KOMPOSISI DAN DISTRIBUSI CACING TANAH DI KAWASAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PT. MOEIS DAN DI PERKEBUNAN RAKYAT DESA SIMODONG KECAMATAN SEI SUKA KABUPATEN BATU BARA
SKRIPSI
MORARIO 040805043
DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
KOMPOSISI DAN DISTRIBUSI CACING TANAH DI KAWASAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PT. MOEIS DAN DI PERKEBUNAN RAKYAT DESA SIMODONG KECAMATAN SEI SUKA KABUPATEN BATU BARA
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains di Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara
MORARIO 040805043
DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2009
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
LEMBAR PENGESAHAN
Nama
: Morario
NIM
: 040805043
Judul
: Komposisi dan Distribusi Cacing Tanah di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis dan di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara.
Nomor
Nama Dosen
1
Drs.Arlen H.J.,M.Si
2
Drs. Nursal, M.Si
3
Prof.Dr.Retno Widhiastuti, M.Si
4
Mayang Sari Yeanny,S.Si,M.Si
Tanda Tangan
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
PERSETUJUAN
Judul
Kategori Nama Nomor Induk Mahasiswa Program Studi Departemen Fakultas
: KOMPOSISI DAN DISTRIBUSI CACING TANAH DI KAWASAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PT. MOEIS DAN DI PERKEBUNAN RAKYAT DESA SIMODONG KECAMATAN SEI SUKA KABUPATEN BATU BARA : SKRIPSI : MORARIO : 040805043 : SARJANA (S1) BIOLOGI : BIOLOGI : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Diluluskan di Medan, Juli 2009
Komisi Pembimbing : Pembimbing II
Pembimbing I
Drs.Nursal, M.Si NIP.131 882 287
Drs.Arlen H.J., M.Si NIP. 131 882 288
Diketahui/Disetujui Oleh Departemen Biologi FMIPA USU
Prof.Dr.Dwi Suryanto, M.Sc NIP. 132 089 421
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
PERNYATAAN
KOMPOSISI DAN DISTRIBUSI CACING TANAH DI KAWASAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PT. MOEIS DAN DI PERKEBUNAN RAKYAT DESA SIMODONG KECAMATAN SEI SUKA KABUPATEN BATU BARA
SKRIPSI
Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan yang masing-masing disebutkan sumbernya.
Medan,
Juli 2009
MORARIO 040805043
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
PENGHARGAAN
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa Yang Maha Pengasih dan Penyayang atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul ”Komposisi dan Distribusi Cacing Tanah di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis dan di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara”. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains (S.Si) pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam di Universitas Sumatera Utara. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Drs. Arlen H.J, M.Si selaku dosen pembimbing 1 dan Bapak Drs. Nursal, M.Si selaku dosen pembimbing 2 yang telah memberikan bimbingan, motivasi, arahan, serta dukungannya hingga selesainya penulisan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.Si dan Mayang Sari Yeanny, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dan arahan demi kesempurnaan penulisan skripsi ini. Penulis juga menyampaikan ucapan terimakasih kepada Ibu Etti Sartina Siregar, S.Si, M.Si selaku dosen penasehat akademik. Bapak Prof. Dr. Dwi Suryanto M.Sc selaku ketua Departemen Biologi, Ibu Nunuk Priyani M.Sc selaku sekretaris Departemen Biologi, Bapak dan Ibu staf pengajar Departemen Biologi FMIPA USU, Ibu Roslina Ginting dan Bang Hendar Raswin selaku pegawai administrasi Departemen Biologi, Ibu Nurhasni Muluk serta Bapak Sukirmanto selaku analis dan laboran Departemen Biologi yang telah banyak membantu penulis. Penulis juga menyampaikan ucapan terimakasih kepada seluruh Staf Perkebunan PT. Moeis, dan juga kepada Bapak Kepala Desa Simodong, Bapak Bariman Manurung selaku sekretaris Desa Simodong yang telah membantu penulis dalam memberikan izin penelitian di perkebunan dan memberikan informasi yang tentunya sangat berguna bagi penulis. Ucapan terimakasih penulis juga disampaikan kepada bapakku tercinta M. Aritonang dan Mamaku tercinta R. Br.Situmorang yang telah mengasuh, mendidik mulai dari lahir hingga menjadi dewasa dan juga telah memberikan banyak kasih sayang, semangat, doa, dukungan, dan bimbingan. Khususnya buat abang kandungku satu-satunya tercinta Michael Ario Aritonang yang selama ini memberikan motivasi, semangat dan juga inspirasi bagi penulis. Kiranya Tuhan memberkati. Ucapan terimakasih penulis juga disampaikan kepada Pdt. M.Situmorang dan Guru Sihite yang telah banyak memberikan doa bagi penulis dan juga kepada anggota muda/i Pentakosta (Boston CR-7, Sihol, Melky, Nickson, Andi Situmorang, Tio, Muti, Ecy) penulis ucapkan terimakasih atas doa, canda tawa dan semangat serta keharmonisan selama ini. Kiranya Tuhan memberkati. Penulis juga menyampaikan ucapan terimakasih kepada Bang David Candra, Bang Edu. Khususnya buat sahabatku terbaik dan seperjuangan Walter, Daniel Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
Sianturi, Joseph Karona. Teman-teman Stambuk 2004: Boy, Gokman, Janri, Julianus, Dewi Simbolon, Lidya Christ, Reni, Resi, Maristela, Maria Rumondang, Dahlia, Siska, dan yang lain yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu. Kepada tim ekspedisi Desma, Zakiah, Desi Ariani, Runi, Umri, Juned, Sidahin. Buat adik-adikku tersayang Pile, Ochid, Ruth, Riris, Sarah, Rudi, Hariadi, Andri, Dwi Redoz, Tridola, Desmina, Hilda, Eva Berutu, Natalina, Else, Anggun, Jupentus, Raymond, Jayana, Nina, Desy, Tombak, Frans. Khususnya buat sahabat hatiku Christine L. Silaban yang telah banyak membantu penulis. Penulis juga menyampaikan ucapan terimakasih kepada semua pihak baik yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam penulisan skripsi ini. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Amin.
Medan,
Juli 2009
Penulis
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
ABSTRAK
Komposisi Komunitas dan Distribusi Cacing Tanah di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis dan di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara diteliti pada bulan Februari 2009. lokasi pengambilan sampel ditentukan secara Purpossive Random Sampling dan pengambilan sampel menggunakan metode kuadrat dengan ukuran 30 cm x 30 cm x 20 cm dengan 25 ulangan masing-masing lokasi. Penelitian menunjukkan bahwa pada Lokasi I ditemukan 4 spesies yaitu: Pontoscolex corethrurus, Peryonix excavatus, Megascolex cempii dan Pheretima posthuma. Pada Lokasi II ditemukan 4 spesies yaitu : Pontoscolex corethrurus, Drawida sp, Peryonix excavatus, dan Pheretima posthuma. Kepadatan populasi cacing tanah yang paling tinggi adalah Pontoscolex corethrurus yang terdapat di lokasi II dengan nilai kepadatan 20,89 individu/m², sedangkan Frekuensi Kehadirannya adalah 60,00% konstansi tergolong konstan (sering). Untuk nilai KR ≥ 10% dan FK≥ 25% yang berarti hewan tersebut dapat hidup dengan baik dari jenis spesies Pontoscolex corethrurus, Peryonix excavatus dan Drawida sp. Untuk nilai indeks morista (distribusi) >1 dan <1 pada setiap lokasi tergolong distribusi berkelompok dan beraturan Sedangkan Indeks Similaritas cacing tanah didapatkan antara Lokasi I dan Lokasi II dengan nilai 75,00%.
Kata Kunci: Cacing Tanah, PT. Moeis, Desa Simodong
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
THE COMPOSITION AND DISRIBUTION OF EARTHWORM COMMUNITY IN PT. MOEIS ESTATE AND SIMODONG ESTATE SEI SUKA DISTRICT BATU BARA
ABSTRACT
The composition and distribution of earthworm in PT. Moeis Estate and Simodong Estate Sei Suka District Batu Bara has been investigated February 2009. Sampling area was determinated by using Purposive Random Sampling method and sampling was collected using square method of 30 cm x 30 cm x 20 cm in size with is 25 replication for location. The results of research showed that on location I found 4 species, they are: Pontoscolex corethrurus, Peryonix excavatus, Megascolex cempii dan Pheretima posthuma. Location II it was 4 species, they are: Pontoscolex corethrurus, Drawida sp, Peryonix excavatus, dan Pheretima posthuma. The highest population density found ini location presented by Pontoscolex corethrurus with the number for 20,89 organism/m2. While the highest existence frequency with the number 60,00%. There are 3 species of earthworm that alive better in each location, they Pontoscolex corethrurus, Peryonix excavatus dan Drawida sp. To assess the index morista ( distribution) >1 and < 1 in each location pertained by in groups and regular distribution. The similarities index of earthworm found between location I and location II with the number 75,00%. Keyword: Earthworm, PT. Moeis, Simodong.
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan Persetujuan Pernyataan Penghargaan Abstrak Abstrack Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Daftar Lampiran Bab 1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang 1.2 Permasalahan 1.3 Tujuan Penelitian 1.4 Hipotesis 1.5 Manfaat Penelitian Bab 2. Tinjauan Pustaka 2.1 Tanaman Kelapa Sawit 2.1.1 Klasifikasi Tanaman Kelapa Sawit 2.1.2 Morfologi Tanaman Kelapa Sawit 2.1.3 Ekologi Tanaman Kelapa Sawit 2.1.4 Manfaat Tanaman Kelapa Sawit 2.2 Klasifikasi Cacing Tanah 2.3 Morfologi Cacing Tanah 2.4 Ekologi Cacing Tanah 2.5 Peranan Cacing Tanah Bab 3. Bahan Dan Metoda 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Deskripsi Area 3.3 Metoda Penelitian 3.4 Pelaksanaan Penelitian 3.4.1 Pengambilan Sampel Cacing Tanah 3.4.2 Identifikasi Spesies Cacing Tanah 3.5 Pengukuran Sifat Fisik dan Kimia Tanah 3.6 Analisa Data Bab 4. Hasil dan Pembahasan 4.1 Spesies Cacing Tanah yang Ditemukan pada Setiap Lokasi 4.2 Kepadatan dan Kepadatan Relatif Populasi Cacing Tanah 4.3 Komposisi Cacing Tanah 4.4 Frekuensi Kehadiran dan Konstansi 4.5 Jenis Cacing Tanah Yang Memiliki Nilai
halaman ii iii iv v vi vii viii ix x xi 1 2 3 3 3 4 4 4 5 6 6 7 8 12 14 14 15 15 15 16 16 17 19 24 25 26 27
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
Kepadatan Relatif (KR) ≥ 10% dan Frekuensi Kehadiran (FK) ≥ 25% 4.6 Nilai Indeks Morista (Distribusi) Cacing Tanah 4.7 Nilai Indeks Similaritas (Kesamaan) Cacing Tanah Bab 5. Kesimpulan dan Saran 5.1 Kesimpulan 5.2 Saran Daftar Pustaka Lampiran
27 29 30 31 32 34
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
DAFTAR TABEL
Tabel
Judul
halaman
4.1
Cacing Tanah yang Ditemukan pada Dua Lokasi
19
Penelitian 4.2
Kepadatan dan Kepadatan Relatif Populasi
24
Cacing Tanah 4.3
Komposisi Cacing Tanah
25
4.4
Frekuensi Kehadiran dan Konstansi Cacing
26
Tanah 4.5
Jenis
Cacing
Tanah
yang
memiliki
Nilai
27
Kepadatan Relatif (KR) ≥ 10% dan Frekuensi Kehadiran (FK) ≥ 25% 4.6
Indeks Morista (Distribusi) Cacing Tanah
28
4.7
Nilai Indeks Similaritas (Kesamaan) Cacing
29
Tanah
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Judul
halaman
2.1
Morfologi Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis)
5
2.2
Morfologi Cacing Tanah
7
3.1
Foto Lokasi I
14
3.2
Foto Lokasi II
15
4.1
Gambar Pontoscolex corethrurus
21
4.2
Gambar Drawida sp
21
4.3
Gambar Peryonix excavatus
22
4.4
Gambar Megascolex cempii
23
4.5
Gambar Pheretima posthuma
23
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
DAFTAR LAMPIRAN
Gambar
Judul
halaman
A
Peta Lokasi Penelitian
34
B
Nilai Faktor Fisik-Kimia Tanah pada Masing-
35
Masing Lokasi Perkebunan Sawit C
Data Jumlah dan Jenis Cacing Tanah yang
36
Didapatkan pada Dua Lokasi Penelitian D
Contoh Cara Perhitungan Analisis Data
E
Foto-Foto Penelitian
37 41
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kelapa kelapa sawit (Elaeis guinensis) merupakan tanaman tropis yang memiliki nilai komoditas yang penting. Perkebunan kelapa kelapa sawit komersial pertama di Indonesia mulai diusahakan pada tahun 1911 di Aceh dan Sumatera Utara. Luas perkebunan kelapa kelapa sawit terus bertambah dari 1272 ha pada tahun 1916 menjadi 92.307 ha pada tahun 1938. Hingga tahun 2000 masih tercatat luas areal perkebunan kelapa kelapa sawit di Indonesia sekitar 3.174.726 ha. Luas perkebunan kelapa kelapa sawit di Sumatera Utara yaitu sekitar 451.725 ha (Naibaho, 1988). Dibukanya beberapa areal baru perkebunan kelapa kelapa sawit oleh Perusahaan Perkebunan Swasta Nasional (PBSN), Perkebunan Negara, dan Perkebunan Rakyat membawa implikasi baru, mulai dari penyediaan lahan hingga dampak lingkungan yang ditimbulkan, khususnya tanah sebagai habitat cacing tanah. Menurut Hadi (2004), kondisi lingkungan perkebunan kelapa kelapa sawit yang memungkinkan untuk diubah adalah tanah. Pengubahan tanah dapat dilakukan secara fisik, biologis, dan kimiawi. Pengubahan secara fisik dilakukan dengan pengelolaan tanah serta pembuatan jaringan irigasi dan saluran drainase. Secara biologis, kondisi tanah dapat diubah dengan mengatur jarak tanam, penanaman cover crops, introduksi serangga penyerbuk dan pemberian mulsa penutup tanah. Secara kimiawi, dapat dilakukan pengapuran terhadap tanah yang masam, pengasaman terhadap tanah yang basa, pemupukan, pemberian soil conditioner, dan lain-lain.
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
Pengelolaan perkebunan kelapa kelapa sawit PT. Moies yang lebih intensif dimana adanya teknik budi daya tanaman dengan mengubah kondisi tanah baik secara fisik, biologis maupun secara kimia, sedangkan pengelolaan perkebunan kelapa sawit rakyat di Desa Simodong kurang intensif dan lebih sederhana. Berdasarkan kondisi tersebut maka faktor fisik-kimia tanah dan jenis tumbuh-tumbuhan atau tanaman yang terdapat pada di dua lokasi perkebunan tentulah berbeda, dimana hal itu sangat mempengaruhi komposisi komunitas dan distribusi cacing tanah.
John (2007) menjelaskan bahwa keberadaan cacing tanah pada areal perkebunan sangat berperan dalam peningkatan produktivitas tanah. Hanafiah (2005) menjelaskan bahwa secara umum peranan cacing tanah merupakan sebagai bioamelioran (jasad hayati penyubur dan penyehat) tanah terutama melalui kemampuannya dalam memperbaiki sifat-sifat tanah, seperti ketersediaan hara, dekomposisi bahan organik, pelapukan mineral, dan lain-lain, sehingga mampu meningkatkan produktivitas tanah. Suin (1989) menjelaskan bahwa kepadatan populasi cacing tanah sangat bergantung pada faktor fisik-kimia tanah dan tersedianya makanan yang cukup bagi cacing tanah. Pada tanah yang berbeda faktor fisik-kimia tanahnya tentu kepadatan cacing tanahnya juga berbeda. Demikian juga jenis tumbuh-tumbuhan yang tumbuh pada suatu daerah sangat menentukan jenis cacing tanah dan kepadatan populasinya di daerah tersebut.
Informasi mengenai ekologi, terutama tentang penyebaran dan kepadatan populasi cacing tanah di dua lokasi perkebunan kelapa sawit tersebut masih sedikit sekali. Sehubungan dengan uraian-uraian tersebut maka penulis merasa perlu melakukan penelitian tentang : ”Komposisi dan Distribusi Cacing Tanah di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis dan di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara”.
1.2 Permasalahan Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
Adanya perbedaan pengelolaan tanah perkebunan kelapa sawit di PT. Moeis dan perkebunan kelapa sawit rakyat di Desa Simodong, sehingga berbeda komposisi komunitas dan distribusi cacing tanah di dua kawasan perkebunan kelapa sawit tersebut. Namun hingga saat ini belum diketahui bagaimana perbedaan komposisi komunitas dan distribusi cacing tanah di dua kawasan perkebunan kelapa sawit tersebut.
1.3 Tujuan Penelitian Mengetahui komposisi komunitas dan distribusi cacing tanah pada masingmasing lokasi perkebunan kelapa sawit
1.4 Hipotesis Terdapat perbedaan komposisi komunitas dan distribusi cacing tanah di perkebunan kelapa kelapa sawit PT. Moeis dengan perkebunan kelapa kelapa sawit Rakyat di Desa Simodong.
1.5 Manfaat Penelitian 1) Dari penelitian diharapkan dapat diketahui komposisi komunitas dan distribusi cacing tanah di perkebunan kelapa sawit PT. Moeis dan perkebunan kelapa sawit rakyat di Desa Simodong, Kecamatan Sei Suka, Kabupaten Batu Bara, Propinsi Sumatera Utara. 2) Dari penelitian akan diperoleh data yang diharapkan dapat berguna bagi pihak atau instansi terkait dan dapat digunakan sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya.
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tanaman Kelapa Sawit 2.1.1 Klasifikasi Tanaman Kelapa Sawit
Tanaman kelapa sawit diklasifikasikan oleh Jacquin (1763) sebagai berikut:
Kingdom
: Plantae
Divisio
: Spermatophyta
Kelas
: Monocotyledone
Ordo
: Arecales
Famili
: Arecaceae
Genus
: Elaeis
Spesies
: Elaeis guineensis Jacq.
2.1.2 Morfologi Tanaman Kelapa Sawit
Tanaman kelapa sawit dibedakan atas 2 bagian, yakni: bagian vegetatif dan bagian generatif. Bagian vegetatif tanaman kelapa sawit terdiri dari akar berupa akar serabut, batang dan daun. Batang tidak bercabang dan tidak memiliki kambium. Pada ujung batang terdapat titik tumbuh yang terus berkembang membentuk daun. Batang berfungsi sebagai penyimpan dan pengangkut bahan makanan untuk tanaman serta sebagai penyangga mahkota daun. Daun kelapa sawit membentuk suatu pelepah bersirip genap dan bertulang sejajar. Panjang pelepah dapat mencapai 9 meter. Pelepah daun sejak mulai terbentuk Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
sampai tua mencapai waktu ± 7 tahun; jumlah pelepah dalam 1 pohon dapat mencapai 60 pelepah. Jumlah anak daun tiap pelepah dapat mencapai 380 helai. Panjang anak daun dapat mencapai 120 cm (Risza, 1994).
Bagian generatif tanaman kelapa sawit terdiri dari bunga dan buah. Kelapa sawit mulai berbunga pada umur 12 bulan. Pembungaan kelapa sawit termasuk monoccious artinya bunga jantan dan bunga betina terdapat pada satu pohon tetapi tidak pada satu tandan yang sama. Namun terkadang dijumpai juga dalam 1 tandan terdapat bunga jantan dan bunga betina. Bunga seperti itu disebut bunga banci (hermaprodit). Buah kelapa sawit termasuk buah batu yang terdiri dari 3 bagian yakni; lapisan luar (epicarpium) yang disebut kulit luar, lapisan tengah (mesocarpium) yang disebut daging buah, mengandung minyak sawit dan lapisan dalam (endocarpium) yang disbut inti, mengandung minyak inti. Diantar inti dan daging buah terdapat lapisan tempurung (cangkang) yang keras. Biji kelapa sawit terdiri dari 3 bagian yaitu; kulit biji (spermodermis), tali pusat (funiculus) dan inti biji atau nucleus seminis (Risza, 1994).
Gambar 2.1 Morfologi Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis)
2.1.3 Ekologi Tanaman Kelapa Sawit
Pada prisnsipnya kelapa sawit dapat tumbuh dan bereproduksi di hampir semua jenis tanah namun hendaknya memenuhi kriteria berikut; keasaman tanah (pH) 5,0-6,5, kemiringan lahan 0-15º, kedalaman air tanah 80-150 cm dari permukaan, drainase yang baik, kesuburan kimia yang cukup (diketahui dari hasil analisa tanah). Iklim juga Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
merupakan salah satu faktor pembatas pertumbuhan dan produksi tanaman kelapa sawit. Kelapa sawit hanya dapat tumbuh dan bereproduksi dengan baik di daerah yang beriklim tropis (Hadi,2004).
Curah hujan yang ideal bagi pertumbuhan kelapa sawit yaitu 2.500-3000 mm per tahun dengan distribusi merata sepanjang tahun. Curah hujan yang terlalu tinggi mengakibatkan proses penyerbukan dan fotosintesis kurang optimal. Radiasi matahari juga dibutuhkan dalam jumlah yang cukup untuk proses fotosintesis, yaitu 1.800 jam penyinaran per tahun dengan lama penyinaran yang optimal 6-7 jam per hari. Suhu optimal rata-rata yang diperlukan oleh kelapa sawit yaitu 27-32ºC dengan kelembaban udara optimal 80-90% (Hadi,2004).
2.1.4 Manfaat Tanaman Kelapa Sawit
Kelapa sawit merupakan tanaman tropis penghasil minyak nabati yang rendah kolesterol dan dapat diolah lebih lanjut menjadi suatu produk yang tidak hanya dikonsumsi untuk kebutuhan pangan (minyak goreng, margarin, lemak dan lain-lain) tetapi juga untuk kebutuhan lain seperti sabun, deterjen, BBM. Tandan kelapa sawit dapat dimanfaatkan menjadi pupuk, kompos dan bahan bakar. Batang kelapa sawit dapat dimanfaatkan menjadi bahan bangunan. Lumpur (sludge) kelapa sawit dapat dimanfaatkan menjadi sabun, pupuk dan pakan ternak (Hadi,2004).
2.2 Klasifikasi Cacing Tanah
Cacing tanah merupakan hewan Invertebrata dari filum Annelida, kelas Chaetopoda dan ordo Oligochaeta. Famili dari ordo ini yang sering ditemukan adalah: a. Famili Moniligastridae, contoh genus: Moniligaster. b. Famili Megascolidae, contoh genus: Pheretima, Peryonix, Megascolex. c. Famili Acanthodrilidae, contoh genus: Diplocardia. d. Famili Eudrilidae, contoh genus: Eudrilus. e. Famili Glossoscolecidae, contoh genus: Pontoscolex corethrurus. f. Famili Sparganophilidae, contoh genus: Sparganophilus. Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
g. Famili Tubificidae, contoh genus: Tubifex. h. Famili Lumbricidae, contoh genusnya yaitu: Lumbricus, Eiseniella, Bimastos, Dendrobaena, Octalasion, Eisenia, Allobophora (John, 2007).
2.3 Morfologi Cacing Tanah
Cacing tanah
merupakan hewan
yang tidak
mempunyai tulang
belakang
(invertebrata). Tubuhnya tersusun atas segmen-segmen yang berbentuk cincin (chaeta), yaitu struktur berbentuk rambut yang berguna untuk memegang substrat dan bergerak. Tubuh dibedakan atas bagian anterior dan posterior. Pada bagian anteriornya terdapat mulut dan beberapa segmen yang agak menebal membentuk klitelium (Edward & Lofty, 1997).
Gambar 2.2 Morfologi Cacing Tanah
Hegner & Engeman (1978) menjelaskan bahwa cacing tanah tidak mempunyai kepala, tetapi mempunyai mulut pada ujungnya (anterior) yang disebut protomium. Bagian belakang mulut terdapat bagian badan yang sedikit segmennya dinamakan klitelium yang merupakan pengembangan segmen-segmen, biasanya mempunyai warna yang sedikit menonjol atau tidak dibandingkan dengan bagian tubuh lain. Cacing tanah juga tidak mempunyai alat pendengar, tetapi peka sekali terhadap Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
sentuhan dan getaran. Cacing tanah juga tidak mempunyai mata, tetapi peka sekali terhadap sentuhan dan getaran, sehingga dapat mengetahui kecenderungan untuk menghindari cahaya, selain itu cacing juga tidak mempunyai gigi.
Pada bagian bawah (ventral) terdapat pori-pori yang letaknya tersusun atas setiap segmen dan berhubungan dengan alat ekskresi (nephredia) yang ada dalam tubuh. Nephredia ini mengeluarkan zat-zat sisa yang telah berkumpul di dalam rongga tubuh (rongga selomik) berupa cairan. Fungsi pori-pori adalah untuk menjaga kelembaban kulit cacing tanah agar selalu basah karena cacing tanah bernafas melalui kulit yang basah tersebut. Kulit luar (kutikula) selalu dibasahi oleh kelenjar-kelenjar lendir (kelenjar mukus). Lendir ini terus diproduksi cacing tanah untuk membasahi tubuhnya agar dapat bergerak dan melicinkan tubuhnya (Rukmana, 1999).
Secara sistematik, cacing tanah bertubuh tanpa kerangka yang tersusun oleh segmen-segmen fraksi luar dan fraksi dalam yang saling berhubungan secara integral, diselaputi oleh epidermis (kulit) berupa kutikula (kulit kaku) berpigmen tipis dan setae (lapisan daging semu di bawah kulit) kecuali pada dua segmen pertama yaitu pada bagian mulut (Hanafiah, 2005).
Warna cacing tanah tergantung pada ada tidaknya dan jenis pigmen yang dimilikinya. Sel atau butiran pigmen ini berada di dalam lapisan otot di bawah kulitnya. Paling tidak sebagian warna juga disebabkan oleh adanya cairan kulomik kuning. Warna pada bagian dada dan perut umumnya lebih muda dari pada bagian lainnya, kecuali pada Megascolidae yang berpigmen gelap, berwarna sama. Cacing tanah yang tanpa atau berpigmen sedikit, jika berkulit transparans biasanya terlihat berwarna merah atau pink. Apabila kutikulanya sangat irridescent, seperti pada Lumbricus dan Dendrobaena maka akan terlihat biru (Hanafiah, 2005).
2.4 Ekologi Cacing Tanah
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
Populasi cacing tanah sangat erat hubungannya dengan keadaan lingkungan dimana cacing tanah itu berada. Lingkungan yang disebut disini adalah totalitas kondisikondisi fisik, kimia, biotik dan makanan yang secara bersama-sama dapat mempengaruhi populasi cacing tanah (Satchell, 1967 dalam John, 1984). Selanjutnya dijelaskan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap populasi cacing tanah adalah: kelembaban, suhu, pH tanah, bahan organik tanah, serta vegetasi yang terdapat disana sebagai berikut: a. Kelembaban
Kelembaban sangat berpengaruh terhadap aktivitas pergerakan cacing tanah karena sebagian tubuhnya terdiri atas air berkisar 75-90 % dari berat tubuhnya. Itulah sebabnya usaha pencegahan kehilangan air merupakan masalah bagi cacing tanah. Meskipun demikian cacing tanah masih mampu hidup dalam kondisi kelembaban yang kurang menguntungkan dengan cara berpindah ke tempat yang lebih sesuai atau pun diam. Lumbricus terrestris misalnya, dapat hidup walaupun kehilangan 70% dari air tubuhnya. Kekeringan yang lama dan berkelanjutan dapat menurunkan jumlah cacing tanah. Cacing tanah menyukai kelembaban sekitar 12,5-17,2 % (Wallwork, 1970; Edward & Lofty, 1977).
Menurut Rukmana (1999) kelembaban yang ideal untuk cacing tanah adalah antara 15%-50%, namun kelembaban optimumnya adalah antara 42%-60%. Kelembaban tanah yang terlalu tinggi atau terlalu basah dapat menyebabkan cacing tanah berwarna pucat dan kemudian mati. Sebaliknya bila kelembaban tanah terlalu kering, cacing tanah akan segera masuk ke dalam tanah dan berhenti makan serta akhirnya mati.
b. Suhu Kehidupan hewan tanah juga ikut ditentukan oleh suhu tanah. Suhu yang ekstrim tinggi atau rendah dapat mematikan hewan tanah. Disamping itu suhu tanah pada umumnya juga mempengaruhi pertumbuhan, reproduksi dan metabolisme hewan tanah. Tiap spesies hewan tanah memiliki kisaran suhu optimum (Odum, 1996). Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
Kesuburan cacing tanah di suatu habitat sangat dipengaruhi oleh perbedaan suhu, contohnya jumlah kokon yang dihasilkan oleh Allolobophora caliginosa dan beberapa spesies Lumbricus jumlahnya bertambah 4 kali lipat ada kisaran suhu 6 – 16 0
C. Kokon dari Allolobophora chlorotica menetas dalam waktu 36 hari pada suhu 29
0
C, 49 hari pada suhu 15 0C dan 112 hari pada suhu 10 0C bila tersedia air yang cukup
(Wallwork, 1970). Suhu yang ekstrim tinggi atau rendah dapat mematikan cacing tanah. Suhu tanah
pada
umumnya
dapat
mempengaruhi
pertumbuhan,
reproduksi
dan
metabolisme. Tiap spesies cacing tanah memiliki kisaran suhu optimum tertentu, contohnya L.rubellus kisaran suhu optimumnya 15 – 18 0C, L. terrestris ± 10 0C, sedangkan kondisi yang sesuai untuk aktivitas cacing tanah di permukaan tanah pada waktu malam hari ketika suhu tidak melebihi 10,5 0C (Wallwork, 1970).
c. pH
Kemasaman tanah sangat mempengaruhi populasi dan aktivitas cacing tanah sehingga menjadi faktor pembatas penyebaran dan spesiesnya. Umumnya cacing tanah tumbuh baik pada pH sekitar 7,0, namun L.terrestis dijumpai pada pH 5,2 – 5,4. Beberapa spesies tropis genus Megascolex hidup pada tanah masam dengan pH 4,5 – 4,7 dan Bimastos lonnbergi pada pH 4,7 – 5,1, bahkan Dendrobaena octaedra tahan pada pH di bawah 4,3 (Hanafiah, 2005).
Menurut Rukmana (1999) tanah pertanian di Indonesia umumnya bermasalah karena pH-nya asam. Tanah yang pH-nya asam dapat mengganggu pertumbuhan dan daya berkembangbiak cacing tanah, karena ketersediaan bahan organik dan unsur hara (pakan) cacing tanah relatif terbatas. Di samping itu, tanah dengan pH asam kurang mendukung percepatan proses pembusukan (fermentasi) bahan-bahan organik. Oleh karena itu, tanah pertanian yang mendapatkan perlakuan pengapuran sering banyak dihuni cacing tanah. Pengapuran berfungsi menaikkan (meningkatkan) pH tanah sampai mendekati pH netral.
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
Cacing tanah sangat sensitif terhadap keasaman tanah, karena itu pH merupakan faktor pembatas dalam menentukan jumlah spesies yang dapat hidup pada tanah tertentu. Dari penelitian yang telah dilakukan secara umum didapatkan cacing tanah menyukai pH tanah sekitar 5,8-7,2 karena dengan kondisi ini bakteri dalam tubuh cacing tanah dapat bekerja optimal untuk mengadakan pembusukan. Penyebaran vertikal maupun horizontal cacing tanah sangat dipengaruhi oleh pH tanah (Edwards & Lofty, 1977).
d. Bahan Organik
Distribusi bahan organik dalam tanah berpengaruh terhadap cacing tanah, karena terkait dengan sumber nutrisinya sehingga pada tanah miskin bahan organik hanya sedikit jumlah cacing tanah yang dijumpai. Namun apabila cacing tanah sedikit, sedangkan bahan organik segar banyak, pelapukannya akan terhambat (Hanafiah, 2005).
Bahan organik tanah sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan populasi cacing tanah karena bahan organik yang terdapat di tanah sangat diperlukan untuk melanjutkan kehidupannya (Lee, 1985). Selanjutnya Buckman & Brady (1982) menjelaskan sumber utama materi organik tanah adalah serasah tumbuhan dan tubuh hewan yang telah mati. Pada umumnya bahan organik ini banyak jumlahnya pada tanah yang kelembabannya tinggi dibandingkan dengan yang rendah. Selain itu menurut Russel (1988) bahan organik juga mempengaruhi sifat fisik-kimia tanah dan bahan organik itu merupakan sumber pakan untuk menghasilkan energi dan senyawa pembentukan tubuh cacing tanah.
e. Vegetasi
Wallwork (1976) menyatakan bahwa jumlah dan distribusi serasah mempengaruhi kepadatan populasi cacing tanah. Cacing tanah dapat menghancurkan sejumlah besar serasah tahunan di lantai hutan. Jika tempat tersebut populasi cacing tanah tinggi menunjukkan jenis serasah tersebut sangat disukai oleh cacing tanah. Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
Suin (1982) menyatakan bahwa pada tanah dengan vegetasi dasarnya rapat, cacing tanah akan banyak ditemukan, karena fisik tanah lebih baik dan sumber makanan yang banyak ditemukan berupa serasah. Menurut Edwards & Lofty (1977) faktor makanan, baik jenis maupun kuantitas vegetasi yang tersedia di suatu habitat sangat menentukan keanekaragaman spesies dan kerapatan populasi cacing tanah di habitat tersebut. Pada umumnya cacing tanah lebih menyenangi serasah herba dan kurang menyenangi serasah pohon gugur dan daun yang berbentuk jarum. Selanjutnya dijelaskan bahwa cacing tanah lebih menyenangi daun yang tidak mengandung tanin. 2.5. Peranan Cacing Tanah
Secara umum peranan cacing tanah merupakan sebagai bioamelioran (jasad hayati penyubur dan penyehat) tanah terutama melalui kemampuannya dalam memperbaiki sifat-sifat tanah, seperti ketersediaan hara, dekomposisi bahan organik, pelapukan mineral, sehingga mampu meningkatkan produktivitas tanah (Hanafiah, 2005).
Hegner & Engeman (1978) menyatakan bahwa pembentukan pori-pori tanah dilakukan oleh cacing tanah sehingga campuran bahan organik dan anorganik membentuk bahan-bahan lain yang tersedia bagi tanah. Cacing tanah juga dapat meningkatkan daya serap tanah dalam menyerap air pada waktu hujan. Oleh sebab itu persediaan air dalam tanah akan lebih teratur, sehingga menjamin pertumbuhan tanaman. Pertumbuhan tanaman yang baik akan menyebabkan daun-daun tumbuhan lebih baik. Apabila daun-daun yang telah tua jatuh akan menjadi humus sehingga secara langsung cacing tanah mengurangi banjir pada saat hujan dan menjaga persedian air pada musim kering.
Beberapa spesies cacing tanah telah ditemukan mengakumulasi logam-logam berat tertentu baik pada tanah yang berkadar-logam berat rendah maupun yang tinggi, misalnya Cd oleh cacing kompos Eisenia foetida, Ni, Cu, dan Zn oleh berbagai spesies apabila diberikan sewage sludge (lumpur organik) bercampur garam-logam tersebut. Penelitian Helmke et.al. telah pula memperlihatkan adanya akumulasi Cd,
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
Co, Hg dan Zn oleh cacing tanah tertentu yang jumlahnya selaras dengan kenaikan dosis lumpur organik (Hanafiah, 2005).
Tomati et al (1988) menyatakan bahwa tanah dengan kepadatan populasi cacing tanahnya tinggi akan menjadi subur, sebab kotoran cacing tanah (kasting) yang bercampur dengan tanah merupakan pupuk yang kaya akan nitrat organik, posfat, dan kalium, yang membuat tanaman mudah menerima pupuk yang diberikan ke tanah, di samping formasi bahan organik tanah dan mendistribusikan kembali bahan organik di dalam tanah.
Wallwork (1976) menyatakan bahwa cacing tanah dan organisme tanah lainnya merupakan variabel biotis penyusun suatu komunitas yang memiliki beberapa peranan, diantaranya adalah sebagai pengurai dalam rantai makanan, jembatan transfer energi kepada organisme yang memiliki tingkat tropik yang lebih tinggi, membantu kegiatan metabolisme tumbuhan dengan menguraikan serasah daun-daunan dan ranting. Di samping itu cacing tanah juga dapat digunakan untuk mengestimasi kondisi ekologis suatu ekosistem tanah. Selanjutnya dijelaskan bahwa cacing tanah juga dapat mengubah kondisi tanah yang didiaminya melalui keunikan aktivitas dan perilakunya. Hewan ini memakan tanah berikut bahan organik yang terdapat di tanah dan kemudian dikeluarkan sebagai kotoran di permukaan tanah. Aktivitas ini menyebabkan lebih banyak udara yang masuk ke dalam tubuh, tanah menjadi teraduk dan terbentuk agregasi-agregasi sehingga tanah dapat menahan air lebih banyak dan menaikkan kapasitas air tanah. Cacing tanah juga sangat penting dalam proses dekomposisi bahan organik tanah.
Kegiatan cacing tanah menerowongi tanah dapat membentuk pori mikro yang mantap dan sambung menyambung melancarkan daya antar air, memudahkan proses pertukaran gas,
menyediakan medium yang
baik
bagi pertumbuhan akar
(Notohadiprawiro, 1998).
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
BAB 3
BAHAN DAN METODA
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Februari 2009 di 2 (dua) lokasi yaitu kawasan perkebunan kelapa sawit PT. Moeis dan perkebunan kelapa sawit milik rakyat di Desa Simodong, Kecamatan Sei Suka, Kabupaten Batu Bara, Propinsi Sumatera Utara.
3.2 Deskripsi Area a. Lokasi 1 Lokasi 1 terletak di kawasan perkebunan kelapa sawit PT. Moeis. Lokasi ini secara geografis terletak pada 03º 18’ 22,4” LU dan 99º 20’ 4,6” BT. dengan luas lahan sekitar 107,6 ha, yang ditanam kelapa sawit pada tahun tanam 1991 atau telah berumur sekitar 18 tahun. Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
Gambar 3.1 Foto Lokasi I Areal Kebun Kelapa Sawit PT. Moeis b. Lokasi 2 Lokasi 2 terletak di kawasan perkebunan kelapa sawit rakyat di Desa Simodong. Lokasi ini secara geografis terletak pada 03º 20’ 52,8” LU dan 99º 20’ 45,7” BT. dengan luas lahan sekitar 16,10 ha, yang ditanam kelapa sawit pada tahun tanam 1994 atau telah berumur sekitar 15 tahun.
Gambar 3.2 Foto lokasi II Areal Kebun Kelapa Sawit Milik Rakyat
3.3 Metoda Penelitian Penentuan lokasi plot sampling dilakukan dengan metoda ”Purposive Random Sampling”, yaitu secara acak pada ke 2 (dua) lokasi penelitian di areal perkebunan Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
kelapa sawit PT. Moeis dan pada areal perkebunan kelapa sawit masyarakat di Desa Simodong. Selanjutnya pengambilan sampel cacing tanah dilakukan dengan metoda Kuadrat dan metoda Hand Sorting, dimana tiap-tiap lokasi perkebunan diambil sebanyak 25 titik sampel sebagai ulangan.
3.4 Pelaksanaan Penelitian 3.4.1 Pengambilan Sampel Cacing Tanah Pada masing-masing titik sampel yang telah ditentukan dibuat plot berukuran 30 x 30 cm dengan kedalaman 20 cm sebanyak 25 plot dan diambil tanahnya dengan menggunakan sekop/cangkul, kemudian ditempatkan dalam lembaran plastik. Pengambilan sampel dilakukan pada pukul 07.00 – 09.00 WIB. Selanjutnya cacing tanah yang ada pada tanah tersebut disortir. Cacing tanah yang didapatkan dikumpulkan dan dibersihkan dengan air serta dihitung jumlahnya, kemudian dimasukkan ke dalam botol sampel yang telah berisi formalin 4%, setelah itu diawetkan dengan alkohol 70% (Suin, 1997). Cacing tanah yang diawetkan ini dibawa ke Laboratorium Sistematika Hewan FMIPA USU untuk diidentifikasi.
3.4.2 Identifikasi Spesies Cacing Tanah Sampel cacing tanah yang telah diawetkan, terlebih dahulu dikelompokkan jenisnya sesuai dengan kemiripan bentuk morfologinya, selanjutnya dideterminasi dan diidentifikasi dengan bantuan lup dan mikroskop stereo binokuler serta menggunakan beberapa buku acuan seperti: Suin (1989), Dindal (1990), dan John (1998).
3.5 Pengukuran Sifat Fisik dan Kimia Tanah Tanah pada masing-masing plot sampel diukur kelembaban relatif, suhu, kadar air, dan kadar organik tanah. Pengukuran kelembaban relatif, pH dan suhu tanah dilakukan sebelum tanah diambil dari kuadrat tersebut. Kelembaban relatif dan pH Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
diukur dengan menggunakan Soil Tester dan suhu tanah diukur dengan menggunakan Soil Thermometer. Pengukuran kadar air dan kadar organik tanah dilakukan di Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian USU. Tanah yang telah disortir cacing tanah dibersihkan dari sisa-sisa tumbuhan dan hewan tanah lainnya yang masih ada, kemudian diadukaduk sampai rata dan diambil sebanyak 20 gram tanah untuk dianalisis. Selanjutnya sampel tanah ini dikeringkan dalam oven pada suhu 105 0C selama 2 jam sehingga beratnya konstan dan ditentukan kadar air tanahnya dengan rumus sebagai berikut :
A–B Kadar air tanah (%) =
x 100% A
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
Keterangan: A = Berat basah tanah B = Berat konstan tanah (Wilde, 1972 dalam Adianto, 1993)
Selanjutnya diambil sebanyak 5 gram dan dibakar di dalam tungku pembakar (Furnace Mufle) dengan suhu 600 0C selama tiga jam. Persentase kadar organik tanah dihitung dengan rumus: 0,5 gram tanah kering udara dimasukkan ke dalam erlenmeyer 500 cc, lalu ditambahkan 10 ml H2SO4 pekat, kemudian diguncang 3-4 menit, selanjutnya diamkan selama 30 menit. Tambahkan 100 ml air suling dan 5 ml H3PO4 85% dan 2,5 ml NaF 4%. Kemudian ditambahkan 5 tetes diphenilamine, diguncang, larutan berwarna biru tua kehijauan kotor. Titrasi dengan Fe (NH4)2(SO4)2 0,5 N dari buret hingga warna berubah menjadi hijau terang. Lakukan kembali prosedur diatas dari no.2 s/d 5 (tanpa tanah) untuk mendapatkan volume titrasi Fe (NH4)2(SO4)2 0,5 N untuk Blanko (Muklis, 2007). Dengan menggunakan rumus berikut:
C org = 5 x [1-T/5] x 0,003 x 1/0,77 x 100/BCT x 0,72 dengan : T = Volume titrasi Fe (NH4)2(SO4)2 0,5 N dengan tanah S = Volume titrasi Fe (NH4)2(SO4)2 0,5 N untuk Blanko (tanpa tanah) 0,003 = 1 ml K2Cr2O7 0,1N + H2SO4 mampu mengoksidasi 0,003 gr C.Organik 1/0,77 = Metode ini hanya 77 % C.Organik yang dapat dioksidasi BCT = Berat Contoh Tanah.
3.6 Analisis Data Jenis cacing tanah dan jumlah individu masing-masing jenis yang didapatkan dihitung: Kepadatan Populasi, Kepadatan Relatif masing-masing jenis, Frekuensi Kehadiran dan Indeks Similaritas (Walkwork, 1970: Southwood, 1996 dalam Suin & Iswandi, (1994) dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
a. Kepadatan Populasi (K) Jumlah individu suatu jenis K= Jumlah unit sampel Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
b. Kepadatan Relaif (KR) Kepadatan suatu jenis KR =
x 100 % Jumlah kepadatan semua jenis
c. Komposisi Komunitas: didasarkan pada nilai urut Kepadatan Relatif (KR) terbesar hingga terkecil dari masing-masing jenis yang didapatkan. d. Frekuensi Kehadiran (FK) Jumlah plot yang ditempati suatu jenis FK =
x 100 % Jumlah total plot
Keterangan:
Nilai FK: 0 – 25% = Nilai FK: 25 – 50% = Nilai FK: 50 – 75% = Nilai FK: 75 – 100% =
sangat jarang (aksidental) jarang (asesoris) sering (konstan) sangat sering (absolut)
e. Indeks Similaritas (Kesamaan Sorensen) IS =
2C a+b
Dimana:
IS a b C
Keterangan:
= Indeks kesamaan antar populasi = Jumlah jenis pada lokasi A = Jumlah jenis lokasi B = Jumlah jenis yang sama pada dua lokasi yang berbeda Nilai IS ≤ 75% = sangat tidak mirip Nilai IS 25-50% = tidak mirip Nilai IS 50-75% = mirip Nilai IS ≥ 75% = sangat mirip
f. Indeks Morista (Distribusi) I=n
∑x² - N N ( N- 1 ) Dimana:
Keterangan:
I = Indeks morista n = Jumlah individu yang terdapat pada masing-masing plot N = Jumlah total unit sampel ∑x² = Kuadrat jumlah individu per unit sampel Nilai Indeks Morista = 1, menunjukkan bahwa distribusi hewan itu random Nilai Indeks Morista > 1, menunjukkan bahwa distribusi hewan itu berkelompok
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
Nilai Indeks Morista < 1, menunjukkan bahwa distribusi hewan itu beraturan
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Jenis Cacing Tanah yang Ditemukan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan tentang komposisi dan distribusi cacing tanah di areal perkebunan kelapa sawit PT. Moeis dan di perkebunan kelapa sawit rakyat Desa Simodong, Kecamatan Sei Suka, Kabupaten Batu Bara didapatkan seperti yang terlihat pada Tabel 4.1 berikut ini. Tabel 4.1 Cacing Tanah yang Ditemukan pada Dua Lokasi Penelitian No 1 2 3
Famili Glossoscolecidae Moniligastridae Megascolidae
Spesies/Jenis Pontoscolex corethrurus Drawida sp Peryonix excavatus Megascolex cempii Pheretima posthuma Jumlah Spesies
Lokasi I
II
+ + + + 4
+ + + + 4
Keterangan: Lokasi 1 = lahan perkebunan kelapa sawit PT. Moeis ; lokasi 2 = lahan perkebunan kelapa sawit Rakyat ; + = ditemukan ; - = tidak ditemukan.
Didapatkan sebanyak 5 jenis cacing tanah yang termasuk ke dalam 3 famili, yaitu famili Glossoscolecidae, Moniligastridae dan Megascolidae. Pada lokasi I sebanyak 4 jenis yaitu Pontoscolex corethrurus, Peryonix excavatus, Megascolex cempii dan Pheretima posthuma dan pada lokasi II, sebanyak 4 jenis yaitu Pontoscolex corethrurus, Drawida sp, Peryonix excavatus, dan Pheretima posthuma. Jenis cacing tanah yang didapatkan pada lokasi I, tapi tidak didapatkan pada lokasi II adalah dari jenis Megascolex cempii, sedangkan jenis cacing tanah yang didapatkan Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
pada lokasi II, tapi tidak didapatkan pada lokasi I adalah dari jenis Drawida sp, keadaan ini disebabkan ke dua jenis ini memiliki kisaran toleransi yang berbeda terhadap kondisi lingkungan, seperti pH dan kadar organik tanah. Menurut John (1998) cacing tanah dari jenis Megascolex cempii lebih menyukai kondisi lingkungan dengan pH sedikit asam (< 6), kelembaban tanah berkisar antara 80-90%, dan kadar organik tergolong rendah (< 1 %), sedangkan cacing tanah dari jenis Drawida sp lebih menyukai kondisi lingkungan dengan pH netral (6-7), kelembaban tanah berkisar antara 85-95%, dan kadar organik tergolong cukup tinggi (1-2 %).
Keberadaan jenis cacing tanah yang didapatkan pada kedua lokasi menunjukkan bahwa kedua lokasi memiliki kondisi faktor fisik-kimia lingkungan yang mendukung bagi kehidupan cacing tanah, diantaranya pH tanah dan kadar organik. Pada lokasi I pH tanah berkisar 5,7-6,4 dan kadar organik 0,60 %. Pada lokasi II pH tanah berkisar 6-6,8 dan kadar organik 1,95 %. Menurut Hanafiah (2005) pH tanah sangat mempengaruhi populasi dan aktivitas cacing tanah sehingga menjadi faktor pembatas penyebaran dan spesiesnya. Menurut Edwards & Lofty (1977), cacing tanah sangat sensitif terhadap keasaman tanah, karena itu pH merupakan faktor pembatas dalam menentukan jumlah spesies yang dapat hidup pada tanah tertentu. Cacing tanah menyukai pH tanah sekitar 5,8 – 7,2 Penyebaran vertikal maupun horizontal cacing tanah sangat dipengaruhi oleh pH tanah. Selanjutnya Wallwork (1970) menyatakan bahwa keberadaan spesies cacing tanah pada suatu areal sangat ditentukan oleh kandungan bahan organik di areal tersebut.
Tanda-tanda khusus dari ke lima jenis cacing tanah yang ditemukan pada areal perkebunan kelapa sawit adalah sebagai berikut : 1. Pontoscolex corethrurus, famili Glossoscolecidae Tanda-tanda khusus: Cacing tanah ini memiliki panjang total tubuh berkisar antara 35-120 mm, diameter 2-4 mm, dengan jumlah segmen berkisar antara 83-215 segmen, warna bagian dorsal cokelat kekuningan, warna bagian ventral abu-abu keputihan. Warna ujung anterior kekuningan dan warna ujung posterior cokelat kekuningan. Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
Prostomium prolobus atau epilobus dengan 1 segmen dapat ditarik kembali. Seta kecil berlekuk-lekuk secara garis melintang dan bagian anterior seta kelihatan tidak jelas tetapi pada bagian posterior seta kelihatan sangat jelas, biasanya sekitar 10-12 bagian depan sangat jelas dan lebar dari seta berpasangan. Klitelium bentuk pelana mulai dari segmen 14-20 (John, 1998).
Gambar 4.1 Pontoscolex corethrurus
2. Drawida sp, famili Moniligastridae Tanda-tanda khusus: Cacing tanah ini memiliki panjang tubuh berkisar antara 30-95 mm, diameternya sekitar 3-5 mm, jumlah segmen berkisar antara 265-450 segmen, hampir tidak mempunyai pigmen biasanya berwarna cokelat abu-abu kekuningan, bagian ventral cokelat muda. Warna ujung anterior cokelat keputihan dan ujung posterior cokelat keputihan. Prostomium prolobus atau epilobus. Seta kecil berpasangan, seta mulai segmen 5/6-8/9 kebanyakan tebal. Klitelium pada segmen 10-13 berbentuk pelana di bagian depan, dan pada bagian belakang (segmen 13) berbentuk cincin, lubang kelamin jantan pada segmen 27/28. Lubang kelamin betina segmen 26-27 (Dindal, 1990).
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
Gambar 4.2 Drawida sp
3. Peryonix excavatus, famili Megascolidae Tanda-tanda khusus: Cacing ini tanah ini berbentuk gilik dengan panjang tubuh berkisar antara 80-120 mm, diameternya 4-6 mm, jumlah segmen berkisar antara 75-165 segmen dan klitelumnya terletak pada segmen 13 dan 17. Memiliki banyak seta dengan tipe Perichaetine pada setiap segmen. Gland prostat bercabang. Holonephric atau memiliki sepasang nefridia pada setiap segmennya. Pada bagian posterior berwarna cokelat keemasan sedangkan pada bagian anterior berwarna cokelat kehitaman (Suin, 1994).
Gambar 4.3 Peryonix excavatus
4. Megascolex cempii, famili Megascolidae Tanda-tanda khusus:
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
Cacing tanah ini memiliki panjang tubuh berkisar antara 55-123 mm, diameter 3-4 mm, dan jumlah segmen antara 134-178. Warna bagian dorsal merah keunguan, bagian ventral pucat atau cokelat keputihan. Warna ujung anterior cokelat keputihan dan ujung posterior abu-abu cokelat. Prostomium epilobus, segmen pertamanya tidak jelas tertarik ke dalam. Klitelium berbentuk cincin dan tidak membengkak, segmennya jelas serta mengkilap, berwarna kemerahan, dimulai pada segmen ke XIV-XVI (3 segmen), mempunyai seta, bagian dorsal dan ventral tidak menebal. Lubang dorsal dimulai pada septa 5/6. Seta mulai dari segmen II dengan tipe Perichaetine. Lubang kelamin jantan terletak pada segmen XVIII, agak ke tengah dan mempunyai papila. Lubang kelamin betina terletak pada medio-ventral segmen XIV. Lubang spermateka terletak pada septa 7/8-8/9 (Suin, 1994).
Gambar 4.4 Megascolex cempii
5. Pheretima posthuma, famili Megascolidae Tanda-tanda khusus: Cacing tanah ini memiliki panjang tubuh berkisar antara 115-140 mm, diameternya 5-6 mm, dan jumlah segmen berkisar antara 125-145. Warna bagian dorsal cokelat keunguan, bagian ventral pucat atau abu-abu keputihan. Warna ujung anterior cokelat kekuningan, dimulai pada segmen ke XIV-XVI (3 segmen), mempunyai seta, bagian dorsal dan ventral tidak menebal. Lubang dorsal mulai pada septa 12/13. Seta mulai dari segmen II dengan tipe Perichaetine, seta bagian anterior dari ventral terlihat jelas atau lebih besar. Lubang kelamin betina terletak Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
pada medioventral segmen XVII dan XIX. Lubang spermateka 4 pasang, terletak pada septa 5/6 – 8/9 (pada septa 5/6 kurang jelas) (John, 1998).
Gambar 4.5 Pheretima posthuma
4.2 Kepadatan (individu/m²) dan Kepadatan Relatif Populasi Cacing Tanah Kepadatan populasi cacing tanah pada kedua lokasi penelitian menunjukkan adanya perbedaan, seperti yang terlihat pada Tabel 4.2 berikut ini.
Tabel 4.2 Kepadatan (individu/m²) dan Kepadatan Relatif Populasi Cacing Tanah pada Masing-Masing Lokasi Penelitian Lokasi I No 1. 2. 3. 4. 5.
Lokasi II
Jenis Pontoscolex corethrurus Peryonix excavatus Pheretima posthuma Drawida sp Megascolex cempii Jumlah
K
KR (%)
K
KR (%)
14,66 3,55 1,77 2,22 22,22
66,00 16,00 8,00 10,00 100,00
20,89 2,66 2,22 10,22 35,99
58,02 7,40 6,18 28,40 100,00
Keterangan: K= Kepadatan, KR = Kepadatan Relatif
Pada Tabel 4.2 menunjukkan bahwa pada lokasi I jenis Pontoscolex corethrurus memiliki nilai kepadatan tertinggi yaitu 14,66 individu/m² dengan nilai kepadatan relatif yaitu 66% dan nilai kepadatan terendah didapatkan dari jenis Pheretima posthuma yaitu 1,77 individu/m² dengan nilai kepadatan relatif yaitu 8%. Pada lokasi II jenis Pontoscolex corethrurus memiliki nilai kepadatan tertinggi yaitu 20,89 individu/m² dengan nilai kepadatan relatif yaitu 58,02% dan nilai kepadatan terendah didapatkan dari jenis Pheretima posthuma, yaitu 2,22 individu/m² dengan Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
nilai kepadatan relatif yaitu 6,18%. Keadaan ini disebabkan ke dua spesies ini memiliki kisaran toleransi yang berbeda terhadap kondisi lingkungan, seperti pH dan kadar organik tanah. Hal ini dikarenakan faktor fisik-kimia yang berbeda seperti kelembaban, kadar organik dan kadar air. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Wallwork (1970) bahwa kepadatan cacing tanah pada suatu areal umumnya dipengaruhi oleh faktor fisik seperti kelembaban, vegetasi dan mikrohabitat.
Lee (1985) menyatakan bahwa bahan organik sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan populasi cacing tanah karena bahan organik yang terdapat di dalam tanah sangat diperlukan untuk melanjutkan kehidupannya. Selanjutnya Hanafiah (2005) menyatakan bahwa distribusi bahan organik dalam tanah berpengaruh terhadap cacing tanah, karena terkait dengan sumber nutrisinya sehingga pada tanah miskin bahan organik hanya sedikit jumlah cacing tanah yang dijumpai.
4.3 Komposisi Cacing Tanah Berdasarkan nilai kepadatan relatif dapat ditentukan komposisi cacing tanah dari urutan tertinggi sampai terendah pada masing-masing lokasi seperti pada Tabel 4.3 berikut ini:
Tabel 4.3 Komposisi Cacing Tanah pada Masing-Masing Lokasi Penelitian Lokasi I No 1. 2. 3. 4. 5.
Lokasi II
Jenis Pontoscolex corethrurus Peryonix excavatus Pheretima posthuma Drawida sp Megascolex cempii Jumlah
KR (%)
Komposisi
KR (%)
Komposisi
66,00 16,00 8,00 10,00 100,00
1 2 4 3
58,02 7,40 6,18 28,40 100,00
1 3 4 2 -
Keterangan: KR = Kepadatan Relatif
Pada Tabel 4.3 menunjukkan bahwa pada lokasi I didapatkan komposisi cacing tanah secara berurutan adalah Pontoscolex corethrurus, Peryonix excavatus, Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
Megascolex cempii dan Pheretima posthuma. Pada lokasi II didapatkan komposisi cacing tanah secara berurutan adalah Pontoscolex corethrurus, Drawida sp, Peryonix excavatus dan Pheretima posthuma.
Pada Tabel 4.3 menunjukkan bahwa Pontoscolex corethrurus menempati urutan tertinggi pada kedua lokasi, sedangkan Pheretima posthuma menempati urutan terendah pada kedua lokasi. Hal ini dikarenakan adanya batasan toleransi yang sangat luas bagi kehidupan cacing tanah dari jenis Pontoscolex corethrurus sehingga jenis ini mampu hidup dimana saja. John (1998) menyatakan bahwa cacing tanah jenis Pontoscolex corethrurus banyak ditemukan pada areal perkebunan kelapa sawit. Selanjutnya Suin (1982) menjelaskan bahwa jenis Pontoscolex corethrurus banyak ditemukan di Pulau Sumatera. 4.4 Frekuensi Kehadiran (FK) dan Konstansi Cacing Tanah Frekuensi kehadiran dan konstansi cacing tanah yang didapatkan pada setiap lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.4 berikut ini. Tabel 4.4 Frekuensi Kehadiran (%) dan Konstansi Cacing Tanah pada MasingMasing Lokasi Penelitian No 1. 2. 3. 4. 5.
Jenis Pontoscolex corethrurus Peryonix excavatus Pheretima posthuma Drawida sp Megascolex cempii
Lokasi I
Lokasi II
FK (%)
Konstansi
FK (%)
Konstansi
56 28 16
Konstan Asesoris Aksidental Aksidental
60 24 20 36
Konstan Aksidental Aksidental Aksesoris -
16
-
Keterangan: FK= Frekuensi Kehadiran
Pada Tabel 4.4 menunjukkan bahwa jenis cacing tanah pada lokasi I yang bersifat konstan 1 jenis, bersifat aksidental ada 2 jenis dan bersifat asesoris 1 jenis. Pada lokasi II jenis cacing tanah yang bersifat konstan 1 jenis, bersifat aksidental ada 2 jenis dan bersifat asesoris 1 jenis tetapi yang bersifat absolut tidak ditemukan. Hal ini memperlihatkan bahwa tidak ada jenis yang sangat sering ditemukan (absolut) pada kedua lokasi, tetapi ada 1 jenis yang sering ditemukan (konstan) pada kedua lokasi yaitu Pontoscolex corethrurus. Hal ini dikarenakan kondisi lingkungan baik Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
secara fisik-kimia maupun ketersediaan air dan unsur hara dapat mendukung bagi kehidupan cacing tanah dari jenis Pontoscolex corethrurus.
4.5 Cacing Tanah yang Memiliki Nilai Kepadatan Relatifnya (KR) ≥ 10% dan Frekuensi Kehadiran (FK) ≥ 25% Berdasarkan Nilai Kepadatan Relatif (KR) ≥ 10% dan Frekuensi Kehadiran (FK) ≥ 25% cacing tanah dapat dikelompokkan seperti yang terlihat pada Tabel 4.6 berikut ini.
Tabel 4.5 Cacing Tanah yang Memiliki Nilai Kepadatan Relatif (KR) ≥ 10% dan Frekuensi Kehadiran (FK) ≥ 25% No 1 2 3
Spesies Pontoscolex corethrurus Peryonix excavatus Drawida sp
Lokasi I
Lokasi II
KR (%)
FK (%)
KR(%)
FK(%)
66 16 -
56 28 -
58,02 28,4
60 36
Didapatkan 3 jenis dari 5 jenis cacing tanah yang dapat hidup dan berkembang dengan baik yaitu Pontoscolex corethrurus, Peryonix excavatus dan Drawida sp. Dimana pada lokasi I yaitu dari jenis Pontoscolex corethrurus dan Peryonix excavatus dan pada lokasi II yaitu dari jenis Pontoscolex corethrurus dan Drawida sp. Hal ini memperlihatkan bahwa kondisi masing-masing lokasi penelitian dapat mendukung kehidupan dan perkembangbiakan dari jenis Pontoscolex corethrurus, hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Suin (1988) apabila nilai KR≥ 10% dan FK ≥ 25% menunjukkan bahwa hewan tersebut mampu hidup dengan baik di habitatnya. Sedangkan Drawida sp hanya dapat hidup dan berkembangbiak dengan baik pada lokasi II dan Peryonix excavatus hanya dapat hidup dan berkembangbiak dengan baik pada lokasi I, hal ini dikarenakan ke dua jenis ini memiliki kisaran toleransi yang berbeda terhadap kondisi lingkungan, seperti pH dan kadar organik tanah. Menurut Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
John (1998) cacing tanah dari jenis Megascolex cempii lebih menyukai kondisi lingkungan dengan pH sedikit asam (< 6), kelembaban tanah berkisar antara 80-90%, dan kadar organik tergolong rendah (< 1 %), sedangkan cacing tanah dari jenis Drawida sp lebih menyukai kondisi lingkungan dengan pH netral (6-7), kelembaban tanah berkisar antara 85-95%, dan kadar organik tergolong cukup tinggi (1-2 %).
4.6 Nilai Indeks Morista (Distribusi) Cacing Tanah
Distribusi cacing tanah pada setiap lokasi penelitian menurut Nilai Indeks Morista diperoleh hasilnya pada lokasi I dan II yaitu lebih besar dari 1 seperti terlihat pada Tabel 4.6 berikut ini.
Tabel 4.6 Indeks Morista (Distribusi) Cacing Tanah pada Masing-Masing Lokasi Penelitian No
Jenis
Indeks Morista Lokasi I
Distribusi
Lokasi II
Distribusi
1
Pontoscolex corethrurus
1,27
Berkelompok
1,68
Berkelompok
2 3 4 5
Peryonix excavatus Pheretima posthuma Drawida sp Megascolex cempii
0,33 0,16 0,20
Beraturan Beraturan Beraturan
0,24 0,20 0,92 -
Beraturan Beraturan Beraturan -
Pada Tabel 4.6 menunjukan bahwa kondisi distribusi jenis cacing tanah pada masing-masing lokasi yaitu distribusi cacing tanah yang berkelompok ada 1 jenis dan distribusi cacing tanah yang beraturan ada 4 jenis, dimana pada lokasi I yang distribusi cacing tanah berkelompok ada 1 jenis yaitu. Pontoscolex corethrurus dan distribusi cacing tanah yang beraturan ada 3 jenis yaitu Peryonix excavatus, Pheretima posthuma dan Megascolex cempii. Pada lokasi II distribusi cacing tanah yang berkelompok ada 1 jenis yaitu. Pontoscolex corethrurus dan distribusi cacing tanah yang beraturan ada 3 jenis yaitu Peryonix excavatus, Pheretima posthuma dan Drawida sp. Kondisi ini disebabkan kondisi-kondisi fisik, kimia, biotik dan makanan pada setiap lokasi yang secara bersama-sama dapat mempengaruhi distribusi cacing
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
tanah. Distribusi cacing tanah sangat erat hubungannya dengan faktor-faktor lingkungan seperti faktor makanan dan pH tanah.
Menurut Edwars & Lofty (1977) bahwa cacing tanah sangat sensitif terhadap keasaman tanah, karena itu pH merupakan faktor pembatas dalam menentukan jumlah jenis yang dapat hidup pada tanah tertentu. Penyebaran vertikal maupun horizontal cacing tanah sangat dipengaruhi oleh pH tanah. Dari penelitian yang telah dilakukan secara umum didapatkan cacing tanah menyukai pH tanah berkisar 5,8-7,2 karena dengan kondisi ini cacing tanah dapat lebih optimal untuk mengadakan proses pembusukan.
Edwars & Lofty (1977) menjelaskan bahwa faktor makanan, baik jenis maupun kuantitas vegetasi yang tersedia di suatu habitat sangat menentukan keanekaragaman spesies dan kerapatan populasi cacing tanah di habitat tersebut.
4.7 Nilai Indeks Similaritas (Kesamaan) Cacing Tanah
Nilai Indeks Similaritas jenis cacing tanah antara lokasi penelitian, yaitu antara lokasi I dengan lokasi II yaitu 75%, seperti yang terlihat pada Tabel 4.7 berikut ini.
Tabel 4.7. Nilai Indeks Similaritas (Kesamaan) Cacing Tanah pada MasingMasing Lokasi Penelitian. Lokasi I
Lokasi II
Lokasi I
-
75%
Lokasi II
-
-
Dari Tabel 4.7, menunjukkan bahwa kesamaan jenis cacing tanah yang terdapat antara lokasi I dengan lokasi II sangat mirip, kondisi ini dikarenakan adanya berbagai macam vegetasi dan kelembaban tanah yang mendukung kelangsungan hidup cacing tanah dan juga kondisi sifat fisik-kimia tanah yang hampir sama antara lokasi I dengan lokasi II. Kondisi sifat fisik kimia tanah turut mempengaruhi atau menentukan distribusi dan komposisi jenis cacing tanah pada suatu daerah. Menurut Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
Satchell (1967) dalam Suin (1982), bahwa populasi cacing tanah sangat erat hubungannya dengan keadaan lingkungan dimana cacing tanah itu berada. Lingkungan yang disebut disini adalah totalitas kondisi-kondisi fisik, kimia, biotik dan makanan yang secara bersama-sama dapat mempengaruhi populasi cacing tanah.
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Dari hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai ”Komposisi Komunitas dan Distribusi Cacing Tanah di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis dan di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara” dapat disimpulkan bahwa: a) Didapatkan sebanyak 5 jenis cacing tanah yang termasuk ke dalam 3 famili, yaitu famili Glossoscolecidae, Moniligastridae dan Megascolidae b) Pada lokasi I didapatkan 4 jenis cacing tanah yaitu: Pontoscolex corethrurus, Peryonix excavatus, Megascolex cempii dan Pheretima posthuma. Pada lokasi II didapatkan 4 jenis cacing tanah yaitu Drawida sp, Pontoscolex corethrurus, Pheretima posthuma dan Peryonix excavatus. c) Komposisi jenis cacing tanah tertinggi yaitu Pontoscolex corethrurus dengan nilai kepadatan 20,89 individu/ m² dan kepadatan relatif 58,02% sedangkan terendah yaitu Pheretima posthuma dengan nilai kepadatan 1,77 individu/ m² dan kepadatan relatif 8,00%. d) Didapatkan 3 jenis cacing yang dapat hidup dan berkembangbiak dengan baik yaitu Pontoscolex corethrurus, Peryonix excavatus dan Drawida sp. e) Kesamaan jenis cacing tanah pada lokasi I dengan lokasi II termasuk kategori sangat mirip dengan indeks similaritas 75%. f) Pada lokasi I distribusi cacing tanah berkelompok (1,27) didapatkan dari jenis Pontoscolex corethrurus dan distribusi cacing tanah beraturan didapatkan dari jenis Peryonix excavatus, Pheretima posthuma, Megascolex cempii. Pada lokasi II distribusi cacing tanah berkelompok dari jenis Pontoscolex corethrurus (1,68) dan distribusi cacing tanah beraturan didapatkan dari jenis Peryonix excavatus, Drawida sp Pheretima posthuma. Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
5.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang distribusi dan komposisi cacing tanah di lokasi penelitian yang lain agar dapat dibandingkan dengan yang telah didapatkan di lokasi penelitian ini dengan memperhatikan bagaimana pengaruh keberadaan dan penyebaran setiap jenis cacing tanah terhadap tingkat kesuburan tanah di lokasi penelitian.
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
DAFTAR PUSTAKA
Adianto. 1993. Biologi Pertanian (Pupuk Kandang, Pupuk Organik Nabati dan Insektisida). Edisi kedua. Alumni Anggota IKAPI. Bandung. hlm. 16-17. Buckman, H.O & N.C Brady. 1982. Ilmu Tanah. Diterjemahkan oleh Soegiman. UGM Press. Yogyakarta. hlm. 64-66. Dindal, D.L. 1990. Soil Biology Guide. John Willey dan Sons. New York. Chichester, Brisbane. pp. 331-387. Edward, C.H & J.R. Lofty. 1977. Biology of Earthworm. London. Chapman and Hall. pp. 77-221. Hadi, M. M. 2004. Teknik Berkebun Kelapa Sawit. Adicita Karya Nusa. Yogyakarta. hal 28-32. Hanafiah, K.A. 2005. Biologi Tanah. Ekologi dan Makrobiologi Tanah PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. hlm. 70, 78-79, 91-94, 119-120, 142-143. Hegner, R.W. & J.G Engeman. 1978. Invertebrate Zoology. Mac Milan. New York. pp. 616. John, A.H. 1984. Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Populasi Cacing Tanah. Paper Sarjana Muda Jurusan Biologi FMIPA. Padang: Andalas (Tidak Dipublikasi). hlm. 3-8. John, A.H. 1998. Kajian Pengaruh Pemupukan dengan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit ke Areal Kebun Terhadap Cacing Tanah untuk Memantau Kualitas Tanah Secara Biologis. Tesis Pasca Sarjana (S2). Medan. USU (Tidak Dipublikasi). hlm. 20-24. John, A.H. 2007. Sistematika Hewan I (Invertebrata). Departemen Biologi. FMIPA USU. Medan. hlm. 94-95. Lee, K.E. 1985. Earthworm. Their Ecology and Relationship with Soil and Land Use. Academic Press. Australia. pp. 38-59. Muklis. 2007. Analisis Tanah Tanaman. Medan: USU Press. hlm. 109-111. Naibaho, P.M. 1988. Diversivikasi Minyak Sawit dan Inti Sawit dalam Upaya Meningkatkan Daya Saing dengan Minyak Nabati lainnya dan Hewani. Sasaran, No. 27, Th. V, 1991. Notohadiprawiro, Tejoyuwono. 1998. Tanah dan Lingkungan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 29. Odum, E.P. 1996. Dasar-Dasar Ekologi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. hlm. 137-190. Risza, Suyatno. 1994. Kelapa Sawit. Upaya Peningkatan Produktivitas. Penerbit Kanisius (Anggota IKAPI). Yogyakarta. hlm. 40-44. Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
Rukmana, H.R. 1999, Budi Daya Cacing Tanah, Penerbit Kanisius (Anggota IKAPI), Yogyakarta. hlm. 18, 28-29. Russel, E.W. 1988. Soil Condition and Plant Growth. Eleventh Edition. Longman Scientific & Technical. New York: The United States with John Wiley & Sons. pp. 138-151. Satchell, J.E. 1955. Some Aspect of Earthworm Ecology, in Soil Zoology. Edition by Kevan. London: Butterworths. pp. 138-151. Suin, N.M. 1982. Cacing Tanah dari Biotop Hutan, Belukar dan Kebun di Kawasan Gambung – Jawa Barat. Tesis Pasca Sarjana (S2). ITB. Bandung (Tidak Dipublikasi). hlm. 72-74. Suin, N.M. 1988. Populasi Hewan Tanah di Sekitar Pabrik Semen serta Kemungkinannya Bagi Pemantauan Kualitas Tanah. Disertasi (S3). Bandung: ITB (Tidak Dipublikasi). hlm. 131-134. Suin, N.M. 1989. Ekologi Hewan Tanah. Penerbit Bumi Aksara. Bandung. hlm. 9196. Suin, N.M & Iswandi. 1994. Pemanfaatan Cacing Tanah pada Onggokan Sampah dan Tanah Sekitarnya (Laporan Penelitian). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Studi Lingkungan Hidup. Padang: Universitas Andalas. hlm. 1-9. Wallwork, J.A. 1970. Ecology of Soil Animal. Mc.Graw Hill Book Company. London. pp. 58-74. Wallwork, J.A. 1976. The Distribustion and Diversity of Soil Fauna. London: Academic Press inc. pp. 36.
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
LAMPIRAN A. Peta Lokasi Penelitian
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
LAMPIRAN B. Nilai Faktor Fisik-Kimia Tanah pada Masing-Masing Lokasi Perkebunan Sawit
Lokasi
Kelembaban
pH
Suhu (ºC)
Kadar Air (%)
Kadar Organik (%)
1. Sawit PT. Moeis
82-90%
5,7-6,4
27-27,5
13,44
0,60
2. Sawit Rakyat
90-95%
6-6,8
26-27,5
33,58
1,95
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
LAMPIRAN C. Data Jumlah dan Jenis Cacing Tanah yang Didapatkan pada Dua Lokasi Penelitian A. Lokasi I (PT. Moeis) Jenis
Plot Sampling 1
2
3
4
5
6
7
8
Pontoscolex corethrurus
6
-
2
-
1
3
-
Peryonix excavatus
-
1 1
-
- - 1 1 -
Pheretima posthuma Megascolex cempii
- 1 1 - 2
9
Jlh
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
2 3
-
-
1
1
2
3
-
-
3
1
3
-
-
-
2
-
33
-
-
1 -
-
-
1 -
2 -
-
1 -
1 1 -
-
-
-
-
-
1
-
8 4 5
1 -
B. Lokasi II (Desa Simodong) Jenis
Plot Sampling 1
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
Pontoscolex corethrurus
5 2 3 4 2
5 3 2 4
-
-
4
2
-
4
-
-
-
2
1
4
-
-
-
-
47
Peryonix excavatus
3
-
1 1 5
1 4
1
3
1 1
-
-
1 -
-
-
1 -
-
1 -
-
-
1 -
6 5 23
Pheretima posthuma Drawida sp
2
-
3
4
1 - 1 2 1
5
-
6
7
-
8
9
Jlh
- 1 - 3 -
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
LAMPIRAN D. Contoh Cara Perhitungan Analisis Data
Lokasi I (PT. Moeis) Luas Area
= 30 cm x 30 cm² = 900 cm² = 10.000 : 900 cm² = 11,11 m²
Kepadatan Ponthoscolex corethrurus
=
33 = 1,32× 11,11 = 14,67 individu/ m² 25
Peryonix excavatus
=
8 = 0,32 × 11,11 = 3,55 individu/ m² 25
Pheretima posthuma
=
4 = 0,16 × 11,11 = 1,77 individu/ m² 25
Megascolex cempii
=
5 = 0,2 × 11,11 = 2,22 individu/ m² 25
Total
= 22,22 individu/ m²
Kepadatan Relatif (KR) Ponthoscolex corethrurus
=
14,67 x100% = 66% 22,22
Peryonix excavatus
=
3,55 x100% = 16% 22,22
Pheretima posthuma
=
1,77 x100% = 8% 22,22
Megascolex cempii
=
2,22 x100% = 10% 22,22
Total
= 100%
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
Komposisi Jenis Ponthoscolex corethrurus
= 66 %
Peryonix excavatus
= 16 %
Pheretima posthuma
=8%
Megascolex cempii
= 10 %
Frekuensi Kehadiran Ponthoscolex corethrurus
=
14 x100% = 56% 25
Peryonix excavatus
=
7 x100% = 28% 25
Pheretima posthuma
=
4 x100% = 16% 25
Megascolex cempii
=
4 x100% = 16% 25
Indeks Morista (Distribusi)
Ponthoscolex corethrurus
I= n
∑x² - N N(N-1)
= 33 ∑1,32² - 25 25 ( 25 - 1 ) = 33 ∑1,74 – 25 600
I=
1,27
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
Peryonix excavatus
∑x² - N
I=n
N(N-1) ∑0,32² - 25
I=8
25 ( 25 - 1 ) I=8
0,10 - 25 600
I=
Pheretima posthuma
0,33
I=n
∑x² - N N(N-1)
I=4
∑0,16² - 25 25 ( 25 - 1 )
I=4
∑0,02 - 25 600
I = 0,16
Megascolex cempii
I=n
∑x² - N N(N-1)
I=5
∑0,2² - 25 25 ( 25 - 1 )
I=5
∑0,04 - 25 600
I = 0,20
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
Indeks Similaritas (Kesamaan Cacing Tanah) Indeks similaritas antara Biotop I dengan II 2C x100% A+ B 2(3) IS = x100% 4+4 IS =
= 75 % dimana : IS
= Indeks Similaritas
A
= Jumlah Jenis Pada Lokasi A
B
= Jumlah Jenis Pada Lokasi B
C
= Jumlah Jenis yang Sama Pada Dua Lokasi yang Berbeda
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
LAMPIRAN E. Foto-Foto Penelitian
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.