STUDI KOMPARASI ANTARA JENIS KELAMIN DAN DUKUNGAN SOSIAL DARI REKAN KERJA TERHADAP MOTIVASI KERJA PERAWAT DI RUMAH SAKIT ORTOPEDI PROF. DR. R. SOEHARSO SURAKARTA TAHUN 2009-2010
Skripsi Oleh : BAZARUDDIN AHMAD NIM K8403016
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial tentu tidak dapat dipisahkan dalam masyarakat. Agar dapat mempertahankan eksistensinya, manusia perlu berada bersama orang lain dan mengadakan interaksi sosial di dalam kelompoknya. Tujuan berlangsungnya interaksi ini guna saling melengkapi macam-macam kebutuhan diantara manusia. Selain itu, selama proses interaksi, setiap manusia memiliki macam-macam peranan yang berasal dari bentuk-bentuk pengalaman hidupnya. Proses pelaksanaan peranan oleh individu sangat tergantung pada lingkaran sosial (sosial circle) yang ditempati oleh individu bersangkutan. Kemudian, tingkatan tanggungjawab dari peranan itu juga disesuaikan dengan kedudukannya dalam organisasi yang ditempatinya. Peranan yang dilakukan kepala sekolah tentu akan berbeda dengan yang dilaksanakan oleh penjaga/satpam sekolah, peranan yang dilaksanakan seorang direktur tentu akan berbeda dengan peranan yang dikerjakan oleh karyawan biasa, dan masih banyak lagi contoh lapisan-lapisan sosial yang ada di dalam masyarakat. Sistem pembagian kedudukan dan peranan ini pada dasarnya diperlukan agar organisasi dapat bergerak secara teratur untuk mencapai tujuan utama organisasi secara keseluruhan. Kesehatan yang merupakan hak dan kebutuhan dasar manusia, juga perlu diorganisir secara terarah. Sehingga terjadilah klasifikasi peranan sesuai dengan kebutuhan organisasi kesehatan itu. Orang yang bergerak dalam menjalankan peranan di bidang kesehatan ini sering diistilahkan sebagai tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan yang dimaksud adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan. Di Indonesia, tenaga kesehatan terdiri dari: tenaga medis, tenaga keperawatan, tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga gizi, tenaga keterapian fisik, serta tenaga keteknisan medis lainnya. Di antara tenaga kesehatan tersebut, perawat adalah sumber daya manusia yang jumlahnya terbanyak dibandingkan jumlah tenaga 1 kesehatan lainnya. Hal ini disebabkan jumlah tenaga keperawatan mendominasi tenaga kesehatan secara keseluruhan dan mempunyai kontak atau interaksi yang paling lama
dengan pasien. Bisa dikatakan, bahwa perawat merupakan ujung tombak pemberi pelayanan kepada pasien. Sehingga perawat harus dibina dan terus di kembangkan agar senantiasa bertindak sesuai standar dan etika profesinya. Menyimak hal tersebut, maka peranan keperawatan yang dijalankan perawat di lingkungan kerjanya dapat dijadikan salah satu kajian menarik dalam tinjauan sosiologis. Rumah sakit sebagai salah satu lingkungan kerja perawat, memiliki peran yang sangat strategis dalam menciptakan sumber daya manusia (SDM) di bidang kesehatan yang berkualitas sebagai upaya mempercepat peningkatan derajad kesehatan secara menyeluruh, merata, terjangkau dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat. Peran strategis ini didapat karena rumah sakit adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang padat tehnologi, modal, karya dan pakar. Sehingga pengetahuan mendalam tentang perawat sebagai salah satu unsur sumber daya manusia sangat penting dilakukan bagi pihak manajemen rumah sakit. Informasi tentang karyawan (perawat), bukan sekedar hanya dari identitasnya semata, melainkan lebih dalam lagi yang berhubungan dengan tindakan pekerjaannya, seperti sikap kerja perawat, komunikasi antar perawat, tingkat stress perawat, kepuasan kerja dan sebagainya. Selain itu, salah satu pengetahuan mengenai perawat yang juga perlu diperhatikan adalah dari segi motivasi kerja perawat. Motivasi kerja sendiri merupakan dorongan dalam diri seseorang untuk memenuhi keinginan, maksud dan tujuan. Namun, dalam penerapannya, penggunaan masing-masing unsur motivasi kerja berbeda untuk setiap karyawan (perawat). Tentu hal itu didasari oleh kebutuhan dan keinginan masing-masing. Sehingga kinerja yang ditampilkan oleh setiap karyawan juga akan berbeda. Melihat sejarah awal mengenai keperawatan, maka keperawatan lebih bersifat vokasional. Sehingga, garis formal otoritas dalam setting medis menempatkan perawat pada posisi yang tidak menguntungkan untuk bertindak memutuskan tindakan medis. Namun, saat ini profesionalisasi dalam keperawatan dapat dirasakan, sehingga saat ini pekerjaan sebagai perawat sudah mendapat tempat yang sama dengan profesi lainnya. Hanya saja, dari sisi konstruksi sosial, keperawatan dari dulu hingga kini masih dijustifikasi sebagai pekerjaan perempuan. Citra yang ada bahwa keperawatan digeluti dan dikerjakan oleh perempuan dibenarkan oleh kenyataan bahwa hampir seluruh Perawat merupakan perempuan. Identifikasi Perawat dengan perempuan ditunjukkan pula
oleh sebutan yang diberikan kepada Perawat di Indonesia bahkan di negara-negara lain yaitu “suster”. Sebutan tersebut jelas menunjuk kepada perempuan. Tugas-tugas keperawatan yang menjadi tanggung jawab perawat menuntut adanya keterlibatan perasaan kasih sayang, kelembutan, ketelitian dan kesabaran. Tugas-tugas ini juga sangat identik dengan pekerjaan sehari-hari yang dapat ditemui dalam kehidupan keluarga sehingga sangat umum jika disebut bahwa tugas-tugas keperawatan tidak jauh dari tugastugas domestik perempuan dalam rumah tangga. Pembedaan fisik yang diterima laki-laki dan perempuan disebut sebagai proses alamiah: hanya perempuan yang bisa melahirkan dan hanya laki-laki yang bisa meyebabkan kehamilan. Di lain pihak, seks tersebut digunakan sebagai dasar untuk meyusun kategori sosial yang disebut gender: atribut sikap (attitude dan perilaku (behaviors) yang dikonstruksi secara sosial untuk melahirkan dua kategori yang dikotomis yaitu femenin dan maskulin. Pada akhirnya, kategori sosial tersebut menempatkan perempuan lebih berpotensial untuk menjadi seorang perawat dibanding dengan laki-laki. Meskipun demikian, dewasa ini telah terjadi perubahan dalam dunia keperawatan, yang mana telah terjadi pertambahan jumlah laki-laki yang bekerja sebagai perawat. Meskipun demikian, sejarah identifikasi perempuan dalam dunia keperawatan tidak dapat diabaikan begitu saja. Hal ini dikarenakan pekerjaan perawat masih didominasi oleh kaum perempuan. Dengan kata lain, secara umum perawat laki-laki masih kalah dari segi kuantitas dibandingkan dengan perawat perempuan. Perawat yang merupakan bagian integral dari sistem pelayanan kesehatan terus bergerak maju menuju profesionalitasnya. Perbaikan mutu kinerja mutlak dilaksanakan oleh organisasi tempat perawat bekerja. Kepuasan pasien dalam usaha penyembuhan di lembaga kesehatan juga merupakan efek dari pelayanan yang optimal dari proses keperawatan yang mereka terima. Tentu tidak dapat dipungkiri bahwa dalam perjalanannya ,setiap pekerjaan yang dilakukan perawat terkadang tidak selamanya dapat dipertahankan secara baik. Banyak hal yang dapat mempengaruhi perawat dalam motivasi bekerjanya. Salah satu yang mempengaruhi motivasi kerja perawat ini adalah faktor dukungan sosial, dimana individu tersebut dalam menyelesaikan tugas-tugasnya membutuhkan dukungan sosial. Hal ini
dikarenakan dalam sebuah komunitas atau kelompok kerja dan organisasi baik di sektor umum ataupun swasta, interaksi yang dibangun diharapkan dapat mendukung pekerjaannya sehingga dapat memotivasi dan saling memberi dukungan secara sosial kepada satu sama lainnya. Karena secara alamiah, perawat juga makhluk sosial yang membutuhkan kehadiran manusia lain untuk berinteraksi dan membutuhkan bantuan orang lain di dalam kehidupan pribadi, baik itu kebutuhan fisik maupun kebutuhan psikologis. Artinya, meskipun perawat sendiri bertugas memberikan dukungan sosial kepada pasien, perawat sendiri juga memerlukan dukungan sosial dalam proses bekerjanya. Terlebih, dalam konteks pelayanan kesehatan di rumah sakit, maka perawat tidak dapat dipisahkan dari peranan tenaga kerja lainnya. Selain menghadapi pasien, perawat juga melaksanakan jalinan hubungan dengan jajaran pimpinan rumah sakit, dokter, pihak atasan manajemen keperawatan, dan tenaga medis dan tenaga non medis lainnya. Dengan kata lain, perawat menjadi bagian dalam sistem sosial di rumah sakit yang menjadi tempat ia bekerja. Melihat pula kondisi pekerjaan yang sedemikian kompleks, bukan tidak mungkin berpotensi menimbulkan stres pada perawat. Maka dari itu dukungan sosial sangat diperlukan agar faktor-faktor stress dapat diredam. Para ahli dan peneliti sendiri menemukan hubungan antara stres karyawan dengan kurangnya dukungan sosial. Seperti yang ditulis Halonen dan Santrock (1999; 508) yakni: “researchers consistently have found that social support helps individuals cope with stress. For example, in one study depressed persons had fewer and less-supportive relationship with family members , friends, and co-workers than did people who were not depressed”. Artinya para peneliti secara konsisten telah menemukan bahwa dukungan sosial membantu individu mengatasi stres. Salah satu kajiannya menunjukkan bahwa orang yang merasa tertekan/depresi lebih banyak ditemukan pada orang yang kekurangan atau kehilangan dukungan dari anggota keluarga, teman dan rekan kerja. Personal karyawan, dalam hal ini perawat membutuhkan motivasi kerja yang tinggi guna menunjang kinerja yang tinggi pula. Sehingga, secara logis dukungan sosial merupakan wadah bagi perawat dalam mempertahankan kinerjanya. Dengan memadainya dukungan sosial, maka personal perawat akan jarang mengeluh dengan kondisi lingkungan kerja yang ada serta berusaha bekerja secara efektif dan produktif.
Selain itu, adanya dukungan sosial ini membuat perawat lebih merasa tenang dalam menghadapi masalah, terutama dalam hal pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Karena dukungan sosial yang memadai akan menciptakan pola komunikasi positif dan saling memahami satu sama lain. Sehingga faktor dukungan sosial yang membangun suasana komunikasi yang baik ini sangat memungkinkan tumbuhnya semacam kepercayaan diri seorang perawat. Hal ini tentu dapat menguatkan diri perawat dalam menghadapi realita kehidupannya, baik itu di lingkungan keluarga maupun lingkungan pekerjaannya. Sebaliknya, ketika tidak memadainya dukungan sosial, stres berpotensi untuk muncul ke dalam diri perawat. Selain itu, kurangnya dukungan sosial dapat memicu sikap negatif terhadap pekerjaan atau organisasi. Akibat yang sering muncul adalah hilangnya motivasi intrinsik individu seperti semangat, antusiasisme, minat dan idealisme. Individu yang mengalami kurangnya dukungan sosial, merasa tidak dihargai oleh organisasi atau rekan kerjanya. Individu menjadi tidak perhatian terhadap organisasi dan akhirnya mengkritik dan tidak mempercayai pihak manajemen, rekan kerja, maupun supervisor. Individu yang seperti ini merasa tujuan-tujuannya tidak tercapai dengan disertai perasaan serba kurang dan rendahnya harga diri. Dukungan sosial di sini bisa berupa dukungan dari lingkungan pekerjaan maupun lingkungan keluarga. Banyak kasus menunjukkan bahwa, para karyawan yang mengalami stres kerja adalah mereka yang tidak mendapat dukungan (khususnya moril) dari keluarga, seperti orang tua, mertua, anak, teman dan semacamnya. Begitu juga ketika seseorang tidak memperoleh dukungan dari rekan sekerjanya (baik pimpinan maupun bawahan) akan cenderung lebih mudah terkena stres. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya dukungan sosial yang menyebabkan ketidaknyamanan menjalankan pekerjaan dan tugasnya. Sehingga bentuk dukungan sosial yang mungkin dapat memicu motivasi kerjanya juga berlainan satu sama lain. Ketika dukungan sosial dirasakan seseorang bersifat positif maka kemungkinan motivasi kerjanya akan tinggi. Begitu pula sebaliknya, dukungan sosial yang dirasa kurang terpenuhi maka mungkin akan dapat membentuk motivasi kerja perawat yang rendah. B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, timbul permasalahanpermasalahan yang dapat diidentifikasi sebagai berikut : 1. Faktor jenis kelamin dapat dijadikan salah satu aspek dalam kajian yang bisa mempengaruhi motivasi kerja keperawatan yang dilaksanakan oleh perawat. 2. Manusia memiliki keragaman dalam bentuk dan tingkat dorongannya dalam bekerja, sehingga dapat dikaji sajauh mana motivasi kerja menentukan tingkatan motivasi kerja perawat. 3. Lingkungan sosial dapat menentukan arah tingkah laku seseorang, begitu pula dengan lingkungan kerja rumah sakit dapat mempengaruhi arah dan bentuk pelaksanaan tugas perawat. 4. Perawat bisa dikatakan sebagai tulang punggung pelayanan terhadap pasien, karena mereka hadir dua puluh empat (24) jam sehari dalam merawat dan menjaga pasien, untuk itu perlu dikaji lebih mendalam mengenai hal apa saja yang dapat memicu motivasi kerja perawat. 5. Pengembangan kemampuan perawat tidak sekedar berdasar dari identitasnya, melainkan lebih dalam lagi yang berhubungan dengan tindakan pekerjaannya, seperti sikap kerja perawat, komunikasi antar perawat, tingkat stress perawat, kepuasan kerja dan sebagainya. 6. Profesionalitas dalam keperawatan telah dapat dirasakan, sehingga dapat dikaji bagaimana bentuk standar tugas perawat yang sesuai dengan kondisi saat ini. 7. Perawat memiliki frekuensi interaksi yang paling lama dengan pasien dibanding tenaga medis lainnya, maka dapat dikaji bagaimanakah idealnya upaya-upaya penyembuhan pasien yang diterapkan perawat 8. Tingkat motivasi kerja dianggap tidak lepas dari pengaruh dukungan sosial, dimana individu dalam menyelesaikan tugas-tugasnya membutuhkan dukungan sosial baik yang berasal dari atasan, teman sekerja maupun dari keluarga
C. Pembatasan Masalah
Batasan masalah (scoupe of problem) adalah ruang lingkup masalah Sedangkan pembatasan masalah merupakan upaya untuk membatasi ruang lingkup masalah yang terlalu luas atau lebar sehingga penelitian lebih bisa fokus untuk dilakukan Pembatasan masalah ini penting dilakukan karena termasuk tahapan awal dalam pengkajian pemecahan masalah dalam suatu penelitian. Dengan pembatasan yang jelas, peneliti dapat mengarahkan perhatiannya lebih seksama dan dapat merumuskan masalahnya secara jelas. Dari identifikasi masalah sebelumnya, hanya dua faktor motivasi kerja saja yang diteliti, yakni jenis kelamin dan dukungan sosial. Motivasi kerja yang dimaksud sebatas motivasi berprestasi, kekuasaan dan afiliansi. Sedangkan untuk faktor dukungan sosial, hanya dibatasi dukungan sosial dari rekan kerja yang didapatkan perawat. Sehingga dengan adanya pembatasan masalah ini, maka dapat dibandingkan secara jelas perbedaan kualitas motivasi kerja keperawatan yang dijalankan antara perawat laki-laki dan perawat perempuan.
D. Perumusan Masalah Masalah merupakan hambatan atau rintangan yang muncul pada suatu bidang dan perlu dipecahkan. Suatu masalah yang muncul tidak dapat diabaikan begitu saja, akan tetapi
perlu
diperhatikan
dan dipertimbangkan
lebih mendalam dalam
pemecahannya. Untuk itu sebelum diuraikan permasalahan dalam penelitian ini maka terlebih dahulu akan dikemukakan istilah masalah. Menurut Winarno Surachmad (1994:34): ”Masalah adalah setiap kesulitan yang menggerakkan orang untuk memecahkannya. Masalah harus dapat dirasakan sebagai rintangan yang harus dilalui tentang jalannya mengatasi apabila kita akan berjalan terus menampakkan diri sebagai tantangannya”. Berpijak pada latar belakang masalah, maka peneliti memberikan perumusan masalah sebagai berikut : 1. Apakah ada perbedaan pengaruh jenis kelamin terhadap motivasi kerja perawat?
2. Apakah ada perbedaan pengaruh dukungan sosial dari rekan kerja terhadap motivasi kerja perawat? 3. Apakah ada perbedaan pengaruh jenis kelamin dan dukungan sosial dari rekan kerja terhadap motivasi kerja perawat?
E. Tujuan Penelitian Menurut Suharsimi Arikunto (1998:49) bahwa “tujuan penelitian adalah suatu rumusan kalimat yang menunjukkan adanya sesuatu hal yang diperoleh setelah penelitian selesai”. Jika dikaji lebih mendalam mengandung arti bahwa tujuan penelitian di sini adalah untuk menjawab semua permasalahan yang telah dirumuskan dalam perumusan masalah tersebut di atas. Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berkut : 1. Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan pengaruh antara jenis kelamin terhadap motivasi kerja perawat.. 2. Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan pengaruh dukungan sosial dari rekan kerja terhadap motivasi kerja perawat. 3. Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan pengaruh jenis kelamin dan dukungan sosial dari rekan kerja terhadap motivasi kerja perawat.
F.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini penting karena menghasilkan informasi yang rinci, akurat dan aktual yang memberikan manfaat dalam menjawab permasalahan. Manfaat tersebut dapat secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis untuk langkah pengembangan lebih lanjut dan secara praktis terwujud aktual. Dalam penelitian ini manfaat yang dapat dimanfaatkan adalah sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis a. Untuk menambah dan memperluas cakrawala pengetahuan tentang lingkungan sosial di rumah sakit. b.
Dapat mendukung teori-teori yang sudah ada sehubungan dengan masalah yang dibahas yaitu tentang dukungan sosial serta motivasi kerja perawat, baik perawat lakilaki maupun perawat perempuan. 2. Manfaat Praktis
a. Sebagai titik tolak untuk melaksanakan penelitian yang sejenis secara mendalam. b. Menambah kepustakaan baik bagi Program Studi, Jurusan maupun Fakultas.
BAB II LANDASAN TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA 1.
Motivasi Kerja
a. Pengertian Umum Motivasi Perilaku manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat lepas dari keadaan individu itu sendiri dan lingkungan mana individu itu berada. Sikap yang ditunjukkan muncul akibat dari adanya dorongan-dorongan yang ada dalam diri manusia yang bersangkutan.
Dorongan
atau
motif
tidak hanya satu macam, tetapi beraneka ragam sesuai dengan yang ia butuhkan. Hal ini karena kehidupan sosial yang bersifat dinamis, sehingga membawa dampak keadaan psikologis yang menyangkut motivasi manusia dalam melakukan aktivitasnya, termasuk dalam bekerja. Sebelum menginjak pada pengertian yang lebih spesifik mengenai motivasi kerja, perlu kiranya untuk menjabarkan beberapa pendapat mengenai pengertian umum motivasi. Kemudian harus pula dibedakan dengan istilah motif, meskipun keduanya mempunyai garis pengertian yang hampir sama. Pembedaan pengertian antara motivasi dan motif perlu untuk diuraikan agar tidak terjadi tumpang tindih satu sama lain. Selanjutnya, apabila dasar motivasi secara umum telah diuraikan dengan cukup, tentu akan lebih mudah dalam memahami motivasi kerja. Dengan kata lain, pengertian umum motivasi akan menjadi titik awal untuk mengetahui lebih lanjut mengenai motivasi kerja. Menurut Abraham Sperling (dalam Anwar 1993; 46) mengemukakan ; “Motive is defined as a tendency to activity, started by a drive and ended by an adjument. The adjusment is said to satisfy the motive”. Pengertian tersebut menjelaskan bahwa motif didefinisikan sebagai suatu kecenderungan untuk
beraktivitas, dimulai dari dorongan dalam diri (drive) dan diakhiri dengan penyesuaian diri. Penyesuaian diri ini terkait untuk memuaskan motif. Sedangkan menurut Moekijat (dalam Hasibuan 2005; 95-96) berpendapat bahwa “Motif adalah suatu pengertian yang mengandung semua alat penggerak dan alasan-alasan atau doronganmenyebabkan
ia
berbuat
10
dorongan
dalam
diri
manusia
yang
sesuatu”. Artinya sebuah motif adalah satu
pendorong dari dalam untuk beraktivitas atau bergerak dan secara langsung atau mengarah kepada sasaran yang ia harapkan. Hal senada diutarakan Merle J. Moskowits ( dalam Hasibuan 2005; 96) yang mengemukakan bahwa : “Motivation is usually defined the initiatif and direction of behavior and the study of motivation is effect the study of course of behavior. Pernyataan tersebut menerangkan bahwa Motivasi secara umum didefinisikan sebagai inisiatif dan pengarahan tingkah laku dan pelajaran motivasi sebenarnya merupakan pelajaran tingkah laku. Sehingga dapat dijelaskan bahwa pada dasarnya tindakan manusia selalu dilandasi sebuah motivasi yang siap untuk diarahkan sesuai pembelajaran tentang tingkah laku yang ia resapi. Sedangkan Harold Koontz (dalam Hasibuan 2005; 96) menyatakan ; “Motivation refers to the drive and effort to satisfy a want or goal”. Artinya Motivasi mengacu pada dorongan dan usaha untuk memuaskan kebutuhan atau suatu tujuan. Pendapat ini menerangkan bahwa ada titik kepuasan tertentu yang ingin dicapai seseorang dalam melakukan aktivitas-aktivitasnya, sehingga dirasa perlu bagi dirinya untuk melakukan tingkat usaha yang berguna bagi tujuannya tersebut. Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa motif merupakan suatu dorongan kebutuhan dalam diri seseorang yang perlu dipenuhi agar dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan, sedangkan motivasi adalah kondisi yang menggerakkan seseorang agar mampu mencapai tujuan dari motifnya. Secara sederhana, motif merujuk pada keadaan alamiah yang dimiliki manusia yakni berupa dorongan-dorongan tertentu dalam bertindak, sedangkan motivasi dikatakan sebagai energi untuk membangkitkan dorongan dalam diri. Artinya motivasi merupakan sejumlah proses- proses psikologikal, yang berproses sedemikian rupa sehingga meghasilkan suatu intensitas, arah, dan ketekunan individual dalam usaha untuk
mencapai tujuan. Intensitas adalah seberapa kerasnya seseorang berusaha, namun intensitas yang tinggi saja tidak akan membawa ke hasil yang diinginkan kecuali disertai dengan upaya dan arah yang jelas. b. Jenis-Jenis Motivasi Uraian mengenai jenis-jenis motivasi dalam tinjauan ilmu perilaku manusia bersifat komprehensif mencakup siklus kebutuhannya. Handoko (1992;30-39) menggolongkan motivasi menjadi motif biogenetis dan motif sosiogenetis. Penulis merangkum penjelasannya sebagai berikut : 1) Motif biogenetis Motif-motif biogenetis merupakan motif-motif yang berasal dari kebutuhan-kebutuhan organisme demi kelanjutan kehidupannya secara biologi. Motif ini bersifat alamiah dan berkembang dengan sendirinya sehingga dapat dipastikan semua orang memilikinya. Namun, semua orang mempunyai reaksi yang berbeda-beda dalam menanggapi motif-motif biogenetis. Adapun contoh motif biogenetis seperti; lapar, haus, bernafas, seks dan istirahat. 2) Motif sosiogenetis Motif sosiogenetis timbul sebagai akibat dari interaksi sosial dengan orang atau hasil kebudayaan. Moif ini sangat bervariasi karena tergantung pada hubungan manusia dengan lingkungannya. Motif sosiologis dapat dibagi lagi menjadi dua, yakni motif darurat dan motif objektif. Motif darurat muncul karena situasi lingkungan sangat mendorong individu untuk bertindak sesuatu, contohnya seperi: motif melepaskan diri dari bahaya, motif melawan motif mengatasi rintangan dan lain-lain . Sedangkan motif objektif berhubungan dengan orang-orang atau hal-hal yang berada di lingkungannya. Motif ini memuat dua bagian lagi, yakni motif eksplorasi dan motif manipulasi. Motif eksplorasi mengandung arti dalam diri manusia memiliki sifat untuk mengetahui banyak hal dan mengamati dengan teliti. Sedangkan motif manipulasi sebenarnya juga bertujuan eksplorasi, hanya saja motif manipulasi diartikan sebagai tindakan atau perbuatan mengerjakan sesuatu dengan tangan.
Sementara itu jenis motivasi yang berkenaan dengan kegiatan bekerja, dijelaskan secara singkat oleh Luthans (2005;299) yakni : 1) Motivasi ekstrinsik Motivasi ekstrinsik merupakan konsekuensi eksternal yang dapat dilihat individu (misalnya uang), biasanya dilakukan oleh orang lain sebagai satu kesatuan untuk memotivasi individu. 2) Motivasi Instrinsik Motivasi Instrinsik bersifat internal untuk individu, dan mendorong diri sendiri untuk belajar dan berprestasi. Pembedaan jenis motivasi tersebut di atas sangat lazim diuraikan dalam berbagai pembahasan mengenai motivasi. Dalam konteks aktivitas bekerja, dapat dijelaskan bahwa motivasi yang bersifat intinsik adalah manakala sifat pekerjaan itu sendiri yang membuat seorang termotivasi, orang tersebut mendapat kepuasan dengan melakukan pekerjaan tersebut bukan sekedar karena rangsangan lain seperti status ataupun uang. Sedangkan motivasi ekstrinsik adalah manakala elemen elemen diluar pekerjaan yang melekat di pekerjaan tersebut menjadi faktor utama yang membuat seorang termotivasi seperti status ataupun kompensasi. Sedangkan menurut Ranupandojo (2000;204) motivasi dibedakan dua jenis, yakni : 1) Motivasi positif ; proses untuk mempengaruhi orang lain agar menjalankan sesuatu yang kita inginkan dengan cara memberikan kemungkinan untuk mendapatkan hadiah. 2) Motivasi negatif ; proses untuk mempengaruhi seseorang agar mau melakukan sesuatu yang kita inginkan, tetapi teknik dasar yang digunakan adalah lewat kekuatan ketakutan. Dapat diterangkan bahwa motivasi yang positif adalah proses untuk mencoba mempengaruhi orang lain agar menjalankan suatu yang kita inginkan dengan cara memberikan kemungkinan untuk mendapatkan hadiah. Motivasi positif berupa :Penghargaan
terhadap pekerjaan yang dilakukan,
Informasi yaitu berupa
memberikan penjelasan kepada karyawan tentang latar belakang atau alasan pelimpahan tugas, Pemberian perhatian yang tulus kepada karyawan sebagai seorang individu, menimbulkan persaingan, misalnya dengan memberikan hadiah tertentu bila target tercapai, Kebanggan yaitu dengan menghargai hasil kerja karyawan yang
mempunyai prestasi yang baik sehingga dia bangga akan hasil kerjanya, Uang jelas merupakan suatu alat motivasi yang berguna untuk memuaskan kebutuhan ekonomi karyawan, dapat berupa gaji dan insentif, Partisipasi yaitu dengan menerima usul dari karyawan dalam pengambilan keputusan, atau dengan kata lain karyawan diikut sertakan dalam pengambilan keputusan, Motivasi yang negatif, merupakan kebalikan dari semua tindakan yang diambil oleh motivator melaksanakan motivasi yang positif. Motivasi yang negatif diperlukan agar berusaha untuk menghindarinya, sehingga akan menimbulkan dorongan di dalam diri karyawan tersebut untuk bekerja dengan sebaik-baiknya. Tetapi pemberian motivasi yang negatif yang diberikan secara berlebihan dapat menimbulkan kebencian dan dendam dan hal ini akan dapat merusak moral kerja karyawan. c. Motivasi Kerja Kehidupan manusia tampak dari beranekaragam kegiatan atau aktivitas yang dilakukan. Salah satu bentuk aktivitas manusia itu adalah bekerja. Dapat dikatakan bahwa manusia adalah mahkluk yang berkarakteristik kerja atau sebagai homo faber. Aktivitas kerja memiliki nilai yang penting dalam kehidupan manusia. Dengan bekerja, memungkinkan seseorang untuk memperoleh apa saja yang dibutuhkan. Tentu banyak ragam alasan mengapa seorang bekerja dan dengan sengaja mengikatkan diri menjadi bagian dari organisasi. Kartini Kartono (2005;18-19) mengungkapkan pandangan modern tentang arti kerja/karya bagi manusia, antara lain sebagai berikut ; 1) Kerja itu merupakan aktivitas dasar dan bagian essensial dari kehidupan manusia. Sama seperti kegiatan bermain bagi anak-anak, maka kerja memberikan kesenangan dan arti tersendiri bagi kehidupan sebab kerja itu memberikan status kepada seseorang dan mengikatkan diri sendiri dengan individu-individu lain dalam masyarakat. 2) Kerja merupakan aktivitas sosial yang memberikan bobot dan isi kepadanya. Karena itu, baik wanita maupun pria pada umumnya menyukai pekerjaan dan suka bekerja. Jika ada orang yang tidak pekerjaan, maka pada umumnya terletak kondisi psikologis dan kondisi sosialnya dan tidak pada kondisi orang yang bersangkutan. 3) Moral dari individu itu tidak mempunyai kaitan langsungg dengan kondisi fisik/meteriil dari pekerjaan. Sebab, pekerjaan yang betapapun berat dan kotor dan berbahayanya akan dilaksanakan dengan bersungguh-sungguh oleh satu tim yang
memiliki semanagta tinggi, solidaritas kelompok yang kuat, bermoral tinggi dan mempunyai pemimpin yang baik. 4) Insentif kerja itu banyak bentuknya, antara lain uang, jaminan sosial, jaminan hari tua, status sosial dan lain-lain. Berkaitan dengan hal ini pengangguran merupakan salah satu insentif negatif paling besar, karena orang yang menganggur itu pasti ada dalam posisi marjinal. Selanjutnya insentif immateriil dalam kerja kelompok adalah pemimpin yang baik. Bertolak dari makna bekerja bagi manusia yang begitu penting, maka unsur motivasi tidak dapat dilepaskan dari prosesnya. Adapun usaha pemenuhan kebutuhan manusia dalam bekerja ini sering diistilahkan dengan motivasi kerja. John R. Schermerhorn (dalam Winardi 2001;2) mengemukakan bahwa : ”...motivasi untuk bekerja, merupakan sebuah istilah yang digunakan dalam bidang perilaku keorganisasian (organization behavior=OB), guna menerangkan kekuatan-kekuatan yang terdapat pada diri seseorang individu, yang menjadi penyebab timbulnya tingkat, arah, dan persistensi upaya yang dilaksanakan dalam hal bekerja. Lebih lanjut, Alain Mitrani (1992;157) mengatakan ”motif-motif pribadi mengarahkan dan mengendalikan perilaku dalam pekerjaan”. Itulah mengapa manajeman motivasi hampir dilakukan oleh seluruh organisasi, baik yang bersifat profit ataupun non-profit. Banyak ragam kegiatan dan pendekatan yang mengarahkan agar sumber daya manusia yang dimiliki mempunyai motivasi kerja yang tinggi. Ini tidak lepas dari tujuan pemotivasian, yakni meningkatkan kompetensi yang dimiliki pekerja. Sehingga dengan motivasi kerja yang tinggi, organisasi berharap dapat mencapai prestasi yang lebih tinggi pula. Sudah umum diketahui pula, bahwa produktivitas suatu organisasi atau perusahaan dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti kesempatan memperoleh pendidikan dan pelatihan tambahan, penilaian prestasi kerja yang adil, rasional dan objektif, sistem imbalan yang pantas, dan sebagainya. Mengenai hal ini, Gomez (1997; 181) mengemukakan dua kategori utama yang menjelaskan tentang motivasi kerja, yakni ; 1)
Content (a) Employee Needs. Seorang pekerja mempunyai sejumlah kebutuhan yang hendak dipenuhi, yang berkisar pada ; (1) eksistence (biological and safety) (2) relatedness (affection, companionship, and influence) ; dan
2)
(3) growth (achievement and self-actualization). Ini semua merupakan stimuli internal yang menyebabkan perilaku; (b) Organizational Incentives. Organisasi mempunyai sejumlah rewards untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pekerja. Rewards ini mencakup : (1) subtantive rewards (pay, job security, and physical working conditions), (2) interactive rewards (co-workers, supervision, praises, and recognition), dan (3) intrinsic rewards (accomplishment, challenge, and responsibility). Faktor-faktor ini berpengaruh terhadap arah dari perilaku pekerja. (c) Perceptual Outcomes. Pekerja biasanya mempunyai sejumlah persepsi mengenai; (1) nilai dari reward organisasi (2) hubungan antara performansi dengan rewards, dan (c) kemungkinan yang bisa dihasilkan melalui usaha-usaha mereka dalam performansi kerjanya. Procces Theory Procces Theory atau teori proses lebih mengarahkan perhatiannya pada proses melalui pekerja yang melakukan pilihan-pilihan motivasinya. Teori proses atau reinforement menyatakan bahwa perilaku seorang pekerja dapat dikendalikan dengan rewars dan punisment (hukuman). Kedua kategori di atas adalah teori yang telah dikembangkan para sarjana
untuk menjelaskan motivasi pekerja di dalam organisasi. Pada hakekatnya, kedua teori menjelaskan bahwa motivasi dari para pekerja akan saling berbeda antara satu dengan yang lain. Latar belakang individul seperti ; tingkat pendidikan, keluarga, kondisi ekonomi punya kontribusi dalam mempengaruhi bentuk dan tingkat motivasinya dalam bekerja. Artinya sumber motivasi pekerja dalam sebuah organisasi terdapat banyak ragam dan berproses secara dinamis. Kemudian ada standar-standar kebijakan tertentu yang diambil sebuah organisasi dalam rangka pengembangan kualitas kerja/kinerja melalui proses pemotivasian pekerjanya. Keterkaitan antara motivasi tinggi dan kinerja yang baik ditegaskan pula oleh Gerungan (2000;144) yang menyatakan : Semua pekerjaan, selain membutuhkan adanya kecakapan-kecakapan pribadi, juga membutuhkan motivasi yang cukup pada pribadi tersebut untuk melaksanakan pekerjaan itu dengan berhasil. Tanpa motivasi orang tidak akan berbuat apa-apa, tidak akan bergerak. Malahan kerap kali pekerjaan itu dapat diselesaikan dengan baik oleh orang yang bermotivasi kuat dan berkecakapan sedang-sedang saja, sedangkan orang yang berkecakapan tinggi tanpa motivasi yang kuat, tak akan menyelesaikan pekerjaan tersebut.
Pernyataan tersebut di atas menandakan bahwa motivasi dalam bekerja sangat terkait dengan usaha dalam mencapai hasil pekerjaan yang memuaskan. Dengan kata lain, kompetensi individu yang bekerja dengan sederet tugas yang dilimpahkan padanya akan berhasil dengan baik, meski ia belum memiliki kemampuan di atas rata-rata. Sebaliknya bagi pekerja atau karyawan yang sebenarnya cukup memadai dari segi kemampuan, akan menjadi percuma ketika motivasi kerja dalam dirinya sendiri lemah sehingga pekerjaan yang menjadi wewenangnya tidak terselesaikan dengan baik. Berangkat dari paparan di atas, maka yang dimaksud dengan motivasi kerja adalah sesuatu yang menimbulkan dorongan atau semangat dalam bekerja. Dalam kehidupan sosial yang dinamis ini banyak faktor yang dapat memicu motivasi kerja seseorang untuk bekerja. Terlebih lagi, dalam rangka pemberdayaan studi sumber daya
manusia
yang
dilakukan
suatu
organisasi,
maka
motivasi
kerja
karyawan/anggota selalu mendapat perhatian. Motivasi kerja merupakan masalah kompleks dalam organisasi, karena kebutuhan dan keinginan setiap anggota organisasi berbeda satu dengan yang lainnya. Hal ini berbeda karena setiap anggota suatu organisasi adalah unik secara biologis maupun psikologis, dan berkembang atas dasar proses belajar yang berbeda pula.
d. Teori-Teori Motivasi Kerja Munculnya teori dianggap sebagai sarana pokok untuk menyatakan hubungan sistematik dalam gejala sosial. Begitupula dengan topik motivasi manusia yang memiliki perkembangan teori dari waktu ke waktu. Pada bagian ini, secara khusus akan membicarakan teori motivasi sebagai penggerak aktivitas manusia dalam bekerja. 1) Teori Kebutuhan Maslow Teori Maslow (teori hierarki kebutuhan) sering digunakan untuk meramalkan perilaku orang dalam kelompok atau organisasi, dan bagaimana memanipulasi atau membentuk perilaku tersebut dengan cara memenuhi kebutuhannya, meskipun Maslow sendiri tidak pernah ber-maksud untuk
diterapkan dalam motivasi kerja. Ia memandang bahwa manusia selalu berusaha memenuhi kebutuhan yang lebih pokok terlebih dahulu sebelum berusaha memenuhi kebutuhan lainnya, artinya kebutuhan yang lebih mendasar harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum kebutuhan tambahan yang lebih tinggi mulai mengendalikan perilaku seseorang. Inti dari pemikiran Maslow ini adalah: kebutuhan yang telah dipenuhi (sebagian atau keseluruhan) akan berhenti daya motivasinya, kemudian motivasinya berpindah ke upaya untuk memenuhi kebutuhan lainnya yang lebih tinggi. Kebutuhan itu tersusun dalam suatu hirarki, dimana kebutuhan yang tertinggi adalah kebutuhan realisasi diri dan kebutuhan paling dasar adalah kebutuhan fisiologis. Kebutuhan manusia menurut teori Maslow (dalam Atkinson et al) dapat diidentifikasikan dalam gambar hierarki kebutuhan Maslow dibawah ini:
Kebutuhan Estetik : keserasian, keteraturan, dan keindahan
Kebutuhan kognitif: Mengetahui, memahami, dan menjelajahi Kebutuhan aktualisasi diri: Mendapatkan kepuasan diri dan menyadari potensinya Kebutuhan akan penghargaan : berprestasi, berkompetensi, dan mendapatkan
dukungan dan pengakuan Kebutuhan akan cinta dan rasa memiliki : berafiliasi dengan orang lain, diterima, dan memiliki Kebutuhan akan rasa aman : merasa aman dan terlindungi, jauh dari bahaya Kebutuhan fisiologi : rasa lapar, haus, dan sebagainya
Gambar 1. Hierarki Kebutuhan Maslow Kebutuhan
fisiologis
adalah
kebutuhan
yang
diperlukan
untuk
mempertahankan kelangsungan hidup seseorang seperti sandang, pangan, papan. Organisasi membantu individu dengan menyediakan gaji yang baik, keuntungan serta kodisi kerja untuk memuaskan kebutuhannya. Kemudian, Jika kebutuhan fisiologis sudah sedikit terpenuhi maka akan beranja pada kebutuhan rasa aman, misal aman dari kecelakaan dan keselamatan dalam melaksanakan pekerjaan. Kebutuhan ini mengarah pada bentuk kebutuhan akan keamanan dan keselamatan jiwa di tempat kerja pada saat mengerjakan pekerjaan pada waktu jam-jam tertentu. Selanjutnya, kebutuhan cinta dapat diartikan sebagai kebutuhan sosial misalnya berteman, motivasi serta mencintai serta diterima dalam pergaulan lingkungan kerjanya. Manusia pada dasarnya selalu ingin hidup berkelompok dan tidak seorangpun manusia ingin hidup menyendiri. Kebutuhan ini terdiri dari: 1) Kebutuhan akan perasaan diterima oleh orang lain di tempat ia bekerja 2) Kebutuhan akan perasaan dihormati. Karena manusia merasa penting. Serendah rendahnya pendidikan dan kedudukan
dirinya seseorang
tetap merasa dirinya penting. 3) Kebutuhan akan perasaan kemajuan Manusia pada dasarnya tidak sanggup untuk menyenangi kegagalan. Kemajuan di segala bidang merupakan keinginan dan kebutuhan yang menjadi idaman setiap orang.
4) Kebutuhan akan perasaan ikut serta. Setiap karyawan akan merasa senang jika diikutkan dalam berbagai kegiatan dan mengemukakan saran atau pendapat pada pimpinan.
Adapun kebutuhan di tingkat penghargaan merupakan kebutuhan akan pengakuan
serta
penghargaan
prestise
dari
karyawan
dan
masyarakat
lingkungannya. Ideal pretise timbul karena adanya prestasi, meskipun tidak selamanya demikian. Kemudian timbul pula kebutuhan kognitif berupa keinginan tahu yang besar akan sesuatu. Selain itu secara alamiah, manusia terdorong juga untuk mencari nilai estetik atau keindahan dalam hidupnya. Sedangkan kebutuhan aktualisasi diri dipenuhi dengan menggunakan kecakapan, kemampuan, ketrampilan, dan potensi optimal untuk mencapai prestasi kerja yang sangat memuaskan atau luar biasa yang sulit dicapai orang lain. Teori Maslow tentang motivasi secara mutlak menunjukkan perwujudan diri sebagai pemenuhan (pemuasan) kebutuhan yang bercirikan pertumbuhan dan pengembangan individu. Perilaku yang ditimbulkannya dapat dimotivasikan oleh manajer dan diarahkan sebagai subjek-subjek yang berperan. Dorongan yang dirangsang ataupun tidak, harus tumbuh sebagai subjek yang memenuhi kebutuhannya masing-masing yang harus dicapainya dan sekaligus selaku subjek yang mencapai hasil untuk sasaran-sasaran organisasi. Kendati pemikiran Maslow tentang teori kebutuhan ini tampak lebih bersifat teoritis, namun telah memberikan fundasi dan mengilhami bagi pengembangan teori-teori motivasi yang berorientasi pada kebutuhan berikutnya yang lebih bersifat aplikatif.
2) Teori Mc. Clellandd’s Achievment/ teori motivasi berprestasi Teori ini dikemukakan oleh David Mc. Clelland. Secara singkat teori ini menyatakan bahwa karyawan mempunyai energi potensial. Bagaimana energi dilepaskan dan digunakan tergantung pada kekuatan dorongan motivasi seseorang dan situasi serta peluang yang tersedia. Energi akan dimanfaatkan oleh karyawan
karena didorong oleh; (1) kekuatan motif dan kebutuhan dasar yang terlibat, (2) harapan keberhasilannya dan (3) nilai intensif yang terlekat pada tujuan. Mc
Clelland
(dalam
Hasibuan;
2005;111-113)
mengelompokkan
kebutuhan manusia yang dapat memotivasi gairah bekerja, yakni ; a) Kebutuhan akan prestasi (Need For Achievment; n.A ch) Kebutuhan akan prestasi merupakan daya penggerak yang memotivasi semangat kerja seseorang. n.Ach ini akan mendorong seseorang untuk mengembangkan kreatifitas dan mengarahkan semua kemampuan serta energi yang dimiliki demi mencapai prestasi kerja yang optimal. b) Kebutuhan Akan Afiliansi (needs for Afiliation;n.Af) Need for Afiliation menjadi daya gerak yang akan memotivasi semangat kerja seseorang, karena itu n.Af ini yang merangsang gairah kerja seseorang karyawan, sebab setiap energi mengidentifikasikan; (1) kebutuhan perasaan diterima oleh orang lain di lingkungan ia hidup dan bekerja (sense of belonging); (2) kebutuhan perasaan dihormati, karena setiap manusia merasa dirinya penting (sense of importance) (3) kebutuhan perasaan maju dan tidak ingin gagal (sense of Achievment) (4) kebutuhan akan perasaan ikut serta (sense of participation). Jadi, karena n.Af ini karyawan akan memotivasi dan mengembangkan dirinya sehingga akan semaksimal mungkin menyelesaikan tugas-tugasnya yang diembannya. c) Kebutuhan akan kekuasaan (n.Pow) Kebutuhan ini akan mendorong orang untuk mencapai kekuasaan atau kedudukan yang terbaik dalam organisasi. Karena faktor inilah persaingan antar karyawan sering timbul. Ketiga point motivasi berprestasi di atas menunjukkan bahwa keinginan atau dorongan yang timbul dari seseorang adalah untuk memacu semangat kerja agar meraih sesuatu yang positif dalam kariernya, dihargai oleh pihak perusahaan/organisasi karena dinilai telah memberikan seluruh kemampuan yang dimiliki demi kemajuan perusahaan/organisasi. Motivasi berprestasi menjadi semacam kekuatan pendorong yang ada pada diri seseorang untuk mencapai keberhasilan atau kesuksesan. Beberapa orang mempunyai dorongan yang kuat sekali untuk berhasil. Mereka bergulat untuk prestasi pribadi bukanya untuk ganjaran sukses sematamata. Mereka mempunyai hasrat untuk melakukan sesuatu dengan baik atau lebih efisien daripada yang telah dilakukan sebelumnya. Dengan kata kebutuhan akan prestasi (need for achievement), adalah situasi dimana setiap orang dapat
mencapai tanggung jawab pribadi untuk menemukan pemecahan terhadap problem-problem, dimana mereka mendapat umpan balik yang cepat atas kinerja mereka sehingga mereka dapat mengetahui dengan mudah apakah mereka menjadi lebih baik atau tidak, dan dimana mereka dapat menentukan tujuantujuan yang sedang sedang tantangannya. Kebutuhan kedua yang dipencilkan oleh McClelland adalah pertalian atau afiliasi (need for affiliation). Yaitu hasrat untuk disukai dan diterima baik oleh orang-orang lain. Individuindividu dengan motif afiliasi yang tinggi berjuang keras untuk persahabatan, lebih menyukai situasi kooperatif daripada situasi kompetitif, dan sangat menginginkan hubungan yang sangat melibatkan derajat pemahaman timbal-balik yang tinggi. Kebutuhan akan kekuasan (need for power) adalah hasrat untuk mempunyai dampak, berpengaruh, dan mengendalikan orang-orang lain. Individu-individu dengan kekuasaan yang tinggi menikmati untuk dibebani, bergulat untuk dapat mempengaruhi orang lain, lebih menyukai ditaruh ke dalam situasi kompetitif dan berorientasi-status, dan cenderung lebih peduli akan prestise (gengsi) dan memperoleh pengaruh terhadap orang-orang lain daripada kinerja yang efektif. Orang-orang yang memiliki tingkat kebutuhan yang tinggi terhadap kekuasaan lebih menyukai situasi dimana mereka dapat memperoleh dan mempertahakan kendali sarana untuk mempengaruhi orang lain. Mereka suka berada dalam posisi memberikan saran dan pendapat, serta membicarakan orang lain sebagai alat. Dengan cara ini mereka dapat memenuhi kebutuhan akan kekuasaan Sebagai catatan, teori ini juga mengemukakan bahwa setiap orang memiliki semua kebutuhan itu dalam kadar tertentu. Tetapi, tidak ada dua orang yang sama memiliki semua kebutuhan itu dalam proporsi yang sama. Sebagai contoh, seseorang mungkin memiliki kebutuhan untuk berprestasi dengan kadar tinggi tetapi rendah kadar kebutuhan afiliasinya. Orang lain mungkin memiliki kebutuhan berafiliasi dengan kadar tinggi, tetapi rendah kadar kebutuhannya untuk berkuasa 3) Teori Motivasi Dua Faktor dari Herzberg
Teori motivasi dua faktor ini dikembangkan oleh Frederick Herzberg. Pada dasarnya, teori ini berhubungan dekat dengan hierarki kebutuhan Maslow. Hanya saja, Teori yang dikembangkan oleh Herzberg berlaku mikro yaitu untuk karyawan atau pegawai pemerintahan di tempat ia bekerja saja. Sementara teori motivasi Maslow misalnya berlaku makro yaitu untuk manusia pada umumnya. Kedua, teori Herzberg lebih eksplisit dari teori hirarki kebutuhan Maslow, khususnya mengenai hubungan antara kebutuhan dengan performa pekerjaan. Lebih jelasnya teori dua faktor Herzberg (Herzberg’s Two Factor Theory) yang dikutip oleh Luthans (2008 : 160) sebagai berikut :
Tabel 1. Teori dua faktor Herzberg Faktor Higienis
Motivator
Kebijakan dan administrasi perusahaan
Prestasi
Pengawasan, teknis
Penghargaan
Gaji
Pekerjaan itu sendiri
Hubungan antar pribadi, penyelia
Tanggung jawab
Kondisi kerja
Kemajuan
Secara singkat, Menurut teori ini ada dua faktor yang mempengaruhi kondisi pekerjaan seseorang, yaitu faktor higienis dan motivator. Faktor higienis pada intinya bersifat alamiah yang apabila kondisi ini tidak tersedia membuat orang merasa tidak puas, tapi bila kondisi ini tersedia tidak akan memotivasi orang untuk bekerja lebih baik. Dengan kata lain, Faktor higienis merupakan persyaratan minimum untuk terbebas dari rasa tidak puas, seperti: upah minimum, rasa aman dalam bekerja, suasana kerja yang menyenangkan, status yang jelas, prosedur yang jelas, mutu pengawasan teknis yang kontinyu, suasana hubungan antar manusia yang menyenangkan. Selanjutnya, faktor motivator akan lebih mendorong motivasi kerja serta lebih meningkatkan produktivitas kerja, tapi apabila tidak tersedia, tidak akan menimbulkan rasa ketidak-puasan yang berlebihan atau sampai merusak situasi kerja, seperti: kesempatan untuk mencapai prestasi kerja yang terbaik
(achievement), pengakuan atas prestasi yang dicapai (recognition), pemberian tanggung jawab penuh atas tugas yang diberikan (responsibility), kesempatan untuk terus mencapai kemajuan dalam pekerjaan (advancement), kesempatan untuk terus berkembang dalam karier (growth), kesesuaian jenis pekerjaan dengan kemampuan yang dimiliki (work) 4) Teori Harapan Vroom Teori harapan menyatakan bahwa motivasi kerja dideterminasi oleh keyakinan-keyakinan individual sehubungan dengan hubungan upaya-kinerja, dan didambakannya berbagai macam hasil kerja, yang berkaitan dengan tingkat kinerja yang berbeda-beda. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa teori tersebut berlandaskan logika: "Orang-orang akan melakukan apa yang dapat mereka lakukan, apabila mereka berkeinginan untuk melakukannya". Skema mengenai teori harapan oleh Vroom digambarkan oleh Luthans (2008;286) sebagai berikut: INSTRUMENTALITAS HARAPAN
Hasil Level Pertama
Hasil Level Kedua
Hasil level Hasil 1a
Hasil 1 Hasil 1b
KEKUATAN MOTIVASIONAL F = Valensi x Harapan Hasil 2
Hasil 2c
Hasil 2b
Hasil 2c
Gambar 2. Teori Harapan Vroom tentang motivasi kerja, atau VIE
Arti valensi dapat dijelaskan sebagai kekuatan preferensi individu untuk hasil akhir tertentu seperti nilai, sikap, dan utilitas yang diharapkan. Agar valensi
menjadi positif, orang harus lebih menyukai memperoleh hasil daripada tidak memperolehnya sama sekali. Input utama dalam valensi adalah instrumen dari hasil level pertama untuk memperoleh hasil level kedua yang diinginkan. Misalnya, orang akan termotivasi terhadap kinerja superior karena keinginan untuk dipromosikan. Kinerja superior (hasil level pertama) dinilai sebagai instrumen untuk memperoleh promosi (hasil level kedua). Sedangkan variabel lain adalah harapan yang menghubungkan usaha dengan hasil level pertama, sementara instrumentalitas menghubungkan hasil level pertama dengan level kedua.. Instrumentalitas mengacu pada tingkat dimana hasil level pertama akan mengakibatkan hasil level kedua yang diinginkan. Lebih lanjut, terkait implikasi model pada perilaku organiasasi, Luthans (2008;287) menjelaskan: ”Teori Vroom berasal dari teori kepuasan yang menggambarkan proses variabel kognitif yang mencerminkan perbedaan individu dalam motivasi kerja”. Artinya sebagai suatu model, teori harapan mengenali bahwa tidak ada asas yang universal untuk menjelaskan motivasi dari semua orang. Di samping itu, hanya karena kita memahami kebutuhan apakah yang dicari seseorang untuk dipenuhi tidaklah memastikan bahwa individu itu sendiri mempersepsikan kinerja tinggi sebagai penghantar ke pemenuhan kebutuhankebutuhan ini Dalam istilah yang lebih praktis, teori ini beragumen bahwa kekuatan dari suatu kecenderungan untuk bertindak dengan suatu cara tertentu bergantung pada kekuatan dari suatu pengharapan bahwa tindakan itu akan diikuti oleh suatu keluaran tertentu dan pada daya tarik dari keluaran tersebut bagi individu tersebut. Teori pengharapan mengatakan seorang karyawan dimotivasi untuk menjalankan tingkat upaya yang tinggi bila ia meyakini upaya akan menghantar kesuatu penilaian kinerja yang baik, suatu penilaian yang baik akan mendorong ganjaranganjaran organisasional, seperti bonus, kenaikan gaji, atau promosi dan ganjaran itu akan memuaskan tujuan pribadi karyawan tersebut. Jadi, dapat simpulkan teori harapan Vroom dapat menjelaskan mengapa banyak sekali pekerja tidak termotivasi pada pekerjaannya dan semata-mata melakukan yang minimum yang diperlukan untuk menyelamatkan diri. Kunci ke
teori harapan adalah pemahaman dari tujuan-tujuan seorang individu dan tautan antara upaya dan kinerja, antara kinerja dan ganjaran, dan akhirnya antara ganjaran dan dipuaskannya tujuan individual.
e. Faktor-faktor Motivasi kerja Dalam suatu organisasi keberadaan sumber daya manusia perlu diperhatikan, karena manusia adalah sumber daya yang memiliki potensi yang harus dikembangkan dan digunakan sebaik-baiknya bagi kemajuan organisasi. Pada dasarnya kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat individu dan setiap individu dakan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan sistem niai-nilai yang berlaku pada dirinya Terkait akan hal tersebut, maka motivasi kerja merupakan unsur yang sangat penting, karena pada prinsipnya orang akan melakukan sesuatu dengan lebih banyak dan baik apa yang mereka nikmati dan lebih sedikit daripada apa yang mereka tidak nikmati. Mengenai hal ini, Gomes (1997;177) mengemukakan : motivasi itu melibatkan faktor individual dan faktor-faktor eksternal organisasional. Yang tergolong pada faktor-faktor yang sifatnya individual adalah : kebutuhan-kebutuhan (needs), tujuan (goals), sikap (attitudes) dan kemampuan (abilities). Sedangkan yang tergolong pada faktor-faktor yang berasal dari organisasi meliputi pembayaran atau gaji (pay), keamanan pekerjaan (job security), sesama pekerja (co workers), pengawasan (supervision), pujian (praise) dan pekerjaan itu sendiri (job itself). Menyimak apa yang disampaikan Gomes tesebut di atas, maka sumber daya manusia merupakan sumber keunggulan kompetitif bagi organisasi serta menjadi faktor penentu akhir kinerja organisasi. Sebaliknya pula, bagi pekerja, memberikan kinerja yang maksimal dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan individual yang mereka miliki. Artinya, terdapat beberapa hubungan dinamis dan saling bersinergis antara kepentingan yang bersifat individual dan organisasional. Berdasarkan uraian yang telah disampaikan, maka dapat disimpulkan faktorfaktor yang mempengaruhi tingkat motivasi kerja sebagai berikut : a) Minat atau perhatian terhadap pekerjaan berpengaruh terhadap motivasi seseorang merasa bahwa minat atau perhatiannya sesuai dengan jelas sifat
dan pekerjaan yang dilakukan maka akan meningkatkan motivasi kerjanya. b) Faktor upah / gaji yang tinggi dapat dipandang sebagai faktor yang dapat mempertinggi motivasi kerja. c) Faktor status sosial dari pekerjaan dapat mempengaruhi motivasi kerja. Pekerjaan yang mendapat status sosial/posisi yang tinggi atau baik. d) Faktor suasana kerja dan hubungan kemanusiaan yang lebih sehingga setiap orang merasa diterima dan dihargai dalam kelompoknya dapat mempertinggi motivasi kerja.
2. Pembagian Kerja Menurut Jenis Kelamin Jenis kelamin, suatu pembedaan saling mencolok yang secara tegas membagi manusia dalam dua kelompok, yakni laki-laki dan perempuan. Pembedaan berdasarkan jenis kelamin ini mengacu pada atribut fisik yang diterima secara biologis. Di lain pihak, seks tersebut digunakan sebagai dasar untuk menyusun kategori sosial yang disebut gender: atribut sikap (attitude). Dan perilaku (behaviors) yang dikonstruksi secara sosial untuk melahirkan dua kategori yang dikotomis yaitu femenin dan maskulin. Secara sederhana, jenis kelamin membentangkan jarak perbedaan fisik antara laki-laki dan perempuan, sedangkan gender berdiri sebagai atribut sosial yang melekat pada jenis kelamin tersebut. Implikasi selanjutnya, timbul peranan yang menentukan wilayah aktivitas perempuan berada di dalam wilayah domestik yang dekat dengan sifatsifat feminitasnya. Sedangkan sifat maskulinitas yang dimiliki laki-laki memungkinkan mereka cocok untuk melakukan pekerjaan disektor publik sebagai pencari nafkah dan pelindung keluarga. Megawangi ( 2001; 94-108) memaparkan bahwa ada dua argumen yang saling bertentangan mengenai pembentukan sifat maskulin dan feminin pada pria dan wanita. Penulis merangkumnya sebagai berikut : a. Mahzab Essensial Biologis (Biological Essentialism) Pemikiran essensial biologis ini memuat konsep nature yang membedakan antara pria dan wanita (sex). Mahzab ini percaya bahwa perbedaan sifat maskulin dan feminin ada hubungannya, bahkan tidak lepas dari, pengaruh
perbedaan biologis (seks) pria dan wanita. Keadaan biologis manusia dianggap dapat mempengaruhi tingkah laku manusia. b. Mahzab Orientasi Kultur (Culturally Oriented Constentants) Pemikiran Orientasi Kultur membawa pengertian gender sebagai konsep nurture. Pemikiran ini percaya bahwa pembentukan sifat maskulin dan feminin bukan disebabkan oleh adanya perbedaan biologis antara pria dan wanita, melainkan karena adanya sosialisasi atau kulturalisasi. Sifat maskulin dan feminin dikonstruksi oleh sosial budaya melalui sosialisasi.
Selanjutnya, Moore dan Sinclair (dalam Sunarto, 2000;117) mengidentifikasikan dua macam segresi jenis kelamin dalam angkatan kerja ;vertikal dan horizontal. Segresi vertikal mengacu pada terkonsentrasinya pekerja perempuan pada jenjang rendah dalam organisasi. Seperti misalnya jabatan pramuniaga, pramusaji, tenaga kebersihan, pramugari sekretaris, pengasuh anak, guru taman kanak-kanak, perawat, kasir dan lain sebagainya. Segresi horizontal, dipihak lain, mengacu pada kenyataan bahwa pekerja perempuan sering terkonsentrasi di jenjang pekerjaan yang berbeda dengan jenis pekerjaan yang dilakukan pekerja laki-laki. Dilandaskan orientasi peran gender yang sudah ditetapkan selama ini, tentu akan sangat sukar untuk melaksanakan tugas yang memiliki sifat berbeda dengan tugas yang selama ini dilakukan misalnya laki-laki harus mengurus rumah tangga dan perempuan bekerja mencari nafkah. Perubahan dalam dunia kerja saat ini yang menunjukkan semakin banyaknya angkatan kerja perempuan yang memasuki dunia pekerjaan yang selama ini didominasi oleh laki-laki. Sebaliknya, adapula dunia kerja yang telah diidentifikasikan sebagai pekerjaan perempuan telah turut diminati oleh kaum laki-laki. Meskipun demikian, dari aspek psikologi sosial, pembedaan peran gender masih terjadi. Faktor sejarah yang begitu panjang serta fakta bahwa individu memiliki komponen psikologis dan sosial dari kedua jenis kelamin, streotipe yang berdasar gender ini terus berlanjut meski saat ini telah memasuki era modern.
Dengan kata lain,
walaupun saat ini makin banyak wanita yang bekerja diluar rumah, kesamaan yang utuh dalam dunia kerja tidak lantas begitu saja terjadi. Mengenai hal ini diutarakan Cejka dan Eagly (dalam Baron dan Byrne, 2004 ;197) yang menyatakan bahwa :
“..., di tempat kerja, gender dan peran gender tetaplah menjadi isu sentral. Sebagai contoh, pekerjaan yang dipersepsikan sebagai maskulin atau feminin, dan kesuksesan yang dipersepsikan tergantung pada atribut maskulin (berani, kompetitif, matematis) dalam pekerjaan maskulin dan atribut feminin (cantik, bekerjasama, intuitif) dalam pekerjaan feminin. Dari paparan di atas, maka peran gender merupakan persoalan yang terjadi dalam segala konteks kehidupan masyarakat. Karena kehidupan masyarakat pada dasarnya dibentuk oleh interaksi anggota yang terdiri dari dua jenis kelamin, yakni laki-laki dan perempuan. Begitu pula dalam hal bekerja, faktor jenis kelamin dapat turut mempengaruhi seberapa jauh tingkat motivasi individu dalam bekerja
3. Konsepsi Dasar Perawat a. Definisi Perawat dan keperawatan Ketika berbicara mengenai dunia keperawatan, yang pertama kali perlu dipahami adalah dua konsep mengenai perawat (nurse) dan keperawatan (nursing). Kata “perawat“ merujuk pada orang atau pelaku dari kegiatan perawatan. Menurut Aziz (2007;3) keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan kesehatan yang bersifat professional dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia (biologis, psikologis, sosial dan spritual) yang dapat ditujukan kepada individu, keluarga atau masyarakat dalam rentang sehat-sakit. Artinya keperawatan merupakan pengabdian kepada manusia dan kemanusiaan. Dengan kata lain, upaya keperawatan menjadi cara untuk menolong sesama baik sakit maupun sehat, agar mampu memenuhi kebutuhan kesehatannya. Tentunya pelayanan keperawatan tidak secara sembarang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kompetensi di bidang keperawatan. Namun, proses keperawatan ini berdasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan yang mengintegrasikan sikap, kemampuan intelektual, serta keterampilan teknikal dari pendidikan keperawatan yang ditempuhnya. Seperti yang yang telah disepakati pada lokakarya nasional kelompok kerja keperawatan konsorsium ilmu kesehatan tahun 1983 (dalam Aziz, 2007;14) di Jakarta, maka pemahaman mengenai definisi keperawatan dapat dilihat sebagai berikut; Keperawatan merupakan suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat
keperawatan berbentuk pelayanan biopsikososial dan spritual yang komprehensif, ditujukan kepada individu, keluarga dan masyarakat baik sakit maupun sehat yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia. Berpijak pada definsi di atas, maka keperawatan merupakan rangkaian kegiatan pelayanan secara menyeluruh terhadap individu, keluarga, kelompok dan masyarakat yang mempunyai masalah kesehatan. Pelayanan yang diberikan adalah upaya untuk mencapai derajat atau tingkatan kesehatan semaksimal mungkin. Sedangkan makna profesional sendiri mengacu pada proses keperawatan sebagai metode ilmiah yang tentunya tidak lepas dari kerjasama dengan tim kesehatan lainnya. Sehingga, keperawatan yang dapat dikatakan profesional adalah ketika dijalankan oleh individu yang menguasai kiat-kiat atau ilmu keperawatan, yakni yang berkenaan dengan masalah-masalah fisik, psikologis, sosiologis, budaya dan spiritual. Atas dasar pelayanan profesional, maka sudah semestinya praktek keperawatan yang diberikan pada berbagai tatanan pelayanan kesehatan dilaksanakan menggunakan
metodologi
pemecahan
masalah
melalui
pendekatan
proses
keperawatan, berpedoman pada standar keperawatan, dilandasi etik dan etika keperawatan dalam lingkup wewenang serta tanggung jawabnya. Terkait
dengan
itu,
kemampuan
dalam
keperawatan
yang
dapat
dipertanggungjawabkan diserahkan pada profesi perawat. Seperti profesi lainnya profesi perawat dapat diperoleh melalui wadah pendidikan formal. Seperti yang terurai dalam AD ART PPNI, perawat adalah seseorang yang telah menempuh serta lulus pendidikan formal dalam bidang keperawatan yang program pendidikan telah disahkan oleh pemerintah (AD ART PPNI dalam Aziz, 2007;139). Dengan demikian, cakupan kepentingan yang sangat luas dalam kehidupan manusia terkait keperawatan dapat lebih terjamin. Sehingga tujuan menyehatkan masyarakat serta merta dapat terlaksana. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perawat (nurse) adalah orang yang melakukan kegiatan perawatan, sedangkan keperawatan (nursing) merupakan bentuk-bentuk bantuan dan pelayanan atau lingkup kegiatan yang dilakukan oleh seorang perawat. b. Tugas-Tugas Keperawatan
Agar dapat memahami konsepsi dasar keperawatan perlu kita ketahui secara umum hal-hal apa saja yang menjadi tanggung jawab perawat dalam menjalani pekerjaannya. Terkait ini, maka Griffith (dalam Tjandra; 2002, 67-68) menguraikan tugas-tugas keperawatan sebagai berikut : Pelayananan keperawatan punya lima tugas, yaitu : 1) Melakukan kegiatan promosi kesehatan, termasuk kesehatan emosional dan sosial. 2) Melakukan upaya pencegahan penyakit dan kecacatan 3) Menciptakan keadaan lingkungan, fisik, kognitif dan emosional sedemikian rupa yang dapat membantu penyembuhan penyakit. 4) Berupaya meminimalisasi akibat buruk dari penyakit 5) Mengupayakan kegiatan rehabilitasi. Menyimak kelima point di atas, maka ditegaskan kembali bahwa memang peran atau tugas keperawatan tidak hanya urusan kesehatan fisik semata, akan tetapi seluruh kondisi kemanusiaan yang dimiliki pasien. Hal ini dikarenakan cara seseorang merasakan fungsi fisiknya akan berakibat pada keyakinan terhadap kesehatan dan cara melak¬sanakannya. Contoh, seseorang dengan kondisi jantung yang kronik merasa bahwa tingkat kesehatan mereka berbeda dengan orang yang tidak pernah mempunyai masalah kesehatan yang berarti. Akibatnya, keyakinan terhadap kesehatan dan cara melaksanakan kesehatan pada masing-masing orang cenderung berbeda-beda. Selain itu, individu yang sudah berhasil sembuh dari penyakit akut yang parah mungkin akan mengubah keyakinan mereka terhadap kesehatan dan cara mereka melaksanakannya Artinya, faktor emosional sangat mempengaruhi keyakinan terhadap kesehatan dan cara melaksanakannya. Seseorang yang mengalami respons stres dalam setiap perubahan hidupnya cenderung berespons terhadap berbagai tanda sakit, mungkin dilakukan dengan cara mengkhawa¬tirkan bahwa penyakit tersebut dapat mengancam kehidupannya. Seseorang yang secara umum terlihat sangat tenang mungkin mempunyai respons emosional yang kecil selama ia sakit. Seorang individu yang tidak mampu melakukan koping secara emosional terhadap ancaman penyakit mungkin akan menyangkal adanya gejala penyakit pada dirinya dan tidak mau menjalani pengobatan. Contoh: seseorang dengan napas yang terengah-engah dan se¬ring batuk mungkin akan menyalahkan cuaca dingin jika ia
secara emosional tidak dapat menerima kemungkinan menderita penyakit saluran pernapasan. Banyak orang yang memiliki reaksi emosional yang berlebihan, yang berlawanan dengan kenyataan yang ada, sampai-sampai mereka berpikir tentang risiko menderita kanker dan akan menyangkal adanya gejala dan menolak untuk mencari pengobatan. Ada beberapa penyakit lain yang dapat lebih diterima secara emosional, sehingga mereka akan mengakui gejala penyakit yang dialaminya dan mau mencari pengobatan yang tepat. Dari paparan yang telah disampaikan maka dapat disimpulkan bahwa konsepsi perawat adalah peran keperawatan yang dijalankan perawat dengan tujuan meningkatkan taraf kesehatan bagi masyarakat. Secara teknis perawat berupaya memulihkan rasa sakit yang dialami pasien. Sakit disini adalah keadaan terganggunya fisik, emosional, intelektual, sosial. Dalam rangka mengatasi keadaan sakit yang dialami pasien ini, maka sistem pelayanan kesehatan menempatkan perawat sebagai elemen penting bagi proses pemulihan. Bersama dengan petugas kesehatan lainnya, Perawat berupaya dalam setiap pekerjaannya agar rehabilitasi kesehatan bagi pasien dapat terlaksana dengan baik.
c. Keperawatan Di Rumah Sakit Dalam usaha mencapai taraf sehat yang diinginkan, maka ada banyak pilihan tempat untuk memenuhinya. Adapun tempat tersebut diistilahkan sebagai lembaga pelayanan kesehatan, yakni tempat pemberian pelayanan pada masyarakat dalam rangka meningkatkan status kesehatan. Menurut Hidayat (2007; 74), Variasi lembaga pelayanan kesehatan ini antara lain berupa; rawat jalan, institusi, hospice dan community based agency. Rawat jalan dapat dilaksanakan pada klinik-klinik kesehatan, seperti klinik dokter spesialis, klinik perawatan spesialis dan lain-lain. Sedangkan bentuk Institusi berupa rumah sakit, pusat rehabilitasi dan lain-lain. Kemudian Hospice adalah bentuk pelayanan kesehatan yang diberikan secara khusus pada klien yang sakit terminal sehingga perlu mendapatkan perawatan lebih intensif. Lembaga ini biasanya digunakan dalam home care. Untuk lembaga terakhir, community based agency
merupakan bagian dari lembaga pelayanan kesehatan yang dilakukan pada klien pada keluarganya sebagaimana pelaksanaan perawatan keluarga seperti praktek perawatan keluarga dan lain-lain. Demikian pula dengan perawat yang tidak hanya memiliki satu peluang kerja di satu tempat saja. Namun, terdapat beberapa wilayah kerja yang bisa dimasuki oleh profesi ini. Perawat bisa bekerja di puskesmas, posyandu, atau rumah sakit. Setiap tenaga kerja bekerja sesuai dengan perannya dalam organisasi, artinya setiap tenaga kerja mempunyai kelompok tugasnya yang harus dilakukan sesuai dengan aturanaturan yang ada dan sesuai dengan yang diharapkan oleh atasannya. Dalam wilayah kerja perawat di rumah sakit, James Willan dalam buku Hospital management (dalam Tjandra, 2002 ;84) menyebutkan bahwa Nursing Departement di Rumah sakit mempunyai beberapa tugas, seperti ; 1) Memberikan pelayanan keperawatan pada pasien, baik untuk kesembuhan ataupun pemulihan status fisik dan mentalnya. 2) Memberikan pelayanan lain bagi kenyamanan dan keamanan pasien, seperti penataan tempat tidur dan lain lain. 3) Melakukan tugas-tugas administratif 4) Menyelenggarakan pendidikan keperawatan berkelanjutan 5) Melakukan berbagai penelitian/riset untuk senantiasa menghasilkan mutu pelayanan keperawatan. 6) Berpartisipasi aktif dalam program pendidikan bagi para calon perawat.
Nursing apatement di sini dapat dipahami sebagai sebuah badan yang terorganisir dalam bidang keperawatan. Dalam Garis struktur organisasi rumah sakit di indonesia, ini biasanya disebut sebagai bidang asuhan dan pelayanan keperawatan. Bidang ini adalah sebagai pengelola Perawat dalam memantau dan menjamin kualitas Asuhan atau pelayanan Keperawatan serta mengorganisasi dan mengendalikan sistem pelayanan di rumah sakit. Lebih lanjut mengenai ruang kerja keperawatan di rumah sakit, Djojodibroto (1997;93) berpendapat bahwa “pelayanan medis/perawatan dilakukan di unit rawat jalan, unit darurat gawat, unit rawat inap, unit perawatan intensif, unit bedah, kamar bersalin”. Sedangkan ruang lingkup keperawatan di bidang administrasi dapat diberi batasan sebagai suatu bidang studi dalam keperawatan yang berfokus pada pengelolaan pelayanan keperawatan yang terorganisir. Dalam memenuhi keperluan
keperawatan pasien secara keseluruhan, nursing administration harus dapat memelihara dan menjamin bahwa pelayanan keperawatan dilaksanakan secara efektif dan efisien. Sementara itu John Griffith (dalam Tjandra,2002;85-86) menyatakan bahwa keperawatan di rumah sakit dapat dibagi menjadi keperawatan klinik dan manajemen keperawatan. Kegiatan keperawatan klinik antara lain terdiri dari : 1) Pelayanan keperawatan personal (Personal Nursing Care) yang antara lain berupa pelayanan keperawatan umum dan atau spesifik untuk sistem tubuh tertentu, pemberian motivasi dan dukungan emosi pada pasien, pemberian obat dan lain-lain. 2) Berkomunikasi dengan dokter dan petugas penunjang medik, mengingat perawat selalu berkomunikasi dengan pasien setiap waktu sehingga merupakan petugas yang seyogyanya paling tahu tentang keadaan pasien. 3) Berbagai hal tentang keadaan pasien ini perlu dikomunikasikan dengan dokter dan petugas lain. 4) Menjalin hubungan dengan keluarga pasien, komunikasi yang baik dengan keluarga, kerabat pasien akan membantu proses penyembuhan pasien itu sendiri. Keluarga perlu mendapat kejelasan sampai batas tertentu tentang keadaan si pasien dan berpartisipasi aktif dalam proses penyembuhannya. 5) Menjaga lingkungan bangsal tempat perawatan, dalam hal ini perlu diingatkan bahwa dulu Florence Nightingale dan teman-temannya secara langsung mengepel dan menyikat lantai bangsal perawatan tempat mereka bekerja. Kini situasinya mungkin telah berubah, tetapi perawat tetap bertanggung jawab terhadap lingkungan bangsal perawatan pasien, baik lingkungan fisik, mikrobiologik, keamanan dan lain-lain. 6) Melakukan penyuluhan kesehatan dan upaya pencegahan penyakit. Program ini dapat dilakukan pada pasien dengan materi spesifik sesuai penyakit yang dideritanya. Tetapi dapat juga diberikan pada pengunjung rumah sakit secara umumnya, bahkan masyarakat di luar dinding rumah sakit sekalipun. Perawat dalam memberikan Asuhan Keparawatan secara langsung atau tidak langsung kepada Klien sebagai Individu, Keluarga dan Masyarakat, dengan metoda pendekatan pemecahan masalah yang sesuai dengan segenap kemampuan yang dimiliki. Perawat berusaha memberi kenyamanan dan rasa aman pada klien. Selain itu, perawat mampu melindungi dan menjamin hak dan kewajiban Klien. Perawat juga bertindak sebagai penghubung antara klien dengan anggota Kesehatan lainya. Peran ini erat kaitanya dengan keberadaan Perawat mendampingi Klien sebagai pemberi Asuhan Keperawatan selama 24 jam. Sehingga keperawatan pada akhirnya,
mampu mengembalikan fungsi organ atau bagian tubuh pasien agar sembuh dan dapat berfungsi normal Kemudian mengenai manajemen keperawatan di rumah sakit, John Griffith (dalam Tjandra, 2002;86) menguraikan tugas keperawatan sebagai berikut : 1) Penanganan administratif, antara lain dapat berupa pengawasan masuknya pasien ke rumah sakit (patient admision), pengawasan pengisian dokumen catatan medik dengan baik, membuat penjadwalan proses pemeriksaan /pengobatan pasien dan lain-lain. 2) Membuat penggolongan pasien sesuai berat ringan penyakit dan kemudian mengatur kerja perawat secara optimal pada pasien sesuai kebutuhan masing-masing. 3) Memonitor mutu pelayanan pada pasien baik pelayanan keperawatan secara khusus maupun pelayanan lain secara umumnya. 4) Manajemen ketenagaan dan logistik keperawatan. Kegiatan ini meliputi staffing, schedulling, assignment dan budgeting. Menyimak tugas-tugas di atas, bisa dijeleaskan bahwa manajemen keperawatan merupakan suatu tugas khusus bagi pengelola keperawatan untuk merencanakan, mengorganisasikan, mengarahkan serta mengawasi sumber – sumber yang ada, baik sumber daya maupun dana sehingga dapat memberikan pelayanan keperawatan yang efektif baik kepada pasien, keluarga dan masyarakat. Manajemen keperawatan dilandaskan perencanaan karena melalui fungsi perencanaan, pimpinan dapat menurunkan resiko pengambilan keputusan, pemecahan masalah yang efektif dan terencana. Manajemen keperawatan dilaksanakan melalui penggunaan waktu yang efektif. Manajer keperawatan yang menghargai waktu akan menyusun perencanaan yang terprogram dengan baik dan melaksanakan kegiatan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan sebelumnya. Seperti organisasi lainnya, di rumah sakit juga dilakukan Pengembangan staf. Ini penting untuk dilaksanakan sebagai upaya persiapan perawat – perawat pelaksana menduduki posisi yang lebih tinggi atau upaya manajer untuk meningkatkan pengetahuan karyawan. Kemudian proses Pengarahan merupakan elemen kegiatan manajemen keperawatan yang meliputi proses pendelegasian, supervisi, koordinasi dan pengendalian pelaksanaan rencana yang telah diorganisasikan. Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa keperawatan di rumah sakit mencakup dua fungsi penting. Pertama menyangkut hal teknis yang
berhubungan dengan praktek atau tindakan medis yang mengarahkan pada pencapaian kesehatan yang optimal bagi pasien. Artinya, kinerja yang baik dari perawat mempunyai dampak langsung ke arah terciptanya proses keperawatan yang baik pula. Kemudian yang kedua adalah manajemen keperawatan yang pada dasarnya juga mengarah pada teknis keperawatan yang sesuai dengan yang diharapkan. Karena dengan manejemen yang baik, yakni meliputi ; Penanganan administratif, penggolongan pasien, memonitor mutu pelayanan pada pasien Manajemen ketenagaan dan logistik keperawatan, maka mutu pelayanan keperawatan yang dijalankan suatu rumah sakit akan lebih baik.
d. Keperawatan Dalam Perspektif Sosial-Budaya Bidang kesehatan bukan hanya semata-mata berkaitan dengan unsur biologis atau kedokteran, tetapi didalamnya.juga memiliki kaitan erat dengan unsur sosialbudaya. Sosiologi yang merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan juga mengambil bagian dalam ilmu kesehatan. Seperti yang diungkapkan Fauzi Muzaham (1995;3) ; Tujuan penerapan sosiologi dalam bidang kedokteran dan kesehatan antara lain untuk menambah kemampuan para dokter dalam melakukan penilaian klinis secara rasional, menambah kemampuan untuk mengatasi persoalanpersoalan yang dialami dalam praktek, mampu memahami dan menghargai perilaku pasien, kolega serta organisasi dan menambah kemampuan dan keyakinan dokter dalam menangani kebutuhan sosial dan emosional pasien, sebaik kemampuan yang mereka miliki dalam menangani gangguan penyakit yang diderita pasien. Dari pendapat di atas, maka tindakan medis dapat dilaksanakan secara efektif manakala yang dipertimbangkan baik faktor biologis maupun faktor sosial dan psikologis. Sehingga mulailah dikajinya peran faktor sosial-budaya dalam keberhasilan pelaksanaan tugas medis dan menjadi dasar bagi tumbuh dan berkembangnya sosiologi dalam kesehatan. Selain
dikarenakan
lembaga
kesehatan
yang
menjalankan
sistem
keorganisasian, yang berarti terdapat interaksi antara satu peran dengan yang lain, perilaku pasien yang mengalami sakit juga berangkat dari keadaan sosial yang unik. Maksudnya adalah terdapat pola perilaku atas keadaan sakit yang berbeda-beda setiap
pasien yang datang ke sebuah lembaga kesehatan. Mengenai individu yang memiliki persepsinya masing-masing mengenai taraf kesehatan ini,
diungkapkan Sarwono
(1993;30) sebagai berikut: Pandangan orang tentang kriteria tubuh sehat atau sakit sifatnya tidaklah selalu obyektif. Bahkan lebih banyak unsur subyektifitas dalam menentukan kondisi tubuh seseorang. Persepsi masyarakat tentang sakit/sehat ini sangatlah dipengaruhi oleh unsur pengalaman masa lalu disamping unsur sosial budaya. Sebaliknya, petugas kesehatan berusaha sedapat mungkin menerapkan kriteria medis yang obyektif berdasarkan simpton yang tampak guna mendiagnosa kondisi fisik seseorang”. Dari pendapar di atas, dapat diterangkan bahwa unsur subyektifitas mengenai pandangan sakit adalah persepsi pribadi, yang berarti tidak bisa untuk disama ratakan dalam perlakuan penyembuhannya. Fenomena subyektifitas dapat ditandai dengan gejala perasaan tidak enak dari orang yang mengalami sakit. Bisa jadi ini dikarenakan salah satu organnya dirasakan tidak berfungsi dengan baik. Namun, sebaliknya adapula yang merasakan keadaan baik-baik saja selama ia masih dapat bekerja atau aktifitas keseharian lainnya, meskipun secara medis sebenarnya terdeteksi mengalami penyakit. Jadi, dari kenyataan tersebut jelas terlihat bahwa sehat tidak hanya menyangkut kondisi fisik, melainkan juga kondisi mental dan sosial seseorang. Salah satu aspek yang ada dalam kegiatan medis adalah asuhan keperawatan. Hanya saja, peran keperawatan ini dianggap sebelah mata dalam lembaga pelayanan kesehatan. Seperti yang diutarakan Capra (2007;179) ; Perawat, meskipun seringkali sangat terlatih sebagai terapis dan pendidik kesehatan, dianggap sekedar sebagai asisten dokter dan hampir tidak bisa menggunakan potensinya secara penuh”. Karena pandangan biomedis yang sempit tentang sakit dan pola-pola kekuasaan patriarkhal dalam sistem perawatan kesehatan, peran penting yang dimainkan oleh perawat dalam proses penyembuhan melalui kontak manusia mereka dengan pasien tidak dikenali sama sekali. Padahal, secara fakta, interaksi perawat dengan pasien lebih sering daripada interaksi dokter dengan pasien. Melalui proses asuhan keperawatan, perawat memperoleh pengetahuan tentang kondisi fisik dan psikologis pasien jauh lebih besar daripada yang diperoleh oleh dokter. Hal ini menandakan bahwa perawat memiliki
peran cukup besar dalam pencapaian tujuan kesehatan terhadap masyarakat. Tanpa perawat, tugas dokter akan semakin berat dalam menangani pasien. Lebih jauh lagi, puas tidaknya pasien terhadap kualitas pelayanan kesehatan bukan sekedar urusan medis yang ditangani dokter, akan tetapi sikap profesional perawat. Sikap ini seperti memberikan perasaan nyaman, terlindungi pada diri setiap pasien yang sedang menjalani proses penyembuhan. Perasaan nyaman dapat ini terwujud ketika perawat mampu berkomunikasi dengan baik dan memahami kebutuhan pasien,
menunjukkan sikap ramah, memahami aspirasi pasien,
berkomunikasi yang baik dan benar serta bersikap dengan penuh simpati. Selanjutnya, beralih pada tema perawat dalam konteks lapangan pekerjaan, maka sejak zaman dahulu, maka Perawat hampir seluruhnya merupakan perempuan. Hal ini dipertegas oleh pendapat Cockerham (1995;208), yakni : notwithstanding that it is possible for men to engage in the profession of nursing, the nursing profession is often referred to as a female profession. While men are also involved in performing the duties of nursing, the social role of nurses is still very influenced by his identification as a function of nursing. Pendapat di atas dapat diterjemahkan : tanpa mengesampingkan bahwa tidak tertutup kemungkinan bagi laki-laki untuk terlibat dalam profesi keperawatan, profesi Perawat sering disebut sebagai profesi perempuan. Sementara laki-laki juga terlibat dalam melakukan tugas-tugas keperawatan, peranan sosial perawat masih sangat dipengaruhi oleh identifikasinya sebagai fungsi keperempuanan. Jika dilihat makna yang paling sederhana perawat adalah orang yang merawat orang sakit atau orang yang terluka, merawat disini dalam artian luas bukan “hanya merawat” tetapi juga merawat, mendidik, dan mendukung perkembangan pemulihan pasien. Bahkan ada yang mengistilahkan perawat adalah profesi yang berangkat dari “mother instinct” naluri keibuan dimana perawat diibaratkan sebagai ibu yang merawat anaknya bahkan ada yang mengilustrasikan lebih ekstrim perawat adalah yang “menggantikan” fungsi dari pasien yang terganggu dan ketidakberdayaan. Pasien yang lemah tidak bisa menggerakkan tubuh bahkan membalikan badannya perawat yg menggantikan untuk membalikan, pasien yang tidak sadar sehingga tidak bisa membersihkan dirinya maka perawat yang membersihkan.
Secara historis, sosial maupun kultural, identifikasi perawat ini sangat beralasan karena perempuan memang memiliki karakter yang lembut dan teliti. Tentunya seusai dengan profesi perawat yang menuntut pengawasan yang teliti dan sensitif bagi pasien. Sehubungan dengan hal tersebut, Peter E.S Freund (1995; 267) mengungkapkan bahwa perempuan sebenarnya tidak cocok untuk menjadi dokter, karena peran keperawatan sudah melekat dengan perempuan; Early nursing was typically private care by an unpaid member of the family or a paid family helper. It was part of the domestic economy and inextricably linked with women’s roles. One of the founders of professional nursing, Florences Nightingale, wrote, “Every woman is a nurse” (1860;30). She also argued that women should not aspire to be doctors because nursing meshed with their “natural” abilities. Pendapat di atas dapat diartikan bahwa pada awalnya, ilmu perawatan secara khas adalah sebagai bentuk kepedulian pribadi oleh suatu anggota yang dibayar ataupun tidak dibayar. Hal itu menjadi bagian dari ekonomi domestik dan berhubungan dengan peran kaum wanita. Salah satu dari pendiri profesional keperawatan, Florences Nightingale, menulis, "Semua perempuan adalah seorang perawat". Dia juga berargumentasi bahwa mestinya perempuan tidak harus menjadi dokter karena ilmu perawatan sudah melekat dengan kemampuan ”alami” mereka. Ungkapan semua perempuan adalah perawat mengisyaratkan bahwa secara biologis, sebenarnya perempuan telah memiliki kemampuan dasar sebagai perawat. Sebut saja perempuan pekerja yang juga memainkan perannya sebagai ibu rumah tangga, seperti memasak, mencuci dan lain sebagainya. Begitu pula dengan profesi perawat yang mengharuskan mereka menjaga orang-orang sakit dengan baik dan penuh perhatian sekalipun mungkin mereka sedang menghadapi berbagai masalah kehidupan. Terlebih bagi si pasien, perawat adalah obat penyembuh jiwa dan raga, yang berari tidak sekedar butuh pendekatan ilmiah, tetapi aspek psikologis dapat membantu kesehatan pasien membaik. Kemudian, Sciortino Rosalia (1995;25) menegaskan tentang konsepsi keperawatan memang tidak dapat dilepaskan dari ciri khas pekerjaan domestik yang biasa dilakukan oleh kaum perempuan ;
“The reduction of nursing to a kind of domestic labour further contributed to its association with the female sphere. The conception of nursing as an activity of both sexes slowly changed into a theorization of nursing as a typical low-status feminine task..” Jika diartikan maka pendapat tersebut berbunyi :Reduksi keperawatan yang menuju pada jenis tenaga kerja domestik berkontribusi terbentuknya asosiasi sebatas lapisan wanita. Konsepsi keperawatan sebagai aktifitas yang bisa dilakukan perempuan atau laki-laki secara perlahan berubah menjadi teori keperawatan yang bertipikal pada status rendah dari tugas feminin. Sehingga, konsepsi keperawatan yang dimaksud dapat diasumsikan sebagai perpanjangan dari peran domestiknya. Artinya, meskipun keperawatan telah diakui sebagai profesi dan terorganisir di ranah publik, tetapi pandangan atau stereotip masyarakat tetap mengarahkannya pada bidang pekerjaan yang biasa dilakukan perempuan di rumah. Hans Mauksh (dalam Cockerham, 1995:209) menunjukkan bahwa beberapa bahasa yang digunakan di eropa, kata “sister” tidak hanya ditujukan untuk menyebut biarawati, melainkan juga digunakan untuk menyebut Perawat”. Di Indonesia, kata “suster” juga digunakan sebagai sebutan bagi perawat. Kata sebutan secara jelas menunjukkan bahwa profesi Perawat identik dengan perempuan. Berdasarkan uraian yang telah dibahas, maka dapat diambil beberapa simpulan mengenai perawat dan keperawatan dari tinjauan sosial-kultural, yakni, pertama dari intensitas yang terjadi, maka profesi perawat memiliki kapasitas yang cukup tinggi dibandingkan dengan tenaga kesehatan lainnya. Hal ini dapat tercermin dari proses asuhan keperawatan dimana perawat memperoleh pengetahuan lebih dalam tentang kondisi fisik dan psikologis pasien. Kemudian yang kedua, stereotipe masyarakat tetap menganggapnya sebagai bidang domestik perempuan, meskipun profesi perawat telah berada pada ranah publik. 4. Dukungan Sosial a. Pengertian Dukungan sosial Manusia sebagai makhluk sosial, keberadaannya selalu membutuhkan dan dibutuhkan orang lain. Interaksi timbal balik ini pada akhirnya akan menciptakan hubungan ketergantungan satu sama lain. Seseorang tidak mungkin memenuhi
kebutuhan fisik maupun psikologisnya sendiri. Individu membutuhkan dukungan terutama dari orang-orang terdekat. Seperti yang diutarakan Taylor et al (1997; 232) : Many other typologies of the benefits of social relations have also been developed, and they empasized what different functions served by personal relationship. Most noteworthy are analyses by researchers interested in has social relations contribute to a person’s mental and physical health. They use the term social support to refer to interpersonal exchanges in which one person gives help or asistance to another. taylor et al Pendapat di atas dapat diartikan bahwa terdapat banyak tipologi ilmu tentang bentuk keuntungan-keuntungan dari hubungan sosial yang telah dikembangkan, dan mereka menekankan perbedaan fungsi hubungan personal. Yang terpenting adalah analisa yang dilakukan oleh peneliti yang tertarik terhadap peran hubungan sosial yang mempengaruhi mental seseorang dan kesehatan fisiknya. Mereka menggunakan istilah dukungan sosial untuk mengacu pada pertukaran hubungan antar pribadi di mana seseorang memberi bantuan atau bimbingan yang lainnya. Dari pendapat para ahli ini menandakan bahwa interaksi-interaksi yang dilakukan manusia dapat membawa dampak pada kesehatan fisik maupun mentalnya. Artinya sebuah hubungan sosial hakikatnya mempengaruhi kehidupan manusia secara personal. Selain itu setiap hubungan sosial juga memiliki perbedaan fungsi antara bentuk hubungan sosial yang satu dengan yang lainnya. Peran hubungan sosial yang terkait dengan dukungan sosial memiliki definisi yang beragam. Salah satunya diuraikan Kreiter dan Kinicki (1998;538) yang menyatakan : “Social support is amount of perceived helpfulness derived from social relationships. Importantly, social support is determined by both the quantity and quality of an individual’s social relationships”. Pengertian tersebut dapat diartikan bahwa dukungan sosial adalah segala bentuk bantuan yang dirasakan yang berasal dari hubungan sosial. Dukungan sosial ditentukan oleh kuantitas dan kualitas hubungan sosial seseorang. Artinya dalam setiap hubungan sosial yang dibangun individu dengan orang lain, dapat dinilai mendukung atau tidak, tergantung individu yang merasakannya. Dengan kata lain, dukungan sosial mengacu pada subyektifitas dari suatu hubungan sosial.
Sedangkan Hollander (1971:21) menjelaskan definisi dukungan sosial dengan pernyataan ; Social support refers to favorable response a person secures from others which sustains his behavioral sequences. In this sense, support may be thought of as arising from signs of recognition and approval in terms of the “social reinforcement” received for valued actions and attitudes. Kalimat di atas dapat diartikan bahwa Dukungan sosial merujuk pada tanggapan baik seseorang dari orang lain yang menopang urutan perilakunya. Dalam hal ini, dukungan mungkin dibayangkan sebagai tanda-tanda yang timbul dari pengakuan dan persetujuan dalam pengertian "penguatan sosial" yang diterima untuk tindakan dan sikap yang dihargai. Pendapat tersebut menjelaskan bahwa dukungan sosial merupakan gejala-gejala positif yang dirasakan seseorang ketika melakukan interaksi dengan orang lain, yang mana hal itu dapat memperkuat dirinya dalam menghadapi permasalahan. Dengan kata lain, dukungan sosial selaras dengan terciptanya hubungan sosial yang baik. Sementara itu, Halonen dan Santrock (1999;508) menyatakan “social support is information and feedback from others that one is loved and cared for, esteemed and valued, and included in network of communication and mutual obligation”. Kalimat tersebut dapat diartikan dukungan sosial adalah informasi dan masukan dari orang lain, dimana ia merasa dicintai dan diperhatikan, berharga dan bernilai, dan ini termasuk
pula
dalam
jaringan
komunikasi
dan
kewajiban
yang
saling
menguntungkan. Maksudnya di sini bahwa terdapat komunikasi yang baik dalam setiap dukungan sosial yang diterima seseorang. Artinya, dukungan sosial lebih mengarah pada pola komunikasi yang memberikan kekuatan bagi pribadi yang bersangkutan. Sederhananya, saran dan masukan yang didapatkan dari orang yang mengerti akan dirinya menjadi hal yang berharga untuk diri seseorang. Lebih
komprehensif,
Gottlieb
(dalam
Armstrong
et
al,
2005;3)
mendefinisikan: “social support as verbal and non-verbal information or advice, tangible aid, or action that is proffered by social intimates or inferred by their presence and has beneficial emotional or behavioral effects on the recipients”. Kalimat ini dapat diartikan dukungan sosial sebagai informasi verbal atau non verbal, saran, bantuan yang nyata atau tingkah laku yang diberikan orang-orang yang akrab
dengan subyek di dalam lingkungan sosialnya atau yang berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat memberikan keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku penerimanya. Dalam hal ini orang yang merasa memperoleh dukungan sosial, secara emosional merasa lega karena diperhatikan, mendapat saran atau kesan yang menyenangkan pada dirinya. Selanjutnya dalam konteks situasi pekerjaan, Rahim (1996;4) dalam penelitiannya menyatakan dengan definisi dukungan sosial sebagai berikut : Social support can be defined as the availability of help in times of need from supervisor, coworkers, family members, and friends. Social support is hypotized to interact with stress such that when a person receives low levels of social support the correlation between stress and strain is significantly than when a person receives high levels of social support” Pernyataan tersebut di atas menjelaskan bahwa dukungan sosial dapat digambarkan sebagai ketersediaan bantuan yang dapat diperoleh setiap saat dari penyelia, teman sekerja, anggota keluarga, dan para teman. Dukungan sosial ini dapat dihipotesakan terkait dengan stres dan ketegangan, yang mana ketika seseorang menerima dukungan sosial yang rendah akan cenderung mengalami stres dan ketegangan dibanding ketika seseorang menerima dukungan sosial yang tinggi. Sehingga dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa dukungan sosial dapat timbul baik dari lingkungan kerja maupun lingkungan kerja. Ke dua sumber dukungan sosial ini berperan dalam menetralisir konsekuensi kerja yang dapat saja menimbulkan stres dan ketegangan. Dengan kata lain, hubungan sosial yang kurang baik (banyak pertentangan) jauh lebih banyak mempengaruhi kekurangan dukungan yang dirasakan daripada tidak ada hubungan sosial sama sekali. Adapun dukungan sosial ini dapat berupa bantuan emosional seperti mendengarkan berbagai keluhan, perasaan empati atau pendampingan dalam memecahkan masalah. Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial adalah tindakan yang sifatnya membantu dengan melibatkan emosi, pemberian informasi, bantuan materi dan penilaian yang positif pada individu dalam menghadapi permasalahannya. Dukungan sosial tersebut sangat berpengaruh bagi individu dalam beradaptasi dan berinteraksi dengan lingkungan. Dukungan tersebut berkaitan dengan pembentukan keseimbangan mental dan kepuasan psikologis. Dukungan sosial secara
luas didefinisikan sebagai tersedianya atau adanya hubungan yang bersifat menolong dan mempunyai nilai khusus bagi individu yang menerimanya. Definisi ini juga memberikan pengertian adanya ikatan-ikatan sosial yang bersifat positif dimana hubungan antar individu baik yang bersifat horizontal maupun vertikal memiliki ikatan positif yang menyenangkan.
b. Sumber-sumber dukungan sosial Sumber-sumber dukungan sosial (social support) banyak diperoleh dari lingkungan sekitarnya. Namun perlu diketahui seberapa banyak sumber dukungan sosial ini efektif bagi individu yang memerlukan. Sumber dukungan sosial merupakan aspek yang penting untuk diketahui dan dipahami. Dengan pengetahuan dan pemahaman tersebut, seseorang akan tahu kepada siapa ia akan mendapatkan dukungan sosial sesuai dengan situasi dan keinginannya yang spesifik, sehingga dukungan sosial memiliki makna yang berarti bagi kedua belah pihak. Menurut Rook dan Dooley (1985:9) ada dua sumber dukungan sosial yaitu sumber artifisial dan sumber natural. Dukungan sosial yang natural diterima seseorang melalui interaksi sosial dalam kehidupannya secara spontan dengan orangorang yang berada di sekitarnya, misalnya anggota keluarga (anak,istri, suami dan kerabat), teman dekat atau relasi. Dukungan sosial ini bersifat non-formal. Sementara itu yang dimaksud dengan dukungan sosial artifisial adalah dukungan sosial yang dirancang ke dalam kebutuhan primer seseorang, misalnya dukungan sosial akibat bencana alam melalui berbagai sumbangan sosial. Sumber dukungan sosial yang bersifat natural berbeda dengan sumber dukungan sosial yang bersifat artifisial dalam sejumlah hal. Perbedaan tersebut terletak dalam hal sebagai berikut: 1) Keberadaan sumber dukungan sosial natural bersifat apa adanya tanpa dibuatbuat sehingga lebih mudah diperoleh dan bersifat spontan 2) Sumber dukungan sosial yang natural memiliki kesesuaian dengan norma yang berlaku tentang kapan sesuatu harus diberikan 3) Sumber dukungan sosial yang natural berakar dari hubungan yang telah berakar lama
4) Sumber dukungan sosial
yang natural
memiliki
keragaman
dalam
penyampaian dukungan sosial, mulai dari pemberian barang-barang nyata hingga sekedar menemui seseorang dengan menyampaikan salam 5) Sumber dukungan sosial yang natural terbebas dari beban dan label psikologis
c. Bentuk-bentuk dukungan sosial Menurut Wan (1996;503), dukungan sosial dibagi menjadi 4 jenis, yakni; emotional support, companionship support, material support, dan informational support. Secara singkat penulis akan merangkumnya sebagai berikut : 1) Emotional support Bentuk dukungan ini adalah dengan diterimanya seseorang dalam suatu masyarakat atau kelompok sebagaimana adanya dirinya dan apa pun pengalamannya. Dukungan ini umumnya berasal dari keluarga dan teman karib. 2) Companionship support Bentuk dukungan ini adalah dengan membantu seseorang mengatasi masalah atau dengan menimbulkan perasaan positif dalam diri seorang. Dukungan ini umumnya diberikan teman dekat ataupun tetangga. 3) Material support Bentuk dukungan ini adalah dengan menyediakan bantuan keuangan ataupun barang-barang yang dapat membantu perekonomian seseorang. Dukungan ini umumnya diberikan oleh orang yang mempunyai uang atau materi 4) Informational support Bentuk dukungan ini adalah dengan memberikan pengetahuan yang dapat membantu individu atau seseorang untuk meningkatkan efisiensi mereka dalam merespon atau memberikan solusi atas permasalahannya.
Sedangkan House (dalam Rita Andarika, 1994;4) membedakan empat macam dukungan sosial, yaitu: 1) Dukungan emosional. Individu membutuhkan empati dari orang lain.
2) Dukungan penghargaan. Individu membutuhkan penghargaan yang positif, penilaian atas usaha-usaha yang dilakukan, dan peran sosial yang terdiri atas umpan balik. 3) Dukungan informatif. Individu membutuhkan nasehat, pengarahan, saran-saran untuk mengatasi masalah pribadi maupun masalah pekerjaan. 4) Dukungan instrumental. Individu membutuhkan bantuan berupa benda, peralatan atau sarana guna menunjang kelancaran kerja. Sementara itu, Cohen & Syme, (1985:11) juga mengklasifikasikan dukungan sosial dalam empat kategori yaitu : 1) Dukungan informasi, yaitu memberikan penjelasan tentang situasi dan segala sesutau yang berhubungan dengan masalah yang sedang dihadapi oleh individu. Dukungan ini meliputi memberikan nasehat, petunjuk, masukan atau penjelasan bagaimana seseorang bersikap dan bertindak dalam menghadapi situasi yang dianggap membebani. 2) Dukungan emosional, yang meliputi ekspresi empati misalnya mendengarkan, bersikap terbuka, menunjukkan sikap percaya terhadap apa yang dikeluhkan, mau memahami, ekspresi kasih sayang dan perhatian. Dukungan emosional akan membuat si penerima merasa berharga, nyaman, aman, terjamin, dan disayangi. 3) Dukungan instrumental adalah bantuan yang diberikan secara langsung, bersifat fasilitas atau materi misalnya menyediakan fasilitas yang diperlukan, meminjamkan uang, memberikan makanan, permainan atau bantuan yang lain. 4) Dukungan appraisal atau penilaian, dukungan ini bisa berbentuk penilaian yang positif, penguatan (pembenaran) untuk melakukan sesuatu, umpan balik atau menunjukkan perbandingan sosial yang membuka wawasan seseorang yang sedang dalam keadaan stres.
Pada dasarnya, seseorang membutuhkan bantuan dalam penentuan tujuannya, mereka mencari bantuan nyata. Dukungan sosial yang tinggi akan dapat mengembangkan kepribadian yang kuat pada seseorang, mengurangi stress dan
bahkan tidak mudah terpengaruh oleh situasi yang mengancam. Perasaan tertekan dapat pula dikurangi dengan membicarakannya dengan teman kerja yang simpatik. Harga diri dapat meningkat, depresi dan kecemasan dapat dihilangkan dengan penerimaan yang tulus dari teman kerja. Dukungan sosial ini sangat bermanfaat dalam pengendalian seseorang terhadap tingkat kecemasan dan dapat pula mengurangi tekanan-tekanan yang ada pada konflik yang terjadi pada dirinya, terutama ketika menghadapi situasi kerja. Dukungan yang berupa simpati, empati, ataupun bantuan yang dapat membuat individu yang lainnya merasa lebih tenang dan aman
5. Organisasi Rumah Sakit Rumah sakit dipandang sebagai suatu masyarakat kecil dengan kebudayaannya sendiri (Foster,1986;196). Berbeda dengan lingkungan budaya yang lain, rumah sakit adalah lingkungan yang secara intensif menjalankan proses kesehatan. Sebagian besar keadaan sakit dipantau, dinormalisasi, dikonsultasikan dan diobati secara menyeluruh dan maksimal. A. A. Gde Muninjaya (2004;221) menulis tentang klasifikasi rumah sakit yang berlaku di indonesia, yakni : di Indonesia dikenal tiga jenis RS sesuai dengan kepemilikan, jenis pelayanan dan kelasnya. Berdasarkan kepemilikannya, dibedakan tiga macam RS yaitu RS pemerintah (RS pusat, RS provinsi, RS kabupaten), RS BUMN/ABRI dan RS swasta. Jenis RS kedua adalah RS umum, RS jiwa, RS khusus (mata, paru, kusta, rehabilitasi, jantung, kanker dan sebagainya). Jenis RS ketiga RS kelas A, kelas B, RS kelas C dan RS kelas D. Pada kelas A tersedia pelayanan spesialistik yang luas termasuk subspesialistik. RS kelas B mempunyai pelayanan minimal sebelas spesialistik dan subspesialistik terdaftar. RS kelas C mempunyai minimal empat spesialistik dasar (bedah, penyakit dalam, kebidanan, dan anak). Di RS kelas D hanya terdapat pelayanan medis dasar Rumah sakit merupakan suatu lembaga yang berfungsi mewujudkan pranata upaya
pelayanan
kesehatan
terbesar
pada
masyarakat
dijaman
modern
ini.
Perkembangannya dewasa ini, rumah sakit (meskipun tidak seluruhnya) juga menjadi sarana untuk praktek, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran. Lebih lanjut Tjandra Y. Aditama (2002;11) menguraikan tentang peranan rumah sakit bagi kesehatan masyarakat, yakni;
Keberhasilan rumah sakit untuk memecahkan sebagian besar masalah kesehatan masyarakat harus diakui. Berbagai keberhasilan yang dicapai telah pula menyebabkan tingginya tingkat ketergantungan sebagian masyarakat terhadap rumah sakit untuk mengatasi berbagai keluhan kesehatannya. Rumah sakit memiliki peran strategis dalam upaya mempercepat peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Peran strategis ini didapat karena rumah sakit adalah fasilitas kesehatan yang padat teknologi dan padat pakar Diakui memang, berbagai keberhasilan yang telah dibuktikan oleh rumah sakit dalam memenuhi taraf kesehatan masyarakat. Dapat dikatakan fungsi rumah sakit ini sangat menunjang kompetensi generasi bangsa. Selaras perkembangan masyarakat, tuntutan para pemakai jasa pelayanan kesehatan terhadap kualitas pelayanan kesehatan di Rumah sakit cenderung semakin meningkat. Sehingga wajar, saat ini pemberdayaan sumber daya manusia yang ada di rumah sakit mengalami perkembangan dari sisi kuantitas dan kompetensi. Variasi jenis tenaga demikian besar karena kompleksnya jenis kegiatan di rumah sakit. Variasi ini bersifat horizontal, dimana banyak jenis profesi bekerja di tempat yang sama dan bersifat vertikal, dimana pada satu jenis profesi terdapat berbagai macam tingkat kompetensi. Perkembangan yang terjadi pada organisasi rumah sakit membawa konsekuensi pada sistem manajemen, baik manajemen pelayanan medik maupun manajemen administrasi, termasuk profesi perawat yang notabene merupakan profesi dominan dari keseluruhan tenaga kesehatan lainnya.
B. HASIL PENELITIAN YANG RELEVAN Penelitian yang dilakukan Firdaus Christyoadi dkk (2009) yang berjudul “Hubungan Antara Dukungan Sosial Dengan Motivasi Kerja Karyawan PT. Usmantek Kabupaten Magelang” menyatakan bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara dukungan sosial dengan motivasi. Penelitian ini berusaha untuk menguji secara empirik hubungan antara dukungan sosial dengan motivasi kerja karyawan. Kemudian hasil analisis penelitian tersebut menunjukkan besarnya koefisien antara dukungan sosial dan motivasi kerja r = 0.635 dengan p = 0.000 (p < 0.01). Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara dukungan sosial dengan motivasi kerja.
C. KERANGKA PEMIKIRAN Dari beberapa tinjauan pustaka yang dikemukakan, maka dapat diungkapkan suatu kerangka berpikir yang berfungsi sebagai penuntun dan dasar penelitian ini. Di antara perbedaan-perbedaan yang dapat ditemui dalam kehidupan masyarakat, ada satu perbedaan lebih mencolok daripada perbedaan suku, ras, agama dan kelas, yaitu apa yang umum disebut sebagai perbedaan jenis kelamin. Perbedaan ini telah memisahkan manusia menjadi dua kelompok yaitu perempuan dan laki-laki. Perbedaan khas antara laki-laki dan perempuan tidak hanya dari segi biologis atau fisik semata, tetapi terlihat pula dari segi pekerjaan. Ada saatnya sebuah profesi atau pekerjaan diidentikkan dengan laki-laki dan terdapat pula jenis pekerjaan yang dikaitkan dengan perempuan. Meskipun demikian, tidak ada konsensus dalam masyarakat secara khusus yang mencegah agar perempuan jangan bekerja dibidang pekerjaan yang dicirikan dengan laki-laki dan begitu juga sebaliknya laki-laki tidak boleh memasuki jenis pekerjaan yang identik dengan perempuan. Pemisahan peran sosial atau pekerjaan secara seksual tersebut terbentuk secara alamiah. Apalagi dalam masyarakat yang sudah pesat berkembang ini, pemisahan tersebut malah akan menurunkan daya saing suatu organisasi. Kerangka konseptual penelitian ini dibentuk atas dasar ciri khas tugas keperawatan yang identik dengan tugas domestik perempuan. Sehingga, baik laki-laki dan perempuan yang memilih profesi sebagai perawat, proses asuhan keperawatan dalam pencapaian kinerjanya akan dipengaruhi faktor motivasi kerjanya. Dengan kata lain, lakilaki dan perempuan tentu memiliki karakteristiknya masing-masing dalam pelaksanaan tugas-tugas keperawatan. Asuhan keperawatan adalah suatu proses atau kegiatan praktik keperawatan yang diberikan oleh perawat pada pasien di berbagai tatanan pelayanan kesehatan dengan menggunakan proses keperawatan, berpedoman pada standart keperawatan dalam lingkup wewenang serta tanggung jawab keperawatan. Agar nantinya didapatkan mutu pelayanan keperawatan yang baik serta pasien merasa puas terhadap kinerja perawat, maka dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien, seorang perawat melakukan berbagai langkah yang terstruktur dan sistematis berdasarkan standar praktik keperawatan yang telah ditentukan dalam aturan profesi dan organisasi dilingkungan kerjanya.
Tentunya individu-individu berbeda dalam dorongan motivasinya kerjanya. Motivasi tersebut akan berdampak pada sebuah proses yang akan menghasilkan suatu intensitas, arah dan ketekunan individual dalam usaha untuk mencapai tujuan. Dapat pula dikatakan bahwa Motivasi kerja merupakan suatu kondisi/keadaan yang mungkin mempengaruhi seseorang untuk terus meningkatkan, mengarahkan serta memelihara perilakunya yang berhubungan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan lingkungan kerjanya. Kemudian secara alamiah, manusia cenderung menyenangi hubungan sosial yang akrab dan saling membantu tentunya. Hanya saja tidak semua hubungan sosial yang dibangun oleh seseorang dengan orang lain berlangsung akrab atau mempunyai ikatan emosional yang intim. Hubungan sosial ini lebih banyak terjadi pada hubungan sosial yang berdasarkan ikatan kekeluargaan, pertemanan atau rekan kerja. Bagi orang yang bekerja, dukungan sosial dianggap mampu meredakan ketegangan atau stress akibat beban pekerjaan. Dukungan sosial yang berupa bantuan emosional maupun materiil dianggap mampu membuat seseorang bertahan, bahkan mengembangkan diri dalam melaksanakan tanggung jawabnya. Karena tak dapat dipungkiri aktifitas rutin kerja yang menumpuk dapat berpotensi mengundang gejala buruk terhadap mental atau psikis seseorang. Khusus bagi profesi perawat yang diberi tanggung jawab menjaga dan memperhatikan pasien melebih petugas kesehatan lainnya, tentulah bukan hal mudah menjaga stabilitas psikis dirinya sendiri. Karena tugas-tugasnya menuntut kesabaran dan ketelitian, yang apabila tidak maksimal dapat berakibat pada ketidakpuasan pasien. Sehingga, dukungan sosial yang nyaman bagi perawat, kemungkinan akan meningkatkan motivasi kerja perawat, baik perawat laki-laki maupun terhadap perawat perempuan. Untuk lebih jelasnya, maka alur kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Perawat laki-laki & Perawat Perempuan
Motivasi Kerja
Dukungan Sosial Dari Rekan Kerja
Gambar 3. Kerangka Pemikiran
D. Hipotesis Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah, serta didukung oleh pertimbangan teoritis yang dikemukakan, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: 1. Ada perbedaan pengaruh yang signifikan antara jenis kelamin terhadap motivasi kerja perawat 2. Ada perbedaan pengaruh yang signifikan antara dukungan sosial dari rekan kerja terhadap motivasi kerja perawat. 3. Ada perbedaan pengaruh bersama yang signifikan antara jenis kelamin dan dukungan sosial terhadap motivasi kerja perawat.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN Metodologi penelitian merupakan faktor terpenting dalam suatu proses penelitian. Berhasil atau tidaknya suatu penelitian tergantung pada metodologi yang digunakan oleh peneliti. Peneliti dituntut untuk memiliki kemampuan menentukan aspek metodologi penelitian yang sesuai dengan rancangan penelitian yang ditetapkan. Metodologi penelitian memuat langkah-langkah yang ditempuh untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan. Kegiatan penelitian meliputi kegiatan mencari, mencatat, merumuskan, menganalisis, serta menyusun laporan berdasarkan fakta-fakta secara ilmiah. Adapun hal-hal yang terkait dalam penelitian ini meliputi tempat dan waktu
penelitian, metode penelitian, populasi dan sampel penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data. Menurut Robert B. Burns (2000 : 3, “Research is a systematic investigation to find to a problem”. Pengertian tersebut dapat diartikan bebas sebagai berikut : penelitian ilmiah adalah cara sistematik untuk menemukan jawaban atas suatu masalah.
Sedangkan Menurut Hadari Nawawi (1995 : 24), “Ilmu yang
memperbincangkan tentang metode-metode ilmiah dalam menggali kebenaran pengetahuan disebut metode penelitian atau metodologi research”. Kemudian Cholid Narbuko dan Abu Ahmadi (2003 : 3) mengemukakan bahwa : Metodologi merupakan ilmu yang mempelajari cara-cara melakukan pengamatan dengan pemikiran yang tepat secara terpadu melalui tahapan-tahapan yang disusun secara ilmiah untuk mencari, menyusun serta menganalisis dan mengumpulkan data-data, sehingga dapat dipergunakan untuk menemukan untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan. Sedangkan David Silverman (2002 : 2) mengemukakan bahwa, A methodology refers to the choises we make about cases to study methods of data gathering, forms of data analysis etc. In planning and executing a research to study. Dari konsep tersebut dapat diterjemahkan sebagai berikut : metodologi mengacu pada suatu pilihan bagi kita mengenai metode untuk memperoleh data hingga analisis data dalam perencanaan dan pelaksanaan penelitian. Dari pendapat di atas, dapat diartikan bahwa metodologi penelitian merupakan pengetahuan tentang prosedur atau cara yang digunakan dalam proses menemukan, mengembangkan, menguji kebenaran, dengan menggunakan metode-metode ilmiah untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Adapun Aspek-aspek metodologi yang dipergunakan dalam penelitian ini akan penulis uraikan sebagai berikut : A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di Rumah Sakit Ortopedi (RSO) Prof Dr. R Soeharso Surakarta yang beralamatkan di Jl. A.Yani Pabelan PO BOX 243 Surakarta 57162 Telp. (0271) 714458. Adapun alasan pemilihan tempat penelitian adalah :
a. Tersedianya data yang berhubungan dengan masalah penelitian dan berguna untuk mendukung tercapainya tujuan penelitian. b. Belum pernah diadakan penelitian yang mengangkat masalah yang sama seperti yang akan diteliti oleh peneliti.
2. Waktu Penelitian Waktu penelitian sejak pengajuan proposal sampai penulisan laporan hasil penelitian direncanakan mulai dari September 2009 – Maret 2010 Tabel. 2. Rincian Waktu Penelitian Kegiatan
Sep
Okt
Nov
Des
Jan
Feb
Mar
Pra-survey Penulisan proposal Pembuatan kuesioner Penyebaran kuesioner Analisa data Penulisan laporan
B. Variabel Penelitian 1. Identifikasi Variable Penelitian a. Pengertian Variabel Menurut Singarimbun dan Sofian Effendi (1995 : 42) “Variabel yang berarti sesuatu yang mempunyai variasi nilai”. Y. Slamet (2006 : 26) berpendapat “Konsep yang mempunyai lebih dari satu kategori atau lebih dari satu nilai disebut variabel”. Sedangkan menurut Sumadi Suryabrata (1998 : 72) “Variabel diartikan sebagai segala sesuatu yang akan menjadi objek pengamatan penelitian”. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa yang disebut variabel adalah sesuatu yang memiliki variasi nilai dan merupakan hal yang kita teliti. b. Macam-macam Variabel Menurut Moh. Nazir (2003 : 123-125) umumnya, variabel dibagi atas : 1. Variabel kontinu 2. Variabel Descrete 3. Variabel Dependen dan Variabel Bebas
4. Variabel Moderator dan Variabel Random 5. Variabel Aktif 6. Variabel Atribut Agar lebih jelasnya akan penulis uraikan di bawah ini : 1) Variabel Kontinu Variabel kontinu adalah hasil pengukuran, dapat dinyatakan dalam angka pecahan. 2) Variabel Descrete Variabel Descrete adalah hasul perhitungan, tidak dapat dinyatakan dalam bentuk pecahan. 3) Variabel Dependen dan Variabel Bebas Variabel dependen atau variabel terpengaruh adalah variabel yang tergantung pada variabel lain. Variabel bebas atau variabel pengaruh adalah variabel yang mempengaruhi. 4) Variabel Moderator dan Variabel Random Variabel moderator adalah variabel yang berpengaruh terhadap variabel dependen, tetapi dianggap tidak mempunyai pengaruh utama. Variabel random adalah variabel yang berpengaruh terhadap variabel depenpen, tetapi tidak dimasukkan dalam variabel moderator. 5) Variabel Aktif Variabel aktif adalah variabel yang dapat dimanipulasi (dipengaruhi, diubah, diberi perlakuan). 6) Variabel Atribut Variabel atribut adalah variabel yang tidak dapat dimanipulasi.
Sedangkan menurut Cholid Narbuko dan Achmadi (2003 : 119) Variabel penelitian menurut fungsinya dapat dibedakan menjadi : a) b) c) d) e) f)
Variabel tergantung Variabel bebas Variabel intervening Variabel moderator Variabel kendali Variabel rambang
Adapun variabel tersebut akan penulis jelaskan sebagai berikut : 1) Variabel Tergantung (Dependent Variabel) Merupakan variabel yang dipengaruhi oleh variabel lain. Variabel tergantung inilah yang menjadi titik persoalan dalam penelitian. 2) Variabel bebas (Independent Variabel) Merupakan variabel pengaruh, sebab berfungsi mempengaruhi variabel lain. 3) Variabel Intervening Merupakan variabel yang menghubungkan variabel satu dengan variabel yang lain. 4) Variabel Moderator Merupakan variabel yang ikut mempengaruhi variabel tergantung serta mmeperjelas hubungan variabel bebas dengan variabel tergantung 5) Variabel Kendali Merupakan variabel yang membatasi variabel moderator 6) Variabel Rambang Merupakan variabel yang dapat diabaikan atau tidak diperhatikan terhadap variabel bebas maupun tergantung.
c. Ukuran-ukuran Variabel Moh. Nazir (2003 :131) berpendapat bahwa “sesuai dengan jenis pengukuran yang digunakan, maka sering juga variabel penelitian dibagi atas 4, yaitu variabel nominal, variabel ordinal, variabel interval, dan variabel rasio”. Senada dengan itu, Sumadi Suryabrata (1998 : 73) menyatakan : Berkaitan dengan proses kuantifikasi, data biasa digolongkan menjadi empat jenis, yaitu (a) data nominal, (b) data ordinal, (c) data interval, dan (d) data ratio. Demikian pula variabel, kalau dilihat dari segi ini biasa dibedakan dengan cara yang sama. (a) Variabel Nominal (b) Variabel ordinal (c) Variabel interval (d) Variabel ratio Agar lebih jelas akan penulis uraikan di bawah ini :
1) Variabel Nominal Variabel nominal bersifat diskrit dan saling pisah antara kategori satu dengan yang lain. Variabel ini ditetapkan berdasar atas proses penggolongan. Contohnya : jenis pekerjaan, jenis kelamin, status perkawinan. 2) Variabel ordinal Variabel ordinal disusun berdasarkan tingkat yang berurutan. Jadi merupakan rangking yang berurutan. Contohnya : rangking mahasiswa dalam satu mata kuliah, rangking dalam lomba yang ditentukan juara kesatu, kedua, ketiga. 3) Variabel interval Variabel interval dihasilkan dari pengukuran, dimana dalam pengukuran tersebut diasumsikan terdapat satuan pengukuran yang sama. Contohnya : penghasilan, prestasi belajar, sikap terhadap sesuatu hal dinyatakan dalam skor. 4) Variabel ratio Variabel ratio dalam kuantifikasinya mempunyai nol mutlak. Orang jarang menggunakan ratio dalam penelitian bidang-bidang sosial. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Variabel Terikat yaitu Motivasi Kerja (Y) b. Variabel Bebas 1. Jenis Kelamin (X1) 2. Dukungan Sosial Dari Rekan Kerja (X2)
2. Definisi Konsep Variabel a. Motivasi Kerja Motivasi kerja merupakan kekuatan-kekuatan yang terdapat pada diri seseorang individu, yang menjadi penyebab timbulnya tingkat, arah, dan persistensi upaya yang dilaksanakan dalam hal bekerja. Motivasi bekerja tersebut meliputi kebutuhan fisik/materi, kebutuhan prestasi, kebutuhan afiliansi dan kebutuhan akan kekuasaan. b. Jenis Kelamin
Jenis kelamin adalah perbedaan bentuk anatomi tubuh manusia, sifat-sifat, dan ciriciri lahiriah lainnya dan digolongkan menjadi dua, yaitu laki-laki dan perempuan c. Dukungan Sosial Dari Rekan Kerja Secara umum, dukungan sosial didefinisikan sebagai ketersediaan hubungan yang bersifat menolong dan mempunyai nilai khusus bagi individu yang menerimanya, tindakan yang sifatnya membantu dengan melibatkan emosi, pemberian informasi, bantuan materi dan penilaian yang positif pada individu dalam menghadapi permasalahannya. Sehingga Dukungan sosial dari rekan kerja dapat diartikan sebagai ketersediaan hubungan yang bersifat menolong dari rekan kerja. Dukungan sosial ini meliputi:
dukungan
emosional,
dukungan
penghargaan/appraisal,
dukungan
instrumental/materi dan dukungan informasi.
C. Metode Penelitian Penggunaan acuan metode penelitian yang sesuai dengan penelitiannya akan berpengaruh dalam ketetapan pengambilan data yang dapat mendukung masalah penelitian yang diajukan. Menurut Winarno Surachmad (1994: 131) menjelaskan bahwa “Metode merupakan cara utama yang dipergunakan untuk mencapai tujuan, misalnya untuk menguji serangkaian hipotesa dengan menggunakan teknik serta alat-alat tertentu”. Pengertian metode penelitian menurut Suharsimi Arikunto (1998: 150) menjelaskan bahwa “Metode penelitian adalah cara yang dipergunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data penelitiannya”. Berdasarkan pendapat diatas dapat peneliti simpulkan bahwa metode penelitian adalah suatu cara utama yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dengan menggunakan suatu teknik serta alat-alat tertentu. Mengenai penggolongan penelitian, Sumadi Suryabrata (1998: 15) menyatakan : Berdasarkan atas sifat-sifat masalahnya, berbagai macam metode penelitian dapat digolongkan menjadi sembilan macam kategori yaitu : a. Penelitian historis b. Penelitian deskriptif c. Penelitian perkembangan
d. e. f. g. h. i.
Penelitian kasus atau penelitian lapangan Penelitian korelasional Penelitian kausal komparatif Penelitian eksperimen sungguhan Penelitian eksperimen semu, dan Penelitian tindakan
Kesembilan macam penelitian tersebut diatas dapat penulis uraikan sebagai berikut : 1) Penelitian historis bertujuan membuat rekonstruksi masa lampau secara sistematis dan objektif untuk memperoleh kesimpulan yang kuat. 2) Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang membuat deskripsi secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi. 3) Penelitian perkembangan bertujuan menyelidiki pola dan perurutan pertumbuhan dan perubahan sebagai fungsi waktu 4) Penelitian kasus dan penelitian lapangan merupakan penelitian yang bertujuan untuk mempelajari secara intensif latar belakang dan keadaan sekarang suatu unit sosial. 5) Penelitian kausal komparatif bertujuan menyelidiki kemungkinan hubungan sebab akibat dengan cara berdasar pengamatan terhadap akibat yang ada, mencari kembali faktor yang mungkin menjadi penyebab melalui data tertentu. 6) Penelitian eksperimental semu merupakan penelitian yang bertujuan untuk memperoleh informasi perkiraan, berdasarkan eksperimen tanpa kontrol atau manipulasi variabel. 7) Penelitian eksperimental sungguhan, merupakan penelitian yang bertujuan menyelidiki hubungan sebab akibat dengan cara mengenakan perlakuan pada salah satu variabel. 8) Penelitian korelasional bertujuan menyelidiki sejauh mana variabel satu dengan yang lainnya berkaitan satu sama lainnya. 9) Penelitian
tindakan,
merupakan
penelitian
pengembangan
keterampilan-
keterampilan baru dengan pendekatan baru dengan penerapan langsung di dunia aktual yang lain.
Penelitian ini sendiri termasuk penelitian yang bersifat ex post facto, karena variable bebasnya tidak dikendalikan dalam arti variable tersebut telah terjadi. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Consuello G (1993: 124), “Penelitian ex post facto berarti data yang dikumpulkan setelah semua kejadian yang dipersoalkan telah berlangsung atau telah lewat”. Berdasarkan sifat tersebut maka metode yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif kuantitatif. Adapun alasan peneliti memilih metode kausal komparatif ini adalah sebagai berikut : a. Data-data variabel dalam penelitian ini merupakan data yang dikumpulkan setelah kejadian berlalu atau sudah lewat. b. Peneliti mengambil satu variabel terikat sebagai akibat dan menguji data tersebut dengan menelusuri ke masa lalu untuk mencari sebab atau hubungannya.
D. Populasi dan Sampel 1. Populasi Penelitian Populasi merupakan obyek dimana hasil penelitian akan dikenakan. Aspek-aspek yang diungkapkan dalam penelitian ini adalah motivasi kerja kerja, jenis kelamin dan dukungan sosial dari rekan kerja. Sebelum menetapkan populasi, maka akan dikemukakan terlebih dahulu tentang pengertian populasi. Pengertian populasi menurut Sudjana (2001: 6) mendefinisikan populasi sebagai “Totalitas semua nilai yang mungkin; hasil menghitung ataupun pengukuran kuantitatif maupun kualitatif mengenai karakteristik tertentu dari semua anggota kumpulan yang lengkap dan jelas yang ingin dipelajari sifat-sifatnya”. Sedangkan menurut Sugiyono (2005: 55) menjelaskan bahwa “Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas ; objek atau subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya”. Sementara itu Robert B. Burns (2000 : 83) mengemukakan, “populations is an entire group of people or objects or events which all have at least one characteristic in common, and must be defined specifically and unambiguosly”. Menurutnya, populasi adalah seluruh grup dari orang maupun objek yang kesemuanya mempunyai karakteristik sama, dan harus nyata dan tidak bermakna ganda.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa populasi adalah keseluruhan individu penelitian yang mempunyai karakteristik tertentu, karakteristik populasi dalam penelitian ini meliputi populasi yang homogen. Maka dari itu populasi penelitian ini tidak mengikutkan dari kelompok perawat non-medis yang tugas-tugasnya tidak berinteraksi langsung dengan pasien. Akan tetapi penelitian ini memilih perawat medis yang berhubungan langsung dengan pasien. Selain lebih dominan, perawat medis juga lebih sesuai dengan landasan teori yang dikemukakan sebelumnya. Sehingga akhirnya dapat disimpulkan populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah keseluruhan perawat medis yang bekerja di Rumah Sakit Ortopedi (RSO) Prof Dr. R Soeharso Surakarta. Adapun populasi penelitian ini berjumlah 123 orang perawat yang tersebar di delapan Zaal (Bangsal). Dari jumlah tersebut, populasi perawat laki-laki sejumlah 57 orang dan perawat perempuan berjumlah 66 orang
2. Sampel Penelitian a. Pengertian Sample Sampel menurut Sugiyono (2005: 56) diartikan sebagai “Sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi”. Sedangkan menurut Sanapiah Faisal (2005: 57) mendefinisikan sampel sebagai “ Sebagian dari populasi yang diambil sebagai representasi atau wakil populasi yang bersangkutan”. Selanjutnya, menurut Sudjana (2001: 161) menjelaskan bahwa “Sampel adalah sebagian yang diambil dari populasi dengan menggunakan cara-cara tertentu”. Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat peneliti simpulkan bahwa sampel merupakan sebagian dari jumlah dan karakteristik populasi yang diambil dengan cara tertentu yang dianggap dapat mewakili populasi. Penelitian ini mengambil sampel sebagian dari perawat medis yang bekerja di Rumah Sakit Ortopedi (RSO) Prof Dr. R Soeharso Surakarta.
b. Alasan menggunakan sample
Dalam penelitian sosial, tidak selalu seluruh populasi dikenakan penelitian. Untuk mengatasi hal tersebut maka perlu adanya pembatasan yaitu dengan menetapkan jumlah sampel. Sampel harus bisa mewakili populasi yang diteliti, dalam arti sampel harus bersifat representatif. Menurut Sugiarto, dkk (2001 : 5) digunakannya sampel dalam penelitian didasarkan pada berbagai pertimbangan berikut : 1) 2) 3) 4)
Seringkali tidak mungkin mengamati seluruh anggota populasi Pengamatan terhadap seluruh anggota populasi dapat bersifat merusak Menghemat waktu, biaya dan tenaga Mampu memberikan informasi yang lebih menyeluruh dan mendalam (komprehensif).
Berdasarkan pendapat di atas makan alasan peneliti menggunakan sampel adalah lebih menghemat waktu, biaya, tenaga, banyak masalah yang dapat diteliti atau dapat memberikan informasi yang lebih menyeluruh dan mendalam, dan data yang terkumpul lebih akurat. Adapun jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 46 perawat yang terdiri dari 24 perawat perempuan dan 22 perawat lakilaki.
c. Sampling Menurut Hadari Nawawi (1995 :152) “Teknik sampling adalah cara untuk menentukan sampel yang jumlahnya sesuai dengan ukuran sampel yang akan dijadikan sumber data sebenarnya, dengan memperhatikan sifat-sifat dan penyebaran populasi agar diperoleh sampel yang representatif atau benar-benar mewakili populasi”.
Artinya sampling adalah pengambilan sample atau mengambil suatu
bagian dari populasi atau keseluruhan sebagai wakil yang dapat merepresentasikan populasi yang ada. Kemudian Sutrisno Hadi (2002 :75) mengemukakan terdapat dua macam teknik sampling, yakni : 1) Teknik Random Sampling
Random sampling adalah pengambilan sampel secara random atau tanpa pandang bulu. Dalam random sampling semua individu dalam populasi baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama diberi kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi anggota sampel. Adapun cara-cara (prosedure) yang digunakan untuk random sampling adalah : (a) Cara undian (b) Cara ordinal (c) Randomisasi dan Tabel Bilangan Random 2) Teknik Nonrandom Sampling Semua sampling yang dilakukan bukan dengan teknik random sampling disebut non random sampling.
d. Teknik Pengambilan Sampel Berpedoman pada pendapat tersebut diatas maka dalam penelitian ini digunakan teknik random sampling dengan cara undian. Dengan teknik random sampling maka pengambilan sampel bersifat objektif. Hal ini sesuai dengan pendapat Sugiarto (2001 : 36) : Dalam probability sampling, pemilihan sampel tidak dilakukan secara subyektif, dalam arti sampel yang terpilih tidak didasarkan semata-mata pada keinginan si peneliti, sehingga setiap anggota populasi memiliki kesempatan yang sama (acak) untuk terpilih sebagai sampel. Dengan demikian diharapkan sampel yang terpilih dapat digunakan untuk menduga karakteristik populasi secara objektif.
Sedangkan menurut W. Gulo (2002 : 81), “(...) untuk memenuhi prinsip keterwakilan, penarikan sampel harus dilakukan secara random (acak). Penarikan sampel dengan
cara ini disebut random sampling”. Artinya teknik random sampling ini menekankan pada objektifitas karena memberikan peluang yang sama pada setiap individu. Sehingga hasil yang didapatkan akan mewakili populasi dalam penelitian. Berdasarkan hal di atas, maka penulis mengambil sampel di setiap bangsal dimana perawat ditugaskan, dengan teknik random sampling dengan cara undian tanpa pengembalian. Nomor undian yang telah keluar menjadi sampel, tidak dikembalikan lagi dalam kerangka sampel. Seperti yang dikemukakan Sugiarto, dkk (2001 : 48), “Untuk cara pengambilan sample bisa dilakukan dengan pengembalian (with replacement) dan tanpa pengembalian (without replacement)”. Hal ini sesuai pula dengan pendapat Sudjana (165-166) yang menyatakan: Ada dua perlakuan sampel diambil : 1. Anggota yang telah diambil untuk dijadikan anggota sampel disimpan kembali, disatukan dengan anggota lainnya. Dengan demikian anggota ini masih ada kesempatan untuk diambil kembali pada pengambilan berikutnya. Cara pengembalian sampel demikian dinamakan sampling dengan pengembalian. 2. Anggota yang telah terambil untuk dijadikan anggota sampel tidak disimpan kembali ke dalam populasi. Dengan demikian setiap anggota hanya bisa diambil satu kali. Cara pengembalian sampel demikian dinamakan sampling tanpa pengembalian. Kemudian menurut Sutrisno Hadi (2002 : 76), langkah-langkah dalam pengambilan sampel dengan teknik random sampling dengan cara undian adalah sebagai berikut ; 1. Buatlah suatu daftar yang berisi semua subjek, objek, gejala, peristiwa, atau kelompok-kelompok yang ada dalam populasi. 2. Berilah kode-kode yang berwujud angka-angka untuk tiap-tiap subjek, objek, gejala, peristiwa, atau kelompok-kelompok yang dimaksud. 3. Tulislah kode-kode itu masing-masing dalam satu lembar kertas kecil. 4. Gulung kertas itu baik-baik 5. Masukkan gulungan-gulungan kertas itu dalam tempolong, kaleng atau tempat-tempat yang semacam. 6. Kocok baik-baik tempolong atau kaleng itu 7. Ambillah kertas gulungan itu sebanyak yang dibutuhkan. Sesuai dengan langkah-langkah tersebut di atas, yang penulis lakukan adalah :
1) Membuat semua daftar subjek atau membuat “sampling frame”, yaitu daftar semua perawat medis di RSO Prof. DR. R. Soeharso Surakarta. 2) Memberikan kode angka pada setiap subjek. 3) Menuliskan kode angka tersebut pada sebuah kertas kecil. 4) Menggulung kertas yang bertuliskan kode itu baik-baik. 5) Memasukkan gulungan kertas tersebut pada sebuah kaleng 6) Mengocok kaleng tersebut. 7) Mengambil kertas sebanyak sampel yang dibutuhkan. Kertas gulungan yang sudah keluar tidak dimasukkan lagi, karena cara yang digunakan adalah tanpa pengembalian (without replacement).
e. Menetapkan Besarnya Sampel Mengenai besar kecilnya pengambilan sampel pada prinsipnya tidak ada peraturan secara mutlak untuk menentukan ukuran sampel. Hal ini sesuai dengan pendapat Suharsimi Arikunto (1998: 120) yang menjelaskan : Untuk sekedar ancer-ancer maka apabila subjeknya kurang dari 100, lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Selanjutnya jika jumlah subeyeknya subjeknya besar dapat diambil antara 10-15% atau 20-25 % atau lebih, tergantung pada : a) Kemampuan luasnya wilayah peneliti dilihat dari waktu dan dana. b) Sempit luasnya wilayah pengamatan dari setiap objek, karena hal ini menyangkut banyak sedikitnya data. c) Besar kecilnya resiko yang ditanggung oleh peneliti
Kemudian menurut Isgiyanto (2009 : 80) pengambilan sampel dapat menggunakan rumus yang sekaligus dijadikan patokan dalam penelitian ini: n
=
NZ12- α ∕2 P (1-P) Nd2 + Z12- α ∕2 P (1-P)
Ket :
n
: besar sample
N
: Besar Populasi
Z12- α ∕2 : nilai sebaran normal baku yang besarnya tergantung α ; 1,96 P
: Proporsi kejadian; 0,25
d
: besar penyimpangan (absolute) yang bisa diterima 0,1
Jika diterapkan dalam kondisi penelitian ini, maka didapatkan hasil sebagai berikut : Untuk Sampel Perawat Laki-laki N
: 57 perawat Z12- α ∕2 : 1,96 P
d
: 0, 25
: 0,1
Perhitungannya yakni : n
=
57 . 1,96 . 0,25 (1-0,25) 57 (0,1)2 . 0,25 (1-0,25)
=
57 x 0,3675 0,57 + 0,3675
=
20,95 0,94
=
22,29 = 22 Perawat
Untuk Sampel Perawat perempuan N
: 66 perawat Z12- α ∕2 : 1,96 P
d
: 0, 25
: 0,1
Perhitungannya yakni : n
=
66 . 1,96 . 0,25 (1-0,25) 66 (0,1)2 . 0,25 (1-0,25)
=
66 x 0,3675 0,66 + 0,3675
=
24,25 1,0275
=
23,61 =
24 Perawat
Jadi, N Total adalah : 22 + 24 = 46 Perawat N dalam persen : 37 %
Berpedoman pada perhitungan di atas, maka peneliti menetapkan besarnya sampel dengan perbandingan 37% x jumlah perawat tiap bangsal. Adapun teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik Sampel Random Sampling dari setiap bangsal diambil sampel sebanyak :
Tabel 3. Penetapan Jumlah Sampel Penelitian No
Bangsal
Perawat
Perawat
laki-laki
perempuan
Jumlah
Besarnya sampel 37 %
1
Zaal A
6 Perawat
9 Perawat
15 Perawat
6 Perawat
2
Zaal B
4 Perawat
12 Perawat
16 Perawat
6 Perawat
3
Zaal C
14 Perawat
3 Perawat
17 Perawat
6 Perawat
4
Zaal D
7 Perawat
8 Perawat
15 Perawat
6 Perawat
5
Zaal E
5 Perawat
10 Perawat
15 Perawat
6 Perawat
6
Zaal F
4 Perawat
8 Perawat
12 Perawat
4 Perawat
7
Zaal ICU
8 Perawat
4 Perawat
12 Perawat
4 Perawat
8
Zaal WK
9 Perawat
12 Perawat
21 Perawat
8 Perawat
Jumlah
57 Perawat
66 Perawat
123 perawat
46 Perawat
Dari jumlah sample keseluruhan 46 orang perawat, maka dilakukan pembagian sampel menjadi dua kelompok menurut jenis kelamin, yakni 22 orang perawat laki-laki dan 24 orang perawat perempuan.
E. Metode Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data merupakan cara atau metode yang dipergunakan untuk memperoleh data dalam suatu penelitian. Guna memperoleh data yang dibutuhkan dalam suatu penelitian diperlukan teknik yang tepat sehingga tujuan penelitian yang diinginkan dapat tercapai. Menurut Suharsimi Arikunto (1998: 127) teknik pengumpulan data dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu : 1) Test 2) Non Test, terdiri dari : a). Angket atau kuesioner
b). Interview c). Observasi d). Skala bertingkat atau Rating Scale e). Dokumentasi Adapun metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Angket / kuesioner 2. Dokumentasi
Agar lebih jelas mengenai metode pengumpulan data tersebut, akan dijelaskan sebagai berikut : 1. Metode Angket atau Kuesioner a. Pengertian Teknik Angket Angket merupakan teknik pengumpulan data melalui daftar pertanyaan yang harus dijawab oleh responden. Menurut Sanapiah Faisal (2005: 122) menjelaskan “Angket adalah suatu alat pengumpulan data berisi daftar pertanyaan secara tertulis yang ditujukan kepada subyek atau responden penelitian”. Sedangkan menurut Nasution (2004: 128) menjelaskan “Angket atau quetionnaire adalah daftar pertanyaan yang didistribusikan melalui pos untuk diisi dan dikembalikan atau dapat juga dijawab di bawah pengawasan peneliti”. Pengertian angket selanjutnya, menurut Suharsimi Arikunto (1998 :141) menyatakan “Kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya, atau halhal yang ia ketahui”. Berdasarkan uraian pendapat di atas dapat penulis simpulkan bahwa angket adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang ditujukan kepada responden untuk diisi yang bertujuan untuk memperoleh informasi dar responden yang bersangkutan.
b. Jenis Angket Kuesioner atau angket dapat dibedakan menjadi beberapa jenis tergantung pada sudut pandangnya. Menurut Suharsimi Arikunto (1998: 139) jenis-jenis angket yang digunakan dalam pengumpulan data ada bermacam-macam yaitu :
a. Dipandang dari cara menjawab, ada : 1) Kuesioner terbuka, yang memberikan kesempatan kepada responden untuk menjawab dengan kalimatnya sendiri. 2) Kuesioner tertutup, yang sudah disediakan jawabannya sehingga responden tinggal memilih. b. Dipandang dari jawaban yang diberikan, ada : 1) Kuesioner langsung, yaitu responden menjawab tentang dirinya 2) Kuesioner tidak langsung, yaitu jika responden menjawab orang lain c. Dipandang dari bentuknya 1) Kuesioner pilihan ganda, yang dimaksud adalah sama dengan angket tertutup. 2) Kuesioner isian, yang dimaksud adalah angket terbuka 3) Chek list, sebuah daftar, dimana responden tinggal membubuhkan tanda chek (√) pada kolom yang sesuai 4) Rating scale (skala bertingkat), yaitu sebuah pertanyaan diikuti oleh kolom-kolom yang menunjukkan tingkatan. Jenis angket yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket langsung tertutup dengan bentuk Chek list, sebuah daftar, dimana responden tinggal membubuhkan tanda chek (√) pada kolom yang sesuai dengan dirinya.
c. Kelebihan dan Kelemahan Angket Teknik angket ini dalam penggunaannya memiliki kelebihan dan kelemahan bila dibandingkan dengan teknik pengumpulan data lainnya. menurut Suharsimi Arikunto (1998: 140) menjelaskan bahwa : Angket memiliki kelebihan-kelebihan diantaranya : 1) Tidak memerlukan hadirnya peneliti 2) Dapat dibagikan secara serentak kepada responden 3) Dapat dijawab oleh responden menurut kecepatannya masing-masing waktu senggang responden. 4) Dapat dibuat anonim sehingga responden bebas, jujur dan tidak malumalu menjawab. 5) Dapat dibuat berstandar sehingga semua responden dapat diberi pertanyaan yang benar-benar sama.
Selanjutnya selain memiliki kelebihan-kelebihan teknik angket juga memiliki kelemahan-kelemahan. Menurut Suharsimi Arikunto (1998: 141) diantara kelemahankelemahan itu adalah :
1) Responden sering tidak teliti dalam menjawab sehingga ada pertanyaan yang terlewati tidak terjawab, padahal sukar diulangi diberikan kembali padanya. 2) Seringkali sukar dicari validitasnya. 3) Walaupun dibuat anonim, kadang-kadang responden dengan sengaja memeberikan jawaban yang tidak betul atau tidak jujur. 4) Angket yang dikirim lewat pos pengembaliannya sangat rendah, hanya sekitar 20 %. Seringkali tidak kembali terutama jika dikirim lewat pos menurut penelitian. 5) Waktu pengembaliannya tidak sama-sama, bahkan kadang-kadang ada yang terlalu lama sehingga terlambat.
Adapun alasan peneliti menggunakan teknik angket ini adalah : 1) Angket penggunaannya lebih sistematis dan terencana 2) Dengan menggunakan angket, peneliti dapat menghemat waktu, biaya, dan tenaga 3) Dengan menggunakan angket, peneliti lebih mudah mendapatkan data secara objektif dari responden.
d. Instrumen Penelitian Untuk mendapatkan data yang valid dan reliabel, maka alat pengumpul data yang digunakan harus relevan dengan masalah yang harus diteliti. Instrumen yang dipakai dalam penelitian ini berbentuk angket langsung yang bersifat tertutup, artinya angket tersebut jawabannya sudah disediakan. Subjek tinggal memilih salah satu alternatif jawaban yang sesuai dengan kondisi atau keadaan dirinya, hal ini dimaksudkan supaya jawaban subjek tidak terlalu melebar. Metode angket ini digunakan untuk mendapatkan data tentang motivasi kerja perawat, karakteristik (jenis kelamin) dan dukungan sosial dari rekan kerja yang dirasakan perawat. Pada penelitian ini angket dibuat dalam bentuk berstruktur, yakni chek list (daftar cek). Pihak pengisi tinggal membubuhkan tanda (√) pada pernyataan di kolom yang sesuai dengan jawabannya. Alasan peneliti menggunakan angket langsung tertutup dengan pilihan item pertanyaan menggunakan chek list adalah sebagai berikut : 1) Memberikan kemudahan kepada responden dalam memberikan tanggapan, jadi responden hanya memilih salah satu dari kemungkinan jawaban.
2) Data yang terkumpul sesuai dengan yang diharapkan.
e. Langkah-langkah Penyusunan Angket Berikut akan dijelaskan langkah-langkah penyusunan angket dalam penelitian ini : 1) Menetapkan Tujuan Dalam penelitian ini, angket disusun dengan tujuan untuk mendapatkan data tentang motivasi kerja perawat, jenis kelamin, dan dukungan sosial dari rekan kerja yang dirasakan oleh perawat. 2) Merumuskan definisi operasional dari variabel yang diteliti. a) Motivasi kerja Motivasi kerja merupakan sesuatu yang menimbulkan dorongan atau semangat dalam bekerja. Arah dan intensitas motivasi kerja ini berbeda antara perawat satu sama lain, karena pada dasarnya kebutuhan dan keinginan setiap perawat juga berbeda. Hal ini dikarenakan setiap perawat di Rumah sakit adalah unik secara biologis maupun psikologis, dan berkembang atas dasar proses belajar yang berbeda pula. b) Jenis Kelamin Jenis kelamin adalah perbedaan bentuk anatomi tubuh manusia, sifat-sifat, dan ciri-ciri lahiriah lainnya dan digolongkan menjadi 2 yaitu laki-laki dan perempuan. c) Dukungan Sosial Dari Rekan Kerja Dukungan sosial dari rekan kerja ialah sejauh mana hubungan dari rekan kerja yang bersifat menolong dan mempunyai nilai khusus bagi individu yang menerimanya, tindakan yang sifatnya membantu dengan melibatkan emosi, pemberian informasi, bantuan materi dan penghargaan yang positif pada individu dalam menghadapi permasalahannya 3) Membuat indikator dari variabel yang diteliti a) Motivasi kerja (1) Kebutuhan fisik/Materi (2) Kebutuhan akan prestasi (3) Kebutuhan Akan Afiliansi, meliputi :
(a) Kebutuhan perasaan diterima (b) Kebutuhan perasaan dihormati (c) Kebutuhan akan perasaan ikut serta (d) Kebutuhan perasaan maju dan tidak ingin gagal (4) Kebutuhan akan kekuasaan b) Jenis Kelamin : (1) Perawat laki-laki (2) Perawat perempuan c) Dukungan Sosial dari Rekan Kerja (1) (2) (3) (4)
Dukungan emosional Dukungan appraisal/penghargaan Dukungan instrumental/materi Dukungan informasi
4) Membuat kisi-kisi angket (1) Angket motivasi kerja yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada teori motivasi kerja Mc Clelland yang mencakup kebutuhan prestasi, kebutuhan afiliansi dan kebutuhan kekuasaan. Selain itu pula ditambah dengan teori kebutuhan Maslow, teori dua faktor Herzberg dan teori harapan Vroom (2) Jenis kelamin di ketahui dari profil responden di lembar pengisian angket (3) Dukungan sosial dari rekan kerja mengacu pada teori Cohen dan Syme dan teori Wan yang memaparkan bentuk-bentuk dukungan sosial secara umum. Teori tersebut dikembangkan dalam konteks pekerjaan. 5) Menyusun petunjuk pengisian angket 6) Menyusun item-item pertanyaan-pertanyaan yang sesuai dengan variabel-variabel yang akan diteliti. Pertanyaan yang diajukan harus sesuai dengan aspek-aspek yang tertuang dalam kisi-kisi yang telah disusun. Adapun penyusunan pertanyaan dalam penelitian ini menggunakan pertanyaan tertutup dengan cheklist. 7) Membuat surat pengantar 8) Mengadakan uji coba (try-out) angket Setelah angket disusun, maka angket tersebut perlu diuji terlebih dahulu mengenai validitas dan reliabilitasnya yaitu melalui try out.
Dalam penelitian ini try-out dilaksanakan di RSO Prof. DR. R. Soeharso Surakarta pada perawat sebanyak 30 orang. Perawat yang telah mengikuti try-out angket, nantinya tidak dipakai dalam penelitian. Maksud dari try-out ini, menurut Sutrisno Hadi (2002 : 166) adalah sebagai berikut : a) Untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan yang kurang jelas maksudnya b) Untuk meniadakan pengunaan kata-kata yang terlalu asing, terlalu akademik, atau kata-kata yang menimbulkan kecurigaan. c) Untuk memperbaiki pertanyaan-pertanyaan yan biasa dilewati atau hanya menimbulkan jawaban-jawaban yang dangkal d) Untuk menambah item yang sangat perlu atau meniadakan item yang ternyata tidak relevan dengan tujuan research. Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maksud peneliti mengadakan try-out angket ini adalah : a) Menghindari pertanyaan-pertanyaan yang bermakna ganda dan tidak jelas. b) Menghindari pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya tidak diperlukan c) Meghindari kata-kata yang kurang dimengerti responden d) Menghilangkan item-item yang dianggap tidak relevan dengan penelitian . Selain beberapa maksud diadakannya try-out seperti yang disebutkan di atas, tujuan diadakannya try-out terhadap angket adalah untuk mengetahui kelemahan angket yang disebarkan kepada responden dan untuk mengetahui sejauh mana responden mengalami kesulitan di dalam menjawab pertanyaan tersebut, serta untuk mengetahui apakah angket tersebut memenuhi syarat validitas dan reliabilitas. Untuk lebih jelasnya akan diterangkan sebagai berikut : a) Validitas dan alat Pengukur Uji validitas dimaksudkan untuk mengetahui tingkat kevalidan atau kesahihan angket. Angket yang valid adalah angket yang mampu mengukur apa yang seharusnya diukur. Suharsimi Arikunto (1998: 144) menjelaskan bahwa “Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan”. Sedangkan menurut David dan Irene Hall (1996: 43) menjelaskan validitas sebagai
:
“The
extent
to
which
a
test,
questionnaire
or
other
operationalisation is really measuring the researcher intends to measure”. Artinya tingkat atau taraf dimana tes, angket atau lainnya yang benar-benar mengukur apa yang peneliti maksudkan atau kehendaki. Mengenai macam validitas sesuai cara pengujiannya terdapat dua macam validitas, yaitu : Validitas Internal dan Validitas Eksternal. Menurut Suharsimi Arikunto (1998: 145) menjelaskan “Validitas eksternal merupakan instrumen yang dicapai apabila data yang dihasilkan dari instrumen tersebut sesuai dengan data atau informasi lain mengenai variabel penelitian yang dimaksud”. Selanjutnya,
mengenai
validitas
internal
dijelaskan
Suharsimi
Arikunto (1998: 147) “Validitas internal dicapai apabila terdapat kesesuaian antara bagian-bagian instrumen dengan instrumen keseluruhan”. Berdasarkan cara estimasinya yang disesuaikan dengan fungsi dan sifat alat ukur, tipe validitas dibedakan menjadi 3 macam. Hal ini sesuai dengan pendapat Saifuddin Azwar (1997: 45) yang menjelaskan “Tipe validitas pada umumnya digolongkan dalam tiga kategori yaitu : Content Validity (Validitas Isi), Construct Validity (Validitas Konstraks), dan Criterium Related Validity (Validitas Berdasar Kriteria)”. Ketiga macam validitas dapat peneliti paparkan sebagai berikut : 1) Validitas Isi Validitas Isi (Content Validity) merupakan validitas yang mengukur sejauh mana item-item soal tes mencakup keseluruhan kawasan isi objek yang hendak diukur atau dengan kata lain sejauh mana isi tes mencerminkan ciri atribut yang hendak diukur. 2) Validitas Konstraks Validitas Konstrak merupakan tipe validitas yang menunjukkan sejauh mana tes mengungkap suatu treat atau konstrak teoritik yang hendak diukur. Pengujian validitas konstrak merupakan proses yang terus berlanjut sejalan dengan perkembangan konsep mengenai treat yang diukur. 3) Validitas Berdasarkan Kriteria
Validitas berdasarkan kriteria merupakan prosedur pendekatan validitas berdasar kriteria yang menghendaki tersedianya kriteria eksternal yang dapat dijadikan dasar pengujian skor tes. Rumus yang digunakan dalam uji validitas angket adalah korelasi product moment, seperti : rXY =
N å XY - (å X )(å Y )
{N å X
2
(
- åX
)
2
}{N å Y
2
- (å Y )
2
}
Keterangan : rxy
: Koefisien korelasi antara skor tiap item dengan skor total.
ΣX
: Jumlah skor tiap-tiap item
ΣY
: Jumlah skor tiap uji coba
N
: Jumlah subjek uji coba
(Suharsimi Arikunto, 1998: 138)
Jika r < 0,050 maka dapat disimpulkan kriteria pengujian valid, sebaliknya jika r > 0,050 maka kriteria pengujian tidak valid.
b) Reliabilitas Alat Pengukur Reliabilitas merupakan suatu instrumen dapat dipercaya dan digunakan sebagai alat pengumpul data dan hasil yang diperoleh ajeg. Menurut Suharsimi Arikunto (1998:154) menyatakan bahwa “Reliabilitas menunjuk pada suatu pengertian bahwa suatu instrumen cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrumen tersebut sudah baik”. Selanjutnya menurut David dan Irene Hall (1996: 44) menjelaskan bahwa : “A common definition of reliability is the extent to which a test would give consistent result if applied by different reseachers more than once to the same people under standard conditions”. Artinya definisi umum dari reliabilitas adalah tingkat atau taraf dimana tes akan memberi hasil konsisten jika diterapkan oleh peneliti lain lebih dari satu kali kepada orang yang sama pada kondisi yang standard. Sedangkan menurut Hammersley dalam David Silverman (2002 : 225), “Reability refers to the degree of consistency with which instances are
asigned to the same category by different observes or by the same observer on different occasions”. Artinya reliabilitas mengacu pada derejat ketetapan yang mana saat digunakan pada kategori yang sama ataupun berbeda dalam kondisi/waktu yang berbeda. Jadi, alat yang reliabel secara konsisten memberi hasil ukuran yang sama walaupun pada waktu yang berbeda dan peneliti yang berbeda pula. Teknik reliabilitas dapat dibedakan menjadi tiga macam. Saifuddin Azwar (1997: 37) menjelaskan: “Reliabilitas dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu Teknik Pengujian Kembali (test retest / single test double trial), Teknik Belah Dua (single test single trial) dan Teknik Pararel (double test double trial)”. Ketiga teknik reliabilitas diatas dapat penulis uraikan sebagai berikut : (1) Teknik Pengujian Kembali (test retest / single test double trial) Metode ini menggunakan ukuran atau tes yang sama untuk variabel tertentu pada suatu saat pengukuran yang diulang lagi pada saat yang sama. (2) Teknik Belah Dua (single test single trial) Mengenai teknik ini, biasanya peneliti menggunakan teknik belah dua ganjil-genap dengan mengelompokkan skor butir bernomor ganjil sebagai belahan pertama dan kelompok skor bernomor genap sebagai belahan kedua. (3) Teknik Pararel (double test double trial) Perhitungan reliabilitas ini dilakukan dengan membuat dua jenis alat ukur yang mengukur aspek yang sama, kemudian dicari validitasnya untuk masing-masing jenis. Dalam menghitung reliabilitas alat ukur yang digunakan rumus alpha, karena tiap-tiap item terdapat alternatif jawaban lebih dari dua. Sebelum sampai pada perhitungan rumus alpha, terlebih dahulu dicari jumlah varian butir item, yaitu menggunakan rumus :
å sd 2 =
(
åX
) - (å X )
2
2
n
n
Keterangan :
å sd 2
: Jumlah varian butir
ΣX
: Jumlah Skor
N
: Jumlah responden
Dari hasil di atas kemudian dimasukkan ke rumus Alpha
:
2 é k ù é å sd ù t 11 = ê . 1 ú úê åt 2 û ë k - 1û ë
Keterangan
:
t 11
: Reliabilitas Instrumen
k
: Banyaknya butir pertanyaan
å sd 2
: Jumlah varian butir
Σt2
: Varian Total. (Suharsimi Arikunto,1998: 191)
9) Revisi angket Setelah angket diuji cobakan maka hasilnya dijadikan dasar untuk revisi. Revisi dilakukan dengan cara menghilangkan atau mendrop item-item pertanyaan yang tidak valid atau tidak reliabel. Adapun dari hasil uji validitas angket tentang dukungan sosial dari rekan kerja, terdapat 6 pernyataan yang tidak valid yaitu soal nomor 13, 17, 24, 28, 32, dan 40. Sedangkan hasil uji validitas angket tentang Motivasi kerja terdapat pernyataan yang tidak valid sebanyak 5 yaitu nomor 9, 10, 17, 34, dan 51. Nomor-nomor yang tidak valid selanjutnya tidak digunakan untuk mengambil data penelitian, karena sudah terwakili oleh item soal yang lain. 10) Memperbanyak angket Angket yang telah direvisi dan telah diyakini valid dan reliabel, diperbanyak sesuai dengan jumlah responden yang dijadikan sampel. Angket siap untuk disebarkan kepada responden.
11) Langkah terakhir adalah menggunakan angket yang telah diperbanyak dan telah mendapatkan umpan balik dari responden sebagai alat pengumpul data yang kemudian dianalisis. f. Pengukuran Variabel Penelitian Penelitian ini terdiri dari variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas adalah jenis kelamin dan dukungan sosial dari rekan kerja, sedangkan variabel terikat adalah motivasi kerja. g. Penentuan Bobot nilai Untuk skoring atas jawaban setiap instrumen, menggunakan empat tingkat jawaban dari 1 sampai 4. Skala motivasi kerja terdiri dari aspek kebutuhan materi, kebutuhan akan prestasi, kebutuhan afiliansi dan kebutuhan akan kekuasaan. Sedangkan skala dukungan sosial dari rekan kerja terdiri dari aspek dukungan emosional, companionship, instrumental, dan informasional. Aspek-aspek tersebut disusun menjadi aitem-aitem yang berupa pernyataan positif (favorable) dan pernyataan negatif (unfavorable). 1) Untuk pertanyaan positif,bobot penilaiannya adalah : Untuk jawaban SS (Sangat Sesuai)
: nilai 4
Untuk jawaban S (Sesuai)
: nilai 3
Untuk jawaban TS (Tidak Sesuai),
: nilai 2
Untuk jawaban STS (Sangat Tidak Sesuai) : nilai 1 2) Untuk jawaban negatif, bobot penilaiannya adalah : Untuk jawaban SS (Sangat Sesuai)
: nilai 1
Untuk jawaban S (Sesuai)
: nilai 2
Untuk jawaban TS (Tidak Sesuai),
: nilai 3
Untuk jawaban STS (Sangat Tidak Sesuai) : nilai 4
2. Metode Dokumentasi Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode bantu yakni teknik pengumpulan data dengan dokumentasi. Teknik ini dilakukan untuk memperkuat hasil dari metode pokok yang digunakan yakni angket. Menurut Suharsimi Arikunto (1998: 236) menjelaskan bahwa, “Dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa
catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, leggers, agenda dan sebagainya”. Pengumpulan data melalui dokumentasi terutama untuk mencari variabel jenis kelamin perawat (X1). Selain itu juga dokumen mengenai struktur organisasi dan sebaran tenaga kesehatan di RSO Prof. Dr. R. Soeharso diperlukan untuk melihat secara umum bagaimana manajemen yang berlangsung. Tentu hal tersebut berhubungan dengan suasana kerja yang juga berkaitan dengan variabel motivasi kerja (Y) dan dukungan sosial dari rekan kerja (X2). Dokumentasi dilakukan dengan cara mengambil data yang bersumber pada pencatatanpencatatan berdasarkan apa yang tercantum dalam arsip ataupun dokumen yang terkait dengan objek penelitian, sedangkan data yang diperoleh dari teknik dokumentasi dalam penelitian ini digunakan sebagai data pendukung. Alasan peneliti menggunakan teknik dokumentasi adalah : a) Data dokumentasi ini sebagai data yang menggambarkan keadaan rumah sakit, terutama perawat secara aktual. b) Mudah diperoleh, yaitu dengan mengambil dari catatan dan arsip keperawatan.
F. Teknik Analisis Data Teknik analisis data merupakan suatu cara yang digunakan untuk mengolah data serta menganalisa data yang terkumpul dalam penelitian untuk membuktikan hipotesis yang diajukan. Teknik analisis data yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah teknik. Teknik analisis regresi ganda digunakan untuk mengetahui pengaruh antara variabel-variabel bebas (independen) yang lebih dari satu dengan variabel terikat (dependen). Menurut Moh Nazir (1988: 535) menjelaskan “Jika parameter dari suatu hubungan fungsional antara satu variabel dependen dengan lebih dari satu variabel independen ingin diestimasikan maka analisa regresi yang dikerjakan berkenaan dengan regresi berganda (multiple regression)”. Dalam penelitian ini, analisis regresi ganda digunakan untuk mengetahui hubungan jenis kelamin dan dukungan sosial dari rekan kerja terhadap Motivasi kerja perawat di Rumah Sakit Prof. Dr. R. Soeharso Surakarta tahun 2009.
Adapun prosedur analisis data yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Uji Prasyarat Analisis 2. Pengujian Hipotesis 1. Uji Prasyarat Analisis a. Uji Normalitas Untuk menguji apakah data yang diperoleh berdistribusi normal atau tidak maka dilakukan uji normalitas. Langkah-langkah uji normalitas dengan menggunakan rumus chi kuadrat. X 02 = å
Keterengan
( fo - fh )2 fh
:
X 02
= Chi Kuadrat
fo
= Frekuensi Observasi
fh
= Frekuensi yang diharapkan (Suharsimi Arikunto,1998: 312) Setelah harga Xo2 hasil perhitungan diperoleh, selanjutnya dikonsultasikan dengan tabel chi kuadrat dengan ketetapan sebagai berikut 1) Apabila
Xo2
:
2
> Xt , sampel berasal dari populasi yang tidak berdistribusi
normal. 2) Apabila Xo2 < Xt2, sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal b. Uji Homogenitas Uji homogenitas digunakan untuk menguji apakah penelitian berasal dari populasi yang homogen. Uji homogenitas digunakan dalam penelitian ini adalah metode Bartlett. 1) hipotesis
H 0 = s 1 = s 2 = s 3 = .... = s k 2
2
2
H1 = tidak semua variansi sama 2) Taraf Signifikansi α = 0.05 3) Statistik Uji
2
X2 =
(
2.203 2 f log RKG - å f j log s j c
)
dengan : c 2 - c 2 (k - 1) k = banyaknya populasi =banyaknya sampel N = banyaknya seluruh nilai (ukuran) nj = banyaknya nilai (ukuran) sampel ke-j=ukuran sampel ke j f j = n j - 1 = derajat kebebasan untuk s j ; j = 1,2,...k : k
f = N - k = å f j = derajat kebebasan untuk RKG j =1
c = 1+
1 æç 1 1 ö÷ ; å 3(k - 1) çè f j f ÷ø
RKG = rataan kuadrat galat =
å SS åf
(å X ) = (n )s
j
j
2
SS j = å X 2j -
j
nj
j -1
2 j
(Budiyono, 177)
2. Pengujian Hipotesis Penelitian Teknik analisa data yang digunakan untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan analisis variansi dua jalan dengan cara menghitung frekuensi rerata sel. Setelah dilakukan analisis data untuk pengujian hipotesis selanjutnya dilakukan penafsiran pengujian hipotesis. Penafsiran terhadap analisis varians hanya dapat dipertanggungjawabkan bila nilai Freg yang diperoleh berarti atau signifikan X ijk = m + a 1 + b j + (ab )ij + e ijk
dengan : X ijk
= data (nilai) ke-k pada baris ke-i dan kolom ke-j
µ
= rerata dari seluruh data (rerata besar, grand mean)
α1
= m i - m = efek baris ke-i pada variabel terikat
ßj
= m j - m = efek kolom ke-j terhadap variabel terikat
αßij
= m ij - (m + a 1 + b j ) kombinasi efek baris ke-i dan kolom ke-j
terhadap variabel terikat
e ijk
= deviasi data X terhadap rataan populasinya ( mij )yang
berdistribusi normal dengan rataan 0. i
= 1,2,3...,p; p=banyaknya baris
j
= 1,2,3...,q; q=banyaknya kolom
k
= 1,2,3,..,n; n=banyaknya data amatan pada setiap sel (Budiyono, 207)
BAB IV HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Umum 1. Deskripsi Wilayah Penelitian a. Sejarah Singkat RSOP Surakarta RSO (Rumah Sakit Ortopedi) secara resmi didirikan pada 28 Agustus 1951 yang dirintis oleh almarhum Prof. DR. R. Soeharso. Saat itu RSO berlokasi di Jalan Kolonel Sutarto Jebres Surakarta dan masih menjadi bagian dari Rehabilitasi Centrum (RC). Adapun kegiatan medis yang dilakukan berupa rehabilitasi terpadu, yaitu rehabilitasi medik, sosial dan kerja. Sampai tahun 1955, Lembaga Orthopaedi dan Prothese (LOP) menjadi satu atap dengan Pusat Rehabilitasi Penderita Cacat Tubuh (PRPCT). Namun, karena lokasi dirasa semakin sempit para pengelola menganggap LOP perlu dilengkapi gedung baru di daerah Pabelan Kartasura dengan areal seluas 10 Ha. Pada tahun 1978, dengan dikeluarkannya SK Menteri Kesehatan No. 139/Men.Kes/SK/IV/78 tanggal 28 April 1978 LOP diubah menjadi Rumah Sakit Orthopedi dan Prothese (RSOP). Kemudian, secara bertahap RSOP menempati lokasi baru di daerah Pabelan Surakarta, sebelah barat kota Surakarta. RSOP kembali berganti nama pada tanggal 24 April 1987 yang diresmikan dengan nama RSOP Prof. Dr. R. Soeharso. Selanjutnya pada tahun 1994 dengan SK Menteri Kesehatan No. 511/Men.Kes/VI/94 tanggal 8 Juni 1994 RSOP Prof. Dr. R. Soeharso diganti lagi menjadi Rumah Sakit Ortopedi Prof. Dr. R. Soeharso Surakarta. Sejalan perkembangnya, Rumah sakit ini ditetapkan sebagai Pusat Rujukan Nasional
Pelayanan Ortopedi dan di tahun 2000 RSO. Dr. R. Soeharso ditetapkan pula sebagai Rumah Sakit pendidikan dokter spesialis ortopedi dan rehabilitasi medik. Berikut tabel yang menunjukkan urutan perubahan status rumah sakit RSO. Dr. R. Soeharso Surakarta :
Tabel 4. Perubahan status RSO Prof. DR. R Soeharso Surakarta Waktu Tahun 1946 28-8-1951 10-4-1955 24-8-1978 24-4-1987
8-6-1994 20-7-2007 22-7-2008
PERUBAHAN STATUS Kegiatan rehabilitasi Berdiri Rehabilitasi Centrum (RC) Berdiri Lembaga Orthopaedi dan Prothesa (LOP) di Jebres Surakarta Berubah menjadi Rumah Sakit Orthopaedi dan Prothesa Menjadi Rumah Sakit Orthopaedi dan Prothesa Prof Dr R Soeharso Surakarta di Pabelan Menjadi RS Orthopaedi Prof Dr R Soeharso Surakarta Pengklasifikasian menjadi RS Tipe A Khusus RS Pendidikan Kolegium Ilmu Orthopaedi dan Traumatologi
b. Kondisi Fisik Pengembangkan yang juga disertai beberapa kali perpindahan lokasi telah dilakukan RSO Prof. Dr. R Soeharso Surakarta. Kini RSO berdiri di atas tanah seluas 103.000 m2 di Kelurahan Pabelan, sebelah barat Kota Surakarta di Kabupaten Sukoharjo. Luas bangunan RSO seluruhnya 21.876.989 m2. Bangsal rawat inap sebanyak 6 ruangan dengan kapasitas tempat tidur 187 buah.
c. Visi dan Misi Sesuai dengan status yang disandang RSO Prof. Dr. R Soeharso sebagai RS pusat rujukan Nasional, maka visi yang diusang berbunyi : “Terwujudnya Rumah Sakit Rujukan dan Pendidikan yang Terkemuka di Bidang Orthopaedi – Traumatologi dan Rehabilitasi Medik.” (RENSTRA 2008-2012)
Kemudian, sebagai institusi kesehatan milik publik, RSO memiliki komitmen untuk melayani pasiennya dengan pelayanan yang optimal namun tetap terjangkau. Hal itu tercantum jelas dalam uraian misi yang diemban RSO yaitu : 1) Menyelenggarakan pelayanan ortopedi traumatolgi dan rehab medik paripurna yang berorientasi pada kebutuhan dan keselamatan pasien, berkualias serta terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. 2) Menyelenggarakan pendidikan, penelitian dan pengembangan sesuai kebutuhan pelayanan kesehatan, kemajuan ilmu pegetahuan, dan penapisan teknologi kedokteran. 3) Menyelenggarakan manajemen rumah sakit dengan kaidah bisnis yang sehat, terbuka, efisien, efektif, akuntabel sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 4) Mengelola dan mengembangkan SDM sesuai kebutuhan pelayanan dan kemampuan rumah sakit. Dalam menjalankan visi dan misi yang terbilang cukup luhur dan idealis itu jelas seluruh jajaran manajerial maupun teknis RSO harus memiliki panduan berupa motto kerja. RSO kini telah mencanangkan sebuah motto yang disingkat CEKATAN yaitu: Cepat, Akurat, Aman dan Nyaman.
d. Tenaga SDM Tenaga PNS RSO Prof. Dr. R.Soeharso : Terbagi atas : Medis - Dokter Spesialis
:
21 karyawan
- Dokter Umum
:
14 karyawan
- Dokter Gigi
:
4 karyawan
Paramedis keperawatan
:
123 karyawan
Paramedis non keperawatan
:
101 karyawan
Non medis
:
280 karyawan
e. Struktur organisasi RSO Prof. Dr. R. Soeharso Surakarta
Terlampir.
2. Gambaran Umum Responden Pada sub bab ini akan diuraikan tentang gambaran umum perawat RSOP Surakarta dilihat dari jenis kelamin, umur, pendidikan, masa kerja dan deskripsi data penelitian. 1) Jenis kelamin perawat Berdasarkan data jenis kelamin perawat diperoleh data sebagai berikut: Tabel 5. Distribusi responden menurut jenis kelamin perawat Jenis Kelamin
Jumlah (f)
Persentase (%)
Perempuan
24
52,17
Laki-laki
22
47,83
Total
46
100,00
Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa responden yang berjenis kelamin laki- laki 22 orang (47,83%) dan perempuan 24 orang (52,17%). Hasil pengumpulan data tersebut dapat diketahui bahwa kebanyakan responden adalah berjenis kelamin perempuan (24 orang) dari keseluruhan responden. 2) Umur perawat Berdasarkan hasil pengumpulan data, umur perawat dapat diketahui seperti tampak pada tabel berikut: Tabel 6. Distribusi perawat menurut umur Umur
Jumlah (f)
Persentase (%)
≤ 30 tahun ≥ 30 tahun
25 21
54,35 45,65
Total
46
100,00
Berdasarkan Tabel 6 tersebut dapat diketahui bahwa responden dengan umur kurang atau sama dengan 30 tahun sebanyak 25 orang (54,35%) dan yang mempunyai umur lebih dari 30 tahun sebanyak 21 orang (45,65%. Penemuan
tersebut dapat diketahui bahwa kebanyakan responden berumur kurang dari 35 tahun (25 orang) dari keseluruhan responden. 3) Masa kerja perawat Berdasarkan pengumpulan data tentang masa kerja diperoleh data seperti tampak pada tabel berikut: Tabel 7. Distribusi Perawat Menurut Masa Kerja Masa Kerja
Jumlah (f)
Persentase (%)
11 tahun
27
58,70
> 11 tahun
19
41,30
Total
46
100,00
Berdasarkan Tabel 7 tersebut dapat diketahui penggolongan masa kerja adalah 11 tahun dan > 11 tahun. Hasil penelitian menemukan bahwa responden yang mempunyai masa kerja kurang dari 11 tahun sebanyak 27 orang (58,70%), yang mempunyai masa kerja lebih dari 11 tahun sebanyak 19 orang (41,30%) dari keseluruhan responden.
B. Deskripsi Data Penelitian ini membahas tentang pengaruh 2 variabel bebas yaitu Jenis Kelamin (X1) dan Dukungan Sosial Dari Rekan Kerja(X2) terhadap satu variabel terikat yaitu Motivasi kerja perawat (Y). Data tersebut diperoleh dengan menggunakan angket. Sebelum angket digunakan, terlebih dahulu dilakukan try out kepada 30 orang perawat di luar sampel penelitian. Try out ini dimaksudkan untuk mengetahui adanya item-item yang tidak memenuhi validitas dan reliabilitas. Dari hasil uji validitas angket tentang dukungan sosial dari rekan kerja sebanyak 40 butir pernyataan, ada 6 pernyataan yang tidak valid yaitu soal nomor 13, 17, 24, 28, 32, dan 40. Hasil uji validitas angket tentang Motivasi kerja sebanyak 52 butir pernyataan, terdapat pernyataan yang tidak valid sebanyak 5 yaitu nomor 9, 10, 17, 34, dan 51. Nomor-nomor yang tidak valid selanjutnya tidak digunakan untuk mengambil data penelitian, karena sudah terwakili oleh item soal yang lain.
Hasil perhitungan reliabilitas angket tentang dukungan sosial dari rekan kerja = 0,876, reliabilitas angket motivasi kerja = 0,930. Karena harga reliabilitas lebih besar dari rtabel (0,361), maka hasil perhitungan tersebut menunjukkan bahwa angket sudah reliabel untuk dijadikan alat penelitian. Melalui proses tabulasi data jenis kelamin, dukungan sosial dan motivasi kerja perawat, maka peneliti mengemukakan deskripsi data sebagai berikut : 1. Jenis Kelamin Data jenis kelamin yang diperoleh dengan cara menyebarkan angket kepada 46 responden. Distribusi data berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 8. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin No.
Jenis Kelamin 1 Perempuan 2 Laki-laki Jumlah Sumber: Hasil Angket
Frekuensi 24 22 46
Prosentase 52,17 47,83 100,00
Berdasarkan tabel di atas, dapat digambarkan dalam diagram di bawah ini: 25
Jumlah
24 23 22 21 20
Perempuan
Laki-laki
Jenis Kelamin Gambar 4. Histogram Jenis Kelamin Responden 2. Dukungan Sosial Dari Rekan Kerja Dukungan sosial merupakan variabel bebas kedua (X2). Data yang diperoleh menghasilkan nilai-nilai sebagai berikut : a. Nilai tertinggi
: 116
d. Standar Deviasi
: 9,16
b. Nilai terendah
: 76
e. Median
: 99,50
c. Nilai rata-rata
: 98,07
f. Modus
: 100,7
Berdasarkan
nilai
rata-rata,
data
dukungan
sosial
dari
rekan
kerja
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu tinggi (di atas rata-rata) dan rendah (di bawah ratarata). Berdasarkan klasifikasi tersebut, maka distribusi data dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 9. Distribusi Responden Berdasarkan Dukungan Sosial Dari Rekan Kerja No.
Dukungan Sosial 1 Rendah 2 Tinggi Jumlah Sumber: Hasil Angket
Frekuensi 21 25 46
Prosentase 45,65 54,35 100,00
Berdasarkan tabel di atas, dapat digambarkan dalam diagram di bawah ini: 25
Jumlah
24 23 22 21 20 19 Rendah
Tinggi
Dukungan Sosial
Gambar 5. Histogram Dukungan Sosial Dari Rekan Kerja 3. Motivasi kerja Motivasi kerja perawat merupakan variabel terikat (Y). Data yang diperoleh menghasilkan angka-angka sebagai berikut : a. Nilai tertinggi
: 166
d. Standar Deviasi
: 13
b. Nilai terendah
: 104
e. Median
: 135,3
c. Nilai rata-rata
: 134,61
f. Modus
: 135,9
Distribusi data motivasi kerja dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 10. Distribusi Data Motivasi Kerja Kelas Interval 158 - 166 149 - 157 140 - 148 131 - 139 122 - 130 113 - 121 104 - 112
Frekuensi 2 3 11 15 9 2 4 46
Prosentase 4,35% 6,52% 23,91% 32,61% 19,57% 4,35% 8,70% 100,00%
Sumber: Hasil Angket Berdasarkan tabel di atas, dapat digambarkan dalam diagram di bawah ini:
Jumlah
15 10 5 0 4-1 10
12 1
-1 13
21
2-1 12
30
1-1 13
39
8 -14
0 14
57
9-1 14
66 8-1 15
Motivasi Kerja Gambar 6. Histogram Motivasi Kerja
C. Uji Prasyarat Analisis Langkah selanjutnya yang peneliti lakukan adalah dengan melaksanakan uji prasyarat analisis yang merupakan langkah dalam melakukan pengujian hipotesis yaitu membuktikan hipotesis yang dirumuskan diterima atau ditolak. Uji prasyarat dalam penelitian ini yaitu : a. Uji Normalitas, dan b. Uji Homogenitas.
1. Uji Normalitas Uji normalitas ini untuk menguji apakah data yang telah diperoleh mempunyai sebaran data yang normal, maksudnya penyebaran nilai dari sampel yang mewakili telah mencerminkan populasinya.
Hasil perhitungan uji normalitas data variabel motivasi kerja dengan menggunakan rumus chi kuadrat diperoleh harga c2hitung = 8,710. Dari sampel sebanyak 46 diketahui banyak kelas interval (k) adalah 7, sehingga derajat kebebasan (db) adalah k – 1 sama dengan 5, dengan taraf signifikansi 5% didapatkan harga c2tabel = 9,488. Hasil perhitungan tersebut menunjukkan bahwa
c2hitung < c2tabel atau 8,71 < 9,488
sehingga dapat dinyatakan bahwa data motivasi kerja berasal dari sampel yang diambil dari populasi yang berdistribusi normal. 2. Uji Homogenitas Uji homogenits dilakukan untuk mengetahui tingkat variasi data. Uji homogenitas dilakukan dengan menggunakan uji Bartlett. Hasil uji homogenitas diperoleh harga c2hitung = 5,757. Sehubungan dengan analisis varias 2 x 2, maka derajat kebebasan (db) adalah k – 1 sama dengan 3, dengan taraf signifikansi 5% didapatkan harga c2tabel = 7,815. Hasil perhitungan tersebut menunjukkan bahwa
c2hitung < c2tabel atau
5,757 < 8,815 sehingga dapat dinyatakan bahwa data motivasi kerja memiliki variansi data yang seimbang (homogen).
D. Pengujian Hipotesis Pengujian hipotesis dilakukan untuk mengetahui apakah yang telah diajukan diterima atau ditolak. Hipotesis akan diterima apabila data yang telah terkumpul dapat membuktikan pernyataan di dalam hipotesis sebaliknya hipotesis akan ditolak apabila data yang terkumpul tidak dapat membuktikan pernyataan di dalam hipotesis. Langkah-langkah pengujian hipotesis meliputi tiga hal yaitu : 1. Analisis data, 2. Penafsiran Pengujian Hipotesis, dan 3. Kesimpulan Pengujian Hipotesis. 1. Analisis Data Data yang telah terkumpul disusun secara sistematis seperti terlihat pada lampiran. Selanjutnya data dianalisis untuk membuktikan apakah hipotesis alternatif (Ha) dalam penelitian ini diterima atau ditolak. Analisis data dimulai dari langkah sebagai berikut :
a. Menghitung Rerata Sel
Tabel 11. Rerata Sel a1 a2 Total
b1 117,333 138,111 255,444
b2 137,000 139,154 276,154
total 254,333 277,265 531,598
b. Membuat tabel rangkuman analisis varians Tabel 12. Analisis Varians Faktorial 2 x 2 Sumber variansi Efek utama :
SS
df
MS
F
A (baris) B (kolom)
1482,54 1209,13
1 1
1482,54 1209,13
24,80 20,22
A B (interaksi)
977,869
1
977,87
16,35
Kesalahan
2511,25
42
59,79
Total
6180,79
45
-
Harga F(A) sebesar 24,80 dikonsultasikan dengan harga F tabel sebesar 3,98. Karena harga F (A) lebih besar dari harga F tabel, maka disimpulkan bahwa ada perbedaan antar baris. Harga F(B) sebesar 20,22 dikonsultasikan dengan harga F tabel sebesar 3,98 Karena harga F (B) lebih besar dari harga F tabel, maka disimpulkan bahwa ada perbedaan antar kolom. Harga F(AB) sebesar 16,35 dikonsultasikan dengan harga F tabel sebesar 3,98 Karena harga F (A) lebih besar dari harga F tabel, maka disimpulkan bahwa ada perbedaan antar kelompok. 2. Penafsiran Pengujian Hipotesis Setelah dilakukan analisis data untuk pengujian hipotesis selanjutnya dilakukan penafsiran pengujian hipotesis. Penafsiran terhadap analisis varians hanya dapat dipertanggungjawabkan bila nilai Freg yang diperoleh berarti atau signifikan. Penafsiran pengujian hipotesis yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut :
a. Perbedaan X1 Terhadap Y
Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan untuk mengetahui tingkat perbedaan pengaruh jenis kelamin (X1) terhadap motivasi kerja perawat (Y) diperoleh hasil nilai Fhit sebesar 24, 8 dan Ftabel sebesar 3,98. Jadi Fhitung > Ftabel atau 24,8 > 3,98. Sehingga dapat ditafsirkan bahwa tingkat motivasi kerja perawat berdasarkan jenis kelamin memiliki perbedaan yang signifikan. Perawat dengan jenis kelamin laki-laki memiliki motivasi kerja lebih tinggi dibandingkan dengan perawat perempuan b. Perbedaan antara X2 terhadap Y Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan untuk mengetahui perbedaan pengaruh dukungan sosial dari rekan kerja (X2) terhadap motivasi kerja perawat (Y) diperoleh hasil nilai Fhit sebesar 20,22 dan Ftabel sebesar 3,98. Jadi Fhitung > Ftabel atau 20,22 > 3,98. Sehingga dapat ditafsirkan bahwa tingkat motivasi kerja perawat berdasarkan dukungan sosial dari rekan kerja memiliki perbedaan yang signifikan. Perawat dengan dukungan sosial tinggi memiliki motivasi kerja lebih tinggi dibandingkan dengan dukungan sosial yang rendah. c. Perbedaan X1 dan X2 terhadap Y Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan untuk mengetahui perbedaan jenis kelamin (X1) dan dukungan sosial dari rekan kerja (X2) terhadap motivasi kerja perawat (Y) diperoleh hasil nilai Fhit sebesar 16,35 dan Ftabel sebesar 3,98. Jadi Fhitung > Ftabel atau 24,8 > 3,98. Sehingga dapat ditafsirkan bahwa jenis kelamin dan dukungan sosial dari rekan kerja secara bersama memiliki perbedaan yang signifikan terhadap motivasi kerja perawat. 3. Kesimpulan Pengujian Hipotesis Setelah dilakukan pengujian hipotesis dan penafsiran pengujian hipotesis, maka selanjutnya dikemukakan kesimpulan pengujian hipotesis sebagai berikut : a. Hipotesis 1 Berdasarkan hasil pengujian hipotesis diperoleh nilai Fhit > Ftab atau 24,8 > 3,98, sehingga Ha diterima dan Ho ditolak pada taraf signifikansi 5%. Jadi hipotesis pertama berbunyi “Ada perbedaan pengaruh yang signifikan antara jenis kelamin terhadap motivasi kerja perawat di Rumah Sakit Prof. DR. R Soeharso Surakarta” dapat diterima. b. Hipotesis 2
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis diperoleh nilai Fhit > Ftab atau 20,22 > 3,98, sehingga Ha diterima dan Ho ditolak pada taraf signifikansi 5%. Jadi hipotesis pertama berbunyi “Ada perbedaan pengaruh yang signifikan antara dukungan sosial dari rekan kerja terhadap motivasi kerja perawat di Rumah Sakit Prof. DR. R Soeharso Surakarta” dapat diterima. c. Hipotesis 3 Berdasarkan hasil pengujian hipotesis diperoleh nilai Fhit > Ftab atau 16,35 > 3,98, sehingga Ha diterima dan Ho ditolak pada taraf signifikansi 5%. Jadi hipotesis pertama berbunyi “Ada perbedaan pengaruh bersama yang signifikan antara jenis kelamin dan dukungan sosial terhadap motivasi kerja perawat di Rumah Sakit Prof. DR. R Soeharso Surakarta.”, dapat diterima.
E. Pembahasan Hasil Analisis Data Setelah dilakukan analisis data untuk pengujian hipotesis kemudian dilakukan pembahasan hasil analisis data. Pembahasan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Jenis kelamin Jenis kelamin dapat memberikan motivasi seseorang untuk bekerja. Sebagaimana hasil penelitian ini membuktikan bahwa jenis kelamin berbeda signifikan terhadap motivasi kerja perawat di RS Ortopedi Prof. Dr. Soeharso Surakarta. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa jenis kelamin berkaitan erat dengan motivasi kerja. Jenis kelamin yang terdiri dari laki-laki dan perempuan memiliki tanggung jawab yang berbeda. Pada umumnya, laki-laki memiliki tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan dengan perempuan. Karena dari itu motivasi kerja perawat dengan jenis kelamin laki-laki lebih besar dibandingkan dengan motivasi perawat dengan jenis kelamin perempuan. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa skor rata-rata motivasi kerja perawat dengan jenis kelamin laki-laki lebih tinggi dibandingkan perawat dengan jenis kelamin perempuan. Rata-rata motivasi kerja perawat dengan jenis kelamin laki-laki sebesar 138,632, sedangkan rata-rata motivasi kerja perawat dengan jenis kelamin perempuan sebesar 127,167. Jadi, jelas bahwa perbedaan jenis kelamin perawat mempunyai tingkat motivasi kerja yang berbeda pula.
Bila menilik pada kajian teori yang ada, maka secara alamiah perempuan telah memiliki kemampuan dasar sebagai perawat. Kajian historis, sosial maupun kultural menunjukkan identifikasi perawat memiliki karakter yang lembut dan teliti. Profesi perawat menuntut pengawasan yang teliti dan sensitif bagi pasien. Sehingga perempuan yang berprofesi sebagai perawat sudah sangat terampil untuk menjaga orang-orang sakit dengan baik dan penuh perhatian Terlebih sifat kelembutan perempuan sangat berguna bagi si pasien dalam proses membantu kesembuhan pasien. Sebaliknya laki-laki secara biologis dan sosial, tidak dilandasi sifat alamiah dalam pekerjaan perawat. Sehingga perlu sedikit waktu lebih bagi laki-laki untuk mendalami profesi perawat yang dipilihnya. Jadi, tidak mengherankan bila hasil penelitian ini menunjukkan motivasi kerja yang dimiliki perawat laki-laki lebih besar dibanding dengan perawat perempuan. Hal ini dikarenakan perawat laki-laki lebih terdorong untuk meningkatkan keterampilannya dalam profesi perawat yang menuntut pengawasan dengan teliti dan sensitif bagi pasien.
2. Dukungan Sosial Dukungan sosial sangat penting bagi kehidupan seseorang. Dukungan sosial merupakan salah satu bentuk dari penerimaan lingkungan terhadap seseorang. Dengan diterimanya seseorang dalam lingkungannya, maka akan menimbulkan motivasi. Demikian pula dalam lingkungan kerja, seseorang yang dapat diterima di lingkungan kerjanya, berarti ia memperoleh dukungan sosial di lingkungan tersebut. Karena ada penerimaan oleh lingkungan yang berarti adanya dukungan sosial, maka akan muncul motivasi kerja orang tersebut. Dalam penelitian ini jelas membuktikan bahwa dukungan sosial yang diterima antara perawat laki-laki dan perawat perempuan memiliki perbedaan. Hasil penelitian jelas membuktikan bahwa dengan dukungan sosial yang tinggi, maka motivasi kerja perawat juga tinggi. Demikian sebaliknya dari kelompok dukungan sosial yang rendah, motivasi kerja perawat juga rendah. Bentuk dukungan sosial tersebut antara lain dukungan emosional, dukungan appraisal/penilaian, dukungan instrumental/materi, dan dukungan informasi.. Dukungan emosional yang meliputi rasa simpati dan perhatian dari rekan kerja akan membuat individu perawat merasa dihargai, nyaman, aman, terjamin, dan disayangi. Sehingga, individu perawat akan bekerja lebih giat dan bersemangat. Dukungan appraisal atau
penilaian yang berbentuk penilaian yang positif, penguatan (pembenaran) dari rekan kerja akan mengurangi beban pikiran individu perawat dalam bekerja. Dukungan instrumental yang bersifat fasilitas atau materi akan membuat individu perawat merasa tenang jika dalam pekerjaan atau kesehariannya mengalami kesulitan. Sedangkan dukungan informasi yang meliputi nasehat, petunjuk, masukan dari rekan kerja sangat membantu individu perawat dalam menyelesaikan pekerjaannya lebih efektif dan efisien. Sehingga yang bersangkutan akan termotivasi untuk bekerja lebih baik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok dukungan sosial tinggi, skor rata-rata motivasi kerja sebear 138,077, sedangkan pada kelompok dukungan sosial rendah, skor rata-rata motivasi kerjanya sebesar 127,72.
3. Jenis Kelamin dan Dukungan Sosial terhadap Motivasi Kerja Hasil penelitian ini membuktikan bahwa jenis kelamin dan dukungan sosial secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap motivasi kerja. Perbedaan setiap variabel sebagaimana dijelaskan di atas secara jelas menunjukkan bahwa masing-masing variabel secara terpisah berpengaruh signifikan terhadap motivasi kerja. Terlebih lagi jika kedua variabel berinteraksi maka motivasi kerja perawat semakin meningkat. Variabel jenis kelamin, sebagaimana hasil penelitian menunjukkan bahwa motivasi kerja perawat dari jenis kelamin laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan perawat dengan jenis kelamin perempuan. Hal ini dikarenakan profesi perawat yang identik dengan pekerjaan domestik perempuan. Meskipun profesi perawat telah berada pada ranah publik, tetapi tetap dibutuhkan kemampuan perawat dalam melayani pasien dengan lembut dan penuh perhatian. Oleh sebab itulah, perawat laki-laki merasa perlu mendorong dirinya untuk bekerja lebih giat agar kemampuan keperawatannya meningkat. Sedangkan perawat perempuan bisa dikatakan sudah merasa cukup dengan kemampuan alamiahnya dalam hal keperawatan. Selain itu pula, secara kultural laki-laki ditempatkan sebagai sumber nafkah utama dalam keluarga. Sehingga daya dorong untuknya bekerja lebih tinggi dibanding perempuan yang tidak terlalu dituntut untuk mencari nafkah. Dukungan sosial tersebut sangat berbeda satu sama lain dalam hal beradaptasi dan berinteraksi dengan lingkungan. Dukungan tersebut berkaitan dengan pembentukan keseimbangan mental dan kepuasan psikologis. Dukungan sosial secara luas didefinisikan
sebagai tersedianya atau adanya hubungan yang bersifat menolong dan mempunyai nilai khusus bagi individu yang menerimanya. Definisi ini juga memberikan pengertian adanya ikatan-ikatan sosial yang bersifat positif dimana hubungan antar individu baik yang bersifat horizontal maupun vertikal memiliki ikatan positif yang menyenangkan. Demikian pula dengan perawat dengan dukungan sosial yang tinggi, memiliki motivasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan perawat dengan dukungan sosial rendah. Dukungan sosial tersebut berbeda pada setiap individu dalam beradaptasi dan berinteraksi dengan lingkungan. Dukungan tersebut berkaitan dengan pembentukan keseimbangan mental dan kepuasan psikologis. Dukungan sosial dari rekan kerja yang diterima perawat, baik laki-laki maupun perempuan, membentuk ikatan-ikatan sosial yang bersifat positif. Kondisi sosial yang positif dan menyenangkan inilah yang membuat motivasi kerja perawat meningkat. Interaksi antara kedua variabel pun demikian, bahwa perawat dengan jenis kelamin laki-laki dan dukungan sosial tinggi memiliki motivasi paling tinggi, sedangkan jenis kelamin perempuan dengan motivasi rendah memiliki motivasi yang paling rendah. Dalam pengaruhnya ke motivasi kerja, jenis kelamin yang lebih tinggi yakni laki-laki. Sehingga perempuan harus memiliki dukungan sosial yang kuat agar motivasi kerjanya juga besar. Jadi, variabel dukungan sosial rekan kerja sangat mempengaruhi bagaimana motivasi kerja diarahkan. Ketika motivasi kerja ingin dioptimalkan, maka variabel dukungan sosial juga mesti ditingkatkan. BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, SARAN
A. Simpulan Berdasarkan hasil analisis data dan pengujian hipotesis, kesimpulan dari penelitian ini adalah : 1. Ada perbedaan pengaruh yang signifikan motivasi kerja antara perawat laki-laki dan perawat perempuan. 2. Ada perbedaan pengaruh yang signifikan dukungan sosial dari rekan kerja antara perawat laki-laki dan perawat perempuan
3. Ada perbedaan pengaruh yang signifikan dukungan sosial dari rekan kerja antara perawat laki-laki dan perawat perempuan yang mempengaruhi motivasi kerja Berdasarkan data yang terkumpul dan hasil analisis data yang telah dilakukan dapat juga diperoleh temuan yaitu: 1. Motivasi kerja perawat yang berjenis kelamin laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan motivasi kerja perawat yang berjenis kelamin perempuan. 2. Dukungan sosial dari rekan kerja dalam kelompok tinggi memiliki motivasi kerja lebih tinggi dibandingkan dengan perawat dari kelompok dukungan sosial dari rekan kerja yang rendah. 3. Perawat dengan jenis kelamin laki-laki dan memiliki dukungan sosial dari kerja tinggi memiliki motivasi kerja paling tinggi.
B. Implikasi Berdasarkan kesimpulan penelitian yang telah dikemukakan, maka pada uraian berikut akan peneliti sajikan implikasi hasil penelitian, sebagai berikut : Adanya perbedaan motivasi kerja yang signifikan antara perawat dengan jenis kelamin laki-laki-laki dan perawat dengan jenis kelamin perempuan terhadap motivasi kerja perawat semakin menegaskan bahwa pekerjaan perawat tidak lagi didominasi oleh kaum perempuan. Meskipun, secara kuantitas perawat perempuan masih melebihi perawat perempuan, tetapi secara berangsur mulai diminati oleh kaum laki-laki. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perawat dengan jenis kelamin laki-laki memiliki motivasi kerja yang lebih tinggi dibanding dengan perempuan. Artinya, perawat laki-laki memiliki dedikasi tinggi terhadap profesi perawat yang sudah lama dikonstruksikan sebagai pekerjaan perempuan. Sehingga dalam profesionalitas keperawatan diperlukan usaha untuk tidak mencitrakan perawat sebagai pekerjaan perempuan lagi. Secara tidak langsung hal ini akan mendorong perawat, baik perempuan maupun laki-laki, untuk bekerja dengan motivasi yang tinggi. Dengan kata lain, perawat perempuan akan terdorong motivasinya meski ia sudah memiliki kemampuan alamiahnya dalam tugastugas keperawatan. Begitu juga perawat laki-laki, terpacu motivasi kerjanya karena pekerjaan perawat sudah tidak lagi diidentikkan sebagai pekerjaan domestik perempuan.
Adanya perbedaan yang signifikan antara dukungan sosial dari rekan kerja yang diterima perawat laki-laki dan perawat perempuan, maka seorang perawat harus selalu berinteraksi dengan sesama rekan kerja dalam bentuk interaksi yang baik. Secara sederhana, interaksi yang baik dapat diwujudkan dalam bentuk dukungan sosial sesama perawat. Dukungan sosial yang sifatnya membantu dengan melibatkan emosi, pemberian informasi, bantuan materi dan penilaian yang positif akan berdampak positif bagi meningkatnya motivasi kerja. Perawat hendaknya selalu dekat dan terbuka pada rekan kerja. Hal ini dimaksudkan agar perawat tidak memendam permasalahannya sendiri yang bisa berakibat pada stres. Karena depresi dan kecemasan dapat semakin meningkat bila tidak didapat penerimaan yang tulus dari rekan kerja. Sehingga sungguh diperlukan keleluasaan dalam diri perawat untuk membicarakannya dengan teman kerja secara simpatik.. Lebih lanjut, dukungan sosial yang memadai akan mengembangkan kepribadian yang kuat pada diri perawat sehingga motivasi kerja semakin baik. Adanya perbedaan yang signifikan antara perawat laki-laki dan perawat perempuan serta dukungan sosial dari rekan kerja terhadap motivasi kerja perawat, maka diperlukan langkah strategik agar profesi perawat tidak lagi terbatas gender atau jenis kelamin. Karena perawat sudah menjadi pekerjaan yang profesional, yang tidak hanya mampu dikerjakan oleh perempuan. Motivasi dalam bekerja memang mutlak diperlukan. Karena tanpa adanya dorongan yang kuat untuk melakukan tugas dan tanggung jawabnya, mustahil kinerja yang baik dapat tercipta. Dampaknya, tentu keberhasilan sebuah organisasi, termasuk rumah sakit, akan luput tercapai. Begitu pula dengan dukungan sosial di lingkungan kerja, terutama dari rekan kerja, hendaknya perawat senantiasa menjaga hubungan sosial yang baik dan akrab. Karena dengan hubungan sosial yang positif dan saling menguatkan satu sama lain akan membuat perawat bersemangat dalam bekerja. Dukungan sosial yang diwujudkan dalam setiap tugas keperawatan, akan mempengaruhi psikologi perawat dalam memacu motivasinya dalam bekerja. C. Saran Berdasarkan pembahasan hasil analisis data dan simpulan yang telah peneliti sajikan di atas, peneliti dapat memberikan saran-saran yang diharapkan dapat memberikan
manfaat bagi organisasi maupun bagi perawatnya. Adapun saran-saran yang dapat peneliti sampaikan adalah sebagai berikut : 1. Kepada Pimpinan Kepada pimpinan Rumah Sakit diharapkan dapat memberikan perhatian pada setiap jenis kelamin perawat dan tidak membeda-bedakan, karena setiap pegawai memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam lingkungan kerja. Perlakuan ini penting karena untuk menjaga agar tidak terjadi perbedaan gender dalam kehidupan lingkungan kerja, sehingga dapat menjaga lingkungan kerja selalu kondusif untuk melakukan pekerjaan secara maksimal. Selain itu juga kepada pemerintah, terutama dalam hal ini departemen kesehatan, mampu menerapkan kebijakan-kebijakan yang bersetara gender. Dalam arti, setiap kebijakan kesehatan yang dikeluarkan tidak membeda-bedakan jenis kelamin. Semua tenaga kesehatan, baik itu perempuan ataupun laki-laki, memiliki potensi yang seimbang dalam menjalankan tugas. 2. Kepada Perawat Kepada perawat diharapkan untuk tetap bekerja secara profesional. Seseorang yang bekerja secara profesional tidak berpikir secara subjektif, atau memikirkan kebutuhan sendiri. Pekerja profesional akan selalu bekerja untuk memperoleh hasil kerja yang maksimal. Karena itu faktor jenis kelamin tidak bisa dijadikan alasan untuk bekerja dengan motivasi sekedarnya. Perawat semestinya tertantang dengan tugas yang dibebani kepadanya. Terlebih permasalahan kesehatan pada zaman modern ini kian kompleks. Selain itu, untuk dapat diterima dalam lingkungan kerja harus bertindak secara wajar sehingga rekan kerja dapat menerima sepenuhnya kehadiran seseorang dalam lingkungan kerjanya.
3. Kepada Peneliti Kepada peneliti, diharapkan dari hasil penelitian ini, dapat meningkatkan kualitas keilmuaannya, terutama dalam disiplin ilmu sosiologi-antropologi. Terlebih dalam setiap waktu, perubahan sosial-budaya pasti terjadi. Baik secara perlahan maupun cepat, dinamika sosial kehidupan masyarakat tak dapat dihindari. Oleh karena itu, acuan penelitian diperlukan sebagai acuan penerapan ilmu. Masalah kesehatan, merupakan salah satu ranah kajian sosial budaya yang terus mengalami perkembangan. Baik itu dari
sebaran tenaga medis maupun perilaku kesehatan masyarakat. Selanjutnya, kepada peminat ilmu sosial terutama menyangkut masalah kesehatan, diharapkan dapat memperkaya referensi lainnya yang relevan sesuai masa agar hasil penelitian yang dikaji lebih maksimal. DAFTAR PUSTAKA A.A. Gde Muninjaya. 2004. Manajemen Kesehatan. Jakarta: Kedokteran EGC. Alain Mitrani. 1992. Manajemen Sumber Daya Manusia Berdasarkan Kompetensi. Jakarta: Grafiti. Anwar Prabu Mangkunegara. 1993. “Psikologi Perusahaan”. Bandung : Trigenda Karya. Armstrong et al. 2005. “Pathways Between Social Support, Family Well Being, Quality of Parenting, and Child Resilience: What We Know”. Journal of Child and Family Studies, Vol. 14, No. 2. (http;// www.michaelungar.ca/014_mediabank/File//Armstrong_et_al._2005.pdf) Atkinson, Rita L et al. 1999. Pengantar Psikologi. Jakarta : Erlangga Awal Isgiyanto. 2009. Teknik Pengambilan Sampel Pada Penelitian Non-Eksperimental. Yogyakarta : Mitra Cendikia offset Aziz Alimul Hidayat. 2007. Pengantar Konsep Dasar Keperawatan II. Jakarta: Salemba Medika. Baron, A. Robert dan Byrne, Donn. 2004. Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga. Burns, Robert B. 2000. Introduction to Research Methods. London: Sage Publications, Ltd. Capra, Fritjof. 2007. The Turning Point –Titik Balik Peradaban; Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan. Yogyakarta: Jejak. Cholid Narbuko dan Abu Ahmadi. 2003. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara. Cockerham, William C. 1995. Medical Sociology. New Jersey : Prentice Hall Inc., Englewood Cliffs. Cohen S, Syme SL. (1985). Issues in the application and study of social support. In: Cohen S, Syme SL, eds. Social Support and Health. Orlando, FL: Academic Press, pp. 3-22. Consuelo G., dkk. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: UI Press.
Fauzi Muzaham. 1995. Memperkenalkan Sosiologi Kesehatan. Jakarta: UI Press Firdaus Christyoadi, Sukarti & Suseno M. N. 2009. Hubungan Antara Dukungan Sosial Dengan Motivasi Kerja Karyawan PT. Usmantek Kabupaten Magelang. Yogyakarta: UII. 105 Foster, George M dan Anderson. 1986. Antropologi Kesehatan. Terjemahan. Jakarta: UI Press. Freund, P. E.S dan McGuire, M B,. Health, Illness, And the Social Body; a Critical Sociology. New Jersey: Prentice Hall Englewoods. Gerungan. 2000. Psikologi Sosial. Bandung: Refika Aditama. Gomes, Cardoso F. 1997. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Andi Offset. Gulo W. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Hadari Nawawi. 1995. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta : UGM Press. Hall, David dan Irene Hall. 1996. Practical Social Research, Project Work In The Community. Macmillan Press LTD. London. Halonen, Jane S dan Santrock, John W. 1999. Psychology Contexts and Applications. 3th ed. New York : McGraw Hill. Hollander. 1971. Principles And Methods Of Social Psycjology 2 Nd. New York : Oxford Universitu Press Kartini Kartono. 2005. Pemimpin dan kepemimpinan; apakah kepemimpinan abnormal itu?”. Jakarta: Raja Grafika Persada. Kreiter & Kinicki, A. 1998. Organizational Behavior (4th). New York : McGraw Hill. Luthans, Fred. 2005. Perilaku Organisasi. Yogyakarta : Andi. Malayu Hasibuan. 2005. Organisasi Dan Motivasi. Jakarta : Bina Aksara. Martin Handoko. 1992. “Motivasi Daya Penggerak Tingkah Laku”. Yogyakarta : Kanisius. Masri Singarimbun dan Sofian Effendi. 1995. Metode penelitian survei. Jakarta : LP3ES. Mohommad Nazir. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
_______________. 2003. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia.. Nasution. 2003. Metode Research. Jakarta : Bumi Aksara Rahim, Afzalur. 1996. “Stress, Strain And Their Moderators: An Emperical Comparasion Of Entrepreneurs And Managers”. Journal Of Small Business Management. 4,46-59. (allbusiness.com/management/565264-1.html) Ranupandojo, H dan Husnan, S,. 2000. Manajemen Personalia. Yogyakarta : BPFE. Ratna Megawangi. 1999. Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender. Bandung: Mizan Rita Andarika. 2004. Burnout Perawat Puteri Rs St. Elizabeth Semarang Ditinjau Dari Dukungan Sosial. Palembang: http://psikologi.binadarma.ac.id/jurnal/jurnal_rita.pdf Rook, KS & Dooley, D. 1985. “Applying social support research; theoretical problems and future directions”. Journal of Social Issues, 41, 5-28. Sanapiah Faisal. 1981. Dasar dan Teknik Menyusun Angket. Usaha Nasional. Surabaya. Sarwono, S,. 1993. Sosiologi Kesehatan; Beberapa Konsep dan Aplikasinya. Yogyakarta: Gajah Mada University Press Sciortino, R,. 1995. Care-Takers Of Cure; An Anthropological Study Of Health Centre Nurses In Rural Central Java. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Siagian, S.P. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara Silverman, David. 2002. Intrepeting Qualitative Data “Method for analizing Talk, Text and Interaction”. London : Sage Publications Slamet Widodo. 2004. Metodologi Penelitian. Sebelas Maret University; Surakarta. Soehardjo. 2002. Statistik Terapan; Analisis Varian Dan Jalur. Pasca Sarjana UNS: Surakarta
Sudjana. 1996. Metode Statistika. Bandung : Tarsito. _______. 2001. Metode Statistika. Bandung : Tarsito. Sugiarto, dkk 2001. Teknik Sampling. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Sugiyono. 1999. Metode Penelitian Administrasi. Bandung : CV. Alfabeta. Suharsimi Arikunto. 1998. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta : Rineka Cipta Sumadi Suryabrata. 1998. Metodologi Penelitian. Jakarta Raja Grafindo Persada Sunarto Kamanto. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI Sutrisno Hadi. 2002. Metodologi Research JilidII. Yogyakarta : Andi Offset. Syaifuddin Azwar. 2004. Reliabilitas Dan Validitas. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Tjandra Yoga Aditama. 2002. Manajemen Administrasi Rumah Sakit, edisi kedua. Yogyakarta: BPFE. Taylor, A. R., Sylvestre J.C., & Botscner, J. V. 1998. Social Support Is Something You Do, Not Something You Provide: Implications For Linking Formal And Informal Support. Journal of Leisurability. Volume 25, number 4. Taylor, S.E., Peplau, L.A., & Sears D.O. 1997. Social Psychology 9th . New Jersey : Prentice Hall. Wan, CK Jaccard, J and Raney, SL. 1996. “The Relationship Between Social Support And Life Satisfaction As A Function Of Family Structure”. Journal of marriage and family, 58;2. 2002-513 Winarno Surakhmad. 1994. Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung : Tarsito _________________. 1998. Pengantar Penelitian Ilmiah; Dasar, Metode Dan Teknik, Edisi Ke-8. Bandung : Tarsito Winardi J. 2001. Motivasi Dan Pemotivasian Dalam Manajemen. Jakarta: Raja Grafindo Persada.