STRATEGI BERTAHAN PELAKU SEKTOR INFORMAL: Peranan Modal Sosial Migran Pedagang Kaki Lima di Sekitar Kebun Raya Bogor
MONA LUSIA BR MANIHURUK
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul STRATEGI BERTAHAN PELAKU SEKTOR INFORMAL: Peranan Modal Sosial Migran Pedagang Kaki Lima di Sekitar Kebun Raya Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2013
Mona Lusia br Manihuruk NIM I34090021
ABSTRAK MONA LUSIA BR MANIHURUK. STRATEGI BERTAHAN PELAKU SEKTOR INFORMAL: Peranan Modal Sosial Migran Pedagang Kaki Lima di Sekitar Kebun Raya Bogor. Dibimbing oleh EKAWATI SRI WAHYUNI. Sektor informal mampu menyerap tenaga kerja migran yang tidak terampil dengan jumlah yang relatif besar. Jumlah migran yang masuk ke daerah Bogor terus meningkat dari waktu ke waktu dan menyebabkan perkembangan sektor informal, khususnya PKL (Pedagang Kaki Lima). Para migran pedagang kaki lima biasanya memulai usaha dengan memanfaatkan modal sosial yang mereka miliki, misalnya, kerabat atau teman mereka dari daerah asal yang sama. Kemudian, mereka akan memperluas jaringan ke kelompok lain yang berkaitan dengan usaha mereka, seperti pemasok bahan baku. Para migran pedagang kaki lima bergantung pada modal sosial yang mereka miliki untuk mempertahankan usaha mereka. Penelitian ini menggunakan metode survei dan wawancara mendalam terhadap 40 pedagang kaki lima di sekitar Kebun Raya Bogor. Kata kunci: sektor informal, pedagang kaki lima (PKL), migrasi desa-kota, modal sosial, strategi bertahan.
ABSTRACT MONA LUSIA BR MANIHURUK. SURVIVAL STRATEGY OF INFORMAL SECTOR PROPRIETORS: The Roles of Social Capital of Migrant Street Vendors Around Bogor Botanical Gardens. Supervised by EKAWATI SRI WAHYUNI. The informal sector is able to absorb a relatively large number of unskilled migrant-labor. The number of in-migrant into Bogor area is continued to increase from time to time and to cause the development of informal sector, particularly the street vendor or PKL (Pedagang Kaki Lima). The migrant street vendors usually start a business by utilizing the social capital they had, for example,their relatives or friends of the same origin villages. Later on, their networking will expand to other groups that related to their business, such as raw material suppliers. The migrant street vendors rely on the social capital they owned to survive their business. This study was based on a survey and in-depth interview to 40 street vendors around Bogor Botanical Gardens Keywords: informal sector, street vendor (PKL), rural-urban migration, social capital, survival strategy.
STRATEGI BERTAHAN PELAKU SEKTOR INFORMAL: Peranan Modal Sosial Migran Pedagang Kaki Lima di Sekitar Kebun Raya Bogor
MONA LUSIA BR MANIHURUK
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi : STRATEGI BERTAHAN PELAKU SEKTOR INFORMAL : Peranan Modal Sosial Migran Pedagang Kaki Lima di Sekitar Kebun Raya Bogor Nama : Mona Lusia br Manihuruk NIM : I34090021
Disetujui oleh
Dr. Ir. Ekawati Sri Wahyuni, MS Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS Ketua Departemen
Tanggal Lulus: _____________________
PRAKATA Puji dan Syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan karunia yang telah Dia limpahkan kepada penulis sehingga skripsi yang berjudul ”Strategi Bertahan Pelaku Sektor Informal: Peranan Modal Sosial Migran Pedagang Kaki Lima di Sekitar Kebun Raya Bogor” dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai syarat memperoleh gelar sarjana sains komunikasi dan pengembangan masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Selain itu, skripsi ini juga disusun untuk mengembangkan wawasan penulis mengenai strategi bertahan sektor informal dan modal sosial. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Ir. Ekawati Sri Wahyuni MS sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan saran, masukan, dan bimbingan selama proses penyusunan skripsi mulai dari awal sampai penyelesaian skripsi ini. Penulis juga menyampaikan hormat dan terimakasih kepada ayah tercinta, Biner Manihuruk, serta kakak adik tersayang Eva Manihuruk, Devy Manihuruk, Riris Manihuruk, Adi Manihuruk dan Santa Manihuruk yang selalu mendoakan, selalu mengingatkan, memberi semangat, dukungan dan kasih sayang yang tak terhingga. Juga untuk mama tercinta Alm. Ermatio Sinabariba yang selalu mendoakan putra-putrinya. Penulis juga tidak lupa berterimakasih kepada semua teman-teman yang tidak tersebutkan namanya satu persatu, teman-teman terkasih Vinsensia, Wiwik, Tamada, Ari, Dito, Regina, Patris, Nita, Basa teman-teman kemaki, puella domini, teman satu bimbingan Jajang Somantri, teman-teman KPM Bonita, Yanti, Vici, Sondang, Melisa, Lourenza, teman-teman akselerasi 46 dan semua KPM’ers 46 yang selalu memberi semangat dan dukungan. Terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian Skripsi ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Januari 2013
Mona Lusia br Manihuruk
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Konsep Sektor Informal Definisi Sektor Informal Pelaku Sektor Informal Kegiatan Sektor Informal yang Sah sebagai Sumber Penghasilan Konsep Pedagang Kaki Lima (PKL) Definisi Pedagang Kaki Lima (PKL) Penggunaan Tata Ruang Pedagang Kaki Lima (PKL) Strategi Bertahan Pelaku Sektor Informal Modal Sosial Sebagai Strategi Bertahan Pelaku Sektor Informal Kerangka Pemikiran Hipotesis Penelitian Definisi Konseptual PENDEKATAN LAPANG Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis Data dan Pengumpulan Data Teknik Pengambilan Sampel Pengolahan dan Analisis Data GAMBARAN LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN Profil Kota Bogor Karakteristik Responden USAHA KAKI LIMA SEBAGAI KEGIATAN SEKTOR INFORMAL YANG SAH Gambaran Usaha Kaki Lima di Sekitar Kebun Raya Bogor (KRB) Tingkat Pendapatan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Sekitar Kebun Raya Bogor (KRB) Sumber Modal Usaha Pedagang Kaki Lama (PKL) PERANAN MODAL SOSIAL DALAM STRATEGI BERTAHAN PELAKU SEKTOR INFORMAL Jaringan Keragaman Tipe Lama Usaha Kepercayaan Kepercayaan Terhadap sesama Migran Kepercayaan Terhadap Migran Se-daerah Asal Hubungan Lama Usaha dengan Tingkat Kepercayaan yang
vi xi xi 1 1 3 4 4 5 5 5 6 7 8 8 8 10 11 12 13 13 15 15 15 16 16 17 17 19 21 21 22 24 27 27 28 29 29 30 30 31
viii
dimiliki Oleh Para Migran Pedagang Kaki Lima (PKL) Norma Aturan Sesama Pedagang Kaki Lima (PKL) Hubungan Antara Sesama PKL dengan Jenis Usaha PKL HUBUNGAN ANTARA STRATEGI BERTAHAN PELAKU SEKTOR INFORMAL DENGAN KEBERLANJUTAN USAHA PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) Strategi Bertahan Pelaku Sektor Informal (PKL) Hubungan antara Modal Sosial Pedagang Kaki Lima (PKL) di Sekitar KRB dengan Strategi Bertahan Pedagang Kaki Lima (PKL) Hubungan antara Modal Sosial dengan Keberlanjutan Usaha Pedagang Kaki Lima (PKL) SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
31 32 32 33 34 35 35 40 40 40 41 43 56
DAFTAR TABEL 1 Karakteristik dua sektor ekonomi 2 Jumlah penduduk migran dan non migran di kota Bogor 2010. 3 Karakteristik responden Pedagang Kaki Lima (PKL) di sekitar Kebun Raya Bogor (KRB) 4 Jumlah dan persentase responden penjual makanan dan minuman di sekitar Kebun Raya Bogor (KRB) 5 Lama usaha PKL di sekitar KRB 6 Jenis pekerjaan PKL responden sebelum melakukan migrasi 7 Jumlah dan persentase tingkat pendapatan migran PKL sebelum dan sesudah melakukan migrasi 8 Jumlah dan persentase PKL yang masih memiliki pendapatan dari desa 9 Jumlah dan persentase tingkat jaringan responden migran PKL 10 Jumlah dan persentase tingkat kepercayaan responden migran PKL 11 Jumlah dan persentase tingkat norma responden migran PKL 12 Tingkat modal sosial responden migran PKL 13 Tingkat strategi bertahan responden migran PKL 14 Hubungan antara modal sosial dengan strategi bertahan pelaku sektor informal 15 Jadwal pelaksanaan penelitian
6 19 20 21 22 22 23 24 31 33 35 37 38 38 44
DAFTAR GAMBAR 1 Kerangka pemikiran 2 Grafik pendapatan migran PKL sebelum dan sesudah melakukan migrasi
12 23
DAFTAR LAMPIRAN 1 Peta Lokasi Penelitian 2 Data Responden 3 Kuesioner 4 Foto Penelitian
43 44 46 53
1
PENDAHULUAN Sektor informal adalah salah satu sektor yang dapat menyerap tenaga kerja dengan jumlah relatif besar. Ketika sektor formal sudah tidak mampu lagi menyerap tenaga kerja yang tersedia maka sektor informal menjadi pilihan para pencari kerja. Sektor informal cenderung dilakukan oleh para migran, khususnya migran desa. Hal ini disebabkan karena mobilisasi yang diilakukan migran dari desa ke kota pada dasarnya dengan tujuan untuk menyambung kehidupan, mencari nafkah untuk kelanjutan kehidupan keluarga tanpa diikuti dengan keterampilan dan pendidikan yang cukup. Salah satu sektor informal yang cukup berkembang adalah pedagang kaki lima (PKL), khususnya penjual makanan dan minuman. PKL sangat rentan dengan pasang surut usaha karena berbagai faktor, misalnya modal usaha dan perijinan sering sekali menyebabkan para PKL kesulitan. Untuk itu penelitian ini bertujuan untuk menganalisis strategi bertahan para PKL khususnya di sekitar Kebun Raya Bogor (KRB) dan hubungannya dengan modal sosial. Berikut dipaparkan secara lengkap mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan, dan manfaat dari penelitian ini.
Latar Belakang Sektor informal merupakan salah satu sektor lapangan kerja yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah relatif besar dan tidak terlalu menuntut karakteristik tertentu dari pelakunya. Istilah sektor informal pertama kali dilontarkan oleh Hart (1971) dalam Wirosardjono (1985) dengan menggambarkan sektor informal sebagai bagian angkatan kerja kota yang berada di luar pasar tenaga terorganisasi. Sektor informal menjadi pilihan masyarakat ketika sektor formal sudah tidak mampu menyerap tenaga kerja yang tersedia lagi. Berdasarkan Laporan Pembahasan Pola Pembinaan Sektor Informal Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Badan Penelitian dan Pengembangan (1928/1983), sektor informal dibagi ke dalam lima golongan yaitu : kegiatan pada sektor perdagangan, angkutan, industri, konstruksi dan jasa (Suwartika 2003). Salah satu sektor informal yang banyak dimasuki oleh masyarakat adalah menjadi pedagang kaki lima (PKL). PKL adalah orang dengan modal yang relatif sedikit berusaha di bidang produksi dan penjualan barang-barang (jasa-jasa) untuk memenuhi kebutuhan kelompok tertentu di dalam masyarakat, usaha tersebut dilaksanakan pada tempat-tempat yang dianggap strategis dalam suasana lingkungan yang informal (Winardi dalam Haryono 1989). Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta tahun 2002 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pedagang kaki lima adalah perorangan atau pedagang yang di dalam kegiatan usahanya melakukan penjualan barang-barang tertentu yang tidak memiliki tempat dan bangunan sendiri yang umumnya memakai tempat-tempat/fasilitas untuk kepentingan umum serta tempat lain yang bukan miliknya. PKL sering dianggap sebagai pekerjaan lapisan bawah yang mengganggu ketentraman pejalan kaki dan pengguna jalan raya. PKL hampir selalu menjadi sorotan masyarakat apabila terjadi kemacetan di sekitar pedagang kaki lima yang membuka usaha. PKL juga merupakan pihak yang selalu menjadi obyek dari petugas ketertiban pemerintah karena melanggar tata ruang perkotaan. PKL
2
dipermasalahkan karena menggangu para pengendara kendaraan bermotor. Selain itu ada PKL yang menggunakan sungai dan saluran air terdekat untuk membuang sampah dan air cuci. Sampah dan air sabun dapat lebih merusak sungai yang ada dengan mematikan ikan dan menyebabkan eutrofikasi1. Akan tetapi PKL kerap menyediakan makanan atau barang lain dengan harga yang lebih, bahkan sangat murah daripada membeli di toko. Hal ini merupakan salah satu kelebihan dari PKL dan membuat keberadaan PKL tetap berlangsung dalam masyarakat. Modal dan biaya yang dibutuhkan untuk memulai usaha relatif kecil sehingga kerap mengundang pedagang yang hendak memulai bisnis dengan modal yang kecil atau orang kalangan ekonomi menengah ke bawah yang biasanya mendirikan bisnisnya di sekitar rumah mereka. PKL menjadi sosok yang unik. Mereka menjadi unik karena di tengah tekanan yang mereka dapatkan dari masyarakat maupun pemerintah namun tidak membuat PKL mengalami pengurangan jumlah pelaku. Berdasarkan data Asosiasi Pedagang Pasar se-Indonesia (ASPPSI) jumlah pedagang mikro ini mencapai 11 juta orang (Kementrian Koperasi dan UKM 2005). PKL tidak pernah menerima permodalan dari pemerintah ataupun perbankan namun bisa survive dalam menjalankan usahanya dan memenuhi kebutuhan keluarganya. Kelompok PKL justru mampu menciptakan lapangan kerja yang tidak memberatkan pelakunya dan penyumbang bagi retribusi pemerintah Kota/Kabupaten. Menjadi PKL sering dianggap pekerjaan yang mudah untuk dimasuki dan mudah untuk dilaksanakan. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa banyak orang yang memasuki dunia sektor informal dengan menjadi pedagang kaki lima namun tidak dapat bertahan dan melanjutkan usahanya, bahkan sering sekali tidak mampu mengembalikan modal awal. PKL dapat kita temui mulai dari desa sampai kota besar. Semarak PKL sangat terasa di kota-kota besar. Salah satu kota yang mempunyai jumlah PKL yang cukup besar adalah Kota Bogor, Jawa Barat. “Kepala Satpol PP Kota Bogor Bambang Budianto menyebutkan, jumlah PKL di Kota Bogor saat ini sudah menembus angka 10 ribu” (Prima 2012). PKL dapat kita temui di hampir setiap sudut kota Bogor. Larangan secara kasar maupun halus yang telah dilakukan tidak membuat para PKL mundur dan berkurang secara pasti. Wilayah yang sangat sarat akan PKL di kota Bogor adalah daerah di sekitar trotoar Kebun Raya Bogor (KRB). PKL yang ada disekitar KRB sangat sering dikeluhkan keberadaanya oleh pengunjung dan masyarakat yang disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya macet dan bau pesing Akan tetapi juga tetap tidak membuat para PKL tersebut menghentikan usahanya (Dika 2011). Strategi menjadi hal yang sangat penting bagi PKL untuk dapat mempertahankan usahanya dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Pekerja sektor informal juga membutuhkan modal sebagai salah satu strategi untuk mempertahankan hidupnya. Farrington (1999) dalam Suwartika (2003) menyebutkan beberapa modal/aset masyarakat untuk melakukan transformasi struktur dan proses sosial ke arah kehidupan yang lebih baik, yaitu modal finansial merupakan modal yang dimiliki masyarakat dalam bentuk uang, modal ekologikal adalah modal masyarakat dalam bentuk sumberdaya alam yang ada di lingkungan masyarakat tersebut, modal sumberdaya manusia dapat didefenisikan 1
Eutrofikasi adalah pencemaran air yang disebabkan oleh munculnya nutrient yang berlebihan ke dalam ekosistem air.
3
sebagai modal masyarakat berupa sumberdaya manusia, modal fisik merupakan modal masyarakat yang berupa sarana dan prasarana fisik. Selama ini, hanya keempat modal tersebut yang lebih menjadi perhatian dalam upaya-upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, sedangkan modal sosial belum banyak dilirik sebagai modal yang dimiliki masyarakat dalam upaya-upaya pengembangan masyarakat guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Modal sosial merupakan modal yang lebih menekankan pada modal yang dimiliki masyarakat sebagai hasil dari hubungan-hubungan sosial yang terjalin diantara semua anggota. PKL merupakan salah satu kegiatan kewirausahaan yang sangat potensial untuk dikembangkan. Penelitian yang dilakukan Tawardi (1999) adalah mengenai nilai-nilai kewirausahaan dan beberapa faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi perkembangan usaha seseorang. Berdasarkan faktor-faktor tersebut, modal sosial tidak dimasukkan sebagai salah satu variabel penting yang juga berperan, padahal pengembangan nilai kewirausahaan sangat erat kaitannya dengan modal sosial. Pasalnya modal sosial memberikan landasan konstruksi tentang makna kepercayaan, kebersamaan, toleransi dan partisipasi yang erat hubungannya dengan nilai atau jiwa kewirausahaan. Berdasarkan hal tersebut maka dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai strategi bertahan pelaku sektor informal dan kaitannya dengan modal sosial. Perumusan Masalah Seiring dengan pertumbuhan angkatan kerja di Indonesia dan ketersediaan lapangan pekerjaan yang kurang mendukung, angkatan kerja tersebut harus menjadi tenaga kerja yang mandiri dan mampu menciptakan lapangan pekerjaan satu sama lain. Hal ini dapat kita lihat dari perkembangan pekerjaan dalam sektor informal. Salah satu kegiatan sektor informal yang cukup berkembang dan mudah dimasuki oleh siapa saja adalah pedagang kaki lima (PKL). PKL merupakan suatu aktivitas ekonomi yang menjanjikan apabila dapat mengembangkan dengan strategi yang baik dan tepat. Tidak jarang seorang yang memulai usaha sebagai PKL kecil-kecilan hingga menjadi suatu usaha besar. Selain itu, juga dapat ditemui seseorang menjadi PKL hanya sebagai pengisi waktu luang saja. Akan tetapi tidak jarang juga ditemui bahwa aktivitas PKL adalah sumber ekonomi utama bagi suatu keluarga. PKL dapat ditemui mulai dari modal sangat kecil hingga PKL yang sudah membutuhkan modal yang cukup besar. Penghasilan yang didapatkan dari aktivitas PKL sangat bersifat fluktuatif, mulai dari sangat kecil hingga cukup besar. Untuk itu dibutuhkan suatu kajian mengenai bagaimana suatu usaha kaki lima dikatakan kegiatan sektor informal yang sah. PKL dalam menjalankan usahanya harus memiliki strategi bertahan agar dapat melanjutkan usahanya. Strategi bertahan sangat dibutuhkan mengingat karakteristik usaha kaki lima yang sarat akan ketidakpastian, mulai dari jumlah penghasilan yang didapatkan, aturan pemerintah mengenai ketertiban dan ketentraman lingkungan, ketersedian modal dan barang dagangan. Salah satu hal penting dalam strategi bertahan adalah modal. Modal dalam hal ini bukan hanya sekedar uang akan tetapi juga modal fisik, dan modal sosial. Salah satu modal yang sangat penting dalam strategi bertahan PKL adalah modal sosial, dimana PKL cenderung melakukan usahanya secara kekeluargaan baik dalam hal modal
4
usaha maupun tempat berjualan. Berdasarkan hal tersebut maka dibutuhkan kajian lebih lanjut mengenai peranan modal sosial sebagai strategi bertahan pelaku sektor informal. PKL sebagai salah satu kegiatan sektor informal dan merupakan aktivitas ekonomi dalam pemenuhan individu maupun rumah tangga membutuhkan suatu kinerja yang berkelanjutan agar dapat memenuhi kebutuhan individu maupun rumah tangga. PKL dalam prosesnya mengalami pasang surut yang sangat tidak stabil, baik PKL yang sudah maju maupun PKL yang masih merintis. Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan kajian mengenai bagaimana keberlanjutan pedagang kaki lima (PKL) dan kaitannya dengan strategi bertahan pelaku sektor informal.
Tujuan Penelitian
1. 2. 3.
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : Menjelaskan usaha kaki lima sebagai salah satu kegiatan sektor informal yang sah Menganalisis peranan modal sosial sebagai strategi bertahan pelaku sektor informal Menganalisis keberlanjutan pedagang kaki lima (PKL) dan kaitannya dengan strategi bertahan pelaku sektor informal.
Manfaat Penelitian . Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengantar atau sebagai pengenalan lebih lanjut mengenai strategi bertahan pelaku sektor informal: peranan modal sosial migran pedagang kaki lima (PKL). Melalui penelitian ini, terdapat juga beberapa hal yang ingin penulis sumbangkan pada berbagai pihak, yaitu: 1. Akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi peneliti yang ingin mengkaji lebih lanjut mengenai strategi bertahan pelaku sektor informal. 2. Masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memberi dampak positif bagi masyarakat, khususnya untuk memahami fenomena sektor informal di lingkungan masyarakat. 3. Pemerintah, penelitian ini dihaparkan dapat memberikan masukan atau dijadikan bahan pertimbangan bagi para pengambil kebijakan (pemerintah) dalam perencanaan, mengambil keputusan dan membuat kebijakan terkait keberadaan sektor informal.
5
TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan pustaka yang digunakan dalam karya ilmiah ini adalah karya ilmiah yang sudah ada sebelumnya yang berkaitan dengan topik penelitian. Tinjauan pustaka berupa hasil referensi dari hasil penelitian dalam bentuk buku, skripsi, tesis, disertasi, jurnal dan karya ilmiah lainnya. Referensi di kutip dengan merujuk pada penulis. Tinjauan pustaka ini membahas mengenai konsep-konsep dalam topik penelitian ini. Secara ringkas misalnya konsep sektor informal, konsep pedagang kaki lima (PKL), konsep strategi bertahan pelaku sektor informal dan konsep migrasi. Konsep Sektor Informal Definisi Sektor Informal Sektor informal merupakan sektor yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang relatif besar, terutama masyarakat kelas bawah dan berpendidikan rendah. Istilah sektor informal pertama kali dilontarkan oleh Hart (1971) dalam Wirosardjono ( 1985) dengan menggambarkan sektor informal sebagai bagian angkatan kerja kota yang berada di luar pasar tenaga terorganisasi. Selain itu bisa dikatakan dengan istilah lain bahwa sektor informal merupakan jenis kesempatan kerja yang kurang terorganisir, sulit dicacah, dan sering dilupakan dalam sensus resmi, serta merupakan kesempatan kerja yang persyaratan kerjanya jarang dijangkau oleh aturan-aturan hukum (Digdoyo dan Priyono 2011). Sektor informal dikategorikan sebagai sektor yang harus dikembangkan sebagai lapangan pekerjaan yang yang sesuai untuk masyarakat Indonesia. Sektor informal diperkotaan tidak terlepas dari migrasi sirkuler dan pemukiman kumuh diperkotaan. Sektor informal merupakan sektor yang sangat potensial untuk dikembangkan dalam meningkatkan perekonomian dan pertumbuhan ekonomi daerah. Salah satu ciri sektor informal menurut Wirosardjono (1985) bahwa sektor informal umumnya mempekerjakan tenaga kerja yang sedikit dan dari lingkungan hubungan keluarga, kenalan atau daerah yang sama. Selaras dengan penggambaran sektor informal menurut ILO, sektor informal tidak menuntut ketrampilan yang berasal dari pendidikan formal. Di sisi lain, dengan usaha di sektor informal yang digeluti oleh para migran, dapat menghasilkan pendapatan jauh lebih besar dibandingkan mereka bekerja di sektor formal yang sesuai dengan pendidikan mereka (Seftiani 2007). Mengutip dari Gerry (1987) karakteristik sektor informal adalah mudah dimasuki, ketergantungan pada sumberdaya lokal sangat tinggi, kepemilikan oleh keluarga, skala usaha/skala ekonomi kecil, metode produksi: padat karya dan menggunakan teknologi yang telah disesuaikan dengan kondisi lokal, keterampilan yang dibutuhkan tidak harus didapatkan dari sekolah formal dan pasar relatif cukup bersaing dan tidak diatur oleh pemerintah.
6
Tabel 1 Karakteristik dari dua sektor ekonomi Karakteristik
Sektor Formal
Sektor Informal
1. Teknologi
Capital Intensive
Labour Intensive
2. Organisasi
Birokratis
Hubungan
3. Modal
Berlebih
kekeluargaan
4. Jam kerja
Teratur
Sedikit
5. Upah
Normal:teratur
Tidak teratur
6. Kesediaan
Berkualitas
Tidak teratur
7. Harga
Harga pas
Tidak berkualitas
8. Kredit
Dari Bank atau Institusi yang
Cenderung bisa dinegoisasikan
sama dengan Bank
Pribadi, dan bukan bank
9. Keuntungan
Tinggi
10. Hubungan dengan Klien
Secara formal
Secara pribadi
12. Pemberitaan/Advertising
Besar
Kecil (dapat diabaikan)
13. Pemanfaatan barang-
Penting
Kurang penting
14. Modal tambahan
Tidak berguna
Berguna
15. Perangkat pemerintahan
Indispensible
Dispensible
16. Ketergantungan terhadap
Besar
Hampir tidak ada
dunia luar
Besar: Khususnya
Rendah
11. Biaya tetap
barang bekas
Hampir tidak ada atau kecil
untuk orientasi ekspor Sumber: Santos (1979) dalam Gerry (1987)
Berdasarkan definisi sektor informal yang diberikan oleh beberapa ahli, maka dapat disimpulkan bahwa sektor informal adalah salah satu aktivitas ekonomi yang membutuhkan modal relatif kecil, tenaga kerja berasal dari keluarga, mudah dimasuki, dan merupakan pasar yang tidak terorganisasi. Sektor informal harus menjadi perhatian pemerintah dan masyarakat dalam meningkatkan perekonomian Indonesia. Selain itu, sektor informal wajib dipertimbangkan dalam perencanaan pembangunan agar dapat merancang pembangunan yang sesuai dengan keadaan masyarakat. Pembangunan yang sesuai dengan kondisi masyarakat akan mendapatkan dukungan penuh dari masyarakat dan akan menjadi pembangunan yang berpihak pada rakyat. Sektor formal jelas berbeda dengan sektor informal (lihat tabel 1). Sektor formal memiliki aturanaturan yang jelas dan teratur sehingga terlihat lebih rapi dan mendukung perekonomian.
7
Pelaku Sektor Informal Sektor informal sebagai salah satu alternatif lapangan kerja yang mampu menyerap tenaga kerja relatif besar menyebabkan sektor informal menjadi daya tarik bagi manusia usia produktif. Luasnya kesempatan kerja di sektor informal di kota merupakan faktor utama daya tarik migran ke kota. Segmen ekonomi yang dapat memberikan peluang untuk tetap eksis diperkotaan yang cukup tinggi, merupakan faktor dominan yang mempengaruhi sikap migran untuk tetap bertahan di kota. Digdoyo dan Priyono (2011) mengatakan bahwa pesatnya pertumbuhan penduduk di Jakarta umumnya disebabkan oleh migrasi, dan hal itu akan melahirkan suatu masyarakat kota yang sangat kompleks menurut ukuran suku, budaya, pekerjaan serta kelompok-kelompok sosial. Oleh karena itu arus migrasi penduduk ke kota menyebabkan terjadinya dinamika perkembangan masyarakat. Salah satu fenomena dari perkembangan kota besar seperti Jakarta adalah tingkat perkembangan penduduk yang cukup ketat, terjadinya ketimpangan ekonomi, munculnya kelompok organisasi massa dengan berbagai kepentingan. Prilaku masyarakat yang terbuka menerima orang baru/pendatang kemungkinan besar menjadi salah satu penyebabnya. Migran dengan mudah mendapatkan tempat tinggal di suatu wilayah karena tersedia rumah-rumah penduduk asli yang disewakan. Dengan kata lain, migran yang telah lebih dulu datang memiliki peranan penting dalam mendatangkan migran-migran baru. Sejak zaman Ravenstein telah muncul teori-teori dan tipologi gerak penduduk sebagai hasil usaha para ahli yang memberi perhatian terhadap bidang ini. Teori yang paling populer diantaranya adalah teori dorong-tarik (push-pull theory), sekalipun teori ini tidak bebas juga dari kritikan. Menurut teori dorongtarik alasan meninggalkan daerah asal dapat dipandang sebagai faktor-faktor pendorong, sementara alasan-alasan memilih daerah tujuan dipandang sebagai faktor penarik. Suatu kerangka teori yang lebih luas mengenai migrasi dapat dilihat dalam karya Lee yang mengembangkan sejumlah hipotesa berkenaan dengan volume migrasi, stream dan counterstream, serta karakteristik para migran. Lee berpendapat bahwa dalam tiap tindakan migrasi baik yang jarak dekat maupun jarak yang jauh senantiasa terlibat faktor-faktor yang berhubungan dengan daerah asal, daerah tujuan, pribadi dan rintangan-rintangan antara. Di tiap daerah ada tiga set faktor-faktor yaitu: 1. Faktor-faktor yang bertindak untuk mengikat orang dalam suatu daerah atau memikat orang terhadap daerah itu, yang disebut sebagai faktor minus (-) 2. Faktor-faktor yang cenderung untuk menolak mereka, merupakan faktor plus (+) 3. Faktor-faktor yang pada dasarnya indefferen, tak punya pengaruh menolak atau mengikat (Rusli 1995). Kegiatan Sektor Informal yang Sah sebagai Sumber Penghasilan Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hart (1971) di Ghana, kegiatan sektor informal yang sah sebagai sumber penghasilan dapat dikategorikan sebagai berikut: a. Kegiatan-kegiatan primer dan sekunder-pertanian, perkebunan yang berorientasi pasar, kontraktor bangunan dan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengannya, pengrajin usaha sendiri, pembuat sepatu, penjahit, pengusaha bir dan alkohol.
8
b.
c.
d.
e.
Usaha tersier dengan modal yang relatif besar-perumahan, transportasi, usaha-usaha untuk kepentingan umum, spekulasi barang-barang dagangan, kegiatan sewa-menyewa. Distribusi kecil-kecilan-pedagang pasar, pedagang kelontong, pedagang kaki lima, pengusaha makanan jadi, pelayan bar, pengangkut barang, agen atas komisi, dan penyalur. Jasa yang lain-pemusik (ngamen), pengusaha binatu, penyemir sepatu, tukang cukur, pembuang sampah, juru potret, pekerja reparasi kendaraan maupun reparasi lainnya, makelar dan perantara (sistem maigida di pasar, pengadilan dan sebagainya)2 Transaksi pribadi-arus uang dan barang pemberian maupun semacamnya: pinjam-meminjam: pengemis (Wirosardjono 1985).
Kegiatan sektor informal tersebut adalah kegiatan sektor informal yang umumnya terjadi di Ghana. Tidak jauh berbeda dengan kegiatan sektor informal yang ada di Indonesia, misalnya pedagang kelontong, pedagang kaki lima, pemulung, pengrajin, supir angkot dan lain-lain. Salah satu kegiatan sektor informal yang relatif besar dan berkembang adalah pedagang kaki lima (PKL). Konsep Pedagang Kaki Lima (PKL) Definisi Pedagang Kaki Lima (PKL) Pedagang Kaki Lima (PKL) adalah salah satu kegiatan dari sektor informal yang banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia sebagai cara untuk pemenuhan kebutuhan individu maupun keluarga. Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan salah satu bentuk usaha yang mempunyai jiwa kewirausahaan yang tinggi dan mampu bersaing di tengah persaingan perekonomian kota. PKL bukanlah sektor yang membebani pemerintah sehingga PKL seharusnya tidak dimarjinalkan oleh peraturan-peraturan yang berlaku (Rahayu 2010). PKL adalah salah satu bentuk kewirausahaan yang mandiri sehingga diperlukan ruang untuk para PKL agar bisa melangsungkan kehidupannya. Salah satu masalah yang paling sering muncul adalah kegiatan informal di bidang perdagangan, yaitu kegiatan pedagang kaki lima (PKL) adalah PKL sering sekali dikonotasikan sebagai penyebab dari masalah ketidaktertiban di perkotaan. Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta tahun 2002 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pedagang kaki lima adalah perorangan atau pedagang yang di dalam kegiatan usahanya melakukan penjualan barang-barang tertentu yang tidak memiliki tempat dan bangunan sendiri yang umumnya memakai tempat-tempat/fasilitas untuk kepentingan umum serta tempat lain yang bukan miliknya. Menurut BPS (2003), usaha kaki lima adalah bagian dari usaha sektor informal (mencakup seluruh sektor ekonomi yang ada seperti sektor perdagangan, jasa dan industri) yang umumnya mempunyai sifat menghadang konsumen dengan prasarana yang terbatas dan pengoperasian usahanya menggunakan bagian jalan, trotoar, taman, jalur hijau yang merupakan fasilitas umum dan
2
Lihat Polli Hill, “Landlords and Brokers”, dalam Markets and Marketing in Africa (Edinburgh 1996). Hal 1-14 dalam Manning dan Effendi ( 1985)
9
peruntukkannya bukan sebagai tempat usaha atau tempat lain yang bukan miliknya, kecuali pada lokasi resmi (BPS 2003 dan Perda 5/1978 Bab I pasal 1).3 Pedagang kaki lima juga diungkapkan sebagai pedagang eceran yang menjual langsung ke konsumen akhir sehingga jaringan usahanya terpusat pada upaya memperoleh barang dagangannya. Sebagai pedagang yang menjual langsung dagangannya ke konsumen akhir, jaringan usaha pedagang kaki lima terpusat pada upaya memperoleh barang dagangannya. Barang-barang yang didapatkan oleh pedagang kaki lima ada yang langsung dari produsen, dari pemasok, dari toko pengecer, dan dari pedagang kaki lima lainnya. Ikatan yang dimiliki pedagang kaki lima dengan pemberi barang ada yang bersifat bebas dan ada pula yang terikat berupa hubungan kerja (Chandrakirana dan Sadoko 1994 dalam Anggraini 2007). PKL di Indonesia dapat dikatakan sudah sangat banyak dan hampir tersebar di seluruh sudut kota. Hampir di setiap jalur hijau dapat ditemukan pedagang kaki lima. Pedagang Kaki Lima bukannya ingin membuat jalanan kota atau menentang pemerintah akan tetapi kota merupakan pusat keramaian dimana mereka bisa menghasilkan penjualan yang tinggi sehingga menghasilkan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan keluarga maupun individu. Penggunaan Tata Ruang Pedagang Kaki Lima (PKL) Sektor informal pada masyarakat pemukiman kumuh sering dianggap mengganggu ketertiban umum, akan tetapi sektor ini memiliki peranan penting dalam menunjang kehidupan ekonomi masyarakat kota. Penyerapan tenaga kerja sektor informal pada masyarakat pemukiman kumuh lebih tinggi dibandingkan sektor informal secara umum, yakni 94 persen berbanding 72.5 persen (Apsari 2005). Penggunaan tata ruang yang tidak tertib oleh PKL menyebabkan mereka selalu menjadi sasaran aparat dalam ketertiban jalan raya atau fasilitas umum lainnya. Penggusuran menjadi hal biasa yang dialami oleh para PKL. Penggusuran yang sering dialami oleh para PKL tidak membuat mereka jera dan bahkan selalu bertambah. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa bertahannya para PKL di suatu kawasan karena mereka mempunyai alasan-alasan tersendiri yaitu 1) tempatnya ramai sehingga banyak pembeli; 2) kondisinya lebih menguntungkan; 3) banyak teman yang berjualan ditempat ini; 4) pernah berjualan ditempat lain tapi sering ditangkap juga; 5) ada tempat untuk mengumpet; 6) belum ada tempat yang lebih strategis atau seramai dibanding tempat yang sekarang ini; dan 7) dekat dengan tempat tinggal (Rahayu 2010). Lokasi merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam memasuki sektor informal, misalnya berdagang. Banyak penelitian mengenai sektor informal menyebutkan bahwa sektor ini biasanya berlokasi di tempat-tempat strategis (Nilakusmawati 2009). Lokasi berdagang PKL sering terkait dengan sektor formal yang ada di sekitarnya. Beberapa jenis usaha yang termasuk sektor informal kota Jakarta di isi oleh pedagang kaki lima. Hampir setiap ruas jalan di Jakarta dihiasi oleh para pedagang kaki lima. Kebanyakan dari para pedagang berasal dari luar Jakarta dan mayoritas tidak memiliki tempat tinggal tetap di Jakarta (kontrak). Para pelaku sektor informal tersebut banyak yang sudah tergabung di sepanjang ruas jalan 3
Badan Pusat Statistik. 2003. http://www.bps.co.id Peraturan Daerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perpasaran swasta di Daerah Khusus Ibukota Jakarta. http://www.dprin.go.id/otda/regulasi/DKI2.htm
10
selama bertahun-tahun. Setiap pedagang seperti telah memiliki lahan yang paten. Di sisi lain, para pelaku sektor informal seperti PKL terkadang diperlakukan semena-mena oleh aparat yang berwenang karena mereka dipihak yang lemah dan tidak mempunyai ijin resmi. Seringkali mereka dikenakan pungutan-pungutan liar dari oknum aparat yang bertugas (Seftiani 2007). Untuk itu, perlu adanya ketegasan di mana tempat pedagang kaki lima boleh berdagang. Selama ini, PKL berada dimana-mana terutama memenuhi jalur pedestrian yang seolah-olah dibebaskan padahal hal tersebut melanggar hak para pejalan kaki. Hal tersebut sebagai akibat kurangnya kontrol dari pemerintah daerah terhadap penggunaan dan batas yang jelas mengenai lokasi yang dapat dimanfaatkan oleh para PKL. Penggunaan ruang oleh PKL sering sekali dirasakan merugikan masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50 persen PKL menggunakan badan jalan dan trotoar sebagai area untuk melaksanakan aktivitas berjualan. Hal ini memudahkan pengunjung untuk mendapatkan barang dagangan kebutuhan sehari-hari tanpa meninggalkan kendaraan jauh. Sekitar 30 persen PKL menggunakan area hijau sebagai area untuk melaksanakan aktivitas berjualan. Area hijau dan ruang terbuka terletak di depan rumah masyarakat dan kawasan tersebut pada umumnya juga disewakan oleh masyarakat kepada PKL. Area hijau sebenarnya harus dimanfaatkan sebagai taman hijau yang merupakan elemen kota yang harus tetap dipertahankan keberadaannya. Kenyataan yang terjadi adalah lokasi tersebut tertutup oleh barang dagangan dan tenda-tenda lapak PKL yang tentunya sangat mengganggu estetika kota. Sekitar 20 persen PKL menggunakan rumah dan lahan kosong milik warga masyarakat sebagai area untuk melaksanakan aktivitas berjualan. Halaman rumah warga masyarakat sepanjang jalan semestinya bebas dari kios bangunan semi permanen dan tenda-tenda lapak PKL. Namun kenyataanya yang kita lihat bahwa halaman rumah bisa jadi disewakan ke PKL untuk membangun kios yang sifatnya semi permanen seperti PKL yang menjual barang pecah belah, peralatan masak dan perlengkapan dapur lainnya (Kadir 2010). Lokasi yang digunakan pada umumnya adalah trotoar, badan jalan, pelataran parkir, jalur hijau dan halte. Bila ditinjau dari jenis dagangannya, umumnya yang menggunakan lokasi trotoar pedagang kaki lima yang menjual makanan yang diproses (12 persen), makanan jadi dan minuman (8 persen), sedangkan badan jalan adalah pedagang buah-buahan dan sayur-sayuran (Mochtar 2003:13-14). 4 Untuk itu pemerintah harus bertindak tegas dan memberikan jaminan kepada para PKL agar mereka tertib dan kelangsungan mereka terjamin.
4
Lokasi usaha kaki lima menurut BPS (2003) adalah seluruh lokasi resmi dan tidak resmi yang merupakan tempat berkumpulnya usaha kaki lima seperti pasar, terminal, stasiun, pusat-pusat perbelanjaan, Monas, Senayan, Istiqlal dan sebagainya. Yang dimaksud dengan lokasi resmi adalah lokasi usaha kaki lima yang mempunyai dasar hukum pendukung (SK Gubernur), sedang lokasi tidak resmi adalah yang tidak mempunyai penunjukan dari SK Gubernur (www.bps.go.idusaha-kaki-lima )
11
Strategi Bertahan Pelaku Sektor Informal Strategi Bertahan Pelaku Sektor Informal Strategi merupakan hal yang sangat penting dimiliki oleh siapa saja dalam mempertahankan kehidupan, termasuk dalam menjaga kelangsungan suatu usaha. Dalam sektor informal juga dibutuhkan suatu strategi. Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan, strategi yang harus dimiliki oleh pelaku sektor informal adalah: 1. Strategi pemenuhan kebutuhan dasar, bentuk strategi yang digunakan dalam memperoleh pekerjaan di kota. 2. Strategi peningkatan kesejahteraan: tahap pengembangan usaha untuk meningkatkan perolehan penghasilan (Yusuf 2006). Untuk menghadapi berbagai tekanan yang dilakukan pemerintah yang dirasakan sangat membatasi ruang geraknya para PKL mempunyai beberapa teknik atau strategi yang sengaja mereka kembangkan untuk menghadapi dominasi tersebut. Hal itu mereka wujudkan dalam bentuk resistensi. Dalam melakukan resistensi sektor informal terlihat pada posisi yang menang, terbukti meskipun setiap hari sektor informal selalu ditertibkan, jumlah mereka bukan berkurang, bahkan malah bertambah. Sektor informal mempunyai strategi resistensi sebagaimana strategi yang telah digunakan Amerika Serikat terhadap serangan musuh. Ada lima sarana yang semuanya saling mendukung satu sama lain, yaitu (1) Financial ware, yaitu kemampuan keuangan untuk menyogok petugas, lurah dan camat agar tidak bersikap represif dan mau membocorkan setiap akan terjadi obrakan. (2) Consciousness ware, yaitu kesadaran sektor informal untuk melakukan resistensi. Kesadaran ini menciptakan rasa percaya diri sektor informal yang tinggi sehingga mereka berani melakukan resistensi. (3) Organization ware, yaitu menggunakan sarana organisasi sektor informal yang kuat. Terbukti banyak sekali paguyuban sektor informal yang telah berdiri dan mereka tidak hanya menggunakan organisasi formal sebagai payung, tetapi juga organisasi bawah tanah. (4) Social ware, yaitu menggalang kekompakan sosial antara sektor informal yang satu dengan yang lain yang senasib sepenanggungan. (5) Hardware, disini sektor informal menggunakan perangkat keras berupa senjata yang digunakan bukan yang sesungguhnya tetapi menggunakan senjata main kucing-kucingan (Alisjahbana 2005: 142-143 dalam Rahayu 2010). Keberhasilan suatu strategi sangat tergantung pada kesiapan dan situasi pelaku sektor informal tersebut. Strategi akan berjalan efektif bila didukung oleh faktor-faktor yang saling bersinergis satu sama lain. Strategi dalam sektor informal menjadi hal yang sangat penting mengingat karakteristik sektor informal yang sangat tidak stabil, dapat berubah kapan saja baik akibat faktor eksternal maupun faktor internal. Modal Sosial sebagai Strategi Bertahan Pelaku Sektor Informal Struktur modal sektor informal memiliki peranan yang penting dalam hal strategi bertahan hidup bagi para migran. Struktur modal ibarat mata rantai yang saling mendukung. Jika salah satu bagan dari struktur ini putus maka tujuan yang diharapkan akan sulit dicapai. Adapun struktur modal tersebut meliputi: modal finansial, modal fisikal, modal ekologikal, modal sumberdaya manusia (SDM) dan modal sosial. Struktur modal ini mengandung makna bahwa manusia adalah
12
makhluk sosial yang hidup saling membutuhkan dan tolong menolong. Oleh karena itu struktur modal terbentuk dapat melalui ikatan kekeluargaan, ikatan kedaerahan dan ikatan pertetanggaan (Suwartika 2003). Salah satu modal yang sangat penting dalam menjaga kelangsungan usaha dalam sektor informal adalah modal sosial. Konsep modal sosial pada mulanya diperkenalkan oleh sosiolog Perancis Pierre Bourdieu pada awal 1980an. Bourdie dalam Suwartika (2003) mengartikan modal sosial sebagai keseluruhan sumberdaya baik yang aktual maupun potensial yang bisa dimiliki seseorang berkat adanya jaringan hubungan secara kelembagaan yang terpelihara dengan baik. Makna yang terkandung adalah bahwa seseorang bisa memperoleh berbagai manfaat atau sumberdaya baik berupa material maupun non material dari orang lain sejauh ia dapat membina hubungan baik secara kelembagaan dengan orang tersebut. Putnam (1993) mendefinisikan modal sosial dengan mengacu pada “ciriciri organisasi sosial, seperti jaringan sosial (social network), norma-norma (norms), dan kepercayaan (trust) yang memfasilitasi koordinasi untuk sesuatu yang manfaatnya bisa dirasakan bersama-sama (mutual benefit.). Jaringan adalah hubungan sosial yang teratur, konsisten dan berlangsung lama, hubungan tersebut bukan hanya melibatkan dua individu, melainkan banyak individu. Kepercayaan adalah sesuatu yang terbangun dari hubungan-hubungan sosial dimana terdapat peraturan yang dapat dirundingkan dalam arti terdapat ruang terbuka dari peraturan tersebut untuk mencapai harapan yang ingin dicapainya. Norma adalah aturan yang melekat dalam suatu hubungan sosial yang berfungsi sebagai kontrol dari suatu aktivitas. Modal sosial hanya dapat dibangun ketika tiap individu belajar dan mau mempercayai individu lain sehingga mereka mau membuat komitmen yang dapat dipertanggungjawabkan untuk mengembangkan bentuk-bentuk hubungan yang saling menguntungkan. Menurut pendapat Lesser dalam Santoso (2006) modal sosial sangat penting bagi komunitas karena: a) mempermudah akses informasi bagi anggota komunitas; b) menjadi media power sharing atau pembagian kekuasaan dalam komunitas; c) mengembangkan solidaritas; d) memungkinkan mobilisasi sumberdaya komunitas; e) memungkinkan pencapaian bersama ; dan f) membentuk prilaku kebersamaan dan berorganisasi komunitas. Modal sosial mempunyai peranan penting dalam keberlanjutan usaha PKL, akan tetapi modal sosial belum begitu diperhatikan dalam hal pengembangan usaha. Strategi bertahan yang dilakukan oleh para PKL cenderung dalam mempertahankan tempat/lapak yang dilarang oleh pemerntah agar tetap dapat berjualan dan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
13
Kerangka Pemikiran Migrasi merupakan dimensi gerak penduduk permanen. Banyak masyarakat yang melakukan migrasi dari desa menuju ke kota untuk mencari penghidupan yang lebih baik, salah satunya adalah menjadi Pedagang Kaki Lima (PKL). Ketika tiba di kota, para migran tidak langsung melakukan usaha kaki lima. Akan tetapi para migran akan memulai dengan mencari informasi kepada jaringan yang dia miliki, misalnya teman se-daerah asal ataupun keluarga. Setelah memiliki jaringan berupa orang-orang yang dikenal oleh migran tersebut, maka migran baru akan membangun kepercayaan terhadap orang-orang baru yang dikenalnya. Setelah menjalin hubungan yang baik dan membangun kepercayaan yang baik pula maka ada norma diantaranya yang akan menjadi kontrol dalam melakukan interaksi sosial secara terus menerus antara migran dengan jaringan yang dimiliki. Hal ini disebut dengan modal sosial. Modal sosial dapat digunakan sebagai salah satu strategi bertahan PKL. Modal sosial yang terdiri dari tiga pilar, yaitu norma, kepercayaan dan jaringan sosial. Pilar norma akan dilihat bagaimana aturan antar sesama PKL, dan bagaimana aturan aturan dalam jenis usaha tertentu untuk membuat para PKL bisa bertahan. Pilar kepercayaan akan dilihat apakah lama usaha yang ditekuni oleh PKL mempengaruhi tingkat kepercayaan orang lain terhadap PKL, bagaimana tingkat kepercayaan sesama migran yang tidak sedaerah asal dan sesama migran yang sedaerah asal agar mereka dapat bertahan melakukan usaha kaki lima. Pilar jaringan untuk melihat apakah para migran yang menjadi PKL membina hubungan berdasarkan landasan tertentu, selain itu lama usaha apakah berpengaruh terhadap jaringan yang mereka miliki dan seberapa banyak simpul yang dimiliki seorang PKL sehingga ketiga pilar tersebut memiliki hubungan dengan strategi bertahan sektor informal. Setelah itu akan dilihat modal sosial yang dimiliki oleh PKL yang dijadikan strategi bertahan berpengaruh terhadap keberlanjutan usaha PKL (Lihat gambar 1).
Hipotesis Penelitian
1. 2.
Hipotesis penelitian ini adalah: Ada hubungan antara modal sosial dengan strategi bertahan pelaku sektor informal (PKL) Ada hubungan antara strategi bertahan pelaku sektor informal (PKL) dengan keberlanjutan usaha pedagang kaki lima (PKL)
14
Migran Desa di Perkotaan (PKL)
Jaringan: • Keragaman tipe • Lama usaha
Kepercayaan: • Terhadap sesama migran • Terhadap sesama migran sedaerah asal
Norma: • Aturan antar sesama PKL
Modal Sosial
Strategi Bertahan Pelaku Sektor Informal (PKL)
Keberlanjutan Usaha PKL*
Gambar 1 Kerangka pemikiran Keterangan: : Menjadi : Memiliki hubungan : *Diukur secara Kualitatif
Definisi Konseptual 1. Sektor informal adalah salah satu aktivitas ekonomi yang membutuhkan modal relatif kecil, tenaga kerja berasal dari keluarga, mudah dimasuki, dan merupakan pasar yang tidak terorganisasi dan tidak terjangkau oleh aturan formal. 2. Pedagang kaki lima (PKL) adalah perorangan atau pedagang yang didalam kegiatan usahanya melakukan penjualan barang-barang tertentu yang tidak memiliki tempat dan bangunan sendiri yang umumnya memakai tempattempat/fasilitas untuk kepentingan umum serta tempat lain yang bukan miliknya.
15
3. Modal sosial adalah keseluruhan sumberdaya baik yang aktual maupun potensial yang bisa dimiliki seseorang berkat adanya jaringan hubungan secara kelembagaan yang terpelihara dengan baik Diukur dengan menjumlahkan hasil dari perhitungan jaringan, kepercayaan dan norma yang dimiliki oleh pedagang kaki lima. Dengan kode 1= tinggi dan kode 2= rendah. Skor 3-4 dikatakan PKL menggunakan modal sosial tinggi dan Skor 5-6 dikatakan PKL menggunakan modal sosial rendah 4. Jaringan adalah hubungan sosial yang teratur, konsisten dan berlangsung lama, hubungan tersebut bukan hanya melibatkan dua individu, melainkan banyak individu. Diukur dengan menjumlahkan skor total dari pertanyaan yang telah disediakan. Skor untuk memiliki hubungan “Ya”=2, dan tidak memiliki hubungan “tidak”=1. Sehingga jaringan dikatakan Rendah bila skor 10-15 Tinggi bila skor 16-20 5. Kepercayaan adalah sesuatu yang terbangun dari hubungan-hubungan sosial dimana terdapat peraturan yang dapat dirundingkan dalam arti terdapat ruang terbuka dari peraturan tersebut untuk mencapai harapan yang ingin dicapainya. Diukur berdasarkan skor total yang didapat, skor untuk jawaban “Ya” = 2 sedangkan untuk jawaban “Tidak” = 1. Sehingga tingkat kepercayaan dikatakan: Rendah bila skor 10-15 Tinggi bila skor 16-20 6. Norma adalah aturan yang melekat dalam suatu hubungan sosial yang berfungsi sebagai kontrol dari suatu aktivitas. Diukur berdasarkan skor total yang didapat, skor untuk jawaban “Ya” = 2 sedangkan untuk jawaban “Tidak” = 1. Sehinga pemberlakuan norma dikatakan : Rendah bila skor 10-15 Tinggi bila skor 16-20 7. Modal Usaha adalah modal uang yang dimiliki oleh individu atau kelompok untuk memulai usaha 8. Strategi Bertahan Sektor Informal adalah cara yang digunakan PKL untuk dapat terus menjalankan usahanya yang sangat tidak stabil. Diukur berdasarkan skor total yang didapat, skor untuk jawaban “Ya” = 2 sedangkan untuk jawaban “Tidak” = 1. Sehinga pemberlakuan strategi bertahan sektor informal dikatakan : Rendah bila skor 10-15 Tinggi bila skor 16-20
16
PENDEKATAN LAPANG
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan secara kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan metode survei kepada responden. Penelitian yang menggunakan metode survei merupakan penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang lengkap (Singarimbun 1989). Pendekatan kualitatif dilakukan melalui pendekatan lapang secara langsung kepada responden. Pendekatan kualitatif dilakukan melalui wawancara mendalam kepada informan dan observasi
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan terhadap pedagang kaki lima (PKL) di sekitar pintu 1-2 Kebun Raya Bogor (KRB) Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive (sengaja) dengan mempertimbangkan jumlah PKL yang sangat beragam di sekitar lokasi tersebut dan merupakan salah satu objek wisata yang ramai oleh wisatawan dan dekat dengan pusat perbelanjaan yaitu Bogor Trade Mall (BTM), plaza Bogor dan pasar Bogor. Keberadaan Kebun Raya Bogor sebagai obyek wisata dengan jumlah Pedagang Kaki Lima yang cukup besar menjadi ciri khas dari lokasi yang dipilih. Kegiatan penelitian meliputi penyusunan proposal skripsi, kolokium, pengambilan data di lapangan, pengolahan data dan analisis data, penulisan draft skripsi, sidang skripsi dan perbaikan laporan penelitian. Lama pelaksanaan penelitian sekitar enam bulan dan dapat dilihat pada lampiran. Jenis Data dan Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer didapatkan melalui penelitian langsung dengan menggunakan instrumen kuesioner dan wawancara kepada responden, sementara data sekunder didapatkan dari penelitian-penelitian sebelumnya mengenai keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL). Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah menggunakan kuesioner, wawancara, dan dokumentasi. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dengan di dukung oleh beberapa data kualitatif untuk memperkaya data dan memahami fenomena sosial. Teknik Pengambilan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah semua Pedagang Kaki Lima (PKL) yang ada di sekitar pintu 1-2 Kebun Raya Bogor (KRB) Jawa Barat, sedangkan populasi sasaran penelitian ini adalah PKL migran penjual makanan dan minuman yang melakukan usaha kaki lima secara mandiri. Dalam pendekatan kuantitatif
17
responden di pilih untuk menjadi sasaran penelitian. Unit analisis dalam penelitian ini adalah individu. Pemilihan sampel dilakukan melalui teknik purposive sampling , dimana pemilihan responden dilakukan dengan sengaja setelah terlebih dahulu mengidentifikasi karakteristik responden, yaitu migran desa yang menjual makanan dan minuman. Pendekatan kualitatif diperoleh melalui observasi langsung dan wawancara mendalam kepada beberapa informan. Informan adalah orang atau pengusaha kaki lima yang sudah sukses dan masyarakat sebagai konsumen dari para PKL. Jumlah sampel yang dijadikan responden berjumlah 40 orang. Jumlah ini dirasa cukup untuk memenuhi reliabilitas dan validitas data.
Pengolahan dan Analisis Data Data kuantitatif yang diperoleh melalui kuesioner kemudian diolah dan dianalisis dengan menggunakan komputer. Program komputer yang digunakan adalah SPSS versi 17.0, yang berguna untuk merekam data yang bersifat ordinal, nominal dan interval, dan penggunaan Microsof Excel untuk mempermudah pengolahan data, membuat tabulasi silang dan mengoreksi data. Tabulasi silang digunakan untuk menggambarkan hubungan antara dua variabel atau lebih, baik variabel pengaruh,variabel terpengaruh maupun variabel kontrol, dan mempermudah dalam membaca serta memahami data. Data tersebut kemudian diinterpretasikan dan di tarik kesimpulan berdasarkan hipotesis yang sudah ada. Selain analisis data kuantitatif, dilakukan pula analisis data kualitatif sebagai pendukung untuk mempertajam hasil penelitian. Data kualitatif diolah melalui tiga tahap analisis data kualitatif, yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.
18
GAMBARAN UMUM LOKASI DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN
Profil Kota Bogor Kota Bogor adalah salah satu pusat pendidikan dan penelitian berbasis pertanian sejak zaman penjajahan. Hal ini didukung dengan kehadiran Institut Pertanian Bogor (IPB) sejak abad ke-20. “Sebagai salah satu bagian dari propinsi Jawa Barat, Kota Bogor merupakan penyangga Ibu Kota Negara yang memiliki Asset Wisata Ilmiah yang bersifat Internasional (Kebun Raya). Pusat Kota Bogor terletak 100 Km disebelah Selatan dari Pelabuhan Sunda Kelapa yang pada jaman dahulu kala merupakan pelabuhan terpenting bagi Negara Pakuan Pajajaran yang pusatnya sekitar Batu Tulis di Selatan Kota Bogor” (Pemerintah Kota Bogor 2012). Luas wilayah Kota Bogor tercatat 11.850 Ha atau 0.27 persen dari luas propinsi Jawa Barat. Kota Bogor ini terdiri dari 6 Kecamatan, yaitu Kecamatan Bogor Selatan, Bogor Utara, Bogor Timur, Bogor Barat, Bogor Tengah dan Tanah Sareal, yang meliputi 68 Kelurahan. Kota Bogor terletak diantara 106 480 BT dan 6 360 LS serta mempunyai ketinggian rata rata minimal 190 meter, maksimal 350 meter, kemiringan lereng antara 0-3 persen, 4-15 persen, 16-30 persen dan diatas 40 persen dengan jarak dari Ibu Kota kurang lebih 60 Km, dikelilingi Gunung Salak, Gunung Pangrango dan Gunung Gede. Kota Bogor berpenduduk 820707 jiwa dengan komposisi 419252 Laki- laki dan perempuan 401455 jiwa, dikenal dengan sebutan Kota Hujan karena memiliki curah hujan yang tinggi yaitu berkisar 3500 – 4000 milimeter pertahunnya (Pemerintah Kota Bogor 2012). Kota Bogor sebagai salah satu pusat perekonomian dan juga daerah tujuan migran untuk mengadu nasib di perkotaan memiliki banyak potensi ekonomi. Pembangunan yang semakin terpusat ke perkotaan sangat memicu pertumbuhan ekonomi di bidang usaha bisnis. Bogor memiliki beberapa fasilitas swasta maupun milik pemerintah yang dijadikan sumber-sumber ekonomi. Keberadaan Kebun Raya Bogor, Museum-museum pertanian, Botani Square, Pusat Grosir Bogor, Bogor Trade Mall dan pusat-pusat perbelanjaan lainnya. Selain itu kota Bogor mempunyai pusat perbelanjaan tradisional, seperti Pasar Gunung Batu, Pasar Anyar, Pasar Ciampea, dan Pasar Bogor. Salah satu kawasan yang sangat kental dengan keramaian sebagai pusat perbelanjaan baik tradisional maupun modern adalah kawasan Pasar Bogor. Pasar Bogor berada di pusat kota Bogor, tepatnya di jalan Surya Kencana, Bogor Tengah. Lokasi pasar Bogor sangat strategis sebagai pusat keramaian. Hal ini didukung karena pasar Bogor berada diantara pusat perbelanjaan, daerah wisata dan gedung-gedung Penelitian. Pasar Bogor dekat dengan Bogor Trade Mall (BTM), komplek pertokoan, Pintu 1 Kebun Raya Bogor (KRB), Museum Zoologi Bogor, Balai Penelitian Tanah, Gedung Dharma Wanita, Koperasi Mitra Industri, Balai Besar Industri Agro (BBIA), Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor (KRB)-LIPI, Gedung Kementerian Kehutanan Direktorat Jendral Planalogi Kehutanan, Kementerian Kehutanan Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Lahan, Plaza Bogor, Pusat Toko Sepatu Bata, pusat
19
perbelanjaan pakaian Ananda. Lokasi pasar Bogor yang sangat dekat dengan pusat-pusat penelitian pertanian ternyata tidak mengurangi jumlah pelaku sektor informal terutama Pedagang Kaki Lima (PKL) dan bahkan cenderung dimanfaatkan sebagai daerah untuk mencari nafkah melalui sektor perdagangan. Daerah pasar Bogor yang berada di jalan Surya Kencana bahkan terkenal sebagai kawasan wisata kuliner. Daerah mulai dari kawasan pintu 1-2 KRB sampai pasar Bogor digunakan sebagai areal perdagangan. Kawasan ini merupakan salah satu pusat pedagang kaki lima di kota Bogor. Rata-rata PKL yang berjualan di daerah sekitar pasar Bogor adalah penjual makanan, minuman, souvenir khas Bogor, bunga dan buah. Akan tetapi berbeda hal ketika hari libur nasional ataupun akhir pekan. Jumlah PKL akan bertambah sangat banyak dan jenis dagangan yang di tawarkan juga sangat beraneka ragam, seperti baju bertuliskan Bogor, Hewan peliharaan, tukang lukis jalanan, peralatan elektronik dan bahkan menjual aksesoris untuk wanita maupun pria. Pedagang Kaki Lima (PKL) yang menjual makanan dan minuman di kawasan pasar Bogor adalah fokus kajian dari penelitian ini.
Aktivitas di Lokasi Penelitian Kawasan pasar Bogor merupakan salah satu pasar yang sangat ramai dikunjungi oleh masyarakat dalam belanja memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selain itu lokasinya yang juga dekat dengan pusat perbelanjaan modern menyebabkan pasar Bogor dikunjungi oleh konsumen atau masyarakat yang ingin berbelanja ke pasar tradisional dan kemudian singgah ke Plaza Bogor dan sebaliknya. Lokasi yang memang sangat strategis memicu banyak aktivitas yang terjadi di sekitar lokasi pasar Bogor, mulai dari kegiatan jual-beli, kunjungan wisata hingga menjadi wilayah “tongkrongan” anak muda. Aktivitas yang sangat padat dan ramai di tempat ini menyebabkan kawasan pasar Bogor dan sekitarnya menjadi kawasan rawan kemacetan. Pusat keramaian sering sekali menjadi pusat perekonomian. Hal tersebut terjadi di kawasan pasar Bogor dan sekitarnya. Jumlah PKL semakin hari semakin banyak meskipun penggusuran sudah terjadi berulang kali dan rutin. Kebebasan berjualan di hari libur nasional dan akhir pekan bagi PKL merupakan celah yang dimanfaatkan para PKL untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Para PKL biasanya akan tetap berjualan meskipun sudah ada penggusuran karena tuntutan ekonomi. Biasanya para PKL akan mengungsi terlebih dahulu ke suatu tempat saat penggusuran dan akan kembali ke tempat seperti biasa bila keadaan sudah lebih tenang. Banyak sektor informal yang berkembang di kawasan pasar Bogor dan sekitarnya. Selain aktivitas PKL, sektor informal yang berkembang adalah jasa penyewaan payung atau ojeg payung. Kota Bogor terkenal sebagai kota hujan dengan curah hujan yang cukup tinggi menyebabkan payung sudah seperti kebutuhan yang harus dilengkapi saat bepergian. Saat hujan tiba, akan banyak anak remaja tanggung yang akan menawarkan jasa payung kepada pengunjung yang terjebak hujan di kawasan tersebut. Biasanya anak tersebut merupakan anakanak yang tinggal disekitar daerah pasar Bogor atau anak dari para PKL.
20
Pola Migrasi Penduduk di Indonesia: Migrasi Desa-Kota Riwayat migrasi sudah setua riwayat manusia. Orang mungkin bermigrasi karena terpaksa, diatur atau tidak diatur, berkelompok atau secara perorangan. Sebagai pendorong mungkin keadaan alam (termasuk bencana alam), keadaan politik, keadaan ekonomi atau kelangkaan berbagai fasilitas. Walaupun dalam keputusan bermigrasi berbagai faktor mempengaruhi, secara umum kiranya faktor ekonomi dapat dianggap dominan. Faktor psikologi sosial jelas mengambil bagian pula karena tindakan ini menyangkut suatu pengambilan keputusan yang penting bagi seseorang atau keluarga yang bersangkutan. Bermigrasi sering merupakan keputusan yang begitu penting karena dapat merubah jalan hidup seseorang atau juga kelompok dan keturunan mereka secara fundamental (Singarimbun 1979 dalam Sinaga 2012). Migran yang berjualan di sekitar KRB umumnya masih berasal dari wilayah Jawa Barat, misalnya Sukabumi, Ciapus, Cianjur dan Cirebon. Namun tidak sedikit yang berasal dari wilayah Jawa Barat, seperti Padang, Palembang, Madura, Brebes dan daerah Jawa Tengah. Umumnya mereka melakukan migrasi desa-kota karena merasa sektor pertanian di desa sudah tidak menarik lagi dan tidak cukup memenuhi kebutuhan mereka secara individu maupun keluarga. Migran melihat bahwa pembangunan yang dipusatkan di daerah perkotaan dapat membantu mereka untuk menyambung kehidupan sehingga mereka memutuskan untuk melakukan migrasi desa-kota. Kota Bogor dianggap oleh migran menjadi daerah tujuan migrasi karena para migran pada umumnya menganggap bahwa Bogor masih belum sekeras kota Jakarta, Bogor masih mempunyai penduduk yang ramah dan masih banyak lahan yang masih digunakan untuk membuka usaha. Tabel 2 Jumlah penduduk migran dan non migran di Bogor 2010 Laki-laki+Perempuan Status Migrasi Nama No. Kabupaten/Kota Non Migran Migran Kabupaten/Kota Kabupaten/Kota 1. Bogor 3708981 1062951 2. Kota Bogor 683707 266627
Total 4771932 950334
Sumber: Sensus penduduk 2010. Dapat diunduh di : http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=324&wid=3200000000
Migran desa yang datang ke kota Bogor biasanya akan berdomisili di sekitar migran sedaerah asal juga. Ketika sudah beberapa waktu berada di kota Bogor maka domisili migran semakin berkembang, misalnya domisili tidak lagi hanya karena sedaerah asal melainkan karena memiliki jenis dagangan yang sama. Pada penelitian ini, beberapa responden memiliki yang berasal dari daerah yang sama akan tinggal di satu pondokan yang sama, misalnya migran desa asal Brebes. Daerah asal migran biasanya juga menentukan jenis dagangan yang dijual oleh para migran PKL, yaitu orang Madura terkenal dengan penjual sate, orang Jawa dan Sukabumi biasanya menjual bakso dan orang Kuningan terkenal
21
sebagai penjual martabak. Jenis dagangan biasanya juga akan berpengaruh terhadap domisili migran PKL karena kebutuhan terhadap bahan baku dan dagangan yang akan dijual sama, misalnya PKL yang menjual mie ayam biasanya tinggal di Pondokan yang sama. Penjual martabak biasanya berdomisili di daerah sekitar Bondongan. Lokasi jualan para migran PKL yang berdekatan biasanya juga memiliki tempat tinggal yang berdekatan. Karakteristik Responden Karakteristik responden yang menjadi fokus penelitian ini adalah para migran baik laki-laki maupun perempuan yang melakukan usaha kaki lima berupa makanan dan minuman di wilayah sekitar KRB. Pendidikan para migran umumnya tidak lulus dari Sekolah Dasar (SD) hanya dengan bermodalkan tekad, kejujuran dan keberanian. Jenis Kelamin PKL yang menjual makanan dan minuman di lokasi penelitian mayoritas adalah laki-laki. Umumnya perempuan yang biasanya adalah istri dari pemilik usaha kaki lima tersebut hanya sebagai tenaga tambahan saja. Perempuan akan menjaga barang dagangan ketika suami pergi untuk belanja ataupun kegiatan lainnya. Namun perempuan akan sangat berperan pada proses penyiapan barang dagangan waktu akan buka di pagi hari dan waktu akan menutup di malam hari. Laki-laki mempunyai peran utama dalam melangsungkan proses penjualan barang dagangan. Dari sekian banyak pedagang yang berjualan di sekitar lokasi penelitian, tidak lebih dari 10 persen perempuan yang berjualan. Selain itu umumnya para migran yang melakukan usaha kaki lima di sekitar KRB tersebut tidak membawa serta keluarganya. anak dan istri para migran umumnya ditinggalkan di desa karena alasan pendidikan, biaya hidup, kenyamanan dan juga sumber penghasilan lain sehingga migran tersebut bekerja sendiri dalam menjalankan usahanya. Dari 40 responden yang menjadi objek penelitian hanya dua orang perempuan yang bekerja sebagai PKL. Usia Usia para pelaku sektor informal, PKL di lokasi penelitian pada umumnya sudah berusia cukup tua. Beberapa dari mereka sudah mulai berjualan makanan ataupun minuman sejak zaman pemerintahan bapak Soeharto. Akan tetapi ada juga PKL yang masih cukup muda dan masih berada pada usia produktif, yakni sekitar 30-45 tahun yang memulai usaha biasanya berdasarkan informasi dari saudara, teman maupun kerabat yang sudah lebih dahulu melakukan migrasi ke kota Bogor. Para migran tersebut rata-rata sudah melakukan migrasi sejak usia 15 tahun keatas. Tingkat Pendidikan Ada pepatah mengatakan, tidak semua orang sukses dari pendidikan. Pepatah ini seperti sangat melekat jelas dalam kalangan migran yang melakukan usaha kaki lima. Para PKL mengaku bahwa pendidikan bukanlah segalanya.
22
Tabel 3 Karakteristik responden pedagang kaki lima (PKL) di sekitar Kebun Raya Bogor (KRB) tahun 2012 Karakteristik Responden Jenis Kelamin Perempuan Laki-Laki Tingkat Pendidikan SD SMP SMA Total
Frekuensi
Persentase (%)
2 38
5 95
24 12 4 40
60 30 10 100
Mayoritas tingkat pendidikan responden penelitian ini adalah Sekolah Dasar (SD) yaitu sebesar 60 persen. Sebesar 30 persen sudah menempuh pendidikan sampai SMP dan hanya 10 persen sampai SMA. Karakteristik responden menjadi hal yang penting untuk dipertimbangkan dalam hal ini. Salah satu karakteristik responden yang digunakan dalam penelitian ini adalah usia. Usia responden pada penelitian ini rata-rata 30 tahun keatas, akan tetapi mereka sudah mulai bermigrasi rata-rata sejak usia 15 tahun dan masih bekerja sampai usia 62 tahun. Angka ini menggambarkan usia produktif masyarakat Indonesia dan juga merupakan bagian dari angkatan kerja.
23
USAHA KAKI LIMA SEBAGAI KEGIATAN SEKTOR INFORMAL YANG SAH
Gambaran Usaha Kaki Lima di Sekitar Kebun Raya Bogor (KRB) Menjadi wirausahawan merupakan salah satu sumber pendapatan yang menjanjikan dan banyak digeluti oleh masyarakat pada umumnya, terutama menjadi wirausahawan yang sukses dengan modal dan keuntungan yang besar. Status sosial seseorang dapat meningkat apabila dia dapat meningkatkan usahanya dan akhirnya menjadi wirausahawan muda. Wirausaha sangat beranekaragam dan fluktuatif. Salah satu kegiatan wirausaha adalah usaha kaki lima. Pedagang Kaki Lima (PKL) adalah wirausahawan yang melakukan aktivitas usaha di sektor informal. Walaupun merupakan usaha yang dilakukan dijalanan, dipedestrian usaha kaki lima adalah kegiatan sektor informal yang sah. Usaha yang dijalankan para PKL membutuhkan modal yang relatif tidak besar. Para PKL mengaku bahwa membuka usaha kaki lima tidak membutuhkan modal yang besar, hanya dibutuhkan modal kejujuran, keberanian dan ketekunan dalam menjalankan usaha tersebut. Para PKL yang menjadi unit analisis penelitian ini terdiri dari penjual makanan dan minuman. Dari 40 responden yang dipilih terdapat 25 persen penjual minuman dan 75 persen penjual makanan. Tabel 4 Jumlah dan persentase penjual makanan dan minuman di sekitar KRB Jenis usaha kaki lima Penjual makanan Penjual minuman Total
Frekuensi
Persentase (%)
30 10 40
75 25 100
Usaha kaki lima yang dilakukan oleh para PKL relatif sudah cukup lama meskipun ada PKL yang masih sangat baru dalam merintis usaha mereka. Para PKL mengaku menjadi pengusaha kaki lima sudah menjadi separuh hidupnya, membuat mereka bertahan hidup dan mampu membesarkan serta menyekolahkan anak-anak mereka. Usaha kaki lima yang terlihat sangat sepele dan kecil teryata mampu menjadi sumber penghidupan yang layak apabila dikerjakan dengan tekun dan berani. Seorang responden penjual kue pukis mengatakan: “Saya mah neng, begini juga usaha saya udah nyekolahin anak 2 orang sampe tinggi, ya walau dikampung. Istri saya tidak perlu repot-repot banting tulang untuk bekerja. Istri saya cukup memantau para pekerja yang ada di ladang yang saya beli juga hasil dari jualan selama ini. Ya walau ga bisa naik mobil mewah kemana-mana, tapi alhamdullilah neng saya udah punya motor dan rumah yang walau ga gede, hasil jualan juga neng” (Abdul Rohman, 33 tahun). Usaha kaki lima bagi para PKL adalah nyawa mereka. mereka rintis usaha dari nol, mulai dari hanya menjadi sekedar pekerja di tempat teman atau saudara
24
yang membawa mereka ke Bogor, mulai bekerja pada seorang tokeh5 hingga akhirnya membuka usaha mandiri. Responden pada penelitian ini sudah menjalani usaha dalam waktu yang beraneka ragam, mulai dari PKL yang baru memulai usaha sampai PKL yang sudah sangat lama menjalani usahanya.
Tabel 5 Lama usaha PKL responden di sekitar KRB Lama usaha (X) X < 1 Tahun 1 Tahun > X > 3 Tahun 3 Tahun > X > 5 Tahun 5 Tahun > X > 10Tahun X > 10 Tahun Total
Frekuensi 7 8 7 8 10 40
Persentase (%) 17.5 20.0 17.5 20.0 25.0 100.0
Lama usaha yang sudah dijalani para PKL dipengaruhi oleh lama mereka sudah menetap atau melakukan migrasi ke Bogor. Sekitar 25 persen para PKL yang menjadi responden penelitian ini sudah melakukan usaha kaki lima lebih dari 10 tahun. Bahkan salah seorang responden yaitu bapak Muhri (54 tahun) sudah menjadi penjual minuman selama lebih kurang 40 tahun, yaitu sejak dia melakukan migrasi ke Bogor dari daerah asalnya di Kuningan, Jawa Barat. Menurut penuturan beliau, menjadi PKL tidak pernah menjadi bagian dari mimpinya tetapi menjadi PKL telah membuat dia mampu bertahan hidup di kota Bogor. Tingkat Pendapatan Pedagang Kaki Lima (PKL) di sekitar KRB Pedagang Kaki Lima (PKL) di sekitar KRB menjadikan usaha kaki limanya menjadi sumber pendapatan utama untuk memenuhi kebutuhan keluarga maupun individu. Usaha kaki lima yang ditekuni oleh para PKL menghasilkan tingkat pendapatan yang berbeda-beda. Para PKL cenderung menghitung pendapatan sehari yang didapatkan dari hasil berjualan merupakan pendapatan mereka dalam sehari. Para PKL menganggap bahwa hasil tersebut yang terus akan digunakan untuk modal selanjutnya sekaligus digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga maupun individu. Pendapatan para PKL cenderung berbeda sebelum dan sesudah melakukan migrasi ke kota Bogor. Hal ini disebabkan para migran sebelum melakukan migrasi belum memiliki pekerjaan karena baru putus sekolah atau tidak bekerja karena alasan tidak memiliki skill atau lahan. Berikut tabel yang menggambarkan jumlah dan persentase jenis pekerjaan responden sebelum melakukan migrasi.
Tabel 6 Jenis pekerjaan PKL responden sebelum melakukan migrasi Jenis Pekerjaan 5
Frekuensi
Persentase (%)
Tokeh dalam istilah para PKL adalah orang yang menyediakan barang yang akan dijual dan memberikan modal untuk gerobak yang akan mereka gunakan dalam menjajakan barang dagangan.
25
Petani Buruh Pabrik Buruh Bangunan Tidak Bekerja Belum Bekerja Pedagang Lain-lain (Penjahit) Total
3 4 3 8 15 6 1 40
7.5 10.0 7.5 20.0 37.5 15.0 2.5 100.0
Berdasarkan tabel dapat diketahui bahwa sebanyak 37.5 persen dari responden penelitian ini belum bekerja sebelum melakukan migrasi ke kota Bogor. Para PKL mengaku bahwa mereka belum bekerja karena sesudah putus atau lulus dari sekolahan mereka pergi merantau. Sebagian dari mereka mengaku diajak teman, saudara atau keluarga yang sudah lebih dahulu melakukan migrasi ke kota Bogor dan sudah mendapatkan pekerjaan yang cukup matang. Selain itu, ada juga PKL yang mengaku melakukan migrasi karena insiatif dari diri sendiri dan dengan bermodalkan tekad dan keberanian saja. Mereka yakin di kota nanti akan menemukan keluarga yang baru yang mungkin dari daerah asal yang sama. Tabel 7 Jumlah dan persentase tingkat pendapatan migran PKL sebelum dan sesudah melakukan migrasi Jumlah Pendapatan (Rp) 0 0-20000 30000-50000 60000-100000 > 100000 Total
Sebelum Migrasi Frekuensi Persentase (%) 23 57.5 11 27.5 1 2.5 3 7.5 2 5.0 40 100.0
Sesudah Migrasi Frekuensi Persentase (%) 0 0.0 4 10.0 20 50.0 15 37.5 1 2.5 40 100.0
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan didapatkan data bahwa pendapatan para PKL di sekitar KRB setelah melakukan migrasi rata-rata Rp 50000 per hari dan sebelum melakukan migrasi ke kota Bogor rata-rata Rp 20000. Berikut disajikan tabel frekuensi dan persentase pendapatan di sekitar Kebun Raya Bogor (KRB), Jawa Barat 2012 sebelum dan sesudah melakukan migrasi (lihat tabel 7).
26
Bila disajikan dalam m bentuk grrafik maka akan dihaasilkan graffik sebagai berikkut:
Pendap patan mig gran sebellum dan sesudah s melakukan miigrasi
57.5 50 Sesudah Miggrasi (%)
Seebelum migrasi (%)
37 7.5 5 27.5
10 0
7.5 2.5
5
2.5
Gambar 2 Grafik penndapatan migran m PKL sebelum daan sesudah m melakukan grasi mig Berdasarkkan grafik pendapatan p n migran seebelum dann sesudah m melakukan migrrasi dapat diketahui d baahwa rata-raata pendapaatan migrann sebelum m melakukan migrrasi adalah sebesar Rpp 20000 naamun sekitaar 50 perseen belum m mempunyai penddapatan karrena belum m bekerja ataupun a tid dak bekerjaa. Sedangkkan setelah melaakukan migrrasi pendapatan migrann rata-rata sebesar Rp 50000, 5 akann tetapi ada juga pedagang yang y menghasilkan Rpp 3000000 dalam sehaari. Perbedaaan jumlah penddapatan ini disebabkan d oleh lama usaha u yang telah dirinttis oleh PKL L dan jenis usaha yang dijallankan olehh PKL tersebbut. Sebahaggian dari para p PKL mempunyaai pendapattan tambahhan selain menjjadi PKL dari d pekerjaaan lain. Peekerjaaan laain yang meereka milikki biasanya bidanng pertaniann di daerahh asal merekka. Pekerjaaan yang meereka milikii di daerah asal membentukk pola kepuulangan paraa PKL ke daerah d asal. Ketika muusim panen tiba mereka akaan kembali ke daerah asal dan keemudian keembali ke kkota Bogor nam tiba, biasanya para PKL ketikka musim tanam tibaa. Ketika musim tan mem mpercayakann lahan pertanian meereka kepad da istri meereka untukk merawat tanam man atau seekedar mem mantau para pekerja. p Haal ini merupakan salah satu alasan
27
yang menyebabkan para PKL biasanya tidak membawa keluarga mereka turut serta ke kota. Berikut ditampilkan jumlah dan persentase PKL yang masih mempunyai pendapatan dari desa selain menjadi PKL. Tabel 8 Jumlah dan persentase PKL yang masih memiliki pendapatan dari desa Pendapatan dari Desa Ada Tidak ada Total
Frekuensi 14 26 40
Persentase (%) 35 65 100
Sebanyak 35 persen dari responden penelitian ini yaitu sejumlah 14 orang dari total 40 responden memiliki pekerjaan lain selain menjadi PKL. Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan kepada salah seorang responden yaitu bapak Abdul Rohman yang berasal dari daerah Garut mengatakan: “Ga baik neng kalau saya mengandalkan penghasilan dari menjual pukis saja. Kebutuhan anak sekolah semakin tinggi. Saya ga mau anak-anak saya menjadi putus sekolah karena alasan biaya. Di kampung saya punya sedikit lahan dan saya suka bertani karena dari kecil daya dibesarkan di dunia pertanian neng. Untuk itu di kampung saya punya kebun jagung yang diolah oleh para pekerja dan dipantau oleh istri saya di rumah. Saya dari sini mengirim biaya yang dibutuhkan selama musim tanam dan kembali ke kampung ketika musim panen tiba. Lumayan neng buat nambah-nambah penghasilan” (Abdul Rohman 33 Tahun). Para PKL yang tidak mempunyai usaha selain menjadi PKL mengaku bukan karena tidak mau bertani melainkan karena merasa tidak punya keahlian lain, tidak punya waktu untuk melakukan hal lain lagi dan alasan tidak punya lahan lagi. Sumber Modal Usaha Pedagang Kaki Lima (PKL) Usaha kaki lima diidentifikasi sebagai suatu usaha yang membutuhkan modal yang relatif kecil. Modal yang digunakan untuk membuka usaha kaki lima biasanya berasal dari modal mandiri PKL itu sendiri. Akan tetapi usaha kaki lima juga diidentifikasi sebagai usaha yang melibatkan anggota keluarga dan teman, sehingga tidak jarang para PKL mendapatkan modal utama maupun modal tambahan dari keluarga dan teman juga. Selain itu, ada juga PKL yang mendapatkan modal dengan memanfaatkan jasa Bank. Akan tetapi ini merupakan hal yang cukup langka terjadi. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, para responden PKL yang berjualan di sekitar KRB merupakan PKL yang sudah cukup mandiri. Kemandirian ini dapat dilihat dari tempat mereka berjualan yang cenderung menetap di suatu sudut jalanan, sistem setoran yang sesuai hasil penjualan dan penggunaan modal mandiri. Sebanyak 39.47 persen responden menggunakan modal mandiri untuk memulai usaha kaki lima yang mereka rintis. Para PKL ini mengaku bahwa sekali merantau maka tidak boleh lagi meminta bantuan orang tua ataupun sanak saudara. Misalnya, pak Soleh seorang penjual sate madura yang
28
sudah menjual sate lebih kurang 23 tahun. Menurut beliau, namanya memulai usaha harus punya modal mandiri. “atuh neng kalau saya mah orang Madura ya berat tanggung jawabnya sekali merantau. Sekali merantau ya orang taunya saya mesti sukses. Ga ada yang namanya minta bantuan keluarga atau saudara untuk modal usaha. Ya paling banter juga sesama orang Madura yang ada di Bogor ya neng. Apalagi namanya usaha jalanan kaya begini ya sudah pasti modalnya ga banyak, yo mosok ga bisa kumpulin modal sendiri. Ya namanya memulai usaha ya harus punya modal toh?” (Soleh 62 Tahun). Selain menggunakan modal mandiri untuk memulai dan menjalankan usahanya, para PKL juga memanfaatkan modal dari keluarga. Modal dari keluarga biasanya berupa lahan atau harta warisan yang diberikan oleh orangtuanya yang digunakan sebagai modal usaha. Selain itu modal keluarga juga bisa berupa bantuan dana dari keluarga saat usaha sedang mengalami penurunan pendapatan. Prinsip daripada meminjam kepada bank, para PKL lebih memilih meminta bantuan kepada keluarga. Selain alasan tidak diberatkan oleh bunga, alasan para PKL menggunakan modal dari keluarga karena mereka tidak dikenai hukuman ketika mereka tidak membayar dan keluarga sering mengikhlaskan modal yang diberikan untuk dijadikan modal usaha. Berdasarkan hasil penelitian sebanyak 42.85 persen atau sebanyak 12 orang responden hanya menggunakan modal dari keluarga untuk merintis dan menjalankan usahanya. Mereka biasanya mendapatkan modal berupa usaha yang diwariskan, sehingga PKL tersebut tinggal melanjutkan usaha saja. “Aku udah 16 tahun di Bogor. Sebelumnya aku tinggal di Bandung. Dulu di Bandung aku bekerja disebuah pabrik. Akan tetapi semenjak bapak mulai sakit-sakitan aku disuruh ke Bogor untuk melanjutkan usaha gorengan yang udah dirintis selama bertahun-tahun. Sepertinya udah sama dengan usiaku deh usaha gorengan ini dikerjakan bapakku. Ya sejak itu aku melanjutkan jualan gorengan ini. Aku udah ga perlu mikirin gerobak, modal, tempat, pelangan dan urusan lainnya. Aku taunya udah beres. Tinggal belajar resep bapak, habis itu langsung jualan di sekitar kebun raya ini. Sejauh ini masih lancar aja neng, belum pernah sampai kekurangan modal. Modal awal dari bapak saya pertama kali ya masih bisa diputar-putar sampai sekarang” (Sudianto, 34 tahun penjual gorengan asal Brebes). Sumber modal usaha lain yang digunakan oleh para PKL adalah mengandalkan hubungan persaudaraan dan persahabatan. PKL yang merupakan migran sangat khas dengan hubungan persahabatan dan persaudaraan. Saudara dan teman bisa menjadi sumber modal untuk memulai usaha, terutama saudara dan teman yang sudah terlebih dahulu melakukan migrasi dan sudah mempunyai usaha ataupun bekerja pada orang lain. Sebanyak 47.05 persen atau sekitar 16 responden hanya mengandalkan modal dari teman atau saudara untuk melakukan usaha kaki lima. Selain dari teman atau dari saudara biasanya sumber modal usaha lain untuk memulai usaha juga bisa seorang tokeh atau bos dari sebuah usaha yang menggunakan sistem setoran, misalnya penjual burger. Penjual burger biasanya
29
dimodali oleh seorang tokeh dengan memberikan gerobak dan burger yang tinggal disusun oleh penjual nantinya. Bapak Koko (35 Tahun) seorang penjual burger asal Cilacap yang juga menjadi responden penelitian ini mengaku sudah menjadi penjual burger selama 3 tahun. Selama 3 tahun menjadi penjual burger beliau mempunyai seorang bos tempat mengambil burger yang akan dijual. Satu burger yang terjual, bapak Koko mendapatkan keuntungan Rp 1000 dan sisanya bisa dikembalikan ke pabrik. Responden lain dari penelitian ini misalnya bapak Muhri (54 tahun) seorang penjual minuman asal Kuningan mengaku hanya menggunakan modal bantuan dari teman yang telah membawanya ke Bogor untuk memulai usaha. Usahanya semakin berkembang dan justru teman yang mengajak dia bermigrasi sudah tidak berjualan lagi dan kembali ke Kuningan. Bank juga merupakan sumber modal yang dapat digunakan untuk memulai dan mengembangkan suatu usaha. Jasa bank akan sangat membantu karena dapat dipinjam dalam jumlah besar. Akan tetapi prosedur yang cukup rumit membuat para PKL cenderung tidak menggunakan bank. Selain karena alasan prosedural juga ada ketakutan dalam hal pengembalian. Para PKL juga merasa bunga bank terlalu tinggi untuk usaha seperti mereka. akan tetapi tetap ada PKL yang hanya menggunakan jasa bank walau dalam jumlah yang sangat kecil, yaitu 4 orang dari total responden penelitian. Bapak Wawan Suwandi (37 tahun) merupakan pedagang bakso asal Sukabumi yang sudah sukses. Beliau sudah berhasil membuka 3 cabang dibeberapa tempat, termasuk di wilayah Universitas Kesatuan. Beliau menggunakan jasa bank dalam menjalankan usahanya dan beliau mengaku sangat dimudahkan oleh pihak bank dalam segala urusan. Selain hanya menggunakan modal mandiri, modal keluarga, modal bank dan modal jasa lain, para PKL juga ada yang menggabungkan beberapa sumber modal, misalnya mempunyai modal mandiri namun juga mempunyai bantuan modal dari keluarga. Ada yang hanya mempunyai modal keluarga dan pinjaman dari teman atau bahkan menggabungkan modal mandiri, modal keluarga, modal bank dan modal lain untuk mengembangka usahanya.
30
PERANAN MODAL SOSIAL DALAM STRATEGI BERTAHAN PELAKU SEKTOR INFORMAL Migrasi sudah sangat membudaya dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Hal ini berkaitan dengan adanya kegiatan transmigrasi yang dilakukan sejak jaman penjajahan Belanda. Adanya pola migrasi ini menyebabkan suku-suku tersebar di seluruh Indonesia. Budaya ini dikenal dengan budaya merantau. Kebiasaan ini menyebabkan masyarakat Indonesia sangat kental dengan persaudaraan yang erat. Hubungan persaudaraan menjadi modal yang dapat digunakan ketika berada dimanapun, termasuk bukan di daerah asal. Modal sosial merupakan hal yang jarang diperhatikan oleh ahli ekonomi dalam melakukan suatu usaha. Putnam (1993) mendefinisikan modal sosial dengan mengacu pada “ciri-ciri organisasi sosial, seperti jaringan sosial (social network), norma-norma (norms), dan kepercayaan (trust) yang memfasilitasi koordinasi untuk sesuatu yang manfaatnya bisa dirasakan bersama-sama (mutual benefit.). Oleh sebab itu modal sosial sangat bermanfaat bila digunakan dalam menjalankan suatu usaha dan bertahan dalam suatu keadaan. Jaringan Jaringan adalah hubungan sosial yang teratur, konsisten dan berlangsung lama, hubungan tersebut bukan hanya melibatkan dua individu, melainkan banyak individu. Jaringan sosial dapat dianalisis pada aspek-aspek berikut: 1. Keragaman tipe: jaringan orang-orang yang terkait melalui persahabatan, frekuensi interaksi, percakapan ditempat kerja, kedekatan tempat tinggal. 2. Keragaman bentuk ikatan menurut kekuatannya (kuat atau lemah), ikatan yang kuat biasanya berlangsung pada kontak yang lebih sering, intensitas emosional yang lebih dekat atau keintiman, dan meminta perhatian yang lebih besar, misalnya waktu. 3. Keragaman bentuk ikatan menurut tingkat simetrinya (simetris atau asimetris): setara atau tidak setara dalam karakteristik tertentu misalnya umur, pendidikan dan pendapatan. 4. Keragaman jaringan menurut ukurannya (luas atau sempit) diukur dari segi jumlah simpul atau kepadatan jaringan (Sumarti 2003).6 Pada penelitian ini, jaringan diukur melalui dua indikator yaitu keragaman tipe dan keragaman jaringan menurut ukurannya. Keragaman tipe yang dimaksud adalah untuk mengetahui tipe jaringan yang dimiliki oleh PKL sebagai responden penelitian. Keragaman jaringan menurut ukurannya atau lama usaha dimaksudkan untuk melihat apakah semakin lama usaha yang dimiliki PKL akan berpengaruh terhadap jumlah jaringan yang dimiliki oleh PKL tersebut.
6
Titik Sumarti MC dalam buku Sosiologi Umum Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor 2003 bab Interaksi Sosial.
31
Keragaman Tipe Keragaman tipe dalam jaringan sosial dapat dianalisis untuk mengetahui apakah jaringan yang dimiliki seseorang tersebut beragam atau tidak berdasarkan tipenya, misalnya persahabatan. Pada penelitian ini yang menjadi fokus adalah untuk mengetahui keragaman tipe yang dimiliki oleh migran PKL responden dalam beberapa kategori tipe, yaitu persahabatan atau persaudaraan, kedekatan tempat tinggal dan sedaerah asal, percakapan ditempat kerja atau jenis dagangan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka diketahui bahwa migran PKL yang menjadi responden penelitian ini mempunyai tiga keragaman tipe tersebut, yaitu persaudaraan, sedaerah asal dan jenis dagangan. Para migran PKL yang menjadi responden penelitian mayoritas melakukan migrasi ke kota Bogor dibawa oleh keluarga, saudara atau teman. Hanya 3 dari 40 responden yang melakukan migrasi atas dasar inisiatif sendiri. PKL melakukan migrasi ke kota Bogor dengan berbagai alasan, misalnya untuk memenuhi kebutuhan, tuntutan hidup, hanya sekadar diajak oleh keluarga atau saudara maupun hanya sekedar coba-coba mencari pengalaman. Salah seorang responden penjual ice cream durian asal Brebes yang masih setengah tahun berada di kota Bogor diajak temannya untuk migrasi ke kota Bogor dan melakukan usaha kaki lima. “Saya ya neng berhubung diajak teman ya mau-mau aja, sekalian nambah pengalaman gitu. Trus langsung ditawarin usaha juga kan, ini nih jadi penyalur ice cream durian ini, kontrakan disediaan, gerobaknya ada yaudah atuh ya tinggal njalankan doang kenapa tidak dicoba kan?” (Osikin 23 tahun). Hubungan persaudaraan atau persahabatan yang dimiliki migran PKL biasanya berhubungan juga dengan karena mereka sedaerah asal. Migran PKL yang melakukan migrasi diajak oleh saudara atau teman yang sedaerah asal juga biasanya akan mempengaruhi tempat tinggal migran yang diajak tersebut, yaitu tinggal dipondokan migran sedaerah asal, ngontrak di rumah migran yang sudah lebih mapan atau tinggal di sekitar migran lama yang mengajak migran baru tersebut. Sehingga menciptakan tipe jaringan yang berdasarkan persaudaraan atau pertemanan, daerah asal dan kedekatan tempat tinggal. Selain kedua hal tersebut, keragaman tipe jaringan yang dimiliki oleh migran tersebut juga berdasarkan jenis usaha yang dia jalankan. Pedagang pempek biasanya akan memiliki kedekatan khusus dengan para pedagang pempek lainnya, selain karena satu pabrik pembuatan pempek juga karena jualan di sekitar daerah yang sering bersamaan. Pedagang mie ayam biasanya akan mengenal semua pedagang mie ayam karena mereka menjual mie dari pabrik pembuatan mie ayam yang sama. Penjual minuman mineral7 biasanya tidak begitu dekat dengan penjual minuman mineral lainnya karena faktor harga. Penjual minuman cenderung memiliki harga yang beranekaragam satu sama lain. Setiap jenis dagangan memiliki ciri khas masing-masing sehingga membentuk jaringan satu sama lain. 7
Penjual minuman mineral yang dimaksud adalah pedagang yang menjual minuman yang sudah jadi dalam kemasan yang biasanya juga sekalian menjual snack ringan dan rokok. Bukan penjual juice atau minuman yang diolah lainnya.
32
Keragaman Jaringan Menurut Ukurannya Keragaman jaringan menurut ukurannya pada penelitian ini diukur melalui lama usaha yang dijalani oleh PKL. Lama usaha yang dimiliki oleh migran PKL berkaitan dengan lama PKL tersebut sudah tinggal di kota Bogor. Lama migrasi biasanya lebih panjang daripada lama usaha kaki lima yang dijalankan oleh PKL. Hal ini disebabkan karena ketika para PKL tiba di kota Bogor, tidak semua langsung menjadi PKL. Beberapa PKL terlebih dahulu menganggur sembari melihat usaha teman dulu. Beberapa PKL terlebih dahulu bekerja pada bidang lain karena menjadi PKL terlihat cukup berat. Beberapa PKL lainnya terlebih dahulu bekerja pada usaha orang yang membawanya dan beberapa PKL lainnya langsung memulai usaha ketika tiba di kota Bogor. Seperti yang sudah ada pada tabel sebelumnya8, sekitar 25 persen PKL yang menjadi responden penelitian ini sudah menjalankan usaha kaki lima selama lebih dari 10 tahun, satu diantaranya sudah menjadi PKL selama 32 tahun yaitu bapak Ujang seorang penjual bakso dan bahkan ada pak Muhri yang sudah menjual minuman mineral selama 40 tahun. Lama usaha yang sudah dijalankan para PKL berpengaruh terhadap jumlah jaringan yang dia miliki. Semakin lama PKL tersebut di kota Bogor, semakin lama pula usahanya dan semakin banyak jaringan yang dia miliki. Lama migrasi
Lama usaha
orang yang dikenal (jaringan)
Lama migrasi berpengaruh terhadap lama usaha dan berpengaruh terhadap orang yang dikenal (jaringan). Lama usaha berpengaruh terhadap jumlah jaringan yang dikenal yang disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah lokasi berjualan yang terkadang berpindah dari satu tempat karena alasan kebijakan maupun atas insiatif sendiri, beragam pelanggan yang sudah menjadi pembeli tetap setelah sekian lama berjualan, pemasok barang yang bermacam-macam, dan rekan pedagang yang sering berubah-ubah. Secara keseluruhan jaringan yang dimiliki migran PKL yang menjadi responden penelitian ini memiliki tingkat jaringan yang tinggi. Tabel 9 Jumlah dan persentase tingkat jaringan responden migran PKL Jaringan
Frekuensi
Persentase (%)
Tinggi
25
62.5
Rendah
15
37.5
Total
40
100.0
Kepercayaan Kepercayaan adalah salah satu unsur dari modal sosial yang dapat dikembangkan melalui komunikasi yang dijalin terus-menerus. Kepercayaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah bagaimana migran PKL tersebut menunjukkan kredibilitas mereka masing-masing sehingga saling mendapatkan 8
Lihat pada tabel lama usaha di bab sebelumnya
33
kepercayaan satu sama lain. Kepercayaan yang dimiliki oleh migran PKL dapat digunakan dalam menjalin interaksi satu sama lain termasuk dalam menjalankan dan mempertahankan usahanya. Kepercayaan yang dimiliki oleh migran PKL pada penelitian ini akan dianalisis menjadi dua bagian yaitu kepercayaan terhadap sesama migran tanpa membedakan migran asal mana saja dan terhadap migran sedaerah asal saja. Kepercayaan terhadap Sesama Migran Migran PKL di sekitar Kebun Raya Bogor mempunyai karakteristik yang beranekaragam, baik dari daerah asal para PKL juga jenis dagangan para PKL. Para migran PKL memliki rasa kepercayaan yang khas karena merasa senasib sepenanggungan di negeri orang. Migran PKL memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi antar sesama migran. Rasa kepercayaan ini ditunjukkan dengan adanya organisasi berupa kumpulan para pedagang yang menjual barang dagangan sejenis dan biasanya para anggotanya adalah para migran, misalnya kumpulan pedagang es cingcau9. Para pedagang cingcau memiliki organisasi yang sama untuk kelancaran usaha mereka. Penjual es cingcau memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi satu dengan yang lainnya, misalnya dalam pengadaan bahan dasar es cingcau tersebut. Mereka sudah mempunyai langganan sendiri yang akan memasok daun cingcau tersebut dan apabila mereka kehabisan pasokan atau stock daun maka mereka akan mencari bersama atau bergantian. Selain dengan bergabung dengan organisasi jenis usaha tanpa memperimbangkan daerah asal, tingkat kepercayaan sebagai para migran ditunjukkan dengan saling mengenal antar sesama PKL di sekitar KRB. Para PKL biasanya mengenal semua para PKL yang ada di sekitarnya karena rasa saling percaya dan saling membutuhkan. Kepercayaan terhadap Sesama Migran Se-daerah Asal Daerah asal merupakan hal yang penting dalam konsep migrasi. Daerah asal akan menentukan pola migrasi dan kebiasaan di daerah tujuan migrasi. Migran PKL yang berasal dari daerah yang sama memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi satu sama lain. Kepercayaan ini terbangun karena rasa saling lebih mengenal satu sama lain dan kebutuhan di daerah tujuan migrasi. Tingkat kepercayaan ini dapat dilihat dari organisasi yang dimiliki oleh migran dari daerah asal yang sama, misalnya paguyuban orang Brebes di Bogor. Aktivitas dan kesibukan yang berbeda-beda membuat interaksi mereka tidak begitu intens sehingga mereka membuat kegiatan perkumpulan dalam jangka waktu tertentu, misalnya pertemuan keluarga sebulan sekali. Selain dengan pertemuan keluarga dalam jangka waktu tertentu, kepercayaan juga dijalin dengan saling membantu dan mengunjungi ketika satu sama lain sedang memiliki hajatan atau hanya sekedar syukuran. Pola migrasi para migran PKL juga beraneka ragam, ada yang pulang kedaerah asal dalam waktu dua minggu sekali, tiga minggu sekali, empat minggu sekali, dua bulan sekali hingga yang pulang hanya ketika ada acara keluarga dan yang tidak 9
Es cingcau adalah minuman olahan dengan bahan dasar daun cingcau yang diakui sangat baik unutk kesehatan, terutama untuk penceranaan. Menurut pengakuan salah seorang pedagang es cingcau asal mengatakan bahwa ide pemasaran cingcau menjadi es cingcau berasal dari IPB.
34
beraturan sama sekali. Waktu pulang dari para migran biasanya digunakan untuk saling titip-menitip salam ataupun barang kepada keluarga di daerah asal. Secara umum tingkat kepercayaan yang dimiliki oleh migran PKL sebanyak 87.5 persen dikategorikan tinggi dan hanya sebesar 12.5 persen dikategorikan rendah. Tabel 10 Jumlah dan persentase tingkat kepercayaan responden migran PKL Kepercayaan
Frekuensi
Persentase (%)
Tinggi Rendah
35 5
87.5 12.5
Total
40
100.0
Para migran PKL mengaku bahwa walaupun sudah mengenal banyak sesama PKL migran, rasa kepercayaan lebih tinggi tetap diberikan kepada migran sedaerah asal. Ketika menghadapi kesulitan modal ataupun membutuhkan bantuan lain, seperti informasi biasanya para migran PKL pertama kali akan menghubungi migran sedaerah asal. Para migran juga mempunyai rasa tanggung jawab untuk meningkatkan taraf kehidupannya sehingga ketika ada keluarga, saudara atau teman sedaerah asal yang meminta bantuan mereka dipercaya dan bisa memberikan bantuan. Hubungan antara Lama Usaha dengan Tingkat Kepercayaan yang Dimiliki oleh Para Migran Pedagang Kaki Lima (PKL) Lama usaha memiliki pengaruh terhadap tingkat kepercayaan yang dimiliki oleh migran. Semakin lama usaha yang dimiliki oleh migran PKL maka akan semakin tinggi tingkat kepercayaan yang dimiliki oleh migran PKL terhadap jaringan yang dia miliki, misalnya terhadap pemberi modal, pelanggan, pemasok barang, pemerintah, rekan PKL dan pihak-pihak tertentu lainnya, misalnya supir angkot. Rasa kepercayaan ini timbul karena sudah melihat usaha PKL tersebut, pola berjualan dan kejujuran para PKL tersebut. Ketika para PKL sudah mendapatkan kepercayaan yang tinggi dari jaringan yang dia miliki maka PKL akan mendapatkan kemudahan-kemudahan dalam menjalankan usahanya. Norma Norma merupakan salah satu komponen yang penting untuk membangun modal sosial yang kuat. Modal sosial akan menjadi modal yang sangat kuat bagi setiap komunitas bila semua komponennya berjalan secara efektif. Lawang (2005) menyatakan bahwa norma bersifat resiprokal, artinya, isi dari norma yang terkandung dalam kedua belah pihak menyangkut hak dan kewajiban yang dapat menjamin keuntungan yang diperoleh dari suatu kegiatan tertentu. Aturan Sesama Pedagang Kaki Lima (PKL) Berdagang adalah pekerjaan yang sifatnya sangat fluktuatif. Untung-rugi datang dengan tidak menentu. Pedagang Kaki Lima (PKL) juga mengalami hal yang sama. Untung-rugi bisa terjadi kapan saja, penggusuran bisa terjadi kapan saja, pembeli yang terkadang sepi dan terkadang ramai, para PKL yang saling
35
serobot tempat dan pembeli satu sama lain sehingga perlu adanya aturan antar sesama PKL. PKL yang berjualan disekitar Kebun Raya Bogor (KRB) mempunyai aturan-aturan tersendiri dalam menjalankan usahanya. Masingmasing PKL mempunyai prinsip usaha yang berbeda-beda akan tetapi pada dasarnya mereka saling menghormati dalam menjalankan usaha mereka. Tidak ada aturan khusus bagi PKL dalam menarik pelanggan akan tetapi mengambil calon pembeli yang sudah ada di suatu tempat berjualan salah satu PKL adalah suatu kesalahan yang dapat memicu perkelahian. Selain itu para PKL juga mempunyai kesepakatan-kesepakatan tertentu, misalnya dalam hal penggusuran. Para PKL saling membantu dalam penyebaran informasi apabila akan ada penggusuran, apabila ada kamtib yang datang, apabila petugas kamtib (Keamanan dan Ketertiban) melakukan kekerasan apa yang akan dilakukan dan bagaimana mengambil barang-barang mereka kembali apabila ada barang untuk kebutuhan jualan mereka yang diambil oleh kamtib. Ini merupakan kerjasama yang penting antar para PKL, dan apabila ada PKL yang tidak saling membantu dalam penggusuran akan dikucilkan oleh pedagang lainnya dan bahkan tidak akan diberikan kesempatan jualan ditempat itu lagi. Hubungan antara Aturan Sesama PKL dengan Jenis Usaha PKL Jenis usaha berpengaruh terhadap aturan yang berlaku antar sesama PKL. Hal ini disebabkan oleh sebab-akibat yang dihasilkan oleh suatu usaha. Aturan berdasarkan jenis usaha adalah aturan mengenai posisi satu penjual dengan penjual lainnya. Penjual bakso tidak akan tepat bersebelahan dengan penjual bakso lainnya, dan apabila itu terjadi maka penjual bakso yang lebih awal berada di tempat itu lebih berhak untuk tetpa berjualan di tempat tersebut. Penjual bakso akan bersebelahan dengan penjual mie ayam dan penjual minuman. Ini merupakan kerjasama antar PKL tersebut agar lebih efektif dalam berjualan dan saling tolong menolong. Apabila ada pembeli yang membeli mie ayam, maka penjual mie ayam akan menawarkan apakah pakai bakso atau tidak dan terakhir akan menawarkan minuman yang diinginkan pembeli tersebut. Selain itu biasanya mereka menjadi memiliki kedekatan yang lebih dibandingkan dengan PKL lainnya, mereka akan saling menggantikan apabila salah satu dari mereka tidak bisa menjaga karena ada keperluan misalnya ke toilet atau pergi shalat. Berbeda halnya dengan penjual sate. Penjual sate biasanya tidak berdampingan dengan penjual makanan lainnya. Hal ini disebabkan oleh asap dari pembakaran sate yang selain mengganggu kenyamanan pembeli juga bisa merusak cita rasa makanan disebelahnya. Penjual sate biasanya akan berjualan di lokasi yang dipojokan dan bukan bersebelahan tepat dengan penjual makanan lainnya, akan tetapi penjual sate di sekitar KRB berjualan didekat tukang bunga dan tukang buah. Akan tetapi penjual martabak paling berbeda dibanding penjual-penjual lainnya. Apabila kita ingin membeli martabak kita tinggal hanya datang ke sekitar KRB dan akan menemukan penjual martabak berjejeran di satu lokasi yang berdekatan sehingga akan membuat pembeli bingung membeli dimana. Penjual martabak mengaku tidak ada masalah walau mereka semua yang berdekatan sama-sama menjual martabak. Menurut mereka rezeki sudah ada yang atur. Selain itu penjual martabak yang menjadi responden penelitian ini masih memiliki
36
hubungan saudara satu sama lain sehingga tidak mempermasalahkan lokasi mereka yang berdampingan dan sama-sama menjual martabak. PKL yang menjual suatu makanan atau minuman yang mempunyai tokeh biasanya mempunyai ciri khas yang berbeda lagi, misalnya penjual pempek, penjual es cingcau, penjual ice durian, penjual bakso tusuk. PKL yang sejenis ini biasanya cenderung berjualan secara berpindah-pindah dan tidak begitu mempersalahkan lokasi. Salah seorang penjual pempek yang juga responden penelitian ini mengatakan: “ Kita mah ya neng ya, rezeki kan ga ada yang tahu ya? Ya kalau misalnya saya lagi jamnnya keliling nih ya, trus tiba-tiba ada yang manggil mau beli pempek sementara disitu udah ada yang jual pempek, ya udah atuh saya berhenti dan melayani pembeli tersebut. Dan teman saya yang sudah terlebih dahulu disitu juga tidak mempersalahkannya” (Supardi 42 tahun). Tingkat norma yang dimiliki oleh migran PKL dapat dikatakan tinggi sehingga norma sangat berperan dalam mengontrol aktivitas para PKL dalam melanjutkan aktivitas usaha kaki limanya. Tabel 11 Tingkat norma responden migran PKL Norma Frekuensi Persentase (%) Tinggi Rendah Total
25 15 40
62.5 37.5 100.0
Aturan-aturan yang dimiliki oleh para PKL menjadi ciri khas mereka masing-masing dan menjadi modal para PKL untuk menjalankan usaha mereka dan tetap menjalin interaksi yang baik antar sesama PKL itu sendiri. Aturan biasanya berupa aturan yang tidak tertulis namun sudah seperti kebiasaan dan turun-temurun. Tidak ada yang tahu siapa pencetus kebiasaan-kebiasaan yang terjadi dalam mereka menjalankan usaha akan tetapi para PKL responden penelitian ini mengaku bahwa aturan-aturan tersebut sudah berlangsung lama dan mereka tidak pernah mempermasalahkannya.
37
HUBUNGAN STRATEGI BERTAHAN PELAKU SEKTOR INFORMAL DENGAN KEBERLANJUTAN USAHA PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) Strategi Bertahan Pelaku Sektor Informal (PKL) Setiap pedagang mempunyai strategi dalam merintis, menjalankan dan mempertahankan usahanya. Usaha kaki lima sangat rentan dengan segala tantangan dan kendala-kendala baik internal maupun eksternal. Faktor eksternal dapat berupa penggusuran maupun ketersediaan barang dagangan. Faktor internal dapat berupa modal sosial maupun modal usaha. Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan, strategi yang harus dimiliki oleh pelaku sektor informal adalah: 1. Strategi pemenuhan kebutuhan dasar, bentuk strategi yang digunakan dalam memperoleh pekerjaan di kota. 2. Strategi peningkatan kesejahteraan: tahap pengembangan usaha untuk meningkatkan perolehan penghasilan (Yusuf 2006). Untuk strategi pemenuhan kebutuhan dasar, yaitu bentuk strategi yang digunakan dalam memperoleh pekerjaan di kota para PKL sangat memanfaatkan salah satu kompenen modal sosial yaitu jaringan. Para migran PKL melakukan migrasi desa-kota, yaitu dari daerah asal menuju kota Bogor dengan memanfaatkan jaringan yang dia miliki, misalnya keluarga saudara maupun teman. Jaringan tersebut juga yang akan dia gunakan ketika tiba di kota Bogor dalam mencari pekerjaan. Teman sedaerah asal atau jaringan sosial yang membawa migran PKL tersebut sangat berpengaruh terhadap pekerjaan yang akan dilakukan oleh migran tersebut. Biasanya migran yang baru tiba di Bogor tidak langsung menjadi PKL karena alasan modal dan mental. Para migran baru cenderung masih bekerja atau sekedar membantu migran lama yang juga berjualan di kota Bogor untuk dapat sekedar bertahan hidup. Setelah melihat, belajar dan mempunyai sedikit pengalaman maka migran baru akan memulai usaha dan menjadi PKL. Bermodalkan kepercayaan yang dibangun sebelumnya maka migran baru menjalankan usaha kaki lima. Kepercayaan yang ada antar para migran bukan proses setahun dua tahun melainkan proses yang berkelanjutan dan berkesinambungan. Kepercayaan yang dimiliki oleh para PKL merupakan suatu proses jatuh bangun antara orang yang mempercayai dan siapa yang dipercayai. Kepercayaan yang dimiliki para migran biasanya dibangun atas dasar jaringan yang ia miliki. Jaringan yang dimiliki oleh migran mempengaruhi kepada siapa migran tersebut harus percaya dan bagaimana migran tersebut menunjukkan kredibilitasnya agar dia bisa dipercayai oleh orang lain. Setelah mendapatkan kepercayaan dari orang lain dan semakin banyak orang yang mempercayai, maka migran PKL akan memanfaatkan hal tersebut untuk mengembangkan usaha kaki lima yang sudah mereka rintis sebelumnya. Kepercayaan ini berhubungan terhadap jaringan yang dimiliki oleh migran PKL, yaitu sesama migran walau berbeda daerah asal, migran sedaerah asal, sumber modal, pemasok barang, pelanggan dan pihak-pihak lain. Kepercayaan yang sudah dimiliki oleh para migran PKL tersebut digunakan untuk mengembangkan usaha kaki lima dalam mendapatkan kemudahan-kemudahan dan memperlancar usaha kaki lima.
38
Jumlah jaringan yang banyak dimiliki oleh migran PKL dan kepercayaan yang terdapat didalamnya sangat membantu dalam mempertahankan usaha kaki lima para migran PKL. Kepercayaan antara migran PKL dengan pemasok barang sehingga PKL tersebut tidak susah-susah memikirkan bahan baku yang dibutuhkan untuk usahanya karena pemasok barang akan selalu menyediakan barang yang dibutuhkan karena sudah biasa dan sudah saling percaya. Demikian halnya dengan pembeli. Pembeli ataupun pelanggan merupakan unsur yang sangat penting dalam suatu usaha, termasuk usaha kaki lima. Untuk itu, pembeli juga harus menjadi bagian penting yang harus dipertimbangkan dalam mempertahankan suatu usaha. Kepercayaan pembeli terhadap migran PKL harus dipertahankan dan dijaga kelangsungannya. Kejujuran dan keramahan merupakan kunci utama untuk mempertahankan kepercayaan pelanggan terhadap migran PKL. Menjaga hubungan baik dan kepercayaan antar sesama pedagang juga merupakan hal yang sangat penting agar bisa saling tolong-menolong dan saling bekerjasama, termasuk ketika tiba-tiba petugas Kamtib datang dan melakukan penggusuran. Rasa saling percaya dan membutuhkan membuat para PKL biasanya akan saling memberi informasi dan saling membantu ketika penggusuran terjadi. Biasanya mereka akan serentak untuk menyembunyikan barang dagangnnya dan nanti akan serentak juga dalam memulai berjualan lagi secara sembunyisembunyi. Para migran PKL menyebut adegan jualan secara sembunyi-sembunyi ini dengan istilah “kucing-kucingan”. Kepercayaan tidak akan dapat bertahan apabila tidak ada norma yang menjadi kontrol dalam aktivitas dan interaksi para migran. Norma sangat berperan dalam menstabilkan hubungan antara jaringan yang sudah dimiliki dan kepercayaan yang sudah terjalin antar sesama migran PKL. Dalam mempertahankan usaha kaki lima yang mereka miliki para migran menetapkan aturan-aturan yang tidak tertulis diantara masing-masing mereka. Aturan-aturan tersebut menjadi membudaya dan terjadi secara terus-menerus sehingga sudah seperti aturan tetap. Tabel 12 Modal sosial responden migran PKL Modal sosial Frekuensi Persentase (%) Tinggi 26 65 Rendah 14 35 Total 40 100 Pilar modal sosial yang terdiri dari tiga komponen saling behubungan dan saling mendukung satu sama lain. Jaringan, kepercayaan dan norma akan bisa digunakan sebagai strategi bertahan apabila dimanfaatkan dengan baik dan benar. Pilar modal sosial yang paling tinggi dari ketiga pilar tersebut adalah kepercayaan yaitu sebesar 87.5 persen. Secara keseluruhan modal sosial yang dimiliki migran PKL dikategorikan tinggi. Modal sosial ini digunakan sebagai strategi bertahan para PKL.
39
Tabel 13 Tingkat strategi bertahan responden migran PKL Strategi bertahan Frekuensi Persentase (%) Tinggi 35 87.5 Rendah 5 12.5 Total 40 100.0 Strategi bertahan migran PKL dikatakan tinggi yaitu sebesar 87.5 persen. Salah satu strategi bertahan yang digunakan oleh migran PKL pada penelitian ini adalah pemanfaatan modal sosial yang baik sehingga mereka dapat bertahan dalam melanjutkan usahanya. Strategi bertahan yang digunakan oleh migran PKL ini digunakan untuk menjaga keberlanjutan usaha kaki lima yang sudah mereka rintis. Hubungan Modal Sosial Pedagang Kaki Lima (PKL) di sekitar KRB dengan Strategi Bertahan Sektor Informal Cox (1995) dalam Supriono, dkk (tidak ada tahun) mendefinisikan, modal sosial sebagai suatu rangkaian proses hubungan antar manusia yang ditopang oleh jaringan, norma-norma, dan kepercayaan sosial yang memungkinkan efisien dan efektifnya koordinasi dan kerjasama untuk keuntungan dan kebajikan bersama. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap PKL di sekitar KRB maka diketahui bahwa modal sosial sangat berpengaruh terhadap strategi bertahan sektor informal (PKL). Berikut disajikan hasil tabulasi silang antara strategi bertahan sektor informal dengan modal sosial dengan menggunakan SPSS versi 17.0. Tabel 14
Hubungan antara Modal Sosial dengan Strategi Sektor Informal
Strategi Bertahan Sektor Informal Strategi Bertahan Tinggi Rendah Total
Modal Sosial
Bertahan
Total
Tinggi
Rendah
26
13
39
0
1
1
26
14
40
Berdasarkan hasil tabulasi silang yang telah dilakukan maka diketahui bahwa apabila migran PKL memiliki modal sosial yang tinggi maka migran PKL akan memiliki strategi bertahan yang tinggi pula. Ketika migran PKL mempunyai modal sosial walaupun tidak tinggi maka migran PKL akan tetap memiliki strategi bertahan yang cukup tinggi. Tidak mungkin ada migran PKL yang memiliki modal sosial tinggi namun tidak memiliki strategi bertahan yang baik. Jadi dapat disimpulkan bahwa modal sosial digunakan sebagai strategi bertahan pelaku sektor informal, khususnya para PKL di sekitar KRB, Jawa Barat.
40
Hubungan Strategi Bertahan Pelaku Sektor Informal dengan Keberlanjutan Usaha Pedagang Kaki Lima (PKL) Modal sosial menjadi modal yang sangat penting bagi para migran untuk bertahan hidup di daerah tujuan migrasi yang dia lakukan. Terkadang modal sosial lebih dibutuhkan daripada modal-modal yang lainnya. Modal sosial menurut Putnam terdiri dari tiga bagian besar yaitu, jaringan (networking), kepercayaan (trust), dan norma (norms). Para migran desa yang melakukan usaha kaki lima di daerah sekitar Kebun Raya Bogor (KRB), Jawa Barat memiliki pola hubungan yang teratur dan saling mengenal satu sama lain. Komponen-komponen dalam modal sosial saling berhubungan satu sama lain sehingga harus saling berkesinambungan agar mampu membangun suatu modal sosial yang kuat. Modal sosial dapat berpengaruh terhadap keberlanjutan usaha kaki lima yang dilakukan oleh para migran PKL. Usaha kaki lima dapat menjadi berkembang dan kemudian menjadi usaha yang lebih stabil. Pada penelitian ini salah seorang PKL yang sudah stabil dan maju adalah Wawan Suwandi (37 tahun), seorang penjual bakso asal Sukabumi yang sudah berhasil mengembangkan usaha baksonya menjadi beberapa cabang. Usaha kaki lima yang awalnya dirintis oleh bapak Wawan Suwandi oleh bank Mandiri disebut sebagai usaha mikro yang dimasukkan ke dalam bagian UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah). “saya mah ya neng awalnya Cuma jualan di gerobak aja, tapi ya berhubung kata orang masakan saya enak ya jualan saya laris neng. Awalnya sih saya coba-coba buka ditempat yang lain dengan meminta bantuan teman saya yang jualan di sekitar daerah kesatuan, eh ancar yaudah saya lanjutin aja. Trus tiba-tiba ada tim bank mandiri neng yang katanya melihat usaha mikro yang berhasil dan menurut mereka saya berhasil yaudah saya dikasih pinjaman sama bank mandiri. Pinjamannya cukup gede neng jadi saya bisa sewa kios sampe sekarang dan akhirnya melebarkan usaha bakso saya. Saya sih tetep neng kalau bergaul sama teman-teman kaki lima yang lain tapi kesibukan satu sama lain ya ga bisa bareng-bareng terus. Tapi masih tetap menjaga tali silaturahmi neng dan menambah kenalan ke tempat-tempat lain, siapa tahu bisa buka cabang lagi (Wawan, 37 tahun)”. Modal sosial yang dijadikan sebagai strategi bertahan para migran PKL pada akhirnya berpengaruh terhadap keberlanjutan usaha para migran PKL. Usaha kaki lima sebagai suatu kegiatan usaha kewirausahaan mikro merupakan usaha yang sangat fluktuatif sangat cenderung dengan berbagai kendala-kendala yang terjadi didalamnya. Salah satu hal yang selalu terjadi terhadap para PKL dan mempengaruhi keberlanjutan usaha PKL adalah penggusuran. Penggusuran sudah seperti makanan sehari-hari bagi para PKL. Untuk itu para PKL biasanya menggunakan modal sosial dalam informasi dan melakukan perlawanan atau sejenisnya agar usaha mereka tetap berjalan dan mereka dapat memenuhi kebutuhan keluarganya. PKL bukannya tidak mau digusur dari tempat mereka berjualan, akan tetapi realokasi yang dilakukan pemerintah menurut mereka selalu ke tempat sepi sehingga mereka tidak mau berjualan ditempat yang disediakan oleh pemerintah.
41
Selain dalam mengahadapi penggusuran, PKL juga sangat memanfaatkan saudara, kerabat dan kenalannya untuk mengembangkan usaha kaki limanya. Usaha kaki lima akan selalu menghadapi pasang surut sehingga harus memiliki pegangan yang kuat, termasuk dalam segi permodalan untuk mengembangkan usaha. Para migran PKL akan menghubungi keluarga atau teman sedaerah asal ketika menghadapai kegagalan dan membutuhkan modal tambahan untuk meningkatkan usaha kaki lima yang sudah dirintis. Menjaga kepercayaan terhadap jaringan yang dimiliki merupakan hal yang penting untuk keberlanjutan usaha kaki lima. Selain itu para migran PKL biasanya mewariskan teknik-teknik berjualan kepada saudara atau orang yang bekerja padanya untuk melanjutkan usaha kaki lima tersebut kelak dengan tempat yang lebih baik. Namun, para PKL jarang mengajarkan anak-anaknya untuk berjualan karena menurut mereka anak harus lebih baik daripada orangtua. Pada penelitian ini fokus strategi bertahan yang dimaksud adalah strategi bertahan para migran PKL itu sendiri. Hubungan antara migran PKL dengan pemasok barang dijaga melalui kepercayaan yang sudah terjalin dalam hubungan mereka. hubungan antara migran PKL dengan konsumen diasumsikan cateris paribus, dimana selera konsumen diasumsikan tidak berubah sehingga jenis dagangan yang dijual oleh para PKL masih sesuai dengan selera konsumen sehingga dapat terus melanjutkan usahanya.
40
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap migran PKL penjual makanan dan minuman di sekitar KRB, Jawa Barat maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Usaha kaki lima merupakan suatu kegiatan sektor informal yang sah. Usaha kaki lima juga membutuhkan proses dalam merintis dan menjalankan usaha tersebut. Usaha kaki lima dapat menjadi sumber pendapatan bagi para migran PKL dan memenuhi kebutuhan keluarga. Tingkat pendapatan yang dihasilkan oleh para migran PKL berbeda-beda hal ini berkaitan dengan lama usaha dan jenis usaha kaki lima yang dilakukan oleh migran PKL. 2. Modal sosial sangat berperan terhadap strategi bertahan sektor informal, yaitu pada kasus penelitian ini adalah PKL. Peran modal sosial adalah mempertemukan satu migran dengan migran lain, menjalin hubungan dengan orang lain, membangun kepercayaan satu sama lain dan ada norma didalamnya sehingga dapat merintis dan menjalankan usaha kaki lima. Komponen modal sosial digunakan untuk menguatkan strategi bertahan para PKL untuk merintis usaha kaki lima dan menghadapi kendala-kendala yang terjadi dalam usaha kaki lima. Semakin tinggi modal sosial yang dimiliki oleh para migran PKL maka akan semakin tinggi strategi bertahan yang mereka miliki. 3. Modal sosial sebagai strategi bertahan para migran PKL berhubungan dengan keberlanjutan usaha kaki lima para migran PKL. Para migran PKL akan meminta bantuan kepada jaringan terdekat yang dia miliki dan mewariskan teknik-teknik berjualan kepada orang yang dipercayainya selama mempunyai usaha kaki lima.
Saran Berdasarkan hasil penelitian maka dapat diketahui bahwa modal sosial sangat berperan dalam strategi bertahan sektor informal. Usaha kaki lima sangat membantu perekonomian pelakunya sehingga usaha kaki lima tidak bisa dihapuskan begitu saja. Oleh sebab itu penulis memberikan saran kepada beberapa pihak, yaitu: 1. Pemerintah dan pembuat kebijakan. Usaha kaki lima sangat membantu perekonomian pelakunya sehingga harus bijak dalam melakukan penggusuran terhadap para PKL. Memindahkan PKL ke suatu tempat harus ke tempat yang sebanding dengan tempat sebelumnya. PKL akan mau pindah dari tempat sebelumnya jika tempat yang diberikan mampu memberi kehidupan kepada mereka 2. Para migran. Menjadi migran harus bisa bertahan dan tidak menambah angka pengangguran di kota, oleh sebab itu harus memanfaatkan modal sosial agar bisa bertahan hidup di kota.
43
DAFTAR PUSTAKA Anggraini A. 2007. Rasionalitas pedagang kaki lima di DKI Jakarta (Studi kasus pedagang bawang di pasar Mayestik, Kecamatan Kebayoran Baru, Kotamadya Jakarta Selatan). [skripsi]. Bogor (ID): Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 83 hal. Apsari R. 2005. Peranan sektor informal masyarakat pemukiman kumuh dalam menunjang ekonomi kota dan kehidupan masyarakat. Studi kasus di Kotamadya Jakarta Utara. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 89 hal. [BPS]. Badan Pusat Statistik. 2003. Usaha kaki lima. [internet]. [diunduh 2012 Mei 5]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id-usaha-kaki-lima [BPS]. Badan Pusat Statistik. 2010. Sensus Penduduk 2010. [internet]. [diunduh 2012 Desember 10]. Tersedia pada: http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=324&wid=3200000000 Digdoyo E. Priyono SA. 2011. Analisis usaha sektor informal di perkotaan (Kajian perspektif antropologi ekonomi terhadap profesi tukang ojek sepeda ontel). [laporan hasil penelitian]. Jakarta (ID): Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka. [internet]. [diunduh pada 2012 Maret 14]. Tersedia pada: http://lemlit.uhamka.ac.id/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id =36 Dika. 2 Juli 2011. PKL dan Bau Pesing Menjadi Masalah di Kebun Raya Bogor. [internet]. [diunduh 2012 Mei 20]. Etakitu-jelajah Bogor.Tersedia pada: http://www.etakitu.com/content/read/PKL-dan-bau-pesing-menjadimasalah-di-kebun-raya-bogor/ Gerry C. 1987. Developing economies and the informal sector in historical perspective. Sage. 493:100 Haryono T. 1989. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan usaha pedagang kaki lima: Studi kasus di Kotamadya Surakarta. [internet]. [diunduh 2012 Mei 5]. Tersedia pada : http://books.google.co.id/books?id=fEc_HAAACAAJ&dq=Haryono1989&hl=id&sa=X&ei=QXerT96lMMezrAfWrCQAQ&ved=0CDYQ6AEwAQ Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia. 2005. Memanusiakan pedagang kaki lima. [internet]. [diunduh 2012 Maret 30]. Tersedia pada:http://www.depkop.go.id/index.php?option=com_content&view=articl
44
e&id=119:memanusiakan-para-pedagang-kaki-lima-&catid=54:bind-beritakementerian&Itemid=98 Lawang RMZ. 2005. Kapital Sosial. Jakarta [ID]: UI Press Manning C. Effendi TN. 1985. Urbanisasi, penganguran, dan sektor informal di kota. Jakarta: Gramedia. Nilakusmawati DP. 2009. Kajian aktivitas ekonomi pelaku sektor informal di kota Denpasar. Studi kasus wanita pedagang Canang Sari. [Internet]. [Laporan penelitian tugas akhir]. Bali (ID): Universitas Udayana. Hal 6. [diunduh 2012 Maret 14]. Tersedia pada: http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/2~naskah%20publikasidagang%20canang-jurnal.pdf Mochtar MR. 2003. Kajian tentang sektor informal dalam rangka penataan dan pembinaan usaha kaki lima di DKI Jakarta.[tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 119 hal. Pemerintah Kota Bogor. 2012. Bogor (ID). [internet]. [diunduh 2012 November 7]. Tersedia pada: http://www.kotabogor.go.id/kecamatan/kecamatan-bogorselatan Peraturan Daerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perpasaran swasta di Daerah Khusus Ibukota Jakarta. [internet]. [diunduh 2012 Mei 5]. Tersedia pada : http://www.dprin.go.id/otda/regulasi/DKI2.htm Prima D. 1 April 2012. 2012, Pemkot Bogor Targetkan PKL Berkurang 20%. [internet]. [diunduh 2012 Mei 20]. Inilah Jabar.com. Tersedia pada: http://www.inilahjabar.com/read/detail/1846685/2012-pemkot-bogortargetkan-PKL-berkurang-20 Putnam RD. 1993. The prosperous community: social capital and public life. The American Prospect no.13. 1993. Rahayu MS. 2010. Strategi Pedagang Kaki Lima terhadap Perda No. 3 Tahun 2000. Studi kasus di lapangan Puputan Margarana Denpasar. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 78 hal. Rusli S. 1995. Pengantar ilmu kependudukan (revisi). Jakarta: LP3ES. 173 hal. Santosa AD. Budiantoro. 2005. Strategi Pemberdayaan sektor informal. Studi kasus pengecatan mobil di kawasan jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat. [internet]. [diunduh 2012 Maret 12]. Tersedia pada: http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/47051
45
Santoso S. 2006. Peran modal sosial terhadap perkembangan Pedagang Kaki Lima di Ponorogo (Role of social capital to growth of merchant cloister in Ponorogo). [Skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 89 hal. Seftiani S. 2007. Kontribusi migran terhadap pertumbuhan sektor informal (Kasus di Jakarta Selatan). Bali: Pusat Pendidikan Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). [internet]. [diunduh pada 2012 Maret 13]. Tersedia pada: http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/1(4).pdf Sinaga MS. 2012. Migrasi dan proses interaksi migran batak. [internet]. [diunduh 2012 Desember 12 ]. Tersedia pada : https://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:PWU3c4Uq2f0J:repository.i pb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54423/I12mss_BAB%2520I%2520Pe ndahuluan.pdf?sequence%3D5+Riwayat+migrasi+sudah+setua+riwayat+m anusia&hl=id&pid=bl&srcid=ADGEESgSpcrCVDxJ4Js4mAroz0Wm_ElpdJUC5YHEfvXuSEllol78prVAmWkphCKruMZOALrp4qstCDY5aR2If lorX_idDpeFcM6l3Ar7SCj76OBmj7E0ejBsc0BiwHInSSsndZxTq3&sig=AHIEtbR3CmFTTiVXf nHcB_OehV7DHiIpQg Singarimbun M dan Sofian E. 1989. (editor). Metode penelitian survai. Jakarta : LP3ES. 336 hal Supriono A. Flassy DJ. Rais S. Tidak ada tahun. Modal sosial: Definisi, dimensi dan tipologi. [internet]. [diunduh 2012 desember 1]. Tersedia pada: https://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:gtnqcpe4HAJ:p2dtk.bappenas.go.id/downlot.php?file%3DModal%2520Sosial, %2520Definisi,%2520Dimensi%2520dan%2520Tipologi.pdf+MODAL+S OSIAL1:+DEFINISI,+DEMENSI,+DAN+TIPOLOGI+Oleh:+Agus+Suprio no2,+Dance+J.+Flassy3,+Sasli+Rais4&hl=id&pid=bl&srcid=ADGEESjLvFBhyorkVAAbKB3zt-EshU4lXPHYTmbRUA5jyqkXj0PMGw0YWcuFQj7SfgvYLDWprraODXYX2c48E qDBe7-aWtnMGLsMJVizP9ApmiU4cb9p9zcT9L9Q0SQalXgtajW96&sig=AHIEtbTM_JFqwJuTw6yJbHaDvRMm 3_Ya-A Suwartika R. 2003. Struktur modal usaha dan fungsi modal sosial dalam strategi bertahan hidup pekerja migran di sektor informal. Studi kasus Kecamatan Pelabuhan Ratu dan Kecamatan Cisaat, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. [skripsi]. Bogor (ID): Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. 112 hal. Tawardi B. 1999. Sikap kewirausahaan anggota kelompok belajar usaha dan beberapa kelompok belajar dan beberapa faktor yang mempengaruhinya. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 150 hal. Wirosardjono S. 1985. Pengertian dan masalah sektor informal. Prisma. 3:5-17
46
Yusuf N. 2006. Analisis ekonomi sektor informal di kota Tangerang. Strategi bertahan hidup dan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan migran. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 98 hal.
LAMPIRAN Peta Lokasi Penelitian
48
Daftar Responden Penelitian No.
Nama
Usia
Jenis Kelamin
Jenis Dagangan
Daerah Asal
1 Mutadin
30 Tahun
Laki-Laki
Penjual Martabak
Kuningan
2 Ahmudi
45 Tahun
Laki-Laki
Penjual Minuman
Kuningan
3 Elan
40 Tahun
Laki-Laki
Penjual Martabak
Kuningan
4 Mahmudi
20 Tahun
Laki-Laki
Penjual bakso tusuk
Lamongan
5 Dodo
33 Tahun
Laki-Laki
Tukang Ketoprak
Garut
6 Hairudin
22 Tahun
Laki-Laki
Penjual bakso tusuk
Brebes
7 Rosyia
30 Tahun
Laki-Laki
Penjual Minuman
Cirebon
8 Jajang
45 Tahun
Laki-Laki
Penjual Mie Ayam
Cianjur
9 Usman
34 Tahun
Laki-Laki
Penjual asinan
Sukabumi
10 Dadan
39 Tahun
Laki-Laki
Penjual Mie Ayam
Sukabumi
11 Sokir
40 Tahun
Laki-Laki
Penjual Pancung
Cirebon
12 Birin
35 Tahun
Laki-Laki
Penjual Minuman
Cirebon
13 Subekti
43 Tahun
Laki-Laki
Penjual gorengan
Brebes
14 Supardi
42 Tahun
Laki-Laki
Penjual Pempek
Garut
15 Muhri
54 Tahun
Laki-Laki
Penjual Minuman
Kuningan
16 Soleh
62 Tahun
Laki-Laki
Penjual Sate Madura
Sumenep
17 Wawan Suwandi 37 Tahun
Laki-Laki
Penjual bakso
Sukabumi
18 Osikin
23 Tahun
Laki-Laki
Penjual Ice cream
Brebes
19 Mukhit
47 Tahun
Laki-Laki
Penjual gorengan
Brebes
20 Saefudin
40 Tahun
Laki-Laki
Penjual es cingcau
Cianjur
21 Muhtar
45 Tahun
Laki-Laki
Penjual Pancung
Sukabumi
22 Abdul
37 Tahun
Laki-Laki
Penjual Pempek
Brebes
23 Ilem
58 Tahun
Perempuan Penjual Gado-gado
Cisadas
24 Raymond
27 Tahun
Laki-Laki
Penjual gorengan
Cirebon
25 Yusuf
17 Tahun
Laki-Laki
Penjual Juice
Padang
26 Afrizal
26 Tahun
Laki-Laki
Penjual Sate Padang
Agam
27 Hery
40 Tahun
Laki-Laki
Penjual Lumpia
Cirebon
28 Hasan
62 Tahun
Laki-Laki
Penjual gorengan
Purwokerto
49
29 Oon
39 Tahun
Perempuan Penjual Nasi Sunda
Tenjoloya
30 Edi Saputra
23 Tahun
Laki-Laki
Penjual gorengan
Cirebon
31 Umar
38 Tahun
Laki-Laki
Penjual Bakso
Cirebon
32 Ujang
23 Tahun
Laki-Laki
Penjual Minuman
Sukabumi
33 Koko
35 Tahun
Laki-Laki
Penjual Burger
Cilacap
34 Sudianto
34 Tahun
Laki-Laki
Penjual gorengan
Brebes
35 Abdul Rohman
33 Tahun
Laki-Laki
Penjual Pukis
Garut
36 Saefudin 2
52 Tahun
Laki-Laki
Penjual Minuman
Brebes
37 Indra
30 Tahun
Laki-Laki
Penjual Bakpao
Sumedang
38 Rudi
19 Tahun
Laki-Laki
Penjual Kue Ape
Leuwiliang
39 Subangun
40 Tahun
Laki-Laki
Penjual es cingcau
Deli Serdang
40 Ujang 2
50 Tahun
Laki-Laki
Penjual Bakso
Sukabumi
50
FotoFoto Penelitian
Warung nasi bu Oon di depan Pintu 1 KRB
Lapak pancung pak Sokir di depan pintu 1 KRB
Pak Supardi penjual pempek sedang melayani pembelinya
Pengumuman larangan berjualan di sekitar jl. Surya Kencana berdasarkan Perda no3 Tahun 2006
51
Pengunjung KRB merupakan pembeli harapan para PKL
Penjual Es cingcau sedang diwawancari mengenai topik penelitian
Salah satu lapak PKL yang sudah tergolong sukses
Proses wawancara Yusuf (17 Tahun) untuk kebutuhan data penelitian
52
Riwayat Hidup Mona Lusia br Manihuruk dilahirkan di Aekkanopan pada tanggal 7 November 1990, dari pasangan Biner Manihuruk dan Alm. Ermatio Sinabariba. Pendidikan Formal yang telah jalani adalah SMA NEGERI I BERASTAGI pada tahun 2006-2009. Pada tahun 2009, penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dengan mayor Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Selain aktif dalam perkuliahan penulis juga aktif sebagai pengurus Unit Kegiatan Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Katolik IPB (UKM KEMAKI) dan menjadi koordinator kerohanian KEMAKI periode 20112012. Penulis juga bergabung dalam Koor Mahasiswa Katolik “Puella Domini Choir”. Selain itu penulis juga bergabung di HIMASIERA (Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-Ilmu Komnunikasi dan Pengembangan Masyarakat) pada divisi Community Development periode 2010-2011 dan sebagai anggota IMPEMA (Ikatan Mahasiswa Pecinta Ekologi) periode 2010-2011. Penulis juga sering bergabung dalam kepanitiaan suatu kegiatan yang dilakukan di IPB. Penulis pernah menjadi panitia I-Share IPB sebagai divisi konsumsi tahun 2011. Penulis juga selalu aktif dalam kepanitiaaan Natal Civitas Akademika IPB dan pada tahun 2012 menjadi anggota divisi acara. Pengalaman kerja penulis adalah sebagai asisten praktikum Mata Kuliah Sosiologi Umum (KPM 130), Ilmu Kependudukan (KPM 220) dan Komunikasi Massa (KPM 214).