STRATEGI GURU PAI DALAM KONTEKS PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR Syamsu S.*
Abstrak : Peningkatkan prestasi belajar peserta didik bukanlah persoalan dan pekerjaan yang mudah. Hal ini disebabkan karena kemampuan dan karakteristik peserta didik variatif dan banyak ditentukan oleh dimensi intrinsik dan ekstrinsik peserta didik itu sendiri. Guru PAI selaku pendidik yang dipandang memiliki kompetensi profesionalreligius dan personal-religius dituntut agar proses pembelajaran memberikan motivasi untuk kemudian memunculkan kesan bagi peserta didik suka belajar pengetahuan bernuansa Islam. Strategi pembinaan yang dapat dikembangkan guru pendidikan agama Islam dilakukan dengan cara; mengembangkan disiplin peserta didik, mengembangkan motivasi peserta didik, dan mengembangkan interaksi guru dan peserta didik.
Kata-kata kunci : Strategi guru PAI, prestasi belajar Pendahuluan Mutu pendidikan dan prestasi belajar peserta didik secara khusus tidak bisa dilepaskan dari komponen pembelajaran yang secara holistik saling mengikat dan menguatkan yaitu kurikulum, isi pendidikan, proses pembelajaran, evaluasi, kualitas guru, sarana dan prasarana sekolah, serta buku ajar. Dari sini bisa dilihat bahwa komponen guru menjadi bagian yang sangat menentukan mutu pendidikan. Peranan dan tanggung jawab guru sebagai pendidik perlu mendapat perhatian. Bagi guru, meningkatkan prestasi belajar peserta didik bukanlah persoalan yang mudah. Pekerjaan ini membutuhkan keterampilan dan pengalaman yang cukup. Hal ini disebabkan karena prestasi belajar peserta didik dipengaruhi oleh beberapa hal, baik intrinsik maupun ekstrinsik. *
Syamsu S., Dosen Tetap STAIN Palopo
38
Volume 13, Nomor 1, Januari 2011
39
Dalam interaksi edukatif, guru dan peserta didik adalah dua person yang diikat dalam satu hubungan pedagogis. Guru di satu pihak berusaha menciptakan kondisi belajar yang menyenangkan bagi peserta didik, dengan melakukan variasi metode dan strategi mengajar serta penggunaan media pembelajaran. Sementara di pihak lain, peserta didik diharapkan mengalami proses belajar yang berujung pada perubahan tingkah laku baik pada ranah pengetahuan, keterampilan, maupun sikap (Chalijah Hasan, 1994: 144).
Tulisan ini mencoba mengurai strategi guru PAI selaku pendidik yang dipandang memiliki kompetensi personal-religius dan profesionalreligius dapat meningkatkan prestasi belajar peserta didik khususnya pada pembelajaran pendidikan agama Islam di sekolah. Esensi Pembelajaran PAI di Sekolah Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama menjadi pemandu dalam upaya mewujudkan suatu kehidupan yang bermakna, damai dan bermartabat. Menyadari betapa pentingnya peran agama bagi kehidupan umat manusia maka internalisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan setiap pribadi menjadi sebuah keniscayaan, yang ditempuh melalui pendidikan baik pendidikan di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Pendidikan Agama dimaksudkan untuk meningkatkan potensi spiritual dan membentuk peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, dan moral sebagai perwujudan dari pendidikan Agama (Muhaimin, et. al, 2002: 78). Peningkatan potensi spritual mencakup pengenalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai keagamaan, serta pengamalan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan individual ataupun kolektif kemasyarakatan. Peningkatan potensi spritual tersebut pada akhirnya bertujuan pada optimalisasi berbagai potensi yang dimiliki manusia yang aktualisasinya mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan. Pendidikan Agama Islam diberikan dengan mengikuti tuntunan bahwa agama diajarkan kepada manusia dengan visi untuk mewujudkan manusia yang bertakwa kepada Allah swt. dan berakhlak mulia, serta bertujuan untuk menghasilkan manusia yang jujur, adil, berbudi pekerti, etis, saling menghargai, disiplin, harmonis dan produktif, baik personal maupun sosial. Tuntutan visi ini mendorong dikembangkannya standar
40
Volume 13, Nomor 1, Januari 2011
kompetesi sesuai dengan jenjang persekolahan yang secara nasional ditandai dengan ciri-ciri: 1. Lebih menitikberatkan pencapaian kompetensi secata utuh selain penguasaan materi, mengakomodasikan keragaman kebutuhan dan sumber daya pendidikan yang tersedia. 2. Memberikan kebebasan yang lebih luas kepada pendidik di lapangan untuk mengembangkan strategi dan program pembelajaran sesuai dengan kebutuhan dan ketersedian sumber daya pendidikan. Pendidikan Agama Islam diharapkan menghasilkan manusia yang selalu berupaya menyempurnakan iman, takwa, dan akhlak, serta aktif membangun peradaban dan keharmonisan kehidupan, khususnya dalam memajukan peradaban bangsa yang bermartabat. Manusia seperti itu diharapkan tangguh dalam menghadapi tantangan, hambatan, dan perubahan yang muncul dalam pergaulan masyarakat baik dalam lingkup lokal, nasional, regional maupun global. Guru PAI diharapkan dapat mengembangkan metode pembelajaran sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar. Pencapaian seluruh kompetensi dasar perilaku terpuji dapat dilakukan tidak beraturan. Artinya, peran semua unsur sekolah, orang tua siswa dan masyarakat sangat penting dalam mendukung keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan agama Islam. Secara umum, tujuan pembelajaran PAI di semua jenjang pendidikan adalah untuk: 1. Menumbuhkembangkan akidah melalui pemberian, pemupukan, dan pengembangan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, pembiasaan, serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang keimanan dan ketakwaannya kepada Allah swt. 2. Mewujudkan manuasia Indonesia yang taat beragama dan berakhlak mulia yaitu manusia yang berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi (tasamuh), menjaga keharmonisan secara personal dan sosial serta mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah (Departemen Agama RI., 2001: 14). Untuk mencapai tujuan tersebut, maka ruang lingkup pembelajaran PAI meliputi aspek-aspek; al-Qur’an, Hadis, Aqidah, Akhlak, Fiqih, Tarikh dan Kebudayaan Islam. Pendidikan Agama Islam menekankan keseimbangan, keselarasan, dan keserasian antara hubungan manusia dengan Allah swt., hubungan
Volume 13, Nomor 1, Januari 2011
41
manusia dengan sesama manusia, hubungan manusia dengan diri sendiri, dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Standar kompetensi dan kompetensi dasar menjadi arah dan landasan untuk mengembangkan materi pokok, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian. Dalam merancang kegiatan pembelajaran dan penilaian perlu memperhatikan Standar Proses dan Standar Penilaian. Strategi Pembinaan Agama Islam pada Peserta Didik Strategi pembinaan yang humanis dan mendidik secara tidak langsung dapat memotivasi peserta didik untuk dapat meningkatkan prestasi belajar mereka. Kedudukan guru PAI di sekolah sangat vital karena pada saat yang bersamaan mereka dituntut secara profesional untuk meningkatkan kualitas pembelajaran khususnya pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) sekaligus dituntut secara moral untuk dapat membangkitkan motivasi belajar peserta didik dalam mencapai prestasi belajar yang diinginkan. Kreativitas dan variasi pembelajaran yang dilakukan guru PAI bukan hanya dituntut menarik bagi peserta didik, tetapi lebih dari itu, juga memberikan kesan dan motivasi bagi peserta didik untuk mempelajari pendidikan agama Islam. Oleh karena itu, membahas dan mengkaji masalah pembinaan guru PAI tidak terlepas dari eksistensi mereka sebagai tenaga pengajar. Hal ini sangat beralasan untuk dikemukakan karena keberadaan mereka seringkali dianggap hanya sebagai pelengkap saja. Meskipun bukan gambaran umum, fenomena menunjukkan bahwa semakin hari minat anak-anak terhadap pelajaran pendidikan agama Islam kurang menggembirakan. Peserta didik pada umumnya lebih cenderung memfokuskan diri untuk mempelajari matematika, fisika, ilmu pengetahuan alam dibanding pelajaran pendidikan agama Islam (PAI) seperti al-Qur’an dan Hadis, Aqidah dan Ahlak, Fiqih, dan sebagainya. Tidak bisa dipungkiri, kondisi tersebut secara tidak langsung berdampak pada keberadaan guru agama Islam itu sendiri.
42
Volume 13, Nomor 1, Januari 2011
Strategi pembinaan agama Islam hendaknya dikembangkan dengan baik. Hal ini disebabkan karena tantangan pendidikan Islam semakin hari semakin berat. Tudingan sebahagian kalangan yang mengklaim bahwa pendidikan Islam yang diajarkan di sekolah gagal membawa peserta didik menjadi manusia bertakwa. Isu kenakalan peserta didik merupakan fenomena sosial yang menjadi perhatian berbagai pihak seperti penggunaan narkoba, tawuran antarpelajar, pornografi, pelecehan seksual, merusak milik orang, merampas, aksi graffiti, kebut-kebutan di jalan raya, perkelahian antarkelompok, menggangu teman, melawan guru, dan perilaku menyimpang lainnya sudah menjadi masalah sosial yang sampai saat ini belum dapat diatasi secara tuntas. Akibat yang ditimbulkan cukup serius dan tidak dapat dianggap sebagai suatu persoalan sederhana, karena sering menjurus kepada tindak kriminal. Fenomena amoral semacam ini memicu kenakalan peserta didik baik di dalam maupun di luar sekolah. Dalam kenyataannya perilaku amoral peserta didik sifatnya pluktuatif. Dampak negatif semakin tampak di tengah masyarakat. Era kehidupan global dan kemajuan teknologi yang pesat semakin membuka ruang ke arah yang lebih ekstrim. Berbagai sarana yang sejatinya menunjang aktivitas peserta didik disalahgunakan sehingga makin memperparah keadaan. Akibatnya, kehidupan peserta didik semakin terpuruk yang melahirkan dekadensi moral, sosial, dan spritual (TB. Aat Syafaat, dkk., 2008: 152). Isu-isu amoral tersebut sebagai ekses modernisasi jelas menjadi tantangan yang sangat serius dan membutuhkan penanganan secara bijaksana. Salah satu faktor utama penyebab kondisi ini adalah jauhnya kehidupan peserta didik dari nilai-nilai agama. Perhatian orang tua untuk menanamkan nilai-nilai agama sejak dini pada anak-anak pun sudah mulai menipis. Agama seolah-olah hanya persoalan ritual dan hubungan pribadi sebagai hamba dengan Tuhannya. Orang tua sepenuhnya menyerahkan kepada guru agama Islam. Karena itu, guru PAI perlu menemukan strategi baru yang lebih humanis dimana peserta didik dapat secara bebas dan bertanggung jawab mengembangkan kemampuan dirinya. Pembinaan agama Islam terhadap peserta didik dapat dilakukan dengan cara pendekatan individual dan kelompok. Pembinaan dalam bentuk individual yaitu pembinaan yang dilakukan dengan cara face to face antara guru dengan peserta didik. Seorang guru dapat memberikan bantuan pembinaan dengan cara tatap muka langsung dimana peserta didik diberi kesempatan seluas mungkin untuk dapat berkonsultasi dengan guru. Strategi pembinaan tersebut dapat dikembangkan dan
Volume 13, Nomor 1, Januari 2011
43
diimplementasikan oleh guru PAI dengan cara; mengembangkan disiplin peserta didik, mengembangkan motivasi peserta didik, dan mengembangkan interaksi guru dan peserta didik. 1. Mengembangkan Disiplin Peserta didik Kata disiplin berarti tata tertib, ketaatan pada peraturan (Pius A. Partanto, dan M. Dahlan Al Barry, 2006: 115). Mendisiplinkan peserta didik dapat diartikan sebagai mengatur peserta didik agar bersikap patuh dan taat pada peraturan yang telah ada. Mengembangkan disiplin pada peserta didik adalah sebagai suatu upaya guru dan penyelenggara pendidikan atau sekolah mengembangkan kreativitas, aktivitas dan percaya diri peserta didik sebagai kerangka dasar mengembangkan sikap mandiri peserta didik. Mendisiplinkan peserta didik bertujuan untuk membantu menemukan diri, mengatasi, dan mencegah timbulnya problem-problem disiplin, serta berusaha menciptakan situasi yang menyenangkan bagi kegiatan pembelajaran, sehingga mereka menaati segala peraturan yang ditetapkan, norma sekolah, norma agama dan norma sosial. Dalam rangka mengimplementasikan tujuan pendidikan nasional yakni berkembangnya potensi anak didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, guru PAI dengan memaksimalkan kompetensi profesional-religius dan personal-religiusnya harus mampu mendisiplinkan peserta didik, terutama disiplin diri. Guru harus mampu membantu peserta didik mengembangkan strategi perilakunya, meningkatkan standar perilakunya, dan melaksanakan aturan sebagai alat untuk menegakkan disiplin. E. Mulyasa, (2005:21) melengkapi pendapat di atas, bahwa untuk mendisiplinkan peserta didik perlu dimulai dengan prinsip yang sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, yakni sikap demoktratis sehingga peraturan disiplin perlu berpedoman pada hal tersebut yakni dari, oleh, dan untuk peserta didik, sedangkan guru adalah tut wuri handayani. Guru berfungsi sebagai pengemban ketertiban, yang patut digugu dan ditiru, tetapi tidak diharapkan sikap yang otoriter. Pendapat Reisman and Payne yang dikutip Mulyasa mengemukakan sembilan strategi untuk mendisiplinkan peserta didik, sebagai berikut:
44
Volume 13, Nomor 1, Januari 2011
a. Konsep diri (self-concept); strategi ini menekankan bahwa konsepkonsep diri masing-masing individu merupakan faktor penting dari setiap perilaku. Untuk menumbuhkan konsep diri, guru disarankan bersikap empatik, menerima, hangat, dan terbuka, sehingga peserta didik dapat mengeksplorasikan pikiran dan perasaannya dalam memecahkan masalah. b. Keterampilan berkomunikasi (communication skills); guru harus memiliki keterampilan komunikasi yang efektif agar mampu menerima semua perasaan, dan mendorong timbulnya kepatuhan peserta didik. c. Konsekuensi logis dan alami (natural and logical consequences); perilaku-perilaku yang salah terjadi karena peserta didik telah mengembangkan kepercayaan yang salah terhadap dirinya. Hal ini mendorong munculnya perilaku-perilaku salah. Untuk itu, guru disarankan agar: 1) Menunjukkan secara tepat tujuan perilaku yang salah, sehingga membantu peserta didik dalam mengatasi perilakunya. 2) Memanfaatkan akibat-akibat logis dan alami dari perilaku yang salah. d. Klarifikasi nilai (values clarification); strategi ini dilakukan untuk membantu peserta didik dalam menjawab pertanyaannya sendiri tentang nilai-nilai dan membentuk sistem nilainya sendiri. e. Analisis transaksional (transactional analysis); disarankan agar guru belajar sebagai orang dewasa, terutama apabila berhadapan dengan peserta didik yang menghadapi masalah. f. Terapi realitas (reality therapy); sekolah harus berupaya mengurangi kegagalan dan meningkatkan keterlibatan. Dalam hal ini guru bersikap positif dan bertanggung-jawab. g. Disiplin yang terintegrasi (assertive discipline); metode ini menekankan pengendalian penuh oleh guru untuk mengembangkan dan mempertahankan peraturan. Prinsip-prinsip modifikasi perilaku yang sistematik diimplementasikan di kelas, termasuk pemanfaatan papan tulis untuk menuliskan nama-nama peserta didik yang berperilaku menyimpang. h. Modifikasi perilaku (behavior modification); perilaku salah disebabkan oleh lingkungan, sebagai tindakan remidiasi. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam pembelajaran perlu diciptakan lingkungan yang kondusif.
Volume 13, Nomor 1, Januari 2011
45
i. Tantangan bagi disiplin (dare to discipline); guru diharapkan cekatan, sangat terorganisasi, dan pengendalian yang tegas. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa peserta didik akan menghadapi berbagai keterbatasan pada hari-hari pertama di sekolah, dan guru perlu membiarkan mereka untuk mengetahui siapa yang berada dalam posisi sebagai pemimpin (E. Mulyasa, 2005: 21-22). Untuk mendisiplinkan peserta didik dengan sembilan strategi tersebut, maka secara operasional harus mempertimbangkan berbagai situasi, dan memahami faktor-faktor yang mempengaruhinya; kemampuan bahasa, perkembangan emosi, dan tingkah laku sosial. Strategi mendisiplinkan peserta didik seperti dikemukakan di atas, tentunya dapat dijadikan landasan teoretis bagi guru PAI terutama pada tingkat sekolah dasar dimana disiplin harus dibangun sejak dini. Melalui berbagai upaya tersebut diharapkan tercipta iklim yang kondusif bagi pelaksanaan pendidikan sehingga peserta didik dapat menguasai berbagai kompetensi. 2. Mengembangkan Motivasi Peserta didik Tugas guru dalam keseluruhan kegiatan pendidikan di semua jenjang sekolah, mulai dari jenjang pendidikan prasekolah, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah tidak hanya sebagai pengajar, pendidik, dan pembimbing, melainkan juga sebagai pemberi motivasi (Hasbullah, 2006: 82). Dalam proses belajar-mengajar, guru mempunyai tugas untuk mendorong, membimbing dan memberi fasilitas belajar bagi peserta didik untuk mencapai tujuan. Guru mempunyai tanggung jawab untuk melihat segala sesuatu yang terjadi dalam kelas guna membantu proses perkembangan peserta didiknya. Mengingat bahwa peserta didik adalah hamba Allah yang sedang berkembang dan bertumbuh, dan perkembangan atau pertumbuhannya tidak sama bagi masing-masing peserta didik, bergantung pada bakat dan kemampuan yang ada padanya, maka sistem pendekatan untuk mengembangkan motivasi mereka hendaknya dilakukan menurut sudut pandang yang terpadu. Sebagai guru agama Islam merupakan salah satu wujud pribadi muslim yang memiliki kesadaran mengembangkan nilai-nilai keislaman pada setiap peserta didiknya, dan jiwa keagamaan peserta didiknya mengalami perkembangan sehingga para peserta didik tidak terjerumus dalam hal-hal yang bisa merusak moral mereka, tidak tergoda dengan fenomena amoral pada dimensi kekinian. Di sinilah guru agama Islam berperan penting mengembangkan motivasi religius demi tercapainya
46
Volume 13, Nomor 1, Januari 2011
pribadi muslim seutuhnya, yakni manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah swt. Esensi pendidik adalah keharusan memikirkan moral, tingkah laku, dan sikap yang ditumbuhkan dan dibina pada peserta didik. Ia tidak cukup menuangkan pengetahuan ke otak peserta didik, atau hanya memikirkan peningkatan kecakapan kognitif peserta didik saja, melainkan juga kecakapan afektif dan psikomotoriknya. Karena itu, dalam setiap usaha pendidikan, harus ada pendidikan moral dan pembinaan kepribadian yang sehat. Jika pembinaan kepribadian dan moral tidak disertakan dalam pendidikan anak sejak dini, maka akan lahirlah sarjana-sarjana yang tinggi pengetahuannya tetapi tidak dapat memberikan manfaat yang berarti kepada masyarakat. Karena mereka hanya akan memikirkan diri sendiri, menggunakan ilmu dan kepandaiannya untuk mencari keuntungan dan kesenangan dirinya pribadi, tanpa menghiraukan ekses yang akan terjadi kepada orang banyak. Dalam kajian motivasi, ada beberapa hal yang menjadi prinsip dalam mendorong motivasi belajar baik dalam bentuk pemberian pujian, memberikan peenguatan psikologis, memberikan pemahaman atas tujuan pembelajaran, ganjaran dan hukuman, teknik pembelajaran yang bervariasi, menyesuikan kondisi mental peserta didik dalam pembelajaran, serta mengembangkan kreativitas peserta didik. Antara kebutuhan dan motivasi, perbuatan dan kelakuan, tujuan dan kepuasan terdapat hubungan dan kaitan yang kuat. Setiap perbuatan senantiasa berkait adanya dorongan motivasi. Timbulnya motivasi oleh karena seseorang merasakan sesuatu kebutuhan tertentu dan karenanya perbuatan terarah kepada pencapaian tujuan tertentu pula. Apabila tujuan telah tercapai maka ia akan merasa puas. Kelakuan yang telah memberikan kepuasan terhadap sesuatu kebutuhan akan cenderung untuk diulang kembali, sehingga ia akan menjadi lebih mantap (Oemar Hamalik, 2007: 159). Jadi, motivasi dapat diartikan sebagai dorongan untuk melakukan sesuatu. Motivasi itu muncul dalam diri peserta didik manakala ia merasa membutuhkan. Oleh karena itu, dengan sendirinya akan bergerak memenuhi kebutuhannya. Disinilah peran guru dapat memahami peta motivasi peserta didik untuk memberikan andil sebagai motivasi eksternal. 3. Membangun Interaksi Guru dan Peserta didik Sardiman A.M. (2006: 3), memberikan defenisi interaksi belajarmengajar yaitu adanya kegiatan interaksi dari guru yang melaksanakan
Volume 13, Nomor 1, Januari 2011
47
tugas mengajar di satu pihak, dan warga belajar yang sedang melaksanakan kegiatan belajar di pihak lain. Interaksi belajar-mengajar sebagai suatu interaksi yang berlangsung dalam ikatan tujuan pendidikan. Tujuan dalam melakukan interaksi belajar-mengajar tertuang dalam kompetensi dasar yang merupakan tujuan yang eksplisit. Interaksi belajar-mengajar diarahkan agar aktivitas dalam proses pembelajaran lebih didominasi pihak peserta didik, walaupun tidak berarti guru pasif. Hal ini menjadi keharusan, karena memang peserta didik menjadi orientasi dan sentral dari setiap langkah kegiatan belajar-mengajar. Peserta didik, selain sebai objek juga harus diposisikan sebagai subjek pembelajaran. Jadi, interaksi belajarmengajar merupakan interaksi yang berlangsung antara guru dengan peserta didik dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Interaksi ini tetap dibangun atas dasar pandangan bahwa hidup bersama antara manusia berlangsung di dalam berbagai bentuk perhubungan dan di dalam berbagai jenis situasi. Tanpa adanya proses interaksi di dalam hidup, manusia tidak mungkin dapat hidup bersama. Proses interaksi itu mungkin terjadi, karena kenyataan bahwa manusia pada hakikatnya memiliki sifat sosial yang besar. Setiap proses interaksi terjadi dalam ikatan suatu situasi, tidak di tempat atau ruang yang hampa. Dengan demikian, maka ada berbagai jenis situasi yang memberi kekhususan pada proses interaksi, misalnya interaksi belajar-mengajar. Prestasi Belajar Kemampuan intelektual peserta didik sangat menentukan keberhasilan dalam memperoleh prestasi. Untuk mengetahui berhasil tidaknya seseorang dalam belajar maka perlu dilakukan evaluasi, karena tujuan evaluasi adalah untuk mengetahui prestasi yang diperoleh peserta didik setelah melakukan proses pembelajaran. Jadi prestasi dapat diartikan sebagai deskripsi hasil yang diperoleh dari aktivitas belajar yang telah dilakukan. Belajar adalah perubahan yang terjadi pada tingkah laku manusia. Proses tersebut tidak akan terjadi apabila tidak ada suatu yang mendorong pribadi yang bersangkutan. Prestasi belajar merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan belajar, karena kegiatan belajar merupakan proses, sedangkan prestasi merupakan hasil dari proses belajar.
Volume 13, Nomor 1, Januari 2011
48
Menurut Syaiful Bahri Djamarah (1994: 20), bahwa prestasi adalah apa yang telah diciptakan, hasil dari pekerjaan, prestasi yang menyenangkan hati yang diperoleh dengan jalan keuletan kerja. Setiap kegiatan yang dilakukan peserta didik akan menghasilkan perubahan-perubahan dalam dirinya meliputi perubahan kognitif, afektif, dan psikomotor. Perubahan-perubahan yang bersifat maju dan positif dapat dikatakan prestasi belajar. Prestasi belajar sesuai dengan tingkat keberhasilan dinyatakan dalam bentuk nilai setelah mengalami proses belajar mengajar. Jadi, prestasi belajar dapat diartikan sebagai pengungkapan deskriptif mengenai prestasi yang telah dicapai seorang peserta didik sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Prestasi belajar diperoleh setelah melakukan kegiatan evaluasi, baik evaluasi formatif maupun sumatif (biasa juga disebut ulangan harian dan ulangan umum). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar Pada dasarnya, faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan belajar adalah tujuan, guru, peserta didik, kegiatan pengajaran, alat evaluasi, bahan evaluasi dan suasana evaluasi. Selanjutnya, Muhibbin Syah (2001: 144) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar peserta didik meliputi faktor internal, eksternal, dan pendekatan belajar. Faktor internal bersumber dari dalam diri peserta didik, yakni keadaan atau kondisi jasmani dan rohani peserta didik. Sedangkan faktor eksternal bersumber dari luar peserta didik, yakni kondisi di sekitar lingkungan peserta didik. Selanjutnya, faktor pendekatan belajar (approach to learning), yakni jenis upaya belajar peserta didik yang meliputi strategi dan metode yang digunakan untuk melakukan kegiatan pembelajaran. 1. Faktor Internal Sekalipun banyak pengaruh atau rangsangan dari faktor eksternal yang mendorong individu belajar, keberhasilan belajar itu akan ditentukan oleh faktor diri (internal) beserta usaha yang dilakukan peserta didik itu sendiri. Muhibbin Syah mengemukakan bahwa faktor internal yang berasal dari diri peserta didik meliputi dua aspek, yakni aspek fisiologis (yang bersifat jasmaniah) dan aspek psikologis (yang bersifat rohaniah). Namun, dalam hal ini bila dikorelasikan dengan persoalan hasil belajar, maka
Volume 13, Nomor 1, Januari 2011
49
tinjauan mengenai faktor-faktor internal tersebut dikhususkan pada faktor psikologis. Kehadiran faktor psikologis dalam belajar akan memberikan andil yang cukup penting. Faktor-faktor psikologis akan senantiasa memberikan landasan dan kemudahan dalam upaya mencapai hasil belajar yang berkategori tinggi. Sebaliknya, tanpa faktor psikologis, bisa jadi hasil belajar yang diraih berkategori rendah. Faktor psikologis yang paling kuat mempengaruhi keberhasilan dan hasil belajar adalah motivasi, konsentrasi, dan intelegensi. Seorang peserta didik akan berhasil dalam belajar, bilamana dalam dirinya sendiri terdapat keinginan untuk belajar dan inilah yang disebut dengan motivasi (Sardiman A.M., 2006: 30). Konsentrasi belajar merupakan kemampuan memusatkan perhatian pada pelajaran, pada bahan belajar, dan pada proses memperolehnya. Dengan kata lain, konsentrasi dimaksudkan memusatkan segenap kekuatan dan perhatian pada situasi belajar. Di dalam konsentrasi ini keterlibatan mental secara detail sangat diperlukan. Jadi, konsentrasi merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan belajar peserta didik. Motivasi hendaknya berbanding lurus dengan konsentrasi bilamana seorang peserta didik ingin menguasai materi pembelajaran secara maksimal. Intelegensi, pada umumnya dapat diartikan sebagai kemampuan psiko-fisik untuk mereaksi rangsangan dengan cara yang tepat. Intelegensi sebenarnya bukan persoalan kualitas otak saja, melainkan juga kualitas organ-organ tubuh lainnya. Akan tetapi, harus diakui bahwa peran otak dalam hubungannya dengan intelegensi seorang peserta didik lebih menonjol daripada organ-organ tubuh lainnya. Dengan demikian, tingkat kecerdasan intelegensia (IQ) peserta didik tak dapat diragukan lagi akan menentukan keberhasilan belajar peserta didik. Semakin tinggi kemampuan intelegensi seorang peserta didik, semakin besar peluangnya untuk meraih hasil belajar dalam kategori tinggi.
Volume 13, Nomor 1, Januari 2011
50
2. Faktor eksternal Moh. Uzer Usman (2006: 34) menyatakan, bahwa guru memiliki strategi mengajar sendiri-sendiri. Strategi mengajar ini tercermin dalam tingkah laku pada waktu melaksanakan pengajaran, yang disebut dengan gaya mengajar atau teaching style. Gaya mengajar guru tersebut turut memberi pengaruh terhadap keberhasilan peserta didik. Hasil belajar yang dicapai peserta didik sangat erat kaitannya dengan rumusan tujuan atau kompetensi yang direncanakan guru sebelumnya. Hal ini dipengaruhi pula oleh kemampuan guru sebagai perancang belajar-mengajar. Pendapat lain mengatakan bahwa faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa adalah faktor kemampuan siswa dan kualitas pembelajaran. Kedua faktor ini mempunyai hubungan berbanding lurus dengan prestasi belajar. Artinya, makin tinggi kemampuan siswa dan kualitas pembelajaran, makin tinggi pula prestasi belajar siswa. Di samping itu, di antara beberapa faktor eksternal yang dapat mempengaruhi proses dan prestasi belajar ialah faktor peranan guru sebagai fasilitator. Dalam sistem pendidikan, khususnya dalam pembelajaran yang berlaku dewasa ini peranan guru dan keterlibatannya masih menempati posisi yang penting. Dalam hal ini efektivitas pengelolaan faktor bahan, lingkungan dan instrumen sebagai faktor-faktor utama yang mempengaruhi proses dan prestasi belajar, hampir seluruhnya bergantung pada guru. Selain faktor guru yang cukup memegang peranan penting dalam pencapaian prestasi belajar peserta didik juga kepemimpinan kepala sekolah, karena kepala sekolah mempunyai peranan yang sangat penting dalam mengatur, merancang, dan mengendalikan penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Oleh karena itu, kepala sekolah mempunyai tanggung jawab yang paling besar dalam menciptakan situasi kerja secara keseluruhan di sekolah yang dipimpinnya.
Volume 13, Nomor 1, Januari 2011
51
3 Sarana dan prasarana Sarana dan prasarana belajar di sekolah merupakan faktor yang penting dalam usaha memacu prestasi belajar peserta didik. Sarana pembelajaran meliputi buku pelajaran, buku bacaan, alat dan fasilitas laboratorium sekolah dan berbagai media pengajaran yang lain. Sedangkan prasarana pembelajaran meliputi gedung sekolah, ruang belajar, perpustakaan, lapangan olahraga, ruang ibadah, ruang kesenian, dan peralatan olahraga (Dimyati dan Mudjiono, 2002:249). Lengkapnya sarana dan prasarana pembelajaran, akan menciptakan kondisi pembelajaran yang lebih baik. Hal ini tidak berarti bahwa lengkapnya sarana dan prasarana menentukan jaminan terselenggaranya proses belajar yang baik. Justru di sinilah kemudian timbul masalah, bagaimana mengelola sarana dan prasarana pembelajaran sehingga terselenggara proses pembelajaran yang efektif. Karena itu, dengan tersedianya sarana dan prasarana pembelajaran di sekolah berarti menuntut guru dan peserta didik dalam menggunakannya dengan baik pula. Indikator Keberhasilan Pembelajaran Proses pembelajaran dapat dikatakan berhasil apabila hasilnya memenuhi segenap ranah psikologis meliputi ranah kognitif, afektif, dan psikomotor mengalami perubahan sesuai yang telah ditetapkan dalam tujuan pembelajaran. Yang menjadi indikator bahwa suatu proses belajar dianggap berhasil, dapat dilihat pada dua hal, yakni : 1. Daya serap terhadap pengajaran yang diajarkan mencapai prestasi tinggi, baik secara individual maupun kelompok. 2. Perilaku yang digariskan dalam tujuan pengajaran instruksional khusus (TIK) telah dicapai oleh peserta didik baik secara individual maupun kelompok. (Syaiful Bahri Djamarah, 1996: 120). Namun demikian, perlu ditegaskan di sini bahwa indikator yang banyak dipakai sebagai tolok ukur terhadap keberhasilan adalah daya serap peserta didik itu sendiri.
52
Volume 13, Nomor 1, Januari 2011
Selanjutnya untuk mengukur tingkat keberhasilan belajar dapat dilakukan melalui tes prestasi belajar, yang terdiri atas beberapa jenis penilaian, yakni : 1. Tes formatif, yaitu penilaian yang digunakan untuk mengukur satu atau beberapa pokok bahasan tertentu dan bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang daya serap peserta didik terhadap bahasan tersebut. 2. Tes subsumatif, yaitu meliputi sejumlah bahan pengajaran tertentu yang telah diajarkan dalam waktu tertentu. Tujuannya adalah untuk memperoleh gambaran daya serap peserta didik untuk meningkatkan tingkat prestasi belajar peserta didik. 3. Tes sumatif, yaitu diadakan untuk mengukur daya serap peserta didik terhadap bahan pokok-pokok bahasan yang telah diajarkan selama satu semester, satu atau dua tahun pelajaran. Tujuannya adalah untuk menetapkan tingkat atau taraf keberhasilan belajar peserta didik dalam suatu periode belajar tertentu (Syaiful Bahri Djamarah, 1996: 121). Tingkat keberhasilan belajar terdiri atas tiga kategori yakni; tinggi, sedang, dan rendah. Tingkat keberhasilan istimewa (maksimal) dan baik sekali (optimal) dianggap sebagai hasil belajar yang berkategori tinggi, tingkat keberhasilan baik (minimal) dianggap sebagai hasil belajar yang berkategori sedang, sedangkan tingkat keberhasilan kurang dianggap sebagai hasil belajar yang berkategori rendah. Kegiatan belajar dapat dikatakan berhasil bilamana peserta didik memperoleh hasil belajar yang berkategori tinggi. Sedangkan kegiatan belajar dapat dikatakan kurang berhasil bilamana peserta didik memperoleh hasil belajar yang berkategori sedang. Selanjutnya, kegiatan belajar dapat dikatakan gagal bilamana peserta didik memperoleh hasil belajar yang rendah. Tinggi, sedang, dan rendahnya hasil belajar seorang peserta didik, tentu disebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhinya. Di antara peserta didik ada yang mencapai keberhasilan belajar yang maksimal (istimewa), ada pula optimal (baik sekali), ada pula minimal (baik), dan ada pula yang kurang. Untuk menentukan keberhasilan peserta didik tersebut, didasarkan pada pencapaian
Volume 13, Nomor 1, Januari 2011
53
kompetensi dasar dari setiap mata pelajaran yang telah diajarkan, dengan ketentuan sebagai berikut : 1. Istimewa/maksimal, apabila seluruh bahan pelajaran yang diajarkan itu dapat dikuasai oleh peserta didik. 2. Baik sekali/optimal, apabila sebagian besar yakni 76%-99% bahan pelajaran yang diajarkan dapat dikuasai oleh peserta didik. 3. Baik/minimal, apabila bahan pelajaran yang diajarkan hanya 60%75% saja dikuasai oleh peserta didik. 4. Kurang, apabila bahan pelajaran yang diajarkan kurang dari 60% dikuasai peserta didik. Selanjutnya, untuk menentukan prestasi belajar peserta didik, maka didasarkan pada angka-angka atau nilai-nilai peserta didik dalam buku rapor setelah ujian semester. Dari sini, akan dilihat hasil belajar yang telah dicapai oleh peserta didik itu sendiri dalam berbagai tingkatannya yakni; kategori tinggi, kategori sedang, dan kategori rendah. Penutup Guru PAI selaku pendidik yang dipandang memiliki kompetensi profesional-religius dan personal-religius mampu memberikan motivasi yang kemudian memunculkan kesan bagi peserta didik untuk suka belajar pengetahuan bernuansa Islam yang pada gilirannya meningkatkan prestasi belajarnya. Hal ini dapat terwujud manakala guru PAI mengembangkan strategi pembelajaran berdasarkan konsep: mengembangkan disiplin peserta didik, mengembangkan motivasi peserta didik, dan mengembangkan interaksi guru dan peserta didik. Daftar Rujukan A.M. Sardiman. 2006. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Cet. IX; Jakarta: RajaGrafindo Persada. Departemen Agama RI. 2002. Madrasah Aliyah Keagamaan. Dirjen Kelembagaan Agama Islam. Dimyati dan Mudjiono. 2002. Belajar dan Pembejalaran. Cet. III; Jakarta: Asdi Mahasatya.
54
Volume 13, Nomor 1, Januari 2011
Djamarah, Syaiful Bahri dan Aswan Zain. 1996. Strategi Belajar Mengajar. Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta. Hamalik, Oemar. 2001. Kurikulum dan Pembelajaran. Cet. III; Jakarta: Bumi Aksara. Hasan, H.Chalijah. 1994. Dimensi-Dimensi Psikologi Pendidikan. Cet. I; Surabaya: al-Ikhlas. Hasbullah. 2006. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Cet. V; Jakarta: RajaGrafindo Persada. Muhaimin, et. al. 2002. Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah. Cet. II; Bandung: Remaja Rosdakarya. Mulyasa, E. 2005. Implementasi Kurikulum 2004, Panduan Pembelajaran KBK. Cet. III; Bandung: Remaja Rosdakarya. Partanto, Pius A. dan M. Dahlan Al Barry. 2006. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola. Syafaat, TB. Aat, dkk. 2008. Peranan Pendidikan Agama Islam dalam Mencegah Kenakalan Remaja. Cet. II; Jakarta: Rajawali Pers. Syah, Muhibbin. 2001. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Cet. VI; Bandung: Remaja Rosdakarya. Usman, Moh. Uzer. 2006. Menjadi Guru Profesional. Cet. XIX; Bandung: Remaja Rosdakarya.