SERTIFIKASI DAN PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN
Oleh: Imam Nasruddin1
Pendahuluan Dunia pendidikan sedang diguncang oleh berbagai perubahan sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat (E. Mulyasa, 2007: 3), serta ditantang untuk dapat menjawab berbagai permasalahan lokal dan perubahan global yang terjadi begitu pesat. Perubahan dan permasalahan tersebut menurut Prof. Sanusi mencakup
social change, turbulence, complexity, dan chaos, seperti pasar bebas (free trade), tenaga kerja bebas (free labour), perkembangan masyarakat informasi, serta perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya yang sangat dahsyat. Usaha peningkatan mutu pendidikan selalu dan terus diusahakan oleh pemerintah dengan berbagai cara dan ragamnya, mulai dari cara yang sifatnya lokal oleh sekolah yang bersangkutan, Dinas Pendidikan setempat akan tetapi juga oleh pemerintah pusat dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional. Usaha ini dilakukan memang dalam beberapa hal mutu pendidikan di Indonesia terus mengalami kemerosotan baik dari segi mutu siswanya maupun mutu gurunya. Karena keberadaan guru yang bermutu merupakan syarat mutlak hadirnya sistem dan praktik pendidikan yang bermutu, hampir semua bangsa di dunia ini selalu mengembangkan kebijakan yang mendorong keberadaan guru yang bermutu. Salah satu kebijakan yang dikembangkan oleh pemerintah di banyak negara adalah kebijakan intervensi langsung menuju peningkatan mutu dan memberikan jaminan dan
kesejahteraan
hidup
guru
yang
memadai.
Beberapa
negara
yang
mengembangkan kebijakan ini bisa disebut antara lain Singapore, Korea Selatan, Jepang, dan Amerika Serikat. Negara-negara tersebut berupaya meningkatkan mutu guru dengan mengembangkan kebijakan yang langsung mempengaruhi mutu
1
Pendidik di MAN Sakatiga Kabupaten Ogan Ilir Provinsi Sumatera Selatan.
1
dengan melaksanakan sertifikasi guru. Guru yang sudah ada harus mengikuti uji kompetensi untuk mendapatkan sertifikat profesi guru (Fasli Jalal, 2007: 1). Kualitas atau Mutu Pendidikan Indonesia Kualitas atau mutu pendidikan di Indonesia dianggap oleh banyak kalangan masih rendah (Kunandar, 2007: 1). Hal ini bisa dilihat dari beberapa indikator.
Pertama, lulusan dari sekolah atau perguruan tinggi yang belum siap memasuki dunia kerja karena minimnya kompetensi yang dimiliki. Menurut Dr. Berry Priyono, bekal kecakapan yang diperoleh dari lembaga pendidikan tidak memadai untuk dipergunakan secara mandiri, karena yang diperoleh di lembaga pendidikan sering kali terpaku pada teori, sehingga peserta didik yang kurang inovatif dan kreatif (Kompas, 4 Desember 2004). Kedua, peringkat Human Development Index (HDI) Indonesia yang masih rendah (tahun 2004 peringkat 111 dari 117 negara dan tahun 2005 peringkat 110 dibawah Vietnam dengan peringkat 108). Ketiga, laporan
International Educational Achievement (IEA) bahwa kemampuan membaca sisiwa SD Indonesia berada di urutan 38 dari 39 negara yang disurvei. Keempat, mutu akademik antar bangsa melalui Programme for International Student Assessment (PISA) 2003 menunjukkan bahwa 41 negara yang disurvei untuk bidang IPA, Indonesia menempati peringkat ke -38, sementara untuk bidang matematika dan kemampuan membaca menempati pringkat ke-39. Jika dibandingkan dengan Korea Selatan, peringkatnya sangat jauh, untuk bidang IPA menempati peringkat ke-8, membaca peringkat ke-7 dan matematika peringkat ke-3. Kelima, laporan World
Competitiveness Yearbook tahun 2000, daya saing SDM Indonesia berada pada posisi 46 dari 47 negara yang disurvei. Keenam, posisi Perguruan Tinggi Indonesia yang dianggap favorit, seperti Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada hanya berada pada posisi ke-61 dan 68 dari 77 perguruan tinggi di Asia (Asiaweek, 2000). Ketujuh, ketertinggalan bangsa Indonesia dalam Iptek dibandingkan dengan negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand. Indikator rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia juga diperparah oleh adanya laporan Media Indonesia 22 Desember 2005 yang mengatakan bahwa di
2
dalam data Kementerian Pemuda dan Olahraga yang menyatakan bahwa sebanyak 37,06% pemuda Indonesia hanya lulus Sekolah Dasar (SD). Dari 217 juta penduduk Indonesia jumlah pemuda (umur 15-35 tahun) diperkirakan ada 97 juta orang. Selanjutnya melengkapi rendahnya mutu pendidikan di Indonesia adalah dengan maraknya jual beli gelar yang menghasilkan gelar dan ijazah palsu. Yang lebih eronis lagi penjual dan pembeli gelar palsu dilakukan oleh orang-orang yang berkecimpung dalam bidang pendidikan dan orang-orang yang selama ini dianggap sebagai tokoh masyarakat (Kunandar, 2007: 2). Sedang menurut Zuhal (2005: 3), indikasi lain ketertinggalan Indonesia dalam hal pendidikan, dapat pula diukur berdasarkan kriteria ”Teknology Achievement
Index”, yang membagi negera-negara di dunia menjadi empat kelompok, yaitu : pertama kelompok Technology Inovator Countries, yang beranggotakan 18 negara (AS, Jepang, dan negara-negara Eropa Barat), kedua,
kelompok Technology
Implementor Countries, yang mencakup negara yang bisa memproduksi barang atau inovasi meskipun baru bisa (Malaysia), sedang Indonesia masuk kelompok yang ketiga yakni kelompok Technology Adaptor Countries, merupakan kelompok negara yang baru bisa mengadopsi belum ke implementasi luas, dan ironisnya berada pada peringkat ke 60 dari 63 negara dalam kelompok ini, dan keempat kelompok Maginalized Countries. Sertifikasi dan Kompetensi Guru Landasan utama yang menjadi acuan program sertifikasi dan kompetensi guru adalah Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada pasal 42 ayat 1 yang mengatakan bahwa ”Pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikat sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, sedang pasal 43 ayat 2 mengatakan bahwa : ”sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi.
3
Selanjutnya pada tataran aplikatifnya juga diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pada pasal 8; ”guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan Nasional”, pasal 9 ”kualifikasi akademik dimaksud dalam pasal 8 diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat”, pasal 10 ayat 1 ”kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi”, dan pasal 11 ayat 1 ” Sertifikat pendidik sebagaimana dalam pasal 8 diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan”(Dirjen Pendis, 2007: 62-63). Hal ini juga disebut pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pada pasal 28 ayat 1 ” Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, dan pasal 28 ayat 3 ”kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi : a. kompetensi pedagogik b. kompetensi kepribadian c. kompetensi profesional d. kompetensi sosial, Menurut Kamus Umum Bahasa Indoensia (WJS Poerwodarminto) kompetensi berarti (kewenangan) kekuasaan untuk menentukan atau memutuskan suatu hal. Pengertian dasar kompetensi (competency) yakni kemampuan atau kecakapan. Sedang kompetensi guru (teacher competency)
adalah the ability of a teacher
responsibibly perform has or her duties appropriately (M, Uzer Usman, 2008: 14). Sedang, pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 29 ayat 1, 2, 3, 4, 5, dan 6 dikatakan bahwa setiap pendidik harus memiliki sertifikat profesi guru sesuai dengan jenjang
4
pendidikan yang diperlukan seperti guru SD/MI harus mempunyai sertifikat profesi guru SD, guru SMP harus mempunyai sertifikat profesi guru SMP/MTs dan seterusnya. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dikemukakan bahwa sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru dan dosen. Sedangkan sertifikat pendidik adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional. Berdasarkan pengertian tersebut, sertifikasi guru dapat diartikan sebagai suatu proses pemberian pengakuan bahwa seseorang telah memiliki kompetensi untuk melaksanakan pelayanan pendidikan pada satuan pendidikan tertentu, setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh lembaga sertifikasi. Dengan kata lain, sertifikasi guru adalah proses uji kompetensi yang dirancang untuk mengungkapkan penguasaan kompetensi seseorang guru sebagai landasan pemberian sertifikat pendidik (E.Mulyasa, 2007: 33-34). Untuk meningkatkan kualitas guru, perlu suatu system pengujian terhadap kompetensi guru. Sejalan dengan kebijakan otonomi daerah, beberapa daerah telah melakukan uji kompetensi guru (E.Mulyasa, 2008: 187). Selanjutnya, uji kompetensi guru baik secara teoritis maupun secara praktis memiliki manfaat yang sangat penting,
terutama
dalam
rangka
meningkatkan
mutu
pendidikan
melalui
peningkatan mutu guru. Profesionalisme Guru Istilah profesional sudah melekat sejak lama setelah orang menyadari bahwa pekerjaan khusus yang selalu berdampak baik positif maupun negatif harus dikerjakan dengan sungguh-sungguh. Guru dengan perangkat didiknya harus menyadari bahwa keprofesionalannya itu harus dibayar mahal sehingga harus cerdas dan selalu responsif dalam menanggapi dan menyikapi segala permasalahan yang berhubungan dengan profesinya (Isjoni, 2008: 39).
5
Profesionalisme adalah paham yang mengajarkan bahwa setiap pekerjaan harus dilakukan oleh orang yang profesional. Orang yang profesional ialah orang yang memiliki profesi (A.Tafsir, 2008: 107). Profesionalisme adalah aspek penting lainnya dalam menentukan mutu pendidikan. Profesionalisme sekolah/madrasah terletak pada: 1) kepala sekolah sebagai personil yang memiliki posisi strategis dalam meningkatkan kualitas sekolah/madrasah. Oleh karena itu penunjukan kepala sekolah/madrasah harus melalui seleksi yang ketat, selain itu profesional diartikan juga sesuatu yang memberikan keuntungan dalam bidang materi, tanpa harus mengorbankan semangat ikhlas beramal dan jiwa pengabdian. 2) guru sebagai penanggung jawab utama perlu diperhatikan yang sungguh-sungguh, karena disadari penentu keberhasilan suatu pelaksanaan pendidikan khususnya dalam proses pembelajaran lebih banyak bertumpu pada manajemen guru. Sehingga berbagai aspek yang berkaitan dengan guru perlu diperhatikan, baik aspek rekrutmen, hendaknya dapat memilih guru yang interdisipliner dengan latar belakang ilmu yang sesuai dengan bidang studi yang diajarkan. Sehingga diharapkan tidak ada lagi guru yang mengajar tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Profesionalisme mutlak diperlukan pula diwujudkan dalam perencanaan, penyiapan tenaga pengajar, kurikulum, dan pelaksanaan pendidikan Islam itu sendiri (Azyumardi azra, 2000: 60). Menurut Muchtar Luthfi (dalam A. Tafsir, 2008: 107)) dari Universitas Riau (lihat Mimbar, 3, 1884: 44), seseorang yang disebut memiliki profesi bila ia memenuhi kriteria berikut : 1). Profesi harus mengandung keahlian, 2). Profesi dipilih karena panggilan hidup dan dijalani sepenuh waktu, 3). Profesi memiliki teori-teori yang baku secara universal, 4). Profesi adalah untuk masyarakat bukan untuk diri sendiri, 5). Profesi harus dilengkapi dengan kecakapan diagnostik dan kompetensi aplikatif, 6) pemegang profesi memiliki otonomi dalam melakukan tugas profesinya, 7) profesi mempunyai kode etik, yang disebut kode etik profesi, dan 8) profesi harus mempunyai klien yang jelas, yaitu orang yang membutuhkan layanan.
6
Menurut A. Tafsir (2008: 113) dalam agama Islam, setiap pekerjaan harus dilakukan secara profesional, dalam arti harus dilakukan dengan benar. Itu hanya mungkin dilakukan oleh orang yang ahli, begitulah Rasulullah saw mengajarkan kepada kita dalam haditsnya :
Keterpurukan pendidikan tidak terlepas dari rendahnya mental profesional guru yang ’mungkin terpaksa’ menerjuni profesi ini akibat dan legalitas ijazah yang dimiliki (Isjoni, 2008: 41). Peningkatan Mutu Pendidikan Salah
satu
usaha
pemerintah
dalam
meningkatkan
mutu
pendidikan
diantaranya dengan peningkatan mutu pendidiknya. Usaha ini tentu karena diawali dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD), dengan terbitnya undang-undang ini berarti menjadi tongggak awal usaha peningkatan mutu pendidikan di Indonesia khususnya dimulai dari usaha memberikan sertifikasi kepada guru atau pendidiknya. Selanjutnya adakah peningkatan mutu pendidikan secara signifikan terhadap hasil dari sertifikasi itu?. Dalam hal ini Fasli Jalal (2007: 1), Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Departemen Pendidikan Nasional, menyampaikan dalam makalahnya sebagai berikut:
Pertama dan sekaligus yang utama, sertifikasi merupakan sarana atau instrumen untuk mencapai suatu tujuan, bukan tujuan itu sendiri. Seperti yang telah dikemukakan di atas, perlu ada kesadaran dan pemahaman dari semua fihak bahwa sertifikasi adalah sarana untuk menuju kualitas. Sertifikasi bukan tujuan itu sendiri. Kesadaran dan pemahaman ini akan melahirkan aktivitas yang benar, bahwa apapun yang dilakukan adalah untuk mencapai kualitas. Kalau seorang guru kembali masuk kampus untuk kualifikasi, maka belajar kembali ini untuk mendapatkan tambahan ilmu pengetahuan dan ketrampilan, sehingga mendapatkan ijazah S-1. 7
Ijazah S-1 bukan tujuan yang harus dicapai dengan segala cara, termasuk cara yang tidak benar melainkan konsekuensi dari telah belajar dan telah mendapatkan tambahan ilmu dan ketrampilan baru. Demikian pula kalau guru mengikuti uji sertifikasi, tujuan utama bukan untuk mendapatkan tunjangan profesi, melainkan untuk dapat menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah memiliki kompetensi sebagaimana disyaratkan dalam standar kemampuan guru. Tunjangan profesi adalah konsekuensi logis yang menyertai adanya kemampuan yang dimaksud. Dengan menyadari hal ini maka guru tidak akan mencari jalan lain guna memperoleh sertifikat profesi kecuali mempersiapkan diri dengan belajar yang benar untuk menghadapi uji sertifikasi.
Kedua, konsistensi dan ketegaran pemerintah. Sebagai suatu kebijakan yang merentuhan dengan berbagai kelompok masyarakat akan mendapatkan berbagai tantangan dan tuntutan. Paling tidak tuntutan dan tantangan akan muncul dari 3 sumber. Sumber pertama adalah dalam penentuan lembaga yang berhak melaksanakan uji sertifikasi. Berbagai lembaga penyelenggara pendidikan tinggi, khususnya dari fihak Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Swasta akan menuntut untuk diberi hak menyelenggarakan dan melaksanakan uji sertifikasi. Demikian juga, akan muncul tuntutan dari berbagai LPTK negeri khususnya di daerah luar jawa akan menuntut dengan alasan demi keseimbangan geografis. Tuntutan ini akan mempengaruhi penentuan yang mendasarkan pada objektivitas kemampuan suatu perguruan tinggi. Ketegaran dan konsistensi pemerintah juga diperlukan untuk menghadapi tuntutan dan sekaligus tantangan bagi pelaksana Undang-Undang yang muncul dari kalangan guru sendiri. Mereka yang sudah senior atau mereka para guru yang masih jauh dari pensyaratan akan menentang dan menuntut berbagai kemudahan agar bisa memperoleh sertifikat profesi tersebut.
Ketiga, tegas dan tegakkan hukum. Dalam pelaksanaan sertifikasi, akan muncul berbagai penyimpangan dari aturan main yang sudah ada. Adanya penyimpangan ini tidak lepas dari adanya upaya berbagai fihak, khususnya guru untuk mendapatkan sertifikat profesi dengan jalan pintas. Penyimpangan yang muncul dan harus diwaspadai adalah pelaksanaan sertifikasi yang tidak benar. Oleh karenanya,
8
begitu ada gejala penyimpangan, pemerintah harus segera mengambil tindakan tegas. Seperti mencabut hak melaksanakan sertifikasi dari lembaga yang dimaksud, atau menetapkan seseorang tidak boleh menjadi penguji sertifikasi, dan lain sebagainya.
Keempat, laksanakan UU secara konsekuen. Tuntutan dan tantangan juga akan muncul dari berbagai daerah yang secara geografis memiliki tingkat pendidikan yang relatif tertinggal. Kalau UUGD dilaksanakan maka sebagian besar dari pendidik di daerah ini tidak akan lolos sertifikasi. Pemerintah harus konsekuen bahwa sertifikasi merupakan standar nasional yang harus dipatuhi. Toleransi bisa diberikan dalam pengertian waktu transisi. Misalnya, untuk Jawa Tengah transisi 5 tahun, tetapi untuk daerah yang terpencil transisi 10 tahun. Tetapi standar tidak mengenal toleransi.
Kelima pemerintah pusat dan pemerintah daerah menyediakan anggaran yang memadai, baik untuk pelaksanaan sertifikasi maupun untuk pemberian tunjangan profesi. Penutup Masih diperlukan waktu untuk menjawab dan membuktikan keberhasilan dan peningkatan mutu pendidikan melalui program sertifikasi dan kompetensi guru yang untuk selanjutnya menjadikan guru yang profesional, namun dalam hal ini kita harus yakin dengan sepenuh hati bahwa pemerintah telah berupaya maksimal untuk memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia. Dengan dibarengi niat yang tulus oleh para guru dalam menjalankan tugasnya sekaligus berdoa kepada Allah swt mudahmudahan apa yang pemerintah dan kita lakukan akan menuai hasil yang maksimal pada tahun-tahun mendatang, sehingga apa yang kita lakukan tidak sia-sia dan sekaligus mendapat ridha-Nya.
9