DISTRIBUSI DAN STRUKTUR VEGETASI HABITAT KUKANG (Nycticebus coucang Boddaert, 1785) DI DESA MARGA MEKAR, KECAMATAN SUMEDANG SELATAN, SUMEDANG, JAWA BARAT
SKRIPSI Diajukan untuk menempuh Ujian Sarjana pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran
INDAH WINARTI D1D 98043
UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM JURUSAN BIOLOGI JATINANGOR 2003
“Barangsiapa di antara kalian melihat kemunkaran hendaklah ia mengubah dengan tangannya; jika tidak sanggup maka dengan hatinya. Itu adalah selemah-lemah iman” (Hadist diriwayatkan oleh Imam Muslim) ‘ .. jika tak sanggup membantu melestarikan satwa liar, jangan membelinya untuk peliharaan .. ‘ Terima kasih Abah dan Umi yang telah mengenalkan aku menyayangi keindahan alam
LEMBAR PENGESAHAN
JUDUL
: DISTRIBUSI DAN STRUKTUR VEGETASI HABITAT KUKANG (Nycticebus coucang Boddaert, 1785) DI DESA MARGA MEKAR, KECAMATAN SUMEDANG SELATAN, SUMEDANG, JAWA BARAT
PENYUSUN
: INDAH WINARTI
NPM
: D1D 98043
Jatinangor, Januari 2003 Menyetujui :
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Erri Noviar Megantara NIP 131 636 483
Drs. Parikesit, M.Sc. NIP 131 832 024
ABSTRAK DISTRIBUSI DAN STRUKTUR VEGETASI HABITAT KUKANG ( Nycticebus coucang Boddaert, 1785) DI DESA MARGA MEKAR, KECAMATAN SUMEDANG SELATAN, SUMEDANG, JAWA BARAT
Oleh: Indah Winarti Pembimbing: Erri Noviar Megantara dan Parikesit
Penelitian mengenai distribusi habitat Kukang ( Nycticebus coucang Boddaert, 1785) dan struktur vegetasinya di Desa Marga Mekar (605, 01 ha), Sumedang Selatan telah dilaksanakan pada bulan Agustus-November 2002. Survey lapangan dan wawancara dilakukan untuk mengetahui keberadaan Kukang pada lima lokasi (Pasir Pogor, Cimanggu, Gagak Jalu, Cileungsing, dan Kanayakan) kemudian dilakukan pembuatan diagram profil di Pasir Pogor yang masih ditemukan Kukang. Terdapat tiga tipe vegetasi habitat berdasarkan dominansi penutupan spesies, yaitu dominansi oleh bambu, pohon campuran, dan semak. Struktur vegetasi pada habitat Kukang Pasir Pogor menunjukkan stratifikasi yang diskontinyu yang ditandai dengan adanya gap antarstratum. Tiga sleeping site diidentifikasi dengan jarak satu sama lain 310 m, 287,5 m, dan 68,75 m. Jenis tumbuhan yang digunakan untuk sleeping
site adalah Bambu tali (Gigantochloa apus) dan Bambu surat (G. pseudoarundina). Jarak habitat Kukang Pasir Pogor dengan permukiman terdekat adalah +500-1000 m dan intensitas aktivitas manusia dalam habitat tergolong jarang terjadi. Kata kunci: Kukang, distribusi, struktur vegetasi, habitat, sleeping site
iii
ABSTRACT DISTRIBUTION AND VEGETATION STRUCTURE OF KUKANG'S HABITAT (Nycticebus coucang Boddaert, 1785) IN MARGA MEKAR VILLAGE, SOUTH SUMEDANG, SUMEDANG, WEST JAVA
By: Indah Winarti Supervisors: Erri Noviar Megantara and Parikesit
Study on habitat distribution of Kukang (Nycticebus coucang Boddaert, 1785) and the vegetation structure in Marga Mekar village (605, 01 ha), South Sumedang was conducted in August-November 2002. Field survey and interviews were undertaken to reveal the presence of Kukang at five locations (Pasir Pogor, Cimanggu, Gagak Jalu, Cileungsing, and Kanayakan) then profile diagram made at Pasir Pogor where Kukang observed. There were three types of vegetation based on dominance species cover, i.e., bamboo’s dominated, mixed trees, and shrubs. Vegetation structure at Kukang’s habitat in Pasir Pogor exhibited discontinuous stratification indicated by the presence of gap between strata. Three sleeping sites were identified with distance one to another are 310 m, 287,5 m, and 68,75 m. Plant species used for sleeping site are Bambu tali (Gigantochloa apus) and Bambu surat (G. pseudoarundina). The distance between habitat to the nearest houses is + 5001000 m, while the people acitivity in habitat is commonly rare. Keywords: Kukang, distribution, vegetation structure, habitat, sleeping site
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur tak henti penulis panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wa ta’ala atas
segala
limpahan
rakhmat dan
karunia-Nya
sehingga
skripsi
berjudul
DISTRIBUSI DAN STRUKTUR VEGETASI HABITAT KUKANG ( Nycticebus
coucang
Boddaert,
1785)
DI
DESA
MARGA
MEKAR,
KECAMATAN
SUMEDANG SELATAN, SUMEDANG, JAWA BARAT ini selesai disusun. Penulis berharap hasil penelitian yang sangat sederhana ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, terutama sebagai data awal keberadaan dan kondisi Kukang sebenarnya di alam. Kelangkaan data (berita) mengenai satwa primata ini di habitat alaminya, sangat mengkhawatirkan bila melihat kenyataan bahwa Kukang justru lebih mudah terlihat dijajakan sebagai satwa peliharaan di pinggir jalan di Sumedang, pasar-pasar burung, dan pusat perbelanjaan di Bandung daripada di habitat alaminya. Penulis juga menyadari sepenuhnya, skripsi ini masih sangat jauh dari sempurna. Segala bentuk masukan, kritik, dan saran baik tentang penulisan maupun informasi tentang satwa primata ini akan sangat penulis harapkan dapat membantu konservasi Kukang menjadi lebih baik. Mari bersama-sama mulai bersikap peduli karena walaupun sedikit akan sangat berarti daripada tidak sama sekali.
Jatinangor, Januari 2003 Penulis
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Atas selesainya penelitian dan penyusunan skripsi ini, ungkapan rasa hormat dan terima kasih yang sangat mendalam disampaikan kepada Abah dan Umi, mas Heri, Fadli, dan Èno, yang selalu memberi ridho, doa, dan dukungan terbaik dari sejak penulis memulai menempuh pendidikan. Hormat dan terima kasih sedalam-dalamnya juga penulis haturkan kepada Bapak Dr. H. Erri Noviar Megantara selaku pembimbing dan ketua Jurusan Biologi FMIPA UNPAD dan Bapak Drs. Parikesit, M.Sc selaku pembimbing atas segala waktu, bimbingan, dan dukungan, serta pengertian yang dilimpahkan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada: 1. Dekan FMIPA UNPAD, Prof. Dr. H. Rustam Effendi Siregar, 2. Dosen Wali, Dra. Nia Rossiana, M.Si atas segala bimbingan dan pengertian yang dilimpahkan, 3. Tim Penilai Seminar I dan II Jurusan Biologi FMIPA UNPAD; Dr. Yayat Ruchiyat, Drs. Ross Rosanto, Dr. Kunkun Jaka Gurmaya, Teguh Husodo, Ssi, M.Si, dan Dr. Johan Iskandar, M.Sc, atas masukan dalam penulisan skripsi, 4. Drs. Joko Kusmoro atas bantuan dalam membimbing penulis mengingat kembali bagaimana pengambilan data vegetasi yang seharusnya, 5. KONUS atas segala bantuan moril dan pendanaan, terima kasih untuk kang Made, kang Firman, teh Djuni, kang Ayut, dan semua Konusers, 6. Primate Conservation: Noel Rowe, Texas A&M University: Sharon Gursky, RuhrUniversity Department for Neuroanatomy: Helga Schulze, Helena Snyder, Asian
vi
Primate: Ardith Eudey, dan School of Archeology & Anthropology: Colin Groves, atas bantuan literatur dan diskusi selama studi, 7. Kepala BKSDA Sumedang; Bapak Sumitra dan staf, Kepala Desa Marga Mekar; Bapak Mamat Rohmat dan staf, Keluarga Ibu Dadang, Risti dan Ibu, serta bapak-bapak pemandu (Pak Ade, Pak Ulis Udin, Pak Iih, Pak Ilin, dan Pak Yaya), 8. Teman-teman Biologi 98 (Ades, Haikal, Jody, Opik, Hapas, Asep Gatto, Fassa, Dadan, Nia, Rena, Santi, Rinrin, Yuni, dan Reli), teman-teman di Pondok Idola (Riezka Karsa, Homsah, Ika, Eka Yeik@ dan Kiki), HIMBIO, dan semua pihak yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian: Muti, Anti, Dedi, Jujun, Ěsar, dan Romi. Semoga segala sumbangsih yang penulis terima, dibalas ridho dan pahala sebesarbesarnya dari Allah YME. Amin.
Jatinangor, Januari 2003
Penulis
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................... ABSTRAK ........................................................................................... ABSTRACT ......................................................................................... KATA PENGANTAR ............................................................................ UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................... DAFTAR ISI ....................................................................................... DAFTAR TABEL ................................................................................... DAFTAR GAMBAR .............................................................................. DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... BAB I
ii iii iv v vi viii x xi xii
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .................................................................. 1.2 Identifikasi Masalah ........................................................... 1.3 Maksud dan Tujuan ........................................................... 1.4 Kegunaan Penelitian .......................................................... 1.5 Kerangka Pemikiran ........................................................... 1.6 Metodologi Penelitian ......................................................... 1.7 Lokasi dan Waktu Penelitian ...............................................
1 4 5 5 5 7 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nycticebus coucang ......................................................... 2.1.1 Morfologi ............................................................... 2.1.2 Reproduksi dan Perkembangan Bayi ......................... 2.1.3 Perilaku dan Pemilihan Habitat ................................ 2.2 Habitat dan Distribusi Kukang ............................................ 2.3 Talun ............................................................................. 2.3.1 Komposisi dan Struktur Vegetasi Talun ..................... 2.3.2 Fungsi Ekologi dari Talun ........................................
8 8 9 10 11 14 14 15
BAB III METODE DAN ALAT PENELITIAN 3.1 Metoda ........................................................................... 3.1.1 Pengumpulan Data Keberadaan Habitat Kukang ........ 3.1.2 Pengumpulan Data Struktur Vegetasi ....................... 3.1.3 Analisis Data .......................................................... 3.1.3.1 Data Keberadaan Habitat Kukang ............... 3.1.3.2 Data Vegetasi Habitat Kukang ..................... 3.2 Alat Penelitian .................................................................
16 16 19 22 22 22 22
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Desa Marga Mekar .................................... 24 4.1.1 Letak Administratif dan Geografis ........................... 24 4.1.2 Sejarah Singkat Talun Desa Marga Mekar ................ 24
viii
4.1.3 Keberadaan Kukang di Talun Desa Marga Mekar ...... 4.2 Distribusi Lokasi Habitat Kukang ........................................ 4.2.1 Pasir Pogor ............................................................. 4.2.2 Cimanggu ............................................................... 4.2.3 Gagak Jalu dan Jambu Dipa ..................................... 4.2.4 Cileungsing ............................................................ 4.2.5 Kanayakan dan Leumah Nendeut ............................. 4.3 Gangguan terhadap Kukang dan habitatnya ....................... 4.3.1 Kebakaran ............................................................. 4.3.2 Penangkapan Kukang untuk diperdagangkan ............ 4.3.3 Pengambilan Hasil Talun ......................................... 4.4 Struktur Vegetasi Habitat Kukang di Pasir Pogor .................. 4.4.1 Dominansi ............................................................. 4.4.2 Stratifikasi ............................................................. 4.4.3 Sleeping site Kukang ..............................................
27 28 30 31 31 32 33 34 34 37 38 41 43 44 46
BAB V KESIMPULAN 5.1 Kesimpulan ..................................................................... 51 5.2 Saran ............................................................................. 52 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 53 LAMPIRAN ......................................................................................... 56
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1
Lokasi-lokasi Survey ............................................................ 30
Tabel 4.2
Faktor yang Mempengaruhi Keberadaan Kukang ................... 36
Tabel 4.3
Data Vegetasi Plot Sampel ................................................... 41
Tabel 4.4
Sleeping site Kukang .......................................................... 47
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar
1
Lokasi Studi .................................................................... 7
Gambar 3.1
Sketsa Pola Jelajah untuk Inventarisasi Keberadaan Kukang di lokasi-lokasi habitatnya di Desa Marga Mekar.................. 18
Gambar 3.2
Sketsa Peletakan Sampel Plot di Lokasi Pasir Pogor ............. 20
Gambar 3.3
Sketsa Gap pada Vegetasi ................................................ 21
Gambar 4.1
Lokasi Habitat Kukang Saat Studi (Tahun 2002) .................. 29
Gambar 4.2
Bekas Kebakaran pada lokasi Kanayakan ........................... 35
Gambar 4.3
Sketsa Talun Pasir Pogor .................................................. 48
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Klasifikasi Kukang (Nycticebus coucang Boddaert, 1785) ............... 56 Lampiran 2 Skema Wawancara Semi Struktur dengan Prinsip Triangulasi ......... 58 Lampiran 3 Tipe-tipe Vegetasi ..................................................................... 59 Lampiran 4 Jenis-jenis Tumbuhan yang ditemukan dalam plot ........................ 60 Lampiran 5 Diagram Profil Habitat Kukang di Pasir Pogor ............................... 61
xii
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Kukang merupakan hewan nokturnal yang bergerak sangat lambat dengan tipe
habitat yang beragam, baik di habitat alami seperti hutan hujan tropis, hutan primer, hutan sekunder, dan hutan bambu (Supriatna, 2000), juga di habitat binaan. Penyebaran Kukang di Indonesia cukup luas, yaitu menurut Tjakrawidjaja dkk (2001) ada enam subspesies; Nycticebus coucang buku Martin, 1838 di Sumatera (selain yang ditempati oleh N. c. brachycephalus), N. c. brachycephalus Sody, 1949 di Tebingtinggi, N. c. bancanus Lyon, 1906 di Kepulauan Riau dan Bangka, N. c.
natuane Stone & Rehn, 1902 di Bunguran dan N. c. borneanus Lyon, 1906 di Kepulauan Karimata dan Kalimantan, dan N. c. javanicus Geoffroy, 1812 di Jawa. Supriatna (2000) menambahkan dua subspesies lain yaitu N. c. caucang di Semenanjung Malaya, Sumatera, hingga Pulau Natuna, dan N. c. menagensis Lydekker, 1893 di Kalimantan, Bangka, Belitung, dan Tawi. Groves (2002, komunikasi pribadi) menyebutkan bahwa subspecies N. c. javanicus menunjukkan perbedaan yang nyata dibanding kedua spesies tersebut, sehingga secara taksonomi dinamakan N. javanicus. Untuk selanjutnya Kukang yang diteliti berpedoman pada penamaan tingkat spesies, yaitu Nycticebus coucang. Kukang (Nycticebus coucang Boddaert, 1785) atau biasa disebut dengan Oces atau Muka, dikategorikan sebagai Vulnerable (rentan) oleh IUCN pada tahun 1996
2
yang berarti satwa ini memiliki kemungkinan punah sedikitnya 10% dalam 100 tahun. Namun jenis ini masuk dalam kategori Appendix II oleh CITES pada tahun 1996 yang berarti dapat dimanfaatkan untuk perdagangan baik di dalam maupun di luar negeri dengan dibatasi oleh jatah tangkap (kuota). Pemerintah Indonesia melindungi Kukang dengan Peraturan Perlindungan Satwa Liar no. 266 tahun 1931, SK Menteri Pertanian 14 Februari 1973 no. 66/Kpts/Um/2/1973, SK Menteri Kehutanan 10 Juni 1991 no.301/Kpts.II/1991 dan kemudian diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah no.7 tahun 1999 (Tjakrawidjaja dkk , 2001). Informasi tentang populasi satwa primata ini di alam masih sangat minim. IUCN sendiri sebagai lembaga internasional yang mengatur konservasi sumber daya alam tidak mempunyai data dan angka populasi Kukang saat ini. Padahal perdagangan Kukang semakin marak terjadi terutama di pasar-pasar burung dan pusat perbelanjaan. Berdasarkan pemantauan perdagangan satwa primata oleh Jaringan Pantau pada tahun 1998 di Jawa-Bali, tahun 1999 di Jawa Timur, dan tahun 2001 di Jawa-Bali, Kukang yang diperdagangkan di pasar burung dan pusat perbelanjaan adalah masing-masing 102, 109, dan 95 ekor (KSBK, 1998; Purnama, 2002). Dikhawatirkan, populasinya di alam akan semakin menurun seiring dengan penangkapan untuk diperdagangkan dan rusaknya habitat akibat perubahan tata guna lahan (MacKinnon, 1986 dikutip dari Nowak, 1999: Purnama, 2002). Pengumpulan data dan informasi tentang Kukang, baik aspek ekologi, sosiologi maupun tingkah lakunya perlu dilakukan agar dapat dijadikan dasar pengambilan kebijakan dan landasan hukum dalam pelaksanaan konservasi satwa ini. Beberapa
3
aspek ekologi yang penting bagi konservasi antara lain adalah habitat dan penyebaran, baik di habitat alami maupun di habitat buatan. Di Sumedang Jawa Barat, khususnya di Desa Marga Mekar, Kukang ditemukan di sistem talun. Penggunaan vegetasi bambu sebagai habitat bagi Kukang cukup menarik untuk diteliti mengingat talun merupakan suatu vegetasi binaan yang cenderung berdekatan dengan permukiman sehingga rawan terhadap penangkapan. Selain itu perubahan talun menjadi bentuk tata guna lahan yang lain dapat menyebabkan hilangnya habitat Kukang. Profil vegetasi talun yang menjadi habitat Kukang cukup menarik untuk diteliti, mengingat tidak di semua talun di Desa Marga Mekar ditemukan Kukang. Untuk menggambarkan struktur vegetasi habitatnya secara kualitatif dilakukan analisis yang meliputi komposisi tumbuhan dan struktur vegetasi secara vertikal, sehingga dapat diketahui profil vegetasi yang disukai Kukang. Diharapkan, hasil penelitian tentang distribusi habitat Kukang di Desa Marga Mekar dan struktur vegetasi habitatnya di lokasi Pasir Pogor ini dapat menjadi langkah awal dalam penggalian informasi ekologi Kukang dan membantu upaya konservasi dalam mengambil langkah-langkah penting perlindungannya.
1.2
Identifikasi Masalah
Penelitian yang dilakukan difokuskan pada hal-hal berikut : 1.
Lokasi-lokasi mana saja yang dijadikan habitat Kukang di Desa Marga Mekar
2.
Bagaimana profil vegetasi habitat Kukang di lokasi Pasir Pogor, Desa Marga Mekar
4
3.
Jenis-jenis tumbuhan apa dan pada bagian mana yang biasa digunakan sebagai tempat tidur (sleeping site)
4. Berapa jarak habitat terhadap permukiman terdekat
1.3
Maksud dan Tujuan
Maksud penelitian ini adalah untuk memperoleh data mengenai keberadaan dan habitat Kukang di Desa Marga Mekar, Kecamatan Sumedang Selatan, Sumedang, Jawa Barat. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui distribusi habitat Kukang di Desa Marga Mekar dan struktur vegetasi habitat Kukang di lokasi Pasir Pogor.
1.4
Kegunaan Penelitian
Penelitian mengenai distribusi dan struktur vegetasi habitat Kukang diharapkan dapat memberi gambaran tentang distribusi habitat Kukang yang berupa ekosistem buatan di suatu daerah pedesaan dan profil vegetasi habitat yang disukai. Dengan demikian hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu upaya konservasi khususnya untuk mengambil langkah-langkah penting dalam melindungi dan melestarikan satwa ini.
1.5
Kerangka Pemikiran Habitat adalah tempat organisme itu hidup, atau tempat di mana seseorang
harus pergi untuk menemukannya (Odum, 1998). Habitat suatu organisme atau sekelompok organisme terdiri dari lingkungan biotik dan abiotik. Habitat yang baik
5
mampu mendukung kebutuhan hidup Kukang meliputi kebutuhan makan, tidur, dan berlindung. Kebutuhan ini dipenuhi pada habitat yang memiliki vegetasi dengan struktur tertentu, baik pada habitat alami maupun binaan. Habitat binaan bagi Kukang berupa talun dapat ditemukan di Desa Marga Mekar. Fungsi talun sebagai habitat dimungkinkan karena secara fisik keragaman dan struktur vegetasi talun tidak jauh berbeda dengan vegetasi pada habitat alami Kukang yaitu hutan primer dan sekunder, selain itu talun juga mampu menyediakan kebutuhan Kukang akan makanan dan tempat berlindung. Sebagai habitat binaan, talun memiliki peran penting dalam konservasi Kukang yang tinggal di dalamnya. Talun juga memiliki fungsi penting bagi pemiliknya, yaitu fungsi sosial dan ekonomi. Hal ini berdampak terhadap keberadaan Kukang sebab talun memiliki potensi tinggi terhadap terjadinya perubahan struktur vegetasi maupun perubahan fungsi tata guna lahan. Oleh karena itu perlu adanya suatu strategi konservasi agar fungsi talun sebagai habitat binaan Kukang tidak bertentangan dengan fungsi sosial ekonomi bagi pemiliknya. Keberadaan talun-talun yang menjadi habitat Kukang akan mempengaruhi pola penyebarannya di Desa Marga Mekar, sebab tidak semua talun dijadikan habitat. Penyebaran habitat Kukang menjadi terbatas akibat aktivitas pengambilan hasil talun untuk kayu bakar dan material rumah yang mengakibatkan hilangnya makanan, pohon untuk tidur, dan pohon-pohon yang digunakan untuk perpindahan (koridor). Semakin dekat talun dengan permukiman, semakin tinggi risiko Kukang untuk ditemukan dan ditangkap.
6
1.6
Metodologi Penelitian Metode
penelitian
yang
digunakan
adalah
deskriptif
analitis,
adapun
pengambilan data keberadaan Kukang di Desa Marga Mekar dalam kurun waktu lebih kurang satu tahun terakhir dilakukan dengan metode wawancara semi struktur sedangkan untuk mengetahui keberadaannya secara langsung pada lokasi-lokasi berdasarkan wawancara dilakukan observasi langsung dengan penjelajahan. Data struktur vegetasi dikumpulkan dengan menggunakan diagram profil pada salah satu lokasi yang menjadi habitat Kukang yaitu lokasi Pasir Pogor, Desa Marga Mekar.
1.7
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Marga Mekar (615,01 ha), Kecamatan Sumedang
Selatan, Sumedang, Jawa Barat (Gambar 1) mulai dari bulan Agustus-November 2002.
7
Gambar 1 Lokasi Studi
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Nycticebus coucang
2.1.1 Morfologi Kukang dewasa memiliki tubuh yang berambut tebal dan halus dengan berat sekitar 1012-1675 g pada jantan dan 1105-1370 pada betina (Napier, 1976), sedang menurut Wiens (2002) adalah 737+111 g pada jantan dan 637+61 g pada betina, 375-900 g (Supriatna, 2000), atau sekitar 375-2000 g (Nowak, 1999). Sedangkan menurut Barrett (1984), berat betina dewasa adalah 636 g dan berat jantan 670 g. Panjang tubuh dari kepala hingga ekor vestigial sekitar 265-380 mm pada jantan dan 268-355 mm (Napier, 1976; Nowak, 1999), atau berkisar antara 290-311 mm (Wiens, 2002). Tetapi menurut Supriatna (2000) panjang tubuh tiap betina dewasa adalah 190-275 mm pada betina dan 300-380 mm pada jantan. Warna rambut yang menutupi seluruh tubuhnya bervariasi dari mulai coklatoranye hingga coklat tua. Pada punggung Kukang terdapat garis berwarna coklat tua yang berawal dari pangkal ekor hingga dahi dan bercabang ke arah mata dan telinga, mengelilingi keduanya (Lampiran 1). Seperti famili Lorisidae lainnya, Kukang memiliki kemampuan yang baik dalam memanjat dan mencengkeram dahan pohon dengan kelima jarinya yang pendekpendek, sebab antara jari pertama dengan jari ke dua jaraknya jauh dan tegak lurus (Nowak, 1999) sehingga kuat dalam mencengkeram.
8
9
Salah satu cara mengenali Kukang dalam kegelapan malam adalah dengan menyorotkan cahaya ke arah matanya. Tapetum, yaitu lapisan sel-sel yang merefleksikan cahaya yang masuk ke dalam mata dan terletak di belakang retina mata, akan memantulkan cahaya berwarna kejinggaan yang masih dapat terlihat hingga jarak 200 m (Peter, 1970; Barrett, 1984; Wiens, 2002). Namun Kukang berbagi habitat dengan satwa malam lainnya, misalnya dengan Musang Bulan atau biasa disebut Careuh (Paradoxurus hermaphroditus) yang matanya berwarna kehijauan, kelelawar buah, atau burung hantu. Oleh karena itu menurut Wiens (2002), untuk menghindari kesalahan dalam menyimpulkan kehadiran satwa ini pada malam hari, perlu memperhatikan karakteristik lain selain mata yang berwarna oranye, yaitu kedipan mata dan bentuk mata (cahaya oranye) itu sendiri.
2.1.2 Reproduksi dan Perkembangan Bayi Kukang melahirkan satu atau dua ekor anak (kembar jarang terjadi) dengan berat saat lahir 30-60 g (Nowak, 1999) setelah masa hamil sekitar 190 hari (Supriatna, 2000), atau 185-197 hari (Izard et al., 1988 dikutip dari Anonim, 2001; Nowak, 1999). Izard et al. (1988) menyebutkan bahwa interval kelahiran Kukang adalah 16,2 bulan.
Infant atau bayi Kukang akan diasuh dan dibawa induknya dengan cara sang bayi mencengkeram rambut bagian perut-pinggang atau memeluk pinggang induknya hingga sanggup mencari makan sendiri. Bayi Kukang aktif setelah minggu ke enam hingga delapan, dan memisahkan diri pada minggu ke 16 (Ehrlich and MacBride, 1989 dikutip dari Anonim, 2001). Kukang dianggap dewasa setelah
10
berumur sembilan bulan pada betina dan 17-20 bulan pada jantan (Anonim, 2000), tetapi menurut Izard et al. (1988) dikutip dari Anonim (2000) dan Nowak (1999) adalah 18-24 bulan pada betina dan 17 bulan pada jantan.
2.1.3 Perilaku dan Pemilihan Habitat Kehidupan Kukang masih sangat jarang yang meneliti sehingga hanya sedikit saja informasi tentang satwa ini. Supriatna (2000) menyebutkan bahwa Kukang merupakan
satwa
soliter
atau
membentuk
pasangan
(monogamous).
Di
penangkaran Kukang mengelompok bersama pasangan atau keluarganya (Nowak, 1999). Pemilihan habitat dan distribusi suatu individu cenderung dipengaruhi oleh perilaku individu tersebut (Krebs, 1985). Kukang merupakan arboreal sejati (Choudhury, 1992 dikutip dari Anonim, 2001), tetapi Hladik (1970); Wiens and Zitzmann (dikutip dari Schulze, 2001) menyebutkan bahwa salah satu anggota famili Lorisidae yaitu Slender Loris (Loris sp.) dan Loris (Nycticebus sp.) akan turun ke tanah untuk menuju pohon yang tidak bisa dijangkaunya. Kukang aktif pada malam hari sehingga sepanjang hari dia akan tidur dan memilih kerimbunan pohon di strata puncak. Menurut Ballenger (2000) satwa ini tidak pernah ditemukan jauh dari puncak pohon, sehingga meskipun dengan terpaksa berada di tanah Kukang akan bergerak secepatnya untuk naik kembali. Posisi tidur Kukang sangat unik, yaitu dengan menyembunyikan kepala di antara keempat anggota gerak sehingga tampak menggulung seperti bola (Choudhurry, 1992 dikutip dari Anonim, 2001). Itulah mengapa satwa ini sukar dibedakan dengan serasah daun-daun kering dalam kerimbunan bambu, salumpit (pelepah
11
yang menutupi ruas-ruas bambu dan akan gugur jika sudah kering), dan juga dengan sarang burung yang biasa terdapat di pepohonan. Pergerakan Kukang dilakukan secara quadropedal (berjalan dengan empat alat gerak) dan sangat lambat. Meskipun demikian Kukang mampu bergerak cepat dalam menangkap mangsanya atau saat merasa terancam. Seperti satwa besar lainnya, Kukang juga menandai teritori untuk menghindari konflik dengan penandaan urin. Uniknya, hal tersebut dilakukan dengan lebih dulu membasahi kedua tangannya dengan urin lalu baru mengusapkannya pada dahan atau batang pohon (Ballenger, 2000). Kukang akan menutupi mukanya jika tertangkap, tetapi jika terdesak ia akan menggigit. Ia memiliki taring kecil yang sekaligus menjadi alat penyalur racun golongan polipeptida yang diproduksi oleh kelenjar brachial di lengannya (Ballenger, 2000). Studi satwa ini di penangkaran menunjukkan, induk Kukang melindungi bayinya dari predator dengan melumuri racun yang sudah tercampur dengan saliva.
2.2
Habitat dan Distribusi Kukang Habitat suatu organisme adalah tempat organisme itu hidup, atau tempat di
mana seseorang harus pergi untuk menemukannya (Odum, 1998). Habitat Kukang adalah di hutan hujan tropis, hutan primer, dan hutan sekunder serta hutan bambu (Supriatna, 2000). Vegetasi bambu pada habitat Kukang di Taman Nasional Beng En di Vietnam Utara (Snyder, 2002) kebanyakan bercampur dengan pohon-pohon berkayu keras. Strata puncak pada kerimbunan rumpun bambu ini disukai Kukang serta untuk tidur (Choudhurry, 1992 dikutip dari Anonim, 2001).
12
Berdasarkan kebutuhan makanannya, kebanyakan primata adalah omnivor (Napier, 1976). Kukang sendiri disebutkan sebagai frugivorous (pemakan buah) yang juga memakan serangga, kadal, burung dan telur burung sebagai makanan pelengkapnya. Wiens (2002) mengklasifikasikan lima tipe makanan Kukang, yaitu sari buah, getah kayu, nektar, buah-buahan, dan serangga, tetapi satwa ini lebih banyak menghabiskan waktu makannya untuk memakan sari bunga atau buah dan nektar. Dalam bukunya, Supriatna (2000) menyebutkan bahwa Kukang memakan buah-buahan berserat sebanyak 50% dari total makanannya, binatang lain (serangga, moluska, kadal) 30%, dan
kadang-kadang memakan telur burung
dan getah 10%. Karakteristik lain dari habitat Kukang adalah bahwa area aktifnya ( core area) cenderung memiliki luas yang sama dengan daerah jelajahnya ( home range) (Burt, 1943 dikutip dari Wiens, 2002). Berdasarkan penelitian Wiens (2002), daerah jelajah Kukang tumpang tindih satu sama lain yaitu pada betina dewasa (4,5 ha) mencakup daerah jelajah tiga individu betina lainnya yang masih dalam satu garis keturunan yaitu dua individu betina subdewasa masing-masing 1,7 ha dan 1,4 ha, dan jantan
infant dengan luas 0,4 ha. Adapun jelajah harian individu dewasa adalah + 1000 m. Penelitian di Srilanka pada tahun 1979 dan 1980 (Meier dan Nieschak, tidak dipublikasikan dikutip dari Schulze, 2001) menyebutkan bahwa populasi yang padat dari Slender Loris, salah satu anggota famili Lorisidae, ditemukan pada area seluas 50-100 km2. Jelajah harian Slender Loris dikutip dari Nekaris (1998) adalah sekitar 20-30 m (Peter and Hladik, 1970) atau sekitar 0,9 ha (Johnson, 1984). Teritori jantan tumpang tindih dengan paling sedikit 2-3 ekor jantan dewasa lainnya, yaitu +
13
0,72 ha, sedangkan tumpang tindih dengan paling sedikit dua ekor betina dewasa adalah sekitar 0,22 ha. Menurut Nekaris (1998) pula, Slender Loris di India sering ditemukan berada di antara vegetasi rapat Lantana dan Bambu, dan juga di daerah dekat sumber air. Habitat yang disukai adalah hutan gugur dengan ketinggian 300-2100 m dpl. Habitat Kukang sendiri menurut Napier (1976), ditemukan di ketinggian 1220 m dpl, sedang menurut Supriatna (2000) Kukang di Gunung Kinabalu, Sabah Malaysia ditemukan di ketinggian 1300 m dpl. Penyebaran Kukang diyakini masih dapat ditemukan di hampir seluruh Asia yaitu Indonesia, India, Bangladesh bagian timur, Assam, Burma, Yunnan bagian selatan, Guangxi, Thailand, Indochina, Semenanjung Malaya, pulau-pulau di dekat Penang dan Tioman, Brunei, Kamboja, Laos, Malaysia, Vietnam dan Philipina (Napier, 1976; Fooden, 1991 dikutip dari Anonim, 2001; Choudhurry, 1992 dikutip dari Anonim, 2001; Nowak, 1999). Menurut Supriatna (2000), penyebaran Kukang spesies Nycticebus coucang di Indonesia lebih luas daripada spesies N. javanicus, yaitu mulai dari Semenanjung Malaya, Sumatera dan pulau di sekitarnya, Kalimantan hingga ke Pulau Natuna. Nowak (1999) menambahkan di Riau, Bangka, dan Borneo juga ditemukan Kukang. Di Jawa Barat yaitu di Sumedang dan pada beberapa kawasan konservasi yaitu Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Ujung Kulon, dan Gunung Halimun, serta di Jawa Timur yaitu di Jember (Wirdateti dkk., 2000).
14
2.3
Talun Talun atau kebon tatangkalan merupakan suatu vegetasi binaan manusia yang
didominasi oleh tumbuhan berkayu dan biasanya terletak tidak jauh dari kediaman manusia (Parikesit, 2001). Talun dapat terdiri dari bermacam-macam jenis pohon, dapat juga didominasi oleh salah satu jenis pohon saja. Suatu talun yang didominasi oleh bambu disebut juga talun bambu. Pada rumpun bambu inilah Kukang biasa ditemukan (Choudhurry, 1992 dikutip dari Anonim, 2001).
2.3.1 Komposisi dan Struktur Vegetasi Talun Secara umum struktur vegetasi talun bambu memiliki keragaman spesies tumbuhan yang lebih rendah daripada talun yang terdiri dari campuran. Struktur vegetasi di talun bambu di DAS Citarum dibagi menjadi tiga strata (Parikesit et al., 1997), yaitu strata terendah oleh herba dan semak dengan ketinggian < 1 m, strata menengah oleh semak dan pohon muda dengan ketinggian antara 1-5 m, dan strata teratas oleh pohon dengan ketinggian > 8 m. Talun bambu dengan kanopi yang rapat pada strata puncak dan jarak yang renggang antar kanopi/strata menunjukkan kompleksitas struktur vegetasi yang menyerupai (mimic) struktur vegetasi hutan alami. Parikesit et al. (1997) berpendapat bahwa keragaman spesies tumbuhan yang tinggi pada talun disebabkan oleh kombinasi antara faktor alam dengan faktor manusia antara lain karena campur tangan manusia yang relatif rendah dibandingkan dengan pada lahan pertanian lain seperti sawah dan kebun sayuran.
15
2.3.2 Fungsi Ekologi Talun Talun memiliki strata multistruktur dan vegetasi yang baik sebagai habitat beberapa spesies satwa. Menurut Erawan dkk. (1997) ada sekitar 40 spesies burung (enam di antaranya dilindungi karena merupakan endemik Jawa-Bali) yang menggunakan vegetasi talun di DAS Citarum untuk berbagi aktivitas seperti
perching, feeding, dan nesting. Kukang juga banyak dilaporkan ditemukan di rumpun bambu (Choudhurry, 1992 dikutip dari Anonim, 2001), begitu juga dengan serangga di talun DAS Citarum (Erawan dkk., 1997). Serangga terbang dan serangga permukaan tanah banyak ditemukan pada vegetasi binaan ini. Kompleksnya struktur vegetasi merupakan sebab utama yang menarik banyak spesies satwa liar terutama burung untuk singgah dan menempatinya sebagai habitat (MacArthur dan MacArthur, 1991). Mereka juga menambahkan bahwa struktur habitat lebih penting bagi keanekaan burung daripada keanekaan jenis tumbuhan itu sendiri. Talun dengan struktur vegetasinya yang kompleks dan menyerupai (mimic) struktur vegetasi hutan alami tampaknya mampu menyediakan faktor-faktor pendukung sebagai habitat satwa liar, termasuk sebagai habitat Kukang. Meskipun demikian, belum banyak penelitian yang membuktikan hal ini.
BAB III METODE DAN ALAT PENELITIAN
3.1
Metode Penelitian yang dilakukan terdiri dua tahap. Tahap pertama dimaksudkan
untuk mengetahui keberadaan dan distribusi lokasi habitat Kukang di Desa Marga Mekar yang luasnya 615,01 ha. Tahap berikutnya ditujukan untuk mengetahui struktur vegetasi pada lokasi yang ditemukan Kukang, yaitu di lokasi Pasir Pogor yang luasnya sekitar 3-5 ha. Informasi keberadaan Kukang diperoleh dengan melakukan wawancara semi struktur dan observasi lapangan. Sedangkan pengumpulan data struktur vegetasi dilakukan dengan pembuatan diagram profil vegetasi.
3.1.1 Pengumpulan Data Distribusi Habitat Kukang Untuk mengidentifikasi keberadaan dan mengetahui distribusi habitat Kukang, dilakukan wawancara terhadap penduduk setempat dan observasi lapangan. Wawancara semi struktur dilakukan dengan menentukan subtopik atau pedoman wawancara yang dapat terus berubah (meluas maupun menyempit) setiap dilakukan peninjauan kembali terhadap hasil wawancara, untuk kemudian diterapkan pada wawancara berikutnya (Lampiran 2). Dalam wawancara ini digunakan prinsip triangulasi untuk mendapatkan tingkat kepercayaan dan kebenaran (validitas) secara
16
17
keseluruhan. Prinsip triangulasi adalah teknik yang dipakai untuk memilih metode dan alat bantu, tempat, dan orang-orang yang diwawancarai. Metode wawancara semi struktur dipilih agar tidak kaku dan dapat lebih memahami terhadap kondisi situasi setempat. Subtopik yang ditentukan antara lain untuk mengetahui lokasi-lokasi yang diduga terdapat Kukang atau lokasi di mana Kukang pernah ditemukan selama satu tahun terakhir (2001-2002) di Desa Marga Mekar, sejarah keberadaan Kukang di Desa Marga Mekar, serta sejarah talun di Desa tersebut (Lampiran 2). Tempat wawancara merupakan lokasi tempat tinggal ataupun tempat kerja responden (sawah, kebun, dan atau talun). Informan kunci yang diwawancarai ialah penduduk yang memiliki pengetahuan
tentang Kukang antara lain pencari kayu,
petani, pemilik talun (non petani/penggarap), penjerat burung, dan pemburu Kukang. Hasil wawancara yang berupa nama-nama lokasi ditindaklanjuti dengan observasi langsung dengan penjelajahan. Daerah yang dijelajahi di setiap lokasi dibatasi pada daerah yang diperkirakan memungkinkan dijadikan habitat (H pada Gambar 3.1), yaitu luas area talun dan sekitarnya yang di dalamnya terdapat faktorfaktor pendukung keberadaan Kukang, yaitu adanya sleeping site, makanan, dan rasa aman (didasarkan pada kerapatan dan kerimbunan tajuk, bentuk tajuk yang mungkin dijangkau, tinggi pohon, dan lain-lain). Pada bagian tepi daerah tersebut ditentukan titik awal penjelajahan (titik A) dan titik akhir (titik B) pada tepi yang berseberangan (Gambar 3.1).
18
Penjelajahan dilakukan dengan mengamati vegetasi memakai binokuler dan berjalan lambat (dengan kecepatan konstan sekitar 0,5 km/jam) dengan pola jelajah seperti terlihat pada Gambar 3.1, dimulai dari titik A dan berakhir di titik B. Setelah berhenti + 20 menit di titik B dilakukan penjelajahan ulang mulai dari titik B menuju ke titik A. Untuk memastikan keberadaan Kukang pada tiap lokasi dilakukan 3 kali pengulangan pada waktu yang berbeda, yaitu pada waktu pagi atau sore hari selama
kurang
lebih
tiga
hari. Pengulangan dilakukan untuk menghindari
kemungkinan Kukang tidak terlihat dalam satu kali pengamatan karena sulitnya mendeteksi keberadaan Kukang. + 10 m
B H H = Habitat Kukang
A Gambar 3.1 Sketsa pola jelajah untuk inventarisasi keberadaan Kukang di lokasi-lokasi habitatnya di Desa Marga Mekar
Adapun waktu penjelajahan dilakukan antara pukul 06.00 WIB sampai dengan pukul 17.00 WIB. Alasan dilakukan inventarisasi pada waktu pagi hingga menjelang sore hari adalah karena pada saat tersebut Kukang sedang tidur (tidak aktif/bergerak) dan kalaupun dia bergerak, masih bisa teramati. Keberadaan Kukang dapat diidentifikasi berdasarkan penglihatan (pengamatan yang teliti pada pada vegetasi yang rimbun dengan menggunakan binokuler), pendengaran (suara
19
gemerisik dedaunan akibat gerakan Kukang yang terbangun oleh kehadiran manusia), serta dengan penciuman (mengenali bau Kukang yang tajam dan khas). Untuk memastikan apakah yang nampak adalah Kukang atau bukan, dilakukan sedikit gangguan terhadap pohon tersebut yaitu dengan menggerakkan batang pohon dan melihat ada tidaknya pergerakan atau keberadaan Kukang. Data yang dikumpulkan dalam penjelajahan mencakup jumlah individu, jenis kelamin, dan kelas umur (dewasa, remaja, anak, bayi). Selain itu dilakukan juga pengumpulan data tambahan mengenai data lingkungan, antara lain lokasi dan titik tengah
koordinat
(posisi)
habitat,
jaraknya
dengan
permukiman
terdekat,
perjumpaan, dan kondisi tipe vegetasi yang dominan.
3.1.2 Pengumpulan Data Struktur Vegetasi Pengumpulan
data
vegetasi
meliputi
komposisi
jenis
tumbuhan
dan
pembuatan diagram profil pada salah satu lokasi yang menjadi habitat Kukang, yaitu lokasi Pasir Pogor, Desa Marga Mekar. Pada lokasi ini diketahui ada tiga tipe vegetasi dominan berdasarkan penutupan vegetasinya, yaitu vegetasi bambu, vegetasi campuran, dan vegetasi semak/kebun (Lampiran 3). Oleh karena itu arah belt
transect diupayakan mencakup tiga tipe vegetasi serta jenis tumbuhan yang dijadikan sleeping site (Gambar 3.2). Profil vegetasi dimaksudkan untuk menggambarkan struktur vegetasi secara vertikal dengan melakukan penggambaran diagram profil dalam bentuk belt transect dengan lebar sepuluh meter dan panjang 100 meter, terbagi dalam subsampel berukuran 10x10 meter (Gambar 3.2).
20
1 UTARA
SS 3
2 Gambar 3.2 Sketsa Peletakan Plot Sampel di Lokasi Pasir Pogor Keterangan : Tipe Vegetasi 1 = Vegetasi Bambu 2 = Vegetasi Campuran 3 = Vegetasi Semak/Kebun
SS
= Sleeping Site = Plot Sampel
Data yang dikumpulkan dalam membuat diagram profil adalah sebagai berikut: -
Posisi pohon yang ditentukan berdasarkan koordinat (absis dan ordinat) dalam plot, untuk memproyeksikan lokasi pohon pada diagram profil,
-
Tinggi pohon dan tinggi percabangan pertama, diukur dengan bloomleiss, untuk menggambarkan kenampakan pada diagram profil,
-
Penutupan tajuk pohon dari empat arah mata angin, untuk memproyeksikan penutupan tajuk secara horizontal pada diagram profil,
-
Gap, yaitu ruang terbuka pada vegetasi baik secara vertikal (gap antarstratum) maupun horizontal (gap yang berupa kolom). Gap antarstratum (gs) diukur dari tajuk paling bawah dari strata atas hingga tajuk pertama strata yang berada di bawahnya. Sedangkan gap kolom (gk) diukur dari tajuk terakhir yang mengawali pembentukan ruang terbuka hingga tajuk pertama yang mengakhiri ruang terbuka tersebut secara horizontal (Gambar 3.3),
21
SA
gk
gs gs
5 m
ST SB
1 m
.3 Keterangan : gs = gap antarstratum gk = gap kolom
-
SA = stratum atas (tinggi > 5 m) ST = stratum tengah (tinggi 1-5 m) SB = stratum bawah (tinggi < 1 m)
Dominansi berdasarkan % penutupan tiap kategori tumbuhan (pohon, semak, herba, dan rumput) pada tiap plot,
-
Stratifikasi berdasarkan tiga kategori, yaitu 1) stratum atas (sa), terdiri atas vegetasi dengan tinggi > 5 m, 2) stratum tengah (st), tinggi 1-5 m, dan 3) stratum bawah (sb), tinggi < 1 m (Gambar 3.3), Pada diagram profil selanjutnya dilakukan proyeksi sleeping site baik secara
vertikal (untuk menunjukkan pada bagian strata mana dari pohon yang digunakan) maupun proyeksi secara horizontal (untuk mengetahui letak atau jarak dari batang pohon).
22
3.1.3 Analisis Data 3.1.3.1
Data Distribusi Habitat Kukang
Koordinat lokasi habitat diproyeksikan pada peta rupa bumi Desa Marga Mekar skala 1:30.000. Koordinat lokasi yang diplotkan diupayakan merupakan titik tengah lokasi. Analisis dilakukan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan Kukang pada lokasi habitat.
3.1.3.2
Data Vegetasi Habitat Kukang
Diagram profil dan proyeksi sleeping site secara vertikal dan horizontal, dianalisis untuk mengetahui profil vegetasi habitat dan lokasi sleeping site yang disukai Kukang. Strata dan bagian mana dari tumbuhan yang dipilih untuk tidur berhubungan dengan potensi gangguan oleh manusia dan tingkat adaptasi Kukang terhadapnya.
3.2
Alat Penelitian
Alat-alat yang digunakan untuk penelitian adalah: -
Binokuler (Tasco 7x35 mm) untuk memastikan keberadaan Kukang pada vegetasi yang rimbun dan melihat jenis kelamin dan kelas umur,
-
Kamera (Canon 35 mm, 35-70 mm) dan lensa tele (75 mm) untuk memotret Kukang dan lokasi penelitian,
-
Kompas (U.S. compass magnetic) dan GPS Garmin 45 XL dengan akurasi posisi + 15 m (45 feet) hingga 100 m, untuk menentukan arah dan posisi lokasi,
23
-
Peta rupa bumi Desa Marga Mekar skala 1:30000 untuk proyeksi distribusi habitat, tape recorder (Kasuga, KC-891G) untuk merekam wawancara dengan penduduk setempat,
-
Jam tangan untuk mengetahui waktu,
-
Gunting, tali rafia, meteran, bloomleiss, alat tulis, dan notes untuk mengambil data tumbuhan.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Keadaan Umum Desa Marga Mekar
4.1.1 Letak Administratif dan Geografis Secara administratif Desa Marga Mekar (615, 01 ha) merupakan bagian dari Kecamatan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang dengan batas utara ialah Kelurahan Regol Wetan, batas selatan ialah Kecamatan Cimanggung, batas barat ialah Desa Sukajaya, dan batas Timur ialah Kelurahan Cipameungpeuk. Letak geografis Desa Marga Mekar yang memiliki topografi berbukit-bukit (590-1401 m dpl) ialah pada 107o52’-107o55 BT dan 06o52’– 06o56 LS. Terdapat empat sungai yang mengaliri desa, yaitu Sungai Cigaruguy yang mengalir dari hulu sebelah selatan hingga Sungai Cileuleuy di bagian hilir, Sungai Cibuah, dan Sungai Cijambe yang mengalir membatasi desa dengan Kelurahan Cipameungpeuk. Selain itu, di Desa Marga Mekar terdapat dua gunung yaitu Gunung Puncakanjung (1401 m dpl) dan lereng bagian utara Gunung Buleud (1423 m dpl). Tipe tata guna lahan di Desa Marga Mekar meliputi 283 ha tanah basah (sawah, kolam ikan, dan lain-lain), 144 ha tanah darat (kebun, talun, pekarangan, ladang, dan tegalan), dan 188 ha untuk permukiman.
4.1.2 Sejarah Singkat Talun di Desa Marga Mekar Talun di Desa Marga Mekar sudah ada sejak jaman penjajahan Belanda yaitu sekitar tahun 1940, atau diduga sudah ada jauh sebelum itu. Sebagai perbandingan, 24
25
talun di DAS Citarum diduga telah ada sejak awal abad ke-20 karena diketahui terdapat beberapa talun berumur 80 tahun (Abdoellah et al., 1997). Sistem kebun yang diperkenalkan Belanda di Desa Marga Mekar mendorong pembukaan hutan pada kebanyakan tanah dan bukit-bukit menjadi areal perkebunan, baik ditanami tanaman semusim seperti padi huma Oryza sp., singkong Manihot sp., jagung Zea
mays, maupun tanaman tahunan seperti teh Thea sp. dan mahoni Swietenia mahagoni. Tetapi tidak semua lahan ditanami dan diolah, beberapa bagian tetap dibiarkan (digamblungkeun), dan sebagian lain ditanami bambu Gigantochloa sp. dan Bambusa sp. Bagian lahan yang diduga sudah ada jauh sebelum jaman penjajahan Belanda inilah yang mengawali pembentukan sistem talun di Desa Marga Mekar. Sistem kebun mulai ditinggalkan pada sekitar tahun 60an, kemudian setelah itu secara nyata penduduk mulai menggunakan sistem talun yang tak memerlukan banyak pengurusan. Penduduk membiarkan lahannya tanpa diolah karena tingginya tingkat gangguan gerombolan babi hutan dan monyet ekor panjang yang berasal dari hutan yang merusak dan menghabiskan hasil sawah dan kebun di desa. Dengan demikian dapat disimpulkan, perubahan tata guna lahan di Desa Marga Mekar diawali dari (1) pembukaan hutan pada jaman Belanda atau sebelum itu, (2) sistem perkebunan (tahun 40an), kemudian secara nyata menjadi (3) sistem talun (awal tahun 60an). Berdasarkan wawancara, diketahui luas tata guna lahan untuk pertanian (sawah, kebun, dan talun) tidak begitu banyak mengalami perubahan. Dengan kata lain, perubahan sistem pertanian yang dipakai tidak mengubah luas lahan.
26
Kepemilikan lahan bersifat turun temurun dengan luas rata-rata 1-2 ha tiap kepemilikan. Namun kemudian beberapa bagian kecil dijual kepada pendatang, sehingga kini beberapa kebun dan talun yang dimilki penduduk hanya 200-300 bata tiap kepemilikan dan milik pendatang 400 bata hingga 1-2 ha (satu bata = + 14 m2). Jenis-jenis tanaman yang ditanam juga tidak mengalami banyak perubahan antara lain baik yang tidak sengaja ditanam atau tidak diolah seperti bambu
Gigantochloa sp. dan Bambusa sp., aren Arenga pinnata, mahoni Swietenia mahagoni, albasia Albizzia falcataria, maupun yang ditanam di kebun dan sekitar talun seperti singkong Manihot sp., jagung Zea mays, salak Zalacca edulis, merica
piper betle, dan lain-lain. Hasil kebun atau talun umumnya tidak dijual dan hanya untuk dimanfaatkan sendiri. Adapun satwa liar yang ditemukan, berdasarkan wawancara telah banyak mengalami penyusutan jenis. Antara lain landak Hystrix
brachyura yang kini sudah jarang, dan yang masih dapat ditemukan yaitu berbagai jenis ular (salah satunya Python sp.) dan trenggiling Manis javanica, serta berbagai jenis burung (cangkurileung Pycnonotus aurigaster dan caladi Meiglyptes sp.). Beberapa spesies burung yang menurut penduduk sudah jarang ditemukan di sana yaitu tekukur Streptopelia chinensis, jalak Sturnus sp., kepodang Oriolus sp., anis
Zoothera sp., kerak Acridotheres sp., ekek Cissa sp. bueuk Ketupa ketupu, bultok Megalaima tiliata, ungkut-ungkut Megalaima haemacephala, cipeuw Aegithina tiphia, cinenen Orthotomus sp., Gagak Corvus sp., dan Elang Ular Spilornis cheela). Satwa liar dari hutan yang sering merusak dan menjarah tanaman ialah gerombolan monyet ekor panjang Macaca fascicularis dan babi hutan Sus vittatus, namun sejak satu tahun terakhir (2001-2002) keduanya sudah tidak pernah terlihat lagi.
27
4.1.3 Keberadaan Kukang di Talun Desa Marga Mekar Keberadaan Kukang di Desa Marga mulai diketahui sejak tahun 40an, yakni ketika diketahui ada penduduk yang digigit Kukang yang ia temukan di rumpun bambu di kebunnya di Pasir Pogor. Penduduk percaya bahwa satwa ini merupakan pertanda bala (bencana kebakaran, dan lain-lain), oleh karena itu penduduk tidak pernah mengganggunya. Masih terdapatnya Kukang pada kebun dan talun penduduk diyakini karena asal-usul kedua tipe vegetasi ini adalah hutan dan hingga kini masih memungkinkan untuk dijadikan habitat. Hal ini terutama disebabkan oleh adanya rumpun-rumpun bambu (penyedia sleeping site) di talun dan sekitar kebun yang sengaja dibiarkan penduduk, serta masih terdapatnya pohon aren Arenga pinnata (penyedia makanan) yang disadap untuk diambil niranya dan dibuat menjadi gula merah. Sekitar tahun 1960 hingga 1980an, perburuan dan perdagangan Kukang mulai marak. Kukang yang pada awalnya tak pernah diganggu menjadi banyak terancam keberadaannya karena banyak diburu untuk dijual kepada penadah di daerah sekitar Cadas Pangeran, Sumedang untuk kemudian dikirimkan ke Surabaya dan Jakarta. Perburuan Kukang oleh pemburu biasanya dilakukan secara diam-diam atau tanpa sepengetahuan pemilik talun. Dengan harga tiap ekor Kukang di penadah saat itu sama
dengan
besarnya
upah
harian
bertani
(nguli,
ngaburuh), membuat
penangkapan dan perburuan Kukang untuk dijual banyak terjadi.
Hal ini
kemungkinan berhubungan dengan kepercayaan penduduk bahwa Kukang tidak boleh dipelihara di rumah penduduk, sehingga penangkapan yang tidak untuk
28
dipelihara (tetapi untuk dijual) dianggap tidak bertentangan dengan kepercayaan tersebut.
4. 2 Distribusi Lokasi Habitat Kukang Berdasarkan hasil wawancara diketahui ada lima lokasi yang dilaporkan ditemukan Kukang, yaitu Pasir Pogor, Gagak Jalu, Cimanggu, Cileungsing, dan Kanayakan (Gambar 4.1). Lokasi-lokasi tersebut kemudian diperluas ke daerah sekitar yang diduga masih memungkinkan dijadikan habitat, yaitu Gagak Jalu diperluas ke lokasi Jambu Dipa, dan Kanayakan diperluas ke lokasi Leumah Nendeut. Perluasan survey hanya dilakukan pada dua lokasi tersebut sebab ketiga lokasi lainnnya rusak karena kebakaran, yaitu Serpe yang terletak di sebelah barat lokasi Cimanggu dan Talapakan yang terletak di sebelah barat Cileungsing. Berdasarkan hasil survey pada lima lokasi yang pernah dilaporkan ditemukan Kukang selama satu tahun terakhir (2001-2002) (Gambar 4.1), Kukang hanya ditemukan di satu lokasi, yaitu lokasi Pasir Pogor.
29
Utara
Marga Cinta (Ds. Marga Mekar)
Cipunareun (Ds. Suka Jaya)
0
SS1
5 km
SS3
SS2
Cimanggu Winar2002
Keterangan: = makam Pasir Pogor
= sawah = vegetasi bambu
SS
= Sleeping Site
= vegetasi campuran
= jalan setapak
= vegetasi semak/kebun
= saluran air (batas desa)
Gambar 4.3 Sketsa Talun Pasir Pogor
30
Tabel 4.1 Lokasi-lokasi Survey Nama Lokasi Pasir Pogor Cimanggu Gagak Jalu Cileungsing Kanayakan
Kondisi Fisik Informasi Jarak Intensitas Vegetasi Keberadaan Keberadaan Permukiman Aktivitas Elevasi Slope Dominan Kukang Kukang Terdekat Manusia (m dpl) I, II, dan III I, II, dan Mei-Juni 2002 III Januari 2002 I dan II Oktober 2002 I dan II I, II, dan Juli 2002 III Juli 2002
525-650 10-20 o 500-1000 m
Jarang
Ada, Dua individu
525-650 20-30 o 500-1000 m
Jarang
Tidak ada
Jarang Jarang Sangat Jarang
Tidak ada Tidak ada
o
525-650 15-20 50-1000 m 490-650 20-30 o 500-1000 m 810-840 5-10 o
700-1000 m
Tidak ada
Sumber : Data Primer (2002) Keterangan : 1. Tipe vegetasi berdasarkan dominansinya yaitu I) Vegetasi Bambu, II) Vegetasi Campuran, biasanya didominasi pohon-pohon yang diambil kayunya untuk bahan bangunan, terdapat pula Aren dan Bambu, III) Vegetasi Semak/kebun, biasanya merupakan lahan yang tidak digarap, ditumbuhi semak Kirinyuh dan Harendong 2. Kategori intensitas aktivitas manusia berdasarkan wawancara adalah SERING (hampir tiap hari), JARANG (3-4x tiap minggu), SANGAT JARANG (3-4x tiap bulan)
4.2.1 Pasir Pogor Pasir Pogor terletak di bagian utara Desa Marga Mekar, tepatnya di sebelah barat daya Kampung Marga Cinta (+ 1,25 km) dan sebelah selatan Dusun Cipunareun, Desa Sukajaya (+ 0,25 km) (Gambar 4.1) dengan posisi tengahnya secara geografis lebih kurang terletak pada 107054’59,9” BT dan 06052’48,1” LS. Ketinggiannya antara 525-650 m dpl dengan kemiringan sekitar 10-20o, lokasi ini ditumbuhi oleh tiga tipe vegetasi, yaitu vegetasi bambu, vegetasi campuran, dan vegetasi semak. Berdasarkan pada penutupan ketiga tipe tersebut di atas, vegetasi bambu paling dominan dan letaknya tersebar merata, diikuti oleh vegetasi campuran yang berada di antara sebaran vegetasi bambu, dan vegetasi semak yang berada di bagian tepi. Berdasarkan wawancara, diketahui vegetasi yang dominan di Pasir Pogor dahulunya adalah vegetasi semak/kebun, diikuti vegetasi bambu. Keberadaan
31
dan luas vegetasi bambu di lokasi ini cenderung tidak begitu berubah, karena pemilik biasanya membiarkan rumpun bambu tetap tumbuh liar di lahan miliknya. Sebagaimana talun-talun di daerah lainnya di Desa Marga Mekar, talun di Pasir Pogor jarang dikunjungi pemiliknya, tetapi bagian tertentu yang terdapat pohon aren cukup sering dikunjungi penduduk karena disadap niranya.
4.2.2 Cimanggu Letak Cimanggu masih berada pada bukit yang sama dengan lokasi Pasir Pogor, tepatnya di lereng bagian selatan dengan titik tengahnya secara geografisnya lebih kurang pada 107054’51,4” BT dan 06053’04,0” LS (Gambar 4.1). Sebelah tenggara hingga selatan Cimanggu, yaitu bagian lembahnya merupakan daerah persawahan, sedangkan sebelah barat dan masih dalam bukit yang sama merupakan hutan Pinus milik Perum Perhutani yang telah mengalami kebakaran pada sekitar bulan Oktober 2002. Dengan ketinggian antara 525-650 dpl dan kemiringan sekitar 20-30o, dominansi vegetasi di lokasi ini berturut-turut adalah adalah vegetasi campuran, vegetasi bambu yang letaknya tersebar dan tidak merata, dan vegetasi semak. Talun di lokasi ini jarang dikunjungi baik oleh pemilik maupun penduduk sekitar. Hal ini diperkuat dengan kenyataan bahwa pohon aren di lokasi ini sudah tidak disadap lagi.
4.2.3 Gagak Jalu dan Jambu Dipa Lokasi Gagak Jalu terletak pada bukit yang berseberangan dengan lokasi Cimanggu (Gambar 4.1), dengan titik tengah lebih kurang pada 107 054’54,57,6” BT
32
dan 06053’15,5” LS, ketinggian 525-650 m dpl, dan kemiringan sekitar 15-20o. Vegetasi dominan di lokasi ini hanya dua tipe, yaitu vegetasi bambu dan vegetasi campuran. Seperti juga di lokasi Cimanggu, vegetasi bambu di Gagak Jalu tersebar tetapi cenderung lebih merata dan lebih dominan. Pada lokasi Gagak Jalu, jarang terjadi aktivitas manusia, hal ini dimungkinkan karena Kampung Gagak Jalu yang terletak di lembahnya sudah lama ditinggal oleh penduduk (sejak + tahun 1996) dan pada saat survey dilakukan hanya terdapat dua rumah (dua kepala keluarga) di kampung tersebut. Pohon aren di lokasi ini juga tidak disadap lagi karena sudah tua. Pohon aren yang disadap biasanya menjadi tempat makan Kukang, sebab satwa ini diketahui sering memakan sadapan nira pohon aren (lahang). Perluasan survey dilakukan ke arah timur laut dan masih dalam satu bukit, yaitu lokasi Jambu Dipa (107055’15” BT dan 06053’0,44” LS). Vegetasi di Jambu Dipa tergolong sama dengan Gagak Jalu, hanya intensitas aktivitas manusia di lokasi Jambu Dipa terjadi lebih sering. Hal ini disebabkan karena dekatnya Jambu Dipa dengan permukiman (+ 100-500 m) sehingga sering dilewati penduduk dari dan ke arah Kampung Marga Cinta dan Pangauban.
4.2.4 Cileungsing Cileungsing terletak dalam satu bukit dengan Gagak Jalu dan Jambu Dipa, yaitu di arah barat daya dengan titik tengah lebih kurang pada 107 054’49,1” BT dan 06053’22,0” LS. Ketinggian lokasi ini berkisar antara 490-650 m dpl dengan kemiringan 20-30o. Lokasi ini terdiri dari tanah milik penduduk dan tanah milik
33
Perum Perhutani. Vegetasi dominannya ialah vegetasi bambu dan vegetasi campuran, serta pada bagian yang menjadi milik Perhutani terdapat vegetasi Pinus. Pada saat dilakukan survey hampir sebagian besar vegetasi bambu di bagian barat telah terbakar sekitar 2-3 hari sebelumnya yaitu pada bulan minggu I Oktober 2002 dan merusak hampir sebagian besar vegetasinya. Keberadaan aren di lokasi ini seperti juga di Gagak Jalu dan Jambu Dipa sudah tidak diambil niranya (tidak disadap).
4.2.5 Kanayakan dan Leumah Nendeut Titik tengah lokasi Kanayakan ini terletak lebih kurang pada 107 054’50,9” BT dan 06054’21,3” LS dengan ketinggian 810-840 m dpl dan kemiringan sekitar 5-10o. Bagian barat dan timur Kanayakan diapit oleh dua anak sungai yang pada saat survey dilakukan (Oktober 2002) sedang tidak berair (kering) karena kemarau, sedang pada bagian utara dan selatannya diapit oleh kebun teh. Vegetasi dominan di Kanayakan adalah vegetasi campuran dan vegetasi bambu. Sebaran vegetasi bambu di lokasi ini cenderung mengumpul di bagian tepi, terutama di bagian yang berbatasan dengan sungai serta daerah perkebunan teh. Di Kanayakan tergolong sangat jarang terjadi aktivitas manusia meskipun dekat dengan perkebunan teh, sebab perkebunan teh ini jarang dipetik hasilnya (tidak rutin, + hanya tiap akhir bulan). Selain itu pohon aren di lokasi ini juga sudah tidak disadap niranya. Kebakaran terjadi pada minggu ke tiga Oktober 2002 di kebun teh
dan
daerah
pinggir
Kanayakan
yang
berdekatan
dengan
kebun
teh
34
(Gambar 4.2), merusak sebagian kecil vegetasi di Kanayakan tetapi mencakup hampir sebagian besar vegetasi bambunya.
4.3
Gangguan terhadap Kukang dan Habitatnya Tidak
ditemukannya
Kukang
pada
keempat
lokasi
survey
beserta
perluasannya, kemungkinan disebabkan oleh telah rusaknya vegetasi yang menjadi habitat dan terjadinya penangkapan Kukang di lokasi-lokasi tersebut. Berdasarkan survey dan wawancara, faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan Kukang di lokasi survey antara lain rusaknya habitat akibat kebakaran, penangkapan Kukang untuk diperdagangkan, dan gangguan habitat akibat aktivitas manusia di daerah sekitar habitat, dan ukuran talun yang kecil (Tabel 4.2). Terbatasnya
distribusi
habitat
Kukang
dimungkinkan
oleh
terjadinya
kepunahan lokal pada lokasi survey. Suatu spesies dianggap telah punah dalam skala lokal jika tidak lagi ditemukan individu di tempat dulu berada, tetapi masih ditemukan dan berada di daerah lain di alam (Primack, R. B., 1998).
4.3.1 Kebakaran Rusaknya vegetasi pada habitat akibat kebakaran, seperti yang terjadi pada lokasi Cileungsing dan Kanayakan pada sekitar awal Oktober 2002, mematikan sebagian besar vegetasi bambu yang sering dijadikan sebagai sleeping site Kukang. Total vegetasi yang rusak pada dua lokasi tersebut masing-masing diperkirakan seluas 70% dan 30-40% dari luas total (Tabel 4.2). Tetapi jika dibandingkan dengan kisaran luas habitat Kukang di lokasi tersebut kebakaran menghabiskan sekitar 7580% habitat Kukang. Vegetasi yang rusak adalah hampir seluruh vegetasi bambu
35
dan beberapa bagian kecil dari vegetasi campuran yang menjadi tempat hidup Kukang (Gambar 4.3)
Gambar 4.2 Bekas Kebakaran pada lokasi Kanayakan (Foto Winarti, 2002)
Satwa lainnya yang menjadi sumber makanan Kukang atau menjadikan vegetasi tersebut sebagai habitat dan sumber makanannya (misal kadal Maboya sp.), ikut musnah oleh kebakaran yang terjadi. Kebakaran juga menyebabkan degradasi habitat secara fisik, terutama kerusakan lantai vegetasi. Bagi Kukang sendiri, dengan perilaku pergerakannya yang sangat lambat, kecil kemungkinan satwa ini dapat menghindar dari kebakaran.
36
Tabel 4.2 Faktor yang Mempengaruhi Keberadaan Kukang KEBAKARAN LOKASI
Waktu
% Luas1
1
-
-
2
-
-
3
-
-
4
5
Minggu I Oktober 2002 Minggu III Oktober 2002
PERBURUAN
GANGGUAN HABITAT
Jarak Frekuensi Jumlah dengan Per Waktu mukiman2 Juni & Satu 2x Oktober ekor 500-1000 m 2002 dewasa 500-1000 m MeiJuni 2002
Ukuran Talun4
Jarang
@ 10001500
Jarang
@ 400-500
1x
?
500-1000 m
Jarang
@ 200-500
Jarang
@ 200-300
70%
-
-
-
50-1000 m
30-
JuliAgustus 2002
2x
Satu ekor ? dewasa
700-1000 m
40%
Intensitas Aktivitas Manusia3
Sangat Jarang
@ 200-300
Sumber: Data Primer (2002) Keterangan: Lokasi 1 = Pasir Pogor, tipe vegetasi I, II, dan III Lokasi 2 = Cimanggu, tipe vegetasi I, II, dan III Lokasi 3 = Gagak Jalu, tipe vegetasi I dan II Lokasi 4 = Cileungsing, tipe vegetasi I dan II Lokasi 5 = Kanayakan, tipe vegetasi I, II, dan III 1 = perkiraan luas area yang terbakar dibandingkan luas total 2 = satuan dalam meter 3 = kategori intensitas aktivitas manusia adalah SERING (hampir tiap hari), JARANG (3-4x tiap minggu), dan SANGAT JARANG (3-4x tiap bulan) 4 = besaran Satu Bata = 14 m2 ? = tidak diketahui @ = masing-masing = tidak terjadi
Pada lokasi Cileungsing, kebakaran menghabiskan hampir seluruh vegetasi di daerah tersebut (Tabel 4.2). Kebakaran yang pada awalnya terjadi pada vegetasi pinus dan menghabiskan lantai hutan, kemudian merembet ke vegetasi bambu dan sedikit vegetasi campurannya sehingga akhirnya hampir + 70% vegetasi di lokasi tersebut habis terbakar. Kebakaran juga merembet ke lokasi sekitarnya yaitu lokasi Talapakan.
37
Pada lokasi Kanayakan, kebakaran pada awalnya hanya terjadi pada kebun teh yang mengelilingi lokasi tersebut dari arah utara dan selatan, namun kemudian merembet ke vegetasi di Kanayakan yang berada di bagian tepi yang didominasi oleh vegetasi bambu. Meskipun hanya sebagian kecil (+ 25-30%) atau hanya pada bagian tepi saja dari keseluruhan vegetasi di Kanayakan, tetapi kebakaran telah merusak hampir seluruh vegetasi bambunya. Vegetasi bambu merupakan salah satu vegetasi yang sering dijadikan sleeping site Kukang, sehingga rusaknya vegetasi bambu di dua lokasi ini cukup mengganggu daya dukung vegetasi tersebut sebagai habitat, khususnya sebagai sleeping site Kukang. Berdasarkan keterangan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa akibat kebakaran yang terjadi pada dua lokasi survey, yaitu Cileungsing dan Kanayakan, merupakan salah satu sebab rusaknya habitat Kukang serta tidak dapat ditemukannya keberadaan Kukang di lokasi tersebut.
4.3.2 Penangkapan Kukang untuk diperdagangkan Penangkapan Kukang untuk diperdagangkan dapat terjadi karena disengaja (perburuan oleh pemburu), dapat juga karena tidak sengaja (penangkapan karena menemukan dengan tidak sengaja, biasanya oleh penjerat dan pemburu burung, pemilik talun, atau penduduk). Berdasarkan wawancara, diketahui kebanyakan pemburu Kukang bukan penduduk asli desa Marga Mekar, antara lain dari beberapa desa sekitar dan desa di sekitar Cadas Pangeran, Sumedang yang sengaja datang untuk berburu Kukang.
38
Penangkapan Kukang karena pertemuan dengan tak disengaja, bisanya sering terjadi pada malam hari pada saat Kukang turun ke tanah untuk berpindah ke lokasi/pohon yang kanopinya tidak dapat dijangkau. Kukang yang ditemukan penduduk secara tidak sengaja biasanya akan ditangkap. Berdasarkan wawancara juga diketahui perdagangan Kukang yang ditangkap dari alam mulai banyak terjadi pada sekitar tahun 1985 hingga tiga tahun terakhir (2000-2002). Penangkapan secara terus menerus tanpa memperhatikan kemampuan pemulihan untuk terus berkembang biak dan melanjutkan keturunan, dapat menyebabkan penurunan populasi Kukang pada lokasi survey. Sejumlah individu populasi
yang
masih
bertahan
hidup
pada
akhirnya
akan
punah,
sebab
kelestariannya di lokasi tersebut hanya bergantung pada berapa lama individu yang hidup dapat bertahan (Gentry, 1986; Jansen, 1986b dikutip dari Primack, R. B., 1998). Pada lokasi-lokasi survey, diketahui tiga lokasi yang pernah terjadi perburuan yaitu Pasir Pogor, Gagak Jalu, dan Kanayakan (Tabel 4.2). Dari ketiga lokasi tersebut, hanya dua lokasi yaitu Pasir Pogor dan Kanayakan yang diketahui jumlah penangkapannya yaitu masing-masing satu ekor Kukang dewasa. Adapun jenis kelamin Kukang yang ditangkap di Pasir Pogor adalah betina dewasa, sedangkan Kukang yang ditangkap di Kanayakan tidak berhasil diketahui jenis kelaminnya.
4.3.3 Pengambilan Hasil Talun Menurut Primack (1998), hampir 99% kepunahan spesies pada saat ini merupakan akibat aktivitas manusia yang menyebabkan rusak dan hilangnya
39
habitat. Aktivitas manusia yang potensial mempengaruhi keberadaan Kukang dapat terjadi di dalam habitat, misalnya pengambilan hasil talun, dan di luar habitat, misalnya aktivitas pertanian di sekitar talun yang menjadi habitat. Pengambilan hasil talun meliputi penebangan bambu dan tumbuhan lain yang digunakan sebagai sleeping site (misalnya bambu Gigantochloa sp.) dan makanan Kukang maupun habitat satwa yang dimangsa Kukang (antara lain Ficus sp.,
Artocarpus heterophylla, dan Arenga pinnata). Selain mengakibatkan hilangnya sumber makanan dan sleeping site Kukang, penebangan juga dapat mengakibatkan perubahan kondisi fisik habitat seperti peningkatan intensitas cahaya dan temperatur lokal, serta terbentuknya fragmentasi habitat akibat penambahan ruang terbuka (gap). Berdasarkan pengamatan, jarak permukiman dengan talun di lokasi survey berkisar antara 500-1000 m, kecuali di lokasi Gagak Jalu jaraknya paling dekat yaitu 50-1000 m (Tabel 4.2). Jarak yang dekat dengan permukiman dan lahan pertanian meningkatkan akses masuk dan intensitas aktivitas manusia di dalam talun. Akses masuk yang tinggi memperbesar potensi perjumpaan dengan manusia, di mana Kukang yang terlihat cenderung akan ditangkap. Aktivitas manusia di talun-talun tersebut umumnya jarang atau hanya 3-4 kali tiap minggu (12-16 kali tiap bulan), kecuali di lokasi Kanayakan yang sangat jarang atau hanya 3-4 kali tiap bulan (Tabel 4.2). Jarangnya intensitas aktivitas manusia di dalam talun berhubungan dengan sifat talun itu sendiri yang cenderung dibiarkan tanpa diurus dan diolah. Hal ini membantu mendukung keberadaan Kukang di dalam talun, sebab manusia yang masuk ke dalam talun hanya bersifat temporal dan
40
berlangsung singkat, misalnya hanya untuk lewat dan tidak untuk melakukan aktivitas yang memakan waktu lama di dalam talun. Pada waktu-waktu tertentu aktivitas manusia dapat saja berlangsung cukup lama, misalnya pada saat dilakukan pengambilan hasil talun, namun biasanya aktivitas ini jarang terjadi. Pengaruh jarak talun dengan permukiman cenderung meningkatkan akses masuk manusia, namun sesungguhnya tidak begitu berpengaruh terhadap habitat dan keberadaan Kukang. Hal ini disebabkan faktor-faktor yang berpengaruh seperti kebakaran, perburuan, dan intensitas aktivitas dalam talun tidak dilakukan oleh penduduk yang tinggal di permukiman yang berjarak dekat dengan talun habitat. Talun habitat Kukang di lokasi Pasir Pogor berukuran 1000-1500 bata atau rata-rata sekitar 1 ha (Tabel 4.2). Ini berbeda dengan kebanyakan ukuran talun di keempat lokasi lainnya yang rata-rata berukuran jauh lebih kecil, yakni sekitar 200500 bata atau hanya 0,28-0,7 ha. Habitat yang berukuran kecil menunjukkan tingginya fragmentasi. Fragmentasi dapat mengancam keberadaan Kukang, antara lain dapat mengurangi daerah jelajah sekaligus memperkecil potensi penyebaran Kukang dan tumbuhan yang bergantung kepadanya, memperbesar efek tepi, dan lain-lain. Dari semua akibat tersebut, efek tepi cenderung lebih bersifat mengganggu vegetasi dan satwa yang hidup di dalamnya (Kapos, 1998; Berregaard, dkk, 1992 dikutip dari Primack, 1998) sebab dapat menyebabkan naik turunnya intensitas cahaya, suhu, kelembaban, dan kecepatan angin secara drastis. Hal ini dapat mengundang bahaya lain yaitu terjadinya kebakaran.
41
4.4
Struktur Vegetasi Habitat Kukang di Pasir Pogor Jenis tumbuhan yang terdapat di plot sampel pada habitat Pasir Pogor
berjumlah 39 spesies, terdiri dari 30 genera dari 21 famili (Lampiran 4) dengan kategori pohon, semak, herba, dan rumput masing-masing berjumlah 30, 5, 1, dan 3 spesies (Tabel 4.3).
Tabel 4.3 Data Vegetasi Plot Sampel PLOT 4 5 6 7 Jumlah Spesies Pohon 6 3 11 10 11 10 5 Semak 2 2 1 Herba 1 1 1 1 Rumput 1 1 1 2 1 1 Jumlah Sp./Plot 8 6 13 12 15 12 7 % Penutupan Pohon 75 27 26 45 45,6 66 8,5 Semak 42 68 14,5 Herba 5 2,5 2 3,5 Rumput 8,5 47 95 82 45 94 % Penutupan/Plot2 93,56 82,37 62 98,62 90,75 74 99,56 Jumlah Spesies tiap Stratum3 Stratum Atas 4 1 4 4 7 5 3 Sratum Tengah 2 3 8 5 7 7 2 Stratum Bawah 2 3 2 7 4 1 2 Gap AntarStratum (m) KATEGORI1
1
2
3
8
9
8 1 1 10
13 1 1 15
10 20 1 22
27,12 28 80 28 3,5 1 96 85 40 99,75 92,5 93,37 3 7 1
3 12 1
8 17 1
SA-ST
4-5
2-3
5-7
4-8
3-6
1-4
6-9
4-8
4-8
3-4
ST-SB
3
2-3
1-2
2-3
1
1-2
1
1-2
0,5-1
-
2-4
5-8
2,5
-
2-3
3-4
-
-
-
-
Gap Kolom (m)
TOTAL P= 30 S= 5 H= 1 R= 3 39 Sp. P= 42,82 S= 15,6 H= 1,4 R= 59,25 88,67 % SA = 19 ST = 34 SB = 17 SA-ST = 2-9 m ST-SB =1-3 m 1-7 m
Sumber : Data Primer (2002) Keterangan : 1. Kategori tumbuhan, yaitu P = Pohon, S = Semak, H = Herba, dan R = Rumput 2. % Penutupan/plot dihitung berdasarkan penutupan seluruh vegetasi pada tiap plot 3. Stratifikasi, yaitu SA = Stratum Atas (tinggi > 5 m), ST = Stratum Tengah (tinggi 1-5 m), dan SB = Stratum Bawah (tinggi < 1 m)
Berdasarkan penutupannya, dominansi secara keseluruhan ditunjukkan oleh kategori rumput dan pohon (masing-masing 59,25% dan 42,82%). Komposisi tiap
42
kategori membentuk tiga tipe vegetasi yang cenderung berulang dalam plot, yaitu 1) vegetasi bambu (plot 4, 5, 7, 8, dan 9), 2) vegetasi campuran (plot 1, 3, 6 dan 10), oleh pohon, herba, semak, dan rumput, dan 3) vegetasi terbuka/semak (plot 2) dibentuk oleh semak, herba, dan rumput (Lampiran 5).Menurut Parikesit (2001), keanekaan jenis di talun dimungkinkan karena interaksi faktor alami, berupa penyebaran oleh satwa liar, dengan faktor sedikitnya campur tangan manusia dalam penanganan talun. Jumlah jenis tumbuhan pada plot sampel di lokasi penelitian ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan jumlah jenis pada talun bambu di DAS Citarum yaitu 126-137 spesies (Parikesit, 1997). Hal ini dimungkinkan karena tidak dilakukannya inventarisasi jenis pada seluruh talun di Desa Marga Mekar. Meskipun demikian, jumlah jenis pada talun Pasir Pogor ini dapat memberikan gambaran bahwa sedikitnya jumlah jenis berhubungan dengan sumber mata pencarian yang utama dari sebagian besar penduduk Desa Marga Mekar yaitu pertanian (sawah). Menurut Abdoellah et al. (1990), aktivitas pertanian di sawah berpengaruh terhadap jumlah spesies tumbuhan khususnya tumbuhan domestik pada tipe tata guna lahan lainnya. Waktu yang digunakan penduduk untuk bekerja lebih banyak untuk mengolah sawah yang merupakan sumber penghasilan utama, sehingga jumlah jenis tumbuhan di talun Desa Marga Mekar cenderung sedikit. Pada plot sampel di talun Pasir Pogor seperti juga pada talun di DAS Citarum, terdapat beberapa spesies tumbuhan yang biasa terdapat di hutan, antara lain Piper
aduncum, Macaranga tanarius, Michelia montana, Litsea sp., dan Arenga pinnata. Keberadaan spesies tumbuhan hutan di vegetasi binaan disebarkan oleh satwa liar yang menggunakan vegetasi talun (Parikesit, 2001). Hal ini secara tidak langsung
43
menunjukkan daya dukung vegetasi terhadap kemampuannya menjadi habitat satwa liar. Selain itu, di lokasi penelitian juga ditemukan dua genus tumbuhan yang menurut Wiens (2002) menjadi makanan Kukang yaitu Ficus sp., dan Artocarpus
heterophylla, serta tumbuhan yang berdasarkan pengamatan juga menjadi makanannya yaitu Arenga pinnata.
4.4.1 Dominansi Prosentase
penutupan
vegetasi
secara
keseluruhan
adalah
88,67%
(Tabel 4.3), dengan penutupan terluas ditunjukkan oleh plot 7, 8, dan 4 yaitu masing-masing 99,56%, 99,75%, dan 98,62%. Secara keseluruhan vegetasi yang mendominansi adalah kategori rumput (bambu) dan pohon dengan luas masingmasing 59,25% dan 42,82%. Penutupan kategori rumput terluas oleh Gigantochloa
apus dan G. pseudoarundina, dan penutupan pohon terluas oleh Swietenia mahagoni. Rumput dengan jumlah tiga spesies mendominasi penutupan vegetasi pada plot 3, 5, 7, 8, dan 9, sedangkan pohon dengan jumlah seluruhnya 30 spesies mendominasi plot 1, 4, dan 10 (Lampiran 5). Tingginya dominansi oleh kategori rumput (bambu) yang memiliki jumlah jenis jauh lebih sedikit daripada pohon, berhubungan dengan jenis rumput (bambu) itu sendiri yaitu dua spesies bambu yang pada awalnya ditanam oleh pemilik, yaitu
Gigantochloa apus dan G. pseudoarundina. Keduanya memiliki penutupan luas keseluruhan lebih kurang masing-masing sebesar 446 m2 dan 183 m2. Vegetasi bambu membentuk rumpun dengan kanopi yang rimbun serta menghasilkan seresah yang cukup tebal (10-15 cm) sehingga menghalangi pertumbuhan vegetasi lain di
44
bawahnya.
Dominansi bambu secara nyata terlihat pada plot 4, 5, 7, 8, dan 9
(Lampiran 5). Penutupan vegetasi golongan pohon didominansi oleh Antidesma tetandrum dan Swietenia mahagoni dengan masing-masing luas 88 m2 dan 43,8 m2. Sedangkan pada kategori semak dan herba masing-masing oleh Eupatorium odoratum (88 m2) dan Piper aduncum (9 m2). Dominansi dua jenis pohon tersebut di atas, berhubungan dengan fungsi keduanya bagi pemilik, yaitu sebagai bahan bangunan. Pada bagian lain di lokasi Pasir Pogor, Swietenia mahagoni ditanam secara khusus pada suatu kebun. Keberadaan jenis ini dalam plot sampel (di luar kebun) kemungkinan karena tersebar secara alami oleh angin. Sedangkan dominasi jenis semak, herba, dan rumput yang terlihat pada plot 2 (Lampiran 5) adalah karena bagian tersebut dahulunya pernah dibuka untuk dijadikan kebun. Luasnya penutupan vegetasi bambu serta banyaknya tumpang tindih antartajuk menunjukkan daya dukung talun terhadap habitat Kukang, terutama dalam menyediakan sleeping site sekaligus mendukung pergerakan Kukang untuk berpindah tempat. Kukang akan lebih mudah meraih dahan dari vegetasi pohon ataupun bambu jika kanopinya bersentuhan meskipun tempat tumbuh (sumbu) masing-masing tumbuhan tersebut berjauhan.
4.4.2 Stratifikasi Berdasarkan stratifikasinya, vegetasi di lokasi penelitian terbagi menjadi tiga stratum, yaitu 1) stratum atas, terdiri atas pohon, semak, dan rumput (bambu) dengan tinggi > 5 m, 2) stratum tengah, terdiri atas pohon, semak, herba, dan
45
rumput (bambu) dengan tinggi 1-5 m, dan 3) stratum bawah, terdiri dari pohon dan pohon muda (seedling dan sapling), semak, herba, dan rumput dengan tinggi < 1 m. Jumlah spesies tiap stratum, masing-masing berjumlah 19, 34, dan 17 spesies (Tabel 4.3). Jumlah jenis terbanyak (34 spesies) terdapat pada stratum tengah karena pada strata ini terdapat berbagai pohon muda dalam bentuk seedling dan
sapling. Berdasarkan kenampakannya, stratum paling rapat dan rimbun adalah stratum atas yang didominasi kanopi bambu, sedangkan stratum yang paling jarang adalah stratum bawah. Jarangnya vegetasi pada stratum ini disebabkan oleh rapatnya penutupan kanopi pada stratum atas, sehingga menghambat dan menghalangi pertumbuhan vegetasi yang berada di bawahnya. Pada diagram profil juga terlihat adanya ruang terbuka atau gap (Lampiran 5), baik secara vertikal (gap antarstratum) maupun horizontal (gap yang berupa kolom atau tidak ditemukan tumbuhan dari permukaan bawah hingga tajuk atas). Gap terjadi akibat dominansi salah satu strata atau karena adanya fragmentasi, sehingga struktur dan stratifikasi vegetasinya menjadi terputus atau diskontinyu. Jarak ruang terbuka atau gap ini bervariasi antara 1-7 m. Pada plot yang memiliki penutupan vegetasi terluas, yaitu plot 7, 8, dan 4 (99,56%, 99,75%, dan 98,62%), penutupan kategori rumput/bambunya sangat tinggi (94%, 96% dan 95%) dan terdapat gap antarstratum yang cukup besar, yaitu masing-masing jarak stratum atas-stratum tengahnya adalah 6-9 m, 4-8, dan 4-8 m, dan jarak stratum tengah-bawahnya 1 m, 1-2 m, dan 2-3 m (Tabel 4.3). Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa penutupan yang didominansi bambu cenderung menyebabkan penutupan vegetasi yang tinggi dan stratifikasi vegetasi yang diskontinyu (terputus oleh gap).
46
Gap antara stratum tengah-stratum bawah maupun gap yang berupa kolom tidak dijumpai pada plot 10, meskipun luas penutupan vegetasinya cukup tinggi 93,37%. Hal ini terjadi karena dominansi strata tengah yang terdiri dari seedling dan
sapling, sehingga vegetasinya cenderung rapat dan tidak menyisakan ruang terbuka (gap) baik secara vertikal maupun horizontal.
Gap yang berupa kolom dijumpai pada plot 1, 2, 3, 5, dan 6 (Tabel 4.3), dengan jarak terbesar terdapat pada plot 2 yaitu 5-7 m, karena pada plot ini merupakan bagian dari areal kebun yang sudah sejak lama tidak diolah lagi dan meninggalkan ruang terbuka. Karena sifatnya yang arboreal sejati (Choudhury, 1992 dikutip dari Anonim, 2001), terdapatnya gap bisa jadi akan mengganggu mobilitas (pergerakan) Kukang dalam berpindah tempat. Tetapi beberapa peneliti menyebutkan bahwa Slender
Loris (Loris sp.) dan Loris (Nycticebus sp.) akan turun ke tanah untuk menuju pohon yang tidak bisa dijangkaunya (Hladik, 1970; Ballenger, 2000; Wiens dan Zitzmann dikutip dari Schulze, 2001). Selain itu, berdasarkan informasi penduduk dan pemburu, bahwa perjumpaan dan penangkapan Kukang banyak terjadi tanpa disengaja yaitu pada saat Kukang turun ke tanah pada malam hari. Dengan demikian adanya gap pada vegetasi tidak begitu mengganggu sebab Kukang masih dapat turun ke tanah untuk berpindah tempat.
4.4.3 Sleeping site Kukang Survey yang dilakukan di lokasi Pasir Pogor menemukan tiga perjumpaan, yaitu satu individu betina dewasa (di sleeping site 1=SS1) dan satu individu betina
47
subdewasa (di SS2), serta satu individu subdewasa yang tidak berhasil diketahui jenis kelaminnya (di SS3). Jarak SS1 dengan SS2, SS2 dengan SS3, dan SS3 dengan SS1 satu sama lain ialah 310 m, 287,5 m, dan 68,75 m. Pada saat perjumpaan di SS 1 terjadi, Kukang sudah ditangkap oleh pemburu. Berdasarkan keterangan pemburu tersebut kemudian diketahui bahwa Kukang yang ia tangkap melahirkan bayi (infant) sehari setelah ditangkap. Hanya saja tidak diketahui apa jenis kelamin infant tersebut. Berdasarkan keterangan tersebut diduga bahwa kemungkinan besar individu lainnya masih dapat ditemukan di lokasi Pasir Pogor, sebab daerah jelajah Kukang cenderung tumpang tindih dengan individu lain (Wiens, 2002). Perjumpaan Kukang pada SS2 dan SS3 memiliki selang waktu lima hari dan berjarak + 287,5 m. Mengingat daerah jelajah harian individu dewasa menurut Wiens (2002) adalah + 1000 m dan sifat fragmentasi habitat yang cenderung menyebabkan
pengurangan
daerah
jelajah
(Primack,
1998),
maka
besar
kemungkinan individu pada SS3 merupakan individu yang sama dengan individu pada SS2. Tabel 4.4 Sleeping Site Kukang di Lokasi Pasir Pogor Sleeping Site 1 2
3
Koordinat Geografis 107055’07,3” BT 06052’43,1” LS 107054’59,9” BT 06052’48,1” LS
Waktu ditemukan Minggu II Juni 2002 08.52 WIB 23 Juli 2002
1 ekor, betina dewasa+ infant 1 ekor, betina subdewasa
107055’07,1” BT 06052’43,1” LS
08.04 WIB 28 Juli 2002
1 ekor (*), subdewasa
Kukang
Jenis Vegetasi Bambu Surat Bambu Tali
Bambu Tali
Strata Puncak (>15m) TengahPuncak (+10-15m) Puncak (+15m)
Sumber : Data Primer (2002) Keterangan : (*) = Jenis kelamin tidak diketahui, diasumsikan merupakan individu yang sama dengan individu II
Utara
Marga Cinta (Ds. Marga Mekar)
Cipunareun (Ds. Suka Jaya)
0
48
SS1
5 km
SS3
SS2
Cimanggu Winar2002
Keterangan:
= makam Pasir Pogor
= sawah = vegetasi bambu
SS
= Sleeping Site
= vegetasi campuran
= jalan setapak
= vegetasi semak/kebun
= saluran air (batas desa)
Gambar 4.3 Sketsa Talun Pasir Pogor
49
Kukang menyukai vegetasi bambu untuk tidur (Choudhury, 1992 dikutip dari Anonim, 2001). Pada lokasi penelitian, jenis vegetasi yang digunakan sebagai
sleeping (G.
site
adalah
pseudoarundina)
bambu yang
(Gigantochloa
tali
memiliki
kanopi
apus) yang
dan
bambu
rimbun.
surat
Berdasarkan
kenampakannya, vegetasi bambu di lokasi Pasir Pogor merupakan vegetasi yang cenderung dominan dan tersebar merata di antara vegetasi campuran (Gambar 4.3), dan ini memperlihatkan kesamaan dengan tipe vegetasi habitat Kukang di Taman Nasional Beng En di Vietnam Utara (Snyder, 2002) di mana hutan bambu di sana bercampur
dengan
pohon-pohon
berkayu
keras.
Tingginya
dominansi
dan
penyebaran vegetasi bambu pada semua bagian dari lokasi ini membantu ketersediaan sleeping site sekaligus menyediakan perlindungan dari kemungkinan terlihat oleh predator maupun manusia. Bagian tajuk yang dipilih Kukang bila dilihat secara horizontal berada di bagian tengah tajuk (Lampiran 5), tetapi bila dilihat secara keseluruhan pada lokasi Pasir Pogor (Gambar 4.3), rumpun bambu yang dijadikan sleeping site selalu berada di tepi jalan setapak. Hal ini berhubungan dengan kebutuhan Kukang yang sangat tinggi akan rasa aman besar terhadap ancaman predator terutama pada saat dia tidur. Oleh karena itu satwa ini cenderung memilih sleeping site pada strata atas dan di bagian tengah tajuk. Sedangkan pemilihan sleeping site di tepi jalan, kemungkinan merupakan upaya pengawasan terhadap kehadiran musuh atau predator, sebagaimana umumnya primata lain yang cenderung memilih tempat beristirahat di tempat di mana mereka dapat mengawasi atau berjaga-jaga dari kehadiran musuh atau predator.
50
Strata yang dipilih Kukang untuk dijadikan sleeping site merupakan strata atas dengan ketinggian > 15 m (SS1 dan SS3). Hal ini berhubungan dengan kebutuhan rasa aman akibat kemungkinan gangguan oleh manusia dan tingkat adaptasi Kukang. Menurut Choudhurry (1992), Kukang menyukai strata puncak serta kerimbunan rumpun bambu untuk tidur. Pada SS 2, Kukang tidur pada ketinggian + 10 m. Pemilihan ketinggian yang lebih bawah pada SS 2 ini dimungkinkan karena vegetasi bambunya cenderung lebih rapat daripada vegetasi pada kedua SS lainnya, sehingga sudah cukup aman bagi Kukang untuk menjadikannya sebagai sleeping
site. Kanopi rumpun bambu yang saling bersambungan antara rumpun yang satu dengan rumpun lainnya memudahkan Kukang dalam berpindah mencari makan dan tempat untuk tidur.
BAB V KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka dapat disimpulkan: 1. Dari lima lokasi utama yang berdasarkan informasi menjadi habitat Kukang selama satu tahun terakhir (2001-2002), yaitu lokasi Pasir Pogor, Cimanggu, Gagak Jalu, Cileungsing, dan Kanayakan, hanya talun di Pasir Pogor yang masih dijumpai adanya Kukang, 2. Struktur vegetasi pada habitat Kukang Pasir Pogor terdiri dari 39 spesies dengan dominansi penutupan oleh kategori rumput (59,25%) dan pohon (42,82%). Berdasarkan penampakannya dominansi ditunjukkan oleh genus Gigantochloa. Adapun stratifikasi secara umum bersifat dikontinyu (terputus) yang ditandai dengan adanya gap antarstratum dan gap berupa kolom, 3. Jenis tumbuhan yang dijadikan sleeping site Kukang ialah bambu tali (Gigantochloa
apus) dan bambu surat (G. pseudoarundina) dengan pemilihan strata secara vertikal pada strata atas (10-15 m) dan secara horizontal pada bagian tengah tajuk, dan 4. Jarak habitat Kukang Pasir Pogor dengan permukiman terdekat + 500-1000 m dan intensitas aktivitas manusia dalam habitat tergolong jarang terjadi.
51
52 5.2 Saran Berikut ini beberapa saran yang selayaknya menjadi perhatian: 1. Perlunya dilakukan penelitian lanjutan dalam jangka waktu yang lebih lama atau mencakup beberapa musim yang berbeda mengingat penelitian dilakukan pada saat musim kemarau (Agustus-November 2002), saat beberapa lahan kebun di sekitar habitat talun dibiarkan tidak ditanami dan intensitas aktivitas manusianya cenderung lebih jarang. Penelitian pada salah satu musim saja kurang dapat menggambarkan
pengaruh
aktivitas
manusia
di
sekitar
habitat
terhadap
keberadaan Kukang dan habitatnya. 2. Penelitian yang lebih intensif mengenai ekologi Kukang seperti studi populasi, daerah jelajah, makanan dan pola makan, serta aktivitas harian Kukang, perlu dilakukan mengingat data ekologi satwa ini masih sangat langka. 3. Pelaksanaan survey keberadaan sebaiknya dilakukan paling sedikit oleh dua orang yang sekurang-kurangnya pernah melihat Kukang di alam, dengan titik awal di arah yang berbeda secara serentak, serta daerah survey yang lebih luas, termasuk lokasi yang masih baik vegetasinya namun tidak disurvey karena penemuan Kukang di lokasi tersebut sudah lebih dari dua-tiga tahun yang lalu. 4. Struktur vegetasi talun perlu dijaga dari perubahan agar tidak mengganggu fungsi talun sebagai habitat, antara lain dengan pengambilan hasil yang diupayakan tidak mengubah struktur vegetasi dan melakukan penanaman ulang. 5. Keempat lokasi yang tidak ditemukan Kukang memiliki kenampakan vegetasi yang relatif sama dengan lokasi yang ditemukan Kukang (lokasi Pasir Pogor), dengan demikian lokasi tersebut masih cukup potensial sebagai habitat Kukang, misalnya untuk introduksi hasil sitaan dari pedagang satwa liar dengan melalui prosedur introduksi dan karantina terlebih dahulu.
DAFTAR PUSTAKA
Abdoellah, O. S. 1990. Homegardens in Java and Their Future Development. Dalam: Tropical Homegardens, ed. K. Landaurer and M. Brazil. Tokyo: The United Nations University Abdoellah, O. S., Parikesit, B. Gunawan, N. Djuangsih, and Tatang Erawan. 1997. Biodiversity Condition and its Maintenance in The Upper Citarum River Basin. Dalam Dove MR, Sajise PE (eds.). The Conditions of Biodiversity Maintenace in Asia. Hawai: East-West Center Anonim. 2000. More about The LORIS SPECIES (Nycticebus spp)-Nycticebus coucang. Singapore Zoology University. www.szgdocent.org.htm Anonim. 2001. Slow Loris www.primate.wisc.edu
(Nycticebus
coucang).
Winsconsin
Unversity.
Barret, E., 1984. The Ecology of Some Nocturnal, Arboreal Mamals in The Rainforests of Peninsular Malaysia. Ph. D. Thesis. Cambridge University Ballenger, L. 2000. Nycticebus coucang. www.species.net Erawan, T.S., N. Djuangsih, M. Muchtar, H. Setiana, and L. S. Istanti. 1997. Community Structure and Diversity of fauna in Upper Citarum River Basin, West Java, Indonesia. Dalam Dove MR, Sajise PE (eds.). The Conditions of Biodiversity Maintenance in Asia. Hawai: East-West Center Grandstaff, S. W dan T. B. Grandstaff. 1985 Wawancara Semi-struktural. Dalam Konferensi Internasional: Pemahaman Pedesaan dalam Waktu Singkat, Thailand, 2-5 September 1985. Khon Kaen: Khon Kaen University Groves, C. 2002. Personal Communication. School of Archeology and Anthropology, Australian National University, Canberra, Australia Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Vol I-IV. Cetakan I. Departemen Kehutanan. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Krebs, C. J. 1985. Ecology: The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. Edisi III. New York: HarperCollins Publishers KSBK. 1998. Indonesia-rich in Primates. www.ksbk.or.id 53
54
MacArthur, R. H., dan J. W. MacArthur. 1961. On Bird Species Diversity. Ecology 42 MacKinnon, J., K. Phillipps, dan B. V. Balen. 2000. LIPi-SERI PANDUAN LAPANGAN:
Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali, dan Kalimantan (Termasuk Sabah, Sarawak, dan Brunei Darussalam). Diterjemahkan oleh W. Rahardjaningtrah,
A. Adikerana, P. Martodihardjo, E. K. Supardiyono, dan B. V. Balen. Bogor: Puslitbang Biologi-LIPI Mueller-Dumbois, D. and H. Ellenberg. 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology. London: John Willey and Sons Napier, J.R and P.H. Napier. 1976. A Handbook of Living Primates Morphology, Ecology, and Behaviour of Nonhuman Primates. London: Academic Press INC Nekaris, K. A. I. 1998. Loris in The Wild. www.nocturnalprimate.org Nowak, R.M. 1999. Walker’s Primate of The World. USA: The Jhons Hopkin’s University Press Nursahid, R. 2000. Perdagangan Primata Ancaman Serius bagi Kelestarian Primata Dalam Prosiding Seminar Primatologi Indonesia 2000, Konservasi Satwa
Primata: Tinjauan Ekologi, Sosial Ekonomi dan Medis alam Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Yogyakarta, 7 September 2000. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Hewan dan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada
Odum, E.P. 1998. Dasar-dasar Ekologi. Edisi III. Diterjemahkan oleh T. Samingan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Parikesit. 2001. Kebon Tatangkalan: The Multi-layered agroforestry in The Changing Agricultural landscpe of The Upper Citarum Watershed. Dalam Ekologi dan Pembangunan (Ecology and Development) no.5 April 2001. Bandung: Lembaga Ekologi Unpad Parikesit, Djuniwarti, H.Y. Hadikusumah. 1997. Spatial Structure and Floristic Diversity Man-made Ecosystems in Upper Citarum River Basin. Dalam Dove MR, Sajise PE (eds.). The Conditions of Biodiversity Maintenace in Asia. Hawai: East-West Center Primack, R. B., 1998. Biologi Konservasi. Edisi I. Diterjemahkan oleh J. Supriatna, M. Indrawan, P. Kramadibrata. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
55
Purnama, A. R. 2002. Kukang dan Hutan yang Hilang. Dalam Habitat volume I no.3. Bandung: KONUS Schulze H. 2001. Detection and Identification of Lorises and Pottos in The Wild; Information for Surveys/Estimates of Population Density. www.ruhr-unibochum.de Supriatna, J. 2000a. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia _________. 2000b. Status Konservasi Satwa Primata di Indonesia. Dalam Prosiding Seminar Primatologi Indonesia 2000, Konservasi Satwa Primata: Tinjauan
Ekologi, Sosial Ekonomi dan Medis alam Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Yogyakarta, 7 September 2000. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Hewan dan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada
Snyder, H. F. 2002. A Preliminary Survey of Lorises ( Nycticebus spp.) in Northern Vietnam. Dalam Asian Primates Vol. 8 (2). USA: IUCN/Primate Specialist Group Tjakrawidjaja, A. H., H. Wiriadinata, Heryanto, I. Maryanto, K. Soebekti, M. Noerdjito, Mumpuni, R.M. Marwoto, dan W. A. Noerdjito. 2001. Jenis-jenis Hayati yang Dilindungi Perundang-undangan Indonesia. M. Noerdjito dan I. Maryanto (editor). Bogor: Balitbang Zoologi (Museum Zoologicum Bogor) Puslitbang Biologi-LIPI & The Nature Conservancy Wiens, F. 2002. Behavior and Ecology of Wild Slow Loris ( Nycticebus coucang): Social Organization. Infant Care System, and Diet. Doctor of Natural Sciences Dissertation. Faculty of Biology, Chemistry and Geoscienses, Bayreuth University Wirdateti, D. Duryadi, D. Sajuthi, dan T. Ungerer. 2000. Kekerabatan Kukang (Nycticebus coucang) dengan Menggunakan Penanda Kontrol Daerah mtDNA. Dalam Prosiding Seminar Primatologi Indonesia 2000, Konservasi Satwa
Primata: Tinjauan Ekologi, Sosial Ekonomi dan Medis alam Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Yogyakarta, 7 September 2000. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Hewan dan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada
Lampiran 1 Klasifikasi Kukang (Nycticebus coucang Boddaert, 1785)
Kingdom
: Animalia
Sub Phylum
: Vertebrata
Phylum
: Chordata
Class
: Mammalia
Sub Class
: Eutheria
Ordo
: Primata
Famili
: Loridae
Genus
: Nycticebus
Species
:Nycticebus coucang Boddaert (1785)
Nama Daerah
: Kukang, Malu-malu (Indonesia), Muka, Oces, atau Aed Barat)
Kukang (Nycticebus coucang Boddaert 1785) (Foto Winarti, 2002)
56
(Jawa
57
Berdasarkan pertemuan IUCN 1996 di Florida pada Maret 2000, dilakukan pemisahan taksonomi Kukang yang ditemukan di Jawa, yaitu menjadi Nycticebus
coucang dan Nycticebus javanicus (Supriatna, 2001). Keduanya dibedakan berdasarkan pada karakteristik luarnya berupa warna rambut (Supriatna, 2000). N.
javanicus memiliki warna rambut kelabu hingga keputihan dengan rambut sekitar telinga dan mata berwarna kecoklatan. N. coucang memiliki rambut coklat hingga kehitaman dengan rambut sekitar telinga dan mata berwarna kecoklatan dan dihubungkan dengan garis berwarna kecoklatan juga. Penduduk biasanya membedakan penamaan keduanya, yaitu Oces saja untuk N.
javanicus dan Muka atau Oces untuk N. coucang. Pemberian nama Muka dikaitkan dengan kebiasaan satwa ini yang selalu menyembunyikan mukanya bila diketahui manusia. Sering juga dinamakan dengan Malu-Malu karena menutupi mukanya dengan kedua anggota gerak depan seperti merasa malu.
Lampiran 2 Skema Wawancara Semistruktur dengan Prinsip Triangulasi
Sejarah Talun dan Keberadaan Kukang di Desa Marga Mekar
Talun
Sejarah Talun - Kapan pertama kali ada talun ? - Siapa yang pertama kali membuka/ membuat talun ?
Fungsi Talun - Apa fungsi talun bagi pemilik ? (Fungsi Sosial dan
Ekonomi ) - Apa saja hasil talun ? (jenis tanaman dan satwa) - Kapan dilakukan
pengambilan hasil talun ? - Bagaimana caranya?
Kukang
Perkembangan
Sejarah Keberadaan
Talun - Bagaimana kondisi
-
talun meliputi: luas, tanaman, dan
ditemukan di
satwa, pada waktu
talun ?
dulu dan sekarang
-
Mengapa ?
-
Pohon/tanaman
-
Apakah diburu ?
Kondisi Kukang - Bagaimana
Mengapa ?
keberadaan
Kukang untuk
-
Oleh siapa ?
Kukang sekarang
tidur ?
-
Alat apa yang
(masih ada ?
dipakai ?
mudah ditemukan
Musim apa ?
tidak ? mengapa ?
Apa pemangsa
Apakah ada
dll)
Kukang ?
musim tertentu ?
Apa makanan Kukang ?
Pada waktu
-
apa yang disukai
Siapa yang menemukan ?
- Apakah berubah ?
-
Kapan pertama kali Kukang
Perburuan Kukang
Ekologi Kukang
-
- Bagaimana
bagaimana dan
-
Dijual ke mana ?
dibandingkan
di mana (di
-
Berapa harga
dahulu? Mengapa ?
pohon/tumbuhan apa? dll)
Data Primer (2002) 58
jualnya ?
Lampiran 3 Tipe-tipe Vegetasi
Tipe Vegetasi Bambu
Tipe Vegetasi Campuran
(Foto Winarti, 2002)
59
Tipe Vegetasi Semak (Terbuka)
Lampiran 4 Jenis-jenis Tumbuhan yang Ditemukan dalam Plot NO. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39
NAMA Daerah Albasiah Bambu surat Bambu tali Bisoro Cempaka Leuweng Hantap Harendong Huru batu Huru huut Huru leuksa Huru minyak Jajagoan leutik Kadoya Kaliage Kareumbi Kawung, Aren Kibanon Kihonje Kirinyuh Kiseueur Kisireum Kiteja Kopo Lampeni gunung Limus Mahoni Mara Nanas Nangka Peuris Peutag Puspa Rambutan Salak Salam Seuseureuhan Sulangkar Teureup Waru
Latin
Periseriantus falcataria (L)Nielsen Gigantochloa pseudoarundina Gigantochloa apus Kurz. Ficus lepicarpa Bl. Michelia montana Bl. Sterculia urceolata Vent. Smith Melastoma malabatricum Linn. Litsea cassiaefolia Bl. Litsea monopetala Pers. Litsea tomentosa Bl. Litsea resinosa Bl. Echinochloa colonum Amoora aphanamixis Roemb. Triphasia trifolia Dc. Homalanthus populnea O.K Arenga pinnata Merr. Eugenia operculata Roxb. Laetiporus miniatus Lamk. Eupatorium odoratum L.f. Antidesma tentandrum Bl. Eugenia cymosa Cinnamomum iners Reinw. Ex. Bl. Eugenia densiflora Duthie Ardisia humilis Vahl. Mangifera foetida Lour. Swietenia mahagoni Jacq Macaranga tanarius (L) M. A. Ananas comosus Merr. Artocarpus heterophylla (L) Aporosa microcalyx Hassk. Eugenia ampiflora Schima walichii (D.C.) Nephelium lapaceum Linn Zalacca edulis Reinw. Eugenia poliantha (L.) Piper aduncum (L) Leea indica Merr. Artocarpus elasticus Reinw. Hibiscus similis Bl.
Data Primer (2002)
60
JENIS Pohon Rumput Rumput Pohon Pohon Pohon Semak Pohon Pohon Pohon Pohon Rumput Pohon Semak Pohon Pohon Pohon Pohon Semak Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Semak Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Semak Pohon Herba Pohon Pohon Pohon
FAMILI Leguminoceae Graminae Graminae Moraceae Magnoliaceae Sterculiaceae Melastomaceae Lauraceae Lauraceae Lauraceae Lauraceae Graminae Meliaceae Rutaceae Euphorbiaceae Palmae Myrtaceae Myrtaceae Asteraceae Euphorbiaceae Myrtaceae Lauraceae Myrtaceae Myrsinaceae Anacardiaceae Meliaceae Euphorbiaceae Agavaceae Moraceae Euphorbiaceae Myrtaceae Theaceae Sapindaceae Palmae Myrtaceae Piperaceae Elaeocarpaceae Moraceae Malvaceae
61