PERBEDAAN PENGARUH WAKTU ISTIRAHAT DAN KEMAMPUAN VO2 MAX TERHADAP KECEPATAN LARI 100 METER PADA SISWA PUTRA KELAS VIII SMP NEGERI 1 TULUNG KABUPATEN KLATEN TAHUN 2009
Skripsi Oleh Agil Arie Suko Pambudi NIM. K 4605010
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010 1
2
PERBEDAAN PENGARUH WAKTU ISTIRAHAT DAN KEMAMPUAN VO2 MAX TERHADAP KECEPATAN LARI 100 METER PADA SISWA PUTRA KELAS VIII SMP NEGERI 1 TULUNG KABUPATEN KLATEN TAHUN 2009
Oleh : Agil Arie Suko Pambudi NIM. K 4605010
SKRIPSI Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi Jurusan Pendidikan Olahraga dan Kesehatan
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
3
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Persetujuan Pembimbing
Pembimbing I
Dra. Hanik Liskustyawati, M.Kes. NIP. 19630608 199010 2 001
Pembimbing II
Waluyo, S.Pd., M.Or. NIP. 19720617 199802 1 001
4
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar sarjana pendidikan.
Pada hari : Tanggal
:
Tim Penguji Skripsi : (Nama Terang)
Ketua
: Drs. Agus Mukholid, M.Pd
Sekretaris
: Drs. Bambang Wijanarko, M.Kes
Anggota I : Dra. Hanik Liskustyawati, M.Kes Anggota II : Waluyo, S.Pd.,M.Or
Disahkan oleh : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Dekan,
Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd. NIP. 19600727 198702 1 001
(Tanda Tangan)
5
ABSTRAK Agil Arie Suko Pambudi. PERBEDAAN PENGARUH WAKTU ISTIRAHAT DAN KEMAMPUAN VO2 MAX TERHADAP KECEPATAN LARI 100 METER PADA SISWA PUTRA KELAS VIII SMP NEGERI 1 TULUNG KABUPATEN KLATEN TAHUN 2009. Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta, Oktober 2009. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui: (1) Perbedaan pengaruh waktu istirahat dengan rasio 1:5 dan 1:10 terhadap kecepatan lari 100 meter pada siswa putra kelas VIII SMP Negeri 1 Tulung Kabupaten Klaten tahun 2009. (2) Perbedaan pengaruh kemampuan VO2 Max tinggi dan kemampuan VO2 Max rendah terhadap kecepatan lari 100 meter pada siswa putra kelas VIII SMP Negeri 1 Tulung Kabupaten Klaten tahun 2009. (3) Ada tidaknya interaksi antara waktu istirahat dan kemampuan VO2 Max terhadap kecepatan lari 100 meter pada siswa putra kelas VIII SMP Negeri 1 Tulung Kabupaten Klaten tahun 2009. Penelitian ini menggunakan metode eksperimen. Populasi penelitian adalah siswa putra kelas VIII SMP Negeri 1 Tulung Kabupaten Klaten tahun 2009. berjumlah 113 siswa terbagi dalam enam kelas. Jumlah sampel yang digunakan sebanyak 40 siswa. Dari sample 40 siswa tersebut, kemudian diklasifikasi atas kemampuan VO2 Max tinggi dan VO2 Max rendah. Teknik pengumpulan data dengan tes dan pengukuran. Untuk mengukur kemampuan VO2 Max dengan lari multitahap (multistage fitness test). Dan tes dan pengukuran kemampuan lari cepat 100 meter. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis varians 2 X 2 dilanjutkan dengan Newman-Keuls. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh simpulan sebagi berikut: (1) Ada perbedaan pengaruh yang signifikan waktu istirahat 1:5 dan 1:10 terhadap kecepatan lari 100 meter pada siswa putra kelas VIII SMP Negeri 1 Tulung Kabupaten Klaten tahun 2009. Dari hasil analisis data menunjukkan Fo = 18.799 > Ft 4.11, dengan selisih perbedaan peningkatan kecepatan lari 100 meter sebensar 0.24. (2) Ada perbedaan pengaruh yang siginifikan antara kemampuan VO2 Max tinggi dan kemampuan VO2 Max rendah terhadap kecepatan lari 100 meter pada siswa putra kelas VIII SMP Negeri 1 Tulung Kabupaten Klaten tahun 2009, dari hasil analisis data menunjukkan Fo = 22.863 > Ft 4.11, dengan selisih perbedaan peningkatan kecepatan lari 100 meter sebesar 0.21. (3) Ada interaksi antara waktu istirahat dan VO2 Max terhadap kecepatan lari 100 meter pada siswa putra kelas VIII SMP Negeri 1 Tulung Kabupaten Klaten tahun 2009. Dari hasil analisis data menunjukkan bahwa Fhitung = 4.788 lebih besar dari Ftabel = 4,11 ( Fhit > Ftabel).
6
MOTTO q
Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri Cina dan sesungguhnya menuntut ilmu itu wajib atas setiap orang Islam. (HR. Ibnu Abdil Barr)
q
Ilmu dapat membuat orang lebih bijaksana, mencegah berbuat aniaya dan membuat yang tak tahu arah menjadi terarah. (Al Imam Al Mawardi)
7
PERSEMBAHAN
Skripsi ini dipersembahkan kepada : Bapak dan Ibu tercinta Kakak dan Adik tersayang Teman-teman Angkatan 2005 JPOK FKIP UNS Almamater
8
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah Nya, sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Disadari bahwa penulisan skripsi ini banyak mengalami hambatan, tetapi berkat bantuan dari beberapa pihak maka hambatan tersebut dapat diatasi. Oleh karena itu dalam kesempatan ini disampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat: 1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Ketua Jurusan Pendidikan Olahraga dan Kesehatan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta. 3. Ketua Program Pendidikan Kesehatan dan Rekreasi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta. 4. Dra. Hanik Liskustyawati, M.Kes. dan Waluyo, S,Pd., M.Or., sebagai pembimbing I dan II yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi. 5. Kepala SMP Negeri 1 Tulung Kabupaten Klaten yang telah memberikan ijin untuk mengadakan penelitian. 6. Siswa putra kelas VIII SMP Negeri 1 Tulung Kabupaten Klaten tahun pelajaran 2009 yang telah bersedia menjadi sampel penelitian. 7. Semua pihak yang telah membantu terlaksananya penelitian ini. Semoga segala amal baik tersebut mendapatkan imbalan dari Tuhan Yang Maha Esa. Akhirnya berharap semoga hasil penelitian yang sederhana ini dapat bermanfaat.
Surakarta, Oktober 2009
9
DAFTAR ISI Halaman JUDUL ................................………………………………………………… i PENGAJUAN ...............................………………………………………….
ii
PERSETUJUAN .........................……………………………………………. iii PENGESAHAN ..............................…………………………………………. iv ABSTRAK .................……………………………………………………….
v
MOTTO .....................……………………………………………………….. vi PERSEMBAHAN .............................………………………………………. vii KATA PENGANTAR ..................................……………………………….. viii DAFTAR ISI ......................................………………………………………
ix
DAFTAR GAMBAR ...................................………………………………… xii DAFTAR TABEL ....................……………………………………………… xiii DAFTAR LAMPIRAN ...............................…………………………………. xiv BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………. 1 A. Latar Belakang Masalah ………………………………………...
1
B. Identifikasi Masalah ..…………………………………………...
5
C. Pembatasan Masalah ...................……………………………..…
5
D. Perumusan Masalah ......…………………………………………. 6 E. Tujuan Penelitian .....…………………………………………….
6
F. Manfaat Penelitian .....……………………………………………
7
BAB II LANDASAN TEORI ……………………………………………….
8
A. Tinjauan Pustaka ...……………………………………………….
8
1. Pengertian Lari cepat (Sprint) 100 Meter……………………… 8 a. Pengertian Lari Cepat (Sprint) 100 Meter…………………
8
b. Hal-hal yang Harus Diperhatikan dalam Lari Cepat 100 Meter………………………………………………….
9
c. Teknik Lari Cepat 100 Meter…………………………….. 11
10
2. Hakikat Latihan……………………………………………….. 16 a. Pengertian Latihan………………………………………… 16 b. Hal - hal yang Harus Diperhatikan dalam Latihan Lari Cepat 100 Meter………………………………………….. 17 c. Prinsip-Prinsip Latihan……………………………………. 18 d. Komponen-Komponen Latihan…………………………… 22 3. Waktu Istirahat dalam latihan…………………………………. 25 a. Pentingnya Waktu Istirahat dalam Olahraga Prestasi…….. 25 b. Pemberian Waktu Istirahat dengan Latihan Interval Anaerob untuk Meningkatakan Kecepatan Lari 100 Meter 26 c. Kelebihan dan Kelemahan Latihan Interval Anaerob untuk Meningkatkan Kecepatan Lari 100 Meter………………… 28 4. Pemberian Waktu Istirahat dengan Rasio 1:5 dan 1:10………. 29 a. Pelaksanaan Latihan Kecepatan dengan Rasio 1:5………. 29 b. Pelaksanaan Latihan Kecepatan dengan Rasio 1:10……… 30 c. Perbedaan Pengaruh Latihan Kecepatan dengan Latihan Interval Anaerob dengan Rasio 1 : 5 dan 1:10 terhadap Kecepatan Lari 100 Meter………………………………
30
5. Konsumsi Oksigen Maksimal (VO2 Max)…………………… 31 a. Pengertian VO2 Max……………………………………..
31
b. Faktor - Faktor yang Menentukan Konsumsi Oksigen Maksimal…………………………………………………. 32 c. Peranan VO2 Max terhadap Kecepatan Lari 100 Meter
36
B. Kerangka Pemikiran .......………………………………………. 37 C. Perumusan Hipotesis ............………………………….……….. 40 BAB III METODE PENELITIAN .............……………………….………… 41 A. Tempat dan Waktu Penelitian ....……………………………….. 41 B. Metode Penelitian ……………………………………………… 41 C. Variabel Penelitian……………………………………………… 42 D. Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel……………………… 42
11
E. Teknik Pengumpulan Data……………………………………… 43 F. Teknik Analisis Data…………………………………………… 44 BAB IV HASIL PENELITIAN ...................……………………………….. 48 A. Deskripsi Data ...............……………………………………….. 48 B. Mencari Reliabilitas…………………………………………… 50 C. Uji Prasyarat Analisis…………………………………………… 51 1. Uji Normalitas ……………………………………………… 51 2. Uji Homogenitas …………………………………………… 52 D. Pengujian Hipotesis……………………………………………. 52 1. Pengujian Hipotesis Pertama………………………………… 53 2. Pengujian Hipotesis Kedua………………………………….. 54 3. Pengujian Hipotesis Ketiga…………………………………. 54 E. Pembahasan Hasil Penelitian………………………………….. 55 BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN .........………. ………… 58 A. Simpulan………………………………………………………. 58 B. Implikasi ....................………………………………………… 58 C. Saran .........................………………………………………….. 59 DAFTAR PUSTAKA .............................……………………………………. 61 LAMPIRAN............…………………………………………………………. 63
12
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Skema Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Prestasi Lari Cepat 100 Meter……………………………………………
9
Gambar 2. Posisi Aba-Aba Bersedia……………………………………
13
Gambar 3. Sikap Badan pada Aba-Aba Siap……………………………
13
Gambar 4. Sikap Badan pada Aba-Aba Ya……………………………..
14
Gambar 5. Teknik Lari Cepat 100 Meter……………………………….
15
Gambar 6. Teknik Melewati Garis Finish………………………………
16
Gambar 7. Hubungan Antara Usia dan Daya Tahan Aerobik…………..
34
Gambar 8. Grafik Nilai Rata-Rata Kemampuan Lari Cepat 100 Meter Berdasarkan Tiap Kelompok Perlakuan dan VO2 Max…….
49
Gambar 9. Grafik Nilai Rata - Rata Peningkatan Kemampuan Lari Cepat 100 Meter antara Kelompok Perlakuan………………
50
Gambar 10. Bentuk antara Interaksi Waktu Istirahat dan VO2 Max……
57
Gambar 11.Tes Lari Cepat 100 Meter……………………………………
90
13
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Ringkasan
Angka - Angka Statistik
Deskriptif Data
Kemampuan Lari Cepat 100 Meter Menurut Kelompok Penelitian…………………………………………………….
48
Tabel 2. Ringkasan Hasil Uji Reliabilitas Data Tes Awal dan Tes Akhir…………………………………………………………
50
Tabel 3. Range Kategori Reliabilitas………………………………….
51
Tabel 4. Hasil Uji Normalitas dengan Lilliefors…………………….
51
Tabel 5. Hasil Uji Bartlet……………………………………………..
52
Tabel 6. Ringkasan Nilai Rerata Kecepatan
Lari
Berdasarkan Pemberian Waktu Istirahat
100
Meter
dan VO2 Max
Sebelum dan Sesudah Diberi Perlakuan…………………….
52
Tabel 7. Ringkasan Analisis Anava Faktorial 2 X 2………………….
53
Tabel 8. Hasil Uji Rentang Newman Keuls setelah Anava…………..
53
Tabel 9. Pengaruh Sederhana, Pengaruh Utama dan Interaksi Faktor Utama terhadap Peningkatan Kecepatan Lari 100 Meter…….
57
14
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Data Hasil Tes Kemampuan VO2 Max………………….
63
Lampiran 2. Data Tes Awal Kecepatan Lari 100 Meter………………
66
Lampiran 3. Kelompok Sampel Penelitian…………………………...
67
Lampiran 4.Uji Reliabilitas Data Tes Awal Kecepatan Lari 100 Meter…………………………………………………….
68
Lampiran 5. Uji Normalitas Data Tes Awal Kecepatan Lari 100 Meter Kelompok 1 dan Kelompok 2……………………
70
Lampiran 6. Uji Normalitas Data Tes Awal Kecepatan Lari 100 Meter Kelompok 3 dan Kelompok 4……………………
71
Lampiran 7. Uji Homogenitas Data Tes Awal pada Kelompok Sampel………………………………………………….. Lampiran 8. Data Tes Akhir Kecepatan Lari 100 Meter………………
72 73
Lampiran 9. Uji Reliabilitas Data Tes Akhir Kecepatan Lari 100 Meter…………………………………………………….
74
Lampiran 10.Rekapitulasi Data Tes Awal, Tes Akhir dan Peningkatan Kecepatan Lari 100 Meter Kelompok 1 dan Kelompok 2………………………………………………………….
76
Lampiran 11.Rekapitulasi Data Tes Awal, Tes Akhir dan Peningkatan Kecepatan Lari 100 Meter Kelompok 3 dan Kelompok 4………………………………………………………….
77
Lampiran 12.Deskripsi Data Hasil Peningkatan Rata - Rata antar Kelompok Sampel sebagai Persiapan Analisis Anava Faktorial 2 X 2………………………………………….
78
Lampiran 13 Hasil Uji Rata-Rata Rentang Newman-Keuls……………
80
Lampiran 14 Petunjuk Pelaksanaan Tes dan Pengukuran VO2 Max
83
Penelitian……………………………………………….. Lampiran 15 Tabel Prediksi Ambilan Konsumsi Oksigen Maksimal dengan Tes Lari Multitahap……………………………..
85
15
Lampiran 16. Tabel Penilaian Tingkat
Kesegaran
Jasmani
Berdasarkan Konsumsi Oksigen Maksimal…………….
87
Lampiran 17. Formulir Catatan Lari Multitahap……………………….
88
Lampiran 18. Tes dan Pengukuran Prestasi Lari Cepat 100 Meter…….
89
Lampiran 19. Program Latihan kecepatan dengan Rasio 1:5………….
91
Lampiran 20. Program Latihan kecepatan dengan Rasio 1:10…………
92
Lampiran 21. Dokumentasi Pelaksanaan Penelitian……………………
93
Lampiran 22. Surat Ijin Penelitian dari Universitas Sebelas Maret Surakarta…………………………………………………
96
Lampiran 23. Surat Keterangan Penelitian dari SMP Negeri 1 Tulung Kabupaten Klaten………………………………………..
101
16
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Atletik merupakan cabang olahraga yang mempunyai peran penting untuk menunjang perkembangan gerak anak ke arah gerakan cabang olahraga atletik. Hal ini sesuai pendapat Aip Syarifuddin (1992: 18) bahwa, “Pembentukan gerak dasar khususnya pembentukan gerak dasar atletik adalah suatu dorongan dalam usaha mengalihkan bentuk-bentuk gerakan yang telah dimiliki anak sebelum memasuki sekolah menjadi bentuk-bentuk gerakan dasar yang mengarah pada gerakan dasar atletik”. Kemampuan gerak anak dapat ditingkatkan melalui pembelajaran atletik. Upaya meningkatkan kemampuan gerak anak, maka atletik merupakan salah satu cabang olahraga yang wajib diajarkan di sekolah. Hal ini sesuai pendapat Yoyo Bahagia, Ucup Yusuf dan Adang Suherman (1999/2000: 1) bahwa, “Atletik merupakan salah satu mata pelajaran Pendidikan Jasmani (Penjas) yang wajib diberikan kepada siswa dari Sekolah Dasar (SD), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Nomor-nomor yang dilombakan dalam cabang olahraga atletik terdiri dari: jalan, lari lompat dan lempar. Dari nomor-nomor tersebut, masing-masing di dalamnya terdapat beberapa nomor yang telah ditentukan berdasarkan peraturan yang berlaku. Untuk nomor lari terdiri atas: lari jarak pendek, jarak menengah, jarak jauh atau marathon, lari gawang, lari sambung, dan lari cross country. Nomor lompat meliputi: lompat jauh, lompat tinggi, lompat jangkit, lompat tinggi galah. Nomor lempar meliputi lempar cakram, lempar lembing, tolak peluru dan lontar martil. Lari cepat 100 meter atau sprint merupakan salah satu nomor bergengsi dalam cabang olahraga atletik. Lari cepat 100 meter merupakan gerakan lari yang dilakukan dengan kecepatan penuh dari garis start sampai garis finish. Berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) SMP bahwa, lari
17
cepat 100 meter merupakan salah satu nomor lari jarak pendek yang harus diberikan pada siswa tingkat SMP. Upaya meningkatkan kemampuan lari cepat 100 meter siswa sekolah dibutuhkan latihan yang sistematis dan kontinyu. Latihan merupakan suatu proses yang dilakukan secara berulang-ulang dengan meningkatkan beban latihan secara bertahap yang dilakukan secara teratur dan terprogram untuk mencapai prestasi yang setinggi-tingginya. Dalam pelaksanaan latihan lari cepat 100 meter harus diterapkan metode latihan yang baik dan tepat. Selain menerapkan metode latihan yang tepat, memberikan waktu istirahat di antara waktu latihan juga tidak kalah pentingnya.
Sugiyanto &
Sudjarwo (1992: 284) bahwa, "Waktu istirahat yang diberikan tidak perlu menunggu sampai mencapai kelelahan, tetapi juga jangan terlalu sering. Yang penting adalah mengatur agar rangsangan terhadap sistem-sistem yang menghasilkan gerakan tubuh diberikan secara cukup, atau tidak kurang atau tidak berlebihan". Memberikan waktu istirahat di antara waktu latihan harus diperhitungkan dengan baik dan tepat agar kondisi atlet selalu stabil dan siap untuk melaksanakan latihan-latihan selanjutnya. Waktu istirahat yang diberikan terlalu lama juga kurang baik, karena kondisi atlet akan pulih total, sehingga akan terjadi penurunan kemampuan. Memberi waktu istirahat yang relatif sedikit juga kurang baik, karena kondisi atlet belum siap untuk melaksanakan latihan berikutnya, sehingga memungkinkan terjadi cidera. Oleh karena itu dalam melaksanakan latihan ada dua unsur pokok yang harus diperhitungkan dengan cermat untuk menyusun program latihan yaitu interval kerja (work interval) dan interval istirahat (relief interval). Kedua hal tersebut sama pentingnya dalam pelaksanaan latihan. Menyusun program latihan dan memperhitungkan waktu istirahat yang tepat di antara waktu latihan tidaklah mudah. Para pelatih lari sprint masih sering mengalami kendala, yaitu bagaimana menentukan rasio antara interval kerja dan interval istirahat yang baik dan tepat. Di samping itu juga, para ahlipun masih ada perbedaan dalam menentukan besarnya rasio antara waktu interval kerja dan interval istirahat yang tepat untuk meningkatkan kecepatan lari 100 meter. Berkaitan dengan rasio perbandingan waktu kerja dan waktu istirahat Mathews &
18
Fox (1978: 262) berpendapat, “Rasio antara kerja dan istirahat dalam latihan kecepatan adalah 1:3”. Menurut Rushall & Pyke (1992: 210) bahwa, “Rasio kerja dan istirahat 1:3 hingga 1:5 untuk interval jarak pendek, merupakan latihan untuk mengembangkan daya tahan”. Sedangkan untuk meningkatkan kecepatan, menurut Rushall dan Pyke (1992: 270) yaitu, “Waktu kerja 6-15 detik, dengan intensitas 100% dan lama istirahat 1-2 menit”. Menentukan waktu istirahat dalam latihan kecepatan merupakan hal yang penting agar kondisi atlet selalu stabil dan terjadi peningkatan kecepatan yang maksimal. Penelitian ini akan meneliti dan mengkaji perbandingan waktu istirahat 1:5 dengan 1:10 untuk meningkatkan kecepatan lari 100 meter. Dari kedua rasio perbandingan waktu kerja dan waktu istirahat tersebut belum diketahui dengan pasti, perbandingan waktu istirahat manakah yang lebih efektif untuk meningkatkan prestasi lari cepat 100 meter, sehingga perlu dikaji dan diteliti secara lebih mendalam melalui penelitian. Selain pemberian waktu kerja dan waktu istirahat yang tepat, prestasi lari cepat 100 meter harus didukung kemampuan fisik yang baik. Seperti dikemukakan M. Sajoto (1995: 8) bahwa, “Kondisi fisik adalah satu prasyarat yang sangat diperlukan dalam usaha peningkatan prestasi seorang atlet, bahkan dapat dikatakan sebagai keperluan dasar yang tidak dapat ditunda atau di tawartawar lagi”. Kemampuan kondisi fisik yang baik merupakan faktor yang sangat dominan untuk mendukung pencapaian prestasi lari cepat 100 meter. Salah satu komponen kondisi fisik yang dapat mendukung kecepatan lari 100 meter yaitu daya tahan aerobik. Dalam hal ini Russell R. Pate, Bruce Mc. Clenaghan & Robert Rotella (1993: 300) menyatakan, “Manisfiestasi nyata dari kemampuan anaerobik olahragawan adalah kecepatan gerak maksimalnya dalam kegiatan seperti lari cepat”. Kemampuan daya tahan anaerobik merupakan salah satu komponen kondisi fisik yang dibutuhkan dalam latihan yang berat dan singkat termasuk lari cepat 100 meter. Seperti dikemukakan Sudarno SP. (1992: 25) bahwa, “Pada latihan yang berat dan singkat tubuh belum mampu mencukupi kebutuhan
19
oksigennya, sehingga sistem energi yang berperan yaitu sistem energi anaerobik”. Apakah benar siswa yang memiliki daya tahan anerobik tinggi lebih baik kecepatan lari 100 meternya dibandingkan dengan siswa yang daya tahan anaerobiknya rendah. Nampaknya hal ini perlu dipertanyakan lagi, karena kecepatan lari seseorang tidak hanya dipengaruhi daya tahan kardiovaskulernya, tetapi masih ada faktor lain yang dapat mendukung kecepatan lari misalnya, power, kekuatan, panjang tungkai, teknik lari yang baik, keseimbangan, kecepatan reaksi dan lain sebagainya. Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas, penelitian ini mengkaji dan meneliti pengaruh latihan lari cepat 100 meter dengan perbandingan rasio 1:5 dan 1:10 yang didasarkan pada kemampuan VO2 Max. Untuk mengetahui perbadningan waktu istirahat mana yang lebih baik antara rasio 1: 5 dan 1:10 serta pengaruh tingkat kemampuan VO2 Max., maka perlu dibuktikan melalui penelitian eksperimen. Siswa putra kelas VIII SMP Negeri 1 Tulung Kabupaten Klaten tahun 2009 adalah obyek yang dijadikan sampel penelitian untuk membuktikan dan menjawab
permasalahan
yang
muncul
dalam
penelitian.
Berdasarkan
kenyataannya bahwa, kecepatan lari 100 meter siswa putra kelas VIII SMP Negeri 1 Tulung Kabupaten Klaten tahun 2009 perlu ditingkatkan. Dari pembelajaran pendidikan jasmani yang dilaksanakan di SMP Negeri 1 Tulung Kabupaten Klaten tahun 2009 belum menunjukkan hasil yang maksimal, jika tidak ditunjang dengan latihan di luar jam sekolah. Pembelajaran pendidikan jasmani yang diberikan hanya terbatas pada pengenalan teknik lari cepat 100 meter yang meliputi teknik start, teknik lari dan teknik memasuki garis finish. Di samping itu juga, kemampuan kondisi fisik yang mendukung kecepatan lari 100 meter termasuk daya tahan kardiovaskuler belum dilatih, sehingga kemampuan daya tahan kardiovaskulernya belum diketahui. Belum diketahui kemampuan daya tahan kardiovaskuler (VO2 Max), sehingga kemampuan daya tahan kardiovaskuler yang dimiliki siswa belum mampu dimanfaatkan secara maksimal pada teknik lari cepat 100 meter. Untuk meningkatkan kecepatan lari 100 meter siswa putra kelas VIII SMP Negeri 1 Tulung Kabupaten Klaten, maka harus dilakukan latihan
20
secara sistematis dan terprogram dengan memperhatikan kemampuan kondisi fisik siswa. Upaya mengetahui pengaruh rasio 1:5 dan 1:10 dan kemampuan VO2 Max terhadap peningkatan kecepatan lari 100 meter, maka perlu dilakukan penelitian dengan judul, “Perbedaan Pengaruh Waktu Istirahat dan Kemampuan VO2 Max terhadap Kecepatan Lari 100 Meter pada Siswa Putra Kelas VIII SMP Negeri 1 Tulung Kabupaten Klaten Tahun 2009”. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, masalah dalam penelitian ini dapat diidentifikasi sebagai berikut: 1. Kecepatan lari 100 meter siswa putra kelas VIII SMP Negeri 1 Tulung Kabupaten Klaten tahun 2009 masih rendah perlu ditingkatkan. 2. Pembelajaran pendidikan jasmani yang diberikan di SMP Negeri 1 Tulung Kabupaten Klaten belum menunjukkan hasil yang maksimal terhadap kecepatan lari 100 meter. 3. Perlunya latihan secara sistematis dan terprogram untuk meningkatkan kecepatan lari 100 meter pada siswa SMP Negeri 1 Tulung Kabupaten Klaten tahun 2009. 4. Belum diketahui pengaruh pemberian waktu istirahat dengan rasio 1:5 dan 1:10 terhadap kecepatan lari 100 meter. 5. Pengaruh kemampuan VO2 Max tinggi dan kemampuan VO2 Max rendah terhadap kecepatan lari 100 meter belum diketahui. 6. Kecepatan lari 100 meter siswa putra kelas VIII SMP Negeri 1 Tulung Kabupaten Klaten tahun 2009 belum teruji.
C. Pembatasan Masalah
21
Banyaknya masalah yang dapat diidentifikasi, maka perlu dibatasi agar tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Pembatasan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Pengaruh waktu istirahat dengan rasio 1:5 dan 1:10 terhadap kecepatan lari 100 meter. 2. Pengaruh kemampuan VO2 Max tinggi dan kemampuan VO2 Max rendah terhadap kecepatan lari 100 meter. 3. Kecepatan lari 100 meter siswa putra kelas VIII SMP Negeri 1 Tulung Kabupaten Klaten tahun 2009.
D. Perumusan Masalah Berdasarkan identifikasi masalahan dan pembatasan masalah tersebut di atas dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Adakah perbedaan pengaruh waktu istirahat dengan rasio 1:5 dan 1:10 terhadap kecepatan lari 100 meter pada siswa putra kelas VIII SMP Negeri 1 Tulung Kabupaten Klaten tahun 2009? 2. Adakah perbedaan pengaruh kemampuan VO2 Max tinggi dan kemampuan VO2 Max rendah terhadap kecepatan lari 100 meter pada siswa putra kelas VIII SMP Negeri 1 Tulung Kabupaten Klaten tahun 2009? 3. Adakah interaksi antara waktu istirahat dan kemampuan VO2 Max terhadap kecepatan lari 100 meter pada siswa putra kelas VIII SMP Negeri 1 Tulung Kabupaten Klaten tahun 2009?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, penelitian ini mempunyai tujuan untuk mengetahui: 1. Perbedaan pengaruh waktu istirahat dengan rasio 1:5 dan 1:10 terhadap kecepatan lari 100 meter pada siswa putra kelas VIII SMP Negeri 1 Tulung Kabupaten Klaten tahun 2009.
22
2. Perbedaan pengaruh kemampuan VO2 Max tinggi dan kemampuan VO2 Max rendah terhadap kecepatan lari 100 meter pada siswa putra kelas VIII SMP Negeri 1 Tulung Kabupaten Klaten tahun 2009. 3. Ada tidaknya interaksi antara waktu istirahat dan kemampuan VO2 Max terhadap kecepatan lari 100 meter pada siswa putra kelas VIII SMP Negeri 1 Tulung Kabupaten Klaten tahun 2009. F. Manfaat Penelitian Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memiliki manfaat antara lain: Bagi siswa yangdijadikan sampel penelitian dapat meningkatkan kecepatan lari 100 meter dan faktor-faktor yang mendukungnya khususnya peranan kemampuan VO2 Max, sehingga dapat mendukung kecepatan lari 100 meter menjadi lebih baik. Bagi guru Penjaskes dan siswa SMP Negeri 1 Tulung Kabupaten Klaten dapat menambah pengetahuan dalam ilmu olahraga pada umumnya dan metode latihan lari cepat 100 meter serta pentingnya VO2 Max dalam lari cepat 100 meter. Bagi peneliti dapat menambah pengetahuan dan pengalaman dalam bidang penelitian ilmiah untuk dapat dikembangkan lebih lanjut
23
BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Lari Cepat (Sprint)
a. Pengertian Lari Cepat (Sprint) 100 Meter Lari merupakan suatu gerakan maju dengan cepat untuk mencapai tujuan atau memasuki finish. Hal ini sesuai pendapat Soegito (1992: 8) bahwa, “Lari ialah gerak maju yang diusahakan agar dapat mencapai tujuan (finish) secepat mungkin atau dalam waktu singkat”. Sedangkan lari cepat atau sprint atau istilah lainnya lari jarak pendek merupakan lari yang dilakukan dengan kecepatan penuh dari garis start sampai garis finish dengan waktu sesingkat mungkin. Hal senada dikemukakan Aip Syarifuddin dan Muhadi (1992: 63) bahwa, “Lari jarak pendek (sprint) adalah suatu cara lari dimana si atlet harus menempuh seluruh jarak dengan kecepatan yang maskimal mungkin”. Sedangkan Yudha M. Saputra (2001: 39) berpendapat, “Lari cepat (sprint) adalah suatu kemampuan yang ditandai proses memindahkan posisi tubuhnya dari satu tempat ke tempat lainnya secara cepat melebihi gerak dasar pada keterampilan lari santai (jogging)”. Berdasarkan pengertian lari cepat yang dikemukakan tiga ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa, lari cepat 100 meter merupakan lari yang dilakukan dengan kecepatan penuh dari garis start sampai garis finish menempuh jarak 100 meter dengan waktu yang seingkat-singkat. Dalam lari sprint ada tiga nomor yang sering diperlombakan dan merupakan nomor lari bergengsi. Dalam hal ini Aip Syarifuddin (1992: 41) menyatakan, “Di dalam perlombaan lari jarak pendek ada tiga nomor yang selalu dilombakan yaitu (1) jarak 100 m, (2) jarak 200 m, (3) jarak 400 m. Ketiga jarak atau nomor tersebut menjadi nomor utama atau sering disebut dengan nomor bergengsi dalam kejuaraan atletik, baik bersifat Nasional maupun Internasional”. Berdasarkan pendapat tersebut menunjukkan bahwa, nomor lari cepat atau sprint terdiri tiga nomor yaitu jarak 100 meter, 200 meter dan 400 meter. Dari
24
ketiga nomor lari sprint tersebut teknik larinya sama, terutama pada lintasan lurus. Akan tetapi pada lari jarak 200 meter dan 400 meter ditambah dengan teknik lari ditingkungan. Lebih lanjut Aip Syarifuddin (1992: 41) teknik lari di tingkugan lari jarak 200 m dan 400 m yaitu, “Pada waktu lari ditingkungan, badan agak dimiringkan ke dalam, kaki kanan digerakkan atau dilangkahkan agak serong ke dalam, dan tangan kanan diayunkan serong ke dalam”.
b. Hal-hal yang Harus Diperhatikan dalam Lari Cepat 100 Meter Lari cepat merupakan lari yang dilakukan dengan kecepatan maksimal dari garis start menuju garis finish. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam lari cepat agar diperoleh prestasi yang optimal. Tamsir Riyadi (1985: 23) menyatakan, “pada lari jarak pendek perlu memperhatikan 4 masalah yaitu: (1) starting potition, (2) starting action, (3) sprinting action, (4) finishing action”. Pendapat lain dikemukakan Jonath U. Haag E. Krempel R.
(1987: 56)
menggambarkan faktor-faktor yang dilihat dari pandangan kesehatan olahraga dapat membatasi prestasi lari cepat (sprint) sebagai berikut: Sifat motoris kecepatan
Viskositas otot
Tenaga otot
Koordinasi
Kecepatan Kecepatan
reaksi
Ciri antropometris
Stamina anaerob umum Gambar 1. Skema Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Prestasi Lari Cepat 100 Meter (Jonat et al., 1987: 56) Berdasarkan dua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa, faktor yang dapat mempengaruhi pencapaian prestasi lari capat meliputi faktor teknik dan faktor fisik. Faktor teknik dalam lari cepat meliputi starting potition, starting action, sprinting action, finishing action”. Sedangkan faktor fisik terdiri banyak
25
hal seperti terlihat pada skema di atas yang dapat dilatih dan ditingkatkan menurut kebutuhannya. Tenaga otot adalah salah satu prasyarat terpenting bagi kecepatan, terutama para pelari sprint yang masih jauh dari puncaknya dapat memperbaiki prestasinya dengan latihan tenaga secara terarah. Tenaga otot ini dapat dilatih dan dikembangkan melalui latihan berbeban atau weight training. Viskositas otot merupakan hambatan gesekan dalam sel (intraseluler) serat-serat otot, dengan pemanasan otot dapat diturunkan. Viskositas tinggi pada otot dingin mempengaruhi secara negatif kecepatan maksimal yang dapat tercapai. Kecepatan reaksi atau daya reaksi pada waktu start tidak banyak yang dapat dilatih. Waktu reaksi ini sangat penting dalam pelaksanaan start. Keterlambatan saat melakukan start akan mempengaruhi pencapaian prestasi lari cepat. Kecepatan kontraksi yaitu kecepatan pengerutan otot setelah mendapat rangsang syaraf, tidajk dapat ditingkatkan dengan latihan. Hal ini terutama bergantung pada struktur ototnya ditentukan oleh bakat. Koordinasi merupakan kerjasama antara sistem syaraf pusat dan otot-otot yang digunakan mempunyai peran penting untuk menentukan pencapaian prestasi lari cepat. Sistem syaraf pusat menggiatkan kerja kerja otot yang diperlukan untuk gerak sprint secara cermat dalam urutan yang semestinya serta pada saat yang tepat, mengirimkan isyarat melalui syaraf-syaraf gerak. Kerjasama yang tertata sangat halus dan rumit serta rapi antar waktu sistem syaraf dan otot itu berusaha mengadakan perbadingan optimal antara segi ruang (panjang langkah) dan segi waktu (frekuensi langkah) dalam gerak cepatnya. Ciri antropometris yaitu bentuk tubuh atlet yang perbandingan badan dengan kakinya merupakan hal penting. Bentuk tubuh ini tidak dapat dilatih dan ini ditentukan oleh faktor keturunan. Bentuk tubuh pada kebanyakan nomor atletik adalah faktor yang dapat membatasi prestasi. Oleh karena itu untuk mendapatkan bibit-bibit sprinter yang baik harus memiliki ciri antropomeris yang ideal sesuai tuntutan dalam lari cepat.
26
Stamina anaerob umum atau stamina kecepatan pada lari cepat (sprint) terutama pada saat akan memasuki finish mempunyai pengaruh terhadap prestasi. Hal ini bergantung pada potensi otot untuk mengeluarkan energi tanpa pemasukan energi.
c. Teknik Lari Cepat 100 Meter Peningkatan prestasi dalam olahraga menuntut adanya perbaikan dan pengembangan unsur teknik untuk mencapai tujuannya. Teknik dikatakan baik apabila ditinjau dari segi anatomis, fisiologis, mekanika, biomeknika dan mental terpenuhi persyaratannya secara baik, dapat diterapkan dalam praktek dan memberikan sumbangan terhadap pencapaian prestasi maksimal. Teknik merupakan rangkuman metode yang dipergunakan dalam melakukan gerakan dalam suatu cabang olahraga. Teknik juga merupakan suatu proses gerakan dan pembuktian dalam suatu cabang olahraga. Dengan kata lain teknik merupakan pelaksanaan suatu kegiatan secara efektif dan rasional yang memungkinkan suatu hasil yang optimal dalam latihan atau pertandingan. Peningkatan prestasi lari cepat 100 meter menuntut adanya perbaikan dan pengembangan unsur teknik dalam lari cepat. Menurut Aip Syarifuddin (1992: 41) bahwa, “Dalam lari jarak pendek ada tiga teknik yang harus dipahami dan sikuasai yaitu mengenai: (1) teknik start, (2) teknik lari dan, (3) teknik melewati garis finish”. Teknik yang harus dipahami dan dikuasai dalam lari jarak pendek (sprint) ada tiga bagian yaitu teknik start, teknik lari dan teknik memasuki finish. Penguasaan teknik lari cepat yang baik akan dapat mendukung pencapaian prestasi lari cepat secara optimal. Agar siswa dapat melakukan lari cepat dengan baik dan mencapai prestasi yang tinggi, maka teknik lari cepat tersebut harus dipahami dan dikuasai. Untuk lebih jelasnya ketiga teknik lari cepat 100 meter tersebut diuraikan secara singkat sebagai berikut:
27
1) Teknik Start Start atau pertolakan merupakan kunci pertama yang harus dikuasai. Kecerobohan atau keterlambatan dalam melakukan start berarti kerugian besar bagi seorang sprinter. Kemampuan melakukan start yang baik sangat dibutuhkan, karena lari 100 meter dimenangkan dalam selisih waktu yang sangat kecil. Kesalahan maupun keterlambatan melakukan start akan merugikan pelari. Teknik start untuk lari jarak pendek adalah start jongkok (chrouching start). Start jongkok dibagi menjadi tiga macam yaitu “(1) Start pendek (bounch start), (2) Start menengah (medium start), (3) Start panjang (long start)”. Perbedaan ketiga macam teknik start tersebut terletak pada penempatan antara ujung kaki bagian depan dengan lutut kaki belakang, sedangkan sikap badan, lengan dan yang lainnya hampir sama. Menurut Soegito, Bambang Wijanarko dan Ismaryati (1993: 99) tahap mengambil sikap jongkok dengan aba-aba bersedia sebagai berikut: 1) Salah satu kaki diletakkan di tanah dengan jarak ± 1 jengkal dari garis start. 2) Kaki lainnya diletakkan tepat di samping lutut yang terletak di tanah dengan jarak ± 1 kepal. 3) Badan membungkuk ke depan. 4) Kedua tangan terletak di tanah tepat di belakang garis start (tidak boleh menyentuh atau melampauinya). 5) Keempat jari tangan rapat, ibu jari terbuka. 6) Kepala tunduk, leher rileks (tidak tegang). 7) Pandangan ke bawah (lihat tanah). 8) Konsentrasi pada aba-aba berikutnya Berikut ini disajikan ilustrasi gambar pelaksanaan posisi aba-aba “bersedia” sebagai berikut:
28
Gambar 2. Posisi Aba-Aba Bersedia (Soegito dkk., 1993: 99) Aba-aba setelah “bersedia” yaitu “siap”. Menurut Soegito dkk., (1993: 99) tahap persiapan akan lari dengan aba-aba “siap” sebagai berikut: 1) 2) 3) 4) 5) 6)
Lutut yang terletak di tanah diangkat. Pinggul diangkat setinggi bahu. Berat badan dibawa ke muka Kepala tetap tunduk dan leher rileks Pandangan tetap ke bawah Konsentrasi pada aba-aba berikutnya
Berikut ini disajikan ilustrasi gerakan teknik lari cepat pada aba-aba “siap” sebagai berikut:
Gambar 3. Sikap Badan pada Aba-Aba Siap (Soegito dkk., 1993: 100) Aba-aba berikut setelah aba-aba siap yaitu “ya”. Teknik pelaksanaan pada aba-aba “ya” menurut Soegito dkk., (1993: 100) sebagai berikut: 1) Menolak ke depan dengan kuat tetapi jangan melompat, melainkan meluncur.
29
2) Badan tetap rendah/condong ke depan. 3) Disertai gerakan lengan yang diayunkan dengan kuat pula. 4) Disusul dengan gerakan langkah kaki pendek-pendek tetapi cepat agar badan tidak tersungkur. Berikut ini disajikan ilustrasi gambar gerakan pada aba-aba “ya” sebagai berikut:
Gambar 4. Sikap Badan pada Aba-Aba “Ya” (Soegito dkk., 1993: 100) 2) Teknik Lari Cepat Dalam lari cepat harus memperhatikan teknik lari yang benar. Pada waktu lari cepat, badan dalam posisi hampir tegak lurus pada tanah dan condong ke depan ± 60 derajat. Rusli Lutan dkk. (1992: 137) menyatakan, “posisi badan lari cepat dipertahankan tetap menghadap ke depan dan agak condong ke depan. Sikap badan seperti ini memungkinkan titik berat badan selalu berada di depan”. Kecepatan lari akan lebih baik apabila didukung gerakan kedua lengan. Kedua lengan harus rileks, dengan kedua tangan agak mengepal dan ibu jari menyilang pada jari telunjuk. Sudut dari persendian siku sedapat mungkin tetap membentuk sudut lebih kurang 90 derajat, sedikit mengurang bila lengan ke depan dengan tangan mencapai setinggi bahu atau sedikit
lebih tinggi. Lengan
sebaiknya bergerak ke belakang dan ke depan, seolah-olah kedua lengan itu bergerak
disekitar sumbu yang melalui persendian bahu. Gerakan lengan yang
efisien adalah sangat penting. Kepala sebaiknya dalam garis yang alami dengan
30
badan. Bila terlalu condong ke depan badan atau terlalu ke belakang, menyebabkan langkah atlet akan lebih pendek. Kecepatan maksimal harus dilakukan oleh sprinter saat melakukan start sampai pada jarak kira-kira jarak 60 meter.
Sekali kecepatan puncak sudah
tercapai, maka dengan sekuat tenaga harus dipertahankan atau ditingkatkan dengan memperlebar langkah tanpa mengurangi kecepatan dan didukung menggerakkan kedua lengan sesuai dengan kecepatan yang ingin dicapai semaksimal mungkin. Beberapa prinsip lari cepat yang harus diperhatikan menurut Soegito (1992: 12) antara lain: 1) Lari pada ujung kaki. 2) Menumpu dengan kuat, agar mendapatkan dorongan ke depan dengan kuat pula. 3) Badan condong ke depan + 600, sehingga titik berat badan selalu di depan. 4) Ayunan lengan kuat-kuat dan cepat, siku dilipat, tangan menggengam lemas, agar gerakan langkah kaki juga cepat dan kuat. 5) Setelah + 20 m dari garis start, langkah diperlebar tetapi condong badan harus tetap dipertahankan. Serta ayunan lengan dan gerakan langkah kaki juga dipertahankan kecepatan dan kekuatannya, bahkan kalau mungkin ditingkatkan. Berikut ini disajikan ilustrasi gambar teknik lari cepat 100 meter sebagai berikut:
Gambar 5. Teknik Lari Cepat 100 Meter (Tamsir Riyadi, 1985:30)
31
3) Teknik Memasuki Garis Finish Memasuki garis finish merupakan faktor yang paling menentukan kalah atau menangnya seorang pelari. Menurut Agus Mukholid (2004: 102) teknik melewati garis finish terbagi menjadi tiga cara yaitu: 1) Dengan cara lari terus secepat-cepatnya melewati garis finish dengan tidak mengubah posisi lari. 2) Saat akan menyentuh pita atau melewati garis finish, dada dicondongkan ke depan. 3) Saat akan meneyntuh pita atau melewati garis finish, dada diputar sehingga salah satu bahu maju ke depan terlebih dahulu. Teknik memasuki finish tersebut di atas sangat penting untuk dipahami dan dikuasai oleh seorang pelari, sebab meskipun mempunyai kekuatan dan kecepatan yang baik sering kalah karena teknik memasuki finish yang kurang baik. Seorang pelari bebas menentukan dengan cara atau teknik sendiri yang dianggap lebih efektif dan efisien. Berikut ini disajikan ilustrasi gerakan saat memasuki garis finish sebagai berikut:
Gambar 6. Teknik Melewati Garis Finish (Agus Mukholid, 2004: 102) 2. Hakikat Latihan a. Pengertian Latihan Latihan merupakan suatu proses yang dilakukan secara teratrur guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Tujuan utama latihan dalam olahraga prestasi adalah untuk mengembangkan kemampuan biomotorik ke standart yang
32
paling tinggi, atau dalam arti fisiologis atlet berusaha mencapai tujuan perbaikan sistem organisme dan fungsinya untuk mengoptimalkan prestasi atau penampilan olahraganya. Berkaitan dengan latihan, Harsono (1988: 101) menyatakan, “Latihan adalah proses yang sistematis dari latihan atau bekerja, yang dilakukan secara berulang-ulang, dengan kian hari kian menambah jumlah latihan atau pekerjaannya”. Menurut A. Hamidsyah Noer (1996: 6) bahwa, “Latihan suatu proses yang sistematis dan kontinyu dari berlatih atau bekerja yang dilakukan dengan berulang-ulang secara kontinyu dengan kian hari kian menambah jumlah beban latihan untuk mencapai tujuan”. Hal senada dikemukakan Yusuf Adisasmita dan Aip Syarifuddin (1996:145) bahwa, “Latihan adalah proses yang sistematis dari berlatih yang dilakukan secara berulang-ulang, dengan kian hari kian menambah jumlah beban latihan serta intensitas latihannya”. Pengertian latihan yang diungkapkan oleh tiga ahli tersebut pada prinsipnya mempunyai pengertian yang hampir sama, sehingga dapat disimpulkan bahwa, latihan (training) merupakan proses kerja atau berlatih yang sistematis dan kontinyu, dilakukan secara berulang-ulang dengan beban latihan yang semakin meningkat. Dengan latihan yang teratur dan dilakukan secara berulang-ulang, maka prestasi yang tinggi dapat dicapai.
b. Hal-hal yang harus Diperhatikan dalam Latihan Lari Cepat 100 Meter Latihan merupakan suatu proses untuk mencapai prestasi yang tinggi. Untuk mencapai prestasi lari cepat 100 meter, maka harus melakukan latihan secara baik dan teratur. Namun demikian, dalam melakukan latihan lari cepat 100 meter ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Depdiknas (2000: 113-114) menyatakan, “Untuk dapat meningkatkan dan mengembangkan kecepatan maksimal perlu diidentifikasi terlebih dahulu faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan maksimal tersebut yang dapat dilatih dan dikembangkan”. Sedangkan faktor-faktor penentu kecepatan menurut Suharno HP. (1993: 48) yaitu:
1) Macam fibril otot yang dibawa sejak lahir (pembawaan), fibril berwarna putih (phasic) baik untuk gerak yang cepat. 2) Pengaturan nervous system.
33
3) Kekuatan otot 4) Kemampuan elastisitas dan relaksasi suatu otot 5) Kemampuan dan disiplin individu atlet. Berdasarkan dua pendapat tersebut menunjukkan bahwa, kecepatan lari dapat ditingkatkan dengan baik jika memiliki unsur-unsur penentu kecepatan yang baik. Jika unsur-unsur penentu kecepatan tersebut dalam kondisi baik, maka kecepatan lari dapat ditingkatkan secara maksimal. Di samping itu juga, dalam melatih kecepatan harus dilakukan dengan cara yang tepat. Lebih lanjut Suharno HP. (1993: 49) menyatakan: Cara melatih kecepatan (sprint) dapat dilakukan dengan interval training yaitu: 1) Volume beban latihan 5-10 kali giliran lari, tiap-tiap giliran atlet lari secepat-cepatnya dengan jarak 30-80 meter. 2) Intensitas lari 80%-100% dengan pedoman waktu dari pelatih. 3) Frekuensi dan tempo secepat-cepatnya. 4) Peningkatan beratnya latihan dapat mencari variasi perubahan ciri-ciri loading sesuai dengan kehendak atlet dan pelatih. Menerapkan cara latihan yang tepat sangat penting agar diperoleh hasil latihan yang maksimal. Cara-cara melatih kecepatan tersebut harus dipahami dan dikuasai dengan baik dan benar. Di samping itu juga, dalam latihan harus berpedoman pada prinsip-prinsip latihan yang tepat.
c. Prinsip-prinsip Latihan Prinsip latihan pada dasarnya merupakan suatu pedoman dalam memberikan beban latihan, sehingga beban latihan dapat dilakukan dengan baik dan akan terjadi peningkatan. Hal ini sesuai dengan tujuan prinsip latihan yang dikemukakan Sudjarwo (1993: 21) bahwa, “Tujuan prinsip latihan yaitu agar pemberian dosis latihan dapat dilaksanakan secara tepat dan tidak merusak atlet”. Menurut Sudjarwo (1993: 21-23) prinsip-prinsip latihan di antaranya: “(1) Prinsip individu, (2) Prinsip penambahan beban, (3) Prinsip interval, (4) Prinsip penekanan beban (stress), (5) Prinsip makanan baik dan, (6) Prinsip latihan sepanjang tahun”.
34
Prinsip-prinsip latihan tersebut sangat penting untuk diperhatikan dalam latihan. Tujuan latihan dapat tercapai dengan baik, jika prinsip-prinsip latihan tersebut dilaksanakan dengan baik dan benar. Prinsip-prinsip latihan tersebut sangat penting untuk diperhatikan dalam latihan. Tujuan latihan dapat tercapai dengan baik, jika prinsip-prinsip latihan tersebut dilaksanakan dengan baik dan benar. Untuk lebih jelasnya prinsip-prinsip latihan dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Prinsip Individu Manfaat latihan akan lebih berarti, jika di dalam pelaksanaan latihan didasarkan pada karakteristik atau kondisi atlet yang dilatih. Perbedaan antara atlet yang satu dengan yang lainnya tentunya tingkat kemampuan dasar serta prestasinya juga berbeda. Oleh karena perbedaan individu harus diperhatikan dalam pelaksanaan latihan. Sadoso Sumosardjuno (1994: 13) menyatakan, "Meskipun sejumlah atlet dapat diberi program pemantapan kondisi fisik yang sama, tetapi kecepatan kemajuan dan perkembangannya tidak sama". Menurut Andi Suhendro (1999: 3.15) bahwa, “Prinsip individual merupakan salah satu syarat dalam melakukan olahraga kontemporer. Prinsip ini harus diterapkan kepada setiap atlet, sekali atlet tersebut memiliki prestasi yang sama. Konsep latihan ini harus disusun dengan kekhususan yang dimiliki setiap individu agar tujuan latihan dapat tercapai”. Manfaat latihan akan lebih berarti jika program latihan yang diterapkan direncanakan dan dilaksanakan berdasarkan karakteristik dan kondisi setiap atlet. Sudjarwo (1993: 21) menyatakan, “Pemberian beban latihan harus selalu mengingat kemampuan dan kondisi masing-masing atlet. Faktor-faktor individu yang harus mendapat perhatian misalnya tingkat ketangkasan atlet, umur atau lamanya berlatih, kesehatan dan kesegaran jasmani serta psychologis”.
2) Prinsip Penambahan Beban (Over Load Principle)
35
Prinsip beban lebih merupakan dasar dan harus dipahami seorang pelatih dan atlet. Prinsip beban lebih merupakan prinsip latihan yang mendasar untuk memperoleh peningkatan kemampuan kerja. Kemampuan seseorang dapat meningkat jika mendapat rangsangan berupa beban latihan yang cukup berat, yaitu di atas dari beban latihan yang biasa diterimanya. Andi Suhendro (1999: 3.7) menyatakan, “Seorang atlet tidak akan meningkat prestasinya apabila dalam latihan mengabaikan prinsip beban lebih”. Sedangkan Rusli Lutan dkk. (1992: 95) berpendapat: Setiap bentuk latihan untuk keterampilan teknik, taktik, fisik dan mental sekalipun harus berpedoman pada prinsip beban lebih. Kalau beban latihan terlalu ringan, artinya di bawah kemampuannya, maka berapa lama pun atlet berlatih, betapa sering pun dia berlatih atau sampai bagaimana capek pun dia mengulang-ulang latihan itu, prestasinya tidak akan meningkat. Berdasarkan dua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, prinsip beban lebih
bertujuan
untuk
meningkatkan
perkembangan
kemampuan
tubuh.
Pembebanan latihan yang lebih berat dari sebelumnya akan merangsang tubuh untuk beradaptasi dengan beban tersebut, sehingga kemampuan tubuh akan meningkat. Kemampuan tubuh yang meningkat mempunyai peluang untuk mencapai prestasi yang lebih baik. Salah satu hal yang harus tetap diperhatikan dalam peningkatan beban latihan harus tetap berada di atas ambang rangsang latihan. Beban latihan yang terlalu berat tidak akan meningkatkan kemampuan atlet, tetapi justru sebaliknya yaitu kemunduran kemampuan kondisi fisik atau dapat mengakibatkan atlet menjadi sakit.
3) Prinsip Interval Interval atau istirahat merupakan bagian penting dalam latihan. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kondisi atlet. Berkaitan dengan prinsip interval Sudjarwo (1993: 22) menyatakan, “Latihan secara interval adalah merupakan serentetan latihan yang diselingi dengan istirahat tertentu(interval). Faktor
36
istirahat (interval haruslah diperhatikan setelah jasmani melakukan kerja berat akibat latihan.” Istirahat atau interval merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam latihan. Kelelahan akibat dari latihan harus diberi istirahat. Dengan istirahat akan memulihkan kondisi atlet, sehingga untuk melakukan latihan berikutnya kondisinya akan lebih baik.
4) Prinsip Penekanan Beban (Stress) Pemberian beban latihan pada suatu saat harus dilaksanakan dengan tekanan yang berat atau bahkan dapat dikatakan membuat atlet stress. Penekanan beban latihan harus sampai menimbulkan kelelahan secara sungguh-sungguh, baik kelelahan local maupun kelelahan total jasmani dan rokhani atlet. Dengan waktu tertentu serta beban latihan dengan intensitas maksimal akan berakibat timbulnya kelelahan local yaitu otot-otot tertentu atau pun fungsi organisme. Kelelahan total disebabkan adanay beban latihan dengan volume yang besar, serta intensitasnya maksimal dengan waktu yang cukup lama. Prinsip penekanan beban (stress) diberikan guna meningkatkan kemampuan organisme, penggemblengan mental yang sangat diperlukan untuk menghadapi pertandingan-pertandingan.
5) Prinsip Makanan Baik Makanan yang sehat dan baik sangat penting bagi seorang atlet. Makanan yang dikonsumsi atlet harus sesuai dengan tenaga yang diperlukan dalam latihan. Untuk menentukan jenis makanan yang harus dikonsumsi seorang atlet harus bekerjasama dengan ahli gizi. Sudjarwo (1993: 23) menyatakan, “Untuk seorang atlet diperlukan 25-35% lemak, 15% putih telur, 50-60% hidrat arang dan vitamin serta meniral lainnya”. Pentingnya peranan makanan yang baik untuk seorang atlet, maka harus diperhatikan agar kondisi atlet tetap terjaga, sehingga akan mendukung pencapaian prestasi yang maksimal.
37
6) Prinsip Latihan Sepanjang Tahun Pencapaian prestasi yang tinggi dibutuhkan latihan yang teratur dan terprogram. Sudjarwo (1993: 23) menyatakan, “Kembali kepada sistematis dari latihan yang diberikan secara teratur dan ajeg serta dilaksanakan sepanjang tahun tanpa berseling. Hal ini bukan berarti tidak ada istirahat sama sekali, ingat akan prinsip interval”. Sistematis suatu latihan sepanjang tahun akan diketahui melalui periodeperiode latihan. Oleh karena itu, latihan sepanjang tahun harus dijabarkan dalam periode-periode latihan. Melalui penjabaran dalam periode-periode latihan, maka tujuan kan lebih fokus, sehingga prestasi yang tinggi dapat dicapai.
d. Komponen-Komponen Latihan Aktivitas fisik yang dilakukan seseorang berpengaruh terhadap kondisi fisiologis, anatomis, biokimia dan psikologis. Efisiensi dari suatu kegiatan merupakan akibat dari waktu yang dipakai, jarak yang ditempuh dan jumlah pengulangan (volume), beban dan kecepatannya intensitas, serta frekuensi penampilan (densitas). Menurut Depdiknas. (2000: 105) bahwa, “Dalam proses latihan yang efisien dan efektifitas dipengaruhi: (1) volume latihan, (2) intensitas latihan, (3) densitas latihan dan (4) kompleksitas latihan”. Pendapat tersebut menunjukkan bahwa, komponen latihan mencakup empat macam yaitu volume latihan, intensitas latihan, densitas latihan dan kompleksitas latihan. Latihan akan mencapai hasil yang efektif dan waktunya lebih efisien jika komponen-komponen latihan diperhatikan dengan baik dan benar. Untuk lebih jelasnya komponen-komponen latihan dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut:
1) Volume Latihan Volume latihan merupakan syarat yang sangat penting untuk mencapai kemampuan fisik yang yang lebih baik. Menurut Andi Suhendro (1999: 3.17) bahwa, “Volume latihan adalah ukuran yang menunjukkan jumlah atau kuantitas derajat besarnya suatu rangsang yang dapat ditujukan dengan jumlah repetisi, seri
38
atau set dan panjang jarak yang ditempuh”. Sedangkan Depdiknas (2000: 106) menyatakan, “Unsur-unsur latihan meliputi: (1) waktu atau lama latihan, (2) jarak tempuh atau berat beban yang diangkut setiap waktu dan (3) jumlah ulangan latihan atau unsur teknik yang dilakukan dalam waktu tertentu”. Berdasarkan dua pendapat tersebut menunjukkan bahwa, volume latihan mencerminkan kuantitas atau banyaknya latihan yang dilakukan pada saat latihan. Untuk meningkatkan kemampuan fisik, maka volume latihan harus ditingkatkan secara berangsur-angsur (progresif). Peningkatan beban latihan harus disesuaikan dengan perkembangan yang dicapai. Hal ini karena, semakin tinggi kemampuan seseorang makin besar volume latihannya, karena terdapat korelasi antara volume latihan dan prestasi.
2) Intensitas Latihan Intensitas latihan merupakan komponen kualitas latihan yang mengacu pada jumlah kerja yang dilakukan dalam suatu unit waktu tertentu. Semakin banyak kerja yang dilakukan, semakin tinggi intensitasnya. Suharno HP. (1993: 31) menyatakan, “Intensitas adalah takaran yang menunjukkan kadar atau tingkatan pengeluaran energi atlet dalam aktivitas jasmani baik dalam latihan maupun pertandingan”. Intensitas latihan tercermin dari kuatnya stimuli (rangsangan) syaraf dalam latihan. Kuatnya rangsangan tergantung dari beban, kecepatan gerakan dan variasi interval atau istirahat antar ulangan. Antara intensitas latihan dan volume latihan sulit untuk dipisahkan, karena latihan selalu mengkaitkan antara kuantitas dan kualitas latihan. Untuk mencapai hasil latihan yang baik, maka intensitas latihan yang diberikan tidak boleh terlalu tinggi atau terlalu rendah. Intensitas suatu latihan yang tidak memadai atau terlalu rendah, maka pengaruh latihan yang ditimbulkan sangat kecil bahkan tidak ada sama sekali. Sebaliknya bila intensitas latihan terlalu tinggi dapat menimbulkan cidera.
3) Densitas Latihan
39
Densitas merupakan frekuensi (kekerapan) dala melakukan serangkaian stimuli (rangsangan) harus dilakukan dalam setiap unit waktu dalam latihan. Dalam hal ini Andi Suhendro (1999: 3.24) menyatakan, “Density merupakan ukuran yang menunjukkan derajat kepadatan suatu latihan yang dilakukan”. Densitas menunjukkan hubungan yang dicerminkan dalam waktu antara aktifitas dan pemulihan (recovery) dalam latihan. Ketepatan densitas dinilai berdasarkan perimbangan antara aktivitas dan pemulihan. Perimbangan ini berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan seseorang. Lama waktu isntirahat atau interval antar aktivitas tergantung pada berbagai faktor antar alain: intensitas latihan, status kemampuan peserta, fase latihan, serta kemampuan spesifik yang ditingkatkan. Berkaitan dengan densitas latihan Depdiknas (2000: 107) berpendapat:
4) Kompleksitas Latihan Kompleksitas dikaitan pada kerumitan bentuk latihan yang dilaksanakan dalam latihan. Hal ini sesuai penapat Depdiknas (2000: 108) bahwa, “Kompleksitas latihan menunjukkann tingkat keragaman unsur yang dilakukan dalam latihan”. Kompleksitas dari suatu keterampilan membutuhkan koordinasi, dapat
menjadi
penyebab
penting
dalam
menambah
intensitas
latihan.
Keterampilan teknik yang rumit atau sulit, mungkin akan menimbulkan permasalahan dan akhirnya akan menyebabkan tekanan tambahan terhadap otot, khususnya selama tahap dimana koordinasi syaraf otot berada dalam keadaan lemah. Suatu gambaran kelompok individual terhadap keterampilan yang kompleks, dapat membedakan dengan cepat mana yang memiliki koordinasi yang baik dan yang jelek. Seperti dikemukakan Astrand dan Rodahl dalam Bompa (1983: 28) “Semakin sulit bentuk latihan semakin besar juga perbedaan individual serta efisiensi mekanismenya”.
3. Waktu Istirahat dalam Olahraga
40
a. Pentingnya Waktu Istirahat dalam Olahraga Prestasi Dalam kegiatan atau latihan olahraga prestasi, memberikan waktu istirahat di antara waktu latihan merupakan bagian yang penting dan harus diperhitungkan dengan cermat. Sugiyanto dan Sudjarwo (1992: 357) menyatakan, “Yang penting untuk diperhatikan oleh guru atau pelatih dalam latihan yaitu mengatur waktu latihan dan waktu istirahat secara berselang-seling sedemikian rupa, sehingga pelajar atau atlet tidak mengalami pembebanan latihan yang berlebihan”. Memberikan waktu istirahat di antara waktu latihan adalah sangat penting agar tujuan latihan dapat tercapai. Pemberian beban latihan harus diperhitungkan dengan tepat. Selain itu juga, waktu istirahat juga harus diberikan dengan benar agar kondisi atau kemampuan atlet selalu terjaga dengan baik. Pemberian waktu istirahat yang tepat di antara waktu latihan, maka atlet akan mampu melakukan latihan dengan baik, karena kondisinya selalu stabil. Dalam hal ini Soekarman (1986: 77) menyatakan, “Interval istirahat (relief interval) adalah bagian dari interval training dimana badan diberi istirahat. Maksud dari istirahat ini ialah memberi kesempatan tubuh untuk pulih asal”. Sedangkan Sugiyanto dan Sudjarwo (1992: 284) berpendapat, “Waktu istirahat yang diberikan tidak perlu menunggu sampai mencapai kelelahan, tetapi juga jangan terlalu sering. Yang penting adalah mengatur agar rangsangan terhadap sistem-sistem yang menghasilkan gerakan tubuh diberikan secara cukup, atau tidak kurang atau tidak berlebihan”. Istirahat di antara waktu latihan dimaksudkan untuk memulihkan stamina atlet agar tidak terjadi kelelahan yang berlebihan. Dalam memberikan waktu istirahat di antara waktu latihan harus dilakukan tepat tidak menunggu sampai atlet kelalahan, namun juga jangan terlalu sering. Pemberian waktu istirahat yang kurang perhitungan (terlalu sering) justru akan berdampak pada penurunan, sehingga tujuan latihan tidak dapat tercapai.
41
b. Pemberian Waktu Istirahat dengan Latihan Interval Anaerob untuk Meningkatkan Kecepatan Lari 100 Meter Pemberian waktu istirahat di antara waktu latihan biasanya diberikan pada bentuk latihan interval. Hal ini karena, prinsip latihan interval yaitu latihan yang diselingi dengan waktu istirahat. Latihan interval merupakan serangkaian kerja (latihan) yang diulang-ulang dan diselingi dengan periode istirahat. Tipe kerja latihan interval adalah intermitten, yaitu kerja sebentar dan istrahat yang dilakukan berselang-seling. Keberhasilan program latihan interval di antaranya tergantung pada kecermatan dalam menentukan work interval, relief interval, work-relief ratio, penentuan jumlah set dan jumlah repetisi. Ciri khas utama dalam latihan interval adalah adanya periode waktu tertentu untuk istirahat setelah menjalakan kerja (latihan). Dalam latihan interval terdapat dua komponen utama yang harus diperhatungkan dengan cermat yaitu work interval (interval kerja) dan relief interval (interval istirahat). Seperti dikemukakan Soekarman (1986: 77) bahwa: Dalam interval training itu perlu diketahui adanya interval kerja (work interval) dan relief interval (interval istirahat). Interval kerja adalah porsi dari interval training yang terdiri dari kerja yang berat seperti lari 100 meter. Sedangkan interval istirahat (relief interval) adalah bagian dari interval training di mana badan diberi istirahat. Work interval (interval kerja) merupakan bagian latihan interval yang menyatakan ketinggian intensitas latihan (Foss & Keteyian, 1982: 281). Work interval merupakan bagian latihan interval yang dilakukan dengan intensitas tinggi. Tipe kerja latihan anaerob seperti ari cepat 100 meter adalah dilakukan dengan intensitas maksimal dalam waktu yang pendek atau singkat. Tujuan latihan interval anaerob adalah meningkatkan kecepatan dengan penggunaan energi ATP-PC (anaerob). Prinsip latihan anaerob adalah dengan memberikan beban maksimal yang dikerjakan untuk waktu yang pendek dan diulang-ulang beberapa kali. Rushall & Pyke (1992: 270) menyatakan, “Latihan interval untuk kecepatan yaitu dengan waktu kerja 5-15 detik dengan intensitas maksimal”. Selanjutnya menurut Foss & Keteyian (1998: 285) bahwa, “Latihan anaerobic-alactid acid yaitu dengan waktu
42
kerja < 10 detik”. Berikutnya menurut Robert Pyke (1991: 43) bahwa, “Sistem energi ATP-PC dapat memberikan energi yang cukup untuk usaha yang maksimal yang dilakukan dalam waktu 5-10 detik”. Interval kerja untuk latihan anaerob yaitu dengan intensitas maksimal dalam waktu relatif pendek yaitu 5-15 detik. Mengenai jarak yang ditempuh ditetapkan 30 sampai 80 meter, oleh karena diperkirakan untuk menempuh jarak tersebut dengan kecepatan maksimal diperlukan waktu kerja selama 5-15 detik. Relief interval (interval istirahat) merupakan waktu di antara interval kerja atau set (Foss & Keteyian, 1998: 281). Tujuan interval istirahat adalah untuk pemulihan setelah melakukan kerja. Pemulihan ini meliputi pemulihan oksigen dan pemulihan energi. Pemulihan oksigen diperlukan karena selama periode kerja latihan terjadi oksigen debt. Selama latihan dengan kerja yang maksimal terjadi pengosongan simpanan oksigen di dalam otot dan dalam darah vena (Foss & Keteyian, 1998: 50). Pengisian simpanan energi yang dikuras selama kerja dan penggusuran asam laktat diperlukan kerja secara aerobik, sehingga diperlukan oksigen. Besarnya jumlah oksigen yang diperlukan selama pemulihan tergnatung pada besarnya jumlah asam laktat yang terakumulasi dalam darah dan otot selama latihan. Pemulihan energi merupakan pengisian kembali simpanan energi yang telah dikuras atau dikosongkan selama periode kerja. Ada dua sumber energi yang dihabiskan selama latihan yaitu, “(1) phosphagen, atau ATP dan PC yangdisimpan dalam sel otot, dan (2) glikogen yang disimpan dalam jumlah besar baik pada hati dan otot yang berfungsi sebagai dua sumber bahan bakar yang penting di sebagian besar aktivitas latihan (Foss & Keteyian, 1998: 52). Selama periode kerja anaerob, cadangan energi yang dikuras adalah ATP dan PC. Pada latihan lari cepat, cadangan ATP dan PC habis setelah lari beberapa detik dengan kecepatan maksimal. Sebagian besar ATP dan PC yang digunakan selama kerja dalam latihan diisi kembali ke dalam otot selama 2-3 menit. Setengah ATP dan PC dapat terisi pada periode ± 30 detik. Menurut Robert in Pyke et al (1991: 45) bahwa, “Subtansi ATP-PC segera dibentuk kembali setelah
43
30 detik yaitu sebesar 50%. Untuk mencapai 100% diperlukan waktu 2-3 menit”. Secara lebih rinci Foss & Keteyian (1998: 54) menyatakan, “ATP-Pcterbentukj kembali setelah istirahat 30 detik sebesar ½ selama 1 menit sebesar ¾ , selama 1 ½ menit sebesar 7/8 dan selama 3 menit sebesar 63/64”. Setelah istirahat 2-3 menit, cadangan ATP-PC di dalam otot telah terisi hampir 100%, sehingga atlet siap untuk melakukan kerja yang berat dengan intensitas maksimal”. Jenis kegiatan yang dilakukan saat interval istirahat perlu ditetapkan dan diperhatikan . Foss & Keteyian (1998: 284) mengemukakan, “Interval relief bisa berbentuk rest-relief (misal: berjalan atau melenturkan lengan dan kaki), work relief (misal: exercise yang ringan atau mudah seperti jalan cepat dan jogging) atau kombinasi dari rest-relief dan work-relief”. Interval relief harus digunakan dengan program latihan interval yang dirancang untuk memodifikasi sistem energi ATP-PC yang menentukan selama kerja melelahkan jangka pendek. Interval restrelief membantu mempercepat pengisian kembali ATP-PC yang disuplai dalam otot, sehingga latihan yang kuat bisa diulang lagi. Saat latihan untuk memperbaiki glikolisis anaerobic, interval work-relief harus digunakan di antara interval kerja. Sebab, work relief dapat mempercepat penggusuran LA di dalam darah dan otot. Jenis aktivitas kerja pada pemulihan harus bersifat aerobik, oleh karena itu aktivitasnya harus ringan.
c. Kelebihan
dan
Kelemahan
Latihan
Interval
Anaerob
untuk
Meningkatkan Kecepatan Lari 100 Meter Latihan interval merupakan bentuk latihan yang memperhitungkan antara waktu latihan dan waktu istirahat. Berdasarkan perhitungan tersebut, latihan interval memiliki beberapa kelebihan. Menurut Foss & Keteyian (1998: 285) bahwa, ada dua keuntungan utama dalam menggunakan program latihan interval yaitu: 1) Program latihan interval dapat membuat para coach atau pelatih untuk lebih mengkhususkan program latihan yang lebih teliti bagi setiap atlet, yang khusus pada sistem energi predominan untuk olahraga yang diberikan dan dilaksanakan pada tingkat tegangan fisiologis yang mengoptimalkan keberhasilan dalam penampilan.
44
2) Program latihan interval bisa sama hari ke hari (sehingga atlet bisa mengamati kemajuannya) fleksibel pelaksanaannya. Sistem interval memberikan periode pemulihan diantara ulangannya. Pemulihan diperlukan setelah melakukan kerja atau latihan dengan intensitas tinggi selama latihan. Dengan adanya interval istirahat memiliki beberapa manfaat atau keuntungan. Menurut Suharno HP. (1985: 11) manfaat adanya pemulihan antara lain; “(1) menghindari terjadinya over training, (2) memberikan kesempatan
organisme
atlet
untuk
beradaptasi
terhadap
beban
latihan
sebelumnya”. Berdasarkan karakteristik latihan interval tersebut dapat diidentifikasi kelemahannya. Kelamahan latihan interval di antaranya: seringnya waktu istirahat sehingga kondisi fisik akan menurun yaitu kondisi fisik yang sudah terbentuk akan berkurang lagi dalam istirahat. Oleh karena itu waktu istirahat yang diberikan hendaknya diperhitungkan dengan baik, sehingga kondisi yang telah dicapai tidak mudah menurun dan setelah istirahat tubuh siap kembali untuk melakukan aktivitas selanjutnya.
4. Pemberian Waktu Istirahat dengan Rasio 1:5 dan 1:10
a. Pelaksanaan Latihan Kecepatan dengan Rasio 1:5 Latihan kecepatan dengan metode latihan interval anaerob dengan rasio 1:5 yaitu perbandingan 1 untuk waktu kerja dan 5 untuk waktu istirahat. Suatu misal, waktu kerja dalam menempuh jarak 50 meter yaitu 7 detik, maka periode istirahatnya adalah 35 detik. Latihan yang akan diterapkan dalam penelitian ini yaitu sptrint pendek menempuh jarak 30-80 meter, dengan waktu kerja antara 515 detik. Dengan demikian periode istirahatnya antara 25-75 detik. Dengan periode istirahatnya 25-75 detik, energi ATP-PC pelari baru pulih sebesar ± 50% 80%. Untuk melaksanakan kerja berikutnya, maka energi yang digunakan tidak 100% ATP-PC, karena ATP-Pcnya belum pulih 100%. Hal ini memungkinkan timbulnya akumulasi LA, apabila dilakukan dengan berulang kali.
45
b. Pelaksanaan Latihan Kecepatan dengan Rasio 1:10 Latihan inetrval anaerob dengan rasio 1:10 adalah perbandingan 1 waktu kerja dan 10 untuk waktu istirahat. Latihan yang akan diterapkan dalam penelitian ini yaitu sprint pendek dengan waktu kerja antara 5-15 detik. Dengan demikian periode istirahatnya yaitu 50-150 detik. Periode istirahat 50-150 detik, maka energi ATP-PC pelari telah pulih sebesar ± 70-95%. Dengan demikian pemulihan dalam latihan interval dengan rasio 1:10 ini cukup panjang, hampir 100%. Untuk melaksanakan kerja berikutnya maka energi yang digunakan sudah hampir 100%. Hal ini menghindari adanya akumulasi LA. Latihan ini merupakan latihan kecepatan murni, karena unsur daya tahan terhindari.
c. Perbedaan Pengaruh Latihan Kecepatan dengan Latihan Interval Anaerob dengan Rasio 1:5 dan 1:10 terhadap Kecepatan Lari 100 Meter Latihan interval anaerob yang dilakukan secara sistematis, berulang-ulang dan
kontinyu
dapat
mengakibatkan
perubahan-perubahan
dalam
tubuh.
Perubahan-perubahan itu antara lain perubahan biokimia dan sistem otot rangka, perubahan kardiorespirasi dan perubahan mekanisme organisasi sistem syaraf yang mengarah pada peningkatan dalam kemampuan melakukan kerja, khususnya dalam kaitannya dengan aktivitas lari 100 meter. Perbandingan (rasio) antara periode kerja dan periode istirahat dalam latihan interval ikut menentukan terhadap hasil latihan. Pemulihan ATP-PC dalam latihan interval dengan rasio 1:5 belum memberikan pemulihan yang cukup terhadap pengisian kembali ATP-PC secara sempurna, sehingga masih memungkinkan timbulnya akumulasi LA, jika telah dilakukan dalam ulangan lebih banyak. Latihan ini dapat meningkatkan kecepatan, tetapi peningkatannya lebih besar kepada peningkatan daya tahan anaerob. Latihan interval anaerob dengan rasio 1:10 memungkinkan pemulihan ATP-PC mendekati 100%. Untuk melaksanakan kerja berikutnya, maka energi yang digunakan sudah hampir 100%. Hal ini menghindari akumulasi LA. Latihan ini merupakan latihan kecepatan murni, karena unsur daya tahan dihindari.
46
Dengan pemulihan yang mendekati 100% maka kesempurnaan gerakan dan kecepatannya dapat dipertahankan.
5. Konsumsi Oksigen Maksimal (VO2 Max) a. Pengertian VO2 Max VO2 Max merupakan kemampuan fisik yang sangat penting dalam melakukan kegiatan olahraga. Dapat dikatakan kemampuan VO2 Max yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi pencapaian prestasi olahraga. Berkaitan dengan VO2 Max Soekarman (1987: 58) menyatakan, “VO2 Max adalah kemampuan jantung untuk memompa darah, kemampuan paru untuk menyerap oksigen dan kemampuan sel-sel untuk menyerap oksigen”. Menurut Sudarno SP. (1992: 59) menyatakan, “Kapasitas aerobik maksimal adalah kemampuan kapasitas seseorang untuk menghisap dan menggunakan oksigen secara maksimal”. Sedangkan Ismaryati (2006: 77) menyatakan, “Istilah komsumsi oksigen maksimal mempunyai pengertian yang sama dengan maximal oxygen intake dan maximal oxygen power yang menunjukkan perbedaan yang terbesar antara oksigen yang dihisap masuk ke dalam paru dan oksigen yang dihembuskan ke luar paru”. Berdasarkan pengertian VO2 Max yang dikemukakan ketiga ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa, kapasitas oksigen maksimal (VO2 Max) merupakan kemampuan seseorang untuk menghirup dan menggunakan oksigen secara maksimal dalam melakukan aktivitas atau kegiatan olahraga. Kapasitas oksigen maksimal sangat berperan penting dalam kegiatan olahraga dan dapat dijadikan indikator bagi kesegaran jasmani seseorang. Untuk mengetahui besarnya konsumsi oksigen maksimal, harus diketahui terlebih dahulu berapa banyak oksigen yang dihisap dan yang dihembuskan. Perbedaan diantara keduanya itulah merupakan jumlah oksigen yang dikonsumsi dan digunakan oleh sistem transport elektron pada mitochondria untuk menghasilkan energi oleh jaringan-jaringan yang aktif.
47
b. Faktor-Faktor yang Menentukan Konsumsi Oksigen Maksimal Konsumsi oksigen maksimal atau VO2 Max merupakan komponen kebugaran yang sangat penting bagi hampir semua orang, apalagi bagi seorang olahragawan. Bagi seorang olahragawan kebutuhan akan daya tahan aerobik sangat penting untuk membantu penampilannya dalam kegiatan olahraga. Untuk memperoleh kapasitas oksigen maksimal banyak faktor yang mempengaruhinya. Ditinjau dari fungsi fisiologis bahwa jantung, paru-paru, darah, pembuluh dara dan otot merupakan bagian yang berpengaruh terhadap kapsitas konsumsi oksigen. Ismaryati (2006: 79) menyatakan bahwa, faktor-faktor yang menentukan konsumsi oksigen maksimal yaitu: 1) Jantung, paru dan pembuluh darah harus berfungsi dengan baik, sehingga oksigen yang dihisap dan masuk ke paru, selanjutnya sampai ke darah. 2) Proses penyampaian oksigen ke jaraingan-jaringan oleh sel-sel darah merah harus normal, yakni fungsi jantung harus normal, yakni fungsi jantung harus normal dan konsentrasi hemoglobin harus normal, jumlah sel darah merah harus normal, dan konsentrasi hemoglobin harus normal, serta pembuluh darah harus mampu mengalirkan darah dari jaraingan-jaringan yang tidak aktif ke otot yang sedang aktif yang membutuhkan oksigen lebih besar. 3) Jaringan-jaringan terutama otot harus mempunyai kapasitas yang normal untuk mempergunakan oksigen yang disampaikan kepadanya. Dengan kata lain harus mempunyai metabolisme yang normal, demikian juga dengan fungsi mitokhondriannya. Selain faktor-faktor penentu kapasitas oksigen maksimal seperti di atas, pendapat lain dikemukakan Dangsina Moeloek & Arjatmo Tjokronegoro (1984: 3-5) bahwa, faktor fisiologis yang mempengaruhi daya tahan aerobik adalah “(1) keturunan, (2) usia, (3) jenis kelamin, dan (4) aktivitas fisik”. Untuk lebih jelasnya faktor-faktor yang mempengaruhi daya tahan aerobik dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Keturunan Keturunan merupakan sifat bawaan yang dibawa sejak lahir. Keturunan ini dapat mempengaruhi daya tahan aerobik seseorang. Alat-alat faal tubuh seperti jantung, paru-paru, sel darah merah, serabut otot dan hemoglobin merupakan
48
faktor genetik yang mempengaruhi kemampuan daya tahan aerobik seseorang. Dangsina Moeloek & Arjatmo Tjokronegoro (1984: 3) menyatakan bahwa “Dari penelitian yang dilakukan dibuat kesimpulan bahwa VO2 Max 93,4% ditentukan oleh faktor genetik yang hanya dapat diubah dengan latihan.” Pendapat lain dikemukakan Mucshin Doewes, Soedarwo & Slamet Suherman (1994: 49) bahwa, “Faktor keturunan memegang peranan penting dalam menentukan batas kemampuan seseorang untuk mencapai tingkat kesegaran jasmaninya”. Daya tahan aerobik sangat dipengaruhi oleh faktor genetik (keturunan). Karena daya tahan aerobik seseorang sangat bergantung pada garis keturunan. Namun demikian daya tahan aerobik dapat ditingkatkan melalui latihan secara intensif. Pengaruh yang ditimbulkan dari latihan terhadap peningkatan daya tahan aerobik sangat terbatas. Pate et al (1993: 256) menyatakan, ”Meskipun VO2 Max dapat ditingkatkan melalui latihan yang sesuai, kebanyakan penelitian menunjukkan bahwa besarnya peningkatan itu terbatas dari 10% hingga 20%”. Peningkatan daya tahan aerobik akibat latihan relatif sedikit. Faktor keturunan sangat dominan terhadap kualitas daya tahan aerobik yang dimiliki seseorang. Dengan demikian daya tahan aerobik seseorang dengan orang lain jelas berbeda-beda. Kualitas jantung, paru-paru, sel darah merah, hemoglobin serta jenis serabut otot yang dimiliki seseorang akan menentukan kualitas daya tahan aerobik yang dimilikinya. Jika jantung, paru-paru, sel darah merah, hemoglobin dan serabut ototnya dalam keadaan baik, maka daya tahan aerobik yang dimiliki juga baik. Tetapi sebaliknya jika buruk, maka kualitas daya tahan aerobiknya juga buruk.
2) Usia Bertambahnya usia seseorang akan berpengaruh terhadap kualitas fungsi fisiologis dalam tubuh. Demikian halnya daya tahan aerobik seseorang akan berkembang seiring dengan usia dan pertumbuhan fisikya. Pada usia mudah seseorang
mengalami
perkembangan
dan
pertumbuhan.
Seiring
dengan
bertambahnya usia, anak mengalami perkembangan dan pertumbuhan dan kematangan baik fisik, fisiologis maupun psikologis. Pertumbuhan pada usia
49
anak-anak yaitu bertambahnya masa otot, bertambahnya ukuran tubuh, bertambahnya organ jantung dan paru-paru. Pertumbuhan dan perkembangan fisik dan fisiologis berpengaruh terhadap daya tahan aerobik. Bertambahnya masa otot, organ jantung dan paru-paru pada masa pertumbuhan akan meningkatkan kapasistas seseorang dalam menggunakan oksigen. Pada usia muda kemampuan fisik seseorang akan meningkat seiring dengan pertumbuhan yang dialaminya, kemudian mencapai puncaknya pada usia dewasa dan akhirnya mengalami penuaan. Dangsina Moeloek & Arjatmo Tjokronegoro (1984: 4) menyatakan, “Mulai anak-anak sampai sekitar usia 20 tahun, daya tahan aerobik meningkat, mencapai maksimal pada usia 20-30 tahun dan kemudian berbanding terbalik dengan usia, sehingga pada orang yang berusia 70 tahun diperoleh daya tahan 50% dari yang dimilikinya pada usia 17 tahun”. Berikut ini disajikan gambar hubungan antara usia dan kesegaran jasmani sebagai berikut :
Gambar 7. Hubungan Antara Usia dan Daya Tahan Aerobik (Dangsina Moeloek & Arjatmo Tjokronegoro, 1984:3) Berdasarkan gambar di atas menunjukkan bahwa, penurunan daya tahan aerobik ini disebabkan karena usia yang semakin tua. Pada usia tua setiap orang akan mengalami penurunan kemampuan fisik dan penurunan faal organ tubuh termasuk daya tahan aerobik. Proses bertambahnya usia manusia akan berakibat pada berkurangnya kemampuan dalam penampilan fisik serta kapasitas
50
aerobiknya. Pada usia tua fungsi jantung dan paru-paru akan menurun, hal ini akan berpengaruh pada menurunnya kemampuan aerobiknya. Pada usia lanjut kemampuan daya tahan aerobik akan menurun secara drastis, hal ini terjadi jika orang yang bersangkutan tidak aktif melakukan aktivitas fisik secara teratur. Curamnya penurunan daya tahan aerobik dapat berkurang jika tetap melakukan aktivitas fisik seperti olahraga aerobik secara teratur.
3) Jenis Kelamin Secara kodrati bahwa antara anak laki-laki dan perempuan memiliki karakteristik yang berbeda. Rusli Lutan (1988: 349) menyatakan bahwa “Empat alasan mengapa terjadi perbedaan dalam penampilan fisik anak laki-laki dan perempuan yaitu (1) bentuk tubuh, (2) struktur anatomis, (3) fungsi fisiologis dan (4) faktor-faktor budaya”. Berdasarkam perkembangan dan pertumbuhan fisik antara anak laki-laki dan perempuan jelas berbeda. Dalam kaitannya dengan penampilan olahraga, perbedaan jenis kelamin secara fisiologis yang terpenting terletak pada ukuran tubuh, komposisi tubuh dan fungsi jantung (Pate et al, 1993: 243). Pendapat tersebut menunjukkan bahwa, kemampuan daya tahan aerobik antara anak laki-laki dan perempuan berbeda. Pada umumnya pada masa pubertas, anak laki-laki memiliki ukuran tubuh yang lebih besar jika dibandingkan dengan anak perempuan. Di samping itu hormon pertumbuhan antara anak laki-laki dan perempuan juga berbeda. Pada anak laki-laki terjadi penambahan jaringan otot, sedangkan pada anak perempuan cenderung menuju pada pengurangan jaringan otot dan penambahan jaringan lemak.Panambahan jaringan otot pada anak lakilaki tersebut mengakibatkan kekuatan menjadi meningkat atau lebih besar dibandingkan dengan anak perempuan. Adanya perbedaan tersebut maka akan berpengaruh terhadap kemampuan daya tahan aerobik atau VO2 Max-nya. Menurut Dangsina Moeloek & Arjatmo Tjokronegoro (1984:4) bahwa, “Sampai dengan usia pubertas tidak terdapat perbedaan daya tahan kardiovaskuler pria dan wanita. Setelah usia tersebut (pubertas) nilai pada wanita lebih rendah 15-25% daripada pria”. Pendapat lain
51
dikemukakan ini Pate et al (1993: 344) bahwa, “Wanita cenderung memperlihatkan VO2 Max yang relatif lebih rendah daripada rekan pria”. Berdasarkan dua pendapat di atas menunjukkan bahwa, kemampuan daya tahan aerobik antara anak laki-laki dan perempuan jelas berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh adanya perbedaan maximal muscular power yang berhubungan dengan luas permukaan tubuh, komposisi tubuh, kekuatan otot, jumlah hemoglobin, kapasitas paru dan sebagainya. Pada umumnya setelah masa pubertas anak laki-laki memiliki daya tahan kardiovaskuler yang lebih baik.
4) Aktivitas Fisik Berolahraga secara teratur atau melakukan aktivitas secara rutin akan berpengaruh terhadap kualitas daya tahan aerobik yang dimiliki seseorang. Fungsi faal tubuh dan metabolisme otot selalu menyesuaikan dengan kebiasaan yang dilakukan sehari-hari. Jika seseorang aktif beraktivitas termasuk berolahraga secara teratur, maka daya tahan aerobik akan dapat terjaga dengan baik bahkan meningkat lebih baik. Lain halnya dengan orang yang tidak aktif berolahraga, maka daya tahan aerobik akan menurun. Menurut Cooper dalam Sudarno SP. (1992: 6) bahwa “Seseorang yang hidup sehari-harinya lebih aktif akan memiliki tingkat kesegaran jasmani yang lebih baik, bila dibandingkan dengan mereka yang hidup sehari-harinya kurang aktif”. Melakukan aktivitas fisik secara teratur seperti kegiatan berolahraga merupakan bagian penting untuk menjaga dan meningkatkan daya tahan aerobik seseorang. Seseorang yang sehari-harinya aktif beraktivitas, maka daya tahan aerobiknya lebih baik, sehingga akan mendukung penampilannya dalam kegiatan olahraga.
c. Peranan VO2 Max terhadap Kecepatan Lari 100 Meter Dalam kegiatan olahraga tidak dapat terlepas dari kebutuhan VO2 Max. Dapat dikatakan penampilan seorang atlet dapat dipengaruhi dari kapasitas VO2 Max yang dimilikinya. Sudarno SP. (1992: 59) menyatakan:
52
Kapasita aerobik maksimal ini merupakan faktor penting bagi penampilan pada olahraga yang memakan waktu, dan merupakan indikator bagi kesegaran jasmani seseorang. Semakin besar kapasitas aerobik seseorang, semakin besarnya kemungkinannya mencetak prestasi pada nomor-nomor yang memerlukan ketahanan, demikain pula semakin tinggi tingkat kesegaran jasmaninya. Pendapat tersebut menunjukkan bahwa, pencapain prestasi dalam kegiatan olahraga termasuk lari cepat 100 meter dipengaruhi oleh kapasitas oksigen maksimal (VO2 Max). Semakin tinggi kapasitas oksigen maksimal (VO2 Max) yang dimiliki seseorang, maka mempunyai peluang yang besar untuk mencapai prestasi yang tinggi. Sudarno SP. (1992: 26) menyatakan: Penampilan dalam waktu singkat dengan intensitas tinggi seperti lari sprint 100 meter memerlukan penyajian energi dengan dengan cepat dan segera. Kebutuhan energi semacam ini hampir seluruhnya dicukupi dari phosphagen dengan energi tinggi, yaitu ATP dan PC yang tersimpan pada otot-otot yang khusus terlibat pada gerakan/latihan tersebut. Kebutuhan kapasitas oksigen maksimal mutlak dibutuhkan dalam aktivitas olahraga yang memiliki intensitas tinggi dan dalam waktu singkat seperti lari cepat 100 meter. Hal ini artinya, seseorang yang memiliki VO2 Max baik sangat mendukung untuk mencapai prestasi yang tinggi dalam lari cepat 100 meter. Namun sebaliknya, jika seseorang VO2 Maxnya rendah maka peluang untuk mencapai prestasi yang tinggi dalam lari cepat 100 meter lebih kecil atau sulit.
B. Kerangka Pemikiran Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dikemukakan di atas dapat diajukan kerangka pemikiran sebagai berikut: 1. Perbedaan Pengaruh Latihan Kecepatan dengan Metode Interval Anaerob dengan Rasio 1:5 dan 1:10 terhadap Kecepatan Lari 100 Meter Latihan interval anaerob merupakan bentuk latihan dengan intensitas tinggi dalam waktu singkat yang diselingi dengan waktu istirahat. Dalam menentukan perbandingan latihan interval harus diperhitungkan dengan cermat dan akurat. Hal ini karena, kesalahan dalam memperhitungkan perbandingan
53
antara waktu kerja dengan waktu istirahat akan berdampak pada hasil latihan. Dalam usaha meningkatkan prestasi lari cepat 100 meter dapat dilakukan latihan interval anaerob dengan rasio perbandingan 1:5 dan 1:10. Latihan interval anaerob dengan rasio 1:5 dan 1:10 memiliki karakteristik yang berbeda. Latihan interval anaerob dengan rasio 1:5 kurang memberikan pemulihanyang cukup terhadap pengisian kembali ATP-PC secara sempurna, sehingga masih memungkinkan timbulnya akumulasi LA, jika telah dilakukan dalam ulangan lebih banyak. Latihan ini dapat meningkatkan kecepatan, tetapi peningkatannya lebih besar kepada peningkatan daya tahan anaerob. Sedangkan latihan interval anaerob dengan rasio 1:10 memungkinkan pemulihan ATP-PC mendekati 100%, sehingga menghindari akumulasi LA. Dengan pemulihan yang mendekati 100% maka kesempurnaan gerakan dan kecepatannya dapat dipertahankan. Dengan demikian diduga latihan interval anaerob dengan rasio 1:5 dan 1:10 memiliki perbedaan terhadap peningkatan kecepatan lari 100 meter.
2. Perbedaan Kemampuan VO2 Max Tinggi dan Kemampuan VO2 Max Rendah terhadap Kecepatan Lari 100 Meter VO2 Max merupakan kemampuan seseorang untuk menghisap dan menggunakan oksigen dalam kegiatan olahraga dengan intensitas tinggi dalam waktu yang singkat. Dalam lari cepat 100 meter VO2 Max mutlak dibutuhkan. Seseorang yang memiliki VO2 Max yang tinggi mempunyai peluang yang besar untuk mencapai prestasi lari cepat 100 meter. Sedangkan seseorang yang kemampuan VO2 Max-nya rendah akan mengalami kesulitan untuk mencapai prestari lari cepat 100 meter. Dengan demikian diduga, antara kemampuan VO2 Max tinggi dengan VO2 Max rendah memiliki perbedaan terhadap pencapaian kecepatan lari 100 meter.
54
3. Interaksi antara Waktu Istirahat dan Kemampuan VO2 Max terhadap Kecepatan Lari 100 Meter Latihan interval anaerob merupakan metode latihan yang dapat digunakan untuk meningkatkan kecepatan lari 100 meter. Dalam latihan interval perlu diperhitungkan antara waktu kerja dan waktu istirahat. Pemberian waktu kerja dan waktu istirahat dengan cepat akan sangat mendukung terhadap pencapaian tujuan latihan. Namun disisi lain, prestasi lari cepat 100 meter perlu didukung kemampuan VO2 Max. Dengan kemampuan VO2 Max yang baik, maka mempunyai peluang yang besar untuk mencapai prestasi yang tinggi dalam lari cepat 100 meter. Berdasarkan karakteristik perbandingan waktu kerja dengan waktu istirahat yaitu 1:5 dan 1:10, maka waktu istirahat dengan rasio 1:5 sangat cocok untuk siswa yang memiliki kemampuan VO2 Max tinggi. Sedangkan siswa yang memiliki kemampuan VO2 Max rendah lebih relevan dengan waktu istirahat dengan rasio 1:10. Hal ini karena rasio 1:5 pemulihan ATP PC belum pulih secara sempurna, sehingga siswa yang memiliki kemampuan VO2 Max tinggi akan mampu melakukan latihan kecepatan dengan rasio perbandingan 1:5. Sedangkan siswa yang kemampuan VO2 Max-nya rendah akan mampu melakukan latihan kecepatan dengan rasio 1:10, karena pada rasio 1:10 ATP-PC pulih mendekati 100% sehingga siswa akan mampu melakukan latihan dengan baik. Dengan demikian diduga, antara waktu istirahat dengan rasio 1:5 dan 1:10 dengan kemampuan VO2 Max memiliki interaksi di antara keduanya.
55
C. Perumusan Hipotesis Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka pemikiran yang telah dikemukakan di atas dapat diajukan hipotesis sebagai berikut : 1. Ada perbedaan pengaruh waktu istirahat dengan rasio 1:5 dan 1:10 terhadap kecepatan lari 100 meter pada siswa putra kelas VIII SMP Negeri 1 Tulung Kabupaten Klaten tahun 2009. 2. Ada perbedaan pengaruh antara kemampuan VO2 Max tinggi dan kemampuan VO2 Max rendah terhadap kecepatan lari 100 meter pada siswa putra kelas VIII SMP Negeri 1 Tulung Kabupaten Klaten tahun 2009. 3. Ada interaksi antara waktu istitahat dengan kemampuan VO2 Max terhadap kecepatan lari 100 meter pada siswa putra kelas VIII SMP Negeri 1 Tulung Kabupaten Klaten tahun 2009.
BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di lapangan olahraga SMP Negeri 1 Tulung Kabupaten Klaten.
2. Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan selama dua (2) bulan (delapan minggu) dengan tiga kali latihan dalam satu minggu. Penelitian dilaksanakan pada tanggal 20 Mei sampai dengan tanggal 22 Juli 2009. B. Metode Penelitian 1. Metode Eksperimen Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode eksperimen. Dasar penggunaan metode ini adalah kegiatan percobaan yang diawali dengan memberikan perlakuan kepada subjek yang diakhiri dengan suatu bentuk tes guna mengetahui pengaruh perlakuan yang telah diberikan. . Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan adalah anava faktorial 2 X 2. Lebih jelasnya berikut ini disajikan gambar rancangan penelitian ini sebagai berikut: Perbandingan Waktu Istirahat
1:5 (A1)
1:10 (A2)
Kemampuan VO2 Max Tinggi (B1)
A1B1
A2B1
Rendah (B2)
A1B2
A2B2
Keterangan: A1B1:Kelompok waktu istirahat dengan rasio 1:5 dengan kriteria sampel kemampuan VO2 Max tinggi. 56
57
A1B2 :Kelompok waktu istirahat dengan rasio 1:5 dalam dengan kriteria sampel kemampuan VO2 Max rendah. A2B1:Kelompok waktu istirahat dengan rasio 1:10 dengan kriteria sampel kemampuan VO2 Max tinggi. A2B2:Kelompok waktu istirahat dengan rasio 1:10 dengan kriteria sampel kemampuan VO2 Max rendah. C. Variabel Penelitian Variabel dalam penelitian ini terdiri dari dua variabel bebas (independen) dan satu variabel terikat (dependen) yaitu: 1) Variabel bebas (independen) yaitu variabel yang mempengaruhi variabel lain. Variabel bebas (independen) dalam penelitian ini yaitu: a) Variabel manipulatif terdiri atas: (1) Perbandingan waktu istirahat dengan rasio 1:5 (2) Perbandingan waktu istirahat dengan rasio 1:10 b) Variabel atributif adalah variabel yang melekat pada diri sampel yang dibedakan atas: (1) Kemampuan VO2 Max tinggi (2) Kemampuan VO2 Max rendah 2) Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel lain. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kecepatan lari 100 meter. D. Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel 1. Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah siswa putra kelas VIII SMP Negeri 1 Tulung Kabupaten Klaten tahun 2009 berjumlah 113 orang yang terbagi dalam enam kelas. 2. Teknik Pengambilan Sampel Teknik pengambilan sampel penelitian yang menggunakan rumus eksperimen dari Widodo J. Pudjirahardjo, Herjanto Poernomo dan Moh. Hasan Macfoed (1993: 56) sebagai berikut:
58
Nz2 x S2 n= Nd2 + Z2s2 n N Z
s d
113 x 34,57 =
= 40,04837984 113.0,1 + 1,672 . 34,57
= besar sampel = besar populasi (jumlah populasi acuan) = nilai standart normal yang besarnya tergantung a, Bila a = 0,05 Z = 1,67 Bila a =0,01 Z = 1,96 = besarnya varians (= SD2 ) = besarnya penyimpangan yang masih bisa ditolelir (semakin kecil d, akan semakin teliti, misalnya d = 0.1%) Setelah jumlah sampel diketahui dari hasil tes kemampuan VO2 Max,
kemudian direngking dari nilai tertinggi sampai nilai terendah dan diklasifikasi atas kemampuan VO2 Max tinggi dan kemampuan VO2 Max rendah. Untuk menentukan klasifikasi kemampuan VO2 Max tinggi dan VO2 Max rendah berdasarkan rata-rata hasil tes kemampuan VO2 Max. Selanjutnya dari sampel yang terpilih dikelompokkan menjadi 4 kelompok sesuai rancangan anava faktorial 2 X 2. E. Teknik Pengumpulan Data Data yang diperlukan dalam penelitian diperoleh dengan dilakukan tes dan pengukuran meliputi: 1. Tes dan pengukuran kemampuan VO2 Max
dengan tes lari multitahap
(multistage fitness test) dari Ismaryati. (2006: 80). 2. Tes kecepatan lari 100 meter dari Andi Suhendro (1999: 249). Petunjuk pelaksanan masing-masing tes terlampir.
59
F. Teknik Analisis Data 1. Mencari Reliabilitas Uji reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan korelasi interklas dari Ismaryati (2006: 30) dengan rumus sebagai berikut: MSs – MSe R= MSs Keterangan : R = Koefisien reliabilitas MSs = Jumlah rata-rata dalam kelompok MSe = Jumlah rata-rata antar kelompok 2. Uji Prasyarat Analisis Uji prasyarat analisis dalam penelitian ini meliputi uji normalitas dan uji homogenitas. Adapun langkah masing-masing uji prasyarat tersebut sebagai berikut:
a. Uji Normalitas (Metode Lilliefors) Uji normalitas ini digunakan untuk mengetahui apakah sampel penelitian ini berasal dari populasi yang normal atau tidak. Langkah-langkah uji normalitias menurut Sudjana (1994: 466) sebagai berikut: Langkah-langkah : 1) Pengamatan X1,X2,X3,………….Xn dijadikan bilangan baku Z1,Z2,Z3,………..Zn, dengan menggunakan rumus : Zi = { Xi – X }/ SD, dengan X dan SD berturut-turut merupakan rata-rata dan simpangan baku. 2) Data dari sampel tersebut kemudian diurutkan dari skor terendah sampai skor tertinggi. 3) Untuk tiap bilangan baku ini dan dengan menggunakan daftar distribusi normal baku kemudian dihitung peluang F(Zi) = P(Z < Zi). 4) Menghitung perbandingan antara nomor subyek I dengan subyek n yaitu : S(Zi) = i/n. 5) Mencari selisih antara F(Zi) – S(Zi), dan ditentukan harga mutlaknya. 6) Menentukan harga terbesar dari harga mutlak diambil sebagai Lo. Rumusnya : Lo = | F(Zi) – S(Zi) | maksimum. Kreteria : Lo < Ltab : Sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Lo > Ltab : Sampel berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal.
60
b. Uji Homogenitas ( Metode Bartlet ) Uji Homogenitas dilakukan dengan Uji Bartlet dari Sudjana (1994: 261). Langkah-langkah pengujiannya sebagai berikut: 1) Membuat tabel perhitungan yang terdiri dari kolom–kolom kelompok sampel: dk (n-1), 1/dk, Sdi2, dan (dk) log Sdi2. 2) Menghitung varians gabungan dari semua sampel. (n - 1)Sdi2 ...............1 Rumusnya : SD 2 = (n - 1) 2 B = Log Sd i (n - 1)
(
)
3) Menghitung X2 Rumusnya : X2 = (Ln10) B-(dk) Log SDi2 ………(2) Dengan (Ln 10) = 2,3026 Hasilnya ( X2 hitung ) kemudian dibandingkan dengan ( X2 tabel ), pada taraf signifikansi a = 0,05 dan dk (n-1). 4) Apabila X2 hitung < X2 tabel, maka Ho diterima. Artinya varians sampel bersifat homogen. Sebaliknya apabila X2 hitung > X2 tabel, maka Ho ditolak. Artinya varians sampel bersifat tidak homogen. 2. Analisis Data a. ANAVA Rancangan Faktorial 2 x 2 Metode AB untuk perhitungan ANAVA dua Faktor Tabel Ringkasan ANAVA untuk Eksperimen factorial 2 x 2 Sumber dk JK RJK Fo Variasi Rata – rata 1 Ry R Perlakuan A a-1 Ay A A/E B b-1 By B B/E AB (a-1) (b-1) ABy AB AB/E Kekeliruan
ab(n-1)
Ey
E
Keterangan : A = Taraf factorial A N = Jumlah sampel B = Taraf factorial B Langkah- langkah perhitungan: a
a)
b
åU = å åU 2
2 ij
i -1
j -1
61
a
b) R
b
å y
å
i -1
=
j -1
abn
a
c) Jab = å i -1
å (J ) - R b
2 ij
y
j -1
d) A y = å (A i2 / bn ) - R y a
i -1
b
(
)
e) B y = å B i2 / an - R y j -1
f)
Ab y = J ab - A y - B y
g) E y = U 2 - Ry - A y - (B y + AB y ) 2) Kreteria Pengujian Hipotesis Jika F ³ F (1 - a ) (V1 - V2 ) , maka hipotesis nol ditolak. Jika F < F (1 - a ) (V1 - V2 ) , maka hipotesis nol di terima dengan : dk pembilang Vi (K - 1) dan dk penyebut V2 = (n1 + .............nk - k )a = taraf signifikan untuk pengujian hipotesis.
Keterangan: åY2 : Jumlah kuadrat data Ry : Rata-rata peningkatan karena perlakuan Ay : Jumlah peningkatan pada kelompok berdasarkan rasio waktu istirahat 1:5 dan 1:10 By : Jumlah peningkatan berdasarkan kemampuan VO2 Max Aby: Selisih antara jumlah peningkatan data keseluruhan dan jumlah peningkatan kelompok perlakuan dan kemampuan VO2 Max Jab : Selisih jumlah kuadrat data dan rata-rata peningkatan perlakuan. b. Uji Rentang Newman – Keuls setelah ANAVA Menurut Sudjana (1994: 302) langkah-langkah untuk melakukan uji Newman-Keuls adalah sebagai berikut: 1) Susun k buah rata-rata perlakuan menurut urutan nilainya dari yang terkecil sampai keoada yang terbesar. 2) Dari rangkaian ANAVA, diambil haarga RJK disertai dk-nya.
62
3)
4)
5)
6)
Hitung kekeliruan buku rata-rata untuk setiap perlakuan dengan rumus: RJK E (Kekeliruan ) Sy = RJK (Kekeliruan) juga didapat dari hasil N rangkuman ANAVA. Tentukan taraf siknifikan a, lalu gunakan daftar rentang student. Untuk uji Newman – Keuls, diambil V = dk dari RJK ( Kekeliruan ) dan P = 2,3…,k. Harga – harga yang didapat dari bagian daftar sebanyak (k-1) untuk V dan P supaya dicatat. Kalikan harga-harga yang didapat di titik…….. di atas masing – masing S y dengan jalan demikian diperoleh apa yang dinamakan rentang siknifikan terkecil (RST). Bandingkan selisih rata-rata terkecil dengan RST untuk mencari P-k selisih rata-rata terbesar dan rata-rata terkecil kedua dengan RST untuk P = (k-1), dan seterusnya. Demikian halnya perbandingan selisih rata–rata terbesar kedua rata–rata terkecil dengan RTS untuk P = (k-1), selisih rata-rata terbesar kedua dan selisih rata-rata terkecil kedua dengan RST untuk P = (k-2), dan seterusnya. Dengan jalan begitu semua akan ada 1 / 2 K (k - 1) pasangan yang harus dibandingkan. Jika selisih–selisih yang didapat lebih besar dari pada RST-nya masing–masing maka disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara rata–rata perlakuan.
c. Hipotesis Statistik Hipotesa 1 H 0 = m A1 ³ m A 2
H A = m A1 < m A 2 Hipotesa 2 H 0 = m B1 ³ m B 2
H A = m B1 < m B 2 Hipotesa 3 H 0 = Interaksi A ´ B = 0
H A = Interaksi A ´ B ¹ 0 Keterangan m = Nilai rata – rata A1 = Perbandingan waktu istirahat dengan rasio 1:5 A2 = Perbandingan waktu istirahat dengan rasio 1:10 B1 = Kemampuan VO2 Max tinggi B2 = Kemampuan VO2 Max rendah
BAB IV HASIL PENELITIAN
Tujuan penelitian dapat dicapai melalui pengambilan data terhadap sampel yang telah ditentukan. Data yang dikumpulkan terdiri dari data tes awal secara keseluruhan, kemudian dikelompokkan menjadi empat sesuai rancangan factorial 2 X 2. Rangkuman hasil analisis data secara keseluruhan disajikan dalam bentuk tabel. A. Deskripsi Data Deskripsi hasil analisis data kecepatan lari 100 meter siswa putra kelas VIII SMP Negeri 1 Tulung Kabupaten Klaten tahun 2009 sesuai dengan kelompok yang dibandingkan disajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut: Tabel 1. Ringkasan Angka-Angka Statistik Deskriptif Data Kecepatan Lari 100 Meter Menurut Kelompok Penelitian. Perlakuan
POT Tinggi (B1)
A1 Rendah (B2) Tinggi (B1) A2 Rendah (B2)
Statistik Jumlah Mean SD Jumlah Mean SD Jumlah Mean SD Jumlah Mean SD
Tes Awal 167,91 16,79 0,61 168 16,82 0,55 189,27 18,93 1,37 186,70 18,67 0,89
Tes Akhir
Peningkatan
162,68 16,27 0,58 166 16,62 0,64 187,48 18,75 1,37 185,97 18,60 0,86
5,23 0,52 0,21 2,01 0,20 0,20 1,79 0,18 0,11 0,73 0,07 0,04
1. Jika antara kelompok siswa yang mendapat perlakuan latihan kecepatan dengan rasio 1:5 dan latihan kecepatan dengan rasio 1:10 dibandingkan, maka dapat diketahui bahwa kelompok latihan kecepatan dengan rasio 1:5 lebih besar 0.24 daripada kelompok latihan kecepatan dengan rasio 1:10.
63
2. Jika antara kelompok siswa yang memiliki VO2 Max tinggi dan yang memiliki VO2 Max rendah dibandingkan, dapat diketahui bahwa kelompok siswa yang memiliki VO2 Max tinggi sebesar 0.21 lebih besar dari kelompok siswa yang memiliki VO2 Max rendah. 3. Untuk mengetahui gambaran menyeluruh dari nilai rata-rata hasil peningkatan kecepatan lari 100 meter sebelum dan sesudah diberi perlakuan maka dapat dibuat grafik perbandingan nilai-nilai sebagai berikut: 18.8 18.67
20 16.8 16.44
17.86 17.51
17.74 17.61
15 T.aw al
10
T.akhir Pn
5 0.36
0.13
0.14
0.35
0 A1
A2
B1
B2
Keterangan: A1 : Latihan kecepatan dengan rasio 1:5 A2 : Latihan kecepatan dengan rasio 1:10 B1 : VO2 Max Tinggi B2 : VO2 Max Rendah Gambar 8. Grafik Nilai Rata-Rata Kecepatan Lari 100 Meter Berdasarkan Tiap Kelompok Perlakuan dan VO2 Max 4. Agar nilai-nilai rata-rata peningkatan kecepatan lari 100 meter yang dicapai tiap kelompok perlakuan mudah dipahami, maka nilai peningkatan kecepatan lari 100 meter pada tiap kelompok perlakuan disajikan dalam bentuk grafik sebagai berikut:
64
0.6
0.52
0.5 0.4 0.2
0.3
0.18
0.2
0.07
0.1 0 A1B1 (1)
A1B2 (3)
A2B1(2)
A2B2 (4)
Gambar 9. Grafik Nilai Rata-rata Peningkatan Kecepatan Lari 100 Meter antara Kelompok Perlakuan Keterangan : A1B1:Kelompok waktu istirahat dengan rasio 1:5 dengan kriteria sampel kemampuan VO2 Max tinggi. A1B2 :Kelompok waktu istirahat dengan rasio 1:5 dalam dengan kriteria sampel kemampuan VO2 Max rendah. A2B1:Kelompok waktu istirahat dengan rasio 1:10 dengan kriteria sampel kemampuan VO2 Max tinggi. A2B2:Kelompok waktu istirahat dengan rasio 1:10 dengan kriteria sampel kemampuan VO2 Max rendah. B. Mencari Reliabilitas
Tingkat reliabilitas hasil tes awal dan tes akhir kecepatan lari 100 meter diketahui melalui uji reliabilitas. Hasil uji reliabilitas tes awal dan tes akhir kecepatan lari 100 meter dalam penelitian sebagai berikut: Tabel 2. Ringkasan Hasil Uji Reliabilitas Kecepatan Lari 100 Meter pada Data Tes Awal dan Tes Akhir. Hasil Tes
Reliabilitas
Kategori
Tes awal Kecepatan Lari 100 Meter
0.8699
Tinggi
Tes akhir Kecepatan Lari 100 Meter
0.9191
Tinggi sekali
65
Adapun dalam mengartikan kategori koefisien reliabilitas tes tersebut, menggunakan pedoman tabel koefisien korelasi dari Book Walter seperti dikutip Mulyono B.(1992: 15) sebagai berikut: Tabel 3. Range Kategori Reliabilitas Kategori
Validitas
Reliabilitas
Obyektivitas
Tinggi sekali
0,80 – 1,0
0,90 – 1,0
0,95 – 1,0
Tinggi
0,70 – 0,79
0,80 – 0,89
0,85 – 0,94
Cukup
0,50 – 0,69
0,60 – 0,79
0,70 – 0,84
Kurang
0,30 – 0,49
0,40 – 0,59
0,50 – 0,69
Tidak signifikan
0,00 – 0,29
0,00 – 0,39
0,00 – 0,49
C. Uji Prasyarat Analisis 1. Uji Normalitas Sebelum dilakukan analisis data perlu diuji distribusi kenormalannya. Uji normalitas data dalam penelitian ini menggunakan metode Lilliefors. Hasil uji normalitas data yang dilakukan pada tiap kelompok sebagai berikut: Tabel 4. Hasil Uji Normalitas dengan Lilliefors. Kelompok
N
Prob
Lo
Lt
Kesimpulan
A1B1
10
0,05
0.1157
0.258
Distribusi normal
A1B2
10
0,05
0.1609
0.258
Distribusi normal
A2B1
10
0,05
0.2029
0.258
Distribusi normal
A2B2
10
0,05
0.1976
0.258
Distribusi normal
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa Lo < Lt. Hal ini menunjukkan bahwa sampel yang terambil berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Dengan demikian persyaratan normalitas data telah terpenuhi. Rincian dan prosedur uji normalitas dapat dilihat pada lampiran.
66
2
Uji Homogenitas
Dengan data yang sama, setelah dianalisis menggunakan uji bartlet, maka diperoleh hasil pengujian homogenitas seperti tabel sebagai berikut: Tabel 5. Hasil Uji Bartlet. å Kelompok
Ni
S2
X2hit
X2tabel
Kesimpulan
4
9
-4,4049
5,9467
7.81
Homogen
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui X2hit lebih kecil dari pada X2tabel. Hal ini menunjukkan bahwa sampel penelitian bersifat homogen. Dengan demikian persyaratan homogenitas juga dipenuhi. Mengenai rincian dan prosedur analisis uji homogenitas varians dapat diperiksa pada lampiran. D. Pengujian Hipotesis Pengujian hipotesis berdasarkan pada hasil analisis data dan interprestasi analisis varians. Uji rentang newman keuls ditempuh sebagai langkah uji rerata setelah anava. Bila anava menghasilkan kesimpulan tentang perbedaan pengaruh kelompok yang dibandingkan, maka uji rentang newman keuls dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh kelompok mana yang lebih baik. Berkenaan dengan hasil analisis dan uji rentang newman keuls, ada beberapa hipotesis yang harus diuji. Hasil analisis data dapat dilihat seperti yang tercantum dalam tabel berikut ini. Tabel 6. Ringkasan Nilai Rerata Kecepatan Lari 100 Meter Berdasarkan Pemberian Waktu Istirahat dan VO2 Max Sebelum dan Sesudah Diberi Perlakuan. Variabel penelitian A1 A2 Rerata B1 B2 B1 B2 Sebelum 16,79 16,82 18,93 18,67 Sesudah 16,27 16,62 18,75 18,60 Peningkatan 0,52 0,20 0,18 0,07
67
Tabel 7. Ringkasan Analisis Anava Faktorial 2 x 2. Sumber Varians
rerata lat A B AB Kekeliruan
dk
1 1 1 1 36
Jk
RJk
2,381 0,458 0,557 0,117 0,877 4,390
Fo
2,381 0,458 18,799* 0,557 22,863* 0,117 4,788* 0,024
Ft
4.11
Keterangan : *
: Hasil Analisis F0 ditolak
A
: Rasio pemberian waktu istirahat
B
: VO2 Max (tinggi dan rendah)
Tabel 8. Hasil Uji Rentang Newman Keuls setelah Anava. KP
Rerata
A2B2 0,07
A2B1 0,20 0,11
0,07 A2B2 0,20 A2B1 0,18 A1B2 0,52 A1B1 Keterangan : * signifikan pada P < 0,05
A1B2 0,18 0,13 0,02
A1B1 0,52 0,45* 0,34* 0,32*
RST 0,1426 0,1718 0,1895
Keterangan : A1B1:Kelompok waktu istirahat dengan rasio 1:5 dengan kriteria sampel kemampuan VO2 Max tinggi. A1B2 :Kelompok waktu istirahat dengan rasio 1:5 dalam dengan kriteria sampel kemampuan VO2 Max rendah. A2B1:Kelompok waktu istirahat dengan rasio 1:10 dengan kriteria sampel kemampuan VO2 Max tinggi. A2B2:Kelompok waktu istirahat dengan rasio 1:10 dengan kriteria sampel kemampuan VO2 Max rendah. 1. Pengujian Hipotesis Pertama Berdasarlan latihan sprint dengan rasio 1:5 dan 1:10 menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan terhadap peningkatan kecepatan lari 100 meter pada siswa putra kelas VIII SMP Negeri 1 Tulung Kabupaten Klaten tahun 2009. 68
Dari hasil penghitungan yang telah dilakukan diperoleh nilai F0 = 18.799 lebih besar dari Ft = 4,11 ( F0 > Ft ) pada taraf signifikansi 5%. Ini berarti hipotesis nol (H0) ditolak. Yang artinya, pemberian waktu istirahat dengan rasio 1:5 dan 1:10 terdapat perbedaan yang signifikan terhadap peningkatan kecepatan lari 100 meter. Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa, latihan kecepatan dengan pemberian waktu istirahat rasio 1:5 lebih baik pengaruhnya terhadap peningkatan kecepatan lari 100 meter dari pada latihan kecepatan dengan pemberian waktu istirahat rasio 1:10.
2. Pengujian Hipotesis Kedua Berdasarkan tingkat VO2 Max siswa putra kelas VIII SMP Negeri 1 Tulung Kabupaten Klaten tahun 2009, hasil penelitian ini menunjukkan ada perbedaan yang signifikan terhadap kecepatan lari 100 meter. Dari hasil penghitungan yang telah dilakukan diperoleh nilai F0 = 22.863 lebih besar dari Ft = 4,11 ( F0 > Ft ) pada taraf signifikansi 5%. Ini artinya hipotesis nol (H0) ditolak. Yang artinya antara VO2 Max tinggi dan VO2 Max rendah terdapat perbedaan yang signifikan terhadap kecepatan lari 100 meter. Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa, VO2 Max tinggi lebih baik pengaruhnya terhadap kecepatan lari 100 meter dari pada VO2 Max rendah.
3. Pengujian Hipotesis Ketiga Interaksi faktor utama penelitian dalam bentuk interaksi dua faktor menunjukkan ada interaksi antara latihan sprint dan VO2 Max. Dari hasil penghitungan diperoleh nilai F0 = 4.788 ternyata lebih besar dari Ft = 4,11 ( F0 > Ft ) pada taraf signifikansi 5% sehingga H0 ditolak. Ini berarti bahwa, antara pemberian waktu istirahat dan VO2 Max ada interaksi terhadap kecepatan lari 100 meter.
69
E. Pembahasan Hasil Penelitian Pembahasan hasil penelitian ini memberikan penafsiran lebih lanjut mengenai hasil-hasil analisis data yang telah dikemukakan sebelumnya. Berdasarkan pengujian hipotesis telah menghasilkan tiga simpulan yaitu: (1) ada perbedaan pengaruh yang signifikan antara latihan kecepatan dengan rasio 1:5 dan 1:10 menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan terhadap kecepatan lari 100 meter pada siswa putra kelas VIII SMP Negeri 1 Tulung Kabupaten Klaten tahun 2009. (2) ada perbedaan pengaruh yang signifikan antara VO2 Max tinggi dan VO2 Max rendah terhadap kecepatan lari 100 meter pada siswa putra kelas VIII SMP Negeri 1 Tulung Kabupaten Klaten tahun 2009. (3) ada interaksi antara rasio waktu istirahat dan kemampuan VO2 Max terhadap kecepatan lari 100 meter pada siswa putra kelas VIII SMP Negeri 1 Tulung Kabupaten Klaten tahun 2009. Simpulan analisis tersebut dapat dipaparkan secara rinci sebagai berikut:
1. Perbedaan Pengaruh Waktu Istirahat dengan Rasio 1:5 dan 1:10 terhadap Kecepatan Lari 100 Meter Berdasarkan pengujian hipotesis pertama menunjukkan bahwa, ada perbedaan pengaruh antara waktu istirahat dengan rasio 1:5 dan 1:10 pada latihan kecepatan menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan terhadap kecepatan lari 100 meter pada siswa putra kelas VIII SMP Negeri 1 Tulung Kabupaten Klaten tahun 2009. Pada kelompok siswa yang diberi perlakuan latihan kecepatan dengan rasio waktu istirahat 1:5 mempunyai peningkatan lebih baik terhadap kecepatan lari 100 meter dibandingkan dengan kelompok siswa yang diberi perlakuan latihan kecepatan dengan rasio 1:10. Hal ini karena, latihan kecepatan dengan rasio 1:5 kondisi siswa tidak pulih secara total, sehingga untuk melakukan aktivitasnya kondisi tubuhnya masih stabil. Sedangkan latihan kecepatan dengan rasio waktu istirahat 1:10, waktu istirahatnya terlalu panjang sehingga kondisi siswa pulih total, sehingga untuk melakukan latihan berikutnya dibutuhkan penyesuaian kembali.
Berdasarkan hasil penghitungan yang telah dilakukan diperoleh nilai Fo sebesar 18.799 > Ftabel 5% 4.11, dengan selisih perbedaan peningkatan 0.24. Dengan demikian hipotesis yang menyatakan, ada perbedaan pengaruh waktu istirahat dengan rasio 1:5 dan 1:10 terhadap kecepatan lari 100 meter pada siswa
70
putra kelas VIII SMP Negeri 1 Tulung Kabupaten Klaten tahun 2009 dapat diterima kebenarannya.
2. Perbedaan Pengaruh VO2 Max Tinggi dan VO2 Max Rendah terhadap Kecepatan Lari 100 Meter Berdasarkan pengujian hipotesis kedua menunjukkan bahwa, ada perbedaan yang signifikan antara kemampuan VO2 Max tinggi dan kemampuan VO2 Max rendah terhadap kecepatan lari 100 meter pada siswa putra kelas VIII SMP Negeri 1 Tulung Kabupaten Klaten tahun 2009. Siswa yang memiliki VO2 Max tinggi mempunyai kemampuan lari cepat 100 meter yang lebih baik daripada siswa yang memiliki kemampuan VO2 Max rendah. Berdasarkan hasil penghitungan yang telah dilakukan diperoleh nilai Fo 22.863 > Ftabel 5% 4.11, dengan selisih perbedaan 0.21. Dengan demikian hipotesis yang menyatakan, ada perbedaan pengaruh antara kemampuan VO2 Max tinggi dan kemampuan VO2 Max rendah terhadap kecepatan lari 100 meter pada siswa putra kelas VIII SMP Negeri 1 Tulung Kabupaten Klaten tahun 2009 dapat diterima kebenarannya.
3. Interaksi antara Waktu Istirahat dan Kemampuan VO2 Max terhadap Kecepatan Lari 100 Meter Dari tabel 8 tampak ada interaksi secara nyata antara kedua faktor utama penelitian. Untuk kepentingan pengujian interaksi faktor utama terbentuklah tabel sebagai berikut:
Tabel 9. Pengaruh Sederhana, Pengaruh Utama dan Interaksi Faktor Utama terhadap Peningkatan Kecepatan Lari 100 Meter A1 B1 B2 Retara
0,52 0,20 0,18
A2
Rerata 0,18 0,07 0,13
A1 - A2 0,52 0,14 0,33
71
0,34 0,13 0,05
B1 - B2
0,32
0,11
0,39
0.6 0.52
0.5 0.4
B1
0.3 0.2
B2
0.2
0.18
0.1
0.07
0 A1
A2
Gambar 10. Bentuk Interaksi antara Waktu Istirahat dan VO2 Max Berdasarkan gambar 10 menunjukkan bahwa, bentuk garis perubahan besarnya nilai peningkatan kecepatan lari 100 meter yaitu tidak sejajar, sehingga jika garis tersebut diteruskan akan terdapat satu titik pertemuan atau berpotongan. Hal ini artinya, ada kecenderungan interaksi antara waktu istirahat pada latihan kecepatan dan VO2 Max. Berdasarkan hasil analisis data diperoleh nilai Fhit = 4.788 ternyata lebih besar dari Ftabel = 4,11 ( F0 < Ft ) pada taraf signifikansi 5%. Hal ini menunjukkan bahwa antara keduanya ada interaksi. Dengan demikian, hipotesis yang menyatakan ada interaksi antara waktu istirahat dan kemampuan VO2 Max terhadap kecepatan lari 100 meter pada siswa putra kelas VIII SMP Negeri 1 Tulung Kabupaten Klaten tahun 2009 dapat diterima kebenarannya.
72
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan analisis data dan pembahasannya yang telah diungkapkan pada BAB IV, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut: 1. Ada perbedaan pengaruh yang signifikan waktu istirahat 1:5 dan 1:10 terhadap kecepatan lari 100 meter pada siswa putra kelas VIII SMP Negeri 1 Tulung Kabupaten Klaten tahun 2009. Dari hasil analisis data menunjukkan Fo = 18.799 > Ft 4.11. Dengan selisih perbedaan peningkatan kecepatan lari 100 meter sebensar 0.24. 2. Ada perbedaan pengaruh yang siginifikan antara kemampuan VO2 Max tinggi dan kemampuan VO2 Max rendah terhadap kecepatan lari 100 meter pada siswa putra kelas VIII SMP Negeri 1 Tulung Kabupaten Klaten tahun 2009. Dari hasil analisis data menunjukkan Fo = 22.863 > Ft 4.11. Dengan selisih perbedaan peningkatan kecepatan lari 100 meter sebesar 0.21. 3. Ada interaksi antara waktu istirahat dan VO2 Max terhadap kecepatan lari 100 meter pada siswa putra kelas VIII SMP Negeri 1 Tulung Kabupaten Klaten tahun 2009. Dari hasil analisis data menunjukkan bahwa Fhitung = 4.788 lebih besar dari Ftabel = 4,11 ( Fhit > Ftabel). B. Implikasi Simpulan dari hasil penelitian ini dapat mengandung pengembangan ide yang lebih luas jika dikaji pula tentang implikasi yang ditimbulkan. Atas dasar simpulan yang telah diambil, dapat dikemukakan implikasinya sebagai berikut: 1. Secara umum dapat dikatakan bahwa waktu istirahat antara 1:5 dan 1:10 pada latihan kecepatan merupakan waktu istirahat yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan lari cepat 100 meter.
73
2. Perbadingan waktu istirahat 1:5 ternyata memberikan pengaruh yang lebih baik daripada waktu istirahat 1:10 terhadap kecepatan lari 100 meter. Hal ini karena, rasio 1:5 kondisi siswa tidak pulih secara total, sehingga untuk melakukan aktivitasnya kondisi tubuhnya masih stabil. Sedangkan latihan kecepatan dengan rasio waktu istirahat 1:10, waktu istirahatnya terlalu panjang sehingga kondisi siswa pulih total, dan untuk melakukan latihan berikutnya dibutuhkan penyesuaian kembali. 3. Pemberian waktu istirahat dalam latihan kecepatan harus disesuaikan dengan tingkat kemampuan VO2 Max siswa, karena kemampuan VO2 Max yang dimiliki siswa memberikan pengaruh terhadap kemampuan lari cepat 100 meter.
C. Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, saran-saran yang dapat dikemukakan kepada guru Penjaskes di SMP Negeri 1 Tulung Kabupaten Klaten
sebagai
berikut: 1. Untuk meningkatkan kecepatan lari 100 meter dapat diterapkan waktu istirahat dengan rasio 1:5 dan 1:10. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, waktu istirahat 1:5 lebih baik pengaruhnya terhadap peningkatan kecepatan lari 100 meter, sehingga waktu istirahat 1:5 dapat diterapkan untuk meningkatkan kecepatan lari 100 meter. 2. Dalam usaha meningkatkan kecepatan lari 100 meter, di samping menerapkan waktu istirahat yang tepat harus memperhatikan tingkat kemampuan VO2 Max siswa. Tingkat kemampuan VO2 Max siswa yang dimiliki siswa harus menjadi pertimbangan dalam latihan, karena tingkat VO2 Max akan berpengaruh terhadap kecepatan lari 100 meter. 3. Disamping menerapakan waktu istirahat agar diperhatikan kembali pada saat jalanya penelitian yaitu ketika sampel kembali dari garis finish ke garis start untuk melakukan repetisi, hal ini memunculkan suatu bentuk penelitian
74
tersendiri, karena pada waktu sampel kembali ke garis start merupakan suatu bentuk istirahat pasif. 4. Dalam pelaksanaan penelitian guna meningkatkan kecepatan 100 meter, agar diperhatikan pembinaan siswa yang di gunakan sebagai sampel pada saat proses penelitian berlangsung.
75
DAFTAR PUSTAKA Agus Mukholid. 2004. Pendidikan Jasmani. Jakarata: PT. Yudhistira. A. Hamidsyah Noer. 1996. Ilmu Kepelatihan Lanjut. Surakarta: UNS Press. Andi Suhendro. 1999. Dasar-Dasar Kepelatihan. Jakarta: Universitas Terbuka. Aip Syarifuddin. 1992. Atletik. Jakarta: Depdikbud. Dirjendikti. Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan. Aip Syarifuddin dan Muhadi. 1991/1992. Pendidikan Jasmani. Jakarta: Depdikbud. Dirjendikti. Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan. Dangsina Moeloek dan Arjatmo Tjokronegoro. 1984. Kesehatan dan Olahraga. Jakarta: Universitas Indonesia Fakultas Kedokteran. Depdiknas. 2000. Pedoman dan Modul Pelatihan Kesehatan Olahraga bagi Pelatih Olahragawan Pelajar. Jakarta: Pusat Pengembangan Kualitas Jasmani. Foss, M.L. & Keteyian, S.J. 1998. Fox Physiological Basis for Exercise and Sport. Dubuque: Mc. Graw-Hill Companies. Fox, E.L, Bowers, R.W. & Fos, M.L. 1992. The Physiological Basis of Exercise and Sport. Dubuque: WCB Brown Bechmark Publisher. Harsono. 1988. Aspek-aspek Psikologi dalam Coaching. Jakarta: CV. Tambak Kusuma Jakarta. Ismaryati. 2006. Tes dan Pengukuran Olahraga. Surakarta: Pengembangan Pendidikan (LPP) dan UPT UNS Press.
Lembaga
Junusul Hairy. 1989. Fisiologi Olahraga. Jakarta: Depdikbud. Dirjendikti. Mathews, D.K. & Fox, E.L. 1978. The Physilogical Basis of Physical Education and Athletics. Philadelphia: W.B. Sauders Company. M. Sajoto. 1995. Pembinaan Kondisi Fisik Dalam Olahraga. Semarang: IKIP Semarang Press. Muchsin Doewes, Soedarwo dan Slamet Suherman. 1994. Gizi Olahraga. Surakarta: UNS Press.
76
Pate R. R., Mc.Clenaghan B. & Rotella R. 1993. Dasar-Dasar Ilmiah Kepelatihan. Alih Bahasa Kasiyo Dwijowinoto, Semarang: IKIP Semarang Press. Pyke, F.S. Robert, A.D., Woodman, L.R., Telford, R.R. & Jarver, J. 1991. Better Coaching. Australia: Australian Coaching Council Incorporated. Rushall, B.S. & Pyke, F.S. 1992. Training for Sport and Fitness. Canberra: The Macmillian Company of Australia PTY LTD. Sudarno SP. 1992. Pendidikan Kesegaran Jasmani. Jakarta: Depdikbud. Dirjendikti. Proyek Pengembangan Tenaga Kependidikan. Soegito. 1992. Atletik I. Surakarta: UNS Press. Soekarman. 1986. Dasar Olahraga untuk Pembina, Pelatih dan Atlet. Jakarta: Inti Indayu Press. Sudjana. 1994. Metode Statistika. Bandung: Tarsito. Sudjarwo. 1993. Ilmu Kepelatihan Dasar. Surakarta: UNS Press. Sugiyanto. 1999. Metodologi Pendidikan. Surakarta: UNS Press. Sugiyanto dan Sudjarwo. 1992. Materi Pokok Perkembangan dan Belajar Gerak. Jakarta: Depdikbud. Proyek Peningkatan Mutu Guru SD Setara D-II. Suharno HP. 1985. Ilmu Coaching Umum. Yogyakarta: IKIP Yogyakarta. 1993. Metodologi Pelatihan. Yogyakarta: IKIP Yogyakarta. Yoyo Bahagia, Ucup Yusuf dan Adang Suherman. 2000. Atletik. Jakarta: Depdikbud. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Bagian Proyek Penataran Guru SLTP Setara D-III. Yudha M. Saputra 2001. Dasar-Dasar Keterampilan Atletik Pendekatan Bermain untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Jakarta: Depdiknas. Direktorat Jenderal Pendidikan dasar dan Menengah Bekerjasama dengan Jenderal Olahraga. Widodo. J. Pudjirahardjo, Herjanto Poernomo dan Moh. Hasan Machfoed. 1993. Metode Penelitian dan Statistik Terapan. Surabaya: Airlangga University Press.
77
Yusuf Adisasmita & Aip Syarifuddin. 1996. Ilmu Kepelatihan Dasar. Jakarta: Depdikbud. Dirjendikti. Proyek Pendidikan Tingkat Akademik.
78