Source Hanaoki.wordpress.com Convert Pdf by
[email protected] THE ELEVENTH COMMANDMENT Jeffrey Archer Copyrighi © Jeffrey Archer 1998 Publi.vhed by arrangement with HarperCoIIins Publishers Ltd. AH rights reserved PERINTAH KESEBELAS Alih bahasa: Joko Raswono GM 402 00.417 Sampul dikerjakan Oleh: Marcel A.W. Hak cipta terjemahan Indonesia: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jl. Palmerah Selatan 24-26, Jakarta 10270 Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama anggota IKAPI, Jakarta, Januari 2000 Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) ARCHER, Jeffrey Perintah Kesebelas/Jeffrey Archer; alih bahasa, Joko Raswono—Jakarta. Gramedia Pustaka Utama, 2000. 496 hlm.; 18 cm. Judul asli : The Elevenih Commandment ISBN 979 - 655 - 417 - 8 I. Judul II. Raswono, Joko 813 Dicetak oleh Percetakan PT. Gramedia, Jakarta Isi di luar tanggung jawab Percetakan Untuk Neil dan Monigue
DAFTAR ISI BUKU SATU Pemain Tim 11 BUKU DUA Pemain Tunggal 165 BUKU TIGA Pembunuh Bayaran 321 BUKU EMPAT Yang Gesit dan yang Tewas 471
UCAPAN TERIMA KASIH Saya berterima kasih kepada orang-orang berikut yang telah membantu dalam penulisan buku ini: Yang Mulia William Webster, mantan Direktur CTA dan FBI Yang Mulia Richard Thornburgh, mantan Jaksa Agung Amerika Serikat Yang Mulia Samuel Berger, United States National Security Advisor Patrick Sullivan, United States Secret Service, Washington Field Office Agen Khusus J. Patrick Durkin, United States Di-plomatic Secret Service Melanne Verveer, Kepala Staf Hillary Rodham Clinton John Kent Cooke Jr., pemilik, Washington Redskins Robert Petersen, Penyelia^ United States Senate Press Gallery Jerry Gallegos, Penyelia, Housc Press Gallery King Davis, Kepala Polisi, Sierra Madre, California Mikhail Piotrovsky, Direktur, Museum Hermitage dan Istana Musim Dingin, St. P*etersburg Dr. Galina Andreeva, Pengampu Departemen Lukisan Abad Kedelapan Belas dan Kesembilan Belas, State Tretyakov Gallery, Moscow Aleksandr Novoselov, Asisten Duta Besar, Kedutaan Federasi Rusia, Washington D.C. Andrei Titov Tiga anggota St. Petersburg Mafya yang keberatan disebutkan namanya Malcolm Van de Riet dan Timothy Rohrbaug, Nicole Radner, Robert Van Hoek, Phil Hochberg, David Gries, Judy Lowe dan Philip Verveer, Nancy Henrietta, Lewis K. Loss, Darrell Green, Joan Komlos, Natasha Maximova, John Wood dan Chris Ellis. Dan, khususnya, Janet Brown, Komisi Presidential Debates; dan Michael Brewer dari Brewer Consulting Group.
BUKU SATU Pemain Tim BAB SATU Begitu ia membuka pintu, alarm berbunyi. Kesalahan yang biasa dilakukan seorang amatir Mengherankan, sebab Connor Fitzgerald dianggap para koleganya sebagai profesionalnya para pro tesional. Fitzgerala telah mengantisipasi bahwa baru beberapa menit lagi policia akan bereaksi terhadap pembobolan di distrik San Victorina.
Masih beberapa jam lagi pertandingan sepak bola tahunan melawan Brasil berlangsung. Tetapi separo dari seluruh pesawat televisi di Kolombia pasti telah dinyalakan. Jika Fitzgerald membobol pegadaian setelah sepak bola dimulai, policia mungkin tidak akan melacaknya hingga wasit membunyikan peluit panjang. Sudah diketahui umum bahwa para kriminal setempat menganggap pertandingan itu sebagai waktu bebas bersyarat selama satu setengah jam. Tetapi rencana Fitzgerald untuk satu setengah jam itu ialah 13 supaya policia melacaknya berhari-hari. Dan ber-minggu-minggu, bahkan mungkin berbulan-bulan, akan berlalu sebelum seseorang menyadari arti sesungguhnya pembobolan di Sabtu siang itu. Alarm masih berdering ketika Fitzgerald menutup pintu belakang dan cepat-cepat melintasi ruang sempit penyimpan barang menuju pintu depan pegadaian. Ia tidak menggubris deretan jam di wadah mereka, zamrud dalam kantong-kantong kertas kaca, serta benda-benda dari emas dalam berbagai bentuk dan ukuran yang dipamerkan di balijc.terali rapat. Semuanya ditandai dengan nama dan tanggal sangat cermat sehingga para pemilik dapat kembali dalam waktu enam bulan untuk menebus warisan keluarga mereka. Tapi hanya sedikit yang datang menebus. Fitzgerald menyibak tirai manik-manik yang memisahkan ruang penyimpan dengan toko. Ia berhenti di depan gerai. Matanya menatap koper kulit lusuh di tengah-tengah etalase. Ada inisial "D.V.R." tercetak di atas tutup koper dengan huruf keemasan. Ia tetap tak bergerak hingga yakin tak ada orang yang melihat ke dalam. Ketika tadi pagi menjual senapan istimewa buatan tangan kepada pemilik toko, ia telah menjelaskan tidak berniat kembali ke Bogota. Maka barang itu dapat langsung dijual. Fitzgerald tidak heran senapan itu telah dipasang di etalase. Di seluruh Kolombia tidak
akan ada yang serupa dengan itu. Ia baru akan melewati gerai ketika ada seorang pemuda berjalan melewati etalase. Fitzgerald berhenti. Tetapi perhatian pemuda itu seluruhnya tersita oleh radio kecil yang menempel pada telinga kiri14 nya. Perhatiannya terhadap Fitzgerald hanya seponi perhatian tukang jahit terhadap boneka model penjahit. Begitu pemuda itu lepas dari penglihatan, Fitzgerald melangkahi gerai dan menuju ke etalas*-Ia memeriksa jalanan apakah ada yang mengawasinya, tapi ternyata tidak ada siapa-siapa. Dengan satu gerakan ia mengambil koper kulit dari etalase dan cepat-cepat berjalan kembali. Ia melompati gerai dan berbalik memandang ke luar lagi untuk memastikan tidak seorang pun menyaksikan pencurian itu. Fitzgerald berputar, menyibak tirai manik-manik, dan berjalan ke pintu tertutup. Ia memeriksa jam tangannya. Alarm telah berbunyi selama 98 detik. Ia memasuki lorong dan mendengarkan baik-baik. Seandainya mendengar lengking sirene policia, ia pasti ikan berbelok ke kiri dan menghilang di sedemikian banyak jalan yang melintas di belakang toko pegadaian. Tapi yang terdengar hanya alarm. Selain itu sunyi. Ia membelok ke kanan dan berjalan santai ke arah Carrera Septima. , Sesampainya di trotoar, Connor Fitzgerald menengok ke kiri-kanan. Ia menyelinap ke antara lalu lintas yang tak padat, dan menyeberangi jalan tanpa menoleh ke belakang. Ia menghilang di restoran yang ramai pengunjung, tempat sekelompok penggemar sepak bola ramai mengerumuni televisi berlayar lebar. Tak ada yang memandangnya. Satu-satunya perhatian mereka ialah menonton tiga gol yang dicetak Kolombia tahun lalu dan ditayangkan berulang-ulang. Ia duduk menghadap meja di sudut. Walau tak dapat melihat layar televisi dengan jelas, ia dapat meman-15
dang ke seberang jalan dengan leluasa. Sebuah papan lusuh bertulisan "'J'.Escobar. Monte de Piedad, establecido 1946" terombang-ambing diembus angin siang di atas toko pegadaian. Beberapa menit berselang, lalu sebuah mobil policia mendecit berhenti di depan toko. Begitu melihat dua policia berseragam memasuki toko, Fitzgerald meninggalkan mejanya dan tanpa acuh keluar lewat pintu belakang memasuki jalan lain yang tenang di Sabtu siang itu. Ia menghentikan taksi kosong pertama yang l^wat, dan berkata dengan logat A/rika Selatan kental, "El Belvedere di Plaza de Bolivar, por favor." Sopir itu mengangguk singkat, seolah memberitahu ia tidak berminat bercakap-cakap lebih panjang. Begitu Fitzgerald masuk ke kursi belakang taksi kuning itu, si sopir langsung menyetel radio. Fitzgerald memeriksa jamnya lagi. Pukul 13.17. Ia beberapa menit terlambat dari jadwal. Pidato pasti sudah dimulai. Tetapi karena selalu berlangsung empat puluh menit lebih, ia masih punya waktu cukup untuk melaksanakan tujuan yang sebenarnya berada di Bogota. Ia beringsut beberapa inci ke kanan supaya benar-benar pasti sopir dapat melihatnya dengan jelas melalui kaca spion. Begitu policia mulai mengadakan penyelidikan, ia memerlukan semua orang yang melihatnya hari itu untuk memberikan deskripsi yang kurang-lebih sama: laki-laki, kulit putih, usia lima puluhan, tinggi 180 sentimeter lebih, berat sekitar 80 kilogram, tak bercukur, rambut hitam dan acak-acakan, berpakaian seperti orang asing, berlogat asing tapi bukan 16 Amerika. Ia berharap setidaknya ada seorang di antara mereka yang mampu mengidentifikasi ciri bunyi sengau bahasa Afrika Selatan. Fitzgerald selalu jago dalam menirukan berbagai logat. Di SMU ia senantiasa mendapat masalah karena menirukan uru-gurunya. Radio di dalam taksi tak henti-hentinya menyiarkan pandangan pakar, satu menyusul yang lain, mengenai bagaimana kira-kira hasil acara tahunan tetap itu. Dalam hati Fitzgerald beralih dari
bahasa yang lak ingin dikuasainya, walau akhir-akhir ini ia menambahkan "falta", "fuera", dan "goV pada kosakatanya yang terbatas. Tujuh belas menit kemudian Fiat kecil itu berhenti di depan El Belvedere. Fitzgerald menyerahkan lembaran 10.000 peso kepada si sopir. Dan ia lelah menyelinap keluar taksi sebelum si sopir sempat berterima kasih atas tip yang begitu besar. Ini bukannya karena para sopir taksi di Bogota terkenal terlalu sering menggunakan kata-kata "muchas gracias". Fitzgerald bergegas ke tangga hotel, melewati portir berseragam, dan melalui pintu putar. Di lobi ia langsung menuju ke deretan lift yang berhadapan dengan meja resepsionis. Ia menunggu beberapa menit dan salah satu lift kembali ke lantai dasar. Begitu pintu terbuka, ia masuk dan memencet tombol "8", kemudian cepat-cepat memencet tombol "Close" tanpa memberi kesempatan orang lain mengikutinya. Saat pintu terbuka di lantai 8, ia melangkah di lorong berkarpet tipis menuju kamar 807. Ia menggesekkan kartu plastik ke celah dan menunggu cahaya hijau menyala, baru kemudian menekan pegangan pintu. 17 Begitu pintu terbuka ia memasang tanda "Favor de no Molestai" di luar pintu, la menutup pintu dan memasang pasaknya. Lagi-lagi ia memeriksa jamnya: pukul 13.36. Menurut perhitungannya, kini polisi pasti sudah meninggalkan toko pegadaian setelah menyimpulkan bahwa alarm itu salah. Mereka akan menelepon Mr. Escobar di rumahnya di pedalaman untuk memberi-tahu bahwa tampaknya segalanya beres. Dan mereka menyarankan supaya ia menelepon polisi jika ada sesuatu yang hilang sekembalinya ia ke kota hari Senin. Tetapi lama sebelum itu, Fitzgerald pasti telah mengembalikan koper kulit lusuh itu di etalase. Pada hari Senin pagi yang akan dilaporkan Escobar hanyalah paket-paket kecil zamrud belum terasah yang diambil policia ketika mereka pergi. Berapa lama lagi
Escobar akan memergoki benda lain yang juga hilang? Sehari? Seminggu? Sebulan? Fitzgerald telah memutuskan untuk meninggalkan petunjuk aneh guna mempercepat proses itu. Fitzgerald melepas jas dan menyampirkannya di kursi terdekat. Dan mengambil remote control dari meja di sisi tempat tidur. Ia menekan tombol nOnn, lalu duduk di sofa di depan pesawat televisi. Wajah Ricardo Guzman memenuhi layar televisi. Fitzgerald tahu bahwa Guzman akan berusia lima puluh tahun di bulan April berikutnya. Tetapi dengan tinggi tubuh hampir 185 sentimeter dan rambut masih penuh hitam pekat serta tak ada masalah soal berat badan, ia bisa mengatakan kepada khalayak penyan-jungnya bahwa ia belum empat puluh tahun. Dan mereka akan mempercayainya. Bagaimanapun tak 18 lunyak orang Kolombia yang mengharapkan para politisi mereka mengatakan kebenaran tentang apa pun. Khususnya tentang usia mereka. Ricardo Guzman, favorit dalam pemilihan presiden yang akan datang, adalah bos kartel Cali yang menguasai 80 persen perdagangan kokain New York. *l m menghasilkan semiliar dolar setahun. Fitzgerald inlak menjumpai informasi ini dalam tiga surat kabar n.isional Kolombia, mungkin karena pasokan kertas koran negeri itu kebanyakan dikendalikan oleh < ni/.man. 'Tindakan pertama yang akan saya ambil sebagai piesiden Anda sekalian adalah menasionalisasi perusahaan yang mayoritas pemegang sahamnya orang-<>iang Amerika." Gerombolan kecil orang-orang yang mengerumuni langga Gedung Kongres di Plaza de Bolivar meneriakkan persetujuan mereka. Berkali-kali para penasihat Ricardo Guzman memperingatkan bahwa tak iiria gunanya berpidato pada hari dilangsungkannya pertandingan sepak bola, tetapi tidak digubrisnjta. Karena ia memperhitungkan bahwa berjuta-juta pemirsa televisi akan menjelajahi saluran mencari sepak bola, dan akan melihatnya di layar walau hanya sekejap. Orang-orang yang sama itu akan terperanjat, bila hanya sejam kemudian mereka melihat Guzman memasuki stadion yang penuh sesak. Sepak bola membosankan Guzman, tetapi ia tahu bahwa
kehadirannya yang beberapa saat sebelum tim tuan rumah memasuki lapangan akan mengalihkan perhatian khalayak dari Antonio Herrera, Wakil Presiden Kolombia dan saingan utamanya dalam pemilu. 19 Herrera akan duduk di boks VIP. Tapi Guzman akan berada di tengah-tengah para penonton di belakang salah satu gawang Citra yang ingin ia tampilkan ialah seseorang dari kalangan rakyat. Fitzgerald memperkirakan pidato itu tinggal enam menit lagi. Ia telah mendengar kata-kata Guzman setidaknya lusinan kali: di lobi yang penuh sesak, di bar yang setengah kosong, di sudut-sudut jalan, bahkan di stasiun bus sementara si kandidat sedang menyampaikan pidatonya kepada para penduduk setempat di bagian belakang «bus. Ia menarik koper kulit itu dari ranjang ke pangkuannya. "...Antonio Herrera bukan calon Liberal," desis Guzman. "Tapi dia calon orangorang Amerika. Dia tak lebih dari orang tolol yang bisa bicara dengan perut. Kata-katanya dipilihkan oleh orang yang duduk di Ruang Oval." Massa bersorak lagi. Lima menit. Fitzgerald menghitung. Ia membuka koper dan memandangi Remington 700 yang baru beberapa jam hilang dari pandangannya. "Berani-beraninya orang-orang Amerika mengasumsikan kita akan selalu selaras dengan apa yang cocok bagi mereka?" teriak Guzman. "Dan itu hanya karena dolar yang mahakuasa. Persetan dengan dolar yang mahakuasa itu!" Massa bersorak lebih keras lagi ketika si kandidat mengambil selembar satu dolaran dari dompetnya dan merobek-robek George Washington menjadi serpihan-serpihan. "Satu hal dapat kupastikan kepada Saudara-saudara," lanjut Guzman sambil menebarkan serpihan-serpihan kertas hijau itu kepada massa seperti konfeti. "Tuhan bukan orang Amerika...," cetus Fitzgerald. 'Tuhan bukan orang Amerika!" teriak Guzman. Dengan hati-hati Fitzgerald mengambil gagang «napan fibreglass McMillan dari koper.
"Dalam waktu dua minggu, warga negara Kolombia akan diberi kesempatan memperdengarkan pandangan-pandangan mereka ke Seantero dunia," teriak Guzman. "Empat menit," gumam Fitzgerald sambil memandang ke layar dan menirukan senyum sang calon presiden. Ia mengambil laras dari baja antikarat Hart dari dudukannya dan menyekrupkan erat-erat pada popor. Pas seperti sarung tangan. "Bila ada konferensi tingkat tinggi di seluruh dunia, Kolombia akan hadir lagi di meja konferensi, bukannya hanya membaca beritanya di koran hari berikutnya. I )alam waktu setahun aku akan membuat orang-orang Amerika memperlakukan kita bukan sebagai negara Dunia Ketiga, tapi sebagai negara sederajat." Massa bergemuruh. Sementara itu Fitzgerald mengangkat alat bidikan penembakgelap bertenaga Leupold 10 dari tempatnya dan memasukkannya ke dua galur kecil di pucuk laras. "Dalam waktu seratus hari Saudara-saudara akan menyaksikan perubahan-perubahan di negeri kita yang diyakini Herrera takkan mungkin terjadi dalam seratus i thun. Sebab bila aku menjadi presiden, Saudara-audara..." Pelan-pelan Fitzgerald menopangkan popor Remington 700 pada bahunya. Rasanya seperti sahabat ama. Tetapi dengan syarat: setiap bagian harus dibuat dengan tangan, tepat sesuai dengan spesifikasinya. Ia menaikkan pandangan melalui teleskop ke arah 21 20 gambar pada layar televisi. Ia menyusun deretan titik-titik kecil hingga terpusatkan satu inci di atas jantung calon presiden. "...mengatasi inflasi..." Tiga menit. "...mengatasi pengangguran..." Fitzgerald mengembuskan napas.
"...di samping itu menghilangkan kemiskinan." Fitzgerald menghitung tiga... dua... satu. Kemudian dengan lembut ia menarik picu. Ia nyaris mendengar bunyi klik mengatasi gemuruh massa. Fitzgerald menurunkan senapan, beranjak dari sofa, dan menurunkan koper kulit yang kosong. Sembilan puluh detik lagi Guzman mencapai ritus pengutukan Presiden Lawrence. Ia mengambil sebutir peluru dengan ujung berlubang dari kantong kecil di dalam tutup koper. Ia mengokang dan memasukkan peluru .ke ruangan pelor, kemudian meluruskan laras dengan sentakan ke atas. "Ini akan merupakan kesempatan terakhir bagi warga negara Kolombia untuk membalikkan kegagalan-kegagalan fatal di masa lalu," teriak Guzman. Nadanya semakin meninggi. "Maka kita harus memastikan satu hal..." "Satu menit," gumam Fitzgerald. Ia dapat mengulangi kata demi kata bagian ujung pidato Guzman selama enam puluh detik terakhir. Ia mengalihkan perhatian dari televisi dan berjalan pelan-pelan melintasi kamar menuju jendela. "...jangan sampai kita menyia-nyiakan kesempatan emas ini..." Fitzgerald menarik tali tirai ¦ yang menghalangi pemandangan dunia luar. Pandangannya menerawang melintasi Plaza de Bolivar ke sisi utara alun-alun. Di situ calon presiden berdiri di atas puncak tangga gedung Kongres. Ia memandang ke bawah kepada massa. Ia baru akan melepaskan tembakan pamungkasnya alias coup de grace. Dengan sabar Fitzgerald menunggu. Jangan biarkan dirimu dalam ruangan terbuka lebih lama daripada yang diperlukan. "Viva la Colombia!" teriak Guzman. "Viva la Colombia!" kembali massa bersorak histeris. Walau kebanyakan dari mereka adalah penjilat-penjilat bayaran yang secara strategis ditempatkan di antara massa.
"Aku mencintai negaraku," si calon presiden memberikan pernyataan. Pidato itu tinggal tiga puluh detik lagi. Fitzgerald membuka jendela. Disambut gemuruh massa yang mengulangi pidato Guzman kata demi kata. Si calon presiden melirihkan suara menjadi bisikan: "Dan biar kujelaskan satu hal— rasa cintaku pada negeriku adalah satu-satunya alasan untuk berbakti sebagai presiden Saudara-saudara." Untuk kedua kalinya Fitzgerald menopangkan popor Remington 700 pada bahunya. Semua mata terpancang pada si calon presiden saat ia meng-gelegarkan kata-kata "Dios guarde a la Colombia!" Gemuruh memekakkan ketika ia mengangkat kedua belah tangannya tinggi-tinggi guna menghormati seman massa pendukungnya. "Dios guarde a la Colombia!" Tangan Guzman masih terangkat tinggi-tinggi penuh kejayaan selama beberapa detik, sebagaimana lazimnya pada setiap akhir pidatonya. Dan ia selalu 22 23 berdiam diri hening sama sekali selama beberapa saat. Fitzgerald mengatur titik-titik kecil itu hingga satu inci di atas jantung calon presiden. Sambil mengembuskan napas ia mempererat pegangan jari-jari tangan kirinya pada popor "Tiga... dua... satu," gumamnya sambil menahan napas. Kemudian dengan lembut menarik picu. Guzman masih tetap tersenyum ketika peluru berbuntut seperti perahu merobek dadanya. Sedetik kemudian ia ambruk di tanah seperti boneka tanpa tali. Serpihan tulang, otot, dan daging beterbangan ke mana-mana. Darah melumuri mereka yang berdiri di dekatnya. Yang paling akhir dilihat Fitzgerald ialah tangan Guzman yang terulur ke atas seolah-olah menyerahkan din kepada musuh yang tak dikenal. Fitzgerald menurunkan senapan. Melipatnya. Dan cepat-cepat menutup jendela.
Tugas telah diselesaikannya. Kini satu-satunya masalah ialah memastikan bahwa ia tidak melanggar Perintah Kesebelas. 24
BAB DUA Apakah sebaiknya aku mengirimkan ungkapan belasungkawa pada istri dan keluarganya?" tanya Tom I awrence. "Tidak, Mr. President," jawab Menteri Luar Negeri. 'Menurutku itu harus diserahkan pada Menteri Pembantu untuk Urusan Antar-Amerika. Sekarang pasti Antonio Herrera yang akan menjadi Presiden Kolombia berikutnya, jadi dialah orang yang harus kauajak berurusan." "Maukah kau mewakili ku pada pemakaman? Ataukah Wakil Presiden yang harus ke sana?" "Nasihatku: kedua-duanya jangan," jawab Menteri I uar Negeri. "Dubes kita di Bogota sudah pantas mewakilimu. Karena pemakaman akan berlangsung , khir pekan ini, kita tak dapat diharapkan hadir lengan pemberitahuan yang demikian singkat." Presiden mengangguk. Ia telah terbiasa dengan pendekatan apa adanya dari Larry Harrington ter-25 hadap segala hal, termasuk kematian. Ia hanya ber-i tanya-tanya jalur apa yang akan ditempuh Larry bila ia sendiri yang terbunuh. "Bila kau sempat, Mr. President, aku ingin men-' jelaskan dengan sangat terperinci padamu mengenai: kebijakan kita sekarang di Kolombia. Pers mungkin akan menanyaimu tentang kemungkinan keterlibat-an..." Presiden baru akan menyelanya ketika terdengar ketukan di pintu. Andy Lloyd memasuki ruangan. Pasti sudah pukul sebelas, pikir Lawrence. Ia tidak memerlukan jam sebab telah mengangkat Lloyd sebagai kepala staf.
"Nanti saja, Larry," kata Presiden. "Aku baru akan mengadakan konferensi pers tentang Rencana Undang-undang Pengurangan Senjata Nuklir, Biologi, Kimia, dan Konvensional. Dan tak bisa kubayangkan) bahwa banyak wartawan akan berminat terhadad kematian seorang calon presiden di negara yangj biar kita akui saja, kebanyakan orang Amerika tak bisa menempatkannya di peta." Harrington tidak berkata apa-apa. Menurutnya! bukanlah tanggung jawabnya untuk menjelaskan kej pada Presiden bahwa kebanyakan orang Amerik^ masih juga belum dapat menempatkan Vietnam dalam peta. Tetapi begitu Andy Lloyd memasuki ruangan, Harrington tahu bahwa hanya pernyataan Perang Dunia yang dapat memberikan prioritas kepadanya, Ia mengangguk singkat kepada Andy Lloyd. Dar meninggalkan Ruang Oval. "Mengapa aku pernah mengangkat orang itu?' tanya Lawrence, sambil memandangi pintu tertutup. 26 "Larry mampu menyerahkan Texas, Mr. President, pada saat jajak pendapat kita menunjukkan bahwa mayoritas orang-orang Selatan memandangmu sebagai orang Utara tak terkenal yang akan suka mengangkat seorang homo menjadi Ketua Gabungan Kepala Staf." "Kemungkinan besar akan kulakukan, bila dia kuanggap orang yang tepat untuk pekerjaan itu," lawab Lawrence. Salah satu alasan mengapa Tom Lawrence menawarkan jabatan Kepala Staf Gedung' Putih kepada teman sekuliahnya ialah bahwa setelah tiga puluh tahun, mereka tidak saling menyimpan rahasia sama sekali. Andy mengemukakan apa yang dilihatnya, tanpa ada rasa bersalah ataupun dengki. Sifat mem luiat dirinya disayang ini memastikan bahwa ia sendiri tidak pernah mengharapkan dipilih menjadi apa pun, sehingga tidak pernah menjadi saingan. Presiden membuka berkas arsip biru yang bertulis-kan "SEGERA" yang tadi pagi diserahkan Andy
ki-padanya. Ia menduga Kepala Staf ini hampir semalaman mempersiapkannya. Ia mulai memeriksa l*-rtanyaan-pertanyaan yang menurut anggapan Andy paling mungkin dipertanyakan dalam konferensi pers lang itu: Berapa banyak uang yang Anda antisipasi akan dihemat dengan peraturan ini? "Kuduga Barbara Evans akan mengajukan per-t inyaan pertama, seperti biasanya," kata Lawrence sambil mendongak. "Apakah kita punya dugaan apa pertanyaannya?" "Tidak, Sir," jawab Lloyd.'Tapi karena dia selalu mendesak Rencana Undang-undang Pengurangan 27 Senjata sejak kau mengalahkan Gore di New Hamp-shire, kini dia tak punya alasan mengeluh karena kini kau siap melancarkannya " "Benar. Tapi itu takkan menghalanginya mengajukan pertanyaan nakal." Andy mengangguk setuju. Sementara itu Presiden melirik pertanyaan berikut. Berapa banyak orang Amerika yang akan kehilangan pekerjaan karena ini? Lawrence mendongak. "Apa ada orang khusus yang menurutmu harus kuhindari?" "Semua orang sisanya," kata Lloyd sambil menyeringai. "Tapi kalau kau mau singkatnya, temuilah Phil Ansanch." "Mengapa Ansanch?" "Dia mendukung rencana undang-undang itu pada, setiap tahap, dan dia salah seorang tamumu pada j makan malam nanti." Presiden tersenyum dan mengangguk sambil merunut daftar pertanyaan yang diantisipasi. Ia berhenti pada nomor tujuh. Apakah ini bukan sebuah contoh lain bahwa Amerika kehilangan arah? Presiden mengangkat muka memandang Kepala Stafnya. "Kadang kukira kita ini masih hidup di zaman Wild West bila mengingat reaksi beberapa anggota Kongres terhadap rencana undang-undang ini." "Memang, Sir. Tapi sebagaimana yang kauketahui, 40 persen orang Amerika masih menganggap orang Rusia sebagai ancaman terbesar. Dan hampir 30 persen berharap masih akan mengalami
perang melawan Rusia." Lawrence mengumpat. Dan tangannya menyisir rambut tebal yang terlalu dini mulai mengelabu. Kemudian ia kembali menelusuri daftar pertanyaan dan berhenti pada nomor sembilan belas. "Masih berapa lama lagi aku akan ditanyai tentang soal membakar kartu buramku?" "Selama kau menduduki jabatan panglima tertinggi, menurutku," jawab Andy. Presiden menggumamkan sesuatu sambil menahan napas. Dan ia melanjutkan pertanyaan berikutnya. Ia mendongak lagi. "Viktor Zerimski pasti takkan mendapat kesempatan menjadi Presiden Rusia berikutnya?" "Mungkin sekali tidak," jawab Andy. "Tapi dia lelah naik ke tempat ketiga dalam jajak pendapat baru-baru ini. Dan walau dia masih jauh di belakang Perdana Menteri Chernopov dan Jenderal Borodin, posisinya melawan pidana terorganisasi mulai menggerogoti kepeloporan mereka ini. Kemungkinan besar karena kebanyakan orang Rusia percaya Chernopov dibiayai Mafia Rusia." "Kalau Jenderal Borodin bagaimana?" "Dia sudah kehilangan dasar pijakan. Sebab ke-anyakan tentara Rusia belum digaji berbulan-bulan. Pers telah melaporkan bahwa para prajurit mulai menjual seragam mereka di jalanan." "Syukurlah pemilu masih akan berlangsung beberapa tahun lagi. Jika naga-naganya si fasis Zerimski Uu memperoleh kesempatan menjadi Presiden Rusia berikutnya, Rencana Undang-undang Pengorangan Senjata takkan lolos melewati babak pertama di kedua Majelis." 28 29 Lloyd mengangguk sementara Lawrence membalik halaman. Jarinya terus merunut daftar pertanyaan. Ia berhenti pada pertanyaan nomor 29. "Berapa banyak anggota Kongres yang memiliki pabrik senjata dan kemudahankemudahan mendasar di distrik mereka?" tanyanya sambil menoleh kepada Lloyd. "Ada 72 senator dan 211 anggota Majelis," jawab Lloyd tanpa melihat berkasnya yang masih
tertutup. "Setidaknya kau perlu meyakinkan enam puluh persen dari mereka itu untuk mendukungmu guna memastikan mayoritas di kedua Majelis. Dan itu berarti kita mengasumsikan dukungan Senator Bedell." "Frank Bedell meminta diadakannya Rencana Undang-undang Pengurangan Senjata yang menyeluruh ketika aku masih di high school di Wiscon-sin," kata Presiden. "Dia tak punya pilihan lain kecuali mendukung kita." "Dia mungkin bersimpati terhadap rencana undang-undang, tapi dia merasa langkahmu belum cukup jauh. Dia menuntut supaya kita mengurangi anggaran pertahanan sebesar lima puluh persen lebih." "Dan apa yang diharapkannya agar aku dapat melaksanakannya?" "Dengan mengundurkan diri dari NATO dan membiarkan orang-orang Eropa bertanggung jawab sendiri atas pertahanan mereka." "Tapi itu sama sekali tak realistis," kata Lawrence. "Bahkan orang-orang Amerika yang pro Aksi Demokratis akan melawannya." "Kau tahu itu, aku pun tahu, dan menurutku senator yang baik itu juga tahu. Tapi itu tak menghalanginya muncul di setiap stasiun televisi dari linston hingga Los Angeles. Dia mengklaim bahwa pengurangan lima puluh persen dari anggaran per-i ihanan akan memecahkan masalah Amerika dalam perawatan kesehatan dan masalah pensiun dalam waktu singkat." "Kuharap Bedell menghabiskan banyak waktu untuk memikirkan pertahanan bangsa kita sebagaimana dia memikirkan perawatan kesehatan mereka," kala Lawrence. "Bagaimana aku harus menanggapinya?" ¦ Puji dia berlimpah-limpah atas segala usahanya vang mencolok dan tanpa kenal lelah untuk memi»«la kepentingan kaum lansia. Tapi kemudian tandaskan bahwa selama kau menjabat panglima tertinggi, Amerika Serikat takkan mengurangi pertahanannya. I'uoritasmu yang pertama ialah selalu memastikan bahwa Amerika tetap menjadi bangsa paling berkuasa ih dunia, dan lain-lain, dan lainlain. Dengan cara • Itinikian kita selalu menjaga dukungan Bedell. Dan mungkin bahkan membuat
ragu satu-dua orang politisi \ mg agresif." Presiden melihat jamnya, kemudian membalik halaman. Ia mendesah dalam-dalam ketika sampai l c pertanyaan nomor 31. Bagaimana Anda dapat mengharapkan RUU ini diberlakukan, bila kaum Demokrat tak memiliki mayoritas di salah satu Majelis? "Baiklah, Andy. Bagaimana jawabannya?" "Jelaskan bahwa orang-orang Amerika yang peluh' telah menerangkan pada para wakilnya yang rpilih di seantero negeri ini bahwa RUU ini telah 30 31 lama kedaluwarsa. Dan itu merupakan akal sehat saja." "Terakhir kali aku telah menggunakan gagasan iti ketika mengajukan RUU Antinarkotika, ingat, Andy?' "Ya, aku ingat, Mr. President. Dan bangsa Ameriki mendukungmu sepenuhnya." Larry mendesah dalam-dalam lagi, kemudian ber kata, "Oh, memegang pemerintahan bangsa yang taJ mengadakan pemilu setiap dua tahun dan tak dihantu korps media massa pasti lebih baik daripada memegang pemerintahan yang dipilih secara demokratis." "Bahkan orang-orang Rusia harus menerima korp! media massa itu," kata Lloyd. "Siapa percaya kita harus hidup mengalami ha itu?" kata Lawrence seraya memindai pertanyaai terakhir. "Aku punya firasat jika Chernopov berjanj pada orang-orang Rusia bahwa dia berniat menjad presiden pertama yang akan lebih menganggarka perawatan kesehatan daripada pertahanan, dia akal menang dengan mudah." "Mungkin kau benar," kata Lloyd. "Tapi kau jug boleh yakin jika Zeremski terpilih, dia akan mula membangun kembali persenjataan nuklir Rusia lam sebelum mempertimbangkan membangun rumah saki baru."
"Itu sudah pasti," kata Presiden. "Tapi karen maniak ku tak punya kesempatan untuk terpilih..." Andy Lloyd diam saja. 32
BAB TIGA 111 /gerald tahu bahwa dua puluh menit berikutnya «kun menentukan nasibnya. Cepat-cepat ia melintasi kamar dan melihat televisi. Massa berhamburan dari alun-alun lari ke sel'.ila penjuru. Teriakan-teriakan gaduh kini menjadi p.niik. Dua orang penasihat Ricardo Guzman mem-Inmgkuk mengamati sisa-sisa jasad itu. Fitzgerald menemukan selongsong peluru yang lelah terpakai dan memasukkannya kembali ke kan-imig di dalam tutup koper kulit. Apakah pemilik loko pegadaian akan mengetahui bahwa salah satu I luru telah digunakan? Dari seberang alun-alun, lengking sirene polisi mengatasi kegaduhan massa. Kali ini reaksi polisi |auh lebih cepat. . Fitzgerald melepas alat pembidik dan memasukkannya kembali ke wadahnya. Kemudian ia melepas 33 laras dan menyisipkannya ke tempatnya. Dan akhirny mengembalikan gagang senapan. Untuk terakhir kalinya ia melayangkan pandanga ke televisi dan menonton polisi setempat menyerb masuk ke alun-alun. Ia menyambar koper kulit it mengantongi korek api dari asbak di atas televisi kemudian melintasi kamar dan membuka pintu. Ia menengok ke kanan-kiri di koridor yang kosong kemudian berjalan cepat ke lift barang. Ia meneka tombol putih di dinding beberapa kali. Ia tela membuka jendela menuju ke pintu keluar bila ad kebakaran hanya beberapa saat sebelum ia pergi k pegadaian. Tetapi ia tahu bahwa jika ia harus kembal ke rencana darurat, segerombolan polisi berseragan sudah menunggunya di
bawah lift yang berkeriat keriut. Tidak akan ada helikopter gaya Rambo pedang-pedang gemerincing yang akan membuatnyi lolos dengan jaya sementara peluru berdesingan d samping telinganya dan mengenai apa saja kecual dia sendiri. Ini adalah dunia nyata. Bukan film. Ketika pintu lift yang berat terbuka pelan-pelan Fitzgerald berhadapan muka dengan pelayan mud< berjas merah membawa nampan berisikan makar siang. Pelayan ini rupanya kalah undian maka tsi memperoleh giliran istirahat siang untuk menonton pertandingan. Pelayan ini tak dapat menyembunyikan keheran annya ketika melihat seorang tamu berdiri di luar lift barang. "No, senor, perdone, no puede entrar* ia «mencoba menjelaskan kepada Fitzgerald yang me nerobos melewatinya. Tapi si tamu telah menekat tombol bertuliskan "Planta Baja" dan pintu-pintt 34 lift tertutup sebelum pelayan sempat memberitahu hahwa lift itu menuju dapur. Begitu tiba di lantai dasar, dengan cekatan I itzgerald melewati meja-meja stainless steel yang I enuh dengan deretan hors d'oeuvres yang menunggu lipesan, dan berbotol-botol sampanye yang hanya ikan dibuka bila kesebelasan tuan"rumah menang, la i I ah sampai di ujung dapur, melewati pintu putar, lan menghilang lama sebelum para anggota staf mg berseragam putih sempat memprotesnya. Ia l> *rlari melalui lorong temaram—hampir seluruh lam-I u pijar di situ telah dicopotnya malam sebelumnya— menuju ke pintu tebal yang membuka ke tempat parkir mobil di bawah tanah. la mengeluarkan kunci besar dari saku jasnya, menutup pintu, dan menguncinya. Ia langsung meng-li impiri Volkswagen kecil warna hitam yang terparkir li sudut paling gelap. Ia mengambil kunci lagi yang lebih kecil dari saku pantalon. Ia membuka pintu mobil dan menyelinap duduk di belakang kemudi. Koper kulit ditaruhnya di bawah tempat duduk penumpang. Lalu ia menstarter
mobil itu. Mesinnya langsung hidup, walau telah dianggurkan selama tiga hari. Selama beberapa detik ia menginjak pedal gas kemudian memindahkan tangkai persneling ke gigi satu. Fitzgerald menjalankan kendaraan itu dengan santai melewati deretan mobil-mobil terparkir dan melalui tanjakan terjal menuju ke jalan luar. Ia berhenti di puncak tanjakan terjal itu. Polisi sedang mendobrak sebuah mobil yang terparkir, bahkan tak melayangkan pandangan kepadanya sama sekali. Fitzgerald mem35 beJok ke kiri dan pelan-pelan meninggalkan Pla/ de Bolivar. Kemudian ia mendengar lengking sirene di bela kangnya. Ia melirik ke kaca spion dan melihat du polisi pengiring mengikutinya dengan lampu ber kilat-kilat terang. Fitzgerald menepi sementara par polisi pengiring dan ambulans pengangkut jasa Guzman dengan pesat melewatinya. Pada belokan ke kiri pertama ia menikung, ke mudian mulai mengikuti rute panjang berputar-puta menuju ke pegadaian. Sering ia kembali melalui jala yang sama. Dua puluh empat menit kemudian memasuki lorong dan berhenti di belakang truk. I mengambil koper dari bawah tempat duduk penumpan dan meninggalkan mobil tak terkunci. Menuru rencananya ia sudah akan kembali di belakang kemud lagi dalam waktu kurang dari dua menit. Dengan cepat ia menengok ke kiri-kanan me meriksa lorong itu. Tak seorang pun tampak. Ketika Fitzgerald memasuki pegadaian, lagi-lagi bel tanda bahaya berbunyi. Tapi kali ini ia tak khawatir akan segera didatangi polisi patroli. Hampii semua polisi sedang sibuk. Entah di stadion tempa! pertandingan akan dimulai setengah jam lagi, entah sedang menahan orang yang masih berada satu mi dari Plaza de Bolivar. Fitzgerald menutup pintu belakang pegadaian Untuk kedua kalinya hari itu ia bergegas melalui
kantor belakang, menyibak lagi tirai manik-manik. Ia berdiri di belakang gerai, memeriksa apakah ada orang lewat. Kemudian barulah .ia mengembalikan koper kulit usang di tempatnya semula di etalase. 36 Bila Escobar kembali ke toko pegadaian hari Senin pagi, berapa lama kemudian ia akan menemukan bahwa salah satu peluru dari enam peluru mag-niim berekor perahu telah ditembakkan, dan hanya selongsongnya yang masih ada di tempatnya? Apakah 11 akan berusaha menyampaikan informasi itu kepada polisi? Fitzgerald telah kembali di belakang kemudi Volkswagen dalam waktu kurang dari 90 detik. Ia masih dapat mendengar alarm berdering sementara 11 mengendarai mobil memasuki jalan utama. Ia mulai mengikuti rambu-rambu menuju ke bandara El Dorada. Tak seorang pun memperhatikannya. Bagaimanapun pertandingan akan segera dimulai. Lagi pula apa hubungan alarm yang berdering di pegadaian ih distrik San Victorina dengan pembunuhan calon piesiden di Plaza de Bolivar? Begitu tiba di jalan raya, Fitzgerald tetap meng-nnbil jalur tengah, dan tak pernah melewati batas kecepatan. Beberapa mobil polisi menyalibnya dengan pesat dalam perjalanan menuju ke kota. Bahkan bila ada orang yang menghentikannya dan me-i leriksa surat-surat, semua suratnya pasti beres. Koper ing tertutup rapi di tempat duduk belakang tidak i lenunjukkan sesuatu yang tak lazim bagi seorang isahawan yang sedang berkunjung ke Kolombia guna menjual peralatan pertambangan. Ketika sampai di jalan keluar menuju bandara, 1 nzgerald menyingkir dari jalan raya. Sesudah 400 neter, tiba-tiba ia belok kanan dan menuju ke tempat parkir hotel San Sebastian. Ia membuka kotak dasbor dan mengeluarkan paspor yang telah berstempel 37 banyak. Dengan korek api yang ia ambil dari Belvedere ia menyulut Dirk van
Rensberg. Ketik jari-jarinya hampir terbakar ia membuka pintu mobil dan menjatuhkan sisa paspor itu ke tanah da1 menginjak-injaknya hingga nyala api padam. Serayl memastikan bahwa puncak lambang Afrika Selatal masih dapat dikenali. Ia meletakkan korek api atas tempat duduk penumpang, menyambar kope dari tempat duduk belakang, dan menutup pint| mobil. Sedangkan kunci ia biarkan tertancap pad lubang starter. Ia berjalan ke pintu depan hotel, lal membuang sisa paspor Dirk van Rensberg dan kunc besar ke keranjang sampah di bawah tangga. Fitzgerald masuk melalui pintu putar di belakang sekelompok usahawan Jepang dan tetap di tengah aruJ mereka sementara mereka diantar menuju lift terbuka] Ia satu-satunya penumpang yang keluar di lantai tiga. Ia langsung menuju ke kamar 347. Di situ ia mej ngeluarkan kartu plastik lain yang membuka kama^ lain yang telah dibukukan atas nama orang lain. Il melempar kopornya ke ranjang dan melihat jamnya Masih 1 jam 17 menit sebelum take ojf. Ia melepaskan jas dan menyampirkannya padal satu-satunya kursi, lalu membuka koper serta mengeluarkan kantong cucian. Kemudian ia menghilang ke kamar mandi. Selang beberapa lama air sudaw cukup hangat baginya, dipasangnya sumbat bak mancfc dan dibukanya .keran. Sementara menunggu ia menggunting kuku, kemudian menggosok tangan sebersih-bersihnya seperti dokter bedah yang sedang mempersiapkan diri untuk operasi. Fitzgerald memerlukan waktu 20 menit untuk men-l 38 • ukur habis janggut yang berumur seminggu. Dan ia memerlukan banyak sampo untuk digosokkan kerasku eras ke rambutnya di bawah shower hingga rambutnya kembali bergelombang alami dan berwarna pirang pasir. Fitzgerald mengeringkan tubuh dengan handuk tipis \ang disediakan hotel, kemudian kembali ke kamar lulur dan mengenakan celana pendek joki yang bersih, la menghampiri lemari berlaci di sisi
seberang, mem-huka laci ketiga, dan meraba-raba hingga menemukan hnngkusan yang direkatkan pada laci di atasnya. Walau beberapa hari tidak menghuni kamar itu, ia yakin tak seorang pun tahu tempat persembunyiannya. Fitzgerald menyobek amplop cokelat itu dan dengan cepat memeriksa isinya. Paspor lain dengan nama lain lagi. Lima ratus dolar dalam lembaran yang telah terpakai. Dan sebuah tiket kelas satu ke ( ape Town. Para pembunuh yang lolos tidak bepergian dengan kelas satu. Lima menit kemudian ia meninggalkan kamar 347. Pakaian kotornya bertebaran di lantai dan tanda "Favor de no Molestar" dipasang pada pintu. Fitzgerald menggunakan lift menuju lantai dasar, yakin tak ada yang memperhatikan seseorang berusia 51 tahun dengan kemeja biru, dasi bergaris-garis, jaket sport, dan celana flanel kelabu. Ia keluar dari lift dan berjalan melintasi lobi tanpa berusaha heck out. Ketika datang delapan hari lalu, ia telah membayar sewa kamar secara tunai. Ia membiarkan bar mini di kamar terkunci, dan tak pernah sekali pun memesan makanan untuk di kamar. Ia tak pernah menelepon ke luar hotel dan tak pernah menonton 39 film pesanan. Maka rekening tamu ini pasti tak akanB dikenai pembayaran ekstra. 9 I Ia hanya harus menunggu selama 40 menit sam-H pai bus layanan pulang-pergi datang. Ia melihat jamjH nya. Empat puluh tiga menit sebelum take ojf. IM sama sekali tidak khawatir akan tertinggal Penerbang-B an 63 Aeroperu ke Lima. Ia yakin hari itu tak adaJ yang tepat waktu. Begitu keluar dari bus di bandara, pelan-pelan vM berjalan menuju meja check 'm. Ia tidak heran ketik» diberitahu bahwa penerbangan ke Lima tertundil sekitar sejam. Di ruang kedatangan yang penuh sesak I beberapa polisi dengan curiga mengamati setiaffl penumpang. Dan walau ia dihentikan serta ditanyail beberapa kali dan kopernya digeledah dua kalifl akhirnya ia diizinkan menuju ke Gerbang 47.
Ia memperlambat langkahnya ketika melihat be« berapa orang beransel dikeluarkan oleh para anggow staf keamanan bandara. Ia bertanya-tanya dalam hal« berapa banyak orang kulit putih yang tak berdos J harus meringkuk di sel, diinterogasi karena tindakannya tadi siang itu. Ketika bergabung dengan antrean yang menuju k Pemeriksaan Paspor, Fitzgerald berulang kali menghafal nama barunya sambil menahan napas. Nama ketiganya untuk hari itu. Petugas berseragam biru di dalam gardu membuka paspor Selandia Baru dan dengan cermat «mengamati foto di dalamnya yang tak pelak lagi mirip dengan orang yang berdandan rapi berdiri di depannya. Ia mengembalikan paspot itu dan mengizinkan Alistair Douglas, insinyur sipil dari Christchurch, menuju ke ruang keberangkatan lali diundur lagi akhirnya penerbangan itu diumumkan. Seorang pramugari mengantar Mr. Dou-ylas ke tempat duduknya di kelas satu. "Anda berminat pada segelas sampanye, Sir?" l-ilzgerald menggeleng. "Tidak. Terima kasih. Air pulih saja," jawabnya sambil mencoba logat Selandia Harunya. la mengencangkan sabuk pengaman, duduk ber-mdar, dan pura-pura membaca majalah edisi penerbangan sementara pesawat mulai menggelinding pelan di landasan yang tak rata. Karena deretan pesawat terbang yang akan take off panjang, Fitzgerald punya cukup waktu untuk memilih makanan yang hendak ia santap dan film yang hendak ia tonton lama sebelum 727 mempercepat lajunya. Ketika roda-roda pesawat akhirnya tinggal landas, untuk pertama kalinya
sesuatu yang saya tahu akan menyebabkan beberapa h antara Anda merasa tertekan." Fitzgerald segera duduk tegak. Salah satu hal darurat yang tak ia rencanakan ialah kembali ke Bogota tanpa bisa dijadwalkan. "Maaf saya harus mengumumkan bahwa terjadi tragedi nasional di Kolombia hari ini." Fitzgerald setengah mencengkeram lengan kursi dan berusaha bernapas dengan wajar. 40 41 Kapten itu bimbang sesaat. "Saudara-saudara," katanya serius, "Kolombia sangat kehilangan." Ia berhenti sejenak. "Kesebelasan nasional kita dikalahkan Brasil dengan satu-dua." Terdengar erangan di dalam kabin seakan menabrak gunung terdekat malah merupakan alternatif yang lebih disukai. Fitzgerald membiarkan bibirnya sedikit menyunggingkan senyum. Pramugari muncul lagi di sisinya. "Sekarang kita sudah dalam perjalanan, dapatkah minuman Anda saya sajikan, Mr. Douglas?" "Ya, terima kasih," jawab Fitzgerald. "Saya pikir-pikir saya mau juga segelas sampanye itu." 42
BAB EMPAT K i n ka Tom Lawrence memasuki ruangan, korps |hts bangkit berdiri. "Presiden Amerika Serikat," Juru Bicara Presiden mengumumkan, kalau-kalau ada pengunjung dari .uigkasa luar. Lawrence menaiki tangga ke podium dan menempatkan berkas arsip bini Andy Lloyd di atas mimbar. Ia memberi isyarat kepada para wartawan dengan gerakan yang kini sudah tak asing lagi supaya mereka duduk kembali. "Saya senang dapat mengumumkan," Presiden memulai dengan nada santai, "bahwa
saya akan mengirimkan ke Kongres sebuah RUU yang saya janjikan kepada bangsa Amerika selama masa kampanye." Sebagian kecil dari para koresponden Gedung Putih senior yang duduk di depannya mencatat, tetapi sebagian besar tahu bahwa bila ada berita yang 43 pantas dipublikasikan, biasanya akan muncul selama' tanya-jawab dan bukan dari pernyataan yang telah disiapkan. Lagi pula pernyataan pembukaan Presiden itu akan dibagikan kepada mereka dalam bentukj paket pers saat mereka meninggalkan ruangan. Para profesional kawakan hanya bersumber pada teks yang telah dipersiapkan bila mereka harus mengisi beberapa inci kolom-kolom ekstra. Hal itu tak menghalangi Presiden untuk mengingatkan mereka bahwa lolosnya RUU Pengurangan Senjata akan memberinya kesempatan mengeluarkan lebih banyak dana untuk perawatan kesehatan jang-j ka panjang, sehingga para lansia Amerika dapat mengharapkan standar kehidupan lebih baik setelah memasuki masa pensiun. "Inilah RUU yang akan disambut baik oleh setiap warga negara yang terhormat dan peduli. Dan saya bangga menjadi presiden yang akan mengegolkannya melalui Kongres." Lawrence mendongak dan tersenyum penuh harap, puas karena paling tidak pernyataan pembukaannya telah berjalan lancar. Teriakan "Mr. President!" muncul dari segala penjuru ketika Lawrence membuka berkas arsip biru dan memandangi 31 pertanyaan yang mungkin akan di-kemukakan. Ia mendongak dan tersenyum kepada] wajah yang telah dikenalnya di deretan terdepan.' "Barbara," katanya sambil menunjuk wartawati kawakan dari UPI yang sebagai wartawati paling senior berhak mengajukan pertanyaan pertama.
Pelan-pelan Barbara Evans bangkit berdiri. "Terima kasih, Mr. President." Ia berhenti sejenak sebelum mengajukan pertanyaan, "Apakah Anda dapat membeli konfirmasi bahwa CIA tak terlibat dalam pembunuhan Ricardo Guzman, calon Presiden Kolombia, ih Bogota hari Sabtu siang?" Dengung perhatian menggema di seluruh ruangan. I awrence memandangi 31 pertanyaan dan jawaban n.mg berlebihan. Andai saja tadi ia tidak menolak i.iwaran Larry Harrington untuk memberikan penjelasan lebih terperinci begitu saja. Aku senang pertanyaan itu kaukemukakan, Barium," jawabnya tanpa mengubah nada bicaranya. Sebab aku ingin kau tahu bahwa selama aku jadi piesiden, saran seperti itu takkan muncul. Dalam keadaan bagaimana pun, pemerintahan ini takkan mencampuri proses demokrasi sebuah negara ber-(Inilat. Nyatanya pagi ini juga aku menginstruksikan ki pada Menteri Luar Negeri untuk menelepon janda mendiang Mr. Guzman dan menyampaikan ungkapan belasungkawaku pribadi." Lawrence lega bahwa Barbara Evans menyebut n ima orang itu, sebab bila tidak, ia tidak akan mgat. "Mungkin kau juga tertarik mengetahui bahwa Wakil Presiden telah kuminta untuk mewakiliku lalam pemakaman yang kudengar akan dilaksanakan h Bogota akhir pekan ini." Pete Dowd, agen Dinas Rahasia yang mengurusi Divisi Perlindungan Presiden, segera meninggalkan mangan untuk mengingatkan Wakil Presiden sebelum para wartawan menemuinya. Barbara Evans tampak tak yakin. Tapi sebelum ia empat melanjutkan dengan pertanyaan kedua, Presiden telah mengalihkan perhatian kepada seseorang yang berdiri di deretan belakang yang ia 44 45 harapkan tidak berminat terhadap pemilihan presiden di Kolombia. Tetapi begitu pertanyaannya terlontar. Lawrence mulai mengharapkan semoga ia punya min.il terhadap hal itu. "Bagaimana
kemungkinan1 KUU Pengurangan Senjata Anda untuk menjadi I undang-undang jika Viktor Zerimski sangat mungkin menjadi Presiden Rusia yang berikutnya?" Selama empat puluh menit berikutnya- Lawrence menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai RUU Pengurangan Senjata Nuklir, Biologi, Kimia, dan Konvensional, tetapi disela dengan tuntutan untuk membeberkan peranan CIA sekarang di Amerika Selatan, dan bagaimana ia akan menangani Viktor Zerimski bila orang ini menjadi Presiden Rusia yang berikutnya. Karena jelas sekali bahwa Lawrence tidak' banyak mengetahui kedua hal itu melebihi mereka, para kuli tinta ini mencium "darah" dan mulai merengek-rengek minta penjelasan mengenai kedua hal itu hingga hal-hal lain tak disinggung, termasuk RUU Pengurangan Senjata. Ketika akhirnya memperoleh pertanyaan yang simpatik dari Phil Ansanch mengenai RUU, Lawrence memberikan jawaban panjang dan logis. Kemudian tanpa memberi peringatan ia menyudahi konferensi pers itu dengan tersenyum kepada para wartawan yang "menggonggonginya" seraya berkata, "Terima kasih, Saudara-saudara. Seperti biasanya pertemuan ini menyenangkan." Dan tanpa sepatah kata pun ia membalikkan badan dan cepatcepat meninggalkan ruangan itu menuju ke Ruang Oval. Saat Andy Lloyd dapat mengejarnya, Presiden menggerutu sambil menahan napas, "Aku perlu bicara «lengan Larry Harrington secepatnya. Begitu kau bisa menemukannya, telepon Langley. Aku menginginkan pertemuan dengan Direktur CIA di kantorku sejam la^i." "Kupikir-pikir, Mr. President, apakah tak lebih in i f...»" Kepala Staf mulai bicara. "Sejam lagi, Andy," kata Presiden tanpa memandangnya. "Jika ternyata CIA terlibat dalam pembunuhan di Kolombia, Dexter akan kugantung." "Aku akan segera menghubungi Menteri Luar Negeri supaya menemui mu secepatnya, Mr. President," kata Lloyd. Ia menghilang masuk ke kantor samping. Disambarnya
telepon terdekat dan dihubunginya Larry Harrington di Departemen Luar Negeri, liahkan melalui telepon pun orang Texas itu tidak dapat menyembunyikan kesenangannya karena begitu i -pat terbukti benar. Setelah meletakkan gagang telepon, Lloyd kembali ke kantornya, menutup pintu, dan duduk diam di belakang mejanya beberapa saat. Begitu telah memikirkan masak-masak apa yang harus dikatakannya, ia menghubungi nomor telepon yang hanya dijawab oleh satu orang. "Direktur," satu-satunya jawaban Helen Dexter. Connor Fitzgerald menyerahkan paspornya kepada I etugas bea cukai Australia. Akan sangat ironis bila paspor itu diragukan kebenarannya sebab untuk pertama kalinya dalam tiga minggu itu, ia menggunakan nama aslinya. Petugas berseragam itu menekan-nekan keyboard komputer, memeriksa layar, kemudian menekan-nekan keyboard lagi. 46 47 Tak ada keterangan yang muncul, maka ia menstempel visa turis itu dan berkata, "Semoga Anda menikmati perjalanan Anda ke Australia, Mr. Fitzgerald." Connor berterima kasih kepadanya dan terus berjalan ke bagian pengambilan barang, lalu duduk di seberang ban berjalan yang sedang berhenti. Ia menunggu hingga barangnya muncul. Ia tak pernah menjadi orang pertama yang melewati pabean, bahkan jika tak punya sesuatu pun untuk dilaporkan. Ketika ia mendarat di Cape Town sehari sebelumnya, Connor dijemput teman dan kolega lamanya, Cari Koeter. Beberapa jam berikutnya Cari telah mengadakan tanya-jawab dengannya. Kemudian barulah mereka menikmati makan siang lengkap sambil membicarakan perceraian Cari serta kabar Maggie dan Tara. Botol kedua Rustenberg Cabernet Sauvignon tahun 1982 hampir saja membuat Connor terlambat ikut penerbangan ke Sydney. Di dalam toko bebas bea ia buruburu membeli
hadiah untuk istri dan putrinya yang jelas-jelas bercap "Made in South Africa". Bahkan paspornya tidak memberikan petunjuk bahwa ia tiba di Cape Town melalui Bogota\ Lima, dan Buenos Aires. Sambil duduk di bagian pengambilan barang menunggu bekerjanya ban berjalan, ia mulai merenungkan kehidupan yang telah dijalaninya selama 28 tahun. Connor Fitzgerald telah dibesarkan dalam keluarga ¦ yang taat hukum dan peraturan. Kakek dari garis ayahnya bernama Oscar, sesuai 48 n una pujangga Irlandia, telah beremigrasi ke Ame-nka dari Kilkenny pada pergantian abad. Beberapa iam setelah mendarat di Ellis Island, ia langsung menuju Chicago untuk bergabung dengan sepupunya h kepolisian. Selama masa Larangan Minuman Keras tahun 1920—1933, Oscar Fitzgerald termasuk dalam kelompok kecil polisi yang menolak suap dari ge-lombolan kriminal. Akibatnya kariernya tidak pernah melebihi pangkat sersan. Tetapi Oscar berhasil men-I idi ayah lima orang putra yang saleh. Dan hanya menyerah ketika pastor setempat memberitahunya iahwa telah menjadi kehendak Tuhan Yang Mahakuasa I ahwa dia dan Mary tidak dikaruniai seorang putri I un. Istrinya sangat berterima kasih dengan kata-kata bijaksana Pastor O'Reilly, sebab cukup sulit membesarkan lima anak laki-laki yang tegap-tegap dengan aji seorang sersan. Boleh percaya atau tidak, jika ada kelebihan satu sen pun dari gaji mingguan yang liberikan Oscar kepadanya, Mary pasti ingin menge-i thui dengan terperinci dari mana datangnya uang itu. Setelah menamatkan high school, tiga putra Oscar I ergabung dengan Kepolisian Chicago. Di situ me-leka dengan cepat mendapat promosi yang sewajarnya telah menjadi hak ayah mereka. Putra lain men-lapat panggilan hidup menjadi pastor—yang membuat Mary bahagia. Dan si bungsu, ayah Connor, belajar hukum pidana di De Paul berdasarkan program ketentaraan Amerika. Setelah
diwisuda ia bergabung lengan FBI. Pada tahun 1949 ia menikah dengan Katherine O'Keefe, gadis yang tinggal dua rumah di sebelahnya di South Lowe Street. Mereka hanya 49 dikaruniai seorang putra yang dibaptis dengan nama j Connor. Connor lahir di Rumah Sakit Umum Chicago' pada tanggal 8 Februari 1951. Bahkan sebelum ia cukup umur untuk masuk sekolah Katolik setempat, sudah jelas ia akan menjadi pemain sepak bola yang berbakat. Ayah Connor gembira ketika putranya menjadi kapten kesebelasan Mount Carmel High School. Tetapi ibunya selalu menyuruhnya belajar hingga larut malam untuk memastikan bahwa ia menyelesaikan pekerjaan rumah. "Kau tak bisa main bola terus seumur hidup," demikian ibunya mengingatkannya terus-menerus. Kombinasi antara seorang ayah yang bangkit berdiri bilamana ada wanita masuk kamar dan seorang ibu yang nyaris menjadi santa, menjadikan Connoi sangat pemalu berhadapan dengan jenis kelamin lain, kendati fisiknya tegap. Beberapa gadis di Mounl Carmel High School telah jelas-jelas menunjukkan! perasaan mereka terhadapnya, namun ia tetap perjakk hingga kelas akhir ketika berjumpa dengan Nancy J Beberapa saat setelah ia memimpin Mount Carmel mencapai kemenangan pada suatu sore di musini gugur, Nancy membawanya ke belakang tempat duduk di stadion dan merayunya. Saat itu untuk pertama kalinya ia akan melihat wanita telanjang] jika Nancy melepas semua pakaiannya. Sekitar sebulan kemudian Nancy menanyainya apakah ia mau mencoba dua gadis sekaligus. "Aku belum pernah punya dua pacar, apalagi sekaligus," jawabnya. Nancy tampak tak terkes. dan maju terus. i2££ Ketika memperoleh beasiswa ke Notre Dame, t onnor tidak mengambil satu pun tawaran yang begitu banyak mendatangi para teman satu timnya, leman-temannya itu tampak sangat bangga mencoreti nama-nama gadis yang takluk pada pesona mereka ¦ 11 balik pintu locker
mereka Pada akhir semester I tama, Brett Coleman, sang algojo penalti, telah mencoret tujuh belas nama di balik pintu locker-nya. Peraturan yang diberitahukannya kepada Connor ialah bahwa hanya penetrasi yang boleh dihitung. "Pintu Unker tak cukup besar untuk mencakup seks oral." I'ada akhir semester pertama, Nancy masih tetap aiu-satunya nama yang dicoret Connor. Suatu sore etelah latihan, ia memeriksa pintu lain-lainnya dan menemukan nama Nancy pada hampir semua pintu itu, kadang-kadang dimasukkan ke dalam kurung bersama nama gadis lain. Seluruh sisa kesebelasan tak akan menggubris skor yang rendah itu bila < onnor bukan gelandang baru terbaik di Notre Dame e lama satu dasawarsa. Hanya beberapa hari setelah Connor menjadi mahasiswa tingkat dua, semuanya berubah. Ketika ia muncul dalam acara mingguan di Klub Dansa Irlandia, wanita itu mengenakan sepatu barunya. Connor tak dapat melihat wajahnya, tapi tak apa-apa, sebab ia tak mampu mengalihkan pandang dari k.iki panjang yang langsing itu. Sebagai jagoan sepak bola, ia telah terbiasa melihat gadis-gadis menatapnya, lapi kini satu-satunya gadis yang ingin ia buat terkesan tampaknya tak sadar bahwa ia ada. Sayangnya, ketika mulai melantai gadis itu berpasangan dengan Declan (VCasey, yang tak ada tandingannya sebagai pedansa. Mereka berdua berdansa dengan punggung tegak dan kaki-kaki yang bergerak begitu ringan hingga mustahil ditandingi Connor. Ketika acara itu usai, Connor belum juga tahu nama gadis itu. Dan lebih sayang lagi, gadis itu telah meninggalkan ruangan bersama Declan sebelum Connor mendapatkan cara agar diperkenalkan kepada si gadis. Karena putus asa ia memutuskan membuntuti mereka ke asrama putri dengan berjalan kaki kira-kira sejauh empat puluh meter di belakang mereka dan tetap membayangi. Persis seperti ajaran ayahnya. Ia meringis melihat mereka berdua bergandengan tangan dan asyik
mengobrol. Sesudah sampai di Lc Mans Hall, si gadis mencium pipi Declan lalu menghilang ke dalam. Connor bertanya-tanya dalam hati, mengapa ia tidak lebih memusatkan perhatian pada dansa dan bukannya sepak bola? Setelah Declan menuju ke asrama putra, Connor mulai mondar-mandir di bawah jendela kamar tidur asrama putri sambil memikirkan apa ada yang bisa ia kerjakan. Akhirnya sekilas ia melihat bayangan gadis itu dalam gaun tidur ketika menutup tirai. Dan' Connor masih beberapa menit di situ sebelum akhirnya dengan enggan kembali ke kamar. Ia duduk di ujung ranjang dan mulai menulis surat kepada ibunya memberitahu bahwa ia telah melihat gadis yang akan dinikahinya, walau sebenarnya ia belum berbicara dengan gadis itu, bahkan belum tahu namanya. Sambil menjilat amplop untuk merekatkannya, Connor berusaha meyakinkan diri bahwa Declan O'Casey bagi gadis itu hanyalah pasangan dansa. Selama minggu itu ia berusaha mengetahui se52 hanyak mungkin mengenai gadis itu. Tapi yang didapatkannya hanya sedikit, yaitu gadis itu bernama Maggie Burke. Ia telah memperoleh beasiswa di St. Mary's dan mahasiswi tahun pertama Sejarah Kesenian. Ia mengomeli dirinya sendiri karena selama hidup belum pernah masuk galeri seni. Dalam kenyataan ia berdekatan dengan cat hanya ketika ayahnya menyuruhnya memperbarui cat pagar yang mengitari kebun belakang mereka di South Lowe Street. I >cclan ternyata telah mengencani Maggie sejak tahun ikhir Maggie di high school. Dan Declan tak hanya I dansa terbaik dalam klub, melainkan juga mate-matikus ulung di universitas. Lembaga-lembaga lain telah menawarinya beasiswa untuk melanjutkan studi pascasarjana, bahkan sebelum hasil ujian akhirnya diketahui. Connor hanya bisa berharap supaya Declan ditawari jabatan menggiurkan sejauh
mungkin dari South Bend. Hari Kamis berikutnya, Connor muncul paling iwal di klub dansa. Ketika Maggie muncul dari i lang ganti pakaian mengenakan blus katun kuning dan rok pendek hitam, hanya satu pertanyaan yang menjadi pertimbangan Connor, apakah harus menatap dalam mata hijau itu ataukah memandangi tungkai I injang langsing itu. Dan sekali lagi sepanjang petang Maggie berpasangan dengan Declan. Sementara itu ( onnor duduk membisu di bangku, sambil mencoba berpura-pura tak menyadari keberadaan gadis itu telah lagu terakhir, kedua orang itu menyelinap k c luar. Lagi-lagi Connor membuntuti mereka kembali ke Le Mans Hall, tapi kali ini ia tahu gadis itu tidak menggandeng tangan Declan. 53 Setelah obrolan panjang dan ciuman di pipi,! Declan pergi menuju ke asrama putra. Connor me«| rebahkan diri di bangku yang berhadapan dengan jendela Maggie, dan mendongak ke balkon asrama^ putri. Ia memutuskan menunggu hingga Maggie me-i nutup tirai, tetapi saat gadis itu muncul di jendela, Connor telah tertidur. Hal berikutnya yang ia ingat ialah terjaga dar tidur nyenyak di mana ia bermimpi Maggie berdiri di depannya mengenakan piama dan gaun tidur. Ia terjaga dengan terperanjat. Menatapnya tak percaya. Segera bangkit dan mengulurkan tangan. "Hai aku Connor Fit/gerald," "Aku tahu," jawab Maggie sambil menjabat ta ngannya. "Aku Maggie Burke." "Aku tahu," jawab Connor. "Masih ada tempat di bangku itu?" tanya Maggie. Sejak saat itu Connor tidak pernah memandan; wanita lain. Sabtu berikutnya Maggie menonton sepak boli untuk pertama kali dalam hidupnya, dan meliha Connor menunjukkan serangkaian permainai gemilang di hadapan penonton yang menyesaki sta dion.
Kamis berikutnya Maggie dan Connor berdam, sepanjang petang, sementara Declan duduk sedih t sudut. Ia tampak lebih sedih lagi ketika kedua orar^ itu pergi bersama sambil bergandengan tangan. Ketik mereka tiba di Le Mans Hall, Connor menciun Maggie untuk pertama kali. Kemudian ia berlutu dan melamarnya. Maggie tertawa, wajahnya meral padam, dan lari masuk. Dalam perjalanan menuj k iama putra, Connor juga tertawa tapi hanya ketika melihat Declan bersembunyi di balik pohon. Sejak saat itu Connor dan Maggie selalu meng-Jmbiskan saat-saat senggang mereka bersama-sama. Maggie belajar mengenai gol, daerah belakang gaig yang menandai masuknya gol, dan operan tnniping. Sedang Connor mempelajari Bellini, lleinini, dan Luini. Setiap Kamis malam selama tiga lalimi ia berlutut dan melamar. Manakala teman-i nian satu timnya bertanya mengapa ia tidak menim ct nama Maggie pada balik pintu locker, ia menjawab biasa saja, "Karena aku akan menikah dengannya." I'ada akhir tahun terakhir Connor, Maggie akhirnya fc'iuju untuk menjadi istrinya, tapi Maggie harus menyelesaikan ujian dulu. "Aku perlu melamar 141 kali untuk membuatmu melihat cahaya terang," kata Connor penuh kemenangan. "Ah, jangan tolol, Connor Fitzgerald," kata Maggie."Aku tahu aku akan menghabiskan sisa hidupku bersamamu ketika aku bergabung denganmu di bangku im " Mereka menikah dua minggu setelah Maggie lulus i lengan summa cum laude. Tara lahir sepuluh bulan kemudian. 55 54
BAB LIMA "Menurutmu aku harus percaya CIA bahkan tal tahu ada usaha pembunuhan yang direncanakan?" "Betul, Sir/ jawab Direktur CIA tenang. "Saal kami sadar ada pembunuhan yang terjadi hanys beberapa detik, aku menghubungi National Securitj Advisor yang sepengetahuanku segera melapoi padamu di Camp David." Presiden mulai berjalan di seputar Ruang Ova yang menurutnya tak hanya memberikan lebih banyal waktu untuk berpikir tetapi biasanya juga membua tamu-tamunya merasa tak enak. Kebanyakan oranj yang masuk ke Ruang Oval sudah gugup. Sekretaris nya pernah mengatakan bahwa empat dari lima tami pergi ke kamar kecil dulu beberapa saat sebelun harus menemui Presiden. Tapi ia meragukan apakah wanita yang dudu I berhadapan dengannya itu tahu di mana letak kama kecil terdekat. Jika ada bom meledak di Rose Garden Helen Dexter mungkin hanya akan mengangkat alisny 56 yang terawat rapi. Sejauh ini kariernya telah berlangsung lebih lama daripada tiga presiden. Ketiganya konon pernah suatu saat memintanya mengundurkan diri. "Dan ketika Mr. Lloyd meneleponku memberitahu bahwa kau menghendaki keterangan terperinci lebih anjut, aku menginstruksikan pada wakilku, Nick (Jutenburg, untuk menghubungi orang-orang kita di I ipangan di Bogota dan secara luas menyelidiki apa t patnya yang terjadi Sabtu siang itu. Gutenburg nenyelesaikan laporannya kemarin." kata Helen eraya menepuk berkas arsip di pangkuannya. Lawrence berhenti berjalan dan berdiri di bawah potret Abraham Lincoln yang tergantung dv at«r« kerapian. Ia memandangi tengkuk Helen - Dexter. Wanita itu tetap memandang lurus ke depa' Direktur itu mengenakan setelan rapi berwarna elap dengan kemeja krem sederhana.
Ia jarang nengenakan perhiasan, bahkan dalam acara kenegara-m. Pengangkatannya oleh Presiden Ford sebagai wakil direktur pada usia 32 dimaksudkan sebagai I cngganti sementara untuk menenangkan lobi feminis leberapa minggu sebelum pemilihan umum tahun 1976. Ternyata malahan Ford yang menjadi pengganti ementara. Setelah serangkaian direktur yang menjabat dalam masa singkat, entah karena mengundurkan diri atau pensiun, akhirnya Ms. Dexter mencapai posisi yang didambakannya. Banyak desas-desus terbar dalam suasana rumah kaca di Washington me-ii enai pandangan-pandangannya yang sangat kanan dan cara-cara yang digunakannya untuk meraih promosi, tapi tak ada anggota Senat yang berani mempertanyakan pengangkatannya. Ia lulusan summa cum 57 laudc Bryn Mawr dan selanjutnya Fakultas Hukum Universitas Pennsylvania, lalu bergabung dengan salah satu biro pengacara New York yang terkemuka. Setelah serangkaian perdebatan dengan dewan mengenai lamanya para wanita menjadi mitra, akhirnya disudahi dengan proses peradilan yang diselesaikan di luar pengadilan. Lalu ia menerima tawaran untuk bergabung dengan CIA. Ia memulai hidupnya dalam CIA di kantor Direktorat Operasi, akhirnya menanjak menjadi wakil direktur. Saat pengangkatannya, ia lebih banyak mempunyai musuh daripada sahabat, tetapi dengan berjalannya waktu musuh-musuh itu tampak menghilang, atau dipecat, atau mengambil pensiun dipercepat. Ketika diangkat menjadi direktur, ia baru berusia empat puluh. Washington Post menyebutnya telah berhasil menembus langit-langit kaca, tapi itu tak menghalangi para bandar bertaruh berapa hari ia akan bertahan. Segera mereka mengubahnya menjadi berapa minggu, kemudian berapa bulan. Kini mereka bertaruh apakah ia akan menjabat direktur CIA lebih lama
daripada J. Edgar Hoover di FBI. Beberapa hari setelah mendiami Gedung Putih, Tom Lawrence telah menemukan seberapa jauh Dex-ter akan menghadangnya bila mencoba mengganggu dunianya. Jika ia meminta laporan mengenai perkara-perkara sensitif, tidak jarang baru tersedia di mejanya setelah berminggu-minggu. Dan bila akhirnya tiba, ternyata tak bisa tidak merupakan laporan panjang, diskursif, membosankan, dan sudah kedaluwarsa. Jika ia memanggil Dexter ke Ruang Oval untuk menjelaskan persoalan-persoalan yang tak terjawab, wanita mi bisa bergaya seorang bisu-tuli yang tampak seperti positif informatif. Jika Lawrence mendesaknya, Dex-ln akan mengulur-ulur waktu. Jelas dengan asumsi bahwa dia masih tetap menduduki jabatan, lama >-telah para pemilih Lawrence memecatnya dari jabatan. Tapi Helen Dexter barulah bersikap mematikan ketika Lawrence mengusulkan seseorang mengisi lowongan di Mahkamah Agung. Dalam waktu beberapa hari, berkas-berkas laporan diserahkan ke meja Lawrence, berisi penegasan panjang-lebar bahwa calon yang diusulkan itu tidak dapat diterima. Lawrence mendesak tetap mengajukan calonnya— ihabat lamanya, yang ditemukan tewas gantung diri di garasi sehari sebelum menduduki jabatan. Lawrence kemudian menemukan bahwa berkas rahasia itu telah dikirim ke setiap anggota Panitia Seleksi Senat, tetapi ia tak pernah dapat membuktikan siapa yang bertanggung jawab atas hal itu. Andy Lloyd telah memperingatkan Lawrence pada berbagai kesempatan bahwa jika ia berani mencoba memindahkan Dexter dari jabatannya, sebaiknya ia memiliki sejenis bukti yang akan meyakinkan publik bahwa Ibu Teresa memiliki rekening bank rahasia di Swiss yang secara teratur diisi oleh sindikat-sindikat kriminal terorganisasi. Lawrence telah menerima penilaian Kepala Stafnya, tetapi kini merasa bila ia dapat membuktikan bahwa CIA terlibat dalam pembunuhan Ricardo tiuzman tanpa bersusah payah memberi informasi kepada Andy Lloyd, ia bisa memaksa Dexter meninggalkan jabatan dalam beberapa hari. 58
59 Lawrence kembali ke kursinya dan menekan tombol di bawah tepi meja yang akan memungkinkan Andy ikut mendengarkan percakapan, ataupun mendengarkan pita rekaman malam harinya. Lawrence menyadari Dexter tahu persis apa yang sedang diinginkannya. Dan Lawrence menduga tas ajaib yang tak pernah pisah dari sisi Dexter dan tidak memuat lipstik, wangi-wangian, dan kotak kosmetik yang lazimnya menyertai para wanita, telah merekam sedap kata dalam pembicaraan mereka berdua. Namun ia masih juga memerlukan versinya sendiri tentang peristiwa itu untuk catatan. Begitu Dexter telah duduk Presiden berkata, "Karena tampaknya kau telah tahu dengan baik, mungkin kau dapat memberiku penjelasan terperinci mengenai apa yang sebenarnya terjadi di Bogota." Helen Dexter tak menanggapi nada sarkastis itu dan mengambil sebuah berkas dari pangkuan. Sampul putih berlogo CIA bertuliskan kata-kata "KHUSUS UNTUK PRESIDEN SAJA". Lawrence bertanya-tanya dalam hati berapa banyak berkas yang telah disembunyikan Dexter dengan tulisan "HANYA UNTUK DIREKTUR SAJA". Dexter membuka berkas itu. "Telah dikonfirmasi kan oleh beberapa sumber bahwa pembunuhan di laksanakan oleh satu penembak," bacanya. "Sebutkan salah satu sumber itu," Presiden me nyela. "Atase kebudayaan kita di Bogota," jawab Dexter. Lawrence mengangkat alisnya. Separo dari par atase kebudayaan di kedutaankedutaan Amerika di seluruh dunia telah ditempatkan di situ oleh CIA 60 hanya supaya melaporkan kembali langsung ke Helen Dexter di Langley tanpa konsultasi dengan duta besar setempat, apalagi dengan Departemen Luar Negeri. Kebanyakan dari mereka
memperkirakan Nut-eiacker Suite merupakan sepinggan makanan yang lurus ada dalam daftar masakan di restoran eksklusif. Presiden mendesah. "Dan menurut/iyo, siapa yang bertanggung jawab atas pembunuhan itu?" Dexter membuka lagi beberapa halaman dalam I rkas, mengambil sehelai foto, dan menyodorkannya ke seberang meja. Presiden memandangi foto seorang etengah baya yang berpakaian rapi - dan tampak makmur. 'Siapa ini?" "Carlos Velez. Dia mengelola kartel obat bius t i besar kedua di Bogota. Sudah barang tentu Guzman mengawasi yang terbesar." "Dan apakah Velez sudah dituntut?" "Sayang sekali dia telah terbunuh hanya beberapa Ii m sesudah polisi menerima surat penahanan." "Tepat sekali." Dexter tidak tersipu-sipu. Mustahil baginya, pikir I iwrence. Tersipu-sipu kan perlu darah. 'Dan apakah pembunuh tunggal ini punya nama? Ataukah dia juga meninggal hanya beberapa saat Uelah perintah pengadilan..." "Tidak, Sir. Dia masih hidup segar bugar," jawab si direktur tegas. "Namanya Dirk van Rensberg." "Apa saja yang telah diketahui tentang dirinya?" t.mya Lawrence. "Dia warga Afrika Selatan. Dan hingga belum lama ini dia tinggal di Durban." 61 "Hingga belum lama ini?" "Ya. Dia sembunyi di bawah tanah segera sesudah pembunuhan." "Itu mudah dilaksanakan, lebih-lebih jika tak pernah hidup di alas tanah," kata Presiden. Ia menunggu reaksi si direktur. Tapi wanita itu tetap tenang. Akhirnya Lawrence berkata, "Apakah para pejabat Kolombia menyetujui versi ini, ataukah atase kebudayaan kita satusatunya sumbermu?" "Tidak, Sir. Kami menyerap sebagian besar keterangan rahasia dari Kepala Polisi Bogota\ Dalam
kenyataan dia telah menahan salah seorang kaki-tangan Rensberg yang dipekerjakan sebagai pelayan di Hotel El Belvedere tempat dari mana tembakan dilepaskan. Dia ditahan di lorong beberapa saat setelah membant si pembunuh lolos lewat lift barang." "Dan tahukah kita gerak-gerik van Rensberg setelah pembunuhan?" "Tampaknya dia telah terbang ke Lima dengan nama Alistair Douglas Kemudian dilanjutkan ke Buenos Aires menggunakan paspor yang sama. Sesudah itu kita kehilangan jejaknya." "Dan kuragukan apakah kau akan pernah menemukannya kembali." "Oh, aku tak begitu pesimistis, Mr. President," kata Dexter tanpa menggubris nada Lawrence. "Para pembunuh bayaran cenderung beraksi sendiri dan menghilang beberapa bulan sesudah tugas sepenting ini. Kemudian mereka muncul kembali setelah merasa panas lelah mereda." "Nah," kata Presiden. "Kupastikan dalam kasus ini aku tetap akan memanaskan suasana. Dalam 62 perjumpaan kita berikutnya, mungkin aku punya I iporan sendiri yang dapat kaupertimbangkan." "Aku ingin sekali membacanya," kata Dexter dengan nada murid nakal yang tak gentar kepada kepala sekolah. Presiden memencet tombol di bawah meja. Sesaat kemudian ada ketukan di pintu dan Andy Lloyd masuk. "Mr. President, beberapa saat lagi ada pertemuan lengan Senator Bedell," katanya tanpa menghiraukan kehadiran Dexter. "Kalau begitu aku akan meninggalkanmu, Mr. President," kata Dexter sambil bangkit dari tempat duduk. Ia meletakkan berkas di meja Presiden, meng-iinbil tasnya, dan langsung meninggalkan ruangan tanpa mengucapkan sepatah kata lagi. Presiden tidak berbicara hingga Direktur CIA menutup pintu, kemudian berpaling kepada Kepala Staf.
\ku tak percaya sam