NADZOM KH. AHMAD RIFA'I SEBAGAI MEDIA DAKWAH
SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat sarjana Sosial Islam (S. Sos.I) Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI)
RUMAISAH ULFA 1105032
FAKULTAS DAKWAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2009
NOTA PEMBIMBING Lamp : 5 (lima) Bendel Hal
: Persetujuan Naskah Skripsi
Kepada. Yth. Bapak Dekan Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang di Semarang
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Setelah membaca, mengkoreksi dan mengadakan perbaikan sebagaimana mestinya, maka kami menyatakan bahwa naskah skripsi saudara/i: Nama
: Rumaisah Ulfa
NIM
: 1105032
Fakultas/Jurusan
: Dakwah / Komunikasi Penyiaran Islam (KPI)
Judul skripsi
: NADZOM KH. AHMAD RIFA'I SEBAGAI MEDIA DAKWAH
Maka dari itu kami mohon naskah skripsi atas nama mahasiswa tersebut di atas agar segera disidangkan. Demikian, maka ini kami buat, atas perhatiannya diucapkan terimakasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Semarang, 15 November 2009 Bidang substansi materi
Pembimbing, Bidang metodologi & tata tulis
Drs. H. Fahrur Rozi, M.Ag. NIP. 19690501 199403 1 001
Dr. Ilyas Supena, M.Ag. NIP. 15150 318 454
ii
PENGESAHAN SKRIPSI NADZOM KH. AHMAD RIFA'I SEBAGAI MEDIA DAKWAH
Disusun Oleh: Rumaisah Ulfa 1105032 Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal 28 Desember 2009 Dan dinyatakan lulus memenuhi syarat Susunan Dewan Penguji Ketua Dewan Penguji/ Dekan/Pembantu Dekan
Penguji I
Drs. Ali Murtadho, M. Pd. NIP. 19690818 199503 1 001
Dra. Hj. Amelia Rahmi, M.Pd. NIP. 19660209 199303 2 003
Sekretaris Dewan Penguji
Penguji II
Drs. H. Fachrur Rozi, M.Ag NIP. 19690501 199403 1 001
H. M. Alfandi, M. Ag. NIP. 19710830 199703 1 003
iii
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri dan di dalamnya tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi di lembaga lainnya. Pengetahuan yang diperoleh dari hasil penerbitan maupun yang belum atau tidak diterbitkan, sumbernya dijelaskan di dalam tulisan dan daftar pustaka.
Semarang, 28 Desember 2009
(Rumaisah Ulfa) NIM. 1105032
iv
PERSEMBAHAN
Dalam perjuangan mengarungi samudra ilahi tanpa batas, dengan keringat dan air mata, kupersembahkan karya tulis ini teruntuk orang-orang yang selalu hadir dan berharap Ridho-Nya. Kupersembahkan bagi mereka yang tetap setia berada di ruang dan waktu kehidupanku, khususnya buat : Bapak H. Ibrahim Rochmatullah dan Ibu Hj. Nurul Maziyya yang telah mengenalkanku pada sebuah kehidupan dengan kasih sayang yang tak tertepi, ”Ridhomu adalah Semangat Hidupku”. Umi Hj. Aufa Abdullah Umar AH beserta Abah KH. Muhibbin selaku pengasah, pengasih dan pengasuh Ponpes Takhaffudzul Qur’an, yang selalu memberikan do’a restunya kepada saya. Saudara-Saudaraku KH. Ali Sibron, Nur Faisoli S.HI, Sakur SH, Ahmad Farih Alfian, yang selalu memberikan support, baik moral maupun material, sehingga terselesaikannya skripsi ini, dan adikku tercinta, Achla Ainussalamah dan M. Nasikhul Malik, impianku semoga kalian temukan istana kebahagiaan di dunia serta akhirat, semoga semuanya selalu berada dalam pelukan kasih sayang Allah SWT. Teman Spesial, Fazat Husna, Innarotudzakiyah D, Sholikhatul Amaliya, dan Siti Zuhriah yang membuka hatinya dengan niat suci akan kepercayaan dan kehadiran Allah SWT dalam setiap kehidupan. Semoga lancar, success dan bahagia dunia akhirat. Segenap Keluarga besar PPTQ yang selalu mendampingiku dalam suka dan duka, dalam hidup dan kehidupan, terkhusus d’pentill, d’rope’, d’ida, d’iqoh. makasih yaaaa……
v
MOTTO
ﻭﻛﻞ ﻣﻦ ﱂ ﻳﻌﺘﻘﺪ ﱂ ﻳﻨﺘﻔﻊ# ﺍﺫﺍﻟﻔﱴ ﺣﺴﺐ ﺍﻋﺘﻘﺎﺩﻩ ﺭﻓﻊ Karena kemuliaan kaum muda tergantung tekadnya, barangsiapa tidak mempunyai tekad yang kuat akan gagal meraih keberhasilan. (Syeikh Syaifuddin Yahya Al-Imrithy, Nadzom Imrithy, bait ke-16).
ﺠﺎﺡﻔﺲ ﺍﺳﺎﺱ ﺍﻟﻨﺍﻻﻋﺘﻤﺎﺩ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻨ Percaya diri merupakan kunci keberhasilan
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Penyayang, bahwa atas taufiq dan hidayah-Nya, maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Rosulullah SAW, teladan yang senantiasa membawa misi kebenaran. Skripsi ini berjudul ”NADZOM KH. AKHMAD RIFA’I SEBAGAI MEDIA DAKWAH”, disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana strata satu (S.1) Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang. Dalam penyusunan skripsi penulis dapat mendapatkan bimbingan dan saran-saran dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi dapat terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada : 1. Prof. Dr. Abdul Djamil, MA, selaku Rektor IAIN Walisongo Semarang. 2. Drs. H. M. Zain Yusuf, MM, selaku Dekan Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang. 3. Drs. H. Fachrur Rozi, M.Ag, dan Dr. Ilyas Supena, M.Ag, selaku pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan fikiran untuk memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini. 4. Para Dosen Pengajar dalam lingkungan Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang, yang telah membekali berbagai pengetahuan sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.
vii
5. Berbagai pihak yang secara tidak langsung telah membantu baik moral maupun materi dalam penyusunan skripsi ini. Semoga keikhlasan dan kebaikan yang telah diberikan akan mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT. Akhirnya hanya kepada Allah penulis berserah diri, dan semoga apa yang tertulis dalam skripsi ini bisa bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan para pembaca pada umumnya.
Semarang, 28 Desember 2009 Penulis,
(Rumaisah Ulfa) NIM. 1105032
viii
ABSTRAKSI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penggunaan nadzom sebagai media dakwah, pengkajian penelitian ini menitikberatkan pada warga Rifa’iyah dalam menggunakan nadzoman KH.Ahmad Rifa’I sebagai media dakwah. Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif analisis. Data primer yaitu kitab nadzom KH.Ahmad Rifa’i, data sekunder yaitu sejumlah buku yang relevan dengan judul skripsi ini. pengumpulan data menggunakan study dokumentasi. Dalam menganalisis data digunakan metode deskriptif analisis. Hasil penelitian ini, bahwa ternyata nadzom ataupun sya’ir yang terpinggirkan oleh pemerhati sastra, ternyata mempunyai fungsi yang sangat berma’na bagi pendukungnya yaitu dimanfaatkannya sejumlah nadzom dalam pembelajaran materi agama islam secara terbatas. Dalam keterbatasan tersebut, ternyata pemanfaatan nadzom-nadzom dapat menjadikan para santri(warga Rifa’iyah khususnya) berhasil memahami materi yang cukup rumit karena mereka merasa terlibat dalam pembelajaran sekaligus dapat menikmati dan menyanyikan irama bait-bait nadzom dengan indah. Karena nadzom mempunyai tiga fungsi, yaitu fungsi hiburan, fungsi pendidikan dan pengajaran, dan fungsi spiritual. Fungsi hiburan muncul karena hadirnya nadzom dalam khazanah sastra selalu dinyanyikan baik dengan iringan musik tertentu maupun tidak, fungsi pendidikan dan pengajaran muncul karena di samping nadzom mengekspresikan nilai-nilai dedaktis, yakni pendidikan nilainilai moral islam dan pengetahuan islam yang kompleks, nadzom juga digunakan sebagai bahan ajar atau media pengajaran di kalangan masyarakat santri. sedangkan fungsi spiritual muncul karena sebagian besar nadzom diberlakukan penggunaannya semata-mata sebagai upaya penghambaan diri (ibadah) kepada Tuhan yakni untuk mempertebal rasa keimanan dan ketakwaan. Jadi, pada warga Rifa’iyah sendiri, nadzoman dijadikan tradisi untuk memulai pembelajaran, pengajian maupun sebagai upaya penghambaan diri (ibadah) kepada Allah, karena nadzom memberikan ilmu pengetahuan dengan cara yang sangat menyenangkan.
ix
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ........................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... iii HALAMAN PERNYATAAN.......................................................................... iv HALAMAN MOTTO ......................................................................................
v
HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... vi HALAMAN KATA PENGANTAR................................................................ vii HALAMAN ABSTRAKSI ..............................................................................
x
HALAMAN DAFTAR ISI...............................................................................
x
BAB I : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...............................................................................
1
1.2 Perumusan Masalah .......................................................................
9
1.3 Tujuan Dan Manfaat Penelitian ..................................................... 10 1.4 Tinjauan Pustaka ............................................................................ 10 1.5 Metode Penelitian ......................................................................... 13 1.6 Jenis Dan Pendekatan Penelitian ................................................... 13 1.7 Definisi Operasional ..................................................................... 14 1.8 Sumber dan Jenis Data .................................................................. 15 1.9 Metode Pengumpulan Data ........................................................... 16 1.10. Metode Analisis Data ................................................................. 16 1.11. Sistematika Penulisan Skripsi .................................................... 17
BAB II : NADZOM SEBAGAI MEDIA DAKWAH 2.1. Dakwah ........................................................................................ 19 2.1.1. Pengertian Dakwah ........................................................... 19 2.1.2. Media Dakwah .................................................................. 23 2.1.3. Nadzom Dan Unsur Pembentukannya ............................... 29
x
2.2. Pengertian Nadzom ...................................................................... 32 2.2.1 Nadzom sebagai sastra (Jawa) Pesantren ........................... 32 2.3 Nadzom sebagai Media Dakwah ................................................... 36 2.3.1 Fungsi Nadzom dalam Masyarakat Santri ......................... 36 2.3.2 Nadzom Sebagai Media Pembelajaran ............................... 38 2.3.3 Fungsi Nadzom Dalam Dakwah ........................................ 41
BAB III : NADZOM KH. AHMAD RIFA’I SEBAGAI MEDIA DAKWAH 3.1 Biografi KH. A. Rifa’I ................................................................. 43 3.2 Karya-Karya................................................................................. 46 3.3 Pengaruh Dakwah Kh.Ahmad Rifa’i kepada murid-Muridnya ... 50 3.4 Pemikiran Dakwah Islam KH. Ahmad Rifa'i .............................. 55 3.5 Gerakan Dakwah ......................................................................... 58 3.5.1 Perjuangan KH. Ahmad Rifa'i ........................................... 63 3.5.2 Akhir Perjuangan KH. Ahmad Rifa'I.................................. 65 3.6 Nadhom KH. Ahmad Rifa'i Sebagai Media Dakwah .................. 68
BAB IV : ANALISIS NADHOM KH. AHMAD RIFA’I SEBAGAI MEDIA DAKWAH 4.1 Analisis Teks Nadzom KH. Ahmad Rifa’i ................................. 79 4.2 Analisis Penggunaan Nadzom Kh. Ahmad Rifa’I ....................... 94
BAB V : KESIMPULAN DAN PENUTUP 5.1 Kesimpulan ................................................................................. 95 5.2.Saran-Saran .................................................................................. 97 5.3. Penutup ....................................................................................... 98 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT PENULIS
xi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pada era globalisasi dewasa ini, ketika manusia hidup dalam planet yang interkomunikatif, umat Islam dihadapkan kepada serangkaian tantangan yang belum pernah dialami oleh umat beragama di masa lampau. Sebagai bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam, kita tidak begitu saja melepaskan diri dari pandangan serta ajaran Islam tentang sejarah. Sejarah umat Islam adalah bagian yang tidak terpisahkan dari wujud kesejarahan umat manusia secara keseluruhan dengan hukumnya yang obyektif yang tidak berubah (Al-Qur'an dan as sunnah). (Shihab, 1997: 243) Dakwah merupakan bagian yang pasti ada dalam kehidupan umat beragama. Dalam Islam, kewajiban dakwah pada dasarnya merupakan kewajiban setiap muslim, setidaknya harus ada golongan dari pemeluk yang melakukannya. Sebenarnya adalah sangat mulia apabila setiap muslim dapat membakukan dalam dirinya bahwa kewajiban dakwah merupakan fardhu ain, sebagai perwujudan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. (Ahmad, 1985: 33) Dakwah, komunikasi dan bahasa adalah trilogi yang satu sama lain saling terkait (independentif). Memang masing-masing merupakan disiplin ilmu yang berdiri sendiri, tetapi dalam praktek serta aplikasinya ketiganya terpadu sehingga antara yang satu dengan yang lain tidaklah mungkin
1
2
dipisahkan. Banyak pesan dakwah yang tidak sampai kepada khalayak karena da'i tidak mampu berkomunikasi secara efektif, tidak mampu menuangkan pesannya dalam bahasa yang benar dan baik. Dakwah yang disajikan kering, gersang dan hambar, bahasanya tidak bergaya, khalayaknya tidak memahami apa yang disampaikannya, minat dan interest khalayaknya hilang dan komunikasi tidak terjalin, sehingga dakwahnya gagal seperti batu jatuh ke lutut, seperti air di daun keladi, hilang tak terbekas (Abidin, 1996: 1). Dalam menyampaikan dakwah, seorang dai harus berpedoman pada sumber utama Al-Qur'an dan al hadits, di dalam Al-Qur'an dan hadits diberikan tuntunan tentang cara-cara berdakwah yang bisa digunakan sebagai pedoman pokok tentang metode dan teknik berdakwah, seperti dalam firman Allah SWT, dalam surat An-Nahl ayat 125, yaitu: y7−/u‘ ¨βÎ) 4 ß⎯|¡ômr& }‘Ïδ ©ÉL©9$$Î/ Οßγø9ω≈y_uρ ( ÏπuΖ|¡ptø:$# ÏπsàÏãöθyϑø9$#uρ Ïπyϑõ3Ïtø:$$Î/ y7În/u‘ È≅‹Î6y™ 4’n<Î) äí÷Š$# ∩⊇⊄∈∪ t⎦⎪ωtGôγßϑø9$$Î/ ÞΟn=ôãr& uθèδuρ ( ⎯Ï&Î#‹Î6y™ ⎯tã ¨≅|Ê ⎯yϑÎ/ ÞΟn=ôãr& uθèδ Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik, sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Nahl: 125) (Depag RI, 1982: 421) Dengan demikian, bahwa iman sangat berkepentingan sekali mendorong para pemeluknya agar berbuat amal shaleh. Oleh sebab itu, tidak dibenarkan sama sekali, dalam prinsip ini adanya cara yang bersifat persuasif penuh hikmah dan pengajaran yang baik. Pengertian hikmah seringkali diterjemahkan dalam pengertian yang bijaksana yaitu pendekatan sedemikian
3
rupa terhadap komunikan, sehingga seakan-akan apa yang dilakukan oleh komunikan timbul atas keinginannya sendiri, tidak dipaksakan, konflik apalagi perasaan tertekan. Islam adalah agama dakwah yaitu agama yang menugaskan umatnya untuk menyebarluaskan dan menyiarkan Islam kepada seluruh umat (Shaleh, 1997: 1). Hal ini berlangsung sepanjang zaman, kapanpun, di manapun dan kepada siapapun. Sebagai agama dakwah, Islam disebarluaskan dan diperkenalkan kepada manusia melalui aktivitas dakwah, tidak melalui kekerasan, pemaksaan, intimidasi dan sebagainya. Islam tidak membenarkan pemeluknya melakukan pemaksaan terhadap umatnya, agar mau memeluk agama Islam (Amin, 1989: 5). Jadi, Islam menginginkan setiap orang memeluk agama Islam dengan sukarela, ikhlas dan damai tanpa paksaan, karena pada dasarnya, esensi dakwah adalah ajakan bukan paksaan (Abidin, 1996: 40), seperti firman Allah: ωs)sù «!$$Î/ -∅ÏΒ÷σãƒuρ ÏNθäó≈©Ü9$$Î/ öàõ3tƒ ⎯yϑsù 4 Äc©xöø9$# z⎯ÏΒ ß‰ô©”9$# t⎦¨⎫t6¨? ‰s% ( È⎦⎪Ïe$!$# ’Îû oν#tø.Î) Iω ∩⊄∈∉∪ îΛ⎧Î=tæ ìì‹Ïÿxœ ª!$#uρ 3 $oλm; tΠ$|ÁÏΡ$# Ÿω 4’s+øOâθø9$# Íοuρóãèø9$$Î/ y7|¡ôϑtG™ ó $# Artinya: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 256). Media adalah sarana yang digunakan oleh da’i untuk menyampaikan materi dakwah dan salah satu media dakwah adalah nadzom KH. Ahmad Rifa'i.
4
Dalam menyampaikan ajaran-ajaran Islam, agar lebih efektif dan efisien, seorang da’i harus menggunakan media yang tepat. Media yang tepat akan sangat menunjang keberhasilan dakwah seorang da’i. Media di sini merupakan segala sesuatu yang dapat dijadikan sebagai alat perantara untuk mencapai tujuan tertentu dalam berdakwah. KH. Ahmad Rifa’i lahir pada hari kamis tanggal 09 Muharram 1200 H di desa Tempuran Kendal Jawa Tengah tahun 1786. Masa kecilnya dihabiskan di pondok pesantren dan pada usia 30 tahun beliau berangkat ke Mekkah, sekalian menuntut ilmu agama di kota suci itu dan di Madinah selama 8 tahun, kemudian melanjutkan studinya di Mesir selama 12 tahun. Sewaktu di Makkah KH Ahmad Rifa’i satu angkatan dengan KH. Nawawi dari Banten dan KH. Kholil dari Bangkalan Madura yang kemudian menjadi ulama besar dan terkenal di Jawa. Di antara guru-guru beliau selama di tanah suci adalah Syaikh Al-Barowi, Syaikh Ibrohim Al-Bajuri, Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz al-Jaizi, Syaikh Abdurrahman, Syaikh Abu Ubaidah dan Syaikh Usman, pada tahun 1252 H KH Ahmad Rifa’i kembali ke Indonesia, saat itu beliau berusia 51 tahun. (Djamil, 200: 14). Syaikh Ahmad Rifa’i merupakan seorang ulama intelektual lulusan Makkah dan Mesir yang mempunyai reputasi tinggi, seorang cendekiawan besar abad ke-19, pembaharu dan pemurni yang berjiwa patriotik, seorang ulama ahli fiqih, penyair, pemikir, pengarang paling produktif, mubaligh handal, juru dakwah ulung, ahli sufi berorientasi fiqih, pendidik yang banyak murid dan pengikutnya (Syadzirin, 1995: 25).
5
Di Kalisalak Batang tempat beliau menetap, ia mengembangkan dakwahnya dengan menggunakan dakwah bil lisan, bil khal dan dengan karya tulis (bil qolam) yang dituliskan dengan nadzom-nadzom bahasa Jawa. Di dalam dakwahnya Ahmad Rifa’i mengajak kepada seluruh umat Islam untuk kembali kepada ajaran Nabi Muhammad SAW yaitu Al-Qur’an dan hadits. Awalnya KH Ahmad Rifa’i menyelenggarakan pengajaran untuk anak-anak, karena metode mengajarnya sangat menarik, yaitu dengan menggunakan bahasa Jawa dalam bentuk nadzom (puisi atau syair), maka santrinya semakin bertambah menjadi majelis ta’lim bagi anak-anak juga bagi orang dewasa yang datang dari sekitar Batang. Untuk memfasilitasi minat para santrinya yang ingin dekat dengan kyai serta demi untuk mewujudkan cita-cita KH Ahmad Rifa’i, maka didirikan pondok pesantren dan masjid di Kalisalak (Syadzirin, 1995: 49). Dalam menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam, kelompok santri tarajumah mengikuti dan mengamalkan doktrin ataupun pendapat KH. Ahmad Rifa'i yang secara konseptual tertuang dalam sejumlah kitab karyanya yang lebih dikenal dengan sebutan kitab Tarajumah, kitab-kitab Tarajumah inilah yang menjadi sumber resmi ajaran ataupun tradisi Islam Tarajumah (Abdullah, 2006: 92) Ajaran tarjumah ialah suatu tuntunan Islam yang tertulis dalam kitabkitab Tarjumah berbahasa Jawa dan bahasa Melayu karangan Hadlaratusy Syaikh Kiai Haji Ahmad Rifai bin Muhammad. Ajaran Islam yang termaktub di dalam kitab Tarajumah itu bersumber pada Al-Qur'an, al-hadits, al-Ijma’
6
dan al-Qiyas. Di dalamnya diuraikan mengenai dasar-dasar pokok Islam, iman yang biasanya disebut sebagai “ilmu Ushuluddin” dan menguraikan mengenai masalah ibadah dan muamalah atau mengenai furu’uddin yang kadang disebut sebagai ilmu fiqih dan juga menguraikan mengenai akhlak dalam beribadah dan mu’amalah yang lazim dikatakan sebagai “ilmu tasawuf” serta beberapa nasihat dan hukum yang berhubungan dengan ketiga ilmu tersebut (Syadzirin, 1989: 51-52) Dengan ajaran tarajumah ini, dimaksudkan agar orang-orang awam yang buta bahasa Arab dapat mengerti mengenai iman, Islam dan ihsan serta lainnya. Karena pada umumnya orang-orang awam di Pulau Jawa kurang menguasai bahasa Arab, maka dengan adanya kitab tarajumah ini sangat efektif untuk bisa mempelajari dan memahami serta mendalami dan mengamalkan syari’atu / Islam secara benar dan sempurna (Syadzirin, 1989: 51) Usaha menulis kitab dalam bahasa Jawa ini dikandung maksud agar orang awam dapat lebih mudah dalam memahami ajaran Islam, sebagaimana disebutkan dalam kitabnya Ri’ayatul Himmah: Supoyo wong Jawi akeh ngerti pitutur Sangking Qur’an lan kitab Arab jujur Kuduwe wong ngawam inggal ngerti milahur Ningali kitab Tarajumah Jawi pitutur (Riayatul himmah) Kepribadian warga tarajumah (Rifa’iyah), merupakan tradisi tersendiri yaitu setiap mereka selesai sholat fardhu(berjamaah atau sendirian),peringatan hari-hari besar Islam, majelis tahlilan, berzanjian, manaqiban, selesai
7
membaca talqin mayit di kuburan, menjelang menshalati mayit dan sebagainya, tradisi warga Rifa’iyah senantiasa membaca nadzom yang berisikan dua kalimah syahadat serta maknanya, hingga sampai pada syarat guru, wajib saben mukallaf atau I’lam weruha sira, nadzom semacam itu merupakan suatu wiridan yang dilakukan oleh warga Rifa’iyah atau tarajumah sendiri (Syadirin, 1989: 107) Begitu juga setelah masuk sholat fardhu dan setelah dikumandangkan azan, warga Rifa’iyah atau tarajumah membacakan nadzom-nadzoman (pujipujian) sambil menunggu imam sholat datang. Nadzom-nadzom yang dimaksud di sini ialah membaca bersama-sama syarat-syarat rukunnya orang yang beribadah, sholat, puasa, dan sebagainya, dan setelah sholat maghrib, isya’, dan subuh diadakan pengajian anak-anak atau orang dewasa, adakalanya ngaji “bandongan” atau “sorogan” atau hafalan nadzom-nadzom KH. Ahmad Rifa'i yang berisikan syarat rukun sholat dan mengulangi bacaan al-fatihah, altahiyyat, shalawat, salam dan bacaan Al-Qur'an lainnya (Syadzirin, 1989: 110). Sedangkan anak-anak bagi warga Rifa’iyah diharuskan hafal nadzomnadzom KH. Ahmad Rifa'i mulai dari tanbihun pertama sampai tanbihun kedua, yaitu mulai dari warnanya air, fardhu sesuci, fardhu mandi (wajib) dan lain-lain yang berkaitan dengan masalah ibadah (Syadzirin, 1989: 110). Menjelang pengajian (majelis ta’lim) ketika akan dimulai biasanya puji-pujian dulu (nadzoman dulu) tentang setengah bilangan maksiat dosa besar 44 perkara, dan kadang juga nadzoman dengan lagu-lagu mengenai
8
macam-macam dosa kecil, yang jumlahnya ada 21, terkadang juga nadzoman itu menerangkan tentang jumlah hitungan maksiat yang menjadikan kufur. Itulah kepribadian warga Rifa’iyah (tarajumah) yang sudah berjalan sejak KH. Ahmad Rifa'i tengah mencanangkan ajarannya hingga sekarang (Syadzirin, 1989: 111). Warga Rifa’iyah juga biasa mengadakan peringatan Isro’ Mi’roj nabi Muhammad SAW, terutama pada bulan Rojab dengan mengundang para saudara muslim dan muslimah kumpul dan mendengarkan hikayah atau riwayat Isro’ Mi’roj tersebut yang tertulis di dalam kitab “nadzom arjo”, dan disambung dengan pengajian ceramah agama Islam(Syadirin, 1989: 122) Terbangan atau seni rebana genjering dan jidur, juga biasa dilakukan warga
Rifa’iyah
untuk
mengiramakan nadzom-nadzom (syair) yang
dinukilkan dari sebagian kitab tarajumah, seperti ri’ayatul himmat”, agar warga rifa’iyah tidak merasa bosan (Syadirin, 1989: 113). Warga Rifa’iyah juga berhasil menciptakan kesenian terbang (rebana) dengan disertai lagu, nadzoman yang diambil dari kitab-kitab tarajumah karangan KH. Ahmad Rifa'i sehingga terbangan itu disebut “rebana Jawa”. Terbangan ini dimaksudkan untuk mengingat pelajaran, hiburan ketika hajatan dan sekaligus antipati budaya asing yang merusak, karena Belanda dengan sengaja ingin mengganti budaya Jawa yang diwariskan oleh nenek moyang yang mukmin muslim itu dengan budaya modern model barat yang merusak (Syadzirin, 1996/1997: 108).
9
Metode pengajaran kitab yang diberikan KH. Ahmad Rifa'i kepada para santrinya, bahwa santri (warga Rifaiyah) harus belajar membaca kitab tarajumah terbatas pada tulisan Arab bahasa Jawa. Sistem pengajian ini disebut ngaji ireng atau ngaji lafal makna. Mengerjakan satu persatu huruf kemudian merangkum menjadi bacaan kalimat dan seterusnya. Tingkatan ini merupakan awal dalam cara membaca kitab tarajumah. Kitab-kitab yang dibaca antara lain ialah: husnul mitholab, ri’aiatul himmah, asnal miqoshad, abyanal hawaij, tasyrikhatal muhtaj, tabyinah, ishlah, tahsinah, tazkiyah, wudliah, dan maslahah. Di samping itu, seorang santri harus hafal sebagian nadzom-nadzom yang menerangkan tentang syarat rukun iman, Islam, ibadah, sholat dan wiridan angawaruhi atiningsun (dua kalimat syahadat), karena KH. Ahmad Rifa'i mengajarkan kepada santrinya supaya nadzom-nadzom tersebut dibaca ketika para santrinya akan memulai pengajian bandongan (ngaji maksud) dan juga biasanya dilakukan untuk wiridan sholat fardhu (Amin, 1995: 109). Bertolak dari permasalahan tersebut, kemudian penulis tertarik untuk mengkaji nadzom-nadzom KH. Ahmad Rifa'i sebagai media dakwah.
1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana diuraikan di atas, permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana teks nadzom KH. Ahmad Rifa’i ?
10
2.
Bagaimana penggunaan nadzom
KH. Ahmad Rifa’i sebagai media
dakwah?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Sesuai dengan permasalahan di atas, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui bagaimana teks nadzom KH. Ahmad Rifa’i 2. Untuk mengetahui penggunaan nadzom KH. Ahmad. Rifa’i sebagai media dakwah Sedangkan mengenai manfaat daripada penelitian ini dapat penulis sebutkan sebagai berikut: 1. Secara teori Menggali dan mengaktualisasikan kembali wacana tentang karyakarya klasik yang mempunyai nilai budaya tinggi. 2. Secara praktis Penelitian ini akan memperkaya khazanah ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang dakwah Islamiah dan untuk mengembangkan potensi, mendewasakan pemikiran serta melatih kekritisan peneliti terhadap suatu pemikiran atau gagasan yang telah ada.
1.4 Tinjauan Pustaka Sebagai seorang penyair yang handal, sudah sepantasnya kalau karyakarya KH. Ahmad Rifa'i menarik minat banyak peneliti untuk mengkaji dan
11
menelitinya kembali. Mereka mencoba menelusuri dan mengurai simpulsimpul pemikiran atau gerakan dakwah KH. Ahmad Rifa'i melalui karyakaryanya yang tertuang dalam bentuk teks-teks sastra Jawa pegon, baik berupa puisi tembang Jawa maupun nadzoman. Ditinjau dari banyaknya karya KH. Ahmad Rifa'i yang dihasilkan baik dalam bentuk nadzom maupun tembang Jawa yang indah, menunjukkan kemahirannya dalam hal sastra Jawa, sehingga tidak heran jika KH. Ahmad Rifa'i sering disebut sebagai penyair, pemikir dan pengarang paling produktif. Dalam buku gerakan syaikh Ahmad Rifa'i, dalam menentang kolonial Belanda (1996/1997) karangan H. Ahmad Syadzirin Amin, disebutkan bahwa KH. Ahmad Rifa'i adalah seorang pembaharu dan pemurni yang berjiwa patriotik, seorang ulama ahli fiqih, penyair, pemikir, pengarang paling produktif abad 19, muballigh handal, juru dakwah ulung, ahli sufi berorientasi fiqih, pendidik yang banyak murid dan pengikutnya (Syadzirin, 1996/1997: 25). Shodiq Abdullah melalui bukunya (karyanya) Islam Tarjamah (komunitas, Doktrin dan Tradisi), menguraikan bahwa keberhasilan penyebarluasan paham Islam tarajumah juga didukung adanya faktor media komunikasi, yaitu kitab-kitab tarjamah. Proses pewarisan dan penyebaran ajaran Islam tarjumah tidak hanya dilakukan melalui komunikasi langsung antara KH. Ahmad Rifa'i dengan para santri utamanya atau antara santri-santri generasi pertama dengan santri-santri generasi berikutnya, tetapi juga melalui komunikasi tidak langsung yaitu melalui media kitab-kitab tarajumah karya KH. Ahmad Rifa'i.
12
Sementara Abdul Djamil (2001) menulis buku tentang Perlawanan Kiai Desa (pemikiran dan gerakan Islam KH. Ahmad Rifa'i Kalisalak), dalam buku ini diterangkan bahwa karya sastra Jawa KH. Ahmad Rifa'i seperti antara lain: -
Nadzom arfa’ menerangkan tentang iman dan syahadat
-
Nazhom kaifiyah dalam bentuk sya’ir, membicarakan hukum Islam.
-
Nadzham athlab dalam bentuk syair, membicarakan tentang tata cara mencari ilmu.
-
Nazham
tazkiyah,
dalam
bentuk
syair,
membicarakan
tata
cara
penyembelihan. -
Nazhom tahsinah, membicarakan tata cara membaca Al-Qur'an dengan baik (tajwid).
-
Nazhom tasfiyah, membicarakan tentang makna fatihah dalam sholat. Ahmad Adaby Darban (2004) menulis buku tentang Rifai’iyah (gerakan
sosial keagamaan di pedesaan Jawa Tengah), dalam buku ini bahwa sistem yang digunakan dalam pesantren Rifa’iyah masih asli, yakni menganut pengajian non-klasikal, adapun metode yang digunakan adalah bandongan dan sorogan. Metode bandongan adalah pemberian pelajaran oleh seorang kiai pada santrinya dengan membacakan dan memberi penjelasan suatu kitab dan para santri mendengarkan dan membuat catatan sedangkan yang metode sorogan yaitu para santri menyodorkan kitab yang dikehendaki kepada kiainya, dengan tujuan agar para santri dapat memahami dan menguasai isi kitab tersebut.
13
Berbeda dari tema pemikiran yang dikaji oleh peneliti di atas, penulis tertarik untuk meneliti tentang media dakwah KH. Ahmad Rifa'i dengan menggunakan nadzom. Dari beberapa penulis tersebut, bahwasanya belum ada kajian tentang nadzom KH. Ahmad Rifa’i. Walaupun pada dasarnya penulis sebelumnya juga membahas tentang study tokoh KH. Ahmad Rifa’i, tetapi dengan pendekatan yang berbeda-beda. Dan tokoh-tokoh yang dikaji penulis di sini memiliki media tersendiri untuk menarik simpati para santrinya yaitu KH. Ahmad Rifa'i dengan menggunakan nadzomnya sebagai media dakwah, yang jarang dilakukan oleh tokoh-tokoh lain.
1.5 Metodologi Penelitian Untuk menghasilkan suatu penelitian yang valid maka harus dilakukan pendekatan ilmiah yang tersusun secara sistematis. Supaya isinya juga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, maka dari itu peneliti menggunakan metode antara lain sebagai berikut: 1.5.1 Jenis dan Pendekatan Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, dengan hasil akhir berupa kata-kata tertulis. Sebagaimana yang dikatakan Bogdan dan Tailor bahwa metodologi kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis (Moleong, 2004: 3) yaitu tertuju pada pemecahan masalah yang dihubungkan dengan apa yang ada pada masa sekarang (Surakhmad, 1989: 139).
14
Obyek kajian penelitian ini adalah nadzom KH. Ahmad Rifa'i sebagai media dakwah.
1.6 Definisi Operasional Untuk memberi gambaran yang lebih jelas serta menghindari segala penafsiran yang berbeda-beda dalam pembahasan skripsi yang berjudul “NADZOM KH. AHMAD RIFA’I SEBAGAI MEDIA DAKWAH”, maka penulis perlu memberi batasan istilah sebagai berikut : Nadzom menurut bahasa adalah karangan, menurut istilah puisi yang berasal dari Parsi, terdiri atas 12 larik, berirama dua-dua atau empat-empat, yang isinya perihal hamba sahaya istana yang setia dan budiman (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001/2003: 777) Nadzom sebagai bentuk seni bersumber pada kehidupan yang bertata nilai, nadzom sebagai salah satu dari karya sastra bukan sekedar perluapan hasrat penciptaan keindahan semata, melainkan memiliki makna yang dalam dan membawa misi agung pengarangnya (Yusro, 2000: 3), dan tidak sedikit karya sastra yang bersumber dan terinspirasi dari Al-Qur'an dan hadits, yang di dalamnya mengajak kepada masyarakat agar bersikap sesuai dengan AlQur'an dan hadits. Nadzom adalah kata-kata yang mengikuti wazan atau rumus yang bersajak yang maknanya berada dalam satu ide atau satu pemikiran. Nadzom merupakan bagian dari syair atau syi’ir (karya sastra pesantren) yang tumbuh dan berkembang di lingkungan santri.
15
Media berarti segala sesuatu yang dapat dijadikan sebagai alat perantara untuk mencapai tujuan tertentu. Dengan demikian media dakwah adalah alat obyektif yang menjadi saluran, yang menghubungkan urat nadi dalam totaliteit dakwah, yang dapat digolongkan menjadi media lisan, lukisan, audiovisual, dan perbuatan (akhlak). Media lisan sebagai salah satu media dakwah mempunyai peran yang tidak kalah penting dengan media tulisan. Salah satu bentuk media lisan yang dapat digunakan adalah penggunaan nadzom oleh para warga Tarajumah yang berbentuk sastra pesantren. Sastra merupakan sumber informasi mengenai norma-norma dan adat istiadat yang khas pada suatu kelompok masyarakat di zamannya (Yusro, 2000: 1). Termasuk di dalamnya adalah sastra Jawa yang memuat gagasan ideal orang Jawa yang mewujud dalam budaya Jawa. Nadzom KH. Ahmad Rifa’i sebagai media dakwah warga Rifai’iyah sangat mendukung sekali untuk terpacunya santri-santri warga Rifa’iyah untuk bisa lebih mengamalkan ajaran Ahmad Rifa'i. karena dengan media nadzom, warga Rifa’iyah merasa lebih dipermudah dalam menghafal dan memahami maksud dari isi kitab yang berupa nadzom. Karena dengan memakai nadzom warga Rifa’iyah merasa terhibur sehingga tidak mudah bosan.
1.7 Sumber dan Jenis Data Sumber adalah subyek dari mana data dapat diperoleh. Sumber data terbagi menjadi dua:
16
a. Data primer di ambil dari karya-karya KH. Ahmad Rifa'i yang berupa kitab-kitab nadzom, yaitu kitab Nadzom Husnul Mithalab, Ri’ayatul Himmat, Asnal Miqashad, Abyanal Hawa’ij, Tahsinah, Tabyinal Islahin, Tasyrihatal Muhtaj, Tadzkiyah, Muslihat, Wadhilah dan lain-lain. b. Data sekunder, sebagai data sekunder yaitu sejumlah buku yang relevan dengan judul skripsi ini, antara lain: H. Ahmad Syadzirin Amin (Mengenal Ajaran Tarajumah Syaikh H. Ahmad Rifa'i), Shodiq Abdullah (Islam Tarajumah Komunitas, Doktrin dan Tradisi), Abdul Djamil (Perlawanan Kiai Desa, Pemikiran dan Gerakan Islam KH. Ahmad Rifa'i Kalisalak), Ahmad Adaby Darban (Rifa’iyah, Gerakan Sosial Keagamaan di Pedesaan Jawa Tengah), H. Ahmad Syadzirin Amin (Gerakan Syaikh Ahmad Rifa'i dalam Menentang Kolonial Belanda).
1.8 Metode Pengumpulan Data Menurut Sumadi Suryabrata, kualitas data ditentukan oleh kualitas alat pengambil data atau alat pengukurnya (Suryabrata, 1998: 84). Berpijak dari keterangan tersebut, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data berupa teknik dokumentasi atau studi dokumenter yaitu dengan meneliti sejumlah buku-buku dan kitab nadzom KH. Ahmad Rifa’i, dengan demikian pengumpulan data menggunakan studi dokumentasi.
1.9 Metode Analisis Data Dalam menganalisis data digunakan metode deskriptif yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk membuat gambaran (deskripsi) tentang suatu
17
fenomena sosial kemudian dicari hubungannya (Sumhudi, 1971: 45), maka dalam hal ini digunakan metode analisis data kualitatif yaitu menganalisis nadzom KH. Ahmad Rifa'i sebagai media dakwah.
1.10 Sistematika Penulisan Skripsi Untuk
mempermudah dalam memperoleh gambaran tentang
penulisan skripsi dan sesuai dengan tata aturan yang berlaku dalam pembuatan skripsi, maka skripsi ini tersusun dalam lima bab. Masingmasing bab mempunyai keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan, kelima bab ini terangkum sebagai berikut: 1. Bagian Muka, yang memuat: Halaman judul, persetujuan pembimbing, halaman pengesahan, pernyataan, motto, persembahan, abstrak, kata pengantar dan daftar isi. 2. Bagian isi, skripsi yang memuat: Bab I. Pendahuluan, merupakan bagian awal dari tulisan ini yang akan memuat latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, definisi operasional, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II. pada bab ini penulis membahas pengertian dakwah, media dakwah, nadzom dan unsur pembentukannya, pengertian nadzom, Nadzom sebagai Sastra (Jawa) Pesantren, dan nadzom sebagai media dakwah. Bab III. merupakan bagian dari fokus penelitian yang akan memuat biografi KH. Ahmad Rifa'i, karya-karya KH. Ahmad Rifa'i,
18
pengaruh dakwah KH. Ahmad Rifa’i kepada murid-muridnya, pemikiran dakwah islam KH. Ahmad Rifa’i, gerakan dakwah, nadzom KH. Ahmad Rifa'i sebagai media dakwah. Bab IV. analisis data yang akan menganalisis mengenai bagaimana teks nadzom KH. Ahmad Rifa'i dan bagaimana penggunaan nadzom KH. Ahmad Rifa'i yang digunakan sebagai salah satu dari media dakwahnya. Bab V. penutup yang merupakan bagian terakhir dari tulisan ini akan memuat tentang kesimpulan, saran.
BAB II NADZOM SEBAGAI MEDIA DAKWAH
2.1 Dakwah 2.1.1
Pengertian Dakwah Berdasarkan penelusuran akar kata (etimologis), kata dakwah merupakan bentuk masdar dari kata yad’u (fiil mudhori) dan do’a (fiil madhi). (Zakariya, 1962) yang artinya adalah memanggil atau mengundang. Kemudian menjadi kata da’watun yang artinya panggilan, seruan atau ajakan. Istilah lain yang identik dengan kata dakwah adalah tabligh (Syabili, 2008: 42), kata tabligh berasal dari bahasa
Arab,
yaitu
ballagha,
yuballighu,
yang
artinya
menyampaikan. Kata itu kemudian menjadi kata tabligh yang artinya menyempurnakan suatu pesan. Oleh karena itu dakwah sering juga disebut
tabligh
yang
maksudnya
sebagai
suatu
kegiatan
menyampaikan pesan ajaran agama Islam. (Ghozali, 1977: 5). Sedangkan pengertian dakwah, secara terminologis menurut Syeikh Ali Makhfudh adalah mendorong manusia untuk berbuat kebajikan dan mengikuti petunjuk (agama), menyeru mereka kepada kebaikan dan mencegah mereka dari perbuatan munkar agar memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Berdasarkan pengertian tersebut, maka dakwah secara esensial bukan hanya berarti usaha mengajak mad’u untuk beriman dan
19
20
beribadah kepada Allah saja, melainkan juga bermakna menyadarkan manusia terhadap realitas hidup yang harus mereka hadapi dengan berdasarkan petunjuk Allah dan panggilan dalam rangka membangun masyarakat Islami berdasarkan ajaran agama Islam. Sesuai dengan firman Allah QS. Ali Imron: 104 sebagai berikut: 4 Ìs3Ψßϑø9$# Ç⎯tã tβöθyγ÷Ζtƒuρ Å∃ρã÷èpRùQ$$Î/ tβρããΒù'tƒuρ Îösƒø:$# ’n<Î) tβθããô‰tƒ ×π¨Βé& öΝä3ΨÏiΒ ⎯ä3tFø9uρ ∩⊇⊃⊆∪ šχθßsÎ=øßϑø9$# ãΝèδ y7Íׯ≈s9'ρé&uρ Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. Ali Imron: 104)
Ayat ini secara jelas menunjukkan wajibnya berdakwah karena ada lam amar (amar yang berarti perintah) dalam kalimat waitakalun. Sedangkan kalimat minkum menunjukkan fardhu kifayah. Karena itu seluruh umat Islam diperintahkan agar dari sebagian mereka melaksanakan kewajiban itu. Ketika ada sekelompok orang melaksanakannya, maka kewajiban itu gugur dari yang lain. Tetapi jika tidak ada seorangpun yang melaksanakannya, maka mereka semua berdosa (Aziz, 2005: 32). Salah
satu
tujuan
dari
pelaksanaan
dakwah
adalah
terbentuknya sebuah (tatanan) masyarakat yang menjalankan syari’at Islam secara penuh dan konsekuen dalam segala aspek hidup dan kehidupan. Pencapaian tujuan tersebut menjadi lebih “mengena dan terarah”, manakala setiap da’i ataupun pelaksana dakwah dalam
21
menjalankan aktifitasnya memilih media yang tepat, untuk dapat dimanfaatkan dan dijadikan penunjang alternatif dalam penyampaian pesan-pesan dakwah kepada masyarakat (obyek dakwah). 2.1.2. Media Dakwah Pada dasarnya proses dakwah tak ubahnya seperti proses komunikasi yaitu penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan dengan saluran (media) tertentu. Akan tetapi jika dilihat dari tujuan yang hendak dicapai terdapat perbedaan yang menonjol diantara keduanya. Proses dakwah dilakukan dengan tujuan mengharapkan perubahan sikap dan tingkah laku sesuai dengan ajaran islam. (Anas, 2005: 72) Untuk menghubungkan pesan-pesan dakwah dengan mad’u maka diperlukan media (wasilah). Media merupakan alat obyektif yang menjadi saluran, yang menghubungkan ide dengan umat (Dzikron, 1989 : 57). Pelaksanaan dakwah dapat menggunakan berbagai macam media yang dapat merangsang indra-indra manusia serta dapat menimbulkan perhatian untuk menerima dakwah. Semakin tepat media yang dipakai, maka semakin efektif pula upaya pemahaman ajaran islam pada masyarakat yang menjadi sasaran dakwah. Media
telah
meningkatkan
intensitas,
kecepatan
dan
jangkauan komunikasi yang dilakukan oleh umat manusia dengan begitu luasnya sebelum adanya media massa, seperti radio, televisi,
22
maupun internet. Bahkan dapat dikatakan alat-alat tersebut telah melekat dan tak terpisahkan dengan kehidupan manusia pada saat ini. Kalau dilihat dari segi penyampaian pesan, media dakwah dapat dibagi menjadi tiga golongan. Pertama, The spoken words atau media yang berbentuk ucapan, artinya alat yang dapat mengeluarkan bunyi, karena hanya dapat ditangkap oleh telinga, maka disebut juga dengan the audial media yang biasa dipergunakan sehari-hari seperti telepon, radio, tape dan sebagainya. Jenis media yang kedua adalah The printed words atau media yang berbentuk tulisan artinya barangbarang tercetak, seperti gambar, lukisan, buku, surat kabar, majalah, brosur, pamflet dan sebagainya. Sedangkan kategori media yang ketiga adalah The Audio Visual, media yang bisa didengar dan dilihat, artinya media dakwah yang merupakan gabungan dari keduanya, yaitu berbentuk gambaran hidup yang dapat didengar sekaligus dapat dilihat, seperti televisi, film, video dan sebagainya (Aziz, 2004 : 121) Dengan
tersedianya
berbagai
macam
media
tersebut
diharapkan para pembawa pesan dakwah dapat menggunakan seluruh kesempatan dalam rangka merealisasikan ajaran-ajaran islam, sehingga manusia dapat mencapai tujuan hidup sebenarnya yaitu bahagia di dunia dan akhirat kelak. Berkaitan dengan penggunaan media dakwah, maka para da’i perlu memperhatikan beberapa hal, yaitu :
23
1. Tidak ada media yang paling baik dan paling sempurna dalam keseluruhan atau masalah dakwah. Sebab karakteristik media tersebut berbeda-beda atau dalam kata lain memiliki kelemahan atau kelebihan sendiri-sendiri. 2. Media dipilih berdasarkan tujuan yang hendak dicapai. 3. Media
yang
dipilih
sesuai
dengan
kemampuan
sasaran
dakwahnya. 4. Media yang dipilih sesuai dengan sifat materi dakwahnya. 5. Pemilihan media hendaknya dilakukan dengan cara obyektif, artinya pemilihan media bukan atas dasar kesukaan da’i. 6. Kesempatan dan ketersediaan perlu mendapat perhatian 7. Efektifitas dan efisiensi perlu diperhatikan. Media dakwah merupakan salah satu unsur yang sangat penting dan harus diperhatikan dalam aktivitas dakwah. Sebab sebagus apapun metode, materi dan kapasitas seorang da’i tanpa didukung dengan sebuah media yang tepat seringkali hasilnya kurang efektif. Namun tidak satupun media yang dianggap paling tepat diatas media lainnya. Sebab media memiliki relativitas yang sangat bergantung dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. Yang dimaksud dengan media dakwah alat obyektif yang menjadi saluran yang menghubungkan ide dengan umat, suatu elemen yang vital da merupakan urat nadi dalam totalitas dakwah (Hamzah Ya’kub, 1992: 47). Pemanfaatan media dalam kegiatan
24
dakwah mengakibatkan komunikasi antara da’i dan mad’u atau sasaran dakwahnya akan lebih dekat dan mudah diterima. Oleh karena itu, aspek media dakwah sangat erat kaitannya dengan kondisi sasaran dakwah, artinya keragaman alat dakwah harus sesuai dengan apa yang dibentuk oleh sasaran dakwah (mad’u) nya. Begitu pula alat atau media dakwah juga memerlukan kesesuaian dengan bakat dan kemampuan da’inya, artinya penerapan media dakwah harus didukung oleh potensi da’i, sebab alat atau media dakwah pada dasarnya sebagai sarana menyampaikan pesan-pesan dakwah terhadap mad’unya (Ghozali, 1997: 54) Media berasal dari bahasa Latin yaitu median yang artinya alat perantara. Secara istilah media adalah segala sesuatu yang dapat dijadikan sebagai alat (perantara) untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Dengan demikian media dakwah adalah segala sesuatu yang dapat dijadikan sebagai alat untuk mencapai pesan-pesan dakwah. Seperti mimbar, surat kabar, radio, televisi dan film. Dalam menyampaikan ajaran-ajaran Islam, agar lebih efektif dan efisien, seorang da’i harus menggunakan media yang tepat. Media yang tepat akan sangat menunjang keberhasilan dakwah seorang da’i. Media di sini merupakan segala sesuatu yang dapat dijadikan sebagai alat perantara untuk mencapai tujuan tertentu dalam berdakwah.
25
Hamzah Ya’kub membagi media dakwah menjadi 5 macam yaitu: 1) Media lisan yaitu wasilah dakwah yang menggunakan lidah dan suara Yang termasuk dalam bentuk media lisan adalah pidato, khutbah, ceramah, seminar, musyawarah, diskusi, nasehat, pidato, radio, ramah tamah dalam anjangsana, nadzoman dan lain-lain. 2) Media Tulisan Dakwah yang dilakukan dengan menggunakan media tulisan (cetak). Seperti buku-buku, majalah, surat kabar, pengumuman, spanduk dan surat menyurat. Akan lebih baik lagi apabila da’i juga menguasai jurnalistik, yaitu ketrampilan dalam mengarang dan menulis. 3) Media Lukisan Yaitu dakwah dalam bentuk gambar-gambar hasil seni lukis, foto dan lain-lain, bisa juga dalam bentuk komik bergambar yang sangat digemari anak-anak. 4) Media Akhlak Yang dimaksud adalah penyampaian secara langsung dalam bentuk perbuatan yang nyata dan konkrit, misalnya menjenguk orang sakit, berziarah dan sebagainya.
26
5) Media Audiovisual Dakwah yang dilakukan melalui audiovisual adalah dengan menggunakan peralatan yang dapat digunakan untuk menyampaikan pesan dakwah yang dapat dilihat, didengar ataupun dapat dilihat dan didengar, seperti televisi, radio, film dan lain-lain (Aziz, 2004: 120). Sementara Asmuni Syukir menambahkan media dakwah bisa dilakukan antara lain sebagai berikut: 1) Lembaga pendidikan formal, seperti sekolah-sekolah atau lembaga akademis yang memiliki sistem kurikulum. 2) Lingkungan keluarga, penyampaian dakwah yang harus dilakukan sedini mungkin. 3) Organisasi-organisasi Islam seperti berkembang di masyarakat Indonesia. 4) Media massa, seperti televisi, radio, surat kabar, majalah dan lainlain. 5) Peringatan Hari Besar Islam (PHBI), misalnya mengadakan acara-acara keislaman saat memperingati hari-hari besar Islam, seperti pada saat Idul Adha, Isra’ Mi’raj dan lain-lain. 6) Seni budaya, kesenian atau budaya memegang peranan dalam penyebaran amar ma’ruf nahi munkar, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Misalnya acara qasidah, sandiwara dan sebagainya (Syukir, 1983, 168-180).
27
Jadi dakwah bisa dilakukan melalui media apa saja, selama media tersebut tidak mengurangi tujuan dakwah, yaitu amar ma’ruf nahi munkar. Dengan pemilihan media yang tepat, dakwah yang dilakukan akan lebih efektif dan efisien. 2.1.3
Nadzom dan Unsur Pembentuknya Syair merupakan karya sastra, dan di dalam sya’ir tersebut ada salah satu bagian yang namanya nadzom. Menurut Sumarni (2000, 62) dalam menciptakan sebuah sya’ir atau nadzom yang baik, sastra merupakan unsur disiplin dasar yang harus dikuasai oleh para penyair. Dapat dikatakan bahwa seorang penyair itu harus mahir dalam bahasa. Karena nadzom juga bisa dikatakan sebagai puisi, tembang jawa. Seorang penyair harus mampu memilih kata-kata yang tepat, mempunyai perbendaharaan kosakata yang luas sehingga dapat mengungkapkan maksud dengan gaya bahasa yang cocok dan tepat. Dari penjelasan diatas yang menyatakan bahwa pada dasarnya nadzom adalah puisi yang penulisannya sama-sama menggunakan sajak, maka penulisannya mengacu pada unsur puisi sebagai unsur pembentuk syair berupa nadzom. Namun, penulis tetap akan menggunakan istilah nadzom untuk mempermudah dalam penjelasan, disamping agar tidak ada perbedaan istilah. 1. Pengertian dan jenis nadzom Mc Caulay Hudson mengartikan nadzom dengan salah satu cabangnya syair atau karya sastra yang menggunakan kata-kata
28
sebagai media penyampaian untuk membuahkan ilusi dan imajinasi, seperti halnya lukisan yang menggunakan garis dan warna dalam menggambarkan gagasan pelukisnya (Aminuddin, 1991: 142) Ditinjau dari bentuk maupun isinya, Aminuddin (1991: 134136) syair dibedakan atas 10 jenis: 1. Syair epik, yaitu suatu syair yang didalamnya mengandung cerita kepahlawanan. 2. Syair naratif, yaitu syair yang didalamnya mengandung suatu cerita, dengan pelaku, perwatakan, setting, maupun rangkaian peristiwa tertentu yang menjalin sebuah cerita. 3. Syair lirik, yaitu syair yang berisi luapan batin individual dengan segala macam endapan pengalaman, sikap, maupun suasana batin yang melingkupinya. 4. Syair
dramatik,
yaitu
syair
yang
secara
obyektif
menggambarkan perilaku seseorang, baik lewat lakuan, dialog, maupun monolog sehingga mengandung suatu gambaran kisah tertentu. 5. Syair didaktik, yaitu syair yang mengandung nilai pendidikan yang umumnya bersifat eksplisit. 6. Syair satiric, yaitu syair yang mengandung sindiran atau kritik tentang kepincangan atau ketidakberesan kehidupan suatu kelompok maupun masyarakat.
29
7. Syair romance, yaitu syair yang berisi luapan rasa cinta seseorang terhadap kekasih. 8. Syair elegi, yaitu syair ratapan yang mengandung rasa pedih seseorang. 9. Syair ode, yaitu syair yang berisi pujian terhadap seseorang yang memiliki jasa atau sikap kepahlawanan 10. Syair himne, yaitu syair yang berupa pujian kepada Allah maupun ungkapan rasa cinta terhadap bangsa atau tanah air. 2. Unsur Pembentuk Nadzom Unsur pembentuk nadzom menurut Aminuddin (1991:136-146) : a. Unsur bunyi Unsur bunyi mempunyai peranan dalam menciptakan nilai keindahan lewat unsur kemerduan, menuansakan makna tertentu sebagai perwujudan rasa, suasana batin dan sikap penyair. b. Unsur kata Pemilihan kata dalam pembuatan nadzom tergantung dari seberapa pintar penulis memilih kata yang tepat. Kata berdasarkan bentuk dan isi terbagi atas : lambang yaitu kata yang maknanya sesuai dengan makna kamus (leksikal), udterance atau indice yaitu kata yang maknanya sesuai dengan konteks pemakaiannya, simbol yaitu kata yang mengandung makna ganda (konotatif).
30
c. Unsur baris Baris dalam nadzom pada dasarnya merupakan tempat, penyatu, dan pengemban ide penyair yang diawali lewat kata. Namun penataan baris juga memperhatikan masalah rima serta penataan pola persajakan. Dalam hal ini dikenal dengan enjambemen, yaitu pemenggalan larik suatu nadzom yang dilanjutkan pada larik berikutnya. d. Unsur bait Bait adalah satuan yang lebih besar dari baris atau larik yang berada dalam satu kelompok dalam rangka mengandung satu kesatuan pokok fikiran. e. Unsur tipografi Tipografi adalah aspek artistik visual nadzom, untuk menciptakan makna dan suasana tertentu. Tipografi ini bisa berbentuk persegi panjang, segitiga, atau tidak beraturan.
2.2.Pengertian Nadzom Nadzom menurut bahasa adalah karangan, menurut istilah adalah puisi yang berasal dari Parsi, terdiri atas 12 larik, berirama dua-dua atau empatempat, yang isinya perihal hamba sahaya istana yang setia dan budiman (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001/2003: 777) 2.2.1. Nadzom sebagai Sastra (Jawa) Pesantren Munculnya nadzom dalam khazanah sastra (Jawa) pesantren, pada awalnya lebih dekat dengan nadzom Melayu. Darnawi
31
mengemukakan bahwa nadzom sama bentuknya dengan nadzom dalam khazanah sastra lama yaitu terdiri atas empat baris tiap baitnya, bersajak aaaa, dan bersuku kata tetap tiap barisnya, umumnya tiap baris berisi dua belas suku kata (Soesatyo 1964: 82). Pendapat tersebut ternyata juga diikuti Basuki (1988: 34).Puisi Jawa tersebut cenderung mengambil pola nadzom Melayu meskipun tidak seketat nadzom Melayu. (Basuki,1988:34) Bahkan lebih tegas lagi Steenbrink menyatakan bahwa nadzom sebagai karya sastra Jawa jelas berasal dari nadzom Melayu (Steenbrink, 1988:141). Pendapat ketiga pemerhati sastra tersebut tidak dapat dipersalahkan begitu saja, sebab pada awal munculnya dalam sastra Jawa, bentuk nadzom sangat dekat dengan nadzom Melayu. Perhatikan kutipan nadzom berikut ini. Sun miwiti anarik akaling bocah Mbok manawa lawas-lawas bisa pecah Bisa mikir bisa ngrasa bisa genah Ngarep-arep kabeh iku min fadlilah Wajib bapa aweh sandang mangan ngimel Aweh arta sangu ngaji aja owel Lan arep kasil ngilmu buwang sebel Aja nganti ati atos amakiyel (Syair
Darma
Wasana
dalam
Darnawi,
1964:
82-
83)http://staff.undip.ac.id/sastra/muzakka/2009/08/05/10/ - _ftn3 Bandingkan dengan dua bait nadzom Melayu berikut ini. Mercalah Siti Bidasari. Sampailah waktu dini hari, Jam-jam durja berseri-seri,
32
Melihatkan anak-anak bidadadari Lalailah menentang af’al Allah, Leka memandang sifat sifat Allah, Khiyal merasai nikmat Allah, Bagaikan lenyap dalam bahr Allah (Syair Bidasari dalam Braginsky, 1994: 137) Hasil perbandingan tersebut menunjukkan bahwa kedua bentuk sastra tersebut memiliki ciri-ciri luar dan dalam yang hampir sama yaitu (1) tiap bait terdiri atas empat baris, (2) tiap baris terdiri atas 8-12 suku kata atau wanda, (3) bersajak sama (aa-aa), dan (4) warna ArabIslam cukup dominan. Bila hal itu dikaitkan dengan batasan genre dan kriteria maka kedua bentuk sastra itu tergolong dalam genre yang sama (Wellek dan Warren.1990:306-307). Namun, mengingat keduanya ditulis dalam bahasa yang berbeda, maka kedua bentuk sastra tersebut dapat dipisahkan dengan yang lain karena masing-masing hidup dalam dunia sastra daerah yang berbeda. Di Jawa, penyebaran agama Islam dihadapkan kepada dua jenis lingkungan, yaitu budaya kejawen dan budaya Islam (pesantren), kalau dihadapkan dengan interaksi bidang sastra telah melahirkan dua jenis sastra yaitu sastra Jawa pesantren dan sastra Jawa Islam kejawen. Dalam sastra Jawa pesantren, bahasa dan sastra Jawa dijadikan wadah untuk memperkenalkan ajaran Islam. Sebaliknya dalam sastra Islam kejawen unsur-unsur sufisme dan ajaran budi luhurnya diserap oleh
33
para sastrawan Jawa untuk mengislamkan warisan sastra Jawa zaman Hindu (masa kehinduan) (Simuh, 2003: 70). Di antara sastra Jawa yang bergaya pesantrenan antara lain Wet Boek van Bonang, terjemah Tuhfah Mursalah ila ruh al-Nabi yang menjadi serat tuhfah bersekar macapat, terjemah kitab Fathurrohman, terjemah kitab Hikam menjadi kitab ma’rifat, kemudian nadzoman yang memuat Ajaran Ahmad Rifa'i, syi’ran tomboati dan sebagainya (Simuh, 2003: 71). Oleh karena itu perkembangan aksara Jawa juga ada kaitannya dengan perkembangan bahasa Jawa yang lahir sebagai alat komunikasi masyarakat. Namun, aksara Jawa dipercayai muncul setelah pertemuan antara peradaban Jawa dengan India. Sebelum itu, tidak terdapat bukti yang menunjukkan bangsa Jawa ini mempunyai aksaranya sendiri (Poerbatjaraka, 1952: vii). Nadzom atau syair merupakan bentuk-bentuk Jariyah ulama adiluhung Islam yang selama ini menjadi bagian dari upaya pembelajaran ilmu-ilmu keislaman sebagai sastra. Menjadi seni keindahan
bertutur
bahasa
atau
(http://iqbal1.wordpress.com/2009/05/06/ilmu-nahwu-nadzomimrithie). Perhatikan kutipan bait-bait nadzam berikut. Yaqulu raji rahmati al-ghafuri Dauman Sulaimanu huwa al-Jamzuri Alhamdulillahi mushalliyan ‘ala Muhammadin wa alihi wa man tala
tulisan.
34
(nadzom Tuchfatu al-Athfal dalam Almaraqi, 1962: 2). Qala Muhammadun huwa Ibnu Maliki Ahmadu rabbiya ‘llahi khaira maliki Mushalliya ‘ala nabiyyi al-musthofa Wa alihi Al-mustakmilina Asy-syarafa (Nadzom Alfiyah Ibnu Malik dalam Musthafa, 1407H: 2). Bila dipandang dari bentuk luarnya, syair yang berkembang di pesantren yang mempunyai dua baris tiap baitnya tersebut di atas, lebih dekat dengan teks nazam dari pada dengan syair Melayu yang dipandang sebagai hipogramnya. Bahkan bisa jadi tidak ada hubungannya lagi dengan syair Melayu, mengingat syair dan nazam selalu dibaca dengan dinyanyikan atau didendangkan sedangkan syair Melayu tidak lagi didendangkan oleh pemiliknya (Abdul Karim. 1982). Hal itu terjadi sebagai akibat dari kontak budaya Jawa pesantren dengan Arab-Islam secara langsung, baik budaya Arab-Islam yang dibawa melalui semenanjung Melayu maupun kontak budaya langsung dengan asal budaya tersebut. Dengan demikian berarti bahwa syair yang cenderung mengambil pola nazam merupakan perkembangan baru dalam sejarah sastra Jawa.
2.3. Nadzom Sebagai Media Dakwah 2.3.1. Fungsi Nadzom dalam Masyarakat Santri Karya sastra Melayu menggariskan adanya tiga lingkaran fungsi, yaitu lingkaran fungsi keindahan, lingkaran fungsi faedah atau
35
manfaat, dan lingkaran fungsi kesempurnaan rohani atau kamal. Lingkaran fungsi keindahan berguna untuk memberikan efek hiburan, fungsi faedah berguna untuk memperkukuh dan menyempurnakan akal manusia, dan fungsi kamal berguna untuk menyucikan kalbu rohani dalam penghayataannya terhadap Tuhan (Braginsky.1994; 12) Adapun fungsi utama nadzom, yaitu fungsi hiburan, fungsi pendidikan dan pengajaran, dan fungsi spiritual. Fungsi hiburan muncul karena hadirnya nadzom dalam khazanah sastra selalu dinyanyikan baik dengan iringan musik tertentu maupun tidak; fungsi pendidikan dan pengajaran muncul karena di samping nadzom mengekspresikan nilai-nilai didaktis, yakni pendidikan nilai-nilai moral Islam dan pengetahuan Islam yang kompleks, nadzom juga digunakan sebagai bahan ajar dan atau media pengajaran di kalangan masyarakat santri (Muzakka, Moh. 1999). Fungsi spiritual muncul karena sebagian besar nadzom diberlakukan penggunaannya semata mata sebagai upaya penghambaan din (ibadah) kepada Tuhan yakni untuk mempertebal rasa keimanan dan ketakwaan. Ketiga fungsi tersebut sangat berkait erat sehingga sulit untuk dipisahkan satu dengan yang lain, sebab bagi pendukungnya nadzom memberikan spirit untuk beribadah dan memberikan ilmu pengetahuan dengan cam yang sangat menyenangkan (Muzakka dkk, 2002)
2.3.2. Nadzom Sebagai Media Pembelajaran
36
Penggolongan santri pemula dalam tradisi pesantren tidak hanya didasarkan pada tingkatan usia saja, tetapi bisa juga didasarkan pada tingkatan kemampuan pengetahuannya terhadap agama Islam. Santri pemula menurut tingkatan usia berkisar antara 7-1 5 tahun yaitu tingkatan
bagi
para
santri
yang
duduk
di
Madrasah
Ibtidaiyah/Awwaliyah dan Tsanawiyyah/Wustho (setingkat usia SD dan SLTP). Adapun santri pemula berdasarkan tingkat kemampuan pengetahuan adalah santri yang sama sekali atau belum banyak pengetahuannya tentang keimanan, keislaman, dan pada umumnya mereka belum pandai atau belum lancar membaca Al-Quran serta menguasai baca-tulis Arab. Usia mereka cukup variatif, yaitu antara 16 tahun hingga usia lanjut, yang jelas di atas rata-rata usia santri pemula. (Basuki, 1988;38) Santri pemula dengan usia antara 7-1 5 tahun tergolong santri kanak-kanak dan remaja awal. Fase usia tersebut adalah fase keemasan dalam belajar karena di samping pikiran dan otaknya sedang cemerlang, mereka juga sedang giat-giatnya mencari ilmu pengetahuan sebagai akibat dan motivasi eksternal yang pada umumnya berasal dan orang tuanya. Jika path usia i, para ustad (guru madrasah) atau kiai mengajarkan beragam ilmu keimanan dan keislaman dengan menggunakan naskah/teks singir yang ada atau menuliskan beragam pengetahuan tersebut dalam bentuk singir, dapat dipastikan mereka akan lebih tertarik untuk mengaji dan belajar di madrasah atau
37
pesantren karena mereka dapat memahami materi yang ada dengan cukup menyenangkan melalui lantunan bait-bait singir tersebut. (Teeuw, A.1984: 23) Kelompok
santri
pemula
menurut
tingkat
kemampuan
keilmuan yang penulis dapatkan di kalangan masyarakat santri tradisional, kebanyakan adalah kaum wanita atau ibu-ibu rumah tangga dengan rata-rata usia di atas 40 tahun. Kebanyakan mereka menjadi santri pemula pada usia tersebut karena sebelumnya mereka sangat disibukkan oleh urusan domestik keluarga, terutama mengasuh anakanak, sementara sebelum mereka berkeluarga hanya sempat mencari ilmu pengetahuan umum saja pada lembaga pendidikan formal atau barangkali tidak ada motivasi internal maupun eksternal untuk mengaji atau mengkaji ajaran Islam. Karena kebanyakan di antara mereka sedikit pengetahuannya tentang Islam dan sedikit banyak kurang menguasai baca tulis Arab, sementara mereka ingin mendapatkan sejumlah pengetahuan dan pemahaman ajaran Islam, maka jika para ustad memanfaatkan bentuk singir dalam pembelajaran materi keislaman bagi kelompok tersebut, niscaya mereka akan lebih tertarik dan senang, sebab kebanyakan mereka suka melantunkan shalawat dan puji-pujian kepada Tuhan. (Shadry, 1980: 41) Langkah awal untuk melakukan pembelajaran alternatif mi, para ustad/guru madrasah atau kiai dituntut untuk melakukan inventarisasi sejumlah nadzom yang berkembang di kalangan
38
masyarakat kemudian memilah dan mengelompokkannya dalam berbagai cabang ilmu. Misalnya, nadzom Jauharat Tauhid, nadzom Aqidatul Awam, nadzom Kiyamat dikelompokkan dalam ilmu Tauhid/Akidah; nadzom Akhlaq, nadzom Mitra Sejati, nadzom Lare yatim dikelompokkan dalam ilmu Akhlaq; nadzom Fasolatan, nadzom Sembahyang, nadzom Wudhu, nadzom Dagang, nadzom Nasihat Konco Wadon, nadzom Laki Rabi dikelompokkan dalam ilmu Fiqih; nadzom Paras Nabi, nadzom Siti Patimah dikelompokkan dalam ilmu tarikh; nadzom Tajwid, nadzom Bahasa Arab dikelompokkan dalam Ilmu Bahasa Arab, dan lain-lain. Selanjutnya, para ustad atau kiai menyusun pokok-pokok bahasan dan subpokok bahasan sesuai urutan materi yang biasa diajarkan di madrasah, pesantren, atau majelis taklim (http://staff.undip.ac.id/sastraJmuzakkaJ2009/08/05/1 0/) Proses pembelajaran dilakukan per pokok bahasan atau subpokok bahasan dengan cara mengambil bait-bait nadzom yang sesuai. Pada tahap awal ustad atau kiai memberi contoh dengan cara menyanyikan bait-bait puisi dengan irama tertentu, diupayakan dapat memilih irama yang merdu, kemudian para santri menirukan bunyi bait-bait puisi tersebut dengan irama yang sama. Selanjutnya, ustad atau kiai memberikan penjelasan (memberi syarah) materi pokok bahasan dengan menambahkan rujukan sumber-sumber lain yang relevan. Bila santri pemula sudah memahami materi yang diajarkan, ustad atau kiai dapat melanjutkan pelajaran ke pokok bahasan
39
selanjutnya dengan cara yang sama sekaligus mempertimbangkan waktu yang tersedia dan situasi kelas. (Teeuw, A. 1984;21) Tahapan lanjutan yang harus dilakukan oleh pemakai metode pembelajaran semacam itu ada dua hal. Pertama, ustad/guru dituntut kreativitasnya, yaitu berlatih menyenandungkan atau menyanyikan bait-bait nadzom dengan irama merdu dan bervariasi sehingga tidak terkesan monoton dan membosankan para santrinya. Kedua, ustad/guru dituntut untuk pandai menuangkan materi-materi pokok bahasan dalam bentuk nadzom. Dengan kata lain, mereka dituntut untuk menulis materi beragam ilmu yang ada dalam kitab-kitab yang berbentuk nadzom sebab tidak semua ilmu yang diajarkan selalu ada buku teks atau kitab-kitab serupa sebagai pegangan guru atau santri. (Muzakka, 1994;33) Dengan
menggunakan
metode
pembelajaran
alternatif
semacam itu bisa diprediksikan bahwa pembelajaran materi-materi keislaman dan keimanan di kalangan masyarakat santri akan lebih menarik dan lebih hidup sebab para santri pemula yang belia dan pemula yang dewasa terlibat langsung dalam proses pembelajaran, tidak semata-mata menjadi pendengar yang patuh dan setia, sam ‘an wa tho ‘atan.(Basuki, 1988;41)
2.3.2. Fungsi Nadzom Dalam Da’wah
40
Fungsi nadzom yang sarat dengan pendidikan nilai-nilai moral keislaman ditambah dengan fungsi hiburan dengan kehadirannya di tengah masyarakat yang selalu dinyanyikan baik dengan iringan alat musik atau tidak maka tujuan sebagai sarana penghambaan kepada Allah SWT. (Muzakka dkk, 2002;12). Fungsi
nadzom
yang
paling
menonjol
bagi
masyarakat
pendukungnya adalah diberlakukannya nadzom sebagai media pendidikan dan pengajaran. Hampir seluruh pesantren, madrasah, dan balai pengajian di kalangan masyarakat santri tradisional memanfaatkan bentuk sastra tersebut baik untuk pendidikan nilai-nilai agama maupun pengajaran ilmuilmu lain. (Muzakka dkk, 2002;19). Pemanfaatan nadzom sebagai pendidikan nilai-nilai agama tampak pada muatan materinya yang berkaitan erat dengan penanaman keimanan, keislaman, dan moralitas Islam. Sedangkan nadzom sebagai media pembelajaran tampak pada pemakaian sejumlah nadzom sebagai buku ajar/buku teks dalam proses pendidikan kaum santri serta banyaknya penulisan berbagai materi keilmuan pesantren terutama aqidah, akhlaq, fiqih, kisah/sejarah Islam, tasawwuf, tajwid/qiroat (fonologi bahasa Arab), dan bahasa Arab dalam bentuk nadzom. Adapun nadzom yang membentangkan metode keilmuan tersebut misalnya nadzom Jauharat Tauhid (aqidah), nadzom Akhlaq, nadzom Mitra Sejati (Akhlaq), nadzom Fasholatan, nadzom Laki Rabi (fiqih), nadzom Paras Nabi, nadzom Siti Patimah (kisah/sejarah), Erang-Erang Sekar Panjang, nadzom Sekar
41
Melati (tasawwuf), nadzom Tanwirul Qari’ (tajwid/Qiroat), nadzom Bahasa Arab, dan masih banyak lagi yang lain. (Shadry, 1980;34). Nadzom yang digunakan dalam pembelajaran linguistik Arab (tajwid, sharaf, dan nahwu) di Madrasah Diniyyah dan di pesantren sebagai buku ajar (kitab) utama. Kitab-kitab itu dipergunakan oleh santri/murid pemula, menengah, sampai tingkat atas (Muzakka.1999; 2002;45). Kitab nadzom berbahasa Jawa dipergunakan oleh warga tarajumah untuk mengajar santri/murid tingkat dasar/tingkat rendah, sedangkan syair berbahasa Arab atau nadzom berbahasa arab dipergunakan untuk mengajar santri/murid tingkat menengah dan atas. Di samping itu, ditemukan pula nadzom lain yang digunakan di kalangan masyarakat santri, tetapi tidak dijadikan bahan ajar/buku teks. Bentuk nadzom yang digunakan untuk media pembelajaran atau pengajian keilmuan di Madrasah Diniyyah, pondok pesantren dan pada warga tarajumah sendiri khususnya, terutama pengajaran tata bahasa Arab, menunjukkan nilai tinggi dan dianggap masih sangat efektif. Jenis puisi, tembang dan syair jawa tersebut dipandang masih sangat membantu dalam menghafalkan kaidah-kaidah atau rumus-rumus linguistik Arab karena
bait-bait
puisi
tersebut
mudah
dihafalkan
dan
sangat
menyenangkan bila dinyanyikan baik secara individual maupun kolektif (Muzakka dkk, 2002;32). Sehingga warga tarajumah belajar linguistik Arab dengan menyanyikan bait-bait nadzom atau mereka bermaksud
42
menyanyikan bait-bait nadzom sambil menghafal kaidah-kaidah linguistik Arab. Dengan demikian bahwa bentuk nadzom sangat efektif untuk pembelajaran kaidah-kaidah linguistik Arab yang cukup rumit bagi para santri, tentu bentuk puisi tersebut akan lebih efektif lagi untuk pembelajaran materi keilmuan lain yang lebih mudah darinya. Namun, sayang sekali pemanfaatan nadzom hingga saat ini sudah banyak di gunakan baik di madrasah, majelis taklim warga Rifa’iyah sendiri, maupun pesantren banyak menggunakan naskah-naskah atau teks-teks nadzom dalam pembelajaran beragam ilmu tentang keislaman, keimanan, dan lain-lain meskipun cukup banyak naskah dan teks nadzom yang memuat berbagai ilmu tersebut.
BAB III NADZOM KH.AHMAD RIFA’I SEBAGAI MEDIA DAKWAH
3.1. Biografi KH. Ahmad Rifa’i Ahmad Rifa’i lahir di Desa Tempuran, Kecamatan Kendal, Kabupaten Semarang, tepatnya p ada hari Kamis tanggal 9 Muharram 1200 H atau 1786 M. Sejak lahir hingga usia 6 tahun, Ahmad Rifa’i diasuh langsung oleh kedua orangtuanya. Dia mengaji Al-Qur'an al-Karim kepada seorang guru di desa Tempuran. Pada usia 6 tahun Ahmad Rifa’i ditinggal wafat ayahnya tepat pada tahun 1207 H / 1792 M, sehingga ia hidup menjadi anak yatim. Dua tahun kemudian menyusul kakeknya Abu Sujak wafat pada tahun 1209 H / 1794 M, dan dimakamkan di pemakaman Masjid Jami’ Kendal. Hanya dari ibunya saja Ahmad Rifa’i mendapat asuhan dan bimbingan serta pengawasan selanjutnya. Setelah memasuki usia tujuh tahun, Ahmad Rifa’i dibawa oleh kakak kandung Nyai Radjiyah ke Kaliwungu dan tinggal di rumahnya. Selama di Kaliwungu ia mendapat pendidikan dan pembinaan dari kakak iparnya bernama Asy’ari, seorang ulama kharismatik pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Kaliwungu. Dari permulaan mengaji ilmu-ilmu pokok agama sampai cabang-cabang dan ranting-rantingnya, ia hampir tak pernah lepas dari asuhan dan binaan ulama Kaliwungu yang terhadap Belanda bersikap jinak-jinak merpati itu. (Syahdzirin, 1996/1997: 41)
43
44
Ahmad Rifa’i tidak pernah meluangkan waktunya untuk kepentingan lain kecuali menuntut ilmu agama kepada Kiai Asy’ari dan kiai-kiai lain. Tiada hari tanpa mengaji, tiada waktu tanpa menuntut ilmu, tiada saat tanpa belajar semangat dan tiada hidup tanpa amar ma’ruf. Sekalipun ayah bundanya telah tiada, kakek kesayangan telah bermukim di pusara, semangat pemuda Ahmad Rifa’i menuntut ilmu patut dibanggakan, sekaligus menjadi idaman dan panutan.
Seperti pada pola pikir ulama-ulama dahulu seperti
Imam Syafi’i, Abu Hanifah, Anas ibn Malik, Ahmad bin Hanbal, Ghazali. Mereka memanfaatkan waktu dengan menuntut ilmu ke berbagai negara. Ahmad Rifa’i mendasarkan pula pada cita-cita suci, “Pemuda sekarang! Pemimpin di masa mendatang!” Maka ketika Ahmad Rifa'i mencapai usia 30-an tahun meminta doa restu kepada sanak famili di Kaliwungu dan Kendal untuk pergi menuntut ilmu ke Makkah. Mereka merestui atas permintaan itu, bahkan mereka mengharapkan agar ia tidak cepat kembali ke kampung halamannya, suasana di daerahnya supaya tenang kembali seperti semula. Namun bagi istri dan anak-anak yang ditinggal punya perasaan lain, sebab kepergian Ahmad Rifa'i bermaksud baik dan terhormat, yaitu menunaikan ibadah haji dan umroh, ziarah ke makam Rasulullah dan menuntut ilmu agama yang selama ini belum tersebar di pulau Jawa, Kaliwungu dan Kendal. Setelah delapan tahun menuntut ilmu di Makkah, beliau melanjutkan studinya ke Mesir, selama 12 tahun beliau bermukim di Mesir. Setelah 20 tahun mendalami berbagai ilmu agama di Makkah dan Mesir, KH. Ahmad
45
Rifa'i pulang ke Tempuran Semarang. Sesudah istrinya di Kendal meninggal ia menikah lagi dengan seorang janda, bekas pamong Kalisalak Metowijoyo. (Laporan Penelitian Gerakan Rifa’iyah, 1982/1983: 7) Ahmad Rifa'i sejak kecil sudah ada suatu keistimewaan yang merupakan tanda kekuasaan dan kebesaran Allah sebagai alamat cikal bakal ulama besar di kemudian hari, diperlihatkan kepada masyarakat kaum santri di Kaliwungu, terutama kepada kakak iparnya Kiai Asy’ari, bahwa pada suatu malam gelap gulita Kiai Asy’ari secara diam-diam memeriksa para santri yang sedang berada di dalam asrama pondok pesantren. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh seberkas cahaya menerangi asrama dan memancar tinggi ke atas. Dia menyangka cahaya itu berasal dari lampu milik anak santri yang sedang menelaah kitab, tetapi sangkaan itu meleset, karena ternyata cahaya tersebut berasal dari lekuk di tengah-tengah perut (pusar) seseorang santri kecil yang belum diketahui identitasnya. Kiai Asy’ari terheran sejenak, kemudian menyadari bahwa sepanjang hidupnya belum pernah menyaksikan peristiwa seperti itu. Untuk mengetahui siapa sebenarnya anak yang bermandikan cahaya tersebut, Kiai Asy’ari mencoba mendekati salah satu santri tersebut, kemudian menyobek kain sarungnya dengan tujuan agar santri itu dapat diketahui Kiai Asy’ari. Pagi menjelang subuh asrama santri menjadi geger, sebab Ahmad Rifa'i menangis karena diketahui setelah bangun tidur sarung kesayangannya telah sobek. Keributan ini akhirnya diselesaikan oleh Kiai Asy’ari dengan bijaksana, Ahmad Rifa'i mendapat ganti sarung baru dari Kiai Asy’ari.
46
Menurut kepercayaan masyarakat bahwa sinar cahaya itu merupakan cikal bakal akan memperoleh gelar kebesaran dan keagungan bagi pemiliknya di masa mendatang. (Syahdzirin 1996/1997: 43)
3.2. Karya-Karya Karena KH. Ahmad Rifa'i dibesarkan di pesantren dan mempelajari pelajaran-pelajaran agama seperti nahwu, sharaf, balaghah dan lainnya, maka ia pandai memahami kitab-kitab berbahasa Arab dan mengarang kitab terjamah (tarajumah). KH. Ahmad Rifa'i mulai mengarang kitab Tarajumah pada usia 54 tahun, yaitu pada tahun 1225 H. karangannya sebanyak 53 buah, yaitu isinya mencakup ilmu Ushuluddin, ilmu fiqih, dan ilmu tasawuf. Di antara contoh kitab-kitabnya yang dapat diidentifikasikan sebagai berikut: 1) Syarih al-Iman Kitab ini ditulis pada tahun 1255 H / 1840 M dalam bentuk prosa bercampur dengan syair sebanyak 16 koras yang jika dihitung sebanyak 320 halaman. Secara global kitab ini membicarakan tentang iman, sesuai dengan namanya yaitu Syarih Iman. 2) Riayah al-Himmah Kitab ini ditulis pada tahun 1266 H / 1851 M, terdiri atas dua jilid berisi 25 koras atau 500 halaman, ia berbicara mengenai tiga masalah
47
dalam Islam yaitu ushul, fiqih, dan tasawuf yang berorientasi pada mazhab Syafi'i. 3) Kitab Bayan Kitab ini ditulis pada tahun 1256 H dalam bentuk nadham terdiri atas empat bagian yang keseluruhan terdiri dari 19 koras atau 380 halaman, kitab ini membahas tentang ketentuan orang menjadi guru. 4) Abyan al-Hawaij Kitab ini merupakan kitab tarajumah terbesar, terdiri dari tiga jilid besar. Jilid pertama 555 halaman, kitab kedua 563 halaman, dan kitab ketiga 518 halaman. Secara garis besar kitab ini membicarakan tentang ushul fiqih dan tasawuf. Kitab ini ditulis pada tahun 1264 H / 1847 M. 5) Tasyrika al-Muhtaj Kitab ini ditulis pada tahun 1266 H, yang terdiri dari 10 koras atau 200 halaman, merupakan kitab fiqih muamalah bagi kalangan Rifa’iyah. 6) Asnal Maqasad Kitab ini ditulis pada tahun 1260 H / 1844 M, berisi 30 koras atau 600 halaman mencakup tentang ushul, fiqih, dan tasawuf. Nama-nama kitab KH. Ahmad Rifa'i dalam daftar kitab yang disusun oleh Kiai Ahmad Nasihun bin Abu Hasan, susunan tersebut dibacakan pada tanggal 14 Maret 1987 atau 14 Rajab 1407 H di hadapan jama’ah Rifa’iyah. Susunan nama-nama kitab tersebut adalah:
48
1) Syarikhul Iman (Bab Iman dan Islam, tahun 1255 H) 2) Tafsir (Bab Ilmu Shalat Jum’at, 1255 H) 3) Inayah (Bab Ilmu Khalifad, 1256 H) 4) Bayan (Bab Ilmu Cara Mendidik, 1256 H) 5) Targhib (Bab Ilmu Ma’rifat, 1257 H) 6) Thariqat Besar (Bab Laku Kebenaran, 1257 H) 7) Thariqat Kecil (Bab Ridha Allah, 1257 H) 8) Athlab (Bab Ilmu Cara Belajar, 1259 H) 9) Husnul Mithalab (Bab Ushul, Fiqih, Tasawuf, 1259 H) 10) Absyar (Bab ilmu Qiblat Shalat, 1260 H) 11) Tafriqoh (Bab Ilmu Kewajiban Manusia, 1260 H) 12) Asnal Miqosad (Bab Ilmu Ushul, Fiqih, Tasawuf, 1261 H) 13) Tafsilah (Bab Ilmu Kejazeman, 1261 H) 14) Imdad (Bab Ilmu Takabur, 1261 H) 15) Irsyad (Bab Ilmu Manfaat, 1261 H) 16) Nadzom Arja (Bab Ilmu Hikayah Isra’ Mi’raj, 1261 H) 17) Irfaq (Bab Ilmu Iman, 1261 H) 18) Jam’ul Masail (Bab Ilmu Tasawuf, 1261 H) 19) Shawalih (Bab Ilmu Kerukunan, 1262 H) 20) Miqshadi (Bab Ilmu al-Fatikhah, 1262 H) 21) As’ad (Bab Ilmu Iman dan Ma’rifat, 1262 H) 22) Hasaniyah (Bab Ilmu Fardhu Mubaradah, 1262 H) 23) Tabyinal Islahin (Bab Ilmu Nikah, 1264 H)
49
24) Abyanal Hawaij (Bab Ilmu Ushul, Fiqih, Tasawuf, 1265 H) 25) Takhriyah Mukhtasar (Bab Ilmu Iman dan Syahadat, 1265 H) 26) Kaifiyah (Bab Ilmu Shalat Lima Waktu, 1265 H) 27) Misbahah (Bab Ilmu Shalat Ketaksiran, 1266 H) 28) Fauziyah (Bab Ilmu Jumlah Ma’siyat, 1262 H) 29) Ri’ayatul Himat (Bab Ilmu Ushul, Fiqih, Tasawuf, 1266 H) 30) Tasrihatal (Bab Ilmu Jual Beli, 1266 H) 31) Basthiyah (Bab Ilmu Syari’at, 1267 H) 32) Tahsihah (Bab Ilmu Menyembelih Hewan, 1269 H) 33) Fatawiyah (Bab Ilmu Memberi Fatwa, 1269 H) 34) Samsiyah (Bab Ilmu Shalat Jum’at, 1269 H) 35) Rukhsiyah (Bab Ilmu Shalat Qashar Jama’) 36) Mushlihat (Bab Ilmu Membagi Waris, 1270 H) 37) Wadhihah (Bab Ilmu Ibadah Haji) 38) Minwaril Himmah (Bab Ilmu Talqin Mayyit, 1272 H) 39) Tansyirah (Bab Ilmu Pengalaman 10 Masalah, 1273 H) 40) Muhibah (Bab Ilmu Ni’mat Allah) 41) Mirghabutaat (Bab Ilmu Iman dan Syahadat, 1273 H) 42) Tanbih (Bahasa Jawa 500 Bismilah) 43) Nadzom Doa (700 Kebet Ibtida’ dan Jawabnya) 44) ‘Uluwiyah (Bab Ilmu) 45) Fadhilah (Bab Ilmu) 46) Rujumiyah (Bab Ilmu)
50
47) Hujahiyah (Bab Ilmu) 48) Tashfiyah (Bab Ilmu Makna al-Fatihah) 49) Jam’ul Masail (Bab Ilmu Ushul, Fiqih, Tasawuf) 50) Ma’uniyah (Bab Ilmu) 51) Nasihatu Awam (Bab Ilmu) 52) Nadzom Wiqayah (Bab Ilmu) 53) Tadzkiyah (Bab Ilmu Menyembelih Hewan 1269 H).
3.3. Pengaruh Dakwah KH. Ahmad Rifa’i kepada murid-muridnya Selama menetap di Jawa,Syaikh Ahmad Rifa’i mendirikan pondok pesantren di kaliwungu Kendal dan kemudian di Kalisalak Batang. Di pesantren Kalisalak, ia mengajarkan kitab suci Al-Qur’an, Al-Hadits dan kitab tarajumah karangannya. Karena pendidikan yang diajarkan itu memakai metode yang mengena, dengan tarjamah bahasa Jawa dan mudah dalam memahami Al-Qur’an, maka tidak heran jika pesantren yang baru lahir itu mendapat respon dari masyarakat, yang tidak banyak menguasai bahasa Arab, sehingga kelahiran pesantren Kalisalak sangat membantu memudahkan mereka dalam memahami, menghayati dan mengamalkan Islam secara utuh dan totalitas. Selain itu pendidikan tarajumah yang diajarkannya sejalan dengan mazhab Syafi’i dengan aqidah ahlussunnah, merupakan mazdhab yang di anut oleh sebagian terbesar umat Islam di Indonesia. Maka meskipun letak pesantren itu berada di daerah pedalaman yang lingkungannya hutan
51
belantara, dan alat transportasi masih sangat sederhana, tetapi antusias masyarakat dalam memahami pendidikan Ahmad Rifa’i patut dibanggakan. Mereka datang ke Kalisalak ingin mengaji dan menimba ilmu agama kepada Kiai Umbul-umbul Waris, yaitu Syaikh Ahmad Rifa’i. Mereka datang bukan hanya dari sekitar kabupaten Kendal, Batang, dan Pekalongan, melainkan juga datang dari Wonosobo, Purworejo, Magelang, Salatiga, Purwadadi, Kudus, Kebumen, Banyumas, Boyolali, Pemalang, Tegal, Brebes, Cirebon, Indramayu, Subang, Karawang, Batavia dan sebagainya. Untuk mencapai pembaharuan dan pemurnian, Ahmad Rifa’i membentuk lembaga dakwah di pesantren Kalisalak. Dia sendiri sebagai leadership atau pimpinan yang disebut Khalifah kulma’cilik, gegentine kanjeng Rosulullah Nabi Muhammad. Anggota personalnya terdiri dari murid-murid inti, baik yang dulu pernah mukim di pesantren Kendal maupun di Kalisalak. Kemudian ia membentuk wakil-wakil Kholifah yang terdiri dari murid-murid inti juga yang lama mengabdi di Kalisalak. Setiap murid inti atau juga disebut Lurah Pondok, diberi kekuasaan langsung memimpin dan mengatur administrasi pondok pesantren dan santrinya di setiap Gotaan (bilik pesantren). Wakil-wakil Kholifah ini kemudian diangkat menjadi Kholifah ke II, setelah itu mereka diterjunkan untuk berdakwah di daerah mereka masing-masing. Jumlah Lurah Pondok disesuaikan dengan jumlah gotaan yang ada. Murid-murid inti yang diangkat sebagai lurah pondok dan santrisantri utama yang berguru kepada Syaikh Ahmad Rifa’i, antara lain :
52
1. Kiai Ilham (Abu Ilham), Kalipucang Batang 2. Kiai Maufuro bin Nawawi, Keranggonan limpung, Batang 3. Kiai Haji Abdul Qohar, Bekinkin, Cepiring, Kendal 4. Kiai Abdul Hamid (Mbah Hadits) bin Giwo, Karangsambo Wonosobo 5. Kiai Abdul Aziz, Tempursari, Wonosobo 6. Kiai Haji Muhammad Thubo bin Radam, Purwosari, Kendal 7. Kiai Abu Hasan, Tangkilan, Kepil, Wonosobo 8. Kiai Hasan Dimejo bin Abu Hasan, Tangkilan, kepil, Wonosobo 9. Kiai Manshur, Ngadisalam, Wonosobo 10. Kiai Manshur, Ngadisalam, Wonosobo 11. Kiai Muhammad Ishaq, Candi, Wonosobo 12. Kiai Abdul Ghani, Ngadisalam, Wonosobo 13. Kiai Abdul Hadi, Dalangan , Kretek, Wonosobo 14. Kiai Muhammad Thayib, Kalibening, Wonosobo 15. Kiai Muhammad Hasan, Bugangan, Wonosobo 16. Kiai Muharrar, Bengkek, Purworejo 17. Kiai Imam Tani (Mantani), Kutawinangun, Kebumen 18. Kiai Muhsin, Cepokomulyo, gemuh, Kendal 19. Kiai Abu Salim, Paesan, Kedungwuni, Pekalongan 20. Kiai Asnawi, Wonosobo, Buaran, Pekalongan 21. Kiai Idris bin Ilham, Kalipucang, Batang di indramayu 22. Kiai Abdul Hadi, Karangsemut 23. Kiai Muhammad Ilyas Sembung, Kampil, Wiradesa, Pekalongan
53
24. Kiai Ahmad Hasan, Wiyanggong, Wiradesa, Pekalongan 25. Kiai Muhammad Thayib, Kalibari, Batang 26. Kiai Munawir, Wonosobo, Batang, Pekalongan 27. Kiai Abdul Manan, Tepuro, Puwodadi, Grobogan 28. Kiai Abdul Fatah, Sikidang, Wonosobo 29. Kiai Kertoyudo, Plandi, Kretek, Wonosobo 30. Kiai Murdoko, Krakal Karangluhur, Wonosobo 31. Kiai Kentol Jariyah, Wonoyoso, Buaran, Pekalongan 32. Kiai Kholofah, Longkeyan, Pemalang 33. Kiai Salamon, wonosobo 34. Kiai Abdul Muhyi, Bekinkin, Cepiring, Wonosobo 35. Kiai Hasan Madzakir, Wonosobo 36. Kiai Mas Sumodirejo, Salatiga 37. Kiai Abdul Salman, Trobo (?), Kendal 38. Kiai Hasan Muharam, Limpung, Wonosobo 39. Kiai Khasan Imam, Wonosobo 40. Kiai Khasan Monado, Wonosobo 41. Kiai Dolak (Abdullah), Magelang 42. Kiai Sri Kasrie, Wonosobo 43. Kiai Abdul Yahya 44. Kiai Magonpotip 45. Kiai Abdul Jalil 46. Sayyid Abdurrahman, Saparua, Ambon
54
47. Sayyid Abdullah, Ambon, Maluku 48. Sayyid Abu Bakar, Ambon, Maluku 49. Kiai Abdurrosyid, Tursino, Kutoarjo Kebumen Purworejo 50. Kiai Hasan Murtoko, Tursino, Kutoarjo, Kebumen, Purworejo 51. Kiai Hasan Mukmin 52. Dan kiai-kiai lainnya.(Syadzirin, 1982: 21) Hampir bisa dikatakan semua murid tersebut mengembangkan ajaran Islam dan pemikiran Ahmad Rifa’i di daerah masing-masing melalui sarana pondok pesantren dan majlis ta’lim, ada lagi yang menggunakan rumah tinggal untuk tempat-tempat pengajian. Sebagai kader militan, mereka juga membangun tempat peribadatan berupa masjid atau musholla dan tempattempat pendidikan seperti madrasah. Melalui sarana-sarana yang dibangun, mereka secara suka rela menyebarkan ajaran Islam yang diterima dari Ahmad Rifa'i di pesantren Kalisalak kepada masyarakatnya sampai berhasil sukses. Keberhasilan kader-kader militan itu dapat dibuktikan makin banyaknya daerah pedesaan yang menyatakan diri sebagai murid Ahmad Rifa’i. Meskipun kitab-kitab yang diajarkan memakai bahasa jawa, namun kenyataannya ajaran tersebut dapat menembus daerah pedesaan yang memakai dialek bahasa Sunda seperti daerah Indramayu, Karawang, Cirebon, dan Subang. Bahkan menurut cerita ada diantara masyarakat Singapura dan Malaysia yang mengamalkan kitab-kitab berbahasa jawa itu, sejauh itulah Ahmad Rifa’i menanamkan ke-Islaman pada murid-murid dan masyarakat.
55
Dengan demikian K.H. Ahmad Rifa’i dalam dakwahnya selain menggunakan metode penterjemahan, beliau juga menggunakan metode keteladanan, yaitu metode yang dilakukan dengan cara memperlihatkan sikap gerak-gerik, kelakuan, perbuatan dengan harapan agar orang dapat menerima, melihat, memperhatikan, dan mencontohnya. Dakwah dengan menggunakan metode ini berarti menyajikan dakwah dengan jalan memberikan keteladanan langsung, sehingga mad’u akan tertarik untuk mengikuti apa yang dicontoh kaumnya. Metode ini dapat menimbulkan kesan yang mendalam, karena antara indera lahir (panca indera) dan indera batin (perasaan dan fikiran) sekaligus dapat digunakan (Laporan Kiprah Rifa’iyah-Tarajumah. 1991: 5). Keberhasilan KH. Ahmad Rifa'i dalam mengajarkan pemurnian dan pembaharuan berdasarkan Al-Qur'an dan sunnah kepada warga tarajumah untuk melangsungkan kehidupannya sampai sekarang juga disebabkan oleh faktor media komunikasi yang dipergunakan oleh K.H. Ahmad Rifa’i dalam mewariskan ajaran-ajarannya. Pewarisan paham Rifa’iyah tidak hanya dilakukan olehnya melalui hubungan komunikasi langsung dengan para muridnya melainkan dilakukan pula melalui media kitab-kitab agama yang ditulisnya. Seperti telah dilaporkan di muka, kitab-kitab itu mula-mula ditulisnya sendiri dengan tulisan tangan, kemudian disalin oleh para muridnya dengan tulisan tangan pula secara berantai dari generasi ke generasi sehingga penyebarannya menjadi semakin luas (Abdullah, 2006: 76)
56
3.4.Pemikiran Dakwah Islam KH. Ahmad Rifa'i Syaih Ahmad Rifa'i adalah seorang da’i dan pejuang. Sebagai da’i menurut Dr. Karel A. Steenbrink, beliau merupakan satu-satunya orang yang mampu mengemukakan Islam dengan bahasa sederhana tanpa memakai idiom-idiom Arab. Sebagai ulama, beliau termasuk orang yang paling produktif mengarang kitab. Beliau merupakan seorang ulama intelektual lulusan Makkah dan Mesir yang mempunyai reputasi tinggi, seorang cendekiawan besar abad ke-19, pembaharu dan pemurni yang berjiwa patriotik, seorang ulama ahli fiqih, penyair, pemikir, pengarang paling produktif, muballigh handal, ahli sufi berorientasi fiqih, pendidik yang banyak murid dan pengikutnya. Pemikirannya tidak hanya terbatas ditujukan kepada rakyat yang masih terbelenggu oleh takhayul, khurafat, dan kehidupan mistis, melainkan juga kepada cara hidup feodal, kolonialisme dan ulama tradisional. Acuannya pada doktrin tauhid yang murni, fiqih, dan tasawuf rasional telah menimbulkan pada dirinya sikap yang sangat lugas dan kritis terhadap kenyataan yang berkembang dalam masyarakat. Tulisan-tulisan selalu berisi substansi, yaitu ilmu kala, fiqih, dan tasawuf, juga merupakan pandanganpandangan polemis (Djamil, 2001: 37). Sebagai pembaharu dan pemurni Islam Syaikh Ahmad Rifa'i merasa tidak puas terhadap kenyataan yang berkembang dalam masyarakat. Ia menanamkan kesadaran umat bahwa praktek kehidupan agamanya sudah jauh menyimpang dari tatanan syari’ah. Ia menawarkan pembaharuan dan pemurnian Islam kembali pada Al-Qur'an dan Sunnah Rasul, patuh kepada
57
orang-orang yang punya predikat alim, adil, serta menjauhi perbuatan maksiat yang dipimpin oleh orang-orang fasik dan zhalim. Ditanamkan pula pada jiwa masyarakat rasa antipati terhadap pemerintah kafir dan orang-orang yang berkolaborasi dengan kolonial Belanda. Jika pemikiran tersebut terlaksana, di negara ini kelak akan menjadi suatu negara yang kerto raharjo, tidak ada berandal, maling, perampok, selama-lamanya, karena mengikuti petunjuk Rasulullah. (Syahdzirin, 1996/1997: 25) Oleh karena itu, setelah pulang dari Makkah, Ahmad Rifa'i berusaha menyempurnakan agamanya, yang umumnya dilakukan dengan cara yang lunak. Ahmad Rifa'i menggunakan metode yang menarik, yaitu dengan metode penterjemahan kitab yang beliau buat dengan bentuk syair dalam bahasa Jawa dengan huruf Arab, sehingga ajaran Islamnya mudah dihafal dan difahami oleh masyarakat. Ajarannya penuh dengan ajakan bagi umat Islam untuk mengadakan masyarakat baru. Dalam masyarakat baru itu hendaknya anggota-anggotanya kembali menjalankan perintah Tuhan dan mengikuti perilaku nabi-nabi. Pemikiran dakwah Islam KH.Ahmad Rifa’i juga termasuk dalam kategori antipemerintah Belanda, namun hanya terbatas pada tulisan-tulisan yang berisi muatan antikekuasaan dan instrumennya yang dikemukakan dalam kerangka agama. Dengan
demikian
Ahmad
Rifa'i
dalam
dakwahnya
selain
menggunakan metode penterjemahan kitab, beliau juga menggunakan metode keteladanan, yaitu metode yang dilakukan dengan cara memperlihatkan sikap
58
gerak-gerik, kelakuan, perbuatan dengan harapan agar orang dapat menerima, melihat, memperhatikan, dan mencontohnya. Dakwah dengan menggunakan metode ini berarti menyajikan dakwah dengan jalan memberikan keteladanan langsung, sehingga mad’u akan tertarik untuk mengikuti apa yang dicontoh kaumnya. Metode ini dapat menimbulkan kesan yang mendalam, karena antara indera lahir (panca indera) dan indera batin (perasaan dan fikiran) sekaligus dapat digunakan. Selain itu beliau juga menggunakan metode diskusi. Diskusi yang dimaksudkan sebagai pertukaran fikiran, gagasan, pendapat antara sejumlah orang secara lisan untuk membahas masalah tertentu yang dilaksanakan dengan teratur dan bertujuan untuk memperoleh kebenaran, bisa juga dikatakan sebagai pemecahan masalah secara bersama, baik kelompok kecil ataupun kelompok besar. Biasanya dalam kalangan Rifa’iyah metode ini digunakan ketika pengajian kitab-kitab Jawa karya Ahmad Rifa'i.
3.5.Gerakan Dakwah Di Kalisalak KH. Ahmad Rifa'i memulai gerakannya dengan membentuk kader pendukung inti ajarannya. Dengan penuh kharisma, ia berhasil menanamkan faham yang dibawanya dan diajarkannya kepada para santri dan kader intinya. Di antara kader inti itu terdapat nama-nama: Imampuro, Arfani alias Abdil Aziz, Kurdi alias Abu Kasan, Muhammad Toyyib, Abdul Hadi, Abu Mansur, Ishak, Hadi, Munawir, Ilham, Abdul Kohar, Abdul Fatah, dan Muhammad Tubo. Tugas kader inti tersebut adalah
59
sebagai pengurus jama’ah, juga bertugas sebagai muballigh yang diterjunkan di pedesaan-pedesaan Jawa Tengah. Melalui para kadernya ajaran Rifa’iyah berkembang dan pengikutnya bertambah banyak. Ajaran KH. Ahmad Rifa'i yang disampaikan melalui syair-syair bahasa Jawa, yang isinya merupakan terjemahan dari kitab-kitab agama Islam, memang menarik masyarakat pedesaan untuk memahami Islam. Di samping itu masyarakat juga tertarik dengan doktrin Rifa’iyah, yang menentang penguasa Belanda dan birokrasi tradisional. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan, pengajian-pengajian jama’ah Rifa’iyah berkembang sampai ke Wonosobo, Kendal, Kedu, Pati, Banyumas dan di Batang sendiri. Setelah besar dan tersebar pengaruh ajarannya, KH. Ahmad Rifa'i mulai berani terang-terangan. Ia mengadakan gerakan protes kepada penguasa tradisional, di samping juga kepada Belanda. Protes ini dilakukan di masjidmasjid umum. Dengan khotbah-khotbahnya dan pengajian-pengajiannya, KH. Ahmad Rifa'i mengecam pejabat lembaga keagamaan yang diangkat dan menghamba kepada Belanda (Ahmad Adaby Darban, hlm. 44). Kalau Panglima Diponegoro melawan Belanda itu dengan angkat senjata, maka KH. Ahmad Rifa'i melawan dengan goresan kalamnya melalui syairnya yang beliau ciptakan. (Syadzirin, 1989: 23) Bertolak dari orientasi keagamaan tersebut di atas, K.H. Ahmad Rifa’i mengambil sikap melawan adat kebiasaan yang dipandang berlawanan dengan syara’ atau mengancam keberhasilan moral dan berusaha menggalakkan umat Islam untuk mengamalkan syariat Islam. Adat kebiasaan yang dilawannya
60
antara lain: acara-acara pertunjukan hiburan seperti wayang dan gamelan, pertemuan bersama antara kaum laki-laki dan perempuan, dan kebiasaan kaum wanita bepergian keluar rumah tanpa memakai kerudung. Usahanya dalam menggalakkan pemahaman dan pengamalan syari’at antara lain dilakukan dengan menulis sejumlah banyak kitab-kitab fiqih dan mendidik para muridnya untuk mengamalkan syari’at Islam secara cermat seperti menunaikan kewajiban shalat harian, mengeluarkan zakat, pergi haji dan sebagainya. Untuk memperoleh hasil yang maksimal dalam menawarkan ide pembaharuan dan pemurniannya, KH.Ahmad Rifa’i menerapkan enam tahapan dakwah, antara lain sebagai berikut: (Syadzirin, 1997: 106). 1. Menerjemahkan kitab (al-qur’an, hadits, dan kitab-kitab bahasa arab karangan ulama dulu ke dalam bahasa jawa dengan huruf Arab pegon berbentuk nadzom atau sya’ir empat baris dan dengan gaya tulisan merah hitam. Gaya ini di sesuaikan dengan budaya tulis menulis bangsa indonesia sejak zaman sultan Agung Kerajaan Mataram pada abad XVI. 2. Mengadakan kunjungan silaturahmi atau anjangsana dari rumah ke rumah famili dan masyarakat lingkungan untuk menjalin kerja sama yang harmonis, dan menyusun kekuatan untuk membentuk gerakan yang bersifat social keagamaan. 3. Menyelenggarakan pengajian umum dan dakwah keliling ke daerah yang penduduknya miskin materi dan agama guna membendung arus budaya
61
asing (westernisasi),dan sekaligus mencari dukungan masyarakat yang merasa tertindas. 4. Menyelenggarakan diskusi dan dialog terbuka di masjid, surau, pondok pesantren dan tempat-tempat lainnya untuk mempercepat proses pembaharuan dan pemurniannya. Diskusi yang dimaksudkan sebagai pertukaran fikiran, gagasan, pendapat antara sejumlah orang secara lisan untuk membahas masalah tertentu yang dilaksanakan dengan teratur dan bertujuan untuk memperoleh kebenaran, bisa juga dikatakan sebagai pemecahan masalah secara bersama, baik kelompok kecil ataupun kelompok besar. 5. Mengadakan kegiatan kesegaran jasmani sebagai sarana tukar informasi dengan masyarakat terutama generasi muda militant di daerahnya. 6. Mengadakan gerakan protes sosial keagamaan terhadap ulama resmi, penghulu, dan semua pihak Belanda. Cara ini di gunakan oleh beliau untuk mencari simpati dan dukungan dari masyarakat yang tertindas. 7. dan untuk mempererat hubungan antara guru dengan murid, antara murid dengan murid, diterapkan pula metode pendekatan melalui tali pernikahan antara anak guru dengan murid terpilih, antara murid dengan murid, antar anak murid kemudian antar kampung. Dengan tuju tahapan ini, diharapkan dakwah pembaharuan dan pemurniannya akan memperoleh hasil yang maksimal. Dari tujuh tahapan dakwah ini juga dapat diketahui, bahwa sasaran pemikirannya, tidak hanya tertuju kepada masyarakat yang masih terbelenggu oleh tahayyul, khurofat,
62
dan kehidupan mistis saja, melainkan juga kepada cara hidup feudal dan kolonialisme (Syadzirin, 1997: 108). Di dalam keterangan lain Syaikh Ahmad Rifa’i juga menggunakan tahapan yang menarik. Kemungkinan tahapan yang di terapkan dalam dakwahnya ini belum pernah di lakukan oleh para ulama di jawa sebelumnya. Tahapan dakwah ini dimaksudkan untuk membentengi diri dan gerakannya dari reaksi pihak Belanda, jika di kemudian hari gerakan dakwahnya itu diketahui oleh pihak reaksioner. Tahapan yang dimaksudkan ialah sebagai berikut : 1. Menghimpun anak-anak muda untuk dipersiapkan menjadi kader-kader dakwah yang tangguh, guna menyusun kekuatan dan penyebar dakwah Islam. KH. Abdul Qahhar dan Kiai Maufuro merupakan bukti pengkaderannya. 2. Menghimpun kaum dewasa lelaki dan perempuan dari kaum petani, pedagang, pegawai pemerintah dan kaum buruh, dimaksudkan untuk memperkokoh langkah dakwahnya. 3. Menghimpun kader-kader dakwah yang dating dari berbagai daerah kemudian dijadikan juru dakwah (muballigh) untuk diterjunkan kembali ke desa atau ke daerah masing-masing guna memberi penjelasan tentang islam kepada masyarakat mereka. 4. Menciptakan kesenian terbang (rebana) disertai lagu, syair-syair yang di ambil dari kitab-kitab tarajumah karangannya, sehingga terbangan itu di sebut “jawan”. Terbangan ini dimaksudkan untuk mengingat perjalanan,
63
hiburan ketika hajatan dan sekaligus mengantisipasi budaya asing yang merusak, karena Belanda dengan sengaja ingin mengganti budaya jawa yang di wariskan oleh nenek moyang yang mukmin-muslim itu dengan budaya modern model barat yang merusak. 5. Pada hari-hari tertentu mengadakan kegiatan “khuruj” berkunjung ke tempat pemukiman penduduk yang terletak di pedalaman, juga ke kotakota kecamatan untuk memperbaharui arah kiblat
yang belum benar,
shalat jum’at, shalat jama’ah dan mengulang kembali pernikahan yang di lakukan oleh penghulu yang diangkat oleh pihak belanda (Syadzirin, 1997: 109). Dengan menggunakan tahapan-tahapan tersebut, gerakan Ahmad Rifa’i diharapkan sanggup bertahan dan berkembang ke berbagai daerah. Menurut Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo: Satu-satunya gerakan yang mampu bertahan hingga sekarang hanyalah gerakan Ahmad Rifa’i di Kalisalak Batang. Pada umumnya gerakan seperti itu tidak mampu bertahan lama, meskipun tokoh pendirinya masih hidup di tengah-tengah mereka. Kemudian pada tahun 1859 Syaikh Ahmad Rifa’i di asingkan ke Ambon Maluku dan kemudian di asingkan lagi ke kampung Jawa. Setelah itu pihak Belanda berusaha memusnahkan ajarannya dengan cara merampas kitab-kitab yang di ajarkan dan membuat gambaran yang tidak baik terhadap gerakan Ahmad Rifa’i dengan pengikutnya, tetapi semua usaha pihak Belanda itu tidak berhasil melemahkan gerakan tersebut, malah membuat bertambah kokoh dan tersebar ke berbagai daerah di jawa.
64
3.5.1.Perjuangan KH. Ahmad Rifa’i a. Mendirikan lembaga pendidikan KH. Ahmad Rifa’i mendirikan lembaga pendidikan yakni pondok pesantren dan sekolah/madrasah di Desa Kalisalak wilayah Kabupaten Batang Jawa Tengah. Metode pengajarannya menggunakan terjemahan bahasa Jawa untuk lebih mudah cara memahami ajaranajaran Islam, hal ini sangat mendorong bertambahnya santri yang berdatangan dari berbagai daerah di Jawa Tengah dan Jawa Barat. b. Tabligh agama keliling KH. Ahmad Rifa’i dalam dakwahnya tidak hanya mengajar di pondok pesantrennya saja, tetapi juga melakukan tabligh ke beberapa daerah di Jawa Tengah, di antaranya di Kendal, Semarang dan Wonosobo. Karena kritik-kritik beliau yang sangat tajam, ketika memberikan dakwah di Wonosobo pernah ditangkap oleh pemerintah Belanda dan dipenjarakan. c. Penulisan kitab Kemampuan KH. Ahmad Rifa’i dalam menyampaikan ajaran Islam dengan bahasa yang sederhana tanpa memakai idiom-idiom bahasa Arab. Hampir seluruh kitab yang beliau tulis dengan menggunakan huruf Arab berbahasa Jawa (pegon) serta menggunakan puisi tembang (Proposal Pengusulan Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional Kepada KH. Ahmad Rifa'i, 2002). Kitab-kitab KH. Ahmad Rifa’i disebut kitab Tarajumah yang ditulis dengan menggunakan tinta warna hitam serta merah. Tinta merah
65
digunakan untuk bagian awal dan bagian akhir kitab dan juga untuk menulis bagian-bagian yang diambil dari ayat-ayat Al-Qur'an, al-hadits dan pendapat para ulama serta masalah-masalah yang dianggap penting. Selama dalam kurun waktu 22 tahun (1252-1275 H / 1837-1859 M) KH. Ahmad Rifa’i mampu menulis kitab sebanyak 60 judul, 500 tanbih dan beberapa nadzom doa. Usaha menulis kitab dalam bahasa Jawa ini dikandung maksud agar orang awam dapat lebih mudah dalam memahami ajaran Islam, sebagaimana disebutkan dalam kitabnya Ri’ayatul Himmah: Supoyo wong Jawi akeh ngerti pitutur Sangking Qur’an lan kitab Arab jujur Keduwe wong ngawam inggal ngerti milahur Ningali kitab Tarajumah Jawi pitutur 3.5.2. Akhir Perjuangan KH. Ahmad Rifa'i Tahun 1272 H / 1856 M, adalah tahun permulaan kritis bagi gerakan KH. Ahmad Rifa'i, hal ini dikarenakan hampir seluruh kitab-kitab karya KH. Ahmad Rifa'i disita oleh pemerintah Hindia Belanda dan murid-murid KH. Ahmad Rifa'i terus-menerus mendapat tekanan dari pemerintah Hindia Belanda. Sebelum KH. Ahmad Rifa'i diasingkan dari Kaliwungu Kabupaten Kendal, beliau dituduh membuat kerusuhan dan kekacauan serta menghasut pemerintah Hindia Belanda, dan ini menghantarkan KH. Ahmad Rifa'i ke penjara beberapa kali, hingga masuk penjara di Kendal, Semarang dan terakhir di Wonosobo (Syadzirin, 1997: 96).
66
Di tempat pengasingan Desa Kalisalak Kabupaten Batang, KH. Ahmad Rifa'i kembali dipanggil oleh pemerintah Hindia Belanda dan disidangkan di Pekalongan dengan tuduhan menghasut, meresahkan, menanamkan doktrin antikolonialisme, mengkader kepada jama’ahnya dan mengarang syair-syair protes terhadap Belanda yang dituangkan beberapa kitab karangannya. Tuduhan Wedono Kalisalak yang mengusulkan kepada gubernur agar KH. Ahmad Rifa'i diasingkan dari Kalisalak, ternyata tidak dapat dibuktikan sebagaimana surat keputusan ke lima dari Gubernur Jenderal Duymeer Van Twist yang dibuat pada tanggal 2 Juli 1855 menyatakan bahwa seluruh tuduhan terhadap KH. Ahmad Rifa'i belum bisa dibuktikan dan perlu diperiksa dalam persidangan biasa. Untuk sementara waktu perkara tersebut ditutup tahun 1856 dengan digantikannya Jendral Albertus Jacob Duymeer Van Twist oleh Jendral Charles Ferdinand Pahud, Wedono Kalisalak memandang perlu untuk mengangkat kembali pengasingan KH. Ahmad Rifa'i. namun ternyata Jendral Pahud pun menyatakan menolak sebagaimana yang ditulis dalam suratnya yang tertanggal 23 November 1858. Usaha Wedono Kalisalak kembali dilakukan dengan mengirim kepada Bupati Batang tanggal 19 April 1859 No. 1A, yang diteruskan ke Karesidenan Pekalongan oleh Bupati Batang pada tanggal 24 April 1859 No. 29. Isi surat tersebut adalah meminta agar KH. Ahmad Rifa'i diasingkan dari Kalisalak, pada tanggal 6 Mei 1859 secara resmi KH. Ahmad Rifa'i
67
dipanggil Residen Pekalongan Frensiscur Netscher untuk pemeriksaan terakhir dan syarat untuk memenuhi pengasingan ke Ambon. Sejak tanggal 6 Mei 1859 KH. Ahmad Rifa'i sudah tidak boleh kembali ke rumahnya lagi karena menunggu keberangkatan pengasingan sampai tanggal 19 Mei 1859. Berdasarkan surat keputusan No. 35 tanggal 19 Mei 1859, KH. Ahmad Rifa'i meninggalkan jama’ahnya beserta keluarganya untuk menuju ke tempat pengasingannya yang baru yaitu di Ambon Propinsi Maluku (Syadzirin, 1997: 91). Setelah dua tahun lamanya, KH. Ahmad Rifa'i di Ambon, beliau mengirim empat buah judul kitab buah karyanya yang berbahasa Melayu dan 60 buah judul Tanbih berbahasa Melayu juga, serta surat wasiat tertanggal 21 Dzulhijjah 1277 H kepada anak menantunya Kiai Maufura bin Nawawi di Batang yang isi surat tersebut di antaranya agar para muridnya serta keluarganya jangan sekali-kali taat kepada pemerintah Hindia Belanda dan orang yang berkolaborasi dengannya. KH. Ahmad Rifa'i mengalami nasib yang sama dengan empat puluh enam ulama lainnya yaitu dipindahkan dari Ambon ke Kampung Jawa Tondano Sulawesi Utara. Di Kampung Jawa Tondano ini beliau sempat menikah lagi dengan janda residen Minahasa dari marga Rumambe yang sudah masuk Islam. Dari pernikahannya ini beliau mempunyai anak yang satu yaitu Kiai Marjan bin Ahmad Rifa'i. sampai kini keluarga keturunan KH. Ahmad Rifa'i cukup banyak yang berdomisili di Kampung Jawa tersebut. Akhirnya dalam usia 84 tahun, tanggal 25 Rabiul Awal 126 H atau
68
1870 M, KH. Ahmad Rifa'i wafat dan dimakamkan di Makam Pahlawan Kiai Modo di Bukit Tondano Kabupaten Minahasa Manado Provinsi Sulawesi Utara. (Abdullah, 2006: 67)
3.6. Nadzom KH. Ahmad Rifa’i Sebagai Media Dakwah Berangkat dari firman Allah: ajaklah (manusia) ke jalan Tuhan-Mu dengan hikmah, pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik (Al-Qur'an S. An-Nahl: 125) dan sabda Rasulullah SAW: sampaikanlah olehmu apa yang datang dariku meski pun hanya satu ayat (Hadits Shahih Riwayat Ahmad), serta fatwa ulama: “Sesungguhnya dakwah atau amar ma’ruf nahi munkar adalah fardhu kifayah”, maka Ahmad Rifa'i merasa terpanggil untuk segera menyampaikan dakwah kepada masyarakat Islam di sekitar daerah Kendal. Bahkan ia sempat berdakwah ke luar daerah, seperti ke Wonosobo. Dakwah KH. A. Rifa'i lebih mengutamakan soal-soal mendasar yang berkaitan langsung dengan perilaku ibadah masyarakat sehari-hari, seperti sholat jamaah, sholat jum’at, arah kiblat sholat dan sistem pernikahan yang dilaksanakan oleh para ulama, tokoh masyarakat dan penghulu. Semua praktek ibadah dan muamalah yang dipimpin mereka harus ditinjau kembali dan perlu pembaharuan (Syadzirin, 1997: 48). Demi mencapai dakwah tersebut, Ahmad Rifa'i menyusun strategi dakwah sekaligus menyusun pola kekuatan yang dapat mengimbangi dan menangkal berbagai reaksi mereka yang menjadi obyek dakwah, sehingga ia dapat membentuk suatu jaringan dakwah yang kokoh dan handal sebagai
69
pendukung kelancaran misi pembaharuan dan pemurnian yang berdasarkan Al-Qur'an dan sunnah Rasul. Setelah jaringan dakwahnya mampu menanggulangi segala kemungkinan yang bakal terjadi, maka mulailah Ahmad Rifa'i melaksanakan program satu persatu kepada masyarakat, ternyata usahanya dapat berhasil. Akan tetapi di balik keberhasilan usaha dakwah Ahmad Rifa'i ini ternyata membuat marah para ulama setempat, tokoh masyarakat dan para penghulu di Kendal. Karena di samping tidak senang dengan dakwah yang bernada tegas, mereka juga merasa tersinggung dengan pola tingkah KH. A. Rifa'i. oleh karena itu mereka berusaha agar Ahmad Rifa'i berkenan menghentikan pembaharuannya atau keluar meninggalkan kota Kendal. Menurut Ahmad Rifa'i bahwa kewajiban dakwah tidak terbatas di daerah sendiri, melainkan di mana saja, kapan saja, selama hukum-hukum Allah belum ditegakkan secara maksimal, hingga akhirnya ia pergi menuntut ilmu ke Mekkah (Darban, 2004: 44). Ahmad Rifa'i adalah seorang ulama dan kader tangguh yang sudah banyak makan asam garam perjuangan dakwah, kendati resiko matipun akan dihadapi dengan sikap kesatria. Nampaknya dia diilhami semboyan: hiduplah merdeka, atau matilah syahid, sehingga dalam kancah perjuangannya, Ahmad Rifa'i lebih mementingkan keselamatan agama di atas segala-galanya (Syadzirin, 1997: 49-51). Di Kalisalak batang KH Ahmad Rifa’i mulai mengembangkan dakwahnya, dengan menggunakan dakwah bil lisan, bil khal dan bil-qolam
70
yang di tuliskan dengan nadzom-nadzom bahasa jawa. Di dalam dakwahnya Ahmad Rifa’i mengajak kepada seluruh umat islam untuk kembali kepada Al-Qur’an dan sunah rosul. Awalnya, KH Ahmad Rifa’i menyelenggarakan pengajian untuk anak-anak karena metode mengajarnya sangat menarik, yaitu dengan menggunakan bahasa jawa dalam bentuk nadzom (puisi atau sya’ir ) (Syadzirin, 1989: 23). Di samping mengajar KH Ahmad Rifa’i juga tekun menulis kitabkitab dengan tulisan jawa arab pegon, kitab-kitab beliau ini disebut kitab tarajumah yang artinya terjemahan.seluruh kitab karya KH. Ahmad Rifa’i berbentuk puisi tembang jawa dan sebagian ada yang berbentuk prosa berbahasa jawa dan melayu. (Shodiq, 2006: 79) kemampuannya dalam menyampaikan ajaran islam dengan bahasa yang sederhana tanpa memakai idiom-idiom bahasa Arab. hampir seluruh kitab yang beliau tulis adalah dengan menggunakan huruf arab berbahasa jawa (pegon) serta menggunakan puisi tembang jawa (nadzom) dan tersusun empat baris dalam satu bait dengan bunyi akhiran yang sama.( Syadzirin, 1989: 18). Metode pengajaran kitab yang diberikan KH.Ahmad Rifa’i kepada santrinya, bahwa semua santri harus belajar membaca kitab tarajumah pada tulisan arab bahasa Jawa. sistem ngaji ini disebut ngaji kitab ireng atau ngaji lafal makna, yaitu seperti halnya seorang kyai mengajarkan satu persatu huruf kemudian merangkum menjadi bacaan kalimat. tingkatan inilah merupakan awal dalam cara membaca kitab tarajumah. Disamping itu, santri juga harus hafal sebagian nadzom-nadzom yang menerangkan tentang syarat
71
rukun iman, islam, ibadah sholat dan wiridan angawaruhi atiningsun (nadzoman syahadat). (Syadzirin, 1995: 109), karena KH. Ahmad Rifa’i mengajarkan kepada santrinya agar supaya nadzoman tersebut dibaca ketika para santrinya akan memulai pengajian bandongan dan biasanya nadzoman tersebut dilakukan setelah atau akan melakukan sholat berjama’ah, sebelum tahlil dan lain-lain. KH. Ahmad Rifa’i dalam mengajarkan kepada santrinya melalui media nadzom dengan tujuan supaya para santrinya lebih mudah dalam menghafal, proses pemahaman para santri dapat benar-benar memahami dan menghayati isi dari kitab. karena nadzom ataupun syair merupakan bentukbentuk jariyah ulama islam yang selama ini menjadi bagian dari upaya pembelajaran ilmu-ilmu keislaman sebagai sastra, yang menjadi seni keindahan dalam bertutur bahasa atau tulisan. KH. Ahmad Rifa’i menulis ratusan kitab dalam bentuk nadzom yang bernilai sastra tinggi, bukan hanya kedalam bahasa jawa tapi juga kedalam bahasa melayu. KH. Ahmad Rifa'i dalam menterjemahkan kitab-kitab berbahasa Arab dengan kitab berbahasa Jawa yang mudah dipahami dan diamalkan dengan model karangan sendiri, dengan tujuan untuk menyesuaikan kondisi masyarakat pada waktu itu, dibuatkan kitab -kitab berbentuk syair atau nadzom yang indah dan dilagukan sedemikian rupa sehingga menarik minat pembaca dan pendengar, kertas putih, tulisan merah, untuk setiap Al Qur’an, Al Hadits, Qoulul Ulama (perkataan ulama) serta tiap kata awal dari syair (yang Mengilhami ditulisnya tulisan ini dengan huruf merah pada awal
72
paragraf) serta hitam untuk tulisan makna dan komentar, penulisan ini sesuai dengan budaya bangsa sejak Sultan Agung Mataram XVI dalam penulisan kitab-kitab Arab. Untuk lebih bisa diminati dan tidak membosankan para santri tarajumah KH. Ahmad Rifa’i Menciptakan kesenian terbang (rebana) disertai dengan lagu-lagu, syair-syair, nadzom-nadzom yang diambil dari kitab karangannya, sehingga terbangan itu di sebut Jawan. Terbangan itu dimanfaatkan untuk mengingat pelajaran, hiburan pada saat ada hajatan dan sekaligus mengantisipasi budaya asing yang merusak. Budaya itu sengaja dibawa Belanda ke Indonesia untuk melawan budaya tanah air yang diwariskan oleh nenek moyang kita yang muslim dan mukmin. Satu hal yang menyebabkan pengajian haji Ahmad Rifai cepat terkenal adalah metode penterjemahan kitabnya, baik Al-Quran, Al-Hadits maupun kitab-kitab karangan ulama Arab dan Aceh lebih dahulu diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa sebelum diajarkan kepada para murid, bahkan kelihatan sebagai kewajiban yang ditempuh secara sadar, seperti yang tersirat di dalam satu bait kitab nadzom Ri’ayatal Himmah karya Haji Ahmad Rifai, sebagai berikut: Wajib saben alim adil nuliyan narajumah kitab Arab rinetenan supoyo wong jawi akeh ngerti pitutur saking Qur’an lan kitab – kitab Arab jujur kaduwe wong awam enggal ngerti milahur ningali kitab Tarjamah jawi pitutur Artinya: Diwajibkan bagi setiap alim adil (ulama akhirat) untuk menejemahkan kitab Arab, agar orang jawa lebih mengerti ajaran dari Al Quran dan kitab-kitab Arab (Hadits dan Ulama) dengan
73
benar sehingga melaksanakannya.
orang
awam
mengerti
dan
segera
Melihat (membaca dan mempelajari) kitab Tarjumah jawa sebagai ajaran. karena metodenya yang tepat manfaat maka tak mustahil pengajian Ahmad Rifai cepat berkembang. Para muridnya datang dari daerah yang dekat saja seperti Kendal, Batang dan Pekalongan tetapi juga berasal dari Kedu, Wonosobo, Magelang, Banyumas, Kerawang, Indramayu dan lainnya. Dan intensitas pengajaran tauhid, fiqh dan tasawuf rasional yang dijalankan oleh Haji Ahmad Rifai yang menyebabkan perbedaan antara tradisi keliru yang telah mapan dengan pemikiran barunya mendirikan Pesantren Kiai Haji Ahamd Rifai mendirikan lembaga pendidikan pondok pesantren di Kalisalak Batang . Sistem pengajaran yang menggunakan terjemahan bahasa jawa untuk memahami ajaran- ajaran Islam, mendorong bertambahnya murid pesantren yang berdatangan dari berbagai daerah Jawa Tengah dan Jawa Barat. Sementara waktu itu kebiasaan di pondok pesantren masih berlaku pengajian kitab-kitab berbahasa Arab saja, dan masih asing terhadap kitab-kitab terjemahan. Menurut DR. Karel A. Steenbrink (Sarjana Belanda) bahwa di dalam sejarah dakwah, Ahmad Rifai bisa dianggap hampir satu-satunya tokoh yang bisa memberikan uraian tentang agama Islam tanpa memakai idiom- idiom Arab dan mampu mengarang buku dalam bahasa yang menarik karena memakai bentuk syair(nadzom).
74
Nadzom yang di jadikan warga tarajumah sebagai media dakwah adalah ketika mereka akan melakukan ritual agama yang berupa peribadatan seperti pengajian. Seperti tradisi warga tarajumah di bawah ini : 1. Setiap selesai sholat fardhu, berjamaah atau sendirian, di dalam peringatan hari-hari besar Islam, di dalam majlis tahlilan, manaqiban, selesai membaca talqin mayit di kuburan, menjelang menshalati mayit dan sebagainya, tradisi warga Rifa’iyah senantiasa membaca nadzom yang berisikan dua kalimah syahadat serta maknanya, hingga sampai pada syarat guru, wajib saben mukallaf atau I’lam weruha sira, nadzom semacam itu merupakan suatu wiridan yang dilakukan oleh warga Rifa’iyah atau tarajumah sendiri (Syadirin, 1989: 107). Isi nadzoman itu antara lain ialah: •
Kalimah syahadat serta ma’nanya.
•
Rukun islam yang mengesahkan menjadi islamnya seseorang ialah membaca kedua kalimah syahadat tersebut
•
Rukun iman enam perkara
•
Artinya iman, yaitu mengimankan kepada hukum yang disampaikan kepada Rosulullah SAW
•
Syarat syahnya iman dan syahadat, itu hendaknya cinta kepada semua syari’atnya nabi muhammad SAW
•
Bathalnya iman dan syahadat ada dua perkara, ragu-ragu ajaran Rosulullah dan benci hatinya kepada salah satu agama (peraturan) nabi muhammad SAW
75
•
Faidahnya orang yang sudah sah iman dan ibadahnya
•
Bahwa orang yang sudah sah iman dan ibadahnya secara terus menerus(istiqomah) itu akan masuk surga. dan lain-lain
2. Begitu juga setelah masuk sholat fardhu dan setelah dikumandangkan azan, warga Rifa’iyah atau tarajumah membacakan nadzom-nadzoman (puji-pujian) sambil menunggu imam sholat datang. Nadzom-nadzom yang dimaksud di sini ialah membaca bersama-sama syarat-syarat rukunnya orang yang beribadah, sholat, puasa, dan sebagainya, dan setelah sholat maghrib, isya’, dan subuh diadakan pengajian anak-anak atau orang dewasa, adakalanya ngaji “bandongan” atau “sorogan” atau hafalan nadzom-nadzom KH. Ahmad Rifa'i yang berisikan syarat rukun sholat dan mengulangi bacaan al-fatihah, al-tahiyyat, shalawat, salam dan bacaan Al-Qur'an lainnya (Syadzirin, 1989: 110). 3. Sedangkan anak-anak bagi warga rifa’iyah diharuskan hafal nadzomnadzom KH. Ahmad Rifa'i mulai dari tanbihun pertama sampai tanbihun kedua, yaitu mulai dari warnanya air, fardhu sesuci, fardhu mandi (wajib) dan lain-lain yang berkaitan dengan masalah ibadah (Syadzirin, 1989: 110). 4. Menjelang pengajian (majlis ta’lim) ketika akan dimulai biasanya pujipujian dulu (nadzoman dulu) tentang setengah bilangan maksiat dosa besar 44 perkara, dan kadang juga nadzoman dengan lagu-lagu mengenai macam-macam dosa kecil, yang jumlahnya ada 21, terkadang juga nadzoman itu menerangkan tentang jumlah hitungan maksiat yang
76
menjadikan kufur. Itulah kepribadian warga rifa’iyah (tarajumah) yang sudah berjalan sejak KH. Ahmad Rifa'i tengah mencanangkan ajarannya hingga sekarang (Syadzirin, 1989: 111). 5. Warga Rifa’iyah juga biasa mengadakan peringatan isro’ mi’roj nabi muhammad SAW, terutama pada bulan rojab dengan mengundang para saudara muslim dan muslimah kumpul dan mendengarkan hikayah atau riwayat isro’ mi’roj tersebut yang tertulis di dalam kitab “nadzom arjo”, dan disambung dengan pengajian ceramah agama Islam (Syadirin, 1989: 122) 6. Warga Rifa’iyah juga berhasil menciptakan kesenian terbang (rebana) dengan disertai lagu, nadzoman yang diambil dari kitab-kitab tarajumah seperti “Riayatal himmat” karangan KH. Ahmad Rifa'i sehingga terbangan itu disebut “rebana Jawa”. Terbangan ini dimaksudkan untuk mengingat pelajaran, hiburan ketika hajatan dan sekaligus antipati budaya asing yang merusak, karena Belanda dengan sengaja ingin mengganti budaya Jawa yang diwariskan oleh nenek moyang yang mukmin muslim itu dengan budaya modern model barat yang merusak (Syadzirin, 1996/1997: 108). 7. Setiap mengadakan atau menyelenggarakan pengajian, perkumpulan dan sebagainya, antara majlis kaum laki-laki dan perempuan dibatasi dengan satir sehingga terpisah satu sama lain dan tidak campur kumpul menjadi satu di antara keduanya, dengan tujuan agar tidak terjadi saling pandang memandang antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim.
77
8. Bagi orang-orang dewasa diharuskan hafal dan faham isi dari nadzomannadzoman kitab KH. Ahmad Rifa’i yang berhubungan dengan masalah ibadah setiap hari. Nadzom KH.Ahmad Rifa’i mempunyai nilai religus yang banyak di jumpai dalam bidang sya’irnya seperti seni sastra, seni bahasa, dan seni suara. Hal itu timbul sejak permulaan Al-Qur’an di turunkan yang sudah memberikan isyarat pada permulaan seni sastra arab muncul. Seperti kita ketahui, bahwa pelaksanaan dakwah ada beberapa metode, satu diantaranya adalah metode infiltrasi yaitu menyampaikan materi dakwah dengan cara menyusupkan pada kegiatan seseorang secara bersamaan. Maksud dari pernyataan
tersebut
yaitu
menyampaikan
missi
islam
dengan
menyelundupkan pada kegiatan pengajian warga tarajumah sebagai media dakwahnya. Oleh karena itu nadzom KH.Ahmad Rifa’i dapat dikatakan sebagai media dakwah karena sya’ir-syair yang terkandung dalam nadzom tersebut berupa ajakan pada kebaikan kepada seseorang yang menikmatinya, tentu saja dalam hal ini adalah sya’ir yang bernafaskan islam. Dengan demikian, maka dakwah melalui nadzom merupakan kebuthan yang sangat mendesak bagi masyarakat jawa khususnya saat ini, sebab dakwah dengan media nadzom selain bermakna sebagai amar ma’ruf nahi munkar, juga dalam rangka membangun kemakmuran instuisi umat. Apabila dakwah dengan nadzom semakin populer, maka keuntungannya tidak hanya sebatas ber-amar ma’ruf nahi munkar, melainkan juga sebagai aktifitas olah rasa atau olah
78
qolbu, bagi para pelaku,khususnya warga tarajumah sendiri. Karena kegiatan olah qolbu nantinya akan menghasilkan kepekaan dan kualitas hati nurani (Esa poetra,2004: 4-5). Dengan demikian jelaslah bahwa nadzom juga dapat di manfaatkan sebagai salah satu media dakwah efektif, sebab dengan media ini warga tarajumah bisa menyampaikan materi dakwah sekaligus bisa menghibur mereka. Sehingga materi dakwah yang di kemas dalam bentuk sya’ir ini akan mudah melekat, seperti halnya nadzom amriti, alfiah, aqidatul awam, yang bisa menggugah hati para santri tarajumah, sebagai peminat nadzom.
BAB IV ANALISIS NADZOM KH. AHMAD RIFA'I SEBAGAI MEDIA DAKWAH
4.1. Analisis Teks Nadzom KH. Ahmad Rifa’i KH. Ahmad Rifa'i merupakan seorang ulama intelektual lulusan Makkah dan Mesir yang mempunyai reputasi tinggi, seorang penyair, pemikir dan pengarang paling produktif, dan juru dakwah ulung. Beliau mengembangkan dakwahnya dengan menggunakan dakwah bi-lisan, bil-khal dan bil-qolam yang dituliskan dengan nadzom bahasa Jawa dan Melayu. Karya KH. Ahmad Rifa'i ditulis dari penterjemahan Al-Qur'an, hadits dan kitab-kitab bahasa Arab karangan ulama dahulu ke dalam bahasa Jawa, dengan huruf Arab pegon berbentuk nadzom atau syair empat baris dan dengan gaya tulisan merah putih. Maka dari itu santri dari KH. Ahmad Rifa'i sering disebut dengan warga tarajumah ataupun warga rifa’iyah. Syaikh Ahmad Rifa'i dalam melanjutkan dan memajukan warisan para Nabi, risalah dakwah Islamiyah pada abad 19 di Jawa juga mendapat tantangan, rintangan dan hambatan cukup berat. Kehadiran KH. Ahmad Rifa'i di tengah-tengah masyarakat jahiliyah pada periode permulaan beliau dikecam dan ditantang, dicaci, dihina, dirintangi dan dihasud, difitnah dan diintimidasi. Akan tetapi segala hal ujian dan cobaan dihadapi dengan sabar, lapang dada, bijaksana, tenggang rasa dan bertawakal kepada Allah, dengan tidak mengurangi kegiatannya sebagai da’i dan muballigh, mujaddid dan inovator dalam menyampaikan risalah dakwah Islamiyah yaitu merombak
79
80
tatanan dan aturan, kekakuan dan tindakan yang sudah menyimpang dari jalur Islam, untuk ditata, diatur dan dibangun kembali menurut Islam. Artinya kembali kepada Al-Qur'an dan al-hadits, al-ijma’ dan al-qiyas, sebagaimana pesan Rasulullah saw di dalam sabdanya.
ﻮﺍﺟﺬﺷﺪﻳﻦ ﺍﳌﻬﺪﻳﲔ ﻣﻦ ﺑﻌﺪﻯ ﻋﻈﹼﻮﺍﻋﻠﻴﻬﺎ ﺑﺎﺍﻟﺘﺔ ﺍﳋﻠﻔﺎﺀ ﺍﻟﺮﲎ ﻭﺳﻨﻋﻠﻴﻜﻢ ﺑﺴﻨ ()ﺭﻭﺍﻩ ﺩﺍﻭﻭﺩ ﻭﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻯ Artinya: “Pegang teguhlah sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin sesudahku, pegang teguhlah dengan gerahammu” Dengan ketegasan dan keluwesan, keberanian dan kebijaksanaan beliau sampaikan ajaran tauhid dan ubudiyah, keimanan dan keislaman melalui hasil karyanya, kitab tarajumah itu kepada masyarakat Jawa. Kehadiran ajaran tarajumah dengan kitabnya itu adalah sebagai jawaban terhadap situasi yang ada, yaitu kebathilan dan kemungkaran yang harus dihilangkan. Dengan demikian syariat Islamiyah dapat berjalan sesuai dengan aslinya. Selain itu, kehadiran ajaran tarajumah ternyata mendapat sambutan dari berbagai pihak, terutama masyarakat Jawa yang kurang memahami kitab berbahasa Arab. Banyak para simpatisan yang menaruh minat untuk ikut mengembangkan ajaran tersebut dengan segala kemampuan yang ada. Para simpatisan yang sekaligus sebagai muridnya adalah, Kiai Maufura, Kiai Muhammad Tuba, Kiai Hasan Dimeja, Kiai Abu Salim, Kiai Ilham, Kiai Haji Abdul Qohar dan beberapa kiai lainnya, mereka siap memperjuangkan, mengamalkan dan melestarikan ajaran tarajumah beliau.
81
KH. Ahmad Rifa'i dalam menterjemahkan kitab Arab ke kitab bahasa Jawa dan melayu, itu tidak asal-asalan, beliau punya dasar yang kuat, yaitu firman Allah dalam Al-Qur'an surat Ibrahim ayat 4: “ωôγtƒuρ â™!$t±o„ ⎯tΒ ª!$# ‘≅ÅÒãŠsù ( öΝçλm; š⎥Îi⎫t7ãŠÏ9 ⎯ϵÏΒöθs% Èβ$|¡Î=Î/ ωÎ) @Αθß™§‘ ⎯ÏΒ $uΖù=y™ö‘r& !$tΒuρ ∩⊆∪ ÞΟ‹Å3ysø9#$ Ⓝ͓yèø9$# uθèδuρ 4 â™!$t±o„ ⎯tΒ Artinya: Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Ibrahim: 4) Dalam hadits Nabi Muhammad saw yang berbunyi:
ﺧﺎﻃﺐ ﺍﻟﻨﺎﹼﺱ ﻋﻠﻰ ﻗﺪ ﺭ ﻋﻘﻮﳍﻢ Artinya: “Berbicaralah kamu kepada manusia-manusia dengan kadar kemampuan akal pikiran mereka” Dengan dasar Al-Qur'an dan hadits Nabi Muhammad saw, maka KH. Ahmad Rifa'i merasa berkewajiban untuk menterjemahkan kitab-kitab berbahasa Arab ke bahasa Jawa dan Melayu. KH. Ahmad Rifa'i adalah putra asli Jawa yang pertama menterjemahkan kitab Arab di pulau Jawa dengan metode yang tertib dan menarik, baik susunan, isi maupun bahasanya. Dalam waktu yang relatif singkat, beliau dapat menyelesaikan. Karya yang bermutu tinggi sebanyak 53 buah kitab, yang di dalamnya ada 5000 tanbih bahasa Jawa dan 700 nadzom dan jawabannya. Perbedaan nadzom KH. Ahmad Rifa’i dengan nadzom-nadzom lain diantaranya adalah dilihat daribentuk penulisannya. Kh. Ahmad Rifa’i dalam
82
menuangkan pemikirannya yang ditulis dalam bentuk nadzom
dengan
tulisan arab jawa pegon, dengan bertujuan agar bisa mempermudah masyarakat pada waktu itu dalam membaca, mempelajari, memahami, dan mengamalkan isi nadzomnya. Karena mayoritas umat pada abad itu (abad 19) belum bisa membaca tulisan arab, sehingga dengan karangan kitab KH. Ahmad Rifa’i tersebut dapat mempermudah santrinya untuk dapat mempelajarinya. Sedangkan nadzom-nadzom lain seperti nadzom amriti, jurumiyah, aqidatul awam, alfiah dan lain-lain tulisannya berbentuk arab. Maka dari itu dengan bentuk tulisan nadzom KH. Ahmad Rifa’i tersebut saya tertarik untuk membahas bagaimana bentuk teks nadzom KH. Ahmad Rifa’i tersebut. Nadzom KH. Ahmad Rifa’i digunakan untuk bentuk peribadatan setiap harinya, kegiatan itu termasuk rutinitas warga tarajumah. Setiap warga tarajumah akan memulai pengajian bandongan atau ngaji maksud, sebelum kiainya rawuh, jamaah tarajumah menadzomkan salah satu dari nadzom kitab KH. Ahmad Rifa'i seperti masalah syarat rukun sholat, Islam, iman dan lain-lain. Isi nadzomnya adalah sebagai berikut: Tanbihun tan keno ora wong nejo ngibadat Arep mepeki sekeh rukun lan syarat Sekeh rukun lan bathale weruho dihajat Sucine banyu wajib dihimat Utami banyu kang sah ginawe sucine Yoiku banyu urip pepitu warno wilangane Kang dihin banyu udan banyu segoro, banyu kaline Banyu sumur, banyu sumberan tinemune
83
Banyu bun, banyu burud iku ginaweruhan Lamun durung faham mongko wajib pitakonan Barang ngelmu fahame sangking guru pituturan Takono marang alim adil kepercayaan Nadzoman tersebut juga digunakan sebagai penarik minat warga tarajumah, ketika nadzoman tersebut diiramakan dalam rutinan pengajian mauludan al-barzanji. Karena dengan irama nadzomnya para jamaah tarajumah merasa terpanggil dan langsung berdatangan ke tempat lokasi yang mempunyai hajat, dengan prinsip nadzom sudah diiramakan berarti acara sudah akan dimulai. Sedangkan ketika warga tarajumah akan memulai tahlilan, mereka menggunakan nadzoman yang berupa wiridan, di bawah ini yang sebelumnya mengucapkan dua kalimah syahadat.
ﺍﺷﻬﺪ ﺍﻥ ﻻ ﺍﻟﻪ ﺍ ﹼﻻ ﺍﷲ ﻭﺍﺷﻬﺪ ﺍ ﹼﻥ ﳏﻤﺪ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ Angrawuhi atiningsun ing sa’tuhune Ora nono pangeran kang sinembah sa’benere Ing dalem wujude anging Allah lan angawaruhi atiningsun ing satuhune Nabi kita Muhammad iku utusane Allah, Kang tinurunan kitab Qur’an kang dadi fanutan agomo islam. Utawi rukune Islam iku, sa’wiji beloko yoiku angucap syahadat loro kang wus kasebut. Utawi rukune iman iku enem perkoro Kang dihin angimanake ing Allah Kapindo angimanake ing sekehe malaikate Allah Kaping telu angimanake sekehe kitabe Allah Kaping papat angimanake sekehe utusane Allah Kaping limo angimanake dino akhir kiamat
84
Kaping enem angimanake pesten becik lan olo sangking Allah ta’ala Utami artine iman iku ngistoake ing barang kang didatengaken dene Rasulullah dan seterusnya. Demikianlah salah satu nadzom yang dijadikan warga tarajumah sebagai media dakwahnya, nadzom tumbuh dan berkembang pesat di kalangan masyarakat santri, seperti nadzom amriti, nadzom alfiyah, nadzom jurumiyah, nadzom aqidatul awam dan lain-lain yang sangat berkembang di lingkungan pesantren Indonesia dan nadzom karya KH. Ahmad Rifa'i lah yang termasyhur di hadapan warga tarajumah. Hal itu terukur dengan populasinya yang makin banyak dan dijadikannya nadzom sebagai media dakwah di tanah Jawa ini. Kitab-kitab tarajumah KH. Ahmad Rifa'i yang berupa nadzom mempunyai tanda-tanda khusus (ciri khas) dari kitab tarajumah lainnya, tanda itu dapat diketahui sebagai berikut: 1) Kitab nadzom pokok yang menjadi rujukan para santri, seperti kitab nadzom husnul mitholab, ri’ayatul himmat, asnal miqashad dan abyanal hawaij, memuat lengkap ilmu Ushuluddin, ilmu fiqih dan ilmu tasawuf dengan makna, contoh, maksud dan penjelasan yang cukup memuaskan. 2) Pada kitab yang bernadzom, menggunakan akhiran yang sama di tiap empat baris. Dan setiap satu halaman ada 22 baris dan ada yang 26 baris. Khusus untuk tanbih ada yang 34 baris dan 36 baris. Pada kitab yang tidak bernadzom ada 11 baris dan ada yang 13 baris panjang. 3) Pada kata pengantar kitab selalu disebutkan, nama kitab, bentuk, susunan, hukum yang dibahas, mazhab yang dianut, nama pengarang yang dianut.
85
Kata pengantar diawali dengan tulisan “tanbihun” artinya peringatan, dengan tulisan warna tinta merah. 4) Dalam “iftitahul kitab” atau pendahuluan kitab, tertulis lafadz ﺑﺴﻢ,اﻟﺤﻤﺪ ﷲ اﷲDan shalawat serta اﻣّﺎ ﺑﻌﺪ 5) Pada “ikhtitam kitab” tertulis kitab “tammat”, hari tanggal, bulan dan tahun hijriyah, sebelumnya tertulis kalimat: واﷲ اﻋﻠﻢ وﺑﺎ اﷲ اﻟﺘﻮ ﻓﻴﻖ 6) Semua awalan nadzom, dalam empat baris sekali memakai tulisan merah, dan seterusnya dengan tulisan hitam, kecuali hal-hal yang dianggap penting. 7) Memang benar bahwa kitab nadzom tarajumah itu berbahasa Jawa, akan tetapi susunan kalimat yang berasal dari bahasa Arab tidak berubah, seperti kalimat: ﻋﺎﻟﻢ, ذاة اﷲ, دﻟﻴﻞ, ﺣﻜﻢ, ﺗﻨﺒﻴﻪ, ﻳﺪﻋﺔ,ا ّم اﻟﻜﺘﺎب 8) Dalam mencari bab, fasal atau masalah, dapat diketahui dengan “korasan” tidak dengan sokhifah atau halaman. 9) Pada setiap satu pembahasan ilmu dalam kitab tarajumah biasanya memulai kalimat ﺗﻨﺒﻴﻪ, اﻋﻠﻢ, ﺑﺎب,ﻓﺼﻞ 10) Dalam kitab nadzom, pengantar firman Allah, menggunakan kalimat ﻗﺎل اﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋ ّﺰ وﺟﻞ, dalam ulama memakai kalimat ﻗﺎل اﻟﻌﻠﻤﺎء رﺣﻤﻬﻢ اﷲ, sedangkan dalam hadits memakai kalimat ﻗﺎل اﻟﻨﺒﻰ, وﻓﻰ اﻟﺨﺒﺮ,اﺑﻜﻲ ﻟﻪ ﺣﺪﻳﺚ ﻧﺒﻰ 11) Jilidan kitab ukuran untuk nadzom minwarul himmah, nadzom arja’ dan jam’ul masa’il kecil dan ukurannya 17 x 21 cm, 18 x 22 cm atau lebih besar, dengan kulit sampul depan belakang warna hitam, jilid paling besar berisi 15 koras atau 300 halaman, sedang jilid yang paling kecil berisi satu
86
koras. Satu hal yang menjadikan pengajian dan pesantren warga tarajumah berkembang pesat dan terkenal adalah kitab tarajumah karya KH. Ahmad Rifa'i. sebagai tokoh pembaharu, KH. Ahmad Rifa'i memahami bahwa maraknya praktek sinkretisme dan kebobrokan agama di kalangan masyarakat muslim Jawa disebabkan oleh minimnya pengetahuan agama umat Islam. Jalan yang efektif untuk meningkatkan pengetahuan agama dan memajukan umat Islam, menurutnya adalah dengan menterjemahkan atau menyusun kitab-kitab pelajaran agama Islam dalam bahasa yang dapat difahami oleh mayoritas umat Islam Jawa yaitu bahasa Jawa. Seperti yang diterangkan KH. Ahmad Rifa'i dalam kitabnya Riayatul Himmat sebagai berikut: Supoyo wong jawi akeh ngerti pitutur Sangking Qur’an lan kitab Arab juur Keduwe wong ngawam enggal ngerti milahur Ningali kitab tarajumah jawi pitutur. Oleh karena itu, selama sekitar dua puluh tahun, 1254-1275, KH. Ahmad Rifa'i aktif menyusun kitab-kitab pelajaran agama Islam yang ditulis dalam bahasa Jawa (dan sebagian kecil dalam bahasa Melayu) dengan menggunakan huruf Arab pegon (Arab Jawa), dalam bentuk nadzom (sya’ir), dan prosa (nasyar). Kitab-kitab karya KH. Ahmad Rifa'i ini lebih dikenal dengan sebutan kitab tarajumah. Kitab tarajumah inilah yang diajarkan KH. Ahmad Rifa'i di pesantrennya Kalisalak, Batang dan tetap dijadikan rujukan serta terus dipelajari para anggota kelompok santri tarajumah sampai kini. Teknik penulisan kitab-kitab tarajumah disusun secara sistematis sehingga
87
mempermudah pembaca untuk mempelajari dan memahami isi kandungan yang dibahas dalam setiap judul kitab. Di dalam salah satu kitab tarjumah karangan Syaikh Haji Ahmad Rifa’i namanya “Tansyirah” dikatakan, “Bahwa kitab yang dikarang oleh beliau, yang harus diajarkan kepada para santri atau muridnya, baik pemuda maupun perempuan, di pesantren, di majlis ta’lim atau majlis pengajian lainnya, sebanyak sepuluh nadzom kitab yang isinya membahas berbagai dasar dan cabang ilmu agama Islam dengan landasan Al Qur’an, Al Hadist, Al Ijma’ dan Al Qiyas, bermazhab Imam Syafi’i atau As Syafi’iyah dan i’tiqad Ahlussunnah wal jama’ah,” yaitu: 1. Kitab Nadzom Husnal Mithalab 12 koras, membicarakan ilmu Ushuluddin, ilmu fiqih dan ilmu tasawuf 2. Kitab Nadzom Ri’ayatal Himmat 25 koras, membahas ilmu Ushuluddin, ilmu fiqih dan ilmu Tasawuf. 3. Kitab Nadzom Asnal Miqashad 30 koras, membicarakan ilmu ushuluddin, ilmu fiqih dan ilmu tasawuf, 4. Kitab Nadzom Abyanal Hawaij 82 koras, membahas ilmu ushuluddin, ilmu fiqih dan ilmu tasawuf, 5. Kitab Nadzom Tahsinah lima koras, membicarakan ilmu baca Al Qur’an (Tajwidil Qur’an) memuat 10 fashal, 6. Kitab Nadzom Tabyinal Islahin 11 koras, membicarakan ilmu nikah dengan dua bab dan 20 fasal.
88
7.
Kitab Nadzom Tasyrihatal Muhtaj 10 koras, membahas ilmu mu’amalah dan lainnya, 26 fashal,
8. Kitab Nadzom Tadzkiyah 6 koras, membicarakan mengenai ilmu menyembelih hewan dan lainnya, 9.
Kitab Nadzom Mushlihat 10 koras membahas ilmu faraidl, atau membagi harta waris, dengan enam fashal,
10. Dan kitab Nadzom Wadlihah 12 koras, membicarakan ilmu manasik haji. Demikianlah nama-nama kitab yang seharusnya diketahui oleh para pengikut Syaikh Kiai Haji Ahmad Rifa’i, sebanyak 10 kitab, 10 jilid dan 10 bismillah atau sebanyak 17 juz. Husnal Mithalab satu juz, Riayatul Himmah 2 juz, Asnal Miqashad 2 juz, Abyanal Hawaij 6 juz, Tahsinah 1 juz, tabyinal Islahin satu juz, Tasyrihatal Muhtaj 1 juz Tadzkiyah 1 juz, Muslihat 1 juz dan wadlinah 1 juz. Juz ini kadang juga disebut “Jilid” oleh santrinya. Nadzom atau Syair merupakan puisi lama yang tiap bait terdiri atas empat baris yang berakhir dengan bunyi yang sama. Nadzom mempunyai fungsi yang sangat bermakna bagi warga tarajumah yaitu dimanfaatkannya sejumlah nadzom dalam pengajaran, wiridan dan pengajian. Ternyata pemanfaatan atau penggunaan nadzom dapat menjadikan warga tarajumah berhasil memahami isi kitab (nadzom KH. Ahmad Rifa’i) yang cukup rumit menjadi lebih mudah difahami, karena nadzoman kitabnya menggunakan tulisan bahasa Jawa (Arab pegon), hasil dari penterjemahan Al-Qur’an dan Alhadits.
89
Ajaran K.H. Ahmad Rifa’i membahas masalah-masalah keagamaan yang terdapat dalam kitab-kitabnya yang terkenal dengan nama tarajumah, yaitu kitab-kitab yang di dalamnya membahas ajaran-ajaran islam yang dikarang olehnya dengan bahasa jawa dan memakai huruf arab pegon. Bentuk karangan ini adalah karangan dengan cara menerjemahkan kitabkitab keagamaan dari bahasa arab ke bahasa jawa, untuk lebih mengutamakan umat dalam memahami ajaran agama dan untuk memenuhi dakwah Islamiah yang telah mendesak. Penggunaan bahasa jawa dan menuangkan pemikirannya dalam bentuk sya’ir adalah untuk memudahkan masyarakat pada waktu itu, karena kebanyakan orang jawa dalam memahami ajaran keagamaan dengan menadzomkan kitab-kitabnya. Maka bisa dikatakan bahwa K.H. Ahmad Rifa’i adalah orang yang mempunyai perasan tentang apa yang di butuhkan oleh masyarakat untuk memahami agama. Itulah yang dikehendaki K.H. Ahmad Rifa’i semasa hidupnya, khususnya setelah kembalinya dari Makkah, yang karangannya mencapai 67 judul kitab.
4.2. Analisis Penggunaan Nadzom KH. Ahmad Rifa’i Sebagai Media Dakwah Dakwah adalah upaya untuk mengajak kepada kebaikan dan melarang keburukan, sebuah upaya amar ma’ruf nahi munkar. Dakwah dewasa ini berhadapan dengan permasalahan yang kompleks di masyarakat, dari permasalahan sosial, ekonomi, politik hingga permasalahan budaya. Krisis moral yang melanda masyarakat Indonesia adalah permasalahan yang serius dalam peradaban bangsa. Agama sebagai benteng moralitas
90
menempati posisi yang sangat penting yang menjaga moral, nilai, kebaikan, dan lain-lain. Agama juga telah mengatur manusia bagaimana berhubungan dengan sesamanya serta bagaimana berhubungan dengan Tuhannya. Nadzom, lewat media bahasa yang termaktub dalam bentuk tulisan dan kata-kata dapat dijadikan sebagai alat untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat. Didalamnya dapat berupa ajakan melakukan kebaikan dan melarang keburukan (amar ma’ruf nahi munkar) sesuai dengan ajaran Allah dan Rosul-Nya, nilai-nilai akidah, syariah, maupun akhlak dan lainlain. Secara umum, dakwah lewat nadzom harus berorientasi pada : 1. Dalam rangka membangun masyarakat islam agar lebih baik, mengajak manusia untuk memeluk agama Allah, menyampaikan wahyu Allah dan memperingatkan untuk tidak menyekutukan Allah. 2. Bertujuan untuk melakukan perbaikan pada masyarakat islam dari penyimpangan, keburukan dan melupakan kewajiban untuk menerapkan ajaran dan nilai-nilai Islam pada kehidupan sehari-hari. 3. Memelihara kebenaran yang telah terpegang oleh masyarakat dengan melakukan upaya perbaikan, pengajaran serta terus menerus, peringatan (tadzkir), pendidikan (taklim), penyucian jiwa (taziyah), dan lain-lain (Azis, 2000: 30) Yusuf al-Qardhawi (2000: 85-92) memberi batasan terhadap dakwah lewat seni suara (nadzom) yang harus diperhatikan, yaitu : pertama, pokok pembicaraan dalam nadzom yang dibuat harus sesuai dengan nilai, etika, dan
91
pengajaran Islam. Tidak boleh menyenandungkan hal yang membuat keraguraguan dalam pokok keimanan. Kedua, isi nadzom boleh jadi tidak haram dan tidak tercela, namun cara mengiramakan dalam membawakan nadzom juga tidak boleh menimbulkan rangsangan, membangkitkan gairah, mengajak ke arah yang diharamkan, seperti syubhat, ataupun di makruhkan. Kehadiran nadzom KH. Ahmad Rifa'i telah membentuk perilaku warga tarajumah atau Rifa’iyah dalam nuansa budaya yang berbeda dengan kelompok masyarakat Jawa awam dan masyarakat Jawa sekitar keraton, yakni diberlakukannya nadzom sebagai sarana pengajaran dan pengajian nilai-nilai budaya Islam. Meskipun nadzom digunakan sebagai sarana pengungkapan ekspresi baik lisan maupun tulisan, tetapi warna Arab-Islam sangat kuat dalam membangun struktur karya tersebut, hal itu terbukti dengan munculnya visi, misi dan tujuan, bentuk dan cara penyajian, serta penggunaannya sangat terkait erat dengan tradisi Arab-Islam. Jumlah nadzom KH. Ahmad Rifa'i yang cukup banyak itu mengekspresikan berbagai bidang ilmu yang diajarkan terhadap warga/santri tarajumah, baik di pondok pesantren maupun di madrasah diniyah. Dengan menggunakan media nadzom tersebut, warga tarajumah lebih terbantu ingatannya atas hafalan yang sangat musykil sekalipun. Dengan memakai nadzoman tersebut, kini menjadi tantangan bagi kita, sebagai umat Islam untuk tetap memeliharanya. Sedikit andil menghidupkan ilmu-ilmu keIslaman, pusaka para ulama penerus Nabi.
92
Nadzom atau syair merupakan bentuk-bentuk jariyah ulama adiluhung Islam yang selama ini menjadi bagian dari upaya pembelajaran ilmu-ilmu keislaman sebagai sastra. Menjadi seni keindahan dalam bertutur bahasa atau tulisan. Warga tarajumah mempunyai kekuatan imajinasi dalam berinovasi dan mengembangkan kurikulum yang sangat diandalkan, karena mereka memiliki metode hafalan dalam bentuk nadzom yang selalu dilakukan secara rutin dan berkembang sehingga dalam tradisi rutinan pengajian ataupun kegiatan masyarakat warga tarajumah menggunakan nadzom sebagai media alternatifnya. Tradisi tersebut sudah mengena di hati warga tarajumah, karena sudah puluhan tahun secara turun temurun kegiatan pengajian warga tarajumah selalu menggunakan nadzoman sebagai media penyampai pesan, seperti di pengajian-pengajian sorogan, tahlilan, berzanjian, manaqiban maupun akan atau setelah jamaah sholat fardhu atau Jum'at. Fungsi nadzom tersebut ada tiga macam : 1. Fungsi Dakwah Bagi warga tarajumah, yang isi nadzomannya tentang masalah ushul, fiqih, tasawuf, itu merupakan bentuk dasar (isi materi) dari seorang da’i ketika mau berdakwah, untuk itu sudah jelas bahwa nadzoman KH. Ahmad Rifa’i bermakna sebagai amar ma’ruf nahi munkar, juga dalam rangka membangun kemakmuran institusi umat.
93
2. Fungsi Pendidikan dan Pengajaran Nadzom mempunyai nilai positif sekali bagi para santri, khususnya santri tarajumah. Karena nadzom sebagai fungsi pendidikan dan pengajaran telah mengajarkan nilai-nilai moral islam dan pengetahuan islam yang kompleks, yaitu digunakannya nadzom sebagai bahan ajar atau media pengajaran dikalangan masyarakat santri (tarajumah). Santri dalam menghafal kata-kata yang sulit akan lebih mudah dalam proses penghafalan, ketika seorang santri dalam hafalannya menggunakan nadzom. karena nadzom di dalam mempunyai kekuatan imajinasi dalam mengembangkan kurikulum yang sangat diandalkan dan mempunyai nilai positif dalam bertutur bahasa atau tulisan. 3. Fungsi Hiburan Hadirnya nadzom dalam khazanah sastra selalu dinyanyikan baik dengan iringan musik ataupun tidak. Nadzom bagi warga tarajumah mempunyai cirri khas sendiri, karena nadzom yang biasa disenandungkan bukan nadzom yang biasa dilafalkan oleh mayoritas umat, nadzom KH.Ahmad Rifa’i ini bercirikan tulisan jawa arab pegon. Nadzomnya mempunyai fungsi hiburan bagi warga tarajumah sendiri, karena selain mengambil sisi positifnya nadzom sebagai media penyampai materi bagi warga tarajumah, tetapi karena cara pelafalan nadzom biasanya sambil di iramakan dengan lagu-lagu, maka nadzom tersebut bisa menjadi penghibur hati para warga, jadi mereka
tidak merasa bosan, meskipun ketika
pelafalannya nadzom tersebut tanpa musik. Selain itu juga, nadzoman KH.
94
Ahmad Rifa’i dikemas dalam bentuk kaset, yaitu rekaman musik rebana hasil dari kreatifitas seni pemuda-pemuda pekalongan. Rebana itu di sajikan ketika pada warga tarajumah ada acara-acara resmi, seperti pengajian khoul, isro’ mi’roj, maulud nabi, akhirussanah, pengajian akbar dan lain-lain. Oleh karena itu, nadzom sangat tepat sekali untuk dijadikan sarana media penyampai pesan bagi warga Tarajumah, karena dengan adanya media nadzom, warga Tarajumah merasa materi dakwah (isi nadzom) bisa tersampaikan dan selain itu nadzom juga bisa menjadi penghibur, dengan nada irama lirik nadzom tersebut.
BAB V KESIMPULAN, SARAN DAN PENUTUP
5.1.Kesimpulan KH. Ahmad Rifa’i merupakan seorang ulama’ intelektual lulusan Makkah dan Mesir yang mempunyai reputasi tinggi pada abad-19, seorang penyair, pemikir, pengarang dan juru dakwah yang ulung. Pemikirannya tidak hanya terbatas ditujukan kepada rakyat yang masih terbelenggu oleh takhayul, khurafat, dan kehidupan mistis saja, melainkan juga kepada cara hidup feodal, kolonialisme dan ulama tradisional, acuannya pada doktrin tauhid yang murni. Beliau mengembangkan dakwah bil-lisan, bil hal, dan bil qolam. Dari uraian singkat di atas dapat ditarik simpulan, bahwa nadzom yang terpinggirkan oleh pemerhati sastra, ternyata mempunyai fungsi yang sangat bermakna bagi pendukungnya yaitu dimanfaatkannya sejumlah nadzom dalam pembelajaran materi agama Islam secara terbatas. Dalam keterbatasan tersebut, ternyata pemanfaatan naskah-naskah nadzom dapat menjadikan para santri tarajumah berhasil memahami materi yang cukup rumit karena mereka merasa terlibat dalam pembelajaran sekaligus dapat menikmati dan menyanyikan irama bait-bait nadzom dengan indah.Oleh karena keberhasilan itulah, warga tarajumah
menawarkan model
pembelajaran melalui nadzom semacam itu sebagai model pembelajaran alternatif untuk semua cabang ilmu agama Islam pada lembaga nonformal
95
96
keagamaan (madrasah, majlis taklim, dan pesantren) terutama bagi para santri tarajumah sendiri. Tradisi santri tarajumah dalam pengamalan kehidupan sehari-hari selalu melafalkan kitab nadzomnya, setiap akan maupun sesudah selesai pengajian / kegiatan masyarakat, baik itu sholat berjamaah, peringatan hari besar, tahlil, manaqib, talqin mayyit di kuburan, mensholati mayyit, menjelang pengajian (majlis ta’lim), peringatan isra’ mi’raj dan lain-lain. Kegiatan warga rifa’iyah seperti itu merupakan bentuk dari cinta kasih, khurmat, taat dan patuh kepada pemimpinnya yaitu KH. Ahmad Rifa'i dengan menggunakan media nadzoman tersebut warga rifa’iyah merasa lebih dipermudah dalam memahami isi dari maksud kitab-kitab KH. Ahmad Rifa'i. Penggunaan nadzom KH.Ahmad Rifa’i sebagai media dakwah, sangat menguntungkan sekali bagi warga tarajumah, banyak sekali nilai positif yang dapat di ambil, dengan menggunakan nadzom mereka merasa terhibur dan tidak bosan ketika menjelang pengajian, karena cara pelafalannya di iringi dengan lagu-lagu. Oleh warga tarajumah nazdom juga dijadikan sebagai penarik minat ketika nadzomnya diiramakan menjelang pengajian akan di mulai. Dengan adanya nadzom KH. Ahmad Rifa’i warga tarajumah juga mempunyai kekuatan Imajinasi dalam berinovasi dan mengembangkan kurikulum yang sangat diandalkan, sehingga lebih mudah difahami akan maksud dari isi nadzom yang di hafalkan, selain hafal warga tarajumah dituntut untuk faham dan mampu mengamalkan isi nadzom
97
tersebut untuk dirinya sendiri khususnya dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
5.2.Saran-Saran Kalau kita simak secara seksama mengenai ajaran tarajumah yang salah satunya menggunakan media nadzom,pada dasarnya ajarannya sama saja dengan ajaran islam yang di anut oleh golongan besar umat islam khususnya di Indonesia. yaitu Tuhannya Allah yang maha Esa, Nabinya Muhammad, kitabnya Al-Qur’an, Agamanya Islam dan sebagainya. Dan kalau terjadi perbedaan, sementra itu hanya masalah cabang agama (furu’uddin),yang tidak prisipil, yang sudah biasa terjadi di kalangan umat islam pada umumnya. Dan perbedaan semacam itu sebaiknya di anggap saja sebagai kekayaan khazanah islam yang merupakan Rahmat bagi umat islam seluruhnya. Perbedaan inti pada metode pembelajaran santri tarajumah dalam media pembelajaran atau pengajiannya menggunakan kitab yang bertuliskan arab jawa pegon, yang salah satu model kitabnya berupa nadzom, sedangkan mayoritas umat islam di Indonesia, metode pembelajarannya menggunakan kitab kuning yang bertuliskan arab pegon. Namun sebenarnya perbedaan itu hanyalah perbedaan kecil saja, karena pada intinya ajaran dari si kitab-kitabnya adalah sama, untuk itu himbauan kepada seluruh ummat islam di Indonesia untuk tidak mempermasalahkan perbedaan kecil yang ada, untuk tetap menjaga Ukhuwah Islamiyah.
98
Oleh sebab itu dakwah adalah lentera kehidupan yang memberi cahaya dan menerangi hidup manusia dari nestapa kegelapan. Tatkala manusia dilanda kegersangan spiritual, dengan rapuhnya akhlak, maraknya korupsi, kolusi dan manipulasi, dakwah diharapkan mampu memberi cahaya terang.
5.3. Penutup Segala puji bagi Allah SWT, dengan karunianya telah dapat disusun tulisan yang jauh dari kesempurnaan. Shalawat dan salam semoga tetap dilimpahkan kepada junjungan nabi besar Muhammad SAW. Dengan berjuang sekuat tenaga, disusun tulisan sederhana ini dengan menyadari mungkin adanya kesalahan atau kekeliruan sebagai hasil keterbatasan wawasan penulis, terlebih lagi bila ditinjau dari aspek metodologi maupun kaidah bahasanya. Kami menyadari bahwa penulisan ini masih banyak kekurangan, dan oleh karenanya kritik dari siapa saja selalu kami harapkan demi memajukan khazanah pengetahuan tentang Islam Indonesia pada abad-abad yang lalu, khususnya pemikiran ulama yang nyaris terlepas dari perhatian banyak orang. Akhir kata, penulis mengucapkan alhamdulillah, semoga tulisan di atas ada manfaatnya bagi pembaca budiman. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Dzikron, Metodologi Dakwah, Semarang: Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang, 1987. Ahmad, Aminullah, Dakwah Islam dan Transformasi Sosial Budaya, PLP2M, 1985. Aminuddin, Pengantar Apresiasi Karya Sastra, bandung: CV. Sinar baru dan YA 3, malang, 1991. Anas, Ahmad, Paradigma Dakwah Kontemporer, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2006. Arifin, Psikologi Dakwah Suatu Pengantar, Studi, Jakarta: Bulan Bintang, 1977, cet. I. Azis, ali, Muhammad, Ilmu Dakwah, jakarta, prenada media, 2004. Basuki, Anhari. 1988. “Salah Satu Sisi dalam Sastra Pesantren” dalam Widya Parwa No. 32, April 1988.. Braginsky, VI. 1994. Erti Keindahan dan Keindahan Erti dalam Kesusastraann Melayu Klassik. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Darban, Ahmad Adabi, Gerakan Sosial Keagamaan di Pedesaan Jawa Tengah, Tahun 1850-1982, Tarawang, Januari 2004. Darnawi, Soesatyo. 1964. Pengantar Puisi Djawa. Jakarta: Balai Pustaka. Departemen Agama RI, (YPP), Al-Qur'an dan Terjemahannya, YPP Al-Qur'an, Jakarta, 1982. Djamalul Abidin, Komunikasi dan Bahasa Dakwah, Gema Insani Press, Jakarta, 1996. Djamil, Abdul, Perlawanan Kyai Desa-Pemikiran dan Gerakan Islam Kalisalak, LKiS, Yogyakarta, 2001. Esa Putra, Adjie, Revolusi Nasyid, Bandung: MQS Publishing, 2004. Ghazali, M. Bahri, Dakwah Komunikatif, Membangun Kerangka Dasar Ilmu Komunikatif Da’wah, jakarta: pedoman ilmu jaya, 1977. http://staff.undip.ac.id/sastra/muzakka/2009/08/05/10/
Husein, Abdul Karim. 1982. “Unsur Sastra Arab sebagai Sastra Lisan dalam Kesenian Tradisional”. Makalah disampaikan dalam Sarasehan Sastra Lisan Fak Sastra Undip. Laporan Penelitian Gerakan Rifa’iyah, 1982/1983: 7 Moleog, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, bandung remaja rosdakarya, 2004. Muzakka dkk, Moh. 2002. “Kedudukan dan Fungsi Singir bagi Masyarakat Jawa. ____________. 1989. “Analisis Struktur Syair Paras Nabi”. Semarang:Skripsi Fakultas Sastra Undip. ____________. 1994. “Singiran: Sebuah Tradisi Sastra Pesantren” dalam Hayamwuruk. No. 2 Th. IX. ____________. 1999. “Tanwiru ‘l-Qari’ sebagai Penyambut Teks Tajwid Tuchfatu ‘l-Athfal: Analisis Resepsi”. Yogyakarta: Tesis S2 UGM. Poerbatjaraka dan Tardjan Hadidjaja. 1952. Kapustakaan Djawa. AmsterdamDjakarta: Djambatan. Proposal Pengukuhan Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional kepada KH. Ahmad Rifa'i, 2002. Sanwar, Aminudin, Pengantar Ilmu Dakwah, Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang, 1986. Shadry, Abd. Rauf. 1980. Nilai Pengajaran Bahasa Arab dan Sejarah Perkembangannya. Bandung: Bina Cipta. Shaleh, Abdul Rosyad, Manajemen Dakwah Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1997. Shihab, Alwi, Islam Inklusif, Mizan, Bandung, 1997. Shodiq, Abdullah, Islam Tarjamah, Komunitas, Doktrin dan Tradisi, 2006. Simuh, Komunikasi Interaksi Islam dan Budaya Jawa, Makalah 2000. Steenbrink, Karel A. 1988.Mencari Tuhan dari Kacamata Barat: Kajian Kritis Mengenai Agama di Indonesia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press. Surahmad, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar Metoda Teknik, Bandung, Tarsito, 1989. Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian, jakarta, raja grafindo persada, 1998.
Syadzirin, Ahmad, Gerakan Syaikh Ahmad Rifa'i dalam Menentang Kolonial Belanda, Jama’ah Masjid Baiturrahman, Jakarta Pusat, 1995. Syukir, Asmuni, Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1983. Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. Tim
Penyusun Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Dakwah Muhammadiyah, yogyakarta: PT. surya sarana utama, 2004.
Kultural
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Diterjemahkan Melani Budianta. Jakarta: Gramedia. Ya’kub Hamzah, Publisistik Islam, Teknik Dakwah dan Leadership, Bandung: Diponegoro, cet. 2, 1981. Zakaria, Abu Bakrin, Addakwatul Alal ‘Islami, 1 sarang, Maktabah Darul Arabah, 1962.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Rumaisah ULfa
NIM
: 1105032
Tempat/Tgl. Lahir
: Kendal, 28 Desember 1987
Alamat Asal
: Gilisari RT 01/02 Sendang Dawuhan Rowosari Kendal
Pendidikan
: 1. SD Tanjunganom
Lulus Tahun 1999
2. MTs Nurul Huda Mangkang
Lulus Tahun 2002
3. MA Salafiyah Pekalongan
Lulus Tahun 2005
4. IAIN Walisongo Semarang Angkatan 2005
Semarang, 28 Desember 2009 Penulis,
Rumaisah Ulfa NIM. 1105032
.1ﻧﻈﻢ ﺣﺴﻦ ﺍﳌﻄﺎﻟﺐ )ﻣﻌﺠﺎﻡ -ﻣﻌﺠﺎﻡ ﺻﻔﺔ ﺟﻴﻠﻚ( ﺍﺗﻮﻯ ﻓﺮ ﺗﻴﻼﱏ ﺻﻔﺔ ﺍﻻ ﺗﻨﻤﻮﱏ ﻣﻮﻏﻜﻮﺓ ﺷﺮﻉ ﻧﻎ ﺍﺗﻰ ﺩﻭﺻﺎﺍﻧﺎﱏ ﺍﻳﻜﻠﺔ ﺗﻨﻮ ﺗﻮﺭ ﻟﻐﻆ ﺳﺮﺗﺎ ﻣﻌﻨﺎﱏ ﺣﻮﺏ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﺗﻜﺲ ﻓﺮﺗﻼﱏ ﻣﻌﻨﺎ ﺗﺮﲨﺔ ﺍﻳﻜﻮ ﺍﺳﻪ ﺍﻍ ﺩﻧﻴﺎ ﺍﺗﻮﻯ ﻣﻌﻨﺎ ﱏ ﺍﻣﺘﻼﺡ ﺳﻨﺪﻱ ﻳﺎﺋﻜﻮﺍﺳﻪ ﺍﻍ ﺩﻧﻴﺎ ﻣﻠﻴﺎ ﺍﻭﺭﺍﺭﻭﻩ ﺍﻍ ﺍﺧﺮﺓ ﺩﺍﺩﻯ ﺳﻴﺎ .2ﻧﻈﻢ ﺭﻋﻴﺔ ﺍﳍﻤﺔ )ﺍﳝﺎﻥ( ﺑﺎﺏ ﺍﻳﻜﻠﺔ ﺑﺎﺏ ﺗﻨﻤﻮﻭﳚﺎﺭﱏ ﺍﻏﺪﺍﱂ ﻳﺘﺎﺃﻛﻦ ﺍﺻﻮﻝ ﻏﻠﻤﻨﻮﱏ ﲜﺮﺍﺍﳝﺎﻥ ﺑﺮﻏﻜﻎ ﺗﻌﻠﻖ ﺗﻨﻤﻮﱏ ﻛﻜﻴﻮﻏﺎﻥ ﺍﻍ ﺍﷲ ﺭﲪﺔ ﻟﻦ ﻛﺎﻧﻮﻛﺮﺍﻫﺎﱏ ﺍﻳﻜﻠﻪ ﻛﻼﻡ ﻏﻠﻤﺎ ﺩﻯ ﺍﺳﻖ ﺍﺳﻖ ﺍﻻﳝﺎﻥ ﰱ ﺍﻟﻠﻐﺔ ﺍﻟﺘﺼﺪﻳﻖ ﺍﻧﻮﺓ ﺍﳝﺎﻥ ﻏﺴﺘﻮﺃﻛﻦ ﺟﺰﻡ ﻧﻎ ﺍﺗﲎ ﺍﻍ ﺑﺮﻏﻜﻎ ﻭﻭﺱ ﺩﺗﻐﻜﻦ ﺗﻨﻤﻮﱏ
.3ﻧﻈﻢ ﺍﺳﻨﺎﻝ ﻣﻘﺼﺎﺩ )ﳎﺎﻡ – ﳎﺎﻡ ﺩﻭﺻﺎ( ﺳﺘﻐﺔ ﻣﻌﺼﻴﺔ ﺩﻭﺻﺎ ﻛﺪﻯ ﺳﻜﻴﺔ ﻭﺭﻧﺎﱏ ﺍﻭﺭﺍﺩﺍﺩﻯ ﻛﺎﻓﺮ ﻭﻭﻍ ﻛﺎﻭﻯ ﲤﺔ ﻏﻴﲏ ﺗﺘﺎﰱ ﺩﺍﺩﻯ ﻓﺎ ﺳﻖ ﺍﻳﻼﻍ ﻛﻌﺎﺩﻟﲎ ﺍﻛﺎﻭﻱ ﺩﻭﺻﺎ ﻛﺪﻯ ﻭﺭﻧﺎ ﺳﺎﻟﺔ ﺳﻮﳛﲎ ﻳﺎﺋﻜﻮ ﻣﺎﺗﲎ ﺍﻍ ﻭﻭﻍ ﺍﺳﻼﻡ ﻛﻴﺎﺗﺎﺃﻥ ﺗﻦ ﺍﻧﻮﺓ ﺷﺮﻳﻌﺔ ﺗﻦ ﻧﻨﺎ ﻛﺎﺋﻮﻇﻮﺭﺍﻥ ﺍﺗﻮﺍ ﻧﺘﻮﱏ ﻳﻐﺠﺎ ﻣﻌﺼﻴﺎﺗﻦ ﻭﻧﺎﻍ ﺳﺒﺐ ﻧﻮﻟﻚ ﺳﻐﻜﻎ ﻭﻭﻉ ﻛﺴﻼﻫﻦ .3ﻧﻈﻢ ﺑﻴﺎﻧﻞ ﺣﻮﺍﺋﺞ )ﺗﺼﻮﻑ( ﺑﺎﺏ ﺍﻳﻜﻠﻪ ﺑﺎﺏ ﻳﺘﺎﺃﻛﻦ ﺗﻨﻤﻮﱏ ﻏﻠﻢ ﺗﺼﻮﻑ ﻛﻎ ﺩﻱ ﻭﺟﺎﻛﻦ ﻏﻮﻓﻴﺎﱏ ﺍﻭﻛﺎﻭ ﺍﺟﺐ ﺩﻯ ﻋﻤﺎﻝ ﻧﻮﱃ ﺳﻜﻮﺍﺳﺎﱏ ﺍﻏﺎﺗﺴﻰ ﻣﻜﻠﻒ ﺍﺭﻑ ﻏﺎﻭﺭﻭﻫﻰ ﻏﻠﻤﻮﱏ ﺳﺘﻐﺔ ﺻﻔﺔ ﻛﻎ ﻓﻨﻮﺝ ﺩﱏ ﺷﺮﻳﻌﺔ ﻟﻦ ﺻﻔﺔ ﻛﻎ ﺟﻴﻨﻠﻮ ﻧﻎ ﺍﺗﻰ ﻣﻌﺼﻴﺔ ﺍﺗﻮﻯ ﻓﺮﺗﻼﱏ ﺳﺘﻐﻬﻰ ﺻﻔﺔ ﻛﻎ ﻓﻨﻮﺝ ﺩﱏ ﺷﺮﻉ ﻣﻨﻔﻌﺔ
.5ﻧﻈﻢ ﲢﺴﻨﺔ )ﺷﺮﻁ ﻓﺎﲢﺔ( ﺍﺗﻮﻯ ﺳﻜﻴﺔ ﺷﺮﻁ ﻓﺎﲢﺔ ﻭﻳﻼﻏﺎﱏ ﺍﻳﻜﻮ ﻭﻟﻮﻍ ﻓﺮﻛﺮﺍ ﻛﺎﻓﺮ ﺗﻴﻼﻧﻦ ﻛﻎ ﺩﻳﻬﻰ ﻏﺎﺭﻛﺼﺎﺳﻜﻴﻪ ﺣﺮﻑ ﻛﺎﺑﻨﺮﻥ ﻛﺎﻓﻨﺪﻭﺭﻭﻣﻜﺼﺎ ﺳﻜﻴﻪ ﺗﺸﺪﻳﺪ ﺗﻦ ﻛﺘﻐﺒﻜﺎﻟﻦ ﻛﺎﻓﻎ ﺗﻠﻮ ﻏﺎﺭﻛﺼﺎﻣﻜﻴﻪ ﺍﻍ ﻏﺎﺭﺑﺎﱏ ﻛﺎﻓﻎ ﻓﻔﺔ ﺩﻯ ﻭﺟﺎﻛﻼﻭﻥ ﻏﺎﺩﻙ ﺳﺮﺗﲎ ﻛﺎﻓﻎ ﻟﻴﻤﺎﺍﺭﻑ ﻏﺮﻭﻏﻮﻭﻳﻮﻯ ﺗﺎﻟﻐﺎﱏ ﻛﺎﻓﻎ ﱎ ﺗﺮﺗﻴﺐ ﻓﻎ ﻓﻴﺘﻮ ﺗﻨﻮﱃ ﻭﺟﺎﱏ ﻛﺎﻓﻎ ﻭﻟﻮ ﻓﺮﺿﻮﱏ ﺍﺭﻑ ﻛﻨﻮﺭﻭﻫﻦ .6ﻧﻈﻢ ﺗﺒﻴﻞ ﺍﺻﻼﺡ )ﻧﻜﺎﺡ( ﺍﻧﻔﻮﻥ ﺑﺴﺎﻭﻭﺱ ﻣﻮﺟﻰ ﺍﻍ ﺍﷲ ﻟﻦ ﺻﻼﺓ ﺍﺗﺲ ﻧﱮ ﻛﺎﻓﺮﻧﺔ ﺍﺗﺴﻰ ﻳﻜﺎﻰ ﺣﻜﻢ ﻧﻜﺎﺣﻦ ﻟﻦ ﺑﺮﻏﻜﻎ ﺣﺠﺔ ﻛﻨﻮﺍﺭﻭﻫﻰ ﻣﺮﺍﻍ ﻧﻜﺎﺡ ﻟﻦ ﻃﻼﻕ ﻓﻔﻜﺎﻧﺖ ﻟﻦ ﺑﺮﻏﻜﻎ ﺗﻌﻠﹼﻖ ﺍﻉ ﻛﻼﻛﻮﻫﻰ ﻟﻦ ﻟﻴﺎﻥ ﻛﺎﺭﻭﱏ ﻭﺟﺎﺭﱏ ﺷﺘﻜﻎ ﻛﻎ ﺳﻴﻮﻛﺒﺎﻏﺎﻭﺭﻫﻰ ﻏﻠﻤﻮﱏ
.7ﻧﻈﻢ ﺗﺸﺮﳛﺔ ﺍﶈﺘﺎﺝ )ﺍﺩﻭﻝ ﺗﻮﻛﻮ( ﺍﻧﻔﻮﻥ ﺳﺄﻭﻭﺱ ﻣﻮﺟﻰ ﺍﻍ ﺍﷲ ﻓﻐﺮﺍﻥ ﻟﻦ ﺻﻼﻭﺓ ﺍﺗﺲ ﻧﱮ ﺍﺗﻮﺳﻰ ﻣﻜﺎﺍﻳﻜﻠﺔ ﻛﻼﻧﺘﻮﻏﺎﻥ ﺗﺮﲨﻬﻦ ﻛﻎ ﻟﻄﻒ ﻣﻐﻜﲎ ﺍﺗﺲ ﺳﻜﻴﻪ ﺣﻜﻮﻣﻦ ﺑﻴﻊ ﺍﺩﻭﻝ ﺗﻮﻛﻮ ﻟﻦ ﺑﺮﻏﻜﻎ ﺗﻨﻤﻮﱏ ﻛﻎ ﺗﻌﻠﻖ ﻛﻼﻭﻥ ﺍﺑﻮ ﻭﳚﺎﺭﺍﻥ ﻟﻦ ﻳﺘﺎ ﺍﻛﻦ ﺑﺮﻍ ﻟﻴﺎﱏ ﺑﻴﻊ ﺣﻜﻮﻣﺎﱏ ﺷﻐﻜﻎ ﻣﻌﺎﻣﻠﺔ ﻭﻭﻉ ﳝﺒﻮﺓ ﻛﻮﱏ .8ﻧﻈﻢ ﺗﺬﻛﻴﺔ )ﺷﺮﻁ ﺻﺦ ﻭﺯﺿﻮ ﻟﻦ ﺍﺩﻭﺱ( ﺍﺗﻮﻯ ﺳﻜﻴﻪ ﺷﺮﻁ ﺳﺢ ﻭﻭﺿﻮ ﺗﻨﻮﺗﻮﺭ ﻟﻦ ﺍﺩﻭﺱ ﺍﻳﻜﻮ ﺳﻐﺎﻍ ﻓﺮﻛﺎﺭﻯ ﲜﻤﻔﻮﺭ ﻛﻎ ﺩﻳﻬﻦ ﺍﺳﻼﻡ ﻛﺎﻓﻨﺪ ﲤﻴﺰ ﺟﻮﺟﻮﺭ ﻛﺎﻓﻎ ﺗﻠﻮ ﻏﺎﻭﺭﻭﻫﻰ ﻓﺮﺽ ﻓﻐﻜﺎﻭﻯ ﻓﻨﻼﻫﻮﺭ ﻛﺎﻓﻎ ﻓﺖ ﺑﺎﻳﻮﺳﻮ ﺣﻰ ﻳﻮﺟﺌﺎ ﻛﻰ ﺍﻉ ﻟﻴﺎﻥ ﻛﺎﻓﻎ ﻟﻴﻤﺎ ﺍﺟﺎﺍﻧﺎ ﺍﻍ ﻛﻔﺎ ﻫﺮﺍﻥ ﻳﻜﺎﺓ ﺗﻜﺎﱏ ﺑﻴﻮﻣﺎﺭﻳﻎ ﻛﻮﻟﺖ ﻛﻴﺎﺕ ﺃﻥ ﻛﺎﻓﻎ ﱎ ﻛﻜﻞ ﻧﻴﺎﻯ ﻧﻎ ﻛﺒﺎﻃﻨﻦ
10ﻧﻈﻢ ﻭﺿﺤﺔ )ﺷﺮﻁ ﻛﻮﺍﺟﺒﺎﻥ ﺻﻼﺓ( ﺍﺗﻮﻯ ﺳﻜﻬﻰ ﺷﺮﻁ ﻛﻮﺍﺟﺒﺎﱏ ﺍﻋﺪﺍﱂ ﺻﻼﺓ ﻟﻴﻤﺎﻍ ﻭﻗﺖ ﺗﻨﻤﻮﱏ ﺑﺎﺋﻜﻮ ﻓﻨﺎﻍ ﻓﺮﻛﺮﺍ ﻭﻳﻼﻏﺎﱏ ﻛﻎ ﻓﺮ ﺩﻳﻬﻦ ﺍﺳﻼﻡ ﺗﻦ ﻭﺍﺟﻞ ﻧﻎ ﺩﻧﻴﺎﱏ ﻛﺎﻓﺮ ﺍﺻﻞ ﺗﺘﺎﰱ ﺳﻨﻜﺼﺎﻧﻎ ﺍﺧﺮﺓ ﺗﻐﻜﺎﱃ ﺱ ﻛﺎﻓﺮ ﻛﻮﺍﺟﺒﺎﻥ ﺻﻼﺓ ﻻﻓﻨﺪﻭ ﺑﺎﻟﻎ ﺍﻭﺭﺍﻭﺍﺟﺐ ﺩﻯ ﺣﺠﺔ ﺍﻏﺎﺗﺲ ﺭﺍﺭﻯ ﺍﻭﺭﺍ ﺩﺍﻟﻪ ﻣﻌﺼﻴﺔ