STRATEGI DAKWAH KIAI EMET AHMAD KHATIB MELALUI ISHLAH TSAMANIYAH (Studi Kasus Pengembangan Dakwah di Pesantren Al-Ishlah Bobos Cirebon)
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S. Kom. I)
Oleh: ABDUL BASIT NIM:106051001769
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/ 2014 M
STRATEGI DAKWAH KIAI EMET AHMAD KHATIB MELALUI ISHLAH TSAMANIYAH (Studi Kasus Pengembangan Dakwah di Pesantren Al-Ishlah Bobos Cirebon)
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S. Kom. I)
Oleh : ABDUL BASIT NIM: 106051001769
Pembimbing
Umi Musyarrofah, MA NIP. 19710816 199703 2 002
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/ 2014 M
LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya oraang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, Januari 2013
Abdul Basit
ABSTRAK Abdul Basit “Strategi Dakwah Kiai Emet Ahmad Khatib Melalui Ishlah Tsamaniyah, Studi Kasus Pengembangan Dakwah di Pesantren Al-Ishlah Bobos Cirebon” Dunia pesantren sejarah dan perkembangannya tidak pernah lepas dari peran penting seorang kiai. kiai ini merupakan tokoh sentral kesuksesan dalam pengembangan pesantren. Pesantren bisa eksis dan maju berkat adanya kontribusi dari pemikiran kiai dengan perencanaan yang matang dalam usaha pengembangan dakwah di pesantren. Permasalahan penelitian ini dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan: Bagaimana strategi dakwah Kiai Emet Ahmad Khotib melalui Ishlah Tsamaniyah? Apa implementasi dari strategi dakwah Kiai Emet Ahmad Khotib tersebut? Apa pengaruh yang diperoleh dari strategi dakwah Kiai Emet Ahmad Khotib tersebut? Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk mengetahui bagaimana strategi Kiai Emet Ahmad Khotib dalam berdakwah di Pesantren Al-Ishlah Bobos Cirebon, ingin mengetahui implementasi dari dakwah tersebut dan pengarunya apa dari dakwah Kiai Emet tersebut. Dengan mencermati fokus masalah yang perlu dijawab dalam penelitian ini, maka penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan analisis datanya deskriptif-analisis. Strategi dakwah yang dilakukan Kiai Emet adalah dengan dakwah bil lisan, bil kolam dan bil hal. Dalam dakwah melalui Ishlah Tsamaniyah diwujudkan atau diimplementasikan dalam bentuk sikap, prilaku maupun tindakan, diantaranya adalah pembangunan lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupun non formal. Formal seperti didirikannya MI, Mts dan Aliyah, sedangkan non Formal salah satunya seperti berdirinya Pesantren Darut Tauhid (DT). Pengaruhnya secara intern bertambah banyak para santri yang mondok, baik dari dalam daerah maupun luar daerah. Dan eksternnya banyak pemuka agama, pejabat maupun Instalasi-instalasi lain yang berkunjung ke Al-Ishlah.
i
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur penulis haturkan kepada ilahi robbi Allah SWT, penguasa alam semesta dimana hati dan pikiran manusia berada dalam genggaman-Nya, dan kuasa-Nya lah yang selalu menggerakan keduanya untuk berfikir dan beramal, termasuk kesanggupan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan atas sayidul anam Muhammad SAW, sebagai referensi teladan setiap insan. Penulis sadari bahwa penulis skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, dikarenakan kelemahan penulis sebagai manusia, namun itulah bagian dari hasil penulis selama belajar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua, amiiin. Oleh karena itu untuk kesempurnaan skripsi ini penulis menerima dengan gembira kritik dan saran dari siapapun. Dalam menyelesaikan skripsi ini tak lepas dari partisipasi berbagai pihak, karenanya lewat tulisan ini, penulis bermaksud mengucapkan terima kasih dengan penghargaan sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Dr. Arief Subhan, MA, selaku Dekan Fakultas Dakwah, Bapak Drs. Wahidin Saputra, MA. selaku pembantu dekan bidang akademik, Bapak Drs. Jumroni M,Si.Selaku ketua Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, Ibu Umi Musyarofah, selaku Skretaris Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, serta segenap dosen yang telah memberi bekal pengetahuan kepada penulis, baik secara teoritis maupun praktis selama penulis berada diperkuliahan. 2.
Bapak Drs. Jumroni, M, Si, penulis mengucapkan terimakasih banyak atas segala nasihat dan dorongan motivasi kepada penulis agar terus maju dan sukses. Khusus kepada Ibu Umi Musyarofah, selaku pembimbing yang dengan baik hati serta dengan penuh kesabaran dan ikhlas meluangkan waktunya untuk memberi arahan dan masukan kepada penulis. Penulis tidak bisa membalas kebaikan ibu umi hanya doa yang bisa penulis haturkan semoga ibu umi beserta keluarga diberikan kesehatan selalu oleh Allah SWT,
ii
diberikan umur panjang dan dimuliakan hidupnya oleh Allah SWT. Amiiin ya Robb 3. Kepada Bapak Fathoni penulis mengucapkan banyak terimakasih atas waktu dan segala nasihat berharga untuk penulis semoga Allah SWT membalasnya dengan balasan baik yang besar. Amiiin. 4. Kedua orangtuaku, Umi Siti Khuzairiyyah dan Bapak Ru’yat Hidayat, yang penuh kasih sayang dan kesabaran yang tidak terhingga, sehingga tidak terlukis betapa besar jasanya dalam mengasuh, mendidik dan membimbing penulis sejak lahir, serta tak lupa dengan tiada henti-hentinya selalu mendoakan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 5. Kakak dan adik-adikku tercinta. Ang Ani beserta suami a Ali trims atas segala masukannya baik secara moril maupun materil dalam penyelesaian skripsi ini. Adik-adiku Ina, Syarif, Affa dan Istiqomah semoga kalian tumbuh dan sukses dalam kehidupan ini. Amiin. 6. Kepada Istriku tercinta Bo Ay terima kasih atas kesabarannya, terimakasih juga atas do’anya yang selalu kau panjatkan untukku untuk dapat kemudahan dalam menyelesaikan tulisan skripsi ini. Semoga buah kasih dan cinta kita dede Luna (Maeluna Hakikah Islamiyah) tumbuh besar menjadi anak yang sholeh, berbakti kepada kedua orang tua, tumbuh menjadi anak yang bisa dibanggakan baik oleh orang tua, bangsa maupun negara. Amiiin ya Robb. 7. Kepada teman-teman seperjuanganku, Afdhal, Kisti, Ahmad, Akbar, dan kepada teman-temanku yang lainnya yang tidak mungkin penulis sebut satu persatu. Semoga pertemanan kita akan abadi meskipun sekarang kita sudah menjalani kehidupan masing-masing. Semoga kau Afdhal sukses menjadi guru yang disenangi murid-muridnya dan salam untuk istri dan anak, kisti semoga amanah yang dikasih Allah SWT bisa dijalankan dengan baik, Akbar teruslah merakit agar kau kelak menjadi ahli komputer terkenal dan Ahmad yang jauh di Sulawesi sana teruslah menjadi anak nusantara yang mampu dibanggakan oleh siapapun.
iii
DAFTAR ISI
ABSTRAK .........................................................................................................
i
KATA PENGANTAR .......................................................................................
ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .....................................................
1
B. Fokus dan Perumusan Masalah ...........................................
5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...........................................
5
D. Metodologi Penelitian .........................................................
6
E. Sistematika penulisan..........................................................
8
KAJIAN TEORI A. Strategi ................................................................................
9
1. Pengertian Strategi ........................................................
9
B. Dakwah ............................................................................... 11 1. Pengertian Dakwah ....................................................... 11 2. Unsur-unsur Dakwah ..................................................... 13 a. Subjek Dakwah ....................................................... 13 b. Objek Dakwah ......................................................... 14 c. Materi Dakwah ........................................................ 15 d. Metode Dakwah ...................................................... 15 3. Tujuan Dakwah ............................................................. 18 C. Strategi Dakwah .................................................................. 20 1. Pengertian Strategi Dakwah .......................................... 20 2. Asas-asas Strategi Dakwah ........................................... 22 3. Teori-teori Strategi Dakwah .......................................... 23 D. Ishlah Tsamaniyah .............................................................. 24 1. Pengertian Ishlah ........................................................... 24 2. Macam dan Makna Ishlah Tsamaniyah ......................... 28
iv
BAB III
GAMBARAN UMUM PROFIL KIAI EMET AHMAD KHATIB A. Latar Belakang Keluarga, Pendidikan dan Pengalaman Hidup ................................................................................... 43 B. Kondisi sosial Politik .......................................................... 46 C. Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren Al-Ishlah Bobos...... 49
BAB IV
ANALISIS DATA A. Strategi Dakwah Kiai Emet Ahmad Khatib ........................ 55 B. Implementasi Ishlah Tsamaniyah ........................................ 57 C. Pengaruh Dakwah Kiai Emet Ahmad Khatib terhadap Ponpes dan Masyarakat ....................................................... 75
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ......................................................................... 77 B. Saran-saran .......................................................................... 77
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 79 LAMPIRAN
v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang menjadi tempat santri belajar berbagai macam ilmu, khususnya agama. Mengutip pendapat M. Abdullah bahwasannya pesantren merupakan pusat persemaian, pengamalan dan sekaligus menjadi tempat penyebaran ilmu-ilmu keislaman.1 Secara umum pengetahuan yang diajarkan pesantren berasal dari kajian pokok yang bersumber dari Al-Quranul karim dan hadits nabi. Sumber pengetahuan lain yang diajarkan pesantren berasal dari kitab klasik (kuning) karangan ulama-ulama besar, seperti ilmu Tauhid, ilmu Fiqih, ilmu Tasawuf yang semuanya dapat digolongkan kedalam ilmu-ilmu agama atau ilmu pengetahuan Islam. Gerak laju pesantren sangat tergantung sekali oleh kiai tentunya dalam hal kebijakan dan orientasi program pesantren. Oleh karenanya, kiai merupakan figur penting untuk mengembangkan pendidikan yang ada di pesantren, sehingga pesantren itu bisa eksis dan maju. Dan kiai ini memiliki peran yang strategis dalam pengembangan dakwah baik didalam maupun diluar pesantren. Dan dengan adanya kiai bisa merubah paradigma masyarakat mengenai agama, sebab pemahaman keagamaan masyarakat biasanya sangat dipengaruhi oleh para kiai.2 Peran
kiai
dalam
kehidupan
masyarakat
sangatlah
besar.
Keberadaannya dianggap sebagai agen perubahan (change) yang mampu membawa perbaikan disegala sektor, baik sosial, ekonomi, aqidah, politik dsb. Di bidang sosial kemasyarakatan kontribusinya adalah menjaga keharmonisan antar warga dengan kegiatan-kegiatan keagamaan, seperti saba desa atau bakti sosial, sembahyang berjamaah di masjid, slametan atau syukuran, dan lain 1
Jamali, Pesantren Masa Depan; Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren. (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), h 132 2 Abdul Mughits, Kritik Nalar Fiqh Pesantren (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h 26
1
2
sebagainya yang dapat menumbuhkan ikatan ukhuwa diantara sesama santri maupun masyarakat sekitar pesantren. Di
bidang
politik
(kenegaraan)
kiai
memiliki
andil
dalam
menyukseskan perjalanan bangsa. Kiai memiliki kekuatan mempercepat proses pembangunan terutama di pedesaan yang artinya kiai menuntun pada pembangunan bangsa kearah lebih baik. Pesan-pesan pemerintah sebagai perancang, pelaksana dan pengawas pembangunan sering kali cukup efektif dipahami rakyat bila pesan itu dibantu oleh para kiai.3 Terlepas dari peranannya yang sangat luar biasa, kiai pun memiliki posisi atau kedudukan yakni sebagai penyambung lidah dari pengembangan pesantren dimasyarakat sekitar dan ini semuanya berlaku dipesantrenpesantren Indonesia. Termasuk dipesantren Al-Ishlah Bobos yang berdiri sejak tahun 1850 oleh Kiai Adro‟i sampai kepada generasi-generasi berikutnya yang dimulainya oleh KH. Ahmad Suja‟i sebagai perintis kebangkitan pertama pengembangan pondok pesantren Al-Ishlah Bobos di Kabupaten Cirebon. Kiai Suja ini merupakan cikal bakal berkembangnya dakwah dikawasan Kabupaten Cirebon, khususnya didesa Bobos Kecamatan Dukupuntang Kabupaten Cirebon. Kemudian dari kiai Ahmad Suja ini telah melahirkan beberapa keturunan, diantara keturunan yang paling sentral sampai melahirkan pembaharuan pendidikan di Al-Ishlah adalah Kiai Emet Ahmad Khatib yang lahir dan hidup pada tahun 1925 dan beliau wafat pada tahun 1990. Kiai Emet ini merupakan seorang tokoh pembaharuan (mujadid) pendidikan dakwah di Pondok Pesantren Al-Ishlah Bobos yang banyak melahirkan pemikiranpemikiran cemerlang sehingga menjadi inspirasi bagi generasi Al-Ishlah dibelakangnya. Kiai Emet Ahmad Khatib telah melalang buana diberbagai Pesantren Jawa Barat dan beliau terakhir berada di pesantren Singaparna, kabupaten Tasik Malaya. Beliau berguru pada seorang Kiai yang bernama Zaenal 3
Ahmad Tafsir. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), h 194
3
Mustafa yang kebetulan pada saat itu masih berhadapan dengan kolonial Jepang. Selama menimba ilmu kepada kiai Zaenal Mustafa, kiai Emet Ahmad Khatib telah banyak mengkaji berbagai ilmu keagamaan yang dikaji dari berbagai kitab klasik (kuning) yang didalamnya meliputi bidang Aqidah, Fiqih, Syari‟ah, Muammalah dsb. Dari Pesantren inilah kiai Emet Ahmad Khatib telah dibesarkan dan cukup berpengaruh keilmuan-keilmuan Kiai Zaenal Mustafa kepada pribadi Kiai Emet Ahmad Khatib. Untuk mengembangkan dakwahnya kiai Emet Ahmad Khatib mulai merintis pemikiran di Pesantren Al-Ishlah Bobos setelah beliau pulang dari Pesantren Singaparna, diawali dengan membenahi pendidikan di Madrasah Diniyyah (MD), Madrasah Ibtidaiyyah (MI), dan juga pendidikan Madrasah Tsanawiyyah (MTS) Bobos yang berdiri pada tahun 1971. Kemudian setelah itu barulah sekitar tahun 1984 beliau mendirikan Madrasah Aliyah (MA). Dan sebelumnya pada tahun 1980 Kiai Emet Ahmad Khatib ini telah terlebih dahulu mendirikan Pondok Pesantren Darut Tauhid (DT). Seiring waktu dan perkembangan zaman yang semakin mutakhir dengan ditandai kemajuan informasi-komunikasi, maka Pesantren mau tak mau harus memberikan respon yang mutualistik. Karena sebab itu pesantren Al-Ishlah tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama, tetapi juga ilmu pengetahuan umum, tujuannya agar para santri-santrinya memiliki bekal-bekal keilmuan yang seimbang antara pengetahuan agama dengan pengetahuan sains dan tekhnologi yang sudah mengglobal. Dakwah-dakwah kiai Emet Ahmad Khatib di Pesantren Bobos kabupaten Cirebon terinspirasi oleh Kiai Abdul Halim (1887-1962) yang mendirikan organisasi PUI (Pesantren Umat Islam) di Majalengka yang cukup berpengaruh, dan kiai H. Abdul Halim ini merupakan salah satu murid santri Kiai Ahmad Suja yang merupakan perintis pembaharu pertama dan merupakan pendiri salah satu Pondok Pesantren Al-Ishlah Bobos. Dakwah yang dikembangkan Kiai Emet Ahmad Khatib di Pondok Pesantren Bobos adalah dengan upaya Ishlah Tsamaniyah yang merupakan wujud atau aplikasi dari Intisab yang merupakan ajaran PUI. Adapun arti secara singkat Ishlah Tsamaniyah adalah delapan jalur perbaikan yang
4
didalamnya meliputi berbagai bidang, seperti perbaikan dalam bidang Aqidah (Ishlahul Aqidah), Ibadah (Ishlahul Ibadah), Pendidikan (Ishlahut Tarbiyah), Rumah Tangga atau keluarga (Ishlahul „Ailah), Budaya (Ishlahul A‟dah), Umat (Ishlahul Ummah), Ekonomi (Ishlahul Iqtishad) dan Masyarakat atau sosial (Ishlahul Mujtama). Dari delapan aspek itulah yang menjadi pendekatan sekaligus sebagai cara atau strategi dakwah Kiai Emet Ahmad Khatib di pesantren Al-Ishlah Bobos. Dan kedelapan aspek itu juga yang menjadi program dakwahnya Kiai Emet Ahmad Khatib yang sangat monumental di pesantren Al-Ishlah Bobos dan berpengaruh di masyarakat desa Bobos maupun masyarakat Cirebon. Dengan latar belakang diatas penulis tertarik untuk melakukan suatu penelitian dan menuliskannya dalam bentuk karya ilmiah berupa skripsi dengan judul: “Strategi Dakwah Kiai Emet Ahmad Khatib Melalui Ishlah Tsamaniyah (Studi Kasus Pengembangan Dakwah di Pesantren Al-Ishlah Bobos, Cirebon)”.
B. Fokus dan Perumusan Masalah 1. Fokus Masalah Agar penelitian ini dapat dilaksanakan dengan mudah, terarah dan mendapatkan hasil yang sesuai dengan yang diinginkan, maka penulis memfokuskan kajian wilayahnya kepada kajian tokoh yang berpengaruh di Pesantren Al-Ishlah Bobos yang bernama Kiai Emet Ahmad Khatib dan kontribusi pemikirannya terhadap perkembangan dan perubahan di pesantren Al-Ishlah yang meliputi Strategi Dakwah dengan melalui konsep Ishlah Tsamaniyah. Konsep ini merupakan pemikiran dari tokoh Persatuan Umat Islam (PUI) yaitu K.H Abdul Halim yang mempengaruhi gerak dakwah dan pemikiran keagamaan Kiai Emet Ahmad Khatib. 2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan pemfokusan masalah diatas, maka untuk memudahkan penelitian ini penulis menyusun rumusan masalah penelitian sebagai berikut:
5
a
Bagaimana strategi dakwah Kiai Emet Ahmad Khatib melalui Ishlah Tsamaniyah?
b
Apa implementasi dari strategi dakwah Kiai Emet Ahmad Khatib melalui Ishlah Tsamaniyah?
c
Apa pengaruh yang diperoleh dari strategi dakwah Kiai Emet Ahmad Khatib tersebut?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah: a. Untuk mengetahui bagaimana Strategi Dakwah Kiai Emet Ahmad Khatib melalui Ishlah Tsamaniyah dalam usaha pengembangan dakwah di pesantren Al-Ishlah Bobos Cirebon b. Untuk mengetahui implementasi Strategi Dakwah Kiai Emet Ahmad Khatib melalui Ishlah Tsamaniyah dalam usaha pengembangan dakwah di pesantren Al-Ishlah Bobos. c. Untuk mengetahui pengaruh yang dihasilkan dari kedelapan strategi dakwah Kiai Emet Ahmad Khatib baik di dalam maupun di luar pesantren Al-Ishlah bobos. 2. Manfaat Penelitian Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Segi Akademis Memberikan kontribusi positif dalam studi tentang dakwah, khususnya tentang Strategi Dakwah Kiai Emet Ahmad Khatib melalui Ishlah Tsamaniyah di pondok pesantren Al-Ishlah Bobos Cirebon. b. Segi Praktis Menambah wawasan bagi pengemban dakwah. Penelitian ini diharapkan dapat membangkitkan motivasi untuk lebih semangat dan berani mengembangkan dakwah dan berani memperjuangkan nilainilai islam dalam berbagai aspek kehidupan, terutama dimasyarakat desa Bobos serta pada masyarakat umum lainnya.
6
D. Metodologi Penelitian 1. Sumber Data a. Data Primer yaitu data utama yang digunakan untuk penelitian ini. Berupa data dari pengurus Yayasan Pondok Pesantren Al-Ishlah Bobos Cirebon yang dijadikan informan oleh penulis. b. Data Sekunder yaitu data tambahan yang digunakan oleh penulis dalam penulisan skripsi ini. Berupa dokumen-dokumen, yaitu data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, serta buku-buku perpustakaan. 2. Pendekatan Penulis dalam melakukan penelitian ini melalui pendekatan Kualitatif dimana data diperoleh bukan dari hasil perhitungan angka, tapi melalui kajian observasi, wawancara serta dokumentasi yang hasilnya berupa katakata (words) . 3. Pengumpulan Data Dalam pengumpulan data untuk menunjang kesuksesan penelitian ini, penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut: a. Observasi Observasi yaitu pengamatan langsung kelapangan dengan mendatangi tempat yayasan Pondok Pesantren Al-Ishlah Bobos Cirebon guna untuk mendapatkan data-data yang akurat sesuai dengan pembahasan penelitian ini. b. Wawancara Wawancara adalah cara untuk mencari fakta dengan meminjam indra (mengingat, merekonstruksikan) sebuah peristiwa dengan mengutip pendapat dan opini nara sumber.4 Atau wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu antara dua orang (Interviewer dan Interview) yang salah satunya memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. 4
Hikmah Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat. Jurnalistik Teori dan Praktik, (Bandung; PT remaja Rosda Karya,2005), h 189
7
Penulis mendengarkan dan memperoleh informasi dan keterangan – keterangan dengan cara tanya jawab sambil tatap muka secara langsung dengan mengajukan pertanyaan yang kemudian penulis tulis dan penulis rekam dengan menggunakan alat recorder yaitu Mp3 dan Hp kepada nara sumber yang penulis anggap penting. Seperti Ust. Sholahuddin AR selaku teman sejawatnya (Alm. Kiai Emet) dan sekaligus Ketua Pondok Pesantren Bobos. Dan kemudian Ust. Hajam Masy‟ali Mag selaku pengurus yayasan yang masih aktif yang pernah belajar pada Kiai Emet Ahmad Khatib. Dan masih banyak lagi yang nantinya akan diwawancarai demi terkumpulnya bahan atau data yang terkait permasalahan penelitian. c. Dokumentasi Dokumentasi yaitu data yang diperoleh berkaitan dengan apa yang diteliti penulis. Dalam hal ini penulis memperoleh dokumen yang digunakan dalam bentuk buku-buku, catatan-catatan, gambar dan fotofoto beliau selama masih hidup. 4. Analisa Data Dalam teknik analisis data penulis menggunakan penelitian deskriptif-analisis dengan memaparkan data apa adanya dari hasil observasi, wawancara dan dokumentasi.
E. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penyusunan skripsi ini terdiri dari 5 bab dan tiap bab terdiri dari beberapa sub bab sebagai berikut: Bab I adalah pendahuluan yang membahas tentang latar belakang masalah, fokus dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan. Bab II adalah kerangka teori, berisi uraian mengenai definisi Strategi, definisi dakwah, unsur-unsur dakwah, tujuan dakwah, definisi Strategi Dakwah, Asasasas Strategi Dakwah dan definisi Ishlah Tsamaniyah.
8
Bab III adalah gambaran umum, berisi mengenai latar belakang keluarga, pendidikan dan pengalaman hidup, kondisi sosial politik dan sejarah berdirinya pondok pesantren Al-Ishlah Bobos Bab IV adalah analisis data, berisi Strategi Dakwah K. E. A. Khatib melalui Ishlah Tsamaniyah, Implementasi dari Dakwah Ishlah Tsamaniyah Kiai Emet Ahmad Khatib Bab V adalah berisi tentang kesimpulan dan saran-saran mengenai permasalahan yang diangkat dan telah diteliti yang mungkin bisa bermanfaat bagi penulis, pondok pesantren Al-Ishlah Bobos, khazanah keilmuan di perpustakaan fakultas maupun umum.
BAB II KAJIAN TEORI
A. Strategi 1. Pengertian Strategi Strategi asal katanya berasal dari bahasa yunani “strategos” yang bermakna jendral dalam militer. Definisi secara umum strategi adalah cara-cara yang telah diatur untuk memenangkan suatu pertempuran.5 Kata ini lebih akrab dikenal dalam dunia militer. Penggunaan katanya lebih dominan dalam situasi peperangan dan komandanlah yang bertugas mengatur cara untuk memenangkan peperangan. Oleh karena itu, tugas seorang komandan sangatlah berat disamping bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dia juga bertanggung jawab terhadap orang yang dibawahinya (prajurit), karena jika keliru dalam memilih dan mengatur cara, maka dampaknya akan fatal. Jika dikaitkan dengan kajian dakwah maka seorang komandan diibaratkan sebagai da‟i dan prajurit sebagai mad‟u. Definisi lain menyebutkan strategi merupakan suatu garis-garis besar haluan untuk bertindak dalam usaha mencapai sasaran yang telah ditentukan.6Langkah atau tindakan yang ditempuh tidaklah asal atau sembarangan, melainkan langkah dan tindakan yang telah dipikirkan, dirumuskan dan dipertimbangkan secara benar baik buruknya, dampak positif dan negatifnya. Secara pasti strategi digunakan sebagai upaya membantu dalam pencapaian maksud atau tujuan. Dalam buku Pengembangan Masyarakat Islam menjelaskan strategi adalah suatu rencana atau langkah-langkah yang akan ditempuh dalam upaya memecahkan masalah yang dihadapi ditengah-tengah masyarakat.7 5
Hadari Nawawi. Manajemen Strategik Organisasi Non Profit Bidang Pemerintahan (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2000), h 147 6 Abuddin Nata, Perspektif Islam Tentang Strategi Pembelajaran (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h 207 7 Nanih Machendrawaty dan Agus Ahmad Safei, Pengembangan Masyarakat Islam (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), h 97
9
10
Strategi yang dipakai dalam setiap hal untuk memecahkan persoalan tertentu sudah pasti akan berbeda dengan strategi yang diterapkan untk memecahkan masalah yang sama sekali lain (berbeda). Sebuah strategi menurut FM Loewenberg, bukanlah pernyataan (statemen) yang bersifat menggenalisir bisa digunakan oleh siapa saja dalam menghadapi persoalan apa saja. Strategi yang digunakan sangat ditentukan oleh tujuan apa yang hendak dicapai, serta kondisi macam apa yang tercipta.8 Dalam beberapa buku Kamus ditemukan pengertian kata strategi, yaitu pertama, dalam kamus Manajemen dikatakan strategi adalah rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus dan saling hubungan dalam waktu dan ukuran. 9 kedua, menurut kamus Sosiologi dan Kependudukan arti strategi adalah suatu siasat dalam menjalankan sesuatu maksud atau tujuan tertentu atas suatu prosedur yang memiliki alternatifalternatif pada berbagai langkah.10 Drs. Samsul Munir Amin dalam bukunya Rekonstruksi Pemikiran Dakwah Islam mendefinisikan kata strategi sebagai suatu konsep atau upaya untuk mengerahkan dan mengarahkan potensi dan sumber daya kedalam rangkaian kegiatan untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan.11 Dengan demikian dapat disimpulkan oleh penulis bahwa strategi adalah cara, taktik, upaya atau siasat yang dilakukan dengan penuh perhitungan secara cermat dan pertimbangan yang matang demi tercapainya maksud atau tujuan dari suatu masalah yang dihadapi.
8
Ibid, h 99 B. N. Marbun, Kamus Manajemen (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), h 340 10 G. Kartasapoetra dan Hartini. Kamus Sosiologi dan Kependudukan (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007), h 406 11 Samsul Munir Amin, Rekonstruksi Pemikiran Dakwah Islam (Jakarta: AMZAH, 2008), h 165 9
11
B. Dakwah 1. Pengertian Dakwah Dakwah secara etimologi atau kebahasaan mengandung arti menyeru, mengajak, teriakan atau memanggil.12 Dakwah bisa juga di artikan sebagai permohonan. Dari beberapa makna yang berfariasi tersebut, mengandung unsur usaha atau upaya yang dinamis. Sedangkan menurut terminologi dakwah merupakan suatu cara atau proses mengajak untuk berpindah dari suatu keadaan yang tidak baik menuju keadaan atau situasi yang baik. Menyeru atau mengajak disini sekiranya wajib bagi setiap muslim untuk berdakwah menegakkan kalimat Allah meskipun satu ayat. Rasulullah SAW Bersabda:
Artinya: Sampaikanlah yang (kamu terima) dariku, walaupun satu ayat.13 Dari hadits diatas jelas bahwasannya seorang muslim hendaklah menyampaikan
petunjuk-petunjuk
(hudan)
kepada
manusia
yang
diperolehnya tidak boleh menghindarkan diri dari kewajiban berdakwah. karena dakwah merupakan risalah untuk mengembangkan agama Allah. Dakwah merupakan suatu pekerjaan yang mulia dan merupakan suatu keharusan yang telah ditetapkan hukumnya wajib oleh nash AlQur‟an. Berbicara mengenai kewajiban berdakwah juga telah disinggung oleh Jum‟ah Amin Abdul Aziz dalam bukunya Fiqih Dakwah yang merupakan studi atas berbagai prinsip dan kaidah yang harus dijadikan acuan dalam dakwah islamiah. Dalam buku tersebut menjelaskan bahwasannya, setiap muslim yang membawa identitas islam (baik secara akidah atau syariat) mengetahui, bahwa ia diperintahkan untuk
12
A. Ilyas Ismail dan Prio Hotman, Filsafat Dakwah; Rekayasa Membangun Agama dan peradaban Islam. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h 27 13 Shadiq Amin. Mencari Format Gerak Dakwah Ideal. (jakarta timur: Al-I‟tishom, 2006), h 5
12
menyampaikan Islam kepada seluruh manusia. Sehingga manusia dapat bernaung di bawah keteduhan naungannya.14 Banyak para pakar bidang keilmuan islam mendefinisikan dakwah. Diantaranya adalah sebagai berikut: Menurut M. Quraish Shihab dakwah merupakan ajakan atau seruan kepada keinsyafan atau usaha merubah diri sendiri atau masyarakat kepada yang lebih baik dan sempurna.15 M. Natsir mendefinisikan dakwah sebagai usaha menyerukan dan menyampaikan kepada perorangan manusia dan seluruh umat tentang pandangan dan tujuan hidup manusia didunia ini yang meliputi amar ma‟ruf nahi munkar, dengan berbagai macam media dan cara yang diperbolehkan dan membimbing pengalamannya dalam perikehidupan perorangan, berumah tangga (usrah) bermasyarakat dan bernegara.16 Definisi dakwah secara istilahi juga diutarakan oleh Dr. H. Asep Muhiddin, M.A. dalam bukunya yang berjudul Dakwah dalam Perspektif Al-Qur‟an, ia mengatakan dakwah adalah upaya mengajak dan mengembalikan manusia pada fitrah dan kehanifannya secara integral, serta merupakan upaya penjabaran nilai-nilai ilahi menjadi amal shaleh dalam kehidupan nyata.17 Ahmad Ghalwasy dalam kitabnya Ad-Da‟wat Al-Islamiyyat menjelaskan bahwasannya dakwah adalah pengetahuan yang dapat memberikan segenap usaha yang bermacam-macam yang mengacu kepada upaya penyampaian ajaran islam kepada seluruh manusia yang mencakup Aqidah, Syariah dan Akhlah.18 Dari beberapa pendapat tentang pengertian dakwah yang telah dipaparkan diatas, penulis menyimpulkan bahwa dakwah adalah suatu usaha ajakan atau seruan kepada seluruh umat manusia baik individu 14
Jum‟ah Amin Abdul Aziz. Fiqih Dakwah; Prinsip dan Kaidah Asasi Dakwah Islam. (Solo: PT Era Adicitra Intermedia, 2011), h 34 15 A. Suriani, Manajemen Dakwah Dalam Kehidupan Pluralis Indonesia. (Ciputat: The Media Of Social and cultural communication (MSCL), 2005), h 16 Armawati Arbi, Dakwah dan Komunikasi. (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2003), h 34 17 Asep Muhiddin, Dakwah Dalam Perspektif Al-Qur‟an (Bandung: CV Pustaka Media, 18 Faizah dan Law Muchsin Effendi, Psikologi Dakwah (Jakarta: Prenada Media, 2006), h 6
13
maupun kelompok dalam hidupnya untuk melangkah dari satu situasi kepada situasi lain yang lebih baik sesuai ajaran islam dan menegakan syariat islam diatas muka bumi ini. 2. Unsur-unsur Dakwah a. Subjek Dakwah Subjek dakwah adalah orang yang mengajak (da‟i). Secara arti da‟i merupakan orang yang mengajak atau menyeru kepada semua manusia dengan perkataan dan perbuatannya agar kembali kepada jalan yang lurus dengan menegakan syariat Allah diatas muka bumi (Islam). Dalam konteks lainnya da‟i (juru dakwah) disebut juga sebagai Ahludz Dzikir.19 Ahludz Dzikir adalah orang yang diberi tugas untuk menjadi pelopor dalam dakwah. Da‟i merupakan manusia contoh yang segala tingkah laku perbuatannya akan selalu diikuti oleh pengikutnya, baik individu maupun masyarakat. Oleh karena itu, hendaklah seorang da‟i memiliki sifat-sifat baik (shaleh) terutama imannya, berjiwa luhur dan berhati lapang. Diantara sifat-sifat terpenting yang harus dimiliki da‟i adalah jujur, ikhlas, arif, sabar, disiplin waktu, konsisten dengan islam dan segala perbuatannya sesuai dengan ucapannya. Seorang juru dakwah tidak mungkin dapat melakukan amar ma‟ruf nahi munkar kecuali memiliki tiga sifat, yaitu: 20 lembut dalam memerintah dan melarang, adil dalam memerintah dan melarang, serta mengetahui sesuatu yang diperintah dan dilarang-Nya. Seorang da‟i tidak dapat melakukan kebajikan kecuali dengan cara lembut, sabar dan arif, dimana ketiga sifat tersebut saling melengkapi satu sama lain. Sifat-sifat terpuji tersebut setidaknya akan menjadi salah satu yang memungkinkan masyarakat dapat mengikuti jalan kebenaran yang diserukan da‟i. 19 20
Musthafa Ar-Rafi‟i. Potret Juru Dakwah (Jakarta: CV Pustaka Al-Kautsar, 2002), h 51 Hamidi, Teori Komunikasi dan Strategi Dakwah (Malang: UMM Press, 2010), h 12
14
b. Objek Dakwah Objek dakwah adalah mad‟u atau orang yang diajak untuk kembali kepada agama Allah. Mad‟u merupakan sasaran pokok dalam berdakwah. Mad‟u sering disebut juga dengan jamaah yang sedang menuntut ajaran agama dari seorang da‟i, baik mad‟u itu orang dekat atau jauh, seiman atau tidak seiman, laki-laki maupun perempuan. Yang menjadi mad‟u atau sasaran dakwah adalah manusia secara keseluruhan, baik individu maupun masyarakat luas yang satu sama lain memiliki perbedaan ras, agama, budaya, kebiasaan (SARA). Mad‟u atau sasaran dakwah dapat diklasifikasikan meliputi masyarakat dari berbagai segi, seperti:21 1. Dari segi tingkat usia, berupa golongan anak-anak, remaja, dan orang tua 2. Dari segi okupasional (profesi atau pekerjaan) seperti petani, pedagang, guru, seniman, dsb. 3. Dari segi sosiologis, berupa masyarakat pedesaan dan perkotaan. 4. Dari segi struktur kelembagaan, seperti golongan priyayi, abangan dan santri, terutama pada masyarakat jawa. 5. Dari segi khusus, seperti tunasusila, tunawisma, narapidana dan sebagainya. 6. Dll. Sedangkan menurut Muhammad Abduh mad‟u terbagi menjagi tiga golongan, yaitu sebagai berikut:22 7. Golongan cerdik cendekiawan yang cinta kebenaran dan dapat berpikir secara kritis dan cepat menangkap persoalan 8. Golongan awam. Kebanyakan orang yang belum dapat berpikir secara kritis dan mendalam, belum dapat menangkap pengertianpengertian yang tinggi. 9. Golongan yang berbeda dengan golongan diatas, yaitu mereka yang senang membahas sesuatu, tetapi hanya dalam batas tertentu, tidak sanggup mendalami benar. 21
Wahidin Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), h
280 22
Wahyu Ilaihi, komunikasi Dakwah. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), h. 20
15
c. Materi Dakwah Materi dakwah dalam bahasa arab disebut maddah da‟wah adalah ajaran islam itu sendiri yang esensinya berpangkal pada landasan pokok manusia yaitu Al-Qur‟an dan Hadits. Dalam penyampaian materi atau ajaran dakwah hendaklah dikemukakan dengan baik, sehingga mad‟u akan terpikat hatinya dan mau mendengarkan dan mengikuti apa yang da‟i serukan. Materi dakwah itu cakupannnya sangat luas sekali, namun secara umum pokok-pokok materi dakwah adalah sebagai berikut:23 1. Aqidah Islam, Tauhid dan keimanan 2. Pembentukan pribadi yang sempurna 3. Pembangunan masyarakat yang adil dan makmur 4. Kemakmuran dan kesejahteraan dunia dan akhirat Materi dakwah yang pertama dan yang sangat penting sekali adalah berdakwah atau mengajak kepada perbaikan aqidah, mengajak manusia kepada tauhid, mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah, dan melarang kepada kesyirikan serta mengajak manusia untuk senantiasa melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan agama, seperti shalat, puasa, zakat dan sebagainya. Dari beberapa uraian materi dakwah diatas menjadi prinsip dasar yang harus senantiasa da‟i ingat dalam setiap penyampaian dakwahnya. d. Metode Dakwah Hendaknya bagi para pelaku dakwah agar dakwahnya bisa diterima dimasyarakat haruslah mengetahui cara atau metodemetodenya. Al-Qur‟an sendiri sudah merumuskannya yaitu seperti didalam surat An-Nahl, 16:125. Allah Berfirman:
23
Hamzah Yaqub. Publistik Islam; Teknik Da‟wah dan Leadership (Bandung: CV. Diponegoro, 1981), h 30
16
Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Dari penjelasan ayat di atas terdapat tiga cara atau metode dalam berdakwah, yaitu: 1
Bil-Hikmah Hikmah secara arti adalah meletakan sesuatu pada tempatnya. Definisi lain mengatakan bahwasannya hikmah merupakan bijaksana baik sikap maupun perbuatan atau segala ucapan dan perbuatan dilakukan secara tepat dalam waktu bersamaan. Menurut Prof. Toha Jahja Omar MA, bijaksana artinya meletakkan sesuatu pada tempatnya dan kitalah yang harus berpikir, berusaha menyusun dan mengatur cara-cara dengan menyesuaikan kepada keadaan dan zaman, asalkan tidak bertentangan dengan hal-hal yang dilarang oleh Allah.24 Hikmah menurut Syekh Zamakhsyari adalah perkataan yang pasti benar, ia merupakan dalil yang menjelaskan kebenaran dan menghilangkan keraguan atau kesamaran.25 Metode ini dilakukan dengan mengajak bicara kepada akal manusia dengan penjelasan dalil-dalil ilmiah yang memuaskan dan dengan bukti konkrit yang sesuai dengan kebenaran logika. Semua itu dimaksudkan untuk menolak segala hal yang mengandung unsur keragu-raguan (syubhat) dengan penjelasan dan argumentasi yang mudah dipahami. Salah satu wujud nyata hikmah adalah bersikap penuh ramah tamah dalam berbicara dan berdialog.26 Bersikap baik dan ramah akan
membuat
hati
(qolbu)
orang-orang
yang
didakwahi
menerimanya dengan baik.
24
Hasanuddin, Hukum Dakwah; Tinjauan Aspek Hukum Dalam Berdakwah di Indonesia (Jakarta: Pedoman ilmu Jaya, 1996), h. 36 25 Husain Fadhlullah. Metodologi Dakwah Dalam Al-Qur‟an; Pegangan Bagi para Aktivis (Jakarta: Lentera, 1997), h 41 26 Yusuf Al-Qaradhawi, Retorika Islam (Jakarta: KHALIFA, 2004), h 20
17
2
Mauidhah Hasanah Secara bahasa Mauidhah hasanah terdiri dari dua kata, yaitu Mauidhah dan Hasanah. Mauidhah diartikan sebagai nasihat, bimbingan, pendekatan dan peringatan. Sementara Hasanah memiliki arti baik yang merupakan antonim dari kata Sayyi‟ah yang artinya jelek.27 Berdakwah dengan memberikan nasihat-nasihat yang baik, halus, sopan dan penuh rasa kasih sayang sehingga materi ajaran islam yang disampaikan bisa diterima dengan baik oleh sasaran dakwah. Menurut Yakub ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam pendekatan mauidzah hasanah,28 yaitu: Pertama, bertutur kata dengan menggunakan kata-kata yang sopan, lembut sehingga terkesan di hati. Kedua, menghindari dari sikap diri yang tegar dan kasar. Ketiga, tidak mengungkit dan menyebut-nyebut kesalahan yang telah dilakukan oleh orang-orang yang didakwahi karena boleh jadi hal tersebut dilakukan atas dasar ketidaktahuan.
3
Mujadalah Mujadalah adalah perdebatan. Kata ini mengandung pengertian diskusi terbatas pada ide dengan melontarkan argumen yang benar dan menjatuhkan argumentasi yang bathil.29 Mujadalah dilakukan saat menghadapi orang-orang yang tidak sepaham atau berbeda pendapat. Ada beberapa hal atau perkara yang mesti seorang penyeru (da‟i) hindari dalam bermujadalah, karena dampaknya sangat berbahaya. Adapun mujadalah yang tidak baik adalah sebagai berikut:30
27
Munzier Suparta dan Aparjani Hefni, Metode Dakwah (Jakarta: Prenada Media, 2003),
h 15 28
Asep Muhyiddin dan Agus Ahmad Safei, Metode Pengembangan Dakwah. (Bandung: Cv Pustaka Setia, 2002), h 177 29 Saifullah. Islam, Dakwah dan Politik. (Bogor: Pustaka Tharikul Izzah, 2002), h 36 30 Nanih Machendrawaty dan Aep Kusnawan. Teknik Debat dalam Islam (Bandung: CV Pustaka Setia, 2003), 58
18
a. Bermujadalah dengan menolak dan bertujuan meruntuhkan segala kebenaran yang bersumber dari Al-Qur‟an dan AlHadits. b. Bermujadalah untuk membela kebatilan. c. Bermujadalah yang diniatkan bukan karena Allah, melainkan hanya mencari sensasi, popularitas, menampilkan kepandaian, serta menjatuhkan kehormatan salah satu pihak yang terlibat dalam diskusi. 3. Tujuan dakwah Pada dasarnya, dakwah merupakan rangkain kegiatan atau proses dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu. Tujuan ini dimaksudkan sebagai pemberi arah atau pedoman bagi gerak langkah kegiatan dakwah. Sebab, tanpa tujuan yang jelas seluruh kegiatan dakwah akan sia-sia. Berpedoman pada Al-Qur‟an dan Hadits bahwasannya tujuan dari pelaksanaan dakwah adalah mengajak dan merubah tatanan kehidupan menjadi lebih baik (ahsan) sesuai dengan prinsip dan aturan Allah untuk menegakan amar ma‟ruf nahi munkar di alam semesta ini. Dalam buku wawasan islam yang ditulis oleh H. Endang Saifuddin Anshari membagi tujuan dakwah kedalam dua hal yaitu:31 a. Tujuan Vertikal, yaitu mengharapkan keridhaan Allah SWT. Sesuai firman Allah dalam QS. Al-An‟aam ayat 162-163
Artinya: “Katakanlah (Muhammad), sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan seluruh alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (Muslim).” b. Tujuan Horizontal, yaitu rahmat bagi segenap jagat raya. Hal itu bisa dibuktikan dalam QS. Al-Anbiyaa ayat 108.
31
Endang Saefuddin Anshari, Wawasan Islam; Pokok-pokok Pikiran Tantang Paradigma dan Sistem Islam. (Jakarta: Gema Insani, 2004), h 153
19
Artinya:”katakanlah (Muhammad), sesungguhnya apa yang diwahyukan kepadaku ialah bahwa Tuhanmu adalah Tuhan Yang Esa, maka apakah kamu telah berserah diri (kepada-Nya)?” Berikut adalah beberapa ayat Al-Qur‟an yang menjelaskan tentang tujuan dakwah, yaitu: QS. yusuf ayat 108:
Artinya: “Katakanlah, inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kamu kepada Allah dengan hujjah yang nyata, maha suci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik.”32 Berdasarkan firman Allah diatas, salah satu tujuan dakwah adalah membentangkan jalan Allah diatas bumi agar mudah dilalui umat manusia. QS. Al-Anfal ayat 24:
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman penuhilah seruan Allah dan rasul, apabila dia menyerumu kepada sesuatu yang memberikan kehidupan kepadamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatai antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan.” Ayat ini menjelaskan makna tujuan dakwah adalah untuk menghidupkan hati yang mati agar kembali hidup dengan takwa. QS. Al-Mu‟minuun ayat 73:
32
Al-Aliyy. Al-Qur‟an dan Terjemahnya. (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2006), h
20
Artiya: “Dan sungguh engkau pasti telah menyeru mereka kepada jalan yang lurus.” Ayat ini menjelaskan tujuan dakwah untuk mengajak dan menuntun kejalan yang lurus (mustakim). Dalam bukunya Dr. Thohir Luth yang menceritakan tentang dakwah dan pemikiran M. Natsir, menyebutkan bahwasannya tujuan dakwah menurut M. Natsir adalah sebagai berikut:33 1. Memanggil kita kepada syariat yang bertujuan untuk mengatasi segala masalah, baik yang dihadapi sendiri atau perseorangan atau persoalan berumah tangga, bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara. 2. Memanggil kita kepada fungsi hidup kita sebagai hamba Allah yang satu sama lain saling berbeda, baik pendirian maupun kepercayaannya 3. Memanggil kita pada tujuan hidup kita yang hakiki, yakni menyembah Allah semata. Jadi pada dasarnya tujuan dari kegiatan dakwah tidak lain dan tidak bukan adalah menginginkan adanya perubahan sikap mental dan tingkah laku manusia yang kurang baik menjadi lebih baik atau meningkatkan kualitas iman dan islam seseorang secara sadar dan timbul dari keinginannya sendiri tanpa ada paksaan dari siapapun.
C. Strategi Dakwah 1. Pengertian Strategi Dakwah Strategi Dakwah adalah suatu cara, taktik atau siasat dalam usaha mencari jalan untuk mengajak manusia tak terkecuali agar kembali kepada jalan yang benar. Dalam pengertian lainnya strategi dakwah adalah perencanaan yang berisi rangkaian kegiatan yang didesain atau dirancang untuk mencapai tujuan tertentu.34 Tujuan ini berkaitan dengan kegiatan dakwah yang menginginkan adanya perubahan.
33
Thohir Luth. M. Natsir; Dakwah dan Pemikirannya (Jakarta: Gema Insani Press, 1999),
34
Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h 349
h 70
21
Adapun definisi lain mengenai strategi dakwah adalah suatu proses menentukan
cara dan daya upaya untuk menghadapi sasaran dakwah
dalam berbagai keadaan tertentu yang menginginkan tercapainya tujuan dakwah secara optimal.35 Dengan kata lain strategi dakwah adalah taktik atau manuver yang ditempuh dalam rangka mencapai tujuan dakwah. Pada dasarnya strategi dakwah menuntut para kader dakwah untuk dapat memahami dan mengenal situasi dan kondisi masyarakat yang terus mengalami perputaran hidup (perubahan) baik secara kultural maupun sosial keagamaan. Oleh karenanya diperlukan adanya pengenalan yang tepat dan akurat terhadap segala realitas hidup manusia yang berjalan secara dinamika. Strategi dakwah erat hubungannya dengan mengatasi persoalanpersoalan yang kompleks seperti pembebasan manusia dari kemiskinan, pengangguran, pemerosotan moral atau akhlak yang mengakibatkan munculnya berbagai tindakan kriminalitas, penindasan atas nama agama, konflik etnis dan lain sebagainya. Menurut Mulkan,36 strategi dakwah adalah sebagai sarana atau upaya strategis yang diarahkan pada pemecahan masalah yang dihadapi masyarakat dilapangan. Strategi tersebut dipandang baik atau berhasil apabila dari pemecahan masalah tersebut menghasilkan tiga kondisi, yaitu sebagai berikut: a. Tumbuh atau lahirnya kepercayaan dan kemandirian umat sehingga melahirkan sikap optimisme masyarakat. b. Tumbuhnya kepercayaan umat terhadap kegiatan dakwah untuk mencapai kehidupan yang lebih baik (ideal). c. Berkembangnya suatu kondisi sosio-ekonomi-budaya-politik-iptek sebagai landasan peningkatan kualitas hidup, atau peningkatan kualitas sumber daya umat (SDU).
35
Awaludin Pimay, Paradigma Dakwah Humanis; Strategi dan Metode Dakwah Prof. KH. Saifuddin Zuhri 36 Asep Muhyiddin dan Aguss Ahmad Safei, Ibid., h 39
22
2. Prinsip-Prinsip Strategi Dakwah Berdasarkan pada makna dan urgensi dakwah tersebut serta kenyataan dakwah dilapangan dan aspek-aspek normatif tentang dakwah yang terdapat dalam Al-Qur‟an dan sunah, maka dapat ditemukan prinsip strategi dakwah, yaitu diantaranya sebagai berikut: a. Memperjelas secara gamblang sasaran-sasaran ideal sebagai langah awal dalam berdakwah terlebih dahulu harus diperjelas sasaransasaran apa yang ingin dicapai, kondisi umat Islam bagaimana yang diharapkan. Baik dalam wujudnya sebagai individu maupun sebagai suatu komunitas masyarakat. b. Merumuskan masalah pokok umat Islam. Dakwah bertujuan menyelamatkan umat dari kehancuran dan untuk mewujudkan citacita ideal masyarakat. Rumuskan terlebih dahulu masalah pokok yang dihadapi umat, kesenjangan antara sasaran ideal dan kenyataan yang konkret dari pribadi-pribadi muslim, serta kondisi masyarakat dewasa ini. Jenjang masalah ini pun tidak sama antara kelompok masyarakat yang satu dengan yang lain tentunya tidak sama. Setiap kurun waktu tertentu harus ada kajian ulang terhadap masalah itu seiring dengan pesatnya perubahan masyarakat tersebut. c. Merumuskan isi dakwah. Jika kita sudah berhasil merumuskan sasaran dakwah beserta dengan masalah yang dihadapi masyarakat Islam, maka langkah selanjutnya adalah menentukan isi dakwah itu sendiri. Isi dakwah harus sinkron dengan masyarakat Islam sehingga tercapai sasaran yang telah ditetapkan. Ketidak sinkronan dalam menentukan isi dakwah ini bisa menimbulkan dampak apa yang disebut dengan istilah “split personality” / “double morality” pribadi muslim. Misalnya seorang muslim yang beribadah, tetapi pada waktu yang sama ia dapat menjadi seorang pemeras, penindas, koruptor dan pelaku perbuatan tercela lainnya. Jadi, untuk bisa menyususn isi dakwah secara tepat dibutuhkan penguasaan ilmu yang komprehenif.37
37
M. Idris A. Somad.Ilmu Dakwah (Jakarta: T. Pn, 2005), h 15
23
3. Teori-teori Strategi Dakwah Allah SWT telah mewajibkan kepada Rasul-Nya dan kepada orangorang mukmin untuk berdakwah, akan tetapi Allah mengikat perintah-Nya itu dengan syarat harus dikerjakan dengan pengetahuan yang mendalam (bashirah) dan bijaksana (al-hikmah). Allah SWT berfirman dalam surat An-Nahl: 125:
Artinya: serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. Secara historis dapat dilihat bagaimana setiap dakwah rasul telah diberikan Allah SWT sifat-sifat mulia agar tujuan dakwah tercapai dan diantara sifat-sifat itu yang dimiliki oleh Rasul. Allah SWT telah menganugrahi karunia ini seperti yang terdapat dalam surat Ali-Imran: 164:
Artinya: sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al kitab dan Al hikmah. dan Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. Dalam rangka menyusun strategi dakwah diperlukan suatu pemikiran yang lugas dan rasional dengan memperlihatkan faktor-faktor yang mempengaruhi strategi tersebut.
24
Syarif Usman mengatakan bahwa dalam menyusun strategi ada lima faktor yang harus diketahui, yaitu: 1) Tujuan. Baik tujuan jangka panjang (tujuan akhir) atau tujuan jangka pendek (tujuan sementara) 2) Ilmu Medan (situasi dan kondisi) 3) Kekuatan-kekuatan 4) Kebujakan Pemimpin 5) Pemimpin.38 Sedangkan menurut Asmuni Syukir, strategi dakwah yang dipergunakan dalam usaha dakwah harus memperhatikan beberapa azaz dakwah, antara lain: a. Asas filosofis, asas ini erat hubungannya dengan perumusan tujuantujuan yang hendak dicapai dalam proses atau aktivitas dakwah. b. Asas kemampuan dan keahlian da‟i. c. Asas sosiologis. Asas ini membahas tentang persoalan-persoalan yang berhubngan dengan kondisi dan situasi masyarakat obyek dakwah. Misalnya situasi politik, ekonomi, keamanan dan lain sebagainya. d. Asas psikologis. Asas ini merupakan asas yang membahas tentang aspek kejiwaan manusia, untuk memahami kualitas penerima dakwah agar kegiatan dakwah berjalaan dengan baik. e. Asas efektif dan efisien. Hal ini merupakan penerapan prinsip ekonomi dalam dakwah, yaitu pengeluaran sedikit untuk mendapatkan penghasilan yang semaksimal mungkin. Setidaknya seimbang antara tenaga yang dikeluarkan dengan pencapain hasilnya.
D. Ishlah Tsamaniyah 1. Pengertian Ishlah Definisi Ishlah menurut bahasa sangat bervariasi maknanya. Ada yang mengatakan ishlah artinya damai atau mendamaikan dan ada pula 38
Syarif Usman. Strategi Pembangunan Indonesia dan Pembangunan Dalam Islam, (Jakarta: Firma Djakarta, 2003), h 6
25
yang mengartikan baik atau memperbaiki. Definisi pertama yang menjurus pada pengertian damai atau mendamaikan seperti yang tertera dalam beberapa buku kamus yang diantaranya adalah sebagai berikut: a. Dalam
kamus
Bahasa
Indonesia
ishlah
mengandung makna
perdamaian atau melakukan upaya perdamaian. b. Dalam kamus pintar Agama Islam yang ditulis oleh Drs. Cholil uman, Mas‟ud Nawi dan Mahmuddin menyebutkan kata ishlah sebagai definisi dari arti mendamaikan pertengkaran. Dalam kajian ilmu agama ishlah adalah suatu jenis akad untuk mengakhiri perlawanan antara dua orang yang bersengketa. Dan demi tercapainya ishlah atau kesepakatan damai sebagai pengganti dari pada perpecahan, dan agar permusuhan antara dua pihak yang sedang berselisih dapat dilerai maka disyariatkan dari petunjuk Al-Qur‟an, Hadits dan Ijma.39 Dalam pengertian yang kedua ishlah sebagai unsur kata yang mengandung definisi baik atau memperbaiki terdapat dalam kamus AlMunawwir, Arab-Indonesia, dimana didalamnya menyebutkan ishlah berasal dari kata saleh, ashlaha yang berarti baik atau memperbaiki. Secara istilah ishlah adalah memperbaiki suatu keadaan menjadi lebih baik, lebih berfaedah dalam segala sendi-sendi kehidupan. pengertian ishlah ini termaktub didalam Al-Qur‟an. Allah berfirman didalam surat AlAnfal ayat 1:
Artinya: “Dan perbaikilah hubungan diantara sesamamu.” Ayat tersebut menjelaskan secara umum, memperbaiki suatu keadaan, hubungan (hal ihwal) yang terjadi diantara sesama umat Islam dengan taqwa. Dalam pemikiran dan tulisan Kiai Emet Ahmad Khatib yang berjudul Intisab PUI dan Janji Amal, di dalamnya menyebutkan bahwasannya Ishlah adalah 39
Cholil Uman, dkk. Kamus Pintar Agama Islam. (Bandung: Citra Umbara, 1995), h 104
26
Artinya: Berkehendak keras untuk merubah sesuatu yang jelek hari ini agar hari esok lebih baik. Karakter inilah yang dimiliki oleh para Nabi, auliya, syuhada dan ulama. Sebagaimana Allah menjelaskan betapa tinginya karakter Al-Ishlah dimiliki oleh Nabi Syu‟aeb dalam menghadapi ummat yang amat kharbatak ternyata berhasil.
Kami berbuat tiada maksud dan kehendak kecuali merubah dan perubahan sesuai dengan kemampuan kami, tiada penolong bagi kami kecuali Allah, kepada-Nya kami berserah diri dan hanya kepada-Nya kami kembali.40 Kalimat Al-Ishlah merupakan satu unsur kepribadian muslim yang telah ditetapkan oleh Allah. Ada unsur lainnya yang sama, yaitu AsShilah. Pribadi seorang muslim harus bersih dan baik, bisa jadi orang yang bersih dan baik setelah bekerja dan memperbaiki dan membersihkan dirinya. Memperbaiki dan membersihkan diri, pekerjaannya disebut AsShilah, orangnya disebut As-Sholihun. Setelah dirinya baik dan bersih orang yang iqror amal beralih memperbaiki dan membersihkan orang lain agar orang lainpun baik dan bersih. Pekerjaannya disebut Al-Ishlah, orangnya disebut Al-Mushlihun. Menurut pendapat Alimam Al-Qusyaery, yang dimaksud Ishlah adalah memperbaiki sifat kikir hingga menjadi munfiqun (dermawan), jangan merampas hak orang lain menjadi miliknya dan membersihkan hati dari sifat dendam dan hasud. Sedangkan menurut hadits nabi yang disampaikan kepada sahabat Abu Ayyub, bahwa yang dimaksud Ishlah itu adalah: “Kamu harus berusaha memperbaiki manusia tatkala mereka saling menghancurkan.” Dan menurut pandangan ahli shufi yang 40
h 146
Emet Ahmad Khatib. Intisab PUI dan Janji Amal. (Jakarta: Panitia Seabad PUI, 2009),
27
dimaksud dengan ishlah adalah Harus membuktikan dakwah dengan kerja, dengan muamalah, dan dengan perbuatan menjadi contoh yang luhur, jadi panutan yang luhur. Untuk dapat menjadi orang yang sholihun dan Mushlihun, adalah Pertama terlebih dahulu harus melakukan pertaubatan yang nasuha dengan membersihkan dan memurnikan diri dari dosa dan huru-hara hidup. Kedua harus menyandang sifat-sifat terpuji yang sempurna agar dapat memperbaiki orang lain. Pandangan M. Quraish Shihab mengenai ishlah sedikit diuraikan dalam bukunya Wawasan Al-Qur‟an yang merupakan kajian tafsir Maudhui atas pelbagai persoalan umat. Dimana disebutkan bahwasannya ishlah yang banyak disebutkan berulang-ulang dalam Al-Qur‟an tidak hanya dikaitkan dengan sikap kejiwaan, melainkan ishlah itu harus digunakan atau diwujudkan dalam perbuatan nyata. Lanjutnya menurut beliau kata ishlah hendaknya tidak hanya dipahami sebatas mendamaikan antara dua orang (lebih) yang berselisih, melainkan harus dipahami sesuai makna semantiknya dengan memperhatikan penggunaan Al-Quran terhadapnya. Puluhan ayat berbicara tentang kewajiban melakukan shalah atau ishlah. Dalam kamus-kamus bahasa arab, kata shalah diartikan sebagai antonim dari kata fasad (kerusakan), yang juga dapat diartikan sebagai yang bermanfaat. Sedangkan kata ishlah digunakan oleh Al-Quran dalam dua bentuk, yaitu: pertama, ishlah yang selalu membutuhkan objek, kedua adalah shalah yang digunakan sebagai bentuk kata sifat. Sehingga, shalah dapat diartikan terhimpunnya sejumlah nilai tertentu pada sesuatu agar bermanfaat dan berfungsi dengan baik sesuai dengan tujuan kehadirannya. Apabila pada sesuatu ada satu nilai yang tidak menyertainya hingga tujuan yang dimaksudkan tidak tercapai, maka manusia dituntut untuk menghadirkan nilai tersebut. Dan hal yang dilakukannya itu dinamai ishlah (perbaikan).41 41
M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran; Tafsir Maudhu‟i Atas Pelbagai Persoalan Umat. (Bandung: Penerbit Mizan, 1997), h 498
28
2. Macam dan makna Ishlah Tsamaniyah Ishlah tsamaniyah terdiri dari delapan bidang yang diperuntukan sebagai target sasaran (jalan yang ditempuh) dalam perbaikan menuju perubahan hidup agar lebih baik. Adapun Ishlah Tsamaniyah tersebut adalah sebagai berikut: a. Ishlahul Aqidah (Perbaikan Aqidah) Aqidah asal katanya dari bahasa Arab, yaitu aqada yang secara harfiyah berarti menghubungkan antara dua ujung dari sesuatu secara kokoh atau kuat.42 Aqidah merupakan dasar-dasar kepercayaan dalam agama yang mengikat seseorang dengan persoalan-persoalan yang prinsipil dari agama. Islam mengikat kepercayaan atau aqidah dengan tauhid, yaitu keyakinan bahwa Allah itu Esa. Ishlahul Aqidah berarti memperbaiki polapikir atau pandangan hidup yang mendasari seseorang dalam bersikap dan bergerak. Aqidah seseorang dapat diimplementasikan dalam bentuk prilaku (suluk), moralitas (akhlak), visi (wijhatun-nazhar) dan ittijahnya dalam kehidupan yang nyata.43 Dengan demikian semakin dangkal aqidah atau tauhid seseorang, maka semakin rendah pula akhlak, watak kepribadian, serta kesiapannya menerima konsep Islam sebagai pegangan hidupnya. Sebaliknya, bilamana aqidah seseorang telah kokoh dan mapan (established), maka ia akan jelas terlihat dalam operasoinalnya. Setiap konsep yang berasal dari Islam, pasti akan diterima secara utuh dan dengan lapang dada tanpa rasa keberatan dan terkesan mencari-cari alasan untuk menolaknya. Seorang muslim yang memiliki aqidah yang kuat akan menampakkan hidupnya
sebagai amal shaleh. Jadi amal shaleh
merupakan fenomena yang tampak sebagai pancaran dari aqidah.
42 43
Ibid, h 557 Daud Rasyid, Islam Dalam Berbagai Dimensi. (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), h 15
29
Amal shaleh merupakan perbuatan yang baik yang lahir dari seorang muslim yang memiliki aqidah (mu‟min). 44 Menurut
Sayyid
Sabiq
Al-„Aqaid
al-Islamiyyah
aqidah
merupakan prinsip perbuatan. Artinya segala macam perbuatan (amal) niscaya dilakukan dan berpijak diatas landasan akidah. Oleh karena itu baik buruknya suatu amal perbuatan bergantung penuh pada benar salahnya keyakinan atau akidah yang dibangun.45 Lemahnya akidah merupakan kunci dari sumber malapetaka yang mengancam manusia dari perbuatan yang menyimpang, khususnya kaum muslimin. Salah satu malapetaka tersebut adalah munculnya kerusakan fatal yang menyeluruh, baik individu, masyarakat, maupun negara dan seterusnya. Agar manusia terhindar dari segala penyimpangan (perbuatan jahiliyyah), maka berkenaan dengan itu Islam menunjukan kepada umat manusia dengan menuntunnya kepada Tuhan yang Hak (Allah). Apabila didalam hatinya sudah tertanam keyakinan bahwa Allah itu Esa, niscaya jiwa mereka mau mendengar dan patuh kepada larangan dan perintah-Nya. Maka apabila jiwa mereka telah terfokus kepada Allah serta memilih sesuatu yang merupakan pilihannya, maka taklif (pembenahan hukum) serta proses pembenahan dan perbaikan dalam berbagai sektor kehidupan (sosial, politik, ekonomi, moral dsb) yang sebelumnya dirusak dan dicemari akidah jahiliyyah dapat segera dimulai. b. Ishlahul Ibadah (Perbaikan Ibadah) Ibadah dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan dengan perbuatan yang menyatakan bakti kepada Allah SWT, yang didasari ketaatan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ibadah mempunyai efek pendekatan pribadi kepada Allah SWT yang 44
Syahidin, et al. Moral dan Kognisi Islam. (Bandung: CV ALFABETA, 1993), h 94 Muhammad As-Sayyid Yusuf dan Ahmad Durmah. Pustaka Pengetahuan Al-Qur‟an I; dalam Al-Qur‟an dan Reformasi (Pembenahan dan Perbaikan). (Jakarta: PT Rehal Publika, 2007), h 99 45
30
mengandung arti penginsyafan diri pribadi akan makna hidupnya, yakni makna hidup yang berpangkal dari kenyataan bahwa kita berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. Ibadah merupakan bentuk cerminan dari aqidah seseorang. Bagi yang kuat aqidahnya akan merasa ringan dalam melakukan segala macam ibadah. Pelaksanaan ibadah akan menjamin terpeliharanya hubungan manusia dengan Allah. Dengan terpeliharanya hubungan tersebut, akan menyebabkan segala tingkah laku manusia itu didasari dan dijiwai (dispiritualisir) oleh kesadaran akan kewajiban mentaati peraturan-peraturan dan berbakti kepada Allah SWT. Hanyalah karena Allah semata.46 Dengan pelaksanaan ibadah ini terhindarlah manusia dari perbuatan syirik, maksiat, munkar, buruk dan jahat. Agar manusia itu tetap terpelihara, maka manusia diwajibkan mengevaluasi dirinya, i‟tikadnya, tingkah lakunya dan kemudian mengulang kembali ikrarnya seperti tercantum dalam surat Al-An‟aam ayat 162-163:
artinya: “Katakanlah (Muhammad), Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (muslim).” Melalui shalat lima waktu sehari yang dikerjakan secara sungguh-sungguh, giat dan ikhlas dalam mengharap maghfirah dan rahmat kasih sayang-Nya. Sehingga dengan demikian shalat itu
46
Ahmad Surjadi, Da‟wah Islam Dengan Pembangunan Masyarakat Desa. (Bandung: Mandar Maju, 1989),h 4
31
mencegah manusia dari perbuatan-perbuatan yang kotor dan munkar. Firman Allah SWT dalam QS. Al-Ankabut ayat 45:
artinya: “Bacalah kitab (Al-Qur‟an) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan laksanakanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuataan) keji dan munkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (shalat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” c. Ishlahul A‟dah (Perbaikan Budaya) Budaya berasal dari bahasa sansekerta “buddhayah,” bentuk jamak dari budhi yang artinya akal. Jadi budaya adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan akal pikiran, nilai-nilai dan sikap mental. Budaya lahir atau muncul bermula dari kebiasaan. Kebiasaan itu bisa baik dan bisa juga tidak. Dalam hal ini maksud dari Islahul A‟dah adalah Membersihkan kebiasaan yang tidak berfaedah atau yang mengandung madhorot menggantikannya dengan sesuatu yang berguna. Membersihkan dan menghilangkan adat kebiasaan yang mengandung kemusyrikan, mengandung bahaya, khususnya bagi generasi yang akan datang, apabila dari generasi sekarang mengamalkan segala kebiasaan buruk yang telah disebutkan diatas. Pada umumnya kebiasaaan buruk yang dilakukan umat islam terlahir dari kebiasaan nenek moyang atau terlahir dari penetrasi kebudayaan barat akibat dari kolonialisme. Bahwa usaha untuk memperbaikinya adalah dengan kembali atau menengok kepada aturan hidup Islam yang segalanya telah dirumuskan dalam Al-Qur‟an dan Hadits. d. Ishlahut Tarbiyah (Perbaikan pendidikan) Pendidikan atau tarbiyah merupakan proses mendewasakan manusia. Mengubah manusia dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak
32
baik menjadi baik. Menurut pendapat Abdurrahman An-Nahlawi tarbiyah mengandung makna memperbaiki, menguasai urusan, menuntun, menjaga dan memelihara.47 Dari penjelasan tersebut tarbiyah mengandung empat unsur, yaitu: 1) Menjaga dan memelihara fitrah anak menjelang baligh. 2) Mengembangkan seluruh potensi dan kesiapan bermacam-macam hal. 3) Mengerahkan seluruh fitrah dan potensi ini menuju kebaikan dan kesempurnaan yang layak baginya. 4) Proses ini dilakukan secara bertahap. Pendidikan sangat penting dalam Islam sehingga merupakan suatu kewajiban. Sebagaimana yang rasulullah sabdakan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Barri: “menuntut ilmu itu diwajibkan atas setiap orang islam.” Ilmu merupakan suatu kemestian bagi setiap manusia, karena ilmu yang benar adalah mukaddimah iman yang benar. Dengan ilmu manusia memahami alam sekitarnya, yang kemudian dipergunakan untuk membangun bumi. Al-Qur‟an telah menegaskan bahwa orang yang berilmu akan memiliki takwa yang tinggi kepada Allah, karena mereka mengetahui dan memahami tanda-tanda kebesaran dan keagungan Allah, baik yang tertulis dalam Al-Qur‟an maupun yang terlihat dalam alam semesta. Islam sangat menuntut sekali agar umat manusia gemar mencari ilmu (pengetahuan), khususnya kaum muslimin melalui pendidikan agama maupun umum. Kedua-duanya merupakan bekal masa depan yang dapat membawa kepada kemaslahatan umat menjadi lebih baik. Dengan pendidikan yang baik dan benar akan melahirkan kehidupan yang beradab yang menandai tingginya martabat manusia dan keluhuran moralnya. 47
124
Heri Jauhari Muchtar. Fiqh Pendidikan. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), h
33
Maksud melakukan perbaikan dalam pendidikan adalah dengan menciptakan pendidikan secara muslim, baik dalam lingkungan keluarga maupun sekolah atau lembaga formal. Pendidikan itu hendaknya mengasah moral anak menjadi baik, santun dan memiliki sifat-sifat yang baik. Pendidikan hendaklah dibangun dengan tujuan mengubah tingkah laku yang dilandasi oleh nilai islam, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga atau kehidupan masyarakat dan kehidupan dalam alam sekitar. Masalah pendidikan erat kaitannya denga persoalan manusia dalam rangka memberikan makna dan arah moral kepada eksistensi fitrinya. Oleh karena itu menurut Prof. Dr. Ahmad Syafi‟i Ma‟arif mengatakan bahwasannya pendidikan seharusnya bertujuan untuk memberikan bekal moral, intelektual dan keterampilan agar peserta didik siap menghadapi masa depannya. Dunia pendidikan atau keilmuan saat ini lebih banyak memusatkan
perhatiannya
pada
dimensi
pengajaran
terutama
menyangkut administrasi dan kurikulum pengajaran. Sedangkan aspek mendasar dari pendidikan itu sendiri yakni upaya melahirkan manusia yang cerdas, terampil dan memiliki akhlak mulia seringkali terabaikan. Pendidikan harus diarahkan untuk membentuk pribadi yang seimbang antara pengetahuan intelektual dan emosional. Seseorang yang hanya fokus pada kecerdasan intelektualnya saja dengan mengabaikan kecerdasan emosionalnya, maka yang terjadi banyak tindak kejahatan. karena itu seharusnya pendidikan difungsikan untuk mempersiapkan peserta didik menjadi manusia yang memiliki prilaku, nilai dan norma sesuai dengan sistem yang berlaku sehingga dapat mewujudkan totalitas manusia yang utuh dan mandiri sesuai tata cara hidup agama dan bangsa.
34
Menurut Prof. Dr. Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, bahwasannya pendidikan harus bertujuan untuk memberikan bekal moral, intelektual dan keterampilan agar peserta didik dapat menghadapi masa depannya dengan percaya diri.48 e. Ishlahul „Ailah (Perbaikan Keluarga) Keluarga merupakan suatu unit dasar atau aspek terkecil dari masyarakat. Baik tidaknya suatu masyarakat ditentukan oleh baik tidaknya keadaan keluarga pada masyarakat tersebut. Oleh karena itu, apabila kita menghendaki terwujudnya suatu masyarakat yang baik, tertib dan diridhai Allah, mulailah dari keluarga. Sering kali terjadi beberapa kasus mengenai keluarga yang berantakan, keluarga yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya, tidak ada suasana yang menyenangkan, tidak ada komunikasi (datang lalu pergi), malah kadang kala suasananya seperti di neraka. Keluarga seperti itu pada umumnya disebut “broken home” (keluarga yang pecah). peristiwa tersebut biasanya disebabkan oleh beberapa hal: 1) Kehidupan keluarga yang tidak berlandaskan pada pondasi agama. 2) Terlalu sibuk mencari kehidupan dunia, sehingga keluarga terabaikan. 3) Terpengaruhi oleh pola hidup yang tidak islami, seperti matrealisme, individualisme dan sebagainya. Oleh sebab itu dalam ishlahul „Ailah adalah menciptakan keluarga yang sakinah (tentram) serta mawaddah warrahmah (cinta dan kasih sayang). Islam telah memiliki cara supaya terwujud keluarga yang sakinah, mawaddah dan warrahmah, yakni dengan upaya-upaya sebagai berikut:49
48
Nana Rukmana, Masjid dan Dakwah; Merencanakan, Membangun dan mengelola Masjid Mengemas Substansi Dakwah Upaya Pemecahan Krisis Moral dan Spiritual. (Jakarta: AlMawardi Prima, 2002), h 35 49 Hakim abdul Hameed, Aspek-aspek Pokok Agama Islam. (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1982) h, 44
35
1) Untuk mewujudkan keluarga yang sakinah maka harus dimulai dari memilih pasangan hidup yang shaleh atau shalehah. Ukuran pasangan yang shaleh itu harus memiliki empat kriteria, yaitu kecantikan atau ketampanan, keluarga, keturunan atau kedudukan dan agama. Dari keempat kriteria dalam memilih pasangan yang lebih utama adalah harus kuat dalam agamanya. 2) Menikah dan berkeluarga diniatkan karena untuk beribadah semata. 3) Melaksanakan setiap tugas dalam keluarga dengan ikhlas. 4) Memenuhi kebutuhan keluarga dengan cara yang halal. 5) Mendidik serta membina keluarga secara Islam. Kehidupan keluarga apabila diibaratkan menurut M. Quraish Shihab adalah seperti sebuah bangunan. Demi terpeliharanya bangunan itu dari hantaman badai dan goncangan gempa, maka ia harus didirikan fondasi yang kuat dengan berbahan bangunan yang kokoh serta jalinan perekat yang lengket. Gambaran dari fondasi bangunan kehidupan keluarga adalah ajaran agama disertai dengan kesiapan fisik dan mental dari calon ayah dan ibu. Sedangkan kekokohaan bagian-bagian bangunan tercermin antara lain dalam kewajiban memperhatikan buah perkawinan itu, yaitu perhatian terhadap anak, baik semenjak masih di dalam kandungan sampai masa dewasanya.50 f. Ishlahul Mujtama (Perbaikan Sosial) Manusia pada umumnya hidup saling bergantungan antara satu dengan yang lainnya. Karena itulah manusia disebut sebagai makhluk sosial yang artinya manusia tidak bisa hidup sendiri. Seorang manusia umumnya saling berinteraksi dengan orang lain di masyarakat banyak. Untuk memudahkan pemahaman hubungan antara manusia dengan masyarakatnya ini, maka perilaku manusia dibagi menjadi 50
M. Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur‟an; Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat. (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007) h, 396
36
tiga bentuk dasar, yakni pertama perilakunya, kedua perilaku spontan terhadap hal-hal yang mendadak, dan ketiga perilaku arah kegiatan yang dikerjakannya. Ketiga bentuk perilaku itu bisa disebut sebagai akhlak seorang manusia, yakni perilaku manusia secara umum terhadap orang lain.51 Seorang muslim secara umum diperintah Allah memiliki sifat kasih dan sifat tolong menolong terhadap orang lain dan itulah perwujudan sifat dari memperbaiki kehidupan sosial, yakni dengan saling tolong-menolong diantara sesama manusia. Pertolongan itu sifatnya sangat luas dan banyak sekali macamnya, seperti membantu orang yang sedang kesusahan baik materi maupun non materi. Dalam pertolongan bidang materi seperti tidak boleh kikir, membebaskan hutang bila sipenghutang terbelit kesusahan yang berat dalam membayar utangnya, memberi makan golongan miskin, merawat anak yatim, dan seterusnya. Pertolongan non materi seperti yang selalu Islam ajarkan kepada manusia adalah dengan selalu menolong orang yang sedang tertimpa kemalangan, menengok orang sakit, mengantar jenazah sampai ke kuburan, menghadiri undangan, dan sebagainya. Dari hal diatas akan terbentuk masyarakat yang satu, masyarakat yang
kuat
dan
kokoh.
Menghasilkan
kehidupan
yang
memasyarakatkan masyarakat dengan saling bantu membantu, saling menopang anatar yang lemah dengan yang kuat (kaum berada). Dengan demikian terwujudlah kehidupan yang damai, rukun dan sentosa. g. Ishlahul Iqtishad (Perbaikan ekonomi) Ekonomi menurut para ahli berasal dari bahasa Yunani, yaitu oicos yang berarti rumah dan nomos yang berarti aturan. Jadi ekonomi adalah aturan-aturan untuk menyelenggarakan kebutuhan hidup 51
Fuad Amsyari. Islam Kaaffah; Tantangaan Sosial dan Aplikasinya di Indonesia. (Jakarta: Gema Insani Press, 1995) h, 83
37
manusia dalam rumah tangga. Sedangkan dalam bahasa arab disebut Iqtishad yang membahas persoalan mengenai penghidupan manusia dengan sehemat-hematnya dan secermat-cermatnya. 52 Penggunaan kata iqtishad dalam Al-Qur‟an mempunyai makna bahwa seluruh aktivitas ekonomi Islam harus ditegakan diatas jalan tengah dengan memperhatikan keadilan dan tidak berlebihan dalam penggunaan kekayaan, dan di dalam mencari keuntungan tanpa merugikan dan menindas orang lain, mengutamakan keadilan dan keseimbangan, baik keseimbangan antara individu, masyarakat atau golongan yang masing-masing tingkat perekonomiannya berbedabeda. Manusia selain sebagai makhluk sosial, ia juga dikategorikan kepada makhluk ekonomi. Oleh karena itu, ia dituntut untuk memenuhi segala kebutuhannya yang terbagi menjadi dua, yakni kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani. Kebutuhan jasmani seperti makan, minum, tempat tinggal dan sebagainya. Sedangkan kebutuhan rohaniyahnya berupa ketenangan, ketentraman dan kebahagiaan. Agama Islam menempatkan aktivitas ekonomi pada posisi strategis dalam kehidupan manusia agar mereka dapat meraih kehidupan yang sejahtera dan lebih bernilai, tidak miskin dan tidak menderita. Berkaitan dengan hal ini Ismail Raji Al-Faruqi menyatakan bahwa kegiatan-kegiatan ekonomi adalah pernyataan dari semangat ajaran islam, karena kemakmuran ekonomi masyarakat adalah yang ingin dicapai oleh umat Islam.53oleh karenanya ekonomi sangat penting dalam Islam. Adapun yang menjadi tujuan ekonomi dalam Islam adalah Pertama, mewujudkan ekonomi umat yang makmur dengan melaksanakan produksi barang dan jasa dengan kuantitas dan kualitas 52
Abdullah Zaky Al-Kaaf. Ekonomi Dalam Perspektif Islam. (Bandung: CV Pustaka Setia, 2002), h 96 53 Zaki Fuad Chalil, Pemerataan Distribusi Kekayaan Dalam Ekonomi Islam. (Banda Aceh: PT Gelora Aksara Pratama, 2009), h 10
38
yang cukup, guna memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani dalam rangka menumbuhkan kesejahteraan duniawi dan ukhrawi secara serasi dan seimbang. Kedua, mewujudkan kehidupan ekonomi yang serasi, bersatu, damai dan maju dalam suasana kekeluargaan sesama umat, dengan jalan menghilangkan hawa nafsu untuk menguasai, menumpuk harta, ataupun sikap-sikap lemah terhadap gejala-gejala yang negatif. Ketiga, mewujudkan kehidupaan ekonomi yang tidak menimbulkan kerusakan di bumi, sosial maupun spiritual. Keempat, mewujudkan kehidupan ekonomi yang mandiri tanpa kebergantungan kepada kelompok masyrarakat lain. Untuk dapat mewujudkan kemakmuran dan kebahagiaan hidup manusia harus berusaha mencari dan mengumpulkan harta sesuai dengan petunjuk agama islam. h. Ishlahul Ummah (Perbaikan Umat) Sebelum memperbaiki ummah terlebih dahulu kita harus mengenal apa itu ummah. Ummah berasal dari kata umm yang artiya ibu. Bagi seorang muslim ummah itu seperti ibu pertiwi yang diwadahi dengan iman dan aqidah yang sama (faith and creed).54 Ummat dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai para penganut atau pengikut.55 Ummah itu pada dasarnya adalah sama, yakni sama-sama lahir dari manusia pertama dari seluruh manusia (Adam as dan Siti Hawa). Lalu terus berkembang dari sedikit menjadi banyak yang semuanya bertebaran di penjuru dunia. Akibat dari pertebaran itu manusia terpecah-pecah dalam berbagai suku, bangsa dan sebagainya. Dengan
masalah
ini
Islam
mencoba
menunjukan
dan
menegaskan bahwasannya manusia di dunia itu adalah sama. Oleh karena itu, mereka semua adalah bersaudara dan sama dalam status mereka sebagai makhluk manusia. Kalaupun sekiranya ada suatu 54 55
M. Amien Rais. Cakrawala Islam. ( Bandung: MIZAN, 1987), h 5 Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: PT Balai Pustaka, 2007),
39
perbedaan diantara manusia itu tidak terletak pada suku, ras, negeri atau bangsa dan bahasa melainkan yang membeda-bedakan kita sebagai umat manusia adalah cita-cita, kepercayaan dan prinsipprinsip. Untuk membangun suatu umat yang kuat dan bersatu tanpa diskriminasi apapun, maka salah satu jalannya adalah dengan mengikat tali persaudaraan dengan ukhuwa diantara sesama umat manusia. Karena dengan ukhuwa manusia akan hidup tentram, damai dan harmonis. Ukhuwa
atau
dalam
bahasa
asingnya
disebut
brotherhood56adalah persamaan diantara umat manusia. Persamaan dan keserasian dalam banyak hal. Karena itu persamaan dan keserasian dalam kerukunan mengakibatkan persaudaraan dan persamaan dalam sifat-sifat juga mengakibatkan persaudaraan. Salah satu faktor penunjang lahirnya persaudaraan adalah adanya persamaan. Semakin banyak persamaan semakin kokoh pula persaudaraan. Persamaan dalam rasa dan cita merupakan faktor yang sangat dominan yang mendahului lahirnya persaudaraaan hakiki dan yang pada akhirnya menjadikan seorang saudara merasakan derita saudaranya. Secara lebih lanjut, pemaknaan ukhuwa menurut Al-Qur‟an dan Asunnah dapat dibedakan menjadi empat bentuk: 1) Ukhuwa fi al-ubudiyah, yaitu seluruh makhluk adalah bersaudara dalam arti memiliki kesamaan. Persamaan ini antara lain, bahwa semua manusia merupakan ciptaan Allah SWT dan tunduk kepada-Nya. Hal itu termaktub dalam surat QS. Al-Baqarah:28.
56
h 345
Muhaemin, Et al. Kawasan dan Wawasan Studi islam. (Jakarta: Prenada Media, 2005),
40
Artinya: Bagaimana kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan kamu kembali. Kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan. Konsekuensi bentuk ukhuwa ini adalah keharusan manusia untuk melestarikan semua ciptaan Allah SWT. Atau manusia dengan alam semesta. 2) Ukhuwa fi al-insaniyah, yaitu seluruh umat manusia adalah bersaudara, karena mereka bersumber dari ayah dan ibu yang sama. (QS. Al-Hujurat: 12)
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada diantara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha penerima tobat, Maha Penyayang. Bentuk ukhuwa kedua ini cakupannya sedikit sempit, karena lingkup persaudaraan hanya sebatas manusia dengan manusia yang hidup di dunia, tanpa dibedakan oleh bangsa, ras, suku, bahasa. Mereka semua adalah bersaudara tanpa terkecuali. 3) Ukhuwa fi al-wafhaniyah wa al-nasab, yaitu saudara dalam seketurunan dan kebangsaan. Dalam ukhuwa yang ketiga ini cakupanya lebih sempit, karena lingkup persaudaraan hanya
41
meliputi persaudaraan sebangsa dan setanah air saja. (QS. AlA‟raf: 65).
Artinya: Dan kepada kaum „Ad (kami utus) Hud, saudara mereka. Dia berkata,”wahai kaumku! Sembahlah Allah! Tidak ada Tuhan (sembahan) bagimu selain Dia. Maka mengapa kamu tidak bertakwa?” Model ukhuwa yang ketiga ini cakupannya lebih sempit lagi dari bentuk ukhuwa yang kedua, karena lingkup persaudaraan hanya meliputi persaudaraan sebangsa dan setanah air. 4) Ukhuwa fi din al-Islam, yaitu persaudaraan antar intern umat islam. Model keempat atau terakhir ini cakupannya sangat lebih sempit lagi, karena ruang lingkup persaudaraannya hanya sampai sebatas umat Islam saja. (QS. Al-Ahzab: 5).
Artinya: Panggilah mereka (anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang adil di sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu jika kamu khilaf tentang itu, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. Dari keempat bentuk ukhuwa diatas, secara esensial mempunyai kesamaan yaitu adanya anjuran untuk hidup rukun,
42
saling menghormati, bantu membantu, kerjasama penuh tenggang rasa, solidaritas dan hidup sosial dengan mendudukan pada posisinya masing-masing sesuai dengan ciri khas bentuk ukhuwa yang dilakukan.
BAB III GAMBARAN UMUM
A. Latar Belakang Keluarga, Pendidikan dan Pengalaman Hidup Kiai Emet Ahmad Khatib merupakan salah seorang tokoh yang sangat penting yang berjasa membawa perubahan besar di Pondok Pesantren Bobos. Beliau merupakan tonggak kebangkitan pesantren Bobos pada periode tahap kebangkitan II yang berlangsung pada tahun 60-an. Sosoknya yang ramah, santun serta wawasan keilmuannya yang luas (mengglobal) membuatnya menjadi figur yang membawa pengaruh positif, baik dilingkungan pesantren maupun masyarakat. Oleh karena itu beliau disebut sebagai salah satu tokoh Mujaddid (pembaharu) dalam dunia pendidikan dakwah di Kabupaten Cirebon, khususnya di desa Bobos Kecamatan Dukupuntang.57 Kiai Emet Ahmad Khatib merupakan anak dari pasangan Kiai Nur dan ibu Tsuaebah yang lahir disalah satu desa terpencil di Kabupaten Cirebon. semenjak kecil Ahmad Khatib atau pa Emet lebih dikenal dengan sebutan Emet atau Memet oleh keluarganya maupun sahabat-sahabatnya. Dan sebagai orang tua yang taat beragama, maka kiai Nur sangat memprioritaskan pendidikan agama bagi seluruh putera-puterinya termasuk si Emet. Pendidikan yang diterima Kiai Emet bermula atau berasal dari didikan keluarga, kemudian dengan pengajian Al-Qur‟an di masjid. Dan bersekolah di madrasah At-Talibin atau yang sekarang bernama Madrasah Diniyah Awaliyyah (MDA) Al-Ishlah. Dimana MDA ini merupakan lembaga sekolah atau pendidikan yang mengajarkan kajian agama islam yang diperioritaskan untuk anak-anak muda atau remaja yang tidak mampu untuk mondok (tinggal di asrama santri). Singkat sejarah MDA ini merupakan lembaga pendidikan yang didirikan oleh Ahmad Suja‟i pada tahun 1921. Adapun kegiatan belajar-
57
Sholahuddin AR, dikutip oleh Adang Djumhur Salikin, Pemikiran Intisab K. Emet Ahmad Khatib. (Cirebon: Al-Ishlah Press, 2010), h xxix
43
44
mengajar MDA berlangsung tidak kurang dan tidak lebih hanya tiga jam, yaitu dari siang hari pukul 13.00 sampai sore hari pukul 16.00 WIB.58 Setelah selesai atau tamat dari At-Talibin, Emet menghilang dari lingkungan dan sempat menggegerkan sanak saudara, pada akhirnya didapatkan informasi bahwa Emet berada di pesantren Sukamanah di desa Cimerah
(sekarang desa Sukarapih) Kecamatan Singaparna Kabupaten
Tasikmalaya. Pimpinan pesantrennya adalah KH. Zaenal Mustafa, dimana beliau merupakan salah seorang tokoh NU Tasikmalaya yang dikenal heroik dan anti penjajahan. Karena selalu memimpin para santri dan ulama untuk melawan dominasi Jepang yang terbesar terjadi pada 25 Februari 1944. Dan oleh karenanya KH. Zaenal Mustafa telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional melalui SK. Presiden Nomor 064/TK/1972.59 Belajar di pondok pesantren pada masa kolonial atau penjajahan, dimanapun keadaannya hampir sama, yakni para kiai pimpinan pesantren selalu mengkampanyekan jihad dan memimpin perlawanan. Ilmu-ilmu yang diajarkanpun bukan materi baku pondok pesantren, tetapi ilmu-ilmu praktis yang bermanfaat untuk perlawanan dan penjagaan seperti pencak silat, tarekat, ilmu hikmah (tenaga dalam) dan wirid-wirid kekebalan. Sekembalinya dari Sukamanah, beliau langsung mengajarkan ilmuilmu penjagaan diri seperti diatas tadi kepada remaja muda desa Bobos dan sekitarnya. Oleh karena itu, tak heran disaat remaja pak Emet lebih dikenal orang sebagai pendekar ketimbang sebagai santri. Namun, jauh didasar lubuk hatinya beliau sebenarnya ingin sekali menjadi orang pintar, bukan sebagai pendekar atau jagoan silat. Kiai Emet tidak patah arang untuk mewujudkan keinginannya dan tidak mau menyerah pada situasi yang kurang kondusif tersebut. Sebagai keturunan langsung dari pendiri pesantren Bobos mendapat pengaruh langsung dari santri yang menuntut ilmu di pesantren. Pesantren Bobos yang telah ada sejak tahun 1850 pernah disinggahi KH. Abdul Halim 58 59
Wawancara dengan pak Solahuddin. Tgl 30 Mei 2013, pkl 16. 45 WIB Ibid. H xxx
45
(1887-1962) sebelum beliau belajar ke Mekkah. Pada tahap kebangkitan I pesantren Bobos dengan tokoh ulama KH. Ahmad Sujai (W 1940), mulai membuka diri terhadap kalangan luar melalui kegiatan Majelis Taklim, berdiri Diniyah Awaliyah, berdiri cabang Organisasi Syarikat Islam serta berdiri Perserikatan Oelama (PO) pimpinan KH. Abdul Halim. Pemuda Emet Ahmad Khatib tidak luput dari pelibatan pergerakan organisasi KH. Abdul Halim. Pengalaman ini turut serta mempengaruhi seorang otodidak dalam pola pikir dan pola tindak kehidupannya. Setiap hari ketika menjelang malam pemuda Emet selalu mempelajari sendiri kitab-kitab milik ayahnya atau teman-teman ayahnya. Seluruh buku yang ada baik kecil maupun besar, berbahasa Sunda maupun berbahasa Indonesia atau Arab atau lainnya dibacanya dengan tuntas dan tidak lupa mencatatnya dalam buku tulis bila ada hal-hal yang dirasakan penting. Karena banyak orang yang tidak tahu tentang cara dan waktu belajar pak Emet, maka masyarakat banyak yang berkata: “si Emet ujung-ujung pinter” atau “pendekar silat jadi Ustadz.”60 Ketekunan membaca dan belajar sendiri, ditambah kepandaian berimprovisasi, Emet Ahmad Khatib bukan saja bisa sejajar dengan orangorang yang mesantren secara benar dan tuntas, malah memungkinkan baginya menjadi salah seorang yang diperhitungkan di tingkat Kabupaten Cirebon. karena itu, walaupun beliau tidak memiliki selembar ijazahpun, Emet Ahmad Khatib diminta menjadi pegawai penerangan di Departemen Agama Kabupaten Cirebon. Dan didorong oleh keadaan dirinya yang tidak bisa belajar secara benar tapi bisa menjadi pegawai, maka Emet Ahmad Khatib memiliki pandangan bahwa pendidikan adalah jembatan emas untuk melakukan perubahan. Merubah individu, merubah masyarakat dan merubah bangsa. tapi Kiai Emet Ahmad Khatib memilih keluar dari Departemen Agama dan memilih hidup miskin di tengah-tengah masyarakat kecil. Menjelang usia 60 tahun, kejutan baru kembali menghampiri, beliau yang hanya sebatas tamatan MDA dan tidak memiliki ijazah, diminta menjadi 60
Ibid. H xxxi
46
anggota dewan (DPRD) Partai Golkar dari unsur Ulama atau Cendekiawan. Dengan menggunakan roda dua (Honda Bebek 70), beliau selalu pulang pergi Bobos-Cirebon dilakukannya dengan kesungguhan dan penuh tanggung jawab. Pernah atau hampir sering saat ada orang yang bertanya mengapa kalau naik motor terlihat pelan sekali? Pak Emet menjawabnya dengan senyum sambil berucap saya takut asap motor saya mencemari lingkungan dan dihirup oleh orang miskin atau rakyat kecil, padahal saya adalah wakil mereka.61 Meskipun sudah menjadi ulama besar dan menjadi anggota Dewan Tingkat Kabupaten, namun kesehariaan Emet Ahmad Khaatib tidak berubah. Hidup sederhana, membaca buku sampai larut malam dan menulis makalah tetap beliau kerjakan. Ibu Nafsiah, istrinya tetap harus berjualan (ngawarung), sebab honor anggota Dewan semuanya untuk perjuangan (berjihad). Harta yang diperolehnya bukan untuk menumpuk atau memperkaya diri dan membangun rumah mewah. Kiai Emet Ahmad Khatib juga adalah penulis produktif. Pikiranpikiran beliau tentang pendidikan, perubahan individu dan masyarakat, tentang siyasah dan lain-lain selalu ditulis dan disebar-luaskan.
B. Kondisi Sosial Politik Kondisi sosial politik yang dihadapi Kiai Emet Ahmad Khatib terkait dengan politik Islam di masa rezim Orde Baru (Orba) mengalami dinamika semenjak tahun 1966. Pada masa itu dimana rezim orde baru memerankan panggung politiknya sendiri, yakni memarjinalkan politik Islam dan akomodasi politik Islam. Dua karakter inilah yang dialami umat Islam dalam menghadapi rezim orde baru.62 Diawal – awal rezim orde baru berkuasa, pemerintah menunjukan kebijakan yang meminggirkan peran politik umat Islam, sehingga muncul sikap antagonistik dari umat Islam. Depolitisasi dan deideologisasi yang diterapkan orde baru adalah suatu rekayasa politik yang bertujuan untuk 61 62
h xiv
Ibid. H xxxii Hajam Masyali dikutip oleh Adang Djumhur Salikin. (Cirebon: Al-Ishlah Press, 2010),
47
memperlemah potensi politik umat Islam, yang bisa sangat membahayakan bagi pemerintahan baru. Naiknya rezim orde baru dipanggung kekuasaan pasca Soekarno sebenarnya telah memberikan harapan besar bagi umat Islam setelah dilarangnya Masyumi sebagai partai politik oleh Soekarno. Politik Islam sepertinya akan kembali bergairah di bawah kekuasaan orde baru. Tapi ternyata harapan ini tidak terwujud setelah rezim Soeharto menunjukkan sikapnya yang berlawanan dengan aspirasi umat islam. Posisi politik umat Islam setelah orde baru berkuasa tidak banyak mengalami perubahan yang signifikan. Seperti halnya gengan rezim orde lama (Soekarno), orde baru pun menerapkan strategi politik yang tidak aspiratif terhadap Islam. Hal ini dilakukan untuk membonsai kekuatan politik Islam yang dianggap sebagai ancaman terhadap kelangsungan rezim orde baru. Akibatnya kekuatan politik umat Islam yang sajikan oleh partai-partai politik Islam, seperti Parmusi, NU, Perti dan PSII di pemilu pertama orde baru berkuasa tahun 1971 tidak memiliki kakuatan politik yang kuat untuk menandingi kekuasaan orde baru.63 Dengan kondisi demikian, jelaslah kiranya apabila sepanjang tahun rezim orde baru, paling tidak hingga pertengahan atau akhir dekade 1980-an, politik Islam diperlakukan tidak wajar. Proses penyelesaian konstitusional yang tidak kunjung selesai secara substansial, mengakibatkan persoalan Islam dalam kerangka ideologis tetap bergulir. Pergantian rezim dari Soekarno kepada Soeharto tidak juga menyurutkan persoalan Islam sebagai ideologi. Bahkan hal tersebut pernah digunakan sebagai salah satu instrument atau alat untuk menyudutkan masyarakat Islam. Selama dua dasawarsa pertama kekuasaan orde baru umat Islam sering dikambingkan dalam pergumulan ideologi (politik) negara. Sebanding dengan itu, umat Islam menjadi kelompok yang terus menerus dicurigai, dianggap sebagai pihak yang tidak memepercayai ideologi negara (pancasila) seratus persen. Situasi ideologi yang tidak mengenakkan inilah yang kemudian 63
Ibid. H xv
48
melahirkan antaginisme politik pemerintah terhadap umat Islam. Ini berarti, kecurigaan politik negara tersebut umat Islam merupakan kelanjutan dari adanya gesekan-gesekan ideologis. Bahkan kecurigaan itu terus berkembang menjadi antaginisme politik yang semakin menyudutkan posisi umat Islam. Lebih parah lagi, kecurigaan dan antaginisme itu muncul dikedu belah pihak, Islam dan negara. Kenyataan yang seperti itu merupakan sesuatu yang aneh dan sekaligus membingungkan mengingat mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam.64 Cara lain Orde Baru dalam mengambil
kebijakannya
yaitu
perlindungan dan pengamanan Pancasila sebagai dasar negara dan idiologi Nasional negara menjadi prioritas utama. Kebijakan ini didorong oleh banyak faktor. Faktor pertama, adalah setelah pemberontakkan parta komunis (PKI) tahun 1965 dapat dipadamkan, pemerintah terus diwaspadai kebangkitan kembali partai tersebut meskipun telah resmi dilarang. Faktor kedua, adalah munculnya gerakan fundamentalis muslim di berbagai wilayah di dunia Islam pada tahun 1970-an, khususnya di Iran, khawatir akan menyebarnya pengaruh revolusi Iran di Indonesia. Oleh sebab itu pemerintah melakukan perlindungan terhadap Pancasila. Faktor ketiga yang mendorong pemerintah terus melindungi
Pancasila,
karena
munculnya
gerakaan
separatis
dan
fundamentalis di Indonesia. Kiai Emet Ahmad Khatib dalam menyikapi situasi sosial politik yang dilancarkan Orde Baru tetap melakukan pendekatan akomodatif dengan tidak melawan arus, tetapi tidak pula larut dalam arus tersebut. Beliau tidak menjadikan Orde Baru sebagai lawan politiknya, karena Kiai Emet Ahmad Khatib tidak mau menutup mata terhadap realitas kekuatan politik Orde Baru, justru beliau menghadapinya dengan jurus politik yang cerdas dengan berafiliasi ke parta Golkar yang menjadi mesin politiknya Orde Baru yang kuat. Sikap politik Kiai Emet Ahmad Khaatib pada zamannya sering kali mendapat cibiran dari keluarga dan saudara terdekat, karena di anggap 64
Ibid. H xvi
49
berbeda haluan sikap politiknya. Bagi Kiai Emet politik bukan tujuan akhir untuk mencari sesuatu yang fragmatis dan mencari peluang kekuasaan. Baginya politik dijadikan sebagai kendaraan untuk menyalurkan kepentingan dakwah yang berjangka panjang. Dan disamping itu juga tujuan lainnya adalah untuk tetap menjaga eksistensi Al-Ishlah sebagai ladang amal dan sarana dakwah.65
C. Sejarah Pondok Pesantren Al-Ishlah Bobos 1. Latar Belakang berdiri dan perkembangannya Latar belakang pendirian pesantren Al-Ishlah Bobos berdasarkan data yang penulis peroleh, bahwa embrio Al-Ishlah berdiri sejak tahun 1850. Dan adapun yang menjadi asal muasal atau sebab musabab berdirinya pesantren adalah dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek eksternal dan aspek internal. Sebab eksternal terkait dengan kondisi sosial politik masa penjajahan dan kemerdekaan, sedangkan sebab internal diilhami dengan keprihatinan terhadap masyarakat yang kehidupannya jauh dari nilai-nilai agama akibat kemiskinan dan kebodohan. Yayasan Islam Al-Ishlah terletak di perbatasan kabupaten Cirebon, kabupaten Majalengka dan kabupaten Kuningan tepatnya dijalan Raya Imam Bonjol Desa Bobos kecamatan Dukuntang kabupaten Cirebon Provinsi Jawa Barat. Secara geografis batas-batas wilayahnya yaitu; bagian Utara berbatasan dengan daerah Palimanan, bagian Timur berbatasan dengan daerah Sumber, bagian Selatan berbatasan dengan kabupaten Kuningan dan bagian Barat berbatasan dengan kabupaten Majalengka. Perkembangan pesantren Al-Ishlah menurut Sholahuddin AR selaku mantan ketua II Yayasan Al-Ishlah (1990 – 1993) mengalami beberapa tahap, yaitu: 66 65
Hajam Masy‟ali, Membaca Nalar K. Emet Ahmad Khatib. (Cirebon: Al-Ishlah Press, 2010), h xvii 66 Shalahuddin AR, Bunga Rampai Al-Ishlah Bobos, (Bobos: Yayasan Islam alIshlah,2000)
50
tahap Pertama atau disebut sebagai tahap perintisan dimana disebutkan pada masa-masa awal berdirinya Pondok Pesantren yang ditandai dengan hadirnya ulama asal Banten dengan membuka kawasan perkampungan dan memulai aktifitas pengajian dan pengajaran agama Islam melalui kitab-kitab klasik. Hal ini diperkirakan berlangsung sejak pindahnya Bapak Kiai Adro‟i dari Bobos Kidul (Blok II) ke Bobos Kaler (Blok III) tahun 1850 sampai 1920 dengan tokoh utama antara lain Bapak Kiai Adro‟i bin Kalamuddin (1800-1857), Bapak Iyoh (buyut Bapak Abdul Kohar bin Barkawi), Bapak Kuwu Sajim dan H. Idris bin K. Adro‟i (W. 1920). Tahap Kedua disebut sebagai periode kebangkitan I yang berlangsung lebih dari tiga puluh tahun yaitu dari tahun 1920 – 1950 an. Pada tahap ini dimana pondok pesantren mulai membuka diri terhadap kalangan luar melalui kegiatan Majlis Ta‟lim SENIN (untuk ibu-ibu), Majlis Ta‟lim RABU (untuk tokoh agama dan masyarakat), berdirinya Madrasah Diniyah Awwaliyah (MDA) dan membuka cabang organisasi Syarikat Islam (SI) pimpinan HOS Tjokroaminoto serta Persyarikatan Oelama (PO) pimpinan KH. Abdul Halim. Tokoh kebangkitan utama pada tahap I ini yaitu KH. Ahmad Suja‟i bin H. Idris (W. 1940) dan Abu Barkawi bin Abdul Qohar bin Iyoh (W. 1977) yang dibantu secara penuh oleh H. Solihin (W. 1979), H. Sobur (W. 1982) dan K. Abdullah (W. 1984). Tahap Ketiga atau sebagai tahap kebangktan II yang berlangsung sekitar 25 tahun, yaitu tepatnya dimulai dari tahun 1960 -1985. Adapun tokoh utamamya adalah K. Emet Ahmad Khatib (1925-1990) bersama beberapa pendukung setia sebut saja seperti Bapak Syamsuri Ws, K. Khulaemi, K. Zainal Arifinbin H. Solihin, K.H. Asy‟ari bin K. Jazuli, H. Abdul Kohar bin Abu Barkawi, H. Bahri bin Abdul Mu‟in dan H. Dimi Dimyati bin H, Sobur. Pada tahap atau periode ini mulai membuka lembaga-lembaga formal, seperti Pondok Karya Pembangunan (1968), MTs (1971), MAU (1974), SLB-C (1978), TK (1984) dan MI (1985) serta
51
Koperasi Pondok Pesantren atau KOPONTREN (1988) sebagai pelengkap lembaga-lembaga non formal yang sudah ada sebelumnya dan. Dan yang terakhir atau tahap Keempat disebut sebagai tahap peran Alumni, yakni masa mulai kembalinya para alumni madrasah Tsanawiyah dan Aliyah yang mengambil peran penting pada seluruh lembaga baik formal maupun non formal. pada periode ini para pelopornya adalah Dra. Aan Rohanah MA, Idris Gunawan, Drs. Mahfudz, Apung Furqon SmHk, Ahmad Tohir dan Sholahuddin AR, dsb. Pada tahap ini muncul ide-ide cemerlang untuk kemajuan Al-Ishlah, seperti disebutkan salah satunya adalah dengan adanya program PESANTREN KILAT (1980). Dimana kegiatan ini rutin di adakan setahun sekali menjelang Ramadhan dengan menggembleng para pelajar maupun santri untuk mengkaji dan mendalami ajaran islam dan mengasah moral rohani kearah yang lebih baik dan bersih. Dan dengan adanya peran serta alumni muncul pula atau berdirinya Universitas STEI Al-Ishlah. 2. Program Kegiatan Pesantren Program kegiatan pesantren yang dapat penulis liput yaitu bahwa di pesantren Al-Ishlah memiliki beberapa program, di antaranya dalam bidang pendidikan, bidang ekonomi dan bidang sosial atau ijtimaiyah. Dalam bidang pendidikan / tarbiyah, terdiri dari pendidikan formal dan non formal. Pendidikan formal di antaranya yaitu: pendidikan anak usia dini (PAUD), Madrasah Diniyah dan Taman Pendidikan Al-Qur‟an. Bidang ekonomi diantaranya kegiatan pemberdayaan ekonomi dalam upaya meningkatkan kesejahteraan, baik dilingkungan yayasan maupun dilingkungan masyarakat sekitarnya, dengan mengoptimalkan penggunaan sumber daya yang ada pada lingkungan sekitar yayasan sehingga memberikan
rangsangan
terbentuknya
usaha-usaha
baru
yang
mengungtungkan, seperti pertanian, peternakan, penambangan batu alam, usaha simpan pinjam serta perdagangan barang dan jasa. Sedangkan usaha-usaha yang telah terbentuk yang dikelola yayasan dan dapat memberikan keuntungan ekonomi pada masyarakat dan yayasan
52
diantaranya: penambangan batu alam, usaha simpan pinjam syariah dan konvensional, waserda serta wartel dan fotocopy, dan menyerap tenaga kerja dari lingkungan masyarakat yayasan. Seluruh kegiatan ekonomi yang dilakukan dibawahh badan usaha yang berbadan hukum koperasi dengan nama KOPERASI PONDOK PESANTREN AL-ISHLAH atau disingkat KOPONTREN AL-ISHLAH. Adapun bidang usaha yang berjalan sampai saat ini meliputi: 1. Pertambangan galian C. Dimana pada kegiatan galian tersebut menghasilkan produksi barang seperti batu alam, bahan baku keramik, bahan semen dan tanah urug atau pasir. 2. Perdagangan barang dan jasa, berupa waserda, wartel, warnet, fotocopy, travel, expedsi dan smascomart. 3. Jasa keuangan yang berbasis syariah, seperti diantaranya Unit Jasa Keuangan Syariah (UJKS) dan USP syariah swamitra. Keberadaan lembaga keuangan Mikro Al-Ishlah UJKS dan USP swamitra telah banyak membantu kebutuhan modal kerja bagi UKM di sekitar Al-Ishlah. Pendiri-pendiri Al-Ishlah mengawali penambangan gunung kuda Bobos untuk membiayai program pendidikan yang menjadi tumpuan hidup orang
banyak
yang
saat
ini
kurang
lebih
300
orang
yang
menggantungkan hidup keluarganya pada penambangan gunung kuda Bobos dengan berbagai peranan yang mereka lakukan, seperti anemer, penambang, kuli angkut, kuli muat, pengrajin pahat dan ukir, pedagang, buruh pabrik dan banyak lagi profesi yang bergantung pada penambangan tersebut. Sedangkan pada bidang sosial atau ijtimaiyah terdiri dari syi‟ar dan dakwah, keorganisasian dan sosial. Adapun kegiatan syi‟ar dan dakwah di antaranya adalah dengan pembinaan dan pendidikan baik langsung maupun tidak langsung kepada masyarakat melalui majelis ta‟lim, masjid, penerbitan tabloid dakwah atau pendidikan. Dalam penyiaran dakwah dilakukan dengan berbagai cara seperti siaran radio Al-Ishlah
53
atau melakukan dakwah / tajil keliling ke desa-desa. Untuk kegiatan keorganisasian di antaranya dengan pembinaan santri atau siswa melalui jalur kegiatan-kegiatan organisasi dalam dan luar lembaga. Kegiatan organisasi
dalam
lembaga
seperti
OSIS,
PRAMUKA,
PMR,
PASKIBRA, PASUS dsb, sedangkan diluar lembaga seperti Ormasormas kepemudaan atau pecinta alam, olahraga, serta organisasi keagamaan. 3. Visi, Misi dan Tujuan Pesantren Dalam upaya mengembangkan kuantitas dan kualitasnya, pesantren AlIshlah memiliki visi dan misi yang mejadi dasar target pencapaian in put dan out put dalam beberapa aspek. Adapun visi pesantren Al-Ishlah yaitu mencetak generasi muslim paripurna yang sehat, baik secara fisik, akal dan sehat hati menuju terciptanya masyarakat idaman (khoerul mujtama) Sedangkan misi pesantren Al-Ishlah adalah dengan mengelola lembaga pendidikan, sosial, dakwah dan ekonomi, baik dari tingkat paling rendah (mikro) sampai tingkat paling tinggi (makro) sebagai pengejawantahan konsep Ishlah Tsamaniyah.67 4. Struktur Organisasi Pesantren
Al-Ishlah
merupakan
Yayasan
Islam
yang
didirikan
berdasarkan akta notaris; Iskandar Wiramiharja, sh No.45 tanggal 16 April 1974 dan Akta perubahan; Notaris Idris Abas, sh No.C-60HT.03.01 tahun 2002 yang beralamat di jl. Raya Imam Bonjol, Desa Bobos-Dukupuntang Kabupaten Cirebon 45652 – Jawa Barat, Telepon & Fax : +62.231.8344655. Kategori kepengurusan, yaitu terdiri dari pengurus harian Yayasan AlIshlah dan pengawas Yayasan Al-Ishlah. Pengurus harian Yayasan AlIshlah terdiri dari tiga kategori yaitu Majelis Tarbiyah yang merupakan Lembaga Pendidikan, Majelis Ijtima‟iyah yang merupakan Lembaga Sosial dan Majelis Iqtisodiyah yang merupakan Lembaga Ekonomi. 67
Ibid.Bunga Rampai, h 15
54
Adapun Majelis Tarbiyah atau Lembaga Pendidikan terdiri dari pendidikan yang di mulai dari tingkat anak-anak sampai tingkat dewasa, yaitu: (1) Pondok Pesantren, (2) Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), (3) Raoudhatul Atfal (TK), (4) Madrasah Diniyah (MD), (5) Madrasah Ibtidaiyah (MI), (6) Madrasah Tsanawiyah (MTs), (7) Madrasah Aliyah (MA), (8) Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan struktur organogram sebagai berikut:
BAB IV ANALISIS DATA
A. Strategi Dakwah Dari hasil data yang penulis peroleh mengenai upaya atau langkah yang ditempuh dalam strategi dakwah beliau di Pondok Pesantren Bobos adalah bahwasannya dakwah beliau melalui tiga langkah, yaitu sbb:68 Dakwah Pertama yang dilakukan beliau adalah melalui dakwah BilLisan. Artinya dimana dakwah dilakukan beliau melalui mimbar-mimbar keagamaan seperti ceramah-ceramah baik yang dilakukan di dalam pesantren maupun di luar pesantren. Di dalam pesantren sendiri beliau selalu aktif mengajar para kaum santri, mengisi ceramah di setiap acara keislaman dsb. Sedangkan di luar pesantren, seperti beliau selalu pergi ke suatu tempat atau desa-desa untuk mengisi ceramah-ceramah atau pengajian, seperti ceramah atau pengajian di Cikalahang, Rajagaluh, Sindang Jawa, Kramat dsb. Beliaupun selalu aktif mengisi ceramah di instalasi-instalasi pemerintahan Kab. Cirebon. karena beliau pernah menjabat sebagai dewan anggota DPRD partai Golkar dari unsur Ulama atau dari kaum Cendikiawan. Beliau memanfaatkan betul kegiatan tersebut sebagai kegiatan sekaligus strategi dakwah di kalangan pejabat negara. Dakwah selanjutnya yang masih terkait dengan ucapan atau Bil-Lisan adalah melaui forum pengajian atau melalui majelis-majelis ta‟lim. Beliau selalu mengisi pengajian majelis ta‟lim. Majelis ta‟lim ini merupakan pengajian rutin kaum bapak-bapak yang di adakan di masjid Al-Ishlah yang diadakan rutin setiap hari rabu jam 9 sampai jam 10 pagi WIB. Adapun kajian pembahasannya berasal dari kitab-kitab kuning klasik. Dalam sistem pengajian di majelis ta‟lim yang hanya dihadiri kaum tua atau bapak-bapak, kiai emet yang membacakan kitab lalu diterjemahkan dan di bahas di tengah-tengah forum. Sedangkan di dalam Pesantren yang meliputi santri-santri muda Sistem yang diajarkan pa emet dalam forum pengajian 68
Wawancara mendalam dengan Hajam Mas‟ali, Tgl 23-24 Juni 2013, pkl 03. 29 WIB
55
56
dilakukan apa adanya dengan menulis terlebih dahulu yang menjadi materi lalu difotokopi dan disebarkan. Dan setelah itu satu persatu dari santri membacakan kitab yang bertujuan melatih membaca huruf-huruf arab gundul dan sekaligus melatih santri aktif dalam hal belajar mengajar, hal ini didukung dengan adanya tanya jawab setelah pengajian selesai. Dakwah Kedua yang dilakukan Kiai Emet Ahmad Khatib adalah melalui Bil Qolam. Dalam hal ini beliau selalu menulis artikel-artikel yang bertujuan untuk memperbaiki pendidikan, perubahan individu dan masyarakat, tentang politik atau siyasah dan lain-lain selalu ditulis dan disebar-luaskan. Sebagai bentuk kegiatan dakwah dalam urusan Bil-Qolam, beliau pernah tercatat menulis beberapa buku yang terkait dengan kegiatan dakwah, seperti buku yang berjudul “Mencari Pusaka Yang Hilang, Tafsir Asas Intisab, Aqidah islamiyah, Pedoman dan Kaderisasi untuk Generasi Rabbani yang semuanya telah di manuskripkan kedalam satu buku yang berjudul Pemikiran Intisab Kiai Emet Ahmad Khatib yang tersimpan baik di Yayasan Al-Ishlah Bobos. Dan beliau pernah menulis yang berjudul Intisab PUI dan Janji Amal yang disatukan dalam sebuah judul buku RISALAH INTISAB. Dimana buku tersebut menjadi buku pedoman PUI. Karena keilmuannya yang luas beliau merupakan salah satu tokoh PUI yang mampu menafsirkan ajaran Intisab yang merupakan doktrin dari Persatuan Umat Islam (PUI). Dan beliau menjadi sesepuh organisasi PUI di Jawa Barat, khususnya di wilayah Kab. Cirebon. Adapun dakwah Ketiga yang beliau lakukan adalah dengan Bil-Hal atau dakwah dengan perbuatan nyata. Perbuatan nyata yang mengarah pada tindakan menggerakan mad‟u atau sasaran dakwah baik individu maupun masyarakat, sehingga dakwah bil hal ini lebih berorientasi pada usaha pengembangan masyarakat. Usaha pengembangan masyarakat ini bidang garapannya sangat luas yang diantaranya meliputi pengembangan pendidikan, ekonomi, sosial masyarakat dsb. Dalam bidang pendidikan diarahkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. dengan pendidikan derajat manusia akan terangkat. Dalam bidang ekonomi masyarakat diarahkan pada etos kerja yang
57
tinggi serta menghidupkan dan mengoptimalkan sumber ekonomi umat yang diperuntukan bagi kesejahteraan bersama. Dalam bidang pendidikan Kiai Emet Ahmad Khatib mendirikan lembaga-lembaga baik formal maupun non formal. Dalam lembaga formal Kiai Emet mendirikan Madrasah Ibtidaiyyah, Tsanawiyyah dan Aliyah. Sedangkan lembaga non formalnya beliau mendirikan Daruttauhid yang diperuntukan bagi anak-anak kurang mampu secara finansial yang tidak melanjutkan ke sekolah SLTP, seperti SMP atau Tsanawiyyah.69
B. Implementasi Ishlahul Tsamaniyah Adapun implementasi dari dakwah Ishlahul Tsamaniyah yang dilakukan Kiai Emet Ahmad Khatib di Pondok Pesantren Al-Ishlah Bobos adalah mencakup sikap, prilaku maupun tindakan. Adapun implementasinya adalah sbb: 1. Bidang Aqidah (Ishlahul Aqidah) Dalam upaya perbaikan pertama di Al-Ishlah adalah dimulai dengan memperbaiki aqidah dan pandangan hidupnya lebih dahulu, baru kemudian secara berangsur-angsur dan secara perlahan memperbaiki bidang lainnya. Aqidah merupakan unsur utama yang harus di ishlahkan atau dibetulkan. Dalam bidang keislamaan ini Kiai Emet Ahmad Khatib dengan menekankan sikap bertauhid menjadi panglima ruh peribadatan dan kehidupan. Berangkat dari kitab rujukannya dan intisab serta piagam Ishlah al-Tsamaniyah, Kiai Emet Ahmad Khatib bahwa tauhid adalah akar pokok keislaman seseorang yang mengikrarkan pernyataan monoteistis bahwa Allah itu Esa dan seorang manusia yang bertauhid yang bersumber dari kalimat Thayyibah (La Ila ha illa Allah) mengemban tugas untuk membebaskan manusia dari menyembah sesama manusia, harta, berhala, kedudukan, dll kepada menyembah Allah semata. Selain membebaskan manusia dari perbudakan mental dan penyembahan kepada sesama 69
Ibid Bunga Rampai.
58
makhluk, kalimat thayyibah juga mengajarkan emansipasi manusia dari nilai-nilai kepalsuan yang bersumber pada hawa nafsu, gila kekuasaan dan kesenangan-kesenangan
sensual
belaka.
Suatu
kehidupan
yang
didedikasikan pada kelezatan sensual, kekuasaan dan penumpukan kekayaan, sudah pasti akan mengeruhkan akal sehat dan menghilangkan pikiran jernih. Dengan tajam Al-Qur‟an menyindir orang-orang semacam itu:
Artinya: Tidaklah engkau orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhan? Apaakah engkau merasa bisa menjadi pemelihara atasannya? Apakah engkau sangka kebanyakan dari mereka mendengar atau menggunakan akalnya? Mereka itu tidak lain hanya seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat (QS. Al-Furqon: 43-44).70 Selanjutnya ajaran dan doktrin Tauhid yang di bangun Kiai Emet Ahmad Khatib menekankan untuk membangun hubungan dengan Allah secara intens (Hablum min al-Allah), di samping itu juga Tauhid perlu dimanifestasikan kedalam dataran pergaulan dan realitas sosial secara konkrit (Hablum min an-Nas) dengan pengertian bahwa ada dimensi sosial di dalam setiap ajaran Tauhid. Kiai Emet Ahmad Khatib nampaknya mengukur kualitas dan kelestarian suatu kepercayaan dalam konteks keimanan tauhid diukur berdasarkan kemampuan keimanan tauhid dalam membaca, memahami, mengembangkan serta membebaskna keadaan hidup kaum beriman. Pembebaasan keadaan hidup dari yang semula sesat, hina, terjajah, terbelenggu
hak-hak
mendasarnya
dan
diperkosa
martabat
kemanusiaannya, menjadi makhluk Allah yang menempuh jalan 70
Pemikiran Intisab K. Emet Ahmad Khotib
59
kebenaran, mulia, bebas merdeka, bermartabat, serta jujur dengan sesama manusia. Itulah tauhid yang berkualitas dan lestari yang menjadi harapan Kiai Emet Ahmad Khatib. Dari hal diatas tersebut Kiai Emet Ahmad Khatib menerapkan dan menanamkan ketauhidan di dalam kelembagaan-kelembagaaan Al-Ishlah Bobos, misalnya Darut-Tauhid (DT). Adanya pesantren DT tersebut tujuannya dalam rangka diarahkan santri-santrinya dan masyarakat sekitar desa Bobos untuk selalu beraqidah atau bertauhid yang benar dan jauh daripada kesyirikan. Akidah menjadi penting sesuatu yang paling pokok yang memiliki pengaruh kuat terhadap setiap tindakan seseorang. Akidah yang benar akan menuntunnya pada perbuatan yang baik, sebaliknya akidah jelek atau buruk mengakibatkan segala tindakan perbuatan menjadi buruk. Dengan demikian akidah memegang peranan penting dalam mengatur moralitas seseorang dalam kehidupan baik kehidupan sendiri atau individu, kelompok, Masyarakat . Kiai Emet Ahmad Khotib bersikap sangat progresif (tegas) terhadap aqidah yang menyelimuti keimanan kita kepada sang pencipta (Allah) SWT. Dalam urusan ini beliau menegaskan ketauhidannya kepada Allah SWT dan tidak ada kompromi dalam hal kemusyrikan. Oleh karena itu Kiai Emet selalu mengajarkan dalam setiap pengajiannya kepada santrisantri ponpes yang merupakan generasi muda bangsa maupun masyarakat sekitar Bobos untuk selalu menjauhkan diri dari berbagai pengaruh yang menyesatkan. Kiai Emet menyadari betul bahwa untuk membina suatu umat yang baik harus dimulai di bina dari usia dini, dengan penanaman moral, akhlak, serta etika yang baik yang merupakan wujud dari Aqidah. Maka dari itu anak-anak yang dipesantrenkan di Daruttauhid ini diajarkan dan digembleng secara lembut untuk menciptakan generasi remaja yang robbani yang di dalam hatinya hanya tertanam ketauhidan kepada yang maha Esa yaitu Allah SWT. Karena penanaman dasar akidah ini penting, apabila akidah seseorang sudah tertanam baik maka segala pekerjaan
60
apapun akan baik. Aqidah yang benar akan mengantarkan pada pekerjaan yang benar, seperti kehidupan ibadah yang benar, kehidupan sosial yang benar, kehidupan keluarga yang benar, ekonomi yang benar dan lainnya akan di lakukan dengan benar yang hanya mengharapkan ridho Allah semata. 2. Bidang Ibadah (Ishlahul Ibadah) Dalam Ishlahul Ibadah memiliki tujuan bahwa setiap ibadah yang dilakukan masyarakat memiliki sandaran kepada hadits-hadits dan ayat suci Al-Qur‟an. Oleh karena itu Ishlahul Ibadah lebih kepada membasmi taklidnya. Bukan melarang ini-itu atau segala macam perbuatan yang menyangkut ibadah, tapi silahkan melakukan apa saja yang penting ibadah tersebut memiliki dasar atau dalil yang landasan haditsnya ada.71 Pada bidang ibadah Kiai Emet ahmad Khatib merumuskan kurikulum-kurikulum yang berbasis pada kesempurnaan ibadah yang bertujuan agar setiap orang, baik individu, kelompok maupun masyarakat terhindar dari bid‟ah-bid‟ah yang tidak memurnikan ibadah. Dan Ishlah Ibadah ini tujuannya adalah agar masyarakat sekitar pesantren maupun luar pesantren beribadah sesuai petunju-petunjuk yang di ajarkan Nabi Muhammad SAW. Hal ini sesuai dengan haditsnya yang berbunyi:
Artinya : “Shalatlah kalian sebagaimana aku shalat.” Kiai emet ahmad khatib selalu mengamalkan apa yang disunahkan oleh rasul dengan melaksanakan ibadah semata hanya karena Allah bukan yang lain. Dalam bentuk ibadah sesuai dengan dakwah bil hal, beliau selalu mengajak keluarga, istri, santri-santri dan warga sekitar untuk selalu shalat sesuai waktunya dan mengutamakan dikerjakan secara jamaah di masjid. Karena ibadah yang dikerjakan secara bersama akan meningkatkan kesatuan umat. Shalat yang dilakukan secara jamaah di masjid akan 71
Sholahuddin, AR, ketua yayasan Al-Ishlah, wawancara pribadi di rumahnya desa Bobos, tgl 4 Juli 2013, pkl 04.35 WIB
61
mendatangkan doa dari malaikat kepadanya, mendatangkan malaikat memohonkan ampunan Allah kepadanya. Dan dalam pemikirannya mengenai ibadah khususnya shalat dilakukan bukan hanya sebagai pekerjaan anggota tubuh (gerakan badan) sebagai bentuk amalan syariah yang bisa dilihat mata, tapi ibadah harus menyentuh dalam wilayah hati, yaitu kehadiran dan kekhusuan hati sebagai bentuk amalan tasawuf, juga ibadah menurut beliau harus menyentuh pada wilayah kesolehan atau ihsan dalam gerakan sosial sebagai bentuk atsariyahnya ibadah. Aspek tasawuf dan aspek sosial tersebut menjadi penentu diterima atau ditolaknya ibadah. Ibadah yang utama dan paling esensi adalah shalat. shalat yang benar adalah
dengan
melaksanakan
seluruh
aktivitas
yang
melibatkan
SELURUH anggota tubuh jiwa dan pikiran. Dan menurut beliau ibadah shalat mengandung kelebihan sangat besar dan faedah manfaatnya yang sangat banyak bagi kesejahteraan hidup manusia, diantaranya yang seperti beliau tuturkan dalam bukunya mengenai Pemikiran Intisab, sbb:72 a. Tiap saat manusia berhubugan dengan alam, dengan sesamanya, dengan harta kekayaannya yang semuanya itu nikmat yang di ciptakan-Nya, pemberian-Nya, maka dengan sha;at itu manusia berhubungan akrab dengan Allah lima kali sehari. b. Mungkin selama hidupnya tiap saat lupa atau dosa banyak dilakukan, maka dengan shalat yang khusyu dan ikhlas ini manusia menghapus dan mohon ampun dari segala kesalahan dan dosa yang dilakukannya. c. Akibat pertarungannya melawan hidup, hati dan akal manusia yang penuh keresahan, kegelisahan terkadang putus asa dan gelap, maka shalatlah yang mampu memberi cahaya pelita menerangi wajahnya, hatinya baik di dunia, di dalam kubur, dan di masyhar. d. Shalat sebagai obat penyemprot bagi kesehatan tubuh dan hati mampu membersihkan hama penyakitnaya, berfungsi sebagai makanan bagi hatinya yang kaya vitamin dan protein. 72
Ibid Pemikiran Intisab (Tafsir Asas Intisab).
62
e. Shalat merupakan lambang persatuan dan kesatuan muslimin karena menghimpun
hati
mereka
yang
berbeda
warna
perasaan,
mempersatukan barisan hidup mereka yang malang melintang dengan perbedaan keadaan karena Allah yang di sembahnya satu, Nabinya satu, kiblatnya satu, sasaran dan tujuannya satu yaitu RIDHO ALLAH, surga Allah dan selamat dari siksaNya. Menurut beliau dalam perwujudan shalat yang khusyu setiap orang yang shalat harus memperhatikan dan mengerti kalimat demi kalimat makna tujuan yang diucapkan, seperti berikut: a. ALLAHU AKBAR (Allah Maha Besar) Artinya kami kecil, kami rendah hina, hanya Allah maha mulia dan hanya Allah maha Agung. Kami tidak membuat diri dan anak kami, kami tidak membuat ibu-bapak kami, kami tidak membuat alam tempat hidup kami. b. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM Hanya dengan namaMu yang maha pemurah lagi maha penyayang, kami hidup, kami kaya, kami pinter, kami mempunyai ayah dan ibu dan mempunyai anak. Karena itu, c. ALHAMDULILLAHI RABBIL ALAMIN Segala puji dan puja, sanjingan dan nama pada diri kami sebenarnya hanya milikMu ya Allah. Kami tidak mengharap puji dan puja, kami tidak akan memuji dan memuja selain kepadaMu ya Aallah. Kami adalah makhluk yang dicela dan dicaci karena tidak mempunyai daya dan kemampuan. Tidak memiliki kekuatan. Tanpa kasihMu, tanpa sayangMu dengan segala pemberian-Nya, kami tak ada dan tak hidup, kami tak punya dan tak berilmu. Karena itu, d. AR RAHMANIR RAHIM Engkaulah ya Aallah maha pemurah dan penyayang kepada kami dan makhluk. Karena Engkau pemurah dan penyayang kaim, maka;
63
e. MALIKI YAUMID DIN Engkaulah raja di hari kiamat. Manusia dan alam semesta semuanya rendah dan hina di hadapanMu. Raja dan rakyat, jendral dan prajurit, sikaya dan si miskin, guru besar dan muridnya semuanya di bawah hukum dan kekuasaanMu. f. IY YAKA NA‟BUDU WA IY YAKA NASTA‟IN Hanya kepadaMu kami menyembah, dan hanya kepadaMu saja kami memohon pertolongan. Manusia dan makhluk semuanya di ciptakan, ada dan hidup kanyakarena ridho dan kasih sayangMu, kekayaan manusia yang berlimpah banyak, jabatannya yang sangat tinggi, ilmu pengetahuannya yang sangat tinggi semuanya habis setelah umur hidupnya habis. Pada masa penghabisan manusia dan alam semesta, tiada raja kecualiMu, tiada kuasa selain kekuasaanMu, karena itu, kami yakin g. IHDINAS SHIRATAL MUSTAQIIM Tunjukanlah kami ke jalan yang benar, jalan hidup yaang benar itu setelah yang hak kemudian mau mengerjakannya, setelah mengetahui yang bathil mau meninggalkannya. h. SHIRATAL LADZINA AN‟AMTA „ALAIHIM Jalan mustaqim ini adalah jalan yang di tempuh orang-orang dahulu sebelum kami yang Engkau berikan nikmatnya kepada mereka. i. GHAYRIL MAGHDLUBI‟ALAIHIM Jalan yang di mohon kami bukan jalan hidupnya orang-orang yang dikutuk dan di murkaiMu, yaitu setelah mengetahui yang hak tidak mau mengerjakannya, setelah mengetahui yang bathil tidak mau meninggalkannya. j. WA LADL DLOL LIN Dan bukan jalan hidupnya orang-orang yang sesat, yaitu mereka yang tidak hak dan tidak mau mengerjakannya, mereka tidak tahu yang bathil dan tidak mau meninggalkannya. Bukan jalan hidup itu ya Allah, yang kami pinta.
64
Amin... Kabulkanlah do‟a kami. 3. Bidang Budaya / Adat Istiadat (Ishlahul A‟dah) Segala cabang islam menimbulkan tradisi. Ada banyak tradisi yang hidup dan dianggap ibadah oleh masyarakat. Maka Ishlahul Adat mau mendudukan dan menunjukan mana tradisi dan mana ibadah.73 Tidak sedikit yang salah kaprah dalam menentukan antara pekerjaan mana yang ibadah dan mana yang bukan. Setiap kekeliruan harus diluruskan, setiap yang salah harus dibetulkan. Jelas antara tradisi dan ibadah keduanya berbeda satu sama lain. Tradisi hanyalah suatu unsur yang tercipta yang lahir dari kebiasaan orang-orang lalu ditetapkannya kebiasaan itu secara turun temurun oleh pelakunya. Dalam tradisi ini hanya mengandung unsur nilai sosial-kultural yang tidak mengandung pahala. Sedangkan ibadah merupakan tata cara yang mengandung unsur pahala. Kebiasaan atau tradisi yang tercipta oleh masyarakat itu sendiri dilakukan secara turun temurun dari satu generasi kegenerasi berikutnya dan dianggapnya sebagai pekerjaan yang mengandung unsur pahala, seperti Tahlilan, Deba, Mauludan dsb. Dari macam-macam kegiatan tersebut semestinya dan seharusnya umat islam merayakannya dengan tidak berlebih-lebihan, seperti kebanyakan yang telah dicontohkan oleh beberapa daerah lain yang setiap perayaan tradisi mengandung unsur kesyirikan kepada Allah. Orang saling berebut berkah dari kepala kambing, dari telur, dari bunga, air minum dan sebagainya yang hanya mengundang kemadharatan saja, bahkan ada yang berebut makanan meskipun makanan tersebut telah jatuh terinjak-injak tanah. Naudzubillah. Dari tradisi-tradisi yang beredar di masyarakat sebagian ada yang mengatakan dosa kalau tidak dirayakan. Takut kena sial atau takut terkena bala. Dan sebagian meyakini bahwa tradisi yang hanya buatan manusia dilakukan secara turun-temurun semuanya pasti memperoleh pahala dan 73
Wawancara dengan K Solahudin AR. Tgl 15 Juli 2013, pkl 04. 55 WIB
65
ganjaran besar dari Allah, meskipun tanpa disadari maupun disadari mengandung kesyirikan kepada Allah. Oleh sebab itu Kiai Emet Ahmad Khatib sangat perihatin terhadap umat islam seperti itu. Beliau ingin meluruskannya dan memberikan arahan kepada masyarakat, baik tua maupun muda tentang kekeliruan tersebut, yaitu kekeliruan mana yang dianggap ibadah dan mana yang hanya dianggap tradisi. Hal ini menjadi penting agar manusia terbebas dari kejahiliyahan atau kebodohan. Kiai emet ahmad khatib tidak melarang orang melakukan deba atau tahlilan , kiai Emet selalu menghormati segala budaya yang hidup di masyarakat karena hal itu sesuai dengan Ishlahul Ummat yang satu sama lain saling menghormati hak manusia, seperti keyakinan, ideologi dsb, tujuannya tidak lain demi terciptanya kesatuam umat atau masyarakat. Hanya saja di sini supaya persoalannya jelas dan supaya tidak ada kekeliruan dalam keyakinan. Kalau di ibaratkan pekerjaan itu wajib ya wajib jangan sunnah, kalau pekerjaan itu sunnah ya harus di bilang sunnah bukan wajib karena wajib dan sunnah berbeda. Begitupun dengan permasalahan ini, kalau pekerjaan itu hanyalah tradisi ya orang silahkan mau melakukan atau tidak jangan sampai beranggapan akan berdosa kalau kita tidak melakukannya dan tidak memaksakan kehendak. Dengan adanya Ishlahul Adat ini Kiai Emet Ahmad Khatib ingin menempatkan tradisi pada tempat atau kedudukannya. Membaca tahlil adalah ibadah sedangkan tahlilannya merupakan tradisi. Memghormati Nabi merupakan ibadah dan sesuatu yang dianjurkan oleh islam, sedangkan mauludannya adalah tradisi. Sekali lagi apa yang ditunjukan oleh Kiai Emet ini adalah hanya semata-mata supaya persoalannya jelas. Diwujudkan dalam bentuk pengajaran-pengajaran kepada santri maupun masyarakat Al-Ishlah mengenai tradisi atau budaya-budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat yang baik bagi sebagian orang dan tidak baik bagi sebagian yang lainnya. Baik bagi mereka yang paham akan agama, yakni kegiatan tahlilan dilakukan atas dasar mengharapkan ridho Allah saja tanpa ada maksud mempersekutukannya dan memupuk rasa
66
persatuan dalam bentuk gotong royong, mengeratkan rasa tali silaturrahmi dengan saling salam-salaman setelah kegiatan atau upacara selesai dilakukan. Dan menjadi tidak baik bagi mereka yang tidak berilmu, tidak memahami agama secara benar. Perbaikan budaya lainnya yang di aktualisasikan dalam Ishlahul Tsamaniyah adalah dengan menghilangkan kegiatan-kegiatan yang masih membawa adat yang buruk atau tidak berguna adalah sbb: a. Pesta atau upacara perkawinan. Dalam hal ini penyiraman air dengan bunga kepada kedua mempelai dengan maksud agar keluarga terjaga dari bala rumah tangga (di jauhi dari kesialan) dan menjadi keluarga yang tentram. b. Pantangan bagi orang hamil. c. Upacara menghadapi musim bertanam dan panenan. d. Pesta valentine yang merupakan penetrasi budaya barat, dll. 4. Bidang Pendidikan (Ishlahut Tarbiyah) Dalam bidang pendidikan di pondok pesantren beliau mengambil sistem nilai asasi yang bersumber dari Al-Qur‟an, bersumber dari uswah rasul dan sahabatnya yang membangun tarbiyah islam di atas kekuatan dasar agama, akhlak dan pendidikan hati. Atau dengan kata lain dalam bidang ini Kiai Emet Ahmad Khatib memadukan antara aspek rasional, aspek spiritual dan aspek sosialnya. Dan itu diwujudkannya dalam bentuk lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupun non formal.74 Dalam lembaga non formal kiai emet ahmad khatib menggagas berdirinya Daruttauhid. Lembaga pesantren ini khusus diperuntukan bagi laki-laki tamatan SD atau MI yang tidak melanjutkan ke SLTP seperti SMP atau MTs. Di lihat dari segi pendiriannya lembaga pendidikan non formal ini bertujuan untuk mencetak calon-calon ulama yang ulet dan mandiri dan bertujuan untuk mencetak generasi muda yang beraqidah secara benar.
74
Sholahuddin, AR., wawancara pribadi, tgl 15 Juli 2013, pkl 05.30 WIB
67
Sedangkan lembaga formal yang Kiai Emet Ahmad Khatib dirikan adalah sekolah atau madrasah Tsanawiyah dan madrasah Aliyah. dan beliau memperbaiki sistem pengajaran dan kurikulum yang ada di Madrasah Diniyah atau yang dulu bernama madrasah At-Talibin yang merupakan tempat belajar Kiai Emet di masa kecilnya yang pernah hampir mati akibat kolonial. Dengan semangat mujadidnya akhirnya madrasah Diniyah peninggalan Kiai ahmad Suja‟i ini tumbuh kembang sampai sekarang dan bangunannya sudah direnofasi demi kenyamanan belajar mengajar. Begitu pula dengan Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah yang sudah direnovasi sebagai wujud kemajuan pesantren Al-Ishlah. Ishlahul Tarbiyahnya diwujudkan dalam kurikulumnya dengan memasukkan nilainilai keislaman disetiap mata pelajaran. 5. Bidang Keluarga (Ishlahul „Ailah) Dari Ishlahul Tsamaniyah berikutnya adalah perbaikan di bidang keluarga. Dalam bidang ini Kiai Emet Ahmad Khatib, beliau berdakwah dimulai pertama dari keluarganya kemudian masyarakat sekitarnya. Dakwah dalam keluarga. Keluarga sebagaimana yang penulis uraikan dalam bab sebelumnya merupakan salah satu unsur atau unit terkecil dari sebuah bangsa yang memiliki kedudukan penting yang benar-benar harus diperhatikan. keluarga merupakan cerminan kehidupan suatu negara. Baik buruknya suatu negara atau bangsa tergambar dari baik tidaknya keluarga. Dalam hal ini dimulai dengan memilih pasangan yang ideal dan larangan pacaran sebelum nikah. Pacaran dalam pandangan islam merupakan salah satu jenis dari contoh zina kecil yang kalau dibiarkan akan mengarah pada perbuatan zina besar. Maka, bila ada pasangan ilegal muda mudi atau santri yang pacaran dilingkungan keluarga dan warga AlIshlah Bobos akan langsung menghubungi orang tuanya, dan akan menyuruh yang bersangkutan untuk segera dinikahkan siap tidak siap dan tanpa pertimbangan waktu itulah resiko yang diambil sebagai kebijakan di lingkungan Al-ishlah dalam rangka menciptakan generasi yang bersih.
68
Dan upaya ini dimaksudkan untuk menjaga akhlak dan moral generasi muda agar mereka tidak terjerumus kepada kemaksiatan. Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas bahwasannya kebijakan tegas ini karena berpandangan bahwa untuk membangun negara dimulai dengan membangun keluarga yang soleh. Untuk membentuk keluarga yang soleh harus terlebih dahulu dimulai dari kesucian generasi mudanya, maka generasi mudanya harus yang soleh solehah agar bangsa ini menjadi bangsa yang soleh. Ketegasan sikap Kiai Emet yang diiterapkannya baik di pesantren maupun masyarakat Al-Ishlah Bobos dalam hal munakahat dan pergaulan muda mudi itu sampai saat ini masih terjaga dengan baik di lingkungan Al-Ishlah, dan menjadi salah satu solusi terbaik untuk menjaga moral generasi muda. Sedangkan dakwah dalam masyarakat yaitu dengan mendirikan majelis-mejelis ta‟lim. Di dalam majelis ta‟lim ada unsur kekerabatan, kekeluargaan
yang
dengan
sendirinya
akan
memunculkan
rasa
persaudaraan dan mempererat tali silaturrahmi di antara umat islam, dan ini termasuk juga dalam kajian Ishlahul Ummat. Adapun majelis ta‟lim yang berkembang di Bobos adalah majelis ta‟lim ibu-ibu dan majelis ta‟lim bapak-bapak. Majelis ta‟lim bapak-bapak dinamakan majelis ta‟lim AHAD yang sekarang sudah tidak ada lagi, dan majelis ta‟lim ibu-ibu yang dinamakan majelis ta‟lim SENIN. Majelis ta‟lim SENIN di laksanakan setiap hari senin pagi pukul 08.00-10.00 WIB di Masjid Jami Pondok Pesantren. Pesertanya adalah ibu-ibu yang menjadi orang tua atau wali santri dan masyarakat luas dari desa Bobos, Cikalahang, Mandala, Dukupuntang, Balad, Cengkoak, Sindangjawa dan Cisaat (semuanya di kecamatan Sumber), Desa Kepuh, Panongan, Girinata dan Cipanas (Kecamatan Palimanan) dll. Dari majelis ta‟lim ini menciptakan pengaruh positif, di antaranya adalah a. Bahwa masyarakat di desa-desa tertentu yang ada di sekeliling desa Bobos sangat menaruh perhatian yang khusus dan istimewa kepada
69
Pondok Pesantren Al-Ishlah Bobos dan pada mu‟allimnya atau kiainya. Indikasinya di wujudkan apabila ada permintaan, undangan, ajakan atau hal-hal lain yang berkaitan dengan pesantren maka dengan serta merta dan sangat antusias memperhatikannya dengan penuh ta‟dzim. Dengan begitu mereka merasa diaku dan di pandang. Indikasi lainnya apabila ada pekerjaan atau program apapun yang sedang atau akan di kerjakan oleh Pondok Pesantren Bobos selalu mendapat dukungan baik dalam bentuk tenaga maupun moril dari masyarakat Lengkong, Cikalahang, Cidahu, Sindangwangi, Garawastu dan lainlain yang tidak bisa disebutkan satu persatu. b. Bahwa dikalangan ibu-ibu kini telah terjalin suatu ikatan yang sangat kuat, yang pada gilirannya akan mampu memberikan dukungan, atau bahkan bisa menjadi unsur penting bagi sukses dan lancarnya bidang pendidikan, kemasyarakatan ddan dakwah Islam. Atau dengan kata lain, majelis ta‟lim SENEN secara tidak langsung telah menjadi wahana pemberdaayaan kaum perempuan di berbagai desa sehingga mereka mampu mengambil peran strategis dalam berbagai bidang kehidupan. Terbukti di beberapa desa peserta Majelis Ta‟lim SENEN Pondok Pesantren Bobos banyak yanng menjadi pemuka masyarakat di POSYANDU, PKK, Keluarga Berencana, dll. 6. Bidang Sosial (Ishlahul Mujtama) Kemudian yang ke Enam dari Ishlah Tsamaniyah adalah Ishlah I‟tibaiyyah (perbaikan di bidang sosial). Setelah sebelumnya sudah di bahas mengenai Ishlah Tarbiyah yang memiliki nilai-nilai keislamannya ada di bidang pendidikan dan Iqtishodiyyah nilai-nilai keislamannya ada di dalam ekonomi. Maka I‟tibaiyyah adalah dengan menyebarluaskan nilainilai keislaman di bidang sosial kemasyarakatan. Bidang sosial kemasyarakatan ini berkaitan dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Segala bentuk pergaulan antara orangtua dengan anak, antara suami dengan istri, pemimpin dengan rakyat itu semuanya harus di landasi nilai-nilai keislaman. Dan nilai-nilai keislaman dalam I‟tibaiyyah ragam
70
macamnya dengan saling bantu membantu satu sama lain yang membutuhkan. Nilai-nilai keislaman sosial yang ditunjukan Kiai Emet Ahmad Khatib
adalah
berdakwah
melalui
pendekatan-pendekatan
atau
penyuluhan-penyuluhan dan bimbingan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan dengan mendirikan panti asuhan untuk membina dan mendidik anak-anak yang tidak mampu, anak-anak yang miskin dan yatim piatu agar bisa berpendidikan. Hal ini penting dilakukan mengingat dalam upaya pemberdayaan umat demi terwujudnya generasi-generasi muda muslim yang pintar cerdas dengan dibina, dirawat dan di didik secara islami di panti asuhan. Panti asuhan yang ada di Al-Ishlah merupakan lembaga sosial yang bergerak untuk mengumpulkan anak-anak yatim, miskin dan tidak mampu untuk diasuh dan di sekolahkan dari tingkat bawah seperti MI, Tsanawiyah, Aliyah sampai Perguruan Tinggi, dimana semua biaya ditanggung oleh Yayasan Al-Ishlah. 7. Bidang Ekonomi (Ishlahul Iqtishod) Ishlah berikutnya adalah bidang ekonomi. Perbaikan ekonomi ponpes Al-Ishlah di antaranya dilarang bersikap berlebihan dan berkemewahan dalam pakaian, makan dan minum karena menghamburkan mubadzir harta, mengundang bahaya dirinya dan nafsunya. Mewah dan berlebihan mendatangkan sikap benci yang dapat memusnahkan sifat kelelakian dan sifat kewanitaan. Mendatangkan sikap congkak dan sombong yang memusnahkan akhlakul karimah. Orang-orang yang hidupnya mewah berlebihan adalah orang yang dengan sengaja membakar dirinya dengan mengambil api neraka oleh tangannya sendiri. Sikap berlebihan dan kemewahan hidup berarti menghancurkan diri, bangsa dan Negara oleh tangannnya sendiri. Ada beberapa langkah upaya pendahuluan yang harus dilakukan bersama untuk perbaikan ekonomi, yaitu diantaranya: a. Harus memperkaya diri dengan beberapa sumber dana sebanyakbanyaknya supaya pemasukan dana setiap hari, tiap bulan dan tiap
71
tahun meningkat, hari ini lebih besar dari hari kemarin, hari esok lebih baik dari hari ini. b. Musuh ekonomi seperi pemalasan, pengangguran, kelemahan, bekerja tanpa hasil, bohong dan khianat harus di basmi bersih oleh Al-Ishlah. Oleh karena itu Al-Ishlah mengajak santrinya pada khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk giat bekerja menumbuhkan semangat etos kerja yang tinggi. Kiai Emet menerapkan atau membangun menumbuh kembangkan kemandirian kerja. Dalam bidang ini yang sudah dikerjakan adalah sbb:75 1) Dalam umat. Santri harus bisa mencukupi segala kebutuhan dengan tangannya sendiri. Kalau perlu santri jadi petani atau pedagang langsung. Jadi tidak terus bergantung pada orang tua. Orang yang selalu bergantung pada orang tua atau orang lain akan manja dan tidak bisa bertahan hidup, sedangkan orang yang dengan tangan dan keringatnya sendiri akan kuat dan bertahan hidup meskipun di terpa berbagai persoalan yang mendera. 2) Setelah
menumbuhkan
kemandirian
usaha,
maka
langkah
selanjutnya adalah dengan membangun Koperasi. Sebagai badan usaha milik Al-Ishlah yang bergerak di bidang ekonomi. Koperasi dianggap penting, karena di dalam koperasi ada ta‟awun atau sikap saling bantu membantu baik antar sesama anggota maupun antara anggota dengan masyarakat. Dan di dalam ta‟awun akan melahirkan sikap tolong menolong yang penting untuk kesatuan umat. Koperasi bekerjasama membangun Alfamart, yaitu badan usaha yang menjual segala kebutuhan pokok atau sembako. Lalu selanjutnya ada galian C, yaitu badan usaha yang bergerak dengan mengelola batu alam dari gunung kuda dan bahan keramik. Dari keuntungan
itu
di
peruntukan
untuk
membangun
dan
mengembangkan pendidikan yang ada di Al-Ishlah dari mulai Tsanawiyah, Aliyah sampai perguruan tinggi. Usaha lainnya yang 75
Wawancara dengan K. Solahudin AR. Tgl 20-22 Juli 2013 pkl 04. 45 WIB
72
bersifat mandiri adalah dengan mendirikan usaha-usaha berupa pemanfaatan-pemanfaatan dari limbah gunung dan semen yang bekerjasama dengan PT Indosemen yang bertempat di Palimanan. 3) Setelah selesai dengan koperasi maka selanjutnya mendirikan BMT (Baitul Mal Wattamwil). Baitul mal ini bertujuan untuk membantu masyarakat kecil di desa Bobos dengan cara di beri modal usaha dengan sistem bagi hasil dan dengan sistem syariah. c. Infaq dan penggunaan tenaga harus ditertibkan sampai berwatak qiwama, dalam penggunaan harta tidak berlebihan tapi tidak kikir, pengeluaran tidak lebih besar dari pemasukan. Penggunaan harta harus sesuai dengan kehendak Allah jangan mengikuti kehendak sendiri. Menggunakan tenaga harus betul-betul tenaga intaj (menghasilkan) dan tidak berlebihan. Termasuk perbaikan ekonomi adalah pemaknaan zakat tidak lagi sekedar bersifat konsumtif tapi lebih kepada pemberdayaan umat dari kemiskinan menuju kemakmuran. Fungsi amil zakat menurut Kiai Emet Ahmad Khotib seperti yang dijelaskan oleh Adang Jumhur tidak hanya mengumpulkan dan membagikan harta, seperti yang nampak dominan selama ini. Fungsi amil zakat dalam pandangan Kiai Emet mencakup empat aspek, yaitu:76 a. Qabiluha, artinya menerima harta zakat dari para wajib zakat. Fungsi ini sudah berjalan baik. b. Qasimuha, artinya membagikan harta zakat itu kepada mustahiqnya (kepada delapan kelompok mustahiq zakat). c. Akhidzuha, artinya mengambil harta zakat, bila perlu dengan cara paksa, seperti yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar kepada para pengingkar zakat, terutama kepada para wajib zakat yang betul-betul memiliki harta berlebih, sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS. At-Taubat: 103. 76
xxxvii
Adang Jumhur Pengantar Paradigma Pemikiran K. Emet Ahmad Khatib, hlm. Xxxv-
73
Artinya: ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. d. Hafizuha, artinya memelihara dan mengembangkan harta zakat itu, sehingga harta zaakat dapat tumbuh dan bertambah banyak. Harta zakat tidak boleh habis, karena makna zakat sendiri berarti tumbuh atau berkembang. Sejalan dengan penambahan harta zakat itu, ekonomi masyarakat dapat ditingkatkan kesejahteraannya. 8. Bidang Ummat (Ishlahul Ummah) Dalam bidang ummat, kiai Emet Ahmad khatib memberikan sikap terbuka dan toleran terhadap segala perbedaan, baik sikap, pemikiran, aliran atau mazhab, dsb. Memberi kebebasan kepada masyarakat untuk memilih mazhab mana yang di anggap sesuai menurut keyakinan dan cara berfikirnya. Salah satu contoh ketika Persatuan Umat Islam (PUI) melakukan mukhtamarnya di Bobos, Kiai Emet Ahmad Khatib menugaskan kepada Kh. Anas Sirojudin untuk menjadi Imam subuh dengan menggantikan sementara Imam tetap Kiai Elom. Pergantian sementara Imam sholat tersebut karena Kiai Elom setiap sholat maghrib, isya dan subuh tidak membaca Basmallah secara keras (dalam hati) dan setiap sholat subuh tidak berqunut. Kebetulan PUI yang melakukan Mukhtamarnya di Bobos kebanyakan berisikan para kaum Nahdiyyin (NU). Dan seperti kebanyakan dimana-mana ibadah orang-orang PUI yang mayoritas NU selalu mengerjakan qunut dan hal itu tidak biasa Kiai Elom lakukan, maka dari itu Kiai Emet ahmad Khatib menugaskan Kh. Anas untuk jadi Imam subuh di masjid Jami‟ Al-Ishlah.77
77
Sholahuddin, AR., Wawancara Pribadi, tgl 7 Agustus 2013, pkl 04. 55 WIB
74
Hal ini menjadi indikasi keluwesan bersikap kiai Emet Ahmad Khatib untuk menjaga nilai-nilai persaudaraan (Ukhuwa). Menurut beliau menjaga akhlak lebih penting dan hukumnya wajib dari pada qunut subuh yang sarat Ikhtilaf
yang hukumnya hanyalah sunnah. Oleh karenanya
menurut beliau lebih penting menjaga kewajiban dari pada sunnah, atau dengan kata lain jangan sampai pekerjaan sunnah mengalahkan yang fardhu, karena jelas pahalanya berbeda. Atas dasar pemikiran tersebut, Kiai Emet ahmad Khatib sangat menyenangi adanya ijtihad, bahkan beliau mendorong kepada semua generasi muda muslim untuk berijtihad dalam setiap menghadapi persoalan. Karena ijtihad menurut beliau sebagai bentuk penghargaan terhadap pemikiran seseorang meskipun pendapatnya salah. Dalam praktek berijtihad bila benar dapat dua pahala dan bila salah tetap dapat satu pahala. Karena hal ini sesuai dengan hadits nabi yang berbunnyi:
Artinya: “Apabila seorang hakim berijtihad kemudian benar maka ia mendapatkan dua pahala, dan apabila berijtihad kemudian salah maka ia mendapatkan satu pahala.” Salah satu hal lain yang ditunjukan Kiai Emet dalam menjaga ukhuwa antar umat masyarakat adalah dengan menghormati setiap pendapat, pemikiran masyarakat warga Bobos. Pada saat itu berkenaan dengan berkunjungnya salah satu pejabat pemerintah yang tergabung dalam Kabinet Pemerintahan Soeharto tahun 1978 Jendral H. Alamsyah yang mengusulkan lembaga pendidikan Al-Ishlah untuk di negrikan saja. Kiai Emet tidak serta merta mengambil keputusan sepihak, tapi memusyawarahkan terlebih dahulu dengan para tokoh Desa Bobos. Kebanyakan warga atau tokoh menolak Al-Ishlah di Negrikan dengan alasan berbagai macam, yang intinya karena lembaga Al-Ishlah yang meliputi Pondok Pesantren, sekolah Tsanawiyah dan Aliyah ini adalah sebagian besar merupakan tanah wakaf. Jadi, apabila di negrikan maka pahala orang yang meninggal yang telah mewakafkan harta
75
bendanya untuk Al-Ishlah takut hilang atau amal jariyah yang mewakafkan akan terputus. Oleh sebab itu, Kiai Emet sangat menghormati sekali pendapat-pendapat warga atau tokoh Bobos dengan tidak meng-iyakan AlIshlah untuk di negrikan dan untuk menghormati jasa-jasa para leluhur yang telah mewakafkan tanah atau hartanya untuk pembangunan pesantren Al-Ishlah.
C. Pengaruh Dari strategi dakwah yang dilakukan Kiai Emet dalam usaha pengembangan dakwah di Pesantren Bobos, maka dampak atau pengaruh yang dihasilkannya adalah mencakup dua hal, yakni sbb: 1. Internal Secara internal pesantren Al-Ishlah mengalami perkembangan yang pesat terbukti dengan datangnya para santri luar yang mondok di pesantren bobos. Faktor ini di sebabkan adanya pengaruh dakwah yang dilakukan pa emet di luar pesantren, pengajian atau ceramah-ceramah di luar desa Bobos, seperti Cikalahang, Majalengka, Sindang Wangi dan desa lainnya yang beliau pernah singgahi akibatnya banyak orang yang kenal beliau dan Kiai Emet tidak segan mempromosikan pesantren AlIshlah dimanapun ia mengajar ngaji atau ceramah. 2. Eksternal Adapun pengaruh eksternal yang dihasilkan Kiai Emet adalah karena pergaulannya yang luas dengan berbagai tokoh dan ulama baik di tingkat regional, Nasional maupun Internasional, seperti pergaulannya dengan tokoh dari kedutaan Malaysia dan Saudi Arabia untuk Indonesia. Kebetulan nama dari kedutaan Malaysia hampir sama yaitu Ahmad Khatib (tanpa Emet). Begitu pula dengan Adam Malik ketika menjadi wakil Presiden RI era Soeharto (1978-1983), Kiai Emet Ahmad Khatib bersama Syamsuri WS di undang Adam Malik di Istana Negara dan berkomunikasi juga dengan Jenderal H. Alamsyah Ratu Perwiranegara Menteri Agama dalam Kabinet Pemerintahan Soeharto pada tahun 1978 sampai
76
berkunjung ke Al-Ishlah, bahkan Alamsyah menawarkan kepada Kiai Emet agar lembaga Pendidikan Al-Ishlah untuk dinegrikan, namun Kiai Emet menolaknya sebagaimana yang sudah dijelaskan alasan penolakan tersebut pada bab sebelumnya. Di luar hal itu inilah yang menjadi bukti eksternal dari Kiai Emet Ahmad Khatib.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari hasil penelitian yang dilakukan penulis, melalui wawancara, observasi maupun dokumentasi, maka penulis dapat menarik kesimpulan dari permasalahan penelitian dengan memperhatikan tiga hal, yaitu: 1.
Dakwah yang digunakan Kiai Emet Ahmad Khatib di Pesantren Al-Ishlah Bobos dengan Ishlah Tsamaniyah dilakukan melalui tiga cara,, yakni Pertama, dakwah dilakukan melalui lisan atau ucapan, yaitu dengan ceramah-ceramah seputar keagamaan. Kedua dakwah dilakukan dengan bil kolam yakni melalui
pena atau tulisan-tulisan dan Ketiga dakwah
dilakukan dengan bil hal atau dakwah dilakukan dengan mencontohkan perbuatan secara nyata. 2. Implementasi dari strategi dakwah tersebut adalah dengan berdirinya lembaga-lembaga baik formal maupun non formal. Dalam bidang non formal, beliau mendirikan pesantren daruttauhid yang diperuntukkan bagi anak-anak yaang kurang mampu untuk melanjutkan ssekolah tingkat menengah atau atas. Sedangkan dalam formalnya dengan mendirikan Madrasah Aliyah dan Tsanawiyah. 3. Pengaruh yang dihasilkan dari dakwah yang dilakukan Kyai Emet adalah dengan secara intern dan ekstern. Dalam intern, pengaruh yang dihasilkan adalah banyaknya santri yang belajar dan menetap/mondok di pesantren Al-Ishlah baik itu dari daerah sendiri maupun dari luar daerah. Dari segi ekstrennya, pengaruh yang dihasilkan adalah banyaknya kalangankalangan atas dari daerah sendiri sampai luar negeri yang berkunjung dan memberikan bantuan baik dari fisik, materi maupun ilmunya.
B. Saran-saran Bertolak dari penemuan-penemuan yang diperoleh dari hasil penelitian, ada beberapa hal yang layak penulis sarankan:
77
78
1. Sebaiknya majelis ta‟lim AHAD yang penyelenggaraanya setiap hari Minggu yang pesertanya bapak-bapak lebih baik diadakan lagi, agar menambah semarak aktifitas dakwah di Al-Ishlah. Semakin banyak pengajian yang dilakukan atau semakin penuh kegiatan dakwah maka akan baik untuk kemaslahatan umat. Seperti dalam majelis ta‟lim yang karenanya umat maupun masyarakat dapat menjaga tali silaaturrahmi, karena di dalam majelis ta‟lim mengandung unsur ukhuwa, kekerabatan dan kekeluargaan dalam muslim yang baik untuk kesatuan umat Islam. Dan dengan adanya majelis ta‟lim masyarakat semakin pandai dan cerdas dengan ilmu yang diperolehnya sekaligus mengindikasikan bahwa mencari ilmu wajib bagi siapapun. Sebagaimana yang Rasulullah sabdakan dalam sebuah hadits yang artinya carilah ilmu mulai dari dalam buaian sampai liang lahat. Artinya mencari ilmu itu tidak mesti kita muda dan setelah tua lalu berhenti, tapi menuntut ilmu itu sampai kapanpun tidak ada batasannya, yang membatasi kita menuntut ilmu adalah kematian. Dan menuntut ilmu merupakan sebagai modal bekal kita yang dapat menyelamatkan hidup kita di akhirat nanti. 2. Terkait dengan perbaikan ekonomi mengenai fungsi amil zakat yang belum terlaksana dengan baik yaitu dalam fungsi Akhidzuha dan Hafizuha. Sebaiknya masyarakat di berikan penyuluhan dan pemahaman melalui pengajian atau ceramah-ceramah oleh para ustadz atau mu‟allim. Hal itu, mungkin disebabkan karena masyarakat atau umat Islam sendiri pada umumnya masih berpandangan bahwa fungsi amil zakat hanya mengumpulkan dan membagikan harta zakat. Sementara mengambil dan memberdayakannya belum dianggap sebagai bagian integral dari tugas amil zakat. 3. Untuk para tokoh atau kiai di Al-Ishlah jangan merasa bosan untuk terus berjuang di atas dakwah Islam. Semoga dakwah yang ada di pesantren dan sekitarnya tidak luntur dan rapuh di makan zaman yang terus menggrogoti iman. Semoga Al-Ishlah terus
maju dan maju dengan program-
programnya dan semoga menjadi contoh bagi yang lain. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Al-Kaaf, Zaky. Ekonomi Dalam Perspektif Islam. Bandung: CV Pustaka Setia, 2002 Al-Qaradhawi, Yusuf. Retorika Islam, Jakarta: KHALIFA, 2004 Amin, Munir Samsul. Rekonstruksi Pemikiran Dakwah Islam, Jakarta: AMZAH, 2008 Amin, Shadiq. Mencari Format Gerak Dakwah Ideal. jakarta timur: Al-I‟tishom, 2006 Amsyari, Fuad. Islam Kaaffah; Tantangaan Sosial dan Aplikasinya di Indonesia. Jakarta: Gema Insani Press, 1995 Arbi, Armawati. Dakwah dan Komunikasi. Ciputat: UIN Jakarta Press, 2003 Ar-Rafi‟i, Musthafa. Potret Juru Dakwah, Jakarta: CV Pustaka Al-Kautsar, 2002 Aziz, Ali Moh. Ilmu Dakwah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009 Aziz, Jum‟ah Amin Abdul. Fiqih Dakwah; Prinsip dan Kaidah Asasi Dakwah Islam. Solo: PT Era Adicitra Intermedia, 2011 Chalil, Fuad Zaky. Pemerataan Distribusi Kekayaan Dalam Ekonomi Islam. Banda Aceh: PT Gelora Aksara Pratama, 2009 Fadhlullah, Husain Muhammad. Metodologi Dakwah Dalam Al-Qur‟an; Pegangan Bagi para Aktivis, Jakarta: Lentera, 1997 Faizah, dan Effendi, Muchsin Law. Psikologi Dakwah, Jakarta: Prenada Media, 2006 Hameed, Abdul Hakim. Aspek-aspek Pokok Agama Islam. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1982 Hamidi. Teori Komunikasi dan Strategi Dakwah, Malang: UMM Press, 2010 Hartini dan Kartasapoetra. Kamus Sosiologi dan Kependudukan, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007 Hasanuddin. Hukum Dakwah; Tinjauan Aspek Hukum Dalam Berdakwah di Indonesia, Jakarta: Pedoman ilmu Jaya, 1996 Ilaihi, Wahyu. Komunikasi Dakwah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010
79
80
Ismail, Ilyas Ismail dan Hotman, Prio. Filsafat Dakwah; Rekayasa Membangun Agama dan peradaban Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011 Jamali, Pesantren Masa Depan; Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren. Bandung: Pustaka Hidayah, 1999 Kusumaningrat, Purnama dan Kusumaningrat, Hikmah. Jurnalistik Teori dan Praktik, Bandung; PT remaja Rosda Karya,2005 Luth, Thohir. M. Natsir; Dakwah dan Pemikirannya Jakarta: Gema Insani Press, 1999 Machendrawaty, Nanih dan Kusnawan, Aep. Teknik Debat dalam Islam Bandung: CV Pustaka Setia, 2003 Machendrawaty, Nanih dan Safei, Ahmad Agus. Pengembangan Masyarakat Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001 Marbun. Kamus Manajemen (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005 Masy‟ali, Hajam. Membaca Nalar K. Emet ahmad Khatib. Cirebon: Al-Ishlah Press, 2010 Muchtar, Jauhari Heri. Fiqh Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005 Mughits, Abdul. Kritik Nalar Fiqh Pesantren Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008 Muhaemin, Et al. Kawasan dan Wawasan Studi islam. Jakarta: Prenada Media, 2005 Muhiddin, Asep. Dakwah Dalam Perspektif Al-Qur‟an, Bandung: CV Pustaka Media Muhyiddin, Asep dan Safei, Ahmad Agus. Metode Pengembangan Dakwah. Bandung: Cv Pustaka Setia, 2002 Nata, Abuddin. Perspektif Islam Tentang Strategi Pembelajaran Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009 Nawawi, Hadari. Manajemen Strategik Organisasi Non Profit Bidang Pemerintahan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2000 Pimai, Awaludin Pimay. Paradigma Dakwah Humanis; Strategi dan Metode Dakwah Prof. KH. Saifuddin Zuhri Rais, Amien M. Cakrawala Islam. Bandung: MIZAN, 1987
81
Rasyid, Daud. Islam Dalam Berbagai Dimensi. Jakarta: Gema Insani Press, 1998 Rukmana, Nana. Masjid dan Dakwah; Merencanakan, Membangun dan mengelola Masjid Mengemas Substansi Dakwah Upaya Pemecahan Krisis Moral dan Spiritual. Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2002 Saifullah. Islam, Dakwah dan Politik. (Bogor: Pustaka Tharikul Izzah, 2002), h 36 Saputra, Wahidin. Pengantar Ilmu Dakwah Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011 Shihab, Quraish M. Membumikan Al-Qur‟an; Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007 Shihab, Quraish M. Wawasan Al-Quran; Tafsir Maudhu‟i Atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Penerbit Mizan, 1997 Sholahuddin AR, Bunga Rampai Al-Ishlah Bobos, Bobos: Yayasan Islam alIshlah,2000 Suparta, Munzier dan Hefni, Aparjani. Metode Dakwah, Jakarta: Prenada Media, 2003 Suriani. Manajemen Dakwah Dalam Kehidupan Pluralis Indonesia. (Ciputat: The Media Of Social and cultural communication (MSCL), 2005 Surjadi, Ahmad. Da‟wah Islam Dengan Pembangunan Masyarakat Desa. Bandung: Mandar Maju, 1989 Syahidin, et al. Moral dan Kognisi Islam. Bandung: CV ALFABETA, 1993 Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001 Yaqub, Hamzah. Publistik Islam; Teknik Da‟wah dan Leadership, Bandung: CV. Diponegoro, 1981
82
Lampiran 1
PEDOMAN WAWANCARA Mantan Ketua Sekertaris Yayasan Alumni Pondok Pesantren
Hari / Tgl
:
Interview
:
Jabatan
:
Tempat
:
Waktu
:
1. Menurut bapak siapakah kiai Emet itu? 2. Apa hubungan anda dengan Kiai Emet? 3. Bagaimana upaya Kiai Emet dalam mengembangkan dakwahnya di desa Bobos? 4. Apa ishlah tsamaniyah itu? 5. Lalu dakwah dalam kedelapan bidang tersebut seperti apa implementasinya? 6. Lalu apa pengaruh yang dihasilkan dari dakwah Kiai Emet? 7. Strategi apa yang dilakukan Kyai Emet dalam berdakwah?
83
Lampiran 2
HASIL WAWANCARA Hari / Tgl
: 4, 15, 20, 22 Juli dan 7 Agustus 2013
Nama
: Sholahuddin AR
Jabatan
: Mantan Ketua Yayasan Al-Ishlah Bobos
Waktu
: 16.30 – 17.50 WIB
Lokasi
: Di rumah kediaman beliau
8. Menurut bapak siapakah kiai Emet itu? Jawab: “beliau itu seorang tokoh kyai lokal yang sehari-harinya hidup sederhana ramah, santun, yang memiliki wawasan keilmuwan yang luas dan seorang tokoh pembaharu dakwah pendidikan di Desa Bobos”. 9. Apa hubungan anda dengan Kiai Emet? Jawab: “beliau adalah guru saya.” 10. Bagaimana upaya Kiai Emet dalam mengembangkan dakwahnya di desa Bobos? Jawab: “ya upayanya untuk mengembangkan Al-Ishlah , beliau memakai aplikasi dari ajaran PUI, yakni Ishlah Tsamaniyah. 11. Apa ishlah tsamaniyah itu? Jawab: “Ishlah Tsamaniyah itu adalah perbaikan dalam delapan bidang. Yang diantaranya
adalah dalam bidang Akidah,
ibadah, ekonomi,
pendidikan, keluarga, budaya, sosial dan umat. 12. Lalu dakwah dalam kedelapan bidang tersebut seperti apa implementasinya? Jawab:
84
“Dalam bidang Aqidah memperbaiki pola pikir masyarakat Al-Ishlah dengan keimanan yang benar, kalau imannya sudah benar hidup akan benar juga. Dalam bidang ibadah, segala pekerjaan harus mencontoh atau merujuk pada ketentuan Nabi Muhammad SAW, seperti sholat, zakat, sedekah. Dalam bidang Keluarga, harus mencari pasangan yang benar sesuai petunjuk Nabi. Dalam bidang budaya, meluruskan atau membetulkan dengan membedakan antara mana yang wajib dengan mana yang bukan wajib atau harus. Dalam bidang pendidikan, dengan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupun non formal, salah satu contohnya mendirikan Daruttauhid, Sekolah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah. Dalam bidang eknomi, beliau mendirikan usaha-usaha yang diperuntukkan untuk membangun pesantren Al-Ishlah dan menumbuhkan kemandirian kerja untuk para santri maupun masyarakat luar santri. Seperti membangun koperasi, galian C (penambangan batu alam), dan mendirikan BMT (Baitul Mall Wattamwil). Dalam bidang umat, beliau memberikan sikap terbuka dan toleran terhadap segala perbedaan, baik sikap, pemikiran, aliran ataupun mazhab. Dan dalam bidang sosial, beliau berdakwah melalui pendekatan- pendekatan atau penyuluhan dan bimbingan kepada masyarakat dalam berbagai aspek salah satunya yaitu mendirikan panti asuhan”. 13. Lalu apa pengaruh yang dihasilkan dari dakwah Kiai Emet? Jawab: “Karena beliau suka ceramah dimana-mana akhirnya banyak dari daerah luar yang berkeinginan menitipkan anak-anaknya untuk belajar di pondok pesantrennya. Dan beliau selalu mempromosikan Al-Islah dimana pun kyai Emet berdakwah seperti di daerah Sindang Jawa, plumbon, cikalahang, sinapul, dan daerah-daerah yang lainnya” 14. Strategi apa yang dilakukan Kyai Emet dalam berdakwah? Jawab:
85
“Yaitu dengan ceramah-ceramah di masyarakat baik yang ada didalam maupun diluar pesantren. Selain ceramah-ceramah, beliau pun aktif menyebarkan tulisan-tulisan berbentuk buku atau seperti makalah. Dan dakwah selanjutnya dengan mencontohkan perbuatan- perbuatan beliau agar dapat ditiru oleh santri maupun masyarakat sekitar pesantren”.
86
Lampiran 3
HASIL WAWANCARA Hari / Tgl
: 23-24 Juni 2013
Nama
: Drs. Hajam Masy’ali M, Ag
Jabatan
: Sekretaris Yayasan Al-Ishlah Bobos
Waktu
: 15.30 – 16.30 WIB
Lokasi
: Di rumah kediaman beliau 1. Menurut Bapak siapakah kiai Emet itu? Jawab: “beliau itu adalah seorang guru panutan saya. Beliau itu cerdas dan luas dalam wawasan keilmuwannya. Beliau seorang figur yang karismatik, lembut dalam bersikap, sehingga beliau mudah bergaul dengan siapa pun baik dengan masyarakat sekitar Desa Bobos maupun dikalangan pemerintahan”. 2. Apa hubungan anda dengan Kiai Emet? Jawab: “ Hubungan saya dengan beliau adalah antara guru dengan murid”. 3. Bagaimana upaya Kiai Emet dalam mengembangkan dakwahnya di desa Bobos? Jawab: “Upaya dalam mengembangkan Al-Ishlah , beliau memakai
ajaran
atau aplikasi dari PUI, yakni Ishlah Tsamaniyah”. 4. Apa ishlah tsamaniyah itu? Jawab: “Ishlah Tsamaniyah itu adalah perbaikan dalam delapan bidang. Yang diantaranya
adalah dalam bidang Akidah,
pendidikan, keluarga, budaya, sosial dan umat”.
ibadah, ekonomi,
87
5. Lalu dakwah dalam kedelapan bidang tersebut seperti apa implementasinya? Jawab: “Dalam bidang Aqidah memperbaiki pola pikir masyarakat AlIshlah dengan keimanan yang benar, kalau imannya sudah benar hidup akan benar juga. Dalam bidang ibadah, segala pekerjaan harus mencontoh atau merujuk pada ketentuan Nabi Muhammad SAW, seperti sholat, zakat, sedekah. Dalam bidang Keluarga, harus mencari pasangan yang benar sesuai petunjuk Nabi. Dalam bidang budaya, meluruskan atau membetulkan dengan membedakan antara mana yang wajib dengan mana yang bukan wajib atau harus. Dalam bidang pendidikan, dengan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupun non formal, salah satu contohnya mendirikan Daruttauhid, Sekolah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah. Dalam bidang eknomi, beliau mendirikan usaha-usaha yang diperuntukkan untuk
membangun
pesantren
Al-Ishlah
dan
menumbuhkan
kemandirian kerja untuk para santri maupun masyarakat luar santri. Seperti membangun koperasi, galian C (penambangan batu alam), dan mendirikan BMT (Baitul Mall Wattamwil). Dalam bidang umat, beliau memberikan sikap terbuka dan toleran terhadap segala perbedaan, baik sikap, pemikiran, aliran ataupun mazhab. Dan dalam bidang sosial, beliau berdakwah melalui pendekatan- pendekatan atau penyuluhan dan bimbingan kepada masyarakat dalam berbagai aspek salah satunya yaitu mendirikan panti asuhan”. 6. Lalu apa pengaruh yang dihasilkan dari dakwah Kiai Emet? Jawab: “Adapun pengaruh yang dihasilkannya adalah secara intern dan ekstern. Dalam internnya, banyak kalangan dari luar yang belajar di Al-Ishlah Bobos seperti dari luar daerah yaitu Jakarta, Bandung, Madura, sampai daerah Aceh. Sedangkan dalam eksternnya, pesantren sering dikunjungi oleh para pemuka agama baik tingkat regional,
88
nasional maupun internasonal seperti kyai- kyai besar yang datang dari Negara Mesir, Malaysia, dan Saudi Arabia.”
7. Strategi apa yang dilakukan Kyai Emet dalam berdakwah? Jawab: “Yaitu dengan ceramah-ceramah di masyarakat baik yang ada didalam maupun diluar pesantren. Selain ceramah-ceramah, beliau pun aktif menyebarkan tulisan-tulisan berbentuk buku atau seperti makalah. Dan dakwah selanjutnya dengan mencontohkan perbuatan- perbuatan beliau agar dapat ditiru oleh santri maupun masyarakat sekitar pesantren”.
89
Lampiran 4
Alm. Kyai Emet Ahmad Khotib
90
Lampiran 5
Data Fisik Pesantren
91
92
93