BAB
1
SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU UNTUK MENGKAJI BERBAGAI GEJALA SOSIAL DALAM MASYARAKAT
Kompetensi Dasar: 3.1 Mendeskripsikan fungsi Sosiologi dalam mengkaji berbagai gejala sosial yang terjadi di masyarakat 4.1 Melakukan kajian, diskusi dan menyimpulkan fungsi Sosiologi dalam memahami berbagai gejala sosial yang terjadi di masyarakat
1.1 Definisi Sosiologi a. Berdasarkan etimologi (kebahasaan/asal kata) Secara kebahasaan nama sosiologi berasal dari kata ”socious”, yang artinya ”kawan” atau ”teman” dan ”logos”, yang artinya ”kata”, ”berbicara”, atau ”ilmu”, dengan demikian Sosiologi berarti berbicara atau ilmu tentang kawan. Makna kawan dalam konteks ini lebih luas dari pada dalam pengertian sehari-hari. Kawan dalam pengertian sehari-hari menunjuk hubungan di antara dua orang atau lebih yang bekerja sama atau saling membantu. Dalam konteks Sosiologi ”kawan” meliputi seluruh hubungan antar-manusia baik secara individu maupun kelompok, baik yang mendekatkan maupun yang menjauhkan, baik yang berbentuk kerjasama maupun yang berupa persaingan, permusuhan, konflik atau pertikaian. Berdasarkan uraian di atas, sosiologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang berbagai hubungan antar-manusia yang terjadi di dalam masyarakat. Hubungan antar-manusia dalam masyarakat disebut hubungan sosial, sehingga sosiologi secara singkat dapat dirumuskan sebagai ilmu tentang masyarakat dan hubungan sosial. b.
Definisi menurut para ahli sosiologi
Secara umum sosiologi dapat diberi batasan sebagai studi tentang kehidupan sosial manusia dan kelompok atau masyarakat. Berikut dikemukakan definisi dari beberapa ahli sosiologi. Van der Zanden memberikan batasan bahwa sosiologi merupakan studi ilmiah tentang interaksi antar-manusia. Roucek dan Warren mendefinisikan sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari hubungan antar-manusia dalam kelompok. Pitirim A. Sorokin menyatakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari: (1) hubungan dan pengaruh timbal-balik antara aneka macam gejala sosial, misalnya gejala ekonomi dengan agama, keluarga dengan moral, hukum dengan ekonomi, gerak masyarakat dengan politik, dan sebagainya, (2) hubungan dan pengaruh timbal-balik antara gejala sosial dengan gejala nonsosial, misalnya pengaruh iklim terhadap watak manusia, pengaruh kesuburan tanah terhadap pola migrasi, dan sebagainya, dan (3) ciri-ciri umum dari semua jenis gejala sosial yang terjadi dalam masyarakat Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi dalam bukunya yang berjudul Setangkai Bunga Sosiologi menyatakan bahwa sosiologi atau ilmu masyarakat ialah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial.
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI SMA KELAS X IIS SEMESTER 1
1
Struktur sosial merupakan jalinan atau konfigurasi unsur-unsur sosial yang pokok dalam masyarakat, seperti: kelompok-kelompok sosial, kelas-kelas sosial, kekuasaan dan wewenang, lembaga-lembaga sosial maupun nilai dan norma sosial. Proses sosial merupakan hubungan timbal-balik di antara unsur-unsur atau bidang-bidang kehidupan dalam masyarakat melalui interaksi antar-warga masyarakat dan kelompokkelompok. Sedangkan perubahan sosial meliputi perubahan-perubahan yang terjadi pada struktur sosial dan proses-proses sosial. 1.2 Sejarah dan Perkembangan Sosiologi a. Sejarah kelahiran sosiologi Sebagai ilmu, usia sosiologi masih cukup muda, bahkan paling muda di antara ilmu-ilmu sosial yang lain. Sosiologi dideklarasikan pertama kali oleh Auguste Comte pada Sabtu, 27 April 1839, sehingga Comte yang lahir pada 1798 dan meninggal pada 1853 ini dikenal sebagai Bapak Sosiologi. Walaupun sebenarnya pada akhir abad pertengahan adalah seorang tokoh bernama Ibnu Khaldun (1332-1406), yang mengemukakan tentang prinsipprinsip pokok untuk menafsirkan kejadian-kejadian sosial dan peristiwa-peristiwa sejarah. Menurut beberapa sosiolog, Ibnu Khaldun lah yang lebih tepat sebagai Bapak Sosiologi, karena jauh sebelum Comte ia telah mengemukakan tentang prinsip-prinsip sosiologi dalam bukunya yang berjudul Muqodimah. Istilah Sosiologi kali pertama dikenal dalam bukunya Comte yang berjudul Positive Philoshopy yang terbit pada tahun 1838. Dalam buku itu Comte menjelaskan bahwa semua penelitian tentang masyarakat telah mencapai tahap terakhir, yakni tahap ilmiah atau tahap positif, oleh karenanya ia menyarankan semua penelitian tentang masyarakat ditingkatkan menjadi ilmu yang berdiri sendiri, lepas dari induknya yaitu filsafat, dan diberi nama Sosiologi. Sebenarnya ada tokoh lain, yaitu John Stuart Mill yang mengusulkan nama ilmu baru itu sebagai Ethologi, tetapi yang lebih banyak diterima adalah sosiologi. Pandangan Comte yang dianggap baru pada waktu itu adalah bahwa sosiologi harus didasarkan pada observasi dan klasifikasi yang sistematis, dan bukan pada kekuasaan serta spekulasi. Menurut Comte ada tiga tahap perkembangan intelektual, yang masing-masing merupakan perkembangan dari tahap sebelumnya. Tahap pertama dinamakan tahap theologis, kedua adalah tahap metafisik, dan ketiga adalah tahap positif. Pada tahap pertama manusia menafsirkan gejala-gelajala di sekelilingnya secara theologis, yaitu dengan kekuatan adikodrati yang dikendalikan oleh roh, dewa, atau Tuhan yang Maha Kuasa. Pada tahap kedua manusia mengacu pada hal-hal metafisik atau abstrak, dan pada tahap ketiga manusia menjelaskan fenomena-fenomena ataupun gejala-gejala dengan menggunakan metode ilmiah, atau didasarkan pada hukum-hukum ilmiah. Di sinilah sosiologi sebagai penjelasan ilmiah (positif) mengenai masyarakat, dan karena pandangannya ini, maka Comte juga dikenal sebagai Bapak Positivisme. Dalam sistematika Comte, sosiologi terdiri atas dua bagian besar, yaitu: (1) sosiologi statik, dan (2) sosiologi dinamik. Sosiologi statik diibaratkan dengan anatomi sosial/masyarakat, sehingga yang dibicarakan adalah tentang unsur-unsur atau komponen-komponen pembentuk masyarakat, seperti nilai dan norma sosial, kelompok dan kelas sosial, dan lembaga sosial, sedangkan sosiologi dinamik berbicara tentang proses-proses yang terjadi dalam kelompok atau masyarakat, seperti interaksi, asosiasi, diferensiasi, sosialisasi, institusionalisasi, dan sebagainya, termasuk perubahan-perubahan sosial.
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI SMA KELAS X IIS SEMESTER 1
2
b. Perkembangan Sosiologi setelah Comte Istilah sosiologi menjadi lebih populer setelah setengah abad kemudian berkat jasa dari Herbert Spencer, ilmuwan Inggris, yang menulis buku berjudul Principles of Sociology (1876), yang mengulas tentang sistematika penelitian masyarakat. Perkembangan sosiologi semakin mantap, setelah pada tahun 1895 seorang ilmuwan Perancis bernama Emmile Durkheim menerbitkan bukunya yang berjudul Rules of Sociological Method. Dalam buku yang melambungkan namanya itu, Durkheim menguraikan tentang pentingnya metodologi ilmiah dan teknik pengukuran kuantitatif di dalam sosiologi untuk meneliti fakta sosial. Misalnya dalam kasus bunuh diri (suicide). Angka bunuh diri dalam masyarakat yang cenderung konstan dari tahun ke tahun, dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari luar individu. Dalam suatu jenis bunuh diri yang dinamakan altruistic suicide disebabkan oleh derajat integrasi sosial yang sangat kuat. Misalnya dalam satuan militer, dapat saja seorang anggota mengorbankan dirinya sendiri demi keselematan satuannya. Sebaliknya, dalam masyarakat yang derajat integrasi sosialnya rendah, akan mengakibatkan terjadinya bunuh diri egoistik (egoistic suicide). Derajat integrasi sosial yang rendah dapat disebabkan oleh lemahnya ikatan agama ataupun keluarga. Seseorang dapat saja melakukan bunuh diri karena tidak tahan menderita penyakit yang tidak kunjung sembuh, di lain sisi ia merasa tidak mempunyai ikatan apapun dengan anggota keluarga atau masyarakat yang lain. Pada masyarakat yang dilanda kekacauan, anggota-anggota masyarakat yang merasa bingung karena tidak adanya normanorma yang dapat dijadikan pedoman untuk mencapai kebutuhan-kebutuhan hidupnya, dapat saja melakukan bunuh diri jenis anomie (anomic suicide). Berbagai macam jenis bunuh diri ini, oleh Durkheim dinyatakan sebagai peristiwa yang terjadi bukan karena faktor-faktor internal individu, melainkan dari pengaruh faktor-faktor eksternal individu, yang disebut fakta sosial.. Banyak pihak kemudian mengakui bahwa Durkheim sebagai ”Bapak Metodologi Sosiologi”. Durkheim bukan saja mampu melambungkan perkembangan sosiologi di Perancis, tetapi bahkan berhasil mempertegas eksistensi sosiologi sebagai bagian dari ilmu pengetahuan ilimiah (sains) yang terukur, dapat diuji, dan objektif. Menurut Durkheim, tugas sosiologi adalah mempelajari apa yang disebut fakta sosial. Fakta sosial adalah cara-cara bertindak, berfikir, dan berperasaan yang berasal dari luar individu, tetapi memiliki kekuatan memaksa dan mengendalikan individu. Fakta sosial dapat berupa kultur, agama, atau isntitusi sosial. Perintis sosiologi yang lain adalah Max Weber. Pendekatan yang digunakan Weber berbeda dari Durkheim yang lebih menekankan pada penggunaan metodologi dan teknik-teknik pengukuran kuantitatif dari pengaruh faktor-faktor eksternal individu. Wever lebih menekankan pada pemahaman di tingkat makna dan mencoba mencari penjelasan pada faktor-faktor internal individu. Misalnya tentang tindakan sosial. Tindakan sosial merupakan perilaku individu yang diorientasikan kepada pihak lain, tetapi bermakna subjektif bagi aktor atau pelakunya. Makna sebenarnya dari suatu tindakan hanya dimengerti oleh pelakukunya. Tugas sosiologi adalah mencari penjelasan tentang makna subjektif dari tindakan-tindakan sosial yang dilakukan oleh individu. 1.3 Karakteristik Sosiologi Sebagai ilmu, sosiologi memiliki sifat hakikat atau karakteristik sosiologi: a. Merupakan ilmu sosial, bukan ilmu kealaman ataupun humaniora. Ilmu sosial merupakan ilmu yang objeknya adalah masyarakat (contohnya sosiologi, ilmu politik, ekonomi, komunikasi, psikologi sosial, geografi sosial, hubungan internasional, dan sebagainya), ilmu
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI SMA KELAS X IIS SEMESTER 1
3
b. c. d.
e.
kealaman objeknya adalah gejala-gejala alam baik yang bersifat fisik, khemis, maupun biologis (contohnya: fisika, kimia, biologi, geografi alam, geologi, astronomi, matematika, antropologi ragawi, dan sebagainya), sedangkan ilmu humaniora objeknya adalah manusia dan segenap aspeknya (contoh: sejarah, antropologi budaya, filsafat, seni, agama, sastra dan bahasa). Bersifat empirik-kategorik, bukan normatif atau etik; artinya sosiologi berbicara apa adanya tentang fakta sosial secara analitis, bukan mempersoalkan baik-buruknya fakta sosial tersebut. Bandingkan dengan pendidikan agama atau pendidikan moral. Merupakan ilmu pengetahuan yang bersifat umum, artinya bertujuan untuk menghasilkan pengertian dan pola-pola umum dari interaksi antar-manusia dalam masyarakat, dan juga tentang sifat hakikat, bentuk, isi dan struktur masyarakat. Merupakan ilmu pengetahuan murni (pure science), bukan ilmu pengetahuan terapan (applied science). Ilmu murni merupakan ilmu yang kajian-kajiannya tidak dapat secara langsung digunakan/diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk ilmu murni adalah sosiologi, sejarah, politik, astronomi, biologi, fisika, kimia, dan sebagainya; sedangkan ilmu terapan adalah ilmu yang kajian-kajiannya dapat secara langsung digunakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti akuntansi, kedokteran, farmasi, komunikasi, navigasi, dan sebagainya. Merupakan ilmu pengetahuan yang abstrak dan bersifat teoritis. Dalam hal ini objek sosiologi bukanlah benda-benda fisik atau yang secara nyata tampak oleh mata kepala, melainkan bersifat imajiner, sehingga sosiologi selalu berusaha untuk menyusun abstraksi dari hasil-hasil observasi. Misalnya tentang struktur sosial masyarakat yang terdiri atas lapisan atas, menengah, dan bawah; pengertian atas, menengah, dan bawah ini merupakan abstraksi dari kenyataan dalam masyarakat dan bersifat imaginer.
1.4 Metode Sosiologi a. Sosiologi adalah ilmu, bukan akal sehat (common sense), tahayul (superstition), gagasan (idea), atau faham (ideology) Ilmu (science) berbeda dengan pengetahuan (knowledge). Ilmu merupakan pengetahuan yang tersusun sistematik dengan menggunakan kekuatan pemikiran dan selalu dapat diperiksa dan ditelaah (dikontrol) dengan kritis oleh setiap orang lain yang ingin mengetahuinya. Sedangkan pengetahuan merupakan kesan di dalam pikiran manusia sebagai hasil penggunaan panca inderanya. Pengetahuan tidak sama dengan kepercayaan dan takhayul. Pengetahuan juga berbeda dengan gagasan (buah fikiran). Meskipun demikian, buah fikiran atau gagasan merupakan bahan yang berharga bagi seorang ilmuwan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatannya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Pengetahuan juga berbeda dengan akal sehat (common sense), yakni kumpulan dugaan, firasat ataupun gagasan yang didasarkan pada ketidaktahuan ataupun prasangka. Apabila kita menyebutnya sebagai akal sehat, maka kita merasa tidak perlu pembuktian, karena dianggap sudah dibuktikan oleh pengalaman. Memang tidak selamanya kebenaran ataupun pemecahan masalah diperoleh melalui prosedur keilmuan atau metode ilmiah. Ada proses-proses non-ilmiah, antara lain: (1) Penemuan kebenaran secara kebetulan. Tidak dapat dipungkiri bahwa penemuanpenemuan besar yang banyak manfaatnya bagi kehidupan manusia di dunia ini ditemukan secara kebetulan. Apakah benua Amerika merupakan penemuan sistematik dari seorang Columbus? Bahkan, enzim urease yang amat berguna bagi manusia ditemukan secara kebetulan oleh Dr. J.S. Summers ketika ia sedang bekerja dengan ekstrak aceton dan bergegas ke lapangan tenis ia menyimpannya ke dalam kulkas. Ketika ia ingin meneruskan
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI SMA KELAS X IIS SEMESTER 1
4
pekerjaannya dengan ekstrak tersebut dan membuka kulkas, dilihatnya telah timbul kristalkristal pada esktrak tersebut; (2) Common sense. Bahwa daging kambing dapat meningkatkan libido seksual, bahwa hukuman merupakan alat utama dalam pendidikan anak, maka menyingkirkan rotan berarti memajakan anak, bahwa pria lebih tahan terhadap tantangan dan penderitaan dari pada wanita, bahwa penyakit pilek disebabkan oleh hawa dingin dan kaki basah, bahwa orang yang menipu ketika bermain kartu akan menipu pula dalam pekerjaannya, bahwa industrialisasi mengancam religiusitas, bahwa orang berkacamata adalah orang yang cerdas, orang kulit hitam berbakat dalam musik tetapi kurang dalam kecerdasan, bahwa orang cerdas susah diatur untuk melangsungkan upacara bendera, dan seterusnya adalah common sense. Common sense adalah kumpulan gagasan atau dugaan, firasat dan hasil belajar coba-coba dari sekelompok masyarakat yang tidak diketahui asal-usulnya dan apa yang melandasi dugaan atau gagasan tersebut, namun diikuti begitu saja. Banyak juga common sense yang baik, masuk akal (sehingga sering disebut akal sehat), sederhana dan bermanfaat. Namun banyak juga yang tidak benar dan tidak bermanfaat, dan menghasilkan prasangka, misalnya tentang ras, bahwa ras kulit hitam tidak lebih cerdas dari ras kulit putih; (3) Menemukan kebenaran melalui intuisi. Intuisi merupakan manifestasi intelegensi yang metarasional (Hidayat Nata atmadja, 1982: 22). Kebenaran melalui intuisi diperoleh secara cepat tanpa melalui langkah-langkah sistematik, penalaran, proses berfikir ataupun perenungan; (4) Kebenaran wahyu (revelasi). Menurut comte, sebelum orang berfikir positif, maka adalah tahapan theologis dan metafisika, bahwa segala sesuatu lebih banyak ditentukan oleh “sesuatu yang bersifat ghaib” dan berada di luar kemampuan manusia. Wahyu diturunkan oleh Allah melalui para nabi dan rasul, sehingga bukan merupakan usaha penalaran manusia, maka tidak dapat disebut kebenaran ilmiah. Meskipun demikian bagi orang-orang yang beragama, kebenaran wahyu merupakan kebenaran yang mutlak dan hakiki. Bahkan disebut sebagai tingkat kebenaran yang tertinggi (the ultimate truth); (5) Penemuan kebenaran melalui trial and error. Ketika ilmu pengetahuan dalam tahap embrional, orang menemukan kebenaran melalui upaya mencoba sesuatu, kemudian apabila ternyata keliru ia akan mencoba lagi, mencoba lagi dan mencoba lagi sampai didapat pemecahan yang dipandang memuaskan. Sutrisno hadi menyatakan bahwa trial and error merupakan perkembangan yang pertama kali dalam tahap-tahap metode ilmiah; (6) Penemuan kebenaran melalui spekulasi. Spekulasi merupakan upaya menemukan kebenaran yang lebih tinggi tingkatnya dari trial and error. Dalam berspekulasi orang sudah mendasarkan diri pada pertimbangan, biarpun pertimbangan tersebut kurang matang dan dikerjakan dalam suasana yang penuh resiko; (7) Kharisma. Pernyataan atau pendapat dari seorang ilmuwan, tokoh atau pemimpin politik yang berbobot tinggi ataupun yang memiliki otoritas dalam suatu bidang ilmu tertentu dan mempunyai banyak pengalaman sering diterima begitu saja tanpa perlu diuji kebenarannya. Perhatikan perbandingan antara akal sehat dengan ilmu dalam menelaah persoalan berikut. Akal sehat mengatakan kepada kita, bahwa:
Penelaahan ilmiah menemukan:
Pria lebih tahan terhadap penderitaan dan tantangan dari pada wanita Pilek disebabkan oleh hawa dingin dan kaki basah Karakter seseorang tampak dari raut mukanya
Ketahanan antara pria dan wanita terhadap tantangan dan penderitaan adalah sama Pilek disebabkan oleh virus Tidak ada hubungan antara raut muka dengan karakteristik kepribadian Kejujuran seseorang dalam suatu situasi hanya sedikit mengungkapkan perilaku orang dalam situasi yang lain
Seseorang yang menipu dalam permainan kartu akan menipu pula dalam pekerjaan
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI SMA KELAS X IIS SEMESTER 1
5
Akal sehat mengatakan kepada kita, bahwa:
Penelaahan ilmiah menemukan:
Singkirkan rotan maka manjalah anak
Anak nakal lebih banyak punya pengalaman dihukum dengan keras dari pada anak yang tidak nakal Tingkat kesehatan, penyesuaian emosi dan pendapatan kelompok jenius atau hampir jenius di atas rata-rata Tidak ada bukti yang meyakinkan tentang perbedaan rasial dalam kecerdasan
Orang-orang jenius atau hampir jenius pada umumnya lembut, tidak praktis, tidak stabil dan tidak sukses Orang-orang kulit hitam terutama berbakat dalam musik, tetapi kurang dalam kecerdasan Sumber: Horton dan Hunt, 1999, hal. 5.
Bagaimana sosiologi menggambarkan berbagai fenomena ataupun permasalahan yang muncul dalam masyarakat? Tentu berbeda dari cara-cara non-ilmiah. Sebagai ilmu, sosiologi mendasarkan pada bukti yang dapat diuji. Yang dimaksud “bukti” adalah pengamatan faktual yang dapat dilihat, ditimbang, dihitung dan diperiksa ketelitiannya oleh para pengamat lainnya. Sosiologi memiliki cara kerja yang sistematik untuk memahami berbagai fenomena atau gejala-gejala sosial, permasalahan-permasalahan atau issue yang terjadi dalam hubungan antar-manusia dalam masyarakat. Dalam hubungan ini, C. Wright Mills memperkenalkan perspektif sosiologi dengan apa yang disebut sebagai the sociological imagination (khayalan sosiologis), yakni suatu khayalan yang memungkinkan kita untuk memahami sejarah masyarakat, riwayat hidup pribadi dan hubungan antara keduanya. Misalnya tentang bagaimana pekerjaan, penghasilan, pendidikan, gender, usia, bahkan ras, etnis, atau kelompok di mana seseorang menjadi anggotanya, mempengaruhi cara hidup seseorang. Dari sejarahnya, sosiologi memang berawal dari gejolak masyarakat yang terjadi setelah revolusi industri, di mana banyak orang kemudian meninggalkan desa menuju kota (urbanisasi), ikatan mereka terhadap lahan pertanian dan cara-cara baku memenuhi kebutuhan terputus, dan kota menyambut para urbanit dengan kondisi pekerjaan yang kadang mengerikan: upah rendah, jam kerja yang sangat panjang dan melelahkan, dan kadang cukup berbahaya, sistem kerja kontrak, out-sourching, dan sebagainya, yang menghilangkan sisi kehidupan sosial manusia. Masyarakat merasa perlu untuk merevisi cara hidup demikian, dan untuk keperluan itu memerlukan ilmu pengetahuan tentang masyarakat, maka dibutuhkanlah sosiologi. Meskipun merupakan ilmu murni, bukan berarti sosiologi tidak dapat berfungsi dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai ilmu pengetahuan yang objeknya masyarakat, sosiologi paling tidak mempunyai kegunaan dalam bidang perencanaan pembangunan masyarakat (social engineering) dan penelitian sosial yang berfungsi untuk memecahkan permasalahanpermasalahan yang timbul dalam rangka hubungan antar-manusia dalam masyarakat, di samping memang pada akhir-akhir ini muncul sosiologi terapan. b. Metode Sosiologi Sosiologi mendasarkan pada metode atau observasi ilmiah. Metode atau observasi ilmiah tidaklah sama dengan sekedar “melihat sesuatu”, tetapi merupakan observasi yang dilakukan secara: (1) cermat, (2) tepat, (3) sistematik, (4) objektif, (5) dilakukan oleh orangorang yang terlatih, dan (6) dilaksanakan dalam kondisi yang terkendali. John Dewey (1933) memberikan garis-garis besar dari apa yang disebut metode ilmiah yang meliputi lima taraf, yakni: (1) the felt need, (2) the problem, (3) the hypothesis, (4) collection of
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI SMA KELAS X IIS SEMESTER 1
6
data as evidence, dan (5) concluding bilief. Kelley melengkapinya dengan satu taraf lagi, yakni; (6) general value of conclusion. Berikut akan dijelaskan satu per satu. The felt need. Dalam taraf ini orang merasakan kesulitan untuk menyesuaikan dirinya terhadap kebutuhan atau tujuan-tujuan masyarakat, atau untuk menemukan ciri-ciri dari suatu objek, atau untuk menerangkan sesuatu kejadian yang terjadi tiba-tiba dan tidak terduga. The problem. Orang merumuskan kesulitan-kesulitan itu sebagai masalah atau problema, yakni sesuatu yang terjadi dalam kenyataan (das sein) namun tidak sesuai dengan harapan (das sollen), atau sebagai sesuatu yang tidak diketahui who, what, where, when, why dan how-nya. The hypothesis. Langkah yang ketiga adalah mengajukan kemungkinan pemecahannya atau mencoba menerangkannya, berupa terkaan-terkaan, kesimpulan sementara, teori-teori, kesan-kesan umum, atau apapun yang masih belum dapat dipandang sebagai sebuah konklusi yang final. Collection of data as evidence. Selanjutnya bahan-bahan, informasi-informasi, atau buktibukti dikumpulkan, dan melalui pengolahan-pengolahan yang logis dan sistematik dijadikan bukti atas hipotesis yang telah dirumuskan. Concluding bilief. Berdasarkan bukti-bukti yang sudah diolah maka akan terbukti hipotesis, teori atau kesan-kesan yang telah dirumuskan apakah “benar” atau “salah”, “diterima” atau “ditolak”. General value of the conclusion. Akhirnya, apabila suatu pemecahan masalah telah dipandang tepat, maka disimpulkan implikasi-implikasinya untuk masa depan. Metode kualitatif dan kuantitatif Seperti halnya ilmu sosial lainnya, sosiologi menawarkan dua macam metode, yakni: (1) kualitatif, dan (2) kuantitatif. Metode kualitatif berupaya menjelaskan makna dari fenomenafenomena atau peristiswa-peristiwa yang nyata terjadi dalam masyarkat namun sukar diukur dengan angka-angka atau dengan ukuran-ukuran lain yang bersifat eksak. Sedangkan metode kuantitatif berupaya menjelaskan fenomena-fenomena atau peristiwaperistiwa yang terjadi dalam masyarakat menggunakan data yang berupa angka-angka. Metode kuantitatif dalam sosiologi diperkenalkan oleh Emmile Durkheim (1968) dalam penelitiannya tentang laju bunuh diri. Durkheim menggambarkan laju bunuh diri dengan angka bunuh diri dalam tiap masyarakat yang dari tahun ke tahun cenderung konstan. Laju bunuh diri dipengaruhi oleh derajat integrasi sosial, sehingga adalah: (1) bunuh diri altruistik, terjadi karena derajat integrasi sosial yang terlalu kuat, (2) bunuh diri egoistik, terjadi ketika derajat integrasi sosial terlalu lemah, dan (3) bunuh diri anomi, terjadi karena masyarakat tidak memberikan pegangan kepada seseseorang. Prosedur deduktif dan induktif Berbeda dengan antropologi yang cenderung meneliti pada masyarakat yang kecil-kecil kemudian hasilnya diterapkan untuk masyarakat yang lebih besar (induktif), sosiologi lebih cenderung untuk menggunakan main atau grand teori untuk diterapkan pada masyarakatmasyarakat yang lebih kecil (deduktif). Tapi pada dasarnya dua cara atau metode berfikir ini digunakan dalam sosiologi maupun antropologi.
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI SMA KELAS X IIS SEMESTER 1
7
Bagaimana data sosiologi dikumpulkan, dianalisis, diinterpretasi, dan akhirnya diambil simpulan? Dalam usaha mengumpulkan data yang dapat menghasilkan temuan-temuan baru, para ahli sosiologi memperhatikan tahap-tahap penelitian, yang saling berkaitan secara erat. Sebelum melakukan suatu penelitian terlebih dahulu harus dilakukan peninjauan terhadap bahan-bahan pustaka untuk mengetahui penemuan-penemuan sebelumnya. Setelah merumuskan tujuan penelitian, peneliti harus menentukan metode pengumpulan data yang akan digunakannya. Dalam ilmu-ilmu sosial dikenal bebagai metode pengumpulan data, seperti metode survai serta beberapa metode nonsurvai seperti metode riwayat hidup, studi kasus, analisa isi, kajian data yang telah dilumpulkan oleh pihak lain, dan eksperimen. Dalam penelitian survai hal-hal yang diteliti dituangkan dalam suatu daftar pertanyaan. Teknik survai mengandung persamaan dengan sensus; namun pada sensus yang menjadi subyek wawancara adalah seluruh populasi sedangkan dalam teknik survai daftar pertanyaan diajukan pada sejumlah subyek penelitian yang dianggap mewakili populasi (sampel). Pengamatan (observasi) merupakan teknik pengumpulan data penelitian di mana peneliti mengamat secara lansung perilaku para subjek penelitiannya dan merekam perilaku yang wajar, asli, tidak dibuat-buat, spontan dalam kurun waktu relativif lama sehingga terkumpul data yang bersifat mendalam dan rinci. Dalam sosiologi dibedakan antara penelitian di mana pengamat (1) sepenuhnya terlibat dalam kehidupa sehari-hari masyarakat yang diteliti (observasi partisipatif), dan (2) hanya berperan sebagai pengamat yang sepenuhnya melakukan pengamatan tanpa keterlibatan apapun dengan subyek penelitian (observasi non-partisipatif). Salah satu kelebihan pengamatan terlibat (obervasi partisipatif) bila dibandingkan dengan survai ialah bahwa pengamatan terlibat lebih memungkinkan terjalinnya hubungan yang akrab antara peneliti dengan subjek penelitiannya, dan subjek penelitian tidak menyadari kalau sedang diteliti atau diamati. Di samping dengan cara pengamatan (observasi), data sosiologi dapat digali dengan menggunakan angket/daftar pertanyaan ataupun wawancara. Dalam pencarian maupun pengamatan ilmu seorang ilmuwan harus menghormati aturan etika, seperti keikutsertaan secara sukarela, tidak membawa cedera bagi subyek penelitian, asas anonimitas dan kerahasiaan, tidak memberikan keterangan yang keliru, dan menyajikan data penelitian secara jujur. 1.5 Kegunaan Sosiologi dan Peran Sosiolog Sosiologi dipelajari untuk apa? Dengan pertanyaan lain mengapa kita belajar sosiologi? Sebenarnya di mana dan sebagai apa seorang sosiolog dapat berkiprah, tidak mungkin dapat dibatasi oleh sebutan-sebutan dalam administrasi okupasi (pekerjaan/mata pencaharian) resmi yang dileluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Di beberapa negara telah muncul pengakuan terhadap sumbangan dan peran sosiolog di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan. Sebagian besar sosiolog mengajar di perguruan tinggi atau menjadi peneliti mandiri. Horton dan Hunt (1987) menyebutkan beberapa profesi yang pada umumnya diisi oleh para sosiolog: (1) ahli riset, baik itu riset ilmiah (dasar) untuk perkembangan ilmu pengetahuan
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI SMA KELAS X IIS SEMESTER 1
8
ataupun riset yang diperlukan untuk kepentingan industri (praktis), (2) konsultan kebijakan, khususnya untuk membantu untuk memprediksi pengaruh sosial dari suatu kebijakan dan/atau pembangunan, (3) sebagai teknisi atau sosiologi klinis, yakni ikut terlibat di dalam kegiatan perencanaan dan pelaksanaan program kegiatan dalam masyarakat, (4) sebagai pengajar/pendidik, dan (5) Sebagai pekerja sosial (social worker). Di luar profesi yang disebutkan oleh Horton dan Hunt tersebut, tentu masih banyak profesi yang dapat digeluti oleh seorang sosiolog. Banyak bukti menunjukkan, bahwa dengan kepekaan dan semangat keilmuannya yang selalu berusaha membangkitkan sikap kritis, para sosiologi banyak yang berkarier cemerlang di berbagai bidang yang menuntut kreativitas, misalnya dunia jurnalistik. Di jajaran birokrasi, para sosiolog sering berpeluang menonjol dalam karier karena kelebihannya dalam dalam visinya atas nasib rakyat. Seiring dengan perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat, keterlibatan para sosiolog di berbagai bidang kehidupan akan semakin penting dan sangat diperlukan. Perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat akan menuntut penyesuaian dari segenap komponen masyarakat yang menuntut kemampuan mengantisipasi keadaan baru. Para sosiolog pada umumnya unggul dalam hal penelitian sosial, sehingga perannya sangat diperlukan.
Bacaan Tambahan Karier Seorang Sosiolog: Apa Yang Dapat Dilakukan oleh Para Sosiolog? Pernah dalam sebuah percakapan santai dengan teman-teman di ruang guru, seorang teman bertanya kepada saya, Sosiologi itu sebenarnya mempelajari apa, dan karier apa saja yang dapat ditekuni oleh pembelajar Sosiologi itu. Jawaban yang saya berikan sepertinya sangat tidak memuaskan teman saya itu, bahwa Sosiologi itu sebenarnya ya seperti Fisika, tetapi ini Fisika Sosial. Seperti di Fisika atau Biologi, Sosiologi menganalisis anatomi atau unsur-unsur pembentuk masyarakat, tetapi tidak hanya itu saja, sosiologi juga mempelajari keterkaitan dan hubungan timbal-balik di antara unsur-unsur sosial itu, karena setiap unsur sosial itu –sebagaimana anatomi tubuh mahluk hidup yang dikaji dalam Biologi– mempunyai fungsinya masing-masing, dan kemungkinannya adalah berjalannya fungsi suatu unsur harus didukung oleh berfungsinya unsur yang lain. Dengan demikian, dengan belajar sosiologi seseorang dapat memahami bagaimana suatu keteraturan sosial dalam sebuah masyarakat itu bisa terjadi. Bahwa, setiap perilaku atau tindakan di an tara para anggota masyarakat itu mengikuti suatu pola dan keajegan tertentu yang dipengaruhi oleh –antara lain– posisinya (kedudukan atau alamatnya) di struktur sosial masyarakat, apakah ia berada di lapis atau kelas atas, kelas bawah, atau di antara keduanya. Kemudian tentang apa yang dapat dilakukan oleh seorang pembelajar sosiologi, bisa apa saja. Memang, sebagaimana ditulis oleh James M. Henslin dalam bukunya Sosiologi Dengan Pendekatan Membumi, sebagian besar para sosiolog itu mengajar di perguruan tinggi. Mungkin juga, menjadi guru yang mengajarkan sosiologi di sekolah menengah. Mereka berbagi pengetahuan dengan mahasiswa atau siswa. Walaupun demikian, ada pula para sosiolog terapan yang bekerja atau menekuni karier di berbagai bidang, mulai dari konseling terhadap anak-anak, dan bahkan ada yang bergerak di bidang kesehatan, karena sebenarnya kesehatan itu berkaitan dengan perilaku atau cara hidup. Dan, cara hidup itu berkaitan dengan alamat sosial seseorang dalam struktur sosial. Mungkin Anda bisa membayangkan mengapa ada penyakit-penyakit yang disebut penyakit rakyat, karena penderitanya sebagian besar adalah orang-orang biasa atau bahkan rakyat jelata. Tetapi adapula penyakit yang cukup memberikan gengsi, karena identik dengan kelas sosial atas dari sebagian besar penderitanya. Ada pula pembelajar sosiologi yang akhirnya bekerja atau berkarier di bidang pembuatan piranti lunak komputer. Sosiolog itu mengkaji bagaimana orang menggunakan piranti lunak komputer dan memberikan masukan kepada para pembuat piranti lunak itu agar dapat menghasilkan piranti lunak yang ramah terhadap pengguna. Pembelajar sosiologi memahami bahwa, penggunaan suatu piranti bukan sekedar persoalan teknis, tetapi juga berkaitan dengan cara hidup yang telah biasa dilakukan, yang dalam sosiologi disebut cara hidup yang telah melembaga (institutionalized). Agar dapat memberikan gambaran tentang karier apa saja yang dapat ditekuni oleh seorang sosiolog (terapan) berikut saya kutipkan apa yang ditulis oleh James M. Henslin, tentang empat orang sosiolog, yaitu (1) Leslie Green, (2) Stanley Capela, (3) Laurie Banks, dan (4) Joice Miller Lutcovich. Yang pertama: Leslie Green, seorang sosiolog yang melakukan penelitian pemasaran di Vanderveer Group di Philadelhia, Pennsylvania, yang memperoleh gelar diploma di bidang sosiologi dari Shipperburg University. Ia membantu mengembangkan strategi yang mendorong dokter memberikan obat tertentu. Ia mengatur rapat, menetapkan moderator untuk kelompok diskusi, dan mengatur pembayaran bagi para dokter yang berpartisipadi dalam penelitiannya. “Pendidikan saya dalam sosiologi”, katanya, “membantu saya untuk memahami keperluan kelompok-kelompok berbeda, dan untuk berinteraksi dengan mereka”.
Stanley Capela, yang memperoleh gelar magister dari Fordham University, bekerja sebagai sosiolog terapan pada HeartShare Human Services di New York. Ia mengevaluasi bagaimana program kanak-kanak –seperti
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI SMA KELAS X IIS SEMESTER 1
9
program yang berfokus pada perumahan, AIDS, rumah kelompok, dan pendidikan pra-sekolah, dan lainlain– sebenarnya bekerja bukan bagaimana program tersebut seharusnya bekerja. Ia menemukan masalah dan menyarankan penyelesaiannya. Salah satu tugasnya adalah menemukan alasan mengapa adopsi anak memerlukan begitu banyak waktu, meskipun terdapat daftar panjang orang tua yang ingin melakukan adopsi. Capella menunjukkan bagaimana berkas-berkas surat terhambat saat diproses melalui sistem dan menyarankan cara-cara memperbaiki aliran surat-menyurat. Lauri Banks, yang memperoleh gelar Magister di bidang Sosiologi dari Fordham University, menganalisis statistik untuk New York City Health Departement. Saat sedang menganalisis sertifikat kematian, ia mencatat bahwa di suatu rukun warga Polandia, dijumpai angka kandker perut yang tinggi. Ia memberitahu Centers for Disease Control, yang kemudian melakukan wawancara di lingkungan tersebut. Mereka melacak penyebabnya yaitu konsumsi sosis dalam jumlah besar. Dalam kasus lain, Banks membandingkan sertifikat kelahiran dengan transkrip sekolah. Ia menemukan bahwa masalah di waktu lahir –berat badan yang kurang pada waktu lahir, ketiadaan perawatan sebelum kelahiran, dan komplikasi waktu bersalin– terkait dengan kemampuan membaca yang rendah dan masalah perilaku di sekolah. Joice Miller Lutcovich, yang memperoleh gelar doktor dari Kent Stat e University Research Corporation di Erie, Pennsylvania, ia juga mantan Presiden Society for Applied Sociology, melakukan penelitian dan memberikan konsultasi, terutama bagi lembaga-lembaga pemerintah. Dalam salah satu proyeknya, ia mendesain suatu program pelatihan untuk para pelaku perawatan anak. Ia juga meneliti sejauh mana para pelaku tersebut melalukan tugas mereka dengan baik. Penelitian dan programnya meningkatkan kualitas perawatan yang diberikan oleh Pennsylvania Departement of Public Welfare. Organisasinya juga mengelola Pennsylvania Substance Abuse and Health Information Clearinghouse, yang tiap bulannya membagikan sekitar 300.000 bahan bacaan. Dari hanya beberapa contoh saja, Anda dapat memperoleh sedikit gambaran mengenai keanekaragaman pekerjaan yang dilakukan oleh para sosiolog terapan. Ada yang bekerja untuk perusahaan, ada yang dipekerjakan oleh badan pemerintah atau swasta, dan ada pula yang memiliki usaha sendiri. Demikian, semoga ada manfaatnya. Sumber tulisan: 1. James M. Henslin. 2007. Sosiologi Dengan Pendekatan Membumi Jilid 1 Edisi 6. Jakarta: Erlangga. 2. https://agsasman3yk.wordpress.com/2010/11/30/karir-seorang-sosiolog-apa-yang-dapatdilakukan-oleh-para-sosiolog/
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI SMA KELAS X IIS SEMESTER 1
10
BAB
2
INDIVIDU, KELOMPOK, DAN HUBUNGAN SOSIAL
Kompetensi Dasar: 3.2 Menerapkan konsepkonsep dasar Sosiologi untuk memahami hubungan sosial antar individu, antara individu dan kelompok serta antar kelompok 4.2 Melakukan kajian, diskusi, dan menyimpulkan konsep-konsep dasar Sosiologi untuk memahami hubungan sosial antar individu, antara individu dan kelompok serta antar kelompok
1.1 Individu dalam Konteks Sosiologi Masyarakat bukanlah sekedar kumpulan sejumlah individu. Lebih dari itu, masyarakat merupakan sistem yang terbentuk oleh asosiasi di antara individuindividu di dalamnya serta mewakili sebuah realitas tertentu, yang mewakili karakteristik tersendiri … Kelompok masyarakat yang terbentuk akan berfikir, merasakan, dan bertindak dengan cara berbeda dari mereka yang terisolasi. Emile Durkheim, The Rules of Sociological Method, 1895 (Ken Plummer, Sosologi The Basic, hal 23)
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, individu [n] diartikan sebagai orang perorangan; pribadi orang (terpisah dari yang lain). Berasal dari kata Yunani ”individium” yang artinya tidak terbagi. Dalam konteks sosiologi dan ilmu-ilmu sosial, individu merupakan subjek yang melakukan tindakan, subjek yang mempunyai pikiran, kehendak, memberikan makna, dan menilai peristiwa-peristiwa atau gejala-gejala sosial yang terjadi dalam masyarakat. Seorang ahli Sosiologi, Talcott Parsons, menjelaskan bahwa tindakan individu dan kelompok dipengaruhi oleh tiga sistem, yaitu (1) sistem sosial (status dan peran), (2) sistem budaya (nilai dan norma sosial), dan (3) sistem/tipe kepribadian masing-masing individu. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa manusia sebagai individu tak dapat dipisahkan dari kelompok atau masyarakatnya, dengan kata lain individu dalam sosiologi merupakan manusia dalam konteks hubungannya dengan manusia lain. Pendapat Blumer dapat menguatkan hal tersebut, bahwa (1) Individu bertindak terhadap sesuatu berdasar makna sesuatu tersebut bagi mereka. Sesuatu yang dimaksud di sini bermakna obyek fisik, orang lain, institusi sosial dan ideide atau nilai-nilai yang bersifat abstrak (2) makna tersebut berasal dan hasil interaksi sosial seseorang dengan orang lain (3) makna tersebut disempurnakan dan dimodifikasi melalui proses penafsiran di saat proses interaksi berlangsung. Menurut Blumer, individu tidak semata-mata bereaksi terhadap tindakan individu lain, tetapi mencoba menafsirkan dan mendefinisikannya. Hal itu terjadi karena individu
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI SMA KELAS X IIS SEMESTER 1
11
mempunyai kedirian “self” yang dengannya ia membentuk dirinya sebagai objek. Dalam melakukan interaksi secara langsung maupun tidak langsung individu dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol penafsiran, yaitu bahasa. Tindakan penafsiran simbol oleh individu di sini diartikan memberikan arti, menilai kesesuaiannya dengan tindakan, dan mengambil keputusan berdasarkan penilaian tersebut. Karena itulah individu yang terlibat dalam interaksi ini tergolong aktor sadar dan reflektif karena bertindak sesuai dengan apa yang telah ditafsirkan dan bukan bertindak tanpa rasio atau pertimbangan. Konsep inilah yang disebut Blumer dengan self-indication, yaitu proses komunikasi yang sedang berjalan dalam proses ini individu mengetahui sesuatu, menilainya, memberi makna dan memutuskan untuk bertindak. Proses self indication ini terjadi dalam konteks sosial di mana individu mencoba “mengantisipasi tindakan-tindakan orang lain dan menyesuaikan tindakannya sebagaimana dia menafsirkan tindakan itu” 1.2 Individu dan Kelompok Berbeda dari binatang yang bisa menjalani kehidupannya berdasrkan naluri atau instink yang terwariskan secara genetik dari generasi ke generasi. Dengan naluri atau instinknya, binatang dapat menjawab dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya, tanpa melalui proses belajar. Seekor anak ayam yang menetas dari telur, walaupun tanpa induknya ia tahu apa yang akan dimakan, bagaimana mencarinya dan bagaimana memakannya. Sejak kelahirannya seekor kucing memiliki naluri bahwa tikus adalah makanan pokoknya, dan seterusnya. Manusia tidak bisa hidup dengan cara demikian. Hampir setiap tindakan manusia diperoleh melalui belajar. Bahkan beberapa tindakan instinktif manusia akhirnya menjadi perilaku yang dipelajari. Keadaan demikian menjadikan manusia harus menjalin hubungan dengan manusia lain, maka lahirlah kelompok-kelompok sosial, baik kelompok yang terorganisir (kelompok organik, kelompok formal/asosiasi, atau membership) maupun yang tidak terorganisir (kelompok mekanik, nonformal/paguyuban, atau reference). Keanggotaan kelompok pun bermacam-macam, ada yang hanya terdiri atas dua orang (dyadic group), ada yang lebih dari dua orang sampai puluhan, ratusan, atau ribuan, bahkan sampai kelompok yang jumlah anggotanya tidak teridentifikasi, misalnya individu-individu dalam sebuah jejaring sosial (social network). Dengan kata lain, dapat diungkapkan bahwa terbentuknya kelompok-kelompok itu merupakan akibat adanya aktivitas individu memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya atau karena adanya kesamaan-kesamaan tertentu. Setidaknya ditemukan tiga alasan mengapa individu membentuk kelompok, yaitu (1) Karena berada pada wilayah yang sama (kelompok teritorial), seperti: RT, RW, dusun, desa/kelurahan, wialayah kecamatan, kabupaten/kota, provinsi/daerah istimewa/daerah khusus, negara, dan seterusnya. Kelompok yang pertama-tama didasarkan pada kesamaan tempat tinggal disebut komunitas. (2) Karena memiliki keturunan yang sama (kesamaan genealogis), seperti keluarga inti/batih, keluarga luas/kerabat/famili, klan, sukubangsa, dan seterusnya. (3) Karena memiliki kepentingan, minat, atau tujuan yang sama (interest group atau kelompok kepentingan), yang memunculkan berbagai macam kelompok seperti kelompok kerja, asosiasi pedagang kaki lima, persatuan wartawan, ikatan dokter, persatuan guru, himpunan pengusaha, dan seterusnya.
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI SMA KELAS X IIS SEMESTER 1
12
Kelompok-kelompok tersebut, apapun jenisnya, terbentuk karena adanya jaringan atau interaksi sosial dari individu-individu yang menjadi anggota-anggotanya. 1.3 Hubungan atau Interaksi Sosial 1.3.1 Pengertian Interaksi sosial Kata Interaksi berasal dari kata ”inter” yang artinya ”antar ” dan ”aksi ” yang artinya tindakan. Interaksi berarti antar-tindakan. Kata sosial berasal dari ”socious” yang artinya teman/kawan, yaitu hubungan antar-manusia. Interaksi sosial terjadi ketika ada seseorang atau kelompok orang melakukan suatu tindakan kemudian dibalas oleh pihak lain (individu atau kelompok) dengan perilaku/atau tindakan tertentu. Proses berlangsungnya interaksi dapat digambarkan sebagai berikut, 1. Ada dua orang atau lebih 2. Terjadi kontak sosial (hubungan sosial) 3. Terjadi komunikasi sosial (penyampaian pesan/informasi menggunakan simbol-simbol) 4. Terjadi reaksi atas komunikasi 5. Terjadi hubungan timbal-balik yang dinamik di antara individu dan/atau kelompok dalam masyarakat Berdasarkan proses tersebut, dapat diketahui bahwa ada dua syarat utama terjadinya interaksi sosial, yaitu kontak sosial dan komunikasi sosial. Kontak adalah hubungan yang terjadi di antara dua individu/kelompok. Kontak dapat berupa kontak fisik, misalnya dua orang bersenggolan atau bersentuhan, dapat juga nonfisik, misalnya tatapan mata di antara dua orang yang saling bertemu. Sedangkan komunikasi merupakan proses penyampaian pesan atau informasi dari suatu pihak (individu atau kelompok) kepada pihak lain (individu atau kelompok) menggunakan simbol-simbol. Simbol dalam komunikasi dapat berupa apa saja yang oleh penggunanya diberi makna tertentu, bisa berupa kata-kata, benda, suara, warna, gerakan anggota badan/isyarat. Sebagaimana pengertian simbol yang dikemukakan oleh Ahli Antropologi Amerika Serikat bernama Leslie White, dalam The Evolution of Culture (1959) , bahwa simbol adalah sesuatu yang nilai atau maknanya diberikan oleh mereka yang mempergunakannya. Nilai dan makna tersebut tidak ditentukan oleh sifat-sifat yang secara intrinsik terdapat dalam bentuk fisiknya. Proses komunikasi dinyatakan berhasil apabila simbol-simbol yang digunakan dipahami bersama oleh pihak-pihak yang terlibat, baik komunikator (pihak yang menyampaikan pesan) dan komunikan (pihak yang menerima pesan). Kontak dan komunikasi sebagai syarat utama terjadinya interaksi sosial dapat berlangsung secara primer maupun sekunder. Kontak atau komunikasi primer adalah yang berlangsung secara tatap muka (face to face), sedangkan kontak atau komunikasi sekunder dibedakan menjadi dua macam, yaitu langsung dan tidak langsung. Kontak/komunikasi sekunder langsung terjadi melalui media komunikasi, seperti surat, e-mail, pesan pendek, chat, blackberry mesengger, telepon, video call, dan semacamnya, sedangkan kontak/komunikasi sekunder tidak langsung terjadi melalui pihak/orang ketiga.
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI SMA KELAS X IIS SEMESTER 1
13
1.3.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi dan Mendorong Interaksi Sosial Interaksi sosial baik yang berlangsung antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok, dipengaruhi atau didorong oleh faktor-faktor seperti imitasi, identifikasi, sugesti, dan simpati.
Imitasi merupakan tindakan meniru pihak lain, dalam hal tindakan dan penampilan, seperti cara berbicara, cara berjalan, cara berpakaian, dan sebagainya. Seorang individu melakukan imitasi sejak di lingkungan keluarga, teman sepermainan, ataupun teman sesekolahan. Meskipun demikian imitasi juga dapat berlangsung melalui media massa, misalnya televisi, radio, maupun internet.
Identifikasi juga merupakan proses meniru, tetapi berbeda dengan imitasi. Peniruan pada imitasi tidak diikuti dengan pemberian makna yang dalam terhadap hal-hal yang ditiru, tetapi pada identifikasi diikuti dengan pemberian makna. Apabila seseorang mengidentifikasikan dirinya terhadap seseorang, maka dapat diartikan individu tersebut sedang menjadikan dirinya seperti orang lain tersebut, baik dalam tindakan maupun nilai-nilai, ideologi atau pandangan hidup tokoh yang dijadikannya sebagai rujukan/acuan/reference atau panutan.
Sugesti merupakan pengaruh yang diterima oleh seseorang secara emosional dari pihak lain, misalnya pengaruh dari tokoh yang kharismatik, orang pandai, seperti dukun, paranormal, dokter, guru, tokoh yang menjadi idola, dan lain-lain . Apabila pengaruh tersebut diterima oleh seseorang berdasarkan pertimbangan rasional, maka disebut motivasi.
Simpati merupakan kemampuan seseorang untuk merasakan diri dalam keadaan pihak lain. Misalnya seseorang merasa simpati kepada sahabatnya yang sedang mengalami musibah. Simpati juga dapat diartikan sebagai ketertarikan terhadap pihak lain karena telah menampilkan tindakan atau perilaku yang sungguh berkenan di hati. Apabila ketertarikan atau dalam merasakan keadaan orang lain tersebut diikuti dengan reaksireaksi fisiologis, misalnya meneteskan air mata, dapat disebut sebagai emphati.
1.3.3 Nilai dan Norma Sebagai Dasar Interaksi Sosial 1.3.3.1 Pengertian Nilai Apabila Anda dihadapkan pada dua pilihan, mana yang akan Anda pilih karena menurut Anda lebih baik: (1) menjadi kaya meskipun harus kehilangan nama baik, atau (2) mempertahankan nama baik meskipun harus hidup secara pas-pasan? Apabila pilihan Anda hadapkan kepada teman-teman Anda, barangkali akan mendapatkan jawaban yang berbeda-beda. Ada yang menyatakan pilihan pertama lebih baik, tetapi ada juga yang menganggap pilihan yang kedua lebih baik. Apa yang mendorong kita memilih salah satu di antara dua pilihan tersebut? Itulah yang disebut dengan nilai. Apa yang dimaksud dengan nilai? Dalam Kamus Sosiologi yang disusun oleh Soerjono Soekanto disebutkan bahwa nilai (value) adalah konsepsi-konsepsi abstrak di dalam diri manusia, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Prof. Notonegoro membedakan nilai menjadi tiga macam, yaitu: (1) Nilai material, yakni meliputi berbagai konsepsi mengenai segala sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia, (2) Nilai vital, yakni meliputi berbagai konsepsi yang berkaitan dengan segala sesuatu yang berguna bagi manusia dalam melaksanakan berbagai aktivitas, dan (3) Nilai kerohanian,
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI SMA KELAS X IIS SEMESTER 1
14
yakni meliputi berbagai konsepsi yang berkaitan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan kebutuhan rohani manusia: nilai kebenaran, yakni yang bersumber pada akal manusia (cipta), nilai keindahan, yakni yang bersumber pada unsur perasaan (estetika), nilai moral, yakni yang bersumber pada unsur kehendak (karsa), dan nilai keagamaan (religiusitas), yakni nilai yang bersumber pada revelasi (wahyu) dari Tuhan. Nilai individual-nilai sosial Seorang individu mungkin memiliki nilai-nilai yang berbeda, bahkan bertentangan dengan individu-individu lain dalam masyarakatnya. Nilai yang dianut oleh seorang individu dan berbeda dengan nilai yang dianut oleh sebagaian besar anggota masyarakat dapat disebut sebagai nilai individual. Sedangkan nilai-nilai yang dianut oleh sebagian besar anggota masyarakat disebut nilai sosial. Beberapa definisi nilai sosial: Kimbbal Young memberikan definisi bahwa nilai sosial adalah asumsi abstrak dan sering tidak disadari tentang apa yang benar dan apa yang pentinga, Menurut A.W. Green nilai sosial adalah kesadaran yang secara relatif berlangsung disertai emosi terhadap objek, Woods memberikan definisi bahwa nilai sosial merupakan petunjuk-petunjuk umum yang telah berlangsung lama yang mengarahkan tingkah laku dan kepuasan dalam kehidupan sehari-hari Ciri-ciri nilai sosial: Nilai sosial merupakan konstruksi abstrak dalam pikiran orang yang tercipta melalui interaksi sosial, Nilai sosial bukan bawaan lahir, melainkan dipelajari melalui proses sosialisasi, dijadikan milik diri melalui internalisasi dan akan mempengaruhi tindakan-tindakan penganutnya dalam kehidupan sehari-hari disadari atau tanpa disadari lagi (enkulturasi), Nilai sosial memberikan kepuasan kepada penganutnya, Nilai sosial bersifat relative, Nilai sosial berkaitan satu dengan yang lain membentuk sistem nilai, Sistem nilai bervariasi antara satu kebudayaan dengan yang lain, Setiap nilai memiliki efek yang berbeda terhadap perorangan atau kelompok, Nilai sosial melibatkan unsur emosi dan kejiwaan, dan Nilai sosial mempengaruhi perkembangan pribadi. Fungsi nilai sosial. Nilai Sosial dapat berfungsi: Sebagai faktor pendorong, hal ini berkaitan dengan nilai-nilai yang berhubungan dengan cita-cita atau harapan, Sebagai petunjuk arah mengenai cara berfikir dan bertindak, panduan menentukan pilihan, sarana untuk menimbang penghargaan sosial, pengumpulan orang dalam suatu unit sosial, Sebagai benteng perlindungan atau menjaga stabilitas budaya. Kerangka Nilai Sosial Antara masyarakat yang satu dengan yang lain dimungkinkan memiliki nilai yang sama atau pun berbeda. Cobalah ingat pepatah lama dalam Bahasa Indonesia: “Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”, atau pepatah dalam bahasa Jawa: “desa mawa cara, negara mawa tata”. Pepatah-pepatah ini menunjukkan kepada kita tentang adanya perbedaan nilai (dan norma sosial) di antara masyarakat atau kelompok yang satu dengan yang lainnya.
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI SMA KELAS X IIS SEMESTER 1
15
Mengetahui sistem nilai yang dianut oleh sekelompok orang atau suatu masyarakat tidaklah mudah, karena nilai merupakan konsep asbtrak yang hidup di alam pikiran para warga masyarakat atau kelompok. Namun lima kerangka nilai dari Cluckhohn yang di Indonesia banyak dipublikasikan oleh antropolog Koentjaraningrat berikut ini dapat dijadikan acuan untuk mengenali nilai macam apa yang dianut oleh suatu kelompok atau masyarakat. Lima kerangka nilai yang dimaksud adalah: Tanggapan mengenai hakekat hidup (MH), variasinya: ada individu, kelompok atau masyarakat yang memiliki pandangan bahwa “hidup itu baik” atau “hidup itu buruk”, Tanggapan mengenai hakikat karya (MK), variasinya: ada orang yang menganggap karya itu sebagai status, tetapi ada juga yang menganggap karya itu sebagai fungsi, Tanggapan mengenai hakikat waktu(MW), variasinya: ada kelompok yang berorientasi ke masa lalu, sekarang atau masa depan, Tanggapan mengenai hakikat alam (MA), Variainya: masyarakat Industri memiliki pandangan bahwa manusia itu berada di atas alam, sedangkan masyarakat agraris memiliki pandangan bahwa manusia merupakan bagian dari alam. Dengan pandangannya terhadap alam tersebut, masyarakat industri memiliki pandangan bahwa manusia harus menguasai alam untuk kepentingan hidupnya, sedangkan masyarakat agraris berupaya untuk selalu menyerasikan kehidupannya dengan alam, Tanggapan mengenai hakikat manusia (MM), variasi: masyarakat tradisional atau feodal memandang orang lain secara vertikal, sehingga dalam masyarakat tradisional terdapat perbedaan harga diri (prestige) yang tajam antara para pemimpin (bangsawan) dengan rakyat jelata. Sedangkan masyarakat industrial memandang manusia yang satu dengan yang lain secara horizontal (sejajar). 1.3.3.2 Pengertian Norma sosial Kalau nilai merupakan pandangan tentang baik-buruknya sesuatu, maka norma merupakan ukuran yang digunakan oleh masyarakat apakah tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang merupakan tindakan yang wajar dan dapat diterima karena sesuai dengan harapan sebagian besar warga masyarakat ataukah merupakan tindakan yang menyimpang karena tidak sesuai dengan harapan sebagian besar warga masyarakat. Apa hubungannya antara nilai dengan norma? Norma dibangun di atas nilai sosial, dan norma sosial diciptakan untuk menjaga dan mempertahankan nilai sosial. Pelanggaran terhadap norma akan mendapatkan sanksi dari masyarakat. Berbagai macam norma dalam masyarakat Dilihat dari tingkat sanksi atau kekuatan mengikatnya terdapat: a. Tata cara atau usage. Tata cara (usage); merupakan norma dengan sanksi yang sangat ringat terhadap pelanggarnya, misalnya aturan memegang garpu atau sendok ketika makan, cara memegang gelas ketika minum. Pelanggaran atas norma ini hanya dinyatakan tidak sopan. b. Kebiasaan (folkways). Kebiasaan (folkways); merupakan cara-cara bertindak yang digemari oleh masyarakat sehingga dilakukan berulang-ulang oleh banyak orang. Misalnya mengucapkan salam ketika bertemu, membungkukkan badan sebagai tanda penghormatan kepada orang yang lebih tua, dst. c. Tata kelakuan (mores). Tata kelakuan merupakan norma yang bersumber kepada filsafat, ajaran agama atau ideology yang dianut oleh masyarakat. Pelanggarnya disebut jahat. Contoh: larangan berzina, berjudi, minum minuman keras, penggunaan napza, mencuri, dst. d. Adat (customs). Adat merupakan norma yang tidak tertulis namun sangat kuat mengikat, apabila adat menjadi tertulis ia menjadi hukum adat.
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI SMA KELAS X IIS SEMESTER 1
16
e. Hukum (law). Hukum merupakan norma berupa aturan tertulis, ketentuan sanksi terhadap siapa saja yang melanggar dirumuskan secara tegas. Berbeda dengan normanorma yang lain, pelaksanaan norma hukum didukung oleh adanya aparat, sehingga memungkinkan pelaksanaan yang tegas. Mode atau fashion. Di samping lima macam norma yang telah disebutkan itu, dalam masyarakat masih terdapat satu jenis lagi yang mengatur tentang tindakan-tindakan yang berkaitan dengan estetika atau keindahan, seperti pakaian, musik, arsitektur rumah, interior mobil, dan sebagainya. Norma jenis ini disebut mode atau fashion. Fashion dapat berada pada tingkat usage, folkways, mores, custom, bahkan law.
Folkways atau Mores? Pada beberapa kesempatan pembelajaran di kelas sosiologi muncul pertanyaan siswa tentang sebenarnya apa perbedaan antara folkways dan mores. Tidak mudah menjawab pertanyaan ini sehingga siswa memiliki pemahaman yang sebenarnya tentang folkways dan mores. Ketidakmudahan ini karena antara lain adanya relativitas norma, bahwa suatu tindakan pada masyarakat tertentu merupakan mores, tetapi di masyarakat yang lain bisa saja hanya sebatas folkways. Dalam bukunya “Sosiologi Dengan Pendekatan Membumi. Edisi 6. Jilid I”, James M. Henslin menjelaskan bahwa “norma-norma yang tidak ditegakkan secara tegas disebut folkways”. Orang-orang mengharapkan untuk menaati folkways, tetapi orang-orang tidak mempermasalahkan ketika seseorang tidak melaksanakannya. Ketika ada pengendara sepeda motor yang mendahului Anda dari sebelah kiri, Anda cenderung untuk tidak melakukan tindakan koreksi, hanya mungkin akan merasa kesal apabila tindakan tersebut telah membuat Anda tidak nyaman. Itulah folkways atau kebiasaan. Jika diterjemahkan menurut kata-katanya (etimologis), folkways itu berarti tata cara (ways) yang dikerjakan atau diikuti oleh orang banyak, rakyat, atau orang kebanyakan (folk). Dalam beberapa literatur sosiologi, folkways digunakan untuk menyebut seluruh norma-norma sosial yang terlahir dari adanya pola-pola perilaku yang diikuti oleh orang-orang kebanyakan di dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dengan rumusan lain, folkways adalah cara yang dilakukan secara berulang-ulang dan ajeg dalam realita kehidupan sehari-hari (Soetandyo Wignyo Subroto, 2006). Termasuk dalam folkways adalah kebiasaan dalam praktik kehidupan sehari-hari, seperti berapa kali makan dalam sehari, bagaimana kita harus mengenakan pakaian, bagaimana cara tubuh ini harus dirawat dan dibersihkan, dan seterusnya. Dengan adanya folkways maka urusan hidup warga masyarakat dapat lebih dipermudah dan diringankan. Orang tidak perlu memikirkan dengan cara apa suatu urusan harus dikerjakan, karena folkways dapat menjadi pedoman. Mores merupakan norma yang dianggap lebih serius. Kita menganggapnya penting bagi nilai inti kita dan kita menuntut konformitas terhadap norma tersebut. Seseorang yang mencuri, memperkosa, atau membunuh telah melanggar beberapa di antara mores terpenting dalam masyarakat. Terkait dengan ini Ian Robertson (1987) menulis: “Seorang laki-laki yang berkeliaran di jalan dengan tidak mengenakan apapun di bagian atas tubuhnya, ia telah melanggar folkways; seorang laki-laki yang bekeliaran di jalan tanpa mengenakan apapun yang menutup bagian bawah tubuhnya telah melanggar salah satu mores terpenting, yaitu “keharusan” seseorang untuk menutup kemaluannya”. Kesamaan antara mores dengan folkwayas adalah, pertama: kenyataan bahwa keduanya tidak jelas asal-usulnya dan lahir tanpa direncanakan. Dasar eksistensinya tidak pernah dibantah, dan kelangsungsangannya relatif besar, karena didukung oleh tradisi. Kesamaan yang kedua: dipertahankan dengan sanksi-sanksi yang bersifat informal dan komunal, berupa sanksi-sanksi spontan dari kelompok-kelompok sosial atau warga masyakat pada umumnya. Walaupun ada kesamaan-kesamaan, tetapi mores tetap lebih dipandang secara moral sebagai suatu kebenaran oleh masyarakat, pelanggaran terhadap mores selalu dikutuk sebagai suatu yang secara moral tidak dapat dibenarkan. Kebenaran suatu mores sering dianggap tidak perlu diganggu gugat oleh masyarakat. Sedangkan folkways masih secara leluasa dipertanyakan kebenarannya. Mores sering dirumuskan dalam bentuk negatif, berupa sebuah larangan keras, yang disebut tabu (taboo), misalnya taboo incest (larangan perkawinan antara orang-orang yang masih memiliki hubungan darah). Termasuk tabu juga, seorang isteri yang melakukan hubungan seksual dengan orang yang bukan suaminya. Di beberapa tempat sanksinya dapat sangat keras, tidak hanya menjadi bahan pergunjingan, tetapi dipermalukan dengan cara diarak bugil, atau denda material untuk
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI SMA KELAS X IIS SEMESTER 1
17
pembangunan di daerah itu. Yang perlu ditekankan adalah “kebiasaan” pada suatu kelompok/masyarakat dapat saja merupakan “mores” di kelompok/masyarakat lain. Seorang lakilaki yang berkeliaran di jalan tanpa menutup tubuh bagian atasnya merupakan pelanggaran terhadap folkways, tetapi kalau itu dilakukan oleh seorang perempuan maka perempuan tersebut telah melanggar sebuah mores.Semoga uraian singkat ini dapat lebih Sumber: James M. Henslin. 2006. Sosiologi dengan Pendekatan Membumi. Edisi 6. Jilid 1. Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama. https://agsasman3yk.wordpress.com/2013/02/23/folkways-dan-mores/#more-1973
1.3.4 Bentuk Interaksi Sosial Interaksi sosial sebagai proses sosial utama mempunyai dua bentuk pokok, yaitu (1) menjauhkan, dan (2) mendekatkan (Mark L. Knap). Ahli sosiologi lain, membedakan antara (1) interaksi asosiatif dan (2) disosiatif. Dua macam pembedaan ini sebenarnya tidaklah berbeda. Interaksi asosiatif merupakan bentuk interaksi sosial yang menguatkan ikatan sosial, jadi bersifat mendekatkan atau positif. Interaksi disosiatif merupakan bentuk interaksi yang merusak ikatan sosial, bersifat menjauhkan atau negatif. Interaksi sosial asosiatif, meliputi berbagai bentuk kerjasama, akomodasi, dan asimilasi. Interaksi disosiatif meliputi bentuk-bentuk seperti persaingan/kompetisi, pertikaian/konflik, dan kontravensi. 1.3.4.1 Proses-proses asosiatif Interaksi asosiatif bersifat menguatkan ikatan sosial, cenderung kontinyu atau berkelanjutan. Mengapa? Karena (1) didasarkan kepada kebutuhan yang nyata, (2) memperhitungkan efektivitas, (3) memperhatikan efisiensi, (4) mendasarkan pada kaidahkaidah atau nilai dan norma sosial yang berlaku, dan (5) tidak memaksa secara fisik dan mental. Bentuk-bentuk interaksi sosial asosiatif 1. Kerjasama (koperasi) Yang dimaksud kerjasama adalah dua atau lebih orang/kelompok melakukan kerjasama untuk mencapai tujuan tertentu. Kerja sama timbul ketika orang-orang menyadari adanya kepentingan yang sama pada saat bersamaan, dan mempunyai pengertian bahwa kepentingan yang sama tersebut dapat lebih mudah dicapai apabila dilakukan bersama-sama. Motivasi bekerjasama Kesadaran orang/kelompok untuk bekerjasama dapat berupa: menghadapi tantangan bersama, menghadapi pekerjaan yang memerlukan tenaga massal, melaksanakan upacara keagamaan, menghadapi musuh bersama, memperoleh keuntungan ekonomi, untuk menghindari persaingan bebas, menggalang terjadinya integrasi sosial (keutuhan masyarakat). Bentuk-bentuk kerjasama Kerjasama di antara individu atau kelompok dalammasyarakat dapat berupa: bargaining (pertukaran “barang” atau “jasa” di antara dua individu/kelompok),
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI SMA KELAS X IIS SEMESTER 1
18
kooptasi (penerimaan unsur baru dalam kepemimpinan dan pengambilan keputusan untuk menghindari kegoncangan stabilitas kelompok), dan koalisi (penggabungan dua kelompok atau lebih yang mempunyai tujuan sama).
2. Akomodasi Akomodasi dapat berarti proses atau keadaan. Sebagai proses, akomodasi merupakan upaya-upaya menghindarkan, meredakan atau mengakhiri konflik atau pertikaian, Sebagai keadaan, akomodasi merupakan keadaan di mana hubungan-hubungan di antara unsurunsur sosial dalam keselarasan dan keseimbangan, sehingga warga masyarakat dapat dengan mudah menyesuaikan dirinya dengan harapan-harapan atau tujuan-tujuan masyarakat. Gillin dan Gillin menyatakan bahwa akomodasi merupakan istilah yang dipakai oleh para sosiolog untuk menggambarkan keadaan yang sama dengan pengertian adaptasi yang digunakan oleh para ahli biologi untuk menggambarkan proses penyesuaian mahluk hidup dengan lingkungan alam di mana ia hidup. Tujuan akomodasi: Untuk mengurangi pertentangan antara orang-orang atau kelompok-kelompok akibat perbedaan faham. Dalam hal ini akomodasi diarahkan untuk memperoleh sintesa baru dari faham-faham yang berbeda. Untuk mencegah meledaknya pertentangan untuk sementara waktu Untuk memungkinkan dilangsungkannya kerjasama di antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang karena faktor psikologi atau kebudayaan menjadi terpisah satu dari lainnya Mengusahakan peleburan antara kelompok-kelompok yang sebelumnya terpisah Bentuk-bentuk akomodasi sebagai proses menghindarkan, meredakan atau mengakhiri konflik: Kompromi (pihak yang bertikai saling mengurangi tuntutan) Toleransi (saling menghargai, menghormati, membiarkan di antara pihak-pihak yang sebenarnya saling berbeda) Konsiliasi (usaha yang bersifat kelembagaan untuk mempertemukan pihak-pihak yang bertikai sehingga dicapai kesepakatan bersama) Koersi (keadaan tanpa konflik karena terpaksa; akibat dari berbedanya secara tajam kedudukan atau kekuatan di antara fihak-fihak yang berbeda, misalnya antara buruh– majikan, orangtua-anak, pemimpin-pengikut, dan seterusnya) Mediasi (penyelesaian konflik melalui pihak ketiga yang netral sebagai penasehat) Arbitrasi (penyelesaian konflik melalui pihak ketiga yang berwenang untuk mengambil keputusan penyelesaian) Stalemate (perang dingin, yakni keadaan seimbang tanpa konflik karena yang bertikai memiliki kekuatan yang seimbang Displacement (menghindari konflik dengan mengalihkan perhatian) Ajudikasi (penyelesaian konflik melalui proses hukum/in court) Secara umum dapat dinyatakan bahwa akomodasi merupakan upaya menyelesaikan konflik atau pertikaian di luar hukum. 3. Asimilasi Asimilasi merupakan proses sosial tingkat lanjut yang ditandai oleh adanya upaya-upaya mengurangi perbedaan serta mempertinggi kesatuan tindakan, sikap dan proses-proses mental di antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok dengan memperhatikan kepentingan atau tujuan bersama. Asimilasi akan terjadi apabila:
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI SMA KELAS X IIS SEMESTER 1
19
dua kelompok yang berbeda kebudayaan individu/warga kelompok saling bertemu dan bergaul intensif dalam waktu yang lama, sehingga terjadi kontak kebudayaan (akulturasi) yang memungkinkan dua kelompok yang berbeda itu saling mengadopsi (meminjam) unsur-unsur kebudayaan cara hidup dan kebudayaan dua kelompok itu saling menyesuaikan diri sehingga masing-masing mengalami perubahan kelompok-kelompok tersebut melebur membentuk kelompok baru dengan cara hidup dan kebudayaan baru yang berbeda dari kelompok asal
Interaksi sosial yang menghasilkan asimilasi: bersifat pendekatan tidak mengalami hambatan dan pembatasan interaksi berlangsung primer interaksi berlangsung dengan frekuensi yang tinggi dan dalam keseimbangan Hal-hal yang mempermudah asimilasi: toleransi kesempatan yang seimbang dalam proses ekonomi sikap menghargai orang asing dengan segenap kebudayaannya sikap terbuka dari golongan yang berkuasa (elite/the rulling class) persamaan unsur-unsur kebudayaan perkawinan campuran (amalgamasi) Hal-hal yang menghambat asimilasi: terisolirnya suatu kelompok kurangnya pengetahuan terhadap kebudayaan lain adanya prasangka terhadap kebudayaan lain penilaian bahwa kebudayaan kelompoknya lebih tinggi derajatnya (ethnosentrisme) Loyalitas yang berlebihan kepada kelompok bawaan lahirnya (primordialisme) in group feeling yang kuat perbedaan warna kulit dan ciri-ciri badaniah (ras) Karena asimilasi berkaitan dengan proses yang mendahuluinya, yakni akulturasi, maka berikut dikemukakan beberapa hal yang berkait dengan proses akulturasi atau kontak kebudayaan itu. Unsur-unsur kebudayaan yang mudah diterima: Unsur kebudayaan material dan teknologi Unsur kebudayaan yang mudah disesuaikan Unsur kebudayaan yang dampaknya tidak begitu mendalam, misalnya mode (fashion) atau unsur kesenian Unsur kebudayaan yang tidak mudah diterima: Unsur-unsur yang berkaitan dengan nilai yang mendasari pola berfikir dan cara hidup, misalnya: agama, ideologi atau falsafah hidup Unsur kebudayaan yang telah tersosialisasi dan terinternalisasikan secara luas dan mendalam: sistem kekerabatan (discent), makanan pokok, kebiasaan makan, dan sebagainya. Kelompok dalam masyarakat yang mudah menerima kebudayaan baru: golongan muda yang identitas diri dan kepribadiannya belum mantap kelompok masyarakat yang tidak mapan atau anti kemapanan kelompok masyarakat yang berada dalam tekanan, misalnya kaum minoritas golongan terdidik (kelas menengah/perkotaan)
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI SMA KELAS X IIS SEMESTER 1
20
1.3.4.2
Bentuk-bentuk Interaksi sosial disosiatif
1. Persaingan (Kompetisi) Persaingan merupakan suatu proses sosial di mana orang-perorangan atau kelompokkelompok saling memperebutkan sesuatu yang menjadi pusat perhatian dengan cara berusaha menarik perhatian atau mempertajam prasangka, tanpa disertai dengan tindakan kekerasan ataupun ancaman, melainkan dengan peningkatan mutu atau kualitas diri. Persaingan mempunyai dua tipe umum, yaitu: bersifat personal/pribadi atau perorangan (rivalry), bersifat korporasi atau kelompok Ruang lingkup persaingan dapat diberbagai bidang kehidupan: ekonomi (perdagangan), sosial (kesempatan pendidikan), budaya (kesenian, olahraga), politik (pemerintahan, partai politik) maupun keagamaan (antar kelompok agama, aliran, madzab, sekte, dst.) 2. Konflik (Pertikaian) Pertikaian atau konflik merupakan proses sosial seperti halnya kompetisi atau persaingan, hanya bedanya pada pertikaian disertai dengan ancaman dan/atau tindak kekerasaan, baik fisik maupun nonfisik. Pertikaian dapat timbul karena: perbedaan individual, berupa pendirian atau perasaan perbedaan kebudayaan, berupa perbedaan sistem nilai atau norma perbedaan kepentingan, berupa kepentingan ekonomi atau politik perubahan sosial dan budaya yang berlangsung cepat sehingga para warga masyarakat kesulitan menyesuaikan diri dengan keadaan baru, misalnya antara kelompok yang mempertahankan status quo dengan kelompok reformis (pembaru). Seperti halnya persaingan, pertikaian pun dapat berlangsung antara perorangan ataupun kelompok. 3. Kontravensi Kontravensi merupakan proses sosial yang berada di antara persaingan dan konflik. Kontravensi merupakan sikap yang tersembunyi terhadap pihak-pihak lain atau terhadap unsur-unsur kebudayaan suatu golongan. Sikap tersebut dapat berubah menjadi kebencian, tetapi tidak sampai menimbulkan pertikaian. Bentuk-bentuk kontravensi: proses umum: perbuatan menolak, keengganan, menganggu proses atau mengacaukan rencana sederhana: menyangkal pernyataan di depan umum, memaki, mencerca, memfitnah, menyebarakan selebaran atau melemparkan pembuktian kepada orang lain intensif: menghasut, menyebarkan desas-desus taktis: mengejutkan lawan dengan perang urat syaraf (psy war), unjuk kekuatan (show of force), dan sebagainya. 1.3.5 Interaksi Sosial dan Pembentukan Keteraturan Sosial Keteraturan sosial terjadi apabila tindakan dan interaksi sosial di antara para warga masyarakat berlangsung sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku. Menurut para penganut teori fungsionalisme struktural, meskipun di dalam masyarakat terdapat unsurunsur sosial yang saling berbeda, tetapi unsur-unsur tersebut cenderung saling
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI SMA KELAS X IIS SEMESTER 1
21
menyesuaikan sehingga membentuk suatu keseimbangan (equilibrium) dalam kehidupan sosial. Sedangkan menurut para penganut teori konflik, keteraturan sosial akan terjadi apabila dalam masyarakat terdapat unsur sosial yang dominan (menguasai) atau adanya ketergantungan ekonomi satu terhadap lainnya. Wujud nyata dari keseimbangan ini adalah keteraturan sosial, yaitu kondisi di mana cara berfikir, berperasaan dan bertindak serta interaksi sosial di antara para warga masyarakat selaras (konformis) dengan nilai-nilai dan norma-norma sosial yang belaku dalam masyarakat yang besangkutan. Keteraturan sosial akan tercipta dalam masyarakat apabila: terdapat sistem nilai dan norma sosial yang jelas. Jika nilai dan norma dalam masyarakat tidak jelas akan menimbulkan keadaan yang dinamakan anomie (kekacauan norma). individu atau kelompok dalam masyarakat mengetahui dan memahami nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku individu atau kelompok menyesuaikan tindakan-tindakannya dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku berfungsinya sistem pengendalian sosial (social control) Berkembangnya keteraturan sosial dapat dicermati melalui bagan berikut!
Kunci utama terjadinya keteraturan sosial adalah adanya tatanan sosial yang berupa nilai dan norma sosial yang diketahui, diakui, dan dipatuhi oleh sebagaian besar warga masyarakat. Apabila tindakan-tindakan dan interaksi sosial para warga masyarakat sesuai dengan nilai dan norma sosial yang berlaku maka akan terbentuk pola-pola sosial yang merupakan bentuk umum dari tindakan dan interaksi sosial di antara para warga masyarakat. Dengan adanya pola tindakan dan interaksi masyarakat merasa nyaman dalam
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI SMA KELAS X IIS SEMESTER 1
22
memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya sehingga berusaha untuk mempertahankan bentuk-bentuk tersebut, sehingg jadilah pola yang berulang-ulang (recurring pattern). Adanya bentuk umum dan kontinuitas dari tindakan dan interaksi sosial dari individuindividu anggota masyarakat dapat membentuk keteraturan sosial karena tindakantindakan dari individu-individu tersebut dapat diramal oleh individu lain sehingga menyesuaikan tindakan-tindakannya.
Sumber Bahan: 1. Agus Santosa. 2010. Sukses Ujian Sosiologi SMA. Jakarta: PT Yudhistira. 2. Dyole Paul Johnson. 1981. Teori-teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: PT Gramedia. 3. George Ritzer (Ed). 2013. Sosiologi. (Terjemahan) Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 4. Horton, Paul B. dan Hunt, Chester L. 1999. Sosiologi; Edisi Keenam Jilid I. Jakarta: PT Erlangga. 5. Henslin, James M. 2006. Sosiologi Dengan Pendekatan Membumi (Judul Asli: Essentials of Sociology). Jakarta: PT Erlangga. 6. J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto (ed.). 2006. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 7. John Scott. 2013. Sosiologi The Key Concept. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 8. Kamanto Soenarto. 1993. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI. 9. Ken Plummer. 2011. Sosiologi The Basic, Terjemahan oleh Nanang Martono dan Sisworo. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 10. Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta 11. Margaret M. Poloma. 1998. Sosiologi Kontemporer. Terjemahan dari Contemporary Sociological Theory. Jakarta: PT Rajawali Pers. 12. Masri Singarimbum dan Sofian Effendi.1989. Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3ES. 13. Mohammad Nazir. 1983. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. 14. Nasikun. 1996. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT Rajawali Pers. 15. Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi. 1986. Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: Yasbit FE UI. 16. Soerjono Soekanto. 1990. Sosiologi Suatu Pantantar; Edisi Baru Keempat, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 17. Soerjono Soekanto. 1985. Kamus Sosiologi; Edisi Baru. Jakarta: Rajawali Pers. 18. Soerjono Soekanto. 2002. Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 19. Tim Sosiologi. 2004. Sosiologi Suatu Kajian Kehidupan Masyarakat Kelas 1 SMA. Jakarta: PT Yudhistira.
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI SMA KELAS X IIS SEMESTER 1
23