1
STRATEGI PEMBERDAYAAN SDM APARATUR MELALUI PENDEKATAN LEARNING
ORGANIZATION
(Studi Kasus Pada Kanwil Propinsi Banten) Bambang Rantam Sariwanto 1.1. Pokok Permasalahan Sebagaimana diketahui pemberdayaan SDM aparatur mempunyai peran yang sangat penting mengingat tugas-tugas pemerintah yang makin kompleks dimasa mendatang. Tentu saja SDM yang tidak memiliki keterampilan, pengetahuan, berkinerja lemah dan tidak profesional akan menjadi beban bagi pemerintah. Di sisi lain, SDM yang berpotensipun perlu diberdayakan untuk memperoleh hasil-hasil yang optimal. Salah satu konsep pendekatan yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas SDM aparatur adalah melalui organisasi pembelajar. Dalam proses menuju organisasi pembelajar tersebut, terdapat pemberdayaan pegawai yang diperlukan untuk menantang status quo, mendesain
dan
mengimplementasikan
perubahan.
Pemberdayaan
mengandung makna menghilangkan batasan birokatis yang mengkotakkotakan orang, yakni untuk membangkitkan sense of belonging terhadap tugas dan tanggung jawabnya, sehingga tercipta kinerja dan produktivitas yang tinggi.
2 Dengan demikian anggota organisasi akan sadar apa yang mesti diperbarui dan menguasai cara yang tepat untuk melakukan pembaruan lersebut. Di sisi lain, anggota organisasi akan memiliki keterampilan dan kemampuan baru, kesadaran dan kepekaan baru serta sikap dan keyakinan yang baru. Dalam penelitian ini pembahasan dibatasi pada penerapan prinsipprinsip disiplin
kelima Peter
Senge dalam
mewujudkan organisasi
pembelajar untuk melihat proses belajar individu dalam mengembangkan kemampuan dan kemauan belajar dan seberapa jauh anggota organisasi menginginkan organisasi berubah menjadi organisasi pembelajar serta bagaimana transformasi itu dilakukan. Hal ini penting mengingat dalam organisasi pembelajar, terjadinya proses pembelajaran sangat tergantung pada individu-individu yang berada dalam organisasi, karena mereka adalah pelaku pembelajaran organisasi. Seperti yang dikatakan Senge (1990:7) bahwa organisasi yang belajar hanyalah melalui individu-individu yang belajar. Memang
pembelajaran individu tidak menjamin terjadinya
pembelajaran organisasi, tetapi tanpa pembelajaran individu tidak akan terjadi pembelajaran organisasi. Hal ini disepakati oleh Argyris dan Schon seperti dikutip oleh Marquardt dan Reynolds (1994:26) yang mengatakan bahwa pembelajaran individu merupakan syarat yang diperlukan kendatipun belum mencukupi bagi terwujudnya pembelajaran organisasi.
3 Atas dasar uraian di atas maka dirumuskan masalah utama yang menjadi pertanyaan penelitian yaitu : 1.
Bagaimana karakteristik organisasi pembelajar ?.
2.
Faktor-faktor apakah yang menjadi penghambat terselenggaranya organisasi pembelajar pada Kanwil Depkum HAM Propinsi Banten dilihat dari korelasi antar disiplin belajar ?.
3.
Sejauhmana pengembangan strategi organisasi pembelajar yang diterapkan oleh Kanwil Depkum HAM Propinsi Banten dalam meningkatkan kemampuan sumber daya manusianya ?.
1.2. Tujuan Penelitian Dihubungkan dengan perumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1.
Menjelaskan karakteristik organisasi pembelajar.
2.
Mendeskripsikan hambatan-hambatan terselenggaranya organisasi pembelajar pada Kanwil Depkum HAM Propinsi Banten dilihat dari korelasi antar disiplin belajar.
3.
Mengungkapkan penerapan strategi organisasi pembelajar di Kanwil Depkum HAM Propinsi Banten dalam meningkatkan kemampuan sumber daya manusianya.
4
1.3. Signifikansi Penelitian Organisasi pembelajar merupakan konsep baru yang terus dikaji dan dikembangkan oleh para pakar ilmu administrasi. Oleh karena itu, manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Secara Praktis 1. Memberikan masukan pada pimpinan Kanwil Depkum HAM Propinsi Banten dalam rangka meningkatkan kemampuan sumber daya manusianya
melalui
strategi
organisasi
pembelajar
di
masa
mendatang. 2. Memberikan sumbangan bahan pemikiran, khususnya pimpinan Kanwil Depkum HAM Propinsi lainnya pada umumnya dalam memberdayakan sumber daya manusianya.
b. Secara Teoritis 1. Memberi sumbangan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, khususnya pengembangan sumber daya manusia. Hal ini penting mengingat besarnya kebutuhan SDM yang berkualitas pada era otonomi daerah dan pasar bebas.
5 2. Dapat digunakan sebagai referensi bagi penelitian lebih lanjut di bidang pengembangan SDM dan organisasi pembelajar. Khususnya penelitian yang lebih mendalam mengenai disiplin belajar guna meningkatkan kualitas SDM dan kapasitas organisasi secara berkelanjutan. 1.4. Keterbatasan Penelitian Dalam penelitian ilmiah tidak satupun metodologi yang dianggap lebih baik dari metodologi lainnya, yang lebih penting adalah apakah metodologi yang digunakan itu tepat (valid) dan handal (realibel) untuk digunakan dalam menjawab pertanyaan atau permasalahan penelitian. Oleh karena itu, analisis terhadap data yang terkumpul selain menggunakan pendekatan kuantitatif, juga diberikan analisis deskriptif yang akan dikaitkan pula dengan temuan dari penelitian lain yang sejenis. Penelitian ini memusatkan perhatian pada media disiplin belajar, sebagai konsep organisasi pembelajar Senge (1990: 5-11), yang terdiri dari keahlian pribadi (personal mastery), model mental (mental models), visi bersama (shared vision), pembelajaran tim (team learning) dan berpikir sistem (system thinking). Di sisi lain keterbatasan waktu dan biaya yang tersedia, walaupun dianggap sebagai alasan klasik merupakan hambatan yang tak dapat dihindari dalam penelitian ini.
6
7
BAB I I KERANGKA TEORI Perubahan Lingkungan Organisasi Publik Perubahan lingkungan organisasi bukan hanya perlu diantisipasi secara institutional (kelembagaan), namun perlu diantisipasi secara lokal (pemerintah daerah) maupun individual (masyarakat perorangan), karena masalah dunia semakin terfokus pada apa yang disebut Ohmae (1995) dalam Kristiadi (1998 : 3-4) sebagai 5C yang strategik, yaitu Customer,
Company, Competition, Currency dan Country. Disisi lain, adanya percepatan globalisasi yang didorong oleh four "in", yaitu investment,
individual consuments, industry dan information semakin menembus dan menjadikan batas-batas negara bangsa semakin kabur (bordeless nation). Menghadapi perubahan tersebut, maka peranan pemerintah memiliki relevansi yang tinggi, apalagi bila dikaitkan dengan tantangan strategis pembangunan
nasional
yang
semakin
kompleks
dan
tuntutan
atas
terselenggaranya pemerintahan yang baik (good governance). Dengan mengemukannya issue pengelolaan administrasi publik dan gencarnya tuntutan masyarakat atas suatu pemerintahan yang baik, maka pemerintah harus
responsif
dan
mengubah
pola-pola
lama
penyelenggaraan
pemerintahan yang tidak lagi sesuai dengan perubahan lingkungan (Kristiadi, 1998:3). Dalam konteks pemberian pelayanan publik misalnya,
8 sistem sentralistik yang mempertahankan stabilitas yang telah dijalankan dalam kurun waklu yang lama terbukti tidak menimbulkan kepuasan dalam pemberian pelayanan publik, tidak memenuhi rasa keadilan, transparansi, dan akuntabilitas. Dihadapkan pada perubahan tuntutan tersebut, secara umum respon perkembangan sistem pemerintahan sangat lamban. Mengenai kelambanan tersebut, Osborne dan Plastrik (1997:15) memberikan deskripsi yang cukup tepat sebagai berikut: "Sistem pemerintahan yang birokratis dirancang untuk stabil. Tetapi kita telah mencapai sebuah titik dalam sejarah dimana stabilitas ini kontraproduktif. Dalam em informasi yang secara global penuh persaingan dan cepat berubah seperti sekarang, sistem - sistem yang tidak bisa berubah pasti menemui kegagalan. Sistem-sistem itu seperti dinosaurus, yang tidak bisa berkembang dengan cepat untuk mempertahankan kelangsungannya pada saat lingkungan mereka berubah.” Untuk mengantisipasi perubahan tersebut diperlukan langkahlangkah yang tepat sekaligus mampu memberdayakan organisasi. Langkahlangkah
tersebut
selalu
diawali
dengan
melakukan:
(1)
diagnosis
assessment, (2) organization redesign, (3) organization transformation dan (4) continuos improvement. Selanjutnya semua proses tersebut diarahkan pada dimensi-dimensi leadership, structure, process and
workforce (Tan,1995:25, dalam Huseini, 1996: 3).
9 Lebih lanjut Nisjar (1995) sebagaimana dikutip oleh Sedarmayanti (1999 : 80), menyatakan bahwa pemberdayaan organisasi dapat dilakukan melalui
pendelegasian
wewenang
(pemberian
wewenang),
sehingga
diharapkan organisasi lebih fleksibel, efektif, inovatif, kreatif, etos kerja tinggi, yang pada akhirnya produktivitas organisasi menjadi meningkat. Adapun proses pemberdayaan menurut Florus (1998:2) dimulai dari kegiatan-kegiatan untuk penyadaran. Setelah itu pengenalan masalah dan pengorganisasian untuk secara kolektif melakukan kegiatan guna mengubah kondisi agar menjadi lebih baik. Proses pemberdayaan juga membebaskan perasaan inferior, pengakuan terhadap martabat, kekuatan, pengetahuan dan intelegensia, serta keahlian (skill),
sehingga dapat memiliki
kemandirian. Sedangkan Ginanjar (1996) dan Paul (996) sebagaimana dikutif oleh Sedarmayanti (1999;78), menyatakan bahwa pemberdayaan berarti pembagian kekuasaan yang adsdil (equitable sharing power), sehingga meningkatkan kesadaran politis dan kekuasaan kelompok yang lemah serta memperbesar pengaruh mereka terhadap proses dan nilai-nilai pembangunan secara berkelanjutan. Upaya pemberdayaan tersebut terus dikembangkan sejalan dengan implementasi Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah atau yang lebih dikenal sebagai undang-undang otonomi daerah. Melalui desentralisasi berbagai dimensi fungsi dan kewenangan birokrasi
10 temyata
memang
menjadi
kebutuhan
riil
pembangunan
masa
kini
(Sudarsono, 1994 : 8). Untuk mendukung pelaksanaan konsep tersebut, pemerintah telah membuat aturan hukum daiam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) yang dianggap sebagai sebuah langkah yang cukup maju. Adapun PP yang dimaksud, yaitu PP Nomor 25 tahun 2000 lentang Kewenangan Pemerintah dan
Kewenangan
Pemerintah
Propinsi
Nomor
84
sebagai
tahun
daerah
2000
Otonom
tentang
dan
Pedoman
Peraturan Organisasi
Pemerintah Daerah yang memberikan kewenangan secara penuh kepada daerah untuk membentuk organisasi sesuai dengan kebutuhan daerah. Dengan menentukan sendiri apa yang dibutuhkan, maka pemerintah daerah dapat menggali sumber-sumber pemasukan yang produktif dan lebih berdaya guna dan memperluas unit-unit profit centers serta meminimalkan unit-unit cost centers. Sejalan dengan proses tersebut, maka
SDM
aparatur
perlu
ditingkatkan
kualitasnya,
agar
mampu
memfungsikan kekuatan-kekuatan mekanisme pasar di dalam upaya mengarahkan
(facilitating)
prakarsa-prakarsa
dan
gerak
perubahan
masyarakat (Osborne dan Gaebler, 1996: 20). Adanya reposisioning peran tersebut, diharapkan semua lembaga pemerintah termasuk pemerintah daerah dan unit-unit teknis dibawahnya berubah menjadi suatu organisme yang baru. Dalam hal ini, Sarundajang
11 (1999:198) menyebutkan, bahwa organisme baru tersebut setidaknya memenuhi sifat-sifat yaitu: struktur pemerintahan yang fleksibel (tujuan, peran, dan arah yang jelas), insentif untuk keberhasilan, mengutamakan kepuasan masyarakat, pendelegasian wewenang, pemberdayaan SDM aparatur, keterbukaan, kompetisi dalam organisasi, pemisahan fungsi pengarah (steering) dan pelaksana (rowing). Selain itu masuknya semangat atau jiwa wirausaha ke dalam pengelolaan adminsitrasi publik akan menjadi pengungkit munculnya kemandirian dan kemajuan organisasi publik ke arah yang lebih baik secara berkesinambungan. Dalam hal ini, Osborne dan Gaebler (1996:29-341) memberikan rumusan prinsip-prinsip wirausaha ke dalam sektor publik (how the entrepreneurial spirit is transforming the public sector), sebagai berikut: (1) Pemerintahan Katalis: mengarahkan ketimbang melaksanakan (Catalytic Government : Steering Rather than Rowing), (2) pemerintah milik masyarakat: memberi wewenang ketimbang melayani. (Community
Owned Government: Empowering Rather than Serving), (3) Pemerintah yang kompetitif : menyuntikan persaingan kedalam pemberian pelayanan (Competitive Government: Injecting Competition into Service Delivery), (4) Pemerintah yang digerakkan oleh misi : mengubah orientasi yang digerakan oleh peraturan (Mission Driven Government: Transforming Rule
Driven organizations), (5) pemerintah yang berorientasi hasil : membiayai,
12 hasil bukan masukan (Result Oriented Goevernment: Funding Outcomes,
Not Inputs), (6) Pemerintah berorientasi pelanggan: memenuhi kebutuhan pelanggan, bukan birokrasi (Customer Driven Governement: Meeting then
needs of the Customers. Not the Bureaucracy), (7) Pemerintah wirausaha: menghasilan ketimbang membelanjakan (Enterprising Government: earning
Rather than Spending), (8) Pemerintah antisipatif : mencegah daripada mengobati (Anticipatory Government: Prevention rather than Cure), (9) pemerintah Desentralisasi : dari hirarki ke partisipasi dan kerja tim (Decentralized Government: From Hierarchy to Participation and Team
Work) dan (10) pemerintah berorientasi pasar : mendongkrak perubahan melalui pasar (Market Oriented Government: Leveraging Change Tthrough
the Market). Dalam batas-batas tertentu, opsi indikatif yang disarankan oleh Osborne dan Gaebler (1996: 29-341) tentu telah diupayakan oleh aparatur pemerintah, yakni dengan terus menata manajemen birokrasi pemerintah menuju sistem pemerintahan modern. Ada berbagai istilah yang digunakan untuk menggambarkan transformasi ini, antara lain high performonce
organizations, quatity organization, learning organizations. Seringkali juga digunakan istilah entrepreneurial government, tetapi pada dasarnya istilah tersebut mengambarkan inti yang sama, yaitu meningkatnya kapasitas adaptasi dan inovasi organisasi untuk tetap survive (Sarundajang, l999:
13 194). Hal ini sejalan dengan Barker dalam bukunya paradigms yang dikutif Sarundajang (1999:212) menegaskan bahwa organisasi yang dapat ikut ambil bagian dalam persaingan penuh abad 2l, harus memiliki sikap: (1) antisipatif-proaktif, yaitu mempunyai ciri berorientasi kedepan dan tidak menunggu persoalan muncul lebih dahulu baru bereaksi, (2) inovatif, yakni sikal mental yang ingin menemukan atau menghasilkan sesuatu yang baru dan (3) exellence, yakni sikap mental yang selalu siap berkarya secara prima sebagai tuntutan agar organisasi mampu bersaing. Lebih lanjut Nirwandar (1998) dalam Sarundajang (1999:212) mengemukakan bahwa transformasi tersebut harus diarahkan untuk menciptakan organisasi yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : (1) kejelasan visi dan misi, (2) organisasi lebih flat, (3) organisasi lebih ramping dan tidak banyak pembidangan, (4) organisasi jejaring (network organization), (5) learning
organization, dan (6) banyak diisi oleh jabatan - jabatan professional. Sejalan
dengan
pergeseran
keunggulan
komparatif
menjadi
keunggulan kompetitif, maka organisasi pemerintah perlu dikelola secara professional dengan pendekatan-pendekatan manajemen modern yang lebih efisien, efektif dan ekonomis (Dale, 1986:61-64). Untuk itu, diperlukan perubahan pola pikir, pola kerja, nilai-nilai, sikap dan budaya kerja yang sesuai dengan model mental dan tuntutan organisasi masa depan (Dharma, 2001:30-33).
14 Dikaitkan
dengan
berkembangnya
organisasi
modern,
yakni
bertumbuhnya apa yang disebut organisasi virtual (virtual organization), yaitu jaringan kerja temporer dari perusahaan-perusahaan, pemasokpemasok, pelanggan-pelanggan, bahkan pesaing-pesaing yang sebenarnya bebas satu sama lain, tetapi disambungkan oleh teknologi informasi, sehingga masing-masing perusahaan atau kompetitor misalnya, secara terus menerus dapat saling berbagi keterampilan, biaya dan akses ke suatu pasar tertentu. Dalam konteks ini, tidaklah berlebihan bila strategi
learning dan learning organization juga dipertimbangkan oleh organisasi publik, khususnya dalam rangka mereformasi SDM aparatur (Sudarsono, 1998:13-14). Sumber
daya
manusia
yang
professional
secara
intelektual,
manajerial dan behavior niscaya dapat meningkatkan produktivitas dan kinerja birokrasi pemerintah. Hal ini membuktikan bahwa pemberdayaan SDM semakin penting untuk menghadapi perubahan lingkungan yang kini memasuki era inovasi. Dalam hal ini, Silalahi (1998: 53-56) menyebutkan bahwa pemberdayaan SDM aparatur seharusnya lebih dititikberatkan kepada pemberian tanggung jawab dan kemandirian daripada usaha perolehan tambahan gelar secara formal ataupun peningkatan eselonisasi. Lebih lanjut, Utomo (1998: 31-32) menegaskan bahwa dalam proses
15 rekruitmen SDM, perlu dilakukan secara terbuka dan kompetisi, sehingga akan mempertinggi quality of working life. Dengan munculnya kekuatan pengetahuan sebagai bentuk keunggulan baru, maka keberhasilan mengelola perubahan dalam organisasi saja belum cukup menjadikan organisasi tersebut mempunyai daya saing yang tinggi. Setelah organisasi sudah berubah, perlu diupayakan agar organisasi mau belajar
(learning).
Organisasi
yang
kuat
adalah
organisasi
yang
mempraktekan continuos learning, karena nilai pokok (core value) dari suatu learning organization adalah meningkatnya kemampuan strategis dari suatu organisasi (Pucik,1993, Rusli,1999:18. Soetjipto, 1995:46). Dari berbagai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan SDM aparatur sangat diperlukan, karena dalam aparatur negara melekat peran yang sangat strategis. Oleh karena itu, apabila organisasi pemerintah mau mengubah dirinya menjadi organisasi pembelajar akan memiliki daya saing yang tinggi, karena pada organisasi tersebut akan terjadi proses transformasi ilmu pengetahuan secara cepat. Melalui peningkatan kemampuan belajar (learning capacity) tersebut akan menjadi ujian apakah organisasi memiliki kemampuan untuk belajar. Organisasi yang mampu meningkatkan kemampuan belajar akan memiliki modal maya yang lebih baik, sehingga organisasi tidak hanya mengerahkan modal fisik yang dimilikinya.
Mengingat
keterbatasan
yang
dimiliki
masing-masing
16 organisasi, maka organisasi selalu mengandalkan kumpulan individu yang pintar dan mau belajar untuk memenangkan persaingan (Marquadt, 1994:60).
2.2. Manusia Sebagai Unsur Penting Organisasi Hakekat dan Kedudukan Manusia Manusia pada hakikatnya merupakan faktor kunci bagi organisasi dalam mencapai sasaran yang diharapkan baik dalam pertumbuhan, keuntungan atau survival untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Namun kebanyakan organisasi (pemerintah dan swasta) lebih fokus pada upaya investasi dan pengelolaan modal fisik. Akibatnya, pekerja direkayasa agar sesuai dengan teknologi/sistem yang dimiliki perusahaan (technology
center design) Manusia sering kali diperlakukan sama dengan mesin atau material, padahal manusia merupakan unsur perangkat lunak (soft side of
change) yang dapat dibedakan dari piranti keras (hard side of change). Unsur perangkat keras tersebut, diantaranya adalah : struktur organisasi, prosedur organisasi dan data base, dan sedangkan unsur perangkat lunak meliputi antara lain : budaya, politik, motivasi, resistensi, energi, antusiasme, dan manusia (Brainbridge, 1996:49).
17 Manusia mampu membuat sumber-sumber daya organisasi lainnya (finansial, fisik dan kemampuan teknologi dan sistem) berjalan dengan baik, karena SDM dapat memberikan cetusan kreatif di setiap organisasi. Tidak peduli apa keunggulan-keunggulan lainnya yang dimiliki, organisasi tidak akan dapat memaksimalkan produktivitas dan labanya tanpa adanya karyawan-karyawan yang
berdedikasi terhadap keinginan
organisasi
selanjutnya (Simamora, 1999:2). Ironisnya potensi manusia yang sangat besar dan bahkan tidak terbatas itu sering tidak memiliki peluang dan kesempatan untuk diabdikan pada kepentingan bersama/organisasi. Selain modal fisik yang tercatat dalam akuntansi, organisasi memiliki modal non fisik (yang tidak terwujud dan tidak terukur) yang disebut modal inteleklual. Modal intelektual merupakan aset yang tidak terlihat, yang merupakan gabungan dari faktor manusia, proses dan pelanggan, yang memberikan keunggulan kompetitif suatu perusahaan. Di sisi lain, modal intelektual juga dianggap sebagai talenta, kemampuan, keterampilan dan gagasan, meskipun semua ini hanya dapat berguna bila dimiliki oleh pekerja yang tahu (well in formed) dan bersedia memberikan apa
yang
mereka
miliki
bagi
kepentingan
organisasi/perusahaan
(Roos,1996, Brooking & Motta, 1996, Stewart, 1997 dalam Tjakraatmaja, 2002. 28-29 ).
18 Lebih lanjut, Tjakraatmadja (2002:41-42) mendefinisikan modal maya sebagai gabungan sinergistik,
dari
modal intelektual,
modal
kredibilitas dan modal sosial, yang hanya dimiliki oleh organisasi dewasa, yang bersama-sama dengan modal fisik organisasi, diintegrasikan untuk menghasilkan nilai tambah bagi pelanggan, kekayaan bagi perusahaan, serta kesejahteraan bersama bagi karyawan dan masyarakat. Potensi Manusia Belajar Senge (1990:17-18) menyebutkan bahwa ketidakmampuan belajar merupakan sesuatu hal tragis bagi anak-anak, dan fatal bagi organisasi, karena itu diantara organisasi hanya sedikit yang bertahan, bahkan setengahnya kebanyakan mati sebelum mencapai umur 40. Ketika manusia lahir, kelengkapan organisasi otaknya yang memuat 100-200 miliar sel otak telah siap dikembangkan dan diaktualisasikan untuk mencapai suatu tingkat perkembangan potensi yang tinggi. Dalam konsep The Whole Brain model, Ned
Herrmann
(Bahaudin:
1999)
dalam
Tjakraatmadja
(2002:2)
menjelaskan bahwa otak manusia memiliki empat bagian yaitu (1) Otak bagian kiri atas disebut sebagai otak analis, (2) otak bagian kiri bawah disebut sebagai otak organisatoris, (3) Otak bagian kanan atas disebut sebagai otak strategis/visual (4) Otak bagian kanan-bawah disebut sebagai otak personalis. Masing-masing kuadran otak tersebut memiliki kelebihan dan kelemahan. Sebut saja, misalnya individu yang kuat pada
19 otak bagian kiri-atas akan memiliki kelebihan dalam daya analisis, namun sekaligus memiliki kelemahan, yakni cenderung kurang memiliki perasaan. Dengan keajaiban-keajaiban tersebut, selain bersyukur, manusia harus dapat memanfaatkan potensi besar yang dimilikinya dengan cara belajar terus menerus (lifelong learning), agar dapat mengoptimalkan kapasitas intelektualnya. Mengenai
manusia
pembelajar,
Harefa,
dalam
Tjakraatmadja
(2001:4) mendefinisikannya sebagai manusia yang selalu berusaha untuk mengaji dirinya, mengenal dirinya, mengenal potensi-potensi dan bakat terbaiknya, untuk kemudian mengaktualisasikan dirinya sesuai dengan jati dirinya. Manusia pembelajar akan dapat menentukan hakikat dan citra dirinya untuk mengarah pada hal-hal yang lebih tinggi, yakni mengandung unsur rohani (moralis, dinamis, humanis dan hidup) dan menghindari hal-hal yang lebih rendah, yaitu mengandung unsur jasmani (materialis-mekanis, statis dan mati). Kombinasi fenomena refleksi-aktualisasi diri inilah yang melandasi terjadinya proses pendewasaan seorang manusia, sebagai upaya untuk
memperbaiki cara
berpikirnya maupun
memperbaiki kualitas
spiritnya (model mental). Adanya
individu
yang
belajar
dalam
suatu
organisasi
akan
memperkuat integrasi internalnya dan mempertinggi kemampuan adaptif dan responsif organisasi terhadap lingkungan eksternalnya, karena
20 organisasi memiliki SDM yang produktif dan berkualitas tinggi. Di sisi lain, pengembangan organisasi yang selama ini ditempuh, yakni mengandalkan pada jenis-jenis tindakan terencana yang disusun berdasarkan asumsi, bahwa struktur dasar konteks organisasi akan relatif stabil dalam rentang waktu yang agak lama tidak dapat lagi digunakan, karena hal itu tidak dapat menjamin keberhasilan dan kelangsungan hidup organisasi. Untuk itu setiap organisasi dituntut, agar mampu mengubah dirinya menjadi organisasi yang terus menerus meningkatkan pembelajarannya. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Senge (1990:4) berikut ini :
As the world become more interconnected and business becomes more complex and dynamic, work must become more 'learningfull'. It is longer sufficient to have one person learning for organization, a Ford or Sloan or Watson. It's just not possible any longer to “figure it out' from the top, and have any one else following the orders of the 'grand strategist'. The organization that will truly excel in the future will be the organizations that discover how to tap people's commitment and capacity to learn at all level in organization. Untuk mengubah suatu organisasi menjadi organisasi yang mau terus menerus
meningkatkan
pembelajaran
sangat
diperlukan
adanya
pemberdayaan SDM organisasi yang mencakup karyawan dan pimpinan organisasi. Pemberdayaan karyawan melalui pembelajaran yang internsif dapat meningkatkan kompetensi dan nilai tambah (added value) yang mereka miliki. Di sisi lain, mereka akan berani mengambil keputusan dan
21 menanggung
resiko
secara
mandiri
dan
bertanggungjawab
dalam
melaksanakan kegiatan, serta mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi. Mereka
akan
terbiasa
dengan
sikap
mempertanyakan
dan
memprakarsai perubahan. Untuk itu, diperlukan harmonisasi internal, yaitu dengan menciptakan dan menjaga konflik yang sehat agar tercipta sinergi dan solusi-solusi yang lebih baik, yaitu dengan menerapkan cara berpikir dialektika yang selalu mencari sintesa dari antitesa-antitesa (Waren Bennis, 1969. 138). Di sisi lain, pimpinan organisasi juga harus diberdayakan agar mereka mampu memainkan peranan sebagai pembina, pengendali, pengawas dan perekayasa dengan tanggungjawab utama untuk mengembangkan dan mewujudkan kesempatan dan peluang belajar bagi orang-orang di sekitarnya. Pemberdayaan tersebut mencakup semua level pimpinan organisasi, baik top, middle maupun lower manajer. Hal ini penting bila mengacu
pada
management
model
berperan
"middle-up-down" menciptakan
suatu
manajemen, visi,
dimana
sementara
top
middle
management mengembangkan konsep-konsep menjadi lebih kongkrit, sehingga karyawan dapat memahami dan melaksanakannya (Nonaka, 1995 :124-1 58). Lebih lanjut, Senge (1990:339-351) menyebutkan bahwa pemimpin dapat berperan sebagai desainer, guru, dan pelayan. Sebagai desainer,
22 pemimpin berperan penting di dalam (1) membentuk social architecture dari organisasi (tujuan, visi, dan nilai-nilai inti), (2) merumuskan kebijakankebijakan,
struktur
dan
strategi
serta
(3)
menciptakan
proses
pembelajaran. Sebagai guru, pemimpin membantu setiap anggota organisasi agar memperoleh pandangan yang lebih berwawasan mengenai realitas saat ini, yakni menstimulasi terjadinya"metanoia" atau pergeseran pemikiran secara mendasar. Sebagai pelayan, pemimpin berperan pada dua tingkatan: menjadi pelayan bagi orang-orang dan bagi tujuan atau misi yang lebih yang mendasari eksistensi organisasi. Untuk menciptakan iklim organisasi pembelajar tersebut, para pemimpin bertanggung jawab membangun respek, trust dan komitmen yang konsisten antar anggota dan organisasi, sehingga mendorong kemajuan individu dan organisasi. Ini berarti pemimpin harus mau (1) mendengarkan kelompok
tukang
protes,
(2)
menjadikan
setiap
kejadian
sebagai
eksperimen (R. Jones, 1995: 475-477). Namun karena banyaknya informasi yang harus diproses, para pemimpin tidak terlalu cermat mendengarkan bawahannya
dan
cenderung
lebih
mengikuti
pendapat
yang
dapat
mendistorsi informasi dengan menyembunyikan bad news dan/atau melebih-lebihkan good news. Dari uraian tersebut dapat dipahami, bahwa manusia yang belajar merupakan motor penggerak dari organisasi pembelajar. Hal ini berarti,
23 bahwa manusia yang belajar akan menjadi suatu kekuatan besar bagi organisasi
dalam
menghadapi
tantangan
perubahan
lingkungan
dan
menjamin keberhasilan dan kelangsungan hidup organisasi.
2.3. Pengertian Learning dan Learning organization 2.3.1. Pengertian Learning Secara umum learning didefinisikan sebagai suatu cara atau proses dimana
individu-individu
pengetahuan
tacit
mendapatkan
(konseptual)
dan
pengetahuan atau
baru,
pengetahuan
berupa eksplisit
(keterampilan praktikal) atas permasalahan kontektual, guna merubah prilaku dan tindak tanduknya. Pengetahuan tersebut dapat diperoleh dengan cara antara lain, melalui akuisisi, kreasi, penyimpanan, pengalihan atau pemanfaatan pengetahuan itu sendiri. Selanjutnya Fanggidreg (1995:155)
mengartikan
learning
sebagai
suatu
perubahan
yang
berlangsung lama dalam pengetahuan, sikap mental atau keterampilan yang diperlukan melalui pengalaman dari pada menyatakan melalui kedewasaan seorang anak (maturasi). Pengalaman ini bisa diperoleh melalui penciptaan kondisi pendidikan, belajar secara insidental, instruksi, latihan dan sebagainya. Di sisi lain, dukungan teknologi yang mcncakup teknologi informasi, pembelajaran berbasis teknologi, dan sistem pendukung kinerja elektronik akan memudahkan terselenggaranya learning, yakni tersedianya
24 perangkat elektronik dan metoda-metoda canggih untuk pembelajaran, seperti konferensi melalui komputer, simulasi dan dukungan komputer untuk kolaborasi. Proses learning pada dasarnya mencakup tiga komponen penting yaitu tingkat, jenis dan keterampilan/skill. Tingkat pembelajaran meliputi pembelajaran oleh individu, kelompok dan organisasi. Dalam hal ini, Haines (1998:12-14) menegaskan bahwa ketiga level tersebut merupakan bagian yang penting dalam system thinking dan learning. Lebih lanjut, Nonaka (1995.57-62) menyebutkan bahwa secara ontology learning dapat terjadi pada level individu, level kelompok, level organisasi maupun inter organisasi dan sedangkan pada dimensi epistemology konversi tacit dan explicit
knowledge
akan
terjadi
melalui
empat
cara,
yaitu:
sosialisasi,
eksternalisasi, kombinasi dan internalisasi. Dalam proses tersebut, individu memperoleh pengetahuan dari pengalaman, lingkungan dan pemahamam tentang masa depan yang lebih baik.
Sementara
itu,
Mills
dan
Friesen,
dalam
Huseini
(I996:4)
menyebutkan bahwa organisasi dapat belajar melalui tiga cara, yaitu : (1) belajar melalui anggota-anggotanya secara individual organisasi, (2) belajar melalui sistematisasi pengetahuan ke dalam praktek-praktek, proses dan prosedur, sehingga menghasilkan kebiasan-kebiasaan baru, dan
25 (3) belajar dengan mengabsorbsi organisasi lain, misalnya saja melalui merger dan akuisisi. Selanjutnya pengetahuan yang diperoleh tersebut, disebarluaskan kepada individu lainnya dalam proses berbagi model mental (shared mental
model) yang merupakan awal terbentuknya organisasi pembelajar. Persepsi dan aspirasi yang sama akan mendorong individu, kelompok individu dan organisasi untuk mengaplikasikan pengetahuan yang dikuasainya tersebut di lapangan. Proses pembelajaran yang mencakup semua tingkat dan jenis pembelajaran akan berhasil, apabila didukung dengan keterampilan (skills) yang memadai. Persyaratan minimal kemampuan/keterampilan tersebut merujuk ke suatu kapasitas individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan (Robbins, 1996:82). Faktor skill ini mencerminkan adanya suatu pola pikir konseptual (system thinking), tingkat pemahaman (mental
models), penguasaan materi yang dipelajari (personal mastery), tingkat kemampuan kelompok (team learning), tingkat komitmen kelompok (share
vision), serta tingkat kemampuan untuk mendengarkan dan berkomunikasi. Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: pertama, dalam organisasi pembelajar sangat diperlukan adanya proses belajar (learning). Hal ini sejalan dengan pendapat Marquardt (1996 : 20-
26 27) yang menegaskan bahwa learning sebagai subsistem yang utama dalam organisasi pembelajar. Kedua, learning merupakan suatu proses yang membutuhkan
waktu
yang
lama
untuk
menghasilkan
perubahan
pengetahuan, keterampilan dan kemampuan, kesadaran dan kepekaan serta sikap dan keyakinan yang baru yang digunakan untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan. 2.3.1.1. Tipe Belajar (type of Learning) Edgar Schein seperti dikutip oleh Marquard dan Reynold (1994:30) menyatakan
bahwa
pembelajaran
bukanlah
sebuah
konsep
tunggal
(unitary),tetapi mencakup berbagai tipe pembelajaran dengan cakrawala waktu yang berbeda yang diterapkan pada tahap-tahap yang berbeda dari serangkaian proses perubahan organisasi, sebagai berikut: 1.
Tipe Knowlegde acquisition and insight, yang bermakna bahwa
learning adalah perolehan informasi dan pengetahuan melalui kegiatan kognitif. 2.
Tipe habit and skill learning, yaitu tipe learning yang lambat karena mengutamakan praktek dan kemauan dari pembelajar yang untuk sementara waktu mau diperlakukan tidak kompeten. Untuk itu diperlukan kesempatan praktek, kesempatan membuat kesalahan dan adanya motivasi yang konsisten bagi individu yang belajar dengan baik.
27 3.
Tipe emotional conditioning and learned anxiety, yaitu tipe learning yang sangat keras dan kuat. Maksudnya adalah tipe belajar yang prosesnya akan berlangsung lama dan berlanjut bahkan sampai suatu saat dimana penyebab awal learning itu sendiri sudah selesai atau berganti (Sudarsono,l998:15). Sementara itu, Jean Piaget, sebagaimana dikutif oleh Arie de Geus
(1997;59) menyebutkan adanya dua tipe belajar, yaitu belajar asimilasi (learning
by
assimilation)
dan
belajar
akomodasi
(learning
by
accomodation). Tipe belajar asimilasi dilakukan dengan mengambil informasi yang telah ada dan mencocokan informasi tersebut dengan ingatan dan penguasaan masa depan. Sedangkan tipe belajar akomodasi menyangkut perubahan kepercayaan, ide dan sikap, sehingga lebih sulit bila dibandingkan dengan tipe asimilasi, karena harus melibatkan pikiran dan perasaan yang didukung segenap potensi yang dimilikinya. 2.3.1.2. Lingkaran Belajar (Learning loop) Siklus belajar merupakan esensi dari suatu organisasi pembelajar, karena dalam proses tersebut terjadi perkembangan kapasitas baru yaitu: timbulnya keahlian dan kemampuan baru, kesadaran dan kepekaan baru dan menimbulkan sikap dan keyakinan baru anggota dan tim organisasi. Siklus belajar yang dalam akan menimbulkan pergeseran yang mendasar pada pola pikir dari anggota tim, baik secara individual maupun kolektif sehingga
28 dapat menghasilkan perubahan pada aspek sikap, niat bertindak, maupun prilaku dari anggota organisasi. Apabila individu belajar hanya menghasilkan perbaikan pada aspek prilaku, yakni pengetahuan baru hanya berhasil diaktualisasikan dalam aktivitas sehari-hari, maka individu tersebut hanya belajar dalam lingkar tunggal (ISLL: lndividual Single Loop Learning) yang tidak dapat menghasilkan perbaikan yang langgeng. Proses belajar yang langgeng, yakni belajar dalam lingkar ganda (DLL:Double Loop learning) selain menimbulkan perubahan pada aspek prilaku, juga menimbulkan perubahan pada tata nilai, keyakinan, sikap dan asumsi. Dalam konteks ini, individu tersebut telah mengalami proses belajar dalam lingkar ganda (DLL: lndividual Double Loop
Leainrng) (Agyris & Schon's, 1978 dalam Tjakraatmadja,2001:4-5). Belajar lingkar ganda inilah yang perlu ditumbuhkan dalam organisasi, agar anggota organisasi tidak hanya menghasilkan tindakan-tindakan reaktif. Berikut ini gambar proses belajar tersebut. Gambar 1 Alur lingkaran Belajar
Tindakan
Tata nilai
Konsekuensi Belajar dalam Lingkar Tunggal
Belajar dalam Lingkar Ganda
29 Sumber: Agyris. C (1993), Knowledge for Action - A Guide to Overcoming Barriers to Organizational Change, San Francisco, California : JosseyBass Publis-Bass Publishers. Disisi lain David Kolb, dalam Kees Van Der Heijden (1996:36-37) mengemukakan konsep learning loop, dengan tahapan sebagai berikut; adanya pengalaman kongkrit-kemudian melakukan proses observasi dan refleksi menghasilkan konsep dan teori (abstrak dan generalisasi) - dan akhirnya melakukan proses pengujian/implementasi teori dalam situasi yang
baru.
(2002:70-72)
Selanjutnya,
Kofman
melengkapi
(Kim,l993)
konsep
dalam
Lewin-Kolb
Tjakraatmadja,
tersebut
dengan
mempertegas bahwa individu belajar dimulai dari proses observe (pengalaman kongkrit/experience)-asses (refleksi hasil observasi/reflect) -design
(pengembangan
konsep
abstrak/form
concepts)-implement
(pengujian konsep/test concept), disingkat dengan proses OADI. Observasi yaitu proses belajar dimana individu berusaha menangkap gejala atau mengumpulkan data tentang perubahan lingkungan, sehingga individu tersebut mengetahui "apa" yang terjadi. Proses refleksi adalah tahap perenungan individu untuk mengerti dan memahami informasi yang terkandung dalam fakta, gejala atau contoh yang diperoleh dengan menggunakan
pengalaman
dan
pengetahuan
yang
dimilikinya,
serta
membandingkannya, sehingga individu tersebut mengetahui "bagaimana" terjadinya. Proses design merupakan tahap pemberian makna secara
30 lengkap, di mana informasi berubah menjadi pengetahuan barunya, sehingga
individu
tersebut
mengetahui
bagaimana
memanfaatkan
pengetahuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini berarti bahwa individu yang bersangkutan akan memiliki cara pandang baru, yakni "mengapa" hal tersebut dapat terjadi. Selanjutnya melalui proses implementasi, individu dapat mengaktualisasikan perubahan sikap dan cara pandangnya yang baru terhadap suatu permasalahan. Melalui tahap ini, individu tersebut dapat memperbaiki disiplin penguasaan diri individu walaupun masih menggunakan mental model lama. Apabila individu tersebut, berhasil menyesuaikan atau memperbarui model mentalnya, maka individu itu berada dalam lingkar belajar ganda. Mengenai konsep kim tersebut, Boyett (1998:86-87) mengemukakan bahwa pengetahuan yang dimiliki tersebut kemudian disimpan dalam ingatan (memory) berupa asumsi (assumptions), dugaan (nations) dan teori (theories) mengenai bagaimana suatu hal dapat bekerja dan disebut sebagai "mental models". Model mental inilah yang akan dipresentasikan dalam pandangan yang unik atau penilaian atas konsekuensi tindakan yang mungkin dilakukan. Dengan kata lain model mental adalah "lf you do this in
this type of situation, then this will happen". Dalam mewujudkan organisasi pembelajar sangat diperlukan adanya kesesuaian model mental (shared mental model) dalam proses belajar individual dan proses belajar
31 organisasi, agar terjadi transfer pengetahuan dari individu belajar menjadi organisasi pembelajar. Dengan meluasnya transfer pengetahuan diantara anggota organisasi, maka organisasi akan memiliki kompetensi yang baru untuk merespon tantangan lingkungan. 2.3.2. Pengertian Learning Organization Peter
M.
Senge
(1990:3)
mendefinisikan
bahwa
organisasi
pembelajar adalah suatu proses yang secara sistematik mempercepat kegiatan pembelajaran dalam sistem organisasi secara keseluruhan dibanding dengan proses pembelajaran individu dalam sistem tersebut. Organisasi pembelajar mampu untuk mentransformasikan data ke dalam nilai pengetahuan demi meningkatkan kemampuan adaptasi dalam jangka yang panjang. Dalam hal ini, Drucker (Flood,l999:l-2) menyebutkan bahwa organisasi pembelajar merupakan konsep organisasi masa depan. Di mana
core value dari learning organization adalah meningkatnya kemampuan strategis dari suatu organisasi. Hal ini menunjukan bahwa organisasi mampu mengelola informasi dan membuat tindakan-tindakan yang bisa meningkatkan daya saing organisasi perusahaan dengan memberdayakan SDM yang dimilikinya. Pendapat pakar lainnya, Fiol dan Marjorie (1985:56) menyebutkan bahwa organisasi pembelajar sebagai proses perbaikan tindakan melalui peningkatan pemahaman dan pengetahuan. Sedangkan Garvin (1993:36)
32 memandang organisasi pembelajar sebagai pengorganisasian kreativitas, kecakapan dan transfer pengetahuan yang selanjutnya diharapkan mampu memperbaiki perilaku sebagai penerapan dan pengetahuan baru tersebut. Dengan demikian organisasi ini akan berubah menjadi sangat adaptif dan responsif terhadap lingkungan eksternalnya, sekaligus kuat integrasi internalnya ( Hartanto, 1994:37 ). Lebih lanjut, Dexter Dunphy dan kawan-kawan ( 1997.34) menilai para ahli banyak yang memandang organisasi pembelajar sebagai training and development, pengurangan terhadap sikap mempertahankan diri, suatu total sistem pembelajaran dimana seluruh aktivitas organisasi secara mayoritas dimonitoring untuk menyediakan kinerjanya atau merupakan manajemen inovasi atau meningkatkan kemampuan organisasi untuk mengambil tindakan yang efektif. Sebagai wadah terselenggaranya proses pembelajaran, baik proses belajar individu, kelompok dan organisasi, diperlukan adanya kejelasan visi, budaya, strategi, dan struktur organisasi. Keempat komponen tersebut menjadi dasar terjadinya transformasi organisasi untuk membangun pembelajaran yang prima. Visi adalah cerminan dari harapan, impian masa depan yang diharapkan oleh suatu organisasi. Organisasi perlu menerapkan visi bersama (share vision) sebagai landasan yang kokoh bagi terbentuk dan
33 berkembangnya
proses
pembelajaran
dalam
organisasi.
Visi
yang
ditetapkan tersebut merupakan cerminan dan kristalisasi dari budaya organisasi yang terdiri dari nilai-nilai, norma-norma, keyakinan, dan adat kebiasaan organisasi, yang dituangkan dalam rencana strategi organisasi. Dalam konteks inilah, pemimpin harus dapat berperan sebagai guru yang dapat menterjemahkan pinsip integrasi melalui ketegangan kreatif. Tegangan kreatif dimunculkan melalui pencerahan atas visi dan penjelasan atas realitas saat ini, sehingga memberi arahan bagi anggota organisasi pada upaya-upaya untuk mencapai visi yang telah ditetapkan. Gambar 2. Model ketegangan kreatif dari Peter Sange TEKANAN UNTUK MENURUNKAN VISI TEGANGAN EMOSIONAL
VISI GAP (TEGANGAN KREATIF)
TINDAKAN UNTUK MENCAPAI VISI
REALITAS SAAT INI PENUNDAAN
Sumber: Peter M. Senge, Disiplin Kelima Seni dan Praktek dari Organisasi Pembelajar, 1990: 1,18 Selain itu, untuk mewujudkan visi diperlukan budaya belajar pada organisasi. Budaya belajar akan mendorong para manajer dan anggota organisasi menerapkan cara berpikir generatif, yaitu upaya pemikiran yang
34 berorientasi untuk mengenali sebab-sebab yang ada dibalik setiap kejadian dengan pola sistem (Senge,l990:10-l l). Organisasi yang selalu belajar akan memberikan kesempatan dan mendukung keanekaragaman dalam strategi kebijakan, proses, struktur dan personalia agar lebih mudah beradaptasi. Untuk itu, diperlukan adanya penyesuaian, misalnya pada struktur. sistem dan keterampilan yang mendukung budaya pembelajaran (Berger, 1994:375). Lebih lanjut, Neil Snyder (1994:70) menyebutkan beberapa cara untuk membentuk budaya organisasi vang menuju pada transformasi pembelajaran yang baik, yaitu (1) menciptakan suasana menghargai pembelajaran melalui penilaian kinerja pemberian penghargaan atau dengan cara lainnya pada upacara resmi, (2) menciptakan suasana agar masingmasing
organisasi,
pengurus
maupun
karyawan
untuk
saling
bertanggungawab terhadap proses belajar dengan memberikan dorongan satu sama lainnya, (3) saling percaya dan saling peduli, baik antara pimpinan
dan
anggota
organisasi,
(4)
dorongan
untuk
berinovasi,
eksperimental dan keberanian mengambil resiko, (5) menumbuhkan komitmen untuk pengembangan pendidikan dan pengembangan staf (6) membudayakan kreatifitas, keanekaragaman dan kebinekaan. Perluasan kesempatan pengembangan individu yang seluas-luasnya akan meningkatkan kualitas kerja individu yang bersangkutan.
35 Dalam konteks strategi pengembangan organisasi pembelajar diperlukan adanya (1) metode problem solving, yaitu membiasakan anggota organisasi untuk mengakui adanya masalah dan mencari pemecahannya demi perbaikan berkelanjutan, (2) adanya integrasi pengetahuan internal, yaitu dengan mempercepat penyebaran informasi/pengetahuan secara luas pada anggota organisasi untuk memperbaiki keputusan, (3) menantang
status quo, yakni dengan melakukan uji coba terus menerus untuk memperkaya pengetahuan yang dimiliki saat ini. Dengan kata lain bekerja sekaligus meneliti, dan (4) menciptakan organisasi penelitian virtual melalui
networking, yakni dengan mengintegrasikan pengetahuan dari luar organisasi, benchmarking, networking, aliansi dan lain-lain (LeonardBarton, dalam Mabey & Iles, 1994:44-50) Untuk mendukung strategi tersebut, diperlukan struktur organisasi yang fleksibel, terbuka, ada kebebasan, kesempatan dukungan dan sumber daya yang memungkinkan anggota organisasi dan pengguna jasa dapat saling memberikan tanggapan secara optimal. Berbagai bentuk struktur organisasi, mulai dari yang gemuk dan kaku (rigid organization), yang ramping (flat organization) sampai dengan yang tanpa batas (losely coupled
organic network) sangat mempengaruhi proses pembelajaran di tingkat individu dan kolektif. Adapun ciri-ciri struktur organisasi yang mendukung pembelajaran organisasi adalah (1) hirarki datar, sehingga anggota
36 organisasi dapat saling berkomunikasi dan mengembangkan pengetahuan dengan penekanan pada kolaborasi tim, (2) tidak terkotak-kotak artinya terdapat hubungan yang akrab antar lapisan dalam untuk saling memahami dan memenuhi kebutuhan yang selalu berubah, (3) pembentukan tim dalam proyek untuk menyelesaikan tugas-tugas tertentu dalam periode tertentu, (4) adanya jejaring kerja melalui kolaborasi, sinergi dan menggunakan sumber-sumber, baik dari dalam maupun dari luar organisasi, (5) pembentukan
unit-unit
kecil
yang
berjiwa
enterpreneur, dan (6)
mengurangi birokrasi (Neil Snyder,l994:82). Dari uraian tersebut di atas dapat dipahami, bahwa organisasi pembelajar adalah organisasi yang mampu melakukan proses transformasi pengetahuan secara siklikal dan berkelanjutan diantara anggota organisasi. Dari proses tersebut akan dihasilkan penguasaan pengetahuan baru yang mendorong peningkatan kinerja organisasi dan munculnya ide-ide baru berdasarkan kreatifitas, kemampuan wirausaha (entrepreneurship) serta otonomi organisasi. Hal ini berarti bahwa melalui organisasi pembelajar kemandekan dapat diatasi dan proses demokratisasi dapat dijalankan dengan baik, karena adanya pemberdayaan .sumber daya manusia. Pemberdayaan SDM membuat anggota organisasi menjadi satu kekuatan yang utuh, seperti halnya kalau kita belajar naik sepeda, dimana sepeda
37 dan diri kita baru dirasakan bagaikan menyatu setelah kita mahir bersepeda (Hartanto, 1995.25). Di sisi lain, keunggulan masa depan lebih banyak ditentukan oleh penguasaan ilmu pengetahuan, sehingga yang lebih cepat belajar akan lebih unggul dari pesaingnya. Oleh karena itu, perusahaan harus dapat membudayakan proses belajar (learning process) kepada seluruh karyawan dalam
organisasinya
dan
menjadikan
perusahaan
tersebut
sebagai
organisasi pembelajar. Hal ini bukan hanya berlaku bagi organisasi/ perusahaan besar yang memiliki jaringan usaha yang luas, tetapi juga dilakukan oleh organisasi / perusahaan berskala kecil dan menengah karena semua organisasi/perusahaan tidak luput dari pengaruh gejolak lingkungan. 2.3.3. Alasan-alasan perlunya Learning Organization Alasan munculnya organisasi pembelajar dengan sederhana dapat dikaitkan dengan ungkapan Albert Einstein yang menyatakan bahwa no
problem can be solve from the same conciencousness that created it: we must learn to see the world e new, (tidak ada satupun masalah yang dapat diselesaikan
oleh
upaya-upaya
yang
berlandaskan
kesadaran
atau
pemahaman yang telah menimbulkan masalah tersebut, kita harus belajar untuk melihat dunia dengan kacamata baru).
38 Lebih
jauh
mengenai
alasan
tersebut,
Boyett
(1998:83)
menyebutkan beberapa alasan mengapa organisasi pembelajar diperlukan bagi suatu organisasi yaitu:
“for superior performance and competitive advantage, to improve customer relocation, to avoid decline, to improve quality, to understand risk and diversity more deeply, to promote innovation, for personal and spirit well being, to manage change, for true understanding, to create an energized and committed workforce, to expand our boundaries, to engage in community, for independence and liberty, because the time demand it, to make it more fun to work in organizations, to give people hope that things can be better, to provide a playground for creative ideas, to provide people with o safe plane to take risks with new ideas and behaviors, to stretch beyond perceived limits, to improve our environment, to help people become active actors, not passive recipients, to embrance and implement the vision of sustainable communities and organization, to be free, to contribute to human evolution, to strech the fabric of our soul, because it is only natural, that is in keeping with human nature, to increase joy in work, to raise the overall quality of life, to provide people with more satisfying lives, so they are happier, do more interesting thing with their lives, and more fun to have lunch with, to channel, support, and enchance the basic human passion, to learn, to provide rational explanation of the necessity of caring about each other, to provide an invitation and rationale for building communities, why not ?" Apabila dikaitkan dengan tujuan organisasi yaitu memenangkan persaingan dan bertahan hidup (survive), maka organisasi pembelajar merupakan bentuk pengorganisasian yang cocok dalam menghadapi era informasi dan lingkungan yang berubah dengan cepat di mana tekanan persaingan berbasiskan pegetahuan semakin ketat dan tak terelakkan. Untuk mewujudkan organisasi pembelajar diperlukan individu organisasi
39 yang mau belajar dan menerapkan disiplin belajar yang terdiri dari
personal mastery, mental models, share vision, team learning dan system thinking. 2.4 Disiplin dalam Learning Organization Untuk membangun suatu organisasi pembelajar, harus dimulai dengan memahami kemampuan yang dimiliki organisasi, yakni melihat bangunan organisasi seutuhnya yang terdiri dari berbagai kepentingan individu maupun unit kerja yang seharusnya diselaraskan untuk mencapai tujuan organisasi (Senge, I 990 : I 3 ). Untuk maksud tersebut, Senge (1990: 7373-377) menetapkan lima disiplin sebagai syarat terwujudnya organisasi pembelajar. Kelima disiplin tersebut dapat dipisahkan dalam tiga tingkat yang berbeda, pertama : praktek/kebiasaan, yakni apa yang kita lakukan merupakan aspek yang paling jelas dari setiap disiplin, seperti berpikir sistem memerlukan penggunaan pola dasar sistem dalam hal berhadapan dengan masalah yang kompleks. Kedua prinsip, yakni panduan ide dan wawasan yang merupakan teori dibelakang praktek yang dilakukan dari setiap disiplin, contoh "struktur mempengaruhi perilaku" adalah prinsip utama yang mendasari pemikiran
sistem,
karena
merupakan
"penolakan
kebijakan".
Kecenderungan dari sistem yang kompleks untuk menolak segala usaha yang merubah perilaku mereka. prinsip sangat penting dalam membantu
40 memahami pemikiran rasional di belakang disiplin, serta sebagai upaya untuk menjelaskan kepihak lain. Belajar selalu melibatkan pemahaman baru dan memerlukan perilaku baru. Berpikir dan melakukan adalah penjelasan yang dapat dipakai untuk membedakan prinsip dan praktek. Ketiga esensi, yakni keadaan manusia yang memiliki keahlian tinggi dalam disiplin tertentu untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi. Kelima disiplin tersebut, yaitu : 2.4.1. Keahlian pribadi (personal mastery) Keahlian pribadi adalah suatu kecenderungan seseorang untuk bersikap dan memperluas kemampuannya secara terus menerus, guna menciptakan hasil-hasil yang benar-benar mereka cari di dalam hidupnya. Hal ini menunjukkan adanya tingkat keahlian/penguasaan seorang individu di bidang profesinya yang berguna untuk menyelesaikan tugasnya secara baik untuk jangka waktu yang panjang. Penekanan keahlian pribadi sebagai salah satu disiprin rumbuh dengan cara mengklarifikasikan visi melalui fokus dan refokus serta memusatkan energi disertai dengan kesabaran mewujudkannya. Mereka mempunyai keyakinan terhadap visi yang ingin diwujudkannya sebagai cita-cita dan merupakan panggilan jiwa (Senge, 1990 :135-141 ). Disiplin keahlian pribadi dapat ditanamkan dalam iklim organisasi yang secara terus menerus memperkuat ide bahwa pertumbuhan pribadi benar-benar dihargai di dalam organisasi. Di sisi lain, individu mampu
41 memberikan respon/tanggapan terhadap apa yang ditawarkan, sehingga tercipta "on the job training" yang vital untuk mengembangkan keahlian pribadi Karakteristik individu yang telah memiliki keahlian pribadi yang tinggi adalah memiliki komitmen, berinisiatif, kreatif, memiliki visi yang jelas, memiliki percaya diri, mempunyai rasa tanggung jawab, selalu mengembangkan diri, memiliki kemampuan untuk mencapai hasil yang diinginkan, kemampuan melihat realitas secara objektif. Dengan demikian individu tersebut mampu mengenali dan mengatasi adanya pola konflik struktural, yaitu kekuatan yang menghalangi segala upaya dan tindakan dalam mencapai visi pribadi melalui komitmen terhadap kebenaran (Senge, 1990 :161) . Esensi kemampuan
dari
keahlian
menghasilkan
pribadi
mencakup
(generativeness)
keberadaan dan
(being),
keterkaitan
(connectedness), yakni adanya keyakinan dan pengakuan, bahwa setiap kehadiran individu akan memberikan kontribusi pada organisasi sesuai dengan keahliannya yang dapat dipadukan melalui keterkaitan dengan individu lainnya dalam organisasi. Sedangkan prinsip keahlian pribadi memerlukan visi (vision), tegangan kreatif (creative tension) dan alam bawah sadar (subconsciousness), yakni setiap orang mempunyai visi pribadi yang harus dicapainya dengan cara menghasilkan tegangan kreatif yang muncul sebagai akibat terjadinya gap antara visi pribadi dengan keyataan
42 yang ada. Tegangan kreatif haruslah dapat diakomodasikan secara tepat dengan tegangan emosi (emotion tension) yang dimiliki setiap orang yang kadangkala malah membuat seseorang merasa dirinya tidak berdaya. Begitu pula setiap individu harus menggunakan kemampuan bawah sadarnya yang mempunyai kemampuan tidak terbatas untuk meningkatkan berbagai macam keahlian pribadi yang dinilai penting dan selalu berusaha belajar mencapai visi dengan mengakomodasikan berbagai hambatan yang ada dalam kenyataan(Senge, 1990: 165). Dalam
prakteknya,
keahlian
pribadi
mengupayakan
untuk
mengklarifikasi visi pribadi dan mempertahankan tegangan kreatif yang timbul secara sadar maupun bawah sadar. Di sisi lain, diperlukan juga untuk menentukan pilihan yang timbul terhadap sesuatu yang harus dilakukannya sesuai kondisi yang dihadapi dalam organisasi. 2.4.2. Model mental (mental models) Satu hal yang diyakini dan diketahui oleh semua manajer adalah bahwa banyak ide terbaik yang lahir, tetapi tidak pernah dapat diterapkan, banyak strategi yang hebat, tetapi tidak dapat digunakan, banyak
kebijakan
yang
sistematis,
tidak
dapat
dijalankan
dalam
operasional organisasi. Hal ini disebabkan, karena adanya perbedaan dalam memandang suatu permasalahan atau isu-isu strategis di antara individuindividu organisasi, yang merupakan "mental model" dari tiap-tiap individu
43 tersebut. Model mental sangat mempengaruhi tidak hanya bagaimana kita mengenal dunia, akan tetapi juga bagaimana kita mengambil tindakan, karena apa yang kita kerjakan cenderung tergantung pada apa yang kita lihat. Dua orang dengan model mental yang berbeda akan mengamati kejadian yang sama dan menggambarkannya secara berbeda. Inilah sebabnya mengapa disiplin mengelola model mental diharapkan dapat menjadi terobosan utama dalam mengembangkan organisasi belajar (Senge, 1990: 172-l 83) Model mental merupakan asumsi yang mendalam baik berupa generalisasi ataupun pandangan manusia untuk memahami dunia dan mengambil keputusan. Pemahamam mengenai model mental berkaitan dengan keterampilan dari refleksi dan keterampilan mempertanyakan. Keterampilan dari refleksi dimulai dengan suatu lompatan abstraksi dimana pikiran kita secara harfiah bergerak cepat dan melompat untuk segera menggeneralisasi fakta-fakta yang sebenarnya spesifik, sehingga kita tidak pernah berpikir untuk mengujinya. Hal inilah yang seringkali memperlambat proses belajar kita (Senge, 1990:191-193). Esensi model mental adalah mengurangi kesenjangan antara apa yang dikatakan seseorang (right hand column) dengan apa yang ada dipikiran orang tersebut namun tidak diucapkan (left hand column). Dengan demikian dapat dicapai suatu perasaan saling mempercayai di
44 antara seluruh anggota organisasi terhadap kebenaran yang sesungguhnya, sehingga setiap orang menghargai keterbukaan sebagai salah satu syarat penting dalam kehidupan berorganisasi yang dapat menimbulkan visi bersama. Pada prinsipnya model mental adalah mengkaji kesenjangan antara teori yang mendukung dengan teori yang digunakan, sehingga setiap orang harus merubah sikap dan perilakunya, agar dapat bergerak kearah kemajuan bukan semata-mata berdasarkan emosi atau pendapat pribadi. Setiap asumsi harus diuji agar tidak langsung mencapai kesimpulan (jump
to conclusion) dengan menggunakan tangga inferensi dengan memberikan kesempatan terjadinya interaksi antara orang melalui belajar dari orang lain yang juga berarti orang lain akan belajar pendapat kita melalui proses bertanya dan memberikan kesempatan menjelaskan. Spirit yang dikandung bukan lagi memenangkan argumen tapi mencari argumen terbaik yang didukung data/informasi yang benar. Adapun praktek model mental diterapkan dengan proses bertanya dan
memberikan
kesempatan
menjelaskan
melalui
dialog
untuk
membedakan data dari data abstraksi dengan melakukan pengujian asumsi, serta selalu memperlambat proses berpikir, agar tidak langsung mengambil keputusan dengan menimbulkan asumsi hal-hal yang dipikirkan, namun tidak dikatakan (left hand column) menjadi terungkap secara terbuka dan jujur.
45 Tujuan terpenting left hand column adalah belajar berargumentasi secara profesional dalam situasi konflik. Perpaduan berpikir sistem dengan model mental dapat membuat perubahan dari mental yang selalu berdasarkan kejadian menjadi model mental yang melihat jangka panjang dan struktur pola tersebut. Oleh karena itu, unsur pokok model mental adalah tercapainya keterbukaan yang akan mempermudah proses pengambilan keputusan melalui diskusi yang optimal dan hilangnya mental block yang menghambat dalam organisasi. 2.4.3. Visi bersama (shared vision) Visi di sini bukanlah diartikan sebagai suatu ide penting, melainkan suatu daya dari kekuatan yang mengagumkan yang berada dalam diri setiap orang. Sedangkan visi bersama adalah visi organisasi yang dibentuk dari visi-visi individu yang menciptakan suatu perasaan kebersamaan yang menembus organisasi dan memberikan koherensi kepada berbagai aktivitas yang berbeda (Senge, 1990.204-209). Adapun tujuan pembentukan visi bersama adalah sebagai panduan dari visi individu yang nantinya dapat diterapkan secara bersama-sama dalam organisasi. Visi bersama amat dibutuhkan perusahaan untuk menyamakan persepsi tentang tujuan yang hendak dicapai organisasi. Perusahaan harus dapat menjaga, mengelola bahkan merubah visi bersama tersebut apabila dinilai sudah tidak cocok dengan kondisi internal maupun
46 eksternal perusahaan. visi merupakan masa depan yang menjanjikan berbagai hal-hal yang diharapkan, nyata dan dapat diyakini untuk dicapai, karena visi adalah gambaran atau imajinasi yang ingin dicapai dimasa mendatang dan kemungkinan terjadi itu ada. Jadi visi bukanlah khayalan yang tidak dapat diwujudkan (Senge, 1990.207 -210) Dari sudut pandang organisasi, visi harus memiliki unsur sebagai berikut (1)mempunyai harga/makna sesuai dengan usaha yang diberikan, (2) mampu memberikan inspirasi. Di mana karyawan merasa tergerak untuk bertindak dan berusaha mencapainya, (3) dapat mengundang untuk berbagi rasa, sehingga karyawan percaya terhadap apa yang mereka lakukan, (4) jelas dan mudah dimengerti, visi harus simple dalam konsep sehingga mudah dimengerti dan diterapkan, dan (5) bisa dicapai, visi harus praktis dan dapat memberikan petunjuk mengenai suatu proses (Notowidigdo, 1998: 80). Dilihat dari esensinya, visi bersama merupakan aspirasi bersama yang
menghubungkan
individu
satu
dengan
lainya.
Setiap
orang
menginginkan berbuat sesuatu yang lebih penting bersama orang lain dalam organisasi untuk mencapai tujuan yang merupakan visi bersama. Kekuatan visi pribadi diperoleh dari kepedulian yang dalam dari visi orang yang bersangkutan, sedangkan kekuatan visi bersama diperoleh dari kepedulian
47 bersama (kemitraan), karena tujuan organisasi yang harus dikejar merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh seluruh individu dalam organisasi. Prinsip dari visi bersama dapat diibaratkan sebagai hologram dari gambaran yang dikembangkan melalui penyatuan visi pribadi yang akan menghasilkan komitmen, karena setiap individu menginginkan visi bersama tersebut dapat terwujud secara sukarela dengan penuh kesadaran. Hal ini sangat berbeda apabila visi bersama dibuatkan dalam pola top down, karena hanya akan menghasilkan kepatuhan. Hal ini terjadi karena tidak adanya komitmen yang kuat dari individu untuk merealisasikannva. Dalam prakteknya, visi bersama sebenarnya berakar dari visi pribadi yang ingin mencapai suatu tujuan kesuksesan tertentu dalam hidupnya. Untuk itu, manajemen perlu memiliki visi, membuat rencana kerja terhadap aktifitas yang ingin dilakukan, dan hasil yang dicapainya. Visi bersama yang umumnya bersifat ekstrinsik perlu dikaji ulang bahkan kalau perlu diganti bila dinilai sudah tidak sesuai dengan keadaan. Seringkali visi tersebut dibentuk sebagai refleksi dari keadaan organisasi itu sendiri. Setiap orang harus diberikan kesempatan mengutarakan pendapat dan mau mendengarkan pendapat orang lain serta diberikan kebebasan dalam memilih berdasarkan data dan informasi yang tersedia. Dengan demikian akan tumbuh komitmen yang kuat dari setiap anggota organisasi untuk mewujudkan visi bersama.
48 2.4.4. Pembelajaran tim (team learning) Pembelajaran mengembangkan
tim
kapasitas
merupakan sebuah
tim
proses untuk
menyearahkan mencapai
hasil
dan yang
sesungguhnya diharapkan oleh anggota-anggota tim. Tim diartikan sebagai kelompok individu yang bekerja sama sebagai satu kesatuan, saling mempercayai, saling menghargai dan menjunjung tinggi kelebihan yang ada pada tim, sehingga para anggota tim dapat saling mengisi dan bekerja sama untuk mencapai tujuannya (Senge, 234-236). Lebih lanjut, Senge (1990:236) menyebutkan bahwa pembelajaran Tim merupakan unit pembelajaran yang fundamental dalam organisasi modern. Jika tim tidak belajar, maka organisasi pun tidak belajar. Kebutuhan pembelajaran tim dalam organisasi semakin meningkat sejalan dengan tantangan yang dihadapi organisasi. Pembelajaran tim dapat muncul dalam bentuk management team, product development team atau cross
functional team ataupunn task forces. Hal ini dapat dipahami, karena hampir semua keputusan penting saat ini dibuat dalam tim. Dilihat dari esensinya, pembelajaran tim merupakan langkah menuju terciptanya kemitraan dan pengembangan kapasitas organisasi, karena pembelajaran tim dapat ditumbuhkan dari proses pembentukan visi bersama dan keahlian pribadi. Dengan demikian dari pembelajaran tim akan diperoleh hasil yang lebih baik, karena mengandalkan berpikir jernih dan
49 mendalam
terhadap
terkoordinasi,
serta
problem peran
yang aktif
pelik, anggota
bertindak tim.
Oleh
inovatif
dan
karena
itu
pembelajaran tim merupakan disiplin kolektif dan kolektif intelegensi yang menghasilkan keputusan yang lebih hebat dibandingkan dengan keputusan darim pemikiran pribadi (Senge, 1990:352). Prinsip pembelajaran tim dilakukan melalui dialog dan diskusi. Dalam dialog berbagai pandangan diungkapkan dalam upaya menemukan pandangan baru, sedangkan diskusi membutuhkan kesepakatan dan keputusan yang harus dibuat. Sebaliknya dialog tidak mencari kesepakatan tetapi menemukan suatu pemahaman yang lebih mendalam tentang masalah yang rumit (Senge,l990:376). Oleh karena itu, pembelajaran tim harus mampu mengembangkan dialog yang akan mendorong terjadinya pembelajaran dalam tim itu sendiri. Keterbukaan dalam dialog diharapkan dapat mengurangi
defensive
routines,
yakni
kebiasaan
seseorang
untuk
melindungi dirinya dari rasa malu atau merasa terancam apabila mengeluarkan pendapatnya. Pembelajaran organisasi akan tercapai dengan semakin luasnya individu belajar yang tergabung dalam tim belajar yang solid (Senge,1990:239-247). 2.4.5. Berpikir sistem (systems thinking) Sejarah berpikir sistem sebenarnya telah dikenal sejak abad ke 19 yang berawal dari konsep cybernetic yang muncul dalam ilmu tehnik,
50 kemudian dikembangkan untuk menganalisa organisasi perusahaan, masalah daerah dan perkotaan, ekonomi, politik dan ekologi. Konsep tersebut memberikan kemampuan kepada manusia untuk melihat fenomena yang saling berkaitan dan menjelaskan keunikan serta karakter dari suatu sistem kehidupan (Senge, 1990:l_5-16). Berpikir sistem adalah suatu disiplin untuk melihat struktur yang kompleks melalui perubahan pola pikir (shift of mind) dan berpikir perbagian menjadi berpikir secara keseluruhan / utuh dengan melihat semua masalah sebagai saling berkaitan (interconnectedness) yang menghasilkan pola perubahan (Pattern of change). Berpikir sistem meletakkan pola pendekatan yang dinamis dan sistematis dalam menyikapi berbagai masalah yang ada dalam organisasi. Dengan demikian, berpikir sistem dapat dijadikan sebagai tonggak konseptual yang mendasari semua pilar disiplin pembelajaran (Haines, 1998 : l-12, 104) Berpikir sistem sangat penting untuk memperoleh pergeseran pola pikir (shift of mind) dari cara berpikir bagian menuju cara berpikir yang utuh, sehingga mampu mengenali peningkatan kedinamisan struktur yang kompleks dan perubahannya (Albertch,l983:27). oleh karena itu, berpikir sistem merupakan paradigma yang melihat keunggulan sebagai hasil kontribusi semua unit (disiplin belajar) secara menyeluruh, sehingga dapat dikatakan, bahwa berpikir sistem merupakan inti utama dari konsep
51 organisasi pembelajar. Sebagai contoh, berpikir sistem dalam keahlian pribadi (Personal mastery) dapat membantu individu melihat hubungan dirinya dengan dunia luar dan berbagai hubungan antara tindakan dan realitasnya (Flood,l999 . 26-28). Dalam esensinya, berpikir sistem memiliki kemampuan untuk memperkirakan timbulnya peristiwa yang kompleks, melihat kekuatan dan kelemahan diri dan organisasi, mendorong manusia mencari solusi yang realistis dan merupakan dasar bagi cara berpikir dan berkomunikasi dengan jelas. Dengan dcmikian, berpikir sistem lebih melihat fenomena sebagai suatu keterkaitan dan bukan sebagai sebab akibat, karena berpikir sistem melihat fenomena secara keseluruhan Prinsip dari berpikir sistem berkaitan dengan struktur yang mempengaruhi perilaku, termasuk dapat berupa penolakan kebijakan dan pengungkit yang ditunjang dengan pola dasar sistem (the system archetypes). Prinsip tersebut dapat membantu mengenali sumber masaiah untuk menghasilkan keputusan terbaik tanpa harus terjebak dalam kompleksitas masalah yang terjadi (Senge, 1990 :57-67). Praktek dalam berpikir sistem mengharuskan organisasi dapat memahami kompleksitas masalah yang dinamis dengan kecenderungan pada titik tertentu akan membentuk suatu keseimbangan. Untuk itulah perbaikan organisasi harus
dilakukan
secara mendasar yang akan
52 menghasilkan sesuatu yang lebih permanen dengan menggunakan pola dasar sistem dan melakukan berbagai simulasi untuk memproyeksikan alternatifalternatif solusi yang tepat. Dengan demikian dalam organisasi akan terdapat kekuatan sinergis yang terbentuk dari penerapan pola dasar sistem yang mengarah pada harmoni internal (Senge, 1990:375) 2.5. Karakteristik Learning organization Karakteristik yang paling menonjol dari learning organi:ation menurut Mills dan Friesen (1992: 147-148) adalah (1) organisasi tersebut memiliki komitmen terhadap pengetahuan. Hal ini ditunjukkan antara lain dengan seleksi karyawan yang menekankan potensi dan kemauan untuk senantiasa belajar dan melalui pengembangan pembelajaran di dalam organisasi, dimana hasil-hasil pembelajaran disebarluaskan melalui diskusi, seminar dan media publikasi lainnya. Hal ini berarti adanya penekanan pada aspek pengembangan sumber daya manusia, (2) organisasi harus memiliki suatu mekanisme pembaharuan di dalam dirinya sendiri, dan (3) adanya keterbukaan dengan dunia luar, sehingga organisasi bisa responsif terhadap apa yang terjadi di luar organisasi, seperti pelanggan, pemasok, pesaing dan sebagainya. Lebih lanjut Marquadt (1994.24) menyebutkan bahwa karakteristik organisasi pembelajar dilakukan dengan meningkatkan kapasitas organisasi melalui sarana :
53 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26.
Memandang ketidakpastian sebagai kesempatan untuk tumbuh berkembang. Menciptakan pengetahuan baru dengan menggunakan informasi yang objektif, pengertian yang subjektif, simbol-simbol dan asumsi-asumsi. Menyambut dengan hangat kehadiran berbagai perubahan. Mendorong rasa tanggung jawab mulai pada tingkatan karyawan rendah. Mendorong manajer menjadi pembimbing, mentor, fasilitator pembelajaran. Memiliki budaya umpan balik dan keterbukaan. Memiliki pandangan terpadu dan sistematis terhadap organisasi berikut sistem, proses dan keterkaitan antar unsurnya. Visi, tujuan dan nilai-nilai organisasi telah melekat di kalangan karyawan. Pengambilan keputusan terdesentralisasi dan para karyawan diberi kewenangan untuk mengambil suatu keputusan. Memiliki pemimpin-pemimpin yang mengambil resiko dengan penuh perhitungan. Memiliki sistem untuk berbagai pengetahuan dan menggunakannya dalam kegiatan usaha. Berorientasi pada pelanggan (customer driven) Peduli dengan lingkungan masyarakat sekitar. Mengkaitkan pengembangan diri karyawan dengan pengembangan organisasi secara keseluruhan. Memiliki jaringan teknologi dalam organisasi Memiliki jaringan-jaringan (networks) dengan lingkungan dunia usaha. Memberikan kesempatan untuk belajar dari pengalaman. Mampu bertahan dari tekanan birokratis dan tekanan lainnya. Mengakomodasi dan menghargai inisiatif pegawai. Rasa saling Percaya telah tertanam di dalam organisasi. Melakukan pembaharuan secara berkesinambungan. Mengakomodasi, mendorong dan menghargai segala bentuk kerja kelompok. Mengoptimalkan kerja sama dalam organisasi (crossfunctional team). Mendayagunakan kemampuan belajar yang ada. Memandang organisasi sebagai suatu organisme yang hidup dan terus berkembang. Memandang kejadian yang tidak diharapkan sebagai kesempatan untuk belajar.
54 2.6 Proses Belajar Individu dan Organisasi Individu
belajar
merupakan
pilar
utama
dalam
organisasi
pembelajar, karena hanya individu yang dapat berpikir dan berbuat. Pembelajaran individu memang tidak menjamin terjadinya pembelajaran organisasi, tetapi tanpa pembelajaran individu tidak akan terjadi pembelajaran organisasi (Senge, 1990 : 135). Lebih lanjut, Argyris ( 1996) dalam Tjakaraatmadja (2002:64-65) menyebutkan bahwa adanya anggota organisasi yang memiliki perasaan tidak kompeten (skilled incompetence) justru akan menjadi penghalang terjadinya proses belajar organisasional. Smye & Cooke (dalam Huseini, 1996:10), menyebutkan bahwa penyebab dari perilaku yang tidak memadai dapat berasal dari faktor-faktor (l) ketidaktahuan karyarwan akan apa yang diharapkan dari mereka; (2) kurangnya keterampilan; (3) mereka menganggap hal hal yang lebih penting; (4) tidak ada reward; (5) mereka berpikir telah bertindak dengan tepat, atau (6) terdapat banyak hambatan. Proses belajar individu dapat menggunakan beberapa metode belajar, diantaranya belajar mandiri, dengan teman sekerja, melalui komputer, tugas-tugas khusus dan inspirasi individu. Marquadt (1996:32) menyebutkan beberapa faktor yang dapat mendorong individu untuk selalu belajar yaitu (1) adanya tanggungjawab individu dan kelompok dalam
55 membangkitkan semangat belajar antar teman sekerja, (2) masalah dan lokasi tempat belajar dapat diarahkan pada materi yang selaras dengan pekerjaan dalam skala kecil dan dapat diimplementasikan. (3) Pendekatan kepada beberapa teknik cara belajar, sehingga dapat menarik dan mudah dipahami, (4) adanya perencanaan pengembangan diri para individu, agar organisasi
survival,
(5)
adanya
keleluasaan
untuk
pengembangan
profesionalisme, melalui kegiatan yang menyangkut profesi pekerjaan dan keterampilan, (6) adanya semangat belajar individu yang juga harus dikaitkan dengan semangat belajar organisasi baik secara implisit maupun eksplisit. Siklus belajar tunggal terjadi bila individu berhasil melakukan proses belajar olah inteleklual yang dimulai dengan observasi, 4.sse.r, design dan implementosi. Melalui tahapan ini, individu akan mengetahui fakta pembelajaran merupakan proses yang terkait dengan bagian integrasi organisasi. Dalam proses tersebut akan muncul pendewasaan diri yang dicirikan oleh berkembangnya disiplin penguasaan diri para anggota organisasi. Siklus belajar lingkar ganda terjadi, apabila individu belajar tersebut mengalami penyesuaian model mental, sehingga terjadi perubahan paradigma dan spirit baru dalam dirinya. Pada tataran ini, Harefa (1999) dan
Sumardjo
(2000)
dalam
Tjakraatmadja
(2002:65-66)
56 mendefinisikannya sebagai manusia yang memiliki kedewasaan spiritual, dengan
karakteristik
dasar
sebagai
berikut
:
pertama,
memiliki
kedewasaan intelektual; yaitu memiliki kemampuan belajar bagaimana belajar dan belajar bagaimana berpikir. Menggambarkan kemampuan dan kemauan untuk berpikir dan menyelesaikan masalah secara tuntas. Untuk itu, minimal dibutuhkan kemampuan dasar (1) membaca, (2) menulis, (3) mendengarkan, dan (4) berbicara. Kedua, memiliki kedewasaan emosional; yaitu memiliki kemampuan belajar bagaimana berparadigma (menyusun kerangka berpikir)/membangun citra diri. Untuk itu, minimal dibutuhkan kemampuan: (1) menguasai emosi diri: memiliki sikap berani dan berdaulat, bertanggung jawab dan mampu bertindak dengan penuh pertimbangan, (2) mengaktualisasikan dirinya, yakni mampu memahami hakekat dirinya (ati diri) dan mampu memahami realitas hidupnya (visi pribadi), serta (3) bermoral. Ketiga, memiliki kedewasaan sosial, memiliki wawasan luas serta mampu menjalin hubungan baik secara interpersonal. Selanjutnya proses belajar individu pada prinsipnya tidak memiliki perbedaan mendasar dengan proses belajar organisasi, karena proses belajar organisasional pada dasarnya tergantung pada proses belajar individu, yang secara prinsip merupakan (1) pembelajaran yang dilakukan secara menyeluruh melalui berbagai wawasan, pengetahuan dan pola pikir segenap
anggota
organisasi,
(2)
pembelajaran
organisasi
dibangun
57 berdasarkan pengalaman masa lalu yang tergantung pada situasi, kondisi dan
strategi
organisasi
dengan
menggunakan
pengetahuan
untuk
mengantisipasi perkembangan masa depan ( Marquardt,l996 :2l). Dalam proses tersebut, siklus belajar tunggal terjadi, apabila para anggota organisasi berhasil membentuk kesepakatan bersama untuk merubah cara berpikir, namun masih menggunakan model mental atau spirit lama, sehingga perubahan strategi/program organisasinya bersifat tidak mendasar. Hal ini terjadi karena organisasi berhasil melakukan proses belajar olah intelektual bersama, sehingga terjadi proses integrasi kecerdasan
intelektual
individual
(pengetahuan
tacit
dan/atau
pengetahuan eksplisit para anggota organisasi) menjadi kccerdasan intelektual organisasi, yang selanjutnya mereka aktualisasikan dalam bentuk struktur, strategi, program baru, sistem dan prosedur organisasi, sebagai bentuk kesepakatan bersama dan pedoman untuk berorganisasi, walaupun dengan model mental atau spirit lama. Sedangkan proses belajar ganda terjadi apabila organisasi juga berhasil melakukan penyesuaian model mental atau visinya, sehingga pada akhirnya mampu melahirkan organisasi baru dengan visi baru. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut : pertama, pembelajaran
individu
sangat
penting
dalam
transformasi
menuju
organisasi pembelajar. Dalam hal ini, Juwono Sudarsono dalam Huseini
58 (1995:47) mengingatkan perlunya masyarakat Indonesia membenahi sistem pendidikan nasionalnya agar dapat memiliki delapan kompetensi dasar (membaca,
menulis,
mendengar,
bertutur,
mengamati,
menghayati,
menafsirkan dan menghayal) sebagai cikal bakal untuk mewujudkan masyarakat yang berbudaya dan berpengetahuan. Kedua, proses belajar organisasional adalah proses belajar bersama dan saling berbagi, yakni berbagi cara berpikir, berbagi model mental atau berbagi
visi
bersama
Indikasi
dari
keberhasilan
proses
belajar
organisasional adalah makin luas dan makin intensifnya proses belajar organisasional yang pada akhirnya akan melibatkan seluruh anggota organisasi/perusahaan, seperti satu kesatuan orkestra ataupun tim bola basket. Dimana keberhasilan tim tersebut pastilah tidak dapat hanya disumbangkan oleh seorang anggota individu saja, bahkan juga bukan karena penjumlahan dari pengetahuan dan keterampilan masing-masing individu, akan tetapi merupakan cerminan kinerja keseluruhan tata kerja di dalam organisasi (Sudarsono, 1998: l6). 2.7. Jalur Transformasi Pengetahuan Untuk mengintegrasikan proses belajar individu menjadi hasil belajar organisasi diperlukan suatu mekanisme transfer pengetahuan. Mekanisme
tersebut
sangat
penting,
karena
tanpa
adanya
aliran
transformasi pengetahuan, yang didukung oleh kerja keras dan komitmen
59 individu akan sulit mewujudkan organisasi pembelajar. Hal ini berarti, bahwa adanya jalur transformasi pengetahuan menjadi penentu suksesnya organisasi pembelajar. Dengan kata lain, proses pembelajaran (types of
learning), baik oleh individu, kelompok individu dan organisasi (levels of learning) tidak akan membuahkan hasil, apabila tidak memiliki lima disiplin belajar
dalam
proses
pembelajaran
tersebut.
Senge
(1990.5-ll)
menjelaskan bahwa organisasi belajar membutuhkan lima disiplin belajar yaitu (1) keahlian pribadi (Personal matery), (2) model mental (mental
models), (3) visi bersama (share vision) (a) pembelajaran tim (team learning), dan (5) berpikir sistem (system thinking). Mengenai ke lima disiplin belajar tersebut, Ghoshal dan Barlett (1999) dalam Tjakraatmadja (2001: 9), menyatakan bahwa lima disiplin organisasi belajar Senge di atas merupakan norma yang dibutuhkan untuk membangun suatu organisasi pembelajar, di mana untuk membangunnya membutuhkan
waktu
dan
usaha.
Lebih
lanjut,
Senge
(1994:l0-11)
menyatakan bahwa lima disiplin organisasi belajar tersebut dapat berperan sebagai "developmental path for acquiring certain skills or
compelencies to organization capital”. Individu yang memiliki keahlian pribadi (Personal mastery) minimal akan memiliki dua kemampuan yaitu (1) mengenali diri sendiri secara mendalam dan (2) konsisten untuk membangun kondisi lingkungan kerja
60 yang
kondusif
untuk
suburnya
proses
belajar
bersama
(Tjakraatmadja,2002: 73-74). Disiplin ini merupakan dasar dari kelima disiplin lainnya. Visi bersama dibentuk dari visi pribadi yang merupakan inti dari keahlian pribadi. Disisi lain, model mental seseorang juga ditentukan oleh keahlian pribadinya. Individu yang berpikir secara sistem akan melihat lingkungannya dari sisi keseluruhan, bukan melihat dari salah satu sisi atau bagian. Kemampuan untuk melihat secara keseluruhan tersebut merupakan keahlian/penguasaan pribadi, karena visi bersama dibangun dari visi
pribadi,
maka
berpikir
sistem
merupakan
landasan
untuk
pengembangan visi bersama. Pada hakekatnya visi bersama adalah gambaran bersama mengenai masa depan, berupa komitmen yang muncul secara sukarela untuk mewujudkannya. Komitmen untuk mencapai visi bersama diterapkan dalam pembentukan pembelajaran tim. Visi adalah model mental, masa depan dengan kekuatan utama memproyeksikan sesuatu yang diharapkan dicapai organisasi yang diyakini oleh semua anggota dalam organisasi tersebut. Berpikir Sistem tanpa disiplin model mental akan kehilangan makna dan kekuatannya. Kedua disiplin saling berintegrasi karena model mental memberi fokus mengenai asumsi yang tidak kelihatan. Sebaliknya, berpikir sistem memberi fokus kepada bagaimana merestruktur asumsi untuk mengungkapkan penyebab utama dari masalah. Hasil integrasi berpikir
61 sistem dan model mental tidak hanya memperbaiki model mental individu tetapi juga mengganti jalan pemikirannya. Berpikir sistem sebagai disiplin kelima memainkan peranan sentral dalam pembelajaran tim, karena melalui dialog sebagai perspektif kesisteman terjadi perpaduan dan integrasi keempat disiplin lainnya yaitu visi bersama, model mental, keahlian pribadi dan pembelajaran tim. Dengan demikian jelas bahwa penerapan kelima disiplin belajar merupakan kunci terwujudnya organisasi pembelajar. 2.8. Hambatan dalam Learning dan Learning organization Untuk menerapkan konsep organisasi pembelajar bukanlah suatu hal yang mudah, karena banyak faktor yang dapat menghambat proses belajar dan tumbuhnya organisasi pembelajar. Dari sisi individu, Argyris dan Schon (1996) dalam Senge (1994. 182-183) melihat bahwa rasa tidak kompeten (skilled incompetence) dari anggota organisasi akan menjadi penghalang
terjadinya
proses
belajar
dan
terwujudnya
organisasi
pembelajar, bahkan proses belajar dapat dianggap sebagai penyingkiran alamiah. Skilled incompetence merupakan kombinasi dari prilaku / perasaan antara lain: (1) defensive routines, yakni kebiasaan seseorang untuk melindungi dirinya dari rasa malu atau merasa terancam, apabila mengeluarkan pendapatnya, meliputi sikap anti belajar, terlalu mengekang dan menutup diri, (2) fancy foofwork yakni sikap yang membenarkan suatu
62 tindakan yang tidak konsisten untuk menyangkal atau menyalahkan orang lain tanpa memperhatikan respon mereka, dan (3) Malaise yaitu putus asa, sinis, menjaga jarak dan menyalahkan orang lain. Disisi lain, Wick dan Leon (1993) dalam Sudarsono (1998:lS) menyebutkan hambatan dalam learning dan learning organization tersebut antara lain (1) sulitnya mendapatkan waktu untuk belajar, (2) kesalahan menetapkan sasaran belajar, (3) kesalahan pendekatan belajar, (4) sikap menyalahkan orang lain, (5) ketakutan bagi yang tidak memahami, yakni terjadinya kekuatiran bahwa ketidak mampuan belajar dapat pula diartikan sebagai penyingkiran alamiah, (6) sikap atasan yang kurang mendukung dan senang menekan, (7) visi organisasi yang tidak jelas, dan (8) keinginan yang tinggi akan tetapi tindak lanjutnya lemah. Selanjutnya March dan olsen (1975:147-17l) dalam syafar (1995:19) mengemukakan bahwa hambatan-hambatan tersebut dapat berupa (1) role
constrained learning, yaitu hambatan yang muncul ketika pembelajaran individu tidak berdampak pada prilaku individu, sebagai akibat dari tergantungnya peran individu tersebut, (2) audience learning, yaitu hambatan yang terjadi apabila individu mempengaruhi organisasi melalui pemahamam ganda atau dengan cara yang rancu, (3) superstitious learning, yakni terjadi apabila terputusnya keterkaitan antara organisasi dengan respon lingkungannya, karena tindakan, responsi dan pembelajaran sudah
63 dilakukan akan tetapi tidak ada perpajakan nyata atau dasar pemikiran yang bisa dikembangkan untuk menghubungkan antara organisasi dengan respon lingkungannya, (4) learning under ambiquity, yakni hambatan yang terjadi karena pembelajaran operasional tidak diimbangani dengan pembelaj aran konseptual, (5) Opportunity learning, yaitu hambatan yang muncul, karena tidak adanya kesempatan untuk belajar. Disisi lain, suasana atau keadaan organisasi yang kurang menyenangkan dapat juga menjadi penghambat berkembangnya proses belajar (situational learning). Mengenai hambatan-hambatan belajar dalam organisasi, Senge (1990:18-25) melihatnya sebagai faktor internal yang lebih dikenal sebagai ketidakmampuan belajar yang dikategorikan dalam tujuh bentuk, yakni : (1) Saya dalam posisi saya adalah kecenderungan setiap karyawan melihat tanggung jawab mereka sebagai sesuatu yang terbatas terhadap posisi mereka. Begitu terjadi sesuatu maka asumsinya adalah seseorang lain mengacaukannya, (2) Musuh di luar sana, yaitu kecenderungan untuk mencari seseorang atau sesuatu di luar pribadi mereka untuk disalahkan, bila segalanya berjalan keliru, (3) Ilusi mengambil tanggung jawab, ditunjukkan dengan munculnya sikap proaktif sebagai sikap reaktif secara tersembunyi untuk melawan musuh yang ada di luar sana secara agresif. Dalam hal ini, sikap pro aktif muncul dengan melihat bagaimana setiap orang berkontribusi dalam masalah yang terjadi pada dirinya, yang
64 merupakan produk berpikir orang pribadi bukan sifat emosional belaka, (4) Fiksasi/pendapat atas peristiwa, merupakan bagian dari evolusi kehidupan manusia
atau
organisasi.
Membangkitkan
pembelajaran
tidak
bisa
dipertahankan dalam organisasi kalau pemikiran orang didominasi oleh peristiwa jangka pendek, (5) Perumpamaan kodok rebus, adanya mal adaptasi yang perlahan mengancam kelangsungan hidup individu/organisasi, karena kegagalan atau tidak berfungsinya alarm internal yang dapat mendeteksi ancamam keselamatan yang disesuaikan dengan perubahan yang lingkungan mendadak, (6) Bayangan pengalaman belajar. Pembelajaran paling baik dan kuat berasal dari pengalaman langsung. Namun tidak setiap orang langsung mengalami konsekuensi atas banyaknva keputusan penting yang diambil olehnya. Hal ini, menimbulkan dilema dalam pembelajaran, dan (7) Mitos manajemen, yaitu adanya anggapan bahwa tim mungkin berfungsi sangat baik dengan hal-hal yang bersifat rutin. Tetapi ketika berhadapan dengan isu komplek yang mungkin membuat malu atau mengancam kebersamaan justru tim mulai jadi rusak. Berdasarkan uraian tersebut di atas jelaslah, bahwa hambatanhambatan untuk mewujudkan organisasi pembelajar dapat terjadi pada level sistem-struktur organisasi, dan pada level individu atau kelompok. Pada level sistem-struktur organisasi, hambatan yang muncul berkaitan dengan desain struktur organisasi dan budaya organisasi. Desain struktur
65 organisasi dapat menjadi resistensi terhadap perubahan yang berakar pada besaran, kompleksitas dan independensi di dalam struktur-struktur, sistem-sistem, prosedur-prosedur dan proses-proses dalam organisasi. Misalnya, pengambilan keputusan yang sentralistik (terlalu terpusat). Sedangkan dari sisi budaya, hambatan muncul antara lain disebabkan oleh tingginya jarak kuasa (distance power) dan nilai-nilai paternalistic. Misalnya, kuatnya asas senioritas. Hal ini berakibat kurangnya sikap open minded yakni sikap mau mendengar, mau meng-share dan tidak memonopoli kebenaran (Gede Prama 1995: 20, dalam Abidin, 2000: 64). Selain itu, usia dan keberhasilan organisasi dapat menjadi hambatan karena semakin lama suatu organisasi, semakin tertanam kuat nilai-nilai yang dianutnya, sehingga sulit untuk berubah. Disisi lain keberhasilan masa lalu akan menimbulkan status quo, bahkan xenophobia, yaitu benci atau tidak suka akan hal-hal asing atau baru (Husin, 1998:11). Adapun hambatan dari kelompok dapat berupa dampak negatif dari berpikir kelompok dan konflik yang tak terkendali. Konflik yang meluas dan tidak diselesaikan dengan bijak akan membahayakan organisasi. Sedangkan dari level individu, hambatan dapat muncul dari kemampuan dan kemauan untuk berubah dan mempelajari hal-hal baru, karena adanya perasaan tidak kompeten (skilled incompetence) dari anggota organisasi akan menghambat terwujudnya organisasi pembelajar.
66 2.9. Strategi membangun Learning dan Learning Organization Untuk membangun suatu organisasi pembelajar diperlukan adanya gagasan yang mengarahkan, yakni bertitik tolak dari suatu wawasan, tata nilai dan tujuan yang dijunjung tinggi oleh organisasi dan apa yang ingin dicapai oleh anggotanya dan diwujudkan dalam prinsip-prinsip pengelolaan organisasi. Untuk mewujudkan gagasan tersebut, diperlukan suatu metode dan alat atau teori yang tepat. Ketiga sarana ini dapat membantu anggota organisasi membangun pengetahuan baru. Melalui teori, kita dapat mengembangkan metode dan alat baru dan sebaliknya keberadaan metode dan
alat
memungkinkan
dikembangkannya
teori
baru.
Selanjutnya
kemampuan organisasi dalam melakukan inovasi infrastruktur akan membatasi kemampuan belajar organisasi. Infrastruktur adalah sarana yang dapat menyediakan sumber daya bagi para anggota di dalam organisasi yang meliputi antara lain : waktu, dukungan manajemen, uang, informasi, jaringan kerjasama dalam jumlah yang mencukupi. Oleh karena itu, kelangkaan sumber daya harus di atasi dengan inovasi infrastruktur (Senge, 1994:2843). Untuk mengintegrasikan ketiga hal tersebut, diperlukan dimensi lain yaitu kepemimpinan, dimana gaya kepemimpinan ini mengarah pada kinerja superior organisasi yang sedang menghadapi tuntutan pembaruan dan perubahan, sehingga dapat mentransformasikan bawahannya melalui empat
67 cara yaitu: karisma, inspirasi, stimulasi intelektual dan konsiderasi yang bersifat individual (Bass dan Avolio, 1994, Dwidarsih, 2001, Tjiptono, 1999:10). Lebih lanjut, Senge dan Kofman (1994:34) menyebutkan tiga peran utama pemimpin yaitu sebagai disainer, guru dan pelayan. Sedangkan Wick dan Leon (1993) dalam Sudarsono (1998:18) menyebutkan bahwa paling tidak ada lima aspek yang perlu disiapkan untuk memulai tumbuhnya organisasi pembelajar, yaitu : (1) pemimpin yang mempunyai visi yang jelas, (2) Adanya rencana kerja yang rinci, (3) Adanya saling tukar menukar informasi yang cepat, (4) adanya semangat penemuan baru, dan (5) adanya kemampuan melaksanakan rencana tersebut. Selanjutnya, untuk menjadi pimpinan yang belajar (learning) tersebut, Wick dan Leon (1993) dalam Sudarsono (198:18) menyebutkan aspek-aspek yang harus diperhatikan yaitu : (1) pemimpinan harus merumuskan visi yang jelas, (2) pemimpinan merupakan panutan yang dapat memberikan contoh-contoh, (3) pemimpinan harus dapat mengusahakan tumbuhnya lingkungan kerja yang mendukung, (4) pemimpinan jangan menjadi tiran dan menekan bawahan, (5) pemimpin bersedia mendengarkan sesuatu yang sebenarnya tidak ingin didengarkan. Oleh karena itu, sebaik apapun strategi yang dimiliki, tanpa komitmen pemimpin, upaya membangun organisasi pembelajar tidak akan
68 berhasil. Marquardt (1996:43) menyebutkan sepuluh strategi tersebut, sebagai berikut : 1.
Pengembangan program belajar yang merupakan subsistem pembelajaran, dan hal-hal yang mendasar adalah: a Mendorong dan melibatkan setiap orang dalam program belajar dan program bersama. b Mulai dari hal-hal yang mungkin dan perlu dilakukan, adapun langkah kongkrit yang dapat dilakukan sebagai berikut: 1. Mengadakan lokakarya yang dihadiri oleh seluruh anggota agar para pimpinan dan staf memahami bagaimana learning organization dapat dilakukan. 2. Menetukan topik belajar yang memiliki daya ungkit bagi individu dan organisasi dan diharapkan setiap individu dapat berperan aktif dalam proses pemecahan masalah sesuai dengan topik yang terpilih. 3. Tim terdiri dan 4 - 6 orang dengan keragaman latar belakang dan fungsi. 4. Kegiatan ini menggunakan berbagai metoda; brainstorming, diskusi, feedback dll. 5. Tim dapat bertemu pada waktu-waktu yang disepakati selama periode waktu tertentu. 6. Fasilitator membantu untuk implementasi bersama. 2. Peningkatan kemampuan individu untuk mempelajari cara belajar yang cocok. Cara belajar yang cocok bagi individu dengan lingkungan kerja yang selalu berubah. 3. Membangun displin berdialog dalam organisasi. Perlu diperhatikan beberapa hal penting yang dapat diciptakan dalam dialog: a. Mengesampingkan berbagai asumsi dan keyakinan b. Mencermatipengamatan c. Saling menghargai sebagai kolega d. Mempunyai semangat mengidentifikasi dan menyelidiki. 4. Penciptaan rencana pengembangan diri 5. Pengadaan program dan pembiayaan pengembangan diri. 6. Pengembangan keterampilan dan pemberdayaan tim 7. Penerapan dan dukungan terhadap pemikiran secara sistem 8. Penggunaan pembelajaran antisipatif 9. Perluasan wawasan keragaman, multi budaya dan pembelajaran global 10. Perubahan model mental yang mengarah kepada pembelajaran
69 2.10. Model Learning Organization Mengingat organisasi pembelajar merupakan pendekatan yang relatif baru dan kompleks, maka pemikiran dan pemahamam konsep tersebut terus menerus dikembangnya oleh para pakar. Salah satu model yang dikembangkan adalah konsep transfer pengetahuan antar hirarki belajar, yaitu antara proses belajar individual dan proses belajar organisasi. Konsep transfer pengetahuan antar hirarki belajar ini pada dasarnya merupakan kombinasi antara konsep siklus individu belajar (OADI : Observe-Assess-Design-implement) yang dikembangkan oleh Kofman's (Kim, 1993) dalam Tjakraatmadja (2001:5-6) dengan konsep model mental (sebagai mekanisme transfer) yang dikembangkan Senge (1990:5-11), sehingga terjadi proses integrasi antara konsep Single Loop
Learning (SLL) dan Double Loop Learnlng (DLL), baik pada belajar tingkat individual maupun organisasi. Lebih lanjut mengenai konsep tersebut, Espejo et al (1996) dalam Tjakraatmadja (2001:6-7) menjelaskan bahwa konsep transformasi dan belajar organisasional terdiri dari tiga tahap, yaitu (1) hilangkan pola defensif organisasional, (2) kembangkan lima disiplin organisasi belajar ditambah struktur yang efektif, dan (3) Hilangkan rintangan belajar pada jalur transformasi. Dengan demikian, secara implisit kelima disiplin belajar dan
struktur
yang
efektif
menentukan
kapasitas
transformasi
70 pengetahuan
dari proses
belajar
individu menjadi
proses belajar
organisasi. Dengan kata lain, mekanisme transfer pengetahuan terjadi melalui proses berbagi model mental. Adanya proses berbagi model mental menyebabkan terjadinya proses saling memahami atau proses saling menyesuaikan (alignment) model mental di antara anggota organisasi, sehingga aktualisasi aktifitas para anggotanya akan dilandasi oleh keyakinan baru sebagai kesepakatan bersama, dimana anggota organisasi akan bekerja dengan spirit yang baru. Selanjutnya dari model mental yang disepakati bersama inilah, kemudian mereka mengaktualisasikan pengetahuannya menjadi strategi, program, sistem/dokumen baru sebagai pedoman kerja seluruh anggota. Berdasarkan uraian tersebut di atas jelaslah bahwa dalam kelirna disiplin belajar merupakan mekanisme yang sangat penting, karena pengelolaan model mental diharapkan dapat menjadi terobosan utama dalam mengembangkan organisasi belajar. Untuk memahami penerapan konsep berbagi model mental (shared
mental model) dalam pengembangan organisasi pembelajar yang mendasari penelitian ini, khususnya pada Kanwil Depkum HAM Propinsi Banten secara skematis dapat dilihat pada kerangka berikut:
71 Gambar 3 Model Pengembangan Organisasi Pembelajar Kanwil Depkum HAM Propinsi Banten Lingkungan Organisasi Disiplin Berbagi Visi
Individu Belajar
Disiplin Personal Mastery
Disiplin Model Mental
Disiplin Tim Belajar
Organisasi Pembelajar
Disiplin Berpikir Sistem Survive
Sumber: diolah sendiri Melalui strategi organisasi pembelajar akan terdapat pemberdayaan SDM aparatur, yakni tumbuhnya proses belajar individu menuju proses belajar tim yang dimulai dari disiplin personal mastery, model mental,
shared vivion, system thinking dan bermuara pada team learning. Selanjutnya, proses belajar tim akan menjadi awal dari proses belajar organisasi. Adanya proses tersebut akan memperkuat kompetensi SDM dalam
rangka
menghadapai
tantangan-tantangan
yang
muncul
dari
lingkungan yang berubah. Hal ini dapat dipahami, karena SDM dengan kompetensi yang tinggi memiliki superior performance dalam suatu pekerjaan (Mitrani,1992: 27-29). Selain itu, pola persaingan juga telah bergeser dari marked-based ke resources-based (basis sumber daya) dan
72 salah satu unsurnya yang paling penting adalah Sumber Daya Manusia (SDM). Sejalan dengan meningkatnya kompetensi inti tersebut, maka organisasi akan memiliki daya saing yang tinggi. Keunggulan daya saing dapat diwujudkan melalui proses belajar yang memadukan antara skills dan teknologi dalam organisasi. Suatu organisasi tanpa memiliki skill, resources maupun teknologi mustahil dapat membangun kapabilitas organisasi dalam bersaing. Untuk itu organisasi dianggap tidak saja sebagai proses pengetahuan membuktikan
tetapi
juga
bahwa
sebagai
paradigma
pencipta
pengetahuan.
pengembangan
SDM
yang
Hal
ini
dapat
berkompetisi dalam era globalisasi adalah pengembangan SDM yang menciptakan knowledge workers, yaitu pekerja yang berbasis kepada ilmu pengetahuan dan memiliki multi skilled (Don Tapscoott, 1996, Kasim, 1998 dalam Taufik, 2000:44).
73
BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tipe Penelitian Dilihat dari tujuan penelitian yang ingin dicapai, maka tipe penelitian ini termasuk dalam penelitian deskriptif. Whitney sebagaimana dikutip Nazir (1995:63) menjelaskan bahwa penelitian deskriptif merupakan suatu penelitian yang bertujuan untuk mempelajari dan menggambarkan masalahmasalah dalam masyarakat, tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi tertentu, termasuk tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikapsikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena. Di sisi lain, penelitian deskriptif dirancang untuk mengumpulkan informasi tentang keadaan-keadaan nyata sekarang atau yang sementara berlangsung (Sevilla, 1993:71). Kongkritnya adalah keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan (Suharsimi, 1995:309). Dengan demikian penelitian deskriptif dapat digunakan secara luas serta meliputi banyak segi dibandingkan metode lainnya. Begtu pula penggambaran yang dilakukan
memberikan
informasi
mutakhir
indikasi
terhadap
keadaan/situasi tertentu sehingga data-data yang dihasilkan dinilai dapat diterapkan dalam memecahkan masalah kehidupan sehari-hari (Sevilla, 1993.73).
74 Dengan demikian jelas, bahwa analisis yang dilakukan tersebut merupakan suatu pengamatan dan penilaian terhadap sekelompok manusia dengan cara mengikuti alur peristiwa secara kronologis dan sebab akibat dalam lingkup pikiran orang-orang setempat baik yang diungkapkan secara lisan maupun ditunjukkan dalam sikap atau prilaku mereka (Moleong, 1998:5). Oleh karena itu, penelitian dilakukan terhadap variable mandiri yaitu tanpa membuat perbandingan atau menghubungkan dengan variable yang lain (Sugiyono, 1994:6). 3.2. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi penelitian ini adalah semua karyawan di lingkungan Kanwil Depkum HAM Propinsi Banten yang berjumlah ....... orang. Adapun jumlah sampel ditetapkan secara purposive sebanyak ...... orang atau lebih dari 50% jumlah pegawai. Alasan penggunaan teknik purposive ini, karena variasi di antara unit sampling dan kekeliruan sampel dapat diabaikan, sehingga ukuran sampel hanya diperkirakan secara hipotesis bahwa jumlahnya dianggap cukup sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian (Nawawi,l995:156-158). Mengenai jumlah sampel, Alhusin (2001: 66) dan Surahmand (1972.91) menegaskan bahwa jumlah minimal sampel yang dapat diterima untuk suatu penelitian deskriptif adalah 30 unit. Lebih lanjut, Gay sebagaimana dikutip oleh Umar (1999:108-l I l) menyebutkan bahwa ukuran sampel yang dapat diterima untuk penelitian deskriptif minimal l0%
75 dari populasi. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa jumlah sampel sebanyak ...... orang telah memenuhi syarat untuk suatu penelitian deskriptif. 3.3. Unit Analisis Penelitian Untuk
mengetahui
sejauhmana
strategi
pemberdayaan
SDM
aparatur melalui pendekatan organisasi pembelajar di Kanwil Depkum HAM Propinsi Banten, maka secara spesifik pengkajian diarahkan pada penemuan data atau infonnasi yang berkaitan dengan konsep organisasi pembelajar sebagaimana dikembangkan oleh Senge (1994: l0-l 1), yakni organisasi pembelajar dibangun berdasarkan unsur-unsur keahlian pribadi (personal
mastery), visi bersama (shared vision), model mental (mental models), pembelajaran tim (team learning) dan berpikir sistem (systems thinking). 3.4. Definisi Operasional Variabel
Indikator
Keahlian Pribadi
Kemampuan merefleksikan diri dan visi pribadi, Kemampuan mempengaruhi /mengarahlian
Item 1.
2.
Kemampuan/pemahaman sosial Kemampuan untuk mewujudkan visi pnbadi
3.
Pendelegasian tugas
4.
Inisiatif, tanggung jawab dalam pekerjaan / lingkungan kerja
5.
Pandangan terhadap tugas / pekerjaan
6.
Saya memiliki visi pribadi yang relevan dengan visi organisasi sehingga mendorong kehidupan dan apa yang saya kerjakan menjadi lebih bermakna. Saya secara akif mendorong dan mendukung rekan-rekan kerja agar mereka semangat meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya. Saya merasa kurang memiliki kemampuan membangun kerjasama yang hangat dan akrab. Saya selalu berusaha dengan sekuat tenaga untuk mewujudkan visi pribadi. Saya senang bila pimpinan mau mendelegasikan tugas-tugas dan mendesentralisasikan keputusan kepada bawahan. Saya memiliki inisiatif dan rasa tanggung jawab
76 Variabel
Indikator
Item
Desentralisasi keputusan Kemampuan adaptasi
7.
Komitmen pengembangan diri /prestasi
8.
Kemampuan/pemahaman emosional 9. 10.
11.
Model Mental
Prinsip dan nilai-nilai bersama
1.
Penilaian terhadap kepentingan pribadi dan organisasi
2.
Kemampuan ulang nilai bersama
3.
menguji - nilai
Penilaian terhadap potensi SDM Sikap terhadap persaingan dan kompetisi Sikap terhadap perubahan/tekanan Komitmen terhadap keputusan bersama
4.
5.
6.
Nilai dalam hubungan personal Komitmen terhadap kebenaran fakta / argumentasi
7.
Sikap terhadap realitas dalam organisasi
8.
yang besar serta mendalam untuk menyelesaikan pekerjaan yang dipercayakan oleh pimpinan. Penugasan yang diberikan kepada saya merupakan suatu kesempatan untuk belajar. Saya senang jika pimpinan selalu mengikutsertakan karyawan dalam proses pengambilan keputusan berkaitan dengan perencanaan dan pengembangan organisasi dan karyawan. Saya merasa mampu beradaptasi sesuai dengan perubahan organisasi. Saya yakin bahwa kemampuan saya dapat dikembangkan lebih lanjut kejenjang karir yang lebih tinggi. Saya merasa mampu mengendalikan emosi secara tepat dan memberikan tanggapan yang konstruktif sehingga dapat menenangkan emosi orang lain. Pegawai pada unit kerja kami biasa berpikir dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai, prinsip-prinsip dan norma yang disepakati bersama. Pegawai pada unit kerja kami lebih mementingkan kepentingan pribadi dibandingkan kepentingan organisasi. Para pegawai di unit kerja kami selalu terbuka untuk mengkaji ulang kebiasaan-kebiasaan kerja yang lalu. Pegawai pada unit kerja kami yakin bahwa sumber daya manusia yang berkualitas menjadi asset penting bagi organisasi. Adanya sikap mental yang tidak baik (mental block) membuat pegawai tidak siap untuk bersaing secara sehat. Adanya tekanan dalam organisasi karena perubahan teknologi, sistem dan struktur organisasi dipandang sebagai suatu hal yang positif dan semakin mendorong pegawai untuk terus belajar. Berbagai macam keputusan yang diambil pimpinan telah mendapat masukan dari pegawai, termasuk keputusan tentang pengembangan SDM. Komitmen terhadap kebenaran saling percaya dan saling menghargai telah dijadikan sebagai
77 Variabel
Berbagi Visi
Indikator
Pembelajaran Tim
Item
Kesadaran terhadap Visi organisasi Kemampuan membangun komitmen bersama Dialog mengenai organisasi
visi
Kemampuan mendengarkan satu sama lain Komitmen visi
mewujudkan
Pemahaman program / kegiatan Orientasi langgan
pada
pe-
Sikap pimpinan Kemauan untuk bekerja sama Penghargaan, sanksi, insentif dan promosi Komitmen tekanan
menghadapi
Kemampuan membangun ikatan emosional Semangat berdialog Keterampilan
bekerja
dasar dalam pola hubungan komunikasi antara atasan dan bawahan. 9. Setiap keputusan yang diambil pimpinan selalu berdasarkan pada analisa fakta ataupun datadata yang benar dan argumen yang terbaik. 10. Setiap pegawai secara aktif mempertanyakan dan merespon berbagai realitas dalam organisasi. 1. Pegawai tidak menyadari bahwa visi organisasi sebenamya adalah gabungan/perluasan dari visivisi pribadi. 2. Pegawai di unit kerja kami belum mampu menumbuhkan komitmen bersama untuk mendukung keberhasilan organisasi. 3. Pegawai di unit kerja kami biasa melakukan dialog tentang visi organisasi 4. Setiap pegawai di unit kerla kami aktif berdialog untuk mewujudkan kesamaan pemahaman tentang nilai-nilai kerja baru. 5. Visi, tujuan dan nilai-nilai organisasi yang melekat dikalangan pegawai telah tercermin dalam budaya kerja. 6. Program-program / kegiatan utama Kanwil Depkum HAM Propinsi Banten selalu diinformasikan atau disosialisasikan dengan baik. 7. Kanwil Depkum HAM Propinsi Banten selalu berusaha meningkatkan mutu pelayanan dan berorientasi pada pelanggan. 8. Pimpinan selalu mengutarakan secara terbuka/jujur hal-hal penting yang ingin dicapai atau diperoleh oleh organisasi 9. Kejujuran dan kemauan untuk bekerja sama dengan pihak lain dalam menangani suatu pekerjaan sangat penting bagi organisasi. 10. Setiap pegawai mengetahui dengan jelas kriteria yang digunakan organisasi dalam memberikan penghargaan dan sanksi, insentif maupun promosi kepada pegawai. 11. Pimpinan dan para pegawai saling memberikan dukungan dalam menghadapi tekanan baik eksternal maupun internal. 1. Pegawai di unit kerja kami terbiasa berdialog untuk saling memperkaya pengetahuan. 2. Pegawai di unit kerja kami selalu mendorong rekan kerja lainnya untuk aktif berpartisipasi dalam setiap dialog.
78 Variabel
Indikator
Berpikir Sistem
Item
tim Sikap pimpinan hadap kerja tim
ter-
Kemudahan memperoleh informasi Manfaat dialog Kesediaan untuk mendengarkan Kecenderungan penggunaan memaksa
sikap
Sikap terhadap keberadaan tim Pemahaman tugas lainnya
bidang
Pemahaman struktur hubungan dan keterkaitannya. Kesiapan sistem jaringan informasi Struktur organisasi Sistem penghargaan Hubungan dengan dunia luar Kemampuan untuk berubah Kemampuan berpikir integratif dan tuntas Koordinasi dan operasi antar unit
ko-
Perubahan mekanisme /
3. Pegawai di unit kerja kami terbiasa bekerjasama dengan kelompok kerja manapun sesuai dengan kebutuhan kerja. 4. Pimpinan belum dapat mengakomodasi, mendorong dan menghargai segala bentuk kerja sama kelompok. 5. Para pegawai merasa kesulitan untuk memperoleh informasi yang benar mengenai realitas yang dihadapi organisasi. 6. Para pegawai di unit kerja kami merasa tidak memperoleh banyak manfaat dari setiap dialog yang mereka ikuti. 7. Dalam suatu rapat pimpinan selalu menghargai dan bersikap terbuka dalam menerima usul, gagasan dan kritik serta membahasnya bersama. 8. Pimpinan selalu menghindari sikap-sikap yang cenderung memaksa atau menekan bawahan dan lebih mengoptimalkan kerja sama dalam organisasi untuk menyelesaikan tugas /pekerjaan. 9. Para pegawai menyadari bahwa pengembangan dan pemberdayaan tim akan membantu organisasi dalam mengidentifikasi dan menyelidiki masalah yang dihadapi. 10. Adanya kesiapan pegawai untuk mengambil alih tugas rekannya yang tidak masuk kerja/berhalangan hadir. 1. Anggota di unit kerja kami tidak terbiasa berpilar dan bertindak dengan mempertimbangkan semua komponen permasalahan dan kontribusi unit kerja lainnya (komprehensif). 2. Kanwil Depkum HAM Propinsi Banten tidak memiliki sistem jaringan informasi yang dapat menjangkau pusat-pusat informasi dan pengetahuan yang dibutuhkan. 3. Struktur organisasi Kanwil Depkum HAM Propinsi Banten dirasakan belum efektif sehingga kurang mendukung kelancaran arus informasi, pembagian kerja yang fleksibel dan kelancaran proses koordinasi. 4. Di Kanwil Depkum HAM Propinsi Banten Sistem penghargaan terhadap karyawan belum dilaksanakan secara efektif. 5. Kanwil Depkum HAM Propinsi Banten mempunyai sistem hubungan yang baik dengan
79 Variabel
Indikator
Item
alur kerja Pengembangan / inovasi produk, sistem Keberhasilan unit kerja
6.
7.
Kegagalan unit kerja 8.
9.
10.
11.
12.
dunia usaha/industri Para pegawai di unit kerja kami yakin bahwa Kanwil Depkum HAM Propinsi Banten mampu mengikut tuntutan perubahan lingkungan. Para pegawai unit kerja lainnya sebagai bagian dari suatu sistem yang memiliki ketergantungan dan saling mempengaruhi satu dengan lainnya Para pegawai menyadari bahwa untuk menyelesaikan setiap tugas/pekerjaan selalu membutuhkan koordinasi dan kooperasi dengan unit kerja lainnya. Penerapan konsep berpikir sistem akan menyebabkan perubahan pada proses/alur kerja di dalam organisasi. Berpikir sistem akan mendorong pegawai untuk terus belajar dan mengembangkan inovasi produk, penyempurnaan sistem-sistem, prosedur-prosedur dan pemanfaatan teknologi yang lebih canggih. Para pegawai menyadari bahwa suatu keberhasilan pada satu unit kerja akan mendorong peningkatan kerja pada unit lainnya. Para pegawai menyadari bahwa hambatan atau kegagalan pada satu unit kerja akan menjadi penghambat pada unit lainnya
3.5. Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua bagian yaitu data primer dan data sekunder. Data primer, yaitu keseluruhan data hasil penelitian yang diperoleh dari responden melalui pengisian kuesioner. Adapun cara pengisiannya dilakukan dengan face to face interview dengan panduan daftar pertanyaan (quesionnaire list) sebagaimana terlampir. Sedangkan data sekunder yaitu data yang diperoleh dari instansi terkait dan studi literatur, terutama yang berkaitan dengan masalah penelitian.
80
3.6. Teknik Pengumpulan Data lnstrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner yang wujudnya berupa item-item pertanyaan/pernyataan. Kuesioner tersebut, digunakan sebagai alat untuk mengukur sikap pegawai terhadap disiplin belajar yang meliputi: keahlian pribadi (personal mastery), model mental (mental
models) visi bersama (shared vision). pembelajaran tim (team learning) dan berpikir sistem (system thinking). Adapun format yang digunakan adalah format polikotomi atau yang lebih dikenal dengan nama format Likert, yaitu terdiri dari lima pilihan, sehingga dalam instrumen pengukuran sikap tersebut, setiap butirnya didesain berskala ordinal yang mempunyai rentangan I sampai 5 (Jaeger, 1983 : 100). Dengan demikian setiap item pertanyaan/pernyataan memiliki 5 pilihan jawaban dengan tingkatan sebagai berikut; Sangat setuju diberi angka 5, setuju diberi angka 4, kurang setuju diberi angka 3, tidak setuju diberi angka 2 dan sangat tidak setuju diberi angka 1 (Sugiyono, 1994: 7376). Selain itu, dilakukan pula studi dokumen, yaitu : mempelajari literatur-literatur karangan para ahli, tulisan ilmiah, peraturan perundangundangan,
laporan,
dan
dokumen-dokumen
yang
berkaitan
dengan
permasalahan penelitian untuk memperoleh teori dan pengetahuan yang menunjang.
81
3.7. Uji Validitas dan Reliabilitas Intrumen Penelitian Untuk
memperoleh
keabsahan
hasil
penelitian
sosial
sangat
ditentukan oleh alat ukur yang digunakan dan kesungguhan responden dalam menjawab setiap item/pertanyaaan. Oleh karena itu, kuesioner yang digunakan
dalam
penelitian
ini
telah
dikonsultasikan
pada
dosen
pembimbing dalam upaya untuk mencapai contruct validity, yaitu untuk mendapatkan penilaian (expert judgement) apakah kuesioner yang disusun tersebut telah sesuai dengan teori yang digunakan. Selain itu, dilakukan pula dua macam pengujian yaitu uji validitas dan reliabilitas yang berguna untuk menguji kesungguhan jawaban dari responden (Tugiman,2000:54). Instrumen penelitian dikatakan baik, bila bersifat valid dan reliabel. Dikatakan valid, apabila kuesioner dapat mengukur secara akurat tentang fenomena yang harus diukurnya sesuai dengan tujuan dan kelompok sasarannya. Lebih lanjut, Kaplan dan Caccuozzo (dalam Robbany, 1999:56) menyebutkan
bahwa
validitas
tes
adalah
kesesuaian
antara
skor
tes/pengukuran dengan kualitas yang diyakini akan diukur. Tanpa adanya validitas kita tidak akan memiliki alasan yang pasti bahwa kita telah mengukur konsep yang telah kita "set out" untuk mengukur dan bukan mengukur konsep yang lain (Sekararq 1992:l7l). Untuk keperluan tersebut,
82 dapat menggunakan validitas item. Validitas item dapat menunjukkan seberapa jauh kesesuaian sebuah
item
dengan skor total dalam
membedakan subyek yang mendapat skor tinggi dan subyek yang mendapat skor rendah, atau biasa disebut dengan item discrimination (Anastasi and Urbina dalam Marwansyah, 2000:76). Koefisien korelasi yang tinggi antara skor item dengan skor total menunjukkan adanya kesesuaian antara item dengan tes secara keseluruhan atau biasa disebut dengan validitas item dengan memakai kriteria internal (internal consistency). Dalam hal ini, Sekarang (1992:fi\ menyatakan bahwa ,”The internal consistency of
measures is indicative of the homogeneityof the items in the measure that tap the construct". Selanjutnya, analisis korelasi digunakan untuk mengukur kekuatan (kualitas) hubungan antara dua set variabel yang berpasangan (bivariate). Dari hasil pengukuran tersebut dapat diketahui juga koefisien korelasi antara item dengan skor keseluruhannya. Mengingat data yang digunakan merupakan data interval dan diasumsikan
berdistribusi
normal,
maka
perhitungan
korelasi
akan
dilakukan dengan menggunakan metode Pearson yang dinotasikan sebagai berikut : r=
N(∑xY) - (rxrY) {n∑X2 - (∑x)2 } {n∑y2- (∑y)2}
dimana: r = korelasi
X = skor setiap item
83 Y = skor total - skor item Adapun prinsip utama
N = ukuran sampel analisis tersebut adalah
untuk
mengidentifikasikan atau membuang/memperbaiki item pertanyaan yang memiliki korelasi yang mendekati nol atau negatif. Oleh karena itu, perlu ditentukan angka koefisien terkecil yang dapat diasumsikan sebagai koefisien yang masih layak digunakan sebagai indikator adanya konsistensi antara skor item dengan skor keseluruhan.
Aztryar (1995) dalam
Tjakraatmadja (1999:II-34) menetapkan bahwa koefisien korelasi untuk penelitian psikologi minimal adalah sama dengan 0,30. Sedangkan Kaplan & Saccrvzo (1993) dalam Tjakraatmadja (1999:II-34) menetapkan nilai korelasi antara 0,30 - 0,70. Untuk memperjelas tinggi rendahnya korelasi tersebut, Guilford mengklasifikasikannya menjadi enam jenis korelasi sebagai berikut : Kriteria Penentuan Tingkat Korelasi Item Menurut Guilford Koefisien Korelasi Kurang dari 0-20 0.20 - < 0.40 0.40 - < 0.70 0.70 - < 0.90 0.90 - < 1.00 1,00
Ketentuan Tidak ada korelasi Korelasi rendah Korelasi sedang Korelasi Tinggi Korelasi tinggi sekali Korelasi sempurna
Sementara itu kuesioner dikatakan reliabel bila kuesioner tersebut menunjukkan berulang
kali
konsistensi pada
hasil
kelompok
pengukurannya, yang
sama.
walaupun
diterapkan
Prinsipnya,
reliabilitas
84 menunjukkan sejauh mana alat ukur mampu memberikan hasil yang relatif sama, bila dilakukan pengukuran kembali terhadap subyek yang sama (Kerlinger, 199951). Oleh karena itu, semakin tinggi reliabilitas instrumen alat ukur, berarti kesalahan pengukuran semakin kecil. Secara teori besarnya koefisien reliabilitas berkisar antara 0,00 - 1,00. Namun demikian studi empirik menunjukkan bahwa koefisien sebesar 1,00 tidak pernah tercapai dalam pengukuran aspek prilaku/psikologi (Tjakraatmadja, 1999: 11-36). Untuk mengetahui reliabilitas instrumen penelitian dapat digunakan metode internol consistency, karena alat ukur yang digunakan hanya memiliki satu bentuk, sehingga nilai estimasi reliabilitas harus dievaluasi dari alat ukur yang tunggal tersebut. Metode ini merupakan metode yang paling umum dilakukan untuk mengukur reliabilitas, yakni skala itemitem/indikator-indikator secara sendiri-sendiri, seharusnya mengukur konstruk (konsep yang memiliki pijakan teoritis yang cukup untuk menjelaskan
berbagai
bentuk
hubungan)
yang
sama
dan
memiliki
interkorelasi yang tinggi ( Hair et. Al., 1998 : 118) Untuk mengukur koefisien reliabilitas alat ukur tersebut, digunakan teknik Cronbach's Alpha yang dikembangkan oleh Lee J. Cronbach (1920). Adapun alasan penggunaan rumus Alpha ini karena data yang akan diolah
85 cukup diambil sekali saja (single occasion). Rumus umum dari koefisien ini adalah : =
Dimana :
k.r 1+ ( k - 1 ) r
= koefisien reliabilitas Alpha Cronbach k = jumlah item r = korelasi item rata-rata
Cronbach's Alpha merupakan model internal consistency yang didasarkan atas rata-rata korelasi antara item (Nurosis, 1997: 27). Adapun nilai Cronbach's Alpha yang dapat diterima berkisar antara 0,60 0,70 (Hairetal., 1998: 99). 3.8. Teknik Analisis Data Dalam penelitian ini, data variabel disiplin belajar dianggap sebagai data interval/rasio. Hal ini ditegaskan oleh Santoso (2001:86) bahwa ukuran sikap seseorang dengan kode 1 untuk Sikap Suka, kode 2 untuk Sikap Cukup Suka dan sebagainya, bisa juga direpresentasikan sebagai data interval/rasio, seperti dengan skala 1 sampai 10, atau dengan isian bisa berupa angka desimal seperti 3,4,5 dan sebagainya. Untuk data lainnya, dianggap sebagai data nominal ordinal, seperti misalnya : data gender dengan kode 1 untuk pria dan kode 2 untuk wanita dan sebagainya.
86 Untuk mendapatkan hasil yang objektif, proses analisis dan interpretasi data dilakukan dengan melakukan cross check kebenaran data yang diperoleh dari satu sumber data dengan data yang diperoleh sumber lain, sehingga dapat memperbaiki dan melengkapi analisa serta validasi hasil penelitian. Untuk menganalisis data digunakan software SPSS (statistical
Product and Service Solution) versi 10.0 atau yang sejenis dan disajikan dalam bentuk tabel untuk mengambarkan karakteristik responden dan melihat korelasi antar disiplin belajar dalam organisasi pembelajar. Untuk deskriptif dari masing-masing variabel disiplin belajar akan disajikan dalam bentuk tabel data statistik berupa nilai rata-rata dan simpangan baku dengan ketentuan nilai minimal : 1 dan nilai maksimal : 5. Adapun teknik analisis data yang akan dipergunakan dalam penelitian ini akan dijelaskan pada uraian berikut . 3.8.1. Uji Persyaratan Analisis Untuk uji persyaratan analisis digunakan uji normalitas terhadap data yang dikumpulkan. Uji normalitas berguna untuk mengetahui apakah data yang berhasil dikumpulkan dari responden tersebar secara normal, mendekati normal atau bisa dianggap normal. Dalam hal ini, Santoso (2001;86) menyebutkan beberapa prosedur yang dapat dipergunakan antara lain, pertama : melakukan metode statistik tertentu, seperti uji
87 Kolmogorv-smirnov atau Uji Shapiro-wilk dan sebagainya. Kedua yaitu dengan membuat grafik dengan prosedur tertentu dan mengamati pola plot atau grafik normal tersebut. Apabila data menyebar disekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis tersebut, maka dapat dikatakan data tersebut terdistribusi normal. 3.8.2. Analisis Deskriptif dan Korelasi Bivariat Analisa deskriptif tersebut digunakan untuk mendeskripsikan data tentang unit kerja, jenis kelamin, usia responden, masa kerja, dan pendidikan formal yang dimiliki pada saat ini dan pada saat masuk Kanwil Depkum
HAM
Propinsi
Banten
Selain
itu,
digunakan
juga
untuk
menggambarkan kecenderungan kemampuan disiplin personal mastery, model mental, shared vision, system thinking dan team learning yang ada di Kanwil Depkum HAM Propinsi Banten. Selanjutnya, untuk mcngetahui hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnya tanpa mengontrol variabel yang lain, misalnya disiplin model mental dengan disiplin tim belajar, maka digunakan teknik bivariat. Hal ini diperlukan untuk mendeskripsikan hambatan-hambatan dalam mewujudkan organisasi pembelajar dan sejauhmana strategi tersebut digunakan untuk meningkatkan kemampuan SDM aparaturnya.