1
MENGUKUR TINGKAT EFEKTIFITAS, TINGKAT KEMANDIRIAN, DAN TINGKAT KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH DALAM MENDUKUNG PELAKSANAAAN OTONOMI DAERAH (Studi kasus Kota Malang periode tahun anggaran 2003-2007)
SKRIPSI Disusun oleh :
Anas Arista Nurjuha 0510210006
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Meraih Derajat Sarjana Ekonomi
JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2009
5
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Anas Arista Nurjuha
Tempat / Tanggal lahir
: Malang / 17 Juni 1987
Jenis kelamin
: Laki - laki
Agama
: Islam
Alamat
: Golek No. 2 Rt. 5 Rw. 4 Karang Duren, Pakisaji-Malang (65162)
Riwayat Pendidikan : 1. SDN Karang Duren III, 1993-1999. 2. SLTP Negeri 3 Malang, 1999-2002. 3. SMA Negeri 5 Malang, 2002-2005. 4. Terdaftar sebagai Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, 2005.
Pengalaman Organisasi : 1. Pengurus Forstilling M-Fine (2005-2006). 2. Pengurus HMJ EP Divisi Art & Sport (2006-2007).
Pengalaman Lain : 1. Staf Divisi Balistik “Maestro” PK2MABA Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya. 2. Panitia pada kegiatan Seminar Nasional “Intellectual Dialogue of Economics IX (IDE)”, Divisi Balistik.
3. Menjadi koordinator surveyour (PT Enciety) 2 desa dalam program konversi minyak tanah ke gas elpiji dari Pertamina. 4. Ketua Pelaksana Pemilihan Wakil Mahasiswa (Pemilwa Raya) HMJ-EP FE Unibraw. 5. Staf Tracer PHK A3 Jurusan Ekonomi Pembangunan.
6. Panitia Temu Alumni FE Universitas Brawijaya, Divisi Balistik.
6
LEMBAR PERSEMBAHAN
Segala puji dan syukur selalu dipanjatkan kepada ALLAH SWT, karena dengan rahmat dan karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul : “Mengukur Tingkat Efektivitas, Tingkat Kemandirian, Dan Tingkat Kemampuan Keuangan Daerah Dalam Mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah (Studi Kasus Kota Malang Periode Tahun Anggaran 2003–2007).” Penyusunan skripsi ini ditujukan untuk melengkapi persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana Ekonomi pada Jurusan Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya. Penulis menyadari bahwa tulisan ini tidak lepas dari kekurangan, walaupun penulis telah berusaha semaksimal mungkin demi kesempurnaan tulisan ini. Oleh karena itu merupakan kebanggan bagi penulis apabila ada kritik maupun saran dari pembaca. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1.
Bapak Dr. Moh. Khusaini, SE., M.Si., MA., selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah memberikan pengarahan sehingga tulisan ini bisa terselesaikan.
2.
Bapak DR. Ghozali Maski, SE., MS., selaku Ketua Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Malang.
3.
Bapak Dr. Gugus Irianto, SE., MSA., Ak. selaku Dekan Fakultas Ekonomi.
4.
Dosen-dosen
Jurusan
Ekonomi
Pembangunan
dan
Fakultas
Ekonomi
Universitas Brawijaya atas didikan, ilmu dan kesabaran yang diberikan selama penulis menuntut ilmu.
7 5.
Bapak, Ibu, dan Adikku yang telah banyak memberikan banyak dukungan baik moril maupun materiil, arahan, nasehat, dan doa serta memberikan motivasi kepadaku.
6.
Teman-temanku yang tergabung dalam “KRr Community” (atau biasa disebut “Kemplu Club”)_KHUSUS DEWAN KEHORMATAN KRr_yang dihuni oleh (diawali dari yang sepuh dulu), Udin “Encix” selaku “Ketua Suku” atau yang biasa disebut “Buyut” alias “Ketum”, yang sering memberikan wejangan-wejangan kepada saya; “Mbah” Sani atau biasa disebut “Mat Sani” alias “Mat Santos” alias “The Lost Boy I”(cz sering ilang) alias “Cupekthonk” alias “Duro Putih”, (karena sering gak mau ngalah sama yang muda, hehe, sabar Mbah); Dwi “Jabung Boy” atau biasa yang disebut “Cemen”, temenku yang serumpun “KABUPATEN PEOPLE”; Sam Devis Prima atau biasa dipanggil “Prima Arwana” (karena tingkahnya yang seperti Tukul bila di depan teman-teman, tapi kalo disamping dek Ulid perilakunya berubah 180o seperti ikan Arwana yang baru pindah aquarium, hehe sabar Sam, atau lebih tepatnya perilakunya menjadi lebih “Gentleman” layaknya Brad Pitt pada Angelina Jolie); Sam Budi “KYY” alias “Idub Jombang Bergelora” karena selaku kolektor sekaligus distributor film “apik-apik” (bagi kalangan sendiri, KRr Community); “Mr.” Mashuda Taqwanurijal (jenenge apik, Islami, tapi sayang Kurang Khusyuk), or I always called him “Samhud” alias “Marhud” alias
“Langgeng Boys” (saya harus mengucapkan secara Khusus
terima kasih saya, karena pada awal-awal masa kuliah dulu saya sering mengganggu masa pacaran dan waktu tidur anda, karena saya dan temanteman sering “Berkompetisi dalam Base Camp Cup”, dan akhirnya saya berhasil menyejajarkan diri dan mencatatkan nama saya dalam salah salah satu Base Camp Cup Winner, haha); Akhdiat Suaka atau biasa dipanggil Adit alias “Gombloh” beserta Ovy “kecilnya” (Aku masih ingat masa-masa OSPEK dulu, coz face mu, lutchu !!!, tapi dibalik wajahnya yang lucu, anda jangan sampai
8 tertipu, karena dia suka menyembunyikan sesuatu milik kita, uuuhhh dasar gombloh jahat, nakal!); “Boy” Dohar Gideon Silitonga, “Bocah dari Tanah Batak”, Aulia Reza “Darez” alias “Tomy” alias “Arek Omahan” alias “The Lost Boy II” (cz sering ilang, karena gak tahu jalan-jalan di Malang, “bagaikan pendatang di negeri sendiri”, hehe; Heru Siswanto teman seperjuanganku alias “Pujangga Lamis” alias “Lambe Mohawk” alias “Cangkem Gombal” alias “Juragan Snack” (tapi aku ora tahu digawakno) alias “Duro Pakis”; Azam Wismantara alias apa ya, julukannya ???. Karena jarang ngumpul-ngumpul sih, karena sibuk Ngujub dhewe; Racha Dion alias “Mbut” atau biasa dijuluki “Juragan Villa” karena sering menggeluti dunia “Percukongan.....”, hehe; Faishal “Padli” alias “Little Boy’O’” alias “Arek Cilik” yang suka ngelamak (selain yang lulus duluan, juga senang ngejahilin temen-temen yang lebih tua, hehe); dan ada satu makhluk lagi penghuni _Dewan Kehormatan KRr_ yang gak jelas ........nya (karena dibilang cewek tapi kekar, medheni lak ngamuk (nyakaran, nyakotan kaya’ kucing, hi atut) gak suka pake rok, tapi diarani cowok, kok ya agak cantik ????????, pokoke kalo dibandingkan ,yah 1-2 lah hampir sama kaya’ Darez, namanya Sdr/i Ester Rosa “Ocha” Septiayudi (tuh kan dari namanya saja, qt sudah dibuat dibuat bingung akan .......nya, hehe, sabar Cha). Tak lupa Aq secara khusus mau mengucapkan rasa terima kasihku kepada “Sang PujaanQ” walaupun kau jauh di sana, walaupun kata-kata ini takkan mungkin kau dengar, ataupun kau takkan pernah tau akan perasaanku ini, tetapi lewat getaran hati ini aku yakin kau pasti akan merasakan besarnya perhatianku kepadamu, walaupun kau takkan pernah tau, tetapi aku takkan pernah berhenti berharap dan selalu setia menantimu. Akhirnya terimalah rasa terima kasihku ini “Sang PujaanQ” yaitu: “My Star” (Miss D....) terima kasih atas cahayamu karena kau selalu menerangi hatiku, “My Little Fairy” (Miss Gita Gutawa) terima kasih telah menemani tidurku dengan suara merdumu disaat ragaku beristirahat karena beratnya beban yang ditanggungnya,
9 “My Inspirations” (Miss Dian Sastro, Miss Mariana Renata, dan Miss Emma Watson) terima kasih karena telah menginspirasiku dengan cerita jalan hidupmu, karena setelah membaca cerita jalan hidupmu dan memandang wajahmu, membangkitkan kembali bara semangat dalam jiwaku ini yang hampir padam karena terkena debu-debu masalah yang bersifat korosif pada hatiku yang nantinya akan berimbas kepada semangat jiwaku ini. 7.
Rekan-rekan mahasiswa Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya semuanya, khususnya angkatan 2005, serta semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu dimana telah membantu dalam penyelesaian Skripsi saya ini. Semoga Allah SWT, memberikan balasan atas jasa dan kebaikan yang telah
diberikan kepada penulis. Akhir kata penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, dan seluruh pembaca pada umumnya.
Malang, 23 Juli 2009
Penulis
10
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI .........................................................................................
i
DAFTAR TABEL ..................................................................................
iii
DAFTAR GRAFIK............................................................................... ..
iv
DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................
v
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................... 1 1.1 Latar Belakang .............................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................
10
1.3 Tujuan Penelitian..........................................................................
10
1.4 Manfaat Penelitian........................................................................
10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................... 12 2.1 Konsep Pemerintah Daerah.............................................................. 12 2.2 Konsep Otonomi Daerah .................................................................. 14 2.3 Prinsip-Prinsip Otonomi Daerah ....................................................... 17 2.4 Keberhasilan Otonomi Daerah ......................................................... 18 2.5 Keuangan Daerah ………………………………………....................
21
2.6 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah..................................... 26 2.7 Pendapatan Asli Daerah .................................................................. 27 2.8 Dana Alokasi Umum .........................................................................
29
2.9 Dana Alokasi Khusus ........................................................................ 30 2.10 Efektifitas dan Efesiensi Penerimaan Daerah ................................ 31 2.11 Penelitian Terdahulu ....................................................................... 31 2.11.1 Sjafrizal .................................................................................... 31 2.11.2 Aminah ..................................................................................... 34 2.11.3 Yuliati ........................................................................................ 36 2.12 Kerangka Pemikiran ......................................................................... 38
BAB III METODE PENELITIAN............................................................... 40 3.1 Lingkup Penelitian dan Daerah Penelitian .................................. .... 40
11 3.2 Jenis Data dan Sumber Data ...............................................................40 3.3 Metode Pengumpulan Data ............................................................... 42 3.4 Analisis Data .......................................................................................42 3.4.1
Mengukur Tingkat Efektifitas Keuangan Daerah .................43
3.4.2. Mengukur Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah................. 42 3.4.2.1 Rasio Dana Alokasi Umum ....................................................
44
3.4.2.3 Rasio Ketergantungan ............................................................ 44 3.4.3 Mengukur Tingkat Kemampuan Keuangan Daerah .................
45
3.4.3.1 Mengukur Tingkat Pertumbuhan PAD ...................................
45
3.4.3.2 Mengukur Derajat Otonomi Fiskal .........................................
46
3.4.3.3 Rasio PAD terhadap Total Belanja Daerah ...........................
46
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................... 48 4.1 Grafikan Umum Daerah Penelitian .................................................
48
4.2 Hasil Perolehan Data ......................................................................... 50 4.3 Hasil Perhitungan Keuangan Daerah ................................................ 52 4.3.1
Hasil
Pengukuran
Rasio
Efektifitas
Keuangan
Daerah
Malang....................................................................................
Kota
52
4.3.2 Hasil Pengukuran Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Kota Malang ...................................................................................
57
4.3.2.1 Rasio Dana Alokasi Umum .................................................. 57 4.3.2.2 Rasio Ketergantungan .......................................................... 61 4.3.3 Hasil Pengukuran Tingkat Kemampuan Keuangan Daerah Kota Malang ..................................................................................
64
4.3.3.1 Tingkat Pertumbuhan PAD Kota Malang .........................
65
4.3.3.2 Derajat Otonomi Fiskal .....................................................
67
4.3.3.3 Rasio PAD terhadap Belanja Daerah Kota Malang .........
70
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...................…………………..
.84
5.1 Kesimpulan …………………………………………………………..
84
5.2 Saran-Saran ...................................................................................
87
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................
89
LAMPIRAN ..........................................................................................
91
12 DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Klasifikasi Daerah Berdasarkan Rasio PAD terhadap APBD ........ 6 Tabel 1.2 Lima Kabupaten/Kota yang memiliki proporsi PAD terhadap Total Pengeluaran (tertinggi dan terendah)...............................................
9
Tabel 3.1 Efektifitas Keuangan Daerah Otonom .............................................43 Tabel 3.2 Kategori Kemandirian Keuangan Daerah Otonom ..........................45 Tabel 3.3 Kategori Kemampuan Daerah Otonom ...........................................46 Tabel 4.1 Data Keuangan Daerah Kota Malang tahun 2003-2007..................52 Tabel 4.2 Rasio Efektifitas Keuangan Daerah Kota Malang tahun 20032007..................................................................................................53 Tabel 4.3 Pendapatan Asli Daerah Kota Malang tahun 2003-2007.................56 Tabel 4.4 Rasio DAU terhadap Total Pendapatan Daerah Kota Malang tahun 20032007..........................................................................................
58
Tabel 4.5 Rasio Ketergantungan Kota Malang tahun 2003-2007 ...................62 Tabel 4.6 Tingkat Pertumbuhan PAD Kota Malang tahun 2003-2007 ............65 Tabel 4.7 Derajat Otonomi Fiskal Kota Malang tahun 2003-2007 ..................68 Tabel 4.8 Rasio PAD terhadap Total Belanja Daerah Kota Malang ...............71 Tabel 4.9 Kontribusi Pajak Hotel terhadap PAD Kota Malang ........................75 Tabel 4.10 Kontribusi Pajak Restoran terhadap PAD Kota Malang ................76 Tabel 4.11 Kontribusi Pajak Hiburan terhadap PAD Kota Malang ..................76 Tabel 4.12 Kontribusi Pajak Reklame terhadap PAD Kota Malang .................77 Tabel 4.13 Kontribusi Pajak Penerangan Jalan terhadap PAD Kota Malang ..78 Tabel 4.14 Kontribusi Pajak Parkir terhadap PAD Kota Malang ......................78 Tabel 4.15 Kontribusi Retribusi Daerah terhadap PAD Kota Malang ..............80 Tabel 4.16 Kontribusi Laba Atas Modal PDAM terhadap PAD Kota Malang....81 Tabel 4.17 Kontribusi Laba Atas Modal PD RPH terhadap PAD Kota Malang.81 Tabel 4.18 Kontribusi Laba Atas Modal PD BPR terhadap PAD Kota Malang.82 Tabel 4.19 Kontribusi Laba Atas Modal Bank Jatim terhadap PAD Kota Malang................................................................................................82 Tabel 4.20 Kontribusi Lain-lain Pendapatan yang Sah terhadap PAD Kota Malang ...............................................................................................
83
13 DAFTAR GRAFIK
Grafik 4.1 Rasio EKD Kota Malang tahun 2003-2007..............................
55
Grafik 4.2 Pendapatan Asli Daerah Kota Malang tahun 2003-2007........
57
Grafik 4.3 Prosentase RDAU terhadap Total Pendapatan Daerah Kota Malang tahun 2003-2007......................................................
61
Grafik 4.4 Prosentase Rasio ketergantungan Kota Malang tahun 2003-2007 .....................................................................................
64
Grafik 4.5 Prosentase Tingkat Pertumbuha PAD Kota Malang tahun 20032007.......................................................................... Grafik 4.6 Derajat Otonomi Fiskal kota Malang tahun 2003-2007 ........
67 70
Grafik 4.7 Rasio PAD terhadap Total Belanja Daerah kota Malang tahun 20032007 ..........................................................................
73
14 DAFTAR LAMPIRAN
No
Judul
Hal
1
Actual Government Revenues .............................................................. 91
2
Actual Government Expenditure ........................................................... 92
3
Actual Government Revenues
4
Actual Government Expenditure .............................................................94
5
Continued tabel .......................................................................................95
6
Actual Government Revenues ................................................................96
7
Actual Government Expenditure .............................................................97
8
Continued tabel .......................................................................................98
9
Actual Government Revenues ................................................................99
10
Actual Government Expenditure ............................................................100
11
Continued tabel .....................................................................................101
12
Actual Government Revenues ...............................................................102
13
Actual Government Expenditure ............................................................103
14
Continued tabel .....................................................................................104
15
Hasil Perhitungan Tingkat Efektifitas Keuangan Daerah Kota Malang .105
16
Hasil Perhitungan Rasio Dana Alokasi Umum Kota Malang .................106
17
Hasil Perhitungan Rasio Ketergantungan Kota Malang ........................107
18
Hasil Perhitungan Tingkat Pertumbuhan PAD Kota Malang ................108
19
Hasil Perhitungan DOF Kota Malang ....................................................109
20
Hasil Perhitungan Rasio PAD terhadap Belanja Daerah Kota Malang .110
.............................................................93
15 ABSTRAKSI Judul : “Mengukur Tingkat Efektivitas, Tingkat Kemandirian, Dan Tingkat Kemampuan Keuangan Daerah Dalam Mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah (Studi Kasus Kota Malang Periode Tahun Anggaran 2003–2007).” Dosen Pembimbing : Dr. Moh. Khusaini, SE.,M.Si., MA. __________________________________________________________________________ Penulis : Anas Arista Nurjuha NIM : 0510210006 Penelitian ini bertujuan untuk mengukur Tingkat Efektivitas, Tingkat Kemandirian, Dan Tingkat Kemampuan Keuangan Daerah Dalam Mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah. Diterapkannya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah serta Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, akan dapat memberikan kewenangan atau otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada pemerintah daerah secara proposional. Hal ini diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah secara demokratis, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah, terutama kepada pemerintah kabupaten dan pemerintah kota. Tujuan pemberian kewenangan dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah guna peningkatan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan sosial, demokrasi dan penghormatan terhadap budaya lokal, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Kemampuan keuangan suatu daerah dapat dilihat dari besar kecilnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang diperoleh daerah yang bersangkutan. Dalam kaitannya dengan pemberian otonomi daerah yang lebih besar kepada daerah. PAD selalu dipandang sebagai salah satu indikator atau kriteria untuk mengukur ketergantungan suatu daerah kepada pusat. Pada prinsipnya semakin besar sumbangan PAD kepada APBD maka akan menunjukkan semakin kecil ketergantungan daerah kepada pusat sebagai konsekuensi pelaksanaan otonomi daerah dari prinsip secara nyata dan bertanggung jawab. Untuk tujuan penelitian pertama yaitu mengetahui tingkat efektivitas keuangan daerah Kota Malang, digunakan alat analisis deskriptif kuantitatif dengan rasio efektivitas PAD. Sedangkan untuk mengukur tingkat kemandirian keuangan daerah Kota Malang, menggunakan Rasio Dana Alokasi Umum dan Rasio Ketergantungan. Serta untuk mengukur tingkat kemampuan keuangan daerah Kota Malang, menggunakan tingkat pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD), Mengukur Derajat Otonomi Fiskal (DOF) Kota Malang, menghitung kemampuan PAD dalam membiayai belanja daerah Kota Malang. Dengan demikian dapat disimpulkan Tingkat Efektifitas Keuangan Daerah Kota Malang masuk Kategori Sangat Efektif, tetapi Tingkat Kemandirian dan Tingkat Kemampuan Keuangan Daerah Kota Malang masih masuk dalam Kategori Kurang. Kata Kunci: PAD, Efektivitas Keuangan Daerah, Kemandirian Keuangan Daerah, Kemampuan Keuangan Daerah.
16
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Dalam sistem pemerintahan di Indonesia tidak mengenal adanya sistem
sentralistik sebagaimana yang tersirat dalam pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945. Asas penyelenggaraan pemerintahan dilaksanakan dengan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan, sehingga terdapat pemerintah daerah dan daerah otonom atau wilayah yang bersifat administratif. Hal ini ditujukan untuk mencapai masyarakat yang adil makmur baik materiil maupun spiritual. Diterapkannya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah serta Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, akan dapat memberikan kewenangan atau otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada pemerintah daerah secara proposional. Hal ini diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah secara demokratis, peran serta masyarakat,
pemerataan
dan
keadilan,
serta
memperhatikan
potensi
dan
keanekaragaman daerah, terutama kepada pemerintah kabupaten dan pemerintah kota. Tujuan pemberian kewenangan dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah guna peningkatan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan sosial, demokrasi dan penghormatan
terhadap
budaya
lokal,
serta
memperhatikan
potensi
dan
keanekaragaman daerah. Kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah akan semakin besar, sehingga tanggung jawab yang diemban juga akan bertambah banyak. Darumurti dan Rauta dalam Berti (2006: 9), mengemukakan implikasi dari adanya kewenangan urusan pemerintah yang begitu luas yang diberikan kepada daerah dalam rangka otonomi
17 daerah, dapat merupakan berkah bagi daerah. Namun pada sisi lain bertambahnya kewenangan daerah tersebut sekaligus juga merupakan beban yang menuntut kesiapan daerah untuk pelaksanaannya, karena semakin bertambah urusan pemerintah yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Oleh karena itu, ada beberapa aspek yang harus dipersiapkan, antara lain sumber daya manusia, sumber daya keuangan, sarana dan prasarana daerah. Dalam
mengisi
dan
melaksanakan
pembangunan,
masalah
keuangan
merupakan masalah pokok pemerintah, dalam rangka penerimaan dan pengeluaran yang harus dilakukan oleh pemerintah demi kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi, meningkatnya pendapatan perkapita dan taraf hidup masyarakat, merupakan faktor-faktor yang menjadi tantangan bagi masyarakat dan pemerintah. Hal ini akan menyebabkan pengeluaran pemerintah yang semakin tinggi. Di lain pihak sumber penerimaan yang terbatas harus diusahakan untuk menutupi kebutuhan tersebut. Kaho (1988 : 124) menyatakan bahwa aspek keuangan merupakan salah satu dasar kriteria untuk dapat mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri. Kemampuan daerah yang dimaksud adalah sampai seberapa jauh daerah dapat menggali sumber-sumber keuangannya sendiri guna membiayai kebutuhan daerah tanpa harus selalu menggantungkan diri pada bantuan dan subsidi dari pemerintah pusat. Selain itu, salah satu kriteria penting untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangga adalah kemampuan self-supporting dalam bidang keuangan. Pendapat tersebut menunjukkan bahwa keuangan merupakan faktor penting dalam mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya. Kemampuan keuangan suatu daerah dapat dilihat dari besar kecilnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang diperoleh daerah yang bersangkutan. Dalam kaitannya dengan pemberian otonomi daerah yang lebih besar kepada daerah. PAD
18 selalu dipandang sebagai salah satu indikator atau kriteria untuk mengukur ketergantungan suatu daerah kepada pusat. Pada prinsipnya semakin besar sumbangan PAD kepada APBD maka akan menunjukkan semakin kecil ketergantungan daerah kepada pusat sebagai konsekuensi pelaksanaan otonomi daerah dari prinsip secara nyata dan bertanggung jawab. Insukindro dkk. dalam Berti (2006: 10), mengemukakan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) dapat dipandang sebagai salah satu indikator atau kriteria untuk mengukur tingkat ketergantungan suatu daerah kepada pemerintah daerah. Pada prinsipnya, semakin besar sumbangan PAD kepada APBD akan menunjukkan semakin kecilnya tingkat ketergantungan daerah kepada pemerintah daerah. Dalam rangka implementasi Undang-undang Nomor 32 dan 33 tahun 2004, salah satu faktor yang harus dipersiapkan oleh pemerintah daerah adalah kemampuan keuangan daerah, sedangkan indikator yang dipergunakan untuk mengukur kemampuan keuangan daerah tersebut ialah rasio PAD dibandingkan dengan total penerimaan APBD dalam Kuncoro (2004 : 8). Tujuan otonomi daerah pada dasarnya diarahkan untuk memacu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, meningkatkan kesejahteraan rakyat, menggalakkan prakarsa dan peran serta masyarakat, serta meningkatkan pendayagunaan potensi daerah secara nyata, optimal, terpadu, dan dinamis, serta bertanggung jawab sehingga memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, mengurangi beban pemerintah pusat dan campur tangan terhadap daerah dan memberikan peluang untuk koordinasi tingkat lokal atau daerah, sebagaimana dalam pernyataan Bastian (2001: 10). Reformasi keuangan daerah ini diharapkan mampu memacu pemerintah daerah otonom melaksanakan otonomi penuh. Hubungan keuangan pusat dan daerah yang berlaku sebelumnya membawa dampak pada relatif kecilnya sumbangan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Selama ini, pelaksanaan UU No. 5
19 Tahun 1974 mengakibatkan kurang mampu membantu daerah dalam meningkatkan kemandirian keuangan daerah. Hal ini disebabkan UU No. 5 Tahun 1974 cenderung bersifat sentralistik dan membatasi berbagai kewenangan daerah yang penting. Kemampuan daerah dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah juga mengalami berbagai kendala sebagai berikut Arifin (2000 : 83-84) dalam Berti (2006 : 13) : 1. Dalam Undang-undang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, jenis-jenis pajak dan retribusi yang dapat dipungut daerah sudah ditetapkan secara limitatif, sehingga akan menyulitkan daerah untuk berkreasi dalam menetapkan peluang pajak baru.
2. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) menghadapi berbagai kendala antara lain keterbatasan modal, campur tangan birokrat yang berlebihan, status badan hukum yang tidak jelas dan minimnya sumber daya manusia yang berkualitas dan profesional. 3. Khusus untuk penerimaan yang berasal dari bagi hasil pajak dan bukan pajak, kendala yang dihadapi daerah adalah belum adanya mekanisme dan prosedur baku dalam penyaluran dana, sehingga seringkali terjadi keterlambatan. Halim (2004 : 45) menjelaskan bahwa ciri utama suatu daerah yang mampu melaksanakan otonomi, yaitu : 1. Kemampuan keuangan daerah, artinya daerah harus memiliki kewenangan dan kemampuan
untuk
menggali
sumber-sumber
keuangan,
mengelola
dan
menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahannya, dan 2. Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, agar pendapatan asli daerah (PAD) dapat menjadi bagian sumber keuangan terbesar sehingga peranan pemerintah daerah menjadi lebih besar.
20 Kemampuan daerah otonom melaksanakan otonomi keuangan secara penuh dalam periode pendek diragukan, baik sebagai akibat kapabilitas daerah otonom yang tidak dapat berubah begitu cepat maupun sistem keuangan, yaitu pemerintah pusat tidak serta merta mau kehilangan kendali atas pemerintah daerah. Kuncoro (2004 : 10) menjelaskan beberapa hal yang dapat menghambat keberhasilan pemerintah daerah melaksanakan otonomi, yaitu : 1. Dominannya transfer dan pusat, 2. Kurang berperannya perusahaan daerah sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD), 3. Tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan, 4. Kendati pajak daerah cukup beragam, ternyata hanya sedikit yang bisa diandalkan sebagai sumber penerimaan, 5. Kelemahan dalam pemberian subsidi dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Selanjutnya, Kuncoro (2004 : 14) memaparkan data mengenai rasio PAD terhadap APBD (rata-rata 1990-1999) di seluruh propinsi dan kabupaten/kota di Indonesia seperti tersurat pada tabel 1 berikut ini :
Tabel 1.1 : Klasifikasi Daerah Berdasarkan Rasio PAD terhadap APBD (Rata-rata 1990-1999) PAD/APBD (%)
Jumlah Propinsi
Jumlah Kabupaten/Kota
< 10
3
151
10 – 19,99
4
82
20 – 29,99
11
38
30 – 39,99
6
13
40 – 49,99
2
7
≥ 50
1
1
Total
27
292
Sumber : Kuncoro, Mudrajad. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah, Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang
21
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa sebelum dilaksanakan reformasi keuangan daerah hanya satu propinsi dan kabupaten/kota yang memiliki rasio kemandirian lebih dari 50%, yaitu DKI Jakarta, dalam Kuncoro (2004). Salah satu semangat reformasi keuangan daerah adalah dilakukannya pertanggungjawaban keuangan oleh pemerintah daerah dan penilaian kinerja keuangan daerah otonomi agar dapat diketahui sejauh mana pemerintah daerah otonom mampu melaksanakan otonomi khususnya di bidang keuangan. Dimensi keuangan daerah otonom yang paling krusial yang akan diteliti adalah kemandirian dan kemampuan keuangan daerah otonom Kota Malang. Dimensi lain yang tidak kalah pentingnya adalah dimensi efektivitas keuangan daerah otonom sebagai indikator keberhasilan daerah dalam merealisasikan PAD yang dianggarkan. Cakupan penelitian yang dilakukan meliputi kemandirian dan kemampuan serta efektivitas keuangan daerah Kota Malang tiap-tiap tahun dan kecenderungan/trend dari tahun ke tahun. Kecenderungan/trend kemandirian dan kemampuan serta efektivitas keuangan ini perlu dilakukan karena mungkin saja tingkat kemandirian dan efektivitas keuangan kabupaten/kota
pada
tiap-tiap
tahun
belum
menunjukkan
persentase
yang
menggembirakan, namun memiliki kecenderungan/trend arah perkembangan yang positif. Dengan demikian, dapat dilakukan penilaian kinerja keuangan daerah yang lebih komprehensif. Setiap daerah di Indonesia memiliki permasalahan yang relatif hampir sama dalam kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah, kemampuan suatu daerah menjadi daerah otonom dapat dilihat dari 3 aspek ketersediaan prasarana dan sarana, pembiayaan dan personalia yang memadai menurut Mardiasmo (2002 : 24), dan yang harus diatur secara hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan dan anggaran daerah, untuk mewujudkan otonomi daerah dan desentralisasi yang luas nyata dan
22 bertanggung jawab diperlukan manajemen keuangan daerah yang mengontrol kebijakan keuangan daerah secara ekonomis, efisien, efektif, transparan dan akuntabel. Adapun menjadi masalah pokok dalam penelitian ini bahwa untuk menjadi suatu daerah otonom yang sesungguhnya, salah satu unsur yang penting yaitu diperlukan adanya sumber keuangan yang cukup. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis terhadap realita kondisi keuangan daerah pada Kota Malang baik secara internal maupun eksternal termasuk bagaimana proyeksi penerimaan daerah pada masa lima tahun yang akan datang dari tinjauan ke belakang realisasi keuangan daerah selama ini menyadari keterbatasan
pengetahuan
dan
kemampuan
maka
penelitian
dilakukan
untuk
menganalisis kemampuan Kota Malang menjadi daerah otonom dalam konsep kemampuan desentralisasi otonomi daerah, dibatasi pada aspek keuangan yang meliputi struktur dan pengesahan dalam menghitung rasio keuangan daerah yang meliputi : Pendapatan Asli Daerah (PAD),Total Penerimaan Daerah (TPD), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Bagi Hasil Pajak, Bantuan-bantuan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), analisis Rasio Kemandirian Keuangan daerah otonom, analisis Rasio Efektifitas Keuangan daerah otonom, analisis trend Kemandirian Keuangan daerah otonom dari tahun ke tahun berdasar rasio KKD, analisis trend Efektifitas Keuangan daerah otonom dari tahun ke tahun berdasar rasio EKD. Hal yang mendasari peneliti memilih Kota Malang sebagai objek penelitian, adalah kenaikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam kurun lima tahun terakhir menjadi Rp 71,6 miliar belum menjamin kemandirian Kota Malang. Pasalnya, jika dibandingkan pendapatan daerah yang mencapai Rp 724,4 miliar, rasio kemandirian Kota Malang masih dibawah angka 13 persen. Padahal sebagai kota terbesar kedua di Jatim, rasio kemandirian itu idealnya mencapai 30-40 persen. Saat ini, rasio kemandirian Kota Malang masih berada di bawah Kabupaten Sidoarjo dan Gresik (surya.com, tanggal 24 April 2008) dan juga kutipan dari Jawa Pos online (tanggal 14 Maret 2009)
23 yang menyatakan bahwa, Kota Malang menjadi unggulan dan kandidat penerima Otonomi
Award
tahun
2009,
yang
penghargaan
Otonomi
Award
ini
sendiri
diselenggarakan oleh Jawa Pos setiap tahunnya. Dari data yang ada menunjukkan bahwa rata-rata peranan PAD kabupaten/kota di Jawa Timur dalam membiayai pengeluaran daerah hanya sebesar 19,6% pada tahun 2002 (Khusaini, 2006 : 153). Dan Kota Malang berada pada urutan keempat dengan kemampuan PAD-nya membiayai pengeluaran daerah sebesar 15,16% di bawah Kota Surabaya (30,33%), Sidoarjo (19,66%), dan Gresik (16,60%). Untuk lebih jelasnya terlihat pada tabel 1.2 di bawah ini.
Tabel 1.2 : Lima Kabupaten/Kota yang memiliki Proporsi PAD terhadap Total Pengeluaran (tertinggi dan terendah) No.
Kabupaten/Kota
Tahun 1999 (%)
2000 (%)
2001 (%)
2002 (%)
Rasio Tertinggi 1
Kota Surabaya
38.20
34.40
33.19
30.33
2
Sidoarjo
24.22
21.00
19.68
19.66
3
Gresik
18.76
20.00
15.76
16.60
4
Kota Malang
17.17
18.28
12.10
15.16
5
Tuban
12.96
16.85
10.97
15.03
Rasio Terendah 1
Madiun
4.60
4.48
3.09
4.70
2
Pacitan
4.39
5.26
4.08
4.93
3
Sampang
4.37
4.28
3.78
4.80
4
Blitar
4.25
3.82
3.93
5.15
5
Pamekasan
5.21
5.01
3.81
5.27
Sumber : APBD kabupaten/kota di Jawa timur, berbagai tahun (data diolah, Khusaini, 2006 : 154)
dalam
Di sisi lain, sangat disadari bahwa setiap daerah di Indonesia memiliki potensi penerimaan yang berbeda, karena adanya perbedaan potensi sumber daya, tingkat ekonomi dan karakteristik sosial budaya. Perbedaan seperti ini menjadikan hasil
24 penelitian yang dilakukan di daerah tertentu sulit untuk menjelaskan persoalan yang sama di daerah lain. Dengan demikian, khusus untuk Kota Malang perlu dilakukan penelitian tersendiri untuk mendapatkan gambaran yang relatif lebih lengkap mengenai kemampuan daerah menjadi daerah otonom. Berdasarkan uraian di atas maka penulis berusaha untuk mengetahui lebih jauh mengenai seberapa besar kemampuan keuangan daerah Kota Malang dalam menghadapi otonomi daerah. Untuk itu penulis menuangkannya dalam skripsi dengan judul : “MENGUKUR TINGKAT TINGKAT
KEMAMPUAN
EFEKTIVITAS, TINGKAT
KEUANGAN
DAERAH
KEMANDIRIAN, DAN
DALAM
MENDUKUNG
PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH (Studi kasus Kota Malang periode tahun anggaran 2003–2007).”
1.2.
RUMUSAN MASALAH Bertolak dari uraian di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimana tingkat efektifitas keuangan daerah kota Malang antara tahun 2003– 2007? 2. Bagaimana tingkat kemandirian keuangan daerah Kota Malang antara tahun 2003–2007? 3. Bagaimana kemampuan daerah Kota Malang dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah periode 2003–2007?
1.3.
TUJUAN PENELITIAN Tujuan dilakukannya penelitian ini terkait dengan rumusan masalah yang
diangkat adalah : 1. Untuk mengetahui tingkat efektifitas keuangan daerah Kota Malang antara tahun 2003–2007.
25 2. Untuk mengetahui tingkat kemandirian keuangan daerah Kota Malang antara tahun 2003–2007. 3. Untuk mengetahui kemampuan daerah Kota Malang dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah periode 2003–2007.
1.4. MANFAAT PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat memberikan manfaat-manfaat sebagai berikut : 1. Bagi penulis Diharapkan dapat mendalami kajian dan wawasan tentang keuangan daerah khususnya tentang kemampuan dalam melaksanakan otonomi daerah yang ditinjau dari peranan dan pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), serta efisiensi dan efektivitas pengelolaannya. 2. Bagi pemerintah Daerah Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi Pemerintah Daerah Kota Malang dalam menentukan arah kebijakan keuangan daerah yang berkaitan dengan kesiapan dalam melaksanakan otonomi daerah melalui peningkatan PAD. 3. Bagi Akademisi Sebagai sumbangan referensi bagi penelitian-penelitaan selanjutnya yang lebih concern dan tertarik untuk mengangkat isu-isu seputar Pendapatan Asli Daerah (PAD).
26
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Konsep Pemerintah Daerah Berdasarkan teori Rostow, pada saat ini negara Indonesia termasuk dalam tahap
tinggal landas. Untuk mencapai tahapan selanjutnya, maka salah satu langkah yang diambil adalah dengan penyelenggaraan otonomi daerah. Berikut ini akan dijelaskan lebih jauh mengenai asas-asas penyelenggaraan pemerintahan daerah, yaitu : 1. Asas Desentralisasi. Desentralisasi ialah penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom dalam kerangka negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini berarti bahwa urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah guna pelaksanaan asas desentralisasi menjadi wewenang dan tanggung jawab daerah sepenuhnya. Dalam hal ini prakarsa diserahkan kepada daerah, baik menyangkut penentuan kebijaksanaan, perencanaan, pelaksanaan, maupun segi pembiayaan dan perangkat. 2. Asas Dekonsentrasi. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan atau perangkat pusat di daerah. Dalam asas dekonsentrasi, tanggung jawab tetap berada pada pemerintah pusat, baik mengenai perencanaan, pelaksanaan maupun pembiayaan. Unsur pelaksanaannya adalah instansi-instansi vertikal yang dikoordinasikan oleh kepada daerah dalam kedudukannya selaku perangkat pemerintah pusat. Kebijaksanaan atas pelaksanaan urusan dekonsentrasi tersebut sepenuhnya ditentukan oleh pemerintah pusat.
27 3. Tugas Pembantuan Tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah, dan dari daerah ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban memberikan laporan dari hasil pelaksanaan dan mempertanggung jawabkannya kepada yang menugaskan. Menurut Kaho (1988 :15), untuk menetapkan bidang yang menjadi urusan dan wewenang pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, maka dapat diterapkan sistem pembagian antara lain : 1. Sistem Residu. Secara umum tugas-tugas yang menjadi wewenang pemerintah pusat ditentukan terlebih dahulu, sedangkan sisanya menjadi urusan rumah tangga daerah. 2. Sistem Material. Tugas-tugas pemerintah daerah ditetapkan satu per satu secara limitatif atau terinci, dan di luar dari tugas yang telah ditentukan merupakan urusan pemerintah pusat. 3. Sistem Formal. Urusan yang termasuk dalam rumah tangga daerah tidak secara apriori ditetapkan di dalam perundang-undangan. Pemerintah daerah dapat mengatur dan mengurus segala sesuatu yang dianggap penting bagi daerahnya. Tetapi tidak mencakup urusan yang telah diatur dan diurus oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang lebih tinggi. 4. Sistem Otonomi Riil Penyerahan urusan, tugas dan kewenangan kepada daerah didasarkan pada faktor yang nyata sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang
28 riil dari daerah maupun pemerintah pusat, serta pertumbuhan kehidupan masyarakat yang terjadi. 5. Prinsip Otonomi Nyata, Dinamis, dan Bertanggung jawab Prinsip ini merupakan salah satu variasi dari sistem otonomi riil dimana penyerahan urusan-urusan kepada daerah dilakukan secara nyata, dinamis dan bertanggung jawab.
2.2. Konsep Otonomi Daerah Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu outus yang berarti sendiri dan nomos berarti undang-undang. Menurut perkembangan sejarah pemerintahan di Indonesia, otonomi selain mengandung arti perundang-undangan juga mengandung arti pemerintahan atau perundang-undangan sendiri, menurut Pamudji dalam Kaho (1988 : 18). Sesuai dengan Pasal 1 butir (h) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah
dan
Undang-Undang
Nomor
33
Tahun
2004
tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, menyebutkan bahwa otonomi daerah adalah kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri atau aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Tujuan pemberian otonomi daerah adalah untuk memungkinkan daerah yang bersangkutan
mengatur
dan
mengurus
rumah
tangga
sendiri
dalam
rangka
meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan bagi pelayanan masyarakat dan pelaksanaan pembangunan. Untuk melaksanakan tujuan itu, maka kepada daerah diberikan wewenang untuk melaksanakan urusan pemerintahan. Menurut Tim Fisipol Universitas Gadjah Mada (1991 : 17) dalam Berti (2006 : 46), terdapat empat unsur otonomi daerah, yaitu :
29 1. Memiliki perangkat pemerintah sendiri yang ditandai dengan adanya Kepala Daerah, DPRD, dan Pegawai daerah; 2. Memiliki urusan rumah tangga sendiri yang ditandai dengan adanya dinas-dinas daerah; 3. Memiliki sumber keuangan sendiri yang ditandai dengan adanya pajak daerah, retribusi daerah, perusahaan daerah dan pendapatan dinas-dinas daerah; 4. Memiliki wewenang untuk melaksanakan inisiatif sendiri (di luar dari instruksi dari pemerintahan pusat atau atasan) sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Untuk pemerintah propinsi hanya diberikan otonomi terbatas yang meliputi kewenangan lintas kabupaten dan kota. Selain itu, kewenangan yang tidak atau belum dilaksanakan oleh daerah kabupaten atau kota, serta kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya (Pasal 9 ayat 1 dan 2 UU No. 32 Tahun 2004). Hal tersebut menunjukkan bahwa otonomi daerah merupakan hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri. Ini berguna untuk peningkatan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan di daerah dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan. Untuk dapat mencapainya, maka titik berat otonomi diletakkan di daerah kabupaten dan daerah kota dengan pertimbangan bahwa daerah kabupaten atau kota langsung berhubungan dengan masyarakat. Menurut Khusaini (2006 : 85), dari segi ekonomi, desentralisasi mempunyai implikasi bahwa program-program pembangunan pemerintah dalam bidang ekonomi lebih diarahkan pada kepentingan lokal dan disesuaikan dengan lingkungan daerah setempat. Hal ini terjadi karena penguasa lokal dengan jelas lebih knowledgeable tentang keadaan lokal daripada penguasa pusat yang jauh dari mereka. Selama pemerintah lokal dapat memenuhi keinginan dan keperluan masyarakat lokal, mereka
30 akan menjadi lebih responsive dalam menunjukkan permintaan mereka yang pada akhirnya membuat pemerintah daerah lebih bertanggung jawab atas berbagai jasa-jasa publik yang diberikan kepada masyarakat setempat sesuai dengan kemampuan masingmasing. Juga pemerintah daerah menyediakan jasa-jasa publik sampai titik di mana jumlah marginal dari jasa-jasa tersebut sama dengan benefit yang mereka terima (efektif dan efisiensi). Dengan demikian, kesediaan untuk membayar (willingness to pay) akan meningkat jika jasa-jasa yang diberikan pemerintah daerah sesuai dengan permintaan masyarakat setempat (local demand), sehingga pada akhirnya akan meningkatkan penerimaan bagi pemerintah daerah tersebut. Pada prinsipnya, hakekat otonomi daerah ialah mempunyai sumber keuangan sendiri, mengelola dan menggunakannya untuk melaksanakan tugas otonomi, serta mempunyai anggaran belanja yang ditetapkan sendiri. Dalam pelaksanaan otonomi daerah, ada tiga faktor yang menentukan, yaitu perangkat, personalia, dan pembiayaan atau pendanaan daerah.
2.3. Prinsip–Prinsip Otonomi Daerah Agar dalam penyelenggaraan otonomi daerah yang menitik beratkan pada Daerah Tingkat II sesuai dengan tujuannya, seperti yang dijelaskan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 bahwa penyelenggaraan pemerintah daerah mempunyai prinsip sebagai berikut : a. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, potensi dan keanekaragaman daerah. b. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
31 c. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan kota, sedangkan untuk propinsi merupakan otonomi yang terbatas. d. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara, sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah, serta antar daerah. e. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom dan karenanya dalam daerah kabupaten dan daerah kota tidak ada bagi wilayah administrasi. f.
Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintah daerah.
g.
Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah propinsi dalam kedudukannya
sebagai
wilayah
administratif
untuk
melaksanakan
kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah. Berdasarkan prinsip tersebut di atas, maka dapat diartikan bahwa peranan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah cukup besar. Terutama dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat, akan tetapi masih tetap dalam kerangka memperkokoh negara kesatuan sesuai dengan konstitusi yang berlaku. Prinsip-prinsip tersebut perlu dipahami oleh setiap aparatur pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat dan pemerintah pusat sebagai perumus kebijaksanaan.
32 2.5. Keberhasilan Otonomi Daerah Untuk mengetahui apakah suatu daerah otonom mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, Syamsi (1983 : 199) menegaskan beberapa ukuran sebagai berikut : 1. Kemampuan
struktural
organisasi
pemerintah
daerah
harus
mampu
menampung segala aktivitas dan tugas-tugas yang menjadi beban dan tanggung jawabnya, jumlah dan ragam unit cukup mencerminkan kebutuhan, pembagian tugas, wewenang dan tanggung jawab yang cukup jelas. 2. Kemampuan aparatur pemerintah daerah Aparat pemerintah daerah harus mampu menjalankan tugasnya dalam mengatur dan mengurus rumah tangga daerah. Keahlian, moral, disiplin dan kejujuran saling menunjang tercapainya tujuan yang diinginkan.
3. Kemampuan mendorong partisipasi masyarakat. Pemerintah daerah harus mampu mendorong masyarakat agar memiliki kemauan untuk berperan serta dalam kegiatan pembangunan. 4. Kemampuan keuangan daerah Pemerintah daerah harus mampu membiayai kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan secara keseluruhan sebagai wujud pelaksanaan, pengaturan dan pengurusan rumah tangganya sendiri. Sumbersumber dana antara lain berasal dari PAD atau sebagian dari subsidi pemerintah pusat. Keberhasilan suatu daerah menjadi daerah otonomi dapat dilihat dari beberapa hal yang mempengaruhi menurut Kaho (1988 : 60), yaitu faktor manusia, faktor keuangan, faktor peralatan, serta faktor organisasi dan manajerial. Pertama, manusia adalah faktor yang esensial dalam penyelenggaraan pemerintah daerah karena merupakan subyek dalam setiap aktivitas pemerintahan, serta sebagai pelaku dan penggerak proses mekanisme dalam sistem pemerintahan. Kedua, keuangan yang
33 merupakan bahasan pada lingkup penulisan ini sebagai faktor penting dalam melihat derajat kemandirian suatu daerah otonom untuk dapat mengukur, mengurus dan membiayai urusan rumah tangganya. Ketiga, peralatan adalah setiap benda atau alat yang dipergunakan untuk memperlancar kegiatan pemerintah daerah. Keempat, untuk melaksanakan otonomi daerah dengan baik maka diperlukan organisasi dan pola manajemen yang baik. Kaho (1988 : 61), menegaskan bahwa faktor yang sangat berpengaruh dalam pelaksanaan otonomi daerah ialah manusia sebagai pelaksana yang baik. Manusia ialah faktor yang paling esensial dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, sebagai pelaku dan penggerak proses mekanisme dalam sistem pemerintahan. Agar mekanisme pemerintahan dapat berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan yang diharapkan, maka manusia atau subyek harus baik pula. Atau dengan kata lain, mekanisme pemerintahan baik daerah maupun pusat hanya dapat berjalan dengan baik dan dapat mencapai tujuan seperti yang diinginkan apabila manusia sebagai subyek sudah baik pula. Selanjutnya, faktor yang kedua ialah kemampuan keuangan daerah yang dapat mendukung pembiayaan kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Mamesah mengutip pendapat Manulang dalam Kaho (1988), yang menyebutkan bahwa dalam kehidupan suatu negara, masalah keuangan negara sangat penting. Semakin baik keuangan suatu negara, maka semakin stabil pula kedudukan pemerintah dalam negara tersebut. Sebaliknya kalau kondisi keuangan negara buruk, maka pemerintah akan menghadapi berbagai kesulitan dan rintangan dalam menyelenggarakan segala kewajiban yang telah diberikan kepadanya. Faktor peralatan yang cukup dan memadai, yaitu setiap alat yang dapat digunakan untuk memperlancar pekerjaan atau kegiatan pemerintah daerah. Peralatan yang baik akan mempengaruhi kegiatan pemerintah daerah untuk mencapai tujuannya, seperti alat-alat kantor, transportasi, alat komunikasi dan lain-lain. Namun demikian,
34 peralatan yang memadai tersebut tergantung pula pada kondisi keuangan yang dimiliki daerah, serta kecakapan dari aparat yang menggunakannya. Faktor organisasi dan manajemen baik, yaitu organisasi yang tergambar dalam struktur organisasi yang jelas berupa susunan satuan organisasi beserta pejabat, tugas dan wewenang, serta hubungan satu sama lain dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Manajemen merupakan proses manusia yang menggerakkan tindakan dalam usaha kerjasama, sehingga tujuan yang telah ditentukan dapat dicapai. Mengenai arti penting dari manajemen terhadap penciptaan suatu pemerintahan yang baik, Mamesah (1995 : 34) dalam Berti (2006 : 52), mengatakan bahwa baik atau tidaknya manajemen pemerintah daerah tergantung dari pimpinan daerah yang bersangkutan, khususnya tergantung kepada Kepala Daerah yang bertindak sebagai manajer daerah.
2.6. Keuangan Daerah Keuangan daerah merupakan bagian integral dari keuangan negara dalam pengalokasian sumber-sumber ekonomi, pemerataan hasil-hasil pembangunan dan menciptakan stabilitas ekonomi guna stabilitas sosial politik. Peranan keuangan daerah menjadi semakin penting karena adanya keterbatasan dana yang dapat dialihkan ke daerah berupa subsidi dan bantuan. Selain itu juga karena semakin kompleksnya persoalan yang dihadapi daerah yang pemecahannya membutuhkan partisipasi aktif dari masyarakat di daerah. Peranan keuangan daerah akan dapat meningkatkan kesiapan daerah untuk mendorong terwujudnya otonomi daerah yang lebih nyata dan bertanggungjawab. Mamesah (1995 : 16) dalam Berti (2006 : 53) mengemukakan bahwa keuangan negara ialah semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Kekayaan daerah ini sepanjang belum dimiliki atau dikuasai oleh negara atau daerah yang lebih
35 tinggi, serta pihak-pihak lain sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundangan yang berlaku. Pemerintah
daerah
sebagai
sebuah
institusi
publik
dalam
kegiatan
pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan memerlukan sumber dana atau modal
untuk
dapat
membiayai
pengeluaran
pemerintah
tersebut
(goverment
expenditure) terhadap barang-barang publik (public goods) dan jasa pelayanan. Tugas ini berkaitan erat dengan kebijakan anggaran pemerintah yang meliputi penerimaan dan pengeluaran. Pemerintah dalam melaksanakan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab memerlukan dana yang cukup dan terus meningkat sesuai dengan meningkatnya tuntutan masyarakat, kegiatan pemerintahan dan pembangunan. Dana tersebut diperoleh melalui kemampuan menggali sumber-sumber keuangan sendiri yang didukung oleh perimbangan keuangan pusat dan daerah sebagai sumber pembiayaan. Oleh karena itu, keuangan daerah merupakan tolak ukur bagi penentuan kapasitas dalam menyelenggarakan tugas-tugas otonomi, di samping tolak ukur lain seperti kemampuan sumber daya alam, kondisi demografi, potensi daerah, serta partisipasi masyarakat. Devas (1989) dalam Domai (2002 : 4) mengemukakan bahwa tujuan utama dari pengelolaan keuangan daerah adalah : 1. Pertanggung jawaban. Pemerintah daerah harus mempertanggung-jawabkan tugas keuangannya pada lembaga yang sah. 2. Mampu memenuhi kewajiban. Keuangan daerah harus ditata sedemikian rupa sehingga mampu melunasi semua ikatan keuangan jangka pendek dan jangka panjang. 3. Kejujuran. Urusan keuangan harus diserahkan pada pegawai yang jujur.
36 4. Hasil guna dan daya guna kegiatan daerah. Tata cara mengurus keuangan daerah harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan untuk mencapai tujuan pemerintah daerah dengan biaya yang serendahrendahnya dan dalam waktu secepat-cepatnya. 5. Pengendalian Petugas keuangan pemerintahan daerah, dewan perwakilan rakyat daerah dan petugas pengawas harus melakukan pengendalian agar semua tujuan tersebut di atas tercapai mereka harus mengusahakan agar selalu mendapat informasi yang diperlukan untuk
memantau
pelaksanaan
penerimaan
dan
pengeluaran,
dan
untuk
membandingkan penerimaan dan pengeluaran dengan rencana dan sasaran. Menurut Domai (2002 : 6), tujuan pengelolaan keuangan daerah adalah : 1. Memanfaatkan semaksimal mungkin sumber-sumber pendapatan suatu daerah. 2. Setiap anggaran daerah yang dibuat/disusun diusahakan perbaikan- perbaikan dari anggaran daerah sebelumnya. 3. Sebagai landasan formal dari suatu kegiatan yang lebih terarah dan teratur dan memudahkan untuk melakukan pengawasan. 4. Memudahkan koordinasi dari masing-masing institusi dan dapat diarahkan sesuai dengan apa yang diprioritaskan dan dituju oleh Pemerintah Daerah. 5. Untuk menampung dan menganalisa serta memudahkan dalam pengambilan keputusan tentang alokasi pembiayaan terhadap proyek-proyek atau kebutuhan lain yang diajukan oleh masing-masing institusi. Berkaitan dengan pemyataan diatas tujuan pengelolaan keuangan daerah merupakan salah satu faktor penting dalam mengukur secara nyata kemampuan daerah dalam melaksanakan otonomi Tujuan utama pengelolaan keuangan daerah, yaitu (1) tanggung jawab, (2) memenuhi kewajiban keuangan, (3) kejujuran, (4) hasil guna, dan (5) pengendalian, menurut Binder (1984 : 279) dalam Berti (2006). Dalam upaya pemberdayaan pemerintah daerah saat ini, maka perspektif perubahan yang diinginkan dalam
37 pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah menurut Mardiasmo (2002 : 3) adalah sebagai berikut : 1. Pengelolaan keuangan daerah harus bertumpu pada kepentingan publik (public
oriented).
Hal
tersebut
tidak
hanya
terlihat
dari
besarnya
pengalokasian anggaran untuk kepentingan publik, tetapi juga terlihat dari besarnya partisipasi masyarakat (DPRD) dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan daerah. 2. Kejelasan tentang misi pengelolaan keuangan daerah pada umumnya dan anggaran daerah pada khususnya. 3. Desentralisasi pengelolaan keuangan dan kejelasan peran serta dari partisipasi yang terkait dalam pengelolaan anggaran, seperti DPRD, Kepala Daerah, Sekda dan perangkat daerah lainnya. 4. Kerangka hukum dan administrasi atas pembiayaan, investasi dan pengelolaan keuangan daerah berdasarkan kaidah mekanisme pasar, value for money, transparansi dan akuntabilitas. 5. Kejelasan tentang kedudukan keuangan DPRD, Kepala Daerah, dan PNS, baik rasio maupun dasar pertimbangannya. 6. Ketentuan tentang bentuk dan struktur anggaran, anggaran kinerja dan anggaran multi tahunan. 7. Prinsip pengadaan dan pengelolaan barang-barang daerah yang lebih profesional. 8. Prinsip akuntansi pemerintah daerah, laporan keuangan, peran DPRD, peran akuntan publik dalam pengawasan, pemberian opini dan rating kinerja anggaran, serta transparansi informasi anggaran kepada publik. 9.
Aspek pembinaan dan pengawasan yang meliputi batasan pembinaan, peran asosiasi dan peran anggota masyarakat guna pengembangan profesionalisme aparat pemerintah daerah.
38 10. Pengembangan sistem informasi keuangan daerah untuk menyediakan informasi anggaran yang akurat dan komitmen pemerintah daerah terhadap penyebarluasan
informasi,
sehingga
memudahkan
pelaporan
dan
pengendalian, serta mempermudah mendapatkan informasi. Menurut Kaho (1988 : 123), salah satu kriteria penting untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya adalah kemampuan self-supporting dalam bidang keuangan. Dengan kata lain faktor keuangan merupakan faktor esensial dalam mengukur tingkat kemampuan Daerah dalam melaksanakan otonominya. Ini berati, dalam penyelenggaraan urusan rumah tangganya, daerah membutuhkan dana atau uang. Menurut Wajong dalam Kaho (1988 : 124), uang adalah : 1. alat untuk mengukur harga barang dan harga jasa; 2. alat untuk menukar barang dan jasa; 3. alat penabung. Sebagai alat pengukur, penukar dan penabung, uang menduduki posisi yang sangat penting dalam penyelenggaraan urusan rumah tangga Daerah. Keadan keuangan Daerahlah yang sanga menentukan corak, bentuk, serta kemungkinan– kemungkinan kegiatan yang akan dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Sehubungan dengan pentingnya posisi keuangan daerah, Pamudji dalam Kaho (1988 : 124), menegaskan : “Pemerintah Daerah tidak akan melaksanakan fungsinya dengan efektif dan efesien tanpa biaya yang cukup untuk memberikan pelayanan dan pembangunan....Dan keuangan inilah yang merupakan salah satu kriteria untuk mengetahui secara nyata kemampuan Daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri.” Pendapat yang relatif sama juga dikemukakan oleh Ibnu Syamsi (1983 : 190), menempatkan keuangan daerah sebagai salah satu indikator untuk mengetahui kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
39 Dari pendapat di atas terlihat bahwa untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya, Daerah membutuhkan biaya atau uang. Tanpa adanya biaya yang cukup, maka bukan saja tidak mungkin bagi Daerah untuk dapat menyelenggarakan tugas-kewajiban serta kewenangan yang ada padanya dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya, tapi juga ciri pokok dan mendasar dari suatu daerah otonom menjadi hilang.
2.7. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kebijakan fiskal biasanya diartikan sebagai tindakan pemerintah dalam bidang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada tingkat nasional, dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada tingkat daerah. Anggaran tersebut menggambarkan rincian kegiatan operasional pemerintahan dan pembangunan yang dinyatakan dalam rupiah untuk suatu periode tertentu dan merupakan penjabaran dari GBHN dan Repelita. Tallo (1997 : 28) dalam Berti (2006) menyebutkan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, yang sering disebut anggaran daerah, ialah anggaran pendapatan dan belanja daerah otonom tersebut meliputi anggaran rutin dan anggaran pembangunan, dengan masing-masing ada sisi pendapatan dan sisi belanja. Pemahaman sistem dan mekanisme yang dianut oleh APBN adalah sama bagi APBD, dalam konteks perencanaan pembangunan dipahami hakikatnya merupakan bentuk operasional rencana kegiatan tahunan. APBN merupakan penjabaran Repelita di tingkat nasional dan APBD sebagai penjabaran Repelitada di tingkat daerah. Anggaran tersebut menggambarkan secara terperinci jumlah biaya kebutuhan yang seimbang antara penerimaan dan pengeluaran, disebut sistem anggaran berimbang (balance budget) yang dinamis. Anggaran berimbang yang dinamis memberikan makna bahwa jumlah biaya yang dianggarkan pada sisi penerimaan diupayakan harus seimbang dengan jumlah pada sisi pengeluaran yang dalam
40 pelaksanaannya dimungkinkan adanya perubahan anggaran jika terjadi ketidaksesuaian dengan anggaran yang telah ditetapkan. Dalam struktur APBD, komponen penerimaan daerah terdiri dari : 1. Bagian sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu. 2. Bagian Pendapatan Asli Daerah (PAD). 3. Bagian pendapatan yang berasal dari pemberian Pemerintah dan atau Instansi yang lebih tinggi. 4. Bagian pinjaman pemerintah daerah.
2.8. Pendapatan Asli Daerah Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan daerah yang berasal dari sumber-sumber keuangan daerah seperti pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba BUMD, penerimaan dinas-dinas dan penerimaan lain-lain, menurut Kaho (1988 : 68). PAD dapat memberikan warna tersendiri terhadap tingkat otonomi suatu daerah, karena jenis pendapatan ini dapat digunakan secara bebas oleh daerah. PAD merupakan sumber keuangan daerah yang digali dalam wilayah daerah yang bersangkutan terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan, serta lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah. Faktor yang sangat penting menentukan desentralisasi fiskal adalah sejauh mana pemerintah daerah diberi wewenang (otonomi) untuk menentukan alokasi atas pengeluarannya sendiri. Faktor lain juga penting adalah kemampuan mereka (pemerintah daerah) untuk meningkatkan penerimaan mereka (PAD). Dalam rangka menganalisis kemampuan keuangan daerah, perlu diperhatikan ketentuan dasar mengenai sumber-sumber penghasilan dan pembiayaan daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33
41 Tahun 2004. menurut Pasal 79 UU No. 32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa sumber pendapatan daerah terdiri dari : 1. Pendapatan Asli Daerah (PAD), yaitu : a. Hasil pajak dan retribusi daerah. b. Hasil perusahaan milik daerah. c. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisah. d. Dana perimbangan. 2. Pinjaman daerah. 3. Pendapatan daerah lain-lain yang sah. Pada Pasal 3 UU No. 33 Tahun 2004 menyebutkan bahwa sumber-sumber penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi adalah : 1. Pendapatan Asli Daerah. 2. Dana perimbangan. 3. Pinjaman daerah. 4. Lain-lain penerimaan yang sah. Berdasarkan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pasal 1 ayat (6) menyebutkan bahwa pajak daerah, yang selanjutnya disebut pajak, adalah iuran wajib yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan untuk daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang. Pajak dapat dipaksakan berdasar
peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku,
dan
digunakan
untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah. Retribusi daerah, yang selanjutnya disebut retribusi, adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Dalam rangka lebih mendukung pencapaian tujuan pembangunan daerah yang merata di seluruh daerah sesuai dengan prinsip otonomi daerah, maka di dalam bidang
42 keuangan daerah ada lima kebijaksanaan pokok (Nota Keuangan dan RAPBN 1996/1997) dalam Berti (2006 : 60), yaitu : 1. Kebijaksanaan untuk meningkatkan PAD, khususnya yang bersumber dari pajak dan retribusi daerah, selain meningkatkan penerimaan bagi hasil pajak dan bukan pajak secara optimal, subsidi dan bantuan, serta pinjaman kepada pemerintah daerah dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), sehingga pemerintah daerah dapat makin mampu mengelola dan menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan daerah. 2. Kebijaksanaan di bidang pengeluaran pemerintah daerah pada dasarnya diarahkan untuk menciptakan peningkatan perekonomian masyarakat yang lebih baik, memperluas lapangan kerja, mendorong usaha-usaha pemerataan, mendorong sektor swasta, membantu pengusaha lemah, serta meningkatkan produksi komoditas ekspor dan pariwisata. 3. Peningkatan kemampuan organisasi pemerintah daerah, termasuk di dalamnya peningkatan kemampuan manajemen dan penyempurnaan struktur organisasi. 4. Peningkatan
sistem
informasi
keuangan
daerah
dan
pengendalian
pembangunan daerah. 5. Kebijaksanaan untuk mendorong keikutsertaan sektor swasta dalam pelayanan masyarakat di daerah, baik sebagai penanam modal maupun sebagai pengelola jasa pelayanan masyarakat.
2.9. Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Umum (DAU) adalah sejumlah dana yang dialokasikan kepada setiap Daerah Otonom (provinsi/kabupaten/kota) di Indonesia setiap tahunnya sebagai dana pembangunan. DAU merupakan salah satu komponen belanja pada APBN, dan menjadi salah satu komponen pendapatan pada APBD. Tujuan DAU adalah sebagai
43 pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan Daerah Otonom dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (Wikipedia Indonesia). Dana Alokasi Umum terdiri dari : 1. Dana Alokasi Umum untuk Daerah Provinsi 2. Dana Alokasi Umum untuk Daerah Kabupaten/Kota Jumlah Dana Alokasi Umum setiap tahun ditentukan berdasarkan Keputusan Presiden. Setiap provinsi/kabupaten/kota menerima DAU dengan besaran yang tidak sama, dan ini diatur secara mendetail dalam Peraturan Pemerintah. Besaran DAU dihitung menggunakan rumus/formulasi statistik yang kompleks, antara lain dengan variabel jumlah penduduk dan luas wilayah. Untuk mengurangi ketimpangan dalam kebutuhan pembiayaan dan penguasaan pajak antara pusat dan daerah telah diatasi dengan adanya perimbangan keuangan antara pusat dan daerah (dengan kebijakan bagi hasil dan DAU minimal sebesar 25% dari penerimaan dalam negeri). Dengan perimbangan tersebut, khususnya dari DAU akan
memberikan
kepastian
bagi
daerah
dalam
memperoleh
sumber-sumber
pembiayaan untuk membiayai kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawabnya. Dengan pengertian lain, DAU digunakan untuk menutup celah yang telah terjadi karena kebutuhan daerah melebihi dari potensi penerimaan daerah yang ada (Khusaini, 2006 : 37).
2. 10. Dana Alokasi Khusus Dana Alokasi Khusus (DAK), adalah alokasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara kepada provinsi/kabupaten/kota tertentu dengan tujuan untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan Pemerintahan Daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. DAK termasuk Dana Perimbangan, di samping Dana Alokasi Umum (DAU).
44 Menurut Khusaini (2006 : 38) pada hakikatnya pengertian Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus. Pengalokasian DAK ditentukan dengan memperhatikan tersedianya dana dalam APBN.
2.11. Efektifitas dan Efisiensi Penerimaan Daerah Derajat otonomi fiskal daerah akan menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam meningkatkan PAD-nya, seperti pajak daerah, retribusi, dan lain-lain. Oleh karena itu, otonomi daerah dalam pemerintah dan pembangunan daerah dapat diwujudkan apabila disertai otonomi keuangan yang efektif. Hal ini berarti bahwa pemerintah daerah secara finansial harus bersifat independen terhadap pemerintah pusat dengan jalan sebanyak mungkin menggali sumber-sumber PAD, seperti pajak, retribusi dan lain sebagainya (Radianto, 1997 : 3) dalam Berti (2006 : 61). Menurut Osborne dan Gaebler (1997 : 389) dalam Berti (2006 : 61), efisiensi adalah ukuran berapa banyak biaya yang dikeluarkan untuk masing-masing unit output, sedangkan efektivitas adalah ukuran kualitas output itu. Ketika mengukur efisiensi, harus diketahui berapa banyak biaya yang harus ditanggung untuk mencapai suatu output tertentu. Ketika mengukur efektivitas harus diketahui apakah investasi tersebut dapat berguna. Efisiensi dan efektivitas merupakan hal penting, tetapi ketika organisasi publik mulai mengukur kinerja, seringkali hanya mengukur tingkat efisiensi saja. Dikaitkan dengan upaya mengumpulkan Pendapatan Asli Daerah, efektivitas merupakan hubungan antara realisasi PAD yang dikelola oleh Dinas Pendapatan Daerah dengan potensinya berdasarkan anggapan bahwa semua wajib pajak atau retribusi daerah dapat membayar seluruh pajak atau retribusi yang menjadi kewajibannya pada tahun berjalan dan membayar semua pajak yang terhutang. Untuk dapat menghitung efektivitas, asumsi yang digunakan adalah bahwa target yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah telah melalui perhitungan potensi PAD
45 yang disebut dengan target diproxy. Seperti pendekatan angka rencana atau target yang merupakan perkiraan hasil pungutan yang secara minimal dapat dicapai dalam satu tahun anggaran.
2.12. Penelitian Terdahulu 2.12.1. Sjafrizal (2000) Dalam penelitiannya, Sjafrizal mengambil judul Analisis Tinjauan Kemampuan Keuangan Daerah dalam Menghadapi Otonomi Daerah di Kabupaten Sleman. Peneliti ingin mengkaji sejauh mana pengaruh PAD terhadap pengeluaran daerah tingkat II selama ini dan menyongsong pelaksanaan otonomi daerah tahun 2001. Dalam penelitiannya dapat diketahui bahwa pajak daerah memberi sumbangan yang cukup besar terhadap PAD dibanding sumber pendapatan daerah dari retribusi yang
selalu
berfluktuasi.
Bila
dilihat
dari
peningkatan
PAD
memang
cukup
menggembirakan, tetapi PAD ini masih selalu lebih kecil dari pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Hal ini berarti daerah Sleman selama ini masih sangat tergantung dari subsidi dan bantuan dari pemerintah pusat. Masih
besarnya
tingkat
ketergantungan
fiskal
di
Kabupaten
Sleman
menunjukkan belum mandirinya sumber keuangan pemerintah daerah. Sebenarnya pemerintah daerah tidak harus berdiri sendiri dari segi keuangan, yang terpenting adalah wewenang. Sebagaimana dikemukakan oleh Devas dalam Sjafrizal, cukup tidaknya penerimaan daerah tergantung dari sumbangan PAD terhadap pengeluaran pemerintah daerah. Apabila besarnya penerimaan daerah 20 % dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) maka daerah dianggap telah memiliki penerimaan yang cukup memadai. Sebaliknya bila lebih kecil dari 20%, maka daerah belum memiliki penerimaan yang cukup. Sumbangan PAD terhadap APBD mengalami kenaikan sejak tahun anggaran 1987/88 dan mencapai puncaknya pada tahun 1990/91 sebesar 32,2 %. Akan tetapi,
46 rasio menurun drastis dari 20,09 % pada tahun 1992/93. Melihat angka ini, Kabupaten Sleman belum memiliki wewenang secara konstan tiap tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa proyek otonomi daerah tingkat II di Kabupaten Sleman belum sesuai dengan harapan dari otonomi daerah yang dicanangkan pemerintah. Dalam kesimpulannya peneliti menyatakan dalam jangka pendek, tingkat ketergantungan
fiskal
memang
tidak
memberikan
dampak
yang
berarti
bagi
pembangunan daerah akan tetapi dalam jangka panjang ketergantungan yang selalu meningkat, Hal ini menyebabkan tingkat kemandirian daerah perlu dipertanyakan sehingga dapat dikatakan bahwa proyek percontohan otonomi daerah di Kabupaten Sleman dapat dikatakan gagal mencapai sasarannya, paling tidak dilihat dari wewenangnya. Dan perbedaan yang nantinya diharapkan penulis bila dibandingkan dengan penelitian Sjafrizal adalah bila dalam penelitian terdahulu (penelitian Sjafrizal) lebih concern dalam hal kewenangan yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah setelah era otonomi daerah, khususnya untuk kewenangan daerah Kabupaten Sleman Propinsi Yogyakarta. Tetapi nantinya dalam penelitian ini, peneliti akan melihat tingkat efektifitas, tingkat kemandirian, dan tingkat kemampuan keuangan daerah dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah, khususnya untuk Kota Malang Propinsi Jawa Timur antara tahun 2003-2007 dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah.
2.12.2. Aminah (2002) Dalam penelitianya, Siti Aminah mengambil judul Kemampuan Keuangan Daerah Sekayu Kabupaten Sumatra Selatan dalam mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah Periode 1998-2002. Peneliti ingin mengetahui sejauh mana tingkat kemampuan keuangan daerah yang diukur terdiri dari PAD, TPD, DOF, RDAU, IKR dan Rasio Ketergantungan. Sistem pemerintahan Indonesia tidak mengenal adanya sistem sentralistik sebagaimana dalam pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, asas
47 penyelenggaraan pemerintahan dilaksanakan dengan asas desentralisasi dan proses pembantuan sehingga terdapat pemerintah daerah dan daerah otonom atau wilayah bersifat administratif, hal ini ditujukan untuk mencapai masyarakat adil dan makmur baik material maupun spritual. Aspek keuangan merupakan salah satu dasar kriteria untuk dapat mengetahui secara keseluruhan daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri, menurut Kaho (1988 : 124 ) kemampuan daerah yang dimaksud adalah sampai seberapa jauh daerah menggali sumber–sumber keuangan sendiri, menurut Kaho (1988 : 124). Kemampuan keuangan suatu daerah dapat dilihat dari besar kecilnya PAD yang diperoleh derah yang bersangkutan dalam kaitanya dengan pemberian otonomi daerah yang lebih besar kepada daerah, PAD selalu di pandang sebagai salah satu indikator kriteria untuk mengukur suatu daerah kepada pusat. Pada prinsipnya semakin besar sumbangan PAD kepada APBD maka akan menunjukan semakin ketergantungan daerah kepada pusat sehingga konsekuensi pelaksanaan otonomi daerah dari prinsip secara nyata dan bertanggung jawab. Di sisi lain sangat disadari bahwa setiap daerah di Indonesia memiliki potensi yang penerimaan yang berbeda, karena adanya perbedaan potensi sumber daya, tingkat ekonomi dan karakteristik sosial budaya, perbedaan seperti ini menjadikan hasil penelitian yang dilakukan di daerah tertentu sulit untuk daerah Sekayu Kabupaten Sumatra Selatan perlu dilakukan penelitian tersendiri untuk mendapatkan gambaran yang relatif lebih lengkap mengenai kemampuan daerah menjadi daerah otonom. Pada tahun 2002, daerah Sekayu Kabupaten Sumatra Selatan secara agregat mengalami pertumbuhan ekonomi dalam angka yang positif, meskipun belum selesai dengan harapan masyarakat. Secara sektoral pertumbuhan ekonomi di daerah Sekayu Kabupaten Sumatra Selatan menampakan keadaan yang cukup bervariasi. PDRB terbentuk dari kegiatan ekonomi di berbagai sektor. Seiring perubahan dan
48 perkembangan ekonomi terus terjadi sehingga distribusi atau penyebaran PDRB ke dalam sektor-sektor selalu mengalami perubahan. Dan yang akan membedakan penelitian terdahulu ini (penelitian Aminah) dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti nantinya adalah, bila dalam penelitian Aminah, lebih menyoroti kemampuan keuangan daerah Sekayu Kabupaten Sumatra Selatan Propinsi Sumatra Selatan dalam hubungannya dengan pertumbuhan ekonomi daerah Sekayu Kabupaten Sumatra Selatan Propinsi Sumatra Selatan. Dan pada penelitian ini nantinya akan lebih memperhatikan dan melihat tingkat efektifitas, tingkat kemandirian, dan tingkat kemampuan keuangan daerah dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah Kota Malang Propinsi Jawa Timur antara tahun 2003-2007 dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah. 2.12.3. Yuliati Penelitian yang dilakukan oleh Yuliati dalam Halim (2004 : 21) yang berjudul “Analisis Kemampuan Keuangan Daerah dalam Menghadapi Otonomi Daerah (Kasus Kabupaten Malang)”. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur dan menganalisis derajat otonomi Kabupaten Malang yang ditekankan kepada derajat desentralisasi, bantuan serta kapasitas fiskal. Kesimpulan dari penelitian ini adalah ketergantungan pemerintah Kabupaten Malang terhadap pemerintah pusat pada tahun anggaran 1995/19961999/2000 masih sangat tinggi, yang dibuktikan dengan masih rendahnya rata-rata proporsi Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD) selama kurun waktu 5 tahun, yaitu hanya sebesar 15%, walaupun dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Rata-rata proporsi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD) selama kurun waktu 5 tahun hanya sebesar 29% saja. Kondisi ini menunjukkan bahwa peran pemerintah pusat terhadap keuangan daerah Kabupaten Malang selama kurun waktu 5 tahun tersebut masih sangat besar yang juga ditunjukkan dengan tingginya ratarata proporsi pemerintah pusat terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD), yaitu sebesar
49 71%. Kabupaten Malang memiliki kapasitas fiskal yang relatif baik dibandingkan dengan standar fiskal rata-rata kabupaten/kota se-Jawa Timur. Namun apabila dibandingkan dengan kebutuhan fiskalnya maka terdapat kekurangan (gap) sebesar 12%. Jadi, untuk menutupi kekurangan tersebut memang masih diperlukan dana dari pemerintah pusat. Yang membedakan penelitian ini nantinya dengan penelitian terdahulu (penelitian Yuliati) adalah, bila dalam penelitian Yuliati ini melihat lebih dalam tingkat ketergantungan Pemerintah Daerah Kabupaten Malang terhadap bantuan dari pemerintah pusat. Dan pada penelitian ini nantinya akan mengukur tingkat efektifitas, tingkat kemandirian, dan tingkat kemampuan keuangan daerah Kota Malang Propinsi Jawa Timur antara tahun 2003-2007 dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah.
50 2.13. Kerangka Pemikiran
UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemda
Otonomi Daerah atau Desentralisasi
Desentralisalisasi Politik Desentralisalisasi Pendapatan Dana PAD (UU No. 34 tahun 2004 Perimba tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah)
Desentralisalisasi Fiskal (UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah)
Desentralisalisasi Aministratif
Desentralisalisasi Pengeluaran
Dekon sentra si
Devolu si
Pinjam
Tingkat Kemandirian Keuangan
an
ngan
Daerah Tingkat Kemampuan Keuangan
Target PAD
Realisa si PAD Tingkat Efektiftas Keuangan Daerah
DAU
DAK
BHP BP
Pendele gasian
51 Kerangka penelitian saya didasari oleh Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dari Undang-Undang No. 32 tahun 2004 yang mendasari tentang Otonomi Daerah, dan Undang-Undang No. 33 tahun 2004 yang mendasari tentang adanya desentralisasi fiskal. Tetapi tidak hanya desentralisasi fiskal yang didasari kedua Undang-Undang di atas, tetapi juga adanya desentralisasi politik dan desentralisasi administratif. Yang ingin lebih diteliti dalam penelitian ini adalah lebih dalam bidang desentralisasi fiskal. Desentralisasi Fiskal yang dilakukan oleh Daerah meliputi desentralisasi pendapatan dan desentralisasi pengeluaran. Dalam Desentralisasi Pendapatan, sumber pendapatan daerah berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, Dan Pinjaman Daerah. Sedangkan dalam menghasilkan Pendapatan Asli Daerah, Kota Malang mempunyai target PAD serta Realisasi PAD, dan hubungan keduanya menunjukkan tingkat Efektifitas dari Keuangan Daerah Kota Malang. Dana Perimbangan yang diterima Kota Malang yang berasal dari Pemerintah Pusat, terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP). Besar kecilnya sumbangan Dana Perimbangan terhadap Total Pendapatan Kota Malang dan dalam perannya membiayai Belanja Daerah Kota Malang
menunjukkan Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Kota
Malang. Sedangkan besarnya kemampuan serta proporsi dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Malang dalam ikut membiayai Belanja Daerah Kota Malang akan menunjukkan Tingkat Kemampuan Keuangan Daerah dari Kota Malang.
52
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Lingkup Penelitian dan Daerah Penelitian Sesuai dengan tujuan penelitian maka dalam studi ini ruang penelitian adalah wilayah Kota Malang.
3.2 Jenis Data dan Sumber Data Data dalam penelitian ini adalah data sekunder menurut runtut waktu (time series) dalam bentuk tahunan dari tahun 2003-2007. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Besarnya PAD pemerintah Kota Malang tahun 2003-2007. 2. Besarnya APBD pemerintah daerah Kota Malang tahun 2003-2007. 3. Besarnya bantuan pemerintah daerah Kota Malang tahun 2003-2007. Dalam penelitian ini dipergunakan sumber data sekunder yang diperoleh dari : 1. Bappeko berupa data Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Malang periode tahun anggaran 2003 sampai dengan 2007. 2. Biro Pusat Statistik tahun 2003-2007 berupa data-data mengenai keadaan umum daerah Kota Malang. 3. Dinas Pendapatan Kota Malang, berupa data-data Penerimaan Asli Daerah tahun 2003-2007. 4. Bagian Keuangan Kota Malang, berupa data–data mengenai keuangan daerah Kota Malang tahun 2003-2007. Dalam penelitian ini, data-data Kota Malang tahun anggaran 2003-2007 yang dipergunakan untuk menghitung rasio keuangan daerah meliputi :
53 1. Pendapatan Asli Daerah (PAD), yaitu realisasi penerimaan asli daerah antara lain hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisah, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. 2. Total Penerimaan Daerah (TPD), yaitu seluruh realisasi penerimaan daerah berupa sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu, PAD, bagi hasil pajak dan bukan pajak, sumbangan, bantuan, penerimaan lain-lain dan pinjaman daerah. 3. Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan alokasi atau transfer dana dari pusat kepada daerah otonom dalam bentuk blok yang diutamakan untuk membiayai pelayanan dasar pemerintahan daerah. 4. Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk membantu membiayai berbagai macam kebutuhan khusus daerah dan menanggulangi keadaan yang mendesak. 5. Bagi Hasil Pajak, meliputi PBB/PKB/BBNKB, dan Bagi Hasil Bukan Pajak antara pemerintah pusat dan daerah. 6. Bantuan dari pemerintah pusat yang dialokasikan untuk beberapa kebutuhan daerah. 7. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) meliputi pendapatan daerah dan belanja daerah. Sumber penerimaan daerah terdiri atas sisa anggaran, PAD, bagi hasil pajak dan bukan pajak, sumbangan dan bantuan, pinjaman, serta penerimaan pembangunan. Sedangkan untuk pengeluaran daerah terdiri atas belanja aparatur daerah dan belanja pelayanan publik untuk tahun 2003-2006 dan belanja langsung dan belanja tidak langsung untuk tahun 2007. 3.3 Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian dilakukan dengan cara sebagai berikut : 1. Studi Pustaka. Mengumpulkan dan mempelajari bahan-bahan literatur yang meliputi UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang
54 Nomor 33 Tahun 2004 tentang Dana Perimbangan antara Pusat dan Daerah, serta buku-buku tentang keuangan daerah dan otonomi daerah. 2. Studi Lapangan. a. Observasi. Mengadakan tinjauan secara langsung terhadap objek penelitian dengan cara mengamati, meneliti dan mempelajari tentang data-data sekunder dari Bappeko Kota Malang, Dispenda Kota Malang, Bagian Keuangan Kota Malang, dan BPS Kota Malang tahun 2003-2007. b. Dokumentasi. Pencatatan, pengumpulan dan pengelompokkan data berkaitan dengan permasalahan penelitian dari sumber data sekunder.
3.4. Analisis Data Untuk membahas permasalahan dalam penelitian ini, maka dilakukan analisis rasio keuangan daerah dengan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan kemampuan keuangan daerah Kota Malang di dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah. 2. Mengelompokkan data dan informasi yang diperoleh sebagai dasar bagi operasionalisasi variabel yang diukur sebagaimana akan dikemukakan dalam penelitian ini. 3. Menghitung dan menyajikan hasil analisis data yang berupa rasio-rasio keuangan daerah. Untuk membahas permasalahan dalam penelitian ini, yang dilakukan adalah : 1. Untuk mengukur tingkat Efektifitas Keuangan Daerah dengan rumus : a) Rasio efektivitas keuangan daerah otonom (selanjutnya disebut “Rasio EKD”) menunjukkan
kemampuan
pemerintahan
daerah
dalam
merealisasikan
55 pendapatan asli daerah (PAD) yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah (Halim, 2004 : 164). Rasio EKD =
Re alisasiPenerimaanPAD X 100% T arg etPADyangditetapkan
Kemampuan daerah dalam menjalankan tugas dikategorikan efektif apabila rasio yang
dicapai
minimal
100%.
Namun,
semakin
tinggi
rasio
efektivitas
menggambarkan kemampuan daerah semakin baik. Departemen Dalam Negeri dengan
Kepmendagri
No.690.900-327,
tahun
1996
mengkategorikan
kemampuan efektivitas keuangan daerah otonom ke dalam lima tingkat efektivitas seperti terlihat pada tabel 3.1.
Tabel 3.1 : Efektifitas Keuangan Daerah Otonom Kemampuan Keuangan Rasio Kemandirian (%) Sangat Efektif >100 Efektif >90-100 Cukup Efektif >80-90 Kurang Efektif >60-80 Tidak Efektif ≤60 Sumber : Departemen Dalam Negeri (1996).
2. Untuk mengukur Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah dengan rumus: a) Mengukur besarnya Rasio Dana Alokasi Umum (RDAU) terhadap APBD Kota Malang, dimana RDAU adalah Tingkat penyaluran dana yang harus dialokasikan pemerintah pusat kepada suatu daerah guna menunjukan kemandirian keuangan daerah dalam membiayai urusan pemerintah (Halim, 2004 : 24). RDAU =
DAU X 100% TotalPendapa tan Daerah(TPD)
Keterangan:
56 RDAU = Rasio Dana Alokasi Umum DAU = Dana Alokasi Umum TPD = Total Pendapatan Daerah
b) Menghitung Rasio Ketergantungan keuangan daerah terhadap dana dari pusat membiayai belanja daerah, dimana Rasio Ketergantungan adalah tingkat ketergantungan pemerintah daerah terhadap alokasi dana bantuan dari pemeritah pusat memperlihatkan kesiapan daerah dalam menggali sumber dana potensi lokal yang terkandung di dalamnya (Halim, 2004 : 24). Rasio
Ketergantungan
=
DAU + DAK + BagiHasilPajakdanBukanPajak ( DanaPerimbangan) X 100 % TotalPendapa tan Daerah(TPD ) Keterangan : Untuk dana bantuan dari Pusat, Kota Malang membutuhkan, dikarenakan adanya pengeluaran lainya yang sangat diperlukan dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah seperti : a) Penyediaan sarana dan prasarana pelayanan masyarakat dimana anggaran belum tersedia. b) Pengembalian atas kelebihan penerimaan yang terjadi dalam tahun anggaran yang telah ditutup. Langkah
pengambilan
keputusan
hipotesis
penelitian
dilakukan
dengan
menetapkan kategori sebagai berikut, menurut Depdagri (1991 : 20) dalam Berti (2006 : 66) :
Tabel 3.2 : Kategori Kemandirian Keuangan Daerah Otonom Prosentase RDAU dan
Kategori Rasio DAU
RK (dalam %) < 10,00
Ketergantungan Sangat baik
Kategori Rasio Sangat baik
57 10,01 - 20,00
Baik
Baik
20,01 - 30,00
Sedang
Sedang
30,01 - 40,00
Cukup
Cukup
40,01 - 40,00
Kurang
Kurang
> 50,01
Sangat kurang
Sangat kurang
Sumber : Departemen Dalam Negeri (1991).
3. Untuk mengukur tingkat Kemampuan Keuangan Daerah dengan rumus : a) Mengukur tingkat pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Untuk menghitung pertumbuhan nilai PAD dilakukan melalui metode rata-rata Pendapatan Asli Daerah tahunan (Widodo, 1990 : 30) dalam Berti (2006 : 66), TP PADt =
TPPADt − TPPADt − 1 X 100 % TPPADt − 1
Keterangan : TP PADt = tingkat pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah tahun berjalan PADt = Pendapatan Asli Daerah tahun berjalan PADt-1 = Pendapatan Asli Daerah tahun sebelumnya b) Mengukur Derajat Otonomi Fiskal (DOF) Kota Malang, dimana DOF adalah besar kecilnya kemampuan keuangan suatu daerah dalam memberikan suatu kontribusi terhadap realisasi penerimaan daerah, dalam Berti (2006 : 67). DOF =
PADt X 100% TPDt
Keterangan : DOF = Derajat Otonomi Fiskal PADt = Total Pendapatan Asli Daerah tahun t TPDt = Total Penerimaan Daerah tahun t
58 c) Dalam menilai kemampuan keuangan daerah dapat dilihat dari sejauh mana kemampuan PAD dalam membiayai berbagai pengeluarannya (Khusaini, 2006 : 153). Rasio PAD terhadap Total Belanja daerah =
PAD x 100% TotalBelanjaDaerah
Langkah pengambilan keputusan hipotesis penelitian dilakukan dengan menetapkan kategori sebagai berikut, tabel 3.3 menurut Depdagri (1991 : 20) dalam Berti (2006 : 69) :
Tabel 3.3 : Kategori Kemampuan Keuangan Daerah Otonom Prosentase TP
Kategori TP PADt
Kategori DOF
< 10,00
Sangat kurang
Sangat kurang
10,01 - 20,00
Kurang
Kurang
20,01 - 30,00
Cukup
Cukup
30,01 - 40,00
Sedang
Sedang
40,01 - 40,00
Baik
Baik
> 50,01
Sangat baik
Sangat baik
PADt dan DOF (dalam %)
Sumber : Departemen Dalam Negeri (1991).
4. Menarik kesimpulan atas rangkaian analisis data dan informasi yang disajikan, sehingga diketahui bagaimana kemampuan keuangan daerah Kota Malang dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah. Dalam penelitian ini, tahun 2003 merupakan tahun dasar yang akan digunakan sebagai tahun dasar untuk melihat arah perkembangan KKD dan EKD pada tahun berikutnya (tahun 2004-2007). Digunakannya tahun 2003 sebagai tahun dasar karena tahun tersebut merupakan masa transisi dilaksanakan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah. Dengan demikian, trend yang diperoleh nanti
59 dapat
diinterpretasikan
sebagai
arah
perkembangan
diimplementasikannya reformasi otonomi dan keuangan daerah.
yang
terjadi
dengan
60
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Daerah Penelitian Kota Malang merupakan salah satu kota yang terletak di propinsi Jawa Timur, berada di tengah wilayah Jawa Timur atau tepatnya kurang lebih 90 km arah selatan dari Surabaya, Ibu kota Propinsi Jawa Timur. Kota Malang menempati wilayah seluas 110,056 km2 yang terbagi dalam 5 (lima) wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Klojen, Blimbing, Sukun, Lowokwaru, Kedung kandang dengan jumlah kelurahan atau desa terbanyak 57 kelurahan/desa. a) Keadaan Geografis Wilayah kota Malang merupakan daerah yang berbukit terletak pada ketinggian antara 440 - 667 meter di atas permukaan laut (DpL) yang dikelilingi oleh sederetan gunung, yaitu Gunung Arjuno di seberah Utara, Gunung Semeru di seberah Timur, Pegunungan Kapur di seberah Selatan, dan Gunung Kawi di sebelah Barat. Tinggi rendah dan kemiringan Kota Malang bervariasi, daerah terendah terletak di Kelurahan Tlogowaru, Kecamatan Kedungkandang. Kota Malang terletak pada 7°54'2" sampai 8°35" Lintang Selatan, dan 112°34"9° sampai 112°32' Bujur Timur. b) Batas Wilayah Administrasi Batas wilayah Administrasi merupakan batas yang memisahkan antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya. Dalam rangka mewadahi pembangunan kota Malang yang semakin berkembang, pada tahun 1987 wilayah kota Malang diperluas menjadi 110,056 km2 berdasarkan PP No. 15 Tahun 1987 tentang "Perubahan Batas Wilayah Kota Daerah Tingkat II dan Kabupaten Daerah Tingkat II Malang". Menurut PP tersebut Kota Malang menerima pelimpahan 12 desa dari Kabupaten Malang, yakni
61 desa Bareharjo, Cemoro Kandang, Telogo Waru, Arjowinangun, Bakalan Krajan, Mulyorejo, Karang Besuki, Bandulan, Merjosari, Tlogomas, Tunggul Wuluk, dan Tasik Madu. Berdasarkan pemekaran tersebut, secara administratif wilayah kota Malang dibatasi oleh Kabupaten Malang. Adapun batas wilayah administratif Kota Malang, sebagai berikut : • Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Singosari Kabupaten Malang. • Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Pakis dan Kecamatan Tumpang Kabupaten Malang. • Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Dau dan Karangploso Kabupaten Malang. • Sebelah Selatan berbatasan dengar. Kecamatan Pakisaji dan Kecamatan Tajinan Kabupaten Malang c) Demografi Kota Malang mempunyai luas wilayah 110.056 km2 dengan jumlah penduduk pada akhir tahun 2003 diperkirakan mencapai 763.515 jiwa, dengan kepadatan penduduk mencapai 6.937 per km2 Sedangkan perkembangan penduduk rata-rata tiap tahunnya mencapai 2.13%. d) Pemerintah Kota Malang Setelah 25 Tahun Pemerintah Daerah Kota Malang dijalankan menurut UU No. 5 Tahun 1974 Tentang Pemerntahan di Daerah, "Era baru pemerintah daerah dimulai kembali ketika Pemerintah Pusat mengeluarkan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah pada 7 Mei 1999". Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Kota Malang menerapkan kedua UU Otonomi Daerah tersebut secara bersamaan yaitu keluar pemerintah daerah mengacu pada UU Otonomi Daerah yang baru dan ke dalam pemerintah daerah masih menggunakan UU Otonomi Daerah yang lama. Artinya dalam berhubungan dengan masyarakat (termasuk dengan DPRD) pemerintah daerah
62 menggunakan UU No.22 Tahun 1999 dengan pedoman (seperti peristilahan dan tata naskah dinas), sedangkan untuk tugas sehari-hari masih berpedoman pada UU No.5 Tahun 1974, beserta peraturan pelaksanaannya hal ini sesuai dengan pasal 32 (ayat2) yang intinya memberikan kesempatan bagi pusat dan daerah untnk mempersiapkan perangkat pendukung Pelaksana Otonomi Daerah di segala bidang selama 2 tahun sejak tanggal ditetapkan. Kepala Pemerintahan Kota disebut Walikota. Walikota Malang saat ini dijabat oleh Drs. Peni Suparto, yang dibantu oleh seorang wakil Kepala Daerah yang diberi tugas membantu Kepala Daerah dalam melaksanakan kewajibannya, mengkoordinasi kegiatan Instansi Pemerintah Daerah dan melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Kepala Daerah. Wakil Kepala Daerah Malang juga disebut Wakil Walikota Malang diangkat berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 225 Tahun 1995 yang ditindak lanjuti melalui Keputusan WaliKota Kepala Daerah Tingkat II Malang No. 28 tahun 1997 tertanggal 3 Januari 1997. Adapun yang dimaksud dengan Perangkat Daerah Kota Malang adalah Sekretaris Daerah sebagai unsur staf Dinas Daerah sebagai Unsur Pelaksana Urusan Daerah, Lembaga Teknis Daerah sebagai Unsur Pelaksana Fungsi Khusus Daerah, serta Camat dan Lurah sebagai unsur Pelaksana Kewilayahan.
4.2. Hasil Perolehan Data Dalam penelitian ini, data-data Kota Malang tahun anggaran 2003-2007 yang dipergunakan untuk menghitung rasio keuangan daerah meliputi : 1. Rasio Efektifitas Keuangan Daerah. 2. Rasio Dana Alokasi Umum. 3. Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah. 4. Tingkat Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah. 5. Derajat Otonomi Fiskal.
63 6. Kemampuan PAD membiayai Belanja Daerah. Setelah menetapkan variabel-variabel yang akan digunakan dalam mengukur rasio keuangan daerah seperti tersebut di atas, maka selanjutnya peneliti mengamati dan mempelajari data-data keuangan daerah berupa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Malang pada tahun anggaran 2003-2007. Hal ini dilakukan untuk mengidentifikasi dan mencatat data-data yang diperlukan guna analisis data penelitian. Secara keseluruhan, hasil perolehan data yang berasal dari proses observasi dan dokumentasi secara terperinci dapat dilihat pada tabel 4.1 di bawah ini :
Tabel 4.1 : Data Keuangan Daerah Kota Malang tahun 2003-2007 Keteranga
2003 (Rp)
2004 (Rp)
2005 (Rp)
2006 (Rp)
2007 (Rp)
42094000000.
50007305103.
58740205287.7
62311313501.1
87115734710.
97
79
1
9
46
33570086700
352644069246
410171202267.
546181303088.
64475557412
0
.79
71
43
2.46
20479000000
211628000000
221130000000
367435000000
41730000000
n PAD TPD DAU
0
0
DAK
7100000000
5500000000
7780000000
20860000000
26934000000
APBD
33570086700
352644069246
410171202267.
546181303088.
64475557412
0
.79
71
43
2.46
32928900000
362175130464
417855955451
511076024911
64874789216
(Pendapata n) APBD (Pengeluar
0.95
5
an)
Sumber: Bagian Keuangan Pemkot Malang.
4.3. Hasil Perhitungan Keuangan Daerah Hasil perolehan data tersebut di atas digunakan untuk menghitung rasio keuangan daerah Kota Malang pada tahun 2003-2007 untuk dapat mengetahui tingkat
64 efektifitas, kemandirian, dan kemampuan keuangan daerah tersebut dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah.
4.3.1. Hasil Pengukuran Rasio Efektifitas Keuangan Daerah Kota Malang tahun 2003-2007 Rasio Efektifitas Keuangan Daerah menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan pendapatan asli daerah (PAD) yang dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah (Halim, 2004). Sehingga dengan melihat data-data yang telah diperoleh, maka hasil perhitungannya adalah sebagai berikut : Tabel 4.2 : Rasio Efektifitas Keuangan Daerah Kota Malang tahun 2003-2007
Tahun
Target PAD
Realisasi PAD
Rasio EKD (%)
Kemampuan Efektifitas Keuangan
2003 Rp40,764,605,200.00
Rp42,094,000,000.97
103.26
Sangat Efektif
2004 Rp49,528,288,300.00
Rp50,007,305,103.79
100.97
Sangat Efektif
2005 Rp58,187,939,500.00
Rp58,740,205,287.71
100.95
Sangat Efektif
2006 Rp59,990,746,371.50
Rp62,311,313,501.19
103.87
Sangat Efektif
2007 Rp80,875,967,418.00
Rp87,115,734,710.46
107.72
Sangat Efektif
Sumber: Dinas Pendapatan Kota Malang, diolah.
Berdasarkan perhitungan tabel 4.2 di atas, realisasi PAD Kota Malang selalu melebihi target PAD yang ditetapkan. Pada tahun 2003, kita bisa melihat realisasi PAD Kota Malang sudah melebihi target yang ditetapkan dengan rasio 103.26%, sehingga kemampuan efektifitas keuangan daerah Kota Malang termasuk dalam kategori Sangat Efektif, bila mengacu pada kategori-kategori dari Departemen Dalam Negeri dengan Kepmendagri No. 690.900-327, tahun 1996 (dalam Berti, 2006). Pada tahun 2004, Pemerintah Daerah Kota Malang menargetkan jumlah PAD yang akan dihasilkan sebesar Rp. 49,528,288,300.00, dan ternyata realisasinya melebihi
65 target, yaitu sebesar Rp.50,007,305,103.79, sehingga menghasilkan rasio efektifitas keuangan daerah sebesar 100.97%. Walaupun rasio efektifitas keuangan daerahnya lebih kecil atau dengan kata lain turun bila dibandingkan dengan rasio efektifitas keuangan daerah pada tahun 2003, yang sebesar 103.26%. Tetapi masih sama-sama dalam kategori Sangat Efektif, sehingga efektifitas keuangan daerah Kota Malang pada tahun 2004, masih dapat dikatakan masih sangat bagus. Pada tahun 2005, Pemerintah Daerah Kota Malang kembali menargetkan jumlah PAD yang lebih besar dibandingkan tahun 2004, yaitu sebesar Rp. 58,187,939,500.00. Tetapi dalam realisasinya, Pemerintah Daerah Kota Malang dapat memenuhi target tersebut, yaitu sebesar Rp. 58,740,205,287.71. Dengan melihat jumlah target dan realisasi PAD pada tahun 2005 itulah didapatkan rasio efektifitas keuangan daerah Kota Malang pada tahun 2005 sebesar 100.95%. Walau kita melihat besaran rasio efektifitas keuangan daerah yang didapatkan pada tahun 2005 lebih kecil bila dibandingkan pada tahun 2004 yang sebesar 100.97%, tetapi rasio tersebut masih dianggap bagus karena masih masuk dalam kategori kemampuan efektifitas keuangan daerah yang Sangat Efektif, dan juga dengan mempertimbangkan jumlah target PAD yang ditetapkan lebih besar daripada tahun 2004. Pada tahun 2006, Pemerintah Daerah Kota Malang kembali menaikkan target PAD nya dari Rp. 58,187,939,500.00 pada tahun 2005 menjadi Rp.59,990,746,371.50 untuk tahun 2006. Dan kembali pada tahun 2006 Pemerintah Daerah Kota Malang mampu merealisasikan target PAD tersebut dengan menghasilkan PAD sebesar Rp.62,311,313,501.19. Sehingga didapatka rasio efektifitas keuangan daerah sebesar 103.87%, dan masih dalam kategori Sangat Efektif dalam hal efektifitas kemampuan keuangan daerah. Pada tahun 2007, Pemerintah Daerah Kota Malang kembali target PAD nya, namun pada tahun ini kenaikannya signifikan, yaitu sebesar Rp.80,875,967,418.00 untuk
tahun
2007,
bila
dibandingkan
pada
tahun
2006
yang
sebesar
66 Rp.59,990,746,371.50. Dan Kota Malang kembali dapat menghasilkan PAD yang melampaui
target
tahun
2007
dengan
menghasilkan
PAD
sebesar
Rp.87,115,734,710.46. Sehingga rasio efektifitas keuangan daerah Kota Malang pada tahun 2007 sebesar 107.72%, dan hal hal ini menunjukkan bahwa tingkat kemampuan efektifitas keuangan daerah Kota Malang masih dalam kategori Sangat Efektif, karena rasio efektifitas keuangannya masih diatas 100%. Untuk lebih jelasnya, dapat kita lihat dalam grafik di bawah ini.
Grafik 4.1 : Rasio EKD Kota Malang
%
Sumber : Dinas Pendapatan Kota Malang (diolah).
Pendapatan Asli Daerah Kota Malang antara tahun 2003-2007 sumbangan terbesarnya masih berasal dari pajak daerah, seperti yang terlihat dalam tabel 4.3 di bawah ini.
67 Tabel 4.3 : Pendapatan Asli Daerah Kota Malang tahun 2003-2007 PAD
2003 (Rp)
2004 (Rp)
2005 (Rp)
2006 (Rp)
2007 (Rp)
Pajak
20.267.000.000,
26.409.533.752,
29.296.191.381,
32.123.673.0
37.581.7
760
20
60
31,21
96.778,6
Daerah
2 Retribusi
14.354.000.000,
15.408.372.301,
16.093.070.954,
18.025.002.2
23.164.4
577
00
55
75,50
92.762,0
Daerah
0 Laba-
4.076.000.000,4
4.148.915.570,2
6.161.683.135,7
6.471.750.15
6.749.04
07
0
0
2,01
4.426,57
3.396.000.000,2
4.040.483.480,3
7.189.259.815,8
5.690.888.04
19.620.4
30
9
6
2,47
00.743,2
laba Daerah Lain-lain
7
Sumber : BAPPEKO Kota Malang.
Dari tahun ke tahun pajak daerah tetap memberikan sumbangan terbesar kepada jumlah Pendapatan Asli Daerah Kota Malang. Dan besaran pajak daerah Kota Malang dari tahun 2003 sampai tahun 2007 menunjukkan peningkatan jumlahnya dari tahun ke tahunnya. Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat pada grafik 4.2 di bawah ini.
68 Grafik 4.2 : Pendapatan Asli Daerah Kota Malang tahun 2003-2007
Sumber : BAPPEKO Kota Malang (diolah).
4.3.2. Hasil Pengukuran Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Kota Malang tahun 2003-2007 Untuk mengukur tingkat kemandirian keuangan daerah dapat menggunakan rumus-rumus sebagai berikut : 1. Rasio Dana Alokasi Umum (RDAU), 2. Rasio Ketergantungan (RK).
4.3.2.1. Rasio Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan alokasi atau transfer dana dari pusat kepada daerah otonom dalam bentuk blok yang diutamakan untuk membiayai pelayanan dasar pemerintahan daerah.
69 RDAU adalah tingkat penyaluran dana yang harus dialokasikan pemerintah pusat kepada suatu daerah guna menunjukan kemandirian keuangan daerah dalam membiayai urusan pemerintah (Halim, 2004). Sehingga dengan melihat data-data yang telah diperoleh, maka hasil perhitungan Rasio Dana Alokasi Umum Kota Malang adalah sebagai berikut:
Tabel 4.3 : Rasio Dana Alokasi Umum terhadap Total Pendapatan Daerah Kota Malang tahun 2003-2007
Tahun
Jumlah DAU
Total Pendapatan
RDAU
Kategori
Daerah
(%)
Kemandirian
2003
Rp 204,790,000,000.00
Rp335,700,867,000.00
61.00
Sangat Kurang
2004
Rp 211,628,000,000.00
Rp352,644,069,246.79
60.01
Sangat Kurang
2005
Rp 221,130,000,000.00
Rp410,171,202,267.71
53.91
Sangat Kurang
2006
Rp 367,435,000,000.00
Rp546,181,303,088.43
67.27
Sangat Kurang
2007
Rp 417,300,000,000.00
Rp644,755,574,122.46
64.72
Sangat Kurang
Sumber : Bagian Keuangan Pemerintah Kota Malang, diolah.
Berdasarkan perhitungan tabel 4.3 di atas, yang menunjukkan tentang rasio Dana Alokasi Umum yang diberikan oleh Pusat kepada daerah terhadap Total Penerimaan Daerah Kota Malang antara tahun 2003-2007, secara keseluruhan menunjukkan bahwa tingkat kemandirian keuangan daerah Kota Malang masuk dalam kategori Sangat Kurang, yang berarti bahwa tingkat ketergantungan keuangan daerah Kota Malang terhadap Dana Alokasi Umum dari Pusat sangat besar, yang ditunjukkan dengan angka prosentase Rasio Dana Alokasi Umum yang rata-rata di atas 50%. Pada tahun 2003, jumlah Dana Alokasi Umum yang diterima dari Pusat sebesar Rp. 204,790,000,000.00, dan jumlah ini merupakan 61,00% dari total keseluruhan Total Pendapatan
Daerah
Kota
Malang
pada
tahun
2003
yang
sebesar
Rp.
335,700,867,000.00. Dengan prosentase Rasio DAU yang melebihi 50%, sudah dapat dikatakan bahwa tingkat kemandirian keuangan daerah Kota Malang masuk dalam kategori Sangat Kurang.
70 Pada tahun 2004, jumlah Dana Alokasi Umum yang diterima Kota Malang sebesar Rp. 211,628,000,000.00, sedangkan Total Pendapatan Daerah Kota Malang pada tahun 2004 sebesar Rp. 352,644,069,246.79. Dan bila melihat hasil perhitungan Rasio DAU pada tahun 2004, Kota Malang kembali mendapatkan prosentase sebesar 60,01%. Walaupun bila dibandingkan dengan tahun 2003, prosentasenya mengalami penurunan, tetapi hal ini tetap menunjukkan bahwa prosentase rasio DAU terhadap Total Pendapatan Daerah Kota Malang masih di atas 50%, yang artinya kemandirian Kota Malang masih dalam kategori Sangat Kurang. Pada tahun 2005 jumlah Dana Alokasi Umum yang diterima oleh Kota Malang kembali mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2004, dan jumlahnya sebesar Rp. 221,130,000,000.00 dan jumlah total Pendapatan Daerah Kota Malang sebesar Rp. 410,171,202,267.71. Dan prosentase rasio DAU terhadap Total Pendapatan Daerah Kota Malang tahun 2005 sebesar 53,91%. Bila dibandingkan dengan prosentase tahun 2004, prosentase rasio DAU Kota Malang tahun 2005 mengalami penurunan sebesar 6,1%. Tetapi dalam kategori kemandirian keuangan daerah, pada tahun 2005 Kota Malang masih sama dengan pada saat tahun 2004, yaitu masih masuk dalam kategori tingkat kemandirian keuangan yang Sangat Kurang, karena rasio DAU-nya terhadap Total Pendapatan Daerah masih diatas 50%. Pada tahun 2006, Kota Malang kembali mendapatkan Dana Alokasi Umum dari Pusat sebesar Rp. 367,435,000,000.00, jumlah tersebut mengalami kenaikan daripada tahun 2005. Dan jumlah Total Pendapatan Daerah Kota Malang pada tahun 2006 sebesar Rp. 546,181,303,088.43. Dengan diketahui jumlah tersebut di atas, sehingga didapatkan prosentase rasio DAU Kota Malang terhadap total Pendapatan Daerah Kota Malang adalah sebesar 67,27%. Kenaikan prosentase rasio DAU Kota Malang pada tahun 2006, karena disebabkan kenaikan jumlah Dana Alokasi Umum yang diterima Pemerintah Daerah Kota Malang dari Pemerintah Pusat yang cukup signifikan pada tahun 2004. Dan hal ini tetap tidak mengubah tingkat kemandirian keuangan Kota
71 Malang pada tahun 2006, karena prosentase rasio DAU pada tahun 2006 sebesar 67,27%, dan prosentasenya masih tetap di atas 50%, yang artinya masih dalam kategori kota dengan tingkat kemandirian keuangan yang Sangat Kurang. Begitu juga dengan prosentase rasio DAU Kota Malang pada tahun 2007, masih tetap di atas 50%, tepatnya sebesar 64,72 %. Prosentase tersebut didapatkan dari rasio Dana Alokasi Umum yang didapat Kota Malang pada tahun 2007 sebesar
Rp.
417,300,000,000.00 terhadap total Pendapatan Daerah Kota Malang yang sebesar Rp. 644,755,574,122.46. Tetapi pada tahun 2007, Kota Malang masih masih termasuk dalam kategori kota dengan tingkat kemandirian keuangan yang Sangat Kurang. Untuk lebih jelasnya, dapat kita lihat prosentase rasio Dana Alokasi Umum Kota Malang terhadap Total Pendapatan Daerah Kota Malang pada grafik 4.3 di bawah ini.
Tabel 4.3 : Prosentase Rasio DAU terhadap Total Pendapatan Daerah Kota Malang tahun 2003-2007
%
Sumber : Bagian Keuangan Pemkot Malang (diolah).
72 4.3.2.2. Rasio Ketergantungan Rasio Ketergantungan adalah tingkat ketergantungan pemerintah daerah terhadap alokasi dana bantuan dari pemeritah pusat memperlihatkan kesiapan daerah dalam menggali sumber dana potensi lokal yang terkandung di dalamnya (Halim, 2004). Untuk dapat mengetahui hasil prosentase Rasio Ketergantungan Kota Malang, dengan cara membandingkan jumlah Dana Perimbangan yang diterima oleh Kota Malang dengan Total Pendapatan Daerah Kota Malang, lalu dikalikan 100%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada hasil perhitungan Rasio Ketergantungan Kota Malang pada tabel 4.4 di bawah ini.
Tabel 4.4 : Rasio Ketergantungan Kota Malang tahun 2003-2007
Tahun
Jumlah Dana
Total Pendapatan
Rasio
Kategori
Perimbangan (Rp.)
Daerah (Rp.)
Ketergantun
Kemandirian
gan (%) 2003
278,250,000,000.46
335,700,867,000.00
82,89
Sangat Kurang
2004
289,977,764,143.00
352,644,069,246.79
82,23
Sangat Kurang
2005
310,035,996,980.00
410,171,202,267.71
75,59
Sangat Kurang
2006
483,869,989,587.24
546,181,303,088.43
88,59
Sangat Kurang
2007
577,639,839,412.00
644,755,574,122.46
89,59
Sangat Kurang
Sumber : Bagian Keuangan Pemerintah Kota Malang, diolah.
Dengan melihat hasil perhitungan Rasio Ketergantungan di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Kota Malang pada tahun 2003-2007, semuanya masuk dalam kategori Kemandirian Keuangan Daerah yang Sangat Kurang, yang artinya Total Pendapatan Pemerintah Daerah Kota Malang sebagian besar besar masih disumbang oleh Dana Perimbangan dari Pemerintah Pusat
73 maupun Pemerintah Propinsi Jawa Timur. Hal tersebut dapat diketahui dari besaran prosentase Rasio Ketergantungan Pemerintah Daerah Kota Malang yang semuanya menunjukkan angka diatas 50%. Pada
tahun
2003,
total
pendapatan
Kota
Malang
sebesar
Rp.
335,700,867,000.00. Dan Dana Perimbangan yang diterima pada tahun yang sama sebesar Rp. 278,250,000,000.46. Dengan menghitung kedua jumlah di atas, maka didapatkan posentase Rasio Ketergantungan Kota Malang pada tahun 2003 sebesar 82,89%. Karena prosentase Rasio Ketergantungan Kota Malang pada tahun 2003 di atas 50%, maka Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Kota Malang pada tahun 2003 masuk dalam kategori Sangat Kurang. Pada tahun 2004, Pemerintah Daerah Kota Malang kembali mendapatkan Dana Perimbangan dari Pusat sebesar Rp. 289,977,764,143.00. Dan jumlah tersebut adalah 82,23% dari jumlah total pendapatan daerah Kota Malang pada tahun 2004 yang sebesar Rp. 352,644,069,246.79. Dengan prosentase Rasio Ketergantungan sebesar 82,23% pada tahun 2004, maka secara otomatis Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Kota Malang pada tahun yang sama masuk dalam kategori kemandirian keuangan yang Sangat Kurang. Begitu juga pada tahun 2005, Rasio Ketergantungan Kota Malang sebesar 75,59%, hasil dari perbandingan Dana Perimbangan yang diterima Kota Malang pada tahun 2005 yang sebesar Rp. 310,035,996,980.00 dengan jumlah total pendapatan daerah Kota Malang tahun 2005 yang sebesar Rp. 410,171,202,267.71. Walaupun secara prosentase, Rasio Ketergantungan Kota Malang pada tahun 2005 lebih kecil atau dengan kata lain turun bila dibandingkan dengan tahun 2004, tetapi tetap tidak mengubah kategori tingkat kemandirian keuangan daerah Kota Malang yang masih masuk dalam kategori kota dengan tingkat kemandirian keuangan yang Sangat Kurang, karena hasil Rasio Ketergantungan prosentasenya masih diatas 50%.
74 Pada tahun 2006, prosentase Rasio Ketergantungan Kota Malang mengalami kenaikan bila dibandingkan dengan tahun 2005, yaitu tepatnya menjadi sebesar 88,59%. Hasil perbandingan dari Dana Perimbangan yang diterima Kota Malang pada tahun 2006 yang sebesar Rp. 483,869,989,587.24 terhadap jumlah total pendapatan daerah Kota Malang yang sebesar Rp. 546,181,303,088.43. Dengan prosentase Rasio Ketergantungan Kota Malang pada tahun 2006 yang sebesar 88,59%, maka tingkat kemandirian keuangan daerah Kota Malang masih masuk dalam kategori Sangat Kurang. Pada tahun 2007, Rasio Ketergantungan Kota Malang masih diatas 50%, tepatnya sebesar 89,59%. Karena pada tahun 2007 Pemerintah Daerah Kota Malang menerima Dana Perimbangan dari Pemerintah Pusat sebesar Rp. 577,639,839,412.00. Sedangkan total pendapatan daerah Kota Malang pada tahun 2007 sebesar Rp. 644,755,574,122.46. Dengan prosentase Rasio Ketergantungan yang sebesar 89,59%, maka Kota Malang pada tahun 2007 masih masuk dalam kategori kota dengan tingkat kemandirian
keuangan
yang
Sangat
Kurang,
karena
prosentase
Ketergantungannya masih diatas 50%. Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat pada grafik 4.4 di bawah ini.
Rasio
75 Grafik 4.4 : Prosentase Rasio Ketergantungan Kota Malang tahun 2003-2007
%
Sumber : Bagian Keuangan Pemkot Malang (diolah)
4.3.3. Hasil Pengukuran Tingkat Kemanpuan Keuangan Daerah Kota Malang tahun 2003-2007 Untuk dapat melihat tingkat kemampuan keuangan daerah Kota Malang tahun 2003-2007 dapat dilihat dengan rumus-rumus sebagai berikut : 1. Mengukur tingkat pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD). 2. Mengukur Derajat Otonomi Fiskal. 3. Rasio PAD terhadap Total Belanja Daerah.
4.3.3.1. Tingkat Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Malang tahun 2003-2007. Untuk menghitung pertumbuhan nilai PAD dilakukan melalui metode rata-rata Pendapatan Asli Daerah tahunan (Widodo, 1990 : 30) dalam Berti (2006).
76 Sehingga dengan melihat data-data yang telah diperoleh, maka tingkat pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Malang tahun 2003-2007 adalah pada tabel 4.5 berikut ini :
Tabel 4.5 : Tingkat Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Malang tahun 2003-2007. Tahun
Tingkat
Kategori Tingkat
Pertumbuhan
Pertumbuhan
PAD (%)
(PAD)
-
-
Jumlah PAD (Rp.)
2003
42,094,000,000.97
2004
50,007,305,103.79
2005
58,740,205,287.71
2006
62,311,313,501.19
2007
87,115,734,710.46
18,80
Kurang
17,46
Kurang
6,08
Sangat Kurang
39,81
Sedang
Sumber : Bagian Keuangan Pemkot Malang, diolah.
Perhitungan Tingkat Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Malang di atas pada tahun 2003, tidak ada hasil pertumbuhan Pendapatan Asli Daerahnya karena
tahun
2003
sebagai
tahun
awal
penelitian,
jadi
peneliti
tidak
bisa
membandingkan PAD tahun 2003 dengan tahun sebelumnya untuk dapat melihat tingkat pertumbuhan PAD tahun 2003. Tingkat pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah Kota Malang tahun 2004 bila dibandingkan dengan tahun 2003 sebesar 18,80%. Yang artinya Pendapatan Asli Daerah Kota Malang pada tahun 2004 mengalami pertumbuhan atau kenaikan sebesar 18,80% bila dibandingkan dengan Pendapatan Asli Daerah Kota Malang pada tahun 2003. Tetapi tingkat Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah Kota Malang pada tahun 2004 masih berada dalam kategori kota dengan tingkat pertumbuhan PAD yang masih Kurang. Pada tahun 2005 jumlah Pendapatan Asli Daerah Kota Malang kembali mengalami kenaikan bila dibandingkan dengan tahun 2004, yaitu pertumbuhannya
77 sebesar 17,46%, dengan jumlah PAD sebesar Rp. 50,007,305,103.79 pada tahun 2004 menjadi Rp. 58,740,205,287.71. Walaupun secara jumlah Pendapatan Asli Daerah Kota Malang mengalami kenaikan bila dibandingkan dengan tahun 2004, tetapi prosentase pertumbuhan PADnya relatif sama dengan prosentase pertumbuhan PAD pada tahun 2004, sehingga pada tahun 2005 Kota Malang masih masuk dalam kategori kota dengan pertumbuhan PAD yang Masih Kurang. Pada tahun 2006 jumlah Pendapatan Asli Daerah Kota Malang kembali mengalami kenaikan bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu sebesar 6,08%. Walaupun dilihat dari segi jumlah masih mengalami kenaikan, tetapi bila dilihat dari segi prosentase pertumbuhan PAD,pada tahun 2006 mengalami penurunan yang signifikan bila dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan PAD pada tahun 2005. Sehingga pada tahun 2006, Kota Malang masuk dalam kategori kota dengan tingkat pertumbuhan PAD yang Sangat Kurang. Pada tahun 2007, Kota Malang mengalami pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah yang cukup signifikan bila dibandingkan dengan jumlah Pendapatan Asli Daerah pada tahun 2006, yaitu sebesar 39,81%, dari Rp. 62,311,313,501.19 pada tahun 2006 menjadi Rp. 87,115,734,710.46. Sehingga pada tahun 2007 tingkat pertumbuhan PAD Kota Malang meningkat menjadi kategori kota dengan tingkat pertumbuhan PAD Sedang. Untuk lebih jelasnya, dapat kita lihat prosentase Tingkat Pertumbuhan Pendapatan Asli Kota Malang tahun 2003-2007 pada grafik 4.5 di bawah ini.
78 Grafik 4.5 : Prosentase Tingkat Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah Kota Malang tahun 2003-2007
%
Sumber : Bagian Keuangan Pemkot Malang (diolah).
4.3.3.2. Derajat Otonomi Fiskal Derajat Otonomi Fiskal adalah besar kecilnya kemampuan keuangan suatu daerah dalam memberikan suatu kontribusi terhadap realisasi penerimaan daerah, dalam Berti (2006). Cara melihat Derajat Otonomi Fiskal Kota Malang pada tahun 20032007 adalah dengan melihat prosentase kontribusi total Pendapatan Asli Daerah Kota Malang tahun 2003-2007 terhadap total Pendapatan Daerah Kota Malang tahun 20032007. Dengan melihat data-data yang telah diperoleh, maka tingkat pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Malang tahun 2003-2007 adalah pada tabel 4.5 berikut ini :
79 Tabel 4.5 : Derajat Otonomi Fiskal Kota Malang tahun 2003-2007 Tahun
Total PAD (Rp.)
Total Pendapatan
DOF
Kategori
Daerah (Rp.)
(%)
DOF
2003
42,094,000,000.97
335,700,867,000.00
12.54
Kurang
2004
50,007,305,103.79
352,644,069,246.79
14.18
Kurang
2005
58,740,205,287.71
410,171,202,267.71
14.32
Kurang
2006
62,311,313,501.19
546,181,303,088.43
11.41
Kurang
2007
87,115,734,710.46
644,755,574,122.46
13.51
Kurang
Sumber : Bagian Keuangan Pemkot Malang, diolah.
Dengan melihat hasil perhitungan Derajat Otonomi Fiskal di atas, maka Kota Malang pada tahun 2003 masuk dalam kategori kota dengan Dearajat Otonomi Fiskal yang Kurang. Karena PAD Kota Malang yang sebesar Rp. 42,094,000,000.97 hanya 12,25% dari Total Pendapatan Daerah Kota Malang pada tahun 2003. Artinya sumbangan atau kontribusi PAD Kota Malang hanya sebesar 12, 54% dari jumlah total Pendapatan Daerah Kota Malang pada tahun 2003. Pada tahun 2004, PAD Kota Malang memberikan sumbangan terhadap Total Pendapatan Daerah Kota Malang pada tahun 2004 sebesar 14,18%, dengan jumlah PAD sebesar Rp. 50,007,305,103.79 dan Total Pendapatan daerah sebesar Rp. 352,644,069,246.79. Sehingga Derajat Otonomi Fiskal Kota Malang pada tahun 2004 sebesar 14,18%. Dengan Derajat Otonomi Fiskal yang sebesar 14,18%, maka pada tahun 2004 Kota Malang masuk dalam kategori kota dengan Derajat Otonomi Fiskal yang Kurang. Pada tahun 2005, Kota Malang masih masuk dalam kategori kota dengan Derajat Otonomi Fiskal yang masih Kurang. Karena jumlah PAD Kota Malang pada tahun 2005 yang sebesar Rp. 58,740,205,287.71 hanya mampu memberikan kontribusi sebesar 14,32% terhadap Total Pendapatan Daerah Kota Malang tahun 2005 yang sebesar Rp. 410,171,202,267.71.
80 Pada
tahun
2006,
jumlah
PAD
Kota
Malang
yang
sebesar
Rp.
62,311,313,501.19, hanya mampu memberikan sumbangan sebesar 11,41% terhadap jumlah Total Pendapatan Daerah Kota Malang tahun 2006 yang sebesar Rp. 546,181,303,088.43. Dengan melihat sumbangan jumlah PAD Kota Malang terhadap jumlah Total Pendapatan Daerah Kota Malang pada tahun 2006, maka Derajat Otonomi Fiskal Kota Malang pada tahun 2006 sebesar 11,41%. Artinya pada tahun 2006 Kota Malang masih termasuk kota dengan kategori Derajat Otonomi Fiskal Kurang. Pada tahun 2007, Derajat Otonomi Fiskal Kota Malang sebesar 13,51%, yang artinya pada tahun 2007 Kota Malang masuk dalam kategori kota dengan Derajat Otonomi Fiskal Kurang. Hal ini disebabkan jumlah PAD Kota Malang tahun 2007 yang sebesar Rp. 87,115,734,710.46 hanya mampu memberikan kontribusi sebesar 13,51% terhadap jumlah Total Pendapatan Daerah Kota Malang tahun 2007 yang sebesar Rp. 644,755,574,122.46. Untuk dapat mengetahui lebih jelas tentang Derajat Otonomi Fiskal Kota Malang pada tahun 2003-2007, maka dapat melihat grafik 4.6 di bawah ini.
81 Grafik 4.6 : Derajat Otonomi Fiskal Kota Malang tahun 2003-2007
%
Sumber : Bagian Keuangan Pemkot Malang (diolah).
4.3.3.3. Rasio PAD terhadap Total Belanja Daerah Dalam menilai kemampuan keuangan daerah dapat dilihat dari sejauh mana kemampuan PAD dalam membiayai berbagai pengeluarannya (Khusaini, 2006 : 153). Sehingga dalam menghitung Rasio Pendapatan Asli Daerah terhadap Total Belanja Daerah Kota Malang tahun 2003-2007 adalah dengan melihat kontribusi atau sumbangan Pendapatan Asli Daerah Kota Malang dalam membiayai Total Belanja Daerah Kota Malang di masing-masing tahun, antara 2003-2007. Untuk lebih jelasnya tentang Rasio Pendapatan Asli Daerah terhadap Total Belanja Daerah Kota Malang tahun 2003-2007, maka dapat dilihat dalam perhitungan dari data-data yang telah diperoleh sebelumnya, dan hasilnya tersaji dalam tabel 4.6 di bawah ini.
82 Tabel 4.6 : Rasio PAD terhadap Total Belanja Daerah Kota Malang tahun 2003-2007 Tahun
Jumlah PAD (Rp.)
Total Belanja Daerah
Rasio
(Rp.)
(%)
2003
42,094,000,000.97
329,289,000,000.95
12.78
2004
50,007,305,103.79
362,175,130,464.00
13.81
2005
58,740,205,287.71
417,855,955,451.00
14.06
2006
62,311,313,501.19
511,076,024,911.00
12.19
2007
87,115,734,710.46
648,747,892,165.00
13.43
Sumber : Bagian Keuangan Pemkot Malang, diolah.
Dengan melihat hasil perhitungan data-data di atas, maka pada tahun 2003, Pendapatan Asli Daerah Kota Malang yang sebesar Rp. 42,094,000,000.97, hanya mampu membiayai sebesar 12.78% dari Total Belanja Daerah Kota Malang pada tahun 2003 yang sebesar Rp. 329,289,000,000.95. Pada tahun 2004 Kota Malang mampu menghasilkan Pendapatan Asli Daerah sebesar Rp. 50,007,305,103.79. Dan pada tahun yang sama, Total Belanja Daerah Kota Malang sebesar Rp. 362,175,130,464.00. Sehingga hasil Rasio PAD terhadap Total Belanja Daerah Kota Malang pada tahun 2004 sebesar 13.81%, yang artinya pada tahun 2004, Pendapatan Asli Daerah Kota Malang hanya mampu membiayai Belanja Daerah Kota Malang sebesar 13.81% dari total Belanja Daerah Kota Malang pada tahun 2004. Rasio PAD terhadap Total Belanja Daerah Kota Malang pada tahun 2004 meningkat prosentasenya bila dibandingkan dengan rasio tahun 2003. Pada tahun 2005, jumlah Pendapatan Asli Daerah Kota Malang mengalami kenaikan, dan jumlahnya sebesar Rp. 58,740,205,287.71. Tetapi jumlah Total Belanja Daerah Kota Malang pada tahun 2005 juga mengalami kenaikan, yang jumlahnya sebesar Rp. 417,855,955,451.00. Sehingga hasil Rasio PAD terhadap Total Belanja Daerah Kota Malang tahun 2005 sebesar 14.06%, yang artinya PAD Kota Malang tahun 2005 mempunyai kontribusi dalam membiayai Total Belanja Daerah Kota Malang tahun
83 2005 sebesar 14.06%. Sehingga dengan melihat prosentase Rasio PAD terhadap Total Belanja Daerah Kota Malang pada tahun 2005, kemampuan Pendapatan Asli Daerah Kota Malang dalam berkontribusi membiayai Total Belanja Daerah Kota Malang mengalami kenaikan bila dibandingkan dengan kemampuan PAD Kota Malang tahun 2003 dalam membiayai Total Belanja Daerah Kota Malang tahun 2003. Pendapatan Asli Daerah Kota Malang tahun 2006 yang sebesar Rp. 62,311,313,501.19, hanya mampu berkontribusi sebesar 12.19% dalam membiayai Total
Belanja
Daerah
Kota
Malang
pada
tahun
2006
yang
sebesar
Rp.
511,076,024,911.00. Walaupun pada tahun 2006, jumlah PAD Kota Malang mengalami kenaikan bila dibandingkan dengan tahun 2005, tetapi Total Belanja Daerah Kota Malang tahun 2006 juga mengalami kenaikan bila dibandingkan dengan Total Belanja Daerah Kota Malang pada tahun 2005. Sehingga kemampuan Pendapatan Asli Daerah Kota Malang tahun 2006 dalam membiayai Total Belanja Daerah Kota Malang tahun 2006 prosentasenya lebih kecil bila dibandingkan kemampuan pembiayaan PAD Kota Malang terhadap Total Belanja Daerah Kota Malang pda tahun 2005. Pada tahun 2007, kemampuan pembiayaan PAD Kota Malang terhadap Total Belanja Daerah Kota Malang mengalami kenaikan bila dibandingkan kemampuan pembiayaan PAD terhadap Total Belanja Daerah Kota Malang pada tahun 2006, karena prosentase Rasio PAD terhadap Total Belanja Daerah Kota Malang sebesar 13.43%. Yang artinya pada tahun 2007, Pendapatan Asli Daerah Kota Malang yang sebesar Rp. 87,115,734,710.46 hanya mampu membiayai sebesar 13.43% dari Total Belanja Daerah Kota Malang yang jumlahnya Rp. 648,747,892,165.00. Untuk dapat mengetahui dengan lebih jelas tentang Rasio Pendapatan Asli Daerah Kota Malang terhadap Total Belanja Daerah Kota Malang tahun 2003-2007, maka dapat dilihat pada grafik 4.7 di bawah ini.
84 Grafik 4.7 : Rasio Pendapatan Asli Daerah terhadap Total Belanja Daerah Kota Malang tahun 2003-2007
Sumber : Bagian Keuangan Pemkot Malang (diolah).
Setelah peneliti melakukan penelitian lebih mendalam terhadap sumber-sumber PAD Kota Malang, ternyata walaupun setiap tahunnya selalu memenuhi target yang telah ditetapkan dalam APBD, tetapi proporsinya masih lebih kecil bila dibandingkan dengan kontribusi Dana Perimbangan dari Pusat terhadap APBD Kota Malang yang menyebabkan rendahnya tingkat Kemandirian dan Kemampuan Keuangan Daerah Kota Malang. Di bawah ini akan peneliti tunjukkan sumber-sumber dari PAD Kota Malang serta jumlahnya serta kontribusinya terhadap PAD Kota Malang, serta faktor-faktor yang menghambat besaran kontribusi PAD Kota Malang terhadap ABBD Kota Malang. Pajak Daerah yang ditarik oleh Kota Malang antara lain : Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan dan Pajak Parkir. Sedangkan pajak yang dapat menghasilkan jumlah yang cukup signifikan langsung ditarik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Propinsi. Dan hal inilah yang juga menyebabkan kecilnya jumlah PAD Kota Malang.
85 Faktor-faktor lain yang telah ditemukan peneliti yang menyebabkan kecilnya kontribusi PAD terhadap PAD Kota Malang antara lain, pungutan Retribusi Sewa Kios dan Parkir Bus Bermalam Tahun Anggaran 2005 dan Tahun Anggaran 2006 (31 Juli 2006) Tidak Optimal sebesar Rp 518.502.625,00; Retribusi Biaya Administrasi Ijin Hak Pakai Pasar Tidak Terpungut Sebesar Rp23.845.000,00 (tahun 2005); terdapat pemasangan 438 Papan Reklame yang tidak ada ijin dan Tidak Membayar Pajak Reklame Sebesar Rp425.397.068,00 (tahun 2005); Perjanjian Kerjasama Pemerintah Kota Malang dengan PT Promo Adhika (PT PA) Tentang Pengelolaan Pajak Reklame Menguntungkan PT PA (tahun 2005); Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Kota Malang Sebesar Rp8.850.109.124,88 Belum Terealisasi (tahun 2005); Bagi Hasil Pajak Penghasilan Pasal 21 Sebesar Rp6.559.675.444,00 dan Bagi Hasil Sumbangan Pihak Ketiga Atas Pembelian Kayu Dari Perhutani (SP3) Kurang Diterima Sebesar Rp18.237.299,00 (tahun 2005); Perjanjian Kerja sama antara Pemerintah Kota Malang dengan PDAM dalam penarikan Retribusi Kebersihan Tidak sesuai ketentuan (tahun 2005); jumlah tagihan pajak daerah Tahun 2007 dan 2006, masing-masing sebesar Rp1.172.188.778,00 yang belum tertagih dan belum disetor ke Kas Daerah sampai dengan 31 Desember 2007 dan 31 Desember 2006; jumlah tagihan pajak daerah Tahun 2007 dan 2006, masing-masing sebesar Rp1.172.188.778,00 yang belum tertagih dan belum disetor ke Kas Daerah sampai dengan 31 Desember 2007 dan 31 Desember 2006. Di bawah ini dapat kita lihat kontribusi Pajak Hotel terhadap PAD Kota Malang pada tahun anggaran 2003-2007.
86 Tabel 4.7 : Kontribusi Pajak Hotel Terhadap PAD Kota Malang pada tahun anggaran 2003-2007 Tahun
Pajak Hotel (Rp.)
2003
5,701,849,512.35
2004
1,619,047,811.75
2005
8,705,494,253.60
2006
9,968,842,188.68
2007
3,932,900,034.71
PAD (Rp.)
Kontribusi (%)
42,094,000,000.97 50,007,305,103.79 58,740,205,287.71 62,311,313,501.19 87,115,734,710.46
13.99 3.27 14.96 16.62 4.75
Sumber : Dinas Pendapatan Kota Malang, (diolah).
Di bawah ini dapat kita lihat kontribusi Pajak Restoran terhadap PAD Kota Malang pada tahun anggaran 2003-2007. Pada tahun 1998/1999 sampai dengan tahun 2003 Pajak restoran masih menjadi satu dengan Pajak Hotel. Pada tahun 2004 Pajak Restoran terpisah dengan Pajak Hotel, dan pada tahun 2005 sampai dengan tahun 2006 Pajak restoran menjadi satu kembali dengan Pajak Hotel, pada tahun 2007/2008 Pajak Restoran kembali terpisah dengan Pajak Hotel. Untuk lebih jelas tentang kontribusi Pajak Restoran terhadap PAD Kota Malang dapat dilihat pada tabel 4.8 di bawah ini.
Tabel 4.8 : Kontribusi Pajak Restoran terhadap PAD Kota Malang tahun anggaran 2003-2007 Tahun
Pajak Restoran (Rp.)
2003
0.00
2004
5,322,202,311.20
2005
0.00
2006
0.00
2007
7,762,908,408.44
PAD (Rp.) 42,094,000,000.97 50,007,305,103.79 58,740,205,287.71 62,311,313,501.19 87,115,734,710.46
Sumber : Dinas Pendapatan Kota Malang, (diolah).
Kontribusi (%) 0.00 10.75 0.00 0.00 9.37
87 Lalu jenis pajak daerah yang menyumbang PAD Kota Malang adalah Pajak Hiburan, sumber-sumber pajak hiburan berasal dari semua penyelenggara hiburan seperti : pertunjukkan film, pertunjukkan kesenian, pagelaran music dan tari, diskotik , karaoke, klub malam, bilyard, panti pijat, mandi uap, pertandingan olahraga, dsb. Untuk lebih jelas tentang kontribusi Pajak Hiburan terhadap PAD Kota Malang dapat dilihat pada tabel 4.9 di bawah ini.
Tabel 4.9 : Kontribusi Pajak Hiburan terhadap PAD Kota Malang tahun anggaran 2003-2007 Tahun
Pajak Hiburan (Rp.)
2003
1,154,258,783.00
2004
1,286,780,615.25
2005
1,501,851,075.00
2006
1,380,141,329.00
2007
1,724,554,425.00
PAD (Rp.) 42,094,000,000.97 50,007,305,103.79 58,740,205,287.71 62,311,313,501.19 87,115,734,710.46
Kontribusi (%) 2.83 2.60 2.58 2.30 2.08
Sumber : Dinas Pendapatan Kota Malang, (diolah).
Pajak Reklame merupakan salah satu penyumbang terhadap PAD Kota Malang. Sumber Pajak Reklame antara lain : reklame papan/billboard, reklame kain (spanduk), reklame melekat, reklame selebaran, reklame udara dan reklame suara. Untuk lebih jelas tentang kontribusi Pajak Reklame terhadap PAD Kota Malang dapat dilihat pada tabel 4.10 di bawah ini.
88 Tabel 4.10 : Kontribusi Pajak Reklame terhadap PAD Kota Malang tahun anggaran 2003-2007 Tahun
Pajak Reklame (Rp.)
2003
1,156,642,540.00
2004
1,300,850,235.00
2005
1,484,379,950.00
2006
1,667,616,031.67
2007
3,716,041,502.05
PAD (Rp.)
Kontribusi (%) 2.84
42,094,000,000.97
2.63
50,007,305,103.79
2.55
58,740,205,287.71
2.78
62,311,313,501.19
4.48
87,115,734,710.46
Sumber : Dinas Pendapatan Kota Malang, (diolah).
Pajak Penerangan Jalan merupakan salah satu penyumbang PAD Kota Malang. Objek Pajak Penerangan Jalan adalah semua tenaga listrik yang berasal dari PLN kecuali Instansi Pemerintah. Untuk lebih jelas tentang kontribusi Pajak Reklame terhadap PAD Kota Malang dapat dilihat pada tabel 4.11 di bawah ini. Tabel 4.11 : Kontribusi Pajak Penerangan Jalan terhadap PAD Kota Malang tahun anggaran 2003-2007 Tahun
Pajak Penerangan Jalan (Rp.)
2003
11,985,015,593.00
2004
16,563,436,679.00
2005
17,207,678,928.00
2006
18,589,169,105.36
2007
19,533,015,375.92
PAD (Rp.)
42,094,000,000.97 50,007,305,103.79 58,740,205,287.71 62,311,313,501.19 87,115,734,710.46
Kontribusi (%) 29.40 33.44 29.58 30.99 23.57
Sumber : Dinas Pendapatan Kota Malang, (diolah).
Lalu jenis Pajak daerah yang menyumbang PAD Kota Malang adalah Pajak Parkir. Objek Pajak Parkir dalah penyelenggaraan tempat parkir yang dimiliki oleh orang pribadi ataupun badan. Pajak Parkir mulai diberlakukan di Kota Malang mulai Mei tahun
89 2002. Untuk lebih jelas tentang kontribusi Pajak Reklame terhadap PAD Kota Malang dapat dilihat pada tabel 4.12 di bawah ini.
Tabel 4.12 : Kontribusi Pajak Parkir terhadap PAD Kota Malang tahun anggaran 2003-2007 Tahun
Pajak Parkir (Rp.)
2003
269,993,950.00
2004
317,216,100.00
2005
396,787,175.00
2006
517,904,376.50
2007
912,377,032.50
PAD (Rp.)
Kontribusi (%)
42,094,000,000.97 50,007,305,103.79 58,740,205,287.71 62,311,313,501.19 87,115,734,710.46
0.66 0.64 0.68 0.86 1.10
Sumber : Dinas Pendapatan Kota Malang, (diolah).
Selain Pajak Daerah yang dijadikan andalan sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Malang adalah dari sisi Retribusi Daerah. Ada 21 (dua puluh satu) jenis Retribusi Daerah yang dikelola oleh Unit Penghasil/SKPD meliputi : 1. Retribusi Pelayanan Kesehatan 2. Retribusi Pelayanan Kebersihan/Persampahan 3. Retribusi Penggantian Biaya Cetak KTP & Akta Catatan Sipil 4. Retribusi Pelayanan Pemakaman dan pengabuan Mayat 5. Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum 6. Retribusi Pelayana Pasar 7. Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor 8. Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran 9. Retribusi Ketenagakerjaan 10. Retribusi Pariwisata 11. Retribusi Jasa Usaha Pemakaian Kekayaan Daerah 12. Retribusi Jasa Usaha Terminal
90 13. Retribusi Jasa Usaha Tempat Rekreasi dan Olah Raga 14. Retribusi Ijin Mendirikan Bangunan 15. Retribusi Izin Gangguan/Keramaian 16. Retribusi Ijin Trayek 17. Retribusi Ijin Advice Planning (AP) 18. Retrbusi Bidang Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi 19. Retribusi Surat Ijin Usaha Jasa Konstruksi (SIUJK) 20. Retribusi Ijin Layak Huni 21. Retribusi Ijin Pengelolaan Air Tanah. Untuk lebih jelas tentang kontribusi Retribusi Daerah terhadap PAD Kota Malang dapat dilihat pada tabel 4.13 di bawah ini.
Tabel 4.13 : Kontribusi Retribusi Daerah terhadap PAD Kota Malang tahun anggaran 2003-2007 Tahun
Retribusi Daerah (Rp.)
2003
14,340,992,481.00
2004
15,408,572,301.00
2005
15,419,847,159.00
2006
18,025,002,275.00
2007
23,183,499,589.00
PAD (Rp.) 42,094,000,000.97 50,007,305,103.79 58,740,205,287.71 62,311,313,501.19 87,115,734,710.46
Kontribusi (%) 35.18 31.11 26.50 30.05 27.97
Sumber : Dinas Pendapatan Kota Malang, (diolah).
Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Malang juga disumbang oleh Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Yang dipisahkan. Dari hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan, Pemerintah Kota Malang memperoleh Bagian Laba Atas Penyertaan Modal Pada Perusahaan Daerah (BUMD). Selama Ini bagian laba diperoleh dari Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat (PD BPR), Perusahaan Daerah Air
91 Minum (PDAM), Perusahaan Daerah Rumah Potong Hewan (PD RPH), Perusahaan Daerah Bank Pembangunan Daerah Jatim. Dan di bawah ini dapat kita lihat kontribusi Bagian Laba Atas Penyertaan Modal pada PDAM terhadap PAD Kota Malang dapat dilihat pada tabel 4.14 di bawah ini. Tabel 4.14 : Kontribusi Bagian Laba Atas Penyertaan Modal pada PDAM terhadap PAD Kota Malang tahun anggaran 2003-2007 Tahun
Laba atas penyertaan modal PDAM (Rp.)
2003
3,700,000,000.00
2004
3,815,000,000.00
2005
5,733,758,467.00
2006
6,048,196,589.00
2007
6,048,196,589.00
PAD (Rp.)
42,094,000,000.97 50,007,305,103.79 58,740,205,287.71 62,311,313,501.19 87,115,734,710.46
Kontribusi (%) 9.08 7.70 9.85 10.08 7.30
Sumber : Dinas Pendapatan Kota Malang, (diolah).
Dan di bawah ini dapat kita lihat kontribusi Bagian Laba Atas Penyertaan Modal pada Perusahaan Daerah Rumah Potong Hewan terhadap PAD Kota Malang dapat dilihat pada tabel 4.15 di bawah ini.
Tabel 4.15 : Kontribusi Bagian Laba Atas Penyertaan Modal pada Perusahaan Daerah Rumah Potong Hewan terhadap PAD Kota Malang tahun anggaran 2003-2007 Tahun
Laba atas penyertaan modal PD RPH (Rp.)
2003
55,000,000.00
2004
75,000,000.00
2005
75,000,000.00
2006
75,000,000.00
2007
80,000,000.00
PAD (Rp.)
42,094,000,000.97 50,007,305,103.79 58,740,205,287.71 62,311,313,501.19 87,115,734,710.46
Sumber : Dinas Pendapatan Kota Malang, (diolah).
Kontribusi (%) 0.13 0.15 0.13 0.13 0.10
92 Dan di bawah ini dapat kita lihat kontribusi Bagian Laba Atas Penyertaan Modal pada Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat terhadap PAD Kota Malang dapat dilihat pada tabel 4.16 di bawah ini.
Tabel 4.16 : Kontribusi Bagian Laba Atas Penyertaan Modal pada Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat terhadap PAD Kota Malang tahun anggaran 2003-2007 Tahun
Laba atas penyertaan modal PD BPR (Rp.)
2003
31,000,000.00
2004
47,402,000.00
2005
54,972,850.00
2006
49,082,000.00
2007
61,896,500.00
PAD (Rp.)
Kontribusi (%) 0.08
42,094,000,000.97
0.10
50,007,305,103.79
0.09
58,740,205,287.71
0.08
62,311,313,501.19
0.07
87,115,734,710.46
Sumber : Dinas Pendapatan Kota Malang, (diolah).
Dan di bawah ini dapat kita lihat kontribusi Bagian Laba (Deviden) Atas Penyertaan Modal pada Perusahaan Daerah Bank Pembangunan Daerah Jatim terhadap PAD Kota Malang dapat dilihat pada tabel 4.17 di bawah ini.
Tabel 4.17 : Kontribusi Bagian Laba Atas Penyertaan Modal pada Perusahaan Daerah Bank Pembangunan Daerah Jatim terhadap PAD Kota Malang tahun anggaran 2003-2007 Tahun
Deviden atas penyertaan modal PD BPD Jatim (Rp.)
2003
0.00
2004
211,513,570.20
2005
0.00
2006
0.00
2007
558,951,337.57
PAD (Rp.)
42,094,000,000.97 50,007,305,103.79 58,740,205,287.71 62,311,313,501.19 87,115,734,710.46
Sumber : Dinas Pendapatan Kota Malang, (diolah).
Kontribusi (%) 0.00 0.43 0.00 0.00 0.67
93 Komponen Penyumbang PAD Kota Malang selain komponen pendapatan di atas, juga masih termasuk komponen Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah meliputi : hasil penjualan asset daerah yang tidak terpisahkan, penerimaan jasa giro, pendapatan bunga deposito pada Bank Jatim, pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan, pendapatan denda pajak
dan
retribusi
daerah,
pendapatan
eksekusi
atas
jaminan,
pendapatan
pengembalian dan fasilitas umum. Untuk lebih jelasnya di bawah ini dapat kita lihat kontribusi Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah terhadap PAD Kota Malang dapat dilihat pada tabel 4.18 di bawah ini.
Tabel 4.18 : Kontribusi Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah terhadap PAD Kota Malang tahun anggaran 2003-2007 Tahun
PAD (Rp.)
Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah (Rp.)
2003
3,679,368,496.97
2004
4,040,483,480.39
2005
6,294,814,374.45
2006
5,990,359,605.48
2007
19,831,394,129.01
42,094,000,000.97 50,007,305,103.79 58,740,205,287.71 62,311,313,501.19 87,115,734,710.46
Sumber : Dinas Pendapatan Kota Malang, (diolah).
Kontribusi (%) 9.03 8.16 10.82 9.99 23.93
94
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisa data penelitian yang telah dilakukan, maka peneliti dapat menarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Tingkat Efektifitas Keuangan Daerah Kota Malang, untuk periode tahun anggaran 2003-2007 menunjukkan tingkat Efektifitas Keuangan Daerah yang SANGAT EFEKTIF, karena selama periode tahun anggaran 2003-2007 Pemerintah Daerah Kota Malang selalu mampu melebihi target Pendapatan Asli Daerah yang ditargetkan pada awal tahun anggaran dan prosentase realisasinya selalu di atas 100% dari target PAD yang ditetapkan dan juga Pendapatan Asli Daerah Kota Malang pada tahun anggaran 2003-2007 mengalami kecenderungan meningkat jumlahnya dari tahun ke tahun. Sehingga secara keseluruhan selama periode tahun anggaran 2003-2007 Kota Malang dapat dikategorikan kota dengan Tingkat Efektifitas Keuangan Daerah yang Sangat Efektif.
2. Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Kota Malang, apabila ditinjau dari : a. Rasio Dana Alokasi Umum terhadap Total Pendapatan Daerah Kota Malang periode tahun anggaran 2003-2007, menunjukkan bahwa proporsi Dana Alokasi Umum yang diberikan Pemerintah Pusat sangat dominan terhadap Total Pendapatan Daerah Kota pada periode tahun anggaran 2003-2007, semuanya di atas 50%. Dengan rincian, pada tahun 2003 proporsi DAU Kota Malang terhadap Total Pendapatan
95 Daerah Kota Malang sebesar 61.00%. pada tahun 2004 DAU Kota Malang menyumbang sebesar 60.01% dari Total Pendapatan Daerah Kota Malang pada tahun 2004, sedangkan pada tahun 2005 proporsi DAU terhadap Total Pendapatan Daerah Kota Malang sebesar 53.91%. Tahun 2006, proporsi DAU Kota Malang terhadap Total Pendapatan Daerah Kota Malang sebesar 67.27%, sedangkan pada tahun 2007 DAU Kota Malang menyumbang Total Pendapatan Daerah Kota sebesar 64.72%. Jadi Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Kota Malang pada tahun anggaran 2003-2007 jika dilihat dari Rasio Dana Alokasi Umum terhadap Total Pendapatan Daerah adalah masuk dalam kategori kota dengan
Tingkat
Kemandirian
Keuangan
Daerah
yang
SANGAT
KURANG, karena lebih dari 50% Total Pendapatan Daerahnya disumbang oleh Dana Alokasi Umum yang berasal dari Pemerintah Pusat. b. Rasio Ketergantungan pada periode tahun anggaran 2003-2007, Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Kota Malang juga masuk dalam Kategori kota dengan Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah yang SANGAT KURANG, karena pada periode tahun anggaran 2003-2007 jumlah Dana Perimbangan yang diterima Kota Malang baik dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Propinsi Jawa Timur sangat dominan dalam Total Pendapatan Daerah Kota Malang pada periode tahun anggaran 20032007, yang prosentasenya selalu diatas 50% pada setiap tahun anggarannya. Dengan kata lain, sumber Pendapatan Daerah Kota Malang pada periode tahun anggaran 2003-2007 yang terbesar berasal dari dana bantuan dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Propinsi Jawa Timur.
96 3. Tingkat Kemampuan Keuangan Daerah Kota Malang, apabila ditinjau dari : a. Rata-rata Tingkat Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah pada periode tahun anggaran 2003-2007, maka Tingkat Kemampuan Keuangan Daerah Kota Malang masuk dalam kategori kota dengan Tingkat Kemampuan Keuangan Daerah yang KURANG. Karena pada periode tahun anggaran 2003-2007 tingkat pertumbuhan PAD Kota Malang mengalami kenaikan yang fluktuatif, tetapi kenaikan PADnya tidak sampai melebihi besaran 40% bila dibandingkan dengan jumlah PAD tahun sebelumnya. b. Derajat Otonomi Fiskal, maka Kota Malang pada tahun anggaran 20032007 termasuk dalam kategori kota dengan Tingkat Kemandirian yang KURANG, karena pada tahun anggaran tersebut jumlah sumbangan Pendapatan Asli Daerah terhadap Total Pendapatan Daerah Kota Malang pada tahun anggaran 2003-2007 selalu kurang dari 20%. c. Rasio Pendapatan Asli Daerah terhadap Total Belanja Daerah, maka pada tahun anggaran 2003-2007, kemampuan Pendapatan Asli Daerah Kota Malang dalam membiayai Total Belanja Daerah selalu kurang dari 20%.
5.2. Saran-Saran 1. Diperlukan suatu upaya yang lebih intensif melalui penggalian potensi sumber-sumber pendapatan daerah Kota Malang agar mampu meningkatkan pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah dan Total Pendapatan Daerah pada tahun anggaran yang akan datang, supaya sumbangan Pendapatan Asli Daerah terhadap Total Pendapatan Daerah Kota Malang lebih besar proposinya bila dibandingkan dengan sumbangan Dana Perimbangan kepada Total Pendapatan Daerah Kota Malang nantinya, yang implikasinya
97 akan meningkatkan Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Kota Malang. Dan nantinya juga akan meningkatkan kemampuan Pendapatan Asli Daerah Kota Malang dalam membiayai kebutuhan Belanja Daerah Kota Malang, nantinya akan meningkatkan Tingkat Kemampuan Keuangan Daerah Kota Malang itu sendiri.
2. Dalam rangka melaksanakan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab, Pemerintah Daerah harus mempunyai sumber dana yang besar, hal ini dapat dicapai melalui kemampuan daerah dalam menggali sumber-sumber keuangan sendiri. Karena keuangan daerah merupakan tolok ukur bagi penentuan kapasitas otonomi atau kemampuan daerah dalam menyelenggarakan tuga-tugas otonomi. 3. Karena sektor pajak masih menjadi sektor yang diprioritaskan dalam upaya peningkatan PAD, sehingga bila sektor pajak belum tergali dan terkelola secara optimal, maka perlu diupayakan peningkatan PAD baik secara intensifikasi maupun ekstensifikasi. Secara ekstensifikasi, pemerintah daerah seharusnya dapat mengidentifikasi potensi daerah sehingga peluang– peluang baru untuk sumber penerimaan daerah dapat dicari. Secara intensifikasi yaitu dengan cara memperbaiki kinerja pengelolaan pemungutan pajak, antara lain : a. Pendataan kembali wajib pajak dan objek pajak yang sudah ada dalam rangka penggalian potensi daerah. b. Melakukan perhitungan efisiensi dan efektivitas pemungutan pajak, sehingga biaya pemungutan dapat diperhitungkan sebelumnya. c. Meningkatkan kemampuan perencanaan dan pengawasan keuangan, sehingga kebocoran dapat dikurangi.
98
DAFTAR PUSTAKA 1. Aminah, Siti. 2002. Kemampuan Keuangan Daerah Sekayu Kabupaten Sumatra Selatan dalam mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah Periode 1998-2002. pdf. diakses pada tanggal 14 Maret 2009. 2. Bastian, Indra. 2001. Akuntansi Sektor Publik : Akuntansi Keuangan Daerah. Edisi Pertama. Jakarta : BPFE, UI. 3. Berti, Emelia. 2006. Mengukur Tingkat Kemampuan Keuangan Dalam Mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah Periode 2000-2004 Di Kabupaten Lampung Timur. pdf. diakses pada tanggal 14 Maret 2009. 4. Domai, Tjahjanulin. 2002. Buku Ajar Administrasi Keuangan Daerah. Malang : Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya. 5. Dwirandra, A.A.N.B. .... Efektivitas Dan Kemandirian Keuangan Daerah Otonom Kabupaten/Kota Di Propinsi Bali Tahun 2002 – 2006. pdf.diakses pada tanggal 14 Maret 2009. 6. Halim, Abdul. 2004. Bunga Rampai: Manajemen Keuangan Daerah. Edisi Pertama. Yogyakarta : UPP AMP YKPN. 7. Kuncoro, Mudrajad. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah, Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang. Jakarta : Erlangga. 8. Mardiasmo. 2002. Otonomi Dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta : Andi. 9.
Khusaini, Mohammad. 2006. Ekonomi Publik: Pembangunan Daerah. Malang : BPFE, UB.
Desentralisasi
Fiskal
dan
10. Riwu Kaho, Josef.1988. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia. Jakarta : Rajawali Pers. 11. Sjafrizal. 2000. Analisis Tinjauan Kemampuan Keuangan Daerah dalam Menghadapi Otonomi Daerah di Kabupaten Sleman. pdf. diakses pada tanggal 14 Maret 2009. 12. Syamsi, Ibnu. 1983. Pokok-Pokok Organisasi dan Manajemen. Jakarta : Bina Aksara. 13. UU Nomor 34 tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 14. UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. 15. UU Nomor 35 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antar Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. 16. http : //www.Wikipedia Indonesia.co.id/ 17. http : //www.pemkot-malang.go.id/
99 18. http : //www.jawapos.com/ 19. http : //www.suryaonline.com/
100 Lampiran 1
Tabel 8.1.1. : Realisasi Penerimaan Keuangan Daerah Kota Malang Tahun Anggaran 2003 Actual Government Revenues Jenis Penerimaan
Nilai/Revenues
Type of Revenues
(juta Rp)
(1)
(2)
1. Pendapatan asli daerah a. Pajak Daerah b. Retribusi Daerah c. Laba Badan Usaha Milik Daerah d. Lain-lain 3. Bagian Dana Perimbangan a. Bagi Hasil Pajak b. Bagi Hasil Bukan Pajak c. Dana Alokasi Umum d. Dana Alokasi Khusus d. Dana Perimbangan dari Prop.
42,094.975 Rp Rp Rp Rp
20,267.760 14,354.577 4,076.407 3,396.230
Rp Rp Rp Rp Rp
37,694.140 1,116.028 204,790.000 7,100.000 27,550.289
278,250.458
15,355.435
5. Bagian Lain-Lain Penerimaan yang Sah
Jumlah 2003 2002
335,700.867 287,900.174
Sumber : Pemerintah Kota Malang (Bag. Keuangan)
101 Lampiran 2 Tabel 8.1.2. : Realisasi Pengeluaran Keuangan Daerah Kota Malang Tahun Anggaran 2003 Actual Government Expenditure Jenis Pengeluaran I. R u t i n 1
2
Nilai (juta Rp)
(1) APARATUR DAERAH
76,844.417
(2)
Belanja Administrasi Umum
67,176.505
- Belanja Pegawai
38,838.612
- Belanja Barang dan Jasa
22,820.982
- Belanja Perjalanan Dinas
2,096.785
- Belanja Pemeliharaan
3,420.127
Belanja Operasi & Pemeliharaan
8,384.270
- Belanja Pegawai
1,689.268
- Belanja Barang dan Jasa
5,982.167
- Belanja Perjalanan Dinas
682.380
- Belanja Pemeliharaan
Belanja Modal/Pembangunan
3
II. 1
30.455 1,283.642
PELAYANAN PUBLIK
251,445.533
Belanja Administrasi Umum
140,272.173
- Belanja Pegawai
134,001.615
- Belanja Barang dan Jasa
5,435.467
- Belanja Perjalanan Dinas
24.315
- Belanja Pemeliharaan 2
810.777
Belanja Operasi & Pemeliharaan
60,174.430
- Belanja Pegawai
10,377.295
- Belanja Barang dan Jasa
20,240.229
- Belanja Perjalanan Dinas
1,124.839
- Belanja Pemeliharaan
28,432.067
3
Belanja Modal/Pembangunan
35,665.856
4
Belanja Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan
14,323.364
5
Belanja Tidak Tersangka
Jumlah ( I + II)
1,009.709
2003 2002
329,289.950 262,047.487
Sumber : Pemerintah Kota Malang (Bag. Keuangan)
102 Lampiran 3
103 Lampiran 4
104 Lampiran 5
105 Lampiran 6
106 Lampiran 7
107 Lampiran 8
108 Lampiran 9
109 Lampiran 10
110 Lampiran 11
111 Lampiran 12
112 Lampiran 13
113 Lampiran 14
114 Lampiran 15 Hasil Perhitungan Tingkat Efektifitas Keuangan Daerah Kota Malang tahun anggaran 2003-2007
Rumus Efektifitas Keuangan =
Re alisasiPenerimaanPAD X 100% T arg etPADyangditetapkan
Rasio Efektifitas Keuangan Daerah Tahun 2003 2004 2005 2006 2007
Target PAD Rp 40,764,605,200.00 Rp 49,528,288,300.00 Rp 58,187,939,500.00 Rp 59,990,746,371.50 Rp 80,875,967,418.00
Realisasi PAD Rp42,094,000,000.97
103.26
Rp50,007,305,103.79
100.97
Rp58,740,205,287.71
100.95
Rp62,311,313,501.19
103.87
Rp87,115,734,710.46
107.72
Rasio EKD (%)
115 Lampiran 16 Hasil Perhitungan Rasio Dana Alokasi Umum Kota Malang tahun anggaran 2003-2007
RDAU =
DAU X 100% TotalPendapa tan Daerah(TPD)
Keterangan: RDAU = Rasio Dana Alokasi Umum DAU = Dana Alokasi Umum TPD = Total Pendapatan Daerah Rasio Dana Alokasi Umum Kota Malang tahun 2003-2007 Tahun 2003 2004 2005 2006 2007
Jumlah DAU Rp 204,790,000,000.00 Rp 211,628,000,000.00 Rp 221,130,000,000.00 Rp 367,435,000,000.00 Rp 417,300,000,000.00
Total Penerimaan Daerah
RDAU (%)
Rp335,700,867,000.00
61.00
Rp352,644,069,246.79
60.01
Rp410,171,202,267.71
53.91
Rp546,181,303,088.43
67.27
Rp644,755,574,122.46
64.72
Lampiran 17
116
Hasil Perhitungan Rasio Ketergantungan Kota Malang tahun anggaran 2003-2007 Rasio Ketergantungan =
DAU + DAK + BagiHasilPajakdanBukanPajak ( DanaPerimbangan) X 100 % TotalPendapa tan Daerah(TPD ) Rasio Ketergantungan Kota Malang tahun 2003-2007
Tahun 2003 2004 2005 2006 2007
Jumlah Dana Perimbangan
Rp 278,250,000,000.46 Rp 289,977,764,143.00 Rp 310,035,996,980.00 Rp 483,869,989,587.24 Rp 577,639,839,412.00
Total Penerimaan Daerah
RK (%)
Rp335,700,867,000.00
82.89
Rp352,644,069,246.79
82.23
Rp410,171,202,267.71
75.59
Rp546,181,303,088.43
88.59
Rp644,755,574,122.46
89.59
Lampiran 18
117 Hasil Perhitungan Tingkat Pertumbuhan PAD Kota Malang tahun 2003-2007
TP PADt =
TPPADt − TPPADt − 1 X 100 % TPPADt − 1
Keterangan : TP PADt = tingkat pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah tahun berjalan PADt = Pendapatan Asli Daerah tahun berjalan PADt-1 = Pendapatan Asli Daerah tahun sebelumnya
Tingkat Pertumbuhan PAD Kota Malang tahun 2003-2007 Tahun 2003 2004 2005 2006 2007
Jumlah PAD Rp42,094,000,000.97 Rp50,007,305,103.79 Rp58,740,205,287.71 Rp62,311,313,501.19 Rp87,115,734,710.46
Tingkat Pertumbuhan PAD (%) 18.80 17.46 6.08 39.81
Lampiran 19
118
Hasil Perhitungan Derajat Otonomi Fiskal Kota Malang tahun 2003-2007
DOF =
PADt X 100% TPDt
Keterangan : DOF = Derajat Otonomi Fiskal PADt = Total Pendapatan Asli Daerah tahun t TPDt = Total Penerimaan Daerah tahun t
Derajat Otonomi Fiskal Kota Malang tahun 2003-2007 Tahun 2003 2004 2005 2006 2007
Total PAD Rp42,094,000,000.97 Rp50,007,305,103.79 Rp58,740,205,287.71 Rp62,311,313,501.19 Rp87,115,734,710.46
Total Penerimaan Daerah Rp335,700,867,000.00 Rp352,644,069,246.79 Rp410,171,202,267.71 Rp546,181,303,088.43 Rp644,755,574,122.46
DOF (dalam %) 12.54 14.18 14.32 11.41 13.51
Lampiran 20
119
Hasil Perhitungan Rasio PAD terhadap Total Belanja Daerah Kota Malang tahun 20032007
Rasio PAD terhadap Total Belanja daerah =
PAD x 100% TotalBelanjaDaerah
Rasio PAD terhadap Total Belanja Daerah Kota Malang tahun 2003-2007 tahun 2003 2004 2005 2006 2007
Jumlah PAD
Belanja daerah
Rp Rp42,094,000,000.97 329,289,000,000.95 Rp50,007,305,103.79 Rp362,175,130,464.00 Rp58,740,205,287.71 Rp417,855,955,451.00 Rp62,311,313,501.19 Rp511,076,024,911.00 Rp87,115,734,710.46 Rp648,747,892,165.00
Rasio (%) 12.78 13.81 14.06 12.19 13.43