KAJIAN HUKUM TENTANG KEDUDUKAN CLOSE CIRCUIT TELEVISION RECORDED (REKAMAN CCTV) DALAM PEMBUKTIAN PADA SIDANG PENGADILAN TINDAK PIDANA UMUM
SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pada Fakultas Hukum Unversitas Halu Oleo
OLEH AHWAN AGUS H1 A1 12 028
BAGIAN KEKHUSUSAN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2017
ABSTRAK
AHWAN AGUS, H1A1 12 028. KAJIAN HUKUM TENTANG KEDUDUKAN CLOSE CIRCUIT TELEVISION RECORDED (REKAMAN CCTV) DALAM PEMBUKTIAN PADA SIDANG PENGADILAN TINDAK PIDANA UMUM. FAKULTAS HUKUM UHO. Penelitian ini mengkaji dan menjawab isu hukum mengenai kedudukan Close Circuit Television Recorded (Rekaman CCTV) dalam pembuktian pada sidang pengadilan tindak pidana umum. Tipe penelitian ini adalah penelitian normatif-yuridis yang merupakan upaya pencarian kebenaran secara koherensi dalam menjawab isu hukum melalui telaah hukum secara intrinsik (legal research), dengan pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan konseptual (conseptual approach). Sumber penelitian yang digunakan berupa bahan hukum primer yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Eletronik; Adapun bahan hukum sekunder merujuk pada buku-buku referensi serta jurnal-jurnal hukum: selain itu dirujuk juga bahan nonhukum sebagai penujang berupa artikel-artikel tentang close circuit television. Setelah bahan hukum terklasifikasi secara sistematis kemudian dianalisis untuk menarik kesimpulan dan memberikan preskripsi. Hasil penelitian menunjukan bahwa Close Circuit Television Recorded (Rekaman CCTV) yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditegasakan secara eksplisit dalam putusan MK Nomor 20/PUU-XIV/2016 adalah alat bukti sah yang dapat digunakan untuk memperoleh keyakinan hakim dalam pembuktian pada sidang pengadilan tindak pidana umum, sebab sebagai informasi yang disimpan secara eletronik rekaman CCTV merupakan alat bukti sah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Eletronik. Dan dengan menggunakan metode penafsiran sistematis serta berpegang pada pandangan organis bahwa keseluruhan peraturan perundangundang sebagai sistem yang utuh, maka rekaman CCTV sebagai alat bukti eletronik merupakan perluasan dari alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP yang penerapannya tidak hanya terbatas pada tindak pidana khusus, tetapi juga dapat berlaku dalam pembuktian pada sidang pengadilan tindak pidana umum. Kata Kunci: Rekaman CCTV, Pembuktian, Pengadilan Tindak Pidana Umum
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kesehatan, ilmu pengetahuan, sumber kebenaran, penguasa alam raya beserta isinya, karena rahmat dan ridho-Nya yang dilimpahkan kepada penulis berupa kekuatan dan kesehatan lahir batin sehingga penulisan skirpsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Salawat dan salam semoga tercurah kepada Baginda Rasulullah SAW. Selama penyusunan skripsi ini penulis sering mendapatkan berbagai kendala, namun dengan bantuan berbagai pihak, akhirnya penulis dapat menyelesaikannya. Oleh karena itu, pada kesempatan ini tak lupa penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada kedua orang tua tercinta Ayahanda La Nuru dan Ibunda tercinta Wa Ipi yang telah memberikan motivasi dan kasih sayang serta doa untuk keberhasilan dalam mengikuti pendidikan. Tak lupa pula penulis sampaikan terima kasih atas doa dan dukungan saudara/saudari kandung penulis, kakak Tini Wati dan suami sekaligus kakak ipar penulis La Ode Safaruddin Bala, kakak Santiaji, abang Fery Irawan, kakak Eka Sariwati dan adik tersayang penulis Suci Nur Wati. Skripsi ini juga penulis persembahkan kepada kakak tertua kami Anas Ardi yang telah lebih dulu mendahului kami dipanggil oleh Sang Pencipta. Ucapan terima kasih banyak kepada Dr. Oheo K Haris, SH.,M.Sc.,LL.M selaku pembimbing I dan Ramadan Tabiu, SH.,LL.M selaku pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu, pikiran dan tenaga untuk memberikan bimbingan, arahan dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari, tanpa dukungan dari berbagai pihak skripsi ini tak akan dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Supriadi Rustad, M.Si., Selaku Pelaksna Tugas Rektor Universitas Halu Oleo. 2. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Jufri, SH.,MS, Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo Kendari. 3. Bapak Rizal Muchtasar, SH.,LL.M, Selaku Wakil Dekan Bidang Akademik Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo Kendari. 4. Bapak Herman, SH., LL.M, Selaku Wakil Dekan Bidang Umum, Keuangan, Dan Kepegawaian Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo Kendari. 5. Bapak Jabalnur, SH.,MH, Selaku Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan Dan Alumni Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo Kendari. 6. Ibu Heryanti, SH., MH, Selaku Ketua Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo Kendari. 7. Bapak Haris Yusuf, SH.,MH, Selaku Kordinator Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo Kendari. 8. Bapak Lade Sirjon, SH.,LL.M, Selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo Kendari. 9. Ibu Nur Intan, SH.,MH, Selaku Ketua Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo Kendari.
vii
10. Bapak Guasman Tatawu, SH.,MH, Selaku Ketua Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo Kendari. 11. Bapak Herman, SH.,LL.M, Bapak Ali Rizki, SH.,MH, Bapak Lade Sirjon, SH.,MH, Selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan yang sangat positif dalam penyusunan skripsi ini. 12. Para Dosen pengajar di Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo yang telah memberikan bekal pengetahuan, keterampilan dan etika selama menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo Kendari. 13. Bapak dan Ibu Staf Administrasi Fakultas Hukum yang telah membimbing penulis selama masa perkuliahan dan dengan susah payah memberikan pelayanan yang baik. 14. Saudara-saudari seperjuanganku kelas A angkatan 2012: Azrul lawa, Laode Abdul Mukfin, Pratno Kurniawan, Fais Al-Majid, Arif Efran, Laode Subroto, Muhamad Tri Putra, Dan Lucky. terima kasih pula penulis sampaikan kepada Rudiyanto Lapaudi, S.H, Jessi Sisdayanti, Waode Melia, S.H, Ariska Damayanti, S.H, Hardianti, S.H, Sri Wahyuni Ramadan, S.H. Untuk semua sahabat-sahabatku yang tidak sempat saya sebutkan namanya satu persatu, terima kasih atas bantuannya, motivasi dan waktu yang telah kita lalui bersama. 15. Kepada teman-teman pengurus Ikatan Pelajar Mahasiswa Batukara (IPMABARA 2015/2016): Sholih, Akbar, Nari, Bayu, Wiyogo, Edi, Ruslan, Wiwin, Malis dan seluruh pengurus dan anggota IPMABARA yang tidak sempat penulis sebutkan satu persatu.
viii
16. Kepada sepupu-sepupu sekaligus kerabat seperjuangan penulis: Hendy, Sabri, Fardan, Hendra, Oceng dan Ogo. Terima kasih atas semua hal yang kalian miliki yang juga menjadi milik saya, bersama kalian lah saya benyak melalui perjuangan ini 17. Kepada senior, leting dan junior di Keluarga Besar Ikatan Alumni SMA Negeri 1 Raha (IKA SMANSARA): Bang Sawal, Bang Safat, Bang Aman, Bang Arun, Bang ABS Whay, Bone, Odong, Najab, Safar, Rahma Saim, Feny, Wawan, Hery, Hikmah, Anang, Itho, Dandi dan seluruh keluarga besar IKA SMANSARA yang tidak sempat penulis sebutkan satu persatu. Dengan memohon doa semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan membalas budi baik kita semua, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan umumnya dan khususnya bagi disiplin ilmu hukum. Amin Yarobal Alamin
Kendari,
Januari 2017
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL. .......................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN. .......................................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. iii ABSTRAK ........................................................................................................... iv KATA PENGANTAR ......................................................................................... v DAFTAR ISI. ....................................................................................................... x BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. ........................................................................... 1 B. Rumusan Masalah. .................................................................................... 6 C. Tujuan Penelitian. ..................................................................................... 7 D. Manfaat Penelitian. ................................................................................... 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Acara Pidana. ............................................................................... 9 1. Pengertian Hukum Acara Pidana. ....................................................... 9 2. Asas-asas Hukum Acara Pidana.......................................................... 12 3. Tujuan Hukum Acara Pidana. ............................................................. 18 B. Pengertian Hukum pembuktian. ................................................................ 20
x
C. Teori-Teori Pembuktian. ........................................................................... 22 D. Macam-macam Alat Bukti dalam KUHAP............................................... 26 1. Keterangan Saksi. ................................................................................ 24 2. Keterangan Ahli. ................................................................................. 27 3. Surat. ................................................................................................... 29 4. Petunjuk. ............................................................................................. 30 5. Keterangan Terdakwa. ........................................................................ 33 E. Tujuan Pembuktian. ................................................................................. 34 BAB III METODE PENELITIAN. ................................................................... A. Tipe Penelitian. ......................................................................................... 37 B. Pendekatan dalam Penelitian..................................................................... 37 C. Sumber Penelitian. .................................................................................... 38 D. Pengolahan Bahan Hukum. ....................................................................... 39 E. Analisis Bahan Hukum. ............................................................................ 39 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Rekaman CCTV dan Tujuan Hukum Acara Pidana ................................. 41 B. Rekaman CCTV menurut KUHAP ........................................................... 44 1. Sistem Pembuktian yang Dianut KUHAP .......................................... 46 2. Rekaman CCTV dalam KUHAP Melalui Penemuan Hukum ............ 47 C. Rekaman CCTV sebagai Tambahan Alat Bukti untuk Menguatkan Keyakinan Hakim...................................................................................... 70 1. Rekaman CCTV sebagai Tambahan Alat Bukti Sah .......................... 72
xi
2. Rekaman CCTV dan Keyakinan Hakim ............................................. 76 3. Nilai dan Kekuatan Pembuktian Rekaman CCTV sebagai Tambahan Alat Bukti ............................................................................................ 78 D. Rekaman CCTV Sebagai Alat Bukti Eletronik Menurut UU ITE ............ 79 E. Penerapan Rekaman CCTV Sebagai Alat Bukti Sah pada Sidang Pengadilan Tindak Pidana Umum ............................................................. 81 F. Rekaman CCTV Sebagai Alat Bukti pasca Putusan MK Nomor 20/PUU-XIV/2016 ........................................................................ 84 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................................... 88 B. Saran .......................................................................................................... 88 DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara hukum, demikian penegasan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar tahun 1945. Sebagai negara hukum, Indonesia menempatkan warga negara dalam kedudukan yang sama dalam hukum sebagaimana ditegaskan pada Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar tahun 1945, yaitu yang berbunyi: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Penegakan hukum harus dilakukan dengan memerhatikan kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit), dan keadilan (gerechtigkeit).1 Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.2 Pelaksanaan penegakan hukum juga harus memberikan manfaat bagi kehidupan manusia, mengingat hukum itu sendiri dibuat untuk kepentingan manusia. Keadilan sendiri menjadi sesuatu yang sulit untuk diartikan. Keadilan itu dapat berubah-ubah isinya, termasuk juga faktor-faktor lainnya yang turut membentuk konteks keadilan itu, termasuk tempat dan waktunya.3
1
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Edisi Kelima, Cetakan Kedua ,Yogyakarta: Liberty, 2005, hlm.160. 2 Ibid. 3 E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan: Tinajuan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai, Cetakan Kedua, Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2007, hlm. 100.
2
Dilihat dari kepentingan yang diaturnya, ada dua macam hukum, yaitu hukum publik dan hukum privat. Yang pertama kali melakukan pembagian tersebut adalah Ulpianus. Menurut Ulpianus, Huius studii duae sunt positiones, publicum et privatum. Publicum ius est quod ad statum rei romanae spectat, privatum quod ad singulorum utilitatem: sunt enim quaedam publice utilia, quaedam privatim (Studi hukum meliputi dua bidang, yaitu hukum publik dan hukum privat. Hukum publik adalah hukum yang berkaitan dengan pengaturan negara Romawi, hukum privat berkaitan dengan kepentingan orang secara individual: sebenarnya, yang satu melayani kepentingan masyarakat dan yang lain melayani kepentingan individu).4 Dari ungkapan ini dapat ditafsirkan bahwa ius publicum atau hukum publik berkaitan dengan fungsi negara sedangkan hukum privat berkaitan dengan kepentingan individu.5 Salah satu bidang hukum yang terdapat dalam sendi-sendi Tata Hukum yang berlaku di Indonesia dan dapat dikategorikan sebagai hukum publik adalah Hukum Pidana, yang terdiri dari hukum pidana materil dan hukum pidana formil yang biasa dikenal dengan nama hukum acara pidana. Hukum pidana materil dapat didefinisikan sebagai keseluruhan peraturan hukum yang menentukan perbuatan-perbuatan yang pelaku-pelakunya seharusnya dipidana dan pidana-pidana yang seharusnya dikenakan. Definisi ini mencakup empat pokok yang terkait erat satu dengan yang lain, yaitu
4
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan Ketiga,Jakarta: Kencana, 2009, hlm. 111. Dikutip dari P. Van Dijk et al., Van Apeldorn’s Inleiding tot de Studie van het Nederlandse Recht, W.E.J. Tjeenk-Willijnk, 1985, hlm. 36 5 Ibid.
3
peraturan, perbuatan, pelaku dan pidana.6 Adapun Hukum pidana formil adalah mengatur bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana, jadi berisi acara pidana.7 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981) adalah produk kodifikasi peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hukum acara pidana. Didalamnya tidak disebutkan secara tegas dan jelas tentang pengertian atau definisi hukum acara pidana itu, namun hanya dijelaskan dalam beberapa bagian dari hukum acara pidana, yaitu antara lain: pengertian penyelidikan/penyidikan, penuntutan, mengadili, pra-peradilan, putusan pengadilan, upaya hukum, penyitaan, penggeladahan, penangkapan dan penahanan.8 Tahapan penting dalam Hukum Acara Pidana adalah pada proses Pemeriksaan Perkara. Pada tahap ini semua pihak dihadirkan di hadapan pengadilan untuk melalui serangkaian proses guna mencapai salah satu tujuan penting dalam hukum acara pidana, yaitu mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil.9 Di dalam acara pemeriksaan perkara pidana, KUHAP telah membedakan tiga macam pemeriksaan, yaitu acara pemeriksaan biasa, acara pemeriksaan singkat, dan acara pemeriksaan cepat.10
6
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis Di Indonesia, Cetakan Kedua, Jakarta: Rajawali Pers, 2013, hlm. 2 7 Andi Sofyan dan Abd. Asis, Hukum Acara Pidana: Suatu Pengantar, Jakarta: Kencana, 2014, hlm. 3, dikutip dari bukunya R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata: Tata Cara dan proses Persidangan, Jakarta: Sinar Grafika, 1993, hlm. 3. 8 Ibid. (lihat Pasal 1KUHAP) 9 Ibid, hlm. 8 (dari Pedoman Pelaksaan KUHAP tahun 1982) 10 Ibid, hlm. 312
4
Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat bukti yang ditentukan undang-undang “tidak cukup” membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan dari hukuman, sebaliknya, jika kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP, terdakwa dinyatakan “bersalah”. Kepadanya akan dijatuhkan hukuman, oleh karena itu, hakim harus hati-hati, cermat dan matang menilai dan mempertimbangkan nilai pembuktian.11 Pembuktian berasal dari kata bukti yang artinya adalah usaha untuk membuktikan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata pembuktian diartikan sebagai: Memperlihatkan bukti atau meyakinkan dengan bukti, sedangkan kata pembuktian diartikan sebagai proses, perbuatan cara membuktikan, usaha menunjukkan benar atau salahnya si terdakwa di dalam sidang pengadilan.12 Pembuktian adalah ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran. Baik hakim, penuntut umum, terdakwa, atau penasihat hukum, semua terkait pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan undang-undang. Tidak boleh leluasa bertindak dengan cara sendiri dalam menilai pembuktian. Dalam 11
M. Yahya Harahap, Pembahasan Masalah dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, banding, Kasasi dan Peninjauan kembali) Edisi ke2, Jakarta: Sinar Grafika, 2000, hlm. 273. 12 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar bahasa Indonesia, Balai Pustaka: Jakarta, 2004, hlm. 133.
5
mempergunakan alat bukti, tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Terdakwa tidak bisa leluasa mempertahankan sesuatu yang dianggapnya di luar ketentuan yang telah digariskan undang-undang. Begitu pula dalam cara memepergunakan dan menilai kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti, dilakukan dalam batas-batas yang dibenarkan undang-undang, agar dalam mewujudkan kebenaran yang hendak dijatuhakan, majelis hakim terhindar dari pengorbanan kebenaran yang harus dibenarkan. Jangan sampai kebenaran yang diwujudkan dalam putusan berdasar hasil perolehan dan penjabaran yang keluar dari garis yang dibenarkan sistem pembuktian. Tidak berbau dan diwarnai oleh perasaan dan pendapat subjektif hakim.13 Perkembangan
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi,
menjadikan
pembuktian tidak sekedar berbicara tentang alat bukti sebagaimana ditegaskan pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP maupun barang bukti sebagaimana disebut dalam HIR. Teknologi yang semakin canggih dan mutakhir melahirkan berbagai terobosan yang dapat membantu dalam menemukan dan memperjelas kebenaran tentang suatu peristiwa. Dewasa ini pembuktian telah mengggunakan alat bukti berupa dokumen eletronik seperti rekaman suara, pesan singkat, dan rekaman CCTV untuk menemukan kebenaran materil suatu peristiwa pidana. Close Circuit Television Recorded (Rekaman CCTV) adalah teknologi yang paling menonjol jika digunakan dalam proses pembuktian di pengadilan. Kemampuan rekaman close circuit television recorded (rekaman
13
Ibid, hlm. 274
6
CCTV) dalam menampilkan dengan utuh secara visual tentang suatu peristiwa, menjadikannya sabagai sarana yang memiliki kedudukan penting dalam pembuktian. Beberapa produk undang-undang tentang tindak pidana khusus yakni undang-undang Terorisme, Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Informasi dan Transaksi Eletronik dan berbagai Undang-undang khusus lainya telah menempatkan close circuit television recorded (rekaman CCTV) sebagai alat bukti sah. Namun dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berlaku saat ini, yang menjadi pedoman beracara bagi perkara tindak pidana umum belum memberikan penetapan yang tegas mengenai kedudukan Close Circuit Television Recorded (rekaman CCTV) sebagai alat bukti sah. Sementara rekeman
CCTV tentu dapat
memberi kontribusi
signifikan dalam
mengungkap kebenaran suatu peristiwa pidana, bukan hanya tindak pidana khusus, namun juga berbagai tindak pidana umum sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Latar Belakang tersebut telah menginspirasi penulis sehingga tertarik mengkaji lebih lanjut dengan menuangkan dalam skripsi yang berjudul “Kajian Hukum tentang Kedudukan Close Circuit Television Recorded (Rekaman CCTV) dalam Pembuktian pada Sidang Pengadilan Tindak Pidana Umum.” B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang hendak diteliti dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah kedudukan Close Circuit
7
Television Recorded (Rekaman CCTV) dalam Pembuktian pada Sidang Pengadilan Tindak Pidana Umum? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penulis melakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui kedudukan Close Circuit Television Recorded (Rekaman CCTV) dalam Pembuktian pada Sidang Pengadilan Tindak Pidana Umum. D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini dapat dibagi atas manfaat teoritis dan manfaat praktis. 1. Manfaat Teoritis Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran sekaligus sebagai bahan informasi, dokumentasi kepada kalangan akademisi dan juga masyarakat luas tentang kedudukan Close Circuit Television Recorded (Rekaman CCTV) dalam Pembuktian pada Peradilan Tindak Pidana Umum. 2. Manfaat Praktis Memberikan masukan kepada aparat penegak hukum maupun masyarakat luas agar dapat dijadikan sebagai bahan rujukan mengenai Kedudukan Close Circuit Television Recorded (Rekaman CCTV) dalam Pembuktian pada Sidang Pengadilan Tindak Pidana Umum.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Acara Pidana 1. Pengertian Hukum Acara Pidana Istilah hukum acara pidana sudah tepat dibandingkan dengan istilah “hukum proses pidana” atau “hukum tuntutan pidana”. Belanda memakai istilah strafvordering yang kalau diterjemahkan akan menjadi tuntutan pidana. Bukan istilah strafprocesrecht yang padanannya acara pidana. Istilah itu dipakai menurut Menteri Kehakiman Belanda pada waktu rancangan undang-undang dibicarakan di Parlemen karena meliputi seluruh prosedur acara pidana. Istilah Inggris Criminal Procedure Law lebih tepat daripada istilah Belanda. Hanya karena istilah strafvordering sudah memasyarakat, maka tetap dipakai. Orang Prancis menamainya Code d’Instruction Criminelle. Adapun istilah yang sering dipakai di Amerika Serikat ialah Criminal Prosedure Rules. Dipakai istilah rules karena di Amerika Serikat bukan saja undang-undang yang menjadi sumber hukum formal hukum acara pidana, tetapi juga putusan hakim dan dibukukan sebagai himpunan.14 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981), tidak menjelaskan apakah hukum acara pidana itu. Hanya diberi defenisi-defenisi beberapa bagian hukum acara pidana seperti penyidikan, penuntutan, mengadili, praperadilan, putusan pengadilan, 14
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002, hlm. 2.
9
upaya hukum, penyitaan, penggeledahan, penangkapan, penahanan, dan lain-lain (Pasal 1 KUHAP). Berikut ini beberapa pendapat para ahli tentang hukum acara pidana, antara lain: a. Mochtar Kusuma Atmaja mendefenisikan bahwa yang dimaksud hukum acara pidana adalah peraturan hukum pidana yang mengatur bagaimana cara mempertahankan berlakunya hukum pidana materiil. Hukum pidana formil memproses bagaimana menghukum seseorang yang dituduh melakukan tindak pidana (makanya disebut sebagai hukum acara pidana). b. Wirjono Prodjodikoro memberikan defenisi hukum acara pidana adalah rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yakni kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana. c. Andi. Hamzah menyatakan hukum acara pidana merupakan bagian dari hukum pidana dalam arti luas. Hukum pidana dalam arti luas meliputi baik hukum pidana formal atau hukum acara pidana. d. Van Bemmelen, mendefenisikan bahwa yang dimaksud dengan hukum acara pidana adalah kumpulan ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur cara bagaimana negara, bila dihadapkan suatu kejadian yang menimbulkan syak wasangka telah terjadi suatu pelanggaran hukum pidana,
dengan
perantaraan
alat-alatnya
mencari
kebenaran,
10
menetapkan di muka hakim suatu keputusan mengenai perbuatan yang didakwakan, bagaimana hakim harus memutuskan suatu hal yang telah terbukti dan bagaimana keputusan itu harus dijalankan. e. Simons mendefenisikan hukum acara pidana yang mengatur cara-cara negara dengan alat-alat perlengkapannya mempergunakan haknya untuk menghukum dan menjatuhkan pidana. Hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana, maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintahan yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana.15 Jadi, hukum acara pidana adalah hukum hukum acara yang melaksanakan dan mempertahankan hukum pidana materiil (KUHP). Disamping kebenaran materiil perlu mendapat perhatian di dalam hukum acara pidana dengan menerapkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan semestinya, akan tetapi lebih dari itu kesalahan materi harus diperhatikan, mengingat kesalahan maupun kebenaran dalam hukum akan menentukan sekali apakah seseorang itu dapat dihukum atau tidak, pidana harus mampu menemukan titik akhir tentang kebenaran yang sesungguhnya dan kesalahan yang sesungguhnya, sebab kerancuan atara keduanya akan mengakibatkan penginjakan hak asasi manusia dan ini
15
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Bandung: Sumur Bandung, 1977, hlm. 13.
11
berarti akan bertentangan dengan maksud diterapkannya KUHAP yaitu sebagai jaminan hak asasi manusia Indonesia dalam bidang hukum pidana. 2. Asas-asas Hukum Acara Pidana Hukum acara pidana mengenal beberapa asas atau prinsip-prinsip hukum acara pidana, yaitu : a. Asas Legalitas Legalitas berasa dari kata legal (Latin), aslinya legalis, artinya sah menurut undang-undang. Berlainan dengan asas legalitas dalam hukum pidana materiil yang bertumpu pada Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi “tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan kekeuatan perundang-undangan sebelumnya.” Disini (KUHP) dipakia istilah “perundang-undangan pidana” sebagai salinan wettelijk strafbepaling dalam bahasa asli KUHP. Ini berarti suatu peraturan yang lebih rendah dari undang-undang dalam arti formil, seperti Peraturan Pemerintah dan Perda dapat merumuskan delik dan sanksi pidana. Adapun dalam hukum acara pidana dipakai istilah undang-undang (wet), sehingga hanya dengan undang-undang suatu pembatasan hak asasi manusi seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dapat dilakukan,16 karena dalam KUHAP, konsideran huruf a mengatakan, “Bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia
16
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2014, hlm. 10
12
serta yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. b. Asas Perlakuan yang Sama atas Diri Setiap Orang di Muka Hukum (Equality Before the Law) Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman berbunyi; pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Penjelasan umum butir 3 a KUHAP berbunyi; perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan. c. Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption of Innocent) Asas ini dapat dijumpai dalam penjelasan dalam Pasal 8 Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman Nomor 14 Tahun 1970 yang berbunyi : “setiap orang yang sudah disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”. Asas praduga tak bersalah yang dimiliki KUHAP, dengan sendirinya
memberi
pedoman
kepada
penegak
hukum
untuk
mempergunakan prinsip akusator dalam setiap tingkat pemeriksaan. Aparat penegak hukum harus menjauhkan diri dari cara-cara pemeriksaan yang inkuisitor, yang menempatkan tersangka/terdakwa dalam setiap pemeriksaan sebagai obyek yang dapat diperlakukan
13
dengan sewenang-wenang. Prinsip inkuisitor-inkuisitor inilah yang dulu dijadikan landasan pemeriksaan dalam periode HIR. HIR sama sekali tidak memberi hak dan kesempatan yang wajar bagi tersangka/ terdakwa untuk membela diri dan mempertahankan hak dan kebenarannya.17 d. Tersangka atau Terdakwa Berhak Mendapatkan Bantuan Hukum Pasal 69 sampai dengan Pasal 74 KUHAP diatur tentang bantuan hukum tersebut di mana tersangka/terdakwa mendapat kebebasan yang sangat luas. Kebebasan itu antara lain sebagai berikut : 1) Bantuan hukum dapat diberikan sejak saat tersangka ditangkap atau ditahan. 2) Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan. 3) Penasihat hukum dapat menghubungi tersangka/terdakwa pada semua tingkat pemeriksaan pada setiap waktu. 4) Pembicaraan antara penasihat hukum dan tersangka tidak didengar oleh penyidik dan penuntut umum kecuali pada delik yang menyangkut keamanan negara. 5) Turunan berita acara akan diberikan kepada tersangka atau penasihat hukum guna kepentingan pembelaan. 6) Penasihat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari tersangka/terdakwa. 17
Mohammad Taufik Makarao dan Suhansil, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010, hlm. 4.
14
e. Pemeriksaan Pengadilan Terbuka Untuk Umum Pasal 153 ayat (3) dan (4) KUHAP yang berbunyi, untuk keperluan sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak. Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan (3), mengakibatkan batalnya putusan demi hukum. Kekecualian terhadap kesusilaan dan anak-anak alasannya karena kesusilaan dianggap masalahnya sangat pribadi sekali. Tidak selayaknya proses jalannya sidang dipaparkan dan dipertontonkan di muka umum. Begitu juga dengan anak-anak, karena dalam persidangan jika persidangan itu terbuka untuk umum maka kemungkinan psikologis anak tersebut menjadi terganggu. Maka dari itu, terhadap kasus yang terdakwanya adalah seorang anak, hukum acara pidana tidak memberlakukan asas persidangan terbuka untuk umum. Guna mengetahui suatu persidangan tidak terbuka untuk umum, maka persidangan dilakukan di Pertimbangan
tersebut
sepenuhnya
ruang sidang diserahkan
yang tertutup. kepada
hakim.
Penetapan hakim bahwa persidangan tertutup untuk umum itu tidak dapat dibanding.18 Sifat terbuka untuk umum dari suatu proses pemeriksaan untuk umum dari suatu proses pemeriksaan perkara pidana
tidak
terletak pada dapatnya orang keluar masuk ruang sidang pengadilan,
18
Andi Hamzah, Op Cit, hlm 22.
15
tetapi terletak pada pemberitaan yang bebas oleh pers dan dapat dipertanggung
jawabkan
sedemikian
rupa,
sehingga
the
fair
administration of justice tidak menjadi terdesak karenanya. Persidangan terbuka demi keadilan, hak seseorang atas persidanagan terbuka untuk umum tidak boleh mengakibatkan bahwa hak seseorang untuk diadili secara terbuka berubah sifatnya menjadi ia-nya diadili oleh orang banyak (publik).19 Walaupun sidang dinyatakan tertutup untuk umum, namun keputusan hakim dinyatakan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Bahkan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Pasal 20 dan KUHAP Pasal 195 tegas menyatakan: “Semua putusan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum”. f. Asas Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan Asas ini bertujuan agar proses persidangan berjalan dengan mudah. Karena, jika penerapan sidang ternyata mempersulit para pihak, maka persidangan bejalan tidak efektif dan bahkan dapat melanggar hak-hak dan kepentingan para pihak. Jika persidangan dilakukan dengan berbelit-belit, maka penyelesaian kasus akan berjalan lambat. Sudah pasti hak asasi tersangka dilanggar, karena tersangka/ terdakwa dihadapkan oleh rasa ketidakpastian yang berlarut-larut disebabkan sangkaan atau dakwaan yang didakwakan kepadanya tanpa suatu 19
Alvi Syahrin, Acara Pemeriksaan Perkara Pidana di Pengadilan Negeri, Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 1997, hlm 31.
16
penyelesaian akhir.
Dalam KUHAP, dapat kita lihat beberapa
ketentuan sebagai penjabaran dari asas peradilan cepat, dalam Pasal 50 dinyatakan “tersangka atau terdakwa berhak segera mendapat pemeriksaan penyidik, segera diajukan ke penuntut umum, segera diadili oleh pengadilan. Asas sederhana artinya cara yang jelas, mudah dipahami, dan tidak berbelit-belit. Yang penting disini ialah agar para pihak dapat mengemukakan kehendaknya dengan jelas dan pasti (tidak berunahubah) dan penyelesaiannya dilakukan dengan jelas, terbuka, dan pasti, dengan penerapan hukum acara yang fleksibel demi kepentingan para pihak yang menghendaki acara yang sederhana. Biaya ringan dalam asas pengadilan adalah sedikitnya biaya yang dikeluarkan untuk pencari keadilan dalam menyelesaikan sengketanya di depan pengadilan. Dalam hal ini tidak dibutuhkan biaya lain kecuali benar-benar biaya yang diperlukan untuk keperluan penyelesaian sengketa yang dihadapi oleh pencari keadilan. Pengadilan harus
mempertanggungjawabkan
uang
tersebut
kepada
yang
bersangkuta dengan mencantumkannya dalam jurnal keuangan perkara sehingga yang bersangkutan dapat melihatnya sewaktu-waktu. g. Pemeriksaan hakim yang Langsung dan Lisan. Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakimg secara langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi. Ini berbeda dengan acara perdata di mana tergugat dapat diwakili oleh kuasanya.
17
Pemeriksaan hakim juga dilakukan secara lisan, artinya bukan tertulis antara hakim dan terdakwa, dimana hakim hakim bisa mengorek keterangan lebih jauh baik kepada terdakwa atau kepada saksi-saksi guna penyelesaian kasus. Ketentuan mengenai hal di atas diatur dalam Pasal 154,155 KUHAP, dan seterusnya. Pengecualian dari asas langsung ialah kemungkinan putusan dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa, yaitu putusan verstek atau putusan in absentia. Tetapi ini merupakan pengecualian, yaitu dalam acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan (Pasal 213 KUHAP) dan dalam hukum acara pidana khusus seperti Tindak Pidana Ekonomi dan Tindak pidana Korupsi. 3. Tujuan Hukum Acara Pidana Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjtnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan dan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwakan itu dapat dipersalahkan.20
20
Andi Hamzah, Op Cit, hlm. 7.
18
Menurut Van Bemmelen dalam bukunya “Strafordering Leerbook Van Het Nederlandsch Straf Procesrecht” (Undang-Undang di Belanda yang memuat tentang
Hukum Acara Pidana) bahwa yang terpenting
dalam Hukum Acara Pidana adalah mencari dan memperoleh Kebenaran. Sementara itu, menurut doktrin ( pendapat para ahli Hukum) bahwa tujuan Hukum Acara Pidana adalah : 1. Mencari dan menemukan kebenaran materiil; 2. Memperoleh putusan Hakim; dan 3. Melaksanakan putusan Hakim.21 Berdasarkan ketiga fungsi diatas, yang paling penting karena menjadi tumpuan kedua fungsi berikutnya, ialah “mencari kebenaran”. Setelah menemukan kebenaran yang diperoleh melalui alat bukti dan bahan bukti itulah, hakim akan sampai kepada putusan (yang seharusnya adil dan tepat), karena kemudian dilaksanakan oleh jaksa.22 Jaksa kemudian mendakwakan pelaku suatu kejahatan hukum, dan kemudian meminta pemeriksaan dan putusan pemgadilan guna menemukan apakah bukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang di dakwakan itu dapat dipersalahkan. Jadi, tujuan hukum acara pidana mencari kebenaran, ini hanyalah merupakan tujuan antara. Tujuan akhir sebenarnya adalah mencapai suatu
21
Waluyadi, Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana(Sebuah Catatan Khusus), Bandung: Mandar Maju, 1999, hlm. 15. 22 Andi Hamzah, Op Cit, hlm. 9.
19
ketertiban, ketentraman, kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan dalam masyarakat.23 B. Pengertian Hukum Pembuktian Sebelum membahas lebih lanjut mengenai pengertian hukum pembuktian, terlebih dahulu akan dibahas istilah dari pembuktian. Hal ini penting untuk memahami pengertian dari bukti, pembuktian, dan hukum pembuktian. Berbagai istilah tersebut terdengar sama, tetapi ketiga hal tersebut berbeda. Menurut kosa kata bahasa Inggris, ada dua kata yang sama-sama diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia sebagai “bukti”, namun sebenarnya kedua kata tersebut memiliki perbedaan yang cukup prinsip. Pertama adalah kata “evidence” dan yang kedua adalah kata “proof”. Kata evidence memiliki arti, yaitu informasi yang memberikan dasar-dasar yang mendukung suatu keyakinan bahwa beberapa bagian atau keseluruhan fakta itu benar. Sementara itu proof adalah suatu kata dengan berbagai arti. Dalam wacana hukum, kata proof kepada hasil suatu proses evaluasi dan menarik kesimpulan terhadap evidence atau dapat juga digunakan lebih luas untuk mengacu kepada proses itu sendiri.24 Pembuktian adalah perbuatan membuktikan. Pembuktian adalah suatu proses bagaimana alat-alat bukti tersebut dipergunakan, diajukan ataupun dipertahankan, sesuatu hukum acara yang berlaku.25 Sementara itu
23
Andi Hamzah, Loc Cit Waluyadi, Op Cit, hlm 2. 25 Andi Hamzah, Op Cit, hlm 4. 24
20
membuktikan berarti memperlihatkan bukti atau meyakinkan dengan bukti.26 Menurut Van Bummelen adalah memberikan kepastian yang layak menurut akal (redelijk) tentang: a) apakah hal yang tertentu itu sungguh-sungguh terjadi ; b) apa sebabnya demikian halnya. Pengertian bukti, membuktikan dan pembuktian dalam konteks hukum tidak jauh berbeda dengan pengertian pada umumnya.27 Menurut M.Yahya Harahap, pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh digunakan hakim membuktikan kesalahan terdakwa.28 Mengacu pada konteks hukum acara pidana, pembuktian merupakan inti persidangan perkara pidana karena yang dicari dalam hukum acara pidana adalah kebenaran materiil, yang menjadi tujuan pembuktian adalah benar bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Untuk membuktikan kesalahan terdakwa, pengadilan terikat oleh cara-cara/ ketentuan-ketentuan pembuktian sebagaimana diatur dalam undang-undang. Pembukian yang sah harus dilakukan di dalam sidang pengadilan sesuai dengan prosedur/ cara-cara yang berlaku dalam hukum pembuktian.
26
http://www.deskripsi.com/m/membuktikan, diakses tanggal 10 Oktober 2016, pukul 23.48 WITA 27 Ibid. 28 M. Yahya Harahap, Op Cit, hlm. 273.
21
Hukum pembuktian adalah merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian.29 Lebih lanjut, Munir Fuady mendefenisikan hukum pembuktian itu sebagai suatu proses dalam hukum acara perdata, hukum acara pidana, maupun hukum acara lainnya yakni penggunaan prosedur kewenangan hakim untuk menilai fakta atau pernyataan yang dipersengketakan di pengadilan untuk dapat dibuktikan kebenarannya.30 Makna hukum pembuktian adalah suatu rangkaian peraturan
tata
tertib yang harus dipedomani hakim dalam proses persidangan untuk menjatuhkan putusan bagi pencari keadilan. C. Teori-Teori Pembuktian 1. Teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (Positive wettelijk bewijstheorie) Terhadap penilaian atas kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada, dikenal beberapa sistem atau teori pembuktian. Pembuktian yang didasarkan melulu kepada alat-alat pembuktian yang disebut undangundang, disebut sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (positief wettelijk bewijstheori). Dikatakan secara positif, karena hanya didasarkan kepada undang-undang melulu. Artinya, jika 29
Andi Hamzah, Op Cit, hlm. 10. H.P. Panggabean, Hukum Pembuktian Teori Praktik dan Yurisrpudensi Indonesia, Bandung: Alumni, 2012, hlm. 1. 30
22
telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini juga disebut teori pembuktian formal. Teori pembuktian formal ini bertujuan menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat para hakim secara ketat menerapkan peraturan pembuktian undang-undang tersebut. Dalam sistem ini, hakim seolah-olah “robot pelaksaan” undang-undang yang tidak memiliki hati nurani. Hati nuraninya tidak ikut hadir dalam menentukan kebenaran salah atau tidaknya terdakwa sesuai dengan tata cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang.31 Sistem ini sudah tidak dianut lagi dalam praktik peradilan karena dibanyak hal keyakinan hakim yang jujur dan berpengalaman adalah sesuai dengan public opinion.32 Teori pembuktian ini ditolak juga oleh Wirjono Prodjodikoro untuk dianut di Indonesia, karena katanya bagaimana hakim dapat menetapkan kebenaran selain dengan cara menyatakan kepada keyakinannya tentang hal kebenaran itu, lagi pula keyakinan seorang hakim yang jujur dan berpengalaman mungkin sekali
adalah sesuai
dengan
keyakinan
masyarakat.33 2. Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu. Berhadap-hadapan secara berlawanan dengan teori pembuktian menurut undang-undang secara positif, ialah teori pembuktian menurut 31
Yahya Harahap, Op Cit ,hlm. 278. H.P. Panggabean, Op Cit, hlm. 82. 33 Andi Hamzah, Op Cit, hlm. 251. 32
23
keyakinan hakim melulu. Teori ini disebut juga conviction intime.Sistem ini yang menentukan kesalahan terdakwa sementara ditentukan penilaian keyakianan hakim, kelemahan sistem ini adalah besar keyakianan hakim tanpa dukungan alat bukti yang cukup. Ada kecenderungan hakim untuk menerapkan keyakianannya membebaskan terdakwa dari dakwaan tindak pidana walaupun kesalahannya telah terbukti. Jadi, dalam sistem pembuktian conviction in time, sekalipun kesalahan terdakwa sudah cukup terbukti, pembuktian yang cukup itu dapat dikesampingkan keyakinan hakim.Sebaliknya walaupun kesalahan tetdakwa tidak terbukti berdasarkan alat-alat bukti yang sah, terdakwa bisa dinyatakan bersalah, semata-mata atas dasar keyakinan hakim.Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini.34 Teori sistem pembuktian ini sudah digunakan dari dahulu. Pengadilan adat dan swapraja pun memakai sistem keyakinan hakim melulu selaras dengan kenyataan bahwa pengadilan-pengadilan tersebut dipimpin oleh hakim-hakim yang bukan ahli (berpendidikan) hukum.35 3. Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis (conviction raisonnee) Sebagai jalan tengah, muncul sistem atau teori yang disebut pembuktian yang berdasakan keyakinan hakim sampai batas tertentu (conviction raisonnee). Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan 34 35
Yahya Harahap, Op Cit, hlm. 277. Andi Hamzah, Op Cit, hlm. 252.
24
seseorang
bersalah
berdasarkan
keyakinannya,
keyakianan
yang
didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusive) yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertenu. Jadi, putusan hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi. Keyakinan hakim dalam sistem conviction raisonnee harus dilandasi
reasoning atau alasan-alasan, dan reasoning itu harus
“reasonable” yakni berdasarkan alasan yang dapat diterima. Keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima akal. Tidak semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal. 4. Teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettelijk) HIR maupun KUHAP, begitu pula Ned.Sv. yang lama dan yang baru, semuanya menganut sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang negatif (negatief wettelijk). Hal ini tersebut dapat disimpulkan dari Pasal 183 KUHAP, dahulu Pasal 294 HIR. Pasal 183 KUHAP berbunyi sebagai berikut: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakianan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
25
Berdasarkan kalimat tersebut nyata bahwa pembuktian harus didasarkan kepada undang-undang (KUHAP), yaitu alat bukti yang sah tersebut dalam Pasal 184 KUHAP, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut.36 Melalui penerapan sistem ini, pemidanaan itu berdasarkan pada sistem pembuktian ganda, yaitu pada peraturan undang-undang dan pada keyakinan hakim, dasar peraturan hakim bersumber pada peraturan perundang-undangan. Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettelijk) sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan, pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Kedua ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan.37 D. Macam-Macam Alat Bukti Menurut KUHAP Bagaimanapun diubah-ubah, alat-alat bukti dan kekuatan pembuktian dalam KUHAP masih tetap sama dengan yang tercantum dalam HIR yang pada dssarnya sama dengan ketentuan dalam Ned. Strafvordering yang mirip
36 37
Ibid, hlm. 254. Ibid, hlm. 257.
26
pula dengan alat bukti di negara-negara Eropa Kontinental.38 Tetapi ada sedikit penambahan dan perubahan nama dalam HIR yang terdapat dalam KUHAP. Penambahan alat bukti tersebut adalah keterangan ahli, dan perubahan terhadap alat bukti keterangan terdakwa, pada HIR keterangan terdakwa disebut sebagai pengakuan terdakwa. Ketentuan tentang alat bukti dalam KUHAP diatur dalam Pasal 184 KUHAP, alat-alat bukti yang dimaksud diantaranya adalah; 1. Keterangan saksi Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari penegtahuannya itu (Pasal 1 butir 27 KUHAP). Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di muka sidang pengadilan. Dengan perkataan lain hanya keterangan yang saksi nyatakan di muka sidang yang diberikan dalam pemeriksaan di muka sidang pengadilan yang berlaku sebagai alat bukti yang sah (Pasal 185 ayat (1) KUHAP). 2. Keterangan ahli Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan (Pasal 186 KUHAP). Menurut Pasal 1 butir 28 KUHAP diterangkan bahwa yang dimaksud dengan “keterangan ahli” adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana
38
Ibid, hlm. 258.
27
guna kepentingan pemeriksaan (di sidang pengadilan). Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak umum, maka pada waktu pemeriksaan di sidang pengadilan diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan (sidang). Keterangan tersebut diberikan setelah ia (orang ahli) mengucapkan sumpah atau janji dihadapan hakim. Menurut Pasal 133 ayat (1) KUHAP ditentukan bahwa dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban, baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman (kedokteran forensik) atau dokter dan atau ahli lainnya (Pasal 133 ayat (1) KUHAP). Terhadap ketentuan ini diatur dalam Pasal 179 KUHAP yang menyatakan “ Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan”. Menurut Pedoman Pelaksanaan KUHAP (halaman 62), keterangan dokter bukan keterangan ahli tetapi keterangan saja yang merupakan petunjuk. Yang disebut keterangan ahli adalah hanya keterangan ahli kedokteran kehakiamn untuk pemeriksaan luka, atau pemeriksaan mayat atau pemeriksaan bedah mayat.
28
A.Karim Nasution menyatakan “janganlah hendaknya kita berpendapat bahwa orang yang disebut ahli tersebut haruslah seorang yang telah memperoleh pendidikan khusus atau orang yang telah memiliki ijazah tertentu. Setiap orang menurut hukum acara pidana dapat diangkat sebgai ahli, asal saja dianggap mempunyai pengetahuan dan pengalaman tentang soal itu.39 Menjadi ahli pada dasarnya sama dengan menjadi saksi, yang merupakan suatu kewajiban hukum. Jika seorang ahli menolak ketika ia telah dimintai untuk kepentingan penegakan hukum, maka dapat dipidana berdasarkan ketentuan undang-undang (Pasal 159 ayat (2) KUHAP). Berbeda dengan keterangan saksi, keterangan ahli adalah tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan berdasarkan keahliannya. Wirjono Prodjodikoro, menyatakan “isi keterangan seorang saksi dan ahli berbeda. Keterangan seorang saksi mengenai apa yang dialami saksi itu sendiri sedangkan keterangan seorang ahli ialah mengenai suatu penilaian mengenai hal-hal itu.” 3. Surat Alat bukti surat menempati urutan ketiga dari alat-alat bukti lain sebagaimana disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Apabila alat bukti keterangan saksi dan keterangan ahli disebutkan pengertiannya dalam Pasal 1 KUHAP, maka tidak demikian dengan alat bukti yang
39
Ibid, hlm. 277.
29
berupa surat. Klasifikasi alat bukti surat diatur dalam Pasal 187 KUHAP. Bunyi Pasal 187 KUHAP secara lengkap adalah sebagai berikut: “Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah: a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihatatau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentangketerangannya itu; b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau suratyang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yangmenjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu halatau sesuatu keadaan; c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya; d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alatpembuktian lain. Seharusnya surat yang dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah yakni surat resmi hanyalah yang diatur dalam Pasal 187 huruf a,b dan c KUHAP. Sedangkan yang diatur dalam Pasal 187 huruf d KUHAP termasuk surat biasa, yang setiap hari dibuat oleh setiap orang. Tetapi selaras dengan bunyi Pasal 187 butir d tersebut, surat di bawah
30
tangan ini masih mempunyai nilai jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.40 Apabila surat-surat tidak memenuhi persyaratan untuk dikatakan sebagai alat bukti surat, surat-surat tersebut dapat dipergunakan sebagai petunjuk. Akan tetapi, mengenai dapat atau tidaknya surat dijadikan alat bukti petunjuk, semuanya diserahkan kepada pertimbangan hakim. 4. Petunjuk Petunjuk disebut alat bukti keempat dalam Pasal 184 KUHAP. Berdasarkan Pasal 188 ayat (1) KUHAP, petunjuk didefinisikan sebagai perbuatan, kejadian, atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk tersebut hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Penilaian atas kekuatan pembuktian suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan. Tegasnya, syaratsyarat petunjuk sebagai alat bukti harus mempunyai persesuaian satu sama lain atas perbuatan yang terjadi. Selain itu, keadaan-keadaan tersebut benrhubungan satu sama lain dengan kejahatan yang terjadi dan
40
Andi Hamzah memberikan contoh sebagai berikut;Contoh: Keterangan saksi yang menerangkan bahwa ia (saksi) telah menyerahkan uang kepada yang terdakwa. Keterangan ini merupakan satusatunya alat bukti di samping terdakwa. Keterangan ini merupakan satu-satunya alat bukti di samping sehelai surat tanda terima kasih (kuitansi) yang ada hubungannya dengan keterangann saksi tentang pemberian uang keada terdakwa cukup sebagaibukti minimum sesuai dengan Pasal 183 KUHAP dan Pasal 187 butir d KUHAP.
31
berdasarkan pengamatan hakim yang diperoleh dari keterangan saksi, surat, atau keterangan terdakwa. Adami Chazawi mengungkapkan persyaratan suatu peyunjuk adalah sebagai berikut : a. Adanya perbuatan, kejadian, dan keadaan yang bersesuaian. Perbuatan, kejadian, dan keadaan merupakan fakta-fakta yang menunjukkan tentang telah terjadinya tindak pidana, menunjukkan terdakwa yang melakukan, dan menunjukkan terdakwa bersalah karena melakukan tindakan pidana tersebut. b. Ada dua persesuaian, yaitu bersesuaian antara masing-masing perbuatan, kejadian, dan keadaan satu sama lain ataupun bersesuaian antara perbuatan, kejadian, atau keadaan dengan tindak pidana yang didakwakan. c. Persesuaian yang demikian itu menandakan atau menunjukkan adanya dua hal, yaitu menunjukkan bahwa benar telah terjadi suatu tindak pidana dan menunjukkan siapa pelakunya. Unsur ini merupakan kesimpulan bekerjanya proses pembentukan alat bukti petunjuk. d. Hanya dapat dibentuk melalui tiga alat bukti, yaitu keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Sesuai dengan asas minimum pembuktian yang diabstraksi dari Pasal 183 KUHAP, selayaknya petunjuk juga dihasilkan dari minimal dua alat bukti yang sah.41
41
Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Bandung: Alumni, 2006, hlm. 74.
32
Alat bukti petunjuk merupakan otoritas penuh dan subjektivitas hakim yang memeriksa perkara tersebut. Hakim dalam mengambil kesimpulan tentang pembuktian sebagai suatu petunjuk haruslah menghubungkan alat bukti yang satu dengan alat bukti lainnya dan memiliki persesuaian antara satu sama lainnya. Oleh karena itu, alat bukti petunjuk ini baru digunakan dalam hal alat-alat bukti yang ada belum dapat meembentuk keyakinaan hakim tentang terjadinya tindak pidana dan keyakinan bahwa terdakwalah yang melakukannya. Perihal hakim belum mendapat keyakinan, ada tiga kemungkinaan, yakni: 1) pembuktian yang belum memenuhi syarat minimum, yakni dua alat bukti, 2) telah memenuhi minimum pembuktian, namun mengahasilkan masing-masing fakta yang berdiri sendiri. Jika demikian halnya, alat bukti petunjuk dapat memenuhi syarat minimum pembuktian, dan 3) alat bukti yang sah lebih dari cukup minimum pembuktian, namun belum meyakinkan hakim tentang terjadinya tindak pidana dan terdakwalah yang melakukannya. Dalam hal ini petunjuk digunakan untuk menambah keyakianan hakim.42 Berdasarkan
perbuatan-perbuatan,
kejadian-kejadian,
atau
keadaan-keadaan yang dijumpai oleh hakim di dalam keterangan saksi, surat
42
atau
keterangan
terdakwa
Andi Sofyan dan Abd. Asis, Op Cit, hlm. 111.
seperti
itulah,
KUHAP
dapat
33
membenarkan hakim membuat suatu pemikiran, atau lebih tepatnya hakim dapat membuat suatu konstruski untuk memandang suatu kenyataan sebagai terbukti.43 Menyangkut
penerapannya,
kepada
hakimlah
diletakkan
kepercayaan untuk menetapkan apakah suatu perbuatan, kejadian atau keadaan merupakan petunjuk. Semuanya harus dipertimbangkan secara cermat dan teliti (Pasal 188 ayat (3) KUHAP). 5. Keterangan terdakwa Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan (Pasal 1 butir 15 KUHAP). Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri (Pasal 189 ayat (1) KUHAP). Melihat ketentuan Pasal 189 ayat (1), pada prinspinya keterangan terdakwa adalah apa yang dinyatakan (diberikan) terdakwa di sidang pengadilan. Meskipun demikian ketentuan itu ternyata tidak mutlak, oleh karena keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. (Pasal 189 ayat (2). Jadi keterangan terdakwa yang diberikan diluar sidang tidak didukung dengan dua alat bukti yang
43
A. Z. Abidin, Sejarah dan Perkembangan Asas Oportunitas di Indonesia, 2001, hlm. 12.
34
sah, maka keterangan tersebut tidak bisa dipergunakan untuk menemukan bukti dalam sidang. Bentuk keterangan yang dapat diklasifikasikan sebagai keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang adalah : a. keterangan yang diberikannya dalam pemeriksaan penyidikan; b. keterangan itu dicatat dalam berita acara penyidikan; c. berita acara penyidikan itu ditandatangani oleh pejabat penyidik dan terdakwa. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan untuk diri terdakwa itu sendiri. Sehingga keterangan seorang terdakwa tidak bisa untuk memberatkan sesama terdakwa. Jika terdapat lebih dari satu terdakwa dalam persidangan, maka terdakwa-terdakwa tersebut diperiksa satu persatu guna mendapatkan keterangan yang objektif, hal ini bertujuan agar sesama terdakwa tidak saling mempengaruhi. E. Tujuan Pembuktian Tujuan hukum acara pidana tidak lain adalah untuk menemukan kebenaran, yaitu kebenaran materil. Untuk mewujudkan tujuan itu, para komponen pelaksana peradilan terikat kepada alat-alat bukti, sistem pembuktian dan proses pembuktian yang telah diatur oleh perundangundangan yang berlaku. Dengan tidak mengenyampingkan tahap sebelumnya, pembuktian dapatlah dianggap proses yang sangat penting dan menentukan bagi para
35
pihak yang terlibat dalam proses pemeriksaan persidangan, yakni bagi penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukumnya serta hakim. a. Bagi penuntut umum, pembuktian adalah merupakan usaha untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alatr bukti yang ada, agar menyatakan seorang terdakwa bersalah sesuai dengan surat atau catatan dakwaan. b. Bagi terdakwa
atau penasihat hukum, pembuktian merupakan usaha
sebaliknya, untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan terdakwa dibebaskan atau dilepaskan dari tuntutan hukum atau meringankan pidananya. Untuk itu terdakwa atau penasihat hukum
jika
mungkin
harus
mengajukan
menguntungkan atau meringankan
alat-alat
bukti
yang
pihaknya. Biasanya bukti tersebut
disebut bukti kebalikan. c. Bagi hakim atas dasar pembuktian tersebut yakni dengan adanya alat-alat bukti yang ada dalam persidangan baik yang berasal dari penuntut umum atau penasihat hukum/ terdakwa dibuat dasar untuk membuat keputusan. Jika ketiga hal diatas dihubungkan denagn sistem pembuktian negartief wettelijke
(dianut
KUHAP),
penting
disimak
pendapat
Wirjono
Prodjodikoro “Sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettelije) sebaikanya dipertahankan berdasarkan dua alasan, pertama, memang sudah selayaknya harus ada keyakinaan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin
36
atas kesalahan terdakwa. Kedua ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus dituruti oleh hakim dalam melakukan peradilan.“44 Tujuan ketentuan yang mensyaratkan menimum alat bukti bagi hakim memperoleh keyakianan atas kesalahan terdakwa adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang (penjelasan Pasal 183 KUHAP). Sebenarnya memang kebenaran, keadilan dan kepastian hukum merupakan tujuan pula dari proses pembuktian dalam peradilan pidana, yang identik dengan tujuan hukum acara pidana yaitu untuk menemukan kebenaran materil.
44
Waluyadi, Op Cit, hlm. 30.
BAB III METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif. Dimana yang hendak dicapai oleh penelitian ini (legal research) adalah menemukan kebenaran koherensi.45 Karena ilmu hukum adalah
ilmu yang bersifat
preskriptif, maka tidak dimulai dengan hipotesis serta tidak memerlukan data, sebab penelitian hukum adalah penelitian kepustakaan.46 Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan know-how dalam ilmu hukum, bukan sekedar know-about. Sebagai kegiatan know-how, penelitian ini dilakukan untuk memecahkan isu hukum yang dihadapi.47 B. Pendekatan dalam Penelitian Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan tersebut, penulis akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicaoba untuk dicari jawabannya.48 Adapun pendekatan yang dapat penulis gunakan dalam penelitian ini sesuai isu hukm yang diteliti adalah sebagai berikut: 1. Pendekatan Undang-undang (statute approach), yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang diteliti. 45
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Cetakan ke-12, Jakarta: Kencana, 2005, hlm. 47. 46 Ibid., hlm. 59. 47 Ibid., hlm. 60. 48 Ibid., hlm. 133
38
2. Pendekatan konseptual (konseptual approach), yaitu dengan beranjak pada pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum guna menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu hukum yang dihadapi. C. Sumber Penelitian Untuk memecahkan isu hukum dan sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogianya, diperlukan sumber-sumber penelitian. Sumber-sumber penelitian Hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahanbahan hukum sekunder.49 Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumbersumber sebagai berikut: 1. Bahan-bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas, seperti Undang-Nndang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, UndangUndang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Eletronik, Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Kitab Undang-undang hukum Pidana, HIR (Herzien Inlandsch Reglement) dan Peraturan Perundang-undangan lainnya. 2. Bahan-bahan hukum Sekunder, berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar-komentar
49
Ibid., hlm. 181.
39
atas putusan pengadilan serta keterangan-keterangan ahli dalam sidang pengadilan. 3. Selain bahan hukum seperti disebutkan di atas, dalam penelitian ini penulis menggunakan bahan-bahab nonhukum yang relevan dengan masalah yang dihadapi. D. Pengolahan Bahan Hukum Baik bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang telah dikumpulkan kemudian dikelompokan dan dikaji atau ditelaah dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) guna memperoleh gambaran sinkronisasi dari semua bahan hukum. Selanjutnya dilakukan sistematisasi dan kalisifikasi serta eliminasi bahan hukum yang tidak relevan dengan isu hukum yang sedang dikaji, kemudian ditelaah secara konseptaul (conseptual approach) dengan dibandingkan dengan teori, prinsip dan doktrin yang dikemukakan oleh para sarjana hukum dengan kualifikasi tinggi, untuk kemudian dianalisa secara normatif. E. Analisis Bahan Hukum Bahan hukum baik primer maupun sekunder yang telah dikualifikasi susuai isu hukum yang dikaji akan dianalisis guna menjawab isu hukum dan menarik kesimpulan, untuk kemudian dihasilkan preskripsi,50 yang tetap berpatokan pada konsep hukum yang berlaku saat ini.
50
Ibid., hlm. 213.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Sebelum melakukan upaya telaah lebih dalam mengenai isu hukum yang diangkat dalam penelitian ini, penulis terlebih dahulu ingin mengklarifikasi mengenai maksud penelitian ini dan batasan-batasannya. Bahwa penelitian ini dimaksudkan untuk menjawab isu hukum yaitu kedudukan close circuit television recorded (rekaman CCTV) dalam pembuktian pada sidang pengadilan tindak pidana umum. Disini penulis memilih rumusan yang lebih luas atau abstrak, yakni “kedudukan close circuit television recorded (rekaman CCTV) dalam pembuktian pada sidang pengadilan tindak pidana umum” dan tidak mempersempitnya menjadi seperti “kedudukan close circuit television recorded (rekaman CCTV) sebagai alat bukti munurut KUHAP” atau sumber hukum lainnya. Hal ini karena penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman yang lebih “komperhensif” mengenai isu hukum yang diteliti, mengingat dalam pembuktian tidak sekedar berbicara alat bukti dan ketika berbicara hukum acara bukan hanya berbicara soal KUHAP, meskipun KUHAP tetaplah sumber utama mengingat KUHAP adalah pedoman beracara di Sidang Pengadilan Perkara pidana, terutama pada sidang tindak pidana umum. Isu hukum dalam penelitian ini berusaha dijawab dengan pendekatan Undang-undang (statute approach) yaitu setiap legislasi dan regulasi yang berhubungan dengan isu hukum dan tidak hanya mengacu pada KUHAP, mengingat beberapa produk hukum juga dapat menjadi acuan dalam beracara di pengadilan. Juga digunakan pendekatan konseptual (conseptual approach) yaitu
41
telaah pada level teori hukum guna menjawab isu hukum yang diteliti. Sehingga diharapkan dapat diperoleh suatu preskripsi mengenai kedudukan close circuit television recorded (rekaman CCTV) dalam pembuktian di persidangan perkara tindak pidana umum. A. Rekaman CCTV dan Tujuan Hukum Acara Pidana Selanjutnya, penting untuk melakukan tinjauan mengenai Rekaman CCTV ataupun teknologi CCTV yakni mengenai sejarah dan sistem kerja hingga peran CCTV dalam menunjang pembuktian suatu peristiwa. CCTV sendiri pertama kali diperkenalkan pada tahun 1942 oleh Siemens AG di Jerman pada acara peluncuran roket V-2 yang mana CCTV pada acara tersebut sendiri merupakan desain dari seorang ahli bernama Walter Bruch. Untuk wilayah Amerika Serikat sendiri, CCTV baru dipergunakan secara umum pada tahun 1949 dengan nama produksi Vericon. Sedangkan kota pertama di Amerika Serikat yang menggunakan teknologi CCTV sebagai salah satu alat pengawas keamanan kotanya adalah Kota Olean, New York.51 Di Indonesia sendiri, penggunaan CCTV baru mulai dikenal pada tahun 1995, memang penggunaan CCTV sendiri masih terbatas pada bank-bank serta pertokoan besar. Selanjutnya penggunaan CCTV mulai berkembang pesat paska kerusuhan Mei 1998, dan instansi kepolisian mulai menerapkan penggunaan Vidoe surveillance / kamera pengawas / CCTV di
51
http://www. merdeka.com.htm// diakses pada 20 November 2016, pukul 20.00 wita.
42
ruang publik sejak pertengahan 2004-an, namun masih terbatas pada pemantauan lalu lintas.52 Mengenai kemampuan teknologi CCTV serta peranannya dalam menunjang proses pembuktian tentu tidak dapat diragukan lagi. Karena teknologi ini dapat mengabadikan kejadian-kejadian di lokasi CCTV itu dipasang, untuk kemudian dapat diputar kembali secara visual sehingga peristiwa yang terekam dapat disaksikan kembali. Jika dihubungkan dengan tujuan hukum acara pidana, seperti diuraikan pada bab awal, bahwa dari tiga tujuan hukum acara pidana oleh para sarjana sebagaimana dirumuskan juga dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP Tahun 1982, yang paling prioritas adalah mencari dan menemukan kebenaran materil atau kebenaran sejati karena menjadi tumpuan tercapainya kedua tujuan selanjutnya.53 Kebenaran materil (absolute truth) adalah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu peristiwa pidana.54 Penulis memaknai hal ini sebagai suatu gambaran menyeluruh dan mendetail menganai suatu peristiwa. Jika kita menganalisis upaya hakim dalam merekonstruksi alat-alat bukti untuk menemukan kebenaran sejati, maka seluruh alat bukti dihubungkan untuk kemudian melahirkan gambaran imajinatif dibenak hakim tentang bagaimana suatu peristiwa pidana terjadi. Namun bukankah dapat ditebak bahwa gambaran yang dibangun hakim dalam benaknya tidak akan mendetail dan sesuai kejadian sesungguhnya, sebab yang dapat melakukan hal itu adalah saksi yang menyaksikan langsung peristiwa tersebut. Dan sekalipun 52
http://www. Mengenal Sejarah CCTV.htm// diakses pada 20 November 2016, pukul 20.00 wita. Andi Hamzah, Op Cit, hlm. 9. 54 Andi Sofyan dan Abd. Asis, Op Cit, hlm. 8. 53
43
saksi telah memberikan keterangan, gambaran imajinasi hakim tentu tidak akan sesuai dengan gambaran saksi yang menyaksikan langsung peristiwa tersebut. Disnilah teknologi CCTV dapat sangat memberi kontribusi signifikan. Kerena gambaran yang ditampilkan sangat detail, bukan hanya proses peristiwa terjadi, hal-hal kecil seperti warna pakaian pelaku dan bendabenda yang digunakan dapat terlihat, sehingga hakim mudah mendapat gambaran sesuai fakta, serta dapat mendorong ditemukannya petunjukpetunjuk lainnya. Disini penulis berpendapat bahwa rekaman CCTV yang menampilkan suatu peristiwa dari sudut pandang yang ideal merupakan sebagian besar dari kebenaran materil itu sendiri. Jelaslah bahwa teknologi CCTV dengan produknya berupa rekaman (recorded) sangat dapat dimanfaatkan guna mencapai tujuan hukum acara pidana, terlepas dari belum adanya kepastian hukum mengenai legalitas rekaman CCTV untuk dapat digunakan sebagai alat bukti pada persidangan di pengadilan, terutama pada pengadilan tindak pidana umum, yaitu tindak pidana yang dimuat dalam KUHP (tindak pidana konvensional). Sebab berbagai tindak pidana khusus yang diatur di luar KUHP telah mencantumkan alat bukti eletronik sebagai alat bukti sah. Hasil dari rekaman CCTV adalah dokumen eletronik, hal ini sesuai dengan rumusan beberapa undang-undang pidana khusus yang telah mengakui alat bukti eletronik, yang tentu salah satu bagian di dalamnya adalah rekaman CCTV (closed circuit televison recerded).
44
B. Rekaman CCTV menurut KUHAP Untuk mengetahui kedudukan rekaman CCTV dalam pembuktian pada sidang pengadilan tindak pidana umum, perlu dilakukan telaah beberapa produk hukum terkait yang relevan. Sumber paling penting dan utama adalah Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sebab KUHAP adalah pedoman beracara pada peradilan pidana. Upaya menjawab isu hukum dalam penelitian ini harus merujuk pada hukum positif guna terciptanya kepastian hukum dan bentuk pengakuan terhadap asas legalitas. Namun sebelum itu, hal yang selalu menjadi pertanyaan mendasar adalah apakah asas legalitas dalam hukum pidana hanya berlaku dalam hukum pidana materil ataukah juga dalam hukum pidana formil? Kiranya untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita kembalikan kepada rumusan awal sebagaimana yang dikemukakan Anselm von Feuerbach. Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali, bila diuraikan dalam tiga frasa yang dikemukakan Feuerbach, akan menjadi: 1) Nulla poena sine lege yang berarti tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang; 2) Nulla poena sine crimine yang berarti tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana; 3) Nullum crimen sine poena legali yang berarti tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang.55
55
Eddy O.S. Hiariej, Teori & Hukum Pembuktian,Jakarta: Penerbit Erlangga, 2012, hlm. 35.
45
Frasa ketiga dari makna yang diuraikandi atas menegaskan berlakunya asas legalitas dalam hukum pidana formil dan menunjukan adanya fungsi instrumentasi, yaitu dalam batas-batas yang ditentukan oleh undangundang, pelaksanaan kekuasaan oleh negara tegas-tegas diperbolehkan. Asas legalitas dalam hukum acara pidana hanya menandung tiga makna, yaitu: (a) lex scripta yang berarti bahwa penuntutan dalam hukum acara pidana harus bersifat tertulis; (b) lex certa yang berarti hukum acara pidana harus memuat ketentuan yang jelas; (c) lex stricta yang berarti bahwa hukum acara pidana harus ditafsirkan secara ketat. Tegasnya, kalaupun dilakuakan penafsiran dalam hukum acara pidana, penafsiran tersebut bersifat restruktif.56 Lebih jauh mengenai asas legalitas yang terjelma dalam beberapa pasal dalam KUHAP, yang menurut Andi Hamzah57 memiliki beberapa kekeliruan, juga menunjukan pembatasan yang keras dalam penafsiran dan penerapan KUHAP. Berbagai klarifikasi mengenai kekeliruan KUHAP itu tidak mengurangi kedudukan KUHAP sebagai sumber hukum utama dalam beracara di Peradilan Tindak Pidana Umum, jadi penulis tetap mengggapnya sebagai sumber penting dalam menjawab isu hukum yang diteliti. Namun sebelum menelaah lebih jauh mengenai kedudukan rekaman CCTV dalam KUHAP, perlu pendekatan konseptual yang lebih spesifik, yakni tentang sistem pembuktian. Dalam hal ini sistem pembuktian yang dianut KUHAP.
56 57
Ibid, hlm. 36. Andi Hamzah, Loc Cit, hlm. 10.
46
Sebab dengannya dapat diketahui bagaimana wewenang hakim dalam menilai alat bukti yang diajukan pada persidangan. 1. Sistem Pembuktian yang Dianut KUHAP Mengacu pada bab tinjauan pustaka, telah diuraikan berbagai teori dan ajaran mengenai sistem pembuktian, yaitu Conviction-in Time, Conviction-Raisonee, Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif, dan Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif. Sistem pembuktian bertujuan untuk mengetahui bagaimana meletakkan hasil pembuktian terhadap perkara yang sedang diperiksa.58 Adapun sistem pembuktian yang dianut KUHAP yaitu “Pembuktian Menurut UndangUndang Secara Negatif”. Hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 183 KUHAP yang berbunyi : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Dengan demikian Pasal 183 KUHAP mengatur, untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa, harus: a) Kesalahan terbukti dengan sekurang-kurangnya “dua alat bukti yang sah”,
58
Yahya Harahap, Op Cit, hlm. 276.
47
b) Dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnnya dua alat bukti yang sah, hakim “memperoleh keyakinan” bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.59 Selain itu adanya frasa “alat bukti sah” memberi pembatasan pada hakim dalam meletakakan alat bukti yang diajukan selama persidangan berlangsung, majelis hakim dalam mencari dan meletakkan kebenaran yang akan dijatuhkan dalam putusan, harus berdasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang secara “limitatif” sebagaimana yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP.60 Hal inilah yang relevan dengan isu hukum dalam penelitian ini, bahwa rekaman CCTV hanya dapat memiliki kedudukan sebagai alat bukti sah dalam KUHAP jika dapat diinduksi dalam alat bukti yang ditentukan dalam Pasal 184 KUHAP. Namun dari lima alat bukti yang ditentukan secara limitatif dalam Pasal 184 KUHAP yang meliputi Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Surat, Petunjuk dan Keterangan Terdakwa, CCTV ataupun Alat Bukti Eletronik jelas tidak disebutkan secara tegas Sehingga diperlukan metode penemuan hukum sebagai bagian dari kreativitas hakim dalam upaya memecahakan isu hukum yang dihadapi. 2. Rekaman CCTV dalam KUHAP dengan Metode Penemuan Hukum “Het recht is er, doch het moet worden gevonden”, demikian Paul Scholten, yang pada intinya menyatakan bahwa hukum itu ada, tetapi masih harus ditemukan. Masih menurut Scholten, adalah suatu yang 59 60
Ibid, hlm. 280. Ibid, hlm. 274.
48
khayal apabila orang beranggapan bahwa undang-undang itu telah mengatur segalanya secara tuntas. Oleh karena itu, penemuan hukum berbeda dengan penerapan hukum. Dalam penemuan hukum ditemukan sesuatu yang baru yang dapat dilakukan, baik lewat penafsiran, analogi, maupun penghalusan hukum. Penegakan tidak hanya dilakukan dengan logika penerapan hukum yang mengandalkan penggunaan logika, melainkan melibatkan penilaian dan memasuki ranah pemberian makna61 Selanjutnya, apakah yang dimaksud denganpenemuan hukum? Sudikno Mertokusumo memberi jawaban bahwa pada lazimnya penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk menerapkan peraturan hukum umum pada peristiwa kongret. Masih menurut Sudikno dengan mengutip Eikema Holmes, penemuan hukum selanjutnya didefinisikan
sebagai proses
kongkretisasi atau individualisasi peraturan khusus yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa kongkret tertentu.62 Defenisi tersebut tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan oleh Loudeo, bahwa penemuan hukum bukan suatu proses yang logis belaka melalui subsumpsi dari fakta pada ketentuan undang-undang, akan tetapi adalah juga penilaian dari fakta untuk kemudian menemukan hukumnya.63
61
Eddy O.S. Hiariej, Asas Legalitas & Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana, Jakarta, Penerbit Erlangga, 2009, hlm. 55. 62 Ibid, hlm. 55-56. Dikutip dari Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, sebuah pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2001, hlm. 4-5. 63 Ibid, Dikutip dari John Z. Loudoe, Menemukan Hukum Melalui Tafsir Dan Fakta, Jakarta, Bina Aksara, 1985, hlm. V.
49
Penemuan hukum menjadi sebuah keniscayaan, hal ini diakui oleh Potralis, salah seorang perancang Code Civil, sebagaiman dikutip dalam Discours preliminaire du Projet de Code Civil tahun 1804 sebagai berikut:64 “Un code quelque complet qu’il puisse paraitre, n’est pas plus tot acheve que mille questions inattendues viennent s’offrir au magistrat. Car les lois, une fois redigees, demeurent telles qu’elles ont ete ecrite. Les hommes au contraire, ne respon jamais”. (Terjemahan bebas: “Suatu kitab hukum betapapun kelihatan lengkap, di dalam praktik, tidak akan dapat menjawab apabila beribu-ribu masalah yang tidak diduga diajukan kepada hakim. Oleh karena itulah undang-undang, sekali ditulis, tetap seperti apa yang ditulis. Sebaliknya, manusia tidak pernah berhenti bergerak.”) Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Potralis ini, perancang Code Civil mengakui bahwa didalam praktik pengadilan, sangat munkin timbul masalah-masalah baru yang tidak ditampung oleh kodifikasi sekalipun. Secara tidak langsung, Potralis memberi kesempatan kepada hakim untuk memberikan pemecahan masalah sesuai kewenangannya.65 Hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Ketentuan itu berbunyi: “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.” Adapun Pasal 5(1) undang-undang itu berbunyi: “Hakim dan hakim konstitusi wajib 64
Peter Mahmud Marzuki, Op Cit, hlm. 187. Dikutip dari P.J.P. Tak, Rechtsvorming in Nederland, Samsom H.D. Tjeenk Willink, 1984, hlm. 123 65 Ibid.
50
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” Kedua ketentuan itu merupakan landasan bagi hakim untuk melakukan rechtsvinding (penemuan hukum).66 Ada dua unsur penting dalam penemuan hukum. Pertama, hukum/ sember hukum dan kedua adalah fakta. Pada awalnya, unsur hukum/ sumber hukum dalam penemuan hukum adalah undang-undang. Hal ini berkaitan dengan suatu postulat yang dikenal dengan istilah “De wet is onschendbaar” (undang-undang tidak dapat diganggu gugat) yang dalam hukum Belanda tertuang secara eksplisit dalam Pasal 120 Groundwet. Akan tetapi, dalam perkembangannya, tidak semua hukum ditemukan dalam undang-undang.67 Oleh karena itu, unsur hukum/sumber hukum dalam penemuan hukum tidak hanya meliputi undang-undang semata, tetapi juga meliputi sumber hukum lainnya, yaitu doktrin, yurisprudeni, perjanjian, dan kebiasaan.68 Selanjutnya kita membahas fakta sebagai unsur penemuan hukum. Hal ihwal dalam penemuan hukum adalah penilaian terhadap fakta-fakta berdasarkan hukum. Sebelum hukum diterapkan pada peristiwa kongkret, terlebih dulu kita harus menetapkan apa yang sesungguhnya menjadi situasi faktual sebagai penemuan suatu kebenaran, kemudian situasi faktual itu dapat dipandang sebagai relevan secara yuridis, seleksi dan
66
Ibid, hlm. 194. Eddy O.S. Hiariej, Loc Cit, hlm. 56. Dikutip dari J.A. Pointer, Penemuan Hukum, Penerjemah B. Arief Sidharta, Bandung, Jendela Mas Pustaka, 2008, hlm. 1. 68 Ibid. 67
51
kualifikasi atas fakta-fakta.69 Dalam penelitian ini, yang menjadi situasi faktual untuk kemudian ditemukan hukumnya adalah penggunaan rekaman CCTV dalam proses pemeriksaan guna pembuktian di sidang pengadilan tindak pidana umum. Interpretasi atau penefsiran adalah hal yang dibutuhkan untuk menemukan hukum dari fakta-fakta tersebut. Satjipto Raharjo berpendapat bahwa hukum tidak akan berjalan tanpa penafsiran, oleh karena hukum membutuhkan pemaknaan lebih lanjut agar menjadi lebih adil dan membumi. Membuat hukum adalah suatu hal dan menafsirkan hukum yang sudah dibuat merupakan keharusan berikutnya.70 Secara garis besar ada empat metode penafsiran yang umum digunakan. Pertama, interpretasi gramatik, yaitu makna ketentuan undangundang yang ditafsirkan dengan cara menguraikannya menurut bahasa umum sehari-hari.71 Hakim dalam sebuah putusan dapat juga secara eksplisit menyatakan arti dari teks undang-undang menurut pemakaian bahasa yang biasa atau menurut arti teknik yuridikal yang sudah lazim. Kedua, interpretasi sistematis atau logis, yakni penafsiran ketentuan perundang-undangan dengan menghubungkannya dengan peraturan hukum atau undang-undang lain atau dengan keseluruhan sistem hukum.72 Artinya, ketika akan melakukan interpretasi, kita tidak hanya mengacu pada pasal yang akan ditafsirkan semata, tetapi juga harus 69
Ibid, hlm. 57. Ibid, hlm. 65. 71 Ibid, hlm. 66. Dikutip dari Sudikno Mertokusumo, hlm. 57. 72 Ibid, hlm. 67. Dikutip dari Sudikno Mertokusumo, hlm. 58. 70
52
melihat pasal-pasal lainnya dalam undang-undang yang sama atau undangundang lain, bahkan sistem hukum secara keseluruhan sebagai satu kesatuan. Ketiga, interpretasi historis, adalah penafsiran makna undangundang menurut terjadinya dengan jalan meneliti sejarah terjadinya perundang-undangan tersebut. Interpretasi historis juga meliputi sejarah hukum.73 Menurut Pointer, interpretasi sejarah hukum adalah penentuan makna dari formulasi sebuah kaidah hukum dengan mencari pertautan pada penulis-penulis atau secara umum pada konteks kemasyarakatan di masa lampau. Keempat, interpretasi teleologis atau sosiologis. Interpretasi ini lebih menafsirkan undang-undang sesuai dengan tujuan pembentuk undang-undang daripada bunyi kata-kata dari undang-undang tersebut.74 Interpretasi teleologis juga harus memperhatikan konteks kemasyarakatan yang aktual.75 Menurut Sudikno Mertokusumo, dari hasil penemuan hukum dengan berbagai penafsiran di atas, interpretasi masih dapat dibedakan menjadi interpretasi restrukstif dan interpretasi ekstensif. Interpretasi restruktif adalah menjelaskan suatu ketentuan undang-undang dengan membatasi ruang lingkupnya, dalam artian mempersempit arti suatu peraturan dengan bertitik tolak pada artinya menurut bahasa. Termasuk dalam interpretasi restruktif adalah interpretasi gramatikal dan interpretasi 73
Ibid. Ibid, Lihat Sudikno Mertokusumo, Op Cit, hlm. 60. 75 Ibid, Lihat J.A Pointer, hlm 45. 74
53
sistematis. Sedangkan interpretasi ekstensif adalah melampaui batas pengertian suatu hal menurut menurut interpretasi gramatikal. Termasuk dalam interpretasi ekstensif ini adalah interpretasi historis dan interpretasi teleologis.76 Keempat metode interpretasi utama (gramatik, sistematis, historis, dan teleologis) yang dikenal dalam ilmu hukum pada umumnya sebagaimana telah diuraikan di atas, secara mutatis mutandis juga dikenal dalam lapangan hukum pidana. Hanya saja, di sini kendatipun tidak ada prioritas penggunaan berbagai metode interpretasi, paling tidak kita dapat mengatakan bahwa dalam hukum pidana, interpretasi gramatikal menempati urutan yang lebih penting bila dibandingkan dalam hukum keperdataan. Akan tetapi dalam hukum pidana sendiri interpretasi historishistoria legis- memiliki peranan yang penting. Konsekuensinya, travaux preparatories77 menjadi urgen dalam penemuan hukum. Namun yang lebih utama dari berbagai interpretasi dalam hukum pidana adalah interpretasi teleologis. Dengan demikian, jika diurutkan berdasarkan prioritas interpretasi dalam hukum pidana, interpretasi teleologis menempati urutan pertama, kemudian disusul interpretasi historis, lalu interpretasi gramatikal, dan pada akhirnya interpretasi sistematis.78 Berbagai metode interpretasi tersebut dalam praktik pengadilan sering digunakan secara bersama atau campur aduk, sehingga batasanbatasannya tidak dapat dipisahkan dengan jelas. Dapatlah dikatakan bahwa 76
Ibid, Dikutip dari Sudikno Mertokusumo, hlm. 63-64. Dokumen dan catatan rapat-rapat persiapan perancangan suatu naskah perundang-undangan. 78 Ibid, Dikutip dari Remmelink, hlm. 53, 56. 77
54
dalam setiap interpretasi terdapat unsur-unsur gramatikal, sistematis, historis, dan teleologis.79 Selanjutnya mengenai analogi, secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu argumentum peranalogian atau sering disebut analogi dan argumentum a contrario. Perihal analogi, di sini suatu peraturan khusus dalam undang-undang dijadikan umum yang tidak tertulis dalam undang-undang, kemudian digali asas yang terdapat di dalamnya dan disimpulkan dari ketentuan umum itu suatu peristiwa yang khusus. Peraturan umum yang tidak tertulis dalam undang-undang itu diterapkan terhadap peristiwa tertentu yang tidak diatur dalam undangundang. Sedangkan argumentum a contrario adalah penafsiran yang didasarkan pada pengertian sebaliknya dari peristiwa kongkret yang dihadapi dengan peristiwa yang diatur dalam undang-undang.80 Apabila kita kaitkan dengan hasil penemuan hukum dari berbagai metode penafsiran yang membedakannya menjadi interpretasi restruktif dan interpretasi ekstensif, maka analogi dapatlah dikatakan sebagai interpretasi ekstensif. Hal ini secara tegas dinyatakan oleh Sudikno, bahwa analogi selain sebagai metode penemuan hukum juga menciptakan peraturan hukum baru dengan memperluas pengertian. Analogi ini dapat disebut juga interpretasi ekstensif.81 Senada dengan Sudikno adalah Scholten. Ia menyatakan bahwa tidak ada perbedaan asasi antara interpretasi ekstensif dengan analogi.82 Demikian pula dengan Jongkers 79
Ibid, Dikutip dari Sudikno Mertokusumo, hlm. 65. Ibid. 81 Ibid, hlm. 71. Dikutip dari Sudikno Mertokusumo, hlm. 68. 82 Ibid. Dikutip dari Utrecht, hlm. 212. 80
55
yang
menyatakan
bahwa
“trouwens
extensive,
teleologische
en
analogische uitleg liggen zoo dicht naast elkaar, dat de grenslijnen moeilijk te treken zijn83 (Ekstensif, teleologis, dan analogi sangat dekat satu sama lain, sehingga tidak munkin dipisahkan). Pertanyaan selanjutnya adalah boleh atau tidaknya analogi diterpkan dalam konteks hukum pidana. Apabila kita bertumpu pada asas legalitas dengan salah satu makna yang terkandung di dalamnya nulum crimen, noela poena sine lege strict, secara implisit analogi tidak diperbolehkan. Arti nullum crimen, noela poena sine lege stricta seperti yang telah diuraikan di atas adalah bahwa ketentuan pidana harus ditafsirkan secara ketat sehingga tidak menimbulkan perbuatan pidana baru. Larangan untuk menggunakan penafsiran analogi dirumuskan dalam adagium, Ein palladium der burgerlichen freiheit atau la garantie essentielle de la liberte. 84 Sulit untuk menyatakan bahwa hakim pidana tidak menggunakan analogi dalam praktik pengadilan. Isu analogi telah menimbulkan kontroversi di antara pada pakar hukum pidana sejak akhir abad 19 dengan putusan Hoge Raad tertanggal 21 November 1892, W. Nr. 6282 mengenai Telefoonpalen Arrest.85 Putusan tersebut membuktikan bahwa Hoge Raad telah menerima analogi atau setidak-tidaknya menerapkan interpretasi ekstensif dalam hukum pidana.86 Demikian pula isu analogi kembali 83
Ibid, Dikutip dari Jongkers, hlm. 43. Ibid. 85 Ibid, Dikutip dari J.M. Van Bemmelen En W.F.C. Van Hattum, hlm 72. 86 Ibid, hlm. 72. Dikutip dari Utrecht, hlm. 210. 84
56
diperdebatkan dengan putusan Hoge Raad tertanggal 23 Mei 1921: Electriche energie is een goed, vatbaar voor wegneming.87 Dalam putusan tersebut Hoge Raad secara kasat mata mempersamakan inschakelen sebagai perbuatan wegnemen sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 362 sebagai salah satu unsur pencurian.88 Perdebatan mengenai boleh tidaknya penggunaan analogi dalam hukum pidana, secara garis besar dibagi atas tiga. Golongan pertama berisi para ahli hukum pidana yang dengan tegas menolak analogi dalam hukum pidana. Golongan ini diwakili oleh van Bemmelen, van Hattum, Moeljatno, dan Remmelink. Golongan kedua adalah para ahli hukum pidana yang tidak secara tegas mnerima atau menolak analogi. Golongan ini diwakili oleh Hazewinkel Suringa dan Vos. Golongan ketiga adalah para ahli hukum pidana yang menerima penerapan analogi. Golongan ini diwakili oleh Roling, Pompe, dan Jongkers.89 Terlepas dari semua perbedaan pandangan tersebut, Eddy O.S. Hiariej dalam catatan penutupnya pada risalah ini menyimpulkan lima poin penting tentang asas legalitas dan penemuan hukum yang pada terakhir menegaskan bahwa “dari berbagai kesimpulan sebelumnya di atas, terutama menyangkut interpretasi dan analogi, kiranya tidak ada perbedaan yang prinsip sifatnya antara penafsiran dan analogi dalam hukum perdata dan hukum pidana. Bahkan, lebih spesifikanya lagi, tidak ada perbedaan hakiki antara interpretasi ekstensif dan analogi dalam hukum pidana. 87
Ibid, Dikutip dari J.M. Van Bemmelen En Burgersdijk, hlm. 311-324. Ibid. 89 Ibid, hlm. 72, 75, 77. 88
57
Dengan kata lain, dapat ditegaskan bahwa analogipun boleh digunakan dalam hukum pidana. Penggunaan analogi cocok untuk disesuaikan dengan dinamika masyarakat yang senantiasa tumbuh dan berkembang. Hal ini lebih sesuai dengan tujuan hukum pidana modern, yakni untuk melindungi masyarakat dari berbagai kejahatan.90 Berbagai teori, doktrin dan ajaran tentang penemuan hukum di atas sangat dapat membantu dan menujukan arah kepada penulis dalam menjawab isu hukum yang diteliti. Langkah awal sederhana, yang dapat dilakukan dalam menjawab isu hukum guna menemukan kedudukan rekaman CCTV dalam Alat-alat Bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP adalah menelaah sejarah terbentuknya KUHAP dan Sejarah CCTV itu sendiri. Dalam hal ini interpretasi historis adalah metode yang tepat untuk itu. Interpretasi historis sendiri ada dua jenis lagi, yaitu: interpretasi menurut sejarah undang-undang; dan interpretasi menurut sejarah hukum. Interpretasi menurut sejarah undang-undang penulis anggap lebih relevan dengan isu yang hendak diteliti, ini disebabkan karena hal tersebut lebih sederhana daripada interpretasi menurut sejarah hukum yang berusaha memahami sejarah undang-undang dalam konteks seluruh sejarah
hukum,
bukan
hanya
sekedar
meneliti
sejarah
hinggga
terbentuknya undang-undang itu saja, melainkan juga masih terus diteliti lebih panjang proses sejarang yang mendahuluinya. Hal ini penulis anggap
90
Ibid, hlm. 84.
58
tidak diperlukan sebab isu hukum yang hendak dijawab hanya sebatas kedudukan sesuatu dalam pasal-pasal undang-undang. Interpretasi menurut undang-undang (wetshistorisch) sendiri adalah mencari maksud dari perundang-undangan itu seperti apa yang dilihat oleh para pembuat undang-undang ketika undang-undang itu dibentuk. Jadi, dalam metode interpretasi ini, kehendak pembuat undang-undang yang dianggap menentukan. Sehingga jika dihubungkan dengan isu hukum yang hendak dijawab, hal ini dapat kita lihat melaui sejarah KUHAP dan Sejarah CCTV. KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) yang diundangkan melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 telah jelas kapan ditetapkan oleh pembentuk undang-undang. Jika dikaitkan dengan sejrah CCTV sebagaimana diuraikan pada awal bab ini, bahwa Di Indonesia sendiri, penggunaan CCTV baru mulai dikenal pada tahun 1995, memang penggunaan CCTV sendiri masih terbatas pada bank-bank serta pertokoan besar. Selanjutnya penggunaan CCTV mulai berkembang pesat paska kerusuhan Mei 1998, dan instansi kepolisian mulai menerapkan penggunaan Vidoe surveillance / kamera pengawas / CCTV di ruang publik sejak pertengahan 2004-an, namun masih terbatas pada pemantauan lalu lintas.91 Dari analisis dua kondisi tersebut, tanpa menelaah sumber berupa surat-surat dan pembahasan di lembaga legislatif ketika KUHAP dalam proses penggodokan, dapat kita memahami bahwa pembentuk KUHAP sejak awal tidak memiliki maksud menjadikan CCTV sebagai 91
Loc Cit, http://www. Mengenal Sejarah CCTV.htm// diakses pada 20 November 2016, pukul 20.00 wita.
59
alat bukti yang diatur dalam Pasal 184. Hal ini jelas karena kemunculan CCTV di Indonesia lebih muda dan merupakan fenomena yang lahir jauh setelah KUHAP ditetapkan sebagai undang-undang. Namun metode interpretasi historis mengandung kelemahan, beberapa
ahli
mengemukakan
bahwa
interpretasi
historis
dapat
menggunakan masa kini hanya sebagai pelengkap masa lalu dan tidak lagi memperhatikan perkembangan lebih lanjut masa depan. Jelas bahwa metode ini tidak dimaksudkan untuk dapat menampung situasi konkret yang tidak dipikirkan oleh pembentuk undang-undang saat penggododkan undang-undang. Sehingga metode ini bukanlah langkah yang menentukan untuk menemukan jawaban atas isu hukum yang diteliti. Terlebih lagi penulis tidak memiliki cukup sumber untuk melakukan telaah lebih mendalam dengan metode ini. Sebagaimana sering disebutkan sebelumnya bahwa Pasal 184 ayat KUHAP telah mengatur secara limitatif alat bukti yang dapat digunakan oleh hakim dalam menilai bersalah atau tidaknya terdakwa, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Untuk menemukan jawaban bagaimana KUHAP mendudukan Rekaman CCTV ke dalam alat-alat bukti tersebut, penulis menganggap perlu untuk menggolongkan alat-alat bukti tersebut terlebih dahulu. William R. Bell membagi bukti menjadi tujuh kategori:92
92
Eddy O.S Hiariej, Op Cit, hlm.54-55. Dikutip dari William R. Bell, hlm. 115-117.
60
1) Direct evidence atau bukti langsung, yaitu bukti secara langsung mengenai suatu fakta. 2) Circumtantial evidence atau bukti tak langsung, yaitu bukti yang secara tidak langsung menunjuk suatu fakta, namun bukti tersebut dapat merujuk pada kejadian yang sebenarnya. 3) Subtitute evidence yaitu bukti yang tidak perlu dibuktikan secara langsung ataupun tidak langsung karena menyangkut hal yang sudah menjadi pengetahuan umum atau pengetahuan hukum. 4) Testimonial evidence atau bukti kesaksian. Bukti kesaksian ini dibagi menjadi tiga, yaitu: (a) kesaksian atas fakta yang sesungguhnya (factual testimony); (b) pendapat atas kesaksian (opinion testimony) dan (c) pendapat ahli (expert opinion). 5) Real evidence yaitu objek fisik dari suatu yang berkaitan dengan kejahatan. Dalam beberapa literatur real evidence diartikan sama dengan physical evidence yang dalam konteks hukum pidana Indonesia disebut dengan istilah “barang bukti”. 6) Demonstrative evidence, yaitu bukti yang digunakan untuk menjelaskan fakta-fakta di depan pengadilan oleh penyidik. 7) Dokumentary evidence, yaitu bukti yang meliputi tulisan tangan, surat, fotografi, transkrip rekaman dan alat bukti tertulis lainnya. Merujuk pada istilah di atas, penulis menganggap bahwa alat-alat bukti dalam KUHAP terlebih dahulu dapat digolongkan ke dalam istilahistilah tersebut guna menemukan relevansi dengan proposisi yang lain,
61
yaitu rekaman CCTV. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran dan klasifikasi alat-alat bukti berdasarkan bentuk dan cara memeriksanya. Dari pengamatan penulis, dari lima alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, tiga diantaranya dapat digolongkan ke dalam alat bukti kesaksian (testimonial evidence), yaitu keterangan saksi, keterangan ahli dan keterangan terdakwa. Mengenai rekaman CCTV, sebagaimana diketahui bahwa rekaman CCTV merupakan alat bukti eletronik, yaitu informasi yang disimpan secara eletronik, dan dengan media penyimpanan yang berbentuk fisik, penulis menggolongkannya sebagai real evidence atau physical evidence. Namun materi atau informasi yang dimuat oleh rekaman CCTV umunya adalah rekaman tentang peristiwa dan menggambarkan langsung faktafakta, maka rekaman CCTV dapat juga dikategorikan sebagai Direct evidence atau bukti langsung. Berbeda dengan bukti kesaksisan yang tentu saja harus diperoleh langsung dari subjek hukum (orang), yang keterangannya harus diperdengarkan langsung di depan sidang pengadilan dan diperiksa langsung oleh majelis hakim dengan cara melontarkan pertanyaan-pertanyaan, namun rekaman CCTV sebagai bukti dokumenter justru memilki beberapa persamaan dengan real evidence, yaitu bendabenda berwujud dan biasa disebut bukti yang berbicara untuk diri sendiri (speaks for it self). Beberapa ahli hukum menggolongkan rekaman CCTV sebagai physical evidence, yang menurut HIR disebut barang bukti.93
93
Ibid.
62
Namun jika merujuk pada HIR tentang kriteria “barang bukti”, Rekaman CCTV tidak dapat dikatakan sebagai “barang bukti”. Penulis berpendapat bahwa rekaman CCTV merupakan bukti yang memiliki ciri khusus yang tidak dapat disamakan dengan jenis bukti lainnya. Dari uraian tersebut, setidaknya dapatlah diperoleh pemahaman bahwa rekaman CCTV tidak dapat digolongkan sebagai keterangan saksi, keterangan ahli maupun keterangan terdakwa. Akan tetapi, untuk memeperoleh pemahaman yang lebih normatif, dapat diperoleh jawaban melalaui telaah dan penafsiran terhadap pasal-pasal dalam KUHAP yang mengatur setiap alat bukti tersebut. Pengaturan mengenai alat bukti dalam KUHAP meliputi masalahmasalah sebagai berikut:94 1. Alat-alat bukti, artinya alat-alat bukti macam apa yang dapat digunakan untuk megunakan dalam menentukan bersalah atau tidaknnya terdakwa, disini memuat definisi dan bentuk alat bukti itu sendiri. 2. Pengaturan pembuktian, artinya peraturan-peraturan cara bagaimana hakim boleh menggunakan alat-alat bukti itu (cara menyumpah saksisaksi, cara pemeriksaaan saksi dan terdakwa, pemberian alasan-alasan pengetahuan pada kesaksianm, dan lain-lain). 3. Kekuatan alat-alat bukti, artinya ketentuan banyaknya alat bukti-alat bukti yang harus ada untuk dapat menjatuhkan pidana (misalnya
94
Andi Sofyan & Abd. Asis, Op Cit, hlm. 232.
63
keterangan terdakwa itu hanya merupakan alat bukti yang sah pabila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 189 KUHAP). Berdasarkan pembagian tentang ketentuan-ketentuan masingmasing alat bukti dalam KUHAP tersebut, dapat dijadikan indikator dalam mengetahui peluang diinduksinya rekaman CCTV ke dalam alat-alat bukti tersebut, terutama ketentuan mengenai defenisi masing-masing alat bukti. Berikut hasil tinjauan penulis dalam menghubungkan alat-alat bukti dalam KUHAP dengan rekaman CCTV. a. Rekaman CCTV dan Alat Bukti Keterangan Saksi Dimulai dengan keterangan saksi, untuk mengetahui kaitan alat bukti ini dengan rekaman CCTV, dapat ditinjau terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan keterang saksi dalam KUHAP. Maka perlu dikemukakan istilah-istilah berikut: a) Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan , penuntutan, dan peradilan tentang suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan alami sendiri (Pasal 1 angka 26 KUHAP). b) Keterangan saksi menurut Pasal 1 angka 27 KUHAP adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan penyebutan alasan dari pengetahuannya itu.
64
Hanya dengan defenisi tersebut, tanpa menelaah lebih jauh mengenai syarat dan penilaian keterangan saksi ataupun nilai dan kekuatan pembuktian keterangan saksi, telah dapat disimpulkan bahwa rekaman CCTV tidak dapat diangggap sebagai keterangan saksi. Sebab sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa rekaman CCTV adalah alat bukti eletronik yang berbicara untuk diri sendiri (speaks for it self). Satu kesamaan penting antara keterangan saksi dan rekaman CCTV adalah materi atau informasinya yang menunjuk langsung pada faktafakta tentang peristiwa pidana. b. Rekaman CCTV dan Alat Bukti Keterangan Ahli Selanjutnya, sama halnya dengan keterangan saksi, untuk mengetahui adakah hubungan antara keterangan ahli dengan rekaman CCTV, juga perlu dikemukakan defenisi beberapa istilah sebagai acuan. Istilah-istilah mengenai keterangan ahli dapat diuraikan sebagai berikut: a) Menurut Pasal 1 angka 28 KUHAP, bahwa “Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.” b) Menurut Pasal 186 KUHAP, bahwa Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan Jika kembali mengacu pada bentuk rekaman CCTV sebagai alat bukti eletronik, jelas bahwa rekaman CCTV juga tidak dapat digolongkan dalam keterangan ahli.
65
c. Rekaman CCTV dan Keterangan Terdakwa Mengenai keterangan terdakwa, menurut Pasal 189 KUHAP, bahwa yang dimaksud dengan alat bukti berupa keterangan terdakwa, adalah: (1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. (2) Keterangan terdakwa hanya bisa digunakan terhadap dirinya sendiri. Dari defenisi di atas lagi-lagi tidak ditemukan relevansi anatara alat bukti keterangan terdakwa dengan rekaman CCTV sebagai alat bukti eletronik. Kesulitan menginduksi rekaman CCTV ke dalam salah satu dari tiga alat bukti di atas disebabkan oleh hal-hal sebagaimana penulis utarakan sebelumnya, diantanya perbedaan mendasar terhadap bentuk dan sifat serta cara pengajuan alat bukti dipersidangan, diamana ketiga alat bukti di atas adalah bukti kesaksian (testimonial evidence) yang hanya dapat dilakukan dengan tanya jawab secara langsung oleh hakim dengan subjek hukum, dalam hal ini orang. Sedangkan rekaman CCTV adalah bukti dokumenter yang dapat diajukan secara otonom dan dapat berbicara untuk diri sendiri (speaks for it self). d. Rekaman CCTV dan Alat Bukti Surat Alat bukti selanjutnya adalah surat, menurut Pasal 187 KUHAP, yang dimaksud dengan surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat
66
(1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah: a.
Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, serta dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
b.
Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundangundangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya yang diperuntukan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c.
Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau suatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;
d.
Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. Jadi contoh-contoh dari alat bukti surat itu adalah berita acara
pemeriksaan (BAP) yang dibuat oleh polisi (penyelidik/penyidik), BAP pengadilan, berita acara penyitaan (BAP), surat perintah penanggkapan (SPP), surat izin penggeledahan (SIP), dan lain sebagainya.95 Sebenarnya untuk menemukan kaitan antara alat bukti surat dan
95
Ibid, hlm.264.
67
rekaman CCTV, cukup dengan mengetahui defenisi alat bukti surat itu sendiri, guna memperoleh gambaran bentuk sari alat bukti tersebut, sehingga dapat tergambar relevansi antara keduanya, sebab berabagai urai mengenai surat di atas tidak menunjukan hubungan sedikitpun dengan rekaman CCTV. Menurut Sudikno Mertokusumo,96 bahwa alat bukti tertulis atau surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran dan digunakan sebagai pembuktian.” Dari defenisi itu jelas bahwa surat harus beruapa tanda-tanda baca atau tulisan, sedangkan rekaman CCTV adalah dokumen eletronik yang menangkap dan menyimpan suatu peristiwa yang dapat ditampilkan secara visual. Jelaslah bahwa rekaman CCTV tidak dapat dikategorikan sebagai surat. e. Rekaman CCTV dan Alat Bukti Petunjuk Adapun mengenai petunjuk, menurut Pasal 188 KUHAP ayat (1), bahwa yang dimaksud dengan alat bukti petunjuk adalah “Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuainnnya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.” Uraian tersebut awalnya memberi harapan pada penulis tentang dapat diakomodirnya rekaman CCTV sebagai alat bukti petunjuk, sebab
96
Ibid.
68
terkesan lebih “abstrak” serta terdapat frasa “kejadian atau keadaan” yang
tentu
saja
menerangkannya.
menurut Akan
tetapi
penulis asumsi
rekaman awal
CCTV penulis
dapat tersebut
terbantahkan dengan ketentuan pada ayat dua (2) pasal tersebut, yang berbunyi “Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari: a. Keterangan saksi; b. Surat; c. Keterangan terdakwa. Ketentuan pada Pasal 188 ayat (2) tersebut menegaskan bahwa alat bukti petunjuk hanyalah akumulasi logis dari alat bukti lainnya, dan harus bersumber dari tiga alat bukti sebagaiamana dimaksud, berupa keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Maka menjadi jelaslah bahwa rekaman CCTV tidak dapat dikategorikan sebagai petunjuk, sebab ketiga alat bukti yang dapat menjadi sumber diperolehnya petunjuk tidak mengakaui rekaman CCTV sebagai bagian darinya. Kesulitan menginduksi rekaman CCTV ke dalam alat-alat bukti sebagaiamana diatur dalam Pasal 184 KUHAP melalui atau dengan penafsiran gramatkal seperti diuraikan di atas sebenarnya lebih disebabkan pada kenyataan bahwa pembentuk undang-undang saat itu tidak memprediksi fenomena ini akan muncul di masa sekarang. Jelaslah kebenaran ungkapan Potralis97, bahwa “Undang-undang, sekali ditulis, 97
Peter Mahmud Marzuki, Loc Cit, hlm. 187.
69
tetap seperti apa yang ditulis. Sebaliknya, manusia tidak pernah berhenti bergerak”. Ungkapan dan fenomena ini menunjukan bahwa setiap undangundang punya masa berlaku dan tidak abadi. Senada dengan uraian di atas, Andi Sofyan & Abd. Asis98 mengemukakan bahwa setelah memasuki usia kurang lebih 25 tahun berlakunya KUHAP, telah muncul sesuatu keinginan agar KUHAP dapat segera direvisi kerena tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan sebagaimana pada saat diundangkan. Ketika praktik peradilan Indonesia menggunakan telekomferensi dan ketika munculnya undang-undang baru, seperti Undang-undang
Pengadilan
Hak
Asasi
Manusia,
Undang-undang
Pencucian Uang, Undang-undang Terorisme dan lain sebagainya, kita tidak membantah munculnya berbagai keluhan dan kritik yang ditujukan kepada KUHAP karena KUHAP dinilai tidak sesuai lagi dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan masyarakat Indonesia, termasuk alat-alat bukti yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Ada
bebrapa
hal
mengangkut
teknologi
yang
langsung
mempengaruhi hukum pidana dan hukum acara pidana misalnya kemajuan teknologi komputer yang sangat pesat. Menjadi persoalan adalah apakah data komputer, program komputer, SMS, internet, faksimili, email termasuk dalam pengertian surat? Jika ya, maka mesti ada alat buktidi dalam KUHAP berupa surat harus diperluas pengertiannya, sehingga
98
Andi Sofyan & Abd. Asis, Op Cit, hlm 26.
70
mencaukup semua perkembangan tadi.99 Dan yang tak kalah menuai tanda tanya besar bagi penulis adalah kedudukan rekaman CCTV dalam pembuktian sebagaimana menjadi isu hukum dalam penelitian ini. Menghadapi perkembangan teknologi tersebut, sudah barang tentu ada benarnya untuk mengatakan sebagian rumusan dan standar KUHAP sudah kurang mampu menampung dan menjembatani permasalahan kongkret yang muncul di hadapan kita.100 Berdasarakan telaah yang dilakuakan penulis tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa secara historis dan gramatikal KUHAP tidak mengakui adanya rekaman CCTV sebagai alat bukti sah, atau dengan kata lain rekaman CCTV tidak tergolong dalam alat-alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. C. Rekaman CCTV sebagai Tambahan Alat Bukti untuk Menguatkan Keyakinan Hakim Jelaslah dengan berbagai metode interpretasi sebagaimana diuraikan sebelumnya rekaman CCTV bukan merupakan alat bukti sah menurut KUHAP, namun penggunaan rekaman CCTV untuk diajukan dihadapan persidangan dan majelis hakim tak dapat dihindari. Sebab penuntut umum maupun
kuasa
hukum
terdakwa
memiliki
tanggung
jawab
untuk
membuktikan argumentasi masing-masing dengan berbagai cara, sekalipun hal itu “tidak” atau “belum” diatur dalam undang-undang. Mungkin para praktisi hukum itu berpegang pada pandangan bahwa “dalam pembuktian, 99
Ibid, hlm. 51. Ibid.
100
71
melakukan sesuatu yang tidak ditentukan oleh undang-undang masih dimungkinkan selama tidak melanggar ketentuan itu sendiri”. Sehingga untuk tetap menjaga agar tidak terjadi pengabaian terhadap “kepastian hukum”, perlu dilakukan upaya penafsiran yang lebih fleksibel guna memberi kedudukan yang jelas terhadap rekaman CCTV dalam pembuktian pada sidang pengadilan. Untuk itu penalaran logis sangat diperlukan untuk menjawab isu tersebut. Penulis menganggap hal ini sebuah upaya penafsiran secara ekstensif, teleologis bahkan mengandung unsur analogi guna menampung situasi kongkret ke dalam ketentuan undangundang. Mengingat hal ini adalah upaya yang lebih mengarah pada perluasan makna dalam ketentuan undang-undang untuk menyesuaikannya situasi kongkret, maka acuan dari penafsiran ini adalah fenomena ini sendiri (kasuistis). Dalam hal rekaman CCTV tidak dapat dapat dikatakan sebagai alat bukti sah menurut KUHAP, ternyata rekaman CCTV dalam penggunaannya di sidang pengadilan masih dimunkinkan dan tidak melanggar ketentuan dalam KUHAP. Mengenai hal ini Yahya Harahap, memberikan gambaran yang dapat memberikan pencerahan mengenai masalah ini, sekalipun upaya ini berbau metode kontruksi ataupun analogi. Namun demi melengkapi hasil penelitian ini dan memperluas khazanah dan ruang lingkup untuk memperoleh pemahaman yang lebih komperensif, perlu pendekatan empiris dalam penelitian ini.
72
1.
Rekaman CCTV sebagai Tambahan Alat Bukti Sah Yahaya Harahap,101 memakai istialah “tambahan” alat bukti serta “dapat menguatkan keyakinan hakim.” Hal ini dapat ditemukan dalam uraiannya mengenai “nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi” terkhusus tentang “keterangan yang diberikan ‘tanpa sumpah’. Dari uraian tersebut, dengan tetap berpegang pada ketentuan Pasal 161, ia mengemukakan bahwa keterangan saksi yang diberikan tanpa sumpah, bukan merupakan alat bukti. Namun Pasal 161 ayat (2) menilai keterangan tersebut “dapat menguatkan keyakinan hakim” apabila pembuktian yang ada telah memenuhi batas minimum pembuktian. Lebih jauh mengenai nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi yang diberikan tanpa sumpah, kalau bertitik tolak dari ketentuan Pasal 161 ayat (2) dihubungkan dengan Pasal 185 ayat (7), keterangan tersebut dapat bernilai dan dipergunakan sebagai “tambahan alat bukti” yang sah lainnya, sepanjang keterangan saksi yang dibacakan mempunyai “saling persesuaian” dengan alat bukti yang sah tersebut dan alat bukti yang telah ada serta telah memenuhi batas minimum pembuktian.102 Keadaan keterangan saksi yang diberikan tanpa sumpah sekurangkurangnya dapat dipersamakan dengan rekaman CCTV di sidang pengadilan, bahwa mengingat penggunaan rekaman CCTV tidak dapat dihindarkan lagi, meskipun bukan merupakan alat bukti sah menurut KUHAP, namun rekaman CCTV tetap dapat memberi kontribusi dalam
101 102
Yahya Harahap, Op Cit, hlm. 292. Ibid.
73
pencapaian tujuan hukum acara pidana tanpa harus melanggar ketentuan dalam KUHAP. Yaitu dengan menempatkan rekaman CCTV sebagai “tambahan” menyempurnakan kekuatan pembuktian alat bukti yang sah.Beberapa ahli hukum menyebutkannya dengan istilah colaborate evidence. Dengan kata lain, rekaman CCTV harus “melekat” pada alat bukti yang sah agar bernilai sebagai tambahan alat bukti sehingga dapat “menguatkan keyakinan hakim”. Apalagi materi yang ditampilkan rekaman CCTV dipersidangan sejatinya sama dengan apa yang hendak diketahui oleh hakim melalui keterangan saksi, yaitu tentang bagaimana suatu peristiwa pidana terjadi. Jadi rekaman CCTV dapat digunakan oleh saksi untuk memperkuat dan mempertegas kebenaran dari keterangannya di depan hakim. Ketentuan serupa menurut penulis dapat diterapkan pada alat bukti sah lainnya yang merupakan bukti kesaksian (testimonial evidence) yaitu keterangan ahli maupun keterangan terdakwa. Contoh kongret dari hal ini dapat kita temukan dari persidangan Kasus Pembunuhan Almarhumah I Wayan Mirna Salihin dengan terdakwa Jessica Kumala Wongso. Tak dapat dipungkiri bahwa proses pembuktian dalam sidang kasus tersebut banyak mengahdirkan ahli-ahli dengan berbagai disiplin ilmu sebagai ilmu bantu dalam mencapai tujuan pembuktian. Satu diantaranya ahli psikologi yang diminta memberikan keterengan mengenai gelagat dan gerak-garik terdakwa saat sebelum dan sesudah tragedi berlangsung. Dalam proses pembuktian tersebut, ahli
74
memberi keterangannya dengan menggunakan media rekaman CCTV untuk memperkuat argumentasinya. Sebab objek dari pengamatannya yang kemudian menjadi bahan keterangannya di depan sidang adalah peristiwa yang telah lampau, dan disinilah peran CCTV terlihat sangat penting. Penggunaan rekaman CCTV sebagai tambahan alat bukti jelas juga berlaku untuk alat bukti keterangan terdakwa, sebab ada atau tanpa rekaman CCTV, terdakwa adalah pihak yang paling diberi kelonggaran untuk menyanggah keterangan saksi yang memberatkannya dengan berbagi alibi. Dan untuk memperkuat alibinya, tersangka sangat dapat menggunakan rekaman CCTV saat menyampaikan keterangannya di depan persidangan guna memperkuat argumentasinya. Berdasarkan telaah di atas, rekaman CCTV sangat mungkin didudukan
sebagai
“tambahan
alat
bukti
sah”
maupun
untuk
“mengutakan keyakianan hakim” selama rekaman CCTV melekat pada alat bukti yang sah. Jadi, rekaman CCTV tetap bukanlah alat bukti yang sah menurut KUHAP, karena sekalipun rekaman CCTV dapat menyempurnakan alat bukti sah seperti keterangan saksi, namun rekaman CCTV tetap bukanlah keterangan saksi itu sendiri, dan tidak bernilai jika tidak melekat pada salah satu alat bukti sah. Selain sebagai alat tambahan alat bukti yang melekat pada alat bukti kesaksian, rekaman CCTV juga dapat dikategorikan sebagai alat bukti surat, dengan catatan rekaman CCTV harus dirubah metode out put
75
atau cara pengajuannya. Yakni tidak dengan diputar pada layar monitor untuk dipertontonkan di muka persidangan, namun dengan di print out pada kertas, terkusus pada momen atau detik-detik penting dalam peristiwa yang terekam oleh CCTV. Hal ini dimunkinkan, karena rekaman video sejatinya adalah akumulasi dari gambar-gambar yang ditangkap dengan kecepatan tinggi dan diputar dengan tempo yang konstan, apalagi jika teknologi penyimpanan gambar yang diguanakan adalah Casete Video Recorder (CVR).103 Jadi rekaman CCTV dapat diurai menjadi potongan-potongan gambar yang berurutan, yang dapat dicatak pada kertas atau media sejenis. Namun
mengingat
ketentuan
mengenai
alat
bukti
surat
sebagaiamana diatur pada Pasal 187 KUHAP memberi pembatasanpembatasan, yakni surat haruslah surat resmi yang dibuat pejabat umum yang berwenang membuatnya, atau surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perudang-udangan, atau surat keterangan dari ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya, ataupun surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian lain. Maka menjadi sangant penting untuk berhati-hati dalam menilai keabsahan surat yang dibuat dengan cara sepeti diuraikan di atas. Munkin yang dapat dijadikan contoh surat dari hasil print out rekaman CCTV adalah, surat keterangan dari ahli telematika yang memberi pendapatnya tentang keaslian gambar yang d dalam surat itu terlampir
103
http//www. bintang surya cctv.htm// diakses pada 27 Desember 2016 pukul 20.00 wita.
76
gambar yang dimaksud. Jadi gambar-gambar hasil cetak dari rekaman CCTV dapat mudah diajukan dan dapat memenuhi syarat formil jika menjadi lampiran dari jenis-jenis surat sebagaimana disebutkan Pasal 187 KUHAP. 2. Rekaman CCTV dan Keyakinan Hakim Terkhusus dan lebih jauh mengenai peran rekaman CCTV dalam memberikan keyakianan hakim, penulis memberi perhatian lebih untuk menelaahnya lebih jauh. Mengenai hal ini, terkait dengan penerapan dan kecenderungan
sistem
pembuktian
KUHAP,
Yahya
Harahap104
mengemukakan bahwa: “Yang menonjol dalam pertimbangan putusan adalah penilaian keyakinan tanpa menguji dan mengaitkan keyakianan itu dengan cara dan dengan alat-alat bukti sah. Sebaliknya sering pula dijumpai pertimbangan putusan yang mendasarkan penilaian salah atau tidaknya terdakwa, semata-mata pada sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Motivasi pertimbangan hukum membuktikan kesalahan terdakwa, tidak diwarnai dan tidak dipadu dengan keyakinan hakim. Jarang sekali dijumpai uraian pertimbangan yang secara sistematis dan argumentatif mengaitkan dan memadukan keterbuktian kesalahan terdakwa dengan keyakianan hakim. Sehingga praktek penegakan hukum masa yang akan akan lebih cenderung pada pendekatan sistem pembuktian menurut undangundang secara positif. Padahal Pasal 183 KUHAP berisi penegasan sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Dan tidak dibenarkan menghukum seorang terdakwa yang kesalahannya tidak terbukti secara sah menurut undangundang. Serta keterbuktian itu harus digabung dan didkung oleh keyakinan hakim.” Berdasarkan hal tersebut, penulis berpendapat bahwa disinilah peran rekaman CCTV, agar keyakinan hakim tidak hanya bersifat “unsur
104
Yahya Harahap, Op Cit, hlm. 281-282.
77
pelengkap” atau complementary dan tidak sekedar berwarna sebagai unsur formal dalam model putusan. Serta agar unsur keyakinan hakim dalam praktek tidak dikesampingkan apabila keyakinan itu tidak dilandasi oleh pembuktian yang cukup. Rekaman CCTV sekalipun hanya berperan sebagai bukti “tambahan”, namun tidak mengurangi perannya dalam memunculkan dan menguatkan keyakinan hakim, sebab meskipun keyakinan hakim adalah subjektifitas hakim. Namun sebagai manusia biasa, ada kesadaran objektif yang berpengaruh pada keyakinan setiap hakim. Dengan kata lain, jika sesuatu bisa meyakinkan banyak orang yang berpandangan objektif, besar kemunkinan hakim yang juga berpikir objektif pun akan teryakinkan oleh hal tersebut. Rekaman
CCTV
dengan
berbagai
keunggulannya
dalam
menujukan gambaran tentang suatu peristiwa, akan sangat sulit untuk tidak meyakininya sebagai kebenaran. Apalagi rekaman itu telah teruji keasliannya atau “orisinil” serta memiliki sudut pandang idel dalam merekam suatu peristiwa. Jadi kualitas pembuktian rekaman CCTV lah yang berperan besar dalam menguatkan keyakinan hakim. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Yahya Harahap105 bahwa “kekuatan pembuktian tidak tergantung pada kuantitas, tetapi kualitas. Jelaslah bahwa rekaman CCTV yang berkualitas akan sangat berpengaruh dalam “menguatkan keyakianan hakim.”
105
Ibid, hlm. 341.
78
3. Nilai
dan
Kekuatan
Pembuktian
Rekaman
CCTV
sebagai
Tambahan Alat Bukti Mengenai nilai dan kekuatan pembuktian dari rekaman CCTV sebagai tambahan alat bukti, sebagaimana keterangan saksi yang diberikan tanpa sumpah yang bukan merupakan alat bukti sah, penjelasan Pasal 171 telah menentukan pembuktian yang melekat pada keterangan demikian, “dapat” dipakai sebagai “petunjuk”.106 Namun penggunan rekaman CCTV sebagai petunjuk lebih dikarenakan pada kedudukannya yang melekat pada keterangan saksi maupun keterangan terdakwa. Sebab keterangan saksi ataupun terdakwa yang ditunjang dan disempurnakan oleh rekaman CCTV akan menjadi satu kesatuan, sehingga secara bersama-sama dapat digunakan sebagai petunjuk oleh hakim, dengan syarat yang juga berlaku bagi keterangan saksi yang diberikan tanpa sumpah, yaitu: a) Harus lebih dulu telah ada alat bukti yang sah, atau harus melekat pada alat bukti yang sah; b) Alat bukti yang sah itu telah memenuhi batas minimum pembuktian, yakni telah ada sekurang-kurangnnya dua alat bukti sah; c) Kemudian antara rekaman CCTV dengan alat bukti yang sah, terdapat saling persesuaian.
106
Ibid, hlm. 293.
79
Hal ini tidak bertentangan atau telah sesuai dengan ketentuan Pasal 188 ayat (2), bahwa petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Pertanyaan selanjutnya yang dapat dikemukakan lagi yaitu, kembali seperti halnya pada keterangan saksi yang diberikan tanpa sumpah. Apakah hakim terikat untuk mempergunakan rekaman CCTV yang melekat pada alat bukti sah tersebut? Jawabannya, sebagaimana keterangan saksi yang diberikan tanpa sumpah, hakim sama sekali tidak terikat untuk mempergunakan rekaman CCTV, tergantung kepada penilaian hakim, dalam arti:107 1) Hakim
“bebas”
untuk
mempergunakannya.
Ia
“dapat”
memepergunakannya tapi sebaliknya dapat mengesampingkannya. 2) Hakim tidak terikat untuk menilainya. Ia dapat menilai dan dapat diperguanakan sebagai tambahan alat bukti atau menguatkan keyakinan hakim maupun sebgai petunjuk. Dengan kata lain, tidak ada kewajiban mesti menilainya. D. Rekaman CCTV Sebagai Alat Bukti Eletronik Menurut UU ITE Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa Rekaman CCTV adalah suatu dokumen eletronik, sehingga dikategorikan sebagai alat bukti eletronik. Sebagai salah satu alat bukti eletronik, rekaman CCTV telah diakui sebagai alat bukti sah di beberapa undang-undang tentang tindak pidana khusus, yaitu Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana
107
Ibid, hlm. 294.
80
Korupsi, Undang-Undang tentang Terorisme serta Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Disamping itu, ternyata alat bukti eletronik diakomodir pula oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Eletronik, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 5 sebagai berikut: (1) Informasi eletronik dan atau dokumen eletronik dan atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah. (2) Informasi eletronik dan atau dokumen eletronik dan atau hasil cetaknya merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara Yang berlaku di Indonesia. (3) Informasi eletronik dan atau dokumen eletronik dinyatakan sah apabila menggunakan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini. (4) Ketentuan mengenai informasi eletronik dan atau dokumen eletronik tidak berlaku untuk hal-hal sebagai berikut: a. Surat yang menurut undang-undang harus dibuat secara tertulis. b. Surat beserta dokumennya yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notaris atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta. Berdasarkan ketentuan tersebut jelaslah bahwa Rekaman CCTV sebagai informasi dan atau dokumen eletronik adalah alat bukti sah selama digunakan menurut undang-undang ini.
81
E. Penerapan Rekaman CCTV Sebagai Alat Bukti Sah pada Sidang Pengadilan Tindak Pidana Umum Pertanyaan selanjutnya guna melengkapi jawaban atas isu hukum dalam penelitian ini adalah, dapatkah rekaman CCTV sebagai alat bukti eletronik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 diterapkan sebagai alat bukti sah yang setara dengan alat-alat bukti dalam Pasal 184 KUHAP pada sidang pengadilan tindak pidana umum? Jawaban inilah yang kemudian menjadi tujuan dilakukannya penelitian ini, guna menghasilkan preskripsi yang berlandaskan pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan dapat diterapkan dalam praktik peradilan di negara kita. Mengenai Sah atau tidaknnya Rekaman CCTV sebagai alat bukti eletronik digunakan sebagai alat bukti guna melengkapi alat-alat bukti pada Pasal 184 KUHAP, yang penerapannya tidak hanya pada tindak pidana khusus tetapi juga berlaku bagi tindak pidana umum yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP). Perlu dilihat kembali ketentuan Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 yang berbunyi “Informasi dan atau dokumen eletronik atau hasil cetaknya merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia”. Berdasarkan ketentuan tersebut, nampak bahwa ada kesadaran dari pembentuk undang-undang akan perkembangan teknologi yang berdampak pada berkembangnnya modus kejahatan, sehingga memerlukan upaya pembuktian yang sesuai dan mengikuti perkembangan tersebut.
82
Namun Hakim di sidang pengadilan tindak pidana umum, dalam menerapkan Rekaman CCTV sebagai alat bukti sah harus dengan landasan yuridis
yang
logis
dan
tidak
terkesan
sewenang-wenang,
karena
bagaimanapun juga isu hukum ini masih debateble. Disinilah perlunya dilakukan interpretasi sistematis sebagai salah satu jenis interprestasi yang dalam keterikatannya dengan undang-undang, selain dua jenis interpretasi sebelumnya yaitu interpretasi historis dan garamatikal. Interpretasi sistematis adalah metode yang menafsirkan undangundang sebagai bagian keseluruahan sistem perundang-undangan. Jadi, perundang-undangan keseluruhannya dalam suatu negara dianggap sebagai sistem yang utuh.108 Salah satu contoh dari penerapan interpreatsi sistematis ini adalah Putusan HR tanggal 30 Januari 2950, yang intinya berpendapat bahwa:109 “Pasal 1233 BW hanya mengenal perikatan berdasarkan perjanjian dan undang-undang, tetapi kata-katanya dalam pasal ini harus diartikan bahwa dalam hal-hal yang tidak diatur secara tegas oleh undang-undang, pemecahannya harus dicari yang sesuai dengan sistem perundang-undangan dan sesuai pula dengan peristiwaperistiwa yang diatur oleh undang-undang.” Scholten,110
sehubungan
dengan
interpretasi
sistematis
ini
mengungkapkan bahwa “Interpretasi sistematis adalah salah satu bentukbentuk penemuan hukum yang tidak boleh tidak harus ada.” Diamana dalam kaitan itu pula, Pilto111 mengemukakan bahwa interpretasi sistematis erat dengan pandangan yang berpikir organis, yaitu “ yang mencari hubungan 108
Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum Edisi Revisi. Jakarta: Kencana, 2015, hlm. 190. Ibid. 110 Ibid. 111 Ibid, hlm. 180. 109
83
antara ketentuan-ketentuan peraturan perudang-undangan. Lebih jauh Orang yang berpikir organis bisanya berhati-hati dalam dalam pelaksanaan penalaran a fortiori (penerapan ketentuan undang-undang dengan daya guna luas terhadap, keadaan yang lebih khusus). Pengakuan akan pandangan organis dan interpretasi sistematis dalam sistem hukum Indonesia menurut penulis dapat kita temukan pada peraturan peralihan setiap peraturan perundang-undangan yang pada umumnya menegaskan masih belakunya peraturan perudang-undangan yang juga mengatur hal yang sama selama tidak ditentukan lain oleh undang-undang dan belum diganti dengan yang baru. Peraturan peralihan menurut penulis mnegaskan pandangan oranis oleh sistem hukum kita. Hal ini berlawanan dengan pandangan legistis,112 yang melihat ketentuan undang-undang terlepas satu sama lain. Disamping itu, Pasal 5 (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Menurut penulis menegaskan diakuinya penafsiran secara sistematis oleh hakim dalam menjawab mesalahmasalah hukum yang terjadi. Juga dikenalnya asas Lex Specialis derogar legi Generali sebagai prinsip yang menjadi acuan dalam menyelesaikan pertentangan antara peraturan perundang-undangan pada heirarki yang sama,
112
Ibid.
84
menunjukan
saling
keterkaitan
antar
setiap
produk
hukum
dalam
penerapannya. F. Rekaman CCTV Sebagai Alat Bukti pasca Putusan MK Nomor 20/PUUXIV/2016 Baru-baru ini, MK telah memutus permohonan mantan Ketua DPR terkait perkara rekaman suaranya yang dijadikan sebagai bukti (yang bisa sebagai alat bukti ataupun barang bukti) persidangan etika yang kemudian disiarkan secara luas. Rekaman suara tersebut dilakukan melalui perangkat telepon yang menurut kategorinya dapat disebut sebagai informasi/dokumen elektronik dan menjadi “bukti elektronik”. Terkait penyebutannya, menurut aturan baku, harusnya istilah “informasi/dokumen elektronik” disebut “informasi/dokumen
elektronis”
karena
elektronis
mengacu
pada
relevansinya, sedangkan elektronik mengacu pada alatnya.113 Perkara tersebut bermula dari keberatan pihak pemohon atas rekaman suaranya yang dipakai sebagai bukti dugaan adanya semacam ‘persekongkolan’ dengan alasan bahwa informasi/dokumen elektronik termasuk yang berupa rekaman suara, merupakan alat bukti hukum yang sah. Oleh karenanya, MK, melalui Putusan MK Nomor : 20/PUU-XIV/2016 pada tanggal 7 September 2016 lalu, menyatakan bahwa khusus bukti elektronik (informasi/dokumen elektronik) harus dimaknai “sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan
113
http//www. No Man's Land.htm// diakses pada tanggal 1 Desember 2016, pukul 20.00 wita.
85
undang-undang“. Sebagai lembaga sah satu-satunya yang melakukan penafsiran konstitusi (the sole interpreter of constitution) atas legalitas undang-undang, di sini MK melakukan penafsiran sendiri agar tidak terjadi tindakan kewenang-wenangan (tidak sah) terutama oleh aparat penegak hukum dalam mengajukan alat bukti elektronik.114 Ada yang berpendapat bahwa pasca putusan MK tersebut, semua rekaman elektronik (baik berupa suara, gambar, video/CCTV) tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti/barang bukti (tidak sah sebagai alat/barang bukti) apabila bukan dibuat oleh aparat penegak hukum. Pertanyaannya, apakah benar demikian? Bila membaca amar putusan MK diatas, sebenarnya maksud putusannya juga tidak begitu jelas. Artinya, putusan tersebut masih menimbulkan hal yang multitafsir juga, walaupun sudah ditafsirkan final oleh MK. Formulasi amar putusan dimaksud membingungkan. Tanpa melibatkan konteks
(pertimbangan
hakim),
pemahaman
amar
putusan
bisa
menyesatkan.115 Amar putusan: “Frasa
Informasi
Elektronik
dan/atau
Dokumen
Elektronik …….
bertentangan dengan UUD RI Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang…” 114 115
Ibid. Ibid.
86
Dalam
pertimbangannya,
penyadapan/perekaman
merupakan
MK bentuk
menyebutkan pelanggaran
bahwa
privasi
dan
melanggar HAM sehingga harus dilakukan dengan/berdasarkan prosedur yang sah agar tidak terjadi kesewenang-wenangan. Bila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 5(1) di atas, amar putusan tersebut sebenarnya hendak menyatakan bahwa alat bukti hukum (digital/bukti elektronik) yang sah adalah “…alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan dan/atau institusi penegak hukum lainnya”.116 MK memukul rata pengertian dari penyadapan, pokoknya termasuk dengan perekaman. Padahal, penyadapan (informasi elektronik) di sini bukan selalu persoalan perekaman. Sementara, tidak semua perekaman itu illegal jadinya. Tempat umum juga bukanlah ranah berprivasi. CCTV bukanlah alat penyadapan (intersepsi), melainkan alat pengawasan sehingga CCTV bukanlah bagian dari pelanggaran privasi bila berada di tempat umum. Bila dipahami, CCTV adalah perpanjangan dari petugas/security.117 Akhirnya yang dapat dimaknai khusus dalam rangka penegakan hukum, bukti elektronik haruslah yang diperoleh atas permintaan (dimintakan oleh/melibatkan) aparat penegak hukum dan sekali lagi tak ada kaitannya dengan cara pembuatan alat bukti, melainkan siapa yang berwenang untuk mengajukannya. Bagaimanapun, bukti elektronik haruslah yang dapat diverifikasi keutuhannya sehingga yang berwenang melakukannya adalah aparat penegak hukum itu sendiri. Apalagi, apabila perekaman bukti 116 117
Ibid. Ibid.
87
elektronik tersebut tidak bertentangan dengan aturan hukum maupun ketertiban umum. Pendapat bahwa alat bukti elektronik haruslah yang direkam oleh aparat penegak hukum adalah pendapat yang keliru karena amar putusan tersebut tak mengatakan demikian. Orang per orang tidak dapat membawa bukti elektronik diajukan ke pengadilan (atau untuk proses sejenisnya) kalau tanpa permintaan (diminta oleh) aparat penegak hukum, baik itu kepolisian, kejaksaan, hakim maupun aparat penegak hukum lain (dan harusnya juga termasuk advokat). Terhadap hal ini, sepertinya MK masih harus menerangkan tafsiran dari penafsiran mereka sendiri.118 Penulis menilai putusan MK ini merupakan penegasan tentang syarat formal alat bukti rekaman CCTV dalam pembuktian pada sidang pengadilan.
118
Ibid.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Close Circuit Television Recorded (Rekaman CCTV) yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditegasakan secara eksplisit dalam putusan MK Nomor 20/PUU-XIV/2016 adalah alat bukti sah yang dapat digunakan untuk memperoleh keyakinan hakim dalam pembuktian pada sidang pengadilan tindak pidana umum, sebab sebagai informasi yang disimpan secara eletronik rekaman CCTV merupakan alat bukti sah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Eletronik. Dan dengan menggunakan metode penafsiran sistematis serta berpegang pada pandangan organis bahwa keseluruhan peraturan perundang-undang sebagai sistem yang utuh, maka rekaman CCTV sebagai alat bukti eletronik merupakan perluasan dari alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP yang penerapannya tidak hanya terbatas pada tindak pidana khusus, tetapi juga dapat berlaku dalam pembuktian pada sidang pengadilan tindak pidana umum. B. Saran Dalam upaya melakukan pembuktian pada sidang pengadilan tindak pidana umum, hakim sebaiknya tidak terbatas pada alat-alat bukti yang diatur pada Pasal 184 KUHAP, sebab berbagai peraturan perundang-undangan
89
tentang tindak pidana khusus telah memuat berbagai alat bukti baru sebagai jawaban atas perkembangan teknologi yang berdampak pada semakin berkembangnya modus kejahatan serta cara pengungkapan kebenaran oleh penegak hukum. Dimana perkembangan teknologi tersebut tidak hanya berlaku pada tindak pidana khusus namun juga memberi dampak pada pengungkapan kebenaran pada seluruh jenis tindak pidana (khusus maupun umum) yang tentunya menunjang pencapaian tujuan pembuktian dan hukum acara pidana secara menyeluruh.
DAFTAR PUSTAKA A. Literatur Abidin, A. Z. Sejarah dan Perkembangan Asas Oportunitas di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2001. Ali, Ahmad. Menguak Tabir Hukum Edisi Revisi. Jakarta: Kencana, 2015 Chazawi, Adami. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Bandung: Alumni, 2006. Hamzah, Andi. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002. Hukum Acara Pidana Indonesia. Edisi Kedua. Cetakan Kedelapan, Jakarta: Sinar Grafika. 2014. Harahap, M. Yahya. Pembahasan Masalah dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, banding, Kasasi dan Peninjauan kembali) Edisi ke2. Jakarta: Sinar Grafika, 2000. Hiariej, Eddy O.S. Asas Legalitas & Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2009. , Teori & Hukum Pembuktian. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2012. Makarao, Mohammad Taufik. Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004. Manullang E. Fernando M. Menggapai Hukum Berkeadilan: Tinajuan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai. Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2007. Maramis, Frans. Hukum Pidana Umum dan Tertulis Di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2013. Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum Edisi Revisi. Cetakan ke-12, Jakarta: Kencana, 2005. . Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana, 2009.
Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Edisi Kelima. Yogyakarta: Liberty, 2005. Panggabean, H.P. Hukum Pembuktian Teori Praktik dan Yurisrpudensi Indonesia. Bandung: Alumni, 2012. Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Acara Pidana di Indonesia. Bandung: Sumur Bandung, 1977. Sofyan, Andi dan Abd. Asis. Hukum Acara Pidana: Suatu Pengantar. Jakarta: Kencana, 2014. Syahrin, Alvi. Acara Pemeriksaan Perkara Pidana di Pengadilan Negeri. Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 1997. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, , Kamus Besar bahasa Indonesia. Balai Pustaka: Jakarta, 2004. Waluyadi. Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana (Sebuah Catatan Khusus). Bandung: Mandar Maju. B. Peraturan Perundang-undangan Indonesia, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP). , Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman. ,Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Eletronik
C. Sumber Lain http://www.deskripsi.com/m/membuktikan, diakses tanggal 10 Oktober 2016, pukul 23.48 wita. http://www. merdeka.com.htm// diakses pada 20 November 2016, pukul 20.00 wita.
http://www. Mengenal Sejarah CCTV.htm// diakses pada 20 November 2016, pukul 20.00 wita. http://www. Dunia Hukum.htm// diakses pada 6 Desember 2016, pukul 11.30 wita. http//www. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.htm // diakses tanggal 25 November 2016, pukul 16.00 wita. http//www. No Man's Land.htm// diakses pada tanggal 1 Desember 2016, pukul 20.00 wita. http//www. bintang surya cctv.htm// diakses pada 27 Desember 2016 pukul 20.00 wita.