Nama Mahasiswa : NIM. : Jurusan : Mata Kuliah : UTS/Tahun : Dosen Pengampu :
MUHAMMAD ALI GUNAWAN 0629021006 Penelitian dan Evaluasi Pendidikan FILSAFAT ILMU I / 2006 Dr. I KETUT SUMA, MS.
Cogito ergo sum Cogito ergo sum Cogito ergo sum Cogito ergo sum Cogito ergo sum Cogito ergo sum Cogito ergo sum Cogito ergo sum
Soal : 1. Deskripsikanlah secara singkat persamaan dan perbedaan berpikir filsafati dan berpikir ilmiah. Berikan contoh masing-masing. 2. Jelaskan dan berikan contoh objek formal dan material dalam ilmu dan filsafat. 3. Deskripsikan cirri-ciri yang menonjol pada perkembangan filsafat dan ilmu pada (1) Sebelum abad 15/16, (2) abad pertengahan, dan (3) Abad Modern, dan tunjukkan kemajuan-kemajuan yang terjadi dari zaman ke zaman. Uraian hendaknya dilengkapi dengan tokoh-tokoh ilmu dan filsafat yang berperan besar pada setiap zaman. 4. Deskripsikanlah sumbangan dunia timur (Islam_Arab, India dan Cina) dalam perkembangan ilmu di dunia Barat. 5. Bidang telaah filsafat ilmu adalah Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi. Tunjukkan bahwa ketiga bidang ini terkait satu sama lain, dan berikan contohnya. 6. Tunjukkan dan berikan contoh bahwa metode ilmiah merupakan kombinasi antara penalaran deduktif dan induktif (antara rasionalisme dan empirisme). Jelaskan langkah-langkah utama dalam metode ilmiah dan berikan contoh. 7. Jelaskan dan tunjukkan perbedaan dan persamaan Agama, Seni, dan Ilmu ditinjau dari aspek ontology, epistemology, dan aksiologi. 8. Berikan pendapat dan argumentasi anda apakah ilmu bebas nilai atau terikat nilai. 9. Deskripsikan dengan singkat tanggungjawab sosial ilmuwan dalam pengembangan ilmu dan berikan contoh. 10. Tulislah uraian singkat masalah aktual yang menyangkut dilema pengembangan ilmu (ambil misalnya kasus bioteknologi, teknologi nuklir dan lain-lain) uraian disertai dengan kajian teoretis dan fakta-fakta empiris dan sampaikan pandangan anda terhadap masalah itu.
muhammad ali gunawan_undiksha2006
1
Jawaban : 1. Persamaan dan Perbedaan berpikir filsafati dan berpikir ilmiah. a. Persamaan : §
Filsafat dan ilmu mencari rumusan yang sebaik-baiknya, menyelidiki objek selengkap-lengkapnya sampai ke akar-akarnya.
§
Keduanya memberikan pengertian mengenai hubungan atau koheren yang ada antara kejadian-kejadian yang kita alami dan mencoba menunjukkan sebab-sebabnya.
§
Keduanya hendak memberikan sintesis, yaitu suatu pandangan yang bergandengan.
§
Keduanya mempunyai metode dan system
§
Keduanya hendak memberikan penjelasan tentang kenyataan, seluruhnya timbul dari hasrat manusia (objektivitas), akan pengetahuan yang mendasar.
Contoh : Misalkan, kita berbicara mengenai kasus Poligami yang dilakukan oleh A.A Gym. Awalnya filsafat mencari apa sebutan dari perbuatan kawin lebih dari satu? Bagaimana seharusnya ikatan perkawinan itu dan bagaimana poligami bisa terjadi? Kenapa dan untuk apa poligami? Setelah filsafat memberikan jawabannya mengenai poligami. Maka ilmu mengambil alih, dijelaskanlah masalah poligami melalui teori-teori atau norma-norma atau kaidah-kaidah dan ajaran agama serta ilmu-ilmu sosial lainnya. Ilmu mencari sebab-sebab dan dasar dari sahnya perbuatan poligami, mudharat dan manfaatnya, serta dampakdampak yang ditimbulkan dalam kehidupan masyarakat. Sampai pada ditemukannya aturan-aturan baru atau kesepakatan bersama mengenai boleh tidaknya poligami di Indonesia. b. Perbedaan : §
Objek material (lapangan) filsafat itu bersifat universal (umum), yaitu segala sesuatu yang ada (realita) sedangkan objek material ilmu (pengetahuan ilmiah) itu bersifat khusus dan empiris. Artinya, ilmu hanya terfokus pada disiplin bidang masing-masing secara kaku dan terkotak-kotak. Sedangkan kajian filsafat tidak terkotak-kotak dalam disiplin tertentu.
§
Objek formal (sudut pandangan) filsafat itu bersifat non fragmentaris, karena mencari pengertian dari segala sesuatu yang ada itu secara luas, mendalam dan mendasar. Sedangkan ilmu bersifat fragmentaris, spesifik, dan intensif. Di samping itu, objek formal ilmu itu bersifat teknik, yang
muhammad ali gunawan_undiksha2006
2
berarti bahwa cara ide-ide manusia itu mengadakan penyatuan diri dengan realita. §
Berpikir filsafat dilaksanakan dalam suatu suasana pengetahuan yang menonjolkan daya spekulasi, kritis, dan pengawasan, sedangkan ilmu haruslah diadakan riset lewat pendekatan trial and error. Oleh karena itu, nilai ilmu terletak pada kegunaan pragmatis, sedangkan kegunaan filsafat timbul dari nilainya.
§
Filsafat memuat pertanyaan lebih jauh dan lebih mendalam berdasarkan pada pengalaman realitas sehari-hari, sedangkan ilmu bersifat diskursif, yaitu menguraikan secara logis, yang dimulai dari tidak tahu menjadi tahu.
§
Filsafat memberikan penjelasan yang terakhir, yang mutlak, dan mendalam sampai mendasar (primary cause) sedangkan ilmu menunjukkan sebabsebab yang tidak begitu mendalam, yang lebih dekat, yang sekunder (secondary cause)
Contoh : “Tayangan SmackDown di Televisi” Filsafat berupaya mempertanyakan lebih mendalam: Apa yang sebenarnya ada dalam otak anak-anak kita di saat mereka melihat tayangan semacam itu? Bagaimana smackdown mempengaruhi perilaku anak-anak/penontonnya? Untuk apa smackdown ditayangkan? Kalau hanya untuk hiburan, apakah tidak ada hiburan lain selain hiburan kekerasan? Pertanyaannya tidak sampai di situ, tapi apakah dengan adanya korban jiwa, Smackdown lantas dilarang untuk disiarkan? Bagaimana dengan mobil yang setiap hari membawa korban? Apakah mobil juga akan dihentikan pemakaiannya karena berbahaya bagi pengguna jalan? Di sisi yang lain, ilmu, khususnya ilmu pertelevisian menanyakan: Apakah smackdown memang berbahaya bagi anak-anak, seberapa besar pengaruhnya? Pertanyaannya kira-kira hanya sampai kepada hal itu saja, ilmu tidak mempertanyakan hal-hal lain diluar itu, karena ilmu sifatnya terbatas (terkotakkotak) 2. Objek Formal dan Materal Filsafat Objek formal filsafat tidak terbatas pada apa yang mampu diindrawi saja, melainkan seluruh hakikat sesuatu baik yang nyata maupun yang abstrak. Sedangkan
objek
materialnya
adalah
proses-proses
yang
memungkinkan
ditimbanya pengetahuan yang benar dan cara/teknik atau sarana yang membantu dalam mendapatkan pengetahuan yang benar itu, disinilah fungsi logika dan penalaran begitu berarti.
muhammad ali gunawan_undiksha2006
3
Dengan ontologis berati mempelajari wujud dari sesuatu objek, hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (pengindraan, perasaan dan pemikiran) yang membuahkan pengetahuan sebagai objek materialnya. Dengan epistemologis, berarti bagaimana kemungkinan penimbaan pengetahuan yang merupakan ilmu, proses-proses, dan faktor pendukungnya, agar memperoleh pengetahuan yang benar. Selanjutnya dapatlah menemukan tentang hakikat kebenaran dan kriterianya sebagai objek materialnya. Dengan aksiologis, berarti dapat menemukan kegunaan ilmu pengetahuan itu, hubungan antara sistem penggunaannya dengan norma-norma, moral serta hubungan antara teknik operasional metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional itu sebagai objek materialnya. Contoh : Objek formal filsafat itu ada tiga : Apa/what? (ontologi) Tuhan, bagaimana/how Tuhan itu ada (epistemologi), untuk apa/what for Tuhan ada (aksiologi). Tuhan dalam hal ini adalah objek material yang tidak berbentuk immaterial. Namun dengan bantuan logika dan nalar Tuhan/Agama sebagai objek material dapat terjawab.
Objek Formal dan Material Ilmu Pengetahuan Objek formal ilmu pengetahuan adalah sudut pandangan ilmu pada umumnya, artinya bahwa yang dikatakan sebagai objek formal ilmu adalah dari sudut mana kerja ilmu itu dilihat, apakah dari sudut asas-asasnya, sistematisnya, kaidah-kaidah, norma-norma atau hukum-hukum berpikir yang harus ditaati agar kita dapat berpikir benar dan mencapai kebenaran yang dikatakan sebagai ilmu. Sedangkan objek material ilmu adalah objek yang mempelajari secara langsung pekerjaan akal dan mengevaluasi hasil-hasil dari objek formal ilmu itu dan mengujinya denan realisasi praktis yang sebenarnya. Atas dasar ini dapat dikatakan bahwa ilmu secara sistematisnya memiliki tiga objek formal yaitu : Ilmu pengetahuan Deskriptif, Ilmu Pengetahuan Normatif, dan Ilmu Pengetahuan Efisiensif. Dan objek materialnya adalah : kosmologis, noologis (sosial dan budaya).
muhammad ali gunawan_undiksha2006
4
Contoh : a. Ilmu Paedagogik : Objek formalnya: normatif; dan objek materialnya : noologis (socio-cultural) b. Ilmu Ekonomi : Objek formalnya: efisiensif; dan objek materialnya : noologis prinsipia – matematis/etis. c. Ilmu Kedokteran : Objek formalnya: efisiensif; dan objek materialnya: cosmologis prinsipia – phisis/ethis
3. Ciri-ciri Filsafat dan Ilmu Sebelum Abad XV dan XVI
Ciri-ciri Filsafat dan Ilmu Abad Pertengahan (XV dan XVI) a. Pada zaman ini ditandai dengan munculnya renaisans, di mana manusia Barat mulai berpikir secara baru, dan secara berangsur-angsur melepaskan diri dari otoritas kekuasaan gereja yang selama ini telah membelenggu kebebasan dalam mengemukakan kebenaran filsafat dan ilmu. Pemikir yang dapat dikemukakan dalam jawaban ini antara lain : Nicholas Copernicus (1473-1543) dan Francis Bacon (1561-1626). b. Corak berpikir filsafati begitu bebas dan terbuka sesuai dengan teori-teori dan fakta-fakta empiris. Hal ini ditandai dengan gugurnya teori Geosentrisme-nya ptolomeus oleh teori heliosentrisme. Yang dilanjutkan dengan penemuanpenemuan lainnya seperti lintasan planet oleh Tycho dan Johannes Keppler (1571-1630). Teori lintasan peluru, hukum gerak, dan penemuan tata bulan planet Jupiter oleh Galileo (1546-1642). Pada masa yang bersamaan dengan Keppler dan Galileo ditemukan Logaritma oleh Napier (1550-1617). Ditemukan juga Projective Geometri, Desarque (1593-1662)
Ciri-ciri Filsafat dan Ilmu Zaman Modern (Abad XIX dan XX ) a. Daerah tempat filsafat berkembang menjadi lebih luas, termasuk Ameriska dan Unisoviet memberi sumbangannya. b. Ilmu Pengetahuan berkembang cepat sekali, terlebih-lebih dalam bidang geologi, biologi, dan kimia organis.
muhammad ali gunawan_undiksha2006
5
c. Produksi yang dihasilkan mesin-mesin sangat mengubah masyarakat dan memberikan kepada manusia suatu konsepsi baru tentang kuasa dalam hubungan dengan alam sekitar. d. Baik bidang filsafat maupun dibidang politik ada suatu revolusi mendalam terhadap sistem-sistem tradisional dalam pemikiran, dalam politik dan dalam ekonomi, yang mengakibatkan adanya serangan-serangan terhadap kepercayaan dan lembaga-lembaga yang hingga sekarang dipandang tak tergoyahkan. e. Suatu faktor baru yang tampak pada zaman ini ialah dominasi Jerman secara intelektual dimulai oleh Kant. Idealisme Jerman setelah Kant dan yang kemudian, besar sekali pengaruhnya terhadap sejarah filsafat di Jerman. f. Pada abad ke 17 dikuasai oleh pemikiran Galileo dan Newton, maka pada abad ke 19 pengaruh Darwin besar sekali.
4. Sumbangan dunia timur dalam perkembangan ilmu di Dunia Barat: a. Islam (Arab) Sumbangan para ahli pikir muslim, telah memajukan dunia matematika, fisika, astronomi, optik, kimia, zoologi, botani dan farmasi. Dengan tidak meninggalkan tradisi berpikir rasional, sehingga melahirkan para filsuf yang juga ilmuwan, seperti Al-Khawarizmi, Al-Battani, Al-Razi, Ibnu Sina, dan lainlain. tak heran jika H.G. Wells dalam bukunya The Outline of History menyatakan “Dalam perjalanan sejarahnya maka lewat orang muslimlah dan bukan lewat kebudayaan latin, dunia modern sekarang ini mendapatkan kekuatan dan cahayanya” (Jujun S. Surisumantri, 1988 : 114-115). Penulis-penulis barat pada umumnya berusaha menghilangkan sumbangan dunia Islam terhadap perkembangan ilmu. Rene Sedillot, umpamanya dalam bukunya The History of The World, dengan sinis dan penuh prasangka menulis, “warisan Islam terhadap peradaban manusia adalah pembakaran perpustakaan dan penebangan hutan tanpa sejengkal tanah pun ditanami” padahal, lewat terjemahan-terjemahan zaman Islam, maka filsafat Yunani bisa dibaca manusia sekarang ini. Dan lebih dari itu, para ilmuwan Islamlah yang telah berhasil memadukan warisan Yunani dan Hindu, sehingga dewasa ini berkembang menjadi ilmu yang dinikmati umat manusia. Metode eksperimental era Islam, diperkenalkan di dunia Barat oleh Roger Bacon (1214-1294), kemudian dimantapkan sebagai paradigma ilmiah oleh muhammad ali gunawan_undiksha2006
6
Francis Bacon (1561-1626), singkatnya, metode eksperimental dikembangkan oleh para ilmuwan muslim dan disosialisasikan oleh Francis Bacon. Bacon juga menegaskan tujuan ilmu: kegunaan praktis dalam kehidupan (pragmatisme). “Penyatuan penafsiran teoritis dan kontrol terhadap alam akan menghasilkan serangkaian penemuan yang dalam beberapa hal mungkin mengatasi kebutuhan hidup manusia” demikian pandangan Bacon (Haidar Bagir dan Zainal Abidin, 1988 : 11). Dapat dilihat betapa berbedanya pendekatan yang ditawarkan Bacon dibandingkan tradisi Yunani. Para pemikir Yunani semata-mata merenungkan alam semesta demi memahami alam. Tak terpikir, bagaimana memanfaatkan ilmu untuk menciptakan teknologi yang berguna untuk kehidupan sehari-hari. Lebih jauh, Bacon berpendapat bahwa untuk menyelidiki alam, manusia harus menempatkannya pada sebuah posisi di mana alam dipaksa untuk memberikan jawabannya! Manusia tiadk lagi sebagai Viator Mundi, orang yang berziarah di dunia ini, tulis Harry Hamersma, melainkan sebagai faber mundi, orang yang menciptakan dunianya. Ya, manusia tak lagi menempatkan alam sebagai objek pemikirannya, tetapi lebih jauh lagi, manusia berusaha menciptakan dunia sebagaimana yang dikehendakinya. Manusia telah menganggap dirinya sebagai pusat kenyataan. Perkembangan selanjutnya, Galileo (1564-1642) membawa metode eksperimental dan gagasan-gagasan Bacon ke dalam praktek. Galileo menggeser pertanyaan mengapa dalam filsafat Yunani, ke bagaimana yang menekankan eksperimen sebuah pergeseran dari kualitatif ke kuantitatif. Berbeda dengan Bacon, Rene Descartes (1596-1650) menekankan penggunaan matematika dalam metode keilmuan. Descartes menyarankan dilakukannnya metode deduksi-konsekwensi penggunaan matematika- dalam metode keilmuan. Dua pandangan berbeda ini, dikomentari Ilmuwan Belanda, Hyugens sebagai berikut : “Gagasan Bacon dan Descartes, bukannya saling bertentangan, tetapi saling melengkapi. Bacon tak menyadari peran matematika dalam metode keilmuan, sementara Descartes tak tahu potensi eksperimental. Selain itu, Descartes sependapat dengan Bacon tentang tujuan ilmu… menjadi tuan dan pemiliki alam” (Haidar Bagir dan Zainal Abidin, 1986 : 12)
Selanjutnya,
Isaac
Newton
(1642-1727)
merupakan
pionir
yang
menggabungkan metode berpikir deduktif dan induktif dalam penyelidikan ilmiahnya. Diteruskan oleh Charles Darwin (1809-1882) yang menghasilkan
muhammad ali gunawan_undiksha2006
7
teori evolusi. Dengan diterimanya metode ilmiah sebagai paradigma, maka ilmu pada abad tujuh belas dan seterusnya mengalami perkembangan pesat. Alfred N. Whitehead (1948) dalam Science Philosophy menyebutkan, bahwa periode antara 1870-1880 sebagai titik kulminasi perkembangan ilmu di mana Pasteur, Darwin dan Clerk-Maxwell berhasil mengembangkan penemuan ilmiahnya. Juga, dijelaskan William F. O’neil temuan ilmiah yang luar biasa, seperti : “Teori kuantum, teori umum dan teori khusus relativitas, prinsip Weiner Heisenberg tentang ketidakpastian (uncertainly), perkembangan di bidang genetika dan biologi molekuler, temuan terbaru dalam psikologi fisik (khususnya yang berkaitan dengan rangsangan eletris terhadap saraf otak), serta psikologi behavioral (khususnya teori dorongan dan penguatan), spekulasispekulasi terbaru mengenai pemindahan pola-pola elektris holografik dalam otak, fenomena-fenomena yang menghebohkan seperti misalnya ‘lubang-lubang hitam’ (black holes) di angkasa luar, partikel-partikel subatomik yang anti materi aneh, dan sebagian tak terjelaskan”. (William F. O’neil, 2001 : 167).
Perkembangan ini merupakan sesuatu yang wajar, mengingat metode ilmiah mendasarkan dirinya pada akal sehat (reasonable) lebih-lebih ditunjang dengan usaha yang terus menerus menyempurnakannya, sebagaimana usaha Thomas S. Khun dengan “Peran Paradigma dalam Revolusi Sains”-nya, dan Karl Popper dengan teori klasifikasinya. Keduanya bersama segenap ilmuwan di seluruh permukaan bumi, bagaikan alat asah penajam untuk pisau metode ilmiah, sehingga lebih tepat dan cepat menemukan hukum-hukum sebagaimana istilah Kuntowijoyo – dihamburkan Allah di alam semesta ini, dan ilmu dengan kemampuan akal manusia menemukan dan menata sebagaimana adanya.
b. India Ilmu pengetahuan bermula di India, yakni ditemukannya petunjuk penggunaan angka desimal dalam matematika. Langkah-langkah detail metode ilmiah digambarkan jauh sebelumnya. Akan tetapi filsafat etika yakni ‘Budha’ (560480 S.M) yang begitu diagungkan, dan pada saat yang sama sekolah kedokteran telah ada. Pada tahun-tahun Budha sendiri, merujuk tradisi, Atreya, seorang ahli fisika, dari Kasi atau Benares, dan Susruta, di Taksasila atau Taxila, menulis tentang semua kejadian, yang menunjukkan akar sejarah mulanya ilmu pengetahuan di India melalui tulisan sansekerta (sanscrit) yang sekarang kita gunakan. Pada zaman India, telah banyak digambarkan mengenai tata cara
muhammad ali gunawan_undiksha2006
8
pembedahan (operasi), seperti untuk penyakit katarak dan hernia, beberapa diantaranya memberikan dasar-dasar anatomy, pshiologi dan patologi, dan lebih dari 700 pengobatan tumbuh-tumbuhan termasuk sebagai catatan. Sejarah Atreya diabadikan oleh Karaka di Kasmir, kira-kira 150 S.M, dan menetapkannya sebagai sistem pengobatan Atreya. Yang sampai sekarang dikenal dengan Agnivesa. Dengan melihat catatan ini, sulit dikatakan, apakah ilmu kedokteran Hindu atau Yunani yang lebih tua, atau barangkali kedua-duanya relatif saling mempengaruhi satu sama lainnya. Aritmetika India adalah sebuah bukti, yang tidak perlu dijelaskan lagi bahwa sebelum permulaan abad ke 3 S.M. sistem notasi telah digunakan untuk mengembangkan skema (urutan) penomoran yang kita pakai hari ini. Yang mana kemudian, dominasi dunia Arab telah menguasai dunia timur Mediteranian, mengambil konsep-konsep matematika dan ilmu kedokteran India dengan belajar dari Yunani dan Romawi. Dan diajarkan kembali pada Eropa Barat melalui Spanyol dan Konstantinopel. Ini bisa dijabarkan sebagai sebuah fakta, bahwa ketika skema notasi India digunakan kembali oleh orang tokoh-tokoh Romawi, sumber mendasar penomoran telah terlupakan dan Dunia Arab telah memberikan nama yang salah.
c. China
5. Ontologi, menyangkut teori tentang ada (being) sebagai obyek ilmu. Pertanyaanpertanyaan yang berkaitan dengan ontologi dengan ontologi diantaranya : obyek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud yang hakiki dari objek tersebut? Bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berfikir, merasa dan mengindera) yang menghasilkan pengetahuan? Benar-benar adakah apa yang disebut sebagai realitas objektif (objective reality) yang terpisah dari subjek? Ataukah, pengetahuan merupakan hasil persentuhan objek (real) dan (interpretasi) subjek, dan dengan demikian tak sepenuhnya terpisah. Epistemologi, atau teori pengetahuan (theory of knowledge) menyangkut kemampuan manusia dalam mencapai objek. Epistemologi mempelajari sifat-sifat dan cara kerja kemampuan-kemampuan tersebut. Sedangkan cara atau proses ini muhammad ali gunawan_undiksha2006
9
disebut metode ilmiah. Indera (sense) dan akal (ratio) adalah kemampuan yang diakui oleh ilmu (science) modern. Gabungan antara kedua kemampuan ini – akal merefleksikan pengalaman empiris sesuai pandangan Immanuel Kant, yang membentuk metode ilmiah. Pertanyaan yang timbul berkaitan dengan epistemologi, diantaranya : bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apa kriterianya? Cara/teknik sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan berupa ilmu? Aksiologi menilai maslahat mudarat pembagian ilmu. Dengan demikian aksiologi tak terpisahkan dari nilai-nilai (value). Dalam hal ini, maka ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat untuk meningkatkan kesejahteraan hidup, dengan tanpa mengorbankan martabat manusia dan merusak kelestarian atau keseimbangan alam. Pertanyaan-pertanyaan yang sering timbul dengan masalah aksiologi ini diantaranya : untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaannya dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasional metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional. Untuk membedakan antara pengetahuan yang satu dengan pengetahuan yang lainnya maka ketiga aspek tersebut : ontologi, epistemologi, dan aksiologi terkait satu dengan yang lainnya. Pertanyaan yang dapat diajukan misalnya apa yang dikaji oleh pengetahuan itu (ontologi)? Bagaimana caranya mendapatkan pengetahuan tersebut (epistemologi)? Serta, untuk apa pengetahuan itu digunakan (aksiologi)? Dengan jawaban dari ketiga pertanyaan tersebut kita dapat membedakan pengetahuan-pengetahuan yang ada dalam kehidupan manusia. Sehingga kita tidak terjerembab mempertentangkan antara ilmu, seni dan agama. Serta dapat meletakkan pada tempatnya masing-masing pemahaman kita tentang ciri-ciri tiap pengetahuan, membantu kita memanfaatkan setiap pengetahuan dengan benar. Contoh: Suatu saat dalam hidup kita, pasti kita pernah melihat hari mendung, awan menebal. Tidak lama setelah itu, turunlah titik air, menyerbu bumi, sampai ditanah mulamula titik air itu menghilang. Apabila titik air itu menitik dalam waktu cukup lama, terbentuklah arus kecil dipermukaan tanah. Titik air itulah yang kita sebut hujan. Ontologi mempertanyakan: Apa itu hujan? Pengetahuan indera menjawab, hujan
muhammad ali gunawan_undiksha2006 10
adalah titik air yang jatuh ke bumi setelah hari mendung dan awan menebal. Titik air itu sampai di tanah menghilang, menggenang atau mengalir dipermukaan tanah. Sekadar itulah tangkapan pancaindera kita tentang hujan. Epistemologi kemudian melanjutkan pertanyaan kepada : Bagaimana hubungan antara hari mendung, awan menebal dan hujan? Mengapa sampai ke tanah? Mengapa mula-mula titik air itu menghilang? Mengapa kemudian terbentuk arus kecil dipermukaan tanah? Kemana akhirnya arus itu menuju? Pertanyaan ini tidak mampu dijawab oleh pancaindera, karena peristiwa itu tidak langsung diserapnya. Untuk menjawabnya diperlukan penyelidikan, riset dan eskperimen. Data yang terkumpul, dianalisis secara mendasar dan runtut dengan urutan yang dapat dipertanggungjawabkan, kemudian disimpulkan menjadi fakta. Terbentuklah pengetahuan secara ilmiah tentang hujan. Pengetahuan yang bersifat ilmiah atau yang telah dibuktikan dengan metode ilmiah inilah yang disebut ilmu. Sebagaimana dijelaskan dalam Doubleday Pictorial Library of The Growth of Ideas, “ Science: the study of the world according to scientific method, that is, observation in conjuntion with the method of hypotesis and deduction (Ilmu : penelaahan mengenai dunia sesuai dengan metode ilmiah, yakni pengamatan dalam hubungannya dengan metode hipotesis dan deduksi)” (The Liang Gie, 2000 : 192). Jika kemudian timbul pertanyaan Aksiologi: Kenapa dan untuk apa terjadi hujan? Ilmu menjawab, karena hukum alam. Apa hukum alam itu? Hukum alam adalah ketentuan alam atau peristiwa alam yang serba tetap. Apa yang dimaksud dengan ketentuan dan peristiwa alam? Pertanyaan ini tidak dijawab oleh ilmu. Apa yang mau diriset atau dieksperimen? Air yang membentuk siklus itu masih dapat diteliti. Ternyata terdiri atas hidrogen dan oksigen, dengan perbandingan 2 : 1. kenapa keduanya bersenyawa? Ya, itu adalah hukum alam. Terbentur lagi kita kepada pertanyaan, apa itu hukum alam. Ketika ilmu angkat tangan, sampai kepada batas kemampuannya, pertanyaan itu diserahkan kepada filsafat. Filsafat menjawab, hukum alam adalah hukum materi atau zat. Zat adalah hakikat dari segala yang ada. Ia adalah awal dan akhir dari segalanya. Dari pertanyaanpertanyaan seperti ini, timbullah aliran materialisme atau serba zat, yang merupakan aliran besar filsafat metafisika. Berlawanan dengan aliran besar lainnya spritual atau serba ruh, idealisme atau serba ide. Bahwa hujan diturunkan untuk memakmurkan bumi atau membasahi bumi dari kekeringan. Aksiologi juga menjawab bahwa jika tidak terjadi hujan maka bumi akan panas dan terjadi kebakaran di mana-mana. 6. Metode ilmiah merupakan sintesis antara berpikir rasional dan bertumpu pada data empiris. Kedua cara berpikir ini tercermin dalam berbagai langkah yang terdapat dalam proses kegiatan ilmiah. Pada dasarnya pemikiran secara empiris pertamatama menyadarkan kita akan adanya suatu masalah. Tidak pernah berpikir sekiranya kita tidak menyadari adanya masalah yang kita pikirkan. Contoh sederhana : ketika kita menghadapi masalah bencana lumpur panas Lapindo Berantas, maka timbullah masalah yang berhubungan dengan hal itu. Mengapa lumpur panas bisa keluar sebegitu hebatnya sampai menimbulkan korban jiwa dan menenggelamkan sejumlah desa? Apa yang menyebabkan terjadinya musibah tersebut? Bagaimana cara untuk menanggulanginya? Munculnya pertanyaan/permasalahan ini, kemudian
muhammad ali gunawan_undiksha2006 11
dicari jawabnya melalui kemampuan analisis terhadap data-data yang ada dan teoriteori yang mendukungnya. Begitu pun juga dengan masalah-masalah lainnya yang kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari. James B. Conant, menjelaskan langkah metode ilmiah (steps in the scientific method), sebagai berikut : “Recognize that an indeterminate situation exists. This is a conflicting or obscure situation demanding inqury, Two, state the problem in specific terms. Three, formulate a working hypothesis. Four, devise a controlled method of investigation by observation … or by exsperimentation or both. Five, gather and record the testimony or ‘raw data’. Six, transform these raw data into a statement having meaning and significance. Seven, arrive at an assertion which appears to be warranted. If the assertion is correct, prediction maybe made from it. Eight, unity the warranted assertion, if it proves to be new knowledge in science, with the body of knowledge already estabished. (Kenali bahwa suatu situasi yang tak menentu ada. ini merupakan suatu situasi bertentangan atau kabur yang mengharuskan penyelidikan. Dua, nyatakan masalah itu dalam istilah spesifik. Tiga, rumuskan suatu hipotesis kerja. Empat, rancang suatu metode penyelidikan yang terkendalikan dengan jalan pengamatan… atau dengan jalan percobaan ataupun kedua-duanya. Lima, kumpulkan dan catat bahan pembuktian atau ‘data kasar’. Enam, alihkan data kasar ini menjadi suatu pernyataan yang mempunyai makna dan kepentingan. Tujuh, tibalah pada suatu penegasan yang tampak dapat dipertanggungjawabkan. Jikalau penegasan itu betul, ramalan-ramalan dapat dibuat darinya. Delapan, satupadukan penegasan yang dapat dipertanggungjawabkan itu, kalau terbukti merupakan kumpulan pengetahuan yang baru dalam ilmu, dengan kumpulan pengetahuan yang telah mapan” (The Liang Gie, 2000 : 115) Dari uraian di atas, dapat disusun langkah-langkah utama dalam metode ilmiah sebagai berikut : a. Penemuan atau penentuan masalah Di sini secara sadar kita menetapkan masalah yang akan kita telaah dengan ruang lingkup dan batas-batasnya. Ruang lingkup permasalahan ini harus jelas. Demikian juga batas-batasnya, sebab tanpa kejelasan ini kita akan mengalami kesukaran dalam melangkah kepada kegiatan berikutnya, yakni perumusan kerangka masalah. b. Perumusan kerangka masalah Merupakan usaha untuk mendeskripsikan masalah dengan lebih jelas. Pada langkah ini kita mengidentifikasikan faktor-faktor yang terlibat dalam masalah tersebut. Faktor-faktor tersebut membentuk suatu kerangka masalah yang berwujud gejala yang sedang kita telaah. muhammad ali gunawan_undiksha2006 12
c. Pengajuan hipotesis Merupakan usaha kita untuk memberikan penjelasan sementara mengenai hubungan sebab-akibat yang mengikat faktor-faktor yang membentuk kerangka masalah tersebut. Hipotesis ini pada hakikatnya merupakan hasil suatu penalaran induktif-deduktif, dengan mempergunakan pengetahuan yang sudah kita ketahui kebenarannya. d. Deduksi dari hipotesis Merupakan langkah perantara dalam usaha kita untuk menguji hipotesis yang diajukan. Secara deduktif kita menjabarkan konsekuensinya secara empiris. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa deduksi-hipotesis merupakan identifikasi fakta-fakta apa saja yang dapat kita lihat dalam dunia fisik yang nyata, dalam hubungannya dengan hipotesis yang kita ajukan. e. Pembuktian hipotesis Merupakan usaha untuk mengumpulkan fakta-fakta sebagaimana telah disebutkan di atas. Kalau fakta-fakta tersebut memang ada dalam dunia empiris kita, maka dinyatakan bahwa hipotesis itu telah terbukti, sebab didukung oleh fakta-fakta yang nyata. Dalam hal hipotesis tidak terbukti, maka hipotesis ini ditolak kebenarannya dan kita kembali mengajukan hipotesis yang lain. Sampai saat kita menemukan hipotesis tertentu yang didukung oleh fakta. f. Penerimaan hipotesis menjadi teori ilmiah. Hipotesis yang terbukti kebenarannya dianggap merupakan pengetahuan baru dan diterima sebagai bagian dari ilmu. Atau dengan kata lain hipotesis tersebut sekarang dapat kita anggap sebagai bagian dari suatu teori ilmiah. Secara luas teori ilmiah dapat diartikan sebagai suatu penjelasan teoretis mengenai suatu gejala tertentu. Pengetahuan ini dapat kita gunakan untujk penelaahan selanjutnya, yakni sebagai premis dalam usaha kita untuk menjelaskan berbagai gejala yang lainnya. Dengan demikian maka proses kegiatan ilmiah mulai berputar lagi dalam suatu daur sebagaimana yang telah ditempuh dalam rangka mendapatkan teori ilmiah tersebut.
Contoh : Masalah :
“Terorisme Global dan Pembangunan Sumber Daya Pariwisata di Bali”
muhammad ali gunawan_undiksha2006 13
Perumusan Masalah : 1. Apakah dengan adanya tindakan teror dari sekompok orang dapat mempengaruhi pembangunan sektor pariwisata di Bali? 2. Seberapa besar pengaruh yang ditimbulkan oleh tindakan teror tersebut terhadap pembangunan sektor pariwisata dan ekonomi di Bali? 3. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan munculnya aksi teror? 4. Upaya apa saja yang dilakukan oleh pemerintah daerah Bali dalam mengeliminir tindakan teror dan memproteksi pembangunan sumber daya pariwisata dari gangguan sejenis? Pengajuan Hipotesis: 1. Tindakan teror berpengaruh terhadap pembangunan sektor pariwisata di Bali 2. Tindakan teror berpengaruh besar terhadap sektor pariwisata di Bali yang secara langsung dapat mengurangi pendapatan asli daerah (ekonomi). 3. Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya aksi Teror: a. Faktor Sosial dan Ideologi - Kecemburuan sosial - Rendahnya rasa kebersamaan (ikatan sosial) antar warga negara dan antar daerah atau kesenjangan sosial di lingkup nasional - Keinginan untuk terkenal (populer) bagi si pelaku - Bergesernya nilai-nilai pancasila-isme kepada nilai-nilai luar yang bertentangan dengan budaya lokal. b. Faktor Politik - Keinginan untuk berkuasa dan diakui sebagai satu-satunya entitas dalam suatu wilayah kekuasaan negara. - Terdapat deal-deal politik antara pihak asing dengan kelompok teroris dalam bentuk bantuan material (dana dan sarana). - Adanya kebencian yang mendalam terhadap pihak asing termasuk Amerika Serikat yang diklaim sebagai teroris internasional. c. Faktor Agama - Ajaran agama tidak dipahami secara benar oleh pemeluknya termasuk oleh si pelaku teror. - Terdapat sikap yang memandang hanya agamanya saja yang paling benar dalam diri si pelaku (Cauvinisme_Panatik buta). - Perilaku para tamu yang berkunjung tidak sesuai dengan ajaran agama yang ada di daerah. - Pihak asing kurang memperhatikan keberagaman agama di tanah air yang pada akhirnya terkadang sikap mereka juga tidak mengindahkan atau kurang memahami keberagaman tersebut. d. Faktor Ekonomi - Rendahnya tingkat kesejahteraan rakyat menyebabkan timbulnya sikapsikap anarkis dan perbuatan terlarang untuk memperoleh kehidupan yang layak. - Aksi teror menjanjikan santunan yang cukup besar bagi si pelaku (motif ekonomi) Deduksi dari Hipotesis :
muhammad ali gunawan_undiksha2006 14
1. Beberapa tahun yang lalu (sebelum terjadinya teror), pariwisata di Bali begitu maju dan mampu menghasilkan PAD yang cukup tinggi. Laju pertumbuhan ekonomi berjalan pesat, wilayah-wilayah pariwisata dan sekeliling sangat ramai pengunjung. Namun setelah BOM Bali I dan II, kelihatannya para pengunjung takut berkunjung ke Bali, selain itu juga pemerintah di negara mereka sendiri telah mengeluarkan peringatan (travle warning) yang cukup keras kepada setiap warga negaranya yang akan berkunjung ke Bali. 2. Pengaruh tindakan teror cukup besar terhadap perekonomian di Bali, sampai pada tahun 2006 sekarang ini, banyak hotel-hotel berbintang yang gulung tikar, para pedagang asongan pun tidak lagi terdengar suaranya menjajakan rokok dan permen. Pembangunan di Bali sekarang ini sedikit demi sedikit mengalami stagnasi (macet). 3. Ada beberapa faktor yang menyebabkan orang melakukan tindakan tertentu : a. Faktor Ekonomi b. Faktor Politik c. Faktor Agama d. Faktor Sosial Pembuktian Hipotesis 1. Tindakan teror terbukti berpengaruh secara signifikan terhadap pembangunan sektor pariwisata di Bali. 2. Pengaruh yang ditimbulkan sangat besar, karena sektor pariwisata merupakan tulang punggung pembangunan di Bali 3. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan orang melakukan tindakan teror yaitu : - Rendahnya pemahaman ajaran agama pelaku teror - Mengendornya rasa kebersamaan antar warga negara - Rendahnya tingkat kesejahteraan rakyat - Lebarnya jurang/gap antara yang miskin dan yang kaya - Lemahnya supremasi hukum - Adanya kontrak-kontrak politik antara teroris dengan negara asing - Lemahnya sistem proteksi dini bagi tindakan teror dan sejenisnya - Polisi dan aparat keamanan selalu datangnya terlambat, dibarengi dengan kemampuan mereka yang pas-pasan. - Terjadinya rekonstruksi sosial ditingkatan global 7. “Dari seni manusia mengharapkan kegairahan hidup sehingga tidak gersang. Dari agama menusia mengharapkan bimbingan dan tuntunan hidup, agar manusia tidak tersesat dalam menjalani hidupnya. Sementara filsafat memberikan wawasan hidup yang lebih luas. Sedangkan ilmu dan teknologi memberikan kemudahan dan kesejahteraan hidup” (Rindjin, 1987 : 46). Persamaan antara Agama, Seni dan Ilmu : a. Aspek Ontologi: § Kasadk § akdajd b. Aspek Epistemologi: c. Aspek Aksiologi:
muhammad ali gunawan_undiksha2006 15
Perbedaan antara Agama, Seni dan Ilmu : d. Aspek Ontologi: § Kasadk § akdajd e. Aspek Epistemologi: f. Aspek Aksiologi:
8. Ilmu tidak bebas nilai: Ilmu sebagai hasil karya tertinggi manusia (ilmuwan) adalah sesuatu yang terus dan akan mengikuti pola dan model si pemikirnya (ilmuwan), ilmu bisa saja menjadi momok yang menakutkan bila disalahgunakan. Di sinilah keharusan bagi para ilmuwan untuk mampu menilai mana yang baik dan mana yang buruk, yang pada hakikatnya mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai landasan moral yang kuat. Tanpa ini seorang ilmuwan akan lebih merupakan seorang hantu atau serigala yang menakutkan bagi manusia lainnya. Seperti yang terjadi di Irak, Bali, Afganistan dan lain sebagainya. Etika keilmuan merupakan etika normatif yang merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan dapat diterapkan dalam ilmu pengetahuan. Tujuan etika keilmuan adalah agar seorang ilmuwan dapat menerapkan prinsip-prinsip moral, yaitu yang baik dan menghindarkan dari yang buruk ke dalam perilaku keilmuannya, sehingga dapat menjadi ilmuwan yang mempertanggungjawabkan perilaku ilmiahnya. Etika normatif menetapkan kaidahkaidah yang mendasari pemberian penilaian terhadap perbuatan-perbuatan apa yang seharusnya dikerjakan dan apa yang seharusnya terjadi serta menetapkan apa yang bertentangan dengan yang seharusnya terjadi. Persoalan ini mengharuskan etika keilmuwan selalu mengacu kepada “elemenelemen” kaidah moral, yaitu hati nurani, kebebasan dan tanggung jawab, nilai dan norma yang bersifat utilitaristik (kegunaan). Bagi seorang ilmuwan, nilai dan norma moral yang dimilikinya akan menjadi penentu, apakah ia sudah menjadi ilmuwan yang baik atau belum. Dengan demikian, penerapan ilmu pengetahuan yang telah dihasilkan oleh para ilmuwan, apakah itu berupa teknologi, maupun teori-teori emansipasi masyarakat dan sebagainya itu, mestilah memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan, nilai agama, nilai adat, dan sebagainya. Ini artinya, bahwa ilmu sudah tidak bebas nilai. Karena ilmu sudah berada di tengah-tengah masyarakat luas dan masyarakat akan mengujinya. 9. Tangung Jawab sosial ilmuwan dalam pengembangan ilmu adalah :
muhammad ali gunawan_undiksha2006 16
a. Sebagai homo sapiens manusia mampu untuk berpikir benar, berpenalaran tinggi dengan daya pikir logis, rasional, kritis, kreatif, dan intuitif dengan solusi problema yang baik dan benar. Namun demikian terdapat pula segi negatif daya rasional manusia yaitu manusia mampu juga membuat rasionalisasi, seperti yang diunggulkan oleh tokoh Sigmund Freud dengan Psycho Analisis-nya. Manusia dengan rasionalisasi membuat ulah untuk menutupi kesalahannya, terhadap dirinya dan orang lain dengan cara yang sistematis dan meyakinkan. Dalih semacam itu bisa saja mempesona manusia apalagi bila didukung oleh sarana seperti kekuasaan (machtsvorming). Dalam sejarah kemanusiaan tidak sedikit manusia terkena oleh persepsi Adolf Hitler dengan motto: “Jerman Uber Alles” Jerman sebagai bangsa Aria adalah superman dan bangsa Yahudi adalah pengotor ras Aria. Maka bangsa Yahudi harus
dibantai
habis-habisan
dalam
kamp-kamp
konsentrasi
dengan
pembunuhan massal dengan gas. Keadaan ini juga sekarang mirip dengan penindasan oleh bangsa Serbia-Kroasia terhadap bangsa Bosnia yang dulunya bersatu dalam bangsa Yugoslavia di bawah kepemimpinan diktator Yoseph Bros Tito. Fenomena perang saudara antara bangsa Serbia-Kroasia dengan bangsa Bosnia telah melahirkan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang tokoh penjahat perang yang diminta oleh Mahkamah Internasional di Den Haag untuk diseret kepengadilan yaitu Jenderal Radovan Karadsic dan Jenderal Ratcko Mladic karena membantai manusia secara besar-besaran tanpa bersalah. Itulah gambaran proses rasionalisasi yang keliru atau materi pikiran yang tidak benar. b. Sikap sosial dan moral dari para ilmuwan adalah konsisten dengan penelaahan keilmuwannya dalam arti ilmunya itu terbebas dari sistem nilai, ilmu itu sendiri bersifat netral dan ilmuwanlah yang memberinya nilai. Untuk itu ia dituntut bersifat imperatif dengan latar belakang pengetahuan yang cukup guna menempatkan segala sesuatunya sesuai proporsi yang sebenarnya. c. Daya analisis seorang ilmuwan dapat menciptakan dari objek permasalahan yang muncul di permukaan. Sebagai contoh ilmuwan Bertrand Russel mengungkapkan betapa dana yang dipakai untuk produksi senjata akan lebih bermanfaat bila digunakan untuk mengurangi keadatan penduduk dan peningkatan distribusi bahan makanan. d. Bagi ilmuwan proses penemuan ilmiah mempunyai implikasi etis. Itulah kategori moral sebagai landasan sikap etisnya. Unsur kebenaran telah berfungsi muhammad ali gunawan_undiksha2006 17
baik sebagai jalan pikirannya maupun seluruh jalan hidupnya. Ia merasa terpanggil oleh kewajiban sosialnya baik sebagai penganalisis materi kebenaran maupun sebagai prototipe moral yang baik. e. Di bidang etika atau filsafat moral, tanggung jawab sosial ilmuwan di samping memberi informasi juga sebagai penuntun hidup dengan meneladani sikap objektif, menerima kritik dan pendapat orang lain, terbuka, teguh pada pendirian (istiqomah), yang dianggapnya memang benar dan kalau perlu mengakui kesalahan kalau memang bersalah. Tampillah ilmuwan itu dengan kekuatan dan keberaniannya serta menjadi suri tauladan laksana seorang pedagang. Justru aspek etika dari hakikat keilmuan kita masih kurang diperhatikan oleh kaum pedagang dan ilmuwan di mana kita cenderung mendidik anak kita menjadi cerdas, tanpa dilengkapi dengan pendidikan nilai-nilai moral yang luhur bangsa kita. Di sinilah agaknya pelajaran etika sebagai conditiosine qua non bagi pelajar dan mahasiswa. f. Sendi utama masyarakat modern adalah IPTEK (ilmu pengetahuan dan teknologi). Pilar penyangga keilmuwan itu sebagai tanggung jawab sosial para ilmuwan. Di samping IPTEK masih terdapat kebenaran lain sebagai pelengkap harkat dan martabat manusia (human dignity) yang hakiki. Melalui pendidikan moral dan takwa sebagai unsur yang tak terlupakan oleh para ilmuwan. Karena IPTEK tanpa Iman dan Taqwa (IMTAQ) atau agama akan menghancurkan manusia, sedangkan berbekal Iman dan Taqwa saja kita akan tertinggal jauh dari masyarakat modern dalam mencapai bangsa dan umat. Contoh : Dalam tanggung jawab sosialnya para ilmuwan seperti Andre Sakharove dari Rusia telah melaksanakan tugas sosialnya dengan menyarankan kepada pemerintahnya dalam proyek nuklir dan proyek-proyek lainnya yang membahayakan nasib umat manusia. Walaupun pada akhirnya dia harus mendekam dalam penjara dengan kerja paksa. Namun, demi rakyat manusia semua itu direlakan.
10. Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan telah menciptakan berbagai bentuk kemudahan bagi manusia. Namun apakah hal itu selalu demikian? Disinilah letak persoalannya. Bagaimana kemudian ilmu pengetahuan dan teknologinya merupakan berkah dan penyelamat manusia, terbebas dari kutuk yang membawa malapetaka
muhammad ali gunawan_undiksha2006 18
dan kesengsaraan? Memang dengan jalan mempelajari teknologi seperti pembuatan bom atom, manusia bisa memanfaatkan wujudnya sebagai sumber energi bagi keselematan manusia, tetapi di pihak lain hal ini bisa juga berakibat sebaliknya, yakni membawa manusia kepada penciptaan bom atom yang menimbulkan malapetaka. Seperti yang terjadi di Bali baru-baru ini dan menciptakan senjata kuman yang dipakai sebagai alat untuk membunuh sesama manusia. Seperti apa yang dikeluhkan oleh Albert Einstein ketika menyampaikan pandangannya dihadapan mahasiswa California Institut of Technology. “Mengapa ilmu yang sangat indah ini, yang menghemat kerja dan membikin hidup lebih mudah, hanya membawa kebahagiaan yang sedikit kepada kita? Jawabannya yang sederhana adalah karena kita belum lagi belajar menggunakannya secara wajar. Dalam peperangan, ilmu menyebabkan kita saling meracun dan saling menjegal. Dalam perdamaian, dia menyebabkan hidup kita dikejar waktu dan penuh tak tentu. Ilmu yang seharusnya membebaskan kita dari pekerjaan yang melelahkan malah menjadikan manusia budak-budak mesin”. (Jujun S. Sumantri, 1987 : 107). Bagaimana dengan kisah berikut? “Ayah berapakah kemungkinan matahari terbit esok pagi?” tanya seorang anak sebelum tidur, kapada bapaknya. “Akh, kau ada-ada saja. Sudah pasti, matahari akan terbit lagi besok. Sudahlah tidur saja, sudah larut”. “Tapi bagaimana kalau besok Tuhan tidak menerbitkannya?” sang anak melanjutkan pertanyaannya. “Akh sudahlah, itu sudah ketentuan Tuhan” jawab bapaknya, ingin buru-buru menghentikan keceriwisan anaknya. “Lho, ayah kok sudah tahu apa yang dilakukan Tuhan besok pagi?” tanya sang anak tidak mau mundur. “Aduh nak, kalau tanya jangan yang susah-susah, ayah ngantuk” Kelihatan sang bapak sudah tidak sabar. Ketika sang anak ingin melanjutkan pertanyaan lagi, si bapak terlanjur mendengkur, “Csssss…….Csssss……”.
muhammad ali gunawan_undiksha2006 19