Journal of Epidemiology and Public Health, 2016, 1(1): 58-65
Social Support on the Adherence to Treatment of Tuberculosis in Cilacap, Indonesia Lina Puspitasari1), Bhisma Murti2), Argyo Demartoto3) 1)School of Midwifery, Graha Mandiri, Cilacap Program in Public Health, Sebelas Maret University, Surakarta 3)Faculty of Social and Political Sciences, Sebelas Maret University Surakarta 2)Masters
ABSTRACT Background: Country Indonesia liquid high-burden countries in the case of Tuberculosis resistant adenocarcinoma. One of the causes of MDR-TB was OAT drink irregularly. Many of the changes that occur in people with tuberculosis physical, psychological and social influence on irregularity OAT drink. The purpose of this research is to know the contribution of the social support against tuberculosis treatment regularity in Cilacap Regency. Subject and Method: This was a quantitative study with observational analytic design, carried out in twelve clinics and hospitals, in Cilacap. A total of 128 samples were consisted of 42 groups and control group 86. The dependent variables was the regularity of the medication, and the independent variable were the intention, attitude, distance, self-efficacy, social support, education and knowledge. The Data collected using the questionnaire and medical record data and analyzed using path analysis. Results: There is a direct relationship between education with knowledge, education and knowledge, as well as attitudes toward intentions with the regularity of medical treatment. There is an indirect relationship between posture, distance, social support and self-efficacy with the OAT drink regularity through intention. A positive relationship between education with knowledge (b = 0.17; 95% CI = 0.02 to 0.13; p = 0.023). A positive relationship between education with attitude (b = 1.23; 95% CI = 0.29 to 2.16; p = 0.01). Positive relationship knowledge with attitude (b = 0.56; 95% CI =-1.47 to 0.35; p = 0.228). The relationship of positive attitude with the intention (b = 0.99; CI 95% = 0.05 to 1.94; p = 0.039). Negative relationship of distance with the intention (b =-0.59; 95% CI =-1.49 to 0.31; p = 0.202). Positive relationships support social (social support) and intention (b = 0.5; 95% CI =-0.22 to 1.89; p = 0123). A positive relationship with self-efficacy of intention (b = 1.04; 95% CI =-0.16 to 2.26; p = 0.089). A positive relationship with the intention to order treatment of TB (b = 2.1; 95% CI = 1.24 to 2.97; p = 0.001). Conclusion: Education, knowledge, attitude, social support self-efficacy related to improve the regularity of treatment of TB through the intention to treat. Keywords: attitude, distance, social support, self-efficacy, consistency of treatment of TB. Correspondence: Lina Puspitasari. Midwifery Academic Graha Mandiri Cilacap. Email:
[email protected]
LATAR BELAKANG Multidrug Resistant Tuberkulosis (MDR TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia. MDR TB adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberkulosis yang resisten terhadap minimal dua OAT lini pertama, yaitu rifampicin dan isoniazid (WHO, 2014; Ershova et al., 2015). Kementerian Kesehatan RI (2014) 58
melaporkan ada sekitar 6.900 pasien TB MDR WHO (2015). Indonesia tercatat sebagai High-Burden Countries dalam kasus MDR TB.Pada tahun 2014 Provinsi Jawa Tengah memiliki pasien MDR TB yang diobati sebanyak 144 kasus (Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah, 2015). Dinas Kesehatan Kabupaten Cilacap (2015) menemukan 111 suspek MDR TB di tahun 2015 e-ISSN: 2549-0273 (online)
Puspitasari et al./ Social Support on the Adherence to Treatment of Tuberculosis
dan 14 pasien positif mengalami MDR TB (Dinas Kesehatan Kabupaten Cilacap, 2016). Dalam rangka pengendalian MDR TB dan ketercapaian program End TB sebesar 95%, sangatlah penting meningkatkan kualitas strategi DOTS (Direct Observed Treatment Short-course) (UNOPS, 2015). Namun dalam pelaksanaan program DOTS terdapat berbagai hambatan yang timbul terutama di negara berkembang. Hambatan tersebut antara lain: dukungan keluarga yang kurang, pendidikan yang rendah, peran Pengawas Menelan Obat (PMO) yang kurang mendukung, timbulnya efek samping obat dan kendala keuangan. Hal tersebut meningkatkan faktor resiko terjadinya MDR TB (Reviono et al, 2014 & Bloss et al., 2010). Dukungan sosial (social support) berhubungan dengan terjadinya MDR TB. Reid (1989) dikutip dalam Barker (2007) menyebutkan bahwa social support memiliki empat macam spesifik, yaitu: instrumental support, informational support, affiliative support dan emotional support. Keempat dukungan sosial tersebut merupakan dasar untuk pendekatan dan promosi kesehatan serta kesejahteraan pasien TB, sehingga pasien TB mampu melaksanakan pengoatan TB secara teratur dalam upaya pencegahan MDR TB (Keshavjee et al dalam WHO, 2014). Beberapa faktor yang mempengaruhi keteraturan pengobatan TB merupakan bagian dari Teori Green (1992) pada fase 4 yaitu educational and organizational. Terdapat 3 faktor penentu perilaku kesehatan, seperti predisposing, reinforcing and enabling factors. Faktor predisposisi dalam penelitian adalah pendidikan dan pengetahuan, faktor pemungkin adalah jarak dan faktor penguat adalah dukungan sosial pada pasien TB dalam keteraturan minum OAT (Obat Anti Tuberkulosis). e-ISSN: 2549-0273 (online)
Perilaku pasien TB ditentukan dari kuat atau lemahnya niat seseorang.Hal ini sejalan dengan Theory of Planned Behavior (TPB). Berdasarkan teori tersebut, penentu terpenting perilaku seseorang adalah niat untuk berperilaku, dengan alasan niat berperilaku sebagai anteseden terdekat dari suatu perilaku (Fishbein dan Ajzen’s, 2010). Keterbaruan dalam penelitian ini adalah menggunakan model analisis jalur (Path Analysis) untuk mengetahui besarnya hubungan suatu variabel baik secara langsung maupun tidak langsung. Berdasarkan paparan tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang ‘Kontribusi Social Support Terhadap Keteraturan Pengobatan Tuberkulosis di Kabupaten Cilacap. SUBJEK DAN METODE Metodologi penelitian ini menggunakan jenis penelitian observasional dengan field research.Pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan case control. Populasi sasaran penelitian sebesar 1,499 dan populasi sumber sebesar 746. Teknik pengambilan sampel menggunakan fixed disease sampling, yang pada umumnya digunakan dalam penelitian case control (Murti, 2013). Perbandingan kelompok kasus dan kontrol sebesar 1:2. Kelompok kasus adalah pasien TB yang tidak teratur dalam pengobatan TB sebanyak 42 subjek penelitian dan kelompok kontrol adalah pasien TB yang teratur dalam pengobatan TB sebanyak 86 subjek penelitian. Penelitian dilaksanakan di 12 Puskesmas yang terpilih secara acak dan melibatkan RSUD Cilacap untuk melengkapi kelompok kasus dalam penelitian. Variabel dependen dalam penelitian adalah keteraturan pengobatan TB. Variabel independen meliputi: pendidikan, 59
Journal of Epidemiology and Public Health, 2016, 1(1): 58-65
pengetahuan, jarak, dukungan sosial (social support), efikasi diri, sikap dan niat berobat teratur. Penelitian menggunakan kuesioner sebagai instrumen penelitian. Sebelum kuesioner digunakan, kuesioner dilakukan uji validitas dengan melibatkan tiga pakar yaitu ahli bahasa, ahli psikolog dan ahli tuberkulosis. Selanjutnya dilakukan uji reliabiltas sebanyak 30 subjek penelitian. Analisis terhadap uji coba instrumen menggunakan analisis Program IBM SPSS 20, dengan Tabel 1.Karakteristik subjek penelitian Karakteristik Umur Jenis Kelamin Pekerjaan
Pendidikan Jumlah Anggota Keluarga Lama Pengobatan
menghitung nilai korelasi item total dan Alpha Cronbach. Instrumen dapat diindikasikan baik dan konsisten jika nilai korelasi item total ≥ 0.20 dan penilaian Alpha Cronbach. Angka Alpha Cronbach ≥ 0.60. Terdapat 41 butir soal dari 51 butir soal yang tergolong signifikan dan reliabel. Metode analisis statistik yang digunakan adalah path analysis dan diolah dengan aplikasi STATA 13 dan program SEM (Structural Equation Modeling).
Kasus
Kriteria
N 2 9 31 24 18 15 8 10 9 0 37 5 37 5 15 27
< 20 tahun 20 – 35 tahun > 35 tahun Laki-laki Perempuan IRT dan tidak bekerja Buruh dan buruh tani Petani dan nelayan Swasta dan wiraswasta PNS Pendidikan dasar Pendidikan lanjutan ≤4 >4 0-2 bulan >2 - 4 bulan
% 4.76 21.43 73.81 57.14 42.86 35.71 19.05 23.81 21.43 0 88.1 11.9 88.1 11.9 35.71 64.29
N 4 47 35 46 40 28 18 8 29 3 52 34 52 34 33 53
Kontrol % 4.65 54.65 40.7 53.49 46.51 32.56 20.93 9.3 33.72 3.49 60.47 39.53 60.47 39.53 38.37 61.63
penelitian berumur >35 tahun yaitu 73.81% HASIL Hasil penelitian diawali dengan penyajian pada kelompok kasus. Kelompok kontrol karakteristik subjek penelitian. Tabel 1 sebagian besar subjek penelitian berumur menunjukkan bahwa sebagian besar subjek 20-35 tahun sebesar 54.65%. Tabel 2. Uji Chi-square masing-masing variabel Independen Pengetahuan Pengetahuan Pendidikan Sikap Jarak Dukungan Sosial Efikasi Diri Niat
Dependen Pendidikan Sikap Sikap Niat Niat Niat Niat Keteraturan Pengobatan
Karakteristik jenis kelamin, pada kelompok kasus sebagian besar subjek penelitian berjenis kelamin laki-laki se60
OR 3.94 3.73 2.19 5.01 0.64 5.44 5.93 8.22
CI 95% Batas bawah Batas bawah 1.10 14.07 1.49 9.35 0.91 5.33 2.19 11.43 0.29 1.39 2.26 13.09 2.19 16.04 3.47 19.50
p 0.035 0.05 0.081 0.001 0.258 0.001 0.001 0.001
besar 57.4%. Kelompok kontrol yang memiliki jumlah subjek laki-laki lebih besar dengan jumlah 46 subjek atau sebesar e-ISSN: 2549-0273 (online)
Puspitasari et al./ Social Support on the Adherence to Treatment of Tuberculosis
53.49% dari jumlah subjek penelitian. Sebagian besar subjek penelitian tidak bekerja dan memiliki bekerjaan sebagai ibu rumah tangga pada kelompok kasus sebesar 35.71%. Berbeda dengan kelompok kontrol, sebagian besar bekerja sebagai swasta dan wiraswasta sebesar 33.72%. Sebagian besar subjek penelitian berpendidikan dasar atau < SMA pada kelompok kasus dan kelompok kontrol. Kelompok kasus subjek penelitian yang berpendidikan <SMA sebanyak 37 atau sebesar 88.1%. Kelompok kontrol subjek penelitian yang berpendidikan <SMA sebanyak 52 atau sebesar 60.47%.
Sebagian besar penderita tuberkulosis memiliki anggota keluarga berjumlah ≤ 4 orang pada kelompok kasus dengan jumlah subjek penelitian sebanyak 37 atau sebesar 88.1%. Pada kelompok kontrol didapatkan hasil yang sama, jumlah anggota keluarga ≤4 orang memiliki jumlah yang lebi besar dari pada pasien tuberkulosis yang memiliki jumlah anggota keluarga >4 orang dalam satu keluarga. Karakteristik yang terakhir adalah lama pengobatan. Sebagian besar pasien TB yang ada di kelompok kasus dan kelompok kontrol adalah pasien tuberkulosis yang sudah melakukan pengobatan selama > 2- 4 bulan.
Pendidikan 1.2
binomial
Sikap
1.4
-.22
logit binomial
.56
Pengetahuan 1.1
.99
Jarak
logit
-.59
binomial
binomial
Niat -.82 logit
2.1
Keteraturan_Minum_OAT -.69 logit
.83
Dukungan_Sosial 1
Efikasi_Diri
Gambar 1. Model Struktral dengan Estimate Tabel 3. Hasil analisis jalur hubungan antara social support terhadap keteraturan pengobatan Tuberkulosis di Kabupaten Cilacap Variabel Dependen Indirect Effect Pengetahuan Sikap
Variabel Independen
Niat
Pendidikan>SMA Pendidikan Pengetahuan Sikap Jarak Dukungan Sosial Efikasi Diri
Direct Effect Keteraturan minum OAT Log Likelihood =
Niat -271.54
e-ISSN: 2549-0273 (online)
Koefisien jalur
CI (95%) Lower Upper
p
1.4 1.23 0.56 0.99 -0.59 0.83 1.04
0.09 0.29 -0.35 0.05 -1.49 -0.22 -0.16
2.64 2.16 1.47 1.94 0.31 1.89 2.26
0.035 0.010 0.228 0.039 0.202 0.123 0.089
2.1
1.24
2.97
0.001
61
Journal of Epidemiology and Public Health, 2016, 1(1): 58-65
Hasil analisis multivariate pada Tabel 3 didapatkan dari olah data menggunakan aplikasi STATA 13 dan program SEM (Structural Equation Modeling). Hal ini dikarenakan data berbentuk kategorikal dan kerangka berfikir mengarah pada desain path analysis regresi logistik ganda. Hasil penghitungan SEM tertuang dalam Gambar 1 dan diperjelas kembali di Tabel 3. Hasil uji statistik menggunakan path analysis adalah yang pertama pasien tuberkulosis dengan pendidikan ≥SMA memilki skor logit pengetahuan 0.17 unit lebih tinggi daripada pendidikan <SMA (b=0.17; CI 95%=0.02 sd 0.13; p=0.023). Pasien tuberkulosis dengan pendidikan ≥SMA memilki skor logit sikap keteraturan pengobatan 1.23 unit lebih tinggi daripada pendidikan <SMA (b=1.23; CI 95%=0.29 sd 2.16; p=0.01). Pasien tuberkulosis dengan pengetahuan tinggi memilki skor logit sikap keteraturan pengobatan 0.56 unit lebih tinggi daripada pasien tuberkulosis dengan pengetahuan rendah (b=0.56; CI 95%= - 0.35 sd 1.47; p=0.228). Pasien tuberkulosis dengan sikap yang baik memilki skor logit niat keteraturan pengobatan 0.99 unit lebih tinggi daripada pasien tuberkulosis dengan sikap keteraturan pengobatan yang kurang. (b=0.99; CI 95%= 0.05 sd1.94; p=0.039). Jarak rumah pasien tuberkulosis terhadap layanan kesehatan yang tidak terjangkau (>3 km) memilki skor logit niat keteraturan pengobatan 0.59 unit lebih rendah daripada pasien tuberkulosis dengan jarak yang terjangkau ≤ 3 km (b= 0.59; CI 95%= -1.49 sd 0.31; p=0.202). Pasien tuberkulosis dengan dukungan sosial yang tinggi memiliki skor logit niat keteraturan pengobatan 0.83 unit lebih tinggi daripada pasien tuberkulosis dengan dukungan sosial yang rendah (b= 0.8; CI 95%= -0.22 sd 1.89; p=0.123). Pasien tuberkulosis dengan efikasi diri yang baik 62
memilki skor logit niat keteraturan pengobatan 1.04 unit lebih tinggi daripada pasien tuberkulosis dengan efikasi diri yang kurang. (b= 1.04; CI 95%= -0.16 sd 2.26; p=0.089). Pasien tuberkulosis dengan niat berobat yang kuat memilki skor logit keteraturan pengobatan 2.1 unit lebih tinggi daripada pasien tuberkulosis dengan niat berobat yang lemah. (b= 2.1; CI 95%= 1.24 sd 2.97; p=0.001).
PEMBAHASAN Pasien tuberkulosis dengan pendidikan ≥SMA memilki skor logit pengetahuan 0.17 unit lebih tinggi daripada pendidikan <SMA. Slavin (2005) menyatakan bahwa tingkat pendidikan formal merupakan landasan seseorang dalam berbuat sesuatu, membuat lebih mengerti dan memahami sesuatu, atau menerima dan menolak sesuatu. Tingkat pendidikan formal juga memungkinkan perbedaan pengetahuan dan pengambilan keputusan. Anugrah (2007) melakukan penelitian tentang kepatuhan minum obat penderita tuberkulosis paru. Hasil penelitian menunjukkan mayoritas subjek penelitian mempunyai tingkat pendidikan dasar (82.22%). Tingkat pendidikan mempengaruhi pengetahuan dan sikap individu terhadap pengobatan tuberkulosis. Pasien tuberkulosis dengan pendidikan ≥SMA memilki skor logit sikap keteraturan pengobatan 1.23 unit lebih tinggi daripada pendidikan <SMA. Hasil penelitian tidak sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Anugrah (2007). Penelitian yang dilakukan di Puskesmas Jatibarang mendapat hasil bahwa tidak ada hubungan signifikan antara pendidikan terhadap sikap pasien TB dalam kepatuhan minum obat. Hasil uji statistik Chi square menunjukkan p=0.527. Pasien tuberkulosis dengan pengetahuan tinggi memilki skor logit sikap e-ISSN: 2549-0273 (online)
Puspitasari et al./ Social Support on the Adherence to Treatment of Tuberculosis
keteraturan pengobatan 0.56 unit lebih tinggi daripada pasien tuberkulosis dengan pengetahuan rendah. Hasil penelitian sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dhewi et al., (2012). Hasil menunjukkan bahwa ada hubungan yang signi-fikan antara pengetahuan dengan kepatuhan minum obat TB paru di BKPM Pati dengan nilai (RP= 3.857; CI 1.953 hingga 7.619; p=0.001), artinya pasien dengan pengetahuan kurang, memiliki peluang untuk tidak patuh minum obat sebesar 3.857 kali. Pasien tuberkulosis dengan sikap yang baik memilki skor logit niat keteraturan pengobatan 0.99 unit lebih tinggi daripada pasien tuberkulosis dengan sikap keteraturan pengobatan yang kurang. Hasil penelitian ini didukung oleh (Dhewi et al., 2012) menunjukkan p sebesar 0.001 ( p< 0.05), artinya ada hubungan yang signifikan antara sikap dengan kepatuhan minum obat TB Paru di BKPM Pati dengan nilai RP 3.444 dan CI; 1.816 hingga 6.532, artinya pasien dengan sikap kurang, memiliki peluang untuk tidak patuh minum obat sebesar 3.444 kali. Hasil penelitian tidak sama dengan penelitian Anugrah (2007) pada 45 subjek penelitian di wilayah kerja Puskesmas Jatibarang, Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Indramayu yang menunjukkan sikap dengan kepatuhan tidak ada hubungan yang signifikan (p= 0.428). Jarak rumah pasien tuberkulosis terhadap layanan kesehatan yang tidak terjangkau (>3 km) memilki skor logit niat keteraturan pengobatan 0.59 unit lebih rendah daripada pasien tuberkulosis dengan jarak yang terjangkau ≤ 3 km. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Erawatyningsih et al., (2009) di Wilayah Kerja Puskesmas Dompu Barat, Kecamatan Woju, Kabupaten Dompu, Provinsi NTB. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jarak rumah dengan tempat layanan kesee-ISSN: 2549-0273 (online)
hatan tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kepatuhan berobat pada penderita TB paru. Penelitian lain yang tidak relevan adalah penelitian yang dilakukan oleh Maesaroh (2009) menunjukkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara jarak klinik dari tempat tinggal subjek penelitian dengan kepatuhan berobat. Terbukti dengan hasil uji statistik sebesar (OR= 1.429; 95% CI= 0.646 hingga 3.159; p= 0.495). Pasien tuberkulosis dengan dukungan sosial yang tinggi memiliki skor logit niat keteraturan pengobatan 0.83 unit lebih tinggi daripada pasien tuberkulosis dengan dukungan sosial yang rendah.Penelitian yang dilakukan oleh Rifat et al., (2015) menyebutkan bahwa pasien MDR TB ditemukan empat kali cenderung memiliki riwayat pengobatan tidak lengkap.Pengobatan tidak lengkap ini disebabkan oleh adanya efek samping yang merupakan bagian dari dukungan informasi tentang efek samping obat. Hasil penghitungan statistik lainnya adalah petugas pengelolaan DOTS yang dihubungkan dengan kejadian MDR TB memiliki nilai (OR= 3.8; Ci 1.6 hingga 9.5), jadi semakin baik petugas pengelolaan DOTS maka semakin menurunkan resiko MDR TB. Pasien tuberkulosis dengan efikasi diri yang baik memilki skor logit niat keteraturan pengobatan 1.04 unit lebih tinggi daripada pasien tuberkulosis dengan efikasi diri yang kurang. Self-efficacy atau efikasi diri pada pasien TB merupakan penilaian pasien TB mengenai kapasitasnya atau kesanggupan dirinya dalam mengatur dan melaksanakan pengobatan tuberkulosis secara teratur yang dianggap perlu sehingga mencapai kesembuhan total Bandura (1977). Keteraturan pengobatan TB dipengaruhi oleh control beliefs, yang artinya keyakinan tentang adanya faktor yang
63
Journal of Epidemiology and Public Health, 2016, 1(1): 58-65
dapat mendorong atau menghambat pasien TB untuk berobat teratur (Ajzen, 1991). Pasien tuberkulosis dengan niat berobat yang kuat memilki skor logit keteraturan pengobatan 2.1 unit lebih tinggi daripada pasien tuberkulosis dengan niat berobat yang lemah.Niat berobat TB secara teratur merupakan representasi kognitif dan konatif dari kesiapan pasien TB untuk melakukan pengobtan TB secara teratur. Niat berobat teratur menjadi penentu dan disposisi dari perilaku pasien TB untuk melakukan pengobatan TB secara teratur. Perilaku berobat teratur didasarkan faktor kehendak yang melibatkan pertimbangan untuk melakukan atau tidak melakukan, dalam prosesnya pertimbangan tersebut akan membentuk niat untuk melakukan pengobatan TB secara teratur (Fishbein dan Ajzen, 1975). Hasil Penelitian adalah ada hubungan langsung antara pendidikan dengan pengetahuan, pendidikan dan pengetahuan terhadap sikap, serta niat dengan keteraturan berobat. Serta ada hubungan tidak langsung antara sikap, jarak, dukungan sosial dan efikasi diri dengan keteraturan minum OAT melalui niat. Keterbatasan penelitian adalah peneliti harus detail dalam menentukan keteraturan minum obat, cara peneliti adalah menanyakan sisa obat ketika pasien TB melakukan kunjungan ulang. Hal ini dapat menjadi saran untuk peneliti selanjutnya untuk lebih teliti dalam mendiagnosa dalam keteraturan meminum obat. DAFTAR PUSTAKA Ajzen I (1991). The Theory of Planned Behavior. Organizational Behavior and Human Decision Process, 50: 179211. Anugrah D (2007).Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Sikap Penderita TB Paru dengan Kepatuhan Minum Obat 64
di Wilayah Kerja Puskesmas Jatibarang Kecamatan Jatibarang Kabupaten Indramayu.Skripsi. E2A205017. Bandura A (1977). Self-efficacy: toward a unifying theory of behavioral change. Psychological Review. 84(2), 191-215. Barker G (2007). Adolescents, social support and help-seeking behavior. Geneva, Switzerland. World Health Organization. Bloss E, Kuksa L, Holtz TH, Riekstina V, Skripconoka V, Kammere S (2010). Adverse events related to multidrug resistant tuberkulosis treatment, Latvia, 2000–2004. Int J Tuberc Lung Dis, 14 (3): 275–81. Dhewi I, Armiyati, Yunie dan Supriyono, Mamat(2012).Hubungan Pengetahuan Sikap dan Dukungan Keluarga Terhadap Kepatuhan Minum Obat. Diakses dari http://ejournal.stikestelogorejo.ac.id/index.php/ilmukeper awatan/article/download/89/116. Dinas Kesehatan Kabupaten Cilacap (2016) Pasien Tuberkulosis, pasien suspek Multidrug resisten dan pasien Multidrug resisten Tuberkulosis. Dinas Propinsi Jawa Tengah (2015). Kebijakan Penanggulangan Tuberkulosis dan Penyehatan Lingkungan. Erawatyningsih E, Purwanta, Subekti H (2009). Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidaktpatuhan berobat pada penderita tuberkulosis paru. Berita Kedokteran Masyarakat, 25( 3) Ershova JV, Volchenkov GV, Kaminski DA., Somova TR, Kuznetsova TA, Kauetis NV, Cegielski JP, Kurbatova EV. (2015). Epidemiology of Primary Multidrug-Resistant Tuberculosis, Vladimir Region, Russia. Emerging Infection Diseases. 21(11): 2048-2051. Fishbein M and Ajzen I (1975). Belief, attitude, intention and behavior: An introduction to theory and research. e-ISSN: 2549-0273 (online)
Puspitasari et al./ Social Support on the Adherence to Treatment of Tuberculosis
Philippines. Addison Wesley Publishing Company. _____ (2010). Predicting and changing behavior: The reasoned action approach. New York. Psychology Press. Green LW, Kreuter MW (1992). CDC’s Planned Approach to Community Health as an Application of PRECEDE and an Inspiration for PROCEED. Journal of Health Education, 23(3): 140–147 Maesaroh S (2009). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Berobat Pasien Tuberkulosis Paru di Klinik Jakarta Respiratory Centre (JRC)/PPTI Tahun 2009. Skripsi. 105104003485. Murti B (2013). Desain dan Ukuran Sampel untuk Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif di Bidang Kesehatan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Reviono, Kusnanto P, Eko V, Pakiding H, Nurwidhiasih D (2014). Multidrug Resistant Tuberkulosis (MDR TB):
e-ISSN: 2549-0273 (online)
Tinjauan Epidemiologi dan Faktor Risiko Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis. Kesehatan Masyarakat, 46(4): 189-196. Rifat M, Hall J, Oldmeadow C, Husain A, Hinderaker SG, Milton AH (2015). Factors related to previous Tuberculosis Treatment of patiens With Multidrug-resisteant Tuberculosis in Bangladesh.BMJ Open, 5(9). Slavin R (2005). Cooperative Learning, reaserch and practice (N. Yusron. Terjemahan). London. Allymand Bacon. UNOPS (2015). The Paradigm 2016-2020. Diakses dariwww.stoptb.org/global /plan/plan2/annexes.asp. WHO(2014).Companion Handbook to the WHO Guidelines for the Programmatic Management of Drug Resistant Tuberculosis. Geneva. ______ (2015). Global tuberkulosis report. Geneva.
65