SKRIPSI KAJIAN SISTEM MANAJEMEN KEAMANAN PANGAN BERBASIS ISO 22000 DI PT NESTLE INDONESIA, KEJAYAN FACTORY
Oleh : CHINDARWANI F24103070
2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Chindarwani. F24103070. Kajian Sistem Manajemen Keamanan Pangan Berbasis ISO 22000 di PT Nestle Indonesia, Kejayan Factory. Di bawah bimbingan: Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc, Ahmad M Wahyudi, STP, dan Ir. Arief Susena. RINGKASAN
The International Organization for Standardization atau ISO adalah organisasi yang mengembangkan standar internasional yang dapat digunakan di seluruh dunia dengan salah satu tujuannya membantu negara berkembang mempelajari dan mengembangkan berbagai teknologi yang sudah diterapkan oleh negara maju, sehingga industri dapat bersaing dalam perdagangan global. Pada tahun 2005 ISO telah menerbitkan standar sistem manajemen keamanan, yaitu ISO 22000. Standar internasional ini menggabungkan antara sistem manajemen mutu dengan prinsip HACCP serta kombinasi dinamis dengan persyaratan dasar untuk pengendalian bahaya. PT Nestlé Indonesia sebagai salah satu produsen pangan terkemuka memberikan perhatian yang sangat serius terhadap masalah keamanan pangan dan produk yang dihasilkan. Dalam rangka pengelolaan masalah keamanan produk yang dihasilkan, PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory berencana mengimplementasikan standar ISO 22000. Saat ini sistem manajemen keamanan pangan yang diterapkan PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory dinamakan Food Safety Management system (FSMS), yaitu sistem yang mengutamakan keamanan pangan, ketaatan terhadap peraturan, dan komitmen manajemen terhadap keamanan produk yang dihasilkan. Kegiatan magang ini bertujuan mengidentifikasi kesesuaian dan menganalisis kesenjangan penerapan FSMS di PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory dengan persyaratan standar ISO 22000. Langkah-langkah penelitian terdiri dari beberapa tahap, yaitu: (1) Mengamati penerapan Integrated Management system (IMS) ISO 9001, ISO 14001, dan OHSAS (Occupational Health and Safety Assessment Series) 18001. (2) Mempelajari sistem manajemen keamanan pangan yang diterapkan berupa Food Safety Management System (FSMS). (3) Membuat daftar dokumen yang dibutuhkan dalam penerapan ISO 22000. (4) Menganalisis kesenjangan (Gap Analysis) FSMS dengan persyaratan ISO 22000. (5) Memberikan rekomendasi untuk pengembangan sistem manajemen keamanan pangan di perusahaan Hasil observasi menunjukkan bahwa standar ISO 22000 telah diakomodasi dalam FSMS di PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory. Hal ini telihat dari pemenuhan 48 kriteria dari 60 kriteria yang ada. Kriteria yang belum dipenuhi menuju sertifikasi adalah belum adanya manual dokumentasi khusus untuk sistem manajemen keamanan pangan, komunikasi kebijakan mutu yang belum efektif, masih kurangnya sosialisasi FSMS kepada seluruh karyawan khususnya di level operator, belum adanya dokumen tertulis secara detail mengenai tanggung jawab dan wewenang tim keamanan pangan serta surat pengangkatan ketua tim keamanan pangan, prosedur-prosedur pendukung yang masih harus dikembangkan karena berpengaruh terhadap
keamanan pangan, dan belum adanya penetapan kelayakan dasar operasional secara rinci khusus untuk keamanan pangan. Beberapa rekomendasi untuk lebih meningkatkan efektifitas dalam perencanaan penerapan ISO 22000 di PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory, meliputi (1) Penyusunan manual secara tersendiri khusus untuk Sistem Manajemen Keamanan Pangan yang terpisah dari Integrated Management System yang telah ada (penggabungan ISO 9001, ISO 14001, dan OHSAS 18001), (2) Peningkatan komitmen manajemen dengan cara mengkomunikasikan kebijakan mutu kepada seluruh karyawan secara lebih efektif, mengadakan pelatihan dan memberikan sertifikat bagi auditor internal, (3) Mensosialisasikan FSMS kepada level operator dengan cara pembuatan modul FSMS, refresh training, acara “fun game” , (4) Penentuan Kelayakan Dasar Operasional (OPRP) dan Pengecekan keberadaan CCPs Summary Sheet pada setiap line produksi sebagai suatu bentuk pengawasan terhadap CCP (5) Melengkapi dokumen tertulis tanggung jawab dan wewenang tim keamanan pangan, surat pengangkatan ketua tim keamanan pangan, serta pengembangan prosedur-prosedur yang sudah ada agar mencakup keamanan pangan, dan (6) Menambahkan fasilitas bangunan berupa kran air panas sesuai dengan persyaratan standar internasional ini.
KAJIAN SISTEM MANAJEMEN KEAMANAN PANGAN BERBASIS ISO 22000 DI PT NESTLE INDONESIA, KEJAYAN FACTORY
Oleh : CHINDARWANI F24103070
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
RIWAYAT HIDUP
Penulis mempunyai nama lengkap Chindarwani, tetapi sehari-hari penulis lebih dikenal dengan nama Indach. Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 19 Agustus 1986, merupakan anak bungsu dari empat bersaudara keluarga Abu Chair Thaib,Alm dan Sri Sumariyati, dengan tiga orang kakak laki-laki. Penulis memulai pendidikan di Taman Kanak-Kanak Akbar (19891991) kemudian dilanjutkan di SDN Polisi V Bogor (1991-1997). Penulis melanjtkan studi di SMPN 4 Bogor (1997-2000). Pada tahun yang sama, penulis menempuh pendidikan di SMUN 6 Bogor dan lulus pada tahun 2003. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor, Fakultas Teknologi Pertanian, Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan melalui jalur USMI. Selain mengikuti kuliah, penulis pada organisasi Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (HIMITEPA) sebagai Sekertaris Divisi Hubungan Luar (Hublu) dan staff Public Relation Food Chat Club Ilmu dan Teknologi Pangan. Penulis sering tergabung dalam berbagai kepanitiaan yang diadakan oleh HIMITEPA. Penulis pernah mengikuti training ISO 9001 yang diadakan oleh Golden Solusindo konsultan (2007). Selain itu, penulis juga mengikuti pelatihan Hygiene dan Safety yang diadakan PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory. Penulis melaksanakan kegiatan Praktek Lapangan di PT Fajar Taurus Jakarta (2006). Kegiatan terakhir yang diikuti adalah magang di PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory sebagai tugas akhir. Tema magang adalah “Kajian Sistem Manajemen Keamanan pangan Berbasis ISO 22000 di PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory” dibawah bimbingan Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc, Ir. Arief Susena, dan Ahmad M Wahyudi, STP.
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur dihaturkan atas kehadirat Allah SWT, atas rahmat, hidayah, dan anugerahNya serta kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul Kajian Sistem Manajemen Keamanan Pangan Berbasis ISO 22000 di PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah pada bimbingan Nabi Muhammad SAW. Karya ini terwujud atas bantuan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi selaku dosen pembimbing akademik yang telah banyak memberikan kasih sayang, bimbingan, nasihat, kesabaran serta semangat kepada penulis. 2. Ir. Arief Susena dan Ahmad Wahyudi, STP selaku pembimbing lapangan atas kesempatan, bimbingan, bantuan, dan pelajaran berharga yang telah diberikan selama penulis melaksanakan kegiatan magang. 3. Dr. Ir. Harsi D Kusumaningrum, MSc dan Ir. Darwin Kadarisman, MS selaku dosen penguji atas segala bantuan dan saran yang telah diberikan. 4. Bapak
Bambang
Yudi
Handono
selaku
Head
of
Organization
Development, yang telah memberikan izin dan fasilitas kepada penulis. 5. Ibu dan alm ayah atas semua do’a, kasih sayang, dukungan, motivasi, dan pengorbanan yang telah diberikan hingga saat ini. 6. Kakak-kakak terbaik: Abang Imam, Donga Ichsan, Mbak Suryani, Mbak Ria serta ponakan ku Karina&Entong atas segala bentuk bantuan serta keceriaan yang telah diberikan. 7. Keluarga Om Budi Mulyono (Bule Luha, Vovi, Citra, Mbah, dan Rivat) atas kasih sayang yang diberikan selama penulis melaksanakan magang. 8. Sahabat terbaik Bangun Sukarno Widodo atas dukungan, kepercayaan, motivasi, bantuan, serta keceriaannya. 9. Staff QA dan Staff Hygiene Pak Masruri dan Pak Samosir atas segala bantuan dan kebaikan yang telah diberikan.
10. Mbak Muhani Alfianti dan Bapak Moortiono atas bantuan yang telah diberikan. 11. Keluarga besar Autonomus room : Pak Irdam, Pak Basuki, Pak Giri, Pak Joni, Pak Ade, Pak Suparman, Pak Jefri, Pak Norman, Pak Yan Bakti, Pak Kadek, Mas Faizin, Mas Imam dan Mas Fauzi atas segala kebaikan yang telah diberikan. 12. Teman seperjuangan magang Dliyaa Ul Haq&Yustoni Anang Prabowo (Tekim-UGM), Iwan Seta Antara (TPHP-UGM), Wisnu Cahya&Andi Agus (Mesin-UnBraw), Bad’Iatul Jamillah (Administrasi-Uwiga), dan Luluk Murni (Industri-ITN) atas persahabatan yang indah selama empat bulan. 13. Teman satu bimbingan Adie, Chusni, dan Fitri atas segala perhatian dan dukungan yang telah diberikan. 14. Tohan Febriantono atas segala informasi dan bantuan selama pelaksanaan magang dan penulisan skripsi. 15. Sahabat-sahabat Luv Crunz : Wati, I2n, Abdy, Ocha, Anis, Rucitz, Epeun, Riska, Bohay, Dini, dan Dian atas segala bentuk kebersamaan, keceriaan, persahabatan, dan kenangan tak terlupakan selama kuliah. 16. Kelompok praktikum C1 (Steph, Oneth, Pak De’) dan teman-teman ITP ’40 atas kerja samanya selama praktikum dan kuliah. 17. Kakak-kakak NMDP (Nestle Management Development Program), Faika Dwiyanti, Helmi Yohanna Sirait, Yurike Tedjakusuma, dan Jimmy Perdana. 18. Bapak-bapak operator di FMR, Egron 1, Egron 2, Agglo, WWTP, Boiler, SCM dan CDM atas ilmu dan pengalaman yang penulis dapatkan selama magang. 19. Mbak Ratni, Mas Adi, Bu Dian, Mas Samsu, Pak Karna, serta staff AJMP Fateta, dan para laboran. 20. The last but not the least, semua pihak yang telah memberikan keajaiban sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Demikianlah yang dapat penulis sampaikan. Hanya Allah yang dapat membalas segala kebaikan Bapak, Ibu, dan teman-teman. Penulis
menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan laporan ini. Namun demikian, penulis berharap laporan ini dapat bermanfaat. Bogor, September 2007 Penulis
Chindarwani. F24103070. Kajian Sistem Manajemen Keamanan Pangan Berbasis ISO 22000 di PT Nestle Indonesia, Kejayan Factory. Di bawah bimbingan: Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc, Ahmad M Wahyudi, STP, dan Ir. Arief Susena. RINGKASAN The International Organization for Standardization atau ISO adalah organisasi yang mengembangkan standar internasional yang dapat digunakan di seluruh dunia dengan salah satu tujuannya membantu negara berkembang mempelajari dan mengembangkan berbagai teknologi yang sudah diterapkan oleh negara maju, sehingga industri dapat bersaing dalam perdagangan global. Pada tahun 2005 ISO telah menerbitkan standar sistem manajemen keamanan, yaitu ISO 22000. Standar internasional ini menggabungkan antara sistem manajemen mutu dengan prinsip HACCP serta kombinasi dinamis dengan persyaratan dasar untuk pengendalian bahaya. PT Nestlé Indonesia sebagai salah satu produsen pangan terkemuka memberikan perhatian yang sangat serius terhadap masalah keamanan pangan dan produk yang dihasilkan. Dalam rangka pengelolaan masalah keamanan produk yang dihasilkan, PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory berencana mengimplementasikan standar ISO 22000. Saat ini sistem manajemen keamanan pangan yang diterapkan PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory dinamakan Food Safety Management system (FSMS), yaitu sistem yang mengutamakan keamanan pangan, ketaatan terhadap peraturan, dan komitmen manajemen terhadap keamanan produk yang dihasilkan. Kegiatan magang ini bertujuan mengidentifikasi kesesuaian dan menganalisis kesenjangan penerapan FSMS di PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory dengan persyaratan standar ISO 22000. Langkah-langkah penelitian terdiri dari beberapa tahap, yaitu: (1) Mengamati penerapan Integrated Management system (IMS) ISO 9001, ISO 14001, dan OHSAS (Occupational Health and Safety Assessment Series) 18001. (2) Mempelajari sistem manajemen keamanan pangan yang diterapkan berupa Food Safety Management System (FSMS). (3) Membuat daftar dokumen yang dibutuhkan dalam penerapan ISO 22000. (4) Menganalisis kesenjangan (Gap Analysis) FSMS dengan persyaratan ISO 22000. (5) Memberikan rekomendasi untuk pengembangan sistem manajemen keamanan pangan di perusahaan Hasil observasi menunjukkan bahwa standar ISO 22000 telah diakomodasi dalam FSMS di PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory. Hal ini telihat dari pemenuhan 48 kriteria dari 60 kriteria yang ada. Kriteria yang belum dipenuhi menuju sertifikasi adalah belum adanya manual dokumentasi khusus untuk sistem manajemen keamanan pangan, komunikasi kebijakan mutu yang belum efektif, masih kurangnya sosialisasi FSMS kepada seluruh karyawan khususnya di level operator, belum adanya dokumen tertulis secara detail mengenai tanggung jawab dan wewenang tim keamanan pangan serta surat pengangkatan ketua tim keamanan pangan, prosedur-prosedur pendukung yang masih harus dikembangkan karena berpengaruh terhadap
keamanan pangan, dan belum adanya penetapan kelayakan dasar operasional secara rinci khusus untuk keamanan pangan. Beberapa rekomendasi untuk lebih meningkatkan efektifitas dalam perencanaan penerapan ISO 22000 di PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory, meliputi (1) Penyusunan manual secara tersendiri khusus untuk Sistem Manajemen Keamanan Pangan yang terpisah dari Integrated Management System yang telah ada (penggabungan ISO 9001, ISO 14001, dan OHSAS 18001), (2) Peningkatan komitmen manajemen dengan cara mengkomunikasikan kebijakan mutu kepada seluruh karyawan secara lebih efektif, mengadakan pelatihan dan memberikan sertifikat bagi auditor internal, (3) Mensosialisasikan FSMS kepada level operator dengan cara pembuatan modul FSMS, refresh training, acara “fun game” , (4) Penentuan Kelayakan Dasar Operasional (OPRP) dan Pengecekan keberadaan CCPs Summary Sheet pada setiap line produksi sebagai suatu bentuk pengawasan terhadap CCP (5) Melengkapi dokumen tertulis tanggung jawab dan wewenang tim keamanan pangan, surat pengangkatan ketua tim keamanan pangan, serta pengembangan prosedur-prosedur yang sudah ada agar mencakup keamanan pangan, dan (6) Menambahkan fasilitas bangunan berupa kran air panas sesuai dengan persyaratan standar internasional ini.
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ...................................................................................... i DAFTAR ISI ..................................................................................................... ii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ v DAFTAR TABEL ............................................................................................ vi DAFTAR LAMPIRAN..................................................................................... vii I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG............................................................................. 1 B. TUJUAN ................................................................................................. 2 II. KEADAAN UMUM PERUSAHAAN A. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PERUSAHAAN ....................... 3 B. LOKASI PT NESTLĒ INDONESIA........................ .............................. 4 C. STRUKTUR ORGANISASI PERUSAHAAN ....................................... 5 D. PEMASARAN......................................................................................... 6 E. PT NESTLÉ INDONESIA, KEJAYAN FACTORY ............................... 7 F. JENIS PRODUK...................................................................................... 10 III. TINJAUAN PUSTAKA A. SUSU BUBUK........................................................................................ 11 B. KEAMANAN SUSU BUBUK ............................................................... 12 1. Bahaya Fisik ....................................................................................... 14 2. Bahaya Kimia ..................................................................................... 14 3. Bahaya Biologi ................................................................................... 15 C. SISTEM MANAJEMEN INDUSTRI ..................................................... 16 1. ISO 9001:2000 ................................................................................... 16 2. ISO 14001:2004 ................................................................................. 18 3. OHSAS 18001:1999 .......................................................................... 19 D. SISTEM MANAJEMEN KEAMANAN PANGAN .............................. 21 E. GOOD MANUFACTURING PRACTICES (GMP) ................................. 21 1. Perlengkapan Umum .......................................................................... 22 2. Bangunan dan Fasilitas ...................................................................... 23
3. Peralatan dan Penglengkapan............................................................. 25 4. Pengendalian Proses ........................................................................... 25 F. SANITATION STANDARD OPERATING PROCEDURE (SSOP) .......... 25 G. HAZARD ANALYSIS CRITICAL CONTROL POINT (HACCP) ............ 26 H. STANDAR SISTEM MANAJEMEN KEAMANAN PANGAN 1. British Retail Consortium (BRC) ....................................................... 34 2. Rapid Alert System (RAS).................................................................. 39 I. ISO 22000 ................................................................................................. 39 IV. METODOLOGI PENELITIAN A. TEMPAT DAN WAKTU ....................................................................... 45 B. METODE ................................................................................................ 45 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. INTEGRATED MANAGEMENT SYSTEM....................... ....................... 48 B. FOOD SAFETY MANAGEMENT SYSTEM ............................................ 51 1. Nestlé Good Manufacturing Practice (NGMP) ................................. 49 2. Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP)............................ 51 3. Quality Monitoring Scheme ............................................................... 54 4. Kalibrasi Peralatan ............................................................................. 54 5. Sistem Release ................................................................................... 54 6. Penelusuran, Identifikasi, dan Pengkodean ....................................... 55 7. Penarikan Produk ............................................................................... 56 8. Pemantauan Bakteri Patogen ............................................................. 56 9. Komitmen Manajemen ....................................................................... 57 10. Ketaatan Peraturan ........................................................................... 57 C. SISTEM DOKUMENTASI .................................................................... 58 1. Kebijakan dan Manual ....................................................................... 58 2. Prosedur ............................................................................................. 60 3. Instruksi kerja ..................................................................................... 61 4. Records/catatan .................................................................................. 62 D. PENYUSUNAN DAFTAR DOKUMEN ............................................... 62 E. ANALISIS KESENJANGAN ANTARA KONDISI PERUSAHAAN DENGAN PERSYARATAN ISO 22000 .................................................... 72
1. Klausul 4. (Sistem Manajemen Keamanan Pangan) .......................... 73 2. Klausul 5. (Komitmen Manajemen) ................................................... 73 3. Klausul 6. (Manajemen Sumber Daya) .............................................. 76 4. Klausul 7. (Prerequisite programme) ................................................ 78 5. Klausul 8. (Validasi, Verifikasi, dan Pengembangan SMKP) ........... 80 VII. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN ....................................................................................... 89 B. SARAN ................................................................................................... 90 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Struktur Organisasi PT NI-KF ........................................ 6 Gambar 2. Metode Penelitian ............................................................ 47 Gambar 3. Struktur dokumentasi format ISO ................................... 59 Gambar 4. Struktur dokumentasi PT NI-KF ..................................... 59
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Sejarah singkat Nestlé di Indonesia .................................... 4 Tabel 2. SNI 01-2970-1999 tentang susu bubuk............................... 12 Tabel 3. Contoh kasus keracunan susu bubuk .................................. 13 Tabel 4. Topik-topik standar manajemen lingkungan....................... 19 Tabel 5. Format pengisian prosedur .................................................. 61 Tabel 6. Perbandingan prosedur dengan WI ..................................... 62 Tabel 7. Kriteria klausul ISO 22000 ................................................. 63 Tabel 8. Gap Analysis antara klausul ISO 22000 dengan FSMS...... 81
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Hubungan antara ISO 22000 dan ISO 9001 ................. 92 Lampiran 2. Hubungan antara HACCp dan ISO 22000 ................... 94 Lampiran 3. Diagram alir penentuan titik kritis (CCP)..................... 95 Lampiran 4. Elemen Nestlé Quality System (NQS) .......................... 96 Lampiran 5. Kebjakan Mutu ............................................................. 97 Lampiran 6. Format prosedur ............................................................ 98 Lampiran 7. Format work instruction (WI) ....................................... 100 Lampiran 8. Format Form ................................................................. 102
I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Masalah keamanan pangan sangat penting bagi industri pangan. Tuntutan persyaratan keamanan pangan terus berkembang sesuai permintaan konsumen yang juga kian meningkat. Pelaku bisnis dalam industri pangan mulai menyadari bahwa produk yang aman hanya dapat diperoleh jika bahan baku yang digunakan bermutu, penanganan dan proses pengolahan sesuai, serta transportasi maupun distribusi yang memadai. Dengan demikian, pengendalian
keamanan
konvensional
yang
hanya
mengandalkan
pengawasan produk akhir tidak lagi memenuhi kebutuhan keamanan yang ada.
Sistem
keamanan
pangan
modern
menuntut
industri
untuk
merencanakan sistem pengawasan mutu sejak tahap penerimaan bahan baku hingga produk pangan didistribusikan ke konsumen. Produk pangan yang dipasarkan harus terjamin mutunya dan aman untuk dikonsumsi. Jaminan mutu dan keamanan pangan merupakan usaha nyata, sungguh-sungguh, dan terus-menerus dilakukan oleh perusahaan dalam meningkatan mutu produk untuk memberikan kepuasan dan mendapatkan kepercayaan konsumen. The International Organization for Standardization atau ISO adalah organisasi yang mengembangkan standar internasional yang dapat digunakan di seluruh dunia dengan salah satu tujuannya membantu negara berkembang mempelajari dan mengembangkan berbagai teknologi yang sudah diterapkan oleh negara maju, sehingga industri dapat bersaing dalam perdagangan global. Pada tahun 2005 The International Organization for Standardization (ISO) telah menerbitkan standar pangan terbaru, yaitu ISO 22000. Standar ISO dapat diterapkan secara sukarela oleh setiap organisasi yang terkaitan dengan pangan di seluruh dunia. ISO 22000 adalah panduan bagi industri atau organisasi untuk mengelola sebuah sistem manajemen keamanan pangan yang pro aktif dan fleksibel. PT Nestlé Indonesia sebagai salah satu produsen pangan terkemuka memberikan perhatian yang sangat serius terhadap masalah keamanan produk
yang dihasilkan. Keamanan pangan merupakan salah satu aspek mutu yang sangat penting dan tidak bisa ditawar. Dalam rangka pengembangan masalah keamanan pangan, PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory berencana mengimplementasikan standar ISO 22000. Sistem manajemen keamanan pangan pada PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory dinamakan dengan Food Safety Management system (FSMS). Persyaratan yang ada pada FSMS berdasarkan pendekatan standar internasional ISO 22000 yang secara umum mengutamakan sistem keamanan pangan, ketaatan peraturan dan komitmen manjemen terhadap keamanan pangan. B. TUJUAN Kegiatan
magang
bertujuan
mengidentifikasi
kesesuaian
dan
menganalisis kesenjangan Sistem Manajemen Keamanan Pangan (SMKP) yang diterapkan di PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory yaitu FSMS dengan standar mutu internasional ISO 22000.
II. KEADAAN UMUM PERUSAHAAN A. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PERUSAHAAN Nestlé merupakan produsen makanan terkemuka di dunia yang memasok lebih dari 10 juta produk makanan ke pasaran setiap tahunnya, dengan slogannya “Good Food, Good Life”. Slogan ini menggambarkan komitmen Nestlé untuk memadukan pengetahuan alam, teknologi, dan pesona dari merk Nestlé dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia, keamanan, dan kenikmatan makanan untuk kehidupan yang lebih baik. Saat musim gugur pada tahun 1867 di Swiss, banyak bayi yang meninggal dunia sebelum usianya mencapai satu tahun, hal ini dikarenakan para ibu tidak dapat menyusui sendiri bayinya. Peristiwa tersebut cukup menggugah hati Henri Nestlé, apalagi ketika temannya yang seorang dokter menghampiri dirinya untuk menyelamatkan bayi prematur. Hari demi hari bayi itu semakin lemah, karena belum ditemukannya makanan khusus bayi. Henri Nestlé kemudian membawa bayi itu kerumahnya dan memberikan makanan berupa paduan dari roti, susu yang paling baik dan gula. Keajaiban pun terjadi, bayi lemah tadi begitu nyenyak tidurnya dan kondisinya pun semakin pulih dari hari ke hari. Penemuan ini memberikan kabar gembira dan langsung tersebar luas. Farine Lactee Nestlé (Bubur susu bayi Nestlé) yang dianggap sebagai produk penuh keajaiban langsung menjadi andalan Nestlé dan menyebar ke seluruh dunia dengan nama yang disesuaikan dengan negara yang bersangkutan. Satu hal yang tetap menjadi benang merah adalah nama Nestlé selalu mengiringi nama bubur bayi tersebut, misalnya di Inggris dikenal dengan nama Nestlé Bread and Milk Flour, Nestlé Milk Food untuk Amerika dan Australia, Harina Lacteada Nestlé untuk Spanyol, dll. Di Indonesia kita mengenal Nestlé Bubur Susu. Kepiawaian Henri Nestlé bukan saja melahirkan makanan bayi bermutu, namun juga sebagai orang Swiss pertama yang membangun industri modern yang berpikir akan pentingnya citra merk dan perusahaan. Melalui simbol dua anak burung dalam sarang bersama induknya dengan penuh kasih
sayang memberi makanan kepada anaknya, citra Nestlé langsung dikenal sebagai perusahaan yang menghasilkan makanan bermutu penuh gizi. Simbol yang digubah tahun 1868 dan langsung diterapkan di berbagai materi iklan dan publikasi. Sampai sekarang, logo ini tetap digunakan dalam nuansa modern dan sesuai dengan kemajuan zaman. Perkembangan Nestlé di Indonesia dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 1. Sejarah singkat Nestlé di Indonesia Waktu Abad 19 29 Maret 1971
Perkembangan Produk Nestlé Milkmaid terkenal sebagai Tjap Nona Berdirinya PT Food Specialities Indonesia
1972
Berdirinya Pabrik Waru
1978
Berdirinya Pabrik Panjang, Lampung
1983
Berdirinya Pabrik Cikupa, Tangerang
1988
Berdirinya Pabrik Kejayan, Jawa timur
1993
Perubahan nama PT Food Specialities menjadi PT Nestlé Indonesia
2001
Perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Grup Nestlé Indonesia bergabung dalam satu badan hukum, PT Nestlé Indonesia
2002
Pengitegrasian Pabrik Waru Dengan Pabrik Kejayan
B. LOKASI PT NESTLĒ INDONESIA PT Nestlé Indonesia mempunyai tiga pabrik, yaitu : 1.
Pabrik Kejayan, didirikan pada tanggal 2 Juni 1988 Lokasi
: Desa Kejayan, Pasuruan – Jawa Timur
Hasil Produksi
: Susu kental manis Tjap Nona, Carnation, susu bubuk Dancow, dan susu bubuk Nesvita
2.
Pabrik Panjang didirikan, pada tahun 1979 Lokasi
: Desa Seampok, Panjang – Lampung
Hasil produksi
: Carnation coffemate, Nescafe 2 in 1, Nescafe 3 in 1, dan Nescafe Ice.
3.
Pabrik Cikupa, didirikan pada bulan Oktober 1990 Lokasi
: Desa Bitung Jaya, Cikupa – Tangerang
Hasil produksi
: Permen Polo Mint dan Permen Fox’s
C. STRUKTUR ORGANISASI PERUSAHAAN PT Nestlé Indonesia merupakan bahan usaha Perseroan Terbatas (PT). PT
merupakan
bentuk
perusahaan
persekutuan
untuk
menjalankan
perusahaan yang mempunyai modal usaha terbagi atas saham-saham. Anggotanya memiliki hak suara penuh dalam rapat anggota, sehingga tiap pemegang saham atau anggota turut menentukan jalannya perusahaan tersebut. Struktur organisasi yang berlaku di PT Nestlé Indonesia meliputi dua bagian, yaitu stuktur organisasi di kantor pusat dan struktur organisasi di factory. Kekuasaan tertinggi dalam struktur organisasi PT Nestlé Indonesia terletak pada Presiden Direktur yang berkedudukan di kantor pusat Jakarta. Presiden Direktur membawahi Divisi Keuangan, Divisi Marketing, Divisi Legal Affairs, Divisi Produksi, dan Divisi Sumber Daya. Pemegang jabatan tertinggi PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory adalah seorang Factory Manager yang dibantu oleh seorang Confidential Secretary. Tiga belas departemen yang berada di area factory, yaitu : 1. Industrial Performance (IP Coordinator) Departement 2. Safety and Environment Departement 3. Administration Departement (accounting, purchasing, dan costing) 4. Organization Development Departement 5. Warehouse Departement 6. Engineering Departement 7. Quality Assurance Departement 8. Resourses Planning Unit Departement 9. Agri Services Departement 10. Human Resourses Departement 11. Production Milk Powder Departement
12. Sweet Condensed Milk Departement 13. Production Filling/packing Departement
FICO
HRD
Agricultural Service
Quality Assurance
Application Group
Resources Planning Unit
Factory Manager
Safety Health & Environment
Engineering Industrial performance
Production
Gambar 1. Struktur Organisasi PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory D. PEMASARAN Daerah pemasaran Nestlé dibagi ke dalam empat wilayah kantor penjualan, yaitu : 1.
Kantor wilayah penjualan I Kantor ini berlokasi di JL.M.G. Manurung I Km. 9.3,Kel. T. Morawa, Medan.
2.
Kantor wilayah penjualan II Kantor ini berlokasi di JL. Paus No.91, Rawamangun, Jakarta Timur, DKI Jakarta.
3.
Kantor wilayah penjualan III Kantor ini berlokasi di JL. Berbek Industri I/23. Komp. SIER, Waru Surabaya, Jawa Timur.
4.
Kantor wilayah penjualan IV Kantor ini berlokasi di JL. Kapasan Raya 3 ( Makasar Industrial Estate ), Makasar, Sulawesi Tengah.
E. PT NESTLE INDONESIA KEJAYAN FACTORY PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory merupakan salah satu pabrik Nestlé Indonesia yang diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 2 Juni 1988. Pabrik baru di Kejayan ini merupakan pabrik susu dengan teknologi canggih untuk memproses langsung susu segar menjadi susu bubuk dengan merk Dancow. Sejak awal, pabrik ini memproduksi susu dengan bahan baku dari peternak di Jawa Timur. Diawali dengan penerimaan sekitar 180 ton/hari, kini penerimaan susu segar di pabrik ini rata-rata 500 ton/hari. Peningkatan drastis produksi susu segar di awal tahun 1980-an merupakan hasil pembinaan Nestlé terhadap peternak sapi perah di Jawa Timur melalui kerjasama dengan GKSI (Gabungan Koperasi Susu Indonesia). Integrasi dengan pabrik Waru pada tahun 2002, menyebabkan pabrik ini beroperasi dalam kapasitas dua kali lebih besar dibanding sebelumnya. Saat ini Kejayan factory telah menggunakan alat-alat produksi yang mutakhir dilengkapi dengan panel kontrol untuk semakin mempermudah proses produksi tersebut. Di dalam aktifitas harian, bekerja sama dalam suatu tim adalah hal yang paling penting untuk meraih kesuksesan bersama. Ada beberapa wadah bagi karyawan untuk terlibat dalam proses organisasi yang menganut prinsip kejujuran, keadilan, dan keterbukaan yaitu 5 S, BEST, IDEA, dan EPC. Lima S adalah suatu sistem yang pertama kali diterapkan di Jepang, Meliputi :
1.
Seiri (Seleksi): mengamati, menjauhkan, dan membuang sesuatu yang tidak digunakan lagi.
2.
Seiton (Susun): menyediakan tempat penyimpanan untuk semua barang dan menyimpan pada tempat yang telah disediakan.
3.
Seiso (Sapu): memastikan mencuci dengan tahap pencucian yang telah distandarkan. Melakukan pemeriksaan untuk menentukan tempat yang perlu dicuci (konsep daerah higienis “zoning”)
4.
Seiketsu (Serasi): memastikan semua barang mudah dilihat agar semua barang yang tidak normal mudah disingkirkan, seperti adanya kode warna, pembuat tanda, dll.
5.
Shitsuke (Sikap): melakukan pekerjaan dengan benar, memberikan latihan, dan memberikan contoh yang baik.
Sistem ini dirancang untuk mencapai beberapa hal berikut, yaitu : 1.
Menciptakan tempat kerja yang lebih nyaman
2.
Mengurangi waktu kosong
3.
Membuat karyawan menjadi bangga akan pekerjaannya
4.
Menghasilkan produktifitas yang lebih tinggi dan kualitas yang lebih bagus
5.
Meningkatkan kepedulian karyawan terhadap pekerjaannya sehingga dapat bekerja dengan baik BEST merupakan salah satu aktifitas organisasi yang mengikutsertakan
karyawan dalam proses perbaikan di PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory. Elemen penting dalam kegiatan ini adalah kerjasama tim, termasuk diantaranya arah dan tujuan dari kegiatan yang harus dipahami dengan baik oleh anggota tim. IDEA merupakan kontribusi secara langsung para karyawan melalui pemberian usulan yang konstruktif untuk memperbaiki kinerja yang bertujuan memberikan dorongan dan peluang. Kinerja-kinerja tersebut antara lain adalah safety, hygiene, efektifitas biaya, dan lain-lain. Idea yang telah
disetujui oleh atasan dan komite, harus dapat memberikan keuntungan secara langsung kepada setiap orang yang terlibat, dan orang yang mengusulkannya akan mendapatkan penghargaan yang sesuai. Employee Program Commitee (EPC) merupakan komite yang dibentuk oleh Departemen Human Resource yang anggotanya terdiri dari perwakilan masing-masing departemen. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan karyawan untuk berorganisasi. Tenaga kerja adalah unsur yang sangat penting dalam suatu perusahaan. Di PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory, karyawan dapat digolongkan menjadi karyawan tetap, karyawan kontrak dan karyawan outsourcing. Untuk karyawan out-sourcing berasal dari CV Areco yang bekerja sebagai cleaning service, CV Arina yang bekerja sebagai pekerja harian di bagian pengemasan, dan karyawan yang berkerja pada area proyek. Kebijaksanaan perekrutan karyawan ditentukan pada level karyawan yang akan direkrut. Kebijaksanaan perekrutan untuk karyawan yang memilik jabatan Supervisor keatas dilakukan oleh kantor pusat di Jakarta, sedangkan karyawan yang memiliki jabatan di bawah Supervisor, perekrutan bisa dilakukan oleh pabrik yang bersangkutan. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan oleh perusahaan atas dasar beberapa faktor, misalnya pengunduran diri karyawan itu sendiri, pensiunan, kesalahan berat, restrukturisasi, dan terlibat kasus perburuhan. Karyawan yang dinyatakan putus hubungan kerjanya dengan PT Nestlé Indonesia akan diberikan uang pesangon yang besarnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Jam kerja untuk karyawan yang mengalami shift diatur sebagai berikut: 1.
Shift pagi (I)
: 06.00 – 14.00
2.
Shift siang (II)
: 14.00 – 22.00
3.
Shift malam (III) : 22.00 – 06.00
Waktu kerja untuk karyawan non-shift, masuk pada hari Senin hingga hari Jum’at pukul 08.00 – 16.00.
Fasilitas kerja sebagai penunjang bagi karyawan antara lain pakaian seragam, kartu identitas, subsidi makan, uang lembur, jaminan kesehatan, jaminan sosial tenaga kerja (jamsostek), pendidikan dan pelatihan bagi karyawan, intranet e-mail, dana pesiunan, hak cuti tahunan berdasarkan lamanya kerja, dan loker yang dapat digunakan untuk menyimpan barangbarang keperluan pribadi. F.
JENIS PRODUK Produk yang dihasilkan PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory terbagi dalam tiga jenis, yaitu: 1.
Susu Kental Manis, dengan merk Carnation, Tjap Nona, Milk Maid, dan Tea Pot.
2.
Susu Bubuk Instan, dengan nama dagang Dancow Instant Growth Plus, Dancow Choco Growth Plus, Dancow Choco 6+ Calci, Dancow 3+ DHA, dan Dancow Fruity.
3.
Susu Bubuk Non-instan, dengan nama jual Dancow Standard High Iron, Dancow Honey 6+ Calci, Dancow Honey 3+, Dancow Vanilla 3+ DHA, Dancow Plain 1+ DHA, Dancow Honey 1+ DHA, dan Dancow Vanilla 1+ DHA.
III. TINJAUAN PUSTAKA A. SUSU BUBUK Susu merupakan produk pangan yang kaya nutrisi dan berkadar air tinggi. Oleh karena itu, susu sangat rentan mengalami kerusakan yang disebabkan oleh cemaran mikroba. Cemaran mikroba dapat bersifat endogen yang berasal dari ternak atau eksogen yaitu berasal dari lingkungan sekitar. Sumber cemaran mikroba endogen umumnya berasal dari kondisi ternak yang tidak sehat. Sumber cemaran mikroba dari lingkungan dapat berasal dapat penanganan peralatan setelah pemerahan yaitu pada saat pengangkutan dan hygiene personal yang kurang bersih. Berbagai proses pengolahan dilakukan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyimpanan serta pengawetan susu. Proses pembuatan susu bubuk merupakan salah satu pengolahan dan pengawetan susu dengan menurunkan kadar air susu dari 87 % dalam susu segar menjadi 3 % dalam susu bubuk. Proses pengeringan susu bubuk dapat menggunakan drum dryer dan spray drayer. Kedua proses tersebut melibatkan proses evaporasi, agar kadar air turun dari 87% hingga 50% diikuti dengan pengeringan lanjutan sehingga dihasilkan susu bubuk dengan kadar air rendah, sekitar 3%. Kadar air dari susu bubuk maksimum 4%. Kadar air yang terlalu tinggi pada produk akan mempengaruhi umur simpan dan kerusakan yang disebabkan oleh pertumbuhan mikroba. Rendahnya kadar air berakibat pada rendahnya aktifitas air. Kandungan air dalam bahan pangan mempengaruhi daya tahan bahan pangan terhadap serangan mikroba yang dinyatakan dengan aw, yaitu jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya. Berbagai mikroba mempunyai aw optimum agar dapat tumbuh dengan baik. Bakteri mempunyai aw 0.90 untuk pertumbuhannya, khamir mempunyai 0.80-0.90, dan aw kapang sebesar 0.60-0.70 (Winarno, 1992). Selain itu kerusakan pada susu bubuk disebabkan oleh faktor oksigen, suhu penyimpanan, dan sisa-sisa atau cemaran logam. Kerusakan dapat berupa perkembangan flavor oksidasi dan tengik, berkurangnya daya larut,
dan berkurangnya nilai gizi (Buckle, 2007). Persyaratan mutu susu bubuk SNI 01-2970-1999 tertera pada Tabel 2. Tabel 2. Persyaratan mutu susu bubuk sesuai SNI 01-2970-1999 No
Jenis
Satuan
Syarat
1
Keadaan
1.1
Bau
-
Normal
1.2
Rasa
-
Normal
2
Air
b/b, %
Maks. 4.0
3
Abu
b/b, %
Maks 6.0
4
Lemak
%
Min 26.0
5
Protein
%
Min 25.0
7
Cemaran logam
7.1
Tembaga (Cu)
Mg/kg
Maks 20.0
7.2
Timbal (Pb)
Mg/kg
Maks 0.3
7.3
Seng (Zn)
Mg/kg
Maks 40
7.4
Timah (Sn)
Mg/kg
Maks 40.0/250.0*
7.5
Raksa (Hg)
Mg/kg
Maks 0.03
8
Arsen
Mg/kg
Maks 0.1
9
Cemaran mikroba
9.1
Angka lempeng
Koloni/g
Maks 5x105
9.2
total
APM
Maks 20
9.3
Bakteri Coliform
Koloni/g
Negatif
9.4
E.Coli
Koloni/100g
Negatif
9.5
Salmonella
Koloni/g
1x102
S.Aureus *Untuk kemasan kaleng
B. KEAMANAN SUSU BUBUK Dunia teknologi informasi nasional maupun internasional kini kerap menyajikan isu mengenai keracunan pangan. Keracunan pangan adalah gangguan kesehatan akibat mengkonsumsi pangan yang terkontaminasi oleh mikroba patogen dan senyawa racun alami pada produk. Beberapa contoh penyebab keracunan pangan adalah listeriosis, salmonellosis. Menurut badan
Center for Disease Control and prevention (CDC), terjadi 6-33 juta kasus keracunan pangan di Amerika Serikat. Sebanyak 50.000 kasus diantaranya disebabkan oleh Salmonella (CDC, 2001). Contoh kasus keracunan susu bubuk dapat terlihat pada Tabel 3. Tabel 3. Contoh kasus keracunan susu Tahun 2004
Lokasi Medan
Jumlah
Jumlah
Kasus
korban
korban
Keracunan akibat pencemaran
meninggal
100 siswa SD
-
310 bayi
12 bayi
air yang digunakan saat mengkonsumsi susu yang dibagikan gratis di SD 2004
China
Keracunan disebabkan susu bubuk yang kualitasnya di bawah standar beredar di pasaran.
2004
Bali
Keracunan akibat susu bubuk 159 siswa SD yang dijual bebas di sekolah
2004
Semarang
Keracuan
akibat
dan TK
meminum 19 siswa SD
-
susu gratis yang dibagikan di SD 2007
China
Keracunan disebabkan oleh
185 siswa
-
pembagian susu gratis yang tidak terdaftar nama dagangnya.
* sumber: surat kabar online Kasus-kasus diatas menunutut setiap industri pangan agar lebih memperhatikan keamanan produk yang dihasilkan. Keamanan pangan atau food safety menjadi salah satu aspek mutu yang sangat penting disamping aspek nutrisi, penampakan, kemudahan dalam persiapan, dan sebagainya. Gangguan kesehatan merupakan masalah terbesar yang dialami konsumen dalam mengkonsumsi bahan pangan. Gangguan keamanan pangan dapat
timbul dari terkontaminasinya bahan pangan tersebut. Kontaminasi atau pencemaran dapat menimbulkan bahaya di dalam pangan apabila tidak dikendalikan. Bahaya dapat dibedakan menjadi bahaya fisik, bahaya kimia, dan bahaya fisik. 1.
Bahaya Fisik Bahaya fisik adalah bahaya yang timbul akibat kontaminasi produk oleh benda asing yang seharusnya tidak boleh terdapat di dalam produk. Bahaya fisik dapat disebabkan oleh beberpa faktor, yaitu bahaya fisik yang berasal dari bahan baku, bersumber dari manusia, dan pencemaran pada saat proses pengolahan. Potongan gelas, serpihan logam, pasir, batu, rambut, potongan kuku, rumput, serangga, tulang, plastik,dan kotoran lainnya umumnya diperoleh dari lingkungan, tenaga kerja, dan insfrastruktur pengolahan. Pengendalian
optimal
terhadap
rancangan
dan
pemeliharaan
insfrastuktur dapat meminimalkan peluang terjadinya bahaya fisik pada makanan (Thaheer, 2005). Bahaya fisik yang umumnya terdapat dalam susu segar berasal pada saat proses pemerahan dan pengangkutan berupa rumput, rambut pekerja, serangga, dan plastik. Bahaya fisik juga mungkin terdapat dalam susu bubuk saat proses pengolahan seperti potongan logam dan serangga. 2.
Bahaya Kimia Bahaya kimia merupakan bahaya yang sukar dihilangkan dan kadarnya harus di bawah batas yang ditentukan. Bahaya kimia yang mungkin terdapat pada produk susu berasal dari antibiotik pada hewan ternak dan obat pembasmi hama. Antibiotik dapat masuk ke dalam susu melalui penggunaannya oleh peternak sapi perah dan dokter-dokter hewan dalam pengobatan terhadap penyakit-penyakit sapi. Penggunaan bahan makanan ternak yang diberi antibiotik dapat juga menyebabkan adanya bahan tersebut di
dalam susu. Adanya antibiotik dalam susu dianggap kurang baik karena 1) sebagian konsumen alergi terhadap antibiotik, 2) antibiotik menyebabkab bakteri dalam tubuh menjadi resisten, termasuk bakteribakteri penyebab penyakit. Dengan demikian penggunaan antibiotik selanjutnya dalam pengobatan penyakit manusia menjadi tidak efektif, 3) antibiotik manghalangi pertumbuhan bakteri dalam susu, sehingga menyebabkan penggunaan uji mutu mikrobiologis seperti uji reduktase dengan zat warna tidak dapat menyimpulkan apa-apa, karena susu tersebut menjadi masuk ke tingkat mutu mikrobiologis yang lebih tinggi dari tingkat sebenarnya, 4) perkembangan bakteri asam laktat dalam pembentukan susu yang diragikan dapat mengalami hambatan. Kandungan antibiotik tidak berkurang oleh pasterisasi, oleh karena itu susu tidak boleh diambil dalam jangka waktu 72 jam setelah pemberian antibiotik. Pencemaran pestisida di dalam susu diperoleh dari residu yang masih terdapat pada makanan ternak (rumput). Kandungan residu sebesar 0.1 ppm memungkinkan adanya pestisida tersebut di dalam susu walaupun kontaminasi terjadi pada tahun lalu. Pencemaran pestisida ini akan sukar sekali atau tidak mungkin dihindari dengan pengolahan komersial, sehingga susu yang sudah tercemar harus dibuang (Buckle, 20007). 3.
Bahaya Biologi Bahaya biologi adalah bahaya yang disebabkan oleh mikroba patogen seperti bakteri, virus dan parasit. Mikroba membutuhkan air dan nutrisi untuk tumbuh dan bertahan hidup. Protein merupakan salah satu kebutuhan hidup
mikroorganisme. Faktor lain yang mempengaruhi
pertumbuhan mikroorganisme adalah aktivitas air (aw), suhu, nutrisi, pH, dan ketersediaan oksigen (Fardiaz, 1992). Susu mengandung zat makanan yang diperlukan bagi pertumbuhan bagi mikroba, oleh sebab itu kemungkinan berkembangbiaknya organisme ini secara cepat sampai ke tingkat yang berbahaya sangatlah
tinggi. Bakteri penyebab penyakit seperti Salmonella, Shigella, Bacillus cereus, dan Staphylococcus aureus dapat masuk ke dalam susu segar melalui udara, debu, peralatan, tempat penyimpanan, dan manusia. Staphylococcus aureus dapat juga memasuki susu dari sapi yang menderita mastitis, merupakan infeksi pada ambing. Pasteurisasi merupakan pencegahan yang efektif terhadap pertumbuhan bakteri di dalam susu, kecuali untuk bakteri pembentuk spora seperti bakteri Bacillus cereus dan Clostridium botulinum (Buckle, 2007). Susu bubuk dapat pula menyebabkan keracunan makanan apabila terjadi percemaran kembali setelah proses pasteurisasi. Sumber pencemaran disebabkan oleh Staphylococcus aureus dan Salmonella. Maka tahapan proses pabrik harus dilakukan dengan hati-hati dan memperhatikan peraturan pelaksanaan higienis agar keracunan atau kerusakan dapat dihindari. Beberapa spesies Clostridium bersifat patogen dan dapat menyebabkan keracunan makanan. C. Perfringens memproduksi enterotoksin sehingga dapat menyerang saluran pencernaan dan menimbulkan gejala gastrointestinal. Jika tumbuh pada susu, bakteri ini dapat membentuk asam dan gas sehingga menggumpalkan susu, disebut “stormy fermentation” (Fardiaz, 1992). C. SISTEM MANAJEMEN INDUSTRI 1.
ISO 9001:2000 ISO 9001 adalah standar internasional untuk sistem manajemen mutu pada suatu industri. Standar ini dapat diaplikasikan oleh tiap industri yang menghasilkan produk maupun jasa, dan tidak hanya berlaku bagi industri pangan. ISO 9001 berfokus pada keinginan dan harapan konsumen. Salah satu harapan konsumen adalah mendapatkan produk pangan yang aman. Standar ini meliputi: Cakupan Referensi normatif Definisi-definisi
Persyaratan sistem mutu Komitmen manajemen Manajemen sumber daya Realisasi produk Pengukuran, analisis, dan pengembangan Standar-standar ISO 9000 pertama kali dikeluarkan pada tahun 1987, di mana ISO Technical Committee menetapkan siklus peninjauan ulang setiap lima tahun, guna menjamin bahwa standar-standar ISO 9000 akan menjadi up to date dan relevan untuk organisasi. Revisi terhadap standar ISO 9000 telah dilakukan pada tahun 1994 dan tahun 2000 (Gaspersz, 2006). ISO versi tahun 2000 mencakup beberapa seri berikut: 1.
ISO 9000:2000, QMS : Fundamentals and vocabulary replacing ISO 8402 and ISO 9000-1
2.
ISO 9001:2000, QMS : Requirements replacing the 1994 versions of ISO 9001, 9002, and 9003
3.
ISO 9004:2000, QMS : Guidance for performance improvement replacing ISO 9004 with most parts
4.
ISO 19011, Guidance for auditing management systems replacing ISO 10011 and 14011 Keuntungan penerapan ISO 9001 bagi industri adalah 1)
meningkatkan kepercayaan dan kepuasan konsumen melalui jaminan mutu yang terorganisir dengan baik dan sistematis. 2) mendapat citra baik dan mampu bersaing. 3) mencegah audit manajemen mutu ganda oleh konsumen. 4) setelah terdaftar pada badan internasional, industri dapat membidik target perdagangan baru. 5) meningkatkan kesadaran mutu organisasi.
2.
ISO 14001:2004 ISO 14000 merupakan sistem manajemen lingkungan yang keberadaannya membantu suatu organisasi dalam meminimalisasi pengaruh buruk operasi terhadap lingkungan (perubahan yang merugikan pada udara, air, dan tanah), dengan mematuhi peraturan, hukum yang berlaku, persyaratan lain yang berorientasi lingkungan, serta perbaikan yang berkelanjutan (Anonim, 2007b). ISO menyadari akan kebutuhan sistem manajemen lingkungan, sehingga sama seperti ISO 9001 didasari oleh BS 5750, ISO 14001 tumbuh dari BS 7750. ISO 14001 dipublikasikan pada tahun 1996. Standar sistem manajemen ini mengalami revisi yang dipublikasikan pada tahun 2004-2005 (Edwards, 2004). Materi dari sistem manajemen ini sangat luas, beberapa standar penting dapat dilihat pada Tabel 4. ISO 14001 merupakan spesifikasi sistem manajemen lingkungan yang dapat diterima secara internasional. Sistem manajemen lingkungan ini berfokus pada dampak penting lingkungan dan kinerja lingkungan; pencegahan polusi; pemenuhan peraturan, persyaratan, dan evaluasi pemenuhannya; serta perbaikan berkelanjutan. Standar ini dapat digunakan oleh berbagai tipe dan ukuran organisasi dan dapat disesuaikan dengan bermacam-macam kondisi letak geografis, kultur, dan sosial. Kesuksesan sistem bergantung pada komitmen dari seluruh tingkatan dan fungsi di dalam organisasi, khususnya dari manajemen puncak. Tujuan utama dari standar internasional ini adalah untuk mendukung perlindungan terhadap lingkungan dan pencegahan polusi yang seimbang dengan kebutuhan sosial-ekonomi (International Organization for Standardization, 2004).
Tabel 4. Topik-topik Standar Manajemen Lingkungan Standar
Topik
ISO 14001 : 1996
Environmental management systems – Specification with guidance for use
ISO 14004 : 1996
Environmental management systems – General guidelines on principles, systems, and supporting techniques
ISO 14015 : 2001
Environmental assessment of sites and organizations
ISO 14020 series
Environmental labels and labelling (published in 1999 and 2000)
ISO 14031 : 2000 DD
ISO
/
Environmental performance evaluation – Guidelines
TR Examples of environmental performance evaluation
14032 : 2000 ISO 14040 : 1997
Environmental management – Life cycle assessment – Principles and framework
ISO 14041 : 1998
Environmental management – Life cycle assessment – Goal and scope definition and inventory analysis
ISO 14042 : 2000
Environmental management – Life cycle assessment – Impact assessment
ISO 14043 : 2000
Environmental management – Life cycle assessment – Interpretation
DD
ISO
/
TS Life cycle assessment – Data documentation format
14048 : 2002 PD ISO / TR 14049 Examples of application of ISO 14041 to goal and scope : 2002
definition and inventory analysis
ISO 14050 : 2002
Environmental management – Vocabulary
ISO 19011 : 2002
Guidelines for quality and/or environmental management systems auditing
Sumber : Edwards (2004) 3.
OHSAS 18001:1999 OHSAS (Occupational Health and Safety Assessment Series) 18000 adalah suatu spesifikasi internasional sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (K3). OHSAS 18000 terdiri dari dua bagian, yaitu 18001 dan 18002. OHSAS 18001 adalah rangkaian
pengujian K3 untuk sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja. Sistem manajemen K3 ini digunakan untuk membantu organisasi dalam mengontrol resiko-resiko kesehatan dan keselamatan kerja (OHSAS, 2007a). OHSAS 18001 merupakan spesifikasi pengujian untuk sistem manajemen
keselamatan
dikembangkan
untuk
dan
kesehatan
membantu
kerja.
organisasi
OHSAS
dalam
18001
menjalankan
kewajiban mereka terhadap keselamatan dan kesehatan melalui sikap yang efisien dan efektif. OHSAS
18002 menjelaskan persyaratan-
persyaratan dari spesifikasi dan menunjukkan bagaimana cara bekerja terhadap registrasi dan implementasi (OHSAS, 2007b). OHSAS 18001 didesain agar sesuai dengan ISO 9001 dan ISO 14001. Menurut OHSAS (2007a), keuntungan dalam menggunakan OHSAS adalah : 1.
Mengurangi resiko keselamatan dan kesehatan kerja yang berkaitan dengan aktivitas-aktivitas organisasi.
2.
Pengurangan yang potensial terhadap biaya.
3.
Jaminan yang sangat besar terhadap kesesuaian dengan kebijakan K3.
4.
Konsistensi dan pembuktian pendekatan manajemen terhadap resiko K3. Sistem manajemen ini berfokus pada bahaya kerja resiko tinggi,
pemenuhan peraturan dan persyaratan, serta perbaikan berkelanjutan. Bahaya adalah suatu keadaan atau tindakan yang dapat menimbulkan kerugian terhadap manusia, harta benda, proses, maupun lingkungan. Resiko adalah suatu ukuran yang menyatakan kemungkinan dan keparahan dari suatu akibat kerugian, akibat dari bahaya yang menjadi insiden, dimana insiden adalah kejadian yang tidak diinginkan.
D. SISTEM MANAJEMEN KEAMANAN PANGAN (SMKP) Pada dasarnya, sistem adalah sekelompok elemen yang saling terkait dan memiliki hubungan yang saling berkaitan. Sistem juga dapat didefinisikan sebagai kelompok dari beberapa unit yang memiliki fungsi tertentu (Anonim, 2007).
Dalam konteks dunia usaha atau perusahaan,
sistem dapat diartikan sebagai gabungan dari beberapa elemen kerja, yaitu modal, mesin, tenaga kerja dan bahan baku, untuk menghasilkan produk atau jasa, dan akhirnya bertujuan mendapat keuntungan dari produk atau jasa tersebut. Sistem manajemen adalah sistem yang dapat diatur (manageable), dapat diawasi (controllable), dapat diubah (flexible), dan dapat
dinilai
(auditable) (Kadarisman, 2005). Sistem manajemen keamanan pangan (SMKP) adalah sistem dengan fungsi utama memastikan terpenuhinya keamanan pangan sepanjang jalur rantai pangan, dimulai dari pengadaan bahan baku hingga tahap konsumsi sehingga dihasilkan produk pangan yang tidak membahayakan kesehatan konsumen. SMKP merupakan kombinasi dari komunikasi interaktif, sistem manajemen, program kelayakan dasar dan prinsip-prinsip HACCP. Alat dalam manajemen keamanan pangan yang umum digunakan adalah Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP). HACCP dapat diterapkan di industri pangan yang telah menjalankan proses pengolahan dengan cara produksi makanan yang baik atau Good Manufacturing Practices (GMP) dan Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) yang sesuai. E. GOOD MANUFACTURING PRACTICES (GMP) Good Manufacturing Practices (GMP) atau Cara Produksi Makanan yang Baik (CPMB) merupakan pedoman cara produksi makanan yang bertujuan agar produsen memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan untuk menghasilkan produk bermutu sesuai tuntutan konsumen. Di Indonesia pedoman pelaksanaan GMP dalam indutri berdasarkan SK Menteri Kesehatan RI No. 23/MENKES/SK/I/1978 tanggal 24 Januari 1978 tentang Pedoman Cara produksi yang Baik untuk Makanan. Badan obat dan
makanan Amerika Serikat atau Food and Drug Administration (FDA) membuat panduan GMP dalam bentuk regulasi CFR 21 part 110 (FDA, 1996). Persyratan GMP juga dapat ditemukan dalam peraturan European Commission (EC) No. 852/2004 dan EC No. 853/2004. Merurut peraturan FDA. Empat aspek yang tercakup dalam GMP adalah (a) perlengkapan umum, (b) bangunan dan fasilitas, (c) peralatan, dan (d) pengendalian produksi dan proses. Pemaparan penerapan GMP menurut FDA selanjutnya berdasarkan urutan berikut. 1.
Perlengkapan umum a.
Operasi sanitasi i.
Pemeliharaan umum Bangunan, peralatan dan fasilitas fisik lainnya harus dipelihara dan dirawat sehingga selalu dalam kondisi saniter. Dengan demikian peralatan tidak menjadi sumber pencemaran.
ii.
Bahan pembersih dan sanitasi Sanitasi alat dan bahan yang digunakan dalam pembersihan atau sanitasi harus bebas dari mikroorganisme yang tidak diinginkan dan harus aman jika digunakan. Bahan pembersih harus
dilengkapi
dengan
jaminan
supplier
atau
tes
laboratorium. Bahan sanitasi dan pestisida yang bersifat toksik harus diberi tanda pengenal, disimpan di tempat yang baik sehingga tidak menyebabkan kontaminasi terhadap produk maupun permukaan yang bersentuhan dengan produk. iii. Pengendalian hama Pengendalian hama harus dilakukan dengan baik agar mencegah kontaminasi silang ke dalam produk. iv. Penyimpanan dan penanganan alat-alat pembersih yang dapat dipindahkan (portable) Peralatan portable harus disimpan di tempat yang terlindung dari kontaminasi.
b.
Sanitasi Pekerja i.
Pemeriksaan kesehatan Setiap pekerja harus menjalani tes kesehatan, karena pekerja dengan
luka
terbuka,
infeksi
maupun
penyakit
dapat
menyebabkan kontaminasi mikrobiologi. Pekerja yang sakit juga harus melaporkan kondisi kesehatannya kepada pengawas (supervisor). ii.
Kebersihan Setiap pekerja yang bersentuhan dengan produk pangan dan bahan pengemas harus memakai pakaian pelindung sehingga tidak menyebabkan kontaminasi.
iii. Pelatihan dan pembinaan Pekerja yang bersentuhan dengan produk pangan harus memiliki tanggung jawab dan kesadaran akan kebersihan, kesehatan, kondisi saniter dan keamanan produk pangan. Mereka harus mendapatkan pelatihan dan pembinaan tentang prinsip sanitasi pekerja. 2.
Bangunan dan Fasillitas a.
Lingkungan pabrik Peralatan di pabrik harus didesain dengan rapih. Kotoran dan sampah harus dibuang.
Rumput liar di sekitar bangunan harus
dipotong karena dapat menjadi sarang hama. Jalan, pekarangan dan area parkir harus dipelihara sehingga tidak menjadi sumber pencemaran di dalam area pengolahan. Pabrik harus memiliki fasilitas saluran pembuangan yang cukup untuk mengaliran sampah. Sistem penanganan sampah dan limbah harus dilaksanakan dengan baik sehingga tidak terjadi kontaminasi dari sampah. b.
Konstruksi dan desain lokasi Kontruksi dan rancang bangun diperlukan untuk membatasi masuk, berkembang biak, dan menyebarnya bahan pencemar di lingkungan sekitar makanan yang diproduksi. Lantai, dinding dan langit-langit
dibangun sedemikian rupa sehingga mudah dibersihkan dan dirawat. Sumber penerangan harus cukup tersedia di area mencuci tangan, ruang ganti, toilet, area pengolahan produk, area pengujian produk dan tempat pembersihan peralatan. Lampu harus memiliki penutup yang tidak mudah pecah. Fasilitas pertukaran udara yang cukup (lubang ventilai, kipas angin, blower) untuk mencegah kondensasi uap air dan bau yang dapat mencemari produk pangan. c.
Fasilitas toilet Toilet harus dibersihkan dan selalu dalam kondisi saniter. Toilet harus diperbaiki jika mengalami kerusakan. Pintu toilet harus dapat menutup sendiri. Pintu toilet tidak boleh membuka ke area pengolahan pangan
d.
Fasilitas ruang ganti karyawan Ruang ganti karyawan adalah ruang yang memisahkan area pengolahan pangan dengan lingkungan di luar area pengolahan pangan. Ruang ganti berfungsi sebagai filter atau penyaring setiap jenis bahaya yang terbawa oleh karyawan, seperti bakteri patogen, spora bakteri, serangga, tikus dan sebagainya. Oleh karena itu, kondisi ruang ganti harus selalu bersih, terang, tidak lembab, dilengkapi dengan perangkap tikus dan alat pembunuh serangga.
e.
Fasilitas mencuci tangan Fasilitas cuci tangan terdiri dari air, sabun, sanitizer, dan pengering tangan yang dapat digunakan setiap saat. Setiap karyawan harus dapat mencuci tangan dengan baik. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan petunjuk tertulis cara mencuci tangan yang mudah dipahami pekerja. Kran air didesain sedemikian rupa sehingga tidak mengkontaminasi tangan yang sudah bersih. Pekerja harus mencuci tangan sebelum bekerja, setelah keluar dari area lain dan melanjutkan produksi, maupun saat tangan terkontaminasi.
f.
Sampah dan pembuangan limbah Sampah dan kotoran limbah harus dialirkan, dikumpulkan dan dibuang sebelum menimbulkan bau dan berpotensi menjadi penyebab kontaminasi silang.
g.
Penyediaan air Air yang digunakan untuk pengolahan harus tersedia dalam jumlah yang cukup dan diperoleh dari sumber yang bersih. Air harus aman dan saniter.
h.
Pipa-pipa saluran air Pipa air harus memiliki ukuran dan desain yang baik dan dipasang dengan baik sehingga dapat mengalirkan air dengan jumlah yang cukup untuk seluruh keperluan pengolahan dan sanitasi. Pipa limbah harus dapat dilewati oleh limbah dari seluruh pabrik. Saluran limbah tidak mencemarkan produk, saluran air bersih dan peralatan. Tidak terjadi aliran silang antara pipa yang mengalirkan air bersih dan pipa yang mengalirkan air limbah.
3.
Peralatan dan Perlengkapan Peralatan dan perlengkapan harus didesain sesuai dengan proses produksi dan kondisi pekerja. Peralatan harus mudah dibersihkan dan tidak menyebabkan kontaminasi bahan berbahaya. Peralatan sebaiknya terbuat dari bahan yang tidak beracun dan tahan korosi. Sambungan pada permukaan yang bersentuhan dengan produk harus rapat dan halus, bersih dan bebas dari akumulasi sisa produk maupun kotoran yang memungkinkan tumbuhnya mikroorganisme.
4.
Pengendalian proses a.
Bahan baku dan bahan lainnya Bahan baku maupun bahan tambahan harus diperiksa dan ditangani dengan baik. Bahan baku harus bersih dan disimpan di tempat yang baik sehingga tidak rusak dan terkontaminasi kotoran. Bahan harus bebas dari mikroorganisme pada tingkat yang aman, tidak bersifat
toksik dan tidak menimbulkan penyakit. Bahan harus bebas dari aflatoksin dan senyawa toksik berbahaya sesuai ketentuan FDA. Bahan baku cair dan kering diterima dan disimpan dengan baik sehingga tidak terjadi kontaminasi. b.
Proses produksi Peralatan produksi harus selalu bersih dan saniter. Semua tahap produksi, termasuk pengemasan dan penyimpanan harus dilakukan dengan pengawasan petugas. Pengawasan proses sterilisasi, iradiasi, pasteurisasi, pembekuan, refrigerasi, pengendalian pH dan aw harus cukup dilakukan. Proses diharapkan dapat mencegah pertumbuhan mikroorganisme yang tidak diinginkan maupun mikroba patogen. Kontaminasi tidak boleh terjadi sepanjang proses produksi mekanik seperti pencucian, pengupasan, pemotongan, sortasi dan sebagainya. Pengujian suhu produk harus dilakukan selama proses berlangsung. Pengujian pH pada produk dengan kadar asam rendah (pH < 4.6) harus dilakukan untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme patogen. Area dan peralatan produksi tidak boleh digunakan untuk kegiatan
produksi
bahan
nonpangan
(nonfoodgrade)
untuk
mencegah timbulnya kontaminasi. c.
Penyimpanan dan distribusi Kontaminasi produk oleh benda fisik, senyawa kimia maupun mikrobiologi tidak boleh terjadi selama proses penyimpanan dan distribusi.
F.
SANITATION STANDARD OPERATING PROCEDURE (SSOP) Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) merupakan prosedur yang dibuat untuk membantu industri pangan dalam mengembangan dan menerapkan kondisi sanitasi, pengawasan, serta melakukan monitoring terhadap penerapan sanitasi (Thaheer, 2003). Menurut FDA (1996), SSOP adalah prosedur tertulis yang dibuat dan diterapkan untuk mencegah kontaminasi silang atau pencemaran produk. SSOP dibagi ke dalam delapan aspek, yaitu keamanan air, kebersihan permukaan benda yang bersentuhan
dengan pangan, pencegahan kontaminasi silang, sanitasi karyawan, pencemaran, komponen toksik, kesehatan karyawan dan pengendalian hama. Air yang digunakan dalam proses pengolahan di industri harus aman bagi kesehatan. Permukaan benda yang bersentuhan dengan pangan terdiri dari tangan pekerja, sarung tangan, peralatan dan perlengkapan pengolahan. Kontaminasi silang dapat berasal dari sarung tangan, pakaian pekerja, bahan pengemas, benda asing, bahan baku mentah dan sebagainya. Sanitasi pekerja mencakup cara mencuci tangan dan kondisi toilet. Pencemaran produk pangan dapat disebabkan oleh pelumas, bahan bakar, pestisida, bahan pembersih, kotoran yang terakumulasi, maupun kontaminan mikrobiologi. Pekerja yang tidak sehat dapat menyebabkan kontaminasi silang terhadap produk pangan. Hama yang tidak terkendali juga dapat menyebabkan kontaminasi silang pada produk pangan. Dalam SSOP dicantumkan 1) dokumentasi sanitasi berupa tanggal, waktu, pelaksana dan penanggung jawab sanitasi 2) tindakan pengawasan atau monitoring pelaksanaan sanitasi 3) evaluasi hasil pelaksanaan sanitasi 4) tindakan koreksi atas penyimpanan pelaksanaan SSOP
dan hasil sanitasi
yang tidak sesuai. Evaluasi hasil pelaksanaan sanitasi ditunjukkan dengan daftar atau checklist berisi kriteria yang harus dipenuhi selama sanitasi (FDA, 1996). Penerapan SSOP dan GMP yang tepat dapat menjamin penerapan HACCP lebih mudah. Produk yang baik, aman, dan bersih dapat dicapai melalui berbagai prosedur yang diterapkan. G. HAZARD ANALYSIS CRITICAL CONTROL POINT (HACCP) Standar HACCP yang diterapkan di Indonesia diambil dari Codex Committee on Food Hygiene yang diperkenalkan pada Oktober 1991, kemudian diterjemahkan ke dalam Standar Nasional Indonesia (SNI 01-48521998). HACCP merupakan salah satu alat manajemen bahaya yang dikembangkan untuk menjamin keamanan pangan dengan pendekatan pencegahan (preventive). HACCP dibuat berdasarkan kesadaran bahwa bahaya (hazard) akan timbul pada berbagai titik atau tahap produksi namun
terdapat upaya pengendalian untuk mengontrol bahaya tersebut. Kunci utama HACCP adalah antisipasi bahaya dan tindakan pencegahan timbulnya bahaya, dan bukan pengendalian bahaya dengan mengandalkan pengujian produk akhir.
Dengan demikian, perusahaan dapat menekan jumlah
kerusakan produk dan kerugian ekonomi akibat kerusakan produk yang diuji (Thaheer, 2005). Konsep ini pertama kali dikembangkan oleh perusahaan Pillsbury di Amerika Serikat, yang bekerja sama dengan US Army Nautics Research and Development
Laboratories,
The
National
Aeronautics
and
Space
Administration (NASA) serta US Air Force Space Laboratory Project Group pada tahun 1959. Mereka mengembangkan makanan bagi para astronot. Makanan tersebut berukuran kecil dan dilapisi dengan pelapis edible. Sehingga tidak mudah rusak dan terkontaminasi udara. Produk harus memenuhi aspek keamanan sehingga para astronot tidak jatuh sakit. Mereka akhirnya menyimpulkan cara terbaik untuk menghasilkan produk dengan jaminan keamanan mendekati 100 % adalah dengan sistem pencegahan dan penyimpanan rekaman data yang baik (Dept. ITP, 2005). Pillsbury menerbitkan dokumen lengkap HACCP pertama pada tahun 1973 dan sukses diterapkan pada makanan kaleng berasam rendah. NAS kemudian membentuk National Advisory Committee on Konsep HACCP diadopsi oleh berbagai badan internasional seperti Codex Alimentarius Commission (CAC) (Dept. ITP, 2006). Tujuan penerapan HACCP di industri pangan adalah untuk mencegah terjadinya bahaya pada rantai pasokan pangan dan proses produksi, berupa kontaminasi bahaya mikrobiologis, kimia maupun fisik. HACCP dapat diterapkan dalam rantai produksi pangan, dimulai dari produksi bahan baku pangan, penanganan, pengolahan, distribusi, pemasaran dan konsumsi oleh konsumen selaku pengguna produk akhir. Meskipun demikian, HACCP bukanlah sistem jaminan keamanan pangan yang bersifat tanpa resiko (zero risk). HACCP dirancang untuk meminimumkan resiko bahaya keamanan pangan.
Penerapan HACCP pada industri pangan di beberapa negara hanya bersifat sukarela. Banyak industri pangan di Indonesia yang telah menerapkan HACCP karena dokumen HACCP menjadi salah satu persyaratan dalam dokumen pengiriman produk impor. Dua persyaratan utama penerapan HACCP di industri pangan adalah penerapan Good Manufacturing Practices (GMP) dan Standar Sanitation Operation Procedure (SSOP). Publikasi sistem HACCP yang telah diperkenalkan Codex Alimentarius Commission tentang tujuh prinsip HACCP dan dua belas langkah pedoman penerapannya yang didopasi oleh Badan Standardisasi Nasional. Tahap-tahap pembuatan rencana HACCP adalah: 1.
Tahap 1 : Pembentukan Tim HACCP Tim HACCP terdiri dari perwakilan seluruh departemen yang ada di dalam perusahaan serta berasal dari disiplin ilmu yang berbeda. Apabila keahlian tidak tersedia secara internal, boleh digunakan konsultan dari pihak luar. Tim HACCP bertugas menulis SSOP, membuat
rencana
HACCP,
mengimplementasikan
HACCP
dan
melakukan verifikasi HACCP. 2.
Tahap 2 : Mendeskripsikan Produk Deskripsi produk adalah perincian informasi lengkap mengenai produk yang berisi komposisi, sifat fisik atau kimia, pengemasan, kondisi penyimpanan, daya tahan, cara distribusi, bahkan cara penyajian dan
persiapan
konsumsinya.
Komposisi
disusun
untuk
menginformasikan kandungan bahan yang ada di dalam produk berikut kuantifikasinya. Informasi ini diperlukn untuk memastikan ada tidaknya kandungan bahan berbahaya dalam produk tersebut. 3.
Tahap 3 : Identifikasi Pengguna Produk Pengguna produk ditentukan berdasarkan manfaat yang dinikmati oleh konsumen. Informasi tentang pengguna produk menunjukkan kelompok populasi konsumen yang dapat mengkonsumsi produk. Suatu produk langsung dikategorikan memiliki resiko tinggi apabila masuk ke dalam salah satu kategori populasi konsumsi bayi, ibu hamil dan menyusui, manusia, orang sakit atau orang dalam perawatan
penyembuhan, orang dengan daya tahan tubuh rendah atau alergi terhadap senyawa tertentu. 4.
Tahap 4 : Penyusunan Diagram Alir Diagram alir harus memuat semua tahapan di dalam operasional produksi. Diagram alir harus memuat bahan yang diolah dalam setiap proses, tahapan proses sejak bahan baku diterima hingga produk siap disimpan dan didistribusikan. Diagram alir juga wajib mencantumkan bahan-bahan yang digunakan selama pengolahan (air, bahan tambahan pangan, pengemas dan sebagainya) dan bahan-bahan yang dihasilkan sebagai produk sampingan (limbah, dan sebagainya) maupun produk akhir.
5.
Tahap 5 : Verifikasi Diagram Alir di tempat Diagram alir yang dibuat belum dapat dikatakan sama dengan proses sebenarnya di lapangan. Verifikasi adalah pengujian dan peninjauan ketepatan proses pengolahan dengan diagram alir proses yang telah dibuat.
Bila diagram alir kurang tepat maka dilakukan
modifikasi dan perubahan diagram alir. Verifikasi dapat dilakukan dengan mengamati aliran proses, kegiatan pengambilan contoh, wawancara, dan percobaan pengolahan non produksi. 6.
Tahap 6/Prinsip 1 : Analisa Bahaya Bahaya adalah faktor yang dapat menyebabkan pengaruh negatif bagi konsumen. Bahaya berupa bahan biologis, kimia atau fisik di dalam, atau kondisi makanan yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan konsumen. Tim HACCP harus mengidentifikasi dan mendaftarkan semua bahaya potensial pada masing-masing tahap pengolahan. Selain itu, tim HACCP harus menilai resiko masing-masing bahaya. Bahaya dapat dikelompokkan menjadi kelompok bahaya resiko tinggi, resiko sedang atau resiko rendah. Kemudian tim HACCP menetapkan tingkat keakutan masing-masing bahaya. Bahaya digolongkan sebagai bahaya tinggi jika dapat mengancam jiwa manusia. Bahaya dikategorikan sedang jika berpotensi mengancam
jiwa manusia. Bahaya dikategorikan rendah jika mengakibatkan pangan tidak layak untuk dikonsumsi. 7.
Tahap 7/Prinsip 2: Critical Control Point (CCP) dan pengendalian bahaya Beberapa pengendalian titik kendali kritis dapat dilaksanakan menuju pencegahan bahaya yang sama. CCP atau titik-titik kritis pengawasan adalah tahap dalam proses pengolahan pangan yang harus dikendalikan atau diawasi dengan baik sehingga dapat mengurangi resiko timbulnya bahaya keamanan pangan. Satu CCP dapat mengendalikan satu atau beberapa bahaya, misalnya bahaya fisik dan mikrobiologi atau kombinasi bahaya lainnya. Untuk menentukan CCP yang tepat, Codex Alimentarius Comission telah memberikan pedoman penentuan CCP dalam bentuk diagram pohon, seperti terlihat pada Lampiran 2. Diagram ini membantu tim HACCP menganalisa dan memberikan jaminan pendekatan yang konsisten bagi tiap tahap atau bahaya yang teridentifikasi.
8.
Tahap 8/Prinsip 3: Penetapan Batas Kritis Batas kritis adalah angka dengan satuan tertentu atau tanda-tanda fisik sebagai batas aman bahaya pada tahap CCP tertentu. Batas kritis menunjukkan bahaya masih terkendali atau aman. Contoh batas kritis adalah suhu, waktu, kadar air, jumlah bahan tambahan, berat bersih, jumlah bahan logam, ukuran retensi ayakan dan sebagainya. Batas kritis juga menunjukkan perbedaan antara produk yang aman dan tidak aman. Batas kritis tidak boleh dilanggar untuk menjamin pengendalian bahaya mikrobiologis, kimia maupun fisik. Penetapan batas kritis dilakukan berdasarkan data yang sudah dipublikasikan oleh lembaga pemerintahan terkait, seperti Codex, ICMSF, FDA, Depkes, Deperindag dan sebagainya. Batas kritis juga dapat ditetapkan oleh para ahli seperti konsultan, badan peneliti, perusahaan peralatan, pemasok bahan desinfektan, ahli mikrobiologi atau sarjana teknik pengolahan pangan. Data hasil percobaan atau model
matematika juga dapat digunakan untuk menetapkan batas kritis (Dept. ITP, 2006). 9.
Tahap 9/Prinsip 4 : Menetapkan prosedur monitoring Prosedur
pemantauan
CCP
harus
dapat
menemukan
ketidakterkendalian pada CCP. Monitoring menetapkan secara ideal informasi waktu untuk tindakan perbaikan yang dilaksanakan untuk mengendalikan proses sebelum dilakukannya penolakan produk. Kegiatan monitoring bertujuan untuk menjamin batas kritis tidak terlanggar. Informasi dalam prosedur monitoring mencakup apa yang harus diuji, metode pengujian, pelaku pengujian, tempat pengujian, waktu pengujian dan hasil pengujian yang diharapkan. Monitoring CCP dapat dilakukan dengan dengan observasi visual, evaluasi sensori, pengujian fisik, pengujian kimia dan pengujian mikrobiologi. Namun umumnya pengujian mikrobiologi tidak dilakukan karena membutuhkan waktu yang lebih lama. 10.
Tahap 10/Prinsip 5 : Penetapan tindakan koreksi Tindakan koreksi adalah setiap tindakan yang harus dilakukan jika hasil
monitoring
pada
suatu
titik
pengendalian
kritis
(CCP)
menunjukkan proses tidak terkendali (loss of control). Terdapat dua jenis tindakan koreksi, yaitu tindakan segera dan tindakan pencegahan. Tindakan segera dapat berupa penghentian proses produksi sebelum penyimpangan dikoreksi,
penahanan produk, pengujian keamanan
produk, memisahkan produk yang cacat dan mengulangi proses pengolahan. Tindakan pencegahan dapat berupa pertanggungjawaban untuk tindakan koreksi dan pencatatan tindakan koreksi. Pertanggungjawaban untuk tindakan koreksi merupakan tanggung jawab petugas dengan jabatan tertentu di dalam perusahaan, misalnya supervisor produksi atau kepala bagian produksi. Pencatatan tindakan koreksi dilakukan dengan pengisian formulir khusus tindakan koreksi, yang berisi indentifikasi produk, deskripsi penyimpangan, tindakan koreksi yang dilakukan,
individu yang bertanggung jawab untuk melakukan tindakan koreksi dan evaluasi hasil pelaksanaan tindakan koreksi. Informasi tertulis mengenai tindakan koreksi menjadi dasar pengambilan
keputusan
atas
penyimpangan
CCP
yang terjadi.
Keputusan dapat berupa izin distribusi produk, pengujian produk, pengolahan produk menjadi produk lain dengan mutu yang lebih rendah, pengolahan produk menjadi pakan ternak atau penghancuran produk. 11. Tahap 11/Prinsip 6 : Menetapkan prosedur verifikasi Verifikasi adalah pemeriksaan sistem HACCP secara menyeluruh untuk menjamin pelaksanaan sistem yang sesuai dengan tujuan dan prosedur dalam dokumen HACCP. Verifikasi bermanfaat untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman tiap karyawan perusahaan akan sistem HACCP, menyediakan dokumentasi pelaksanaan HACCP, membuang dokumen yang sudah tidak relevan dan menetapkan langkah pengembangan HACCP. Verifikasi umumnya berupa kegiatan validasi HACCP, tinjauan terhadap hasil pemantauan CCP, pengujian produk dan audit HACCP. Audit dapat dilakukan oleh divisi internal perusahaan maupun lembaga ekternal di luar perusahaan, seperti lembaga sertifikasi khusus. Beberapa elemen HACCP yang diverifikasi adalah dokumen tertulis HACCP, rekaman CCP, rekaman penyimpangan dan tindakan koreksi, laporan audit, keluhan konsumen, rekaman kalibrasi, rekaman training, spesifikasi dan hasil analisis bahan baku maupun rekaman laboratorium. 12. Tahap 12/Prinsip 7 : Dokumentasi dan rekaman yang baik Prosedur pencatatan dan dokumentasi yang efektif adalah salah satu elemen terpenting dalam pelaksanaan HACCP. Dokumen menjadi bukti pelaksanaan HACCP dan pengendalian atas tiap bahaya yang timbul selama proses pengolahan. Catatan juga menunjukkan bahwa batas kritis telah dipenuhi dan telah dilakukan tindakan koreksi yang sesuai atas penyimpangan batas kritis. Pencatatan harus dilakukan di semua area yang kritis bagi keamanan produk dan dibuat pada saat monitoring dilakukan. Catatan
HACCP sebaiknya berisi judul dan status catatan (terkendali atau tidak terkendali), tanggal pembuatan catatan, individu yang melakukan pemeriksaan, informasi produk (kode produksi, tanggal kadaluarsa dan sebagainya), bahan dan peralatan yang digunakan, batas kritis, tindakan koreksi yang dilakukan, individu yang bertanggung jawab atas tindakan koreksi, tempat dan data individu pemeriksa catatan. H. STANDAR SISTEM MANAJEMEN KEAMANAN PANGAN 1.
British Retail Consortium (BRC) Standar BRC ditetapkan untuk proses penyimpanan dan distribusi, standar produk pangan, standar produk non pangan dan standar bahan pengemas. Standar produk non pangan dapat diterapkan untuk peralatan rumah tangga, produk elektronik audio dan visual, produk kesehatan dan produk yang tersedia hanya pada musim tertentu. Menurut Undang-undang Keamanan Pangan Inggris tahun 1990, pedagang atau distributor, seperti halnya semua pihak yang terlibat dalam rantai pasokan pangan, memiliki hak untuk melakukan pencegahan yang tepat atas kesalahan dalam pengembangan, produksi, distribusi, promosi dan penjualan produk pangan ke konsumen. BRC adalah suatu organisasi perdagangan Inggris yang didirikan atas prakarsa beberapa pemilik usaha supermarket atau swalayan di Inggris, yaitu Tesco, Mark & Spencer dan Sainsbury’s. Tidak semua pemilik supermarket
atau
swalayan
menjadikan
standar
BRC
sebagai
persyaratan dagang. Organisasi ini menetapkan berbagai persyaratan bagi produsen atau pemasok produk pangan yang ingin menjual produknya di supermarket Inggris (BRC, 2006). Persyaratan harus dipenuhi oleh produsen dalam negeri, produsen luar negeri atau eksportir. Meskipun standar BRC bukanlah peraturan yang dibuat oleh pemerintah Inggris, sertifikat standar BRC tetap menjadi salah satu persyaratan kelengkapan izin resmi pengiriman produk pangan ekspor (BRC, 2001).
Aspek yang dinilai dalam standar proses penyimpanan dan distribusi mencakup pemeriksaan atau seleksi produk, pengemasan, inspeksi pengendalian mutu dan proses pembekuan. Kriteria yang wajib dipenuhi dalam standar produk non pangan berupa sistem manajemen mutu, standar lingkungan pabrik, pengendalian produk, pengendalian proses, sumber daya manusia, prosedur evaluasi, penilaian produk dan laporan evaluasi. Kriteria dalam standar pengemas berupa cakupan atau lingkup, jenis organisasi, sistem manajemen bahaya dan resiko, sistem manajemen teknis, standar pabrik, pengendalian kontaminasi, sumber daya manusia, penentuan kategori resiko dan prosedur evaluasi (BRC, 2006). Kriteria yang harus dipenuhi dalam standar pangan adalah deteksi logam, penarikan produk dari distributor, validasi proses pengolahan untuk produk berkadar asam rendah, validasi proses pasteurisasi, pengendalian hama, audit internal, traceability, penilaian mutu, penanganan atas keluhan konsumen dan penentuan umur simpan (BRC, 2006). Kriteria dalam standar produk pangan BRC dibagi menjadi: 1.
Sistem HACCP
2.
Sistem manajemen mutu 2.1 Sistem manajemen mutu – persyaratan umum 2.2 Pernyataan kebijakan mutu 2.3 Pedoman mutu 2.4 Struktur organisasi, tanggung jawab dan wewenang manajemen 2.5 Komitmen manajemen 2.6 Fokus pada konsumen 2.7 Tinjauan manajemen 2.8 Manajemen sumber daya 2.9 Audit internal 2.10 Eksplorasi 2.10.1 Persetujuan pemasok dan pengawasan pelaksanaan 2.11 Persyaratan dokumentasi umum
2.11.1 Pengendalian dokumen 2.11.2 Spesifikasi 2.11.3 Prosedur 2.11.4 Penyimpanan dokumen 2.12 Tindakan korektif 2.13 Traceability 2.14 Manajemen kecelakaan, penundaan distribusi produk dan penarikan produk 2.15 Penanganan keluhan pelanggan 3.
Standar lingkungan pabrik 3.1 Standar lingkungan luar 3.1.1 Lokasi 3.1.2 Lingkar luar dan tanah 3.2 Standar lingkungan dalam 3.2.1 Pemetaan, alur produk dan pemisahan 3.2.2 Pemalsuan – penanganan bahan baku, persiapan, pengolahan dan area penyimpanan 3.2.2.1 Dinding 3.2.2.2 Lantai 3.2.2.3 Atap 3.2.2.4 Jendela 3.2.2.5 Pintu 3.2.2.6 Lampu 3.2.2.7 Pendingin ruangan/ventilasi 3.3 Pelayanan 3.4 Peralatan 3.5 Perawatan 3.6 Fasilitas karyawan 3.7 Resiko kontaminasi bahan fisik dan kimia 3.8 Perawatan bangunan dan higiene 3.9 Penanganan limbah 3.10 Pengendalian hama
3.11 Transportasi 4.
Pengendalian produk 4.1 Desain produk/pengembangan 4.2 Syarat penanganan bahan khusus 4.3 Deteksi logam/deteksi benda asing 4.4 Pengemas produk 4.5 Pemeriksaan dan analisis produk 4.6 Perputaran pasokan 4.7 Pengeluaran produk 4.8 Pengendalian produk cacat
5.
Pengendalian proses 5.1 Pengendalian operasi 5.2 Pengendalian jumlah 5.3 Kalibrasi dan kendali alat pengawasan dan pengukuran
6.
Sumber daya manusia 6.1 Pelatihan– penanganan bahan baku, persiapan, pengolahan, pengemasan, dan area penyimpanan 6.2 Higiene karyawan – penanganan bahan baku, persiapan, pengolahan, pengemasan, dan area penyimpanan 6.3 Pemeriksaan kesehatan 6.4 Pakaian pelindung – Karyawan yang berinteraksi dengan pangan dan orang lain yang memasuki area pengolahan pangan
7.
Kumpulan definisi
8.
Prosedur evaluasi/penilaian 8.1 Tujuan prosedur 8.2 Proses sertifikasi 8.3 Perjanjian kontrak antara perusahaan dan badan sertifikasi 8.4 Pemilihan badan sertifikasi 8.5 Penyusunan kontrak perusahaan 8.6 Persiapan untuk kunjungan evaluasi 8.7 Waktu kunjungan evaluasi
8.8 Program kunjungan evaluasi 8.9 Evaluasi – Ketidaksesuaian dan tindakan koreksi 8.10 Laporan evaluasi dan sertifikasi 8.11 Penentuan tingkat evaluasi dan frekuensi evaluasi 8.12 Dokumentasi 8.13 Tindakan tambahan 8.14 Keluhan/komplain 8.15 Permohonan Appendix 1 Proses sertifikasi Appendix 2 Kategori produk Keuntungan implementasi standar BRC bagi industri pangan adalah: a. BRC merupakan standar tunggal yang mengizinkan evaluasi sertifikasi dilakukan oleh pihak atau badan sertifikasi dan dapat diakreditasi menjadi standar internasional panduan ISO/IEC 65. b.
Menunjukkan komitmen organisasi untuk menghasilkan produk yang aman.
c.
Mendapat pengakuan dari komunitas pedagang Inggris.
d.
Mengurangi jumlah audit pemasok.
e.
Standar bersifat komprehensif dan mencakup semua hal yang berkaitan dengan aspek mutu, sanitasi dan keamanan produk di industri pangan.
f.
Industri atau pemasok dapat menerapkan sistem verifikasi tunggal. Verifikasi tunggal adalah sistem evaluasi yang telah disetujui oleh industri maupun supplier, yang memungkinkan pihak industri maupun supplier untuk melaporkan status mereka kepada pihak pedagang produk pangan.
g.
Standar juga dapat digunakan oleh industri pangan untuk memastikan bahwa pemasok bahan baku telah menerapkan teknik higiene yang baik.
h.
Tindakan koreksi atas ketidaksesuaian yang ada dapat melatih industri untuk mengembangkan sistem keamanan produk, mutu dan higiene oleh perusahaan itu sendiri. (Anonim 2006 dan BRC, 2005).
2.
Rapid Alert System (RAS) Rapid Alert System for Food and Feed (RASFF) adalah sistem yang dikembangkan di kawasan Eropa untuk menyediakan informasi secepat mungkin mengenai bahaya keamanan dan kesehatan pangan serta pakan ternak. Sistem tersebut menyediakan lembaga yang berwenang dalam pertukaran informasi pada masing-masing negara di Eropa. Program RASFF mulai dicetuskan pada tahun 1992 namun baru dibentuk pada tanggal 21 Februari 2002 dan bersifat mandatory (keharusan) bagi semua komoditi pangan dan pakan yang masuk ke kawasan Eropa (Thaheer, 2003) Rapid Alert System for Food and Feed (RASFF) disepakati menerapkan dua macam Notifikasi, yaitu notifikasi alert dan informasi. Notifikasi alert adalah berkaitan dengan produk yang ada di pasar kawasan Eropa, dimana ditemukannya resiko bagi pengguna. Notifikasi informasi berhubungan dengan produk yang beresiko bagi pengguna, namun diasumikan tidak beredar di pasaran
karena tertahan di
perbatasan atau produk terlanjur kadaluarsa. Notifikasi alert mengharuskan langkah penahanan, pelepasan, atau pengendalian sesegera mungkin. Sedangakan notifikasi informasi tidak mengharuskan adanya langkah aksi secara cepat. Kontaminan tertinggi berasal dari residu obat hewan. China adalah negara yang memperoleh peringatan paling banyak sampai tahun 2002, kemudian Thailand, Turki, dan Brazil. Indonesia berada pada urutan ke-13 dengan 39 kasus. I.
ISO 22000 ISO 22000 adalah standar internasional yang dikeluarkan oleh komite teknis organisasi standar international (ISO). Standar ini merupakan standar
penunjuk yang menggambarkan persyaratan sebuah sistem manajemen keamanan pangan. Standar ini bertujuan 1) mengharmoniskan persyaratan sistem manajemen keamanan pangan untuk usaha yang terkait dalam rantai pangan, 2) memudahkan kerja badan usaha dan badan sertifikasi karena hanya menggunakan satu standar, serta 3) memastikan standar dapat diperoleh dengan mudah di seluruh dunia tanpa adanya monopoli oleh satu badan sertifikasi khusus. Lembaga ISO tidak khusus merancang standar yang dipakai pada perdagangan, namun kebutuhan standar dalam perjalanannya tidak terlepas dari persyaratan dunia perdagangan. Keberhasilan penerapan standar ISO 9000 yang dramatis pada tahun 1987 menjadikan ISO sebagai standar yang dinilai paling fair dalam perdagangan dunia. Pembentukan komite teknis (Technical Committe-TC) 34 ISO adalah salah satu upaya untuk mengurangi kesimpangsiuran interpretasi sistem sertifikasi HACCP dalam perdagangan dunia. Tahun 1998, TC 34 meluncurkan draf standar yang memasukkan prinsip HACCP ke dalam sistem manajemen mutu. Standar tersebut akhirnya terbit dalam format Technical References (TR) dengan nomor seri ISO/TR 15161:2001 Guidelines on application of ISO 9001:2000 for the food and drink industry. Sertifikat ISO/TR 15161:2001 yang diperkenalkan pada tahun 2001, tentu saja berbasis kepada ISO 9001:2000 sehingga tidak memberikan perubahan pengaruh terhadap pengakuan pasar. Kondisi seperti ini tidak memberikan pengaruh berarti bagi kehausan konsumen untuk memperoleh sertifikat HACCP. Beberapa industri makanan di Indonesia kini mulai berfikir ulang mengenai manfaat lebih dari sertifikat ISO 9001 dibandingkan HACCP. Kekhawatiran ISO akan ketidakberhasilan penerapan ISO/TR 15161 menyebabkan TC 34 diperpanjang masa kerjanya. Melalui kelompok kerja (Working Group-WG) 8, disiapkan standar khusus mengenai keamanan pangan dalam suatu seri terpisah, yakni ISO 22000:2005 Food safety management system – Requirement for organization throughout the food chain.
Sistem HACCP dapat diterapkan bersamaan dengan ISO 9001 karena keamanan produk adalah salah satu kriteria mutu produk yang harus dipenuhi oleh produsen pangan. Konsumen tidak hanya membutuhkan produk pangan yang bergizi dan memiliki tampilan yang menarik, tetapi harus aman bagi kesehatan. ISO 9001 menjadi panduan bagi organisasi dalam menerapkan sistem manajemen mutu dan pengendalian mutu produk. Hubungan antara ISO 22000 dan ISO 9001 dapat dilihat pada Lampiran 1. Keuntungan penerapan ISO 22000 secara keseluruhan: a.
Berlaku di dunia internasional.
b.
Menyediakan referensi bagi keseluruhan rantai pangan.
c.
Mengisi kesenjangan antara penerapan ISO 9001 dan HACCP.
d.
Organisasi pangan dapat mengindentifikasi dan mengendalikan bahaya keamanan pangan.
e.
Manajemen program kelayakan dasar yang sistematis.
f.
Menggunakan
dasar
ilmiah
sebagai
pertimbangan
pengambilan
keputusan. g.
Perencanaan yang lebih baik dan tindakan verifikasi proses yang lebih sedikit. ISO 22000 menetapkan persyaratan-persyaratan dasar untuk sebuah
sistem manajemen keamanan pangan yang mengkombinasikan unsur-unsur kunci untuk menjamin keamanan pangan sepanjang rantai pangan, hingga konsumen (ISOa). Unsur-unsur kunci tersebut adalah komunikasi interaktif, sistem manajemen, prerequisite programme (program prasyarat/kelayakan dasar), dan perinsip-prinsip HACCP. Komunikasi interaktif sepanjang rantai sangat penting karena komunikasi menyediakan segala informasi yang berkaitan dengan keamanan pangan sehingga dapat diketahui oleh seluruh organisasi dalam rantai pangan. Ada dua jenis komunikasi, yaitu internal dan eksternal. Komunikasi eksternal adalah komunikasi dengan pihak-pihak di luar perusahaan, yang memiliki interaksi dengan perusahaan, misalnya suppliers, kontraktor, pelanggan atau konsumen, badan hukum negara, laboratorium eksternal dan pihak lainnya,
yang dapat mempengaruhi efektivitas sistem manajemen keamanan pangan. Komunikasi
internal adalah interaksi dengan pegawai mengenai isu
manajemen keamanan pangan (ISOa, 2005). Sistem keamanan pangan yang efektif adalah sistem yang diterapkan, dioperasikan, dan diperbahrui di dalam kerangka sistem manajemen yang terstruktur dan dimasukan ke dalam keseluruhan aktifitas manajemen di dalam organisasi. Hal ini akan memberikan manfaat yang optimal untuk organisasi dan pihak-pihak terkait. Dalam ISO 22000, prerequisite programme (PRP) didefinisikan sebagai kondisi dan aktifitas dasar yang diperlukan untuk memelihara lingkungan yang higienis di seluruh rantai pangan yang sesuai untuk proses produksi, penanganan dan penyediaan produk yang aman untuk dikonsumsi. Sementara itu operational prerequisite (OPRP) adalah program prasyarat yang dalam analisis bahaya diidentifikasi sebagai hal yang penting untuk mengendalikan kemungkinan masuknya bahaya atau kontaminasi di dalam produk atau lingkungan proses. ISO 22000 mengintegrasikan prinsip-prinsip sistem HACCP dan penerapan langkah yang
dikembangkan oleh Codex Alimentarius
Commission (CAC). Analisis bahaya adalah kunci untuk sebuah sistem manajemen keamanan pangan yang efektif, karena dengan melakukan analisis bahaya akan membantu organisasi dalam menetapkan langkahlangkah pengendalian yang efektif. ISO 22000 mempersyaratkan bahwa semua bahaya yang mungkin ada dalam rantai pangan. Selama melakukan analisis bahaya, organisasi menentukan strategi yang digunakan untuk menjamin pengendalian bahaya dengan mengkombinasikan PRP, OPRP, dan rencana HACCP. Hubungan anatara HACCP dan ISO 22000 dapat dilihat pada Lampiran 2. Persyaratan-persyaratan dalam ISO 22000 ini bersifat umum dan ditujukan untuk dapat diterapkan pada seluruh organisasi dalam rantai pangan
tidak
memandang
besar
kecilnya
organisasi
maupun
kompleksitasnya. Hal ini termasuk organisasi yan secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam satu atau lebih tahap dalam rantai pangan.
Kriteria-kriteria dalam ISO 22000 terdiri atas: 1. Cakupan 2. Referensi regulasi 3. Definisi 4. Sistem Manajemen Keamanan Pangan 4.1 Persyaratan umum 4.2 Dokumentasi 5. Tanggung jawab manajemen 5.1 Komitmen manajemen 5.2 Kebijakan keamanan pangan 5.3 Perencanaan sistem manajemen keamanan pangan 5.4 Tanggung jawab dan wewenang 5.5 Pemimpin tim keamanan pangan 5.6 Komunikasi 5.6.1 Komunikasi eksternal 5.6.2 Komunikasi internal 5.7 Respon dan persiapan darurat 5.8 Tinjauan manajemen 6. Manajemen sumber daya 6.2 Sumber daya manusia 6.1.1 Umum 6.2.2 Kompetensi, kepedulian, dan pelatihan 6.3 infrastruktur 6.4 Lingkungan kerja 7. Perencanaan dan realisasi produk yang aman 7.1 Umum 7.2 Kelayakan dasar 7.3 Langkah awal untuk melakukan analisis bahaya 7.3.1 Umum 7.3.2 Tim keamanan pangan 7.3.3 Karakteristik produk 7.3.4 Diagram alir, langkah proses, dan tindakan pengendalian
7.3.5 Deskripsi langkah proses dan tindakan pengendalian 7.4 Analisa bahaya 7.5 Penentuan kelayakan dasar operasional 7.6 Penyusunan HACCP plan 7.6.1 HACCP plan 7.6.2 Identifikasi CCP 7.6.3 Penentuan batas kritis 7.6.4 Sistem monitoring batas kritis 7.6.5 Tindakan korektif 7.7 Pembaruan informasi awal dan dokumen yang khusus mengenai kelayakan dasar dan HACCP plan 7.8 Tindakan verifikasi 7.9 Sistem telusur 7.10 Pengendalian ketidaksesuaian 7.10.1 Koreksi 7.10.2 Tindakan korektif 7.10.3 Penanganan produk yang berpotensi menjadi tidak aman 8. Validasi, verifikasi, dan pengembangan sistem manajemen keamanan pangan 8.1 Umum 8.2 Validasi kombinasi tindakan pengendalian 8.3 Pengendalian atas pengawasan dan tinjauan 8.4 Verifikasi sistem manajemen keamanan pangan Internal audit Evaluasi hasil verifikasi individual Analisis hasil verifikasi 8.5 Pengembangan (ISOa, 2005)
IV. METODOLOGI PENELITIAN A. TEMPAT DAN WAKTU Penelitian dilaksanakan di PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory yang beralamat di Jl. Raya Pasuruan km 9.5, Jawa Timur selama 4 bulan, yaitu tanggal 4 Februari 2007 sampai dengan 5 Juni 2007. kegiatan ini dilakukan pada Departemen Quality Assurance, bagian Higiene Factory. B. METODE Penelitian dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : 1.
Pengamatan sistem manajemen di PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory Sistem Manajemen yang diterapkan di PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory berupa Integrated Management System (IMS) ISO 9001, ISO 14001, dan OHSAS 18001. Pada tahap ini dilakukan pengamatan secara dokumentasi dan penerapan secara langsung di lapangan. Pengamatan secara dokumentasi dilakukan dengan melihat dokumen-dokumen
yang
berhubungan
dengan
penerapan
IMS.
Sedangkan pengamatan secara langsung IMS dengan cara observasi lapangan dan interview. Observasi lapangan dilakukan dengan mengamati secara langsung dan merekam penerapan sistem. Interview dilakukan kepada pihak-pihak tertentu terkait dengan penerapan IMS. Informasi yang diperoleh dari hasil observasi lapangan dan interview berupa informasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan sistem manajemen internal perusahaan dan penerapan IMS, serta mendapatkan gambaran mengenai kesesuaian standar internal yang diterapkan dengan IMS. 2.
Kajian sistem manajemen keamanan pangan yang diterapkan yaitu Food Safety Management System (FSMS) Pada tahap ini dilakukan pengamatan secara dokumentasi dan penerapan
secara
langsung
di
lapangan.
Pengamatan
secara
dokumentasi dilakukan dengan melihat dokumen-dokumen yang
berhubungan dengan penerapan FSMS. Observasi lapangan dilakukan dengan cara mengamati secara langsung dan merekam penerapan sitem serta terlibat langsung dalam kegiatan perusahaan yang berhubungan dengan FSMS. Interview dilakukan lepada pihak-pihak tetentu terkait dengan penerapan FSMS. Informasi yang diperoleh dari hasil observasi dan interview berupa informasi mengenai hal-hal yang berkaitan penerapan FSMS di line produksi, komunikasi internal yang berpengaruh kepada keamanan pangan, serta mendapatkan gambaran mengenai kesesuaian standar yang digunakan dengan keadaan di lapangan. 3.
Penyusunan daftar dokumen yang dibutuhkan dalam penerapan ISO 22000 Membuat daftar dokumen yang dibutuhkan sebagai rujukan dalam penerapan ISO 22000. Daftar dibuat dengan mentabulasi klausul-klausul dimulai dari klausul 4. Klausul 1, 2, 3 terdiri dari ruang lingkup, rujukan normatif serta istilah dan definisi.
4.
Analisis kesenjangan (Gap Analysis) anatara FSMS dengan persyaratan ISO 22000 Analisis
kesenjangan
dilakukan
dengan
membandingkan
pemenuhan FSMS di perusahaan dengan persyaratan standar ISO 22000. Berdasarkan hasil perbandingan dapat diketahui sejauh mana kesiapan perusahaan dalam menerapkan sistem manajemen keamanan pangan ISO 22000, serta hal-hal apa saja yang perlu disiapkan untuk penerapan sistem manajemen keamanan pangan ISO 22000. 5.
Penyusunan rekomendasi untuk pengembangan sistem manajemen keamanan pangan di perusahaan Berdasarkan metode yang telah dilakukan pada tahap sebelumnya, maka diberikan rekomendasi atau saran langkah-langkah yang harus dilakukan oleh perusahaan dalam pengembangan FSMS di perusahaan
agar sesuai dengan persyaratan ISO
22000. Diagram alir metode
penelitian dapat dilihat pada Gambar 2. Pengamatan sistem manajemen PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory berupa Integarated Management system (IMS) ISO 9001, ISO 14001, dan OHSAS 18001
Mengkaji sistem manajemen keamanan pangan berupa Food Safety Management System (FSMS)
Melakukan analisis kesenjangan (Gap Analysis) antara FSMS vs ISO 22000
Memberikan rekomendasi untuk pengembangan sistem manajemen keamanan pangan di perusahaan
Gambar 2. Metode Penelitian
Menyusun dan mentabulasikan dokumendokumen yang dibutuhkan dalam penerapan ISO 22000
V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. INTEGRATED
MANAGEMENT
SYSTEM
DI
PT
NESTLÉ
INDONESIA, KEJAYAN FACTORY Integrated management system (IMS) adalah suatu sistem manajemen yang terdiri dari ISO 14001 ditambah paling tidak satu sistem manajemen lain. Baik kedua (atau lebih) sistem manajemen tersebut harus berjalan bersamaan dengan sistem manajemen lain dan dapat diaudit oleh suatu badan eksternal (Whitelaw, 2004). IMS merupakan gabungan dari tiga sistem manajemen yang diterapkan secara bersamaan, yaitu ISO 9001 (sistem manajemen mutu), ISO 14001 (sistem manajemen lingkungan), dan OHSAS 18001 (sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja). Sistem manajemen tersebut dibuat oleh suatu organisasi independen, yaitu
ISO (International Organization for
Standardization) untuk ISO 9001 & 14001, dan BSI (British Standards Intitution) untuk OHSAS 18001. Ketiga sistem manajemen ini diakui secara internasional dan telah diadopsi, baik oleh institusi pemerintah, swasta, dll. PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory hingga saat ini memiliki sistem manajemen internal mengenai mutu, lingkungan, dan K3. Sistem manajemen internal tersebut adalah Nestlé Quality System (NQS) yang ekuivalen dengan ISO 9001, Nestlé Environmental Management System (NEMS) yang ekuivalen dengan ISO 14001, serta Operational Safety, Health, and Risk Management System (OSHRMS) yang ekuivalen dengan OHSAS 18001. Hingga saat ini NQS adalah panduan mutu bagi Nestlé yang menunjukkan cara pencapaian mutu dari sudut pandang Nestlé. Nestlé selalu menganggap bahwa sukses dibangun dari mutu. Lebih lanjut, mutu adalah keuntungan kompetitif dalam pemuasan kebutuhan konsumen. Mutu tersebut melingkupi perencanaan hingga pelaksanaan yang dilaksanakan oleh semua pihak dengan usaha bersama. NQS juga menggambarkan organisasi dan tanggung jawabnya dalam seluruh jajaran Nestlé, mulai dari pusat, daerah, divisi bisnis hingga pabrik, serta dalam hubungannya dengan pemasok. NQS digunakan untuk semua
produk yang dijual menggunakan nama grup Nestlé. Tidak hanya itu, NQS juga digunakan oleh seluruh partner bisnis yang terlibat dalam produkproduk Nestlé. Nestlé Quality System (NQS) berupa kumpulan panduan mengenai mutu yang berlaku untuk semua perusahaan Nestlé, terdiri dari 36 elemen atau bagian. NQS dibagi menjadi 2 bagian yaitu Food Safety Management System (FSMS) dan Advance level. Ketiga puluh enam elemen NQS dapat dilihat pada Lampiran 3. Meskipun terjadi transfer sistem manajemen, yaitu dari sistem manajemen internal menjadi IMS (NQS, NEMS, dan OSHRMS), namun ketiga sistem manajemen internal Nestlé masih tetap berlaku dan menunjang sistem yang baru. Hal ini dikarenakan sistem manajemen internal Nestlé lebih bersifat spesifik, yaitu sesuai dengan ciri khas operasional Nestlé sebagai perusahaan makanan, dibandingkan dengan IMS yang merupakan sistem manajemen yang lebih bersifat umum dan dapat diterapkan di berbagai jenis perusahaan. Perubahan sistem manajemen dari internal Nestlé menjadi IMS ini disebabkan oleh faktor dari luar dan dari dalam Nestlé sendiri. Faktor dari luar adalah adanya tuntutan konsumen agar sistem manajemen internal Nestlé diubah menjadi sistem manajemen yang berlaku secara internasional, baik terhadap mutu, keselamatan dan kesehatan kerja, serta lingkungan. Faktor utama dari dalam diantaranya adalah adanya beragam sistem yang berjalan bersamaan, berbeda area implementasi dan tanggung jawab, serta konflik implementasi, pengendalian, dan pemeliharaan. Dengan demikian IMS diharapkan dapat menjadi pendekatan yang sinergis, menghemat waktu, usaha, dan biaya, mencegah konflik, pengulangan, dan duplikasi, serta memudahkan pemeliharaan dokumen, sehingga akan terbentuk sistem yang terstruktur dan terkendali. Menurut Whitelaw (2004), alasan pengintegrasian sistem manajemen adalah untuk: 1. Mengurangi biaya dalam bisnis dan memberikan nilai tambah pada proses. Biaya yang dimaksudkan di sini adalah yang berkaitan dengan efisiensi waktu manajemen. Hal ini meliputi waktu oleh auditor (internal
auditor dan auditor dari badan sertifikasi). Pengurangan dalam waktu manajemen
sangat
mempengaruhi
keuntungan
biaya
internal.
Pengurangan waktu manajemen ini dapat dikurangi jika elemen dari sistem manajemen dapat dilaksanakan pada waktu yang sama dengan elemen sistem manajemen yang lain. Alasan lainnya adalah adanya nilai tambah. IMS diharapkan dapat menjamin bahwa aktivitas dan proses-proses operasi suatu manajemen sistem memiliki pengaruh positif dan dapat diukur terhadap keuntungan dan loss account dari suatu bisnis. 2. Mengurangi resiko demi kelangsungan bisnis. Manajemen dari suatu organisasi harus melakukan analisis resiko dengan baik. Berikut ini tiga komponen utama dalam analisis resiko: a.
Mutu: apa saja resiko dari suplai produk dan jasa yang tidak memenuhi persyaratan konsumen dan yang paling penting adalah tidak up to date dengan perubahan (konsep dari perbaikan berkelanjutan). ISO 9001 adalah alat untuk mengurangi resikoresiko ini.
b.
Lingkungan : apa saja resiko akibat tidak memenuhi perundangan, jika organisasi tidak dapat up to date pada praktek-praktek terbaik terhadap manajemen lingkungan, dan resiko akibat aktivitas yang dapat merugikan publik terhadap nama perusahaan. ISO 14001 adalah alat untuk mengurangi resiko-resiko ini.
c.
Kesehatan dan Keselamatan Kerja : apa saja resiko dari aktivitas yang menyebabkan luka yang diakibatkan oleh kelalaian dan praktek-praktek yang out of date. Resiko-resiko ini paling tidak meliputi hilangnya waktu kerja yang mengakibatkan turunnya produktivitas hingga beralih kepada kriminalitas atau berkaitan dengan hukum akibat karyawan yang terluka. OHSAS 18001 adalah alat untuk mengatur resiko-resiko ini.
Dalam menjalankan, memelihara, dan meningkatkan sistem manajemen QSHE, manajemen PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory
juga telah
menunjuk perwakilan manajemen sebagai penanggung jawab utama, yang dalam pelaksanaan kerja sehari-hari harus didukung oleh semua karyawan. Pembahasan kinerja IMS PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory akan dilakukan di dalam meeting tinjauan manajemen (management review) secara rutin, yang dihadiri oleh Factory Manager dan Head of Department tiap departemen. Tinjauan manajemen ini akan dilaksanakan minimal setiap enam bulan sekali. B. FOOD SAFETY MANAGEMENT SYSTEM (FSMS) Food Safety Management System atau FSMS adalah sistem penerapan keamanan pangan yang diimplementasikan di PT Nestlé Indonesia. FSMS terdiri dari bagian-bagian utama atau penting dalam Nestlé Quality System (NQS) yang harus dijalankan oleh perusahaan yang menyandang nama Nestlé. FSMS juga merupakan syarat untuk mencantumkan logo Nestlé dalam setiap produk yang akan dihasilkan. Sedangkan Advance level dilakukan untuk memastikan bahwa produk dibuat secara konsisten sehingga produk akhir yang dihasilkan juga memiliki mutu yang konsisten pula.FSMS terdiri dari sepuluh elemen yaitu Nestlé Good Manufacturing Practice (NGMP), Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP), Quality Monitoring
Scheme
(QMS),
Kalibrasi
Peralatan,
Sistem
Release,
Penelusuran, Identifikasi, dan Pengkodean, Penarikan produk, Pemantauan bakteri Patogen, Komitmen Manajemen, dan Ketaatan terhadap Peraturan. Berikut adalah penjelasan FSMS secara berurutan. 1.
Nestlé Good Manufacturing Practice (NGMP) Good Manufacturing Practice (GMP) adalah kumpulan peraturan, prosedur, dan praktek-praktek yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam industri makanan agar makanan yang diproduksi aman dan bermutu secara berkesinambungan. GMP merupakan kewajiban semua fungsi pada Total Supply Chain. PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory menerapkan GMP yang bernama Nestlé Good Manufacturing Practice (NGMP). NGMP pertama kali diterapkan pada tahun 1996 dengan
maksud untuk lebih menekankan nilai penting GMP tersebut. NGMP bukan hanya untuk melengkapi GMP tetapi juga mencakup ketentuan tambahan Nestlé, seperti konsep zoning, hygienic engineering, dan ketentuan hygiene berdasarkan jenis produk. Nestlé Good Manufacturing Practice (NGMP) dapat didefinisikan sebagai cara memproduksi makanan yang aman melalui proses operasional yang terkontrol dengan baik sehingga dapat menghindari segala macam bentuk kontaminasi. NGMP menggabungkan semua paraturan, prosedur, praktek, aktifitas yang dilakukan, memastikan bahwa tujuan mutu pangan dan keamanan pangan serta personal dipenuhi secara konsisten. NGMP bersifat mandatory (keharusan), non confidentiality (bisa didiskusikan dengan klien, supplier, dan perusahaan yang mempunyai hubungan kerja sama dengan Nestlé). Empat belas elemen NGMP adalah lingkungan pabrik, lingkungan proses, bangunan, penerimaan material, peralatan proses, industrial services, proses, cleaning,
maintenance,
limbah,
penyimpanan/transpor/distribusi,
penjualan, personal/ karyawan, dan pencegahan hama. 2.
Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) Sistem HACCP adalah suatu sistem yang mengidentifikasikan bahaya spesifik yang mungkin timbul dalam mata rantai produksi makanan dan tindakan pencegahan untuk mengendalikan bahaya tersebut dengan tujuan untuk menjamin keamanan pangan. HACCP merupakan alat yang paling efektif untuk mencegah terjadinya penyakit atau luka akibat mengkonsumsi produk. Pihak manajemen Nestlé sangat berkomitmen untuk menggunakan prinsip-prinsip HACCP Codex Alimentarius. Implementasi Nestlé GMP (NGMP) merupakan prasyarat yang sangat penting di dalam HACCP. HACCP juga merupakan pertimbangan utama dalam rantai suplai produk pangan, dimulai dari desain produk dan sumber bahan baku, termasuk aplikasi proses pada supplier, proses produksi, dan distribusi hingga persiapan dan konsumsi oleh konsumen akhir. Hal ini
diistilahkan dengan “From Farm To Table”. Tanggung jawab manajemen adalah untuk menjamin bahwa tiap-tiap pabrik yang beroperasi benar-benar menjalankan HACCP. Sistem HACCP harus diterapkan oleh seluruh unit Nestlé di seluruh dunia. Dalam penerapannya, PT. Nestlé yang berkedudukan di Swiss telah menyusun panduan untuk menerapkan atau melakukan studi HACCP. Dengan demikian penerapan HACCP dilakukan seragam sesuai dengan standar Nestlé. Hal ini akan sangat berguna untuk mengembangkan sistem HACCP. Studi terhadap HACCP bertujuan mengevaluasi kemungkinan bahaya keamanan pangan, menghilangkan bahaya tersebut jika memungkinkan atau untuk menemukan cara dalam mengendalikan bahaya sampai pada tingkat yang aman. Studi tersebut merupakan cara untuk menemukan tahap kritis dalam rantai produksi dan distribusi yang harus dikendalikan untuk menjamin produk yang dihasilkan aman untuk dikonsumsi. Perusahaan telah memiliki dokumen rencana HACCP yang selalu diperbaiki dan dikembangkan sesuai tren keamanan pangan yang ada. Rencana HACCP dibagi per area. Bahaya dibagi menjadi lima jenis bahaya kimia, fisik, biologi, alergi, dan nutrisi. Kontaminasi Salmonella yang berasal dari lingkungan area produksi merupakan contoh bahaya biologi. Bahaya fisik ditimbulkan dari serpihan logam dari goresan tempat penyimpanan susu bubuk (tote bin) sebelum dikemas. Bahaya kimia dapat ditimbulkan dari antibiotika yang berasal dari susu segar, oleh karena itu uji antibiotik pada susu segar harus bersifat negatif. Protein kedelai merupakan bahaya dari alergi, sehingga pencantuman pada label harus jelas. Sedangkan terlalu rendahnya kandungan dari zat besi (Fe) merupakan bahaya nutrisi. Penerapan HACCP di line produksi telah terealisasi dengan baik. Hal ini terlihat dengan adanya CCPs summary sheet pada line produksi, sehingga dapat diketahui oleh operator yang bekerja pada line tersebut. CCPs summary sheet juga merupakan implementasi dari tindakan
pencegahan bahaya yang ada sebagai suatu perwujudan realisasi produk yang aman bagi konsumen. 3.
Quality Monitoring Scheme (QMS) Suatu prosedur yang disusun untuk menjaga mutu dan keamanan produk. QMS bertujuan untuk melakukan pengecekan yang harus dilakukan di area kerja masing-masing. QMS merupakan kelayakan dasar opersional sebelum memulai proses pada setiap line produksi. QMS diletakan di area produksi sebagai panduan atau petunjuk bagi operator produksi. QMS berbentuk seperti CCPs summary sheet, namun QMS berisi tidak hanya CCPs tetapi seluruh parameter proses yang akan mempengaruhi terhadap keamanan pangan maupun mutu dari produk. QMS berisi kapan harus dilakukannya pengecekan atau frekuensi pengecekan, apa yang harus dicek, oleh siapa harus dicek, bagaimana cara mengeceknya, berapa standarnya, report harus dicatat dimana, dan apa tindakan yang harus dilakukan apabila terjadi penyimpangan.
4.
Kalibrasi Peralatan Kalibrasi peralatan digunakan untuk mengontrol CCP, paramer release, dan sebagai aktifitas pemantauan sebagai jaminan bagi keamanan pangan dalam pemenuhan peraturan yang berlaku. Seluruh alat-alat dikalibarasi secara efektif dan rutin. Seorang instrument yang mengkalibrasi peralatan telah mendapatkan pelatihan dan kompetensi dengan baik sebelum mengkalibrasi alat tersebut. Setiap peralatan yang telah dikalibrasi harus diperiksa terlebih dahulu oleh orang yang lebih ahli. Pencatatan (record) pengkalibrasian alat disimpan dengan baik agar peralatan tetap terjaga.
5.
Sistem Release Release merupakan suatu otorisasi formal untuk menggunakan lot atau batch tertentu pada tahap produksi atau pada rantai supply chain berikutnya. Release dibagi dua macam yaitu release aktif dan release
pasif. Release aktif adalah keputusan release yang terdokumentasi diambil hanya setelah dilakukan evaluasi hasil tes dan parameter proses yang terkait. Release pasif dapat dilakukan dengan melanjutkan produksi ke tahap berikutnya tanpa formalitas khusus, kecuali ada campur tangan seseorang (blocking by exception). Ada tiga macam status produk yaitu, awaiting, released, dan blocked. Status produk awaiting menunjukkan produk masih menunggu hasil analisis dari laboratorium. Status produk released menunjukkan produk telah lolos pemeriksaan laboratorium. Produk berstatus released dapat dikeluarkan dari gudang penyimpanan dan didistribusikan. Produk berstatus blocked artinya produk tidak memenuhi standar dan tidak dapat didistribusikan ke konsumen. Produk berstatus blocked dijadikan sebagai makanan ternak. Stiker atau label release ditempelkan pada setiap pallet produk. Stiker atau label berisi identifikasi lot, tanggal produksi, tanggal kadaluarsa, kuantitas, dan status lot. Manajer pabrik bertanggung jawab secara keseluruhan terhadap produk pada level pabrik dan dapat mendelegasikan kepada manajer QA atau kepala laboratorium. Manajer QA dapat bertanggung jawab secara keseluruhan terhadap produk yang dihasilkan dari dalam pabrik. 6.
Penelusuran, Identifikasi, dan Pengkodean Sistem telusur atau traceability adalah tindakan pencegahan untuk memungkinkan dilakukannya prosedur withdrawal atau recall secara efisien apabila dibutuhkan karena menyangkut masalah keamanan pangan atau alasan lainnya. Ada dua arah pembagian traceability, yaitu upstream traceability dan downstream traceability. Arah upstream traceability menunjukkan sistem telusur yang dimulai dari produksi bahan baku sampai bahan baku tersebut sampai ke Pabrik (ke hulu atau ke belakang). Downstream traceability menunjukkan sistem telusur yang dimulai pada saat produk lepas dari pabrik menuju rantai distribusi atau sampai produk dibeli oleh konsumen.
Kode lot merupakan kode produksi yang berisi informasi penting tentang seluruh proses produksi dan pengemasan. Kode lot produksi terdiri dari kumpulan angka dan huruf yang menunjukkan tahun, hari produksi, pabrik, mesin, dan batch. Angka pertama dan kedua menunjukkan tahun produki. Angka ketiga, keempat, dan kelima menunjukkan tanggal produksi berdasarkan format tanggal Julian, yaitu menggunakan hari produksi hitungan satu hingga tiga ratus enam puluh lima dalam satu tahun. Angka
keenam, ketujuh, dan kedelapan
menunjukkan kode pabrik yang memproduksi. Kode mesin ditunjukkan dengan menggunakan huruf. Angka kesepuluh menunjukkan batch, yaitu batch 1, 2, dan 3. Rancangan kode lot ini dirancang untuk menghindari adanya duplikasi kode pada masing-masing produk sehingga memudahkan traceability jika ada kasus tertentu. Sehingga pada kasus-kasus tertentu dapat ditentukan kode lot mana saja yang akan di blocked. 7.
Penarikan Produk Penarikan produk dari pasaran dapat terjadi apabila produk tidak memenuhi standar mutu dan keamanan. Agar penarikan produk dapat terlaksana dengan baik maka diperlukan pencatatan lot dan jumlah material yang digunakan. Penarikan dapat terjadi apabila suatu produk melanggar peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah dan mengandung bahan yang berbahaya bagi konsumen.
8.
Pemantauan Bakteri Patogen Pemantauan bakteri patogen atau pathogen monitoring dibagi menjadi tiga area, yaitu line produksi, lingkungan, dan produk akhir. Analisis bakteri
yang digunakan sebagai dasar pemantauan adalah
Salmonella (S) dan Enterobacter (EB). Metode analisis menggunakan analisis kuantitatif. Setiap hasil analisis pemantauan bakteri patogen ditulis pada papan
pathogen monitoring yang teletak di gang way
menuju area produksi dan dibahas setiap hari pada DOR (Daily Operation Review). Sampel berupa base powder diambil saat line produksi sedang berlangsung dan setiap batch produksi. Sampel yang diambil pada lingkungan (environment sample) berupa swab di area produksi kering. Sampel lingkungan diambil setiap satu minggu per area. Apabila diperoleh hasil Salmonella dan Enterobacter positif, maka area langsung disanitasi dan ditelusuri asal pencemaran bakteri tersebut. Hasil analisis sampel lingkungan ditulis di papan pathogen monitoring per area produksi. Seluruh hasil analisis dari line sampel dan lingkungan sampel dibuat tren dalam bentuk grafik setiap bulannya. Dengan demikian kecenderungan pemantauan terhadap bakteri patogen dapat diketahui sebagai langkah perbaikan. 9.
Komitmen Manajemen Komitmen manajemen ditunjukkan dengan mengkomunikasikan pentingnya persyaratan keamanan pangan dalam suatu organisasi dengan memberikan training hygiene dan safety bagi setiap personel yang akan bekerja di dalam factory. Selain itu penandatanganan komitmen manajemen dalam HACCP workshop dan refesh training bagi tim keamanan pangan menunjukkan pihak manajemen mendukung SMKP yang diterapkan perusahaan. Selain itu dilakukan tinjauan manajemen berupa audit internal dilakukan setiap dua minggu sekali (biweekly factory tour) dengan mempertimbangkan aspek hygiene, safety, cost, dan quality. Hasil audit ini dapat menjadi pertimbangan pengembangan dan perbaikan aspek keamanan pangan.
10. Ketaatan terhadap Peraturan Produk & layanan Nestlé tidak pernah berkompromi untuk keamanan pangan dan selalu patuh terhadap hukum dan regulasi yang berlaku pada market di mana Nestlé berada. Hal ini ditunjukkan dengan penerapan syarat halal bagi setiap produk yang dihasilkan dan
pencantuman label informasi pada setiap produk yang benar, jelas, dan lengkap. C. SISTEM DOKUMENTASI Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dokumentasi didefinisikan sebagai proses pengumpulan, pemilihan, pengolahan, dan penyimpanan informasi dalam bidang ilmu pengetahuan. Berkaitan dengan sistem manajemen maka dokumentasi ini dijabarkan sebagai proses pengumpulan, pemilihan, pengolahan, penyimpanan, dan pengendalian distribusi informasi, sampai pada pemutakhiran data informasi tersebut. PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory mempunyai kebijakan untuk mendokumentasikan sistem yang telah dijalankan dengan tujuan : 1. Untuk memastikan seluruh dokumen (internal atau eksternal) yang digunakan di PT. Nestlé Indonesia - Panjang Factory dalam keadaan terkendali. 2. Sebagai prasarana untuk pelatihan karyawan. 3. Sebagai pembuktian penerapan sistem. 4. Sebagai sumber informasi yang dapat digunakan pada saat akan melakukan perbaikan atau peningkatan proses maupun produk. Secara umum sistem dokumentasi dalam format ISO dibagi menjadi tiga bagian, yaitu level 1, 2, dan 3. Level 1 disebut dengan manual mutu berupa dokumen yang sederhana, jelas, tepat, praktis, dan dibuat sesuai dengan elemen-elemen ISO yang diaplikasikan pada perusahaan. Level 2 berisi prosedur dan instruksi kerja. Prosedur menjabarkan proses atau aktifitas utama dalam pabrik dengan ruang lingkup antar departemen sedangkan instruksi kerja merupakan dokumen praktis atau operasional di tiap-tiap line dan mesin dengan ruang lingkup pada departem tertentu. Form dan dokumen pendukung termasuk ke dalam level 3. Keseluruhan sistem dokumentasi dapat tergambar dari catatan-catatan (record) yang menjadi bukti bahwa sistem telah dilaksanakan dengan baik. PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory pada saat ini menuju sertifikasi Integrated Management System (IMS), yang merupakan gabungan dari tiga
sistem yang diterapkan secara bersamaan. Sehingga prosedur-prosedur dan instruksi kerja yang berkaitan dengan SMKP telah terintegrasi pada sistem ini. Dokumentasi yang telah terintegrasi ini menambahkan satu tingkatan dokumen, terdiri dari level 1, 2, 3, dan 4. Perbedaannya terletak pada level 3 dan level 4. Instruksi kerja turun menjadi level 3 dan supporting dokumen menjadi level 4.
Level I (Manual)
Level II Prosedur& Instruksi kerja Level III Form & Dokumen Pendukung
Gambar 3. Struktur dokumentasi dalam format ISO
Kebijakan dan Manual Prosedur Instruksi Kerja/WI Level IV
Form, Standar, Job Description, QMS, dsb
Gambar 4. Struktur dokumentasi PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory 1. Kebijakan dan Manual Kebijakan dan manual merupakan dokumen level satu. Sesuai dengan persyartan ISO 22000, kebijakan yang harus dimiliki adalah kebijakan keamanan pangan. Kebijakan keamanan pangan merupakan maksud dan arahan secara menyeluruh sebuah organisasi tentang
keamanan produk yang dihasilkan yang dinyatakan secara resmi oleh manajemen puncak. PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory belum memiliki kebijakan keamanan pangan tersendiri tetapi telah menerapkan kebijakan mutu yang mencakup kepada keamanan pangan. Kebijakan mutu ini termasuk kebijakan mutu yang baru disyahkan Januari 2007, dan disosialisasikan ke dalam factory mulai bulan Mei 2007. Kebijakan PT Nestlé Indonesia dapat dilihat pada Lampiran 4. Kebijakan disahkan oleh President Director Nestlé Indonesia. Kebijakan yang dibuat harus sesuai dengan sifat dan tujuan organisasi serta sesuai dengan sifat, skala, dan dampak dari aktifitas dan produknya terhadap lingkungan. Bentuk
komitmen
manajemen
yang
baik
adalah
dengan
mengkomunikasikan kebijakan mutu tersebut kepada seluruh level manajemen. Kebijakan mutu dikomunikasikan kepada seluruh karyawan dengan pemasangan papan kebijakan mutu dan melalui jaringan intranet. Manual adalah penjelasan dari kebijakan, yaitu pedoman yang menjelaskan mengenai penerapan suatu sistem di lingkungan pabrik. Manual
berisi
administrasi,
status
revisi
dan
penjelasan
revisi,
pengendalian dokumen, prosedur permintaan, profil perusahaan, riwayat singkat, produk/jasa yang dihasilkan, dan struktur organisasi. Manual yang telah dibuat merupakan manual dari IMS. Saat akan menerapkan ISO 22000 ada kemungkinan manual akan disatukan atau dibuat terpisah. 2. Prosedur Prosedur merupakan dokumen level dua yang berlaku umum dan mengatur suatu aktivitas yang melibatkan lebih dari satu departemen. Prosedur menjabarkan proses-proses/aktivitas-aktivitas utama yang ada di pabrik Panjang dengan ruang lingkup antar departemen. Prosedur yang dibuat harus memuat prosedur operasional secara rinci yang mendukung pernyataan kebijakan dan ringkasan prosedur yang termuat dalam manual. Dokumen ini bersifat rahasia khusus internal Nestlé dan salinan dokumennya hanya dibagikan kepada HOD (Head Of Departement) dan
pihak-pihak yang terkait prosedur tersebut. Format prosedur berupa narasi, diagram alir, dan semi diagram alir. Format prosedur PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory dapat dilihat pada Tabel 5. Contoh prosedur yang belum terisi dapat dilihat pada Lampiran 6. Tabel 5. Format Pengisian Prosedur PT Nestlé Indonesia, KejayanFactory ISI
FUNGSI Menginformasikan tema aktivitas yang dilakukan. Terdiri
Title
dari klasifikasi dokumen, nomor dokumen, tanggal pengeluaran dan efektif dari dokumen. Terdapat pula kolom tanda tangan yang terdiri dari issued by, checked by, dan approved by. Applicable to
Menginformasikan departemen yang terkait dalam penerapan prosedur.
Aim
Menjelaskan mengenai tujuan dari penerapan prosedur.
Scope
Memberikan informasi mengenai tugas dan tanggung jawab bagi pihak yang terkait terhadap pelaksanaan prosedur.
Reference
Menginformasikan referensi yang digunakan dalam penerapan prosedur.
Content
Terdiri dari definisi/istilah yang digunakan dalam prosedur, rincian/langkah-langkah dalam pelaksanaan prosedur, dan catatan yang berhubungan dengan pelaksanaan prosedur.
Related documents
Menginformasikan mengenai dokumen-dokumen yang berkaitan dengan prosedur, dapat berupa working instruction, standar, SAP, dll.
3.
Instruksi Kerja/Working instruction (WI) Instruksi kerja merupakan dokumen level tiga yang berupa penjelasan rinci dari pelaksanaan suatu aktivitas dalam prosedur yang pada umumnya dilakukan oleh satu jabatan atau posisi dengan mempertimabangkan kecakapan personel dan pengaruh aktivitas terhadap
mutu. Format yang digunakan berupa narasi dan gambar/foto/video. Contoh instruksi kerja yang belum terisi dapat dilihat pada Lampiran 7. Tabel 6. Perbandingan Prosedur dengan Instruksi Kerja Prosedur Instruksi Kerja Memberikan gambaran umum suatu
Secara rinci menjelaskan tugas yang
proses.
harus dikerjakan.
Biasanya membutuhkan dokumen penunjang dalam pelaksanaannya.
Biasanya dapat berdiri sendiri.
Digunakan oleh banyak personel dari
Digunakan oleh satu posisi di bagian
berbagai bagian / posisi.
tertentu.
4. Records / Catatan Catatan adalah dokumen pendukung berjenis khusus, di PT PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory disebut sebagai dokumen level 4. Pada pelaksanaannya, dokumen level 4 ini tidak hanya terdiri dari catatan (form dan checklist), tetapi juga terdiri dari standar, Quality Monitoring Scheme (QMS), EA/HIRA, job description, dll. Catatan merupakan
bukti
implementasi sistem yang sesuai dengan persyaratan standar dan juga merupakan bentuk komunikasi antar departemen. Contoh form dapat dilihat pada Lampiran 8. Dokumen-dokumen tersebut terdiri dari soft copy dan hard copy. Dokumen soft copy terdapat di dalam master list intranet yang hanya dapat diakses oleh user tertentu saja. Dokumen yang berbentuk hard copy akan diberi nomor sesuai dengan master list lalu distempel sesuai dengan status dokumen. Dokumen yang digunakan akan diberi stempel “dokumen terkendali” lalu pada stempel tersebut dituliskan nomor salinan dokumen. Dokumen lama yang tidak digunakan lagi akan diberi stempel “obsolete”. Document controller membuat daftar penarikan dokumen lama dan penyerahan dokumen baru sesuai dengan dokumen yang diterima dan yang diberikan, lalu ditandatangani sebagai tanda terima. Seluruh dokumen asli
baik dokumen lama maupun yang baru kemudian disimpan oleh document controller. Document controller akan menyimpan dan memelihara catatan yang ada di PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory dengan cara: 1.
Menyimpannya pada tempat tertentu yang dapat menghindari catatan hilang atau rusak.
2.
Menyimpan catatan sesuai masa penyimpanannya. Lama penyimpanan catatan ditulis pada master list catatan pada masing-masing departemen.
D. PENYUSUNAN DAFTAR DOKUMEN Penyusunan daftar dokumen yang dibutuhkan dalam penerapan ISO 22000 dimulai dari klausul 4. Klausul 1 terdiri dari penjelasan secara umum, klausul 2 terdiri dari ruang lingkup, dan klausul 3 terdiri dari acuan normatif. Tabulasi kriteria klausul dalam ISO 22000 dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Kriteria klausul dalam ISO 22000 ISO 22000 : 2005 KLAUSUL 4
DESKRIPSI
KRITERIA Sistem manajemen keamanan pangan (SMKP)
4.1
Persyaratan umum
Perusahaan harus menetapkan, mendokumentasikan, dan memelihara sebuah SMKP yang efektif dan memperbaharuinya jika diperlukan sesuai dengan persyaratan-persyaratan dalam standar internasional ini. Perusahaan harus mendefinisikan cakupan dari sistem manajemen keamanan pangan , meliputi produk atau kelompok produk, proses, dan lokasi pabrik
4.2
Persyaratan Dokumentasi
Tabel 7. (lanjutan). Kriteria klausul dalam ISO 22000 ISO 22000 : 2005 KLAUSUL 4.2.1
DESKRIPSI
KRITERIA Persyaratan umum
Dokumentasi SMKP harus mencakup pernyataan terdokumentasi kebijakan keamanan pangan dan sasarannya, prosedur terdokumentasi dan catatatan pelaksanaannya yang dipersyaratkan oleh standar ini dan dokumen-dokumen lain yang diperlukan untuk menjamin efektifitasnya
4.2.2
Pengendalian
Dokumen SMKP harus dikontrol dan
dokumen
dicatat sesuai dengan type masing-masing dokumen dan harus disetujui
4.2.3
Pengendalian rekaman
Catatan pelaksanaan SMKP pelu dipelihara untuk membeikan bukti kesesuaian terhadap efektifitasnya
5
Tanggung jawab manajemen
5.1
Komitmen manajemen
Manajemen puncak harus memberikan bukti manajemenya untuk mengembangkan dan menerapkan SMKP dan meningkatkan efektifitasnya secara berkelanjutan
5.2
Kebijakan keamanan
Manajemen harus mendefinisikan,
pangan
mendokumentasikan, dan mengkomunikasikan kebijakan keamanan pangan perusahaan
5.3
Perencanaan sistem
Manajemen harus menjamin bahwa
manajemen keamanan
perencanaan SMKP dilakukan sesuai
pangan
persyaratan standar, integritasnya dipertahankan ketika dilakukan perubahan
Tabel 7. (lanjutan). Kriteria klausul dalam ISO 22000 ISO 22000 : 2005 KLAUSUL 5.4
DESKRIPSI
KRITERIA Tanggung jawab dan
Manajemen harus menjamin bahwa
wewenang
tanggung jawab dan wewenang didefinisikan dan dikomunikasikan dalam organisasi
5.5
Pemimpin tim
Manajemen harus menunjuk seorang
keamanan pangan
pemimpin tim keamanan pangan
5.6
Komunikasi
5.6.1
Komunikasi eksternal
Perusahaan harus menetapkan dan memelihara cara-cara yang efektif untuk komunikasi dengan para supplier, customer, regulasi dan organisasi lain yang terkait
5.6.2
Komunikasi Internal
Perusahaan harus menetapkan dan memelihara cara-cara yang efektif untuk mengkomunikasikan hal-hal yang terkait dengan keamanan pangan ke seluruh organisasi
5.7
Persiapan dan respon
prosedur untuk mengelola situasi darurat
darurat
yang potensial dan kejadian-kejadian yang bisa berdampak pada keamanan pangan dan yang relevan terhadap peran perusahaan dalam rantai pangan
5.8
Tinjauan manajemen
5.8.1
Umum
Manajemen puncak harus mereview SMKP perusahaan pada interval tertentu untuk menjamin kesesuaian, kecukupan, dan efektifitasnya. Kajian harus mencakup kajian peluang untuk perbaikan dan perlunya perubahan terhadap SMKP
Tabel 7. (lanjutan). Kriteria klausul dalam ISO 22000 ISO 22000 : 2005 KLAUSUL 5.8.2
DESKRIPSI
KRITERIA Tinjauan Input
Input dari tinjauan manajemen harus mencakup tindak lanjut tinjauan manajemen sebelumnya, analisis hasil aktifitas verifikasi, perubahan lingkungan yang dapat mempengaruhi keamanan pangan, situasi darurat, kejadian-kejadian dan penarikan produk, tinjauan hasil aktifitas pembaharuan sistem, tinjauan aktifitas komunikasi termasuk umpan balik pelanggan dan audit eksternal
5.8.2
Tinjauan Output
Output dari tinjauan manajemen harus mencakup keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan terkait dengan jaminan keamanan pangan, perbaikan dari SMKP, sumber daya yang diperlukan dan perubahan kebijakan dan sasaran keamanan pangan perusahaan
6
Manajemen sumber daya
6.1
Ketersediaan sumber
Perusahaan harus menyediakan sumber
daya
daya yang cukup untuk pabrik, penerapan, pemeliharaan, dan pembaharuan SMKP
6.2
Sumber daya manusia
Tim keamanan pangan dan personel lain yang melakukan aktifitas yang berpengaruh terhadap keamanan pangan harus kompeten dan memiliki pendidikan, pelatihan, keahlian, dan pengalaman yang sesuai
Tabel 7. (lanjutan). Kriteria klausul dalam ISO 22000 ISO 22000 : 2005 KLAUSUL 6.2.2
KRITERIA
DESKRIPSI
Kompetensi,
Perusahaan harus mengidentifikasi
kepedulian dan
kompetensi yang diperlukan untuk setiap
pelatihan
personel yang aktifitasnya memiliki pengaruh terhadap keamanan pangan, memberikan pelatihan, dan menjamin bahwa mereka peduli terhadap relevansi dan pentingnya aktifitas mereka terhadap keamanan pangan
6.3
Infrastuktur
Perusahaan harus menyediakan sumber daya yang cukup untuk pabrik dan memelihara infrastuktur yang diperlukan untuk menerapkan persyaratan standar internasional ini
6.4
Lingkungan kerja
Perusahaan harus menyediakan sumber daya untuk pabrik, manajemen, dan memelihara lingkungan kerja yang diperlukan untuk menerapkan persyaratan standar internasional ini
7
Perencanaan dan realisasi produk yang aman
7.1
Umum
Perusahaan harus merencanakan dan mengembangkan proses-proses yang diperlukan untuk realisasi produk yang aman. Perusahaan harus mengoperasikan dan menjamin efektifitas dari aktifitas yang direncanakan dan setiap perubahaan aktifitas tersebut. Hal ini termasuk PRP, OPRP, dan HACCP plan
Tabel 7. (lanjutan). Kriteria klausul dalam ISO 22000 ISO 22000 : 2005 KLAUSUL 7.2
KRITERIA
DESKRIPSI
Prerequisite programme (PRP)
7.2.1
Perusahaan harus menetapkan, menerapkan, dan memelihara PRP
7.2.2
PRP harus sesuai dengan kebutuhan, ukuran, dan tipe operasi, produk perusahaan dan diterapkannya diseluruh sistem produksi, baik yang diterapkan secra umum maupun khusus untuk operasi tertentu
7.2.3
Pada saat memilih dan/atau menerapkan PRP, perusahaan harus mempertimbangkan dan menggunakan informasi yang sesuai, seperti persyaratan peraturan, Codex
7.3
Langkah awal untuk melakukan analisis bahaya
7.3.1
Umum
Seluruh informasi yang relevan diperlukan untuk melakukan analisis bahaya harus dikumpulkan, dipelihara, diperbaharui, dan didokumentasikan
7.3.2
Tim keamanan
Tim keamanan pangan harus ditetapkan.
pangan
Tim ini harus multidisiplin ilmu pengetahuan dan pengalaman
7.3.3
Karakteristik produk
7.3.3.1
Bahan baku,
Seluruh bahan baku, ingridien, material
ingridien, dan
yang kontak dengan produk harus
material yang kontak
dideskripsikan dalam dokumentasi untuk
dengan produk
pelaksanaan analisis bahaya
Karakteristik produk
Karakteristik produk akhir harus
akhir
dideskripsikan dalam dokumentasi untuk
7.3.3.2
pelaksanaan analisis bahaya
Tabel 7. (lanjutan). Kriteria klausul dalam ISO 22000 ISO 22000 : 2005 KLAUSUL 7.3.4
DESKRIPSI
KRITERIA Tujuan penggunaan
Pengguna yang dituju, penanganan produk akhir yang diharapkan dan kemungkinan kesalahan penanganan dan penggunaan dari produk akhir harus dipertimbangkan dan dideskripsikan dalam dokumentasi untuk pelaksanaan analisis bahaya
7.3.5
Diagram alir proses pengolahan dan tindakan pengendalian
7.3.5.1
Diagram alir
Diagram alir harus disiapkan untuk kelompok produk atau proses yang dicakup dalam SMKP. Diagram alir memberikan dasar untuk evaluasi kemungkinan kejadian, peningkatan atau masuknya bahaya keamanan pangan
7.3.5.2
Deskripsi tahapan
Tindakan pengendalian yang ada, parameter
proses dan tindakan
proses yang diterapkan, atau prosedur yang
pengendalian
mungkin mempengaruhi keamanan pangan harus dideskripsikan untuk melakukan analisis bahaya
7.4
Analisis bahaya
7.4.1
Umum
Tim Keamanan pangan harus melakukan analisis bahaya yang perlu dikendalikan, tingkat pengendalian yang diperlukan untuk menjamin keamanan pangan, kombinasi tindakan pengendalian yang diperlukan
Tabel 7. (lanjutan). Kriteria klausul dalam ISO 22000 ISO 22000 : 2005 KLAUSUL 7.4.2
DESKRIPSI
KRITERIA Identifikasi bahaya
Semua bahaya keamanan pangan yang
dan penentuan tigkat
dimungkinkan terjadi pada produk, proses,
yang dapat diterima
dan fasilitasnya harus diidentifikasi dan dicatat
7.4.3
Penilaian bahaya
Penilaian bahaya harus dilakukan untuk menentukan setiap bahaya yang diidentifikasi, apakah penghilangan atau pengurangan pada tingkat yang dapat diterima adalah penting untuk produksi pangan yang aman, dan apakah pengendalian diperlukan untuk memenuhi tingkat yang dapat diterima
7.6
Penyusunan HACCP plan
7.6.1
Dokumen HACCP
Dokumen HACCP harus didokumentasikan
7.6.2
Identifikasi titik
Untuk setiap bahaya yang dikendalikan oleh
kendali kritis atau
HACCP plan, CCP harus diidentifikasi
CCP
untuk langkah pengendalian yang telah diidentifikasi
7.6.3
Penentuan batas kritis
Batas kritis harus ditentukan untuk setiap
untuk masing-masing
CCP
CCP 7.6.4
Sistem pengawasan
Sebuah sistem pengawasan harus ditetapkan
CCP
untuk setiap CCP untuk menunjukkan bahwa CCP dalam kendali
7.6.5
Tindakan yang
Tindakan perbaikan produk dan sistem yang
dilakukan jika terjadi
harus diambil jika batas kritis terlewati
penyimpangan batas
harus ditentukan dalam HACCP plan
kritis
Tabel 7 (lanjutan). Kriteria klausul dalam ISO 22000 ISO 22000 : 2005 KLAUSUL 7.7
DESKRIPSI
KRITERIA Pembaruan informasi
OPRP dan HACCP harus diperbaharui
awal dan dokumen khusus kelayakan dasar dan HACCP 7.8
Perencanaan
Rencana verifikasi harus mendefinisikan
Verifikasi
tujuan, metode, frekuensi, dan tanggung jawab untuk aktifitas verifkasi
7.9
Sistem traceability
Perusahaan harus menetapkan dan menerapkan sistem traceability yang memungkinkan identifikasi produk hingga ke catatan bahan baku, proses dan pengiriman
7.10.2
Tindakan korektif
Data yang diperoleh dari pemantauan CCP dan OPRP harus dieveluasi oleh orang yang berwenang untuk melakukan tindakan perbaikan sistem
8
Validasi, verifikasi dan pengembangan system mananjemen keamanan pangan
8.1
Umum
Tim keamanan pangan harus merencanakan dan menetapkan prosedur yang diperlukan untuk memvalidasi tindakan pengendalian atau kombinasi tindakan pengendalian serta memverifikasi dan memperbaiki SMKP
8.2
Validasi kombinasi
Sebelum penerapan tindakan pengendalian
tindakan
untuk dimasukkan dalam OPRP dan
pengendalian
HACCP plan,setiap dilkukan perubahan harus dilakukan validasi
Tabel 7 (lanjutan). Kriteria klausul dalam ISO 22000 ISO 22000 : 2005 KLAUSUL 8.3
DESKRIPSI
KRITERIA Pengendalian,
Perusahaan harus memberikan bukti bahwa
pengawasan dan
pemantauan dan metode pengkuran serta
pengukuran
peralatan memadai untuk menjamin kinerja dari prosedur pemantauan dan pengukuran
8.4
Verifikasi system manajemen keamanan pangan
8.4.1
Audit internal
Perusahaan harus melakukan audit internal pada interval yang telah direncanakan untuk menentukan kesesuaian pelaksanaan dan keefektifannya
8.4.2
Evaluasi hasil
Tim keamanan pangan harus secara
verifikasi internal
sistematis mengevaluasi hasil individual dari verifikasi yang direncanakan
8.5.2
Pembaruan sistem
Manajemen puncak harus menjamin bahwa
manajemen
SMKP diperbaharui secara berkelanjutan
keamanan pangan
E. ANALISIS KESENJANGAN ANTARA KONDISI PERUSAHAAN DENGAN PERSYARATAN ISO 22000 PT
Nestlé
Indonesia,
Kejayan
Factory
berencana
mengimplementasikan penerapan ISO 22000. Saat ini penerapan SMKP pada PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory disebut dengan Food Safety Management system (FSMS). Persyaratan pada FSMS dibuat berdasarkan pendekatan
standar
internasional
ISO
22000
yang
secara
umum
mengutamakan sistem keamanan pangan, ketaatan terhadap peraturan dan komitmen dari manajemen. Hasil observasi menunjukkan bahwa standar ISO 22000
telah
diakomodasi oleh PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory. Hal ini telihat dari pemenuhan 48 kriteria dari 60 kriteria yang ada. Pemenuhan kriteria FSMS
yang diterapkan di PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory dengan klausul ISO 22000 dapat terlihat pada Tabel 8. 1.
Klausul 4 (Sistem Manajemen Keamanan Pangan) Klausul empat yaitu SMKP terpenuhi dengan diterapkannya FSMS pada factory. FSMS mencakup sepuluh elemen yaitu penerapan NGMP, HACCP, QMS, Instrument Calibation, Release System, Tracebility Lot Identification &Coding, Product Recall , Pathogen Monitoring, Management Commitment dan Regulatory Compliance. Prosedur-prosedur SMKP sudah dijalankan dan didokumentasikan dengan baik. Hal ini terlihat bahwa prosedur-prosedur yang menyangkut SMKP telah lengkap. Dokumentasi bukan merupakan syarat utama dalam penerapan ISO tetapi lebih mengedepankan bagaimana sistem ini dijalankan di dalam factory, sehingga dapat dibuktikan dengan rekaman aktifitas yang telah dilakukan. ISO 22000 merupakan standar yang hanya menekankan aspek keamanan pangan saja oleh sebab itu dalam memperoleh sertifikasinya sistem dokumentasi ISO 22000 tidak bisa dipadukan dengan sistem manajemen lainnya yang terintegrasi dalam Integrated Management System (IMS).
2.
Klausul 5 (Komitmen Manajemen) Komitmen
manajemen
(Klausul
5.1)
ditunjukkan
dengan
mengkomunikasikan pentingnya persyaratan keamanan pangan dalam suatu
organisasi.
Komitmen
manajemen
ditunjukkan
dengan
memberikan pelatihan hygiene dan safety bagi setiap personel yang akan bekerja di dalam factory. Selain itu penandatanganan komitmen manajemen dalam HACCP workshop yang menunjukkan pihak manajemen mendukung SMKP dan refesh training bagi food safety team. Kebijakan keamanan pangan belum ditentukan secara khusus namun telah menggunakan kebijakan mutu yang mencakup keamanan pangan. Tinjauan manajemen berupa audit internal dilakukan setiap dua minggu sekali (biweekly factory tour) dengan mempertimbangkan aspek
hygiene, safety, cost, dan quality. Hasil audit ini dapat menjadi pertimbangan pengembangan dan perbaikan aspek keamanan pangan. Kebijakan keamanan pangan (Klausul 5.2) adalah tujuan suatu organisasi yang berkaitan dengan keamanan pangan dan dinyatakan oleh pihak manajemen puncak. Kebijakan yang diterapkan di PT Nestlé Indonesia adalah kebijakan mutu yang telah mencakup kebijakan keamanan pangan. Kebijakan mutu yang diterapkan merupakan keijakan mutu yang baru, sehingga sosialisasi terhadap seluruh karyawan terutama level operator belum maksimal. Saat ini pengkomunikasian terhadap kebijakan mutu baru hanya sebatas pemasangan beberapa papan kebijakan mutu dan melaui intranet. Klausul 5.3 tentang perencanaan SMKP dengan menyusun, menetapkan dan menjaga kebijakan mutu dimana telah mencakup keamanan pangan dan peraturan yang berlaku. Hal ini diwujudkan dengan menetapkan sasaran perbaikan untuk level perusahaan dan level operasional yang terukur dan mampu dicapai dalam periode waktu yang ditentukan. Setiap departemen memiliki target yang harus dicapai dan ditinjau pencapaiannya pada setiap management review meeting. Tanggung jawab dan wewenang (Klausul 5.4) harus dimiliki oleh setiap personel yang menjadi bagian dari tim keamanan pangan. Pembagian tanggung jawab dan wewenang dalam tim keamanan pangan hanya sebatas per area, sesuai dengan tanggung jawab dan wewenang dalam area tersebut. Tidak ada dokumen secara detail atau sesuai yang disyaratkan menunjukkan tanggung jawab dan wewenang dari tim keamanan pangan tersebut. Manajemen puncak harus menetapkan wakil mananjemen yang mempunyai tanggung jawab terhadap keamanan pangan. Ketua tim keamanan pangan (klausul 5.5) di PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory disebut dengan HACCP koordinator. Seorang HACCP koordinator harus mempunyai pengetahuan dasar tentang manajemen hygiene dan prinsip HACCP. HACCP koordinator bertanggung jawab dalam hal penjaminan pelatihan (training) keamanan pangan dan pendidikan bagi para
anggotanya, melaporkan keefektifan tim yang ada. Pelatihan HACCP dilakukan secara rutin sebagai wujud pembaharuan dan penyegaran pengetahuan bagi para anggota tim HACCP. Komunikasi (klausul 5.6) merupakan salah satu unsur penting dalam suatu organisasi. Komunikasi internal (klausul 5.6.2) yang dilakukan di PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory menggunakan media audio visual (intranet email), DOR (Daily Operation Review), meeting dan briefing/5 minutes meeting, konsultasi internal, HPWT (High Performance Work Team) yang digunakan bagi para staff produksi meninjau kinerja harian yang dilakukan setelah akhir shift pada setiap hari. Informasi lainnya diberikan melalui display, buletin Factory, serta berbagai poster dan tulisan di tempat kerja. Komunikasi eksternal (klausul 5.6.1) merupakan komunikasi antara perusahaan dengan pihak eksternal mengenai keamanan pangan. Perusahaan harus menjalin hubungan yang baik dengan pemasok (supplier), kontraktor, konsumen, pihak pemerintah dan pihak lainnya. Salah satu contah komunikasi yang baik antara supplier ditunjukkan oleh Departemen Agri service yang berhubungan langsung dengan pihak produsen fresh milk yakni seluruh koperasi susu, ditunjukkan dengan memberikan penyuluhan dan pelatihan bagi para petani susu setiap minggu. Selain itu komunikasi ekternal terhadap supplier lain diadakan dengan cara audit (Supplier Quality Audit) setiap tahun sebanyak 2 kali dilakukan dengan kunjungan secara langsung, supplier wajib memiliki COA (Cerificate Of Analysis) sebagai tanda telah memenuhi aspek mutu dan keamanan pangan, dan harus selalu memenuhi spesifikasi sebagai bukti kesesuaian yang telah ditentukan oleh perusahaan. Sebagai contoh adalah penerapan sistem sistem keamanan yang bersentuhan langsung dengan produk bagi supplier packaging. Pihak manajemen harus membuat, menerapkan, dan memelihara prosedur untuk mengontrol potensial situasi bahaya dan kecelakaan yang akan berpengaruh pada keamanan pangan (klausul 5.7). Kondisi darurat dapat terjadi apabila produk atau lingkungan terkontaminasi dan muncul
ketidaksesuaian dalam proses. Inter Office Memo (IOM) merupakan salah satu tindakan yang diterapkan untuk mencegah ketidaksesuaian terjadi lagi pada line produksi. Contoh implementasi IOM pada line produksi adalah dengan memberlakukan double shoe cover apabila memasuki area produksi agar tidak terjadi kontaminasi silang yang berasal dari sepatu yang dipakai. Tinjauan manajemen dilakukan untuk mengetahui keefektifan dan kecukupan SMKP atas masalah keamanan pangan yang terjadi. Tinjauan manajemen mencakup tinjauan input dan tinjauan output. Tinjauan input dapat berupa audit internal, analisis hasil verifikasi, mengganti keadaan yang mempengaruhi keamanan pangan dan feed back dari konsumen. Audit Internal dapat berupa Daily Audit, Biweekly Factory Tour, FSMS Audit dari kantor pusat, Gap Assessment Nestlé Nutrition, GMP@ Nestlé Excecution Support. Tinjauan output (klausul 5.8.3) meliputi perbaikan atas jaminan keamanan pangan. PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory melakukan perbaikan dan efektifitas dalam menunjang SMKP. Contoh perbaikan sistem yang dilaksanakan antara lain dengan menambahkan elemen dari FPL (First Priority Level) dengan regulatory compliance dan management commitment sehingga berubah menjadi FSMS (Food Safety Management System) sebagai dasar penerapan SMKP pada awal tahun 2007. 3.
Klausul 6 (Manajemen Sumber Daya) Pemenuhan sumber daya pada klausul 6.1 meliputi tiga bagian yaitu, sumber daya manusia, infrastruktur, dan lingkungan kerja. Sumber daya manusia (klausul 6.1) terpenuhi dengan ketersediaan sumber daya manusia yang bersifat internal maupun eksternal di dalam perusahaan. Sumber daya internal terpenuhi dalam pembentukan tim HACCP. Tim HACCP terdiri dari
multidisi anggota dengan latar belakang
multidisiplin yang mempunyai kemampuan dasar pendidikan, pelatihan, keterampilan, dan pengalaman yang sesuai. Kontraktor sebagai sumber daya eksternal mempunyai tanggung jawab dan kontrak yang jelas.
Setiap kontraktor harus memiliki pengawas untuk memonitor kinerja secara sistematis dan terkendali. PT bekerja sama dengan kontraktor sebagai sarana pendukung, seperti external analysis, pest control, cleaning service, packaging, dan pada project area. Seluruh karyawan yang akan bekerja dalam lingkungan Kejayan Factory, harus mengikuti pelatihan dasar berupa pelatihan hygiene, GMP dan safety. Identifikasi kebutuhan pelatihan bagi karyawan disesuaikan dengan tanggung jawab dan tugasnya masing-masing. Departemen Organizing Development bertugas untuk mengatur dan mendokumentasikan catatan pelatihan tersebut dengan baik. Area bangunan (klausul 6.2) dibagi menjadi beberapa bagian diantaranya security area, kantor, laboratorium, kantin, toilet, masjid, dan area produksi. Pemenuhan standar bangunan sesuai dengan persyaratan sanitasi. Persyaratan standar ISO 22000 menetapkan area cuci tangan menuju ruang produksi dilengkapi dengan kran air panas, saat ini perusahaan belum menerapkan standar tersebut walaupun kran cuci tangan menuju area produksi telah memadai berupa kran automatis dan pengering berupa tisu. Lingkungan kerja (klausul 6.3) pada PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory disebut factory environment dengan mengedepankan prinsip zoning. Zoning adalah pembagian suatu area berdasarkan produk yang dihasilkan, lingkungan, kontaminasi, dan tipe cleaning yang diperlukan.
Zoning diterapkan
untuk
mencegah
kontaminasi baik mikrobiologi, kimia, dan fisik yang menyebar dari daerah tingkat kontainasi tinggi ke daerah proses yang critical sehingga produk dihasilkan aman untuk dikonsumsi. Area zoning dibagi tiga yaitu, Hygiene 1 (H1), Hygiene 2 (H2), dan Hygiene 3 (H3). H3 adalah area yang jauh dari produk, tempat orang berjalan dari tempat proses yang satu ke tempat proses yang lain. H2 merupakan barrier atau pembatas antara H1 dan H3. Barrier dapat berupa dinding, pintu, filter, atau area penggantian sepatu. Pada area H2 dilengkapi dengan kamera pengintai yang dihubungkan dengan komputer pada ruang supervisor, sehingga dapat ditelusuri apabila terjadi pencemaran pada area produksi
H1. Area yang memiliki kemungkinan terjadinya kontak langsung antara lingkungan dengan produk, dan mempunyai resiko kontaminasi yang tinggi terhadap produk merupakan area H1. Untuk mendukung perlindungan area H1 terhadap kontaminasi, diberikan positive pressure pada area H1 (tekanan udara di dalam ruangan H1 lebih tinggi daripada tekanan udara di luar area H1) sebagai pencegahan masuknya serangga dan bakteri beterbangan di udara karena terbawa angin atau aliran udara yang masuk ke dalam area H1. 4.
Klausul 7 (Prerequisite Programme) Penerapan prerequisite programme atau kelayakan dasar (klausul 7.2) yang diterapkan di PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory adalah NGMP (Nestlé Good Manufacturing Practice). NGMP pertama kali diterapkan tahun 1996 dengan maksud untuk lebih menekankan nilai penting GMP tersebut. NGMP bukan hanya untuk melengkapi GMP tetapi juga mencakup ketentuan tambahan Nestlé, seperti konsep Zoning, hygienic engineering, dan ketentuan hygiene berdasarkan jenis produk. Pemenuhan klausul 7.2.2 dapat dilihat dari cakupan prerequisite berupa empat belas elemen NGMP meliputi lingkungan pabrik, lingkungan proses, bangunan, penerimaan material, peralatan proses, industrial services,
proses,
cleaning,
maintenance,
pengolahan
limbah,
penyimpanan/transpor/distribusi, penjualan, personel/karyawan, dan pencegahan hama. Terdapat inspeksi internal terhadap NGMP secara rutin yaitu setiap hari dan setiap dua minggu sekali di seluruh area pabrik oleh tim keamanan pangan. Perusahaan juga telah memiliki dokumen rencana HACCP yang dibuat per area proses, dokumen selalu diperbaiki dan dikembangkan sesuai tren keamanan pangan yang ada. Hal tersebut sebagai tindakan pencegahan dari bahaya yang ada sebagai suatu perwujudan realisasi produk yang aman bagi konsumen (klausul 7). HACCP study mencakup seluruh tahap produksi, dari bahan baku hingga mencapai konsumen. Karakteristik produk terdapat di dalam dokumen HACCP. Diagram alir
yang dibuat mencakup seluruh tahapan proses. Diagram alir diverifikasi dan diperbaharui ketika perubahan proses terjadi. Semua material yang terdapat di dalam produk, rework, sistem alat pembantu terdaftar dan sesuai dengan standar kesehatan. HACCP Study berupa kumpulan data dari proses pengolahan dan verifikasi HACCP juga peraturan dari negara yang berlaku merupakan langkah awal untuk melakukan analisis bahaya keamanan pangan (klausul 7.3). Tim Keamanan pangan merupakan pendukung yang diperlukan dalam HACCP study, tim keamanan pangan sudah terbentuk dengan nama HACCP team (klausul 7.3.2). Hasil pelatihan HACCP team dibutuhkan sebagai data pendukung yang menunjukan validitas dari anggota tim tersebut. Karakteristik produk (klausul 7.3.3) yang mencakup komposisi, kemasan, umur simpan, label, target konsumen, serta tujuan penggunaan (klausul 7.3.4) didokumentasikan pada dokumen HACCP. Analisis bahaya (klausul 7.4) berupa bahaya fisik, mikrobiologi, dan kimia. PT Nestlé Indonesia menambahkan analisis bahaya berupa bahaya allergen dan bahaya nutrisi sebagai syarat bahaya yang harus dikontrol. Bahaya diidentifikasi dari kumpulan data berbagai proses pengolahan dan verifikasi diagram alir dapat dilakukan
untuk
mengontrol bahaya keamanan pangan yang akan timbul. Identifikasi CCP (klausul 7.6.3) dilakukan menggunakan bantuan pohon keputusan. Setiap CCP, parameter control dan titik kritis diidentifikasi dan divalidasi dengan tepat. CCP summary sheet terdapat di ruang operator sedangkan papan CCP tergantung pada mesin yang menjadi CCP proses tersebut. Sehingga diharapkan CCP dapat dikendalikan dan dapat diketahui dengan jelas langkah yang akan diambil apabila terjadi penyimpangan. Sistem traceability (klausul 7.9) dapat dilakukan dengan jelas karena lots produk, batch bahan baku, proses dan distribusi tercatat dengan baik secara manual atau dengan sistem. Tindakan koreksi dan korektif
diperlukan
sebagai
tinjauan
ulang
apabila
terjadi
ketidaksesuaian, record hasil dari tindakan korektif tertuang dalam CAR (Corrective Action Report). Produk yang berpotensi menjadi tidak aman dikontrol dengan cara dipisahkan, ditahan dan dianalisis lanjutan oleh QA (sesuai prosedur release). Penarikan produk (klausul 7.10.4) sesuai dengan prosedur recall. 5.
Klausul 8 (Validasi, Verifikasi, dan Pengembangan Sistem Manajemen Keamanan Pangan) Validasi dalam sistem HACCP digunakan untuk menyeleksi tindakan pengendalian yang dapat mengontrol bahaya keamanan pangan (klausul 8.2). Setiap CCP dan titik kritis identifikasi dan divalidasi sesuai dengan referensi. Kalibrasi alat merupakan salah satu bagian dari elemen FSMS, pengendalian, pengawasan, dan pengukuran (klausul 8.3). Peralatan terkalibrasi
yaitu
peralatan
yang
digunakan
untuk
melakukan
monitoring, pengukuran, menghasilkan bacaan yang akurat, dilakukan pengecekan sehingga dapat dibandingkan keakurasiannya pada standar yang telah diketahui. Untuk memastikan keakurasiannya kalibrasi dilakukan secara efektif dan rutin. HACCP verifikasi (klausul 8.4) dilakukan untuk menjamin tindakan pengendalian dilakukan secara efektif. Audit internal dilakukan secara rutin sesuai pengaturan yang terrencana (klausul 8.4.1). Audit Internal bertujuan meninjau keefektifan penerapan sistem mananjemen keamanan pangan pada line produksi dan sekitarnya serta menjadi acuan dari verifikasi sebagai tindakan pengendalian. Pengembangan (klausul 8.5) pada PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory bertujuan meningkatkan efektifitas, mengembangkan kinerja perusahaan, memperoleh perbaikan maupun pembaharuan informasi SMKP. Pengembangan dapat berupa hasil tinjauan sebelumnya yaitu hasil audit dan pemeriksaan (internal atau eksternal), hasil analisis dari verifikasi yang mencakup customer feedback, informasi lain berdasarkan
kecocokan, kecukupan, dan keefektifitas SMKP yang tercakup pada rencana HACCP.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN A.
KESIMPULAN
PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory sebagai perusahaan terkemuka dalam bidang pengolahan susu telah menerapkan FSMS (Food Safety Management System) sebagai dasar penerapan Sistem Manajemen Keamanan Pangan. Terdapat seluruh elemen yang mendukung penerapan FSMS yaitu penerapan NGMP, HACCP, QMS,
Kalibrasi Peralatan, Sistem Release,
Penelusuran, Identifikasi, dan Pengkodean, Penarikan produk, Pemantauan bakteri Patogen, Komitmen Manajemen, dan Ketaatan terhadap Peraturan. PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory berencana mensertifikasi standar ISO 22000 dengan menggabungkan dengan Integrated Management System (Integrated Management System) yang merupakan penggabungkan dari Sistem Manajemen Mutu ISO 9001, Sistem Manajemen Lingkungan ISO 14001, dan Sistem Kesehatan Keselamatan Kerja OHSAS 18001. Pada saat ini IMS telah memasuki tahap penerapan dan akan disertifikasi dalam waktu dekat ini. Berdasarkan hasil observasi penerapan FSMS sebagai landasan penerapan
standar
Internasional
ISO
22000
sebagian
besar
telah
menunjukkan kesesuaian. Terlihat dari bagian-bagian dari FSMS yang sudah mengarah pada penerapan klausul ISO 22000. Hal ini sesuai dengan perhitungan pemenuhan 43 kriteria dari 55 kriteria yang ada. Kriteria yang belum dipenuhi menuju sertifikasi adalah berupa belum adnya manual dokumentasi khusus untuk sistem manajemen keamanan pangan, komunikasi kebijakan mutu yang belum efektif, masih kurangnya sosialisasi FSMS kepada seluruh karyawan khususnya level operator, dokumen tertulis secara detail mengenai tanggung jawab dan wewenang tim keamanan pangan serta surat pengangkatan ketua tim keamanan pangan, prosedur-prosedur pendukung yang masih harus dikembangkan karena berpengaruh terhadap keamanan pangan, dan belum adanya penetapan kelayakan dasar operasional secara rinci khusus keamanan pangan (mayor).
B.
SARAN
Secara umum, penerapan FSMS sebagai dasar penerapan SMKP PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory telah sesuai dengan persyaratan ISO 22000. Namun Beberapa rekomendasi untuk lebih meningkatkan efektifitas dalam perencanaan penerapan ISO 22000 di PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory, meliputi (1) Penyusunan manual secara tersendiri khusus untuk Sistem Manajemen Keamanan Pangan yang terpisah dari Integrated Management System yang telah ada (penggabungan ISO 9001, ISO 14001, dan OHSAS 18001), (2) Peningkatan komitmen manajemen dengan cara mengkomunikasikan kebijakan mutu kepada seluruh karyawan secara lebih efektif, mengadakan pelatihan dan memberikan sertifikat bagi auditor internal, (3) Mensosialisasikan FSMS kepada level operator dengan cara pembuatan modul FSMS, refresh training, acara “fun game” , (4) Penentuan Kelayakan Dasar Operasional (OPRP) dan Pengecekan keberadaan CCPs Summary Sheet pada setiap line produksi sebagai suatu bentuk pengawasan terhadap CCP (5) Melengkapi dokumen tertulis tanggung jawab dan wewenang tim keamanan pangan, surat pengangkatan ketua tim keamanan pangan, serta pengembangan prosedur-prosedur yang sudah ada agar mencakup keamanan pangan, dan (6) Menambahkan fasilitas bangunan berupa kran air panas sesuai dengan persyaratan standar internasional ini.
DAFTAR PUSTAKA Adnan, M. 1984. Kimia dan Teknologi Pengolahan Air Susu. Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Anonim, 2007. Food Safety Management System ISO 22000. http://www.globalmark.com.au [07 April 2007] ______. 2007. The ISO 22000 International Standard Specifies. http://www.wikipedia.com [06 Mei 2007] ______. 2007. The Requirement for a Food Safety Management System that Involve the Following Element. Badan Standardisasi Nasional. 2002. Panduan Penyusunan Rencana HACCP. Pedoman 1004 BSN British Retail Consortium. 2001. BRC Global Standard. http://www.brc.org.uk/.[5 Agustus 2007] British
Retail Consortium.2005. BRC Global http://www.brc.org.uk/. [5 Agustus 2007]
Standard
for
Food.
Buckle, KA; R.A. Edwards; G.H. Fleet and M Wooten. 2007. Ilmu Pangan (Terjemahan Purnomo H Dan Androno). UI Press. Jakarta.
Codex Alimentarius Commission. 1989. Standar Susu Bubuk Departemen Imu dan Teknologi Pangan. 2006. Panduan Penyusunan Rencana Hazard Analysis Critical Control point (HACCP) Bagi Industri Pangan. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Edwards, A.J. 2004. ISO 14001 Environmental Certification Step by Step. Elsevier Ltd., Great Britain. Hoyle, D. ISO 9001 Quality System Handbooks 4th ed. Butterworth-Heinemann. Oxford Direktorat Pengawasan Makanan dan Minuman, Dirktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan dan Departemen Kesehatan RI. 1996. Pedoman Penerapan Cara Produksi Makanan yang Baik. Jakarta. Dietz,
M. 2006. The New http://www.procert.com.
Management
Systems
for
Food
Safety.
Efendi. 2007. Analisis Kesenjangan Sistem Manajemen Mutu dan Keamanan Pangan. Thesis
Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Food and Drug Administration. 2005. Management of Food Safety Practices – Achieving Active Managerial Control of Foodborne Illness Risk Factors. http://www.cfsan.fda.gov/ [25 April 2007] Hadiwiyoto, S.1994.Teori Dan Prosedur Pengujian Mutu Susu Dan Hasil Olahannya. Liberty. Yogyakarta.
Hubbeis, M. 1994. Pemasyarakatan ISO 9000 Untuk Industri Pengan Di Indonesia. Buletin Teknologi Dan Industri Pangan. Vol. V. FTP TsPG. Bogor
International Organization for Standardizationa. 2005. International Standar ISO 22000, Food Safety Management Systems, Requirements for any organization in the food chain. ISO. Jenewa. Muhandri, T dan Darwin.K. 2005. Sistem Jaminan Mutu Pangan. IPB-Press. Bogor. Prihantono, Gatot. 2004. Anak-Anak Keracunan Susu Bubuk. http://www. detikfood.com. Rachmadi, Raden. 2004. Penyebab http://www.tempointeraktif.com.
Keracunan
adalah
Bakteri.
SNI 01-2970-1999. Spesifikasi Persyaratan Mutu Susu Bubuk. BSN. Jakarta. Thaheer, Hermawan. 2005. Sistem Manajemen HACCP. Jakarta.
PT Bumi Aksara.
Triane. 2004. Keracunan Susu Bubuk Akibat Air Tercemar. http://www. Republika.com Newslow, D.L. 2001. The ISO 9000 Quality System Applications in Food and Technology. Willey Interscience. New York, Chichester, Weinheim, Brisbane, Singapore, Toronto. Widodo. 2003. Teknologi Proses Susu Bubuk. Lacticia Press. Yogyakarta Whitelaw, K. 2004. ISO 14001 : Environmental Systems Handbook Second Edition. Elsevier Ltd., Great Britain.
Lampiran 1. Hubungan antara ISO 22000:2005 dengan ISO 9001:2000 ISO 22000:2005 Pendahuluan
Elemen
1 1.1 1.2 2 3 4
ISO 9001:2000 Pendahuluan Umum Pendekatan proses Hubungan dengan ISO 9004 Kecocokannya dengan sistem manajemen lainnya Ruang lingkup Umum Penerapan Rujukan normatif Istilah dan definisi Sistem manajemen mutu
4.1 4.2 4.2.1 4.2.2 4.2.4 5 5.1 5.2 5.3
Persyaratan umum Persyaratan dokumentasi Umum Pengendalian dokumen Pengendalian rekaman Tanggung jawab manajemen Komitmen manajemen Fokus pelanggan Kebijakan mutu
5.5
Tanggung jawab, kewenangan, dan komunikasi
7.2.3 5.5.3 5.2 8.3
0.1 0.2 0.3 0.4 Ruang lingkup
1
Rujukan normatif Istilah dan definisi Sistem manajemen keamanan pangan Persyaratan umum Persyaratan dokumentasi Umum Pengendalian dokumen Pengendalian rekaman Tanggung jawab manajemen Komitmen manajemen
2 3 4 4.1 4.2 4.2.1 4.2.2 4.2.3 5 5.1
Keijakan keamanan pangan Perencanaan sistem manajemen Keamanan pangan Tanggung jawab dan wewenang
5.2 5.3
Ketua tim keamanan pangan Komunikasi Komunikasi eksternal Komunikasi internal Cegah tanggap kemungkinan
55 5.6 5.6.1 5.6.2 5.7
Tinjauan manajemen Umum Tinjauan masukan Tinjauan keluaran Manajemen sumber daya Penyediaan sumber daya Sumber daya manusia Umum Kompetensi, kepedulian, dan pelatihan Pranata dasar Lingkungan kerja Perencanaan dan realisasi produk aman Umum Program persyaratan dasar
5.8 5.8.1 5.8.2 5.8.3 6 6.1 6.2 6.2.1 6.2.2
5.6 5.6.1 5.6.2 5.6.3 6 6.1 6.2 6.2.1 6.2.2
6.3 6.4 7
6.3 6.4 7
Komunikasi pelanggan Komunikasi internal Fokus pelanggan Pengendalian produk yang tidak sesuai Tinjauan manajemen Umum Tinjauan masukan Tinjauan keluaran Manajemen sumber daya Penyedian sumber daya Sumber daya manusia Umum Kompetensi, kepedulian, dan pelatihan Pranata dasar Lingkungan kerja Realisasi produk
7.1 7.2
Tahap pendahuluan untuk memungkinkan analisis bahaya Analisis bahaya
7.3
7.1 6.3 6.4 7.3
Perencanaan produk realisasi Pranata dasar Lingkungan kerja Perencanaan dan pengembangan
7.4
7.3.1
Perencanaan pengembangan rancangan
5.4
ISO 22000:2005 Perancanagn dan perancangan ulang rencana HACCP
7.6
Elemen 7.3.3 7.3.4 7.3.5 7.3.6 7.3.7 7.2 7.2.1 7.2.2
Peningkatan informasi awal dan sfesifikasi dokumen PRP serta rencana HACCP Perencanaan verifikasi Pengoperasian sistem manajemen keamanan pangan Umum
7.7 7.8 7.9
1 1.1 1.2 2 7.5
7.9.1
7.5.1 7.5.2
ISO 9001:2000 Keluaran perancangan dan pengembangan Tinjau ulang perancangan dan pengembangan Verifikasi perancangan dan pengembanga Validasi perancangan dan pengembangan Pengendalian perubahan rancangan danpengembangan Proses berkaitan dengan pelanggan Penentuan persyaratan berkaitan dengan produk Tinjauan ulang persyaratan berkaitan dengan produk Ruang lingkup umum penerapan Rujukan normatif Produksi dan penyediaan layanan Pengendalian produksi dan penyediaan layanan Validasi proses untuk produksi dan penyediaan layanan
Sistem ketertelusuran Tindakan perbaikan Perbaikan Penaganan potensi ketidakamanan produk Penarikan produk Verifikasi, validasi, dan peningkatan sistem manajemen keamanan pangan Umum Pemntauan dan pengukuran Verifikasi sistem manajemen keamanan pangan Internal audit Evaluasi hasil verifikasi individual Analisis hasil aktifitas verifikasi Validasi paduan ukuran pengendalian
7.9.2 7.9.3.1 7.9.3.2
7.5.3 8.5.2 8.3
Identifikasi dan kemamputelusuran Tindakan koreksi Pengendalian produk tidak sesuai
7.9.4 7.9.5 8
8.3 8.3 8
Pengendalian produk tidak sesuai Pengendalian produk tidak sesuai Pengukuran, analisis, dan peningkatan
8.1 8.2 8.3
81 7.6 8.2
Umum Pengendalian alat pantaub dan ukur Pengukuran dan pemantauaan
8.3.1 8.3.2 8.3.3 8.4
8.2.2 8.2.3
Internal audit Pemantauan dan pengukuran proses
8.4
Analisis data
Peningkatan Peningkatan berkesinambungan Pembaruan sistem manajemen Keamanan pangan
8.5 8.5.1 8.5.2
8.2.4 8.5 8.5.1 8.5.3
Pengukuran dan pemantauan produk Peningkatan Peningkatan berkesinambungan Tindakan pencegahan
* ISO 2005a
Lampiran 2. Hubungan antara HACCP dan ISO 22000:2005 Langkah Penerapan dan Prinsip HACCP Membentuk Tim HACCP Langkah 1 Mendeskripsikan produk Langkah 2 Identifikasi pengguna Membuat diagram alir Verifikasi diagram alir Prinsip 1 Analisis bahaya Penerapan : Mendaftar semua potensi bahaya berasal Melakukan alalisis bahaya
Langkah 3 Langkah 4 Langkah 5
7.3.4 7.3.5.1
Langkah 6
7.4 7.4.2
Prinsip 5 Penentukan tindakan koreksi Penerapan : Menetapan tindakan koreksi jika pengawasan menunjukkan CCP di luar kendali Prinsip 6 Penetapan prosedur verifikasi Penerapan : Menetapkan prosedur verifikasi untuk megkonfirmasi bahwa sistem HACCP bekerja efektif Prinsip 7 Penetapan dokumentasi Penerapan : Menetapkan dokumentasi dan catatan yang sesuai prinsip-prinsip HACCP dan penerapannya
* ISO 2005a
ISO 22000:2005 Tim Keamanan pangan Karakteristik produk Deskripsi tahapan proses dan langkah pengendalian Identifikasi pengguna Diagram alir
Analsis bahaya
7.4.3 7.4.4
Identifikasi bahaya dan penentuan tingkat yang dapat diterima Penilaian bahaya Pemilihan dan penilaian langkah pengendalian
Langkah 7
7.6.2
Identifikasi CCP
Langkah 8
7.6.3
Penentuan titik kritis untuk setiap CCP
Langkah 9
7.6.4
Sistem pengawasan CCP (monitoring)
Langkah 10
7.6.5
Tindakan yang dilakukan jika terjadi penyimpangan batas kritis
Langkah 11
7.8
Perencanaan Verifikasi
Langkah 12
4.2 7.7
Persyaratan dokumentasi Pembaruan informasi awal dan dokumen khusus kelayakan dasar (PRP) dan rencana HACCP
Mempetimbangkan langkah pengendalian Prinsip 2 Penentuan CCP Penerapan : Penentuan CCP Prinsip 3 Penerapan titik kritis Penerapan : Menetapkan titik kristis untuk setiap CCP Prinsip 4 Penetapan sistem pengawasan (monitoring) langkah pengendalian untuk CCP Penerapan : Menetapkan sistem pengawasan (monitoring) untuk setiap CCP
7.3.2 7.3.3 7.3.5.2
Lampiran 3. Diagram alir penentuan titik kritis (CCP)
P1. Apakah terdapat bahaya pada tahap/proses ini? Ya
Bukan CCP
Tidak
P2. Apakah ada tindakan pencegahan untuk mengendalikan bahaya tersebut? Ya
Tidak
Modifikasi proses/produk
Apakah pengendalian diperlukan
Ya
untuk meningkatkan keamanan? Tidak
Bukan CCP
P3. Apakah proses ini dirancang khusus untuk menghilangkan/mengurangi bahaya sampai aman? Tidak
Ya
CCP
P4. Apakah bahaya dapat meningkat sampai batas tidak aman? Ya
Tidak
Bukan CCP
P5. Apakaah proses selanjutnya dapat menghilangkan/mengurangi bahaya? Ya
Tidak CCP
Bukan CCP
Lampiran 4. Ketiga puluh elemen Nestlé Quality System (NQS) NESTLE QUALITY SYSTEM
Food Safety Management System (FSMS
1. GMP - NGMP 2. Studi HACCP 3. Monitoring Patogen 4. Quality Monitoring Scheme (QMS) 5. Kalibrasi Peralatan 6. Penelusuran, Identifikasi & Pengkodean 7. Sistem Release 8. Penarikan (Recall) 9. Ketaatan Peraturan 10. Komitmen & tanggung jawab
Advance Level
11.Review manajemen terhadap mutu 12. Perbaikan mutu 13. Benchmarking 14. Pelatihan 15. Dokumentsi 16. Penanganan komplain 17. Indikator mutu, biaya mutu 18. Audit mutu mencakup internal audit 19.Pengendalian status 20. Pengembangan produk baru 21. Persetujuan poduk baru 22. Supplier 23. Raw & Packaging Material mencakup identifikasi dan spesifikasi 24. Pengendalian sistem distribusi (FIFO) 25. Inter Market Supply 26. Product Definition 27. Kondisi Pabrikasi 28. Metode statistik 29. Kontrol status 30. Pengendalian kandungan bersih (NCC) 31. Proses 32. Evaluasi sensori 33. Umur simpn & masa pakai 34. Tindakan korektif 35. Metode test/ pengujian dan Lab 36. Contract Manufacturing
Lampiran 5. Kebijakan QSHE PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory
Lampiran 6. Format Prosedur PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory
Procedure
NESTLE INDONESIA KEJAYAN FACTORY
TITLE :
Classification :
YELLOW 230.16.P.XXX-X
ISSUED BY :
HOD
Document No. :
CHECKED BY :
MR
Issued Date
APPROVED BY :
FM
Effective Date :
Applicable to :
SHE IP HR QA
Production RPU Engineering AG
Agriservice FICO
RDC
Factories
State offices
Document Change :
Revision 00
Revised Date
Page
Nature of change
XX-XX-XXXX
-
Original issue
:
1. Aim
2. Scope
3. Reference
4. Content 4.1 Definitions 4.2 Details
4.3 Record Retention Time Dokumen
Nomor Dokumen
Waktu Simpan
5. Safety Aspects No. Skenario Bahaya K3
Pengendalian
6. Environmental aspects No. Aspek Lingkungan
Pengendalian
7. Related Documents No. Judul Dokumen
Nomor Dokumen
Lampiran 7. Format Working Instruction PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory
Working Instruction
NESTLE INDONESIA Kejayan Factory
TITLE :
Classification :
Yellow
ISSUED BY :
Document No. :
230.15.W.XXX-0
CHECKED BY :
Issued Date
APPROVED BY :
Effective Date :
Applicable to: Department
Section
Document Change : Revision
Revised Date
Page
00
XX-XX-XXXX
-
Nature of change
Original issue
:
1. Aim
2. Scope
3. Content
4. Safety Aspects No
Skenario Bahaya K3
Pengendalian
5. Environmental aspects No
Aspek Lingkungan
Pengendalian
6. Related Documents No
Judul Dokumen
Nomor Dokumen
Lampiran 8. Contoh Form PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory
PT Nestlé Indonesia Kejayan Factory
No. 230.XX.F.XXX-X
MONITORING LIVE INSECT
Date
Check
Count
By
Jurnal Skripsi 2007 Fakultas Teknologi Pertanian, IPB
Kajian Sistem Manajemen Keamanan Pangan Berbasis ISO 22000 di PT Nestle Indonesia, Kejayan Factory.Ratih Dewanti-Hariyadi1) dan Chindarwani2) 1)
2)
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB Program Sarjana, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB
Abstrak The International Organization for Standardization atau ISO adalah organisasi yang mengembangkan standar internasional yang dapat digunakan di seluruh dunia dengan salah satu tujuannya membantu negara berkembang mempelajari dan mengembangkan berbagai teknologi yang sudah diterapkan oleh negara maju, sehingga industri dapat bersaing dalam perdagangan global. Pada tahun 2005 ISO telah menerbitkan standar sistem manajemen keamanan, yaitu ISO 22000. Standar internasional ini menggabungkan antara sistem manajemen mutu dengan prinsip HACCP serta kombinasi dinamis dengan persyaratan dasar untuk pengendalian bahaya. PT Nestlé Indonesia sebagai salah satu produsen pangan terkemuka memberikan perhatian yang sangat serius terhadap masalah keamanan pangan dan produk yang dihasilkan. Dalam rangka pengelolaan masalah keamanan produk yang dihasilkan, PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory berencana mengimplementasikan standar ISO 22000. Saat ini sistem manajemen keamanan pangan yang diterapkan PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory dinamakan Food Safety Management system (FSMS), yaitu sistem yang mengutamakan keamanan pangan, ketaatan terhadap peraturan, dan komitmen manajemen terhadap keamanan produk yang dihasilkan. Kegiatan magang ini bertujuan mengidentifikasi kesesuaian dan menganalisis kesenjangan penerapan FSMS di PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory dengan persyaratan standar ISO 22000. Langkah-langkah penelitian terdiri dari beberapa tahap, yaitu: (1) Mengamati penerapan Integrated Management system (IMS) ISO 9001, ISO 14001, dan OHSAS (Occupational Health and Safety Assessment Series) 18001. (2) Mempelajari sistem manajemen keamanan pangan yang diterapkan berupa Food Safety Management System (FSMS). (3) Membuat daftar dokumen yang dibutuhkan dalam penerapan ISO 22000. (4) Menganalisis kesenjangan (Gap Analysis) FSMS dengan persyaratan ISO 22000. (5) Memberikan rekomendasi untuk pengembangan sistem manajemen keamanan pangan di perusahaan Hasil observasi menunjukkan bahwa standar ISO 22000 telah diakomodasi dalam FSMS di PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory. Hal ini telihat dari pemenuhan 48 kriteria dari 60 kriteria yang ada. Beberapa rekomendasi untuk lebih meningkatkan efektifitas dalam perencanaan penerapan ISO 22000 di PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory, meliputi (1) Penyusunan manual secara tersendiri khusus untuk Sistem Manajemen Keamanan Pangan yang terpisah dari Integrated Management System yang telah ada (penggabungan ISO 9001, ISO 14001, dan OHSAS 18001), (2) Peningkatan komitmen manajemen dengan cara mengkomunikasikan kebijakan mutu kepada seluruh karyawan secara lebih efektif, mengadakan pelatihan dan memberikan sertifikat bagi auditor internal, (3) Mensosialisasikan FSMS kepada level operator dengan cara pembuatan modul FSMS, refresh training, acara “fun game” , (4) Penentuan Kelayakan Dasar Operasional (OPRP) dan Pengecekan keberadaan CCPs Summary Sheet pada setiap line produksi sebagai suatu bentuk pengawasan terhadap CCP (5) Melengkapi dokumen tertulis tanggung jawab dan wewenang tim keamanan pangan, surat pengangkatan ketua tim keamanan pangan, serta pengembangan prosedur-prosedur yang sudah ada agar mencakup keamanan pangan, dan (6) Menambahkan fasilitas bangunan berupa kran air panas sesuai dengan persyaratan standar internasional ini. Keywords : Food Safety Management System (FSMS), ISO 22000
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah keamanan pangan sangat penting bagi industri pangan. Tuntutan persyaratan keamanan pangan terus berkembang sesuai permintaan konsumen yang juga kian meningkat. Pelaku bisnis dalam industri pangan mulai menyadari bahwa produk yang aman hanya dapat diperoleh jika bahan baku yang digunakan bermutu, penanganan dan proses pengolahan sesuai, serta transportasi maupun distribusi yang memadai. Dengan demikian, pengendalian keamanan konvensional yang hanya mengandalkan pengawasan produk akhir tidak lagi memenuhi kebutuhan keamanan yang ada. Sistem keamanan pangan modern menuntut industri untuk merencanakan sistem pengawasan mutu sejak tahap penerimaan bahan baku hingga produk pangan didistribusikan ke konsumen. Produk pangan yang dipasarkan harus terjamin mutunya dan aman untuk dikonsumsi. Jaminan mutu dan keamanan pangan merupakan usaha nyata, sungguhsungguh, dan terus-menerus dilakukan oleh perusahaan dalam meningkatan mutu produk untuk memberikan kepuasan dan mendapatkan kepercayaan konsumen. The International Organization for Standardization atau ISO adalah organisasi yang mengembangkan standar internasional yang dapat digunakan di seluruh dunia dengan salah satu tujuannya membantu negara berkembang mempelajari dan mengembangkan berbagai teknologi yang sudah diterapkan oleh negara maju, sehingga industri dapat bersaing dalam perdagangan global. Pada tahun 2005 The International Organization for Standardization (ISO) telah menerbitkan standar pangan terbaru, yaitu ISO 22000. Standar ISO dapat diterapkan secara sukarela oleh setiap organisasi yang terkaitan dengan pangan di seluruh dunia. ISO 22000 adalah panduan bagi industri atau organisasi untuk mengelola sebuah sistem manajemen keamanan pangan yang pro aktif dan fleksibel. PT Nestlé Indonesia sebagai salah satu produsen pangan terkemuka memberikan perhatian yang sangat serius terhadap masalah keamanan produk yang
dihasilkan. Keamanan pangan merupakan salah satu aspek mutu yang sangat penting dan tidak bisa ditawar. Dalam rangka pengembangan masalah keamanan pangan, PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory berencana mengimplementasikan standar ISO 22000. Sistem manajemen keamanan pangan pada PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory dinamakan dengan Food Safety Management system (FSMS). Persyaratan yang ada pada FSMS berdasarkan pendekatan standar internasional ISO 22000 yang secara umum mengutamakan sistem keamanan pangan, ketaatan peraturan dan komitmen manjemen terhadap keamanan pangan. B. TUJUAN Kegiatan magang bertujuan mengidentifikasi kesesuaian dan menganalisis kesenjangan Sistem Manajemen Keamanan Pangan (SMKP) yang diterapkan di PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory yaitu FSMS dengan standar mutu internasional ISO 22000.
a.
METODOLOGI PENELITIAN Tempat Dan Waktu Penelitian dilaksanakan di PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory yang beralamt di Jl. Raya Pasuruan km 9.5, Jawa Timur selama 4 bulan, yaitu tanggal 4 Februari 2007 sampai dengan 5 Juni 2007. kegiatan ini dolakukan pada Departemen Quality Assurance, bagian Higiene Factory.
b. Metode Penelitian dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : 1.
Pengamatan sistem manajemen di PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory Sistem Manajemen yang diterapkan di PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory berupa Integrated Management System (IMS) ISO 9001, ISO 14001, dan OHSAS 18001. Pada tahap ini dilakukan pengamatan secara dokumentasi dan penerapan secara langsung di lapangan. Pengamatan secara dokumentasi dilakukan dengan melihat dokumen-dokumen yang berhubungan dengan penerapan IMS. Sedangkan pengamatan secara langsung
2
IMS dengan cara observasi lapangan dan interview. Observasi lapangan dilakukan dengan mengamati secara langsung dan merekam penerapan sistem. Interview dilakukan kepada pihak-pihak tertentu terkait dengan penerapan IMS. Informasi yang diperoleh dari hasil observasi lapangan dan interview berupa informasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan sistem manajemen internal perusahaan dan penerapan IMS, serta mendapatkan gambaran mengenai kesesuaian standar internal yang diterapkan dengan IMS. 2.
Kajian sistem manajemen keamanan pangan yang diterapkan yaitu Food Safety Management System (FSMS) Pada tahap ini dilakukan pengamatan secara dokumentasi dan penerapan secara langsung di lapangan. Pengamatan secara dokumentasi dilakukan dengan melihat dokumendokumen yang berhubungan dengan penerapan FSMS. Observasi lapangan dilakukan dengan cara mengamati secara langsung dan merekam penerapan sitem serta terlibat langsung dalam kegiatan perusahaan yang berhubungan dengan FSMS. Interview dilakukan lepada pihak-pihak tetentu terkait dengan penerapan FSMS. Informasi yang diperoleh dari hasil observasi dan interview berupa informasi mengenai hal-hal yang berkaitan penerapan FSMS di line produksi, komunikasi internal yang berpengaruh kepada keamanan pangan, serta mendapatkan gambaran mengenai kesesuaian standar yang digunakan dengan keadaan di lapangan.
3.
Penyusunan daftar dokumen yang dibutuhkan dalam penerapan ISO 22000 Membuat daftar dokumen yang dibutuhkan sebagai rujukan dalam penerapan ISO 22000. Daftar dibuat dengan mentabulasi klausul-klausul dimulai dari klausul 4. Klausul 1, 2, 3 terdiri dari ruang lingkup, rujukan normatif serta istilah dan definisi.
4.
Analisis kesenjangan (Gap Analysis) anatara FSMS dengan persyaratan ISO 22000
Analisis kesenjangan dilakukan dengan membandingkan pemenuhan FSMS di perusahaan dengan persyaratan standar ISO 22000. Berdasarkan hasil perbandingan dapat diketahui sejauh mana kesiapan perusahaan dalam menerapkan sistem manajemen keamanan pangan ISO 22000, serta hal-hal apa saja yang perlu disiapkan untuk penerapan sistem manajemen keamanan pangan ISO 22000. 5.
Penyusunan rekomendasi untuk pengembangan sistem manajemen keamanan pangan di perusahaan Berdasarkan metode yang telah dilakukan pada tahap sebelumnya, maka diberikan rekomendasi atau saran langkah-langkah yang harus dilakukan oleh perusahaan dalam pengembangan FSMS di perusahaan agar sesuai dengan persyaratan ISO 22000. HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Integrated management system di PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory Integrated management system (IMS) adalah suatu sistem manajemen yang terdiri dari ISO 14001 ditambah paling tidak satu sistem manajemen lain. Baik kedua (atau lebih) sistem manajemen tersebut harus berjalan bersamaan dengan sistem manajemen lain dan dapat diaudit oleh suatu badan eksternal (Whitelaw, 2004). IMS merupakan gabungan dari tiga sistem manajemen yang diterapkan secara bersamaan, yaitu ISO 9001 (sistem manajemen mutu), ISO 14001 (sistem manajemen lingkungan), dan OHSAS 18001 (sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja). Sistem manajemen tersebut dibuat oleh suatu organisasi independen, yaitu ISO (International Organization for Standardization) untuk ISO 9001 & 14001, dan BSI (British Standards Intitution) untuk OHSAS 18001. Ketiga sistem manajemen ini diakui secara internasional dan telah diadopsi, baik oleh institusi pemerintah, swasta, dll. PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory hingga saat ini memiliki sistem manajemen internal mengenai mutu, lingkungan, dan K3. Sistem manajemen internal tersebut adalah Nestlé Quality System (NQS) yang ekuivalen dengan ISO 9001, Nestlé Environmental Management System (NEMS) yang ekuivalen
3
dengan ISO 14001, serta Operational Safety, Health, and Risk Management System (OSHRMS) yang ekuivalen dengan OHSAS 18001. Hingga saat ini NQS adalah panduan mutu bagi Nestlé yang menunjukkan cara pencapaian mutu dari sudut pandang Nestlé. Nestlé selalu menganggap bahwa sukses dibangun dari mutu. Lebih lanjut, mutu adalah keuntungan kompetitif dalam pemuasan kebutuhan konsumen. Mutu tersebut melingkupi perencanaan hingga pelaksanaan yang dilaksanakan oleh semua pihak dengan usaha bersama. NQS juga menggambarkan organisasi dan tanggung jawabnya dalam seluruh jajaran Nestlé, mulai dari pusat, daerah, divisi bisnis hingga pabrik, serta dalam hubungannya dengan pemasok. NQS digunakan untuk semua produk yang dijual menggunakan nama grup Nestlé. Tidak hanya itu, NQS juga digunakan oleh seluruh partner bisnis yang terlibat dalam produk-produk Nestlé. Nestlé Quality System (NQS) berupa kumpulan panduan mengenai mutu yang berlaku untuk semua perusahaan Nestlé, terdiri dari 36 elemen atau bagian. NQS dibagi menjadi 2 bagian yaitu Food Safety Management System (FSMS) dan Advance level. Ketiga puluh enam elemen NQS dapat dilihat pada Lampiran 3. Meskipun terjadi transfer sistem manajemen, yaitu dari sistem manajemen internal menjadi IMS (NQS, NEMS, dan OSHRMS), namun ketiga sistem manajemen internal Nestlé masih tetap berlaku dan menunjang sistem yang baru. Hal ini dikarenakan sistem manajemen internal Nestlé lebih bersifat spesifik, yaitu sesuai dengan ciri khas operasional Nestlé sebagai perusahaan makanan, dibandingkan dengan IMS yang merupakan sistem manajemen yang lebih bersifat umum dan dapat diterapkan di berbagai jenis perusahaan. Perubahan sistem manajemen dari internal Nestlé menjadi IMS ini disebabkan oleh faktor dari luar dan dari dalam Nestlé sendiri. Faktor dari luar adalah adanya tuntutan konsumen agar sistem manajemen internal Nestlé diubah menjadi sistem manajemen yang berlaku secara internasional, baik terhadap mutu, keselamatan dan kesehatan kerja, serta lingkungan. Faktor utama dari dalam diantaranya adalah adanya beragam sistem yang berjalan bersamaan, berbeda area implementasi dan tanggung jawab, serta konflik implementasi, pengendalian, dan pemeliharaan. Dengan
demikian IMS diharapkan dapat menjadi pendekatan yang sinergis, menghemat waktu, usaha, dan biaya, mencegah konflik, pengulangan, dan duplikasi, serta memudahkan pemeliharaan dokumen, sehingga akan terbentuk sistem yang terstruktur dan terkendali. Menurut Whitelaw (2004), alasan pengintegrasian sistem manajemen adalah untuk: 1. Mengurangi biaya dalam bisnis dan memberikan nilai tambah pada proses. Biaya yang dimaksudkan di sini adalah yang berkaitan dengan efisiensi waktu manajemen. Hal ini meliputi waktu oleh auditor (internal auditor dan auditor dari badan sertifikasi). Pengurangan dalam waktu manajemen sangat mempengaruhi keuntungan biaya internal. Pengurangan waktu manajemen ini dapat dikurangi jika elemen dari sistem manajemen dapat dilaksanakan pada waktu yang sama dengan elemen sistem manajemen yang lain. Alasan lainnya adalah adanya nilai tambah. IMS diharapkan dapat menjamin bahwa aktivitas dan prosesproses operasi suatu manajemen sistem memiliki pengaruh positif dan dapat diukur terhadap keuntungan dan loss account dari suatu bisnis. 2. Mengurangi resiko demi kelangsungan bisnis. Manajemen dari suatu organisasi harus melakukan analisis resiko dengan baik. Berikut ini tiga komponen utama dalam analisis resiko: a. Mutu: apa saja resiko dari suplai produk dan jasa yang tidak memenuhi persyaratan konsumen dan yang paling penting adalah tidak up to date dengan perubahan (konsep dari perbaikan berkelanjutan). ISO 9001 adalah alat untuk mengurangi resikoresiko ini. b. Lingkungan : apa saja resiko akibat tidak memenuhi perundangan, jika organisasi tidak dapat up to date pada praktekpraktek terbaik terhadap manajemen lingkungan, dan resiko akibat aktivitas yang dapat merugikan publik terhadap nama perusahaan. ISO 14001 adalah alat untuk mengurangi resiko-resiko ini.
4
c.
Kesehatan dan Keselamatan Kerja : apa saja resiko dari aktivitas yang menyebabkan luka yang diakibatkan oleh kelalaian dan praktek-praktek yang out of date. Resiko-resiko ini paling tidak meliputi hilangnya waktu kerja yang mengakibatkan turunnya produktivitas hingga beralih kepada kriminalitas atau berkaitan dengan hukum akibat karyawan yang terluka. OHSAS 18001 adalah alat untuk mengatur resiko-resiko ini.
Dalam menjalankan, memelihara, dan meningkatkan sistem manajemen QSHE, manajemen PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory juga telah menunjuk perwakilan manajemen sebagai penanggung jawab utama, yang dalam pelaksanaan kerja sehari-hari harus didukung oleh semua karyawan. Pembahasan kinerja IMS PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory akan dilakukan di dalam meeting tinjauan manajemen (management review) secara rutin, yang dihadiri oleh Factory Manager dan Head of Department tiap departemen. Tinjauan manajemen ini akan dilaksanakan minimal setiap enam bulan sekali. B. Food Safety Management System (FSMS) Food Safety Management System atau FSMS adalah sistem penerapan keamanan pangan yang diimplementasikan di PT Nestlé Indonesia. FSMS terdiri dari bagian-bagian utama atau penting dalam Nestlé Quality System (NQS) yang harus dijalankan oleh perusahaan yang menyandang nama Nestlé. FSMS juga merupakan syarat untuk mencantumkan logo Nestlé dalam setiap produk yang akan dihasilkan. Sedangkan Advance level dilakukan untuk memastikan bahwa produk dibuat secara konsisten sehingga produk akhir yang dihasilkan juga memiliki mutu yang konsisten pula.FSMS terdiri dari sepuluh elemen yaitu Nestlé Good Manufacturing Practice (NGMP), Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP), Quality Monitoring Scheme (QMS), Kalibrasi Peralatan, Sistem Release, Penelusuran, Identifikasi, dan Pengkodean, Penarikan produk, Pemantauan bakteri Patogen, Komitmen Manajemen, dan Ketaatan terhadap Peraturan. Berikut adalah penjelasan FSMS secara berurutan.
1. Nestlé Good Manufacturing Practice (NGMP) Good Manufacturing Practice (GMP) adalah kumpulan peraturan, prosedur, dan praktek-praktek yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam industri makanan agar makanan yang diproduksi aman dan bermutu secara berkesinambungan. GMP merupakan kewajiban semua fungsi pada Total Supply Chain. PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory menerapkan GMP yang bernama Nestlé Good Manufacturing Practice (NGMP). NGMP pertama kali diterapkan pada tahun 1996 dengan maksud untuk lebih menekankan nilai penting GMP tersebut. NGMP bukan hanya untuk melengkapi GMP tetapi juga mencakup ketentuan tambahan Nestlé, seperti konsep zoning, hygienic engineering, dan ketentuan hygiene berdasarkan jenis produk. Nestlé Good Manufacturing Practice (NGMP) dapat didefinisikan sebagai cara memproduksi makanan yang aman melalui proses operasional yang terkontrol dengan baik sehingga dapat menghindari segala macam bentuk kontaminasi. NGMP menggabungkan semua paraturan, prosedur, praktek, aktifitas yang dilakukan, memastikan bahwa tujuan mutu pangan dan keamanan pangan serta personal dipenuhi secara konsisten. NGMP bersifat mandatory (keharusan), non confidentiality (bisa didiskusikan dengan klien, supplier, dan perusahaan yang mempunyai hubungan kerja sama dengan Nestlé). Empat belas elemen NGMP adalah lingkungan pabrik, lingkungan proses, bangunan, penerimaan material, peralatan proses, industrial services, proses, cleaning, maintenance, limbah, penyimpanan/transpor/distribusi, penjualan, personal/ karyawan, dan pencegahan hama. 2. Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) Sistem HACCP adalah suatu sistem yang mengidentifikasikan bahaya spesifik yang mungkin timbul dalam mata rantai produksi makanan dan tindakan pencegahan untuk mengendalikan bahaya tersebut dengan tujuan untuk menjamin keamanan pangan. HACCP merupakan alat yang paling efektif untuk mencegah terjadinya penyakit atau luka akibat mengkonsumsi produk. Pihak manajemen Nestlé sangat berkomitmen untuk menggunakan prinsipprinsip HACCP Codex Alimentarius. Implementasi Nestlé GMP (NGMP) merupakan prasyarat yang sangat penting di dalam HACCP.
5
HACCP juga merupakan pertimbangan utama dalam rantai suplai produk pangan, dimulai dari desain produk dan sumber bahan baku, termasuk aplikasi proses pada supplier, proses produksi, dan distribusi hingga persiapan dan konsumsi oleh konsumen akhir. Hal ini diistilahkan dengan “From Farm To Table”. Tanggung jawab manajemen adalah untuk menjamin bahwa tiaptiap pabrik yang beroperasi benar-benar menjalankan HACCP. Sistem HACCP harus diterapkan oleh seluruh unit Nestlé di seluruh dunia. Dalam penerapannya, PT. Nestlé yang berkedudukan di Swiss telah menyusun panduan untuk menerapkan atau melakukan studi HACCP. Dengan demikian penerapan HACCP dilakukan seragam sesuai dengan standar Nestlé. Hal ini akan sangat berguna untuk mengembangkan sistem HACCP. Studi terhadap HACCP bertujuan mengevaluasi kemungkinan bahaya keamanan pangan, menghilangkan bahaya tersebut jika memungkinkan atau untuk menemukan cara dalam mengendalikan bahaya sampai pada tingkat yang aman. Studi tersebut merupakan cara untuk menemukan tahap kritis dalam rantai produksi dan distribusi yang harus dikendalikan untuk menjamin produk yang dihasilkan aman untuk dikonsumsi. Perusahaan telah memiliki dokumen rencana HACCP yang selalu diperbaiki dan dikembangkan sesuai tren keamanan pangan yang ada. Rencana HACCP dibagi per area. Bahaya dibagi menjadi lima jenis bahaya kimia, fisik, biologi, alergi, dan nutrisi. Kontaminasi Salmonella yang berasal dari lingkungan area produksi merupakan contoh bahaya biologi. Bahaya fisik ditimbulkan dari serpihan logam dari goresan tempat penyimpanan susu bubuk (tote bin) sebelum dikemas. Bahaya kimia dapat ditimbulkan dari antibiotika yang berasal dari susu segar, oleh karena itu uji antibiotik pada susu segar harus bersifat negatif. Protein kedelai merupakan bahaya dari alergi, sehingga pencantuman pada label harus jelas. Sedangkan terlalu rendahnya kandungan dari zat besi (Fe) merupakan bahaya nutrisi. Penerapan HACCP di line produksi telah terealisasi dengan baik. Hal ini terlihat dengan adanya CCPs summary sheet pada line produksi, sehingga dapat diketahui oleh operator yang bekerja pada line tersebut. CCPs summary sheet juga merupakan implementasi dari tindakan pencegahan bahaya yang ada sebagai suatu perwujudan realisasi produk yang aman bagi konsumen.
3. Quality Monitoring Scheme (QMS) Suatu prosedur yang disusun untuk menjaga mutu dan keamanan produk. QMS bertujuan untuk melakukan pengecekan yang harus dilakukan di area kerja masing-masing. QMS merupakan kelayakan dasar opersional sebelum memulai proses pada setiap line produksi. QMS diletakan di area produksi sebagai panduan atau petunjuk bagi operator produksi. QMS berbentuk seperti CCPs summary sheet, namun QMS berisi tidak hanya CCPs tetapi seluruh parameter proses yang akan mempengaruhi terhadap keamanan pangan maupun mutu dari produk. QMS berisi kapan harus dilakukannya pengecekan atau frekuensi pengecekan, apa yang harus dicek, oleh siapa harus dicek, bagaimana cara mengeceknya, berapa standarnya, report harus dicatat dimana, dan apa tindakan yang harus dilakukan apabila terjadi penyimpangan. 4. Kalibrasi Peralatan Kalibrasi peralatan digunakan untuk mengontrol CCP, paramer release, dan sebagai aktifitas pemantauan sebagai jaminan bagi keamanan pangan dalam pemenuhan peraturan yang berlaku. Seluruh alat-alat dikalibarasi secara efektif dan rutin. Seorang instrument yang mengkalibrasi peralatan telah mendapatkan pelatihan dan kompetensi dengan baik sebelum mengkalibrasi alat tersebut. Setiap peralatan yang telah dikalibrasi harus diperiksa terlebih dahulu oleh orang yang lebih ahli. Pencatatan (record) pengkalibrasian alat disimpan dengan baik agar peralatan tetap terjaga. 5. Sistem Release Release merupakan suatu otorisasi formal untuk menggunakan lot atau batch tertentu pada tahap produksi atau pada rantai supply chain berikutnya. Release dibagi dua macam yaitu release aktif dan release pasif. Release aktif adalah keputusan release yang terdokumentasi diambil hanya setelah dilakukan evaluasi hasil tes dan parameter proses yang terkait. Release pasif dapat dilakukan dengan melanjutkan produksi ke tahap berikutnya tanpa formalitas khusus, kecuali ada campur tangan seseorang (blocking by exception). Ada tiga macam status produk yaitu, awaiting, released, dan blocked. Status produk awaiting menunjukkan produk masih menunggu hasil analisis dari laboratorium. Status produk released menunjukkan produk telah lolos pemeriksaan laboratorium. Produk berstatus released dapat dikeluarkan dari gudang
6
penyimpanan dan didistribusikan. Produk berstatus blocked artinya produk tidak memenuhi standar dan tidak dapat didistribusikan ke konsumen. Produk berstatus blocked dijadikan sebagai makanan ternak. Stiker atau label release ditempelkan pada setiap pallet produk. Stiker atau label berisi identifikasi lot, tanggal produksi, tanggal kadaluarsa, kuantitas, dan status lot. Manajer pabrik bertanggung jawab secara keseluruhan terhadap produk pada level pabrik dan dapat mendelegasikan kepada manajer QA atau kepala laboratorium. Manajer QA dapat bertanggung jawab secara keseluruhan terhadap produk yang dihasilkan dari dalam pabrik. 6. Penelusuran, Identifikasi, dan Pengkodean Sistem telusur atau traceability adalah tindakan pencegahan untuk memungkinkan dilakukannya prosedur withdrawal atau recall secara efisien apabila dibutuhkan karena menyangkut masalah keamanan pangan atau alasan lainnya. Ada dua arah pembagian traceability, yaitu upstream traceability dan downstream traceability. Arah upstream traceability menunjukkan sistem telusur yang dimulai dari produksi bahan baku sampai bahan baku tersebut sampai ke Pabrik (ke hulu atau ke belakang). Downstream traceability menunjukkan sistem telusur yang dimulai pada saat produk lepas dari pabrik menuju rantai distribusi atau sampai produk dibeli oleh konsumen. Kode lot merupakan kode produksi yang berisi informasi penting tentang seluruh proses produksi dan pengemasan. Kode lot produksi terdiri dari kumpulan angka dan huruf yang menunjukkan tahun, hari produksi, pabrik, mesin, dan batch. Angka pertama dan kedua menunjukkan tahun produki. Angka ketiga, keempat, dan kelima menunjukkan tanggal produksi berdasarkan format tanggal Julian, yaitu menggunakan hari produksi hitungan satu hingga tiga ratus enam puluh lima dalam satu tahun. Angka keenam, ketujuh, dan kedelapan menunjukkan kode pabrik yang memproduksi. Kode mesin ditunjukkan dengan menggunakan huruf. Angka kesepuluh menunjukkan batch, yaitu batch 1, 2, dan 3. Rancangan kode lot ini dirancang untuk menghindari adanya duplikasi kode pada masing-masing produk sehingga memudahkan traceability jika ada kasus tertentu. Sehingga pada kasus-kasus tertentu dapat ditentukan kode lot mana saja yang akan di blocked.
7.Penarikan Produk Penarikan produk dari pasaran dapat terjadi apabila produk tidak memenuhi standar mutu dan keamanan. Agar penarikan produk dapat terlaksana dengan baik maka diperlukan pencatatan lot dan jumlah material yang digunakan. Penarikan dapat terjadi apabila suatu produk melanggar peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah dan mengandung bahan yang berbahaya bagi konsumen. 8. Pemantauan Bakteri Patogen Pemantauan bakteri patogen atau pathogen monitoring dibagi menjadi tiga area, yaitu line produksi, lingkungan, dan produk akhir. Analisis bakteri yang digunakan sebagai dasar pemantauan adalah Salmonella (S) dan Enterobacter (EB). Metode analisis menggunakan analisis kuantitatif. Setiap hasil analisis pemantauan bakteri patogen ditulis pada papan pathogen monitoring yang teletak di gang way menuju area produksi dan dibahas setiap hari pada DOR (Daily Operation Review). Sampel berupa base powder diambil saat line produksi sedang berlangsung dan setiap batch produksi. Sampel yang diambil pada lingkungan (environment sample) berupa swab di area produksi kering. Sampel lingkungan diambil setiap satu minggu per area. Apabila diperoleh hasil Salmonella dan Enterobacter positif, maka area langsung disanitasi dan ditelusuri asal pencemaran bakteri tersebut. Hasil analisis sampel lingkungan ditulis di papan pathogen monitoring per area produksi. Seluruh hasil analisis dari line sampel dan lingkungan sampel dibuat tren dalam bentuk grafik setiap bulannya. Dengan demikian kecenderungan pemantauan terhadap bakteri patogen dapat diketahui sebagai langkah perbaikan. 9. Komitmen Manajemen Komitmen manajemen ditunjukkan dengan mengkomunikasikan pentingnya persyaratan keamanan pangan dalam suatu organisasi dengan memberikan training hygiene dan safety bagi setiap personel yang akan bekerja di dalam factory. Selain itu penandatanganan komitmen manajemen dalam HACCP workshop dan refesh training bagi tim keamanan pangan menunjukkan pihak manajemen mendukung SMKP yang diterapkan perusahaan. Selain itu dilakukan tinjauan manajemen berupa audit internal dilakukan setiap dua minggu sekali (biweekly factory tour) dengan mempertimbangkan aspek hygiene, safety, cost, dan quality. Hasil audit ini dapat menjadi
7
pertimbangan pengembangan dan perbaikan aspek keamanan pangan. 10. Ketaatan terhadap Peraturan Produk & layanan Nestlé tidak pernah berkompromi untuk keamanan pangan dan selalu patuh terhadap hukum dan regulasi yang berlaku pada market di mana Nestlé berada. Hal ini ditunjukkan dengan penerapan syarat halal bagi setiap produk yang dihasilkan dan pencantuman label informasi pada setiap produk yang benar, jelas, dan lengkap. c. Sistem Dokumentasi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dokumentasi didefinisikan sebagai proses pengumpulan, pemilihan, pengolahan, dan penyimpanan informasi dalam bidang ilmu pengetahuan. Berkaitan dengan sistem manajemen maka dokumentasi ini dijabarkan sebagai proses pengumpulan, pemilihan, pengolahan, penyimpanan, dan pengendalian distribusi informasi, sampai pada pemutakhiran data informasi tersebut. PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory mempunyai kebijakan untuk mendokumentasikan sistem yang telah dijalankan dengan tujuan : 1. Untuk memastikan seluruh dokumen (internal atau eksternal) yang digunakan di PT. Nestlé Indonesia Panjang Factory dalam keadaan terkendali. 2. Sebagai prasarana untuk pelatihan karyawan. 3. Sebagai pembuktian penerapan sistem. 4. Sebagai sumber informasi yang dapat digunakan pada saat akan melakukan perbaikan atau peningkatan proses maupun produk. Secara umum sistem dokumentasi dalam format ISO dibagi menjadi tiga bagian, yaitu level 1, 2, dan 3. Level 1 disebut dengan manual mutu berupa dokumen yang sederhana, jelas, tepat, praktis, dan dibuat sesuai dengan elemen-elemen ISO yang diaplikasikan pada perusahaan. Level 2 berisi prosedur dan instruksi kerja. Prosedur menjabarkan proses atau aktifitas utama dalam pabrik dengan ruang lingkup antar departemen sedangkan instruksi kerja merupakan dokumen praktis atau operasional di tiap-tiap line dan mesin dengan ruang lingkup pada departem tertentu. Form dan dokumen pendukung termasuk ke dalam level 3. Keseluruhan sistem dokumentasi dapat tergambar dari catatan-catatan (record) yang
menjadi bukti bahwa sistem telah dilaksanakan dengan baik. PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory pada saat ini menuju sertifikasi Integrated Management System (IMS), yang merupakan gabungan dari tiga sistem yang diterapkan secara bersamaan. Sehingga prosedur-prosedur dan instruksi kerja yang berkaitan dengan SMKP telah terintegrasi pada sistem ini. Dokumentasi yang telah terintegrasi ini menambahkan satu tingkatan dokumen, terdiri dari level 1, 2, 3, dan 4. Perbedaannya terletak pada level 3 dan level 4. Instruksi kerja turun menjadi level 3 dan supporting dokumen menjadi level 4. Level I (Manua l)
Level II Prosedur& Level III Form & Gambar 1. Struktur dokumentasi dalam format ISO Kebijakan dan Prosedur Instruksi Kerja/WI Level IV
Form, Standar,
Gambar 2. Struktur dokumentasi PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory 1. Kebijakan dan Manual Kebijakan dan manual merupakan dokumen level satu. Sesuai dengan persyartan ISO 22000, kebijakan yang harus dimiliki adalah kebijakan keamanan pangan. Kebijakan keamanan pangan merupakan maksud dan arahan secara menyeluruh sebuah organisasi tentang keamanan produk yang dihasilkan yang dinyatakan secara resmi oleh manajemen puncak. PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory belum memiliki kebijakan keamanan pangan tersendiri tetapi telah menerapkan kebijakan mutu yang mencakup kepada keamanan pangan. Kebijakan mutu ini termasuk kebijakan mutu yang baru disyahkan Januari 2007, dan disosialisasikan ke dalam
8
Job
factory mulai bulan Mei 2007. Kebijakan PT Nestlé Indonesia dapat dilihat pada Lampiran 4. Kebijakan disahkan oleh President Director Nestlé Indonesia. Kebijakan yang dibuat harus sesuai dengan sifat dan tujuan organisasi serta sesuai dengan sifat, skala, dan dampak dari aktifitas dan produknya terhadap lingkungan. Bentuk komitmen manajemen yang baik adalah dengan mengkomunikasikan kebijakan mutu tersebut kepada seluruh level manajemen. Kebijakan mutu dikomunikasikan kepada seluruh karyawan dengan pemasangan papan kebijakan mutu dan melalui jaringan intranet. Manual adalah penjelasan dari kebijakan, yaitu pedoman yang menjelaskan mengenai penerapan suatu sistem di lingkungan pabrik. Manual berisi administrasi, status revisi dan penjelasan revisi, pengendalian dokumen, prosedur permintaan, profil perusahaan, riwayat singkat, produk/jasa yang dihasilkan, dan struktur organisasi. Manual yang telah dibuat merupakan manual dari IMS. Saat akan menerapkan ISO 22000 ada kemungkinan manual akan disatukan atau dibuat terpisah. 2. Prosedur Prosedur merupakan dokumen level dua yang berlaku umum dan mengatur suatu aktivitas yang melibatkan lebih dari satu departemen. Prosedur menjabarkan prosesproses/aktivitas-aktivitas utama yang ada di pabrik Panjang dengan ruang lingkup antar departemen. Prosedur yang dibuat harus memuat prosedur operasional secara rinci yang mendukung pernyataan kebijakan dan ringkasan prosedur yang termuat dalam manual. Dokumen ini bersifat rahasia khusus internal Nestlé dan salinan dokumennya hanya dibagikan kepada HOD (Head Of Departement) dan pihak-pihak yang terkait prosedur tersebut. Format prosedur berupa narasi, diagram alir, dan semi diagram alir.
Tabel 1. Format Pengisian Prosedur PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory ISI FUNGSI Title Menginformasikan tema aktivitas yang dilakukan. Terdiri dari klasifikasi dokumen, nomor dokumen, tanggal pengeluaran dan efektif dari dokumen. Terdapat pula kolom tanda tangan yang terdiri dari issued by, checked by, dan approved by. Applicable to Menginformasikan departemen yang terkait dalam penerapan prosedur. Aim Menjelaskan mengenai tujuan dari penerapan prosedur. Scope Memberikan informasi mengenai tugas dan tanggung jawab bagi pihak yang terkait terhadap pelaksanaan prosedur. Reference Menginformasikan referensi yang digunakan dalam penerapan prosedur. Content Terdiri dari definisi/istilah yang digunakan dalam prosedur, rincian/langkah-langkah dalam pelaksanaan prosedur, dan catatan yang berhubungan dengan pelaksanaan prosedur. Related Menginformasikan mengenai documents dokumen-dokumen yang berkaitan dengan prosedur, dapat berupa working instruction, standar, SAP, dll.
3. Instruksi Kerja/Working instruction (WI) Instruksi kerja merupakan dokumen level tiga yang berupa penjelasan rinci dari pelaksanaan suatu aktivitas dalam prosedur yang pada umumnya dilakukan oleh satu jabatan atau posisi dengan mempertimabangkan kecakapan personel dan pengaruh aktivitas terhadap mutu. Format yang digunakan berupa narasi dan gambar/foto/video. Tabel 2. Perbandingan Prosedur dengan Instruksi Kerja Prosedur Instruksi Kerja Secara rinci Memberikan gambaran menjelaskan tugas umum suatu proses. yang harus dikerjakan. Biasanya Biasanya dapat berdiri
9
membutuhkan dokumen penunjang dalam pelaksanaannya. Digunakan oleh banyak personel dari berbagai bagian / posisi.
sendiri.
Digunakan oleh satu posisi di bagian tertentu.
4. Records / Catatan Catatan adalah dokumen pendukung berjenis khusus, di PT PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory disebut sebagai dokumen level 4. Pada pelaksanaannya, dokumen level 4 ini tidak hanya terdiri dari catatan (form dan checklist), tetapi juga terdiri dari standar, Quality Monitoring Scheme (QMS), EA/HIRA, job description, dll. Catatan merupakan bukti implementasi sistem yang sesuai dengan persyaratan standar dan juga merupakan bentuk komunikasi antar departemen. Dokumen-dokumen tersebut terdiri dari soft copy dan hard copy. Dokumen soft copy terdapat di dalam master list intranet yang hanya dapat diakses oleh user tertentu saja. Dokumen yang berbentuk hard copy akan diberi nomor sesuai dengan master list lalu distempel sesuai dengan status dokumen. Dokumen yang digunakan akan diberi stempel “dokumen terkendali” lalu pada stempel tersebut dituliskan nomor salinan dokumen. Dokumen lama yang tidak digunakan lagi akan diberi stempel “obsolete”. Document controller membuat daftar penarikan dokumen lama dan penyerahan dokumen baru sesuai dengan dokumen yang diterima dan yang diberikan, lalu ditandatangani sebagai tanda terima. Seluruh dokumen asli baik dokumen lama maupun yang baru kemudian disimpan oleh document controller. Document controller akan menyimpan dan memelihara catatan yang ada di PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory dengan cara: 1. Menyimpannya pada tempat tertentu yang dapat menghindari catatan hilang atau rusak. 2. Menyimpan catatan sesuai masa penyimpanannya. Lama penyimpanan catatan ditulis pada master list catatan pada masing-masing departemen.
E. ANALISIS KESENJANGAN ANTARA KONDISI PERUSAHAAN DENGAN PERSYARATAN ISO 22000 PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory berencana mengimplementasikan penerapan ISO 22000. Saat ini penerapan SMKP pada PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory disebut dengan Food Safety Management system (FSMS). Persyaratan pada FSMS dibuat berdasarkan pendekatan standar internasional ISO 22000 yang secara umum mengutamakan sistem keamanan pangan, ketaatan terhadap peraturan dan komitmen dari manajemen. Hasil observasi menunjukkan bahwa standar ISO 22000 telah diakomodasi oleh PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory. Hal ini telihat dari pemenuhan 48 kriteria dari 60 kriteria yang ada. 1.
Klausul 4 (Sistem Manajemen Keamanan Pangan) Klausul empat yaitu SMKP terpenuhi dengan diterapkannya FSMS pada factory. FSMS mencakup sepuluh elemen yaitu penerapan NGMP, HACCP, QMS, Instrument Calibation, Release System, Tracebility Lot Identification &Coding, Product Recall , Pathogen Monitoring, Management Commitment dan Regulatory Compliance. Prosedur-prosedur SMKP sudah dijalankan dan didokumentasikan dengan baik. Hal ini terlihat bahwa prosedur-prosedur yang menyangkut SMKP telah lengkap. Dokumentasi bukan merupakan syarat utama dalam penerapan ISO tetapi lebih mengedepankan bagaimana sistem ini dijalankan di dalam factory, sehingga dapat dibuktikan dengan rekaman aktifitas yang telah dilakukan. ISO 22000 merupakan standar yang hanya menekankan aspek keamanan pangan saja oleh sebab itu dalam memperoleh sertifikasinya sistem dokumentasi ISO 22000 tidak bisa dipadukan dengan sistem manajemen lainnya yang terintegrasi dalam Integrated Management System (IMS). 2.
Klausul 5 (Komitmen Manajemen) Komitmen manajemen (Klausul 5.1) ditunjukkan dengan mengkomunikasikan pentingnya persyaratan keamanan pangan dalam suatu organisasi. Komitmen manajemen ditunjukkan dengan memberikan pelatihan hygiene dan safety bagi setiap personel yang akan bekerja di dalam factory. Selain itu penandatanganan komitmen manajemen dalam HACCP workshop yang menunjukkan pihak manajemen mendukung SMKP dan refesh
10
training bagi food safety team. Kebijakan keamanan pangan belum ditentukan secara khusus namun telah menggunakan kebijakan mutu yang mencakup keamanan pangan. Tinjauan manajemen berupa audit internal dilakukan setiap dua minggu sekali (biweekly factory tour) dengan mempertimbangkan aspek hygiene, safety, cost, dan quality. Hasil audit ini dapat menjadi pertimbangan pengembangan dan perbaikan aspek keamanan pangan. Kebijakan keamanan pangan (Klausul 5.2) adalah tujuan suatu organisasi yang berkaitan dengan keamanan pangan dan dinyatakan oleh pihak manajemen puncak. Kebijakan yang diterapkan di PT Nestlé Indonesia adalah kebijakan mutu yang telah mencakup kebijakan keamanan pangan. Kebijakan mutu yang diterapkan merupakan keijakan mutu yang baru, sehingga sosialisasi terhadap seluruh karyawan terutama level operator belum maksimal. Saat ini pengkomunikasian terhadap kebijakan mutu baru hanya sebatas pemasangan beberapa papan kebijakan mutu dan melaui intranet. Klausul 5.3 tentang perencanaan SMKP dengan menyusun, menetapkan dan menjaga kebijakan mutu dimana telah mencakup keamanan pangan dan peraturan yang berlaku. Hal ini diwujudkan dengan menetapkan sasaran perbaikan untuk level perusahaan dan level operasional yang terukur dan mampu dicapai dalam periode waktu yang ditentukan. Setiap departemen memiliki target yang harus dicapai dan ditinjau pencapaiannya pada setiap management review meeting. Tanggung jawab dan wewenang (Klausul 5.4) harus dimiliki oleh setiap personel yang menjadi bagian dari tim keamanan pangan. Pembagian tanggung jawab dan wewenang dalam tim keamanan pangan hanya sebatas per area, sesuai dengan tanggung jawab dan wewenang dalam area tersebut. Tidak ada dokumen secara detail atau sesuai yang disyaratkan menunjukkan tanggung jawab dan wewenang dari tim keamanan pangan tersebut. Manajemen puncak harus menetapkan wakil mananjemen yang mempunyai tanggung jawab terhadap keamanan pangan. Ketua tim keamanan pangan (klausul 5.5) di PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory disebut dengan HACCP koordinator. Seorang HACCP koordinator harus mempunyai pengetahuan dasar tentang manajemen hygiene dan prinsip HACCP. HACCP koordinator bertanggung jawab dalam hal penjaminan pelatihan (training) keamanan pangan dan pendidikan bagi para anggotanya,
melaporkan keefektifan tim yang ada. Pelatihan HACCP dilakukan secara rutin sebagai wujud pembaharuan dan penyegaran pengetahuan bagi para anggota tim HACCP. Komunikasi (klausul 5.6) merupakan salah satu unsur penting dalam suatu organisasi. Komunikasi internal (klausul 5.6.2) yang dilakukan di PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory menggunakan media audio visual (intranet email), DOR (Daily Operation Review), meeting dan briefing/5 minutes meeting, konsultasi internal, HPWT (High Performance Work Team) yang digunakan bagi para staff produksi meninjau kinerja harian yang dilakukan setelah akhir shift pada setiap hari. Informasi lainnya diberikan melalui display, buletin Factory, serta berbagai poster dan tulisan di tempat kerja. Komunikasi eksternal (klausul 5.6.1) merupakan komunikasi antara perusahaan dengan pihak eksternal mengenai keamanan pangan. Perusahaan harus menjalin hubungan yang baik dengan pemasok (supplier), kontraktor, konsumen, pihak pemerintah dan pihak lainnya. Salah satu contah komunikasi yang baik antara supplier ditunjukkan oleh Departemen Agri service yang berhubungan langsung dengan pihak produsen fresh milk yakni seluruh koperasi susu, ditunjukkan dengan memberikan penyuluhan dan pelatihan bagi para petani susu setiap minggu. Selain itu komunikasi ekternal terhadap supplier lain diadakan dengan cara audit (Supplier Quality Audit) setiap tahun sebanyak 2 kali dilakukan dengan kunjungan secara langsung, supplier wajib memiliki COA (Cerificate Of Analysis) sebagai tanda telah memenuhi aspek mutu dan keamanan pangan, dan harus selalu memenuhi spesifikasi sebagai bukti kesesuaian yang telah ditentukan oleh perusahaan. Sebagai contoh adalah penerapan sistem sistem keamanan yang bersentuhan langsung dengan produk bagi supplier packaging. Pihak manajemen harus membuat, menerapkan, dan memelihara prosedur untuk mengontrol potensial situasi bahaya dan kecelakaan yang akan berpengaruh pada keamanan pangan (klausul 5.7). Kondisi darurat dapat terjadi apabila produk atau lingkungan terkontaminasi dan muncul ketidaksesuaian dalam proses. Inter Office Memo (IOM) merupakan salah satu tindakan yang diterapkan untuk mencegah ketidaksesuaian terjadi lagi pada line produksi. Contoh implementasi IOM pada line produksi adalah dengan memberlakukan double shoe cover apabila
11
memasuki area produksi agar tidak terjadi kontaminasi silang yang berasal dari sepatu yang dipakai. Tinjauan manajemen dilakukan untuk mengetahui keefektifan dan kecukupan SMKP atas masalah keamanan pangan yang terjadi. Tinjauan manajemen mencakup tinjauan input dan tinjauan output. Tinjauan input dapat berupa audit internal, analisis hasil verifikasi, mengganti keadaan yang mempengaruhi keamanan pangan dan feed back dari konsumen. Audit Internal dapat berupa Daily Audit, Biweekly Factory Tour, FSMS Audit dari kantor pusat, Gap Assessment Nestlé Nutrition, GMP@ Nestlé Excecution Support. Tinjauan output (klausul 5.8.3) meliputi perbaikan atas jaminan keamanan pangan. PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory melakukan perbaikan dan efektifitas dalam menunjang SMKP. Contoh perbaikan sistem yang dilaksanakan antara lain dengan menambahkan elemen dari FPL (First Priority Level) dengan regulatory compliance dan management commitment sehingga berubah menjadi FSMS (Food Safety Management System) sebagai dasar penerapan SMKP pada awal tahun 2007. 3.
Klausul 6 (Manajemen Sumber Daya) Pemenuhan sumber daya pada klausul 6.1 meliputi tiga bagian yaitu, sumber daya manusia, infrastruktur, dan lingkungan kerja. Sumber daya manusia (klausul 6.1) terpenuhi dengan ketersediaan sumber daya manusia yang bersifat internal maupun eksternal di dalam perusahaan. Sumber daya internal terpenuhi dalam pembentukan tim HACCP. Tim HACCP terdiri dari multidisi anggota dengan latar belakang multidisiplin yang mempunyai kemampuan dasar pendidikan, pelatihan, keterampilan, dan pengalaman yang sesuai. Kontraktor sebagai sumber daya eksternal mempunyai tanggung jawab dan kontrak yang jelas. Setiap kontraktor harus memiliki pengawas untuk memonitor kinerja secara sistematis dan terkendali. PT bekerja sama dengan kontraktor sebagai sarana pendukung, seperti external analysis, pest control, cleaning service, packaging, dan pada project area. Seluruh karyawan yang akan bekerja dalam lingkungan Kejayan Factory, harus mengikuti pelatihan dasar berupa pelatihan hygiene, GMP dan safety. Identifikasi kebutuhan pelatihan bagi karyawan disesuaikan dengan tanggung jawab dan tugasnya masing-masing. Departemen Organizing Development bertugas
untuk mengatur dan mendokumentasikan catatan pelatihan tersebut dengan baik. Area bangunan (klausul 6.2) dibagi menjadi beberapa bagian diantaranya security area, kantor, laboratorium, kantin, toilet, masjid, dan area produksi. Pemenuhan standar bangunan sesuai dengan persyaratan sanitasi. Persyaratan standar ISO 22000 menetapkan area cuci tangan menuju ruang produksi dilengkapi dengan kran air panas, saat ini perusahaan belum menerapkan standar tersebut walaupun kran cuci tangan menuju area produksi telah memadai berupa kran automatis dan pengering berupa tisu. Lingkungan kerja (klausul 6.3) pada PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory disebut factory environment dengan mengedepankan prinsip zoning. Zoning adalah pembagian suatu area berdasarkan produk yang dihasilkan, lingkungan, kontaminasi, dan tipe cleaning yang diperlukan. Zoning diterapkan untuk mencegah kontaminasi baik mikrobiologi, kimia, dan fisik yang menyebar dari daerah tingkat kontainasi tinggi ke daerah proses yang critical sehingga produk dihasilkan aman untuk dikonsumsi. Area zoning dibagi tiga yaitu, Hygiene 1 (H1), Hygiene 2 (H2), dan Hygiene 3 (H3). H3 adalah area yang jauh dari produk, tempat orang berjalan dari tempat proses yang satu ke tempat proses yang lain. H2 merupakan barrier atau pembatas antara H1 dan H3. Barrier dapat berupa dinding, pintu, filter, atau area penggantian sepatu. Pada area H2 dilengkapi dengan kamera pengintai yang dihubungkan dengan komputer pada ruang supervisor, sehingga dapat ditelusuri apabila terjadi pencemaran pada area produksi H1. Area yang memiliki kemungkinan terjadinya kontak langsung antara lingkungan dengan produk, dan mempunyai resiko kontaminasi yang tinggi terhadap produk merupakan area H1. Untuk mendukung perlindungan area H1 terhadap kontaminasi, diberikan positive pressure pada area H1 (tekanan udara di dalam ruangan H1 lebih tinggi daripada tekanan udara di luar area H1) sebagai pencegahan masuknya serangga dan bakteri beterbangan di udara karena terbawa angin atau aliran udara yang masuk ke dalam area H1. 4. Klausul 7 (Prerequisite Programme) Penerapan prerequisite programme atau kelayakan dasar (klausul 7.2) yang diterapkan di PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory adalah NGMP (Nestlé Good Manufacturing Practice). NGMP pertama kali diterapkan tahun 1996 dengan maksud untuk lebih menekankan nilai penting GMP tersebut. NGMP bukan hanya
12
untuk melengkapi GMP tetapi juga mencakup ketentuan tambahan Nestlé, seperti konsep Zoning, hygienic engineering, dan ketentuan hygiene berdasarkan jenis produk. Pemenuhan klausul 7.2.2 dapat dilihat dari cakupan prerequisite berupa empat belas elemen NGMP meliputi lingkungan pabrik, lingkungan proses, bangunan, penerimaan material, peralatan proses, industrial services, proses, cleaning, maintenance, pengolahan limbah, penyimpanan/transpor/distribusi, penjualan, personel/karyawan, dan pencegahan hama. Terdapat inspeksi internal terhadap NGMP secara rutin yaitu setiap hari dan setiap dua minggu sekali di seluruh area pabrik oleh tim keamanan pangan. Perusahaan juga telah memiliki dokumen rencana HACCP yang dibuat per area proses, dokumen selalu diperbaiki dan dikembangkan sesuai tren keamanan pangan yang ada. Hal tersebut sebagai tindakan pencegahan dari bahaya yang ada sebagai suatu perwujudan realisasi produk yang aman bagi konsumen (klausul 7). HACCP study mencakup seluruh tahap produksi, dari bahan baku hingga mencapai konsumen. Karakteristik produk terdapat di dalam dokumen HACCP. Diagram alir yang dibuat mencakup seluruh tahapan proses. Diagram alir diverifikasi dan diperbaharui ketika perubahan proses terjadi. Semua material yang terdapat di dalam produk, rework, sistem alat pembantu terdaftar dan sesuai dengan standar kesehatan. HACCP Study berupa kumpulan data dari proses pengolahan dan verifikasi HACCP juga peraturan dari negara yang berlaku merupakan langkah awal untuk melakukan analisis bahaya keamanan pangan (klausul 7.3). Tim Keamanan pangan merupakan pendukung yang diperlukan dalam HACCP study, tim keamanan pangan sudah terbentuk dengan nama HACCP team (klausul 7.3.2). Hasil pelatihan HACCP team dibutuhkan sebagai data pendukung yang menunjukan validitas dari anggota tim tersebut. Karakteristik produk (klausul 7.3.3) yang mencakup komposisi, kemasan, umur simpan, label, target konsumen, serta tujuan penggunaan (klausul 7.3.4) didokumentasikan pada dokumen HACCP. Analisis bahaya (klausul 7.4) berupa bahaya fisik, mikrobiologi, dan kimia. PT Nestlé Indonesia menambahkan analisis bahaya berupa bahaya allergen dan bahaya nutrisi sebagai syarat bahaya yang harus dikontrol. Bahaya diidentifikasi dari kumpulan data berbagai proses pengolahan dan verifikasi diagram alir dapat
dilakukan untuk mengontrol bahaya keamanan pangan yang akan timbul. Identifikasi CCP (klausul 7.6.3) dilakukan menggunakan bantuan pohon keputusan. Setiap CCP, parameter control dan titik kritis diidentifikasi dan divalidasi dengan tepat. CCP summary sheet terdapat di ruang operator sedangkan papan CCP tergantung pada mesin yang menjadi CCP proses tersebut. Sehingga diharapkan CCP dapat dikendalikan dan dapat diketahui dengan jelas langkah yang akan diambil apabila terjadi penyimpangan. Sistem traceability (klausul 7.9) dapat dilakukan dengan jelas karena lots produk, batch bahan baku, proses dan distribusi tercatat dengan baik secara manual atau dengan sistem. Tindakan koreksi dan korektif diperlukan sebagai tinjauan ulang apabila terjadi ketidaksesuaian, record hasil dari tindakan korektif tertuang dalam CAR (Corrective Action Report). Produk yang berpotensi menjadi tidak aman dikontrol dengan cara dipisahkan, ditahan dan dianalisis lanjutan oleh QA (sesuai prosedur release). Penarikan produk (klausul 7.10.4) sesuai dengan prosedur recall. 5.
Klausul 8 (Validasi, Verifikasi, dan Pengembangan Sistem Manajemen Keamanan Pangan) Validasi dalam sistem HACCP digunakan untuk menyeleksi tindakan pengendalian yang dapat mengontrol bahaya keamanan pangan (klausul 8.2). Setiap CCP dan titik kritis identifikasi dan divalidasi sesuai dengan referensi. Kalibrasi alat merupakan salah satu bagian dari elemen FSMS, pengendalian, pengawasan, dan pengukuran (klausul 8.3). Peralatan terkalibrasi yaitu peralatan yang digunakan untuk melakukan monitoring, pengukuran, menghasilkan bacaan yang akurat, dilakukan pengecekan sehingga dapat dibandingkan keakurasiannya pada standar yang telah diketahui. Untuk memastikan keakurasiannya kalibrasi dilakukan secara efektif dan rutin. HACCP verifikasi (klausul 8.4) dilakukan untuk menjamin tindakan pengendalian dilakukan secara efektif. Audit internal dilakukan secara rutin sesuai pengaturan yang terrencana (klausul 8.4.1). Audit Internal bertujuan meninjau keefektifan penerapan sistem mananjemen keamanan pangan pada line produksi dan sekitarnya serta menjadi acuan dari verifikasi sebagai tindakan pengendalian. Pengembangan (klausul 8.5) pada PT Nestlé Indonesia, Kejayan Factory bertujuan
13
meningkatkan efektifitas, mengembangkan kinerja perusahaan, memperoleh perbaikan maupun pembaharuan informasi SMKP. Pengembangan dapat berupa hasil tinjauan sebelumnya yaitu hasil audit dan pemeriksaan (internal atau eksternal), hasil analisis dari verifikasi yang mencakup customer feedback, informasi lain berdasarkan kecocokan, kecukupan, dan keefektifitas SMKP yang tercakup pada rencana HACCP. DAFTAR PUSTAKA International Organization for Standardizationa. 2005. International Standar ISO 22000, Food Safety Management Systems, Requirements for any organization in the food chain. ISO. Jenewa. Whitelaw, K. 2004. ISO 14001 : Environmental Systems Handbook Second Edition. Elsevier Ltd., Great Britain.
14