HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN KELUARGA DENGAN PENERIMAAN DIRI PASIEN THALASEMIA DI POPTI (Perhimpunan Orang tua Penderita Thalasemia Indonesia) KOTA BANDUNG
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Dalam Menempuh Ujian Program Strata Satu (S-1) Pada Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial
Oleh : Muhammad Nashrul Anas NRP. 092020019
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS PASUNDAN BANDUNG 2013
LEMBAR PENGESAHAN HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN KELUARGA DENGAN PENERIMAAN DIRI PASIEN THALASEMIA DI POPTI (PERHIMPUNAN ORANG TUA PENDERITA THALASEMIA INDONESIA) KOTA BANDUNG Oleh : Muhammad Nashrul Anas NRP. 092020019
Telah disetujui pada Tanggal……………..
Menyetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II
Drs. H. Sumardhani, M.Si
Dr. Yuce Sariningsih, M.Si
Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial
Drs. Abu Huraerah, M.Si
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pasundan
Drs. Aswan Haryadi, M.Si
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Karya tulis saya (skripsi) ini, adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik sarjana, baik di Universitas Pasundan maupun maupun di perguruan tinggi lain. 2. Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan, dan penelitian saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan dari Tim Pembimbing. 3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka. 4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudia hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di perguruan tinggi ini.
Bandung, 18 Juli 2013 Yang membuat pernyataan,
Muhammad Nashrul Anas NRP: 092020019
ABSTRAK
Skripsi ini merupakan hasil penelitian Hubungan Antara Dukungan Keluarga dengan Penerimaan Diri Pasien Thalasemia di POPTI (Perhimpunan Orang tua Penderita Thalasemia Indonesia) Kota Bandung. Tujuan dalam penelitian ini adalah yang pertama untuk mengetahui bagaimana dukungan keluarga pasien Thalasemia di POPTI (Perhimpunan Orang tua Penderita Thalasemia Indonesia) Kota Bandung dan yang kedua bagaimana penerimaan diri pasien Thalasemia di POPTI (Perhimpunan Orang tua Penderita Thalasemia Indonesia) Kota Bandung. Hipotesis utama dalam penelitian ini adalah ada hubungan antara dukungan keluarga dengan penerimaan diri pasien thalasemia di POPTI (Perhimpunan Orang Tua Penderita Thalasemia Indonesia) Kota Bandung. Dengan sub-sub hipotesis kerja yang pertama ada hubungan antara dukungan keluarga dengan peningkatan pengetahuan tentang thalasemia di POPTI (Perhimpunan Orang Tua Penderita Thalasemia Indonesia) Kota Bandung. Dan yang kedua adalah ada hubungan antara dukungan keluarga dengan kemampuan pemahaman diri pasien thalasemia di POPTI (Perhimpunan Orang Tua Penderita Thalasemia Indonesia) Kota Bandung. Metode dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis, yaitu metode ini dapat digunakan untuk mendeskripsikan segala kejadian atau proses yang sedang berlangsung dengan cara mengumpulkan data terlebih dahulu kemudian dianalisis dan diinterpretasikan di dalam pengujian hipotesis. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan studi dokumentasi dan studi lapangan dengan teknik-teknik observasi non pasrtisipan, wawancara dan angket. Populasi dalam penelitian ini adalah remaja pasien Thalasemia di POPTI (Perhimpunan Orang Tua Penderita Thalasemia Indonesia) Kota Bandung sebanyak 115. Dari 115 populasi diambil sebesar 30%, maka 35 orang akan dijadikan sebagai responden. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan random sampling dari masing-masing umur yang telah dipilih. Skala dalam penelitian ini menggunakan skala Ordinal. Untuk pengujian hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji statistik non parametik dengan menggunakan uji Rank Spearman (rs). Berdasarkan hasil dalam penelitian ini menunjukkan adanya korelasi hubungan antara dukungan keluarga dengan penerimaan diri pasien thalasemia di POPTI (Perhimpunan Orang tua Penderita Thalasemia Indonesia) Kota Bandung. Sehingga dapat dikatakan apabila dukungan keluarga dilakukan dengan baik maka penerimaan diri pasien thalasemia juga akan baik
i
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahiim Assalamualaikum. Wr. Wb Dengan nama Allah yang maha Pengasih dan Penyayang. Syukur Alhamdulillah atas rahmatnya dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang merupakan tugas akhir untuk menyelsaikan pendidikan program sarjana di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Kesejahteraan Sosial Universitas Pasundan yang berjudul “Hubungan Antara Dukungan Keluarga dengan Penerimaan Diri Pasien Thalasemia di POPTI (Perhimpunan Orang tua Penderita Thalasemia Indonesia) Kota Bandung. Shalawat serta salam semoga selalu dilimpahkan kepada baginda kita Nabi Besar Muhammad SAW, beserta keluarganya, dimana berkat ajaran-ajarannya kita bisa terbebas dari kebodohan dan kegelapan dunia menuju kepada dunia yang penuh dengan ilmu pengetahuan dan cahaya kebenaran. Sangat tidak bijak apabila dalam kata pengantar ini penulis tidak mengahaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah terlibat dan membantu dalam pembuatan skripsi ini, sebagai manusia yang penuh dengan kekurangan dan penuh dengan keterbatasan, penulis menyadari dengan sepenuh hati dan setulus hati tanpa bantuan mereka tentu penulis tidak akan mampu menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu penulis mengahaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
ii
1. Drs. Aswan Haryadi, M.Si selaku Dekan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pasundan Bandung. 2. Bapak Drs. Abu Huraerah, M.Si selaku Ketua Jurusan di Prodi Ilmu Kesejahteraan Sosial yang selalu
memberikan motifasi sehingga
terselesainya skripsi penulis. 3. Ibu Dra. Yuyun Yuningsih, M.Si selaku sekretaris Prodi Ilmu Kesejahteraan Sosial yang selalu mendukung dan memberikan arahan penulis. 4. Bapak Drs. H. Sumardhani, M.Si selaku Pembantu Dekan III yang sekaligus sebagai Pembimbing I, penulis ucapkan banyak terima kasih atas waktu dan tenaga, fikiran yang rela sabar menuntun penulis sehingga mampu menyelesaikan skripsi ini. 5. Ibu Dr. Yuce Sariningsih, M.Si selaku Pembimbing II penulis ucapkan banyak terima kasih, yang selalu ikhlas, sabar menuntun penulis, rela meluangkan waktu dan tenaga sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 6. Para dosen Prodi Ilmu Kesejahteran Sosial Universitas Pasundan yang tidak dapat disebutkan penulis satu persatu yang telah memberikan ilmu, dan cakrawala berfikir kepada penulis. 7. Ayahanda Drs. Ii Darsudin dan Ibunda Wisa Marfiah yang telah melahirkan, membesarkan, mendidik, dan mendoakan serta tidak lupa selalu mendukung dan memberikan motifasi yang tidak ada batasnya kepada penulis.
iii
8. Kakanda Muhammad Afif Abdul Qoyim, S.H, Abdul Jalal Rifa’i, S.Ag, dan Adinda Syifa Nirmala yang selalu tak pernah henti-hentinya mendorong penulis selalu memberikan semangat baik moril maupun materil dalam menyelesaikan skripsi ini. 9. Ibu Ny. Hj. Nunuk Sumiati Joyo Supeno sebagai ketua POPTI (Perhimpunan Orang tua Penderita Thalasemia Indonesia) Kota Bandung menghaturkan banyak terima kasih yang telah memberikan ijin penelitian kepada penulis sehingga mampu menyelesaikan skripsi ini. 10. Bapak Irawan Alibasya sebagai Sekretaris POPTI (Perhimpunan Orang tua Penderita Thalasemia Indonesia) Kota Bandung yang telah memberikan data dan memberi kemudahan kepada penulis, serta mampu membimbing penulis agar dapat mendapatkan hasil yang bagus dalam penelitiannya. 11. Pengurus POPTI yang membantu penulis dalam penelitian Ibu Yeni Heryani, Ibu Rahayu Wismo, Bu Widi, Teh Mela terima kasih yang sebesar-besarnya. 12. Pengurus Himpunan Mahasiswa Kesejahteraan Sosial Masa Juang 20132014 Darko, Kahfi, Gilang, Fauzi dan yang lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah memberikan dukungan terhadap penulis terima kasih banyak. 13. Teman seperjuangan dari kecil yang selalu tukar pendapat Taufik Ismail Sinuraya dan Deris Haryadi selalu memberikan wawasan baru, yang tidak henti-hentinya memberi dorongan agar penulis menyelesaikan skripsi ini penulis ucapkan terima kasih.
iv
14. Rekan-rekan SD Ijay, Dani, Ahmad, Eri, Gendut, Herdi, Ris, Mia, Desi, Irham, terima kasih atas semua dukungannya serta bantuan buku dan pemikirannya. 15. Risan, Luluk, Jaka, Ima, Selvi, Bayu, Eri, Jojo, Gilang Irwan, Ginanjar, Irwan K, Amru, Sempi, Euceu, terima kasih atas semua dukungannya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. 16. Rekan-rekan di POPTI yang tidak disebutkan satu persatu namanya penulis ucapkan banyak terima kasih atas dukungannya. 17. Citra Karimah yang terus support pada penulis, memberikan dorongan dan semangatnya, penulis haturkan terima kasih banyak. 18. Kepada semua rekan-rekan yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu penulisan, sehingga terselesaikannya skripsi ini. Semoga Allah SWT membalas segala apa yang mereka berikan dengan imbalan yang setimpal. Dan memohon kepada Allah SWT agar skripsi ini dapat memberikan manfaat, dan agar memberi rizki kepada kita berupa ketulusan kata dan tindakan., menjauhkan kita dari tergelincirnya pikiran dan pena. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar Permohonan. Wassalamualaikum warah matullahi wa barakatuh Bandung , Mei 2013
Penulis
v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. Identitas Nama
: Muhammad Nashrul Anas
Tempat/ Tanggal Lahir
: Bandung 22 Maret 1991
Agama
: Islam
Status Perkawinan
: Belum Kawin
Nama Ayah
: Drs. Ii Darsudin
Nama Ibu
: Wisa Marfiah
II. Riwayat Pendidikan
III.
SD
: SDN Kebon Gedang VI Lulus Tahun 2003
SMP
: SMPN 37 Bandung Lulus Tahun 2006
SLTA
: SMA PGII 2 Bandung Lulus Tahun 2009
SI
: UNPAS Bandung 2009 sd Sekarang
Riwayat Pengalaman 1. Staf Ahli Humas HIMA KS UNPAS 2010- 2011 2. Magang Kerja Praktikum Kelembagaan Di Wyta Guna Bandung 2011 3. Kelompok Kerja Lapangan Di Desa Padaawas Kabupaten Garut 2011
vi
DAFTAR ISI Hal ABSTRAK ............................................................................................. KATA PENGANTAR ..................................................................... DAFTAR RIWAYAT HIDUP ......................................................... DAFTAR ISI …………………………………………………………… DAFTAR TABEL ................................................................................ BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian ……………………………………….... B. Identifikasi Masalah …………………………………………….. C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian ……………….......... 1. Tujuan Penelitian .................................................................... 2. Kegunaan Penelitian ........................................................ D. Kerangka Pemikiran …………………………………………...... E. Hipotesis ………………………………………………………... F. Definisi Operasional …………………………………………..... G. Metodologi Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data ....... 1. Metode Penelitian …………………………………………... 2. Teknik Pengumpulan Data .........………………………..... 3. Populasi dan Teknik Penarikan Sampel …………................. 4. Alat Ukur ………………………………………………........ 5. Teknik Analisis Data ............................................................. H. Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................
1 6 6 6 7 8 19 21 25 25 26 27 28 29 30
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Kesejahteraan Sosial ....................................................... 1. Fungsi Kesejahteraan Sosial ........................................... 2. Pelayanan Sosial ................................................................... 3. Pelayanan Sosial di Bidang Kesehatan ............................... 4. Pekerja Sosial Medis ....................................................... B. Anak .......................................................................................... C. Remaja .............................................................................. D. Dukungan Keluarga .................................................................. 1. Pengertian Dukungan Keluarga ......................................... 2. Jenis-jenis Dukungan Keluarga ......................................... 3. Manfaat Dukungan Keluarga ......................................... 4. Komponen-komponen Dukungan Keluarga ................. E. Keluarga .............................................................................. 1. Pengertian Keluarga ...................................................... 2. Peranan Keluarga .................................................................. 3. Fungsi Keluarga .................................................................. F. Penerimaan Diri .................................................................. 1. Pengertian Penerimaan Diri .......................................... 2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Diri ......
33 35 37 39 41 44 45 46 46 48 49 49 50 50 51 52 53 53 54
vii
i ii vi vii ix
3. Dampak-damapk Penerimaan Diri .............................. G. Thalasemia .............................................................................. 1. Definisi Thalasemia ...................................................... 2. Klasifikasi Thalasemia ...................................................... 3. Pencegahan Thalasemia ...................................................... 4. Pengobatan dan Perawatan Thalasemia ..............................
55 56 56 58 61 63
BAB III OBEJEK PENELITIAN A. Gambaran Umum POPTI (Perhimpunan Orang tua Penderita Thalasemia Indonesia) Kota Bandung ...................................................... 67 B. Visi dan Misi .............................................................................. 69 C. Struktur Perhimpunan .................................................................. 70 D. Susunan Kepengurusan ...................................................... 70 E. Kegiatan dan Program Perhimpunan .......................................... 72 F. Karakteristik Responden ..................................................... 76 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Hasil Penelitian .................................................... B. Hubungan antara dukungan keluarga dengan penerimaan diri pasien thalasemia di POPTI (Perhimpunan Orang tua Penderita Thalasemia) Kota Bandung (X – Y) ............... 1. Hubungan antara dukungan keluarga dengan peningkatan pengetahuan pasien thalasemia di POPTI (Perhimpunan Orang Tua Penderita Thalasemia) Kota Bandung (X – Y1) ............... 2. Hubungan antara dukungan keluarga dengan kemampuan pemahaman diri pasien thalasemia di POPTI (Perhimpunan Orang tua Penderita Thalasemia) Kota Bandung (X – Y2) ..............
78
112
113
114
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ........................................................................... B. Saran .......................................................................................
116 117
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………….....
119
LAMPIRAN-LAMPIRAN
viii
DAFTAR TABEL Hal Tabel 1.1 Operasionalisasi Variabel Penelitian ................................. 22 Tabel 1.2 Populasi ................................................................................. 27 Tabel 1.3 Sampel ................................................................................ 28 Tabel 1.4 Jadwal Kegiatan Penelitian ........................................................ 32 Tabel 3.1 Struktur Perhimpunan POPTI Kota Bandung Periode 2009-2013 70 Tabel 3.2 Jenis Kelamin ................................................................... 77 Tabel 3.3 Umur ............................................................................... 77 Tabel 4.1 Frekuensi mengingatkan jadwal berobat ................................ 79 Tabel 4.2 Pemberian motivasi mengatasi keluhan penyakit .................... 80 Tabel 4.3 Frekuensi mengingatkan minum obat ................................ 81 Tabel 4.4 Kepedulian keluarga terhadap penyakit yang diderita ........ 82 Tabel 4.5 Kemampuan keluarga dalam biaya berobat .................... 83 Tabel 4.6 Kemampuan keluarga dalam membiayai pengobatan ........ 85 Tabel 4.7 Frekuensi rekreasi keluarga ............................................ 86 Tabel 4.8 Kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan makanan Bergizi ........................................................................................................ 87 Tabel 4.9 Frekuensi memberikan pujian dikala mendapatkan Keberhasilan ............................................................................................. 88 Tabel 4.10 Kemampuan keluarga memberikan dorongan untuk maju........ 89 Tabel 4.11 Kemampuan keluarga memberikan informasi tentang Penyakit ............................................................................................. 90 Tabel 4.12 Frekuensi memberikan nasehat untuk menambah kepercayaan diri ................................................................................. 91 Tabel 4.13 Frekuensi keluarga memberikan nasehat agar tidak Minder ......................................................................................................... 92 Tabel 4.14 Kemampuan keluarga memberikan pengetahuan manfaat mengontrol nilai Hb secara rutin ......................................................... 93 Tabel 4.15 Kemampuan keluarga memberikan pengetahuan pentingnya menjaga nilai Hb ................................................................................ 94 Tabel 4.16 Kemampuan keluarga memberikan pengetahuan tentang tranfusi darah ............................................................................................. 95 Tabel 4.17 Kemamapuan keluarga memberikan pengetahuan tentang harusnya menjalani transfusi darah secara rutin ................................. 96 Tabel 4.18 Kemampuan keluarga memberikan pengetahuan tentang bahayanya tidak menjalani transfusi darah ............................................ 97 Tabel 4.19 Kemampuan keluarga memberikan pengetahuan tentang pentingnya pemasangan desferal ........................................................ 98 Tabel 4.20 Kemampuan keluarga memberikan pengetahuan tentang bahayanya tidak melakukan pemasangan desferal ............................... 99 Tabel 4.21 Kemampuan keluarga memberikan pengetahuan tentang kadar zat besi dalam tubuh ...................................................................... 100 Tabel 4.22 Kemampuan keluarga memberikan pengetahuan tentang Bahayanya tidak melakukan pengecekan kadar zat besi dalam tubuh......... 101
ix
Tabel 4.23 Kemampuan bergaul dengan lingkungan masyarakat tempat Tinggal ............................................................................................. Tabel 4.24 Kemampuan bergaul dengan teman sebaya ..................... Tabel 4.25 Kemampuan bergaul di lingkungan POPTI ..................... Tabel 4.26 Kemampuan bergaul di lingkungan sekolah ..................... Tabel 4.27 Kemampuan memperoleh ilmu ketika belajar di sekolah ......... Tabel 4.28 Kemampuan mengaplikasikan ilmu yang di dapat disekolah.... Tabel 4.29 Kemampuan bersaing dalam mendapatkan prestasi di sekolah.. Tabel 4.30 Kemampuan untuk mendekatkan diri pada sang pencipta......... Tabel 4.31 Kemampaun untuk menjalani hidup dengan ikhlas .......... Tabel 4.32 Kemampuan menjalani hidup dengan percaya diri ..........
x
102 103 104 105 106 107 108 109 110 111
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Penelitian Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang
memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Dengan kesehatan manusia dapat beraktifitas dengan leluasa karena dengan kesehatan pula manusia dapat bertahan hidup untuk mengisi kehidupannya. Kita akan sadar jika kesehatan itu sangat penting pada saat kita terkena penyakit. Sebenarnya kita bisa menghindari penyakit itu jika, kita peduli dengan kesehatan kita. Kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat harus dimiliki oleh seluruh lapisan masyarakat. Karena kesehatan itu merupakan anugerah yang terindah yang diberi oleh Allah SWT. Angka penderita thalasemia khususnya di Indonesia terus berkembang, karena minimnya pengetahuan akan penyakit thalasemia. Adapun jumlah fakta yang dikutip dari rshs.co.id http://www.rshs.or.id/jawa-barat-ranking-1-penderitathalassemia/, yang menyatakan bahwa : “Penderita talasemia di Indonesia tercatat sebanyak 5.501 pasien. 1.751 atau sekitar 35 % berasal dari Jawa Barat. Hal tersebut dilaporkan Yayasan Thalasemia Indonesia-Perhimpunan Orang tua Penderita Thalasemia (YTI-POPTI) Pusat”. Melihat kutipan di atas bahwa angka jumlah penderita thalasemia di Indonesia sangat tinggi yaitu mencapai jumlah 5.501 penderita, sedangkan di Jawa Barat sendiri mencapai 1.751 penderita. Thalasemia adalah suatu penyakit yang menyerang ke dalam sel darah merah yang menyebabkan sel darah merah menjadi pecah karena pasokan oksigen
1
2
keseluruh tubuh tidak tersalurkan dengan baik, Adapun fakta yang dikutip oleh Antarajawabarat.com,
http://www.antarajawabarat.com/lihat/cetak/35117,
menyatakan bahwa : ”Penderita Thalasemia di Kota Bandung berjumlah 620 orang yang terdaftar di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung”. Melihat fakta yang dikutip di atas jumlah penderita pasien thalasemia yang di himpun di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung berjumlah 620 orang itu semua berasal dari seluruh kota yang berada di Jawa Barat. Kesadaran akan pentingnya kesehatan meliputi berbagai hal, mulai dari pencegahan sampai dengan penanganan penyakit. Masyarakat menilai tingkat kesadaran yang bervariasi untuk masing-masing jenis kesadaran. Terlihat dan terasa betapa besar anugrah Allah SWT kepada kita yang telah memberikan kesehatan yang patut kita syukuri. Ketika kita diterpa dalam keadaan yang tidak sehat dalam hal ini diberikan penyakit yang menuntut kita harus berjuang untuk hidup, dan menjalani peranan kita sebagai manusia untuk melaksanakan tugas-tugas kehidupan di dunia ini. Tidak sedikit orang yang divonis dokter karena penyakitnya dia menjadi setres dan depresi. Berdasarkan
fakta,
www.radartasikmalaya.com,
yang yang
dikutip
dari
Radar
menyatakan bahwa :
Tasikmalaya
“Mereka semua
membutuhkan bantuan serta dorongan dan dukungan dari semua pihak. Tidak hanya dari orang tua, keluarga, lingkungan sekitar, tapi juga pemerintah dan unsur lainnya”. Oleh karena itu perhatian dan dukungan perlu sekali didapatkan oleh
3
seorang pasien yang telah divonis dokter, dan peran Pekerja Sosial disini dapat berperan aktif untuk mengembalikan keberfungsian sosial seorang thaller. Harapan semua keluarga thaller pasti kesembuhan,
paling
tidak
kelangsungan hidup begitu lama lagi, akan tetapi harapan tersebut tidak semua dapat terwujukan. Kita ketahui bahwa dukungan dari semua pihak baik moril maupun spiritual sangat dibutuhkan theller yaitu disini orang yang mengidap penyakit. Tetapi dukungan dari keluarga merupakan hal yang terpenting disini untuk memotivasi theller supaya penerimaan dirinya lebih kuat. Sampai saat ini penyakit thalasemia belum ada obatnya dan satu-satunya cara mencegah dan menekan jumlah penderita thalasemia adalah dengan menghindarkan sesama pembawa thalasemia minor menikah. Dukungan sosial merupakan aktifitas hubungan atau relasi yang termasuk diantaranya memberikan semangat dan pemberian perhatian lebih terhadap penderita. Dukungan dan pemberian perhatian lebih ini dapat diperoleh dari keluarga ataupun teman-teman relasi terdekatnya. Sikap dan perlakuan keluarga yang salah akan memberikan dampak yang serius terhadap pasien karena psikologis penderita akan berkurang. Untuk itu, keluarga haruslah memberikan tindakan positif terhadap penderita yang memungkinkan penderita akan termotifasi dan bersemangat. Penerimaan diri dari pasien thalasemia biasanya sangat kurang dikarenakan dia merasa penyakit yang dideritanya merupakan penyebab utama hal tersebut. Sehingga thaller merasa menerima tidak gampang untuk direalisasikan. Penerimaan diri yang kuat pada diri thaller tidak mudah didapat karena perlu ada
4
keseriusan dari pihak-pihak yang terlibat dengan thaller, baik itu keluarga, teman sejawat atapun orang-orang terdekat dengan thaller tersebut. Penerimaan diri merupakan sikap positif terhadap dirinya sendiri, ia dapat menerima keadaan dirinya secara tenang, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Mereka bebas dari rasa bersalah, rasa malu, dan rendah diri karena keterbatasan diri serta kebebasan dari kecemasan akan adanya penilaian dari orang lain terhadap keadaan dirinya (Maslow dalam Hjelle dan Ziegler, 1992). Anak yang menderita thalasemia yang dibandingkan dengan populasi anak normal diperoleh hasil bahwa anak yang menderita thalesemia memiliki kualitas hidup yang sangat rendah dibandingkan dengan anak normal, di mana anak yang menderita thalasemia tersebut mengalami gangguan fungsi fisik, emosional, sosial dan sekolah. Kondisi ini harus segera ditindaklanjuti dengan menerapkan tindakan yang mendukung perbaikan kualitas
hidup anak seperti: dukungan psikososial,
konseling, dukungan sekolah, dukungan psikologi dan intervensi medis yang dapat memperbaiki kelangsungan hidup penderita dan mengurangi resiko serta mengontrol komplikasi yang akan terjadi sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup. Kemudian dibutuhkan tindakan yang mendukung perbaikan kualitas hidup pada anak yang menderita thalasemia berupa dukungan psikososial, psikologi, sekolah, dan konseling. Menurut fakta, yang ditulis oleh Cak Fu: http://cakfu.info, mengatakan bahwa ”Menerima adalah kata yang mudah diucapkan namun sangat sulit untuk
5
dilakukan. Menerima realitas memang butuh proses yang mendalam. Namun jika seseorang telah mampu melampau tahapan proses penerimaan diri, maka penerimaan diri tersebut dapat menjadi energi yang sangat dasyat untuk menggapai impian”. Berdasarkan kutipan di atas bahwa memang tidak mudah untuk melakukan sikap untuk menerima tetapi apabila suatu penerimaan tersebut bisa terealisasi maka itu akan menjadikan kekuatan dan energi yang sangat baik untuk menggapai impian. Dalam kajian penelitian ini mencakup salah satu bidang penelitian pekerjaan sosial yang disampaikan oleh Friedlander (1977) yang dikutip oleh Soehartono (2008:16) bahwa : “Studi tentang mengidentifikasi dan mengukur faktor-faktor yang menyebabkan masalah-masalah sosial dan memerlukan pelayanan sosial.” Dengan demikian penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu kesejahteraan sosial dan profesi pekerjaan sosial. Berdasarkan latar belakang di atas, menurut penulis menarik untuk diteliti. Oleh karena itu penulis mengambil judul dalam penelitian ini yaitu “Hubungan Antara Dukungan Keluarga Dengan Penerimaan Diri Pasien Thalasemia Di POPTI (Perhimpunan Orang Tua Penderita Thalasemia Indonesia) Kota Bandung”.
6
B.
Identifikasi Masalah Menurut latar belakang yang telah dipaparkan di atas, pembahasan pada
penelitian ini akan dibatasi pada permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut 1. Bagaimana dukungan keluarga yang dirasakan pasien thalasemia di POPTI (Perhimpunan Orang Tua Penderita Thalasemia Indonesia) Kota Bandung? 2. Bagaimana penerimaan diri pasien thalasemia di POPTI (Perhimpunan Orang Tua Penderita Thalasemia Indonesia) Kota Bandung? 3. Bagaimana hubungan antara dukungan keluarga yang dirasakan pasien thalasemia dengan penerimaan dirinya di POPTI (Perhimpunan Orang Tua Penderita Thalasemia Indonesia) Kota Bandung?
C.
Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan penelitian Adapun tujuan penelitian yang akan dilakukan tentang hubungan antara
dukungan keluarga dengan penerimaan diri pasien thalasemia di POPTI (Perhimpunan Orang tua Penderita Thalasemia Indonesia) Kota Bandung sebagai berikut : a. Untuk menganalisis dukungan keluarga yang dirasakan pasien thalasemia di POPTI (Perhimpunan Orang tua Penderita Thalasemia Indonesia) Kota Bandung.
7
b. Untuk menganalisis penerimaan diri pasien thalasemia di POPTI (Perhimpunan Orang tua Penderita Thalasemia Indonesia) Kota Bandung. c. Untuk menganalisis hubungan antara dukungan keluarga yang dirasakan pasien thalasemia dengan penerimaan dirinya di POPTI (Perhimpunan Orang tua Penderita Thalasemia Indonesia) Kota Bandung. 2. Kegunaan Penelitian Penelitian ini, diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun secara praktis adalah : a. Kegunaan Teoritis : Penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu manfaat bagi pengetahuan teoritis yang diperoleh, dapat dikembangkan dan diterapkan pada masa yang akan datang dalam menerapkan suatu ilmu pengetahuan dan yang paling utama adalah ilmu Kesejahteraan Sosial. b. Kegunaan Praktis : Penilitian ini berguna bagi peneliti untuk mengembangkan studi dan memperluas ilmu pengetahuan mengenai dukungan keluarga yang diberikan kepada pasien thalasemia dan mengetahui bagaimana penerimaan diri seorang pasien thalasemia.
8
D.
Kerangka Pemikiran Setelah melihat latar belakang penelitian yang dikembangkan, untuk
membuat penelitian ini menjadi berkembang penulis mengutip beberapa dari teori yang berhubungan dengan judul dan topik masalah yang diteliti. Maka penulis akan mengemukakan mengenai pengetian kesejahteraan sosial yang mengacu pada Rukminto Adi (2005:17), kesejahteraan sosial adalah: Suatu ilmu terapan yang mengkaji dan mengembangkan kerangka pemikiran serta metodologi yang dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas hidup (kodisi) masyarakat antara lain melalui pengelolaan masalah sosial, pemenuhan kebutuhan, kebutuhan hidup masyarakat, pemaksimalan kesempatan anggota masyarakat untuk berkembang Pengertian
di
atas
memberikan
sebuah
pemahaman
bahwa
ilmu
kesejahteraan sosial lebih menekankan pada terapan atau applied untuk memberikan pengembangan sebuah pola berfikir masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat itu sendiri. Salah satu fungsi profesi pekerjaan sosial adalah bagaimana mampu mengembalikan kembali keberfungsian sosial seseorang (client) dan mampu dapat teratasi segala bentuk permasalahan yang dideritanya. Mengacu Undang-undang No.11 tahun 2009 yang dikutip oleh Suharto (2009: 154) pengertian dari Pekerja Sosial Profesional adalah : Seseorang yang bekerja baik di lembaga pemerintah maupun swasta yang memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan sosial, dan kepedulian dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman praktek pekerjaan sosial untuk melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial. Definisi di atas bahwa pekerja sosial merupakan profesi yang memberikan pertolongan dalam bentuk pelayanan sosial dan terorganisasi dan di dalamnya
9
bagaimana pekerja sosial memfasilitasi dan memperkuat relasi dalam penyesuaian diri secara timbal balik. Adapun definisi mengenai Pelayanan Sosial menurut Huraerah (2011:45) adalah Kegiatan terorganisir yang ditunjukan untuk membantu warga negara yang mengalami permasalahan sebagai akibat ketidakmampuan keluarga melaksanakan fungsi-fungsinya. Kegiatan ini antara lain berupa pelayanan sosial bagi anak (termasuk balita dan remaja) serta usia lanjut terlantar atau mengalami berbagai bentuk kecacatan. Melihat fakta di atas bahwa adanya aktifitas untuk membantu setiap warga negara yang membutuhkan dengan berbagai permasalahan yang menimpa karena adanya ketidakmampuan keluarga untuk menjalankan fungsi-fungsinya dan masalah-masalah sosial yang lain sebagai bentuk permasalahannya. Tujuan pekerjaan sosial adalah mencapai kesejahteraan individu dan masyarakat secara keseleruhan. Pekerjaan sosial berusaha menolong individu, kelompok dan masyarakat agar mereka memahami secara tepat kondisi atau kenyataan yang mereka hadapi dan mencoba meningkatkan kemampuan mereka untuk mengatasi permasalahan tersebut. Salah satu masalah sosial diakibatkan oleh kegagalan keluarga kelompok, atau kesatuan masyarakat untuk melaksanakan peranannya secara memadai, maka fungsi penyembuhan dari kesejahteraan sosial ditujukkan untuk menunjang pelaksanaan peranan tersebut atau menggantikannya. Intervensi kesejahteraan sosial disini dapat berjangka pendek (misalnya bantuan kepada anak yang dirawat di rumah sakit) atau berjangka panjang (misalnya asuhan anak di panti sosial). Intervensi ini juga dapat ditujukkan kepada perorangan atau kepada kelompok-kelompok,
atau untuk
mengimbangi
10
melemahnya bentuk-bentuk tradisional perlindungan keluarga sebagai perubahan yang berlangsung cepat. Dalam kajian disiplin ilmu kesejahteraan sosial dikenal dengan pekerja sosial medis yang bertugas dan berperan sebagai pemberi bantuan dalam upaya menyelesaikan masalah-masalah emosional dan sosial seorang pasien yang timbul sebagai akibat penyakit yang dideritanya. Kemudian pekerja sosial harus mampu berperan aktif untuk membina hubungan kekeluargaan yang baik. Serta mampu untuk seoptimal mungkin bisa menjadi sebuah jembatan penghubung antara rumah sakit, penderita dan keluarga. Kemudian membantu proses penyesuaian diri pasien dengan masyarakat dan sebaliknya. Munculnya fungsi dan peranan profesi Pekerjaan Sosial di rumah sakit, yang menangani masalah sosial emosional berkaitan dengan sakit dan pengobatan pasien kemudian dinamakan sebagai Medical Social Worker (Pekerja Sosial Medis).
Sejalan
dengan
perkembangan
profesi
pekerjaan
sosial
serta
perkembangan pelayanan kesehatan di negara-negara maju penamaan Medical Social Worker menjadi kurang relevan lagi. Dewasa ini istilah yang banyak digunakan adalah Social Work in Health Care (Pekerjaan sosial di bidang pemeliharaan kesehatan). Apabila merujuk pada Richardson yang dikutip oleh Mary Johnston (1988:38), berpendapat bahwa profesi pekerjaan sosial medis yaitu: Peksos medis mempunyai tujuan jangka pendek menghilangkan tekanantekanan dari dalam maupun dari luar pasien. Tujuan akhirnya adalah membantu pasien menggunakan kemampuan-kemampuannya untuk mencari dan mempergunakan perawatan medis untuk mencegah terjadinya komplikasi-komplikasi lebih lanjut, dan untuk mempertahankan kesehatannya.
11
Pengertian di atas menyiratkan bahwa pekerja sosial medis merupakan suatu bentuk pelayanan yang diperuntukkan kepada pasien yang memerlukan bantuan sehingga dapat mempertahankan kesehatannya lebih lanjut dan mengarahkan pasien untuk hidup lebih baik.. Masalah yang ditimbulkan pasien akan berdampak pada psikologis dirinya oleh karena itu selain keluarga yang harus berperan aktif pekerja sosial medispun harus mampu bisa mengatasi permasalahan yang dihadapi clientnya yaitu disini thaller. Masalah sosial tentunya dialami oleh semua makhluk sosial, tidak memilihmilih usia maupun jenis kelamin. Mulai dari orang dewasa sampai anak-anak rentan sekali mengalami permasalahan. Mereka melalui masa-masa sulit dalam proses perkembangannya. Dalam perspektif profesi pekerjaan sosial, menurut Soetarso (2007) yang dikutip oleh Huraerah (2011: 4) pengertian dari Masalah Sosial adalah : Kondisi yang dinilai orang sebagai kondisi yang tidak enak. Masalah atau tidaknya suatu kondisi sosial bergantung dari orang atau pihak yang memberikan penilaian. Suatu masalah sosial akan sangat sulit penanggulangannya kalau lebih banyak orang yang menilainya tidak sebagai masalah. Melihat kutipan di atas bahwa semua orang pasti memiliki sejumlah permasalahan dengan tingkat kondisi yang berbeda-beda tergantung yang mengalaminya. Permasalahan itupun terjadi akibat adanya kondisi yang tidak mengenakan dalam dirinya sehingga itu dapat dikatakan sebagai masalah menurut kutipan di atas.
12
Anak adalah anugerah terindah yang telah tuhan berikan kepada kita, titipan yang diberikan untuk dijaga, dirawat dan diberikan sebuah pemahaman tentang kehidupan, bagaimana peran-peran sebagai seorang anak tersebut dapat memberikan kontribusi dalam keluarganya sehingga keluarga itu utuh dan bahagia. Sifat-sifat setiap anak pastilah berbeda menurut karakter dan kebiasaannya masing. Apabila merujuk dan ditinjau dari perspektif psikologi dan kronologis menurut Augustinus yang dikutip oleh Suryabrata (1987), berpendapat bahwa : Yang dipandang sebagai peletak dasar permulaan psikologi anak, mengatakan bahwa anak tidaklah sama dengan orang dewasa, anak mempunyai kecenderungan untuk menyimpang dari hukum dan ketertiban yang disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan pengertian terhadap realita kehidupan, anak-anak lebih mudah belajar dengan contoh-contoh yang diterimanya dari aturan-aturan yang bersifat memaksa. Pengertian
anak
menurut
pasal
1
ayat
(5)
Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM), “anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya meskipun banyak rumusan mengenai batasan dan pengertian anak”. Anak adalah sebuah anugerah terindah yang diberikan oleh Tuhan kepada kita selaku manusia, dan anakpun adalah titipan yang sangat luar biasa dan itu semua patut kita syukuri. Apabila merujuk kepada The Minimum Age Convention Nomor 138 (1973) yang dikutip oleh Huraerah (2007:31), mendefinisikan pengertian anak adalah :“Seseorang yang berusia 15 tahun ke bawah”. Apabila kita melihat definisi di atas bahwa dapat dikatakan seorang anak ketika berusia
13
berumur 15 tahun ke bawah oleh karena itu di luar konteks itu tidak dapat dikatakan anak. Seiring perkembangannya anak pastinya tumbuh dewasa dengan berbagai kebutuhan dan sikap yang berbeda pula. Pola fikir dan kebiasaanyapun tentulah berbeda ketika mereka masih berada dalam fase anak-anak. Apabila melihat definisi remaja merujuk kepada Hurlock (1999:206) mengatakan definisi remaja adalah “Secara psikologis masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa”. Fase umur remaja merujuk kepada Sancrock (2002) yang dikutip oleh Sarwono W (2011) menyebutkan “antara 10-12 dan 18-22 tahun” kemudian menurut Mappiare (1982) yang dikutip Mohammad Ali dan Mohammad Asrori (2012:9) dalam bukunya “Psikologi Remaja” menjelaskan pengertian remaja adalah : “masa remaja berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria”. Melihat persepsi para ahli di atas kisaran umur tersebut tergolong ke dalam fase remaja dan di luar umur tersebut tidak dapat dikatakan remaja. Meskipun diketahui bahwa pendapat para ahli lain berbeda-beda. Dukungan terhadap thaller haruslah terus diberikan, karena dengan dukungan dari keluarga, teman, sahabat karib, dan lainya membuat thaller akan lebih termotivasi untuk menjalani kehidupan. Merujuk kepada Smet (1994) yang dikutip oleh Nursalam (2007:28) mengatakan dukungan sosial adalah : Dukungan sosial terdiri dari informasi atau nasihat verbal dan nonverbal, bantuan nyata atau tindakan yang diberikan oleh keakraban sosial atau didapat karena kehadiran mereka dan mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku bagi pihak penerima.
14
Dari penjelasan di atas, berbagai jenis dukungan keluarga perlu sekali diperhatikan untuk memberikan pengaruh besar terhadap thaller. Secara langsung maupun tidak langsung keberfungsian keluarga dipengaruhi oleh keberhasilan dukungan dalam keluarga. Kemudian adanya tingkah laku yang diberikan kepada penderita dari orang-orang terdekatnya sehingga adanya keuntungan emosional lebih yang didapat oleh penderita terhadap tingkah laku penerimannya, dan semua itu memberikan hasil yang yang baik dan akan memicu thaller untuk bersemangat dalam menjalani kehidupan. Pentingnya dukungan dan support untuk thaller adalah point penting demi meningkakan kualitas hidup thaller itu sendiri sehingga ada rasa motivasi lebih yang didapat ketika dukungan itu langsung diberikan. Pernyataan tersebut di atas sesuai dengan pendapat dari Budyatna dan Ganiem Mona (2011:170) yang menjelaskan bahwa : “Pengakuan dan dukungan membantu para anggota keluarga merasa diri mereka berarti dan membantu mereka mengatasi pada masa-masa sulit dimana kita semuanya adakalanya mengahadapi”. Melihat kutipan di atas menjelaskan bahwa dalam keluarga pentingnya memberikan dukungan antara anggota yang satu dengan yang lainnya sangat dibutuhkan demi memperoleh keharmonisan dan merasa lebih berarti, lebih diakuinya dalam keluarga tersebut sehingga akan termotivasi untuk memperoleh kuliatas hidup yang lebih baik lagi. Keluarga merupakan suatu sistem sosial terkecil yang di dalamnya dapat terdiri dari Ayah, Ibu, dan anak yang masing-masing memiliki peran. Anak
15
merupakan buah dari keluarga bahagia. Anak-anak memiliki pemikiran kritis akan banyak hal dimulai ketika ia mulai mengenal bahasa. Keluarga merupakan payung kehidupan bagi seorang anak. Keluarga merupakan tempat ternyaman bagi seorang anak. Menurut Suhendi dan Wahyu (2001:41) mengemukakan pengertian keluarga yaitu: “Keluarga adalah suatu kelompok yang terdiri dari dua orang atau lebih yang direkat oleh ikatan darah, perkawinan, atau adopsi serta tinggal bersama”. Menerima
diri
tidak
semudah
membalikkan
telapak
tangan.
Proses menerima diri perlu didasari dengan pengetahuan yang mendalam tentang diri. Seseorang sebelum menerima sesuatu biasanya mencoba ingin mengetahui hal-hal yang terkait dengan sesuatu yang hendak diterimanya. Setelah mengetahui barulah seseorang mau menerimanya. Apabila mengutip dari Sartain yang dikutip Andromeda (2006:35) mendefinisikan Penerimaan Diri adalah : Sebagai kesadaran seseorang untuk menerima dirinya sebagaimana adanya dan memahami dirinya seperti apa adanya. Individu yang memiliki penerimaan diri berarti telah menjalani proses yang menghantarkan dirinya pada pengetahuan dan pemahaman tentang dirinya sehingga dapat menerima dirinya secara utuh dan bahagia. Dapat diambil kesimpulan bahwa penerimaan ini merupakan sikap individu yang mencerminkan perasaan menerima dan senang atas segala kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya serta mampu mengelola segala kekhususan diri dengan baik sehingga dapat menumbuhkan kepribadian dan fisik yang sehat. Saat ini, penyakit thalassemia merupakan penyakit genetika yang paling banyak di Indonesia.
Frekuensinya terus meningkat dengan penderita sekitar
2000 orang per tahun. Walupun begitu, masyarkat tidak menaruh perhatian yang
16
cukup besar terhadap penyakit yang sudah menjadi salah satu penyakit genetika terbanyak ini. Hal ini disebabkan karena gejala awal dari penyakit sangat umum seperti anemia dan muntah-muntah. Padahal gejala akhir yang ditimbulkan akan sangat fatal jika tidak ditangani secara akurat, cepat, dan tepat. Thalasemia adalah penyakit kelainan darah yang ditandai dengan kondisi sel darah merah mudah rusak atau umurnya lebih pendek dari sel darah normal (120 hari). Akibatnya penderita thalasemia akan mengalami gejala anemia diantaranya pusing, muka pucat, badan sering lemas, sukar tidur, nafsu makan hilang, dan infeksi berulang. Thalasemia terjadi akibat ketidakmampuan sumsum tulang membentuk protein yang dibutuhkan untuk memproduksi hemoglobin sebagaimana mestinya. Hemoglobin merupakan protein kaya zat besi yang berada di dalam sel darah merah dan berfungsi sangat penting untuk mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh bagian tubuh yang membutuhkannya sebagai energi. Apabila produksi hemoglobin berkurang atau tidak ada, maka pasokan energi yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi tubuh tidak dapat terpenuhi, sehingga fungsi tubuh pun terganggu dan tidak mampu lagi menjalankan aktivitasnya secara normal. Merujuk kepada Mansjoer (2000:497), mendefinisikan Thalasemia adalah : “Anemia hemolitik yang diturunkan secara resesif dan herediter ”. Melihat kutipan di atas bahawa thalasemia merupakan penyakit genetika pembawa sifat dengan tingkat keparahan yang tidak sama atau tidak menentu. Hemoglobin memiliki dua jenis rantai protein: globin alpha dan globin beta. Jika tubuh Anda tidak membuat cukup rantai protein, sel darah merah tidak
17
dibentuk dengan benar dan tidak dapat membawa oksigen yang cukup. Tubuh Anda tidak akan bekerja dengan baik jika sel-sel darah merah tidak membuat hemoglobin sehat.yang cukup. Gen
mengontrol
bagaimana
tubuh
membuat
rantai
protein
hemoglobin. Ketika gen ini hilang atau berubah, thalassemia terjadi. Thalassemia merupakan kelainan yang diwariskan. Artinya, mereka diturunkan dari orang tua kepada anak-anak mereka melalui gen. Orang yang mendapatkan gen hemoglobin abnormal dari salah satu orang tua tetapi gen normal dari yang lain disebut pembawa. Mereka tidak memiliki tanda-tanda penyakit lain selain anemia ringan. Namun, mereka dapat mewariskan gen abnormal pada anak-anak mereka. Orang dengan bentuk talasemia sedang sampai berat telah mewarisi gen abnormal dari kedua orang tuanya. Dunia kedokteran membedakan thalasemia menjadi thalasemia mayor dengan trait. Mayor berarti menunjukkan gejala penyakit, yang biasanya sudah muncul sejak usia awal anak-anak. Sedang thalasemia trait-sering juga disebut minor-digunakan untuk orang-orang sehat, namun dapat meneruskan thalasemia mayor pada anak-anaknya. Thalassemia merupakan akibat dari ketidakseimbangan pembuatan rantai asam amino yang membentuk hemoglobin yang dikandung oleh sel darah merah. Sel darah merah membawa oksigen ke seluruh tubuh dengan bantuan substansi yang disebut hemoglobin. Hemoglobin terbuat dari dua macam protein yang berbeda, yaitu globin alfa dan globin beta. Protein globin tersebut dibuat oleh gen yang berlokasi di kromosom yang berbeda. Apabila satu atau lebih gen yang
18
memproduksi protein globin tidak normal atau hilang, maka akan terjadi penurunan produksi protein globin yang menyebabkan thalassemia. Mutasi gen pada globin alfa akan menyebabkan penyakit alfa- thalassemia dan jika itu terjadi pada globin beta maka akan menyebabkan penyakit beta-thalassemia. Thalassemia dapat diketahui dengan cara melakukan tes darah yang terdiri dari termasuk menghitung kelengkapan darah (CBC) dan tes hemoglobin khusus. a. CBC memberikan informasi tentang jumlah hemoglobin dan berbagai jenis sel darah, seperti sel darah merah, dalam sampel darah. Penderita thalassemia memiliki lebih sel-sel darah merah sehat lebih sedikit dan kurang hemoglobin dalam keadaan normal. Penderita alfa thalassemia atau beta thalassemia mungkin memiliki sel darah marah lebih kecil daripada sel darah merah normal. b. Tes hemoglobin mengukur jenis hemoglobin dalam sampel darah. Penderita thalassemia memiliki masalah dengan alpha atau rantai protein beta globin hemoglobin. Penilaian instrumen kualitas hidup dapat dilakukan oleh anak sendiri (self report) maupun oleh orang tua/keluarga (proxy report). Penilaian paling ideal diisi oleh anak sendiri. Meskipun demikian, hal ini sulit untuk dilakukan oleh anak yang terlalu muda, anak yang mengalami masalah kognitif atau anak yang sedang menderita sakit berat. Pada kondisi-kondisi seperti ini, pengisian dilakukan oleh orang tua/keluarga yang merupakan satu-satunya sumber informasi.
19
Adapun intervensi medis yang diberikan adalah berupa tindakan pengontrolan besi di dalam tubuh anak penderita Talasemia yang rutin mendapatkan transfusi darah yaitu pemberian terapi pengikat besi. Terapi pengikat besi
yang diberikan adalah deferoksamin. Deferoksamin dapat
mengurangi penumpukan besi di hati, jantung, dan memperbaiki fibrosis hati. Dosis deferoksamin tidak melebihi 40 sampai 50 mg/kg/hari yang diberikan selama 5 hari dengan evaluasi toksisitas deferoksamin. Penentuan dimulainya terapi pengikat besi berdasarkan hasil konsentrasi serum ferritin setelah pemberian transfusi yang teratur. Pemeriksaan biopsi hati dengan ultrasonografi juga direkomendasikan pada semua anak yang menderita Talasemia untuk mengetahui konsentrasi besi di hati setelah transfusi rutin selama satu tahun. Anak yang mendapat terapi deferoksamin dilaporkan mengalami efek samping berupa neutropenia, sesak nafas, sakit kepala dan pusing. Deferoksamin efektif diberikan melalui infus selama 24 jam dan selanjutnya selama 12 jam. Semua hal tersebut merupakan upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kualitas hidup anak penderita Talasemia.
E.
Hipotesis
Hipotesis Utama H : Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga yang dirasakan dengan penerimaan dirinya di POPTI (Perhimpunan Orang tua Penderita Thalasemia Indonesia) Kota Bandung.
20
H : Terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga yang dirasakan dengan penerimaan dirinya di POPTI (Perhimpunan Orang tua Penderita Thalasemia Indonesia) Kota Bandung.
Sub Hipotesis 1. H : Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga yang dirasakan pasien thalasemia dengan peningkatan pengetahuan tentang thalasemia di POPTI (Perhimpunan Orang tua Penderita Thalasemia Indonesia) Kota Bandung. H :
Terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga yang
dirasakan pasien thalasemia dengan peningkatan pengetahuan tentang thalasemia di POPTI (Perhimpunan Orang tua Penderita Thalasemia Indonesia) Kota Bandung. 2. H : Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga yang dirasakan pasien thalasemia dengan kemampuan pemahaman diri pasien thalasemia di POPTI (Perhimpunan Orang tua Penderita Thalasemia Indonesia) Kota Bandung. H :
Terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga yang
dirasakan pasien thalasemia dengan kemampuan pemahaman diri pasien thalasemia di POPTI (Perhimpunan Orang tua Penderita Thalasemia Indonesia) Kota Bandung.
21
F.
Definisi Operasional Berdasarkan penelitian ini, peneliti ajukan untuk memahami konsep-konsep
dengan definisi operasional sebagai berikut : 1. Dukungan sosial adalah dukungan sosial terdiri dari informasi atau nasihat verbal dan nonverbal, bantuan nyata atau tindakan yang diberikan oleh keakraban sosial atau didapat karena kehadiran mereka dan mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku bagi pihak penerima. 2. Keluarga adalah suatu kelompok yang terdiri dari dua orang atau lebih yang direkat oleh ikatan darah, perkawinan, atau adopsi serta tinggal bersama. 3. Penerimaan diri adalah sebagai kesadaran seseorang untuk menerima dirinya sebagaimana adanya dan memahami dirinya seperti apa adanya. Individu yang memiliki penerimaan diri berarti telah menjalani proses yang menghantarkan dirinya pada pengetahuan dan pemahaman tentang dirinya sehingga dapat menerima dirinya secara utuh dan bahagia. 4. Anak adalah seseorang yang berusia 15 tahun ke bawah. 5. Remaja adalah masa remaja berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria. 6. Thalasemia adalah sekelompok heterogen anemia hipokomik herediter dengan berbagai derajat keparahan.
22
Tabel 1.1 OPERASIONALISASI VARIABEL PENELITIAN Variabel Dukungan keluarga (Variabel X) Smet (1994) dikutip oleh Nursalam (2007:28)
Dimensi 1. Non Verbal
2.
Verbal
Indikator a. Dukungan Emosional
Inti Item pertanyaan 1. Frekuensi keluarga mengingatkan jadwal check up (berobat) 2. Kemampuan keluarga memberikan motivasi mengatasi keluhan penyakit 3. Frekuensi keluarga dalam mengingatkan minum obat 4. Kepedulian keluarga terhadap penyakit yang diderita
b. Dukungan Instrumental
1. Kemampuan keluarga memberikan bantuan biaya berobat 2. Kemampuan keluarga dalam membiayai pengobatan 3. Frekuensi keluarga dalam meluangkan waktu untuk rekreasi sebagai bentuk hiburan 4. Kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan makanan bergizi
a. Dukungan Penghargaan
1. Frekuensi keluarga dalam memberikan pujian dikala mendapatkan keberhasilan 2. Kemampuan keluarga memberikan dorongan untuk maju
b. Dukungan Informatif
1. Kemampuan keluarga dalam memberikan
23
informasi tentang penyakit yang diderita 2. Frekuensi keluarga memberikan nasihat untuk menambah kepercayaan diri 3. Frekuensi keluarga memberikan nasihat agar tidak merasa minder dengan penyakit yang diderita
Penerimaan diri 1. Peningkatan pasien pengetahuan thalasemia tentang (Variabel Y) thalasemia Andromeda (2006:35)
a. Pengetahuan tentang kadar Hb
1. Kemampuan keluarga memberikan pengetahuan tentang manfaat mengontrol nilai Hb secara rutin 2. Kemampuan keluarga memberikan pengetahuan tentang pentingnya menjaga nilai Hb
b. Pengetahuan tentang transfusi darah
1. Kemampuan keluarga memberikan pengetahuan tentang transfusi darah 2. Kemampuan keluarga memberikan pengetahuan tentang harusnya menjalani transfusi darah rutin 3. Kemampuan keluarga memberikan pengetahuan tentang bahayanya tidak menjalani transfusi darah
c. Pengetahuan tentang pemasangan desferal (khelasi besi)
1. Kemampuan keluarga memberikan pengetahuan tentang pentingnya pemasangan desferal 2. Kemampuan keluarga
24
memberikan pengetahuan tentang bahayanya tidak melakukan pemasangan desferal
2. Kemampuan pemahaman diri
d. Pengetahuan tentang kadar zat besi
1. Kemampuan keluarga memberikan pengetahuan tentang kadar zat besi dalam tubuh 2. Kemampuan keluarga memberikan pengetahuan tentang bahayanya tidak melakukan pengecekan kadar zat besi dalam tubuh
a. Kemampuan bergaul
1. Kemampuan bergaul dengan lingkungan masyarakat tempat tinggal 2. Kemampuan bergaul dengan teman sebaya 3. Kemampuan bergaul di lingkungan POPTI 4. Kemampuan bergaul di lingkungan sekolah
b. Kemampuan mengembang kan pengetahuan
1. Kemampuan memperoleh ilmu ketika belajar di sekolah 2. Kemampuan mengaplikasikan ilmu yang di dapat disekolah 3. Kemampuan bersaing dalam mendapatkan prestasi di sekolah
c. Kemampuan spiritual
1. Kemampuan untuk mendekatkan diri pada sang pencipta 2. Kemampuan untuk menjalani hidup
25
dengan ikhlas 3. Kemampuan menjalani hidup dengan percaya diri
G.
Metodologi Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data 1.
Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif analisis, yaitu metode ini dapat digunakan untuk mendeskripsikan segala kejadian atau proses yang sedang berlangsung dengan cara mengumpulkan data terlebih dahulu kemudian dianalisis dan diinterpretasikan di dalam pengujian hipotesis. Apabila merujuk kepada Arterton dan Klemmack (1992) yang dikutip oleh Soehartono (2008:35) mengungkapkan Penelitian Deskriptif adalah : Sebagaimana ditunjukkan namanya, penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang suatu masyarakat atau suatu kelompok orang tertentu atau gambaran tentang suatu gejala atau hubungan antara dua gejala atau lebih. Biasanya, penelitian deskriptif seperti ini menggunakan metode survei. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kuantitatif sebagai acuan dalam pembuatan penelitian. Merujuk kepada Affifudin dan Saebani Ahmad
(2009:94)
menjelaskan
bahwa
:
“pendekatan kuantitatif
lebih
mementingkan adanya variabel-variabel sebagai objek penelitian dan variabelvariabel tersebut harus didefinisikan dalam bentuk operasionalisasi variabel masing-masing”.
26
2.
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian antara lain
sebagai berikut : a.
Studi Dokumentasi Teknik pengumpulan data yang tidak langsung ditujukan kepada subjek peneliti. Teknik ini digunakan untuk mengumpulkan data melalui dokumen, arsip, koran, artikel-artikel dan
bahan-bahan tertulis
lainnya yang
berhubungan dengan masalah penelitian. b.
Studi Lapangan Teknik pengumpulan data mengenai kenyataan yang berlangsung di lapangan dengan teknik-teknik sebagai berikut : 1. Observasi non partisipan yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti dengan cara melakukan pengamatan langsung tetapi tidak ikut dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan subjek yang diteliti tersebut. 2. Wawancara
yaitu
teknik
pengumpulan data dengan
mengajukan
pertanyaan secara langsung atau lisan yang dilakukan oleh peneliti kepada pasien Thalasemia Di POPTI (Perhimpunan Orang Tua Penderita Thalasemia Indonesia) Kota Bandung. 3. Angket yaitu teknik pengumpulan data dengan menggunakan daftar pertanyaan secara tertulis untuk diisi sendiri oleh responden dan diajukan langsung kepada responden, yaitu pasien Thalasemia. Hal ini dilakukan untuk menjaga kerahasiaan responden.
27
3.
Populasi dan Teknik Penarikan Sampel
3.1 Populasi Populasi menurut Soehartono (2008: 57) yaitu : “Jumlah keseluruhan unit analisis, atau objek yang akan diteliti.” Populsi yang dijadikan sasaran dalam penelitian ini adalah remaja pasien Thalasemia di POPTI (Perhimpunan Orang tua Penderita Thalasemia Indonesia) Kota Bandung yang berjumlah 115 orang. Tabel 1.2 Tabel Populasi Rentang Umur f 20-22 13 18-19 16 16-17 33 14-15 23 12-13 30 Σ 115 Sumber: POPTI Kota Bandung 2012 3.2 Sampel Sampel menurut Soehartono (2008: 57) yaitu : “Suatu bagian dari populasi yang akan diteliti dan dianggap dapat menggambarkan populasinya”. Pada penelitian ini yang dijadikan sampel adalah remaja yang mempunyai penyakit Thalasemia di POPTI (Perhimpunan Orang tua Penderita Thalasemia Indonesia) Kota Bandung sebanyak 35 orang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah random sampling dari masing-masing umur yang telah dipilih. Random sampling menurut Soehartono (2008:60), yaitu : “Cara pengambilan sampel yang dilakukan secara acak sehingga dapat dilakukan dengan cara undian atau tabel bilangan random”. Dari 115 populasi diambil sebesar 30%, maka 35 orang akan dijadikan
28
sebagai responden dengan pertimbangan telah mencukupi jumlah sampel minimum. Sampel memenuhi kriteria sebagai berikut : 1. Remaja di POPTI (Perhimpunan Orang Tua Penderita Thalasemia Indonesia) Kota Bandung. 2. Remaja yang telah mencukupi umur dan mampu memberikan informasi kepada peneliti. 3. Remaja yang memiliki umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria. Tabel 1.3 Sampel Jumlah Sampel 20-22 13 3.9 4 18-19 16 4.8 5 16-17 33 9.9 10 14-15 23 6.9 7 12-13 30 9 9 Σ 115 35 Sumber : POPTI Kota Bandung 2012
Rentang Umur
4.
f
Sampel
Alat Ukur Alat ukur penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah daftar
pertanyaan yang disusun berdasarkan pedoman pada angket engan menggunakan skala ordinal dengan jenis alat ukur yaitu skala model Likert. Menurut Soehartono (2008:76) menjelaskan pengertian skala ordinal adalah : Skala pengukuran yang objek penelitiannya dikelompokkan berdasarkan ciri-ciri yang sama ataupun cirri-ciri yang berbeda. Golongan-golongan atau klasifikasi dalam skala ordinal dapat dibedakan tingkatannya. Ini berarti suatu golongan diketahui lebih tinggi atau lebih rendah tingkatannya dari pada golongan yang lainnya.
29
Sedangkan teknik pengukurang yang digunakan adalah model Likert, dengan cara membuat kategori pada setiap item pertanyaan yang diberi nilai sebagai berikut : a. Kategori jawaban sangat baik diberi nilai 5 b. Kategari jawaban baik diberi nilai 4 c. Kategori jawaban cukup diberi nilai 3 d. Kategori jawaban kurang baik diberi nilai 2 e. Kategori jawaban sangat tidak baik diberi nilai 1 5.
Teknik Analisis Data Data yang telah terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan teknik
analisis dan kuantitatif, yaitu data yang diubah ke dalam angka-angka yang dituangkan dalam tabel. Pengujian hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji statistik non parametik dengan menggunakan uji Rank Spearman (rs). Adapun langkah-langkah yang digunakan dalam pengujian hipotesis adalah sebagai berikut : a. Menyusun skor yang diperoleh tiap responden dengan cara menggunakan masing-masing variabel. b. Memberikan ranking pada variabel x dan variabel y, mulai dari satu sampai (1-n). c. Menentukan harga untuk setiap responden dengan cara mengurangi ranking antara variabel x dan variabel y (hasil diketahui di). d. Masing-masing dikuadratkan dan seluruhnya dijumlah (diketahui ∑
)
e. Melihat signifikan dilakukan dengan mendistribusikan r ke dalam rumus :
30
= Keterangan : T : Nilai signifikansi hasil perhitungan N : Jumlah responden R : Nilai kuadrat dari korelasi Spearman f. Jika terdapat angka kembar ∑
∑ ∑
∑ ∑
Tx dan Ty berturut-turut adalah banyaknya nilai pengamatan x dan banyaknya nilai pengamatan y yang berangka sama untuk suatu peringkat sedangkan rumus untuk Tx dan Ty sebagai berikut :
=
=
− 12
g. Membandingkan nilai t hitung tabel dengan melihat harga-harga kritis t dengan signifikan 5% pada derajat kebebasan (df) yaitu n-2. h. Jika tabel < t hitung maka hipotesis nol (H₀) ditolak dan hipotesis (H₁) diterima. H.
Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di POPTI (Perhimpunan Orang tua Penderita
Thalasemia Indonesia) Kota Bandung. Adapun alasan peneliti memilih lokasi tersebut sebagai berikut :
31
1. Sampel yang akan diteliti hanya ada di di POPTI (Perhimpunan Orang Tua Penderita Thalasemia Indonesia) Kota Bandung . 2. Tersedianya data yang diperlukan guna menunjang kelancaran dari penelitian. 2. Waktu Penelitian Waktu penelitian yang direncanakan penulis adalah selama enam bulan terhitung sejak akhir bulan November 2012 sampai akhir Mei 2013, dengan selang waktu kegiatan yang dijadwalkan sebagai berikut : 1. Tahap Persiapan 2. Tahap Pelaksanaan 3. Tahap Pelaporan
32
TABEL 1.4 JADWAL KEGIATAN PENELITIAN
NO 1
TAHUN BULAN MINGGU TAHAP PERSIAPAN a. Pengajuan judul b. Penelitian Kepustakaan c. Penunjukan Pembimbing d. Pembuatan Proposal e. Pengajuan Proposal f. Perizinan
2
TAHAP PENELITIAN a. Seminar Outline b. Perbaikan Outline c. Konsultasi Pembimbing d. Penelitian Lapangan e. Pengolahan Data f. Analisis Data
3
TAHAP PELAPORAN a. Pelaporan b. Prasidang c. Sidang
Desember 1 2 3 4
1
Januari 2 3 4
1
Februari 2 3 4
2012-2013 Maret 1 2 3 4
1
April 2 3
4
1
Mei 3
2
4
1
Juni 2 3
4
BAB II TINJUAN PUSTAKA
A.
Konsep Kesejahteraan Sosial Kesejahteraan sosial bisa dipandang sebagai ilmu atau disiplin akademis
yang mempelajari kebijakan sosial, pekerjaan sosial, masalah-masalah sosial dan program-program pelayanan
sosial.
Seperti halnya
sosiologi,
psikologi,
antropologi, ekonomi, politik, studi pembangunan, dan pekerjaan sosial, ilmu kesejahteraan sosial berupaya mengembangkan basis pengetahuannya untuk mengidentifikasi masalah sosial, penyebabnya dan strategi penanggulangannya. Konsep kesejahteraan sosial sebagai suatu program yang terorganisir dan sistematis yang dilengkapi dengan segala macam keterampilan ilmiah, merupakan suatu konsep yang relatif baru berkembang, terutama di negara-negara berkembang. Kesejahteran sosial memiliki arti kepada keadaan yang baik, kebahagiaan dan kemakmuran, banyak orang yang menamainya sebagai kegiatan amal. Di Amerika serikat kesejahteraan sosial juga diartikan sebagai bantuan publik yang dilakukan pemerintah bagi keluarga miskin dan anak-anak mereka. Para pakar ilmu sosial mendefinisikan kesejahteraan sosial dengan tinggi rendahnya tingkat hidup masyarakat. Kesejehteraan Sosial menurut Rukminto Adi (2005:17), Kesejahteraan Sosial adalah: Suatu ilmu terapan yang mengkaji dan mengembangkan kerangka pemikiran serta metodologi yang dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas hidup (kodisi) masyarakat antara lain melalui pengelolaan masalah sosial, pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat, pemaksimalan kesempatan anggota masyarakat untuk berkembang.
33
34
Pengertian di atas menyatakan bahwa kesejahteran sosial menunjuk pada pada peningkatan kualitas hidup dalam masyarakat utuk mencegah masalahmasalah sosial yang terjadi di dalam masyarakat baik individu, kelompok atau masyarakat itu sendiri. Untuk mendorong dan mencapai ke arah kehidupan yang lebih baik. Merujuk kepada Undang-undang No.11 tahun 2009 yang dikutip oleh Suharto (2009:153) mendefinisikan Kesejahteraan Sosial adalah : “Kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.” Adanya pemenuhan kebutuhan oleh masyarakat baik itu materil, spiritual sehingga akan mendorong masyarakat menuju ke arah kualitas hidup yang lebih baik dan mencapai fungsi sosialnya, apabila pemenuhan kebutuhan tadi semuanya sudah tercukupi. Dalam hal ini tanggung jawab pemerintah dalam peningkatan kualitas kehidupan warga masyarakatnya yang perlu ditingkatkan. Perkembangan ilmu kesejahteraan sosial ini sendiri pada dasarnya merupakan kelanjutan dan penyempurnaan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Karena itu latar belakang sejarah dari ilmu kesejahteraan sosial, pada titik awal masihlah sama dengan pekerjaan ksejahteraan sosial, pada titik awal, masihlah sama dengan pekerjaan sosial. Adapun definisi Pekerjaan Sosial menurut International Federation of Social Workers (IFSW) (2000) yang dikutip oleh Suharto (2000:1) adalah : The social work profession promotes problem solving in human relationships, social change, empowerment and liberation of people, and the enchancement of society. Utilzing theories of human behavior and social system, social work intervenes at the points where people interact with their
35
environments. Principles of human right and social justice are fundamental to social work. Profesi Pekerjaan Sosial mendorong pemecahan masalah dalam kaitannya dalam relasi kemanusiaan, perubahan sosial, pemberdayaan dan pembebasan manusia, serta perbaikan masyarakat. Menggunakan teori-teri perilaku manusia dan sistem-sistem sosial, Pekerjaan Sosial melakukan intervensi pada titik (saat situasi) dimana orang berinteraksi dengan lingkungannya. Prinsip-prinsip hak azasi manusia dan keadilan sosial sangat penting bagi pekerjaan sosial. Di dalam pekerjaan sosial adanya kegiatan pemberian pelayanan sosial agar individu mampu menjalankan fungsi sosialanya di masyarakat sebagai biasanya. Senada dengan apa yang diungkapkan oleh Zastrow (1999) yang dikutip oleh Huraerah (2011:38) yang mengatakan definisi Pekerjaan Sosial adalah : Pekerjaan sosial adalah aktivitas profesional untuk menolong individu, kelompok, dan masyarakat dalam meningkatkan atau memperbaiki kapasitas mereka agar berfungsi sosial dan menciptakan kondisi-kondisi masyarakat yang kondusif untuk mencapai tujuan tersebut. Berdasarkan definisi tersebut, permasalahan dalam bidang pekerjaan sosial erat kaitannya dengan masalah sosial yang di hadapi baik individu kelompok dan juga masyarakat. Peran pekerja sosial mampu mengatasi semua bentuk permasalahan dan fenomena sosial tersebut dengan melihat prinsip-prinsip hak asasi mansia dan keadilan sosial. Serta mampu memperbaiki kualitas hidup dan mampu mengembalikan fungsi sosialnya kembali di masyarakat. 1. Fungsi Kesejahteraan Sosial
Fungsi-fungsi kesejahteraan sosial bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi tekanan-tekanan yang diakibatkan terjadinya perubahan-perubahan
36
sosio-ekonomi, menghindarkan terjadinya konsekuensi-konsekuensi sosial yang negatif akibat pembangunan serta menciptakan kondisi-kondisi yang mampu mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat. Adapun fungsi-fungsi Kesejahteraan Sosial menurut Fahrudin (2012:12) yaitu sebagai berikut : 1. Fungsi Pencegahan (Preventive) Kesejahteraan sosial ditujukan untuk memperkuat individu, keluarga, dan masyarakat supaya terhindar dari masalah-masalah sosial baru. Dalam masyarakat transisi, upaya pencegahan ditekankan pada kegiatan-kegiatan untuk membantu menciptakan pola-pola baru dalam hubungan sosial serta lembaga-lembaga sosial baru. 2. Fungsi Penyembuhan (Curative) Kesejahteraan sosial ditujukan untuk menghilangkan kondisi-kondisi ketidakmampuan fisik, emosional, dan sosial agar orang yang mengalami masalah tersebut dapat berfungsi kembali secara wajar dalam masyarakat. Dalam fungsi ini tercakup juga fungsi pemulihan (rehabilitasi). 3. Fungsi Pengembangan (Development) Kesejahteraan sosial berfungsi untuk memberikan sumbangan langsung ataupun tidak langsung dalam proses pembangunan atau pengembangan tatanan dan sumber-sumber daya sosial dalam masyarakat. 4. Fungsi Penunjang (Support) Fungsi ini mencakup kegiatan-kegiatan untuk membantu mencapai tujuan sektor atau bidang pelayanan sosial kesejahteraan sosial yang lain. Melihat kutipan di atas bahwa adanya fungsi dalam kesejahteraan sosial, untuk membantu atau proses pertolongan
baik individu, kelompok, ataupun
masyarakat agar dapat berfungsi kembali dengan penyelenggaraan pelayanan kesejahteraan sosial. Serta terhindar dari masalah-masalah sosial baru dan mengurangi tekanan-tekanan yang diakibatkan dari terjadinya perubahanperubahan dari sosio-ekonomi.
37
2. Pelayanan Sosial
a. Pengertian Pelayanan Sosial Tekanan telah berubah dari usaha sosial yang bersifat rehabilitasi kepada orang-orang miskin, dari usaha kesejahteraan anak dan keluarga tradisional, usaha probasi dan usaha-usaha klinis kepada pendidikan. Usaha-usaha tersebut ditujukan untuk meningkatkan keterampilan (skill) atau dengan mengurangi kesulitan dalam fungsionalitas pribadi, masyarakat dapat ditingkatkan kondisi kehidupannya. Pelayanan sosial kemudian berkembang dan mencakup kesehatan, pendidikan, perumahan, demikian juga program kesejahteraan anak, keluarga, dan rumah sakit. Adapun definisi mengenai Pelayanan Sosial menurut Huraerah (2011:45) adalah : Kegiatan terorganisir yang ditunjukan untuk membantu warga negara yang mengalami permasalahan sebagai akibat ketidakmampuan keluarga melaksanakan fungsi-fungsinya. Kegiatan ini antara lain berupa pelayanan sosial bagi anak (termasuk balita dan remaja) serta usia lanjut terlantar atau mengalami berbagai bentuk kecacatan. Pelayanan sosial (social service) merupakan istilah yang tidak mudah dijelaskan, selain itu pengertian pelayanan sosial tidak sama untuk negara yang berbeda. Di Inggris, misalnya, istilah itu digunakan untuk pelayanan servis dan manfaat benefit yang berorientasi orang. Wickenden (1995). Apabila mengutip dari Romanyshyn (1971) yang dikutip oleh Fahrudin (2012:51) mendefinisikan Pelayanan Sosial adalah : Pelayanan sosial sebagai usaha-usaha untuk mengembalikan, mempertahankan, dan meningkatkan keberfungsian sosial individu-individu dan keluarga-keluarga melalui 1. Sumber-sumber sosial pendukung, dan 2. Proses-proses meningkatkan kemampuan individu-individu dan keluargakeluarga untuk mengatasi stres dan tuntutan-tuntutan kehidupan sosial yang normal.
38
Melihat definisi di atas bahwa adanya penyelenggaraan pelayanan bertujuan untuk meningkatkan dan mempertahankan keberfungsian sosial seseorang agar kembali seperti biasanya. Dan memperbaiki kualitas kehidupan dengan sumber pendukung yang memadai. Maka jelaslah pelayanan sosial dibutuhkan seiring modernisasi dewasa kini agar mampu membatu orang yang memiliki permasalahan sosialnya. b. Fungsi Pelayanan Sosial Pelayanan sosial diadakan untuk melindungi, mengadakan perubahan, atau menyempurnakan kegiatan-kegiatan pendidikan, asuhan anak, penanaman nilai, dan pengembangan hubungan sosial yang di masa lampau menjadi fungsi keluarga, lingkungan tetangga, dan kerabat. Perkembangan pelayanan sosial yang sangat cepat, motivasi yang beraneka ragam diantara para penyusunnya dan besarnya beban kasus maupun tenaga yang terlibat di dalamnya menyebabkan perlunya menggunakan pelayanan. Pelayanan sosial cenderung menjadi pelayanan yang ditujukan kepada golongan masyarakat yang membutuhkan pertolongan dan perlindungan khusus. Menurut Muhidin (1992:42) menjelaskan tentang Fungsifungsi Pelayanan Sosial adalah : 1. Peningkatan kondisi kehidupan masyarakat. 2. Pengembangan sumber-sumber manusiawi. 3. Orientasi masyarakat terhadap perubahan-perubahan sosial dan penyesuaian sosial. 4. Mobilisasi dan pencipta sumber-sumber masyarakat untuk tujuan pembangunan. 5. Penyediaan dan penyelenggaraan struktur kelembagaan untuk tujuan agar pelayanan-pelayanan yang terorganisasi dapat berfungsi.
39
Pelayanan sosial merupakan suatu bentuk aktivitas yang bertujuan untuk membantu individu, kelompok, ataupun kesatuan masyarakat agar mereka mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, yang pada akhirnya mereka diharapkan dapat memecahkan permasalahan yang ada melalui tindakan-tindakan kerjasama ataupun melalui pemanfaatan sumber-sumber yang ada di masyarakat untuk memperbaiki kondisi kehidupannya 3. Pelayanan Sosial di Bidang Kesehatan
Sejak adanya usaha penyembuhan penyakit yang dialami oleh manusia, dunia kesehatan lebih mementingkan usaha-usaha yang bersifat kuratif, yaitu upaya-upaya untuk mencegah pasien dari penyakit yang mengancamnya. Dengan perkembangannya ilmu kedokteran usaha-usaha tersebut lebih banyak dilakukan oleh tenaga-tenaga kesehatan yang dididik dalam klinik maupun rumah sakit. Selain dokter dan perawat, para Pekerja Sosial juga terlibat dalam pelayanan dan perawatan kesehatan. Para pekerja sosial yang bekerja di bidang pemeliharaan kesehatan Social Work in Health Care (Pekerjaan sosial di bidang pemeliharaan kesehatan) yang termasuk ke dalam kelompok paramedis. Para pekerja sosial medis biasanya selain menjadi bagian dari tim kesehatan rumah sakit, juga memfokuskan pertolongannya kepada aspek-aspek psikososial pasien dan pengorganisasian sistem pembiayaan bagi pasien-pasien yang tidak mampu. Suharto (2009:158). Adapun pendapat mengenai Pelayanan Sosial Kesehatan menurut Suharto (2009:158) mengatakan bahwa : Pelayanan kesehatan dapat dipandang sebagai aspek penting dalam kebijakan sosial. kesehatan merupakan faktor penentu bagi kesejahteraan sosial. Orang yang sejahtera bukan saja orang yang memiliki pendapatan
40
atau rumah memadai. Melainkan pula orang yang sehat, baik secara jasmani maupun rohani. Melihat pernyataan di atas bahwa adanya pelayanan kesehatan meurupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan antara kesehatan dengan kesejahteraan sosial bagi individu, kelompok mapun masyarakat karena kesehatan merupan faktor utama untuk menjalankan fungsi sosialnya seorang individu. Keterlibatan pekerja sosial dalam bidang kesehatan terutama dilandasi perubahan paradigma tentang sakit dan hidup sehat yang tidak lagi semata-mata menyangkut aspek fisik manusia saja. Adapun keterlibatan pekerja sosial dalam bidang kesehatan menurut Suharto (2009:159) mengatakan : 1. Masalah-masalah psikososial dan kultural bisa menjadi penyebab atau akibat dari sakit atau sehatnya seseorang. Stress, depresi, kejenuhan kerja, bisa menimbulkan penyakit. Sebaliknya penyakit yang diderita seseorang juga bisa menimbukan stress dan depresi. 2. Isu-isu kesehatan merupakan bagian dari, atau ditentukan oleh, berbagai faktor psikis, sosial, ekonomi yang memerlukan penanganan komprehensif bukan saja dari pekerja medis “tradisional” seperti dokter dan perawat, melainkan profesi lain seperti psikolog, psikiater, dan pekerja sosial. 3. Banyak masalah sosial, seperti ketergantungan terhadap narkoba, perceraian, perceraian, pelacuran, pekerja anak, anak jalanan, perlakuan salah terhadap anak sangat berkaitan dengan, dan bahkan menimbulkan, masalah-masalah kesehatan. Melihat kutipan di atas bahwa adanya pekerja sosial tidak hanya menangani permasalahan yang bersifat fisik saja melainkan dalam penanganan masalah kesehatan juga diperlukan. Adanya pelayanan kesehatan dalam dunia pekerja sosial membantu mengatasi permasalahan sosial yang bersifat psikis, dan membantu disiplin ilmu lain dalam pelaksanaan permalahan ini. Dalam pelayanan kesehatan merupakan faktor penentu bagi kesejahteraan sosial. Karena orang yang sejahtera bukan saja orang yang memilki pendapatan
41
lebih melainkan pula orang yang sehat, baik secara jasmani maupun rohani. Sehingga pelayanan kesehatan sangat di butuhkan khususnya di Indonesia yang masih awam akan pelayanan kesehatan khususnya. 4. Pekerja Sosial Medis a. Pengertian Pekerja Sosial Medis Sebagai dampak postif eksistensi pekerja sosial dan seiring munculnya fungsi dan peranan profesi pekerja sosial di rumah sakit, dalam penanganan terhadap permasalahan sosial emosional berkaitan dengan sakit dan pengobatan pasien kemudian dinamakan sebagai pekerja sosial medis (Medical Social Worker). Perkembangan pengetahuan dalam bidang pekerja sosial dan pelayanan kesehatan dinegara-negara maju penamaan pekerja sosial medis (Medical Social Worker) dianggap tidak relevan lagi karena lebih berfokus kepada dunia medis, maka muncullah istilah penaam baru yakni Social Work in Health Care (Pekerjaan sosial di bidang pemeliharaan kesehatan). Apabila merujuk kepada Richardson yang dikutip oleh Mary Johnston (1988:38), berpendapat bahwa Profesi Pekerjaan Sosial Medis yaitu : PSM mempunyai tujuan jangka pendek menghilangkan tekanan-tekanan dari dalam maupun dari luar pasien. Tujuan akhirnya adalah membantu pasien menggunakan kemampuan-kemampuannya untuk mencari dan mempergunakan perawatan medis untuk mencegah terjadinya komplikasikomplikasi lebih lanjut, dan untuk mempertahankan kesehatannya. Melihat kutipan di atas jelas bahwa pekerja sosial medis menitikberatkan kepada suatu pencegahan untuk mengatasi masalah sosial yang di alami klien. Kemudian membatu menghilangkan tekanan-tekanan dari dalam mapun luar
42
pasien tersebut. Melihat pendapat lain mengenai Pekerja Sosial Medis menurut Rex A Skidmore et.al (1994 : 146) Pekerja Sosial Medis adalah : Pekerjaan sosial dalam pemeliharaan kesehatan sebagai praktik kerjasama pekerja sosial dalam bidang kesehatan dan dalam program-program pelayanan kesehatan masyarakat. Praktik pekerjaan sosial dalam bidang pelayanan kesehatan mengarah pada penyakit yang disebabkan atau berhubungan dengan tekanan-tekanan sosial yang mengakibatkan kegagalan-kegagalan dalam pelaksanaan fungsi relasi-relasi sosial. Melihat kutipan di atas adanya pekerja sosial medis dalam bidang kesehatan membantu masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatannya serta membantu menyelesaikan permasalahan yang di rasakan oleh pasien. Sehingga apa yang menjadi masalahnya setidaknya dapat teratasi. Dan memberikan perawatan medis untuk mencapai tujuan penyembuhan. b. Peran Pekerja Sosial Medis Dibekalinya informasi tentang perkembangan pekerjaan sosial sebagai profesi, serta pemahaman tentang nilai-nilai yang mendasari pekerjaan sosial, seorang pekerja sosial medis mempunyao peran-perannya dalam melayani kliennya. Adapun peran-peran sebagai pekerja sosial medis
menurut Mary
Jhonston (1988:46) adalah : a. Pembimbing perseorangan dan kelompok a) Membantu seorang klien menyelesaikan persoalan karena tidak dapat menerima keterbatasan yang disebabkan oleh penyakitnya. b) Penderita bersama keluarga dibantu memuat rencana pemulangan. b. Pendorong a) Klien dibantu mengemukakan persoalan yang dihadapinya. b) Pekerja sosial membantu klien menemukan beberapa alternatif penyelesaian masalah. c. Penghubung a) Pekerja sosial meningkatkan pemahaman staf lain tentang kapan sebaiknya dia diajak membantu penderita, misalnya penderita yang sering menangis, tidak pernah membeli obat, atau tidak dikunjungi.
43
b) Pekerja sosial menjelaskan prosedur Rumah Sakit kepada keluarga pasien. c) Pekerja sosial merujuk pasien ke lembaga di luar Rumah Sakit. d. Konsultan a) Pekerja sosial memberi informasi ke lembaga di luar Rumah Sakit. b) Pekerja sosial memberi nasehat kepada karyawan Rumah Sakit sehubungan dengan masalah pribadi pasiennya. e. Pendidik a) Pekerja sosial membimbing praktek calon pekerja sosial. b) Pekerja sosial memberi kuliah dalam kursus perawat. Peran seorang pekerja sosial medis dalam kutipan di atas menjelaskan berbagai peran seorang pekerja sosial medis yang memiliki ruang lingkup berbagai peran. Pekerja sosial di dalam setting rumah sakit ini tidak lah berkerja sendiri, melainkan dalam sebuah tim yang disebut dengan Tim Rehabilitasi Medik. Serta pekerja sosial medis menjadi penghubung antara rumah sakit dan keluarga sehingga keluarga mudah mendapatkan pelayanan saat berada di rumah sakit. c. Fungsi Pekerja Sosial Medis Masalah-masalah sosial yang ditibulkan merupakan suatu fokus utama yang harus diselesaikan. Masalah yang ditimbulkan pastilah memerlukan suatu jalan penyelesainnya. Dalam ruang lingkup rumah sakit dengan pekerja sosial medisnya fokus utama nyaadalah memperbaiki keberfungsian seorang pasien. Dan memberikan bantuan dalam upaya penyeleseaian masalahnya. Dijelaskan bahwa fungsi pokok seorang pekerja sosial medis menurut Mary Jhonston (1988:48) adalah : 1. Memberi bantuan dalam upaya menyelesaikan masalah-masalah emosional dan sosial seorang pasien yang timbul sebagai akibat penyakit yang dideritanya. 2. Memberikan hubungan kekeluargaan yang baik 3. Memperlancar hubungan antara rumah sakit, penderita dan keluarga
44
4. Membantu proses penyesuaian diri pasien dengan masyarakat dan sebaliknya 5. Memanfaatkan pemahaman staf rumah sakit tentang pekerjaan sosial dan berusaha mengintegrasikan bagian pekerjaan sosial secara integral dalam tim rumah sakit. 6. Melibatkan diri dalam aksi masyarakat. Uraian di atas menjelaskan fungsi pekerja sosial medis dalam mengatasi sejumlah masalah-masalah yang dialami oleh seorang pasien. Kemudian seorang pekerja sosial medis mampu membantu dalam proses penyesuain diri dengan masyarakat dan pihak-pihak lainnya. Peningkatan fungsi pekerja sosial medis tidak terlepas dari peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam hal ini adalah pekerja sosial medis. Pengembangan sumber daya manusia dituntut untuk menghasilkan aparat-aparat birokrasi
yang memilki kemampuan yang memadai dalam perumusan dan
pelaksanaan kebijakan pemerintah termasuk dalam hal memberikan pelayanan kepada masyarakat. B.
Anak Anak adalah investasi yang paling berharga. Setiap orang tua tentunya
menginginkan anaknya tumbuh menjadi anak yang cerdas, kreatif, berguna bagi bangsa dan agama serta berbakti kepada orang tua. Pola tingkah laku setiap anak akan berbeda dengan anak yang satu dengan anak yang lain. Anak adalah anugerah terindah yang diberika Tuhan kepada umatnya karena pada hakikatnya dengan adanya anak keluarga terasa akan lebh bahagia. Pengertian
anak
menurut
pasal
1
ayat
(5)
Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM), “anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak
45
yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.” Apabila melihat pengertian anak menurut The Minimum Age Convention Nomor 138 (1973) dalam Huraerah (2007:31), mendefinisikan pengertian anak adalah : “Seseorang yang berusia 15 tahun ke bawah”. Melihat kutiapan di atas bahwa pengertian anak adalah seseorang dapat dikatakan sebagai anak apabila dia berusia 15 tahun ke bawah diluar konteks itu tidak dapat dikatan sebagai anak. Banyak persepsi mengenai pengertian anak, rumusan dan batasan mengenai anak. Anak adalah anugerah terindah yang telah tuhan berikan kepada kita, titipan yang diberikan untuk dijaga, dirawat dan diberikan sebuah pemahaman tentang kehidupan, bagaimana peran-peran sebagai seorang anak tersebut dapat memberikan kontribusi dalam keluarganya sehingga keluarga itu utuh dan bahagia. Sifat-sifat setiap anak pastilah berbeda menurut karakter dan kebiasaannya masing. C.
Remaja Anak adalah cikal bakal dari tumbuh dan berkembang untuk menjadi
remaja. Adanya peralihan masa dimana masa anak-anak berubah menjadi masa remaja. Sedikit besarnya dalam perkembangan ada yang berbeda dari segi emosional, fisik, kemudian kecerdasan dalam berfikir sedikit mendapatkan kematangan dari sebelunya. Apabila merujuk kepada Hurlock (1999:206) mengatakan definisi remaja adalah “Secara psikologis masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa”. Melihat kutipan tersebut jelas usia remaja dimana usia mampu berinteraksi dengan masyarakat
46
dewasa yang segala sesuatunya sudah berbeda dan jauh lebih bersifat baru dari pada masa kanak-kanak. Adanya perbedaan ketika masa kanak-kanak dengan masa remaja dilihat dari tumbuh kembang yang jelas berbeda dilain pihak secara mental fisik dan emosionalpun akan berbeda. Melihat fase umur seorang remaja meurut Mappiare (1982) yang dikutip Mohammad Ali dan Mohammad Asrori (2012:9) dalam bukunya “Psikologi Remaja” menjelaskan pengertian remaja adalah : “masa remaja berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria”. Melihat persepsi para ahli di atas kisaran umur tersebut tergolong ke dalam fase remaja dan di luar umur tersebut tidak dapat dikatakan remaja. Meskipun diketahui bahwa pendapat para ahli lain berbeda-beda. D.
Dukungan Keluarga
1. Pengertian Dukungan Keluarga Dukungan keluarga adalah salah satu upaya untuk memberikan pertolongan agar rasa rangsangan secara positif yang diberikan sehingga penerima dukungan tersebut termotifasi. Dukungan sosial keluarga pada umumnya menggambarkan mengenai peran atau pengaruh serta bantuan yang diberikan oleh orang yang berarti seperti anggota keluarga, teman, saudara, dan rekan kerja. Dengan dukungan keluarga memberikan dampak positif bagi penerimanya karena mereka merasakan akan adanya rasa yang lebih sebagai bentuk penguatan dalam dirinya. Melihat pengertian dukungan keluarga menurut Smet (1994) yang dikutip oleh Nursalam (2007:28) mengatakan Dukungan Sosial adalah :
47
Dukungan sosial terdiri dari informasi atau nasihat verbal dan nonverbal, bantuan nyata atau tindakan yang diberikan oleh keakraban sosial atau didapat karena kehadiran mereka dan mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku bagi pihak penerima. Melihat kutipan di atas dukungan yang diberikan baik itu informasi yang sifatnya verbal ataupun nonverbal akan memberikan manfaat yang luar biasa baik itu emosional atau efek prilaku bagi pihak penerima, sehingga dukungan diberikan akan memberikan rasa percaya diri lebih dan penguatan bagi penerimanya. Para anggota keluarga biasanya adalah orang-orang yang dengan siapa kita merasa paling aman, dan kita sering kali berpaling kepada mereka apabila mereka membutuhkan pujian, rasa yaman, dan ketentraman hati. Adapun dukungan keluarga menurut
Sarafino yang dikutip Smet (1994:136) yang menyatakan
bahwa dukungan sosial adalah “Suatu kesenangan yang dirasakan sebagai perhatian, penghargaan dan pertolongan yang diterima dari orang lain atau suatu kelompok. Lingkungan yang memberikan dukungan tersebut adalah keluarga, kekasih atau anggota masyarakat.” Berdasarkan teori-teori di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dukungan keluarga adalah bentuk pertolongan yang dapat berupa materi, emosi, dan informasi yang diberikan oleh orang-orang yang memiliki arti seperti keluarga, sahabat, teman, saudara, rekan kerja atupun atasan atau orang yang dicintai oleh individu yang bersangkutan. Bantuan atau pertolongan ini diberikan dengan tujuan individu yang mengalami masalah merasa diperhatikan, mendapat dukungan, dihargai dan dicintai.
48
2. Jenis-jenis Dukungan Keluarga Pemberian dukungan baik yang diberikan keluarganya sendiri, kelompok maupun masyarakat merupakan faktor terciptanya rasa kepercayaan diri yang tinggi. Rasa nyaman, pengahargaan itu semua adalah salah satu bagian dari rangkaian dukungan yang diberikan. Dukungan yang diberikan adalah salah satu bagian dari keberhasilan bagi penerimanya. Ditinjau dari jenis-jenisnya dukungan sosial di bagi menjadi 4 jenis menurut Depkes (2002) yang dikutip oleh Nursalam (2007:29) yaitu : 1. Dukungan Emosional Mencakup ungkapan empati, kepedulian, dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan. 2. Dukungan Penghargaan Terjadi lewat ungkapan hormat/ penghargaan positif untuk orang lain itu, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu, dan perbandingan positif orang itu dengan orang lain, misalnya orang itu kurang mampu atau lebih buruk keadaannya (menambah harga diri). 3. Dukungan Instrumental Mencakup bantuan langsung, misalnya orang memberi pinjaman uang kepada orang yang membutuhkan atau menolong dengan memberi pekerjaan kepada pada orang yang tidak punya pekerjaan. 4. Dukungan Informatif Mencakup pemberian nasihat, saran, pengetahuan dan informasi serta petunjuk. Ditinjau dari jenis-jenis dukungan di atas bahwa orang akan menderita secara emosional dan dapat mengalami depresi, kesedihan, ataupun kecemasan. Pada saat seperti ini, teman atau keluarga dapat memberikan dukungan emosional dengan meyakinkan orang tersebut bahwa dia adalah orang yang berharga yang sangat diperhatikan oleh lingkungannya. Kehangatan dan kepedulian yang diberikan oleh orang lain, akan memungkinkan orang yang mengalami stres, menghadapinya lebih tenang.
49
3. Manfaat Dukungan Keluarga Dukungan keluarga adalah sebuah proses yang terjadi sepanjang masa kehidupan, sifat dan jenis dukungan sosial berbeda - beda dalam berbagai tahap tahap siklus kehidupan. Namun demikian, dalam semua tahap siklus kehidupan, dukungan sosial membuat keluarga mampu berfungsi dengan
berbagai
kepandaian dan akal. Sebagai akibatnya, hal ini meningkatkan kesehatan dan adaptasi keluarga. Senada dengan apa yang diungkapkan oleh Friedman (1998) yang dikutip oleh Ginting (2012:19) yang berpendapat bahwa : Sesungguhnya efek-efek penyangga dan utama dari dukungan sosial terhadap kesehatan dan kesejahteraan boleh jadi berfungsi bersamaan. Secara lebih spesifik, keberadaan dukungan sosial yang ada kuat terbukti berhubungan dengan menurunnya mortalitas, lebih mudah sembuh dari sakit dan dikalangan kaum tua, fungsi kognitif, fisik dan kesehatan emosi. Efek positif yang ditimbulkan dari dukungan keluarga merupakan salah satu faktor dalam keberhasilan untuk sembuh. Dengan dukungan keluarga kesehatan mental akan lebih tinggi dibanding dengan yang tidak mendapatkan dukungan keluarga. Untuk itu dukungan keluarga sangat penting untuk mendapatkan kesehatan mental dan kesejahteraan yang lebih maksimal. 4. Komponen-komponen Dukungan Keluarga Dukungan keluarga dibutuhkan untuk membentuk motivasi tersendiri bagi penerimanya sehingga muncul penguatan dalam dirinya, itu semua menambah nilai positif bagi penerima dukungan tersebut lebih percaya diri dan merasakan rasa aman yang lebih dibanding tidak mendapatkan dukungan. Adapun komponen-komponen dukungan sosial menurut yang dikutip oleh Heller et.al (1986:467) mengatakan adalah :
50
c. Penilaian yang mempertinggi penghargaan. Komponen penilaian yang mempertinggi penghargaan yang mengacu kepada penilaian seseorang terhadap pandangan orang lain kepada dirinya. Seseorang menilai secara seksama evaluasi seseorang terhadap dirinya dan percaya dirinya berharga bagi orang lain. Tindakan orang lain yang menyokong harga diri seseorang, semangat juang, dan kehidupan yang baik. d. Transaksi interpersonal yang berhubungan dengan stress. Transaksi interpersonal yang berhubungan dengan stress mengacu pada adanya seseorang yang memberikan bantuan ketika ada masalah. Dalam uraian di atas disebutkan bahwa adanya komponen-komponen tersebut dimaksudkan untuk mempertinggi suatu penghargaan dan adanya transaksi interpersonal yang berhubungan dengan stress, sehingga semua itu untuk menyokong harga diri, semangat juang, dan kehidupan yang lebih baik. E.
Keluarga
1. Pengertian Keluarga Dalam setiap masyarakat manusia, pasti akan di jumpai keluarga batih (nuclear family). Keluarga batih tersebut merupakan kelompok sosial kecil yang terdiri dari suami, istri dan beserta anak-anaknya yang belum menikah. Keluarga batih tersebut lazimnya juga disebut rumah tangga, yang merupakan unit terkecil dalam masyarakat sebagai wadah dan proses pergaulan hidup. Soekanto (2004:1) Merujuk kepada Suhendi dan Wahyu (2001:41) mengemukakan pengertian keluarga yaitu: “Keluarga adalah suatu kelompok yang terdiri dari dua orang atau lebih yang direkat oleh ikatan darah, perkawinan, atau adopsi serta tinggal bersama” pengertian lain disebutkan yang mengutip dari BKKBN (1999) dalam Sudiharto (2007:56) keluarga adalah Dua orang atau lebih yang dibentuk berdasarkan ikatan perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dam materiil yang layak,
51
bertaqwa kepada Tuhan, memiliki hubungan yang selaras, serasi dan seimbang antara anggota keluarga dan masyarakat serta lingkungannya. Dari kedua definisi di atas dapat disimpulkan mengenai definisi keluarga yaitu : 1. Terdiri dari dua orang atau lebih. 2. Adanya ikatan perkawinan. 3. Adanya hubungan darah dan, 4. Hidup bersama dalam satu ikatan. 2. Peranan Keluarga Secara alamiah manusia mencintai dirinya sendiri, sebaliknya manusia membenci segala sesuatu yang menghalangi hidupnya atau yang menghambat aktualisasi dirinya. Manusia membenci segala sesuatu yang mendatangkan penderitaan, rasa sakit, dan marabahaya lainnya. Sulaeman (2007:70) Untuk itu peran keluarga berperan disini artinya ada pemberian motivasi bagi penerima agar mereka merasakan doperhatikan dengan cinta dan kasih oleh keluaraga yang berperan sebagai pemberi motivasi tersebut. Mengutip dari Soekanto (2004:23) menjelaskan peranan-peranan keluarga sebagai berikut : 1. Keluarga batih berperan sebagai pelindung bagi pribadi-pribadi yang menjadi anggota, di mana ketentraman dan ketertiban diperoleh dalam wadah tersebut. 2. Keluarga batih merupan unit sosial-ekonomi yang secara materil memenuhi kebutuhan anggota-anggotanya. 3. Keluarga batih menumbuhkan dasar-dasar bagi kaidah-kaidah pergaulan hidup. 4. Keluarga batih merupakan wadah di mana manusia mengalami proses sosialisasi awal, yakni suatu proses di mana manusia mempelajari dan mematuhi kaidah-kaidah dan nilai yang berlaku dalam masyarakat.
52
Dari penyajian beberapa peranan di atas nyatalah betapa pentingnya keluarga batih terutama perkembangan kepribadian seseorang. Gangguan pada pertumbuhan kepribadian seseorang mungkin disebabkan pecahnya kehidupan keluarga batih secara fisik maupun mental. 3. Fungsi Keluarga Pada hakekatnya keluarga diharapkan mampu berfungsi untuk mewujudkan proses pengembangan timbal balik rasa cinta dan kasih sayang antara anggota keluarga yang harmonis. Karena sebagai unit yang terkecil dari masyarakat, maka kedudukan keluarga menjadi inti yang terpenting dari suatu masyarakat. Dengan demikian kehidupan suatu masyarakat merupakan pantulan dari kehidupan sejumlah keluarga yang terikat di dalamnya. Menurut Friedman (1999) dalam Sudiharto (2007:53), lima fungsi dasar keluarga adalah sebagai berikut: 1. Fungsi afektif, adalah fungsi internal keluarga untuk pemenuhan kebutuhan psikososial, saling mengasuh dan memberikan cinta kasih serta, saling menerima dan mendukung. 2. Fungsi sosialisasi, adalah proses perkembangan dan perubahan individu keluarga, tempat anggota keluarga berinteraksi social dan belajar berperan di lingkungan social. 3. Fungsi reproduksi, adalah fungsi keluarga meneruskan kelangsungan keturunan dan menambah sumber daya manusia. 4. Fungsi ekonomi, adalah fungsi keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarga, seperti sandang, pangan, dan papan. 5. Fungsi perawatan kesehatan, adalah kekampuan keluarga untuk merawat anggota keluarga yang mengalami masalah kesehatan. Dari ke lima fungsi keluarga di atas dapat diperoleh kesimpulan bahwa keluaraga merupan fungsi yang dominan dalam inti keluarga untuk keharmonisan keluarga itu sendiri. Dengan berjalannya lima poin fungsi keluarga di atas akan menghasilkan keluarga yang baik dan keluarga yang rukun sehingga tercipta suasana yang damai dalam rumah tangga.
53
Suasana seperti ini merupakan media yang diperlukan oleh tumbuh kembang anak baik secara fisik maupun secara psikologis. Karena cinta kasih merupakan bagian hidup dalam diri manusia dalam mengembangkan daya kreatifitas manusia baik dalam mencipta maupun menikmati hasil budaya. F.
Penerimaan Diri
1. Pengertian Penerimaan Diri Bentuk penguatan dalam diri adalah salah satu faktor pendorong mencapai kualitas hidup yang lebih baik, penderita yang dalam masa-masa sulit biasanya memerlukan dukungan dari semua pihak sehingga dengan dukungan yang diberikan otomatis penerimaan dirinya pun akan meningkat dan akan merasa percaya diri lebih tinggi. Adapun definisi penerimaan diri menurut Andromeda (2006:35) mendefinisikan penerimaan diri adalah : Sebagai kesadaran seseorang untuk menerima dirinya sebagaimana adanya dan memahami dirinya seperti apa adanya. Individu yang memiliki penerimaan diri berarti telah menjalani proses yang menghantarkan dirinya pada pengetahuan dan pemahaman tentang dirinya sehingga dapat menerima dirinya secara utuh dan bahagia. Melihat definisi di atas bahwa individu yang menerima keadaan dirinya dengan tenang, akan bebas dari rasa bersalah, rasa malu dan rendah diri karena kecacatan/keterbatasan diri serta bebas dari kecemasan penilaian orang lain terhadap dirinya. Melihat definisi lain tentang penerimaan diri yang dikemukakan oleh Cronbach (1963) yang dikutip oleh Ellyya (2008:12) bahwa penerimaan diri adalah : Sejauh mana seseorang menerima karakteristik personalnya dan menggunakannya untuk menjalani kelangsungan hidupnya. Penerimaan diri merupakan sikap yang ada pada dasarnya merasa puas dengan diri sendiri,
54
kualitas-kualitas dan bakat-bakat sendiri, pengakuan atas keterbatasannya sendiri. Adanya sikap menerima memang sulit untuk direalisasikan, tapi dengan kekuatan diri individu yang merasa yakin akan dirinya semua itu akan terwujud dan akan merasa puas dengan dirinya sendiri, itu semua merupakan suatu sikap positif
seseorang
untuk
menerima
karakteristik
persoalannya
dan
menggunakannya untuk menjalani kelangsungan hidupnya. 2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Diri Penerimaan diri terbentuk karena faktor bebas dari hambatan lingkungan, adanya kondisi emosi yang menyenangkan baik di dalam maupun luar lingkungan. Penerimaan diri merupakan faktor keberhasilan dalam mendapatkan kualitas hidup seseorang. Akan tetapi penerimaan diri yang rendah setidaknya akan berdampak negatif untuk kualitas kehidupan seseorang. Dukungan sosial atau dukungan keluarga merupakan kunci keberhasilan juga dalam memperoleh kualitas hidup, dengan dukungan keluarga rasa aman, damai, dan rasa percaya diri yang lebih tinggi yang akan berdampak positif bagi seorang pasien yang menjalani masa-masa sulit dalam kehidupannya. Melihat apa yang diungkapkan oleh Hurlock (1999:259), yang menyatakan penerimaan diri dipengaruhi oleh sejumlah faktor yaitu : i.
ii.
iii.
Aspirasi yang realistis Individu yang mampu menerima dirinya harus realistis tentang dirinya dan tidak mempunyai ambisi yang tidak mungkin tercapai. Keberhasilan Agar individu menerima dirinya, individu harus mampu mengembangkan factor peningkat keberhasilan sehingga potensinya berkembang secara maksimal. Wawasan diri
55
iv.
v.
Kemampuan dan kemauan menilai diri secara realistis serta menerima kelemahan serta kekuatan yang dimiliki akan meningkatkan penerimaan diri. Wawasan sosial Kemampuan melihat diri pada individu seperti pandangan orang lain tentang diri individu tersebut menjadi suatu pedoman untuk memungkinkan berperilaku sesuai harapan individu Konsep diri yang stabil Bila individu melihat dirinya dengan satu cara pada suatu saat dan cara lain pada saat lain, yang kadang menguntungkan dan kadang tidak, akan menyebabkan ambivalensi pada dirinya. Agar tercapainya kestabilan dan terbentuknya konsep diri positif, significant others memposisikan diri individu secara menguntungkan. Bila individu melihat dirinya dengan satu cara pada suatu saat dan cara lain
pada saat lain, yang kadang menguntungkan dan kadang tidak, akan menyebabkan ambivalensi pada dirinya. Agar tercapainya kestabilan dan terbentuknya konsep diri positif, significant others memposisikan diri individu secara menguntungkan. 3. Dampak-dampak Penerimaan Diri Individu yang menerima dirinya sendiri adalah yakin akan standar-standar dan pengakuan terhadap dirinya tanpa terpaku pada pendapat orang lain dan memiliki perhitungan akan keterbtasan dirinya serta tidak melihat dirinya sendiri secara irasional. Individu yang menerima dirinya menyadari asset diri yang dimilikinya, dan merasa bebas untuk menarik atau melakukan keinginannya, serta menyadari kekurangannya tanpa menyalahkan diri sendiri. Dikatakan bahwa peneriman diri seseorang akan membawa dampak pada dirinya, mengacu kepada Hurlock (1974:205), mengatakan dampak dari penerimaan diri dalam 2 kategori yaitu : a. Dalam penyesuaian diri b. Dalam penyesuaian sosial
56
Dalam
penyesuain
diri,
orang
mampu
mengenali
kelebihan
dan
kekurangannya. Salah satu karakteristik dari orang yang meiliki penyesuaian diri yang baik adalah lebih mengenali kelebihan dan kekurangannya, biasanya memiliki keyakinan diri (self confidence). Selain itu juga lebih dapat menerima kritik, dibandingkan dengan orang yang kurang dapat menerima dirinya. Dengan demikian orang yang memiliki penerimaan diri dapat mengevaluasi dirinya secara realistik, sehingga dapat menggunakan semua potensinya secara efektif hal tersebut dikarenakan memiliki anggapan yang realistic terhadap dirinya maka akan bersikap jujur dan tidak berpura-pura. Dalam penyesuaian sosial, penerimaan diri biasanya disertai dengan adanya penerimaan dari orang lain. Orang yang memiliki penerimaa diri akan merasa aman untuk memberikan perhatiannya pada orang lain, seperti menunjukkan rasa empati. Dengan demikian orang yang emmiliki penerimaan diri dapat mengadakan penyesuaian soail yang lebih baik dibandingkan dengan orang yang merasa rendah diri atau merasa tidak adekuat sihingga mereka itu cenderung untuk bersikap berorientasi pada dirinya sendiri (self oriented). G.
Thalasemia
1. Definisi Thalasemia Secara garis besar, thalassemia adalah sejenis kelainan darah turunan (yang tidak menular) dimana terjadi kegagalan memproduksi hemoglobin yang normal, sehingga tubuh menjadi kekurangan oksigen dan darah merahnya mudah pecah/rusak. Kelainan ini diturunkan bukan dari satu pihak orang tuanya, namun dari kedua orang tuanya. Akibatnya terjadi anemia (kekurangan darah) yang berat,
57
dan tergantung dari jenis thalasemianya, gejala anemia ini bisa mulai tampak sejak bayi berumur 6 bulan yang kalau tidak ditangani dengan benar akan berakibat fatal. Berbagai jenis permasalahan yang dialamai oleh manusia sangatlah beraneka ragam dan tergantung dengan tingkat kesulitan yang dihadapinya, dalam hal ini Thalasemia adalah jenis penyakit yang menyerang kepada manusia yang menyebabkan
seseorang
harus
memerlukan
perhatian
khusus
dalam
mengahadapinya. Adapun pengertian Thalasemia yang dikemukakan Mansjoer (2000:497) adalah : “Thalasemia adalah anemia hemolitik yang diturunkan secara resesif dan herediter”. Melihat kutipan tersebut bahawa thalasemia adalah penyakit yang diturunkan atau kelainan gen yang dapat terus berantai kepada keturunannya
sehingga
dapat
terus
berkembang
seiring
terus
dengan
perkembangannnya. Pendapat lain menyebutkan mengenai thalasemia menurut Ngastiyah (2005:345), Thalasemia adalah : “thalasemia merupakan penyakit anemia hemolitik dimana terjadi kerusakan sel darah merah di dalam pembuluh darah sehingga umur erotsit menjadi pendek (kurang dari 100 hari).” Dapat disimpulkan bahwa dari pengertian thalasemia tersebut yang dikemukankan oleh para ahli tersebut bahwa Thalasemia adalah penyakit keturunan (pembawa sifat) genetika yang terdapat dari kedua orang tuanya dengan tingkat keparahan tidak bisa ditentukan.
58
2. Klasifikasi Thalasemia Penyakit thalasemia dipandang sebagai momok menakutkan bagi orang yang mengidapnya dikarenakan penyakit ini tidak dapat disembuhkan, sampai saat ini dunia kedokteran belum juga mendapatkan obat yang mampu mengaboti pasien thlasemia di dunia. Dunia kedokteran membagi thalasemia mejadi dua bagian. Senada dengan yang diungkapkan oleh Suriadi dan Yuliani (2010:28) klasifikasi thalasemia dibagi sebagai berikut : 1. a thalasemia : defisiensi pada rantai a 2. a thalasemia : defisiensi pada rantai a. merupakan kasus terbanyak dan terdiri dari 3 bentuk yaitu : a. Thalasemia minor/ thalasemia trait : ditandai oleh anemia mikroristik, bentuk heterozigot. b. Thalasemia intermedia : diitandai oleh spleonomegali, anemia berat, bentuk homozigot. c. Thalasemia mayor : anemia berat, tidak dapat hidup tanpa transfusi darah. Dapat disimpulkan, bahwa kutipan di atas menerangkan adanya tiga jenis atau klasifikasi thalasemia yaitu thalasemia minor trait (pembawa sifat), thalasemia intermedia, dan thalasemia mayor. Jenis-jenis thalasemia di atas adalah jenis thalasemia dengan tingkat keparahan penyakitnya. a. Thalasemia Minor/ Thalasemia Trait Individu hanya membawa gen penyakit thalasemia, namun individu hidup normal, tanda-tanda penyakit thalasemia tidak muncul. Walau thalasemia minor tak bermasalah, namun bila menikah dengan thalasemia minor juga akan terjadi masalah. Kemungkinan 25% anak mereka menerita thalasemia mayor. Pada garis keturunan pasangan ini akan muncul penyakit thalasemia mayor dengan berbagai
59
ragam keluhan. Seperti anak menjadi anemia, lemas, loyo dan sering mengalami pendarahan. Thalasemia minor sudah ada sejak lahir dan akan tetap ada di sepanjang hidup penderitanya, tapi tidak memerlukan transfusi darah di sepanjang hidupnya. Thalasemia (trait) disebut juga thalasemia minor tidak menunjukkan gejala klinis yang berarti sama halnya dengan orang normal biasanya kalaupun ada hanya anemia ringan. Mengutip dari Hays yang dikutip oleh Gerald et.al (1993-617), menjelaskan thalasemia minor adalah : “pada bentuk heterozigot, dapat dijumpai tanda-tanda anemia ringan dan splenomegali. Sedian apus darah memperlihatkan
mikrositosis
hipokromik,
sel
target,
anisositoris,
dan
poikilositosis”. b. Thalasemia Intermedia Thalasemia ini thalasemia tang dapat dikatan ringan karena thalasemia intermedia tidak harus secara teratur seperti halnya thalasemia mayor. Sehingga pasien yang mengidap penyakit thalasemia intermedia ini layaknya orang normal seperti biasa. Mengutip dari Vullo Rino et.al (1991:33), menjelaskan thalasemia intermedia adalah “Thalassaemia intermedia secara sederhana berarti thalasemia yang agak ringan, yang si pasien dapat jika perlu bertahan hidup tanpa harus tranfusi yang teratur”. c. Thalasemia Mayor Karena sifat sifat gen dominan. Thalasemia mayor merupakan penyakit yang ditandai dengan kurangnya kadar hemoglobin dalam darah. Akibatnya, penderita kekurangan darah merah yang bisa menyebabkan anemia. Dampak lebih
60
lanjut, sel-sel darah merahnya jadi cepat rusak dan umurnyapun sangat pendek, hingga yang bersangkutan memerlukan transfusi darah untuk memperpanjang hidupnya. Penderita thalasemia mayor akan tampak normal saat lahir, namun di usia 318 bulan akan mulai terlihat adanya gejala anemia. Selain itu, juga bisa muncul gejala lain seperti jantung berdetak lebih kencang dan facies cooley. Faies cooley adalah ciri khas thalasemia mayor, yakni batang hidung masuk ke dalam dan tulang pipi menonjol akibat sumsum tulang yang bekerja terlalu keras untuk mengatasi kekurangan hemoglobin. Penderita thalasemia mayor akan tampak memerlukan perhatian lebih khusus. Pada umumnya, penderita thalasemia mayor harus menjalani transfusi darah dan pengobatan seumur hidup. Tanpa perawatan yang baik, hidup penderita thalasemia mayor hanya dapat bertahan sekitar 1-8 bulan. Seberapa sering transfusi darah ini harus dilakukan lagi-lagi tergantung dari berat ringannya penyakit. Yang pasti, semakin berat penyakitnya, kian sering pula si penderita harus menjalani transfusi darah. Meujuk pada Lawrence et.al (2003:72), yang menjelaskan tentang Thalasemia Mayor adalah : Thalasemia beta mayor menyebabkan anemia berat, dan tanpa transfusi hematokrit dapat turun sampai dibawah 10%. Apusan darah tepi tampak aneh (bizzare), menunjukan poikilositosis berat, hipokromi, mikroitosis, sel target, basofil stippling, eritrosit berinti. Thalasemia mayor dapat dapat dikatakan thalasemia yang berat dikarenakan tingkat Hb (hemoglobin) cepat rusak. Penderita thalasemia mayor ini perlu perhatian khusus agar selalu dapat dikontrol dan dijaga tingkat kondisinya. Thalasemia mayor juga harus menjalani transfusi rutin dengan tingkat
61
transfusinya yang tinggi sehingga secara berkala dapat dikatakan thalasemia mayor harus menjalani transfusi rutin lebih tinggi dibandingkan yang lainnya. 3. Pencegahan Thalasemia Thalassemia dan hemoglobinopati merupakan penyakit kelainan gen tunggal (single gene disorders) terbanyak jenis dan frekuensinya di dunia. Penyebaran penyakit ini mulai dari Mediterania, Timur Tengah, Anak Benua (sub-continent) India dan Burma, serta di daerah sepanjang garis antara Cina bagian selatan, Thailand, semenanjung Malaysia, kepulauan Pasifik dan Indonesia. World Health Organization (WHO) pada tahun 1994 yang dikutip oleh Kementrian Kesehatan (2010:3), bahwa : “Tidak kurang dari 250 juta penduduk dunia, yang meliputi 4,5% dari total penduduk dunia adalah pembawa sifat (bentuk heterozigot)”. Dilihat dari kutipan tersebut ada kiranya untuk sedini mungkin angka penderita thalasemia harus ditekan karena apabila tidak ditekan sedini mungkin dikhawatirkan jumlahnya akan terus meningkat dari tahun ke tahun. Pencegahan thalassemia terutama ditujukan untuk menurunkan jumlah bayi lahir dengan thalassemia mayor. Menurut Dirjen Bina Pelayanan Medik Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2010:9), menjelaskan ada 2 pendekatan dalam pencegahan jumlah penderita thalasemia yaitu : i.
ii.
Retrospektif Pendekatan retrospektif dilakukan dengan cara melakukan penelusuran terhadap anggota keluarga dengan riwayat keluarga menderita thalassemia mayor. Prospektif Pendekatan prospektif dilakukan dengan melakukan skrining untuk mengidentifikasi karier thalassemia pada populasi tertentu.
62
Apabila jumlah penderita mampu ditekan sedini mungkin jumlah penderita thalasemia mayor yang lahir akan sedikit jumlahnya karena pencegahanpencegahan yang diulas di atas dapat terealisasi dengan baik. dan juga kemampuan pengetahuan masyarakat tentang thalasemia yang harus ditingkatkan. Melihat fenomena jumlah penderita thalasemia yang terus berkembang baik di dunia khusunya di Indonesia menurut Dirjen Bina Pelayanan Medik Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2010:9), menjelaskan bentuk-bentuk pencegahan untuk menekan jumlah penderita yang terus berkembang yaitu : 1. Edukasi 2. Skrining Karier 3. Konseling Genetika 4. Diagnosis Pranatal
1. Edukasi Edukasi masyarakat tentang penyakit thalassemia memegang peranan yang sangat penting dalam program pencegahan. Masyarakat harus diberi pengetahuan tentang penyakit yang bersifat genetik dan diturunkan, terutama tentang thalassemia dengan frekuensi kariernya yang cukup tinggi di masyarakat. Pendidikan genetika harus diajarkan di sekolah, demikian pula pengetahuan tentang gejala awal thalassemia. Media massa harus dapat berperan lebih aktif dalam menyebarluaskan informasi tentang thalassemia, meliputi gejala awal, cara penyakit diturunkan dan cara pencegahannya.
63
2. Skrining Karier Skrining thalassemia ditujukan untuk menjaring individu karier thalassemia pada suatu populasi, idealnya dilakukan sebelum memiliki anak. Skrining ini bertujuan
untuk
mengidentifikasi
individu
dan
pasangan
karier,
dan
menginformasikan kemungkinan mendapat anak dengan thalassemia dan pilihan yang dapat dilakukan untuk menghindarinya. 3. Konseling Genetika Informasi dan konseling genetika harus tersedia ditempat skrining karier dilakukan. Tenaga kesehatan tidak boleh memaksa orang untuk menjalani skrining dan harus mampu menginformasikan pada peserta skirining bila mereka teridentifikasi karier dan implikasinya. Tanggung jawab utama seorang konselor adalah memberikan informasi yang akurat dan komprehensif yang memungkinkan pasangan karier menentukan pilihan yang paling mungkin mereka jalani sesuai kondisi masing-masing. 4. Diagnosis Pranatal Diagnosis pranatal meliputi skrining karier thalassemia saat kunjungan pranatal pada wanita hamil, yang dilanjutkan dengan skrining karier pada suaminya bila wanita hamil tersebut teridentifikasi karier. Bila keduanya adalah karier, maka ditawarkan diagnosis pranatal pada janin serta pengakhiran kehamilan bila ada risiko gen thalassemia homozigot. 4. Pengobatan dan Perawatan Thalasemia Pada dasarnya pengobatan dan perawatan pasien thalasemia sama dengan pasien anemia lainnnya, yaitu memerlukam perawatan tersendiri dan perhatian
64
lebih. Masalah pasien yang perlu diperhatikan adalah kebutuhan nutrisi (pasien menderita anoreksia), resiko terjadi komplikasi akibat transfusi yang berulangulang. Gangguan rasa aman dan nyaman, dan kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit. Penderita thalasemia hanya bisa bergantung kepada transfusi darah untuk tetap bertahan hidup dan menjalani fungsi sosialnya. Senada dengan apa yang diungkapkan oleh Ngastiyah (2005:346), menjelaskan : “sampai saat ini belum ada obat yang tepat untuk menyembuhkan pasien thalasemia. Transfusi darah diberikan jika kadar Hb telah rendah sekali (kurang dari 6 g%) atau bila anak terlihat lemah tak ada nafsu makan”. Melihat kutipan di atas bahwa dijelaskan yaitu belum ada obat yang mampu menyembuhkan penderita thalasemia, pasien hanya mampu bergantung kepada transfusi darah rutin yang dilakukan untuk tetap bertahan hidup dan pemberian vitamin untuk menjaga stamina agar tidak cepat lelah. Pasien thalasemia
yang
bergantung
kepada
transfusi darah akan
menimbulkan penumpukan kadar zat besi (feritin) yang cukup banyak, yang berada pada jumlah titik penumpukan. Apabila itu semua dibiarkan akan menjadi penumpukan zat besi dalam tubuh penderita dan akan berdampak negatif pada penderita. Cara perawatan penderita thalasemia yang dikemukakan menurut Sembiring (2010:26), menjelaskan perawatan thalasemia sebagai berikut : a. Transfusi darah b. Terapi iron chelation
65
c. Suplemen asam folat Transfusi darah, transfusi darah sangat dibutuhkan pada penderita thalasemia sedang ataupun berat. Dengan transfusi darah, kadar sel darah merah atau kadar Hb (Hemoglobin) dapat dipertahankan. Untuk thalasemia intermedia, transfusi dapat diberikan dengan jangka waktu yang lebih jarang dibanding thalasemia yang berat. Misalnya saat si penderita mengalami infeksi atau saat si penderita mengalami anemia berat sehingga menyebabkan kelelahan. Sebaliknya, untuk thalasemia berat seperti thalasemia beta mayor, transfusi darah sangat dibutuhkan. Dan transfusi dilakukan secara reguler (kira-kira setiap 2 sampai 4 minggu). Terapi iron chelation, Dampak dari transfusi darah adalah overloading besi. Hal ini dikarenakan hemoglobin yang ada di dalam sel darah merah merupakan protein kaya besi. Sehingga dengan transfusi darah yang sering dapat menyebabkan kelebihan besi pada darah. Kondisi ini dapat menyebabkan kerusakan pada hati, jantung, dan organ-organ lainnya yang ada di dalam tubuh. Untuk mencegah kerusakan ini, dibutuhkanlah terapi iron chelation untuk membuang kelebihan besi dari tubuh. Ada dua obat yang paling sering digunakan dalam terapi ini. 1. Deferoxamine (Desferal), merupakan obat cair yang diberikan di bawah kulit. Biasanya obat ini diberikan dengan menggunakan alat semacam potable pump. Efek samping obat ini adalah berkurangnya kemampuan mendengar dan melihat.
66
2. Deferasirox, merupakan pil yang dimakan sekali dalam sehari. Efek samping obat ini antara lain, sakit kepala, nausea, muntah, diare, dan lelah. Suplemen asam folat, Asam folat sangat berperan dalam proses pematangan sel darah merah Biasanya suplemen asam folat ini dibutuhkan dalam terapi iron chelation dan transfusi darah.
67
BAB III OBJEK PENELITIAN
A.
Gambaran Umum POPTI (Perhimpunan Orang tua Penderita Thalasemia Indonesia) Kota Bandung POPTI atau yang diartikan sebagai Perhimpunan Orang tua Penderita
Thalasemia Indonesia didirikan atas prakarsa Prof. DR. dr. Iskandar Wahidiyat, SpA(K) bersama orang tua penderita Thalassaemia antara lain Bapak Ruswandi, Bapak R. Hikmat Msc, drg. M. Arifin, Ny. Watty Ruswandi, Bapak E. Koeraesin, dan Ny. Uswatun Arifin pada tanggal 27 Mei 1984, didirikan sebuah perhimpunan Orang Tua Penderita Thalassaemia yang diberi nama POPTI dengan anggota para orang tua yang mempunyai anak penderita Thalassaemia, yang pada saat itu sekretariatnya dikediaman almarhum Bapak R. Hikmat MSC, di Jl. Melati No. 40 Cilandak Barat, Jakarta Selatan. Dibentuknya cabang POPTI (Perhimpunan Orang tua Penderita Thalasemia Indonesia) Kota Bandung yang diketuai oleh Ibu Hj. Joyo Supeno yang bersekretariat di Jalan Jati Indah II No. 6 Bandung ini dimaksudkan dengan tujuan adalah : 1. Menampung masalah-masalah Orang tua Penderita Thalassaemia. 2. Membantu mengatasi permasalahan penderita dan orang tuanya. 3. Meringankan beban orang tua penderita. 4. Pengadaan JAMPELTAS (Jaminan Pelayanan Thalasemia) bagi penderita.
68
5. Mencegah dan memutus mata rantai thalasemia sejak dini dengan cara sosialisasi. Untuk menangani penderita Thalassaemia secara baik memerlukan biaya yang cukup besar, sedangkan sebagian besar penderita Thalassaemia dari golongan ekonomi lemah. Melalui perhimpunan ini berusaha terus mencari bantuan-bantuan untuk membantu para penderita yang mana hasilnya belum mencapai sasaran yang memuaskan. Perhimpunan Orang tua Penderita Talasemia atau lebih dikenal dengan POPTI merupakan wadah persatuan dari para orang tua dan penderita thalasemia baik yang mayor maupun minor. Kota Bandung merupakan suatu daerah di Jawa Barat yang penduduknya cukup banyak menderita penyakit Thalasemia. Adapun tujuan dari POPTI ini adalah membantu meringankan beban para penderita dan mencegah semakin meningkatnya penderita talasemia khususnya di wilayah Kota Bandung dan turut serta menyelamatkan generasi penerus bangsa yang bebas dari penyakit talasemia. Mengingat di beberapa daerah di Indonesia terus mengalami peningkatan jumlahnya, maka dibentuklah suatu Perhimpunan Orang tua Penderita Thalassaemia cabang daerah seperti yang telah terbentuk di Bandung, Tasikmalaya, Semarang, Purwokerto, Jogjakarta, Solo, Surabaya, Jambi, Medan, Palembang dan lain sebagainya. Adapun maksud dibentuknya POPTI cabang daerah antara lain agar permasalahan-permasalahan yang dihadapi dapat dicarikan jalan keluarnya secara bersama.
69
Perhimpunan bertugas memberikan jalan keluar dan solusi bagi penderita atau orang tua penderita agar keluar dari masalah yang dihadapinya baik segi finansial ataupun yang lainnya. Atau dengan jalan secara sharing tukar pendapat agar permasalahn yang dihadapi cepat terselesaiikan, karena popti itu sendiri adalah perhimpunan yang di khususkan untuk membantu secara sukarela. B.
Visi dan Misi 1. Visi Menjembatani dan mempermudah kepentingan anggota dan membantu anggotanya dalam menangani masalah baik personal, financial, maupun yang terkait dengan birokrasi umum pemerintah mengenai pembiayaan, sehingga para orang tua bisa terbantu dan teringankan bebannya. 2. Misi a. Memberikan
perawatan
kepada
penderita
ketika
berobat
berlangsung. b. Memberikan pelayanan konsultasi kepada anggota maupun non anggota. c. Pengadaan obat penunjang perawatan Thalasemia. d. Memberika
penyuluhan
kepada
mencegah penyakit Thalasemia.
masyarakat
umum
untuk
70
C.
Stuktur Perhimpunan Tabel 3.1 Struktur Perhimpunan POPTI Kota Bandung Periode 2009-2013
PELINDUNG PENASEHAT MEDIS
KETUA WAKILKETUA
BENDAHARA
BIDANG HUMAS
D.
BIDANG EKONOMI
DEWAN PEMBINA
SEKRETARIS
BIDANG KESEJAHTER AAN ANGGOTA
BIDANG ORGANISASI & DOKUMENT ASI
BIDANG AKOMOD ASI & PERALAT AN
Susunan Kepengurusan POPTI Kota Bandung Periode 2009-2014 1. Pelindung
: H. Dede Yusuf Macan Efendi (Duta Thalasemia Kota Bandung)
2. Dewan Pembina
: Erwan Setiawan, SE. Direktur RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Kepala Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS Kepala Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUP/RSHS
3. Penasihat Medis
: Prof. Dr. dr. Ponpon Idjradinata, Sp.A. (K)
BIDANG UMUM
71
Prof. dr. Iman Supardiman, Sp.PD., KHOM dr. Harry Raspati, Sp.A. (K)., MARS dr. Rachmat Sumantri, Sp.PD., KHOM dr. Lelani Reniati, Sp.A. (K)., M.Kes dr. Herry Fajari, Sp. PD., KHOM dr. Susi Susanah, Sp.A. (K) dr. Panji Irani Fianza, Sp.PD., KHOM. MSc dr. Ameylia, Sp.PD. KHOM dr. Nur Suryawan, Sp.A., M.Kes 4. Ketua
: Ny. Hj. Nunuk Sumiati Joyo Supeno
5. Wakil Ketua
: Asep Kusmayadi
6. Sekretaris I
: Irawan Alibasya
7. Sekertaris II
: Dedi Ardhi
8. Bendahara I
: Ayep Rojana
9. Bendahara II
: Yeni Heryani
10. Bidang Humas
: Milah Karmilah Serry Oktora
11. Bidang Ekonomi
: Oman Soeriadi Hasan Mansyur
12. Bidang Kesejahteraan Anggota : Rahayu Wismo Jati Widyaningsih Rahayu Mela Fauziyah Devi Yuliati
72
13. Bidang Organisasi & Dokumentasi : Hj. Dini Setyawardani Susi Rita Umsiah Subranoto 14. Bidang Akomodasi & Peralatan : Nia Kurniawati Tati Supriatin 15. Bidang Umum
: Dede Rumana Hendra Suhanda
E.
Kegiatan dan Program Perhimpunan 1. Untuk mencapai tujuan, perhimpunan melakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut : a. Mengintesnsifkan penyebaran informasi tentang thalasemia melalui media massa, pamplet, brosur dan sebagainya, agar masyrarakat luas memahami tentang penyakit Thalasemia. b. Menyelenggarakan
penyuluhan
mengenai
Thalasemia
dan
penanganannya baik kepada anggota perhimpunan maupun masyarakat. c. Memelihara dan mengigiatkan hubungan dengan Rumah Sakit, PMI, Yayasan Thalasemia Indonesia, Pemda, Depkes, serta instansi terkait lainnya dalam rangka bekerja sama menanggulangi meluasnya penyakit Thalasemia. d. Menyediakan alat-alat kesehatan dan obat-obatan dengan harga murah serta membantu anggota yang tidak mampu dengan memberikan
73
peralatan kesehatan maupun obat-obatan gratis secara bergilian sesuai kemampuan perhimpunan. e. Mengadakan kegiatan untuk anak-anak penderita dalam rangka memupuk rasa kebersamaan di antara mereka serta memlihara aspek kejiwaan melalui kegiatan pembinaan rohani, rekreasi psikologi serta kegiatan-kegiatan program kesenian. f. Menggalang dana dalam rangka memenuhi kebutuhan perhimpunan demi lancarnya program yang direncanakan. 2. Rencana Program Kerja Perhimpunan Tahun 2009-2014 a. Bidang Organisasi dan Dokumentasi 1) Melaksanakan rapat pengurus untuk koordinasi dan evaluasi dalam setiap program triwulan. 2) Melaksanakan
kegiatan
dokumentasi
setiap
kegiatan
perhimpunan. 3) Melaksanakan pembinaan dan membantu terbentuknya Poptipopti di daerah Kota/Kabupaten di wilayah Jawa Barat. 4) Melaksanakan koordinasi dan bekerja sama dengan penggurus lainnya dalam mewujudkan kelancaran setiap kegiatan. b. Bidang Kesejahteraan Anggota 1) Mengelola alat kesehatan dan obat-obatan untuk membantu bagi anggota yang tidak mampu maupun untuk di jual kepada anggota dengan harga murah
74
2) Mengadakan penyuluhan kepada anggota baik penyuluhan kesehatan gizi mapun pembinaan rohani. 3) Menyiapkan santunan bagi keluarga/anggota yang terkena musibah. 4) Mengadakan koordinasi dengan pihak Rumah Sakit dan pihak terkait lainnya dalam upaya meningkatkan pelayanan kesehatan, pengobatan dan lain-lain bagi anggota. 5) Membantu
anggota
yang
memerlukan
pertolongan
darurat/emergensi. 6) Merencanakan untuk melaksanakan wisata psikologi bagi anakanak penderita Thalasemia. 7) Melaksanakan koordinasi dan bekerja sama dengan pengurus lainnya dalam mewujudkan kelancaran setiap kegiatan. c. Bidang Hubungan Masyarakat 1) Melasanakan koordinasi dengan instansi terkait dalam rangka memperlancar kegiatan perhimpunan. 2) Mencari
relasi-relasi
yang
bersedia
membantu
kegiatan
perhimpunan. 3) Melaksakan sosialisasi thalasemia melalui media massa, seperti koran, majalah, radio, tv, dan dengan menertibkan buletin POPTI Kota Bandung serta melaksanakan penyuluhan di PTN/PTS dan SMU di wilayah Kota Bandung.
75
4) Melaksanakan koordinasi dan bekerja sama dengan pengurus lainnya dlam mewujudkan kelancaran setiap kegiatan. d. Bidang Ekonomi 1) Menggalang dana melalui jalur resmi kepada dinas-dinas dan instansi-instansi yang ada di pemerintahan tingkat kota dan kabupaten yang ada di wilayah Jawa Barat. 2) Menggalang dana melalui jalur-jalur donatur pribadi maupun perusahaan swasta/ BUMN. 3) Melaksanakan koordinasi dengan pihak-pihak terkait untuk bekerjasama dalam upaya penggalangan dana. 4) Melaksanakan koordinasi dan bekerja sama dengan pengurus lainnya demi mewujudkan kelancaran setiap kegiatan. e. Bidang Akomodasi dan Peralatan 1) Menyediakan
kebutuhan alat
peralatan kesehatan untuk
kepentingan penderita Thalasemia. 2) Menyiapkan akomodasi dan transportaso untuk kegiatankegiatan perhimpunan. 3) Mengadakan koordinasi dengan instansi terkait untuk pengadaan peralatan dan sarana prasarana yang diperlukan. 4) Melaksanakan koordinasi dan bekerja sama dengan pengurus lainnya dalam mewujudkan kelancaran setiap kegiatan.
76
f. Bidang Umum 1) Membantu kelancaran setiap kegiatan perhimpunan, mapun kegiatan yang dilaksanakan bidang-bidang lainnya. 2) Melaksakan koordinasi dan bekerja sama dengan pengurus lainnya dalam mewujudkan kelancaran setiap kegiatan. F.
Karakteristik Responden Karakteristik responden ini penting untuk dikemukakan yaitu bertujuan
untuk memperjelas data yang diperoleh dari responden. Penelitian ini mengambil responden sebagai sumber data sebanyak 35 orang, semuanya merupakan remaja penderita Thalasemia yang berada di POPTI kota Bandung. Untuk mengetahui karakteristik responden dari hasil penelitian yang penulis lakukan, maka penulis mengklasifikasikan ke dalam tiga kelompok yaitu berdasarkan agama, jenis kelamin, dan umur. Untuk lebih jelasnya mengenai karakteristik responden tersebut akan diuraikan dengan data tabel berikut ini: 1. Karakteristik Reponden Berdasarkan Agama Karakteristik responden berdasarkan agama ini merupakan karakteristik remaja penderita thalasemia yang berada di POPTI Kota Bandung yang berjumlah 35 orang. Semua penderita thalasemia yang berada di POPTI secara keseluruhan memiliki keyakinan beragama islam. 2. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Karakteristik responden berdasarkan jenis
kelamin
ini
merupakan
karakteristik dari penderita thalasemia di POPTI Kota Bandung yang terdiri dari
77
remaja laki-laki dan remaja perempuan. Jumlah dari keduanya dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
No 1 2
Tabel 3.2 Jenis Kelamin UMUR JUMLAH Laki-laki 16 Perempuan 19 Jumlah
35
PERSEN 45.7 54.3 100.0
Sumber : Hasil Penelitian, April 2013
3. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Umur Tingkat umur merupakan salah satu kriteria dalam penelitian karena di dalam karena umur seseorang merupakan salah satu indikator yang dapat membedakan seseorang dalam bertindak dan berinteraksi dengan lingkungan sosialnya kemudian mengetahui tingkat psikologis seseorang yang ditinjau dalam rentang usia. Di POPTI itu sendiri rentang usia penderita Thalasemia mulai dari umur 1 bulan sampai dengan 36 tahun yang mengidap thalasemia tetapi peneliti hanya mengambil sampel dengan rentang umur remaja yang berkisar 12-21 bagi perempuan dan 13-22 bagi laki-laki. Adapun data tabel yang tertera di bawah ini.
No 1 2 3 4 5
UMUR 20–22 tahun 18-19 tahun 16-17 tahun 14-15 tahun 12-13 tahun Jumlah
Tabel 3.4 Umur JUMLAH 4 5 10 7 9 35
Sumber : Hasil Penelitian, April 2013
PERSEN 11.4 14.3 28.6 2.0 25.7 100.0
78
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Deskripsi Hasil Penelitian a. Dukungan Keluarga Dukungan keluarga yang diberikan kepada para remaja penderita
Thalasemia apabila dilihat dari dimensi verbal dan non verbal dengan indikator dukungan emosional, dukungan instrumental, dukungan penghargaan dan dukungan informatif. Dukungan emosional merupakan ungkapan empati, kepedulian, dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan. Pertanyaan pertama mengenai dukungan keluarga berupa dukungan emosional, yaitu frekuensi dari keluarga untuk mengingatkan akan jawal check up (berobat). Hasil penelitian dijelaskan pada tabel berikut ini: Tabel 4.1 Frekuensi mengingatkan jadwal berobat (n=35) No JAWABAN RESPONDEN JUMLAH PERSEN 1 Sangat tinggi 9 25.7 2 Tinggi 18 51.4 3 Jarang 7 20.0 4 Rendah 1 2.9 5 Tidak pernah 0 0.0 Jumlah 35 100.0 Sumber : Hasil Penelitian, April 2013
Berdasarkan tabel 4.1 menjelaskan terdapat 18 responden (51.4%) menjawab bahwa frekuensi keluarga untuk mengingatkan waktu berobat sudah tinggi bahkan 9 responden (25.7%) menyatakan sangat tinggi untuk hal tersebut diatas sedangkan 20.0% lainnya menyatakan bahwa keluarga jarang untuk
79
mengingatkan waktu berobat bahkan 2.9% penderita menyatakan bahwa tingkat frrekuensi keluarga untuk mengingatkan waktu berobat adalah rendah. Menurut hasil penelitian dan wawancara dengan pihak POPTI chek-up atau berobat secara teratur dapat membantu untuk menambah daya tubuh terasa segar karena nilai darah atau Hemoglobin (Hb) dalam menjadi naik. Disisi lain responden ada yang menjawab jarang sekitar 20.0% dan rendah sekitar 2,9%, menurut POPTI itu dikarenakan kesibukan orang tua penderita sehingga hal tersebut bisa terjadi. Seperti mencari uang untuk memenuhi biaya pengobatan ketika rawat jalan dan memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya. Sehingga intensitas pengingatkan jadwal untuk check up rendah. Melihat dari tabel 4.4 yang menyatakan frekuensi keluarga tinggi itu semua perhatian dalam keluarga tinggi tentang mengingatkan waktu berobat. Pertanyaan selanjutnya adalah mengenai kemampuan keluarga untuk memberikan motivasi dalam mengatasi keluhan penyakit. Hasil penelitian dijelaskan pada tabel berikut ini:
No 1 2 3 4 5
Tabel 4.2 Pemberian motivasi mengatasi keluhan penyakit (n= 35) JAWABAN RESPONDEN JUMLAH PERSEN Sangat mampu 6 17.1 Mampu 21 60.0 Kurang mampu 6 17.1 Tidak mampu 2 5.7 Sangat tidak mampu 0 0.0 Jumlah 35 100 Sumber : Hasil Penelitian, April 2013
Berdasarkan tabel 4.2 menjelaskan terdapat 21 responden (60.0%) menjawab bahwa keluarga mampu untuk memberikan motivasi terhadap dirinya,
80
sedangkan masing-masing 6 repsonden (17.1%) menjawab bahwa keluarganya sangat mampu dan kurang mampu memberikan motivasi kepada mereka bahkan 5.7% responden menyatakan bahwa keluarganya tidak mampu untuk memberikan motivasi kepada dirinya. Menurut hasil penelitian dan wawancara dengan POPTI motivasi yang diberikan kepada para remaja yang menderita thalasemia diperlukan dengan tujuan menambah rasa percaya diri dalam diri sehingga penerimaan diri dari penderita akan meningkat dan optimistis dalam menjalani hidup semakin berkualitas. Pertanyaan selanjutnya adalah frekuensi dari keluarga untuk mengingatkan minum obat. Hasil penelitian dijelaskan pada tabel berikut ini:
No 1 2 3 4 5
Tabel 4.3 Frekuensi mengingatkan minum obat (n=35) JAWABAN RESPONDEN JUMLAH PERSEN Sangat tinggi 14 40.0 Tinggi 18 51.4 Jarang 2 5.7 Rendah 1 2.9 Tidak pernah 0 0.0 Jumlah 35 100.0
Sumber : Hasil Penelitian April 2013
Berdasarkan tabel 4.3 dapat dijelaskan bahwa 18 responden (51.4%) yang menjawab bahwa frekeunsi keluarganya untuk mengingatkan mereka minum obat sudah tinggi bahkan 14 responden (40.0%) yang menjawab sangat tinggi untuk hal tersebut sedangkan 2 responden (5.7%) lainnya menyatakan bahwa frekeunsi keluarga untuk meningatkan minum obat jarang bahkan 2.9% repsonden menyatakan bahwa tingkat frekeunsi peran keluarga dalam mengingatkan dirinya untuk minum obat adalah rendah.
81
Menurut hasil penelitian dan wawancara dengan POPTI diketahui minum obat yang teratur merupakan salah satu jalan atau cara untuk membantu menambah asupan vitamin sehingga tidak mudah lelah pada penderita dan meminimalisir jumlah kadar zat besi menumpuk dalam tubuh. Pertanyaan berikutnya berkaitan dengan kepedulian keluarga terhadap penyakit yang diderita.. Hasil penelitian dijelaskan pada tabel berikut ini: Tabel 4.4 Kepedulian keluarga terhadap penyakit yang diderita (n=35) No JAWABAN RESPONDEN JUMLAH PERSEN Sangat peduli 28 80.0 1 Peduli 5 14.3 2 3 Kurang peduli 2 5.7 4 Tidak peduli 0 0.0 5 Sangat tidak peduli 0 0.0 Jumlah 35 100.0 Sumber : Hasil Penelitian, April 2013
Berdasarkan tabel 4.4 menjelaskan bahwa terdapat 28 responden (80.0%) menjawab bahwa keluarga sanagt peduli terhadap keadaan dirinya begitu juga dengan 14.3% resonden lainnya sedangkan 2 responden (5.7%) menjawab bahwa keluarga kurang peduli terhadap keadaan dirinya. Menurut hasil penelitian dan wawancara dengan POPTI kepedulian keluarga terhadap anggota keluarganya yang menderita thalasemia dapat berupa memberikan motivasi agar selalu semangat dalam menjalani kehidupan ini, sesuai dengan hasil penilitian yang tertera dalam tabel 4.7 diatas. Pertanyaan selanjutnya adalah kemampuan keluarga dalam memberikan biaya berobat. Hasil penelitian dijelaskan pada tabel berikut ini:
82
No 1 2 3 4 5
Tabel 4.5 Kemampuan keluarga dalam biaya berobat (n=35) JAWABAN RESPONDEN JUMLAH PERSEN Sangat mampu 1 2.9 Mampu 16 45.7 Kurang mampu 11 31.4 Tidak mampu 6 17.1 Sangat tidak mampu 1 2.9 Jumlah 35 100.0 Sumber : Hasil Penelitian, April 2013
Berdasarkan tabel 4.5 dapat dijelaskan bahwa 16 responden (45.7%) merasakan bahwa keluarganya mampu untuk memberikan bantuan biaya berobat bagi dirinya bahkan 2.9% lainnya merasa keluarga sangat mampu untuk hal tersebut sedangkan 11 responden lainnya (31.4%) merasa bahwa keluarga kurang mampu utnuk memberikan biaya berobat dirinya bahkan 17.1% responden dan 2,9% lainnya merasa bahwa keluarganya tidak mampu dan sangat tidak mampu untuk membiayai pengobatan dirinya Menurut hasil penelitian dan wawancara dengan POPTI kemampuan keluarga untuk memberikan bantuan biaya berobat diperlukan karena untuk menghilangkan rasa minder (tidak percaya diri) pada diri penderita karena dia menganggap apabila tidak mampu dalam berobat akan merasa malu dan tidak percaya diri ketika menjalani perawatan rawat jalan. Melihat tabel 4.8 responden 45,7% yang memilih mampu dan sebagian lain ada yang memilih kurang mampu sekitar 31,4% karena tidak semua pasien thalasemia yang berobat ke rumah sakit dalam keadaan mampu itu semua dikarenakan banyak faktor yang melatarbelakangi masalah tersebut. Jumlah pengeluaran pasien thalasemia ketika berobat jalan untuk transfusi darah dan
83
membeli obat untuk penunjang kesehatannya dikatakan mahal dengan ukuran nominal yang tinggi sebesar Rp 250 juta per tahun. Ini semua hanya untuk biaya transfusi darah, peralatan, perawatan, obat desferal, asam folat untuk pembentukan darah merah dan keperluan lain, seperti menyewa/membeli alat pompa infus. Angka tersebut di luar biaya dokter. Meskipun sekarang sudah ada yang namanya kartu JAMPELTAS (Jaminan Pelayanan Thalasemia) yang meringankan orang tua ketika berobat tetapi tetap orang tua yang berada dalam kalangan menengah kebawah kesulitan untuk berobat ketika selama menjalani rawat jalan. Disamping itu pengeluaran finansial ketika berobat tidak hanya mengeluarkan untuk berobat saja, tetapi penderita harus mengeluarkan uangnya ketika selama menjalani rawat jalan saat berada di Rumah Sakit. Biaya hidup dan kebutuhan harus difikirkan oleh orang tua penderita selama menjalani rawat jalan. Penderita harus rela menginap di Rumah Sakit berhari-hari agar mendapatkan nomer antrian yang paling depan untuk mempercepat dalam pelaksanaan perawatan dalam menjalani transfusi darah rutin, dan itu semua membutuhkan waktu dan tenaga sehingga pengeluaran finansialpun semakin banyak ketika berada di Rumah Sakit. Pertanyaan berikutnya berkaitan dengan kemampuan keluarga dalam membiayai pengobatan. Hasil penelitian dijelaskan pada tabel berikut ini:
84
No 1 2 3 4 5
Tabel 4.6 Kemampuan keluarga dalam membiayai pengobatan (n=35) JAWABAN RESPONDEN JUMLAH PERSEN Sangat mampu 0 0.0 Mampu 12 34.3 Kurang mampu 14 40.0 Tidak mampu 8 22.9 Sangat tidk mampu 1 2.9 Jumlah 35 100.0 Sumber : Hasil Penelitian, April 2013
Berdasarkan tabel 4.6 menjelaskan bahwa terdapat 14 responden (40.0%) merasakan bahwa keluarganya kurang mampu untuk memberikan bantuan biaya pengobatan bagi dirinya bahkan 22.9% lainnya merasa keluarga kurang mampu utnuk hal tersebut bahkan 22.9% responden dan 2,9% lainnya merasa bahwa keluarganya tidak mampu dan sangat tidak mampu untuk membiayai pengobatan dirinya. Menurut hasil penelitian dan wawancara dengan POPTI kemampuan keluarga dalam membiayai pengobatan merupakan salah satu faktor utama untuk menjalani perawatan jalan untuk penderita, dan menambah keberlangsungan hidup bagi penderita itu sendiri. Pada pelaksanaannya orang tua penderita menyatakan bahwa mereka tidak mampu secara finansial untuk berobatkarena itu semua mahalnya biaya pengobatan dan jumlah finansial yang harus dikeluarkan ketika menjalani rawat jalan yang begitu banyak itu semua membuat orang tua penderita thalasemia kesulitan dalam membiayai anaknya untuk berobat. Pertanyaan selanjutnya adalah pernyataan mengenai frekuensi rekreasi keluarga. Hasil penelitian dijelaskan pada tabel berikut ini:
85
No 1 2 3 4 5
Tabel 4.7 Frekuensi rekreasi keluarga (n=35) JAWABAN RESPONDEN JUMLAH Sangat tinggi 1 Tinggi 6 Jarang 24 Rendah 3 Tidak pernah 1 Jumlah 35
PERSEN 2.9 17.1 68.6 8.6 2.9 100.0
Sumber : Hasil Penelitian, April 2013
Berdasarkan tabel 4.7 dapat dijelaskan bahwa 24 responden (68.8%) yang menjawab bahwa keluarga jarang meluangkan waktu untuk rekreasi, sedangkan 6 responden (17.1%) menjawab bahkan frekuensi waktu rekreasi dengan keluarga sudah tinggi bahkan 2.9% lainnya menjawab sangat tinggi tetapi 3 responden (8.6%) merespon frekuensi keluarag untuk rekreasi rendah bahkan 2.9% menyatakan bahwa keluarga tidak pernah melakukan rekreasi sama sekali. Menurut hasil penelitian dan wawancara dengan POPTI rekreasi yang dilakukan secara bersama dengan keluarga merupakan suatu hiburan yang dapat menciptakan rasa aman pada diri penderita pasien thalasemia dan menambah semangat hidup dalam dirinya. Rekreasi setidaknya akan mengobati kejenuhan dalam hidup. Sebagian responden yang memilih jarang sekitar 68%, dan rendah sekitar 8,6% kemudian tidak pernah 2,9% menurut wawancara peneliti itu semua dilatarbelakangi kesulitan ekonomi yang membuat penderita thalasemia jarang mendapatkan rekreasi di dalam keluarganya. Finansial yang dibutuhkan lebih untuk terfokuskan untuk biaya berobat dibanding harus berekreasi bersama keluarga. Karena rata-rata orang tua penderita thalasemia tergolong ke dalam menengah ke bawah. Pertanyaan selanjutnya mengenai kemampuan keluarga
86
dalam memnuhi kebutuhan makanan bergizi. Hasil penelitian dapat dilihat sebagai berikut :
No 1 2 3 4 5
Tabel 4.8 Kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan makanan bergizi (n=35) JAWABAN RESPONDEN JUMLAH PERSEN Sangat mampu 2 5.7 Mampu 26 74.3 Kurang mampu 7 20.0 Tidak mampu 0 0.0 Sangat tidak mampu 0 0.0 Jumlah 35 100.0 Sumber : Hasil Penelitian, April 2013
Berdasarkan tabel 4.8 dapat dijelaskan bahwa 74.3% respoden menilai bahwa keluarganya mampu untuk memnuhi kebutuhan akan makanan bergizi bahkan 2 responden (5.7%) responden merasa keluarganya sangat mampu akna hal tersebut dan hanya 7 responden (20.0%) yang melihat bahwa keluarganya kurang mampu utnuk memenhi kebuthan akan amkanan bergizi. Menurut hasil penelitian dan wawancara dengan POPTI pemenuhan kebutuhan gizi makanan dari keluarga dapat menjadi pemicu untuk para penderita thalasemia sehingga dapat menambah kekuatan dalam tubuh yang dihasilkan dari protein-protein dalam makanan dan mengganti kadar-kadar yang hilang seperti kalsium yang dibutuhkan untuk tulang karena penderita thalasemia mengalami pengeroposan pada tulangnya. Dan nutrisi-nutrisi yang dihasilkan akan membantu setidaknya untuk pernderita tetap terjaga daya tahan tubuhnya. Melihat responden yang memilih pilihan kurang mampu sekitar 20.0% itu disebabkan terkendalanya ekonomi untuk membeli kebutuhan yang harus dipenuhi, sehingga pemenuhan kebutuhan seperti penyediaan makanan bergizi
87
untuk penderita tidak dapat terpenuhi karena penderita tidak semua dalam keadaan mampu. Pertanyaan selanjutnya adalah frekuensi keluarga dalam memebrikan pujian dikala mendapatkan keberhasilan. Hasil penelitian dijelaskan pada tabel berikut ini: Tabel 4.9 Frekuensi memberikan pujian dikala mendapatkan keberhasilan (n=35) JAWABAN RESPONDEN JUMLAH PERSEN Sangat tinggi 9 25.7 Tinggi 19 54.3 Jarang 4 11.4 Rendah 3 8.6 Tidak pernah 0 0.0 Jumlah 35 100.0
No 1 2 3 4 5
Sumber : Hasil Penelitian, April 2013
Berdasarkan tabel 4.9 dapat menjelaskan terdapat 19 responden (54.3%) merasakan bahwa frekeunsi keluarganya memberikan pujian sudah tinggi bahkan 25.7% lainnya merasa bahwa frekeunsi keuarga untuk memebrikan pujian sanagt tinggi sedangkan 11.4% responden lainnya merasa bahwa keluarga jarang melkaukan kegiatan tersbut bahkan
8.6%lainnya merasa bahwa frekeunsi
keluarga memberikan pujian ketika mendapatkan keberhasilan berada pada tingkat rendah. Menurut hasil penelitian dan wawancara dengan keluarga pujian yang diberikan oleh keluarga dalam keberhasilan yang dicapai atau yang dihasilkan menambah rasa optimistis dalam hidup karena penderita menganggap dengan pujian yang terus diberikan semakin memberikan pemahaman pada dirinya bahwa penderita menganggap hidupnya tidak sendiri masih ada orang lain yang peduli pada penderita thalasemia. Lain halnya denga responden yang memilih pilihan
88
jarang sekitar 11,4% dan rendah sekitar 8.6% dikarenakan kurang pedulinya orang tua terhadap penderita sehingga penderita kurang mendapatkan pujian dikala mendapatkan keberhasilan. Terkadang orang tua acuh meskipun penderita mendapatkan hal yang menggembirakan. Selanjutnya pertanyaan mengenai kemampuan keluarga memeberikan dorongan untuk maju. Hasil penelitian dijelaskan pada tabel berikut ini:
No 1 2 3 4 5
Tabel 4.10 Kemampuan keluarga memberikan dorongan untuk maju (n=35) JAWABAN RESPONDEN JUMLAH PERSEN Sangat mampu 10 28.6 Mampu 21 60.0 Kurang mampu 4 11.4 Tidak mampu 0 0.0 Sangat tidk mampu 0 0.0 Jumlah 35 100.0 Sumber : Hasil Penelitian, April 2013
Berdasarkan tabel 4.10 dapat dilihat terdapat 21 responden (60.0%) responden menjawab bahwa keluarga mampu memberikan dorongan kepada dirinya untuk maju bahkan 10 responden (28.6%) menjawab keluarganya sangat mampu akan hal tersebut sedangkan 11.4% lainnya merespon bahwa keluarganya kurang mampu memebrikan dorongan kepada dirinya. Menurut hasil penelitian dan wawancara dengan keluarga kemampuan keluarga dalam bentuk dorongan untuk maju selalu diberikan agar penderita Thalasemia selalu percaya diri dengan apa yang dia punya dan kuliatas hidupnyapun akan jauh lebih baik dari sebelumnya. selanjutnya pertanyaan mengenai kemampuan keluarga dalam memebrikan informasi tentang penyakit . Hasil penelitian dijelaskan pada tabel berikut ini :
89
No 1 2 3 4 5
Tabel 4.11 Kemampuan keluarga memberikan informasi tentang penyakit (n=35) JAWABAN RESPONDEN JUMLAH PERSEN Sangat mampu 5 14.3 Mampu 21 60.0 Kurang mampu 8 22.9 Tidak mampu 1 2.9 Sangat tidk mampu 0 0.0 Jumlah 35 100.0 Sumber : Hasil Penelitian, April 2013
Berdasarkan tabel 4.11 menjelaskan terdapat 21 responden (60.0%) yang menjawab bahwa keluarga mampu untuk memberikan informasi mengenai penyakit yang dideritanya bahkan (14.3%) yang menjawab bahwa keluarganya sangat mampu akan hal tersebut dan sisanya 22.9% merasa bahwa keluarganya kurang mampu memberikan informasi menganai penyakit yang dideritanya. Menurut hasil penelitian dan wawancara dengan keluarga informasi tentang penyakit yang dideritanya diperlukan guna untuk memberikan pemahaman meskipun penderita thalasemia adalah sebagai penyandang tetapi bagaimana caranya mereka mampu menjalani hari-harinya seperti orang sehat pada umunya, yaitu dengan cara pemberian motivasi yang lebih oleh keluarga kepada penderita thalasemia. Disisi lain ada responden yang memilih kurang mampu sekitar 22,9% dan tidak mampu sekitar 2,9% itu semua menurut keluarga penderita karena kurangnya pemahaman tentang penyakit yang diderita oleh penderita sebagai penderita thalasemia, minimnya pengetahuan tersebut membuat pemberian informasi tentang penyakitpun menjadi kurang mampu. Pertanyaan selanjutnya adalah mengenai frekuensi memeberikan nasehat untuk menambah kepercayaan diri. Hasil penelitian dijelaskan pada tabel berikut ini:
90
No 1 2 3 4 5
Tabel 4.12 Frekuensi memberikan nasehat untuk menambah kepercayaan diri (n=35) JAWABAN RESPONDEN JUMLAH PERSEN Sangat tinggi 14 40.0 Tinggi 17 48.6 Jarang 4 11.4 Rendah 0 0.0 Tidak pernah 0 0.0 Jumlah 35 100.0
Sumber : Hasil Penelitian, April 2013
Berdasarkan tabel 4.12 menjelaskan bahwa terdapat 17 responden (48.6%) yang menjawab bahwa frekeunsi keluarganya untuk menambah percaya diri mereka sudah tinggi bahkan 14 responden (40.0%) lainnya menjawab sangat tinggi hal tersebut sedangkan 11.4% merespon bahwa frekuensi keluarganya untuk memberikan nasehat jarang. Menurut hasil penelitian dan wawancara dengan keluarga nasehat yang diberikan oleh keluarga dapat menambah kepercayaan diri penderita apabila diberikan secara terus menerus dan hasilnyapun akan jauh lebih baik karena penderita thalasemia sangat membutuhkan nasihat yang memicu dirinya untuk semnagt dalam menjalani hidupnya. Selanjutnya pertanyaan mengenai frekeunsi keluarga memebrikan nasehat agar tidak minder. Hasil penelitian dijelaskan pada tabel berikut ini :
91
Tabel 4.13 Frekuensi keluarga memberikan nasehat agar tidak minder (n=35) No JAWABAN RESPONDEN JUMLAH PERSEN 1 Sangta tinggi 16 45.8 2 Tinggi 14 40.0 3 Jarang 5 14.3 4 Rendah 0 0.0 5 Tidak pernah 0 0.0 Jumlah 35 100.0 Sumber : Hasil Penelitian, April 2013
Berdasarkan tabel 4.13 dapat dijelaskan terdapat 16 responden (45.8%) responden menjawab bahwa frekeunsi keluarganya untuk memberikan nasehat agar tidak minder sanagt tinggi , 14 responden (40.0%) merespon tinggi hal itu dan 5 responden (14.3%) lainnya menyatakan bahwa frekuensi keluarga memberikan nasihat jarang. Menurut hasil penelitian dan wawancara dengan keluarga nasehat yang diberikan tersebut harus dapat menumbuhkan sikap percaya diri di dalam diri penderita karena dengan percaya diri yang tinggi maka secara otomatis kualitas hidup penderita thalasemia akan jauh lebih baik, karena mereka menganggap bahwa nasihat yang diberikan keluarga sangat dibutuhkan sekali untuk menambah penerimaan dirinya dalam menjalani kehidupan. b. Penerimaan diri pasien Thalasemia Untuk variabel penerimaan diri pasien thalasemia ini dilat dari dimensi peningkatan pengetahuan tentang thalasemia dan kemampuan pemahaman diri dengan indikator pengetahuan tentang kadar Hb, pengetahuan tentang transfusi darah, pengetahuan tentang pemasangan desferal (khelasi besi), pengetahuan tentang kadar zat besi, kemampuan bergaul, kemampuan mengembangkan
92
pengetahuan, dan kemampuan spiritual. Selanjutnya pertanyaan mengenai dimensi peningkatan pengetahuan tentang thalasemia yang pertama yaitu tentang kemampuan keluarga memberikan pengethauan manfaat mengontrol nilai Hb secara rutin, hasil penelitian dijelaskan pada tabel berikut ini :
No 1 2 3 4 5
Tabel 4.14 Kemampuan keluarga memberikan pengetahuan manfaat mengontrol nilai Hb secara rutin (n=35) JAWABAN RESPONDEN JUMLAH PERSEN Sangat mampu 11 31.5 Mampu 17 48.6 Kurang mampu 7 20.0 Tidak mampu 0 0.0 Sangat tidk mampu 0 0.0 Jumlah 35 100.0 Sumber : Hasil Penelitian, April 2013
Berdasarkan tabel 4.14 menjelaskan bahwa 17 responden (48.6%) yang menjawab bahwa keluargnya mampu untuk memberikan pengetahuan manfaat mengontrol nilai Hb secara rutin, 31.5% mengaku bahwa mereka keluarganya sangat mampu untuk hal tersebut sedangkan 20.0% responden menyatakan bahwa keluarganya kurang mampu utnuk memberikan pengetahuan tentang manfaat mengontrol nilai Hb secara rutin. Menurut hasil penelitian dan wawancara dengan POPTI pengetahuan tentang manfaat mengotrol nilai Hb secara rutin adalah mengetahui kadar hemoglobin (Hb) dalam penderita thalasemia sehingga akan mengetahui harus atau tidaknya menjalani transfusi rutin. Melihat responden yang memilih kurang mampu sekitar 20,0% itu semua dilatarbelakangi karena keluarga kurang faham mengenai manfaat mengontrol Hemoglobin (Hb) padahal pengontrolan kadar Hemoglobin (Hb) haruslah rutin untuk mengetahui hasil kadar Hemoblobin (Hb)
93
pada penderita. Selanjutnya pertanyaan
mengenai kemampuan keluarga
memeberikan pengeatahuan pentingnya menjaga nilai Hb. Hasil penelitian berdasarkan tabel berikut ini:
No 1 2 3 4 5
Tabel 4.15 Kemampuan keluarga memberikan pengetahuan pentingnya menjaga nilai Hb (n=35) JAWABAN RESPONDEN JUMLAH PERSEN Sangat mampu Mampu Kurang mampu Tidak mampu Sangat tidk mampu Jumlah
14 18 3 0 0 35
40.0 51.4 8.6 0.0 0.0 100.0
Sumber : Hasil Penelitian, April 2013
Berdasarkan tabel 4.15 menjelaskan bahwa 18 responden (51.4%) yang menjawab bahwa keluargnya mampu untuk memberikan pengetahuan pentingnya menjaga nilai Hb, 40.0% mengaku bahwa mereka keluarganya sangat mampu untuk hal tersevut sedangkan 8.6% responden menyatakan bahwa keluarganya kurang mampu utnuk memberikan pengetahuan tentang pentingnya menjaga nilai Hb. Menurut hasil penelitian dan wawancara dengan POPTI pengetahuan tentang pentingnya menjaga nilai Hb sangat diperlukan dikarenakan kandungan sel darah merah pada penderita thalasemia cepat rusak sehingga diperlukan menjaga nilai hemoglobin (Hb) dalam tubuh dengan cara tidak melakukan aktifitas-aktifitas yang berat yang dapat menimbulkan nilai Hemoglobin (Hb) menjadi turun atau rusak. Apabila nilai Hb tidak mampu dijaga akan berdapak kurang baik bagi penderita seperti raut wajah pucat, lelah, kurangnya nafsu makan, dan sukar dalam tidur untuk itu pentingnya menjaga nilai Hb untuk
94
menjaga kondisi tubuh penderita agar tetap baik. Selanjutnya pertanyaan mengenai kemampuan keluarga memeberikan pengetahuan tentang transfusi darah. Hasil penelitian dijelaskan pada tabel berikut ini :
No 1 2 3 4 5
Tabel 4.16 Kemampuan keluarga memberikan pengetahuan tentang tranfusi darah (n=35) JAWABAN RESPONDEN JUMLAH PERSEN Sangat mampu 14 40.0 Mampu 19 54.3 Kurang mampu 2 5.7 Tidak mampu 0 0.0 Sangat tidak mampu 0 0.0 Jumlah 35 100.0 Sumber : Hasil Penelitian, April 2013
Berdasarkan tabel 4.16 menjelaskan bahwa 19 responden (54.3%) yang menjawab bahwa keluargnya mampu untuk memberikan pengetahuan tentang transfusi darah, 40.0% mengaku bahwa mereka keluarganya sangat mampu untuk hal tersebut sedangkan 5.7% responden menyatakan bahwa keluarganya kurang mampu utnuk memberikan pengetahuan tentang tentang transfusi darah. Menurut hasil penelitian dan wawancara dengan POPTI pengetahuan tentang transfusi darah diperlukan oleh para penderita thalasemia karena transfusi darah merupakan faktor utama dalam keberlangsung hidup penderita thalasemia, tanpa trasfusi darah penderita akan lemah dan tidak bisa beraktifitas seperti biasanya. Selanjutnya pertanyaan mengenai kemampuan keluarga memberikan pengetahuan tentang harusnya menjalani transfusi darah secara rutin. Hasil penelitian dijelaskan pada tabel berikut ini:
95
No 1 2 3 4 5
Tabel 4.17 Kemamapuan keluarga memberikan pengetahuan tentang harusnya menjalani transfusi darah secara rutin (n=35) JAWABAN RESPONDEN JUMLAH PERSEN Sangat mampu 17 48.6 Mampu 16 45.7 Kurang mampu 2 5.7 Tidak mampu 0 0.0 Sangat tidk mampu 0 0.0 Jumlah 35 100.0 Sumber : Hasil Penelitian, April 2013
Berdasarkan tabel 4.17 menjelaskan bahwa 17 responden (48.6%) yang menjawab bahwa keluargnya sangat mampu untuk
memberikan pengetahuan
harusnya menjalani transfusi darah secara rutin, 45.7% mengaku bahwa mereka keluarganya mampu untuk hal tersebut dan hanya 5.7% responden menyatakan bahwa keluarganya kurang mampu utnuk memberikan pengetahuan tentang harusnya menjalani transfusi darah secara rutin. Menurut hasil penelitian dan wawancara dengan POPTI harusnya untuk menjalani transfusi darah secara rutin dapat dilakukan dengan tujuan agar penderita thalasemia dapat bertahan hidup lama lagi, karena penderita thalasemia hanya bisa bergantung kepada transfusi darah yang dilakukan secara rutin. Selanjutnya pertanyaan mengenai kemampaun keluarga memebrikan pengetahuan tentang bahayanya tidak menjalani transfusi darah. Hasil penelitian dijelaskan pada tabel berikut ini :
96
No 1 2 3 4 5
Tabel 4.18 Kemampuan keluarga memberikan pengetahuan tentang bahayanya tidak menjalani transfusi darah (n=35) JAWABAN RESPONDEN JUMLAH PERSEN Sangat mampu 18 51.4 Mampu 13 37.1 Kurang mampu 4 11.4 Tidak mampu 0 0.0 Sangat tidk mampu 0 0.0 Jumlah 35 100.0 Sumber : Hasil Penelitian, April 2013
Berdasarkan tabel 4.18 menjelaskan bahwa 18 responden (51.4%) yang menjawab bahwa keluargnya sangat mampu untuk
memberikan pengetahuan
tentang bahayanya tidak menjalani transfusi darah, 37.1% mengaku bahwa mereka keluarganya mampu untuk hal tersebut dan hanya 11.4% responden menyatakan bahwa keluarganya kurang mampu untuk memberikan pengetahuan tentang bahayanya tidak menjalani transfusi darah secara rutin tersebut. Menurut hasil penelitian dan wawancara dengan POPTI, bahayanya apabila para penderita tidak menjalani transfusi darah adalah akan akan mengalami lemas dan tidak bisa beraktifitas karena nilai Hemoglobin (Hb) dalam tubuh kurang, yang lebih fatalnya apabila tidak menjalani transfusi darah rutin adalah kematian. Selanjutnya pertanyaan mengenai kamampuan keluarga memberikan pengethauan tentang pentingnya pemasangan desferal. Hasil penelitian dijelaskan pada tabel berikut ini:
97
Tabel 4.19 Kemampuan keluarga memberikan pengetahuan tentang pentingnya pemasangan desferal (n=35) No JAWABAN RESPONDEN JUMLAH PERSEN 1 Sangat mampu 15 42.9 2 Mampu 14 40.0 3 Kurang mampu 5 14.3 4 Tidak mampu 1 2.9 5 Sangat tidak mampu 0 0.0 Jumlah 35 100.0 Sumber : Hasil Penelitian, April 2013
Berdasarkan tabel 4.19 menjelaskan bahwa 15 responden (42.9%) yang menjawab bahwa keluarganya sangat mampu untuk memberikan pengetahuan tentang pentingnya pemasangan desferal dan 40.0% mengaku bahwa keluarganya mampu untuk hal tersebut sedangkan 14.3% responden menyatakan bahwa keluargnaya kurang mamapu untuk memberikan pengetahuan tentang pentingnya pemasangan desferal dan sisanya 1 responden (2.9 %) menyatakan bahwa keluargnaya tidak ammapu melakukan hal tersebut. Menurut hasil penelitian dan wawancara dengan POPTI pengetahuan tentang pentingnya pemasangan desferal (khelasi besi) adalah untuk mengangkat kandungan zat besi dalam tubuh yang dihasilkan dari pembawaan darah dalam transfusi yang dilakukan. Sehingga jumlah kadar zat besi dalam tubuh akan menumpuk, untuk itu pemasangan desferal sangat dibutuhkan. Kemudian responden yang memilih kurang mampu sekitar 14,3% dan tidak mampu sekitar 2,9% itu semua disebabkan minimnya pengetahuan orang tua tentang pemasangan desferal. Pemasangan desferal, obatnya yang begitu mahal dan alat pompanya menjadikan faktor orang tua kurang memberikan pengetahuan pemasangan desferal tersebut. Selanjutnya pertanyaan mengenai kemampaun keluarga
98
memberikan pengetahuan tentang bahayanya tidak melakukan pemasangan desferal. Hasil penelitian dapat dilihat pada tabel berikut ini
No 1 2 3 4 5
Tabel 4.20 Kemampuan keluarga memberikan pengetahuan tentang bahayanya tidak melakukan pemasangan desferal (n=35) JAWABAN RESPONDEN JUMLAH PERSEN Sangat mampu 15 42.9 Mampu 11 31.4 Kurang mampu 8 22.9 Tidak mampu 1 2.9 Sangat tidak mampu 0 0.0 Jumlah 35 100.0 Sumber : Hasil Penelitian, April 2013
Berdasarkan tabel 4.20 menjelaskan bahwa 15 responden (42.9%) yang menjawab bahwa keluarganya sangat mampu untuk memberikan pengetahuan tentang bahayanya tidak malakukan pemasangan desferal dan 31.4% mengaku bahwa keluarganya mampu untuk hal tersebut sedangkan 22.9% responden menyatakan bahwa keluarganya kurang mampu untuk memberikan pengetahuan tentang bahanya jika tidak melakukan pemasangan desferal dan sisanya 1 responden (2.9 %) menyatakan bahwa keluarganya tidak mampu melakukan hal tersebut. Menurut hasil penelitian dan wawancara dengan POPTI bahanya apabila tidak melakukan pamasangan desferal bagi penderita thalasemia adalah akan menumpuknya kandungan zat besi dalam tubuh seperti dalam jantung, otak dan hati dan akan menjalar kesemua bagian organ tubuh lainnya. Apabila itu dibiarkan begitu saja, efeknya komplikasi penyakit akan menimpa kepada penderita thalasemia. Penderita yang memilih pilihan kurang mampu sekitar 22,9% dan tidak mampu sekitar 2,9% itu disebabkan tidak fahamnya orag tua mengenai
99
bahaya tidak melakukan pemasangan desferal dan faktor finansial yang mahalnya untuk membeli obat desferal tersebut yang menyebabkan orang tua penderita kurang memberikan pengetahuan bahayanya tidak melakukan pemasangan alat desferal. Selanjutnya pertanyaan mengenai kemampaun keluarga memebrikan pengethauan tentang kadar zat besi dalam tubuh . Hasil penelitian dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 4.21 Kemampuan keluarga memberikan pengetahuan tentang kadar zat besi dalam tubuh (n=35) No JAWABAN RESPONDEN JUMLAH PERSEN 1 Sangat mampu 9 25.7 2 Mampu 16 45.7 3 Kurang mampu 10 26.6 4 Tidak mampu 0 0.0 5 Sangat tidk mampu 0 0.0 Jumlah 35 100.0 Sumber : Hasil Penelitian, April 2013
Berdasarkan tabel 4.21 menjelaskan bahwa 16 responden (45.7%) yang menjawab bahwa keluarganya mampu untuk memberikan pengetahuan tentang kadar zat besi dalam tubuh bahkan 25.7% mengaku bahwa keluarganya sangat mampu untuk hal tersebut sedangkan 26.6% responden menyatakan bahwa keluargnaya kurang mampu untuk memberikan pengetahuan tentang kadar zat besi dalam tubuh. Menurut hasil penelitian dan wawancara dengan POPTI, pengetahuan tentang kadar zat besi dalam tubuh diperlukan dengan tujuan mengontrol kandungan zat besi dalam tubuh agar tidak menumpuk dan menjalar kebagian organ tubuh yang lainnya. Disamping itu responden yang memilih pilihan kurang mampu sekitar 26,6% responden menyatakan bahwa kurang fahamnya orang tua
100
penderita mengenai kadar zat besi dalam tubuh penderita, bahaya dan dampak negatif dari zat besi dalam tubuh yang ditimbulkan. Zat besi yang ditimbulkan akan berdampak negatif pada kesehatan penderita, zat besi yang menumpuk dalam tubuh akan menyebabkan gangguan pada organ tubuh yang lainnya karena penumpukan zat besi yang ditimbulkan oleh zat besi tersebut. Sehingga akan menyebabkan kerjanya organ tubuh lain terganggu dan tidak akan baik bagi kesehatan penderita seperti sesak nafas, pusing dikepala, dan yang paling bahaya kerja jantung tidak maksimal akan berbahaya karena asupan oksigen ke seluruh tubuh tidak maksimal. Selanjutnya pertanyaan mengenai kemampuan keluarga memberikan pengetahuan tentang bahayanya tidak melakukan pengecekan kadar zat besi dalam tubuh. Hasil penelitian dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 4.22 Kemampuan keluarga memberikan pengetahuan tentang Bahayanya tidak melakukan pengecekan kadar zat besi dalam tubuh (n=35) No JAWABAN RESPONDEN JUMLAH PERSEN 1 Sangat mampu 6 17.1 2 Mampu 22 62.9 3 Kurang mampu 7 20.0 4 Tidak mampu 0 0.0 5 Sangat tidak mampu 0 0.0 Jumlah 35 100.0 Sumber : Hasil Penelitian, April 2013
Berdasarkan tabel 4.22 menjelaskan bahwa 22 responden (62.9%) yang menjawab bahwa keluarganya mampu untuk memberikan pengetahuan tentang bahayanay tidak melakukan pengecekan kadar besi dalam tubuh dan 17.1% mengaku bahwa keluarganya sangat mampu untuk hal tersebut sedangkan 20.0% responden menyatakan bahwa keluargnaya kurang mamapu untuk memberikan
101
pengetahuan tentang bahayanya tidak melakuakn pengecekan kadar zat besi dalam tubuh terebut. Menurut hasil penelitian dan wawancara dengan POPTI, bahaya yang timbul apabila tidak melakukan pengecekan kadar zat besi dalam tubuh bagi penderita thalasemia adalah komplikasi penyakit seperti pada jantung yang akan berimbas pada kerja jantung yang tidak maksimal dikarenakan penumpukan kadar zat besi pada jantung tersebut dan di otak yang menyebabkan sistem kerja otakpun akan terganggu dan biasanya akan merasa pusing dalam kepala penderita karena tersumbatnya asupan oksigen ke otak sehingga penderita akan merasa pusing dan fatalnya penderita akan mengalami kematian. Selanjutnya pertanyaan mengenai kemampuan bergaul dengan lingkungan masyarakat tempat tinggal. Hasil penelitian dapat dilihat pada tabel berikut ini :
No 1 2 3 4 5
Tabel 4.23 Kemampuan bergaul dengan lingkungan masyarakat tempat tinggal (n=35) JAWABAN RESPONDEN JUMLAH PERSEN Sangat mampu 12 34.3 Mampu 20 57.1 Kurang mampu 2 5.7 Tidak mampu 1 2.9 Sangat tidk mampu 0 0.0 Jumlah 35 100.0 Sumber : Hasil Penelitian, April 2013
Berdasarkan tabel 4.23 menjelaskan bahwa 20 responden (57.1%) yang menjawab bahwa mereka mampu untuk bergaul dengan lingkungan masyarakat tempat tinggal bahkan 34.3% respodnen mneytakan bahwa mereka sanagt mampu untuk bergaul dengan masyarakat tempat tinggalnya sedangkan 5.7% responden
102
menyatakan mereka kurang mmapu untuk bergaul dengan lingkungan masyarakat tempat tinggalnya. Menurut hasil penelitian dan wawancara dengan POPTI, bergaul secara bebas dengan lingkungan masyarakat tempat tinggal merupakan salah satu faktor untuk mendapatkan wawasan yang didapatkan dilingkungan sekitar sehingga akan menambah kualitas hidup pada penderita thalasemia. Selanjutnya pertanyaan mengenai kemampaun bergaul dengan teman sebaya. Hasil penelitian dapat dilihat pada tabel berikut ini :
No 1 2 3 4 5
Tabel 4.24 Kemampuan bergaul dengan teman sebaya (n=35) JAWABAN RESPONDEN JUMLAH PERSEN Sangat mampu 11 31.4 Mampu 21 60.0 Kurang mampu 3 8.6 Tidak mampu 0 0.0 Sangat tidk mampu 0 0.0 Jumlah 35 100.0 Sumber : Hasil Penelitian, April 2013
Berdasarkan tabel 4.24 menjelaskan bahwa 21 responden (60.0%) yang menjawab bahwa mereka mampu untuk bergaul dengan teman sebayanya bahkan 31.4% mengaku bahwa mereka sangat mampu untuk bergaul dengan teman sebayanya dan hanya 8.6% responden menyatakan bahwa kurang mampu untuk melakukan hal tersebut. Menurut hasil penelitian dan wawancara dengan POPTI, kemampuan penderita thalasemia untuk bergaul dengan teman sebayanya adalah suatu nilai yang akan didapat untuk dirinya dan mampu memberikan apa yang dia punya untuk lingkungan sekitarnya. Dan menjalankan tugas pokok dan fungsinya
103
sebagai anak sama halnya dengan teman-temannya yang lain. Selanjutnya pertanyaan mengenai kemampuan bergaul di lingkungan POPTI. Hasil penelitian dapat dilihat pada tabel berikut ini:
No 1 2 3 4 5
Tabel 4.25 Kemampuan bergaul di lingkungan POPTI (n=35) JAWABAN RESPONDEN JUMLAH PERSEN Sangat mampu 2 5.7 Mampu 25 71.4 Kurang mampu 8 22.9 Tidak mampu 0 0.0 Sangat tidk mampu 0 0.0 Jumlah 35 100.0 Sumber : Hasil Penelitian, April 2013
Berdasarkan tabel 4.25 menjelaskan bahwa 25 responden (71.4%) yang menjawab bahwa mereka mampu untuk bergaul di lingkungan POPTI, 5.7% mengaku bahwa mereka sangat sangat mampu untuk melakukan hal tersebut sedangkan 22.9 responden menyatakan bahwa mereka kurang mampu untuk bergaul di lingkungan POPTI tersebut. Menurut hasil penelitian dan wawancara dengan POPTI, kemampuan bergaul di lingkungan POPTI diwujudkan dengan keikutsertaan dalam bentuk mengikuti kegiatan yang diadakan oleh pihak POPTI itu sendiri dan programprogram lain yang diadakan. Serta dapat bersosialisasinya dengan penderitapenderita yang lain di lingkungan Rumah Sakit dan POPTI. Melihat responden yang memilih pilihan kurang mampu sekitar 22,9% disebabkan faktor individu penderita yang tidak mampu bersosialisasi dengan yang lainnya di lingkungan POPTI dan ketidakmampuan individu untuk bergaul dikarenakan kondisi yang tidak mampu untuk bergaul dan bersosialisasi. Penderita tidak mampu beraktifitas
104
saat melakukan transfusi darah karena keadaan lemah pada penderita dan jarang melihat penderita thalasemia dalam keadaan ceria. Itu sebabnya penderita itu penuh dengan keterbatasan. Selanjutnya pertanyaan mengenai kemampuan bergaul di lingkungan sekolah. Hasil penelitian dapat dilihat pada tabel berikut ini:
No 1 2 3 4 5
Tabel 4.26 Kemampuan bergaul di lingkungan sekolah (n=35) JAWABAN RESPONDEN JUMLAH PERSEN Sangat mampu 11 31.4 Mampu 16 45.7 Kurang mampu 6 17.1 Tidak mampu 0 0.0 Sangat tidk mampu 2 5.7 Jumlah 35 100.0 Sumber : Hasil Penelitian, April 2013
Berdasarkan tabel 4.26 dapat dijelaskan terdapat 16 responden (45.7%) responden menjawab bahwa mereka mampu untuk bergaul di lingkungan sekolah bahkan 11 responden (31.4%) merespon bahwa mereka sangat mampu untuk melakukan hal itu tetapi 6 responden (17.1%) lainnya menyatakan bahwa mereka kurang mampu untuk bergaul di lingkungan sekolah bahkan 5,7% merasa bahwa mereka sangat tidak mampu untuk bergaul di lingkungan sekolahnya. Menurut hasil penelitian dan wawancara dengan keluarga, lingkungan sekolah merupakan tempat yang paling menyenangkan untuk seorang anak dalam melakukan aktifitas-aktifitasnya karena lingkungan sekolah adalah sarana untuk mengekspresikan buah pikir kedalam baik tulisan atau lisan di saat jam-jam KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) berlangsung. Diluar jam KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) penderita menyibukan dirinya dengan mengikuti kegiatan yang berada
105
di sekolah seperti PRAMUKA, PMR, PASKIBRA meskipun ada batasan-batasan khusus yang harus diperhatikan oleh penderita. Dan lingkungan sekolahpun memberikan warna tersendiri bagi seorang penderita dalam hari-harinya sebagai siswa yang menuntut ilmu. Selanjutnya pertanyaan mengenai kemampuan memeproleh ilmu ketika belajar di sekolah. Hasil penelitian dijelaskan pada tabel berikut ini : Tabel 4.27 Kemampuan memperoleh ilmu ketika belajar di sekolah (n=35) No JAWABAN RESPONDEN JUMLAH PERSEN 1 Sangat mampu 3 8.6 2 Mampu 28 80.0 3 Kurang mampu 4 11.4 4 Tidak mampu 0 0.0 5 Sangat tidak mampu 0 0.0 Jumlah 35 100.0 Sumber : Hasil Penelitian, April 2013
Berdasarkan tabel 4.27 dapat dijelaskan terdapat 28 responden (80.0%) responden menjawab bahwa mereka mampu untuk memperoleh ilmu ketika belajar di sekolah tetapi 11.4% merasa bahwa mereka kurang mampu mendapatkan ilmu ketika sekolah. Menurut hasil penelitian dan wawancara dengan keluarga, kemampuan seorang penderita thalasemia ketika belajar di sekolah mampu dengan baik dijalani sebagaimana anak-anak pada umumnya meskipun dengan keterbatasan dan tidak mampu penuh dalam bersaing dengan yang lainnya, tapi penderita thalasemia mampu optimal dengan baik ketika belajar di sekolah dan bahkan ada yang mampu meraih prestasi yang baik sekali. Selanjutnya pertanyaan mengenai
106
kemampuan mengapliksikan ilmu yang didapat di sekolah. Hasil penelitian dijelaskan pada tabel berikut ini : Tabel 4.28 Kemampuan mengaplikasikan ilmu yang di dapat disekolah (n=35) No JAWABAN RESPONDEN JUMLAH PERSEN Sangat mampu 3 8.6 1 Mampu 27 77.1 2 3 Kurang mampu 4 11.4 4 Tidak mampu 1 2.9 5 Sangat tidak mampu 0 0.0 Jumlah 35 100.0 Sumber : Hasil Penelitian, April 2013
Berdasarkan tabel 4.28 dapat dijelaskan terdapat 27 responden (77.1%) responden menjawab bahwa mereka mampu untuk mengaplikasikan ilmu yang mereka dapat di sekolah, 4 responden (11.4%) merespon kurang mampu melakukan hal itu dan 1 responden (2.9%) lainnya bahwa mereka tidak mampu melakukan hal tersebut. Menurut hasil penelitian dan wawancara dengan keluarga, kemampuan untuk mengaplikasikan ilmu yang didapat disekolah dapat diwujudkan dalam bentuk kreasi seni atau karya-karya yang dapat berguna bagi diri penderita atau sekolah. Karena itu semua mempunyai nilai rasa puas dalam diri penderita dengan hasil yang didapatnya itu semua akan menambah rasa bangga dan puas dalam diri penderita. Selanjutnya pertanyaan mengenai kemampuan bersaing dalam mendapatkan prestasi di sekolah. Hasil penelitian dijelaskan pada tabel berikut ini :
107
No 1 2 3 4 5
Tabel 4.29 Kemampuan bersaing dalam mendapatkan prestasi di sekolah (n=35) JAWABAN RESPONDEN JUMLAH PERSEN Sangat mampu 3 8.6 Mampu 19 54.3 Kurang mampu 13 37.1 Tidak mampu 0 0.0 Sangat tidak mampu 0 0.0 Jumlah 35 100.0 Sumber : Hasil Penelitian, April 2013
Berdasarkan tabel 4.29 dapat dijelaskan terdapat 19 responden (54.3%) responden menjawab bahwa mereka mampu untuk bersaing dalam emndapatkan prestasi di sekolah, 13 responden (37.1%) merespon bahwa mereka kurang mampu melakukan hal itu dan 3 responden (8.6%) lainnya menyatakan bahwa hal tersebut sangat mampu mereka lakukan. Menurut hasil penelitian dan wawancara dengan keluarga, kemampuan untuk bersaing dalam mendapatkan prestasi di sekolah ditumbuhkan dalam diri penderita karena mereka menganggap dalam bersaing semua orang mampu dalam bersaing tapi melihat kenyataannya kekurangan dan keterbatasan yang tidak membuat hal tersebut terwujud. Tetapi dilain pihak melihat responden yang memilih pilihan kurang mampu sekitar 37,1 % disebabkan karena kondisi pasien atau penderita yang memang tidak mampu secara fisik dan otak untuk dapat bersaing dengan teman-temannya mendapatkan prestasi di sekolah. Karena melihat faktanya penderita thalasemia penuh dengan keterbatasan dan kelemahan. Ketika responden ada yang menyatakan dirinya kurang mampu itu sebagian dari anak penderita yang kurang mampu bersaing selebihnya mampu secara akademik. Bagi sebagian penderita yang kurang bersaing karena kondisi fisik
108
yang tidak mampu kerja secara maksimal. Seperti cepat lelah karena kerja jantung yang cepat
ditambah pasokan oksigen keseluruh tubuh kurang,
yang
menyebabkan penderita cepat lelah. Bagi penderita thalasemia yang mampu bersaing dengan teman-temannya di sekolah mendapatkan hasil memuaskan dikarenakan penderita mampu menjalani aktifitasnya disekolah seperti temantemannya yang lain. Rasa optimistis dalam hidup yang menyebabkan penderita seperti itu. Selanjutnya pertanyaan mengenai kemampuan untuk mendekatkan diri pada sang pencipta. Hasil penelitian dijelaskan pada tabel berikut ini :
No 1 2 3 4 5
Tabel 4.30 Kemampuan untuk mendekatkan diri pada sang pencipta (n=35) JAWABAN RESPONDEN JUMLAH PERSEN Sangat mampu 10 28.6 Mampu 23 65.7 Kurang mampu 2 5.7 Tidak mampu 0 0.0 Sangat tidk mampu 0 0.0 Jumlah 35 100.0 Sumber : Hasil Penelitian, April 2013
Berdasarkan tabel 4.30 dapat dijelaskan terdapat 23 responden (65.7%) responden menjawab bahwa mereka mampu untuk mendekatkan diri pada sang pencipta bahkan 10 responden (28.6%) merespon bahwa mereka sanagt mampu untuk melkauakn hal tersebut sedangkan 2 responden (5.7%) lainnya menyatakan bahwa hal tersebut kurang mampu mereka lakukan. . Menurut hasil penelitian dan wawancara dengan keluarga melakukan pendekatan diri terhadap sang pencipta mampu dilakukan oleh penderita agar selalu merasa nyaman dan diberikan kemampuan untuk menjalani hidupnya dengan penuh keikhlasan dan mampu berusaha meskipun dengan keterbatasan,
109
kemudian berdoa pada saat peribadatan untuk mendapatkan kesembuhan dari Tuhan YME.
Selanjutnya pertanyaan mengenai kemampuan untuk menjalani
hidup dengan ikhlas. Hasil penelitian dijelaskan pada tabel berikut ini :
No 1 2 3 4 5
Tabel 4.31 Kemampaun untuk menjalani hidup dengan ikhlas (n=35) JAWABAN RESPONDEN JUMLAH PERSEN Sangat mampu 16 45.7 Mampu 17 48.6 Kurang mampu 2 5.7 Tidak mampu 0 0.0 Sangat tidk mampu 0 0.0 Jumlah 35 100.0 Sumber : Hasil Penelitian, April 2013
Berdasarkan tabel 4.31 dapat dijelaskan terdapat 17 responden (48.6%) responden menjawab bahwa mereka mampu untuk hidup dengan ikhlas, 16 responden (45.7%) merespon bahwa mereka sangat mampu melakukan hal itu dan 2 responden (5.7%) lainnya menyatakan bahwa hal tersebut kurang mampu mereka lakukan. Menurut hasil penelitian dan wawancara dengan keluarga, menjalani hidup dengan ikhlas dan berupaya bersemangat dalam hidup bagi penderita itu akan menciptakan kualitas hidup yang lebih baik dalam menjalani kehidupannya. Selanjutnya pertanyaan mengenai kemampaun menjalani hidup dengan percaya diri. Hasil penelitian dijelaskan pada tabel berikut ini :
110
No 1 2 3 4 5
Tabel 4.32 Kemampuan menjalani hidup dengan percaya diri (n=35) JAWABAN RESPONDEN JUMLAH PERSEN Sangat mampu 15 42.9 Mampu 17 48.6 Kurang mampu 3 8.6 Tidak mampu 0 0.0 Sangat tidak mampu 0 0.0 Jumlah 35 100.0 Sumber : Hasil Penelitian, April 2013
Berdasarkan tabel 4.32 dapat dijelaskan terdapat 17 responden (48.6%) responden menjawab bahwa mereka mampu untuk menjalani hidup dengan percaya diri , 15 responden (42.9%) merespon sangat mampu akan hal itu dan 3 responden (8.6%) lainnya menyatakan bahwa mereka kurang mampu untuk melakikan hal tersebut diatas. Menurut hasil penelitian dan wawancara dengan keluarga, percaya diri merupakan salah satu kunci untuk seseorang dapat menjalani hidup dengan optimis dan bersemangat karena dengan percaya diri yang tinggi seseorang akan merasa bahwa dirinya berkualitas dan tidak cepat putus asa dalam mengahadapi permasalahan dalam hidupnya. Apapun permasalahn yang dihadapi dengan percaya diri yang tinggi kemudahan akan didapatkan bagi siapa saja yang mau berusaha.
111
B.
Hubungan antara dukungan keluarga dengan penerimaan diri pasien thalasemia di POPTI (Perhimpunan Orang tua Penderita Thalasemia) Kota Bandung (X – Y)
Correlations
Spearman's rho
dukungan keluarga
penerimaan diri
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
dukungan keluarga 1.000 . 35 .778** .000 35
penerimaan diri .778** .000 35 1.000 . 35
**. Correlation is significant at the .01 level (2-tailed).
Dari hasil perhitungan dapat dilihat bahwa hubungan atau korelasi antara dukungan keluarga dengan penerimaan diri pasien thalasemia di POPTI (Perhimpunan Orang tua Penderita Thalasemia Indonesia) Kota Bandung sebesar 0.778, hal ini menunjukkan korelasi yang erat dan searah, sehingga dapat dikatakan apabila dukungan keluarga dilakukan dengan baik maka penerimaan diri pasien thalasemia juga akan baik dengan besar hubungan 77.8%. Untuk menguji apakah korelasi tersebut berarti atau tidak maka, sebaiknya dilakukan suatu pengujian keberartian korelasi dengan hipotesis sebagai berikut : H0: ≤ 0 H1: > 0 t=
r n2 1 r 2
= 7.193
112
Dengan mengambil = 0.05, dari tabel t0.05,34 = 2.750 hal ini berarti bahwa H0 ditolak sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa korelasi antara dukungan keluarga dengan penerimaan diri pasien thalasemia di POPTI (Perhimpunan Orang tua Penderita Thalasemia) Kota Bandung menunjukkan ada korelasi atau hubungan yang berarti dan searah karena nilai korelasi (0.778) > 0.00. 1. Hubungan
antara
dukungan
keluarga
dengan
peningkatan
pengetahuan pasien thalasemia di POPTI (Perhimpunan Orang Tua Penderita Thalasemia) Kota Bandung (X – Y1) Correlations
Spearman's rho
dukungan keluarga
peningkatan pengetahuan tentang thalasemia
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
peningkatan pengetahuan dukungan tentang keluarga thalasemia 1.000 .661** . .000 35 35 .661** 1.000 .000
.
35
35
**. Correlation is significant at the .01 level (2-tailed).
Dari hasil perhitungan dapat dilihat bahwa hubungan atau korelasi antara dukungan keluarga dengan peningkatan pengetahuan pasien thalasemia di POPTI (Perhimpunan Orang tua Penderita Thalasemia Indonesia) Kota Bandung sebesar 0.661, hal ini menunjukkan korelasi yang erat dan searah, sehingga dapat dikatakan apabila dukungan keluarga dilakukan dengan baik maka peningkatan pengetahuan pasien thalasemia juga akan baik dengan besar hubungan 66.1%. Untuk menguji apakah korelasi tersebut berarti atau tidak maka, sebaiknya dilakukan suatu pengujian keberartian korelasi dengan hipotesis sebagai berikut :
113
H0: ≤ 0 H1: > 0 t=
r n2 1 r 2
= 6.456 Dengan mengambil = 0.05, dari tabel t0.05,34 = 2.750 hal ini berarti bahwa H0 ditolak sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa korelasi antara dukungan keluarga dengan peningkatan pengetahuan pasien thalasemia di POPTI (Perhimpunan Orang tua Penderita Thalasemia Indonesia) Kota Bandung menunjukkan ada korelasi atau hubungan yang berarti dan searah karena nilai korelasi (0.661) > 0.00. 2. Hubungan
antara
dukungan
keluarga
dengan
kemampuan
pemahaman diri pasien thalasemia di POPTI (Perhimpunan Orang tua Penderita Thalasemia) Kota Bandung (X – Y2)
Correlations
Spearman's rho
dukungan keluarga
kemampuan pemahamn dari
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
dukungan keluarga 1.000 . 35 .583** .000 35
kemampuan pemahamn dari .583** .000 35 1.000 . 35
**. Correlation is significant at the .01 level (2-tailed).
Dari hasil perhitungan dapat dilihat bahwa hubungan atau korelasi antara dukungan keluarga dengan kemampuan pemahaman diri pasien thalasemia di
114
POPTI (Perhimpunan Orang tua Penderita Thalasemia Indonesia) Kota Bandung sebesar 0.583, hal ini menunjukkan korelasi yang erat dan searah, sehingga dapat dikatakan apabila dukungan keluarga dilakukan dengan baik maka kemampuan pemahaman diri pasien thalasemia juga akan baik dengan besar hubungan 58.3%. Untuk menguji apakah korelasi tersebut berarti atau tidak maka, sebaiknya dilakukan suatu pengujian keberartian korelasi dengan hipotesis sebagai berikut : H0: ≤ 0 H1: > 0 t=
r n2 1 r 2
= 4,786 Dengan mengambil = 0.05, dari tabel t0.05,34 = 2.750 hal ini berarti bahwa H0 ditolak sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa korelasi antara dukungan keluarga dengan kemampuan pemahaman diri pasien thalasemia di POPTI (Perhimpunan Orang tua Penderita Thalasemia Indonesia) Kota Bandung menunjukkan ada korelasi atau hubungan yang berarti dan searah karena nilai korelasi (0.583) > 0.00.
115
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang Hubungan Dukungan
Keluarga dengan Penerimaan Diri Pasien Thalasemia di POPTI (Perhimpunan Orang tua Penderita Thalasemia Indonesia) Kota Bandung dapat ditarik kesimpulan bahwa : 1. Terdapat hubungan atau korelasi antara dukungan keluarga dengan penerimaan diri pasien thalasemia di POPTI (Perhimpunan Orang tua Penderita Thalasemia Indonesia) Kota Bandung. Hal ini menunjukan korelasi yang erat dan searah sehingga dapat dikatakan apabila dukungan keluarga dilakukan dengan baik maka penerimaan diri pasien thalasemia juga akan baik.
2. Terdapat hubungan atau korelasi antara dukungan keluarga dengan peningkatan pengetahuan pasien thalasemia di POPTI (Perhimpunan Orang tua Penderita
Thalasemia Indonesia) Kota Bandung. Hal ini menunjukkan korelasi yang erat dan searah, peningkatan pengetahuan pasien thalasemia itu meliputi pengetahuan tentang kadar Hemoglobin (Hb), Pengetahuan tentang transfusi darah, pengetahuan tentang pemasangan desferal (khelasi besi), dan pengetahuan tentang kadar zat besi, sehingga dapat dikatakan apabila dukungan keluarga dilakukan dengan baik maka peningkatan pengetahuan pasien thalasemia juga akan baik.
3. Terdapat hubungan atau korelasi antara dukungan keluarga dengan kemampuan pemahaman diri pasien thalasmia di POPTI (Perhimpunan Orang tua Penderita
Thalasemia Indonesia) Kota Bandung. Hal ini menunjukkan korelasi yang erat dan searah, kemampuan pemahaman diri ini meliputi kemampuan bergaul, kemampuan
116
mengembangkan pengetahuan, kemampuan spiritual, sehingga dapat dikatakan apabila dukungan keluarga dilakukan dengan baik maka kemampuan pemahaman diri pasien thalasemia juga akan baik.
B.
Saran Berdasarkan penelitian ini mengenai hubungan dukungan keluarga dengan
penerimaan diri pasien thalsemia di POPTI (Perhimpunan Orang tua Penderita Thalasemia Indonesia) Kota Bandung. Dirumuskan beberapa rekomendasi yang dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam upaya peningkatan dukungan keluarga dan penerimaan diri yang lebih baik lagi. Rekomendasi tersebut antara lain : 1. Berdasarkan kesimpulan dari dukungan keluarga pasien thalasemia di POPTI (Perhimpunan Orang tua Penderita Thalasemia Indonesia) Kota Bandung yang masih belum sesuai dengan harapan yaitu masih ada dukungan keluarga yang kurang dan lemah yang diberikan orang tua penderita thalasemia yaitu kemampuan keluarga dalam biaya untuk berobat yang masih lemah. Untuk itu POPTI (Perhimpunan Orang tua Penderita Thalasemia Indonesia) Kota Bandung harus lebih optimal dalam penggalangan dana, baik yang diusulkan kepada donatur-donatur ataupun sumbangan dari pihak-pihak terkait sehingga penderita thalasemia tidak akan kesulitan ketika berobat saat rawat jalan dan penderita akan terlepas dari masalah rasa minder dikarenakan masalah finansial. Untuk itu pihak POPTI (Perhimpunan Orang tua Penderita Thalasemia Indonesia) Kota Bandung memeberikan solusi jalan keluar agar orang tua penderita mampu berobat tanpa harus memikirkan beban finansial dan penderitapun akan dengan leluasa berobat seperti teman-temannya yang
117
lain tanpa harus memikirkan beban finansial yang keluarga keluarga untuk berobat. 2. YTI (Yayasan Thalasemia Indonesia) dan POPTI (Perhimpunan Orang tua Penderita Thalasemia Indonesia) Kota Bandung yang bergerak di dalam bidang pencari dana untuk pengentasan Thalasemia berupaya semaksimal mungkin memutus mata rantai penderita Thalasemia agar tidak terus berkembang jumlah penderitanya, dengan cara terus lebih gencar mengadakan sosialisasi kepada masyarakat agar masyarakat mengetahui apa itu thalasemia dan dampaknya. Kemudian YTI dan POPTI mengadakan screening karier ke tiap sekolahsekolah SMA khususnya di Kota Bandung, screaning pranatal pada ibu hamil untuk memastikan anak yang ada di dalam kandung ibunya tidak mempunyai penyakit Thalasemia. 3. Berdasarkan kesimpulan mengenai penerimaan diri penderita thalasemia, sebaiknya POPTI lebih banyak mengadakan seminar-seminar dengan mendatangkan tim ahli di bidangnya yaitu tentang thalasemia agar orang tua penderita lebih memahami dan faham mengenai penyakit yang diderita oleh anaknya. Sehingga penderitapun akan lebih mendapatkan hasil yang baik dari bentuk penerimaan dirinya karena orang tuanya mampu mengatasi kesulitankesulitan yang dihadapi oleh penderita.
118
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku Teks : Ali,
Mohammad, dan Asrori, Mohammad. 2012. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Remaja.
Affifudin dan Saebani, Ahmad, Beni. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Pustaka Setia. Andromeda, Y. 2006. Penerimaan Diri Wanita Penderita Kanker Payudara Ditinjau dari Kepribadian Tahan Banting (Hardiness) dan Status Pekerjaan. Skirpsi (Tidak Diterbitkan). Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia. Budyatna, Muhammad dan Ganiem M Leila. 2011. Teori Komunikasi Antar Pribadi. Jakarta: Kencana Dirjen Bina Pelayanan Medik Kementrian Kesehatan Repulik Indonesia. 2010. Pencegahan Thalassemia (Hasil Kajian HTA tahun 2009). Health Technogy Assesment Indonesia. Ellyya, Eko. 2008. Hubungan Penerimaan Diri dengan Stres pada Penderita Kangker Payudara. Skripsi (tidak Diterbitkan). Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia. Fahrudin, Adi. 2012. Pengantar Kesejahteraan Sosial. Bandung: PT Refika Aditama Ginting, Herlina. 2012. Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Optimisme Pada Penderita Kangker Serviks. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia. Huraerah, Abu. 2007. Child Abuse . Bandung: Nuansa ____________. 2011. Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat. Bandung: Humaniora Heller, K. Swindle, Jr. R.W, Dusenbury, L. 1986. Component Social Support Processes and Integration. Journal of Consulting and Clinical Psychology. Vol.54. No.4.
119
Hurlock B Elizabeth. 1996. Psikologis Perkembangan. Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jilid 2. (Alih Bahasa oleh Med.Meitasari Tjandrasa dan Muslichah Zarkasih). Edisi 5 Jakarta : Erlangga _______________. 1999. Psikologi Perkembangan. Jakarta: PT Gramedia. _______________.1999. Perkembangan Anak. Jilid2. (Alih Bahasa oleh Med.Meitasari Tjandrasa dan Muslichah Zarkasih). Edisi keenam. Jakarta: Erlangga. Johnston, Mary. 1989. Relasi Dinamis antara Pekerja Sosial dengan Klien dalam Setting Rumah Sakit. Surakarta: Rumah Sakit Orthopedi. Lawrence M Tierney, Stephen J McPhee, Maxine A Papadakis. 2003. (alih bahasa oleh Abdul Gofir). Diagnosis dan Terapi Kedokteran (penyakit dalam). Jakarta: Salemba Medika. Mansjoer, Arief. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 2. Jakarta: Media Besculapius FKUI Muhidin, Syarif. 1992. Pengantar Kesejahteraan Sosial. Bandung: Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial. Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Edisi 2. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Nursalam, dan Kurniawati, Dian Ninuk. 2007. Asuhan Keperawatan pada Pasien Terinfeksi Hiv/ Aids. Jakarta: Salemba Medika hal.28 Rex A Skidmore, Thackeray Milton G, William Farley O. 1994. Introduction to Social Work, United Stated of America: University of Utah. Rukminto, Adi Isbandi. 2005. Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Jakarta: FISIP UI Press. Sarwono W, Sarlito. 2011. Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali Pers. Sembiring, Karta, Pola, Samuel. 2010. Thalasemia. Medan: Morposhtlab Ebook Press Soekanto, Soerjono. 2004. Sosiologi Keluarga. Tentang Ikhwal Keluarga, Remaja dan Anak. Jakarta: PT Rineka Cipta Smet, B. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta : PT. Grasindo. Sudiharto. 2007. Asuhan Keperawatan Keluarga Keperawatan Transkultural. Jakarta: EGC
dengan
Pendekatan
120
Suhendi, Hendi dan Wahyu, Romdoni, 2001. Pengantar Studi Sosiologi Keluarga, Bandung: CV Pustaka Setia. Suryabrata, Sumadi, 2000. Pengembangan Alat Ukur Psikologis. Yogyakarta: ANDI. Suriadi, dan Yuliani Rita. 2010. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Jakarta: CV. SAGUNG SETO. Edisi Kedua Soehartono, Irawan. 2009. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Soeharto, Edi. 2009. Kemiskinan dan Perlindunga Sosial di Indonesia. Bandung: Fisip UI Press. ___________. 2009. Pekerja Sosial Di Dunia Industri. Bandung: Alfabeta Vullo Rino, Modell Bernadette, Georganda Evgenia 1995. Edisi Kedua. (alih bahasa oleh Andrianto Gandhi). Apa Itu Thalasemia?. Cyprus: Thalasaemia International Federation.
2. Sumber Internet http://www.antarajawabarat.com/lihat/cetak/35117, 04 Desember 2010 www.radartasikmalaya.com, 26 September 2011 http://cakfu.info, 07 September 2006 http://www.rshs.or.id/jawa-barat-ranking-1-penderita-thalassemia/, 08 Juni 2011
3. Undang-Undang Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM)
TABEL 1.4 JADWAL KEGIATAN PENELITIAN NO 1
2
TAHUN BULAN MINGGU TAHAP PERSIAPAN a. Pengajuan judul b. Penelitian Kepustakaan c. Penunjukan Pembimbing d. Pembuatan Proposal e. Pengajuan Proposal f. Perizinan
1
Desember 2 3 4
1
Januari 2 3 4
1
Februari 2 3 4
TAHAP PENELITIAN a. Seminar Outline b. Perbaikan Outline c. Konsultasi Pembimbing d. Penelitian Lapangan e. Pengolahan Data f. Analisis Data
3
TAHAP PELAPORAN a. Pelaporan b. Prasidang c. Sidang
21
2012-2013 Maret 1 2 3 4
1
April 2 3
4
1
Mei 2 3
4
1
Juni 2 3
4
21
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Tabel Distribusi Frekuensi VAR00001
Valid
2.00 3.00 4.00 5.00 Total
Frequency 1 7 18 9 35
Percent 2.9 20.0 51.4 25.7 100.0
Valid Percent 2.9 20.0 51.4 25.7 100.0
Cumulative Percent 2.9 22.9 74.3 100.0
VAR00002
Valid
2.00 3.00 4.00 5.00 Total
Frequency 2 6 21 6 35
Percent 5.7 17.1 60.0 17.1 100.0
Valid Percent 5.7 17.1 60.0 17.1 100.0
Cumulative Percent 5.7 22.9 82.9 100.0
VAR00003
Valid
2.00 3.00 4.00 5.00 Total
Frequency 1 2 18 14 35
Percent 2.9 5.7 51.4 40.0 100.0
Valid Percent 2.9 5.7 51.4 40.0 100.0
Cumulative Percent 2.9 8.6 60.0 100.0
VAR00004
Valid
3.00 4.00 5.00 Total
Frequency 2 5 28 35
Percent 5.7 14.3 80.0 100.0
Valid Percent 5.7 14.3 80.0 100.0
Cumulative Percent 5.7 20.0 100.0
VAR00005
Valid
1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 Total
Frequency 1 6 11 16 1 35
Percent 2.9 17.1 31.4 45.7 2.9 100.0
Valid Percent 2.9 17.1 31.4 45.7 2.9 100.0
Cumulative Percent 2.9 20.0 51.4 97.1 100.0
VAR00006
Valid
1.00 2.00 3.00 4.00 Total
Frequency 1 8 14 12 35
Percent 2.9 22.9 40.0 34.3 100.0
Valid Percent 2.9 22.9 40.0 34.3 100.0
Cumulative Percent 2.9 25.7 65.7 100.0
VAR00007
Valid
1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 Total
Frequency 1 3 24 6 1 35
Percent 2.9 8.6 68.6 17.1 2.9 100.0
Valid Percent 2.9 8.6 68.6 17.1 2.9 100.0
Cumulative Percent 2.9 11.4 80.0 97.1 100.0
VAR00008
Valid
3.00 4.00 5.00 Total
Frequency 7 26 2 35
Percent 20.0 74.3 5.7 100.0
Cumulative Valid Percent Percent 20.0 20.0 74.3 94.3 5.7 100.0 100.0
VAR00009
Valid
2.00 3.00 4.00 5.00 Total
Frequency 3 4 19 9 35
Percent 8.6 11.4 54.3 25.7 100.0
Valid Percent 8.6 11.4 54.3 25.7 100.0
Cumulative Percent 8.6 20.0 74.3 100.0
VAR00010
Valid
3.00 4.00 5.00 Total
Frequency 4 21 10 35
Percent 11.4 60.0 28.6 100.0
Valid Percent 11.4 60.0 28.6 100.0
Cumulative Percent 11.4 71.4 100.0
VAR00011
Valid
2.00 3.00 4.00 5.00 Total
Frequency 1 8 21 5 35
Percent 2.9 22.9 60.0 14.3 100.0
Valid Percent 2.9 22.9 60.0 14.3 100.0
Cumulative Percent 2.9 25.7 85.7 100.0
VAR00012
Valid
3.00 4.00 5.00 6.00 Total
Frequency 4 17 13 1 35
Percent 11.4 48.6 37.1 2.9 100.0
Valid Percent 11.4 48.6 37.1 2.9 100.0
Cumulative Percent 11.4 60.0 97.1 100.0
VAR00013
Valid
3.00 4.00 5.00 6.00 Total
Frequency 5 14 15 1 35
Percent 14.3 40.0 42.9 2.9 100.0
Valid Percent 14.3 40.0 42.9 2.9 100.0
Cumulative Percent 14.3 54.3 97.1 100.0
VAR00014
Valid
3.00 4.00 5.00 6.00 Total
Frequency 7 17 10 1 35
Percent 20.0 48.6 28.6 2.9 100.0
Valid Percent 20.0 48.6 28.6 2.9 100.0
Cumulative Percent 20.0 68.6 97.1 100.0
VAR00015
Valid
3.00 4.00 5.00 6.00 Total
Frequency 3 18 13 1 35
Percent 8.6 51.4 37.1 2.9 100.0
Valid Percent 8.6 51.4 37.1 2.9 100.0
Cumulative Percent 8.6 60.0 97.1 100.0
VAR00016
Valid
3.00 4.00 5.00 Total
Frequency 2 19 14 35
Percent 5.7 54.3 40.0 100.0
Valid Percent 5.7 54.3 40.0 100.0
Cumulative Percent 5.7 60.0 100.0
VAR00017
Valid
3.00 4.00 5.00 45.00 Total
Frequency 2 16 16 1 35
Percent 5.7 45.7 45.7 2.9 100.0
Valid Percent 5.7 45.7 45.7 2.9 100.0
Cumulative Percent 5.7 51.4 97.1 100.0
VAR00018
Valid
3.00 4.00 5.00 Total
Frequency 4 13 18 35
Percent 11.4 37.1 51.4 100.0
Valid Percent 11.4 37.1 51.4 100.0
Cumulative Percent 11.4 48.6 100.0
VAR00019
Valid
2.00 3.00 4.00 5.00 Total
Frequency 1 5 14 15 35
Percent 2.9 14.3 40.0 42.9 100.0
Valid Percent 2.9 14.3 40.0 42.9 100.0
Cumulative Percent 2.9 17.1 57.1 100.0
VAR00020
Valid
2.00 3.00 4.00 5.00 Total
Frequency 1 8 11 15 35
Percent 2.9 22.9 31.4 42.9 100.0
Valid Percent 2.9 22.9 31.4 42.9 100.0
Cumulative Percent 2.9 25.7 57.1 100.0
VAR00021
Valid
3.00 4.00 5.00 Total
Frequency 10 16 9 35
Percent 28.6 45.7 25.7 100.0
Valid Percent 28.6 45.7 25.7 100.0
Cumulative Percent 28.6 74.3 100.0
VAR00022
Valid
3.00 4.00 5.00 Total
Frequency 7 22 6 35
Percent 20.0 62.9 17.1 100.0
Valid Percent 20.0 62.9 17.1 100.0
Cumulative Percent 20.0 82.9 100.0
VAR00023
Valid
2.00 3.00 4.00 5.00 Total
Frequency 1 2 20 12 35
Percent 2.9 5.7 57.1 34.3 100.0
Valid Percent 2.9 5.7 57.1 34.3 100.0
Cumulative Percent 2.9 8.6 65.7 100.0
VAR00024
Valid
3.00 4.00 5.00 Total
Frequency 3 21 11 35
Percent 8.6 60.0 31.4 100.0
Valid Percent 8.6 60.0 31.4 100.0
Cumulative Percent 8.6 68.6 100.0
VAR00025
Valid
3.00 4.00 5.00 Total
Frequency 8 25 2 35
Percent 22.9 71.4 5.7 100.0
Valid Percent 22.9 71.4 5.7 100.0
Cumulative Percent 22.9 94.3 100.0
VAR00026
Valid
1.00 3.00 4.00 5.00 Total
Frequency 2 6 16 11 35
Percent 5.7 17.1 45.7 31.4 100.0
Valid Percent 5.7 17.1 45.7 31.4 100.0
Cumulative Percent 5.7 22.9 68.6 100.0
VAR00027
Valid
3.00 4.00 5.00 Total
Frequency 4 28 3 35
Percent 11.4 80.0 8.6 100.0
Valid Percent 11.4 80.0 8.6 100.0
Cumulative Percent 11.4 91.4 100.0
VAR00028
Valid
2.00 3.00 4.00 5.00 Total
Frequency 1 4 27 3 35
Percent 2.9 11.4 77.1 8.6 100.0
Valid Percent 2.9 11.4 77.1 8.6 100.0
Cumulative Percent 2.9 14.3 91.4 100.0
VAR00029
Valid
3.00 4.00 5.00 Total
Frequency 13 19 3 35
Percent 37.1 54.3 8.6 100.0
Valid Percent 37.1 54.3 8.6 100.0
Cumulative Percent 37.1 91.4 100.0
VAR00030
Valid
3.00 4.00 5.00 Total
Frequency 2 23 10 35
Percent 5.7 65.7 28.6 100.0
Valid Percent 5.7 65.7 28.6 100.0
Cumulative Percent 5.7 71.4 100.0
VAR00031
Valid
3.00 4.00 5.00 Total
Frequency 2 17 16 35
Percent 5.7 48.6 45.7 100.0
Valid Percent 5.7 48.6 45.7 100.0
Cumulative Percent 5.7 54.3 100.0
VAR00032
Valid
3.00 4.00 5.00 Total
Frequency 3 17 15 35
Percent 8.6 48.6 42.9 100.0
Valid Percent 8.6 48.6 42.9 100.0
Cumulative Percent 8.6 57.1 100.0
Nonparametric Correlations Correlations
Spearman's rho
dukungan keluarga
penerimaan diri
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
dukungan keluarga 1.000 . 35 .778** .000 35
penerimaan diri .778** .000 35 1.000 . 35
**. Correlation is significant at the .01 level (2-tailed).
Nonparametric Correlations Correlations
Spearman's rho
dukungan keluarga
peningkatan pengetahuan tentang thalasemia
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
peningkatan pengetahuan dukungan tentang keluarga thalasemia 1.000 .661** . .000 35 35 .661** 1.000 .000
.
35
35
**. Correlation is significant at the .01 level (2-tailed).
Nonparametric Correlations Correlations
Spearman's rho
dukungan keluarga
kemampuan pemahamn dari
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
**. Correlation is significant at the .01 level (2-tailed).
dukungan keluarga 1.000 . 35 .583** .000 35
kemampuan pemahamn dari .583** .000 35 1.000 . 35
INSTRUMEN PENELITIAN HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN KELUARGA DENGAN PENERIMAAN DIRI PASIEN THALASEMIA DI POPTI (PERHIMPUNAN ORANG TUA PENDERITA PASIEN THALASEMIA INDONESIA) BANDUNG
1.
2. 3.
PETUNJUK PENGISIAN ANGKET Berikut ini terdapat sejumlah pertanyaan. Kemudian pilih salah satu jawaban yang telah disediakan sesuai dengan kenyataan yang ada serta menurut pendapat pribadi anda. Bacalah dengan tepat pertanyaan – pertanyaan dan isilah jawaban dengan mencontreng salah satu jawaban yang telah disediakan. Atas kerjasama yang telah anda berikan, penulis mengucapkan terimakasih.
IDENTITAS RESPONDEN Nama
:
Jenis Kelamin : Umur
:
Agama
:
Pendidikan
:
Catatan : Apabila terdapat pertanyaan yang kurang jelas, dipersilahkan bertanya kepada penulis atau pihak pelaksana.
INSTRUMEN PERNYATAAN Variabel X : Hubungan Dukungan Keluarga A. Non Verbal a. Dukungan emosional 1. Frekuensi mengingatkan jadwal check up (berobat) a. Sangat tinggi b. Tinggi c. Jarang d. Rendah e. Tidak pernah 2. Kemampuan keluarga memberikan motivasi mengatasi keluhan penyakit a. Sangat mampu b. Mampu c. Kurang mampu d. Tidak mampu e. Sangat tidak mampu 3. Frekuensi keluarga dalam mengingatkan minum obat a. Sangat tinggi b. Tinggi c. Jarang d. Rendah e. Tidak pernah 4. Kepedulian keluarga terhadap penyakit yang diderita a. Sangat peduli b. Peduli c. Kurang peduli d. Tidak peduli e. Sangat tidak peduli b. Dukungan Instrumental 5. Kemampuan keluarga memberikan bantuan biaya berobat a. Sangat mampu b. Mampu c. Kurang mampu d. Tidak mampu e. Sangat tidak mampu
6. Kemampuan keluarga dalam membiayai pengobatan a. Sangat mampu b. Mampu c. Kurang mampu d. Tidak mampu e. Sangat tidak mampu 7. Frekuensi keluarga dalam meluangkan waktu untuk rekreasi sebagai bentuk hiburan a. Sangat tinggi b. Tinggi c. Jarang d. Rendah e. Tidak pernah 8. Kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan makanan bergizi a. Sangat mampu b. Mampu c. Kurang mampu d. Tidak mampu e. Sangat tidak mampu B.
Verbal a. Dukungan Penghargaan 9. Frekuensi keluarga dalam memberikan pujian dikala mendapatkan keberhasilan a. Sangat tinggi b. Tinggi c. Jarang d. Rendah e. Tidak pernah 10. Kemampuan keluarga memberikan dorongan untuk maju a. Sangat mampu b. Mampu c. Kurang mampu d. Tidak mampu e. Sangat tidak mampu
b. Dukungan Informatif 11. Kemampuan keluarga dalam memberikan informasi tentang penyakit yang diderita a. Sangat mampu b. Mampu c. Kurang mampu d. Tidak mampu e. Sangat tidak mampu 12. Frekuensi keluarga memberikan nasihat untuk menambah kepercayaan diri a. Sangat tinggi b. Tinggi c. Jarang d. Rendah e. Tidak pernah 13. Frekuensi keluarga memberikan nasihat agar tidak merasa minder dengan penyakit yang diderita a. Sangat tinggi b. Tinggi c. Jarang d. Rendah e. Tidak pernah Variabel Y : Penerimaan Diri Pasien Thalasemia A.
Peningkatan Pengetahuan Tentang Thalasemia a. Pengetahuan tentang kadar Hb 14. Kemampuan keluarga memberikan mengontrol nilai Hb secara rutin a. Sangat mampu b. Mampu c. Kurang mampu d. Tidak mampu e. Sangat tidak mampu
pengetahuan
tentang
manfaat
15. Kemampuan keluarga memberikan pengetahuan tentang pentingnya menjaga nilai Hb a. Sangat mampu b. Mampu c. Kurang mampu d. Tidak mampu e. Sangat tidak mampu
b. Pengetahuan tentang transfusi darah 16. Kemampuan keluarga memberikan pengetahuan tentang transfusi darah a. Sangat mampu b. Mampu c. Kurang mampu d. Tidak mampu e. Sangat tidak mampu 17. Kemampuan keluarga memberikan pengetahuan tentang menjalani transfusi darah rutin a. Sangat mampu b. Mampu c. Kurang mampu d. Tidak mampu e. Sangat tidak mampu
harusnya
18. Kemampuan keluarga memberikan pengetahuan tentang bahayanya tidak menjalani transfusi darah a. Sangat mampu b. Mampu c. Kurang mampu d. Tidak mampu e. Sangat tidak mampu c. Pengetahuan tentang pemasangan desferal (khelasi besi) 19. Kemampuan keluarga memberikan pengetahuan tentang pentingnya pemasangan desferal a. Sangat mampu b. Mampu c. Kurang mampu d. Tidak mampu e. Sangat tidak mampu 20. Kemampuan keluarga memberikan pengetahuan tentang bahayanya tidak melakukan pemasangan desferal a. Sangat mampu b. Mampu c. Kurang mampu d. Tidak mampu e. Sangat tidak mampu
d. Pengetahuan tentang kadar zat besi 21. Kemampuan keluarga memberikan pengetahuan tentang kadar zat besi dalam tubuh a. Sangat mampu b. Mampu c. Kurang mampu d. Tidak mampu e. Sangat tidak mampu 22. Kemampuan keluarga memberikan pengetahuan tentang bahayanya tidak melakukan pengecekan kadar zat besi dalam tubuh a. Sangat mampu b. Mampu c. Kurang mampu d. Tidak mampu e. Sangat tidak mampu B.
Kemampuan Pemahaman Diri a. Kemampuan bergaul 23. Kemampuan bergaul dengan lingkungan masyarakat tempat tinggal a. Sangat mampu b. Mampu c. Kurang mampu d. Tidak mampu e. Sangat tidak mampu 24. Kemampuan bergaul dengan teman sebaya a. Sangat mampu b. Mampu c. Kurang mampu d. Tidak mampu e. Sangat tidak mampu 25. Kemampuan bergaul di lingkungan yayasan thalasemia RSHS a. Sangat mampu b. Mampu c. Kurang mampu d. Tidak mampu e. Sangat tidak mampu
26. Kemampuan bergaul di lingkungan sekolah a. Sangat mampu b. Mampu c. Kurang mampu d. Tidak mampu e. Sangat tidak mampu b. Pengetahuan mengembangkan pengetahuan 27. Kemampuan memperoleh ilmu ketika belajar di sekolah a. Sangat mampu b. Mampu c. Kurang mampu d. Tidak mampu e. Sangat tidak mampu 28. Kemampuan mengaplikasikan ilmu yang di dapat disekolah a. Sangat mampu b. Mampu c. Kurang mampu d. Tidak mampu e. Sangat tidak mampu 29. Kemampuan bersaing dalam mendapatkan prestasi di sekolah a. Sangat mampu b. Mampu c. Kurang mampu d. Tidak mampu e. Sangat tidak mampu c. Kemampuan spiritual 30. Kemampuan untuk mendekatkan diri pada sang pencipta a. Sangat mampu b. Mampu c. Kurang mampu d. Tidak mampu e. Sangat tidak mampu 31. Kemampuan untuk menjalani hidup dengan ikhlas a. Sangat mampu b. Mampu c. Kurang mampu d. Tidak mampu e. Sangat tidak mampu
32. Kemampuan menjalani hidup dengan percaya diri a. Sangat mampu b. Mampu c. Kurang mampu d. Tidak mampu e. Sangat tidak mampu