1. Mengamati perubahan parameter dan memantau kualitas LCPMKS 2. Mengukur emisi gas metan dari kolam anaerob terbuka 3. Optimasi penjerapan (scrubbing) CO2 dan H2O biogas 4. Ujicoba biogas dari LCPMKS secara kualitatif 1) Mengamati perubahan parameter dan memantau kualitas LCPMKS Mengamati perubahan parameter dilakukan untuk evaluasi pendahuluan dengan mengukur pH, suhu air limbah, dan lumpur LCPMKS, serta pengamatan secara visual. Lumpur diambil dengan alat pengambil lumpur, selanjutnya dilakukan pengukuran pH, suhu, baik limbah maupun lumpur. Pengamatan secara visual dilihat dari warna limbah dan gelembung gas di permukaan kolam. Memantau kualitas kolam LCPMKS selama 10 bulan, dan parameter yang diukur adalah COD, BOD, TS, SS, dianalisis nilai efisiensi pengurangan bahan organik menggunakan metode baku (Greenberg et al. 1992). 2) Pengukuran emisi gas metan dari kolam anaerob terbuka Pengukuran emisi gas metan menggunakan sungkup palstik kedap udara, yang diletakkan di permukaan kolam. Ditentukan 6 titik secara purpossive sampling, dengan jarak antar titik sampling 45 m dari tepi outlet maupun inlet,
71
dan jarak 7 m dari tepi, maupun tengah kolam (Gambar 40). Pengukuran pada keseluruhan titik sampling dilakukan selama lebih kurang 30 hari. Biogas yang dihasilkan ditampung menggunakan kantong plastik dengan volume 5 m3, yang diletakkan paling dekat dengan sungkup, didorong dengan kompresor (Gambar 41). Laju alir biogas dicatat menggunakan gasflow meter (Osaka 14068, Shinagawa Seiki, Co). Pengukuran produksi biogas secara kuantitatif menggunakan kompresor dan gasflow meter (3-5 m3/jam). Perhitungan potensi pemanasan global (CO2-e) (Suzuki et al. 2003), sedang pegukuran kualitatif menggunakan kompor gas berbahan bakar biogas LCPMKS 3) Optimasi penjerapan (scrubbing) CO2 dan H2O biogas Optimasi penjerapan untuk peningkatan kualitas atau pemurnian biogas LCPMKS dilakukan dengan penambahan NaOH, CaO, Ethylglikol, Ca(OH)2, CaCl2, yang berfungsi sebagai skraber. Sampel diambil dari sungkup, dimasukkan dalam botol gelas ukuran 5 ml, sedang sampel lain diambil dari biogas yang telah diskaber. Sampel dianalisis di laboratorium Ilmu Tanah IPB menggunakan metode Gas Chromatografi (GC). 4) Uji coba biogas dari LCPMKS secara kualitatif Biogas yang dihasilkan dari kolam percobaan, diuji secara kualitatif sebagai bahan bakar alternatif pengganti BBM, setelah biogas dimampatkan menggunakan kompresor kedalam tabung berkapasitas 600 L, bertekanan 8 bar. Tabung yang berisi biogas dari LCPMKS akan diuji secara kualitatif menggunakan kompor gas atau keperluan lain.
72
3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Mengamati perubahan parameter dan memantau kualitas LCPMKS 3.1.1. Sistem pengelolaan air limbah 0
VI I.5
I.4
I.3
I.2
I.1
V
II-B
II-A IV
III
Keterangan: a. Nomor 0 – VI berturut-turut: 0) kolam pendinginan ; I) kolam pengendapan; II) kolam anaerob; III-VI) kolam aerob b. dan : lokasi pengambilan lumpur, pengukuran pH dan temperatur c. arah aliran LCPMKS
Gambar 28. Denah lokasi percobaan di areal pengelolaan LCPMKS Perusahaan minyak kelapa sawit (PMKS) swasta dengan kapasitas proses ratarata 50 ton TBS /jam, didirikan sejak 2003 dengan memproses produksi kelapa sawit perkebunan milik sendiri dan perkebunan rakyat areal sekitarnya. Fasilitas pengelolaan LCPMKS sebelum limbah dibuang ke perairan umum menggunakan
73
sistem kolam terbuka (konvensional), seluas 8-10 ha, terdiri dari 12 kolam dengan ukuran dan kondisi pengaturan/pengolahan masing-masing kelompok berbeda serta aliran pembuangan menurut ketinggian permukan (elevasi/gravitasi) tanah (Gambar 28). Pengelolaan LCPMKS menggunakan sistem kolam terbuka, dibedakan ke dalam tiga kelompok. Kelompok kolam primer atau kolam pendinginan dan pengutipan minyak (kolam I), menerima aliran effluent pabrik melalui pipa berdiameter 20 cm sepanjang lebih kurang 500 – 700 m. Kelompok kolam I terdapat lima kolam masing-masing berukuran 28 x 28 x 5-6 m3, yakni kolam I.1- I.5, yang akan mengalir ke kolam II. Kolam II adalah bagian kelompok kolam anaerob sebanyak dua kolam, yakni kolam II-A dan II-B masing-masing berukuran 60 x 180 x 5-6 m3. Pada kolam anaerob II-A, memperoleh aliran buangan limbah cair dari kolam I.1 dan I.2. Sedang kolam II-B dari kolam I.3. dan I.4. Kelompok kolam aerob terdiri tiga kolam cukup besar yaitu Kolam III, IV dan V dengan kapasitas masing-masing kolam 55 x 135 x 5-6 m3, sedangkan kolam V telah dilengkapi kincir penyampur (aerator) 15 PK. Kolam VI telah penuh dengan timbunan tandan kosong kelapa sawit (TKKS) dan lama tidak difungsikan. Lokasi penelitian base line study menggunakan kolam II-B. 3.1.2. Mengamati perubahan parameter dan memantau kualitas LCPMKS Fasilitas kolam dibuat sejak 2003, sampai dengan penelitian dilakukan telah berjalan lebih 2 tahun. Pertumbuhan proses produksi minyak kelapa sawit yang pesat, mempercepat pertambahan produk samping LCPMKS, dan mempersyaratkan peningkatan sistem pengelolaan yang lebih memadai. Mengamati perubahan parameter secara Penaksiran cepat sebagai evaluasi pendahuluan penting dilakukan, untuk melihat kondisi setiap kolam dengan beberapa parameter kualitas air antara lain suhu, pH air dan lumpur, secara visual warna limbah dan terbentuknya gelembung gas (emisi gas metan). Hasil evaluasi pendahuluan dengan berbagai parameter ditabulasikan pada Tabel 8. Kelompok kolam primer atau kolam pendinginan dan pengutipan minyak (kolam I) terdapat lima kolam masing-masing berukuran 28 x 28 x 5-6 m3, yakni kolam I.1, I.2, I.3, I.4 dan I.5 dan kolam tersebut sebagai kolam pendinginan (cooling
74
dan oil recovery) (Gambar 28). Hasil pengukuran kualitas air limbah kolam I, pH dalam kondisi asam, temperatur relatif tinggi antara 36-65oC. Temperatur tertinggi kolam 1.1 mencapat 65-70oC, dan terendah kolam I.5 antara 36-39oC. Kolam I.5 telah lama tidak digunakan karena
buangan dari limbah pabrik (fatpit) tidak
dimasukkan ke dalam kolam tersebut. Selanjutnya masing-masing limbah kolam I.1 dan I.2 dikeluarkan (outlet) mengalir ke kolam II-A, sedangkan kolam I.3 dan I.4 ke kolam II-B (Tabel 8). Tabel 8. Profil awal temperatur dan pH pada berbagai titik pengukuran kolam LCPMKS PT. Pinago Utama No
Kolam I.1 (cooling dan oil
Air Limbah pH 4,5
Lumpur Suhu °C 65-70
pH 5,1
4,5
49-65
5,1
4,5 4,8 5,0 5,0 – 6,2
49-62 49-65 36-39 34,5 - 36
4,9 5,0 5,1 5,0-6,8
6,8-7,7
35-38
7,0-7,2
recovery)
I.2 (cooling dan oil
Keterangan visual Kuning kecoklatan hingga coklat pekat
recovery)
2
I.3 I.4 I.5* II-A (overload)
3
II-B (fakultatif anaerob)
4
III (Aerob)
7,7
35
7,0
5
IV (Aerob)
8,0
30
7,2
Abu-abu kehitaman
6
V (Aerob)
6,6-6,9
30,5-31
7,0 -7,6
Kincir aerator
Scum dipermukaan kolam setebal 2025 cm, berwarna kuning kecoklatan sampai dengan coklat ke-hitaman inlet: kuning-keruh hingga abu-abu, outlet: Abu-abu kehitaman Abu-abu – kehitaman - bening
Kolam II-A dapat dikatakan sebagai kolam dengan beban organik berlebih (overload) meskipun kemungkinan emisi metan relatif sangat kecil, tetapi kandungan asam organik ataupun asam lemak bebas sangat tinggi, juga lapisan minyak kasar tampak pada warna badan kolam kuning kecoklatan, pekat dan membeku pada permukaan dengan ketebalan 20-25 cm pada suhu lingkungan di bawah 26 oC. Hasil pengukuran pH menunjukkan pH asam, dan temperatur air limbah antara 35-38oC. Kolam emisi gas metan (II-B), memperoleh buangan limbah cair dari kolam I.3. dan
75
I.4. Hasil pengukuran yang diperoleh pH netral antara 6,8 – 7,7, dan temperatur antara 35 – 38 oC. Selanjutnya buangan kolam II-A keluar bercampur dengan kolam anaerob II-B kedalam satu parit ukuran 1 m, kedalaman 75 cm, dan sepanjang 100 m, mengalir menurun dengan elevasi 30o masuk kolam III, sebagai bagian dari kelompok kolam aerob. Kelompok kolam aerob terdiri tiga kolam cukup besar yaitu Kolam III, IV, V dan VI dengan kapasitas masing-masing kolam 55 x 135 x 5-6 m3. Kolam V telah dilengkapi kincir agitator/penyampur (aerator) bermesin daya listrik 15 PK. Kolam VI telah penuh dengan timbunan TKKS dan lama tidak difungsikan. Hasil pengukuran pH dan temperatur masing-masing menunjukkan nilai pH berkisar antara 6,8 – 7,3 (netral) dengan suhu antara 29 – 32oC (Tabel 9). Hasil pengukuran pH lumpur menunjukkan bahwa pH kolam I (kolam pendinginan), dan kolam II-A (overload) dari berbagai titik menunjukkan pH asam (< 6). Kolam II-B (facultative anaerob), III, IV dan, V (kolam aerob) dari berbagai titik cenderung mempunyai pH netral (≥ 7). Kondisi kedua kolam (II-A dan II-B) yang berbeda menyumbang potensi organik terlarut pada kolam III, yang pada awalnya digunakan sebagai kolam aerob dengan rerata pH 7,5 dan temperatur 33oC. Kondisi kolam akhirnya berubah menjadi kolam fakultatif anaerob, dan secara visual terlihat gelembung gas metan dan muncul lapisan tebal (skum-skum), diduga mengandung emisi gas metan. Hasil evaluasi pendahuluan dengan mengukur pH, suhu dan pengamatan visual secara cepat dapat diduga bahwa LCPMKS menimbulkan emisi gas metan, yang berdampak negatif yaitu efek rumah kaca. Hasil evaluasi pendahuluan secara umum terhadap kolam pengolahan LCPMKS menunjukkan bahwa perubahan parameter sistem kolam konvensional, belum memadai untuk menanggulangi permasalahan pencemaran yang ditimbulkan. Pertumbuhan proses produksi minyak sawit mentah yang pesat (50-55 ton TBS/jam), diperlukan penambahan luas lahan untuk pengolahan LCPMKS. Kebutuhan penambahan luas lahan pengolahan limbah ini memerlukan areal yang luas, juga terjadi pendangkalan lumpur organik dan efisiensi proses perombakan anaerob menurun. Selain itu luaran (digestat) kolam anaerob masih cukup tinggi,
76
di atas ambang baku mutu yang diperbolehkan. Gas efek rumah kaca yang ditimbulkan oleh emisi gas metan sistem konvensional belum terkendali. Di lain pihak potensi produksi biogas yang dihasilkan dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi alternatif dan diperlukan pengembangan pembangkit biogas kolam anaerob. Hasil evaluasi awal menunjukkan bahwa kolam pengolahan LCPMKS yang ada berpotensi menghasilkan biogas, dapat digunakan sebagai sumber energi alternatif, juga menurunkan beban limbah organik melalui peningkatan pH dari kondisi pH asam. Kolam pendinginan adalah kolam yang menampung limbah langsung dari proses pabrik. Limbah cair maupun lumpur mempunyai pH asam dan suhu tinggi, terkecuali kolam I.5, karena sudah tidak digunakan lagi (tidak dialiri limbah). Kondisi limbah secara visual menunjukkan warna air kuning kecoklatan hingga coklat pekat, yang menunjukkan bahan organik tinggi. Kolam II-A dan II-B adalah kolam anaerob. Kondisi kolan II-A dan II-B berbeda, kolam II-A asam atau pH rendah, sedang kolam II-B lebih tinggi dibanding kolam II-A, demikian pula suhu lebih tinggi dibanding kolam II-A. Secara visual menunjukkan bahwa limbah kolam II-A dan II-B kaya bahan organik, mengandung lumpur aktif, Kolam III – VI kolam aerob, pH lumpur maupun cair bersifat basa, sedang suhu relatif rendah dibanding kolam II. Hasil perombakan kolam III-V, dibuang ke badan air, dan kolam VI digunakan untuk pembuangan TKKS. Hasil evaluasi pendahuluan, kondisi kolam pengolahan LCPMKS dengan sistem konvensional menghasilkan emisi gas metan, yang ditandai dengan adanya gelembung dipermukaan kolam. Yuliasari et al. (2001) menyatakan bahwa pengelolaan limbah di Indonesia lebih dari 70% menggunakan sistem konvensional, yang memberikan kontribusi relatif tinggi untuk emisi gas rumah kaca. Gelembung gas metan dipermukaan kolam secara visual dilihat pada Gambar 29.
77
Gambar 29. Visualisasi emisi gas metan kolam anaerob
3.1.3. Memantau LCPMKS Kolam I –VI Memantau kualitas pengolahan LCPMKS sistem kolam terbuka (sistem konvensional), terdiri dari kolam fakultatif anaerob (kolam I-III), dan kolam aerob (kolam IV-VI) dilakukan selama 10 bulan (2005-2006). Hasil pantauan COD disajikan dalam Gambar 30 – 31, BOD 32-33, TS 34-35, SS 36-7, VS 3839.
COD kolam fakultati anaerob (g/L)
70 60 50 40 30 20 10 0
SEPT OKT NOV DES
JAN
FEB M AR APR M AY JUN
Mmonitoring bulan ke ..(2005-2006)) Kolam I
kolam II
kolam III
Gambar 30. COD LCPMKS kolam fakultatif anaerob (kolam I – III)
78
COD kolam aerob (g/L)
9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 SEPT OKT
NOV DES
JAN
FEB MAR APR MAY JUN
Monitor bulan ke …(2005-2006) kolam IV
kolam V
kolam VI
Gambar 31. COD LCPMKS kolam aerob (kolam IV – VI)
BOD kolam fakultati anaerob (g/L)
25 20 15 10 5 0 SEPT OKT NOV DES
JAN
FEB
MAR APR MAY JUN
Monitoring bulan ke ...(2005-2006) Kolam I
Kolam II
kolam III
BO D kolam aerob (g/L)
Gambar 32. BOD LCPMKS kolam fakultatif anaerob (kolam I – III) 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 SEPT OKT NOV DES JAN FEB MAR APR MAY JUN
Monitoring bulan ke ...(2005-2006) kolam IV
koam V
kolam VI
Gambar 33. BOD LCPMKS kolam aerob (kolam IV – VI)
TS kolam fakultati anaerob (g/L)
79
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 SEPT OKT NOV DES JAN FEB MAR APR MAY JUN
Monitoring bulan ke ... (2005-2006) Kolam I
Kolam II
kolam III
T S k o lam aero b (g /L )
Gambar 34. Total padatan (TS) LCPMKS kolam fakultatif anaerob (kolam I-III)
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
SEPT OKT NOV DES JAN FEB MAR APR MAY JUN
Monitoring bulan ke .... (2005-006) kolam IV
kolam V
kolam VI
Gambar 35. Total padatan (TS) LCPMKS kolam aerob (kolam IV-VI)
SS kolam fakultatif anaerob (g/L )
80
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
SEPT OKT NOV DES JAN FEB MAR APR MAY JUN
Monitoring bulan ke ...(2005-2006) Kolam I
Kolam II
kolam III
Gambar 36. Padatan tersuspensi (SS) LCPMKS kolam fakultatif anaerob( I-III)
4
SS kolam aerob (g/L)
4 3 3 2 2 1 1 0
SEPT OKT NOV DES JAN FEB MAR APR MAY JUN
Monitoring bulan ke ....(2005-2006) kolam IV
koam V
kolam VI
Gambar 37. Padatan tersuspensi (SS) LCPMKS kolam aerob (kolam IV-VI)
81
VS kolam fakultati anaerob (g/L)
60 50 40 30 20 10 0
SEPT
OKT
NOV
DES
JAN
FEB
M AR
APR
M AY
JUN
Monitoring bulan ke ..(2005-2006) Kolam I
Kolam II
kolam III
VS kolam aerob (g/L)
Gambar 38. Padatan volatil (VS) LCPMKS kolam fakultatif anaerob (I-III)
8 7 6 5 4 3 2 1 0 SEPT OKT NOV DES
JAN
FEB
MAR APR MAY JUN
Monitoring bulan ke..(2005-2006) kolam IV
koam V
kolam VI
Gambar 39. Padatan volatil (VS) LCPMKS kolam aerob (IV-VI) Hasil pantau berbagai parameter di atas menunjukkan bahwa baik kualitas limbah masuk (inlet) maupun keluar (outlet), kedua daerah aliran tersebut masih menunjukkan konsentrasi di atas ambang batas kualitas air limbah yang ditetapkan MenKLH no. 35/1995, dengan kata lain luaran limbah tersebut masih perlu ditingkatkan kualitas peruntukannya. Kualitas limbah secara umum dari bulan pengamatan pertama hingga terakhir cenderung tidak mengalami perbaikan. Demikian pula hasil analisis COD pada kolam I LCPMKS rerata sebesar 44,1g/L, sedang limbah yang keluar dari kolam II-B rerata sebesar 5,5 g/L. Hasil pengamatan selama 10 bulan, menunjukkan bahwa rerata kolam anaerob II-B mampu merombak COD LCPMKS sebesar 38,7 kg COD/m3, atau
82
rerata 13,5 ton COD/hari, dengan kapasitas olah 51 ton TBS/jam, menghasilkan limbah cair sekitar 325-350 m3/hari masuk ke kolam II-B. Hasil tersebut menunjukkan bahwa lebih kurang 86% COD berhasil dikurangi sebelum mengalir ke dalam kolam III. Digestat LCPMKS kolam III COD sebesar 2,9-7,7 g/l dan limbah yang keluar dari kolam VI ke badan air sebesar 0,5-1,2 g/l, nilai tersebut di atas ambang baku mutu yang diperbolehkan, demikian pula parameter lain seperti BOD, TS, SS dan VS. Hasil analisis yang diperoleh menunjukkan bahwa parameter BOD, COD, TS, SS dan VS setiap bulan tidak sama atau berfluktuatif, hal tersebut dapat dimengerti, karena pengurangan bahan orgaik bergantung dari berbagai faktor diantaranya, hasil panen, proses produksi minyak, dan kualitas buah. Selain itu juga faktor biotik dan abiotik, yang selanjutnya disebut faktor lingkungan (Yacob et al. 2005b). Pengelolaan LCPMKS secara konvensional, dari pabrik mengalir ke kolam-kolam penampungan yang disebut kolam pendinginan (cooling) dan atau kolam pengutipan (oil recovery). Pengolahan LCPMKS secara biologik dalam kolam anaerob menampung aliran kolam pengendapan, memanfaatkan bakteri anaerob untuk menurunkan konsentrasi BOD, COD, TS, SS, VS dan menetralisir keasaman limbah (H-Kittikun et al. 2000). Parameter COD, BOD, TS, SS dan VS tampak menurun dari kolam anaerob I ke kolam anaerob II, hal tersebut dapat dimengerti karena kolam anaerob I, pH rendah dan kolam 2 pH netral. Kondisi pH netral aktifitas mikroba perombak lebih aktif bila dibandingkan dengan pH rendah, sehingga pengurangan organik setiap parameter diukur rerata cukup besar. Hal tersebut dapat dimengerti bahwa proses perombakan (biofermentasi) LCPMKS dilakukan oleh berbagai jenis mikroorganisme. Dalam proses tersebut berbagai tingkatan, mulai dari hidrolisis dimana protein diubah menjadi asam-asam amino dan karbohidrat menjadi sukrosa dan lemak akan menjadi senyawa lebih sederhana yaitu asam lemak rantai panjang. Proses berlanjut dengan asidogenesis, senyawa yang lebih sederhana di atas akan diubah semua menjadi asam volatil dan alkohol (Reith et al. 2003). Dari proses tersebut dapat dipahami bahwa perombakan akan menurunkan bahan organik dari parameter yang diukur kecuali padatan volatil. Meskipun demikian
83
rerata penurunan bahan organik masih di atas baku mutu yang telah ditetapkan oleh MenKLH (1995), sehingga dapat dinyatakan bahwa pengelolaan LCPMKS sistem konvensional luaran limbah yang mengalir ke badan perairan umum berpotensi sebagai bahan pencemar. Tabel 9. Monitoring rerata nilai COD, BOD, TS, SS dan VS LCPMKS kolam anaerob dan kolam aerob selama 10 bulan Parameter Monitoring kualitas limbah kolam Nilai anaerob dan aerob standar(g/L) Kolam anaerob Kolam aerob
COD BOD TS SS VS
Rerata (g/L) % Rerata (g/L) % Rerata (g/L) % Rerata (g/L) % Rerata (g/L) %
I
II
III
IV
V
VI
44,1 100
5,5 87,3
7,9 82,1
3,9 91,2
0,9 79,6
0,7 98,4
15,3 100
3,0 80,4
3,1 79,7
1,3 91,5
0,4 97,4
0,3 98,0
0,25 0,11 0,25 30,0 100
10,9 63
9,8 67,3
5,2 82,7
5,6 81,3
3,5 88,3
31,6 100
7,8 75,3
7,4 76,6
2,1 93,4
2,0 93,7
1,.6 94,9
26,3 100
5,0 81
3,7 85,9
2,7 89,7
1,7 93,5
1,5 94,3
0,10 0,03
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa dari inlet kolam I dan outlet kolam VI menunjukkan efisiensi pengurangan bahan organik lebih dari 90%, baik pada COD, BOD, SS , VS, terkecuali TS hanya 88,3%. Mungkin karena kandungan
bahan
organik
sangat
tinggi,
sehingga
proses
prombakan
membutuhkan waktu relatif lama. Selain itu dengan proses kombinasi antara anaerob dan aerob juga belum memberikan hasil sesuai dengan baku mutu. Mungkin disebabkan proses perombakan atas jasa mikrobia yang sangat peka terhadap faktor lingkungan, sehingga aktifitasnya kurang stabil. Selain itu mikroba yang berperan heterogen, karena proses perombakan anaerob terjadi beberapa tingkat, dan setiap tingkatan jenis mikroba yang berperan berbeda (Reith et al. 2003). Mungkin juga proses perombakan dalam kolam fakultatif anaerob, aktifitas mikroba belum bekerja secara optimal.
84
3.2. Pengukuran emisi gas metan kolam LCPMKS anaerob II-B Kolam anaerob II-B dengan ukuran 60 m x 180 m dan kedalaman 5,5 m, pH berkisar antara 6,8 - 7,4. Laju pembebanan limbah sebesar ± 2/3 kali total limbah yang keluar dari proses produksi pabrik sebesar 25 m3 per jam. Nilai pH netral merupakan kondisi yang baik untuk pertumbuhan mikroba sehingga berdampak pada produksi biogas. Inlet
1
2
6
3
5
4
Outlet Keterangan : Jarak antar titik sampling dari inlet ke outlet = 45 m (1-6 atau 6-5), titik sampling dari tepi kolam = 5 m. Ukuran kolam panjang 180 m, lebar 60 m.
Gambar 40. Lokasi baseline study emisi gas metan kolam II-B Lokasi enam titik sampling kolam fakultatif anarob ditunjukkan dalam Gambar 4.3. Sungkup plastik yang digunakan untuk menampung produksi biogas ditunjukkan dalam Gambar 4.4. Hasil evaluasi pendahuluan diketahui kolam percobaan (fakultastif anaerob II-B), terdapat emisi gas metan cukup besar. Hasil emisi gas metan kolam percobaan masing-masing titik ditabulasikan pada Tabel 10
85
Tabel 10. Emisi gas metan, pH dan suhu berbagai titik sampling kolam fakultatif anaerob Kandungan pH Suhu Keterangan posisi titik Produksi metan (CH4) Biogas, (%) m3/sungkup 1 10,6 ± 5,3 48,3 7,0 38 Dekat inlet (60 m) 2 9,3 ± 4,6 48,8 7,0 38 Dekat inlet (45 m) 3 8,3 ± 4,8 53,0 7,3 37 90 m dari inlet 4 6,8 ± 3,3 58,3 7,4 36 135 m dari inlet 5 3,6 ± 3,5 57,9 7,3 36 150 m dari inlet 6 8,9 ± 3,8 53,8 7,2 36 110 m dari inlet Rerata 7,9 53,4 7,2 36 Keterangan : Jumlah total biogas 3.555 m3/hari dengan luas 10.800 m2 Titik sampling
Tabel 11. Bahan organik berbagai titik sampling kolam fakultatif anaerob Titik Bahan organik substrat (g/L) sampling COD BOD TS SS 1 5,1 5,9 10,7 10,7 2 5,7 6,1 12,0 10,0 3 4,6 3,8 9,9 6,9 4 2,7 2,4 4,7 4,8 5 2,5 2,6 5,8 5,0 6 4,6 3,6 9,1 6,7 Rerata 4,2 4,1 8,7 7,4
Keterangan posisi titik dari inlet ke outlet Dekat inlet (60 m) Dekat inlet (45 m) 90 m dari inlet 135 m dari inlet 150 m dari inlet 110 m dari inlet
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa total produksi biogas dari enam titik sampel sebanyak 47,5 m3/hari. Produksi biogas tertinggi dari enam titik sampling mencapai 10,6 m3/sungkup/hari, dan terendah adalah 3,3 m3/sungkup/ hari. Sedang rerata produksi biogas kolam II-B dari seluruh titik sampling sebesar 7,9 m3/sungkup/hari. Dengan demikian dapat diasumsikan kolam dengan luas permukaan 10.800 m2 berpotensi produksi biogas sebanyak 3.555 m3/hari, ekivalen 228 ml/m2/menit, ekivalen dengan 7,9 m3/sungkup/hari (Tabel 10). Hasil pengukuran komposisi metan dihasilkan persentase tertinggi pada titik sampling 4 dekat outlet, sedang terendah pada titik sampling 2 dekat inlet. Sebaliknya emisi biogas terbesar diperoleh pada titik sampling 2 sementara emisi biogas terendah pada titik sampling 4 (Tabel 10). Perbedaan komposisi rerata metan pada kedua titik sampling terutama dekat inlet, karena pada daerah aliran masuk banyak asam-asam lemak volatil yang terombak dibanding asam-asam lemak sederhana, terutama asam asetat. Hasil tersebut menunjukkan bahwa
86
kondisi LCPMKS kolam II-B menghasilkan biogas dengan laju emisi 228 ml/menit/m2 dan gas kontaminan lain sebagai gas efek rumah kaca berpotensi mencemari udara, yang menyebabkan meningkatnya suhu udara atmosfer, dan berakibat perubahan iklim global. Hasil pengukuran rerata bahan organik COD, BOD, TS dan SS cukup tinggi, masing-masing 4,2; 4,1; 8,7; 7,4 g/L (Tabel 11)
A
Gambar 41. Penampung emisi gas metan kolam II-B berupa sungkup ukuran 4 m x 6 m x 0,65 m . A. Sungkup menggembung berisi biogas Yacob et al. (2005a) menyatakan bahwa emisi kolam anaerob PMKS Felda Serting Hilir Malaysia, kandungan metan berkisar antara 35-79,0% dan laju alir biogas berkisar antara 0,5 – 2,4 L/m2/menit dan total emisi metan per kolam anaerob dihasilkan 1.043,1 kg/hari. Dari hasil penelitian yang dilakukan ternyata metan yang diemisikan lebih rendah dibanding hasil penelitian Yacob et al. (2005a). Hasil analisis potensi emisi gas metan dengan kadar metan sebesar 1935,6 m3/hari, dan potensi pemanasan global sebesar 23.866 ton CO2-e/tahun, memberikan kontribusi cukup tinggi terhadap potensi pemanasan global (Suzuki et al. 2003). Pada titik sampling 4 dan 5 (Gambar 40, Tabel 9) terdapat emisi gas metan lebih rendah dibanding titik lainnya, hal ini boleh jadi disebabkan oleh adanya proses permukaan kolam sebagai akibat akumulasi bahan organik padatan mudah melayang (volatile solid) mengerak dan menebal menutup permukaan
87
kolam. Kodisi ini menjadi hambatan emisi gas metan ke permukaan setelah sebagian atau hampir separo areal permukaan kolam percobaan tertutup skum. Hasil pengukuran komposisi metan, memberi gambaran bahwa emisi metan menunjukkan adanya perbedaan mendasar pada laju alir biogas, dan komposisi metan pada lokasi yang sama (inlet maupun outlet kolam). Fenomena yang terlihat di kolam, gelembung aktif sering terjadi di dekat inlet, gelembung aktif menunjukkan indikasi laju emisi lebih tinggi. Hasil pengukuran laju alir biogas lebih tinggi di daerah inlet dibanding daerah outlet, namun kandungan metan lebih tinggi pada daerah outlet. Hal ini mungkin disebabkan banyaknya bahan organik yang ada di daerah inlet, yang dapat mempengaruhi aktifitas metanogenik. Masse dan Masse (2005) menyatakan bahwa konsentrasi bahan organik
yang
berlebihan,
seperti
asam-asam
organik
terbentuk
akan
mempengaruhi aktifitas metanogenik, sehingga metan yang diemisikan lebih rendah dan karbon dioksida lebih tinggi. Hasil analisis pengurangan bahan organik dalam substrat (Tabel 10), memberikan fenomena yang relatif sama pada setiap titik sampling, yaitu titik sampling 1 dan 2 konsentrasi tinggi, dan titik 4 da 5 paling rendah dibanding titik yang lain. Hal tersebut karena kedua titik (1dan 2) berada di daerah inlet, dimana awal proses perombakan oleh mikroba baru dimulai, sehingga memperlihatkan nilai pengurangan bahan organik rendah, dan kebalikan dengan titik sampling yang terletak dekat outlet. Sedang suhu dan pH setiap titik relatif sama, yaitu menunjukkan pH netral dan suhu mesofilik yang dapat mendukung aktifitas mikroba perombak. Kondisi lingkungan yang mendukung untuk perombakan substrat LCPMKS, dan kondisi kolam terbuka, maka akan memberikan kontribusi meningkatnya emisi gas metan. PMKS dengan kapasitas proses produksi rerata 50 ton TBS/jam dihasilkan LCPMKS rerata 650 m3/hari. Kegiatan pengukuran potensi emisi metan dari kolam anaerob pada areal pengelolaan dapat diringkas dan disajikan pada Tabel 11. setiap bulan perlu diketahui dalam kegiatan pencegahan dan penanggulangan pencemaran yang ditimbulkan baik terhadap lingkungan udara maupun air. Pengukuran dan monitoring efektifitas pengelolaan LCPMKS diringkas seperti pada Tabel 4.4 dan penjelasan disajikan pada Gambar 38 – 43.
88
Tabel 12 Ringkasan baseline study kolam anaerob terbuka No 1. 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Parameter TBS CPO LCPMKS Volume digestor kolam:anaerob II-B Laju aliran limbah masuk: /m3 Waktu tinggal hidrolitik Produksi biogas rerata Konsentrasi metan dalam biogas Suhu digester kolam Konsentrasi COD limbah sebelum diolah Konsentrasi COD limbah terolah Reduksi COD Konsentrasi BOD limbah sebelum diolah Konsentrasi BOD limbah sesudah diolah Total padatan Total padatan menguap pH kolam inlet dan outlet Total padatan tersuspensi Inokulum lumpur kolam Potensi pemanasan global (CO2-e/tahun)
Nilai rerata 50 5.995 665 48.000 340 96 3.600 53,4 37,5 46 2.5 38.5 27 0,8 21 8 7,1 14 -24.000
Satuan ukur ton/jam ton/bulan m3/hari m3 m3/hari hari m3/hari % °C g/l g/l g/l g/l g/l g/l g/l g/l % Ton CO2-e/th
3.3.1. Efisiensi perombakan organik sistememisi kolam Gambar 42. Kantong penyimpan sementara gaskonvensional metan kolam anaerob II-B Hasil pantauan efisiensi pengurangan organik pada setiap kolam
Effisiensi perombakan COD (%)
89
120 100 80 60 40 20 0 SEPT OKT
NOV
DES
JAN
FEB
MAR
APR
MAY
JUN
Monitoring 2005 -2006 Kolam I-II
kolam I-III
kolam I-IV
kolam I-V
kolam I-VI
Efisiensi pengurangan BOD (%)
Gambar 43. Efisiensi pengurangan COD LCPMKS selama 10 bulan 120 100 80 60 40 20 0 SEPT
OKT
NOV
DES
JAN
FEB
MAR
APR
MAY
JUN
Monitoring 2005 - 2006 Kolam I-II
kolam I-III
kolam I-IV
kolam I-V
kolam I-VI
Effisiensi perombakan TS (%)
Ganbar 44. Efisiensi pengurangan BOD LCPMKS selama 10 bulan 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 SEPT
OKT
NOV
DES
JAN
FEB
MAR
APR
MAY
Monitor 2005 - 2006 Kolam I-II
kolam I-III
kolam I-IV
kolam I-V
kolam I-VI
Gambar 45. Efisiensi pengurangan TS LCPMKS selama 10 bulan
JUN
Effisiensi perom bakan SS (%)
90
120 100 80 60 40 20 0 SEPT
OKT
NOV
DES
JAN
FEB
MAR
APR
MAY
JUN
Monitor 2005 - 2006 Kolam I-II
kolam I-III
kolam I-IV
kolam I-V
kolam I-VI
Effisiensi perombakan VS (%)
Gambar 46. Efisiensi pengurangan SS LCPMKS selama 10 bulan 120 100 80 60 40 20 0 SEPT
OKT
NOV
DES
JAN
FEB
MAR
APR
MAY
JUN
Monitor 2005 - 2006 Kolam I-II
kolam I-III
kolam I-IV
kolam I-V
kolam I-VI
Gambar 47. Efisiensi pengurangan VS LCPMKS selama 10 bulan Tabel 13. Rerata efisiensi pengurangan bahan organik 10 bulan pada kolam IVI areal pengelolaan LCPMKS Efisiensi pengurangan bahan organik antar kolam I-VI Parameter COD BOD TS SS VS
Kolam anaerob
Kolam aerob
I-II
I-III
I-IV
I-V
I-VI
86,9 79,6 69,5 79,8 81,5
81,7 78,8 79,5 83,1 87,0
90,9 91,4 80,8 91,4 87,7
97,9 97,5 84,7 91,5 92,7
98,3 97,6 87,2 93,2 93,5
91
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa efisiensi pengurangan yang terjadi setiap bulan tidak seragam (berfluktuatif), namun rerata efisiensi pengurangan organik pada setiap parameter berkisar antara 80-91%, Efisiensi pengurangan organik sistem kolam tersebut relatif tinggi, namun diperlukan waktu lama, karena setiap kolam diperlukan rerata waktu tinggal antara 60 – 90 hari, Efisiensi pengurangan organik kolam I-VI secara kumulatif diperlukan waktu tinggal 300 – 360 hari (10-12 bulan), efisiensi pengurangan setiap bulan tampak mengalami penurunan, hal ini boleh jadi sedikit demi sedikit kolam mengalami pendangkalan (pelumpuran) yang berakibat waktu penahanan hidrolitik semakin singkat, seiring pertambahan aktifitas proses produksi yang semakin intensif, tahun pertama aktifitas pabrik berkapasitas olah 40-45 ton TBS/jam, dan setiap-tahun meningkat rerata mencapai 50-51 ton TBS/jam, Ahmad et al. (2003b) menyatakan bahwa LCPMKS yang kaya bahan organik, pekat, dengan konsentrasi BOD dan COD rata-rata sebesar 25,000 dan 50,000 mg/l berpotensi sebagai sumber pencemar lingkungan. Pengolahan sistem kolam seringkali mengalami pendangkalan sehingga masa retensi lebih singkat (Yuliasari et al. 2001). LCPMKS meningkat seiring dengan peningkatan produksi minyak sawit, yang berakibat mempercepat pendangkalan kolam dan penurunan kapasitas tampung. Oleh karenanya pengolahan LCPMKS secara konvensional membutuhkan lahan luas dan masa retensi lebih lama, sehingga dikatakan bahwa sistem kolam terbuka belum mampu mengendalikan dampak negatif terhadap lingkungan udara dan buangan akhir limbah belum memenuhi baku mutu lingkungan perairan umum, Sistem perombakan anaerob kolam terbuka kurang efisien menurunkan BOD dan COD LCPMKS, sementara itu emisi metan dan gas efek rumah kaca menjadi pencemar udara potensial. Sebaliknya penerapan teknologi perombakan anaerob dalam sistem kolam tertutup dengan penambahan laju beban limbah atau peningkatan aliran ke atas (up flow) merupakan teknologi kelola limbah cair yang lebih baik, Penerapan teknologi perombakan anaerob laju tinggi tidak membutuhkan lahan luas, masa retensi lebih singkat, efisiensi pengolahan limbah sangat tinggi dan dihasilkan biogas (Lettinga dan Zeeman 1999, Yuliasari et al. 2001),
92
3.5. Peningkatan kualitas biogas dan pemanfaatannya 3.5.1. Peningkatan kualitas biogas Biogas hasil perombakan anaerob limbah organik terutama tersusun atas metana, CO2, hidorogen dan amonia. Beberapa senyawa tersebut sebagai pengotor, sehingga harus dihilangkan, karena dapat menyebabkan korosi, endapan dan beban peralatan (Kottner 2002). Untuk peningkatan kualitas biogas dilakukan beberapa perlakuan, hasil yang diperoleh ditabulasikan pada (Tabel 14) Tabel 14. Rerata hasil peningkatan kualitas biogas dalam persen sebelum dan sesudah penjerapan Harga Kandungan gas metan (%) Efisiensi No Bahan penjerap bahan penjerapan optimum. Sebelum Sesudah (Rp/ kg) (%) (50mg/l) 1 NaOH 32,1 ± 0,3 55,8 ± 5,8 23,7 12,000 2 CaO 45,9 ± 3,9 60,3 ± 3,1 14,4 4,000 3 Ethylglikol 40,8 ± 4,0 60,6 ± 3,9 19,8 20,000 48,5 ± 5,8 68,5 ± 6,5 20 1,500 4 Ca(OH)2 41,4 ± 3,6 62,9 ± 6,4 21,5 9,000 5 CaCl2 Peningkatan kualitas biogas melalui penjerapan telah dilakukan dengan berbagai macam bahan penjerap diantaranya adalah Ca(OH)2, NaOH, CaO dan Ethylglikol maupun CaCl2 masing-masing dengan konsentrasi 50g/L. Biogas yang dihasilkan dari LCPMKS umumnya tidak murni, demikian pula biogas yang diperoleh dari sungkup kolam limbah II-B. Konsentrasi gas metan sebelum dan sesudah penjerapan diukur menggunakan Khromatografi Gas (GC) (Tabel 14). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa NaOH, CaO, Ethylglikol, Ca(OH)2 dengan kadar 50 mg/l dapat digunakan untuk penjerapan CO2 sehingga meningkatkan kualitas biogas. CaCl2 dapat berfungsi sebagai penjerap H2O dan CO2, sehingga kualitas biogas atau persentase gas metan meningkat, namun bahan penjerap CO2 yang efisien dan efektif boleh jadi digunakan Ca(OH)2 atau CaCl2, karena dilihat dari harga bahan paling murah dibanding harga bahan penjerap lainnya, sedang CaCl2 dapat menjerap H2O dan CO2, sehingga dapat dikatakan kedua bahan tersebut paling efektif, walaupun relatif lebih sedikit persentase efisiensi penjerapannya dibanding NaOH. Menurut Kapdi et al. (2005) penjerap cair merupakan metode pemurnian yang paling ekonomis, tetapi
93
diperlukan tekanan di atas 6 bar. Wellinger dan Lindberg (1991) menyatakan perbaikan kualitas biogas hasil proses perombakan melalui beberapa cara diantaranya penjerap air (water scrubber), Pressure Sewing Absorbtion (PSA), silenium (selexol), absorbsi menggunakan bahan kimia diantaranya NaOH, Ethylglikol dan lain lain. Berbagai cara untuk menghilangkan kotoran dalam biogas hasil perombakan anaerob, untuk mendapatkan bahan bakar efektif adalah dengan meningkatkan konsentrasi metana (Pokja G25 Masyrakat Eropa 2004). Peningkatan konsentrasi metana dapat dilakukan melalui perbaikan sistem penyimpanan volume gas sehingga pemanfaatannya lebih lama. Kapdi et al. (2005) menyatakan menghilangkan karbondioksida memberi kualitas biogas dan nilai energi konstan. Ada empat metode berbeda secara komersil untuk menghilangkan CO2, agar dapat dicapai baku mutu bahan bakar kualitas biogas yang diharapkan diantaranya, pemberian bahan kimia arang aktif, penyerap air, penyerap NasOH, filter bed dan striping maupun rekoveri udara, polyethilen glycol, saringan molekul karbon dan pemisahan membran (Kepdi et al. 2005).
Gambar 48. Tangki penjerap (scrubber) untuk peningkatan kualitas biogas 3.5.3. Pemanfaatan Biogas Pemanfaatan biogas yang dihasilkan dari kolam II-B digunakan untuk berbagai keperluan. Pemanfaatan biogas umumnya dialirkan melalui pipa-pipa penyalur ke tungku-tungku pembakaran (burner), Pengaliran biogas didorong dengan kompresor atau blower bertekanan 0,5 bar. Pemakaian biogas sebagai
94
bahan bakar pengganti minyak diesel atau bahan bakar fosil untuk menjalankan mesin-mesin pembangkit listrik atau penghasil panas (kalor). Pemakaian biogas secara bergantian dengan bahan bakar konvensional digabung sebagai bahan bakar mesin pembangkit listrik pada sistem pembakar gabungan (cogeneration of heat and power/CHP) merupakan cara yang ekonomis (ICRA 2005). Biogas yang dihasilkan digunakan untuk beberapa keperluan diantaranya perebusan air, sterilisasi beg log jamur, pemanasan lumpur hasil filtrasi untuk bahan pupuk, pemotongan besi dan pengeringan kompos. Hasil ini dapat dikatakan relatif tidak berbeda dengan bahan bakar fosil, dan biogas kolam juga dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, tapi harus diukur dengan akurat,
A
B
C
D Gambar 49. (A)Tabung berkapasitas 36 liter berisi biogas dengan tekanan 8 bar (B) dan Kompor BBG dari LCPMKS (C), Kompresor dual fuel (D) Pengering kompos dengan bahan bakar biogas
Pemampatan biogas yang diperoleh dari kolam (kolam II-B) setelah ditampung dalam sungkup, kemudian didorong ke dalam tabung berkapasitas 35 l bertekanan 8 bar menggunakan kompresor 5 PK berbahan bakar bensin ataupun biogas (dual fuel), Biogas yang dihasilkan dari kolam percobaan, dilakukan pemampatan (compressing) dengan kompresor untuk penyimpanan biogas ke dalam tabung, agar lebih mudah pemanfaatannya, Pemampatan pada tabung
95
berkapasitas 35 l dengan tekanan maksimum 10 bar, tabung dapat terisi rata-rata sebanyak 565 l biogas bertekanan 8 bar, Pemampatan demikian juga dapat dilakukan pada tabung berkapasitas lebih besar dan kapasitas tekanan lebih kuat / tinggi sesuai kemampuan tekanan dorong kompresor, Pemanfaatan biogas menggunakan kompor gas berburner Ф 9 cm maupun burner modifikasi Ф 16 cm dengan pembakaran langsung seperti telah dilakukan pada Gambar 4.22. di atas. 4. Kesimpulan Hasil dan pembahasan yang telah diuraikan dapat disimpulkan, bahwa: 1. Pengelolaan LCPMKS secara konvensional terdiri dari kolam anaerob dan aerob berpotensi sebagai pencemar lingkungan udara maupun air. Kualitas LCPMKS sistem konvensional baik secara anaerob maupun aerob masih di atas baku mutu peruntukan, dan efisiensi perombakan organik 80 – 90 % diperlukan waktu 10-12 bulan (kolam I-VI) 2. Emisi gas metan kolam II-B 3,555 m3/hari, dengan rerata komposisi metan 53,4%, Potensi emisi gas metan dengan kadar metan 1,935,6 kg/hari, dan potensi pemanasan global sebesar 23,866 ton CO2-e/tahun 3. Peningkatan kualitas biogas dari LCPMKS yang mengandung H2O dan CO2 dapat dimurnikan menggunakan bahan penjerap NaOH, CaO, Ethylglikol, Ca(OH)2, CaCl2. Bahan penjerap CO2 paling efektif Ca(OH)2, sedang CaCl2 bahan penjerap paling efektif untuk H2O dan CO2 4. Biogas dihasilkan dari LCPMKS dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar pengganti BBM penghasil panas, misalkan pengeringan kompos, pengeringan filtrat LCPMKS, perebusan air, dan sterilisasi medium jamur.
BAB V OPTIMASI PRODUKSI BIOGAS PADA DIGESTER ANAEROB KOLAM TERTUTUP (DAKT) SKALA PILOT Abstrak Limbah cair pabrik minyak kelapa sawit (LCPMKS) merupakan limbah cair yang dihasilkan dari operasional pabrik minyak kelapa sawit dalam jumlah melimpah. Penelitian dilakukan di pabrik kelapa sawit PT. Pinago utama dengan kapasitas olah pabrik 60 ton TBS/jam menghasilkan LCPMKS sebanyak 700 m3/hari. Penelitian bertujuan untuk 1) merancang dan mempersiapkan kondisi awal digester anaerob kolam tertutup untuk produksi biogas, 2) optimasi kinerja bioreaktor pada laju pengumpanan dan produksi biogas 3) mengukur efisiensi pengurangan organik LCPMKS, 4) analisis kelayakan tekno-ekonomi digester anaerob kolam tertutup. Digester anaerob kolam tertutup (bioreaktor) dibangun pada kolam I.1 berkapasitas total 4500 m3, volume kerja 4000 m3, dan aklimatisasi inokulum dari lumpur aktif kolam II 20% (v/v), dengan suhu > 40oC. Percobaan optimasi produksi biogas dilakukan dua periode yaitu 2006 - 2007, dengan variasi laju pengumpanan 25 m3/hari sampai dengan 300 m3/ hari masingmasing sela interval 3 hari. Parameter yang diamati antara lain volume biogas, pH, COD, BOD, TS dan SS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa volume gas meningkat secara kontinyu sesuai dengan peningkatan laju pengumpanan LCPMKS. Kinerja optimum bioreaktor adalah laju pengumpanan 200 m3/hari diproduksi biogas sebesar 10.000 m3/hari, dengan efisiensi penurunan organik rerata >90%. Pemasangan digester anaerob kolam tertutup secara tekno-ekonomi sangat layak diaplikasikan dan ramah lingkungan. Kata kunci : LCPMKS, digester anaerob kolam tertutup, tekno-ekonomi, ramah lingkungan
The optimization of biogas production on pilot scale of anaerobic digester closed lagoon Abstract Palm oil mill effluent (POME) represents the most abundant, from operational result of POM. Research was conducted in palm oil mill area of PT. Pinago Utama with capacities processing of 60 tones of FFB/hour, yielding as much 700 m3/day POME. The objectives of the investigation were to 1) design and develop the start up condition of digester anaerobic closed lagoon to produce biogas, 2) optimize the performance in organic loading rate of POME and biogas production through reactor, 3) measure the efficiency removal organic of POME, and 4) analyze feasibility of techno-economical of digester anaerobic closed lagoon. Digester anaerobic closed lagoon (bioreactor) developed at lagoon I.1 having total capacities of 4500 m3, working volume 4000 m3, acclimatization
97 inoculums from activated sludge lagoon II, concentration 20% (v/v), and temperature > 40oC. Optimization of biogas production was with conducted two s period that were 2006 - 2007, with variation of feeding rate 25 m3/day up to 300 m3/day and of interval rate 3 day. Parameters recorded were volume of biogas, pH, COD, BOD, TS and SS. The results showed that volume biogas increase, continuously in line with the increase of the feeding rate of POME. Optimum performance of bioreactor was feeding rate at 200 m3/day which resulted in biogas 10.000 m3/day, with average of efficiency removal organic more than >90%. Installation of digester anaerobic closed lagoon was techno-economically feasible to be applied and environmentally friendly. Key word : digester anaerobic closed lagoon, biogas production, environmentally friendly, techno-economical feasibility 1. Pendahuluan Peningkatan penggunaan bahan bakar hayati sebagai energi terbarukan merupakan bagian penting, karena mampu mengurangi gas rumah kaca, mendorong kemandirian energi dan bahkan mampu menawarkan peluang kerja (Franklin 2000). Secara teknis, peningkatan kualitas bahan bakar hayati untuk transportasi masih layak, tetapi membutuhkan pengembangan lebih lanjut. Pengembangan bioenergi meningkatkan ekonomi pedesaan, energi bersih, dan mudah dilakukan karena semua tersedia dan dapat dimanfaatkan sebagai biofuel atau berbagai bentuk produk energi, misalkan jerami, rumput, alang-alang, gergajian kayu, perakaran dan dedaunan, serta ranting atau cabang kayu. Namun cara pemanfaatannya hanya terbatas dengan membakar langsung, sehingga dampak asap masih mengganggu pernafasan, maupun lingkungan. Beberapa keuntungan penggunaan bio-fuel adalah dapat mewakili siklus karbondioksida, emisinya bersifat biodegradabel dan menyumbang keberlanjutan, serta berpotensi sangat ramah lingkungan (Demirbas dan Balat 2005) Salah satu keistimewaan iklim tropis di Indonesia adalah aktifitas fotosintetik yang berlimpah sepanjang tahun, sehingga berakibat melimpahnya persediaan biomasa, terutama berasal dari kelapa sawit, kayu dan agroindustri. Industri kelapa sawit sebagai primadona ekspor Indonesia menghasilkan sangat banyak biomas dari proses ekstraksi minyak kelapa sawit, diantaranya serat mesocarp, cangkang, TKKS dan Limbah Cair Pabrik Minyak Kelapa Sawit (LCPMKS). Diperkirakan lebih dari 120 juta ton biomas akan dihasilkan dari
98 industri minyak kelapa sawit sepanjang 2005. Kondisi ini meningkat terus sesuai dengan peningkatan kebutuhan minyak nabati dunia. Diantara empat produk samping yang dihasilkan di atas, hanya LCPMKS yang belum dimanfaatkan secara komersial oleh industri. Cangkang, dan serat mesocarp dibakar dalam boiler menghasilkan uap panas untuk listrik, sementara TKKS digunakan untuk pupuk atau mulsa tanah pada perkebunan kelapa sawit. Akan tetapi kekayaan LCPMKS yang berpotensi besar penghasil gas metan untuk pembangkit listrik belum terekplorasi secara optimal, hal tersebut terkendala dengan keterbatasan teknologi pengelolaan (Hassan et al. 2004). LCPMKS hasil proses ekstraksi minyak berdampak negatif sangat besar terhadap lingkungan, namun jika dikelola secara optimal dengan teknologi yang tepat, akan mendatangkan keuntungan bagi industri, sehingga industri lebih mampu bersaing di pasaran dunia. Sifat kimiawi LCPMKS dan volume limbah yang dibuang sangat tinggi, jika dikelola dapat menghasilkan biogas, suatu produk samping yang berdaya guna baik terhadap lingkungan maupun industri. Dapat menurunkan sifat kimiawi sehingga aman dibuang ke perairan umum, karena potensi pencemaran LCPMKS dapat diminimalis (Yacob et al. 2006). Limbah terbesar yang dihasilkan dari proses ekstraksi minyak adalah limbah cair, karena hasil proses ekstraksi minyak setiap ton TBS kelapa sawit diperkirakan berkisar 0,5-0,75 ton LCPMKS terbuang dari PMKS (Johnson 1987). Juga sifat kimiawi yang bervariasi sepanjang tahun disebabkan oleh kegiatan pabrik dan musim panenan (Franklin 2000). Masalah besar sistem perombakan anaerob terletak pada tidak konsisten sifat kimiawi limbah maupun kemantapan populasi mikroba yang sangat baik untuk perlakuan limbah. Pemberian inokulum dalam bioreaktor merupakan titik kritis, karena laju pertumbuhan mikroorganisme anaerob cenderung menurun, terutama metanogen. Beberapa laporan menyarankan untuk aplikasi bioreaktor, ditingkatkan juga desain proses perlakuan LCPMKS. Pencampuran dicapai dengan meresirkulasi limbah dari dasar ke atas digester menggunakan pompa sentrifugal laju 125 m3 / jam. pH digester dipertahankan dengan menyiapkan penyangga pH (NaOH, 25% b/v). Oleh karena besarnya sifat pencemar dengan nilai rata-rata BOD 25.000 mg/L dan COD 50.000 mg/L, perombakan anaerob
99 merupakan teknologi yang sangat efektif (Hassan et al. 2004). Banyaknya variasi pengelolaan LCPMKS, emisi metan dapat berubah. Seperti telah dilaporkan oleh Shirai et al. (2003) dan Yakob et al. (2005) komposisi metan terdiri atas 35-45% lebih sedikit dibandingkan nilai yang dilaporkan sebelumnya. Bioreaktor anaerob laju tinggi dapat menyimpan biomas, mempunyai kapasitas olah tinggi (Anonimous 2003). Telah dilaporkan bahwa efisiensi pengurangan COD LCPMKS dalam reaktor laju tinggi, misalkan anaerobic biffled reaktor (ABR) lebih dari 85%. Single up flow anaerobic sludge blanket reactor UASB (FAO 1997), system UASB 2 tahap dan membran anaerobik system (MAS) (Kadariah et al. 1998). Secara keseluruhan reaktor anaerobik laju tinggi yang disebutkan di atas berhasil baik mengolah POME pada HRT (waktu penahanan hidrolitik pendek)
(Yacob et al. 2005). Bioreaktor yang laju
peningkatannya hanya sedikit telah dilakukan pada pengelolaan LCPMKS dalam bioreaktor anaerob buffled (Faisal dan Unmo 2001), reaktor anaerob filter dan anaerob fluidized bed (Borja dan Banks 1995), anaerob upflow thermofilik (Mustapha et al. 2003) dan Kontaktor Rotasi Biologik (Najafpour et al. 2005) dapat meningkatkan efisiensi reduksi pencemar dan produksi metan. Hasil percobaan di atas menunjukkan pengelolaan LCPMKS dengan sistem anaerob laju tinggi lebih baik dibanding dengan kegiatan yang umum dilakukan. Akan tetapi penerapan adanya sistem yang ditingkatkan ini secara luas masih sangat kurang. Pengelolaan limbah LCPMKS di Indonesia telah dilakukan dengan
berbagai metode, baik secara aerob maupun anaerob, namun
permasalahan belum terselesaikan secara optimal. Oleh sebab itu dalam penelitian pengelolaan limbah LCPMKS digunakan sistem anaerob tertutup laju tinggi, suatu inovasi teknologi yang belum pernah dilakukan di Indonesia. Teknologi yang akan digunakan ini adalah dekomposisi anaerob mikrobiologis, dimana
mikroorganisme
tumbuh
dan
memanfaatkan
energi
dengan
memetabolisme bahan organik dalam lingkungan anaerob, dan menghasilkan metan, CO2 dan H2O yang disebut biogas. Produksi biogas mempunyai banyak manfaat diantaranya, sebagai bentuk energi terbarukan, peningkatan manajemen limbah, dan produksi pupuk. Juga produksi biogas sistem simpul tertutup. Kualitas lumpur meningkat nyata,
100 karenanya bau gas berkurang, dan terhindar benih gulma serta patogen. Semua produksi biogas bersama-sama menyumbang pembangunan berkelanjutan. Oleh sebab itu teknologi pengelolaan limbah yang mampu meningkatkan kualitas limbah dengan produk samping energi terbarukan dan efisiensi pengurangan bahan organik meningkat. Karenanya penelitian ini sangat penting dilakukan.
1.1. Tujuan Penelitian 1. Merancang dan mempersiapkan kondisi awal kolam anaerob tertutup laju tinggi pengelolaan LCPMKS untuk produksi biogas, 2. Optimasi kinerja bioreaktor antara laju pengumpanan dan produksi biogas 3. Mengukur efisiensi pengurangan bahan organik LCPMKS, 4. Analisis kelayakan tekno-ekonomi anaerob digester kolam tertutup.
1.2. Luaran Penelitian 1. Diperoleh rancangan dan konstruksi kolam anaerob tertutup laju tinggi dan kondisi awal kolam anaerob tertutup laju tinggi untuk produksi biogas 2. Diketahui laju pengumpanan LCPMKS optimum pada kolam anaerob tertutup laju tinggi untuk produksi biogas 3. Diperoleh kinerja efisiensi pengurangan organik kolam anaerob tertutup laju tinggi pada operasi optimum 4. Diperoleh kelayakan tekno-ekonomis penutupan kolam digester anaerob untuk produksi biogas dan ramah lingkungan
2. Metode Penelitian Lokasi percobaan dilakukan di kolam LCPMKS PT. Pinago Utama Palembang Desa Sugiwaras Kecamatan Babatoman Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan, seluas ± 0,1 ha dengan kapasitas total 4500 m3. Kolam I.1 ditutup dengan plastik impermiabel kedap gas tebal 0,3 cm, selain sebagai digester modifikasi juga digunakan untuk kolam percobaan. Parameter dikur anatara lain, produksi biogas, pH, suhu dan efisiensi pengurangan COD, BOD, TS dan SS
101
2.1. Bahan dan Alat Bahan dan alat digunakan antara lain plastik oimpermiabel kedap udara seluas 1000 m2 dengan ketebalan 0,3 cm, tali-temali plastik, pipa pralon pvc ф ukuran 1-8”, mesin penyedot lumpur ukuran 15 PK, kompresor, pompa vacum, gas-flowmeter, water-flowmeter (Schlumberger G6-RF1), blower 3”, mesin pompa air Shimidzu 125 watt, cool-box, tangki 5 m3, drum-drum plastik kapasitas 220 L, kantong plastik ukuran 2-3 m3 (untuk kalibrasi volume biogas yang dihasilkan) dan penyimpanan biogas sementara. Peralatan gelas untuk analisis fisika kimia meliputi: batang pengaduk, gelas piala, gelas ukur, cawan porselin, perangkat soxchlet, kondensor, botol jam, botol serum, botol BOD, tabung reaksi, labu ukur, pipet biuret, pipet ukur, tips pipet plastik, dan gelas Erlenmeyer 50-1000 ml. Perlengkapan alat percobaan dan pemasangan bioreaktor antara lain: neraca listrik, oven, thermokopel, detektor suhu dan pengukur tekanan gas, pHmeter, pompa air 125 Watt, pompa air 5 PK, water flowmeter 10-40 m3/jam, pipa PVC Ф1; 3-4; 6 dan 15 inch, 2 tangki penampung biogas, injektor dan blower 3”. 2.2. Cara kerja Penelitian skala pilot dilakukan beberapa sub percobaan yaitu 1. Merancang dan mempersiapkan kondisi awal pengelolaan LCPMKS untuk produksi biogas, 2. Optimasi kinerja bioreaktor laju pengumpanan dan produksi biogas 3. Mengukur efisiensi pengurangan bahan organik LCPMKS, 4. Analisis kelayakan tekno-ekonomi kolam anaerob tertutup laju tinggi. 1). Merancang dan mempersiapkan kondisi awal pengelolaan LCPMKS Kolam I.1 (bioreaktor) dipasang kerangka besi galvanis tahan karat dan pipa pvc Ф 1” kedalam kolam percobaan sebelum kolam ditutup (Gambar 60). Pembuatan parit berfungsi untuk pemasangan pasak terendam untuk pengikat dan penutupan terpal harus rapat agar biogas tidak keluar. Limbah cair pada kolam I.1 dibuang (kuras) sampai habis menggunakan pompa kekuatan 15PK, dan sisa kerak yang menempel pada dinding kolam dibersihkan. Setelah persiapan selesai
102 dilanjutkan penutupan terpal plastik ke atas permukaan kolam dan kolam diisi sesuai rancangan reaktor. Pengisian kolam dengan lumpur aktif dan LCPMKS kolam II-B sebanyak 4.000 m3 dengan rasio lumpur aktif 20% dan limbah cair 80%, menggunakan pompa 15 PK. Setelah kolam terisi penuh, plastik dirapikan sehingga biogas tidak keluar (bocor). Reaktor difungsikan setelah diperoleh kondisi start up yang dipercepat dengan aklimatisasi sebagaimana kondisi kolam II-B. Aklimatisasi dan pemantauan (monitoring) dilakukan dengan mengukur parameter COD, BOD, TS, SS dianalisis di laboratorium dengan metode titrasi modifikasi (Greenberg 1992). Analisis kimia parameter dilakukan setiap perubahan laju pengumpanan. 2) Optimasi kinerja bioreaktor laju pengumpanan dan produksi biogas Bioreaktor yang telah terisi substrat, diberi perlakuan pengumpanan dimulai dari 25 m3/hari, selanjutnya laju pengumpanan ditingkatkan sampai 300 m3/hari dengan interval 25 m3, masing-masing pengumpanan dilakukan selama 3 hari digunakan sebagai ulangan, parameter terukur produksi biogas (Suzuki et al. 2001). Setiap tahap pengumpanan diukur pH, suhu, COD, BOD, TS, SS (Greenberg 1992), dan produksi biogas yang diperoleh sebagian digunakan untuk percobaan pemanfaatan biogas dan sebagian lainnya dibakar (flaring) menggunakan burner diameter 6 inci. 3). Mengukur efisiensi pengurangan bahan organik LCPMKS Efisiensi pengurangan bahan organik dihitung dari nilai parameter COD, BOD, TS, SS yang dianalisis di laboratorium dengan metode titrasi modifikasi (Greenberg 1992), selanjutnya dilakukan perhitungan efisiensi pengurangan bahan organik ( NAS 1981). 4). Analisis kelayakan tekno-ekonomi digester anaerob kolam tertutup Analisis finansial tekno-ekonomi reaktor yang dibangun dilakukan setelah perobaan optimasi laju pengumpanan terhadap produksi biogas dan efisiensi pengurangan organik diperoleh dari data, dan dianalisis dengan rumus NPV, IRR dan BC ratio (Kadarsan 1995). Analisi kelayakan tekno – ekonomi dihitung berdasarkan modal yang digunakan, dan produksi biogas yang diperoleh, diekivalenkan terhadap BBM dan harga BBM industri.
103
3. Hasil dan Pembahasan Perkembangan pesat industri minyak kelapa sawit dalam dekade terakhir berakibat semakin besar buangan limbah berbahan baku lignoselulosa. Air buangan pabrik minyak kelapa sawit (PMKS) dengan nilai BOD, COD, padatan tersuspensi dan kandungan total padatan tinggi merupakan sumber pencemar sangat potensial. Pembuangan air LCPMKS ke dalam perairan umum tanpa pengolahan terlebih dahulu mengandung BOD setara dengan BOD buangan populasi 10 juta manusia. LCPMKS berpotensi mncemari air minum, mengurangi kadar oksigen terlarut, menurunkan kesehatan ikan dan udang dalam badan air sekitarnya atau biota perairan (Qu dan Bathhacharya 1997) Pengelolaan air limbah industri dengan cara fisika-kimia adalah dengan koagulasi dan flokulasi. Biaya operasi cara ini sangat mahal walaupun hasilnya cukup memuaskan. Hal ini banyak menyebabkan industri skala kecil tidak sanggup melakukan kegiatan produksi lebih lanjut, karena dianggap mencemari lingkungan perairan sekitarnya (Syafila et al. 2001, Metcalf dan Eddy 2003). Oleh karenanya pengelolaan LCPMKS umum dilakukan secara biologik yaitu menggunakan sistem kolam (Loebis dan Tobing 1992). LCPMKS terdiri dari sumber air kondensat rebusan; pemisah lumpur (klarifikasi); dan pencucian hidrosiklon. Pada umumnya pengolahan LCPMKS dilakukan secara biologis dengan sistem kolam baik anaerob atau aerob dengan mikroba penurun BOD dan menetralisir pH. Akan tetapi sistem kolam masih menyisakan kekurangan, selain luasnya lahan yang diperlukan untuk menampung limbah juga waktu retensi 3-4 bulan, efisiensi perombakan relative rendah karena sering mengalami pendangkalan, sehingga retensi menjadi lebih singkat dan baku mutu limbah tidak dapat tercapai (Yuliasari et al. 2001). Hasil percobaan skala pilot ini dikemukakan dalam beberapa sub-topik: perancangan dan pemasangan kolam anaerob tertutup laju tinggi (pembangunan bioreaktor), optimasi produksi biogas dan efisiensi perombakan organik serta kelayakan tekno-ekonomi produksi biogas.
104 3.1. Perancangan dan pembangunan Bioreaktor Bioreaktor dibangun pada kolam I.1 menggunakan sistem anaerobic digester closed lagoon (ADCL). Kolam I-1 adalah salah satu dari lima kolam (I.1-I.5) yang semula berfungsi sebagai kolam pendinginan dan pengutipan residu minyak. Bioreaktor ADCL pada kolam I.1 berukuran panjang 30 meter lebar 30 meter dan kedalaman 5 meter dengan kemiringan tebing bagian dalam kolam ± 45oC. Gambar 5.1 menunjukkan kondisi bioreaktor pada saat konstruksi rangka atap.
Gambar 5.1. Kerangka bioreaktor ADCL (kolam I.1 dimodifikasi)
Gambar 50. Konstruksi kerangka atap bioreaktor modifikasi (ADCL kolam I.1) Kolam I.1 modifikasi bioreaktor yang digunakan untuk proses fermentasi, dibedakan menurut sistem pengumpanan (feeding), penggunaan suhu, dan proses fermentasi satu tangki. Penelitian skala pilot digunakan sistem pengumpanan kontinyu, suhu LCPMKS segar berkisar antara 60-65oC masuk kedalam reaktor terdistribusi homogen menjadikan kondisi substrat thermofilik antara 40 – 55oC. Kondisi suhu yang memungkinkan berfungsi untuk penghancuran bahan organik dengan cepat dan produksi gas tinggi (m3 gas/m3 LCPMKS per hari) serta waktu retensi pendek (Bitton 1999, Reith et al. 2003). Perencanaan alat dan fungsi masing-masing alat serta komponen sistem biogas dapat dilihat pada sketsa tampak atas (Gambar 51), dan tampak samping (Gambar 52).
105 6 1.1
3 1.2 1.3
5
1 1.4 1.5
4 2
Keterangan:
1
1. pipa inlet 2. pipa resirkulasi 3. inlet dasar reaktor 4. outlet LCPMKS digestat 5. outlet biogas 6. blower 3”
Gambar 51. Rancangan distribusi LCPMKS pada dasar kolami perombakan anaerob tertutup tampak atas Inovasi teknologi yang digunakan dalam percobaan ini merupakan hasil modifikasi teknologi pengelolaan LCPMKS sebelumnya. Prinsip modifikasi alat tersebut adanya laju pengumpanan yang dilakukan menggunakan pompa LCPMKS bekerja sentripetal kekuatan 5 PK yang ditunjuk dalam Gambar 5.2 no.1 berfungsi untuk mendistribusi substrat merata dalam reaktor, sedang pompa sentrifugal berkekuatan 5 PK untuk resirkulasi (no.2), berfungsi meningkatkan intensitas agitasi substrat LCPMKS.
106
5
1
Gas Out
Blower Pump
Over Flow Pipe to Waste Pond
2
4 3
2
Recirculation Pipe
7
Keterangan:
1. pipa inlet distribusi LCPMKS 2. air limbah diresirkulasi 3. ujung pipa paralon distribusi 4. outlet LCPMKS digestat 5. pipa outlet biogas 6. blower 3” 7. inokulum lumpur LCPMKS
Gambar 52. Rancangan kolam digester anaerob tertutup tampak samping Gambar penampakan penampang samping, di bagian dasar kolam terdapat ujung pipa inlet distribusi LCPMKS yang berfungsi sebagai pengaduk, dan inokulum lumpur LCPMKS berada didasar bioreaktor (no.3). Agar inokulum tercampur homogen dengan substrat, dan di atasnya terdapat air limbah pabrik sebagai subsrat yang akan diproses. Hasil proses fermentasi anaerob laju tinggi akan terbentuk biogas, terlihat paling atas (no. 5) dalam ruang penampung bagian bireaktor dengan pembatas terpal plastik. Pipa outlet biogas dan pompa distribusi gas digunakan blower 3” (no. 6) yang berfungsi untuk pengaliran gas terbentuk. Selain itu tampak pompa pengumpanan dan pompa resirkulasi pada gambar (“A”) tampak samping (Gambar 52). Setelah mengalami proses aklimatisasi biogas terkumpul dalam ruang pengumpul, yang dihubungkan dengan blower untuk memudahkan pemanfaatan dan penyimpanan biogas. Tampak tutup plastik mengembang, salah satu indikator terbentuknya biogas. Pengambilan, penyimpanan dan penyaluran produksi biogas dilakukan menggunakan blower 3” (Gambar 53).
107
A
A
Gambar 53. Kolam I.1 sebagai biogas plant modifikasi. A. penutup plastik pengembang, menunjukkan terbentuknya biogas
Perancangan bioreaktor sebagai biogas plant modifikasi dilakukan pada kolam 1.1. Kolam I.1 merupakan bagian kolam pendinginan dan atau pengutipan minyak pada areal pengelolaan limbah PMKS (Gambar 50, percobaan 2). Berbagai aspek pertimbangan yaitu, kolam I.1 sudah lama tidak diaktifkan dan situasi maupun kondisi serta letak kolam yang strategis, memungkinkan peralatan besar mendekati kolam tersebut, sehingga dapat mendukung penyelesaian pembangunan bioreaktor modifikasi, dengan mudah dan cepat. Oleh karenanya kolam 1.1 selanjutnya ditetapkan sebagai kolam (digestor) anaerob tertutup. Rancangan kolam anaerob laju tinggi modifikasi untuk pembangkit biogas dan pengurangan bahan organik. Prinsip penggunaan teknologi perombakan anaerob tertutup laju tinggi adalah, adanya agitasi, pengaturan pH netral dan suhu thermofilik. Kolam pembuangan limbah yang ditentukan untuk modifikasi bioreaktor, ditutup dengan plastik impermiabel kedap udara tebal 0,3 cm (3 mm). Di dalam bioreaktor tertutup, saluran pengumpanan dirancang 7 buah pipa pvc Ф 1 inc, berfungsi untuk mengalirkan umpan ke atas (up flow), diharapkan umpan (substrat) dapat mengalir merata ke semua bagian badan bioreaktor. Kondisi umpan yang merata dan homogen, seragam debit alirannya ke atas (up-flow) merupakan upaya mempercepat proses penyampuran substrat baru dan mencegah terjadi selimut lumpur organik, yang dapat mengganggu aktifitas
mikroba dalam proses perombakan. Pembangunan biogas plant
demikian selain dihasilkan biogas sebagai energi terbarukan juga upaya
108 pengendalian pencemaran limbah organik terhadap lingkungan air maupun udara lebih efisien dan lebih berdaya guna(Metcalf dan Eddy 2003). Hasil sketsa rancangan kolam modifikasi pembangkit biogas dapat dilihat dalam Gambar 5.2 dan 5.3. Pengelolaan kolam dengan perombakan anaerob laju tinggi hasil penelitian sebelumnya, menunjukkan bahwa teknologi tersebut terbaik untuk pengelolaan LCPMKS. Dikatakan juga bahwa bioreaktor anaerob laju tinggi dapat menyimpan biomasa, dan mempunyai kapasitas tinggi (Reith et al. 2003). Anaerob buffled reaktor limbah laju tinggi efisiensi perombakan COD LCPMKS lebih dari 85% (Faisal dan Umno 2003), dan tipe lain yaitu Single up flow anaerobic sludge blanket reactor UASB (FAO. 1997), system UASB 2 tahap dan membran anaerobik system (MAS) (Lettinga et al. 1999), reaktor anaerob filter dan anaerob fluidized bed (Borja dan Banks 1995), anaerob upflow thermofilik (Mustapha et al. 2003) dan Kontaktor Rotasi Biologik (Najafpour et al. 2005) dapat meningkatkan efisiensi pengurangan bahan pencemar dan meningkatkan produksi biogas. Secara keseluruhan reaktor anaerobik laju tinggi berhasil dengan baik untuk mengolah LCPMKS dengan waktu penahanan hidrolitik (HRT) pendek (Yacob et al. 2005). Selanjutnya dinyatakan bahwa hasil percobaan yang telah dilakukan untuk pengelolaan LCPMKS dengan sistem anaerob laju tinggi, lebih baik dibanding dengan kegiatan praktis sebelumnya, khususnya yang dilakukan oleh PT Pinago Utama dan umumnya sistem pengelolaan LCPMKS secara konvensional. LCPMKS hasil samping proses ekstraksi minyak mempunyai dampak besar bagi industri. Sifat kimiawi yang bervariasi luas sepanjang tahun disebabkan oleh kegiatan pabrik dan musim panenan (Yacob et al. 2006). Salah satu kendala nyata dari perombakan anaerob LCPMKS biasanya adalah prosedur awal yang memakan waktu dan kekhawatiran tidak menghasilkan biogas karena kendala utama ketidak konsistensinya limbah maupun kemantapan populasi mikroba yang untuk pengolahan limbah. Pemberian inokulum bioreaktor merupakan titik kritis, karena laju pertumbuhan mikroorganisme anaerob cenderung menurun, terutama metanogen. Beberapa laporan menyarankan untuk aplikasi bioreaktor, ditingkatkan juga desain proses perlakuan LCPMKS. Aklimatisasi diperlukan untuk percepatan perlakuan percobaan, dengan
109 perbandingan 20% inokulum, 80% substrat (hasil percobaan 1) berisi 4.000 m3. Untuk memperoleh substrat yang kondusif untuk produksi gas dalam waktu yang cepat diperlukan aklimatisasi kualitas limbah kolam II-B kolam uji yang telah berhasil memproduksi biogas sistem konvensional (hasil percobaan 2). Aklimatisasi dilihat dari parameter pH, COD, BOD, TS dan SS. Hasil dan
COD, BOD,TS,SS g/L, pH
persiapan awal operasi ditunjukkan pada Gambar 5.5. 16 14 12 10 8 6 4 2 0
15.415.7
8.9 8.9
6.9 7.3 4.2 4.6 2.8 2.5
pH
COD
BOD
TS
SS
Parameter terukur kolam 2B
kolam I.1
Gambar 54. Kualitas pH, COD, BOD, TS dan SS substrat bioreaktor persiapan awal operasi
Hasil aklimatisasi kolam I.1 yang akan digunakan untuk uji coba pengembangan teknologi perombakan anaerob laju tinggi menunjukkan bahwa, kualitas parameter pH, COD, BOD, TS dan SS relatif sama dengan kondisi kolam II-B, dengan kata lain telah diperoleh persiapan awal kondisi kolam I.1 untuk produksi biogas (Gambar 54). Kondisi kualitas parameter yang relatif sama dapat mempercepat proses perombakan dalam substrat, dengan demikian diharapkan percobaan segera mendapatkan hasil tanpa menunggu waktu retensi lama, dan respon penerapan teknologi anaerob laju tinggi pada skala pilot dapat segera diketahui. Selanjutnya perlakuan laju pengumpanan dilakukan dengan ulangan 3 hari dimulai dari 25 m3 – 300 m3 dan interval pengumpanan 25 m3. Yacob et al. (2006) menyatakan bahwa pengumpanan bertahap dengan laju beban LCPMKS segar per hari, akan menurunkan waktu penahanan
110 hidrolitik dan kisaran optimum parameter kritis adalah pH 6,8-7,2, dengan efisiensi pengurangan COD > 90%. Pertimbangan besar volume digester dan laju pengumpanan
identik
untuk
mencegah
pengasaman
digester,
sehingga
aklimatisasi penting dalam percobaan, 3.2. Optimasi laju pengumpanan LCPMKS untuk produksi biogas, suhu, dan pH substrat Interaksi laju pengumpanan, produksi biogas dan suhu substrat, dimaksudkan untuk mengetahui kondisi optimum laju penyimpanan LCPMKS. Untuk memperoleh homoginitas substrat dalam perlakuan peningkatan laju penyimpanan, dilakukan pengadukan (agitasi) menggunakan mesin pompa air 5 PK digunakan untuk distribusi dan reserkulasi. Hasil interaksi ketiga parameter dapat ditunjukkan dalam grafik (Gambar 55-56) Interaksi laju pengumpanan terhadap produksi biogas dan suhu substrat
30000
60
25000
50
20000
40
15000
30
10000
20
5000
10
0
Suhu substrat oC
Produks biogas m3/har
dapat ditunjukkan pada Gambar 55.
0 25
50
75 100 125 150 175 200 225 250 275 300
Laju pengumpanan m3/hari P.biogas
Suhu
Gambar 55. Optimasi laju pengumpanan terhadap produksi biogas dan suhu Hasil tersebut menunjukkan bahwa produksi biogas meningkat seiring dengan meningkatnya laju pengumpanan hingga mencapai 25.000 m3/hari pada laju pengumpanan 300 m3/hari. Kondisi suhu substrat tetap meningkat seiring dengan penambahan laju pengumpanan hingga mencapai 53oC. Kenaikan suhu masih dimungkinkan seiring dengan peningkatan laju umpan, karena suhu LCPMKS segar (65-70oC) masih lebih tinggi dari suhu substrat (Gambar 55).
Produksi gas /L
30000
8.0 7.5 7.0 6.5 6.0 5.5 5.0 4.5 4.0
25000 20000 15000 10000 5000 0
pH substrat
111
25 50 75 100 125 150 175 200 225 250 275 300
Laju pengumpanan m3/hari P.biogas
pH
Gambar 56. Optimasi laju pengumpanan terhadap produksi biogas dan pH Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa produksi biogas tetap meningkat, walaupun pH substrat menunjukkan penurunan hingga pH 6,9 pada laju pengumpanan 225 m3/hari (Gambar 5). Akan tetapi kondisi pH hasil perombakan masih memungkinkan mendukung aktifitas bakteri metanogenik sehingga produksi biogas tetap meningkat Yacoeb et al. (2006). Interaksi efisiensi pengurangan bahan organik dan suhu substrat terhadap laju pengumpanan dapat terlihat pada grafik (Gambar 57) 8.0 7.5
80
7.0 6.5
60
6.0 40
5.5 5.0
20
pH substrat
Efisiensi perombakan COD (%)
100
4.5 0
4.0 25
50
75
100 125 150 175 200 225 250 275 300
Laju pengumpanan m3/hari pH
Efisiensi pengurangan COD %
Gambar 57. Optimasi laju pengumpanan terhadap efisiensi pengurangan organik COD dan interaksi dengan pH substrat Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa efisiensi perombakan substrat meningkat seiring dengan meningkatnya laju pengumpanan hingga maksimum
112 pada 200 m3 LCPMKS/hari. Efisiensi perombakan terlihat mulai menurun pada laju pengumpanan 225m3/hari hingga 300 m3/hari. Demikian pula pada pH substrat, meningkat hingga pada laju pengumpanan 175 m3 LCPMKS/hari, kemudian pH menurun pada laju pengumpanan 200 m3/hari. Hal tersebut disebabkan hasil perombakan bahan organik akan menghasilkan berbagai macam
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
60 50 40 30 20 10
Suhu substrat (oC)
Efisiensi pengurangan COD (%)
asam lemak senyawa antara, sehingga menyebabkan pH menurun.
0 25
50
75
100
125
150
175
200
225
250
275
300
Laju pengumpanan (m3/hari) Efisiensi pengurangan COD %
Suhu
Gambar 58. Optimasi laju pengumpanan terhadap efisiensi pengurangan organik dan interaksi dengan pH substrat Hasil percobaan menunjukkan bahwa suhu substrat meningkat seiring denga peningkatan laju pengumpanan, sedang efisiensi pengurangan bahan organik menunjukkan penurunan pada laju pengumpangan 200 m3/hari. Hal tersebut dapat dipahami, karena proses perombakan akan meningkatkan suhu substrat, dan efisiensi pengurangan bahan organik menurun seiring dengan menurunya pH, kondisi tersebut karena aktifitas mikroba sangat sensitif terhadap perubahan suhu maupun pH (Reith et al. 2003). Interaksi produksi biogas dan efisiensi perombakan bahan pencemar terhadap laju pengumpanan. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa produksi biogas terus meningkat dan efisiensi pengurangan bahan organik menurun drastis pada laju pengumpanan 200 m3/hari. Sehingga dapat dikatakan bahwa pengumpanan optimal untuk mendapatkan produksi dan efisiensi pengurangan bahan organik optimal pada laju pengumpanan sebesar 200 m3/hari (Gambar 59)
30000
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
25000 20000 15000 10000 5000 0 25
50
75
Efisiensi pengurangan COD (%)
Produksi biogas m3/hari
113
100 125 150 175 200 225 250 275 300
Produksi gasbio M3
Efisi.pengurangan COD %
Gambar 59. Optimasi laju pengumpanan terhadap produksi biogas dan efisiensi pengurangan organik Fenomena di atas bisa saja terjadi karena proses perombakan anaerob tertutup laju tinggi memanfaatkan berbagai macam mikro organisme yang bekerja didalam perombakan substrat yang kaya akan bahan organik. Hasil perombakan terdapat berbagai macam zat yang mungin dapat menghambat kinerja mikroba perombak, karena mikroba yang bekerja sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan, khususnya pH dan suhu. Disatu sisi hasil perombakan diantaranya asam-asam organik, yang siap diubah menjadi biogas dalam proses metanogenik
(Wellinger 1999, Reith et al. 2003, de Mez et al.
2003).
Penurunan pH akan mengganggu aktifitas mikroba perombak, dan hasil perombakan berupa asam-asam organik akan diubah menjadi biogas dalam proses metanogenik Gambar interaksi diatas memperlihatkan hasil yang lebih jelas bahwa efisiensi perombakan ada tren menurun dengan penambahan laju pengumpanan, dan penurunan terlihat pada laju pengumpanan 200 m3/hari hingga terakhir pengumpanan (300 m3/hari). Sedang produksi biogas masih terus menunjukkan peningkatan hingga pengumpanan terakhir. Namun diperkirakan produksi biogas juga akan menurun. Penurunan efisiensi perombakan mungkin disebabkan dampak akumulasi senyawa yang dapat mengganggu aktifitas mikroba, sehingga dapat menurunkan aktifitas perombakan substrat, karena proses tersebut memanfaatkan jasa mikroorganisme (Reith et al. 2003).
114 Produksi biogas terus meningkat hingga pemberian umpan (LCPMKS) tertinggi (300 m3/hari), dengan nilai pH 7 (pH netral), suhu 35-40 oC. Apabila ingin mendapatkan produksi biogas dan efisiensi perombakan optimal dengan pengumpanan 200 m3/hari. Produksi biogas belum memperlihatkan penururan hingga umpan mencapai 300 m3/hari. Hal tersebut dapat dipahami bahwa hasil perombakan, baik protein, KH, dan lemak melalui proses hidrolisis, asidogenesis, dan acetogenesis akan menghasilkan asam volatil dan alkohol, yang mungkin akan mengubah kondisi lingkungan substrat. Akibatnya efisiensi perombakan menurun, tetapi produksi biogas tetap meningkat, karena asam volatil yang terbentuk dari hasil perombakan akan diubah menjadi gas metan, CO2 dan H2O dalam proses metanogenesis, sebagai bahan pembentuk biogas (Reith et al. 2003).
3.3. Efisiensi pengurangan COD, BOD, TS, dan SS Efisiensi
pengurangan
organik
menunjukkan
persentase
efisiensi
perombakan parameter yang diukur yaitu COD, BOD, TS dan SS, dan hasil yang diperoleh dapat dilihat dalam grafik (Gambar 60-63). 97
96.6 96.2
60 95.2 95.3
50
95
95.0 94.9
94.7
40
96
95.6 95.6
94
30
93.4
93.4
93.2
93
20
92
10 0
Efisiensi perombakan COD (%)
Infuen dan efluen COD g/L
70
91 25
50
75 100 125 150 175 200 225 250 275 300
Laju pengumpanan m3/hari COD Infln
COD Eflun
Efis peromb COD
Gambar 60. COD influen, Efluen dan Efisiensi perombakan substrat kolam I.1 Efisiensi perombakan organik yang diperoleh terlihat seperti pada grafik Gambar 60– 63, yang menunjukkan bahwa pengurangan COD, BOD, TS, SS
115 influen dan efluen cukup banyak, baik pada pengumpanan 25 m3 sampai dengan 200 m3/hari. Laju pengumpanan 200 m3/hari sampai 300 m3/hari efisiensi perombakan dari semua parameter mengalami penurunan. Hasil tersebut dapat dikatakan bahwa efisiensi perombakan optimal pada laju pengumpanan 200 m3/hari, karena pada laju pengumpanan 225 m3/hari perombakan COD, BOD, TS dan SS mengalami penurunan.. Penurunan
efisiensi
perombakan
diduga
akibat
hasil
kumulatif
perombakan akan menyebabkan perubahan lingkungan substrat misalkan penurunan pH (Gambar 57), dan perubahan tersebut berpengaruh terhadap aktifitas mikroba yang berperan dalam perombakan. Perubahan pH dan suhu
Efisiensi perombakan BOD (%)
100 95 91.2
91.9
90
88.7 85.4
85 80 75 25
50
75
93.9
92.5 92.7
25 22 19 94.2 92.0 91.4 16 92.6 13 10 85.3 7 4 1 -2
BOD Infuen dan Efluen g/L
substrat sangat sensitif terhadap aktifitas perombakan.
100 125 150 175 200 225 250 275 300
Laju pengumpanan m3/hari Efis peromb BOD
BOD Infl
BOD Eflen
Gambar 61. BOD influen, Efluen dan Efisiensi perombakan substrat kolam I.1
116
85 80
25
87.3
84.8
83.4 83.6
81.7
20
87.2
81.9
81.1
85.1 81.8
79.38
75
15 10
74.1
70
5
65
0 25
50
SS influen dan eflue g/L
Efisiensi perombakan SS (%)
90
75 100 125 150 175 200 225 250 275 300
Laju pengumpanan m3/hari Efis peromb
SS Infl
SS Efluen
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
40 76.9
77.5
35
79.2
78.3 79.1
81.6
87.1
87.1 75.8 74.8
71.0
30 74.2
25 20 15 10 5
Infuen dan efluen TS g/L
Efisiensi perom bakan TS (%)
Gambar 62. Padatan tersuspensi (SS) influen, efluen dan efisiensi perombakan substrat kolam I.1
0 25
50
75 100 125 150 175 200 225 250 275 300
Laju pengumpanan m3/hari Efis Perb TS
TS INF
TS EfL
Gambar 63. Total padatan (TS) influen, efluen dan efisiensi perombakan substrat kolam I.1 Hasil yang dipertoleh menunjukkan bahwa selisih rerata COD, BOD, TS, SS influen dan efluen sangat tinggi. Konsentarasi COD, BOD, TS dan SS yang terombak masing-masing adalah, 55g/L; 22,1g/L; 27,8g/L; dan 18,1g/L, dengan
117 nilai efisiensi berturut-turut 95%; 94,2%; 78,2%, 82,6%, dengan waktu tinggal rerata 10-11 hari. Namun demikian hasil perombakan anaerob yang diperoleh, kualitas air limbah di atas baku mutu yang ditetapkan MenKLH 1995. Pengembangan bioreaktor lebih lanjut masih diperlukan, agar kualitas limbah sesuai baku mutu yang dipersyaratkan sebelum di buang ke perairan umum atau tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Hasil uraian diatas dapat dikatakan bahwa proses fermentasi dalam bioreaktor dapat dibedakan menurut sistem pengumpanan (feeding), penggunaan suhu, tingkat fermentasi, dan proses fermentasi dua fase. Penelitian skala pilot digunakan sistem pengumpanan kontinyu, pada suhu yang digunakan sesuai hasil yang diperoleh dalam skala laboratorium yaitu suhu lebih besar dari kondisi mesofilik antara 40 – 50 oC. Kondisi suhu tersebut merupakan suhu thermofilik, yang dapat berfungsi untuk penghancuran bahan organik dengan cepat dan produksi tinggi (m3 gas/m3 LCPMKS per hari) serta waktu retensi pendek bebas desinfektan (Loebis danTobing 1984, 1990, Metchalf dan Eddy 2003). Sistem pengumpanan (feeding) bertahap mulai dari 25 – 300 m3/hari dengan interval 25 m3. Hasil optimum laju pengumpanan LCPMKS dalam proses perombakan anaerob dan produksi biogas kolam anaerob tertutup laju tinggi memberikan fenomena hasil berbeda. Persentase efisiensi penurunan organik optimum sebesar >90% diperoleh pada pemberian umpan 200-250 m3/hari, sementara laju pengumpanan meningkat >200 m3/hari, terjadi penurunan efisiensi pengurangan COD, BOD, TS dan SS. Fenomena hasil demikian boleh jadi dapat disebabkan oleh menurunnya aktifitas mikroba perombak pada proses biokonversi pengubahan bahan organik menjadi biogas, sehingga memberikan hasil yang berbeda. Wenner et al. (1989) menyatakan bahwa proses perombakan anaerob terbagi dalam empat tahap yaitu hidrolisis, fermentasi senyawa sederhana, oksidasi hasil fermentasi asam yang akan digunakan sebagai substrat bakteri metan dan tahap akhir adalah fermentasi metan dan reaksi yang terjadi adalah CO2 dan H2 diubah menjadi metan dan air, atau fermentasi asetat diubah menjadi metan dan CO2. Bitton (1999) menyatakan bahwa terdapat dua kelompok bakteri metanogen penting pada proses anaerob, yaitu metanogen hidrogenotrofik
118 (menggunakan H/ kemolitotrof) mengubah hidrogen dan CO2 menjadi metan, dan metanogen asetotrofik (asetoklastik) metanogen pemisah asetat yang mengubah asetat menjadi metan dan CO2. Proses perombakan sistem anaerob, berbagai macam bakteri terlibat, yaitu bakteri campuran dalam proses perubahan bentuk senyawa-senyawa organik kompleks dengan berat molekul tinggi menjadi metan. LCPMKS merupakan sumber pencemar lingkungan, baik udara atau air. Inovasi teknologi digester anaerob kolam tertutup skala pilot cukup memberi kontribusi dalam upaya eliminasi pencemaran udara oleh emisi metan. 3.4. Analisis kelayakan tekno-ekonomi Analisis
kelayakan
tekno-teknoekonomi
menggunakan
metode
perhitungan kelayakan sederhana (Kadarsih 1995). Perhitungan dilakukan berdasarkan
pengeluaran
pembelanjaan
materi
yang
diperlukan
untuk
membangun teknologi anaerob laju tinggi dengan agitasi dan resirkulasi (biaya investasi). Perhitungan didasarkan banyaknya produksi gas yang dihasilkan, dikonversi dengan BBM, dan perhitungan harga BBM industri, sebagai dasar perhitungan BEP,NPV, IRR dll. Produksi biogas kolam anaerob tertutup (anaerobic digester closed pond/lagoon) dengan kapasitas 4500 m3 memerlukan biaya investasi sebesar Rp 403.000.000,- (data sampai dengan akhir Oktober 2006). Investasi ini meliputi biaya investasi riset dan pembangunan fisik instalasi, konstruksi sungkup, plastik impermiabel kedap udara (terpal plastik), mesin pompa air 5 PK, pembuatan parit, pekerjaan sipil dan instalasi pemasangan pipa serta listrik. Biaya variabel operasional meliputi biaya penyediaan tenaga listrik, upah tenaga kerja dan perawatan sungkup, serta pembersihan skum sebesar = Rp 5.760.000,- per bulan atau biaya variabel per hari = Rp 5.760.000,- dibagi 30 = Rp 192.000,-. Biaya variabel per m3 biogas = Rp192.000,- dibagi 10.000 = Rp19,2 /m3.
Pendapatan Satu m3 biogas bila dirupiahkan setara minyak solar = 0,52 x Rp4500,yaitu sekitar Rp2340/m3,-
119 Break Event Point(BEP): BEP = Rp403.000.000,- dibagi (Rp2340,- - Rp19,20) per m3 = 173.632 m3, dengan demikian untuk mengembalikan investasi sebesar Rp403.000.000,-, instalasi produksi biogas harus menghasilkan minimal 173.632 m3. Payback period : Pendapatan bersih per hari: (10.000 x 0,52 x Rp 4500,-) - Rp192.000,-= Rp23.400.000,- - Rp192.000,- = Rp23.208.000,Payback period = Rp403.000.000,- dibagi Rp23.208.000,- = 17,36 hari Bila kendala teknis operasional dalam produksi biogas dapat dikuasai dengan baik, maka menurut perhitungan ekonomis untuk pengembalian dana investasi, diperlukan waktu hanya 17 – 18 hari. Net Present Value (NPV): Pendapatan bersih per bulan = 20 x Rp23.208.000,- = Rp460.416.000,Pendapatan bersih per tahun = 12 x Rp460.416.000,- = Rp5.524.992.000,Dengan asumsi umur alat pembangkit produksi biogas satu tahun, bunga bank komersial 20% per tahun, maka presentasi nilai pendapatan bersih = 0,833 x Rp5.524.992.000,- = Rp4.602.318.300,NPV = Rp 4.602.318.300,- - Rp403.000.000,- = Rp 4.199.318.300,-
Internal Rate of Return (IRR): Berdasarkan NPV sebesar Rp4.199.318.300 dengan bunga Bank sebesar 20% dan umur ekonomis instalasi satu tahun, maka untuk mendapatkan NPV = 0 atau Internal Rate of Return (IRR) = NPV, diperoleh angka IRR di atas 35%.
Benefit Cost Ratio : Perbandingan antara keuntungan finansial dibagi biaya variabel = Rp2330,80 : Rp19,20 = 121,40 Perhitungan kriteria investasi kolam anaerobik tertutup (anaerobic closed pond) meliputi BEP, payback period, NPV dan IRR, dan BCR menunjukkan bahwa investasi proyek pembangunan instalasi pembangkit biogas sistem kolam
120 anaerobik tertutup laju tinggi sangat layak untuk dikembangkan penggunaannya. Namun demikian persoalan teknis operasional, desain dan sistem instalasi, sistem pemasangan pipa (perpipaan) serta kemurnian biogas perlu dikembangkan lebih jauh agar kegagalan operasional dapat dihindari, efisiensi perawatan dapat ditingkatkan, umur ekonomis dapat dipertahankan serta produksi biogas lebih meningkat (Tabel 15) Hasil perhitungan tekno-ekonomi menunjukkan bahwa teknologi anaerob tertutup sangat layak untuk dikembangkan dan dioperasionalkan (Tabel 5.). Salah satu upaya peningkatan peran dan pengembangan teknologi digesi anaerob ini adalah mengetahui kelayakan tekno-ekonomi. Hasil pengukuran tekno-ekonomi yang diperoleh menunjukkan bahwa NPV sebesar Rp 460.416.000/bulan (Rp 5.524.992.000/tahun) dengan asumsi alat yang digunakan berumur 1 tahun, dengan bunga bank 20% tahun, IRR di atas 35%, benefit cost rasio (Net B/C) sebesar 121,40, dan perhitungan pengembalian dana investasi dapat ditempuh dalam waktu sangat singkat yaitu 17 – 18 hari (Tabel 15). Net Present Value (NPV) merupakan perbedaan antara nilai sekarang (present value) dari manfaat dan biaya. Apabila nilai NPV bernilai positif, diartikan sebagai besarnya keuntungan yang diperoleh, sehingga teknologi tersebut layak diterapkan. Internal Rate Return (IRR) menggambarkan tingkat pengembalian modal yang digunakan dalam pembiayaan suatu teknologi. Suatu teknologi layak dilaksanakan apabila IRR > discount rate. Net Benefit-Cost Rasio (Net B/C) merupakan perbandingan total present value dari benefit bersih terhadap total present value dari biaya bersih (Kadariah et al. 1978). Bila Net B/C > 1 maka teknologi yang diterapkan merupakan titik impas, dan sebaliknya bila Net B/C < 1 maka teknologi tidak layak diterapkan. Hasil yang diperoleh (Net B/C) = 121,40, sehingga dapat disimpulkan bahwa teknologi tersebut layak untuk diterapkan dan dikembangkan. Pay Back Period (PBP) menunjukkan kebutuhan waktu untuk pengembalian seluruh modal yang ditanam (Kadariah et al.1978). (Tabel 15).
121 Tabel 15. Perhitungan tekno-ekonomi pengelolaan LPCKMS anaerob tertutup No
Komponen perhitungan teknoekonomi
1 2
Investasi 403.000.000,00 Biaya variabel 5.760.000,00 Operasional Pendapatan satu m3 2340,00/m3,biogas bila dirupiahkan
3
Nilai /Rupiah
Keterangan Kapasitas 4500 m3 Dalam setiap bulan setara minyak solar = 0,52 x Rp4500,- yaitu sekitar
4
Break Event Point (BEP)
173.632 m3
pengembalikan investasi sebesar Rp403.000.000,00 instalasi produki biogas harus menghasilkan minimal 120.992 m3.
5
Payback period (pendapatan bersih/hr)
23.208.000,00
Pendapatan bersih perhari
6
Investasi / Payback period
403.000.000,00/ 23.208.000,00
17 – 18 hari untuk kembalikan dana investasi
7
Net Present Value (NPV)/ Bulan
Rp460.416.000,00
Net Present Value (NPV)/ Tahun Pendapatan bersih
Rp5.524.992.000
Asumsi : 1. Alat yg digunakan berumur 1 tahun 2. Bunga Bank 20 %/th
Rp4.602.318.300,-
Dalam satu tahun
NPV 4.199.318.300,Internal Rate of Return Di atas 35 % (%) = (IRR): Benefit Cost Ratio : 121,40 (Net B/C)
Sangat layak dilakukan dan diterapkan
Hasil perhitungan kelayakan tekno-ekonomi menunjukkan bahwa pengembalian modal memerlukan waktu sekitar 17 -18 hari. Hasil pengembangan teknologi digesi anaerob laju tinggi dengan memfokuskan pada upaya peningkatan produksi biogas sangat layak untuk diterapkan, juga dapat memberi kontribusi pengurangan dampak negatif polusi udara oleh emisi metan. Dengan demikian dapat meningkatkan nilai tambah bagi indutri maupun masyarakat sekitar, dengan memanfaatkan biogas sebagai pengganti sumber energi fosil dan terbarukan.
122 4. Kesimpulan Hasil hasil yang diperoleh dan telah dibahas di atas dapat diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Rancangan bioreaktor dan konstruksi kolam anaerob tertutup laju tinggi digunakan kolam I.1 dengan luas permukaan 1000 m2 dan kapasitas maksimum 4500 m3 atau volume kerja 4000 m3 dilengkapi dengan pompa resirkulasi dan peningkatan suhu gradasi thermofilik LCPMKS segar serta blower 3” siap uji Kondisi awal dipercepat dengan aklimatisasi lumpur aktif 20% (b/v) substrat LCPMKS pH= 7, dan suhu mesophilik antara 35 – 40oC, kondisi kolam II-B sesuai untuk produksi biogas, 2. Laju pengumpanan optimal untuk produksi biogas LCPMKS sistem digester anaerob kolam tertutup sebesar 200 m3/hari, dan menghasilkan biogas sebesar 10.000 m3. 3. Efisiensi pengurangan bahan organik COD, BOD,TS, SS, masing-masing 95%, 94%, 78,2%, 82,6%, dan mengalami penurunan pada laju pengumpanan 200 m3/hari 4. Hasil
perhitungan
kelayakan
tekno-ekonomi
secara
sederhana
pemasangan atau pembangunan bioreaktor anaerob kolam tertutup sangat layak diterapkan dengan BEP = 120.992 m3, Net B/C=121,40. Net Present Value (NPV)/ Bulan Rp460.416.000,00 IRR di atas 35 %.
BAB VI PEMBAHASAN UMUM Pengelolaan limbah cair pabrik minyak kelapa sawit (LCPMKS) yang kaya bahan organik, di Indonesia umumnya memanfaatkan teknologi perombakan (digesti) anaerob kolam terbuka, yang sering disebut sistem konvensional. Sistem ini banyak kelemahan diantaranya tidak efisien, karena membutuhkan lahan yang luas, biaya pemeliharaan tinggi, menimbulkan emisi gas metan yang menyebabkan dampak gas rumah kaca. LCPMKS merupakan produk samping industri kelapa sawit yang kondisinya semakin melimpah seiring dengan peningkatan kapasitas olah pabrik maupun produksi perkebunan kelapa sawit. Pabrik kelapa sawit di Indonsia berjumlah 320 buah pabrik yang menghasilkan LCPMKS lebih 40 juta m3/tahun. Sedang pengolahan 60 ton tandan buah segar (TBS)/jam menghasilkan LCPMKS 700 m3/hari, sehingga dipridiksi sangatlah melimpah LCPMKS yang tersedia. Pengolahan LCPMKS secara konvensional umum dilakukan karena mudah dan tidak memerlukan teknologi tinggi, namun kurang efisien, karena memerlukan lahan yang sangat luas, cepat mengalami pendangkalan, biaya pemeliharaan mahal, emisi gas metan meningkatkan pencemaran udara, penyebab pemanasan global. LCPMKS sumber pencemar yang potensial, bersifat asam (pH 4) mengandung bahan organik tinggi, dan total solit 4 - 5%, berbahan baku lignoselulosa, pekat dengan nilai BOD, COD, SS, TS tinggi, sebagai sumber pencemar potensial (H-Kittikun et al. 2000, Yuliasari et al. 2001). Oleh karenanya upaya penanganan limbah tersebut agar memenuhi standart baku mutu yang telah ditentukan, dan sumber energi terbarukan atau bioenergi menjadi pertimbangan utama penelitian ini. Kondisi LCPMKS sangat potensial untuk produksi biogas melalui fermentasi anaerob, namun di Indonesia belum dimanfaatkan secara optimal, karena keterbatasan teknologi yang tersedia. Perombakan bahan organik dari LCPMKS menjadi biogas melalui beberapa tahapan reaksi oleh bakteri asetogenik dan metanogenik. Peningkatan sistem pengolahan LCPMKS yang
124 efisien dan efektif akan meningkatkan daya guna yang lebih baik, misalkan produksi biogas dari LCPMKS, dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi dalam pabrik, sehingga dapat menekan biaya produksi, secara tidak langsung akan meningkatkan daya saing produk dipasaran. LCPMKS bagai tombak bermata dua, satu sisi sebagai bahan pencemar yang potensial, karena emisi gas metan penyebab pemanasan global, disisi lain sebagai limbah yang kaya bahan organik, sebagai sumber energi terbarukan yang aman dan bersih lingkungan, yang saat ini sedang digalakan. Selain sumber produksi biogas sebagai energi terbarukan, dapat menghasilkan pupuk, full cell dll. Perkembangan industri kelapa sawit yang demikian pesat menuntut penanganan limbah terutama LCPMKS yang lebih efektif, efisien sekaligus bernilai tambah, yaitu dengan mengembangkan teknologi digesti anaerob kolam tertutup laju tinggi. Upaya penanganan limbah tersebut agar memenuhi standart baku mutu yang telah ditentukan, dan sumber energi terbarukan atau bioenergi menjadi pertimbangan utama penelitian ini. Hasil penelusuran jurnal di Indonesia pengelolaan LCPMKS sistem digesti anaerob kolam tertutup (DAKT) belum ditemukan, maka dikatakan bahwa penelitian pengelolaan LCPMKS dengan DAKT terbaru di Indonesia. Dengan penelitian tersebut diharapkan memperoleh informasi baru tentang pengembangan sistem mengelolaan LCPMKS yang lebih efisien, efektif dan lebih berdaya guna. Memperoleh informasi baru tentang metode pengukuran emisi gas metan LCPMKS sistem kolam, dan penerapan teknologi perombakan digester anaerob kolam tertutup laju tinggi dengan resirkulasi pada pengelolaan LCPMKS skala industri. Pengolahan LCPMKS yang umum dilakukan di Indonesia
dengan
sistem konvensional, dan sistem tersebut kurang efisien, karena masih menimbulkan dampak gas rumah kaca, kebutuhan lahan lebih luas dan kualitas limbah tidak sesuai dengan baku mutu yang ditentukan oleh MenKLH 2005. Kebutuhan luas lahan yang tidak efisien berakibat memperluas dampak negatif dan
kerugian
terhadap
lingkungan,
khususnya
dampak
GRK,
serta
pembengkaan dana. Oleh sebab itu diperlukan inovasi pengolahan LCPMKS, salah satunya dengan modifikasi sistem anaerob tertutup laju tinggi.
125 Prinsip proses perombakan anaerob laju tinggi adalah dekomposisi mikrobiologis dengan metabolisme bahan organik dalam lingkungan anaerob, dan menghasilkan
biogas, yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung
operasinal pabrik.Untuk mengatasi permasalahan tersebut dilakukan penelitian terapan, yang bekerjasama dengan industri kelapa sawit PT Pinago Utama di Palembang. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mempelajari karakteristik dan faktor biotik abiotik yang berpengaruh terhadap laju produksi biogas, total produksi biogas dan efisiensi pengurangan bahan organik dari LCPMKS, 2) mengukur emisi gas metan LCPMKS kolam anaerob terbuka, memantau kualitas kolam pengolahan LCPMKS, efisiensi pengurangan bahan organik, dan cara peningkatan kualitas atau pemurnian biogas, 3) merancang dan menguji teknologi perombakan kolam anaerob tertutup laju tinggi dengan perlakuan resirkulasi dan peningkatan suhu gradasi untuk pengelolaan LCPMKS lebih efisien , efektif, dan berdaya guna, 4) mengkaji kelayakan tekno-ekonomi anaerob tertutup laju tinggi secara ekonomis, dan mendapatkan teknologi pengolahan LCPMKS untuk produksi biogas yang layak diaplikasikan sesuai analisis ekonomi secara sederhana. Penelitian yang dilakukan dibagi tiga sub penelitian, yaitu skala laboratorium, yang menggunakan sistem anaerob tertutup sistem curah, yang akan memberikan gambaran karakteristik LCPMKS PT Pinago Utama, dan memberikan gambaran faktor abiotik dan biotik yang berpengaruh terhaap produksi biogas dan perombakan bahan organik substrat. Baseline study sebagai dasar melangkah pengelolaan LCPMKS dalam skala industri, serta mengukur emisi biogas yang terjadi. Dari hasil penelitian laboratorium dan baseline study, akan dikembangkan pengolahan LCPMKS skala industri dengan anaerob tertutup laju tinggi. Hasil
percobaan
laboratorium
menunjukkan
bahwa
karakteristik
LCPMKS PT. Pinago Utama bersifat koloida, kental, coklat atau keabu-abuan, pH 4,4-4,6 dan mempunyai rerata kandungan COD 49,0-63,6; BOD 23,5-29,3; TS 26,5-45,4 dan SS 17,1-35,9 g.l-1. Keseluruhan nilai parameter tersebut, di atas ambang baku mutu, sehingga LCPMKS berpotensi sebagai pencemar lingkungan.
126 Jenis inokulum lumpur aktif kolam II konsentrasi 20% menghasilkan biogas tertinggi yaitu 121 L. Lumpur aktif kolam II konsentrasi 10% menghasilkan biogas sebanding dengan lumpur aktif kotoran sapi 10%, berturutturut 55 L dan 64,5 L. Dengan demikian lumpur aktif kolam II konsentrasi 20% sesuai untuk digunakan peningkatan awal (start-up) produksi biogas pada digester anaerob skala pilot. Pada kondisi terbaik yaitu dengan inokulum lumpur aktif kolam II konsentrasi 20% dari seluruh perlakuan yang diuji dalam digester anaerob sistim curah volume 20 L, hingga akhir pengamatan minggu ke-12 diperoleh penurunan COD, BOD dan total solid (TS) > 85% pada minggu ke-2, namun penurunan soluble solid (SS) baru bisa mencapai > 80% setelah minggu ke-4 inkubasi. Penggunaan substrat LCPMKS segar dengan pH 4,4 tanpa bahan penetral akan memperlambat proses terbentuknya biogas, dan hanya diperoleh total produksi biogas 15 L selama 12 minggu inkubasi. Produksi biogas akan meningkat 3,6 kali lebih besar jika dilakukan penambahan bahan penetral pada awal inkubasi berupa Ca(OH)2 yang lebih baik, serta harganya lebih murah dibandingkan NaOH. Pemberian agitasi pada digester anaerob sistim curah dapat meningkatan perolehan biogas 9,2 kali lebih besar dibandingkan tanpa agitasi. Hal ini disebabkan karena agitasi dapat meningkatkan kontak langsung antara substrat utama LCPMKS dan substrat antara, berupa asam-asam organik dengan bakteri asidogenik, asetogenik dan metanogenik. Peningkatan suhu reaksi dari temperature rumah kaca (300C) menjadi 400C dapat meningkatkan 1,25 kali produksi biogas. Pemberian substrat LCPMKS segar yang memiliki suhu antara 50 - 650C pada digester anaerob kolam tertutup skala pilot diharapkan akan meningkatkan suhu digester sehingga produksi biogas lebih tinggi. Faktor abiotik yaitu, penambahan bahan penetral pH Ca(OH)2, pH awal substrat 7, penambahan agitasi dan penambahan suhu LCPMKS >40oC, mampu meningkatkan laju produksi biogas, total produksi biogas dan efisiensi pengurangan bahan organik. Rerata efisiensi pengurangan bahan pencemar sistem curah relatif tinggi, masing-masing 88 %, 74,8%, 64,4% dan 61% untuk COD, BOD, SS, dan TS. Hasil tersebut menunjukkan bahwa faktor biotik dan abiotik berpengaruh terhadap laju dan total produksi biogas, efisiensi pengurangan bahan organik substrat LCPMKS tinggi terkecuali TS. Hasil
127 karakteristik pengukuran parameter yang diperoleh menunjukkan bahwa LCPMKS PT Pinago Utama Palembang jauh diatas baku mutu yang telah ditetukan oleh MenKLH (1995). Sehingga dikatakan bahwa LCPMKS sebagai sumber pencemar. Peningkatan nilai pH dan suhu seiring dengan bertambahnya produksi biogas, pH menjadi netral dan suhu menjadi kondisi termofil, memungkinkan perkembangan dan pertumbuhan mikroba pencerna (perombak) bahan organik terutama metanogen dalam limbah meningkat dan memacu laju reaksi kimia (proses perombakan) yang berjalan sangat baik, sehingga berdampak pada produksi biogas. Akibat proses perombakan bahan organik yang terjadi ditunjukkan oleh perubahan atau perbedaan nyata nilai parameter. Polprasert (1996) dan Metcalf dan Eddy (2003) menyatakan bahwa kondisi anaerob, proses perombakan biokimia berjalan dengan baik pada rerata pH 7,3. Hal tersebut sesuai hasil yang diperoleh bahwa produksi biogas terbaik dapat dicapai pada pH 7– 7,3 (pH netral), dan suhu mesofil antara 30-35oC atau thermofil 40-60 oC. Mertz (2003) menyatakan bahwa faktor biotik yang berpengaruh terhadap laju dan total produksi biogas adalah kumpulan (konsorsium) jasad renik, yang berperan dalam perombakan bahan organik dan produksi biogas. Adrianto et al. (2001) menyatakan bahwa senyawa kompleks organik tidak dapat dimanfaatkan secara langsung oleh bakteri di dalam proses metabolisme, karena membran sel bakteri hanya dapat dilewati oleh senyawa organik sederhana seperti glukosa, asam amino dan asam lemak volatil. Pavlostatis dan G. Gomes (1991) dan Adrianto et al. (2001) menyatakan bahwa proses penguraian senyawa kompleks organik menjadi senyawa organik sederhana berlangsung pada proses hidrolisis yang dilakukan oleh kelompok bakteri hidrolitik. Raj et al. (1989) menyatakan bahwa limbah cair yang mengandung senyawa kompleks organik, pengendali proses terletak pada tahap hidrolisis, karena proses hidrolisis lebih lambat dibandingkan dengan tahap proses lain. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa proses hidrolisis merupakan salah satu tahapan proses sangat penting untuk kelangsungan proses biodegradasi anaerob. Hidrolisis akan mempengaruhi kinetika proses perombakan secara keseluruhan.
128 Loubis dan Darnoko (1992) dan O’Flaherty et al. (2006) menyatakan bahwa perombakan limbah cair secara biologis, tahap anaerobik merupakan tahapan yang sangat menentukan keberhasilan proses perombakan. Pada tahap tersebut terjadi perombakan bahan-bahan organik menjadi asam-asam lemak rantai panjang, asam asetat dan akhirnya menjadi gas metana dan CO2, sehingga terjadi penurunan COD. Proses perombakan terjadi pada pH 6,8 – 8,0, jika pH rendah bakteri metanogen akan mati. Mikroorganisme yang bekerja dalam proses perombakan secara anaerob memerlukan kondisi spesifik, sehingga sangat peka terhadap perubahan yang dapat menyebabkan kegagalan dalam proses perombakan. Perubahan komposisi bahan organik substrat yang diakibatkan oleh perombakan, berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan mikroba pencerna bahan organik menjadi anorganik, berdampak pada perubahan aktifitas mikroba. Sebaliknya mikroba yang berperan membentuk gas metan misalkan bakteri metanogenik tumbuh dan berkembang baik, sehingga aktifitasnya boleh jadi meningkat. Oleh sebab itu dengan bertambah lama waktu fermentasi, memungkinkan hasil produksi biogas meningkat. Kondisi demikian terkait dengan adanya variasi peran mikroba (mikroba syntrofik) dalam proses perombakan LCPMKS sistem anaerob (Werner et al. 1989). Proses perombakan terjadi empat tahap dengan golongan mikroba yang berbeda. Tahap 1) hidrolisis diperankan oleh bakteri hidrolitik, 2). Fermentasi sederhana yang akan digunakan sebagai sumber energi mikroba, 3) reduksi dan oksidasi dalam kondisi anaerob terbentuk asam asetat, CO2 dan hidrogen, tahap akhir berupa fermentasi metana. Proses hidrolisis merupakan kunci dari proses perombakan bahan organik, dan terdapat dua kelompok bakteri metanogen penting pada proses anaerob yaitu metanogen hidrogenotrofik (menggunakan H/ kemolitotrofik) mengubah hidrogen dan CO2 menjadi metana, dan metanogen asetotrofik (asetoklastik) metanogen pemisah asetat, mengubah asetat menjadi metana dan CO2 (Bitton 1999). Demikian pula yang dinyatakan oleh Reith et al. (2003) bahwa ada empat tahap dimana proses hidrolisis protein akan diubah menjadi asam amino, karbohidrat diubah menjadi gula, dan lipid akan diubah menjadi asam lemak
129 rantai panjang dan glyserol. Selanjutnya terjadi proses Acidogenesis dimana gula akan diubah menjadi asam lemak volatil dan alkohol. Proses berlanjut dengan acetogenesis yang akan merombak asam asam lemak volatil membentuk asam lain lebih sederhana, dan dilanjutkan dengan proses metanogenesis, yang menghasilkan metana dan CO2. Uraian tersebut menunjukkan bahwa proses perombakan yang terjadi di dalam kondisi anaerob dilakukan berbagai macam jenis mikroba, sehingga banyak faktor berpengaruh terhadap proses tersebut, baik faktor abiotik maupun biotik. Metcalf dan Eddy (2003) menyatakan bahwa temperatur air limbah yang hangat dapat meningkatkan reaksi biokimia pada kolam anaerob, dimana bahan organik dirombak menjadi biogas pada kisaran temperatur hangat (mesofilik) antara 30 dan 38 oC. Selanjutnya dinyatakan bahwa temperatur dapat dibedakan menjadi cryophilic 5-18 oC, mesophilic 25-40 oC dan thermophilic 55-65 oC. Proses anaerob biasa berlangsung antara 6,8-7,6; bakteri metana tidak toleran pada pH diluar 6,7-7,4; sedangkan bakteri non metana mampu hidup pada pH 58,5 dan pengadukan (Loebis dan Tobing 1984; Tobing et al. 1990; Yuliasari et al. 2001). Agitasi juga sangat penting karena perlakuan tersebut diduga berpengaruh pada intensitas kontak antara organisme dan substrat (senyawa organik) lebih baik bila dibandingkan dengan tanpa pengadukan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Barford (1983) bahwa pengadukan dimaksudkan agar kontak antara limbah segar dan bakteri perombak aktif lebih baik, dan menghindari padatan terbang atau mengendap, yang akan mengurangi efektifitas perombakan dan menimbulkan ‘plugging’ gas dan luaran lumpur. Simorangkir et al. (1995) menyatakan bahwa pengaturan pH awal dan pengadukan atau agitasi 100 rpm, produksi biogas yang diperoleh lebih tinggi bila dibandingkan dengan tanpa pengaturan pH awal dan agitasi. Hasil percobaan skala laboratorium memberikan rekomendasi bahwa jenis inokulum dan komposisi inokulum yang digunakan (faktor biotik) berasal dari LCPMKS kolam II-B sebanyak 20% (b/v) volume kerja 15 L berpengaruh meningkatkan produksi biogas dan pengurangan konsentrasi bahan pencemar organik.
Faktor abiotik yang berpengaruh meningkatkan produksi biogas dan
130 efisiensi perombakan adalah pH netral (6,9 – 7,3), peningkatan suhu substrat 3540oC, agitasi, dan hasil percobaan tersebut sebagai landasan pada percobaan berikutnya, baik baseline study maupun skala pilot Sistem kolam atau konvensional yang digunakan saat ini untuk pengolahan LCPMKS PT. Pinago Utama terdiri dari beberapa jenis kolam di antaranya adalah kolam I.1 – I.5 sebagai kolam cooling dan recovery, kolam II-A dapat disebut sebagai kolam overload, kolam II-B adalah kolam anaerob, dan kolam III–V merupakan kolam aerob, dan kolam VI dipenuhi dengan limbah TKKS. Hasil penilaian cepat kualitas air limbah kolam areal pengelolaan LCPMKS menunjukkan bahwa kolam II-B merupakan kolam anaerob yang berpotensi emisi biogas dan digunakan sebagai lokasi pengukuran produksi biogas, sebagai base line study. Hasil pengukuran menunjukkan pH netral antara 6,9 – 7,3, dan suhu rerata mencapai 37 oC. Kondisi tersebut memenuhi persyaratan kondusif keberlangsungan proses perombakan anaerob, dan bakteri metana toleran pada pH 6,5 – 7,6; sedang bakteri non metana mampu hidup pada pH 5-8,5 (Yuliasari et al. 2001). Base line study yang dilakukan pada kolam perombakan anaerob terbuka yaitu kolam II-B, emisi gas metan diukur dengan metode pengambilan sampel secara purpousive sampling, dengan enam titik sampling. Pengukuan emisi digunakan sungkup berukuran 4m x 6m x 0,65 m untuk menampung biogas. Hasil pengukuran emisi gas metan kolam anaerob terbuka II-B dari pabrik kelapa sawit kapasitas 60 ton TBS/jam, setara dengan 23.866 ton CO2 equivalent/ tahun. Secara visual gelembung biogas terjadi pada kolam II-A, II-B, dan kolam III dengan intensitas yang sama. Total emisi gas metan diperkirakan bisa mencapai dua kali lebih besar, bahkan lebih karena pengolahan LCPMKS secara konvensional dengan sistim kolam anaerob dan aerob merupakan teknologi sederhana, mudah dan murah, memerlukan lahan yang luas ± 10 Ha serta dibutuhkan tenaga kerja yang banyak, terutama untuk membersihkan atau memanen scum pada permukaan kolam anaerob dan pengurasan kolam akibat pendangkalan oleh lumpur LCPMKS. Emisi gas metan dari pengolahan limbah cair di hampir seluruh pabrik kelapa sawit di Indonesia sangat potensial sebagai sumber pencemar GRK (gas Rumah kaca) yang berdampak pada pemanasan global. Kualitas limbah cair pada outlet
131 kolam terakhir (kolam I-VI) sebagian besar belum memenuhi syarat baku mutu yang ditetapkan oleh MenKLH (2005), yaitu COD kolam I- VI 44,1; 5,5; 7,9; 3,9; 0,9; 0,7. BOD 15,3; 3,0; 3,1; 1,3; 0,4; 0,3;. TS 30,0; 10,9; 9,8; 5,2; 5,6; 3,5. SS 31,6; 7,8; 7,4; 2,1; 2,0; 1,6. Biogas yang dihasilkan dari perombakan anaerob memiliki kandungan gas metan 55% – 65%, dan CO2 berkisar antar 35% – 45%. Biogas yang dihasilkan telah dicoba pemanfaatannya secara langsung untuk pembakaran pada burner menggantikan bahan bakar minyak. Biogas yang dihasilkan dari LCPMKS yang ingin digunakan untuk bahan bakar mesin diesel atau kendaraan bermotor, biogas harus dimurnikan dengan cara penjerapan CO2, uap air dan H2S untuk meningkatkan konsentrasi gas metan. Bahan penjerap Ca(OH)2 konsentrasi 50 mg per liter air memiliki efisiensi penjerapan ± 20% , sebanding namun lebih murah dibanding NaOH pada konsentrasi yang sama. Emisi biogas kolam LCPMKS II-B berbagai titik pengukuran sebesar 3.555 m3/hari dengan luas kolam 10.800 m2 dan rerata komposisi gas metan (CH4) sebesar 53,4%. Potensi emisi gas metan dengan kadar metan sebesar 1935,6 kg/hari, berpotensi pemanasan global
sebesar 23.866 ton CO2
ekivalen/tahun, untuk satu kolam II-B saja. Hasil monitor dari tiga kolam yaitu II-A, II-B dan III secara visual menunjukkan gejala yang sama, yaitu terbentuknya gelembung gas dipermukaan kolam, sehingga dapat dikatakan bahwa pengolahan LCPMKS yang umum di Indonesia memberikan kontribusi dampak pemanasan global sangat tinggi. Hasil pengukuran efiseinsi perombakan bahan organik dalam substrat LCPMKS, rerata efisiensi pengurangan bahan organik COD, BOD, TS, VS dan SS berkisar antara 80-90% dengan waktu tingal relatif lama (10-12 bulan.). Sehingga dapat dikatakan sekalipun nilai efisiensinya pengurangan relatif tinggi, dengan waktu yang lama, dalam kondisi kolam terbuka, maka memberi dampak emisi sangat tinggi. Selain hal tersebut juga mempercepat pendangkalan kolam, sehingga muatan limbah LCPMKS menurun, dan emisi biogas berlangsung terus menerus. Hasil yang diperoleh pada Base line study, biogas yang dihasilkan dapat digunakan sebagai mana bahan bakar gas (BBG) jenis lain, misalkan perebusan air dengan komporgas, pengeringan kompos, pemotongan besi dan lainnya,
132 bahkan dinegara maju, mobil mewahpun menggunakan bahan bakar gas (BBG). Bitton (1999) menyatakan bahwa biogas hasil proses perombakan bahan organik oleh jasad renik dalam kondisi anaerob berupa gas campuran metana, CO2, H2O serta senyawa gas sangat kecil konsentrasinya (impuritis) lainnya. Oleh sebab itu diperlukan penjerap (scrubber) dengan berbagai bahan adsorbance, untuk meningkatkan kualitas biogas yang dihasilkan. Berbagai bahan scrubber yang digunakan menunjukkan pemakaian Ca(OH)2 dan CaCl2 sebagai penjerap CO2, H2O dan H2S relatif efektif, karena persentase metana dalam biogas meningkat menjadi 62,9 % dari 41,35% sebelum penjerapan. Hasil pemantauan selama 10 bulan, menunjukkan bahwa rerata kolam anaerob II-B mampu merombak COD LCPMKS sebesar 38,7 kg COD/m3, atau rerata 13,5 ton COD/hari, oleh karena kapasitas olah pabrik setiap hari 51 ton TBS/jam menghasilkan limbah cair sekitar 325-350 m3/hari yang masuk ke kolam II-B, lebih kurang 86% COD berhasil dihilangkan sebelum LCPMKS mengalir ke dalam kolam III. LCPMKS digestat dalam kolam III COD sebesar 2.894-7.662 mg/l dan limbah yang keluar (kolam VI) sebesar 462-1.254 mg/l, juga parameter lainya seperti BOD, TS, TSS dan VS masih relatif tinggi dibanding baku mutu yang telah ditentukan. Hasil analisis BOD, COD, TS, SS dan VS setiap bulan berfluktuatif, hal tersebut dapat dimengerti, karena nilai perombakan bergantung dari berbagai faktor diantaranya, hasil panen, proses produksi minyak, dan kualitas buah. Selain itu juga faktor biotik dan abiotik, yang selanjutnya disebut faktor lingkungan (Yacob et al. 2005b). Pengelolaan LCPMKS secara konvensional, dari pabrik mengalir ke kolam-kolam penampungan yang disebut kolam pendinginan (cooling pond) dan atau kolam pengutipan (oil recovery). Pengolahan LCPMKS secara biologik dalam kolam anaerob menampung aliran kolam pengendapan, memanfaatkan bakteri anaerob untuk menurunkan konsentrasi BOD, COD, TS, SS dan VS dan menetralisir keasaman limbah (H-Kittikun et al. 2000). Parameter COD, BOD, TS, SS dan VS tampak menurun dari kolam anaerob I ke kolam anaerob II, hal tersebut dapat dimengerti karena kolam anaerob I, pH rendah dan kolam 2 pH netral. Kondisi pH netral aktifitas mikroba perombak lebih aktif bila dibandingkan dengan pH rendah, sehingga
133 pengurangan organik setiap parameter diukur rerata cukup besar. Hal tersebut dapat dimengerti bahwa proses perombakan (biofermentasi) LCPMKS dilakukan oleh berbagai jenis mikroorganisme. Dalam proses tersebut berbagai tingkatan, mulai dari hidrolisis dimana protein diubah menjadi asam-asam amino dan karbohidrat menjadi sukrosa dan lemak akan menjadi senyawa lebih sederhana yaitu asam lemak rantai panjang. Proses berlanjut dengan asidogenesis, senyawa yang lebih sederhana di atas akan diubah semua menjadi asam volatil dan alkohol (Reith et al. 2003). Dari proses tersebut dapat dipahami bahwa perombakan akan menurunkan bahan organik, namun rerata nilai parameter yang digunakan masih di atas baku mutu yang telah ditetapkan oleh MenKLH (1995), sehingga dapat dinyatakan bahwa pengelolaan LCPMKS sistem konvensional luaran limbah yang mengalir ke badan perairan umum berpotensi sebagai bahan pencemar. Hal tersebut mungkin disebabkan aktifitas mikroba pada kolam anaerob terbuka belum intensif, karena percobaan belum mengalami perlakuan fisik lainnya. Namun demikian telah menunjukkan adanya gambaran efisiensi penurunan/pengurangan beban pencemar organik yang diukur dari perubahan nilai parameter dan berpotensi mengemisi gas metan, sehingga perlu upaya peningkatan untuk pemanfaatan produksi biogas yang terbentuk lebih berdaya guna. Bitton (1999) menyatakan bahwa bakteri campuran terlibat dalam proses perubahan bentuk senyawa-senyawa organik kompleks, dengan berat molekul tinggi menjadi metana. Interaksi sinergi di antara berbagai kelompok mikroba terjadi pada perombakan anaerob LCPMKS. Gas metana dibebaskan dalam suatu lingkungan anaerob dari asam cuka oleh bakteri metanogen. Dua kelompok bakteri metanogen penting pada proses anaerob tersebut adalah metanogen hidrogenotrofik (menggunakan H/ kemolitotrof ) mengubah hidrogen dan CO2 menjadi metana, dan metanogen asetotrofik (asetoklastik) metanogen pemisah asetat yang mengubah asetat menjadi metana dan CO2. Tobing dan Poeloengan (2003) menyatakan bahwa proses biologis dalam kondisi anaerob lebih efisien jika didasarkan pada waktu penahanan hidrolisis optimum, keasaman dan alkalinitas (pH) optimum selama proses (7-7,5), suhu
134 optimum selama perlakuan, konsentrasi nutrisi cukup, karakteristik LCPMKS sesuai, pengadukan dan resirkulasi optimum, serta dihindarkan senyawa – inhibitor beracun. Penurunan efisiensi perombakan bahan organik anaerob sistem kolam terbuka yang umum digunakan oleh banyak industri kelapa sawit di Indonesia, seiring dengan pertambahan kapasitas olah tandan buah segar dan produktifitas perkebunan kelapa sawit yang sangat cepat. Pembuangan LCPMKS pada areal pengolahan limbah cair sistem kolam sering kali belum memenuhi ambang baku mutu yang ditetapkan. LCPMKS sebagai produk samping proses produksi minyak mentah merupakan sumber potensial pencemar. Sementara pengelolaan air limbah industri dengan cara fisika-kimia, yaitu koagulasi dan flokulasi sering kali diperlukan biaya operasional tinggi walaupun hasilnya cukup memuaskan. Akibatnya selain banyak menyebabkan industri skala kecil tidak sanggup melakukan kegiatan produksi lebih lanjut, karena dianggap mencemari lingkungan perairan sekitarnya. Juga diperlukan upaya segera pengembangan dan peningkatan efisiensi perombakan organik, sesuai perkembangan teknologi perombakan anaerob, khususnya teknologi pengolahan limbah cair, untuk mengatasi tekanan lingkungan yang disebabkan oleh LCPMKS yang melimpah (Kittikun et al. 2001, Metcalf dan Eddy 2003). Teknologi perombakan anaerob pada prinsipnya adalah dekomposisi anaerob
secara
mikrobiologik,
dimana
mikroorganisme
tumbuh
dan
menghasilkan energi dengan memetabolisme bahan organik dalam lingkungan anaerob, dan dihasilkan metana (Werner et al. 1989). Bitton (1999) menyatakan bahwa terdapat dua kelompok bakteri metanogen penting dalam proses anaerob yaitu metanogen hidrogenotrofik, yang mengubah hidrogen dan CO2 menjadi metana, dan metanogen asetotrofik (asetoklastik) metanogen pemisah asetat, yang mengubah asetat menjadi metana dan CO2. Nilai pH 6,5–7,6 dan suhu 30-35oC cukup memenuhi persyaratan perkembangan mikroba penting dalam proses perombakan anaerob. Bakteri non metanogen dapat berupa bakteri perombak substrat maupun bakteri yang mampu menghidrolisis substrat sebagai proses awal perombakan dan pembentukan
135 biogas. Proses hidrolisis berlangsung paling lambat, dan mempengaruhi kinetika proses keseluruhan, sehingga dapat mempengaruhi laju tahap keseluruhan proses dalam substrat. Yuliasari et al. (2001) menyatakan bahwa LCPMKS terdiri dari sumber air kondensat rebusan; pemisah lumpur (klarifikasi); dan pencucian hidrosiklon yang umumnya dialirkan ke areal pengolahan LCPMKS secara konvensional, biologis atau dalam system kolam. Akan tetapi sistem kolam masih menyisakan kekurangan, selain luasnya lahan yang diperlukan untuk menampung limbah juga waktu retensi 3-4 bulan. Efisiensi perombakan relative rendah, karena sering mengalami pendangkalan, sehingga waktu retensi menjadi lebih singkat dan baku mutu limbah tidak dapat tercapai. Dengan demikian sistem pengelolaan LCPMKS secara konvensional, selain belum optimal untuk mengendalikan sifat pencemar limbah cair baik terhadap lingkungan udara, tanah maupun air permukaan sekitarnya, juga terdapat kecenderungan kualitas luaran yang terolah semakin menurun. Pada sisi lain emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan berpotensi tinggi menyumbang pemanasan global, oleh karenanya diperlukan segera upaya mengatasi kelemahan-kelemahan teknologi pengelolaan secara konvensional dengan modifikasi komponen sistem sesuai perkembangan ilmu dan tepat guna. Sebelum diterapkan pengembangan sistem pengelolaan LCPMKS yang lebih efisien skala pilot (industri), telah dilakukan terlebih dahulu penelitian skala laboratorium dan semi pilot. Hasil penelitian laboratorium diantaranya karakteristik limbah, dan faktor-faktor penting berpengaruh pada LCPMKS untuk peningkatan produksi biogas hasil perombakan anaerob dan baseline study kolam anaerob serta potensi emisi gas metan menjadi landasan pengembangan sistem pengelolaan LCPMKS secara anaerob tertutup. Perancangan dan pengalihan fungsi kolam serta penyesuaian kondisi kolam sebelum dimodifikasi menjadi pertimbangan utama penentuan kolam yang akan digunakan sebagai bioreaktor. Rekomendasi hasil-hasil percobaan sebelumnya dan perkembangan teknologi yang dapat diterapkan melandasi pengembangan teknologi pengolahan LCPMKS lebih berdaya guna. Teknologi perombakan anaerob laju rendah
136 umum terjadi, di lingkungan yang berkadar oksigen terlarut rendah, baik pada dasar perairan maupun mikrohabitat daratan atau kondisi anaerob (Bitton 1999). Hasil perancangan dan konstruksi serta adaptasi kondisi kolam sebagai reaktor percobaan dilanjutkan dengan penerapan sistem perombakan anaerob laju tinggi melalui uji optimasi kinerja boreaktor yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi terbarukan. Keseimbangan proses terjadi dalam bioreaktor fermentasi dapat dibedakan menurut komponen sistem biogas. Komponen tersebut di antaranya sistem pengumpanan (feeding), penggunaan suhu, tingkat fermentasi, dan proses fermentasi dua fase (Chin dan Hee 1989). Percobaan dilakukan dengan menggunakan sistem pengumpanan, fermentasi kontinyu fermentasi satu tangki (1 fase), dan suhu yang digunakan sesuai rekomendasi hasil penelitian skala laboratorium yaitu suhu thermofilik >40-50oC. Kondisi suhu demikian dapat berfungsi untuk penghancuran dengan cepat dan produksi tinggi (m3 gas/m3 LCPMKS per hari) serta waktu retensi pendek dengan intensitas kontak mikroba dan substrat meningkat melalui peningkatan agitasi (resirkulasi) (Loebis dan Tobing 1984, 1990, Metchalf dan Eddy 2003) Percobaan pada optimasi kinerja bioreaktor modifikasi dilakukan pengumpanan (feeding) secara bertahap mulai dari 25 – 300 m3/hari dengan interval 25 m3 pada setiap 3 kali ulangan. Hasil optimasi menunjukkan pertambahan laju umpan ke dalam reaktor selama proses perombakan organik dan produksi biogas yang ditampung menunjukkan fenomena yang meningkat. Terlihat bahwa perombakan optimal pada pemberian umpan (beban organik) 200-225 m3/hari. Pada penambahan feeding berikutnya terjadi penurunan efisiensi perombakan, baik COD, BOD, TS dan SS, sedang produksi biogas tetap meningkat sampai pada feeding 300 m3/hari. Fenomena tersebut dapat dipahami karena proses perombakan dan proses produksi biogas dilakukan oleh jenis mikroba berbeda, sehingga memberikan perbedaan hasil. Hasil perombakan mikroba akan memberikan pengaruh pada pertumbuhan dan perkembangannya, sehingga menyebabkan aktifitasnya berubah. Bitton (1999) menyatakan bahwa terdapat dua kelompok bakteri metanogen penting pada proses anaerob, yaitu metanogen hidrogenotrofik
137 (menggunakan H/ kemolitotrof) mengubah hidrogen dan CO2 menjadi metana, dan metanogen asetotrofik (asetoklastik) metanogen pemisah asetat yang mengubah asetat menjadi metana dan CO2. Sehingga tampak bahwa proses perombakan dalam sistem anaerob, banyak macam bakteri yang terlibat, atau bakteri campuran yang terlibat dalam proses perubahan bentuk (tranformasi) senyawa-senyawa organik kompleks dengan berat molekul tinggi menjadi metana. Efisiensi perombakan dan produksi biogas antara anaerob tertutup laju tinggi (kolam I.1), dan kolam anaerob terbuka (II-B) diperoleh hasil rerata semua parameter yang diukur yaitu COD, BOD, TS dan SS, jauh lebih tinggi kolam anaerob tertutup laju tinggi dibanding dengan kolam anaerob terbuka (konvensional).
Hal tersebut memperjelas bahwa inovasi teknologi anaerob
tertutup dengan laju tinggi memberikan hasil pengelolaan LCPMKS lebih baik dibanding dengan kolam anaerob terbuka. Sistem tertutup dan laju pencampuran tinggi juga lebih efisien dan efektif, karena dapat menghasilkan biogas yang sangat menjanjikan, juga tidak memerlukan areal lahan luas, dan menekan dampak negatif emisi biogas. Sistem pengelolaan LCPMKS anaerob laju tinggi dengan suhu thermofilik (>40 oC) lebih berdayaguna baik untuk keperluan pabrik maupun rumah tangga karyawan. Dapat digunakan pemanas, pengganti bahan bakar minyak, atau boleh jadi dapat digunakan untuk pembangkit tenaga listrik lokal pabrik dan masyarakat sekitar. Namun demikian hasil perombakan yang diperolehdari berbagai sistem yang dilakukan dalam penelitian tersebut, nilai COD, BOD, TS dan SS masih di atas baku mutu yang telah ditentukan oleh MenKLH 2005. Hasil percobaan sistem DAKT skala pilot volume 4.500 m3 telah berhasil dikonstruksi dan diujicoba untuk produksi biogas. Dengan laju pengumpanan optimal ± 200 m3 LCPMKS/ hari atau dengan HRT (Hydrolyitic Retention Times) 22,5 hari maka dapat diperoleh biogas sebanyak ± 10.000 m3/ hari atau setara dengan BBM (bahan Bakar Minyak) ± 7.000 liter/hari. Hasil penerapan inovasi teknologi anaerob laju tinggi sangat memuaskan , mudah diaplikasikan, dan menghasilkan biogas yang sangat banyak.
138 Bioreaktor ukuran 30 x 30 x 5,5m3, daya tampung 4.500 m3, diisi inokulum 20 % dan 80 % substrat dengan volume total 4.000 m3 menghasilkan biogas sebanyak 13.300 m3/ hari, dengan laju umpan optimal 200-225 m3/hari. Rerata efsiensi perombakan bahan pencemar organik > 90%. Jika produksi LCPMKS 650-700 m3/ hari, ditampung dalam tiga bioreaktor, menghasilkan 40.000 m3 biogas /hari, setara dengan 20. 000 L solar. Sehingga dapat diasumsikan, menggunakan teknologi anaerob laju tinggi, dengan pengumpanan 200 – 225 m3/hari, akan menghasilkan Rp 110 juta/hari, atau Rp 33 M/tahun. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hasil biogas yang terbentuk dapat menekan biaya operasional pabrik cukup signifikan. Namun demikian, hasil perombakan bahan pencemar yang diukur dari parameter COD, BOD, TS dan SS masih belum memenuhi kriteria ambang batas mutu yang ditentukan oleh MenKLH (1995), Sehingga masih diperlu pengembangan lebih lanjut, agar produksi biogas lebih meningkat, dan kualitas limbah sesuai dengan baku mutu yang telah ditentukan. Seperti disebutkan di atas bahwa limbah dari LCPMKS sebagai sumber pencemar, baik udara, air maupun lingkungan. Inovasi teknologi yang digunakan yaitu anaerob tertutup laju tinggi sudah memberikan hasil menekan pencemaran udara dengan emisi gasmetan, yang berdampak terhadap gas rumah kaca, yang mempunyai kontribusi terhadap pemanasan iklim global. Dengan penerapan teknologi tersebut diharapkan industri minyak kelapa sawit lebih mampu bersaing didunia perminyakan. Selain itu, dengan teknologi bersih dapat mendukung pemerintah dalam meratifikasi Protokol Kyoto. Berdasarkan perhitungan kelayakan tekno-ekonomi pembangunan DAKT skala pilot, sangat layak diterapkan dengan Break Even Point = 120.992 m3, Net B/C=173,48, Net Present Value (NPV)/ Bulan Rp 460.416.000 dan IRR di atas 35 %. Selain diperoleh biogas sebagai energi terbarukan, digester anaerob kolam tertutup, terbukti sangat efektif dan dapat menurunkan COD, BOD, TS, dan SS, masing-masing 95%, 94%, 78,2%, 82,6%. Selain itu effluent hasil perombakan DAKT yang telah mengalami penurunan bahan organik dengan pH 7,7 dapat digunakan sebagai pupuk cair untuk tanaman kelapa sawit yang berada di sekitar
139 pabrik. Effluent juga dapat dipresipitasi untuk menghasilkan pupuk organik padat dan cairan yang relatif jernih dapat diresirkulasi untuk boiler pabrik sawit.
Fenomena Hasil Penelitian Dari ketiga tahapan percobaan, yaitu skala laboratrium, semi pilot dan pilot projek, masing-masing memberikan kontribusi yang berbeda, namun berkesinambungan. Percobaan laboratorium memberikan gambaran karakteristik LCPMKS, yang akan memudahkan pelaksanaan percobaan dalam skala lapang, dan memberikan informasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi biogas dan efisiensi perombakan bahan organik. Dari hasil percobaan skala laboratorium, akan mendukung percobaan berikutnya, khususnya keberhasilan percobaan inovasi teknologi anaerob laju tinggi. Faktor abiotik dan biotik yang diinformasikan dari pecobaan satu adalah peningkatan suhu, pH, agitasi, dan pengaruh bahan tambahan diantaranya Ca(OH)2 yang berfungsi untuk mempercepat pembusukan, sehingga akan meningkatkan nilai pH dan suhu, yang sangat mendukung pertumbuhan dan perkembangan mikroba, yang berfungsi untuk merombak maupun membentuk biogas. Hasil percobaan laboratorium memberikan rekomendasi untuk penerapan teknologi anaerob laju tinggi, bahwa pH terbaik adalah 6,9 – 7,3; dengan suhu ≥ 400C. Agitasi juga merupakan faktor abiotik yang berpegaruh terhadap peningkatan kualitas limbah dan produksi biogas. Namun demikian kualitas limbah masih diatas baku mutu yang telah ditentukan oleh MenKLH 1995. Sedang faktor biotik adalah peran mikroba dalam inokulum, baik jenis, kuantitas maupun kualitas inokulum. Inokulum terbaik untuk perombakan dan produksi biogas adalah lumpur aktif kolam II B, sebanyak 20 % b/v dari jumlah substrat yang digunakan 15 l. Untuk tahapan percobaan baseline study diperoleh gambaran emisi gas metan kolam terbuka (konvensonal) dan pemantauan kualitas LCPMKS kolam anaerob (I-III) dan aerob (IV-VI) serta gambaran produksi biogas. Hasil yang diperoleh baseline study skala semi pilot menggambarkan bahwa emisi gas metan kolam terbuka tinggi. Sistem tersebut umumnya digunakan seluruh pabrik kelapa sawit di Indonesia yang sangat potensial sebagai sumber pencemar GRK (gas
140 rumah kaca) berdampak pada pemanasn global. Hasil pengukuran emisi gas metan kolam anaerob terbuka II-B berkapasitas 60 ton TBS/jam setara dengan 23.866 ton CO2 equivalent/tahun, total emisi gas metan bisa mencapai dua kali lebih besar, bahkan lebih, karena secara visual gelembung biogas terjadi dengan intensitas yang sama pada kolam II-A dan kolam III. LCPMKS secara konvensional dengan sistim kolam anaerob dan aerob merupakan teknologi sederhana, mudah dan murah, namun memerlukan lahan yang luas ± 10 Ha serta dibutuhkan tenaga kerja yang banyak, terutama untuk membersihkan atau mengambil scum di permukaan kolam dan pengurasan kolam akibat pendangkalan lumpur LCPMKS. Selain itu kualitas limbah cair pada outlet kolam terakhir (kolam VI) belum memenuhi syarat baku mutu yang ditetapkan oleh MenKLH (2005) baik COD, BOD, TS dan SS. Hasil pengukuran tersebut menunjukkan bahwa kolam I-VI dari parameter yang terukur diatas ambang batas yang telah ditentukan oleh MenKLH (1995). Dari hasil pemantauan selama 10 bulan, menunjukkan bahwa kualitas LCPMKS dengan metode pengelolan secara konvensional dapat mengurangi bahan organik relatif tinggi, namun mamerlukan waktu yang relatif lama, dan hasil pengolahan limbah terakhir, yang terbuang dibadan air masih diatas amabang baku yang telah ditentukan MenKLH (1995), sehingga masih membahayakan perairan. Dampak pembuangan air limbah ke dalam perairan umum tanpa pengolahan terlebih dahulu mengandung BOD setara dengan BOD buangan populasi 10 juta manusia. LCPMKS berpotensi mncemari air minum, mengurangi kadar oksigen terlarut, menurunkan kesehatan ikan dan udang dalam badan air sekitarnya atau biota perairan (Qu dan Bathhacharya 1997) Biogas
yang
dihasilkan
dari
perombakan
anaerob
kolam terbuka
(konvensional) memiliki kandungan gas metan 55% – 65%, dan CO2 berkisar antar 35% – 45%. Biogas tersebut telah dicoba pemanfaatannya secara langsung untuk pembakaran pada burner pengganti bahan bakar minyak. Namun jika ingin digunakan untuk bahan bakar mesin diesel atau kendaraan bermotor maka biogas harus dimurnikan dengan cara penjerapan, sehingga konsentrasi gas metan meningkat. Bahan penjerap Ca(OH)2 konsentrasi 50 mg per liter air memiliki
141 efisiensi penjerapan ± 20% yang sebanding namun lebih murah dibanding NaOH pada konsentrasi yang sama. Emisi gas metan sistem kolam terbuka sangat tinggi, sehingga menyebabkan polusi udara, yang berdampak pada pemanasan global. Kapasitas produksi yang dihasilkan pada percobaan baseline study cukup baik, sehingga dapat digunakan untuk keperluan pabrik maupun keluarga, misalkan untuk pemotongan besi, sterilisasi media jamur, pembuatan kompos dll. Biogas yang dihasilkan dapat dimampatkan dalam tabung menggunakan kompresor. Hal tersebut dapat menggambarkan, bahwa gas yang dihasilkan dari LCPMKS tidak jauh fungsinya seperti gas yang dihasilkan dari LNG. Di satu sisi harga gas LNG cukup tinggi. Hasil yang diperoleh dari baseline study skala semi pilot, dapat memberikan gambaran bahwa teknologi yang diujicobakan dapat menghasilkan biogas yang dapat ditingkatkan kualitasnya. Dapat menekan polusi udara sebagai dampak emisi gas metan maupun gas lain yang terbentuk. Dengan demikian maka inovasi teknologi anaerob kolam tertutup dapat dilanjutkan dalam skala pilot, yaitu menutup permukaan kolam dengan plastik kedap udara ketebalan 0,3 cm. Hasil yang diperoleh dari percobaan skala pilot menunjukkan bahwa produksi biogas sangat tinggi demikian pula effisiensi perombakan, yang ditunjukkan rerata pengurangan bahan organik masing-masing parameter yang diukur lebih dari 90 %. Hasil perhitungan kelayakan aspek ekonomi (tekno-ekonomi) menunjukkan bahwa inovasi teknologi yang diujicobakan layak dikembangkan, karena memberikan hasil yang lebih efisien, efektif, dan berdayaguna, serta dapat menekan biaya operasional pabrik, bermanfaat untuk meningkatkan pembedayaan dan kesejahteraan masyarakat sekitar. Hipotesis yang menyatakan LCPMKS berpotensi sebagai sumber pencemar lingkungan baik tanah, udara dan air. Faktor lingkungan baik biotik maupun abiotik berpengaruh terhadap peningkatan produksi biogas. Pengelolaan LCPMKS sistem konvensional menyebabkan emisi metana dan gas efek rumah kaca, dan penerapan teknologi digester anaerob sistem kolam tertutup laju tinggi lebih berhasil guna dan berdaya guna dibanding dengan pengelolaan konvensional telah terbukti. Tujuan penelitian yang
142 diprogramkan yaitu, 1) mempelajari karakteristik dan faktor biotik abiotik yang berpengaruh terhadap laju produksi biogas, total produksi biogas dan efisiensi pengurangan bahan organik dari LCPMKS, 2) mengukur emisi biogas kolam LCPMKS anaerob terbuka, memantau kualitas kolam pengolahan LCPMKS, efisiensi pengurangan bahan organik, dan cara peningkatan kualitas atau pemurnian biogas, 3) merancang dan menguji teknologi perombakan kolam anaerob tertutup laju tinggi dengan perlakuan resirkulasi dan peningkatan suhu gradasi untuk pengelolaan LCPMKS lebih efisien , efektif, dan berdaya guna 4) mengkaji kelayakan tekno-ekonomi anaerob tertutup laju tinggi secara ekonomis, dan mendapatkan teknologi pengolahan LCPMKS untuk produksi biogas yang layak diaplikasikan sesuai analisis ekonomi secara sederhana telah tercapai. Hipotesis telah terbukti dan tujuan penelitian tercapai, maka penelitian penerapan inovasi teknologi pengelolaan LCPMKS telah berhasil, sehingga dapat dikatakan bahwa penelitian yang terdiri dari tiga percobaan telah diselesaikan dan mempeoleh keberhasilan dalam penerapan inovasi teknologi skala industri, maupun dalam khasanah ilmu pengetahuan. Hasil penelitian tersebut dapat memberi gambaran dan informasi jelas dan nyata bahwa inovasi teknologi perombakan anaerob tertutup laju tinggi dapat menekan timbulnya dampak gas rumah kaca serta memberi kontribusi program pemerintah dalam pelaksanaan perbaikan dalam pengelolaan limbah (end of pipe). Produksi bersih merupakan salah satu kebijakan yang harus dijalankan industri didalam sertifikasi produksi ramah lingkungan, yang mendukung mekanisme pembangunan bersih (Clean Development Mechanism/CDM). Namun demikian inovasi teknologi tersebut baru pertama diterapkan di Indonesia, maka masih diperlukan peningkatan dan pengembangan penelitian lebih lanjut.
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan 1. Percobaan skala laboratorium, produksi biogas selama 12 minggu pengamatan dari substrat 80% LCPMKS segar (v/v) dalam digester anaerob sistem curah volume 20 L, dipengaruhi oleh faktor biotik jenis dan konsentrasi inokulum, dan faktor abiotik diantaranya bahan penetral pH, pH awal, agitasi, dan suhu digester. Jenis inokulum lumpur aktif kolam II konsentrasi 20% menghasilkan biogas tertinggi (121 L). Namun lumpur aktif kolam II konsentrasi 10% menghasilkan biogas sebanding dengan lumpur aktif kotoran sapi 10%, berturut-turut 55 L dan 64,5 L. Dengan demikian lumpur aktif kolam II konsentrasi 20% sesuai untuk digunakan dalam peningkatan awal (start-up) produksi biogas digester anaerob skala pilot. Pada kondisi terbaik dengan inokulum lumpur aktif kolam II konsentrasi 20% dari seluruh perlakuan yang diuji dalam digester anaerob sistim curah volume 20 L, hingga akhir pengamatan minggu ke-12 diperoleh penurunan COD, BOD dan total solid (TS) > 85% pada minggu ke-2, namun penurunan soluble solid (SS) baru bisa mencapai > 80% setelah minggu ke-4 inkubasi. Penggunaan substrat LCPMKS segar dengan pH 4,4 tanpa bahan penetral akan memperlambat proses terbentuknya biogas, dan hanya diperoleh total produksi biogas 15 L selama 12 minggu inkubasi. Produksi biogas akan meningkat dengan penambahan bahan penetral pada awal inkubasi berupa Ca(OH)2 yang paling baik, harga lebih murah dibandingkan NaOH. Pemberian agitasi pada digester anaerob sistim curah dapat meningkatan perolehan biogas 9,2 kali lebih besar dibandingkan tanpa agitasi. Peningkatan suhu reaksi dari temperatur rumah kaca (300C) menjadi 400C dapat meningkatkan 1,25 kali produksi biogas. Pemberian substrat LCPMKS segar yang memiliki suhu antara 50 - 650C pada digester anaerob kolam tertutup
144 skala pilot diharapkan akan meningkatkan suhu digester sehingga produksi biogas lebih tinggi. 2. Emisi gas metan dari pengolahan LCPMKS hampir seluruh pabrik kelapa sawit di Indonesia sangat potensial sebagai sumber pencemar GRK (gas Rumah kaca) yang berdampak pada pemanasan global. Emisi gas metan kolam anaerob terbuka II-B dari pabrik kelapa sawit yang berkapasitas 60 ton TBS/jam setara dengan 23.866 ton CO2 equivalent/tahun. Secara visual gelembung biogas terjadi pada kolam II-B, II-A dan kolam III dengan intensitas yang sama, total emisi gas metan diperkirakan bisa mencapai dua kali lebih besar, bahkan lebih. Pengolahan LCPMKS secara konvensional dengan sistim kolam anaerob dan aerob merupakan teknologi sederhana, mudah dan murah, memerlukan lahan yang luas ± 10 Ha serta dibutuhkan tenaga kerja yang banyak. Kualitas limbah cair pada outlet kolam I- VI
belum memenuhi syarat baku mutu yang
ditetapkan oleh MenKLH (1995). Biogas yang dihasilkan telah dicoba pemanfaatannya secara langsung untuk pembakaran pada burner menggantikan bahan bakar minyak. Biogas yang dihasilkan dari LCPMKS yang ingin digunakan untuk bahan bakar mesin diesel atau kendaraan bermotor, biogas harus dimurnikan dengan cara penjerapan CO2, uap air dan H2S untuk meningkatkan konsentrasi gas metan. Bahan penjerap Ca(OH)2 dan CaCl2 konsentrasi 50 mg per liter air memiliki efisiensi penjerapan ± 20%, meningkat menjadi 64,6% dari semula 44,6% kandungan metannya (CH4) 3. Digester anaerob kolam tertutup (DAKT) skala pilot, volume 4.500 m3 telah berhasil dikonstruksi dan diujicoba untuk produksi biogas. Dengan laju pengumpanan optimal ± 200 m3 LCPMKS/ hari atau dengan HRT (Hydrolyitic Retention Times) 22,5 hari maka dapat diperoleh biogas sebanyak ± 10.000 m3/ hari atau setara dengan BBM (bahan Bakar Minyak) ± 7.000 liter/hari. 4. Berdasarkan perhitungan kelayakan tekno-ekonomi pembangunan DAKT skala pilot tersebut sangat layak diterapkan dengan Break Even Point = 120.992 m3, Net B/C=173,48, Net Present Value (NPV)/ Bulan Rp
145 460.416.000 dan IRR di atas 35 %. Digester anaerob kolam tertutup terbukti sangat efektif dan dapat menurunkan COD, BOD, TS, dan SS, masing-masing 95%, 94%, 78,2%, 82,6%. Selain itu effluent hasil perombakan DAKT yang telah mengalami penurunan bahan organik, dengan pH 7,7 dapat diaplikasikan sebagai pupuk cair untuk tanaman kelapa sawit yang berada di sekitar pabrik. Effluent juga dapat dipresipitasi untuk menghasilkan pupuk organik padat dan cairan yang relatif jernih dapat diresirkulasi untuk boiler pabrik sawit.
7.2. Saran Untuk peningkatan penerapan digester anaerob kolam tertutup dapat diberikan beberapa saran sebagai berikut : 1. Peningkatan kualitas fisik
perlu diterapkan lebih akurat agar dapat
memberi ketelitian lebih tinggi, lebih berkualitas, dan masa pakai lebih lama sehingga estimasi kelayakan ekonomi maupun finansial lebih baik. 2. Perlu ditingkatkan sistem pemantauan dan pengendalian kualitas air limbah pabrik minyak kelapa sawit sesuai dengan baku mutu yang telah ditetapkan Men KLH baik oleh pemerintah daerah, industri dan masyarakat, yang lebih terpadu dan sesuai perkembangan informasi (ilmu). 3. Perlu dimiliki program pengelolaan kegiatan industri (end of pipe treatment) yang up to date, rasional, dan peningkatan pengawasan pengelolaan
serta
pengembangan
mekanisme
sistem
(teknologi)
pengolahan limbah cair yang serasi dan ramah lingkungan 4. Perlu peningkatan pemberian insentif ekonomi bagi perusahaan yang memperhatikan kelayakan instalasi pengelolaan limbah cair industri, serta kemauan baik dalam penegakan hukum lingkungan maupun sangsi. 5. Diseminasi teknologi tepat guna serta penerapan teknologi untuk meningkatkan mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanism/CDM) terkait ratifikasi Protokol Kyoto.
DAFTAR PUSTAKA
Adrianto, A; T Setiadi; M. Syafilla and O,B Liang 2001. Studi kinetika reaksi hidrolisis senyawa kompleks organik dalam proses biodegradasi anaerob. J. Biosains 1: 1-0 Ahmad, A.L., Ismail, S., and S., Bhatia, 2003b. Water recycling from palm oil mill effluent using membrane technology. Desalination 157: 87–95. Ahmad, A.L., Sithamparam K, Zulkali MMD and S., Ismail, 2003a. Extraction of residue oil from palm oil mill effluent (POME) using organic solvent. AJSTD 20:385-394 Ahring BK, Angelidaki, L. and.L. Ellegaard. 1999. A comprehensive model of anaerobic bioconversion of complex substrates to biogas. Biotechnol. Bioeng. 63:363-372. Ahuat 2005. Annual Report of POM PT Pinago Utama. Sugiwaras Sekayu Palembang. 93 hal. American Public Health Association (APHA). 1992. Standard methods for examination of water and wastewater, 18th ed., Maryland: APHAAWWAWEF. Amiral, A. 2004. Penerapan teknologi konversi energi terbarukan dan perspektif CDM (Clean Development Mechanism) pada Proyek Energi Terbarukan. J. Kalpika 1:23-39 Anonymous (2003) AGRIGAS Situation report 2002: Technology development to retain the biogas potential in high-solids residual crop products. Report, Ariati R, 2001. Indonesian energy policy: towards greater local manufacturing for Renewable Energy. Asean Energy Bulletin, 5: 4-6. Bardia N and AC Gaur 1994. Iron suplementation enhances biogas generation.In: Proceedings Biomass Conference of the Americas II DL Klass ed. National Renewable Energy Laboratory Golden CO. http://www.renewableenergy .published /docs/fca3esba.html 3 Januari 2003 Barford JP. and RG. Cail, (1985) Mesophilic semi-continuous anaerobic of pal oil mill effluent. Biomass, 7:287-295; Bhattacharya TK, Mishra TN and B. Singh 1998 Techniques for removal of CO2 and H2S from biogas. Paper presented at XXIV annual convention of ISAE, held at PKV, Akola,.
Bhattacharya TK, Salam AP, Runquing H, Somashekar HI Rechhis DA Ratnashiri DG and R Yinyuard 2003. An Assessment of the potential for non plantation biomass resources in selectives Asian Countries for 2010. http://www. Bitton, G., 1999. Wastewater Microbiology, 2nd Edition. Wiley-Liss Inc., NewYork, 578 pp. Borja, R. and C.J. Banks, 1995. Comparison of an anaerobic filter and an anaerobic fluidized bed reactors treating palm oil mill effluent. Process Biochem. 30: 511–521. Borja, R. .and C.J. Banks, 1994 Treatment of palm oil mill effluent by upflow anaerobic filtration. Chemical Technology and Biotechnology 61:103-109. Brown P. Kate N., and R, Livermash 1998. Forest and Landuse Projects. In Goldenberg (ed.) Issues and Options the Clean Development Mechanism UNDP. Cecchi, F., Traverso, P.G., Mata-Alvarez, J., Clancy, J. and C. Zaror, 1988. State of the art of R and D. In the Anaerobic Digestion of Municipal Solid Waste in Europe, Biomass, 16: 257-284. Center for the Analysis and Dissemination of Demonstrated Energy Technologies (CADDET) 1998 Center for Renewable Energy, UK. Upgrading of Biogas to Natural Gas Quality, Technical Brochure No 154. http://www.centrefor. renewableenergy.edu/caddet.qua.tech.ca/25.html diakses 14 Peb 2006 De Baire, L., (1999) Anaerobic digestion of solid waste: State of the Art, Water, Science Technology. 41: 283-290. De Mez, T. Z. D., Stams, A. J. M., Reith, J. H., and G., Zeeman, 2003. Methane production by anaerobic digestion of wastewater and solid wastes. In: Biomethane and Biohydrogen Status add Perspectives of biological methan and hydrogen production. Edited by J.H. Reith, R.H. Wijffels and H. Barten. Dutch Biological Hydrogen Foundation. Demirbas MF and M. Balat 2006. Recent advances on poduction and utilization trends of biofuel: A global perpectives. Energy Convertion and Management (2006):xxx-xxx http://www. elsevier.com/local/pdf diakses 24 Sept 2005 Direktorat Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi 2003. Pengembangan Biomassa di Indonesia. International Seminar On Apropriate Technology for Biomass Derived Fuel Production. 1-3 Oktober 2003. Yogyakarta, Indonesia. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. 2004. Statistik Perkebunan. Dit.Jend.Bina Produksi Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
Energy Efficiency, and Renewable Energy Clearinghouse (EREC) 2000. methane (biogas) from anaerobic. digesters. consumer energy Iinformation: EREC Reference Briefs. Available from: htip://www.eren.do.govconsumerinfo/ refbriefs/abS.html diakses 1 Feb. 2000. Faisal M. and H..j Unno 2001. Kinetic analysis of palm oil mill wastewater treatment by a modified anaerobic baffled reactor. Biochem. Eng. J.: 9:25–31. FAO, 1997. China: Recycling of organic waste in agriculture. FAO Soils Bulletin 40. food and agricultural Organization Rome. 107 hlm. Franklin, R.J. (2001) Full-scale experiences with anaerobic treatment of industrial wastewater. Water Science and Technology 44: 1-6. Greenberg, A.E., L.S., Clasceri and A.D., Easton. 1992. Standard Methods for the Examination of Water Wastewater. 18th ed. APHA, AWWA, WACF Washington. Hambali E., Musdalipah S., Halomoan A.T., Pattiwiri A.W. dan R. Hendroko. 2007 Teknologi Bioenergi. Penerbit Agromedia. Jakarta. 110 hal. Hassan, M.A., Shirai, Y., Kusubayashi, N., Abdul Karim, M.I., Nakanishi, K., and K., Hashimoto, 1997a. The production of polyhydroxyalcanoate from anaerobically treated palm oil mill effluent by Rhodobacter spheroides. J. Ferment. Bioeng. 83:485–488. Hassan, M.A., Yacob S., and Y., Shirai, 2004. Treatment of palm oil wastewaters. In Wang LK Hung Y. Lo HH, Yapijakis C editors. Handbook of industrial and hazardous wastes treatment. New York: Marcel Dekker, Inc.p.719-736 Hee, K. and P.T. Chin. 1993. Application of POME using sprinkles. In Proceeding of National Workshop on Oil Palm by Product Utilization. PORIM. Malaysia. pp.35-44 H-Kittikun A., P., Prasertsan, G. Srisuwan and A. Krause, 2000 Environmental Management for Palm Oil Mill Institute of Advanced Studies, UN Univ., Japan AEON Foundation, Japan Internet Conference on Material Flow Analysis of Integrated Bio-Systems (March-October 2000) http://mpob.gov.my/oilpalm_env/mill_waste1.html diakses 23 May 2005 Hobsen PN, Bousfield S., and R., Summers, 1981. Methane production from agricultural and domestic wastes. Appl. Sci. Publ., London. Horsfall, M.J., Abia, A.A. and A.I., Spiff, 2003 Removal of Cu (II) and Zn (II) ions from wastewater by cassava (Manihot esculenta Cranz) waste biomass. African Journal of Biotechnology 2(10), 360-364.
http//:www.djikah.dprin.go.id/query-info/pjp-action/html, diakses 3 Januari 2007 http//:www.dprin.go.id/publikasi/siaran-/html, diakses 23 April 2006. ICRA, 2005. Biomass for electricity generation in ASEAN. Background Paper, Final Version 7.0. http://www.Innovation Energie Developpment (IED).ICRA.ECASEAN programme.org/pdf. (23 May 2005) IEA 2002. Greenhouse Gas Balances of Biomass and Bioenergy Systems. Bioenergy Task 38.. www.joanneum.ac.at/iea-bioenergy-task38/ publications /167pdf. Diakses 23 May 2005 Indartono, Y.S. 2007. Mengenal Biodisel: Karakteristik, Produksi, Hingga Performansi Mesin (2). http//www.indeni.org/.html diakses 28 Nopember 2007 Indriyati 2002. Pengaruh waktu tinggal substrat terhadap efisiensi reaktor tipe totally mix. J. Sains dan Teknologi Indonesia 4:67-71 Jawed, M. and V., Tare, 1999, Microbial composition assessment of anaerobic biomass through methanogenic activity tests. Water S.A. no.25. http://www.ias.unu.edu/pub/re-briefs/full-text.pdf: diakses 8 Nop.2004 Judoamidjojo, R.M., Said E.G. and L. Hartoto. 1989. Biokonversi. Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan Dit. Jend. Pendidikan Tinggi. P A U Bioteknologi IPB, Bogor. 315 hal. Kadariah, L. K. and C., Gray. 1998. Pengantar evaluasi Proyek. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 104 hlm. Kadarsan, H.W. 1995. Keuangan Pertanian dan Pembiayaan Perusahaan. Ramedia Pustaka Utama. Jakarta Kaewachai S, and P. Prasertsan, 2002. Screening and application of thermotolerant microorganism and their flocculant for treatment of POME. Songklanakarin J. Sci. Tech. 24:413-420 Kapdi A.A, Vijay V.K., Rajest S.K. and R., Prasat 2004. Biogas scrubbing compression and storage: perspectives and prospectus in India context. Renewable Energy. 4:1-8 Karim, M.I.A. and L.H, Lau, 1987, The Use of Coagulating and Polymeric flocculating agents in the treatment of palm Oil eill effluent (POME). Biological Wastes 22:209 – 218 Khapre U.L. 1989. Studies on biogas utilization for domestic cooking. Paper presented at XXV annual convention of ISAE, held at CTAE, Udaipur
Koster, I.W. and G., Lettinga, (1988). Anaerobic digestion at extreme ammonia concentrations. Biological Wastes 25: 51-59. Köttner M. (2002) Dry fermentation – a new method for biological treatment in ecological sanitation systems (ecosan) for biogas and fertilizer production from stackable biomass suitable for semiarid climates. In 3rd International Conference and Exhibition on Integrated Environmental Management in Southern Africa. Johannesburg, South Africa, Aug 27-30 2002, pp http://www.misa.umn.edu/%7Emnproj/pdf/hauby%20final3.pdf. diakses 14 Juni2005 Kusarpoko, B. 1994. Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Anaerobik Perombak Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit. [Tesis]. Program Pascasarjana IPB, Bogor. Lettinga G. and G. Zeeman, 1999. The role of anaerobic digestion of domestic sewage in closing the water and nutrient cycle at community level. Water Science and Technology, 39:187-194. Loebis A. and Darnoko 1992. Penetapan kualitas limbah cair pabrik kelapa Sawit dengan metode pengujian sederhana. Berita Penelitian Perkebunan 2:146-151 Lusk, P. (1998) Economic of Biogas Recovery and Use. http://www.bioenergy.works. com/down-pdf. diakses 23 Januari 2006 Lusk, P. 1998. Methane recovery from animal manures: the current opportunities casebook. National Renewable Energy Laboratory, NREL/SR-580-25245. September 1998. http://www.nrel.gov/docs/fy99osti/25145.pdf diakses 8 Nop.2004 Ma A.N., Toh T.S., and N.S. Chua, 1999. Renewable energy from oil palm industry. In: Singh G, Lim KH, Leng T, David LK editors. Oil palm and the environment: a Malaysian perspective. Kuala Lumpur Malaysia Oil Palm Growers Council. p:113-126 Ma, A.N,. and A.S.H. Ong, 1988. Treatment of palm oil sterillizer condensate by an anaerobic process. Biological Wastes, 23: 89-97 Masse L., and D,I,, Masse 2005. Effect of soluble organics, particulate organic, and hydraulic shock loads on anaerobic sequencing batch reactors treating slaughterhouse wastewater at 20oC. Process Biochem. 40:1225-1232 Metcalf and Eddy 2003, Wastewater Engineering: Treatment, Disposal, and Reuse, 4th ed., McGraw-Hill, Singapore. MNKLH-NORAD. 2004. Buku Panduan Penerapan Produksi Bersih pada Industri Kelapa Sawit. KLH-RI-NORAD. Jakarta
MNKLH-UNDP, 2001. Agenda 21 Sektoral: Agenda Energi untuk Pembangunan Kualitas Hidup secara Berkelanjutan. PPI:Sarana Prasarana Koord. Pengelolaan LH MNKLH TA 2001. Mustapha S., Ashhuby B., Rashid M., and I Azni,. 2003 Start up strategy of a thermophilic upflow anaerobic filter for treating palm oil mill effluent. Trans Ichem E. 81:262-266 Najafpour G., Yieng H.A., Younesi H., and A Zinatizadeh, 2005. Effect of organic loading on performance of rotating biological contactors using palm oil mill effluents. Process Biochem 40:2879–84. National Academy of Sciences (NAS) 1981. Methane Generation From human, animal, and agricultural wastes. Second edition. National Academy of Sciences, Washington, D.C. 131p. Ng, W.G.; Goh, A.C.C. and J.H. Tay, 1987 Palm oil mill effluent (POME) treatment qn assessment of coagulants used to aid liquid solid separation. Biological Wastes 21: 237-248 O’Faherty V., Collins G, and M. Therese, 2006. The Microbiology and biodiversity of anaerobic bioreactor with relevance to domestics sewage treatment, http://www.development of biogas denmark, pdf. diakses 23 Januari 2006 Paepatung N, Kullavanyaja, O., Loapitinan, A., Nopharatana, W., Songkasiri and P. Chiprasert 2006.Assessment of POME as Biogas energy source in Thailand. 35rd Conggress in Science and Technology of Thailand http://www.mcong .sci.gov/thai.docs/ /2545.pdf diakses 27 Juli 2007 Pandey D.R., and C. Fabian, 1989. Feasibility studies on the use of naturally accruing molecular sieves for methane enrichment from biogas. Gas Separation and Purification 3:143–7. Pavlostathis S.G., and J.M., Gossett 1986. A kinetic model for anaerobic digestion of biological sludge. Biotech. Bioeng. 28:1510-1530 Peraturan Presiden No. 5/ 2006 tentang kebijakan energi nasional, tanggal 25 Januari 2006: 8 pp. Polprasert C.,1996 Organic Waste Recycling, 2nd ed., John Wiley and Sons Ltd, England. Prasertsan S. and B. Sajjakulnukit. 2006. Biomass and biogas energy in Thailand: potential, opportunity and barriers. Renewable Energy 3:599-610.
PREGA 2004 Utilization of Biogas Generated from the Anaerobic Treatment of POME as Indigenous Energy Source of Rural Energy Supply and Electrification A Prefeasibility Study Report: Promotion of Renewable Enrgy, Energy Efficiency and Greenhouse Gas Abatement. http://www.bioenergy.cpo.devt/d30%.pdf diakses 24 Juni 2006 Qu, M, and S.K., Bhattacharya, 1997. Toxicity and biodegradation of formadehyde in anaerobic methanogenic culture. Biotech.l Bioeng. 55:727-736 Quah, S.K., and D., Gillies, 1984. Practical experience in production and use of biogas. In: Proceeding of National Workshop on Oil Palm By products. Palm Oil Research Institute of Malaysia, Kuala Lumpur, pp:119-126 Raf D., Lise A, and J., Baeyens, 2006. Energy use of biogas hampered by the presence of siloxanes. Energy Convertionsion and Management 47:17111722 Reith, J.H., H. den Uil, H. van Veen, W.T.A.M. de Laat, J.J. Niessen, E. de Jong, H.W. Elbersen, R. Weusthuis, J.P. van Dijken and L. Raamsdonk, 2003. Coproduction of bio-ethanol, electricity and heat from biomass residues. Proceedings of the 12th European Conference on Biomass for Energy, Industry and Climate Protection, 17 -21 June 2002, Amsterdam, The Netherlands. pp. 1118 - 1123. Rittmann, B., and P., Mc. Carty, 2000. Environmental Biotechnology: Principals and Applications. McGraw-Hill, New York, 768 pp. Sahirman, S., 1994. Kajian pemanfaatan limbah cair pabrik kelapa sawit untuk memproduksi gas bio. [Tesis]. Program Pascasarjana IPB, Bogor. 91 hal. Sanchez, E., Borja, R., Travieso, L.A., Martin, and M.F., Colmenarejo, (2005) Effect of organic loading rate on the stability, operational parameters and performance of a secondary upflow anaerobic sludge bed reactor treating piggery waste. Bioresource Technology 96:335-344. Sanders, W.T.M. (2001) Anaerobic hydrolysis during digestion of complex substrates. [PhD dissertation] - Wageningen University - The Netherlands. Sawyer, C.N. and P.L. Mc Carty 1978. Chemistry for environmental engineering. International Student Edition , Mc Graw Hill Kogakusha, Ltd. Tokyo, Japan. Shirai,Y, Wakisaka M, Yacob S, Hassan MA, and S., Suzuki 2003. Reduction of methane released from palm oil mill lagoon in Malaysia and its counterneasures. Mitigat. Adapt. Strategies Global Change 8:237-252
Siswanto, 2006. Potensi dan Kendala Pemanfaatan Limbah Industri Kelapa Sawit untuk Sumber Energi Hayati. In Seminar DIES NATALIS XXX, Jur. Biologi FMIPA UNS, Surakarta, 8 April 2006. Siswanto, S. Marsudi, Suharyanto, E. Mahajoeno, and Isroi. 2005. Pemanfaatan Limbah Padat dan Cair Pabrik Kelapa Sawit untuk Produksi Kompos Bioaktif and Gas Bio. Laporan akhir RUK 2005: 62 hlm. Soemarwoto, O. 2001. Atur Diri Sendiri: Paradigma Baru pengelolaan Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 261 hlm. Spangler D.J., and G.H., Emert. 1986. Simultaneos sccharification / fermentation with Zymomonas mobilis. Biotech Bioeng 28 : 115 – 118. Stowell, G., and T., Victoria , 2000. Considering the Technology Issues Within Three Case Studies in Asia. The Climate Change Challenge: Maximising Energy from Biomass a Practical Views. Berzoeac Limited UK. Sudradjat R., Erra Y, Umi K., and K., Evi. 2003. Produksi biogas dari limbah pengolahan kelapa sawit dengan proses fermentasi padat. Buletin Penelitian Hasil Hutan 21:227-237 Susuki, S. Shiray Y., and A.M., Hasan, 2001. Research for the reduction of Methane Release from Malaysian Palm oil Mil Lagoon and it’s Countermeasures. CDM Feasibility Study 2001. Ministry of the Environment Japan. Syafila, M.; Azis H.D.L., and E. Lyastuti 2001. Studi mekanisme sel terimobilisasi dan sel bebas dalam fase terlekat pada reaktor hibrit anaerob dengan beban organik tinggi dan perlakuan waktu detensi. J Biosains I:16-23 Talleghani G. and A., Kia (2005) Technic-economical analysis of the Saveh biogas powerplant. Renewable Energy 30:441-446 Titjen, C. 1975. From Biodung to Biogas - Historical review of European experience. In: (W.J. Jewell ed.) Energy, Agriculture and Waste Management. Ann Arbor Science. pp. 347-359. Veziroglu, T.N. 1987. Hydrogen technology for every needs of human settlement. Int. J.Hydrogen Energy, 12:99 Vijayarhagavan K., Desa A. and E.E. Mayuza, 2006 Effect a coagulation on palm oil mill and subsquent treatments of coagulated sludge by anaerobic digestion. J. of Chemical Technology and Biotechnology 81:1652-1660 Weijma, J., Stams A,J,M., Hulshoff-Pol L,W. and G. Lettinga, 2000. Thermophilic sulfate reduction and methanogenesis with methanol in a high rate anaerobic reactor. Biotech. Bioeng..67:354-363
Wellinger A, and A., Lindeberg 1999. Biogas upgrading and utilization. IEA Bioenergy Task 24: energy from biological conversion of organic wastes. 18 p http://www. IEA Bioenergy/Task 24.edu/pdf diakses 14 Feb 2005 Wellinger A, 1999. Process design of agricultural digesters. http://www.homepade. 2.nifty.com/biogas/cont/ref.doc/wherefdrcom/d.14prod.gas.pdf, diakses 23 May 2005 Wellinger, A., 2005. Energy from biogas and landfill gas. Task 37. www.IEA Bioenergy. Task 37/pdf. diakses 23 Januari 2006 Werner U., Stochr V. and N., Hees (1989) Biogas Plant in Animal Husbandry:. Application of the Dutchs Guesllechaft fuer Technische Zusemmernarbeit (GTZ) GnbH. WestStart-CALSTART, Inc. 2004. Swedish biogas industry education tour 2004, observations and findings. http://www.calstart.org/info-/publications/ Swedish_Biogas%20Tour_2004/.pdf diakses 12 Nov 2004. Wiegant, W.M. and G., Lettinga, (1985) Thermophilic anaerobic digestion of sugars in upflow anaerobic sludge blanket reactors. Biotech. Bioeng. 27:1603-1607. Yacob S., Hassan M.A., Shirai Y., Wakisaka M., and S., Subash 2005a. Baseline study of methane emission from open digesting tanks of palm oil mill effluent treatment. Chemosphere 59:1575–81. Yacob S., Hassan M.A., Shirai Y., Wakisaka M., and S.,. Subash 2005b. Baseline study of methane emission from anaerobi ponds of palm oil mill effluent treatment. Science of the Total Environment xx:xxx–xx. Available on line at: www.sciencedirect.com www.elsevier.com/locate/scitotenv. diakses 3 May 2006 Yacob S., Shirai Y., Hassan M.A., Wakisaka M., and S., Subash 2006. Start-up operation of semi-commercial closed anaerobic digester for palm oil mill effluent treatment. Process Biochemistry 41:962–964. Yadvika, S., Sroekrishnan TR, Koldi S.and V Rana (2004) Enhancement of biogas production from solids using different techniques, a review. Bioresource Technology 95:1-10 Yeoh B.G. 2004. A Technical and Economic Analysis of Heat and Power Generation from Biomethanation of Palm Oil Mill Effluent. In Proceeding of Electricity Supply Industry in Transition, Issues and Prospect for Asia: 14-16 January 2004. Kualalumpur Malaysia. www.sciencedirect.com www.elsevier. com/locate/scitotenv. diakses 3 May 2006
Yuliasari R., Darnoko, K. Wulfred and W., Gindulis, 2001. Pengolahan limbah cair kelapa sawit dengan reaktor anaerobik unggun tetap tipe aliran ke bawah. Warta PPKS 9:75-81. Zeemann, G.; Sutter, K., Vens, K. and A., Wellinger, 1998. Psychrophilic digestion of dairy cattle and pig manure: Start-up procedures of batch, fed-batch and CSTR-type digesters. Biological Wastes 26: 15-31. Zeikus, J.G. 1980. Chemical and fuel product by anaerobic bacteria Ann. Rev. Microbiol 34:423-464. Zinatizadeh A.A.L, Mohamed A.R, Mashitah M.D., Abdullah A.Z., and G.D., Najidfour 2006 Effect of Physical and Pretreatment on POME Digestion in an Upflow Anaerobic Sludge Fixed Film Bedreactor. http://www.omicron.ch. tulasigov/eemj.docs/145.pdf diakses 3 Jan.2007 Zinder, S. H. (1988). Convertion of acetic to methane by thermophiles; anaerobic digestion. Pengamon Press. Oxford.
ISSN: 1412-033X Januari 2008
BIODIVERSITAS Volume 9, Nomor 1 Halaman: 48-52
Lampiran 1. Potensi Limbah Cair Pabrik Minyak Kelapa Sawit untuk Produksi Biogas The possibility of palm oil mill effluent for biogas production EDWI MAHAJOENO 1
1,2,♥
3
4
, BIBIANA WIDIYATI LAY , SURJONO HADI SUTJAHJO , SISWANTO
4
Program Doktor, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor 16680. 2 Jurusan Biologi FMIPA, Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta 57126. 3 Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor 16680. 4 Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia, Bogor 16124. Diterima: 22 Desember 2007. Disetujui: 31 Januari 2008.
ABSTRACT The world currently obtains its energy from the fossil fuels such as oil, natural gas and coal. However, the international crisis in the Middle East, rapid depletion of fossil fuel reserves as well as climate change have driven the world towards renewable energy sources which are abundant, untapped and environmentally friendly. Indonesia has abundant biomass resources generated from the agricultural industry particularly the large commodity, palm oil (Elaeis guiinensis Jacq.). The aims of the research were to (i) characterize palm oil mill effluent which will be used as source of biogas production, (ii) know the biotic and abiotic factors which effect POME substrate for biogas production by anaerobic digestion in bulk system. The results show that POME sludge generated from PT Pinago Utama mill is viscous, brown or grey and has an average total solid (TS) content of, 26.5-45.4, BOD is 23.5-29.3, COD is 49.0-63.6 and SS is 17.1-35.9 g/L, respectively. This substrate is a potential source of environmental pollutants. The biotic factors were kind and concentration of the inoculums, i.e. seed sludge of anaerobic lagoon II and 20% (w/v) respectively. Both physical and chemical factors such as pre-treated o POME pH, pH neutralizer matter Ca (OH)2, temperature ≥40 C and agitation effect to increase biogas production. © 2008 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: biogas production, characteristic of POME, batch system, lab. scale.
PENDAHULUAN Pabrik minyak kelapa sawit (PMKS) dalam mengolah setiap ton tandan buah segar (TBS) kelapa sawit akan menghasilkan rata-rata 120-200 kg minyak mentah, 230250 kg tandan kosong kelapa sawit (TKKS), 130-150 kg serat/ fiber, 60-65 kg cangkang, 55-60 kg kernel, dan air limbah 0,7 m3. Jika Indonesia berhasil menjadi produsen utama CPO dunia, dengan memproduksi 18 juta ton CPO per tahun sebagaimana yang ditargetkan, maka akan dihasilkan limbah cair pabrik minyak kelapa sawit (LCPMKS) sebanyak >50 juta ton per tahun (Ditjenbinprodbun, 2004). LCPMKS merupakan sumber pencemar potensial yang dapat memberikan dampak serius bagi lingkungan, sehingga pabrik dituntut untuk menangani limbah ini melalui peningkatan teknologi pengolahan (end of pipe). Bahan organik dalam proses fermentasi anaerob (teknologi perombakan anaerob) dirombak oleh aktivitas mikroorganisme menjadi biogas. Produksi biogas dengan bahan LCPMKS memberikan berbagai keuntungan di antaranya pengurangan jumlah padatan organik, jumlah mikroorganisme pembusuk yang tidak diinginkan, serta kandungan racun dalam limbah (Judoamidjojo et al., 1989). Di samping itu residu biogas ♥ Corresponding address: Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126 Tel. & Fax.: +62-271-663375 e-mail:
[email protected]
dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik non fitotoksin. Sudradjat et al. (2003) menyatakan bahwa produksi biogas mendapat perhatian karena produk akhir biogas adalah campuran CH4 dan CO2 yang merupakan gas mudah terbakar, sifatnya hampir sama dengan gas alam dan dapat digunakan sebagai sumber energi terbarukan. Proses fermentasi anaerob adalah perombakan bahan organik yang dilakukan oleh sekelompok mikroorganisme anaerob fakultatif maupun obligat dalam suatu reaktor o tertutup yang dioperasikan pada suhu 35-55 C. Perombakan bahan organik dikelompokkan dalam empat tahapan proses, pertama bakteri fermentatif menghidrolisis bahan polimer menjadi senyawa sederhana yang bersifat terlarut. Kedua, monomer dan oligomer dirombak menjadi asam asetat, H2, CO2, asam lemak rantai pendek dan alkohol yang disebut tahap asidogenesis. Ketiga, yang disebut fase non-metanogenik menghasilkan asam asetat, CO2 dan H2. Keempat, senyawa-senyawa tersebut oleh bakteri metanogenik diubah menjadi gas metana (Reith et al., 2003; Metcalf dan Eddy, 2003) Proses biokonversi metanogenik merupakan proses biologi, yang sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, terutama suhu, pH, dan senyawa toksik. Secara keseluruhan faktor yang mempengaruhi proses perombakan anaerob bahan organik pada pembentukan biogas, mencakup faktor biotik dan abiotik. Faktor biotik berupa mikroorganisme dan jasad aktif, sedang faktor abiotik meliputi pengadukan, suhu, pH, substrat, kadar air substrat, rasio C/N dan P dalam substrat dan kehadiran bahan toksik. Proses fermentasi dapat dilakukan dengan
MAHAJOENO dkk. – Biogas dari limbah Elaeis guiinensis
beberapa metode, salah satunya adalah sistem fermentasi curah, yaitu dilakukan dalam satu tangki (digestor), dan dapat diuji dalam skala laboratorium. Tujuan penelitian ini adalah: (i) mengetahui karakteristik limbah cair pabrik minyak kelapa sawit PT. Pinago Utama, (ii) menentukan kombinasi jenis dan konsentrasi inokulum terbaik, serta pengaruh faktor abiotik terhadap total produksi biogas tiap perlakuan dalam sistem curah skala laboratorium.
BAHAN DAN METODE Bahan yang diperlukan: jenis dan konsentrasi inokulum berupa kotoran sapi 10% (KTS-10%), Lumpur LCPKMS kolam I, 10 dan 20% (LKLM I-10% dan I-20%), Kolam II 10 dan 20% (LKLM II-10% dan II-20%), dan kontrol. Sedang bahan perlakuan abiotik adalah NaOH, Ca(OH)2, pH 4,4, o 5,5, dan 7, tanpa agitasi dan peningkatan suhu ≥40 C, dengan LCPMKS sebagai bahan baku substrat. Alat yang diperlukan antara lain jerigen plastik 22 L, botol PET 1,5 L, selang diameter 0,5 cm, kawat, dan dilakukan pada suhu tekanan ruang di rumah kaca. Percobaan dibagi dalam dua sub percobaan yaitu: karakterisasi limbah serta pengaruh faktor abiotik dan biotik terhadap produksi biogas. Percobaan dilakukan di rumah kaca Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia Bogor. Jerigen 22 L (bioreaktor), diberi berbagai perlakuan inokulum, dan LCPMKS sebagai bahan baku substrat dalam reaktor curah kondisi anaerob. Perlakuan faktor biotik jenis dan konsentrasi inokulum, sedang faktor abiotik berupa pH, suhu, agitasi, waktu, dan bahan penetral. Proses fermentasi diukur setiap interval dua minggu, berlangsung selama 12 minggu. Produksi biogas ditampung dalam botol PET 1,5 L dan selang berdiameter 0,5 cm. Hasil akhir yang diukur adalah produksi dan konsentrasi metana (Jawed dan Tare, 1999). Parameter yang diukur meliputi pH, suhu, total produksi biogas, laju dan COD, BOD, TS, SS, minyak dan lemak kasar dan total nitrogen (Suzuki et al., 2003; Greenberg et al., 1992).
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian disajikan dalam beberapa sub percobaan di antaranya karakteristik LCPMKS PT Pinago Utama Palembang, pengaruh faktor abiotik dan biotik terhadap total produksi biogas masing-masing perlakuan dari LCPMKS sistem curah. Karakteristik LCPMKS Hasil analisis karakteristik kimia LCPMKS PT. Pinago Utama menunjukkan bahwa limbah bersifat koloid, kental, coklat atau keabu-abuan, pH 4,4-5,4 dan mempunyai rerata kandungan COD 49,0-63,6; BOD 23,5-29,3; TS 26,5-45,4 dan SS 17,1-35,9 g/L (Tabel 1.). Keseluruhan parameter diukur di atas ambang baku mutu peruntukan yang telah ditetapkan MENKLH (1995), sehingga LCPMKS berpotensi sebagai pencemar lingkungan. Tanpa adanya upaya untuk mencegah atau mengelola secara efektif akan timbul dampak negatif terhadap lingkungan, seperti timbulnya bau, pencemaran air dan perairan umum di sekitar pabrik, dan gas rumah kaca yang berdampak perubahan iklim global (Ahmad et al., 2003). Tabel 1. Karakteristik LCPMKS PT Pinago Utama
Parameter pH (Satuan Internasional) o Suhu ( C) BOD (g/L) COD (g/L) Padatan total (g/L) Padatantersuspensi (g/L) Minyak dan lemak kasar (g/L) Total Nitrogen (g/L)
49 Nilai kisaran 4,4-4,5 50-65 23,40-29,28 49,01-63,60 26,57-45,38 17,00-35,88 29,00-29,50 27,00-28,70
Ratarata 4,4 57 27,72 56,20 28,24 15,15 29,30 27,70
Baku mutu 6-9 0,11 0,25 0,25 0,10 0,03 0,02
Hasil penelitian parameter COD, BOD dan parameter lainnya menunjukkan bahwa kualitas LCPMKS jauh di atas baku mutu, sehingga berpotensi menjadi bahan pencemar lingkungan. Namun kisaran karakteristik LCPMKS berfluktuasi karena pengaruh proses produksi pabrik, musim dan pasca panen (Yacob et al., 2006). Battacharya et al. (2003) menyatakan bahwa LCPMKS dengan perombakan anaerob memiliki COD lebih dari 1,5 kg/m3. 3 3 Produksi 1 m LCPMKS dapat menghasilkan 20-28 m biogas. Paepatung (2006) menyatakan potensi produksi biogas dapat mencapai > 35 kali lipat dari jumlah LCPMKS atau 1 m3 LCPMKS dapat dikonversi menjadi 38,69 m3 biogas. Hasil pengukuran penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa COD LCPMKS sebesar 35-95 g/L dan BOD 10-60 g/L. Hasil pengukuran lainnya diperoleh COD 90,4 g/L dan BOD 54,56 g/L (Prasertsan dan Sajjakulnukit, 2006), serta COD 44,3 g/L dan BOD 22,7 g/L (Zinatizadeh et al., 2006). LCPMKS PT Pinago Utama berpotensi sebagai bahan pencemar yang berdampak negatif terhadap lingkungan maupun perairan, di sisi lain limbah organik ini secara biokimiawi berpotensi ekonomis sehingga perlu diupayakan peningkatan pengelolaan agar lebih berdaya guna. Pengaruh faktor biotik terhadap produksi biogas Hasil yang diperoleh menunjukkan pengaruh faktor biotik jenis dan konsentrasi inokulum terhadap produksi biogas (Gambar 1A), yakni: (i). KTS-10%, (ii) LKLM I-10%, (iii) LKLM II-10%, (iv) LKLM I-20%, (v). LKLM II-20%, dan (vi) kontrol (tanpa inokulum) disajikan pada Gambar 1A. Faktor biotik yang berpengaruh paling baik adalah inokulum LCPMKS PT. Pinago Utama kolam II, dengan konsentrasi 20% (LKLM II-20%) dengan volume substrat sebanyak 15 L. Jenis dan konsentrasi inokulum sangat penting untuk proses pengurangan bahan organik dan laju produksi biogas, karena pada proses biofermentasi LCPMKS, mikrobia yang berperan adalah jasad hidup yang tumbuh berkembang di dalam substrat. Sahirman (1994) menyatakan bahwa inokulum lebih dari 12,5% (b/v) dengan volume substrat 2 L dalam skala laboratorium tidak menunjukkan peningkatan produksi biogas. Sementara hasil penelitian ini mengungkapkan inokulum LKLM II-20% (b/v) dengan substrat 15 L, diperoleh produksi biogas paling baik dibandingkan konsentrasi lainnya. Faktor jenis dan konsentrasi inokulum sangat berperan dalam proses perombakan dan produksi biogas. Dekomposisi anaerob merupakan proses pertumbuhan mikroorganisme dan menggunakan energi dengan merombak bahan organik dalam lingkungan anaerob dan menghasilkan metana. Menurut Reith et al. (2003) terdapat empat tahap dekomposisi anaerob dimana terjadi proses hidrolisis protein menjadi asam amino, karbohidrat diubah menjadi gula, dan lipid diubah menjadi asam lemak rantai panjang dan gliserol. Hal ini dapat dilakukan oleh berbagai jenis mikrobia, sehingga banyak faktor yang mempengaruhinya, baik faktor abiotik maupun biotik.
ISSN: 1412-033X Januari 2008
BIODIVERSITAS Volume 9, Nomor 1 Halaman: 48-52 0.045
LKLM2-20%
0.04
Laju produksi biogas (L/kg COD/hari)
0.035 0.03 0.025
KTS-10%
0.02
LKLM 2-10%
0.015
LKLM1-20%
0.01
LKLM 1-10%
0.005
Kontrol
0 0
2
A
6
8
10
12
KTS-10%
LKLM 1-10%
LKLM 2-10%
LKLM1-20%
LKLM2-20%
Kontrol pH 7
0.02
0.025 Ca(OH)2
0.02 0.015 0.01
NaOH
0.005
Laju produksi biogas (L/hari/kg COD)
Laju produk s i biogas ( L/hari/k g C O D )
4
Wakt fermentasi (minggu ke ....)
0.015 pH 5,5
0.01 0.005
pH 4,4
0
0
0 0
2
4
6
8
10
NaOH
4
6
8
10
C
pH 4,4
Ca(OH)2
pH 5,5
pH 7
agitasi
0.015 0.01 0.005 tanpa 0 0
2
4
6
8
10
Laju produk s bioga s (L/k g C O D /hari)
Laju produk s i biogas (L/k g C O D /hari)
0.35
0.02
agitasi
0.25
Suhu 30°C
0.2 0.15 0.1 0.05 0
12
tanpa
Suhu 40°C
0.3
0
Waktu fermentasi (minggu ke...)
D
12
Waktu f ermentasi (minggu ke).......
Waktu fermentasi (minggu ke ....)
B
2
12
2
4
6
8
10
12
Waktu fermentasi (minggu ke....)
E
Suhu 30°C
Suhu 40°C
Gambar 1. Produksi biogas dari limbah cair pabrik minyak kelapa sawit. A. Interaksi jenis, konsentrasi inokulum dan waktu fermentasi terhadap laju produksi biogas. B. Interaksi pemberian bahan penetral dan waktu fermentasi terhadap produksi biogas, C. Interaksi pH awal dan waktu fermentasi terhadap produksi biogas, D. Interaksi pemberian agitasi dan waktu fermentasi terhadap laju produksi biogas, dan waktu fermentasi terhadap produksi biogas, E. Interaksi peningkatan suhu dan waktu fermentasi terhadap produksi biogas.
Pengaruh faktor abiotik terhadap produksi biogas Pengaruh masing-masing faktor abiotik terhadap produksi biogas dijelaskan dalam Gambar 1B-1E. NaOH dan Ca(OH)2 adalah bahan digunakan untuk memacu peningkatan pH substrat LCPMKS yang bersifat asam, pengaruh bahan tersebut. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa penambahan bahan penetral pH dapat meningkatkan produksi biogas, dan Ca(OH)2 berpengaruh lebih baik dibandingkan NaOH (Gambar 1B). Hal ini dapat dimengerti karena NaOH yang bertemu dengan minyak akan mengalami proses penyabunan menghasilkan gliserol dan asam lemak (Ahmad et al., 2003). LCPMKS kaya akan
♥ Corresponding address: Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126 Tel. & Fax.: +62-271-663375 e-mail:
[email protected]
bahan organik termasuk lemak, sehingga penambahan NaOH kemungkinan dapat mengganggu proses perombakan substrat dan secara tidak langsung akan mengganggu laju produksi biogas. Ca(OH)2 sering digunakan untuk peningkatan pH larutan. Peningkatan pH optimal akan memacu proses pembusukan, sehingga meningkatkan efektifitas kerja mikrobia dan akhirnya dapat meningkatkan produksi biogas. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pH substrat awal 7 memberikan peningkatan laju produksi biogas lebih baik dibandingkan dengan perlakuan pH yang lain (Gambar 1C). Peningkatan pH dapat mempercepat pembusukan, sehingga mempercepat perombakan dan secara tidak langsung mempercepat produksi biogas (Metcalf dan Eddy, 2003). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pH netral memacu perkembangan bakteri metana (metanogen), sehingga pada pH tersebut bakteri perombak asam asetat tumbuh dan berkembang secara optimal, hal ini
MAHAJOENO dkk. – Biogas dari limbah Elaeis guiinensis
meningkatkan produksi biogas. Perombakan anaerob merupakan proses biologi yang sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan. Faktor pengendali utama antara lain, suhu, pH, dan senyawa beracun (de Mez et al., 2003). Derajat pH netral memacu perkembangan bakteri metana, sehingga dengan pH netral bakteri perombak asam asetat tumbuh dan berkembang secara optimal, hal ini meningkatkan produksi biogas. Faktor abiotik lainnya, agitasi juga berpengaruh terhadap produksi biogas, dimana pemberian agitasi berpengaruh lebih baik terhadap peningkatan laju produksi biogas dibandingkan tanpa agitasi (Gambar 1D). Hal ini terjadi karena dengan agitasi substrat akan homogen, inokulum kontak langsung dengan substrat dan merata, sehingga proses perombakan lebih efektif. Barford (1983) menyatakan bahwa agitasi dapat meningkatkan intensitas kontak antara organisme dan substrat lebih baik dibandingkan tanpa agitasi. Pengadukan dimaksudkan agar kontak antara limbah segar dan bakteri perombak lebih baik, dan menghindari padatan terbang atau mengendap, yang akan mengurangi keefektifan digester dan menimbulkan ‘plugging’ gas dan lumpur. Pengadukan atau agitasi 100 rpm dapat meningkatkan produksi biogas Sahirman, 1994). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa peningkatan suhu substrat dapat meningkatkan laju produksi biogas (Gambar 1E). Hal tersebut dapat dipahami karena suhu tinggi dapat memacu perombakan secara kimiawi, perombakan yang cepat akan dimanfaatkan oleh bakteri metanogenik untuk menghasilkan gas metana, sehingga meningkatkan produksi biogas. Suhu air limbah yang hangat dapat meningkatkan reaksi biokimia pada kolam anaerob, dimana bahan organik dirombak menjadi biogas pada kisaran suhu hangat (mesofilik) antara 30-38oC. Secara rinci faktor abiotik yang menghasilkan biogas o tertinggi adalah pH netral yaitu 6,9-7,3, dan suhu 30-38 C (Metcalf dan Eddy, 2003). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa faktor waktu fermentasi dengan interval dua minggu berpengaruh terhadap laju produksi biogas. Hal ini dapat dipahami karena proses perombakan anaerob berjalan empat tahap oleh kelompok masing-masing organisme konsorsium (Werner et al., 1989). Setiap tahap proses perombakan membutuhkan waktu yang cukup, sehingga pengaruh faktor waktu fermentasi terhadap substrat dalam kondisi anaerob memberikan hasil yang berbeda pada produksi biogas, semakin lama proses fermentasi semakin tinggi produksi biogas. Pengaruh faktor biotik dan abiotik terhadap total produksi biogas Pengaruh faktor abiotik dan biotik terhadap total produksi biogas sama dengan faktor yang mempengaruhi laju produksi biogas, yaitu jenis dan konsentrasi inokulum (Tabel 2.). Dalam hal ini kondisi terbaik dihasilkan dari kolam II dengan konsentrasi inokulum 20% (LKLM II-20%), dimana total produksi biogas selama 12 minggu sebesar 121 L. Faktor abiotik Ca(OH)2 dapat meningkatkan total produksi biogas, demikian pula pH netral (7), dan peningkatan suhu. Perlakuan tersebut berpengaruh meningkatkan total produksi biogas, selama 12 minggu masing-masing sebesar 55 L, sedang pada peningkatan suhu sebesar 65 L. Hal ini dapat dipahami karena proses pembentukan biogas dari perombakan LCPMKS dilakukan oleh mikrobia. Sehingga jenis dan konsentrasi inokulum sangat perpengaruh terhadap produksi biogas (Reith et al., 2003). Substrat dengan pH netral dapat mempercepat pembusukan, sehingga bakteri metanogenik mudah
51
melakukan perombakan substrat membentuk biogas, sehingga produksi biogas meningkat (Metcalf dan Eddy, 2003). Agitasi dapat meningkatkan total produksi biogas, karena dengan agitasi kondisi substrat menjadi homogen dan kontak inokulum dengan substrat lebih intensif, sehingga inokulum bekerja lebih optimal. Inokulum yang homogen dan kontak dengan substrat yang merata dapat menyebabkan mikrobia bekerja dengan optimal (Barford dan Cail 1985). Tabel 2. Jumlah produksi biogas dari LCPMKS secara anaerob sistem curah skala laboratorium, denga waktu fermentasi 12 minggu. Perlakuan Biotik
Substrat LCPMKS Jenis + konsentrasi inokulum Kotoran sapi 10% LCPMKS kolam I-10% LCPMKS kolam II-10%
Abiotik 1
64,5 36,5 55
LCPMKS kolam I-20%
28
LCPMKS kolam II-20%
121 22
Kontrol Penambahan bahan penetral pH NaOH
Abiotik 2
Produksi biogas (L)
Ca(OH)2 pH substrat dasar (awal)
34 55
pH 4,4
15,0
pH 5,5 pH 7
20,5
Abiotik 3
Agitasi
55 6
Abiotik 4
Tanpa agitasi 0 Suhu substrat 30 C
55,0
0
Peningkatan suhu 40 C
55 68, 5
Suhu dapat mempercepat proses perombakan, sehingga dapat meningkatkan produksi biogas. Pada suhu o substrat 40 C dihasilkan biogas relatif lebih tinggi dibandingkan suhu 30°C. Hasil ini menunjukkan bahwa suhu substrat berpengaruh meningkatkan produksi biogas. Hal ini dimungkinkan karena suhu dapat meningkatan reaksi kimia, sehingga memacu peningkatan perombakan senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana, yang dapat dimanfaatkan lebih cepat dan memudahkan aktivitas bakteri metanogenik membentuk biogas (NAS, 1981; Bitton, 1999; Wellinger 1999).
KESIMPULAN LCPMKS PT. Pinago Utama bersifat koloid, kental, coklat, atau keabu-abuan, pH 4,2-4,6, dan mempunyai rerata kandungan COD, 49,0-63,6, BOD 23,5-29,3, TS 26,5-45,4 dan SS 17,1-35,9 g/L, sehingga berpotensi mencemari lingkungan. Pada percobaan skala laboratorium, produksi biogas selama 12 minggu pengamatan dari substrat 80% LCPMKS segar (v/v) dalam digester anaerob sistem curah volume 20 L, dipengaruhi oleh faktor biotik dan abiotik yaitu jenis dan konsentrasi inokulum, serta bahan penetral, pH awal, agitasi, dan suhu digester. Produksi biogas mulai berlangsung pada minggu ke-2 dan meningkat sesuai dengan penambahan
52
B I O D I V E R S I T AS Vol. 9, No. 1, Januari 2008, hal. 48-52
konsentrasi inokulum lumpur aktif. Jenis inokulum lumpur aktif kolam II konsentrasi 20% menghasilkan biogas tertinggi (121 L). Namun lumpur aktif kolam II konsentrasi 10% menghasilkan biogas sebanding dengan Lumpur aktif kotoran sapi 10%, berturut-turut 55 L dan 64,5 L. Dengan demikian lumpur aktif kolam II konsentrasi 20% sesuai untuk digunakan dalam start-up produksi biogas pada digester anaerob skala pilot. Pada kondisi terbaik yaitu dengan inokulum lumpur aktif kolam II konsentrasi 20% dari seluruh perlakuan yang diuji dalam digester anaerob sistem curah volume 20 L, hingga akhir pengamatan minggu ke-12 diperoleh penurunan COD, BOD dan total solid (TS) > 85% pada minggu ke-2, namun penurunan soluble solid (SS) baru bisa mencapai > 80% setelah minggu ke-4 inkubasi. Penggunaan substrat LCPMKS segar dengan pH 4,4 tanpa bahan penetral akan memperlambat proses terbentuknya biogas, dan hanya diperoleh total produksi biogas 15 L selama 12 minggu inkubasi. Produksi biogas akan meningkat 3,6 kali lebih besar jika dilakukan penambahan bahan penetral pada awal inkubasi berupa Ca(OH)2 yang lebih baik, serta harganya lebih murah dibandingkan NaOH. Pemberian agitasi pada digester anaerob sistem curah dapat meningkatan perolehan biogas 9,2 kali lebih besar dibandingkan tanpa agitasi. Hal ini disebabkan karena agitasi dapat meningkatkan kontak langsung antara substrat utama LCPMKS dan substrat antara berupa asamasam organic dengan bakteri asidogenik, asetogenik dan metanogenik. Peningkatan suhu reaksi dari temperature rumah kaca (30oC) menjadi 40oC dapat meningkatkan 1,25 kali produksi biogas. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada direktur utama PT. Pinago Utama Palembang yang telah memberikan dukungan fasilitas dan finansial bagi penelitian ini, demikian pula kepada pimpinan Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia, Bogor serta Kementerian Negara Riset dan Teknologi RI yang telah mensponsori penelitian.
DAFTAR PUSTAKA Ahmad, A.L., Ismail, S., and S., Bhatia, 2003. Water recycling from palm oil mill effluent using membrane technology. Desalination 157: 87-95. Barford, J.P. and R.G. Cail. 1985. Mesophilic semi-continuous anaerobic of pal oil mill effluent. Biomass, 7:287-295; Bitton, G. 1999. Wastewater Microbiology. 2nd ed. NewYork: Wiley-Liss Inc.
de Mez, T.Z.D., A.J.M. Stams, J.H. Reith, and G., Zeeman. 2003. Methane production by anaerobic digestion of wastewater and solid wastes. In: Reith, J.H., R.H. Wijffels and H. Barten (eds.). Biomethane and Biohydrogen Status Add Perspectives of Biological Methan and Hydrogen Production. Wageningen: Dutch Biological Hydrogen Foundation. Ditjenbinprodbun. 2004. Statistik Perkebunan. Jakarta: Ditjen Bina Produksi Perkebunan, Departemen Pertanian. Greenberg, A.E., L.S. Clasceri and A.D. Easton. 1992. Standard Methods for the Examination of Water Wastewater. 18th ed. Washington, D.C.: APHA, AWWA, and WACF. Jawad, M. and V. Tare. 1999, Microbial composition assessment of anaerobic biomass through methanogenic activity tests. Water S.A. 25 (3): 345-350. Judoamidjojo, R.M., E.G. Said and L. Hartoto. 1989. Biokonversi. Bogor: PAU Bioteknologi IPB. Leggett, J., R.E. Graves, and L.E. Lanyon. 2007. Anaerobic Digestion: Biogas Production and Odor Reduction from Manure. Pennsilvania: PennState College of Agricultureal Sciences, Cooperative Extension, Agricultural and Biological Engineering. Metcalf and Eddy Inc. 2003. Wastewater Engineering: Treatment, Disposal, and Reuse. 4th ed. Singapore: McGraw-Hill. MNKLH-NORAD. 2004. Buku Panduan Penerapan Produksi Bersih pada Industri Kelapa Sawit. Jakarta: KLH-RI-NORAD. National Academy of Sciences (NAS). 1981. Methane generation from human, animal, and agricultural wastes. 2nd ed. Washington, D.C.: National Academy of Sciences. O’Faherty, V., G. Collins, and M. Therese, 2006. The Microbiology and biochemistry of anaerobic bioreactors with relevance to domestic sewage treatment. Earth and Environmental Science 5 (1): 39-55. Paepatung, N., P. Kullavanaya, O. Loapitinar, A. Nopparatina, W. Shongkasrri and P Chaiprasert. 2006. Assessment of Palm Oil Mill Effluent as Biogas Energy Source in Thailand. www.cppo.gov.th Prasertsan, S. and B. Sajjakulnukit. 2006. Biomass and biogas energy in Thailand: potential, opportunity and barriers. Renewable Energy 3: 599610. Reith, J.H., H. den Uil, H. van Veen, W.T.A.M. de Laat, J.J. Niessen, E. de Jong, H.W. Elbersen, R. Weusthuis, J.P. van Dijken and L. Raamsdonk. 2003. Co-production of bio-ethanol, electricity and heat from biomass residues. Proceedings of the 12th European Conference on Biomass for Energy, Industry and Climate Protection. Amsterdam, 17 -21 June 2002. Sahirman, S. 1994. Kajian Pemanfaatan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit untuk Memproduksi Gas Bio. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana IPB. Sudradjat, R., Y. Erra, K. Umi and K .Evi. 2003. Produksi biogas dari limbah pengolahan kelapa sawit dengan proses fermentasi padat. Buletin Penelitian Hasil Hutan 21: 227-237. Suzuki, S., Y. Shiray, and A.M. Hasan. 2003. Research for the reduction of Methane Release from Malaysian Palm oil Mil Lagoon and it’s Countermeasures. CDM Feasibility Study 2001. Tokyo: Ministry of the Environment Japan. Wellinger A, and A. Lindeberg 1999. Biogas Upgrading and Utilization. Task 24. Dublin: IEA Bioenergy. Wellinger, A., 2005. Energy from Biogas and Landfill Gas. Task 37. Dublin: IEA Bioenergy. Werner, U., V. Stochr, and N. Hees. 1989. Biogas Plant in Animal Husbandry. Berlin: Guesllechaft fuer Technische Zusemmernarbeit (GTZ) GnbH. Yacob, S., M.A. Hassan, Y. Shirai M. Wakisaka, and S. Subash. 2006. Baseline study of methane emission from anaerobic ponds of palm oil mill effluent treatment. Science of the Total Environment 366: 187-196. Zinatizadeh, A.A.L., A.R. Mohamed, M.D. Mashitah, A.Z. Abdullah and G.D. Najidfour. 2006. Effect of Physical and Pretreatment on POME Digestion in an Upflow Anaerobic Sludge Fixed Film Bedreactor. http://www.omicron.ch.tulasigov/eemj.docs/145.pdf.
Laju produksi biogas (L/kg COD/hari)
MAHAJOENO dkk. – Biogas dari limbah Elaeis guiinensis
0.25
Tanpa FeCl3
0.2 0.15 150mg/L
0.1 0.05
300mg/L
0 0
2
4
6
8
10
12
Waktu fermentasi (minggu ke ...) Tanpa FeCl3
150mg/L
300mg/L
53
Lampiran 2. METODE ANALISIS PENELITIAN COD (Metode Titrasi, Greenberg et al. 1992). Bahan disiapkan antara lain: K2Cr2O7; Ag2SO4; Fe (NH4)2 (SO4)2. 6H2O; indikator Feroin; HgSO4; laruta H2SO4 pekat dan peralatan Refluks, Kondensor Liebiq; Erlenmeyer Asahi dan peralatan Titrasi. Limbah contoh sebanyak 5 ml yang telah diencerkan dengan air suling dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan ditambahkan 10 ml. K2Cr2O7 0.025 N dan 10 ml H2SO4 pekat. Setelah campuran tersebut dingin, dititrasi dengan larutan Fe(NH4)2SO4 0.025 N, dengan indikator ferroin. Titrasi dihentikan setelah terjadi perubahan warna biru kehijauan menjadi merah anggur. Volume Fe(NH4)2SO4 0.025 N yang digunakan untuk titrasi dicatat sebagai a ml. Dengan prosedur yang sama, dilakukan titrasi terhadap blangko air suling. Volume Fe(NH4)2SO4 yang digunakan dicatat b ml. (b - a) x 0.025 x 8000 x f COD (ppm) =
f : Faktor pengenceran ml contoh
BOD (Metode Winkler, Greenberg et al. 1992). Bahan pereaksi disiapkan:. MnSO4 . 4H2O, (NaOH- NaI- NaN3) sebagai alkali Iod-azida; H2SO4 pekat, larutan H2SO4 4N, KI 10%, Amilum, larutan Tio-sulfat 0,025 N, Na2S2O3 . 5H2O dengan peralatan: botol Winkler 250 ml dan perangkat titrasi. Contoh yang bersifat asam atau basa dinetralkan dengan penambahan NaOH atau HCl. Penambahan Na2SO3 ke dalam contoh dilakukan jika diduga mengandung senyawa khlor aktif dengan perbandingan molar yang sama. Botol-botol disimpan dalam inkubator pada suhu 30o C, selama satu jam (tiap contoh sampel menggunakan dua botol BOD). Salah satu botol diambil, kemudian dianalisa kadar oksigen terlarutnya. Botol yang lainnya disimpan selama tiga hari dalam inkubator 30oC sebelum dianalisa kadar oksigen teriarutnya. Analisis oksigen terlarut dilakukan juga terhadap blangko
(X0 – X3) - (B0 – B3) BOD3 (ppm)=
(1-f) f
X0: Kadar oksigen terlarut dalam contoh pada hari-0 X3 : Kadar oksigen terlarut dalam contoh pada hari-5 B0: Kadar oksigen terlarut dalam blangko pada hari-0 B3 : Kadar oksigen terlarut dalam blangko pada hari-5; f : Faktor pengenceran Penentuan oksigen terlarut: Contoh dalam botol Winkler yang tertutup ditambahkan 2 ml larutan MnSO4 dengan ujung pipet tercelup pada contoh. Sebanyak 2 ml larutan, alkali-iodida-azida ditambahkan, kemudian botol ditutup dan digoyang beberapa kali selanjutnya didiamkan selama 10-20 menit. Sebagian filtrat yang telah jernih dimasukkan ke dalam Erlenmeyer, sedangkan sebagian yang tertinggal ditambahkan 2 ml H2SO4 dan digoyang sampai seluruh endapan larut. Seluruh sisa filtrasi dituang ke dalam erlenmeyer yang berisi filtrat jernih. Larutan dititrasi dengan thiosulfat sehingga timbul warna coklat muda, dengan penambahan indikator kanji akan berwarna biru. Titrasi dilanjutkan kembali dengan larutan thiosulfat sampai warna biru tepat hilang. a x N x 8000 OT (Ppm) =
OT: Oksigen Terlarut; N: Normalitas thiosulfat;
mL contoh
a: volume titrasi thiosulfat
pH dan suhu. Bahan disediakan: larutan Buffer pH: 4, larutan Buffer pH: 7 dan pH–meter. Elektroda pH-meter dimasukkan ke dalam air suling, dilap dengan tisu lalu dimasukan dalam larutan Buffer pH: 4, bilas dengan air, lap dengan tisu dan dimasukan ke dalam larutan Buffer pH : 7. Pengukuran pada contoh, elektroda dimasukkan kedalam 25 ml contoh dalam piala gelas lalu pH-meter dibaca. Demikian pula untuk pengukuran suhu substrat menggunakan elektroda terpasang.
Padatan Total (Metode Evaporasi; Greenberg et al. 1992). Sebanyak 25 50 ml contoh yang telah diaduk dimasukkan ke dalam cawan dan ditimbang bersama cawan dan dianggap sebagai w2. Sebelum digunakan cawan dibersihkan dan dikeringlcan dalam oven pada suhu 103oC selama satu jam. Setelah itu cawan didinginkan di dalam desikator hingga suhu ruang dan ditimbang (wl). Contoh diuapkan dalam cawan dan diteruskan dengan pengeringan di dalam oven pada sub 103oC, selama satu jam atau hingga bobot konstan. Setelah didinginkan di dalam desikator cawan ditimbang lagi (W3). (W3 - W1) x 100% Padatan Total = (W2 - W1)
Padatan Tersuspensi (Metode Penyaringan dan Evaporasi; Greenberg et al. 1992). Sebanyak 25 ml contoh yang telah disaring dengan kertas saring miliporous berdiameter pori 0.4 um (menggunakan pompa vakum) dimasukkan ke dalam cawan aluminium yang telah diketahui bobotnya. Sebelum ditimbang cawan aluminium dibersihkan dan dikeringkan di dalam oven selama satu jam, selanjutnya didinginkan dan ditimbang (w'l). Contoh dalam cawan tersebut diuapkan dan selanjutnya dikeringkan dalam oven hingga dicapai bobot konstan (w3). (w3 - w1) x 1000 Padatan tersuspensi = ml contoh Pengukuran gasbio (metana). Komposisi gasbio (CO2, CH4) dalam reaktor ditetapkan dengan kromatografi gas (Fison GC-8000) yang dilengkapi dua kolom. Chromodsorb teflon 108 (60-80 mesh) dan saringan molekuler (60-80 mesh) lapis baja antikarat. Kolom dihubungkan paralel dengan split 1:1. Nitrogen sebagai gas pembawa dengan total laju gas pembawa 45ml/menit. Suhu kolom, injektor dan
detektor penghubung suhu masing-masing 40, 110 dan 100 oC. Pengujian aktivitas gas metan diukur dalam kromatografi gas Sigma (Perkin Elmer) dilengkapi detektor penghubung panas 100mA. Gas dipisahkan dengan argon sebagai gas pembawa dalam kolom saringan molekuler pada 100 oC (Weijma et al. 2000). Penghitungan Rasio Biaya Manfaat. Analisis Biaya Manfaat ini dilakukan terhadap para pengguna gasbio dan produsen dalam hal ini PT Pinago Utama. Analisis ini untuk mengetahui biaya yang harus dikeluarkan untuk kelangsungan proses produksi dengan menggunakan rumus: 1). Analisis biaya internal tanpa eksternal TC
=
TFC
TC = Total biaya;
+
TVC
TFC = total biaya tetap;
TVC = total biaya berubah
2). Analisis biaya internal dengan eksternal: TC
=
TFC
TC = Total biaya;
+
TVC
+
EC
TFC = total biaya tetap; TVC = total biaya berubah; dan EC
= biaya eksternalitas 3). Analisis penerimaan: TR
=
Q
x
TR = penerimaan total;
H Q = jumlah output terjual;
H = harga
4). Analisis pendapatan: N
=
N = keuntungan;
TR
-
TC
TR = penerimaaan total;
TC = biaya total dikeluarkan
Analisis finansial digunakan untuk mengetahui apakah kegiatan usaha penyediaan dan laju penerimaan internal (IRT) layak dilakukan, digunakan rumus sebagai berikut:
a). Net Present Value: NPV = ∑ n=1
Bn - Cn
NPV = ∑
dan
(1 + i)n
(1 + i)n
n=1
Bn = penerimaan minggu (bulan) ke-n; tingkat suku bunga harian;
Bn – Cn - EC
Cn = biaya minggu (bulan) ke-n; i =
n = minggu (bulan) ke-n;
EC = biaya eksternal
b). Internal Rate Return:
IRR = I1 + (i 2 – i1) [
]
NPV NPV1 – NPV2
i1 = tingkat suku bunga (discount rate) yang lebih rendah; i2 = tingkat suku bunga yang lebih tinggi; NPV1 = nilai sekarang pada i1 dan NPV2 = nilai sekarang pada i2 Setelah dilakukan survey kuesioner terhadap pengguna (konsumen) dan analisis biaya penerimaan dilakukan analisis finansial mencakup penghitungan net present value; cost-benefit ratio; dan
internal rate return, sedangkan analisis
sensistivitas akan dilakukan bila terjadi perubahan harga bahan bakar konvensional skala nasional (Kadariah 1988, Kadarsan 1995). Padatan mudah uap (Volatile Solids) (Greenberg et al. 1992). Setelah penetapan padatan total kemudian dibakar pada suhu 550oC selama 3 jam dengan menggunakan furnace lalu didinginkan dalam desikator dan timbang sampai bobot tetap. (W3 – WO) x 1000 Padatan Total (ppm) =
ml contoh
Asam lemak mudah uap (Volatile Fatty Acids) (Greenberg et al. 1992). Bahan pereaksi disediakan: H2SO4 50%, indikator PP, Anti–foam ICI Sictol AF dan Larutan BaOH / NaOH 0,01 N. Pemeriksaan limbah contoh dipipet 5 ml LCPMKS
contoh, ditambahkan 2 ml H2SO4 dan 1 tetes anti-foam lalu disuling dan biarkan sampai volume mencapai 50 ml. Ditambahkan 2 tetes indikator PP kemudian titar dengan larutan BaOH / NaOH 0,01 N sampai terjadi perubahan warna menjadi merah muda. Kadar Lemak Kasar (Metode Ekstraksi, AOAC 1984). Sebanyak 2 - 3 gram contoh bebas air diekstraksi dengan pelarut n-hexan dalam alat soxhlet selama kurang lebih 6 jam. Hasil ekstraksi diuapkan pelarutnya dengan dikering-anginkan, kemudian dipanaskan dalam oven bersuhu 105oC hingga diperoleh bobot yang tetap. bobot lemak (g) Kadar lemak =
X 100 bobot contoh (g)
Kadar Nitrogen Total (Metode Mikro-Kejdahl, Greenberg et al. 1992). Contoh sebanyak 0,25 g dimasukkan ke dalam labu Kjedahl 100 ml ditambah 1 g campuran katalisator selen dan 10 ml asam sulfat pekat lalu dipanaskan diatas alat dekstruksi, sampai larutan berwarna jernih. Setelah dingin ditambah 10 ml air dan dipindahkan kedalam labu takar 50 ml ditepatkan sampai tanda tera dengan air suling. Larutan dalam labu takar dipipet 10 mi dimasukan ke dalam alat destilasi, ditambahkan 15 ml natrium hidroksida 30 %. Hasil destilasi ditampung dengan 25 ml asam borat 1% dengan beberapa tetes indikator Conway. Penyulingan dihentikan setelah 10 menit dari perubahan warna indikator pada larutan penampung. Hasil destilasi dititrasi dengan HCl 0,05 N sampai titik akhir titrasi berupa perubahan warna dari biru menjadi merah. Perlakuan yang sama dilakukan untuk blanko. Volume medium dicatat sebagai data hasil percobaan. Kadar N total = (ml Contoh - ml Blanko) x Fp x N HCl x 14 x 100% mg. Contoh
Kadar asam organik (AOAC 1984). Asam organik bereaksi dengan NaOH menjadi garam basa karena NaOH adalah basa kuat dan sebaliknya asam organik merupakan asam lemah. Phenolphtalin dipergunakan sebagai indikator pada pH 8,9. Untuk pengukurannya disiapkan 700 mg limbah cair contoh dibilas dalam air suling sebanyak 100 ml lalu diencerkan hingga tanda garis pada labu. Larutan ini sebanyak 25 ml dipipetkan ke dalam erlenmeyer 250 ml dibubuhi 3 tetes indikator PP lalu dititar dengan NaOH 0,1 N sampai warna merah muda timbul. Penetapan rasio C/N (AOAC 1984). Perhitungan nilai karbon (C) didasarkan perhitungan nilai COD, bahwa 1 gr COD setara dengan 0,5 g C. Dengan demikian nilai C adalah 0,5 COD. Nilai N dapat ditentukan dengan metode analisis N total di atas.