1
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dunia pendidikan sangat berkaitan erat dengan kurikulum. Pendidikan di Indonesia, mulai dari jenjang TK, SD, SMP, SMA/SMK, hingga Perguruan Tinggi,
dalam proses belajar mengajar, selalu
berpedoman pada kurikulum yang sedang berlaku. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 19). Tujuan tertentu tersebut meliputi tujuan pendidikan nasional dan disesuaikan dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Dalam sejarah tercatat, sejak Kemerdekaan, kurikulum pendidikan di Indonesia sudah sembilan kali mengalami perbaikan. Hal ini dilakukan demi tercapainya hasil yang maksimal. Kurikulum tersebut antara lain: Kurikulum Sederhana (pada tahun 1947), kurikulum Rencana Pelajar Terurai (pada tahun 1952), kurikulum yang bersifat politis (pada tahun 1968), kurikulum menggunakan process skill
1
2
approach, dengan menggunakan model Cara Belajar Siswa Aktif (pada tahun 1984), Kurikulum Berbasis Kompetensi (pada tahun 2004),
1
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (pada tahun 2006), dan Kurikulum 2013 (pada tahun 2013). Kurikulum sederhana (1947), mengutamakan pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat. Materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, kesenian dan pendidikan jasmani. Kurikulum Rencana Pelajaran Terurai (1952), difokuskan pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, dan moral. Kurikulum yang bersifat Politis (1968), penekanannya pada organisasi. Kurikulum Rencana Pelajaran Setiap Satuan Bahasan (1975), penekanannya pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien dan efektif. Pada kurikulum ini, setiap satuan pelajaran ada rinciannya seperti: petunjuk umum, tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar dan evaluasi. Kurikulum Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) tahun 1984, fokusnya pada siswa sebagai subjek
belajar,
mulai
dari
mengamati
sesuatu,
mengelompokkan,
mendiskusikan hingga melaporkan. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pada tahun 1994, fokusnya pada upaya memadukan kurikulum sebelumnya. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006,
3
fokusnya pada kompetensi siswa, baik secara individual maupun secara klasikal. Kurikulum 2013 (K13) tahun 2013, fokusnya pada pemahaman , skill, dan pendidikan karakter. Oleh karena itu K13 sering disebut dengan kurikulum berbasis karakter. Kurikulum 2013 (K13) merupakan kurikulum baru yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Repulik Indonesia. Dalam kurikulum ini, siswa dituntut untuk paham atas materi, aktif dalam proses berdiskusi dan presentasi, memiliki sopan santun dan sikap disiplin yang tinggi. K13 juga merupakan kurikulum yang berbasis kompetensi, yakni dalam bentuk penyederhanaan dan tematik integratif. Selain itu, K13 disiapkan untuk membentuk generasi yang siap dalam menghadapi masa depan. Dalam penerapan kurikulum, peran guru sangatlah penting. Dalam hal ini, guru membantu para peserta didik dalam proses perkembangan diri dengan cara mengoptimalkan bakat dan kemampuan yang dimiliki. Hal ini sejalan dengan isi Undang-undang No. 14 tahun 2015 Pasal 1 ayat 1 yang mengungkapkan bahwa Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai,
4
dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Selain itu, peranan guru dalam pendidikan juga sangat menentukan keberhasilan siswanya. Berdasarkan kemampuan yang dimilikinya, guru akan menentukan proses pembelajaran siswa. Jadi, dapat disimpulkan bahwa suatu kurikulum tanpa didukung oleh kemampuan guru dalam melakukan penerapan, maka kurikulum itu tidak akan bermakna sebagai suatu alat pendidikan. Akan tetapi, pada kenyataannya menurut Mansur sebagai pengajar Sekolah Islam Terpadu (SIT) Fajar Hidayah Kota Wisata Cibubur mengatakan bahwa: Pemberhentian kurikulum 2013 di sebagian sekolah membuat guru-guru bingung tentang bagaimana pemberlakuan kurikulum selanjutnya. Beliau mencermati bahwa, banyak guru yang belum memahami Kurikulum 2013 secara menyeluruh, sehingga merasa kesulitan merapkannya (http:// /www.republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/14/12/08/n g913q-guru-kebingungan-kurikulum-2013-disetop) Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh bapak Anwar Abbas Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai ketua bidang pendidikan yang mengatakan bahwa: Menurutnya, banyak guru yang mengeluh karena beratnya tugas guru dalam pelaksanaan kurikulum 2013. Saya melihat guru-guru dengan kurikulum 2013 tampak bukan sibuk
5
dengan mempersiapkan proses belajar mengajar yang baik tetapi sibuk dengan ketentuan yang mengharuskan mereka melakukan evaluasi. Misalnya, untuk guru Bahasa Indonesia harus menilai 29 aspek dan guru agama harus menilai 25 aspek untuk bisa memberikan nilai kepada anak didiknya. Jadi, jika seorang guru mengajar 10 kelas dengan masingmasing kelas berjumlah 40 anak maka itu artinya guru harus memberikan nilai terhadap 400 anak dan masing-masing anak harus mamenuhi 25 atau 29 aspek yang ada. Sehingga guru harus membuat 10 ribu atau 11600 nilai untuk kemudian bisa membuat nilai rata-rata anak didiknya. Sistem yang seperi ini menjadi pekerjaan yang berat bagi guru. (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/12/08/n g93vd-mui-dukung-penghentian-kurikulum-2013 Hal ini didukung oleh data yang diperoleh peneliti ketika melakukan pengambilan data awal melalui angket. Dari 40 orang subjek, sebanyak 34 orang mengalami kesulitan dalam membuat laporan penilaian kurikulum 2013, dengan alasan kesulitan ketika harus menilai sikap dengan rubrik yang terlampau banyak. Bahkan bisa jadi guru tidak mengajar karena pengamatan terhadap peserta didik. Ada enam orang subjek yang tidak mengalami kesulitan dalam membuat laporan penilaian, sebelum penerapan K-13, guru-guru tersebut sudah mendapat pelatihan, sehingga mereka tidak mendapatkan kesulitan dalam pembuatan laporan penilaian. Dari data awal di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan yang dimiliki oleh guru untuk mendidik, mengajar, membimbing, dan melakukan
6
penilaian dan evaluasi bagi peserta didik dalam penerapan K-13, belumlah maksimal seperti tuntutan yang ditetapkan oleh pemerintah dalam undangundang. Hal ini dikarenakan oleh, kurangnya pemahaman guru tentang konsep K13 sehingga mempengaruhi keyakinan guru dalam penerapannya. Oleh karena itu, keyakinan seseorang akan kemampuan dirinya untuk melakukan sesuatu merupakan hal yang sangat mendukung seseorang untuk berbuat. Dalam psikologi hal ini disebut juga dengan self efficacy. Menurut mendefinisikan
Bandura
(dalam
Friedman
&
Schustack,
2008),
self efficacy ialah ekspektasi atau keyakinan (harapan)
tentang seberapa jauh seseorang mampu melakukan satu perilaku dalam suatu situasi tertentu. Self efficacy juga dapat diartikan sebagai keyakinan seseorang akan dirinya bahwa dirinya mampu melakukan tugas tertentu dengan efektif. Dalam hal ini self efficacy fokusnya pada keyakinan seseorang akan kemampuannya dalam melakukan suatu tugas dengan berhasil. Demikian juga dengan guru yang mengajar di SMA Katolik yang terakreditasi A juga dihadapkan dengan suatu situasi yang menuntut keyakinan mereka untuk melakukan suatu tugas tertentu, dalam hal ini tugas sebagai
seorang
guru
adalah,
mendidik,
mengajar,
membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan melakukan evaluasi (UU No. 14 tahun
7
2015 Pasal 1 ayat 1). Self efficacy memiliki dua komponen yaitu efficacy expectancy dan out come expectancy. Efficacy expectancy adalah suatu keyakinan seseorang bahwa ia memiliki suatu kemampuan seperti yang diharapkan. Dalam hal ini adalah keyakinan akan kemampuan yang dimiliki oleh guru SMA Katolik dalam penerapan K-13. Out come expectancy adalah suatu hasil yang diharapkan seseorang dari suatu usaha yang ia lakukan. Dalam hal ini adalah hasil yang diharapkan oleh para guru SMA Katolik setelah mereka menerapkan K-13. Omrod (2009: 28), menjelaskan bahwa guru yang memiliki self efficacy yang tinggi maka guru tersebut akan lebih bersedia mencoba strategi-strategi mengajar yang baru yang dapat membantu siswa belajar lebih baik, memiliki ekspektasi yang lebih tinggi akan performa para siswa, dan karena itu menetapkan standar perfoma yang lebih tinggi pula, mengerahkan usaha yang lebih besar dalam pengajaran mereka dan lebih giggih membantu siswa belajar. Self efficacy yang dimiliki oleh guru akan berpengaruh besar terhadap kualitas pembelajaran murid. Murid banyak belajar dari guru yang merasa yakin pada dirinya dari pada guru yang ragu-ragu pada dirinya sendiri, (Santrock, 2004: 524). Guru yang memiliki self efficacy akan selalu
8
meyakinkan siswanya mampu untuk melakukan suatu tugas. Siswa akan meraih kesuksesan level yang tinggi ketika guru memiliki keyakinan bahwa mereka dapat membantu siswa menguasai berbagai topik di kelas (Omrod, 2009: 28). Jadi, semakin tinggi self efficacy yang dimiliki oleh guru, maka guru tersebut semakin mampu melakukan tugasnya sebagai guru. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Darwin tahun 2011 tentang pengaruh efikasi diri, kepuasan kerja dan persepsi tentang jabatan terhadap kinerja kepala SMK Negeri di Provinsi DKI Jakarta menunjukkan bahwa efikasi diri berpengaruh langsung positif terhadap kinerja kepala sekolah. Kepala sekolah yang memiliki efikasi diri yang tinggi mengenai suatu pekerjaan akan membangkitkan upaya yang besar untuk menghasilkan kinerja yang lebih baik. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat efikasi diri seseorang, maka akan semakin tinggi pula tingkat kinerjanya. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa self efficacy memiliki peran yang sangat penting terhadap kinerja kepala sekolah. Demikian juga dengan guru yang mengajar di SMA Katolik yang terakreditasi A di Surabaya juga perlu memiliki self efficacy yang tinggi guna meningkatkan mutu dan kualitas mengajar.
9
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Puspitasari & Handayani tahun 2014 tentang hubungan tingkat self efficacy guru dengan tingkat burnout pada guru sekolah inklusi di Surabaya, menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat self efficacy guru dengan tingkat burnout pada guru di sekolah inklusif di Surabaya. Selain dari pada itu, terdapat juga koefisien korelasi yang negatif dimana dapat diartikan bahwa semakin tinggi tingkat self efficacy guru sekolah inklusif maka semakin rendah tingkat burnout guru tersebut. Sebagai kesimpulan peneliti tersebut menerangkan bahwa guru yang memiliki tingkat self efficacy yang tinggi akan lebih terbuka terhadap ide-ide yang baru yang dapat memenuhi kebutuhan para siswa, memiliki sedikit kritik terhadap siswa yang membuat kesalahan, menunjukkan antusiasme dan komitmen yang besar dalam mengajar (Puspita & Handayani, 2014). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa seorang guru sangat pernting memiliki self efficacy yang tinggi guna menurunkan tingkat burnout guru tersebut. Selanjutnya, dalam jurnal tersebut juga menegaskan bahwa guru yang memiliki self efficacy yang tinggi akan semakin terbuka akan ide-ide yang baru dan dapat memenuhi kebutuhan para siswa. Hal ini juga diharapkan bagi guru-guru yang mengajar di SMA Katolik terakreditasi A agar semakin terbuka terhadap
10
ide-ide yang baru sehingga mampu memenuhi kebutuhan siswa. Dalam hal ini kebutuhan siswa adalah mendapat pengajaran, penilaian, bimbingan dan arahan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Jumari tahun 2013 tentang pengaruh budaya organisasi, efikasi diri dan kepuasan kerja terhadap kinerja mengajar guru SMK Negeri Kecamatan Denpasar Selatan menunjukkan bahwa, adanya hubungan antara efikasi diri dengan kinerja mengajar guru bersifat posistif. Artinya, semakin tinggi efikasi diri guru maka semakin baik kinerja mengajar guru SMK Negeri Kecamatan Denpasar Selatan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa efikasi diri mempunyai peranan penting guna meningkatkan kinerja mengajar guru. Demikian juga dengan guru yang mengajar di SMA Katolik terakreditasi A di Surabaya juga memiliki suatu paguyuban yang merupakan suatu budaya bagi lembagalembaga pendidikan tersebut. Diharapkan dari paguyuban tersebut dapat meningkatkan self efficacy guru guna meningkatkan pengajaran para guru tersebut. Oleh sebab itu, hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa self efficacy memiliki peran yang sangat penting terhadap kinerja para guru dalam mengajar. Selain dari pada itu, apabila ditinjau dari sudut pandang
11
gereja juga menjelaskan peran penting guru dalam mewujudkan harapan dan tujuan gereja. Dalam Dokumen Konsili Vatikan II, hal. 302, menjelaskan bahwa “Guru perlu dipersiapkan dengan sungguh-sungguh dengan bekal ilmu pengetahuan profan maupun keagamaan yang dikukuhkan oleh ijazah-ijazah semestinya, dan mempunyai kemahiran mendidik sesuai dengan tuntutan zaman”. Adapun tujuan gereja dalam dunia
pendidikan
adalah
mengejar
tujuan-tujuan
budaya
dan
menyelenggarakan pendidikan manusiawi kaum muda (Dokumen Konsili Vatikan II, hal 301). Akreditasi adalah kegiatan penilaian kelayakan program dalam satuan pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan (UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 22). Apabila suatu sekolah sudah terakreditasi seturut undang-undang yang berlaku, maka sekolah tersebut memiliki nilai yang bagus di kalangan masyarakat. Demikian juga dengan sekolah SMA Katolik di Surabaya yang terakreditasi A, tentu hal ini menunjukkan bahwa sekolah-sekolah tersebut memiliki kualitas yang bagus menurut padangan masyarakat maupun oleh dinas pendidikan. Oleh karena itu, guru-guru SMA katolik dituntut untuk memiliki kompetensi kinerja yang bagus pula yang sesuai dengan status akreditasi yang sekolah tersebut.
Hal inilah yang menjadi alasan
12
ketertarikan peneliti untuk melakukan penelitian ini di sekolah SMA Katolik terakreditasi A di Surabaya. Maka dari itu, peneliti ingin mengetahui gambaran deskriptif
self efficacy pada guru SMA Katolik
terakreditasi A dalam penerapan K-13 di Surabaya.
1.2.Batasan Masalah Untuk memperjelas penelitian ini, maka fokus penelitian ini ingin mengungkapkan variabel yaitu Self efficacy pada guru SMA Katolik dalam melakukan penerapan K-13. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif deskriptif, sedangkan subjek penelitian adalah semua guru yang sudah mengajar minimal satu semester di SMA Katolik yang terakreditasi A di Surabaya.
1.3.Rumusan Masalah Berdasarkan uraian yang ada pada latar belakang dan batasan masalah, maka masalah yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut: Bagaimana gambaran self efficacy guru SMA Katolik terakreditasi A dalam penerapan K-13 di Surabaya?
13
1.4.Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran self efficacy guru SMA Katolik terakreditasi A dalam penerapan K-13 di Surabaya. 1.5. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1.5.1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini bertujuan untuk pengembangan ilmu psikologi pendidikan, khususnya teori mengenai gambaran self efiicacy guru dalam penerapan K13. 1.5.2. Manfaat Praktis a. Bagi Para Guru: hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi para guru tentang self efficacy guru, sehingga guru semakin mampu mengajar dengan menggunakan K-13. b. Bagi Institusi Pemerintah Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai self efficacy guru, sehingga pemerintah dapat memberikan pelatihan K-13 untuk meningkatkan self efficacy guru dalam penerapan K13.