SKRIPSI PERSEPSI DAN ASPIRASI TERHADAP PENDIDIKAN PANCASILA DI PERGURUAN TINGGI
(Studi pada Dosen dan Mahasiswa di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta)
Disusun oleh :
ERNA SEPTOMOWATI K 6405018
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
1
2
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia sebagai salah satu bangsa dari masyarakat dunia memiliki sejarah serta prinsip atau ideologi dalam kehidupannya yang berbeda dengan bangsa-bangsa lainnya. Pancasila dipilih sebagai ideologi bangsa Indonesia yang nilai-nilainya digali atau berasal dari kepribadian asli bangsa Indonesia sendiri. Proses terjadinya pancasila melalui suatu proses kausalitas (kausa materialis pancasila) yaitu sebelum disahkan sebagai pandangan hidup negara, nilai-nilai pancasila dalam kehidupan sehari-hari telah dijadikan sebagai pandangan hidup bangsa dan sekaligus sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia. Pancasila memiliki fungsi dan kedudukan yang penting dalam negara Indonesia yakni sebagai jati diri bangsa Indonesia, sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia, sebagai dasar filsafat negara, serta sebagai asas persatuan bangsa Indonesia. Fungsi dan kedudukan pancasila tersebut mulai terancam di era reformasi yang ditandai dengan runtuhnya rezim Orde Baru dan adanya krisis ekonomi yang mengakibatkan keterpurukan hampir di semua bidang kehidupan. Kepercayaan terhadap pancasila mulai pudar dengan anggapan bahwa pancasila merupakan produk Orde Baru yang disakralkan pada jamannya. Sehingga banyak kalangan yang menuntut adanya perubahan dengan menganggap pancasila tidak lagi sebagai ideologi yang cocok bagi Indonesia. Era reformasi telah banyak melahirkan perubahan-perubahan signifikan yang terjadi dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik bahkan termasuk dalam dunia pendidikan. Ketika reformasi bergerak, paradigma menjustifikasi nilai-nilai baru berkembang ditengah masyarakat sebagai pengganti nilai-nilai lama. Implikasinya adalah banyak produk ilmiah dan produk intelektual zaman orde baru yang sejatinya masih tetap relevan dan obyektif dianggap keliru dan dihapuskan. Pancasila mulai tergeser saat terjadi krisis yang mengakibatkan keterpurukan di hampir semua bidang kehidupan.
3
Mengingat bahwa begitu strategisnya kedudukan pancasila sebagai dasar pemersatu bangsa Indonesia, maka pancasila harus tetap dipertahankan dan dilestarikan dengan melalui revitalisasi dan aktualisasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Agar pancasila tetap vital dan aktual sebagai pemersatu bangsa maka nilai-nilai pancasila perlu diestafetkan dari generasi ke generasi melalui proses pendidikan. Pendidikan memegang peranan penting dalam perkembangan sebuah negara. Sehingga hal tersebut dapat dipahami bahwa pemerintahan yang mandiri memerlukan suatu warga negara yang terdidik dan terpelajar dan akses terhadap pendidikan merupakan dukungan yang penting. Hal tersebut seperti yang dikemukakan dalam jurnal internasional yakni “is commonly understood that democratic self-governance requires an informed and educated citizenry and that access to education is an important support for the development of such citizens”. (Kahne, Joseph & Middaugh, Ellen, 2008: 34) Nilai-nilai pancasila yang perlu diestafetkan dari generasi ke generasi tersebut dapat melalui pendidikan tentang pancasila di perguruan tinggi. Pendidikan tentang pancasila dalam kurikulum sekarang merupakan bagian dalam matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di perguruan tinggi. Namun demikian, pendidikan tentang pancasila dapat pula disisipkan dalam matakuliahmatakuliah lain seperti dalam matakuliah kewirausahaan. Dalam upaya menanamkan pengetahuan tentang pancasila, tidak hanya dilakukan melalui proses pendidikan saja, namun dapat dilakukan dengan kegiatan-kegiatan seperti seminar, bedah buku seputar pancasila, sosialisasi kembali tentang nilai-nilai pancasila melalui media dan sarana tatap muka, dan lain sebagainya. Urgensi pendidikan tentang pancasila di perguruan tinggi sejalan dengan asas pendidikan nasional yang tercantum dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang menyatakan bahwa “asas pendidikan Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945”. Dalam Pasal 2 UU Sisdiknas tersebut yang menyatakan bahwa asas pendidikan Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, maka menjadi hal yang wajar apabila dalam kurikulum pendidikan nasional
4
terdapat pendidikan tentang pancasila. Namun demikian, pendidikan tentang Undang-Undang Dasar 1945 juga perlu di pertimbangkan untuk masuk dalam kurikulum pendidikan nasional agar peserta didik dapat lebih memahami tentang konstitusi negara. Dunia pendidikan tinggi memiliki peranan besar mengingat mahasiswa yang kelak akan memegang suksesi kepemimpinan sehingga sikap mental kepemimpinan akademik yang berkarakter perlu dibekali sejak dini. Perguruan tinggi harus memberikan perhatian disamping pada pengembangan kecerdasan intelektual dengan memperkaya ilmu pengetahuan (hard skill), juga pada pengembangan sikap mental positif (soft skill). Oleh karenanya pancasila dapat dijadikan sebagai dasar dan pedoman pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta wahana pengembangan soft skill mahasiswa. Pancasila merupakan dasar pendidikan, azas rohani dan tidak berubah. Pancasila dipakai sebagai dasar pendidikan nasional karena pancasila merupakan dasar filsafat negara Indonesia, sehingga mempunyai konsekuensi untuk menerapkan dalam segala bidang kehidupan yang relevan dengan tujuan pendidikan nasional yakni meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa. Menurut Sunaryo (2009: http://www.pikiran-rakyat.com/) Esensi pendidikan tentang pancasila adalah proses memfasilitasi dan membawa bangsa (melalui proses individual maupun kelompok) untuk mengetahui, memahami, menginternalisasi, dan mewujudkan nilai pancasila dalam kehidupan nyata bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Semua tahapan yang disebutkan menghendaki proses interaksi, melalui proses pendidikan yang berlangsung dalam berbagai setting dan tataran. Pendidikan tentang pancasila merupakan salah satu cara untuk menanamkan pribadi yang bermoral dan berwawasan luas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, pendidikan tentang pancasila perlu diberikan disetiap jenjang pendidikan mulai dari tingkat dasar, menengah hingga perguruan tinggi. Maman Rachman (1999: 324) menyatakan bahwa :
5
Pendidikan tentang pancasila memegang peranan penting dalam membentuk kepribadian mahasiswa di perguruan tinggi. Setelah lulus dari perguruan tinggi, diharapkan mereka tidak sekedar berkembang daya intelektualnya saja namun juga sikap dan perilakunya. Sikap dan perilakunya itu diharapkan menjadi dasar keilmuan yang dimilikinya agar bermanfaat pada diri, keluarga, dan masyarakat. Untuk merealisasikan tujuan tersebut, maka pendidik dalam hal ini dosen tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan saja, tetapi juga memberikan pemahaman akan nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila sehingga diharapkan mahasiswa memiliki kepercayaan terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila sehingga dapat digunakannya dalam prektek kehidupannya sehari-hari. Hal tersebut seperti yang dikemukakan the journal of education: “a teacher not only shows and cultivates Pancasila as a cognitive concept and knowledge as well as a normative norm, but also builds and shows the moral message and value as well as soul and spirit of Pancasila. As a result, Pancasila can be personalized as the student’s value and belief system and speed the motivation to bring the system into the student’s behavior in life”. (Sunarti Rudi, 1999: 376) Pendidikan tentang pancasila sebagai pendidikan kebangsaan berangkat dari keyakinan bahwa pancasila sebagai dasar negara, falsafah negara Indonesia tetap mengandung nilai dasar yang relevan dengan proses kehidupan dan perkembangan dalam berbangsa dan bernegara. Pancasila memiliki landasan eksistensial yang kokoh, baik secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 3 berbunyi: “…berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab” dijadikan dasar dalam menetapkan kurikulum pendidikan di perguruan tinggi. Berdasar pada Undang-undang tersebut maka kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan dan Bahasa yang kemudian diejawantahkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang menetapkan kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Tinggi yang wajib memuat
6
mata kuliah Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan dan Bahasa Indonesia serta Bahasa Inggris. Berdasarkan pertimbangan diatas maka Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi memutuskan dengan SK No. 43/DIKTI/Kep/2006 tentang Rambu-Rambu Pelaksanaan Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) di Perguruan Tinggi (SK Ditjen Dikti No.43/2006). Adanya SK Ditjen Dikti No. 43/2006 telah mengakibatkan tidak berlakunya lagi SK No. 38/DIKTI/Kep/2002 tentang Rambu-Rambu Pelaksananaan Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) di Perguruan Tinggi yang meliputi Pendidikan Pancasila, Pendidikan Kewarganegaraan, dan Pendidikan Agama serta menimbulkan konsekuensi bahwa mata kuliah Pendidikan Pancasila di perguruan tinggi sudah ditiadakan menurut SK tersebut. Namun demikian, pendidikan tentang pancasila masih diberikan dalam sub pokok bahasan pada mata kuliah PKn yang saat ini menjadi salah satu mata kuliah wajib sebagai bagian dari mata kuliah pengembangan kepribadian di perguruan tinggi. Beberapa perguruan tinggi di Indonesia banyak yang sudah tidak mewajibkan Pendidikan Pancasila sebagai matakuliah. Universitas Gajah Mada (UGM) masih mewajibkan Pendidikan Pancasila. Sedangkan dibeberapa perguruan tinggi seperti di Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS Surakarta) beberapa fakultasnya sudah tidak lagi memberikan mata kuliah Pendidikan Pancasila. (Wawancara tanggal 24 Mei 2010 kepada Ketua MKU UNS) Melemahnya kekuatan pancasila sebagai ideologi dan pandangan hidup bangsa juga terjadi kepada kelompok mahasiswa. Beberapa tahun terakhir menunjukkan makin minimnya minat mahasiswa terhadap pancasila. Kaum muda yang diharapkan menjadi penerus kepemimpinan bangsa ternyata abai dengan pancasila. Survei yang dilakukan Aktivis Gerakan Nasionalis pada 2006 sebanyak 80 persen mahasiswa memilih syariah sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara. Sebanyak 15,5 persen responden memilih aliran sosialisme dengan berbagai varian sebagai acuan hidup. Dan hanya 4,5 persen responden yang masih memandang Pancasila tetap layak sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara. Penelitian itu dilakukan di UI, ITB, UGM, Universitas Airlangga, dan Universitas Brawijaya yang
7
selama ini dikenal sebagai basis gerakan politik di Indonesia. Hal tersebut menunjukkan kondisi riil di perguruan tinggi negeri di seluruh Indonesia. Kondisi tersebut menunjukkan semakin rendahnya semangat nasionalisme di kalangan generasi penerus bangsa. (Ermaya, 2009, http://www.dutamasyarakat.com/artikel) Menurut As’ad Said Ali (2009: 12) “pengetahuan masyarakat mengenai pancasila seolah sedang memasuki masa surut”. Hal tersebut sebagai penanda bahwa sudah mulai terjadi kemerosotan pengetahuan mengenai pancasila meskipun tingkat penerimaan masyarakat masih cukup tinggi. Hal demikian segera mengingatkan bahwa diterimanya pancasila sebagai ideologi bangsa sebenarnya bukan sesuatu yang taken for granted. Dalam suatu masa tertentu, ada saat pancasila melekat kuat di benak masyarakat, namun pada saat yang lain pemahaman mengenai pancasila mulai menurun. Bila gejala itu dibiarkan, apalagi ditambah gejolak sosial politik yang tidak tertuntaskan, maka penerimaan dan kepercayaan masyarakat terhadap pancasila akan semakin merosot. Fenomena menurunnya pengetahuan dan pemahaman terhadap pancasila di kalangan mahasiswa tersebut tidak hanya menjadi sebuah wacana yang biasa, namun perlu untuk ditelusuri dan ditindaklanjuti penyebabnya. Beragam persepsi di kalangan para pendidik (dosen) dan peserta didik (mahasiswa) perlu digali untuk mengetahui bagaimana kalangan tersebut mempersepsikan pendidikan tentang pancasila di perguruan tinggi selama ini. Persepsi sangat diperlukan untuk mengetahui permasalahan terutama dalam pembelajaran pendidikan pancasila di perguruan tinggi yang selama ini dianggap negatif oleh sebagian besar mahasiswa FKIP UNS. Aspirasi pun harus digali untuk menemukan point-point yang dapat digunakan untuk merubah persepsi negatif tersebut. Untuk itu, peneliti mengambil judul yakni “persepsi dan aspirasi terhadap pendidikan pancasila di perguruan tinggi” (studi pada dosen dan mahasiswa di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta). B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
8
1. Bagaimana persepsi dosen dan mahasiswa terhadap pendidikan tentang pancasila di FKIP UNS? 2. Bagaimana aspirasi dosen dan mahasiswa terhadap pendidikan tentang pancasila di FKIP UNS? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki suatu tujuan yang ingin dicapai, antara lain: 1. Untuk mengetahui persepsi dosen dan mahasiswa terhadap pendidikan tentang pancasila di FKIP UNS. 2. Untuk mengetahui aspirasi dosen dan mahasiswa terhadap pendidikan tentang pancasila di FKIP UNS. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya baik secara teoritis maupun secara praktis, antara lain: 1. Manfaat Teoretis Penelitian ini merupakan bentuk hak warga negara (dosen dan mahasiswa) dalam memberikan persepsi dan aspirasi terhadap pendidikan tentang pancasila di perguruan tinggi. Dengan adanya persepsi dan aspirasi ini, dapat digunakan sebagai refleksi dalam usaha meningkatkan pembelajaran pancasila di perguruan tinggi sehingga apa yang harus diketahui oleh warga negara (civic knowledge) dapat dicapai dengan optimal sehingga dengan pembelajaran dan pengembangan civic knowledge ini diharapkan akan terbentuk civic virtue dan civic participation yang merupakan tujuan akhir dari pendidikan kewarganegaraan. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Pemerintah Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan kepada pemerintah selaku aktor perumus kebijakan untuk melakukan uji materi (judicial review) terhadap Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 37 ayat 1 dan 2 yang menghapuskan mata pelajaran/matakuliah Pancasila.
9
b. Bagi Program Studi Agar PPKn sebagai Program Studi yang masih mempertahankan eksistensi pendidikan pancasila dapat lebih meningkatkan kualitas pendidikannya dengan mengacu pada berbagai pandangan dan aspirasi dosen dan mahasiswa terhadap pendidikan tentang pancasila sehingga diharapkan tujuan pendidikan pancasila dapat optimal meskipun sekarang hanya menjadi sub bab dalam matakuliah PKn. c. Bagi Dosen Agar dosen mengetahui dan memahami apa yang diinginkan dari peserta didiknya yakni mahasiswa terhadap pendidikan tentang pancasila khususnya dalam pembelajarannya, sehingga mampu mengubah persepsi negatif mahasiswa terhadap pembelajaran pancasila selama ini. d. Bagi Mahasiswa Membuka cakrawala terhadap pentingnya pendidikan tentang pancasila dalam kehidupan mahasiswa baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun bernegara. Dan tidak lagi memandang pendidikan tentang pancasila sebagai wahana indoktrinasi.
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Tinjauan Tentang Persepsi a. Pengertian Persepsi Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak akan terlepas dengan sebuah persepsi. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan persepsi sebagai tanggapan (penerimaan langsung dari sesuatu atau serapan) dan merupakan proses seorang mengetahui beberapa hal melalui panca inderanya. Menurut Jalaluddin Rakhmat (1994: 51) persepsi adalah “pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubunganhubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.” Menurut Huffman yang dikutip oleh Vincent Nugroho (2008: 51) “Persepsi adalah proses memilih, menyusun, dan memaknai informasi yang diterima oleh panca indera, sehingga di dalam benaknya manusia memiliki pemahaman akan dunia sekitarnya.” Persepsi seseorang dengan orang lain bisa berbeda-beda. Hal tersebut menurut Ari Satriyo Wibowo, Ventura Elisawati, dan Hermawan Kartajaya, (1996: ii) “merupakan hal yang wajar karena apa yang diketahui seseorang mencerminkan apa yang dipelajarinya dimasa lalu, keadaan pikirannya saat ini, serta apa yang sebenarnya ada pada kenyataan di luar dirinya”. Sementara itu, menurut ahli lain "Persepsi pada hakekatnya adalah proses kognitif”. (Miftah Thoha, 1994: 138) Proses kognitif dialami oleh setiap orang dalam memahami informasi tentang lingkungannya baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan dan penciuman. Kunci untuk memahami persepsi adalah terletak pada pengenalan bahwa persepsi itu merupakan suatu penafsiran yang unik terhadap situasi, dan bukan suatu pencatatan yang benar terhadap situasi. Seperti yang dikatakan oleh David Krech yang dikuti oleh Miftah Thoha (1994: 138) sebagai berikut.
10
11
“The cognitive map of the individual is not, then a photographic representation of the physical world; it is, rather, a partial, personal construction in which certain objects, selected out by the individual for a major role, are perceived in an individual manner. Every perceiver is, as it were, to some degres a non representational artist, painting a picture of the world that expresses his individual view of reality”.
Secara ringkas, pendapat Krech tersebut dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah suatu proses kognitif yang kompleks dan yang menghasilkan suatu gambar unik tentang kenyataan yang barangkali sangat berbeda dari kenyataannya. Dewi Salma Prawiladilaga dan Eveline Siregar (2004: 132) berpendapat bahwa “persepsi adalah awal dari segala macam kegiatan belajar yang bisa terjadi pada setiap kesempatan, disengaja atau tidak”. Menurut Kemp dan Dayton yang dikutip oleh Dewi Salma Prawiwadilaga dan Eveline Siregar (2004 132) menganggap persepsi “sebagai suatu proses dimana seseorang menyadari keberadaan lingkungannya serta dunia yang mengelilinginya”. Secara khusus, menurut Rieber yang dikutip oleh Dewi Salma Prawiladilaga dan Eveline Siregar (2004: 132-133) menyatakan “pentingnya persepsi visual”. Sebab persepsi visual sangat berperan karena menunjukkan kemampuan seseorang untuk mengikuti, menyadari, menyerap arti atau makna dari tampilan visual di sekitarnya secara selektif. Berdasarkan pengertian para ahli di atas, maka yang dimaksud dengan persepsi adalah proses kognitif seseorang dalam memandang atau mengartikan sesuatu melalui pengamatan secara global dalam panca inderanya dengan cara menyeleksi,
mengorganisasi
menyimpulkan
informasi
dan
yang
menginterpretasikannya diterima
dan
sehingga
menafsirkan
pesan
dapat serta
mempengaruhi sikap dan perilakunya. Dalam penelitian ini persepsi yang dimaksud dibatasi pada hal-hal yang menyangkut pendidikan pancasila dan pembelajaran pancasila di perguruan tinggi.
12
b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Menurut Jalaluddin Rakhmat (1994: 51) “Persepsi seperti juga sensasi, ditentukan oleh faktor personal dan faktor situasional”. Menurut David Krech dan Richard S. Crutchfield yang dikutip oleh Jalaluddin Rakhmat (1994: 51-52) menyebutnya dengan “faktor fungsional dan faktor struktural, selain itu ada beberapa faktor yang sangat mempengaruhi persepsi, yaitu: faktor perhatian, faktor fungsional, dan faktor struktural”. Penjelasan faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut: 1) Faktor Perhatian
Perhatian adalah proses mental ketika stimuli atau rangkaian stimuli menjadi perhatian menonjol dalam kesadaran pada saat stimuli lain melemah. Perhatian terjadi bila ada konsentrasi pada salah satu alat indera dan mengesampingkan masukan-masukan melalui alat indera yang lain. Faktor perhatian dibagi menjadi: a) Faktor Eksternal Penarik Perhatian Faktor eksternal penarik perhatian diartikan bahwa apa yang diperhatikan seseorang ditentukan oleh faktor-faktor situasional dan personal. Faktor situasional disebut sebagai determinan perhatian yang bersifat eksternal atau penarik perhatian. Stimuli diperhatikan karena mempunyai sifat-sifat yang menonjol, antara lain gerakan intensitas stimuli, kebaruan dan perulangan. (1) Gerakan, seperti organisme yang lain, manusia secara visual tertarik pada objek-objek yang bergerak. Contoh: manusia senang melihat huruf-huruf display yang bergerak menampilkan nama barang yang diiklankan. (2) Intensitas stimuli, yakni memperhatikan stimuli yang lebih menonjol dari stimuli yang lain. Contoh: suara keras di malam hari yang sepi. (3) Kebaruan (novelty), yakni hal-hal yang baru, yang luar biasa, yang berbeda
akan
menarik
perhatian.
Beberapa
eksperimen
juga
membuktikan stimuli yang luar biasa lebih mudah dipelajari atau diingat. Tanpa hal-hal yang baru, stimuli menjadi monoton, membosankan dan lepas dari perhatian.
13
(4) Perulangan, maksudnya adalah jika hal-hal yang disajikan berkali-kali disertai dengan sedikit variasi akan menarik perhatian.
b) Faktor Internal Penaruh Perhatian Alat indera pada umumnya lemah tetapi juga menunjukkan perhatian yang selektif (selective attention). Apa yang menjadi perhatian seseorang belum tentu menyamai perhatian dari orang lain atau sebaliknya. Ada kecenderungan seseorang melihat apa yang ingin dilihat, mendengar apa yang ingin didengar. Perbedaan perhatian ini timbul dari faktor-faktor internal dalam diri seseorang, yaitu faktor biologis sebagai contoh (bagi orang yang lapar, yang paling menjadi perhatiannya adalah makanan) dan faktor sosiopsikologis (motif sosiogenis, sikap, kebiasaan dan kemauan mempengaruhi apa yang akan diperhatikan oleh seseorang). 2) Faktor Fungsional
Faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal-hal lain yang termasuk faktor personal. Yang menentukan persepsi bukanlah jenis atau stimuli, tetapi karakteristik orang yang memberikan respon pada stimuli itu. Menurut Krech dan Crutchfield yang dikutip oleh Jalaluddin Rakhmat (1994: 56) merumuskan “dalil persepsi yang pertama yakni Persepsi bersifat selektif secara fungsional”. Dalil ini berarti bahwa objek-objek yang mendapat tekanan dalam persepsi biasanya objek-objek yang memenuhi tujuan individu yang melakukan persepsi. Kebutuhan biologis menyebabkan persepsi yang berbeda. 3) Faktor Struktural
Faktor ini berasal dari semata-mata dari sifat stimuli fisik dan efekefek saraf yang ditimbulkan pada sistem saraf individu. Selain dipengaruhi oleh ketiga faktor tersebut diatas, persepsi juga dipengaruhi oleh faktor pengetahuan dan pemahaman yang tinggi, cara mempersepsikan suatu hal juga akan berbeda dengan orang yang mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang rendah. Kemudian Sondang P. Siagian, (1989: 100) berpendapat:
14
“Persepsi seseorang tidak timbul begitu saja. Tentu ada faktorfaktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan mengapa dua orang yang melihat sesuatu mungkin memberi interpretasi yang berbeda tentang yang dilihatnya itu. Secara umum dapat dikatakan bahwa terdapat tiga faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang, yaitu: diri orang yang bersangkutan, sasaran persepsi, dan faktor situasi”. Selain itu, Miftah Thoha (1994: 143) mengemukakan “beberapa faktor yang mempengaruhi pengembangan persepsi seseorang antara lain: psikologi, family, dan kebudayaan”. Berikut adalah penjelasan faktorfaktor tersebut. 1) Psikologi Persepsi seseorang mengenai segala sesuatu di dalam dunia ini sangat dipengaruhi oleh keadaan psikologi. Sebagai contoh, terbenamnya matahari di waktu senja yang indah temaram, akan dirasakan sebagai bayang-bayang yang kelabu bagi seseorang yang buta warna. 2) Family Orang tua yang telah mengembangkan suatu cara yang khusus di dalam memahami dan melihat kenyataan di dunia ini, banyak sikap dan persepsipersepsi mereka yang diturunkan kepada anak-anaknya. Sebagai contoh, tidak jarang jika orang tuanya Muhammadiyah akan mempunyai anakanaknya yang Muhammadiyah pula. 3) Kebudayaan
Kebudayaan dan lingkungan masyarakat tertentu juga merupakan salah satu faktor yang kuat di dalam mempengaruhi sikap, nilai, dan cara seseorang memandang dan memahami keadaan di dunia ini. c. Prinsip Dasar Persepsi Menurut Fleming dan Levie yang dikutip oleh Dewi Salma Prawiladilaga dan Eveline Siregar (2004: 134) mengemukakan beberapa prinsip dasar yang penting untuk diketahui tentang persepsi yaitu “persepsi bersifat relatif, persepsi bersifat sangat seletif, persepsi dapat diatur, persepsi bersifat subjektif, persepsi seseorang atau kelompok bervariasi”. Adapun penjelasan lebih lanjut adalah sebagai berikut:
15
1) Persepsi bersifat relatif Prinsip relatif menyatakan bahwa setiap orang akan memberikan persepsi yang berbeda, sehingga pandangan terhadap sesuatu hal sangat tergantung dari siapa yang melakukan persepsi. 2) Persepsi bersifat sangat selektif Persepsi tergantung pada pilihan, minat, kegunaan, kesesuaian bagi seseorang. 3) Persepsi dapat diatur Persepsi perlu diatur atau ditata agar orang lebih mudah mencerna lingkungan atau stimulus. 4) Persepsi bersifat subjektif Persepsi seseorang dipengaruhi oleh harapan atau keinginan sehingga dalam pengertian ini menunjukkan bahwa persepsi sebenarnya bersifat subjektif. 5) Persepsi seseorang atau kelompok bervariasi Prinsip ini berkaitan erat dengan perbedaan karakteristik individu, sehingga setiap individu bisa mencerna stimuli dari lingkungan tidak sama dengan individu lain. d. Peranan Persepsi Persepsi menjadi landasan berpikir bagi seseorang (kaitannya dalam belajar). Dewi Salma Prawiladilaga dan Eveline Siregar (2004: 134) mengemukakan bahwa “persepsi dalam belajar berpengaruh terhadap daya ingat, pembentukan konsep dan pembinaan sikap”. Jika dikaitkan dengan penelitian ini yakni persepsi terhadap pendidikan tentang pancasila, maka persepsi memiliki peranan penting. Sebab sebagai contoh dalam proses belajar tanpa memperhatikan siapa yang belajar, materi, lokasi, jenjang pendidikan atau usia pembelajar selalu dipengaruhi oleh persepsi peserta didik. Masih menurut Dewi Salma Prawiladilaga dan Eveline Siregar (2004: 132) “Persepsi memang jarang disinggung dalam tulisan terkait dalam proses belajar. Padahal, cara berfikir, minat, atau potensi dapat berkembang dengan baik jika seseorang memiliki persepsi yang memadai”. Diharapkan melalui penggalian persepsi dalam
16
penelitian ini dapat mengubah persepsi menjadi positif terutama dalam persepsi dalam belajar pancasila sehingga berpengaruh terhadap daya ingat, pembentukan konsep dan pembinaan sikap mahasiswa. Jadi persepsi terhadap pendidikan tentang pancasila dalam penelitian ini merupakan penggalian persepsi untuk mengetahui cara berfikir, minat, dan harapan baik dari dosen maupun mahasiswa terutama dalam pembelajaran pancasila di perguruan tinggi baik dalam metode pembelajaran, materi, maupun evaluasi. 2. Tinjauan Tentang Aspirasi a. Pengertian Aspirasi Menurut Ellizabeth B. Hurlock (1993: 23) “Aspirasi berarti keinginan akan sesuatu yang lebih tinggi, dengan kemajuan sebagai tujuannya”. Aspirasi yang dimaksud tersebut menekankan pada keinginan untuk lebih maju atau melebihi status pada saat sekarang. Pendapat ahli lain, mengatakan bahwa aspirasi adalah “tujuan yang ditetapkan dalam suatu kegiatan yang mengandung makna bagi seseorang”. (Winkel WS, 1991: 20) Depdiknas (2003: 53) “Aspirasi adalah harapan dan tujuan untuk keberhasilan pada masa yang akan datang”. Dari beberapa pendapat tersebut diatas dapat diambil kesimpulan bahwa aspirasi adalah keinginan atau harapan akan sesuatu yang lebih baik pada masa yang akan datang dengan merujuk pada keberhasilan dan kemajuan sebagai tujuannya. b. Variasi Aspirasi Berdasarkan pengertian aspirasi diatas dapat dilihat bahwa orang yang beraspirasi pasti memiliki motivasi yang kuat untuk mencapai tujuan. Aspirasi bukan hanya berbeda-beda kekuatannya tetapi juga berbeda-beda jenisnya. Aspirasi dapat bersifat positif dan negatif. Aspirasi positif menekankan pada keberhasilan atau berprestasi lebih baik dari sebelumnya. Sedangkan aspirasi negatif menekankan pada upaya menghindari kegagalan. Menurut waktunya aspirasi dibedakan atas aspirasi langsung dan aspirasi jauh. Aspirasi langsung merupakan tujuan yang ingin dicapai seseorang pada waktu dekat atau tidak terlalu lama, misal; sekarang, besok, minggu depan atau bulan depan. Sedangkan aspirasi jauh merupakan tujuan yang ingin dicapai untuk masa mendatang.
3. Tinjauan Tentang Pendidik a. Pengertian Pendidik
17
Dalam dunia pendidikan terdapat unsur-unsur pendidikan salah satu diantaranya adalah pendidik dan peerta didik. Menurut Wiji Suwarno (2006: 37) “Pendidik adalah orang yang dengan sengaja memengaruhi orang lain untuk mencapai tingkat kemanusiaan yang lebih tinggi”. Dengan kata lain, pengertian tersebut merujuk pada pengertian pendidik sebagai orang yang lebih dewasa yang mampu membawa peserta didik kearah kedewasaan. Sedangkan secara akademik, pendidik adalah tenaga kependidikan, yakni anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan yang berkualifikasi sebagai pendidik, dosen, konselor, pamong belajar, widyaswara, tutor, instrutur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. (Wiji Suwarno, 2006: 38) Dari pengertian tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pendidik merupakan tenaga kependidikan yang merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil belajar melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat terutama bagi pendidik pada pendidikan tinggi. Pendidik yang dimaksud dalam penelitian ini merujuk pada dosen yang berada pada jenjang pendidikan tinggi atau perguruan tinggi. b. Dosen “Dosen adalah pengajar di perguruan tinggi” (Depdiknas, 2003: 242). Sementara itu ada yang berpendapat bahwa dosen adalah “pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat”. (Depdiknas, 2005: 3) M. Enoch Markum (2007: 140) berpendapat bahwa dosen adalah “seseorang yang berdasarkan pendidikan dan keahliannya diangkat oleh penyelenggara perguruan tinggi dengan tugas utama mengajar pada perguruan tinggi yang bersangkutan”. Sedangkan menurut Daulat Purnama Tampubolon (2001: 173) “Dosen adalah guru pada lembaga pendidikan tinggi”. Dari pendapat tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa dosen adalah seseorang yang berdasarkan pendidikan dan keahliannya diangkat oleh
18
penyelenggara perguruan tinggi dengan tugas utama sebagai pendidik dan ilmuwan, dan menjalankan pengabdian kepada masyarakat. 1) Kompetensi Dosen
Dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 2004 tentang Undang-undang Guru dan Dosen menyatakan bahwa dosen wajib memiliki kualifikasi: a) Akademik
Kualifikasi akademik dosen “diperoleh melalui pendidikan tinggi program pascasarjana yang terakreditasi sesuai dengan bidang keahlian” (Depdiknas, 2005: 34). Selain itu, dosen memiliki kualifikasi akademik minimum: (1) lulusan program magister untuk program diploma atau program sarjana (2) dan lulusan program doktor untuk program pascasarjana. b) Sertifikasi pendidik c) Sehat jasmani dan rohani, dan d) Memenuhi kualifikasi lain yang dipersyaratkan satuan pendidikan tinggi tempat bertugas, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. 2) Hak dan Kewajiban Dosen a) Hak-Hak Dosen
“Setiap orang yang memiliki keahlian dengan prestasi luar biasa dapat diangkat menjadi dosen”. (Depdiknas, 2005: 34) Menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Guru dan Dosen, dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, dosen berhak: (1) memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial; (2) mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja; (3) memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual;
19
(4) memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi, akses sumber belajar, informasi, sarana dan prasarana pembelajaran, serta penelitian dan pengabdian kepada masyarakat; (5) memiliki kebebasan akademik, mimbar akademik, dan otonomi keilmuan; (6) memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan menentukan kelulusan peserta didik; dan (7) memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi/ organisasi keilmuan. (Depdiknas, 2005: 34)
b) Kewajiban-Kewajiban Dosen
Menurut Undang-Undang Guru dan Dosen Pasal 60, dalam melaksanakan tugas keprofesionalan dosen berkewajiban: (1) melaksanakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat; (2) merencanakan, melaksanakan proses pembelajaran, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran; (3) meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni; (4) bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar perkembangan jenis kelamin, agama, suku, ras, kondisi fisik tertentu, atau latar belakang sosio ekonomi peserta didik dalam pembelajaran; (5) menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik, serta nilai-nilai agama dan etika; dan (6) memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa. (Depdiknas, 2005: 38)
4. Tinjauan Tentang Peserta Didik a. Pengertian Peserta Didik
20
Unsur lain dalam pendidikan selain pendidik (orang yang mendidik) adalah peserta didik. Menurut Wiji Suwarno (2006: 36) peserta didik adalah “anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidik tertentu”. Pendapat lain yakni menurut Umar Tirtarahardja (2005: 52) mengatakan bahwa “ peserta didik berstatus sebagai subjek didik”. Pandangan modern cenderung menyebut demikian oleh karena peserta didik (tanpa pandang usia) adalah subjek atau pribadi yang otonom, yang ingin diakui keberadaannya. Selaku pribadi yang memiliki ciri khas dan otonomi, ia ingin mengembangkan diri (mendidik diri) secara terus-menerus guna memecahkan masalah-masalah hidup yang dijumpai sepanjang hidupnya. Pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa peserta didik adalah individu yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran baik yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu baik untuk memecahkan masalah kehidupan yang dijumpainya maupun sebagai bekal dalam kehidupannya kelak. Peserta didik yang dimaksud dalam penelitian ini merujuk kepada mahasiswa dalam tataran perguruan tinggi. b. Mahasiswa
Mahasiswa diartikan sebagai “orang yang belajar di perguruan tinggi” (Depdiknas, 2003: 613). Sedangkan M. Enoch Markum (2007: 144) mendefinisikan mahasiswa sebagai “pelajar yang mengikuti pendidikan di perguruan tinggi dengan syarat memiliki ijazah SMA atau yang sederajat, memenuhi syarat yang disyaratkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan”. Dari pendapat tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa mahasiswa adalah seseorang yang menuntut ilmu di perguruan tinggi yang telah memenuhi kualifikasi yang dipersyaratkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan. 1) Hak dan Kewajiban Mahasiswa a) Mahasiswa mempunyai hak:
21
(1) Menggunakan kebebasan akademik secara bertanggungjawab untuk mengkaji ilmu dan seni sesuai dengan norma dan susila yang berlaku dalam lingkungan masyarakat akademik; (2) Memperoleh pengajaran sebaik-baiknya dan layanan bidang akademik sesuai dengan minat/bakat, kegemaran dan kemampuan; (3) Memanfaatkan fasilitas Universitas dalam rangka kelancaran proses belajar; (4) Mendapat bimbingan dari dosen yang bertanggungjawab atas program studi yang diikuti dalam penyelesaian studinya; (5) Memperoleh layanan informasi yang berkaitan dengan program studi yang diikuti serta hasil belajarnya; (6) Memanfaatkan sumberdaya Universitas melalui perwakilan/organisasi kemahasiswaan untuk mengurus dan mengatur kesejahteraan, minat, bakat, penalaran, dan tata kehidupan bermsayarakat; (7) Ikut serta dalam kegiatan organisasi mahasiswa universitas, dan lain sebagainya. (UNS, 2009: 31)
b) Setiap Mahasiswa berkewajiban untuk:
Mahasiswa selain memiliki hak, juga memiliki kewajibankewajiban yang harus dijalankan, diantaranya mahasiswa harus “bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan kecuali bagi mahasiswa yang dibebaskan dari kewajiban tersebut, mempergunakan masa studi dengan optimal, mematuhi semua peraturan universitas, menjaga nama baik universitas, menghormati dan menghargai semua civitas akademika, disiplin, jujur, berpakaian sopan dan tertib, menghargai dan menjunjung tinggi kebudayaan nasional, ilmu pengetahuan, teknologi, dan atau seni”. (UNS, 2009: 32)
5. Tinjauan Tentang Pendidikan a. Konsep dan Pengertian Pendidikan
22
Istilah pendidikan berasal dari bahasa Yunani, Paedagogy yang mengandung makna seorang anak yang pergi dan pulang sekolah diantar seorang pelayan. Sedangkan pelayan yang mengantar dan menjemput dinamakan paedagogos. Dalam bahasa Romawi, pendidikan diistilahkan dengan educate yang berarti mengeluarkan sesuatu yang berada didalam. Sedangkan dalam bahasa inggris, pendidikan diistilahkan ”to educate yang berarti memperbaiki moral dan melatih intelektual”. (Noeng Muhadjir dalam Wiji Suwarno, 2006: 19) Banyak pendapat yang berlainan tentang pengertian pendidikan. Walaupun demikian, pendidikan berjalan terus tanpa menunggu keseragaman arti. Salah satu di antaranya yakni George F. Kneller yang dikutip oleh Wiji Suwarno (2006: 19) yang membagi pengertian pendidikan menjadi dua pengertian yaitu pendidikan dalam arti luas dan sempit. Dalam arti luas, pendidikan diartikan sebagai tindakan atau pengalaman yang memengaruhi perkembangan jiwa, watak, ataupun kemauan fisik individu. Dalam arti sempit, pendidikan adalah suatu proses mentransformasikan pengetahuan, nilai-nilai, dan keterampilan dari generasi ke generasi, yang dilakukan oleh masyarakat melalui lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah, pendidikan tinggi, atau lembaga-lembaga lain. Sedangkan menurut John S. Brubacher yang dikutip oleh Wiji Suwarno (2006: 20) berpendapat: Pendidikan adalah proses pengembangan potensi, kemampuan, dan kapasitas manusia yang mudah dipengaruhi oleh kebiasaan, kemudian disempurnakan dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik, didukung dengan alat (media) yang disusun sedemikian rupa, sehingga pendidikan dapat digunakan untuk menolong orang lain atau dirinya sendiri dalam mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Ki Hajar Dewantara dalam Wiji Suwarno (2006: 21) menyatakan bahwa ”pendidikan merupakan tuntutan bagi pertumbuhan anak-anak”. Artinya, pendidikan menuntut segala kekuatan kodrat yang ada pada diri anak-anak, agar mereka sebagai manusia sekaligus sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Dalam perspektif luas,
23
pendidikan merupakan ”upaya memanusiakan manusia agar menjadi manusia yang sebenar-benarnya manusia”. (Wiji Suwarno, 2006: 25) Di dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tercantum pengertian pendidikan sebagai berikut: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan pontensi dirinya sehingga memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. (Depdiknas, 2003: 20). Dari beberapa pendapat tersebut di atas, yang dimaksud dengan pendidikan adalah proses pengembangan potensi, kemampuan, dan kepribadian peserta didik yang dilakukan dengan usaha sadar dan terencana dengan tujuan agar dapat bermanfaat bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dari definisi di atas dapat dikemukakan adanya beberapa elemen yang penting yang mencirikan pengertian tentang pendidikan, yaitu: 1) Pendidikan
mengandung
pembinaan
kepribadian,
pengembangan
kemampuan, atau potensi yang perlu dikembangkan; peningkatan pengetahuan dari tidak tahu menjadi tahu, serta tujuan kearah mana peserta didik dapat mengaktualisasikan dirinya seoptimal mungkin. 2) Dalam pendidikan, terdapat hubungan antara pendidik dan peserta didik. Didalam hubungan itu, mereka memiliki kedudukan dan peranan berbeda. Tetapi, keduanya memiliki daya yang sama, yaitu saling mempengaruhi guna terlaksananya proses pendidikan (transformasi pengetahuan, nilainilai, dan keterampilan-keterampilan yang tertuju kepada tujuan yang diinginkan). 3) Pendidikan
adalah
proses
sepanjang
hayat
sebagai
perwujudan
pembentukan diri secara utuh. 4) Akivitas pendidikan berlangsung didalam keluarga, sekolah dan didalam masyarakat.
24
5) Pendidikan merupakan suatu proses pengalaman yang sedang dialami yang memberikan pengertian, pandangan (insight), dan penyesuaian bagi seseorang yang menyebabkannya berkembang. b. Tujuan Pendidikan Dalam UU Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tercantum bahwa Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Sedangkan pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan pendidikan merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh kegiatan pendidikan. Menurut Wiji Suwarno (2006: 33) ”tujuan pendidikan terbagi dalam beberapa jenis, yaitu tujuan nasional, institusional, kurikuler, dan instruksional”. Tujuan nasional adalah tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh suatu bangsa; tujuan institusional adalah tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh suatu lembaga pendidikan; tujuan kurikuler adalah tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh suatu mata pelajaran tertentu; dan tujuan instruksional adalah tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh suatu pokok bahasan tertentu. Menurut Bloom dalam Wiji Suwarno (2006: 35) tujuan pendidikan dibedakan menjadi tiga yaitu: 1) Cognitive domain Meliputi kemampuan-kemampuan yang diharapkan dapat tercapai setelah dilakukannya proses belajar-mengajar. Kemampuan tersebut meliputi pengetahuan, pengertian, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi. Artinya, untuk mencapai semuanya harus sudah memiliki kemampuan sebelumnya. 2) Affective domain Berupa
kemampuan
untuk
menerima,
menjawab,
menilai,
membentuk, dan mengarakterisasi. 3) Psychomotor domain Terdiri dari kemampuan persepsi, kesiapan, dan respon terpimpin.
25
6. Tinjauan Tentang Pancasila a. Istilah dan Pengertian Pancasila B. Sukarno (2005: 1) menyatakan sebagai berikut:
Pancasila adalah suatu istilah yang pada mulanya dikemukakan pada pertengahan abad XIV S.M dalam buku Negara Kertagama yang ditulis oleh Empu Prapanca. Istilah tersebut dipakai oleh Empu Tantular dalam bukunya Sutasoma (1365) dan istilah Pancasila itu mempunyai dua arti.
Pancasila dengan sila yang berhuruf i biasa artinya berbatu sendi yang lima pancasila dengan huruf Dewanagari dengan huruf i yang panjang berarti lima peraturan tingkah laku yang penting, yaitu: 1) tidak boleh melakukan kekerasan 2) tidak boleh mencuri 3) tidak boleh berjiwa dengki 4) tidak boleh berbohong 5) tidak boleh mabuk minuman keras (B. Sukarno, 2005: 1) Kemudian istilah pancasila muncul kembali pada tanggal 1 Juni 1945 sebagai sebutan atau nama calon dasar falsafah negara Indonesia sebagai gagasan Ir. Soekarno. Tetapi jauh sebelum pancasila muncul sebagai sebutan calon usulan dasar negara melalui pendekatan historis sesungguhnya pancasila dengan unsurunsurnya diamalkan sebagai asas-asas di dalam adat-istiadat, kebudayaan dan kepercayaan atau agama bangsa Indonesia. Sesudah pancasila sebagai isi dari calon dasar negara diterima secara aklamasi oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan selanjutnya dengan melalui proses sejarah yang panjang akhirnya pada sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945, dihasilkan beberapa keputusan salah satu diantaranya yaitu meletakkan pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia.
26
b. Tinjauan Historis terhadap Pancasila Tinjauan historis terhadap pancasila sebagai isi dasar negara Indonesia bermula dari usaha bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaan dengan membentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) oleh pemerintah Militer Jepang di Indonesia. B. Sukarno (2005: 36) menyatakan bahwa ”sidang BPUPKI yang diselenggarakan dalam mewujudkan perjuangan terbentuknya dasar negara dalam negara Indonesia merdeka berlangsung dalam dua sidang yaitu sidang pertama dan sidang kedua”. Dalam sidang pertama tersebut muncul tiga pembicara yaitu M. Yamin, Soepomo dan Ir. Soekarno yang mengusulkan dasar negara Indonesia. Pidato usulan dasar negara tersebut adalah sebagai berikut : 1) Muhammad Yamin
Pada sidang BPUPKI tanggal 29 Mei 1945, M. Yamin berpidato mengusulkan lima asas dasar negara sebagai berikut : a) Ketuhanan Yang Maha Esa b) Kebangsaan persatuan Indonesia c) Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab d) Kerakyatan
yang
dipimpin
oleh
hikmat
kebijaksanaan
dalam
permusyawaratan perwakilan e) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 2) Soepomo
Pada sidang BPUPKI tanggal 31 Mei 1945 Soepomo mengusulkan lima dasar negara sebagai berikut : a) Persatuan b) Kekeluargaan c) Keseimbangan lahir dan bathin d) Musyawarah e) Keadilan rakyat 3) Ir. Soekarno
Pada sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno mengusulkan dasar negara sebagai berikut : a) Nasionalisme atau Kebangsaan Indonesia
27
b) Internasionalisme atau Perikemanusiaan c) Mufakat atau Demokrasi d) Kesejahteraan Sosial e) Ketuhanan yang berkebudayaan
Kaelan (2004: 40) menyatakan bahwa ”Lima prinsip sebagai dasar negara tersebut kemudian oleh Soekarno diusulkan agar diberi nama ”Pancasila” atas saran salah satu seorang teman beliau ahli bahasa”. Kemudian menurut Soekarno kelima sila dapat diperas menjadi Tri Sila yaitu Sosio nasionalisme (Nasionalisme dan Internasionalisme), Sosio Demokrasi (Demokrasi dengan Kesejahteraan Rakyat), dan Ketuhanan yang Maha Esa. Adapun Tri Sila masih diperas lagi menjadi Eka Sila yang intinya adalah gotong royong. Pada tanggal 22 Juni 1945 diadakan sidang oleh BPUPKI (Panitia Sembilan) yang menghasilkan “Piagam Jakarta” dan didalamnya termuat pancasila dengan rumusan sebagai berikut : 1) Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan sya’riat Islam bagi pemelukpemeluknya 2) Kemanusiaan yang adil dan beradab 3) Persatuan Indonesia 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan 5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam Pembukaan UUD 1945 yang ditetapkan tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI tercantum rumusan dasar negara sebagai berikut : 1) Ketuhanan Yang Maha Esa 2) Kemanusiaan yang adil dan beradab 3) Persatuan Indonesia 4) Kerakyatan
yang
dipimpin
oleh
hikmat
kebijaksanaan
dalam
permusyawaratan/perwakilan 5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan dasar negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 diatas yang secara konstitusional sah dan benar sebagai dasar negara Republik Indonesia. Namun dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia dalam upaya
28
bangsa Indonesia mempertahankan proklamasi dan eksistensinya, terdapat pula rumusan-rumusan dasar negara sebagai berikut : 1) Dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat (29 Desember – 17 Agustus 1950) a) Ketuhanan Yang Maha Esa b) Peri Kemanusiaan c) Kebangsaan d) Kerakyatan e) Keadilan Sosial 2) Dalam UUD Sementara 1950 (17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959) a) Ketuhanan Yang Maha Esa b) Peri Kemanusiaan c) Kebangsaan d) Kerakyatan e) Keadilan Sosial
Dari berbagai macam rumusan pancasila, yang sah dan benar adalah rumusan pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945. c. Tinjauan Ideologis terhadap Pancasila Pancasila adalah suatu rumusan ideologi bangsa dan negara Indonesia. Menurut B. Sukarno (2005: 162) ”pancasila sebagai ideologi seperti halnya ideologi suatu bangsa dan negara adalah wawasan, pandangan hidup (weltanschauung) atau falsafah kebangsaan dan kenegaraannya”. Rumusan ideologi pancasila berintikan serangkaian nilai (norma) atau sistem nilai dasar yang bersifat mendalam dan menyeluruh yang dimiliki dan dipegang oleh bangsa, negara dan masyarakat Indonesia. Ideologi pancasila seperti halnya kekuatan suatu ideologi tergantung pada kualitas tiga dimensi yang terkandung didalam dirinya. Tiga dimensi tersebut menurut B. Sukarno (2005: 163) meliputi: ”dimensi realitas,
dimensi
idealisme,
dan
dimensi
fleksibilitas
atau
dimensi
pengembangan”. Ketiga dimensi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Dimensi realitas yaitu bahwa nilai-nilai dasar yang terkandung dalam ideologi itu secara riil berakar dan hidup dalam masyarakat atau bangsanya terutama karena nilai-nilai dasar tersebut bersumber dari budaya dan pengalaman sejarahnya.
29
2) Dimensi idealisme yaitu bahwa nilai-nilai dasar ideologi tersebut mengandung cita-cita yang memberi harapan tentang masa depan yang lebih baik melalui perwujudan atau pengalamannya dalam praktek kehidupan bersama mereka sehari-hari dengan berbagai dimensinya. 3) Dimensi fleksibilitas atau dimensi pengembangan yaitu bahwa ideologi tersebut memiliki
keluwesan
yang
memungkinkan
dan
bahkan
merangsang
pengembangan pemikiran-pemikiran baru yang relevan tentang dirinya tanpa menghilangkan atau mengingkari hakekat atau jati diri yang terkandung dalam nilai-nilai dasarnya.
Dari ketiga dimensi kekuatan dalam ideologi pancasila menunjukkan bahwa pancasila adalah ideologi yang membawa sebab bangsa Indonesia menyakininya sebagai ideologi yang terbaik bagi dirinya dan menjadi prospek kelanjutan kehidupan bangsa Indonesia dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara yang bersumber pada pandangan filsafat hidup bangsa Indonesia akan termanifestasi keseluruh perlengkapan
negara,
keseluruhan
kehidupan
sosial
(masyarakat)
serta
keseluruhan rakyat dan warga-warganya. Pancasila merupakan idelogi yang bersifat terbuka. Hal tersebut menurut B. Sukarno (2005: 166) mengandung maksud ”bahwa ideologi pancaila adalah bersifat aktual, dinamis, antisipatif dan senantiasa mampu menyesuaikan dengan perkembangan zaman”. Keterbukaan ideologi pancasila bukan berarti mengubah nilai-nilai dasar pancasila namun mengekplisitkan kemampuan yang lebih tajam untuk memecahkan masalahmasalah baru dan aktual. d. Tinjauan Filosofis terhadap Pancasila Menurut Kaelan (2004: 67) "Sila-sila pancasila yang merupakan sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan organik". Antara sila-sila pancasila
itu
saling
berkaitan,
saling
berhubungan
bahkan
saling
mengkualifikasikan. Sila yang satu senantiasa dikualifikasikan oleh sila-sila lainnya. Dengan demikian pancasila pada hakikatnya merupakan sistem yang bagian-bagiannya atau sila-silanya saling berhubungan secara erat sehingga membentuk suatu struktur yang menyeluruh.
30
Menurut Notonagoro dalam Kaelan (2004: 71) "Kesatuan nilai-nilai pancasila pada hakikatnya bukanlah hanya merupakan kesatuan yang bersifat formal logis saja namun juga meliputi kesatuan dasar ontologis, epistimologis, dan aksiologis dari sila pancasila". Penjelasan mengenai kesatuan dasar tersebut adalah sebagai berikut: 1) Dasar Ontologis Dasar ontologis pancasila pada hakikatnya adalah manusia yang memiliki hakikat mutlak monopluralis, oleh karena itu hakikat ini juga disebut sebagai dasar antropologis. Dalam filsafat pancasila hakikat dasar antropologis sila-sila pancasila adalah manusia. 2) Dasar Epistimologis Pranaka dalam Kaelan (2004: 97) menyatakan bahwa jika manusia “merupakan basis ontologis dari pancasila, maka dengan demikian mempunyai implikasi terhadap bangunan epistimologis, yaitu bangunan epistimologis yang ditempatkan dalam bangunan filsafat manusia”. Terdapat tiga persoalan yang mendasar dalam epistimologi yaitu sumber pengetahuan
manusia,
teori
tentang
kebenaran
manusia,
watak
pengetahuan manusia. Sebagai suatu paham epistimologis maka pancasila mendasarkan pada pandangannya bahwa ilmu pengetahuan pada hakikatnya tidak bebas nilai karena harus diletakkan pada kerangka moralitas kodrat marusia serta moralitas religius dalam upaya untuk mendapatkan suatu tingkatan pengetahuan yang mutlak dalam hidup manusia. 3) Dasar Aksiologis Dalam kaitannya dengan pelaksanaan dan penyelenggaraan negara isi dan arti pancasila dipergunakan sebagai pedoman praktis. Soeprapto (1998: 88) menyatakan bahwa "Permasalahan landasan aksiologis pancasila adalah permasalahan tentang pancasila sebagai sumber nilai bagi keluhuran hidup manusia warga bangsa Indonesia". Bangsa Indonesia dalam kerangka kebudayaan nasional yang berdasar pancasila merupakan
31
proses yang timbal balik antara yang ideal dan yang aktual atau antara nilai-nilai dengan perilaku warga individual.
C. Kerangka Berpikir Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah dasar yuridis dalam menetapkan kurikulum pendidikan di perguruan tinggi. Berdasar pada Undang-Undang tersebut maka kurikulum pendidikan
tinggi
wajib
memuat
Pendidikan
Agama,
Pendidikan
Kewarganegaraan dan Bahasa yang kemudian diejawantahkan dalam SK No.43/DIKTI/Kep/2006 tentang Rambu-rambu pelaksanaan Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) di perguruan tinggi. Adanya SK tersebut telah mengakibatkan tidak berlakunya lagi SK yang sebelumnya yakni SK No.38/DIKTI/Kep/2002 tentang Rambu-Rambu Pelaksanaan Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi yang meliputi Pendidikan Pancasila, Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Agama. Dalam
matakuliah
Pendidikan
Kewarganegaraan
(PKn)
terdapat
pendidikan tentang pancasila (filsafat pancasila) di Bab I. Pendidikan tentang pancasila sebagai substansi nilai yang kini menjadi bagian dalam matakuliah PKn memiliki perhatian penting disamping memperluas pengetahuan mengenai pancasila juga terhadap pembentukan atau perubahan sikap dan perilaku positif mahasiswa. Namun demikian, berdasar data-data hasil survey terhadap pancasila yang dilakukan oleh berbagai pihak menunjukkan bahwa saat ini terdapat gejala menurunnya pengetahuan dan pemahaman pancasila dikalangan masyarakat dan mahasiswa pada khususnya. Mahasiswa cenderung memiliki persepsi negatif terhadap pancasila dan pembelajaran pancasila yang dianggap membosankan karena merupakan pengulangan materi dari jenjang pendidikan sebelumnya. Mengingat kondisi tersebut, persepsi dan aspirasi dibutuhkan baik dari dosen dan terutama dari mahasiswa guna menjaring berbagai informasi, pandangan, pemikiran, masukan terhadap pendidikan tentang pancasila baik dari sisi pendidikannya secara umum maupun dalam pembelajarannya. Persepsi dan
32
aspirasi tersebut dapat digunakan sebagai bahan renungan yang bermanfaat dalam mengoptimalkan pembelajaran pancasila di perguruan tinggi meskipun sekarang hanya menjadi sub pokok bahasan dalam PKn dan dapat mengubah persepsi negatif mahasiswa terhadap pendidikan tentang pancasila di perguruan tinggi selama ini. Diharapkan melalui penggalian persepsi dalam penelitian ini dapat mengubah persepsi menjadi positif terutama dalam persepsi dalam belajar pancasila sehingga berpengaruh terhadap daya ingat, pembentukan konsep dan pembinaan sikap mahasiswa. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar dibawah ini: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Kurikulum Pendidikan di Perguruan Tinggi
Kelompok MKK
Kelompok MKB
Kelompok MPK
Kelompok MPB
Kelompok MBB
SK Ditjen Dikti No. 43 Tahun 2006
Pendidikan Agama
Pendidikan Kewarganegaraan
Bahasa Indonesia
terdapat pendidikan tentang pancasila
Persepsi dosen dan mahasiswa terhadap pendidikan tentang pancasila di FKIP UNS
Aspirasi dosen dan mahasiswa terhadap pendidikan tentang pancasila di FKIP UNS
Gambar 1. Skema Kerangka Berpikir
33
Keterangan : - MKK : Mata Kuliah Keahlian dan Keterampilan - MKB : Mata Kuliah Keahlian Berkarya - MPK : Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian - MPB : Mata Kuliah Perilaku Berkarya - MBB : Mata Kuliah Berkehidupan Bermasyarakat
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Dalam penelitian ini peneliti mengambil lokasi di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
(FKIP UNS) Surakarta, dengan
pertimbangan sebagai berikut: a. Belum adanya penelitian sebelumnya khususnya mengenai permasalahan yang sedang diteliti oleh peneliti. b. Permasalahan persepsi dan aspirasi terhadap pendidikan pancasila pasca SK Ditjen Dikti No.43/2006 merupakan hal yang menarik untuk diteliti mengingat semakin merosotnya pengetahuan dan pemahaman terhadap pancasila dikalangan mahasiswa dan mengingat kehadiran pendidikan pancasila khususnya di perguruan tinggi perlu disikapi secara akademis sebagai suatu kebutuhan dunia keilmuan dan dalam hidup bermasyarakat, dan bernegara. Dengan pertimbangan diatas, peneliti berharap mendapatkan suatu laporan yang valid dan bermanfaat bagi Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) dan FKIP UNS serta bagi kalangan civitas akademika secara umum. 2. Waktu Penelitian Waktu penelitian telah dilaksanakan selama sebelas bulan yang dimulai pada bulan Juni 2009 sampai dengan bulan April 2010. Kegiatan tersebut dapat digambarkan dalam tabel sebagai berikut :
34
35
Tabel 1. Jadual Kegiatan Penelitian No
Kegiatan
2009 Jun
1.
2010
Ju Ag
Se Ok
l
p
t
t
Nov
De s
Jan
Fe b
Mar
Ap r
Pengajuan Judul Penyusunan
2.
Proposal
3.
Ijin Penelitian Pengumpulan
4. 5.
Data Analisis Data Penyusunan
6.
Laporan
B. Bentuk dan Strategi Penelitian Sebelum membicarakan tentang bentuk dan strategi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, akan dibahas mengenai metode penelitian secara umum. 1. Pengertian Metodologi Penelitian Metodologi penelitian merupakan elemen penting untuk menjaga reliabilitas (dependabilitas) dan validitas (kredibilitas) hasil penelitian. Dalam arti luas, menurut Robert, Bogdan dan Steven J. Taylor (1993: 25) metodologi berarti “proses, prinsip-prinsip dan prosedur yang kita pakai dalam mendekati persoalan-persoalan dan usaha mencari jawabannya”. Sedangkan menurut Abdurrahmat Fathoni (2006: 98) Metodologi penelitian adalah “ilmu tentang metode-metode yang akan digunakan dalam melakukan suatu penelitian. Metode penelitian adalah cara kerja yang digunakan dalam melakukan suatu penelitian”. Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa metodologi penelitian kualitatif menunjuk kepada prosedur-prosedur penelitian yang menghasilkan data
36
kualitatif yaitu ungkapan atau catatan orang itu sendiri atau tingkah laku mereka yang terobservasi. 2. Jenis - Jenis Metode Penelitian Menurut Consuelo (1993: 40) mengatakan bahwa terdapat lima metode penelitian, yaitu: 1) metode penelitian sejarah (historis), 2) metode penelitian deskriptif, 3) metode penelitian eksperimen, 4) metode penelitian ex post facto (juga biasa disebut kausal komparatif), 5) metode penelitian partisipatori.
Sedangkan menurut Iqbal Hasan (2002: 22) jenis-jenis metode penelitian terkait dengan jenis penelitiannya dihagi menjadi 5 (lima) yaitu: “metode historis, metode deskriptif, metode korelasional, metode eksperimental, metode kuasi eksperimental”. Jenis-jenis metode tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Metode Historis
Historis artinya berhubungan dengan sejarah. Penelitian dengan metode historis merupakan penelitian
yang kritis terhadap keadaan-keadaan,
perkembangan serta pengalaman di masa lampau dan menimbang secara teliti dan hati-hati terhadap validitas dari sumber-sumber sejarah serta interpretasi dari sumber-sumber keterangan tersebut. b. Metode Deskriptif
Deskriptif artinya melukiskan variabel demi variabel, satu demi satu. Metode deskriptif bertujuan untuk: 1) mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada, 2) rnengidentifikasi masalah atau memeriksa kondisi dan praktek-praktek yang berlaku, 3) membuat perbandingan atau evaluasi, 4) menentukan apa yang dilakukan orang lain dalam menghadapi masalah yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan pada waktu yang akan datang.
37
Penyelidikan deskriptif tertuju pada pemecahan masalah yang ada pada masa sekarang. Pada umumnya metode deskriptif ialah menuturkan dan menafsirkan data yang ada, misalnya tentang situasi yang dialami, satu hubungan, kegiatan, pandangan, sikap yang menampak atau tentang suatu proses yang sedang berlangsung dan sebagainya. Pelaksanaan metode deskriptif tidak hanya sampai pada pengumpulan dan penyusunan data, tetapi meliputi analisa dan arti data itu. Alat untuk mengukur suatu dimensi tersebut adalah dengan menggunakan angket, tes dan interview. c. Metode Korelasional
Metode korelasional sebenarnya adalah kelanjutan metode deskriptif. Pada metode korelasional, hubungan antara variabel diteliti dan dijelaskan. Jadi metode korelasional mencari hubungan di antara variabel-variabel yang diteliti. Metode korelasi ini bertujuan untuk meneliti sejauh mana variabel pada satu faktor berkaitan dengan variasi pada faktor lainnya. d. Metode Eksperimental
Metode
eksperimental
merupakan
metode
penelitian
yang
memungkinkan peneliti memanipulasi variabel dan meneliti akibat-akibatnya. Pada metode ini, variabel-variabel dikontrol sedemikian rupa, sehingga variabel luar yang mungkin mempengaruhi dapat dihilangkan. Metode eksperimental ditujukan untuk mencari hubungan sebab akibat dengan memanipulasikan satu alau lebih variabel pada satu (atau lebih) kelompok eksperimental, dan membandingkan hasilnya dengan kelompok kontrol yang tidak mengalami manipulasi.
e. Metode Kuasi Eksperimental
Metode kuasi eksperimental hampir menyerupai metode eksperimental, hanya pada metode ini, peneliti tidak dapat mengatur sekehendak hati variabel bebasnya. 3. Metode Penelitian yang Digunakan Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Alasan penulis menggunakan metode ini adalah
38
karena berdasarkan masalah dalam penelitian yang menekankan pada proses dan makna (perspektif dan partisipasi) maka bentuk penelitian dengan strategi terbaik adalah penelitian kualitatif deskriptif yang penuh nuansa lebih berharga daripada sekedar pernyataan jumlah ataupun frekuensi dalam bentuk angka. 4. Bentuk Penelitian Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai dan jenis data yang diperlukan maka penelitian ini menggunakan bentuk penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif, karena memaparkan objek yang diteliti (orang, lembaga atau lainnya) berdasarkan fakta aktual pada masa sekarang. Penelitian yang menekankan pada segi proses dan makna (perspektif dan partisipasi) maka bentuk penelitian dengan strategi terbaik adalah penelitian kualitatif deskriptif yang penuh nuansa lebih berharga daripada sekedar pernyataan jumlah ataupun frekuensi dalam bentuk angka (H.B. Sutopo, 2002: 3).
Berdasarkan pendapat diatas maka dalam penelitian ini memusatkan perhatian atau mendeskripsikan permasalahan tentang persepsi dan aspirasi dosen dan mahasiswa terhadap pendidikan pancasila di Perguruan Tinggi Universitas Sebelas Maret Surakarta. 5. Strategi Penelitian Dalam setiap penelitian diperlukan sebuah strategi agar tujuan yang telah direncanakan dapat tercapai. Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah model tunggal terpancang. H.B. Sutopo (2002: 42) menjelaskan sebagai berikut: “Bentuk penelitian terpancang (embedded research) yaitu penelitian kualitatif yang sudah menentukan fokus penelitian berupa variabel utamanya yang akan dikaji berdasarkan pada tujuan dan minat penelitinya sebelum peneliti ke lapangan studinya”. Dalam penelitian ini peneliti sudah menentukan terlebih dahulu fokus pada variabel tertentu. Akan tetapi dalam hal ini peneliti tetap tidak melepaskan variabel fokusnya (pilihannya) dari sifatnya yang holistik sehingga bagian-bagian
39
yang diteliti tetap diusahakan pada posisi saling berkaitan dengan bagian-bagian dari konteks secara keseluruhan guna menemukan makna yang lengkap. Jadi penelitian ini menggunakan strategi tunggal terpancang karena objek penelitian adalah tunggal yaitu di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UNS. Sedangkan terpancang artinya untuk mengetahui persepsi dan aspirasi dosen dan mahasiswa terhadap pendidikan tentang pancasila.
C. Sumber Data Penelitian ini menggunakan sumber data yang berupa informan, tempat dan peristiwa serta dokumen dan arsip.
1. Informan Informan adalah orang yang dianggap mengetahui permasalahan yang akan dikaji serta mengetahui secara mendalam tentang data-data yang diperlukan atau informasi tentang permasalahan yang akan dikaji. Adapun informan sebagai data primer yang berasal dari subyek dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Dosen-dosen pengampu mata kuliah PKn di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yaitu: Tabel 2. Daftar Informan Dosen No Kode Nama
Program Studi/ Bidang Studi
1.
Dosen program studi PPKn, Ketua
ID 1
Drs. H. Utomo, MPd
MKU UNS 2.
ID 2
Drs. Suyatno, M.Pd
3.
ID 3
Drs.Hasan
Dosen program studi PPKn
Machfud, Dosen
M.Pd
program
Sekretaris
studi
PGSD,
program studi PGSD,
Ketua TIM Kelompok Matakuliah IPS PGS 4.
ID 4
Drs. A. Dakir, M.Pd
5.
ID 5
Dewi Gunawati, M.Hum
Dosen program studi PGSD SH., Dosen program studi PPKn
40
6.
ID 6
Drs. Suparno, M.Si
Dosen program studi Pendidikan Sosiologi Antropologi
7.
ID 7
Drs. Leo Agung Sutimin, Dosen program studi Pendidikan M.Pd
Sejarah
(Sumber: Data Primer Informan Hasil Wawancara kepada Dosen Pengampu Matakuliah PKn di FKIP UNS) Keterangan, ID = Informan Dosen
b. Mahasiswa yang telah maupun yang sedang menempuh mata kuliah pendidikan pancasila dan atau pendidikan kewarganegaraan di FKIP UNS. Adapun daftar informan mahasiswa dapat dilihat pada lampian 02. Tabel 3. Daftar Informan Mahasiswa yang Diwawancarai No
Kode
Nama
Program Studi
1.
IM 1
Amanatul Mutoharoh
Pendidikan Biologi
2.
IM 2
Sri Sutami
Pendidikan Bimbingan dan Konseling
3.
IM 3
Ika Sari
Pendidikan Sejarah
4.
IM 4
Prapti Nur Siwi
PPKn
5.
IM 5
Valentino Yudho P
Penjaskesrek
6.
IM 6
Endah Suhadati
PPKn
7.
IM 7
Arief Joko W
PTM
8.
IM 8
Siswoko
PPKn
9.
IM 9
Sanna Mei Hasanti
Pendidikan Sosiologi Antropologi
10.
IM 10
Endah Retno P
Pendidikan Kimia
11.
IM 11
Arum Dwi L
PPKn
12.
IM 12
Niken Budiningtyas
PPKn
13.
IM 13
Ulis Dwi Wardani
Pendidikan Sejarah
14.
IM 14
Meivita
Pendidikan Geografi
15.
IM 15
Milati Mahmudah
Pendidikan Bahasa Inggris
16.
IM 16
Ela
Pendidikan Kimia
17.
IM 17
Anisah Rahmawati
PGSD
41
18.
IM 18
Priskila DM
PGSD
19.
IM 19
Mujahid Wahyu
Pendidikan Teknik Mesin
20.
IM 20
Candra
PGSD
21.
IM 21
Dirahasiakan
Pendidikan Kimia
(Sumber: Data Primer Informan Hasil Wawancara pada Mahasiswa FKIP UNS) Keterangan, IM = Informan Mahasiswa
2. Tempat dan Peristiwa Sumber dan tempat peristiwa dimaksudkan untuk lebih memperkuat keterangan. Adapun tempat yang diamati oleh peneliti yakni di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, sedangkan peristiwa yang diamati adalah proses belajar mengajar pada mata kuliah Filsafat Pancasila di Program Studi PPKn dan pada matakuliah PKn (Pendidikan Kewarganegaraan) di Program Studi Pendidikan Kimia dan di Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) yakni pada materi awal atau Bab I tentang Filsafat Pancasila. Dalam pengamatan terhadap proses belajar mengajar tersebut, peneliti mengamati cara mengajar dosen pengampu matakuliah dan juga mengamati tingkah laku mahasiswa saat proses belajar mengajar berlangsung. 3. Dokumen dan Arsip Sumber data yang kedua atau data sekunder (data yang berasal dari selain subjek) dalam penelitian ini adalah dokumen. Dokumen yang digunakan adalah sebagai berikut: Tabel 4. Sumber Dokumen No
Jenis Dokumen
Sumber Dokumen
1.
Peraturan perundang-
- UU
undangan
No.20/2003
tentang
Sistem
Pendidikan Nasional. - PP No.19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. - SK Ditjen Dikti No.43/2006 tentang Rambu-Rambu
MPK
di
Perguruan
42
Tinggi. 2.
Silabus PKn Edisi 2006
- UPT MKU Universitas Sebelas Maret
3.
Daftar Data Dosen
- UPT MKU Universitas Sebelas Maret
Matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan 4.
Daftar Statistik mahasiswa - Kantor Kasubag Pendidikan FKIP UNS yang terdaftar di FKIP UNS
D. Teknik Sampling Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik sampel bertujuan atau purposive sampling karena teknik ini mendapatkan sampel dengan memilih individu-individu yang dianggap mengetahui informasi dan masalahnya secara mendalam dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data. Penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling yaitu sampel dengan
memilih
beberapa
dosen
pengampu
matakuliah
Pendidikan
Kewarganegaraan dan dosen pengampu matakuliah Filsafat Pancasila. Populasi dalam penelitian ini adalah dosen pengampu mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dan mahasiswa FKIP UNS. Sampel yang dipilih berasal dari kalangan dosen pengampu matakuliah PKn dan mahasiswa baik yang sudah maupun yang sedang menempuh matakuliah PKn dan/atau Filsafat Pancasila yang dianggap mengetahui informasi dan masalah yang berkaitan dengan penelitian. Adapun sampel yang berasal dari kalangan dosen adalah sebagai berikut: Tabel 5. Sampel dari Kalangan Dosen No
Nama
Program Studi/ Bidang Studi
1.
Drs. H. Utomo, MPd
Dosen Program Studi PPKn
2.
Drs. Suyatno, M.Pd
Dosen Program Studi PPKn
3.
Dewi Gunawati, SH., M.Hum
Dosen Program Studi PPKn
4.
Drs.Hasan Machfud, M.Pd
Dosen Program Studi PGSD
5.
Drs. A. Dakir, M.Pd
Dosen Program Studi PGSD
43
6.
Drs. Suparno, M.Si
Dosen
Program
Studi
Pendidikan
Sosiologi Antropologi 7.
Drs. Leo Agung Sutimin, M.Pd Dosen
Program
Studi
Pendidikan
Sejarah
Sedangkan sampel yang berasal dari kalangan mahasiswa adalah sebagai berikut: Tabel 6. Sampel dari Kalangan Mahasiswa No
Nama
Program Studi
1.
Meivita
Pendidikan Geografi
2.
Sanna Mei Hasanti
Pendidikan Sosiologi Antropologi
3.
Ulis Dwi Wardani
Pendidikan Sejarah
4.
Ika Sari
Pendidikan Sejarah
5.
Prapti Nur Siwi
PPKn
6.
Siswoko
PPKn
7.
Arum Dwi L
PPKn
8.
Niken Budiningtyas
PPKn
9.
Endah Suhadati
PPKn
10.
Amanatul Mutoharoh
Pendidikan Biologi
11.
Ela
Pendidikan Kimia
12.
Endah Retno P
Pendidikan Kimia
13.
Anis
Pendidikan Kimia
14.
Sri Sutami
Pendidikan Bimbingan dan Konseling
15.
Valentino Yudho P
Penjaskesrek
16.
Milati Mahmudah
Pendidikan Bahasa Inggris
17.
Arief Joko W
Pendidikan Teknik Mesin
18.
Wahyu Mujahid
Pendidikan Teknik Mesin
19.
Lisa
PGSD
20.
Annisah
PGSD
21.
Dirahasiakan
-
44
E. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara sebagai berikut: 1. Kuesioner / Angket Menurut Cholid Narbuko dan Abu Achmadi (2005: 76) menyatakan bahwa “kuesioner adalah suatu daftar yang berisikan rangkaian pertanyaan mengenai sesuatu masalah atau bidang yang akan diteliti”. Masih menurut Cholid Narbuko dan Abu Achmadi (2005: 77) tujuan dilakukan angket atau kuesioner ialah “untuk memperoleh informasi yang relevan dengan tujuan penelitian dan untuk memperoleh informasi mengenai suatu masalah”. Penelitian ini menggunakan kuesioner dengan tujuan untuk memperoleh informasi atau data awal tentang persepsi atau tanggapan mahasiswa terhadap Pendidikan Pancasila dan pembelajarannya selama ini di perguruan tinggi. Kuesioner atau angket yang digunakan dalam penelitian ini tergolong dalam angket tertutup karena pilihan jawaban sudah disediakan oleh peneliti dan responden (dalam hal ini mahasiswa) tinggal memilih pilihan jawaban yang telah disediakan. Kuesioner yang berhasil dihimpun dalam penelitian ini adalah sebanyak 225 responden (mahasiswa). Untuk memperoleh kedalaman informasi yang berkaitan dengan penelitian ini, maka dari 225 responden tersebut diambil 21 sampel mahasiswa untuk ditindaklanjuti dengan wawancara secara mendalam yang dirasa dapat mewakili informasi yang diperlukan. 2. Wawancara Penelitian ini menggunakan teknik wawancara mendalam (indepth interviewing) baik secara terstruktur (structured interview) dengan menggunakan pedoman wawancara maupun tidak terstruktur (unstructured interview) tanpa pedoman wawancara (informal). Wawancara secara mendalam dilakukan peneliti untuk memperoleh data dari para informan, terutama informan kunci (key informan) sehingga akan terungkap permasalahan yang diteliti melalui pertanyaan atau sikap, baik itu melalui nada bicara, mimik maupun sorot matanya. Wawancara mendalam juga dilakukan peneliti kepada informan (mahasiswa) yang
45
sebelumnya telah mengisi kuesioner atau angket. Wawancara tersebut dilakukan untuk memperoleh informasi yang sebenarnya dari jawaban dalam kuesioner dan jawaban saat wawancara. Sedangkan wawancara secara informal yaitu dilakukan secara tidak resmi dilakukan dimanapun oleh siapapun dan dalam keadaan bagaimanapun. Wawancara dalam penelitian ini juga dilakukan secara terbuka, artinya informan mengetahui maksud dan tujuan diwawancarai. (Adapun pedoman wawancara dapat dilihat pada lampiran 03). Dalam melakukan wawancara terstruktur, peneliti terlebih dahulu menulis daftar pertanyaan (pedoman wawancara) yang akan ditanyakan kepada informan. Pedoman wawancara yang ditujukan kepada dosen agak sedikit berbeda dengan yang ditujukan kepada mahasiswa. Namun demikian ada beberapa pertanyaan yang sama baik yang ditujukan kepada dosen maupun mahasiswa seperti tentang pembelajaran pendidikan pancasila di perguruan tinggi selama ini. Perbedaan tersebut disebabkan antara dosen dan mahasiswa memiliki kapasitas yang berbeda seperti dalam intelektual, kewenangan, dan lain sebagainya. Pedoman wawanvara ini disusun agar informasi yang diperoleh akurat dan untuk menghindari kesalahan-kesalahan dimana informasi yang diperoleh kurang setelah menemui informan. Wawancara dilakukan langsung oleh peneliti dengan mendatangi informan yang terkait dengan masalah yang sedang diteliti oleh penulis. Wawancara ini dilakukan dengan tatap muka secara langsung dan secara lisan, dimana peneliti memberikan pertanyaan secara lisan dan informan memberikan jawaban secara lisan. Wawancara menggunakan cara tersebut karena dengan memberikan pertanyaan secara lisan, informan mudah menangkap dan memahami maksud dari peneliti, wawancara ini dilakukan di lokasi yang berbeda-beda dengan pertimbangan menyesuaikan dengan jadwal dari informan. Selanjutnya peneliti menulis dan mengumpulkan informasi yang telah didapatkan. Data yang sudah terkumpul kemudian dianalisis dan selanjutnya disajikan dalam bentuk karya ilmiah. 3. Observasi Observasi digunakan untuk menggali data dari sumber data yang berupa peristiwa, tempat dan lokasi, dan benda serta rekaman gambar. Penelitian ini
46
menggunakan teknik observasi langsung yaitu cara pengumpulan data yang dilakukan melalui pengamatan dan pencatatan gejala-gejala yang tampak pada objek penelitian yang dilakukan secara langsung pada tempat terjadinya peristiwa. Observasi yang dilakukan peneliti adalah dengan melihat secara langsung proses belajar mengajar pada matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di beberapa program studi di FKIP UNS dan matakuliah Filsafat Pancasila di program studi PPKn. Untuk selengkapnya, hasil observasi kelas dapat dilihat pada lampiran 04 dan foto-foto observasi kelas pada lampiran 05. 4. Analisis Dokumentasi Selanjutnya untuk memperoleh data secara lengkap dan utuh selain dengan jalan observasi dan wawancara, peneliti juga menggunakan metode analisis dokumentasi. Motode ini diawali dengan cara mengumpulkan arsip-arsip dan dokumen-dokumen yang relevan dengan permasalahan peneliti. Dokumen yang telah terkumpul tersebut, kemudian dipilah-pilah menjadi beberapa bagian. Pemilahan ini dilakukan untuk menentukan data mana yang dapat dipakai dan data mana yang tidak. Jadi, metode dokumentasi merupakan metode yang digunakan untuk memperoleh data yang berupa bahan tulis. Peneliti memilah dokumen dalam beberapa bagian yang meliputi: a. Untuk data yang berupa arsip yang hanya diambil yang berkaitan dengan peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintah. 1) UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2) PP No.19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. 3) SK Ditjen Dikti No.43/2006 tentang Rambu-Rambu MPK di Perguruan Tinggi. (Dapat dilihat pada lampiran 06)
b. Untuk data yang berasal dari responden (mahasiswa) diambil dengan menggunakan kuesioner atau angket. Data dari angket tersebut digunakan untuk mengetahui informasi yang berhubungan dengan permasalahan penelitian yang kemudian diperdalam dengan wawancara secara mendalam. c. Untuk data yang berupa dokumen yang berisi keterangan dari informan. Adapun data tersebut adalah hasil wawancara yang dapat dilihat pada lampiran 07 dan 08.
47
F. Validitas Data Dalam penelitian kualitatif terdapat beberapa cara yang bisa dipilih untuk pengambilan validitas (kesahihan) data penelitian. Cara-cara tersebut antara lain berupa teknik trianggulasi dan informan review. 1. Trianggulasi Menurut Lexy J. Moleong (1993 : 330) bahwa “Trianggulasi data adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu”. Menurut Patton yang dikutip oleh H.B. Sutopo (2002 : 78) trianggulasi data ada empat macam : a. Trianggulasi Data, artinya data yang sama atau sejenis akan lebih mantap kebenarannya bila digali dari beberapa sumber yang berbeda. b. Triangulasi Metode, jenis triangulasi ini bisa dilakukan oleh seorang peneliti dengan mengumpulkan data sejenis tetapi dengan menggunakan teknik dan metode yang berbeda. c. Trianggulasi Peneliti, yaitu hasil penelitian baik data atau simpulan mengenai bagian tertentu atau keseluruhannya bisa diuji validitasnya dari beberapa peneliti. d. Trianggulasi Teori, triangulasi ini dilakukan peneliti dengan menggunakan perspektif lebih dari satu teori dalam membahas permasalahan yang dikaji.
Penelitian ini menggunakan Trianggulasi Data dan Trianggulasi Metode. Dengan trianggulasi data mengarahkan peneliti agar dalam pengumpulan data harus menggunakan beragam sumber data yang tersedia. Artinya data yang sama atau sejenis lebih mantap kebenarannya bila digali dari beberapa sumber yang berbeda. Jika peneliti memperoleh data dari salah satu informan misalnya dari mahasiswa mengenai proses belajar mengajar dalam perkuliahan pendidikan pancasila maka peneliti mencocokkannya dengan data yang diperoleh dari informan yang lain seperti pada dosen pengampu mata kuliah tersebut dan dengan melalui catatan-catatan dalam observasi. Sedangkan trianggulasi metode dalam penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data sejenis dengan menggunakan metode wawancara dan penyebaran kuesioner.
48
2. Informan Review Untuk mengukur keberhasilan data dalam penelitian ini, juga diperlukan cara informan review, yaitu melaporkan hasil penelitian kepada informan utama yang menjadi kunci dalam memperoleh informasi. Laporan penelitian selanjutnya ditinjau dan diteliti untuk mengetahui apakah hasil penelitian tersebut merupakan suatu yang dapat disetujui atau tidak.
G. Analisis Data Untuk mendapat data yang objektif dalam pengumpulan data, maka seorang peneliti harus melakukan proses analisis data. Menurut Lexy J. Moleong (1993: 103) “Analisis data adalah proses mengorganisasikan data kedalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti disarankan oleh data”. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis interaktif. Menurut Miles dan Huberman (1992: 19) menyatakan bahwa: Reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi sebagai sesuatu yang jalin menjalin pada saat sebelumnya, selama, dan sesudah pengumpulan data dalam bentuk yang sejajar, untuk membangun wawasan umum yang disebut analisis.
Menurut pendapat Miles dan Huberman tersebut analisis data terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan yaitu: reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan atau verifikasi. Untuk lebih jelas mengenai analisis data akan peneliti uraikan sebagai berikut:
1. Pengumpulan Data Dalam proses ini peneliti melakukan kegiatan pengumpulan informasi yang berupa kalimat-kalimat atau tulisan-tulisan yang dikumpulkan: a. Dari dosen Pengumpulan informasi berupa kalimat-kalimat atau tulisan-tulisan yang dikumpulkan melalui kegiatan wawancara dan analisis dokumen. b. Dari mahasiswa
49
Pengumpulan informasi didapatkan melalui kuesioner yang kemudian ditelusuri secara lebih mendalam melalui kegiatan wawancara secara mendalam (indepthinterview). 2. Reduksi Data Reduksi data menurut Miles dan Huberman, (1992: 16) diartikan “sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan.” Jadi reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan-kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi. 3.
Penyajian Data
Alur penting yang kedua dari kegiatan analisis adalah penyajian data. Menurut Miles dan Huberman (1992: 17) menganggap penyajian data sebagai “sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan”. Penyajian-penyajian yang lebih baik merupakan suatu cara yang utama bagi analisis kualitatif yang valid. Penyajianpenyajian tersebut meliputi berbagai jenis matriks, grafik, jaringan dan bagan. Semuanya dirancang guna menggabungkan informasi yang tersusun dalam suatu bentuk yang padu. 4. Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi Kegiatan analisis ketiga yang penting adalah menarik kesimpulan dan verifikasi. Penarikan kesimpulan menurut Miles dan Huberman (1992: 19) “hanyalah sebagian dari satu kegiatan dari konfigurasi yang utuh “. Menurutnya kesimpulan-kesimpulan juga diverifikasi selama penelitian berlangsung. Maknamakna yang muncul dari data harus diuji kebenarannya, kekokohannya, dan kecocokannya, yakni yang merupakan validitasnya. Untuk lebih jelasnya dapat digambarkan seperti dibawah ini:
50
Pengumpulan Data Penyajian Data Reduksi Data Kesimpulankesimpulan : Penarikan / Verifikasi
Gambar 2. Model Interaktif Menurut Miles dan Huberman
Berdasarkan gambar tersebut tiga jenis kegiatan analisis dan kegiatan pengumpulan data itu sendiri merupakan proses siklus dan interaktif. Peneliti bergerak di antara empat sumbu kumparan itu selama pengumpulan data, selanjutnya bergerak bolakbalik di antara kegiatan reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi selama sisa waktu penelitian. Dalam pengertian ini, analisis data kualitatif merupakan upaya yang berlanjut, berulang dan terus-menerus. Masalah reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi menjadi gambaran keberhasilan secara berurutan sebagai rangkaian kegiatan analisis yang saling susul menyusul. Namun dua hal lainnya itu senantiasa merupakan bagian dari lapangan. Jadi, tampak jelas bahwa dalam penelitian kualitatif ini menggunakan proses siklus yang merupakan suatu yang saling menjalin atau interaktif pada saat, sebelum, selama, dan sesudah penelitian untuk membangun wawasan yang umum yang disebut analisis.
H. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian merupakan langkah-langkah yang dijelaskan secara rinci yang akan dilaksanakan dalam penelitian ini dari awal sampai akhir penelitian. Suatu penelitian agar diperoleh secara efisien, akurat, dan sesuai prosedural maka peneliti menyusun tahap-tahap penulisan sebagai berikut:
51
1. Tahap Pra Lapangan Tahap ini dilakukan dengan melakukan kegiatan dari penentuan lokasi penelitian, meninjau lokasi penelitian, membuat dan mengurus proposal serta mengurus perijinan guna pelaksanaan penelitian di lapangan. 2. Tahap Pelaksanaan Lapangan Tahap ini dimulai dengan kegiatan mengumpulkan data-data di lokasi penelitian dengan wawancara mendalam kepada informan dosen, menyebar kuesioner atau angket kepada mahasiswa yang kemudian diperdalam datanya dengan wawancara mendalam, melakukan observasi serta mencatat dokumen-dokumen dan arsip-arsip yang berkaitan dengan penelitian. 3. Tahap Analisis Data Analisis data menurut Patton yang dikutip oleh Lexy J. Moleong (1993: 103) adalah “Analisis data adalah proses mengatur data, mengorganisasikan kedalam suatu pola kategori dan urutan dasar”. Dalam penelitian ini penulis melakukan kegiatan yang berupa mengatur, mengelompokkan, memberi kode, dan mengorganisasikan data. Kemudian data yang terkumpul cukup, maka data tersebut dianalisis untuk mengetahui permasalahan yang diteliti sehingga dapat ditemukan tema dan dirumuskan dugaan sementara ataupun adanya temuan studi. 4. Tahap Penulisan Laporan
Setelah tahap penganalisaan data, maka langkah selanjutnya yang akan diambil yaitu menarik suatu kesimpulan dari permasalahan yang diteliti, kemudian hasil dari penelitian ini akan ditulis laporan dalam bentuk skripsi.
BAB IV HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian 1. Gambaran Umum Universitas Sebelas Maret Surakarta
a. Sejarah dan Perkembangan Universitas Sebelas Maret Surakarta
Sejak tahun 1951 pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan telah memikirkan perlunya diselenggarakan lembaga pendidikan yang menghasilkan guru untuk Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Ini dibuktikan dengan didirikannya kursuskursus B.I di beberapa tempat wilayah tanah air. Pada tahun 1951 di Surakarta juga didirikan kursus B.I, membina atau jurusan dengan nama jurusan Tata Negara. Di samping itu pada tahun 1951 atas prakarsa para guru pendidikan jasmani dan bekerjasama dengan inspkesi Pendidikan Jasmani Surakarta dibentuklah kursus B.I Pendidikan Jasmani. Dua lembaga tersebut semakin lama semakin berkembang dan dengan melalui berbagai macam pengelolaan akhirnya berdirilah IKIP Negeri Surakarta berdasarkan SK Menteri PTIP No. 5 tahun 1966 tertanggal 22 Januari 1966 dan Sekolah Tinggi Olahraga Surakarta dengan berdasarkan SK Menteri Olahraga No. 40 tahun 1967 tanggal 1 April 1967. Berdasarkan SK Presiden RI No. 10 tahun 1976 tanggal 8 Maret 1976 didirikan sebuah Universitas Negeri Surakarta dengan nama Universitas Negeri Surakarta Sebelas Maret dan disingkat UNS. UNS merupakan penyatuan dari 5 (lima) perguruan tinggi yang ada di Surakarta pada waktu itu yaitu: 1) Istitut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri Surakarta, 2) Sekolah Tinggi Olahgara (STO) Negeri Surakarta, 3) Akademi Admnistrasi Niaga (AAN) Negeri Surakarta, 4) Universitas Gabungan Sirakarta (UGS), dan 5) Fakultas Kedokteran Perguruan Tinggi Pembangunan Nasional Veteran (PTPN Veteran) cabang Surakarta.
52
53
Pada awal kelahirannya Universitas Negeri Surakarta Sebelas Maret terdiri atas 9 (Sembilan) Fakultas : 1) Fakultas Ilmu Pendidikan 2) Fakultas Keguruan 3) Fakultas Sastra Budaya 4) Fakultas Sosial Politik 5) Fakultas Hukum 6) Fakultas Ekonomi 7) Fakultas Kedokteran 8) Fakultas Pertanian 9) Fakultas Teknik b. Lambang Universitas Sebelas Maret Surakarta
Lambang Universitas Sebelas Maret Surakarta mempunyai arti sebagai berikut: 1) Lambang berbentuk bunga dengan empat daun, melambangkan bangsa, maksudnnya Universitas Sebelas Maret mendidik putra putri bangsa yang kelak akan membawa keharuman tanah air. 2) Tiga daun bunga: atas, samping kanan dan samping kiri, merupakan pengejewantahan Tri Dharma Perguruan Tinggi. 3) Satu daun bunga di bawah terdiri atas lima satuan melambangkan sila-sila Pancasila. 4) Garis berbentuk empat daun bunga secara berantai sedemikian rupa menggambarkan kesatuan seluruh Civitas Akademika dan warga kampus Universitas Sebelas Maret. 5) Bentuk putik bunga digambarkan sebagai wiku. 6) Tulisan melingkar yang mirip aksara jawa adalah candrasangkala (hitungan tahun jawa): “Mangethi Luhur Ambangun Negara” melambangkan angka tahun saka 1908 atau tahun Masehi 1976.
2. Gambaran Umum Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta
a. Sejarah dan Perkembangan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Sebelas Maret Surakarta
54
Dengan lahirnya Universitas Negeri Surakarta Maret tersebut IKIP Negeri Surakarta dan STO Negeri Surakarta ditutup dan selanjutnya menjadi fakultas di lingkungan Universitas Negeri Surakarta Sebelas Maret (UNS) yang tergabung dalam Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) dan Fakultas Keguruan. Berdasarkan SK Presiden No. 55 tahun 1982 Fakultas Ilmu Pendidikan dan Fakultas Keguruan digabung menjadi satu fakultas dengan nama Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP). Dalam perjalanan Program Studi yang terdapat di FKIP UNS mengalami beberapa perubahan. Pada tahun Akademik 1997/1998 Program Studi yang ada di FKIP UNS mengacu pada SK Dirjen Dikti No. 222/Dikti/Kep/1966 tanggal 11 Juli 1996. Berdasarkan SK tersebut Program Studi di lingkungan FKIP UNS sebanyak 16 Program Studi. Pada bulan Desember 2000, berdasarkan SK DIKTI Depdiknas No. 442/DIKTI/KEP/2000 tanggal 20 Desember tentang pembentukan Program Studi S1 Pendidikan Sosiologi Antropologi di UNS, maka mulai Tahun Akademik 2001/2002 secara resmi program Studi Pendidikan Sosiologi-Antropolgi di buka dibawah jurusan P.IPS FKIP UNS. Sesuai dengan Surat Keputusan Dirjen Dikti nomor 400a/Dikti/Kep/1992 dan nomor 400b/Dikti/Kep/1992 FKIP UNS merupakan salah satu lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) di Indonesia yang mendapat tugas menyelenggarakan Program D-2 PGSD baik guru kelas maupun guru Pendidikan Jasmani. Berdasarkan surat Dirjen Dikti Nomor 4856/D/T/2004 FKIP UNS diizinkan menyelenggarakan Program Pendidikan Taman Kanak-Kanak baik jenjang D-2 maupun S-1. Dengan demikian di FKIP sekarang ada 20 program studi, yaitu: 1) Pendidikan Luar Biasa 2) Pendidikan Bimbingan dan Konseling 3) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah 4) Pendidikan Bahasa Inggris 5) Pendidikan Seni Rupa 6) Pendidikan Matematika 7) Pendidikan Fisika 8) Pendidikan Kimia 9) Pendidikan Biologi 10) Pendidikan Sejarah 11) Pendidikan Geografi
55
12) Pendidikan Kewarganegaraan 13) Pendidikan Ekonomi 14) Pendidikan Sosilogi Antropologi 15) Pendidikan Teknik Bangunan 16) Pendidikan Teknik Mesin 17) Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan Rekreasi 18) Pendidikan Kepelatihan Olahraga 19) Pendidikan Guru Sekolah Dasar 20) Pendidikan Guru Taman Kanak-Kanak. b. Visi dan Misi 1) Visi Sebagai Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret mempunyai visi yang searah dengan visi Universitas Sebelas Maret yaitu: menjadi LPTK penghasil dan pengembang tenaga kependidikan berkarakter kuat dan cerdas. 2) Misi Untuk merealisasikan visi tersebut di atas maka misi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan adalah: a) Menyelenggarakan pendidikan, pengajaran dan bimbingan secara efektif untuk menghasilkan tenaga kependidikan yang unggul, berdaya saing tinggi, mandiri, dan berkepribadian; b) Melaksanakan penelitian yang mendukung pelaksanaan pendidikan dan pengajaran serta mampu menjadi penghasil bagi berbagai kegiatan inovatif dalam bidang kependidikan; c) Menyelenggarakan kegiatan kengabdian kepada masyarakat dalam bidang kependidikan yang bermanfaat bagi masyarakat; d) Mengembangkan ilmu, teknologi, dan seni yang menunjang pengembangan bidang kependidikan. c. Susunan Organisasi FKIP UNS 1) Unsur Pimpinan Fakultas Fakultas adalah unsur pelaksana akademik yang melaksanakan sebagian tugas pokok dan fungsi UNS yang berada dibawah rektor. Fakultas mempunyai tugas mengkoordinasikan dan atau melaksanakan pendidikan akademik dan atau
56
profesional dalam suatu atau seperangkat cabang ilmu pengetahuan, teknologi dan atau kesenian tertentu. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan merupakan salah satu dari Sembilan fakultas yang ada, mempunyai fungsi: a) Melaksanakan dan mengembangkan pendidikan. b) Melaksanakan penelitian untuk pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan atau kesenian. c) Melaksanakan pengabdian masyarakat. d) Melaksanaan pembinaan civitas akademika. e) Melaksanakan urusan dan tata usaha fakultas. Fakultas dipimpin oleh dekan yang bertanggung jawab langsung kepada rektor. Dekan mempunyai tugas memimpin penyelenggaraan pendidikan, penelitian pengabdian kepada masyarakat, membina tenaga kependidikan, mahasiswa, tenaga administrasi dan administrasi fakultas. Dalam melaksanakan tugas sehari-hari, dekan dibantu oleh tiga orang pembantu dekan yang bertanggung jawab langsung kepada dekan. Pembantu dekan sebagai pelaksana tugas sehari-hari dekan, terdiri atas: a) Pembantu Dekan Bidang Akademik yang selanjutnya disebut Pembantu Dekan I, mempunyai tugas membantu dekan dalam memimpin pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. b) Pembantu Dekan Bidang Administrasi Umum dan Keuangan yang selanjutnya disebut Pembantu Dekan II. Pembantu Dekan II mempunyai tugas membantu Dekan dalam memimpin pelaksanaan kegiatan di bidang Administrasi Umum dan Keuangan. c) Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan yang selanjutnya disebut Pembantu Dekan III. Pembantu Dekan III mempunyai tugas membantu dekan dalam memimpin pelaksanaan kegatan dibidang pembinaan serta layanan kesejahteraan mahasiswa. 2) Senat Fakultas Senat Fakultas adalah badan normatif dan perwakilan tertinggi di lingkungan fakultas yang memiliki wewenang untuk menjabarkan kebijakan dan peraturan universitas. Senat Fakultas IKIP terdiri atas guru besar, pemimpin fakultas, para Ketua Jurusan dan wakil dosen. Senat fakultas diketuai oleh Dekan
57
didampingi oleh seorang Sekretaris Senat dipilih diantara para anggotanya. Jabatan Sekretaris Senat setara dengan Pembantu Dekan. 3) Unsur Pelaksana Akademik a) Jurusan Jurusan adalah unsur pelaksana akademik pada fakultas di bidang studi tertentu yang berada dibawah dekan. Jurusan dipmpin oleh seorang ketua jurusan yang dipilih dari antara tenaga pengajar dan bertanggung jawab langsung kepada dekan. Dalam melaksanakan tugas sehari-hari, ketua jurusan dibantu sekretaris jurusan. Jurusan mempunyai tugas melaksanakan pendidikan akademik, dan atau profesional sebagian atau cabang ilmu pengetahuan, teknologi atau kesenian tertentu. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta memiliki enam jurusan, yaitu: (1) Jurusan Ilmu Pendidikan (IP) (2) Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (PIPS) (3) Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (PMIPA) (4) Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni (PBS) (5) Jurusan Pendidikan Teknik dan Kejuruan (PTK) (6) Jurusan Pendidikan Olahraga dan Kesehatan (POK) b) Program Studi Program studi adalah unsur pelaksana akademik pada jurusan dibidang studi tertentu yang berada dibawah ketua jurusan. Program studi dipimpin oleh seorang ketua yang dipilih diantara tenaga dan bertanggung jawab langsung kepada ketua jurusan. Dalam melaksanakan tugas sehari-hari ketua pogram studi dibantu oleh seorang sekretaris program. Program studi yang ada pada masing-masing jurusan di FKIP adalah sebagai berikut: (1) Jurusan Ilmu Pendidikan (IP), dengan program studi sebagai berikut: (a) Pendidikan Luar Biasa (PLB) (b) Bimbingan dan Konseling (c) Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) (d) Pendidikan Guru Taman Kanak-Kanak (PGTK) (2) Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (PIPS), dengan program studi sebagai berikut: (a) Pendidikan Ekonomi yang terdiri atas:
58
(1)) Bidang Keahlian Khusus Pendidikan Tata Niaga (2)) Bidang Keahlian Khusus Pendidikan Akuntansi (3)) Bidang Keahlian Khusus Pendidikan Administrasi Perkantoran. (b) Pendidikan Kewarganegaraan (c) Pendidikan Geografi (d) Pendidikan Sejarah (e) Pendidikan Sosiologi Antropologi (3) Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (PMIPA), dengan program studi sebagai berikut: (a) Pendidikan Matematika (b) Pendidikan Fisika (c) Pendidikan Kimia (d) Pendidikan Biologi (4) Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni (PBS), dengan program studi sebagai berikut: (a) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah (b) Pendidikan Bahasa Inggris (c) Pendidikan Seni Rupa (5) Jurusan Pendidikan Teknik dan Kejuruan (PTK), dengan program studi sebagai berikut: (a) Pendidikan Teknik Mesin (b) Pendidikan Teknik Bangunan (6) Jurusan Pendidikan Olahraga dan Kesehatan (POK), dengan program studi sebagai berikut: (a) Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi (b) Pendidikan Kepelatihan Olahraga c) Laboratorium Laboratorium atau studio merupakan perangka penunjang pelaksanaan pendidikan pada jurusan pendidikan akademik dan atau profesional. Laboratorium FKIP UNS tidak mengacu pada jurusan, tetapi pada program studi. Oleh karena itu, pada setiap program studi mempunyai laboratorium atau studio yang dipimpin oleh kepala yang bertanggung jawab kepada Ketua Program Studi.
59
d) Dosen Dosen adalah tenaga pengajar di lingkungan fakultas yang berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada dekan. Dekan terdiri atas dosen biasa, dosen luar biasa dan dosen tamu. Jenis dan jenjang kepangkatan tenaga pengajar diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dosen mempunyai tugas utama mengajar, membimbing dan atau melatih mahasiswa serta melakukan penelitian pengabdian kepada masyarakat. 4) Unsur Penunjang a) Program Pengalaman Lapangan (PPL) PPL merupakan salah satu kegiatan intrakulikuler yang dilaksanakan oleh mahasiswa FKIP, yang mencakup kegiatan mengajar dan latihan melaksanakan tugas-tugas kependidikan lainnya. PPL dilaksanakan secara terbimbing dan terpadu untuk memenuhi persyaratan profesi kependidikan. b) Perpustakaan Perpustakaan mempunyai fungsi pelayanan bahan pustaka dan kegiatan-kegiatan lain untuk keperluan pendidikan dan pengajaran, penelitian serta pengabdian kepada masyarakat, kepada mahasiswa, dosen dan karyawan di lingkungan FKIP pada khususnya dan UNS pada umumnya. d. Daftar Nama Pimpinan dan Pejabat Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta Periode 2007-2011
Tabel 7. Daftar Nama Pimpinan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta Periode 2007-2011 No Nama Jabatan 1. Dekan Prof. Dr. HM. Furqon Hidayatullah, M.Pd 2. Pembantu Dekan I Dr. rer. nat. Sajidan, M.Si 3. Pembantu Dekan II Drs. Sugiyanto, M.Si., M.Si 4. Pembantu Dekan III Drs. Amir Fuady, M.Hum (Sumber : Data Sekunder dari Buku Pedoman Akademik Tahun 2008/2009)
60
Tabel 8. Daftar Nama Pejabat Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta Periode 2007-2011 No Nama Jabatan 1. Drs. Syaiful Bachri, M.Pd Ketua Jurusan Pendidikan IPS Drs. Sunarto, M.M Sekretaris Jurusan Pendidikan IPS Ketua Program Studi Pend. 2. Dr. Sri Haryati, M.Pd Kewarganegaraan Sekretaris Program Studi Pend. Drs. Machmud A.R., S.H, M.Si Kewarganegaraan Ketua Prog. Studi Pendidikan 3. Drs. Djono, M.Pd Sejarah Sekretaris Prog. Studi Pendidikan Dra. Sri Wahyuni, M.Pd Sejarah Ketua Prog. Studi Pendidikan 4. Drs. Partoso Hadi, M.Si Geografi Sekretaris Prog. Studi Pendidikan Setyo Nugraha, S.Si, M.Si Geografi Ketua Prog. Studi Pend. Sosio5. Drs. M.H. Sukarno, M.Pd Antropologi Sekretaris Prog. Studi Pend. SosioDrs. N. Muhsin Iskandar, M.Pd Antropologi 6. Drs. Sutaryadi, M.Pd Ketua Prog. Studi Pend. Ekonomi Sekretaris Prog. Studi Pend. Aniek Hindrayani, S.E, M.Si Ekonomi Kabid. Keahlian Khusus Pend. 7. Dra. CDS Indrawati, M.Pd Adm. Perkantoran Sekbid. Keahlian Khusus Pend. Dra. Tri Murwaningsih, M.Si Adm. Perkantoran Kabid. Keahlian Khusus Pend. Tata 8. Sudarno, S.Pd, M.Pd Niaga Sekbid. Keahlian Khusus Pend. Tata Dra. D. Kusumawardani, M.Si Niaga Kabid. Keahlian Khusus Pend. 9. Drs. Wahyu Adi, M.Pd Akuntansi Sekbid. Keahlian Khusus Pend. Drs. Ngadiman, M.Si Akuntansi Ketua Jurusan Pend. Bahasa dan 10. Drs. Suparno, M.Pd Seni Sekretaris Jurusan Pend. Bahasa dan Drs. Mulyanto, M.Pd Seni Ketua Prog. Studi Pend. Bhs. 11. Drs. Martono, M.A Inggris Sekretaris Prog. Studi Pend. Bhs. Teguh Sarosa, S.S, M.Hum Inggris 12. Drs. Slamet M., M.Pd Ketua Prog. Studi Pend. Bhs. dan
61
Sastra Indonesia dan Daerah Sekretaris Prog. Studi Pend. Bhs. Dra. Ani Rahmawati, M.A dan Sastra Indonesia dan Daerah 13. Drs. Tjahjo Prabowo, M.Sn Ketua Prog. Studi Pend. Seni Rupa Sekretaris Prog. Studi Pend. Seni Drs. Margana, M.Sn Rupa Ketua Jurusan Pend. OR dan 14. Drs. H. Agus Margono, M.Kes Kesehatan Sekretaris Jurusan Pend. OR dan Drs. H. Mulyono, MM Kesehatan Drs. Bambang Wijanarko, Ketua Prog. Studi Pend. 15. M.Kes Kepelatihan OR Sekretaris Prog. Studi Pend. Drs. H. Agustiyanta, M.Pd Kepelatihan OR 16. Drs. H. Sunardi, M.Kes Ketua Prog. Studi Penjaskesrek Drs. Agus Mukholid, M.Pd Sekretaris Prog. Studi Penjaskesrek 17. Drs. Sapto Kunto P. M.Pd Ketua D2 Prog. Studi PGSD Penjas Sekretaris D2 Prog. Studi PGSD Drs. Waluyo, M.Or Penjas Ketua Jurusan Pendidikan Teknik 18. Drs. Suwachid, M.Pd, M.T dan Kejuruan Sekretaris Jurusan Pendidikan Ir. Chundakus Habsya, M.SA Teknik dan Kejuruan Ketua Prog. Studi Pend. Teknik 19. Drs. C. Sudibyo, M.T Mesin Sekretaris Prog. Studi Pend. Teknik Drs. Ranto H.S., M.T Mesin Ketua Prog. Studi Pend. Teknik 20. Drs. A.G. Tamrin, M.M, M.Si Bangunan Sekretaris Prog. Studi Pend. Teknik Drs. Agus Efendi, M.Pd Bangunan 21. Dra. Kus Sri Martini, M.Si Ketua Jurusan Pendidikan MIPA Sekretaris Jurusan Pendidikan Drs. Gatut Iswahyudi, M.Si MIPA Ketua Prog. Studi Pendidikan 22. Dra. Sri Widoretno, M.Si Biologi Sekretaris Prog. Studi Pendidikan Dra. Muzzayinah, M. Si Biologi 23. Dra. Rini Budhiharti, M.Pd Ketua Prog. Studi Pendidikan Fisika Sekretaris Prog. Studi Pendidikan Drs. Supurwoko, M.Si Fisika Ketua Prog. Studi Pendidikan 24. Triyanto, S.Si, M.Si Matematika Sekretaris Prog. Studi Pendidikan Sutopo, S.Pd, M.Pd Matematika
62
25. Dra. Hj. Tri Rejeki, M.S
Ketua Prog. Studi Pendidikan Kimia Sekretaris Prog. Studi Pendidikan Dra. Bakti Mulyani, M.Si Kimia 26. Drs. R. Indianto, M.Pd Ketua Jurusan Ilmu Pendidikan Drs. Sukarno, M.Pd Sekretaris Jurusan Ilmu Pendidikan Ketua Prog. Studi Pendidikan 27. Drs. Abdul Salim Choiri, M.Kes Khusus Sekretaris Prog. Studi Pendidikan Drs. Maryadi, M.Ag Khusus Ketua Prog. Studi Bimbingan 28. Dra. H. Chasiyah Konseling Sekretaris Prog. Studi Bimbingan Dra. Hj. Chodijah HA, M.Pd Konseling 29. Drs. Kartono, M.Pd Ketua D2 Prog. Studi PGSD Sekretaris D2 Prog. Studi PGSD Drs. Hasan Mahfud, M.Pd (Kmps. Ska) Sekretaris D2 Prog. Studi PGSD Drs. Sarcowi (Kmps.Kebumen) 30. Dra. Siti Wahyuningsih, M.Pd Ketua D2 Prog. Studi PGTK Sekretaris D2 Prog. Studi PGTK Dra. Siti Mardiyati, M.Si (Kmps. Ska) Sekretaris D2 Prog. Studi PGTK Drs. Suhartono, M.Pd (Kmps. Kebumen) Sekretaris Prog. Studi S1 PGSD Drs. Wahyudi, M.Pd (Kmps. Kebumen) (Sumber : Data Sekunder dari Buku Pedoman Akademik Tahun 2008/2009) B. Deskripsi Permasalahan Penelitian 1. Persepsi Dosen dan Mahasiswa terhadap pendidikan pancasila Pasca SK Ditjen Dikti No.43/2006 a. Persepsi Dosen Persepsi merupakan proses kognitif seseorang dalam memandang atau mengartikan sesuatu melalui pengamatan secara global dalam panca inderanya dengan cara menyeleksi, mengorganisasi dan menginterpretasikannya sehingga dapat menyimpulkan informasi yang diterima dan menafsirkan pesan serta mempengaruhi sikap dan perilakunya. Persepsi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah persepsi dosen yang pernah mengampu matakuliah ilmu pancasila maupun dosen pengampu matakuliah PKn terhadap pendidikan tentang pancasila di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Pendidikan tentang pancasila di perguruan tinggi
63
a) Eksistensi pendidikan tentang pancasila di perguruan tinggi saat ini Pendidikan pancasila yang tidak lagi tercantum sebagai matakuliah wajib dalam kurikulum UU No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas maupun dalam SK Ditjen Dikti No 43 tahun 2006 berkaitan dengan eksistensi pendidikan tentang pancasila di perguruan tinggi. Mengenai eksistensi tersebut, dosen yang pernah mengampu matakuliah ilmu pancasila maupun dosen pengampu matakuliah PKn memberikan persepsinya.
Pendidikan tentang pancasila saat ini masih ada, namun tidak seperti dahulu yang menjadi matakuliah wajib melainkan sekarang menjadi bagian dalam matakuliah PKn. Hal tersebut dituturkan oleh ID 1 dalam wawancara tanggal 05 Agustus 2009 pada pukul 11.00 WIB di kantor MKU UNS: Masih tetap eksis namun saat ini pendidikan pancasila sudah tidak menjadi matakuliah wajib seperti dulu dan hanya merupakan bagian dari matakuliah PKn. Secara politis kaitannya dengan pancasila mulai terpinggirkan, sehingga pendidikannya juga menjadi kurang diperhatikan. Wawancara kepada ID 5 tanggal 29 Juni 2010 pada pukul 10.15 WIB di kantor Prodi PPKn menyatakan bahwa “pasca orde baru, pancasila
masih
eksis
sebagai
norma
dasar,
tetapi
dalam
pelaksanaannya sudah mulai ditinggalkan. Apalagi dalam dunia pendidikan, pendidikan pancasila sudah tidak diberikan secara mendalam”. Wawancara kepada ID 2 tanggal 07 Oktober 2009 pada pukul 09.30 WIB di kantor Prodi PPKn bahwa “eksistensi pendidikan tentang pancasila masih ada, tetapi sekarang sudah tidak lagi menjadi matakuliah”. Pendidikan Pancasila sebagai matakuliah yang tidak lagi tercantum dalam kurikulum UU No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas berlaku untuk semua jenjang pendidikan mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Hal tersebut menjadikan ID 4 memberikan persepsinya dalam wawancaranya tanggal 17 September 2009 pukul 08.30 WIB di kantor Program Studi PGSD FKIP UNS bahwa
64
“pendidikan nilai atau pendidikan tentang pancasila kurang begitu eksis mulai dari tingkat SD sampai perguruan tinggi karena dalam kurikulumnya sudah tidak ada”. Wawancara kepada ID 3 tanggal 15 September 2009 pada pukul 09.00 WIB di kantor Program Studi PGSD FKIP UNS “masih ada, namun hanya menjadi bagian dari PKn”. Hal senada juga disampaikan ID 6 dalam wawancara tanggal 21 Juli 2010 pada pukul 13.00 WIB di kantor Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP UNS “pendidikan pancasila masih tetap eksis, namun hanya sebatas terdapat dalam bagian matakuliah PKn”. Sedangkan dalam wawancara kepada ID 7 Tanggal 21 Juli 2010 pada pukul 11.15 WIB di kantor Program Studi Pendidikan Sosiologi Antropologi FKIP UNS bahwa “eksistensi pendidikan pancasila tidak jelas, mengambang, tidak dinyatakan secara formal dalam kurikulum dan hanya terdapat dalam PKn”. Dari persepsi tersebut diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa eksistensi pendidikan tentang pancasila saat ini masih ada, tetapi tidak seperti dahulu yang berdiri sebagai matakuliah wajib dan sekarang hanya menjadi sub pokok bahasan dalam matakuliah PKn. Hal tersebut karena pendidikan pancasila tidak tercantum secara formal dalam kurikulum di perguruan tinggi. b) Pendidikan tentang pancasila diperlukan dalam tataran pendidikan tinggi Mengingat persepsi terhadap eksistensi pendidikan tentang pancasila tersebut maka menjadi pertanyaan adalah apakah pendidikan tentang pancasila diperlukan atau tidak dalam tataran pendidikan tinggi. Berikut uraian persepsi dosen terhadap hal tersebut. Pancasila yang merupakan dasar negara Indonesia dan sumber dari segala sumber hukum dijadikan pertimbangan tersendiri oleh ID 1 dalam wawancara tanggal 05 Agustus 2009 pada pukul 11.00 WIB di kantor MKU UNS dengan memberikan persepsi perlunya pendidikan pancasila di perguruan tinggi.
65
Perlu sebab secara yuridis pancasila adalah sebagai dasar negara dan merupakan sumber dari segala sumber hukum. Sehingga segala bentuk peraturan harus sesuai dengan pancasila. Secara filosofis, pancasila
digunakan
sebagai
pedoman
dalam
kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Wawancara kepada ID 6 tanggal 21 Juli 2010 pada pukul 13.00 WIB di kantor Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP UNS “Perlu, karena pancasila adalah dasar, pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”. Pendidikan tinggi sebagai salah satu pencetak generasi penerus bangsa memiliki peran yang berpengaruh didalam pembentukan kepribadian mahasiswa adalah merupakan persepsi ID 2 dalam wawancara tanggal 07 Oktober 2009 pada pukul 09.30 WIB di kantor Program Studi PPKn FKIP UNS :
Ya perlu sebab pendidikan tinggi adalah salah satu pencetak generasi penerus bangsa sehingga perlu diberikan pendidikan pancasila agar dalam kehidupannya kelak memiliki kepribadian yang baik, bertanggungjawab dan mampu memecahkan permasalahan yang ada dengan bijaksana. Persepsi senada juga disampaikan ID 3 dalam wawancara tanggal 15 September 2009 pada pukul 09.00 WIB di kantor Program Studi PGSD FKIP UNS yang menyatakan bahwa “pendidikan pancasila diperlukan dalam pendidikan tinggi, karena biar bagaimanapun generasi muda harus memiliki pengetahuan dan pemahaman terhadap dasar negaranya”. Selain itu, wawancara lain yang ditujukan kepada ID 4 tanggal 17 September 2009 pada pukul 08.30 WIB di kantor Program Studi PGSD FKIP UNS “Ya karena itu penting kaitannya dengan pembentukan kepribadian bagi mahasiswa”. Wawancara kepada ID 5 tanggal 29 Juni 2010 pada pukul 10.15 WIB di Prodi PPKn yang menyatakan bahwa “Perlu, ini berkaitan dengan masa depan bangsa. Jika pendidikan pancasila sudah tidak diberikan maka apa jadinya mungkin banyak mahasiswa yang lupa, tidak kenal dengan pancasila”. Pentingnya mengetahui, memahami dan mengamalkan arti penting pancasila atau nilai-nilai pancasila dalam kehidupan mahasiswa
66
merupakan point penting yang disampaikan oleh ID 7 tanggal 21 Juli 2010 pada pukul 11.15 WIB di kantor Program Studi Pendidikan Sosiologi Antropologi FKIP UNS : Perlu sebab mahasiswa perlu mengetahui pancasila dari segi hakikat, filosofis yang tidak hanya sekedar kognitif saja melainkan harus diketahui dan disadari arti penting dari sila-sila pancasila tersebut sehingga setelah dihayati, maka diharapkan dapat mengamalkan dalam kehidupannya sehari-hari. Pendidikan tinggi harus mengenal hakikat pancasila sehingga diharapkan mahasiswa dapat merenungkan apakah pancasila itu baik atau tidak. Dari berbagai persepsi tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan tentang pancasila diperlukan dalam pendidikan tinggi. Hal tersebut mengingat bahwa pendidikan tinggi memegang peranan penting dalam mencetak generasi penerus bangsa yang kelak akan memegang kepemimpinan. Sehingga pendidikan pancasila diperlukan dalam upaya mengenalkan kepada mahasiswa hakikat pancasila sebagai dasar negara yang merupakan sumber dari segala sumber hukum yang diharapkan mampu memecahkan persoalan-persoalan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. 2) Permasalahan dalam pembelajaran pancasila Pasca SK Dikti No.43/2006 dalam pembelajaran pendidikan pancasila mengalami perubahan. Dari segi proses dianggap oleh mahasiswa seperti mata kuliah PKn (Pendidikan Kewarganegaraan), padahal sebetulnya pancasila berbeda substansinya dengan kewarganegaraan. Materi yang diberikan (tentang pancasila) menjadi sedikit. Materi-materi tentang historis, yuridis dan filosofis tidak disampaikan, meskipun disampaikan namun sifatnya hanya gambaran umum (dasar-dasarnya) dan tidak terperinci. Dalam segi hasil dapat dikatakan pemahaman tentang pancasila semakin sedikit karena materinya hanya diberikan maksimal 2 kali pertemuan dalam perkuliahan PKn sehingga sulit memberikan pemahaman yang optimal. Dalam proses pembelajaran terdapat komponen dari pemahaman menimbulkan motivasi, motivasi menimbulkan sikap, dan sikap menimbulkan perilaku. Jika pemahaman sudah berkurang, motivasinya pun juga berkurang sehingga sikapnya juga jauh dari pengamalan atau penerapan di dalam praktek keseharian.
67
Di dalam setiap pembelajaran tidak akan terlepas dari adanya permasalahan dalam pembelajarannya dan tidak terkecuali dalam pembelajaran pancasila di perguruan tinggi. Dalam
mengungkap
permasalahan
yang ada
dalam
pembelajaran pancasila informan memberikan persepsi yang beragam. Berikut persepsi dosen terhadap permasalahan pembelajaran pancasila di perguruan tinggi:
Penanaman nilai adalah point yang utama yang ada dalam permasalahan pembelajaran pendidikan pancasila menurut ID 1 selaku ketua MKU UNS dalam wawancara tanggal 07 Oktober 2009 pada pukul 11.30 WIB bahwa: Permasalahan yang utama dalam pembelajaran pancasila adalah bagaimana cara agar dapat memberikan penanaman terhadap nilai-nilai pancasila bagi mahasiswa. Sehingga dalam perkuliahan perlu adanya pembahasan secara filosofis. Sehingga yang menjadi inti permasalahannya adalah bagaimana mentransfer pengetahuan pancasila pada mahasiswa agar tidak dianggap abstrak. Masalah lain dalam pembelajaran juga dikaitkan dengan motivasi dan antusiasme mahasiswa dalam perkuliahan. Dalam beberapa kali peneliti melakukan observasi kelas pada perkuliahan PKn di beberapa program studi di FKIP UNS memperlihatkan bahwa antusiasme atau kesadaran diri mahasiswa untuk aktif dalam kelas masih kurang. Hal tersebut diperlihatkan dengan masih jarangnnya mahasiswa yang mengemukakan pendapat maupun bertanya. Jika pun ada yang bertanya maupun mengemukakan pendapat tidak didasari dalam diri mahasiswa tersebut tetapi dipengaruhi oleh faktor nilai. Pemberian nilai plus kepada mahasiswa diberikan oleh dosen pengampu agar mahasiswa menjadi aktif saat perkuliahan. Pemberian nilai plus tersebut disatu sisi memiliki kelebihan yakni mahasiswa menjadi aktif dalam perkuliahan, namun disisi yang lain juga menimbulkan kelemahan dimana tidak adanya kesadaran dalam diri yang memang benar-benar termotivasi dalam diri. Hal tersebut seperti penuturan ID 5 dalam wawancara tanggal 29 Juni 2010 pada pukul 11.00 WIB bahwa: Mahasiswa cenderung males mengikuti kuliah dan meremehkan kuliah pancasila. Alasannya, menganggap meteri pancasila tidak mengasyikkan, selain itu maindset dan persepsi terhadap pancasila di kalangan mahasiswa sudah negatif dan kurang mendukung. Pancasila dinilai kurang menyentuh aspek-aspek kehidupan mahasiswa (segi kebermanfaatan kurang dirasakan mahasiswa).
68
Kesulitan dalam buku referensi atau sumber bacaan masih terbatas di beberapa program studi seperti di program studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) di Kleco Surakarta. Selain itu, ada faktor sosial ekonomi dalam pengadaan buku atau sumber referensi untuk mahasiswa. Hal tersebut seperti yang disampaikan oleh ID 3 dalam wawancara tanggal 15 September 2009 pada pukul 09.00 WIB di kantor Program Studi PGSD FKIP UNS “Buku referensi terbatas karena buku dari MKU yang tidak dikonsumsikan untuk publik. Selain itu jika mahasiswa diwajibkan untuk membeli buku ya... mahasiswa kasihan juga. Sayangnya pancasila hanya menjadi sub bagian dalam PKn”. Wawancara kepada ID 4 tanggal 17 September 2009 pada pukul 08.30 WIB di kantor Program Studi PGSD FKIP UNS: Khususnya mahasiswa kami PGSD, yaitu terutama masalah buku. Mahasiswa belum terlengkapi dengan buku-buku tentang pancasila, terlebih lagi buku wajib sehingga dalam proses pembelajaran, mahasiswa hanya mengkopi buku-buku dari dosen. Permasalahan sumber buku atau sumber bacaan juga terkait dengan masalah sosial ekonomi mahasiswa. Sehingga mahasiswa memperhatikan dan mencatat apa yang disampaikan di kelas, selain itu jika mahasiswa hanya belajar dari materi power point, maka menurut saya itu tidak efektif untuk memberikan pemahaman dan menjadikan pengetahuan mahasiswa hanya sedikit. Terbatasnya materi dan waktu dalam perkuliahan menimbulkan permasalahan tersendiri bagi dosen pengampu sehingga konsekuensinya mahasiswa memiliki pengetahuan dan pemahaman yang tidak optimal terhadap pancasila. Hal tersebut seperti penuturan ID 6 dalam wawancara tanggal 21 Juli 2010 pada pukul 13.00 WIB di kantor Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP UNS permasalahan dalam pembelajaran pancasila adalah “materi yang lebih sedikit disebabkan waktu yang dialokasikan terbatas”. Kemudian wawancara kepada ID 2 tanggal 07 Oktober 2009 pada pukul 09.30 WIB di kantor Program Studi PPKn FKIP UNS bahwa ”mahasiswa kurang memahami materi secara keseluruhan (dari segi kurikulum) karena tidak ada materi yang diajarkan secara terperinci seperti pancasila yang ditinjau dari aspek historis dan yuridis”. Wawancara kepada ID 7 tanggal 21 Juli 2010 pada pukul 11.15 WIB di kantor Program Studi Pendidikan Sosiologi Antropologi FKIP UNS “Permasalahannya menurut saya ya mestinya pancasila diajarkan secara sendiri, tetapi kenyataannya tidak bisa diajarkan secara mendalam sebab hal tersebut sudah diatur dalam kurikulum yang ada”.
69
Dari berbagai persepsi dosen yang telah diuraikan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa permasalahan pembelajaran pancasila di FKIP UNS adalah sebagai berikut: a) motivasi dan antusiasme mahasiswa dalam perkuliahan masih rendah; b) maindset dan persepsi mahasiswa terhadap pancasila negatif dan kurang mendukung karena pancasila dinilai kurang menyentuh aspek-aspek kehidupan mahasiswa, segi kebermanfaatan kurang dirasakan mahasiswa; c) terbatasnya buku/sumber referensi; d) materi yang diajarkan tidak diajarkan secara terperinci/mendalam seperti pancasila yang ditinjau dari aspek historis dan yuridis dikarenakan terbatasnya alokasi waktu; e) pancasila diajarkan secara sendiri, tetapi kenyataannya tidak bisa diajarkan secara mendalam sebab hal tersebut sudah diatur dalam kurikulum yang ada. b. Persepsi Mahasiswa
Untuk mengetahui persepsi mahasiswa terhadap pendidikan tentang pancasila di FKIP UNS langkah awal yang dilakukan peneliti adalah menggunakan kuesioner atau angket yang digunakan sebagai data awal mengenai gambaran umum terhadap pendidikan pancasila dan pembelajaran pendidikan pancasila di perguruan tinggi. Dari gambaran umum yang diperoleh kemudian ditindaklanjuti dengan wawancara secara mendalam untuk mengetahui dan mengkroscekkan kebenarannya dengan responden. Adapun kuesioner/angket dapat dilihat pada lampiran 09. Dalam penelitian ini, daftar pertanyaan baik yang ada dalam angket maupun dalam pedoman wawancara yang ditujukan kepada mahasiswa sedikit berbeda dengan pedoman wawancara yang ditujukan kepada dosen. Hal tersebut mengingat antara dosen dan mahasiswa memiliki kapasitas yang berbeda dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh peneliti tentang tema yang diangkat dalam penelitian ini. Selain itu, antara dosen dan mahasiswa memiliki perbedaan baik dalam segi intelektual, kewenangan, dan lain sebagainya. Sehingga dalam hal ini, persepsi dosen dan mahasiswa tetap satu rumpun yakni tentang pendidikan pancasila di perguruan tinggi namun pembahasannya sedikit berbeda. Namun demikian, terdapat beberapa kesamaan hasil penelitian baik yang
70
bersumber dari mahasiswa maupun dari dosen seperti dalam hal pembelajaran pendidikan pancasila di perguruan tinggi selama ini yang memiliki beberapa permasalahan. 1) Persepsi terhadap pendidikan tentang pancasila di perguruan tinggi Persepsi mahasiswa terhadap pendidikan tentang pancasila di perguruan tinggi yang dimaksud dalam hal adalah persepsi tentang apakah pendidikan tentang pancasila diperlukan di perguruan tinggi. Tanggapan dari mahasiswapun beraneka ragam. Berikut persepsi mahasiswa baik yang telah maupun yang sedang menempuh pendidikan pancasila dalam matakuliah PKn yang menganggap pendidikan tentang pancasila diperlukan di perguruan tinggi: a) Wawancara kepada IM 1 tanggal 13 Oktober 2009 di Loby gedung D FKIP UNS pada pukul 11.00 WIB menyatakan bahwa “pendidikan pancasila diperlukan dengan alasan agar warga negara tahu tentang pancasila, sehingga diharapkan dapat tumbuh sikap nasionalisme atau cinta tanah air”. b) Wawancara kepada IM 2 tanggal 13 Oktober 2009 pada pukul 16.40 di rumah “Ya, sebab selain adanya pendidikan tentang agama, pedidikan tentang pancasila juga dibutuhkan untuk menanamkan nilai-nilai moral pada mahasiswa”. c) Wawancara kepada IM 3 tanggal 13 Oktober 2009 pukul 10.00 WIB di Loby Gedung F FKIP UNS “menurut saya perlu untuk menanamkan moral kepada mahasiswa”. d) Wawancara kepada IM 4 tanggal 08 September 2009 pukul 16.00 WIB di kos “Ya karena dalam pancasila terdapat nilai-nilai yang dapat menjadi pandangan dan pedoman warga negara”. e) Wawancara kepada IM 6 tanggal 09 September 2009 pukul 15.10 WIB di kos “Perlu, jika pedoman diberikan dari awal akan baik untuk memberi arah sehingga bisa menerapkan dan bahkan mengkroscekkan. Misalnya: budaya dari barat apakah cocok dengan budaya Indonesia (budaya timur)”. f) Wawancara kepada IM 7 tanggal 09 September 2009 pukul 13.10 WIB di Sekretariat BEM FKIP UNS Perlu, agar mahasiswa tumbuh nasionalismenya. Selain agama, pancasila dapat digunakan untuk memberikan pengajaran yang baik pada mahasiswa. Kemudian
masyarakat
tahu
ideologi
negaranya
sehingga
dapat
71
mempersatukan rakyat dan tidak menimbulkan perpecahan. Selain itu paling tidak dapat menjadi pengingat pelajaran pancasila di SD sampai SMA. g) Wawancara kepada IM 8 tanggal 18 September 2009 pukul 14.00 di ruang kuliah PPKn “Perlu untuk mendewasakan manusia. Selain itu pancasila sebagai pembimbing dan pendidik bangsa”. h) Wawancara kepada IM 9
mahasiswa Pendidikan Sosiologi Antropologi
tanggal 08 September 2009 pukul 13.30 WIB di depan ruang kepala jurusan P.IPS FKIP UNS “Perlu, karena masyarakat saat ini sudah lupa tentang pancasila sehingga pancasila perlu dikenalkan kepada mahasiswa”. i)
Wawancara kepada IM 10 mahasiswi Pendidikan Kimia tanggal 15 September 2009 pukul 10.30 WIB di halaman masjid Nurul Huda UNS “Perlu untuk mengenali ideologi negara, supaya dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk serta mana yang dilarang dan mana yang diperbolehkan”.
j)
Wawancara kepada IM 11 mahasiswi PPKn tanggal 10 September 2009 pukul 13.30 WIB di belakang program studi PPKn “Perlu agar masyarakat mengetahui
akan
ideologi
negaranya
selain
itu
diharapkan
dapat
mengamalkannya”. k) Wawancara kepada IM 12 mahasiswi PPKn tanggal 10 September 2009 pukul 11.00 WIB di belakang pogram studi PPKn “Perlu karena itu merupakan salah satu jalan untuk menanamkan pancasila. Selain itu, jalur pendidikan memiliki nilai yang strategis untuk menanamkan nilai-nilai pancasila. l)
Wawancara kepada IM 13 mahasiswi Pendidikan Sejarah tanggal 11 September 2009 pukul 10.30 WIB di gedung F FKIP UNS “Perlu, untuk meningkatkan skill mahasiswa”.
m) Wawancara kepada IM 14
mahasiswi Pendidikan Geografi tanggal 14
Agustus 2009 pukul 11.00 WIB di ruang kuliah prodi geografi “Perlu, tetapi yang harus dibenahi adalah bagaimana cara agar kuliah pancasila menarik mahasiswa”. n) Wawancara kepada IM 15 mahasiswi Pendidikan Bahasa Inggris tanggal 5 September 2009 pukul 16.10 WIB di kos “masih diperlukan, sebab warga negara Indonesia harus mengenal ideologi negaranya”.
72
o) Wawancara kepada IM 16 mahasiswi Pendidikan Kimia tanggal 5 September 2009 pukul 16.10 WIB di kos “masih perlu, sebab rakyat Indonesia harus tahu ideologi negaranya”. p) Wawancara kepada IM 17 mahasiswi PGSD tanggal 10 September 2009 pukul 13.00 WIB di kampus PGSD “Perlu, biar rakyat tahu ideologi negaranya”. q) Wawancara kepada IM 18 mahasiswa PGSD tanggal 08 September 2009 pukul 13.30 WIB di kampus PGSD “Perlu, biar tahu dasar-dasar negara, berbuat sesuai dengan pancasila”. r) Wawancara kepada IM 21 mahasiswa Pendidikan Kimia tanggal 15 Oktober 2009 pukul 13.30 WIB di Loby gedung D FKIP UNS “Sebenarnya pancasila diperlukan tetapi tidak harus diberikan secara formal tetapi diberikan diselasela mata kuliah lain, dan bisa belajar sendiri”. Dari persepsi-persepsi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan tentang pancasila diperlukan di perguruan tinggi dengan alasan sebagai berikut: (a) karena masyarakat saat ini sudah lupa tentang pancasila sehingga pancasila perlu dikenalkan kepada mahasiswa; (b) agar warga negara tahu tentang pancasila, sehingga diharapkan dapat tumbuh sikap nasionalisme atau cinta tanah air; (c) untuk menanamkan nilai-nilai moral pada mahasiswa. Persepsi mahasiswa bahwa pendidikan tentang pancasila diperlukan di perguruan tinggi sesuai dengan hasil perolehan kuesioner/angket yang sebelumnya telah disebarkan kepada mahasiswa di FKIP UNS dengan prosentase sebanyak 92,9 % dari 225 responden mahasiswa. Adapun namanama responden tersebut dapat dilihat pada lampiran 10. Selain itu, ada juga mahasiswa yang tidak sepakat jika pendidikan pancasila diberikan di perguruan tinggi. Berikut petikan hasil wawancara: (a) Wawancara kepada IM 5 mahasiswa Pendidikan Olahraga tanggal 14 Oktober 2009 pukul 09.30 WIB di ruang OSIS SMPN 16 Surakarta “kurang tahu mbak diperlukan atau tidak karena saya hanya manut dari prodi, maksudnya saya manut dengan kuliah-kuliah yang saya harus tempuh, dan tidak begitu tahu maksud dan tujuan adanya kuliah pancasila”.
73
(b) Wawancara kepada IM 19 mahasiswa Pendidikan Teknik Mesin tanggal 10 September 2009 pukul 15,30 WIB di Loby gedung C FKIP UNS “Tidak perlu, karena sama saja dengan membongkar kebobrokan pancasila”. (c) Wawancara kepada IM 20 mahasiswi PGSD tanggal 8 September 2009 pukul 14.00 WIB di kampus PGSD “Tidak, karena manfaatnya apa?” Persepsi mahasiswa lain yang menyatakan bahwa pendidikan tentang pancasila tidak diperlukan dalam tataran pendidikan tinggi dikarenakan sikap kontra mahasiswa terhadap pancasila dan kurangnya kebermanfaatan mempelajari pancasila bagi mahasiswa. 2) Permasalahan-permasalahan dalam pembelajaran pancasila di FKIP UNS Sebelum membahas tentang permasalahan dalam pembelajaran pancasila di FKIP UNS telah dilakukan penyebaran angket kepada mahasiswa untuk mengetahui gambaran umum tentang pembelajaran pendidikan pancasila di FKIP. Adapun hasil perolehan angket tersebut adalah sebagai berikut:
Tabel 9. Persepsi terhadap Pembelajaran Pancasila
Prosentase Kualifikasi 4, 9 Sangat Kurang 16, 0 Kurang 37, 8 Cukup / Sedang 30, 7 Baik 9, 3 Sangat Baik 1,3 Alpha (Sumber : Data Sekunder dari Kuesioner/Angket) Berikut adalah penjelasan atau analisis dari data yang telah berhasil diperoleh tersebut diatas: a) Sebanyak 225 angket telah tersebar di seluruh program studi di FKIP UNS. Hasil angket menunjukkan sebanyak 37,8 % sikap terhadap pembelajaran pancasila dapat dikatakan cukup atau sedang. Dalam hal ini jumlah prosentase masih kurang dari setengah jumlah prosentase. Hal ini menunjukkan bahwa sikap atau tanggapan mahasiswa terhadap pembelajaran pancasila masih terdapat titik kelemahan yang menurut mereka masih perlu untuk diperbaiki.
74
b) Sedangkan sejumlah 30,7 % menyatakan bahwa pembelajaran pancasila adalah baik. Hal ini merupakan pengalaman yang dialami oleh mahasiswa sendiri setelah menempuh mata kuliah Pendidikan Pancasila (kurikulum dulu) ataupun Pendidikan Kewarganegaraan (pada kurikulum sekarang). c) Sebanyak 9,3 % mahasiswa menyatakan bahwa pembelajaran pancasila masih kurang. Pengertian ini adalah bahwa pembelajaran pancasila dianggap masih biasa dan kurangnya variasi-variasi metode pembelajaran. Kurangnya penggunaan variasi metode dalam pembelajaran pancasila diperkuat setelah dilakukan observasi di beberapa program studi. Dosen cenderung masih menggunakan metode konvensional meskipun juga telah menggunakan sarana dan prasarana yang ada seperti LCD. Ceramah masih mendominasi dalam perkuliahan. d) Sebanyak 4,9 % menyatakan pembelajaran pancasila adalah sangat kurang. Menurut pengalaman mereka hal tersebut didasarkan oleh pengalaman mereka yang kurang baik terhadap pendidikan pancasila. e) Dan sebanyak 1,3 % responden mahasiswa tidak memberikan pernyataannya. Setelah diperoleh prosentasi gambaran umum tentang pembelajaran pancasila, kemudian ditelusuri melalui wawancara secara mendalam kepada beberapa informan mahasiswa dan diperoleh hasil bahwa permasalahan dalam pembelajaran pancasila menurut mahasiswa adalah sebagai berikut: (a) materi tentang pancasila banyak, kurang menarik, tidak jelas, dan realitas di lapangan tidak nyata, kurangnya pemberian contoh-contoh sikap ataupun contoh riil yang berkaitan dengan materi; (b) metode kurang bervariasi, ceramah masih mendominasi; (c) buku referensi terbatas; (d) kecakapan dosen dalam mengajar masih kurang; (e) bentuk evaluasi terkadang dinilai tidak adil; (f) pembelajaran pancasila cenderung membosankan karena hanya mengulang materi pada jenjang pendidikan sebelumnya tanpa perubahan atau inovasiinovasi yang lebih menarik. Sesuatu pelajaran yang diulang-ulang dan dari segi kemanfaatannya dipertanyakan akan mengubah atau mempengaruhi maindset mahasiswa. Jadi menurut mahasiswa, pelajaran akan mudah ditangkap atau bermakna apabila “belajar untuk diamalkan”
75
2. Aspirasi Dosen dan Mahasiswa terhadap Pendidikan tentang Pancasila a. Aspirasi Dosen Aspirasi merupakan keinginan atau harapan akan sesuatu yang lebih baik pada masa yang akan datang. Aspirasi terhadap pendidikan tentang pancasila merupakan keinginan atau harapan terhadap eksistensi pendidikan pancasila maupun juga terhadap pembelajarannya di perguruan tinggi agar kedepan lebih baik dari sebelumnya. Aspirasi dosen yang pernah mengampu matakuliah ilmu pancasila maupun dosen pengampu matakuliah PKn di FKIP UNS adalah sebagai berikut: 1) Pendidikan tentang pancasila perlu dijadikan mata kuliah yang berdiri sendiri
Terkait dengan persepsi sebelumnya bahwa pendidikan tentang pancasila diperlukan dalam tataran pendidikan tinggi, maka informan memberikan aspirasi bahwa pendidikan tentang pancasila perlu dijadikan matakuliah yang berdiri sendiri. Pendidikan tentang pancasila perlu dijadikan matakuliah yang berdiri sendiri dengan alasan sebagai berikut: a) pancasila memiliki kajian yang luas baik secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis, sehingga perlu kajian mendalam; b) perlu berdiri sendiri agar sejarah perjuangan bangsa terkait dengan dasar negara tidak hilang dan karena pancasila merupakan dasar falsafah negara yang perlu disosialisasikan; c) lebih efektif untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman terhadap nilainilai pancasila kepada mahasiswa;
Adapun aspirasi tersebut dapat dilihat pada petikan hasil wawancara pada lampiran 7. 2) Pembelajaran pancasila Aspirasi
dosen
terkait
dengan
upaya
mengatasi
permasalahan-
permasalahan dalam pembelajaran pancasila di perguruan tinggi yakni lebih menitikberatkan
pada
usaha
menanamkan
nilai-nilai
pancasila
kepada
mahasiswa. Adapun aspirasi terhadap pembelajaran pancasila di perguruan tinggi adalah sebagai berikut: a) Perlunya inovasi dalam metode pembelajaran untuk meningkatkan motivasi dan antusiasme serta kesadaran mahasiswa terhadap nilai-nilai pancasila, seperti memberikan tugas-tugas baik individu maupun kelompok. Selain
76
ceramah bervariasi juga diberikan diskusi interaktif yang problem solving yang sesuai dengan kompetensi. Sosio drama, contoh-contoh konkrit juga diperlukan untuk memberikan gambaran yang nyata terhadap materi atau kompetensi yang disampaikan sehingga bukan hanya teks book tapi juga mengerti akan contoh-contohnya sehingga tidak dianggap lagi sebagai kuliah yang materinya abstrak atau sulit dipahami mahasiswa. b) membangun pemahaman dan sinergi baik dari mahasiswa dan dosen untuk membangun maindset terhadap pendidikan pancasila; c) penambahan buku referensi dan pengoptimalan sarana dan prasarana yang ada seperti LCD. d) Upaya-upaya tersebut harus diiringi dengan adanya rekomendasi terhadap sistem pendidikan nasional, khususnya dalam kurikulum agar dapat menumbuhkan jiwa pancasila kepada peserta didik (mahasiswa) yakni pendidikan pancasila kembali lagi menjadi mata kuliah yang berdiri sendiri. b. Aspirasi Mahasiswa Aspirasi mahasiswa terhadap pendidikan tentang pancasila di perguruan tinggi sangat beragam. Berikut beberapa aspirasi yang berhasil dihimpun. 1) Pendidikan tentang pancasila perlu dijadikan sebagai matakuliah yang berdiri sendiri, dengan alasan sebagai berikut: a) pancasila merupakan dasar negara Indonesia, maka warganegara harus mengetahui dasar negaranya, salah satu caranya yakni dengan melalui pendidikan; b) dilihat dari segi materi lebih mendalam, dan dari segi waktu juga lebih banyak sehingga kesempatan untuk memahami akan lebih baik sehingga diharapkan dapat diimplemetasikan; c) perlu diperhatikan adalah bagaimana cara untuk membangkitkan minat belajar mahasiswa, dan bagaimana membuat pancasila menarik untuk dilirik mahasiswa. 2) Aspirasi dalam mengatasi permasalahan dalam pembelajaran pancasila di perguruan tinggi, diantaranya: a) adanya variasi metode
Variasi metode mendapat perhatian utama dari mahasiswa dalam aspirasinya. Hal tersebut seperti penuturan mahasiswi Program
77
Studi Pendidikan Biologi dalam wawancara tanggal 13 Oktober 2009 pada pukul 11.40 WIB. Metode yang digunakan hendaknya lebih bervariasi. Misalkan melihat film atau cuplikan berita-berita di televisi atau mass media yang lain agar mahasiswa lebih mudah menangkap materi dan lebih dapat menghubungkan antara materi dan kenyataan karena sekarang bukan jamannya lagi penjelasan materi tetapi harus memiliki sikap kritis dan aktif sebagai mahasiswa. Kemudian penuturan lain berdasarkan wawancara kepada mahasiswi program studi Bimbingan dan Konseling (BK) tanggal 13 Oktober 2009 pada pukul 17.30 WIB yakni: “Harus ada variasi metode, seperti ada sosio drama, terjun ke lapangan seperti melihat kehidupan sehari-hari dalam hal kebijakan dari pemerintah apakah sudah mewujudkan sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia atau belum”. Metode dengan variasinya yakni terjun ke lapangan atau masyarakat juga diutarakan, seperti penuturan dalam wawancara kepada mahasiswa program studi Pendidikan Teknik Mesin (PTM) tanggal 09 September 2009 pukul 14.00 WIB di Sekretariat BEM FKIP UNS bahwa: Harusnya perkuliahan yang berbau IPS seperti juga dengan kuliah pancasila harus berbeda dengan pembelajaran sewaktu duduk dibangku sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Setidaknya harus ada aplikasi yang jelas. Misalkan kita diberikan contoh-contoh yang berhubungan dengan materi atau bahkan kita disuruh untuk terjun langsung ke lapangan untuk menganalisis masalah yang ada dan memecahkan masalah tersebut. Misal; ada banyak pengemis di lingkungan UNS, kita disuruh untuk mengamati mereka, mencari tahu sebab–sebab mereka seperti itu dan bagaimana pemecahan masalah agar tidak banyak pengemis di UNS. Sehingga dalam pembelajaran pancasila teori tidak mendominasi. Menurut saya 30% untuk teori, 60% untuk aplikasi, dan 10% untuk evaluasi. Mengangkat isu-isu terkini dan sesekali diselingi dengan lelucon atau guyonan patut untuk diperhatikan, seperti penuturan
78
dalam wawancara kepada mahasiswi program studi Pendidikan Kimia tanggal 15 September 2009 pukul 11. 30 WIB bahwa: “Metodenya harus
lebih
bervariasi,
misalkan
melalui
diskusi
dengan
mempresentasikannya di depan kelas dengan menggangkat isu-isu terkini yang tentu saja dihubungkan dengan materi yang ada. Selain itu, agar tidak bosan sesekali diselingi lelucon atau humor. Pada dasarnya aspirasi yang menyangkut penggunaan variasi metode yang diharapkan oleh mahasiswa FKIP UNS dapat diringkas sebagai berikut: a) variasi metode dibuat semenarik mungkin seperti: sosio drama, terjun langsung ke lapangan, pemberian tugas makalah dengan mengangkat isuisu terkini, dan lain sebagainya; b) metode ceramah tidak mendominasi. b) Meningkatkan kemenarikan tentang materi
Materi pancasila yang dinilai abstrak menjadi tantangan dalam pembelajaran pendidikan pancasila di perguruan tinggi selama ini. Untuk itu, materi yang abstrak tersebut perlu diaktualisasikan dengan membuat semenarik mungkin agar dapat diminati oleh mahasiswa. Seperti pemberian handout sebelum perkuliahan berlangsung. Hal tersebut seperti penuturan mahasiswi program studi PGSD dalam wawancara tanggal 08 September 2009 pukul 14.00 WIB bahwa: “Harus ada handout yang diberikan sebelum perkuliahan”. Kemudian harus ada variasi dalam penyusunan handout seperti yang diutarakan oleh mahasiswi program studi PPKn dalam wawancara tanggal 08 September 2009 pukul 17.00 WIB yakni: “Materi dibuat seperti handout yang diberi ruang khusus untuk mencatat hal-hal yang belum ada di handout seperti mata kuliah hukum acara pidana yang disampaikan oleh dosen tamu Ibu Sarmaida Aritonang dari Brawijaya”. Materi pancasila yang dipandang oleh mahasiswa hanya hafalan perlu diperbaharui oleh dosen dalam hal penyampaiannya. Hal
79
tersebut seperti gagasan oleh mahasiswi program studi Pendidikan Geografi dalam wawancara tanggal 14 Agustus 2009 di ruang kuliah Prodi Pendidikan Geografi. Hal yang harus direvisi atau diperbaharui tentang pendidikan pancasila adalah pemahaman yang harus diutamakan dan bukan hafalan, dalam artian apa sih esensi dari pancasila yang perlu dikembangkan. Karena kita bukan butuh lagi hafalan dan lebih baik ketika kita bisa mengerti, memahami maknanya sebab hafalan merupakan tingkat kognitif yang paling rendah.
Selain itu, perlunya pengoptimalan sarana dan prasarana yang ada, misalnya memanfaatkan LCD dengan media audio visual seperti melihat film atau cuplikan berita-berita di televisi atau mass media yang terkait dengan perkuliahan pancasila agar mahasiswa lebih mudah menangkap materi dan tidak lagi merasa abstrak terhadap materi yang disampaikan. c) Peningkatan kecakapan dosen dan hubungan antara dosen dengan mahasiswa
Kecakapan dosen dalam mengajar merupakan hal yang penting sebab mahasiswa cenderung memiliki semangat atau antusiasme saat mengikuti kuliah jika dosen pengampu memiliki kecakapan menarik dalam gaya mengajarnya. Hal tersebut sebagaimana yang disampaikan oleh mahasiswi program studi Pendidikan Geografi dalam wawancara tanggal 14 Agustus 2009 di ruang kuliah Prodi Pendidikan Geografi. Kecakapan dosen dalam mengajar juga perlu ditingkatkan. Sebab sesuatu yang tidak penting atau menarik menjadi menarik karena yang menyampaikan sangat menyenangkan, sedangkan sesuatu yag penting, menarik dan harus disampaikan tetapi hanya karena ketidakcakapan si penyampai atau pengajar itu menjadi tidak tersampaikan.
Sedangkan
peningkatan
hubungan
diantara
dosen
dan
mahasiswa dirasakan akan membawa dampak yang positif terhadap motivasi mahasiswa dalam perkuliahan. Hal tersebut seperti penuturan oleh mahasiswi program studi Pendidikan Kimia tanggal 15 September 2009 pukul 11. 30 WIB: “Hendaknya dosen lebih mengenal terhadap mahasiswanya (anak didiknya) karena pada dasarnya mahasiswa suka dikenal namanya oleh dosen (ada faktor perhatian)”.
80
Kemudian dalam hal penguasaan kelas tidak lagi terpusat kepada teacher centered learning tetapi student centered learning. Kemudian agar dosen lebih menciptakan suasana kelas yang semangat, seperti harapan mahasiswi program studi Pendidikan Biologi dalam wawancara tanggal tanggal 13 Oktober 2009 pada pukul 11.40 WIB bahwa: “Dosen harus lebih menciptakan suasana yang semangat karena banyak orang yang sudah mengangap kuliah pancasila adalah membosankan
karena
merupakan
pengulangan
dari
sebelum-
sebelumnya”. Pemberian maindset dalam awal perkuliahan juga dirasa penting, seperti yang disampaikan oleh mahasiswi program studi PPKn dalam wawancara tanggal 10 September 2009 pukul 12.00 WIB yakni: “Dosen harus memberikan maindset motivasi kepada mahasiswa kenapa mempelajari mata kuliah itu, manfaatnya apa, sehingga orientasinya bukan nilai yang utama tetapi ilmu”. d) Perlu adanya evaluasi baik dari keaktifan kelas, keaktifan dalam tugas, dan keaktifan presensi; Kita yang terkadang aktif dikelas, tetapi nilainya sama dengan orang atau mahasiswa yang tidak aktif, sehingga perlu evaluasi baik dari keaktifan belajar di kelas, keaktifan dalam tugas, keterlibatan dalam presensi, dll sehingga ada penghargaan terhadap apa yang mahasiswa lakukan sehingga ada hubungan timbal balik. (Wawancara kepada IM 14 mahasiswa Pendidikan Geografi tanggal 14 Agustus 2009 11.50 WIB di ruang kuliah prodi geografi) e) Untuk mengatasi pembelajaran yang membosankan selain dengan upayaupaya diatas juga yang utama adalah membangun kebermaknaan “belajar untuk diamalkan”. Hal tersebut seperti penuturan kepada IM 14 mahasiswa Pendidikan Geografi tanggal 14 Agustus 2009 12.00 WIB di ruang kuliah Prodi Pendidikan Geografi: Pelajaran akan lebih bisa masuk ketika belajar untuk diamalkan. Itu sudah ditemukan dalam pelajaran bahasa Indonesia (apalagi saat akan menyusun skripsi dan agama. Filosofis dari bahasa Indonesia dan agama sudah bisa kita amalkan. Tetapi kalau PKn ataupun pancasila terkadang terlalu di awan, terlalu melangit sehingga sulit untuk diamalkan. Jadi dapat dikatakan bahwa pelajaran akan mudah ditangkap atau bermakna apabila “belajar untuk diamalkan”. Saat ini
81
banyak mahasiswa yang tidak peduli lagi dengan pancasila dan agama. C. Temuan Studi Dari hasil data penelitian yang dilakukan, dapat dikemukakan temuan studi yang berhubungan dengan kajian teori untuk menjawab dua perumusan masalah dalam penelitian, yaitu: 1. Persepsi dosen dan mahasiswa terhadap pendidikan tentang pancasila di FKIP UNS dapat digambarkan dalam tabel dibawah ini:
N o 1.
2.
Tabel 10. Perbandingan Persepsi antara Dosen dan Mahasiswa Tentang Persepsi Dosen Persepsi Mahasiswa Pendidikan pancasila di perguruan tinggi
Pendidikan pancasila diperlukan dalam Pendidika pancasila diperlukan di pendidikan tinggi dengan pertimbangan perguruan tinggi dengan alasan sebagai berikut: pendidikan tinggi memegang peranan penting dalam mencetak sebagai berikut: generasi penerus bangsa yang kelak akan a. mahasiswa saat ini sudah lupa memegang kepemimpinan. Sehingga tentang pancasila, sehingga pendidikan pancasila diperlukan dalam pancasila perlu dikenalkan upaya mengenalkan kepada mahasiswa kepada mahasiswa dan hakikat pancasila sebagai dasar negara yang diharapkan dapat tumbuh sikap merupakan sumber dari segala sumber nasionalisme atau cinta tanah hukum yang diharapkan mampu air; memecahkan persoalan-persoalan dalam b. untuk menanamkan nilai-nilai kehidupan bermasyarakat dan bernegara. moral kepada mahasiswa.
Pembelajara Terdapat permasalahan dalam pembelajaran Terdapat permasalahan dalam n pendidikan pancasila pasca SK Ditjen Dikti pembelajaran pendidikan pendidikan pancasila yakni: pancasila pasca SK Ditjen Dikti a. motivasi dan antusiasme mahasiswa dalam perkuliahan masih rendah; b. maindset dan persepsi mahasiswa terhadap pancasila negatif dan kurang mendukung karena pancasila dinilai kurang menyentuh aspek-aspek kehidupan mahasiswa (segi kebermanfaatan kurang dirasakan mahasiswa); c. terbatasnya buku/sumber referensi;
yakni: a. materi banyak, kurang menarik, sehingga antusiasme rendah; b. metode kurang bervariasi; c. buku referensi terbatas; d. kecakapan dosen dalam mengajar kurang; e. bentuk evaluasi terkadang dinilai tidak adil; f. dan pembelajaran yang
82
membosankan. materi yang diajarkan tidak diajarkan secara terperinci seperti pancasila yang ditinjau dari aspek historis dan yuridis dikarenakan waktu yang dialokasikan terbatas. Persepsi tersebut sesuai dengan pendapat dari Jalaluddin Rakhmat (1994: 51) bahwa “persepsi merupakan pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan”. Dosen dalam memberikan persepsi tidak terlepas dari pengalaman-pengalaman yang dimiliki dimasa lampau baik tentang objek maupun peristiwa. Persepsi dosen yang satu dengan dosen yang lain berbeda-beda. Hal tersebut menurut Ari Satriyo Wibowo, Ventura Elisawati, dan Hermawan Kartajaya, (1996: ii) “merupakan hal yang wajar karena apa yang diketahui seseorang mencerminkan apa yang dipelajarinya dimasa lalu, keadaan pikirannya saat ini, serta apa yang sebenarnya ada pada kenyataan di luar dirinya”. Kedua teori tersebut telah dipaparkan dalam Bab II tentang landasan teori pada halaman 9. Persepsi seseorang tentang kemenarikan dan kemanfaatan matakuliah pancasila berkaitan dengan pendapat dari Fleming dan Levie yang dikutip oleh Dewi Salma dan Eveline Siregar (2004: 134) bahwa “…Persepsi tergantung pada pilihan, minat, kegunaan, kesesuaian bagi seseorang”. Teori tersebut telah disebutkan dalam Landasan Teori di Bab II (tentang prinsip dasar persepsi) di halaman 13. 2. Aspirasi Dosen dan Mahasiswa terhadap pendidikan tentang pancasila di FKIP UNS dapat digambarkan dalam tabel dibawah ini:
Tabel 11. Perbandingan Aspirasi antara Dosen dan Mahasiswa
No
Tentang
Aspirasi Dosen
Aspirasi Mahasiswa
83
1.
2.
Pendidikan Pendidikan pancasila perlu dijadikan pancasila di matakuliah yang berdiri sendiri dengan perguruan pertimbangan sebagai berikut: tinggi a. pancasila memiliki kajian yang luas baik secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis, sehingga perlu kajian yang mendalam; b. pancasila merupakan dasar falsafah negara. c. lebih efektif untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman terhadap nilai-nilai pancasila kepada mahasiswa;
Pendidikan pancasila perlu dijadikan sebagai matakuliah yang berdiri sendiri, dengan alasan sebagai berikut: a. pancasila merupakan dasar negara Indonesia, maka warganegara harus mengetahui dasar negaranya, salah satu caranya yakni dengan melalui pendidikan; b. dilihat dari sudut materi akan lebih mendalam dan luas, dan dilihat dari segi waktu juga lebih banyak.
Pembelajaran Upaya dalam mengatasi permasalahan pendidikan dalam pembelajaran pendidikan pancasila pancasila di perguruan tinggi, diantaranya:
Upaya dalam mengatasi permasalahan dalam pembelajaran pendidikan pancasila di perguruan tinggi, diantaranya:
a. meningkatkan inovasi metode pembelajaran untuk meningkatkan motivasi belajar dan kesadaran mahasiswa terhadap nilai-nilai pancasila; b. membangun pemahaman dan sinergi baik dari mahasiswa dan dosen untuk membangun maindset terhadap pendidikan pancasila; c. perlu adanya penambahan buku referensi; d. pendidikan pancasila perlu dijadikan matakuliah tersendiri agar materi yang diajarkan lebih mendalam.
a. untuk meningkatkan motivasi dan antusiasme mahasiswa, maka perlu adanya variasi metode pembelajaran; b. meningkatkan kemenarikan materi dan keterbatasan referensi dengan pemberian panduan belajar yang lebih menarik yang efektif dan efisien; c. meningkatkan kecakapan dosen dan hubungan antara dosen dengan mahasiswa; d. perlu adanya evaluasi baik dari keaktifan kelas, keaktifan dalam tugas, dan keaktifan presensi; e. untuk mengatasi pembelajaran yang membosankan selain dengan upayaupaya diatas juga yang utama adalah membangun kebermaknaan “belajar untuk diamalkan”.
Penjelasan mengenai aspirasi yang berkaitan dengan harapan yang berbuhungan dengan persepsi tersebut seperti pendapat dari Fleming dan Levie yang dikutip oleh Dewi Salma dan Eveline Siregar (2004: 134) bahwa “Persepsi
84
seseorang dipengaruhi oleh harapan atau keinginan sehingga dalam pengertian ini menunjukkan bahwa persepsi sebenarnya bersifat subjektif”. Teori tersebut telah disebutkan dalam Landasan Teori di Bab II halaman 13.
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilaksanakan dengan melalui berbagai tahap analisis data, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Persepsi dosen dan mahasiswa terhadap pendidikan tentang pancasila di FKIP UNS a. Persepsi Dosen 1) Eksistensi pendidikan tentang pancasila di FKIP UNS Eksistensi pendidikan tentang pancasila sebagai substansi nilai masih ada, sedangkan eksistensi Pendidikan Pancasila sebagai Matakuliah di perguruan tinggi saat ini sudah hilang. Hal tersebut mengingat berdasar pada SK Ditjen Dikti No 43 tahun 2006 dalam kurikulumnya sudah tidak lagi mencantumkan Pendidikan Pancasila sebagai Matakuliah wajib. Di FKIP UNS sendiri telah mengikuti aturan tersebut dengan tidak memberikan Matakuliah Pendidikan Pancasila dalam bentuk Matakuliah wajib yang berdiri sendiri, namun hanya memberikannya sebatas pada sub pokok bahasan dalam matakuliah PKn (Pendidikan Kewarganegaraan). Selain itu, dosen memberikan persepsi bahwa pendidikan tentang pancasila diperlukan dalam perguruan tinggi. 2) Permasalahan dalam pembelajaran pancasila di perguruan tinggi, yakni; a) motivasi dan antusiasme mahasiswa dalam perkuliahan masih rendah; b) maindset dan persepsi mahasiswa terhadap pancasila negatif dan kurang mendukung karena pancasila dinilai kurang menyentuh aspek-aspek kehidupan
mahasiswa
(segi
kebermanfaatan
kurang
dirasakan
mahasiswa); c) terbatasnya buku/sumber referensi; d) materi yang diajarkan tidak diajarkan secara terperinci seperti pancasila yang ditinjau dari aspek historis dan yuridis dikarenakan waktu yang dialokasikan terbatas. b. Persepsi Mahasiswa 1) Mahasiswa memberikan persepsi bahwa pendidikan tentang pancasila diperlukan dengan alasan sebagai berikut:
85
86
a) mahasiswa saat ini sudah lupa tentang pancasila, sehingga pancasila perlu dikenalkan kepada mahasiswa dan diharapkan dapat tumbuh sikap nasionalisme atau cinta tanah air; b) untuk menanamkan nilai-nilai moral kepada mahasiswa. 2) Pembelajaran pancasila Persepsi mahasiswa terhadap pembelajaran tentang pancasila dapat dikatakan cukup atau sedang dengan prosentase sebanyak 37,8 %. Hal ini menunjukkan bahwa sikap atau pandangan mahasiswa terhadap pembelajaran pendidikan tentang pancasila masih dinilai memiliki kelemahan yang perlu untuk diperbaiki. Terdapat permasalahan dalam pembelajaran pendidikan pancasila pasca SK Ditjen Dikti yakni: a) materi banyak, kurang menarik, sehingga antusiasme rendah; b) metode kurang bervariasi; c) buku referensi terbatas; d) kecakapan dosen dalam mengajar kurang; e) bentuk evaluasi terkadang dinilai tidak adil; f) dan pembelajaran yang membosankan. 2. Aspirasi dosen dan mahasiswa terhadap pendidikan tentang pancasila di perguruan tinggi a. Aspirasi Dosen 1) Mengingat perlunya pendidikan tentang pancasila dalam tataran pendidikan tinggi, maka dalam kurikulum di perguruan tinggi pendidikan pancasila dijadikan sebagai matakuliah wajib yang berdiri sendiri seperti dalam kurikulum lama namun dengan inovasi-inovasi yang relevan. 2) Upaya-upaya yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan dalam pembelajaran pancasila di perguruan tinggi diantaranya: a) meningkatkan inovasi metode pembelajaran untuk meningkatkan motivasi belajar dan kesadaran mahasiswa terhadap nilai-nilai pancasila; b) membangun pemahaman dan sinergi baik dari mahasiswa dan dosen untuk membangun maindset terhadap pendidikan pancasila; c) perlu adanya penambahan buku referensi; d) pendidikan pancasila perlu dijadikan matakuliah tersendiri agar materi yang diajarkan lebih mendalam.
87
b. Aspirasi Mahasiswa 1) Pendidikan tentang pancasila yang saat ini sebagai substansi nilai perlu dijadikan sebagai matakuliah yang berdiri sendiri. 2) Upaya dalam mengatasi permasalahan dalam pembelajaran pancasila di perguruan tinggi, diantaranya: a) untuk meningkatkan motivasi dan antusiasme mahasiswa, maka perlu adanya variasi metode pembelajaran; b) meningkatkan kemenarikan materi dan keterbatasan referensi dengan pemberian panduan belajar yang lebih menarik yang efektif dan efisien; c)
meningkatkan kecakapan dosen dan hubungan antara dosen dengan mahasiswa;
d) perlu adanya evaluasi baik dari keaktifan kelas, keaktifan dalam tugas, dan keaktifan presensi; e) untuk mengatasi pembelajaran yang membosankan selain dengan upayaupaya diatas juga yang utama adalah membangun kebermaknaan “belajar untuk diamalkan”.
B. IMPLIKASI Berdasarkan kesimpulan diatas, maka dalam penelitian mengenai “Persepsi dan Aspirasi terhadap Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi” (Studi pada Dosen dan Mahasiswa di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta) ini, maka implikasi dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Karena adanya kebijakan SK Ditjen Dikti No.43/2006 yang tidak lagi mewajibkan pendidikan pancasila sebagai mata kuliah wajib yang berdiri sendiri, maka menimbulkan persepsi yang beragam dari dosen sebagai pelaksana teknis dan juga dari mahasiswa yang merupakan subjek dari kebijakan tersebut. Karena baik dosen dan mahasiswa telah memberikan persepsi yang beragam terhadap pendidikan pancasila, maka persepsi tersebut dapat digunakan sebagai sebuah refleksi sehingga dapat memotivasi untuk melakukan perubahan agar pendidikan pancasila di perguruan tinggi dikemudian hari menjadi lebih baik. 2. Karena terdapat beberapa aspirasi yang disampaikan baik oleh dosen dan juga mahasiswa, maka aspirasi tersebut dapat dijadikan sebagai bahan masukan agar pendidikan pancasila ke depan lebih baik dan maju terlebih dalam hal pembelajarannya di perguruan tinggi.
88
C. SARAN Berdasarkan kesimpulan serta implikasi yang telah dikemukakan dari hasil penelitian ini dapat disampaikan beberapa saran sebagai berikut: 1. Untuk menanggapi berbagai persepsi baik dari dosen maupun dari mahasiswa, hendaknya instansi yang dalam hal ini seperti MKU UNS menanggapi persepsi tersebut dengan melakukan upaya melalui suatu forum diskusi bersama yang melibatkan baik dosen dan mahasiswa agar dapat ditemukan sebuah konsep pembelajaran pendidikan pancasila yang menyenangkan dan bermanfaat terutama bagi mahasiswa. 2. Aspirasi merupakan sebuah harapan terhadap sesuatu yang dianggap kurang atau memiliki kelemahan atau permasalahan. Untuk menyikapi aspirasi yang telah dijelaskan sebelumnya, maka perlu ada tindaklanjut terutama dari dosen pendidikan pancasila untuk lebih meningkatkan kecakapan dalam mengajar, serta meningkatkan inovasi dalam metode mengajar.
89 DAFTAR PUSTAKA Abdurrahmat Fathoni. 2006. Metodologi Penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Ari Satriyo Wibowo, Ventura Elisawati, dan Hermawan Kartajaya. 1996. Bermain dengan Persepsi. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. As’Said Ali. 2009. Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia. B. Sukarno. 2005. Pancasila dalam Tinjauan Historis, Yuridis, dan Filosofis (Kumpulan Rangkuman Berbagai Karya Tulis tentang Pendidikan Pancasila sebagai Bahan Ajar di Perguruan Tinggi). Surakarta: Sebelas Maret University Press. Bogdan, Robert & Taylor, J. Steven. 1993. Kualitatif (Dasar-Dasar Penelitian). Terjemahan A. Khozin Afandi. Surabaya: Usana Offset Printing. Cholid Narbuko dan Abu Achmadi. 2005. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara. Consuelo, G Sevilla; Ochave; Jesus A; Punsalan, Twila G; Regala Bella P; Uriarte Gabriel G. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Terjemahan oleh Alimuddin Tuwu). Jakarta: Universitas Indonesia. Daulat Purnama Tampubolon. 2001. Perguruan Tinggi Bermutu Paradigma Baru Manajemen Pendidikan Tinggi Menghadapi Tantangan Abad ke-21. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Depdiknas. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. _________. 2003. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas. _________. 2005. Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Dewi Salma Prawiladilaga dan Eveline Siregar. 2004. Mozaik Teknologi Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Ellizabeth B, Hurlock. 1993. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Yogyakarta: Media Abadi. Ermaya. 2009. Mahasiswa Dibekali Pemahaman tentang Pancasila. http://www.dutamasyarakat.com/artikel-22633-mahasiswa-dibekali-pemahamanpancasila.html. Diakses tanggal 11 Nopember 2009, pukul 11.44 WIB. H.B. Sutopo. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Universitas Sebelas Maret Press.
90 Iqbal Hasan. 2002. Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Jakarta: Ghalia Indonesia. Jalaluddin Rakhmat. 1994. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya Offset. Kaelan. 2004. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma. Kahne, Joseph & Middaugh, Ellen. 2008. “High Quality Civic Education: What Is It and Who Gets It?”. Journal of Social Education. 72 (1), pg 34–39. Lexy, J. Moleong. 1993. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. M. Enoch Markum. 2007. Pendidikan Tinggi dalam Perspektif Sejarah dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: UI Pres. Maman Rachman. 1999. “Penilaian Mahasiswa terhadap Tipe Mengajar Dosen dan Pilihan Tipe Mengajar yang Disukai”. Jurnal Ilmu Pendidikan. Jilid 7, Nomor 4. 3. Matthew B. Miles dan Huberman A. Michael. 1992. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber tentang Metode-Metode Baru. Jakarta: UI Press. Miftah Thoha. 1994. Perilaku Organisasi; Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Soegito. 2000. Pendidikan Pancasila. Semarang: IKIP Semarang. Soeprapto. 1998. Jurnal Pancasila “Landasan Aksiologi Pancasila”. Yogyakarta: Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada. Sondang P. Siagian. 1989. Teori Motivasi dan Aplikasinya. Jakarta: Bina Aksara. Sunarti Rudi. 1999. The Teaching Learning Process of Pancasila and Civics Education (PPKn) at Elementary School in The Reformation Era. The Journal of Education. Volume 6. Sunaryo. 2009. Kembali Didikkan Pancasila Kepada Masyarakat. http://www.pikiranrakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=64369. Diakses tanggal 16 Desember 2009, pukul 12.04 WIB. Umar Tirtarahardja. 2005. Pengantar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. UNS. 2009. “Pedoman Pendidikan dan Kurikulum Universitas Sebelas Maret Tahun Akademik 2009/2010”. Surakarta: UNS Press. Vincent Nugroho. 2008. Humor Dasyat untuk Pembicara. Yogyakarta: CV. Andi Offset. Wiji Suwarno. 2006. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jogyakarta: Ar-Ruzz Media. Winkel, WS. 1991. Psikologi Pengajaran. Yogyakarta: Media Abadi.