SKRIPSI
STUDI STABILITAS DAN FORTIFIKASI VITAMIN C PADA PEMBUATAN KONSENTRAT JERUK PONTIANAK
Oleh ADE AULIYA F24103011
2008 DEPARTEMEN TEKNOLOGI PANGAN DAN GIZI FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
STUDI STABILITAS DAN FORTIFIKASI VITAMIN C PADA PEMBUATAN KONSENTRAT JERUK PONTIANAK
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh ADE AULIYA F24103011
2008 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN STUDI STABILITAS DAN FORTIFIKASI VITAMIN C PADA PEMBUATAN KONSENTRAT JERUK PONTIANAK
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh ADE AULIYA F24103011 Dilahirkan pada tanggal 03 Agustus 1985 Di Jakarta, DKI Jakarta Tanggal Lulus: 18 Januari 2008 Menyetujui, Bogor,
Januari 2008
Dr. Ir. Nuri Andarwulan, MSi Dosen Pembimbing Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Ketua Departemen ITP
KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala Karunia, Hidayah, dan Rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul Stabilitas dan Fortifikasi Vitamin C Pada Konsentrat Jeruk Pontianak. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada sejumlah pihak yang telah berkontribusi secara langsung maupun tak langsung dalam penyelesaian tugas akhir ini. Semoga Allah SWT membalas budi baik pihak-pihak yang senantiasa membimbing, membantu, dan mendoakan penulis dalam menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Amin yaa rabbal alamin. Perkenankanlah penulis untuk mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Nuri Andarwulan, MSi selaku dosen pembimbing yang telah memberikan dukungan, motivasi, bimbingan, dan pengarahan sehingga tugas akhir ini dapat terselesaikan. 2. Dr. Ir. Feri Kusnandar, MSc dan Ir. Elvira Syamsir, MSi selaku dosen penguji yang telah memberikan banyak masukan berarti demi perbaikan skripsi ini. 3. Ayahanda, Ibunda, dan adikQu “Uul” yang telah memberikan begitu banyak dukungan baik secara moril maupun materiil. Terima kasih atas semua kesabaran, doa, dan dorongannya sehingga penulis tetap bersemangat dan dapat menyelesaikan tugas akhir ini. 4. Widhi Widagdo, terima kasih banyak atas semua semangat, doa, dukungan dan bantuannya selama penulis melakukan penelitian dan penyusunan tugas akhir ini. 5. Anak-anak “JerPon” (Dian dan Ola) dan Nana sebagai teman satu bimbingan. Terima kasih buat semua masukan, bantuan, dan kerjasamanya selama penelitian, juga kepada teman-teman satu bimbingan angkatan 39 (Karen, Papang, Denok) dan 41 (Au, Lia, Ancha).
6. My best prenz “GENTA” (Mona, Chitra, Wayan) terima kasih untuk saran dan semangat yang diberikan selama penyusunan dan menyelesaikan penelitian ini. Terima kasih pula kepada “GENTA Cs” (Widhi, Aan, Zano) atas support dan kebersamaannya. 7. Teknisi laboratorium ITP (Pak Sobirin, Pak Mul, Teh Ida, Mas Edi, Pak Koko, Pak Wahid, Pak Gatot, Bu Antin, Bu Sri, Bu Rubiah, dan mba’Ari), terima kasih atas bantuan dan saran yang telah diberikan. 8. Terima kasih untuk cowok-cowok tpg’ers (Widhi, Teddy, Andal, Sarwo, Martin, Babeh, Gilang, Marto, Aan, dan lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu) yang telah membantu penulis dalam melakukan
penelitian
terutama
bagi
yang
pernah
membantu
mengangkat tutup evaporator vakum. 9. Terima kasih untuk semua anak-anak itp’40 yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu. Terima kasih atas kebersamaan, dukungan, dan bantuannya. 10. Segala pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung,
dan
tidak
dapat
disebutkan
satu
persatu,
penulis
mengucapkan terima kasih banyak. Penulis menyadari masih banyak sekali kekurangan dalam penulisan tugas akhir ini. Oleh karena itu penulis memohon saran dan kritik demi perbaikan dan perkembangan selanjutnya. Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu dan teknologi, khususnya di bidang teknologi pangan.
Bogor,
Januari 2008
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 03 Agustus 1985. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara dari keluarga Bapak Juniwal Lubis dan Ibu Rehan
D.
Nasution..
Penulis
mengawali
jenjang
pendidikannya di SD Negeri 010 Pekayon Jakarta pada tahun 1991-1997, dilanjutkan ke jenjang sekolah lanjutan di SLTPN 103 Jakarta pada tahun 1997 - 2000, serta SMUN 39 Jakarta pada tahun 2000-2003. Pada tahun 2003 penulis diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan terdaftar di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor (FATETA-IPB). Selain mengikuti kegiatan perkuliahan, penulis juga mengikuti organisasi Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (HIMITEPA). Kegiatan kepanitiaan juga pernah diikuti penulis antara lain BAUR 2006, Suksesi HIMITEPA 2004, Seminar dan Pelatihan HACCP III, LCTIP XIII, dan NSPC IV serta Pelatihan Auditor HACCP yang diselenggarakan oleh MBRIO Biotekindo. Penulis melakukan penelitian sebagai tugas akhir yang berjudul ”Studi Stabilitas dan Fortifikasi Vitamin C Pada Pembuatan Konsentrat Jeruk Pontianak” dibawah bimbingan Dr. Ir. Nuri Andarwulan, MSi.
DAFTAR ISI
Hal KATA PENGANTAR .................................................................................... i DAFTAR ISI ................................................................................................... iv DAFTAR TABEL ........................................................................................... vi DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... vii DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... viii I. PENDAHULUAN .................................................................................... 1 A. LATAR BELAKANG ........................................................................ 1 B. TUJUAN ............................................................................................. 3 C. MANFAAT ......................................................................................... 3 II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 4 A. JERUK PONTIANAK ........................................................................ 4 B. SARI BUAH JERUK .......................................................................... 6 C. KONSENTRAT JERUK .................................................................... 6 D. EVAPORASI ...................................................................................... 9 E. PASTEURISASI ................................................................................. 10 F. BAHAN TAMBAHAN ...................................................................... 12 1. Gula ................................................................................................ 12 2. Asam Sitrat ..................................................................................... 13 G. VITAMIN C (ASAM ASKORBAT) .................................................. 15 H. FORTIFIKASI .................................................................................... 19 III. BAHAN DAN METODE ....................................................................... 23 A. BAHAN DAN ALAT ......................................................................... 23 B. TAHAPAN PENELITIAN ................................................................ 23 1. Pembuatan Konsentrat Jeruk Pontianak ......................................... 23 2. Studi Stabilitas Vitamin C Selama Proses Evaporasi .................... 25 3. Studi Stabilitas Vitamin C Selama Proses Pasteurisasi ................. 26 4. Fortifikasi Vitamin C pada Konsentrat Jeruk Pontianak ............... 28
C. PENGAMATAN ................................................................................. 30 1. Kadar Air ...................................................................................... 30 2. Nilai pH ......................................................................................... 30 3. Total Padatan Terlarut (TPT) ........................................................ 30 4. Total Asam Tertitrasi (TAT) ......................................................... 31 5. Vitamin C ...................................................................................... 31 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 32 A. PEMBUATAN KONSENTRAT JERUK PONTIANAK .................. 32 1. Total Padatan Terlarut ................................................................... 32 2. Kadar Air ...................................................................................... 34 3. Total Asam Tertitrasi .................................................................... 35 4. Nilai pH ......................................................................................... 35 B. STUDI
STABILITAS
VITAMIN
C
SELAMA
PROSES
EVAPORASI ...................................................................................... 36 C. STUDI
STABILITAS
VITAMIN
C
SELAMA
PROSES
PASTEURISASI ................................................................................. 38 1. Penentuan Suhu dan Waktu Pasteurisasi ...................................... 38 2. Pengukuran Kadar Vitamin C pada Konsentrat yang Telah Dipasteurisasi ................................................................................ 43 D. FORTIFIKASI VITAMIN C PADA KONSENTRAT JERUK PONTIANAK ..................................................................................... 45 1. Perhitungan Overage Vitamin C ................................................... 45 2. Verifikasi Fortifikasi Vitamin C ................................................... 46 3. Kecukupan RDA dari Konsentrat Rekonstitusi ............................ 48 V. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 49 A. KESIMPULAN ................................................................................... 49 B. SARAN .............................................................................................. 50 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 51 LAMPIRAN..................................................................................................... 55
DAFTAR TABEL
Hal Tabel 1. Data perhitungan overage pada tepung gandum yang akan difortifikasi dengan niasin pada konsentrasi 40 ppm ....................... 22 Tabel 2. Perlakuan waktu evaporasi konsentrat jeruk ................................... 25 Tabel 3. Perlakuan waktu dan suhu pasteurisasi konsentrat untuk penetrasi panas ................................................................................. 28 Tabel 4. Persentase retensi vitamin C selama pembuatan konsentrat yang dipasteurisasi ........................................................................... 43 Tabel 5. Jumlah dan persentase retensi vitamin C pada tahap verifikasi fortifikasi konsentrat jeruk ............................................................... 47
DAFTAR GAMBAR
Hal Gambar 1.
Jeruk Pontianak .......................................................................... 4
Gambar 2.
Penampang buah jeruk ............................................................... 5
Gambar 3.
Kurva sorpsi isotermis secara umum ......................................... 8
Gambar 4.
Struktur molekul sukrosa ........................................................... 13
Gambar 5.
Struktur molekul asam sitrat ...................................................... 14
Gambar 6.
Struktur molekul asam askorbat ................................................. 15
Gambar 7.
Evaporator vakum ...................................................................... 25
Gambar 8.
Pengukuran penetrasi panas pada konsentrat selama pasteurisasi ................................................................................. 27
Gambar 9.
Diagram alir pembuatan konsentrat ........................................... 29
Gambar 10. Kurva hubungan lama waktu evaporasi dengan total padatan terlarut (TPT) dan kadar air konsentrat kontrol serta konsentrat dengan penambahan asam sitrat ............................... 32 Gambar 11. Kurva kenaikan nilai TAT dan penurunan nilai pH pada konsentrat dengan penambahan asam sitrat dan konsentrat kontrol selama evaporasi ............................................................ 35 Gambar 12. Kurva penurunan persentase retensi vitamin C selama evaporasi ..................................................................................... 37 Gambar 13. Kurva kinetika reaksi penurunan nilai vitamin C ...................... 37 Gambar 14. Grafik penetrasi panas dalam konsentrat pada suhu pasteurisasi 75°C......................................................................... 42 Gambar 15. Kurva hubungan antara nilai LR dan waktu pada suhu pasteurisasi 75°C......................................................................... 43 Gambar 16. Konsentrat jeruk yang telah dipasteurisasi.................................. 45
DAFTAR LAMPIRAN
Hal Lampiran 1.
Analisis kimia pada konsentrat kontrol selama proses evaporasi ................................................................................. 55
Lampiran 2.
Analisis kimia pada konsentrat dengan penambahan asam sitrat selama proses evaporasi ................................................. 56
Lampiran 3.
Analisis kimia pada konsentrat selama proses pasteurisasi pada suhu 75°C selama 20 menit ............................................ 57
Lampiran 4.
Data perhitungan overage vitamin C ...................................... 58
Lampiran 5.
Data perhitungan F0 pada tiap probe pada suhu pasteurisasi 65°C ..................................................................... 59
Lampiran 6.
Data perhitungan F0 pada tiap probe pada suhu pasteurisasi 75°C ..................................................................... 61
Lampiran 7.
Total padatan terlarut pada konsentrat selama proses evaporasi ................................................................................. 63
Lampiran 8.
Data analisis kimia untuk verifikasi fortifikasi vitamin C pada tahap konsentrat yang tidak difortifikasi ........................ 64
Lampiran 9.
Data analisis kimia untuk verifikasi fortifikasi vitamin C pada konsentrat dengan perlakuan fortifikasi ......................... 65
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Indonesia memiliki hasil pertanian yang beragam jenisnya. Hasil pertanian tersebut memiliki sifat yang rentan rusak sehingga memerlukan penanganan pasca panen, termasuk pengolahan yang tepat menjadi bentuk pangan lain yang lebih stabil baik secara biologis, fisik, maupun kimia. Jeruk termasuk buah-buahan yang potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Selain itu, jeruk merupakan salah satu jenis buah dengan tingkat produksi yang tinggi di Indonesia. Sekitar 70-80% jenis jeruk yang dikembangkan petani masih merupakan jeruk siam, sedangkan jenis lainnya merupakan jeruk keprok dan pamelo unggulan daerah. Salah satu jenis jeruk siam yang berpotensi besar untuk dikembangkan adalah jeruk Pontianak. Menurut Departemen Pertanian RI (2006), saat ini produksi jeruk Pontianak cukup tinggi yaitu sekitar 12 ton/ha/tahun. Jenis jeruk siam yang terkenal di Indonesia berasal dari Pontianak dan Palembang. Jeruk termasuk buah musiman, jadi keberadaannya tergantung pada waktu dan keadaan cuaca. Pada saat musim panen produksi jeruk melimpah. Hal ini menyulitkan
para
petani
untuk
menyimpan
dan
memasarkannya.
Melimpahnya jeruk di pasaran menyebabkan turunnya harga jeruk di pasaran sehingga banyak petani jeruk yang menderita kerugian. Produksi jeruk nasional mencapai 1,6 juta ton (70-80% jeruk siam) dengan nilai perdagangan sebesar Rp. 3,3 triliun, tetapi Indonesia masih mengimpor jeruk segar dan hasil olahannya seperti konsentrat dan instan jeruk serta flavor limonin. Teknologi penanganan dan pengolahan jeruk segar perlu dikembangkan di Indonesia untuk memanfaatkan kelebihan produksi jeruk maupun untuk mengurangi jeruk kualitas rendah di segmen pasar jeruk segar (Sarwono, 1994). Adapun pengertian jeruk kualitas rendah di sini bukanlah jeruk yang tidak layak untuk dikonsumsi namun jeruk yang termasuk pada kelas tertentu yang lebih rendah yakni kelas C dan D serta masih memiliki mutu yang baik. Selain itu harga jeruk ini tergolong murah yakni Rp. 2500 – Rp. 7000 per kilogram (Sarwono, 1994).
Konsentrat adalah produk hasil pengentalan sari buah jeruk hingga mencapai konsistensi sirup kental. Konsentrat jeruk Pontianak ini cukup potensial untuk dikembangkan karena belum banyak diproduksi. Selain itu jeruk Pontianak memiliki aroma dan rasa yang khas sehingga cocok untuk diolah menjadi konsentrat. Di samping itu sekarang ini produk-produk olahan jeruk yang beredar di pasaran Indonesia pada umumnya tidak menggunakan bahan baku segar melainkan pekatan sari buah yang diimpor dari luar negeri. Menurut Thijssen (1974), keuntungan dari pembuatan konsentrat adalah menurunkan kandungan air bahan sehingga produk yang dihasilkan memiliki kestabilan mikrobiologis maupun kimiawi yang lebih baik. Dengan demikian masa simpannya menjadi lebih panjang dan proses ini dapat mengurangi volume bahan segar sehingga dapat mempermudah penyimpanan dan transportasi. Produk olahan jeruk umumnya baik sebagai sumber vitamin C. Begitu pula dengan konsentrat jeruk Pontianak ini. Kandungan vitamin C pada produk harus ada dalam jumlah yang cukup sehingga penting untuk diketahui mengenai stabilitas vitamin C selama proses pengolahan. Oleh karena itu akan diketahui berapa jumlah kandungan vitamin C pada produk akhir hingga sampai dikonsumsi konsumen. Diperlukan fortifikasi vitamin C untuk menggantikan jumlah vitamin C yang hilang akibat pengolahan sehingga kadar vitamin C yang ada dalam produk akan memenuhi standar RDA (Recommended Dietary Allowances). Mengingat belum maksimalnya pemanfaatan jeruk lokal dan masih minimnya penggunaan bahan baku jeruk segar domestik, maka diperlukan usaha-usaha untuk menghasilkan konsentrat jeruk Pontianak yang bermutu baik dan memiliki zat gizi yang cukup terutama kandungan vitamin C nya. Adapun usaha yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan penelitianpenelitian untuk menghasilkan konsentrat yang bermutu baik dan dengan melakukan fortifikasi vitamin C ke dalam produk agar kandungan vitamin C didalamnya dapat mencukupi kebutuhan konsumen.
B. TUJUAN Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui waktu evaporasi yang dilakukan pada suhu evaporasi 50°C untuk memperoleh konsentrat dengan padatan 65-68°Brix, (2) mengetahui pengaruh penambahan asam sitrat terhadap stabilitas vitamin C selama pembuatan konsentrat jeruk Pontianak, (3) mengetahui kecukupan panas proses pasteurisasi, (4) mengetahui penurunan vitamin C akibat pasteurisasi dan memfortifikasi vitamin C pada konsentrat untuk menggantikan vitamin C yang hilang akibat pengolahan.
C. MANFAAT Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat mengatasi permasalahan produksi jeruk Pontianak yang melimpah dan mampu meningkatkan nilai tambah produk terutama dalam hal kandungan zat gizinya.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. JERUK PONTIANAK Jeruk Pontianak mempunyai ciri-ciri kulit tipis, agak mengkilat, dan berwarna hijau kekuningan. Berat tiap buah sekitar 75.6 gram atau ± 13 buah jeruk Pontianak per kilogram, dengan diameter rata-rata tiap buah 5-6 cm. Biji buahnya berbentuk ovoid, warnanya putih kekuningan dengan ukuran sekitar 0.9 x 0.6 cm, dan dengan jumlah biji per buahnya sekitar 20 biji (Sumartono, 1982). Jenis jeruk siam yang terkenal di Indonesia berasal dari Pontianak dan Palembang. Jeruk siam berbentuk bulat, kulitnya agak sukar terlepas dari buah dan bagian daging buah banyak mengandung air. Jeruk siam termasuk jenis jeruk keprok dan merupakan jenis jeruk yang banyak diusahakan dan luas penyebarannya. Jeruk Pontianak yang banyak ditanam di Kalimantan Barat berasal dari Cina dan diperkirakan masuk ke Kalimantan Barat pada tahun 1936. Masa panen raya jeruk di daerah ini sekitar bulan Juni sampai Agustus (Sarwono, 1994). Secara fisik buah jeruk terbagi atas beberapa bagian. Menurut Albrigo dan Carter (1978), bagian-bagian utama buah jeruk jika dilihat dari luar sampai ke dalam adalah kulit (tersusun atas epidermis, flavedo, kelenjar minyak, albedo, dan ikatan pembuluh), segmen-segmen (terdiri dari dinding segmen, rongga cairan, dan biji) dan core (bagian tengah yang terdiri dari ikatan pembuluh dan jaringan parenkim).
Gambar 1. Jeruk Pontianak
Secara umum, buah jeruk terdiri dari bagian daging buah dan kulit. Bagian daging buah yang dapat dimakan disebut dengan endokarp. Endokarp terdiri atas segmen-segmen yang disebut carpel atau locule. Di dalam segmensegmen tersebut terdapat kantung-kantung sari buah yang berdinding tipis. Endokarp dikelilingi oleh bagian jeruk yang dinamakan kulit. Kulit buah jeruk terdiri dari flavedo dan albedo. Flavedo merupakan bagian kulit luar yang terletak di bagian bawah lapisan epidermis dan mengandung kromoplas dan kantung minyak, sedangkan kulit bagian dalam yang disebut albedo merupakan lapisan jaringan busa. Bagian tengah buah jeruk disebut dengan core atau central plasenta yang berbatasan dengan biji yang terdapat di dalam segmen (Ting dan Attaway, 1971). Gambar bagian penampang jeruk dapat di lihat pada Gambar 2. Menurut Ting dan Attaway (1971) jeruk siam mengandung sari buah sekitar 30-40% dari keseluruhan buah, biji 2%, dan pulp 45-55%. Tipisnya kulit buah jeruk siam diakibatkan kandungan flavedo yang hanya 7-11% dan tidak memiliki albedo. Komposisi kimia buah jeruk berbeda pada tiap bagian. Flavedo mengandung minyak esensial, pigmen karotenoid, dan juga steroid. Bagian albedo kaya akan selulosa, hemiselulosa, lignin, senyawa pektat dan fenolik. Komposisi dari dinding segmen, kantung sari buah dan pusat buah tidak banyak berbeda dengan albedo. Sebagian besar gula dan asam sitrat terdapat pada sari buah disamping komponen nitrogen, lipid, senyawa fenolik, vitamin, dan senyawa anorganik (Ting dan Attaway, 1971).
Gambar 2. Penampang buah jeruk
B. SARI BUAH JERUK Menurut Hulme (1971), sari buah didefinisikan sebagai cairan hasil pemerasan buah dengan tekanan atau alat mekanis lainnya terhadap bagian buah yang dapat dimakan. Biasanya sari buah ini keruh karena mengandung komponen seluler di dalam suspensi koloid dengan jumlah pulp halus yang bervariasi. Menurut Ting dan Attaway (1971), komponen utama dari total padatan terlarut dari sari buah jeruk adalah gula yang mencapai 75-85%. Jenis gula yang terpenting adalah 2 monosakarida yakni D-glukosa dan D-fruktosa serta 1 disakarida yakni sukrosa. Setiap 100 ml sari buah jeruk siam mengandung glukosa sebanyak 1.02-1.24 g, fruktosa 1.49 -1.58 g, sukrosa 2.19-4.90 g dengan total gula berkisar antara 4.93-7.57 g. Kandungan gula meningkat dengan semakin matangnya buah sebanding dengan berkurangnya cadangan pati (Berry dan Veldhuis, 1977).
C. KONSENTRAT JERUK Konsentrat sari buah merupakan cairan kental dari produk jus (sari buah) yang diperoleh melalui proses penguapan pada tekanan vakum dan suhu rendah sehingga kerusakan-kerusakan kimiawi selama proses dapat dihindarkan (Takiyah et al., 1992). Produk konsentrat ini biasanya dikentalkan hingga mencapai 43-60°Brix. Larangan penambahan gula pada konsentrat sari buah jeruk diterapkan oleh Peraturan Negara Bagian Florida (Tressler dan Woodroof, 1976). Sedangkan menurut Codex Alimentarius (1983) penambahan sukrosa, dekstrosa, sirup glukosa kering, dan fruktosa dapat dilakukan. Menurut Codex Alimentarius (1983) konsentrat jeruk merupakan produk non-fermentasi yang dapat mengalami fermentasi setelah konsentrat direkonstitusi, diawetkan khusus secara fisik, dan diperoleh dengan menggunakan sebuah proses konsentrasi dari jeruk yang cukup matang (Citrus sinensis (L.) Osbeck). Buah yang akan digunakan untuk pembuatan konsentrat harus kaya cita rasa dan aroma, serta dapat mempertahankan karakterisasinya selama
pengolahan dan penyimpanan. Buah yang akan diolah harus segar dan tidak berjamur, dengan tingkat kematangan yang wajar. Buah yang sudah mulai mengalami fermentasi atau berjamur akan merusak cita rasa dari produk (Cruess, 1958). Definisi konsentrat yang akan dibuat dalam penelitian ini mengacu pada Demeczky et al. (1981). Berdasarkan kandungan padatannya, Demeczky et al. (1981) membagi konsentrat menjadi 3 golongan, yaitu : 1. Semi konsentrat, dengan padatan antara 24-25% 2. Konsentrat, dengan padatan antara 65-68% 3. Super konsentrat, dengan padatan di atas 70% Pemekatan jus merupakan proses yang sulit karena jus sensitif terhadap perlakuan pemanasan. Pada temperatur 40-70ºC, reaksi katalis enzim dapat mengubah sifat jus dalam beberapa menit yakni seperti perubahan flavor, rasa, dan warna jus yang menjadi lebih coklat. Untuk menginaktivasi enzim, jus perlu dipanaskan. Pada saat yang sama kondisi sanitasi perlu dijaga untuk memperoleh produk yang bermutu tinggi. Thijssen (1974), menyatakan bahwa kondisi yang perlu dijaga untuk memperoleh konsentrat bermutu tinggi antara lain adalah suhu proses yang rendah dan waktu kontak yang pendek khususnya pada suhu tinggi. Pada dasarnya dalam pembuatan konsentrat diusahakan komponen tidak menghilangkan karakteristik dari sari buahnya. Pada proses pemindahan air dari sari buah diusahakan komponen volatil tidak ikut terbawa atau hilang. Hasil penelitian yang telah ada sebelumnya mengenai pembuatan konsentrat jeruk masih pada konsentrat dengan total padatan terlarut (TPT) sekitar 40°Brix. Pada produk konsentrat, TPT merupakan parameter yang penting diketahui. Banyak definisi tentang konsentrat yang menggunakan TPT sebagai pembatas. Jika menggunakan definisi Codex Alimentarius (1983) konsentrat yang telah dihasilkan pada penelitian-penelitian sebelumnya sudah dapat dikategorikan sebagai konsentrat karena TPT-nya sudah di atas 20%. Tetapi menurut definisi Demeczky et al. (1981) konsentrat yang telah dihasilkan tersebut baru dapat dikategorikan sebagai semi konsentrat karena TPT-nya berada dalam kisaran 24-45%.
Selama
pembuatan
konsentrat, kadar air konsentrat akan
mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan adanya penguapan air akibat evaporasi. Uap air pada konsentrat akan diuapkan. Penguapan air ini termasuk ke dalam aktivitas desorpsi pada bahan pangan. Desorpsi terjadi jika kelembaban relatif udara lebih rendah dari kelembaban relatif bahan (Brooker et al., 1992). Perilaku desorpsi dapat digambarkan ke dalam suatu kurva sorpsi isotermis, yang dapat dilihat selengkapnya pada Gambar 3. Kurva sorpsi isotermis juga menggambarkan aktivitas adsorpsi (menyerap air) dan desorpsi (menguapkan air) dari bahan makanan. Pada bahan pangan, sorpsi isotermis air dapat menggambarkan kandungan air yang dimiliki bahan tersebut sebagai keadaan relatif ruang tempat penyimpanan (Winarno, 1997). Sorpsi isotermis banyak dipakai dalam penelitian bahan pangan seperti umur simpan, penyimpanan, pengemasan, dan pengeringan.
Gambar 3. Kurva sorpsi isotermis secara umum (Labuza, 1982) Selama pembuatan konsentrat, albedo pada jeruk dihilangkan. Tujuan dari penghilangan albedo ini adalah untuk mengurangi rasa pahit pada konsentrat. Hal ini dikarenakan senyawa penyebab rasa pahit pada jeruk Pontianak yaitu limonin dan naringin, terdapat di dalam albedo (Puri, 1990). Penghilangan albedo pada penelitian ini dilakukan secara manual. Akan tetapi terdapat alternatif lain yang lebih efisien untuk mengurangi rasa
pahit ini yakni dengan perlakuan lye peeling pada buah jeruk Pontianak kupas kulit yaitu peeling dengan konsentrasi NaOH 1%, pada suhu 60°C selama 2 menit (Andriani, 2008).
D. EVAPORASI Menurut definisi Codex Alimentarius (1983), proses konsentrasi adalah proses pemindahan air secara fisik sehingga produk mengandung padatan terlarut tidak kurang dari 20% tanpa penambahan gula. Dalam proses ini sebagian air atau pelarut akan diuapkan sehingga akan diperoleh produk yang kental (konsentrat). Penguapan terjadi karena cairan akan mendidih dan berlangsung perubahan fase dari cair menjadi uap (Wirakartakusumah et al., 1989). Menurut Wirakartakusumah et al. (1989) aplikasi utama proses evaporasi dalam industri pangan yaitu 1) pra-konsentrasi sebelum bahan diolah lebih lanjut misalnya sebelum spray drying, kristalisasi, dan sebagainya, 2) mengurangi volume cairan agar biaya penyimpanan, transportasi, dan pengemasan berkurang, 3) meningkatkan konsentrasi solid terlarut dalam bahan makanan sebagai usaha untuk membantu pengawetan. Proses evaporasi ini secara luas dilakukan pada industri sari buah untuk memproduksi konsentrat sari buah, pada pabrik jam, jelly, dan preserve untuk memperoleh kandungan padatan yang dibutuhkan untuk pembentukan gel dan pada industri gula untuk memekatkan larutan gula yang akan dikristalkan (Toledo, 1979). Ada bermacam-macam jenis evaporator dalam industri pangan. Jenis evaporator tersebut dapat diklasifikasikan berdasarkan teknik operasionalnya (vakum atau tekanan atmosfer), jumlah efek yang dipakai (tunggal atau jamak), jenis konveksi (alami atau buatan) atau berdasarkan kontinuitas operasi (batch atau kontinu) (Wirakartakusumah et al., 1989). Bahan makanan yang sensitif terhadap panas, mutu produk akhirnya sangat dipengaruhi oleh proses evaporasi. Adapun faktor evaporasi yakni hubungan antara suhu dan waktu yang akan menentukan tingkat kerusakan akibat panas. Suhu evaporasi seharusnya serendah mungkin dengan waktu
evaporasi juga sesingkat mungkin. Suhu didih yang rendah dapat dicapai dengan menggunakan tekanan rendah dan bersamaan dengan itu perbedaan suhu produk dengan suhu media juga dapat diturunkan. Jenis evaporator yang digunakan pada penelitian ini adalah evaporator vakum efek tunggal. Evaporator ini dirancang dengan kapasitas yang tidak terlalu besar tetapi dengan cara kerja yang sama dengan alat-alat yang digunakan di industri. Bagian-bagian alat ini adalah tabung pemisah uap (separator) dari stainless steel dengan tutup yang mudah dilepas untuk memudahkan pembersihan, ruang pemanas (kalandria) dengan penutup bagian atas dan bawah yang mudah dibuka yang ditempatkan disamping separator, pompa untuk vakum, air pendingin dan kondensor, monovakumeter, termometer, pipa-pipa uap air dan kondensat. Prinsip kerja dari alat evaporator vakum sebagai berikut, yakni cairan yang akan dipekatkan dimasukkan ke dalam wadah stainless steel berbentuk bejana besar dengan kapasitas ± 50 liter yang dibawahnya terdapat ruang pemanas yang terdapat heater dan air. Pindah panas terjadi secara konveksi, uap air yang dihasilkan oleh heater akan merambat ke wadah bejana stainless steel sehingga menyebabkan suhu cairan yang dimasukkan meningkat dan terjadi penguapan. Uap dari cairan tersebut menuju kondensor dan dikondensasikan oleh semprotan air pendingin dan dipindahkan ke dalam bejana lain. Sehingga semakin lama kandungan air yang terdapat di dalam cairan tersebut semakin berkurang.
E. PASTEURISASI Pasteurisasi adalah suatu proses pemanasan pada suhu yang relatif rendah yaitu suhu di bawah 100°C. Pada bahan pangan yang tergolong asam (pH <4.5), pasteurisasi bertujuan memperpanjang umur simpan dan untuk membunuh mikroorganisme pembusuk seperti khamir dan kapang serta untuk menginaktivasi enzim yang terdapat dalam bahan pangan tersebut (Fellow, 1992). Pasteurisasi merupakan proses perlakuan panas yang membunuh sebagian besar sel vegetatif mikroorganisme yang terdapat di dalam makanan
(Herro, 1980). Dikatakannya, dalam beberapa produk makanan, pasteurisasi ditujukan untuk membunuh mikroorganisme patogen (misalnya susu), sedangkan dalam produk seperti bir, pasteurisasi bertujuan membunuh mikroba pembusuk. Untuk produk lainnya, pasteurisasi yang dikembangkan mungkin didasarkan pada daya tahan panas dari mikroba tertentu yang ingin dihancurkan. Karena spora yang dihasilkan oleh beberapa bakteri, terutama bakteri termofilik, masih dapat hidup dengan perlakuan pasteurisasi, maka produk yang dipasteurisasi perlu disimpan pada suhu lemari pendingin untuk memperpanjang
daya
simpannya
(Desrosier,
1983).
Selain
dengan
pendinginan maka kombinasi perlakuan yang sering dilakukan untuk memperpanjang daya simpan dari produk yang dipasteurisasi adalah (1) Penambahan zat kimia aditif yang berfungsi untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme (seperti asam dalam produk pikel dan sari buah) dan (2) Pengemasan anaerobik seperti dalam pembotolan bir. Pasteurisasi dapat dilakukan pada suhu yang relatif rendah dalam waktu yang relatif lama yaitu suhu 65°C selama 30 menit atau pada suhu tinggi dalam waktu singkat yaitu suhu 72°C selama 15 detik (Fellow, 1992). Semakin tinggi suhu pasteurisasi, semakin singkat proses pemanasannya. Dalam pasteurisasi, konsep yang umum digunakan adalah konsep 5D. Menurut Fellow (1992) konsep ini cukup memadai dari segi kualitas dan keamanan pangan. Keberhasilan penuh pada tahap pengolahan yang melibatkan panas pada produk pangan adalah terpenuhinya kecukupan panas untuk inaktifasi mikroba yang menyebabkan kebusukan dan keracunan. Untuk itu perlu diketahui sejauh mana ketahanan mikroba terhadap panas untuk dapat tercapai pada kombinasi suhu dan waktu yang tepat (Holdsworth, 1997). Nilai pH pangan merupakan faktor penting dalam menentukan besarnya pengolahan dengan panas yang dibutuhkan untuk menjamin tercapainya sterilisasi komersial. Di atas pH 4.5-4.6 bakteri pembusuk anaerobik dan pembentukan spora yang patogen seperti C. botulinum dapat tumbuh. Beberapa spora bakteri dapat tumbuh sampai kira-kira pH 3.7 seperti
B. thermoacidurans atau B. coagulans. Bahan pangan dengan nilai pH di bawah 3.7 tidak dirusak oleh bakteri berspora (Fardiaz, 1992). Ketahanan panas mikroorganisme biasanya dinyatakan dengan istilah waktu reduksi desimal (decimal reduction time) atau waktu yang dibutuhkan pada suhu tertentu untuk menurunkan jumlah sel atau spora sebesar satu siklus log, yang disebut dengan nilai D. Sedangkan nilai Z suatu organisme atau spora adalah selang suhu terjadinya penambahan atau pengurangan sepuluh kali lipat dalam waktu yang dibutuhkan baik untuk menurunkan sampai 90% atau pembinasaan seluruhnya (Heldman dan Singh, 2001). Mikroba target pada penelitian ini adalah Lactobacillus sp. dan Leuconostoc sp. Nilai D yang digunakan adalah 1 menit dan nilai Z sebesar 10°C. Pada tahap pasteurisasi yang dilakukan masih ditambahkan asam sitrat untuk menurunkan pH konsentrat agar pH kurang dari 4.5 karena konsentrat masih berada pada kisaran pH 4.6. Ketahanan panas mikroba dipengaruhi oleh sejumlah faktor antara lain adalah : (1) umur dan keadaan organisme sebelum dipanaskan, (2) komposisi medium bagi suatu organisme atau spora itu tumbuh terutama adanya garam, zat pengawet, lemak dan minyak serta bahan penghambat lainnya serta adanya spora yang masih terdapat setelah pemanasan, (3) pH dan Aw medium saat pemanasan dan (4) suhu pemanasan (Supardi dan Sukamto, 1999).
F. BAHAN TAMBAHAN 1. Gula Gula yang digunakan adalah gula pasir (sukrosa). Sukrosa adalah oligosakarida yang mempunyai peran penting dalam pengolahan makanan dan banyak terdapat pada tebu, bit, siwalan, dan kelapa kopyor. Industriindustri pangan biasa menggunakannya dalam bentuk kristal halus atau kasar dan dalam jumlah yang banyak dipergunakan dalam bentuk cairan sukrosa (sirup). Sukrosa merupakan senyawa disakarida yang secara sistematik kimiawi
disebut
α-D-gluko-piranosil-β-D-fruktofuranosida.
Rumus
molekul sukrosa adalah C12H22O11. Sukrosa mempunyai berat molekul 342.30, terdiri dari gugus glukosa dan fruktosa. Sukrosa merupakan senyawa gula yang paling disukai (Sudarmadji, 1982). Struktur molekul sukrosa dapat dilihat pada Gambar 4. Sukrosa memiliki peranan penting dalam teknologi pangan karena fungsinya yang beraneka ragam, yaitu sebagai pemanis, pembentuk tekstur, pengawet, pembentuk cita rasa, pengisi, pelarut dan sebagai pembawa trace elements.
Gambar 4. Struktur molekul sukrosa Fungsi utama sukrosa dalam pembuatan konsentrat jeruk adalah untuk membantu meningkatkan jumlah total padatan terlarut yang terdapat di dalam sari buah jeruk sebelum dievaporasi. Dengan naiknya jumlah total padatan terlarut pada sari buah maka waktu evaporasi yang dibutuhkan untuk memperoleh konsentrat jeruk dengan total padatan terlarut akhir yang diinginkan (yakni 65-68°Brix) menjadi lebih cepat. Selain itu sukrosa pun dapat mengurangi rasa pahit yang masih terasa pada konsentrat. Hal ini dikarenakan sukrosa yang bersifat sebagai pemanis memegang peranan penting karena dapat meningkatkan penerimaan dari suatu
makanan,
yaitu
dengan
menutupi
cita
rasa
yang
tidak
menyenangkan. Disamping itu sukrosa juga memperkuat cita rasa pada makanan karena menyeimbangkan rasa asam, pahit dan asin (Birch dan Parker, 1979) 2. Asam sitrat Asam sitrat pertama kali dibuat dan dikristalkan oleh Scheele pada tahun 1784 sari buah jeruk, kemudian dibuat secara komersial pada tahun
1860 di Inggris. Asam sitrat banyak digunakan oleh industri terutama industri pangan dan farmasi. Asam sitrat memiliki daya larut yang tinggi, memberikan rasa asam yang enak dan tidak bersifat racun. Selain itu asam sitrat bersifat chelating agent yaitu senyawa yang dapat mengikat logamlogam divalent seperti Mn, Mg, dan Fe yang sangat dibutuhkan sebagai katalisator dalam reaksi-reaksi biologis, oleh karena itu reaksi-reaksi biologis dapat dihambat dengan penambahan asam sitrat (Winarno dan Jenie, 1974). Struktur molekul asam sitrat dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Struktur molekul asam sitrat Asam sitrat serta garam natrium dan kalsium sitrat diklarifikasikan oleh FDA (Food Drug and Administration) sebagai GRAS (Generally Recognized As Safe). Asam sitrat dan garam-garamnya ini diizinkan penggunaannya di dalam bermacam-macam minuman sari buah dan minuman non-alkohol yang dikarbonasi. Fungsi utama penambahan asam sitrat ke dalam sari buah jeruk adalah untuk mempertahankan kandungan vitamin C yang ada di dalam produk selama proses pengolahan. Hal ini dikarenakan dengan penambahan asam sitrat maka pH produk menjadi lebih rendah sehingga membuat vitamin C menjadi lebih stabil selama proses pengolahan karena vitamin C lebih stabil di dalam kondisi asam (Harper et al., 1980). Asam sitrat di dalam sari buah digunakan untuk membantu mengatur pH terutama terhadap buah yang tidak mengandung asam yang cukup untuk memperoleh pH yang diinginkan. Penggunaan asam sitrat juga memberikan rasa dan aroma yang sangat penting pada sari buah. Asam sitrat ditambahkan ke dalam sari buah dengan tujuan untuk
meningkatkan
flavor
(mengimbangi
rasa
manis)
dan
membantu
mengawetkan. Dalam industri minuman, asam sitrat digunakan sebagai pemacu rasa (flavour enhancer), pengawet, pencegah rusaknya warna dan aroma, menjaga karbonasi, pengatur pH, dan antioksidan. Pada umumnya asam digunakan sebagai bahan pengawet karena dapat menurunkan pH, selain itu juga digunakan untuk mengurangi rasa manis, menambah cita rasa, memperbaiki sifat koloidal dari makanan yang mengandung pektin, memperbaiki tekstur jeli dan selai, membantu ekstraksi pektin dan pigmen dari sayuran dan buah-buahan (Winarno, 1980).
G. VITAMIN C (ASAM ASKORBAT) 1.
Struktur dan tata nama Vitamin C merupakan senyawa yang sangat mudah larut dalam air, mempunyai sifat asam dan sifat pereduksi yang kuat. Sifat-sifat tersebut terutama disebabkan adanya struktur enediol yang berkonjugasi dengan gugus karbonil dalam cincin lakton. Bentuk vitamin C yang ada di alam terutama adalah L-asam askorbat. D-asam askorbat jarang terdapat di alam dan hanya memiliki 10 persen aktifitas vitamin C. Biasanya D-asam askorbat ditambah ke dalam bahan pangan sebagai antioksidan, bukan sebagai sumber vitamin C (Andarwulan dan Koswara, 1992). Adapun struktur molekul asam askorbat dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Struktur molekul asam askorbat Sejak ditemukan, banyak nama telah diberikan pada vitamin C. Nama-nama tersebut dapat digolongkan menjadi nama umum, nama
trivial, dan nama kimia. Adapun beberapa nama untuk vitamin C adalah vitamin C, asam askorbat, dan asam ceritamat (ceritamic acid), asam heksuronat (hexuronic acid), anti-scorbutin, dan L-asam askorbat. Asam askorbat dapat dioksidasi secara in vivo oleh dua elektron bebas dan menghasilkan L-askorbil radikal. L-askorbil radikal ini dapat kembali menjadi asam askorbat bila mengalami reduksi, tetapi bila teroksidasi lagi akan membentuk asam L-dehidroaskorbat, yang tidak dapat kembali ke bentuk awal. Selanjutnya hidrolisis dehidroaskorbat menghasilkan asam 2,3-diketo-L-gulonat. Asam gulonat ini dapat mengalami dekarboksilasi menghasilkan CO2 dan fragmen 5C (seperti xilosa dan asam xilonat) dan mengalami oksidasi menghasilkan asam oksalat dan fragmen 4C (asam threonat). Asam askorbat dapat dihasilkan kembali
dari
bentuk
dehidroaskorbat
dengan
bantuan
enzim
dehidroaskorbat reduktase (Combs, 1992).
2.
Sifat-sifat umum Vitamin C mempunyai rumus empiris C6H8O6 dan dalam bentuk murninya merupakan kristal putih, tidak berwarna, tidak berbau, dan mencair pada suhu 190-192°C. Senyawa ini bersifat reduktor kuat dan mempunyai rasa asam. Vitamin C sangat mudah larut dalam air (1 gram dapat larut sempurna dalam 3 ml air), sedikit larut dalam 50 ml alkohol absolut atau 100 ml gliserin) dan tidak larut dalam benzene, eter, khloroform, minyak dan sejenisnya. Walaupun vitamin C stabil dalam bentuk kristal, tetapi mudah rusak atau terdegradasi jika berada dalam bentuk larutan, terutama jika terdapat udara, logam-logam seperti Cu dan Fe serta cahaya (terutama jika vitamin C terdapat bersama-sama dengan riboflavin). Sifat yang paling utama dari vitamin C adalah kemampuan mereduksinya yang sangat kuat dan mudah teroksidasi yang dikatalis oleh beberapa logam, terutama Cu dan Ag (Andarwulan dan Koswara, 1992). Mekanisme penyerapan vitamin C membutuhkan suatu sistem transport aktif (Muchtadi et al., 1993). Faktor-faktor yang mempengaruhi
penyerapan vitamin C adalah jumlah vitamin C yang dikonsumsi, kandungan pektin dalam bahan pangan (Muchtadi et al., 1993), natrium dan aspirin (Combs, 1992). Apabila konsumsi vitamin C berlebih, maka akan mendorong terjadinya pengeluaran vitamin C secara difusi pasif. Natrium dapat memacu sistem transport aktif dalam penyerapan vitamin C, sedangkan aspirin bersifat sebaliknya.
3.
Stabilitas Asam askorbat bersifat sangat sensitif terhadap pengaruh-pengaruh luar yang menyebabkan kerusakan seperti suhu, konsentrasi gula dan garam, pH, oksigen, enzim, katalisator logam, konsentrasi awal baik dalam larutan maupun sistem model, dan rasio antara asam askorbat dan dehidro asam askorbat. Harper
et
al.,
(1980)
mengatakan
bahwa
asam
dapat
mempertahankan atau menghambat degradasi vitamin C selama pengolahan
maupun
penyimpanan,
sedangkan
logam
tembaga
mempercepat degradasi vitamin C selama pemasakan. Menurut Eddy (1941), vitamin C mudah sekali teroksidasi terutama bila zat dipanaskan dalam larutan alkali atau netral. Kondisi asam membuat vitamin C menjadi lebih stabil. Pada jus jeruk dengan kandungan asam tinggi, lebih dari 90% vitamin C mampu bertahan dalam produk yang dikalengkan Selain itu pada puree buah dengan pH sekitar 3.5 dimana asam askorbat telah ditambahkan, ditemukan bahwa hanya terjadi susut vitamin C sebesar 10% setelah disterilisasi dengan menggunakan otoklaf (Hoyem dan Kvale, 1977). Penambahan sulfur dioksida pada buah dan sayuran memiliki efek protektif dan membuat retensi vitamin C yang memuaskan. Jenis wadah pun dapat mempengaruhi derajat kerusakan vitamin C. Jumlah asam askorbat yang ada dalam bahan pangan yang dikalengkan dengan kaleng berlapis timah lebih besar daripada jika dikalengkan dengan kaleng berlapis pernis atau gelas jar, karena oksigen lebih suka bereaksi dengan lapisan timah daripada dengan asam askorbat.
Penggunaan kaleng timah untuk sari buah mengakibatkan pengurangan oksigen dengan cepat karena proses korosi secara elektrokimia (deMan, 1997). Tanennbaum (1976) mengatakan bahwa degradasi vitamin C yang disebabkan oleh oksidasi adanya oksigen dan katalisator logam berat melalui reaksi yang cukup rumit di dalam sistem. Adanya oksigen dalam sistem menyebabkan asam askorbat segera teroksidasi menjadi asam dehidroaskorbat. Kecepatan keseluruhan dari reaksi degradasi vitamin C merupakan fungsi dari konsentrasi katalisator dalam sistem. Di samping itu tekanan parsial oksigen di dalam sistem juga mempengaruhi kecepatan spesifik dari vitamin C. Sediaoetama (1976) menambahkan bahwa logam berat dalam jumlah sedikit, seperti tembaga, dengan cepat akan menyebabkan terjadinya degradasi asam askorbat. Penambahan natrium pirofosfat dapat mengkompleks ion tembaga sehingga dapat mengurangi kecepatan oksidasi sebesar 80% (Priestley, 1979).
4.
Pengaruh pengolahan dengan panas Asam askorbat bersifat sangat larut dalam air, akibatnya sangat mudah hilang akibat luka di permukaan atau pada waktu pemotongan bahan pangan. Dalam processed food, kehilangan terbanyak terjadi akibat degradasi kimiawi. Dalam bahan pangan yang kaya vitamin C seperti produk buah-buahan, kehilangan biasanya berhubungan dengan reaksi kecoklatan non-enzimatis (Priestley, 1979). Asam askorbat relatif stabil pada sari buah jeruk yang memiliki pH rendah dengan kandungan sitrat tinggi. Tetapi karena dehidro asam askorbat sangat labil pada kedua keadaan di atas, maka selama pengolahan buah dan sari buah sebaiknya dilakukan pada kondisi deaerasi (kandungan oksigen rendah), wadah yang digunakan terbuat dari gelas atau stainless steel, dan aktivitas enzim harus dicegah. Sebagai contoh, adalah sia-sia memproduksi sari buah tomat dengan metode “hotbreak” (penghancuran pada suhu tinggi) untuk menginaktifkan enzim,
karena sebagian besar asam askorbat akan rusak dan sari buah apel akan banyak kehilangan vitamin C nya serta warnanya menjadi kehitaman jika tidak dilakukan deaerasi (Priestley, 1979). Vitamin C mudah sekali hilang akibat blanching karena sifatnya yang larut air dan sensitif terhadap panas. Ralls et al. (1973) menemukan bahwa jumlah vitamin C yang tersisa pada bayam yang diblanching dengan menggunakan udara panas adalah sebesar 34 mg vitamin C/100 gram dibandingkan dengan menggunakan air panas yakni 21 mg vitamin C/100 gram. Jumlah vitamin C pada susu yang dipasteurisasi berkurang sebesar 10%. Kerusakan yang berarti terjadi pada penghancuran kentang, yang berkisar dari 30% sampai 80% (Priestley, 1979). Di samping itu, produksi susu bubuk mengakibatkan kehilangan vitamin C berkisar dari 20% sampai 30% dan pada susu evaporasi terjadi kehilangan vitamin C berkisar dari 50% sampai 90% (deMan, 1997). Walaupun kehilangan vitamin C pada pembuatan sari buah hanya sedikit, tetapi kehilangan selama penyimpanan mungkin terjadi dalam jumlah besar, dan sebaiknya penyimpanan dilakukan pada suhu 10°C atau kurang (Priestley, 1979). Kondisi penyimpanan produk pun harus diperhatikan agar dapat mencegah terjadinya susut vitamin C selama penyimpanan. Vitamin C yang bersifat sensitif terhadap panas dan oksigen, dengan mudah hilang dari produk yang disimpan pada kondisi aerob (Salunkhe, 1976). Curl et al. (1946) menemukan bahwa pada konsentrat jeruk yang dipasteurisasi dengan total padatan terlarut sebesar 65°Brix, 97% vitamin C masih bertahan setelah masa penyimpanan selama 12 bulan pada suhu 4.4°C. Namun pada suhu 26.7°C kandungan vitamin C nya hampir seluruhnya rusak pada masa penyimpanan yang sama.
H. FORTIFIKASI Fortifikasi didefinisikan sebagai penambahan zat-zat gizi ke dalam bahan
pangan.
Fortifikasi
terhadap
suatu
bahan
pangan
bertujuan
meningkatkan nilai gizi bahan pangan dan juga untuk meningkatkan konsumsi suatu zat gizi tertentu oleh masyarakat (Muchtadi et al., 1993). Berikut ini pengertian beberapa istilah yang berhubungan dengan penambahan zat-zat gizi ke dalam bahan pangan menurut Codex Alimentarius (1983) : 1. Fortifikasi atau enrichment adalah penambahan sejumlah zat-zat gizi tertentu ke dalam bahan pangan baik dalam kondisi normal terdapat di dalam bahan pangan dengan tujuan mencegah atau mengatasi defisiensi sejumlah zat gizi di dalam suatu populasi atau kelompok masyarakat tertentu. 2. Restorasi adalah penambahan zat-zat gizi yang hilang selama proses pengolahan pangan yang sesuai dengan GMP (good manufacturing practice), atau selama penyimpanan normal dan pada tahap penanganan, jumlah yang ditambahkan akan menghasilkan komposisi zat gizi seperti sebelum bahan pangan mengalami proses pengolahan, penyimpanan, atau penanganan. 3. Standardisasi adalah penambahan sejumlah zat gizi ke dalam bahan pangan yang bertujuan untuk mengkompensasikan kehilangan zat gizi ke dalam variasi alaminya pada level-level zat gizi tertentu. Secara umum penambahan zat gizi tersebut harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain sebagai berikut : 1) zat gizi yang ditambahkan tidak mengubah warna dan cita rasa makanan; 2) dapat dimanfaatkan tubuh; 3) stabil selama penyimpanan; 4) tidak menyebabkan timbulnya interaksi negatif dengan zat gizi lain yang ditambahkan atau yang ada
dalam
bahan
pangan;
5)
jumlah
yang
ditambahkan
harus
memperhitungkan kebutuhan individu (Muchtadi et al., 1993). Ada pula beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan saat melakukan fortifikasi vitamin, antara lain sebagai berikut : 1) bioavailabilitas; 2) reaktivitas; 3) harga; dan 4) toksisitas. Titik penambahan ditentukan berdasarkan efeknya terhadap stabilitas fortifikan. Mineral dapat ditambahkan ke dalam adonan yang akan diekstrusi,
sedangkan vitamin tidak dapat. Biasanya vitamin ditambahkan sebelum pengemasan untuk memaksimalkan retensinya. Kebutuhan manusia secara kuantitatif terhadap zat-zat gizi esensial, yang dilakukan dengan pendekatan ilmiah, merupakan dasar untuk penyusunan US Recommended Dietary Allowances (RDA) atau kecukupan zat-zat gizi yang dianjurkan sebagai pedoman dalam perencanaan diet atau penyusunan ransum, suplai makanan, keperluan labelling, dan untuk evaluasi kecukupan zat-zat gizi dari makanan yang dikonsumsi (Andarwulan dan Koswara, 1992). RDA adalah taraf konsumsi zat-zat gizi esensial, yang berdasarkan pengetahuan ilmiah dinilai cukup untuk memenuhi kebutuhan hampir semua orang sehat (Almatsier, 2002). Adapun US-RDA untuk vitamin C adalah 60 mg/hari. Sebagian besar sari buah jeruk kalengan di Amerika Serikat difortifikasi dengan vitamin C untuk memenuhi 60% RDA bahkan lebih. Minuman buah biasanya difortifikasi pada konsentrasi lebih kecil dalam perhitungan vitamin C per takaran saji. Vitamin C ditambahkan sebagai antioksidan dengan konsentrasi sekitar 300 ppm pada squashes dan konsentrat serta 100 ppm pada minuman siap minum (Ready-to-drink) (deMan, 1997). Cara
penanganan
bahan
pangan
sebelum
dikonsumsi
dapat
mempengaruhi kandungan mikronutrien yang secara alami ada atau yang ditambahkan di dalam bahan pangan. Bahkan dengan seluruh tindakan pencegahan yang dilakukan untuk menjamin stabilitas mikronutrien dalam bahan pangan, beberapa kehilangan zat-zat gizi tersebut masih terjadi selama proses pengolahan, distribusi, dan penyimpanan. Oleh karena itu dibutuhkan perhatian khusus untuk mengidentifikasi teknologi fortifikasi terbaik sebanding dengan overage yang bersesuaian (OMNI, 2005). Overage merupakan jumlah tambahan fortifikan yang ditambahkan ke dalam bahan pangan untuk mengkompensasikan kehilangan yang terjadi, yang akan memastikan bahwa pangan yang telah difortifikasi tersebut memiliki level nutrisi sesuai target yang diharapkan pada saat bahan pangan tersebut dikonsumsi (OMNI, 2005). Berikut ini adalah contoh bagaimana langkah menghitung overage :
Tabel 1. Data perhitungan overage pada tepung gandum yang akan difortifikasi dengan niasin pada konsentrasi 40 ppm Keterangan Persentase (%) Dugaan kehilangan selama proses pengolahan
10
Jumlah yang tersisa setelah proses pengolahan
90 a
Dugaan kehilangan selama penyimpanan
20
Jumlah total yang hilang
18
Jumlah total yang tersisa (% amount remaining)
72
b
Jumlah target niasin yang diinginkan adalah sebesar 40 ppm Jumlah total niasin yang diharapkan ada dalam 56 ppm c tepung gandum 16 ppm d Overage keterangan : a diperoleh dari perhitungan : (100% - % dugaan kehilangan selama proses pengolahan) b diperoleh dari perhitungan : ( nilai a x % dugaan kehilangan selama penyimpanan) c diperoleh dari perhitungan : ((100% / % amount remaining) x jumlah target niasin yang diinginkan) d diperoleh dari perhitungan : (Jumlah total niasin yang diharapkan ada dalam tepung gandum – jumlah target)
III. BAHAN DAN METODE
A. BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah jeruk Pontianak. Bahan tambahan yang digunakan dalam pembuatan konsentrat sari buah jeruk Pontianak terdiri dari sukrosa, asam sitrat dan asam askorbat. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis adalah akuades, asam oksalat, phenolftalein (PP), Na2S2O3, KIO3, KI, indikator pati, larutan iod, alkohol 70%, dan HCl. Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan konsentrat sari buah jeruk Pontianak adalah ekstraktor buah, evaporator vakum, timbangan, baskom, panci stainless steel, sendok pengaduk, gelas ukur, gelas piala, sudip, kompor, termometer, dan sealer. Alat-alat yang digunakan untuk analisis adalah pHmeter, refraktometer, buret, labu takar, erlenmeyer, gelas ukur, gelas piala, sudip, oven vakum, cawan alumunium, desikator, dan timbangan analitik.
B.
TAHAPAN PENELITIAN Secara umum, penelitian ini terdiri dari empat tahap penelitian. Tahap pertama, dilakukan pembuatan konsentrat jeruk Pontianak. Tahap kedua, dilakukan studi stabilitas vitamin C selama proses evaporasi. Tahap ketiga, dilakukan studi stabilitas vitamin C selama proses pasteurisasi. Tahap keempat, yakni fortifikasi vitamin C pada konsentrat jeruk Pontianak.
1.
Pembuatan konsentrat jeruk Pontianak Pembuatan konsentrat jeruk Pontianak ini dilakukan dengan menggunakan evaporator vakum. Evaporator vakum yang digunakan selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 7. Evaporator vakum ini memiliki tipe VSU-50, dengan nama Universal reduced-pressure concentration still apparatus, berkapasitas ± 50 liter, memiliki dimensi eksternal 1200 x 570 x 1800 mm, mampu dioperasikan sampai suhu
90°C, memiliki kapasitas panas sebesar 14 kilowatt, dan membutuhkan energi listrik sebesar 380 V. Tahap ini diawali dengan penentuan waktu evaporasi yang bertujuan mengetahui berapa lama waktu evaporasi yang dibutuhkan pada suhu evaporator 50°C untuk mendapatkan konsentrat dengan total padatan terlarut sekitar 65-68°Brix. Adapun perlakuan selang waktu evaporasi yang dilakukan dapat dilihat pada Tabel 2. Adapun langkah pembuatan konsentrat jeruk Pontianak dapat dilihat pada Gambar 9. Jeruk Pontianak dikupas kulitnya dan dihilangkan albedonya. Daging jeruk tanpa albedo ini kemudian diekstraksi dengan menggunakan ekstraktor buah sehingga didapatkan ekstrak jeruk. Ekstrak jeruk ini ditambahkan sukrosa sebanyak 15% dan asam sitrat sebanyak 0.3%. Penambahan sukrosa sebanyak 15% bertujuan untuk meningkatkan total padatan terlarut pada ekstrak jeruk segar sehingga diperoleh total padatan terlarut sebesar 20-25°Brix. Tujuan peningkatan total padatan terlarut ini adalah mengurangi waktu evaporasi untuk memperoleh konsentrat dengan padatan 65-68°Brix. Berdasarkan hasil penelitian, penambahan asam sitrat sebanyak 0.3 % pada konsentrat jeruk Pontianak memiliki tingkat kesukaan panelis yang paling baik (Rahmadhani, 2005). Selanjutnya ekstrak jeruk ini dievaporasi dengan menggunakan evaporator vakum efek tunggal yang dipasang pada suhu evaporasi 50°C. Setiap perlakuan evaporasi membutuhkan 2 liter sari buah jeruk segar yang akan dievaporasi untuk menjadi konsentrat. Dua liter sari buah jeruk segar ini diperoleh dari sekitar 3.0-3.5 kg jeruk kupas kulit. Evaporasi dilakukan pada beberapa selang waktu untuk mengetahui berapa lama waktu yang dibutuhkan supaya diperoleh konsentrat dengan padatan 65-68°Brix. Perlakuan waktu evaporasi dapat dilihat pada Tabel 2. Selama proses evaporasi juga dilakukan pengukuran mutu konsentrat meliputi °Brix (TPT), nilai pH, TAT, kadar air, dan vitamin C. Pengukuran ini dilakukan pada beberapa selang waktu evaporasi yaitu 0, 30, 60, dan 90 menit.
Gambar 7. Evaporator vakum Tabel 2. Perlakuan waktu evaporasi konsentrat jeruk Perlakuan
Waktu Evaporasi (menit)
I
30
II
60
III
90
IV
100
Waktu evaporasi yang memberikan hasil konsentrat jeruk terbaik kemudian diaplikasikan dalam pembuatan konsentrat pada tahap selanjutnya.
2.
Studi stabilitas vitamin C selama proses evaporasi Studi
stabilitas vitamin C pada tahap ini dilakukan pada dua
perlakuan yakni konsentrat kontrol (tanpa penambahan asam sitrat) dan konsentrat dengan penambahan asam sitrat. Asam sitrat yang
ditambahkan adalah sebanyak 0.3%. Diagram alir pembuatan konsentrat dapat dilihat pada Gambar 9. Pengukuran kadar vitamin C dilakukan pada selang waktu 0, 30, 60, dan 90 menit waktu evaporasi. Kemudian akan dilihat perbandingan stabilitas vitamin C antara konsentrat kontrol tanpa penambahan asam sitrat dengan konsentrat dengan penambahan asam sitrat, Pada tahap ini akan dilihat bagaimana pengaruh penambahan asam sitrat terhadap stabilitas vitamin C yang terdapat di dalam konsentrat selama proses evaporasi.
3.
Studi stabilitas vitamin C selama proses pasteurisasi Tahap ini diawali dengan penentuan suhu dan waktu pasteurisasi yang dilakukan dengan melakukan pengukuran kecukupan panas pasteurisasi pada beberapa kombinasi waktu dan suhu pasteurisasi. Kombinasi waktu dan suhu pasteurisasi yang akan dilakukan dapat dilihat pada Tabel 3. Terdapat dua perlakuan dalam penentuan waktu dan suhu pasteurisasi, yakni suhu proses 75°C dan 65°C. Tahap yang dilakukan adalah tahap penentuan penetrasi panas, yakni pengukuran seberapa cepat panas merambat ke dalam produk. Pengukuran penetrasi panas menggunakan alat yang dinamakan termokopel. Termokopel ini terdiri dari detektor sensor panas dan pencatat suhu. Tahap ini diawali dengan memasangkan sensor probe ke dalam kemasan konsentrat yakni berupa cup plastik dengan volume 220 ml. Sensor termokopel ini dipasangkan pada ketinggian sepertiga dari headspace kemasan. Selanjutnya air dipanaskan di dalam wadah stainless steel sampai suhu proses tercapai yakni sampai suhu 75°C dan 65°C dan setelah suhu proses tercapai maka cup konsentrat dimasukkan ke dalam air panas tersebut dan pencatat suhu diaktifkan. Tiap 1 menit termokopel akan mencatat suhu yang dihasilkan oleh masing-masing termokopel (data selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 5 dan 6). Tiap perlakuan pasteurisasi ini hanya menggunakan dua cup konsentrat saja. Hal ini dikarenakan terbatasnya konsentrat yang dapat diproduksi. Apabila suhu konsentrat yang terukur oleh termokopel telah mencapai
suhu proses yang diharapkan yakni 75°C dan 65°C maka suhu konsentrat tersebut dipertahankan selama 5 menit. Setelah itu cup konsentrat diangkat dan didinginkan dengan air dingin di dalam wadah terpisah sampai suhu konsentrat sekitar 40°C. Gambar perlakuan proses pasteurisasi dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Pengukuran penetrasi panas pada konsentrat selama pasteurisasi Nilai-nilai suhu yang tercatat oleh termokopel kemudian diolah menjadi nilai Letal Rate (LR) dengan rumus I. Nilai LR ini kemudian digunakan untuk menghitung nilai F parsial dengan rumus II. F parsial ini didapatkan dengan menghitung luas trapesium di bawah kurva hubungan antara LR dan waktu. Jumlah keseluruhan dari F parsial selama seluruh proses baik pemanasan atau pendinginan dinyatakan sebagai nilai F total. Nilai F dinyatakan sebagai waktu proses pada suhu tetap (tergantung suhu proses yang dilakukan yakni pada 75°C dan 65°C) untuk bakteri yang memiliki nilai Z 10°C. Adapun perhitungan nilai LR, F parsial, dan F0 adalah sebagai berikut: LR = 10((T-Tref)/Z) ……….. I F parcial = ((LR1 + LR 2)/2 x (T2 – T1)) ………. II F0 = ∑F parsial ………. III
Tabel 3. Perlakuan waktu dan suhu pasteurisasi konsentrat untuk penetrasi panas Suhu konsentrat yang Waktu penahanan saat Perlakuan terukur pada termokopel suhu konsentrat mencapai (°C) suhu proses (menit) I 75 5 II Suhu
65 dan
waktu
5 pasteurisasi
akan
dipilih
berdasarkan
pertimbangan lama waktu pasteurisasi yang akan kontak dengan konsentrat yang juga akan berpengaruh terhadap kerusakan vitamin C yang terdapat dalam konsentrat. Kemudian konsentrat dipasteurisasi pada kombinasi suhu dan waktu pasteurisasi yang telah ditetapkan dan selanjutnya diukur kandungan vitamin C nya untuk mengetahui seberapa besar penurunan vitamin C nya akibat pasteurisasi.
4.
Fortifikasi vitamin C pada konsentrat jeruk Pontianak Selama proses pengolahan, vitamin C konsentrat akan semakin berkurang. Oleh karena itu perlu diketahui seberapa besar penurunan kadar vitamin C pada konsentrat selama proses pengolahan untuk mengetahui jumlah vitamin C yang harus ditambahkan untuk mengkompensasikan vitamin C yang hilang akibat pengolahan. Oleh karena itu dilakukan fortifikasi vitamin C pada konsentrat jeruk. Sebelum dilakukan fortifikasi perlu dilakukan perhitungan overage vitamin C. Overage vitamin C merupakan jumlah vitamin C yang akan ditambahkan
ke
dalam
konsentrat
untuk
mengkompensasikan
kehilangan yang terjadi, yang akan memastikan bahwa konsentrat yang telah difortifikasi tersebut memiliki level nutrisi sesuai target yang diharapkan pada saat bahan pangan tersebut dikonsumsi (OMNI, 2005). Fortifikasi vitamin C dilakukan pada sari buah jeruk segar sebelum dievaporasi. Selanjutnya dilakukan tahap verifikasi fortifikasi vitamin C untuk memastikan penyesuaian terhadap overage yang dilakukan.
Jeruk Pontianak
Pengupasan kulit dan penghilangan albedo secara manual
Daging Jeruk tanpa albedo
Ekstraksi
Sukrosa 15%
Ekstrak jeruk
Asam sitrat 0.3%
Evaporasi Vakum 50°C selama 90 menit
Konsentrat jeruk Pontianak
Gambar 9. Diagram alir pembuatan konsentrat
C. PENGAMATAN 1. Kadar air, metode oven vakum (AOAC, 1995) Mula-mula cawan kosong dikeringkan dalam oven 100-105°C selama 30 menit dan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Sebanyak 5 gram konsentrat jeruk homogen dimasukkan dalam cawan yang telah ditimbang dan selanjutnya dikeringkan dalam oven vakum pada suhu 70-75°C selama 6 jam atau sampai berat tetap (≤ 0.0003 gram). Cawan yang telah berisi konsentrat tersebut, selanjutnya dipindahkan ke
dalam
desikator,
didinginkan,
dan
ditimbang.
Pengeringan dilakukan sampai diperoleh berat konstan. Kadar air dihitung berdasarkan kehilangan berat, yaitu selisih berat awal dikurangi berat akhir. Perhitungan kadar air berdasarkan berat basah sebagai berikut:
Kadar air (% wb) =
( Wawal contoh – (Wakhir contoh - Wcawan))
x 100%
Wawal contoh
Keterangan : W = berat (gram) 2. Nilai pH (AOAC, 1995) Sebelum digunakan, pH meter dikalibrasi terlebih dahulu dengan menggunakan larutan buffer pH 7. Konsentrat diletakkan dalam wadah kemudian elektroda ditempatkan dalam konsentrat (hingga elektroda cukup tercelup) sehingga dapat terbaca nilai pH yang diukur. Elektroda diangkat dan dibilas dengan akuades.
3. Total Padatan Terlarut (TPT) (AOAC, 1995) Total padatan terlarut diukur dengan refraktometer. Setetes konsentrat diletakkan pada prisma refraktometer yang telah distabilkan pada suhu tertentu lalu dilakukan pembacaan. Sebelum dan sesudah digunakan, prisma refraktometer dibersihkan dengan alkohol. Total padatan terlarut dinyatakan dalam oBrix.
4. Total Asam Tertitrasi (TAT) (AOAC, 1995) Total asam tertitrasi diukur dengan melarutkan 5 ml konsentrat ke dalam labu takar 100 ml dan ditepatkan hingga tanda tera dengan akuades. Kemudian dipipet sebanyak 10 ml konsentrat dari labu takar dan ditetesi indikator PP 2-3 tetes dan dititrasi dengan NaOH 0.1 N hingga terbentuk warna merah muda. TAT produk dihitung berdasarkan rumus: TAT = V x N x P x 100 W TAT = total asam tertitrasi (ml NaOH 0.1 N/100 ml) V = volume NaOH (ml) N = normalitas NaOH P = tingkat pengenceran, yaitu 100/10 = 10 W = berat konsentrat (g)
5. Kadar Vitamin C (Jacobs, 1984) Kandungan vitamin C ditentukan dengan cara titrasi iod. Sebanyak 10 ml konsentrat diambil, ditetesi indikator pati sebanyak 2-3 tetes dan dititrasi menggunakan larutan iod 0.01 N. Titik akhir titrasi ditandai dengan perubahan warna larutan menjadi biru. Tiap ml iod ekivalen dengan 0.88 mg asam askorbat. Kadar vitamin C dalam produk dihitung dengan rumus : Vitamin C =
ml iod x Normalitas I2 x 0.88 x FP x 100 ml sampel
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PEMBUATAN KONSENTRAT JERUK PONTIANAK 1. Total Padatan Terlarut Evaporasi dilakukan dengan menggunakan evaporator vakum. Suhu evaporasi yang digunakan adalah 50°C dengan tekanan 75 cmHg. Tahap ini diawali dengan penentuan waktu evaporasi yang bertujuan untuk mengetahui berapa lama waktu evaporasi yang dibutuhkan untuk mendapatkan konsentrat yang mengandung padatan antara 65-68°Brix sesuai dengan definisi konsentrat berdasarkan Demeczky et al. (1981).
90
90
90
90
80
80
80
80
70
70
70
70
60
60
60
60
50
50
50
50
40
40
40
40
30
30
30
30
20
20
20
20
10
10
10
10
0
0
0 0
30
60
90
Waktu evaporasi (menit)
Kadar air (% wet basis)
100
TPT (°Brix)
Kadar air(%wet basis)
100
TPT (°Brix)
Konsentrat dengan penambahan asam sitrat 100 100
Konsentrat kontrol
0 0
30
60
90
Waktu evaporasi (menit)
Kadar air (% w et basis)
Kadar air (% w et basis)
TPT (°Brix)
TPT (°Brix)
Gambar 10. Kurva hubungan lama waktu evaporasi dengan total padatan terlarut (TPT) dan kadar air konsentrat kontrol dan dengan penambahan asam sitrat Berdasarkan Gambar 10 dapat diketahui bahwa semakin lama waktu evaporasi maka semakin besar pula total padatan terlarut yang terkandung di dalam produk dan untuk mendapatkan konsentrat dengan padatan terlarut antara 65-68°Brix dibutuhkan waktu evaporasi selama 90 menit. Sehingga untuk proses pembuatan konsentrat selanjutnya digunakan waktu evaporasi selama 90 menit.
Berdasarkan Gambar 10 juga dapat dilihat bahwa slope kenaikan TPT pada masing-masing konsentrat sampai waktu evaporasi selama 60 menit pertama lebih tajam dibandingkan dengan slope kenaikan TPT diatas 60 menit waktu evaporasi. Semakin tinggi nilai TPT maka semakin rendah kadar air yang terdapat di dalam konsentrat. Hal ini dikarenakan selama proses evaporasi terjadi proses pemindahan air secara fisik yakni sebagian air akan diuapkan sehingga akan diperoleh konsentrat yang lebih kental. Oleh karena itu kenaikan nilai TPT sangat berhubungan dengan besarnya jumlah air yang hilang pada konsentrat. Pada awal 60 menit pertama selama evaporasi slope kenaikan TPT cukup tajam. Hal ini dikarenakan banyaknya air yang hilang pada konsentrat sehingga total padatan terlarut di dalam konsentrat menjadi semakin banyak. Banyaknya air yang hilang pada 60 menit awal waktu evaporasi ini dikarenakan jumlah air bebas di dalam konsentrat masih cukup banyak dan mudah diuapkan sehingga air bebas ini banyak yang hilang selama evaporasi dan membuat nilai total padatan terlarut konsentrat semakin besar dan konsentrat menjadi makin kental (pekat). Sedangkan semakin lama waktu evaporasi yakni setelah 60 menit waktu evaporasi, jumlah air bebas sudah sedikit sehingga laju kehilangan airnya lebih lambat karena jenis air terikat di dalam konsentrat yang akan diuapkan. Air terikat lebih sukar dihilangkan (Winarno, 2004). Oleh karena itu jumlah air yang hilang setelah 60 menit waktu evaporasi tidak sebanyak jumlah air yang hilang pada 60 menit awal waktu evaporasi dan ini membuat kenaikan TPT tidak terlalu besar serta membuat slope kenaikan TPT lebih landai. Pada pengeringan bahan pangan terdapat 2 tingkat kecepatan penghilangan air. Pada awal pengeringan, kecepatan jumlah air yang hilang per satuan waktu tetap, kemudian akan terjadi penurunan kecepatan penghilangan air per satuan waktu. Hal ini berhubungan dengan macammacam air yang terikat pada bahan (Winarno, 1980). Bentuk kurva pada Gambar 10 yang terjadi pada hubungan nilai total padatan terlarut selama proses evaporasi ini mirip dengan kurva desorpsi pangan. Desorpsi terjadi jika kelembaban relatif udara lebih rendah dari
kelembaban relatif bahan sehingga bahan akan menguapkan air yang dikandungnya (Brooker et al., 1992). Kurva sorpsi isotermis secara umum dapat dilihat pada Gambar 3. Pola kehilangan air pada konsentrat selama evaporasi menyerupai pola kehilangan air (desorpsi) secara umum. Berdasarkan Gambar 3 dapat dilihat bahwa slope kehilangan air di awal proses lebih tajam dibandingkan slope selama dan di akhir proses. Jumlah air yang terkandung pada bahan menurun cukup drastis di awal proses sehingga membuat slope menjadi tajam. Hal ini dikarenakan di awal proses masih banyak terdapat pelarut (solvent) dan air bebas (free water) yang mudah dihilangkan. Sedangkan semakin lama jumlah air bebas habis dan mulai terjadi kehilangan air jenis air terikat dan molekul-molekul air yang membentuk ikatan hidrogen dengan molekul air lainnya, dimana air jenis ini lebih sulit dihilangkan dibandingkan dengan air bebas. Hal inilah yang membuat slope desorpsinya lebih landai.
2. Kadar Air Nilai kadar air konsentrat mengalami penurunan. Hal ini disebabkan air yang dikandung bahan pangan dengan terus-menerus diuapkan selama proses evaporasi berlangsung. Nilai kadar air bahan terus menurun seiring lamanya waktu proses evaporasi. Dengan terjadinya perubahan kadar air bahan pangan, maka terjadi pula perubahan-perubahan reaksi di dalamnya, seperti reaksi browning, reaksi-reaksi hidrolisa, aktivitas mikrobiologis dan aktivitas enzimatik. Penurunan kadar air konsentrat dapat dilihat pada Gambar 10. Kandungan air dalam bahan pangan mempengaruhi daya tahan bahan pangan terhadap serangan mikroba. Jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya dinyatakan dengan aw (Winarno, 1997). Air melarutkan zat terlarut, memobilisasikan dan memungkinkan adanya reaksi dalam suasana berair.
3. Total Asam Tertitrasi Berkurangnya volume konsentrat selama proses evaporasi berlangsung meningkatkan konsentrasi total asam per satuan volume konsentrat. Oleh karena itu terjadi peningkatan nilai TAT konsentrat selama proses evaporasi. Perubahan nilai TAT konsentrat kontrol dan konsentrat dengan penambahan asa sitrat selama evaporasi dapat dilihat pada Gambar 11.
y = 2.5348x + 75.232 R2 = 0.9526
5.28 Nilai pH
350 300 250 200 150 100 50 0
5.08 4.88
y = -0.0005x + 4.673 R2 = 0.9072
4.68 4.48
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
Waktu evaporasi (menit)
Waktu evaporasi (menit)
5.28 y = 2.5195x + 57.184 R2 = 0.9454
y = -0.0003x + 5.1518 R2 = 0.0543
5.08 Nilai pH
350 300 250 200 150 100 50 0
4.88 4.68 4.48
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
Waktu evaporasi (menit)
Waktu evaporasi (menit)
Gambar 11. Kurva kenaikan nilai TAT dan penurunan nilai pH pada konsentrat dengan penambahan asam sitrat (gambar atas) dan konsentrat kontrol (gambar bawah) selama evaporasi
4. Nilai pH Nilai pH konsentrat yang dihasilkan sedikit menurun dengan semakin lamanya waktu evaporasi. Lama waktu evaporasi tidak mempengaruhi nilai pH konsentrat. Penurunan nilai pH ini dapat dilihat pada Gambar 11. Hal ini disebabkan semakin lama waktu evaporasi
semakin banyak air yang hilang akibat penguapan. Oleh karena itu semakin banyak air yang hilang maka pH konsentrat akan semakin menurun. Pada Gambar 11 tampak terjadi peningkatan nilai pH yang cukup drastis antara waktu evaporasi 60 menit dengan 90 menit, ini dikarenakan kondisi jeruk yang digunakan juga berbeda-beda yakni tergolong matang sehingga nilai pH yang terukur di dalam konsentrat menjadi lebih tinggi dibandingkan nilai pH konsentrat pada waktu evaporasi 60 menit walaupun dengan kondisi penambahan asam sitrat yang sama.
B. STUDI STABILITAS VITAMIN C SELAMA PROSES EVAPORASI Vitamin C merupakan salah satu zat gizi yang cukup diperhatikan keberadaannya di dalam konsentrat jeruk Pontianak. Nilai vitamin C pada konsentrat selama evaporasi mengalami penurunan. Penurunan retensi kandungan vitamin C ini dapat dilihat pada Gambar 12. Kinetika reaksi kerusakan vitamin C dapat ditentukan baik pada pengolahan (terutama pengalengan) maupun penyimpanan bahan pangan. Reaksi kerusakan vitamin C umumnya mengikuti reaksi ordo 1 (Andarwulan dan Koswara, 1992). Persamaan yang dapat digunakan adalah sebagai berikut: Log C = log C0 – kt dimana C = konsentrasi vitamin C pada waktu ke C0 = konsentrasi awal vitamin C t = waktu proses k = konstanta kecepatan reaksi kerusakan vitamin C Dapat dilihat bahwa nilai k merupakan kemiringan atau slope garis lurus yang terbentuk . Dari slope tersebut dapat diketahui penurunan vitamin C yang terjadi selama proses pengolahan. Dari Gambar 13 dapat diketahui slope penurunan vitamin C yang terjadi pada masing-masing konsentrat. Nilai k pada konsentrat kontrol adalah sebesar -0.0015 sedangkan nilai k pada konsentrat dengan penambahan asam sitrat adalah sebesar -0.0006. Semakin besar nilai k membuat kurva semakin tajam dan ini berarti semakin besar nilai k maka penurunan vitamin C semakin banyak.
% retensi vitamin C
100 80 60 40 20 0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Waktu evaporasi (m enit) Kontrol
Konsentrat dengan penambahan asam sitrat
Gambar 12. Kurva penurunan persentase retensi vitamin C selama evaporasi
y = -0.0006x + 1.9897 R2 = 0.8056
2 1.9 1.8
y = -0.0015x + 1.9719 R2 = 0.7896
1.7 1.6 1.5 1.4 1.3 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Waktu evaporasi (m enit) Ko ntro l Ko nsentrat dengan penambahan asam sitrat Linear (Ko ntro l) Linear (Ko nsentrat dengan penambahan asam sitrat)
Gambar 13. Kurva kinetika reaksi penurunan nilai vitamin C Slope penurunan vitamin C pada konsentrat kontrol lebih tajam dibandingkan dengan slope penurunan pada konsentrat dengan penambahan asam sitrat. Hal ini pun dapat dilihat dari nilai k pada konsentrat kontrol yang lebih besar. Ini berarti penurunan vitamin C selama proses evaporasi lebih besar terjadi pada konsentrat kontrol (tanpa penambahan asam sitrat). Hal ini dikarenakan vitamin C lebih stabil dengan penambahan asam sitrat. Penambahan asam sitrat membuat pH konsentrat menjadi lebih rendah (asam). Konsentrat kontrol memiliki nilai pH sekitar 5.17 sedangkan konsentrat dengan penambahan asam sitrat memiliki nilai pH sekitar 4.67 (data selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 1 dan 2). Pengaruh pH terhadap stabilitas vitamin C amatlah penting. Vitamin C mengalami kerusakan nyata
pada kondisi netral (pH=7) dan basa (pH>7) dan cenderung stabil pada kondisi asam (pH<7). Vitamin C merupakan reduktor yang kuat, mempunyai potensial redoks +0.127 V pada pH 5 sehingga mudah teroksidasi selama pengolahan dan penyimpanan bahan pangan. Vitamin C cukup mantap dalam suasana asam (larutan asam) tetapi dengan adanya cahaya akan terurai. Penguraian ini dipercepat dengan adanya oksigen, basa, tembaga dan besi (Andarwulan dan Koswara, 1992). Oksidasi asam askorbat terhambat pada pH rendah. Adapun mekanisme perlindungannya disebabkan pada kondisi asam banyak beredar ion H+ disekitar asam askorbat sehingga oksigen yang terdapat di lingkungan terlebih dahulu berikatan dengan ion H+ di sekitar asam askorbat daripada ion H+ pada atom C nomor 2 dan 3 dari asam askorbat. Bila terjadi kenaikan pH maka kadar vitamin C akan menurun (Winarno, 1997).
C. STUDI STABILITAS VITAMIN C SELAMA PROSES PASTEURISASI Proses termal merupakan aplikasi proses pengolahan pangan dengan menggunakan suhu tinggi yang bertujuan menjaga keamanan dari pangan itu sendiri. Proses pemanasan yang dipilih untuk produk konsentrat buah adalah pasteurisasi. Hal ini disebabkan karakteristik produk konsentrat buah yang memilliki pH kurang dari 4.5. Konsentrat jeruk yang akan dipasteurisasi masih ditambahkan dengan asam sitrat hingga memiliki pH sekitar 4.15-4.19. hal ini dikarenakan konsentrat masih berada pada kisaran pH 4.6 sehingga konsentrat harus diasamkan lagi dengan menambahkan asam sitrat hingga pH kurang dari 4.5. Data nilai pH selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 3.
1. Penentuan suhu dan waktu pasteurisasi Untuk mengetahui kombinasi suhu dan waktu pasteurisasi yang akan dilakukan, terlebih dahulu perlu diketahui mikroba target apa yang akan menjadi fokus dalam proses pasteurisasi. Produk sari buah jeruk dan konsentrat jeruk menggunakan bakteri Lactobacillus sp. dan Leuconostoc sp. sebagai bakteri target dalam penentuan kecukupan panas pasteurisasi. Hal ini didasarkan pada sasaran produk konsentrat yang termasuk bahan
pangan asam tinggi dan kedua bakteri ini berpeluang cukup besar untuk tumbuh dalam konsentrat. Nilai D mikroba target adalah sebesar 0.5-1.0 menit pada suhu standar 65°C dengan nilai Z sekitar 8-10°C (Hariyadi, 2000). Kecukupan panas dalam proses pasteurisasi dinyatakan dengan konsep 5D. Hal ini berarti terdapat peluang kebusukan sebesar 10-5 dalam makanan tersebut atau terjadi penurunan jumlah mikroba sebanyak 5 siklus logaritma. Oleh karena itu akan dilakukan proses pasteurisasi pada suhu 65°C, dimana saat suhu dalam konsentrat sudah mencapai suhu 65°C kemudian suhu 65°C tersebut ditahan selama 5 menit. Dengan suhu awal konsentrat yang akan dipasteurisasi sekitar 35°C. Nilai Letal Rate (LR) dan F0 yang diperoleh pada suhu pasteurisasi 65°C selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 5. Ada dua termokopel (T2 dan T3) yang digunakan dan diletakkan pada ketinggian sepertiga sari headspace kemasan. Data yang akan digunakan sebagai dasar pengukuran kecukupan panas adalah suhu termokopel yang nilai F0 atau LR nya paling kecil. Oleh karena itu data yang diambil adalah data pada termokopel T2 karena memiliki nilai F0 paling kecil yakni sebesar 20.50 menit, yang membutuhkan total waktu proses selama 48 menit. Ternyata nilai F0 hitung ini lebih besar dibandingkan nilai F0 standar (F0 standar adalah sebesar 5 menit, nilai F0 standar didapat dari perhitungan 5D dimana nilai D nya adalah 1 menit) sehingga dapat disimpulkan proses panasnya telah mencukupi. Proses termal dikatakan mencukupi berarti proses termal yang dirancang menjamin inaktivasi mikroba target. Namun perbedaan nilai yang terjadi terlalu besar (F0 hitung = 20.50 menit sedangkan F0 standar = 5 menit) sehingga dapat merusak kandungan zat gizi yang ada di dalam konsentrat. Apabila nilai F0 hitung terlalu besar dari nilai F0 standar, maka dikatakan proses termal over process (dapat menyebabkan penurunan mutu produk dan pemborosan energi). Oleh karena itu dilakukan penjumlahan nilai F0 hitung sampai sedikit lebih besar 5 menit dan didapatkan waktu selama 31 menit proses pasteurisasi tersebut dengan total nilai F0 nya sebesar 5.59 menit. Oleh karena itu diperoleh kesimpulan data sementara bahwa didapatkan suhu pasteurisasi 65°C selama 31 menit.
Selanjutnya tahap yang sama dilakukan tetapi pada suhu 75°C. Suhu awal konsentrat yang akan dipasteurisasi adalah sekitar 27°C-29°C. Data yang diambil adalah data pada termokopel T2 karena memiliki nilai F0 paling kecil yakni sebesar 17.19 menit, yang membutuhkan total waktu proses selama 49 menit. Ternyata nilai F0 hitung ini juga lebih besar dibandingkan nilai F75°C sehingga dapat disimpulkan proses panasnya telah mencukupi. Namun perbedaan nilai yang terjadi juga terlalu besar (F0 hitung = 17.19 menit sedangkan F75°C = 0.5 menit) sehingga dapat merusak kandungan zat gizi yang ada di dalam konsentrat. Oleh karena itu dilakukan penjumlahan nilai F0 hitung sampai sedikit lebih besar dari 0.5 menit dan didapatkan waktu selama 19 menit proses pasteurisasi tersebut dengan total nilai F0 nya sebesar 0.55 menit. Oleh karena itu diperoleh kesimpulan data sementara bahwa didapatkan suhu pasteurisasi 75°C selama 19 menit (yang selanjutnya digenapkan menjadi 20 menit). Jadi, diperoleh dua data kombinasi suhu dan waktu pasteurisasi sementara yakni pasteurisasi pada suhu 65°C selama 31 menit dan pada suhu 75°C selama 20 menit. Namun yang akhirnya dipilih adalah suhu pasteurisasi 75°C selama 20 menit dengan pertimbangan waktu kontak pemanasan lebih singkat dibandingkan dengan waktu yang dibutuhkan pada suhu pasteurisasi 65°C. Hal ini dikarenakan vitamin C sensitif terhadap panas sehingga lebih baik untuk menggunakan proses pemanasan dengan waktu yang sesingkat mungkin agar vitamin C nya tidak banyak rusak. Suhu konsentrat yang terukur dan tercatat pada temperature recorder untuk beberapa probe selama proses penentuan penetrasi panas tidak begitu stabil. Terkadang suhu konsentrat yang terukur pada beberapa probe naik turun (kurang stabil). Seharusnya suhu konsentrat yang terukur semakin lama semakin tinggi karena konsentrat menerima panas. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa kemungkinan seperti sensor probe yang kurang bagus atau penempatan posisi probe di dalam kemasan produk
yang tidak tepat (penentuan letak coldest point) sehingga diperoleh data yang berbeda jauh satu sama lain. Dalam Gambar 14 dapat dilihat grafik penetrasi panas dalam konsentrat. Semakin lama waktu pemanasan maka semakin tinggi suhu dalam konsentrat karena penetrasi panas pada konsentrat semakin besar. Suhu konsentrat semakin naik sampai mencapai suhu proses yang ditetapkan yakni 167°F (75°C). Apabila suhu konsentrat telah mencapai suhu proses (yakni 167°F) maka suhu konsentrat akan dipertahankan selama 5 menit. Nilai-nilai suhu yang tercatat oleh termokopel kemudian diolah menjadi nilai LR. Nilai LR yang digunakan adalah waktu pemanasan pada suhu 65°C yang ekivalen dengan pemanasan selama 1 menit pada suhu tertentu Nilai LR yang kecil menandakan tingkat letalitas (kematian) yang kecil (Toledo, 1991). Jika suatu tingkat letalitas yang kecil ini telah mendapatkan kecukupan panas maka diasumsikan tingkat letalitas yang lebih besar juga telah mendapatkan panas yang cukup pula. Nilai LR ini kemudian digunakan untuk menghitung nilai F parsial. Jumlah keseluruhan dari nilai F parsial selama seluruh proses baik pemanasan dan pendinginan dinyatakan sebagai nilai F total (Toledo, 1991). Perhitungan nilai F total ini menggunakan metode perhitungan trapesium. Berdasarkan Gambar 15 dapat dilihat bahwa semakin lama waktu pemanasan maka semakin besar nilai LR nya. Semakin lama waktu proses pemanasan, nilai LR semakin besar. Ini berarti kontribusi panas berbanding lurus dengan kenaikan nilai efek letalitas. Jadi, semakin besar nilai LR nya maka semakin banyak mikroba yang mati akibat pemanasan yang dilakukan pada konsentrat. Semakin banyaknya mikroba yang mati akibat pemanasan pada suatu produk maka produk tersebut dapat dikatakan aman untuk dikonsumsi. Hal ini dikarenakan semakin kecil peluang mikroba tersebut untuk mengkontaminasi produk. Oleh karena itu tingkat letalitas akibat proses panas penting untuk diketahui.
180
170 160
150
Suhu (°F)
140
130 120
110
100 90
80 0
4
8
12
16
20
24
28
32
36
40
44
48
Waktu (m enit) Termokopel 2
T proses (T set=167°F)
Gambar 14. Grafik penetrasi panas dalam konsentrat pada suhu pasteurisasi 75°C Selama proses pasteurisasi diharapkan tidak terlalu lama waktu tenggang antara proses sealing dan pasteurisasi karena dapat menyebabkan penurunan suhu produk yang cukup besar. Jika suhu bahan yang masuk ke pasteurizer terlalu rendah maka produk akan lebih lama mencapai suhu proses. Dengan waktu proses yang tetap dan pencapaian suhu bahan ke suhu proses yang lama tentunya akan menurunkan efek letalitas yang diberikan terhadap produk sehingga produk dapat dikatakan belum aman untuk dikonsumsi.
1.2
1
Nilai LR
0.8
0.6
0.4
0.2
0 0
4
8
12 16 20 24 28 32 36 40 44 48 Waktu (m enit)
Gambar 15. Kurva hubungan antara nilai LR dan waktu pada suhu pasteurisasi 75°C 2. Pengukuran kadar vitamin C pada konsentrat pasteurisasi Konsentrat dipasteurisasi pada suhu 75°C selama 20 menit. Setelah konsentrat dipasteurisasi kemudian diukur kadar vitamin C nya. Data penurunan kadar vitamin C pada konsentrat yang telah dipasteurisasi dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Persentase retensi vitamin C selama pembuatan konsentrat yang dipasteurisasi Sampel Kadar Vitamin C (mg/100g) % retensi Sari buah jeruk segar
161.74
100
Konsentrat jeruk
114.84
71.00
Konsentrat jeruk yang telah 107.36 dipasteurisasi
66.38
Jumlah vitamin C pada pembuatan konsentrat selama proses pasteurisasi mengalami penurunan yakni dari 161.74 mg vitamin C/100g menjadi 107.36 mg vitamin C/100g atau terjadi retensi vitamin C sebesar 66.38% dari kadar vitamin C awal pada sari buah jeruk. Kadar vitamin C hanya sedikit berkurang setelah konsentrat jeruk dipasteurisasi yakni dari 114.84 mg/100g menjadi 107.36 mg/100g atau memiliki retensi vitamin C sebesar 93.49%. Nilai persentase retensi yang besar ini menunjukkan terjadi penurunan jumlah vitamin C yang kecil akibat pasteurisasi. Adanya penurunan vitamin C ini dikarenakan adanya proses pemanasan yang membuat vitamin C mengalami degradasi. Penurunan vitamin C yang tidak terlalu besar ini (yakni akibat pasteurisasi) juga terjadi pada produk susu. Susu yang dipasteurisasi secara HTST (High Temperature Short Time) hanya sedikit sekali pengaruhnya terhadap nilai gizi produk, yakni terjadi penurunan jumlah vitamin C sebesar 10-20% (Downey, 1977). Secara umum pengaruh panas pada zat gizi yang sensitif pada susu lebih kecil saat menggunakan perlakuan HTST dibandingkan perlakuan pada suhu yang lebih rendah namun dalam waktu yang lebih lama (Downey, 1977). Oleh karena itu kehilangan vitamin C yang kecil setelah konsentrat dipasteurisasi dapat disebabkan karena perlakuan pasteurisasi dilakukan pada suhu yang lebih tinggi namun pada waktu proses yang lebih singkat sehingga waktu kontak panas dengan vitamin C itu sendiri lebih singkat dan membuat susut vitamin C menjadi lebih sedikit. Menurut Gutterson (1972) kerusakan zat gizi selama proses panas bergantung pada (1) waktu/perlakuan suhu yang digunakan sebagai dasar proses dan (2) laju pemindahan panas ke dalam produk sehingga pengembangan secara komersil terutama dipusatkan pada peningkatan laju pemindahan panas ke dalam produk. Konsentrat yang telah dipasteurisasi dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16. Konsentrat jeruk yang telah dipasteurisasi
4. Fortifikasi vitamin C pada konsentrat jeruk Pontianak 1. Perhitungan overage vitamin C Overage dihitung berdasarkan jumlah vitamin C basis kering bahan yang diambil dari data vitamin C pada pembuatan konsentrat yang telah dipasteurisasi. Data kadar vitamin C yang dipakai dalam perhitungan overage vitamin C adalah data pada Tabel 4. Adapun perhitungan overage vitamin C nya adalah sebagai berikut (OMNI, 2005) : Penurunan vitamin C
= 161.74 – 107.36 = 54.38 mg/100g bahan kering
% penurunan vitamin C = (54.38/161.74)*100% = 33.62% Sehingga, % vitamin C yang masih ada setelah pengolahan (% amount remaining) = 100% - 33.62% = 66.38% Jumlah target vitamin C yang diharapkan = 161.74 mg/100g bahan kering Jumlah vitamin C yang ditambahkan = (100% / % amount remaining ) x jumlah target = (100/66.38) x 161.74 = 243.66 mg/100g bahan kering Sehingga overage = 243.66 – 161.74 = 81.92 mg/100g bahan kering
% overage = (81.92/161.74) x 100% = 50.65 %, dibulatkan menjadi 51% Jadi, persen overage vitamin C yang akan difortifikasi ke dalam konsentrat jeruk adalah sebesar 51%.
2. Verifikasi fortifikasi vitamin C Verifikasi dilakukan untuk mengetahui kesesuaian jumlah overage yang ditambahkan dengan jumlah akhir kandungan vitamin C pada konsentrat akhir. Hasil perbandingan jumlah vitamin C sebelum dan setelah fortifikasi dapat dilihat pada Tabel 5. Berdasarkan Tabel 5, verifikasi fortifikasi yang telah dilakukan telah sesuai dengan perhitungan overage yang dilakukan sebelumnya, walaupun jumlah vitamin C yang diinginkan setelah difortifikasi ternyata sedikit lebih besar dari jumlah vitamin C awal pada sari buah yakni sebesar 121.90 mg/100g dimana jumlah vitamin C ini sedikit lebih besar dibandingkan awalnya yaitu 116.29 mg/100g. Peningkatan jumlah vitamin C ini menunjukkan jumlah vitamin C yang hilang lebih kecil. Hal ini mungkin disebabkan adanya penambahan jumlah vitamin C yakni karena adanya perlakuan fortifikasi vitamin C sehingga jumlah asam di dalam konsentrat menjadi lebih banyak dan membuat kondisi konsentrat menjadi lebih asam serta membuat vitamin C yang ada di dalamnya menjadi lebih stabil dan mengalami penurunan yang lebih kecil dibandingkan dengan konsentrat yang tidak difortifikasi. Oleh karena itu dengan adanya fortifikasi vitamin C maka vitamin C yang ada di dalam konsentrat mampu bertahan pada level yang diharapkan. Kesesuaian verifikasi fortifikasi dengan perhitungan overage ini juga dapat dilihat dari nilai persentase retensi vitamin C akhir yang tidak banyak berbeda nilainya, yakni sebesar 66.38% pada tahap tanpa fortifikasi dan sebesar 69.74% pada tahap dengan fortifikasi. Oleh karena itu dapat disimpulkan dengan overage sebesar 51% dapat mengembalikan jumlah vitamin C yang hilang selama pembuatan konsentrat sehingga
jumlah vitamin C pada konsentrat setelah mengalami proses pengolahan sama dengan jumlah vitamin C awal sebelum pembuatan konsentrat. Tabel 5. Jumlah dan persentase retensi vitamin C pada tahap verifikasi fortifikasi konsentrat jeruk Kadar Vitamin C Perlakuan Sampel (dry basis) % Retensi mg/100g Sari buah jeruk 161.74 100 segar Tanpa Konsentrat 114.84 71.00 Fortifikasi Konsentrat setelah 107.36 66.38 dipasteurisasi
Dengan Fortifikasi
Sari buah jeruk segar Sari buah setelah difortifikasi vitamin C Konsentrat jeruk Konsentrat setelah dipasteurisasi
116.29
100
174.80
150.31 a
129.78
74.25 b
121.90
69.74 c
keterangan: a diperoleh dengan membagi jumlah kadar vitamin C pada sari buah setelah difortifikasi vitamin C dengan sari buah jeruk. b diperoleh dengan membagi jumlah kadar vitamin C pada konsentrat jeruk dengan sari buah setelah difortifikasi dengan vitamin C. c diperoleh dengan membagi jumlah kadar vitamin C pada konsentrat setelah dipasteurisasi dengan sari buah setelah difortifikasi dengan vitamin C. Sari buah yang telah difortifikasi mengalami peningkatan kandungan vitamin C nya sebesar 50.31% karena telah ditambahkan vitamin C ke dalamnya. Ternyata persentase kenaikan jumlah vitamin C yang ditambahkan sedikit lebih kecil dari overage yang dilakukan yakni sebesar 51%. Hal ini dapat disebabkan karena adanya sebagian kecil vitamin C yang mungkin masih belum larut sempurna dalam pencampurannya sehingga dalam perhitungannya membuat jumlah vitamin C yang ada dalam sari buah menjadi lebih sedikit.
2. Kecukupan RDA dari konsentrat rekonstitusi Jumlah kadar vitamin C yang terdapat pada konsentrat setelah dipasteurisasi yang dilakukan dengan tahap fortifikasi adalah sebesar 91.49 mg/100ml konsentrat (wb) (data selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 8). Konsentrat tidak dikonsumsi secara langsung namun direkonstitusi dahulu (mengalami pengenceran dengan sejumlah air). Konsentrat akan diencerkan dengan perbandingan konsentrat dengan air sebesar 1 : 3 supaya total padatan terlarut pada sari buah jeruk yang berasal dari konsentrat mendekati sari buah jeruk segar pada awal proses yakni sekitar 20-25°Brix. Berdasarkan hasil analisis, kadar vitamin C pada konsentrat adalah 91.49 mg vitamin C/100 ml konsentrat (wb). Apabila serving size konsentrat adalah 220 ml, maka kandungan vitamin C pada satu serving size konsentrat menjadi 201.27 mg vitamin C/ 220 ml konsentrat (wb). Kemudian konsentrat diencerkan dengan perbandingan 1:3 sehingga kadar vitamin C setelah diencerkan menjadi 201.27 mg/880 ml konsentrat rekonstitusi. Apabila serving size minuman konsentrat rekonstitusi pun adalah 220 ml maka dalam setiap serving size minuman konsentrat rekonstitusi yang dikonsumsi akan diperoleh vitamin C sebanyak 50.32 mg/220 ml minuman konsentrat rekonstitusi dan ini berarti telah memenuhi 83.87 % Daily Value vitamin C.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Pembuatan konsentrat jeruk Pontianak diperoleh dengan proses evaporasi dengan menggunakan evaporator vakum. Proses evaporasi dilakukan pada suhu 50°C pada tekanan 75 cmHg selama 90 menit untuk memperoleh konsentrat dengan total padatan terlarut sekitar 65-68°Brix, sesuai dengan definisi konsentrat menurut Demeczky et. al. (1981). Vitamin C merupakan zat gizi yang cukup diperhatikan pada produk olahan jeruk seperti pada konsentrat jeruk Pontianak. Vitamin C mengalami penurunan selama proses evaporasi. Berdasarkan perhitungan kinetika reaksi vitamin C, slope penurunan vitamin C pada konsentrat kontrol yakni -0.0015 lebih besar daripada slope penurunan vitamin C pada konsentrat dengan penambahan asam sitrat yakni -0.0006. Slope penurunan vitamin C lebih tajam pada konsentrat kontrol dibandingkan konsentrat dengan penambahan asam sitrat. Penentuan suhu dan waktu pasteurisasi dilakukan dengan mengukur kecukupan panas konsentrat dengan menggunakan termokopel. Berdasarkan hasil analisis kecukupan panasnya, pasteurisasi yang akan dilakukan pada pembuatan konsentrat yakni pada suhu 75°C selama 20 menit. Retensi vitamin C setelah konsentrat dipasteurisasi adalah sebesar 93.49% dimana hanya terjadi sedikit penurunan kadar vitamin C yakni 114.84 mg/100 gram pada konsentrat jeruk sebelum dipasteurisasi dan 107.36 mg/100 gram pada konsentrat setelah dipasteurisasi. Jumlah vitamin C yang ditambahkan ke dalam konsentrat untuk dapat mengembalikan jumlah vitamin C sebelum proses (yang disebut dengan overage) yakni pada sari buah jeruk segar adalah sebesar 51%. Oleh karena itu fortifikasi vitamin C yang dilakukan adalah sebanyak 51%. Berdasarkan hasil verifikasi fortifikasi vitamin C yang telah dilakukan, maka overage sebesar 51% telah mampu mengembalikan jumlah vitamin C pada sari buah jeruk segar sebelum proses yakni 121.90 mg/100 gram pada konsentrat akhir setelah
dipasteurisasi sedangkan kadar vitamin C pada sari buah jeruk segarnya adalah sebesar 116.29 mg/100 gram. Konsentrat jeruk Pontianak ini tidak dapat dikonsumsi langsung namun harus direkonstitusi dahulu (diencerkan dengan sejumlah air dengan perbandingan 1:3). Vitamin C yang terkandung dalam 220ml (serving size) konsentrat jeruk Pontianak rekonstitusi adalah sebesar 50.32 mg vitamin C (wb). Hal ini berarti konsumsi konsentrat jeruk Pontianak rekonstitusi dapat memenuhi 83.87 % daily value vitamin C.
B. SARAN Vitamin C pada jeruk Pontianak dapat berbeda-beda tergantung pada beberapa faktor diantaranya musim, tempat penanaman jeruk dan varietasnya. Oleh karena itu dalam pembuatan konsentrat jeruk ini terutama untuk produk olahan jeruk lainnya perlu diperhatikan pemilihan jeruk yang akan digunakan sebagai bahan baku sesuai dengan faktor-faktor tersebut di atas karena akan mengakibatkan kadar vitamin C yang berbeda pada jeruk yang dipilih serta pada konsentrat yang dihasilkan.
DAFTAR PUSTAKA Albrigo, L. G. Dan Charter, R. D. 1978. Structure of Citrus Fruits in Relation to Processing. Di dalam : Nagy, E. Shaw, K. Veldhuis. (ed). Citrus Science and Technology. The AVI Publishing Company, Inc. Westport, Connecticut Almatsier, S. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Andarwulan, N. dan Koswara, S. 1992. Kimia Vitamin. Rajawali Press. Jakarta Andriani, Dian. 2005. Formulasi Sari Buah Jeruk Pontianak (Citrus nobilis var. microcarpa) Dengan Aplikasi Metode Lye Peeling Sebagai Upaya Penghilangan Rasa Pahit Pada Sari Buah Jeruk [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Teknologi Pertanian. AOAC. 1995. Method of Analysis. Assosiation of Official Analytical Chemistry. Washington D.C Berry, R. E., dan M. K. Veldhuis., 1977. Processing of Oranges, Grapefruit, and Tangerine. The AVI Publ. Co. Inc., Westport, Connecticut Birch, G. G. dan Parker, K. J. 1979. Sugar : Science and Technology. Applied Science Publishers LTD. London Brooker, D. B., Bakker-Arkema, F. W., dan Hall, C. W. 1992. Drying Cereal Grains. AVI Publishing Company, Connecticut. Codex Alimentarius. 1983. Recommended International Standard for Concentrated Orange Juice Preserved Exlusively by Physical Process. CAC/ACCEPTANCES/PART I-Rev. 2, 1 Feb 1983 APPENDIX II Combs, G. F. Jr. 1992. The Vitamins : Fundamental Aspects in Nutrition and Health. Academic Press Inc. San Diego Cruess, W. C. 1958. Commercial Fruit and Vegetable Products. The AVI Publ. Co. Inc., Westport, Connecticut Curl, A. L., Moore, E. L., Wiederhold, E., dan Veldhuis, M. K. 1946. Concentrated Orange Juice Storage Studies. P (101-109). Di dalam : Steven Nagy, Philip E. Shaw, Matthew K. Veldhuis. (eds). Citrus Science and Technology. The AVI Publishing Company, Inc. Westport, Connecticut deMan, John M. 1997. Kimia Makanan. Penerbit ITB Bandung Demeczky, M., K. Wicklein, dan E. Godek-Kerek. 1981. The Preparation of Fruit Juice Semi-Concentrate by Reverse Osmosis. Applied Science Publisher. London
Departemen Pertanian RI. 2006. Produksi Buah http://kalbar.litbang.deptan.go.id. [3 Desember 2007]
Jeruk
Pontianak.
Desrosier, N. W. 1983. Food Preservation. The New Encyclopedia Brit. Macropedia, Vol 7 : 492-496 Downey, W. K. 1977. Food Quality and Nutrition : Research Priorities for Termal Processing. Applied Science Publishers LTD. London Eddy, E. H. 1941. What Are The Vitamins. Reinhold Pub. Co. New York Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pengolahan Pangan. PAU Pangan dan Gizi. Bogor Fellow, P. J. 1992. Food Processing Technology. CRC Press. Jakarta Gutterson, M. 1972. Food Canning Techniques. Di dalam : S Harris dan Karmas. (ed). Evaluasi Gizi Pada Pengolahan Bahan Pangan. Penerbit ITB Bandung Harper, H. A., Rodwell, V. W., dan Mayes, P. A. 1980. Biokimia. Review of Physiological Chemistry. Diterjemahkan oleh M. Muliawan. Kedokteran. E. G. C. Jakarta Heldman, D. R., dan Singh, R. P. 2001. Introduction to Food Engineering. Academic Press. London Herro, A. C. 1980. Pasteurization. Encyclopedia of Food Tech and Food Sci. Series Vol 2 : 677-678 Holdsworth, S. D. 1997. Thermal Process of Packaging Food. Chapman and Hall: Blackie Academic and Professional Hoyem, T. dan Kvale, O. 1977. Physical, Chemical, and Biological Changes in Food Caused By Thermal Processing. Applied Science Publishers Limited. London Hulme, A. C. 1971. The Biochemistry of Fruit and Their Product Vol.2. Academic Press, London Jacobs, M.B. 1984. The Chemical Analysis of Food and Food Products. D. Van Nostrand Co. Inc. London Labuza, T. P. 1982. Shelf Life Dating of foods. Food and Nutrition Press., Inc., Westport, Connecticut Muchtadi, D., Palupi, N. S. dan Astawan, M. 1993. Metabolisme Zat Gizi. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta
Muchtadi, T. R. 1989. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. PAU Pangan dan Gizi IPB, Bogor OMNI. 2005. Fortification Basics : Stability. http://www.idpas.org/pdf/1154FortBasicStability.pdf. [24 Oktober 2007]. Priestley, R. J. 1979. Effects of Heating on Foodstuffs. Applied Science Publishers LTD. London Ralls, J. W., Maagdenberg, J., Yacoub, N. L., Hamnick, D., Zinnecker, M., dan Mercer, W. A. 1973. In-plant, Continuous Hot-Gas Blanching of Spinach. Di dalam: D. K. Salunkhe. (ed). Storage, Processing, and Nutritional Quality of Fruits and Vegetables. CRC Press, Inc Rahmadhani, Juliarto. 2005. Optimasi Proses Pembuatan dan Pendugaan Umur Simpan Konsentrat Jeruk Siam (C. nobilis var microcarpa) [skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor, Fakultas Teknologi Pertanian Salunkhe, D. K. 1976. Storage, Processing, and Nutritional Quality of Fruits and Vegetables. CRC Press, Inc Sarwono, B. 1994. Jeruk dan Kerabatnya. Penebar Swadaya. Jakarta Sediaoetama, A. D. 1976. Ilmu Gizi dan Diet di Daerah Tropika. PN. Balai Pustaka. Jakarta Sudarmadji, S. 1982. Bahan- Bahan Pemanis. Agritech. Yogyakarta Sumartono. 1982. Jeruk. Penerbit Restu V. Jakarta Supardi, I., dan Sukamto. 1999. Mikrobiologi Dalam Pengolahan dan Keamanan Pangan. Alumni. Bandung Tannenbaum, S.R. 1976. Vitamins and Mineral. Di dalam Fennema (Ed.). Food Chemistry. Part I, p.247-264. Mercel Dekker, Inc. New York Thijssen, H. A. C. 1974. Fundamentals of Concentration Process. Applied Science Publishing, London Ting, V. S., dan J. A. Attaway. 1971. Citrus Fruits. Academic Press, London Toledo, R. T. 1979. Fundamentals of Food Engineering. The AVI Publishing Co. Inc., Westport, Connecticut Toledo, R. T. 1991. Fundamentals of Food Process Engineering. An International Thomson Publishing Company
Tressler, R. K., dan J. K. Woodroof., 1976. Food Product Formulary Vol. 3 Fruit, Vegetable and Nut Products. The AVI Publ. Co. Inc., Westport, Connecticut Winarno, F. G., dan B. S. L. Jenie. 1974. Fisiologi Lepas Panen. Gramedia, Jakarta Winarno, F.G. 1980, 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Penerbit Gramedia. Jakarta Winarno, F. G. 2004. Kimia Pangan. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Wirakartakusumah, M. A., Hermanianto J, dan Andarwulan N. 1989. Prinsip Teknik Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor
Lampiran 1. Analisis kimia pada konsentrat kontrol selama proses evaporasi Sampel
Ulgn
Duplo
U1
1 2 1 2
U2 0 menit
x SD x±SD RSD U1
1 2 1 2
U2 30 menit
x SD x±SD RSD U1
1 2 1 2
U2 60 menit
x SD x±SD RSD U1
1 2 1 2
U2 90 menit
x SD x±SD RSD U1
1 2 1 2
U2 100 menit
x SD x±SD RSD
TPT (°Brix) 20.0 20.0 21.5 21.5 20.75 0.8660 20.8±0.8660 4.1736 39.0 40.0 36.0 37.0 38.0 1.8257 38.0±1.8267 4.8046 62.0 63.0 62.0 62.0 62.25 0.5000 62.3±0.5000 0.8032 65.0 65.0 68.0 68.00 66.50 1.7321 66.5±1.7321 2.6046 71.0 71.0 73.0 73.0 72.0 1.1547 72.0±1.1547 1.6038
pH 5.32 5.34 4.99 5.03 5.17 0.1857 5.17±0.1734 3.5909 5.03 5.03 5.26 5.27 5.15 0.1357 5.15±0.1357 2.6370 5.13 5.13 5.01 5.02 5.08 0.0665 5.07±0.0665 1.3114 5.19 5.15 5.16 5.17 5.17 0.0171 5.1±0.0171 0.3305 5.14 5.16 5.13 5.15 5.15 0.0129 5.1±0.0129 0.2509
TAT (ml NaOH 0.1N/100ml sampel) 68.9360 68.9360 66.8360 76.3840 70.2730 4.1926 20.8±0.8661 5.9661 95.4800 95.4800 108.3280 108.3280 101.9040 7.4178 101.90±7.4178 7.2792 221.1440 221.1440 245.2060 235.7750 230.8173 11.8147 230.8±11.8147 5.1186 301.5600 241.2480 287.1000 287.1000 279.252 26.2370 279.2520±26.2370 9.3954 301.7920 301.7920 315.8100 325.3800 311.1935 11.5376 311.2±11.5376 3.7075
Vit C (mg Vit C/100ml sampel) 38.6338 38.6338 41.7384 45.9122 41.2296 3.4478 5.17±0.1735 8.3624 62.6076 62.6076 64.3896 64.3896 63.4986 1.0288 63.5±1.0288 1.6203 146.8082 125.8356 127.5117 127.5117 131.9168 9.9590 131.9±9.9590 7.5494 146.8082 167.7808 199.2276 159.3821 168.2997 22.3474 168.3±22.3474 13.2783 145.7724 145.5154 143.4436 141.9185 144.1625 1.8234 144.1±1.8234 1.2648
Kadar Air KA (%wb) % bahan kering 87.5750 12.4250 86.6403 13.3597 87.6860 12.3140 86.4857 13.5143 87.0967 12.9033 0.6212 0.6212 411.8641±30.9746 411.8641±30.9747 0.7132 4.8142 75.4192 24.5808 76.5338 23.4662 73.7255 26.2745 72.1455 19.7839 74.4560 23.5264 1.9250 2.7492 74.5±1.9250 23.5±2.7492 2.5854 11.6854 43.9169 56.0831 45.6513 54.3487 43.9475 56.0525 42.8872 57.1128 44.1007 55.8993 1.1452 1.1452 44.1±1.1452 55.9±1.1452 2.5967 2.0486 30.9406 69.0594 29.0361 70.9639 24.3051 75.6949 24.8186 75.1814 27.2751 72.7249 3.2348 3.2348 27.3±3.2348 72.7±3.2348 11.8600 4.4480 19.8074 80.1926 18.6786 81.3214 18.2417 81.7583 17.0759 82.9241 18.4509 81.5491 1.1294 1.1294 18.5±1.1294 81.6±1.1294 6.1209 1.3849
Vit C dry basis (mg Vit C/100g) 310.94 289.18 338.95 339.73 319.70 24.3581 319.70±24.3581 7.6191 254.70 266.80 245.07 231.16 249.43 15.0791 249.43±15.0791 6.0454 261.77 231.53 227.49 223.26 236.01 17.4996 236.01±17.4996 7.4147 212.58 236.43 263.19 211.99 231.05 24.2662 231.05±24.2662 10.5025 181.78 178.94 175.45 171.14 176.83 4.5892 176.83±4.5892 2.5953
Lampiran 2. Analisis kimia pada konsentrat dengan penambahan asam sitrat selama proses evaporasi TPT TAT Sampel Ulgn Duplo pH (°Brix) (ml NaOH 0.1N/100ml sampel) U1 1 21.8 4.62 76.0800 2 21.8 4.60 85.5900 U2 1 22.5 4.71 95.1000 2 22.5 4.74 85.5900 0 menit x 22.15 4.67 85.5900 SD 0.4041 0.0680 7.7649 x±SD 22.15±0.4041 4.67±0.0680 85.59±7.7649 RSD 1.8246 1.4570 9.0722 U1 1 36.0 123.6300 4.61 2 36.0 123.6300 4.60 U2 1 39.0 129.0800 4.70 2 39.0 119.8600 4.74 30 menit x 37.5 4.67 124.0500 SD 1.7321 0.0685 3.7952 x±SD 37.50±1.7321 4.67±0.0685 124.05±3.7952 RSD 4.6188 1.4691 3.0594 U1 1 60.0 4.58 266.2800 2 60.0 4.59 266.2800 U2 1 63.0 4.70 230.5000 2 63.5 4.72 239.7200 60 menit x 61.625 4.65 250.6950 SD 1.8875 0.0727 18.3854 x±SD 61.63±1.8875 4.65±0.0727 250.70±18.3854 RSD 3.0628 1.5652 7.3338 U1 1 68.0 4.58 330.4000 2 68.0 4.59 330.4000 U2 1 70.0 4.67 287.1000 2 71.0 4.64 287.1000 90 menit x 69.25 4.62 308.7500 SD 1.5000 0.0424 24.9993 x±SD 69.25±1.5000 4.62±0.0424 308.7500±24.9993 RSD 2.1661 0.9183 8.0969 U1 1 70.0 4.57 315.9385 2 71.0 4.57 311.2230 U2 1 77.0 4.66 306.2400 2 77.0 4.65 315.8100 100 x 73.75 4.61 312.3029 menit SD 3.7749 0.0492 4.5986 x±SD 73.75±3.7749 4.61±0.0492 312.3029±4.5986 RSD 5.1185 1.0676 1.4725
Vit C (mg Vit C/100ml sampel) 28.2018 28.2018 24.1729 28.2018 27.1946 2.0144 27.19±2.0144 7.4075 40.2882 40.2882 43.2080 43.2080 41.7481 1.6857 41.75±1.6857 4.0379 80.6080 80.6080 86.4160 86.4160 83.5120 3.3533 83.51±3.3533 4.0153 99.6160 119.5392 122.1000 122.1000 115.8388 10.8824 115.84±10.8824 9.3944 102.0800 102.0800 102.0800 103.8400 102.5200 0.8800 102.52±0.8800
KA (%wb) 83.9766 82.7078 81.6017 82.3586 82.6612 0.9911 82.66±0.9911 1.1989 72.9625 72.5001 70.1383 67.9047 70.8764 2.3355 70.88±2.3355 3.2952 41.9325 41.8078 39.1553 38.2359 40.2829 1.8716 40.28±1.8716 4.6460 17.3797 18.2039 15.1809 16.0049 16.6924 1.3558 16.69±1.3558 8.1221 17.5852 17.6516 13.2825 13.9571 15.6191 2.3251 15.62±2.3251
0.8584
14.8864
Kadar Air % bahan kering 16.0234 17.2922 18.3983 17.6414 17.3388 0.9911 17.34±0.9911 5.7158 27.0375 27.4999 29.8617 32.0953 29.1236 2.3355 29.12±2.3355 8.0193 58.0675 58.1922 60.8447 61.7641 59.7171 1.8716 59.72±1.8716 3.1340 82.6203 81.7961 84.8191 83.9951 83.3077 1.3558 83.31±1.3558 1.6274 82.4148 82.3484 86.7175 86.0429 84.3809 2.3251 84.38±2.3251 2.7555
Vit C dry basis (mg Vit C/100g) 176.00 163.09 131.39 159.86 157.59 18.8069 157.59±18.8069 11.9344 149.01 146.50 144.69 134.62 143.71 6.3087 143.71±6.3087 4.3900 138.82 138.52 142.02 139.93 139.82 1.5889 139.82±1.5889 1.1364 120.57 146.14 143.95 145.37 139.01 12.3249 139.01±12.3249 8.8663 123.86 123.96 117.72 120.69 121.56 2.9782 121.56±2.9782 2.4501
Lampiran 3. Analisis kimia pada konsentrat selama proses pasteurisasi pada suhu 75°C selama 20 menit Sampel
Ulgn
Duplo
U1
1 2 1 2
U2 Sari Buah
x SD x±SD RSD U1
1 2 1 2
U2 Konsentrat
x SD x±SD RSD U1
1 2 1 2
U2 Konsentrat Pasteurisasi
x SD x±SD RSD
TPT (°Brix) 21.0 21.0 21.5 21.5 21.25 0.2887 21.25±0.2887 1.3585 68.0 68.0 65.0 65.0 66.5 1.7321 66.5±1.7321 2.6046 68.0 68.0 65.0 65.0 66.5 1.7321 66.5±1.7321 2.6046
pH 4.17 4.16 4.18 4.19 4.175 0.0129 4.18±0.0129 0.3092 4.15 4.16 4.17 4.18 4.165 0.0129 4.17±0.0129 0.3100 4.15 4.16 4.17 4.16 4.16 0.0082 4.16±0.0082 0.1963
Vit C (mg Vit C/100ml sampel) 23.7315 31.6420 24.7350 24.7350 26.2108 3.6515 26.21±3.6515 13.9314 79.1050 79.1050 82.4498 82.4498 80.7774 1.9312 80.7774± 1.9312 2.3907 79.1050 79.1050 61.8374 82.4498 75.6243 9.3255 75.6243± 9.3255 12.3314
KA (%wb) 84.3050 81.5586 85.0429 84.4226 83.8323 1.5500 83.8323±1.5500 1.8489 27.8929 27.6656 32.1119 30.6228 29.5733 2.1609 29.5733± 2.1609 7.3070 29.0966 26.8856 30.6665 31.5782 29.5567 2.0546 29.5567± 2.0546 6.9515
Kadar Air % bahan kering 15.6950 18.4414 14.9571 15.5774 16.1677 1.5500 16.1677 ± 1.5500 9.5868 72.1071 72.3344 67.8881 69.3772 70.4267 2.1609 70.4267±2.1609 3.0683 70.9034 73.1144 69.3335 68.4218 70.4433 2.0546 70.4433± 2.0546 2.9167
Vit C dry basis (mg Vit C/100g) 151.2037 171.5810 165.3724 158.7878 161.7362 8.7515 161.7362± 8.7515 5.4110 109.7049 109.3601 121.4495 118.8429 114.8393 6.2211 114.8393± 6.2211 5.4173 111.5673 108.1935 89.1884 120.5023 107.3629 13.1824 107.3629± 13.1824 12.2783
Lampiran 4. Data Perhitungan Overage Vitamin C Sampel
Ulgn
Duplo
1
1 2 1 2 x SD RSD
Vit C (dry basis) (mg/100g bhn kering) 151.2037 171.5810 165.3724 158.7878 161.7362 8.7515 5.4110
1 2 1 2 x SD RSD
109.7049 109.3601 121.4495 118.8429 114.8393 6.2211 5.4173
1 2 1 2 x SD RSD
111.5673 108.1935 89.1884 120.5023 107.3629 13.1824 12.2783
2 Sari buah
1 2 Konsentrat
1 2 Konsentrat Pasteurisasi
Lampiran 5. Data perhitungan F0 pada tiap probe pada suhu pasteurisasi 65°C Menit T2 (°C) LR F0 parsial 0 35 0.001 1 51.6 0.045708819 0.023354 2 51.3 0.042657952 0.044183 3 51 0.039810717 0.041234 4 52 0.050118723 0.044965 5 52.2 0.052480746 0.0513 6 52.4 0.054954087 0.053717 7 53.1 0.064565423 0.05976 8 53.4 0.069183097 0.066874 9 53.7 0.074131024 0.071657 10 53.7 0.074131024 0.074131 11 54.6 0.091201084 0.082666 12 55.6 0.114815362 0.103008 13 55.9 0.123026877 0.118921 14 56.1 0.128824955 0.125926 15 56.4 0.138038426 0.133432 16 57.6 0.181970086 0.160004 17 57.9 0.19498446 0.188477 18 58.3 0.213796209 0.20439 19 59 0.251188643 0.232492 20 59.5 0.281838293 0.266513 21 59.5 0.281838293 0.281838 22 59.7 0.295120923 0.28848 23 59.7 0.295120923 0.295121 24 60.4 0.34673685 0.320929 25 61.3 0.426579519 0.386658 26 61.5 0.446683592 0.436632 27 61.6 0.45708819 0.451886 28 61.8 0.478630092 0.467859 29 62.4 0.549540874 0.514085 30 62.6 0.575439937 0.56249 31 62.7 0.588843655 0.582142 32 62.6 0.575439937 0.582142 33 62.8 0.602559586 0.589 34 63.3 0.676082975 0.639321 35 63.7 0.741310241 0.708697 36 63.5 0.707945784 0.724628 37 63.4 0.691830971 0.699888
T3 (°C) 34.8 66.1 54.4 52.3 52.9 53.2 53.9 54.8 55.2 55.5 55.7 56.7 57.6 57.9 58.1 58.4 59.4 59.8 60.1 60.6 61.1 61 61.1 61.1 61.7 62.5 62.6 62.6 62.7 63.3 63.5 63.6 63.3 63.4 64 64.3 64.1 63.9
LR 0.000954993 1.288249552 0.087096359 0.05370318 0.0616595 0.066069345 0.077624712 0.095499259 0.104712855 0.112201845 0.117489755 0.147910839 0.181970086 0.19498446 0.204173794 0.218776162 0.27542287 0.301995172 0.323593657 0.363078055 0.407380278 0.398107171 0.407380278 0.407380278 0.467735141 0.562341325 0.575439937 0.575439937 0.588843655 0.676082975 0.707945784 0.72443596 0.676082975 0.691830971 0.794328235 0.851138038 0.812830516 0.776247117
F0 parsial 0.644602 0.687673 0.0704 0.057681 0.063864 0.071847 0.086562 0.100106 0.108457 0.114846 0.1327 0.16494 0.188477 0.199579 0.211475 0.2471 0.288709 0.312794 0.343336 0.385229 0.402744 0.402744 0.40738 0.437558 0.515038 0.568891 0.57544 0.582142 0.632463 0.692014 0.716191 0.700259 0.683957 0.74308 0.822733 0.831984 0.794539
38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48
63.8 64.2 64.6 64.5 64.4 64.2 64.7 65.2 64.9 64.8 64.7
0.758577575 0.831763771 0.912010839 0.891250938 0.87096359 0.831763771 0.933254301 1.047128548 0.977237221 0.954992586 0.933254301 F0 total F0 hingga menit ke-31
Contoh perhitungan: Rumus LR = 10 ^ (T-65)/Z = 10 ^ (51.6 – 65)/10 = 0.045708819 F0 parsial = (0.045708819 + 0.042657952)/2 x 1 = 0.044183
0.725204 0.795171 0.871887 0.901631 0.881107 0.851364 0.882509 0.990191 1.012183 0.966115 0.944123 20.50029 5.590495
64.3 64.6 65 64.8 64.7 64.5 64.9 65.4 65.1 65 64.7
0.851138038 0.912010839 1 0.954992586 0.933254301 0.891250938 0.977237221 1.096478196 1.023292992 1 0.933254301 F0 total F0 hingga menit ke-22
0.813693 0.881574 0.956005 0.977496 0.944123 0.912253 0.934244 1.036858 1.059886 1.011646 0.966627 25.48394 5.285867
Lampiran 6. Data perhitungan F0 pada tiap probe pada suhu pasteurisasi 75°C Menit T1 (°C) LR F0 parsial 0 29.5 2.81838E-05 1 51.4 0.004365158 0.002196671 2 62.1 0.051286138 0.027825648 3 75.4 1.096478196 0.573882167 4 57.2 0.016595869 0.556537033 5 74.8 0.954992586 0.485794228 6 75.3 1.071519305 1.013255946 7 74.9 0.977237221 1.024378263 8 73.3 0.676082975 0.826660098 9 67.8 0.190546072 0.433314524 10 60.6 0.036307805 0.113426939 11 73.8 0.758577575 0.39744269 12 75.9 1.230268771 0.994423173 13 70.8 0.380189396 0.805229084 14 61.8 0.047863009 0.214026203 15 62.1 0.051286138 0.049574574 16 69 0.251188643 0.151237391 17 65.9 0.123026877 0.18710776 18 75.4 1.096478196 0.609752537 19 73 0.630957344 0.86371777 20 65.9 0.123026877 0.376992111 21 68.7 0.234422882 0.178724879 22 66.3 0.134896288 0.184659585 23 67.1 0.16218101 0.148538649 24 67.7 0.186208714 0.174194862 25 69.4 0.27542287 0.230815792 26 71.9 0.489778819 0.382600845 27 76.4 1.380384265 0.935081542 28 77.3 1.698243652 1.539313959 29 76.8 1.513561248 1.60590245 30 73.7 0.741310241 1.127435745 31 77.2 1.659586907 1.200448574 32 77 1.584893192 1.62224005 33 75.1 1.023292992 1.304093092 34 76.6 1.445439771 1.234366382 35 73.8 0.758577575 1.102008673
T2 (°C) 27.1 51.3 51.8 52.2 52.3 53.1 53.9 54.4 55.7 56.6 57 58.7 59.1 60.9 61.6 61.9 62.9 63.6 64.7 65.5 66.3 66.9 67.1 68 68.5 69.9 70 69.8 70.6 71.1 71.1 71.8 72 72.3 72.6 73.1
LR 1.62181E-05 0.004265795 0.004786301 0.005248075 0.005370318 0.006456542 0.007762471 0.008709636 0.011748976 0.014454398 0.015848932 0.023442288 0.025703958 0.038904514 0.045708819 0.048977882 0.0616595 0.072443596 0.09332543 0.112201845 0.134896288 0.154881662 0.16218101 0.199526231 0.223872114 0.309029543 0.316227766 0.301995172 0.363078055 0.407380278 0.407380278 0.478630092 0.501187234 0.537031796 0.575439937 0.645654229
F0 parsial 0.002141007 0.004526048 0.005017188 0.005309196 0.00591343 0.007109507 0.008236054 0.010229306 0.013101687 0.015151665 0.01964561 0.024573123 0.032304236 0.042306667 0.04734335 0.055318691 0.067051548 0.082884513 0.102763638 0.123549067 0.144888975 0.158531336 0.180853621 0.211699173 0.266450829 0.312628655 0.309111469 0.332536613 0.385229166 0.407380278 0.443005185 0.489908663 0.519109515 0.556235867 0.610547083
36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49
73.5 75 75.1 73.3 74.2 76.8 73.4 74.2 74.8 74.2 74.9 74.6 74.7 75.1
0.707945784 1 1.023292992 0.676082975 0.831763771 1.513561248 0.691830971 0.831763771 0.954992586 0.831763771 0.977237221 0.912010839 0.933254301 1.023292992 F0 total F0 hingga menit ke-3
0.73326168 0.853972892 1.011646496 0.849687984 0.753923373 1.17266251 1.10269611 0.761797371 0.893378179 0.893378179 0.904500496 0.94462403 0.92263257 0.978273647 35.4536354 0.603904487
Contoh perhitungan: Rumus LR = 10 ^ (T-75)/Z = 10 ^ (51.4 – 75)/10 = 0.004365158 F0 parsial = (0.004365158 + 0.051286138)/2 x 1 = 0.027825648 Perhitungan nilai D dan F pada suhu 75°C adalah sebagai berikut: D65°C = 1 menit D75°C = .... ? dengan Z = 10°C D65°C = D75°C x 10^((75-65)/10) 1
= D75°C x 10^1
D75°C = 0.1 menit F75°C = 5 x D75°C = 5 x 0.1 = 0.5 menit
73.2 73.6 73.2 73.6 74.3 74.3 73.7 74.8 75.2 74.9 75.4 75.1 75.4
0.660693448 0.72443596 0.660693448 0.72443596 0.851138038 0.851138038 0.741310241 0.954992586 1.047128548 0.977237221 1.096478196 1.023292992 1.096478196
0.653173839 0.692564704 0.692564704 0.692564704 0.787786999 0.851138038 0.79622414 0.848151414 1.001060567 1.012182885 1.036857709 1.059885594 1.059885594
F0 total F0 hingga menit ke-19
17.1866328 0.550926463
Lampiran 7. Total padatan terlarut pada konsentrat selama proses evaporasi
Sampel
Ulgn
Duplo 1 2 1 2
U1 U2 0 menit
x SD x ± SD RSD U1
30 menit
U2 x SD x ± SD RSD U1
60 menit
U2
U2
1 2 1 2
x SD x ± SD RSD U1
100 menit
1 2 1 2
x SD x ± SD RSD U1
90 menit
1 2 1 2
U2 x SD x ± SD RSD
1 2 1 2
TPT (°Brix) 21.50 21.50 22.00 22.00 21.75 0.29 21.75±0.29 1.33 36.00 36.00 38.50 38.50 37.25 1.44 37.25±1.44 3.87 60.50 60.50 63.50 63.50 62.00 1.73 62.00±1.73 2.79 67.00 67.00 69.00 69.00 68.00 1.15 68.00±1.15 1.70 70.00 71.00 75.00 75.00 72.75 2.63 72.75±2.63 3.62
Lampiran 8. Data analisis kimiauntuk verifikasi fortifikasi vitamin C pada konsentrat tanpa perlakuan fortifikasi Sampel ulgn duplo Kadar Air (%) KA (%wet basis) % bahan kering sampel Sari Buah 1 1 84.3050 15.6950 2 81.5586 18.4414 2 1 85.0429 14.9571 2 84.4226 15.5774 x 83.8323 16.1677 SD 1.5500 1.5500 RSD 1.8489 9.5868 Konsentrat
1 2
1 2 x SD RSD
Vit C dry basis (mg/100g) 151.2037 171.5810 165.3724 158.7878 161.7362 8.7515 5.4110
1 2 1 2
27.8929 27.6656 32.1119 30.6228 29.5733 2.1609 7.3070
72.1071 72.3344 67.8881 69.3772 70.4267 2.1609 3.0683
79.1050 79.1050 82.4498 82.4498 80.7774 1.9312 2.3907
109.7049 109.3601 121.4495 118.8429 114.8393 6.2211 5.4173
1 2 1 2
29.0966 26.8856 30.6665
70.9034 73.1144 69.3335
79.1050 79.1050 61.8374
111.5673 108.1935 89.1884
31.5782 29.5567 2.0546 6.9515
68.4218 70.4433 2.0546 2.9167
82.4498 75.6243 9.3255 12.3314
120.5023 107.3629 13.1824 12.2783
x SD RSD Konsentrat Pasteurisasi
Vit C (mg/100ml sampel) 23.7315 31.6420 24.7350 24.7350 26.2108 3.6515 13.9314
Lampiran 9. Data analisis kimia untuk verifikasi fortifikasi vitamin C pada tahap konsentrat yang difortifikasi vitamin C
sampel Sari Buah
ulgn
duplo
1
1 2 1 2
2 x SD RSD Sari buah + as askorbat
1 2
1 2
1 2 x SD RSD
Vit C (mg/100ml sampel) 21.8845 21.8845 25.3968 23.2804 23.1116 1.6595 7.1805
Vit C dry basis (mg/100g) 109.7584 116.5805 125.9606 112.8506 116.2875 7.0261 6.0420
80.3719 81.2974 79.8512 79.6803 80.3002 0.7270 0.9053
19.6281 18.7026 20.1488 20.3197 19.6998 0.7270 3.6902
32.901 32.901 35.9788 35.9788 34.4399 1.7770 5.1596
167.6219 175.9167 178.5655 177.0636 174.7919 4.9015 2.8042
1 2 1 2
24.9089 25.8737 25.2904
75.0911 74.1263 74.7096
109.67 87.736 105.82
146.0493 118.3602 141.6418
25.1189 25.2980 0.4143 1.6377
74.8811 74.7020 0.4143 0.5546
84.656 96.9705 12.6031 12.9968
113.0539 129.7763 16.4880 12.7050
1 2 1 2
24.8372 24.6996 25.0906 25.1396 24.9418 0.2089 0.8374
75.1628 75.3004 74.9094 74.8604 75.0583 0.2089 0.2783
87.736 87.736 105.82 84.656 91.4870 9.6650 10.5644
116.7280 116.5147 141.2640 113.0852 121.8979 13.0182 10.6796
x SD RSD Konsentrat Pasteurisasi
Kadar Air (%) % bahan kering sampel 19.9388 18.7720 20.1625 20.6294 19.8757 0.7900 3.9749
1 2 1 2 x SD RSD
Konsentrat
KA (%wet basis) 80.0612 81.2280 79.8375 79.3706 80.1243 0.7900 0.9860