STRATEGI PENGEMBANGAN PETERNAKAN SAPI PERAH RAKYAT DI KECAMATAN CISARUA, BOGOR
FATWI ZANDOS
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Strategi Pengembangan Peternakan Sapi Perah Rakyat di Kecamatan Cisarua, Bogor adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2011
Fatwi Zandos NRP. P052090301
ABSTRACT
FATWI ZANDOS. Strategy for Small Dairy Farms Development in Cisarua, Bogor. Under supervision of AKHMAD ARIF AMIN and YULI RETNANI.
Dairy farms in Indonesia have a good prospect to be developed because more than 70% of national consumers needs are fulfilled from imports. Bogor regency has opportunity to take part in dairy industries by improving dairy farms development in some regions, one of these is Cisarua. This theses describes the sustainable development strategy of small dairy farms in Cisarua. The research was conducted during December 2010 and March 2011 in Cisarua, Bogor, West Java. The informations were collected through indivial interviewed with 28 dairy farmer households and some key informans. The data were analized and presented descriptively. Results showed that the following are possibly happen in development of small dairy farms in Cisarua: (1) decreasing natural fodder carrying capacity which is currently in very critical condition with 0.78 Carrying Capacity Index, (2) increasing of organic pollution in Kali Citeko Bawah, current value of COD (194.2 mg/l) and BOD (86.2 mg/l) are already above the quality standards stated in Government Regulation of Republic of Indonesia Number 82, Year 2001 on air quality management and water pollution control, (3) waste from dairy farms can potentially trigger a social conflict, and (4) farmers do not have any bargaining power in milk selling-price as due to high dependence to Milk Processing Industry. Based on analysis of current conditions in dairy farms and expert opinion, there are several targets to be achieved in order to improve dairy farms development in Cisarua i.e. (1) increase farmers’ income; (2) create employment oppurtunities; (3) optimize natural resource potential; (4) increase local economic growth; (5) to raise public nutrition level; (6) to create zero waste dairy farms and; (7) make dairy cattle as an icon of Cisarua. Analytical Hierarchy Process (AHP) on experts’ choice showed that improvement in quality and quantity of milk/product (0.244), extension in capital access (0.208) and increase human resources quality (0.196) were the major strategies to achieve the targets of sustainable dairy farms in Cisarua, Bogor. Key words: dairy farm, development, strategy, sustainable
RINGKASAN
FATWI ZANDOS. Strategi Pengembangan Peternakan Sapi Perah di Kecamatan Cisarua, Bogor. Dibimbing oleh AKHMAD ARIF AMIN dan YULI RETNANI. Peternakan sapi perah di Indonesia memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan mengingat lebih dari 70% kebutuhan nasional masih diperoleh dari impor. Kabupaten Bogor memiliki peluang untuk mengambil bagian dalam industri persusuan dengan meningkatkan pengembangan peternakan sapi perah rakyat di daerah sentra peternakan sapi perah, salah satunya di Cisarua. Pengembangan peternakan sapi perah rakyat di Cisarua perlu memperhatikan aspek ekologi, sosial dan ekonomi. Pengembangan peternakan sapi perah di Kecamatan Cisarua terkendala pada terbatasnya kepemilikan lahan oleh peternak, tekanan perubahan tata guna lahan dan tingginya potensi pencemaran organik. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui kondisi terkini peternakan sapi perah rakyat di Cisarua, (2) mengetahui kondisi yang terkait dengan keberlanjutan peternakan sapi perah di Cisarua dan (3) merumuskan strategi pengembangan peternakan yang berkelanjutan. Penelitian dilaksanakan di Cisarua dari Desember 2010 sampai Maret 2011. Pengambilan responden peternak sebanyak 28 orang dilakukan secara Stratified Random Sampling dan responden pakar sebanyak 10 orang dilakukan secara Purpossive Sampling. Pengambilan data dilakukan melalui wawancara dengan responden, observasi lapang dan dokumentasi terhadap pustaka terkait. Selanjutnya data dianalisis dan disajikan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peternakan di Cisarua umumnya (82%) diusahakan dalam skala kecil dengan jumlah kepemilikan 1-5 ekor. Sapi perah yang dipelihara memiliki produksi rata-rata 11 liter/ekor/hari. Peternakan sapi perah merupakan usaha pokok peternak (95%) yang sebagian besar (67,86%) dijalankan oleh peternak usia 36-50 tahun dengan tingkat pendidikan mayoritas (57%) sekolah dasar. Peternakan di Cisarua didukung oleh empat kelembagaan kelompok dan satu koperasi yang khusus menangani komoditas sapi perah. Pengembangan peternakan sapi perah di masa yang akan datang perlu memperhatikan keberlanjutan dari dimensi ekologi, sosial dan ekonomi. Beberapa kondisi yang perlu diantisipasi dalam pengembangan peternakan sapi perah di Cisarua adalah: (1) semakin menurunnya daya dukung pakan alami yang saat ini berada dalam kondisi sangat kritis dengan Indeks Daya Dukung sebesar 0,78; (2) semakin tingginya pencemaran organik pada Kali Citeko Bawah yang saat ini nilai COD (194,2 mg/l) dan BOD (86,2 mg/l) telah melebihi nilai baku mutu yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, (3) limbah peternakan yang dihasilkan berpotensi memicu konflik di masyarakat, dan (4) ketergantungan peternak yang besar terhadap Industri Pengolah Susu mengakibatkan peternak tidak memiliki posisi tawar dalam menetapkan harga jual susu. Berdasarkan kondisi yang ada dan diskusi dengan para pakar, terdapat beberapa sasaran yang perlu dicapai dalam pengembangan peternakan sapi perah berkelanjutan di Cisarua yaitu: (1) terciptanya peternakan yang zero waste, (2) terwujudnya optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam, (3) meningkatnya lapangan pekerjaan, (4) meningkatnya status gizi masyarakat, (5) menjadikan sapi perah sebagai icon daerah, (6) meningkatnya pendapatan peternak dan (7) meningkatnya perekonomian daerah. Berdasarkan hasil AHP diperoleh bahwa
peningkatan kualitas dan kuantitas produk/susu (0,244), perluasan akses peternak terhadap permodalan (0,208) dan peningkatan kualitas SDM peternak (0,196) merupakan strategi prioritas para stakeholder untuk mewujudkan sasaran yang ingin dicapai Kata kunci: peternakan sapi perah, pengembangan, strategi, berkelanjutan
© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
STRATEGI PENGEMBANGAN PETERNAKAN SAPI PERAH RAKYAT DI KECAMATAN CISARUA, BOGOR
FATWI ZANDOS
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi : Dr. Ir. Bagus Priyo Purwanto, M.Agr
Judul Tesis Nama
: Strategi Pengembangan Peternakan Sapi Perah Rakyat di Kecamatan Cisarua, Bogor : Fatwi Zandos
NRP
: P052090301
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr.drh. Akhmad Arif Amin Ketua
Dr. Ir. Yuli Retnani, M.Sc Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S NIP. 19610212 198501 1 001
Tanggal Ujian: 13 Juli 2011
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Dahrul Syah NIP. 19650814 199002 1 001
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga Tesis yang berjudul Strategi Pengembangan PeternakanSapi Perah di Kecamatan Cisarua, Bogor ini dapat diselesaikan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan Kabupaten Bogor dan Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor atas kesempatan dan izin yang diberikan kepada Penulis untuk mengikuti pendidikan program magister di Sekolah Pasca Sarjana IPB. Ucapan terima kasih juga Penulis sampaikan kepada segenap pihak yang telah banyak membantu selama penelitian dan penulisan tugas akhir ini, diantaranya: 1)
Dr. drh. Akhmad Arif Amin dan Dr. Ir. Yuli Retnani, M. Sc selaku Komisi Pembimbing atas arahannya selama penelitian dan penulisan tesis,
2)
Dr. Ir. Bagus Priyo Purwanto, M.Agr selaku Penguji Ujian Sidang Tugas Akhir atas segala koreksi dan masukannya untuk karya tulis ini,
3)
Eko Hariyanto, Amd yang telah banyak membantu penulis selama pengambilan data di Cisarua,
4)
segenap karyawan dan karyawati Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan atas pelayanan yang diberikan dalam proses penyelesaian Tugas Akhir ini,
5)
keluarga besar PSL 2009 atas kebersamaan dan bantuannya dalam penyempurnaan tulisan ini, dan
6)
istriku tercinta Yesi Noverine yang selalu memberikan dorongan semangat dan doa untuk penyelesaian tesis ini.
Akhirnya
penulis
berharap
semoga tulisan
ini
dapat
bermanfaat
bagi
pengembangan peternakan di Kabupaten Bogor, khususnya pengembangan peternakan sapi perah di Cisarua.
Bogor, Juli 2011
Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Payakumbuh, 21 Januari 1982. Penulis adalah anak kedelapan dari sepuluh bersaudara pasangan H. Ali Syarkawi dan Hj. Darusni. Pendidikan dasar di SDN Mekarjaya 10 Depok diselesaikan pada tahun 1993 dan pendidikan di SMPN Limbanang diselesaikan pada tahun 1996. Pada tahun 1999 penulis menyelesaikan pendidikan di SMUN 1 Suliki Gunung Mas dan pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan di Fakultas Peternakan IPB (lulus tahun 2004). Penulis bekerja pada Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor (2005-2009).
Pada
tahun
2009,
penulis
memperoleh
kesempatan
dari
Pemerintah Kabupaten Bogor untuk melanjutkan pendidikan magister pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam, Sekolah Pascasarjana IPB dan tercatat sebagai pelaksana di Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan Kabupaten Bogor (2009-sekarang).
DAFTAR ISI
Hal DAFTAR ISI ................................................................................................... xii DAFTAR TABEL ............................................................................................ xiv DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xv DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xvi I.
PENDAHULUAN ....................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1 1.2 Kerangka Pemikiran .......................................................................... 2 1.3 Perumusan Masalah ......................................................................... 3 1.4 Tujuan Penelitian .............................................................................. 4 1.5 Manfaat Penelitian ............................................................................ 4
II. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................... 5 2.1 Usaha Peternakan Sapi Perah .......................................................... 5 2.2 Kebijakan Pengembangan Peternakan Sapi Perah ............................ 6 2.3 Peruntukan Ruang Kawasan Puncak Bogor....................................... 7 2.4 Pengelolaan Lingkungan Hidup.......................................................... 9 2.5 Peternakan Berkelanjutan ................................................................. 10 2.6 Analisis Strategi Pengembangan Peternakan .................................... 12 III. METODE PENELITIAN ............................................................................. 15 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................... 15 3.2 Bahan dan Alat ................................................................................. 15 3.3 Jenis dan Sumber Data ..................................................................... 15 3.4 Rancangan Penelitian ....................................................................... 15 3.4.1 Teknik Penentuan Sampel ........................................................ 15 3.4.2 Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 16 3.4.3 Variabel yang Diamati ............................................................... 16 3.5 Analisis Data ..................................................................................... 16 3.5.1 Analisis Kondisi Terkini Peternakan Sapi Perah Rakyat ............ 16 3.5.2 Analisis Kondisi Keberlanjutan Usaha Peternakan Sapi Perah Rakyat ............................................................................ 17 3.5.3 Analisis Kondisi Sumberdaya Lahan dan Air ............................. 17 3.5.4 Analisis Strategi Pengembangan Peternakan Sapi Perah ........ 18
xii
IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ............................................. 23 4.1 Keadaan Umum Lokasi ...................................................................... 23 4.2 Keadaan Umum Usaha Peternakan ................................................... 25 V. HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 27 5.1 Kondisi Terkini Peternakan Sapi Perah Rakyat di Cisarua ................. 27 5.1.1 Kondisi Usaha Peternakan ........................................................ 27 5.1.2 Kondisi Peternak Sapi Perah .................................................... 30 5.1.3 Kondisi Kelembagaan Peternak ................................................ 33 5.2 Kondisi Keberlanjutan Usaha Peternak Sapi Perah Rakyat ............... 35 5.2.1 Keberlanjutan dari Dimensi Ekologi........................................... 35 5.2.2 Keberlanjutan dari Dimensi Sosial............................................. 43 5.2.3 Keberlanjutan dari Dimensi Ekonomi ........................................ 45 5.3 Pengembangan Peternakan Sapi Perah Berkelanjutan ..................... 48 5.3.1 Sasaran Pengembangan Peternakan Sapi Perah ..................... 48 5.3.2 Strategi Pengembangan Peternakan Sapi Perah ..................... 50 VI. KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 62 6.1 Kesimpulan ........................................................................................ 62 6.2 Saran ................................................................................................. 62 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 63 LAMPIRAN...................................................................................................... 67
xiii
DAFTAR TABEL
Hal Tabel 1. Responden Pakar yang Diwawancarai dalam Penelitian .................... 16 Tabel 2. Skala Banding Secara Berpasangan ................................................. 19 Tabel 3. Nilai Random Indeks .......................................................................... 21 Tabel 4. Luas Wilayah Desa/Kelurahan di Kecamatan Cisarua ....................... 23 Tabel 5. Jumlah Penduduk Tiap Desa/Kelurahan di Kecamatan Cisarua ........ 24 Tabel 6. Jumlah Penduduk di Kec. Cisarua Berdasarkan Kelompok Umur ...... 25 Tabel 7. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian ............................ 25 Tabel 8. Populasi Ternak di Kecamatan Cisarua Tahun 2009.......................... 26 Tabel 9. Struktur Populasi Sapi Perah di Kecamatan Cisarua ......................... 27 Tabel 10. Jumlah Kepemilikan Ternak Sapi Perah Rakyat di Cisarua .............. 28 Tabel 11. Produksi Susu Berdasarkan Tingkat Kepemilikan Induk .................. 28 Tabel 12. Kepemilikan Biogas Berdasarkan Tingkat Kepemilikan Induk .......... 29 Tabel 13. Kapasitas Kandang Berdasarkan Tingkat Kepemilikan Ternak ........ 29 Tabel 14. Kelompok Umur Peternak Sapi Perah di Kecamatan Cisarua .......... 30 Tabel 15. Keragaan Tingkat Pendidikan Peternak Sapi Perah di Kecamatan Cisarua ...................................................................... 31 Tabel 16. Penghasilan Bersih Peternak dari Penjualan Susu .......................... 33 Tabel 17. Kelompok Peternak Sapi Perah di Kecamatan Cisarua .................... 34 Tabel 18. Peruntukkan Ruang Masing-masing Desa di Kecamatan Cisarua.... 37 Tabel 19. Pengaturan Usaha Ternak Besar pada Masing-masing Peruntukkan Ruang .......................................................................... 38 Tabel 20. Potensi Sumber HMT Alami di Kecamatan Cisarua ......................... 39 Tabel 21. Potensi Sumber Pakan dari Limbah Tanaman Pangan .................... 40 Tabel 22. Poulasi Ternak Ruminansia di Kecamatan Cisarua dalam ST .......... 40 Tabel 23. Hasil Analisis Kualitas Air Kali Citeko Bawah ................................... 42 Tabel 24. Harga Beli Susu Segar PT. Cimory .................................................. 46 Tabel 25. Aspek dan Sasaran Pengembangan Peternakan Sapi Perah Berkelanjutan .................................................................................... 49 Tabel 26. Prioritas Global Sasaran Pengembangan Peternakan Sapi Perah di Kawasan Puncak .......................................................................... 50
xiv
DAFTAR GAMBAR
Hal Gambar 1. Diagram Alir Kerangka Pikir Penelitian ........................................... 3 Gambar 2. Alternatif Strategi Pengembangan Peternakan Sapi Perah di Kecamatan Cisarua ...................................................................... 61
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Hal Lampiran 1. Peta Peruntukan Ruang Kecamatan Cisarua ............................... 68 Lampiran 2. Kuesioner untuk Responden Peternak ......................................... 69 Lampiran 3. Kuesioner untuk Responden Pakar .............................................. 73
xvi
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Peternakan sapi perah di Indonesia umumnya diusahakan oleh peternak rakyat dengan skala yang relatif kecil dengan jumlah kepemilikan 2-3 ekor/KK (kepala keluarga). Usaha peternakan sapi perah seperti ini belum sepenuhnya dapat diandalkan sebagai mata pencarian utama. Kendati demikian, usaha peternakan
berskala
kecil
ini
dirasakan
cukup
memberikan
tambahan
penghasilan bagi peternak. Beberapa keuntungan usaha peternakan sapi perah dibandingkan dengan usaha peternakan hewan lainnya adalah peternakan sapi perah merupakan usaha yang tetap, sapi perah sangat efisien dalam mengubah pakan menjadi protein hewani dan kalori, memiliki jaminan pendapatan yang tetap, tenaga kerja yang tetap, pakan yang relatif mudah dan murah, kesuburan tanah dapat dipertahankan, menghasilkan pedet yang bisa dijual jika jantan atau betina yang dapat menghasilkan susu (Sudono, et al, 2003). Peningkatan produksi susu sapi perah perlu dilakukan karena peluang pasar di dalam negeri sangat terbuka lebar mengingat sekitar 70% kebutuhan susu nasional masih diperoleh dari impor dengan volume impor pada tahun 2008 sebesar 180.932,8 ton. Saat ini populasi sapi perah di Indonesia berjumlah sekitar 487.000 ekor yang terkonsentrasi di Propinsi Jawa Timur (45,6%), Jawa Tengah (27,7%), Jawa Barat (23,5%)
dan sisanya tersebar di propinsi lain
(Ditjennak, 2009). Kabupaten Bogor dapat berkontribusi dalam memenuhi kebutuhan susu nasional melalui pengembangan usaha peternakan sapi perah. Beberapa wilayah di Kabupaten Bogor memiliki agroklimat dan perilaku sosial budaya yang sesuai untuk peternakan sapi perah, salah satu diantaranya adalah Kecamatan Cisarua yang terletak pada ketinggian antara 650-1.400 m dpl dengan suhu berkisar antara 17,85o-23,91oC (rata-rata 20oC). Kecamatan ini pada tahun 2009 memberikan kontribusi sebesar 19,64%
dari 7.131 ekor
populasi sapi perah di Kabupaten Bogor (Disnakkan, 2009). Selain kesesuaian agroklimat, daerah Cisarua ini termasuk dalam daerah kawasan wisata Puncak yang akan memberi potensi peluang pasar yang cukup besar apalagi didukung oleh keberadaan PT. Cisarua Mountain Dairy (Cimory) sebagai Industri Pengolah Susu (IPS) yang menampung produk susu yang dihasilkan oleh peternakan sapi perah rakyat di kawasan Puncak. Sedangkan untuk kebutuhan sapronak, para
1
peternak memperoleh pasokan dari KUD Giri Tani yang kerjasamanya sudah terjalin sejak lama. Hasil peternakan yang maksimal dapat dicapai dengan menerapkan sejumlah program yang terintegrasi, mulai dari kebutuhan input (pakan, straw semen, obat-obatan, dll.), penerapan good farming practice, pengolahan produk, hingga pemasaran. Apabila semua kegiatan usaha sapi perah dari hulu sampai hilir, baik yang off farm, on farm dan non-farm berada di Kabupaten Bogor maka usaha sapi perah akan menjadi industri yang dapat memberikan banyak manfaat untuk Kabupaten Bogor, yakni perluasan lapangan pekerjaan, peningkatan pendapatan
masyarakat,
pengentasan
kemiskinan
dan
peningkatan
perekonomian daerah. 1.2 Kerangka Pemikiran Melihat besarnya potensi yang dimiliki serta didukung oleh Kebijakan Pemerintah Kabupaten Bogor tentang Revitalisasi Pertanian dan Pembangunan Perdesaan maka sudah selayaknya dilakukan pengembangan peternakan sapi perah di Kecamatan Cisarua. Sebagai salah satu dari 16 komoditas unggulan pertanian
yang
pengembangan
ditetapkan ternak
sapi
oleh
Pemerintah
perah
ini
perlu
Kabupaten digarap
Bogor, dengan
maka serius.
Pengembangan peternakan sapi perah perlu dilakukan dengan mengelola komponen input dan output dari peternakan secara terintegrasi dengan memperhatikan aspek ekologi, sosial dan ekonomi agar keberlanjutannya tetap terjaga. Aspek ekologi ditekankan pada daya dukung sumberdaya lahan dan air serta pengendalian terhadap limbah peternakan yang dilepas ke lingkungan. Aspek sosial ditekankan pada dampak sosial yang ditimbulkan dari keberadaan peternakan terhadap masyarakat, sedangkan aspek ekonomi ditekankan kepada kemampuan peternakan rakyat yang mampu memberikan manfaat ekonomi sebesar-besarnya bagi peternak dalam bentuk peningkatan pendapatan. Hasil analisis terhadap kondisi peternakan terkini yang dikaitkan dengan kebijakan pemerintah dan perilaku masyarakat yang terjadi akan dijadikan landasan untuk menentukan strategi pengembangan peternakan sapi perah rakyat yang berkelanjutan di masa depan. Gambar 1 memperlihatkan kerangka pemikiran dari penelitian ini secara skematik.
2
Pengembangan Peternakan Sapi Perah Rakyat
Input
Output
Kondisi Terkini Usaha Peternakan Sapi Perah Rakyat
Kebijakan Pemerintah
Dimensi Ekologi
Kondisi Keberlanjutan Usaha Peternakan Sapi Perah Rakyat
Dimensi Sosial
Perilaku Masyarakat
Dimensi Ekonomi Umpan Balik
Alternatif Strategi Pengembangan
Strategi Pengembangan Peternakan Sapi Perah Rakyat
Gambar 1. Diagram Alir Kerangka Pikir Penelitian
1.3 Perumusan Masalah Pengembangan peternakan sapi perah di Kecamatan Cisarua merupakan salah satu upaya Pemerintah Kabupaten Bogor dalam mengimplementasikan Kebijakan Revitalisasi Pertanian dan Pembangunan Perdesaan. Pengembangan peternakan sapi perah rakyat ini dilakukan melalui pendekatan partisipatif dengan tujuan untuk menghasilkan peternak yang mandiri dan berdaya secara ekonomi di masa sekarang dan masa yang akan datang. Untuk keperluan itu perlu dilakukan analisis pengembangan peternakan sapi perah rakyat yang berkelanjutan.
3
Kendala pengembangan peternakan sapi perah, khususnya di Kecamatan Cisarua adalah: (1) terbatasnya kepemilikan lahan yang dimiliki peternak, (2) tingginya tekanan dari perubahan tata guna lahan dan (3) potensi pencemaran organik yang tinggi. Pengembangan peternakan sapi perah rakyat di masa yang akan datang perlu memperhitungkan dampak ekologi, sosial dan ekonomi yang mungkin timbul. Berdasarkan kenyataan tersebut maka perlu diketahui: 1. Kondisi peternakan sapi perah rakyat yang ada saat ini di Kecamatan Cisarua. 2. Kondisi yang terkait dengan keberlanjutan usaha peternakan sapi perah rakyat. 3. Strategi pengembangan ternak sapi perah yang berkelanjutan di Kecamatan Cisarua. 1.4 Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan: 1.
Menghimpun informasi mengenai kondisi peternakan sapi perah rakyat yang ada saat ini di Kecamatan Cisarua.
2.
Mengidentifikasi kondisi-kondisi yang terkait dengan keberlanjutan usaha peternakan sapi perah rakyat.
3.
Merumuskan strategi pengembangan usaha peternakan sapi perah rakyat yang berkelanjutan di masa yang akan datang.
1.5 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik bagi peternak, pengambil kebijakan, maupun stakeholder lain yang berkepentingan dalam pengembangan peternakan sapi perah di Kabupaten Bogor, khususnya di Kecamatan Cisarua. Manfaat dari penelitian ini adalah: 1.
Bahan informasi mengenai kondisi peternakan sapi perah rakyat di Cisarua..
2.
Arahan bagi pengambil kebijakan yang terkait dalam pengembangan peternakan sapi perah.
3.
Bahan umpan balik bagi perencana pembangunan di Kabupaten Bogor terhadap pengembangan peternakan sapi perah rakyat di Kecamatan Cisarua.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Usaha Peternakan Sapi Perah Peternakan sapi perah di Indonesia telah dimulai sejak abad ke-19, yaitu sejak pengimporan sapi-sapi perah Milking Shorthorn, Ayrshire dan Jersey dari Australia yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Sapi perah pada masa itu umumnya dikelola dalam bentuk perusahaan, yaitu pemeliharaan sapi perah yang bertujuan untuk menghasilkan susu yang selanjutnya dijual kepada konsumen. Konsumen susu pada saat itu umumnya orang-orang Eropa atau orang asing lainnya karena orang-orang Indonesia belum suka minum susu (Sudono et al, 2003). Berdasarkan
pola
pemeliharaannya,
usaha
ternak
di
Indonesia
diklasifikasikan menjadi tiga kelompok yaitu peternak rakyat, peternak semi komersil dan peternak komersil. Saat ini peternakan sapi perah di Indonesia mayoritas diusahakan oleh peternakan rakyat. Menurut SK Menteri Pertanian Nomor 404 Tahun 2002 dijelaskan bahwa usaha peternakan rakyat adalah usaha peternakan sapi perah yang diselenggarakan sebagai usaha sampingan yang tidak memerlukan ijin usaha dari instansi atau pejabat berwenang. Batasan peternakan rakyat untuk usaha sapi perah adalah kepemilikan sapi laktasi kurang dari 10 ekor atau memiliki jumlah keseluruhan sapi kurang dari 20 ekor sapi perah campuran (Sudono et al, 2003). Penyebaran sapi perah di Indonesia tidak merata sejalan dengan karakteristik wilayah dan permintaan susu di daerah tersebut. Menurut Suhartini (2001), usaha pemeliharaan sapi perah memerlukan persyaratan tertentu seperti faktor biologis yang membutuhkan kondisi lingkungan tertentu, dukungan sarana dan prasarana, terutama adanya pasar baik industri pengolah susu maupun konsumen langsung. Menurut Baqa (2003), perkembangan produksi susu di Indonesia berjalan lambat. Hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu (1) iklim tropis yang kurang sesuai dengan pengembangan komoditas susu; (2) masih rendahnya skala usaha pemilikan sapi oleh peternak, dimana rata-rata hanya 2-4 ekor; (3) kondisi kesehatan ternak serta kualitas genetik ternak yang rendah; (4) manajemen usaha ternak yang masih rendah dikarenakan kualitas sumberdaya manusia peternak yang juga rendah; (5) kesulitan bahan pakan ternak berkualitas; (6) masih kurangnya tenaga ahli yang membantu peternakan rakyat; 5
(7) masih rendahnya kualitas susu yang dihasilkan; (8) kondisi infrastruktur transportasi yang kurang memadai, yang juga berpengaruh pada tingginya biaya transportasi; dan (9) masalah dalam pemasaran susu yang dihasilkan, dimana tingkat konsumsi susu masyarakat Indonesia masih rendah dan juga tingginya persaingan dengan susu impor. 2.2 Kebijakan Pengembangan Peternakan Sapi Perah Hasil
kajian
Badan
Perencanaan
Pembangunan
Nasional
yang
bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian dan Fakultas Peternakan IPB tahun 1990 menetapkan bahwa area pengembangan peternakan sapi perah dibagi atas tiga area. Area pertama adalah area yang berada di atas ketinggian 700 mdpl dijadikan sebagai pusat produksi susu dan di tempat ini dikembangkan sapi perah FH murni sebagai bibit utama (grand parent stock/GPS atau parent stock/PS). Area kedua dengan ketinggian antara 300<700 mdpl ditujukan untuk pengembangan sapi perah hasil budidaya, baik yang berasal dari parent stock (PS) atau final stock (FS). Sedangkan pada area yang berada di bawah 300 mdpl dikembangkan sapi perah hasil persilangan dengan sapi lokal. Kebijakan
penyediaan
bibit
sapi
perah
terus
dikembangkan oleh
pemerintah Indonesia melalui pemberian Kredit Pengembangan Usaha Sapi Perah (KPUSP), Kredit Pola Model KUD, Program Kredit Sapi Perah Swadaya, Kredit Kotrak Sumba dan PIR Persusuan. Kebijakan penyerapan susu sapi perah rakyat oleh industri pengolah susu dari tahun 1985 hingga tahun 1998 dan pengembangan program jangka panjang oleh Departemen Pertanian yang meliputi: (1) penyediaan bibit yang bermutu; (2) perbaikan mutu pakan; (3) peningkatan
pelayanan
kesehatan
ternak;
(4)
perbaikan
pemeliharaan;
(5)penanganan reproduksi; (6) pembinaan pasca panen dan (7) pembinaan pemasaran (Pambudy, 2003). Strategi pengembangan industri pedesaan berbasis susu sapi menurut Deptan (2009) adalah: (1) fokus pada pemberdayaan usaha sapi perah skala kecil dan menengah; (2) pengembangan industri pengolahan susu dan pemasaran; (3) penguatan pada akses permodalan, infrastruktur, teknologi dan peningkatan mutu bersamaan dengan pemberdayaan kelembagaan peternak sapi perah; (4) peningkatan konsumsi susu sapi segar; (5) pengembangan kondisi kondusif bagi industri susu. Kondisi yang diinginkan pada saat ini adalah 6
(1) kerjasama inti plasma antara kelompok peternak dengan swasta; (2) pemasaran susu segar yang diolah oleh inti langsung ke konsumen; (3) jumlah minimum ternak sapi perah 10 ekor/plasma dan 500 ekor/klaster; (4) breeding oleh inti; (5) good farming practice (GFP) dan good manufacturing practice oleh plasma; dan (6) integrasi yang baik dengan industri pakan dan manajemen limbah terpadu. Pengembangan peternakan sapi perah ke depan harus didasarkan pada prioritas perbaikan kelembagaan pasar yang lebih adil (Talib et al, 2007). Hal ini untuk menjawab sistem pemasaran susu di Indonesia yang dalam penentuan harganya masih didominasi oleh IPS, demikian pula dengan jaringan pemasarannya yang juga dikuasai IPS (Bappenas, 2007). Daryanto (2009) merekomendasikan lima arah kebijakan dalam merevitalisasi industri persusuan nasional yaitu (1) pemerintah perlu memberikan dukungan nyata untuk meningkatkan produktivitas dan mutu hasil ternak (susu) kepada para peternak; (2) perlu dibentuk wadah kemitraan yang jujur dan memperhatikan kepentingan bersama antara peternak, koperasi susu dan industri pengolahan susu; (3) koperasi susu perlu didorong dan difasilitasi agar dapat melakukan pengolahan sederhana susu segar antara lain pasteurisasi dan pengemasan susu segar, pengolahan menjadi yoghurt, keju dan lain-lain; (4) pemerintah pusat dan daerah seyogyanya mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mampu memperkuat posisi tawar peternak sapi perah khususnya dan pengembangan agribisnis berbasis peternakan pada umumnya; dan (5) pemerintah pusat dan daerah seyogyanya membiayai pelaksanaan program minum susu untuk anak-anak sekolah. Berdasarkan Blue Print Peningkatan Nilai Tambah dan Daya Saing Produk dengan Pemberian Insentif bagi Tumbuhnya Industri Pedesaan (Kementan 2010), orientasi
pengembangan komoditas susu nasional diarahkan pada
peningkatan produksi dan mutu susu untuk pengurangan impor melalui peningkatan
produktivitas,
peningkatan
kemampuan
koperasi
dan
menumbuhkembangkan industri pedesaan pengolah susu pasteurisasi dengan menerapkan Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Pangan. 2.3 Peruntukan Ruang Kawasan Puncak Bogor Strategi pengembangan peternakan sapi perah di Kecamatan Cisarua yang merupakan bagian dari kawasan Puncak tidak terlepas dari manajemen Kawasan Puncak secara keseluruhan. Kawasan Puncak menurut Keppres RI 7
No.114 Tahun 1999 tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur ditetapkan sebagai kawasan konservasi air dan tanah dengan tujuan untuk menjamin tetap berlangsungnya konservasi air dan tanah, tersedianya air tanah, air permukaan dan penanggulangan banjir bagi Kawasan Bopunjur dan daerah hilirnya. Pengembangan peternakan sapi perah yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan fungsi tata ruang yang telah ditetapkan. Peruntukan ruang bagi usaha peternakan di Kabupaten Bogor mengacu kepada Perda Kabupaten Bogor No.19 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor Tahun 2005-2025 dan Peraturan Bupati Bogor No.83 Tahun 2009 tentang Pedoman Operasional Pemanfaatan Ruang. Strategi
pengembangan
peternakan
di
Cisarua
hendaknya
juga
mempertimbangkan kemungkinan permasalahan yang mungkin muncul dalam hubungannya dengan pengelolaan kawasan puncak. Terdapat tiga hal yang perlu dipertimbangkan dalam manajemen kawasan (Basuni, 2003) yaitu: 1. Pertimbangan biologi, yaitu menempatkan kawasan konservasi bagi proteksi proses-proses ekologi suatu biota yang utuh atau yang khusus dan subset biota tertentu. Tujuan ini membutuhkan pertimbangan lokasi, ukuran dan bentuk
geometri
kawasan,
ketergantungan
dan
hubungan-hubungan
spasialnya dengan daerah lain di sekitarnya. Ukuran populasi dibutuhkan untuk mempertahankan spesies kritis, kolonisasi lokal, dinamika kepunahan biota pada tingkat yang lebih tinggi, dinamika ekologi kawasan konservasi serta ancaman-ancaman yang ditimbulkan oleh penggunaan lahan di sekitar kawasan. 2. Pertimbangan
pengaruh
antropologis,
yaitu
pertimbangan
yang
mengharapkan manajemen kawasan konservasi tidak mengganggu budaya lokal, tidak menghalangi pemanfaatan tradisional yang berkelanjutan dari masyarakat setempat. Dukungan sosial dari penduduk lokal terhadap kawasan konservasi serta kesediaan membayar bagi masyarakat umum yang berkunjung secara signifikan membuka peluang berhasilnya manajemen kawasan konservasi. 3. Manajemen konservasi perlu bekerja dalam kendala-kendala keterbatasan lahan. Lahan dan produknya merupakan sumberdaya terbatas bagi populasi manusia yang terus bertambah. Biasanya ada trade off antara pemenuhan akan
konservasi
alam
dengan
pembangunan.
Manajemen
kawasan
8
konservasi juga harus mengahadapi berbagai kepentingan atas lahan dan pertentangan beberapa kelompok yang berbeda dalam penggunaan lahan. Penataan
ruang
yang
berjalan
selama
ini
banyak
mengalami
penyimpangan dan lebih terpaku terhadap upaya perbaikan pola, konsep dan struktur penataan ruang sendiri. Namun pada dasarnya rumusan penataan ruang telah mengarah kepada keinginan terwujudnya pembangunan yang terpadu, seimbang dan berkelanjutan hanya saja perlu menemukan kembali rumusan penataan ruang yang ideal dan applicable (Kementrian Lingkungan Hidup, 2001).
2.4 Pengelolaan Lingkungan Hidup Keuntungan secara ekonomi dan kesejahteraan sosial yang diharapkan dari pengembangan peternakan ini harus dibarengi dengan perhatian terhadap penanganan lingkungan hidup yang baik. Aspek lingkungan yang ditekankan dalam penelitian ini ditujukan terhadap keberlanjutan sumberdaya lahan dan air. Pengembangan peternakan dilakukan semaksimal mungkin dengan penggunaan sumberdaya lahan dan air yang optimal dan di samping itu limbah yang diperoleh dari usaha peternakan diharapkan dapat diminimalisir dan tidak mencemari lingkungan terutama perairan/sungai. Penggunaan lahan didefinisikan sebagai bentuk campur tangan manusia terhadap lahan guna memenuhi kebutuhan hidupnya baik dari segi material maupun spiritual (Arsyad, 2000). Lebih jauh lagi, Barlowe (1978) dalam Hakim et ai, (2003) menjelaskan bahwa penggunaan lahan tidak terlepas dari pemahaman dinamika sosial, ekonomi dan kelembagaan yang berkembang dalam kehidupan masyarakat. Tiga hal penting yang perlu dipertimbangkan dalam pemanfaatan lahan adalah: (1) kesesuaian bio-fisik (2) kelayakan sosio-ekonomi dan (3) kelayakan kelembagaan. Terkait dengan pengembangan peternakan, keberadaan lahan difokuskan terhadap
daya
dukungnya
untuk
populasi
ternak
yang
dikembangkan.
Soemarwoto (1997) menyatakan bahwa konsep daya dukung lingkungan berasal dari pengelolaan hewan ternak dan satwa liar, yaitu besarnya kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan yang dinyatakan dalam jumlah ekor per satuan luas. Dasman et al, (1977) menyatakan bahwa ukuran jumlah individu dari suatu spesies yang dapat didukung oleh lingkungan tertentu mempunyai beberapa tingkatan yaitu:
9
1. Kepadatan maksimum, yang menunjukkan jumlah maksimum individu yang dapat didukung per satuan luas. Jumlah individu yang maksimum pada dasarnya akan menyebabkan makanan tidak cukup. Meskipun suatu individu pada kondisi ini dapat bertahan hidup namun keadaannya tidak sehat, kurus dan lemah (sangat rentan terhadap serangan penyakit). Secara umum lingkungan menjadi rusak dan apabila berlangsung terlalu lama, kerusakan itu bisa bersifat tak terbalikkan. 2. Kepadatan yang subsisten, yaitu kepadatan yang maksimum yang dapat ditampung oleh satuan luas lingkungan dan sumberdaya. 3. Kepadatan optimum, dimana populasi akan mendapatkan segala keperluan hidupnya dengan cukup sehingga pada keadaan ini terdapat pertumbuhan populasi yang banyak dan sehat. 4. Kepadatan normal, yaitu populasi suatu spesies ditentukan oleh pengaruh populasi spesies lainnya yang hidup di lingkungan yang sama (antara kepadatan optimum dan subsisten). Sapi perah membutuhkan air dalam jumlah yang cukup banyak karena sebagian besar komponen penyusun susu (87%) adalah air sehingga perlu diperhatikan kecukupan air untuk digunakan dalam proses budidaya. Selain itu juga diperhatikan pengaruh limbah peternakan terhadap kualitas air. Soeratmo (2009) menyatakan bahwa penetapan baku mutu akan lebih baik apabila tidak hanya dipertimbangkan berdasarkan faktor ekonomis dari penggunaan manusia saja tetapi juga dimasukkan pertimbangan-pertimbangan untuk pelestarian ekologi yang meliputi pelestarian flora, fauna ataupun ekosistem. Baku mutu limbah haruslah dikaitkan dengan keadaan kualitas ambien dan baku mutu ambien.
2.5 Peternakan Berkelanjutan Pertanian berkelanjutan yang dalam hal ini sub sektor peternakan, merupakan implementasi dari paradigma pembangunan berkelanjutan yang pada saat ini telah diterima sebagai agenda politik–ekonomi pembangunan untuk semua negara di dunia. Pengertian bakunya pertama kali dipopulerkan dalam Laporan
Komisi
Dunia
tentang
Lingkungan
dan
Pembangunan
(World
Commission on Environment and Development) tentang Masa Depan Bersama (Our
Common
Future),
bahwa
pembangunan
berkelanjutan
merupakan
pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi masa kini tanpa 10
mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk mencukupi kebutuhan mereka (Mitchell et al, 2000). Munasinghe (1993) menyatakan bahwa konsep pertanian yang berkelanjutan yang diterima secara luas bertumpu pada tiga pilar utama yang saling terintegrasi yaitu dimensi ekologi yang berkaitan dengan pemeliharaan sumberdaya alam, dimensi ekonomi yang berkaitan dengan efisiensi dan pertumbuhan dan dimensi sosial yang berkaitan dengan hak kepemilikan dan keadilan. Menurut Budinuryanto (2010), setidaknya terdapat lima kriteria untuk mengelola suatu sistem peternakan berkelanjutan (a) kelayakan ekonomis (economic viability), (b) Bernuansa dan bersahabat dengan ekologi (ecologically sound and friendly), (c) Diterima secara sosial (social just), (d) Kepantasan secara budaya (culturally approciate) dan (e) Pendekatan sistem holistik (system and hollistic approach). Cakupan dimensi peternakan dalam UU Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan menjadi jauh lebih luas dan komprehensif dibandingkan dengan UU Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan. Beberapa terminologi dalam bidang peternakan berubah dan berorientasi pada sistem agribisnis berwawasan lingkungan yang berkelanjutan. Peternakan didefinisikan sebagai: segala urusan yang berkaitan dengan sumber daya fisik, benih, bibit dan/atau bakalan, pakan, alat dan mesin peternakan, budidaya ternak, panen, pascapanen, pengolahan, pemasaran, dan pengusahaannya. Definisi tersebut akan berimplikasi pada strategi dan program yang akan dikembangkan oleh pemerintah. Dimensi dan perspektif yang terkandung dalam bab, pasal dan ayat-ayat dalam peraturan perundangan di bidang peternakan dan kesehatan hewan dengan sendirinya akan
berdampak
pada
strategi
pembangunan
berkelanjutan
khususnya
bagaimana merumuskan sistem integrasi antara subsektor peternakan dengan subsektor lainnya, mengingat bahwa input utama untuk proses produksi usaha peternakan sapi rakyat biasanya sangat tergantung pada sektor/subsektor lainnya. Budinuryanto (2010) mengutarakan bahwa dalam perspektif sosioekonomik
usaha
peternakan
rakyat,
sebagian
ilmuwan
melihat
bahwa
pengembangan sistem dan usaha agribisnis belum tentu cocok untuk diterapkan di semua kondisi. Pembangunan peternakan tetap merupakan bagian dari pembangunan perdesaan (rural development) yang menekankan pada upayaupaya meningkatkan kesejahteraan penduduk desa, termasuk di antaranya 11
peternak. Fokus yang berlebihan pada agribisnis akan berakibat berkurangnya perhatian pada peternak kecil, gurem, dan buruh-buruh tani-ternak yang miskin, penyakap, petani penggarap, dan lain-lain yang kegiatannya tidak merupakan bisnis. Bahkan lebih dari itu, pakar-pakar agribisnis lebih memikirkan bisnis pertanian/peternakan, yaitu segala sesuatu yang harus dihitung untung-ruginya, efisiensinya, dan sama sekali tidak memikirkan keadilannya dan moralnya. Pembangunan pertanian dan peternakan di Indonesia semestinya berarti pembaruan penataan pertanian dan peternakan yang menyumbang pada upaya mengatasi kemiskinan atau meningkatkan kesejahteraan mereka. Menurut Sofyan dan
Pambudy (2004), pembangunan sistem agribisnis
persusuan harus berdasarkan pada (1) berdaya saing, artinya mampu bersaing dengan produk lain sejenis darimanapun datangnya (2) berkerakyatan, artinya dilakukan oleh masyarakat banyak, tidak dikelola oleh segelintir pihak saja, (3) terdesentralisasi, artinya tidak menumpuk pada satu tempat saja, tapi merupakan suatu kesatuan dari mulai hulu (on farm) hingga hilir (off farm) dan menyebar di seluruh
tanah
air
(4)
berkelanjutan,
artinya
aktivitas
tersebut
harus
memperhatikan sumberdaya alam dan lingkungan agar kegiatan usaha tersebut dapat terus berjalan dan sumberdaya alam serta lingkungan dapat terjaga sehingga dapat diwariskan kepada generasi penerus. Putri (2003) menyatakan bahwa konsep kawasan merupakan suatu pendekatan pengembangan sistem ternak lahan (livestock-land use system) yang mengintegrasikan ternak dengan lahan tanaman sehingga ternak lebih berbasis lahan (land-based) yang sasarannya adalah pada pemanfaatan lahan dan sumberdaya secara lebih baik, pelestarian lingkungan, ketahanan pangan, pengentasan kemiskinan dan kesehatan masyarakat.
2.6 Analisis Strategi Pengembangan Peternakan Strategi adalah alat untuk mencapai tujuan yang konsepnya terus berkembang (Rangkuti, 2002). Strategi harus memiliki sifat antara lain menyatu (unified) yaitu menyatukan seluruh bagian, menyeluruh (comprehensive) yaitu mencakup seluruh aspek dan integral (integrated) yaitu seluruh strategi akan cocok atau sesuai dengan seluruh tingkatan (Wahyudi, 1996). Strategi merupakan rencana yang disatukan luas dan terintegrasi yang menghubungkan keunggulan strategis dengan tantangan lingkungan dan dirancang untuk
12
memastikan bahwa tujuan utama dapat dicapai melalui pelaksanaan yang tepat (Glueck dan Jauch, 1994). Menurut Nickols (2000), strategi dapat diartikan dalam beberapa hal seperti rencana, pola, posisi serta pandangan. Strategi sebagai rencana, berhubungan dengan bagaimana memfokuskan perhatian dalam mewujudkan tujuan yang ingin dicapai. Strategi sebagai pola, berarti suatu ketetapan yang berdasarkan alasan-alasan tertentu dalam menentukan keputusan akhir untuk memadukan kenyataan yang dihadapi dengan tujuan yang ingin dicapai. Strategi sebagai posisi, berarti sikap yang diambil untuk mencapai tujuan dan sebagai pandangan, strategi berarti cara memandang bentuk dan acuan dalam mengambil keputusan atau tindakan. Analytical
Hierarchy
Proses
pengambilan keputusan yang
(AHP)
dapat
merupakan
salah
digunakan dalam
satu
teknik
penentuan atau
perencanaan suatu strategi. Alat ini memasukkan pertimbangan-pertimbangan logis dari faktor-faktor yang berpengaruh, berikut aktor dan tujuan masing-masing dari suatu permasalahan yang kompleks yang dipetakan secara sederhana menjadi suatu hirarki. Tingkat konsistensi adalah salah satu penentu utama yang merupakan pertimbangan pokok keputusan strategi yang diambil. AHP merupakan model yang luwes yang memberikan kesempatan bagi perorangan atau kelompok untuk membangun gagasan dan mendefinisikan persoalan dengan cara membuat asumsi mereka masing-masing dan memperoleh pemecahan yang diinginkan (Saaty, 1993). Prinsip kerja AHP adalah membuat bagian-bagian yang sederhana dalam suatu hirarki persoalan yang terstruktur, strategis dan dinamis (Marimin, 2004). Menurut Saaty (1993), penyelesaian persoalan dengan menggunakan AHP dilakukan dengan beberapa prinsip dasar yaitu dekomposisi, menentukan prioritas dan konsistensi logis, yang dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Dekomposisi adalah pemecahan persoalan yang menjadi unsur-unsurnya setelah persoalan tersebut dirumuskan secara baik. Unsur-unsur persoalan yang telah terpecahkan dapat dipecah lagi menjadi unsur yang lebih kecil sehingga diperoleh beberapa tingkatan pesoalan yang akan ditelaah. 2. Penilaian perbandingan adalah kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkat di atasnya. Penilaian ini merupakan inti dari AHP karena akan berpengaruh terhadap penentuan
13
prioritas elemen-elemen. Hasil dari penilaian ini lebih mudah disajikan dalam bentuk matriks pairwise comparison. 3. Menentukan prioritas dalam penetuan eigen vektor dari matriks untuk menentukan prioritas lokal dai setiap pairwise comparison. Oleh karena pairwise comparison terdapat pada setiap tingkat maka untuk mendapatkan prioritas global harus dilakukan sintesis di antara prioritas lokal. Prosedur melakukan sintesis berbeda menurut bentuk hirarki. Pengaturan elemenelemen menurut kepentingan relatif melalui prosedur sintesis disebut sebagai priority setting. 4. Konsistensi logis adalah tindakan (a) mengelompokkan obyek-obyek serupa sesuai dengan keragaman dan relevansinya dan (b) mengevaluasi intensitas relasi antar gagasan atau antar obyek yang didasarkan pada suatu kriteria tertentu, saling membenarkan secara logis. AHP menunjukkan bagaimana menghubungkan elemen-elemen dari bagian lain untuk
memperoleh
hasil
gabungan.
Prosesnya
adalah
mengidentifikasi,
memahami dan menilai interaksi suatu sistem sebagai satu kesatuan. Tahapan terpenting dalam analisis pendapat adalah penilaian dengan teknik komparasi berpasangan (pairwise comparison) terhadap elemen-elemen keputusan pada suatu tingkat hirarki keputusan. Metode
AHP
digunakan
dalam
mengidentifikasi
dan
melakukan
pembobotan terhadap faktor-faktor eksternal dan internal yang terkait dengan pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai sumber pakan ternak ruminansia di Propinsi Sulawesi Selatan (Syamsu, 2006). Hendra (2010) menggunakan metode AHP untuk menjaring persepsi awal tentang prioritas usaha peternakan yang perlu dilakukan dalam kebijakan pembangunan di Kabupaten Sijunjung Propinsi Sumatera Barat.
14
III. METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor mulai Desember 2010 – Maret 2011.
3.2 Bahan dan Alat Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah daftar pertanyaan/kuesioner, alat tulis menulis, komputer, software Expert Choice 9.0. 3.3 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terbagi atas data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari hasil survei dan observasi di lapangan. Sedangkan data sekunder bersumber dari dokumen dan kepustakaan yang relevan.
3.4 Rancangan Penelitian 3.4.1
Teknik Penentuan Sampel a. Responden Peternak Penentuan responden peternak dilakukan secara stratified random sampling
yang
stratifikasinya
dilakukan
berdasarkan
jumlah
kepemilikan induk sapi perah laktasi. Stratifikasi dibagi dalam tiga strata yaitu: (1) Strata I, dengan kepemilikan induk kurang dari 6 ekor (2) Strata 2, dengan kepemilikan induk 6-10 ekor dan (3) Strata III dengan kepemilikan induk lebih dari 10 ekor. Ukuran sampel minimal untuk penelitian deskriptif berdasarkan metode Gay dan Diehl adalah 10 persen dari populasi (Sanusi, 2003). Ukuran sampel yang diambil dalam penelitian ini sebanyak 30 persen dari jumlah peternak masingmasing strata.
b. Responden Pakar Penentuan responden pakar dilakukan dengan cara purposive sampling berdasarkan pertimbangan bahwa individu/lembaga yang bersangkutan dinilai memiliki kepentingan dan/atau kompetensi dan/atau pengaruh
15
dalam menentukan arah pembangunan peternakan sapi perah di Kecamatan Cisarua. Responden yang diwawancarai dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1.
Tabel1. Responden Pakar yang Diwawancarai dalam Penelitian Lembaga/Instansi Bappeda Kabupaten Bogor Disnakkan Kabupaten Bogor BP4K Kabupaten Bogor Kecamatan Cisarua KUD Giri Tani Gapoktan Sapi Perah Bale Arminah PT. Cisarua Mountain Dairy Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Kab. Bogor Institut Pertanian Bogor
Jumlah Informan 1 orang 2 orang 1 orang 1 orang 1 orang 1 orang 1 orang 1 orang 1 orang
Total
3.4.2
10 orang
Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan: (1) survei melalui kuisioner terhadap
responden peternak dan responden pakar; (2) observasi langsung di lapangan, dan (3) dokumentasi terhadap berbagai sumber dan dokumen yang relevan.
3.4.3
Variabel yang diamati Variabel yang diamati dalam penelitian ini meliputi: (1) kondisi peternakan
sapi perah; (2) kondisi sosio demografi dan ekonomi keluarga peternak; (3)potensi sumber daya lahan dan air; (4) perilaku masyarakat dan (5) kebijakan pemerintah. 3.5 Analisis Data Sesuai dengan permasalahan serta tujuan penelitian, maka data-data yang dikumpulkan selanjutnya dianalisis dalam urutan sebagai berikut: 3.5.1
Analisis Kondisi Terkini Peternakan Sapi Perah Rakyat
a. Kondisi Usaha Peternakan Sapi Perah Parameter analisis meliputi populasi ternak sapi perah, kepemilikan ternak, tingkat produksi susu per satuan ternak, partisipasi anggota keluarga, penanganan limbah, kapasitas kandang dan kepemilikan lahan. Variabel ini dianalisis secara deskriptif kuantitatif.
16
b. Kondisi Peternak Sapi Perah Parameter analisis meliputi umur peternak, tingkat pendidikan peternak, pengalaman beternak dan penghasilan peternak. Variabel ini dianalisis secara deskriptif kuantitatif. c. Kondisi Kelembagaan Anilisis
dilakukan
secara
deskriptif
kualitatif
terhadap
komponen
kelembagaan peternak
3.5.2
Analisis Kondisi Keberlanjutan Usaha Peternakan Sapi Perah Rakyat Kondisi keberlanjutan usaha peternakan sapi perah rakyat adalah kondisi
yang terkait dengan keberlanjutan usaha peternakan yang dilihat dari dimensi ekologi, sosial dan ekonomi. Analisis dilakukan dengan mengidentifikasi kondisi terkini, kebijakan pemerintah dan perilaku masyarakat yang terkait dengan keberlanjutan pengembangan ternak sapi perah. Analisis dilakukan secara deskriptif eksploratif.
3.5.3
Analisis Kondisi Sumberdaya Lahan dan Air Analisis kondisi sumberdaya alam dan air merupakan analisis pendukung
yang digunakan untuk analisis kondisi keberlanjutan yang terkait dengan dimensi ekologi. Analisis kondisi sumberdaya lahan dilakukan dengan memperhatikan penggunaan lahan yang ada dan daya dukungnya terhadap ketersediaan hijauan makanan ternak. Menurut Sumanto dan Juarini (2006), daya dukung hijauan makanan ternak adalah kemampuan suatu wilayah menghasilkan pakan terutama hijauan yang dapat menampung kebutuhan bagi sejumlah populasi ternak ruminansia dalam bentuk segar maupun kering tanpa melalui pengolahan dan tambahan khusus. Daya dukung hijauan dihitung berdasarkan ST (Satuan Ternak), Kebutuhan pakan = populasi ternak (ST) x 1,14 ton Berat Kering Cerna (BKC)/tahun. Indeks Daya Dukung (IDD) merupakan perbandingan antara total produksi hijauan pakan tercerna dengan kebutuhan pakan tercerna untuk ternak yang berada pada suatu wilayah (Ashari et al, 1996). IDD mempunyai empat kriteria yaitu : (1) wilayah sangat kritis dengan IDD≤ 1; (2) wilayah kritis dengan IDD> 11,5; (3) wilayah rawan, dengan IDD > 1,5-2; (4) wilayah aman dengan IDD> 2. Masing-masing nilai IDD mempunyai makna sebagai berikut:
17
Nilai ≤ 1
: Ternak tidak mempunyai pilihan dalam memanfaatkan sumber yang
tersedia,
terjadi
pengurasan
sumberdaya
dalam
agroekosistemnya dan tidak ada hijauan alami maupun limbah yang kembali melakukan siklus haranya Nilai > 1-1,5
: Ternak telah mempunyai pilihan untuk memanfaatkan sumber daya tetapi belum terpenuhi aspek-aspek konservasi.
Nilai >1,5 – 2 : Pengembalian bahan organik ke alam pas-pasan Nilai >2
: Ketersediaan sumberdaya pakan secara fungsional mencukupi kebutuhan lingkungan secara efisien
Kondisi sumber daya air dilakukan dengan memperhatikan kualitas air pada perairan yang menjadi tempat pembuangan limbah peternakan. Indikator yang digunakan dalam menilai limbah peternakan adalah parameter BOD, COD, Fosfor, Kesadahan, Nitrit, Amonia, Sulfat, E.Coli dan Total Coli. Analisis dilakukan secara deskriptif terhadap data kualitas air yang diperoleh. Pengaruh limbah peternakan terhadap kualitas air dikaji melalui analisis kualitas air sebelum kawasan, di tengah kawasan dan setelah kawasan peternakan. Baku mutu yang digunakan sebagai pembanding adalah baku mutu yang telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah RI No 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. 3.5.4
Analisis Strategi Pengembangan Peternakan Sapi Perah
Berdasarkan
hasil
analisis
data
sebelumnya,
rumusan
strategi
pengembangan ternak sapi perah dilakukan melalui pendekatan metode AHP (Analytical Hierarchy Process). AHP merupakan salah satu alat analisis yang dapat digunakan untuk kondisi ketidakpastian dan ketidaksempurnaan informasi dan beragamnya kriteria suatu pengambilan keputusan (Saaty, 1993). Metode ini dipakai untuk mengorganisasikan informasi dan berbagai keputusan strategi secara rasional untuk selanjutnya dipilih alternatif strategi yang efektif (Eriyanto, 2007). Langkah-langkah yang dilakukan dalam proses AHP (Marimin, 2004) adalah (a) penyusunan hierarki yaitu menguraikan persoalan menjadi unsurunsur dalam wujud kriteria dan alternatif yang disusun dalam bentuk hirarki (b) penyusunan kriteria yaitu penyusunan kriteria yang digunakan untuk membuat keputusan (c) penilaian kriteria dan alternatif yang digunakan untuk melihat pengaruh strategis terhadap pencapaian sasaran, yaitu melalui perbandingan
18
berpasangan, dan (d) penentuan prioritas yaitu dengan menggunakan teknik perbandingan berpasangan (pairwaise comparisons) untuk setiap kriteria dan alternatif. Penilaian dilakukan dengan pembobotan masing-masing komponen dengan perbandingan berpasangan dimulai dari level tertinggi sampai level terendah. Pembobotan dilakukan berdasarkan ”judgement” para responden berdasarkan skala perbandingan berpasangan sebagaimana disajikan pada tabel berikut (Saaty, 1993):
Tabel 2. Skala Banding Secara Berpasangan Tingkat Kepentingan 1
Definisi Kedua elemen sama pentingnya
3
Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen lainnya
5
Elemen yang satu lebih penting daripada elemen lainnya
7
Satu elemen jelas lebih penting daripada elemen yang lainnya Satu elemen mutlak lebih penting daripada elemen lainnya
9
2,4,6,8
Nilai-nilai antar dua nilai pertimbangan yang berdekatan
Penjelasan Dua elemen mempunyai pengaruh yang sama besar terhadap tujuan Pengalaman dan penilaian sedikit mendukung satu elemen dibanding elemen yang lainnya Pengalaman dan penilaian sangat kuat mendukung satu elemen dibanding elemen lainnya Satu elemen dengan kuat didukung dan dominan terlihat dalam praktek Bukti yang mendukung elemen satu terhadap elemen yang lain memiliki tingkat penegasan yang mungkin menguatkan Nilai ini diberikan bila ada kompromi diantara dua pilihan
Sumber : Saaty (1993)
Penggunaan prinsip kerja AHP yaitu perbandingan berpasangan (pairwise comparison) akan menghasilkan tingkat kepentingan suatu aspek terhadap aspek lain, kriteria terhadap kriteria lain, dan alternative terhadap alternative kebijakan lainnya dapat dinyatakan dengan jelas. Format tabel pembobotan aspek, kriteria, dan alternatif kebijakan disajikan sebagai berikut:
19
A=(aij)=
A1
A2
......
An
A1
1
A12
......
a1n
A2
1/a12
1
......
a2n
......
......
......
......
......
An
1/a1n
A2n
......
1
Dalam hal ini A1, A2,..., An merupakan set elemen pada satu tingkat keputusan hirarki.
Kuantifikasi pendapat dari hasil komparasi berpasangan
membentuk matrik berukuran n x n, nilai aij merupakan nilai matrik pendapat hasil komparasi berpasangan yang mencerminkan nilai kepentingan Ai terhadap Aj. 1.
Penyelesaian dengan manipulasi matriks Matriks diatas diolah untuk menentukan bobot dari aspek dan kriteria, yaitu dengan jalan menentukan nilai eigen (eigen vector), dengan prosedur (1) kuadratkan matriks tersebut; (2) hitung jumlah nilai dari setiap baris, kemudian lakukan normalisasi, dan (3) hentikan proses ini jika perhitungan berturut-turut lebih kecil dari suatu nilai batas tertentu.
2. Penyelesaian dengan persamaan matematik Pengolahan Horizontal Pengolahan horizontal dapat dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut: a. Perkalian baris (z) dengan rumus Zi = VEi =
aij
Keterangan: VEi = vektor eigen, n = jumlah elemen yang dibandingkan. b. Perhitungan vektor prioritas atau vektor eigen eVPi = Keterangan: eVPi merupakan elemen vektor prioritas ke-i. c. Penghitungan vector eigen (akar ciri) maksimum VA = aij x VP dengan VA = (Vai), VB = VA/VP dengan VB = (Vbi), lmax =
ij
20
VBi untuk I = 1,2,…,n Keterangan: VA=VB adalah vektor antara
d. Perhitungan Indeks Konsistensi (CI) Pengukuran ini untuk mengetahui konsistensi jawaban yang akan berpengaruh kepada kesahihan hasil.
CI =
Keterangan: λ maks = vector eigen /akar ciri maksimum n
= jumlah elemen yang dibandingkan
e. Perhitungan Consistensi Ratio (CR) Untuk mengetahui apakah CI dengan besaran tertentu cukup baik atau tidak, perlu diketahui rasio yang dianggap baik, yaitu apabila CR ≤ 0.1. Rumus CR adalah :
CR =
Keterangan: RI = Nilai Random Indeks yang dikeluarkan oleh Oarkridge Laboratory yang disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai Random Indeks (RI) N
RI
N
RI
N
RI
N
RI
N
RI
1
0,00
2
0,00
3
0,58
4
0,90
5
1,12
6
1,24
7
1,32
8
1,41
9
1,45
10
1,49
Sumber : Marimin (2004)
Apabila nilai CR > 0,1 beberapa pakar berpendapat bahwa persepsi responden harus ditanya ulang, responden diganti atau datanya tidak perlu digunakan.
21
Pengolahan Vertikal Pengolahan ini digunakan untuk menyusun prioritas setiap elemen dalam hierarki terhadap sasaran utama.
Bila NPpq merupakan nilai prioritas
pengaruh elemen ke-p pada tingkat ke-q terhadap sasaran utama, maka :
NPpq = untuk : p=1,2,3,...r
dan T = 1,2,3,...,s
Keterangan : NPpq
= Nilai prioritas pengaruh ke-p pada tingkat ke-q terhadap sasaran utama NPHpq = Nilai prioritas elemen ke-p pada tingkat ke-q NPTt = Nilai prioritas pengaruh elemen ke-t pada tingkat ke (q-1) Dimana, p = jumlah tingkat hirarki keputusan r = jumlah elemen yang ada pada tingkat ke-q s = jumlah elemen yang ada pada tingkat ke (q-1) 3.
Penggabungan Pendapat Responden AHP pada dasarnya dapat digunakan untuk mengolah data dari satu responden ahli, namun dalam aplikasinya penilaian kriteria dan alternatif dilakukan oleh beberapa ahli multidisiplioner. Konsekuensinya pendapat beberapa ahli tersebut perlu dicek konsistensinya satu persatu. Pendapat yang konsisten kemudian digabungkan dengan menggunakan rata-rata geometrik.
Tujuan menyusun matrik ini adalah untuk membentuk suatu n
matrik yang mewakili matrik-matrik pendapat individu. n
XG =
Keterangan: XG = n = Xi =
rata-rata geometrik jumlah responden penilaian oleh responden ke-i
Hasil penilaian gabungan ini yang kemudian diolah dengan prosedur AHP.
22
IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Keadaan Umum Lokasi Kecamatan Cisarua adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Bogor yang teletak pada 06o42’ LS dan 106o56’ BB. Secara administratif Kecamatan Cisarua memiliki luas wilayah 6.373,62 ha yang terdiri dari sembilan desa, dan satu kelurahan sebagaimana disajikan dalam Tabel 4. Kecamatan Cisarua berbatasan dengan Kecamatan Megamendung di sebelah utara dan barat serta berbatasan dengan Kabupaten Cianjur
di sebelah selatan dan timur.
Berdasarkan karakteristik wilayah, Kecamatan Cisarua termasuk dalam Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur yang dilalui hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung. Kawasan ini menurut Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 114 Tahun 1999 Tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur berfungsi sebagai kawasan konservasi air dan tanah dengan tujuan untuk (a) menjamin tetap berlangsungnya konservasi air dan tanah yang merupakan fungsi utama kawasan; dan (b) menjamin tersedianya air tanah, air permukaan dan penanggulangan banjir bagi Kawasan Bopunjur dan daerah hilirnya. Tabel.4 Luas Wilayah Desa/Kelurahan di Kecamatan Cisarua No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Desa/Kelurahan Kelurahan Cisarua Desa Tugu Selatan Desa Tugu Utara Desa Batulayang Desa Cibeureum Desa Citeko Dea Kopo Desa Leuwimalang Desa Jogjogan Desa Cilember Total
Luas Wilayah (ha) 200,00 712,61 1.703,00 226,00 1.128,62 461,00 453,21 135,18 154,00 200,00 6.373,62
Sumber: Laporan Tahunan Kinerja Kec. Cisarua (2009)
Secara topografis wilayah Cisarua memiliki ketinggian 650-1400 m dpl yang terdiri dari perbukitan sampai bergunung 25%, berombak sampai berbukit 40% dan datar sampai berombak 35%. Secara klimatologis Kecamatan Cisarua
23
memiliki curah hujan rata-rata 497 mm/bulan dengan 271 hari hujan/tahun. Komoditas pertanian yang menonjol diusahakan selain tanaman padi sawah adalah tanaman pertanian dataran tinggi diantaranya palawija (ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah dan kacang kedelai), sayur mayur (wortel, bawang daun, sawi, kubis, kacang panjang, seledri, cabe, tomat dan kacang tanah) dan tanaman buah seperti alpukat, pisang, pepaya dan mangga. Panorama alam yang indah yang dimiliki telah menjadikan Cisarua sebagai daerah tujuan wisata sehingga menumbuhkembangkan
usaha
yang
terkait
dengan
pariwisata
seperti
perhotelan, restoran, suvenir, tempat rekreasi dan usaha pendukung pariwisata lainnya. Secara demografis Kecamatan Cisarua memiliki penduduk sebanyak 111.940 jiwa yang terdiri dari 57.593 laki-laki dan 54.347 perempuan dengan kepadatan
23.649
jiwa/km2.
Jumlah
desa/kelurahan disajikan dalam
penduduk
Tabel 5,
pada
masing-masing
sedangkan jumlah penduduk
berdasarkan kelompok umur dan mata pencaharian disajikan dalam Tabel 6 dan Tabel 7. Tabel 5. Jumlah Penduduk Tiap Desa/Kelurahan di Kecamatan Cisarua No
Desa/Kelurahan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Kelurahan Cisarua Desa Tugu Selatan Desa Tugu Utara Desa Batulayang Desa Cibeureum Desa Citeko Dea Kopo Desa Leuwimalang Desa Jogjogan Desa Cilember Total
Jumlah Penduduk (jiwa) Laki-laki 4.507 8.917 5.462 4.508 7.698 6.048 10.090 2.625 3.001 4.646 57.593
Perempuan
Jumlah
4.248 8.395 5.018 4.150 6.896 5.534 9.650 3.557 2.663 4.236 54.347
8.755 17.312 10.480 8.658 14.594 11.618 19.740 6.182 5.664 8.937 111.940
Kepadatan Penduduk (jiwa/km2) 3.374 714 419 2.615 820 1.943 3.628 4.078 3.329 2.729 23.649
Sumber: Laporan Tahunan Kinerja Kec. Cisarua (2009)
24
Tabel 6. Jumlah Penduduk di Kecamatan Cisarua Berdasarkan Kelompok Umur No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Kelompok Umur (tahun) 00 – 04 05 – 09 10 – 14 15 – 19 20 – 24 25 – 29 30 – 34 35 – 39 40 – 44 45 – 49 50 – 54 55 – 59 60 – 64 >65
Jumlah Penduduk (jiwa) 13.099 12.108 10.547 11.713 17.045 11.300 12.704 8.651 7.129 7.885 7.885 7.645 6.794 3.295
Sumber: Laporan Tahunan Kinerja Kec. Cisarua (2009)
Tabel 7. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian No
Mata Pencaharian
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Petani Pedagang Pengrajin Peternak Penjahit Buruh Perkebunan Buruh Bangunan Karyawan Swasta Pengusaha/Wiraswasta PNS TNI/Polri Pensiunan
Jumlah Penduduk (orang) 12.950 6.250 545 615 560 2.740 2.339 5.725 357 694 117 305
Sumber: Laporan Tahunan Kinerja Kec. Cisarua (2009)
4.2
Keadaan Umum Usaha Peternakan Kecamatan
Cisarua
merupakan
wilayah
yang
potensial
dalam
pengembangan peternakan. Jenis ternak yang terdapat di wilayah ini diantaranya adalah sapi perah, sapi potong, kerbau, kambing, domba, ayam ras pedaging, ayam buras dan itik (Tabel 8).
25
Tabel 8. Populasi Ternak di Kecamatan Cisarua Tahun 2009 Komoditas Ternak
Populasi (ekor)
Sapi Perah
1.401
Sapi Potong
20
Kerbau
250
Kambing
4.642
Kambing PE
127
Domba
8.906
Ayam Ras Pedaging
65.000
Ayam Buras
104.090
Itik
4.189
Sumber: Disnakkan Kab. Bogor (2009)
Berdasarkan Tabel 8 diketahui bahwa ternak ruminansia besar yang memiliki
tingkat
populasi
paling
tinggi
adalah
ternak
sapi
perah.
Ini
menggambarkan bahwa ternak sapi perah adalah ternak yang umum dibudidayakan di wilayah ini terutama di Desa Cibeurueum dan Tugu Selatan. Kecamatan Cisarua merupakan kecamatan di Kabupaten Bogor yang memiliki populasi sapi perah yang tinggi disamping kecamatan sentra sapi perah lainnya yaitu Cibungbulang, Pamijahan dan Cijeruk dengan populasi masing-masing 938; 1.138; dan 1.638 ekor. Peternakan sapi perah mulai berkembang di Cisarua sejak digulirkannya Bantuan Presiden pada Tahun 1981. Inilah yang menjadi awal bagi masyarakat setempat dalam menekuni usahanya sampai sekarang ini.
26
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Kondisi Terkini Peternakan Sapi Perah Rakyat di Cisarua 5.1.1 Kondisi Usaha Peternakan Populasi Ternak Sapi Perah Populasi ternak sapi perah akan memberikan gambaran umum mengenai pengembangannya pada suatu wilayah. Berdasarkan data Tahun 2010, Kecamatan Cisarua memiliki populasi ternak sapi perah 1.035 ekor atau 734 ST (Satuan Ternak) dengan struktur populasi sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 9.
Tabel 9. Struktur Populasi Sapi Perah di Kecamatan Cisarua No.
Struktur Populasi
1.
Induk - Induk Laktasi - Induk Laktasi Bunting - Induk Kering Kandang - Induk Afkir Dara - Dara Belum Bunting - Dara Bunting
2.
3.
Jantan Muda
4.
Pedet - Jantan - Betina Total
Jumlah (ekor)
%ekor
Jumlah (ST)
%ST
339 137 72 2
32,8 13,2 7,0 0,2
339,0 137,0 72,0 2,0
46,2 18,7 9,8 0,3
96 122
9,3 11,8
48,0 61,0
6,5 8,3
33
3,2
16,5
2,2
100 134 1.035
9,7 12,9 100,0
25,0 33,5 734,0
3,5 4,5 100,0
Sumber : KUD Giri Tani (2010)
Komposisi sapi laktasi mencapai 64,9% dari total populasi. Menurut Sudono et al (2003), bahwa agar usaha sapi perah tetap memberikan penghasilan bagi peternak maka sapi laktasi tidak boleh kurang dari 60%. Dengan demikian secara menyeluruh usaha ternak sapi perah rakyat di Cisarua sudah cukup memberikan penghasilan bagi peternak.
27
Kepemilikan Ternak Kepemilikan ternak dapat dijadikan indikator tingkat skala usaha yang diusahakan oleh peternak. Kepemilikan ternak sapi perah di Cisarua ditunjukkan dalam Tabel 10.
Tabel 10. Jumlah Kepemilikan Ternak Sapi Perah Rakyat di Cisarua Jumlah Kepemilikan Induk (ekor)
Jumlah Responden (orang)
Persentase (%)
<6 6-10 > 10
23 3 2
82 11 7
Produksi Susu Berdasarkan hasil wawancara dengan responden dan hasil penelusuran data sekunder diketahui bahwa rata-rata produksi susu sapi adalah 11 liter/ekor/hari. Apabila diklasifikasikan berdasarkan jumlah kepemilikan induk akan didapat tingkat produksi susu sapi sebagaimana disajikan dalam Tabel 11.
Tabel 11. Produksi Susu Sapi Berdasarkan Tingkat Kepemilikan Induk Jumlah Kepemilikan Induk (ekor)
Produksi Susu (liter/ekor/hari)
<6 6-10 > 10
11 10 12
Sumber: KUD Giri Tani (2010)
Partisipasi Anggota Keluarga Peternakan sapi perah rakyat merupakan peternakan yang skala kepemilikan induknya di bawah 20 ekor. Umumnya pengusahaan peternakan sapi perah rakyat ini dilakukan oleh rumah tangga peternak dengan melibatkan anggota keluarga. Jumlah anggota keluarga responden yang terlibat dalam usaha peternakan ini maksimal sebanyak 3 orang dari 4-6 orang (90%) dan 7-9 orang (10%) jumlah anggota keluarga. Semakin banyak jumlah anggota keluarga merupakan beban di satu sisi, akan tetapi dari sisi lain merupakan sumber tenaga kerja keluarga.
28
Penanganan Limbah Sebagaimana ternak ruminansia besar lainnya, sapi perah menghasilkan kotoran berupa limbah padat sebesar 12,5 kg per hari (Sudono et al, 2003). Limbah yang dihasilkan tersebut diolah menjadi pupuk organik atau dijadikan sebagai bahan baku biogas sebelum sludge-nya digunakan sebagai kompos. Instalasi biogas masih sangat terbatas dimiliki oleh peternak. Umumnya diperoleh dari bantuan pemerintah berupa instalasi biogas dengan kapasitas 5m3. Saat ini baru sekitar 33,15% dari total peternak yang sudah memiliki instalasi biogas. Tabel 12 berikut ini menggambarkan persentase kepemilikan biogas berdasarkan tingkat kepemilikan ternak. Tabel 12. Kepemilikan Biogas Berdasarkan Tingkat Kepemilikan Induk Jumlah Kepemilikan Induk (ekor)
Jumlah Responden (orang)
Persentase Kepemilikan Biogas (%)
<6 6-10 >10
23 3 2
26,1 33,3 100,0
Kesadaran peternak dengan tidak membuang langsung limbah ternak menuju perairan terbuka diharapkan dapat mengurangi potensi pencemaran yang diakibatkan oleh keberadaan peternakan. Kapasitas Kandang Peningkatan populasi ternak yang diusahakan oleh peternak sangat dibatasi oleh kapasitas kandang yang dimiliki. Sehingga secara konvensional, peningkatan populasi hanya bisa diusahakan sebatas kemampuan kapasitas kandang yang dimiliki. Tabel 13 berikut memberikan gambaran kapasitas kandang yang dimiliki peternak sapi perah di Cisarua. Tabel 13. Kapasitas Kandang Berdasarkan Kepemilikan Ternak Jumlah Kepemilikan Ternak (ST)
Kapasitas Kandang (ST)
Persentase Kandang yang Digunakan (%)
<6 6-10 >10
8,2 9,9 18,0
45,9 65,8 88,9
29
Jika pemeliharaan ternak dimaksimalkan sesuai kapasitas kandang, maka maksimal populasi sapi perah yang bisa ditambah adalah sekitar 490 ST. Kepemilikan Lahan HMT Sebanyak 46%peternak menyisihkan lahan yang dimiliki untuk dijadikan kebun HMT. Rata-rata luasan lahan yang dialokasikan adalah 2.000 m2 yang hanya mencukupi kebutuhan HMT untuk 1,8 ST/tahun. Sebagian besar kebutuhan HMT lebih banyak dipenuhi dengan cara mencari dan mengarit sendiri di lahan tegalan, hutan dan perkebunan.
5.1.2 Kondisi Peternak Sapi Perah Aktivitas suatu usaha peternakan bertujuan untuk mendapatkan manfaat yang maksimal bagi pelaku usaha. Kemampuan pengelolaan usaha yang baik memiliki peran yang penting untuk mencapai tujuan tersebut. Indikator kemampuan manajerial seorang peternak dapat dilihat dari kemampuan pengelolaan usaha ternak secara kuantitas maupun kualitas. Kemampuan sumberdaya peternak sangat berkaitan dengan umur peternak, tingkat pendidikan, pengalaman beternak dan pendapatan.
Umur Peternak Umur peternak mencerminkan kemampuan fisik dan berpikir seorang peternak dalam mengelola usaha ternak yang ditekuninya. Usaha ternak sapi perah memerlukan intensitas pengelolaan yang kontiniu dan curahan tenaga fisik yang relatif besar seperti pembersihan kandang, pemerahan dan pencarian pakan. Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa umur peternak sapi perah di Kecamatan Cisarua berkisar antara 21-65 tahun. Kelas umur peternak melalui pendekatan statistik (Walpole, 1995) ditunjukkan dalam Tabel 14. Tabel 14. Kelompok Umur Peternak Sapi Perah di Kecamatan Cisarua Kelas Umur Peternak (tahun) 21-25
Jumlah Responden (orang) 1
Persentase Jumlah Peternak (%) 3,57
26-30
1
3,57
31-35
1
3,57
36-40
4
14,29
41-45
7
25,00
30
Kelas Umur Peternak (tahun) 46-50
Jumlah Responden (orang) 8
Persentase Jumlah Peternak (%) 28,57
51-55
2
7,14
56-60
2
7,14
61-65
1
3,57
>65
1
3,57
Ket: umur 21-35 = sangat produktif , 36-50 = produktif, 51-65 = kurang produktif, umur >65 = tidak produktif
Tabel tersebut menunjukkan bahwa peternak di Cisarua didominasi oleh peternak usia produktif (67,86%) yang sangat potensial dalam mengembangkan usahanya. Makin muda umur peternak, cenderung memiliki fisik yang kuat dan dinamis dalam mengelola usahaternaknya, sehingga mampu bekerja lebih kuat dari peternak yang umurnya tua. Selain itu peternak yang lebih muda mempunyai keberanian untuk menanggung resiko dalam mencoba inovasi baru demi kemajuan usahaternaknya. Tingkat Pendidikan Peternak Sumberdaya manusia pada prinsipnya mengandung modal manusia dan modal sosial. Modal manusia merupakan modal yang dapat digunakan untuk memproduksi sesuatu sedangkan modal sosial adalah bentuk sosial seperti struktur sosial dan hubungan sosial. Pendidikan pada prinsipnya adalah suatu proses pembelajaran yang di dalamnya terkandung pesan berupa stimulus ilmu pengetahuan untuk meningkatkan kapasitas modal manusia. Sebaran tingkat pendidikan peternak sapi perah di Kecamatan Cisarua ditunjukkan dalam Tabel 15. Tabel 15. Keragaan Tingkat Pendidikan Peternak Sapi Perah di Kecamatan Cisarua Jumlah Responden Persentase Jumlah Peternak Tingkat Pendidikan (orang) (%) Tidak Bersekolah 0 0 SD
16
57
SMP
6
21
SMA
5
18
PT
1
4
31
Tabel 15 memperlihatkan
bahwa sebagian besar (57%) dari peternak
memiliki tingkat pendidikan formal hanya sampai tingkat SD. Rendahnya tingkat pendidikan ini bisa menjadi salah satu kelemahan dalam pengembangan peternakan sapi perah selanjutnya karena tingkat pendidikan peternak berperan terhadap
kemampuan
dalam
menyerap
teknologi
baru,
pengetahuan-
pengetahuan baru dan dalam pengambilan keputusan yang baik untuk usaha ternak sapi perah atau pemasaran hasil produksinya.
Pengalaman Beternak Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa seluruh responden telah memiliki pengalaman beternak lebih dari lima tahun. Selain itu usaha peternakan sapi perah di Kecamatan Cisarua umumnya diusahakan oleh peternak sebagai usaha pokok (95%). Ini berarti bahwa peternak sapi perah di Cisarua telah menekuni usahanya sejak lama dan menjadikannya sebagai penopang utama dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Penghasilan Peternak Berdasarkan data penjualan susu ke PT. Cimory sepanjang tahun 2010 diperoleh harga susu rata-rata sebesar Rp.3.844,31/kg. Kisaran penghasilan bersih peternak dari penjualan susu dapat diprediksi berdasarkan formula berikut: P = K *∑Pop * Pr * Mlt/12 Keterangan: P
= Penghasilan bersih (Rp/bulan)
K
= Keuntungan per liter susu (Rp)
Pop
= Populasi induk laktasi (ekor)
Pr
= Produksi susu per ekor per hari (liter)
Mlt
= Masa laktasi dalam setahun (hari)
Berdasarkan formula tersebut diperoleh penghasilan bersih peternak dari penjualan susu sebagaimana disajikan dalam Tabel 16.
32
Tabel 16. Penghasilan Bersih Peternak dari Penjualan Susu Jumlah Kepemilikan Induk (ekor)
Harga Pokok Produksi* (Rp/liter)
Keuntungan Per Liter Susu* (Rp)
Penghasilan Bersih Peternak (Rp/bulan)
<6
2.536,74
1.307,57
≤ 1.618.118
6-10
2.232,22
1.612,09
2.176.322 - 3.627.203
>10
2.107,57
1.736,74
≥ 5.158.118
Ket: *) = Sumartini (2010)
Penghasilan dari usaha peternakan lainnya dapat diperoleh dari penjualan kotoran ternak dan pedet. Harga kotoran ternak yang belum diolah sebesar Rp.100/kg sedangkan jika diolah menjadi kompos yang sudah dikemas dapat dijual seharga Rp.2.500/kg. Pedet jantan yang dihasilkan oleh peternak umumnya dijual pada saat lepas sapih dengan harga sekitar Rp. 3.000.000/ekor sedangkan untuk pedet betina sebagian peternak (68%) terus memeliharanya untuk dijadikan induk dan 32% peternak menjualnya saat lepas sapih dengan harga berkisar Rp.4.000.000 – Rp. 4.500.000/ ekor. 5.1.3 Kondisi Kelembagaan Peternak Kelompok Peternak Kelompok peternak dibentuk dalam rangka meningkatkan efisiensi usaha ternak sapi perah rakyat. Hal ini berkaitan dengan karakteristik kepemilikan sapi perah rakyat yang relatif kecil sehingga dengan dibentuknya kelompok maka kegiatan
pengembangan
dan
pendampingan
yang
diberikan
oleh
lembaga/instansi terkait dapat dilakukan dengan lebih efektif dan efisien. Selain itu pembentukan kelompok ini adalah sebagai wadah untuk menjalin komunikasi dan koordinasi antar sesama anggota kelompok. Kecamatan Cisarua memiliki empat kelompok peternak sapi perah sebagaimana terlihat pada Tabel 17.
33
Tabel 17. Kelompok Peternak Sapi Perah di Kecamatan Cisarua Nama Kelompok Peternak Baru Tegal
Lanjut
Jumlah Anggota 31
Baru Sireum
Pemula
16
Tirta Kencana
Pemula
35
Lanjut
21
Bina Warga
Kelas
Alamat Kp. Baru Tegal, Ds.Cibeureum Kp. Baru Sireum, Ds. Cibeureum Kp. Sampang, Ds.Tugu Selatan Kp.Baru Joglo, Ds.Cibeuerum
Sumber: Disnakkan Kab. Bogor (2009)
Kelompok peternak sapi perah di Cisarua cukup aktif dalam menjalankan fungsinya. Hal ini dapat terlihat dari prestasi yang telah diraih diantaranya Juara I Lomba Kelompok Agribisnis Peternakan Tingkat Propinsi Jawa Barat Tahun 2009 (Kelompok Tirta Kencana, Desa Tugu Selatan) dan Juara II Lomba Kelompok Agribisnis Tingkat Propinsi Jawa Barat Tahun 2010 (Kelompok Bina Warga, Desa Cibeureum). Selain itu, kelompok peternak yang berdomisili di Desa Cibeureum juga telah menginisiasi terbentuknya Gabungan Kelompok Peternak Sapi Perah Cibeureum “Bale Arminah” pada tanggal 7 Mei 2010. Pembentukan Gapoknak ini dimaksudkan untuk mengakomodir kepentingan kelompok dan meningkatkan posisi tawar kelompok dalam pengembangan peternakan sapi perah di masa mendatang.
Koperasi Keberadaan koperasi memiliki peranan penting dalam usaha ternak sapi perah rakyat. Selain sebagai penyedia layanan IB dan keperluan sarana produksi, keberadaan koperasi sangat membantu peternak dalam keperluan pemasaran. Fungsi koperasi ini di Cisarua dijalankan oleh KUD Giri Tani. Pengurus KUD melakukan pencatatan rutin terhadap populasi ternak setiap peternak dengan tujuan mengetahui jumlah akseptor dan mempermudah kendali IB. Keperluan saprodi juga disuplai oleh KUD yang pembeliannya dapat dicicil peternak melalui potongan terhadap penjualan susu. Mengenai pemasaran susu dari anggota kelompok, sejak Tahun 2008 KUD Giri Tani hanya menyalurkan susu kepada satu Industri Pengolahan Susu (IPS) saja yaitu PT. Cisarua Mountain Dairy (Cimory). Hal ini merupakan hasil kesepakatan kerjasama antara KUD Giri Tani dengan PT. Cimory.
34
5.2 Kondisi Keberlanjutan Usaha Peternakan Sapi Perah Rakyat di Cisarua Paradigma pembangunan peternakan adalah terwujudnya masyarakat yang sehat dan produktif serta kreatif melalui peternakan tangguh berbasis sumberdaya lokal. Paradigma tersebut akan dapat dicapai dengan melakukan berbagai misi yaitu (1) menyediakan pangan asal ternak; (2) memberdayakan sumberdaya manusia peternakan; (3) meningkatkan pendapatan peternakan; (4) menciptakan
lapangan
kerja
peternakan,
serta
(5)
melestarikan
dan
memanfaatkan sumberdaya alam, yang secara keseluruhannya selaras dengan program pembangunan pertanian yaitu membangun ketahanan pangan dan mengembangkan sektor agribisnis pertanian (Sudradjat, 2000). Suatu sistem peternakan dikatakan berkelanjutan apabila sistem tersebut ditopang oleh tiga pilar (sub sistem) utama yaitu ekonomi, sosial budaya dan ekologi secara terintegrasi. Hal ini berarti bahwa peningkatan pendapatan peternak dari usaha ternak tidak menimbulkan tekanan dan ancaman terhadap lingkungan hidup serta
tidak
menimbulkan
pergeseran
nilai
sosial
dalam
masyarakat.
Keberlanjutan usaha ternak sapi perah rakyat di Cisarua dapat dievaluasi dari kondisi yang terkait dengan keberlanjutan peternakan yang ditinjau dari dimensi ekologi, sosial dan ekonomi.
5.2.1 Keberlanjutan dari Dimensi Ekologi Keberlanjutan dari dimensi ekologi adalah mengenai usaha peternakan yang dijalankan telah sesuai dengan peruntukan ruang dan daya dukung lahan serta tidak menimbulkan tekanan terhadap lingkungan hidup. Pengembangan kegiatan di suatu wilayah tidak terlepas dari kebijakan pemerintah dalam menetapkan peruntukan ruang. Berkaitan dengan kebijakan yang mengatur pemanfaatan ruang, khususnya yang terkait dengan pengembangan peternakan di kawasan puncak terdapat beberapa peraturan yang dijadikan acuan, diantaranya: 1. Peraturan Presiden No.54 Tahun 2008 tentang Kawasan Jabodetabekpunjur. Berdasarkan
Perpres
ini,
tujuan
penataan
ruang
Kawasan
Jabodetabekpunjur adalah untuk: a. mewujudkan keterpaduan penyelenggaraan penataan ruang antar daerah sebagai satu kesatuan wilayah perencanaan dengan memperhatikan keseimbangan kesejahteraan dan ketahanan;
35
b. mewujudkan daya dukung lingkungan yang berkelanjutan dalam pengelolaan kawasan, untuk menjamin tetap berlangsungnya konservasi air dan tanah, menjamin tersedianya air tanah dan air permukaan, serta menanggulangi banjir; dan c. mengembangkan perekonomian wilayah yang produktif, efektif, dan efisien berdasarkan karakteristik wilayah bagi terciptanya kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan dan pembangunan yang berkelanjutan. Kecamatan Cisarua dalam Perpres ini terbagi atas tiga zona pemanfaatan yaitu Zona B1, B3 dan B4. Zona B1 adalah zona dengan karakteristik sebagai kawasan yang mempunyai daya dukung lingkungan tinggi, tingkat pelayanan prasarana dan sarana tinggi, dan bangunan gedung dengan intensitas tinggi, baik vertikal maupun horizontal. Zona B3 mempunyai daya dukung lingkungan rendah, tingkat pelayanan prasarana dan sarana rendah, dan merupakan kawasan resapan air. Zona B4 merupakan zona dengan karakteristik sebagai kawasan yang mempunyai daya dukung lingkungan rendah tetapi subur dan merupakan kawasan resapan air, serta merupakan areal pertanian lahan basah bukan irigasi teknis dan pertanian lahan kering.
2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 114 Tahun 1999 tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur Pengembangan peternakan di Kecamatan Cisarua yang termasuk dalam Kawasan Puncak tidak terlepas dari kebijakan yang mengatur tentang tata ruang kawasan Puncak. Berdasarkan Keppres ini Kawasan Bopunjur ditetapkan sebagai kawasan konservasi air dan tanah dengan tujuan untuk: a. Menjamin tetap berlangsungnya konservasi air dan tanah yang merupakan fungsi utama kawasan; b. Menjamin tersedianya air tanah, air permukaan dan penanggulangan banjir bagi Kawasan Bopunjur dan daerah hilirnya. Berkaitan dengan keberadaan peternakan di kawasan puncak, optimalisasi fungsi budidaya di kawasan puncak dapat dilakukan dengan ketentuan: a. Kegiatan budidaya yang dilakukan tidak melampaui ketersediaan sumber daya alam dan energi; b. Kegiatan usaha pertanian berskala besar dan kecil menerapkan teknologi pertanian yang memperhatikan konservasi air dan tanah;
36
3. Peraturan Daerah Kabupaten Bogor No.19 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor dan Peraturan Bupati Bogor No. 83 Tahun 2009 tentang Pedoman Operasional Pemanfaatan Ruang. Kecamatan Cisarua tidak memiliki lahan peruntukkan khusus untuk peternakan sapi perah seperti halnya Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Sapi Perah di Kecamatan Cibungbulang, Bogor. Namun berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Bogor No.19 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor Tahun 2005-2025 dan Peraturan Bupati Nomor 83 Tahun 2009 tentang Pedoman Operasional Pemanfaatan Ruang, Cisarua termasuk salah satu dari 12 Kecamatan di Kabupaten Bogor yang seluruh desa/kelurahannya memiliki peruntukan ruang yang memungkinkan bagi usaha peternakan. Berikut adalah peruntukan ruang bagi masing-masing desa di Kecamatan Cisarua (Tabel 18 dan Lampiran 1) dan pengaturan usaha ternak besar pada masing-masing peruntukkan ruang (Tabel 19).
Tabel 18. Peruntukkan Ruang pada Masing-masing Desa di Kecamatan Cisarua Nama Desa Citeko Cibeureum Tugu Selatan Tugu Utara Batu Layang Cisarua Kopo Leuwimalang Jogjogan Cilember
Peruntukan Ruang HK, LK, PB, KL, PP3 HK, LK, PB, PD2, PP3, KL,HL HK, HL, PB HK, HL, LK PD1, LK, HL PP3, KL PB, LK, PP3 PP2, LK HL, LK, TT, PD1 HL, LK, PD1, PP3
Keterangan HK : Kawasan Hutan Konservasi HL : Kawasan Hutan Lindung KL : Luar Kawasan Hutan HPT : Kawasan Hutan Produksi Terbatas HP : Kawasan Hutan Produksi Tetap LB : Kawasan Pertanian Lahan Basah LK : Kawasan Pertanian Lahan Kering PB : Kawasan Perkebunan TT : Kawasan Tanaman Tahunan PD1 : Kawasan Pemukiman Pedesaan (Hunian Rendah) PD2 : Kawasan Pemukiman Pedesaan(Hunian Jarang) PP1 : Kawasan Perkotaan (Hunian Padat) PP2 : Kawasan Perkotaan (Hunian Sedang) PP3: Kawasan Pemukiman Perkotaan (Hunian Rendah)
37
Tabel 19. Pengaturan Usaha Ternak Besar pada Masing-masing Peruntukan Ruang Peruntukan Ruang
Pengaturan
Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan Hutan Produksi Tetap (HP)
- Jarak bangunan dengan pemukiman 50 m dan dengan sungai 25 m - Mendapat persetujuan dari menteri kehutanan/pejabat berwenang - Tidak merubah fungsi kawasan
Pertanian Lahan Basah (LB)
- Membuat buffer berdasarkan kajian teknis - Tidak merubah bentang alam dan buatan - Tidak dilakukan pada kawasan beririgasi teknis - Tidak merubah fungsi kawasan
Pertanian Lahan Kering (LK)
- Jarak bangunan dengan pemukiman 100 m dan dengan sungai 25 m - Membuat buffer berdasarkan kajian teknis - Tidak merubah bentang alam
Perkebunan (PB) dan Tanaman Tahunan (TT)
- Jarak bangunan dengan pemukiman 100m dan dengan sungai 25m - Membuat buffer berdasarkan kajian teknis - Tidak merubah bentang alam - Mekanisme perijinan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku
Pemukiman Pedesaan (PD)
- Jarak bangunan dengan pemukiman 100m - Membuat buffer berdasarkan kajian teknis
Pemukiman Perkotaan (PP) Kepadatan Rendah (PP3)
- Membuat buffer berdasarkan kajian teknis - Menjaga lingkungan dari pencemaran - Membuat pagar minimal tinggi 2,6 m
Dimensi ekologi lainnya yang berhubungan dengan usaha peternakan sapi perah yang menjadi sorotan dalam penelitian ini adalah mengenai kondisi sumberdaya lahan dan air. Berkaitan dengan kondisi sumberdaya lahan dan air serta dampak dari keberadaan peternakan terhadap lingkungan, dapat dijelaskan sebagai berikut:
38
1. Sumberdaya Lahan Peternakan sapi perah rakyat di Cisarua diusahakan dalam lahan yang terbatas. Kepemilikan lahan garapan hanya dimiliki oleh 46% peternak dengan luasan rata-rata 2.000 m2. Kondisi seperti itu membatasi peternak dalam meningkatkan skala usahanya serta menyebabkan pengolahan limbah yang tidak maksimal sebelum dilepas ke perairan. Keterbatasan lahan yang dimiliki peternak juga menyebabkan kebutuhan HMT tidak dapat diproduksi sepenuhnya dari lahan sendiri sehingga peternak harus mencari dan mengarit di lahan terbuka lainnya. Pengembangan peternakan sapi perah di masa yang akan datang harus memperhatikan kemampuan sumberdaya lahan, terutama dalam menjamin ketersediaan hijauan makanan ternak (HMT) agar usaha peternakan dapat dijalankan dengan optimal. Potensi produksi HMT alami yang dihasilkan lahan terbuka di Cisarua disajikan dalam Tabel 20.
Tabel 20. Potensi Sumber HMT Alami di Kecamatan Cisarua
Persawahan
264,00
Produktifitas HMT alami* (ton/ha/tahun) 0,500
Ladang/Tegalan
688,00
0,500
172,000
2.004,10
0,300
300,615
Kehutanan
713,50
0,750
535,125
Lahan Terbuka lainnya
896,72
0,750
672.540
Penggunaan Lahan
Perkebunan
Total
Luas (Ha)
Produksi BKC** (ton/tahun) 66,000
1.746,280
Keterangan: * ) Sumanto dan Juarini (2006) **) data diolah (tingkat kecernaan diperhitungkan 50% BKC)
Selain diperoleh dari HMT alami, pakan hijauan juga dapat diperoleh dengan memanfaatkan limbah tanaman pangan seperti jerami padi, jerami kacang tanah, daun singkong, jerami ubi jalar dan jerami kedelai. Potensi pakan yang bisa diperoleh dari limbah tanaman pangan di Kecamatan Cisarua disajikan dalam Tabel 21. Potensi pakan hijauan tersebut akan mencerminkan kemampuan daya dukungnya terhadap ternak ruminansia yang ada di Cisarua. Populasi ternak ruminansia dalam Satuan Ternak (ST) di Kecamatan Cisarua disajikan dalam Tabel 22.
39
Tabel 21. Potensi Sumber Pakan dari Limbah Tanaman Pangan Rata-rata Produksi BKC* (ton/ha) 5,94
Jenis Limbah Jerami Padi
Luas Panen (ha/tahun)
Produksi BKC** (ton/tahun)
436
2.591,341
Jerami Kacang Tanah
4,94
18
88,920
Daun Singkong
1,73
35
60,550
Jerami Ubi Jalar
4,93
17
83,810
Jerami Kedelai
2,79
1
2,790
Total
2.827,441
Keterangan: *) Syamsu (2006) **) data diolah
Tabel 22. Populasi Ternak Ruminansia di Kecamatan Cisarua dalam Satuan Ternak (ST) Jumlah (ekor) 1.401 20 250 4.642 127 8.906
Jenis Ternak Sapi Perah Sapi Potong Kerbau Kambing Kambing PE Domba Total
Faktor Konversi* 0,700 0,700 0,800 0,055 0,055 0,055
Jumlah (ST) 980,700 14,000 200,000 255,310 6,985 489,830 1.946,825
Sumber : Disnakkan Kabupaten Bogor (2009) Keterangan: *) Sumanto dan Juarini (2006)
Berdasarkan data Tabel 20, 21 dan 22 diketahui bahwa Kecamatan Cisarua termasuk dalam kriteria daya dukung lahan yang sangat kritis dengan nilai IDD (Indeks Daya Dukung) sebesar 0,78 jika peternak hanya mengandalkan pakan hijauan alami untuk memenuhi kebutuhan ternaknya. Apabila peternak mengoptimalkan penggunaan limbah tanaman pangan yang ada maka Kecamatan Cisarua akan berada dalam kriteria daya dukung aman dengan IDD sebesar 2,06. Keterbatasan ketersediaan pakan alami di Kecamatan Cisarua dapat ditanggulangi melalui penggunaan limbah tanaman pangan sebagai pakan hijauan yang selama ini belum maksimal penggunaannya oleh peternak. Limbah tanaman pangan hanya dapat diperoleh pada musim panen saja, sehingga teknologi pengawetan pakan sangat diperlukan agar seluruh limbah tanaman pangan dapat dimanfaatkan. Pengetahuan teknis tentang sifat dan
40
karakteristik limbah juga diperlukan supaya limbah yang digunakan adalah limbah yang sesuai untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak sapi perah.
2. Sumberdaya Air Air merupakan kebutuhan yang vital dalam budidaya ternak sapi perah terutama untuk air minum ternak, kebersihan ternak dan sanitasi kandang. Berdasarkan tinjauan lapangan diketahui bahwa air yang dipergunakan untuk peternakan berasal dari sumber mata air, yaitu air yang berasal dari mata air di pegunungan yang dialirkan melalui pipa menuju kandang. Sejauh ini sumber air yang ada telah dirasa cukup oleh peternak untuk menjalankan usaha budidaya ternak sapi perah. Hal lain yang terkait dengan sumberdaya air adalah penurunan kualitas air akibat limbah peternakan sapi perah. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, klasifikasi mutu air dibagi menjadi empat kelas yaitu: (1) Kelas satu yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; (2) Kelas dua yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; (3) Kelas tiga yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; dan (4) Kelas empat yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. Limbah peternakan sapi perah di Cisarua khususnya di Desa Cibeureum dialirkan oleh peternak ke Kali Citeko Bawah yang melintasi kawasan peternakan dan selanjutnya mengalir menuju Sungai Ciliwung. Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor menggolongkan Kali Citeko Bawah ke dalam mutu air kelas tiga. Berdasarkan pantauan Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor terhadap kualitas air Kali Citeko Bawah pada tiga titik (sebelum masuk kawasan peternakan, di tengah kawasan peternakan dan setelah melewati kawasan peternakan) diperoleh hasil sebagaimana disajikan dalam Tabel 23. Berdasarkan
41
analisis kualitas air pada tiga titik pengamatan diketahui bahwa terdapat beberapa parameter yang melampaui batas baku mutu lingkungan yaitu BOD, COD, dan Nitrit. Tabel 23. Hasil Analisis Kualitas Air Kali Citeko Bawah Parameter Analisis
Hasil Analisis
Satuan Seb.
Tgh.
Set.
DAS Ciliwung*
PPRI No.82 Tahun 2001 Kelas 1 2 3 4
KIMIA -
7,23
6,80
6,780
6,585
6–9
6–9
6–9
6–9
BOD
mg/l
25,30
71,40
86,20
42,00
2,00
3,00
6,00
12,00
COD
mg/l
55,50
156,70
194,20
tda
10,00
25,00
50,00
100,00
Fosfat
mg/l
0,520
1,090
1,00
0,33
0,20
0,20
1,00
5,00
Nitrit
mg/l
0,021
0,113
0,055
0,004
0,06
0,06
0,06
ts
Amonia
mg/l
0,015
0,050
0,082
<0,01
0,5
ts
ts
ts
Sulfat
mg/l
95,70
219,00
204,5
3,00
400
ts
ts
ts
pH
BIOLOGI E.Coli
MPN/100ml
140
170
170
3200
100
1.000
2.000
2.000
Total Coli
MPN/100ml
1700
2200
2400
3300
1.000
5.000
10.000
10.000
Sumber: Badan Lingkungan Hidup Kab. Bogor (2010) Keterangan: Seb: sebelum kawasan peternakan, Tgh: tengah kawasan, Set: setelah kawasan, ts: tidak disyaratkan, tda: tidak dianalisa, *):Jembatan Gadog, Megamendung
Nilai BOD menunjukkan banyaknya oksigen yang digunakan untuk merombak bahan organik dalam air secara biologis. Nilai COD menunjukkan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi semua bahan kimia yang bisa dioksidasi dalam air. Tingginya nilai BOD dan COD secara konsisten dari sebelum sampai setelah kawasan menunjukkan: (1) peternakan sapi perah memberikan kontribusi cemaran organik yang signifikan terhadap perairan (2) nilai BOD dan COD yang tinggi sebelum masuk kawasan menunjukkan pencemaran limbah organik telah terjadi di daerah hulu yang dimungkinkan berasal dari Taman Safari Indonesia (TSI) karena sebelumnya hulu Kali Citeko melintasi kawasan TSI. Nilai Fosfat dan Nitrit mengalami lonjakan di tengah kawasan dan selanjutnya menurun kembali setelah keluar dari kawasan peternakan. Fosfat pada dasarnya selalu ada di perairan alami yang merupakan sumber pakan bagi pertumbuhan ganggang. Jika jumlah fosfat sudah melebihi ambang batas maka akan terjadi lonjakan pertumbuhan ganggang dan ini bisa dijadikan indikator terjadinya pencemaran air oleh limbah organik. Nitrit merupakan senyawa yang sedang berproses menjadi nitrat. Menurut Mahida (1992) bahwa dalam keadaan
42
aerob, nitrogen amonia akan dioksidasi menjadi nitrit oleh bakteri autotrof seperti Nitrosomonas, Nitrospira dan Nitrococcus selanjutnya nitrit diubah menjadi nitrat oleh bakteri Nitrobacter, Nitrospira dan Nitrococcus. Nitrat merupakan senyawa alihan dalam proses perubahan zat organik ke dalam bentuk yang tetap sehingga konsentrasi nitrit dalam air sangat rendah. Secara umum keseluruhan nilai faktor kimia air mengalami penurunan ketika sudah memasuki DAS Ciliwung. Ini mengindikasikan bahwa kondisi Sungai Ciliwung masih mampu mengurai dan menurunkan konsentrasi cemaran yang berasal dari sumber pencemar di hulunya. Keadaan sebaliknya terjadi dengan nilai faktor biologi air. Cemaran E.Coli meningkat hingga 3200 MPN/100ml, yang mengindikasikan meningkatnya jumlah kotoran ternak ataupun manusia yang dibuang ke DAS Ciliwung. Menurut Ridwan (2006), pengelolaan limbah merupakan faktor penting dalam menunjang keberlanjutan agribisnis sapi perah sehingga dorongan terhadap
pengelolaannya
oleh
peternak
harus
ditingkatkan.
Kebijakan
pengelolaan limbah ini sangat terkait dengan luas lahan pertanian, semakin besar lahan pertanian yang membutuhkan kompos maka akan semakin besar upaya peternak dalam mengelola limbahnya.
5.2.2 Keberlanjutan dari Dimensi Sosial Keberlanjutan usaha peternakan sapi perah ditinjau dari dimensi sosial adalah mengenai bagaimana usaha peternakan sapi perah rakyat dapat tetap memberikan peluang pekerjaan bagi masyarakat namun tidak menimbulkan konflik karena keberadaannya. Berkaitan dengan hal ini, Pemerintah Kabupaten Bogor
sedikitnya
telah
memberikan
jaminan
bagi
peternak
akan
keberlangsungan usahanya dengan diterbitkannya Peraturan Bupati Bogor No.84 Tahun 2009 tentang Revitalisasi Pertanian dan Pembangunan Perdesaan. Revitalisasi pertanian dan pembangunan perdesaan yang dicanangkan oleh Bupati Bogor dimaksudkan agar pelaksanaan pembangunan pertanian dan perdesaan dalam jangka menengah dapat lebih tertata, terarah dan tepat sasaran. Berdasarkan komoditas, ternak sapi perah merupakan salah satu komoditas unggulan peternakan yang masuk dalam ruang lingkup peraturan bupati ini. Kegiatan yang terkait dengan komoditas sapi perah adalah usaha peternakan sapi perah, pengelolaan susu dan pembibitan sapi perah. Daerah
43
pengembangan sentra agribisnis sapi perah yang dicanangkan dalam peraturan bupati ini adalah Kecamatan Cisarua, Megamendung, Cibungbulang dan Cijeruk. Pokok-pokok kebijakan dari revitalisasi pertanian dan perdesaan ini yang terkait dengan pengembangan peternakan sapi perah adalah kebijakan pengembangan kelembagaan, penguatan manajemen, penguatan kapasitas masyarakat dan peningkatan mutu sumberdaya manusia. Pengembangan kelembagaan meliputi pengembangan kelembagaan penyuluhan, lembaga kredit kecil modal kerja, lembaga keuangan mikro dan pasar. Kebijakan penguatan manajemen
meliputi
pengembangan
jejaring
pengembangan kerjasama
jejaring penyuluh
kerjasama
agribisnis,
pemerintah-swasta-LSM,
pengembangan akses peternak terhadap pengusahaan lahan bekerjasama dengan perusahaan swasta, pengembangan jejaring
dan penataan program
CSR berbasis usaha produktif on farm, off farm dan non farm. Penguatan kapasitas masyarakat dan peningkatan sumberdaya manusia yang dilakukan melalui sekolah lapang dan pelatihan pengolahan produk pertanian. Selain dalam tataran kebijakan, keberadaan usaha peternakan sapi perah rakyat ini tidak terlepas dari perilaku masyarakat di sekitar peternakan. Perilaku masyarakat disini adalah perilaku penerimaan masyarakat (individu/lembaga) terhadap keberadaan dan aktivitas peternakan sapi perah maupun perilaku masyarakat (individu/lembaga) yang mengancam keberadaan dan aktivitas peternakan sapi perah di Kecamatan Cisarua. Berdasarkan pantauan di lapangan, sejauh ini belum ada keluhan masyarakat yang dampaknya berakibat fatal terhadap keberadaan peternakan sapi perah di Cisarua. Keluhan masyarakat (terutama pendatang/pemilik villa) utamanya terkait dengan bau dan limbah yang dihasilkan peternakan. Sejauh ini persoalan tersebut dapat diselesaikan secara baik dan belum mengancam bagi keberadaan peternakan yang ada. Sedangkan bagi masyarakat setempat, penerimaannya terhadap keberadaan peternakan cukup baik. Hal ini dimungkinkan karena peternakan sapi perah di Cisarua telah membudaya lebih dari 20 tahun sehingga masyarakat sudah terbiasa dengan hal tersebut. Menurut Ridwan (2006), agar agribisnis sapi perah di Kecamatan Cisarua dapat berkelanjutan maka protes masyarakat terhadap keberadaan peternakan sapi perah harus dapat diredam melalui pengelolaan limbah ternak yang baik.
44
Mengenai aktivitas peternak dalam mencari hijauan hingga ke wilayah perkebunan PTPN VIII Gunung Mas dan PT. Sumber Sari Bumi Pakuan pun sejauh ini tidak ada keberatan dari pihak perusahaan. Bahkan saat ini peternak melalui Gapoknak Bale Arminah sedang berupaya untuk menjalin kerjasama dengan perusahaan perkebunan dalam pemanfaatan lahan yang tidak digarap untuk difungsikan bagi kegiatan peternakan. Perilaku sosial yang menjadi ancaman bagi peternak adalah perilaku masyarakat yang melakukan pembangunan pemukiman yang tidak sesuai dengan RTRW dan tidak memiliki IMB yang mengakibatkan berkurangnya lahan pertanian produktif sebagaimana yang dilaporkan oleh Camat Cisarua dalam Laporan Tahun Kinerja 2009. Pertumbuhan pemukiman yang pesat ini dikhawatirkan akan mengganggu keberadaan usaha peternakan sapi perah di Kecamatan Cisarua. Penertiban bangunan tanpa IMB dan pengembalian fungsi lahan sesuai dengan RTRW diharapkan dapat mencegah dan mengurangi alih fungsi lahan kepada yang tidak semestinya. Penyuluhan kepada peternak untuk menjaga dan mengawasi lahan konservasi juga diperlukan agar lahan tersebut tidak diserobot dan dialih fungsikan oleh orang lain (Ridwan, 2006).
5.2.3 Keberlanjutan dari Dimensi Ekonomi Keberlanjutan usaha peternakan sapi perah ditinjau dari dimensi ekonomi adalah mengenai bagaimana usaha peternakan sapi perah rakyat dapat tetap memberikan keuntungan dan peningkatan pendapatan bagi peternak sehingga usaha peternakan dapat terus berjalan dan ditingkatkan kapasitasnya. Peternakan sapi perah merupakan usaha yang telah lumrah dilaksanakan oleh peternak di Kecamatan Cisarua terutama di Desa Cibeureum dan Tugu Selatan. Usaha ini umumnya telah ditekuni lebih dari lima tahun sehingga peternak telah memiliki pengalaman yang cukup dalam budidaya ternak sapi perah. Usaha ternak sapi perah merupakan usaha yang ditekuni secara serius oleh peternak mengingat hampir keseluruhan peternak mengusahakan peternakan sapi perah sebagai usaha pokok. Usaha yang dilakukan telah berorientasi komersial dengan tujuan untuk mendapatkan pendapatan semaksimal mungkin. Gairah peternak dalam mengusahakan peternakannya cukup tinggi mengingat telah tersedia pasar yang tetap dengan harga jual yang pasti. PT. Cimory sebagai satu-satunya IPS (Industri Pengolahan Susu) yang menampung produksi susu dari peternak telah memberikan harga yang tetap dan pasti
45
berdasarkan kualitas susu yang dihasilkan peternak (Tabel 24). Produk susu segar yang dihasilkan peternak dihargai rata-rata Rp.3.800 per liter oleh PT. Cimory. Harga ini sudah termasuk ideal karena menurut Priyanti dan Saptati (2008) harga jual susu lokal yang ideal adalah 80% dari harga susu impor (harga susu impor setara susu segar pada bulan Februari 2011 adalah Rp. 4.300/liter).
Tabel 24. Harga Beli Susu Segar PT. Cimory Rp/Kg Jumlah Kuman (CFU/ml) Total Solid (%) 12,6 12,5 12,4 12,3 12,2 12,1 12,0 11,9 11,8 11,7 11,6 11,5 11,4 11,3 11,2 11,1 11,0 10,9 10,8 10,7 10,6 10,5 10,4 10,3 10,2 10,1 10,0
≤0,25 jt
>0,25 s.d ≤0,5 jt
>0,5 s.d ≤1 jt
>1 s.d ≤ 3 jt
>3-≤5 jt
>5-≤10 jt
4.725 4.675 4.625 4.575 4.525 4.475 4.425 4.375 4.325 4.275 4.225 4.175 4.125 4.075 4.025 3.975 3.925 3.875 3.825 3.775 3.725 3.675 3.625 3.575 3.525 3.475 3.425
4.575 4.525 4.475 4.425 4.375 4.325 4.275 4.225 4.175 4.125 4.075 4.025 3.975 3.925 3.875 3.825 3.775 3.725 3.675 3.625 3.575 3.525 3.475 3.425 3.375 3.325 3.275
4.425 4.375 4.325 4.275 4.225 4.175 4.125 4.075 4.025 3.975 3.925 3.875 3.825 3.775 3.725 3.675 3.625 3.575 3.525 3.475 3.425 3.375 3.325 3.275 3.225 3.175 3.125
4.300 4.250 4.200 4.150 4.100 4.050 4.000 3.950 3.900 3.850 3.800 3.750 3.700 3.650 3.600 3.550 3.500 3.450 3.400 3.350 3.300 3.250 3.200 3.150 3.100 3.050 3.000
4.200 4.150 4.100 4.050 4.000 3.950 3.900 3.850 3.800 3.750 3.700 3.650 3.600 3.550 3.500 3.450 3.400 3.350 3.300 3.250 3.200 3.150 3.100 3.050 3.000 2.950 2.900
4.100 4.050 4.000 3.950 3.900 3.850 3.800 3.750 3.700 3.650 3.600 3.550 3.500 3.450 3.400 3.350 3.300 3.250 3.200 3.150 3.100 3.050 3.000 2.950 2.900 2.850 2.800
Sumber: KUD Giri Tani (2010)
46
Sistem insentif harga susu seperti ini akan mendorong peternak untuk menghasilkan susu yang lebih berkualitas agar dapat dibeli dengan harga yang lebih tinggi. Saat ini nilai total kuman pada susu sapi yang ditangani para peternak berkisar 1-3 juta CFU/ml yang masih di bawah persyaratan yang ditetapkan dalam SNI Susu Segar nomor 01-3141-1998 sebesar maksimal 1.000.000 CFU/ml, sedangkan nilai Total Solid (TS) sudah memenuhi SNI yaitu sebesar 11,71%. Perbaikan terhadap kualitas susu yang dihasilkan akan mampu untuk mendongkrak tingkat pendapatan peternak. Berdasarkan kerjasama yang dilakukan oleh KUD Giri Tani dengan PT.Cimory disepakati bahwa semua produksi susu anggota KUD bisa diserap oleh PT. Cimory. Saat ini hampir seluruh produksi susu yang dihasilkan peternak diserap oleh PT. Cimory dengan suplai sekitar 46% dari 10.000 liter kebutuhan susu segar PT. Cimory setiap harinya. Satu sisi hal ini akan memberikan jaminan pasar bagi peternak, namun di sisi lain akan menciptakan ketergantungan pasar yang tinggi terhadap PT. Cimory. Ketergantungan ini akan berdampak buruk bagi peternak manakala harga beli yang ditawarkan PT.Cimory tidak lagi sesuai dengan harapan peternak. Oleh karena itu ke depannya perlu dipikirkan alternatif pasar yang lain agar tidak terjadi ketergantungan terhadap satu pasar saja. Salah satu alternatif pasar adalah wisatawan yang berkunjung ke Cisarua. Menurut Sumartini (2010), penjualan susu segar langsung ke wisatawan atau penghuni villa dapat meningkatkan nilai jual yang cukup tinggi yaitu Rp.4.000Rp.6.000,- per liter pada tahun 2008, sedangkan pada tahun 2009 berkisar antara Rp.5.000-Rp.8.000,- per liter. Kendalanya adalah pasar seperti ini bersifat tidak tetap dengan volume penjualan yang sangat rendah berkisar 40-100 liter per bulan. Alternatif lain adalah dengan membuat produk susu olahan untuk dipasarkan sehingga pendapatan peternak tidak selalu tergantung pada pemasaran susu segar. Selain itu, dengan melakukan pengolahan akan menambah nilai produk yang dihasilkan. Saat ini industri pengolahan skala rumah tangga telah mulai dirintis oleh peternak di Cisarua salah satunya oleh peternak dari Kelompok Baru Siereum dengan merek dagang E-Yoci. Produk susu olahan yang dihasilkan adalah susu pasteurisasi, kerupuk susu, karamel, stik susu dan puding susu dengan kapasitas produksi sekitar 100 liter/hari. Umumnya peternakan sapi perah di Cisarua diusahakan dengan kepemilikan induk antara 1-5 ekor. Upaya kooperatif dan integratif terhadap lembaga permodalan perlu dilakukan dalam rangka peningkatan kapasitas usaha
47
peternak. Ridwan (2006) menyatakan bahwa potensi pertumbuhan agribisnis sapi perah di Kecamatan Cisarua sangat potensial untuk ditingkatkan, baik secara individu ataupun pelaku usaha baru. Insentif yang diberikan akan mendorong terjadinya pertumbuhan yang secara dimensi ekonomi berarti adanya keberlanjutan. Tingginya permintaan susu segar akan diiringi meningkatnya permintaan sarana produksi. Kebijakan untuk mempermudah pengadaan sarana produksi baik melalui kebijakan suku bunga rendah maupun subsidi pajak dapat mendorong terjadinya agribisnis sapi perah yang berkelanjutan dari sudut dimensi ekonomi. Keberlanjutan peternakan sapi perah rakyat secara ekonomi dapat dicapai apabila peternak sapi perah telah menampilkan dirinya sebagai pelaku agribisnis. Usaha pertanian dapat dikatakan sebagai agribisnis jika kegiatan tersebut telah dipersepsikan sebagai bagian dari suatu sistem bisnis yang lebih luas yang terdiri atas: (1) bisnis input dan sarana produksi pertanian seperti pupuk, alat dan mesin pertanian; (2)usaha tani itu sendiri; (3)bisnis pengolahan hasil pertanian; (4)bisnis distribusi dan pemasaran hasil pertanian dan hasil olahannya; dan (5) bisnis berbagai perangkat penunjang seperti perbankan, penelitian, pengembangan, asuransi pertanian dan sebagainya (Krisnamurthi dan Fausia, 2003).
5.3
Pengembangan Peternakan Sapi Perah Berkelanjutan
5.3.1 Sasaran Pengembangan Peternakan Sapi Perah Berdasarkan tinjauan dari dimensi ekologi, sosial dan ekonomi maka secara garis besar terdapat beberapa dampak yang mungkin timbul akibat pengembangan peternakan sapi perah rakyat di Cisarua. Dampak Ekologi 1. Meningkatnya pencemaran yang terjadi akibat usaha peternakan sapi perah rakyat. 2. Semakin menurunnya daya dukung pakan alami akibat pertumbuhan populasi sapi perah. 3. Semakin meningkatnya potensi limbah organik yang bisa dimanfaatkan untuk perbaikan kualitas tanah pertanian. Dampak Sosial 1. Pertumbuhan usaha peternakan akan memberikan perluasan lapangan pekerjaan bagi masyarakat.
48
2. Pengembangan peternakan akan menyebabkan peningkatan ketersediaan pangan asal hewan bagi masyarakat yang berdampak meningkatnya status gizi masyarakat. 3. Keberhasilan pengembangan sapi perah di Cisarua akan meningkatkan citra pemerintah dalam upaya pegembangan komoditas unggulan daerah. 4. Semakin tingginya potensi konflik di masyarakat akibat pencemaran yang ditimbulkan oleh usaha peternakan rakyat. Dampak Ekonomi 1. Peningkatan kapasitas usaha ternak rakyat akan memberikan peningkatan pendapatan bagi peternak. 2. Keberadaan usaha ternak sapi perah dari hulu hingga hilir di Kecamatan Cisarua akan meningkatkan laju perekonomian daerah secara umum.
Berdasarkan hasil penelitian dan diskusi dengan para pakar maka ditetapkan sasaran dalam pengembangan peternakan sapi perah rakyat di Cisarua untuk mewujudkan dampak positif dan meminimalisir dampak negatif yang mungkin timbul, seperti yang disajikan dalam Tabel 25. Tabel 25. Aspek dan Sasaran Pengembangan Peternakan Sapi Perah No. 1.
Aspek Ekologi
Sasaran Terciptanya peternakan zero waste Terwujudnya optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam
2.
Sosial
Meningkatnya lapangan pekerjaan Meningkatnya status gizi masyarakat Menjadikan sapi perah sebagai icon daerah
3.
Ekonomi
Meningkatnya pendapatan peternak Meningkatnya perekonomian daerah
Hasil analisis AHP terhadap ketiga aspek tersebut menunjukkan bahwa aspek ekonomi memiliki bobot paling tinggi (0,493) dibandingkan dengan aspek sosial (0,311) dan ekologi (0,196). Ini mengindikasikan bahwa aspek ekonomi perlu diutamakan dalam perencanaan strategi pengembangan peternakan sapi perah. Terpilihnya aspek ekonomi sebagai prioritas utama dalam pengembangan peternakan sapi perah merupakan suatu hal yang wajar. Layaknya seperti kegiatan perekonomian yang lain, peternakan sapi perah diharapkan dapat memberikan keuntungan maksimum bagi pelaku yang terlibat didalamnya serta
49
mampu menggerakkan perekonomian daerah dimana usaha peternakan tersebut berlangsung. Sasaran dalam aspek sosial dan ekologi dianggap akan tercapai apabila sasaran dalam aspek ekonomi telah mampu dipenuhi. Peningkatan pendapatan peternak yang diiringi laju perekonomian yang stabil diharapkan akan mampu menstimulasi peternak untuk meningkatkan kapasitas usahanya yang berimbas terhadap peningkatan lapangan pekerjaan. Pengerahan sumberdaya yang ada dengan optimal untuk pengembangan peternakan yang pada akhirnya dapat mewujudkan sapi perah sebagai icon daerah. Prioritas sasaran secara global yang ingin dicapai dalam pengembangan peternakan sapi perah di Kecamatan Cisarua disajikan dalam Tabel 26.
Tabel 26. Prioritas Global Sasaran Pengembangan Peternakan Sapi Perah di Kecamatan Cisarua No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Elemen Meningkatnya Pendapatan Peternak Meningkatnya Lapangan Pekerjaan Terwujudnya Optimalisasi Pemanfaatan SDA Meningkatnya Perekonomian Daerah Meningkatnya Taraf Gizi Masyarakat Terciptanya Peternakan yang zero waste Mewujudkan Sapi Perah Sebagai Icon Daerah
Bobot 0,370 0,178 0,131 0,123 0,089 0,065 0,044
Prioritas 1 2 3 4 5 6 7
5.3.2 Strategi Pengembangan Peternakan Sapi Perah Berkaitan dengan sasaran yang ingin dicapai dalam aspek ekologi, sosial dan ekonomi terdapat beberapa alternatif strategi pengembangan peternakan yang dapat dilakukan yaitu: (1) peningkatan kapasitas kelembagaan [LEMBAGA]; (2) perluasan akses peternak terhadap permodalan [MODAL]; (3) peningkatan kerjasama dalam akses pemanfaataan lahan [KRJSM]; (4) perluasan target pasar [PASAR]; (5) peningkatan kualitas dan kuantitas produk/susu [PRODUK]; dan (6) peningkatan kualitas SDM peternak [SDM_PET]. Berikut ini adalah penjabaran dari masing-masing alternatif strategi.
a.
Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Selama
ini
peternak
di
Kecamatan
Cisarua
telah
memiliki
kelembagaan yang muncul dan timbul karena profesi mereka sebagai peternak yang bertujuan untuk mempermudah pemenuhan keperluan
50
mereka sebagai peternak. Umumnya kelompok-kelompok peternak ini telah dijalankan secara modern walaupun masih terdapat kekurangan yang memerlukan penyempurnaan. Peningkatan kapasitas kelembagaan peternak ini sangat diperlukan karena organisasi tingkat peternak ini merupakan lembaga yang sangat mumpuni untuk menjadi wadah atau saluran pembangunan terkait peternakan bahkan sarana paling tepat untuk percepatan pembangunan di pedesaan.
Berpijak pada realita semacam
inilah maka pemerintah melalui instansi terkait perlu membina serta meningkatkan
kinerja
lembaga
kemasyarakatan/kelompok-kelompok
peternak modern dalam rangka pelaksanaan program pembangunan peternakan dengan pertimbangan bahwa kelompok-kelompok peternak modern yang dibina pemerintah yang memang dirancang secara khusus untuk kegiatan pembangunan peternakan akan lebih memberikan peluang besar dalam keberhasilan pembangunan itu sendiri. Uphoff (1986) memberikan gambaran bahwa selama kurun waktu yang panjang
lembaga
donor
internasional
mengakui
akan
pentingnya
pengembangan kelembagaan untuk mencapai tujuan pembangunan. AUSAID
dan
Bank
Dunia
telah
memberikan pembuktian terhadap
pentingnya pengembangan kelembagaan ini, bahkan seringkali proyek yang mengabaikan pengembangan kelembagaan berakhir pada kegagalan. Sebagian besar lembaga donor hanya berkonsentrasi pada pengembangan kelembagaan di tingkat pusat saja. Pemerintah dipandang sebagai sebuah lembaga yang paling mudah disentuh serta merupakan lembaga yang telah memiliki kemampuan dalam manajemen organisasi. Lembaga di tingkat lokal dianggap sebagai bagian “nomor dua” saja dibandingkan lembaga di tingkat pusat atau nasional. Lembaga lokal ini hanya memainkan sedikit peran serta mendapatkan alokasi sumberdaya yang sangat terbatas. Lebih jauh Israel (1990) mengungkapkan bahwa pengembangan kelembagaan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam setiap proyek pembangunan yang didanai oleh Bank Dunia. Selain membangun dalam bentuk sarana dan prasarana fisik, terdapat cakupan lain yang termasuk dalam aspek pengembangan kelembagaan, walaupun masih sangat kecil. Berbeda halnya apabila proyek pembangunan tersebut bersifat investasi di bidang jasa seperti penyuluhan pertanian, kesehatan atau pendidikan, muatan pengembangan kelembagaan menjadi bagian yang menjadi
51
perhatian besar. Kesulitan yang dihadapi disini adalah pembangunan fisik ternyata
jauh
lebih
mudah
dibandingkan
dengan
pengembangan
kelembagaan. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa komponen fisik pada suatu program pembangunan memiliki tingkat keberhasilan dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan komponen pembangunan kelembagaan. Pembinaan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor untuk meningkatkan peran kelembagaan peternakan di Cisarua perlu terus dilakukan tanpa harus menciptakan pemerintah,
ketergantungan penguatan
pada
kelembagaan
pemerintah. dapat
juga
Selain
dilakukan
dilakukan
oleh
BUMN/BUMD dan swasta seperti LSM dan yayasan. Tujuan utamanya adalah agar setiap lembaga mampu melayani para peternak dengan relatif mudah dan lancar secara berkesinambungan. Penerapan prinsip-prinsip efisiensi fungsi-fungsi manajemen administrasi, manajemen produksi dan distribusi, manajemen pelayanan, manajemen kontrol, manajemen supervisi, manajemen sumberdaya manusia dan manajemen informasi kelembagaan mutlak diperlukan. Peningkatan kapasitas kelembagaan peternakan sapi perah dapat dilakukan melalui :
1. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang terlibat dalam kelompok peternak sapi perah sehubungan dengan perkembangan teknologi, permasalahan dan kebutuhan para peternak. Pendidikan dan pelatihan yang dibutuhkan adalah mengenai peningkatan produksi dan kualitas produk, teknologi pakan, kelembagaan dan finansial.
2. Peningkatan
peran
serta
kelembagaan penyuluhan
peternakan
sehingga mampu menyentuh langsung kebutuhan peternak dengan melibatkan peternak secara lebih aktif. Model penyuluhan mandiri dimana peternak berperan sebagai pelaku aktif perlu terus ditingkatkan peranannya. Jumlah dan kualitas penyuluh yang memiliki kemampuan di bidang analisis produksi dan pemasaran serta sebagai mediator ke berbagai lembaga keuangan dan pendidikan/pelatihan perlu terus ditingkatkan.
3. Peningkatan kualitas manajemen koperasi yang ada, dalam hal ini KUD Giri Tani, khususnya peningkatan kualitas sumberdaya manusia para pengurus dan manajer dalam rangka meningkatkan kesejahteraan peternak. Peran para pengurus kelompok peternak yang tergabung
52
dalam koperasi perlu diberdayakan terutama untuk meningkatkan posisi tawar dalam memperoleh pelayanan kredit dan pemasaran hasil. 4.
Peningkatan peran lembaga-lembaga perbankan dalam pelayanannya kepada peternak secara optimum. Saat ini telah terdapat dua bank yaitu Bank Mandiri dan BRI yang terlibat aktif dalam penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari pemerintah kepada peternak sapi perah di Cisarua. Secara nasional, Bank Mandiri pada tahun 2011 menargetkan penyaluran KUR sebesar Rp. 3 triliun dan BRI menargetkan sebesar 2,5 triliun.
b.
Perluasan Akses Peternak Terhadap Permodalan Usaha ternak sapi perah rakyat saat ini yang umumnya diusahakan dalam skala 1-5 ekor induk menghendaki peningkatan kapasitas usaha agar lebih bernilai ekonomis. Selain itu untuk mendapatkan kualitas susu yang baik memerlukan sarana dan prasarana produksi yang memadai. Begitu pula dalam mengurangi dampak limbah peternakan yang timbil diperlukan teknologi yang memadai seperti biogas. Peternak kecil umumnya memiliki akses yang terbatas terhadap dana yang dapat diinvestasikan untuk pembelian aset produktif seperti ternak dan perlatan-peralatan yang dibutuhkan untuk menjalankan kegiatan peternakan sapi perah yang efektif. Saat ini terdapat berbagai bentuk permodalan yang ditawarkan oleh perbankan namun belum semuanya dapat diakses oleh peternak. Kendala yang umum dialami oleh peternak yaitu terbatasnya bank yang bersedia melayani keperluan modal bagi peternak dengan syarat dan prosedur yang mudah, dan kekurangmandirian peternak dalam berhubungan dengan pihak bank. Belum mandirinya peternak dalam mengakses modal disebabkan keterbatasan pengetahuan dan keterampilan dalam berhubungan dengan lembaga keuangan formal yang memerlukan syarat serta prosedur tertentu. Berbagai program telah dilakukan pemerintah untuk membantu peternak mengatasi kendala tersebut, diantaranya dalam menyediakan berbagai bentuk alternatif fasilitas sumber permodalan serta tenaga pendamping di tingkat lapangan agar peternak mampu mengakses modal. Fasilitas permodalan/kredit program yang disediakan pemerintah untuk peternak antara lain adalah Bantuan Langsung Masyarakat PUAP (Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan), Bantuan Sosial LM3
53
(Lembaga Mandiri Mengakar di Masyarakat), KKP-E (Kredit Ketahanan Pangan dan Energi), dan KUR (Kredit Usaha Rakyat). Agar bantuan permodalan ini dapat diakses peternak, perlu diupayakan sosialisasi yang lebih gencar serta proses seleksi yang lebih matang sehingga program ini memiliki jangkauan yang luas dan tepat sasaran. Selain bantuan kredit yang ditawarkan pemerintah, KUD Giri Tani sebagai wadah permodalan bagi kelompok dapat lebih ditingkatkan fungsinya dalam membantu permodalan bagi peternak. Bermodalkan keuntungan dari setiap penjualan susu dan informasi yang akurat yang dimiliki KUD tentang kemampuan kredit masing-masing anggotanya, diharapkan KUD dapat memberikan bantuan permodalan secara efektif bagi anggotanya. c.
Peningkatan Kerjasama dalam Akses Pemanfaatan Lahan Sebagian besar peternak yang ada saat ini memiliki lahan yang sangat terbatas sehingga ketersediaan lahan ini menjadi faktor pembatas bagi peternak rakyat dalam meningkatkan skala usahanya. Selain untuk lahan kandang, keberadaan lahan juga dibutuhkan untuk mendapatkan input pakan hijauan. Peternak pada peternakan sapi perah rakyat yang sepenuhnya
menggunakan
sumberdaya
tenaga
kerja
keluarga
menghabiskan sebagian besar waktu produktifnya untuk menyediakan pakan hijauan dengan sistem cut and carry. Pakan hijauan berupa rumput dan limbah pertanian pada umumnya diperoleh dari lahan-lahan di wilayah sekitarnya terutama lahan-lahan kehutanan dan perkebunan. Persoalannya adalah sistem peternakan yang ada sekarang tidak memiliki basis lahan yang memadai untuk mendukung perluasan lahan kandang dan penyediaan kebun HMT. Kerjasama dengan pihak lain perlu ditingkatkan dalam pemanfaatan lahan bagi usaha peternakan. Kerjasama dapat dilakukan dengan cara sistem sewa/kontrak dengan pemilik lahan, baik dalam bentuk perorangan maupun perusahaan seperti Perhutani dan PTPN. Kerjasama tersebut diharapkan dapat memfungsikan lahan-lahan yang belum dimanfaatkan secara optimal untuk mendukung pengembangan peternakan sapi perah di Cisarua.
54
d.
Perluasan Target Pasar Saat ini pasar susu di Cisarua masih sangat tergantung kepada PT. Cimory sebagai Industri Pengolah Susu. Ketergantungan yang sangat besar ini menyebabkan peternak tidak memiliki posisi tawar yang kuat dalam penetapan harga. Walaupun sekarang ini PT. Cimory mampu menyerap semua produksi susu dengan harga yang masih memberikan keuntungan kepada peternak, namun perlu juga dipikirkan alternatif pasar yang lain sehingga tidak menciptakan kondisi pasar yang monopsoni. Harga susu di tingkat peternak ditentukan bukan oleh mekanisme permintaan dan penawaran tetapi oleh penetapan secara sepihak oleh IPS (Ridwan, 2006). Pemerintah
perlu
memihak
koperasi
dan
industri
pengolahan susu (IPS) skala kecil yang berbasis susu lokal guna menciptakan pasar. Bentuk usaha ini bagi koperasi memiliki dua sasaran: pertama adalah memberikan diversifikasi usaha bagi koperasi sehingga dapat
melatih
kemandirian
dan
entrepreneur,
kedua
meningkatkan
jangkauan distribusi susu segar kepada masyarakat untuk dapat dikonsumsi dengan biaya yang lebih murah dan menyehatkan. Permintaan susu konsumsi akan bertambah jika konsumsi susu per kapita meningkat, tetapi peningkatan ini akan terhambat jika terjadi peningkatan harga susu konsumsi. Maka untuk menjamin pasar bagi produk susu olahan IPS lokal, pemerintah perlu memberlakukan kebijakan mewajibkan minum susu bagi anak sekolah yang biayanya dapat dianggarkan dari anggaran pendidikan atau kesehatan. Membudayakan minum susu kepada anak usia dini juga mempunyai sasaran jangka panjang yaitu menciptakan generasi yang sadar gizi yang lebih mengutamakan mengkonsumsi susu segar daripada susu bubuk atau kental manis. Keberadaan peternakan sapi perah di kawasan wisata ini juga memberikan peluang pasar bagi para peternak untuk memasarkan produknya kepada wisatawan lokal. IPS skala rumah tangga perlu ditumbuhkembangkan untuk menangkap peluang pasar yang dalam hal ini bisa diusahakan oleh kelompok peternak. Pengolahan terhadap produk yang dihasilkan akan memberikan nilai tambah dan daya saing produk.
55
e.
Peningkatan Kualitas dan Kuantitas Produk/Susu Susu sebagai produk utama dalam usaha peternakan sapi perah perlu diperhatikan kualitas dan kuantitasnya karena sangat terkait langsung dengan harga dan pendapatan peternak. Berdasarkan analisis sistem dinamik, Ridwan (2006) memprediksikan bahwa tanpa adanya insentif yang diberikan untuk meningkatkan laju pertumbuhan produksi susu di wilayah Puncak Bogor maka dalam rentang 20 tahun produksi susu rata-rata hanya mengalami kenaikan sebesar 4 liter/ekor/hari. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas susu yaitu: 1.
Bibit yang berkualitas. Induk yang berkualitas secara genetis berpotensi untuk memunculkan performa produksi yang maksimal. Sapi perah yang diusahakan oleh peternak di Cisarua adalah jenis FH (Fries Holstein). Sapi FH dalam kondisi lingkungan yang optimal mampu memproduksi susu sebanyak 30 liter/hari. Umumnya sapi FH yang dipelihara peternak di Indonesia memiliki kemampuan produksi susu rata-rata sebesar 12 liter/hari (Muladno, 2010). Ridwan (2006) menyatakan bahwa untuk meningkatkan keberlanjutan agribisnis sapi perah di Kecamatan Cisarua diperlukan peningkatan mutu genetis melalui pembelian bibit impor maupun inseminasi buatan dari sumber bibit yang unggul. Untuk menjaga ketersediaan bibit pengganti (replacement stock) yang baik bagi
peternak
sapi
perah
di
Cisarua,
sudah
saatnya
untuk
mengaktualisasikan program rearing ternak sehingga pedet betina yang berkualitas dapat dipertahankan dan tidak dijual ke luar Kabupaten Bogor. 2.
Kualitas pakan yang baik. Pakan memiliki peran yang sangat penting untuk mendapatkan kualitas susu yang baik. Kendalanya adalah, terutama untuk pakan konsentrat, peternak harus membayar mahal jika ingin memperoleh pakan dengan kualitas yang baik. Tentu saja hal ini memberatkan peternak terutama dengan skala kepemilikan 1-5 ekor. Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan ini adalah dengan mengusahakan sebuah pabrik pakan mini yang dapat mengolah bahan alternatif dari sumberdaya lokal yang ada sehingga dapat diperoleh pakan yang berkualitas dengan harga yang terjangkau peternak.
56
3.
Kecukupan air minum. Menurut Tillman et al (1984) kandungan air dalam air susu berkisar 80,1-87,5%, dengan demikian ketersediaan air yang cukup untuk minum ternak sangat mempengaruhi produksi susu.
4.
Penanganan susu yang baik. Definisi penanganan susu meliputi kegiatan pemerahan, pengumpulan, pengangkutan dan penyimpanan. Manajemen kesehatan pemerahan dalam penanganan susu perlu diperhatikan yaitu usaha yang harus dilakukan sebelum pemerahan, pada saat pemerahan dan setelah pemerahan dengan tujuan untuk mendapatkan susu yang halal, aman, utuh dan sehat. Pelaksanakan prosedur pemerahan yang benar (Good Milking Practice) baik yang mencakup jarak pemerahan, perlakuan pendahuluan pada ambing, cara pemerahan, pencegahan dan pengujian mastitis, dll, diharapkan memberikan hasil pemerahan susu yang optimal. Selain prosedur pemerahan yang benar, juga perlu diperhatikan peralatan untuk menampung susu harus bersih dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam SK Ditjen Peternakan No. 17/1983 antara lain : Kedap air Terbuat dari bahan yang tidak berkarat (stainless steel; aluminium) Tidak mengelupas bagian-bagiannya Tidak bereaksi dengan susu Tidak merubah bau, warna dan reaksi susu Mudah dibersihkan dan disucihamakan Tugas para peternak dan para petugas yang menangani pengumpulan, pengiriman susu segar, cooling center dan transportasi susu segar adalah menjaga agar seminimal mungkin terjadi kontaminasi mikroba dari luar ke dalam susu yang pada akhirnya dapat berakibat turunnya kualitas susu atau kerusakan susu (milk deterioration). Pelaksanaan penanganan susu yang baik (Good Handling Practices) memerlukan peralatan penanganan yang baik dan benar sesuai tempat tahapan penanganan
susu
dilakukan.
Peralatan
yang
dibutuhkan
untuk
penanganan susu adalah sebagai berikut: A. Peralatan di tempat Pemerahan 1. Ember Susu Fungsi : Sebagai wadah penampungan susu yang diperah secara manual
57
Spesifikasi : SK Ditjen Peternakan No. 17/1983 tentang wadah susu 2. Saringan Susu / Strainer Fungsi : Penyaring benda-benda asing yang terikut air susu pada waktu pemerahan (rambut, sel ephithel, kotoran lain) Spesifikasi : SK Ditjen Peternakan No. 17/1983 tentang wadah susu 3. Milk Can Fungsi : Sebagai alat untuk menampung dan menyimpan sementara susu hasil pemerahan, untuk segera dikirim ke Koperasi / MCC (Milk Collecting Center) maupun ke Industri Pengolahan Susu yang jarak dan waktu tempuhnya tidak lebih 2 jam dari proses pemerahan. Alat ini berbahan stainless steel/aluminium, berpenutup rapat dan umumnya berkapasitas 5, 10, 20, 30, 40, 50 liter. Spesifikasi : SK Ditjen Peternakan No. 17/1983 tentang wadah susu 4. Mesin Pemerah Susu Fungsi : Sebagai sarana untuk memerah susu secara pneumatis, dimana pemerahan dilakukan dengan membuat tekanan vakum pada penampung dan susu diperah ke dalam penampung melalui unit perah. Pemerahan dengan mesin perah akan mengurangi kontak susu dengan tukang perah dan lingkungan kandang, sehingga susu hasil perahan lebih bersih dan higienis. Selain itu juga jumlah sapi dan kapasitas pemerahan jauh lebih tinggi Spesifikasi : Pada dasarnya semua mesin pemerah susu terdiri atas : a. Pompa Vakum b. Pulsator c. Milk claw d. Sedotan puting (Teat cup) e. Wadah susu (Bucket) Terdapat 3 (tiga) macam model mesin perah susu, yaitu : 1.
Portable Milking Machine, pada type ini semua peralatan mesin perah (Pompa vakum s/d Bucket) ditaruh di atas Troley dan didorong ke sapi yang akan di perah. Jumlah dan volume bucket bervariasi, ada yang single bucket (25 lt, 30 lt) ada yang double bucket. Demikian pula jumlah teat cup (cluster) ada yang single ada pula yang double.
58
2. Bucket Milking Machine, pada type ini pompa Vakum terpisah dan dihubungkan di titik- titik tertentu dengan bucket melalui pipa vakum sepanjang lorong kandang. Bucket, Pulsator serta teat cup mendatangi tiap sapi yang akan diperah dan menyambung pulsator dengan pipa vakum. 3. Flat Barn dan Herringbone Milking Machine Milking machine type ini sekelompok sapi digiring ketempat pemerahan (milking parlour) dengan alunan musik tertentu. Posisi sapi pada waktu diperah secara berbaris miring (herringbone) atau tegak lurus (flat barn). Biasanya susu hasil pemerahan serentak ini langsung dipompakan ke tangki cooling unit. Mesin perah jenis Portable Milking Machine merupakan jenis mesin perah yang lebih sesuai untuk digunakan pada peternakan sapi perah rakyat.
B. Peralatan di Tempat Pengumpulan Susu (TPS) 1. Transfer tank Fungsi : Sebagai wadah menampung dan membawa susu segar dari para peternak ke Pusat Pendinginan Susu. 2. Cooling Unit Fungsi : Sebagai alat untuk menampung dan menyimpan susu segar dalam kondisi dingin (4-7 oC), tertutup, dan tidak tembus cahaya. 3. Peralatan di Cooling Center/KUD a) Unit Pendingin Cepat Susu (Chilling unit) Fungsi: Sebagai tempat penerima susu dari para peternak dalam jumlah besar, biasanya di pusat pendinginan susu (KUD) dilengkapi dengan fasilitas pendinginan cepat susu. b) Transport Tank Fungsi : Sebagai sarana pengiriman susu dari Cooling center/KUD ke IPS, diperlukan tangki susu khusus yang mampu menjaga suhu susu tetap dingin selama dalam perjalanan jauh yang memakan waktu 8 – 12 jam.
59
f.
Peningkatan Kualitas SDM Peternak. Sumberdaya manusia (SDM) memuat dua kandungan yaitu modal manusia dan modal sosial. Modal manusia adalah modal yang dapat digunakan untuk merancang atau memproduksi sesuatu. Modal sosial merupakan potensi dalam bentuk struktur sosial maupun hubungan sosial. Sumberdaya manusia merupakan faktor kunci dalam memenangi kompetisi di berbagai bidang usaha termasuk bidang peternakan. Kualitas produk/susu yang diharapkan dapat merebut pasar tidaklah tergantung pada produknya itu sendiri tetapi juga tergantung pada SDM-nya. SDM yang kreatif, inovatif, dan memiliki komitmen untuk maju serta selalu ingin menjadi yang terbaik sangat menentukan keberhasilan pengembangan peternakan sapi perah ke depan. Peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan (formal maupun nonformal) merupakan suatu hal yang mutlak untuk dilakukan. Tingkat pendidikan peternak yang rendah menyebabkan peternak hanya berproduksi untuk konsumen industri dan pedagang yang memiliki jalur langsung ke konsumen. Peningkatan SDM yang dilakukan akan menjadikan sasaran yang ingin dicapai dalam pengembangan peternakan sapi perah di Kecamatan Cisarua ini lebih mudah untuk diwujudkan. Pendidikan dan pelatihan yang telah diberikan kepada peternak hendaknya dievaluasi karena seringkali peternak kembali kepada kebiasaan yang lama selang beberapa bulan setelah diberi pelatihan. Begitu pula bagi peternak yang telah mampu menerapkan hasil pelatihan tingkat awal hendaknya terus dilanjutkan dengan pelatihan tingkat lanjut.
Hasil olah data secara AHP menunjukkan bobot untuk masing-masing strategi sebagaimana disajikan dalam Gambar 2. Berdasarkan bobot dari masing-masing strategi maka strategi yang dikehedaki para stakeholder sebagai skala prioritas untuk mencapai sasaran dalam pengembangan peternakan sapi perah rakyat di Kecamatan Cisarua adalah peningkatan kualitas dan kuantitas produk/susu (0,244), perluasan akses peternak terhadap permodalan (0,208) dan peningkatan kualitas SDM peternak (0,196).
60
LEMBAGA; 0,088 KRJSM; 0,091
PRODUK; 0,244
PASAR; 0,170 MODAL; 0,208 SDM_PET; 0,196
Gambar 2. Alternatif Strategi Pengembangan Peternakan Sapi Perah di Kecamatan Cisarua Program aksi yang perlu diimplementasikan untuk menjalankan masingmasing strategi tersebut adalah: 1. Peningkatan Kualitas dan Kuantitas Produk/Susu - Perbaikan kualitas bibit sapi perah - Penggunaan peralatan untuk penanganan susu yang sesuai persyaratan. - Perbaikan kualitas dan kuantitas pemberian pakan. - Penyediaan mobil pendingin yang memadai untuk transportasi susu. - Melakukan penanganan kebersihan/sanitasi kandang dengan baik.
2. Perluasan Akses Peternak Terhadap Permodalan - Meningkatkan sosialisasi tentang fasilitasi kredit bunga ringan yang diberikan pemerintah. - Meningkatkan peran KUD sebagai penyedia modal kerja bagi anggota.
3. Peningkatan Kualitas SDM Peternak - Membekali peternak dengan teknologi budidaya dan pasca panen. - Meningkatkan penyuluhan tentang pengembangan bisnis, manajemen keuangan dan perbankan.
61
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan Peternakan sapi perah rakyat di Cisarua merupakan peternakan yang memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) merupakan peternakan skala kecil; (2) produksi susu yang duhasilkan belum maksimal; (3) peternakan merupakan usaha pokok bagi peternak; (4) peternak telah memiliki kelembagaan kelompok; dan (5) hampir keseluruhan produk susu dijual kepada Industri Pengolah Susu (IPS). Secara ekologi dan sosio ekonomi, terdapat beberapa kondisi yang perlu diantisipasi agar usaha peternakan sapi perah rakyat di masa yang akan datang terjamin keberlanjutannya, yaitu : (1) daya dukung pakan alami di Kecamatan Cisarua sudah termasuk dalam kriteria sangat kritis, (2) limbah peternakan akan meningkatkan pencemaran air dan berpotensi untuk memicu konflik di masyarakat, (3) pemasaran susu di Cisarua hanya terkonsentrasi terhadap satu pasar yang mengakibatkan ketergantungan pasar. Sasaran yang perlu dicapai untuk mewujudkan pengembangan peternakan yang berkelanjutan di Cisarua adalah: (1) meningkatnya pendapatan peternak; (2) meningkatnya lapangan pekerjaan; (3) terwujudnya optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam; (4) meningkatnya perekonomian daerah; (5) meningkatnya taraf gizi masyarakat; (6) terciptanya peternakan yang zero waste; dan (7) mewujudkan sapi perah sebagai icon daerah. Strategi prioritas yang perlu dilakukan untuk mencapai sasaran yang tersebut adalah peningkatan kualitas dan kuantitas susu, perluasan akses peternak terhadap permodalan dan peningkatan kualitas SDM peternak. 6.2 Saran 1. Penelitian ini belum mengkaji kesesuaian dan potensi lahan secara mendetail sehingga kajian khusus mengenai potensi daya dukung lahan perlu dilakukan untuk mendapatkan nilai daya dukung yang lebih akurat. 2. Perlu dilakukan kajian terhadap perbandingan besaran nilai input yang dibutuhkan peternak untuk melaksanakan peternakan yang berkelanjutan dengan nilai output yang dihasilkan sehingga bisa diketahui tingkat efisiensi dan efektifitas usahanya.
62
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. Cetakan Ketiga. IPB Press. Bogor. Ashari, E. Juarini, Sumanto, B. Wibowo, Suratman dan K. Dwiyanto. 1996. Analisa Potensi Wilayah Penyebaran dan Pengembangan Peternakan I. Pengantar Pemahaman. Balai Penelitian Ternak Ciawi. Bogor. Basuni, S. 2003. Inovasi Institusi untuk Meningkatkan Kinerja Daerah Penyangga Kawasan Konservasi (Studi Kasus di Taman Nasional Gununggede Pangrango Jawa Barat. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. [Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2007. Budidaya Ternak Sapi Perah. Publisher: Proyek Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pedesaan, Bappenas. http://www.disnak.jabarprov.go.id/ index.php? mod=arsip&id MenuKiri=408&page=2&cari=&idContent=1 [21Januari 2011] Baqa, L. 2003. Peran wirakoperasi dalam pengembangan sistem agribisnis; kajian terhadap pengembangan agribisnis persusuan di Indonesia . Makalah pada seminar dwibulanan ISTECS Eropa di Pusat Studi Asia Tenggara Universitas Frankfurt. Jerman. Budinuryanto, D.C. 2010. Restrukturisasi Sistem Produksi Usaha Peternakan Sapi Perah Rakyat dalam Sistem Pembangunan Berkelanjutan (Kasus di Daerah Hulu Sungai Citarum). Seminar Nasional 2010 - Pembangunan Peternakan Berkelanjutan 2. Universitas Padjadjaran. Bandung. Daryanto, A. 2009. Dinamika Daya Saing Industri Peternakan. PT. Penerbit IPB Press, Bogor. Dasman, R.F., J.P. Milton dan P.H Freeman. 1977. Prinsip Ekologi untuk Pembangunan Ekonomi. Terjemahan. Penerbit PT. Gramedia. Jakarta. Dasuki, MA. 1983. Perspektif Perkembangan Peternakan Sapi Perah sebagai Landasan Kesepadanan Mengisi Kebutuhan Susu di Jawa Barat. Disertasi. Universitas Padjajaran. Bandung. [Deptan] Departemen Pertanian. 2009. The Dairy Industry in Indonesia. Makalah disampaikan pada Workshop on Productivity Improvements Tools for Agribusiness SMEs: Managing Food Safety in The Dairy Industry, Yogyakarta tanggal 10-14 Agustus 2009. [Disnakkan] Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor. 2009. Buku Data Peternakan Tahun 2009. Bogor. [Distanhut] Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor. 2009. Monografi Pertanian dan Kehutanan Tahun 2009. Bogor. [Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan Deptan RI. 2009. Statistik Peternakan 2009. Jakarta. 63
Eriyanto dan F. Sofyar. 2007. Riset Kebijakan, Metode Penelitian untuk Pascasarjana. IPB Press. Bogor Glueck, W.F dan L.R Jauch. 1994. Manajemen Strategis dan Kebijakan Perusahaan. Erlangga. Jakarta. Hendra, P. 2010. Potensi Pengembangan Sapi Potong di Kabupaten Sijunjung Propinsi Sumatera Barat (Tesis). Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Israel, A. 1990. Pengembangan Kelembagaan; Pengalaman Proyek-Proyek Bank Dunia. Jakarta. LP3ES. [Kementan] Kementerian Pertanian. 2010. Peraturan Menteri Pertanian No.18/Permentan.OT.140/2/2010 tentang Blue Print Peningkatan Nilai Tambah dan Daya Saing Produk Pertanian dengan Pemberian Insentif bagi Tumbuhnya Industri Pedesaan. Kementrian Pertanian Jakarta. [KLH] Kementrian Lingkungan Hidup. 2001. Harmonisasi Tata Ruang Sumberdaya Alam dan Penggunaan Lahan. Kementrian Lingkungan Hidup RI. Jakarta. Krisnamurthi, B dan L. Fausia. 2003. Langkah Sukses Memulai Agribisnis. Seri Agriawawasan. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta. Mahida, U.N. 1992. Pencemaran Air dan Pemanfaatan Limbah Industri. Rajawali Press. Jakarta. Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi; Pengambilan Keputusan Grasindo. Jakarta.
Kriteria Majemuk.
Mitchell, B., B. Setiawan dan D.H Rahmi. 2000. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Cetakan Pertama. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Muladno. 2010. Kualitas dan Kuantitas Ternak Lokal Tergerus. Majalah Trobos. Edisi Desember 2010 Munasinghe, M. 1993. Environmental economic and sustainable development. The International bank for recronstruction and development. World Bank. Washington. Nickols,
F. 2000. Strategy is A Lot of nickols/strategy_is.htm [28 Januari 2011]
Things.
http://home.att.net/-
Pambudy, R.,T. Sipayung, W.B Priatna, Burhanuddin, A. Kriswantriyono dan A. Satria. 2000. Bisnis dan Kewirausahaan dalam Sistem Agribisnis. Pustaka Wira Usaha. Bogor. Putri, N.H.T.S. 2004. Pengembangan peternakan melalui sistem pertanian campuran yang ramah lingkungan. Makalah Seminar Nasional Pengembangan Peternakan Berwawasan Lingkungan. Fakultas Peternakan IPB. Bogor.
64
Priyanti, A dan R.A. Saptati. 2008. Dampak Harga Susu Dunia Terhadap Harga Susu Dalam Negeri Tingkat Peternak. Seminar Nasional: Dinamika Pembangunan Pertanian dan Perdesaan 19 Nopember 2008. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Rangkuti, F. 2002. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Ridwan, W.A. 2006. Model Agribisnis Peternakan Sapi Perah Berkelanjutan pada Kawasan Pariwisata di Kabupaten Bogor (Disertasi). Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Saaty, T.L. 1993. Pengambilan keputusan bagi para pemimpin. Proses hirarki analitik untuk pengambilan keputusan dalam situasi kompleks. (Terjemahan) Seri Manajemen No. 134. PT Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta. Sanusi, A. 2003. Metodologi Penelitian Praktis. Penerbit Buntara Media. Malang. Soemarwoto, O. 2001. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Penerbit Djambatan. Jakarta. Sofyan, D dan R. Pambudy. 2003. Peduli Peternakan Rakyat. Penerbit Yayasan Agrindo Mandiri. Jakarta. Sudono, A., Fina dan Budi. 2003. Beternak Sapi Perah Secara Intensif. Penerbit Agromedia Pustaka. Depok. Sudradjat, S. 2000. Potensi dan prospek bahan pakan lokal dalam mengembangkan industri peternakan di Indonesia. Buletin Peternakan Edisi Tambahan :1115 Suhartini, S.H. 2001. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Keragaan Industri Persusuan Indonesia (Tesis). Program Pascasarjana IPB. Bogor. Sumanto dan E. Juarini. 2006. Pedoman Identifikasi Potensi Wilayah. Balai Penelitian Ternak Ciawi. Bogor. Sumartini, M.N. 2010. Kajian Kelayakan dan Strategi Pengembangan Klaster Peternak Sapi Perah di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor (Tesis). Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Suratmo, F.G. 2009. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Cet. Keduabelas. Gadjah Mada Univesity Press. Yogyakarta. Syamsu, J.A. 2006. Analisis Potensi Limbah Tanaman Pangan Sebagai Sumber Pakan Ternak Ruminansia di Sulawesi Selatan (Disertasi). Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.
65
Talib, C.,I. Inounu, A. Bamualim. 2007. Restrukturisasi Peternak di Indonesia, Analisis Kebijakan Pertanian Volume 5 Nomor 1 Maret 2007. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Deptan. ISSN: 1693-2021. Akreditasi Nomor: 45//Akred-LIPI/P2MBI/9/2006. 1-14.11 Tillman, D.A,, H, Hartad., S. Reksohadiprojo., S. Praminokusumo dan S. Lebdosoekojo. 1984. Ilmu Makanan Ternak Dasar 2. Universitas Gajah Mada Press. Yogyakarta. Uphoff, N. 1986. Local Instutional Development; An Alatical Sourcebook. West Hartford. Kumarian Press. Wahyudi, A.S. 1996. Manajemen Strategik: Pengantar Proses Berpikir Strategik. Binarupa Aksara. Jakarta. Walpole, R.E. 1995. Pengantar Statistik. Edisi ke-3. (Penterjemah): Sumantri,B. PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
66
LAMPIRAN
67
Lampiran 1. Peta Peruntukan Ruang Kecamatan Cisarua
68
Lampiran 2. Kuesioner untuk Responden Peternak
No. Kuesioner Hari/ Tanggal Lokasi Strata
: …………………………………………………………… : …………………………………………………………… : .................................................................................... : ....................................................................................
Mohon kesediaan Bapak/ Ibu untuk mengisi kuesioner penelitian ini. Semua data dan informasi yang diberikan akan saya pergunakan sebagai bahan untuk menyusun tesis dan dijamin kerahasiaannya. Atas kesediaan Bapak/Ibu untuk mengisi kuesioner ini, saya ucapkan terima kasih. Kuisioner ini dibuat dalam rangka mendapatkan informasi mengenai kondisi peternakan sapi perah yang akan digunakan untuk menentukan Strategi Pengembangan Peternakan di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor. A. IDENTITAS PETERNAK Nama
: ……………………….................
Umur
: ……………………………Tahun
Jenis Kelamin
: L / P (lingkari yang sesuai)
Pendidikan Terakhir
: ....................................................
Pengalaman Beternak
: ………….. Tahun
B. KONDISI TERNAK 1. Jumlah ternak sapi perah yang dipelihara Milik sendiri
: ................. ekor
Maparo/Bagi Hasil
: ................. ekor
2. Struktur populasi dari ternak yang dipelihara Pejantan
: ................. ekor
Induk
: ................. ekor
Sapi Jantan Muda
: ................. ekor
Dara
: ................. ekor
Pedet Jantan
: ................. ekor
Pedet Betina
: ................. ekor
3. Rata-rata produksi susu Induk Laktasi : ................. liter/ekor/hari 4. Perlakuan terhadap pedet betina yang lahir (lingkari jawaban yang Anda anggap sesuai): a. Dipelihara untuk dijadikan Induk b. Dijual pada saat lepas sapih c. Lainnya (sebutkan)..............................................................................
69
C. PERKANDANGAN 1. Kepemilikan Kandang (lingkari jawaban yang Anda anggap sesuai): a. Milik Sendiri b. Sewa (Rp.................................... per Tahun) 2. Daya Tampung Kandang: .................... ekor induk 3. Jarak kandang dari rumah: a. 0 m (satu atap dengan rumah) b. 1-10 m c. >10 m 4. Frekuensi Pembersihan Kandang: a. 1 kali sehari b. 2 kali sehari c. 3 kali sehari 5. Apakah kandang yang Anda gunakan sudah dilengkapi instalasi BIOGAS? (lingkari jawaban yang Anda anggap sesuai) a. Sudah (kapasitas........... M3) b. Belum
D. KEBUTUHAN AIR DAN PAKAN 1. Darimana Anda memperoleh air untuk keperluan minum ternak? (lingkari jawaban yang Anda anggap sesuai): a. Air Sumur/ Mata Air b. Air sungai/parit 2. Darimana Anda memperoleh air untuk keperluan kebersihan kandang? (lingkari jawaban yang Anda anggap sesuai): a. Air Sumur/ Mata Air b. Air sungai/parit 3. Apakah sumber air yang ada sudah mencukupi? (lingkari jawaban yang Anda anggap sesuai): a. Sudah b. Belum 4. Apakah ternak yang dipelihara diberi konsentrat? (lingkari jawaban yang Anda anggap sesuai): a. Ya (................. kg/ekor/hari) b. Tidak
70
5. Berapa jumlah HMT yang diberikan kepada ternak setiap hari? ………kg/ekor 6. Apa saja jenis HMT yang Anda berikan kepada ternak? Sebutkan! a. ......................................... b. .......................................... c. .......................................... 7. Apakah Anda memiliki Kebun HMT? (lingkari jawaban yang Anda anggap sesuai): a. Ya (................. ha) b. Tidak Jika Anda tidak memiliki kebun HMT sendiri, darimana Anda memperoleh HMT untuk ternak? (lingkari jawaban yang Anda anggap sesuai): a. Mencari dan mengarit sendiri b. Membeli (Rp.........................../kg) 8. Apakah sumber HMT yang ada sudah mencukupi bagi ternak yang dipelihara? (lingkari jawaban yang Anda anggap sesuai): a. Sudah b. Belum Jika sumber HMT belum mencukupi, apakah Anda menggunakan hijauan alternatif untuk kebutuhan ternak (seperti limbah pertanian, limbah pasar)? a. Ya b. Tidak
E. PENANGANAN LIMBAH DAN PENYAKIT 1. Apa yang Anda lakukan terhadap Limbah Padat yang dihasilkan ternak? a. Langsung dibuang ke sungai/saluran air b. Langsung dibuang ke Kebun c. Diolah menjadi kompos/pupuk organik d. Dijadikan bahan baku biogas 2. Apa yang Anda lakukan jika ternak sapi terserang penyakit? a. Tidak diobati b. Ditangani sendiri c. Memanggil mantri hewan
71
3.
SOSIO EKONOMI 1. Alasan Anda beternak sapi perah : a. Sebagai Usaha Pokok b. Sebagai Usaha Sampingan c. Sebagai Hobi 2. Jumlah tanggungan dalam keluarga: .................orang 3. Jumlah anggota keluarga yang terlibat dalam usaha ternak: ........... orang 4. Apakah Anda juga membuat produk olahan dari bahan baku susu? a. Ya b. Tidak 5. Berapa pendapatan Anda dari usaha ternak sapi perah setiap bulan (lingkari jawaban yang Anda anggap sesuai): a.
Rp 2.000.000 6. Apakah anda memiliki pekerjaan lain selain dari beternak sapi perah? a. Ya. Sebutkan .............................. b. Tidak 7. Berapa pendapatan yang Anda peroleh di luar usaha ternak sapi perah (lingkari jawaban yang Anda anggap sesuai): a. Rp 2.000.000
72
Lampiran 3. Kuesioner untuk Responden Pakar Judul Penelitian : Strategi Pengembangan Ternak Sapi Perah Rakyat di Kecamatan Cisarua, Bogor Tujuan
: Untuk mengumpulkan data primer guna menyusun alternatif strategi pengembangan peternakan sapi perah rakyat di Kecamatan Cisarua
Hierarki
:
Metode Analitical Hierarchy Process (AHP) adalah sebuah kerangka untuk mengambil keputusan dengan efektif atas persoalan yang kompleks dengan menyederhanakan dan mempercepat proses pengambilan keputusan dengan memecahkan persoalan tersebut kedalam bagian-bagiannya, menata bagian atau variabel ini dalam suatu susunan hirarki, memberi nilai numerik pada pertimbangan subjektif tentang pentingnya tiap variabel dan mensintesis berbagai pertimbangan ini untuk menetapkan variabel yang mana yang memiliki prioritas paling tinggi dan bertindak untuk mempengaruhi hasil pada situasi tersebut. Pendekatan AHP menggunakan metode skala Saaty mulai dari 1 sampai 9. Berikan penilaian dalam bentuk angka dalam kolom yang telah disediakan pada setiap pertanyaan dengan menggunakan dasar penilaian sebagai berikut : Tingkat Definisi Kepentingan 1 Kedua elemen pentingnya 3
5
7
9
2,4,6,8
Penjelasan
sama Dua elemen mempunyai pengaruh yang sama besar terhadap tujuan Elemen yang satu sedikit Pengalaman dan penilaian sedikit lebih penting daripada mendukung satu elemen elemen lainnya dibanding elemen yang lainnya Elemen yang satu lebih Pengalaman dan penilaian sangat penting daripada elemen kuat mendukung satu elemen lainnya dibanding elemen lainnya Satu elemen jelas lebih Satu elemen dengan kuat penting daripada elemen didukung dan dominan terlihat yang lainnya dalam praktek Satu elemen mutlak lebih Bukti yang mendukung elemen penting daripada elemen satu terhadap elemen yang lain lainnya memiliki tingkat penegasan yang mungkin menguatkan Nilai-nilai antar dua nilai Nilai ini diberikan bila ada pertimbangan yang kompromi diantara dua pilihan berdekatan
73
Kajian ini disusun berdasarkan metode Analisys Hierarchi Process (AHP) yang dibagi atas level I sampai dengan IV, sebagai berikut : Level I
: Tujuan/Goal Strategi Pengembangan Kecamatan Cisarua
Level II
Peternakan
Sapi
Perah
Rakyat
di
: Kriteria/Aspek Merupakan tujuan yang ingin dicapai dalam model, yang terdiri dari : 1. Aspek Ekologi 2. Aspek Sosial 3. Aspek Ekonomi
Level III : Subkriteria / Sasaran Merupakan sasaran yang ingin dicapai dalam model ini : 1. Terciptanya peternakan yang zero waste 2. Terwujudnya optimalisasi pemanfaatan SDA 3. Meningkatnya lapangan pekerjaan 4. Meningkatkan gizi keluarga 5. Menjadikan sapi perah sebagai icon daerah 6. Meningkatnya pendapatan peternak 7. Meningkatnya perekonomian daerah Level IV : Alternatif Merupakan alternatif strategi dalam rangka peternakan sapi perah di Kecamatan Cisarua : 1. 2. 3. 4. 5. 6.
pengembangan
Peningkatan kapasitas kelembagaan Perluasan akses peternak terhadap permodalan Peningkatan kerjasama dalam akses pemanfaatan lahan Perluasan target pasar Peningkatan kuantitas dan kualitas produk/susu Peningkatan kualitas SDM Peternak
74
Secara sederhana uraian di atas dapat digambarkan dalam struktur hirarki sebagai berikut :
Keterangan : Ekologi Sosial Ekonomi 0-Waste Optima Lap-Ker Gizi-Masy Icon-Da Pen-Pet Ekon-Da Lembaga Modal Krjsm Pasar Produk SDM-Pet
: : : : : : : : : : : : : : : :
Aspek Ekologi Aspek Sosial Aspek Ekonomi Terciptanya peternakan yang zero waste Terwujudnya optimalisasi pemanfaatan SDA Meningkatnya lapangan pekerjaan Meningkatnya taraf gizi masyarakat Mewujudkan sapi perah sebagai icon daerah Meningkatnya pendapatan peternak Meningkatnya perekonomian daerah Peningkatan kapasitas kelembagaan Perluasan akses peternak terhadap permodalan Peningkatan kerjasama dalam akses pemanfaatan lahan Perluasan target pasar Peningkatan kuantitas dan kualitas produk/susu Peningkatan kualitas SDM Peternak
75
Nomor Responden Nama Responden Jabatan Instansi Pendidikan Umur Alamat/Tlp/HP
: : : : : : :
PERTANYAAN KUISIONER : I.
Penilaian level 2 (Aspek) terhadap level 1 (Fokus) 1. Dalam strategi pengembangan ternak sapi perah rakyat di Kec. Cisarua, terdapat 3 (empat) aspek penting yang mempengaruhi keberhasilannya, yaitu : a. Aspek Ekologi (Ekologi) b. Aspek Sosial (Sosial) c. Aspek Ekonomil (Ekonomi)
Bandingkanlah besarnya tingkat kepentingan diantara aspek (level 2) tersebut sehingga dapat mempengaruhi keberhasilan pengembangan ternak sapi perah rakyat di Kec. Cisarua NO. A 9 8 7 6 5 4 1 Ekologi 2 Ekologi 3 Sosial
3
2
1 2 3 4 5 6 7
8
9
B Sosial Ekonomi Ekonomi
II. Penilaian level 3 (kriteria) terhadap level 2 (aspek) a. Untuk mencapai keberlanjutan ekologi dalam pengembangan peternakan sapi perah rakyat di Kec. Cisarua, terdapat beberapa sasaran yang hendak dicapai, yaitu : 1. Terciptanya peternakan yang zero waste (0-waste) 2. Terwujudnya optimalisasi pemanfaatan SDA (Optima) Bandingkanlah besarnya tingkat kepentingan diantara sasaran tersebut mencapai keberlanjutan ekologi dalam pengembangan peternakan sapi perah di Kec. Cisarua. NO. 1
A 0-Waste
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
B Optima
b. Untuk mencapai tujuan keberlanjutan Sosial dalam pengembangan peternakan sapi perah rakyat di Kec. Cisarua, terdapat beberapa sasaran yang hendak dicapai, yaitu : 1. Meningkatnya lapangan pekerjaan (Lap-Ker) 2. Meningkatnya status gizi masyarakat (Gizi-Mas) 3. Menjadikan sapi perah sebagai icon daerah (Icon-Da) Bandingkanlah besarnya tingkat kepentingan diantara sasaran tersebut untuk mencapai keberlanjutan Sosial dalam pengembangan peternakan sapi perah rakyat di Kec. Cisarua
76
NO. 1 2. 3.
A Lap-Ker Lap-Ker Gizi-Mas
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
B Gizi-Mas Icon-Da Icon-Da
c. Untuk mencapai tujuan keberlanjutan ekonomi dalam pengembangan peternakan sapi perah di Kec. Cisarua, terdapat beberapa sasaran yang hendak dicapai, yaitu : 1. Meningkatnya pendapatan peternak (Pend-Pet) 2. Meningkatnya perekonomian daerah (Ekon-Da) Bandingkanlah besarnya tingkat kepentingan diantara untuk mencapai keberlanjutan ekonomi dalam peternakan sapi perah rakyat di Kec. Cisarua NO. 1
A Pend-Pet
sasaran tersebut pengembangan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
B Ekon-Da
III. Penilaian level 4 (alternative strategi) terhadap level 3 (sasaran) a. Untuk mencapai sasaran terciptanya peternakan yang zero waste dalam pengembangan peternakan sapi perah rakyat di Kec. Cisarua, terdapat beberapa alternatif strategi yang harus diprioritaskan, yaitu : 1. Peningkatan kapasitas kelembagaan (Lembaga) 2. Perluasan akses peternak terhadap permodalan (Modal) 3. Peningkatan kerjasama dalam akses pemanfaatan lahan (Krjsm) 4. Perluasan target pasar (Pasar) 5. Peningkatan kuantitas dan kualitas produk/susu (Produk) 6. Peningkatan kualitas SDM Peternak (SDM-Pet) Bandingkanlah besarnya tingkat kepentingan diantara alternatif strategi tersebut mencapai sasaran tercipytanya peternakan yang zero waste dalam pengembangan peternakan sapi perah rakyat di Kec. Cisarua. NO. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
A 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Lembaga Lembaga Lembaga Lembaga Lembaga Modal Modal Modal Modal Krjsm Krjsm Krjsm Pasar Pasar Produk
B Modal Krjsm Pasar Produk SDM-Pet Krjsm Pasar Produk SDM-Pet Pasar Produk SDM-Pet Produk SDM-Pet SDM-Pet
77
b. Untuk mencapai sasaran terwujudnya optimalisasi pemanfaatan SDA dalam pengembangan peternakan sapi perah rakyat di Kec. Cisarua, terdapat beberapa alternatif strategi yang harus diprioritaskan, yaitu : 1. Peningkatan kapasitas kelembagaan (Lembaga) 2. Perluasan akses peternak terhadap permodalan (Modal) 3. Peningkatan kerjasama dalam akses pemanfaatan lahan (Krjsm) 4. Perluasan target pasar (Pasar) 5. Peningkatan kuantitas dan kualitas produk/susu (Produk) 6. Peningkatan kualitas SDM Peternak (SDM-Pet) Bandingkanlah besarnya tingkat kepentingan diantara alternatif strategi tersebut mencapai sasaran terwujudnya optimalisasi pemanfaatan SDA dalam pengembangan peternakan sapi perah rakyat di Kec. Cisarua. NO. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
A 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Lembaga Lembaga Lembaga Lembaga Lembaga Modal Modal Modal Modal Krjsm Krjsm Krjsm Pasar Pasar Produk
B Modal Krjsm Pasar Produk SDM-Pet Krjsm Pasar Produk SDM-Pet Pasar Produk SDM-Pet Produk SDM-Pet SDM-Pet
c. Untuk mencapai sasaran meningkatnya lapangan pekerjaan dalam pengembangan peternakan sapi perah rakyat di Kec. Cisarua, terdapat beberapa alternatif strategi yang harus diprioritaskan, yaitu : 1. Peningkatan kapasitas kelembagaan (Lembaga) 2. Perluasan akses peternak terhadap permodalan (Modal) 3. Peningkatan kerjasama dalam akses pemanfaatan lahan (Krjsm) 4. Perluasan target pasar (Pasar) 5. Peningkatan kuantitas dan kualitas produk/susu (Produk) 6. Peningkatan kualitas SDM Peternak (SDM-Pet) Bandingkanlah besarnya tingkat kepentingan diantara alternatif strategi tersebut mencapai sasaran meningkatnya lapangan pekerjaan dalam pengembangan peternakan sapi perah rakyat di Kec. Cisarua. NO. 1 2 3 4 5 6
A 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Lembaga Lembaga Lembaga Lembaga Lembaga Modal
B Modal Krjsm Pasar Produk SDM-Pet Krjsm
78
NO. 7 8 9 10 11 12 13 14 15
A Modal Modal Modal Krjsm Krjsm Krjsm Pasar Pasar Produk
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
B Pasar Produk SDM-Pet Pasar Produk SDM-Pet Produk SDM-Pet SDM-Pet
d. Untuk mencapai sasaran meningkatnya taraf gizi masyarakat dalam pengembangan peternakan sapi perah rakyat di Kec. Cisarua, terdapat beberapa alternatif strategi yang harus diprioritaskan, yaitu : 1. Peningkatan kapasitas kelembagaan (Lembaga) 2. Perluasan akses peternak terhadap permodalan (Modal) 3. Peningkatan kerjasama dalam akses pemanfaatan lahan (Krjsm) 4. Perluasan target pasar (Pasar) 5. Peningkatan kuantitas dan kualitas produk/susu (Produk) 6. Peningkatan kualitas SDM Peternak (SDM-Pet) Bandingkanlah besarnya tingkat kepentingan diantara alternatif strategi tersebut mencapai sasaran meningkatnya taraf gizi masyarakat dalam pengembangan peternakan sapi perah rakyat di Kec. Cisarua. NO. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
A 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Lembaga Lembaga Lembaga Lembaga Lembaga Modal Modal Modal Modal Krjsm Krjsm Krjsm Pasar Pasar Produk
B Modal Krjsm Pasar Produk SDM-Pet Krjsm Pasar Produk SDM-Pet Pasar Produk SDM-Pet Produk SDM-Pet SDM-Pet
e. Untuk mencapai sasaran menjadikan sapi perah sebagai icon daerah dalam pengembangan peternakan sapi perah rakyat di Kec. Cisarua, terdapat beberapa alternatif strategi yang harus diprioritaskan, yaitu : 1. Peningkatan kapasitas kelembagaan (Lembaga) 2. Perluasan akses peternak terhadap permodalan (Modal) 3. Peningkatan kerjasama dalam akses pemanfaatan lahan (Krjsm) 4. Perluasan target pasar (Pasar) 5. Peningkatan kuantitas dan kualitas produk/susu (Produk) 6. Peningkatan kualitas SDM Peternak (SDM-Pet)
79
Bandingkanlah besarnya tingkat kepentingan diantara alternatif strategi tersebut mencapai sasaran menjadikan sapi perah sebagai icon daerah dalam pengembangan peternakan sapi perah rakyat di Kec. Cisarua. NO. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
f.
A 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Lembaga Lembaga Lembaga Lembaga Lembaga Modal Modal Modal Modal Krjsm Krjsm Krjsm Pasar Pasar Produk
B Modal Krjsm Pasar Produk SDM-Pet Krjsm Pasar Produk SDM-Pet Pasar Produk SDM-Pet Produk SDM-Pet SDM-Pet
Untuk mencapai sasaran meningkatnya pendapatan peternak dalam pengembangan peternakan sapi perah rakyat di Kec. Cisarua, terdapat beberapa alternatif strategi yang harus diprioritaskan, yaitu : 1. Peningkatan kapasitas kelembagaan (Lembaga) 2. Perluasan akses peternak terhadap permodalan (Modal) 3. Peningkatan kerjasama dalam akses pemanfaatan lahan (Krjsm) 4. Perluasan target pasar (Pasar) 5. Peningkatan kuantitas dan kualitas produk/susu (Produk) 6. Peningkatan kualitas SDM Peternak (SDM-Pet)
Bandingkanlah besarnya tingkat kepentingan diantara alternatif strategi tersebut mencapai sasaran meningkatnya pendapatan peternak dalam pengembangan peternakan sapi perah rakyat di Kec. Cisarua. NO. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
A 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Lembaga Lembaga Lembaga Lembaga Lembaga Modal Modal Modal Modal Krjsm Krjsm Krjsm Pasar Pasar Produk
B Modal Krjsm Pasar Produk SDM-Pet Krjsm Pasar Produk SDM-Pet Pasar Produk SDM-Pet Produk SDM-Pet SDM-Pet
80
g. Untuk mencapai sasaran meningkatnya perekonomian daerah dalam pengembangan peternakan sapi perah rakyat di Kec. Cisarua, terdapat beberapa alternatif strategi yang harus diprioritaskan, yaitu : 1. Peningkatan kapasitas kelembagaan (Lembaga) 2. Perluasan akses peternak terhadap permodalan (Modal) 3. Peningkatan kerjasama dalam akses pemanfaatan lahan (Krjsm) 4. Perluasan target pasar (Pasar) 5. Peningkatan kuantitas dan kualitas produk/susu (Produk) 6. Peningkatan kualitas SDM Peternak (SDM-Pet) Bandingkanlah besarnya tingkat kepentingan diantara alternatif strategi tersebut mencapai sasaran meningkatnya perekonomian daerah dalam pengembangan peternakan sapi perah rakyat di Kec. Cisarua. NO. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
A 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Lembaga Lembaga Lembaga Lembaga Lembaga Modal Modal Modal Modal Krjsm Krjsm Krjsm Pasar Pasar Produk
B Modal Krjsm Pasar Produk SDM-Pet Krjsm Pasar Produk SDM-Pet Pasar Produk SDM-Pet Produk SDM-Pet SDM-Pet
………, …………………2011 Responden
………………………
81