SEPA : Vol. 10 No.2 Februari 2014 : 305 – 314
ISSN : 1829-9946
STRATEGI PEMASARAN DAN PERSEPSI KONSUMEN MIE SAGU DI KELURAHAN SELAT PANJANG SELATAN KECAMATAN TEBING TINGGI KABUPATEN MERANTI Evy Maharani, Yeni Kusumawaty Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Riau
Abstract: Sago is a potential source of carbohydrates which can be utilized for food diversification to reduce the burden on rice, which is currently not used optimally. One of the processed products from sago which is widely known by the people of Riau Province is sago noodle. This study aims to: (1) analyze the marketing strategy for sago noodles and (2) determine the consumers’ perception on sago noodles in Pekanbaru city and Selatpanjang Selatan village, District of Tebing Tinggi, Kepulauan Meranti Regency. The research was conducted at sago noodle producers (cottage agroindustries) area in Selatpanjang Village, as this village is the sago production center in Meranti Regency. The results showed that the producers believe sago noodle is a well-known product and they did not conduct specific marketing strategies, as such that no special promotional efforts have been done to increase consumers’ interest to purchase their sago noodle products. The consumers considered sago noodle could serve as a staple food especially for breakfast, other than as snackfoods and as additional dishes at family gatherings. Based on the frequency of purchase, consumers at Kepulauan Meranti Regency purchased sago noodle more often than consumers at Pekanbaru city. Therefore there is a potential market open for sago noodle marketing to Pekanbaru city and outside Riau Province. Thus, the promotional strategy to introduce sago noodle is very important to increase the consumption of sago noodle, especially for the people in Pekanbaru City and outside Riau Province. Keywords: sago noodle, marketing mix, alternative staple food, agroindustry Abstrak: Sagu merupakan sumber karbohidrat yang perlu diperhatikan dalam rangka mengurangi beban pangan pada beras. Selain itu, sagu juga perlu diperhatikan dalam rangka diversifikasi pangan, mengingat potensinya yang besar, namun belum diupayakan secara maksimal. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis strategi pemasaran mie sagu dan mengetahui penerimaan konsumen mie sagu di Kelurahan Selatpanjang Selatan Kecamatan Tebing Tinggi, Kabupaten Kepulauan Meranti. Penelitian ini dilakukan pada agroindustri mie sagu di Kelurahan Selatpanjang Selatan Kecamatan Tebing Tinggi, Kabupaten Kepulauan Meranti dikarenakan daerah ini sebagai sentra produksi sagu di Kabupaten Meranti. Hasil penelitian menunjukkan mie sagu merupakan produk yang sudah dikenal dan menurut pengrajin tidak perlu adanya strategi yang khusus. Bahkan mereka tidak melakukan promosi apapun untuk konsumen agar produk mereka dibeli. Masyarakat menganggap mie sagu dapat berfungsi sebagai makanan pokok khususnya saat makan pagi, selain sebagai makanan selingan dan hidangan acara keluarga, dan lebih menyukai mie sagu putih (untuk warna dan aroma) dan mie sagu abu-abu (untuk tekstur). Masyarakat di Kabupaten Kepulauan Meranti lebih sering membeli mie sagu dibanding masyarakat kota Pekanbaru, sehingga potensi pasar masih terbuka untuk pemasaran mie sagu ke Kota Pekanbaru dan luar Provinsi Riau. Dalam kondisi ini strategi promosi (pengenalan) mie sagu sangat penting untuk meningkatkan konsumsi mie sagu terutama masyarakat kota Pekanbaru dan luar Provinsi. Kata Kunci: Mie Sagu, Bauran Pemasaran, Bahan Pangan Alternatif, Agroindustri
305
Evy M., Yeni K.: Strategi Pemasaran Dan Persepsi Konsumen Mie Sagu … Kampar, Pelalawan, dan Siak. Tahun 2010, areal tanaman sagu di Provinsi Riau seluas 81.841 ha yang terdiri dari perkebunan rakyat dan perkebunan besar swasta dengan produksi 291.666 ton (Badan Pusat Statistik Provinsi Riau, 2011). Pengembangan sagu di Indonesia bertujuan mengoptimalkan sumberdaya dan pengolahan berkelanjutan menuju ketahanan pangan dan terwujudnya agribisnis sagu. Sasaran yang penting dicapai dalam pengembangan sagu ini diantaranya peningkatan produktivitas sagu, diversifikasi produk dan peningkatan pendapatan petani sagu. Dalam mengoptimalkan pemanfaatan sagu dibutuhkan teknologi sagu, antara lain pengolahan tepung sagu, diversifikasi produk dan pemasaran (Deptan, 2008). Kecamatan Tebing Tinggi, Kabupaten Kepulauan Meranti merupakan salah satu daerah sentra komoditi sagu yang ada di Provinsi Riau. Luas lahan sagu yang ada di Kecamatan Tebing Tinggi, Kabupaten Kepulauan Meranti pada tahun 2007 adalah seluas 14.184 ha, dengan jumlah produksi sebesar 48.564 ton. Namun pada tahun 2008, luas lahan perkebunan menjadi 16.501ha dan total produksi sebesar 31.819 ton. Hal ini menunjukkan bahwa luas perkebunan sagu mengalami kenaikan sedangkan produksi sagu mengalami penurunan yang sangat signifikan dibandingkan tahun sebelumnya. (Dinas Perkebunan Provinsi Riau, 2008). Sebagai daerah sentra komoditi sagu, sebagian besar masyarakat Tebing Tinggi mempunyai industri dalam pengolahan tepung sagu menjadi mie sagu. Namun sayangnya, industri yang ada hanya berskala industri kecil dan rumah tangga, sehingga total mie sagu yang mereka produksi juga hanya mereka jual dalam ruang lingkup daerah. Agroindustri sagu yang dikelola masyarakat Riau adalah pengolahan batang sagu (tual) menjadi tepung sagu yang akan menjadi bahan baku produk lain. Potensi produk agroindustri hilir dari tepung sagu sebenarnya sangat banyak, tetapi akibat keterbatasan kemampuan masyarakat dianggap kurang menarik. Produk yang cukup banyak diusahakan adalah mie sagu yang dilakukan secara tradisional oleh masyarakat di sentra produksi sagu dan hanya dipasarkan secara lokal di Riau. Kendala pengembangan terletak
PENDAHULUAN Tanaman sagu (sago palm) telah lama dibudidayakan dan berperan penting sebagai makanan pokok di sejumlah daerah di Asia Tenggara. Sagu berpotensi sebagai sumberdaya pengembangan pedesaan di daerah rawa tropis (Hiroshi et. al 2000). Di Indonesia, sagu merupakan makanan pokok alternatif di Provinsi Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Kalimantan Tengah, Sumatera Barat, Riau, Riau Kepulauan, dan Aceh. Walaupun akhir-akhir ini sagu sebagai makanan pokok mulai dialihkan ke beras, yang dianggap lebih mudah didapat dan praktis, peluang pengembangan sagu sebagai sumber karbohidrat sangat besar (Anonim, 2007a). Sebagai bahan pangan alternatif, sagu merupakan sumber karbohidrat yang perlu diperhatikan dalam rangka mengurangi beban pangan pada beras. Selain itu, sagu juga perlu diperhatikan dalam rangka diversifikasi pangan, mengingat potensinya yang besar, namun belum diupayakan secara maksimal. Selain sebagai bahan pangan, sagu dapat digunakan sebagai bahan baku berbagai macam industri pangan, industri perekat, industri kosmetika, dan berbagai macam industri kimia. Dengan demikian, pemanfaatan dan pendayagunaan sagu dapat menunjang berbagai macam industri, baik industri kecil, menengah, maupun industri berteknologi tinggi. Tepung sagu mempunyai kadar gizi, terutama pada protein dan vitamin tetapi merupakan sumber kalori yang sesuai. Sebagai penghasil tepung, peranan sagu untuk mengisi kebutuhan pangan tidak diragukan lagi, bahkan dapat diolah menjadi beberapa jenis makanan yang tersedia di pasar lokal maupun regional. Sagu juga telah lama dikenal di Indonesia, namun dalam pembudidayaannya menggunakan cara-cara tradisional dan bahkan sagu masih tumbuh secara liar atau alamiah. Selain Papua dan Maluku, daerah Sumatra termasuk Riau juga sudah mengenal sagu sebagai makanan khas daerah. Bahkan menurut Deptan (2008) dan Yasin (2008), provinsi Riau merupakan daerah potensial yang telah mengusahakan pengembangan tanaman sagu sebagai komoditi utamanya. Sagu di Riau tersebar di daerah pesisir dan pulau-pulau, yaitu di kabupaten Bengkalis, Indragiri Hilir,
306
Evy M., Yeni K.: Strategi Pemasaran Dan Persepsi Konsumen Mie Sagu … pada keterbatasan modal, teknologi dan peluang pasar yang belum dikembangkan (Yasin, 2008). Kurangnya modal untuk mengembangkan agroindustri mereka sehingga hanya bisa memproduksi mie sagu dengan kapasitas yang terbatas, selain itu sarana air bersih yang memadai untuk pengolahan mie sagu tersebut juga kurang, sehingga pengrajin terpaksa menampung air hujan untuk digunakan sebagai bahan penunjang pembuatan mie sagu karena mereka tidak dapat menggunakan air sumur yang berwarna cokelat kemerah-merahan yang berasal dari tanah gambut. Permasalahan lain yang dihadapi industri kecil pembuat mie sagu adalah dalam hal pemasaran belum adanya sertifikasi dari BPOM setempat. Hal ini dikhawatirkan akan mempengaruhi tingkat pemasaran mie sagu, karena konsumen yang ada relatif teliti dalam hal mengkonsumsi makanan, termasuk mie sagu. Dengan tidak adanya sertifikasi dari BPOM, dikhawatirkan masyarakat menjadi ragu untuk untuk membeli mie sagu yang telah dipasarkan, walaupun konsumsi mie sagu relatif masih tinggi. Kemasan yang digunakan juga relatif masih sederhana, yaitu hanya dikemas dalam plastik biasa yang tidak tercantum label halal dan juga sertifikasi BPOM. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis strategi pemasaran mie sagu yang dilakukan industri kecil pembuat mie sagu di Kelurahan Selatpanjang Selatan Kecamatan Tebing Tinggi, Kabupaten Kepulauan Meranti dan mengetahui persepsi konsumen mie sagu.
Selatpanjang, Kecamatan Tebing Tinggi dengan Random Sampling sebanyak 5 orang dan pedagang di Pasar Bawah Kota Pekanbaru juga 5 orang. Konsumen mie sagu adalah konsumen di Kabupaten Kepulauan Meranti dan di kota Pekanbaru. Pemilihan responden (sampel konsumen) dilakukan secara purposive sampling yaitu konsumen yang biasa mengkonsumsi mie sagu, bertempat tinggal di sekitar agroindustri mie sagu (konsumen masyarakat Kabupaten Kepulauan Meranti) atau sedang berbelanja di lokasi penjualan mie sagu yaitu pasar bawah (konsumen masyarakat Kota Pekanbaru). Jumlah konsumen untuk masing-masing lokasi survei konsumen adalah 50 orang sehingga total responden adalah 100 orang. Analisis deskriptif kualitatif dilakukan untuk menggambarkan:1) proses pemasaran mie sagu berupa pasar sasaran dan bauran pemasaran (produk, harga, promosi dan distribusi) dan 2) gambaran kebiasaan konsumsi dan penerimaan masyarakat terhadap mie sagu sebagai makanan pokok alternatif. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Pemasaran Sagu Sagu merupakan tanaman perkebunan yang diduga berasal dari Maluku dan Irian. Di wilayah Indonesia Bagian Timur, sagu sejak lama dipergunakan sebagai makanan pokok oleh sebagian penduduknya, terutama di Maluku dan Irian Jaya. Teknologi eksploitasi, budidaya dan pengolahan sagu yang paling maju saat ini adalah di Malaysia. Produk olahan sagu sebagai pangan alternatif adalah mie sagu. Salah satu pangan alternatif di Indonesia adalah produk mie, yang sudah dikenal luas. Banyak makanan daerah menggunakan bahan baku mie, yang menunjukkan pemakaian mie sudah membudaya dalam bentuk makanan khas daerah (Astawan, 1999). Saat ini, pada umumnya produk mie dibuat dari tepung terigu impor. Pada tahun 2002, Indonesia mengimpor sekitar 400.000 ton tepung terigu, yang 29.7 persennya diolah menjadi produk mie berupa mie basah dan mie instan (Purwani et.al., 2006a). Mie sagu adalah makanan khas masyarakat Kabupaten Kepulauan Meranti,
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Selatpanjang Selatan, Kecamatan Tebing Tinggi, Kabupaten Kepulauan Meranti. Kecamatan Tebing Tinggi merupakan daerah penghasil sagu terbesar di Provinsi Riau dan memiliki agroindustri mie sagu yang tersebar diseluruh wilayahnya. Populasi dalam penelitian ini terdiri dari: (1) industri/pengrajin mie sagu, (2) pedagang mie sagu di Tebing Tinggi dan Pekanbaru, dan (3) konsumen atau masyarakat di Kabupaten Kepulauan Meranti dan konsumen di Kota Pekanbaru. Responden pengrajin adalah keseluruhan populasi pengrajin yaitu 7 pengrajin. Populasi pedagang mie sagu adalah pedagang di pasar
307
Evy M., Yeni K.: Strategi Pemasaran Dan Persepsi Konsumen Mie Sagu … Provinsi Riau, Indonesia yang telah dikenal sejak lama. Kabupaten Kepulauan Meranti mempunyai banyak potensi antara lain perkebunan sagu, pertanian, perikanan dan kelautan yang dapat dikembangkan dimasa mendatang. Kecamatan Tebing tinggi merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi ekonomi sangat besar di Kabupaten Kepulauan Meranti. Kecamatan ini diperkirakan akan mampu menjadi salah satu
tulang punggung pertumbuhan perekonomian provinsi Riau di masa mendatang. Potensi daerah yang dimiliki kecamatan ini salah satunya di bidang perkebunan yaitu tanaman sagu. Tanaman sagu merupakan andalan Kota Selat Panjang dan menjadi simbol dari kota Selat Panjang itu sendiri. Hal ini dikarenakan Selatpanjang merupakan sentra tanaman sagu di Pulau Tebing Tinggi, pulau penghasil sagu yang cukup besar yang memiilki luas areal sagu terbesar di Kabupaten Kepulauan Meranti.
Tabel 1. Potensi Tanaman Sagu di Kecamatan Tebing Tinggi Tahun 2008 No. 1. 2. 3.
Uraian
Luas Areal (ha)
Persentase (%)
8.249 8.252 -
49,99 50,01
16.501
100
Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) Tanaman Menghasilkan (TM) Tanaman Tua Rusak (TTR) Jumlah
Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Riau, 2008
Petani Sagu Batang sagu (tual)
Pedagang Perantara
Kilang Sagu Sagu basah
Agroindustri rumah tangga
Produk olahan
Sagu kering
Pedagang Pengecer
Pedagang Penyalur di Cirebon
Produk olahan Konsumen
Gambar 1. Alternatif Saluran Pemasaran Sagu di Riau (Yasin, 2008)
Kecamatan Tebing Tinggi memiliki luas areal sagu untuk tanaman menghasilkan yang cukup besar yaitu 8.252 ha dari total keseluruhan 16.501 ha tanaman sagu di Kecamatan Tebing Tinggi (50,01%). Hal ini menunjukkan bahwa kecamatan ini memiliki potensi untuk menghasilkan sagu dan bisa tetap melakukan usaha agroindustri sagu yang salah
satunya yaitu mie sagu. Mie sagu ini dibuat dari tepung sagu yang diolah dari batang pohon sagu, mempunyai tekstur yang kenyal, menyerupai karet gelang dan berwarna putih terang. Mie sagu yang ada di Kabupaten Kepulauan Meranti mempunyai dua macam bentuk atau jenis. Jenis mie sagu basah mempunyai ukuran lebih besar dari pada mie
308
Evy M., Yeni K.: Strategi Pemasaran Dan Persepsi Konsumen Mie Sagu … sagu kering. Walaupun sagu ini hanya terdapat di Indonesia, seperti daerah Maluku, Irian Jaya, dan Riau, tetapi daerah yang benar-benar menjadikan sagu sebagai mie sagu adalah daerah Kabupaten Kepulauan Meranti. Teknologi pembuatan mie sagu cukup sederhana meskipun berbeda dengan mie terigu, dan dapat dilaksanakan oleh masyarakat. Produk mie sagu di Riau dikembangkan secara tradisional dalam skala rumah tangga dan kajian produksi serta pemasarannya masih sangat terbatas. Menurut Yasin (2008), agroindustri mie sagu Riau menghadapi banyak kendala seperti kontinuitas produksi, biaya pemasaran yang tinggi, kemasan yang sederhana dan belum mencantumkan izin usaha, label halal, masa berlaku, merek dagang, dan komposisi mie sagu. Dalam sistem pemasaran sagu, dimana batang sagu dapat dijual langsung atau melalui pedagang perantara ke kilang sagu, kemudian kilang sagu menghasilkan sagu kering dan sagu basah yang harus diolah lagi menjadi produk jadi yang akan dijual ke konsumen. Alternatif saluran pemasaran sagu di Riau dapat dilihat pada Gambar 1. Pemasaran adalah suatu proses perencanaan dan menjalankan konsep, harga, promosi dan distribusi sejumlah ide, barang dan jasa, dan untuk menciptakan pertukaran yang mampu memuaskan tujuan individu dan organisasi (Lamb, 2001). Proses ini mencakup aktivitas mengidentifikasi pasar sasaran, menentukan kebutuhan konsumen dalam pasar tersebut, dan memilih kombinasi yang tepat dari strategi produk, harga, promosi dan distribusi yang dikenal sebagai bauran pemasaran (the marketing mix). Dalam hal pemasaran mie sagu, para pengrajin mie sagu menjual mie sagu kepada para pedagang yang ada di Pasar Selatpanjang. Sebagian pengrajin ada yang langsung mengantarkan mie sagu kepada pedagang yang ada di pasar. Sebagian pedagang mengambil sendiri mie sagu ke tempat pembuatan mie sagu. Selain ke pasar Selatpanjang, mie sagu juga dijual sampai ke Bengkalis, Siak dan Pekanbaru. Pedagang yang berasal dari luar kota biasanya menjemput mie sagu di pelabuhan, kemudian pengrajin yang mengantarkan mie sagu tersebut ke pelabuhan dan pedagang membayar upah tambahan kepada pengrajin.
2. Strategi Pemasaran Strategi pemasaran adalah rencana pemasaran untuk menentukan pasar dan konsep bauran pemasaran. Dalam hal ini terdapat dua bagian yang saling berhubungan yaitu: pasar sasaran dan bauran pemasaran. Inti pemasaran terdiri atas tiga langkah pokok yaitu segmentasi pasar (mengidentifikasi dan membentuk kelompok pembeli yang terpisah-pisah yang membutuhkan produk dan atau bauran pemasaran tersendiri), penentuan pasar sasaran (tindakan memilih satu atau lebih segmen pasar untuk dimasuki maupun dilayani), tindakan membangun dan mengkomunikasikan manfaat produk yang istimewa dari produk didalam pasar (Syahyunan, 2004). Bauran pemasaran (marketing mix) merupakan kombinasi variabel atau kegiatan yang merupakan inti dari sistem pemasaran, variabel mana yang dapat dikendalikan oleh perusahaan untuk mempengaruhi tanggapan konsumen dalam pasar sasarannya (Nurbaity, 2004). Menurut Syahyunan (2004) bauran pemasaran merupakan variabel-variabel yang terkontrol yang dilaksanakan oleh perusahaan untuk memuaskan kelompok sasaran. Selain itu menurut Alma (2000) bauran pemasaran (marketing mix) terdiri dari 4 P yaitu: product (produk), price (harga), place (distribusi) dan promotion (promosi). Keempat faktor bauran pemasaran tersebut merupakan variabel-variabel yang diharapkan mampu menciptakan kepuasan konsumen, yang akan berimbas kepada loyalitas sehingga usaha akan terus bertahan dan berkembang (Rachmawaty, 2011).
a. Strategi Produk Produk merupakan aspek penting dalam pemasaran dan merupakan langkah awal dalam membentuk bauran pemasaran.Produk adalah: segala sesuatu baik menguntungkan maupun tidak yang diperoleh seseorang melalui pertukaran. Produk merupakan elemen penting sebab dengan inilah perusahaan berusaha untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan dari konsumen namun keputusan itu tidak berdiri sebab produk/jasa sangat erat hubungannya dengan target market yang dipilih (Nurbaity, 2004). Produk mie sagu yang diusahakan oleh pengrajin mempunyai ciri-ciri fisik yang berbeda. Walaupun sebagian besar produk
309
Evy M., Yeni K.: Strategi Pemasaran Dan Persepsi Konsumen Mie Sagu … memiliki warna putih keabu-abuan, namun ada juga produk yang berwarna lebih bersih dan putih, walaupun tidak seputih mie sagu produksi warga etnis Cina di luar Kabupaten Kepulauan Meranti. Mie sagu yang dihasilkan agroindustri mie sagu berwarna putih abu-abu dan berwarna putih. Perbedaan warna produk mie sagu tersebut dapat terjadi disebabkan mutu tepung sagu yang digunakan dan proses pembuatan mie sagu itu sendiri. Hasil penelitian yang dilakukan, dua industri kecil pembuat mie sagu yang menghasilkan warna mie sagu lebih terang, memproses mie sagu dengan cara mengukus adonan mie sagu. Kemudian baru menjemurnya didalam rumah tanpa sinar matahari langsung. Pengrajin yang lainnya merebus adonan mie sagu sebelum menjemurnya didalam rumah. Perbedaan proses pembuatan mie sagu tersebut akan berpengaruh besar terhadap kualitas mie sagu. Daya tahan produk mie sagu pun akan berbeda, dimana mie sagu yang dibuat dengan cara dikukus lebih tahan lama dibandingkan dengan mie sagu yang pengolahannya dengan cara direbus. Mie sagu yang dikukus biasanya tahan hingga satu bulan setelah diproduksi, sedangkan mie sagu yang direbus tahan hanya sekitar dua minggu saja. Setelah itu, mie sagu akan berubah warna menjadi agak kekuning-kuningan dan kehitamhitaman seperti ditumbuhi oleh jamur. Merek (Branding) adalah suatu nama, istilah, simbol, desain atau gabungan keempatnya, yang mengidentifikasikan produk para penjual dan membedakannya dari produk pesaing. Pada mie sagu untuk masing-masing agroindustri belum memiliki merek begitu juga dengan label. Para pengrajin mie sagu belum sanggup untuk memasang merek pada produk mie sagu yang mereka hasilkan. Mahalnya biaya untuk membuat kemasan yang bermerek membuat mereka hanya bisa membungkus produk dengan plastik putih saja. Sebagian pengrajin memang pernah mencoba memberi label pada produk mie sagu mereka, namun kondisi tersebut tidak berlangsung lama karena biaya yang cukup tinggi untuk ongkos cetak kemasan. Selain itu, pemasangan merek atau label pada kemasan dirasa tidak efektif, karena
belum adanya sertifikasi dari BPOM setempat. Padahal manfaat Branding yaitu: 1. Identifikasi produk; 2. Penjualan berulang; 3. Penjualan produk baru. Label yang memberikan informasi sebaliknya didesain untuk membantu konsumen membuat pilihan atas suatu produk yang tepat dan mengurangi ketidaksesuaian terhadap harapan konsumen setelah mereka membeli. Kemasan merupakan faktor penting untuk menarik konsumen membeli suatu produk. Namun mie sagu hanya dikemas dalam kemasan yang sangat sederhana. Hanya berupa plastik putih (bening) berukuran ½ dan 1 Kg. Kemasan plastik putih tidak memberikan pengaruh yang berarti dalam pemasaran mie sagu. Walaupun hanya menggunakan plastik putih, tingkat konsumsi mie sagu tidak mengalami penurunan, karena masyarakat mayoritas menilai mie sagu dari segi warna bukan kemasannya.
b. Strategi Harga Masalah kebijaksanaan harga turut menentukan keberhasilan pemasaran produk. Kebijaksanaan harga dapat dilakukan pada setiap tingkatan distribusi seperti produsen, grosir, retailer. Penentuan harga produk dari suatu perusahaan merupakan masalah yang cukup penting karena dapat mempengaruhi hidup matinya serta laba dari perusahaan (Nurbaity, 2004). Harga adalah sejumlah uang yang dibebankan atas suatu produk. Strategi penetapan harga yang dilakukan agroindustri mie sagu dapat dilihat pada Tabel 1. Penentuan harga produk dari suatu perusahaan merupakan masalah yang cukup penting karena dapat mempengaruhi hidup matinya serta laba dari perusahaan (Nurbaity, 2004). Strategi harga mie sagu yang ditetapkan pengrajin berdasarkan biaya dan permintaan pasar. Harga mie sagu Rp 4.000 per kg sesuai harga pasaran kepada pedagang dan pedagang menjual lagi dengan harga Rp.5.000 per kg. Beberapa pengrajin yang menggunakan bahan baku, yaitu tepung yang lebih mahal dan berkualitas bagus menetapkan harga sedikit lebih mahal dari harga pasaran, yaitu Rp.4.500 per kg nya.
310
Evy M., Yeni K.: Strategi Pemasaran Dan Persepsi Konsumen Mie Sagu … Tabel 2. Strategi Penetapan Harga Agroindustri Mie Sagu No
Strategi Harga
1
Orientasi pada biaya
2
Orientasi terhadap permintaan
Mie Sagu -
3 Orientasi harga kompetitor Sumber: Data primer, 2008
penyaluran; 2. Mengubah bentuk suplai produk yang heterogen sesuai kebutuhan konsumen. Keputusan mengenai saluran distribusi merupakan hal yang penting bagi perusahaan. Strategi distribusi pada pemasaran mie sagu dilakukan dengan cara memasarkan kepada konsumen langsung dan pedagang. Dalam pemasaran mie sagu, saluran distribusi relatif pendek dimana mie sagu yang telah diproduksi dijual kepada pedagang dan pedagang langsung menjualnya ke konsumen akhir yang ada di pasar. Namun ada juga pedagang yang mengambil mie sagu untuk dijual kembali kepada pedagang pengecer yang ada di Pekanbaru. Pedagang pengecer yang kemudian menjual kembali mie sagu kepada konsumen. Mie sagu yang dibawa ke Pekanbaru dapat kita jumpai dijual di pasar bawah. Selain membeli kepada pedagang, sebagian konsumen atau masyarakat juga banyak yang langsung membeli mie sagu kepada pengrajin. Hal itu mereka lakukan untuk mendapatkan harga yang lebih murah. Harga mie sagu di pasaran yaitu Rp.5.000/Kg, sedangkan pada saat membeli kepada pengrajin harga mie sagu hanya Rp.4.000/Kg.
c. Strategi Promosi Aspek ini berhubungan dengan berbagai usaha untuk memberikan informasi pada pasar tentang produk/jasa yang dijual. Promosi adalah sejenis komunikasi yang memberi penjelasan yang meyakinkan konsumen tentang barang dan jasa. Strategi promosi bisa dilakukan dengan cara periklanan, penjualan personal, promosi penjualan, publisitas dan hubungan masyarakat. Promosi yang ada pada agroindustri mie sagu masih terbatas. Pengrajin mie sagu yang ada di Kelurahan Selatpanjang Selatan sebagian besar tidak pernah melakukan kegiatan promosi untuk memperkenalkan produk mereka. Konsumen atau masyarakat mengetahui mie sagu hanya melalui informasi mulut kemulut saja. Namun ada juga pengrajin yang pernah mempromosikan produk mie sagunya keluar daerah. Namun tidak menggunakan sarana berupa brosur dan alatalat lainnya. Mereka hanya membawa contoh mie sagu yang dihasilkan dan kemudian mempromosikan lewat informasi seperlunya. Kegiatan promosi menurut para pengrajin merupakan suatu hal yang tidak perlu mereka lakukan. Mie sagu mereka merupakan mie sagu yang sudah dikenal oleh masyarakat luas. Tanpa promosipun mie sagu mereka akan terjual habis tiap harinya, karena adanya langganan setiap harinya.
3. Persepsi Pembelian
Konsumen
dan
Intensitas
Persepsi masyarakat merupakan suatu penafsiran terhadap situasi, bukan penelitian atas laporan situasi itu. Persepsi merupakan proses kognitif yang dialami setiap orang dalam memahami setiap informasi tentang lingkungannya melalui penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan dan penciuman. Selanjutnya dalam organisasi, persepsi berkenaan dengan pemahaman atau penglihatan seorang individu satu dengan yang lain. Proses yang demikian dinamakan persepsi sosial (Triton PB, 2008). Salah satu faktor yang menentukan kepuasan pelanggan adalah persepsi pelanggan mengenai kualitas.
d. Strategi Distribusi Sebelum produsen memasarkan produknya maka sudah ada perencanaan pola distribusi yang akan dilakukan. Perantara ini adalah sangat penting karena berhubungan dengan konsumen. Saluran distribusi terdiri dari seperangkat lembaga yang melakukan semua kegiatan pemasaran yang digunakan untuk menyalurkan produk barang dan jasa dan status kepemilikannya dari produsen ke konsumen. Pentingnya saluran distribusi bagi produsen adalah: 1. Efisiensi dan efektifitas dalam
311
Evy M., Yeni K.: Strategi Pemasaran Dan Persepsi Konsumen Mie Sagu … Tabel 3. Intensitas Pembelian Mie Sagu No
Intensitas Pembelian Mie Sagu
Konsumen Pekanbaru
1
1 – 2 kali (seminggu)
Konsumen Meranti 17
2
3 – 4 kali (seminggu)
20
-
3 4
2 – 3 kali (dalam 2 minggu atau 3 minggu) 1 – 2 kali (sebulan)
13
-
5
3 – 4 kali (dalam 3 bulan)
-
7 20
-
13
6 1 kali (dalam 6 bulan) Sumber: Data Olahan, 2008
Selain itu juga dipengaruhi oleh persepsi kualitas jasa, kualitas produk, harga dan faktor– faktor bersifat pribadi dan faktor bersifat situasi sesaat (Rangkuti, 2003). Mie sagu merupakan produk yang sudah lama ada dan dikenal oleh masyarakat tidak hanya di Kabupaten Kepulauan Meranti, tetapi juga masyarakat yang ada diluar daerah seperti Pekanbaru. Perbedaan lokasi konsumen biasanya akan mempengaruhi persepsi konsumen terhadap suatu produk. Konsumen yang berada di Kabupaten Kepulauan Meranti mengetahui informasi yang lebih komplit tentang mie sagu dibandingkan konsumen yang berada di Kota Pekanbaru, karena mie sagu diproduksi di Kabupaten Kepulauan Meranti. Intensitas pembelian mie sagu yang dilakukan oleh konsumen sangat beragam. Mayoritas konsumen yang ada di Kabupaten Kepulauan Meranti mengkonsumsi terbanyak 3-4 dalam seminggu. Konsumen yang berada di Pekanbaru relatif jarang mengkonsumsi mie sagu. Hal ini dapat dilihat dari intensitas pembelian mie sagu yang dilakukan oleh konsumen Pekanbaru yang terbanyak hanya 3-4 dalam 3 bulan sebanyak 20 orang dan ada yang hanya 1 kali dalam 6 bulan. Intensitas pembelian mie sagu relatif tinggi, karena konsumen menganggap mie sagu sebagai makanan alternatif atau makanan selingan. Tingkat kesukaan konsumen dapat dilihat dengan menggunakan uji kesukaan (uji organoleptik). Uji organoleptik adalah pengujian yang dilakukan untuk memberikan penilaian terhadap suatu produk, dengan mengandalkan panca indra. Dalam pelaksanaannya, konsumen diminta memberikan penilaian dalam skala yang menunjukkan tingkat dari sangat tidak suka sekali sampai sangat suka sekali untuk respon
10
warna, aroma dan tekstur. Pengujian organoleptik dilakukan untuk mengetahui tingkat kesukaan atau kelayakan suatu produk agar dapat diterima oleh konsumen. Pengujian meliputi warna, aroma dan tekstur yang dilakukan oleh 100 responden. Warna merupakan komponen yang sangat penting dalam menentukan kualitas atau derajat penerimaan dari suatu bahan pangan. Warna yang menarik akan menentukan derajat penerimaan atau nilai suatu bahan pangan. Suatu bahan pangan yang dinilai enak dan disukai teksturnya tidak akan dikonsumsi apabila mempunyai warna yang memberi kesan telah menyimpang dari warna yang seharusnya. Respon konsumen terhadap warna mie sagu untuk mie sagu dengan kode 123 (mie sagu putih) bernilai 3,96 untuk konsumen Kabupaten Kepulauan Meranti. dan untuk konsumen Pekanbaru bernilai 4,14. Ini berarti warna mie sagu yang lebih putih tersebut disukai oleh konsumen mie sagu. Sedangkan untuk mie sagu 321 (putih keabu-abuan), konsumen di Meranti dan di Pekanbaru keduanya memberikan nilai kesukaan untuk warna sebesar 3,34 (agak suka). Aroma merupakan faktor yang sangat penting untuk menentukan tingkat penerimaan konsumen terhadap suatu produk, sebab sebelum dimakan biasanya konsumen terlebih dahulu mencium aroma dari produk tersebut untuk menilai layak tidaknya produk tersebut dimakan. Aroma yang enak dapat menarik perhatian konsumen dan kemungkinan besar memiliki rasa yang enak pula sehingga konsumen lebih cenderung menyukai makanan dari aromanya (Winarno, 2002). Hasil uji organoleptik, untuk mie sagu putih (berkode 123), rata-rata konsumen yang berada
312
Evy M., Yeni K.: Strategi Pemasaran Dan Persepsi Konsumen Mie Sagu …
Gambar 2. Tingkat kesukaan konsumen Kabupaten Kepulauan Meranti
Gambar 3. Tingkat kesukaan konsumen Kota Pekanbaru
di Kabupaten Kepulauan Meranti dan Pekanbaru bernilai 3,42. Hal ini menunjukkan bahwa konsumen menyukai aroma mie sagu tersebut. Sedangkan untuk mie sagu abu-abu (berkode 321), bernilai 2,54 (Meranti) dan 2,36 (Pekanbaru). Artinya konsumen kurang menyukai aroma dari mie sagu abu-abu tersebut. Tekstur merupakan faktor yang penting dalam pemilihan produk. Menurut Kusmiadi (2008), tekstur dan konsistensi bahan akan mempengaruhi cita rasa suatu bahan. Tekstur mie sagu dalam hal ini merupakan kekenyalan mie sagu tersebut. Dari hasil penelitian, kesukaan konsumen terhadap tekstur mie sagu dengan putih (123) bernilai 3,18 (konsumen Meranti) dan 3,12 (konsumen Pekanbaru), artinya bahwa dari segi tekstur, mie sagu tersebut masih disukai oleh konsumen. Untuk mie sagu dengan abu-abu (321), nilai kesukaan konsumen adalah 4,56 (konsumen Meranti) dan 4,6 (konsumen Pekanbaru). Artinya mie sagu
abu-abu tersebut dari segi tekstur sangat disukai oleh konsumen.
KESIMPULAN 1. Strategi bauran pemasaran mie sagu yang saat ini dilakukan oleh pengrajin sangat minimal dan masih mengandalkan posisi mie sagu sebagai makanan khas Selatpanjang yang cukup dikenal sebagian masyarakat. 2. Persepsi konsumen mie sagu dilihat dari aroma menyukai mie sagu putih dibandingkan mie sagu abu-abu. Dari segi tekstur, mie sagu putih masih disukai oleh konsumen. Begitu juga dengan mie sagu abu-abu dari segi tekstur sangat disukai oleh konsumen.
313
Evy M., Yeni K.: Strategi Pemasaran Dan Persepsi Konsumen Mie Sagu … Lamb, Hair, Mc Daniel. 2001. Pemasaran. Penerbit Salemba Empat, Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA Alma, Buchari. 2000. Manajemen Pemasaran dan Pemasaran Jasa. Penerbit Alfabeta Bandung.
Nurbaity, Arlina L. 2004. Strategi Pemasaran Dalam Persaingan Bisnis. www.library.usu.ac.id Diakses 5 November 2012.
Anonim. 2007a. Lokakarya Pengembangan Sagu di Indonesia (leaflet). Batam, 25-26 Juli 2007.
Purwani, E.Y., Widaningrum, Thahir, R. dan Muslich. 2006a. Effect of Heat Moisture Treatment of Sago Starch on Its Noodle Quality. Indonesian Journal of Agricultural Science 7(1) : 8-14.
Astawan, M. 1999. Membuat Mi dan Bihun. Penebar Swadaya, Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2011. Riau Dalam Angka 2011. BPS Pekanbaru.
Rachmawaty, Rina. 2011. Peranan Bauran Pemasaran (Marketing Mix) terhadap Peningkatan Penjualan (Sebuah Kajian terhadap Bisnis Restoran). Jurnal Kompetensi Teknik 2(2):143-150.
Deptan. 2008. Pengembangan Tanaman Sagu di Kabupaten Bengkalis Riau. http://perkebunan.litbang.deptan.go.id (diakses 10 Januari 2010).
Rangkuti, Freddy. 2003. Analisis SWOT Teknik Pembedahan Kasus Bisnis. PT. Gramedia Pustaka. Jakarta.
Dinas Perkebunan Provinsi Riau. 2008. Luas Areal Sagu di Kabupaten Kepulauan Riau. Disbun Pekanbaru. Hiroshi Ehara, Slamet Susanto, Chitoshi Mizota, Shohei Hirose dan Tadashi Matsuno. 2000. Sago Palm (Metroxylon Sagu, Arecaceae) Production in The Eastern Archipelago of Indonesia: Variation in Morphological Characteristics and Pith Dry-matter Yield. Economic Botany 54(2) pp. 197-206. Kusmiadi, R. 2008. Sifat-sifat Organoleptik Dalam Pengujian Terhadap Bahan Makanan. www.ubb.ac. id. Diakses 6 Desember 2009.
314
Syahyunan. 2004. Strategi Pemasaran Dalam Meningkatkan Volume Penjualan. www.library.usu.ac.id. Diakses 5 November 2012. Triton, PB. 2008. Marketing Strategic. Meningkatkan Pangsa Pasar dan Daya Saing. Penerbit Tugu Publisher. Winarno, F. G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta