PENGEMBANGAN INDIKATOR INSTRUMEN EVALUASI LAYANAN KONSELING INDIVIDUAL DI SMA/SMK Sarjilah, M.Pd Widyaiswara LPMP D.I. Yogyakarta e-mail:
[email protected] Abstract Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh indikator yang diperlukan untuk mengukur keberhasilan layanan konseling individu di SMA / SMK. Indikator ditujukan untuk mengevaluasi komponen proses konseling dan konseling individu hasil / output. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah Focus Group Discussion (FGD), yang melibatkan 15 pengurus MGP / MGBK SMA / SMK yang mewakili beberapa kabupaten/kota di D.I. Yogyakarta. Validasi konstruk yang digunakan adalah dalam bentuk Expert Judgment. Teknik analisis data yang digunakan adalah triangulasi, dengan model interaktif, Hasil menunjukkan bahwa indikator pada masing-masing komponen proses konseling meliputi 18 indikator yang dikembangkan dari 3 aspek dari proses konseling yakni konseling hubungan, prosedur konseling, dan penggunaan teknik konselinSedangkan indikator yang diperoleh dari hasil konseling meliputi 4 indikator yang dikembangkan dari aspek perubahan perilaku klien. Pendahuluan Pembangunan pendidikan di Indonesia sampai saat ini masih menjadi prioritas dalam rangka mewujudkan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Arah pembangunan
manusia
Indonesia
beorientasi
pada
keseimbangan
antara
pengembangan pengetahuan, kepribadian dan keterampilan. Sebagaimana tercantun dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 3 dijelaskan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tujuan pendidikan di atas tidak hanya mengembangkan potensi peserta didik menjadi manusia
berilmu, cakap, dan kreatif saja tetapi juga sehat, mandiri,
demokratis, bertanggung jawab, serta berakhlak mulia. Di sini terlihat adanya keseimbangan antara aspek kognitif, afektif dan psikomoriknya. Menurut Suwarsih Madya (Radar Jogja, 2009: 1) bahwa apabila sekolah ngoyo mengejar nilai, perkembangan siswa dalam bidang lain akan terbengkelai. Ini tidak akan memberi efek jangka panjang yang bagus. Bila siswa hanya diajari untuk mengejar nilai, kehidupan sosial dan skill mereka dalam bidang lain tidak akan tumbuh. Proses pendidikan menyangkut pengembangan seluruh dimensi kepribadian manusia mengembangkan kesadaran manusia akan makna hidup sebagai makhluk individual, makhluk sosial dam makhluk Tuhan. Dalam pengembangan kesadaran terkandung makna bahwa pendidikan merupakan proses humanisasi, proses memanusiakan manusia yang akan membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Pendidikan adalah fenomena fundamental dalam kehidupan manusia. Melalui pendidikan manusia akan menemukan eksisitensinya. Eksistensi manusia adalah eksistensi sosio budaya, karena proses memanusiakan diri berarti juga proses membudayakan diri yang akan menyangkut eksistensi bersama dan menyangkut kehidupan orang lain (Mungin Eddy Wibowo: 2005). Penyelenggaraan pendidikan diharapkan dapat mengembangkan potensi yang dimiliki anak didik secara optimal. Ini berarti bahwa kebutuhan anak didik untuk pengembangan diri sesuai dengan perkembangan psikologisnya dan potensi dirinya akan mendapatkan perhatian dari sistem penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan. Sehingga pendidikan yang dilaksanakan mempertimbangan kebutuhan siswa yang sangat beragam dalam variasi potensi dan harapan-harapannya. Untuk itulah layanan bimbingan dan konseling dihadirkan di sekolah untuk melaksanakan tanggung jawab tersebut. Untuk menuju perkembangan individu yang optimal dan pengembangan diri diperlukan helping professions. Pelayanan kepada sesama terlaksana di dalam interaksi pribadi dan komuniksi antar pribadi yang bercorak membantu dan dibantu (helping relationship). Salah satu contoh helping profession yaitu konselor sekolah, dengan kliennya, sejauh komunikasi antarpribadi yang bercorak membantu dan
dibantu
mengambil bentuk formal.
Dalam kegiatan ini konselor sekolah
menggunakan interaksi pribadi sebagai sarana untuk membantu orang lain memahami dirinya dengan lebih baik, mengubah pandangan dan sikapnya, menstimulir perkembangan kepribadiannya dan mengembangkan kemampuannya menghadapi berbagai permasalahan hidup secara konstruktif (Prayitno dan Erman Amti, 2005:345). Pendapat Prayitno dan Erman Amti (2004: 291) tidak jauh berbeda bahwa tujuan konseling secara umum yaitu pemeliharaan dan pengembangan diri klien seutuhnya. Kepentingan dan kebahagiaan klien yang menjadi arah layanan konseling secara langsung mengacu pada pemeliharaan dan pengembangan klien itu. Apapun yang muncul dalam layanan bimbingan dan konseling harus diarahkan pada tujuan tersebut, dan apapun yang menjadi persepsi, sikap dan tindakan konselor harus berorientasi pada tujuan positif bagi klien itu. Lebih jauh, sebuah kondisi yang terbangun selama hubungan konseling berlangsung dan berbagai implikasinya, baik ditinjau dari sisi klien, konselor maupun kondisi hubungan itu sendiri tidak lain yaitu untuk kepentingan dan kebahagiaan klien. Melihat paparan di atas bahwa tujuan konseling yaitu kebahagiaan, pemeliharaan, dan perkembangan psikologis klien. Semua arah layanan konseling individual ditujukan untuk kepentingan dan kebahagiaan klien. Sedangkan konselor hanya
membantu
klien
untuk
memahami
permasalahan,
berkonsentrasi,
mengeksplorasi, mengklarifikasi permasalahan, dan akhirnya klien dapat mengambil tindakan unntuk mengtasi permasalahan tadi dan akhirnya dapat mencapai tujuan konseling. Shertzer dan Stone dalam Sofyan S. Willis (2010: 36) mengungkapkan bahwa hubungan konseling yaitu interaksi antara seorang dengan orang lain yang dapat menunjang dan memudahkan secara positif bagi perbaikan orang tersebut. Orang-orang yang membantu itu yaitu kaum profesional yang kegiatannya untuk memudahkan orang lain dalam memahami, mengubah, atau untuk memperkaya perilakunya, sehingga terjadi perubahan positif.
Mengembangkan hubungan
konseling
adalah
upaya konselor
untuk
meningkatkan keterlibatan dan keterbukaan klien, sehingga akan memperlancar proses konseling, dan segera mencapai tujuan konseling yang diinginkan klien atas bantuan konselor. Bentuk utama dari hubungan konseling yaitu pertemuan pribadi dengan pribadi (konselor-klien) yang dilatarbelakangi oleh lingkungan (internaleksternal). Hubungan konseling pada prinsipnya ditekankan bagaimana konselor mengembangkan
hubungan
konseling
yang
rapport
(akrab)
dan
dengan
memanfaatkan komunikasi verbal dan non verbal. Jadi konseling bukan menomorsatukan conten (masalah klien). Rapport adalah hubungan (relationship) yang ditandai dengan keharmonisan, kesesuaian, kecocokan, dan saling tarik menarik. Jika terjadi rapport maka kondisi ini kondusif untuk keterbukaan klien. Setelah terbuka maka akan timbul kepercayaan terhadap konselor, akhirnya konseling pun bisa berlangsung. Proses konseling terlaksana hubungan konseling berjalan dengan baik. Menurut Bramer dalam Sofyan S Willis (2010:52) proses koseling adalah peristiwa yang tengah berlangsung dan memberi makna bagi para peserta konseling tersebut (konselor dan klien). Secara umum proses konseling dibagi atas tiga tahapan yaitu tahap awal konseling, tahap pertengahan (tahap kerja), dan tahap akhir konseling. Setiap tahapan proses
konseling
membutuhkan
keterampilan-keterampilan
khusus.
Namun
keterampilan-keterampilan itu bukanlah hal yang utama jika hubungan konseling tidak mencapai rapport. Dinamika hubungan konseling ditentukan oleh penggunaan keterampilan
konseling
yang
bervariasi.
Sehingga proses
konseling
tidak
menjemukan konselor dank klien. Akibatnya keterlibatan mereka sejak awal sampai akhir pada kegiatan proses konseling dirasakan sangat bermakna dan berguna. Perolehan siswa dari kegiatan layanan yaitu pencapaiannya pada ukuran keadaan yang dikehendaki,dan pada setiap pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
Pencapaian itu meliputi penampilan usaha, aktivitas, partisipasi, pemahaman, perubahan tingkah laku/kebiasaan dan perkembangan dan seterusnya. Beberapa indikator keberhasilan konseling (Sofyan S. Willis, 2010: 53) yaitu sebagai kecemasan klien, adanya perubahan perilaku klien ke arah yang lebih positif, sehat dan dinamik, serta adanya rencana hidup masa yang akan datang dengan program yang jelas. Terjadinya perubahan sikap positif, yaitu mulai dapat mengoreksi diri dan meniadikan sikap yang suka menyalahkan dunia luar, seperti orang tua, guru, teman, keadaan tidak menguntungkan dan sebagainya. Klien sudah bisa berfikir realistik dan percaya diri. Hasil survei kepada konselor (guru BK) sejumlah 20 orang pada jenjang SMA di Provinsi D.I.Yogyakarta yang dilaksanakan pada bulan November 2010 sampai dengan Januari 2011 menunjukkan bahwa sebagian besar (90%) guru-guru responden tidak melakukan evaluasi terhadap layanan konseling yang telah dilakukan kepada siswanya, sebagian kecil guru (10%) melakukan evaluasi konseling dengan menanyakan secara langsung apakah permasalahan siswa telah terentaskan. Selanjutnya hasil survei menunjukkan bahwa seluruh guru responden (100%) belum menggunakan format atau instrumen untuk mengevaluasi kegiatan layanan konseling, dan seluruh guru (100%) belum mengembangkan instrumen evaluasi buatan guru sendiri. Salah satu dokumen portofolio yaitu laporan evaluasi layanan konseling individual. Ketidaktersediaan instrumen evaluasi konseling ini menyebabkan guru BK melaksanakan konseling hanya terbatas pada melakukan wawancara face to face untuk pengentasan masalah siswa, tanpa diketahui apakah siswa sudah merasa terentaskan dengan bantuan yang diberikan oleh konselor? Juga tidak diketahui apakah siswa mendapatkan pemahaman baru dari hasil konseling secara invidual? Selanjutnya juga tidak terdeteksi apakah siswa memiliki rencana-rencana baru sebagai follow up dari layanan konseling invidual yang dilakukannya. Terkait dengan apa yang dikerjakan oleh guru Bimbingan dan Konseling maka landasan hukum termuat pada Permendiknas Nomor 27 Tahun 2008 tentang
Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor, yang menyebutkan bahwa Rumusan Standar Kompetensi Konselor telah dikembangkan dan dirumuskan atas dasar kerangka pikir yang menegaskan konteks tugas dan ekspektasi kinerja konselor. Namun bila ditata ke dalam empat kompetensi pendidik sebagaimana tertuang dalam Petauran Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, maka rumusan kompetensi akademik dan profesional konselor dapat dipetakan dan dirumuskan ke dalam kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Ada 17 kompetensi konselor yang wajib dikembangkan oleh guru BK/konselor. Pada kompetensi profesional menyebutkan bahwa konselor (guru BK) melakukan tugas menilai proses dan hasil kegiatan bimbingan dan konseling, dengan perincian kegiatan antara lain melakukan evaluasi hasil, proses dan program bimbingan dan konseling, melakukan penyesuaian proses pelayanan bimbingan dan konseling, menginformasikan hasil evaluasi pelaksanaan pelayanan bimbingan dan konseling kepada pihak terkait, dan menggunakan hasil evaluasi untu merevisi dan mengembangkan program bimbingan dan konseling. Beracuan kepada beberapa pedoman dalam pelaksanaan tugas guru, lebih khususnya sebagai guru BK maka kegiatan evaluasi layanan konseling individual sebagai salah satu kegiatan layanan BK harus untuk dilaksanakan oleh guru BK. Dengan harapan hasil evaluasi layanan konseling individual dapat dipakai sebagai bahan merevisi dan memperbaiki program konseling individual yang dilaksanakan kepada para siswanya. Belum adanya alat evaluasi yang dapat dipakai oleh guru-guru BK untuk mengukur hasil layanan yang diberikan siswa khususnya pada layanan konseling individual, baik untuk mengukur keberhasilan proses konseling ataupun hasil yang diperoleh klien setelah dia selesai mendapatkan layanan konseling sehingga perlu dilakukan Pengembangan indikator instrumen evaluasi layanan konseling individual di SMA/SMK ini dimungkinkan akan tersedia adanya instrumen evaluasi yang dapat mengukur keberhasilan proses konseling yang dilakukan oleh konselor dan hasil/output layanan konseling individual.
Mengingat belum tersedianya instrumen evaluasi yang dapat memberikan informasi tentang keberhasilan proses layanan konseling individual dan hasil layanan konseling individual yang diperoleh
siswa, maka evaluasi layanan konseling
individual belum terlaksana. Berdasarkan hal tersebut, rumusan masalah penelitian ini yaitu pengembangan indikator instrumen evaluasi layanan konseling individual yang bagaimanakah yang dapat memberikan informasi tentang tingkat keberhasilan proses layanan konseling individual yang dilakukan oleh konselor/guru BK dan hasil konseling individual seperti apakah yang dapat dirasakan oleh klien/siswa setelah mengikuti proses konseling individual pada BK di SMA/SMK? Tujuan penelitian ini yaitu untuk memperoleh indikator-indikator instrumen evaluasi layanan konseling individual yang dapat memberikan informasi tentang tingkat keberhasilan proses layanan konseling individual yang dilakukan oleh konselor/guru BK dan hasil konseling individual yang dapat dirasakan oleh klien/siswa setelah mengikuti proses konseling individual. Sedangkan manfaat dari penelitian ini guru dapat menggunakan seperangkat indikator-indikator untuk mengevaluasi pelaksanaan layanan konseling individual pada BK di SMA/SMK, dan meningkatkan mutu layanan BK di sekolah. Metode Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian pengembangan. Research & Development menurut Plomp mengikuti langkahlangkah sebagai berikut preliminary investigation, design, realization/construction, test, evaluation and revision, and implementation (Plomp, 1977: 78). Adapun langkah-langkah dalam metode penelitian pengembangan ini setelah disesuaikan dengan pengembangan indikator evaluasi layanan konseling yaitu ada lima tahap. Pertama yaitu tahap pendahuluan, pada tahap ini meliputi kegiatan penelitian pendahuluan dan pengumpulan informasi terkait dengan system evaluasi layanan konseling individual di SMA/SMK. Penelitian pendahuluan dimaksudkan untuk mencari informasi tentang evaluasi layanan konseling individua. Selain itu juga mengkaji teori-teori tentang evaluasi dan teori layanan konseling individual, dan
melakukan pengkajian terhadap penelitian-penelitian sebelumnya yang relevan. Tahap kedua yaitu tahap desain (design), pada tahap perencanaan ini mengfokuskan pada pengembangan komponen dan aspek evaluasi konseling individual di SMA dan perencanaan kisi-kisi instrument pengumpulan data. Tahap ketiga yaitu tahap realisasi/konstruksi (realization/construction, tahap ini merupakan tahap pembuatan prototype. Pada tahap konstruksi ini dilakukan validasi konstruk oleh pakar konseling Prof.Dr. Mungin Eddy Wibowo, M.Pd.Kons. Kontruksi dari evaluasi yang meliputi komponen proses konseling dan komponen hasil konseling serta kisi-kisi evaluasi konseling individual. Tahap keempat yaitu tahap tes, evaluasi dan revisi (test, evaluation dan revision).Tahap uji coba dilaksanakan pada tingkat pendahuluan dengan tujuan untuk mengetahui apakah indikator-indikator instrumen evaluasi layanan konseling individual beserta instrumen dan perangkatnya dapat sesuai dengan kebutuhan konseling di sekolah. Kegiatan ini dilakukan dengan Focus Group Discussion untuk menelaah apakah indikator indikator sesuai dengan kondisi faktual di sekolah. Pada tahap ini juga dilakukan reviu praktisi oleh guru-guru BK senior sejumlah 4 orang dan Kepala Sekolah yang berlatar belakang Bimbingan dan Konseling 1 orang. Setelah FGD dan reviu maka dilakukan revisi terhadap indikatorindikator yang perlu diperbaiki dan masukan-masukan yang konstruktif. Tahap kelima yaitu ahap implementasi (implementation, pada tahap ini belum dilakukan implementasi hasil penelitian karena waktu penyelesaian penelitian bersamaan dengan libur kenaikan kelas SMA/SMK. Hasil Penelitian dan Pembahasan Hasil Pengembangan dengan Validasi Ekspert Pengembangan indikator instrumen evaluasi layanan konseling individual di SMA/SMK menghasilkan indikator-indikator faktual yang digunakan dalam penyusunan instrumen. Kisi-kisi yang telah dikembangkan dan telah melalui validasi kontruk oleh pakar konseling sebagai berikut.
Tabel 1. Kisi-kisi Pengembangan Indikator Instrumen Evaluasi Konseling NO A 1.
ASPEK INDIKATOR KOMPONEN PROSES KONSELING Hubungan konseling a. Terciptanya hubungan yang rapport (akrab) b. Adanya keterbukaan klien dan konselor c. Hubungan bersifat afek/emosional d. adanya integritas pribadi konselor e. saling menghargai f. adanya kerja sama antara klien dan konselor dalam proses konseling g. adanya komitmen antara konselor dan klien h. Klien mampu mengungkapkan perasaannya dan pikirannya i. Klien memiliki tanggungjawab untuk menyelesaikan masalah a. Tahap awal b. Tahap kegiatan c. Tahap Akhir a. Menggunakan teknik konseling pada tiap tahapan konseling b. Menggunakan teknik konseling sesuai dengan tujuan
2.
Prosedur Konseling
3.
Teknik konseling
B.
KOMPONEN HASIL/OUTPUT KONSELING
1
Perubahan Perilaku
a. Pemahaman b. Terhindari dari masalah c. Perkembangan lancar d. Terentaskan masalahnya
KRITERIA Tercipta interaksi yang hangat Saling menerima satu sama lain Afek/emosional Konselor menjaga etika dan sopan santun Menghargai posisi masingmasing Kerjasama Mentaati kesepakatan Lancar menceritakan permasalahannya Klien mengikuti proses konseling sampai tuntas Kesesuaian : prosedur/sistematis Problem, Sifat anak Melaksanakan ragam teknik sesuai dg tahapan Ketepatan pengambilan teknik
Memahami diri, dan permasalahan Memiliki ketrampilan pribadi menghadapi masalah Sesuai dg tahap-tahap perkembangannya Menemukan jalan keluar yang cocok
Pada hasil validasi expert menunjukkan bahwa indikator yang dikembangkan dari 2 komponen evaluasi, komponen proses dan hasil konseling individual dan terbagi menjadi 3 aspek pada proses dan 1 aspek pada hasil konseling. Indikator yang dikembangkan meliputi 18 indikator terdiri atas 14 indikator pada proses dan 4 indikator pada hasil konseling. Selain itu dikembangkan kriteria sebagai tolok ukur dari masing-masing indikator.
Hasil Focus Group Discussion dan Reviu Praktisi Tahap berikutnya yaitu melakukan eksplorasi dan validasi indikator-indikator pada komponen proses dan hasil konseling individual. Pada komponen proses secara meliputi aspek hubungan konseling dan aspek penggunaan teknik konseling. Secara faktual pengembangan indikator pada aspek hubungan konseling ini meliputi 1) terciptanya hubungan yang akrab, 2) adanya keterbukaan klien dan konselor, 3) adanya keterbukaan klien dan konselor, 4) adanya integritas pribadi konselor, 5) saling menghargai antara klien dan konselor, 6) adanya kerjasama antara klien dan konselor dalam proses konseling, 7) adanya komitmen anatara konselor dan klien, 8) klien mampu mengungkapkan perasaannya dan pikirannya dan 9) klien memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan masalah. Pada aspek prosedur konseling indikator faktual yang dikembangkan yakni 1) tahapan awal konseling, 2) tahapan tengah konseling dan 3) tahapan akhir konseling Sedangkan pada aspek penggunaan teknik konseling, indikator faktual yang dikembangkan yakni 1) menggunakan teknik konseling pada tiap tahapan konseling dan 2) menggunakan teknik konseling sesuai dengan tujuan. Indikator aktual untuk output konseling yaitu adanya perubahan perilaku yang meliputi 1) pemahaman,
2)
terhindar
dari
masalah,
3)
perkembangan
lancar,
dan
4) terentaskannya masalah. Pada tahap FGD peneliti banyak menemukan indikator-indikator faktual yang dapat mencerminkan kondisi layanan konseling di sekolah. Deskripsi faktual ini sangat bermanfaat pada penyusunan butir-butir pada instrumen evaluasi konseling individual di SMA/SMK.
Simpulan Simpulan dari penelitian ini yaitu pengembangan indikator instrumen evaluasi konseling individual melalui expert judgment, FGD dan reviu praktisi dapat dipakai dalam menyusun instrumen evaluasi layanan konseling individual di SMA/SMK.
Karena indikator berasal dari deskripsi faktual, dimungkinkan hasil evaluasi dapat mengungkap kondisi yang sebenarnya. Daftar Rujukan Boyd, D.J. 1983. Being a counselor. Brown, J.A & Pate, H.R. California: Cole Publishing Company. Gibson & Mitchell 2010. Bimbingan dan Konseling. Alih bahasa oleh Yudi Santoso. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Irwanto. 2006. Focused Group Discussion (FGD). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. L.J. Moleong. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mungin Eddy. W. 2005. Konseling Kelompok Perkembangan. Semarang: UNNES Press. Nelson, R. C. 1972. Guidance and Counseling in the Elementary School. New York: Holt, Rinehart, Winston, Inc. Plomp. T. 1997. Development Research Netherlands: University of Twente.
in/on
Educational Development.
Prayitno dan Erman Amti. 2004. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Pusat Perbukuan Nasional dan Rineka Cipta. Suwarsih Madya 2009. Tingkat Kelulusan SMK Naik Drastis. Radar Jogja, halaman 1 dan 19 kolom 2-4, tanggal 14 Juni. Willis, S.S. 2010. Konseling Individual: Teori dan Praktek. Bandung: Alfabeta. Winkel. W.S. 1978. Bimbingan dan Konseling di Sekolah Menengah. Jakarta: Gramedia.