Sosok-sosok Hakim Garang di Pengadilan Rakyat 1965 Gilang Fauzi, CNN Indonesia Selasa, 10/11/2015 http://www.cnnindonesia.com/nasional/20151110202656-20-90821/sosok-sosok-hakim-garang-di-pengadilan-rakyat-1965/
Ilustrasi. (Getty Images/Michael Porro)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pengadilan Rakyat Internasional atas Kejahatan Kemanusiaan 1965 yang terjadi di Indonesia atau International People’s Tribunal (IPT) 1965 mulai digelar Selasa (10/11) di Den Haag, Belanda. Sidang maraton itu dijadwalkan berlangsung selama empat hari hingga Jumat pekan ini. Ketua Panitia Penyelenggara IPT 1965, Nursyahbani Katjasungkana, menyatakan sidang rakyat yang digelar di Negeri Kincir Angin itu bakal menghadirkan sekitar 5 orang saksi ahli dan 10 saksi fakta. Kesepuluh saksi fakta itu merupakan korban yang mengetahui dan mengalami langsung peristiwa 'pembantaian' 1965. Mayoritas para saksi merupakan orang buangan atau exile yang tinggal di luar negeri karena tak lagi diakui pemerintah Indonesia sebagai warga. Namun ada pula saksi yang merupakan warga negara Indonesia. Lihat juga: Sidang 1965 Digelar, Indonesia Hadapi Deretan Dakwaan IPT 1965 ini dipimpin oleh tujuh hakim, tujuh jaksa penuntut umum, dan satu hakim panitera. Berikut profil para penegak hukum yang bakal menentukan nasib upaya pengungkapan kebenaran di balik tragedi kemanusiaan peristiwa 1965 di Indonesia. Hakim Sir Georffrey Nice Nice telah malang-melintang berperan sebagai advokat sejak 1971. Dia tercatat pernah
1
menjadi jaksa dan memimpin penuntutan dalam persidangan terhadap mantan Presiden Serbia Slobodan Milošević . Karier Nice di bidang penegakan hukum banyak bersinggungan dengan persoalan di Pengadilan Kriminal Internasional atas Sudan, Kenya, Libya. Dia juga menjadi pengacara pro bono untuk korban-korban di Iran, Burma, Korea Utara yang kasusnya tidak bisa diangkat di pengadilan internasional. Hakim Helen Jarvis Helen punya ikatan emosional dengan Indonesia dan setidaknya turut merasakan euforia peristiwa 1965. Dia datang datang ke Indonesia pada akhir tahun 1965 dan mulai bekerja di Jakarta pada kurun tahun 1969. Pada pertengahan 1990-an, Helen mulai terjun mengurusi isu yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan dan genosida, khususnya di Kamboja. Dia menyandang kewarganegaraan Australia dan Kamboja, dan kini menetap di Phnom Penh. Hakim Mireille Fanon Mendes France Pakar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa ini merupakan pimpinan kelompok kerja untuk masyarakat keturunan Afrika. Mendes pernah menjadi penasihat hukum Majelis Nasional Perancis dan saat ini menjadi President of the Frantz Fanon Foundation. Hakim yang pernah bekerja untuk UNESCO Press ini sebelumnya banyak terlibat dalam urusan pengadilan rakyat Permanent People's Tribunal di Roma, Italia. Hakim John Gittings Gitting merupakan seorang penulis sekaligus jurnalis yang paham dengan diskursus Tiongkok modern dan sejarah Asia. Pada tahun 1990, wartawan senior The Guardian ini pernah menyajikan reportase mendalam terkait 25 tahun peristiwa 1965-1966 di Indonesia. Gitting juga pernah terjun ke Jakarta pada 1999 untuk memberikan reportase berkaitan dengan krisis di Timor Leste. Salah satu karya tulisannya yang menjadi rujukan berjudul 'The Indonesian Massacres, 1965-1966: Image and Reality'.
2
Hakim Shadi Sadr Shadi Sadr adalah pengacara hak asasi manusia asal Iran yang pernah ditangkap, disiksa, dan ditahan pemerintah Iran. Pada Juli 2009, Sadr ditangkap namun kemudian dibebaskan sehingga memberi kesempatan baginya untuk melarikan diri ke Eropa. Pada 17 Mei 2010, Sadr divonis bersalah secara in absentia oleh Pengadilan Tehran Revolutionary atas tuduhan telah melakukan pelanggaran terhadap keamanan nasional dan menggangu ketertiban publik. Dia mendapat hukuman enam tahun penjara dan 74 cambukan. Hakim Cees Flinterman Cees Flinterman merupakan profesor kehormatan bidang HAM di Utrecht University dan Maastricht University, Belanda, sejak November 2007. Pria yang mendedikasikan diri terjun di dunia akademis ini juga tercatat sebagai anggota di sejumlah organisasi internasional nonpemerintah. Karya ilmiah dan penelitian Flinterman banyak berkaitan dengan persoalan hak asasi masnusia, kebijakan luar negeri, hukum konstitusi dan internasional, serta persoalan gender dan HAM. Hakim Zak Yacoob Zak Yacoob adalah pensiunan hakim Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan yang buta sejak masih bayi. Dengan keterbatasan fisiknya, Yacoob berhasil meraih gelar sarjana hukum di University of Kwa-Zulu Natal. Pada 1991-1998, Yacoob tercatat sebagai anggota kongres bawah tanah African National dan tergabung dalam komunitas yang terlibat dalam kampanye antiapartheid. Selama menjadi hakim konstitusi (1998-2013), nama Yacoob mulai dikenal dunia internasional atas kontribusinya terkait yurisprudensi hak sosial-ekonomi Afrika Selatan. Hakim Panitera Szilvia Csevár Profesional yang berkecimpung di Hukum Internasional Publik ini mengantongi segudang pengalaman di bidang hukum kriminal internasional, hukum kemanusiaan, dan standar hak
3
asasi manusia. Csevár saat ini tergabung dalam Pengacara Internasional untuk Papua Barat sebagai legal officer. Dia bertanggung jawab mengurusi manajemen dan pengawasan program hukum ILWP yang berkenaan dengan pelanggaran HAM di Provinsi Papua dan Papua Barat di Indonesia. Jaksa Penuntut Silke Studzinsky Sejak 1990, Silke gencar memperjuangkan hak-hak korban kekerasan seksual, pelecehan seksual, perdagangan manusia, dan diskriminasi rasial, baik di dalam dan di luar persidangan. Silker juga terlibat dan berpartisipasi dalam beberapa misi perjuangan HAM, pengawasan persidangan, serta urusan delegasi di Turki, Spanyol, Yunani, Israel, Korea Selatan, dan Kashmir. Pada 2013-2015, Silke dipercaya menjadi penasihat hukum Trust Fund for Victim di Pengadilan Kriminal Internasional di Den Haag, Belanda. Selain Silke, ada enam jaksa penuntut yang dihadirkan dari Indonesia. Atas pertimbangan keamanan dan kepentingan politik, nama-nama mereka belum dapat dipublikasikan.
Sidang 1965 Digelar, Indonesia Hadapi Deretan Dakwaan Anggi Kusumadewi, CNN Indonesia Selasa, 10/11/2015 15:10 WIB Diorama prajurit Tjakrabirawa di Museum Jendral Besar AH Nasution, Jakarta. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -Pengadilan Rakyat Internasional soal Kejahatan Kemanusiaan di Indonesia pada periode 1965 (International People’s Tribunal 1965) mulai digelar di Den Haag, Belanda, Selasa (10/11).
4
Dilansir dalam situs resminya, 1965tribunal.org, duduk sebagai terdakwa dalam sidang ini ialah Indonesia selaku negara. “Negara Indonesia, khususnya angkatan bersenjata di bawah Jenderal dan Presiden Soeharto, dan pemerintah periode berikutnya beserta milisi di bawah kendalinya.” Setelah pembunuhan enam jenderal dan satu letnan pada malam 30 September dan 1 Oktober 1965 oleh Gerakan 30 September (G30S), tulis situs tersebut, kampanye pemusnahan orang dan organisasi yang terkait Partai Komunis Indonesia dilancarkan pemerintah Indonesia. Kampanye tersebut terdiri dari propaganda kebencian yang bertujuan untuk menggambarkan mereka yang diasosiasikan dengan PKI sebagai ateis, tak bermoral, anti-Pancasila, dan hiperseksual. Lihat juga: Sidang Rakyat 1965, Upaya Ungkap Propaganda dan Tangan Asing IPT 1965 menuding tentara dan milisi di bawah kendali pemerintah telah membunuh ratusan ribu orang yang diduga anggota dan simpatisan PKI, menahan secara ilegal ratusan ribu orang, menjadikan mereka objek siksaan termasuk kekerasan seksual, menerapkan kerja paksa, melakukan deportasi, dan mencabut paspor mereka tanpa alasan jelas. “Propaganda kebencian ini terus berlanjut hingga saat ini,” klaim IPT 1965. Ikuti terus perkembangan pengadilan ini di Fokus: SIDANG RAKYAT TRAGEDI 1965 DIGELAR Akibat aksi-aksi itu, tulis 1965tribunal.org, mereka yang diduga anggota dan simpatisan PKI telah dimusnahkan. Identitas mereka dihancurkan. Sejarah Indonesia ditulis ulang. Sampai saat ini, para korban yang berhasil bertahan dan selamat tetap dibebani stigma. Semua tindakan tersebut dituding merupakan bagian dari serangan meluas dan sistematis yang ditujukan kepada PKI dan orang-orang yang diduga sebagai simpatisannya. Lihat juga: Eks Tapol Pulau Buru Dukung Pengadilan Rakyat 1965 di Belanda Negara Indonesia, tegas IPT 1965, bertanggung jawab atas kasus pembunuhan,
5
perbudakan, penahanan, penyiksaan, kekerasan seksual, penganiayaan, penghilangan paksa orang-orang, dan penganiayaan melalui propaganda. Secara internasional, IPT 1965 menganggap negara Indonesia bertanggung jawab atas “Kejahatan terhadap kemanusiaan." IPT 1965 juga turut menuntut Amerika Serikat, Inggris, dan Australia dengan tuduhan “Kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran hukum internasional karena membantu Indonesia melakukan pelanggaran serius terhadap hukum internasional.”
Eks Tapol Pulau Buru Dukung Pengadilan Rakyat 1965 di Belanda Suriyanto, CNN Indonesia Selasa, 10/11/2015 08:38 WIB Tumiso, bekas tahanan Pulau Buru yang juga orang dekat sastrawan Pramoedya Ananta Toer. (CNN Indonesia/Suriyanto)
Jakarta, CNN Indonesia -- Bekas tahanan politik Pulau Buru Tumiso mendukung diadakannyaInternational People's Tribunal (IPT) 1965. Menurutnya, untuk menuntaskan berbagai pelanggaran yang terjadi, memang dibutuhkan campur tangan pihak asing. Pengadilan di negara lain, meski cuma pengadilan rakyat ini bisa jadi salah satu upaya tersebut. Pengaruh negara lain, kata Tumiso, bukan cuma soal penyelesaikan perkara pelanggaran hak asasi manusia tahun 1965. Sebagai negara yang berada di antara dua benua dan dua samudra, Indonesia memang tak bisa dilepaskan dari pengaruh asing. Lihat juga: Sidang Rakyat soal Kejahatan Kemanusiaan 1965 Siap Digelar Menurut Tumiso, sejarah sudah berbicara. Sejak era Majapahit, Raden Wijaya, raja Majapahit saat itu meminta bantuan pasukan Mongol untuk menggulingkan Raja Kediri Jayakatwang. Raden Wijaya kemudian jadi penguasa pertama kerajaan yang bisa menyatukan nusantara di bawah satu bendera itu.
6
Sementara pada era kolonialisme, kemerdekaan Indonesia menurutnya juga tak bisa dipungkiri karena ada andil negara lain. "Indonesia bisa memproklamasikan kemerdekaan juga setelah sekutu menjatuhkan bom atom ke Hiroshima dan Nagasaki," kata Tumiso kepada CNN Indonesia. Bahkan dalam peristiwa gerakan Gerakan 30 September 1965, ada kabar yang menyebut keterlibatan badan intelijen Amerika Serikat (CIA) dalam peristiwa tersebut. Lebih lanjut, bekas anggota Persatuan Guru Republik Indonesia Non-Vaksentral ini mengatakan, selesainya perkara pembantaian di Rawagede, Karawang, juga karena pengadilan di Den Haag, Belanda. Saat itu pengadilan memutuskan pemerintah mereka bersalah dan harus bertanggung jawab. Belanda akhirnya meminta maaf dan memberikan ganti rugi pada ahli waris korban yang dibunuh tentaranya saat itu. Lihat juga: Kasus 1965 Akan Disidang di Den Haag, Luhut Sudah Diberi Tahu "Karena itu sudah saatnya sekarang ikut campur pihak asing dibutuhkan karena proses di dalam negeri tak kunjung bisa menyelesaikan," kata Tumiso. Ia berharap mereka yang diminta untuk memberikan kesaksian di Internasional People Tribunal 1965 di Den Haag, benar-benar bisa memberikan gambaran bagaimana bentuk pelanggaran yang terjadi pada waktu itu. Tumiso merupakan satu dari ratusan tapol gelombang pertama yang ditahan di Pulau Buru. Ia dituduh sebagai sebagai bagian Partai Komunis Indonesia dan terlibat dalam peristiwa G30S. Selama 10 tahun pria yang kini berusia 75 tahun ini harus menghabiskan hari-harinya di Pulau Buru sebagai tahanan politik. Lihat juga: Todung Masih Yakin Jokowi Mau Minta Maaf ke Korban 1965 IPT 1965 merupakan sebuah pengadilan rakyat. Tak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, pengadilan ini akan menghasilkan sejumlah catatan terkait adanya kejahatan kemanusiaan pada tahun 1965. Pengadilan akan digelar pada 10-13 November 2015 di Den
7
Haag, Belanda. Menurut Koordinator International People's Tribunal 1965 Nursyahbani Katjasungkana, ada 5 orang saksi ahli dan 10 saksi fakta dalam pengadilan tersebut. "Kami juga mengundang pemerintah Indonesia lewat Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den Haag untuk menghadiri Pengadilan Rakyat ini. Sebab meski sidang digelar rakyat, tetap harus menjaga prinsip keadilan," kata Nursyahbani. (sur)
Ikuti Sidang 1965, Todung Mulya Lubis Siap Dicap Pengkhianat Gilang Fauzi, CNN Indonesia Selasa, 10/11/2015 17:10 WIB Pengacara
Todung
Mulya
Lubis.
(REUTERS/Beawiharta)
Jakarta, CNN Indonesia -Tim Pengungkap Kebenaran Peristiwa 1965 di Belanda menyadari posisi mereka saat ini berada di balik bayangbayang ancaman. Namun bagi mereka tak ada cara selain menempuh Pengadilan Rakyat Internasional atau International People’s Tribunal demi mengungkap fakta di balik tragedi 1965. Advokat International People's Tribunal (IPT) 1965 Todung Mulya Lubis bahkan sudah siap menanggung risiko dicap sebagai pengkhianat bangsa. “Kami tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi pada kami ketika pulang dari sini. Sangat mungkin kami dituduh mengeringkan linen kotor di tempat terbuka, memperlihatkan sisi gelap masyarakat dan bangsa kami, dan karenanya kami akan dianggap sebagai pengkhianat,” ujar Todung. Dia menyatakan upaya yang ditempuh Tim Pengungkap Kebenaran Peristiwa 1965 kali ini telah menjadi semacam upaya terakhir yang berkelindan dengan kejaran waktu. Ikuti perkembangan pengadilan ini di Fokus: SIDANG RAKYAT TRAGEDI 1965
8
DIGELAR Di hadapan hakim persidangan di Den Haag, Belanda, Selasa (10/11), Todung mengingatkan kembali bahwa saat ini sudah banyak korban tragedi 1965 yang telah meninggal dunia. Kalaupun ada saksi hidup yang tersisa, kata Todung, mereka telah sepuh dimakan usia. "Tak lama lagi akan tiba waktunya bagi mereka yang tersisa. Oleh karena itu, atas nama keadilan, kita mesti menuntaskan persidangan ini dengan harapan bisa menemukan kebenaran yang hakiki," kata Todung dalam pidato sambutannya yang diterima CNN Indonesia. Menurut Todung, pemerintah Indonesia saat ini tengah berupaya mengubur fakta di balik peristiwa 1965. Kenyataan bahwa Presiden Joko Widodo enggan melayangkan permintaan maaf, kata Todung, menjadi gelagat nyata yang menegaskan pemerintah Indonesia tak mau lagi berurusan dengan apapun terkait peristiwa 1965. Lihat juga: Luhut: Negara Tak Perlu Minta Maaf atas Tragedi 1965 Melalui IPT 1965, Todung berharap pemerintah RI setidaknya mau mendengar semua kesaksian dan terbuka hatinya untuk kemudian tergugah melakukan rekonsiliasi secara menyeluruh dan meluruskan sejarah. "Bagaimanapun, hak kemanusiaan perlu dipulihkan, kesalahan harus dikoreksi, dan keadilan mesti ditegakkan," kata Todung. Lihat juga: Todung Masih Yakin Jokowi Mau Minta Maaf ke Korban 1965 Todung menyadari persidangan peristiwa 1965 yang digelar di Pengadilan Rakyat Internasional tidak memiliki kekuatan hukum laiknya pengadilan pada umumnya. Namun, kata Todung, fungsi penegak hukum adalah bersama-sama berupaya mencari kebenaran dan keadilan. "Sungguh besar harapan kami agar keberanian dan kebijakan Anda (hakim) bisa membawa kami ke pelabuhan, di mana kami bisa berlayar kembali ke rumah dengan berbekal kebenaran dan keadilan di tangan kami," kata Todung. Dalam IPT 1965, negara Indonesia duduk sebagai terdakwa. Indonesia dituduh melakukan pembunuhan, perbudakan, penahanan, penyiksaan, penganiayaan, penghilangan paksa orang-orang, dan penganiayaan melalui propaganda. Semua tindakan tersebut dituding merupakan bagian dari serangan meluas dan
9
sistematis yang ditujukan kepada Partai Komunis Indonesia dan orang-orang yang diduga sebagai simpatisannya. Lihat juga: Sidang 1965 Digelar, Indonesia Hadapi Deretan Dakwaan (agk)
10