Berita SLP KEMENTERIAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA
EDISI NO.2 2014
Sustainable Landscapes Partnership
DAFTAR ISI Peran KLHS dan SLP dalam Pembangunan di Indonesia (Halaman 3) Mengurangi Deforestasi dan Memberdayakan Masyarakat Melalui Bisnis Distribusi Kompor Masak Efisien (Halaman 4) Video Profil SLP: Kombinasi Keindahan Alam dan Aspirasi Masyarakat (Halaman 8) Pertemuan Associates Committee (AC): Peluang Kemitraan Publik-Swasta dan Solusi Saling Menguntungkan (Halaman 10) Tingkatkan Produksi Karet Melalui Teknik Budidaya yang Tepat (Halaman 12) Lokakarya Hutan: Mengubah Ide menjadi Aksi (Halaman 14)
TENTANG SLP
P
rogram Sustainable Landscapes Partnership (SLP) adalah sebuah kemitraan publik-swasta inovatif yang mengajak pemerintah, sektor swasta, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk mengidentifikasi, membangun, dan menguji solusi-solusi baru yang bertujuan mencegah deforestasi dan emisi gas rumah kaca melalui pembentukan model bisnis rendah karbon. SLP bertujuan untuk: Mencegah/mengurangi emisi karbon di lokasi kerja SLP, dari kawasan hutan maupun lahan gambut, dengan mempromosikan tata kelola yang baik dalam model pembangunan rendah karbon; Perlindungan modal alam untuk melindungi hutan dan keanekaragaman hayati di kawasan konservasi prioritas; Menciptakan kesempatan ekonomi yang berkelanjutan bagi masyarakat SLP dilaksanakan oleh Conservation International Indonesia, didukung oleh pemerintah Kabupaten Mandailing Natal dan Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Kementerian Kehutanan, US Agency for International Development (USAID), serta the Walton Family Foundation.
Sahabat program SLP yang terhormat,
S PESAN DARI COP SLP
elamat membaca buletin SLP edisi ke-2. Sebelumnya, perkenankan seluruh tim SLP untuk berterimakasih kepada Anda atas dukungan selama ini, karena tanpa dukungan Anda, program SLP tidak mungkin berjalan seperti sekarang.
Buletin ini merupakan bagian dari media komunikasi SLP untuk semua pemangku kepentingan untuk mendukung tercapainya visi program SLP dalam mewujudkan masyarakat madani yang sejahtera. Seperti yang Anda ketahui, SLP dirancang untuk mendukung perkembangan pembangunan rendah emisi, kegiatan konservasi di daerah yang memiliki nilai keanekaragaman hayati yang tinggi, serta mendukung bisnis dan investasi ‘hijau’ berkelanjutan untuk mencapai sebuah masyarakat madani yang sejahtera pada lokasi kerja kami: Mandailing Natal (Madina) dan Tapanuli Selatan (TapSel). Kami percaya kunci keberhasilan program ini adalah kemitraan dan kolaborasi yang dibangun bersama pemerintah, masyarakat lokal, dan sektor swasta. Kami bekerja di kedua kabupaten bersama dengan sejumlah pemangku kepentingan mulai dari tingkat lokal, provinsi, maupun nasional. Pendekatan dan filosofi yang SLP lakukan dalam mendukung terciptanya visi masyarakat madani yang sejahtera adalah sebagai fasilitator dan katalisator – bukan sebagai penggerak utama program itu sendiri – sebab semua perubahan dan transformasi yang dilakukan dalam program SLP harus merupakan sesuatu yang menjadi bagian dari visi dan aspirasi dari para pemangku kepentingan. Oleh sebab itu, melalui kerjasama ini, kita bersama-sama dapat mengubah dunia, melakukan perubahan baik dan peningkatan kehidupan; untuk diri kita dan generasi baru di masa yang akan datang. Pada kesempatan ini, atas nama Conservation International (CI), saya ingin menyampaikan ucapan selamat kepada Kabupaten Mandailing Natal atas hari jadi yang ke-15 pada bulan Maret 2014. CI melalui SLP berharap bahwa kemitraan kami dengan Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal dapat membantu Pemerintah Kabupaten untuk mencapai visi bersama untuk sebuah Kabupaten yang berkelanjutan dan sehat. Dalam kesempatan ini, saya juga ingin berterimakasih pada pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan atas partisipasi aktif, dukungan, dan keterlibatan positif dalam mendorong kemajuan tonggak kegiatan-kegiatan kunci. Kami menantikan kolaborasi dan kerjasama lainnya untuk program SLP selanjutnya. Pada edisi buletin kali ini, kami sajikan beberapa kegiatan kami di lapangan serta kolaborasi dan kemitraan kami dengan beragam pemangku kepentingan yang terus berkembang dengan dilandasi filosofi bahwa manusia membutuhkan alam untuk hidup. Sejumlah kegiatan di lapangan sudah menunjukkan manfaat dan dampak yang signifikan bagi para pihak yang berpartisipasi. Untuk selanjutnya, kami akan terus bekerjasama dengan para mitra kami serta beragam pemangku kepentingan untuk mencapai sukses dan dampak yang lebih besar. Oleh sebab itu, kami ingin berterimakasih sekali lagi atas kemitraan yang terus berjalan, dan kami harap kerjasama ini terus berlanjut di masa depan.
Hormat saya,
Simon Badcock Chief-of-Party Sustainable Landscapes Partnership
2
Peran KLHS dan SLP dalam Pembangunan di Indonesia
Kebijakan Pemerintah, Rencana, dan Program (KRP)
@SLP
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)
Bukti dan Analisis Ilmiah (SIAP)
Forum Multi Pihak
K
ajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) telah menjadi instrumen yang wajib diterapkan dalam proses perumusan rencana pembangunan jangka panjang, menengah, dan perencanaan penataan ruang di Indonesia, baik untuk tingkat nasional maupun sampai propinsi dan kabupaten / kota. Selain itu, KLHS juga wajib dilaksanakan untuk kebijakan, rencana, atau program (KRP) pembangunan untuk menentukan apabila pembangunan yang dilakukan dapat menimbulkan resiko lingkungan. Ketetapan ini dimuat dalam UndangUndang no. 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup pada pasal 15. Dalam UU tersebut juga ditetapkan bahwa apabila realisasi KRP pembangunan dinilai dapat melebihi kapasitas daya dukung dan daya tampung wilayah pembangunannya, maka pembangunan tersebut harus ditinjau kembali. Di samping memberikan rekomendasi pertimbangan atas daya dukung dan daya tampung dalam proses pembangunan, KLHS juga memuat sejumlah kajian terhadap perkiraan dampak dan resiko lingkungan, jasa ekosistem, efisiensi pemanfaatan sumber daya alam, tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap pe-
rubahan iklim, dan tingkat ketahanan pangan terhadap potensi keanekaragaman hayati. Lebih dari itu usaha-usaha atau kegiatan-kegiatan yang berdampak melebihi daya dukung dan daya tampung harus dihentikan atau tidak diperbolehkan untuk dilanjutkan. Ketetapan ini dimuat dalam pasal 17 UU no.32/ 2009. Untuk dapat melaksanakan ketetapan-ketetapan di atas, UU no. 32/2009 pada pasal 15 butir 3 telah mengatur garis besar metode (langkah-langkah) utama KLHS yaitu:
KLHS merujuk kepada serangkaian analisis dan pendekatan partisipatif yang bertujuan untuk mengintegrasikan pertimbanganpertimbangan lingkungan ke dalam kebijakan, rencana, dan program; serta mengevaluasi hubungan saling terkait diantaranya dengan pertimbangan ekonomi dan sosial (OECD, 2006)
a. Melaksanakan pengkajian; b. Menyusun alternatif penyempurnaan KRP; c. Membuat rekomendasi untuk perbaikan pengambilan keputusan KRP yang mengintegrasikan prinsip-prinsip pembangungan berkelanjutan. Secara singkat, penetapan besarnya ristiko pembangunan yang dapat melebihi kapasitas daya dukung dan daya tampungnya tidaklah cukup dikaji hanya melalui pengamatan secara cepat dari kelengkapan dokumen KLHS saja. Apalagi jika digunakan sebagai bagian dari pengambilan keputusan KRP, yang menentukan masa depan kehidupan masa depan di wilayah pembangunan yang bersangkutan. Pada dasarnya filosofi dan konsep dasar KLHS sejalan dengan program Sustainable Landscapes Partnership (SLP). Salah satu tujuan utama KLHS adalah untuk meningkatkan kapasitas ketahanan pangan, sumber air, dan energi; sejalan dengan peningkatan risiko yang disebabkan oleh aktivitas ekonomi untuk meningkatkan mata pencaharian
masyarakat lokal. KLHS dapat digunakan untuk mencegah risiko yang muncul dari sebuah aktivitas pembangunan, termasuk juga perubahan iklim dan kerusakan ekosistem. Di dalam KLHS, kemitraan dengan banyak pemangku kepentingan juga sangat diperlukan, khususnya dalam membuat sebuah model bisnis rendah karbon yang dapat direplikasikan dan terbukti mengurangi ancaman terhadap deforestasi, mendukung keseimbangan ekonomi, dan meningkatkan ekonomi lokal. Model-model bisnis inilah yang pada akhirnya dapat menarik partisipasi aktif sektor swasta ikut investasi sehingga dapat berfungsi sebagai katalisator menambah investasi untuk pemantapan kapasitas pertumbuhan produksi dan pemasaran komoditas ‘hijau’. Adapun perbedaan di antara KLHS dan SLP adalah pada orientasi atau fokus tatanannya. KLHS lebih terfokus pada tatanan sisi hulu dari proses pengambilan keputusan perumusan KRP, sementara SLP lebih menitikberatkan pada tatanan implementasi aktivitas lapangan di dua kabupaten: Tapanuli Selatan dan Mandailing Natal. Namun, selebihnya baik SLP dan KLHS dapat saling melengkapi satu sama lain untuk mencapai tujuan utama pembangunan berkelanjutan mencakup lintas beberapa wilayah administrasi, baik ditingkat propinsi ataupun kabupaten/ kota. KLHS juga dapat merancang sebuah strategi pembangunan yang terpadu dan harmonis diantara peraturan perundangan yang berlaku. Sebagai instrumen yang wajib dilaksanakan bagi setiap KRP pembangunan jangka panjang, menengah, dan juga penataan ruang, maka KLHS dapat secara formal dan praktis mempertimbangkan implementasi konsep SLP. Apalagi secara konseptual, KLHS bersifat terbuka bagi segala konsep sepanjang menjamin pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan pada sebuah wilayah. Dengan demikian SLP dapat diterapkan secara formal melalui kerangka kewajiban untuk melaksanakan KLHS. (Triarko Nurlambang)
3
Credit Foto : Haricha Tambunan
M. Nasser Pulungan sedang mempersiapkan komporkompor untuk didistribusikan pada konsumen.
Mengurangi Deforestasi dan Memberdayakan Masyarakat Melalui Bisnis Distribusi Kompor Masak Efisien
W
alaupun Pemerintah Indonesia telah mengupayakan beberapa percobaan untuk melaksanakan metode memasak modern, misalnya melalui implementasi “Program Konversi Minyak tanah menuju LPG”, 40% rumah tangga Indonesia (24,5 juta orang) masih mengandalkan biomassa (umumnya kayu bakar) untuk memasak1. Selain itu, jumlah rumah tangga Indonesia yang mengandalkan biomassa untuk memasak semakin bertambah, dikarenakan oleh kurangnya alternatif lain sebagai subsidi untuk LPG dan minyak tanah yang secara perlahan diganti oleh Pemerintah Indonesia. Penggunaan kompor masak tradisional yang tidak efektif seperti api 3 batu, secara signifikan
4
1 2
berkontribusi pada deforestasi dan degradasi hutan. Sebagai tambahan, berdasarkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), asap berbahaya dari proses memasak menggunakan bahan bakar padat (kayu bakar, arang) menyebabkan lebih dari 4 juta kematian setiap tahun, membunuh lebih banyak dibandingkan jumlah kematian karena penyakit malaria dan tuberkulosis2. Di bawah program Sustainable Landscapes Partnership (SLP), proyek Usaha Rendah Emisi (LEE) akan menciptakan suatu usaha komersial berkelanjutan yang menjual kompor masak yang efisien bahan bakar dan memiliki pembakaran bersih untuk masyarakat di Tapanuli Selatan dan Mandailing Natal. Proyek ini bertujuan untuk menjual 22.000 kompor masak efisien bahan bakar selama periode
Grup konsultan Apex (2013), “The Case for Clean Biomass Cookstoves in Indonesia” WHO (2013), “The Global Burden of Disease”
2 tahun, dalam rangka mengurangi emisi karbon dengan perkiraan kurang lebih 44.000 ton/tahun, sembari melakukan pemberdayaan masyarakat lokal. Proyek LEE dilaksanakan oleh Differ, perusahaan investasi asal Norwegia yang berinvestasi dan mengembangkan energi terbarukan/ perusahaan efisiensi energi di Afrika dan Asia; serta Kopernik, LSM Indonesia yang mendistribusikan teknologi sederhana dan bermanfaat, seperti kompor masak efisien bahan bakar dan penyaring air, ke seluruh pelosok negeri. Kompor (Prime Cook Stove) ini dikembangkan oleh M. Nurhuda – profesor dan penemu dari Indonesia – dan kompor ini diproduksi secara lokal di Indonesia. Percobaan menunjukan bahwa kompor masak ini dapat membantu menghemat
lebih dari 80% kayu bakar daripada kompor tradisional yang sering digunakan di Sumatera Utara.
Credit Foto : Lincoln Rajali Sihotang
Proyek LEE tidak melibatkan ritel, namun mengandalkan perorangan maupun kelompok lokal (Kelompok koperasi, kelompok wanita, kelompok tani atau kelompok informal lainnya yang ada di masyarakat) untuk menjadi penjual kompor ini. Proyek LEE menyediakan pelatihan dan dukungan bagi para penjual, antara lain pelatihan teknis cara penggunaan dan perawatan kompor masak, metode dan material mengenai penjualan, dan juga memberikan pelatihan bisnis dan dukungan logistik. Para penjual membeli kompor dapur dari proyek LEE dengan harga grosir dan menambahkan margin sendiri sebelum menjualnya
Seorang anggota Kelompok Wirit sedang memperhatikan kompor masak selama demonstrasi penggunaan kompor di Angkola Barat, Tapanuli Selatan.
pada konsumen. Hal ini menjamin tambahan pendapatan dan perbaikan mata pencaharian bagi para penjual. Sejak proyek ini dimulai pada November 2013, proyek LEE telah mempekerjakan lima staf tetap dan mendirikan kantor di Padang Sidempuan. Empat ratus kompor masak bagian pertama telah didistribusikan di Tapanuli Selatan, dan Proyek LEE telah mempromosikan kompor masak ini pada lebih dari 16 desa, melingkupi 10 kecamatan di Tapanuli Selatan. Sampai sekarang, tim LEE sudah merekrut 9 orang penjual dan melibatkan 4 orang wanita serta kelompok tani yang tertarik untuk menjadi mitra lokal sebagai penjual. Sejak penjualan perdana pada akhir Januari 2014, para penjual telah berhasil menjual 159 unit kompor.
M. Nasser Pulungan, seorang pensiunan yang tinggal di dekat kantor LEE di Padang Sidempuan, merupakan penjual keempat yang bekerja bersama proyek LEE. Pak Pulungan dulunya bekerja sebagai staff BUMN yang beroperasi di beberapa daerah di Sumatera Utara, termasuk Tapanuli Selatan dan Mandailing Natal. Dia menyatakan ketertarikannya untuk menjadi penjual kompor karena potensi kompor ini dalam mengurangi penggunaan kayu bakar dan menggantikan minyak tanah yang mahal, sembari mengurangi pembuangan asap; dibandingkan dengan model api 3 batu saat ini. Pak Pulungan merasa ini merupakan peluang bisnis yang baik dan peluang untuk menciptakan lapangan kerja yang baru, berdasarkan apa yang ia pelajari dari pekerjaan sebelumnya. Sejauh ini Pak Pulungan telah menjual 51 kompor, terutama di Kabupaten Mandailing Natal yang juga merupakan tempatnya berasal. Ia juga telah mempekerjakan 3 orang untuk menjadi sub agen yang membantunya untuk memasarkan dan menjual kompor masak ini. Kelompok Wirit (kelompok pengajian wanita) di Angkola Barat – salah satu kecamatan di Tapanuli Selatan – merupakan salah satu kelompok masyarakat yang juga sudah diperkenalkan dengan kompor masak oleh tim LEE. Kelompok in terdiri dari sekitar 50 sub kelompok dan tiap sub kelompok terdiri dari 50-100 wanita dari kecamatan Angkola Barat. Kelompok ini tertarik untuk bekerjasama dengan proyek LEE, bukan hanya karena anggotanya ingin membeli dan menggunakan kompor ini, namun juga karena mereka ingin memulai kegiatan usaha untuk menambah pendapatan bagi rumah tangga mereka. (Lincoln Sitohang, Camilla Fulland, dan Haricha Tambunan)
5
Keanekaragaman Hayati: Warisan Kita untuk Generasi Mendatang dengan menyediakan pendampingan teknis bagi masyarakat lokal dan peningkatan kapasitas dalam tata kelola yang baik untuk pertumbuhan ekonomi yang berdasar prinsip keberlanjutan.
@SLP
Peta kegiatan SLP dalam pengelolaan daerah aliran sungai dan pelatihan karet di Mandailing Natal dan Tapanuli Selatan
E
kosistem Angkola di Sumatera Utara merupakan rumah bagi beberapa ekosistem keanekaragaman hayati penting di dunia dengan sejumlah spesies langka seperti spesies langka orangutan sumatera dan harimau sumatera. Dalam pemetaan dan pengaturan prioritas kawasan konservasi di seluruh dunia, Conservation International (2003, 2007) menyertakan kawasan hutan dataran rendah Angkola sebagai bagian dari Hotspot Sundaland dan kawasan kunci keanekaragaman hayati Sumatera. Sebuah studi perbandingan juga menemukan bahwa kawasan dataran rendah kering Angkola juga memiliki keanekaragaman pohon yang lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan hutan lain di wilayah Sumatera. Hutan angkola terdiri dari beberapa kawasan kunci keanekaragaman hayati dan dua di antaranya adalah Ekosistem Hutan Batang Toru dan Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) yang terletak di dua kabupaten: Tapanuli Selatan dan Mandailing
6
Natal. Di samping tingkat kekayaan keanekaragaman hayatinya, wilayah ini juga merupakan kawasan hulu sejumlah daerah aliran sungai besar yang berkontribusi penting bagi sejumlah lahan pertanian dan kawasan industri – yang semuanya bergantung kepada ketersediaan air berkelanjutan bagi irigasi, air minum, pencegah bencana alam, dan sebagainya. Oleh karena pentingnya keanekaragaman hayati dan sistem daerah aliran sungai di bentang alam ini, maka sangatlah penting untuk melindungi kawasan tersebut dari deforestasi. Dengan pertimbangan di atas, program-program Sustainable Landscapes Partnership (SLP) memulai kegiatan lapangannya di Tapanuli Selatan dan Mandailing Natal dengan tujuan melakukan konservasi keanekaragaman hayati secara efektif, yang bermanfaat bagi manusia. Namun pendekatan program SLP tidak hanya fokus pada perlindungan modal alam saja, tetapi juga menggunakan pendekatan bentang alam yang komprehensif
Kegiatan SLP bertujuan untuk mendukung keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan melindungi kapasitas lingkungan dari sebuah bentang alam yang mendukung terbentuknya masyarakat madani sejahtera di masa depan. SLP melakukan sejumlah aktivitas mulai dari pengelolaan daerah aliran sungai melalui inisiatif pembayaran jasa ekosistem, pembuatan alternatif mata pencaharian, produksi pertanian berkelanjutan, pembangunan hijau yang rendah karbon, dan inisiatif kebijakan, serta beragam inisiatif lainnya. Masyarakat lokal merupakan kekuatan pendorong yang penting dalam program SLP untuk mendukung sebuah pembangunan berkelanjutan. SLP juga berencana untuk memfasilitasi pembentukan kesepakatan konservasi masyarakat sebagai dasar untuk mendukung kegiatan-kegiatan yang saat ini dilakukan serta sebagai cara untuk memastikan peningkatan upaya konservasi. Kesepakatan konservasi masyarakat ini akan dinyatakan secara langsung oleh masyarakat lokal, dan dibentuk secara kolaboratif berdasarkan kesadaran mereka sendiri, serta berdasar kebutuhan untuk melindungi modal alam di sekitar lokasi tempat tinggal mereka dalam rangka menjamin keberadaan modal alam tersebut bagi kehidupan saat ini, maupun kehidupan generasi mendatang. Melalui CCA, masyarakat lokal akan memiliki komitmen bersama untuk menjaga modal alam dari pembangunan yang tidak sesuai atau merusak, sebab manusia butuh alam untuk hidup. (Didy Wurjanto)
Memahami Citarasa Kopi
@SLP
Buah Kopi
K
opi adalah salah satu jenis minuman paling kompleks yang dikonsumsi oleh manusia. Kompleksitas yang terbentuk dalam kopi, berkembang lapis demi lapis, selagi buah kopi mengalami perubahan bentuk menjadi biji kopi sangrai. Varietas tanaman kopi, jenis tanah, ketinggian permukaan tanah, curah hujan dan suhu udara, merupakan faktor-faktor penentu yang menghasilkan aroma dan cita rasa khusus dalam buah kopi (cherry). Kombinasi aroma dan rasa atau yang biasa dikenal sebagai cita rasa, dapat disamakan dengan konsep terroir di dalam industri minuman (wine). Tergantung pada kondisi pertumbuhan tertentu, kondisi ini dapat membentuk cita rasa yang positif pada buah, bunga, tanaman obat, dan rempah-rempah, atau rasa lainnya seperti rasa pahit yang ditemukan pada varietas robusta. Selama proses pengupasan buah dari biji, buah difermentasi sebagian, sehingga gula dan asam mengalami perubahan bentuk menjadi senyawa dan cita rasa baru. Proses ini membentuk body (rasa di mulut) dan keasaman (brightness) pada kopi. Sekali lagi, aroma dan cita rasa yang terbentuk dapat positif atau negatif, dan rasa dapat dibentuk selama proses pasca panen ini.
Biji kopi hijau seringkali disimpan selama beberapa bulan sebelum diekspor. Dalam kondisi-kondisi tertentu, biji kopi hijau disimpan selama lima tahun. Pada saat disimpan, biji hijau dapat menyerap cita rasa negatif dari benda-benda disekitarnya, atau bahkan dari karungnya sendiri (disebut sebagai cita rasa karung). Oleh karena itu, penyimpanan yang terkendali dan tepat merupakan kunci untuk memastikan cita rasa kopi yang optimal. Di sisi lain, penyimpanan pada sebuah situasi yang terkontrol dapat meningkatkan rasa utama kopi dan mengurangi rasa pahit. Ketika kopi disangrai, lapisan kompleksitas terakhir ditambahkan. Dalam proses yang disebut sebagai “sugar browning” serangkaian aromaaroma kacang-kacangan dan aroma gosong akan muncul. Namun, penyangraian yang berlebihan (baik dalam waktu atau suhu) dapat menghasilkan aroma-aroma gosong dan asap yang tidak enak. Keseluruhan ciri-ciri tersebut menjadi penentu nilai kopi. Kopi-kopi yang memiliki profil cita rasa sangat baik, nilainya jauh lebih tinggi dari kopi lainnya. Varietas kopi terbaik di dunia saat ini dijual dengan harga 10 dolar hingga 100 dolar perkilogram biji kopi hijau.
Dilatarbelakangi besarnya potensi untuk meningkatkan nilai komoditas kopi ini, penting bagi para petani, eksportir, pengolah kopi, maupun pedagang untuk bisa memahami citarasa positif maupun negatif pada kopi. Beberapa aroma yang nikmat pada kopi antara lain almond panggang, cokelat hitam, dan lemon. Beberapa aroma yang kurang nikmat antara lain bubur kopi fermentasi, bumi, asap, dan karet. Menggunakan beberapa patokan penilaian (wheel dan vial), seorang penguji kopi dapat mengidentifikasi variasi aroma dan cita rasa pada sebuah contoh kopi. Patokan (wheel) ini dibentuk oleh Specialty Coffee Association of America (SCAA), informasi lebih banyak bisa ditemukan pada the Specialty Coffee Association of Indonesia (SCAI) di: http://www.sca-indo.org SLP saat ini bekerjasama dengan mitra sektor swasta, pemerintah, dan petani lokal di Tapanuli Selatan dan Mandailing Natal (Madina) untuk mengeksplorasi cara-cara peningkatan produksi kopi di kedua kabupaten. SLP juga melihat kesempatan untuk memahami kualitas dan dinamika citarasa kopi yang lebih baik yang diproduksi di Madina, Sumatera Utara. (Simon Badcock)
7
@SLP
Menggunakan sebuah kamera terbang (helicam), produser video SLP berupaya mendapatkan gambaran keindahan bentang alam Mandailing Natal dan Tapanuli Selatan
Video Profil SLP: Kombinasi Keindahan Alam dan Aspirasi Masyarakat
P
emandangan pada pukul 10 pagi hari itu di Pesantren Al Musthafawiyyah Purba, Mandailing Natal, Sumatera Utara bisa masuk daftar “10 pemandangan terunik” mana saja di dunia. Saat itu para santri sedang bersiap melaksanakan salat dhuha bersama dan mereka beranjak keluar dari kamar dan kelas mereka untuk berkumpul di lapangan untuk melaksanakan ibadah itu. Tidak jauh dari sana, sekumpulan orang menyiapkan kamera drone yang terlihat seperti sebuah piring UFO kecil dengan baling-baling. Beberapa
8
menit kemudian, suara jamaah yang sedang berdoa menggema di udara, dan kamera drone, yang dioperasikan dengan remote kontrol, mulai naik dan bergerak dengan suara berdengung yang terdengar harmonis dengan lantunan doa tadi. Kamera itu terbang di atas santrisantri yang sedang salat, bergerak menuju area lain di pesantren untuk menangkap gambar lingkungan sekitarnya yang terdiri dari sungai dan pepohonan hutan yang asri. Setelah 15 menit, kamera itu mendarat di hadapan ribuan santri yang bersorak sorai menyambut dan sejak tadi mengamati kamera itu dengan penuh kekaguman.
Kamera itu merupakan bagian dari perlengkapan yang digunakan untuk pembuatan video profil SLP, yang berlokasi di Tapanuli Selatan dan Mandailing Natal pada 6-18 Januari 2014. Sebagai salah satu media komunikasi penting yang diproduksi SLP tahun ini, video ini tidak hanya akan menyajikan pemandangan yang menakjubkan dari lokasi kerja SLP, namun juga untuk memperlihatkan potret kehidupan masyarkat yang hidup di daerah ini, termasuk santri-santri di Pesantren Al Musthafawiyyah Purba. “Tempat ini merupakan institusi tua yang menjadi tonggak sejarah bagi budaya dan kehidupan Masyarakat
Mandailing Natal. Dengan merekam kehidupan sehari-hari masyarakat Pesantren Al Musthafawiyyah Purba, kami ingin masyarakat luar menyaksikan bagaimana para santri dan guru berinteraksi dengan alam dan cara mereka menjawab tantangan untuk mengelola ribuan santri dan memanfaatkan sumber daya alam di sekitar mereka” jelas Joe Yaggi, Sutradara film dari Rumah Produksi Jungle Run.
Selama proses pembuatan video dan wawancara, mulai dari bupati sampai dengan petani, dari ibu rumah tangga sampai dengan para ulama, semua orang sangat antusias menceritakan ide-ide maupun kekhawatiran mereka mengenai masa depan Mandailing Natal dan Tapanuli Selatan, bagaimana gaya hidup masakini dapat mempengaruhi lingkungan yang selanjutnya akan diwariskan pada generasi muda. Sebagai contoh, camat di Panyabungan Ibu Lily Lubis yang diwawancara pada hari kedua proses pembuatan video di kantornya. Wanita yang bertutur kata lemah lembut namun tegas ini mengutarakan kekhawatirannya mengenai gaya hidup masyarakat di daerahnya. “Saya mengerti bahwa
para guru telah mengajarkan muridmuridnya tentang pentingnya gaya hidup sehat dan higienis. Namun ada beberapa hal yang membuat siswa mengabaikan ajaran tersebut dan tetap membuang sampah tidak pada tempatnya”. Ia menambahkan “Saya sangat berharap mitra kami dalam pembangunan seperti SLP dapat mengubah ini dan bekerja bersama kami untuk dalam program penyadaran mengenai perilaku hidup sehat.” Video profil ini, yang versi singkatnya sudah ditayangkan pada pertemuan Komite Asosiasi (AC) 22 Januari 2014 lalu, akan diluncurkan pada kuartal awal tahun 2014 melalui diskusi media dengan pembicara utama dari para ahli program SLP dan jurnalis. Mereka dijadwalkan untuk mendiskusikan film ini, serta tantangan lingkungan serta berbagai peluang yang ada di Sumatera Utara. (Primatmojo Djanoe)
@SLP
Selain pesantren, Joe dan para kru film yang terdiri dari senimatografer, dua juru kamera, dan dua operator kamera drone, telah mengunjungi banyak lokasi untuk menangkap keindahan alami lokasi kerja SLP sembari berdiskusi dengan jawara lokal mengenai permasalahan lingkungan dan aspirasi mereka tentang kehidupan berkelanjutan. Lokasi pengambilan gambar video ini antara lain perkebunan aren, karet, dan kelapa sawit, kawasan
tambang, pasar tradisional, mata air, kawasan Batang Toru dan Taman Nasional Batang Gadis.
9
Pertemuan Associates Committee (AC): Peluang Kemitraan Publik-Swasta dan Solusi Saling Menguntungkan
@SLP
Mantan Menteri Kehutanan Indonesia Bapak Marzuki Usman memberikan pidato kunci pada pertemuan Komite Asosiasi
K
esempatan kemitraan publikswasta dalam program Sustainable Landscapes Partnership (SLP) di Sumatera Utara mencapai fase baru pada 22 Januari 2014 ketika SLP mengadakan pertemuan perdana Associates Committee (AC) di Medan Sumatera Utara dengan tema “Kemitraan Bisnis Hijau: Tantangan dan Peluang”. Pertemuan yang membahas tantangan dan peluang pengelolaan komoditas karet, kopi, dan cokelat di wilayah Sumatera Utara tersebut dihadiri oleh 34 perwakilan perusahaan dan pemerintah di tingkat propinsi maupun kabupaten. Associates Committee (AC) merupakan perkumpulan yang akan dibentuk oleh SLP sebagai wadah konsultasi antara para pemangku kepentingan dengan program SLP, pemerintah dan sektor swasta pada topik-topik terkait dengan bisnis berkelanjutan. Pertemuan AC ini
10
diharapkan dapat membuka dialog antara SLP, sektor swasta, dan pemerintah dalam upaya mencapai pengelolaan bisnis yang mampu meningkatkan produksi komoditas lokal da menjaga modal alam di wilayah kerja SLP. Pertemuan AC ini fokus pada beberapa komoditas spesifik seperti karet, cokelat, kopi. Pertemuan ini dibuka dengan pidato dari Bapak Marzuki Usman yang berjudul “Partisipasi Swasta, Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan”, dan kemudian dilanjutkan dengan sambutan dari Chief of Party program Sustainable Landscapes Partnership (SLP) Simon Badcock yang menyampaikan harapan agar pertemuan perdana ini dapat membuka peluang kolaborasi yang lebih besar antara sektor publik dan swasta untuk sebuah pembangunan hijau yang berkelanjutan: “Kami berharap agar pertemuan ini akan menjadi pencetus diskusi diantara
peserta terutama industri perkebunan, tentang bagaimana mengambil peran aktif dalam inisiatif ekonomi yang berkelanjutan. Saya percaya bahwa dengan sebuah praktik pengelolaan bisnis ramah lingkungan, perusahaan dapat memainkan peran penting dalam pembangunan lokal yang tidak hanya memberikan keuntungan jangka panjang, namun juga meningkatkan mata pencaharian masyarakat di Sumatera Utara.” Pertemuan ini juga memiliki sesi talkshow yang menghadirkan lima panelis dari sektor sawasta, pemerintah propinsi, dan asosiasi beberapa komoditas kunci. Asfan Sofyan Harahap dari Dinas Perkebunan Sumut, Jose Omar Enao dari PT. OLAM Indonesia, Perlindungan Purba dari DPD Sumatera Utara, Timbas Ginting dari KADIN Sumatera Utara, dan Edi Irwansyah dari Gabungan Perusahaan Karet
Pada akhir pertemuan, SLP mempresentasikan penemuan kajian rantai nilai agribisnis komoditas kopi, karet, dan cokelat di tingkat nasional maupun kabupaten lokasi kerja SLP (Mandailing Natal dan Tapanuli Selatan). Kajian yang dilakukan oleh SLP menyimpulkan
Pertemuan Komite Asosiasi mempertemukan sektor swasta untuk mendiskusikan tantangan dan kesempatan sebuah bisnis ‘hijau’
bahwa tiga komoditas (kopi, karet, cokelat) memiliki potensi yang sangat besar untuk berkembang. Tak ketinggalan, SLP mengundang sektor swasta untuk berkolaborasi dengan semua pemangku kepentingan lokal di wilayah untuk mengeksplorasi potensi yang ada
@SLP
Indonesia (GAPKINDO). Panelis menyimpulkan bahwa kemitraan lintas sektor merupakan hal yang penting untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang fokus pada pembangunan berkelanjutan dan bisnis hijau. Secara umum, seluruh peserta pertemuan sepakat bahwa menjaga modal alam merupakan sebuah keharusan karena modal alam tersebut akan menjamin praktik bisnis jangka panjang. Oleh karena itu, sebuah aktis nyata juga harus dilakukan dalam meralisasikan sebuah kemitraan lintas sektor yang dapat memberikan manfaat saling menguntungkan bagi semua pihak yang terlibat.
melalui peningkatan kualitas dan kuantitas produk. Kemitraan ini tidak hanya menguntungkan petani, perusahan, dan pemerintah lokal; namun juga memberikan dampak positif bagi alam yang merupakan modal kunci bagi seluruh kehidupan manusia.
Kajian Rantai Nilai Komoditas Kopi, Karet, dan Cokelat Kopi Fakta dan Tantangan: Indonesia adalah penghasil kopi terbesar ke- 3 dunia setelah Brazil dan Vietnam; Pangsa terbesar perkopian di Indonesia adalah kopi jenis robusta yang menghasilkan 601.000 ton kopi (80,4%), sedangkan jenis Arabika menghasilkan 147.000 ton kopi (19,6%); Produksi rata-rata perkebunan masyarakat sebanyak 700-800 kg/hektar tergolong masih rendah akibat dari praktik-praktik yang kurang tepat, serta pengaruh dari perubahan iklim.
Karet Fakta dan Tantangan: Indonesia menempati posisi pertama untuk luas areal karet di dunia, diikuti oleh Thailand dan Malaysia. Namun produksi karet Indonesia masih jauh tertinggal dari kedua negara tersebut. Kabupaten Mandailing Natal merupakan daerah dengan areal perkebunan karet rakyat terluas di Sumatera Utara, dan lebih dari 40% penduduk bertani karet. Kuantitas dan kualitas produksi karet dari Kabupaten Mandailing Natal dan Tapanuli Selatan masih rendah, disebabkan keterbatasan pengetahuan dan keterampilan budidaya karet yang tepat dan berkelanjutan.
Cokelat Fakta dan Tantangan: Indonesia adalah penghasil ke-3 cokelat di dunia setelah negara Ghana dan Ivory Coast. Indonesia juga merupakan penyedia cokelat terbesar di Asia Timur; Produksi cokelat didominasi oleh petani skala kecil sekitar ±400.000800.000 kg dengan luasan kebun yang berkisar antara 0,5 - 1 ha. Pusat produksi adalah di Sulawesi; Beberapa tahun terakhir keunggulan cokelat Indonesia mulai terancam disebabkan mutu yang rendah dan tidak konsisten. Penyebab utama mutu yang rendah dan tidak konsisten adalah serangan hama penggerek buah kakao (PBK), hama, dan penyakit lain.
11
Tingkatkan Produksi Karet Melalui Teknik Budidaya yang Tepat
@SLP
Aktivitas pelatihan karet SLP yang bertujuan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi karet
T
ambat – salah satu petani karet dari Kabupaten Mandailing Natal (Madina) yang berpartisipasi dalam pelatihan karet dari program Sustainable Landscapes Partnership (SLP) begitu bersemangat. Ia menyampaikan bahwa produksi getah karetnya (latex) meningkat sebanyak 6 kali lipat setelah penerapan teknik penyadapan pohon karet yang tepat yang diperolehnya melalui pelatihan dari tim SLP. Tambat yang juga berprofesi sebagai guru Sekolah Dasar tersebut kini bisa optimis untuk meningkatkan pendapatan keluarganya dari berkebun karet, berkat pelatihan budidaya karet yang merupakan bagian dari program Sustainable Landscapes Partnership (SLP). Tambat adalah satu dari petani karet binaan program SLP di Madina yang merasakan manfaat teknik budidaya yang tepat dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi. Program pelatihan karet yang dimulai sejak November 2013 tersebut kini telah menjangkau 250
12
petani dari 8 desa di Madina, serta 332 petani dari 7 desa di Tapanuli Selatan (TapSel). SLP menyusun materi pelatihan berdasarkan hasil kajian atas kondisi budidaya karet di kedua Kabupaten. Beberapa materi pelatihan antara lain: teknik sadap pohon karet tua, pemayungan atau pemantel hujan (untuk musim hujan), serta sistem celengan atau tabungan (untuk musim gugur daun). Ketiga teknik tersebut juga membantu petani untuk mengoptimalkan produksi dari pohon karet tua tanpa harus melakukan penebangan yang akan berdampak pada berkurangnya porsi tanaman hutan. Hal ini juga memberikan dampak pada pengurangan emisi gas rumah kaca. Upaya pelatihan karet yang SLP lakukan tak hanya bertujuan meningkatkan pendapatan petani melalui peningkatan pelatihan dan pengetahuan, namun juga bermanfaat untuk mencegah deforestasi hutan akibat penebangan pohon karet tua maupun perluasan areal kebun akibat kurangnya pengetahuan dan keterampilan budidaya karet yang
tepat. Sebagai contoh, pada kawasan kebun karet di sekitar Taman Nasional Batang Gadis (TNBG), SLP dan pihak TNBG bekerjasama untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan menjaga modal alam dengan bantuan bibit karet unggul dari pihak TNBG kepada petani karet di Desa Aek Nabara. Bibit tersebut akan ditanam pada kawasan yang kosong untuk mencegah bencana alam seperti tanah longsor atau banjir akibat kurangnya kawasan penyangga. Selain itu, CI dan TNBG juga membantu memfasilitasi lahirnya kesepakatan konservasi masyarakat dimana masyarakat berkomitmen untuk tidak menebang pohon karet tua atau melakukan ekstensifikasi ke kawasan hutan. Berdasarkan hasil pemantauan tim SLP, rata-rata kenaikan produksi lateks dari pohon karet tua sebagai hasil dari pelatihan meningkat antara 40-120%. Peningkatan produksi ini tak hanya memberikan manfaat bagi peningkatan pendapatan/ekonomi petani, namun juga memberi kontribusi bagi upaya konservasi.
Yacub Malik, salah satu petani karet di TapSel, juga mengalami peningkatan hasil produksi lateks setelah menerapkan teknik-teknik yang diajarkan oleh program SLP. Ia merupakan satu dari 360 petani di Madina dan TapSel yang juga merasakan manfaat teknik budidaya yang tepat dalam peningkatan produksi, sekaligus perlindungan alam. Malik menyatakan: “Biasanya kebun saya hanya menghasilkan 8 kg lateks per minggu dengan 5 kali sadap, namun sekarang hasil
produksi lateks meningkat menjadi 12-21 kg per minggu hanya dengan 3 kali sadap. Saya juga tak perlu menebang pohon karena sekarang sudah mengetahui teknik yang tepat untuk mengoptimalkan produksinya.” Pelatihan ini merupakan tahap awal dari kegiatan lapangan SLP yang bertujuan memberi kontribusi bagi peningkatan ekonomi petani setempat. Pada tahap lanjut, kegiatan SLP tidak hanya fokus pada upaya peningkatan kapasitas petani, namun
juga pembukaan akses ke pasar, dan upaya mendorong tata kelola maupun kebijakan pendukung yang efektif dari Pemerintah setempat. Pada akhirnya diharapkan agar pelatihan karet ini dapat meningkatkan kesejahteraan petani yang berkontribusi pada peningkatan pendapatan daerah, menyediakan produk-produk berkualitas bagi sektor swasta, serta meningkatkan partisipasi sektor swasta dalam upaya produksi berkelanjutan; dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan. (Edy Suprayitno)
Pelatihan Karet SLP Tingkatkan Pendapatan Keluarga Saya Tambat, pria kelahiran Madina 30 tahun silam itu sangat senang dengan pelatihan karet yang dilakukan oleh program SLP di Desa Aek Banir, Kabupaten Madina. Lahir dari keluarga petani, Tambat yang juga memegang tanggungjawab sebagai Ketua Kelompok Tani di desa tersebut sudah menekuni kegiatan berkebun karet sejak masih kecil. Kebun karet seluas 2 hektar yang ia miliki merupakan warisan turun temurun dari orang tuanya, dan menjadi salah satu sumber pendapatan utama keluarga, di samping profesinya sebagai guru di Sekolah Dasar. Musim hujan sering menjadi tantangan bagi Tambat untuk memperoleh pendapatan yang cukup bagi keluarganya dari kebun karet yang ia miliki, karena produksi karet bisa berkurang sampai dengan 80% dari kondisi cuaca biasa. Tak heran bila banyak petani karet, termasuk dirinya, juga mencari sumber penghasilan tambahan seperti aren, membuat sapu ijuk, berdagang, menjual pohon kayu manis, atau menjalani profesi lain. Selain itu, keterbatasan pengetahuan juga kerap membuat seluruh anggota keluarga petani harus bekerja keras guna meningkatkan jumlah produksi, khususnya melakukan lebih banyak penyadapan untuk memperoleh getah karet (latex) yang lebih berlimpah; tak terkecuali dengan keluarga Tambat. Sayangnya, pohon karet tua tidak memproduksi banyak latex; dan karenanya beberapa petani menebang pohon tua dan tidak produktif tersebut atau
memperluas wilayah kebunnya ke wilayah yang lain. Tantangan lain menurut Tambat adalah harga latex yang rendah. Tambat menyampaikan bahwa harga karet yang normal berkisar di angka Rp 9.000 - Rp 11.000 per kg, namun bila kualitas dinilai kurang baik oleh pengumpul, karet mereka hanya dihargai senilai Rp 7.000 Rp 8.000 per kg. Setelah mengikuti pelatihan dari SLP, Tambat menyatakan bahwa produksi latex kebunnya maupun petani karet yang lain mengalami peningkatan. Produksi karet kebun Tambat meningkat drastis, bahkan dengan teknik penyadapan yang tepat, ia dan keluarga-nya tak perlu melakukan penyadapan setiap hari. Ia juga tidak perlu khawatir lagi dengan kondisi cuaca karena sekarang ia sudah memiliki keterampilan dan teknik yang dibutuhkan untuk beradaptasi dengan kondisi cuaca. Tambat menyatakan bahwa: “Saya akan menerapkan teknik-teknik budidaya yang tepat pada 300 pohon yang saya miliki sehingga produksi karet dari kebun saya bisa mencapai 384 kg per bulan. Saya juga ingin meningkatkan kualitasnya. Kalau saya bisa mendapatkan harga jual Rp 9.000 per kg, pendapatan keluarga saya dari kebun karet bisa mencapai lebih dari Rp 3 juta per bulan. Saya pikir itu sudah lebih dari cukup untuk bisa menabung uang pendidikan agar anakanak saya bisa masuk perguruan tinggi.” (Linda Chalid)
13
@SLP
Lokakarya Hutan: Mengubah Ide menjadi Aksi
P
ria dengan kemeja polo hitam itu menatap lingkaran biru dan merah yang digambar di selembar peta yang tertempel di papan dengan dahi berkerut. “Kalau kerusakan hutan di masa lalu saja sudah seperti ini, apa mungkin kita masih punya hutan di masa depan?” ia bertanya pada temannya, pria dengan topi putih yang terus menggambar lingkaran-lingkaran di peta itu. “Bisa ya, bisa tidak,” jawab si teman layaknya seorang filsuf sambil terus melihat peta seolah-olah lembaran itu akan membantunya menemukan harta karun. Dua pria ini merupakan peserta lokakarya SLP bertema “Hutan dan Pembangungan Berkelanjutan” yang diadakan pada 4-5 Desember di Sipirok, Tapanuli Selatan. Peta yang sedang mereka kerjakan merupakan bagian dari sesi kelompok dimana semua peserta lokakarya diminta untuk menemukan lokasi dan melakukan data pada kawasankawasan yang terancam deforestasi – di kawasan lindung Batang Toru – selama 10-15 tahun terakhir. Mereka juga diminta membuat peringkat intensitas ancaman tersebut dan membuat prediksi separah apa ancaman-ancaman itu akan berlanjut 10-15 tahun mendatang. Setiap kelompok kemudian mempresentasikan hasil temuan mereka di
14
hadapan seluruh peserta lokakarya. Presentasi dilanjutkan dengan diskusi untuk melengkapi dan menetapkan hasilnya. “Saya rasa saya tahu mengapa aliran air semakin berkurang dari hutan dewasa ini,” ujar Hamzah, pria dengan kemeja hitam, salah satu peserta lokakarya. Hamzah bertugas melingkari lokasi di Batang Toru dengan warna merah untuk lokasi deforestasi di masa lalu, dan melingkari lokasi prediksi ancaman deforestasi di masa depan dengan warna biru. “Lokasi yang saya tandai dengan warna merah sangat luas. Saya harap lokasi seperti ini dapat berkurang di masa yang akan datang, sehingga air akan mengalir dengan baik” tambahnya. Pada lokakarya kedua, yang dilakukan pada 10-11 Desember di Panyabungan, Mandailing Natal; fokus pembahasan adalah pada kawasan lindung Batang Gadis. Lokakarya ini merupakan kesempatan untuk menjalin kembali hubungan dengan para pemangku kepentingan di kedua kabupaten dan juga membantu SLP memperoleh informasi berharga dalam melakukan perencanaan program. Lokakarya ini dirancang menggunakan sejumlah langkahdari metode Open Standards for Practice of Conservation yang mengajak peserta melihat faktor-
faktor pendorong utama dan penyebab pokok dari deforestasi di kawasan Batang Toru dan Batang Gadis, mengidentifikasi dinamika tren penggunaan lahan di masa yang akan datang, dan mengembangkan ide untuk intervensi strategis dalam menangani penyebab pokok deforestasi. Di akhir kedua lokakarya (Tapanuli Selatan dan Mandailing Natal), peserta yang merupakan perwakilan dari pemerintah daerah, LSM, dan masyarakat, muncul dengan berbagai pendapat mengenai penyebab deforestasi di wilayah masingmasing, termasuk di dalamnya perluasan perkebunan komersial, konversi hutan untuk kegiatan pertanian skala kecil, penebangan hutan, dan pembangunan infrastruktur. Mereka juga mengusulkan beberapa langkah yang harus diambil untuk menyelesaikan tantangan lingkungan termasuk membentuk forum multi pihak. Pembentukan forum multipihak ini dapat memfasilitasi semua pemangku kepentingan untuk bekerjasama dalam mengurangi deforestasi. Untuk memperkuat posisi forum, maka dapat dibentuk forum berdasarkan peraturan kabupaten, sehingga memperkuat misi forum untuk mendukung perlindungan lingkungan dan mendukung pengelolaan alam yang lebih baik. (Primatmojo Djanoe)
Pemanasan Global, Tanggung Jawab Kita Bersama
Saat ini, hampir semua negara berupaya untuk mengurangi dampak pemanasan global melalui pengurangan emisi gas rumah kaca. Indonesia merupakan salah satu negara yang juga berupaya mengurangi emisi gas rumah kaca ke atmosfir. Namun demikian, upaya Indonesia tidak akan sukses tanpa dukungan aktif dan partisipasi dari pemerintah lokal, dan para pembuat kebijakan di Indonesia. Melihat besarnya tantangan yang ada, upaya untuk mengurangi dampak pemanasan global adalah adalah tugas dan tanggung jawab kita semua. Kunci sukses dalam hal ini adalah partisipasi dari semua pemangku kepentingan. Tindakan dan kepemimpinan pada semua tingkat dibutuhkan pada semua tingkat untuk mencapai kesuksesan dalam mengurangi dampak pemanasan global. Dalam konteks penurunan emisi karbon, Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut (Reduction Emissions from Deforestation and
Forest Degradation) yang selanjutnya disebut REDD+ adalah sebuah konsep yang sudah biasa kita dengar sebagai bagian dari solusi atas pemanasan global REDD+ adalah sebuah pendekatan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dengan mencegah atau mengurangi emisi karbon dari kerusakan hutan dan lahan gambut. Aktivitas REDD+ antara lain dalam bentuk perlindungan dan peningkatan cadangan karbon melalui konservasi hutan, pengelolaan hutan yang berkelanjutan, Peta menunjukkan tutupan hutan dan deforestasi yang terjadi sejak 1990 sampai 2013 di kabupaten lokasi kerja SLP rehabilitasi dan restorasi kawasan hutan yang rusak, dan beragam produk tersebut mampu memenuhi aktivitas lainnya untuk melindungi aturan produksi berkelanjutan. keanekaragaman hayati, termasuk Ketiga, REDD+ dapat membantu mengembangkan model Pem- menjamin Indonesia meningkatkan bayaran Jasa Ekosistem, dan skema pengelolaan modal alam dalam lainnya untuk memberikan manfaat jangka panjang. bagi masyarakat lokal. Satu tantangan kunci yang ada REDD+ dilihat sebagai sebuah saat ini adalah “bagaimana menpeluang baru untuk memper- ciptakan sebuah contoh kongkrit tahankan tutupan hutan Indonesia. inisiatif REDD+ di lapangan?”. Wardojo dan Fisbein (2011) Untuk menjawab hal tersebut, mengatakan bahwa ada tiga hal sebuah model pendekatan pepositif REDD+ bagi Indonesia, yaitu: ngelolaan lingkungan yang mekomponen REDD+ Pertama, REDD+ adalah upaya nyertakan untuk mendukung pertumbuhan sangat dibutuhkan, sehingga dapat ekonomi sembari meminimalkan direplikasi pada skala yang lebih Program Sustainable dampak negatif terhadap sumber besar. Landscapes Partnership (SLP) daya alam. Kedua, REDD+ akan meningkatkan posisi produk-produk dirancang untuk menjawab tanIndonesia (produk hasil hutan dan tangan tersebut. Tujuan program ini perkebunan) di pasar global ketika dapat dicapai melalui tiga elemen
@SLP
P
emanasan global bukan hal baru bagi kita semua. Bagaimanapun, pengaruhnya bukan sekedar teori ilmu pengetahuan, karena kita telah merasakan dampak dari pemanasan global serta perubahan iklim dalam kehidupan sehari-hari, seperti ketidakstabilan iklim, dan berbagai bencana alam (banjir, longsor, dan badai). Hal-hal tersebut tidak hanya mempengaruhi satu sektor saja, namun hampir berpengaruh pada semua sektor di dalam kehidupan kita, yang pada akhirnya berujung pada kerugian ekonomi bila pemanasan global dan perubahan iklim terus berlangsung tanpa ada upaya untuk mengatasinya.
15
utama: produksi berkelanjutan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, dukungan teknis kepada pemerintah untuk mencapai tata kelola yang baik dan pembangunan hijau, dan perlindungan modal alam untuk jasa ekosistem yang berkelanjutan. Tiga elemen tersebut merupakan aktivitas utama program SLP untuk mendukung tujuan REDD+ di Indonesia, dengan tujuan besar mencapai terciptanya masyarakat madani yang sejahtera. Kegiatan SLP yang secara langsung mendukung pembentukan model REDD+ antara lain membentuk strategi peningkatan mata pencaharian masyarakat dan bila memungkinkan penyediaan alternatif sumber
Tentang Conservation International Dibangun berdasarkan pondasi ilmu pengetahuan yang kuat, kemitraan, serta demonstrasi lapangan, CI memberdayakan masyarakat untuk peduli pada alam secara bertanggung jawab dan berkelanjutan, keanekaragaman hayati global, untuk kesejahteraan manusia. Berdiri pada tahun 1987, CI memiliki kantor pusat di Washington D.C., Amerika dengan lebih dari 800 staf di 30 negara di enam benua, dan memiliki hampir 1.000 mitra di seluruh dunia. Untuk informasi lebih lanjut, silakan kunjungi www.conservation.org. Buletin ini merupakan publikasi resmi program Sustainable Landscapes Partnership (SLP) yang dikelola oleh Conservation International Indonesia (CII), dan didukung oleh pemerintah Mandailing Natal, pemerintah Tapanuli Selatan, Kementerian Kehutanan, United States Agency for International Development (USAID), dan the Walton Family Foundation (WFF). Semua materi dalam buletin ini tidak serta merta mewakili pandangan atau opini dari para pihak yang terlibat di dalam program. Hak cipta pada semua materi yang terbit di buletin ini merupakan hak CII. Silakan hubungi CII untuk memperbanyak atau mengutip isi dari buletin ini.
Aktivitas SLP Mendatang Bulan Maret – April Proses penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) untuk Mandailing Natal dan Tapanuli Selatan Peluncuran dan Sosialisasi Video SLP Kegiatan SLP untuk Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Komoditas Perkebunan
16
mata pencaharian bagi masyarakat untuk mencegah ekspansi lahan pertanian ke kawasan hutan, peningkatan kapasitas untuk produksi berkelanjutan, peningkatan kualitas dan akses ke pasar, dukungan kepada Pemerintah dalam pembuatan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), serta membentuk forum multipihak sebagai media diskusi mengenai pembangunan hijau yang berkelanjutan yang juga berperan sebagai media kontrol kegiatan pembangunan daerah. Melalui sejumlah aktivitas ini, SLP akan memberikan contoh bahwa REDD+ merupakan sebuah konsep yang aplikatif, sekaligus mendukung pembangunan hijau yang akan memberikan manfaat bagi masyarakat. (Didy Wurjanto)
Hubungi Kami Simon Badcock Chief of Party, SLP Email:
[email protected]
Primatmojo Djanoe Terrestrial Communications Manager Email:
[email protected]
Kantor SLP Jakarta Jalan Pejaten Barat 16 A Kemang, Jakarta 12550 Phone 62 21 7883 8626
North Sumatera Medan Komplek Bukit Johor Mas Blok C No.1 Medan 20143 Phone 62 61 8880 7701
Tapanuli Selatan Jalan Kenanga 51 Padang Sidimpuan Phone 62 63 427 972
Mandailing Natal Perumahan Cemara Madina Blok A/14 Desa Sipapaga Panyabungan Phone 62 83 632 870