Seri Laporan Teknis Peneli an No. : 2015‐01‐01‐01
Strategi Mempertahankan Keberlanjutan Adopsi Energi Terbarukan di Tingkat Masyarakat Perdesaan: Studi Kasus
Oleh : Ishelina Rosaira Wati Hermawati Ikbal Maulana Hartiningsih
PUSAT PENELITIAN PERKEMBANGAN IPTEK LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (PAPPIPTEK-LIPI)
Seri Laporan Teknis Penelitian No. : 2015-01-01-01
Strategi Mempertahankan Keberlanjutan Adopsi Energi Terbarukan di Tingkat Masyarakat Perdesaan: Studi Kasus PLTMH dan TSHE
Oleh : Ishelina Rosaira Wati Hermawati Ikbal Maulana Hartiningsih
PUSAT PENELITIAN PERKEMBANGAN IPTEK LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (PAPPIPTEK-LIPI) 2014
KATA PENGANTAR
Laporan penelitian tentang “Strategi Mempertahankan Keberlanjutan Adopsi Energi Terbarukan di Tingkat Masyarakat Perdesaan: Studi Kasus PLTMH dan TSHE” dilaksanakan di Kabupaten Lombok Barat, NTB; Kabupaten Lumajang, Jawa Timur; dan Kabupaten Kulonprogo, D.I. Yogyakarta. Laporan penelitian ini merupakan salah satu hasil kegiatan DIPA Tematik PAPPIPTEK-LIPI Tahun 2014. Penelitian tentang strategi keberlanjutan adopsi energi terbarukan dilakukan karena banyaknya proyek-proyek pemerintah dalam bidang energi terbarukan untuk masyarakat yang terbengkalai atau tidak berkesinambungan. Berbagai alasan dijumpai mulai dari lemahnya kemampuan sumber daya manusia, kurangnya kemampuan pengelola, teknologi yang kurang baik, tidak adanya perhatian pemangku kepentingan, sampai pada kurang pedulinya masyarakat dan pemangku kepentingan akan potensi energi lokal yang dimilikinya. Data dan informasi yang disajikan dalam laporan ini merupakan kumpulan dari berbagai sumber, baik yang bersifat literatur, maupun data dan informasi yang didapat dari lokasi penelitian. Oleh karena itu, laporan penelitian ini menyajikan, pengalaman, perkembangan, sumber daya, dan seluruh pembelajaran yang dimiliki oleh para pemangku kepentingan. Data dan informasi tersebut diulas dan dianalisis serta disajikan secara rinci dengan diakhiri usulan strategi yang harus dilakukan oleh para stakeholders. Semoga Laporan Penelitian ini memberikan manfaat bagi para pemangku kepentingan bidang energi terbarukan, terutama PLTMH dan TSHE.
Jakarta, November 2014 Tim Peneliti
Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | i
UCAPAN TERIMA KASIH
Keberhasilan dalam menyelesaikan penelitian ini tidak terlepas dari peran berbagai pihak, baik individu maupun institusi. Kami ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada : 1. Kepala PAPPIPTEK-LIPI yang telah menyediakan dana dan memberikan kesempatan kepada kami untuk melakukan penelitian ini. 2. Kepala Dinas Energi di tingkat Provinsi (NTB, D.I.Yogyakarta, Jawa Timur) dan Dinas Energi di Tingkat Kabupaten (Lombok Tengah, Lumajang, Kulonprogo) yang telah berkenan menerima kunjungan dan melakukan wawancara dengan kami. 3. Dr. Sony Yuliar dari Institut Teknologi Bandung yang telah menyediakan waktunya untuk berdiskusi tentang Actor Network Theory dan aplikasi di Indonesia. 4. Para Nara Sumber dari Yayasan Dian Desa, pengelola proyek teknologi PLTMH dan TSHE, maupun industri yang terkait dengan PLTMH dan TSHE di Bandung, Lumajang, Lombok Tengah, Kulonprogo, dan Kota Yogyakarta. 5. Warga masyarakat yang memanfaatkan PLTMH dan TSHE dilokasi proyek tersebut, serta pihak lain yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu. Tanpa dukungan data dan informasi dari Bapak dan Ibu sekalian, laporan penelitian ini tidak akan pernah terbit. Semoga Allah SWT membalas amal budi baik Bapak dan Ibu sekalian. Amin.
ii | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
ABSTRAK
Sebagian besar implementasi proyek teknologi energi terbarukan untuk masyarakat perdesaan berasal dari proyek pemerintah. Proyek ini umumnya memanfaatkan potensi energi lokal guna menyediakan kebutuhan energi bagi masyarakat setempat. Namun sebagian besar proyek teknologi energi ini tidak berjalan secara berkelanjutan karena berbagai alasan antara lain pengelolaan yang kurang baik, teknologi yang kurang mendukung, atau kurangnya kemampuan sumber daya manusia. Dengan mengambil studi kasus Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) di Kabupaten Lombok Tengah dan Kabupaten Lumajang, dan Tungku yang diperbaharui (Tungku Sehat Hemat Energi- TSHE) di Kulonprogo, penelitian ini dapat mengidentifikasi faktorfaktor yang menyebabkan proyek tersebut tidak berkelanjutan. Dalam menentukan strategi proyek energi yang berkelanjutan, maka dilakukan eksplorasi tingkat inisiatif, keterlibatan, dan kepentingan masyarakat serta institusi dalam keseluruhan proses pembangunan proyek tersebut. Data primer didapat melalui wawancara terhadap para pemangku kepentingan maupun masyarakat pemanfaat teknologi dan melalui pengamatan langsung di lokasi PLTMH dan TSHE. Actor Network Theory (ANT) dan Metoda Reframing Matriks digunakan untuk menganalisa dan merumuskan strategi dalam mempertahankan kesinambungan proyek PLTMH dan TSHE di tingkat masyarakat perdesaan. Hasil akhir penelitian menunjukkan bahwa peran para pemangku kepentingan baik dalam implementasi PLTMH maupun TSHE sangat besar dan saling terkait. Dengan fokus bahasan tentang berbagai persoalan yang menyangkut perspektif program, perencanaan, pemangku kepentingan, dan potensi, strategi PLTMH yang diusulkan antara lain: (a) Sosialisasi tentang PLTMH harus dilakukan oleh pemerintah daerah terutama untuk para pengambil keputusan di tingkat pemerintah daerah; (b) Implementor PLTMH harus menghasilkan daya listrik minimal 120% dari kebutuhan; (c) Untuk lokasi PLTMH yang tidak memiliki jaringan listrik PLN, penjualan listrik oleh pengelola harus dilakukan kepada rumah tangga dan bisnis (unit usaha), agar pendapatannya bisa menutupi biaya operasional; (d) Untuk PLTMH yang berada di daerah yang memiliki jaringan PLN, maka penjualan listrik PLTMH sebaiknya dilakukan ke PLN dan warga sekitar; (e) Pemerintah Daerah harus mendorong dan memberikan fasilitasi (insentif) kepada pihak swasta dan BUMD untuk berinvestasi di PLTMH dan listriknya dijual ke PLN (on-grid, jika jaringan PLN tersedia), termasuk membantu melakukan mediasi dengan pihak pemilik lahan dan masyarakat lainnya. Strategi untuk kesinambungan TSHE antara lain: (a) meningkatkan sosialisasi TSHE dikalangan pengambil keputusan dan warga masyarakat terutama pengguna tungku tradisional dan kompor minyak tanah; (b) Pemerintah Daerah harus memfasilitasi muculnya produksi TSHE yang tersertifikasi di kalangan pengrajin tungku tradisional dan gerabah; (c) Pemerintah Daerah dan atau bekerja sama dengan lembaga donor harus mendorong adopsi TSHE oleh masyarakat dengan memanfaatkan program hibah dan dana bergulir; (d) Pemerintah Daerah harus menjadi fasilitator dalam mengaktifkan jejaring kerja tungku di DIY, terutama untuk para pemangku kepentingan seperti Yayasan Dian Desa (YDD), agen pengubah, agen tungku, dan lembaga donor (nasional dan internasional). Kata Kunci : strategi, adopsi,energi terbarukan, keberlanjutan, masyarakat. Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | iii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ...........................................................................................................
i
Ucapan Terima Kasih ..................................................................................................
ii
Abstrak ........................................................................................................................
iii
Daftar Isi ......................................................................................................................
iv
BAB I
PENDAHULUAN .............................................................................................
1
1.1 Latar Belakang ..........................................................................................
1
1.2 Permasalahan ..........................................................................................
4
1.3 Tujuan dan Sasaran .................................................................................
5
1.4 Ruang Lingkup ..........................................................................................
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................................
6
2.1 Pengertian Strategi dan Manajemen Strategi .......................................
6
2.2 Pengertian Adopsi ....................................................................................
10
2.3 Proses Pembelajaran Masyarakat .................................... .......................
14
2.4 Pengertian Energi Baru dan Terbarukan ...................... ..........................
15
2.5 Kondisi Energi Terbarukan untuk Penyediaan Listrik Perdesaan ...........
18
2.6 Actor Network Theory .................................... ..........................................
19
2.7 Reframing Matrix .................................... ..................................................
22
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...........................................................................
25
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................................
25
3.2 Kerangka Penelitian ...........................................................................
25
3.3 Tahapan Penelitian .............................................................................
26
3.4 Data dan Responden ................................................................................
27
3.5 Metoda Penelitian ....................................................................................
27
3.6 Teknik Analisis ..........................................................................................
27
BAB IV DESKRIPSI KASUS PENELITIAN DAN POTENSI ENERGI TERBARUKAN .......
30
4.1 Energi Terbarukan di Provinsi NTB dan PLTMH di Desa Lantan ............
30
4.2 TSHE dan Perkembangannya di Kabupaten Kulonprogo .......................
42
iv | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
4.3 Energi Terbarukan dan PLTMH di Kabupaten Lumajang ........................
47
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................
57
5.1 Evolusi Jejaring dan Aktor Inovasi PLTMH & TSHE .................................
57
5.2 Proses Perumusan Strategi ......................................................................
84
5.3 Perumusan Strategi ..................................................................................
96
BAB VI PENUTUP .......................................................................................................
100
6.1 Kesimpulan ...............................................................................................
100
6.2 Rekomendasi ...........................................................................................
102
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................................
103
LAMPIRAN .................................................................................................................
107
Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | v
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang
Kondisi keenergian Indonesia ditandai dengan pertumbuhan konsumsi energi rata-rata 7% per tahun dan belum diimbangi dengan pasokan energi yang cukup. Selain itu, kebutuhan listrik Indonesia sebesar 9,2% per tahun, dan elastisitas energi 1,65. Sampai September 2013, terdapat sedikitnya 20% dari jumlah rumah tangga di Indonesia yang belum berlistrik. Selain infrastruktur energi yang belum terbangun dengan baik terutama di perdesaan dan pulau terpencil, isu energi juga berkaitan dengan lingkungan dan kesehatan, serta mitigasi perubahan iklim. Padahal Indonesia berkomitmen untuk menurunkan 26% emisi rumah kaca pada tahun 2020 (Kusdiana, 2013). Kebijakan Energi Nasional No. 5 Tahun 2006 ditujukan untuk mengatasi kelangkaan energi yang telah melanda negeri ini dengan memberikan peluang lebih besar dalam pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT). Target pemerintah sampai tahun 2025 untuk peningkatan penggunaan Energi Terbarukan adalah sampai 17% dengan mengurangi penggunaan energi fosil sampai 20%, pengurangan penggunaan batubara sampai 33 % dan peningkatan penggunaan energi terbarukan lainnya seperti biomass, small hydro, solar energy, dan nuclear, menjadi 5% dan penggunaan biofuel ditingkatkan sampai sekitar 8,9% pada tahun 2025 (Gambar 1.1).
Sumber : Kementerian ESDM (2012) dalam Kusdiana (2013) Gambar 1.1 Arah Kebijakan Energi Nasional Pengelolaan energi terbarukan antara lain dilakukan dengan meningkatkan efisiensi penggunaan energi di sisi suplai dan pemanfaatannya (demand side) di sektor Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 1
industri, transportasi, rumah tangga, dan komersial. Diversifikasi energi dilakukan untuk meningkatkan pangsa energi terbarukan dalam bauran energi nasional (supply side), antara lain dalam berbagai bentuk energi terbarukan. Energi terbarukan dari biomassa (bioenergi) dapat dikonversi menjadi bahan bakar, panas, gas bio, dan listrik, mengingat ketersediaan sumber daya biomassa sangat besar di Indonesia. Jenis bahan bakar yang dapat diproduksi antara lain: biodiesel (substitusi solar), bioetanol (substitusi bensin), biooil (substitusi minyak diesel), biogas, briket, dan pelet kayu. Energi terbarukan dari sumber daya air, angin, dan matahari dapat dikonversi menjadi listrik melalui teknologi pembangkitan listrik (seperti PLTA, PLTU, PLTG, PLTGU, PLTS, PLTB, dan sebagainya). Pemanfaatan sumber energi terbarukan juga diutamakan untuk melistriki daerah perdesaan, terutama daerah perdesaan yang tidak terjangkau oleh listrik PLN. Kegiatan melistriki masyarakat menjadi sangat penting mengingat keberlangsungan aktivitas masyarakat dan sektor industri sangat tergantung pada ketersediaan energi listrik. Permintaan terhadap energi listrik pun semakin hari semakin meningkat. Pada September 2013, rasio elektrifikasi nasional mencapai 80,1%, artinya ada sekitar 20% dari penduduk Indonesia yang belum memiliki akses listrik. Rasio elektrifikasi terendah saat ini adalah Provinsi Papua (35%) dan Nusa Tenggara Timur (56%), sedangkan wilayah Indonesia lainnya sudah memiliki rasio di atas 60%. Pemerintah melalui Kementerian ESDM merencanakan dalam tempo lima tahun kedepan atau sampai tahun 2020, 99% dari masyarakat Indonesia akan mendapatkan akses listrik. Pada akhir tahun 2012, PLN memperlihatkan neraca listrik nasional dimana pengguna rumah tangga menempati urutan pertama sebesar (41%), disusul oleh industri (35%), komersial (18%), terlihat pada Tabel 1.1 berikut ini. Produksi listrik pada tahun 2012 sebanyak 200,291 GW terdiri dari produksi PLN (149.783 GW) dan produksi non PLN sebanyak 50.508 GW (Gambar 1.2). Selain akses terhadap listrik, pemanfaatan energi ramah lingkungan untuk rumah tangga perlu dikembangkan. Salah satu teknologi energi ramah lingkungan yang diperkenalkan di pedesaan saat ini adalah penggunaan tungku sehat hemat energi (TSHE). Data statistik tahun 2010 menunjukkan bahwa masih ada sekitar 40% rumah tangga atau 24,5 juta rumah tangga di Indonesia yang masih tergantung pada kayu bakar dengan tungku tradisional, yaitu tungku yang mengeluarkan banyak asap dan mengganggu pernafasan. Sedangkan TSHE merupakan tungku yang diperbaharui dan tidak mengeluarkan asap di dalam dapur. Tungku ini mengurangi resiko kesehatan yang berhubungan dengan polusi udara. Harga tungku ini juga terjangkau oleh masyarakat dan terbuat dari bahan-bahan lokal. Hasil penelitian Hartiningsih dkk (2013) maupun Hermawati dkk (2009, 2010) memperlihatkan bahwa beberapa desa terpencil yang tidak memiliki infrastruktur untuk mendapatkan akses listrik dari PT PLN, dapat memiliki aliran listrik di rumah dari pembangkit listrik energi terbarukan seperti pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH), pembangkit listrik tenaga bayu, dan listrik dari tenaga surya. Desa-desa 2 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
tersebut pada umumnya terletak di tempat yang terisolasi atau jauh dari pusat kota dengan kondisi ekonomi yang kurang menguntungkan. Keadaan ini menyebabkan PT PLN kurang tertarik untuk membangun infrastruktur listrik, mengingat lokasi yang jauh dan daya beli masyarakat yang tergolong rendah. Tabel 1.1 Penjualan listrik per sektor oleh PLN (2004-2012).
Skema pembangunan energi terbarukan untuk melistriki masyarakat dibiayai berbagai sumber, seperti pemerintah pusat, pemerintah daerah, organisasi internasional, dana CSR dari swasta atau industri, bahkan dana swadaya masyarakat sendiri. Hasil penelitian Hartiningsih dkk (2013) dan Hermawati dkk (2009; 2010) memperlihatkan bahwa sedikit dari daerah perdesaan yang menggunakan listrik dari energi terbarukan mampu bertahan dan bahkan menjadi sumber listrik utama bagi warga masyarakat, meskipun PT PLN mulai masuk ke daerah tersebut. Di lain pihak, proyek energi terbarukan di daerah perdesaan juga banyak yang mengalami kegagalan, atau tidak bertahan lama. Berbagai kendala dihadapi oleh pengelola maupun pengguna listrik dari proyek energi terbarukan ini, di antaranya mulai dari kegagalan mengelola sampai pada sulitnya mendapatkan suku cadang pengganti.
Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 3
Sumber : PLN, Statistik Listrik 2012 Gambar 1.2 Neraca Listrik Nasional 2012
Di daerah perdesaan, masyarakat lebih suka memenuhi kebutuhan energi untuk memasak dengan menggunakan tungku dan kayu bakar yang diambil dari halaman sekitarnya, meskipun mereka bisa membeli gas atau minyak tanah. Namun, yang menjadi persoalan tungku kayu tradisional ini tidak sehat, asapnya yang bersirkulasi di dalam dapur mengganggu ibu rumah tangga yang melakukan kegiatan memasak. Namun, Hartiningsih dkk (2013) menunjukkan bahwa tidak mudah mendorong masyarakat untuk mengadopsi Tungku Sehat Hemat Energi (TSHE). Kebiasaan menggunakan tungku tradisional telah berjalan turun temurun. Persoalan lainnya adalah terbatasnya pemasok TSHE, atau tungku ini tidak tersedia banyak di pasar, dan memerlukan biaya transportasi cukup besar untuk mendatangkan tungku ini. Penelitian ini secara khusus akan melihat peran serta, inisiatif , dan keterlibatan warga masyarakat dalam implementasi dan adopsi energi terbarukan, terutama PLTMH dan TSHE di daerah perdesaan, dengan studi kasus di Kabupaten Lombok Tengah, Lumajang dan Kulon Progo. Studi ini juga mengusulkan strategi untuk mempertahankan kesinambungan adopsi dan implementasi PLTMH dan TSHE, khususnya yang dapat memproduksi listrik dan tungku yang sehat untuk masyarakat. 1.2
Permasalahan
Daerah-daerah marjinal seperti lokasi yang terisolir, terpencil dan jauh dari kota, keberadaan penduduk yang tersebar dan daya beli yang rendah, pada umumnya jauh dari jangkauan listrik PLN. Untuk memenuhi kebutuhan listriknya, beberapa desa mendapatkan bantuan secara cuma-cuma (Hibah) berupa pembangkit listrik tenaga mikrohidro dari beberapa pihak seperti pemerintah setempat, pemerintah pusat 4 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
melalui kementerian terkait, hibah dana CSR dari berbagai industri, dan bahkan dari lembaga internasional. Beberapa desa secara swadaya bahkan membangun pembangkit listrik sendiri, baik skala kecil atau perorangan seperti kincir listrik, maupun skala besar untuk digunakan oleh penduduk satu desa seperti pembangkit listrik mikrohidro. Selain sulitnya mendapatkan akses listrik, penduduk di perdesaan juga tidak mendapatkan akses energi bersih untuk kegiatan rumah tangga, terutama memasak. Mayoritas dari penduduk desa masih menggunakan tungku tradisional yang memiliki risiko tinggi terhadap kesehatan, karena terpapar asap tungku. Selain itu, penggunaan tungku tradisional memerlukan waktu yang lebih lama dan berisiko terhadap kerusakan lingkungan sekitar. Pengelolaan dan adopsi teknologi baru, baik pembangkit listrik maupun TSHE di berbagai desa ini menunjukkan fenomena yang beragam. Keberlanjutan adopsi dan implementasi pada umumnya tidak terlalu tinggi, bahkan pada beberapa tempat cenderung mengalami kegagalan. Namun demikian, potensi untuk membangkitkan keberlanjutkan implementasi dan adopsi teknologi ini memungkinkan jika saja faktorfaktor yang menghambat maupun mendukung implementasi dan adopsi dapat diatasi. Selain itu, peran serta, inisiatif, dan keterlibatan warga masyarakat perlu diidentifikasi. 1.3
Tujuan dan Sasaran •
Mengidentifikasi dan menginventarisasi hambatan-hambatan yang menyebabkan tidak optimalnya difusi-adopsi inovasi proyek teknologi energi terbarukan, terutama PLTMH dan TSHE di tingkat masyarakat perdesaan
•
Mengungkapkan peran inisiatif, keterlibatan, dan kepentingan lokal/nasional dalam mewujudkan kemandirian energi di daerah tersebut
•
Merumuskan strategi dan kebijakan untuk mempertahankan keberlanjutan adopsi energi terbarukan oleh masyarakat perdesaan
Adapun sasaran yang ingin dicapai antara lain :
1.4
•
Terungkapnya peran inisiatif, keterlibatan, dan kepentingan lokal/nasional dalam memanfaatkan energi terbarukan
•
Terumuskannya strategi dan kebijakan untuk mempertahankan keberlanjutan adopsi energi terbarukan oleh masyarakat perdesaan. Ruang Lingkup
Penelitian ini difokuskan pada implementasi PLTMH dan TSHE di tingkat masyarakat perdesaan di Kabulaten Lombok Tengah, Lumajang dan Kulon Progo. Batasan waktu implementasi atau operasional proyek teknologi PLTMH dan TSHE yang menjadi fokus penelitian ini adalah proyek yang dilaksanakan dan masih berjalan sampai tahun 2012. Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 5
`BAB II
TINJAUAN PUSTAKA Pada bagian ini dipaparkan teori-teori serta pustaka yang dipakai dalam penelitian. Teori-teori ini diambil dari jurnal, buku dan sumber tertulis lainnya, termasuk dari internet. Teori yang dibahas meliputi pengertian Strategi, Pengertian Adopsi, Pengertian Energi Terbarukan, Actor Network Theory, dan Re-framing Matrixs. Tinjauan pustaka dalam penelitian ini berfungsi sebagai bingkai penelitian dan memberikan dasar-dasar teori yang terkait langsung dengan penelitian ini. 2.1 Pengertian Strategi dan Manajemen Strategi Pengertian strategi telah banyak diungkapkan oleh beberapa pakar manajemen dan bisnis, seperti Argyris (1985), Mintzberg (1979), Steiner dan Miner (1977) seperti yang dikutip oleh Rangkuti (2005:4) : “Strategi merupakan respon secara terusmenerus maupun adaptif terhadap peluang dan ancaman eksternal serta kekuatan dan kelemahan internal yang dapat mempengaruhi suatu organisasi”. Pada intinya strategi adalah perangkat untuk mencapai suatu tujuan termasuk dalam organisasi dengan mempertimbangkan berbagai situasi baik internal maupun eksternal yang dihadapi oleh organisasi. Beberapa pakar mendefinisikan strategi dalam hubungannya dengan kegiatan bisnis terutama perusahaan sebagai berikut. (1) Menurut Jauch dan Glueck (1995) dalam Anthoni (2000), manajemen strategi merupakan sejumlah tindakan dan keputusan yang mengarah pada penyusunan suatu strategi atau sejumlah strategi yang efektif dalam membantu mencapai sasaran organisasi atau perusahaan. (2) Pearce dan Robinson (1997), menyatakan bahwa strategi adalah ‘rencana utama’ suatu perusahaan. Strategi mencerminkan kesadaran perusahaan mengenai bagaimana, kapan dan di mana ia harus bersaing menghadapi lawan dan dengan maksud dan tujuan untuk apa. (3)
Cooper dan Schindler (2006) menyatakan strategi didefinisikan sebagai pendekatan umum yang akan diikuti oleh suatu organisasi untuk mencapai sasarannya.
(4)
Hamel dan Prahalad (1997) memberikan pengertian strategi secara umum dan khusus sebagi berikut: i.
Pengertian umum. Strategi adalah proses penentuan rencana para pemimpin puncak yang berfokus pada tujuan jangka panjang organisasi, disertai penyusunan suatu cara atau upaya bagaimana agar tujuan tersebut dapat tercapai.
6 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
ii.
Pengertian khusus. Strategi merupakan sebuah tindakan yang bersifat incremental (senantiasa meningkat) dan terus-menerus, serta dilakukan berdasarkan sudut pandang tentang apa yang diharapkan oleh para pengguna/pelanggan di masa mendatang. Jadi strategi bukan dimulai dari apa yang terjadi, namun strategi hampir selalu dimulai dari apa yang dapat terjadi.
Dengan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa strategi dibuat untuk memudahkan para pemimpin dan manajer puncak serta pelaksana di dalam suatu organisasi dalam menjalankan aktifitas operasionalnya setiap hari. Di tingkat perusahaan strategi biasanya berkaitan dengan prinsip-prinsip secara umum untuk mencapai misi yang dicanangkan perusahaan serta bagaimana perusahaan memilih jalur yang spesifik untuk mencapai misi tersebut. Perumusan strategi pada umumnya dikaitkan langsung dengan cara untuk mencapai tujuan jangka panjang. Di dalam menyusun strategi beberapa aspek keunggulan strategis dan tantangan lingkungan perlu diketahui terlebih dahulu agar pengambil keputusan atau pelaksana kegiatan dapat mempertimbangkannya guna mencapai tujuan yang ditetapkan oleh organisasi. Perumusan strategi pada umunya merupakan proses penyusunan langkahlangkah ke depan terutama untuk membangun visi dan misi organisasi, menetapkan tujuan strategis, serta merancang untuk mencapai tujuan tersebut. Beberapa langkah yang dapat dilakukan dalam merumuskan strategi diantaranya: (a). Mengidentifikasi lingkungan yang akan berkaitan dengan organisasi di masa depan dan menentukan misi organisasi ini. (b). Melakukan analisis lingkungan internal dan eksternal untuk mengukur kekuatan dan kelemahan serta peluang dan ancaman yang akan dihadapi oleh organisasi dalam menjalankan misinya. (c).
Merumuskan faktor-faktor ukuran keberhasilan (key success factors) dari strategi-strategi yang dirancang berdasarkan analisis sebelumnya.
(d). Menentukan tujuan dan target terukur, mengevaluasi berbagai alternatif strategi dengan mempertimbangkan sumber daya yang dimiliki dan kondisi eksternal yang dihadapi. (e). Memilih strategi yang paling sesuai untuk mencapai tujuan jangka pendek dan jangka panjang (Hariadi, 2005). Di dalam suatu organisasi, terkadang dibuat dua strategi atau lebih secara bersamaan. Menjalankan strategi lebih dari satu secara bersamaan ini sangat beresiko, kecuali di dalam organisasi itu memiliki divisi-divisi yang memiliki target dan menjalankan strategi yang berbeda. David (2004) membagi jenis-jenis strategi sebagai berikut: Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 7
(a). Strategi Integrasi. Integrasi ke depan, integrasi ke belakang, integrasi horizontal kadang semuanya disebut sebagai integrasi vertikal. Strategi integrasi vertikal memungkinkan organisasi atau perusahaan dapat mengendalikan para pemangku kepentingan termasuk para distributor, pemasok, dan/atau pesaing. (b). Strategi Intensif. Strategi ini memerlukan usaha-usaha intensif jika posisi produk yang ada hendak ditingkatkan. (c). Strategi Diversifikasi. Terdapat tiga jenis strategi diversifikasi, yaitu diversifikasi konsentrik, horizontal, dan konglomerat. Menambah produk atau jasa baru, namun masih terkait biasanya disebut diversifikasi konsentrik. Menambah produk atau jasa baru yang tidak terkait untuk pelanggan yang sudah ada disebut diversifikasi horizontal. Menambah produk atau jasa baru yang tidak terkait disebut diversifikasi konglomerat. (d). Strategi Defensif. Strategi rasionalisasi biaya, divestasi, atau likuidasi. Rasionalisasi biaya, terjadi ketika suatu organisasi melakukan restrukturisasi melalui penghematan biaya dan aset untuk meningkatkan kembali penjualan dan laba yang sedang menurun. Kadang disebut sebagai strategi berbalik (turnaround) atau reorganisasi, rasionalisasi biaya dirancang untuk memperkuat kompetensi pembeda dasar organisasi. (e). Strategi Umum dari Michael Porter (1991). Menurut Porter, ada tiga landasan strategi yang dapat membantu organisasi memperoleh keunggulan kompetitif, yaitu keunggulan biaya, diferensiasi, dan fokus. Porter menamakan ketiganya strategi umum. Keunggulan biaya menekankan pada pembuatan produk standar dengan biaya per unit sangat rendah untuk konsumen yang peka terhadap perubahan harga. Diferensiasi adalah strategi dengan tujuan membuat produk dan menyediakan jasa yang dianggap unik di seluruh industri dan ditujukan kepada konsumen yang relatif tidak terlalu peduli terhadap perubahan harga. Fokus berarti membuat produk dan menyediakan jasa yang memenuhi keperluan sejumlah kelompok kecil konsumen (David, 2007). Manajemen strategi merupakan seni dan pengetahuan merumuskan, mengimplementasikan, dan mengevaluasi keputusan lintas fungsional yang akan membantu organisasi dalam mencapai tujuannya. Dalam proses manajemen strategi terdapat tiga tahapan yaitu formulasi strategi, implementasi strategi, dan evaluasi strategi (David, 2007). Tahap pertama formulasi strategi meliputi pengembangan misi bisnis, identifikasi peluang dan ancaman, menentukan kekuatan dan kelemahan, serta menetapkan sasaran jangka panjang. Menyusun implementasi strategi merupakan tahapan dalam manajemen strategi untuk menetapkan sasaran tahunan dan kebijakan, memotivasi karyawan, serta mengalokasikan sumber daya secara efektif. Tahap akhir dalam proses manajemen strategi adalah evaluasi strategi yang meliputi tiga tahapan
8 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
yaitu mengevaluasi faktor internal dan eksternal saat ini; mengukur kinerja; serta mengadakan perbaikan terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan. Formulasi strategi mencakup pengembangan misi serta identifikasi terhadap faktor internal dan faktor eksternal. Hal ini ditujukan untuk memudahkan dalam menghasilkan strategi alternatif dan memilih strategi yang layak untuk dilaksanakan dalam menghadapi perubahan guna mencapai tujuan. Model manajemen strategi yang dikembangkan oleh David (2007). dapat dilihat pada Gambar 2.1. Dalam perumusan strategi, tindakan yang dilakukan termasuk pengembangan misi bisnis, mengenali peluang, dan ancaman eksternal terhadap perusahaan, menetapkan kekuatan dan kelemahan internal, menetapkan tujuan jangka panjang, menghasilkan strategi alternatif, dan memilih strategi tertentu yang akan dilaksanakan. Keputusan perumusan strategi mengikat keseluruhan organisasi dalam hal produk, pasar, sumber daya, dan teknologi spesifik pada periode waktu tertentu. Output dari perumusan strategi ini adalah menetapkan keunggulan bersaing jangka panjang (David, 2007). Implementasi strategi menuntut organisasi untuk menetapkan obyektif tahunan, melengkapi dengan kebijakan, memotivasi karyawan, dan mengalokasikan sumber daya sehingga strategi yang dirumuskan dapat dilaksanakan. Yang termasuk dalam tahapan implementasi strategi adalah mengembangkan budaya organisasi yang mendukung strategi, menciptakan struktur organisasi yang efektif, mengubah arah usaha pemasaran, menyiapkan anggaran, mengembangkan dan memanfaatkan sistem informasi, dan menghubungkan kompensasi karyawan dengan prestasi organisasi. Seringkali implementasi strategi disebut dengan tahapn tindakan manajemen strategi. Strategi implementasi berarti memobilisasi karyawan dan manajer untuk mengubah strategi yang dirumuskan menjadi tindakan. Evaluasi strategi adalah tahap akhir dalam manajemen strategi. Evaluasi strategi dilakukan untuk mengetahui kesesuaian strategi yang dijalankan terhadap tujuan yang ingin dicapai. Ada tiga aktivitas mendasar dalam mengevaluasi suatu strategi, yaitu meninjau faktor-faktor internal dan eksternal yang menjadi dasar strategi sekarang, mengukur prestasi, dan mengambil tindakan korektif. Evaluasi strategi diperlukan karena keberhasilan saat ini bukan merupakan jaminan keberhasilan di masa mendatang (David, 2007).
Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 9
Umpan balik
Melakukan audit eksternal Menetapkan sasaran jangka panjang
Mengembangkan pernyataan misi
Menghasilkan, mengevaluasi, dan memilih strategi
Menetapkan kebijakan dan sasaran tahunan
Alokasi sumber daya
Mengukur dan mengevaluasi prestasi
Melakukan audit internal
Perumusan strategi
Perumusan strategi
Evaluasi Strategi
Implementasi strategi
Evaluasi strategi
Sumber : David (2007) Gambar 2.1 Model Manajemen Strategi
Aplikasi penentuan strategi berdasarkan konsep David (2007) dilakukan melalui pendekatan beberapa matriks dengan tiga tahapan pelaksanaan perumusan kerangka kerja pemilihan strategi, yaitu tahapan input, tahapan pencocokan, dan tahapan pengambilan keputusan.
2.2
Pengertian Adopsi
Adopsi merupakan bagian tahapan dalam penerimaan inovasi oleh pengguna, atau proses dalam diri seseorang mulai pertama kali mendengar tentang suatu inovasi sampai mau menerima atau menolak inovasi tersebut (Soekarwi, 1988 dalam Akhmad Musyafak dan Tatang M. Ibrahim, 2005; Hartiningsih, 2013). Dalam proses pengambilan keputusan untuk melakukan inovasi, Rogers dan Shoemaker (dalam Soekarwi, 1988; Yusriadi, 2011) mengindikasikan ada beberapa elemen penting yang perlu diperhatikan termasuk adanya sikap mental untuk melakukan adopsi inovasi, dan adanya konfirmasi dari keputusan yang telah diambil. Rajinder Peshin dan A. K. Dhawan (2009) mengemukakan bahwa proses adopsi inovasi melalui lima tahapan sebelum seseorang bersedia menerapkan inovasi yang diperkenalkan, yaitu: 10 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
1)
Tahap kesadaran (awareness stages).Tahap ini seseorang hanya baru mengenal atau mengetahui ide baru atau inovasi yang diperkenalkan, belum mengetahui kualitasnya dan pemanfaatannya secara khusus.
2) Tahap minat (interest stages). Tahap ini seseorang tidak puas kalau hanya mengetahui keberadaan ide baru/inovasi tersebut dan ingin mendapatkan informasi yang lebih banyak tentang ide tersebut, sehingga berusaha untuk mendapatkan informasi tersebut. 3) Tahap penilaian (evaluation stages). Pada tahap ini seseorang menilai semua informasi yang diketahui dan memutuskan apakah ide baik tersebut untuknya. 4)
Tahap mencoba (trial stages). Pada tahap ini seseorang akan memutuskan, jika dia menyukai ide tersebut, dia akan melakukan percobaan.
5) Tahap adopsi (adoption stages). Tahap dimana seseorang meyakini kebenaran atau keunggulan ide baru tersebut dan dia akan menerapkan dan mungkin akan mendorong orang lain terutama di sekitarnya untuk menerapkan ide baru tersebut. Biasanya inovasi akan diadopsi jika memiliki keuntungan relatif tinggi bagi calon adopter, sesuai dengan nilai-nilai sosial/adat setempat, tidak rumit, dapat dicoba dalam skala kecil dan mudah diamati (Ginting (2002) dalam Lampos Gultom (2008) Levis (1992) dalam aditya, R., dkk. (2013) menyatakan bahwa adopsi juga dapat diartikan sebagai penerapan atau penggunaan sesuatu ide atau inovasi yang disampaikan lewat pesan komunikasi (penyuluh). Demikian juga menurut Mardikanto dalam Prabayanti (2010), agar sesuatu yang baru atau inovasi dapat diadopsi seseorang, maka akan dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu sifat inovasinya sendiri, sifat sasarannya, cara pengambilan keputusan, saluran komunikasi yang digunakan, keadaan penyuluh, dan ragam sumber informasi. Seiring dengan pendapat Rajinder Peshin dan A. K. Dhawan (2009), Roger (1983) juga mengemukakan tentang lima tahapan keputusan untuk menerima sesuatu yang baru atau adopsi inovasi yaitu 1. Tahap munculnya pengetahuan (knowledge) untuk memahami eksistensi dan keuntungan/manfaat dan bagaimana suatu inovasi berfungsi 2. Tahap persuasi (persuasion) ketika seseorang membentuk sikap baik atau tidak baik 3. Tahap keputusan (decisions) akan muncul ketika melakukan pemilihan antara adopsi atau menolak 4. Tahapan implementasi (implementation) untuk menetapkan menggunakan suatu inovasi 5. Tahapan konfirmasi (confirmation), yaitu mencari penguatan terhadap Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 11
keputusannya entah menerima ataupun menolak. Seseorang dalam mengambil keputusan untuk menerima atau menolak adopsi berbeda. Ada yang cepat menerima dan ada yang lambat. Kecepatan adopsi biasanya dapat diukur dengan jumlah penerimaan pengadopsian suatu ide baru dalam suatu periode tertentu (Yusriadi, 2011). Roger seperti disarikan oleh Hanafi (1987) menyatakan bahwa salah satu variabel kecepatan adopsi adalah sifat-sifat atau tipe inovasinya. Selain itu, variabel yang lain adalah 1) tipe keputusan inovasi, 2) sifat saluran komunikasi yang digunakan untuk menyebarkan inovasi dalam proses keputusan inovasi, 3) ciri-ciri sistem sosial, dan 4) gencarnya usaha agen pembaharu atau penyuluh dalam mempromosikan inovasi. Inovasi dapat dilakukan secara: 1) Sendiri, yaitu keputusan yang dibuat oleh individu dengan mengabaikan keputusan masyarakat sekitarnya, 2) Kelompok 3) Dengan kekuasaan (otoriter), yaitu keputusan yang dipaksakan terhadap individu oleh seseorang yang mempunyai kekuasaan (Yusriadi, 2011). Soekartawi (2005) dalam Prabayanti (2010) menyebutkan bahwa terdapat beberapa variabel yang mempengaruhi kecepatan adopsi inovasi, yaitu a. Umur. Semakin muda usia calon adopter, biasanya mempunyai semangat untuk ingin tahu apa yang belum diketahui, sehingga mereka berusaha untuk lebih cepat melakukan adopsi inovasi walaupun mereka masih belum berpengalaman soal adopsi inovasi tersebut. b. Pendidikan. Calon adopter yang berpendidikan lebih tinggi akan lebih cepat dalam melaksanakan adopsi inovasi, karena tingkat pendidikan baik formal maupun tidak formal akan mempengaruhi cara berpikir dan pandangan seseorang dalam menjalankan usahanya, yaitu rasionalitas usaha, dan kemampuan memanfaatkan setiap kesempatan ekonomi yang ada c. Keberanian mengambil resiko. Biasanya calon adopter yang mempunyai pendapatan kecil akan mempunyai sifat menolak resiko (risk averter) d. Pola hubungan dalam lingkup sosial
e. Sikap terhadap perubahan. Calon adopter yang mempunyai pendapatan yang kecil akan lamban dalam mengubah sikapnya terhadap perubahan f. Motivasi berkarya g. Aspirasi. Apabila calon adopter tidak mempunyai aspirasi atau aspirasinya ditinggalkan, maka adopsi inovasi akan sulit dilakukan h. Fatalisme. Apabila calon adopter di hadapkan pada resiko dan ketidakpastian 12 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
yang tinggi, maka adopsi sulit dilakukan i. Sistem kepercayaan tertentu. Makin tertutup suatu sistem sosial dalam masyarakat terhadap sentuhan luar, misalnya sentuhan teknologi, maka makin sulit pula anggota masyarakat untuk mengadopsi inovasi j. Karakteristik psikologi. Apabila karakter mendukung adanya adopsi inovasi, maka proses adopsi inovasi akan berjalan lebih cepat. Menurut Rogers (1995), pengadopsi suatu inovasi dibagi menjadi lima golongan yaitu : a. Inovator: Orang-orang yang pertama kali mengadopsi inovasi. Ciri-cirinya antara lain orang yang berpikir maju, petualang, berani mengambil resiko, cerdas, kemampuan ekonomi tinggi b. Early adopter adalah golongan perintis atau pelopor. Ciri-cirinya adalah pemuka pendapat, orang yang dihormati, mempunyai tingkat pendidikan tinggi, gemar membaca, suka mendengarkan radio, mempunyai tingkat ekonomi yang baik c. Early majority adalah golongan pengikut dini. Ciri-cirinya antara lain penuh pertimbangan, interaksi internal tinggi, mempunyai tingkat pendidikan rata-rata seperti anggota masyarakat lainnya, mempunyai status sosial ekonomi sedang, berpengalaman. d. Late majority adalah golongan pengikut akhir. Golongan ini pada umumnya berusia lanjut dan berpendidikan rendah. Golongan ini mempunyai ciri-ciri antara lain skeptis, terlalu hati-hati, dan status sosial ekonominya rendah. Biasanya salah satu faktor penghambatnya adalah pengalaman pahit masa lalunya terhadap penerapan inovasi. Dengan adanya status ekonomi yang rendah dan kegagalan penerapan suatu inovasi akan mengancam penghidupan dan kehidupannya. e. Laggard adalah golongan penolak. Golongan ini biasanya menjadi golongan pengikut paling akhir atau kolot, biasanya berusia lanjut, jumlah sedikit, tingkat pendidikan rendah, bahkan banyak yang buta huruf, status sosial ekonomi sangat rendah, dan tidak suka dengan adanya perubahan. Sedang menurut hasil penelitian Aditya Rozandy, dkk. (2013) variabel yang mempengaruhi tingkat adopsi teknologi adalah: 1. Karakteristik adopter: umur, tingkat pendidikan formal dan non formal, pengalaman, dan tidak berkosmopolitan 2. Karakter usahanya, misalnya luas lahan, biaya pengelolaan, dan harga jual 3. Ciri-ciri
inovasi
dikategorikan
mencakup:
keuntungan
relatif,
Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 13
kompabilitas, kompleksitas, triabilitas, dan observabilitas 4. Jaringan komunikasi, meliputi: tingkat keterkaitan, tingkat keragaman, tingkat kekompakan, dan tingkat keterbukaan 5. Tingkat kecepatan adopsi inovasi teknologi, yaitu inovator, pelopor, pengikut dini, pengikut akhir, dan pengikut paling akhir atau kolot.
2.3
Proses Pembelajaran Masyarakat
Adopsi teknologi yang menuntut pengelolaan kolektif juga menuntut perubahan dalam hubungan sosial di antara warga masyarakat. Perubahan itu tidak serta-merta terjadi begitu situasi mengharuskannya, tetapi melalui proses bertahap yang kecepatan dan arahnya ditentukan oleh kapasitas belajar dari tiap masyarakat. Dalam sistem sosial terdapat struktur dan agen (Giddens, 1984). Struktur bersifat menetap dan mengikat agen, membatasi sekaligus memberikan kepastian, karena agen (dalam hal ini individu dalam masyarakat) tahu tentang tindakan apa yang diterima dan tidak diterima oleh masyarakat. Terjadi hubungan rekursif antara struktur dan agen. Struktur menentukan tindakan agen, dan tindakan agen bisa mereproduksi ataupun mengubah struktur. Agen tidak bisa begitu saja mengabaikan struktur. Dalam berbahasa, misalnya, struktur adalah tata bahasa dan kosa kata yang tersedia. Agen harus menggunakan tata bahasa dan kosa kata tersebut jika komunikasi ingin dipahami oleh anggota masyarakat yang lain. Kadang-kadang ada orang yang memperkenalkan kata-kata yang baru, namun dia tetap harus memasukkannya dalam struktur bahasa yang ada. Dia tidak bisa membuat struktur baru begitu saja, karena struktur merupakan kesepakatan jangka panjang, yang bisa lintas generasi, yang terjadi dalam masyarakat. Ada kalanya suatu struktur tidak efektif lagi dalam merespon perubahan keadaan. Anggota masyarakat dikondisikan untuk merespon masalah dalam lingkup yang diperkenakan struktur, sementara solusinya menuntut tindakan-tindakan di luar struktur. Pada saat inilah masyarakat perlu mempertanyakan struktur yang ada dan melakukan penyesuaian bertahap. Salah satu jenis struktur adalah moda tata kelola (governance mode), yang bisa dalam bentuk hirarki, pasar, atau jejaring (Williamson, 1996). Dalam kaitannya dengan penelitian ini, moda-moda ini dibedakan dalam formalitas kelembagaannya dan peran dari aktor negara dan non-negara (state and nonstate actors) (Pahl-Wostl, 2009). Dalam hirarki, peran yang dominan dimiliki oleh kelembagaan formal dan aktor negara. Pasar menggabungkan kelembagaan formal dan non-formal dengan aktor non-negara mengambil peran dominan. Jejaring ditata-kelola melalui kelembagaan informal di mana aktor negara dan aktor non-negara bisa berpartisipasi. Ketidak-formalan dan
14 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
fleksibilitas keanggotaan dari jejaring, membuat jejaring lebih mudah belajar dan berubah (Dedeurwaerdere, 2005). Kemudahan perubahan juga terjadi pada sistem yang memiliki pusat banyak (policentricity), atau tidak tunggal (Ostrom, 2001). Masyarakat yang homogen, yang memiliki satu struktur, akan lebih sulit beradaptasi. Sedangkan kerja sama dua kelompok atau lebih di mana masing-masing membawa strukturnya yang berbeda, akan menimbulkan ketegangan yang bisa berdampak positif, karena anggota masingmasing bisa saling membandingkan, mempertanyakan struktur pihak lain ataupun dirinya, sehingga mereka bisa memiliki pilihan ataupun berkompromi dengan membentuk struktur baru yang mensintesakan struktur-struktur sebelumnya. Menurut Ostrom (2010), sistem berpusat banyak ini lebih memiliki kemampuan dalam meningkatkan inovasi, pembelajaran, penyesuaian, kepercayaan, dan tingkat kerjasama antar-peserta, dan pencapaian hasil yang lebih efektif dan berkelanjutan.
2.4
Pengertian Energi Baru dan Terbarukan
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi menjelaskan bahwa Energi adalah kemampuan untuk melakukan kerja yang dapat berupa panas, cahaya, mekanika, kimia, dan elektromagnetika. Sumber energi adalah sesuatu yang dapat menghasilkan energi, baik secara langsung maupun melalui proses konversi atau transformasi. Sumber daya energi adalah sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan, baik sebagai sumber energi maupun sebagai energi.
Klasifikasi Energi Di dunia ini tersedia berbagai sumber daya alam, antara lain angin, air, batubara, minyak bumi, hutan, panas matahari, dan lain-lain. Di antara sumber daya alam tersebut ada yang bisa menjadi sumber energi, sehingga disebut sumber daya energi. Berdasarkan defenisi dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2007 Bab I Pasal I, sumber energi adalah sesuatu yang dapat menghasilkan energi, baik secara langsung maupun melalui proses konversi. Sedangkan sumber daya energi adalah sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan baik sebagai sumber energi maupun sebagai energi. Berdasarkan ketersediaanya sumber daya alam ada yang sifatnya terbarukan (renewable resource) dan ada yang tidak terbarukan (Non Renewable Resource). Demikian pula halnya dengan sumber energi, maka energi terdiri atas : a. Energi yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable resource). Non-renewable resource merupakan sumber daya yang persediaannya sebagai input produksi sangat terbatas dalam jangka waktu tertentu, antara lain minyak bumi; gas bumi; batubara; dll. Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 15
b. Energi yang dapat diperbaharui (renewable resource). Renewable Resource merupakan sumber daya yang terus-menerus tersedia sebagai input produksi dengan batas waktu tak terhingga, antara lain panas bumi; tenaga air; tenaga surya; tenaga angin; biofuel; biogas; dll Menurut definisi International Energy Agency (IEA), energi terbarukan adalah energi yang berasal dari proses alam yang diisi ulang terus menerus. Contohnya adalah energi yang dihasilkan baik secara langsung ataupun tidak langsung dari matahari atau panas bumi. IEA mengklasifikasikan energi terbarukan seperti matahari, angin, biomassa, geothermal, hydropower, gelombang laut, biofuel, dan hidrogen. Menurut Sukanto Reksohadiprojo (1994), sumber daya energi terbarukan merupakan sumber daya energi yang dapat diperbaharui atau dapat diisi kembali atau tidak terhabiskan (renewable) adalah sumber daya energi yang bisa dihasilkan kembali baik secara alamiah maupun dengan bantuan manusia. Sumber energi baru adalah sumber energi yang dapat dihasilkan oleh teknologi baru baik yang berasal dari sumber energi terbarukan maupun sumber energi tak terbarukan, antara lain nuklir, hidrogen, gas metana batubara (coal bed methane), batu bara tercairkan (Liquified coal), dan batu bara tergaskan (gasified coal). Energi baru adalah energi yang berasal dari sumber energi baru. Sumber energi terbarukan adalah sumber energi yang dihasilkan dari sumber daya energi yang berkelanjutan apabila dikelola dengan baik, antara lain panas bumi, angin, bioenergi, sinar matahari, aliran dan terjunan air, serta gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut. Energi terbarukan adalah energi yang berasal dari sumber energi terbarukan. Ada beragam sumber energi terbarukan, yaitu:
1. Energi Surya Energi surya adalah energi yang didapat dengan mengubah energi panas surya (matahari) melalui peralatan tertentu menjadi sumber daya dalam bentuk lain. Energi surya menjadi salah satu sumber pembangkit daya selain air, uap, angin, biogas, batu bara, dan minyak bumi. Teknik pemanfaatan energi surya mulai muncul pada tahun 1839, ditemukan oleh A.C. Becquerel. Ia menggunakan kristalsilikon untuk mengkonversi radiasi matahari, namun sampai tahun 1955 metode itu belum banyak dikembangkan. 2. Energi Angin Energi angin adalah salah satu jenis sumber energi terbarukan yang potensial untuk menghasilkan energi listrik maupun mekanik. Energi kinetik (gerak) yang ada pada angin dapat diubah menjadi energi mekanik untuk memutar peralatan seperti pompa, penggilingan, dan lain-lain. Sementara, dari energi mekanik yang memutar generator, dapat menghasilkan listrik. Tenaga angin dapat dibedakan menjadi dua macam yakni 16 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
tenaga angin darat (onshore wind) dan tenaga angin laut (offshore wind). Jika dibandingkan dengan sumber energi terbarukan lainnya, teknologi energi tenaga angin ini sudah sangat mumpuni. Di sejumlah tempat, biaya produksi satuan listrik dengan tenaga angin darat sudah sama dengan teknologi pembangkit listrik konvensional, bahkan terus menunjukkan tren menurun. Ini merupakan energi yang muncul pada abad ke-21, karena matahari menyinari permukaan bumi secara tidak merata, maka terpikirlah memperoleh listrik dengan energi angin. 3. Energi Air Energi air dapat diubah menjadi listrik dengan cara energi gerak air digunakan untuk memutar turbin yang selanjutnya dapat menghasilkan listrikTeknologi yang dignakan untuk memanfaatkan air menjadi listrik ini disebut dengan mikrohidro. Tenaga hidro atau mikrohidro adalah energi yang memanfaatkan aliran air seperti sungai yang dapat dipakai untuk membangkitkan listrik dalam daya tertentu. Secara teknis, mikrohidro tidak merusak alam/sungai. Air yang digunakan untuk menggerakkan turbin akan kembali ke sungai, sehingga tidak ada air yang tercemar dan terbuang. 4. Energi Biomassa Sumber energi yang berasal dari biomassa pada umumnya didapat dengan konversi teknologi tertentu. Pengertian biomassa dikemukakan oleh Waspo (1997), yaitu dengan mengelompokkan bahan organik baik dari tumbuhan ataupun hewan yang kaya akan cadangan energi dan setelah diubah menjadi bioenergi akan menghasilkan panas, gerak, atau untuk menghasilkan listrik. Oleh karena itu, biomassa adalah semua material biologis, yang berasal dari tanaman atau hewan termasuk limbahnya dan sampah organik, yang bisa digunakan untuk memproduksi panas dan/atau tenaga, bahan bakar termasuk bahan bakar transportasi, atau sebagai pengganti produk dan material berbasis fosil. 5. Biofuel Biofuel terbuat dari materi tumbuhan diproses secara khusus sehingga menghasilkan bahan bakar serupa bensin, untuk digunakan sebagai biofuel. Saat ini hambatan teknis untuk menghasilkan biofuel tingkat tinggi (seperti etanol yang dihasilkan dari bahan baku non pangan) adalah: membangun infrastruktur transportasinya dan perlengkapan penyimpanan, serta memproduksi mobil yang memanfaatkan bahan bakar bio tingkat tinggi atau bahan bakar campuran (seperti bensin dicampur dengan bahan bakar bio tingkat tinggi). 6. Energi Geothermal Energi geothermal berasal energi panas di pusat bumi atau di gunung berapi yang selanjutnya diubah menjadi energi listrik.
Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 17
7. Energi Laut Laut menyimpan potensi energi yang besar, antara lain dari kekuatan arusnya, gelombangnya, hingga perbedaan suhu airnya, yang dapat menghasilkan listrik.
2.5
Kondisi Energi Terbarukan untuk Penyediaan Listrik Indonesia
Kebutuhan akan energi, khususnya energi listrik di Indonesia, makin berkembang dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari. Penyediaan energi listrik yang dilakukan oleh PT.PLN (Persero), selaku lembaga resmi yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mengelola masalah kelistrikan di Indonesia, sampai saat ini masih belum dapat memenuhi kebutuhan seluruh masyarakatakan energi listrik . Letak geografis negara Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau dan kepulauan, tersebar dan tidak meratanya pusat-pusat beban listrik, rendahnya tingkat permintaan listrik di beberapa wilayah, tingginya biaya marginal pembangunan sistem suplai energi listrik (Ramani,K.V,1992), serta terbatasnya kemampuan finansial, merupakan faktorfaktor penghambat penyediaan energi listrik dalam skala nasional. Selain itu, makin berkurangnya ketersediaan sumber daya energi fosil, khususnya minyak bumi, yang sampai saat ini masih merupakan tulang punggung dan komponen utama penghasil energi listrik di Indonesia, serta makin meningkatnya kesadaran akan usaha untuk melestarikan lingkungan, menyebabkan kita harus berpikir untuk mencari altematif penyediaan energi listrik yang memiliki karakter; 1. Dapat mengurangi ketergantungan terhadap pemakaian energi fosil, khususnya minyak bumi 2. Dapat menyediakan energi listrik dalam skala lokal regional 3. Mampu memanfaatkan potensi sumber daya energi setempat, serta 4. Cinta lingkungan, dalam artian proses produksi dan pembuangan hasil produksinya tidak merusak lingkungan hidup disekitarnya. Sistem penyediaan energi listrik yang dapat memenuhi kriteria di atas adalah sistem konversi energi yang memanfaatkan sumber daya energi terbarukan, seperti matahari, angin, air, biomas, dan lain sebagainya (Djojonegoro,1992). Tak bisa dipungkiri bahwa kecenderungan untuk mengembangkan dan memanfaatkan potensi sumber daya energi terbarukan dewasa ini telah meningkat dengan pesat, khususnya di negara-negara sudah berkembang yang telah menguasai rekayasa dan teknologinya, serta mempunyai dukungan finansial yang kuat. Untuk itu, Energi Baru dan Terbarukan (EBT) terus dikembangkan dan dioptimalkan, dengan mengubah pola fikir (mind-set) bahwa EBT bukan sekedar sebagai energi altenatif dari Bahan Bakar (BB) fosil tetapi harus menjadi penyangga 18 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
pasokan energi nasional dengan porsi EBT >17% pada tahun 2025 (Lampiran II Keppres no.5/2006 tentang Kebijakan Energi nasional) berupa biofuel >5%, panas bumi >5%, EBT lainnya >5%, dan batubara cair >2%, sementara energi lainnya masih tetap dipasok oleh minyak bumi <20%, Gas bumi >30% dan Batubara >33%. Pemerintah berkomitmen mencapai visi 25/25, yaitu pemanfaatan EBT 25% pada tahun 2025. Bulan Januari 2012, Sekjen PBB mendorong pemanfaatan energi terbarukan dunia duakali lipat (dari 15% hingga 30%) hingga tahun 2030, apalagi negara berkembang saat ini menguasai setidaknya 50% kapasitas global EBT (energi baru dan terbarukan. blogspot.com /2014_02_01). Program-program pemerintah Indonesia untuk mencapai target hingga 25% EBT adalah listrik pedesaan, interkoneksi pembangkit EBT, pengembangan biogas, Desa Mandiri Energi (DME), Integrated Microhydro Development Program (IMIDAP), PLTS perkotaan, pengembangan biofuel, dan proyek percepatan pembangkit listrik 10.000 MW tahap II berbasis EBT (panas bumi dan hidro). Untuk mencapai itu, Indonesia membutuhkan dana Rp.134,6triliun (US$15,7miliar) guna mengembangkan sumbersumber EBT untuk 15 tahun mendatang. Dana tersebut (dalam master plan 2011-2015) akan dibagikan ke 5 daerah, Sumatera (Rp 25,06 triliun), Jawa (Rp.86,3 triliun), Sulawesi (Rp.15,77 triliun), Bali-Nusa Tenggara (Rp.2,64 triliun), dan Papua-Maluku Rp.4,83 triliun). Program 10 GW tahap II itu (dari total 10,047 MW), sekitar 66%-nya dari ET, PLTP 4,9 GW dan PLTA 1,753 MW yang merupakan proyek PLN dan IPP. Potensi sumber daya energi terbarukan, seperti; matahari, angin dan air, ini secara prinsip memang dapat diperbarui, karena selalu tersedia di alam. Namun pada kenyataannya potensi yang dapat dimanfaatkan adalah terbatas. Tidak di setiap daerah dan setiap waktu; matahari bersinar cerah, air jatuh dari ketinggian dan mengalir deras serta angin bertiup dengan kencang. Di sebabkan oleh keterbatasanketerbatasan tersebut, nilai sumber daya energi sampai saat ini belum dapat begitu menggantikan kedudukan sumber daya energi fosil sebagai bahan baku produksi energi listrik. 2.6
Actor Network Theory
Actor Network Theory (ANT) bukanlah teori yang menjelaskan ‘apa’ yang diamati, tetapi tentang ‘bagaimana’ menyelidiki sesuatu. Sebagaimana yang ditegaskan Latour (2005, hal. 142), ANT adalah “suatu teori, dan teori yang sangat kuat saya kira, tetapi tentang bagaimana mempelajari sesuatu, atau lebih tentang bagaimana tidak mempelajarinya atau lebih, bagaimana membiarkan aktor memiliki ruang untuk mengekspresikan diri mereka sendiri.” 1 Tekanan ANT bukanlah penjelasan tentang jaringan, namun melalui jaringan kita memahami sesuatu yang kita teliti. Latour menganalogikan jika jaringan adalah 1
It’s a theory, and a strong one I think, but about how to study things, or rather how not to study them—or rather, how to let the actors have some room to express themselves. Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 19
pensil, maka kita tidak bermaksud menggambar pensil, tetapi kita menggambar dengan pensil. Jadi kita mendeskripsikan yang kita teliti dengan jaringan, dengan membiarkan aktor mengemukakan sudut pandangnya, teorinya, dan melacak aktanaktan lain yang berhubungan dengan mereka. Penjelasan tentang jaringan bisa dilakukan dengan teori sosial apa saja, karena setiap teori sosial berupaya menjelaskan fenomena sosial yang terjadi di atas hubungan-hubungan sosial. Dalam meneliti masyarakat, Latour melihat adanya sumber-sumber ketidakpastian, salah satunya tentang kelompok. Bagi Latour (2005), tidak ada kelompok yang permanen. Yang terus-menerus terjadi adalah pembentukan kelompok (group formation). Kalau proses pembentukan itu berhenti, tidak ada orang yang menjaga atau melakukan pembentukannya itu lagi, maka kelompok tersebut tidak ada lagi. Sebagaimana terjadi pada bahasa, jika tidak ada orang yang mengucapkannya lagi, maka bahasa tersebut punah. Dalam mengkaji adopsi teknologi atau upaya menjaga keberlanjutan adopsi tersebut, maka kita harus memahami proses pengelompokan (grouping) atau pengelompokan ulang (regrouping) ini. Terjadinya pengelompokan ini membutuhkan syarat-syarat berikut (Latour, 2005, hal. 31-34): 1. Agar suatu kelompok dikenali maka kelompok tersebut harus memiliki beberapa juru bicara, yang mendefinisikan siapa, harus menjadi apa, dan telah menjadi apa saja mereka. Ini perlu dilakukan terus-menerus untuk membenarkan (justifying) keberadaan mereka, menetapkan aturan dan alasan, serta melakukan pendefinisian dibandingkan definisi-definisi lain. Kelompok tidak terbentuk dengan sendirinya, dan tidak terbentuk dalam kesunyian. Proses pendefinisiannya terjadi bersama ataupun bersaingan dengan prosesproses pendefinisian kelompok lain. 2. Ketika ikatan suatu kelompok ditekankan, selalu dalam perbandingan dengan ikatan kelompok lain yang bersaing. Dalam setiap pendefinisian suatu kelompok, selalu berarti juga pendefinisian kelompok-anti, yakni kelompok yang bersaing, yang bisa menghalangi atau menghambat pembentukan kelompok yang menjadi perhatian. Ketika mendefinisikan kelompok, orang atau juru bicara akan mengatakan kelompok-anti sebagai sesuatu yang kosong, kuno, berbahaya atau kadaluarsa. Hal ini dilakukan agar orang berpindah dari atau tidak mendekati kelompok-anti ini. 3. Ketika kelompok terbentuk atau tersebar, maka juru bicaranya akan sibuk mendefinisikannya. Batas-batasnya ditandai dan ditetapkan sebagai sesuatu tetap dan awet. Batas-batas ini ditetapkan untuk bertahan dari tekanan kelompok-anti yang mengancam keberadaannya. 4. Juru bicara yang bisa membuat penetapan kelompok ini lebih awet adalah ilmuwan sosial, ilmu sosial, statistik sosial dan jurnalisme sosial. Jika suatu 20 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
kelompok masyarakat masuk dalam data statistik, maka keberadaannya menjadi lebih awet. Misalnya, jika pengguna biogas didata, lebih-lebih secara nasional, maka keberadaannya menjadi penting, dan upaya mempertahakan keberadaannya menjadi penting pula. Dalam ANT, kelompok dan kelompok-anti di sini bukanlah selalu berarti sekumpulan orang yang saling mengenal dan mengorganisasikan diri dengan memilih seseorang menjadi pemimpin mereka. Kelompok bisa juga berarti himpunan dengan ciri tertentu yang bisa saja ditetapkan oleh orang lain. Latour (1991), misalnya, memberi contoh bagaimana hotel ingin agar para tamunya ketika pergi menitipkan kunci kamarnya di resepsionis. Di sini, dari perspektif manajemen hotel, kelompok adalah tamu yang menitipkan kunci kamar, sedangkan kelompok-anti adalah yang tidak mau melakukannya. Manajemen hotel berusaha menjadi juru bicara dari kelompok ini, misalnya dengan memasang tulisan yang mengingatkan tamu agar menitipkan kunci di resepsionis. Namun, upaya ini tidak berhasil. Para tamu sering lupa atau enggan menitipkan kunci. Kemudian pihak hotel meminta bantuan seorang inovator yang kemudian membuat gantungan dari logam yang cukup berat. Dengan ini pihak hotel tidak perlu lagi mengandalkan pada sensitivitas moral tamu, karena mereka sudah cukup merasa terganggu dengan gantungan dari logam tersebut. Dan, mereka menitipkan kunci bukan lagi karena mematuhi peringatan tersebut, tetapi karena tidak mau diganggu oleh gantungan kunci. Dengan demikian, gantungan kunci telah membuat kelompok yang diingini hotel (tamu yang menitipkan kunci) terbentuk dan awet. Dalam proses pembentukan ini, hotel bersekutu dengan inovator, dan inovator bersekutu dengan gantungan kunci dan pihak-pihak yang membuatnya. Dalam kasus di atas pembentukan kelompok dipaksa dengan menggunakan teknologi (aktan non manusia). Namun, yang sering terjadi pada banyak kasus adopsi teknologi adalah tidak adanya pihak yang bisa memaksa pihak lain untuk pembentukan awal dari kelompok. Kelompok hanya bisa dibentuk jika kepentingan anggotaanggotanya bisa disatukan melalui obligatory passage point (OPP). Ada pihak yang bisa menunjukkan merekalah atau sesuatu yang lain menjadi OPP. Di sini, menurut Callon (1986) ada juru bicara yang mendefinisikan kepentingan kelompok ini (problematization), menunjukkan bahwa kepentingan berbagai pihak yang terlibat akan diakomodasi (interessement), lalu ada upaya untuk menetapkan peran masingmasing pihak dalam proses adopsi teknologi (enrolment), dan keberhasilannya akan telihat dari keberhasilan mobilisasi berbagai pihak (mobilization), sehingga juru bicaranya dianggap mewakili kepentingan kelompok. Setelah pembentukan kelompok, ada juru bicara yang dipercaya oleh kolompok, maka kemungkinan untuk menambahkan atau mengubah aktan untuk menguatkan ikatan kelompok lebih dimungkinkan.
Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 21
2.7
Reframing Matrix
Banyak pihak yang terlibat mulai dari pembangunan sampai pengelolaan PLTMH. Bahkan pada saat perencanaan pembangunannya, pihak-pihak yang menentukan berasal dari luar daerah pengguna, dan bisa jadi tidak pernah menggunakan PLTMH sebelumnya. Pihak-pihak yang terlibat ini memiliki perbedaan kuasa dan terutama, perbedaan kepentingan terkait dengan PLTMH. Kuasa menentukan otoritas seseorang dalam menentukan anggaran, lokasi sampai sistem PLTMH ini. Kepentingan seseorang terhadap PLTMH ditentukan oleh seberapa jauh PLTMH akan mempengaruhi hidupnya. Salah satu persoalan dalam pembangunan adalah ketika terjadi kesenjangan antara kuasa dan kepentingan seseorang. Ketika orang yang berkuasa tidak berkepentingan dengan proyek tersebut maka dia akan cenderung melibatkan diri dengan komitmen yang kurang dibandingkan jika dia memiliki kepentingan tinggi. Karena itu, untuk menangkal dampak negatif kesenjangan kuasa-kepentingan ini diperlukan perencanaan sampai pengelolaan kolektif, melibatkan semua pihak yang terlibat, terutama masyarakat setempat yang berkepentingan memanfaatkannya. Jadi kegiatan seperti perencanaan dan strategi pengelolaan harus dirancang dengan mempertimbangkan perspektif dari berbagai pihak ini (Serrat, 2010). Manfaat interaksi antar berbagai pihak ini, menurut van Ast & Boot (2003), adalah sebagai berikut. 1.
2.
Kualitas keputusan meningkat karena pengetahuan khusus maupun pandangan yang berbeda dari masing-masing pihak yang terlibat dipertimbangkan. Interaksi memungkinkan pertukaran informasi yang bisa mengantarkan pada pemahaman yang lebih baik tentang masukan dan luaran dari proyek sehingga mudah mendapatkan dukungan masyarakat.
Keterlibatan berbagai pihak hanya akan bermakna jika masing-masing bisa menyampaikan pandangan dan kepentingannya. Pertemuan berbagai pihak tidak akan memberikan manfaat sebagaimana yang disampaikan van Ast & Boot (2003) di atas jika komunikasi terjadi hanya searah, sesuatu yang mungkin dan sering terjadi karena perbedaan posisi dan kuasa antara pejabat atau aparat pemerintah dengan penduduk desa. Sangat mudah bagi aparat pemerintah untuk mendapatkan persetujuan warga, apapun yang diusulkan bisa saja diterima mereka, tetapi yang terjadi adalah rancangan yang tidak sesuai dengan kebutuhan mereka dan persoalan di lapangan. Komunikasi searah berisiko menggagalkan tujuan-tujuan mulia dari proyek pembangunan. Karena itulah diperlukan fasilitasi interaksi yang memungkin semua pihak bicara dengan leluasa, tanpa dibebani perbedaan posisi, dan juga isi pembicaraannya harus mudah dikomunikasikan sehingga warga desa, yang kemungkinan tingkat pendidikannya rendah, tidak takut salah dalam menyampaikan pendapatnya. Ada beberapa teknik untuk menjaring pandangan dari berbagai perspektif ini. Yang 22 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
pertama dan terkenal adalah participatory rapid appraisal (PRA) yang kerap dipakai oleh Lembaga Swadaya Masyarakat nasional maupun internasional dalam proyekproyek pembangunan di pedesaan (Chambers, 1997). Namun, karena prosedur dari PRA relatif kompleks, sehingga dalam penelitian ini dipilih Reframing Matrix (Ramalingam, 2006), yang lebih sederhana, bisa digunakan untuk memfasilitasi curah gagasan untuk mengenali persoalan ataupun menyusun strategi. Namun, karena persoalan yang dibahas melalui Reframing Matrix ini tidak rinci, maka kompleksitas persoalan harus dipahami oleh orang yang menjadi fasilitator yang memahami persoalan, sehingga bisa memastikan bahwa hal-hal penting benar-benar dibahas. Secara umum, sebagaimana diuraikan Ramalingam (2006), Reframing Matrix bisa digunakan untuk mengenali permasalahan dari beberapa sudut pandang yang berbeda-beda, dan membuka lebar pintu kreativitas yang diperlukan dalam menyusun strategi untuk mengatasi permasalahan tersebut. “Teknik ini membantu kelompok untuk menempatkan diri mereka dalam cara pikir (mindset) orang-orang yang berbeda dan membayangkan solusi, atau masalah, yang akan muncul dari mereka berkenaan dengan pertanyaan atau masalah kunci” 2(Ramalingam, 2006, hal. 38). Pertama, buatlah matrix sebagai berikut. Di bagian tengah ditulis pertanyaan kunci yang hendak dibahas. Dan di empat kotak di sekitarnya menunjukkan empat perspektif yang berbeda, yaitu: 1.
Perspektif program: persoalan-persoalan yang terkait dengan program atau proyek. Misalnya apakah teknologinya mudah dibuat atau mudah dioperasikan oleh warga.
2.
Perspektif perencanaan: persoalan-persoalan yang terkait dengan perencanaan. Misalnya warga tidak pernah dilibatkan dalam perencanaan, studi kelayakan sosial tidak pernah dilakukan.
3.
Perspektif pemangku kepentingan: pandangan dan kepentingan masingmasing pemangku kepentingan.
4. Perspektif potensi menunjukkan seberapa jauh yang dihasilkan melalui proyek ini bisa diperbesar atau direplikasi di tempat-tempat lain.
2 “This technique helps groups to put themselves into the mindsets of different people and imagine the solutions, or problems, they would come up with regards to a key question or problem”. Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 23
Perspektif program
Perspektif perencanaan
Pertanyaan kunci
Perspektif potensi
Perspektif pemangku kepentingan
Persoalan-persoalan yang diangkat melalui Reframing Matrix ini dilakukan sebagaimana pada curah gagasan, yakni melalui proses pembangkitan gagasan (idea generation), pematangan gagasan, dan pemilihan gagasan. Pada saat pembangkitan gagasan, peserta bisa diajak mengeluarkan gagasan apapun tanpa dibebani kekhawatiran untuk disalahkan. Bahkan bisa dimulai dengan gagasan-gagasan yang lucu atau asal-asalan sekalipun agar peserta tidak canggung mengusulkan apapun. Gagasan-gagasan yang muncul lewat pembangkitan gagasan kemungkinan masih memiliki banyak kelemahannya yang kemudian diperbaiki melalui proses pematangan gagasan (Maulana, 2014). Sesudah itu baru dilakukan proses pemilihan gagasan. Dalam praktiknya, keterbatasan waktu membuat pematangan gagasan tidak dilakukan. Peran fasilitator sangat penting untuk menentukan gagasan mana yang perlu dieksplorasi lebih dalam. Setelah persoalan-persoalan menurut empat perspektif ini diidentifikasi, maka didiskusikan kembali solusi-solusi untuk tiap-tiap persoalan tersebut. Pembahasan perlu dilakukan untuk menguji masing-masing solusi, dari segi ketepatannya dalam mengatasi persoalan tersebut, maupun apakah solusi tersebut bisa dilaksanakan dengan mempertimbangkan sumber daya lokal yang ada. Sesudah itu juga perlu dilihat apakah satu solusi tidak berkontradiksi dengan solusi yang lain.
24 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
BAB III METODE PENELITIAN 3.1
Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian ini difokuskan pada tempat dimana implementasi energi terbarukan, khususnya PLTMH dan TSHE telah dilaksanakan lebih dari sepuluh tahun atau sebelum tahun 2000, dan yang baru dilaksanakan atau kurang dari lima tahun atau mulai tahun 2008–2012, dengan rincian lokasi sebagai berikut : •
PLTMH Lantan di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat sejak tahun 2006
•
PLTMH Gunung Sawur di Kecamatan Candipuro, Lumajang, Jawa Timur sejak tahun 1992
•
PLTMH di Mlambing, Lumajang, Jawa Timur sejak tahun 2012
•
TSHE di Kulon Progo, Yogyakarta, Jawa Tengah sejak tahun 2008
Keseluruhan penelitian dilakukan dalam tahun 2014. 3.2
Kerangka Penelitian
Penelitian ini diawali dengan studi literatur tentang implementasi energi terbarukan di Indonesia. Hasil studi literatur kemudian diidentifikasi sebagai lokasi dimana penelitian akan dilakukan. Peran inisiatif, keterlibatan, dan kepentingan berbagai pihak (para aktan) diukur dengan menggunakan metode ANT (Actor Network Theory), sedangkan untuk merumuskan strategi kesinambungan dalam pengelolaan dan adopsi PLTMH dan TSHE digunakan metode Reframing Matri (Gambar 3.1).
Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 25
Mengungkap kemandirian dan keberlanjutan pengelolaan PLTMH dan TSHE di tingkat masyarakat (Studi Literatur)
Identifikasi Lokasi, Pengelola, dan Masyarakat Pengguna PLTMH dan TSHE Aktan Human
Aktan Non Human
Analisa perkembangan kekuatan jaringan dan anti jaringan dalam adopsi PLTMH dan TSHE dengan ANT
Analisa Reframing Matrix
Merumuskan kemandirian dan keberlanjutan adopsi PLTMH dan TSHE Mengusulkan strategi dan kebijakan alternatif yang mendukung kesinambungan implementasi dan adopsi PLTMH dan TSHE di tingkat masyarakat.
Usulan Implementasi Manajerial
Gambar 3.1 Kerangka Pemikiran Konseptual
3.3 Tahapan Penelitian Tahapan penelitian ini mencakup : (1)
Studi Pustaka dilakukan dengan cara menelusuri dan menelaah berbagai literatur. , seperti jurnal ilmiah, laporan teknis atau laporan penelitian dari institusi terkait, tesis, disertasi, dan hasil penelitian lainnya, termasuk artikel dalam majalah, koran, dan sebagainya. Studi literatur ditujukan untuk mendapatkan gambaran umum tentang implementasi dan adopsi energi terbarukan di Indonesia, kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah terkait dengan implementasi energi terbarukan, khususnya PLTMH dan TSHE dan kemandirian energi di masyarakat.
(2)
Menelusuri faktor-faktor positif dan negatif dalam hubungannya dengan implementasi dan adopsi PLTMH dan TSHE di tingkat masyarakat. Hasil penelusuran pada aktan manusia akan membantu menentukan peran, inisiatif, keterlibatan, dan kepentingan yang bersangkutan terhadap implementasi dan
26 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
adopsi energi terbarukan tersebut, sedangkan hasil identifikasi terhadap aktan bukan manusia, akan membantu dalam perumusan strategi keberlanjutan proyek dan adopsi teknologi energi terbarukan tersebut. (3)
Menganalisis dan menetapkan model serta faktor-faktor yang mendukung keberlanjutan adopsi PLTMH dan TSHE.
(4)
Mengusulkan alternatif rekomendasi kebijakan terkait dengan implementasi dan adopsi PLTMH dan TSHE yang berkesinambungan guna mengembangkan Kawasan Mandiri Energi.
3.4
Data dan Responden
Penelitian ini membutuhkan data primer dan data sekunder. Data primer diambil dari sumber data di lokasi implementasi teknologi; di institusi pemilik program atau proyek dan pada pengelola teknologi PLTMH dan TSHE. Data penelitian yang dibutuhkan antara lain: jenis teknologi PLTMH dan TSHE dan proses implementasinya; pemanfaatannya oleh masyarakat; pengelolaannya; inisiatif masyarakat pengguna, kepentingan lokal dan nasional; faktor-faktor penghambat dan pendukung implementasi dan adopsi PLTMH dan TSHE. Data sekunder yang terkait dengan penelitian ini diambil dari berbagai sumber antara lain dari jurnal, buku dan laporan penelitian, baik berupa cetakan maupun dari internet. 3.5
Metoda Penelitian
Metodologi yang digunakan adalah Actor Network Theory (ANT) dan Reframing Matrix yang biasa digunakan dalam studi-studi perkembangan iptek, termasuk penyebarannya di masyarakat. ANT sangat menekankan peran jejaring, sehingga satu tokoh bisa berperan besar hanya jika dia berada dalam konfigurasi jejaring yang mendukungnya. Hal ini ditunjukkan oleh Bruno Latour, salah seorang penggagas ANT, dalam The Pasteurization of France. Louis Pasteur dianggap sebagai sejarawan dan sebagai tokoh penting yang membuat Perancis menang melawan mikroba, yang menyelamatkan industri pertanian/peternakan Perancis. Kemenangan ini dianggap lebih berarti dibandingkan kemenangan Napoleon mengalahkan lawan-lawannya. Namun, Latour menunjukkan bagaimana peran dan kondisi jejaring memungkinkan Pasteur bisa melakukan apa yang telah dilakukannya ini, sehingga ilmuwan besar lain yang tidak memiliki kondisi jejaring mendukung tidak bisa meniru apa yang telah dilakukan Pasteur. 3.6 1.
Teknik Analisis Kajian implementasi dan adopsi teknologi energi terbarukan dilakukan dengan perspektif Actor-Network Theory (ANT), mulai dari kebijakan sampai akhirnya teknologi tersebut diimplementasikan dan diadopsi, yaitu menyangkut semua proses negosiasi dan translasi antar-berbagai pihak, baik menyangkut teknologi, maupun konsep-konsep yang didifusikan. Intensitas proses negosiasi Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 27
bisa berbeda-beda tergantung dari faktor-faktor seperti jarak kekuasaan (power distance), kesempatan masing-masing untuk bertemu, ataupun itikad (terutama dari yang lebih kuat) untuk mengakomodasi kepentingan pihak lainnya. •
Negosiasi dilakukan antara berbagai pemangku kepentingan, baik dalam implementasi maupun adopsi teknologi di tingkat masyarakat. Diantara berbagai negosiasi tersebut adalah negosiasi antara pemerintah dengan masyarakat, negosiasi antara penyedia teknologi dengan masyarakat dan kondisi alam lokal. Modifikasi apa yang dilakukan penyedia teknologi agar teknologinya lebih bisa dimanfaatkan masyarakat lokal, dan negosiasi di antara masyarakat desa. Untuk teknologi PLTMH yang harus dikelola bersama, harus ada sekelompok orang yang mengelola. Bagaimana orang-orang ini dipilih? Apa kriterianya? Dan apa keuntungan mereka menjadi pengelola ini? Serta apa kewajiban warga pada kelompok pengelola ini? Apakah semuanya ditetapkan dengan jelas berdasarkan partisipasi dari bawah, atau melalui penunjukan dari aparat pemerintah?
•
Setelah teknologi diimplementasikan, maka identifikasi jejaring sosial maupun teknikal perlu dilakukan. Ini bisa dimulai dari mana saja, apakah dari orang ataupun dari benda, misalnya dari mikrohidro ataupun dari sungai, TSHE atau kayu bakar. Dengan pendekatan identifikasi problematisasi, interessement, enrolment dan mobilisasi, jejaring aktan diharapkan dapat tergambarkan dengan jelas. Semua relasi, dan bagaimana hubungan saling mempengaruhi terjadi dalam relasi ini.
•
Termasuk bentuk relasi ini adalah manfaat. Karena itu perlu dilihat orang-orang yang mendapatkan manfaat dari teknologi yang sedang dipelajari ini, juga perlu diungkap orang-orang yang mendapatkan dampak dari keberadaan difusi teknologi. Yang mendapatkan dampak positif adalah bengkel (bagi mikrohidro), atau para pengrajin gerabah (bagi TSHE).
•
Materialisasi dalam jejaring. Misalnya adanya mikrohidro, bengkel, tempat pertemuan, dan lain-lain. Law (2009) mengungkapkan pentingnya keberadaan immutable mobile, yang tidak berubah bentuk dan bisa dipindah-pindahkan. Mikrohidro yang dibuat di tempat lain, dan siap dipasang di mana saja merupakan immutable mobile. Law juga melihat pentingnya keawetan material (material durability), karena itulah, misalnya, keberadaan kantor yang dibuat khusus untuk pengelola mikrohidro menjadi penting.
•
Pelibatan berbagai pihak dalam pengambilan keputusan pada berbagai fase dari adopsi teknologi. Misalnya, pada saat perencanaan, siapa yang membuat inisiatif, siapa saja yang diajak bicara, bagaimana pendapat dan perhatian mereka didengar, jika semuanya tidak diajak bicara apa alasannya. Pengguna
28 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
kompor adalah para ibu rumah tangga, namun dalam perencanaan pembuatan dan implementasi tungku inovatif para ibu ini tidak diajak bicara. Suara ibu-ibu perlu didengar untuk melihat persepsi mereka mengenai hal ini. •
Munculnya wacana alternatif (overflowing). Ini untuk melihat respon dari orang-orang yang diabaikan suaranya atau tidak diajak bicara, apakah repon mereka menjadi pasif, atau justru menentang.
•
Setelah jejaring dikenali, maka perlu dilihat ada beberapa versi anggapan yang berkembang tentang teknologi serta jejaring sosial dan teknikal yang mendukung anggapan tersebut, dan juga kuasa (power) yang diakibatkan oleh masing-masing jejaring tersebut. Perbedaan dan ketegangan antar-kepentingan ini akan menentukan keberlanjutan teknologi yang dioperasikan.
•
Selain mengidentifikasi jejaring, evaluasi faktor-faktor terkait dengan perspektif program, perencanaan, pemangku kepentingan dan potensi dari kegiatan/projek tersebut (PLTMH dan TSHE) juga dilakukan untuk mendapatkan gambaran lebih jelas dalam perumusan strategi untuk meningkatkan kesinambungan implementasi dan adopsi teknologi tersebut oleh masyarakat. Metode yang digunakan disebut dengan Reframing Matrix (Matriks Pengerangkaan Ulang).
Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 29
BAB IV DESKRIPSI KASUS PENELITIAN DAN POTENSI ENERGI TERBARUKAN
Bab ini menampilkan tentang tinjauan lokasi penelitian dimana teknologi energi terbarukan diimplementasikan dan diadopsi oleh masyarakat setempat. Lokasi penelitian ini adalah sebagai berikut : (1) PLTMH Lantan di Lombok Tengah; (2) PLTMH Gunung Sawur dan Mlambing di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur; (3) TSHE di Kabupaten Kulon Progo.
4.1. Energi Terbarukan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Informasi umum tentang energi terbarukan di Provinsi Nusa Tenggara Barat lebih difokuskan pada kondisi saat ini dan potensi serta penggunaan energi terbarukan untuk ketenagalistrikan. Potensi sumber daya ketenagalistrikan yang ada saat ini lebih didominasi oleh penggunaan energi air (PLTMH dan PLTM) dan sinar matahari (solar cell/PLTS). 4.1.1 Kebijakan Daerah Sebelum membahas tentang kondisi dan potensi energi terbarukan untuk ketenagalistrikan di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), tulisan ini akan dimulai dengan ulasan tentang kebijakan energi terbarukan khususnya ketenagalistrikan di tingkat provinsi sebagai respon terhadap kebijakan nasional, termasuk UU No 30 Tahun 2007 tentang Energi. Dalam UU 30 Tahun 2007 pada Bab II tentang Azas dan Tujuan, Pasal 3 Bagian (f) menyebutkan bahwa dalam rangka mendukung pembangunan nasional secara berkelanjutan dan meningkatkan ketahanan energi nasional, maka tujuan pengelolaan energi antara lain agar “tercapainya peningkatan akses masyarakat yang tidak mampu dan/atau yang tinggal di daerah terpencil terhadap energi untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata dengan cara: 1. menyediakan bantuan untuk meningkatkan ketersediaan energi kepada masyarakat tidak mampu; 2. membangun infrastruktur energi untuk daerah belum berkembang sehingga dapat mengurangi disparitas antar daerah. Respon terhadap kebijakan tersebut, pemerintah Provinsi NTB mengeluarkan Kebijakan Energi Daerah (KED) dengan Keputusan Gubernur No. 110 Tahun 2007 dengan tujuan untuk: Mengarahkan upaya-upaya dalam mewujudkan penyediaan tenaga listrik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan sebagai pedoman dalam pembangunan dan pengembangan ketenagalistrikan guna mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat di Provinsi Nusa Tenggara 30 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
Barat. Tahun 2014 ini sedang disusun Rencana Umum Energi Daerah (RUED) dan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kelistrikan. Salah satu isi dari RUED adalah sasaran rasio elektrifikasi pada tahun 2025 sebesar 90% dengan target energy mix tahun 2025 skenario KED menjadi •
Minyak Bumi 23 %
•
Batubara 28%
•
Bahan bakar nabati 9%
•
Panas Bumi dan Air 38%
•
EBT Lainnya 2%
4.1.2 Ketenagalistrikan Rasio Elektrifikasi Pada Desember 2013, Rasio Elektrifikasi Provinsi NTB dibandingkan dengan Provinsi lain di Indonesia tergolong rendah yaitu 64,43 % (Gambar 4.1).
Sumber : PLN, Statistik Kelistrikan, 2014 Gambar 4.1 Rasio Elektrifikasi Indonesia Tahun 2013
Di Pulau Lombok, rata-rata rasio elektrifikasi sebesar 63,13%. Kabupaten Lombok Barat memiliki rasio terendah (50,43) diikuti oleh Lombok Tengah, Timur dan Utara. Hanya Kota Mataram yang memiliki rasio tinggi yaitu 98%, melebihi rasio nasional sebesar 80% seperti terlihat pada Tabel 4.1 berikut ini. Terdapat perbedaan besar akses listrik di tingkat rumah tangga, antara wilayah Kota dan Kabupaten. Hal yang berbeda terlihat di Pulau Sumbawa. Lima kabupaten yang ada di pulau tersebut memiliki rasio elektrifikasi yang tidak terlalu jauh berbeda. Rasio terendah dimiliki Kabupaten Bima (63,14%) dan tertinggi dimiliki Kabupaten Sumbawa Barat Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 31
(70,82%). Total rasio elektrifikasi Sumbawa sebesar 67,96%. Sedangkan total rasio elektrifikasi NTB sebesar 64,43% (Tabel 4.1). Tabel 4.1 Elektrifikasi Kabupaten dan Kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2013
RASIO ELEKTRIFIKASI DI KABUPATEN / KOTA SE PROV. NTB TAHUN 2013 No.
Kabupaten/Kota
1 1
2 Kota Mataram
2
Kab. Lombok Barat
RT Berlistrik
Jumlah Rumah Tangga (RT) **
Non PLN *
3
4
PLN **
117.103
-
5 114.855
177.967
1.188
88.552
Rasio Elektrifikasi (%) 6= (4+5/3)x100 98,08% 50,43%
3
Kab. Lombok Tengah
264.956
2.937
151.175
58,17%
4
Kab. Lombok Timur
332.808
2.261
202.729
61,59%
5
Kab. Lombok Utara
57.305
1.470
34.644
63,02%
950.139
7.856
591.955
63,13%
31.785
867
21.644
70,82%
111.547
2.193
78.994
72,78%
55.464
742
36.544
67,23%
Total Lombok 6
Kab. Sumbawa Barat
7
Kab. Sumbawa
8
Kab. Dompu
9
Kab. Bima
113.890
1.760
70.147
63,14%
10
Kota Bima
37.848
-
25.381
67,06%
Total Sumbawa
350.534
5.562
232.710
67,97%
Total Prov. NTB
1.300.673
13.418
824.665
64,43%
Data : Desember 2013 Sumber Data : * = Dinas Pertambangan dan Energi Prov. NTB ** = PT. PLN (Persero)
32 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
Sementara itu pertumbuhan rasio elektrifikasi Provinsi NTB seperti pada Gambar 4.2. 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Lombok
22%
23%
24%
26%
43%
49%
63%
Sumbawa
48%
50%
52%
52%
59%
63%
70%
Bima
33%
35%
36%
37%
46%
51%
64%
Sumber: Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi NTB (2014). Rapat Koordinasi Sektor Ketenagalistrikan Provinsi NTB. Presentasi Kepala Dinas Pertambangan dan Energi, Provinsi NTM. Mataram, tanggal 30 April 2014.
Gambar 4.2 Pertumbuhan Rasio Elektrifkasi Provinsi Nusa Tenggara Barat 2007-2013
Isu-isu lain dari energi di Provinsi NTB adalah : •
Ketergantungan yang tinggi terhadap BBM (99% Pembangkit berbahan bakar minyak fosil) dan program konversi Minyak tanah ke LPG 3 kg Untuk Kab/Kota P. Sumbawa ;
•
Potensi energi cukup tersedia, namun pemanfaatannya masih belum optimal, hal ini terutama terkait dengan biaya investasi pembangunan infrastruktur pembangkit yang mahal dan hambatan regulasi ;
•
Pemanfaatan EBT saat ini baru sekitar 1% dari pemakaian energi daerah secara keseluruhan.
•
Mengoptimalkan koordinasi, sinkronisasi dan perencanaan oleh seluruh Stakeholder dalam pembangunan ketenagalistrikan berbasis EBT maupun energi kovensional.
Untuk memenuhi target rasio elektrifikasi ini, maka dengan sumber daya yang ada sekarang, pilihan teknologi energi terbarukan yang paling diminati oleh pihak swasta dan bantuan (Hibah dari pemerintah dan PLN) adalah teknologi PLTS dan PLTMH/PLTM. Untuk PLTS, tahun 2012 telah dibangun 7 unit PLTS komunal dengan daya terpasang sebanyak 113.000 Wp dipergunakan oleh 627 KK. Satu PLTS komunal Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 33
dengan daya terpasang 1.000.000 Wp di Labangka Sumbawa dibangun dengan skema on-grid ke PLN. Untuk tahun 2013, dibangun 10 unit PLTS komunal dengan daya terpasang 185.000 Wp yang dipergunakan oleh 1.548 KK, seperti terlihat pada Tabel 4.2 dan 4.3
Tabel 4.2 Lokasi PLTS Komunal di Provinsi NTB Tahun 2012 No
Lokasi Desa
Kecamatan
Kap.Terpasang Kabupaten
Unit
Wp
Konsume n
Tahun
1
Cendi Manik
Sekotong
Lombok Barat
1
15.000
100
2012
2
Batu Jangkih
Praya Barat Daya
Lombok Tengah
1
15.000
71
2012
3
Kidang
Praya Timur
Lombok Tengah
1
15.000
103
2008
4
Sekaroh
Jerowaru
Lombok Timur
1
15.000
66
2012
5
Mata
Terano
Sumbawa
1
15.000
70
2012
6
Riamau
Wawo
Bima
1
15.000
100
2012
7
Buwun Mas
Sekotong
Lombok Barat
1
23.000
120
2012
8
Labangka I
Labangka
Sumbawa
1
1.000.000
On grid
2012
8
1.113.000
627
Total
Sumber : Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi NTB (2014). Rapat Koordinasi Sektor Ketenagalistrikan Provinsi NTB. Presentasi Kepala Dinas Pertambangan dan Energi, Provinsi NTM. Mataram, tanggal 30 April 2014.
Tabel 4. 3 Lokasi PLTS Komunal di Provinsi NTB Tahun 2013 Kapasitas Terpasang
Lokasi
No
Konsumen
Tahun
Desa
Kecamatan
Kabupaten
Unit
Wp
1
Akar-Akar
Bayan
Lombok Utara
1
20.000
170
2013
2
Batujangkih
Praya Barat Daya
Lombok Tengah
1
15.000
251
2013
3
Lembah Suren
Sekotong
Lombok Barat
1
15.000
130
2013
4
Pusu
Lenggudu
Bima
1
30.000
300
2013
5
Serai Ruma
Lenggudu
Bima
1
15.000
157
2013
6
Bau Desa
Orong Telu
Sumbawa
1
30.000
150
2013
34 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
7
Maci
Terano
Sumbawa
1
15.000
120
2013
8
Sunut Sekaroh
Jerowaru
Lombok Timur
1
15.000
110
2013
9
Bt. Tepak Akar2
Bayan
Lombok Utara
1
15.000
70
2013
10
Talonang
Sekongkang
Sumbawa Barat
1
15.000
90
2013
10
185.000
1.548
Total
Sumber : Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi NTB (2014). Rapat Koordinasi Sektor Ketenagalistrikan Provinsi NTB. Presentasi Kepala Dinas Pertambangan dan Energi, Provinsi NTM. Mataram, tanggal 30 April 2014.
Untuk pengembangan PLTM dan PLTMH oleh pihak swasta dengan skema IPP (Independen Power Producers) telah direncanakan di 26 titik lokasi dan sebagian sedang dalam proses pelaksanaan. Total daya energi yang dihasilkan sebesar 67,13 MW, seperti terlihat pada Tabel 4.5). Tabel 4.5 Rencana PLTM dan PLTMH oleh Swasta dengan skema IPP Nama PLTM/H
Lokasi
Santong
Desa Santong, Kec.Gangga,KLU
Kokok Putih
Pengembang
Status per 31 Maret 2014
0,80
PLN PIKITRING NUSRA
Sudah Komisioning Test
Desa Bilok Petung, Kec. Sembalun Kab. Lotim.
3,80
PT Nusantara Indo Energi (NIE)
Sudah Operasional
Kokok Putih
Desa Loloan, Kec. Bayan KLU
1,37
PT Tirta Energi Hjau (TEH)
-
Pembebasan lahan Proposal & FS
Kokok Segara
Desa Bentek, Kec.Gangga , KLU
5,60
PT Suar Investindo Capital
-
Sudah Komisioning Test Finishing Kontruksi
Kukusan
Desa Mamben,Kec. Wanasaba, Kab. Lotim
Bintangbano
Kab.Sumbawa Barat
Kapasitas (MW)
0,20
±8
PT Persada Karya Tama PT. Restu Bumi Persada
-
Sudah Operasional
-
Presentasi awal Proposal & FS
Kali Nyet Sesaot
Desa Sesaot, Kec. Narmada, Kab. Lobar
1
PT. Tirtadaya Rinjani
Sudah Operasional
Kokok Jangkok
Desa Cakra , Kec. Sudubaya, Kota MTM
0,60
PT. Tirtadaya Rinjani
Sudah Operasional
Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 35
Kokok Kumbi
Desa Lembah Sepage, Narmada, Kab. Lobar
Santong
Desa Santong, Kec.Gangga,KLU
Babak I
Lantan, Batukliang Utara Loteng
1,3
1 0,2
PT. Sumber Daya Investasi. PT. Lombok Energi PT. Sumber Dana Investasi
Tahap Kontruksi
Tahap Survey Potensi dan FS Konstruksi Awal
Babak II
Aik Berik, Tratak, Batukliang Utara Loteng
1
PT. Sumber Dana Investasi
Konstruksi Awal
Kokok Putih
Desa Sajang, Kec. Sembalun, Kab. Lotim
1
PT. Sembelia Daya Bangkit
Kokok Putih / Sajang
Desa Belok Petung, Kec. Sembalun, Kab. Lotim
3
PT Nusantara Indo Energi (NIE)
Proposal dan FS
Kokok Sembelia
Desa Sembelia, Kec. Sembelia, Kab. Lotim
2
PT. Tirta Daya Rinjani
- Permohonan ijin pinjam pakai kawasan hutan - Proposal & FS
Kokok Beburung
Desa Obel-Obel Belanting, Kab. Lotim
3
PT Nusantara Indo Energi (NIE)
Tahap Survey Potensi Awal
Kokok Batu Empak
Desa Obel-Obel Belanting, Kab. Lotim
1
PT. Energi Lombok
Tahap Survey Potensi Awal
Narmada
Peninjauan, Narmada, Kab. Lobar
0,1
PT. PLN (Persero) Wil NTB
Sudah Operasional
PLTM Brang Rhee
Sumbawa
4,4
PLTM Brang Rhea
Sumbawa
PLTMH Batu Bedil
Permohonan ijin pinjam pakai kawasan hutan Proposal & FS
Proses Perijinan
PLTM Brang Rhee
6,34
FS
PLTM Brang Rhea
Lombok Barat
0,6
FS
PLTMH Batu Bedil
PLTMH Pringgarata
Lombok Tengah
0,3
FS
PLTMH Pringgarata
PLTMH Karang Bayan
Lombok Barat
1,5
FS
PLTMH Karang Bayan
PLTMH Nirbaya
Lombok Barat
0,7
FS
PLTMH Nirbaya
PLTA Brang Beh
Sumbawa
FS, PLN
PLTA Brang Beh
18
36 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
PLTMH Madayin Total
Lombok Timur
0,74
Proses
Perijin an
PLTMH Madayin
67,13
Sumber : Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi NTB (2014). Rapat Koordinasi Sektor Ketenagalistrikan Provinsi NTB. Presentasi Kepala Dinas Pertambangan dan Energi, Provinsi NTB. Mataram, tanggal 30 April 2014.
Program Listrik Pedesaan (Prolindes) Provinsi Nusa Tenggara Barat Program listrik perdesaan adalah kebijakan Pemerintah dalam bidang ketenagalistrikan untuk perluasan akses listrik pada wilayah yang belum terjangkau jaringan distribusi tenaga listrik di daerah perdesaan. Program ini merupakan penugasan Pemerintah kepada PLN untuk melistriki masyarakat perdesaan yang pendanaannya diperoleh dari APBN, dan diutamakan pada Provinsi dengan rasio elektrifikasi yang masih rendah. Landasan hukum dari Prolindes adalah UU Nomor 30 / 2009 tentang Ketenagalistrikan pada Pasal 4, yaitu : 1) Untuk penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1). Pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan dana untuk : a. Kelompok masyarakat tidak mampu; b. Pembangunan sarana penyediaan tenaga listrik didaerah yang belum berkembang; c. Pembangunan tenaga listrik di daerah terpencil dan perbatasan; d. Pembangunan listrik perdesaan Selain itu, Prolindes juga menjawab tujuan dari UU No 30 Tahun 2009 tentang ketenagalistrikan, di mana Pembangunan ketenagalistrikan bertujuan untuk menjamin ketersediaan tenaga listrik dalam jumlah yang cukup, kualitas yang baik, dan harga yang wajar dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata serta mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Selain itu, pemanfaatan Sumber Energi Primer : Sumber energi primer yang terdapat di dalam negeri dan/atau berasal dari luar negeri harus dimanfaatkan secara optimal sesuai dengan Kebijakan Energi Nasional untuk menjamin penyediaan tenaga listrik yang berkelanjutan Pemanfaatan sumber energi primer harus dilaksanakan dengan mengutamakan sumber energi baru dan energi terbarukan Pemanfaatan sumber energi primer yang terdapat di dalam negeri diutamakan untuk kepentingan ketenagalistrikan nasional. Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 37
Rencana Program Listrik Perdesaan Untuk TA. 2014 sebesar Rp. 2,312 Triliun melalui perluasan jaringan dengan pembangunan Jaringan Tegangan Menengah (JTM) sepanjang 3.350 km, Jaringan Tegangan Rendah (JTR) sepanjang 3.363 km dan Gardu Distribusi sebanyak 2.418 unit kapasitas 148,895 MVA serta Program Listrik Murah dan Hemat dengan jumlah Rumah Tangga Sasaran direncanakan sebanyak 95.100 RTS (Rumah Tangga Sasaran) Proses pembangunan listrik pedesaan sendiri sebagai berikut : •
DIPA disetujui oleh pemerintah
•
Ada perencanaan pembangunan jaringan listrik pedesaan
•
Dilakukan survey lokasi
•
Ada perhitungan Rencana Anggaran dan Biaya
•
Ada proses lelang
•
Pembangunan jaringan listrik pedesaan
Sedangkan proses penyambungan listrik ke Rumah Tangga Sasaran (RTS) adalah sebagai berikut : •
Volume dan Nilai tercantum dalam DIPA
•
Satker Lindes mengusulkan alokasi RTS kepada Pemda Tk I, kemudian oleh Pemda Tk I dilanjutkan ke Pemda Tk II
•
Untuk mempercepat data RTS, sambil menunggu data Resmi dari Pemda Tingkat I, secara parsial SATKER LISDES berkoordinasi dengan Kepala bidang Energi Tingkat I dan Tingkat II
•
Volume per kecamatan dari Kabupaten/Kota dikoordinasi dengan Pemda Tingkat I
•
Penyusunan RAB dilanjutkan dengan proses lelang
•
Pemberitahuan kepada PLN Area dan Pemda Kabupaten/Kota terkait adanya kegiatan pembangunan RTS
Sementara itu, untuk tahun 2014, Provinsi NTB mendapatkan target sebanyak 3500 RTS (rumah tangga sasaran) untuk listrik gratis dengan total nilai Rp. 7,875,000,000. Beberapa kendala yang ditemui dalam program listrik pedesaan di Provinsi NTB antara lain: •
Kesulitan mendapatkan Perizinan dari Pemerintah, Pemerintah Daerah dan Instansi Terkait Jaringan Listrik Desa yang Melintasi hutan lindung dan perkebunan
38 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
•
Permintaan Ganti Rugi (Lahan/Tanaman) dari Masyarakat
•
Lokasi Semakin Sulit dijangkau
•
Infrastruktur jalan yang belum memadai
•
Keterbatasan Pendanaan yang tersedia
Koordinasi dan sikronisasi yang diperlukan daerah antara lain : a. Permohonan dari Pemkab/ Pemkot / Desa / Dusun untuk penambahan jaringan distribusi listrik (JTM/JTR) ; b. Telah dan akan adanya pembangunan infrastruktur pembangkit listrik berbasis Energi Baru dan Terbarukan yang dibangun para pihak a.l. DitJen EBTKE, PT. PLN, PEMDA, KPDT dengan Program Prolisdes ; c. Perencanaan infrastruktur kelistrikan antar pemangku amanah sehingga tidak terjadi tumpang tindih pembangunan jaringan kelistrikan di masyarakat. Beberapa permasalahan dalam membangun jaringan listrik pedesaan sebagai berikut: a. Perijinan untuk penanaman Tiang Beton dan penempatan Lokasi Gardu Distribusi b. Perijinan untuk perambasan pohon yang terkena pembangunan Jaringan Distribusi c. Hilangnya Material Jaringan Distribusi (kabel inlet/outlet di Gardu, Kabel treck schoor di Jaringan, dll) Permasalah yang ditemui dalam penyambungan listrik ke Rumah Tangga Sasaran (RTS) antara lain : a. Data penerima RTS untuk Program penyambungan dan instalasi listrik gratis tidak bisa cepat diterima dari pemerintah Kabupaten/Kotamadya terkait b. Nama yang diusulkan berbeda dengan nama di KTP c. Biaya tambahan, karena panjang SR melebihi 40 meter d. Calon penerima prioritas RTS terkadang tidak sesuai kriteria Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi NTB berharap bahwa setiap tenologi ET dimasyarakat yang rusak atau memerlukan perbaikan dengan dana besar dapat dipenuhi melalui DAK (Dana Alokasi Khusus) untuk energi. Sayangnya dalam kasus PLTMH Lantan, Dinas Energi Kabupaten Lombok Tengah tidak memiliki DAK untuk tahun 2014.
Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 39
4.1.3 Tinjauan Umum Desa Lantan dan Ketenagalistrikannya Desa Latan terletak di wilayah Kecamatan Batukliang Utara, Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Desa Lantan memiliki luas 217.5 ha dan berada di sekitar kawasan hutan dan Gunung Rinjani. Salah satu sungai yang debit airnya relatif stabil setiap waktu dan melintasi Desa Lantan adalah Kali Babak, dengan debit 990 liter/detik dan memiliki net head 15 meter. Jumlah penduduknya sebanyak 5.245 jiwa (2.397 L dan 2.848 P) dan seluruhnya beragama Islam. Sebagian besar warganya adalah penggarap tanah, buruh bangunan, dan buruh pertambangan galian C. Sebagian kecil peternak sapi perah dan ayam ras. Sebagian besar berpendidikan SD (30%) dan SLTP (20%) dan buta huruf (30%). Hanya 10 orang berpendidikan Diploma dan S1. Pada tahun 2013, jumlah penduduk sebanyak 5294 jiwa. Sampai Maret 2014, sarana ekonomi seperti bank dan pasar belum ada. Jarak ke pasar terdekat (ke pasar di kecamatan adalah 8 Km). Koperasi yang telah beroperasi saat ini adalah KSU Mele Maju, dengan bentuk jasa yang ditawarkan seperti simpan pinjam dan jasa kelistrikan. Terdapat 9 buah industri bahan bangunan, dan 4 buah industri makanan. Sampai tahun 2006, Desa Lantan tidak memiliki aliran listrik. Semua penduduk menggunakan lampu minyak tanah. Tahun 2006, melalui Program Listrik Perdesaan (Prolindes), PT. PLN Wilayah NTB bekerjasama dengan Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) melalui Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi NTB memulai rencana pembangunan PLTMH. Disain pembangunan PLTMH dilakukan oleh Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi NTB. Bangunan sipil dilaksanakan oleh PT. LB dan Turbin dibeli dari PT H di Bandung. Jenis Turbin yang digunakan adalah tubin cross flow runner berdiameter 500 mm dan lebar runner 650 mm, dengan efisiensi turbin sekitar 76%. Listrik yang dihasilkan dari PLTMH ini sebanyak 100 kW dan digunakan untuk melistriki sekitar 800 rumah di Dusun Rerantik, Pemasir, Pondok Komak, Endut Tojang, Pondok Gedang, Lantan Duren, dan Dusun Lantan Daye. Panjang jalur utama transmisi listrik dari rumah pembangkit menyusuri wilayah Dusun Rerantik sepanjang 1500 m. Pemeliharaan PLTMH sampai saat ini masih melibatkan PLN Provinsi NTB. Proses penyiapan lahan dan pembentukan kelembagaan difasilitasi oleh Kantor Pertambangan dan Energi Kabupaten Lombok Tengah dengan menyelenggarakan musyawarah yang diikuti oleh masyarakat yang mewakili berbagai kelompok. Pendampingan saat pembentukan kelembagaan juga dilakukan oleh MHPP (Mini Hydro Power Project) dengan menggandeng LSM lokal yaitu YKSSI (Yayasan Keluarga Sehat Sejahtera Indonesia). Proses pembentukan lembaga pengelola dilaksanakan setelah peserta musyawarah memahami peran dan tugas lembaga pengelola dalam melestarikan pemanfaatan PLTMH. Setelah pengelola terbentuk, tahap berikutnya adalah pengelola melakukan sosialisasi aturan, tarif, dan kesepakatan dalam
40 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
pemasangan jaringan listrik, tarif listrik bulanan, dan sistem administrasi untuk tujuan tranparansi terhadap masyarakat. Listrik PLTMH dengan daya 100kW menyala pada awal tahun 2008, Pada awalnya, tarif listrik menggunakan sistem paket. Paket yang ditawarkan adalah paket A seharga Rp 25.000 untuk pemakaian 25 kWh, paket B seharga Rp 35.000 untuk pemakain 50 kWh. dan paket C sebesar Rp 45.000 dengan pemakian 75 kWh dan jika memakai di atas yang sudah ditentukan maka akan dikenakan biaya sebesar Rp 500 per kWh. Namun selanjutnya sistem ini disesuaikan dengan mengadopsi perhitungan tarif PLN. dengan perhitungan sebagai berikut: Beban Rp 13.500. Biaya blok 1 (0-20) kWh sebesar Rp 385. Biaya blok 2 (20-40)kWh sebesar Rp 445 dan biaya blok 3 di atas 400 kWh sebesar Rp 495 dan PJU 10% dari total pemakaian. Sehingga sampai saat ini tarif listrik yang diberlakukan di PLTMH Lantan diadopsi dari tarif dasar listrik yang yang digunakan PT. PLN dan telah disahkan melalui Surat Keputusan Bupati Lombok Tengah. Listrik PLTMH dikelola oleh Koperasi mele Maju yang beranggotakan sekitar 400 orang. Hampir semuanya merupakan warga Desa Lantan. Pada saat ini, pengelola koperasi berjumlah 11 orang, yang terdiri dari pengurus koperasi 3 orang, pengawas 3 orang, unit PLTMH 3 orang, operator 2 orang, dan Kepala desa sebagai pembina koperasi. Tahun 2012, PLTMH kedua dibangun dengan kapasitas sebesar 35 kW. Sebagian listrik dari yang 35 kW belum dapat disalurkan ke masyarakat karena masih mengalami kerusakan travo, dan hingga saat ini belum beroperasi karena belum dibetulkan oleh Dinas ESDM Provinsi NTB. Per Desember 2013, PLTMH pertama yang memiliki daya 100 kW juga tidak beroperasi karena mengalami masalah dengan runner as (patah). Karena ada indikasi konflik kepentingan dengan PLTMH, dan besarnya biaya perbaikan PLTMH, yang tidak memungkinkan koperasi untuk membiayai perbaikannya, maka PLTMH yang rusak (100kW) tersebut dikembalikan ke Dinas PU dan Energi, Kabupaten Lombok Tengah oleh Kepala Koperasi Mele Maju. Sejak Desember 2013 sampai April 2014, seluruh pelanggan listrik PLTMH tidak mendapatkan pasokan listrik, karena PLTMH tidak beroperasi. Masyarakat pelanggan listrik PLTMH ini kemudian sebagian nyantol listrik ke beberapa rumah yang menyambung listrik PLN di Dusun Selojan. Sebagian lagi melistriki rumah mereka dengan generator dan sebagian kecil kembali tidak berlistrik. Maret 2013, Kepala Desa meminta PLN untuk memberikan sambungan listrik ke Desa Lantan. Hampir sebagian besar penduduk telah mendaftar listrik ke PLN. Untuk pelanggan PLTMH, mereka hanya dikenakan biaya sebesar Rp. 950.000 untuk daya 900 Watt. Sedangkan yang bukan berasal dari pelanggan PLTMH mereka dikenakan Rp. 1.350.000 untuk pemasangan baru dengan daya 900 Watt. Diharapkan pada bulan Mei 2014 listrik dari PLN ini telah menyala. Pada bulan April 2014, seluruh jaringan listrik Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 41
PLTMH telah diambil alih oleh PLN dan akan segera difungsikan sebagai sambungan listrik PLN.
4.2 Kabupaten Kulon Progo, D.I. Yogyakarta 4.2.1 Informasi Umum Tungku Sehat Hemat Energi (TSHE) di Kulon Progo Dusun Nglambur dan Bleder merupakan dua dusun yang berada di Kabupaten Kulon Progo. Sejak jaman dahulu dusun-dusun ini sudah menggunakan tungku yang berupa tungku tanah dengan menggunakan bahan bakar kayu, karena dusun-dusun ini memiliki sumber daya yang mudah didapat dan tanpa membayar sebagai bahan bakar, yaitu ranting pohon, kayu, dan biomassa lainnya. Tungku ini biasa disebut tungku tradisional yang digunakan untuk memasak dan memproduksi gula merah ataupun gula semut. Sejak tahun 1990an, tungku ini digunakan untuk membuat gula merah karena memang sebagian besar penduduk desa ini penghasil gula merah dari nira kelapa. Sejak tahun 2009, tungku ini juga telah digunakan untuk menghasilkan gula semut. Gula merah maupun gula semut yang berkualitas dengan bahan baku nira dari pohon kelapa merupakan salah satu potensi unggulan yang sangat prospektif untuk dikembangkan di dusun-dusun di Kulon Progo adalah gula merah. Tungku tradisional yang digunakan adalah tungku yang mempunyai tiga lubang kuali, dan tidak memiliki alat pengeluaran asap (cerobong), sehingga asap hanya mengepul di dalam ruangan dapur. Selain itu, tungku tradisional ini masih memiliki celah di lubang kuali, sehingga panas api tungku dapat keluar. Dampak negatif yang ditimbulkan dari tungku ini adalah boros kayu bakar, mengeluarkan asap yang mengepul di dalam ruangan dapur, terjadi polusi, menyebabkan penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) dan mata, mengotori ruangan dapur, api tungku dapat keluar yang menyebabkan proses pemasakan kurang sempurna sehingga boros waktu. Dengan adanya dampak negatif tersebut, sejak tahun 2000-an, Yayasan Dian Desa (YDD) memberi percontohan TSHE yaitu tungku yang tidak menghasilkan banyak asap bagi penduduk yang berada di dapur. YDD merupakan suatu organisasi non pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yang aktif dalam kegiatan pengembangan masyarakat pada umumnya dan mempunyai fokus khusus untuk mengembangkan teknologi tepat guna, terutama bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah, supaya dapat meningkatkan taraf hidup mereka melalui proses partisipasi dan swadaya. Untuk mengembangkan TSHE, YDD melakukan pelatihan kepada masyarakat dan produsen gerabah untuk membuat tungku tersebut. TSHE merupakan penyempurnaan dari tungku tradisional, adalah tungku yang memiliki penutup celah pada lubang kuali. Tungku ini memiliki penutup celah pada lubang kuali, sehingga panas tidak akan keluar, proses pemasakan lebih cepat, dan lebih sedikit menghabiskan kayu bakar. TSHE lebih bersih karena memiliki cerobong 42 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
asap, yang langsung dihubungkan keluar ruangan, sehingga asap hasil pemasakan tidak mengotori ruangan dapur (Gambar 4.1 di bawah). Dampak positif lain yang akan dirasakan jangka panjang adalah terhindarnya proses penggundulan hutan serta terjaminnya kesehatan masyarakat. Proses penebangan pohon di hutan untuk memenuhi kebutuhan kayu akan dapat dikurangi karena kayu sebagai bahan bakar tungku yang dibutuhkan akan lebih sedikit. Selain itu, penyakit paru-paru dan saluran pernafasan, yang banyak menjangkiti masyarakat desa dapat terhindarkan, dengan adanya dapur yang lebih bersih dan bebas asap.
Dapur dengan Tungku Tradisional
Dapur dengan TSHE
Sumber : Suprapti (2014) Gambar 4.1 Dapur dengan Tungku Tradisional dan Dapur dengan TSHE
Perkembangan Tungku Sehat Hemat Energi (TSHE) di Kabupaten Kulon Progo Yogyakarta Sejak tahun 1990, YDD sudah melakukan kegiatan TSHE. Kegiatan ini dikembangkan di desa-desa yang masih menggunakan kompor tungku tradisional sebagai alat memasak. Pada tahun 2008, TSHE mulai diperkenalkan melalui program “Penguatan Kelompok Pengrajin Gula Merah” di Kabupaten Kulon Progo. Program ini dilaksananakan dengan cara kerja sama antara koperasi gula kelapa dan HIVOS (lembaga donor dari Belanda). Program ini disebut program 1000 tungku. YDD hanya bertindak sebagai tenaga teknis untuk tungku. Untuk kelancaran, program ini dilengkapi dengan Technical Assistance (TA) yang dilakukan oleh LESMAN, SWISS CONTACT sebagai Organic Quality management strengthening. Dalam pengembangan program ini, YDD kerja sama dengan koperasi Jatiroto, yaitu koperasi yang memfasilitasi para pengrajin gula merah di Kulon Progo. Sasaran pengembangan wilayah potensi gula kelapa ada di 5 kecamatan sekabupaten Kulon Progo yaitu: Samigaluh, Lendah, Kokap, Girimulyo, dan Kalibawang. Skema yang digunakan adalah dana bergulir. Sampai saat ini, baru sekitar 170 tungku yang dapat difasilitasi oleh YDD. Cara kerja program ini adalah tungku dibeli dengan dana dari Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 43
Hivos dan diberikan ke industri gula semut/gula kelapa, kemudian industri gula semut/gula kelapa harus menyicil dengan cara membayar gula ke koperasi. Menurut salah satu agen pengubah, bahwa program ini tidak berhasil seperti yang direncanakan. Hal itu disebabkan karena pembayaran cicilan seret dan gula yang seharusnya diserahkan ke koperasi untuk menyicil, malahan dijual di luar koperasi untuk mendapatkan uang tunai yang digunakan untuk kebutuhan kehidupan penderes. Dari 5 kecamatan sasaran program pengembangan tungku, hanya di Kecamatan Lendah dan Kecamatan Samigaluh yang bisa berkembang sampai detik ini. Kedua kecamatan ini sampai sekarang masih aktif mengembangkan tungku dan membangun pengorganisasian melalui kelompok-kelompok pengembang tungku. Khusus untuk memasyarakatkan dan mengembangkan TSHE, YDD mempunyai peranan yang sangat penting. Dalam pengembangan tungku, YDD memberikan bantuan teknis, desain, dan pengetahuan kepada produsen tungku seperti Pak S dan implementor atau tenaga teknis yang akan membangun tungku di masyarakat. Saat ini, TSHE dari Kecamatan Samigaluh, Kulon Progo sudah bisa berkembang sampai di Kabupaten Magelang, yang dibangun melalui kelompok-kelompok yang ada di tiap-tiap pedukuhan yang ada. Dalam mewujudkan penggunaan TSHE di Indonesia umumnya dan Kulon Progo khususnya tidaklah mudah. Di Indonesia mempunyai kondisi geografis, etnis, dan budayanya yang beragam, hal itu merupakan tantangan tersendiri dalam mencapai solusi memasak menggunakan TSHE secara universal. Desain TSHE saat ini masih kurang atau sangat sedikit pilihan desain-desain yang ada terutama dengan harga yang terjangkau 3. Selain itu, rantai pasar tungku yang ada umumnya skala kecil, sederhana, tradisional, dan lokal atau bahkan di banyak daerah tidak ada sama sekali, demikian juga di Kulon Progo hanya pak S saja yang memproduksi TSHE, sehingga untuk pengguna yang jauh dari tempatnya akan kesulitan pengangkutan dan harganya akan lebih mahal karena harus membayar biaya pengangkutan. Dan, juga pengguna tungku biomassa di Indonesia umumnya dan Kulon Progo khususnya tidak tahu dan tidak menyadari adanya dampak negatif polusi dalam ruang terhadap kesehatan, hal ini karena faktor pendidikan. Selain itu, ada juga masalah-masalah yang dihadapi oleh YDD dalam membangun keberlanjutan tungku di Kulon Progo selama ini lebih bersifat socio-cultural, sedangkan masalah teknis hampir bisa diatasi. Dan juga, ada masalah yang sangat berpengaruh yaitu informasi tidak berjalan dengan baik dan masyarakat nya malu untuk bertanya, sehingga hanya orang-orang tertentu yang mendapatkan tungku dari HIVOS.
3
Aliansi Tungku Indonesia, www.tungkuindonesia.org/id/page/60/laporandan publikasi.html, 2013
44 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
Peran Yayasan Dian Desa dalam Pengembangan TSHE YDD saat ini telah menjadi lembaga sertifikasi tungku di Indonesia. Kegiatan yang dilakukan adalah uji kelayakan tungku menurut kriteria tertentu. Uji kelayakan dan studi evolusi tungku telah membawa pada model tungku terakhir berbentuk portable. Tujuan kegiatan YDD ini adalah untuk menjaring desain TSHE di Indonesia. Selain sebagai technical assistance dalam bidang tungku, YDD juga dipercaya KESDM dan WB untuk membangun jejaring tungku. ATI - Aliansi Tungku Indonesia adalah jejaring yang baru dibangun pada awal 2014 ini, saat ini keaggotaannya baru sekitar 23 orang yang terdiri dari peneliti, produsen, pengamat dan pemerhati serta pengguna dari berbagai institusi dan LSM. Saat ini, Laboratorium Tungku yang ada di YDD sedang dikaji untuk mendapatkan ISO. Kajian dan perbaikan laboratorium tungku untuk mendapatkan ISO ini dibantu oleh Tim GERES (Perancis) Asia yang berdomisili di Cambodia. Beberapa donor asing yang bergerak dalam bidang tungku diantaranya : 1. World Bank melalui YDD dan Inotek 2. SNV dari Belanda membantu disain dan implementasi tungku dalam bentuk pilot project atau percontohan 3. ADB dan WB memberikan technical assistance 4. IDRC (Canada) mengenalkan tungku melalui skema pasar 5. Arecop (Belanda) dalam hal jejaring
Seluruh bantuan dari donor asing ini diberikan dalam bentuk hibah. Selain akses energi untuk masyarakat, bantuan dari donor asing ini umumnya menekankan target kesehatan, lingkungan, dan peningkatan taraf hidup masyarakat. Dalam kegiatan sekarang ini, pemerintah bertindak sebagai PMO (Project Manager Office) yaitu Dirjen EBTKE untuk direktorat Bioenergi. KESDM juga membentuk Technical Commitee (20 orang) dari berbagai instansi. Program seperti ini diterapkan di Indonesia, China, Laos, dan Cambodia.
4.2.2 Perkembangan dan Kebijakan TSHE Sejak awal tahun 1980 berbagai organisasi di Indonesia telah bergerak dalam pengembangan dan penyebaran Tungku Sehat Hemat Energi (TSHE). Dalam menangani berbagai kegiatan untuk meningkatkan kehidupan rumah tangga di Indonesia melalui program TSHE, sejarah menunjukkan bahwa sudah terjalin kerja sama antara Lembaga Swadaya Masyarakat, Pemerintah, dan Perguruan Tinggi. Sebelum terbentuknya ATI ini kegiatan-kegiatan yang terkait dengan TSHE di Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 45
Indonesia sudah dikoordinasikan melalui Jaringan Kerja Tungku Indonesia (JKTI). Selain itu pada tingkat Asia, juga ada jaringan kerja yang menangani masalah terkait penggunaan bahan bakar biomasa dan tungku yang dikenal sebagai ARECOP (Asia Regional Cookstove Program). Kedua jaringan kerja ini di tangani dan berkantor di Yayasan Dian Desa, sebuah LSM yang berkedudukan di Yogyakarta, Indonesia 4. Dimulai tahun 2012, ada upaya kolaboratif dari pemerintah Indonesia dan Bank Dunia yang diberi nama Inisiatif TSHE Indonesia (CSI), dengan menggunakan pendekatan terpadu untuk menciptakan kondisi yang kondusif untuk mengembangkan pasar TSHE. Program inisiatif TSHE Indonesia (CSI) terdiri dari empat tahapan program: (1) inventerisasi awal dan pengembangan strategi implementasi, (2) penguatan institusi, pembangunan kapasitas, dan melaksanakan pilot program dengan strategi yang dikembangkan, (3) memperluas jangkauan implementasi program, dan (4) evaluasi program dan penyebaran hasil pembelajaran 5. Untuk mendukung program inisiatif TSHE Indonesia, dibentuk Aliansi Tungku Indonesia (ATI), yang bekerja sama dengan Departemen Bioenergi Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Bank dunia, dengan dukungan dana dari Australian for International Development (AusAid) dan Asia Sustainable and Alternative Energy Program (ASTAE). ATI merupakan wadah untuk semua yang memiliki perhatian pada polusi udara di rumah tangga untuk bisa berjejaring, berkomunikasi, dan berbagi pengetahuan, pengalaman, teknologi, dan isu-isu terkait lainnya dalam rangka meningkatkan akses masyarakat di Indonesia untuk bisa memasak dengan TSHE dan mewujudkan memasak bersih tanpa polusi 6. Kebijakan yang secara langsung mempromosikan pengembangan dan penggunaan energi bersih dan modern didukung dengan terbitnya Peraturan No. 1077/Menkes/PER/5/2011 tentang masalah polusi di dalam ruang rumah. Namun demikian, perhatian yang diberikan baru terbatas pada kebutuhan akan kualitas udara dalam ruang, menghirup asap dari kegiatan memasak sebagai salah satu faktor yang menyebabkan penyakit pernapasan pada anggota keluarga. Saran peningkatan kesehatan dengan mengalihkan bahan bakar (dari minyak tanah ke liquefied petroleum gas [LPG]), menjadi tidak praktis karena ada sekitar 40 persen rumah tangga di negara ini yang masih bergantung pada bahan bakar biomassa untuk memasak. Selain itu, harga LPG masih tidak terjangkau oleh beberapa rumah tangga di perdesaan, dan jaringan distribusi LPG terbatas pada daerah perkotaan dan pinggiran kota sehingga sulit diakses oleh rumah tangga perdesaan. Bank Dunia (2013) menjelaskan tidak ada satupun perundang-undangan atau kebijakan yang secara
4
http://www.tungkuindonesia.org/id/page/54/Latar-Belakang.html
5
...........2013. Indonesia Menuju Akses Universal Memasak Bersih Tanpa Polusi Aliansi Tungku Indonesia, www.tungkuindonesia.org/id/page/60/laporandan publikasi.html, 2013
6
46 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
khusus membahas mengenai bahan bakar memasak dan tungku. Padahal hampir separuh penduduk Indonesia menggunakan bahan bakar biomassa untuk memasak. Di awal tahun 1990, Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi (DJLPE) untuk pertama kalinya memperkenalkan konsep TSHE untuk pasar. DJLPE meluncurkan proyek yang dipusatkan pada kompetisi desain TSHE sederhana, pelatihan produsen dan pengembangan tolok ukur kinerja. Upaya ini tidak berlanjut dan rumah tangga terus bergantung pada tungku tradisional. Dalam beberapa tahun terakhir, sektor swasta mulai mengembangkan dan memproduksi TSHE, dengan focus pada efisiensi bahan bakar dan pengurangan emisi. Namun tidak ada pasar untuk tungku ini, produksi hanya terbatas pada tahap percobaan atau hanya untuk memenuhi permintaan. Tanpa adanya intervensi, hampir tidak mungkin TSHE modern akan mencapai pasar atau rumah tangga. Bahkan dengan adanya minat baru di sektor swasta, program dan aktivitas TSHE sederhana masih kecil, terpisah dan bersifat sporadis. Baru-baru ini, berbagai lembaga bantuan dunia dan LSM, termasuk Mercy Corps, United Nations Development Programme (UNDP)), dan Netherlands Development Organisation (SNV)/ Humanist Institute for Development Cooperation (HIVOS), telah memulai program TSHE. Namun ruang lingkup dan kegiatan program, seperti program sebelumnya, masih terbatas pada wilayah tertentu. Saat ini, mereka belum mampu menciptakan pasar yang berkelanjutan atau menarik minat rumah tangga akan TSHE. Sebagian besar program ditargetkan di Pulau Jawa, sebagian sumatera dan beberapa wilayah di nusantara. Sayangnya, tak ada satupun yang memperluas jaringan distribusinya untuk menciptakan pasar komersial untuk berbagai model TSHE (Bank Dunia, 2013).
4.3 Kabupaten Lumajang, Jawa Timur 4.3.1 Informasi Umum Energi Terbarukan di Kabupaten Lumajang Jumlah curah hujan tahunan di kabupaten Lumajang berkisar antara 1.500 – 2.500 mm. Kabupaten ini terdiri dataran yang subur karena diapit olen tiga gunung berapi, yaitu Gunung Semeru, Gunung Bromo, dan Gunung Lamongan. Batas-batas wilayah Kabupaten, adalah sebelah barat: Kabupaten Malang, sebelah utara: Kabupaten Probolinggo, sebelah selatan: Samudera Indonesia, dan sebelah Timur: Kabupaten Jember. Gunung Semeru dan Gunung Lamongan yang mengapit Lumajang ini menjadi kawasan tangkapan air hujan, yang kemudian disalurkan menjadi air tanah, sungai maupun beberapa danau. Lumajang mempunyai 31 sungai dan 6 air terjun, juga terdapat 5 danau (Ranu) di kecamatan Klakah dan Senduro. Dengan keadaan hidrologi
Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 47
tersebut, Kabupaten Lumajang mempunyai potensi tenaga air yang digunakan untuk membangkitkan energi terbarukan khususnya PLTMH. Saat ini Pemerintah Daerah Kabupaten Lumajang sedang melakukan pengembangan pemanfaatan sumber energi baru terbarukan melalui pemanfaatan sumber daya air yang ada di desa-desa yang belum berlistrik. Pada tahun 2013, 20% penduduk Lumajang yang tersebar di 107 dusun pada 17 Kecamatan belum menikmati jaringan listrik dan umumnya merupakan daerah terpencil dan sulit terjangkau oleh distribusi jaringan PLN. Salah satu upaya pemanfaatan sumber daya energi adalah pembangunan PLTMH. Terdapat delapan desa di Kabupaten Lumajang yang mempunyai potensi tenaga air yang digunakan untuk PLTMH (Tabel 4.1). Tabel 4.1 Desa dengan Potensi Listrik Tenaga Air dengan PLTMH No.
Desa
Kecamatan
Potensi (Kw)
1
Burno, Senduro
Senduro
16
2
Pasrujambe
Pasrujambe
6
3
Sumberejo
Candipuro
24
4
Sumberejo
Candipuro
30
5
Gondoruso
Pasirian
10
6
Pronojiwo
Pronojiwo
0.5
7
Kaliuling
Tempursari
15
8
Pagowan
Pasrujambe
5
Sumber data: EDSM Provinsi Jatim, 2012
Sebelum keberadaan PLTMH pada desa-desa yang tercantum dalam tabel di atas, sebagian warga Lumajang sudah mengenal pemanfaatan listrik dari air dengan menggunakan kincir. Pertama, kincir listrik yang dibuat oleh bengkel lokal dengan menggunakan roda penggerak sebesar roda sepeda yang dihubungkan dengan dinamo bekas sepeda motor. Kincir listrik ini bisa memenuhi kebutuhan listrik untuk penerangan satu keluarga atau lebih. Pada masa jayanya, ratusan warga dari kawasan pegunungan di bagian barat Lumajang menggunakan kincir listrik ini. Namun, kualitas listriknya tidak stabil dan mengganggu daya tahan peralatan listrik. Kemudian muncul listrik PLTMH yang tidak dilengkapi dengan penstabil (stabilisator) aliran listrik dan kWh meter untuk penggunanya baik tingkat rumah tangga maupun industri/UKM. Saat itu ketika kebutuhan listrik hanya untuk penerangan, warga tidak mengalami masalah yang berarti. Namun, seiring dengan meningkatnya kebutuhan listrik, terutama banyaknya peralatan listrik yang dimiliki 48 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
warga, listrik PLTMH yang tanpa alat penstabil (stabilisator) dan kWh meter di setiap rumah pengguna listrik ini tidak lagi mencukupi kebutuhan mereka. Listrik PLTMH kemudian tidak digunakan lagi dan warga beralih menggunakan listrik PLN, pada saat PLN masuk ke desa. PLTMH versi baru sudah menggunakan teknologi untuk menstabilkan aliran listrik dan menggunakan kWh meter yang mengukur penggunaan listrik warga dan penentukan biaya yang harus mereka bayar. Menurut Bupati Lumajang, pemanfaatan sumber energi terbarukan ini belum dimanfaatkan dengan optimal dan masih perlu dikembangkan oleh masyarakat (www.lumajang.go.id/info, 01 Mei 2013). Selain itu, potensi sumber energi terbarukan lain belum dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat, seperti limbah ternak sapi yang dapat digunakan untuk pembuatan biogas sebagai pengganti LPG dan pembangkit listrik skala rumah tangga supaya dapat terwujud kemandirian energi di Kabupaten Lumajang. Kabupaten Lumajang juga memiliki potensi panas bumi (Tabel 4.2). Tabel 4.2 Potensi Panas Bumi di Kabupaten Lumajang No.
Lapangan
Potensi (Mwe)
Kab./Kota
Keterangan
1
Iyang - Argopuro
295
Probolinggo dan Lumajang
Pengembang: PT Pertamina Geothermal Energy
2
Tiris- Gunung Lamongan
147
Probolinggo dan Lumajang
Usulan penawaran survei pendahuluan panas bumi kepada Badan Usaha
3
PegununganBromo Tengger
Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, Malang
Usulan penawaran survei pendahuluan panas bumi kepada Badan Usaha
-
Sumber data: EDSM Prov. Jatim, 2012
4.3.2 PLTMH Dusun Mlambing Sebelum Masuknya PLTMH Dusun Mlambing adalah adalah dusun paling terpencil, dan satu-satunya dusun di Desa Burno, Kec. Senduro, yang belum dilayani listrik PLN. Dusun ini tidak dilewati angkutan umum dan jalan aspal yang baru dibangun hanya sampai ujung desa, jalan selanjutnya menuju desa lain adalah jalan bebatuan yang tidak diaspal dan lebih sempit. Beberapa warga yang mampu, sekitar 15 keluarga, sudah menggunakan kincir listrik untuk memenuhi kebutuhan listriknya. Ada satu orang yang bahkan menghubungkannya ke beberapa tetangga sekitarnya. PS adalah ketua Kelompok PLTMH, telah menggunakan kincir selama 3 tahun, sedangkan pengusaha mebel Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 49
menggunakan kincir selama lima tahun. Listriknya digunakan untuk menyalakan lampu dan TV. Namun, listrik yang dihasilkannnya tidak stabil, sehingga membuat peralatan listrik jadi cepat rusak. Kincir listrik ini hanya bertahan beberapa tahun sesudah itu tidak dapat difungsikan lagi, karena air sungai yang mengalir di desa itu menurun drastis setelah aliran air sungainya dialihkan untuk kepentingan PDAM. Melalui kepala desa, warga sudah menyampaikan protesnya berkenaan penurunan aliran air sungai ini, namun tidak mendapatkan respon sama sekali. Selain itu pernah ada sebuah CV yang melayani warga mendapatkan akses listrik PLN dengan cara yang mereka sebut “nyantol”. CV ini menarik kabel dari dusun terdekat yang memiliki akses listrik PLN. Terakhir kali, CV ini menaikkan tarifnya untuk keperluan meningkatkan daya. Namun, ternyata janji ini tidak dipenuhinya sehingga membuat masyarakat kecewa, dan akhirnya sejumlah wargapun mengambil inisiatif sendiri dengan membuat sambungan listrik melalui kabel sendiri. Warga yang menarik kabel kemudian menyalurkannya pada tetangga-tetangganya yang lain dan dia yang mengelola pembayarannya. Banyak warga yang melakukan kegiatan seperti ini. Rumah yang menggunakan listrik 900 watt di dusun sebelah bisa dihubungkan dengan 7 sampai 9 rumah di Dusun Mlambing untuk penerangan yang masing-masing menggunakan 3 sampai 6 lampu. Pembangunan PLTMH Pembangunan PLTMH berasal dari pengalihan proyek yang sebenarnya diperuntukkan bagi Dusun Poncosumo, Desa Sumberwuluh, Kec. Candipuro. Proyek ini didanai oleh APBD Provinsi Jawa Timur. Turbinnya dibangun oleh Sucipto sementara rumah turbinnya dibuat oleh pihak lain. Sempat terjadi perselisihan mengenai lokasi rumah turbin yang terlalu rendah, namun pembangunannya tetap dilakukan oleh pihak tersebut. Masyarakat sudah dilibatkan sejak awal. Kelompok tani yang ada diminta dan dilatih untuk mengelola PLTMH. Karena ini proyek pengalihan dari Dusun Poncosumo, kapasitas dayanya tidak mempertimbangkan kebutuhan seluruh warga Mlambing. Namun, ketika pendaftaran dibuka, tidak serta merta mendapatkan sambutan warga. Banyak warga yang meragukan kualitas listrik PLTMH, sehingga mereka masih lebih memilih listrik nyantol dari PLN. Secara bertahap warga demi warga mendaftarkan diri menjadi pelanggan PLTMH. Perpindahaan berjalan lambat dari nyantol listrik PLN ke listrik PLTMH. Di satu sisi, hal ini memudahkan pengelola, karena pengelola jadi tidak sulit menentukan pilihan. Sampai akhirnya kapasitas PLTMH sudah terpakai seluruhnya, pendaftaran dihentikan, sesuai dengan petunjuk Bapak S kepada pengelola PLTMH. Setelah melihat listrik PLTMH stabil, dan mereka juga bisa memanfaatkan daya yang lebih besar dibandingkan jika mereka menggunakan listrik PLN secara tidak resmi, warga kemudian banyak yang menyatakan keinginannya untuk menggunakan listrik PLTMH. Namun sayangnya, PLTMH ini tidak bisa memasok listrik untuk kebutuhan seluruh warga. 50 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
Pemeliharaan PLTMH Sungai yang dimanfaatkan untuk menggerakkan turbin PLTMH di Dusun ini berada di lembah, sekitar setengah kilo meter dari Dusun Mlambing. Kemiringan lereng sekitar 45 derajat. Jarak dari tepi tebing sampai dasar sungai sekitar 10 meter. Aliran airnya kecil dan hanya pada saat banjir saja sungai dipenuhi air, tetapi tidak sampai meluap. Karena melihat aliran air yang kecil inilah, rumah turbin dibangun di tepi dan mendekati dasar sungai, kurang dari satu meter di atas permukaan air saat aliran normal. Ketika sungai banjir, walaupun tidak sampai merendam rumah turbin, kadangkadang membuat listrik mati, karena banyaknya sampah dedaunan yang masuk turbin. Pak PS pengelola turbin menjelaskan: ...“Yang jelas sampah menyumbat. Setiap hujan saya kan ada di sana. Standby di sana. Ya dua orang tiga orang. Nanti takut kerendam lagi kan mengeluarkan biaya besar. Jadi kalau banjir datang saya matikan. Gitu lho. Kadang saya belum ke sana sudah mati sendiri karena kesumbat.” 7 Jika turbinnya tidak dimatikan maka bisa terjadi kerusakan fatal. Air meluap bisa berlangsung sampai 4-5 jam. Kadang-kadang banjir datang secara tiba-tiba (tidak bisa ditebak). Pernah terjadi, di Mlambing siang hari cerah, tetapi tiba-tiba listrik mati. Setelah pengelola turun ke bawah lembah, mereka melihat rumah turbin sudah terendam air. Ini karena di hulu Sungai, yang berasal dari lereng Gunung Semeru hujan lebat. Ketika banjir bandang terjadi, pengelola meminta bantuan Bapak S yang tinggalnya berjarak sekitar satu jam jika ditempuh dengan motor dari Mlambing. Bapak S mengirimkan pegawainya untuk memeriksa kerusakannya. Yang mengalami kerusakan adalah umumnya generator, DLC, AVR, dan juga TCR. Oleh Bapak S, DLC dan TCR yang rusak ini dikirim ke Bandung untuk diperbaiki. Sedangkan AVR-nya diperbaiki di Surabaya. Kedua-duanya membutuhkan waktu perbaikan sekitar 20 hari. Sedangkan untuk generatornya bisa diperbaiki oleh bengkel yang ada di Pasirian, kota kecil yang ada di Kabupaten Lumajang. Biaya perbaikan semuanya ini membutuhkan dana enam juta rupiah lebih, yang bisa ditanggung sepenuhnya oleh pengelola PLTMH. Usulan Memasukkan PLN ke Mlambing Ketidak-mampuan PLTMH memasok listrik pada seluruh warga ini membuat Kepala Desa Burno pada tahun 2013 mengambil inisiatif untuk mengundang PLN masuk. Saat ini kepala desa Burno sudah diganti oleh orang lain lagi. Inisiatif ini kemudian dilaksanakan oleh dua orang warga Mlambing yang berkeliling mengumpulkan tanda tangan warga. Pada tahun 2014, saat tim peneliti datang, semua warga sudah membubuhkan tanda tangannya, termasuk semua pelanggan PLTMH.
7
Wawancara langsung dengan Pak PS di Dusun Mlambing tanggal 27 Oktober 2014 Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 51
Ketua pengelola PLTMH menyadari bahwa masuknya listrik PLN ini bisa mengancam kelangsungan PLTMH yang tidak bisa memenuhi kebutuhan listrik seluruh warga Mlambing. Ketika diminta tanda-tangannya dia juga merasa tidak enak kalau menolak, karena itu walaupun tidak akan berlangganan listrik PLN, dia tetap bersedia tanda tangan juga. Namun, PLN tidak segera memasang jaringannya karena banyak warga masih keberatan dengan biaya awalnya, yakni sebesar tiga juta rupiah, walaupun biaya ini bisa dicicil. Biaya langganan PLTMH sendiri, menurut Pak PS, Ketua Kelompok PLTMH, lebih murah dari PLN. Yakni Rp. 500 pe kWh-nya, sementara PLN Rp. 720. Namun demikian, termasuk kebanyakan pelanggan PLTMH pun lebih suka dengan listrik PLN, karena lebih bisa diandalkan, jarang mati. Menurut dia, penyebab utamanya PLTMH sering mati adalah posisi rumah turbin yang terlalu di bawah sehingga rentan terhadap kenaikan permukaan air sungai. Pak PS menyatakan sedikit kekecewaannya akan kinerja PLTMH yang tidak dapat dipertahankan: “Seandainya bangunan itu dulu berada jauh di atas air, mungkin nggak akan sampai begitu. Mungkin kalau ditawarin PLN orang yg sudah di PLTMH tidak akan pindah. Karena sampai saat ini kerusakan PLTMH saja sudah 4 kali. Itu belum lagi kalau banjir sering mati. Walaupun nggak (sampai) rusak, (tetapi) sering mati.” Tiga orang yang aktif mengelola PLTMH sudah memikirkan apa yang harus mereka lakukan agar PLTMH masih bisa beroperasi jika listrik PLN sudah resmi masuk. Saat ini yang sudah dilakukan, dengan dibantu Sucipto mereka sudah mengajukan proposal untuk pembangunan PLTMH yang kedua. Proposal ini sudah diajukan ke Dinas Kehutanan dan Dinas ESDM Pemprov Jawa Timur pada tahun 2013. Jika ini dikabulkan maka kebutuhan listrik seluruh warga akan bisa dipenuhi. Sampai saat ini masih belum ada jawaban dari kedua dinas tersebut. 4.3.3. Pembangunan PLTMH Gunung Sawur Yang oleh masyarakat disebut dengan Gunung Sawur sebenarnya adalah bukit kecil, yang di puncaknya terdapat gedung pemantauan aktivitas Gunung Semeru. Di sekitar Gunung Sawur terdapat dua dusun, yakni Dusun Kajarkuning dan Dusun Poncosumo, yang merupakan dua dari 10 dusun di Desa Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang. Bagi pihak luar, nama Gunung Sawur lebih dikenal daripada nama dua dusun tersebut. Karena posisinya yang relatif terpencil, kawasan Gunung Sawur ini cukup terlambat dalam menikmati listrik. Pengguna listrik awalnya hanya beberapa keluarga saja, yaitu warga yang menggunakan kincir listrik. Kincir listrik ini sebesar roda sepeda yang diputar oleh aliran sungai kecil di depan rumah mereka. Peralatan ini hanya terdiri dari kincir dan dinamo, tanpa alat kendali untuk menstabilkan listrik ataupun lainnya. Listriknya yang tidak stabil ini merusak peralatan elektronik rumah tangga. 52 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
Pembangunan PLTMH Pertama: PLTMH Gunung Sawur Bapak S adalah warga Gunung Sawur, yang sudah menyelesaikan kuliahnya di Teknik Mesin Universitas Brawijaya, dan sudah membangun PLTMH di berbagai tempat, termasuk di Kabupaten Lumajang. Karena itulah tetangga-tetangganya kemudian memintanya untuk membangun PLTMH buat mereka. Tahun 1990 mulailah dia membangun PLTMH yang jaraknya kurang dari 1 kilometer dari rumahnya. Warga sekitar turut membantu pembangunannya dengan menyumbangkan tenaga untuk kontruksi bendungan dan rumah turbinnya. Pembangunan ini berjalan lambat, karena saat itu Bapak S masih tinggal di Malang dan pembangunan ini didanai dengan uang pribadinya. Baru tahun 1992 PLTMH bisa beroperasi. Bapak S juga membentuk tim pengelola untuk menjalankan bisnis PLTMH ini. Listrik dari PLTMH ini tidak hanya dijual ke warga Gunung Sawur, tetapi juga sampai Desa sebelah yaitu Desa Sumbermujur, ke Kebon Seket, total pelanggannya sampai 136 rumah. Pada awal operasinya, masyarakat hanya menggunakan listrik untuk penerangan saja. Hanya satu dua yang punya televisi. Mereka tidak menggunakan kWh meter untuk mengukur listrik yang digunakan. Setiap keluarga membayar dengan jumlah yang sama. Pemasangan kWh Meter Seiring dengan meningkatnya penggunaan peralatan listrik, seperti radio, televisi sampai penanak nasi, listrik yang digunakan masyarakat pun meningkat, dan masing-masing menggunakan dengan jumlah watt yang berbeda-beda tergantung peralatan yang dimilikinya. Karena tidak ada pembatasan, masyarakat juga cenderung boros dalam menggunakan listrik. Karena itulah Sucipto mencoba membatasi penggunaan listrik yang tidak perlu (yang menyebabkan boros) dengan menetapkan keharusan warga menggunakan kWh meter pada tahun 2010. Kewajiban ini tidak sertamerta dipatuhi oleh warga. Tiga bulan setelah kewajiban pemasangan kWh meter ini disampaikan, hanya ada 40 orang yang mendaftar. Banyak orang tidak ingin dibatasi. Padahal Bapak S sudah meringankan biaya pemasangan, yakni hanya sebesar Rp. 1.2 juta yang bisa dicicil selama 2 tahun. Ini masih di bawah harga jika pelanggan menggunakan PLN, mereka harus membayar sebesar Rp. 2.5 juta tunai, tidak bisa dicicil. Akhirnya Bapak S memutuskan untuk memasang kWh meter di rumah pelanggan yang bersedia, sementara yang tidak bersedia saluran listriknya diputus. Pemutusan ini terjadi menjelang hari raya. Bapak S mengakui kesalahannya, pemutusan menjelang orang sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan hari lebaran ini membuat marah banyak warga, bahkan sampai terjadi sistem kendali elektronik dari PLTMH disiram bensin dan dibakar. Operatornya tidak mengira bahwa listrik mati karena dibakar, karena kadang-
Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 53
kadang listriknya memang njeglek (mati). Polisi sampai turun tangan namun pelakunya tidak diketahui. Namun, pemasangan kWh meter terus dilanjutkan dan akhirnya bisa diselesaikan untuk seluruh pelanggan pada tahun 2010. Meteran dan pemasangannya dilakukan oleh PLN. Yang keberatan dengan PLTMH pindah berlangganan ke PLN, tetapi mereka tidak banyak. Saat ini (2014) ada 92 KK yang berlangganan listrik PLTMH, termasuk 62 KK dari Dusun Gunung Sawur. Dengan pemasangan meteran ini warga menjadi lebih hemat. PLTMH memiliki daya sisa yang besar pada siang hari, dan kelebihan listrik ini digunakan Bapak S untuk mengoperasikan beberapa peralatan yang digunakan untuk membuat turbin di bengkelnya. PLTMH Gunung Sawur secara berkala menjalani perbaikan dan peningkatan. Peningkatan daya terakhir dilakukan pada 2012 dari 13 kW menjadi 18 kW. Pembangunan PLTMH Kedua: PLTMH Poncosumo PLTMH Poncosumo posisinya di dekat PLTMH Gunung Sawur. Pembangunannya didanai proyek PLKPP dari pemerintah. Dari PLTMH jaringannya kemudian menyebar ke rumah-rumah tanpa kWh meter ataupun Miniature Circuit Breaker (MCB), sehingga listrik bisa masuk tanpa batas ke dalam rumah. Ketika masyarakat menggunakan listrik hanya untuk penerangan, penggunaan listrik yang tak dibatasi ini tidak menjadi masalah. Namun, seiring dengan meningkatnya peralatan listrik yang dimiliki warga, listrik yang mereka gunakan pun makin besar. Tidak adanya pembatasan, maupun pengukuran penggunaan listrik, membuat masyarakat tidak terkendali dalam menggunakan peralatan listrik. Ini membuat kualitas listrik yang diterima sebagian warga kurang baik. Kekecewaan sebagian warga ini ditunjukkan dengan pembayaran iuran listrik yang tidak lancar. Pada tahun 2005 pengurus PLTMH dan masyarakat sempat membicarakan masalah ini dan kemudian sepakat untuk membuat proposal ke pemerintah untuk meminta pembuatan PLTMH yang baru. Pada tahun 2009 dana dari pemerintah provinsi turun untuk membuat PLTMH yang baru. Namun, sebagian masyarakat berubah pikiran. Bapak S bercerita : “Ada yang setuju ada yang menolak. Akhirnya waktu itu hampir terjadi ... yang jelas ada percekcokan antara kedua kubu itu. Yang tidak setuju mereka mengatakan kalau memakai PLTMH itu nggak zaman lagi, ketinggalan zaman. Kita lebih moderen lebih maju. Ini zamannya sudah maju kita harus menggunakan listrik PLN. Kemudian yang kedua alasan mereka PLTMH itu tidak bisa diwariskan ke anak cucu kita, tapi kalau PLN itu kan bisa diwariskan ke anak cucu kita. Itu alasan yang kedua. Kemudian lagi PLTMH kalau ada pemadaman sampai berhari-hari. Tapi kalau PLN cuma beberapa jam kita cukup telpon urusan selesai,” tutur Sucipto. 54 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
“Akhirnya perselisihan kedua kubu sampai ramai. Bahkan saya waktu itu ya sempat diolok-olok oleh masyarakat. Akhirnya masyarakat membuat tandingan. Ada beberapa tokoh masyarakat membuat tandingan persetujuan tidak setuju dengan bantuan PLTMH. Bahkan di situ tanda tangan saya dipalsu. Saya gak merasa tanda tangan di situ ada tanda tangan bahwa saya menyetujui kalau PLTMH ditolak. Akhirnya oleh kabupaten bantuan itu dipindahkan ke Mlambing.” Sebelum proyek tersebut direalisasikan di Mlambing, sebagian warga yang setuju mencoba mencegah pemindahan proyek tersebut. Empat warga dan Bapak S berangkat ke Dinas ESDM pemprov di Surabaya, untuk meyakinkan pemprov agar PLTMH tetap dibangun di Poncosumo. Namun karena kepala desa juga keberatan dengan pembangunan PLTMH dan membuat surat ke dinas yang intinya menolak pemasangan PLTMH. Akhirnya PLTMH tersebut dialihkan ke Mlambing, Kecamatan Senduro. Yang menjadi keberatan warga yang menolak PLTMH adalah keberadaan PLTMH nantinya akan membuat listrik PLN tidak masuk ke dusun mereka. Waktu itu sudah 59 kepala keluarga terdaftar untuk mendapatkan listrik dari PLN. Namun, niat mereka akhirnya kandas karena ternyata biaya awal yang dibebankan CV yang menjadi perantara mereka dengan PLN terlalu besar bagi masyarakat, yakni Rp. 4 juta. Tingginya biaya pemasangan ini karena jaringan PLN ke Dusun Poncosumo belum ada. Sulitnya bekerja sama dengan warga ini yang membuat Bapak S mengundurkan diri. Kemudian pengurus-pengurus lain juga mengundurkan diri. Sehingga PLTMH praktis berjalan tanpa pengelola. Warga yang tidak patuh antara lain karena menganggap PLTMH ini bantuan dari pemerintah, jadi bukan milik pengurus. PLTMH Kajarkuning Ketika PLTMH Poncosumo dibangun, warga Kajarkuning yang membutuhkan listrik juga turut membantu dalam pembangunannya. Bapak S yang membangun PLTMH tersebut juga membangun jaringan dari PLTMH Poncosumo ke Dukuh Kajarkuning pada tahun 1998. Perluasan jaringan ini kemudian mendapatkan penolakan dari warga Dukuh Poncosumo yang menganggap PLTMH tersebut adalah untuk mereka, dan jika digunakan untuk dua dukuh maka listriknya tidak mencukupi. Akhirnya bapak S dan warga Kajarkuning berusaha membangun PLTMH sendiri pada tahun 2000. Sebenarnya sejak tahun 1994 Dukuh Kajaruning sudah dilewati listrik PLN. Namun, PLN juga tidak menawarkan ke warga, dan warga juga menganggap listrik PLN masih mahal. Bapak S kemudian mengambil inisiatif untuk membangun PLTMH Kajarkuning. Dalam pembangunan ini warga aktif membantu tenaga. Sementara biaya untuk keperluan membangun turbin dan bendungannya ditanggung oleh Bapak S. Untuk pembuatan jaringan warga, yang meliputi sekitar 75-an kepala keluarga, diminta Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 55
sumbangannya juga. Sempat ditarik iuran 3 kali Rp. 50.000,-. Pemukiman warga Dusun Kajarkuning ini berderet menjauhi posisi PLTMH yang justru ada di Dusun Poncosumo, di bawah PLTMH Poncosumo. Jarak rumah terjauh sekitar 4 kilometer, dan listrik sampai di sana sudah lemah sekali. Menurut Bapak S, ada warga yang mengatakan listrik dari PLTMH kok seperti dari aki. Awalnya terang, lama-lama redup. Ini disebabkan rentang kabel listrik yang terlalu jauh sehingga banyak hilang. Kabelnya sudah dibuat rangkap 7 oleh Bapak S tetap saja tidak membantu kehilangan daya ini. Karena itu banyak yang mengundurkan diri dan beralih ke PLN. Yang bertahan tinggal 40-an rumah. Namun, kualitas listriknya tetap buruk. Akhirnya Bapak S mengatakan pada pelanggannya bahwa biaya berapapun yang kita keluarkan tidak akan memperbaiki masalah. Akhirnya diputuskan, kabel digulung dan PLTMH tidak dioperasikan. Itu terjadi tahun 2011. Empat puluh pelanggan terakhir ini pun kemudian beralih ke PLN. Menghidupkan Lagi PLTMH Kajarkuning PLTMH Kajarkuning lama terbengkalai sampai akhirnya pada tahun 2013 datang bantuan dari PT Pembangkit Jawa Bali (PJB), anak perusahaan PLN. Bapak S memperbaiki PLTMH ini dan menawarkannya pada warga Poncosumo yang sebelumnya sudah meminta bantuan Bapak S agar bisa mengakses listrik dari PLTMH Gunung Sawur. Dari bantuan PT PJB ini Bapak S bisa kembali mengoperasikan PLTMH dengan kapasitas 10 kWh. Mengingat terbatasnya kapasitas PLTMH ini sementara warga Poncosumo yang ingin mendapatkannya banyak, maka Bapak S menerapkan aturan bahwa satu langganan harus digunakan oleh dua rumah tangga. Para pelanggan juga harus menggunakan kWh meter dan MCB untuk membatasi pemakaian mereka, yang harganya diturunkan menjadi Rp. 700 ribu. Kalau beli satu harganya satu juta lima puluh ribu rupiah. Menurut Bapak S, “Sekarang ini tinggal berapa gelintir (yang belum menyambung listrik PLTMH). Malah 3 bulan terakhir, warga yang belum memiliki sambungan listrik PLTMH datang ke sini semua. Ini ada tanda tangannya semua,” Ia menunjukkan selembar kertas berisi nama-nama warga dan tanda tangan mereka. “Ketika saya masih membangun targetnya itu hanya melayani bloknya Bapak N saja. Itu ada sekitar 30 KK dari total kurang lebih 90 KK di Dusun Poncosumo. Terus RT sini yang paling barat ada sekitar 15 rumah itu sudah tersambung ke PLTMH I, kemudian yang 20-an tersambung ke unit baru. Berarti yang tersambung I dan II itu ada 15 + 20 menjadi sekitar 35 rumah dari 90-an rumah. Mereka yang belum tersambung ini juga sudah komitmen tanda tangan untuk mendapatkan listrik PLTMH.” Tahun 2014 ini Pemkab Lumajang sudah menganggarkan dana untuk perluasan jaringan, yang diharapkan bisa menghubungkan listrik PLTM ke seluruh warga Kajarkuning. 56 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
BAB V ANALISA DAN PEMBAHASAN
Temuan hasil studi ini dibagi menjadi hasil identifikasi jejaring dan aktor inovasi dan proses diskusi terfokus (FGD) dengan menggunakan re-farming matriks. Identifikasi peran jejaring dan aktor inovasi dilakukan untuk ketiga lokasi studi yaitu PLTMH Lantan, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, PLTMH Gunung Sawur, Lumajang, Jawa Timur, dan TSHE di Desa Nglambur dan Bleder di Kulonprogo, D.I. Yogyakarta. 5.1 Evolusi Jejaring PLTMH dan TSHE 5.1.1 Evolusi Jejaring PLTMH Lantan, NTB Tabel 5.1 berikut ini menjelaskan tentang momen-monen yang berkaitan dengan kinerja PLTMH sejak proses awal berdirinya tahun 2006, terjadi kerusakan tetapi tetap dipertahankan dengan dukungan banyak pihak, sampai pada Desa Lantan mendapatkan predikat Desa Mandiri Energi (DME) pada akhir tahun 2009 dan tahun 2011 mendapatkan juara harapan II DME dari Kementerian ESDM. Tabel 5.1 Time-line PLTMH Lantan 2006-2014 Tahun 2006-2007 Periode awal pembangunan PLTMH I • • •
•
• • •
•
Prolindes (PLN) membangun PLTMH dengan memanfaatkan Kali Babak Dinas ESDM Provinsi memfasilitasi disain pembangunannya Dinas ESDM Kabupaten memfasilitasi lahan dan pembentukan pengelola PLTMH di dalam koperasi MHPP dan YKSSI memfasilitasi pembentukan pengelola terutama pemberdayaan SDM pengelola PLTMH Bangunan sipil Turbin dibuat oleh PT. LB Turbin dengan daya 100 kW dibeli dari PT H, Bandung Pengelolaan PLTMH ditetapkan di bawah Koperasi Mele Maju (Koperasi yang sudah ada di Desa tersebut) Sosialisasi seluruh aktivitas PLTMH dilakukan oleh pengelola/koperasi kepada masyarakat
Tahun 2008-2010 Periode PLTMH I mulai beroperasi • •
• •
•
•
Listrik mulai dijual ke warga tanpa kWh meter, namun setiap hari mati Jam 13.00 – 16.00 untuk maintenance Program stimulus DME dari Dinas Provinsi NTB memberikan hibah usaha pakan ternak yang memanfaatkan listrik, sehingga listrik yang tersisa di siang hari digunakan untuk usaha kel. pengolahan pakan ternak 2009 terjadi banjir besar dan Turbin rusak. Pengelola pinjam uang ke PLN untuk memperbaiki turbin. Selama 3 bulan kerusakan, listrik dipasok oleh PLN dan pembayaran ke PLN cukup besar, padahal harga listrik ke warga lebih rendah, sehingga koperasi membayar sisanya ke PLN. Ada kesepakatan hasil PLTMH digunakan 70% untuk Koperasi dan PLTMH, Pemda Lombok Timur 20% dan Desa 10%. Dalam kenyataannya 100% digunakan untuk Koperasi dan PLTMH Tahun 2009 oleh KESDM dusun ini dinyatakan sebagai DME
Tahun 2011- sampai saat ini (2014) Periode Membangun PLTMH II dan PLTMH Tidak Berfungsi • • • • •
•
•
•
Tahun 2011 mendapat Juara Harapan II DME dari KESDM Tahun 2012 PLTMH ke II dengan daya 35 kW dibangun, diresmikan Sejak 2012 digunakan kWh meter dan mengadopsi TDL PLN Kepala Desa Baru menuntut 10% hasil PLTMH kepada pengelola Tahun 2014 awal PLTMH I dan II rusak dan tidak menghasilkan listrik. Warga tidak menikmati listrik PLTMH Pemilihan Kades baru tahun 2014 awal. Ada konflik internal dengan Pengelola PLTMH. PLTMH dijadikan alasan mengimingi warga menyambung ke PLN Seluruh warga diminta persetujuan sambung ke PLN dan menyerahkan uang muka minimal 1 juta April 2014 PLN meninjau infrastruktur dan Warga dalam masa tunggu transisi ke PLN.
Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 57
•
PLTMH yang rusak ikomunikasikan oleh pengelola ke Dinas Kabupaten untuk ditangani termasuk pengelolaannya.
Sumber : Hasil Survey Tim Peneliti Pappiptek-LIPI, Mei 2014
Aktor-aktor yang terlibat di PLTMH Lantan dijelaskan dalam Tabel 5.2 berikut ini. Tabel 5.2 Aktor-aktor yang terlibat di PLTMH Lantan, NTB. Pelaku Pembangunan PLTMH Lantan
Identitas/Keterkaitannya
Kepala Dinas dan staff ESDM Provinsi
Menyediakan dana untuk pembangunan PLTMH
Kepala PLN Provinsi dan Staff
Mengimplementasikan program listrik desa (Prolindes)
Kepala Dinas ESDM Kabupaten Loteng
Memfasilitasi lahan dan pembentukan pengelola PLTMH
MHPP
Memfasilitasi pelatihan operator /teknisi
YKSI
Memfasilitasi pembentukan pengelola dan pelatihan penggunaan
PT. LB
Membuat bangunan sipil PLTMH
PT. H
Pembuat Turbin PLTMH
Sungai Babak
Penyedia air untuk PLTMH
Turbin dan perlengkapan PLTMH (I dan II)
Teknologi yang mengubah air menjadi listrik
Kali Babak
Sungai tempat PLTMH didirikan
Periode PLTMH I mulai beroperasi Koperasi Maju Mele (Bapak N)
Pengelola PLTMH berorientasi semi komersial
Dinas ESDM Provinsi NTB
Memberikan dana hibah usaha pakan ternak menggunakan listrik
Sungai (Kali) Babak dan Air
Terjadi banjir dan mengakibatkan PLTMH rusak
Tiang dan Kabel listrik
Pembawa listrik kerumah warga
PLN
Meminjamkan uang untuk perbaikan turbin dan menyediakan
Usaha Pakan Ternak
Pemanfaat listrik
Peralatan listrik
Alat-alat rumah tangga dan usaha yang menggunakan listrik
Periode Pembangunan PLTMH II sampai 2014 PLTMH II
Sejak dioperasikan belum menghasilkan listrik
Kepala Desa
Meminta 10% dari hasil jual listrik sejak tahun 2012 dan meminta
Warga masyarakat
Pengguna PLTMH di Dusun Lantan sebanyak 120 Rumah
PLTMH I
Listrik menyala 24 jam namun sejak Januari 2014 rusak
Sungai Babak
Penyedia air untuk PLTMH
Peralatan listrik
Alat-alat rumah tangga dan usaha yang menggunakan listrik
PLN Provinsi NTB
Merespon permintaan warga migrasi dari PLTMH ke PLN belum
Sumber : Hasil Survey Tim Peneliti Pappiptek-LIPI, Mei 2014
Di antara sekian banyak aktor yang berpartisipasi dalam pembangunan dan pemanfaatan PLTMH ini, peran pengelola PLTMH, yaitu Koperasi Mele Maju sangat penting. Hasil wawancara dengan pengelola PLTMH dan Kepala Desa Lantan pada bulan Mei 2014 menyimpulkan bahwa sejak awal tahun 2014 PLTMH dengan daya 100 kW ini rusak dan memerlukan jumlah dana besar untuk memperbaikinya. Biaya perbaikan memerlukan dana sekitar 500 juta rupiah dan koperasi tidak mempunyai uang sebanyak itu. Masyarakat yang tadinya menyambung ke PLTMH, sebagian kemudian nyantol listrik ke beberapa rumah pelanggan listrik PLN di Dusun Selojan. 58 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
Sebagian lagi melistriki rumah mereka dengan generator dan sebagian kecil kembali tidak berlistrik. Kepala Desa kemudian berinisiatif meminta PLN untuk memberikan sambungan listrik ke Desa Lantan. Hampir sebagian besar penduduk telah mendaftar listrik ke PLN. Untuk pelanggan PLTMH, mereka hanya dikenakan biaya sebesar Rp. 950.000 untk daya 900 Watt. Sedangkan yang bukan berasal dari pelanggan PLTMH mereka dikenakan Rp 1.350.000 untuk pemasangan baru dengan daya 900 Watt. Kilas balik PLTMH ini dimulai dengan Bapak N (Kepala Desa periode sebelumnya) dan Kepala Koperasi Mele Maju yang mengelola PLTMH (100 kW) sejak tahun 2007. PLTMH ini bantuan Kementerian ESDM melalui PLN. Sebagian bantuan juga diberikan oleh Distamben Provinsi, termasuk ada bantuan dari GTZ dan MHPP untuk teknis dan kelembagaan. Tahun 2013, Kepala Desa berganti, namun PLTMH tetap dijalankan oleh Koperasi. Desember 2013 PLTMH rusak dan tidak menghasilkan listrik. Kepala Desa berinisiatif menyurati PLN dan meminta sambungan listrik untuk warga, karena warga pelanggan PLTMH membutuhkan listrik. Sementara itu, kerusakan PLTMH membutuhkan biaya besar yang tidak dapat dipenuhi oleh Koperasi. Sampai dengan 4 bulan, bantuan untuk memperbaiki PLTMH tidak ada. Maka diputuskan untuk meminta PLN memperluas jaringan dan warga segera meminta sambungan listrik ke PLN. Kepala Desa meminta pendapat warga melalui surat yang harus ditandatangani warga tentang persetujuan meminta sambungan ke PLN. Hasilnya sebagian besar warga menyetujui adanya sambungan ke PLN. Pertemuan dengan PLN dan Distamben Provinsi dan Kabupaten dilakukan di PLN dan disetujui bahwa PLTMH diserahkan ke Dinas Kabupaten dan seluruh jaringan PLTMH diserahkan ke PLN dengan kompensasi bagi masyarakat pelanggan PLTMH mendapatkan keringanan membayar pendaftaran PLTMH sebesar Rp 950.000 (non pelanggan PLTMH sebesar Rp 1.350.000). Ketika migrasi ke PLN dilakukan tidak ada tanda keberatan dari seluruh pihak. Migrasi dilakukan dengan sistem pulsa (listrik prabayar). Saat ini ada komunikasi yang tidak harmonis antara Kepala Desa lama dan kepala desa baru. Tidak dijelaskan secara rinci komunikasi tentang apa yang tidak harmonis tersebut. Kepala Desa baru (HJ) berencana membuat Badan Usaha Milik Desa yang akan melakukan berbagai usaha seperti mengolah hasil pertanian, perkebunan, dan kelistrikan. Kepala Desa baru bersikeras jika PLTMH akan dihibahkan (dikembalikan) lagi oleh Dinas Kabupaten, maka PLTMH itu harus dikelola oleh Badan Usaha Desa, bukan oleh Koperasi Mele Maju. Namun ketika tim peneliti melakukan wawancara dengan Kepala Sub Bagian Energi di Dinas Pekerjaan Umum dan Energi Sumber Daya Mineral (PU dan ESDM), Kabupaten Lombok Tengah, diketahui bahwa Dinas Kabupaten melalui Badan Usaha Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 59
Pemerintah Daerah merencanakan untuk mengelola PLTMH tersebut dengan bekerjasama dengan Koperasi Mele Maju. Fokus pemerintah daerah melalui Dinas PU dan ESDM masih bertumpu pada kepentingan pembangunan desa. 5.1.2 Evolusi Jejaring TSHE Kulon Progo, D.I. Yogyakarta TSHE mulai dikembangkan oleh Yayasan Dian Desa (YDD) sejak tahun 1990. Dalam Tabel 5.3 di bawah dapat dilihat bahwa tahun 2008, TSHE mulai diperkenalkan di Dusun Bleder, Kulon Progo. Informasi TSHE pertama kali diketahui oleh Bu SP di kantor YDD, pada waktu ibu tersebut berkonsultasi mengenai pertanian. Kemudian Bu SP memperkenalkan TSHE ke kelompok wanita tani (KWT), dimana Bu SP menjadi ketuanya. KWT yang beranggotakan 18 orang mempelopori penggunaan TSHE. Pembuatan TSHE dilakukan oleh 4 orang teknisi yang telah mendapat pelatihan dari YDD. Biaya pembuatan TSHE sebesar Rp 250.000 dirasakan terlalu mahal oleh masyarakat Bleder, karena mereka berprofesi sebagai penderes dan pembuat gula merah ataupun gula semut yang berpenghasilan pas-pasan. Bu SP menyalurkan dana bergulir dari YDD kepada anggota KWT untuk memasang TSHE di rumah masingmasing anggota secara bergiliran. Dana yang diberikan harus dikembalikan dengan cara dicicil sebanyak 4 kali. Pada tahun 2009, Bu SP memperkenalkan TSHE kepada para pembuat gula merah dan gula semut di Dusun Nglambur melalui kelompok tani ‘Lestari Mandiri (Lesman)’ yang berjumlah 15 kelompok. Penyebaran TSHE di Dusun Nglambur selanjutnya dilakukan oleh Pak M yang merupakan bendahara Kelompok Tani Lesman. Tahun 2014 sudah ada 50 orang yang menggunakan TSHE di dusun ini. Selain sebagai bendahara, Pak M juga menjadi agen penjualan TSHE. Seperti di Dusun Bleder, dana pembuatan TSHE Dusun Nglambur juga melalui arisan dan dana bergulir dari YDD, dimana pembayarannya secara cicilan setiap kumpulan arisan. Menurut Pak M, sebenarnya masih ada masyarakat di Nglambur yang sudah mendaftar untuk dibuatkan TSHE, tetapi menunggu minimal 10 orang dulu, karena ongkos pengiriman TSHE cukup mahal. Dusun ini sudah memiliki 7 orang teknisi yang telah mengikuti pelatihan dari YDD. Teknisi-teknisi ini juga telah membangun TSHE di Magelang dan Purworejo. Biaya pembangunan TSHE sekarang sebesar Rp 400.000,-Tahun 2011, TSHE sudah mulai dibangun di Dusun Kedokan, Kecamatan Samigaluh, Kulon Progo. Informasi mengenai TSHE pertama kali oleh Pak MA setelah melihat TSHE di rumah Bu SP. Pak MA yang merupakan saudara Bu SP, memberitahu tentang TSHE ke 10 orang tetangganya. Kemudian kesepuluh orang tersebut membuat TSHE bersamaan tanpa melalui pelatihan yang disediakan oleh YDD dan hanya melihat TSHE yang ada di dusun Bleder. Selain itu, 8 orang lainnya di dusun itu juga telah membeli gerabah tungku dan cerobongnya untuk membangun TSHE. Namun pembangunannya belum dilaksanakan karena belum ada dananya. Untuk membangun TSHE diperlukan dana sekitar sebesar Rp. 400.000,--.
60 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
Selain tiga dusun ini, penyebaran TSHE juga dilakukan Bu SP di daerah lain di Kulon Progo, yaitu: 1. KWT Jitu, Nungkep, wilayah tengah Desa Sidoharjo 2. Komunitas Pedukuhan Wonogiri, wilayah atas Desa Sidoharjo 3. Melakukan percontohan di Munggang Wetan dan Munggang Lor, wilayah tengah Desa Sidoharjo Bu SP juga melakukan pendampingan untuk pengembangan TSHE di 1. Desa Sidorejo, Kecamatan Lendah di pedukuhan Sedan, Turbin, dan Jengkeling (TSHE dari UGM) 2. Pengembangan di Magelang (Jawa Tengah), di Desa Kebunrejo dan Desa Tegal Sari Kecamatan Candimulyo. Tabel 5.3 Jejaring dan Aktor Inovasi TSHE Kulon Progo Tahun/Periode Dusun
2008 Dusun Bleder : Pengguna TSHE 18 KK
2009 Dusun Nglambur: Pengguna TSHE 50 KK
Agen Pengubah
Bu SP adalah inisiator kelompok KWT YDD adalah informan dan pengembang TSHE
Bu SP dan Pak M sebagai agen TSHE YDD adalah informan dan pengembang TSHE
Teknisi : 4 orang lokal yang telah telah mendapatkan pelatihan dari YDD - Secara arisan - Pinjaman dari YDD berupa dana bergulir, dibayar secara cicilan 4 kali
Teknisi : 7 orang lokal yang telah mendapatkan pelatihan dari YDD
Aktor Penting
Pembuat TSHE
Dana TSHE
Pembuatan
- Secara arisan - Pinjaman dari YDD berupa dana bergulir, dibayar secara cicilan
2011 Dusun Kedokan: Pengguna TSHE 10 KK dan 8 KK sedang dalam proses pembangunan Pak MA Pak MA mempunyai inisiatif sendiri untuk membuat TSHE setelah melihat di rumah Bu SP TSHE dibuat sendiri tanpa kursus dan hanya melihat TSHE di Dusun Bleder Perorangan
Sumber: diolah dari hasil wawancara oleh peneliti/penulis
Tabel 5.3 juga dapat dilihat aktor-aktor inovasi yang berperan dalam pengembangan TSHE, yaitu YDD sebagai aktor penting dalam inovasi TSHE, melalui penelitian dan pengembangan TSHE. Tahun 2014, dalam pengembangan TSHE, telah diadakan program kerja sama antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) – Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi – Direktorat Bioenergi, dengan Bank Dunia – Clean Stove Initiative dan YDD, untuk melakukan pengujian kualitas TSHE buatan UKM dan perusahaan besar dari dalam dan luar negeri. Hal ini dilakukan dalam membuat strategi-strategi yang efektif dalam rangka meningkatkan penyebaran TSHE. TSHE yang telah disertifikasi dapat diproduksi secara massal dengan menggunakan Program Pembiayaan Berbasis Hasil Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 61
(PBH) dari Bank Dunia. Program ini merupakan program insentif berbasis hasil, yaitu pertama-tama mendapatkan sertifikasi TSHE, kemudian diberikan subsidi yang dikaitkan dengan kinerja tungku. Pemberian subsidi dikaitkan dengan hasil evaluasi dan verifikasi. Sistem monitoring dan verifikasi dilakukan dengan melihat target jumlah tungku yang sudah digunakan masyarakat, serta memverifikasi kinerja tungku yang telah digunakan8. Subsidi ini tidak permanen tetapi akan dikurangi sedikit demi sedikit dan kemudian akan diberhentikan. Aktor penting lainnya, yaitu Bu SP, tugasnya membantu dalam pengembangan jejaring dalam penggunaan TSHE. Cara yang dilakukan Bu SP, adalah memberi informasi mengenai kelebihan dan keuntungan TSHE, melalui visualisasi gambar, dan praktek pembuatan TSHE, serta informasi mengenai dapur sehat dengan TSHE bagi masyarakat umum, maupun pembuat gula merah dan gula semut. Selain itu, untuk pengembangan jejaring TSHE, dibutuhkan aktor lain yang melakukan pembangunan TSHE, yaitu teknisi, yang berasal dari penduduk lokal yang telah diberi pelatihan oleh YDD. Aktor lainnya dalam pengembangan TSHE, adalah pembuat atau produsen gerabah yang menjadi aktan non human yang penting dalam pembuatan TSHE. Sampai saat ini, aktor tersebut adalah produsen ‘Sutras’, yang merupakan satu-satunya produsen gerabah di Magelang. Aktor ini telah diberi pelatihan dalam merancang dan membuat TSHE oleh YDD. Sutras sampai saat ini masih tergantung kepada YDD dalam pengembangan dan perancanngan TSHE.
5.1.3 Evolusi Jejaring PLTMH Gunung Sawur, Lumajang, Jawa Timur A. PLTMH Gunung Sawur a. Penggunaan Listrik Pra-PLTMH ( - 1992) Pemicu munculnya kebutuhan listrik Peralatan listrik yang dimiliki warga, seperti radio, dan televisi. Penggunaan baterei bisa untuk menyalakan radio, tetapi tidak untuk televisi. Pemasok teknologi Teknologi baterei maupun aki dipasok oleh perusahaan besar. Pembiayaan Dibiayai masing-masing orang.
8 Program Tungku Sehat Hemat Energi Biomassa (TSHE) – Indonesia, 2014. www.iesr.or.id/.../20140815_Yayasan%20Dian%20De.
62 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
Sumber tenaga Aki disetrum di tempat penyetruman di desa lain. Penyetruman aki ini tidak berasal dari PLN, tetapi dari mesin disel. Sedangkan baterei kecil bisa dibeli di toko. Di Dusun Kajarkuning aliran air sangat lemah dan sungainya mengalir di lembah di bawah pemukiman mereka, sehingga tidak layak untuk digunakan sebagai penggerak kincir listrik. Konfigurasi pengoperasian aki Aki dihubungkan ke televisi untuk memasok tenaga. Jika listrik habis, maka aki harus dibawa dengan sepeda motor, karena tidak ada angkutan umum, ke tempat penyetruman aki yang jaraknya cukup jauh. Di tempat penyetruman, aki mendapatkan listrik dari mesin disel. Masalah yang timbul Jaraknya tempat penyetruman aki cukup jauh dan harus ditempuh dengan sepeda motor untuk membawa aki tersebut. b. Pembangunan PLTMH (1990 - 1992) Pemicu Warga sudah tahu adanya kincir listrik maupun PLTMH. Dan mereka tahu yang membangun PLTMH ini adalah Bapak S, tetangga mereka sendiri walaupun saat itu tinggal di Malang.
Pemasok teknologi Bapak S warga Dusun Kajarkuning, di kaki Gunung Sawur, yang saat itu tinggal di Malang. Pembiayaan Tidak ada dana dari pemerintah. Penggalangan dana dari warga juga sulit dilakukan. Karena itu Bapak S mendanai sendiri pembangunannya, sedangkan warga turut membantu tenaga dalam pembangunannya. Sumber tenaga Memanfaatkan sungai yang mengalir dekat dusun mereka, walaupun sudah masuk wilayah Dusun Poncosumo. Ini tidak menjadi masalah, karena PLTMH ini juga diperuntukkan bagi warga dari dusun-dusun di sekitar Gunung Sawur, termasuk yang berada di luar Desa Sumberwuluh. Masalah yang timbul Karena hanya mengandalkan dana pribadi, maka pembangunannya menjadi lambat, dan PLTMH baru bisa dioperasikan pada tahun 1992. Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 63
c. Penggunaan PLTMH tanpa kWh meter (1992 - 2010) Pemicu Kebutuhan warga akan listrik terutama untuk penerangan. Pemasok teknologi Sejak PLTMH dioperasikan Bapak S sudah membentuk pengurus baik untuk keperluan menarik tagihan pada pelanggan, mengelola keuangan dan melakukan pemeliharaan PLTMH. Sejak 1995 Bapak S kembali tinggal di Dusun Kajarkuning, mendirikan bengkelnya di depan rumahnya untuk memelihara turbin. Dan sejak 2009 dia memformalkan bengkel produksi turbinnya dengan mendirikan CV. Hydro Cipta Mandiri. Pembiayaan Warga membayar berdasarkan jumlah lampu yang digunakan. Sumber tenaga Memanfaatkan sungai yang mengalir dekat dusun mereka, walaupun sudah masuk wilayah Dusun Poncosumo. Ini tidak menjadi masalah, karena PLTMH ini peruntukkan bagi warga dari dusun-dusun di sekitar Gunung Sawur, termasuk yang berada di luar Desa Sumberwuluh. Masalah yang timbul Listrik yang terbatas ini kemudian menjadi bermasalah setelah warga menggunakan berbagai peralatan listrik, seperti mulai dari radio, televisi, sampai alat penanak nasi listrik. d. Pemasangan kWh meter (2010) Pemicu Penggunaan listrik yang tidak terkendali, warga yang merasa sudah membayar tidak menganggap diri mereka perlu menghemat penggunaan listrik. Karena itulah Bapak S mengharuskan mereka membeli kWh meter yang pemasangannya akan dilakukan oleh perusahaan rekanan dari PLN. Penghematan oleh pelanggan ini diperlukan karena Bapak S memanfaatkannya untuk bengkel yang sebagian hasilnya juga untuk menutupi kekurangan biaya operasional PLTMH. Pemasok teknologi KWh meter dibeli dari PLN.
64 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
Pembiayaan Bapak S menurunkan harga kWh meternya menjadi Rp 1,2 juta, lebih rendah dari PLN yang menarik biaya Rp 2,5 juta. Untuk lebih meringankan lagi biaya bisa dicicil sampai 2 tahun. Ini bagi Bapak S tetap lebih baik daripada warga tidak menggunakan kWh meter. Masalah yang timbul Sebagian besar warga tetap keberatan. Tiga bulan setelah diumumkan pemasangan kWh meter, hanya ada 40 orang yang mendaftar. Akhirnya Bapak S mengambil tindakan tegas, kWh meter dipasang di rumah yang sudah mendaftar, sementara yang belum mendaftar listriknya diputus. Hal ini ternyata memicu kemarahan sebagian warga. Bahkan generatornya sampai disiram bensin dan dibakar, walaupun tidak diketahui siapa pelakunya. Bapak S terus melakukan pemasangan kWh meter. Ada beberapa keluarga yang keberatan kemudian pindah ke PLN. Biaya langganan akhirnya ditetapkan lebih rendah dari PLN. Listrik PLN sudah melintasi Dusun Kajarkuning sejak 1994, namun sebelumnya warga tetap lebih memilih listrik PLTMH yang lebih murah.
e. Menjaga Keberlanjutan PLTMH dengan Bengkel Pemicu Biaya yang dibebankan pada pelanggan lebih rendah dari biaya listrik PLN. Hal ini sudah dikomunikasikan dan diketahui warga. Namun, Bapak S juga merasa tidak enak untuk menaikkan biaya langganan pada warga. Kekurangan biaya operasional ini ditutupi oleh penghasilan bengkel pembuatan turbin yang ada di depan rumahnya yang juga memanfaatkan listrik PLTMH pada siang hari. Pada tahun 2013 Bapak S mendirikan bengkel yang cukup besar, terletak di lembah sungai, jaraknya sekitar 100 meteran dari rumahnya. Bengkel ini cukup representatif untuk ditunjukkan pada calon pembeli PLTMH-nya. Pemasok teknologi Secara resmi bengkel ini dimiliki CV. Hydro Cipta Mandiri yang didirikan Bapak S pada 2009. Pembiayaan Bapak S membiayai sendiri pembangunan bengkel turbin tersebut. Selain itu dia juga mempekerjakan beberapa tetangganya. Hasil dari bengkel ini digunakan untuk mensubsidi kekurangan biaya operasi PLTMH. Sumber tenaga Bengkel ini memanfaatkan kelebihan listrik yang cukup besar pada siang hari. Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 65
Masalah yang timbul Penggunaan mesin las listrik sempat menimbulkan masalah, karena terjadi lonjatan listrik pada saat awal digunakan. Ini dikhawatirkan bisa merusak peralatan listrik yang tengah dinyalakan di rumah warga. Namun, masalah ini kemudian bisa diselesaikan. f. Evolusi Jejaring Pada Fase I, Listrik Pra-PLTMH. Untuk bisa memanfaatkan peralatan listrik warga harus memiliki aki. Karena energi listrik dari aki ini bisa habis, maka aki perlu disetrum lagi ditempat penyetruman aki yang jaraknya cukup jauh. Warga membutuhkan sepeda motor untuk bisa mengantarkan akinya ke tempat penyetruman. Sampai sekarangpun kawasan Gunung Sawur tidak dilalui angkutan umum. Jadi aktan alat listrik membutuhkan aktan aki yang pada gilirannya membutuhkan aktan sepeda motor untuk bisa memanfaatkan aktan penyetruman aki. Karena itulah yang bisa membangun jejaring ini hanya terbatas pada keluarga yang relatif mampu.
66 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
Pada Fase II, Pembangunan PLTMH. Jejaring bisa terbentuk karena peran Bapak S yang memang berasal dari sana, walaupun waktu itu tinggal di Malang yang cukup jauh dari Gunung Sawur. Akses Bapak S terhadap uang dan teknologi juga membuat pembangunan ini terjadi meskipun membutuhkan waktu dua tahun. Bantuan tenaga warga yang tidak dibayar juga diperlukan. Posisi sungai yang dekat jalan juga memudahkan pembangunan bendungannya, karena pengangkutan material bangunan dengan mobil bisa langsung mendekati lokasi. Hal-hal ini turut menurunkan biaya pembangunan PLTMH. Fase III, Pemanfaatan PLTMH tanpa kWh meter. Pada fase ini listrik PLTMH bisa dimanfaatkan oleh beberapa dusun, termasuk dusun dari desa tetangga. Ini karena pada saat itu warga lebih banyak menggunakan untuk penerangan dan yang meemiliki peralatan listrik lainnya masih belum banyak. Namun, begitu banyak warga mulai menggunakan berbagai peralatan listrik barulah penyediaan listriknya bermasalah. Di sini munculnya aktan baru, yakni televisi dan penanak nasi listrik mempengaruhi jaringan, membuat jaringan ini tidak mampu menopang kebutuhan listrik warga.
Fase IV, pemasangan kWh meter. Masuknya aktan-aktan baru, yakni televisi dan penanak nasi listrik menyebabkan beban listrik jadi meningkat, sementara pemasukan tidak ada perubahan. Warga yang merasa sudah membayar juga tidak menghemat penggunaan listriknya termasuk pada siang hari. Padahal pada siang hari Bapak S membutuhkan listrik yang semestinya tidak digunakan untuk keperluan bengkel yang Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 67
sebagian pendapatannya juga digunakan untuk menutupi kekurangan biaya operasional PLTMH. Karena itulah Bapak S perlu memasukkan aktan baru untuk memaksa warga menghemat penggunaan listrik, yakni kWh meter. Upaya pemasangan ini awalnya mendapatkan tentangan warga, sampai ada yang melakukan tindakan perusakan, tetapi Bapak S tetap ngotot untuk memasang kWh meter yang sangat diperlukan bagi keberlanjutan pengoperasian PLTMH. Hal ini kemudian juga dipahami mayoritas warga, karena itu mereka kemudian bersedia memasang kWh meter yang biayanya juga sudah diturunkan dan pembayarannya bisa dicicil selama 2 tahun. Fase V, Menjaga Keberlanjutan PLTMH dengan Bengkel. Dengan adanya kWh meter warga menjadi lebih hemat dalam menggunakan listrik. Baik sebelum maupun sesudah pemasangan kWh meter pendapatan dari pelanggan PLTMH tetap tidak mencukupi untuk menutupi biaya operasional PLTMH. Dengan kata lain jejaring PLTMH tidak bisa membiayai dirinya sendiri. Untuk mengatasi hal inilah Bapak S menciptakan aktan baru dan memasukkannya dalam jaringan, yakni bengkel yang kemudian secara resmi diberi nama CV Hydro Cipta Mandiri, yang berlokasi tidak jauh dari rumah turbin dan rumah Bapak S. Sejak adanya kWh meter, listrik yang tersedia pada siang hari menjadi cukup untuk keperluan bengkel.
B. PLTMH Poncosumo a. Penggunaan Kincir Listrik ( - 1997) Pemicu Peralatan listrik dengan energi baterai atau accu memunculkan kebutuhan akan listrik. Meskipun daya accu ini bisa diisi ulang dengan menyetrumkan ke desa lain menggunakan sepeda motor karena jarak yang terlalu jauh. Pemasok teknologi Bengkel lokal Pembiayaan Dibiayai masing-masing pemilik kincir yang umumnya menggunakannya untuk keperluan rumah tangganya sendiri. Sumber tenaga Sungai kecil yang mengalir di depan rumah warga. Konfigurasi pengoperasian kincir listrik Bagian terpenting dari sistem kincir listrik ini terdiri dari kincir sebesar roda sepeda dan dinamo. Menurut pemilik bengkel, umumnya yang digunakan adalah
68 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
dinamo bekas sepeda motor Honda yang lebih kuat daripada dinamo baru buatan Tiongkok. Cara kerja kincir: air mengalir menggerakkan kincir, yang kemudian menggerakkan dinamo. Listrik yang dibangkitkan disalurkan melalui kabel ke beberapa lampu atau peralatan listrik lain di rumah pemilik. Aliran listriknya tidak konstan karena aliran airnya tidak stabil tergantung dari musim. Misalnya musim penghujan debit air lebih besar dari musim kemarau. Masalah yang ditimbulkan Listrik yang tidak stabil dianggap merusak peralatan listrik. Selain itu yang bisa menikmati listrik hanya pemilik kincir listrik.
b. Pembangunan dan Pengoperasian PLTMH (1997) Pemicu PLTMH Poncosumo merupakan proyek dari Departemen Tenaga Kerja (sekarang Kementerian Tenaga Kerja). Saat itu di Lumajang sudah ada beberapa PLTMH yang dibangun dengan dana pemerintah pusat. Pemasok teknologi Bapak S, warga setempat yang sudah membangun beberapa PLTMH di Lumajang, termasuk PLTMH Gunung Sawur yang dibiayainya sendiri yang terletak beberapa ratus meter dari PLTMH Poncosumo. Pembiayaan dan Akses Listrik Pembiayaan PLTMH berasal dari Departemen Tenaga Kerja. Namun, warga Dusun Poncosumo dan Dusun Kajarkuning menyumbangkan tenaga untuk pembangunannya. Namun, karena PLTMH ini ada dalam wilayah Dusun Poncosumo, sementara warga Poncosumo menganggap listrik tidak akan mencukupi dalam memenuhi kebutuhan dua dusun, akhirnya warga Kajarkuning mengalah dengan tidak mengakses listrik PLTMH. Beberapa tahun kemudian warga Dusun Kajarkuning yang mampu mengakses listrik PLN. Sumber tenaga Sungai yang ada di seberang jalan, hanya beberapa puluh meter dari pemukiman warga. Jika ada masalah pada turbin atau generator akan mudah didatangi dan diperiksa warga Konfigurasi pengoperasian PLTMH Ada bak penenang untuk menampung, memperbesar dan mengarahkan aliran air sungai. Dari bak penenang air mengalir melalui pipa yang besar untuk menggerakkan turbin, dan putaran dari turbin digunakan untuk menggerakkan Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 69
generator. Namun, masing-masing rumah tidak menggunakan kWh meter dan pembatas daya, yang awalnya tidak mengakibatkan permasalahan apa-apa sewaktu listrik hanya digunakan untuk menyalakan lampu. Masalah yang timbul Tidak adanya kWh meter dan pembatas daya membuat warga bisa sesuka hati menggunakan listrik. Persoalan ini kemudian muncul setelah munculnya aktan-aktan baru, yakni peralatan listrik di luar lampu, seperti penanak nasi listrik, radio, dan televisi. Sebagian anggota masyarakat jadi adu kuat-kuatan peralatan yang menggunakan listrik, sehingga merugikan keseluruhan masyarakat.
c. Pengusulan PLTMH Baru (2005 - 2009) Pemicu Kapasitas PLTMH yang ada dianggap tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan listrik seluruh warga. Bapak S, yang ditunjuk warga menjadi salah satu pengelola, mengusulkan kepada warga Poncosumo pada saat rapat untuk mengajukan proposal pembangunan PLTMH baru kepada pemerintah. Pemasok teknologi Bapak S.
Pembiayaan Dinas ESDM Provinsi Jawa Timur yang juga cukup mengenal Bapak S karena sering melibatkannya dalam proyek-proyek PLTMH di tingkat provinsi dan kabupaten. Sumber tenaga Di sungai yang sama, menggantikan PLTMH yang ada. Konfigurasi dalam pengoperasian Dalam perancangannya tidak berbeda dengan PLTMH sebelumnya, hanya kapasitasnya yang menjadi lebih besar. Masalah yang timbul Pada tahun 2005 warga menyetujui pengajuan proposal PLTMH. Namun, ketika 2009 usulan itu dikabulkan sebagian warga menolak. Mereka menganggap bahwa adanya PLTMH ini yang membuat PLN tidak mau masuk. Mereka mengumpulkan tanda tangan penolakan, termasuk tanda tangan Bapak S juga dipalsukan dan diserahkan ke Pemkab Lumajang. Penolakan ini membuat Pemprov Jawa Timur mengalihkan proyeknya ke Dusun Mlambing, Desa Burno, Kec. Senduro, Kabupaten Lumajang. Namun, warga yang setuju dengan PLTMH mencoba mencegah pengalihan ini. Empat orang wakil mereka 70 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
bersama dengan Bapak S berangkat ke Surabaya mendatangi Dinas ESDM Provinsi. Namun, kemudian, kepala desa turun tangan, dia membuat surat resmi menolak proyek PLTMH di Poncosumo. Akhirnya proyek PLTMH Poncosumo dibatalkan. Warga yang menolak PLTMH kemudian menghubungi PLN untuk mendapatkan akses listrik PLN. Karena di Poncosumo belum ada jaringan listrik, maka biaya pembangunan jaringan dibebankan pada warga. Perusahaan atau CV yang menjadi perantara warga dengan PLN membebankan biaya sebesar Rp. 4 juta rupiah per kepala keluarga. Biaya ini dianggap memberatkan, sehingga warga akhirnya membatalkan pengajuan akses listrik ke PLN.
d. Terbengkalainya PLTMH Poncosumo (2010 - ) Pemicu Kualitas listrik terus turun, terutama bagi pengguna yang berada jauh dari PLTMH. Karena itulah sebagian warga juga merasa punya alasan untuk tidak membayar iuran listrik. Untuk mengatasi hal ini, warga harus dipaksa untuk menggunakan listrik seperlunya, mereka harus menghemat penggunaan listrik yang tidak perlu. Ini bisa dilakukan, sebagaimana diusulkan Bapak S, kalau masing-masing rumah tangga, menggunakan kWh meter. Namun, usulan ini ditolak sebagian warga. Upaya pengurus untuk memaksa warga tidak berhasil. Sebagian dari warga menganggap bahwa PLTMH adalah milik pemerintah, bukan pengurus, karena itu pengurus tidak berhak memaksa mereka. Pembiayaan Pembelian kWh meter ditanggung masing-masing keluarga. Ini yang menjadi keberatan mereka. Proses penggunaan kWh meter tidak terlaksana. Pengoperasian kWh meter Penggunaan kWh meter akan membuat pembayaran jadi lebih adil, karena warga membayar sebanding dengan listrik yang digunakannya. Pemasangan kWh meter ini tidak terlaksana. Masalah yang timbul Banyaknya warga yang menolak, yang tidak bisa dipaksa, membuat kWh meter tidak bisa dipasang. Dan kWh meter ini tidak mungkin dipasang hanya di sebagian rumah saja. Akibatnya masalah pembatasan penggunaan listrik tidak bisa dipaksakan pada warga. Inilah yang kemudian membuat Bapak S, yang sebenarnya bukan warga Poncosumo, mengundurkan diri. Anggota pengelola lainnya pun kemudian mengundurkan diri, sehingga praktis tidak ada yang mengurusi PLTMH ini.
Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 71
Dengan semakin merosotnya kualitas listrik dari PLTMH Poncosumo, dan pengelola juga sudah mengundurkan diri, sejumlah warga mencari berbagai alternatif. Ada yang ngetol listrik PLN, yakni menarik kabel dari rumah pelanggan PLN di dusun lain. Ada 15 warga yang mendatangi Bapak S agar mereka bisa berlangganan listrik PLTMH Gunung Sawur. Pembiayaan Warga Poncosumo (15 kk yang mendatangi Bapak S) yang mengakses listrik PLTMH Gunung Sawur membiayai sendiri sambungan kabelnya. Masalah yang timbul Warga Poncosumo yang lain juga ingin berpindah ke PLTMH Gunung Sawur, namun dengan terbatasnya kapasitas energi yang dibangkitkan, tidak mungkin semua permintaan warga bisa dipenuhi.
e. Pembangunan dan Pengoperasian PLTMH Gunung Sawur II (2014) Pemicu Bantuan Community Social Responsibility (CSR) dari PT Pembangkitan Jawa-Bali (PT PJB) yang oleh Bapak S digunakan untuk membangkitkan kembali PLTMH Kajarkuning yang sudah lama tidak beroperasi. PLTMH Kajarkuning ini awalnya untuk warga Kajarkuning, tetapi karena posisi rumah mereka yang jauh dari PLTMH yang dibangun di Dusun Poncosumo sehingga daya listriknya banyak yang hilang dalam perjalanan. Akhirnya pengoperasiannya dihentikan. Pemasok teknologi CV Hydro Cipta Mandiri yang dimiliki Bapak S Pembiayaan Dana dari PT PJB untuk memperbaiki PLTMH, sedangkan untuk keperluan perluasan jaringan Pemkab Lumajang membantu melalui dana APBD. Sumber tenaga Sungai yang ada di Dusun Poncosumo. Posisi PLTMH ini berdekatan dan ada di antara PLTMH Gunung Sawur dan PLTMH Poncosumo. Konfigurasi dalam pengoperasian Seperti PLTMH Gunung Sawur, PLTMH ini juga menggunakan kWh meter dan pembatas daya. Namun, yang berbeda adalah kebijakan untuk pelanggan. Karena daya dari PLTMH ini masih terbatas maka Bapak S menetapkan agar 1 kWh meter digunakan oleh dua rumah. Soal pembagian pembayarannya mereka mengatur sendiri.
72 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
Masalah yang ditimbulkan Sementara ini tidak ada masalah yang muncul. Warga Poncosumo, termasuk yang dulu tidak mau menggunakan kWh meter maupun menentang PLTMH, berbondong-bondong mendaftar menjadi pelanggan PLTMH yang oleh Bapak S disebut PLTMH Gunung Sawur II.
f. Evolusi Jejaring Fase I, penggunaan kincir listrik. Keberadaan kincir listrik memungkinkan pemiliknya untuk mendapatkan energi untuk mengoperasikan alat-alat listrik. Kincir listrik ini mendapatkan energinya dari sungai kecil di seberang jalan di depan rumah mereka, sehingga memudahkan pengoperasian dan pengawasannya. Kincir listrik ini dibuat oleh bengkel lokal yang hanya beberapa kilometer dari Poncosumo. Kincir listrik ini menggunakan dinamo bekas sepeda motor Honda yang kemudian dihubungkan melalui kabel ke rumah pemiliknya. Tak ada penstabil sinyal listrik sehingga diduga merusak atau membuat peralatan listrik jadi tidak awet. Jadi, jejaring kincir listrik ini kekurang satu aktan penting yakni penstabil listrik, yang tidak mampu disediakan oleh bengkel lokal.
Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 73
Fase II, pembangunan PLTMH. Pada tahun 1997 Depnaker membuat proyek PLTMH di Gunung Sawur. Memang tidak secara spesifik menyebutkan ini untuk warga dusun mana saja. Dalam tahap pembangunannya baik warga Poncosumo maupun warga Kajarkuning turut mmbantu Bapak S membangun bangunan sipil dari PLTMH. Namun, karena PLTMH
ini ada di sungai yang mengalir di Poncosumo, dan warga Poncosumo menganggap bahwa listriknya tidak akan cukup jika dipakai oleh dua dusun akhirnya warga Kajarkuning mengalah. Pada tahun 2010, Bapak S membangun PLTMH untuk warga Kajarkuning, namun karena jarak dusun ini relatif jauh dari PLTMH, sehingga listriknya banyak yang hilang, maka pengoperasian PLTMH Kajarkuning dihentikan. Dan, warga dusun Kajarkuning yang belum mendapatkan akses listrik kemudian menjadi pelanggan PLN yang jaringannya sebenarnya sudah melewati dusun mereka sejak 1994.
74 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
Warga pengguna PLTMH Poncosumo ini tidak menggunakan kWh meter ataupun pembatas daya. Dalam waktu relatif singkat kapasitas listrik PLTMH sudah tidak bisa memenuhi kebutuhan warga, karena mereka juga menggunakan peralatanperalatan lain. Rendahnya kualitas listrik ini membuat warga menyetujui usulan Bapak S untuk mengajukan usulan pembangunan PLTH baru. Proposal dibuat pada tahun 2005 dan diajukan ke Dinas ESDM Pemprov Jawa Timur. Namun, ketika anggaran turun pada tahun 2009, sebagian warga berubah pikiran. Mereka menganggap keberadaan PLTMH menjadi penyebab PLN tidak mau masuk ke dusun mereka. Sempat terjadi ketegangan antara warga yang setuju dan yang menolak PLTMH. Akhirnya kepala desa turun tangan dengan membuat surat penolakan resmi. Di sini terjadi perubahan persepsi sebagian warga sehingga terjadi konflik antara yang pro jejaring PLTMH dan kelompok anti-jejaring. Dan, konflik ini diselesaikan oleh aktan dari luar lingkungan mereka, yakni kepala desa. Akhirnya warga menghubungi PLN, dan PLN setuju masuk namun beban yang harus ditanggung warga untuk keperluan membangun jaringan listrik adalah Rp. 4 juta per pelanggan. Biaya ini sangat memberatkan mereka, sehingga merekapun urung mengakses listrik PLN. Sebagian warga kemudian menjadi pelanggan PLTMH Gunung Sawur. Lalu dengan adanya bantuan dari PT PJB. Bapak S juga bisa memperbaiki PLTMH Kajarkuning, yang kemudian diganti namanya menjadi PLTMH Gunung Sawur II, dan listriknya ditawarkan pada warga Poncosumo namun dengan syarat satu kWh meter digunakan oleh dua rumah, di mana pembagian pembayaran antara dua rumah ini mereka atur sendiri. Karena PLTMH Gunung Sawur II ini dianggap milik Bapak S, dan mereka juga sangat membutuhkan listrik, orang-orang yang dulu keberatan dengan pemasangan kWh meter maupun yang menolak PLTH saat ini tidak keberatan dengan persyaratan yang diberikan oleh Bapak S.
C. PLTMH Mlambing a. Pemanfaatan Kincir Listrik Pemicu Adanya kebutuhan terhadap peralatan listrik yang tidak bisa digantikan sumber energinya selain dari listrik. Untuk penerangan masyarakat bisa menggunakan lampu minyak ataupun petromaks yang menggunakan minyak tanah, tetapi untuk radio, pemutar kaset atau televisi mereka perlu menggunakan baterei ataupun aki. Penggunaan baterei cukup boros, sementara pengisian setrum aki harus dilakukan di luar dusun.
Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 75
Pemasok teknologi Kincir listrik dibuat oleh bengkel lokal, namun dipasang sendiri oleh warga. Ada satu orang yang menyalurkan listriknya juga ke beberapa tetangganya. Namun, tidak semua orang bisa menikmatinya. Pembiayaan Dibangun dengan biaya sendiri oleh masing-masing pemilik. Sumber tenaga Sungai kecil yang mengalir di depan rumah warga. Konfigurasi pengoperasian Sungai menggerakkan kincir, yang membangkitkan listrik melalui dinamo yang terhubung ke peralatan listrik di rumah pemilik. Masalah yang timbul Listriknya tidak stabil, dianggap merusak peralatan listrik.
b. Ngetol Listrik PLN Melalui CV Pemicu munculnya kebutuhan Air sungai surut dan mengering karena air di hulunya digunakan oleh PDAM. Akibatnya kincir listrik tidak bisa berfungsi lagi. Warga melalui kepala dusun sudah menyampaikan protes, tetapi tidak ada tanggapan. Pemasok teknologi Sebuah CV menghubungi warga, menyediakan listrik bagi warga dengan cara ngetol, yakni menarik listrik dari pelanggan PLN di dusun tetangga. CV ini akan memasang kabel-kabelnya dan mengatur pembayarannya. Sementara masyarakat tinggal membayar sebagai pelanggan CV. Pembiayaan Pemasangan kabel dibiayai CV. Sumber tenaga Listrik yang berasal dari pelanggan PLN di dusun tetangga. Konfigurasi pengoperasian Dari pelanggan PLN di dusun tetangga dihubungkan kabel menuju ke rumahrumah di Dusun Mlambing (jarak terjauh sekitar 4 km). Siapa saja pelanggan di dusun tetangga yang listriknya dimanfaatkan, masyarakat Mlambing tidak tahu-menahu. Urusan mereka hanya dengan CV.
76 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
Masalah yang timbul CV menaikkan biaya langganan dengan janji akan meningkatkan daya, namun ternyata janji ini tidak dipenuhi.
c. Ngetol Listrik PLN Melalui Bandar Pemicu Kekecewaan terhadap CV dan adanya beberapa warga, yang disebut bandar, yang bisa meyakinkan masyarakat bahwa mereka bisa menggantikan peran CV untuk menyediakan listrik melalui warga. Pemasok teknologi Beberapa warga yang menjadi bandar. Pembiayaan Warga yang menjadi bandar. Sumber tenaga Listrik dari pelanggan PLN di dusun tetangga. Konfigurasi pengoperasian Dari pelanggan PLN di dusun tetangga dihubungkan kabel menuju ke rumahrumah di Dusun Mlambing. Urusan pembayaran dengan pelanggan di dusun tetangga diurus oleh para bandar. Masalah yang timbulkan Listrik terbatas hanya untuk kebutuhan penerangan.
d. Pembangunan PLTMH Pemicu Ide tidak berasal dari warga. Ini adalah proyek dari Dinas ESDM Pemprov Jawa Timur yang awalnya direncanakan untuk Dusun Poncosumo, tetapi kemudian dialihkan ke Dusun Mlambing. Sejumlah warga antusias dan turut membantu pembangunan PLTMH. Pemasok teknologi Pemasok turbin adalah Bapak S, tetapi bangunan sipilnya dikerjakan oleh perusahaan lain. Kelompok tani dilatih untuk menjadi pengelola PLTMH, yang kemudian menjadi pengelola dengan nama kelompok PLTMH. Mereka dilatih baik untuk keperluan administrasi maupun perawatan teknis.
Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 77
Pembiayaan Dinas ESDM Pemprov Jawa Timur mengalokasikan Rp 800 juta, sedangkan Pemkab Lumajang mengalokasikan Rp 180 jutaan. Pembangunan dilakukan pada tahun 2009. Sumber tenaga Sungai yang ada di bawah lembah sekitar setengah kilomoter dari Dusun Mlambing. Masalah yang timbul Ada perselisihan antara Bapak S dengan perusahaan yang membangun bangunan sipil berkenaan dengan posisi rumah turbin. Perusahaan ini tidak memiliki pengalaman dengan PLTMH. Namun, karena perusahaan ini memiliki kewenangan sebagai pemegang kontrak dengan dinas ESDM, dan dinas tidak menengahi maka rumah turbin berada pada posisi yang dimaksudkan oleh perusahaan ini. e. Pendaftaran Pelanggan PLTMH (2010) Pemicu PLTMH harus bisa dimanfaatkan oleh sebanyak-banyaknya warga. Namun antusiasme masyarakat untuk mendaftar sebagai pelanggan PLTMH sangat rendah. Dalam tiga bulan pertama hanya sekitar 20 kepala keluarga yang tersambung ke PLTMH. Pemasok teknologi Jika pengelola PLTMH menghadapi kendala teknis, mereka akan berkonsultasi dengan Bapak S. Bapak S juga aktif mengajari mereka tentang hal-hal yang mungkin dihadapi. Setiap ada pemasangan listrik untuk pelanggan baru, operator akan mencatat beban yang tertera di Digital Load Control (DLC) dan melaporkannya pada Bapak S. Sampai pada angka tertentu Bapak S meminta penambahan pelanggan dihentikan karena sudah mencapai batas kapasitas PLTMH. Pembiayaan Kegiatan pengoperasian sepenuhnya dari biaya langganan. Konfigurasi pengoperasian Pencatatan biaya yang harus dibayar pelanggan sudah bisa dihitung dari angka yang tertera di kWh meter. Masalah yang timbul Terbatasnya kapasitas listrik PLTMH hanya bisa menerima separuh warga sebagai pelanggan. Masalah lain berupa gangguan-gangguan terhadap pengoperasian mulai dari sampah daun-daunan, kerikil, sampai banjir yang merendam rumah turbin. 78 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
f. Mengatasi Kerikil Pemicu munculnya kebutuhan Banyaknya kerikil yang terbawa air sungai dan ikut masuk ke dalam turbin. Pemasok teknologi Solusinya berasal dari warga yang menjadi pengelola PLTMH. Pembiayaan Dibiayai dari pemasukan PLTMH.
Konfigurasi pengoperasian Rumah turbin di bangun di salah satu tepi sungai. Di atasnya terdapat bendungan, juga di tepi sungai, untuk bak penenang yang kemudian airnya disalurkan melalui pipa ke turbin ini. Bak penenang ini mendapatkan air yang disalurkan melalui konstruksi saluran air sepanjang lebih dari seratus meteran yang ada di tepi sungai. Awalnya tinggi saluran sama dengan sungai, namun karena sungainya terus menurun, sementara saluran air dibuat relatif datar, setelah sepuluh meteran perbedaan ketinggiannya sudah dua-tiga meteran. Terutama saat air lebih deras dari biasanya banyak kerikil yang terbawa, yang bisa memasuki dan merusak turbin. Kerikil ini bergerak terbawa arus namun tetap di dasar saluran. Karena itulah untuk menghalangi kerikil, pengelola PLTMH membuat penahan melintang dari batu bata dan semen di dasar saluran air. Dan di dekatnya dibuat lubang di dasar saluran. Lubang ini ditutup pipa paralon. Jika kerikilnya sudah banyak, maka pipa ini ditarik sehingga air akan mengalir ke bawah melalui lubang membawa kerikil-kerikil yang tertahan.
g. Masalah Banjir Bandang Pemicu Banjir umumnya berasal dari hulu sungai di lereng Gunung Semeru Pemasok teknologi Kerusakan berbagai alat membutuhkan penanganan dari pemasok teknologi yang berbeda-beda. Yang mengetahui masing-masing pemasok ini adalah Bapak S. Jadi ketika mengalami kerusakan setelah terkena banjir bandang, maka Digital Load Control (DLC) dikirim ke Bandung, dan Automatic Voltage Regulator (AVR) dikirim ke Surabaya, sedangkan generatornya bisa diperbaiki oleh bengkel yang ada di Kecamatan Pasirian, Lumajang.
Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 79
Pembiayaan Pembiayaan oleh pengelola PLTMH. Namun, karena dananya kurang, pengelola terpaksa meminjam uang ke salah satu warga. Masalah yang timbul Datangnya banjir ini sulit diantisipasi, karena pernah terjadi banjir bandang saat cuaca di Dusun Mlambing cerah. Kemungkinan hujan deras terjadi di hulu sungai di lereng Semeru. Jika hujan deras, walaupun terjadi tengah malam, maka satu-dua orang pengelola akan turun ke rumah turbin. Generatornya akan dimatikan dulu sebelum terendam banjir, yang menyebabkan listrik mati, namun DLC dan AVR terselamatkan. h. Pemanfaatan Listrik untuk Usaha Pengolahan Kripik Pisang Pemicu Penggunaan listrik PLTMH pada siang hari sangat rendah, karena kebanyakan masyarakat, khususnya laki-laki, keluar rumah untuk bekerja di ladangnya. Dinas ESDM Provinsi Jawa Timur memberikan saran untuk memanfaatkan listrik yang tak terpakai ini. Dengan dibantu oleh staff dari Pemkab Lumajang, pengelolapun membuat proposal untuk membangun pengolahan keripik pisang. Dusun Mlambing, ataupun Kecamatan Senduro secara keseluruhan merupakan penghasil pisang yang sangat besar. Proposal ini diserahkan kepada pejabat Kementerian ESDM yang kebetulan sedang pergi ke Jember. Pemasok teknologi Tiga vacuum fryer dan tiga pengeringnya dipasok oleh perusahaan dari Pekalongan. Pembiayaan Kementerian ESDM. Sumber tenaga Listrik PLTMH Masalah yang timbul Ternyata listriknya hanya cukup untuk menjalankan satu vacuum fryer, karena itu aktivitas ini tidak bisa melibatkan banyak orang. Akhirnya yang memanfaatkan adalah Ketua Kelompok PLTMH, bersama istrinya.
i. Rencana Masuknya PLN Pemicu Hanya sekitar separuh warga Dusun Mlambing yang memiliki akses pada listrik PLTMH. Separuhnya lagi terpaksa ngetol listrik PLN melalui bandar-bandar setempat.
80 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
Karena itulah Kepala Desa Burno yang lama, menghubungi PLN agar masuk ke Dusun Mlambing. Pemasok teknologi PLN Pembiayaan Biaya jaringan dibebankan pada warga dalam bentuk pembayaran awal sebesar Rp 3 juta. Sumber tenaga Listrik PLN. Masalah yang timbul Menurut Kepala Dusun Mlambing, PLN baru bersedia masuk jika jumlah pelanggan minimal 190 kk dengan biaya pendaftaran per pelanggan Rp 3 juta. Jika pendaftar lebih sedikit, maka biaya pendaftaran yang dikenakan akan lebih besar. Biaya ini dibutuhkan PLN untuk menarik jaringan ke Mlambing. Namun, syarat ini sulit dipenuhi warga. Banyak warga keberatan dengan pembayaran awal sebesar Rp 3 juta. Pengelola PLTMH juga menyadari jika listrik PLN jadi masuk, maka ini akan mengancam keberlanjutan PLTMH. Namun, mereka sudah mulai memikirkan berbagai cara untuk menjaga kelangsungan PLTMH ini.
j. Evolusi Jejaring Perkembangan pemanfaatan listrik di Dusun Mlambing ini bisa dilihat dari perspektif pembentukan, pembubaran, dan pembentukan ulang jaringan. Pada fase awal, pemanfaatan kincir listrik, jaringan utama tersebut terdiri dari sungai, kincir listrik, dinamo, peralatan listrik warga, dan aktan dari luar yang berbeda kepentingan, yaitu PDAM. PDAM ini kemudian mengubah aliran sungai untuk keperluan penyediaan air minum, yang berakibat mengeringnya sungai dan membuat kincir listrik tidak bisa difungsikan lagi. Jadi intervensi aktan PDAM membuat aktan air keluar dari jaringan kincir listrik, dan jaringan kincir listrik ini tidak bisa lagi berfungsi tanpa keberadaan air.
Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 81
Karena kebutuhan listrik tetap ada, ini dilihat sebagai peluang oleh sebuah CV, yang kemudian membangun jejaring baru, yaitu dengan menyalurkan listrik dari warga dusun tetangga yang menjadi pelanggan PLN ke warga Dusun Mlambing. Ini dilakukan dengan menarik kabel sepajang beberapa kilometer melewati hutan. Jejaring ini kemudian berganti lagi, karena kenaikan iuran yang diterapkan CV, namun janji kenaikan dayanya tidak dipenuhi. Peran ini kemudian diambil alih oleh warga lokal yang menjadi bandar.
82 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
Fase berikutnya, pembangunan PLTMH tidak dipicu oleh aktan di dalam Dusun Mlambing. Proyek ini berasal dari Dinas ESDM, Pemprov. Dalam pembangunannya, bangunan sipil dikerjakan oleh kontraktor sipil yang tidak memiliki pengetahuan PLTMH. Sedangkan turbin, generator dan segenap perlengkapannya disediakan oleh Bapak S. Kontraktor dan Bapak S berbeda pendapat tentang posisi rumah turbin, namun karena kontraktor yang mendapatkan kontrak dari Dinas ESDM, maka dia berhak memutuskan di manapun posisi rumah turbin ingin dibangunnya. Hal ini di belakang hari sering menimbulkan masalah, karena rumah turbin jadi mudah terendam banjir. Pada saat pendaftaran pelanggan terjadi pembentukan jejaring PLTMH yang mengambil aktan-aktan dari jejaring “ngetol listrik melalui bandar”. Pembentukan jejaring PLTMH yang baru ini dibatasi oleh kapasitas PLTMH sendiri yang tidak mampu untuk menarik semua warga menjadi pelanggan. Setiap warga mendaftar, bebannya pada DLC dilaporkan pengelola PLTMH pada Bapak S. Ketika sudah sampai batas beban maksimal, pendaftaran pelanggan pun dihentikan.
Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 83
Jejaring PLTMH ini sangat tergantung pada keberadaan sungai, namun berbagai ancaman terhadap keberlanjutannya juga muncul dari sungai. Sampah dan kerikil yang terbawa air mengganggu kerja PLTMH. Di sini terjadi negosiasi dalam bentuk pengubahan saluran air yang menuju bak penenang, pengelola membuat penahan kerikil, dan membuat lubang yang bisa dibuka dan ditutup. Jika kerikil sudah cukup banyak maka lubangnya dibuka, sehingga kerikilnya akan terbawa air jatuh ke sungai di bawahnya. Dari sungai juga muncul masalah banjir bandang yang bisa sewaktu-waktu datang. Jika banjirnya datang pelan-pelan dan bisa diketahui oleh pengelola, maka pengelola bisa mematikan generatornya terlebih dahulu. Namun, banjir tidak selalu bisa diduga, dan jaraknya yang relatif jauh, sekitar setengah kilometer dari dusun, membuat tindakan tidak bisa segera dilakukan. Kerusakan yang diakibatkan oleh banjir bandang ini membuat pengelola terhubung dengan jejaring industri PLTMH yang menjangkau Bandung dan Surabaya. Pembentukan jejaring perlu aktan-aktan yang bisa memenuhi kebutuhan jejaring tersebut. Misalnya pada pemanfaatan listrik untuk pengolahan kripik pisang, diperhitungkan bahwa pada siang hari tiga vacuum fryer bisa dijalankan, ternyata listriknya hanya bisa memenuhi untuk menjalankan satu vacuum fryer. Akibatnya sumbangan yang rencananya untuk kelompok ini tidak bisa dimanfaatkan oleh banyak orang. Upaya sebagian orang untuk memasukkan listrik PLN, yang nantinya bisa mengancam jejaring PLTMH, adalah karena PLTMH-nya tidak dirancang untuk memenuhi kebutuhan seluruh warga. Walaupun upaya ini masih belum berhasil karena kendala biaya.
5.2 Proses Perumusan Strategi 5.2.1 Perumusan strategi mempertahankan keberlanjutan PLTMH dengan Reframing Matrix Sampai saat ini sebagian besar proyek PLTMH masih didanai oleh pemerintah, dan kemudian diserahkan pada warga untuk mengelolanya. Banyak pihak secara langsung atau tidak langsung terlibat mulai dari perencanaan sampai pemeliharaan PLTMH. Karena proyek ini merupakan urusan publik, maka evaluasi dan perumusan strategi bagi pengembangan berikutnya perlu dilakukan secara kolektif. Karena itulah tim peneliti mengundang berbagai pihak yang berkepentingan untuk melakukan Focus Group Discussion (FGD) untuk mengevaluasi, mengidentifikasi persoalan, dan merumuskan solusinya. Agar proses FGD ini lebih terkerangka, baik tahapan maupun aspek-aspek yang dibahas, maka digunakan Reframing Matrix, yang sederhana namun komprehensif.
84 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
Proses FGD dengan menggunakan Reframing Matrix ini dilakukan di Ruang Rapat Semeru, lantai 2, Gedung Sekretariat Daerah, Kantor Pemerintah Daerah Kabupaten Lumajang, Provinsi Jawa Timur pada tanggal 17 Juli 2014. FGD dihadiri oleh PLN, Bappeda, Dinas Pembinaan Masyarakat, Ekonomi dan Energi, Lingkungan Hidup, dan tokoh masyarakat (Pak Emput dan Pak Bapak S). Kegiatan ini membahas tentang “Mengapa pemanfaatan PLTMH di Lumajang kurang optimal, padahal Lumajang memiliki sumber daya air yang berlimpah”. Dalam FGD peserta diajak berdiskusi berdasarkan empat perspektif yang ada di Reframing Matrix berikut. Reframing Matrix adalah teknik untuk memahami suatu masalah dari beberapa sudut pandang, dan meluaskan pilihan-pilihan solusi kreatifnya. Pendekatan ini dilakukan dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, sehingga sudut pandangnya memang benar-benar nyata dimiliki oleh pihak-pihak yang terlibat, jadi bukan satu orang mencoba melihat dari beberapa perspektif. Peserta harus terlebih dulu menyetujui persoalan utama yang hendak dibahas dan kemudian dituliskan di bagian tengah Matrix. Kemudian masing-masing peserta menurunkan masalah-masalah turunan/rinciannya berdasarkan empat perspektif berikut: Perspektif program: persoalan apa saja yang muncul berkaitan dengan implementasi program tersebut? Perspektif perencanaan: persoalan apa dalam perencanaan yang menghambat atau mengurangi kualitas dari program tersebut? Perspektif orang/pemangku kepentingan: Ini bisa dilihat dari: Bagaimana penerima (masyarakat) menganggap program ini? Bagaimana penyandang dana menganggap program ini? Bagaimana pemerintah setempat (yang bisa diwakili oleh berbagai dinasnya) menganggap program ini? Perspektif potensi: apakah program ini bisa dan layak direplikasi di tempat lain? Atau cakupan penerima manfaatnya lebih diperbesar lagi? FGD dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: 1. Pembukaan dengan mempresentasikan tentang penelitian dan perbandingan kondisi PLTMH di Gunung Sawur, Dusun Mlambing, dan PLTMH Lantan (Kab. Lombok Tengah). Hambatan, ancaman, maupun peluang/tingkat keberlanjutannya untuk ketiga PLTMH tersebut juga dipresentasikan. 2. Penjelasan tentang maksud dan cara kerja Reframing Matrix yang meliputi apa saja yang perlu diisikan dalam setiap sel dari matriks. Secara garis besar pertanyaanpertanyaan disajikan dalam Matriks ini.
Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 85
3. Peserta diminta untuk mengisi perspektif pertama lebih dahulu, kemudian mendiskusikan perspektif tersebut. Sesudah itu perspektif berikutnya. Peserta menuliskan pendapatnya dalam secarik kertas terlebih dahulu dan fasilitator akan menyalinnya ke komputer yang terhubung dengan Infocus ke layar besar sehingga bisa disaksikan oleh semua peserta. 4. Untuk perspektif ke empat, perspektif potensi, dipresentasikan contoh PLTMH yang dibangun dengan skema Independent Power Provider (IPP) yang ada di NTB, yang jumlahnya cukup banyak. Sesudah itu perwakilan peserta pembuat turbin yang sudah lama berkecimpung dalam pembangunan PLTMH diminta menjelaskan pandangannya tentang potensi PLTMH di Lumajang. Hal ini dilakukan untuk memberikan ide pada peserta dalam mengisi perspektif keempat. Tabel 5.1 adalah contoh matriks dengan pertanyaan yang diajukan pada peserta. Tabel 5.5 Reframing Matrix Perspektif Program
Perspektif Perencanaan
1. Apakah PLTMH yang pernah ada bisa memenuhi kebutuhan masyarakat secara memuaskan? 1. Jika tidak, mengapa? 2. Jika ya, mengapa dibiarkan tidak beroperasi lagi? 2. Apakah proyek-proyek PLTMH dibiarkan tutup ketika PLN masuk? 3. Apakah PLTMH mudah dikelola warga? Dan, Pemkab siap intervensi ketika mereka mengalami kesulitan?
1. Sumber pendanaan: anggaran Pemkab, Propinsi, atau Pusat. 2. Koordinasi dengan propinsi, pusat atau kementerian/LPNK yang memiliki proyek PLTMH 3. Jika proyek berasal dari pemerintah provinsi atau pusat, apa yang dilakukan Pemkab? Menganggarkan biaya pemeliharaan? 4. Bagaimana koordinasi Pemkab dengan PLN terkait keberadaan PLTMH? 5. Seberapa jauh Pemkab memastikan beroperasinya PLTMH?
Pemanfaatan PLTMH belum optimal 1. Apakah Lumajang memiliki potensi energi yang besar yang bisa dieksploitasi melalui PLTMH?
1. Apakah Lumajang perlu mengeksploitasi PLTMH? Mengapa?
2. Apakah teknologi PLTMH yang sudah terbukti 2. Apakah kantor Bapak/Ibu perlu memiliki program terkait PLTMH? Misalnya mengadakan bisa dibangun di banyak willayah di PLTMH atau memanfaatkan keberadaannya. Lumajang? Sebutkan alasannya. Perspektif Pemangku Potensi
Perspektif Pemangku Kepentingan
Diskusi para pakar kemudian diisikan ke dalam matriks dengan hasil seperti terlihat pada Tabel 5.6
86 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
Perspektif Program
Perspektif Perencanaan
• Masalah yang menghambat keberlanjutan adopsi PLTMH adalah sebagai berikut. • PLTMH tidak memuaskan, banyak kendala teknis maupun keterbatasan pengelola. • Sering tidak memenuhi kebutuhan seluruh penduduk. • Masyarakat pragmatis PLTMH, yang penting listriknya, tidak penting asalnya dari PLTMH atau PLN. • Membutuhkan anggaran untuk pemeliharaan dan operasionalnya. • Harga listriknya lebih murah dari PLN, sehingga bisa memenuhi masyarakat kelas bawah.
• Energi terbarukan (termasuk PLTMH) merupakan sesuatu yang baru, sehingga koordinasi antar pemangku kepentingan masih kurang aktif. • PLTMH kurang dikenal baik oleh masyarakat maupun lembaga politik, sehingga sering PLTMH tidak diusulkan dari bawah, ataupun tidak mendapatkan dukungan dari dewan. • Untuk tingkat pemkab pendanaan masih kurang, karena tingginya biaya awal (initial cost). • Anggaran baru dari pusat (DAK) disampaikan ke daerah pada bulan Januari. Pemerintah Daerah harus menyediakan dana pendamping untuk kepentingan implementasi program tersebut. Hal ini berimplikasi terhadap perubahan APBD yang tidak mudah dilakukan. • Koordinasi dengan pusat, provinsi dan daerah cukup baik.
Pemanfaatan PLTMH Belum Optimal
• Lumajang memiliki potensi yang cukup besar, namun terhambat karena banyak lahannya berada di kawasan milik Perhutani.
• Peserta FGD sama-sama mengakui pentingnya PLTMH. Namun, pemangku kepentingan di luar masih banyak yang belum mengenali potensi PLTMH. • Kebanyakan warga hanya memahami kalau kebutuhan listrik hanya dapat dipenuhi oleh PLN. • Kelembagaan yang menangani PLTMH di Pemkab masih belum cukup kuat, masih ditangani eselon 4, yang juga sibuk mengurusi pertambangan dan lain-lainnya.
Perspektif Pemangku Potensi
Perspektif Pemangku Kepentingan
Penjelasan Diskusi Para peserta mengakui potensi PLTMH cukup besar di Lumajang. Namun, potensi ini belum dipetakan. Padahal peta tersebut diperlukan baik untuk pembangunan PLTMH oleh pemerintah maupun pihak swasta dan masyarakat. Bagi warga tidak penting sumber listrik berasal dari mana, yang penting mereka mendapatkan listrik yang berkualitas. Kebanyakan dari mereka menganggap listrik yang bisa diandalkan hanya berasal dari PLN. Warga yang sudah mengenal PLTMH Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 87
sering mengalami kekecewaan karena layanan listrik PLTMH sering mati, terutama ketika banjir atau mengalami kerusakan. Forum pakar juga sepakat bahwa PLTMH perlu dipertahankan, karena dana yang dikeluarkan juga sudah terlalu besar, dan hanya dimanfaatkan baru beberapa tahun saja. Yang sering menimbulkan permasalahan adalah PLTMH tidak dibangun sesuai dengan kebutuhan seluruh masyarakat. Sebagaimana di Mlambing, kurang lebih separuhnya masih belum terlayani PLTMH. Ini menyebabkan terjadinya kecemburuan sosial. Terkait dengan PLTMH di Dusun Mlambing, dimana tidak seluruh warga mendapatkan akses listrik PLTMH, mereka yang saat ini sedang menunggu masuknya listrik PLN disarankan agar bersabar dulu menunggu turunnya bantuan untuk peningkatan kapasitas listrik dengan pembangunan PLTMH yang kedua. PLTMH yang ada saat ini hanya memiliki kapasitas 16 kW yang hanya mampu memenuhi kebutuhan listrik separuh dari jumlah KK di Dusun Mlambing. Saat ini sebagian besar warga Mlambing mengusulkan agar PLN masuk. Namun, kalau sampai berdiri tiang PLN, maka bantuan PLTMH tidak akan diturunkan. Yang menjadi masalah apakah jika warga menunda permintaan listrik kepada PLN, bantuan PLTMH bisa dipastikan akan turun pada tahun 2015. Untuk ini, disarankan agar pemkab menindaklanjuti proposal pembangunan PLTMH untuk warga segera terealisir. Dalam penentuan penurunan anggaran untuk energi terbarukan dari pusat ke daerah sasaran, ada persyaratan bahwa listrik PLN tidak akan masuk di daerah tersebut dalam 5 tahun ke depan. Tetapi, penentuan ini bukan merupakan kesepakatan dengan PLN, hanya prediksi atau perhitungan. Sehingga tidak bisa dipastikan bahwa PLN dalam 5 tahun ke depan tidak akan masuk ke daerah tersebut. Menurut perwakilan dari PLN Lumajang, PLN tidak melakukan ekspansi jaringan sendiri tetapi berdasarkan permintaan warga, yang dananya bisa berasal dari APBD, APBN, ataupun APLN, ataupun dari warga calon pelanggan.
Analisa Hasil FGD Kasus PLTMH Persoalan-persoalan yang didiskusikan pada saat FGD akan dianalisis sekaligus dibandingkan dengan hasil studi kasus. Ada pengalaman, yang baik maupun buruk, dalam pengelolaan PLTMH di daerah-daerah yang menjadi studi kasus yang bisa dijadikan pelajaran. Karena FGD-nya dilakukan dengan Reframing Matrix, maka pembahasan ini juga akan mengikuti alur matriks tersebut.
88 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
2.
Perspektif Program
Perspektif program ini melihat PLTMH sebagai produk atau hasil suatu proyek pembangunan yang dimanfaatkan oleh masyarakat. Tiga dari lima ciri inovasi (Rogers, 1995) digunakan untuk menilai tingkat kecepatan adopsi PLTMH. Manfaat Relatif (Relative Value) Bagi setiap warga, ketika listrik tidak ada, tentu PLTMH sangat membantu mereka. Namun, jika ada pilihan akses pada listrik PLN, maka warga cenderung memilih PLN. Namun, ini tidak berlaku bagi semua warga, banyak warga yang kurang mampu, yang kesulitan membayar biaya langganan PLN yang lebih mahal dari PLTMH. Jadi walaupun listrik PLTMH kurang andal, gampang mati jika terkena banjir, warga kurang mampu lebih memilih PLTMH. Namun, bagi pengelola, untuk bisa mempertahankan PLTMH, jumlah pelanggan harus cukup untuk membiayai kegiatan operasinya. Jika masyarakat dilihat sebagai suatu sistem ekonomi, adanya PLTMH menunjukkan penyediaan energi secara internal, sehingga tidak ada uang dari masyarakat yang keluar. Uang iuran yang dikumpulkan pengelola juga akan dimanfaatkan di dalam, misalnya untuk menggaji anggota pengelola yang membelanjakannya dalam masyarakat tersebut. Jika masyarakat berlangganan pada PLN, uang yang dibayarkan pelanggan akan keluar dari masyarakat tersebut. Jadi PLTMH bisa dilihat sebagai bagian dari kemandirian ekonomi masyarakat, sejauh tidak ada peralatan yang rusak yang membutuhkan bantuan pihak luar. Secara nasional PLTMH bisa memasok kebutuhan energi terbarukan. Selama ini program-program PLTMH hanya dirancang untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat yang belum memiliki akses pada listrik PLTMH. Padahal, dengan dibukanya kemungkinan menjualnya ke PLN dengan menghubungkan listrik PLTMH ke jaringan PLN (on-grid), maka PLTMH bisa dibangun di mana saja ketika potensinya memungkinkan tanpa harus mempertimbangkan masyarakat sekitar memiliki akses ke PLN atau tidak.
Kompatibilitas Listrik PLTMH dan listrik PLN adalah kompatibel. Bagi warga, sebenarnya tidak ada bedanya listrik dari PLTMH atau dari PLN, yang penting bisa diandalkan. Keluhan mereka terhadap PLTMH dikarenakan seringnya gangguan seperti listrik mati saat banjir. Bahkan kalau terjadi kerusakan peralatan, listriknya bisa mati sampai beberapa minggu. Kompatibilitas ini bisa membantu sebagaimana yang dilakukan oleh pengelola PLTMH Lantan, Kabupaten Lombok Tengah. Ketika PLTMH mengalami kerusakan, maka pengelola meminta bantuan agar PLN menghubungkan listriknya ke jaringan Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 89
listrik PLTMH Lantan. Proses pembeliannya dilakukan secara “curah”, yang berarti pengelola harus membayar keseluruhan listrik yang digunakan, sementara urusan dengan masing-masing pelanggan dilakukan oleh pengelola PLTMH. Kompleksitas Bagi pengelola, ketika tidak ada kerusakan pengelolaannya relatif sederhana. Namun, begitu ada kerusakan mereka sangat tergantung pada pemasok-pemasok teknologi yang ada di luar daerah, misalnya Bandung atau Surabaya. Bagi daerah seperti di luar Jawa, pengiriman peralatan yang rusak membutuhkan waktu dan dana yang relatif besar. Dalam pengelolaan, PLTMH sebenarnya berada dalam jejaring sosio-teknis yang kompleks. Listrik yang dihasilkannya tergantung pada debit air, debit air ini tergantung pada kawasan hutan di hulu, dan kualitas kawasan hutan tergantung pada pihak-pihak yang memanfaatkan hutan tersebut. Penggundulan hutan di hulu sungai akan juga mengancam kelangsungan PLTMH. Perubahan atau kenaikan biaya langganan, ataupun tambahan lain, juga bisa menyebabkan persoalan sosial yang rumit. Ketika masyarakat mulai menggunakan peralatan-peralatan listrik selain penerangan, dan kemudian pengelola mengharuskan penggunaan kWh meter, banyak masyarakat menolak karena adanya tambahan biaya ini. Persoalan ini menjadi tidak mudah bagi pengelola. Ketepatan rancangan awal menjadi sangat penting untuk mengantisipasi berbagai persoalan yang timbul. Sepanjang tahun, cuaca berubah-ubah. Hal ini menghadapkan PLTMH pada persoalan lingkungan yang berubah-ubah. Kasus di Dusun Mlambing di mana posisi rumah turbin terlalu di bawah, membuat PLTMH rentan terkena banjir, yang bisa mengakibatkan kerusakan fatal.
3.
Perspektif Perencanaan
Rendahnya Dukungan di Tingkat Perencanaan Pengetahuan tentang PLTMH bagi banyak orang — warga, anggota dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD), dan pejabat — relatif rendah. Bagi banyak pihak, ketika menyebut listrik, otomatis yang mereka ingat adalah PLN. Karena itulah usulan pasokan listrik umumnya berupa permintaan penyambungan ke jaringan PLN. Pada saat musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) desa, warga, karena ketidak-tahuannya tentang PLTMH tidak mengajukan usulan PLTMH, tetapi menarik jaringan PLN ke wilayahnya. Demikian juga karena PLTMH juga tidak dikenal oleh kebanyakan anggota dewa, maka mereka sering mempertanyakan ataupun tidak memberikan dukungan pada usulan penyediaan PLTMH di RAPBD.
90 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
Besarnya Biaya Awal (Initial Cost) Pembangunan PLTMH membutuhkan biaya awal yang relatif tinggi. Pembangunan PLTMH di Dusun Mlambing membutuhkan dana hamir 1 Miliar. Sementara dukungan atau pengetahuan banyak pihak terhadap PLTMH juga masih rendah, sehingga menyulitkan pengalokasian anggaran terutama di tingkat daerah. Karena itulah bantuan anggaran dari pemerintah pusat dan provinsi masih sering dibutuhkan. Yang belum digalakkan adalah investasi dari swasta untuk membuat independent power provider (IPP). Di Lumajang sempat ada investor yang mencoba menjajaki kemungkinan membangun PLTMH, namun karena banyak lokasi yang bisa digunakan adalah milik Perhutani, dan pembagian pendapatan dengan Perhutani tidak mencapai kesepakatan, maka rencana investasi ini dibatalkan. Pengintegrasian PLTMH dengan Program Pembangunan Lainnya Energi adalah salah satu aspek dari pembangunan. Infrastruktur energi, di samping infrastruktur jalan, sangat dibutuhkan untuk menggerakkan ekonomi masyarakat. Dalam pelaksanaannya, pembangunan PLTMH, jalan, dan kegiatan pemberdayaan masyarakat dilakukan secara terpisah tanpa saling tahu satu sama lain. Padahal pemanfaatan akan menjadi lebih optimal jika terjadi sinergi pembangunan yang saling menguatkan. Penguatan Kelembagaan Energi Potensi PLTMH sangat besar daerah-daerah yang menjadi obyek kajian ini. Di NTB sudah cukup banyak IPP yang beroperasi, namun masih belum mampu untuk melistriki seluruh penduduk yang memang banyak tinggal di daerah-daerah terpencil. Di Lumajang, semua desa sudah memiliki akses listrik PLN. Hanya beberapa dusun saja yang belum mendapatkannya. Namun, potensi energi air di Lumajang sangat besar, karena diapit oleh dua gunung: Gunung Semeru dan Gunung Lamongan. Potensi ini mestinya bisa dieksploitasi dengan mengundang IPP. Para peserta FGD menyarankan agar potensi ini bisa dimanfaatkan oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). 4.
Perspektif Pemangku Kepentingan
Ada tiga kelompok pemangku kepentingan yang masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Pertama, kelompok pemerintah, yang terdiri dari beberapa kemungkinan kombinasi, misalnya pemerintah pusat bekerja sama dengan pemerintah daerah, atau pemerintah provinsi bekerja sama pemerintah daerah. Kelompok pemerintah ini berkepentingan agar proyek PLTMH diselesaikan dengan baik, dan bisa diserah-terimakan pada kelompok masyarakat yang mengelolanya, sesudah itu pemerintah akan bergerak lagi menangani urusan lain. Namun, yang menjadi masalah, masyarakat belum tentu mampu mengelolanya. Atau, kalaupun mampu dari segi manajemen, jika ada masalah yang tak terduga, seperti banjir Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 91
bandang yang menyebabkan kerusakan pada berbagai peralatan, warga belum tentu bisa mengatasi masalahnya sendiri. Bantuan dari pihak luar sangat dibutuhkan. Bagi warga, yang mereka butuhkan adalah listrik yang andal. Dan, dari pengalaman mereka tahu bahwa listrik PLN lebih bisa diandalkan. Karena itulah ketika ada peluang untuk mengganti PLTMH dengan PLN, banyak dari warga yang siap pindah ke PLN walaupun tarif langganannya lebih tinggi, kecuali mereka yang kurang mampu. Bagi sebagian pengelola, yang terlibat sejak awal dan merasakan pahit getirnya mengoperasikan dan memperbaiki PLTMH, mereka punya keterikatan emosional untuk mempertahankan kelangsungan PLTMH. Namun, mereka juga harus berhadapan dengan kenyataan ketika persoalan terlalu besar untuk mereka atasi. Di luar masalah teknis dan manajemen, pengelola kadang juga harus menghadapi persoalan sosial dan politik lokal yang tidak kalah rumit, di mana persoalan ini tidak terjadi pada PLN. Sering intervensi pihak luar datang yang terlambat juga tidak bisa mengatasinya. 5.
Perspektif Potensi
Dengan banyaknya aliran sungai di daerah-daerah yang menjadi obyek kajian ini, maka PLTMH memiliki potensi untuk lebih dimaksimalkan lagi. Kebutuhan listrik nasional masih cukup besar, tidak hanya memenuhi kebutuhan listrik warga tetapi juga industri. Karena itulah, bukan hanya PLTMH yang ada perlu dipertahankan, bahkan kalau jumlahnya bisa ditingkatkan, energi yang dihasilkannya tetap bisa dimanfaatkan dengan mekanisme on-grid dengan jaringan PLN. Pihak yang memanfaatkan listriknya tidak harus masyarakat setempat, tetapi siapapun yang terhubung dengan jaringan PLN. 5.2.2 Perumusan Strategi Menjaga Kesinambungan TSHE dengan Reframing Matrix Proses reframing matrix dilakukan melalui diskusi dengan Yayasan Dian Desa serta wawancara dengan agen perubahan yaitu ibu S dan Pak M, beberapa agen tungku, produsen tungku Sutras dan beberapa masyarakat pengguna dan masyarakat yang tidak menggunakan TSHE. Kemudian hasil diskusi dan wawancara ini diolah dan dimasukkan dalam empat perspektif yang ada di Reframing Matrix.
92 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
Tabel 5.7 Hasil Diskusi dan Wawancara tentang TSHE dalam bentuk Reframing Matrix PERSPEKTIF PROGRAM 1. Masyarakat banyak menggunakan tungku tradisional yang menggangu kesehatan 2. TSHE adalah produk yang memerlukan persiapan konstruksi awal sebelum digunakan. 3. Harga TSHE relatif tinggi karena tungkunya lebih kompleks dan memerlukan biaya transportasi.
PERSPEKTIF PERENCANAAN 1. Produksi TSHE masih tergantung pada satu produsen dan produsen ini juga tergantung pada YDD untuk memasarkan TSHEnya 2. Adopsi TSHE tergantung pada beberapa pihak: agen pengubah yang menyosialisasikannya, YDD yang membantu pendanaannya, dan teknisi yang membantu pembangunan dan perbaikannya.
Pemanfaatan TSHE di DIY Yogyakarta Belum Optimal 1. Perbesaran volume produksi tungku sangat tergantung pada keberadaan pasar tungku 2. Replikasi produksi dibutuhkan, tetapi tidak mudah dilakukan karena yang dilatih harus orang yang sudah terampil membuat gerabah, dan mereka umumnya baru bersedia jika melihat prospek pasar TSHE menarik
1. 2. 3. 4. 5.
6.
PERSPEKTIF POTENSI
YDD memiliki keterbatasan sumber daya untuk melakukan sosialisasi TSHE ke tempat-tempat terpencil dan adanya keterbatasan anggaran Pembuat tungku: pasar tungku terbatas Agen pengubah: sulit mengubah pola pikir masyarakat, terutama yang sudah lanjut usia Agen tungku: jumlah tungku terbatas, karena jumlah produsen sedikit dan biaya transportasi mahal, sehingga mempengaruhi harga TSHE. Pengguna: merasa lebih nyaman, sehat, lebih banyak waktu luang, tetapi memiliki ketergantungan terhadap teknisi jika ada kerusakan. Pengguna yang belum menggunakan: harga tidak terjangkau (karena ongkos transportasi tinggi) dan belum memiliki dapur yang sesuai.
PERSPEKTIF PEMANGKU KEPENTINGAN
Analisa Hasil Wawancara dan Diskusi untuk Pengembangan TSHE Masalah-masalah yang terumuskan dalam diskusi dengan menggunakan empat perspektif dari Reframing Matrix, akan dijelaskan sebagai berikut. 1.
Perspektif Program
Pada perspektif program, TSHE dinilai sebagai produk atau hasil suatu pengembangan dari tungku tradisional yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menuju lebih sehat dan dapat menghemat energi. Dari ciri-ciri suatu inovasi yang dikemukan oleh Roger, 1995 pengembangan TSHE dapat dilihat dari: 1. Keuntungan relatif, saat ini kesadaran masyarakat perdesaan terhadap kesehatan dan kebersihan sudah meningkat. Dengan adanya TSHE yang telah dikembangkan oleh YDD, sangat membantu keinginan masyarakat untuk menjadi lebih sehat. Tetapi hanya ada satu produsen yang membuat TSHE, dan lokasi pembuatan berada jauh dari para pengguna, yang mengakibatkan harga sampai Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 93
lokasi pengguna relatif mahal, apalagi biaya tersebut belum termasuk ongkos pemasangan. Penghasilan masyarakat pedesaan yang mempunyai pekerjaan sebagai penderes dan pembuat gula merah dan gula semut tidak terjangkau untuk membeli TSHE. 2. Kompatibel (compatibility), pengalaman masyarakat yang sudah lama dalam menggunakan tungku tradisional, membuat para orang tua agak sulit menerima inovasi dari tungku. Tungku tradisonal biasanya mengeluarkan api yang besar dan dapat dilihat dari luar. Sedang penggunaan TSHE, api tidak kelihatan dari luar. Hal inilah yang membuat adopsi inovasi sedikit terhambat. Sebenarnya para orang tua ini mau menggunakan TSHE yang tidak mengeluarkan asap sehingga lebih sehat. 3. Kompleksitas (complexity), dengan menggunakan tungku tradisional masyarakat pengguna dapat memperbaiki sendiri tungku tersebut jika ada kerusakan. Hal ini berbeda jika menggunakan TSHE, karena untuk memperbaiki kerusakan TSHE harus tergantung pada teknisi yang membangun TSHE. 4. Trialibilitas (trialibility), masyarakat pengguna akan mau menggunakan TSHE setelah mereka melihat TSHE yang digunakan oleh orang lain. Hal ini dikarenakan mereka sudah melihat sendiri keuntungan dari menggunakan TSHE yaitu tidak keluar asap, dapur menjadi bersih, hemat kayu bakar dan waktu pemasakan lebih cepat. Maka untuk mendifusikan TSHE diperlukan pelopor atau early adopter dalam pembangunan TSHE. 5. Dapat diamati (observability), TSHE ini bukanlah produk yang bisa dibeli dan langsung digunakan, tetapi kenyataannya dalam beberapa kasus ada masyarakat yang dapat membangun TSHE ini. Contohnya ada beberapa masyarakat dari desa lain yang hanya melihat TSHE dari rumah orang lain, tetapi mereka langsung bisa membuat sendiri. Pembangunan TSHE ini bisa dibangun sesuai dengan kreatifitas dari orang tersebut. 2.
Perspektif Perencanaan
Produksi TSHE masih tergantung pada satu produsen yaitu Sutras, sehingga produk belum bisa memenuhi permintaan pengguna dari daerah lain. Harga TSHE tergantung dari jarak lokasi dari pengguna, seperti Kulon Progo Rp 250.000 dan di Magelang Rp 400.000. Selain itu, produsen ini tergantung pada YDD yang memberi kursus tentang model serta pemasarannya. Dengan demikian adopsi inovasi TSHE sangat bengantung pada YDD, sedang untuk defusi sangat bergantung pada agen pengubah.
94 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
3.
Perspektif Pemangku Kepentingan
Terdapat enam kelompok pemangku kepentingan yang mempunyai kepentingan berbeda-beda. Pertama, YDD, merupakan kelompok sentral dalam pengembangan TSHE. YDD adalah LSM yang mengembangkan tungku biomassa salah satunya adalah TSHE. Dan juga memberi kursus kepada pembuat tungku serta melakukan sosialisasi ke masyarakat dengan mengajak agen-agen pengubah. Untuk pengembangan dan sosialisasi YDD mendapat bantuan dari donor luar dan ESDM. Kedua, pembuat tungku, sebelum membuat TSHE mereka adalah pengrajin gerabah, kemudian diberi kursus oleh YDD mengenai desain dan cara pembuatan TSHE. Saat ini pemasaran TSHE masih terbatas di Kulon Progo dan sekitarnya, hal ini dikarenakan keterbatasan tenaga kerja untuk pembuatan TSHE. Ketiga, agen pengubah, kesulitan dalam difusi inovasi TSHE yang dirasakan oleh agen pengubah, adanya kelompok lanjut usia yang sulit merubah untuk menggunakan TSHE dan masih menggunakan tungku tradisional. Selain itu mereka juga tidak mau bergantung pada orang lain atau teknisi jika ada kerusakan. Mengubah pola pikir masyarakat yang seperti inilah yang menjadi ganjalan bagi adopsi TSHE. Keempat agen tungku, selain agen pengubah, agen tungku juga merupakan faktor penting di dalam adopsi TSHE. Agen tungku merupakan orang yang menjual tungku dan sebagian merangkap sebagai teknisi dalam pembangunan TSHE, tetapi jumlah agen tungku ini terbatas, hal ini dikarenakan jumlah produsen juga sedikit dan biaya transportasi yang dikeluarkan mahal, sehingga mempengaruhi harga TSHE. Kelima, pengguna yang sudah menggunakan, sebagian besar pengguna ini masuk dalam kelompok tani, hal ini dikarenakan harga TSHE sampai lokasi relatif mahal sehingga pembeliannya secara arisan atau cicilan. Dana cicilan ini mendapatkan pinjaman dari YDD melalui kelompok tani. Kelompok ini merasakan manfaatnya dengan TSHE, yaitu lebih sehat, dapur lebih bersih, irit bahan bakar dan memasak lebih cepat matang sehingga mempunyai waktu luang untuk keluarga dan kegiatan lainnya. Pengguna ini juga membantu mendifusikan THSE ini ke masyarakat sekitarnya. Dan keenam, pengguna yang belum menggunakan, sebenarnya mereka mau menggunakan TSHE ini, tetapi alasan mereka adalah belum mempunyai dapur yang menetap atau dapur yang sudah bersih dan harga masih terlalu mahal bagi mereka. 4.
Perspektif Potensi
Pemasaran tungku sangat tergantung pada produsen tungku, kondisi saat ini produsen hanya ada satu di Kulon Progo. Sehingga pemasaran hanya di sekitar Kulon Progo dan sekitarnya. Produsen dan agen tungku hanya mau menjual TSHE di lingkungan provinsinya, karena biaya transportasi masih relatif mahal. Untuk memperluas pemasaran diperlukan tumbuhnya produsen TSHE di provinsi lainnya.
Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 95
Tumbuhnya produsen ini tidak mudah, karena dibutuhkan kursus bagi para pembuat TSHE. Lebih baik produsen baru ini merupakan produsen gerabah. Tetapi hal ini juga tergantung dari permintaan TSHE dari masyarakat sekitar.
5.3 Perumusan Strategi 5.3.1 Perumusan Strategi Mengoptimalkan Pemanfaatan PLTMH Perumusan strategi mengoptimalkan PLTMH dilakukan dengan beberapa tahapan dalam FGD para pakar PLTMH dengan menggunakan Reframing Matrix. Strategi yang dihasilkan dilihat dari berbagai perspektif yaitu : Perspektif Program Dari persoalan-persoalan yang diangkat menurut perspektif program, maka strategi yang disarankan adalah: 1. Listrik PLTMH harus bisa diakses oleh seluruh warga, agar tidak menimbulkan kecemburuan sosial yang bisa memicu persoalan sosial. Untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan penggunaan listrik, kapasitas terpasang minimal sebesar 120% dari kebutuhan warga. 2. Jika kapasitasnya tidak bisa memenuhi kebutuhan di atas, perlu diselesaikan secara teknis dan sosial untuk membatasi penggunaan listrik warga. Cara ini dilakukan di PLTMH Poncosumo, di mana setiap dua rumah menggunakan satu kWh meter. 3. Harus dikelola sebagai bisnis, yang bisa menutupi biaya operasi, termasuk menggaji orang-orang yang menjadi pengelola. 4. Karena pendapatan listrik sering hanya cukup untuk biaya operasi, namun kadang-kadang tidak mencukupi ketika ada kerusakan-kerusakan besar yang datang mendadak (misalnya karena banjir bandang), maka pemerintah daerah harus siap membantu. Alasannya adalah PLN saja mendapatkan subsidi dari pemerintah dalam menjual listrik ke masyarakat, mengapa PLTMH tidak, padahal harga jual listrik PLTMH juga lebih rendah dari PLN. 5. Jika PLN masuk, maka PLTMH bisa dioperasikan industri/agroindustri ataupun di-on-grid-kan ke PLN.
untuk
kegiatan
6. Untuk meningkatkan pemasangan PLTMH atau PLTM (Pembangkit Listrik Minihidro) yang on-grid dengan jaringan PLN, maka bisa mengundang investor swasta atau BUMD.
96 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
Perspektif Perencanaan Sedangkan dari perspektif perencanaan strategi yang disarankan adalah: 1. Perlu sosialisasi PLTMH ke berbagai pihak, agar pengambil keputusan memahami tentang PLTMH dan warga yang belum mendapatkan akses listrik memiliki informasi tentang PLTMH untuk diajukan sebagai usulan di Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes). 2. Pemerintah daerah perlu menguatkan kelembagaan energi, karena ini tidak hanya diperlukan untuk mengatasi kebutuhan warga, tetapi juga mengeksploitasi peluang energi dari air yang ada di daerah. 3. Dalam merencanakan PLTMH, pemerintah perlu mempertimbangkan keberlanjutannya. Ini artinya dana yang didapat pengelola harus mampu membiayai biaya operasi dan pemeliharaan. Pendapatan ini bisa dihitung dari perkiraan daya listrik yang dihasilkan dengan biaya langganan. Dengan perhitungan ini, berarti ada daya minimal yang harus dihasilkan oleh PLTMH, yakni sebesar 20 kWh, agar pendapatan hasil penjualan listrik cukup untuk menjaga keberlanjutan PLTMH ini. Perspektif Pemangku Kepentingan Dari perspektif pemangku kepentingan, maka strategi yang disarankan adalah: 1. Komunikasi dan sosialisasi dengan berbagai pihak diintensifkan agar bisa dipahami secara bersama bahwa PLTMH bisa menjadi aset daerah, yang masih bisa terus dieksploitasi mengingat negara kita masih kekurangan listrik. 2. Energi hanyalah salah satu aspek dari pembangunan, maka perlu disinergikan dengan pembangunan aspek-aspek lain. Karena itu koordinasi antar-dinas diperlukan untuk memaksimalkan pemanfaatan PLTMH.
Perspektif Potensi Untuk mengeksploitasi energi yang berasal dari aliran air sungai ini maka strategi yang disarankan adalah: 1. Ekploitasi energi melalui PLTMH perlu menjadi program yang didorong secara nasional. 2. Pemerintah pusat perlu aktif memfasilitasi ekploitasi energi ini, misalnya dengan menjadi mediator antara investor energi dan pemilik lahan, misalnya Perhutani, atau antara investor dengan pemasok teknologi, ataupun dengan PLN.
Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 97
5.3.2
Perumusan Usulan Strategi Pengembangan TSHE
Perumusan strategi mengoptimalkan pengembangan TSHE dilakukan dengan beberapa tahapan dalam Reframing Matrix. Strategi dilihat dari berbagai perspektif yaitu : Perspektif Program Dari persoalan-persoalan yang diangkat menurut perspektif program, maka strategi yang disarankan adalah: 1. Perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat perdesaan untuk mengganti tungku tradisional dengan TSHE. 2. Perlu adanya subsidi dari pemerintah atau donor lain untuk memperluas penyebaran TSHE harga. 3. Perlu adanya pelatihan perbaikan tungku agar pengguna dapat memperbaiki sendiri tungkunya jika ada kerusakan. 4. Perlu dikembangkan model TSHE yang berbahan baku lokal agar lebih mudah diproduksi dan lebih murah harganya. Perspektif Perencanaan Sedangkan dari perspektif perencanaan strategi yang disarankan adalah: 1. Pemerintah daerah perlu memfasilitasi pembentukan unit usaha (produsen) TSHE seperti kemudahan mendapatkan modal, teknologi, keterampilan, perancangan, dan sebagainya, agar masyarakat mudah mendapatkan TSHE yang dekat dengan lokasi mereka sebagai pengguna. 2. Pemerintah Daerah Tingkat Kabupaten sebaiknya memfasilitasi para pemuka masyarakat untuk menjadi agen pengubah yang dapat mengajak masyarakat untuk menjadi pengguna TSHE. 3. YDD dapat menjadi fasilitator dalam mencarikan donor untuk pengembangan TSHE dan memberikan sertifikasinya. 4. YDD melanjutkan pemberian pelatihan terkait dengan TSHE termasuk pemasarannya. Perspektif Pemangku Kepentingan Dari perspektif pemangku kepentingan, maka strategi yang disarankan adalah: 1. Melakukan roadshow dan kampanye melalui berbagai saluran media untuk penggunaan TSHE sebagai media memasak bersih tanpa polusi dan bermanfaat untuk kesehatan keluarga.
98 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
2. Diperlukan koordinasi antara Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Kesehatan, Dinas Kehutanan dan Dinas Perindustrian dalam pengembangan TSHE di tingkat masyarakat. Perspektif Potensi Untuk meningkatkan produksi TSHE maka strategi yang disarankan adalah : 1. TSHE dapat diproduksi di beberapa tempat di sekitar Kulon Progo, karena banyak pembuat gerabah yang berpotensi dapat memproduksi TSHE dan juga masih terbukanya peluang pasar TSHE di Indonesia. Selain itu, masih adanya peluang untuk mendapatkan bantuan donor dari dalam maupun luar negeri. 2. Bahan baku yang melimpah di daerah sekitar mendukung produksi TSHE.
Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 99
BAB VI PENUTUP 6.1 Simpulan Terkait dengan Keberlanjutan PLTMH Kendala yang menghambat keberlanjutan adopsi PLTMH adalah : a. Kendala teknis (teknologi dan operasional) dari PLTMH dan keterbatasan kemampuan pengelola. b. Perencanaan yang tidak tepat sehingga PLTMH tidak memenuhi kebutuhan seluruh penduduk. c. Kualitas listrik PLTMH kurang bisa diandalkan dibanding dengan listrik PLN d. Pendapatan dari PLTMH yang kecil tidak mencukupi biaya operasional dan pemeliharaannya
Peran inisiatif dan keterlibatan aktor lokal sangat menentukan keberlanjutan PLTMH. Di lokasi ini a.
Respon Pemerintah Daerah cukup baik, namun alokasi anggaran untuk pemeliharaan dan monitoring dan evaluasi tidak dibuat secara terencana.
b.
Aktor lokal yang memiliki jiwa kewirausahaan sangat menentukan dalam optimalisasi pemanfaatan PLTMH.
c.
Hubungan yang harmonis antar tokoh masyarakat desa sangat menentukan keberlanjutan PLTMH
d.
Keberadaan bengkel PLTMH mendukung keberlanjutan PLTMH.
e.
Dengan keterbatasan pendapatan dari PLTMH dibutuhkan jiwa sosial dari pengelolanya.
Strategi Keberlanjutan PLTMH a.
Sosialisasi PLTMH harus dilakukan oleh pemerintah daerah terutama untuk para pengambil keputusan di tingkat pemerintah daerah;
b.
Pembangunan PLTMH minimal menghasilkan daya listrik 120% dari kebutuhan;
c.
Untuk lokasi PLTMH yang tidak memiliki jaringan listrik PLN, penjualan listrik oleh pengelola harus dilakukan kepada rumah tangga dan bisnis (unit usaha), agar pendapatannya bisa menutupi biaya operasional;
100 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
d.
Untuk PLTMH yang berada di daerah yang memiliki jaringan PLN, maka penjualan listrik PLTMH sebaiknya dilakukan ke PLN dan warga sekitar;
e.
Pemerintah Daerah harus mendorong dan memberikan fasilitasi (insentif) kepada pihak swasta dan BUMD untuk berinvestasi di PLTMH dan listriknya dijual ke PLN (on-grid), termasuk membantu melakukan mediasi dengan pihak pemilik lahan dan masyarakat lainnya.
Terkait dengan Keberlanjutan Pengembangan dan Adopsi TSHE Kendala yang menghambat keberlanjutan adopsi TSHE adalah : a.
Masih banyaknya masyarakat yang menggunakan tungku tradisional
b.
TSHE memerlukan persiapan konstruksi awal sebelum digunakan
c.
Ha Strategi Keberlanjutan rga TSHE relatif tinggi karena tungkunya lebih kompleks dan memerlukan biaya transportasi
d.
Hanya ada satu produsen yang memproduksi TSHE
e.
Masih terbatasnya sosialisasi TSHE oleh para pemangku kepentingan
Peran inisiatif dan keterlibatan aktor lokal sangat menentukan keberlanjutan Pengembangan dan adopsi TSHE di lokasi ini a.
Peran agen pengubah yang berasal dari masyarakat lokal sangat membantu dalam keberlanjutan difusi TSHE
b.
Difusi TSHE ditentukan oleh adanya pihak yang menyediakan teknologi bagi produsen, mensertifikasi keandalan teknologi dari pihak lain, menghubungkan produsen dengan konsumen, dan membantu pendanaan konsumen untuk membeli TSHE. Sampai saat ini peran ini hanya dilakukan oleh YDD.
Strategi keberlanjutan pengembangan adopsi TSHE a.
Meningkatkan sosialisasi TSHE di kalangan pengambil keputusan dan warga masyarakat terutama pengguna tungku tradisional dan kompor minyak tanah
b.
Pemerintah Daerah harus memfasilitasi muculnya produksi TSHE yang tersertifikasi di kalangan pengrajin tungku tradisional dan gerabah
c.
Pemerintah Daerah dan atau bekerja sama dengan lembaga donor harus mendorong adopsi TSHE oleh masyarakat dengan memanfaatkan program hibah dengan skema dana bergulir
Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 101
d.
Pemerintah Daerah harus menjadi fasilitator dalam mengaktifkan jejaring kerja TSHE di DIY, terutama untuk para pemangku kepentingan seperti Yayasan Dian Desa (YDD), agen pengubah, agen tungku, dan lembaga donor (nasional dan internasional).
6.2 Saran-saran a.
Pemerintah perlu memberikan insentif dan kemudahan bagi tumbuhnya inisiatif masyarakat dan swasta dalam mengembangkan PLTMH atau TSHE, sehingga ketergantungan pada dana pemerintah bisa semakin diturunkan.
b.
Pemerintah daerah perlu melibatkan dan mendorong inisiatif dan tanggung jawab masyarakat lokal sehingga persoalan-persoalan -- baik sosial, teknis, maupun yang disebabkan oleh alam -- bisa diantisipasi sedini mungkin dan diselesaikan oleh mereka sendiri.
c.
Kegiatan pengembangan teknologi, baik PLTMH maupun TSHE, harus diupayakan oleh pemilik proyek agar mendapatkan pemasukan yang cukup untuk membiayai keberlanjutannya sendiri, baik untuk memenuhi kebutuhan operasional maupun pemeliharaan.
102 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
DAFTAR PUSTAKA Anthoni, 2000. Perencanaan Strategik Pengembangan Agribisnis Komoditi Lada (Piper nigrum) di Kabupaten Lampung Tengah. Tesis. Magister Manajemen Bisnis Institut Pertanian Bogor. Aditya Rozandy, Rizki, dkk, 2013. Analisis Variabel-Variabel Yang Mempengaruhi Tingkat Adopsi Teknologi Dengan Metode Partial Least Square (Studi Kasus Pada Sentra Industri Tahu Desa Sendang, Kec. Banyakan, Kediri). Jurnal Industrial Vo. 1 no. 3 hal. 147 – 158 Tingkat Adopsi Teknologi 147. Industria.ub.ac.id/index.php/industri/article/.../128, diakses dari internet 07/01/2014. Bank Dunia, 2013. Indonesia Menuju Akses Universal Memasak Bersih Tanpa Polusi. Program Energi Alternatif dan Berkelanjutan di Asia. Washington, DC. Chambers, R. (1997). Whose Reality Counts? Putting the First Last. London : Intermediate Technology Publications. Cooper, Donald R., and Pamela S. Schindler, 2006. Marketing Research. New York: Mc Graw-Hill. Callon, M., 1986. Some elements of a sociology of translation: domestification of scallops and fishermen of Saint Brieuc Bay. In J. Law (Ed.), Power, Action and Belief: A New Sociology of Knowledge? Sociological Review Monograph 32. London: Routledge & Kegan Paul. David, A. T., 2004. Diversity as Strategy. Harvard Bisnis Review Journal. David, F. R., 2007. Strategic Management : Concepts and Cases. Prentice Hall Pearson Education. New Jersey. Dedeurwaerdere, T. (2005). The contribution of network Governance to Sustainable Development. Les se´minaires de l’IDDRI, no. 13, 2005, 15 pp. Djojonegoro,W., 1992, Pengembangan dan penerapan energi baru dan terbarukan, Lokakarya "Bio Mature Unit" (BMU) untuk pengembangan masyarakat pedesaan, BPPT, Jakarta. Giddens, A., 1984. The Constitution Of Society . Cambridge: Polity Press. Gultom, L., 2008. Tingkat Adopsi Petani Terhadap Teknologi Budidaya Jagung Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Di Kabupaten Langkat (Studi Kasus: Desa Namu Ukur Utara Kecamatan Sei Binge, Kabupaten Langkat. Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan. repository.usu.ac.id/bitstream/.../3/09E00221.pdf.tx. Diakses 06/01/2014
Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 103
Hamel, G. dan C. K. Prahalad, 1997. Competing for the Future: Breakthrough Strategies or Seizing Control of Your Industry and Creating the Markets of Tomorrow. Harvard Business School Press, Boston. Hanafi, Abdillah, Drs., 1987. Memasyarakatkan Ide-Ide Baru. Disarikan dari karya Everett Rogers dan F.Floyd Shoemaker. Communication Of Innovations. Penerbit Usaha Nasional, Surabaya-Indonesia. library.um.ac.id/... /memasyarakatkan-ide-ide-baru-dar. Diakses 15/04/2014. Hariadi, B., 2005. Strategi Manajemen. Bayu Media Publishing. Malang. Jawa Timur. Hermawati, dkk. 2009. Kajian Implementasi dan Pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Mini/Mikrohidro (PLTMH) Untuk Peningkatan Usaha Produktif Masyarakat Perdesaan. LIPI Press. Jakarta. Hermawati, dkk., 2010. Strategi Pengembagan Usaha Listrik Berbasis PLTMH dalam Kaitannya dengan Pembangunan Masyarakat Perdesaan. LIPI Press. Jakarta. Hartiningsih dan Wati Hermawati, 2013. Tantangan Keberlanjutan Difusi Dan Adopsi Tungku Sehat Hemat Energi (TSHE): Studi Kasus Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Inovasi Nasional, Jakarta. Latour, B., 1991. Technology is Society Made Durable. Dalam J. Law (Ed.), A Sociology of Monsters? Essays on Power, Technology and Domination. London: Routledge. Latour, B., 2005. Reassembling The Social: An Introduction To Actor-Network-Theory. Oxford University Press. Law, J., 2009. Actor Network Theory and Material Semiotics. Dalam B.S. Turner (Ed.), The New Blackwell Companion to Social Theory. Oxford, UK: WileyBlackwellPorter, M.E. 1991 Strategi Bersaing ; Teknik menganalisis Industri dan pesaing, Cetakan Keempat, Terjemahan, Penerbit Erlangga, Jakarta Maulana, I. (2014). Learning Intelligence for Innovative Business. Yogyakarta: Graha Ilmu. Musyafak, Akhmad dan Ibrahim, Tatang M., 2005. Strategi Percepatan Adopsi dan Difusi Inovasi Pertanian Mendukung Prima Tani. Analisis Kebijakan Pertanian Volume 3 No. 1, Maret 2005. pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/ART03-1a.pdf. Diakses September 2013. Ostrom, E. 2001. Vulnerability and polycentric governance systems. International Human Dimensions Programme on Global Environmental Change, Newsletter UPDATE no. 3 (1):3-4.
104 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
Ostrom, E. 2010. Polycentric systems for coping with collective action and global environmental change. Global Environmental Change 20(4):550-557. http://dx.doi.org/10.1016/j.gloenvcha.2010.07.004 Pahl-Wostl, C. (2009). A conceptual framework for analysing adaptive capacity and multi-level learning processes in resource governance regimes. Global Environmental Change 19: 354–365. Pearce, J.A dan Robinson, R.B., Jr., 1997. Cases in Strategic Management, 4th edition,Il: Richard D.Irwin, Inc: Chicago, 1997 Porter, M. E., 1991. Strategi Bersaing: Teknik Menganalisis Industri dan Pesaing. Cetakan Keempat. Penerbit Erlangga. Jakarta. Rajinder Peshin, A. K. Dhawan, 2009. Diffusion of Innovation Theory and Integrated Pest Management. Integrated Pest Management Dissemination and Impact Volume 2, Punjab Agriculture University, Departemen of Entomology Ludhiana, India. books.google.com/books?isbn=1402089902 Ramalingam, B. (2006). Tools for Knowledge and Learning: A Guide for Development and Humanitarian Organisations. London: Overseas Development Institute. Ramani,K.V., 1992, Rural electrification and rural development, Rural electrification guide book for Asia & Pacific, Bangkok. Rangkuti, 2005. Analisis SWOT: Teknik Membedah Kasus Bisnis. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Reksohadiprodjo, S. 1994. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Energi. BPFE Yogyakarta. Rogers, Everett M., 1995. Diffusions of Innovation, Fourth Edition. Copyright 1962, 1971, 1983 by The Free Press, New York. Serrat, O. (2010). Knowledge solutions: tools, methods, and approaches to drive development forward and enhance its effects. Mandaluyong City, Philippines: Asian Development Bank. Soekartawi, 1998. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian. PT. Rajagrafindo Persada Soekartawi, 2005. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. UI Press. Jakarta Van Ast, J.A. & Boot, S.P. (2003). Participation in European water policy. Physics and Chemistry of the Earth 28: 555–562. Williamson, O.E. (1996). The mechanisms of governance. Oxford: Oxford University Press. Waspo. A., 1997. Biomassa Sebagai Pembangkit Tenaga Listrik.Wacana No 9/JuliAgustus
Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 105
Yusriadi, 2011. Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Adopsi Peternak Sapi Perah Tentang Teknologi Biogas di Enrekang, Sulawesi Selatan. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. repository.ipb.ac.id/bitstream/.../Cover_2011yus.pdf?. Diakses di internet 09/01/2014. ..................., 2014. Kondisi EBT di Indonesia/ Renewable Energy in Indonesia. energibarudanterbarukan.blogspot.com/2014_02_01
Bahan Bacaan Lainnya: Glueck, W.F. dan Jauch, 1998. Manajemen Strategis dan Kebijakan Perusahaan. Erlangga, Jakarta Jolivet, E. dan Heiskanen, E., 2010. Blowing againstthewind – An exploratory application of actor network theory to the analysis of local controversies and participati on processes in wind energy. Energy Policy 38: 6746–6754 Latour, B., 1988. The pasteurization of France. Diterjemahkan A. Sheridan dan J. Law (Ed.). Cambridge, MA.: Harvard University Press. Latour, B., 1988. The Pateurization of France. Cambridge, MA: Harvard University Press. Latour, B., 1992. Where are the missing masses? Sociology of a few mundane artefact. Dalam W. Bijker dan J. Law (Ed), Shaping Technology, Building Society: Studies in Sociotechnical Change. Cambridge, Mass.: MIT Press. Ni, J.Q. dan Nyns, E.J., 1996. New concept for the evaluation of rural biogas management in developing countries. Energy Convers. Mgmt 37(10): 1525-1534. Qiu, D., Gu, S., Liange B., dan Wang, G., 1990. Diffusion and Innovation in the Chinese Biogas Program. World Development 18(4): 555-563. Rogers, E.M. dan Shoemaker, F.F., 1971, Communication of Innovations, London: The Free Press. Umar, H., 2003. Strategic Management in Action. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. van den Bergh, J.C.J.M., Truffer, B., & Kallis, G. (2011). Environmental innovation and societal transitions: Introduction and overview. Environmental Innovation and Societal Transitions 1: 1–23.
106 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
LAMPIRAN I
I. Acuan Wawancara PLTMH Lantan, Lombok Barat Dibangun melalui proyek PLN : Prolindes (2012), dengan pengelola Koperasi Maju Mele. Pernah terjadi banjir bandang dan merusakkan turbin serta listrik tidak nyala. Listrik untuk warga dipasok oleh PLN dan perbaikan turbin dibantu dipinjami uang oleh PLN. Ketika memperbesar daya, pemasaran listrik terkendala pemasangan tiang di tanah kebun milik warga yang tidak boleh ditanami tiang. A. KOPERASI MELE MAJU 1. Apa fokus bisnis koperasi yang utama ? 2. Profil Proyek/Program • Nama Proyek dan Tahun implementasi • Bagaimana pemilihan proyek dilakukan ? • Besaran dana dan asal dana • Kerja sama dengan Institusi apa saja dan dalam bidang apa? • Tanggung jawab terhadap teknologi yang diimplementasikan (proyek) untuk berapa lama atau sampai kapan ? • Bagaimana untuk mempertahankan kesinambungan proyek di lokasi ? 3. Apakah PLTMH merupakan bagian tersendiri dalam bisnis Koperasi ? 4. Siapa nama pengelola PLTMH saat ini ? 5. Siapa yang memfasilitasi pembentukan pengelola PLTMH ? 6. Bagaimana struktur organisasi pengelola PLTMH dan Koperasi ? 7. Bagaimana komunikasi/jejaring antara pengelola dengan pihak luar dibangun, misalnya dengan Pemda/PLN/LSM/ dan pihak lainnya ? 8. Berapa harga listrik per kWh ? 9. Berapa harga yang harus dibayar warga saat pertama menyambung listrik ? 10. Berapa jumlah pelanggan menurut meteran ? Totalnya berapa rumah tangga dengan yang ngetol ? 11. Bagaimana mekanisme pembayaran tagihan listrik oleh warga ? 12. Bagaimana komunikasi tentang PLTMH disampaikan pada warga ? termasuk untuk warga yang menolak (termasuk pemilik kebun yang menolak) 13. Apakah pembayaran listrik warga pernah mengalami masalah ? apa masalahnya dan seberapa sering ? 14. Bagaimana pengelolaan keuangan yang diperoleh setiap bulannya ? 15. Selain listrik, manfaat apalagi yang didapat masyarakat atas pengelolaan PLTMH ini. 16. Bagaimana perlakuan tentap sosial dan umum untuk listrik dari PLTMH ? 17. Apa yang dapat mendukung listrik ini untuk terus menyala/Turbin terus bekerja dan menghasilkan listrik ?
Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 107
B. TEKNISI 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Berapa daya PLTMH saat ini ? Berapa Daya Terpasang ? Berapa jumlah teknisi saat ini ? Sebutkan nama-namanya dan usianya/pendidikannya Siapa yang memberikan pelatihan terhadap teknisi ? Bagaimana mekanisme kerja teknisi ? Bagaimana mekanisme operasional teknologi dilakukan, apakah teknologi dioperasionalkan setiap hari ? – adakah waktu untuk membersihkan mesin ? kapan ? – bagaimana melakukannya, siapa yang melakukan ? Jika ada kerusakan, bagaimana prosedur yang harus ditempuh ? Lapor kepada siapa? dan siapa yang akan membiayai kerusakan ? Apakah ada permasalahan dengan sungai dan air selama ini? Permasalahan apa yang paling mengganggu jalannya PLTMH ?
C. KADES LANTAN 1. Apakah keuntungan PLTMH bagi Desa Lantan ? 2. Apa peran Ka Desa dalam PLTMH atau apa bentuk perhatian Desa terhadap PLTMH? D. PEMILIK KEBUN 1. Apakah ibu/bapak mendapatkan manfaat dari PLTMH ? 2. Jika mendapatkan listrik PLTMH, berapa ibu/Bapak rata-rata membayar satu bulan? 3. Mengapa bapak/ibu tidak mengijinkan kebun ditanami tiang listrik ? 4. Adakah komunikasi pengelola/Ka desa dengan Ibu dan Bapak ? 5. Berapa kerugian yang ditaksir jika kebun ditanami tiang listrik ? E. PENGGUNA/WARGA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Nama Bapak/Ibu ? Alamat lengkap Jumlah anggota keluarga ada berapa ? Jumlah listrik yang digunakan (berapa watt ) Berapa gantungan listrik di dalam ruangan ? Berapa rata-rata membayar listrik sebulan ? Berapa jam rata-rata listrik menyala ? Apa perbedaan ada listrik dan tidak ? Apa manfaat setelah ada listrik ? • Bagaimana capaian anak sekolah setelah ada listrik ? • Bagaimana suasana di dalam rumah ketika malam hari, apakah ada perbedaan waktu tidur ? • Waktu malam hari sebelum tidur digunakan untuk apa saja bagi anggota keluarga ? • Adakah usaha produktif tambahan setelah ada listrik , bagi ibu atau bapak?
108 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
• • • • • •
Nama-nama peralatan apa saja yang menggunakan listrik Berapa rata-rata penghematan waktu dan biaya setelah ada listrik ? Apakah ada perkumpulan warga di malam hari ? Adakah perbedaan jam bangun pagi setelah ada listrik ? Sebutkan manfaat terbesar bagi ibu / bapak setelah ada listrik. Apa dampak negatif dari adanya listrik ?
F. PEMERINTAH KABUPATEN Nama Pemda dan Kontak Person : 1. Apa kebijakan dan peran utama pemda terkait dengan kemandirian energi di daerah (kab/prop) 2. Dengan sumber daya yang ada sekarang, pilihan teknologi terbarukan apa yang paling banyak tersedia 3. Adakah peta penerapan teknologi terbarukan di daerah ini ? sudah berapa banyak dan dimana saja ? 4. Siapa saja pemilik proyek energi terbarukan untuk masyarakat disini. 5. Berapa persen rata-rata dari anggaran dinas ini untuk penerapan teknologi energi terbarukan di masyarakat setiap tahunnya. 6. Adakah dana untuk maintenance energi terbarukan yang telah diimplementasikan di masyarakat ? 7. Bagaimana pemda memilih daerah untuk prirotas penerapan energi terbarukan? 8. Jika teknologi berasal dari instasi lain/pusat, apakah pemda turut mengalokasikan biaya untuk teknologi tersebut ? 9. Bagaimana komunikasi dilakukan antara pemda dan masyarakat ? 10. Program apa yang paling prioritas saat ini dan mendukung kebijakan pemerintah pusat ? 11. Apakah ada hambatan dalam sosialisasi dan implementasi teknologi G. PLN 1. Apakah proyek Prolindes masih dilakukan saat ini ? 2. Apa kriteria pemilihan PLTMH di Lantang ? 3. Manfaat apa bagi PLN membangun PLTMH di Lantang ? 4. Bagaimana bentuk dukungan PLN agar PLTMH Lantang berkesinambungan? H. TOKOH MASYARAKAT 1. Apakah keberadaan PLTMH memberikan manfaat bagi warga ? sebutkan 2. Apakah ada aspek negatif yang muncul dengan adanya PLTMH ? 3. Bagaimana sosialisasi tentang PLTMH dilakukan dikampung ini ? 4. Apakah Bapak/Ibu memiliki peran tertentu dalam mempertahankan PLTMH ini ? I. HEKSA/PENJUAL TURBIN
Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 109
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Nama penjual teknologi, alamat dan track record nya Apakah teknologi dibuat di DN atau diimpor ? Spek teknologi yang diimplementasikan di daerah tersebut Bagaimana mekanisme penjualan/pemesanan teknologi Berapa lama garansi yang diberikan dan apa syaratnya Adakah mekanisme tertentu untuk masyarakat tanpa donor dari manapun ? Jika masa garansi habis, apakah masih bisa membantu memperbaiki jika terjadi kerusakan ? Apakah menyediakan pelatihan lanjutan atau pelatihan untuk teknisi baru ? Jenis-jenis teknologi apa saja yang saat ini tersedia ? Di daerah mana saja telah diimplementasikan teknologi serupa Apa hambatan yang ditemui di masyarakat ketika mengimplementasikan teknologi tersebut ? Apa prasyarat yang dibutuhkan untuk mempermudah implementasi ? Apa prasyarat untuk menjadikan teknologi tersebut berkesinambungan ?
Kontak person :
II. Acuan Wawancara Dukuh Mlambing A. Ketua Kelompok PLTMH (Pak PS) Jika PLN belum beroperasi 1. Langkah-langkah apa yang dilakukan pengurus untuk menjaga keberlanjutan PLTMH? 2. Siapa saja pihak lain di luar Dukuh Mlambing yang dimintai bantuan untuk menjaga keberlanjutan PLTMH? 3. Apakah juga melakukan komunikasi dengan PLN? Jika ya, apa yang dibicarakan? 4. Sejauh mana perhatian dari pemkab dan kades berkaitan dengan menjaga keberlanjutan PLTMH? 5. Komunikasi apa yang dibangun dengan masyarakat dan pemuka masyarakat disini tentang PLTMH? Apakah ada pertemuan khusus secara reguler membahas tentang PLTMH ? 6. Berapa rumah saat ini yang menjadi pelanggan PLTMH? bertambah atau berkurang dari enam bulan yang lalu? Berapa perbedaannya? 7. Apakah dengan adanya PLTMH ini sudah dirasakan cukup bagi masyarakat? 8. Masalah apa saja yang berkaitan dengan PLTMH yang berkaitan dengan masyarakat? Jika PLN sudah beroperasi 1. Berapa pelanggan yang beralih ke PLN? 2. Apa alasan yang beralih ataupun yang tidak beralih? 3. Apakah kelangsungan pengoperasian listrik PLTMH terancam? Tindakan apa saja yang dilakukan pengurus PLTMH untuk mengatasi hal ini? 4. Apakah ada pengurus yang beralih ke PLN?
110 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
5.
Apa yang sudah dan akan direncanakan pengurus untuk menyelamatkan kelangsungan PLTMH? 6. Apakah ada perhatian dari pemkab atau kades untuk menyelamatkan PLTMH? Apakah mereka tahu masalah ini? 7. Berapa biaya yang dikenakan oleh PLN? 8. Apakah masyarakat dimintai pendapatnya dalam penentuan besar biaya atau semuanya ditetapkan PLN? B. Pelanggan PLTMH yang sudah mendaftar PLN 1. 2. 3. 4.
Mengapa mendaftar ke PLN? Apakah layanan PLTMH sering mengecewakan? Apakah layanan PLN lebih baik dari PLTMH? Jika PLN, sudah beroperasi: Apakah kualitas layanan PLN lebih baik dari PLTMH? Berapa besar perbedaan biaya antara PLN dan PLTMH?
C. Pak S 1.
Pernah dihubungi dan diminta bantuan untuk menjaga kelangsungan PLTMH di Dukuh Mlambing? 2. Apa yang diperlukan untuk mempertahankan PLTMH tersebut? 3. Berapa besar dana yang diperlukan untuk merevitalisasi PLTMH tersebut? 4. Jika bantuan tersebut sudah diberikan, apakah berikutnya PLTH Mlambing bisa mandiri tanpa bantuan dari pemerintah lagi? 5. Apa yang menjadi persoalan utama PLTMH Mlambing dilihat dari sisi teknologi ? 6. Bagaimana kemampuan SDM yang terkait dengan PLTMH 7. Apakah ada kerjasama atau bantuan dari pihak lain? (dana, teknologi dll) D. Pejabat PEMKAB 1.
Ada berapa PLTMH di Kabupaten Lumajang yang masih beroperasi? Apakah Pemkab secara periodik melakukan pendataan? 2. Apakah Pemkab mengetahui wilayah yang belum mendapatkan akses listrik dari PLN? adakah peta implementasi berbagai jenis energi terbarukan di kabupaten ini ? 3. Apakah PLN memberi tahu program pelistrikan yang akan dilakukannya, sehingga bisa disinkronkan dengan program penyediaan energi oleh pemkab (misalnya PLTMH atau sel surya)? 4. Apakah ada pengaturan mengenai masuknya PLN jika sudah ada PLTMH atau sel surya? 5. Apakah Bapak tahu tentang adanya PLTMH di Dusun Mlambing? Adakah program Pemkab untuk menjaga keberlanjutan PLTMH tersebut? 6. Dukungan apa yang diberikan Pemda kepada Pelaku Industri ET seperti Pak Sucipto ? 7. Bagaimana bentuk motivasi yang diberikan Pemda kepada pengelola ET di daerahnya ?
Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 111
8. Apakah setiap bantuan/hibah terkait dengan ET dan pemberdayaan masyarakat dilakukan evaluasi/monitoring secara reguler ? adakah laporan nya ? 9. Apakah ada kebijakan khusus tentang ET yang dikeluarkan oleh Pemda Lumajang?
III. Acuan Wawancara PLTMH Gunung Sawur A. Pemilik PLTMH (Pak S) Jika penjualan ke PLN sudah terjadi: 1. Apakah semua listrik dijual ke PLN, sehingga seluruh pelanggan lama akan dialihkan menjadi pelanggan PLN? 2. Jika ya, apakah ada keberatan dari mereka karena biaya langganannya jadi lebih mahal? 3. Jika tidak, berapa persen daya yang dialihkan ke PLN? 4. Penyesuaian apa dari segi teknis yang dilakukan untuk koneksi ke PLN? 5. Penyesuaian pengelolaan apa yang dilakukan? 6. Apakah PLN menempatkan orangnya untuk memantau PLTMH dari segi teknis dan pengelolaan? 7. Apakah PLTMH sebagai unit bisnis sudah memiliki status hukum yang sah? 8. Siapa saja yang sudah dilibatkan dalam proses menyambungkan PLTMH ke listrik PLN? (Camat, Kades, Pemkab.....) Jika belum terkoneksi ke PLN 1. Apa yang menjadi kendala sehingga koneksi belum terjadi? 2. Bagaimana Bapak akan mengkomunikasikan ini dengan masyarakat ? 3. Bagaimana respon warga saat mendengar rencana ini? 4. Keuntungan apa yang akan didapat warga jika seluruh listrik dijual ke PLN ? B. Sungai 1. 2. 3.
Apakah ada masalah dengan aliran air setelah pembesaran kapasitas PLTMH? Bagaimana kecenderungan debit air sungai dan kondisi sungai dalam setahun terakhir ini ? apakah ada komunikasi dengan pemangku kepentingan lain terkait dengan sungai (Dinas pengairan, pertanian, kelompok tani/air, dll)
C. Turbin/generator Gunung Sawur 1.
Saat dilakukan pembesaran kapasitas PLTMH apa saja yang diganti? Bangunan sipil, turbin, alat kendali elektronik….. 2. Ketika koneksi dengan PLN apa saja yang harus diganti atau ditambahkan? 3. Siapa yang membiayai semua peralihan ini? 4. Apakah ada pihak lain yang terlibat, dari mana dan bentuknya apa?
112 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
D. PLTMH Poncosumo 1. Bagaimana nasibnya sekarang? Dan akan diapakan ? 2. Sudah berapa orang pelanggannya yang beralih ke PLTMH Gunung Sawur? E. PLTMH Kajarkuning 1. 2. 3.
Apakah sudah dihidupkan lagi? Apakah disatukan dengan PLTMH Gunung Sawur? Dulu siapa yang mendanai proyek PLTMH Kajarkuning? Apakah ada masalah dengan pengalihan ini?
F. Bengkel 1. 2.
Jika sudah koneksi dengan PLN, apakah bengkel tetap bisa memanfaatkan listrik PLTMH seperti dulu? Atau ada kesepakatan dengan PLN berkaitan dengan pemanfaatan ini? Setelah ada pembesaran kapasitas, apakah berarti kapasitas yang bisa digunakan bengkel jadi lebih besar, dan apakah ini berpengaruh pada pekerjaan yang bisa dilakukan oleh bengkel?
G. Tokoh masyarakat (warga) 1.
Bagaimana kualitas listriknya? Dalam satu bulan terakhir listrik pernah mati? Setahun terakhir? 2. Apakah kalau ada masalah listrik warga bisa cepat mendapatkan bantuan dari pengelola? 3. Bagaimana dengan warga yang tidak mampu membayar, apakah pengelola bersikap tegas? 4. Apakah masyarakat terlibat mengambil keputusan berkaitan dengan PLTMH, atau terima jadi saja sebagai konsumen? 5. Pembayaran per bulan? 6. Manfaat setelah ada listrik? H. Pemkab 1. 2. 3.
Punya peta daerah yang belum dilistriki? Punya data PLTMH dan sumber daya energi (air) yang ada di Lumajang? Bagaimana Pemkab berkomunikasi dengan stakeholder PLTMH? Pernah melakukan pemantauan dan evaluasi? Adakah studi kelayakan? 4. Apakah Pemkab mengalokasikan dana untuk pemeliharaan? 5. Kebijakan Pemkab berkenaan dengan kemandirian energi di daerah mereka?
Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 113
Acuan Wawancara TSHE Yogyakarta a. Dian Desa 1. Bagaimana awal mula tentang Program 1000 tungku yang dilakukan Dian desa? (dana, kerjasama, daerah mana, sosialisasi, dll) 2. Bagaimana peran Dian Desa dalam pengembangan TSHE? (sebelum, sekarang dan yang akan datang) dan sebagai apa? (pemberi dana, penyuluh dll) 3. Bagaimana perkembangan TSHE sampai dengan saat ini? (produksi, inovasi, penggunaan, produsen, harga, daerah, kerjasama, agen pengubah lainnya selain bu Prapti, cara sosialisasi keberlanjutan adopsi penggunaan TSHE, dll) 4. Apa keuntungan dan kerugian dengan adanya pengembangan TSHE ini? 5. Institusi apa saja yang terlibat dalam pengembangan TSHE ini. 6. Partisipasi Donor Asing dalam Menumbuhkan Kemandirian Energi di Indonesia (a).
(b). (c). (d). (e). (f). (g). (h). (i). (j). (k). (l). (m).
Donor asing manasaja dan siapa saja yang bergerak di bidang TSHE dan sejak kapan ? • WB • Arecop • ?? • ?? Apa peran dan bantuan mereka ? Adakah persyaratan khusus yang diajukan donor ketika akan membantu masyarakat Indonesia? Berapa cakupan wilayah/RT/Desa/Teknologi yang menjadi target mereka? Berapa lama waktu implementasi proyeknya. Selain akses masyarakat terhadap teknologi energi, apalagi output yang mereka targetkan ? Skema bantuan yang diberikan berupa apa Hibah atau Loan ? Untuk berapa lama ? Bentuk peningkatan kapasitas seperti apa yang diberikan pada masyarakat? Bagaimana proses alih teknologi tungku dari luar ke YDD ? Bagaimana proses pengembangan tungku yang dilakukan YDD ? Apakah ada petugas/divisi khusus tungku atau dengan tenaga volunteer? Apa sisi negatif dari adanya donor asing, baik bagi masyarakat penerima bantuan dan masyarakat luas serta pemerintah Indonesia ? Adakah laporan kegiatannya yang telah diterbitkan ?
114 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
b. Bu Prapti dan Pak Murdianto 1. Bagaimana peran bu Prapti dalam penyebaran dan pengembangan TSHE? (peran sentral, penyuluh, dll) 2. Bagaimana perkembangan program 1000 tungku yang ibu ceritakan tahun lalu? 3. Seberapa jauh program 1000 tungku dilakukan? 4. Apakah sudah berhasil program 1000 tungku ini? 5. Berapa yang menggunakan TSHE yang ada di lingkungan ibu? 6. Berapa orang yang belum mengadopsi TSHE? Alasannya apa? 7. Apakah alasannya finansial? Atau mereka tidak mendapatkan informasi krn mereka bukan anggota keplompok bu Prapti? 8. Apakah semua yang mendapatkan TSHE hanya dari kelompok bu prapti? Bisa tidak apabila tidak aktif dalam kelompok bu Prapti? 9. Daerah mana saja yang sudah disosialisasikan mengenai TSHE? 10. Siapa saja yang membantu bu Prapti dalam mensosialisasikan TSHE? 11. Bagaimana menurut ibu tentang keberlanjutan program TSHE di Kulon Progo? 12. Apa penyebab perbedaan tentang penyebaran TSHE antara daerah bu Prapti kelompok wanita tani (KWT) Nusa Indah dengan pak Murdianto (Kelompok Tani Lestari Mandiri (Lesman)? 13. Apakah masih berkomunikasi dengan YDD? Dalam hal apa? 14. Apa keuntungan dan kerugian dengan adanya pengembangan TSHE ini? 15. Bagaimana dan kapan anda berkomunikasi dengan produsen tungku dan siapa produsennya ? 16. Apakah sudah ada masyarakat /penduduk disini yang sudah dapat membuat sendiri TSHE ?, berapa orang ? dan dari mana bahan bakunya ? 17. Peran Bu Prapti sebagai agen perubahan : 18. Komunikasi dan sosialisasi 19. Pengambilan keputusan 20. Membentuk jejaring 21. Pendampingan teknologi baru 22. Lain-lain 23. Bagaimana tanggapan masyarakat di tempat ibu/bapak tinggal tentang informasi TSHE yang disosialisasikan? 24. Apakah masyarakat percaya terhadap sosialisasi TSHE yang ibu/bapak informasikan?
Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 115
c. Masyarakat Pengguna tingkat rumah tangga: Bapak
Ibu
Nama Responden Alamat Tingkat Pendidikan Pekerjaan Jumlah anggota Keluarga Mulai penggunaan TSHE 1. Darimana mendapatkan informasi mengenai TSHE? (bu Prapti, teman, tetangga, saudara, dll) 2. Siapa yang memutuskan dalam menggunakan TSHE? 3. Siapa yang membuat TSHE? dananya berapa? Beli dari mana? Apakah mendapat bantuan? Apakah membayar tunai atau dicicil? 4. Apa dampak sebelum dan setelah menggunakan TSHE? 5. Sebutkan manfaat dari TSHE secara umum .............. 6. Bagaimana masalah di bawah ini dipecahkan dengan TSHE dan tungku tradisional Masalah
Tungku
TSHE
Lain-lain
tradisional 1. kesehatan 2. lingkungan 3. waktu
untuk
masak 4. pengeluaran untuk memasak
7. Jika ada penghematan waktu, sisa waktunya digunakan untuk apa ? 8. Apakah keluarga disini mendapatkan pembagian tabung gas dan kompor dari pemerintah? 116 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE
9. Apakah gas tersebut digunakan? Kalau tidak digunakan, alasannya apa? 10. Berapa kali pertemuan yang dilakukan oleh KWT Nusa Indah? 11. Apakah ibu/bapak ikut membantu mensosialisasikan penggunaan TSHE? bagaimana caranya? 12. Bagaimana pendapat ibu/bapak mengenai ibu Prapti/bapak Murdianto? 13. Alasan apa ibu/bapak percaya dengan ibu Prapti/bp. Murdianto? 14. Waktu masih menggunakan tungku biasa ketika anak masih kecil atau bayi, apakah diasuh di dapur? Tapi sejak menggunakan TSHE apakah anak2 tetap main di dapur? Bukan Pengguna TSHE: Bapak
Ibu
Nama Responden Alamat Tingkat Pendidikan Pekerjaan Jumlah anggota Keluarga
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Mengapa ibu tidak menggunakan TSHE? Apakah harga terlalu mahal? Apakah asap dari tungku yang ada tidak mengganggu ibu? Apakah TSHE sulit dicari? Kenapa ibu tidak masuk dalam kelompok wanita tani (KWT) Nusa Indah dusun Bleder? Selama ini ibu menggunakan apa untuk memasak? Berapa rupiah dalam sebulan untuk membeli bahan bakar untuk memasak? Jika menggunakan gas atau minyak tanah, apakah mudah untuk mendapatkannya? Berapa harga gas dan minyak tanah disini? Apakah ada sosialisasi tentang sosialisasi TSHE? apakah ibu/bapak diundang dalam sosialisasi tersebut? Oleh siapa sosialisasi itu dilakukan? Bagaimana pendapat ibu/bapak tentang sosialisasi tersebut? Bagaimana pendapat ibu/bapak terhadap orang yang melakukan sosialisasi? Apakah ibu kenal dengan bu Prapti/Bp. Murdianto? Bagaimana pendapat ibu mengenai mereka? Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE | 117
Pengguna TSHE tingkat Industri atau UKM Uraian
TSHE
Tungku sebelumnya
Nama Responden Jenis Usaha Alamat Nama Produk Produksi/bulan Kualitas produk Waktu yang digunakan Kegiatan produksi oleh siapa (L/P) Keuntungan per bulan Harga per Kg Jangkauan Pasar 1. Alasan bapak/ibu menggunakan TSHE untuk industri? 2. Siapa yang mengambil keputusan pertama kali dalam penggunaan TSHE di keluarga ini? 3. Berapa penghematan yang bapak/ibu peroleh dengan menggunakan TSHE? 4. Setelah menggunakan TSHE, apakah ada sisa waktu? Digunakan untuk apa? 5. Bagaimana pendapat ibu/bapak mengenai ibu Prapti/bapak Murdianto? 6. Alasan apa ibu/bapak percaya dengan ibu Prapti/bp. Murdianto? 7. Waktu masih menggunakan tungku biasa ketika anak masih kecil atau bayi, apakah diasuh di dapur? Tapi sejak menggunakan TSHE apakah anak2 tetap main di dapur? 8. Apakah ibu/bapak ikut membantu mensosialisasikan penggunaan TSHE? bagaimana caranya? d. Pemda/Pemkab (ditanyakan di YDD atau saat bertemu Bu Prapti dan Pak Murdianto) 1. Apa peran dan dukungan pemkab dalam pengembangan TSHE? 2. Apakah pemkab memberi dana bantuan dalam pengembangan TSHE? melalui siapa? (YDD, bu Prapti, tokoh masyarakat, dll) 3. Menurut pandangan bapak bagaimana perkembangan TSHE saat ini dan yang akan datang? 118 | Penelitian Keberlanjutan Adopsi PLTMH dan TSHE