STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM RANGKA REHABILITASI TAHURA BUKIT SOEHARTO
ARDIANSYAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis yang berjudul : Strategi Pemberdayaan Masyarakat dalam Rangka Rehabilitasi TAHURA Bukit Soeharto adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya
Bogor,
Agustus 2010
Ardiansyah NRP. P052080261
ABSTRACT ARDIANSYAH. Community Empowerment Strategy for the Rehabilitation of Bukit Soeharto Grand Forest Park. Under the supervision of SAMBAS BASUNI and ARZYANA SUNKAR. This research aimed to identify the factors that were influencing the participation of community empowerment for the rehabilitation of agroforestry patterns at Forest Area Special Purpose (KHDTK) Centre for Forestry Education and Training (BDK), Samarinda as well as to formulate an effective strategy of community empowerment to increase participation. This research was conducted at Forest Area Special Purpose (KHDTK) Centre for Forestry Education and Training (BDK) Batuah Village, Kutai Kartanegara Regency. The method, it was analyzed by non-parametric statistical analysis of rank spearman and analysis techniques interpretative Structural Modeling (ISM). The results showed that in internal factor, influencing factors participation of community empowerment in planning stage were the area of land management, proximity to BDK, income level, intrinsic motivation and extrinsic motivation whereas in implementation stage were the level of education, proximity to BDK, income level, intrinsic motivation and extrinsic motivation. In external factor influencing factors participation of community empowerment in planning stage were the clarity of rights and obligations, the land distance, age and plants productivity, government support, attractiveness of cooperation and availability of production facilities. In elements of the main constraints, effective community empowerment strategies for increasing community participation in rehabilitation of agroforestry patterns at Forest Area Special Purpose (KHDTK) Centre for Forestry Education and Training (BDK) was improving the quality of human resources, especially farming communities and in elements of the program necessity were improving the quality of human resources and cross-sectoral cooperation. for key elements of the program's objectives should be to improve the ability of BDK was done and the community in forest management and enhance community participation in rehabilitation whereas for the elements needed for planning activities that were more action focused on socialization program and for elements of institutions involved in implementation of the program was situated on the role of the central government. Keywords : empowerment, participation, rehabilitation, Bukit Soeharto Grand Forest Park
RINGKASAN Ardiansyah. 2010. Strategi Pemberdayaan Masyarakat Dalam Rangka Rehabilitasi TAHURA Bukit Soeharto. Dibimbing oleh: Sambas Basuni dan Arzyana Sunkar. TAHURA Bukit Soeharto merupakan salah satu bentuk kawasan konservasi alam yang terletak di wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara dengan luasan 61.850 ha. Dalam rangka pemanfaatan kawasan TAHURA Bukit Soeharto, ditetapkan 3 (tiga) Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) yaitu : (1) KHDTK Wanariset Samboja seluas 3.504 ha ; (2) KHDTK Pendidikan dan Latihan Kehutanan (BDK) seluas 4.310 ha dan (3) KHDTK Penelitian dan Pendidikan bagi Universitas Mulawarman Pusat Penelitian Hutan Tropis Lembab (PPHT) seluas 20.271 ha. Dalam perkembangannya, TAHURA Bukit Soeharto telah mengalami penurunan secara fisik sebagai akibat dari berbagai jenis gangguan antara lain kebakaran, perambahan dan pembalakan liar (UPTD PPA, 2009). Sebagai akibat dari gangguan tersebut hasil interpretasi dan analisis citra landsat oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan (2006) menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan telah didominasi oleh padang alang-alang dan semak belukar sebesar 56,39%, hutan 15,99%, sedangkan penggunaan lahan lainnya seperti pemukiman, kebun, lahan terbuka dan lain-lain sebesar 27,6%. Khususnya dalam kawasan KHDTK BDK, sejak tahun 2002 dalam rangka mengurangi atau menghentikan perambahan dan penebangan liar, maka dilakukan pembinaan masyarakat lokal melalui kegiatan rehabilitasi pola agroforestri (kombinasi tanaman kehutanan dan pertanian) dengan maksud untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan. Pola kerjasama agroforestry ini dibangun dan diarahkan pada dua tujuan utama yaitu rehabilitasi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Untuk mencapai kelestarian lingkungan maka perlu adanya partisipasi masyarakat, dalam hal ini untuk menjaga kelestarian KHDTK BDK yang ditetapkan sebagai hutan pendidikan dan pelatihan agar tetap memiliki perannya sebagaimana fungsinya. Selain itu dilihat dari sudut pandang manfaat hutan bagi masyarakat KHDTK BDK berperan dalam kesejahteraan masyarakat melalui kontribusi pendapatan keluarga. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : (1) Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestri di KHDTK BDK dan (2) Merumuskan strategi pemberdayaan yang efektif untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestri di KHDTK BDK. Metode analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah Rank Spearman untuk menjawab tujuan, yakni mengkaji hubungan diantara faktor-faktor yang mempengaruhi pemberdayaan dalam rehabilitasi pola agroforestry pada tahap perencanaan dan pelaksanaan dan Interpretative Structural Modelling (ISM) untuk mengidentifikasi strategi bertujuan untuk mengkaji alternatif-alternatif yang dapat dipilih dalam rangka perumusan strategi pemberdayaan masyarakat dengan rehabilitasi pola agroforestri di KHDTK BDK. Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat disimpulkan beberapa hal yaitu : (1) Faktor internal yang berpengaruh terhadap tingkat partisipasi
masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestry di KHDTK BDK pada tahap perencanaan adalah luas pengelolaan lahan, kedekatan dengan BDK, tingkat pendapatan, motivasi instrinsik, dan motivasi ekstrinsik sedangkan pada tahap pelaksanaan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, kedekatan dengan BDK, tingkat pendapatan, motivasi instrinsik, dan motivasi ekstrinsik. Faktor eksternal yang berpengaruh terhadap tingkat partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan adalah aturan yang diberlakukan oleh BDK adalah (kejelasan hak dan kewajiban perserta/petani), jarak lahan, umur dan prodiktivitas tanaman, dukungan pemerintah, dan daya tarik kerjasama; sedangkan pada tahap pelaksanaan dipengaruhi aturan yang diberlakukan oleh BDK (hak dan kewajiban perserta/petani), jarak lahan dengan tempat tinggal, umur dan produktifitas tanaman dukungan pemerintah, dayatarik kerjasama, dan kesediaaan saprodi dan (2) Strategi pemberdayaan masyarakat untuk peningkatan partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestri di KHDTK BDK adalah peningkatan kualitas SDM (BDK dan masyarakat petani peserta), kerjasama lintas sektoral, meningkatkat kemampuan keterampilan BDK dan masyarakat dalam pengelolaan hutan, sosialisasi program, dan peran serta pemerintah pusat. Kata kunci: pemberdayaan, partisipasi, rehabilitasi, Tahura Bukit Soeharto
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dan b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM RANGKA REHABILITASI TAHURA BUKIT SOEHARTO
Oleh :
ARDIANSYAH
Tesis sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Master Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Dosen Penguji dari luar komisi : Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MSc.F
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Tesis Nama Mahasiswa NRP Program Studi
: Strategi Pemberdayaan Masyarakat dalam Rangka Rehabilitasi TAHURA Bukit Soeharto : Ardiansyah : P052080261 : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)
Disetujui: Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS Ketua
Dr. Ir. Arzyana Sunkar, M.Sc Anggota
Diketahui :
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan,
Dekan Sekolah Pascasarjana,
Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, MS
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodipurto , MS
Tanggal Ujian : 26 Juli 2010
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Samarinda pada tanggal 03 April 1975 sebagai anak ketiga dari pasangan Bapak Abdi Machzur dan Ibu Haniansah. Pendidikan formal penulis yaitu pendidikan dasar di SD Negeri 024 Samarinda pada tahun 1981 – 1987, kemudian dilanjutkan di SMP 5 Samarinda pada tahun 1988 – 1991 dan SKMA Samarinda 1992 – 1995. Dan pada tahun 1999 penulis melanjutkan pendidikan pada Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Samarinda Jurusan Manajemen Hutan dan penulis menyelesaikan pendidikan sarjana pada tahun 2003. Sejak tahun 2008 penulis menempuh pendidikan Program Master pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor. Tahun 1996 penulis diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil Balai Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan ditempatkan diseksi Pengelolaan Hutan Pendidikan dan Pelatihan. Tahun 2008 berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : SK. 5275/Menhut-II/Peg/2008 tanggal 5 November 2008 tentang Pemberian Tugas Belajar. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Kehutanan. Pada tahun 1999 penulis menikah dengan Indrawati, dan telah dikaruniai 2 orang anak Andika Pratama Ardi dan Adinda Najwa Ardi.
Bogor,
Agustus 2010
Ardiansyah
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Illahi Robbi atas segala karunia dan hidayahNya sehingga tesis dengan judul ”Strategi Pemberdayaan Masyarakat dalam rangka Rehabilitasi TAHURA Bukit Soeharto” dapat diselesaikan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar master Institut Pertanian Bogor, Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terimakasih yang tak terhingga kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu Dr. Ir. Arzyana Sunkar, M.Sc selaku anggota komisi pembimbing. 2. Bapak Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, MS selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. 3. Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MSc.F yang telah bersedia sebagai dosen penguji luar dan Ibu Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc sebagai pimpinan sidang dalam ujian tesis saya. 4. Kepala Balai Latihan Kehutanan Samarinda dan Kepala Desa Batuah yang memberikan tempat dalam penelitan ini. 5. Rekan-rekan PSL 2008 yang telah memberikan dukungan dan motivasi selama perkuliahan berlangsung. 6. Terakhir, ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus penulis haturkan kepada ayahanda Abdi Machzur dan ibunda penulis Haniansah, yang selama ini tak putus-putusnya selalu memanjatkan doa untuk kebahagian penulis, dan berharap agar penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini dengan baik. Juga kepada Istri tercinta, Indrawati dan kedua buah hati penulis Andika Pratama Ardi dan Adinda Najwa Ardi, yang selalu memberikan semangat kepada penulis saat menempuh studi ini. Semoga Allah SWT membalasnya lebih baik. Penulis berharap tesis ini merupakan amalan sholeh dan bermanfaat bagi ilmu pengetahuan, Amin. Bogor,
Agustus 2010
Ardiansyah
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR …………………………………………………........
i
DAFTAR ISI ………………………………………………….......................
ii
DAFTAR TABEL ………………………………………………………......
iv
DAFTAR GAMBAR ….………………………………………………….....
v
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………..
vi
I.
PENDAHULUAN 1.1. 1.2. 1.3. 1.4. 1.5.
II.
Pengertian Pemberdayaan Masyarakat ……………………….. Proses Pemberdayaan ………………………………………… Konsep Pemberdayaan Masyarakat ………………………….. Tujuan Pemberdayaan Masyarakat ……………....................... Rehabilitasi Hutan dan Lahan ………………………………... Agroforestri ….………………………………………………. Partisipasi …………………………………………………….. Interpretative Structural Modelling (ISM) …………………...
6 8 9 11 13 14 17 19
METODOLOGI PENELITIAN 3.1. 3.2. 3.3. 3.4. 3.5.
IV.
1 3 4 5 5
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. 2.2. 2.3. 2.4. 2.5. 2.6. 2.7. 2.8.
III.
Latar Belakang ..……………..…………………………..…… Kerangka Pemikiran ………………..………………………… Perumusan Masalah ….……………..………………………… Tujuan Penelitian ………………..……………………………. Manfaat Penelitian ….……………..…………………………..
Tempat dan Waktu …………………………………………… Jenis dan Sumber Data ….……………………………………. Bahan dan Alat Penelitian ……………………………………. Metode Pengumpulan Data ….……………………………….. Metoda Analisis Data …………………………………………
21 21 21 21 22
HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. 4.2. 4.3.
Kondisi Umum Lokasi Penelitian ……………………………. Sejarah Pengelolaan Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus BDK …………………………………………. Hubungan Antara Faktor Internal dan Faktor Eksternal Responden dengan Tingkat Partisipasi Masyarakat ..................
25 26 28
4.4.
V.
Program Rehabilitasi KHDTK BDK Pola Agroforestri : Kendala, Kebutuhan, Tujuan, Aktivitas dan Lembaga yang terlibat ........................................................................................
41
KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. 5.2.
Kesimpulan ................................................................................ Saran ..........................................................................................
52 52
DAFTAR PUSTAKA .………………………………………………………
54
LAMPIRAN …………………………………………………………………
57
DAFTAR TABEL
1.
Halaman Potensi Pertanian Desa Batuah ………………………………………… 25
2.
Komposisi Penduduk Desa Batuah Menurut Golongan Usia .................
26
3.
Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Batuah ...........................................
26
4.
Sebaran Responden Mata Pencarian Pokok Penduduk Desa Batuah ......
26
5.
Koefisien Korelasi antar Faktor Internal Responden dengan Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Rangka Rehabilitasi Hutan TAHURA Bukit Soeharto .........................................................................................
29
6.
Koefisien Korelasi antar Faktor Eksternal Responden dengan Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Rangka Rehabilitasi Hutan TAHURA Bukit Soeharto .........................................................................................
37
DAFTAR GAMBAR
1.
Halaman Kerangka Pemikiran Penelitian .......................………………………… 4
2.
Matrik Driver Power-Dependence dalam analisis ISM ………………..
24
3.
Posisi Sub Elemen Kendala Utama pada Grafik Driver Power – Dependence ...........................................................................................
43
4.
Hubungan Antar Sub Elemen Kendala Utama ........................................
43
5.
Posisi Sub Elemen Kebutuhan Program pada Grafik Driver Power – Dependence .............................................................................................
44
6.
Hubungan Antar Sub Elemen Kebutuhan Program ................................
45
7.
Posisi Sub Elemen Tujuan Program pada Grafik Driver Power – Dependence ............................................................................................
46
8.
Hubungan Antar Sub Elemen Tujuan Program .......................................
47
9.
Posisi Sub Elemen Aktivitas yang Dibutuhkan Guna Perncanaan Tindakan Pada Grafik Driver Power – Dependence …………………
48
10. Hubungan Antar Sub Elemen Aktivitas yang Dibutuhkan Guna Perncanaan Tindakan …………………………………………………..
49
11. Posisi Sub Elemen Lembaga yang Terlibat dalam Pelaksana Program Pada Grafik Driver Power – Dependence …………………...
49
12. Hubungan Antar Sub Elemen Lembaga yang Terlibat dalam Pelaksana Program ...................................................................................................
51
DAFTAR LAMPIRAN
1.
Halaman Hasil Uji Statistical Package for the Social Sainces (SPSS) 57 …………..
2
Hasil Uji Interpretative Structural Modelling (ISM) …………………..
67
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang TAHURA Bukit Soeharto merupakan salah satu kawasan konservasi yang terletak di wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara dengan luasan 61.850 ha. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya menyatakan bahwa TAHURA adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan/atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi. Kawasan TAHURA Bukit Soeharto merupakan kawasan hulu dari tujuh kawasan tangkapan air dari sungai-sungai yang bermuara ke Sungai Mahakam, Selat Makassar maupun ke Teluk Balikpapan sehingga kelestarian sistem hidrologi ini sangat penting terutama untuk wilayah Samarinda dan Balikpapan. Dalam rangka pemanfaatan kawasan TAHURA Bukit Soeharto telah, ditetapkan 3 (tiga) Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) yaitu : 1. KHDTK Wanariset Samboja ditetapkan pada tahun 1979 melalui SK Menteri Pertanian No. 723/Kpts/Um/II/1979 dengan luas hutan 504 ha. Selanjutnya melalui SK Menteri Kehutanan No. 290/Kpts-II/91 Wanariset Samboja diperluas hingga menjadi 3.504 ha. Pengelolaan hutan Wanariset Samboja pada saat itu dikelola oleh Balai Penelitian Kehutanan Samarinda (kini bernama Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kalimantan). 2. KHDTK Pendidikan dan Latihan Kehutanan (BDK) seluas
4.310 ha, yang
ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No: 8815/Kpts-II/2002 tanggal 24 September 2002. 3. KHDTK Penelitian dan Pendidikan bagi Universitas Mulawarman Pusat Penelitian Hutan Tropis Lembab (PPHT) seluas 20.271 ha, yang ditetapkan berdasarkan Surat keputusan Menteri Kehutanan No:160/Kpts-II/2004 tanggal 4 Juni 2004. Dalam perkembangannya, TAHURA Bukit Soeharto telah mengalami penurunan secara fisik sebagai akibat dari berbagai jenis gangguan antara lain
kebakaran, perambahan oleh penduduk dan pembalakan liar (UPTD PPA, 2009). Sebagai akibat dari gangguan tersebut hasil interpretasi dan analisis citra landsat oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan (2006) menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan telah didominasi oleh padang alang-alang dan semak belukar sebesar 56,39%, hutan 15,99%, sedangkan penggunaan lahan lainnya seperti pemukiman, kebun, lahan terbuka dan lain-lain sebesar 27,6%. Sehingga secara umum, kondisi kawasan konservasi TAHURA Bukit Soeharto tergolong cukup menghawatirkan. Khususnya dalam kawasan KHDTK BDK, sejak tahun 2003, dalam rangka mengurangi atau menghentikan perambahan dan penebangan liar, maka dilakukan pembinaan masyarakat lokal melalui kegiatan rehabilitasi pola agroforestri (kombinasi tanaman kehutanan dan pertanian) dengan maksud untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan. Pola kerjasama agroforestry ini dibangun dan diarahkan pada dua tujuan utama yaitu rehabilitasi hutan yang terdegradasi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam pengelolaan hutan, pelaksanaan hutan kemasyarakatan yang dipadukan dengan pola agroforestri diharapkan dapat melestarikan hutan melalui peningkatan produktivitas lahan hutan di areal masyarakat atau di lahan kritis. Secara ekologis, agroforestri berfungsi sebagai hutan alam karena stratifikasi tajuknya yang merupakan perpaduan jenis tanaman bersifat perdu dan pohon termasuk buah-buahan dan tanaman jenis pohon yang berasal dari hutan alam (Michon dan Foresta, 1995). Meskipun pola pembinaan seperti ini menunjukkan keberhasilan di beberapa tempat, namun di tempat lain belum berjalan dengan baik seperti yang terjadi di TAHURA Bukit Soeharto tepatnya pada KHDTK BDK. Pelaksanaan kegiatan rehabilitasi dengan pola agroforestri yang dilakukan pada tahun 2003-2009 hanya mampu melibatkan sebanyak 12,9 % KK. Konsep
pemberdayaan
dalam pembangunan
masyarakat
khususnya
masyarakat sekitar hutan selalu dikaitkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan sosial (Craig dan Mayo, 1995). Kebutuhan masyarakat serta faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat minat masyarakat terhadap kegiatan rehabilitasi pola agroforestri perlu diidentifikasi sehingga melahirkan perumusan
strategi
yang
tepat
dalam
pengelolaan
kawasan
dengan
mempertimbangkan kondisi sosial budaya masyarakat setempat dengan tetap berorientasi konservasi yang bertujuan mengembalikan fungsi hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
1.2. Kerangka Pemikiran Masyarakat di sekitar kawasan KHDTK BDK khususnya para petani, sangat bergantung kepada berbagai bentuk hasil hutan sebagai sumber penghasilan rumah tangganya. Hal ini menunjukkan adanya interaksi masyarakat dengan hutan yang sangat tinggi dalam pemenuhan kebutuhan dasar. Untuk menghindari degradasi sumberdaya hutan akibat pemanfaatan yang berlebihan maka dapat dilakukan kegiatan rehabilitasi hutan dengan tetap mempertimbangkan kelestarian dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebihan oleh masyarakat di dalam kawasan hutan tersebut dikarenakan adanya kesenjangan sosial yaitu rendahnya tingkat ekonomi keluarga sekitar hutan. KHDTK BDK juga mengalami perambahan dan penebangan liar yang salah satunya disebabkan oleh rendahnya taraf hidup ekonomi masyarakat. Salah satu cara yang dibangun untuk memecahkan masalah perambahan dan penebangan liar adalah melalui pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan rehabilitasi pola agroforestri. Pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dan meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik bagi seluruh warga masyarakat melalui kegiatan-kegiatan swadaya. Dalam mencapai tujuan ini faktor peningkatan kualitas sumberdaya manusia melalui pendidikan formal dan non formal perlu mendapat prioritas. Pemberdayaan masyarakat bertujuan mendidik masyarakat agar mampu mendidik diri mereka sendiri. Tujuan yang akan dicapai melalui usaha pemberdayaan masyarakat adalah masyarakat yang mandiri, berswadaya, mampu mengadopsi inovasi, dan memiliki pola pikir kosmopolitan. Pemberdayaan masyarakat sangat memerlukan partisipasi, dan untuk mengetahui tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestri maka dapat dilakukan rumusan masalah dengan mengetahui faktorfaktor yang mempengaruhi partisipasi itu sendiri. Faktor-faktor tersebut akan menentukan strategi pemberdayaan masyarakat yang efektif dalam kegiatan
rehabilitasi pola agroforestri. Dengan perumusan strategi pemberdayaan masyarakat
yang
efektif
diharapkan
dapat
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat dan hutan menjadi lestari (Gambat 1).
HUTAN LESTARI
KEGIATAN REHABILITASI
HUTAN BDK RUSAK
STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
PARTISIPASI MASYARAKAT
MASYARAKAT SEJAHTERA
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian 1.3. Perumusan Masalah TAHURA Bukit Soeharto adalah salah satu sumber daya alam yang berperan dalam menjaga, mempertahankan dan meningkatkan ketersediaan air dan kesuburan tanah serta sebagai urat nadi kehidupan manusia yang saat ini cenderung menurun keberadaannya. Penurunan ini disebabkan oleh kebakaran, perambahan dan pembalakan liar yang terjadi di dalam kawasan. Untuk meningkatkan fungsi hutan, maka dalam pengelolaan lingkungan harus memperhatikan pemanfaatan, penataan, pemeliharaan, pengawasan, pengendalian, pemulihan dan pengembangan lingkungan hidup yang berazaskan pelestarian lingkungan yang serasi, seimbang, untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan bagi peningkatan kesejahteraan manusia. Untuk mencapai kelestarian lingkungan maka perlu adanya partisipasi masyarakat, dalam hal ini untuk menjaga kelestarian KHDTK BDK yang ditetapkan sebagai hutan pendidikan dan pelatihan. Selain itu dilihat dari sudut
pandang manfaat hutan bagi masyarakat, KHDTK BDK berperan dalam kesejahteraan masyarakat melalui kontribusi pendapatan keluarga. Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tersebut dilakukan melalui kegiatan rehabilitasi pola agroforestri. Dari uraian di atas dapat dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1.
Faktor-faktor apa saja yg mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestri di KDTK BDK ?
2.
Bagaimana strategi pemberdayaan masyarakat yang efektif dalam rangka rehabilitasi pola agroforestri di KHDTK BDK ?
1.4. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk : 1.
Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestri di KHDTK BDK.
2.
Merumuskan strategi pemberdayaan yang efektif untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestri di KHDTK BDK.
1.5. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Memberikan kontribusi atas strategi pemberdayaan masyarakat sekitar TAHURA Bukit Soeharto melalui kegiatan rehabilitasi pola agroforestri.
2.
Diharapakan dapat menjadi acuan dalam pengembangan pengelolaan TAHURA Bukit Soeharto secara berkelanjutan.
3.
Diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi penelitian lanjutan dalam skala yang lebih luas berkaitan dengan pengelolaan dan pemberdayaan masyarakat.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Pemberdayaan Masyarakat Empowerment yang dalam bahasa Indonesia berarti “pemberdayaan”, adalah sebuah konsep yang lahir sebagai bagian dari perkembangan alam pikiran masyarakat
kebudayaan
mengemukakan
bahwa
Barat,
utamanya
pemberdayaan
Eropa.
masyarakat
Kartasasmita adalah
upaya
(1996), untuk
meningkatkan harkat dan martabat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan adalah memajukan dan memandirikan masyarakat. Lebih lanjut dikemukakan bahwa pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan hidup modern seperti ini kerja keras, hemat, keterbukaan, bertanggung jawab adalah bagian pokok dari upaya pemberdayaan ini. Demikian pula pembaharuan lembaga-lembaga sosial dan pengintegrasiannya kedalam kegiatan pembangunan serta peranan masyarakat di dalamnya. Selanjutnya
Simuh
(1999)
yang
dikutip
oleh
Syukani
(1999),
mengemukakan pemberdayaan adalah sebuah konsep falsafah pembangunan yang mengakulturasikan antara nilai-nilai kegotong royongan masyarakat tradisional dengan teknologi modern serta meningkatkan peranserta masyarakat dalam pembangunan. Didalam pemberdayaan ini terdapat unsur yang memungkinkan suatu masyarakat dapat mengembangkan diri sendiri dan memanfaatkan nilai yang ada untuk mencapainya kehidupan yang lebih baik. Chambers (1995) yang dikutip oleh Kartasasmita (1996), mengemukakan pemberdayaan masyarakat adalah suatu konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru berkembang, yaitu yang bersifat “people-centered, participatory, empowering, and sustainable.” Para ilmuwan sosial dalam memberikan pengertian pemberdayaan mempunyai rumusan yang berbeda-beda dalam berbagai konteks dan bidang kajian, artinya belum ada definisi yang tegas mengenai konsep tersebut. Namun demikian, bila dilihat secara lebih luas, pemberdayaan sering disamakan dengan
perolehan daya, kemampuan dan akses terhadap sumber daya untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu, agar dapat memahami secara mendalam tentang pengertian pemberdayaan maka perlu mengkaji beberapa pendapat para ilmuwan yang memiliki komitmen terhadap pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan dapat diartikan sebagai suatu pelimpahan atau pemberian kekuatan (power) yang akan menghasilkan hierarki kekuatan dan ketiadaan kekuatan, seperti yang dikemukakan Simon (1999) dalam tulisannya tentang Rethinking Empowerment. Simon menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah suatu aktivitas refleksi, suatu proses yang mampu diinisiasikan dan dipertahankan hanya oleh agen atau subyek yang mencari kekuatan atau penentuan diri sendiri (selfdetermination). Sementara proses lainnya hanya dengan memberikan iklim, hubungan, sumber-sumber dan alat-alat prosedural yang melaluinya masyarakat dapat meningkatkan kehidupannya. Pemberdayaan merupakan sistem yang berinteraksi dengan lingkungan sosial dan fisik. Dengan demikian pemberdayaan bukan merupakan upaya pemaksaan kehendak, proses yang dipaksakan, kegiatan untuk kepentingan pemrakarsa dari luar, keterlibatan dalam kegiatan tertentu saja, dan makna-makna lain yang tidak sesuai dengan pendelegasian kekuasaan atau kekuatan sesuai potensi yang dimiliki masyarakat. Sulistiyani (2004) menjelaskan lebih rinci bahwa secara etimologis pemberdayaan berasal dari kata dasar "daya" yang berarti kekuatan atau kemampuan. Bertolak dari pengertian tersebut, maka pemberdayaan dimaknai sebagai proses untuk memperoleh daya, kekuatan atau kemampuan, dan atau proses pemberian daya, kekuatan atau kemampuan dari pihak yang memiliki daya kepada pihak yang kurang atau belum berdaya. Berdasarkan beberapa pengertian pemberdayaan yang dikemukakan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya pemberdayaan adalah suatu proses dan upaya untuk memperoleh atau memberikan daya, kekuatan atau kemampuan kepada individu dan masyarakat lemah agar dapat mengidentifikasi, menganalisis, menetapkan kebutuhan dan potensi serta masalah yang dihadapi dan sekaligus memilih alternatif pemecahnya dengan mengoptimalkan sumberdaya dan potensi yang dimiliki secara mandiri.
2.2. Proses Pemberdayaan Kartasasmita (1996) menyatakan bahwa proses pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga proses yaitu: Pertama, Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Titik tolaknya adalah bahwa setiap manusia memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya tidak ada sumberdaya manusia atau masyarakat tanpa daya. Dalam konteks ini, pemberdayaan adalah membangun daya, kekuatan atau kemampuan, dengan mendorong (encourage) dan membangkitkan kesadaran (awareness) akan potensi yang dimiliki serta berupaya mengembangkannya. Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empower-ing), sehingga diperlukan langkah yang lebih positif, selain dari iklim atau suasana. Ketiga, memberdayakan juga mengandung arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena kekurang berdayaannya dalam menghadapi yang kuat. Proses pemberdayaan warga masyarakat diharapkan dapat menjadikan masyarakat menjadi lebih berdaya berkekuatan dan berkemampuan. Sumardjo (1999) menyebutkan ciri-ciri warga masyarakat berdaya yaitu: (1) mampu memahami diri dan potensinya, mampu merencanakan (mengantisipasi kondisi perubahan ke depan), (2) mampu mengarahkan dirinya sendiri, (3) memiliki kekuatan untuk berunding, (4) memiliki bargaining power yang memadai dalam melakukan kerjasama yang saling menguntungkan, dan (5) bertanggungjawab atas tindakannya. Slamet (2003) menjelaskan lebih rinci bahwa yang dimaksud dengan masyarakat berdaya adalah masyarakat yang tahu, mengerti, faham termotivasi, berkesempatan, memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerjasama, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani mengambil resiko, mampu mencari dan menangkap informasi dan mampu bertindak sesuai dengan situasi. Proses pemberdayaan yang melahirkan masyarakat yang memiliki sifat seperti yang diharapkan harus dilakukan secara berkesinambungan dengan mengoptimalkan partisipasi masyarakat secara bertanggungjawab. Adi (2003) menyatakan bahwa meskipun proses pemberdayaan suatu masyarakat merupakan suatu proses yang berkesinambungan, namun dalam
implementasinya tidak semua yang direncanakan dapat berjalan dengan mulus dalam pelaksanaannya. Tak jarang ada kelompok-kelompok dalam komunitas yang melakukan penolakan terhadap ”pembaharuan” ataupun inovasi yang muncul.
Adi
(2003)
menyatakan
beberapa
kendala
(hambatan)
dalam
pembangunan masyarakat, baik yang berasal dari kepribadian individu maupun berasal dari sistem sosial: a.
Kepribadian Individu; kestabilan (Homeostatis), kebiasaan (Habit), seleksi Ingatan dan Persepsi (Selective Perception and Retention), ketergantungan (Depedence), Super-ego, yang terlalu kuat, cenderung membuat seseorang tidak mau menerima pembaharuan, dan rasa tak percaya diri (Self Distrust)
b.
Sistem Sosial; kesepakatan terhadap norma tertentu (Conformity to Norms), yang mengikat sebagian anggota masyarakat pada suatu komunitas tertentu, kesatuan dan kepaduan sistem dan budaya (Systemic and Cultural Coherence), kelompok kepentingan (vested Interest), hal yang bersifat sacral (The Sacrosanct), dan penolakan terhadap orang luar (Rejection of Outsiders) Maka dapat disimpulkan bahwa proses pemberdayaan mengandung dua
kecenderungan yaitu kecendrungan pertama dimana proses pemberdayaan menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuatan, kekuasaan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu lebih berdaya. Sedangkan kecenderungan kedua menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. 2.3. Konsep Pemberdayaan Masyarakat Hikmat (2004) menjelaskan konsep pemberdayaan dapat dipandang sebagai bagian atau sejiwa sedarah dengan aliran yang muncul pada paruh abad ke-20 yang lebih dikenal sebagai aliran postmodernisme. Aliran ini menitik beratkan pada sikap dan pendapat yang berorientasi pada jargon antisistem, antistruktur, dan antideterminisme yang diaplikasikan pada dunia kekuasaan. Pemahaman konsep pemberdayaan oleh masing-masing individu secara selektif dan kritis
dirasa penting, karena konsep ini mempunyai akar historis dari perkembangan alam pikiran masyarakat dan kebudayaan barat. Priyono dan Pranarka (1996) membagi dua fase penting untuk memahami akar konsep pemberdayaan, yakni: pertama, lahirnya Eropa modern sebagai akibat dari dan reaksi terhadap alam pemikiran, tata masyarakat dan tata budaya Abad Pertengahan Eropa yang ditandai dengan gerakan pemikiran baru yang dikenal sebagai Aufklarung atau Enlightenment, dan kedua, lahirnya aliran-aliran pemikiran eksistensialisme, phenomenologi, personalisme yang lebih dekat dengan gelombang NeoMarxisme, Freudianisme, strukturalisme dan sebagainya. Konsep pemberdasyaan masyarakat ini (Kartasasmita, 1996), lebih luas dari hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar (basic need) akan menyediakan mekanisme untuk mencegah kemiskinan lebih lanjut (safety net), yang pemikirannya belakangan ini banyak dikembangkan sebagai upaya mencari alternatif terhadap pertumbuhan dimasa lalu. Konsep ini berkembang dari upaya banyak ahli dan praktisi untuk mencari apa yang antara lain oleh Friedmann (1992) yang dikutip oleh Kartasasmita (1996), dalam alternative developmen, yang menghenaki “ inclusive democracy, appropriate economic growth, gender equality and intergenerational equity”. Maka dalam upaya mengakulturasikan konsep pemberdayaan tersebut sesuai dengan alam pikiran dan kebudayaan Indonesia. Perkembangan alam pikiran masyarakat diawali dengan proses penghilangan harkat dan martabat manusia (dehumanisasi). Proses penghilangan harkat dan martabat manusia ini salah satunya banyak dipengaruhi oleh kemajuan ekonomi dan teknologi yang nantinya dipakai sebagai basis dasar dari kekuasaan (power).
Power adalah
kemampuan untuk mendapatkan atau mewujudkan tujuan. Dalam pandangan mereka, power yang dilakukan A hanya dilakukan dalam hubungan individu atau kelompok B untuk memenuhi kebutuhan. Pemenuhan kebutuhan yang diberikan oleh B yang rela melakukan pilihan atas sanksi yang ada atau akan kehilangan sesuatu yang lebih tinggi (kekuasaan atau uang). Ironisnya, kekuasaan itu kemudian membuat bangunan yang cenderung manipulatif, termasuk sistem pengetahuan, politik, hukum, ideologi dan religi. Akibat dari proses ini, manusia yang berkuasa menghadapi manusia yang dikuasai. Dari sinilah muncul keinginan
untuk membangun masyarakat yang lebih manusiawi dan menghasilkan sistem alternatif yang menemukan proses pemberdayaan. 2.4. Tujuan Pemberdayaan Masyarakat Jamasy (2004) mengemukakan bahwa konsekuensi dan tanggungjawab utama dalam program pembangunan melalui pendekatan pemberdayaan adalah masyarakat berdaya atau memiliki daya, kekuatan atau kemampuan. Kekuatan yang dimaksud dapat dilihat dari aspek fisik dan material, ekonomi, kelembagaan, kerjasama, kekuatan intelektual dan komitmen bersama dalam menerapkan prinsip-prinsip pemberdayaan. Kemampuan berdaya mempunyai arti yang sama dengan kemandirian masyarakat. Salah satu cara untuk meraihnya adalah dengan membuka kesempatan bagi seluruh komponen masyarakat dalam tahapan program pembangunan. Setiap komponen masyarakat selalu memiliki kemampuan atau yang disebut potensi. Keutuhan potensi ini akan dapat dilihat apabila di antara mereka mengintegrasikan diri dan bekerja sama untuk dapat berdaya dan mandiri. Terkait dengan tujuan pemberdayaan, Sulistiyani (2004) menjelaskan bahwa tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan masyarakat adalah individu dan masyarakat yang mandiri meliputi kemandirian berpikir, bertindak dan mengendalikan apa yang mereka lakukan. Kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi yang dialami oleh masyarakat yang ditandai dengan kemampuan memikirkan, memutuskan serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah-masalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya/kemampuan yang dimiliki. Daya kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan kognitif, konatif, psikomotorik dan afektif serta sumber daya lainnya yang bersifat fisik/material. Kondisi kognitif pada hakikatnya merupakan kemampuan berpikir yang dilandasi oleh pengetahuan dan wawasan seseorang dalam rangka mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi. Kondisi konatif merupakan suatu sikap atau perilaku masyarakat yang terbentuk dan diarahkan pada perilaku yang sensitif terhadap nilai-nilai pemberdayaan masyarakat. Kondisi afektif merupakan perasaan yang dimiliki oleh individu yang diharapkan dapat diintervensi untuk mencapai keberdayaan dalam sikap dan perilaku. Kemampuan psikomotorik
merupakan kecakapan keterampilan yang dimiliki masyarakat sebagai upaya mendukung masyarakat dalam rangka melaku-kan aktivitas pembangunan. Terjadinya keberdayaan pada empat aspek tersebut (kognitif, konatif, afektif dan psikomotorik) akan dapat memberikan kontribusi pada terciptanya kemandirian masyarakat yang dicita-citakan. Karena dengan demikian, dalam masyarakat akan terjadi kecukupan wawasan, yang dilengkapi dengan kecakapan keterampilan yang memadai, diperkuat oleh rasa memerlukan pembangunan dan perilaku sadar akan kebutuhannya. Kemandirian masyarakat dapat dicapai sebuah proses belajar. Masyarakat yang mengikuti proses belajar yang baik, secara bertahap akan memperoleh daya, kekuatan atau kemampuan yang bermanfaat dalam proses pengambilan keputusan secara mandiri. Sebagaimana dikemukakan oleh Montagu & Matson dalam Suprijatna (2000) yang mengusulkan konsep The Good Community and Competency yang meliputi sembilan konsep komunitas yang baik dan empat komponen kompetensi masyarakat. The Good Community and Competency itu adalah; (1) setiap anggota masyarakat berinteraksi satu sama lain berdasarkan hubungan pribadi atau kelompok; (2) komunitas memiliki kebebasan atau otonomi, yaitu memiliki kewenangan dan kemampuan untuk mengurus kepentingannya sendiri secara mandiri dan bertanggung jawab; (3) memiliki viabilitas yaitu kemampuan memecahkan masalah sendiri; (4) distribusi kekuasaan secara adil dan merata sehingga setiap orang mempunyai berkesempatan dan bebas memiliki serta menyatakan kehendaknya; (5) kesempatan setiap anggota masyarakat untuk berpartsipasi aktif untuk kepentingan bersama; (6) komunitas memberi makna kepada anggota; (7) adanya heterogenitas/beda pendapat; (8) pelayanan masyarakat ditempatkan sedekat dan secepat mungkin kepada yang berkepentingan; dan (9) adanya konflik dan manajemen konflik. Melengkapi sebuah komunitas yang baik perlu ditambahkan kompetensi yang harus dimiliki masyarakat yaitu : (1) mampu mengidentifikasi masalah dan kebutuhan komunitas, (2) mampu mencapai kesempatan tentang sasaran yang hendak dicapai dalam skala prioritas, (3) mampu menemukan dan menyepakati cara dan alat mencapai sasaran yang telah disetujui, dan (4) mampu bekerjasama
dalam bertindak mencapai tujuan. Kompetensi-kompetensi tersebut merupakan kompetensi
pendukung
untuk
mengantarkan
masyarakat
agar
mampu
memikirkan, mencari dan menentukan solusi yang terbaik dalam pembangunan sosial. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwasanya tujuan dari pemberdayaan masyarakat adalah pembentukan masyarakat yang memiliki kemampuan yang memadai untuk memikirkan dan menentukan solusi yang terbaik dalam pembangunan tentunya tidak selamanya harus dibimbing, diarahkan dan difasilitasi. Berkaitan dengan hal tersebut, pemberdayaan tidak bersifat selamanya, melainkan sampai target masyarakat mampu untuk mandiri, dan kemudian dilepas untuk mandiri, meskipun dari jauh tetap dipantau agar tidak jatuh lagi. 2.5. Rehabilitasi Hutan dan Lahan Rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) merupakan bagian dari sistem pengelolaan hutan yang ditempatkan pada daerah aliran sungai. Rehabilitasi mengambil posisi untuk mengisi kesenjangan ketika sistem perlindungan tidak dapat mengimbangi hasil budidaya hutan dan lahan, sehingga terjadi deforestasi dan degradasi fungsi hutan dan lahan. Rehabilitasi hutan dan lahan dapat diimplementasikan pada semua kawasan hutan kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional. Sitem RHL dicirikan oleh komponen sebagai berikut : (1) komponen obyek rehabilitasi hutan dan lahan, (2) komponen teknologi dan (3) komponen institusi. Sistem RHL merupakan sistem yang terbuka, yang melibatkan para pihak yang berkepentingan dengan penggunaan hutan dan lahan. Dengan demikian pada prinsipnya RHL diselenggarakan atas inisiatif bersama para pihak. Dengan kata lain, ke depannya RHL dilaksanakan oleh masyarakat dengan kekuatan utama dari masyarakat sendiri. Terdapat beberapa pendapat untuk mengatasi degradasi dan mempercepat proses pemulihan ekosistem (recovery). Pendekatan pertama adalah restorasi (restoration) yang didefinisikan sebagai upaya untuk memulihkan kembali (recreate) ekosistem hutan aslinya melalui penanaman dengan jenis tanaman asli
yang ada pada kawasan atau lahan tersebut sebelumnya. Pendekatan kedua melalui rehabilitasi yang diartikan sebagai penanaman hutan dengan jenis asli dan jenis exotic. Dalam hal ini tidak ada upaya untuk menata ulang ekosistem asli. Tujuannya hanya untuk mengembalikan hutan pada kondisi stabil dan produktif. Oleh karena itu ekosistem hutan yang terbentuk adalah campuran termasuk jenis asli. Alternatif akhir adalah reklamasi yang berarti pengunaan jenis-jenis exotic untuk menstabilkan dan meningkatkan produktivitas ekosistem hutan. Dalam hal ini tidak ada sama sekali upaya perbaikan biodiversitas asli dari suatu areal yang terdegradasi. Upaya dalam penanggulangan kerusakan hutan dan lahan yang telah dilaksakan pada dasarnya belum sebanding dengan laju kerusakan hutan yang terjadi. Sehingga belum banyak dampak nyata dalam pemulihan lingkungan hidup. Selanjutnya disadari pula bahwa pelaksanaan program rehabilitasi pada masa lampau memiliki berbagai kelemahan diantaranya belum terintegrasinya sistem perencanaan di daerah/wilayah sehingga sinergi antar sektor belum optimal, tidak terjaminnya kesinambungan pemeliharaan tanaman hutan dan lahan yang telah direhabilitasi serta peranan stakeholder sebagai inisiator dan pengelola rehabilitasi hutan dan lahan belum muncul. 2.6. Agroforestri Agroforestri bersal dari kata agro yang berarti pertanian dan forest yang berarti hutan. Jadi berdasarkan asal katanya agroforestri adalah usaha kehutanan yang dipadukan dengan usaha pertanian. Menurut Lundgren dan Raintree (1982), agroforestri adalah istilah kolektif untuk sistem-sistem dan teknologi-teknologi penggunaan lahan, yang secara terencana dilaksanakan pada satu unit lahan dengan mengkombinasikan tumbuhan berkayu (pohon, perdu, palem, bambu dll.) dengan tanaman pertanian dan/atau hewan (ternak) dan/atau ikan, yang dilakukan pada waktu yang bersamaan atau bergiliran sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antar berbagai komponen yang ada. Definisi ilmiah bagi istilah agroforestri harus mengandung penekanan terhadap dua karakter yang umumnya oleh semua bentuk agroforestri, dan menjadikannya berbeda dengan bentuk pemanfaatan lahan yang lain, yaitu :
1) Pertumbuhan tanaman berkayu pada unit lahan yang sama dengan tanaman pertanian dan/atau ternak, baik berupa campuran spasial maupun berurutan. 2) Harus terjadi interaksi yang signifikan (positif dan/atau negatif) antara komponen kayu dan non kayu dalam sistem, secara ekologis maupun ekonomis. Nair (1993) menyatakan bahwa definisi agroforestri dari Luhdgren dan Raintree menyiratkan hal-hal sebagai berikut : 1) Agroforestri umumnya mencakup dua atau lebih spesies tanaman (atau tanaman dan hewan), paling tidak salah satunya adalah tanaman berkayu. 2) Sistem agroforestri selalu memiliki dua atau lebih output. 3) Siklus/daur dari suatu sistem agroforestri selalu lebih dari satu tahun. 4) Sistem agroforestri yang paling sederhana pun, secara ekologi (struktur dan fungsi) dan ekonomis, lebih kompleks dari pada sistem tanaman satu jenis. Dari seminar agroforestri dan perladangan tahun 1981 di Jakarta disepakati satu definisi tentang agroforestri sebagai berikut : bentuk pemanfaatan lahan secara optimal dalam suatu tapak, yang mengusahakan produksi biologi berdaur pendek dan berdaur panjang atau merupakan kombinasi kegiatan kehutanan dengan kegiatan pertanian lainya, berdasarkan kelestaian, baik secara serempak atau secara berurutan didalam dan atau di luar kawasan hutan, untuk kesejahteraan masyarakat (Soerjono, 1984). Sifat utama dari sistem agroforestri adalah bahwa sistem ini memberikan keluaran ganda (multiple output) dari suatu unit lahan secara berkesinambungan (Huxley, 1983). Agroforestri, pendapatan masyarakat bertambah karena adanya diversifikasi usaha dan resiko kegagalan panen total dapat dihindarkan (Dephut, 1999). Nair (1991) menyatakan ada tiga atribut yang secara teoritis dimiliki oleh semua sistem agroforestry yaitu : 1) Produktifitas (productivity) : sebagian besar sistem agroforestri ditujukan untuk meningkatkan hasil (komoditi) dan meningkatkan produktivitas (lahan). Agroforestri dapat memperbaiki produktivitas dalam beberapa cara yang berbeda, meliputi : peningkatan hasil dari produksi kayu, memperbaiki
hasil panen tanaman pertanian/pangan, menurunkan input pada sistem tanaman pangan, dan meningkatkan efesiensi penggunaan tanaga kerja. 2) Kelestarian (sustainability) : melalui efek positif tumbuhan berkayu terhadap kondisi tanah, agroforestri dapat menjaga kelestarian tingkat kesuburan. 3) Adoptabiltas (adoptability) : fakta bahwa agroforestri sebenarnya merupakan istilah baru untuk hal yang telah lama dilakukan menggambarkan bahwa agroforestri, pada beberapa kasus, telah diterima oleh masyarakat pertanian. Namun, penerapannya dengan menggunakan teknologi baru pada daerah tertentu perlu mempertimbangkan praktek pertanian yang telah ada di situ. Nair (1991) juga mengatakan bahwa agroforestri cocok untuk diterapkan pada lahan kritis. Selain itu, dalam agroforestri, nilai-nilai sosial budaya lebih diperhatikan jika dibandingkan dengan metode penggunaan lahan yang lain. Agroforestri
sebagai
suatu
istilah
mencakup
beberapa
bentuk
(Notohadiprawiro, dalam Tim Arupa, 2003) : 1) Agri-Silvikultur, yaitu gabungan tanaman pertanian-kehutanan atau pertaniankehutanan-pertanakan yang ternak tidak digembalakan. 2) Silvopastoral yaitu gabungan tanaman kehutanan-peternakan yang ternaknya digebalakan. 3) Agro-Silvo-Pastoral, yaitu gabungan tanaman pertanian-kehutanan-peternakan yang ternaknya digembalakan. 4) Sistem
Perhutanan
Serbaguna,
yaitu
budidaya
pohon
hutan
untuk
menghasilakan kayu dan atau juga pangan dan atau makanan ternak berupa daun dan atau buah. Menurut Suharjito et al (2003), terdapat empat aspek dasar yang mempengaruhi keputusan petani untuk menerapkan atau tidak menerapkan agroforestri, yaitu : kelayakan (feasibility), keuntungan (profitabilility), dapat tidaknya diterima (acceptability), dan kesinambungan (sustainability), kelayakan berkaitan dengan sumberdaya yang tersedia, teknologi pendukung, orientasi produksi, pengetahuan lokal petani, dan kebijakan pendukung. Keuntungan berkaitan dengan aspek ekonomi. Kemudahan untuk diterima berkaitan dengan resiko usaha, identitas sosial budaya, masalah gender dan kesempatan untuk
bekerja di luar sektor pertanian. Jaminan kesinambungan berkaitan dengan penguasaan lahan, penguasaan atas pohon, dan aspek hubungan sosial. Dari beberapa definisi tentang agroforestri maka dapat disimpulkan bahwa agroforestri merupakan bentuk usaha tani dalam rangka pengelolaan hutan serbaguna yang menyelaraskan antara kepentingan produksi dengan kepentingan pelestarian, berupa pengusahaan secara bersama atau berurutan jenis-jenis tanaman pelestarian, bentuk lahan pengembalaan, jenis tanaman kehutanan pada suatu lahan. Pola penanaman agroforestri pada umumnya tidak homogen, tidak seumur, dan terdiri atas berbagai macam tanaman yang mempunyai dua strata atau lebih. Pola ini memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat desa karena dapat dijadikan sumber pendapatan tambahan serta dapat menjamin terjadinya kontinuitas produksi sepanjang masa luas lahan yang ada. Disamping itu pola agroforestri memiliki berbagai macam fungsi yang tidak ternilai, seperti fungsi keindahan, fungsi perlindungan tata air, fungsi keseimbangan lingkungan hidup, dan berbagai fungsi sosial lainya. 2.7. Partisipasi Secara sederhana partisipasi biasanya diartikan sebagai peranserta seseorang atau kelompok anggota masyarakat dalam suatu kegiatan yang bila dikaitkan dengan
pembangunan
maka
yang
dimaksud
adalah
peranserta
dalam
pembangunan. Partisipasi merupakan bentuk perilaku. Untuk dapat berperilaku tertentu ada dua hal yang mendukungnya, yaitu : (1) ada dua unsure yang mendukung untuk berperilaku tertentu itu pada diri seseorang (person inner determinant) dan (2) terdapat iklim atau lingkungan (environmental factors) yang memungkinkan terjadinya perilaku tertentu (Ndraha, 1987). Partisipasi merupakan masukan dalam proses pembangunan dan sekaligus menjadi keluaran atau sasaran dari pelaksanaan pembangunan. Dalam kenyataannya partisipasi masyarakat dalam pembangunan dapat bersifat vertikal dan dapat pula horisontal. Rahardjo dalam Ndraha (1987) menyatakan bahwa partisipasi vertikal berlangsung bilamana masyarakat berperan serta dalam suatu program yang dari atas, yaitu masyarakat pada posisi sebagai bawahan atau pengikut, sedangkan partisipasi horisontal bilamana masyarakat mampu
berprakarsa, yaitu setiap orang masyarakat secara horisontal satu dengan yang lain berperanserta dalam kegiatan-kegiatan pembangunan. Pembangunan adalah proses partisipasi, dan harus dipahami sebagai proses yang berdimensi jamak yang melibatkan perubahan berbagai aspek dalam masyarakat. Secara luas partisipasi dipandang sebagai suatu proses yang dinamis dan berdimensi jamak. Partisipasi dalam pembangunan berarti peranserta seseorang atau kelompok masyarakat dalam proses pembangunan baik dalam bentuk pernyataan maupun dalam bentuk kegiatan dalam masukan berupa pikiran, tenaga, waktu, keahlian, model dan atau materi sertaikut memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan (Anwar, 1986). Terwujudnya kegiatan partisipasi dalam proses pembangunan dapat disebabkan oleh adanya paksaan/sanksi, ajakan atau pihak lain ataupun kesadaran dirisendiri. Kesadaran berpartisipasi dipengaruhi oleh tingkat pemanhaman atas objek partisipasi (program pembangunan). Oleh sebab itu masyarakat perlu diberi pengertian dan pemahaman tentang objek partisipasi termasuk cara aktivitas partisipasi itu dilaksanakan (Depdagri, 1994). Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan akan terwujud sebagai suatu keadaan nyata apbila terpenuhi adanya tiga faktor utama yang mendukungnya yaitu : (1) kemauan, (2) kemampuan, dan (3) kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi (Slamet, 1989). Keberadaan, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan akan dipengaruhi oleh berbagai faktor diseputar kehidupan manusia yang saling berinteraksi satu dengan lainnya, terutama faktor-faktor : psikologis individu, terpaan informasi, pendidikan, keterampilan, kondisi permodalan yang dimiliki, teknlogi, kelembagaan, struktur dan stratifikasi sosial, budaya lokal, serta pengaturan dan pelayanan pemerintah. Kemauan partisipasi bersumber pada faktor psikologis individu yang menyangkut emosi dan perasaan yang mekat pada diri manusia. Faktor-faktor yang menyangkut emosi dan perasaan ini sangat kompleks sifatnya, sulit diamati dan diketahui dengan pasti, dan tidak mudah dikomunikasikan, akan tetapi selalu ada pada setiap individu dan merupakan penggerak perilaku manusia.
2.8. Interpretative Structural Modelling (ISM) Salah satu teknik permodelan yang dikembangkan untuk perencanaan kebijakan
strategi
adalah
Teknik
Permodelan
Interpretasi
Struktural
(Interpretative Structural Modelling - ISM). Menurut Eriyatno (2003) teknik ISM merupakan suatu proses pengkajian kelompok dimana model-model struktural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari suatu sistem, melalui pola yang dirancang secara seksama dengan menggunakan grafik serta kalimat. Prinsip dasarnya adalah identifikasi dan struktur didalam suatu sistem akan memberikan nilai manfaat yang tinggi guna meramu sistem secara efektif dan pengambilan keputusan yang lebih tinggi. Dalam teknik ISM, program yang ditelaah perjenjangan strukturnya dibagi menjadi elemen-elemen dimana setiap elemen selanjutnya diuraikan menjadi sejumlah sub elemen. Studi dalam perencanaan program yang terkait memberikan pengertian mendalam terhadap berbagai elemen dan peranan kelembagaan guna mencapai solusi yang lebih baik dan mudah diterima. Teknik ISM memberikan basis analisa dimana informasi yang dihasilkan sangat berguna dalam formulasi kebijakan serta perencanaan strategis. Menurut Saxena (1992) dalam Marimin (2004) bahwa program dapat dibagi menjadi sembilan elemen yaitu : 1.
Sektor masyarakat yang terpengaruh
2.
Kebutuhan dari program
3.
Kendala utama
4.
Perubahan yang dimungkinkan
5.
Tujuan dari program
6.
Tolok ukur untuk menilai setiap tujuan
7.
Aktivitas yang dibutuhkan untuk pencapaian tujuan.
8.
Ukuran aktivitas guna mengevaluasi hasil yang dicapai oleh setiap aktivitas.
9.
Lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program. Teknik
ISM
disusun
berdasarkan
hubungan
kontekstual
menggunakan simbol V,A,X dan O dimana : V ... hubungan dari elemen Ei terhadap Ej, tetapi tidak sebaliknya. A... hubungan dari elemen Ej terhadap Ei, tetapi tidak sebaliknya.
dengan
X... hubungan interrelasi antara Ei dan Ej (dapat sebaliknya) O ..Ei dan Ej tidak ada hubungan. Hubungan tersebut diterjemahkan kedalam matriks biner dengan aturan konversi sebagai berikut : 1) Jika hubungan Ei terhadap Ej = V didalam SSIM, maka elemen Eij = 1 dan Eji = 0. 2) Jika hubungan Ei terhadap Ej = A didalam SSIM, maka elemen Eij = 0 dan Eji = 1 3) Jika hubungan Ei terhadap Ej = X didalam SSIM, maka elemen Eij = 1 dan Eji = 1 4) Jika hubungan Ei terhadap Ej = O didalam SSIM, maka elemen Eij = 0 dan Eji = 0 Marimin (2004) menguraikan bahwa metodologi dan teknik ISM dibagi menjadi dua bagian yaitu penyusunan hirarki dan pengelompokan sub elemen. Untuk menentukan klasifikasi sub elemen digunakan nilai driver power dan dependence yang digolongkan dalam empat sektor yaitu : 1) Sektor 1 : weak driver – weak dependent variabel (Autonomous). Sub elemen yang masuk dalam sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem, dan mungkin mempunyai hubungan sedikit, meskipun hubungan tersebut bisa saja kuat. 2) Sektor 2 : weak driver – strongly dependent variables (dependent). Sub elemen yang masuk dalam sektor ini umumnya sub elemen yang tidak bebas. 3) Sektor 3 : strong driver – strongly dependent variabel (linkage). Sub elemen yang masuk dalam sektor ini harus dikaji secara hati-hati, sebab hubungan antara sub elemen tidak stabil. Setiap tindakan pada sub elemen akan memberikan dampak terhadap sub elemen lainnya dan pengaruh umpan baliknya dapat memperbesar dampak. 4) Sektor 4 : stong driver – weak dependent variables (Independent). Sub elemen yang masuk dalam sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan disebut juga peubah bebas.
III. METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan pada Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Balai Diklat Kehutanan Samarinda, tepatnya di Dusun Tanijaya Desa Batuah, Kabupatan Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Pemilihan lokasi tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa lahan masyarakat Tanijaya berbatasan langsung dengan kawasan dan masyarakatnya banyak melakukan kegiatan di dalam kawasan KHDTK Balai Diklat Kehutanan. Penelitian dilakukan selama tiga bulan mulai Desember 2009 sampai dengan Februari 2010. 3.2. Jenis dan Sumber Data Data dan informasi yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data kualitatif dan kuantitatif. Dari segi sumber perolehannya, dibedakan menjadi data primer dan data sekunder. Data sekunder meliputi kondisi geografis wilayah, kondisi sosiodemografi (jumlah penduduk, tingkat pendidikan, mata pencarian) potensi wilayah hutan, sarana prasarana yang ada, kebijakan pemerintah, kegiatan ekonomi masyarakat dan lain-lain. Data sekunder bersumber dari dinas, instansi, lembaga maupun berasal dari publikasi hasil penelitian yang pernah dilakukan dan berhubungan dan representatif dengan tujuan penelitian. Selain itu juga dilakukan pengamatan langsung ke lokasi lahan garapan kerjasama. 3.3. Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang dipergunakan dalam panduan wawancara ini antara lain peta THRBS, daftar pertanyaan sedangkan alat-alat yang dibutuhkan adalah kamera digital, alat tulis menulis, program SPSS (Statistical Package for the Social Sainces) dan alat perekam. 3.4. Metode Pengumpulan Data Responden dalam penelitian ini terdiri dari para petani dan kalangan pakar. Kedua data kuisioner diperoleh melalui wawancara menggunakan kuisioner dan wawancara mendalam terhadap informan kunci dimaksudkan untuk mengetahui
variabel penelitian secara lebih mendalam dan komprehensif. Responden terdiri dari : 1. Masyarakat petani Responden masyarakat petani ini dibagi menjadi dua golongan yaitu : a. Petani Penggarap Penentuan responden petani penggarap ditentukan dengan metode sensus yang terdiri dari petani penggarap yang telah dibina dengan jumlah sampel 6 KK dan petani yang belum dibina dengan jumlah sampel 40 KK. b. Petani yang tinggal di perbatasan KHDTK BDK Ditentukan dengan metode purposive sampling dengan jumlah sampel 10% dari jumlah populasi pada setiap rumah tangga dengan jumlah total responden dari 5 RT sebanyak 24 KK. 2. Kalangan pakar Responden yang berasal dari kalangan pakar ditentukan dengan metode purposive sampling, berasal dari berbagai dinas/instansi dan kalangan profesional seperti BDK, Dinas Kehutanan Provinsi, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Dinas Kehutanan Kabupaten, dan Pemerintah Desa dan Tokoh Masyarakat yang berada di wilayah penelitian. Beberapa pertimbangan dalam penentuannya adalah : 3.5. Metode Analisis 3.5.1. Mengidentifakisi faktor-faktor yang menyebabkan partisipasi dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestry di KHDTK BDK. Dalam menjawab tujuan, yakni mengkaji hubungan diantara faktor-faktor yang mempengaruhi pemberdayaan dalam rehabilitasi pola agroforestri, dijelaskan secara deskriptif kuantitatif dengan menggunakan analisis statistik non parametrik yaitu uji kolerasi peringkat Rank Spearman, dengan rumus :
1. 2.
N
6 Rs = 1
∑ di
2
i=1
n (n2
1)
Keterangan : Rs di n
= koefesien Rank Spearman = Selisih peringkat X dan Y = Banyaknya Sampel
3.5.2. Mengidentifikasi strategi pemberdayaan yang tepat untuk peningkatan partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestry di KHDTK BDK Mengidentifikasi strategi bertujuan untuk mengkaji alternatif-alternatif yang dapat dipilih dalam rangka perumusan strategi pemberdayaan masyarakat dengan rehabilitasi pola agroforestri di KHDTK BDK. Dalam analisis strategi ini digunakan teknik ISM (Interpretative Structural Modelling). Langkah pertama yang perlu dilakukan dalam analisis ISM adalah menetukan elemen-elemen yang sesuai dengan topik penelitian dan kondisi wilayah studi. Dalam penelitian ini hanya menggunakan lima elemen antara lain : 1. Kebutuhan dari program 2. Kendala utama 3. Tujuan dari program 4. Aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan 5. Lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program. Selanjutnya disusun sub-sub elemen pada setiap elemen yang terpilih. Pemilihan elemen dan penyusunan dilakukan hasil diskusi dengan pakar. Penilaian sub elemen menggunakan perbandingan berpasangan dengan simbol VAXO dimana : V jika Eij = 1 dan Eji = 0
X jika Eij = 1 dan Eji = 1
A jika Eij = 0 dan Eji = 1
O jika Eij = 0 dan Eji = 0
Dimana nilai Eij = 1 berarti ada hubungan kontekstual antara sub elemen ke–i dan ke-j, sedangkan Eji = 0 berarti tidak ada hubungan kontekstual antara sub elemen ke-i dan ke-j. Hasil penilaian tersebut, disusun dalam Structural Self
Interaction Matrix (SSIM) yang dibuat dalam bentuk tabel Reachabillty Matrix (RM) dengan mengganti V, A, X, dan O menjadi bilangan 1 dan 0. Matriks tersebut kemudian diubah menjadi matriks tertutup. Hal ini dilakukan untuk mengoreksi matriks tersebut memenuhi kaidah transitivity yaitu jika A mempengaruhi B dan B mempengaruhi C, maka A harus mempengaruhi C. Langkah berikutnya adalah menyusun hierarki setiap sub elemen pada elemen yang dikaji dan mengklasifikasikannya dalam empat sektor, apakah sub elemen tersebut termasuk dalam sektor Autonomus, Dependent, Lingkage, atau Independent : 12 Sektor IV Independent 0
2
4
Sektor I Autonomus
10
Sektor III Lingkage
8 6 4 2
8
10
12
Sektor II Dependent
0 Dependence Gambar 2. Matrik driver power-dependence dalam analisis ISM (Marimin, 2004)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian Desa Batuah memiliki luas keseluruhan 84,7 km2 yang terdiri dari tanah datar dan perbukitan dengan ketinggian rata-rata 500 m diatas permukaan laut. Secara administrasi, wilayah sebelah Utara Desa Batuah berbatasan dengan Desa Purwajaya dan Desa Tani Bakti, Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Karya Merdeka Kecamatan Samboja, sebelah Timur berbatasan dengan Desa Tani Harapan dan Kelurahan Teluk Dalam Kecamatan Muara Jawa dan sebelah Barat berbatasan dengan Desa Loa Duri Ilir. Berdasarkan fungsi penggunaan lahan, Desa Batuah dipergunakan dan diperuntukkan untuk pengembangan pertanian dengan luasan 60 % dari luasan desa. Peruntukan lahan secara rinci ditampilkan pada tabel 1. Tabel 1 . Potensi Pertanian Desa Batuah No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Komoditas Perkebunan Lada Perkebunan Sawit Perkebunan Karet Perkebunan Hortikultura Sawah Peternakan Ayam Ras Peternakan Sapi Sayur Perikan Air Tawar Lain-lain Belum dikelola Jumlah
Luas (Ha) 3.851,97 834,00 66,00 600,00 100,00 200,00 7,90 25,00 3,00 166,31 19.837,80 25,691,98
Persentase (%) 14,99 3,25 0,25 2,34 0,39 0,78 0,03 0,10 0,01 0,65 77,21 100,00
Sumber : Monografi Desa Batuah 2009
Jumlah penduduk Desa Batuah yang tercatat hingga tahun 2009 adalah 8338 jiwa, terdiri atas laki-laki sebanyak 4224 orang dan perempuan sebanyak 4114 orang, dengan jumlah KK 2466. Sementara itu jumlah penduduk menurut golongan usia di Desa Batuan dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu usia kurang dari 5 tahun, usia 16 – 60 tahun, dan usia 60 keatas (Tabel 2). Berdasarkan tingkat pendidikannya, pada umumnya Masyarakat Desa Batuah hanya
mengenyam pendidikan SD atau sederajat. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 2 . Komposisi Penduduk Desa Batuah menurut Golongan Usia No 1 2 3
Usia
Jumlah
< 5 tahun 16 – 60 tahun > 60 tahun Jumlah
Persentase (%)
1231 6550 557 8338
14,76 78,56 6,68 100,00
Jumlah 3487 1533 980 225 2113 8338
Persentase (%) 41,82 18,39 11,75 2,70 25,34 100,00
Sumber : Monografi Desa Batuah 2009
Tabel 3 . Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Batuah No 1 2 3 4 5
Pendidikan SD SLTP SLTA Sarjana Tidak tamat SD Jumlah
Sumber : Monografi Desa Batuah 2009
Sebagian besar penduduk Desa Batuah bermata pencarian sebagai petani. Selain petani ada juga yang menjadi pegawai swasta, pegawai negeri/honorer, PTT, wiraswasta/pedagang, TNI/Polri, dan jasa medis (Tabel 4). Tabel 4 . Mata Pencarian Pokok Penduduk Desa Batuah No 1 2 3 4 5 6 7
Pekerjaan Petani Pegawai swasta PNS/Honorer PTT Wiraswasta /Pedagang TNI/Polri Jasa medis Jumlah
Jumlah 2388 338 150 102 837 15 21 3851
Persentase (%) 62,01 8,78 3,90 2,65 21,73 0,39 0,54 100,00
Sumber : Monografi Desa Batuah 2009
4.2. Sejarah Pengelolaan Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus BDK Secara geografis kawasan Hutan Balai Diklat Kehutanan (BDK) Samarinda terletak antara 00°40’00” - 00°47’00” (Lintang Selatan) dan 116°7’00” 117°01’00
(Bujur Timur), berada di sebelah Barat jalan poros Samarinda-
Balikpapan. Secara administrasi, terletak dalam wilayah Kecamatan Loa Janan, Kabupaten Kutai Kartanegara sistem pengelolaan KHDTK Balai Pendidikan Kehutanan bersifat menyeluruh dan terpadu guna meningkatkan peran kawasan dan sumberdaya alam hayati bagi peningkatan kualitas lingkungan. Pengelolaan kawasan hutan tersebut adalah untuk mendukung pengembangan sumberdaya manusia kehutanan dalam rangka membangun hutan secara lestari. Sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 8815/Kpts-II/2002, Balai Diklat Kehutanan Samarinda telah memiliki Hutan Diklat seluas 4.310 hektar. KHDTK BDK ini telah dilengkapi dengan sarana bangunan sebagai fasilitas pelatihan baik berupa asrama, ruang kelas dan sarana bangunan pendukung lainnya. Sarana ini dibangun di lahan seluas 1 hektar terletak pada batas hutan paling timur di tepi Sungai Miak. KHDTK BDK dapat dicapai melalui jalan poros Samarinda – Balikpapan, yaitu masuk dari Km 47 dan Km 39. Melalui Km 47 ke lokasi harus menempuh jarak + 4 km sampai batas hutan dilanjutkan dengan berjalan kaki sejauh 3 km sampai di Kampus Sungai Miak (KSM). Sedangkan dari Km 39 melewati jalan kampung sepanjang + 11 km sampai di KSM. Jenisjenis pohon yang ada di KHDTK BDK hanya di dominasi oleh jenis-jenis Terap (Arthocarpus sp), Jabon (Arthocepalus cadamba), Jambu-jambuan (Syzgium sp), Simpur (Dillenia sp) serta Ulin (Eusideroxylon zwageri). Sedangkan jenis pohon yang masih ditemukan tapi tidak terlalu berapa adalah Benuang (Duabanga molucana), Keruing (Dipterocarpus sp), Meranti (Shorea sp) dan Kapur (Dryobalanops sp). Pada saat ini, penyebaran lahan yang digarap masyarakat di dalam KHDTK BDK sudah hampir merata di seluruh kawasan. Lahan yang sampai saat ini masih digarap luasnya sangat bervariasi, mulai dari 2 hektar hingga 22 hektar. Para peladang umumnya menanam lada, palawija, buah-buahan serta beberapa jenis pohon komersil seperti Jati dan Sengon. Sedangkan areal yang hanya ditumbuhi alang-alang dan perdu adalah lahan garapan masyarakat yang telah ditinggalkan selama 1 sampai 5 tahun tanpa ditanami pohon atau buah-buahan. Lahan seperti ini banyak ditemui dengan areal yang sangat luas membentang di sepanjang Sungai Loa Haur, Sungai Miak, Sungai Sepiak, Sungai Bentuhung dan Sungai
Betung serta di sepanjang jalan hutan yang ada di perbatasan kawasan Hutan Diklat sisi timur. Sebagai bagian dari pembangunan kehutanan, pengembangan potensi sosialekonomi kawasan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal, dilaksanakan dengan melakukan inventarisasi dan identifikasi distribusi potensi kawasan. Potensi kawasan mencakup hasil hutan bukan kayu (HHBK) dan jasa lingkungan
(potensi
rekreasi
atau
ekowisata)
yang
memungkinkan
pemanfaatannya secara lestari serta pengembangan usaha-usaha ekonomi masyarakat melalui budidaya (Social Forestry) ataupun aktifitas perekonomian lainnya. Kegiatan ini dilakukan dalam upaya meningkatkan keterampilan dan pengetahuan aparat kehutanan dalam pemberdayaan masyarakat serta sebagai laboratorium pengembangan kelembagaan pengelolaan hutan oleh masyarakat. Pengembangan partisipasi masyarakat dan kolaborasi para pihak merupakan kunci bagi keberhasilan dalam pengelolaan KHDTK BDK ke depan. Upaya ini dilakukan dengan mengikut sertakan para pihak terkait secara aktif, melalui pengelolaan hutan kolaboratif dengan kelompok tani yang ada (Social Forestry) dalam
proses
penyusunan
perencanaan
pengelolaan,
pengorganisasian,
pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi implementasi rencana. Selain itu, dapat juga dilakukan manajemen kolaboratif dengan perusahaan-perusahaan tambang di sekitar kawasan selama tidak bertentangan dengan peraturan yang ada. Maka untuk mengembangkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan di KHDTK BDK perlu dilihat faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi yang berasal dari faktor internal dan eksternal masyarakat yang mempengaruhinya. 4.3. Hubungan antara Faktor Internal dan Faktor Eksternal Responden dengan Tingkat Partisipasi Masyarakat Hubungan antara faktor internal dan eksternal responden dengan tingkat pemberdayaan masyarakat memberikan gambaran tentang bagaimana peranan tiap-tiap faktor terhadap tingkat pemberdayaan masyarakat. Dalam melihat hubungan antara faktor-faktor tersebut dengan tingkat pemberdayaan masyarakat dalam rangka rehabilitasi hutan Tahura Bukit Soeharto di Dusun Tanijaya pada
setiap tahapan kegiatan perencanaan dan pelaksanaan digunakan uji korelasi Rank Spearman. 4.3.1. Hubungan Faktor Internal Responden dengan Tingkat Partisipasi Masyarakat Karakteristik internal yang disajikan dalam penelitian ini adalah umur responden, tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, penetuan jenis tanaman, jumlah tenaga kerja, luas lahan garapan, kedekatan dengan BDK, tingkat pendapatan, pengetahuan mengenai rehabilitasi pola agroforestri, kekosmopolitan, pekerjaan sampingan, persepsi, motivasi intrinsik, dan motivasi ekstrinsik. Hasil penelitian menunjukkan nilai yang berbeda dari setiap faktor internal dalam kaitannya dengan tingkat pemberdayaan masyarakat, sebagaimana disajikan dalam Tabel 5. Tabel 5. Koefisien Korelasi antar Faktor Internal Responden dengan Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam rangka Rehabilitasi Hutan TAHURA Bukit Soeharto No
Faktor Intenal
1 2 3 4 5 6 7 8
Umur responden Tingkat pendidikan Jumlah anggota keluarga Penentuan jenis tanaman Jumlah tenaga kerja Luas lahan garapan Kedekatan dengan BDK Tingkat pendapatan Pengetahuan mengenai rehabilitasi pola agroforestri Kesmopolitan Pekerjaan sampingan Persepsi tentang kegiatan rehabilitasi Motivasi intrinsik Motivasi ekstrinsik
9 10 11 12 13 14
Keterangan : ** Berpengaruh nyata pada α = 0,01 * Berpengaruh nyata pada α = 0,05 Sumber : Data hasil analisis, 2010
Partisipasi Masyarakat Perencanaan Pelaksanaan (Y1) (Y2) 0,000 -0,010 -0,082 -0,247* 0,187 0,062 0,060 -0,032 0,116 0,055 0,241* 0,190 -0,264* -0,278* 0,361** 0,272* 0,200
0,132
0,041 -0,007 0,118 0,248* -0,309**
0,072 -0,096 -0,105 0,239* -0,304*
a) Hubungan antara umur dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestri Nilai korelasi menunjukkan tidak ada hubungan keterkaitan atau lemah pada tahapan pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa umur dari anggota masyarakat yang melakukan kegiatan di tempat tersebut baik dari kelompok usia produktif maupun non produktif bisa menerima adanya kegiatan pemberdayaan masyarakat. Hal tersebut disebabkan oleh sebagian besar responden masyarakat Tanijaya (94,3%) berada pada umur produktif/usia tenaga kerja (15-55 tahun). Sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Muis (2007) di Kelurahan Layana Sulawesi Tengah bahwasanya hubungan faktor umur dan tingkat partisipasi menunjukkan hasil nilai uji korelasi hubungan yang tidak nyata dengan tingkat partisipasi pada tahap perencanaan dan pelaksanaan, karena mayoritas masyarakatnya juga berada pada usia produktif (>90%). Menurut Lembaga Demografi UI, (2004) tenaga kerja didefinisikan sebagai penduduk dalam usia kerja, dalam pustaka biasanya adalah seluruh penduduk berusia 15-64 tahun. b) Hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestri Tingkat pendidikan responden memiliki hubungan yang nyata negatif dengan tingkat partisipasi masyarakat melalui rehabilitasi pola agroforestri pada tahap pelaksanaan. Hal ini berarti bahwa semakin rendah tingkat pendidikan maka semakin tinggi tingkat partisipasi responden dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan rehabilititasi dengan pola agroforestri. Hal ini lebih dipengaruhi oleh faktor karakteristik masyarakat, yang pada umumnya merupakan masyarakat pendatang yang lebih terbuka dengan informasi atau pengetahuan baru yang datang dari luar, berbeda dengan penduduk asli yang cenderung tertutup. Sebagian besar memiliki tingkat pendidikan yang rendah yaitu ± 88% hanya menamatkan pendidikan dasar. Selain itu masyarakat yang berpendidikan tinggi pada umumnya sulit untuk diajak bekerja sama, hal ini berhubungan dengan karakter masyarakat yang memiliki pendirian yang kuat mengingat mereka memiliki tingkat pendidikan yang cukup tinggi. Namun dalam kegiatan perencanaan tingkat pendidikan tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat
partisipasi masyarakat hal ini disebabkan karena pada tahap perencanaan masyarakat tidak dilibatkan secara langsung, secara keseluruhan dalam tahap ini sepenuhnya dilakukan oleh pihak BDK sebagai pembuat dan pelaksana teknis kegiatan. c) Hubungan antara jumlah anggota keluarga dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestri Nilai-nilai koefisien korelasi dari variabel jumlah anggota keluarga responden tidak berhubungan nyata dengan tingkat partisipasi masyarakat melalui rehabilitasi pola agroforestri. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan Muis (2007) menunjukkan bahwa jumlah anggota keluarga memiliki pengaruh nyata terhadap tingkat partisipasi masyarakat pada tahap pelaksanaan. Di Dusun Tanijaya, kegiatan pola agroforestri dipengaruhi oleh faktor keeratan hubungan kekeluargaan ditengah-tengah masyarakat sehingga setiap kegiatan yang terkait dengan pengolahan lahan selalu dilakukan dengan sistem gotong royong. Selain itu, masyarakat yang terlibat dalam kegiatan gotong royong pada umumnya adalah orangtua sedangkan anak anak membantu sewaktu waktu. Hal ini
mengindikasikan
bahwa
berapapun
jumlah
anggota
keluarga
tidak
mempengaruhi tingkat partisipasi, karena partisipasi dilihat dari keluarga (sebagai unit terkecil). d) Hubungan antara penentuan jenis tanaman dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestri Nilai-nilai tersebut menunjukkan bahwa variabel penentuan jenis tanaman tidak ada hubungan keterkaitan atau lemah serta bersifat negatif pada kegiatan pelaksanaan terhadap pemberdayaan masyarakat melalui rehabilitasi pola agroforestri. Hal tersebut menunjukkan bahwa apapun jenis tanaman yang direncanakan akan ditanam maupun dalam pelaksanaan penanaman, tidak mendapatkan penolakan karena pada dasarnya mereka yakin bahwa pemerintah pasti akan memberikan tanaman yang menguntungkan bagi mereka dan tidak mungkin diberikan tanaman yang membuat permasalahan yang menyulitkan bagi mereka.
e) Hubungan antara jumlah tenaga kerja dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestri Nilai-nilai tersebut menunjukkan bahwa variabel jumlah tenaga kerja tidak ada hubungan keterkaitan atau lemah dengan tingkat pemberdayaan masyarakat melalui rehabilitasi pola agroforestri. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan pola agroforestri bisa juga dilakukan secara bersama-sama dengan prinsip gotong royong antar kelompok penggarap dan dilakukan dengan cara bertahap sehingga tidak membutuhkan tenaga kerja dalam keluarga. Disisi lain bisa juga masyarakat beranggapan bahwa pola agroforestry merupakan suatu pekerjaan yang lebih mudah untuk dilakukan sendiri tanpa bantuan dari orang lain. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan Trison (2005) yang menunjukkan bahwa jumlah tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap partisipasi masyarakat. Dalam penelitian
Trison
(2005),
pelaksanaan
kegiatan
oleh
masyarakat
Desa
Hegarmanah memerlukan tenaga lebih diri 2 orang untuk setiap pelaksanaan pekerjaan mereka. f) Hubungan antara luas lahan garapan dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestri. Tabel 5 menunjukkan bahwa variabel luas pengelolaan lahan memiliki hubungan yang nyata dengan tingkat pemberdayaan masyarakat melalui rehabilitasi pola agroforestri pada tahap pelaksanaan. Semakin luas pengelolaan lahan maka akan semakin rendah partisipasi hal tersebut berkaitan dengan anggapan bahwa pada tahap perencanaan mereka akan memperoleh luas lahan yang lebih kecil dibandingkan dengan luas lahan yang telah mereka olah sebelumnya sebab sebagian besar masyarakat menguasai lahan olahan yang cukup besar 2-10 ha. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan Trison (2005) dan Muis (2007) menyimpulkan bahwa luas lahan garapan tidak berpengaruh terhadap tingkat partisipasi pada tahap perencanaan dan pelaksanaan. Hal ini dikarenakan setiap masyarakat menguasai luas lahan sebesar 0,5-2,5 ha. Luas lahan garapan yang dimiliki berpengaruh terhadap pilihan sikap seseorang dalam memutuskan untuk mengalokasikan sebagian lahannya untuk ditanami pohon-pohon. Lahan yang sempit lebih cenderung digunakan untuk tanaman pangan atau tanaman perdagangan dari pada pohon-pohonan (Suharjito et al, 2003).
g) Hubungan antara kedekatan BDK dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestri. Kedekatan dengan BDK berkorelasi positif (nyata) dengan tingkat pemberdayaan masyarakat melalui rehabilitasi pola agroforestri pada tahap perencanaan dan pelaksanaan. Menurut Kairan (2010) kedekatan pendamping dengan masyarakat sangat diperlukan dalam melakukan pendampingan, karena dalam pembinaan masyarakat pedesaan yang pada umumnya gagal karena petugas hanya berkunjung beberapa saat saja bila ada kepentingan kemudian meninggalkan desa dan masyarakat. Kurangnya pendekatan dari Balai Diklat Kehutanan terhadap masyarakat Dusun Tanijaya bisa mengakibatkan sulit terlaksananya kegiatan pemberdayaan masyarakat karena pada prinsipnya tanpa mengenal terlebih dahulu, orang akan bersikap apatis dan tidak ada kepedulian terhadapnya. h) Hubungan antara tingkat pendapatan dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestri Tingkat pendapatan berkorelasi positif sangat nyata pada perencanaan dan pelaksanaan dengan tingkat pemberdayaan masyarakat melalui rehabilitasi pola agroforestri pada tahap perencanaan dan pelaksanaan. Hal tersebut berarti bahwa semakin tinggi pendapatan maka partisipasi dalam kegiatan rehabilitasi akan meningkat, sebab tingkat pendapatan erat kaitannya dengan kedudukan sosial seseorang. Slamet (1989) menyatakan bahwa status sosial dipengaruhi salah satunya oleh tingkat pendapatan. Lapisan penduduk yang berstatus sosial lebih tinggi, lebih banyak terlibat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Muis (2007) yang menyatakan bahwa tingkat pendapatan dan tingkat partisipasi masyarakat memiliki hubungan yang nyata pada tahap perencanaan dimana semakin tinggi tingkat pendapatan maka semakin tinggi pula tingkat partsipasi masyarakat dalam perencanaan. Dalam penelitian Muis (2007), tingkat pendapatan masyarakat Lambara yang lebih tinggi telah memposisikan mereka pada kedudukan sosial yang lebih tinggi dan terhormat. i) Hubungan antara pengetahuan mengenai rehabilitasi pola agroforestri dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestri
Pengetahuan mengenai rehabilitasi pola agroforestri tidak memiliki hubungan nyata dengan tingkat partisipasi dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat melalui rehabilitasi pola agroforestri pada tahap pelaksanaan dan perencanaan kegiatan, hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan mengenai rehabilitasi di tingkat masyarakat bukan merupakan sesuatu yang utama dalam menunjang kegiatan rehabilitasi, sebab pada prinsipnya kegiatan rehabilitasi merupakan program pembinaan masyarakat dengan berbagai bentuk kegiatan diantaranya pelaksanaan simulasi terkait pola penanaman, penentuan jenis tanaman, pertemuan kelompok tani hingga pelaksanaan berbagai bentuk pelatihan terkait kegiatan rehabilitasi di tingkat petani/masyarakat, sehingga secara langsung masyarakat akan mengetahui dengan sendirinya berbagai informasi atau pengetahuan mengenai rehabilitasi dengan mengikuti serangkayan kegiatan tersebut. Oleh karena itu dalam pelaksanaan kegiatan rehabilitasi kedepannya perlu diupayakan pembentukan berbagai jenis, bentuk, format atau tampilan yang menunjang penambahan informasi atau pengetahuan seputar kegiatan rehabilitasi yang dapat meningkatkan tingkat partisipasi masyarakat dalam mengikuti kegiatan rehabilitasi dengan pola agroforesti. j) Hubungan antara kosmopolitan dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestri Variabel kosmopolitan di Dusun Tanijaya tidak memiliki korelasi dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam rehabilitasi pola agroforestri pada tahap perencanaan dan pelaksanaan. Kondisi ini tercermin dari tingkat pendidikan masyarakat yang pada umumnya relatif rendah (±88% masyarakat menamatkan pendidikan dasar), sehingga memberi kecenderungan masyarakat memiliki keinginan yang rendah dalam mencari informasi dan pengetahuan khususnya mengenai kegiatan rehabilitasi atau dengan kata lain masyarakat akan cenderung hanya menerima atau menunggu informasi yang datang (pasif). Berbeda dengan hasil penelitian Muis (2007) yang mengungkapkan bahwa faktor kosmopolitan berkorelasi positif dengan tingkat partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan pelaksanaan. Dalam hal ini sangat dipengaruhi oleh adanya perbedaan karakteristik dan kondisi masyarakat khususnya di Dusun Tanijaya yang cenderung bersifat pasif tersebut, oleh karena itu perlu diupayakan dari berbagai pihak seperti tokoh masyarakat,
pendamping, petugas lapangan serta pelaksana teknis dalam menyampaikan informasi terkait proses adopsi inovasi dan proses difusi kepada masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi tersebut. k) Hubungan antara pekerjaan sampingan dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestri Pekerjaan sampingan tidak ada hubungan keterkaitan atau lemah serta bersifat negatif pada kegiatan perencanaan dan pelaksanaan terhadap pemberdayaan masyarakat melalui rehabilitasi pola agroforestri. Hal tersebut menunjukkan bahwa apapun pekerjaan sampingan dari masyarakat Dusun Tanijaya tidak akan mempengaruhi kegiatan pemberdayaan masyarakat karena mereka bisa mengatur strategi untuk dapat melaksanakan kegiatan baik pekerjaan sampingan maupun kegiatan rehabilitasi itu sendiri. Selain itu pekerjaan sampingan masyarakat Dusun Tanijaya bersifat sampingan. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitan Muis (2007) bahwa pekerjaan sampingan tidak berpengaruh terhadap tingkat partisipasi, karena sebagian besar masyarakat memiliki pekerjaan sampingan yang sifatnya tidak tetap/musiman sehingga mereka tetap memiliki waktu luang untuk dapat terlibat dalam kegiatan. l) Hubungan antara persepsi tentang kegiatan rehabilitasi dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestri Persepsi tentang kegiatan rehabilitasi tidak ada hubungan keterkaitan pada tingkat partisipasi pada kegiatan perencanaan dan pelaksanaan. Hal ini dikarenakan ± 80% masyarakat tidak mengetahui mengenai kegiatan rehabilitasi pola agroforestry tersebut. Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan Muis (2007) di Kelurahan Layana di Sulawesi Tengah menunjukkan persepsi dengan tingkat partisipasi masyarakat berkorelasi sangat nyata pada tahap perencanaan dan pelaksanaan. Maka dalam kegiatan yang akan datang bisa berhasil bila adanya intensitas
sosialisasi
yang
dilakukan
oleh
pihak
pelaksana,
efektifitas
pendampingan, pelatihan dan penyuluhan sehingga dapat meningkatkan persepsi kegiatan tersebut.
m) Hubungan antara motivasi intrinsik dengan tingkat masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestri
partisipasi
Variabel intrinsik di Dusun Tanijaya memiliki korelasi yang nyata dengan tingkat pemberdayaan masyarakat melalui rehabilitasi pola agroforestri pada tahap perencanaan dan pelaksanaan. Hal ini menunjukkan bahwa dorongan dari dalam sangat berpengaruh terhadap perencanaan maupun pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat dengan pola agroforestri karena walau bagaimanapun tanpa kemauan atau keinginan yang tinggi maka kegiatan tidak akan pernah bisa terlaksana, bahwa hasil renponden menunjukkan sebesar 42,8% motivasi masyarakat mau mengikuti kegiatan rehabilitasi dilatar belangkangi oleh keinginan meningkatkan setatus sosilal. Trison (2005) mengatakan faktor internal pada motivasi intrinsik menunjukkan bahwa pada tahap perencanaan dan pelaksanaan menunjukkan bahwa semakin tinggi motivasi responden maka semakin tinggi tingkat partisipasi masyarakat. n) Hubungan antara motivasi ekstrinsik dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestri Motivasi ekstrinsik berpengaruh nyata dengan tingkat pemberdayaan masyarakat melalui rehabilitasi pola agroforestry pada tahap perencanaan dan pelaksanaan. Hal ini menunjukkan bahwa perlu adanya motivator dari luar agar pemberdayaan masyarakat bisa tercapai dengan baik. Muis (2007) menyatakan bahwa tingkat motivasi ekstrinsik dengan tingkat partisipasi masyarakat memiliki hubungan yang sangat nyata dengan tingkat partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan pelaksanaan hal ini disebabkan karena motivasi masyarakat dalam kegiatan lebih dikarenakan ajakan dari keluarga, teman, atau tenaga. 4.3.2. Hubungan Faktor Eksternal Responden dengan Tingkat partisipasi Masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestri Faktor-faktor eksternal responden yang dikaji dalam penelitian ini adalah intensitas sosial, kejelasan hak dan kewajiban, jarak lahan, kesuburan tanah, pola tanam, umur dan produktifitas tanaman, dukungan pemerintah, daya tarik kerjasama, dan kesediaan saprodi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya tingkat keragaman dalam nilai hubungan antar faktor eksternal dengan tingkat
pemberdayaan
masyarakat
yang
meliputi
perencanaan
dan
pelaksaaan.
Selengkapnya nilai hubungan tersebut disajikan dalam Tabel 6. Tabel 6. Koefisien Korelasi antar Faktor Eksternal Responden dengan Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam rangka Rehabilitasi Hutan TAHURA Bukit Soeharto No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Faktor Eksternal Intensitas sosialisasi Kejelasan hak dan kewajiban Jarak lahan Kesuburan tanah Pola Tanam Umur dan produktivitas tanaman Dukungan pemerintah Daya tarik kerjasama Kesediaan saprodi
Partisipasi Masyarakat Perencanaan Pelaksanaan (Y1) (Y2) 0,077 0,014 0,314** 0,424** 0,380** 0,296* -0,003 0,093 0,164 0,105 -0,333** -0,330* 0,288* 0,341** 0,320** 0,335** 0,216 0,349**
Keterangan : ** Berpengaruh nyata pada α = 0,01 * Berpengaruh nyata pada α = 0,05 Sumber : Data hasil analisis, 2010
a) Hubungan antara intensitas sosialisasi dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestri Intensitas sosialisasi merupakan salah satu variabel yang sangat penting dalam peningkatan pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan rehabilitasi pola agroforestri. Melalui kegiatan sosialisasi responden akan mengetahui dan memahami eksistensi kegiatan rehabilitasi pola agroforestri secara baik. Tabel 6 menunjukkan bahwa tidak ada keterkaitan antara variabel intensitas sosialisasi dengan tingkat partisipasi masyarakat melalui rehabilitasi pola agroforestri pada tahap perencanaan dan pelaksanaan, karena dalam 6 tahun terakhir kegiatan sosialisasi sudah sering dilaksanakan namun jumlah masyarakat yang terlibat dalam pelaksanaan belum sejalan dengan apa yang diharapkan. Hasil penelitian Muis (2007) menunjukkan korelasi positif pada tahap perencanaan dan pelaksanaan pada faktor
intensitas sosialisasi hal ini berarti semakin tinggi
intensitas sosialisasi kegiatan maka semakin meningkat pula partisipasi masyarakat pada tahap kegiatan.
b) Hubungan antara kejelasan hak dan kewajiban dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestri Variabel kejelasan hak dan kewajiban berkorelasi sangat nyata pada tahapan kegiatan (Tabel 6). Hal ini menunjukkan bahwa adanya variabel kejelasan hak dan kewajiban berkorelasi positif dengan tingkat pemberdayaan masyarakat melalui rehabilitasi pola agroforestri pada tahap perencanaan dan pelaksanaan. Hal ini disebabkan karena sudah adanya aturan main yang jelas antara pihak pelaksana dengan responden, baik berupa kejelasan hak-hak yang diperoleh maupun kewajiban-kewajiban yang harus dijalankan oleh responden. Alasan ini juga didukung dari hasil penelitian Muis (2007) yang menunjukkan bahwa kejelasan hak dan kewajiban tidak ada hubungan dengan kegiatan pada tahap perencanaan dan pelaksanaan yang disebabkan oleh belum adanya aturan main yang jelas antara pelaksana dan responden/masyarakat, baik berupa kejelasan hak-hak yang diperoleh maupun kewajiban yang harus dijalankan oleh responden. c) Hubungan antara jarak lahan dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestri Jarak lahan menunjukkan hubungan yang nyata positif dengan tingkat pemberdayaan masyarakat melalui rehabilitasi pola agroforestri pada setiap kegiatan. Hal ini dikarenakan semakin jauh jarak lahan garapan semakin rendah tingkat partisipasinya. Jarak lahan garapan berpengaruh terhadap pengorbanan tenaga dan waktu untuk mengelolanya. Trison (2005) menyatakan jarak lahan memiliki hubungan nyata hal ini dengan makin dekatnya lahan garapan akan meningkatkan tingkat partisipasi dalam kegiatan tersebut sehingga intensitas kunjungan responden ke lahan garapannya akan lebih sering jika waktu dan tenaga yang dikorbankan sedikit. d) Hubungan antara kesuburan tanah dengan tingkat masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestri
partisipasi
Variabel kesuburan tanah tidak berhubungan nyata dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestri pada tahap perencanaan dan pelaksanaannya, hal ini dikarenakan bahwa sebagian besar masyarakat telah memiliki pengalaman bahwa tanaman kehutanan seperti halnya sengon dan akasia
dapat tumbuh di kondisi tanah yang kurang subur sekalipun. Selain itu kondisi tingkat kesuburan tanah di kawasan KHDTK BDK juga relatif sama, oleh karena itu kondisi tingkat kesuburan tanah antara lahan garapan awal masyarakat dengan areal lahan garapan pengelolaan bersama (petani dan BDK dalam program rehabilitasi) tidak juah berbeda atau tidak menjadi pertimbangan tertentu masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan rehabilitasi tersebut. e) Hubungan antara pola tanam dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestri Variabel pola tanam memberikan nilai koefisien korelasi masing-masing 0,164 pada tahapan perencanaan dan 0,105 dalam kegiatan pelaksanaan yang berarti bahwa variabel pola tanam memiliki hubungan yang lemah atau tidak ada keterkaitan antara pelaksanaan dan perencanaan dengan tingkat pemberdayaan masyarakat melalui rehabilitasi pola agroforestri. Hal tersebut disebabkan karena masyarakat beranggapan bahwa pola tanam yang direncanakan oleh para ahli yang berkompeten pasti benar karena dilakukan oleh pemerintah. f) Hubungan antara umur dan produktifitas tanaman dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestri Variabel umur dan produktifitas tanaman berkorelasi sangat nyata negatif pada tahapan kegiatan. Variabel umur dan produktifitas tanaman berkorelasi negatif dengan tingkat pemberdayaan masyarakat melalui rehabilitasi pola agroforestri pada tahap perencanaan dan pelaksanaan. Hal ini dikarenakan umur tanaman semusim yang diolah oleh masyarakat menghasilkan produktifitas dan
nilai
ekonomi yang rendah seperti tanaman palawija sedangkan pada pelaksanaan program rehabilitasi masyarakat menanam tanaman keras seperti buah-buahan. g) Hubungan antara dukungan pemerintah dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestri Dukungan pemerintah menunjukkan hubungan yang nyata positif dengan tingkat pemberdayaan masyarakat melalui rehabilitasi pola agroforestri pada setiap kegiatan (Tabel 6). Nilai yang didapat menunjukkan bahwa variabel dukungan pemerintah berkorelasi positif dengan tingkat partisipasi masyarakat melalui
rehabilitasi pola agroforestri pada tahap perencanaan dan pelaksanaan. Hal ini menunjukkan masyarakat masih mengakui eksistensi dan peran pemerintah. Pemerintah
khususnya
BDK
merupakan
pelaksana
kegiatan,
sehingga
dukungannya sangat dibutuhkan dalam meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestri. Hasil ini juga didukung oleh alasan yang ditunjukkan oleh hasil penelitian Trison (2005) yaitu bahwa dukungan pemerintah tidak berhubungan nyata pada tingkat perencanaan maupun pelaksanaan dengan tingkat partisipasi, sebab peran pemerintah hanya sebagai pendukung sedangkan pelaksana kegiatan adalah LSM. h) Hubungan antara daya tarik kerjasama dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestri Variabel daya tarik kerjasama berkorelasi sangat nyata pada tahapan kegiatan perencanaan dan pelaksanaan. Nilai yang didapat (Tabel 6) menunjukkan bahwa variabel daya tarik kerjasama berkorelasi positif dengan tingkat partisipasi masyarakat melalui rehabilitasi pola agroforestri pada tahap perencanaan dan pelaksanaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa daya tarik kerjasama sangat diperlukan bagi masyarakat dalam mewujudkan keberhasilan program kegiatan, dari hasil tanggapan responden menunjukkan bahwa daya tarik masyarakat terhadap program mencapai 54,29% hal ini memperlihatkan bahwa potensi tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan tersebut cukup besar. Daya tarik kerjasama dibutuhkan masyarakat agar meraka tetap konsisten, termotivasi dan semangat dalam kegiatan rehabilitasi tersebut. i) Hubungan antara kesediaan saprodi dengan tingkat masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestri
partisipasi
Variabel kesediaan saprodi berpengaruh nyata positif dengan tingkat partisipasi masyarakat pada tahap pelaksanaan sedangkan pada tahap perncanaan tidak berpengaruh nyata hal ini disebabkan sarana produksi hanya dibutuhkan pada tahap pelaksanaan saja. Hasil ini mendukung hasil penelitian Trison (2005) menunjukkan bahwa faktor kesediaan saprodi menunjukkan hubungan nyata positif pada tahap kegiatan yang menggambarkan bahwa semakin tinggi kesediaan saprodi maka akan semakin meningkatkan partisipasi begitu juga sebaliknya
semakin sedikit kesediaan saprodi akan menurunkan tingkat partisipasi. Dengan tersedianya sarana produksi sesuai dengan kebutuhan petani maka akan meningkatkan partisipasi mereka dalam kegiatan pogram rehabilitasi agroforestri. 4.4. Kendala, Kebutuhan, Tujuan, Aktivitas dan Lembaga yang Terlibat Dalam menetukan startegi pemberdayaan masyarakat dalam rangka rehabilitasi hutan pola agroforestri ditentukan
kelompok elemen yang terdiri
elemen kendala, elemen kebutuhan, elemen tujuan, elemen aktivitas dan elemen lembaga. Masing-masing elemen memiliki beberapa sub elemen. Pendapat pakar dan studi pustaka mengenai keterkaitan hubungan antara sub elemen penting diolsah menggunakan teknik permodelan interpretasi struktuk (ISM). 4.4.1. Elemen Kendala Utama Berbagai kendala dihadapi dalam pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan rehabilitasi pola agroforestri di KHDTK BDK. Berdasarkan hasil pendapat pakar, terdapat 11 sub elemen kendala yaitu (1) masih rendahnya kualitas SDM, (2) masih kurangnya kuantitas manusia, (3) kurangnya kualitas tenaga teknis, (4) terbatasnya infrastruktur, (5) belum terbinanya kemitraan yang belum menguntungkan semua pihak, (6) terbatasnya sarana dan prasarana pertanian, (7) tanggung jawab pemerintah masih lemah, (8) kurangnya kerjasama antara pengelola dan petani, (9) kurangnya partisipasi aktif lembaga keungan, (10) belum jelasnya peraturan dalam pelaksanaan, dan (11) ketidak sesuaian agroklimat. Hasil analisis dengan menggunakan metode ISM, memperlihatkan sebaran setiap sub elemen kendala menempat tiga sektor masing-masing sektor I, II dan IV seperti terlihat pada gambar 4. Gambar 4 menunjukkan bahwa sub elemen kendala (1) masih rendahnya kualitas SDM terletak pada sektor IV yang merupakan sub elemen kunci yang sangat berpengaruh pada pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestri. Sub elemen tersebut merupakan kekuatan penggerak (driver power) yang besar dengan tingkat ketergantungan (dependence) yang rendah terhadap sub elemen kendala lainya. Sub elemen pada sektor II terdiri dari (4) terbatasnya infrastruktur dan (11) ketidak sesuaian agroklimak merupakan variabel dependence, yang berarti sub
elemen tersebut terpengaruh oleh elemen lain dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat pola agroforestri. Hal ini sejalan dengan variabel faktor internal pada tingkat pendidikan yang mempengaruhi partisipasi dalam pelaksanaan agroforestri pada analisis rank spearman. Kualitas
kegiatan rehabilitasi pola SDM di wilayah Dusun
Tanijaya yang masih tergolong rendah merupakan faktor penghambat (elemen kendala utama program) partisipasi pada kegiatan rehabilitasi pola agroforestri. Penduduk Dusun Tanijaya umumnya hanya menikmati pendidikan SD sampai pendidikan menengah pertama, bahkan banyak yang tidak menamatkan SD. Dari hasil sampel dengan jumlah responden 70 KK terlihat 88,57 % tidak sekolah/SD, tingkat SLTP hanya 10 % dan 1,43 % menamatkan SLTA. Agar kegiatan rehabilitasi ini dapat terlaksana dengan baik berdasarkan sub elemen kendala utama program yaitu kurangnya kualitas SDM maka strategi yang harus dilakukan yaitu dengan meningkatkan sumberdaya manusia melalui pelatihan yang berkaitan dengan kegiatan rehabilitasi pola agroforestri terutama pada masyarakat yang melakukan kegiatan didalam kawasan maupun masyarakat yang berada disekitar kawasan KHDTK BDK dengan harapan dapat meningkatkan pengetahuan terkait dengan kegiatan yang dilaksanakan.
Gambar 3 . Posisi Sub Elemen Kendala Utama pada Grafik Driver Power - Dependence Sub elemen (2) masih kurangnya kuantitas manusia, (3) kurangnya kualitas tenaga teknis, (5) belum terbinanya kemitraan yang belum menguntungkan semua pihak, (6) terbatasnya sarana dan prasarana pertanian, (7) tanggung jawab
pemerintah masih lemah (8) kurangnya kerjasama antara pengelola dan petani, (9) kurangnya partisipasi aktif lembaga keuangan, dan (10) belum jelasnya peraturan dalam pelaksanaan berada pada sektor I merupakan sub elemen yang tidak terkait dengan sistem, dan mungkin mempunyai hubungan sedikit , meskipun hubungan tersebut bisa saja kuat.
Gambar 4 . Hubungan antar Sub Elemen Kendala Utama 4.4.2. Elemen Kebutuhan Program Berdasarkan hasil pendapat pakar, terdapat 11 sub elemen kebutuhan program yaitu (1) sumberdaya manusia, (2) kerjasama lintas sektoral, (3) keberadaan lembaga penyuluh kehutanan, (4) teknologi penggunaan lahan, (5) kebijakan penetapan agroforestri di BDK, (6) kelembaga keuangan modal, (7) manajemen usaha tani konservasi, (8) potensi lahan hutan, (9) penguasaan lahan garapan, (10) infrastruktur, dan (11) model/konsep penanaman rehabilitasi pola agrof orestri. Ke sebelas sub elemen tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan metode ISM untuk mendapatkan elemen kunci yang merupakan kebutuhan utama program
pemberdayaan
masyarakat
melalui
kegiatan
rehabilitasi
agroforestry. Hasil analisis ISM seperti disajikan pada Gambar 5.
pola
Gambar 5 . Posisi Sub Elemen Kebutuhan Program pada Grafik Driver Power - Dependence Berdasarkan hasil analisis pada Gambar 5 sub elemen (1) sumberdaya manusia dan (2) kerjasama lintas sektoral, terletak pada sektor IV yang merupakan sub elemen kebutuhan program yang perlu mendapat perhatian serius karena merupakan sub elemen yang mempunyai kekuatan penggerak (driver power) yang besar dalam pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan rehabilitasi pola agroforestri dan memiliki ketergantungan (dependence) yang rendah terhadap program. Kedua sub elemen ini menjadi sub elemen kunci pada kebutuhan program. Sedangkan sub elemen (3) keberadaan lembaga penyuluh kehutanan, (4) teknologi penggunaan lahan, (5) kebijakan penetapan agroforestri di BDK, (6) kelembaga keuangan modal, (7) manajemen usaha tani konservasi, (8) potensi lahan hutan, (9) penguasaan lahan garapan, dan (10) infrastruktur terletak pada sektor III yang merupakan sub elemen pengait (linkages) dari sub elemen lainnya. Sub elemen pada sektor ini memiliki kekuatan pendorong (driver power) yang besar terhadap suksesnya program tetapi memiliki ketergantungan (dependence) yang besar pula. Setiap tindakan terhadap tujuan pada sub elemen ini akan mempengaruhi suksesnya program pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan rehabilitasi pola agroforestri dan sebaliknya sub elemen ini mendapatkan perhatian yang kurang maka dapat berpengaruh terhadap kegagalan program pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan rehabilitasi pola agroforestri. Adapun
sub elemen (11) yaitu model/konsep penanaman rehabilitasi pola agroforestri terletak pada sektor II yang merupakan sub elemen yang sangat dipengaruhi oleh keberdaan sub elemen lainya. Peran sub elemen sumberdaya manusia dan kerjasama lintas sektoral sebagai sub elemen kunci dalam pencapaian kebutuhan program dapat dilakukan pada kegiatan pelatihan pendidikan, sejalan dengan hasil analisis rank spearman bahwa faktor dukungan pemerintah dan daya tarik kerjasama sangat mempengaruhi partisipasi dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestri,
ini dapat terwujud
apabila pihak BDK sebagai pelaksana berpeban aktif serta peran pemerintah pusat, pemerintah daerah dapat mengkoordinasi pada berbagai instansi yang terkait untuk berpartisipasi dan bekerjasama dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestry. Dengan peningkatan sumberdaya manusia dan kerjasama lintas sektoral diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitsasi pola agroforestri.
Gambar 6 . Hubungan antar Sub Elemen Kebutuhan Program
4.4.3. Elemen Tujuan Program Elemen tujuan program pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestri terdiri dari 12 sub elemen (1) meningkatkan kemampuan BDK dan masyarakat dalam pengelolaan hutan, (2) meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi, (3) keberlanjutan sumberdaya alam, (4) terjaganya fungsi lingkungan, (5) berkembangnya teknologi dan ilmu pengetahuan, (6) perkembangan daerah, (7) meningkatnya pendapatan dan
kesejahteraan masyarakat, (8) stabilitas keamanan wilayah, (9) berkembangnya sektor-sektor lainnya, (10) terciptanya kelembagaan desa, (11) tercapainya pelaksanaan peraturan perundang-undang yang berlaku, dan (12) meningkatkan kerjasama antar sektoral. Hasil analisis dengan menggunakan metode ISM terhadap pendapat pakar untuk elemen tujuan program disajikan pada gambar dibawah ini terlihat sub elemen (1) meningkatkan kemampuan BDK dan masyarakat dalam pengelolaan hutan dan (2) meningkatkan partisipasi masyarakat dalam rehabilitasi merupakan variabel independent, yang berarti memiliki kekuatan penggerak yang besar terhadap pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan rehabilitasi pola agroforestri tetapi kurang bergantung pada program itu sendiri.
Gambar 7 . Posisi Sub Elemen Tujuan Program pada Grafik Driver Power – Dependence Sub elemen (3) keberlanjutan sumberdaya alam, (4) terjaganya fungsi lingkungan,
(5)
perkembangan
berkembangnya
daerah,
(7)
teknologi
dan
ilmu
pengetahuan,
(6)
meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan
masyarakat, (8) stabilitas keamanan wilayah, (9) berkembangnya sektor-sektor lainnya, (10) terciptanya kelembagaan desa, dan (11) tercapainya pelaksanaan peraturan perundang-undang yang berlaku, merupakan variabel linkage, yang berarti dikaji secara cermat karena hubungan sub elemen tersebut tidak stabil. Setiap perubahan pada sub elemen ini berdampak besar terhadap keberhasilan pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan rehabilitasi pola agroforestri. Sub
elemen (12) meningkatkan kerjasama antar sektoral merupakan variabel dependent, yang berarti sub elemen tersebut terpengaruh oleh sub elemen lainya. Dalam pencapaian strategi pada tujuan program yang harus dilakukan adalah meningkatkan kemampuan BDK dan masyarakat dalam pengelolaan hutan dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam rehabilitasi. Hal ini dapat dilakukan dengan melalui kegiatan pelatihan dan studi banding pada daerah-daerah yang sudah berhasil dalam pengelolaan hutannya. Sedangkan dalam meningkatkan partisipasi dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestri adalah harus adanya kejelasan mengenai hak dan kewajiban serta menampilkan daya tarik kerjasama berupa memberikan kebebasan dalam pemilihan jenis tanaman pertanian. Gambar hubungan antara sub elemen tujuan program pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan rehabilitasi pola agroforestri.
Gambar 8 . Hubungan antar Sub Elemen Tujuan Program 4.4.4. Elemen Aktivitas yang Dibutuhkan Guna Perencanaan Tindakan Elemen aktivitas yang dibutuhkan guna perncanaan tindakan pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan rehabilitasi pola agroforestri terdiri dari 9 sub elemen (1) sosialisasi program, (2) pelaksanaan pelatihan, (3) frekuensi pertemuan, (4) pembentukan kelompok tani, (5) pelaksaan evaluasi setiap kegiatan program (6) kesepakatan aturan pelaksanaan, (7) seleksi masyarakat pengguna lahan, (8) pendekatan dengan pihak-pihak terkait, dan (9) melengkapi sarana dan prasarana. Pengelompokan sub elemen aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan dalam sektor independent, linkge, dependent, dan outonomous terdapat pada gambar berikut :
Gambar 9. Posisi Sub Elemen Aktivitas yang Dibutuhkan Guna Perncanaan Tindakan pada Grafik Driver Power – Dependence Dari Gambar di atas terlihat bahwa sub elemen (1) sosialisasi program merupakan variabel independent yang berarti memiliki kekuatan penggerak terbesar terhadap pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan rehabilitasi pola agroforestry tapi kurang bergantung pada program itu sendiri. Sub elemen (2) pelaksanaan pelatihan, (4) pembentukan kelompok tani, (5) pelaksaan evaluasi setiap kegiatan program (6) kesepakatan aturan pelaksanaan, (7) seleksi masyarakat pengguna lahan, dan (8) pendekatan dengan pihak-pihak terkait. Merupakan variabel linkage, yang berarti harus dikaji secara cermat karena hubungan sub elemen tersebut tidak stabil. Setiap perubahan pada sub elemen ini berdampak besar terhadap keberhasilan pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan rehabilitasi pola agroforestri. Dalam elemen aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan strategi yang dapat dilakukan adalah kegiatan sosialisasi program dengan tujuan meningkatkan
partisipasi
masyarakat
dalam
kegiatan
rehabilitsasi
pola
agroforestri. Kegiatan sosialisasi ini harus dilakukan secara berkelanjutan agar masyarakat dapat mengerti tujuan dari pada kegiatan rehabilitasi ini dan memberikan kejelasan hak dan kewajiban serta memberikan manfaat, kelebihan dan keuntungan bagi masyarakat yang mau terlibat dalam kegiatan program tersebut. Sub elemen (3) frekuensi pertemuan dan (9) melengkapi sarana dan prasarana merupakan variabel dependent yang berarti sub elemen tersebut
terpengaruh oleh elemen lainya. Gambar hubungan antara sub elemen aktivitas yang dibutuhkan guna perncanaan tindakan dan pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan rehabilitasi pola agroforestri.
Gambar 10. Hubungan antar Sub Elemen Aktivitas yang Dibutuhkan Guna Perncanaan Tindakan 4.4.5. Elemen Lembaga yang Terlibat dalam Pelaksanaan Program Berdasarkan hasil pendapat pakar yang terdiri dari 12 sub elemen lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program yaitu
(1) Pemerintah Pusat, (2)
Pemerintah Provinsi Kaltim, (3) Pemerintah Kabupaten Kartanegara, (4) Dinas/instansi yang terkait, (5) Perbankan, (6) Koperasi, (7) Lembaga keuangan mikro, (8) Investor asing, (9) Industri pengolahan hasil pertanian, (10) Lembaga Swadaya Masyarakat, (11) Perguruan Tinggi, dan (12) Perusahaan Perkebunan. Posisi setiap sub elemen hasil analisis dengan menggunakan metode ISM seperti terlihat pada gambar dibawah ini.
Gambar 11. Posisi Sub Elemen Lembaga yang Terlibat dalam Pelaksana Program pada Grafik Driver Power – Dependence
Pada gambar 12 terlihat bahwa sub elemen Lembaga yang Terlibat dalam Pelaksana Program terdiri dari (1) Pemerintah Pusat, terletak pada sektor IV yang merupakan sub elemen lembaga yang sangat berpengauh dalam pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan rehabilitasi pola agroforestri. sub elemen ini mempunyai kekuatan penggerak (driver power) yang besar dalam pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan rehabilitasi pola agroforestri, dan memiliki ketergantungan (dependence) yang rendah terhadap lembaga lainnya. Satu sub ini merupakan sub elemen kunci lembaga yang terlibat dalam pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan rehabilitasi pola agroforestri. sedangkan sub elemen (2) Pemerintah Provinsi Kaltim, (3) Pemerintah Kabupaten Kartanegara, (4) Dinas/instansi yang terkait, dan (6) Koperasi terletak pada sektor III yang merupakan sub elen pengait (linkages) dari sub elemen lainya. Sub elemen pada sektor ini memiliki kekuatan pendorong (driver power) yang besar terhadap suksesnya program tetapi memiliki ketergantungan (dependence) yang besar pula terhadap lembaga lain terutama lembaga pemerintah. Namun demikian setiap tindakan terhadap tujuan pada sub elemen ini akan mempengaruhi suksesnya program pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan rehabilitasi pola agroforestri dan sebaliknya apabila sub elemen ini mendapatkan perhatian yang kurang maka dapat berpengaruh terhadap kegagalan program pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan rehabilitasi pola agroforestri. Sub elemen (5) Perbankan, (7) Lembaga keuangan mikro, (8) Investor asing, (9) Industri pengolahan hasil pertanian, (10) Lembaga Swadaya Masyarakat, (11) Perguruan Tinggi, dan (12) Perusahaan Perkebunan, merupakan sub elemen akibat dari tindakan pemenuhan kebutuhan program lain. Dengan kata lain apabila beberapa sub elemen lembaga lainya seperti tersebut di atas terpenuhi maka sub elemen ini menjadi sangat penting terhadap program pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan rehabilitasi pola agroforestri. Strategi yang harus dilakakan dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestri dimana pemerintah pusat sebagai pengelola dalam wilayah KHDTK hal ini BDK Samarinda harus berperan aktif melakukan koordinasi dengan instansi terkait baik pada tingakat propinsi maupun kabupaten yang mau ikut terlibat dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestri . Masih kurangnya dukungan pemerintah
selama ini seperti dalam hal permodalan maupun sarana dan prasarana fisik harus menjadi perhatian yang utama dalam mendukung pelaksanaan kegiatan rehabilitasi yang akan datang dengan harapan kegiatan rehabilitasi tersebut dapat terlaksana sesuai dengan baik Hubungan antar sub elemen lembaga yang terlibat dalam pelaksana program pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan rehabilitasi pola agroforestri secara rinci dapat dilihat pada gambar 12.
Gambar 12 . Hubungan antar Sub Elemen Lembaga yang Terlibat dalam Pelaksana Program
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan (1). Faktor internal yang berpengaruh terhadap tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestri di KHDTK BDK adalah sebagai berikut : (1) pada tahap perencanaan : luas pengelolaan lahan, kedekatan dengan BDK, tingkat pendapatan, motivasi instrinsik, dan motivasi ekstrinsik; (2) pada tahap pelaksanaan : tingkat pendidikan, kedekatan dengan BDK, tingkat pendapatan, motivasi instrinsik, dan motivasi ekstrinsik. Sementara itu, faktor eksternal yang berpengaruh terhadap tingkat partisipasi masyarakat adalah sebagai berikut : (1) pada tahap perencanaan : aturan yang diberlakukan oleh BDK (hak dan kewajiban perserta/petani), jarak lahan, umur dan prodiktifitas tanaman, dukungan pemerintah, dan daya tarik kerjasama; (2) pada tahap pelaksanaan dipengaruhi aturan yang diberlakukan oleh BDK (hak dan kewajiban perserta/petani), jarak lahan, umur dan produktivitas tanaman dukungan pemerintah, dayatarik kerjasama, dan kesediaaan saprodi. (2). Strategi pemberdayaan untuk peningkatan partisipasi masyarakat dalam program rehabilitasi pola agroforestri di KHDTK BDK adalah sebagai berikut : (1) peningkatan kualitas SDM (BDK dan masyarakat petani peserta) sebagai kebutuhan dari program; (2) kerjasama lintas sektoral sebagai
kendala
utama
program;
(3)
meningkatkan
kemampuan
keterampilan BDK sebagai pelaksana dan masyarakat dalam pengelolaan hutan sebagai tujuan program; (4) aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan : sosialisasi program; (5) peran serta pemerintah pusat diperlukan sebagai lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program. 5.2. Saran (1). Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi pola agroforestri
perlu dilakukan sosialisasi program dan pelatihan terkait
dengan kegiatan yang akan dilaksanakan, agar masyarakat dapat mengerti dan memahami keuntungan program rehabilitasi pola agroforestri tersebut.
(2). Perlu adanya kerjasama antar instansi terkait dalam pelaksanaan kegiatan rehabilitasi pola agroforestri, dengan melibatkan seluruh stakeholders yang terkait diharapkan dapat tercapainya tujuan dari program tersebut. (3). Pelaksanaan kegiatan penyuluhan terpadu seperti peningkatan kegiatan pelatihan agroforestri yang melibatkan BDK sebagai pelaksana serta lembaga swadaya masyarakat dan tokoh masyarakat agar masing-masing pihak dapat bekerjasama dan menyatukan visi dari program.
DAFTAR PUSTAKA
Adi, IR. 2003. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas. Lembaga Penerbit IU, Jakarta. Anwar, S. 1986. Prinsip-prinsip Penyuluhan dan Pembinaan Partisipasi Masyarakat. Dalam Mahasiswa dalam Pembangunan : Materi Pembekalan Kuliah Kerja Nyata. Universita Lampung, Lampung. Craig, G. dan M. Mayo. 1995. Community Empowerment : A reader in Participation and Development, London. [Depdagri] Departemen Dalam Negeri. 1994. Panduan Operasioal Pembangunan Desa. Ditjen PMD Depdagri, Jakarta. [Dephut] Departemen Kehutanan. 1999. Laporan Kajian Penelitian dan Pengembangan Konservasi Tanah dengan Pola Agroforestry di Santani. Balitbanghutbut, Dephut. Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem : Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Jilid 1. IPB Press Bogor Hikmat, H. 2004. Strategi Pengembangan Masyarakat. Humaniora, Bandung. Huxley, PA. 1983. Some Characteristics of Trees to be Considered in Agroforestry : dalam Huxley P.A. (ed) : Plant Research and Agroforestry. ICRAF, Nairobi. Jamasy, O. 2004. Keadilan, Pemberdayaan, dan Penanggulangan Kemiskinan. Blantika, Jakarta Selatan. Kartasasmita, G. 1996. Power and Empowermant : Sebuah Telaah Mengenal Konsep Pemberdayaan Masyarakat. Badan Perencaaan Pembangunan Nasional, Jakarta. Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 2004. Arti dan Tujuan Demografi. Di dalam Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universita Indonesia, 2004. Dasar-Dasar Demografi. Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Lundgren, BO and JB Raintree. 1982. Sustained Agroforestry. Dalam Nestel B (Ed.). 1982. Agricultural research for development. Potentials and Challenges in Asia. ISNAR, The Hague, The Netherlands. Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.
Michon, G and H de Foresta. 1995. The Indonesian Agro-Forest model: Forest resource Management and biodiversity conservation. In Halladay P and DA Gilmour eds.: Conserving Biodiversity outside protected areas. The role of traditional agroecosystems, IUCN. Muis, H. 2007. Pengembangan Partisipasi Masyarakat dalam Kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Tesis Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nair, PKR. 1991. State of The Art of Agroforestry Systems, in : Jarvis, P.G. (Ed), Agroforestry : Principles and Practice. Elsevier Science Publisher B.V., Amsterdam. Nair, PKR. 1993. An introduction to Agroforestri. Kluwer Academic Publisher, The Netherlands. Ndraha, T. 1987. Pembangunan Masyarakat : Mempersiapkan Masyarakat Tinggal Landas. Bina Aksara, Jakarta. Priyono, OS dan A.M.W. Pranarka. 1996. Pemberdayaan : Konsep, Kebijakan dan Implentasi. Center For Strategic and Internasional Studies (CSIS), Jakarta. Simon, H. 1999. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (Cooperative Forest Management). Teori dan Aplikasi pada Hutan Jati di Jawa. Bayu Indra Grafika, Yogyakarta. Slamet, Y. 1989. Konsep-Konsep Dasar Partisipasi Sosial. Pusat Antar Universitas Studi Sosial. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Slamet, M. 2003. Pembardayaan Masyarakat. Dalam Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Disunting oleh Ida Yustina dan Adjat Sudradjat. IPB Press, Bogor. Soerjono, R. 1984. Batasan tentang Agrohutani. Perum Perhutani, Jakarta. Suharjito, D, Sundawati L, Suyanto, dan Utami SR. 2003. Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya Agroforestry. ICRAF, Bogor. Sulistiyani, AT. 2004. Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan. Gaya Media, Yogyakarta. Sumardjo. 1999. Transformasi Model Penyuluhan Pertanian Menuju Pengembangan Kemandirian Petani. Disertasi Doktor Pascasarjana IPB, Bogor
Suprijatna, T. 2000. Strategi Pembangunan dan Kemiskinan. Rineka Cipta, Jakarta. Syukani. 1999. Pokok-pokok Pikiran Pemberdayaan Masyarakat Tantangan Peluang dan Harapan Kutai Masa Depan. Lembaga Studi Pembangunan Kalimantan Timur, Tenggarong. Tim Arupa. 2003. Kemandirian Rakyat dalam Pengelolaan Hutan. Sebuah Pelajaran Berharga dari Lapangan (Cerita Sukses Hutan Rakyat di Gunung Kidul). http://www.arupa.or.id/papers/31.htm. Trison, S. 2005. Pengembangan Partisipasi Masyarakat dalam Kegiatan Rehabilitasi. Tesis Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. [UPTD PPA] Unit Pelaksana Teknis Dinas Pembinaan dan Pelastarian Alam. 2009. Perkembangan pengelolaan Taman Hutan Raya Bukit Soeharto, Dishut Prop. Kaltim. Wardjoyo. 1992. Pendekatan Penyuluhan Pertanian untuk Meningkatkan Partisipasi Masyarakat, dalam Penyuluhan Pembangunan di Indonesia Menyongsong Abad XXI. Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara, Jakarta.
ELEMEN KENDALA UTAMA
Reachability Matrix (RM)
Structural Self Interaction Matrik (SSIM)
Matrik Driver Power (untuk elemen tujuan tujuan program)
Model struktural (elemen tujuan program)
ELEMEN KEBUTUHAN PROGRAM
Reachability Matrix (RM)
Structural Self Interaction Matrik (SSIM)
Matrik Driver Power (untuk elemen tujuan tujuan program)
Model struktural (elemen tujuan program)
ELEMEN TUJUAN PROGRAM
Reachability Matrix (RM)
Structural Self Interaction Matrik (SSIM)
Matrik Driver Power (untuk elemen tujuan tujuan program)
Model struktural (elemen tujuan program)
ELEMEN AKTIVITAS YANG DIBUTUHKAN
Reachability Matrix (RM)
Structural Self Interaction Matrik (SSIM)
Matrik Driver Power (untuk elemen tujuan tujuan program)
Model struktural (elemen tujuan program)
ELEMEN KELEMBAGAAN
Reachability Matrix (RM)
Structural Self Interaction Matrik (SSIM)
Matrik Driver Power (untuk elemen tujuan tujuan program)
Model struktural (elemen tujuan program)
Correlations x1.1 x1.1
Pearson Correlation
x1.2
x1.2
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
x1.3
x1.6
x1.7
x1.8
x1.9
x1.10
x1.11
x1.12
x1.13
x1.14
y1
.152
.000
.168
.020
.045
.042
-.301*
-.160
-.174
-.017
.008
.022
.000
.040
.210
1.000
.163
.868
.710
.733
.011
.185
.149
.886
.945
.855
.995
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
-.246*
1
.196
.276*
-.005
-.434**
-.048
-.178
.147
.106
.201
-.016
-.458**
.424**
-.082
.103
.021
.965
.000
.692
.141
.224
.382
.096
.896
.000
.000
.501
.040 70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
Pearson Correlation
.152
.196
1
-.075
.105
.003
-.237*
.130
.012
-.147
.199
.113
.126
-.057
.187
Sig. (2-tailed)
.210
.103
.535
.386
.980
.048
.283
.923
.224
.098
.351
.298
.640
.121
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
.000
.276*
-.075
1
.386**
-.095
-.153
.086
.000
.167
-.134
.000
.089
.030
.060
1.000
.021
.535
.001
.434
.207
.481
1.000
.168
.269
1.000
.465
.803
.620
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
Pearson Correlation
.168
-.005
.105
.386**
1
.299*
-.045
.134
-.070
-.107
-.157
-.053
.322**
-.422**
.116
Sig. (2-tailed)
.163
.965
.386
.001
.012
.712
.269
.565
.378
.193
.665
.007
.000
.339
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
X1.5
x1.5
70
N x1.4
x1.4
-.246*
1
Sig. (2-tailed) N
x1.3
N
70
x1.6
Pearson Correlation
.020
-.434**
.003
-.095
.299*
Sig. (2-tailed)
.868
.000
.980
.434
.012
70
70
70
70
70
Pearson Correlation
.045
-.048
-.237*
-.153
Sig. (2-tailed)
.710
.692
.048
70
70
Pearson Correlation
.042
Sig. (2-tailed)
N x1.7
N x1.8
N x1.9
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
x1.10
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
-.031
.203
.103
-.159
-.452**
.091
.651**
-.594**
.241*
.798
.092
.397
.189
.000
.456
.000
.000
.045
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
-.045
-.031
1
-.062
-.204
-.036
-.053
-.048
-.139
.103
-.264*
.207
.712
.798
.612
.091
.765
.665
.692
.250
.395
.027
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
-.178
.130
.086
.134
.203
-.062
1
-.204
-.219
.093
-.178
.302*
-.485**
.361**
.733
.141
.283
.481
.269
.092
.612
.090
.068
.442
.141
.011
.000
.002
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
-.301*
.147
.012
.000
-.070
.103
-.204
-.204
1
.365**
-.126
.046
.075
.141
.200
.011
.224
.923
1.000
.565
.397
.091
.090
.002
.298
.704
.536
.245
.096
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
-.160
.106
-.147
.167
-.107
-.159
-.036
-.219
.365**
1
.006
.167
-.066
.174
.041
.185
.382
.224
.168
.378
.189
.765
.068
.002
.958
.166
.588
.149
.738
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
1
70
x1.11
-.174
.201
.199
-.134
-.157
-.452**
-.053
.093
-.126
.006
.149
.096
.098
.269
.193
.000
.665
.442
.298
.958
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
-.017
-.016
.113
.000
-.053
.091
-.048
-.178
.046
.886
.896
.351
1.000
.665
.456
.692
.141
70
70
70
70
70
70
70
Pearson Correlation
.008
-.458**
.126
.089
.322**
.651**
Sig. (2-tailed)
.945
.000
.298
.465
.007
70
70
70
70
Pearson Correlation
.022
.424**
-.057
Sig. (2-tailed)
.855
.000
70
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
x1.12
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
x1.13
N x1.14
N y1
N
.349**
-.346**
.143
-.007
.003
.003
.238
.955
70
70
70
70
70
.167
.349**
1
-.017
.123
.118
.704
.166
.003
.890
.311
.332
70
70
70
70
70
70
70
70
-.139
.302*
.075
-.066
-.346**
-.017
1
-.697**
.248*
.000
.250
.011
.536
.588
.003
.890
.000
.039
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
.030
-.422**
-.594**
.103
-.485**
.141
.174
.143
.123
-.697**
1
-.309**
.640
.803
.000
.000
.395
.000
.245
.149
.238
.311
.000
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
.000
-.082
.187
.060
.116
.241*
-.264*
.361**
.200
.041
-.007
.118
.248*
-.309**
1
.995
.501
.121
.620
.339
.045
.027
.002
.096
.738
.955
.332
.039
.009
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
1
.009
70
Correlations x1.1 x1.1
Pearson Correlation
x1.2
x1.2
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
x1.3
x1.6
x1.7
x1.8
x1.9
x1.10
x1.11
x1.12
x1.13
x1.14
y2
.152
.000
.168
.020
.045
.042
-.301*
-.160
-.174
-.017
.008
.022
-.010
.040
.210
1.000
.163
.868
.710
.733
.011
.185
.149
.886
.945
.855
.935
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
-.246*
1
.196
.276*
-.005
-.434**
-.048
-.178
.147
.106
.201
-.016
-.458**
.424**
-.247*
.103
.021
.965
.000
.692
.141
.224
.382
.096
.896
.000
.000
.039
.040 70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
Pearson Correlation
.152
.196
1
-.075
.105
.003
-.237*
.130
.012
-.147
.199
.113
.126
-.057
.062
Sig. (2-tailed)
.210
.103
.535
.386
.980
.048
.283
.923
.224
.098
.351
.298
.640
.607
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
.000
.276*
-.075
1
.386**
-.095
-.153
.086
.000
.167
-.134
.000
.089
.030
-.032
1.000
.021
.535
.001
.434
.207
.481
1.000
.168
.269
1.000
.465
.803
.791
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
Pearson Correlation
.168
-.005
.105
.386**
1
.299*
-.045
.134
-.070
-.107
-.157
-.053
.322**
-.422**
.055
Sig. (2-tailed)
.163
.965
.386
.001
.012
.712
.269
.565
.378
.193
.665
.007
.000
.652
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
x1.5
x1.5
70
N x1.4
x1.4
-.246*
1
Sig. (2-tailed) N
x1.3
N
70
-.031
.203
.103
-.159
-.452**
.091
.651**
-.594**
.190
.798
.092
.397
.189
.000
.456
.000
.000
.115
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
-.045
-.031
1
-.062
-.204
-.036
-.053
-.048
-.139
.103
-.278*
.207
.712
.798
.612
.091
.765
.665
.692
.250
.395
.020
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
-.178
.130
.086
.134
.203
-.062
1
-.204
-.219
.093
-.178
.302*
-.485**
.272*
.733
.141
.283
.481
.269
.092
.612
.090
.068
.442
.141
.011
.000
.023
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
-.301*
.147
.012
.000
-.070
.103
-.204
-.204
1
.365**
-.126
.046
.075
.141
.132
.011
.224
.923
1.000
.565
.397
.091
.090
.002
.298
.704
.536
.245
.274
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
x1.10 Pearson Correlation
-.160
.106
-.147
.167
-.107
-.159
-.036
-.219
.365**
1
.006
.167
-.066
.174
.072
Sig. (2-tailed)
.185
.382
.224
.168
.378
.189
.765
.068
.002
.958
.166
.588
.149
.551
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
x1.6
Pearson Correlation
.020
-.434**
.003
-.095
.299*
Sig. (2-tailed)
.868
.000
.980
.434
.012
70
70
70
70
70
Pearson Correlation
.045
-.048
-.237*
-.153
Sig. (2-tailed)
.710
.692
.048
70
70
Pearson Correlation
.042
Sig. (2-tailed)
N x1.7
N x1.8
N x1.9
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
N
1
70
x1.11 Pearson Correlation
-.174
.201
.199
-.134
-.157
-.452**
-.053
.093
-.126
.006
Sig. (2-tailed)
.149
.096
.098
.269
.193
.000
.665
.442
.298
.958
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
x1.12 Pearson Correlation
-.017
-.016
.113
.000
-.053
.091
-.048
-.178
.046
Sig. (2-tailed)
.886
.896
.351
1.000
.665
.456
.692
.141
70
70
70
70
70
70
70
x1.13 Pearson Correlation
.008
-.458**
.126
.089
.322**
.651**
Sig. (2-tailed)
.945
.000
.298
.465
.007
70
70
70
70
x1.14 Pearson Correlation
.022
.424**
-.057
Sig. (2-tailed)
.855
.000
70
N
N
N
N y2
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
.349**
-.346**
.143
-.096
.003
.003
.238
.428
70
70
70
70
70
.167
.349**
1
-.017
.123
-.105
.704
.166
.003
.890
.311
.389
70
70
70
70
70
70
70
70
-.139
.302*
.075
-.066
-.346**
-.017
1
-.697**
.239*
.000
.250
.011
.536
.588
.003
.890
.000
.046
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
.030
-.422**
-.594**
.103
-.485**
.141
.174
.143
.123
-.697**
1
-.304*
.640
.803
.000
.000
.395
.000
.245
.149
.238
.311
.000
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
-.010
-.247*
.062
-.032
.055
.190
-.278*
.272*
.132
.072
-.096
-.105
.239*
-.304*
1
.935
.039
.607
.791
.652
.115
.020
.023
.274
.551
.428
.389
.046
.010
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
1
.010
70
Correlations x2.1 Spearman's rho
x2.1
Correlation Coefficient
x2.6
x2.7
x2.8
x2.9
y1
.104
.031
.102
.035
.093
.205
.077
.
.907
.979
.393
.796
.403
.777
.444
.088
.526
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
-.014
1.000
.675**
.309**
.414**
-.324**
.449**
.619**
.332**
.314**
.907
.
.000
.009
.000
.006
.000
.000
.005
.008
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
Correlation Coefficient
.003
.675**
1.000
.371**
.506**
-.148
.500**
.586**
.204
.380**
Sig. (2-tailed)
.979
.000
.
.002
.000
.221
.000
.000
.090
.001
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
Correlation Coefficient
.104
.309**
.371**
1.000
.334**
-.100
.244*
.258*
.075
-.003
Sig. (2-tailed)
.393
.009
.002
.
.005
.412
.042
.031
.537
.978
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
Correlation Coefficient
.031
.414**
.506**
.334**
1.000
.004
.323**
.381**
.236*
.164
Sig. (2-tailed)
.796
.000
.000
.005
.
.976
.006
.001
.049
.174
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
Correlation Coefficient
N
N
N x2.5
x2.5
.003
Sig. (2-tailed)
x2.4
x2.4
-.014
N
x2.3
x2.3
1.000
Sig. (2-tailed)
x2.2
x2.2
N
x2.6
Correlation Coefficient
.102
-.324**
-.148
-.100
.004
1.000
-.194
-.170
-.272*
-.333**
Sig. (2-tailed)
.403
.006
.221
.412
.976
.
.108
.160
.023
.005
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
Correlation Coefficient
.035
.449**
.500**
.244*
.323**
-.194
1.000
.440**
.156
.288*
Sig. (2-tailed)
.777
.000
.000
.042
.006
.108
.
.000
.197
.016
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
Correlation Coefficient
.093
.619**
.586**
.258*
.381**
-.170
.440**
1.000
.133
.320**
Sig. (2-tailed)
.444
.000
.000
.031
.001
.160
.000
.
.274
.007
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
Correlation Coefficient
.205
.332**
.204
.075
.236*
-.272*
.156
.133
1.000
.216
Sig. (2-tailed)
.088
.005
.090
.537
.049
.023
.197
.274
.
.073
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
Correlation Coefficient
.077
.314**
.380**
-.003
.164
-.333**
.288*
.320**
.216
1.000
Sig. (2-tailed)
.526
.008
.001
.978
.174
.005
.016
.007
.073
.
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
N x2.7
N x2.8
N x2.9
N y1
N **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Correlations x2.1 Spearman's rho
x2.1
Correlation Coefficient
x2.6
x2.7
x2.8
x2.9
y2
.104
.031
.102
.035
.093
.205
.041
.
.907
.979
.393
.796
.403
.777
.444
.088
.738
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
-.014
1.000
.675**
.309**
.414**
-.324**
.449**
.619**
.332**
.424**
.907
.
.000
.009
.000
.006
.000
.000
.005
.000
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
Correlation Coefficient
.003
.675**
1.000
.371**
.506**
-.148
.500**
.586**
.204
.296*
Sig. (2-tailed)
.979
.000
.
.002
.000
.221
.000
.000
.090
.013
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
Correlation Coefficient
.104
.309**
.371**
1.000
.334**
-.100
.244*
.258*
.075
.093
Sig. (2-tailed)
.393
.009
.002
.
.005
.412
.042
.031
.537
.446
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
Correlation Coefficient
.031
.414**
.506**
.334**
1.000
.004
.323**
.381**
.236*
.105
Sig. (2-tailed)
.796
.000
.000
.005
.
.976
.006
.001
.049
.387
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
Correlation Coefficient
N
N
N x2.5
x2.5
.003
Sig. (2-tailed)
x2.4
x2.4
-.014
N
x2.3
x2.3
1.000
Sig. (2-tailed)
x2.2
x2.2
N
x2.6
Correlation Coefficient
.102
-.324**
-.148
-.100
.004
1.000
-.194
-.170
-.272*
-.330**
Sig. (2-tailed)
.403
.006
.221
.412
.976
.
.108
.160
.023
.005
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
Correlation Coefficient
.035
.449**
.500**
.244*
.323**
-.194
1.000
.440**
.156
.341**
Sig. (2-tailed)
.777
.000
.000
.042
.006
.108
.
.000
.197
.004
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
Correlation Coefficient
.093
.619**
.586**
.258*
.381**
-.170
.440**
1.000
.133
.335**
Sig. (2-tailed)
.444
.000
.000
.031
.001
.160
.000
.
.274
.005
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
Correlation Coefficient
.205
.332**
.204
.075
.236*
-.272*
.156
.133
1.000
.349**
Sig. (2-tailed)
.088
.005
.090
.537
.049
.023
.197
.274
.
.003
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
Correlation Coefficient
.041
.424**
.296*
.093
.105
-.330**
.341**
.335**
.349**
1.000
Sig. (2-tailed)
.738
.000
.013
.446
.387
.005
.004
.005
.003
.
70
70
70
70
70
70
70
70
70
70
N x2.7
N x2.8
N x2.9
N y2
N **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).