SKRIPSI
APLIKASI BAGAN KENDALI PROSES BERDASARKAN TINGKAT RESIDU CHLORAMPHENICOL PADA DAGING RAJUNGAN DI PT. MINA GLOBAL MANDIRI, PURWAKARTA
Oleh : YUDHAN NUR AKHMADI F 24102075
2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Yudhan Nur Akhmadi. F24102075. Aplikasi Bagan Kendali Proses Berdasarkan Tingkat Residu Chloramphenicol Pada Daging Rajungan Di PT. Mina Global Mandiri, Purwakarta. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Sugiyono, MappSc, Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc dan Ramdan Hidayat, SSi. ABSTRAK Skripsi yang dibuat oleh penulis ini merupakan hasil dari kegiatan magang di PT. Mina Global Mandiri, Purwakarta. PT. Mina Global Mandiri merupakan perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan hasil laut. Salah satu karakteristik mutu yang menentukan produk yang dihasilkan perusahaan adalah kadar residu chloramphenicol. Perusahaan memberikan spesifikasi terhadap produk akhir yaitu memiliki batas residu antibiotik chloramphenicol sebesar <0,25 ppb meskipun standar yang ditetapkan oleh perdagangan internasional adalah sebesar <0,30 ppb (Commision Decision: 2003/181/EC). Jika terdapat produk yang melebihi standar perusahaan maka dilakukan proses ulang dengan cara pencampuran ulang bahan baku. Hal ini menyebabkan makin tingginya biaya produksi dan pihak perusahaan merugi. Kegiatan magang yang dilakukan bertujuan untuk mengaplikasikan bagan kendali untuk melihat mutu dan keamanan produk akhir rajungan dalam kaleng berdasarkan hasil analisis residu chloramphenicol dan menyusun diagram sebab akibat untuk mengetahui faktor-faktor yang berpeluang menjadi penyebab tingginya residu chloramphenicol. Data-data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer yang didapat merupakan data yang dikumpulkan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan terstruktur yang dimuat dalam kuesioner. Data sekunder yang digunakan merupakan data yang diambil dari hasil analisis yang dilakukan oleh laboran di laboratorium PT. Mina Global Mandiri. Data sekunder diperoleh berdasarkan hasil analisis chloramphenicol dengan metode ELISA dari produk akhir dan diambil mulai tanggal 16 Maret hingga 1 Juni 2006. Selanjutnya data sekunder ini diolah dan dibuat grafik bagan kendali. Berdasarkan hasil analisis bagan kendali pada produk rajungan dapat disimpulkan bahwa jumlah residu chloramphenicol pada tiga dari empat produk yang diuji memenuhi standar perusahaan meskipun proses dalam keadaan tidak terkendali. Suatu proses dikatakan tidak terkendali karena masih terdapat titik pada grafik bagan kendali yang berada di luar batas atas dari grafik kendali. Terdapatnya titik-titik yang berada di luar batas atas atau batas bawah menunjukkan bahwa proses pengalengan rajungan belum memenuhi kriteria proses yang terkendali secara spesifik. Dari kegiatan observasi dan wawancara untuk menyusun diagram sebab akibat dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor utama yang diduga mengakibatkan tingginya residu chloramphenicol pada produk rajungan adalah pekerja pabrik, metode analisis chloramphenicol dan bahan baku.
Yudhan Nur Akhmadi. F24102075. Aplikasi Bagan Kendali Proses Berdasarkan Tingkat Residu Chloramphenicol Pada Daging Rajungan Di PT. Mina Global Mandiri, Purwakarta. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Sugiyono, MappSc, Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc dan Ramdan Hidayat, SSi. RINGKASAN Mutu memegang peranan penting bagi suatu perusahaan dalam menghasilkan produk andalannya. Dalam menghadapi tantangan persaingan yang semakin ketat dan menjaga kepercayaan konsumen pada suatu produk, perusahaan harus selalu menjaga mutu produk yang dihasilkannya. Dalam menghasilkan suatu produk, perusahaan harus memiliki dan menyusun spesifikasi atau standar mutu sendiri supaya tujuan untuk memenuhi spesifikasi produk tercapai. Spesifikasi atau standar mutu yang dimiliki suatu perusahaan terhadap produk yang dihasilkannya merupakan alat dalam persaingan untuk memasarkan produknya. Karena itulah diperlukan suatu sistem pengendalian mutu yang baik bagi manajemen perusahaan sebagai usaha untuk menghasilkan produk yang lebih bermutu. Skripsi yang dibuat oleh penulis ini merupakan hasil dari kegiatan magang di PT. Mina Global Mandiri, Purwakarta. PT. Mina Global Mandiri merupakan perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan hasil laut. Untuk saat ini produk yang dihasilkan berupa daging rajungan yang dikalengkan dan melalui proses pasteurisasi. Salah satu karakteristik mutu yang menentukan produk yang dihasilkan perusahaan adalah kadar residu chloramphenicol. Perusahaan memberikan spesifikasi terhadap produk akhir yaitu memiliki batas residu antibiotik chloramphenicol sebesar <0,25 ppb meskipun standar yang ditetapkan oleh perdagangan internasional adalah sebesar <0,30 ppb (Commision Decision: 2003/181/EC). Hal ini dilakukan oleh pihak manajemen perusahaan sebagai tindakan preventif supaya kadar residu tidak terlalu berdekatan dengan standar yang ditetapkan oleh standar internasional. Jika terdapat produk yang melebihi standar perusahaan maka dilakukan proses ulang dengan cara pencampuran ulang bahan baku. Hal ini menyebabkan makin tingginya biaya produksi dan pihak perusahaan merugi. Kegiatan magang yang dilakukan bertujuan untuk mengaplikasikan bagan kendali untuk melihat mutu dan keamanan produk akhir rajungan dalam
ii
kaleng berdasarkan hasil analisis residu chloramphenicol dan menyusun diagram sebab akibat untuk mengetahui faktor-faktor yang berpeluang menjadi penyebab tingginya residu chloramphenicol. Data-data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer yang didapat merupakan data yang dikumpulkan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan terstruktur yang dimuat dalam kuesioner. Data sekunder yang digunakan merupakan data yang diambil dari hasil analisis yang dilakukan oleh laboran di laboratorium PT. Mina Global Mandiri. Data sekunder diperoleh berdasarkan hasil analisis chloramphenicol dengan metode ELISA dari produk akhir dan diambil mulai tanggal 16 Maret hingga 1 Juni 2006. Selanjutnya data sekunder ini diolah dan dibuat grafik bagan kendali. Berdasarkan hasil analisis bagan kendali pada produk rajungan dapat disimpulkan bahwa jumlah residu chloramphenicol pada tiga dari empat produk yang diuji memenuhi standar perusahaan meskipun proses dalam keadaan tidak terkendali. Suatu proses dikatakan tidak terkendali karena masih terdapat titik pada grafik bagan kendali yang berada di luar batas atas dari grafik kendali. Terdapatnya titik-titik yang berada di luar batas atas atau batas bawah menunjukkan bahwa proses pengalengan rajungan belum memenuhi kriteria proses yang terkendali secara spesifik. Kriteria proses yang belum terkendali secara spesifik disebabkan karena dalam proses produksi terdapat variasi penyebab khusus (special-causes variation) dan variasi penyebab umum (common-causes variation). Pada satu produk (special) proses dalam keadaan terkendali karena tidak ada titik yang berada di luar batas atas dan bawah. Dari kegiatan observasi dan wawancara untuk menyusun diagram sebab akibat dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor utama yang diduga mengakibatkan tingginya residu chloramphenicol pada produk rajungan adalah pekerja pabrik, metode analisis chloramphenicol dan bahan baku.
iii
APLIKASI BAGAN KENDALI PROSES BERDASARKAN TINGKAT RESIDU CHLORAMPHENICOL PADA DAGING RAJUNGAN DI PT. MINA GLOBAL MANDIRI, PURWAKARTA
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh YUDHAN NUR AKHMADI F 2402075
2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
iv
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
APLIKASI BAGAN KENDALI PROSES BERDASARKAN TINGKAT RESIDU CHLORAMPHENICOL PADA DAGING RAJUNGAN DI PT. MINA GLOBAL MANDIRI, PURWAKARTA
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh YUDHAN NUR AKHMADI F 2402075 Dilahirkan di Jakarta pada tanggal 12 Juni 1984 Tanggal lulus: 27 September 2006
Menyetujui, Bogor, 9 Oktober 2006
Dr.Ir. Sugiyono, MappSc Dosen Pembimbing I
Dr.Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi,MSc Dosen Pembimbing II
Ramdan Hidayat, SSi Pembimbing Magang
Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc, Agr Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
v
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 12 Juni 1984 sebagai anak kedua dari dua bersaudara pasangan T. Haris Sunarto dengan Marlimah serta memiliki kakak bernama
Dina
Rismawati.
Penulis
mengawali
masa
pendidikannya pada tahun 1989 di TK MUMA 02 Lenteng Agung, kemudian dilanjutkan ke Sekolah Dasar Negeri 06 Pagi Lenteng Agung (1990-1996). Pada tahun 1999 penulis menyelesaikan pendidikan menengah pertama di SLTP Negeri 98 Jakarta, dan pada tahun 2002 penulis menyelesaikan sekolah menengah atas di SMU Negeri 38 Jakarta. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Semasa kuliah penulis aktif mengikuti kegiatan-kegiatan kampus. Salah satunya adalah Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Beladiri Tangan Kosong MERPATI PUTIH IPB. Semasa di UKM tersebut penulis pernah menjabat sebagai ketua periode 2003-2004. Penulis juga ditunjuk sebagai administrator laboratorium komputer Dept. Ilmu dan Teknologi Pangan dari tahun 2004 hingga sekarang. Penulis melakukan kegiatan Praktek Lapangan selama 40 hari di Restoran Es Teler 77 cabang Mal Ciputra Jakarta dan menghasilkan karya ilmiah berjudul ”Mempelajari Aspek Produksi dan Sanitasi Di Es Teler 77 Cabang Mal Ciputra Jakarta”. Penulis juga melaksanakan kegiatan magang di PT. Mina Global Mandiri, Purwakarta dan karya ilmiah yang dihasilkan berupa skripsi ini.
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya yang telah dilimpahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan kegiatan magang selama 4 bulan di PT. Mina Global Mandiri, Purwakarta. Dalam penyusunan skripsi ini penulis telah memperoleh bantuan, dorongan, semangat dan dukungan dari beberapa pihak baik secara langsung atau tidak langsung sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan ini dengan baik. Penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Ibu dan Ayah tercinta, Diko, mbak Dina dan mas Tri yang senantiasa memberikan kasih sayang dan cinta kepada penulis. 2. Bapak Dr. Ir. Sugiyono, M.AppSc., selaku dosen pembimbing pertama yang telah memberikan pengarahan, perhatian dan masukan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. 3. Ibu Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc., sebagai dosen pembimbing kedua. 4. Bapak Ramdan Hidayat, SSi, selaku Manager Quality Control sekaligus pembimbing lapangan yang senantiasa memberikan masukan dan perhatian kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. 5. Bapak Triyanto selaku Direktur Operasional PT. Mina Global Mandiri 6. Bapak Iwan P. Sarbini, selaku Direktur Utama PT. Mina Global Mandiri 7. Monicka Syukriya, yang selalu memberikan ketabahan dan semangat spirituilnya dalam membantu penulis selama kegiatan magang dan dalam menyusun laporan. 8. Pak Tatus, Pak Hasta, Bu Umi, Pak Indra FA, Pak Indra HRD, Bu Rini dan semua staf yang ada di PT. Mina Global Mandiri, Purwakarta. 9. Tono, Putra, Inal dan Imam, yang banyak membantu penulis 10. Mbak Susi dan Mbak Utari yang telah menemani dan memberi arahan di laboratorium.
vii
11. Teman-teman rekan kerja di PT. Mina Global Mandiri, Teh Risma, Mbak Etik, Mbak Nur, Mbak Fatwa, Mbak Siti, Mbak Welly dan Ferra. 12. Dwi (Statistik 39) yang sama-sama sedang melaksanakan kegiatan magang di PT. Mina global Mandiri 13. Teman-teman di mess karyawan, Pak Riyanto, Budi, Santo, Mas Eko, Pak Yani, Usro, Mang Karwa dan PaYuli. 14. Mas Wintaka dan Mbak Endah yang telah membantu saya bertahan hidup di Purwakarta. 15. Teman-teman perkumpulan karyawan MGM asal Pemalang yang banyak membantu dalam pengumpulan data. 16. Admin Labkom TPG: Farid, Kani, Hans, Ados, Teddy dan Rial. 17. Eko, Yoga, Alin, Meilina, Randy, Didin, Iqbal Fauzi, Rina, Qki, Farah, Ribka, Mas Pungki, Mas Dodi, Mbak Darsih, Mbak Dias, Vivi, Arti, Steisi, semua teman- teman angkatan 41, Praktikan Penkom ’41, Teman-teman TPG & SJMP serta teman-teman lainnya yang telah banyak memberikan bantuan, petunjuk, dan semangat kepada penulis dalam pelaksanaan dan laporan kegiatan magang. 18. Semua pihak yang telah membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran membangun untuk memperbaiki dan menyempurnakan penulisan laporan ini selanjutnya. Akhir kata penulis berharap laporan ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang membutuhkan dan terhadap pengembangan ilmu dan penerapan pembelajaran khususnya bagi Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2006
Penulis
viii
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN .................................................................................................. ii RIWAYAT HIDUP.......................................................................................... vi KATA PENGANTAR .................................................................................... vii DAFTAR ISI .................................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xi DAFTAR TABEL ............................................................................................ xii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xiii I. PENDAHULUAN ........................................................................................ 1 A. LATAR BELAKANG ............................................................................ 1 B. TUJUAN ................................................................................................. 3 II. TINJAUAN UMUM PERUSAHAAN........................................................ 4 A. KEADAAN UMUM PERUSAHAAN................................................... 4 B. LINI PRODUKSI ................................................................................... 4 1. Penerimaan Daging Rajungan ............................................................ 5 2. Eksekusi .............................................................................................. 5 3. Penyortiran.......................................................................................... 6 4. Eksekusi Akhir ................................................................................... 7 5. Pencampuran Daging .......................................................................... 7 6. Pengisian ke dalam Kaleng (filling) dan Penimbangan ...................... 7 7. Penutupan Kaleng (seaming) dan Pengkodean .................................. 8 8. Pasteurisasi ......................................................................................... 9 9. Pendinginan (chilling) ........................................................................ 9 10. Pengepakan dan Penyimpanan ......................................................... 10 III. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 11 A. RAJUNGAN........................................................................................... 11 1. Biologi dan Jenis Rajungan ................................................................ 11 2. Pemanenan Rajungan ......................................................................... 12 3. Sifat Kimia Rajungan ......................................................................... 13 4. Mutu Rajungan ................................................................................... 14 B. ANTIBIOTIK CHLORAMPHENICOL .................................................. 15 C. PENGENDALIAN PROSES SECARA STATISTIK............................ 17
ix
D. BAGAN KENDALI ............................................................................... 20 E. DIAGRAM SEBAB AKIBAT ............................................................... 24 IV. METODOLOGI......................................................................................... 27 A. KERANGKA PEMIKIRAN .................................................................. 27 B. PENETAPAN BAGAN KENDALI ....................................................... 27 C. PENETAPAN DIAGRAM SEBAB AKIBAT ....................................... 29 V. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 32 A. APLIKASI BAGAN KENDALI PROSES ............................................ 32 B. DIAGRAM SEBAB AKIBAT ............................................................... 38 1. Metode Analisis Chloramphenicol ..................................................... 39 a. Teknik Sampling ............................................................................ 39 b. Analisis........................................................................................... 42 2. Pekerja Pabrik ..................................................................................... 44 3. Bahan Baku......................................................................................... 51 VI. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 54 A. KESIMPULAN ...................................................................................... 54 B. SARAN ................................................................................................... 55 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 57 LAMPIRAN ..................................................................................................... 60
x
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Diagram alir proses pengolahan rajungan di PT. Mina Global Mandiri ............................................................... 6 Gambar 2. Anatomi dan morfologi rajungan ................................................... 12 Gambar 3. Pengelompokkan daging rajungan ................................................. 15 Gambar 4. Struktur kimia Chloramphenicol.................................................... 16 Gambar 5. Diagram alir penggunaan peta-peta kontrol ................................... 22 Gambar 6. Bagan kendali secara umum........................................................... 24 Gambar 7. Contoh diagram sebab akibat ......................................................... 26 Gambar 8. Bagan kendali individu dan MR produk super lump ..................... 33 Gambar 9. Bagan kendali individu dan MR produk backfin ........................... 34 Gambar 10. Bagan kendali individu dan MR produk claw meat ..................... 35 Gambar 11. Bagan kendali individu dan MR produk special .......................... 36 Gambar 12. Diagram sebab akibat tingginya residu chloramphenicol melebihi standar ........................................................................... 39
xi
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Hasil analisis kimia daging kepiting dan rajungan ............................ 13 Tabel 2. Tabulasi silang tingkat pendidikan responden dengan tingkat pengetahuan tentang SSOP .................................................... 46 Tabel 3. Tabulasi silang tingkat pendidikan responden dengan tingkat disiplin responden .................................................................. 46 Tabel 4. Tabulasi silang tingkat pendidikan responden dengan tingkat pengetahuan tentang antibiotik chloramphenicol .................. 47 Tabel 5. Tabulasi silang unit produksi tempat responden bekerja dengan kategori tingkat pengetahuan responden tentang SSOP..................... 48 Tabel 6. Tabulasi silang unit produksi tempat responden bekerja dengan kategori tingkat disiplin responden .................................................... 49 Tabel 7. Tabulasi silang unit produksi tempat responden bekerja dengan kategori tingkat pengetahuan responden tentang antibiotik chloramphenicol ................................................................ 50 Tabel 8. Data analisis residu chloramphenicol tanggal 26 Mei 2006 pada daging rajungan segar dari supplier .......................... 52
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Struktur organisasi perusahaan .................................................... 61 Lampiran 2. Bagan alir persiapan sampel ........................................................ 62 Lampiran 3. Diagram alir analisis ELISA........................................................ 63 Lampiran 4. Kuesioner penelitian .................................................................... 65 Lampiran 5. Contoh form hasil analisis elisa ................................................... 68 Lampiran 6. Konstanta bagan kendali .............................................................. 71 Lampiran 7. Data analisis residu chloramphenicol pada produk akhir pengolahan daging rajungan ........................................................ 72 Lampiran 8. Panduan dalam teknik pipetting .................................................. 74 Lampiran 9. Tabel t-hitung .............................................................................. 75
xiii
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Dalam menghadapi tantangan persaingan yang semakin ketat dan menjaga kepercayaan konsumen pada suatu produk, perusahaan harus selalu menjaga mutu produk yang dihasilkannya. Maka mutu memegang peranan penting bagi suatu perusahaan dalam menghasilkan produk andalannya. Dalam pasar global, hanya produk-produk yang bermutu yang akan memenangkan
persaingan
dan
mempertahankan
posisinya
di
pasar.
Keberadaan produk lokal dan nasional di suatu negara tidak luput dari tuntutan persaingan. Dalam menghasilkan suatu produk, perusahaan harus memiliki dan menyusun spesifikasi atau standar mutu sendiri supaya tujuan untuk memenuhi spesifikasi produk tercapai (Muhandri dan Kadarisman, 2005). Spesifikasi dapat ditentukan oleh perusahaan itu sendiri atau dari luar perusahaan semisal konsumen ataupun badan/asosiasi yang berwenang. Spesifikasi atau standar mutu yang dimiliki suatu perusahaan terhadap produk yang dihasilkannya merupakan alat dalam persaingan dalam memasarkan produknya. Karena itulah diperlukan suatu sistem pengendalian mutu yang baik bagi manajemen perusahaan sebagai usaha untuk menghasilkan produk yang lebih bermutu. Hasil perikanan merupakan sumber protein tinggi, murah dan mudah diperoleh. Produksi hasil perikanan ini masih sangat mungkin untuk ditingkatkan, baik untuk tujuan konsumsi lokal maupun untuk ekspor. Dari beberapa komoditi hasil perikanan yang saat ini mulai berkembang pesat dan memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi adalah rajungan. Rajungan (Portunus pelagicus) atau swimming crab atau blue crab merupakan salah satu jenis kepiting laut yang banyak terdapat di perairan Indonesia. Kepiting yang hidup di perairan Indo-Pasifik terdiri dari 234 jenis dan sebagian besar yaitu 124 jenis dapat dijumpai di perairan Indonesia. Dari berbagai macam jenis kepiting tersebut, hanya beberapa jenis saja yang sudah dikenal kelezatannya sebagai makanan (Afriantono dan Liviawaty, 1992).
1
Rajungan menjadi salah satu andalan ekspor yang mendampingi komoditas udang windu. Ekspor rajungan ke berbagai negara tujuan tidak selamanya berjalan mulus. Indonesia sering mengalami hambatan terutama yang berkaitan dengan keamanan pangan. Akhir-akhir ini, isu keamanan pangan yang membatasi perdagangan
produk
chloramphenicol.
pangan
Gabungan
tersebut
negara-negara
adalah maju
residu seperti
antibiotik Uni
Eropa
memutuskan bahwa semua produk hasil laut yang berasal dari Asia harus benar-benar bebas dari residu antibiotik chloramphenicol. Oleh karena itu analisis residu antibiotik ini penting untuk dikuasai untuk mempertahankan keamanan produk tersebut. Sejak tahun 1994, penggunaan chloramphenicol sebagai antibiotik pada hewan ternak telah dilarang oleh Uni Eropa. Chloramphenicol merupakan antibiotik dengan spektrum kegunaan yang cukup luas dalam membunuh bakteri. Adanya larangan penggunaan senyawa ini dikarenakan sifatnya yang tidak mudah diurai oleh tubuh. Asupan chloramphenicol dalam waktu lama akan meninggalkan deposit berlebih dalam tubuh dan ini tentunya akan bersifat toksik bagi tubuh. Salah satu pengaruh toksisitas deposit adalah kelainan aplastic anemia (Roybal, 1998). Aplastic anemia merupakan penyakit yang disebabkan oleh penurunan produksi sel darah merah pada sumsum tulang belakang (Nehaus et al, 2002). Uni Eropa telah menetapkan standar batas maksimum residu chloramphenicol pada produk hewani berdasarkan European Commision Decision pada tanggal 13 Maret 2003 sebesar 0,3 ppb (part per billion) (Commision Decision: 2003/181/EC) dan menjadi standar umum di negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Analisis tingkat residu antibiotik chloramphenicol di laboratorium PT. Mina Global Mandiri dilakukan dengan menggunakan teknik ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay). ELISA dapat mendeteksi senyawa chloramphenicol hingga 0,02 ppb (Cazemier. et al, 1996). Kegiatan magang di PT. Mina Global Mandiri, difokuskan pada pengendalian residu antibiotik chloramphenicol serta pengaruh-pengaruh yang menyebabkan
proses
tidak
terkendali.
Tingginya
tingkat
residu
2
chloramphenicol pada produk akan berdampak kerugian terhadap produsen. Selain produk tersebut tidak dapat lolos ekspor, produk yang mempunyai residu tinggi akan diproses ulang dan akan menyebabkan biaya produksi menjadi lebih tinggi. Oleh sebab itu perusahaan sangat memperhatikan tingkat residu chloramphenicol sehingga dicari mutu daging rajungan yang kadar chloramphenicol-nya sangat rendah.
B. TUJUAN Tujuan dilakukan kegiatan magang di PT Mina Global Mandiri, Purwakarta adalah (1) mengaplikasikan bagan kendali untuk memantau mutu produk akhir dari pengalengan rajungan berdasarkan hasil analisis residu chloramphenicol, dan (2) menyusun diagram sebab akibat untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat menjadi peluang penyebab tingginya residu antibiotik chloramphenicol.
3
II. TINJAUAN UMUM PERUSAHAAN
A. KEADAAN UMUM PERUSAHAAN PT. Mina Global Mandiri merupakan perusahaan persero yang bergerak di bidang industri pengolahan hasil laut (seafood industry). PT. Mina Global Mandiri berdiri pada awal tahun 2005 dan mulai beroperasi pada bulan Agustus 2005. Berdirinya PT. Mina Global Mandiri diprakarsai oleh dua orang yang sangat berpengalaman di dunia bisnis pengolahan hasil laut, yaitu Bapak Triyanto dan Bapak Iwan P Sarbini. Lokasi PT. Mina Global Mandiri berada di Jalan Raya Cikampek – Purwakarta Km 5, Desa Cibening,
Bungursari, Purwakarta, Jawa Barat.
PT. Mina Global Mandiri mempunyai areal pabrik seluas 25431 m2 dan areal bangunan seluas 4334 m2 dengan bangunan fisik berupa kantor pusat, bangunan pabrik, dua bangunan gudang, dua pos keamanan, mess karyawan dan mushola. Pimpinan tertinggi di PT. Mina Global Mandiri dipimpin oleh Dewan Komisaris dan Direktur Utama. Terdapat empat manajemen yang masingmasing dipimpin oleh direktur, yaitu Direktur Operasional, Direktur Keuangan, Direktur Marketing dan Direktur Business Development dengan total karyawan sebanyak 203 karyawan yang terdiri atas 4 orang bagian manajemen, 29 staf, dan 170 orang buruh. Struktur organisasi perusahaan dapat dilihat pada Lampiran 1. Fasilitas pendukung produksi yang dimiliki perusahaan antara lain Laboratorium Mikrobiologi dan Kimia, ruang produksi, ruang pasteurisasi, ruang pendingin, gudang, tempat pengolahan air, dan tempat pengolahan air limbah. Sedangkan fasilitas yang disediakan perusahaan untuk karyawan antara lain mushola, mess karyawan dan lapangan olahraga.
B. LINI PRODUKSI Produk yang dihasilkan oleh PT. Mina Global Mandiri saat ini hanya berupa daging rajungan dalam kaleng. Dalam tahap pengembangan perusahaan direncanakan akan memproduksi produk-produk hasil olahan laut
4
lainnya selain rajungan yaitu berupa ikan beku, udang beku dan produk laut lainnya yang mempunyai nilai tambah. Sumber bahan mentah yang diproses oleh PT. Mina Global Mandiri berasal dari berbagai agen pengolahan (mini plant) di Indonesia yang tersebar di pantai-pantai Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Rajungan yang dipasok dapat berupa rajungan utuh atau sudah dalam bentuk daging. Produk rajungan kaleng yang dihasilkan di PT. Mina Global Mandiri terdiri dari 7 jenis produk yaitu colossal, jumbo, super lump, lump (backfin), special, claw, dan cocktail claw. Pembagian jenis produk tersebut didasarkan atas keberadaan atau letak daging dalam tubuh rajungan maupun berdasarkan ukurannya. Proses pengolahan meliputi penerimaan daging rajungan (receiving), eksekusi, penyortiran, eksekusi akhir (final checking), pencampuran (mixing), pemasukan dalam kaleng (filling), penimbangan (weighing), penutupan kaleng (seaming), pasteurisasi, shock cooling, pengepakan (packaging) dan penyimpanan dingin. Urutan proses pengolahan daging rajungan di processing plant dapat dilihat pada Gambar 1. 1. Penerimaan Daging Rajungan (receiving) Daging rajungan dari mini plant diterima oleh bagian penerimaan untuk dilakukan penimbangan. Daging rajungan yang diterima dalam keadaan tertutup rapat dan diwadahi oleh toples. Suhu daging harus tetap terkendali, tidak boleh lebih dari 100C. Untuk menjaga suhu daging agar tetap rendah dilakukan penangan terhadap wadah berisi daging rajungan dengan ditimbun es curai. 2. Eksekusi Pada bagian eksekusi (pra-penyortiran) dilakukan pengecekan terhadap aroma daging. Bila tercium bau yang tidak diharapkan seperti bau amoniak, bau minyak tanah atau bau busuk, maka daging akan dipisahkan untuk dikembalikan ke mini plant. Dilakukan penimbangan kembali terhadap daging rajungan yang telah diterima. Tujuan dari penimbangan ulang ini dimaksudkan untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan berat antara bagian penerimaan dengan bagian pra-penyortiran.
5
Daging rajungan (Recieving) Eksekusi (pra-sorting) Penyortiran (sorting) Eksekusi akhir (final excecution) Kaleng Pencampuran (mixing) SAPP
Pengisian (filling) Penimbangan (weighing) Penutupan (seaming) Boiler Pengkodean (coding) Pasteurisasi
Es curai
Uap panas
Pendinginan (chilling) Rajungan kaleng pasteurisasi
Gambar 1. Diagram alir proses pengolahan rajungan di PT. Mina Global Mandiri
3. Penyortiran Sortir dilakukan terhadap semua jenis daging dengan memisahkan benda-benda selain daging seperti pecahan cangkang, insang, kotoran, telur maupun benda asing lainnya seperti kerikil, rambut dan potongan bagian tubuh serangga dari daging. Pada saat sortir, dilakukan pula pemisahan daging berdasarkan berat dan jenisnya. Pemisahan daging ini dimaksudkan untuk mengefisienkan kerja serta supaya memastikan daging tidak tercampur, karena daging pada masing-masing bagian tersebut mempunyai harga yang berbeda.
6
4. Eksekusi Akhir Eksekusi akhir dilakukan untuk memeriksa kualitas daging hasil sortir. Pada tahap ini dilakukan cek organoleptik dan pemeriksaan ulang terhadap ada tidaknya benda-benda asing yang tujuannya untuk memastikan bila daging tersebut masih layak untuk diproduksi. Pada tahap ini juga dilakukan penimbangan untuk membuat dukumen Laporan Hasil Sortir (LHS) yang digunakan untuk mendokumentasikan kecepatan kerja para karyawan dalam penyortiran dan sebagai bukti atau acuan bagi pembayaran ke pemasok daging rajungan. 5. Pencampuran Daging (mixing) Mixing merupakan pencampuran daging rajungan dari satu pemasok dengan daging rajungan dari pemasok lain untuk memperoleh kualitas daging yang baik. Pencampuran daging tidak hanya berasal dari dua pemasok, tetapi dapat lebih dari dua pemasok. Pencampuran daging berdasarkan juga pada jenis daging yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Formulasi daging yang dicampur telah ditetapkan berdasarkan dari jenis daging dan standar yang ditetapkan oleh buyer (pembeli). 6. Pengisian ke dalam Kaleng (filling) dan Penimbangan Daging yang telah mengalami pencampuran kemudian dimasukkan ke dalam wadah kaleng tin plate berukuran 401 x 301, dengan lapisan enamel jenis C. Sebelum dilakukan pengisian, kaleng terlebih dahulu diberi larutan SAPP (sodium acid pyrophosphate) yang berfungsi sebagai pencegah terbentuknya warna biru (blueing). Setelah itu dilakukan penimbangan untuk mencapai berat 1 lb atau 16 oz yang sebanding dengan 453,6 gram. SAPP atau disodium pyrophosphate (Na2H2P2O7) dengan berat molekul 221,94 g/mol merupakan bahan tambahan pangan yang digunakan dalam proses pengalengan daging rajungan. SAPP merupakan bahan tambahan pangan yang berwujud bubuk berwarna putih, licin dan larut dalam air. Pemakaian bahan tambahan ini merupakan bahan tambahan pangan yang telah diizinkan pemakaiannya berdasarkan peraturan Permenkes RI No.722/Menkes/Per/IX/1988 tentang Bahan
7
Tambahan Pangan (Anonim d, 2006). SAPP memiliki dua fungsi sebagai bahan tambahan pangan. Fungsi SAPP yang pertama sebagai sequestrant yaitu phospat pada SAPP memiliki kemampuan untuk mengkelat logam Cu dan Fe pada lapisan kaleng (Claus et. Al., 1994). Kemampuan mengkelat ini dapat mencegah terjadinya reaksi Cu dan Fe yang terdapat pada lapisan kaleng dengan lemak pada daging rajungan. Cu dan Fe yang terdapat pada lapisan kaleng dapat sebagai katalis oksidasi lemak pada daging rajungan sehingga dapat mengkompleks dan merubah warna daging menjadi biru atau biasa disebut dengan bluing (Mar-Less, 2006). Fungsi SAPP yang kedua menurut Mar-Less (2006) yaitu mencegah terjadinya pembentukan struvites. Struvites adalah rasa seperti berpasir yang terkadang dapat dirasakan pada daging rajungan. Hal ini disebabkan oleh komponen magnesium pada daging rajungan yang dapat mengkristal. Kristal yang tebentuk disebabkan oleh perlakuan panas yang tinggi pada saat proses pasteurisasi. SAPP dapat mengkompleks magnesium dan mencegah terjadinya pembentukan kristal-kristal yang menyebabkan struvites (Anonim c, 2006). Pada filling ini juga dilakukan penataan bentuk daging di dalam kaleng supaya terlihat rapi dan menarik ketika konsumen membuka kemasannya. Setelah daging tertata rapi lalu ditambahkan larutan SAPP untuk
kedua kalinya. Penambahan larutan SAPP yang kedua ini
dimaksudkan untuk meratakan larutan tersebut keseluruh isi kaleng. Setelah daging telah terisi penuh sesuai dengan standar perusahaan, maka dilakukan penimbangan akhir. Penimbangan akhir dilakukan untuk menentukan berat bersih dari produk sebelum dilakukan penutupan kaleng. 7. Penutupan kaleng (seaming) dan Pengkodean (coding) Kaleng yang telah diisi dengan daging diberi tutup dengan label atau merek sesuai dengan jenis dagingnya. Penutupan dilakukan dengan menggunakan double seamer. Mutu dari produk juga sangat ditentukan oleh efisiensi dari mesin seamer tersebut. Untuk menjaga efisiensi dari mesin, maka setiap 1 jam
8
diambil satu kaleng untuk dilakukan pengecekan terhadap dimensi kaleng. Dimensi kaleng yang diukur yaitu tinggi kaleng, lebar seam, ketebalan seam, counter sink, kait depan, kait badan, bebas kerut dan overlap kaleng. Jika dimensi kaleng tidak sesuai dengan standar dari perusahaan, maka dilakukan penyetingan kembali mesin double seamer. Pengecekan dari dimensi kaleng ini bertujuan untuk mencegah terjadinya kebocoran pada produk akibat seaming. Pengkodean dilakukan setelah kaleng ditutup. Pemberian kode dilakukan pada bagian bawah kaleng dengan menggunakan mesin coding jet print. Tujuan dari pengkodean adalah untuk mengetahui sejarah dari produk itu berasal. Dalam kode tersebut terdapat informasi tanggal produksi (bentuk julian date), nomor basket, kode pemasok dan jenis daging. 8. Pasteurisasi Kaleng yang telah ditutup dimasukkan ke dalam basket untuk selanjutnya dipasteurisasi. Tiap basket berisi 60 kaleng. Pasteurisasi dilakukan pada bak pasteurisasi yang telah terisi air bersih. Sumber panas pasteurisasi berasal dari uap panas yang dihasilkan oleh boiler dan disalurkan dengan pipa khusus ke bak pasteurisasi. Di dalam bak pasteurisasi juga dialiri gas yang menimbulkan gelembung udara yang berasal dari kompresor dan bertujuan untuk meratakan panas. Pasteurisasi dilakukan selama 155 menit pada suhu 184-186 oF (84,4 - 85,5 oC). 9. Pendinginan (chilling) Pendinginan adalah proses yang dilakukan segera setelah proses pasteurisasi selesai. Pendinginan dilakukan pada bak pendingin yang telah terisi air bersih serta pecahan es. Selama pendinginan, suhu dipertahankan pada suhu 0 - 4 oC selama 120 menit. Bak pendingin juga dialiri gas yang menimbulkan gelembung udara yang berasal dari kompresor dan bertujuan untuk meratakan suhu. Proses ini ditujukan untuk membunuh bakteri thermofilik yang belum mati saat pasteurisasi.
9
10. Pengepakan dan Penyimpanan Pengepakan dilakukan dengan menggunakan master carton (MC) yang dapat memuat 12 kaleng. Proses pengepakan ini masih dilakukan secara manual oleh pekerja. Kaleng yang telah dikemas kemudian disimpan di ruang pendingin (cold storage) dengan suhu 1- 3 oC.
10
III. TINJAUAN PUSTAKA
A. RAJUNGAN Rajungan (Portunus pelagius) atau swimming crab merupakan jenis kepiting laut yang hanya bisa hidup di air laut, berbeda dengan kepiting lainnya yang dapat pula hidup di darat. Rajungan sangat digemari masyarakat dan harganya cukup mahal. 1. Biologi dan Jenis Rajungan Kepiting berbeda dengan Crustacea (hewan berkulit keras) jenis lain seperti lobster dan udang karena abdomennya yang kecil dan terlipat di dalam tubuhnya. Kepiting memiliki lima pasang kaki. Sepasang kaki yang pertama berujung capit dan lebih besar dari kaki lainnya. Pasangan terakhir kaki jalannya sering berbentuk pipih dan dipakai sebagai alat untuk berenang. Kepiting biasanya berjalan atau merangkak dengan cara berjalan menyamping (Afrianto dan Liviawaty, 1992). Menurut Afrianto dan Liviawaty (1992), kepiting merupakan salah satu hewan air yang banyak dijumpai di perairan Indonesia dan merupakan hewan Arthropoda yang terbagi menjadi 4 famili yaitu Portunidae (kepiting perenang), Xanthidae (kepiting lumpur), Crancidae (kepiting Cancer) dan Potamidae (kepiting air tawar). Rajungan merupakan salah satu jenis kepiting dari famili Portunidae yang hanya hidup di laut dan mempunyai ciri khas capit yang memanjang, kokoh dan berduri. Adapun klasifikasi rajungan menurut Waterman dan Chase (1960) dalam Afrianto dan Liviawaty (1992) yaitu: Filum
: Arthropoda
Kelas
: Crustacea
Sub Kelas
: Malacostraca
Ordo
: Eucaridae
Sub ordo
: Decapoda
Famili
: Portunidae
Genus
: Portunus
Species
: Portunus pelagicus
11
Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan jenis kepiting laut yang hanya bisa hidup di laut. Di dalam Ensiklopedia Indonesia vol. 5 disebutkan bahwa rajungan dapat mencapai ukuran panjang 15 cm dan lebar 30 cm. Ada beberapa jenis rajungan yang hidup di perairan Indonesia diantaranya rajungan bintang (Portunus sanguinolentus), rajungan karang (Charybdis feriatus), rajungan hijau (Thalamita crenata), dan rajungan angin (Podophthalmus). Rajungan ini biasa terdapat di perairan pantai yang dangkal dan sering juga di dasar perairan. Di Australia dan India, rajungan merupakan dasil perikanan yang penting (Afrianto dan Liviawaty, 1992). Anatomi dan morfologi rajungan dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Anatomi dan morfologi rajungan (http://www.blue-crab.org/anatomy.htm)
2. Pemanenan Rajungan Selama musim dingin, rajungan yang dorman dapat dipanen dengan mengeruk dasar laut. Negara-negara pesisir teluk di Amerika dapat melakukan pemanenan sepanjang musim karena udaranya lebih hangat saat musim dingin (Cockey dan Chai, 1994). Penangkapan dilakukan pada pagi hari. Pada saat penangkapan di kapal, rajungan yang tertangkap dipisahkan menurut ukuran dan jenis
12
kelaminnya. Rajungan biasanya dijual ke restoran-restoran, rumah makan seafood, dan pesta-pesta sebagai rajungan matang yang telah dimasak. Rajungan yang tidak dapat dimasak pada hari yang sama dengan penangkapan, disimpan untuk di picking pada hari berikutnya yaitu pada pagi hari (Cockey dan Chai, 1994). Di Indonesia, kepiting dan rajungan biasa ditangkap dengan menggunakan kail atau jala. Namun rajungan lebih banyak ditangkap dengan menggunakan jala, karena rajungan yang suka berenang bila tersapu ombak akan menempel pada jaring sehingga mudah ditangkap. 3. Sifat Kimia Rajungan Daging kepiting dan rajungan mempunyai nilai gizi yang tinggi. Hasil analisis proksimat kandungan gizi rajungan dan kepiting berbeda. hasil analisis kimia (proksimat) daging kepiting dan rajungan antara jantan dan betina dapat dilihat pada Tabel 1 (BBPMHP, 1995). Dari Tabel 1 terlihat bahwa kandungan protein rajungan lebih tinggi daripada kepiting. Sedangkan kepiting dan rajungan betina mempunyai kandungan lemak relatif lebih tinggi daripada yang jantan. Tabel 1. Hasil analisis kimia daging kepiting dan rajungan* Protein
Lemak
Air
Abu
(%)
(%)
(%)
(%)
Betina
11.45
0.04
80.68
2.45
Jantan
11.90
0.28
82.85
1.08
Betina
16.85
0.10
78.78
2.04
Jantan
16.17
0.35
81.27
1.85
Jenis Komoditi Kepiting Rajungan •
Laboratorium Kimia BBPMHP (Balai Bimbingan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan) tahun 1995
4. Mutu Rajungan Menurut BBPMHP (1995) daging rajungan yang diperoleh biasanya digolongkan menjadi tiga tingkatan mutu, yaitu:
13
a. Mutu 1 (daging super/jumbo), yaitu daging badan yang terletak di bagian bawah (berhubungan dengan kaki renang) berbentuk gumpalan besar berwarna putih. b. Mutu 2 (daging reguler), yaitu daging badan yang berupa serpihanserpihan, terletak disekat-sekat rongga badan berwarna putih. c. Mutu 3 (daging merah/clawmeat), yaitu daging rajungan yang berada dikaki dan capit, berwarna putih kemerahan. Menurut
Phillips-Seafood
(2005),
daging
rajungan
dapat
digolongkan menjadi lima jenis daging (Gambar 3), yaitu: a. Jumbo lump atau kolosal (daging putih) yang merupakan jaringan terbesar yang berhubungan dengan kaki renang. b. Backfin (daging putih) yang merupakan jumbo kecil dan pecahan dari daging jumbo. c. Special (daging putih) yang merupakan daging yang berada disekitar badan yang berupa serpihan-serpihan. d. Clawmeat (daging merah) yang merupakan daging dari bagian kaki sampai capit dari rajungan. e. Claw Finger (daging merah) yang merupakan bagian dari capit rajungan bersama dengan bagian shell yang dapat digerakkan. Rendemen total daging rajungan yang diperoleh dari pengolahan sebesar 25-30 % dari berat utuh dan besarnya rendemen ini dipengaruhi juga oleh kesegaran daging rajungan serta cara pengambilan dagingnya (picking). Rendemen daging antara kepiting dan rajungan tidak berbeda, akan tetapi rendemen rajungan antara jantan dan betina menunjukkan perbedaan, dimana rendemen daging rajungan jantan rata-rata lebih besar bila dibandingkan dengan betinanya. Dari total berat daging rajungan, biasanya rendemen dari daging rajungan terdiri dari: 10,1% (mutu 1); 8,6% (mutu 2); dan 10,5% (mutu 3). Sedangkan untuk daging kepiting terdiri dari 5,3% (mutu 1); 10,5% (mutu 2) dan 12,7% (mutu 3) (BBPMHP, 1995)
14
Jumbo Lump
Backfin
Special
Clawmeat
Claw finger Gambar 3. Pengelompokkan daging rajungan (Philips Seafood, 2005)
B. ANTIBIOTIK CHLORAMPHENICOL Chloramphenicol (2,2 - dichlor - N - [(αR,βR) - β - hydroxy - α hydroxymethyl - 4 - nitrophenethyl] acetamide) atau dikenal dengan nama dengan chloromycetin merupakan antibiotik yang pertama kali diisolasi dari bakteri Streptomyces venezuelae, sekitar tahun 1940-an (Neuhaus, 2002) dan kini
telah
diproduksi
untuk
kepentingan
medis
secara
sintetik.
Chloramphenicol merupakan jenis antibiotik dengan spektrum yang luas dalam penggunaannya. Prinsip kerja antibiotik ini dalam mematikan bakteri adalah dengan cara mengganggu proses sintesis protein. Chloramphenicol juga mempunyai sifat toksik bagi manusia (Roybal, 1998). Sifat toksik pada manusia disebabkan oleh gugus dichloride carbon alfa yang berikatan dengan gugus karbonil. Gugus karbon ini mengalami pergantian dengan nuchleophiles yang terdapat pada protein sehingga menggangu proses sintesis protein
15
(Neuhaus, 2002). Struktur kimia dari chloramphenicol dapat di lihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Struktur kimia Chloramphenicol (Anonim a, 2006) Residu chloramphenicol yang terdapat pada daging hewan yang dikonsumsi oleh manusia dikhawatirkan akan menyebabkan kematian pada penderita anemia yang berlanjut ke leukimia (aplastic anemia), dan juga dapat menyebabkan neuritis perifer dan neuritis optic. Chloramphenicol juga disinyalir merupakan penyebab Gray Baby Sindrome dengan gejala bayi berwarna kulit abu-abu, perut kembung, suhu tubuh rendah, susah bernafas, kulit pucat dan demam. Penyakit ini biasanya terjadi pada bayi berumur kurang dari sebulan akibat over dosis dan dapat menyebabkan kematian (Saparinto, 2002). Chloramphenicol pada awalnya merupakan antibiotik untuk infeksi virus, luka, flu atau mencegah infeksi. Chloramphenicol juga digunakan untuk pengobatan penyakit tifus pada manusia. Pada umumnya digunakan untuk melawan Anaerobic bacteria, Aeromonas, Pseudomonas, Mycloplasma, dan Enterobacteriacean.
Antibiotik
tersebut
bekerja
sebagai
pencegah
pertumbuhan atau membunuh bakteri (Saparinto, 2002). Nehaus (2002) menyebutkan bahwa pada September 2002 telah lebih dari 24.000 bahasan mengenai chloramphenicol di literatur-literatur ilmiah dan 4.000 diantaranya membahas tentang cara mendeteksinya. Namun hanya beberapa referensi
saja yang membahas pada produk-produk hasil laut.
Pendekatan yang umum digunakan untuk menganalisis chloramphenicol pada hasil laut pertama kali yaitu dengan mengekstrak larutan dan dianalisis dengan Solid Phase Extraction (SPE), dilanjutkan dengan pembentukan komponen
16
volatile dan dianalisis dengan menggunakan Gas Chromatography/Electron Capture Detection (GC-ECD). Nehaus (2002) menyebutkan bahwa dengan metode analisis menggunakan GC-ECD memberikan limit deteksi chloramphenicol hingga 1 ppb pada udang. Liquid chromatography (LC) menggunakan deteksi sinar UV juga biasa digunakan untuk analisis chloramphenicol memberikan limit deteksi hingga 5 – 10 ppb pada produk-produk hasil laut. Metode analisis menggunakan gas chromatography - mass spectrofotometry (GC-MS) telah digunakan dibeberapa penelitian dengan limit deteksinya hingga 1 ppb. Telah ada beberapa hasil penelitian yang menggunakan metode dengan liquid chromatography – mass spectrofotometry (LC-MS) untuk memisahkan dan mendeteksi secara semi kuantitatif residu chloramphenicol pada produk hasil laut dan mempunyai limit deteksi pada udang sebesar 0,5 ppb. Metode lain yang digunakan untuk menganalisis antibiotik seperti chloramphenicol
pada
hasil
laut
adalah
dengan
Enzyme
Linked
Immunosorbent Assay (ELISA) (Dixon-Holland, 1992). Menurut Nehaus (2002), metode ELISA ini dapat mendeteksi chloramphenicol pada produk hasil laut mencapai limit deteksi hingga ppt (part per trilion) sampai ppb terendah. ELISA dapat mendeteksi tingkat residu chloramphenicol hingga mencapai batas deteksi sebesar 0,04-0,02 ppb (Cazemier et al, 1996).
C. PENGENDALIAN PROSES SECARA STATISTIK Pengendalian proses secara statistik adalah suatu terminologi yang mulai digunakan sejak tahun 1970-an untuk menjabarkan penggunaan teknikteknik statistik dalam memantau dan meningkatkan performansi proses menghasilkan produk bermutu. Pada tahun 1950-an sampai 1960-an digunakan terminologi pengendalian mutu statistikal (Statistical Quality Control=SQC) yang memiliki pengertian yang sama dengan pengendalian proses statistikal (Statistical Process Control=SPC) (Gasperz, 1998). Pengendalian proses secara statistik adalah metode pengukuran, pemahaman dan pengawasan variasi dalam suatu proses produksi (Wayworld, 2001).
17
Menurut Gasperz (1998), pengendalian proses secara statistik adalah suatu metodologi pengumpulan dan analisis data kualitas, serta penentuan dan interpretasi pengukuran-pengukuran yang menjelaskan tentang proses dalam suatu industri. Fungsi utama dari pengendalian proses bagi industri adalah untuk meningkatkan mutu dari output, guna memenuhi kebutuhan dan ekspetasi pelanggan. Menurut Wayworld (2001), tujuan dari pengendalian proses statistik yaitu: 1. Menentukan apakah proses dalam keadaan terkendali. 2. Menentukan apakah proses berada dalam spesifikasi. 3. Identifikasi penyebab variasi. Tujuan utama pengendalian proses secara statistik adalah pengurangan variasi yang sistematik dalam karakteristik mutu kunci produk itu. Pengenalan pengendalian proses secara statistik akan menstabilkan proses itu dan mengurangi variasi, sehingga lebih jauh biasnya menghasilkan biaya mutu yang lebih rendah dan mempertinggi posisi dalam kompetisi yang semakin ketat (Montgomery, 1998). Strategi pengendalian proses secara statistik adalah membawa suatu proses berada di bawah pengendalian secara statistik. Pengendalian proses secara statistik berarti proses itu dikendalikan berdasarkan catatan data yang secara terus-menerus dikumpulkan dan dianalisis. Pengumpulan dan penganalisisan data secara terus menerus dimaksudkan agar menghasilkan informasi yang dapat digunakan dalam mengendalikan dan meningkatkan proses sehingga proses itu memiliki kemampuan untuk memenuhi spesifikasi output yang diinginkan (Gasperz, 1998). Gasperz (1998) menambahkan bahwa pada dasarnya langkah-langkah proses statistikal dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Merencanakan penggunaan perangkat statistikal. 2. Memulai menggunakan perangkat statistikal tersebut. 3. Mempertahankan
atau
menstabilkan
proses
dengan
cara
menghilangkan variasi penyebab khusus yang merugikan.
18
4. Merencanakan perbaikan proses terus menerus (continous process improvement) melalui pengurangan variasi penyebab umum., 5. Mengevaluasi dan meninjau ulang (review) terhadap penggunaan alat-alat statistikal itu. Statistikal proses kontrol dapat diterapkan pada setiap proses. Perangkat yang biasa digunakan dalam statistikal proses kontrol diantaranya 1) histogram, 2) check sheet, 3) diagram pareto, 4) diagram sebab akibat, 5) stratifikasi, 6 ) scatter diagram, 7) bagan kendali (Gaspersz, 1998). 1. Histogram Histogram adalah alat yang digunakan untuk menunjukkan variasi data pengukuran dan variasi setiap proses. Berbeda dengan Pareto chart yang penyusunannya menurut urutan yang memiliki proporsi terbesar ke kiri hingga proporsi terkecil, histogram ini penyusunannya tidak menggunakan urutan apapun (Ariani, 1999) 2. Check sheet Check sheet adalah alat yang sering digunakan untuk menghitung seberapa sering sesuatu terjadi dan sering digunakan dalam pengumpulan dan pencatatan data. Data yang sudah terkumpul tersebut kemudian dimasukan ke dalam grafik seperti pareto chart ataupun histogram untuk kemudian dilakukan analisis terhadapnya (Ariani, 1999). 3. Diagram Pareto Diagram pareto merupakan diagram yang dikembangkan oleh seorang ahli yang bernama Vilfredo Pareto. Diagram Pareto merupakan alat yang digunakan untuk membandingkan berbagai kategori kejadian yang disusun menurut ukurannya untuk menentukan pentingnya atau prioritas kategori kejadian-kejadian atau sebab-sebab kejadian yang akan dianalisis. Diagram Pareto dapat memusatkan perhatian pada sebab-sebab yang akan mempunyai dampak terbesar terhadap kejadian tersebut (Ariani, 1999).
19
4. Diagram sebab-akibat Diagram sebab akibat digunakan untuk menganalisis persoalan dan faktor-faktor yang menimbulkan persoalan tersebut. Dengan demikian diagram tersebut dapat digunakan untuk menjelaskan sebab-sebab suatu persoalan. Diagram sebab akibat juga disebut diagram ishikawa dan dikembangkan oleh Dr. Kaoru Ishikawa. Diagram tersebut juga disebut fish bone diagram karena berbentuk seperti kerangka ikan (Ariani, 1999). 5. Stratifikasi Stratifikasi adalah kegiatan pengelompokan atau penguraian data ke dalam kategori-kategori tertentu yang lebih kecil atau menjadi unsur-unsur tunggal dari data atau
masalah sehingga dapat
menggambarkan permasalahan dengan jelas. Misalnya mengurai menurut; jenis kesalahan atau kerusakan, penyebab dari kesalahan atau kerusakan, lokasi kesalahan atau kerusakan, material, hari pembuatan, unit kerja, orang yang mengerjakan, penyalur, waktu, dan lain-lain. 6. Scatter Diagram Scatter diagram adalah gambaran yang menunjukkan kemungkinan hubungan (korelasi) antara pasangan dua macam variabel dan menunjukkan keeratan hubungan antara dua variabel tersebut yang sering diwujudkan sebagai koefisien korelasi. Scatter digram juga dapat digunakan untuk mencek apakah suatu variabel dapat digunakan untuk mengganti variabel yang lain. 7. Bagan kendali Bagan kendali adalah grafik yang menyerupai run chart yang digunakan untuk menentukan apakah suatu proses berada dalam kondisi yang terkendali apa tidak.
D. BAGAN KENDALI Bagan kendali pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Walter Andrew Shewhart dari Bell Telephone Laboratories, Amerika Serikat, pada tahun 1924. Pembuatan bagan kendali oleh Dr.Walter dimaksudkan untuk
20
menghilangkan variasi tidak normal melalui pemisahan variasi yang disebabkan oleh penyebab khusus dari variasi yang disebabkan oleh penyebab umum (Gasperz, 1998). Bagan kendali terdiri dari suatu display grafik dari suatu karasteristik mutu yang telah dihitung atau diukur dari suatu contoh produk terhadap nomor contoh atau waktu. Pada dasarnya bagan kendali digunakan untuk mengetahui apakah suatu proses berada dalam keadaan terkendali secara statistik dan menentukan kapabiliatas proses, yang selanjutnya digunakan untuk mengendalikan proses secara terus-menerus (Gasperz, 1998). Montgomery (1998) menyatakan bagan kendali dapat digunakan oleh manajemen sebagai alat guna mencapai tujuan tertentu berkenaan dengan mutu proses. Garis tengah dan batas-batas kendali dapat merupakan nilai-nilai standar
yang
dipilih
oleh
manajemen,
sedemikian
hingga
mereka
menghendaki proses dalam keadaan terkendali pada tingkat mutu itu. Bagan kendali juga dapat berfungsi sebagai alat penaksir parameter tertentu seperti rata-rata (mean), standar deviasi, bagian yang sesuai dan sebagainya. Sebagian taksiran ini mempunyai dampak yang cukup besar pada banyak masalah, keputusan manajemen yang terjadi dalam perputaran produk, temasuk keputusan membuat atau membeli, peringkat pabrik dan proses yang mengurangi variabilitas proses dan perjanjian kontrak dengan langganan atau penjual mengenai mutu produk. Menurut Gasperz (1998), terdapat beberapa jenis bagan kendali berdasarkan jenis data pengukuran yang dipakai (data variabel atau data atribut) dan jenis proses yang dapat dilihat pada Gambar 5. Data variabel menunjukkan karakteristik kualitas berdimensi kontinyu yang dapat mengambil nilai-nilai kontinyu dalam kemungkinan yang tidak terbatas, seperti: panjang, kecepatan, bobot, volume dan lain-lain. Data atribut hanya memiliki dua nilai yang berkaitan dengan YA atau TIDAK, seperti: sesuai atau tidak sesuai, berhasil atau gagal dan lain-lain.
21
Tentukan karakteristik kualitas sesuai keinginan pelanggan
TIDAK Apakah data variabel
TIDAK Apakah data atribut berbentuk proporsi atau presentase?
YA Apakah proses homogen atau proses batch seperti industri kimia, dll? YA Gunakan peta kendali Individual: X-MR
TIDAK Gunakan peta kendali: X-Bar, R
Apakah data atribut berbentuk banyaknya ketidaksamaan?
YA Apakah ukuran contoh konstan? YA Gunakan peta kendali: p atau np
TIDAK Gunakan peta kendali: p
YA Apakah ukuran contoh konstan? YA Gunakan peta kendali: c atau u
TIDAK Gunakan peta kendali: u
Gambar 5. Diagram alir penggunaan peta-peta kendali Pembuatan peta kendali individual X dan MR (Moving Range = Rentang bergerak) diterapkan pada proses yang menghasilkan produk relatif homogen, misalnya cairan kimia, kandungan mineral dari air, kadar residu, dan lain-lain. Demikian pula dapat diterapkan pada kasus-kasus dimana inspeksi 100% digunakan untuk proses produksi yang sangat lama (Gasperz, 1998). Grafik pengendali individual digunakan untuk pengendalian proses produksi dengan jumlah pengamatan setiap contoh (n)=1. Atau jika mengawasi nilai sebenarnya dari observasi lebih penting daripada rataan dari subgrup. Grafik pengendali ini menggunakan rentang bergerak dua pengamatan yang berturutan untuk menaksir keragaman proses (Montgomery, 1998). Peta kendali X-bar (Rata-rata) dan R (Range) digunakan untuk memantau proses yang mempunyai karakteristik berdimensi kontinyu, sehingga peta kendali X-Bar dan R sering disebut sebagai peta kendali untuk data variabel. Peta kendali X-bar menjelaskan kepada kita tentang apakah perubahan-perubahan telah terjadi dalam ukuran titik pusat (central tendency) atau rata-rata dari suatu proses. Hal ini mungkin disebabkan oleh faktor-faktor seperti: peralatan yang dipakai, peningkatan temperatur secara gradual,
22
perbedaan metode yang digunakan dalam shift, material baru, tenaga kerja yang belum dilatih dan lain-lain. Peta kendali R (range) menjelaskan tentang apakah perubahan-perubahan telah terjadi dalam ukuran variasi, dengan demikian berkaitan dengan perubahan homogenitas produk yang dihasilkan melalui suatu proses. Hal ini mungkin disebabkan oleh faktor-faktor seperti: bagian peralatan yang hilang, minyak pelumas mesin yang tidak mengalir dengan baik, kesalahan pekerja dan lain-lain (Gasperz, 1998). Bagan kendali p didasarkan pada unit produk yang cacat, dimana kualitas didasarkan pada unit produk secara keseluruhan. Produk dinyatakan cacat apabila mengandung paling sedikit satu titik spesifik yang tidak memenuhi syarat. Proporsi yang tidak memenuhi syarat didefinisikan sebagai rasio banyaknya item yang tidak memenuhi syarat dalam suatu kelompok terhadap total banyaknya item dalam kelompok itu. Item-item itu dapat mempunyai beberapa karakteristik kualitas yang diperiksa atau diuji secara simultan oleh pemeriksa. Jika item-item itu tidak dapat memenuhi standar pada satu atau lebih karakteristik kualitas yang diperikasa, maka item-item itu digolongkan sebagai tidak memenuhi syarat spesifikasi atau cacat (Gasperz, 1998). Peta kendali c digunakan dalam hubungan dengan jumlah cacat yang muncul dalam sampel dengan hitungan tetap. Peta kendali c didasarkan pada titik spesifikasi yang tidak memenuhi syarat dalam suatu produk, sehingga suatu produk dapat saja dianggap memenuhi syarat meskipun mengandung satu atau beberapa titik spesifik yang cacat (Gasperz, 1998). Menurut Gasperz (1998), pada dasarnya setiap bagan kendali (Gambar 6) memiliki: 1. Sumbu x melambangkan nomor contoh 2. Sumbu y melambangkan karakteristik mutu output 3. Garis tengah 4. Sepasang batas pengendali, dimana satu batas pengendali ditempatkan di atas garis tengah yang dikenal sebagai batas pengendali atas (BPA) dan yang satu lagi ditempatkan di bawah garis tengah yang dikenal sebagai batas pengendali Bawah (BPB)
23
K A R A K T E R I S T I
UCL
CL
LCL Nomor Contoh
Keterangan:
UCL CL LCL
: : :
Upper Control Limit (Batas atas) Control Limit (Rata-rata) Lower Control Limit (Batas bawah)
Gambar 6. Bagan kendali secara umum (Muhandri dan Kadarisman, 2005)
E. DIAGRAM SEBAB AKIBAT Dr. Kaoru Ishikawa telah mengembangkan metode sederhana untuk menampilkan dalam bentuk grafis penyebab untuk setiap permasalahan mutu. Metode ini dinamakan diagram sebab akibat, atau diagram Ishikawa, atau biasa disebut dengan diagram tulang ikan (Pyzdek, 2001). Menurut Muhandri dan Kadarisman (2005), diagram sebab akibat berguna untuk mengetahui faktor-faktor yang mungkin menjadi penyebab munculnya masalah (berpengaruh terhadap hasil). Penyusunan dilakukan dengan teknik brainstroming (sumbang saran). Brainstroming adalah suatu cara yang digunakan untuk membantu membangkitkan ide-ide alternatif dan persepsi dalam tim kerja yang bersifat terbuka dan bebas. Dengan mengetahui hubungan antar sebab dan akibat dari suatu permasalahan, maka tindakan pemecahan masalah akan mudah ditentukan. Teknik brainstorming digunakan untuk membantu dalam pembuatan diagram sebab-akibat. Menurut Gaspersz (1998), brainstorming merupakan alat penunjang lain dalam perbaikan proses. Brainstorming membantu membangkitkan ide-ide alternatif dalam suatu tim kerja yang bersifat terbuka dan bebas. Brainstorming dilakukan dengan para pekerja yang mampu mengetahui faktor-faktor penyebab dari masalah yang terjadi dan setiap
24
pekerja memiliki kebebasan dalam mengemukakan pendapat, sedangkan peserta lain tidak boleh membantunya. Dalam pelaksanaan brainstorming perlu diperhatikan titik-titik khusus, diantaranya penataan ruang, ketentuan peraturan yang berlaku, menggunakan alat tulis, menuliskan ide-ide tersebut, menjaga suasana agar kondusif, melakukan evaluasi terhadap ide dan kumpulkan ide-ide tersebut berdasarkan kategori. Brainstorming dapat berkaitan dengan hal-hal berikut : a) menentukan penyebab yang digunakan dan/atau solusi suatu masalah, b) memutuskan masalah apa yang perlu diselesaikan, c) anggota tim merasa bebas untuk berbicara dan memberikan ide, d) menginginkan untuk menjaring sejumlah besar persepsi alternatif, dan e) kreativitas merupakan karakteristik outcome yang diinginkan. Setelah tim melakukan brainstorming dan muncul pendapatpendapat yang mungkin menjadi masalah dalam proses kemudian tahap selanjutnya adalah menyusun diagram sebab-akibat (fishbone diagram) (Gaspersz, 1998). Menurut Montgomery (1996), ada tujuh langkah untuk membuat diagram sebab akibat, seperti terlihat pada Gambar 7: 1. Mendefinisikan masalah atau akibat yang akan dianalisis. 2. Membentuk regu untuk melakukan analisis. Seringkali regu ini akan menemukan penyebab potensial melalui brainstroming. 3. Mengambarkan kotak akibat dan garis tengah. 4. Menentukan kategori-kategori penyebab potensial yang utama disertai kotak uang dihubungkan ke garis tengah, 5. Mengidentifikasi
penyebab
yang
mungkin
dan
mengelompokkannya ke dalam kategori-kategori pada langkah 4. Membuat kategori baru jika dibutuhkan. 6. Mengurutkan kategori-kategori penyebab untuk mengidentifikasi penyebab mana yang terlihat paling mempengaruhi permasalahan. 7. Mengambil tindakan perbaikan.
25
Diagram Sebab Akibat Penyebab Utama 3
sebab 1
Penyebab Utama 1
sebab 1
sebab 2 sebab 3
sebab 2 Kondisi yang akan diperbaiki sebab 3
sebab 1
sebab 2 sebab 1
Penyebab Utama 4
Penyebab Utama 2
Gambar 7. Contoh diagram sebab akibat Diagram sebab akibat yang baik adalah diagram yang memiliki banyak ranting. Jika tidak demikian, maka pemahaman regu yang dibentuk terhadap permasalahan yang dianalisis terlihat dangkal. Solusinya, dengan meminta bantuan seseorang dari luar regu untuk menambahkan pemahaman atas permasalahan yang ingin dipecahkan. Bisa jadi orang tersebut berkaitan dengan permasalahan tersebut.
26
IV. METODOLOGI
A. KERANGKA PEMIKIRAN Penelitian ini dilakukan untuk mengaplikasikan sistem pengendalian proses terhadap karakteristik mutu produk akhir dari pengalengan rajungan berdasarkan hasil analisis residu antibiotik chloramphenicol di PT. Mina Global Mandiri. Penelitian dimaksudkan untuk mengevaluasi proses guna mencegah tingkat residu antibiotik chloramphenicol pada produk akhir dari produk rajungan kaleng supaya tidak melebihi standar yang telah ditetapkan. Penelitian ini juga dimaksudkan untuk menentukan faktor-faktor penyebab yang mempengaruhi tingginya tingkat residu pada produk akhir. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat dicegah timbulnya reject dan rework produk sehingga dapat menekan biaya produksi dan produk dapat memenuhi syarat ekspor utnuk dapat dipasarkan. Penggunaan proses kontrol statistik merupakan tipe dari umpan balik, yang bermaksud meningkatkan mutu secara efektif dan bersifat preventif, sebab pengendalian proses dilakukan sedini mungkin dan mencegah terjadinya cacat. Dengan menggunakan prinsip ini, usaha peningkatan mutu akan mampu mengurangi biaya produksi.
B. PENETAPAN BAGAN KENDALI Data untuk penetapan bagan kendali merupakan data sekunder. Data sekunder ini meliputi data yang diambil dari hasil analisis yang dilakukan oleh laboran di laboratorium PT. Mina Global Mandiri. Data diperoleh berdasarkan hasil analisis chloramphenicol dengan metode ELISA dari produk akhir dan diambil mulai tanggal 16 Maret hingga 1 Juni 2006. Data yang diambil terdiri dari 4 jenis produk daging rajungan, yaitu super lump, special, claw meat dan backfin. Alasan mengambil keempat jenis produk ini dikarenakan keempatnya berpeluang lebih besar terkontaminasi residu chloramphenicol dikarenakan pada saat penanganannya (sortasi) paling sering terjadi kontak langsung dengan tangan. Contoh form data analisis dapat dilihat pada Lampiran 5.
27
Teknik analisis data skunder yang digunakan adalah dengan menggunakan grafik bagan kendali Individual X dan MR. Pembuatan bagan kendali dibuat dengan menggunakan komputer dengan program Minitab 14. Data residu chloramphenicol dari keempat jenis daging tersebut dikumpulkan dan dibuat grafik kendalinya. Dari grafik kendali dapat dilihat jenis produk mana yang terdapat proses yang tidak terkendali. Proses yang tidak terkendali ini dapat dilihat dari grafik yang titik-titiknya tidak berada di antara batas atas dan batas bawah. Teknik pembuatan bagan kendali juga dapat dilakukan secara manual akan tetapi penulis tidak menggunakan secara manual dikarenakan untuk mencapai ketepatan, kecepatan proses perhitungan dan tingkat kepercayaan hasil pengujian. Menurut Gasperz (1998), langkah-langkah pembuatan bagan kendali Individual X dan MR adalah: Langkah 1.
Mengumpulkan data individual (n=1) sebanyak 30 contoh atau lebih. Untuk pendugaan pendahuluan dalam pembuatan peta kendali X dan MR boleh digunakan data individual (n=1) dari satu set contoh pengukuran.
Langkah 2.
Menghitung nilai-nilai range bergerak (MR / Moving Range). Nilai MR adalah nilai absolut perbedaan atau selisih antara nilai pengukuran sekarang dengan nilai pengukuran sebelumnya, atau diambil nilai tertinggi dikurangi nilai terendah dari dua pengukuran yang berurutan sehingga diperoleh nilai positif. (catatan: nilai-nilai MR harus lebih besar atau sama dengan nol)
Langkah 3.
Menentukan garis tengah (central line) untuk peta kendali X dan MR sebagai berikut:
Langkah 4.
Garis tengah peta kendali X:
CL = X
Garis tengah peta kendali MR:
CL = MR
Menghitung batas-batas kendali 3-sigma sebagai berikut: Peta kendali X : CL = X UCL = X + 3(MR/d2) = X + (2,66 * MR) LCL = X - 3(MR/d2) = X - (2,66 * MR)
28
Catatan: nilai d2 sebesar 1,128 berdasarkan tabel pada Lampiran 6 untuk n = 2 Peta kendali MR: CL = MR UCL = D4 * MR LCL = D3 * MR Catatan: Nilai D3 dan D4 berdasarkan tabel pada Lampiran 6 untuk n=2: D3 = 0 dan D4 = 3,267 n yang digunakan 2 karena rata-rata bergerak yang dihitung hanya 2 sampel, jika rata-rata bergerak yang dihitung 3 sampel maka n yang dipakai 3, dan seterusnya.
C. PENETAPAN DIAGRAM SEBAB AKIBAT Diagram sebab akibat yang dibuat digunakan untuk mengetahui faktor-faktor internal perusahaan yang dapat menjadi peluang penyebab tingginya residu antibiotik chloramphenicol. Diagram sebab akibat ini disusun dengan cara observasi dan wawancara. Observasi dan wawancara dilakukan dengan cara mewawancarai pekerja pabrik, laboran, manajer quality control, bagian pengadaan bahan baku, plant manager, direktur operasional dan manajer produksi. Teknik brainstorming tidak dilakukan dikarenakan kesibukan masing-masing individu terhadap pekerjaannya. Tahapan dalam membuat diagram sebab-akibat adalah sebagai berikut : 1. Menentukan masalah yang digambarkan dalam sebuah kotak disebelah kanan dari garis panah utama, 2. Mencari faktor-faktor yang berpengaruh dan diberi garis panah cabang yang mengarah ke panah utama, 3. Mencari lebih lanjut faktor-faktor utama tersebut, dituliskan sebelah kanan dan kiri dari panah cabang serta dihubungkan dengan garis panah yang mengarah ke panah cabang, dan 4. Mencari penyebab-penyebab utama dari diagram yang sudah lengkap dengan observasi dan wawancara.
29
Untuk memperkuat faktor-faktor internal perusahaan yang dapat menjadi peluang penyebab tingginya residu antibiotik chloramphenicol, maka dilakukan pengumpulan data dengan memberikan kuesioner ke pekerja. Data yang dikumpulkan merupakan data primer. Pengumpulan data primer dilakukan dengan pendekatan kuantitatif melalui metode survey. Kegiatan survey ini digunakan untuk mengetahui sikap dan perilaku manusia, opini atau tanggapan publik terhadap suatu permasalahan yang ada, dalam hal ini menyangkut masalah residu antibiotik chloramphenicol pada produk rajungan kaleng. Data primer diperoleh dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan terstruktur yang dimuat dalam kuesioner penelitian. Kuesioner dalam penelitian ini terdiri dari pernyataan dan pertanyaan yang bersifat terbuka dan tertutup yang berhubungan dengan topik tentang kontaminasi residu antibiotik chloramphenicol yang disebabkan oleh kurang disiplin dan tingkat pengetahuan karyawan. Kuesioner dalam penelitian ini mencakup pertanyaan mengenai identitas responden, tingkat pengetahuan terhadap SSOP (Sanitation Standard Operating Procedure). Responden yang menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data merupakan karyawan bagian produksi yang bertugas sebagai Sortir, Mixing dan Filling di PT. Mina Global Mandiri. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik pengambilan acak sederhana (simple random sampling), yaitu teknik pengambilan sampel anggota populasi dengan peluang yang sama dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata dalam populasi, sehingga dilakukan anggota populasi yang dianggap heterogen. Jumlah sampel yang dipilih adalah 40 responden dari 60 orang dari satu populasi. Dengan jumlah sampel yang lebih dari 10 persen populasi diharapkan dapat mewakili populasi yang bersifat homogen. Contoh pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam kuesoiner ke responden dapat dilihat pada Lampiran 4. Data primer yang telah dikumpulkan akan ditabulasikan terlebih dahulu kemudian dianalisis dan diinterpretasi untuk dapat memperoleh kesimpulan atas fakta yang terjadi. Analisa data dilakukan secara kuantitatif dengan deskriptif. Analisis deskriptif digunakan untuk menjelaskan data
30
secara umum dengan menggunakan persentase yang disajikan dalam bentuk tabel, kemudian data tersebut diinterpretasikan. Persentase jawaban responden terhadap setiap indikator variabelvariabel didapatkan dengan cara melakukan perhitungan total skor minimum dan total skor maksimum dari setiap pertanyaan. Rataan skor dari suatu indikator diperoleh dengan cara melakukan penjumlahan nilai-nilai skor pada suatu variabel tertentu. Hasil penjumlahan tersebut disebut total skor pada suatu variabel kemudian dibagi dengan jumlah responden. Tingkat pendidikan responden dibagi menjadi 4 kategori yaitu SD, SMP, SMA, dan Diploma. Unit produksi dibagi menjadi 4 kategori yaitu sortir, mixing, filling, dan lain-lain. Unit produksi lain-lain merupakan unit produksi selain sortir, mixing, dan filling. Untuk tingkat pengetahuan responden tentang SSOP dibagi menjadi 3 kategori yaitu tinggi jika responden memiliki nilai 17-21, sedang jika memiliki nilai 12-16, dan rendah jika memiliki nilai 7-11. Untuk tingkat tidak disiplin dibagi menjadi 3 kategori yaitu disiplin jika responden memiliki nilai 13-30, kurang disiplin jika memiliki nilai 31-47, dan disiplin jika memiliki nilai 48-65. Untuk tingkat pengetahuan responden tentang antibiotik chloramphenicol dibagi menjadi 3 kategori yaitu tinggi jika responden memiliki nilai 17-21, sedang jika memiliki nilai 12-16, dan rendah jika memiliki nilai 7-11.
31
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. APLIKASI BAGAN KENDALI PROSES Program pengendalian dan peningkatan mutu produk menjamin kesesuaian dari produk melalui tahap pengukuran, pemantauan dan analisis serta peningkatan efektivitas dari sistem manajemen mutu. Program tersebut merupakan upaya yang terus menerus dilakukan oleh perusahaan terutama pada bagian quality control dengan bagian produksi. Salah satu cara untuk menjalankan program tersebut adalah dengan membuat bagan kendali untuk mengendalikan proses pada produksi rajungan kaleng secara statistik. Bagan kendali digunakan untuk mengukur parameter proses, menentukan kemampuan proses dan mengurangi variabilitas dalam suatu proses. Data pengukuran yang dikumpulkan merupakan hasil analisis residu antibiotik chloramphenicol pada produk akhir dari proses pengalengan rajungan. Metode analisis yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah dengan metode ELISA yang dilakukan di laboratorium PT. Mina Global Mandiri. Perusahaan memberikan spesifikasi terhadap produk akhir yaitu memiliki batas residu antibiotik chloramphenicol sebesar <0,25 ppb tetapi standar yang ditetapkan oleh EC adalah sebesar <0,30 ppb. Hal ini dilakukan oleh pihak manajemen perusahaan sebagai tindakan preventif supaya tingginya kadar residu tidak terlalu berdekatan dengan standar yang ditetapkan oleh EC. Produk yang memiliki residu di atas spesifikasi akan dilakukan reject dan rework pada jenis produk dengan kode mixing yang sama. Tabel data analisis chloramphenicol untuk pembuatan bagan kendali individu x dan MR dapat dilihat pada Lampiran 7. Data residu chloramphenicol yang diolah untuk penelitian ini diperoleh dari hasil analisis laboratorium PT. Mina Global Mandiri. Data-data tersebut selanjutnya diolah dengan bantuan software Minitab 14 untuk dijadikan bagan kendali individu x dan MR. Grafik kendali residu chloramphenicol untuk ke empat jenis produk akhir dapat dilihat pada Gambar 8, Gambar 9, Gambar 10, dan Gambar 11.
32
r esidu chlor amphenicol (ppb)
I-MR Chart of Super Lump 1
0,2
1
1
U C L=0,1373 0,1 _ X=0,0429 0,0 LC L=-0,0516 1
5
9
13
17
21 25 Nomor data
33
37
41
1
0,16
M oving Range
29
1
0,12
U C L=0,1160
0,08 __ M R=0,0355
0,04 0,00
LC L=0 1
5
9
13
17
21 25 Nomor data
29
33
37
41
Gambar 8. Bagan kendali individu dan MR produk super lump Gambar 8 merupakan grafik bagan kendali untuk produk jenis super lump. Rata-rata residu chloramphenicol untuk produk super lump adalah sebesar 0,049 ppb. Rata-rata residu chloramphenicol produk super lump jauh dari standar yang diberikan perusahaan yaitu sebesar 0,25 ppb, sehingga produk tersebut masih dapat dikatakan aman untuk dipasarkan. Akan tetapi terdapat tiga titik yang tidak terkendali yang berada di luar batas atas (UCL) yang sebesar 0,1373. Ketiga titik tersebut adalah titik ke 22 (0,164 ppb), 23 (0,192 ppb), dan 24 (0,200 ppb). Ketiga titik tersebut masih dalam batas aman dan masih di bawah standar perusahaan.
33
Residu chlor amphenicol ( ppb)
I-MR Chart of Backfin 1
1
0,2
U C L=0,1925
0,1
_ X=0,0681
0,0 LC L=-0,0562 1
5
9
13
17 21 Nomor data
25
29
33
1
M oving Range
0,16
U C L=0,1527
0,12 0,08 __ M R=0,0467
0,04 2
0,00 1
5
9
13
2
17 21 Nomor data
LC L=0 25
29
33
Gambar 9. Bagan kendali individu dan MR produk backfin Gambar 9 merupakan grafik bagan kendali untuk produk jenis Backfin. Rata-rata residu untuk produk backfin adalah sebesar 0,0681 ppb. Rata-rata tersebut masih dalam batas aman standar perusahaan. Dari Gambar 13 terdapat dua titik tidak terkendali yang berada di luar batas atas (UCL) yang sebesar 0,1925 ppb. Kedua titik tersebut adalah titik ke 23 (0,232 ppb) dan 24 (0,233 ppb). Kedua titik tersebut masih dapat digolongkan aman walaupun sangat mendekati batas aman standar perusahaan.
34
Residu chlor amphenicol ( ppb)
I-MR Chart of Claw Meat 0,4
1 1
U C L=0,2612
0,2
2 2
0,0
2
2
_ X=0,0697
2
2 2
LC L=-0,1217 1
5
9
13
17
21 25 Nomor data
29
33
37
41
1
M oving Range
0,3
1
U C L=0,2352 0,2
0,1
__ M R=0,0720 2
0,0
2
1
5
9
2
2
2
13
2 2
LC L=0
2
17
21 25 Nomor data
29
33
37
41
Gambar 10. Bagan kendali individu dan MR produk claw meat Gambar 10 merupakan grafik bagan kendali untuk produk jenis claw meat. Rata-rata residu untuk produk claw meat adalah sebesar 0,0697 ppb. Rata-rata tersebut masih dalam batas aman standar perusahaan. Pada grafik, terdapat banyak titik yang tidak terkendali. Terdapat sembilan titik yang berurutan berada pada sisi yang sama dari garis tengah. Juga pada titik ke 25 (0,264 ppb) dan 38 (0,373 ppb) merupakan titik yang tidak terkendali karena berada di luar batas atas. Kedua titik tersebut juga berada di luar batas standar perusahaan sehingga produk tersebut tidak dapat dipasarkan sehingga dilakukan reject produk dan proses ulang.
35
Residu chlor amphenicol (ppb)
I-MR Chart of Spesial 0,3 U C L=0,2549 0,2 _ X=0,0697
0,1 0,0 -0,1
LC L=-0,1156 1
4
7
10
13 16 Nomor data
19
22
25
U C L=0,2276 M oving Range
0,20 0,15 0,10
__ M R=0,0697
0,05 2
0,00 1
4
7
10
13 16 Nomor data
19
22
LC L=0 25
Gambar 11. Bagan kendali individu dan MR produk special Gambar 11 merupakan grafik bagan kendali untuk produk jenis special. Rata-rata residu untuk produk special adalah sebesar 0,0697 ppb. Rata-rata tersebut masih jauh dari batas standar aman perusahaan. Dari grafik kendali produk special semua titik berada di dalam batas atas dan batas bawah, sehingga dapat dikatakan proses terkendali. Data yang diperoleh dari produk special paling sedikit dibandingkan dari ketiga produk lainnya. Produk special ini merupakan produk yang jarang diproduksi karena komposisinya merupakan sisa pecahan produk-produk yang lain. Menurut Gasperz (1998), proses terkendali secara statistik dicirikan oleh bagan kendali yang semua titik-titik contohnya berada dalam batas-batas pengendalian (di antara batas pengendali atas dan batas pengendali bawah). Menurut Anonim b (2006), suatu proses menunjukkan keadaan tidak terkendali jika memenuhi kriteria sebagai berikut : 1. Satu atau beberapa titik berada di luar batas kendali 2. Sembilan titik berurutan berada pada sisi yang sama dari garis tengah 3. Enam titik berurutan naik atau turun
36
4. Empat belas titik berurutan bergantian naik dan turun 5. Dua dari tiga titik berurutan berada pada posisi > 2 standar deviasi dari garis tengah pada sisi yang sama 6. Empat dari lima titik berurutan berada pada posisi > 1 standar deviasi dari garis tengah pada sisi yang sama 7. Lima belas titik berurutan berada dalam posisi ≤ 1 standar deviasi dari garis tengah 8. Delapan titik berurutan berada pada posisi > 1 standar deviasi dari garis tengah Berdasarkan keempat bagan kendali tersebut, dapat dilihat titik-titik yang berada di luar batas atas. Selain itu juga terdapat beberapa pola acak yang ditunjukkan oleh titik-titik merah di dalam kisaran batas atas dan bawah. Hal ini menunjukkan bahwa proses pengalengan rajungan belum memenuhi kriteria proses yang terkendali secara spesifik karena masih mengandung variasi penyebab khusus (special-causes variation) dan variasi penyebab umum (common-causes variation). Variasi adalah ketidakseragaman dalam sistem produksi atau operasional sehingga menimbulkan perbedaan dalam mutu pada output (barang/jasa yang dihasilkan). Variasi penyebab khusus (special-causes variation) adalah kejadiankejadian di luar sistem yang mempengaruhi variasi dalam sistem. Penyebab khusus ini mengambil pola-pola non acak (non random patterns) sehingga dapat diidentifikasi/ditemukan, sebab mereka tidak selalu aktif dalam proses tetapi memiliki pengaruh yang lebih kuat pada proses sehingga menimbulkan variasi. Dalam konteks pengendalian proses statistikal menggunakan bagan kendali (control chart), jenis variasi ini sering ditandai dengan titik-titik pengamatan yang melewati atau keluar dari batas-batas pengendalian yang didefinisikan (defined control limit) (Gaspersz, 1998). Variasi penyebab umum (common-causes variation) adalah faktorfaktor di dalam sistem atau yang melekat pada proses yang menyebabkan timbulnya variasi dalam sistem serta hasil-hasilnya. Penyebab umum sering disebut juga sebagai penyebab acak (random causes) atau penyebab sistem (system causes). Karena penyebab umum ini selalu melekat pada sistem,
37
untuk menghilangkannya harus ditelusuri elemen-elemen pada sistem itu dan hanya pihak manajemenlah yang mengendalikan sistem itu. Dalam konteks pengendalian proses statistikal dengan menggunakan bagan kendali (control chart), jenis variasi ini sering ditandai dengan titik-titik pengamatan yang berada dalam batas-batas pengendalian yang didefinisikan (defined control limits) (Gaspersz, 1998). Variasi penyebab umum selalu terjadi pada proses produksi. Tantangannya adalah bagaimana memperkecil variasi tersebut. Dengan mengecilnya variasi penyebab umum (tanpa adanya variasi penyebab khusus) maka kemampuan proses produksi untuk menghasilkan produk yang lebih homogen akan lebih terjamin. Pihak manajemen harus melakukan perbaikan proses terus-menerus dengan cara menghilangkan variasi penyebab khusus agar mencapai tingkat produksi yang baik. Mengurangi variasi tersebut bisa dengan memberikan sosialisasi yang lebih mendalam kepada karyawan tentang pentingnya sanitasi, mengkalibrasi alat-alat untuk analisis, serta memberikan penyuluhan dan pengawasan terhadap pemasok bahan baku sehingga diharapkan industri mendapatkan cara yang lebih baik dalam peningkatan dan perbaikan mutu secara kontinyu. Masalah-masalah penyebab adanya variasi ini akan ditelusuri dengan menggunakan diagram sebab-akibat.
B. DIAGRAM SEBAB AKIBAT Diagram sebab akibat disusun berdasarkan hasil dari brainstroming. Semua
pendapat-pendapat
yang
muncul
dapat
dijadikan
kelompok
berdasarkan faktor utamanya. Faktor utama yang umum menurut Muhandri dan Kadarisman (2005) yang dapat dijadikan acuan adalah lingkungan, manusia, metode, bahan, dana, mesin dan peralatan. Faktor utama yang telah disepakati sebagai penyebab terdapatnya residu chloramphenicol di atas batas spesifikasi pada produk akhir adalah metode analisis chloramphenicol, pekerja pabrik, dan bahan baku. Faktor-faktor utama tersebut mempunyai faktorfaktor pendukung lainnya. Keterkaitan antar faktor utama dengan faktor pendukung digambarkan dengan diagram sebab akibat. Menurut Ishikawa
38
(1989), diagram sebab akibat dibuat untuk menggambarkan dengan jelas macam-macam sebab yang dapat mempengaruhi kualitas dengan jalan menyisihkan dan mencarikan hubungannya dengan sebab akibat itu. Diagram sebab akibat ini dapat dilihat pada Gambar 12.
Pekerja pabrik
Metode analisis kehomogenan
Motivasi
Teknik
Disiplin ukuran
Kebiasaan
Ketepatan
Bahan
Pendidikan
Analisis
Pengetahuan Alat-alat
pengalaman
Residu chloramphenicol melebihi standar
Kondisi suplier
Disiplin Kontaminasi dari pekerja
Kebiasaan Daging rajungan Kontaminasi dari air laut
Bahan Baku Keterangan :
= Tidak dilakukan penelitian yang mendalam
Gambar 12. Diagram sebab akibat tingginya residu chloramphenicol melebihi standar 1. Metode Analisis Chloramphenicol a. Teknik Sampling Teknik sampling merupakan cara yang digunakan dalam pengambilan sampel untuk dianalisis dari sekumpulan populasi. Untuk mendapatkan kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan haruslah ditempuh dengan cara-cara pengambilan sampel yang benar dalam setiap langkah mulai dari jenis sampel hingga ukuran dari sampel tersebut (Sudjana, 1996). Terdapat dua syarat yang harus dipenuhi agar dapat dikatakan menjadi sampel yang baik yaitu representatif dan memadai (Sudjana, 1996). Suatu sampel dikatakan representatif apabila ciri-ciri sampel
39
yang berkaitan dengan tujuan analisis sama atau hampir sama dengan ciri-ciri populasinya. Suatu sampel dikatakan memadai apabila ukuran sampelnya cukup untuk meyakinkan kestabilan ciri-cirinya. Menurut Muhandri dan Kadarisman (2005), pengambilan contoh atau sampling merupakan bagian dari kegiatan suatu inspeksi untuk dapat mengurangi biaya yang besar namun masih dapat menjamin atau mewakili suatu kelompok uniform tertentu untuk diambil suatu keputusan regulasi bisnis dan lain-lain. Hal ini disebabkan dengan inspeksi 100% cross check dalam industri pangan selain mahal, dapat mengakibatkan rusaknya produk dan menghambat proses produksi. Terdapat beberapa metode sampling yang sering digunakan dalam sistem sampling dan inspeksi, antara lain: 100% cross check, sampling berdasarkan teori statistik, dan sampling tidak berdasarkan statistik. Pada metode pertama, pada umumnya mahal dan tidak selalu berhasil secara keseluruhan. Terdapat banyak bahaya yang cenderung terjadi, yaitu kecenderungan terjadi pelaporan yang hanya “lip service”
bahwa
dilakukan
100%
inspeksi,
karena
hal
ini
membutuhkan biaya yang sangat mahal, waktu dan ketersediaan personil. Metode
kedua,
sampling
berdasarkan
teori
statistik
mempunyai kekurangan dibanding dengan inspeksi 100%, yaitu bahwa beberapa bagian tidak terinspeksi. Terdapat kelebihan metode ini, yaitu menempatkan tanggung jawab terhadap mutu secara fair dan jujur pada produsen. Metode ini biasanya memberikan kelebihan dapat mengurangi kerja inspeksi, menurunkan biaya dan menghasilkan mutu yang baik bagi konsumen. Metode ketiga, sampling tidak berdasarkan statistik biasanya tidak direkomendasikan karena tidak terdeteksinya resiko dari sampling dan membawa fluktuasi yang tinggi serta keluar dari batas mutu yang dipersyaratkan. Lebih jauh lagi, tidak ada dasar yang logis untuk keputusan penerimaan atau penolakan suatu produk.
40
Di PT. Mina Global Mandiri, sampel diambil sebanyak satu kaleng dari beratus-ratus kaleng setiap satu line produksi. Penarikan sampel yang hanya mengambil satu kaleng dari setiap line produksi dapat memungkinkan tidak terdeteksinya residu chloramphenicol pada kaleng lain. Sehingga jika mengambil daging untuk dianalisis dan tidak terdeteksi, ada kemungkinan di daging yang lain terdeteksi. Senyawa chloramphenicol hanya terakumulasi pada bagian daging tertentu dan tidak terserap ke seluruh daging. Hal ini dilakukan perusahaan mengingat biaya untuk analisis chloramphenicol sangat mahal sehingga meminimalisasikan jumlah sampel dan diasumsikan satu kaleng telah mewakili populasi yang ada. Penentuan sampel yang dilakukan PT. Mina Global Mandiri menggunakan metode sampling yang tidak berdasarkan metode statistik. Metode ini memiliki kekurangan seperti yang telah diuraikan di atas yaitu tidak terdeteksinya chloramphenicol pada kaleng yang lain. Menurut John (1990), salah satu cara yang dapat digunakan oleh perusahaan adalah dengan metode sampling statistik. Untuk menentukan ukuran sampel dari populasi yang ada dengan menggunakan statistik, pertama-tama dilakukan penetapan standar deviasi (σ) yang nantinya akan digunakan untuk menentukan ukuran sampel. Sebagai contoh, diambil data residu chloramphenicol pada produk Super Lump yang terdapat pada Lampiran 7. Data yang diperoleh terdiri dari 42 sampel yang diambil dari tanggal 16 Maret 2006 hingga 30 Mei 2006. Nilai rata-rata dari data tersebut sebesar 0,0429 ppb serta ditetapkan nilai standar deviasinya sebesar 0,0485 ppb. Diasumsikan bahwa perusahaan memproduksi 1000 kaleng dalam satu kali produksi dan memiliki selang kepercayaan 95%. Perhitungannya adalah sebagai berikut:
σ N
=μ
0,0485 10000
= 0,0015
Dengan selang kepercayaan 95% = 1,96 (t hit tabel)
41
Sehingga untuk menentukan ukuran sampel adalah: ⎛ σ ⎞ t.hit ⎜ ⎟≤μ ⎝ n⎠ ⎛ 0,0485 ⎞ 1,96⎜⎜ ⎟⎟ ≤ 0,0015 n ⎠ ⎝ ⎛ 0,0485 ⎞ n ≥ 1,96⎜ ⎟ = 63,3733 ⎝ 0,0015 ⎠ n ≥ 7,9607 ≈ 8 Dari ukuran sampel yang dibutuhkan dari 1000 kaleng yang diproduksi, maka minimal sampel yang dapat diambil sebanyak 8 sampel kaleng. b. Analisis Analisis chloramphenicol dengan teknik ELISA digunakan untuk mengetahui tingkat residu chloramphenicol pada daging rajungan di PT. Mina Global Mandiri. Keakuratan dan ketelitian dalam pengerjaannya harus diperhatikan terutama dari laboran, peralatan yang digunakan dan perlakuan pada bahan pereaksi. Keakuratan laboran dalam mengukur banyaknya bahan-bahan yang digunakan untuk analisis harus dipertimbangkan. Laboran harus dapat dengan sabar dan hati-hati dalam menakar bahan-bahan reaksi untuk analisis karena bahan-bahan reaksi tersebut pada umumnya digunakan dengan volume kecil. Volume yang lazim digunakan pada teknik ELISA berkisar antara 50-100 μL/sumur. Sangat penting jika laboran sepenuhnya mengetahui tentang teknik pipeting yang baik dan benar serta mengerti hubungan dari gram, miligram, microgram, nanogram dengan padanan dari volume seperti liter, mililiter, microliter dan seterusnya. Panduan dalam teknik pipeting dapat dilihat pada Lampiran 8. Tidak semua masalah dalam analisis semuanya disebabkan karena laboran. Bahan-bahan pereaksi juga harus diperhatikan. Bahanbahan pereaksi harus disimpan dan tidak boleh terkontaminasi oleh lingkungan sekitar. Bahan-bahan pereaksi juga tidak boleh melebihi
42
masa kadaluarsanya. Sedangkan tips yang sudah terpakai tidak boleh digunakan lagi. Penggunaan tips berulang kali akan mengakibatkan bahan-bahan pereaksi terkontaminasi. Air untuk analisis dapat juga menjadi sumber kontaminasi. Air digunakan untuk membilas dan membuang senyawa yang tidak membentuk ikatan dengan antigen. Air dapat mengandung pengotor yang dapat mempengaruhi hasil analisis. Pengotor-pengotor tersebut dapat membuat larutan menjadi pekat sehingga pembacaan absorbansi menjadi
terganggu.
Air
yang
digunakan
direkomendasikan
menggunakan air tri-destilata yang telah mengalami tiga kali proses destilasi sehingga cukup terjamin kemurniannya. Alat-alat gelas yang digunakan untuk analisis juga dapat mempengaruhi hasil analisis. Alat-alat gelas yang digunakan harus bersih dan kering serta dibilas dengan menggunakan air destilasi. Hal ini untuk mencegah kontaminasi atau ketidakcocokan kondisi pH dari pereaksi-pereaksi ELISA, terutama pada pengencer dari konjugat.
Micropipet merupakan peralatan yang digunakan untuk memipet sejumlah volume dari sampel dan bahan-bahan pereaksi.
Micropipet pada dasarnya sangat penting untuk masalah keakuratan pada ELISA. Alat ini harus sering diperiksa untuk masalah ketelitiannya dan ketepatan dalam membawa volume larutan. Keterangan dalam mengkalibrasi tergantung pada jenis dan merek yang digunakan. Keterangan dan panduan untuk mengkalibrasi terdapat pada buku panduan dalam paket pembelian. Perawatan harus dilakukan pada alat ini dengan cara mencegah larutan agar tidak terhisap ke dalam pipet. Jika hal ini terjadi, maka harus segera dibersihkan dan dikeringkan. Suhu penyimpanan bahan perekasi harus diperhatikan. Semua bahan pereaksi harus disimpan pada suhu 2-8 oC dan tidak boleh dalam keadaan beku. Jika bahan pereaksi akan digunakan maka langsung dikeluarkan pada suhu ruangan (20-25 oC) dan langsung disimpan kembali jika sudah digunakan (r-Biopharm, 2006). Variasi
43
suhu dapat menjadi faktor terbesar yang menyebabkan kesalahan analisis (Crowther, 1995). Hal ini dikarenakan bahan pereaksi sangat peka terhadap perubahan suhu. Keakuratan
waktu
dalam
tahap
inkubasi
juga
harus
diperhatikan. Untuk inkubasi 1 jam, maka toleransi waktu yang diperbolehkan maksimal adalah 5 menit. Waktu inkubasi yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya reaksi yang berlebih dan menyebabkan kesalahan analisis. Setiap kit yang digunakan sudah ditetapkan standar waktunya. Analisis yang baik adalah selalu mengikuti
instruksi
untuk
memperoleh
hasil
yang
akurat
(Crowther, 1995).
2. Pekerja Pabrik Pekerja membawa peranan penting pada produk yang dihasilkan. Motivasi, konsentrasi dan semangat kerja harus ditingkatkan, karena akan sangat berpengaruh terhadap pekerjaannya dan disiplin kerja mereka. Kedisiplinan pekerja harus diperhatikan. Apakah mereka telah mentaati SSOP yang telah dibuat dan dikeluarkan oleh perusahaan. Kedisiplinan pekerja ini dipengaruhi oleh motivasi dan kebiasaan. Motivasi pekerja dapat ditingkatkan dengan cara memberikan suatu penghargaan serta bonus untuk pekerja yang berprestasi. Masalah kebiasaan sulit untuk diubah. Hal ini hanya bisa diatur oleh peraturanperaturan yang dibuat oleh manajemen perusahaan dan diharapkan para pekerja mengerti dan mentaati peraturan tersebut. Pihak manajemen perusahaan harus dapat mengendalikan para pekerja dengan memberikan sangsi jika ada yang melanggar peraturan. Pengetahuan pekerja dapat ditentukan dari lama bekerja, latihan yang diberikan, dan tingkat pendidikannya. Semakin lama ia bekerja, semakin
banyak
pengalamannya
dan
semakin
terampil
dalam
pekerjaannya. Pendidikan yang cukup akan membantu pekerja untuk cepat memahami segala hal yang menyangkut pekerjaannya, sehingga memudahkan dalam penanganan masalah-masalah yang terjadi.
44
Berikut ini merupakan data hasil dari kuesioner yang dibagikan kepada responden. Data ini digunakan untuk memperkuat faktor-faktor internal perusahaan yang dapat menjadi peluang penyebab tingginya residu antibiotik chloramphenicol. Responden yang mengisi kuesioner adalah para pekerja di PT. Mina Global Mandiri yang bekerja pada bagian
sortir, mixing dan filling. Jumlah responden sebanyak 40 orang. Tujuan dari survei ini adalah melihat tingkat kedisiplinan dan pengetahuan responden yang berkaitan dengan residu chloramphenicol. Penelitian survei ini difokuskan pada tingkat pendidikan responden, unit produksi tempat responden bekerja, tingkat pengetahuan tentang SSOP, tingkat disiplin, dan tingkat pengetahuan tentang antibiotik Chloramphenicol yang nantinya akan dideskripsikan menggunakan tabulasi silang. Tingkat pendidikan responden dibagi menjadi 4 kategori yaitu SD, SMP, SMA, dan Diploma. Unit produksi dibagi menjadi 4 kategori yaitu sortir, mixing, filling, dan lain-lain. Unit produksi lain-lain merupakan unit produksi selain sortir, mixing, dan filling. Untuk tingkat pengetahuan responden tentang SSOP dibagi menjadi 3 kategori yaitu tinggi jika responden memiliki nilai 17-21, sedang jika memiliki nilai 12-16, dan rendah jika memiliki nilai 7-11. Untuk tingkat tidak disiplin dibagi menjadi 3 kategori yaitu disiplin jika responden memiliki nilai 13-30, kurang disiplin jika memiliki nilai 31-47, dan disiplin jika memiliki nilai 48-65. Untuk tingkat pengetahuan responden tentang antibiotik chloramphenicol dibagi menjadi 3 kategori yaitu tinggi jika responden memiliki nilai 17-21, sedang jika memiliki nilai 12-16, dan rendah jika memiliki nilai 7-11. Tabel 2 memperlihatkan hasil survei bahwa responden yang menyatakan memiliki tingkat pengetahuan tinggi tentang SSOP adalah 1 responden dengan tingkat pendidikan SD, 19 responden dengan tingkat pendidikan SMP, 16 responden dengan tingkat pendidikan SMA, dan 1 responden dengan tingkat pendidikan Diploma. Jumlah responden yang menyatakan memiliki tingkat pengetahuan sedang tentang SSOP adalah 3 responden dengan tingkat pendidikan SMA.
45
Tabel 2. Tabulasi silang tingkat pendidikan responden dengan tingkat pengetahuan tentang SSOP Jumlah responden yang menyatakan memiliki Tingkat pendidikan Total pengetahuan tentang SSOP responden di PT.MGM Tinggi Sedang SD 1 0 1 SMP 19 0 19 SMA 16 3 19 DIPLOMA 1 0 1 Total 37 3 40 92.5 % 7.5 % Persentase Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa mayoritas responden menyatakan memiliki pengetahuan tinggi tentang SSOP, baik responden dengan tingkat pendidikan SD, SMP, SMA dan Diploma. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa sebagian besar (92,5%) karyawan menganggap dirinya mengerti tentang SSOP, sehingga akan melaksanakan SSOP tersebut dengan baik. Karyawan yang menjalani SSOP dengan baik dan benar maka akan mengurangi kemungkinan terkontaminasinya produk terhadap zat atau benda yang tidak diinginkan. Tabel 3 memperlihatkan hasil survei bahwa responden yang menyatakan memiliki tingkat disiplin baik adalah 1 responden dengan tingkat pendidikan SD, 19 responden dengan tingkat pendidikan SMP, 18 responden dengan tingkat pendidikan SMA, dan 1 responden dengan tingkat pendidikan Diploma. Jumlah responden yang menyatakan dirinya kurang disiplin adalah 1 responden tingkat pendidikan SMA. Tabel 3. Tabulasi silang tingkat pendidikan responden dengan tingkat disiplin responden Jumlah responden Tingkat pendidikan berdasarkan tingkat disiplin Total responden di PT.MGM Disiplin Kurang disiplin SD SMP SMA DIPLOMA Total Persentase
1 19 18 1 39 97.5 %
0 0 1 0 1 2.5 %
1 19 19 1 40
46
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa mayoritas karyawan (97,5%) dari berbagai tingkat pendidikan merasa telah memiliki disiplin baik dalam melakukan pekerjaannya. Dapat diasumsikan bahwa dengan tingkat disiplin yang baik pada karyawan dapat mengurangi kemungkinan kontaminasi yang dilakukan oleh pekerja. Tabel 4 memperlihatkan hasil survey bahwa responden yang menyatakan memiliki tingkat pengetahuan tinggi tentang antibiotik
chloramphenicol adalah 14 responden dengan tingkat pendidikan SMP, 15 responden dengan tingkat pendidikan SMA, 1 responden dengan tingkat pendidikan Diploma. Jumlah responden yang menyatakan memiliki tingkat pengetahuan sedang tentang antibiotik chloramphenicol adalah 1 responden dengan tingkat pendidikan SD, 5 responden dengan tingkat pendidikan SMP, dan 3 responden dengan tingkat pendidikan SMA. Jumlah responden yang menyatakan memiliki tingkat pengetahuan rendah adalah 1 responden dengan tingkat pendidikan SMA. Tabel 4. Tabulasi silang tingkat pendidikan responden dengan tingkat pengetahuan tentang antibiotik chloramphenicol. Jumlah responden yang menyatakan memiliki pengetahuan tentang Tingkat pendidikan Total antibiotik chloramphenicol responden di PT.MGM Tinggi Sedang Rendah SD SMP SMA DIPLOMA Total Presentase
0 14 15 1 30 75 %
1 5 3 0 9 22.5 %
0 0 1 0 1 2.5 %
1 19 19 1 40
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa mayoritas responden menyatakan
memiliki
pengetahuan
tinggi
tentang
antibiotik
chloramphenicol, baik responden dengan tingkat pendidikan SD, SMP, SMA dan Diploma. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa sebagian besar (75%) karyawan menganggap dirinya mengerti tentang apa yang dimaksud dengan antibiotik chloramphenicol.
47
Tabel 5 memperlihatkan hasil survei bahwa responden yang menyatakan memiliki tingkat pengetahuan tinggi tentang SSOP adalah 19 responden dari unit produksi sortir, 12 responden dari unit produksi
mixing, 3 responden dari unit produksi filling, dan 3 responden dari unit produksi lain-lain. Jumlah responden yang menyatakan memiliki tingkat pengetahuan sedang tentang SSOP adalah 2 responden dari unit produksi
mixing, dan 1 responden dari unit produksi lain-lain. Tabel 5. Tabulasi silang unit produksi tempat responden bekerja dengan kategori tingkat pengetahuan responden tentang SSOP Jumlah responden yang menyatakan memiliki Unit produksi tempat Total pengetahuan tentang SSOP karyawan bekerja Tinggi Sedang Sortir 19 0 19 Mixing 12 2 14 Filling 3 0 3 Dll 3 1 4 37 3 40 Total 92.5 % 7.5 % Presentase Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa mayoritas responden (92,5%) dari segala unit produksi menyatakan memiliki pengetahuan tinggi tentang SSOP. Oleh karena itu dapat diasumsikan sebagian besar karyawan melaksanakan SSOP tersebut dengan baik. Sehingga jika SSOP telah
dilaksanakan
dengan
baik
maka
kemungkinan
peluang
terkontaminasinya produk dari residu chloramphenicol akan lebih kecil. Tabel 6 memperlihatkan hasil survei bahwa responden yang menyatakan memiliki tingkat disiplin baik adalah 19 responden dari unit produksi sortir, 14 responden dari unit produksi mixing, 2 responden dari unit produksi filling, dan 4 responden dari unit produksi lain-lain. Jumlah responden yang menyatakan dirinya kurang disiplin adalah 1 responden dari unit produksi filling.
48
Tabel 6. Tabulasi silang unit produksi tempat responden bekerja dengan kategori tingkat disiplin responden Jumlah responden berdasarkan Unit produksi tempat tingkat disiplin Total karyawan bekerja Disiplin Kurang disiplin Sortir 19 0 19 Mixing 14 0 14 Filling 2 1 3 Dll 4 0 4 39 1 40 Total 97.5 % 2.5 % Presentase Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa mayoritas karyawan (97,5%) dari berbagai unit produksi merasa memiliki tingkat disiplin yang baik dalam melakukan pekerjaannya. Dapat diasumsikan bahwa dengan tingkat disiplin yang baik, karyawan dapat mengurangi kemungkinan kontaminasi yang dilakukan oleh pekerja. Tabel 7 memperlihatkan hasil survey bahwa responden yang menyatakan memiliki tingkat pengetahuan tinggi tentang antibiotik
chloromphenicol adalah 17 responden dari unit produksi sortir, 10 responden dari unit produksi mixing, 2 responden dari unit produksi
filling, dan 1 responden dari unit produksi lain-lain. Jumlah responden yang menyatakan memiliki tingkat pengetahuan sedang tentang antibiotik
chloromphenicol adalah 2 responden dari unit produksi sortir, 3 responden dari unit produksi mixing, 1 responden dari unit produksi filling, dan 3 responden dari unit produksi lain-lain. Jumlah responden yang menyatakan memiliki tingkat pengetahuan rendah tentang antibiotik
chloromphenicol adalah 1 dari unit produksi mixing.
49
Tabel 7. Tabulasi silang unit produksi tempat responden bekerja dengan kategori tingkat pengetahuan responden tentang antibiotik chloramphenicol Jumlah responden yang menyatakan Unit produksi memiliki pengetahuan tentang antibiotik tempat karyawan Total chloramphenicol bekerja Tinggi Sedang Rendah Sortir Mixing Filling Dll Total Presentase
17 10 2 1 30 75 %
2 3 1 3 9 22.5 %
0 1 0 0 1 2.5 %
19 14 3 4 40
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa mayoritas responden dari segala unit produksi menyatakan memiliki tingkat pengetahuan tinggi tentang antibiotik chloramphenicol. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa sebagian besar (75%) responden dari semua unit produksi menganggap dirinya mengerti tentang apa yang dimaksud dengan antibiotik chloramphenicol. Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa dilihat dari pendidikan dan unit produksi, mayoritas responden telah memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi tentang SSOP. Dapat dikatakan bahwa responden telah mengerti, memahami SSOP secara baik dan benar. Menurut Winarno (2004), penerapan SSOP yang baik dan benar akan menjaga keamanan pangan dan mutu pada produk yang dihasilkan oleh industri pangan. Penerapan SSOP yang baik dan benar juga merupakan salah satu persyaratan untuk mendapatkan sertifikasi HACCP (Hazzard Analysis
Critical Control Points) yang notabene harus dimiliki oleh setiap industri pangan hasil laut (seafood) untuk produk ekspor. Berdasarkan tingkat pendidikan dan unit produksi, mayoritas responden telah memiliki tingkat displin yang baik dengan melaksanakan SSOP yang berlaku di perusahaan. Untuk tingkat pengetahuan responden tentang
chloramphenicol,
mayoritas
responden
memiliki
tingkat
pengetahuan tentang chloramphenicol tinggi.
50
Akan tetapi dari segi pengetahuan terhadap antibiotik sebenarnya mereka tidak begitu paham benar apa itu chloramphenicol dan bahayabahayanya. Hal ini dilihat dari jawaban yang diberikan melalui pertanyaan terbuka pada kuisioner seperti pada pertanyaan D nomor 3 pada Lampiran 4, banyak responden yang menjawab akibat residu chloramphenicol adalah dapat menyebabkan kanker dan daya tahan tubuh terganggu. Menurut
Saparinto
(2002),
chloramphenicol
dapat
dikhawatirkan
menyebabkan kematian jika dikonsumsi oleh manusia pada penderita anemia yang berlanjut ke leukimia (aplastic anemia). Dengan demikian diperlukan sosialisasi yang lebih mendalam pada pekerja tentang pengetahuan akan pentingnya meminimalisasikan residu chloramphenicol pada daging rajungan. Berdasarkan hasil kuesioner yang disajikan pada Tabel 3, Tabel 4, Tabel 5, Tabel 6 dan Tabel 7 dapat disimpulkan bahwa pada umumnya para pekerja pabrik menjalankan pekerjaannya dengan memperhatikan aspek sanitas karena mereka paham tentang SSOP dan disiplin dalam bekerja. Para pekerja pabrik pada umumnya juga paham dengan antibiotik
chloramphenicol dan bahayanya jika terdapat pada daging rajungan. Dengan demikian kemungkinan
penyebab
terjadinya kontaminasi
antibiotik chloramphenicol pada daging rajungan adalah pekerja pada pemasok bahan baku. Hal ini dapat dilihat dari data hasil analisis daging rajungan yang dipasok suplier (Tabel 8).
3. Bahan Baku Bahan baku yang digunakan berupa daging rajungan yang diterima dari beberapa suplier. Beberapa suplier ini dibagi menjadi 2 kategori yaitu suplier yang baik dan suplier yang kurang baik. Suplier yang baik dinilai dari rendahnya atau tidak terdeteksinya kadar residu chloramphenicol di dalam daging rajungan, sedangkan suplier yang kurang baik dinilai dari daging yang dipasok memiliki kadar residu chloramphenicol yang melebihi standar yang telah ditentukan. Walaupun pihak suplier mengetahui akan bahaya chloramphenicol, namun beberapa dari mereka
51
tidak mematuhi peraturan yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu pentingnya pembagian zona-zona pada suplier sehingga dapat dilihat mana suplier yang dapat dikatakan aman dari residu chloramphenicol, mana suplier yang mendekati batas maksimal residu chloramphenicol, dan mana suplier yang melewati batas maksimal residu chloramphenicol. Tabel 8 menunjukkan data suplier berdasarkan zona-zona yang telah diuraikan di atas. Suplier yang telah memenuhi batas maksimal residu chloramphenicol ditandai dengan zona berwarna hijau atau zona aman dengan kadar residu <0,20 ppb. Suplier yang mendekati batas maksimal residu chloramphenicol ditandai dengan zona berwarna kuning atau zona waspada dengan kadar residu 0,20-0,25 ppb. Suplier yang melewati batas maksimal residu chloramphenicol ditandai dengan zona berwarna merah atau zona tidak aman dengan kadar residu >0,25 ppb. Tabel 8. Data analisis residu chloramphenicol tanggal 26 Mei 2006 pada daging rajungan segar dari suplier
Nama Suplier Suplier 1 Suplier 2 Suplier 3 Suplier 4 Suplier 5
Suplier 6 (Plant 1)
Suplier 6 (Plant 2)
Residu chloramphenicol (ppb) 0,042 0,078 0,084 0,086 0,033 0,083 0,131 0,075 0,034 0,054 0,051 0,060 0,054 0,031 0,112 0,022 0,028 0,048 0,160 0,126
52
0,051 1,202 0,678 0,210 0,112 0,338 0,048 0,128 0,051 0,078 0,049 0,028 0,098 0,063
Suplier 6 (Plant 3)
Suplier 6 (Plant 4)
Suplier 7 Suplier 8 Suplier 9 Suplier 10
Dari data di atas dapat dilihat bahwa daging rajungan yang dipasok oleh suplier 6 harus diwaspadai terutama yang berasal dari plant 3 karena telah melewati batas maksimal residu chloramphenicol. Akan tetapi
mayoritas
suplier
telah
memenuhi
batas
aman
residu
chloramphenicol. Pengaplikasian penentuan zona suplier di perusahaan harus dilakukan secara rutin sehingga pihak perusahaan dapat mengetahui suplier-suplier mana saja yang termasuk ke dalam zona aman, dan dapat mewaspadai suplier-suplier yang sering berada di zona merah maupun kuning.
53
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN PT. Mina Global Mandiri melakukan analisis residu antibiotik
chloramphenicol pada setiap daging rajungan yang dipasok serta pada produk akhir. Sampel-sampel yang terdapat pada hasil analisis terdiri dari sampel produk akhir, sampel retest dan sampel daging dari pemasok. Berdasarkan analisis bagan kendali I-MR pada keempat jenis produk rajungan, dapat disimpulkan bahwa mutu yang berdasarkan jumlah residu
chloramphenicol masih dalam standar perusahaan dan proses tidak terkendali karena masih terdapat titik yang berada di luar batas atas. Namun pada produk
special dapat dikatakan proses dalam keadaan terkendali karena tidak ada titik yang berada di luar batas atas dan bawah. Pada produk claw meat, terdapat dua titik yang melebihi standar yang ditetapkan oleh perusahaan. Terdapatnya produk yang melebihi standar perusahaan akan merugikan perusahaan karena harus dilakukan pengulangan proses dan membutuhkan biaya operasional tambahan. Diagram sebab akibat merupakan diagram yang diperoleh dengan cara observasi dan wawancara. Dari diagram sebab akibat ini dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor utama yang mungkin mengakibatkan tingginya residu
chloramphenicol pada produk rajungan adalah pekerja pabrik, metode analisis dan bahan baku. Dari data hasil kuisioner yang dibagikan dapat disimpulkan bahwa pada umumnya responden (pekerja) mengerti tentang SSOP, bekerja dengan disiplin dan mengerti tentang antibiotik chloramphenicol. Dapat diasumsikan bahwa pihak manajemen perusahaan telah melakukan tindakan pencegahan terhadap kontaminasi residu antibiotik chloramphenicol di internal perusahaan dengan baik. Faktor yang terbesar yang mempengaruhi tingginya residu ini adalah berasal dari bahan bakunya. Bahan baku berupa daging rajungan yang berasal dari pemasok. Pemasok mempunyai peranan penting untuk menyediakan bahan baku yang dibutuhkan perusahaan. Pihak pemasok memiliki standar
54
tersendiri dalam mengeluarkan produknya. Pihak manajemen perusahaan sulit untuk mengendalikan pemasok. Hal ini dikarenakan pihak pemasok masih memegang kendali akan bahan baku yang dibutuhkan perusahaan.
B. SARAN Pekerja membawa peranan penting pada produk yang dihasilkan. Diperlukan komitmen yang tinggi dalam bekerja dengan memperhatikan perlunya menjaga mutu dari proses agar proses dapat berjalan dengan baik. Kesadaran akan mutu karyawan harus ditingkatkan serta peningkatan keahlian pekerja dengan jalan memberikan pelatihan-pelatihan bagi karyawan akan meningkatkan motivasi dan kedisiplinan karyawan. Pelatihan yang dilakukan harus efektif dan efisien. Efektif dan efisien yang dimaksud adalah situasi pelatihan yang mengharapkan semua karyawan memahami dan mengerti akan materi-materi yang disampaikan dalam pelatihan. Cara yang sederhana adalah mengadakan pelatihan dengan jumlah peserta pelatihan yang tidak terlalu banyak
dan
membuat
kelompok-kelompok.
Sehingga
materi
dapat
disampaikan dengan efektif. Pelatihan diberikan secara rutin minimal 1 bulan sekali. Hal ini dimaksudkan mengingat tingkat pendidikan pekerja yang rendah. Perusahaan dapat menggunakan teknik sampling statistik untuk penarikan sampel produk yang akan dianalisis residu chloramphenicol-nya. Dengan menggunakan teknik sampling tersebut maka produk yang dianalisis lebih dapat diterima dan dapat mewakili mutu produk yang dihasilkan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Untuk lebih meningkatkan keakuratan dan ketelitian peralatan untuk analisis, sebaiknya melakukan kalibrasi alat secara rutin. Laboran disarankan selalu mempersiapkan peralatan analisis yang sudah siap untuk digunakan. Kebersihan peralatan analisis juga harus diperhatikan. Suhu ruangan analisis diusahakan stabil karena bahan-bahan reaksi sangat sensitif terhadap perubahan suhu. Faktor utama penyebab dari tingginya residu chloramphenicol adalah karena asal bahan baku yang sudah memiliki residu yang tinggi. Disarankan
55
pada pihak manajemen perusahaan menandai pemasok mana saja yang memiliki masalah terhadap residu ini dengan mengelompokkannya menjadi zona-zona tertentu. Misalkan untuk zona hijau yang residunya selalu jauh di bawah standar, zona kuning yang residunya hampir mendekati standar serta zona merah yang residunya selalu melebihi standar. Dapat dilakukan pula pencampuran daging antara pemasok yang telah diketahui tinggi residunya dengan pemasok yang rendah residunya. Diusahakan perbandingan jumlah banyaknya daging lebih banyak yang rendah residunya. Perlunya teknik brainstorming secara rutin dilakukan oleh pihak manajemen perusahaan. Dengan menggunakan teknik ini, kita dapat mengidentifikasikan dan mengurangi penyebab-penyebab terjadinya masalah yang terdapat pada proses produksi.
56
DAFTAR PUSTAKA 2003/181/EC: Commission Decision of 13 March 2003 Amending Decision 2002/657/EC as Regards the Setting of Minimum Required Performance Limits (MRPLs) For Certain Residues in Food of Animal Origin, Official Document C (2003) 0077. Di dalam: Scrotichini, G. et. Al. 2005. ELISA qualitative screening of chloramphenicol in muscle, eggs, honey and milk: method validation according to the Commission Decision 2002/657/EC criteria. www.sciencedirect.com Afrianto dan Liviawaty. 1992. Pemeliharaan Kepiting. Kanisius, Jakarta Anonim a. 2006. en.wikipedia.org/wiki/Chloramphenicol. [6 Februari 2006] Anonim b. 2006. http://www.minitab.com [12 Juni 2006]. Anonim c. 2006. Sodium Acid Pyrophosphate (Na2H2P2O7). http://food. oregonstate.edu/glossary/s.html [19 Juli 2006] Anonim d. 2006. www.pom.go.id/public/hukum_perundangan/pdf/Regulation no. 722 n food additives.pdf [12 Juli 2006] Ariani, D.W. 1999. Manajemen Kualitas. Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta. BBPMHP. 1995. Petunjuk Teknis Pengolahan Kepiting dan Rajungan. Balai Bimbingan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan, Jakarta. Cazemier, G. Haasnoot, W. And Stouten, P. 1996. Screening of Chloramphenicol in Urine, Tissue, Milk and Eggs in Consquence of Prohibitive Regulation. Proceedings Euroresidue III, Eds. N. Haagsma and A. Ruiter, hal. 315 Claus, James. R., Jhung-Won Colby dan George J. Flick. 1994. Processed Meat/Poultry/Seafood. Di dalam: Klinsman, D. M. et. Al. (ed). Muscle Food, Meat Poultry and Seafood Technology. Champman and Hall, New York-London Crowther, Jhon. R. 1995. ELISA: Theory and Practice. Humana Press, TotowaNew Jersey Cockey, R. R. dan Tuu-jyi-chai. 1994. Processed Meat/ Poultry/Seafood. Di dalam Klinsman, D.M. et. Al. (ed.). Muscle Food, Meat Poultry and Seafood Technology. Champman and Hall, New York-London. Dixon-Holland, Deborah E. 1992. Elisa and Its Application For Residue Analysis Of Antibiotics and Drugs in Products Of Animal Origin. Di dalam Agarwal, Vipin K (ed). Analysis of Antibiotic/Drug Residues in Food Products of Animal Origin. Plenum Press, New York-London.
57
Ensiklopedia Indonesia. Vol. 5. Ichtiar Baru Van Hoeve dan Elsevier Publishing Project, Jakarta. Hal 2837. Fryman, M. A. 2002. Quality and Process Improvement. Delmar, Thomson Learning, Inc., United States of America. Gaspersz, V. 1998. Statistical Process Control, Penerapan Teknik-Teknik dalam Manajemen Bisnis Total. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. John, Peter. W. Meredith. 1990. Statistical Methods In Engineering And Quality Assurance. John Willey and Son, Inc,. New York. Ishikawa, K. 1989. Teknik Penuntun Pengendalian Mutu (terjemahan). Mediatama Sarana Perkasa, Jakarta. Mar-Less. 2006. Seafood 101: Pasteurized http://www.marlees.com/crabs_101.html. [19 Juli 2006]
Crab
Meat.
Montgomery, D.C. 1998. Introduction to Statistical Quality Control. Jhon Wiley & Sons, Arizona. Muchtadi, Tien R. dan Sugiyono. 1992. Petunjuk Laboratorium Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. PAU Pangan dan Gizi. IPB, Bogor. Muhandri, T. dan Darwin Kadarisman. 2005. Sisitem Jaminan Mutu Pangan. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Neuhaus, Barbara K, Jeffrey A. Hurlburt, dan Walter Hammack. 2002. LC/MS/MS Analysis of Chloramphenicol in Shrimp. Laboratory Information Buletin No. 4290 (www.cfsan.fda.gov/~frf/lib4290.html) Philips
Seafood. 2005. Grades of Crab Meat. (http://whirlwind.phillipsseafood.net/index.cfm?fa=iPa.page&page_id=23)
R-Biopharm. 2006. RIDASCREEN® Chloramphenicol: Enzyme Immunoassay for the quantitative analysis of chloramphenicol. R-biopharm, Germany Roybal, J. E. 1998. Chloramphenicol and Related Drugs. di dalam Turnipseed, S.B dan A.R Long (ed). Analytical Procedures for Drug Residues in Food of Animal Origin. Science Technology System, Sacramento (CA) Saparinto, Cahyo. 2002. www.suaramerdeka.com/harian/0209/14/ragam1.htm. [31 Januari 2006]
58
Sudjana. 1996. Metoda Statistika Untuk Bidang: Biologi, Farmasi, Geologi, Industri, Fisika, Teknik, Kedokteran, Pendidikan dan Sosiologi Edisi ke 6. Tarsito, Bandung. Wayworld. 2001. Statistical Process Control. www.wayworld.com, Wayworld Inc. [20 Mei 2006] Winarno, F. G. 2004. Keamanan Pangan, Jilid 1. M-brio Press. Jakarta. Zinski,
Steven C. [6 Februari 2006]
2005.
http://www.blue-crab.org/anatomy.html.
59
60
61
Lampiran 2. Bagan alir persiapan sampel (r-Biopharm, 2006)
Sampel 75 g dihomogenisasi (halus) 3 gr sampel + spiking 500 ppt chloramphenicol 30 μl+ Etil asetat 6 ml
3 g sampel + Etil asetat 6 ml
Pengocokan 10’ Sentrifugasi 2000 RPM, 10’ (RT/Room Temperature)
Supernatan 2 ml
Etil asetat 6 ml (tanpa sampel)
Pengeringan di atas waterbath 500 C (dengan dialirkan gas N2)
+ 1ml isooctane : chloroform (2:3), divortex + 1 ml buffer 1, divortex Jika terbentuk emulsi dilakukan pemanasan di waterbath 800 C, 5’ Sentrifugasi 3000 RPM, 10’ (RT) Supernatan 50 μl dan masukkan ke dalam well
Analisis ELISA
62
Lampiran 3. Diagram alir analisis ELISA (r-Biopharm, 2006)
Langkah 1: Pembuatan larutan standar dan larutan conjugate-antibodi Larutan standar Larutan concentrate standar (ppt) Std 1 : 0 Std 2 : 500 Std 3 : 1500 Std 4 : 4500 Std 5 : 13500 Std 6 : 40500
Standar yang harus dipipet (μl)
Penambahan buffer 1 (μl)
Konsentrasi standar setelah pengenceran (ppt)
50 50 50 50 50 50
450 450 450 450 450 450
0 50 150 450 1350 4050
Pembuatan larutan conjugate-antibodi Conjugate
200 μl + 2 ml buffer 1
Antibody
200 μl
Ket: campuran larutan ini cukup untuk 4 strip atau 32 well
+ 2 ml buffer 1
63
Lampiran 3(lanjutan). Diagram alir analisis ELISA Langkah 2: Analisis ELISA Dimasukkan well ke dalam frame holder (jumlah well disesuaikan dengan jumlah sampel) Dimasukkan 50 μl larutan standar ke dalam well
Dimasukkan sebanyak 50 μl larutan sampel ke dalam well yang masih kosong
(Tandai sebagai standar)
(Tandai sebagai sampel)
Penambahan 50 μl larutan conjugate ke masing-masing well Penambahan 50 μl larutan antibody ke masing-masing well Inkubasi 2 jam, 20-250 C dalam keadaan tertutup
Cuci well dengan air bebas ion sebanyak 250 μl selama 3 kali, dikeringkan dengan cara dibalik Penambahan 50 μl substrat, 50 μl chromogen ke masing-masing well Inkubasi 30 menit, 20-250 C dalam keadaan tertutup
+ 100 μl stop solution ke dalam masing-masing well
Pembacaan dengan menggunakan microtitter reader pada λ 450 nm
64
Lampiran 4. Kuesioner penelitian
KUISIONER PENELITIAN TINGKAT PENGARUH TINGGINYA RESIDU CHLORAMPHENICOL Saya Yudhan Nur Akhmadi, mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor (IPB), sedang melakukan penyusunan laporan magang di PT.Mina Global Mandiri, Purwakarta. Saya mohon kesediaan anda untuk meluangkan waktu mengisi kuisioner ini secara lengkap dan jujur. Kerahasian anda sebagai responden terjamin. Atas bantuan dan kerjasamanya, saya ucapkan terimakasih.
A. Identitas Responden No..........(Diisi oleh peneliti) Usia : ………………Tahun Tingkat Pendidikan : a. SD b. SMP e. S1 Unit produksi : a. Sortir b. Mixing ……………(lainnya) Jabatan : ……………………
c. SMA
d.
c. Filling
e.
Diploma
B. Tingkat Pengetahuan Responden Tentang SSOP(Sanitation Standard Operating Procedure) atau Prosedur Standar Operasional Kebersihan 1. Apakah anda mengerti apa yang dimaksud dengan SSOP? a. Ya b. Tidak c. Ragu-ragu 2. Apakah ditempat anda bekerja saat ini telah terdapat SSOP? a. Ya b. Tidak c. Ragu-ragu (Jika anda menjawab tidak, silahkan langsung menjawab pertanyaan pada bagian C) 3. Apakah anda mengetahui tujuan dari dibuatnya SSOP? a. Ya (Jika Ya, sebutkan salah satunya) ......................................................................................... b. Tidak c. Ragu-ragu 4. Apakah anda tahu isi dari SSOP yang ada? a. Ya (Jika Ya, sebutkan salah satunya) ......................................................................................... b. Tidak c. Ragu-ragu 5. Apakah SSOP yang terdapat di perusahaan dapat anda terapkan dengan baik? a. Ya b. Tidak c. Ragu-ragu 6. Apakah SSOP yang ada cukup efektif dan efisien? a. Ya b. Tidak c. Ragu-ragu 7. Apakah SSOP yang ada telah disosialisakan dengan baik kekaryawan? a. Ya b. Tidak c. Ragu-ragu
65
C. Tingkat Disiplin Karyawan Berilah tanda cheklist (√) sesuai dengan jawaban anda No
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Pernyataan
Selalu Sering
Kadang Tidak Jarang - kadang pernah
Apabila sedang sakit, saya tetap akan bekerja Anggota badan saya terluka pada saat saya bekerja Apabila terluka pada saat bekerja, saya diamkan saja hingga luka sembuh dengan sendirinya Apabila terluka pada saat bekerja, saya akan langsung mengobatinya Apabila terluka pada saat bekerja, saya akan membersihkannya dengan alkohol dan/atau klorin Saya menggunakan obat betadin atau obat merah untuk mengobati luka Saya menggunakan pembalut luka atau plester untuk mengobati luka Saya menggunakan salep untuk mengobati luka Saya menggunakan kosmetik (lipstik, bedak, eye shadow dan lain-lain) pada saat akan bekerja Saya menggunakan parfum pada saat akan bekerja Saya menggunakan minyak rambut pada saat akan bekerja Saya mencuci tangan terlebih dahulu pada saat akan bekerja Saya mencuci muka terlebih dahulu pada saat akan bekerja
D. Tingkat Pengetahuan Responden Tentang Antibiotik Chloramphenicol 1. Apakah anda mengetahui apa itu antibiotik chloramphenicol? a. Ya b. Tidak c. Ragu-ragu 2. Apakah anda mengetahui tentang standar tingkat keamanan residu antibiotik chloramphenicol? a. Ya b. Tidak c. Ragu-ragu 3. Apakah anda mengetahui efek samping dari adanya residu antibiotik chloramphenicol? a. Ya (Jika Ya, sebutkan salah satunya) ......................................................................................... b. Tidak c. Ragu-ragu 4. Apakah anda mengetahui faktor-faktor sumber penyebab kontaminasi antibiotik chloramphenicol pada daging rajungan?
66
a. Ya (Jika Ya, sebutkan salah satunya) ......................................................................................... b. Tidak c. Ragu-ragu 5. Apakah anda mengetahui jika anda merupakan salah satu dari faktor sumber penyebab kontaminasi antibiotik chloramphenicol pada daging rajungan? a. Ya b. Tidak c. Ragu-ragu 6. Apakah anda menyadari jika anda telah bebas dari sumber penyebab kontaminasi residu antibiotik chloramphenicol? a. Ya b. Tidak c. Ragu-ragu 7. Pernahkah dilakukan sosialisasi tentang pentingnya tingkat kontaminasi residu antibiotik chloramphenicol di perusahaan anda? a. Ya b. Tidak c. Ragu-ragu
67
Lampiran 5. Contoh form hasil analisis ELISA
68
Lampiran 5 (Lanjutan). Contoh form hasil analisis ELISA
69
Lampiran 5 (Lanjutan). Contoh form hasil analisis ELISA
70
Lampiran 6. Konstanta bagan kendali
Ukuran sampel (n)
Bagan kendali R
D3 2 0 3 0 4 0 5 0 6 0 7 0.076 8 0.136 9 0.184 10 0.223 11 0.256 12 0.283 13 0.307 14 0.328 15 0.347 16 0.363 17 0.378 18 0.391 19 0.403 20 0.415 21 0.425 22 0.434 23 0.443 24 0.451 25 0.459 Sumber : Fryman (2002)
D4 3.269 2.574 2.282 2.114 2.004 1.924 1.864 1.816 1.777 1.744 1.717 1.693 1.672 1.653 1.637 1.622 1.608 1.597 1.585 1.575 1.566 1.557 1.548 1.541
Bagan kendali X-bar A2 1.880 1.023 0.729 0.577 0.483 0.419 0.373 0.337 0.308 0.285 0.266 0.249 0.235 0.223 0.212 0.203 0.194 0.187 0.180 0.173 0.167 0.162 0.157 0.153
Simpangan baku proses d2 1.128 1.693 2.059 2.326 2.534 2.704 2.847 2.970 3.078 3.173 3.258 3.336 3.407 3.472 3.532 3.588 3.640 3.689 3.735 3.778 3.819 3.858 3.895 3.931
c4 0.7979 0.8862 0.9213 0.9400 0.9515 0.9594 0.9650 0.9693 0.9727 0.9754 0.9776 0.9794 0.9810 0.9823 0.9835 0.9845 0.9854 0.9862 0.9869 0.9876 0.9882 0.9887 0.9892 0.9896
d3 0.853 0.888 0.880 0.864 0.848 0.833 0.820 0.808 0.797 0.787 0.778 0.770 0.763 0.756 0.750 0.744 0.739 0.734 0.729 0.724 0.720 0.716 0.712 0.708
71
Lampiran 7. Data analisis residu chloramphenicol pada produk akhir pengolahan daging rajungan Tanggal Produksi 15-Mar-06 16-Mar-06 18-Mar-06 19-Mar-06 20-Mar-06 21-Mar-06 22-Mar-06 23-Mar-06 24-Mar-06 25-Mar-06 27-Mar-06 28-Mar-06 29-Mar-06 31-Mar-06 01-Apr-06 03-Apr-06 04-Apr-06 05-Apr-06 06-Apr-06 07-Apr-06 08-Apr-06 11-Apr-06 12-Apr-06 13-Apr-06 14-Apr-06 17-Apr-06 18-Apr-06 19-Apr-06 21-Apr-06 22-Apr-06 23-Apr-06 25-Apr-06 26-Apr-06 27-Apr-06 28-Apr-06 29-Apr-06 30-Apr-06 02-Mei-06 23-Mei-06
Residu Chloramphenicol Berdasarkan Jenis Daging (ppb) Super Lump Backfin Claw Meat Spesial No No No No 1 0,034 1 0,034 1 0,038 * * 2 0,048 2 0,096 2 0,054 * * 3 0,008 3 0,019 3 0,023 * * 4 0,006 4 0,010 4 0,007 * * 5 0,041 5 0,004 5 0,005 * * 6 0,024 6 0,042 6 0,041 * * 7 0,024 7 0,040 7 0,023 * * 8 0,016 8 0,166 8 0,011 * * 9 0,078 9 0,023 9 0,048 * * 10 0,000 10 0,031 10 0,048 * * 11 0,031 11 0,070 11 0,028 * * 12 0,000 12 0,036 12 0,031 * * 13 0,052 13 0,032 13 0,054 1 0,095 14 0,008 14 0,000 14 0,001 2 0,017 15 0,000 * * 15 0,046 3 0,046 16 0,044 15 0,016 16 0,086 4 0,178 17 0,026 16 0,060 17 0,070 5 0,150 18 0,032 17 0,074 18 0,205 6 0,014 19 0,056 18 0,060 19 0,051 * * 20 0,074 * * 20 0,106 7 0,088 21 0,043 19 0,078 21 0,036 8 0,021 * * 20 0,169 22 0,200 9 0,132 * * 21 0,100 23 0,066 * * 22 0,164 22 0,150 24 0,166 10 0,157 23 0,192 23 0,232 25 0,264 11 0,038 24 0,200 24 0,233 26 0,124 12 0,142 25 0,045 25 0,061 27 0,034 13 0,017 26 0,051 26 0,027 28 0,046 14 0,027 27 0,036 27 0,052 29 0,048 15 0,128 28 0,096 28 0,010 30 0,092 16 0,063 29 0,000 29 0,000 31 0,000 17 0,000 30 0,000 * * 32 0,000 18 0,000 31 0,000 * * 33 0,000 * * 32 0,110 * * 34 0,070 * * 33 0,016 30 0,022 35 0,008 * * 34 0,014 * * 36 0,040 19 0,061 35 0,032 * * 37 0,092 20 0,000 36 0,041 * * 38 0,373 21 0,047 37 0,017 31 0,108 39 0,034 22 0,031
72
Lampiran 7 (Lanjutan). Data analisis residu chloramphenicol pada produk akhir pengolahan daging rajungan 24-Mei-06 38 0,082 32 0,031 40 0,178 23 0,069 26-Mei-06 39 0,030 33 0,070 41 0,080 24 0,090 27-Mei-06 40 0,029 34 0,029 42 0,000 25 0,000 28-Mei-06 41 0,000 35 0,130 43 0,140 26 0,160 30-Mei-06 42 0,000 36 0,138 44 0,001 27 0,110 (*) Produk tidak diproduksi
73
Lampiran 8. Panduan dalam teknik pipeting
1. Hindari tetesan
3. Jangan menekan tips hingga masuk ke dalam larutan
2. Hindari penggunaan sudut yang terlalu tajam
4. Pastikan ujung tips menyentuh sisi dari sumur dan larutan
Multi-channel pipetting
Periksa ketinggian sampel Periksa apakah ada gelembung Periksa apakah ada lubang tips yang terhalang
• •
Isi pipet hingga perhentian pertama Keluarkan isi pipet hingga perhentian pertama
74
Lampiran 9. Tabel t-hitung
df\p
0.90
0.95
0.975
0.99
0.995
1
3.078
6.314
12.706
31.821
63.657
2
1.886
2.920
4.303
6.965
9.925
3
1.638
2.353
3.182
4.541
5.841
4
1.533
2.132
2.776
3.747
4.604
5
1.476
2.015
2.571
3.365
4.032
6
1.440
1.943
2.447
3.143
3.707
7
1.415
1.895
2.365
2.998
3.499
8
1.397
1.860
2.306
2.896
3.355
9
1.383
1.833
2.262
2.821
3.250
10
1.372
1.812
2.228
2.764
3.169
11
1.363
1.796
2.201
2.718
3.106
12
1.356
1.782
2.179
2.681
3.055
13
1.350
1.771
2.160
2.650
3.012
14
1.345
1.761
2.145
2.624
2.977
15
1.341
1.753
2.131
2.602
2.947
16
1.337
1.746
2.120
2.583
2.921
17
1.333
1.740
2.110
2.567
2.898
18
1.330
1.734
2.101
2.552
2.878
19
1.328
1.729
2.093
2.539
2.861
20
1.325
1.725
2.086
2.528
2.845
21
1.323
1.721
2.080
2.518
2.831
22
1.321
1.717
2.074
2.508
2.819
23
1.319
1.714
2.069
2.500
2.807
24
1.316
1.708
2.060
2.485
2.787
25
1.316
1.708
2.060
2.485
2.787
26
1.315
1.706
2.056
2.479
2.779
27
1.314
1.703
2.052
2.473
2.771
28
1.313
1.701
2.048
2.467
2.763
29
1.310
1.697
2.042
2.457
2.750
30
1.310
1.697
2.042
2.457
2.750
∞ (John, 2000)
1.282
1.645
1.960
2.326
2.576
75
Lampiran 1
STRUKTUR ORGANISASI PERUSAHAAN PT. MINA GLOBAL MANDIRI, PURWAKARTA
KOMISARIS
DIRUT
Dir. Operasional
Dir. Bussiness Development
Dir. Keuangan
Dir. Marketing
Fin &aAcc Mngr A Ad Acc Admin i +T Tax
HRD Mngr
K i Kasir
Fi Finance Admin Ad i
Plant Mngr HRD Admin
Personel & GA
Teknisi Spv
Asst. Prod Mngr
Leader Teknisi
Prod. Spv
Asst. QC Mngr
Prod. Admin
Procurement Mngr
Lab. Spv Procurement Area
Teknisi
Leader
Administration
Employee
661 Supir
Satpam
Cleaning Service
Reception
Dapur
Leader
Skripsi Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian APLIKASI BAGAN KENDALI PROSES BERDASARKAN TINGKAT RESIDU CHLORAMPHENICOL PADA DAGING RAJUNGAN DI PT. MINA GLOBAL MANDIRI, PURWAKARTA Dosen Pembimbing I: Dr. Ir. Sugiyono, MappSc Dosen Pembimbing II: Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc Pembimbing Lapang: Ramdan Hidayat, SSi. Oleh Yudhan Nur Akhmadi (F24102075) Tanggal lulus: Rabu, 27 September 2006 Abstrak Skripsi yang dibuat oleh penulis ini merupakan hasil dari kegiatan magang di PT. Mina Global Mandiri, Purwakarta. PT. Mina Global Mandiri merupakan perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan hasil laut. Salah satu karakteristik mutu yang menentukan produk yang dihasilkan perusahaan adalah kadar residu chloramphenicol. Perusahaan memberikan spesifikasi terhadap produk akhir yaitu memiliki batas residu antibiotik chloramphenicol sebesar <0,25 ppb meskipun standar yang ditetapkan oleh perdagangan internasional adalah sebesar <0,30 ppb (Commision Decision: 2003/181/EC). Jika terdapat produk yang melebihi standar perusahaan maka dilakukan proses ulang dengan cara pencampuran ulang bahan baku. Hal ini menyebabkan makin tingginya biaya produksi dan pihak perusahaan merugi. Kegiatan magang yang dilakukan bertujuan untuk mengaplikasikan bagan kendali untuk melihat mutu dan keamanan produk akhir rajungan dalam kaleng berdasarkan hasil analisis residu chloramphenicol dan menyusun diagram sebab akibat untuk mengetahui faktor-faktor yang berpeluang menjadi penyebab tingginya residu chloramphenicol. Data-data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer yang didapat merupakan data yang dikumpulkan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan terstruktur yang dimuat dalam kuesioner. Data sekunder yang digunakan merupakan data yang diambil dari hasil analisis yang dilakukan oleh laboran di laboratorium PT. Mina Global Mandiri. Data sekunder diperoleh berdasarkan hasil analisis chloramphenicol dengan metode ELISA dari produk akhir dan diambil mulai tanggal 16 Maret hingga 1 Juni 2006. Selanjutnya data sekunder ini diolah dan dibuat grafik bagan kendali. Berdasarkan hasil analisis bagan kendali pada produk rajungan dapat disimpulkan bahwa jumlah residu chloramphenicol pada tiga dari empat produk yang diuji memenuhi standar perusahaan meskipun proses dalam keadaan tidak terkendali. Suatu proses dikatakan tidak terkendali karena masih terdapat titik pada grafik bagan kendali yang berada di luar batas atas dari grafik kendali. Terdapatnya titik-titik yang berada di luar batas atas atau batas bawah menunjukkan bahwa proses pengalengan rajungan belum memenuhi kriteria proses yang terkendali secara spesifik. Dari kegiatan observasi dan wawancara untuk menyusun diagram sebab akibat dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor utama yang diduga mengakibatkan tingginya residu chloramphenicol pada produk rajungan adalah pekerja pabrik, metode analisis chloramphenicol dan bahan baku. I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam menghadapi tantangan persaingan yang semakin ketat dan menjaga kepercayaan konsumen pada suatu produk, perusahaan harus selalu menjaga mutu produk yang dihasilkannya. Maka mutu memegang
peranan penting bagi suatu perusahaan dalam menghasilkan produk andalannya. Dalam pasar global, hanya produk-produk yang bermutu yang akan memenangkan persaingan dan mempertahankan posisinya di pasar. Keberadaan produk lokal dan nasional di suatu negara tidak luput dari tuntutan persaingan.
1
Dalam menghasilkan suatu produk, perusahaan harus memiliki dan menyusun spesifikasi atau standar mutu sendiri supaya tujuan untuk memenuhi spesifikasi produk tercapai (Muhandri dan Kadarisman, 2005). Spesifikasi dapat ditentukan oleh perusahaan itu sendiri atau dari luar perusahaan semisal konsumen ataupun badan/asosiasi yang berwenang. Spesifikasi atau standar mutu yang dimiliki suatu perusahaan terhadap produk yang dihasilkannya merupakan alat dalam persaingan dalam memasarkan produknya. Karena itulah diperlukan suatu sistem pengendalian mutu yang baik bagi manajemen perusahaan sebagai usaha untuk menghasilkan produk yang lebih bermutu. Hasil perikanan merupakan sumber protein tinggi, murah dan mudah diperoleh. Produksi hasil perikanan ini masih sangat mungkin untuk ditingkatkan, baik untuk tujuan konsumsi lokal maupun untuk ekspor. Dari beberapa komoditi hasil perikanan yang saat ini mulai berkembang pesat dan memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi adalah rajungan. Rajungan (Portunus pelagicus) atau swimming crab atau blue crab merupakan salah satu jenis kepiting laut yang banyak terdapat di perairan Indonesia. Kepiting yang hidup di perairan Indo-Pasifik terdiri dari 234 jenis dan sebagian besar yaitu 124 jenis dapat dijumpai di perairan Indonesia. Dari berbagai macam jenis kepiting tersebut, hanya beberapa jenis saja yang sudah dikenal kelezatannya sebagai makanan (Afriantono dan Liviawaty, 1992). Rajungan menjadi salah satu andalan ekspor yang mendampingi komoditas udang windu. Ekspor rajungan ke berbagai negara tujuan tidak selamanya berjalan mulus. Indonesia sering mengalami hambatan terutama yang berkaitan dengan keamanan pangan. Akhir-akhir ini, isu keamanan pangan yang membatasi perdagangan produk pangan tersebut adalah residu antibiotik chloramphenicol. Gabungan negaranegara maju seperti Uni Eropa memutuskan bahwa semua produk hasil laut yang berasal dari Asia harus benarbenar bebas dari residu antibiotik
chloramphenicol. Oleh karena itu analisis residu antibiotik ini penting untuk dikuasai untuk mempertahankan keamanan produk tersebut. Sejak tahun 1994, penggunaan chloramphenicol sebagai antibiotik pada hewan ternak telah dilarang oleh Uni Eropa. Chloramphenicol merupakan antibiotik dengan spektrum kegunaan yang cukup luas dalam membunuh bakteri. Adanya larangan penggunaan senyawa ini dikarenakan sifatnya yang tidak mudah diurai oleh tubuh. Asupan chloramphenicol dalam waktu lama akan meninggalkan deposit berlebih dalam tubuh dan ini tentunya akan bersifat toksik bagi tubuh. Salah satu pengaruh toksisitas deposit adalah kelainan aplastic anemia (Roybal, 1998). Aplastic anemia merupakan penyakit yang disebabkan oleh penurunan produksi sel darah merah pada sumsum tulang belakang (Nehaus et al, 2002). Uni Eropa telah menetapkan standar batas maksimum residu chloramphenicol pada produk hewani berdasarkan European Commision Decision pada tanggal 13 Maret 2003 sebesar 0,3 ppb (part per billion) (Commision Decision: 2003/181/EC) dan menjadi standar umum di negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Analisis tingkat residu antibiotik chloramphenicol di laboratorium PT. Mina Global Mandiri dilakukan dengan menggunakan teknik ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay). ELISA dapat mendeteksi senyawa chloramphenicol hingga 0,02 ppb (Cazemier. et al, 1996). Kegiatan magang di PT. Mina Global Mandiri, difokuskan pada pengendalian residu antibiotik chloramphenicol serta pengaruhpengaruh yang menyebabkan proses tidak terkendali. Tingginya tingkat residu chloramphenicol pada produk akan berdampak kerugian terhadap produsen. Selain produk tersebut tidak dapat lolos ekspor, produk yang mempunyai residu tinggi akan diproses ulang dan akan menyebabkan biaya produksi menjadi lebih tinggi. Oleh sebab itu perusahaan sangat memperhatikan tingkat residu chloramphenicol sehingga dicari mutu
2
daging rajungan yang kadar chloramphenicol-nya sangat rendah. B. TUJUAN Tujuan dilakukan kegiatan magang di PT Mina Global Mandiri, Purwakarta adalah (1) mengaplikasikan bagan kendali untuk memantau mutu produk akhir dari pengalengan rajungan berdasarkan hasil analisis residu chloramphenicol, dan (2) menyusun diagram sebab akibat untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat menjadi peluang penyebab tingginya residu antibiotik chloramphenicol.
II. TINJAUAN UMUM PERUSAHAAN A. KEADAAN UMUM PERUSAHAAN PT. Mina Global Mandiri merupakan perusahaan persero yang bergerak di bidang industri pengolahan hasil laut (seafood industry). PT. Mina Global Mandiri berdiri pada awal tahun 2005 dan mulai beroperasi pada bulan Agustus 2005. Berdirinya PT. Mina Global Mandiri diprakarsai oleh dua orang yang sangat berpengalaman di dunia bisnis pengolahan hasil laut, yaitu Bapak Triyanto dan Bapak Iwan P Sarbini. Lokasi PT. Mina Global Mandiri berada di Jalan Raya Cikampek – Purwakarta Km 5, Desa Cibening, Bungursari, Purwakarta, Jawa Barat. PT. Mina Global Mandiri mempunyai areal pabrik seluas 25431 m2 dan areal bangunan seluas 4334 m2 dengan bangunan fisik berupa kantor pusat, bangunan pabrik, dua bangunan gudang, dua pos keamanan, mess karyawan dan mushola. Pimpinan tertinggi di PT. Mina Global Mandiri dipimpin oleh Dewan Komisaris dan Direktur Utama. Terdapat empat manajemen yang masing-masing dipimpin oleh direktur, yaitu Direktur Operasional, Direktur Keuangan, Direktur Marketing dan Direktur Business Development dengan total karyawan sebanyak 203 karyawan yang terdiri atas 4 orang bagian manajemen, 29 staf, dan 170 orang buruh. Struktur organisasi perusahaan dapat dilihat pada Lampiran 1. Fasilitas pendukung produksi yang dimiliki perusahaan antara lain
Laboratorium Mikrobiologi dan Kimia, ruang produksi, ruang pasteurisasi, ruang pendingin, gudang, tempat pengolahan air, dan tempat pengolahan air limbah. Sedangkan fasilitas yang disediakan perusahaan untuk karyawan antara lain mushola, mess karyawan dan lapangan olahraga. B. LINI PRODUKSI Produk yang dihasilkan oleh PT. Mina Global Mandiri saat ini hanya berupa daging rajungan dalam kaleng. Dalam tahap pengembangan perusahaan direncanakan akan memproduksi produk-produk hasil olahan laut lainnya selain rajungan yaitu berupa ikan beku, udang beku dan produk laut lainnya yang mempunyai nilai tambah. Sumber bahan mentah yang diproses oleh PT. Mina Global Mandiri berasal dari berbagai agen pengolahan (mini plant) di Indonesia yang tersebar di pantai-pantai Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Rajungan yang dipasok dapat berupa rajungan utuh atau sudah dalam bentuk daging. Produk rajungan kaleng yang dihasilkan di PT. Mina Global Mandiri terdiri dari 7 jenis produk yaitu colossal, jumbo, super lump, lump (backfin), special, claw, dan cocktail claw. Pembagian jenis produk tersebut didasarkan atas keberadaan atau letak daging dalam tubuh rajungan maupun berdasarkan ukurannya. Proses pengolahan meliputi penerimaan daging rajungan (receiving), eksekusi, penyortiran, eksekusi akhir (final checking), pencampuran (mixing), pemasukan dalam kaleng (filling), penimbangan (weighing), penutupan kaleng (seaming), pasteurisasi, shock cooling, pengepakan (packaging) dan penyimpanan dingin. Urutan proses pengolahan daging rajungan di processing plant dapat dilihat pada Gambar 1. 1. Penerimaan Daging Rajungan (receiving) Daging rajungan dari mini plant diterima oleh bagian penerimaan untuk dilakukan penimbangan. Daging rajungan yang diterima dalam keadaan tertutup rapat dan diwadahi oleh toples. Suhu daging harus tetap
3
terkendali, tidak boleh lebih dari 100C. Untuk menjaga suhu daging agar tetap rendah dilakukan penangan terhadap wadah berisi daging rajungan dengan ditimbun es curai. 2. Eksekusi Pada bagian eksekusi (prapenyortiran) dilakukan pengecekan terhadap aroma daging. Bila tercium bau yang tidak diharapkan seperti bau amoniak, bau minyak tanah atau bau busuk, maka daging akan dipisahkan untuk dikembalikan ke mini plant. Dilakukan penimbangan kembali terhadap daging rajungan yang telah diterima. Tujuan dari penimbangan ulang ini dimaksudkan untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan berat antara bagian penerimaan dengan bagian pra-penyortiran. 3. Penyortiran Sortir dilakukan terhadap semua jenis daging dengan memisahkan benda-benda selain daging seperti pecahan cangkang, insang, kotoran, telur maupun benda asing lainnya seperti kerikil, rambut dan potongan bagian tubuh serangga dari daging. Pada saat sortir, dilakukan pula pemisahan daging berdasarkan berat dan jenisnya. Pemisahan daging ini dimaksudkan untuk mengefisienkan kerja serta supaya memastikan daging tidak tercampur, karena daging pada masing-masing bagian tersebut mempunyai harga yang berbeda. 4. Eksekusi Akhir Eksekusi akhir dilakukan untuk memeriksa kualitas daging hasil sortir. Pada tahap ini dilakukan cek organoleptik dan pemeriksaan ulang terhadap ada tidaknya benda-benda asing yang tujuannya untuk memastikan bila daging tersebut masih layak untuk diproduksi. Pada tahap ini juga dilakukan penimbangan untuk membuat dukumen Laporan Hasil Sortir (LHS) yang digunakan untuk mendokumentasikan kecepatan kerja para karyawan dalam penyortiran dan sebagai bukti atau
acuan bagi pembayaran pemasok daging rajungan.
ke
Daging rajungan (Recieving) Eksekusi (pra-sorting) Penyortiran (sorting)
Kaleng
Eksekusi akhir (final excecution) Pencampuran (mixing)
SAPP
Pengisian (filling) Penimbangan (weighing) Penutupan (seaming) Boiler
Pengkodean (coding) Pasteurisasi
Es curai
Uap panas
Pendinginan (chilling)
Rajungan kaleng pasteurisasi
Gambar 1. Diagram alir proses pengolahan rajungan di PT. Mina Global Mandiri 5. Pencampuran Daging (mixing) Mixing merupakan pencampuran daging rajungan dari satu pemasok dengan daging rajungan dari pemasok lain untuk memperoleh kualitas daging yang baik. Pencampuran daging tidak hanya berasal dari dua pemasok, tetapi dapat lebih dari dua pemasok. Pencampuran daging berdasarkan juga pada jenis daging yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Formulasi daging yang dicampur telah ditetapkan berdasarkan dari jenis daging dan standar yang ditetapkan oleh buyer (pembeli). 6. Pengisian ke dalam Kaleng (filling) dan Penimbangan Daging yang telah mengalami pencampuran kemudian dimasukkan ke dalam wadah kaleng tin plate berukuran 401 x 301, dengan lapisan enamel jenis
4
C. Sebelum dilakukan pengisian, kaleng terlebih dahulu diberi larutan SAPP (sodium acid pyrophosphate) yang berfungsi sebagai pencegah terbentuknya warna biru (blueing). Setelah itu dilakukan penimbangan untuk mencapai berat 1 lb atau 16 oz yang sebanding dengan 453,6 gram. SAPP atau disodium pyrophosphate (Na2H2P2O7) dengan berat molekul 221,94 g/mol merupakan bahan tambahan pangan yang digunakan dalam proses pengalengan daging rajungan. SAPP merupakan bahan tambahan pangan yang berwujud bubuk berwarna putih, licin dan larut dalam air. Pemakaian bahan tambahan ini merupakan bahan tambahan pangan yang telah diizinkan pemakaiannya berdasarkan peraturan Permenkes RI No.722/Menkes/Per/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Pangan (Anonim d, 2006). SAPP memiliki dua fungsi sebagai bahan tambahan pangan. Fungsi SAPP yang pertama sebagai sequestrant yaitu phospat pada SAPP memiliki kemampuan untuk mengkelat logam Cu dan Fe pada lapisan kaleng (Claus et. Al., 1994). Kemampuan mengkelat ini dapat mencegah terjadinya reaksi Cu dan Fe yang terdapat pada lapisan kaleng dengan lemak pada daging rajungan. Cu dan Fe yang terdapat pada lapisan kaleng dapat sebagai katalis oksidasi lemak pada daging rajungan sehingga dapat mengkompleks dan merubah warna daging menjadi biru atau biasa disebut dengan bluing (Mar-Less, 2006). Fungsi SAPP yang kedua menurut Mar-Less (2006) yaitu mencegah terjadinya pembentukan struvites. Struvites adalah rasa seperti berpasir yang terkadang dapat dirasakan pada daging rajungan. Hal ini disebabkan oleh komponen magnesium pada daging rajungan yang dapat mengkristal. Kristal yang tebentuk disebabkan oleh perlakuan panas yang tinggi pada saat proses pasteurisasi. SAPP
dapat mengkompleks magnesium dan mencegah terjadinya pembentukan kristal-kristal yang menyebabkan struvites (Anonim c, 2006). Pada filling ini juga dilakukan penataan bentuk daging di dalam kaleng supaya terlihat rapi dan menarik ketika konsumen membuka kemasannya. Setelah daging tertata rapi lalu ditambahkan larutan SAPP untuk kedua kalinya. Penambahan larutan SAPP yang kedua ini dimaksudkan untuk meratakan larutan tersebut keseluruh isi kaleng. Setelah daging telah terisi penuh sesuai dengan standar perusahaan, maka dilakukan penimbangan akhir. Penimbangan akhir dilakukan untuk menentukan berat bersih dari produk sebelum dilakukan penutupan kaleng. 7. Penutupan kaleng (seaming) dan Pengkodean (coding) Kaleng yang telah diisi dengan daging diberi tutup dengan label atau merek sesuai dengan jenis dagingnya. Penutupan dilakukan dengan menggunakan double seamer. Mutu dari produk juga sangat ditentukan oleh efisiensi dari mesin seamer tersebut. Untuk menjaga efisiensi dari mesin, maka setiap 1 jam diambil satu kaleng untuk dilakukan pengecekan terhadap dimensi kaleng. Dimensi kaleng yang diukur yaitu tinggi kaleng, lebar seam, ketebalan seam, counter sink, kait depan, kait badan, bebas kerut dan overlap kaleng. Jika dimensi kaleng tidak sesuai dengan standar dari perusahaan, maka dilakukan penyetingan kembali mesin double seamer. Pengecekan dari dimensi kaleng ini bertujuan untuk mencegah terjadinya kebocoran pada produk akibat seaming. Pengkodean dilakukan setelah kaleng ditutup. Pemberian kode dilakukan pada bagian bawah kaleng dengan menggunakan mesin coding jet print. Tujuan dari pengkodean adalah untuk mengetahui sejarah dari produk itu berasal. Dalam kode tersebut
5
terdapat informasi tanggal produksi (bentuk julian date), nomor basket, kode pemasok dan jenis daging. 8. Pasteurisasi Kaleng yang telah ditutup dimasukkan ke dalam basket untuk selanjutnya dipasteurisasi. Tiap basket berisi 60 kaleng. Pasteurisasi dilakukan pada bak pasteurisasi yang telah terisi air bersih. Sumber panas pasteurisasi berasal dari uap panas yang dihasilkan oleh boiler dan disalurkan dengan pipa khusus ke bak pasteurisasi. Di dalam bak pasteurisasi juga dialiri gas yang menimbulkan gelembung udara yang berasal dari kompresor dan bertujuan untuk meratakan panas. Pasteurisasi dilakukan selama 155 menit pada suhu 184-186 oF (84,4 85,5 oC). 9. Pendinginan (chilling) Pendinginan adalah proses yang dilakukan segera setelah proses pasteurisasi selesai. Pendinginan dilakukan pada bak pendingin yang telah terisi air bersih serta pecahan es. Selama pendinginan, suhu dipertahankan pada suhu 0 - 4 oC selama 120 menit. Bak pendingin juga dialiri gas yang menimbulkan gelembung udara yang berasal dari kompresor dan bertujuan untuk meratakan suhu. Proses ini ditujukan untuk membunuh bakteri thermofilik yang belum mati saat pasteurisasi. 10. Pengepakan dan Penyimpanan Pengepakan dilakukan dengan menggunakan master carton (MC) yang dapat memuat 12 kaleng. Proses pengepakan ini masih dilakukan secara manual oleh pekerja. Kaleng yang telah dikemas kemudian disimpan di ruang pendingin (cold storage) dengan suhu 1- 3 oC.
III. TINJAUAN PUSTAKA A. RAJUNGAN Rajungan (Portunus pelagius) atau swimming crab merupakan jenis kepiting laut yang hanya bisa hidup di air laut, berbeda dengan kepiting lainnya yang dapat pula hidup di darat.
Rajungan sangat digemari masyarakat dan harganya cukup mahal. 1. Biologi dan Jenis Rajungan Kepiting berbeda dengan Crustacea (hewan berkulit keras) jenis lain seperti lobster dan udang karena abdomennya yang kecil dan terlipat di dalam tubuhnya. Kepiting memiliki lima pasang kaki. Sepasang kaki yang pertama berujung capit dan lebih besar dari kaki lainnya. Pasangan terakhir kaki jalannya sering berbentuk pipih dan dipakai sebagai alat untuk berenang. Kepiting biasanya berjalan atau merangkak dengan cara berjalan menyamping (Afrianto dan Liviawaty, 1992). Menurut Afrianto dan Liviawaty (1992), kepiting merupakan salah satu hewan air yang banyak dijumpai di perairan Indonesia dan merupakan hewan Arthropoda yang terbagi menjadi 4 famili yaitu Portunidae (kepiting perenang), Xanthidae (kepiting lumpur), Crancidae (kepiting Cancer) dan Potamidae (kepiting air tawar). Rajungan merupakan salah satu jenis kepiting dari famili Portunidae yang hanya hidup di laut dan mempunyai ciri khas capit yang memanjang, kokoh dan berduri. Adapun klasifikasi rajungan menurut Waterman dan Chase (1960) dalam Afrianto dan Liviawaty (1992) yaitu: Filum : Arthropoda Kelas : Crustacea Sub Kelas : Malacostraca Ordo : Eucaridae Sub ordo : Decapoda Famili : Portunidae Genus : Portunus Species : Portunus pelagicus Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan jenis kepiting laut yang hanya bisa hidup di laut. Di dalam Ensiklopedia Indonesia vol. 5 disebutkan bahwa rajungan dapat mencapai ukuran panjang 15 cm dan lebar 30 cm. Ada beberapa jenis rajungan yang hidup di perairan Indonesia diantaranya rajungan bintang (Portunus sanguinolentus), rajungan karang (Charybdis feriatus), rajungan hijau (Thalamita
6
dengan menggunakan jala, karena rajungan yang suka berenang bila tersapu ombak akan menempel pada jaring sehingga mudah ditangkap. 3. Sifat Kimia Rajungan Daging kepiting dan rajungan mempunyai nilai gizi yang tinggi. Hasil analisis proksimat kandungan gizi rajungan dan kepiting berbeda. hasil analisis kimia (proksimat) daging kepiting dan rajungan antara jantan dan betina dapat dilihat pada Tabel 1 (BBPMHP, 1995). Dari Tabel 1 terlihat bahwa kandungan protein rajungan lebih tinggi daripada kepiting. Sedangkan kepiting dan rajungan betina mempunyai kandungan lemak relatif lebih tinggi daripada yang jantan.
crenata), dan rajungan angin (Podophthalmus). Rajungan ini biasa terdapat di perairan pantai yang dangkal dan sering juga di dasar perairan. Di Australia dan India, rajungan merupakan dasil perikanan yang penting (Afrianto dan Liviawaty, 1992). Anatomi dan morfologi rajungan dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Anatomi dan morfologi rajungan (http://www.bluecrab.org/anatomy.htm) 2. Pemanenan Rajungan Selama musim dingin, rajungan yang dorman dapat dipanen dengan mengeruk dasar laut. Negara-negara pesisir teluk di Amerika dapat melakukan pemanenan sepanjang musim karena udaranya lebih hangat saat musim dingin (Cockey dan Chai, 1994). Penangkapan dilakukan pada pagi hari. Pada saat penangkapan di kapal, rajungan yang tertangkap dipisahkan menurut ukuran dan jenis kelaminnya. Rajungan biasanya dijual ke restoran-restoran, rumah makan seafood, dan pesta-pesta sebagai rajungan matang yang telah dimasak. Rajungan yang tidak dapat dimasak pada hari yang sama dengan penangkapan, disimpan untuk di picking pada hari berikutnya yaitu pada pagi hari (Cockey dan Chai, 1994). Di Indonesia, kepiting dan rajungan biasa ditangkap dengan menggunakan kail atau jala. Namun rajungan lebih banyak ditangkap
Tabel 1. Hasil analisis kimia daging kepiting dan rajungan* Protein Lemak Jenis Komoditi (%) (%) Betina 11.45 0.04 Kepiting Jantan 11.90 0.28 Betina 16.85 0.10 Rajungan Jantan 16.17 0.35 • Laboratorium Kimia BBPMHP (Balai Bimbingan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan) tahun 1995
a.
b.
c.
4. Mutu Rajungan Menurut BBPMHP (1995) daging rajungan yang diperoleh biasanya digolongkan menjadi tiga tingkatan mutu, yaitu: Mutu 1 (daging super/jumbo), yaitu daging badan yang terletak di bagian bawah (berhubungan dengan kaki renang) berbentuk gumpalan besar berwarna putih. Mutu 2 (daging reguler), yaitu daging badan yang berupa serpihan-serpihan, terletak disekat-sekat rongga badan berwarna putih. Mutu 3 (daging merah/clawmeat), yaitu daging rajungan yang berada dikaki dan capit, berwarna putih kemerahan. Menurut Phillips-Seafood (2005), daging rajungan dapat digolongkan menjadi lima jenis daging (Gambar 3), yaitu: a. Jumbo lump atau kolosal (daging putih) yang merupakan jaringan
7
Air (%) 80.68 82.85 78.78 81.27
Abu (%) 2.45 1.08 2.04 1.85
terbesar yang berhubungan dengan kaki renang. b. Backfin (daging putih) yang merupakan jumbo kecil dan pecahan dari daging jumbo. c. Special (daging putih) yang merupakan daging yang berada disekitar badan yang berupa serpihan-serpihan. d. Clawmeat (daging merah) yang merupakan daging dari bagian kaki sampai capit dari rajungan. e. Claw Finger (daging merah) yang merupakan bagian dari capit rajungan bersama dengan bagian shell yang dapat digerakkan. Rendemen total daging rajungan yang diperoleh dari pengolahan sebesar 25-30 % dari berat utuh dan besarnya rendemen ini dipengaruhi juga oleh kesegaran daging rajungan serta cara pengambilan dagingnya (picking). Rendemen daging antara kepiting dan rajungan tidak berbeda, akan tetapi rendemen rajungan antara jantan dan betina menunjukkan perbedaan, dimana rendemen daging rajungan jantan rata-rata lebih besar bila dibandingkan dengan betinanya. Dari total berat daging rajungan, biasanya rendemen dari daging rajungan terdiri dari: 10,1% (mutu 1); 8,6% (mutu 2); dan 10,5% (mutu 3). Sedangkan untuk daging kepiting terdiri dari 5,3% (mutu 1); 10,5% (mutu 2) dan 12,7% (mutu 3) (BBPMHP, 1995) B. ANTIBIOTIK CHLORAMPHENICOL Chloramphenicol (2,2 dichlor - N - [(αR,βR) - β - hydroxy - α -hydroxymethyl - 4 - nitrophenethyl] acetamide) atau dikenal dengan nama dengan chloromycetin merupakan antibiotik yang pertama kali diisolasi dari bakteri Streptomyces venezuelae, sekitar tahun 1940-an (Neuhaus, 2002) dan kini telah diproduksi untuk kepentingan medis secara sintetik. Chloramphenicol merupakan jenis antibiotik dengan spektrum yang luas dalam penggunaannya. Prinsip kerja antibiotik ini dalam mematikan bakteri adalah dengan cara mengganggu proses sintesis protein. Chloramphenicol juga
mempunyai sifat toksik bagi manusia (Roybal, 1998). Sifat toksik pada manusia disebabkan oleh gugus dichloride carbon alfa yang berikatan dengan gugus karbonil. Gugus karbon ini mengalami pergantian dengan nuchleophiles yang terdapat pada protein sehingga menggangu proses sintesis protein (Neuhaus, 2002). Struktur kimia dari chloramphenicol dapat di lihat pada Gambar 4.
Jumbo Lump
Backfin
Special
Clawmeat
Claw finger
Gambar 3. Pengelompokkan daging rajungan (Philips Seafood, 2005)
Gambar 4. Struktur kimia Chloramphenicol (Anonim a, 2006) Residu chloramphenicol yang terdapat pada daging hewan yang dikonsumsi oleh manusia dikhawatirkan akan menyebabkan kematian pada penderita anemia yang berlanjut ke leukimia (aplastic anemia), dan juga dapat menyebabkan neuritis perifer dan neuritis optic. Chloramphenicol juga disinyalir merupakan penyebab Gray Baby Sindrome dengan gejala bayi berwarna kulit abu-abu, perut kembung, suhu tubuh rendah, susah bernafas, kulit
8
pucat dan demam. Penyakit ini biasanya terjadi pada bayi berumur kurang dari sebulan akibat over dosis dan dapat menyebabkan kematian (Saparinto, 2002). Chloramphenicol pada awalnya merupakan antibiotik untuk infeksi virus, luka, flu atau mencegah infeksi. Chloramphenicol juga digunakan untuk pengobatan penyakit tifus pada manusia. Pada umumnya digunakan untuk melawan Anaerobic bacteria, Aeromonas, Pseudomonas, Mycloplasma, dan Enterobacteriacean. Antibiotik tersebut bekerja sebagai pencegah pertumbuhan atau membunuh bakteri (Saparinto, 2002). Nehaus (2002) menyebutkan bahwa pada September 2002 telah lebih dari 24.000 bahasan mengenai chloramphenicol di literatur-literatur ilmiah dan 4.000 diantaranya membahas tentang cara mendeteksinya. Namun hanya beberapa referensi saja yang membahas pada produk-produk hasil laut. Pendekatan yang umum digunakan untuk menganalisis chloramphenicol pada hasil laut pertama kali yaitu dengan mengekstrak larutan dan dianalisis dengan Solid Phase Extraction (SPE), dilanjutkan dengan pembentukan komponen volatile dan dianalisis dengan menggunakan Gas Chromatography/Electron Capture Detection (GC-ECD). Nehaus (2002) menyebutkan bahwa dengan metode analisis menggunakan GC-ECD memberikan limit deteksi chloramphenicol hingga 1 ppb pada udang. Liquid chromatography (LC) menggunakan deteksi sinar UV juga biasa digunakan untuk analisis chloramphenicol memberikan limit deteksi hingga 5 – 10 ppb pada produk-produk hasil laut. Metode analisis menggunakan gas chromatography mass spectrofotometry (GC-MS) telah digunakan dibeberapa penelitian dengan limit deteksinya hingga 1 ppb. Telah ada beberapa hasil penelitian yang menggunakan metode dengan liquid chromatography – mass spectrofotometry (LC-MS) untuk memisahkan dan mendeteksi secara semi kuantitatif residu chloramphenicol pada produk hasil laut dan mempunyai
limit deteksi pada udang sebesar 0,5 ppb. Metode lain yang digunakan untuk menganalisis antibiotik seperti chloramphenicol pada hasil laut adalah dengan Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) (Dixon-Holland, 1992). Menurut Nehaus (2002), metode ELISA ini dapat mendeteksi chloramphenicol pada produk hasil laut mencapai limit deteksi hingga ppt (part per trilion) sampai ppb terendah. ELISA dapat mendeteksi tingkat residu chloramphenicol hingga mencapai batas deteksi sebesar 0,04-0,02 ppb (Cazemier et al, 1996). C. PENGENDALIAN PROSES SECARA STATISTIK Pengendalian proses secara statistik adalah suatu terminologi yang mulai digunakan sejak tahun 1970-an untuk menjabarkan penggunaan teknikteknik statistik dalam memantau dan meningkatkan performansi proses menghasilkan produk bermutu. Pada tahun 1950-an sampai 1960-an digunakan terminologi pengendalian mutu statistikal (Statistical Quality Control=SQC) yang memiliki pengertian yang sama dengan pengendalian proses statistikal (Statistical Process Control=SPC) (Gasperz, 1998). Pengendalian proses secara statistik adalah metode pengukuran, pemahaman dan pengawasan variasi dalam suatu proses produksi (Wayworld, 2001). Menurut Gasperz (1998), pengendalian proses secara statistik adalah suatu metodologi pengumpulan dan analisis data kualitas, serta penentuan dan interpretasi pengukuranpengukuran yang menjelaskan tentang proses dalam suatu industri. Fungsi utama dari pengendalian proses bagi industri adalah untuk meningkatkan mutu dari output, guna memenuhi kebutuhan dan ekspetasi pelanggan. Menurut Wayworld (2001), tujuan dari pengendalian proses statistik yaitu: 1. Menentukan apakah proses dalam keadaan terkendali. 2. Menentukan apakah proses berada dalam spesifikasi. 3. Identifikasi penyebab variasi.
9
Tujuan utama pengendalian proses secara statistik adalah pengurangan variasi yang sistematik dalam karakteristik mutu kunci produk itu. Pengenalan pengendalian proses secara statistik akan menstabilkan proses itu dan mengurangi variasi, sehingga lebih jauh biasnya menghasilkan biaya mutu yang lebih rendah dan mempertinggi posisi dalam kompetisi yang semakin ketat (Montgomery, 1998). Strategi pengendalian proses secara statistik adalah membawa suatu proses berada di bawah pengendalian secara statistik. Pengendalian proses secara statistik berarti proses itu dikendalikan berdasarkan catatan data yang secara terus-menerus dikumpulkan dan dianalisis. Pengumpulan dan penganalisisan data secara terus menerus dimaksudkan agar menghasilkan informasi yang dapat digunakan dalam mengendalikan dan meningkatkan proses sehingga proses itu memiliki kemampuan untuk memenuhi spesifikasi output yang diinginkan (Gasperz, 1998). Gasperz (1998) menambahkan bahwa pada dasarnya langkah-langkah proses statistikal dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Merencanakan penggunaan perangkat statistikal. 2. Memulai menggunakan perangkat statistikal tersebut. 3. Mempertahankan atau menstabilkan proses dengan cara menghilangkan variasi penyebab khusus yang merugikan. 4. Merencanakan perbaikan proses terus menerus (continous process improvement) melalui pengurangan variasi penyebab umum., 5. Mengevaluasi dan meninjau ulang (review) terhadap penggunaan alatalat statistikal itu. Statistikal proses kontrol dapat diterapkan pada setiap proses. Perangkat yang biasa digunakan dalam statistikal proses kontrol diantaranya 1) histogram, 2) check sheet, 3) diagram pareto, 4) diagram sebab akibat, 5) stratifikasi, 6 ) scatter diagram, 7) bagan kendali (Gaspersz, 1998). 1. Histogram Histogram adalah alat yang digunakan untuk menunjukkan
2.
3.
4.
5.
variasi data pengukuran dan variasi setiap proses. Berbeda dengan Pareto chart yang penyusunannya menurut urutan yang memiliki proporsi terbesar ke kiri hingga proporsi terkecil, histogram ini penyusunannya tidak menggunakan urutan apapun (Ariani, 1999) Check sheet Check sheet adalah alat yang sering digunakan untuk menghitung seberapa sering sesuatu terjadi dan sering digunakan dalam pengumpulan dan pencatatan data. Data yang sudah terkumpul tersebut kemudian dimasukan ke dalam grafik seperti pareto chart ataupun histogram untuk kemudian dilakukan analisis terhadapnya (Ariani, 1999). Diagram Pareto Diagram pareto merupakan diagram yang dikembangkan oleh seorang ahli yang bernama Vilfredo Pareto. Diagram Pareto merupakan alat yang digunakan untuk membandingkan berbagai kategori kejadian yang disusun menurut ukurannya untuk menentukan pentingnya atau prioritas kategori kejadian-kejadian atau sebab-sebab kejadian yang akan dianalisis. Diagram Pareto dapat memusatkan perhatian pada sebab-sebab yang akan mempunyai dampak terbesar terhadap kejadian tersebut (Ariani, 1999). Diagram sebab-akibat Diagram sebab akibat digunakan untuk menganalisis persoalan dan faktor-faktor yang menimbulkan persoalan tersebut. Dengan demikian diagram tersebut dapat digunakan untuk menjelaskan sebab-sebab suatu persoalan. Diagram sebab akibat juga disebut diagram ishikawa dan dikembangkan oleh Dr. Kaoru Ishikawa. Diagram tersebut juga disebut fish bone diagram karena berbentuk seperti kerangka ikan (Ariani, 1999). Stratifikasi Stratifikasi adalah kegiatan pengelompokan atau penguraian data ke dalam kategori-kategori tertentu yang lebih kecil atau
10
menjadi unsur-unsur tunggal dari data atau masalah sehingga dapat menggambarkan permasalahan dengan jelas. Misalnya mengurai menurut; jenis kesalahan atau kerusakan, penyebab dari kesalahan atau kerusakan, lokasi kesalahan atau kerusakan, material, hari pembuatan, unit kerja, orang yang mengerjakan, penyalur, waktu, dan lain-lain. 6. Scatter Diagram Scatter diagram adalah gambaran yang menunjukkan kemungkinan hubungan (korelasi) antara pasangan dua macam variabel dan menunjukkan keeratan hubungan antara dua variabel tersebut yang sering diwujudkan sebagai koefisien korelasi. Scatter digram juga dapat digunakan untuk mencek apakah suatu variabel dapat digunakan untuk mengganti variabel yang lain. 7. Bagan kendali Bagan kendali adalah grafik yang menyerupai run chart yang digunakan untuk menentukan apakah suatu proses berada dalam kondisi yang terkendali apa tidak. D. BAGAN KENDALI Bagan kendali pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Walter Andrew Shewhart dari Bell Telephone Laboratories, Amerika Serikat, pada tahun 1924. Pembuatan bagan kendali oleh Dr.Walter dimaksudkan untuk menghilangkan variasi tidak normal melalui pemisahan variasi yang disebabkan oleh penyebab khusus dari variasi yang disebabkan oleh penyebab umum (Gasperz, 1998). Bagan kendali terdiri dari suatu display grafik dari suatu karasteristik mutu yang telah dihitung atau diukur dari suatu contoh produk terhadap nomor contoh atau waktu. Pada dasarnya bagan kendali digunakan untuk mengetahui apakah suatu proses berada dalam keadaan terkendali secara statistik dan menentukan kapabiliatas proses, yang selanjutnya digunakan untuk mengendalikan proses secara terusmenerus (Gasperz, 1998). Montgomery (1998) menyatakan bagan kendali dapat digunakan oleh manajemen sebagai alat guna mencapai tujuan tertentu
berkenaan dengan mutu proses. Garis tengah dan batas-batas kendali dapat merupakan nilai-nilai standar yang dipilih oleh manajemen, sedemikian hingga mereka menghendaki proses dalam keadaan terkendali pada tingkat mutu itu. Bagan kendali juga dapat berfungsi sebagai alat penaksir parameter tertentu seperti rata-rata (mean), standar deviasi, bagian yang sesuai dan sebagainya. Sebagian taksiran ini mempunyai dampak yang cukup besar pada banyak masalah, keputusan manajemen yang terjadi dalam perputaran produk, temasuk keputusan membuat atau membeli, peringkat pabrik dan proses yang mengurangi variabilitas proses dan perjanjian kontrak dengan langganan atau penjual mengenai mutu produk. Menurut Gasperz (1998), terdapat beberapa jenis bagan kendali berdasarkan jenis data pengukuran yang dipakai (data variabel atau data atribut) dan jenis proses yang dapat dilihat pada Gambar 5. Data variabel menunjukkan karakteristik kualitas berdimensi kontinyu yang dapat mengambil nilainilai kontinyu dalam kemungkinan yang tidak terbatas, seperti: panjang, kecepatan, bobot, volume dan lain-lain. Data atribut hanya memiliki dua nilai yang berkaitan dengan YA atau TIDAK, seperti: sesuai atau tidak sesuai, berhasil atau gagal dan lain-lain. Pembuatan peta kendali individual X dan MR (Moving Range = Rentang bergerak) diterapkan pada proses yang menghasilkan produk relatif homogen, misalnya cairan kimia, kandungan mineral dari air, kadar residu, dan lain-lain. Demikian pula dapat diterapkan pada kasus-kasus dimana inspeksi 100% digunakan untuk proses produksi yang sangat lama (Gasperz, 1998). Grafik pengendali individual digunakan untuk pengendalian proses produksi dengan jumlah pengamatan setiap contoh (n)=1. Atau jika mengawasi nilai sebenarnya dari observasi lebih penting daripada rataan dari subgrup. Grafik pengendali ini menggunakan rentang bergerak dua pengamatan yang berturutan untuk menaksir keragaman proses (Montgomery, 1998).
11
Tentukan karakteristik kualitas sesuai keinginan pelanggan
TIDAK Apakah data variabel
Apakah data atribut berbentuk proporsi atau presentase?
YA Apakah proses homogen atau proses batch seperti industri kimia, dll? YA Gunakan peta kendali Individual: X-MR
TIDAK Gunakan peta kendali: XBar, R
TIDAK
Apakah data atribut berbentuk banyaknya ketidaksamaan?
YA Apakah ukuran contoh konstan? YA Gunakan peta kendali: p atau np
TIDAK Gunakan peta kendali: p
YA Apakah ukuran contoh konstan? YA Gunakan peta kendali: c atau u
TIDAK Gunakan peta kendali: u
Gambar 5. Diagram alir penggunaan peta-peta kendali Peta kendali X-bar (Rata-rata) dan R (Range) digunakan untuk memantau proses yang mempunyai karakteristik berdimensi kontinyu, sehingga peta kendali X-Bar dan R sering disebut sebagai peta kendali untuk data variabel. Peta kendali X-bar menjelaskan kepada kita tentang apakah perubahan-perubahan telah terjadi dalam ukuran titik pusat (central tendency) atau rata-rata dari suatu proses. Hal ini mungkin disebabkan oleh faktor-faktor seperti: peralatan yang dipakai, peningkatan temperatur secara gradual, perbedaan metode yang digunakan dalam shift, material baru, tenaga kerja yang belum dilatih dan lain-lain. Peta kendali R (range) menjelaskan tentang apakah perubahanperubahan telah terjadi dalam ukuran variasi, dengan demikian berkaitan dengan perubahan homogenitas produk yang dihasilkan melalui suatu proses. Hal ini mungkin disebabkan oleh faktor-faktor seperti: bagian peralatan yang hilang, minyak pelumas mesin yang tidak mengalir dengan baik, kesalahan pekerja dan lain-lain (Gasperz, 1998). Bagan kendali p didasarkan pada unit produk yang cacat, dimana kualitas didasarkan pada unit produk secara keseluruhan. Produk dinyatakan cacat apabila mengandung paling sedikit satu titik spesifik yang tidak memenuhi syarat. Proporsi yang tidak memenuhi syarat didefinisikan sebagai rasio banyaknya item yang tidak memenuhi syarat dalam suatu kelompok terhadap total banyaknya item dalam kelompok itu. Item-item itu dapat mempunyai beberapa karakteristik kualitas yang diperiksa atau diuji secara
simultan oleh pemeriksa. Jika item-item itu tidak dapat memenuhi standar pada satu atau lebih karakteristik kualitas yang diperikasa, maka item-item itu digolongkan sebagai tidak memenuhi syarat spesifikasi atau cacat (Gasperz, 1998). Peta kendali c digunakan dalam hubungan dengan jumlah cacat yang muncul dalam sampel dengan hitungan tetap. Peta kendali c didasarkan pada titik spesifikasi yang tidak memenuhi syarat dalam suatu produk, sehingga suatu produk dapat saja dianggap memenuhi syarat meskipun mengandung satu atau beberapa titik spesifik yang cacat (Gasperz, 1998). Menurut Gasperz (1998), pada dasarnya setiap bagan kendali (Gambar 6) memiliki: 1. Sumbu x melambangkan nomor contoh 2. Sumbu y melambangkan karakteristik mutu output 3. Garis tengah 4. Sepasang batas pengendali, dimana satu batas pengendali ditempatkan di atas garis tengah yang dikenal sebagai batas pengendali atas (BPA) dan yang satu lagi ditempatkan di bawah garis tengah yang dikenal sebagai batas pengendali Bawah (BPB) E. DIAGRAM SEBAB AKIBAT Dr. Kaoru Ishikawa telah mengembangkan metode sederhana untuk menampilkan dalam bentuk grafis penyebab untuk setiap permasalahan mutu. Metode ini dinamakan diagram sebab akibat, atau diagram Ishikawa, atau biasa disebut dengan diagram tulang ikan (Pyzdek, 2001). Menurut Muhandri dan Kadarisman (2005), diagram sebab akibat berguna untuk mengetahui faktor-faktor yang mungkin menjadi penyebab munculnya masalah (berpengaruh terhadap hasil). Penyusunan dilakukan dengan teknik brainstroming (sumbang saran). Brainstroming adalah suatu cara yang digunakan untuk membantu membangkitkan ide-ide alternatif dan persepsi dalam tim kerja yang bersifat terbuka dan bebas. Dengan mengetahui hubungan antar sebab dan akibat dari
12
K A R A K T E R I S T I
UCL
CL
LCL Nomor Contoh
Keterangan: UCL :Upper Control Limit (Batas atas) CL :Control Limit (Rata-rata) LCL :Lower Control Limit (Batas bawah) Gambar 6. Bagan kendali secara umum (Muhandri dan Kadarisman, 2005) suatu permasalahan, maka tindakan pemecahan masalah akan mudah ditentukan. Teknik brainstorming digunakan untuk membantu dalam pembuatan diagram sebab-akibat. Menurut Gaspersz (1998), brainstorming merupakan alat penunjang lain dalam perbaikan proses. Brainstorming membantu membangkitkan ide-ide alternatif dalam suatu tim kerja yang bersifat terbuka dan bebas. Brainstorming dilakukan dengan para pekerja yang mampu mengetahui faktor-faktor penyebab dari masalah yang terjadi dan setiap pekerja memiliki kebebasan dalam mengemukakan pendapat, sedangkan peserta lain tidak boleh membantunya. Dalam pelaksanaan brainstorming perlu diperhatikan titik-titik khusus, diantaranya penataan ruang, ketentuan peraturan yang berlaku, menggunakan alat tulis, menuliskan ide-ide tersebut, menjaga suasana agar kondusif, melakukan evaluasi terhadap ide dan kumpulkan ide-ide tersebut berdasarkan kategori. Brainstorming dapat berkaitan dengan hal-hal berikut : a) menentukan penyebab yang digunakan dan/atau solusi suatu masalah, b) memutuskan masalah apa yang perlu diselesaikan, c)
anggota tim merasa bebas untuk berbicara dan memberikan ide, d) menginginkan untuk menjaring sejumlah besar persepsi alternatif, dan e) kreativitas merupakan karakteristik outcome yang diinginkan. Setelah tim melakukan brainstorming dan muncul pendapat-pendapat yang mungkin menjadi masalah dalam proses kemudian tahap selanjutnya adalah menyusun diagram sebab-akibat (fishbone diagram) (Gaspersz, 1998). Menurut Montgomery (1996), ada tujuh langkah untuk membuat diagram sebab akibat, seperti terlihat pada Gambar 7: 1. Mendefinisikan masalah atau akibat yang akan dianalisis. 2. Membentuk regu untuk melakukan analisis. Seringkali regu ini akan menemukan penyebab potensial melalui brainstroming. 3. Mengambarkan kotak akibat dan garis tengah. 4. Menentukan kategori-kategori penyebab potensial yang utama disertai kotak uang dihubungkan ke garis tengah, 5. Mengidentifikasi penyebab yang mungkin dan mengelompokkannya ke dalam kategori-kategori pada langkah 4. Membuat kategori baru jika dibutuhkan. 6. Mengurutkan kategori-kategori penyebab untuk mengidentifikasi penyebab mana yang terlihat paling mempengaruhi permasalahan. 7. Mengambil tindakan perbaikan.
13
mutu secara efektif dan bersifat preventif, sebab pengendalian proses dilakukan sedini mungkin dan mencegah terjadinya cacat. Dengan menggunakan prinsip ini, usaha peningkatan mutu akan mampu mengurangi biaya produksi.
Diagram Sebab Akibat Penyebab Utama 3
sebab 1
Penyebab Utama 1
sebab 1
sebab 2 sebab 3
sebab 2 Kondisi yang akan diperbaiki sebab 3
sebab 1
sebab 2 sebab 1
Penyebab Utama 4
Penyebab Utama 2
Gambar 7. Contoh diagram sebab akibat Diagram sebab akibat yang baik adalah diagram yang memiliki banyak ranting. Jika tidak demikian, maka pemahaman regu yang dibentuk terhadap permasalahan yang dianalisis terlihat dangkal. Solusinya, dengan meminta bantuan seseorang dari luar regu untuk menambahkan pemahaman atas permasalahan yang ingin dipecahkan. Bisa jadi orang tersebut berkaitan dengan permasalahan tersebut. IV. METODOLOGI A. KERANGKA PEMIKIRAN Penelitian ini dilakukan untuk mengaplikasikan sistem pengendalian proses terhadap karakteristik mutu produk akhir dari pengalengan rajungan berdasarkan hasil analisis residu antibiotik chloramphenicol di PT. Mina Global Mandiri. Penelitian dimaksudkan untuk mengevaluasi proses guna mencegah tingkat residu antibiotik chloramphenicol pada produk akhir dari produk rajungan kaleng supaya tidak melebihi standar yang telah ditetapkan. Penelitian ini juga dimaksudkan untuk menentukan faktorfaktor penyebab yang mempengaruhi tingginya tingkat residu pada produk akhir. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat dicegah timbulnya reject dan rework produk sehingga dapat menekan biaya produksi dan produk dapat memenuhi syarat ekspor utnuk dapat dipasarkan. Penggunaan proses kontrol statistik merupakan tipe dari umpan balik, yang bermaksud meningkatkan
B. PENETAPAN BAGAN KENDALI Data untuk penetapan bagan kendali merupakan data sekunder. Data sekunder ini meliputi data yang diambil dari hasil analisis yang dilakukan oleh laboran di laboratorium PT. Mina Global Mandiri. Data diperoleh berdasarkan hasil analisis chloramphenicol dengan metode ELISA dari produk akhir dan diambil mulai tanggal 16 Maret hingga 1 Juni 2006. Data yang diambil terdiri dari 4 jenis produk daging rajungan, yaitu super lump, special, claw meat dan backfin. Alasan mengambil keempat jenis produk ini dikarenakan keempatnya berpeluang lebih besar terkontaminasi residu chloramphenicol dikarenakan pada saat penanganannya (sortasi) paling sering terjadi kontak langsung dengan tangan. Contoh form data analisis dapat dilihat pada Lampiran 5. Teknik analisis data skunder yang digunakan adalah dengan menggunakan grafik bagan kendali Individual X dan MR. Pembuatan bagan kendali dibuat dengan menggunakan komputer dengan program Minitab 14. Data residu chloramphenicol dari keempat jenis daging tersebut dikumpulkan dan dibuat grafik kendalinya. Dari grafik kendali dapat dilihat jenis produk mana yang terdapat proses yang tidak terkendali. Proses yang tidak terkendali ini dapat dilihat dari grafik yang titik-titiknya tidak berada di antara batas atas dan batas bawah. Teknik pembuatan bagan kendali juga dapat dilakukan secara manual akan tetapi penulis tidak menggunakan secara manual dikarenakan untuk mencapai ketepatan, kecepatan proses perhitungan dan tingkat kepercayaan hasil pengujian. Menurut Gasperz (1998), langkahlangkah pembuatan bagan kendali Individual X dan MR adalah: Langkah 1.
14
Mengumpulkan data individual (n=1) sebanyak 30 contoh atau lebih. Untuk pendugaan pendahuluan dalam pembuatan peta kendali X dan MR boleh digunakan data individual (n=1) dari satu set contoh pengukuran. Langkah 2. Menghitung nilai-nilai range bergerak (MR / Moving Range). Nilai MR adalah nilai absolut perbedaan atau selisih antara nilai pengukuran sekarang dengan nilai pengukuran sebelumnya, atau diambil nilai tertinggi dikurangi nilai terendah dari dua pengukuran yang berurutan sehingga diperoleh nilai positif. (catatan: nilai-nilai MR harus lebih besar atau sama dengan nol) Langkah 3. Menentukan garis tengah (central line) untuk peta kendali X dan MR sebagai berikut: Garis tengah peta kendali X: CL = X Garis tengah peta kendali MR: CL= MR Langkah 4. Menghitung batas-batas kendali 3sigma sebagai berikut: Peta kendali X : CL = X UCL = X + 3(MR/d2) = X + (2,66 * MR) LCL = X - 3(MR/d2) = X - (2,66 * MR) Catatan: nilai d2 sebesar 1,128 berdasarkan tabel pada Lampiran 6 untuk n = 2 Peta kendali MR: CL = MR UCL = D4 * MR LCL = D3 * MR Catatan: Nilai D3 dan D4 berdasarkan tabel pada Lampiran 6 untuk n=2: D3 = 0 dan D4 = 3,267 n yang digunakan 2 karena rata-rata bergerak yang dihitung hanya 2 sampel, jika rata-rata bergerak yang dihitung 3 sampel maka n yang dipakai 3, dan seterusnya. C. PENETAPAN DIAGRAM SEBAB AKIBAT Diagram sebab akibat yang dibuat digunakan untuk mengetahui faktor-faktor internal perusahaan yang dapat menjadi peluang penyebab tingginya residu antibiotik chloramphenicol. Diagram sebab akibat ini disusun dengan cara observasi dan wawancara. Observasi dan wawancara dilakukan dengan cara mewawancarai
pekerja pabrik, laboran, manajer quality control, bagian pengadaan bahan baku, plant manager, direktur operasional dan manajer produksi. Teknik brainstorming tidak dilakukan dikarenakan kesibukan masing-masing individu terhadap pekerjaannya. Tahapan dalam membuat diagram sebab-akibat adalah sebagai berikut : 1. Menentukan masalah yang digambarkan dalam sebuah kotak disebelah kanan dari garis panah utama, 2. Mencari faktor-faktor yang berpengaruh dan diberi garis panah cabang yang mengarah ke panah utama, 3. Mencari lebih lanjut faktor-faktor utama tersebut, dituliskan sebelah kanan dan kiri dari panah cabang serta dihubungkan dengan garis panah yang mengarah ke panah cabang, dan 4. Mencari penyebab-penyebab utama dari diagram yang sudah lengkap dengan observasi dan wawancara. Untuk memperkuat faktorfaktor internal perusahaan yang dapat menjadi peluang penyebab tingginya residu antibiotik chloramphenicol, maka dilakukan pengumpulan data dengan memberikan kuesioner ke pekerja. Data yang dikumpulkan merupakan data primer. Pengumpulan data primer dilakukan dengan pendekatan kuantitatif melalui metode survey. Kegiatan survey ini digunakan untuk mengetahui sikap dan perilaku manusia, opini atau tanggapan publik terhadap suatu permasalahan yang ada, dalam hal ini menyangkut masalah residu antibiotik chloramphenicol pada produk rajungan kaleng. Data primer diperoleh dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan terstruktur yang dimuat dalam kuesioner penelitian. Kuesioner dalam penelitian ini terdiri dari pernyataan dan pertanyaan yang bersifat terbuka dan tertutup yang berhubungan dengan topik tentang kontaminasi residu antibiotik chloramphenicol yang disebabkan oleh kurang disiplin dan tingkat pengetahuan karyawan. Kuesioner dalam penelitian ini mencakup pertanyaan mengenai identitas responden, tingkat pengetahuan terhadap SSOP (Sanitation Standard Operating Procedure).
15
Responden yang menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data merupakan karyawan bagian produksi yang bertugas sebagai Sortir, Mixing dan Filling di PT. Mina Global Mandiri. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik pengambilan acak sederhana (simple random sampling), yaitu teknik pengambilan sampel anggota populasi dengan peluang yang sama dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata dalam populasi, sehingga dilakukan anggota populasi yang dianggap heterogen. Jumlah sampel yang dipilih adalah 40 responden dari 60 orang dari satu populasi. Dengan jumlah sampel yang lebih dari 10 persen populasi diharapkan dapat mewakili populasi yang bersifat homogen. Contoh pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam kuesoiner ke responden dapat dilihat pada Lampiran 4. Data primer yang telah dikumpulkan akan ditabulasikan terlebih dahulu kemudian dianalisis dan diinterpretasi untuk dapat memperoleh kesimpulan atas fakta yang terjadi. Analisa data dilakukan secara kuantitatif dengan deskriptif. Analisis deskriptif digunakan untuk menjelaskan data secara umum dengan menggunakan persentase yang disajikan dalam bentuk tabel, kemudian data tersebut diinterpretasikan. Persentase jawaban responden terhadap setiap indikator variabelvariabel didapatkan dengan cara melakukan perhitungan total skor minimum dan total skor maksimum dari setiap pertanyaan. Rataan skor dari suatu indikator diperoleh dengan cara melakukan penjumlahan nilai-nilai skor pada suatu variabel tertentu. Hasil penjumlahan tersebut disebut total skor pada suatu variabel kemudian dibagi dengan jumlah responden. Tingkat pendidikan responden dibagi menjadi 4 kategori yaitu SD, SMP, SMA, dan Diploma. Unit produksi dibagi menjadi 4 kategori yaitu sortir, mixing, filling, dan lain-lain. Unit produksi lain-lain merupakan unit produksi selain sortir, mixing, dan filling. Untuk tingkat pengetahuan responden tentang SSOP dibagi menjadi 3 kategori yaitu tinggi jika responden memiliki nilai 17-21, sedang jika
memiliki nilai 12-16, dan rendah jika memiliki nilai 7-11. Untuk tingkat tidak disiplin dibagi menjadi 3 kategori yaitu disiplin jika responden memiliki nilai 13-30, kurang disiplin jika memiliki nilai 31-47, dan disiplin jika memiliki nilai 48-65. Untuk tingkat pengetahuan responden tentang antibiotik chloramphenicol dibagi menjadi 3 kategori yaitu tinggi jika responden memiliki nilai 17-21, sedang jika memiliki nilai 12-16, dan rendah jika memiliki nilai 7-11.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. APLIKASI BAGAN KENDALI PROSES Program pengendalian dan peningkatan mutu produk menjamin kesesuaian dari produk melalui tahap pengukuran, pemantauan dan analisis serta peningkatan efektivitas dari sistem manajemen mutu. Program tersebut merupakan upaya yang terus menerus dilakukan oleh perusahaan terutama pada bagian quality control dengan bagian produksi. Salah satu cara untuk menjalankan program tersebut adalah dengan membuat bagan kendali untuk mengendalikan proses pada produksi rajungan kaleng secara statistik. Bagan kendali digunakan untuk mengukur parameter proses, menentukan kemampuan proses dan mengurangi variabilitas dalam suatu proses. Data pengukuran yang dikumpulkan merupakan hasil analisis residu antibiotik chloramphenicol pada produk akhir dari proses pengalengan rajungan. Metode analisis yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah dengan metode ELISA yang dilakukan di laboratorium PT. Mina Global Mandiri. Perusahaan memberikan spesifikasi terhadap produk akhir yaitu memiliki batas residu antibiotik chloramphenicol sebesar <0,25 ppb tetapi standar yang ditetapkan oleh EC adalah sebesar <0,30 ppb. Hal ini dilakukan oleh pihak manajemen perusahaan sebagai tindakan preventif supaya tingginya kadar residu tidak terlalu berdekatan dengan standar yang ditetapkan oleh EC. Produk yang memiliki residu di atas spesifikasi akan dilakukan reject
16
Residu chlor amphenicol ( ppb)
I-MR Chart of Backfin 1
U C L=0,1925
0,1
_ X=0,0681
0,0 LC L=-0,0562 1
13
17 21 Nomor data
25
29
33
U C L=0,1527
0,12 0,08 __ M R=0,0467
0,04 2
1
5
9
13
2
LC L=0
17 21 Nomor data
25
29
33
Gambar 9. Bagan kendali individu dan MR produk backfin Gambar 9 merupakan grafik bagan kendali untuk produk jenis Backfin. Rata-rata residu untuk produk backfin adalah sebesar 0,0681 ppb. Rata-rata tersebut masih dalam batas aman standar perusahaan. Dari Gambar 13 terdapat dua titik tidak terkendali yang berada di luar batas atas (UCL) yang sebesar 0,1925 ppb. Kedua titik tersebut adalah titik ke 23 (0,232 ppb) dan 24 (0,233 ppb). Kedua titik tersebut masih dapat digolongkan aman walaupun sangat mendekati batas aman standar perusahaan.
1
1
U C L=0,1373
I-MR Chart of Claw Meat
0,1 _ X=0,0429 0,0 LC L=-0,0516 1
5
9
13
17
21 25 Nomor data
29
33
37
41
1
0,16 1
0,12
U C L=0,1160
0,4
1 1
U C L=0,2612
0,2
2 2
0,0
2
2
_ X=0,0697
2
2 2
LC L=-0,1217 1
5
9
13
17
21 25 Nomor data
29
33
37
41
0,08 1
__ M R=0,0355
0,04 0,00
LC L=0 1
5
9
13
17
21 25 Nomor data
29
33
37
41
Gambar 8. Bagan kendali individu dan MR produk super lump tersebut adalah titik ke 22 (0,164 ppb), 23 (0,192 ppb), dan 24 (0,200 ppb). Ketiga titik tersebut masih dalam batas aman dan masih di bawah standar perusahaan.
0,3 M oving Range
M oving Range
9
0,00
Residu chlor amphenicol ( ppb)
r esidu chlor amphenicol (ppb)
1
5
1
I-MR Chart of Super Lump 0,2
1
0,2
0,16 M oving Range
dan rework pada jenis produk dengan kode mixing yang sama. Tabel data analisis chloramphenicol untuk pembuatan bagan kendali individu x dan MR dapat dilihat pada Lampiran 7. Data residu chloramphenicol yang diolah untuk penelitian ini diperoleh dari hasil analisis laboratorium PT. Mina Global Mandiri. Data-data tersebut selanjutnya diolah dengan bantuan software Minitab 14 untuk dijadikan bagan kendali individu x dan MR. Grafik kendali residu chloramphenicol untuk ke empat jenis produk akhir dapat dilihat pada Gambar 8, Gambar 9, Gambar 10, dan Gambar 11. Gambar 8 merupakan grafik bagan kendali untuk produk jenis super lump. Rata-rata residu chloramphenicol untuk produk super lump adalah sebesar 0,049 ppb. Rata-rata residu chloramphenicol produk super lump jauh dari standar yang diberikan perusahaan yaitu sebesar 0,25 ppb, sehingga produk tersebut masih dapat dikatakan aman untuk dipasarkan. Akan tetapi terdapat tiga titik yang tidak terkendali yang berada di luar batas atas (UCL) yang sebesar 0,1373. Ketiga titik
1
U C L=0,2352 0,2
0,1
__ M R=0,0720 2
0,0
2
1
5
9
2
2
2
13
2 2
LC L=0
2
17
21 25 Nomor data
29
33
Gambar 10. Bagan kendali individu dan MR produk claw meat Gambar 10 merupakan grafik bagan kendali untuk produk jenis claw meat. Rata-rata residu untuk produk claw meat adalah sebesar 0,0697 ppb. Rata-rata tersebut masih dalam batas aman standar perusahaan. Pada grafik,
17
37
41
terdapat banyak titik yang tidak terkendali. Terdapat sembilan titik yang berurutan berada pada sisi yang sama dari garis tengah. Juga pada titik ke 25 (0,264 ppb) dan 38 (0,373 ppb) merupakan titik yang tidak terkendali karena berada di luar batas atas. Kedua titik tersebut juga berada di luar batas standar perusahaan sehingga produk tersebut tidak dapat dipasarkan sehingga dilakukan reject produk dan proses ulang.
Residu chlor amphenicol (ppb)
I-MR Chart of Spesial 0,3 U C L=0,2549 0,2 _ X=0,0697
0,1 0,0 -0,1
LC L=-0,1156 1
4
7
10
13 16 Nomor data
19
22
25
U C L=0,2276 M oving Range
0,20 0,15 0,10
__ M R=0,0697
0,05 2
0,00 1
4
7
10
13 16 Nomor data
19
22
LC L=0 25
Gambar 11. Bagan kendali individu dan MR produk special Gambar 11 merupakan grafik bagan kendali untuk produk jenis special. Rata-rata residu untuk produk special adalah sebesar 0,0697 ppb. Rata-rata tersebut masih jauh dari batas standar aman perusahaan. Dari grafik kendali produk special semua titik berada di dalam batas atas dan batas bawah, sehingga dapat dikatakan proses terkendali. Data yang diperoleh dari produk special paling sedikit dibandingkan dari ketiga produk lainnya. Produk special ini merupakan produk yang jarang diproduksi karena komposisinya merupakan sisa pecahan produk-produk yang lain. Menurut Gasperz (1998), proses terkendali secara statistik dicirikan oleh bagan kendali yang semua titik-titik contohnya berada dalam batas-batas pengendalian (di antara batas pengendali atas dan batas pengendali bawah). Menurut Anonim b (2006), suatu proses menunjukkan keadaan tidak terkendali jika memenuhi kriteria sebagai berikut :
1. Satu atau beberapa titik berada di luar batas kendali 2. Sembilan titik berurutan berada pada sisi yang sama dari garis tengah 3. Enam titik berurutan naik atau turun 4. Empat belas titik berurutan bergantian naik dan turun 5. Dua dari tiga titik berurutan berada pada posisi > 2 standar deviasi dari garis tengah pada sisi yang sama 6. Empat dari lima titik berurutan berada pada posisi > 1 standar deviasi dari garis tengah pada sisi yang sama 7. Lima belas titik berurutan berada dalam posisi ≤ 1 standar deviasi dari garis tengah 8. Delapan titik berurutan berada pada posisi > 1 standar deviasi dari garis tengah Berdasarkan keempat bagan kendali tersebut, dapat dilihat titik-titik yang berada di luar batas atas. Selain itu juga terdapat beberapa pola acak yang ditunjukkan oleh titik-titik merah di dalam kisaran batas atas dan bawah. Hal ini menunjukkan bahwa proses pengalengan rajungan belum memenuhi kriteria proses yang terkendali secara spesifik karena masih mengandung variasi penyebab khusus (specialcauses variation) dan variasi penyebab umum (common-causes variation). Variasi adalah ketidakseragaman dalam sistem produksi atau operasional sehingga menimbulkan perbedaan dalam mutu pada output (barang/jasa yang dihasilkan). Variasi penyebab khusus (special-causes variation) adalah kejadian-kejadian di luar sistem yang mempengaruhi variasi dalam sistem. Penyebab khusus ini mengambil polapola non acak (non random patterns) sehingga dapat diidentifikasi/ditemukan, sebab mereka tidak selalu aktif dalam proses tetapi memiliki pengaruh yang lebih kuat pada proses sehingga menimbulkan variasi. Dalam konteks pengendalian proses statistikal menggunakan bagan kendali (control chart), jenis variasi ini sering ditandai dengan titik-titik pengamatan yang melewati atau keluar dari batasbatas pengendalian yang didefinisikan (defined control limit) (Gaspersz, 1998).
18
Variasi penyebab umum (common-causes variation) adalah faktor-faktor di dalam sistem atau yang melekat pada proses yang menyebabkan timbulnya variasi dalam sistem serta hasil-hasilnya. Penyebab umum sering disebut juga sebagai penyebab acak (random causes) atau penyebab sistem (system causes). Karena penyebab umum ini selalu melekat pada sistem, untuk menghilangkannya harus ditelusuri elemen-elemen pada sistem itu dan hanya pihak manajemenlah yang mengendalikan sistem itu. Dalam konteks pengendalian proses statistikal dengan menggunakan bagan kendali (control chart), jenis variasi ini sering ditandai dengan titik-titik pengamatan yang berada dalam batas-batas pengendalian yang didefinisikan (defined control limits) (Gaspersz, 1998). Variasi penyebab umum selalu terjadi pada proses produksi. Tantangannya adalah bagaimana memperkecil variasi tersebut. Dengan mengecilnya variasi penyebab umum (tanpa adanya variasi penyebab khusus) maka kemampuan proses produksi untuk menghasilkan produk yang lebih homogen akan lebih terjamin. Pihak manajemen harus melakukan perbaikan proses terusmenerus dengan cara menghilangkan variasi penyebab khusus agar mencapai tingkat produksi yang baik. Mengurangi variasi tersebut bisa dengan memberikan sosialisasi yang lebih mendalam kepada karyawan tentang pentingnya sanitasi, mengkalibrasi alatalat untuk analisis, serta memberikan penyuluhan dan pengawasan terhadap pemasok bahan baku sehingga diharapkan industri mendapatkan cara yang lebih baik dalam peningkatan dan perbaikan mutu secara kontinyu. Masalah-masalah penyebab adanya variasi ini akan ditelusuri dengan menggunakan diagram sebab-akibat. B. DIAGRAM SEBAB AKIBAT Diagram sebab akibat disusun berdasarkan hasil dari brainstroming. Semua pendapat-pendapat yang muncul dapat dijadikan kelompok berdasarkan faktor utamanya. Faktor utama yang umum menurut Muhandri dan Kadarisman (2005) yang dapat
dijadikan acuan adalah lingkungan, manusia, metode, bahan, dana, mesin dan peralatan. Faktor utama yang telah disepakati sebagai penyebab terdapatnya residu chloramphenicol di atas batas spesifikasi pada produk akhir adalah metode analisis chloramphenicol, pekerja pabrik, dan bahan baku. Faktor-faktor utama tersebut mempunyai faktor-faktor pendukung lainnya. Keterkaitan antar faktor utama dengan faktor pendukung digambarkan dengan diagram sebab akibat. Menurut Ishikawa (1989), diagram sebab akibat dibuat untuk menggambarkan dengan jelas macammacam sebab yang dapat mempengaruhi kualitas dengan jalan menyisihkan dan mencarikan hubungannya dengan sebab akibat itu. Diagram sebab akibat ini dapat dilihat pada Gambar 12. Pekerja pabrik
Metode analisis kehomogenan
Motivasi
Teknik
Disiplin ukuran
Kebiasaan
Ketepatan
Bahan
Pendidikan
Analisis
Pengetahuan Alat-alat
pengalaman
Residu chloramphenicol melebihi standar Kondisi suplier
Disiplin Kontaminasi dari pekerja
Kebiasaan Daging rajungan
Bahan Baku Keterangan :
Kontaminasi dari air laut
= Tidak dilakukan penelitian yang mendalam
Gambar 12. Diagram sebab akibat tingginya residu chloramphenicol melebihi standar 1. Metode Analisis Chloramphenicol a. Teknik Sampling Teknik sampling merupakan cara yang digunakan dalam pengambilan sampel untuk dianalisis dari sekumpulan populasi. Untuk mendapatkan kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan haruslah ditempuh dengan cara-cara pengambilan sampel yang benar dalam setiap langkah mulai dari jenis sampel hingga ukuran dari sampel tersebut (Sudjana, 1996).
19
Terdapat dua syarat yang harus dipenuhi agar dapat dikatakan menjadi sampel yang baik yaitu representatif dan memadai (Sudjana, 1996). Suatu sampel dikatakan representatif apabila ciri-ciri sampel yang berkaitan dengan tujuan analisis sama atau hampir sama dengan ciri-ciri populasinya. Suatu sampel dikatakan memadai apabila ukuran sampelnya cukup untuk meyakinkan kestabilan ciri-cirinya. Menurut Muhandri dan Kadarisman (2005), pengambilan contoh atau sampling merupakan bagian dari kegiatan suatu inspeksi untuk dapat mengurangi biaya yang besar namun masih dapat menjamin atau mewakili suatu kelompok uniform tertentu untuk diambil suatu keputusan regulasi bisnis dan lain-lain. Hal ini disebabkan dengan inspeksi 100% cross check dalam industri pangan selain mahal, dapat mengakibatkan rusaknya produk dan menghambat proses produksi. Terdapat beberapa metode sampling yang sering digunakan dalam sistem sampling dan inspeksi, antara lain: 100% cross check, sampling berdasarkan teori statistik, dan sampling tidak berdasarkan statistik. Pada metode pertama, pada umumnya mahal dan tidak selalu berhasil secara keseluruhan. Terdapat banyak bahaya yang cenderung terjadi, yaitu kecenderungan terjadi pelaporan yang hanya “lip service” bahwa dilakukan 100% inspeksi, karena hal ini membutuhkan biaya yang sangat mahal, waktu dan ketersediaan personil. Metode kedua, sampling berdasarkan teori statistik mempunyai kekurangan dibanding dengan inspeksi 100%, yaitu bahwa beberapa bagian tidak terinspeksi. Terdapat kelebihan metode ini, yaitu menempatkan tanggung jawab terhadap mutu secara fair dan jujur pada produsen. Metode ini biasanya memberikan kelebihan dapat mengurangi kerja inspeksi, menurunkan biaya dan menghasilkan mutu yang baik bagi konsumen. Metode ketiga, sampling tidak berdasarkan statistik biasanya tidak direkomendasikan karena tidak terdeteksinya resiko dari sampling dan membawa fluktuasi yang tinggi serta keluar dari batas mutu yang
dipersyaratkan. Lebih jauh lagi, tidak ada dasar yang logis untuk keputusan penerimaan atau penolakan suatu produk. Di PT. Mina Global Mandiri, sampel diambil sebanyak satu kaleng dari beratus-ratus kaleng setiap satu line produksi. Penarikan sampel yang hanya mengambil satu kaleng dari setiap line produksi dapat memungkinkan tidak terdeteksinya residu chloramphenicol pada kaleng lain. Sehingga jika mengambil daging untuk dianalisis dan tidak terdeteksi, ada kemungkinan di daging yang lain terdeteksi. Senyawa chloramphenicol hanya terakumulasi pada bagian daging tertentu dan tidak terserap ke seluruh daging. Hal ini dilakukan perusahaan mengingat biaya untuk analisis chloramphenicol sangat mahal sehingga meminimalisasikan jumlah sampel dan diasumsikan satu kaleng telah mewakili populasi yang ada. Penentuan sampel yang dilakukan PT. Mina Global Mandiri menggunakan metode sampling yang tidak berdasarkan metode statistik. Metode ini memiliki kekurangan seperti yang telah diuraikan di atas yaitu tidak terdeteksinya chloramphenicol pada kaleng yang lain. Menurut John (1990), salah satu cara yang dapat digunakan oleh perusahaan adalah dengan metode sampling statistik. Untuk menentukan ukuran sampel dari populasi yang ada dengan menggunakan statistik, pertamatama dilakukan penetapan standar deviasi (σ) yang nantinya akan digunakan untuk menentukan ukuran sampel. Sebagai contoh, diambil data residu chloramphenicol pada produk Super Lump yang terdapat pada Lampiran 7. Data yang diperoleh terdiri dari 42 sampel yang diambil dari tanggal 16 Maret 2006 hingga 30 Mei 2006. Nilai rata-rata dari data tersebut sebesar 0,0429 ppb serta ditetapkan nilai standar deviasinya sebesar 0,0485 ppb. Diasumsikan bahwa perusahaan memproduksi 1000 kaleng dalam satu kali produksi dan memiliki selang kepercayaan 95%.
20
Perhitungannya adalah sebagai berikut:
σ
=μ N 0,0485 = 0,0015 10000
Dengan selang kepercayaan 95% = 1,96 (t hit tabel) Sehingga untuk menentukan ukuran sampel adalah:
⎛ σ ⎞ t.hit ⎜ ⎟≤μ ⎝ n⎠ ⎛ 0,0485 ⎞ 1,96⎜⎜ ⎟⎟ ≤ 0,0015 n ⎠ ⎝ ⎛ 0,0485 ⎞ n ≥ 1,96⎜ ⎟ = 63,3733 ⎝ 0,0015 ⎠ n ≥ 7,9607 ≈ 8 Dari ukuran sampel yang dibutuhkan dari 1000 kaleng yang diproduksi, maka minimal sampel yang dapat diambil sebanyak 8 sampel kaleng. b. Analisis Analisis chloramphenicol dengan teknik ELISA digunakan untuk mengetahui tingkat residu chloramphenicol pada daging rajungan di PT. Mina Global Mandiri. Keakuratan dan ketelitian dalam pengerjaannya harus diperhatikan terutama dari laboran, peralatan yang digunakan dan perlakuan pada bahan pereaksi. Keakuratan laboran dalam mengukur banyaknya bahan-bahan yang digunakan untuk analisis harus dipertimbangkan. Laboran harus dapat dengan sabar dan hati-hati dalam menakar bahan-bahan reaksi untuk analisis karena bahan-bahan reaksi tersebut pada umumnya digunakan dengan volume kecil. Volume yang lazim digunakan pada teknik ELISA berkisar antara 50-100 μL/sumur. Sangat penting jika laboran sepenuhnya mengetahui tentang teknik pipeting yang baik dan benar serta mengerti hubungan dari gram, miligram, microgram, nanogram dengan padanan dari volume seperti liter, mililiter, microliter dan seterusnya. Panduan dalam teknik pipeting dapat dilihat pada Lampiran 8.
Tidak semua masalah dalam analisis semuanya disebabkan karena laboran. Bahan-bahan pereaksi juga harus diperhatikan. Bahan-bahan pereaksi harus disimpan dan tidak boleh terkontaminasi oleh lingkungan sekitar. Bahan-bahan pereaksi juga tidak boleh melebihi masa kadaluarsanya. Sedangkan tips yang sudah terpakai tidak boleh digunakan lagi. Penggunaan tips berulang kali akan mengakibatkan bahan-bahan pereaksi terkontaminasi. Air untuk analisis dapat juga menjadi sumber kontaminasi. Air digunakan untuk membilas dan membuang senyawa yang tidak membentuk ikatan dengan antigen. Air dapat mengandung pengotor yang dapat mempengaruhi hasil analisis. Pengotorpengotor tersebut dapat membuat larutan menjadi pekat sehingga pembacaan absorbansi menjadi terganggu. Air yang digunakan direkomendasikan menggunakan air tridestilata yang telah mengalami tiga kali proses destilasi sehingga cukup terjamin kemurniannya. Alat-alat gelas yang digunakan untuk analisis juga dapat mempengaruhi hasil analisis. Alat-alat gelas yang digunakan harus bersih dan kering serta dibilas dengan menggunakan air destilasi. Hal ini untuk mencegah kontaminasi atau ketidakcocokan kondisi pH dari pereaksi-pereaksi ELISA, terutama pada pengencer dari konjugat. Micropipet merupakan peralatan yang digunakan untuk memipet sejumlah volume dari sampel dan bahan-bahan pereaksi. Micropipet pada dasarnya sangat penting untuk masalah keakuratan pada ELISA. Alat ini harus sering diperiksa untuk masalah ketelitiannya dan ketepatan dalam membawa volume larutan. Keterangan dalam mengkalibrasi tergantung pada jenis dan merek yang digunakan. Keterangan dan panduan untuk mengkalibrasi terdapat pada buku panduan dalam paket pembelian. Perawatan harus dilakukan pada alat ini dengan cara mencegah larutan agar tidak terhisap ke dalam pipet. Jika hal ini terjadi, maka harus segera dibersihkan dan dikeringkan. Suhu penyimpanan bahan perekasi harus diperhatikan. Semua
21
bahan pereaksi harus disimpan pada suhu 2-8 oC dan tidak boleh dalam keadaan beku. Jika bahan pereaksi akan digunakan maka langsung dikeluarkan pada suhu ruangan (20-25 oC) dan langsung disimpan kembali jika sudah digunakan (r-Biopharm, 2006). Variasi suhu dapat menjadi faktor terbesar yang menyebabkan kesalahan analisis (Crowther, 1995). Hal ini dikarenakan bahan pereaksi sangat peka terhadap perubahan suhu. Keakuratan waktu dalam tahap inkubasi juga harus diperhatikan. Untuk inkubasi 1 jam, maka toleransi waktu yang diperbolehkan maksimal adalah 5 menit. Waktu inkubasi yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya reaksi yang berlebih dan menyebabkan kesalahan analisis. Setiap kit yang digunakan sudah ditetapkan standar waktunya. Analisis yang baik adalah selalu mengikuti instruksi untuk memperoleh hasil yang akurat (Crowther, 1995). 2. Pekerja Pabrik Pekerja membawa peranan penting pada produk yang dihasilkan. Motivasi, konsentrasi dan semangat kerja harus ditingkatkan, karena akan sangat berpengaruh terhadap pekerjaannya dan disiplin kerja mereka. Kedisiplinan pekerja harus diperhatikan. Apakah mereka telah mentaati SSOP yang telah dibuat dan dikeluarkan oleh perusahaan. Kedisiplinan pekerja ini dipengaruhi oleh motivasi dan kebiasaan. Motivasi pekerja dapat ditingkatkan dengan cara memberikan suatu penghargaan serta bonus untuk pekerja yang berprestasi. Masalah kebiasaan sulit untuk diubah. Hal ini hanya bisa diatur oleh peraturan-peraturan yang dibuat oleh manajemen perusahaan dan diharapkan para pekerja mengerti dan mentaati peraturan tersebut. Pihak manajemen perusahaan harus dapat mengendalikan para pekerja dengan memberikan sangsi jika ada yang melanggar peraturan. Pengetahuan pekerja dapat ditentukan dari lama bekerja, latihan yang diberikan, dan tingkat
pendidikannya. Semakin lama ia bekerja, semakin banyak pengalamannya dan semakin terampil dalam pekerjaannya. Pendidikan yang cukup akan membantu pekerja untuk cepat memahami segala hal yang menyangkut pekerjaannya, sehingga memudahkan dalam penanganan masalah-masalah yang terjadi. Berikut ini merupakan data hasil dari kuesioner yang dibagikan kepada responden. Data ini digunakan untuk memperkuat faktor-faktor internal perusahaan yang dapat menjadi peluang penyebab tingginya residu antibiotik chloramphenicol. Responden yang mengisi kuesioner adalah para pekerja di PT. Mina Global Mandiri yang bekerja pada bagian sortir, mixing dan filling. Jumlah responden sebanyak 40 orang. Tujuan dari survei ini adalah melihat tingkat kedisiplinan dan pengetahuan responden yang berkaitan dengan residu chloramphenicol. Penelitian survei ini difokuskan pada tingkat pendidikan responden, unit produksi tempat responden bekerja, tingkat pengetahuan tentang SSOP, tingkat disiplin, dan tingkat pengetahuan tentang antibiotik Chloramphenicol yang nantinya akan dideskripsikan menggunakan tabulasi silang. Tingkat pendidikan responden dibagi menjadi 4 kategori yaitu SD, SMP, SMA, dan Diploma. Unit produksi dibagi menjadi 4 kategori yaitu sortir, mixing, filling, dan lain-lain. Unit produksi lain-lain merupakan unit produksi selain sortir, mixing, dan filling. Untuk tingkat pengetahuan responden tentang SSOP dibagi menjadi 3 kategori yaitu tinggi jika responden memiliki nilai 17-21, sedang jika memiliki nilai 12-16, dan rendah jika memiliki nilai 7-11. Untuk tingkat tidak disiplin dibagi menjadi 3 kategori yaitu disiplin jika responden memiliki nilai 1330, kurang disiplin jika memiliki
22
nilai 31-47, dan disiplin jika memiliki nilai 48-65. Untuk tingkat pengetahuan responden tentang antibiotik chloramphenicol dibagi menjadi 3 kategori yaitu tinggi jika responden memiliki nilai 17-21, sedang jika memiliki nilai 12-16, dan rendah jika memiliki nilai 711. Tabel 2 memperlihatkan hasil survei bahwa responden yang menyatakan memiliki tingkat pengetahuan tinggi tentang SSOP adalah 1 responden dengan tingkat pendidikan SD, 19 responden dengan tingkat pendidikan SMP, 16 responden dengan tingkat pendidikan SMA, dan 1 responden dengan tingkat pendidikan Diploma. Jumlah responden yang menyatakan memiliki tingkat pengetahuan sedang tentang SSOP adalah 3 responden dengan tingkat pendidikan SMA. Tabel 2. Tabulasi silang tingkat pendidikan responden dengan tingkat pengetahuan tentang SSOP Jumlah responden yang menyatakan memiliki pengetahuan tentang SSOP Tinggi Sedang SD 1 0 SMP 19 0 SMA 16 3 DIPLOMA 1 0 Total 37 3 Persentase 92.5 % 7.5 % Tingkat pendidikan responden di PT.MGM
Total
1 19 19 1 40
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa mayoritas responden menyatakan memiliki pengetahuan tinggi tentang SSOP, baik responden dengan tingkat pendidikan SD, SMP, SMA dan Diploma. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa sebagian besar (92,5%) karyawan menganggap dirinya mengerti tentang SSOP, sehingga akan melaksanakan SSOP tersebut dengan baik. Karyawan yang menjalani SSOP dengan baik dan benar maka akan mengurangi kemungkinan terkontaminasinya
produk terhadap zat atau benda yang tidak diinginkan. Tabel 3 memperlihatkan hasil survei bahwa responden yang menyatakan memiliki tingkat disiplin baik adalah 1 responden dengan tingkat pendidikan SD, 19 responden dengan tingkat pendidikan SMP, 18 responden dengan tingkat pendidikan SMA, dan 1 responden dengan tingkat pendidikan Diploma. Jumlah responden yang menyatakan dirinya kurang disiplin adalah 1 responden tingkat pendidikan SMA. Tabel 3. Tabulasi silang tingkat pendidikan responden dengan tingkat disiplin responden Jumlah responden Tingkat berdasarkan tingkat pendidikan disiplin responden di Kurang PT.MGM Disiplin disiplin SD SMP SMA DIPLOMA Total Persentase
1 0 19 0 18 1 1 0 39 1 97.5 % 2.5 % Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa mayoritas karyawan (97,5%) dari berbagai tingkat pendidikan merasa telah memiliki disiplin baik dalam melakukan pekerjaannya. Dapat diasumsikan bahwa dengan tingkat disiplin yang baik pada karyawan dapat mengurangi kemungkinan kontaminasi yang dilakukan oleh pekerja. Tabel 4 memperlihatkan hasil survey bahwa responden yang menyatakan memiliki tingkat pengetahuan tinggi tentang antibiotik chloramphenicol adalah 14 responden dengan tingkat pendidikan SMP, 15 responden dengan tingkat pendidikan SMA, 1 responden dengan tingkat pendidikan Diploma. Jumlah responden yang menyatakan memiliki tingkat pengetahuan sedang tentang antibiotik chloramphenicol adalah 1
23
Total
1 19 19 1 40
responden dengan tingkat pendidikan SD, 5 responden dengan tingkat pendidikan SMP, dan 3 responden dengan tingkat pendidikan SMA. Jumlah responden yang menyatakan memiliki tingkat pengetahuan rendah adalah 1 responden dengan tingkat pendidikan SMA. Tabel 4. Tabulasi silang tingkat pendidikan responden dengan tingkat pengetahuan tentang antibiotik chloramphenicol. Jumlah responden yang menyatakan memiliki Tingkat pengetahuan tentang pendidikan Total antibiotik chloramphenicol responden di PT.MGM Tinggi Sedang Rendah SD SMP SMA DIPLOMA Total Presentase
0 14 15 1 30 75 %
1 5 3 0 9 22.5 %
0 0 1 0 1 2.5 %
1 19 19 1 40
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa mayoritas responden menyatakan memiliki pengetahuan tinggi tentang antibiotik chloramphenicol, baik responden dengan tingkat pendidikan SD, SMP, SMA dan Diploma. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa sebagian besar (75%) karyawan menganggap dirinya mengerti tentang apa yang dimaksud dengan antibiotik chloramphenicol. Tabel 5 memperlihatkan hasil survei bahwa responden yang menyatakan memiliki tingkat pengetahuan tinggi tentang SSOP adalah 19 responden dari unit produksi sortir, 12 responden dari unit produksi mixing, 3 responden dari unit produksi filling, dan 3 responden dari unit produksi lainlain. Jumlah responden yang menyatakan memiliki tingkat pengetahuan sedang tentang SSOP adalah 2 responden dari unit produksi mixing, dan 1 responden dari unit produksi lain-lain.
Tabel 5. Tabulasi silang unit produksi tempat responden bekerja dengan kategori tingkat pengetahuan responden tentang SSOP Jumlah responden yang Unit menyatakan memiliki produksi pengetahuan tentang tempat SSOP karyawan bekerja
Tinggi
Sedang
Sortir Mixing Filling Dll Total Presentase
19 12 3 3 37 92.5 %
0 2 0 1 3 7.5 %
Total
19 14 3 4 40
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa mayoritas responden (92,5%) dari segala unit produksi menyatakan memiliki pengetahuan tinggi tentang SSOP. Oleh karena itu dapat diasumsikan sebagian besar karyawan melaksanakan SSOP tersebut dengan baik. Sehingga jika SSOP telah dilaksanakan dengan baik maka kemungkinan peluang terkontaminasinya produk dari residu chloramphenicol akan lebih kecil. Tabel 6 memperlihatkan hasil survei bahwa responden yang menyatakan memiliki tingkat disiplin baik adalah 19 responden dari unit produksi sortir, 14 responden dari unit produksi mixing, 2 responden dari unit produksi filling, dan 4 responden dari unit produksi lain-lain. Jumlah responden yang menyatakan dirinya kurang disiplin adalah 1 responden dari unit produksi filling.
24
Tabel 6. Tabulasi silang unit produksi tempat responden bekerja dengan kategori tingkat disiplin responden Jumlah responden Unit produksi berdasarkan tempat tingkat disiplin Total karyawan Kurang bekerja Disiplin disiplin Sortir 19 0 19 Mixing 14 0 14 Filling 2 1 3 Dll 4 0 4 Total 39 1 40 Presentase 97.5 % 2.5 % Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa mayoritas karyawan (97,5%) dari berbagai unit produksi merasa memiliki tingkat disiplin yang baik dalam melakukan pekerjaannya. Dapat diasumsikan bahwa dengan tingkat disiplin yang baik, karyawan dapat mengurangi kemungkinan kontaminasi yang dilakukan oleh pekerja. Tabel 7 memperlihatkan hasil survey bahwa responden yang menyatakan memiliki tingkat pengetahuan tinggi tentang antibiotik chloromphenicol adalah 17 responden dari unit produksi sortir, 10 responden dari unit produksi mixing, 2 responden dari unit produksi filling, dan 1 responden dari unit produksi lainlain. Jumlah responden yang menyatakan memiliki tingkat pengetahuan sedang tentang antibiotik chloromphenicol adalah 2 responden dari unit produksi sortir, 3 responden dari unit produksi mixing, 1 responden dari unit produksi filling, dan 3 responden dari unit produksi lainlain. Jumlah responden yang menyatakan memiliki tingkat pengetahuan rendah tentang antibiotik chloromphenicol adalah 1 dari unit produksi mixing.
Tabel 7. Tabulasi silang unit produksi tempat responden bekerja dengan kategori tingkat pengetahuan responden tentang antibiotik chloramphenicol Jumlah responden yang Unit menyatakan memiliki produksi pengetahuan tentang tempat antibiotik chloramphenicol karyawan bekerja Tinggi Sedang Rendah Sortir Mixing Filling Dll Total Presentase
17 10 2 1 30 75 %
2 3 1 3 9 22.5 %
0 1 0 0 1 2.5 %
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa mayoritas responden dari segala unit produksi menyatakan memiliki tingkat pengetahuan tinggi tentang antibiotik chloramphenicol. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa sebagian besar (75%) responden dari semua unit produksi menganggap dirinya mengerti tentang apa yang dimaksud dengan antibiotik chloramphenicol. Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa dilihat dari pendidikan dan unit produksi, mayoritas responden telah memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi tentang SSOP. Dapat dikatakan bahwa responden telah mengerti, memahami SSOP secara baik dan benar. Menurut Winarno (2004), penerapan SSOP yang baik dan benar akan menjaga keamanan pangan dan mutu pada produk yang dihasilkan oleh industri pangan. Penerapan SSOP yang baik dan benar juga merupakan salah satu persyaratan untuk mendapatkan sertifikasi HACCP (Hazzard Analysis Critical Control Points) yang notabene harus dimiliki oleh setiap industri pangan hasil laut (seafood) untuk produk ekspor. Berdasarkan tingkat pendidikan dan unit produksi, mayoritas responden telah memiliki tingkat displin yang baik dengan melaksanakan SSOP yang
25
Total
19 14 3 4 40
berlaku di perusahaan. Untuk tingkat pengetahuan responden tentang chloramphenicol, mayoritas responden memiliki tingkat pengetahuan tentang chloramphenicol tinggi. Akan tetapi dari segi pengetahuan terhadap antibiotik sebenarnya mereka tidak begitu paham benar apa itu chloramphenicol dan bahayabahayanya. Hal ini dilihat dari jawaban yang diberikan melalui pertanyaan terbuka pada kuisioner seperti pada pertanyaan D nomor 3 pada Lampiran 4, banyak responden yang menjawab akibat residu chloramphenicol adalah dapat menyebabkan kanker dan daya tahan tubuh terganggu. Menurut Saparinto (2002), chloramphenicol dapat dikhawatirkan menyebabkan kematian jika dikonsumsi oleh manusia pada penderita anemia yang berlanjut ke leukimia (aplastic anemia). Dengan demikian diperlukan sosialisasi yang lebih mendalam pada pekerja tentang pengetahuan akan pentingnya meminimalisasikan residu chloramphenicol pada daging rajungan. Berdasarkan hasil kuesioner yang disajikan pada Tabel 3, Tabel 4, Tabel 5, Tabel 6 dan Tabel 7 dapat disimpulkan bahwa pada umumnya para pekerja pabrik menjalankan pekerjaannya dengan memperhatikan aspek sanitas karena mereka paham tentang SSOP dan disiplin dalam bekerja. Para pekerja pabrik pada umumnya juga paham dengan antibiotik chloramphenicol dan bahayanya jika terdapat pada daging rajungan. Dengan demikian kemungkinan penyebab terjadinya kontaminasi antibiotik chloramphenicol pada daging rajungan adalah pekerja pada pemasok bahan baku. Hal ini dapat dilihat dari data hasil analisis daging rajungan yang dipasok suplier (Tabel 8).
3. Bahan Baku Bahan baku yang digunakan berupa daging rajungan yang diterima dari beberapa suplier. Beberapa suplier ini dibagi menjadi 2 kategori yaitu suplier yang baik dan suplier yang kurang baik. Suplier yang baik dinilai dari rendahnya atau tidak terdeteksinya kadar residu chloramphenicol di dalam daging rajungan, sedangkan suplier yang kurang baik dinilai dari daging yang dipasok memiliki kadar residu chloramphenicol yang melebihi standar yang telah ditentukan. Walaupun pihak suplier mengetahui akan bahaya chloramphenicol, namun beberapa dari mereka tidak mematuhi peraturan yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu pentingnya pembagian zona-zona pada suplier sehingga dapat dilihat mana suplier yang dapat dikatakan aman dari residu chloramphenicol, mana suplier yang mendekati batas maksimal residu chloramphenicol, dan mana suplier yang melewati batas maksimal residu chloramphenicol. Tabel 8 menunjukkan data suplier berdasarkan zona-zona yang telah diuraikan di atas. Suplier yang telah memenuhi batas maksimal residu chloramphenicol ditandai dengan zona berwarna hijau atau zona aman dengan kadar residu <0,20 ppb. Suplier yang mendekati batas maksimal residu chloramphenicol ditandai dengan zona berwarna kuning atau zona waspada dengan kadar residu 0,200,25 ppb. Suplier yang melewati batas maksimal residu chloramphenicol ditandai dengan zona berwarna merah atau zona tidak aman dengan kadar residu >0,25 ppb.
26
Tabel 8. Data analisis residu chloramphenicol tanggal 26 Mei 2006 pada daging rajungan segar dari suplier Residu Nama Suplier chloramphenicol (ppb) Suplier 1 0,042 Suplier 2 0,078 0,084 Suplier 3 0,086 0,033 Suplier 4 0,083 0,131 Suplier 5 0,075 0,034 0,054 0,051 0,060 Suplier 6 (Plant 1) 0,054 0,031 0,112 0,022 0,028 0,048 Suplier 6 (Plant 2) 0,160 0,126 0,051 1,202 Suplier 6 (Plant 3) 0,678 0,210 0,112 0,338 Suplier 6 (Plant 4) 0,048 0,128 0,051 Suplier 7 0,078 0,049 Suplier 8 0,028 Suplier 9 0,098 Suplier 10 0,063 Dari data di atas dapat dilihat bahwa daging rajungan yang dipasok oleh suplier 6 harus diwaspadai terutama yang berasal dari plant 3 karena telah melewati batas maksimal residu chloramphenicol. Akan tetapi mayoritas suplier telah memenuhi
batas aman residu chloramphenicol. Pengaplikasian penentuan zona suplier di perusahaan harus dilakukan secara rutin sehingga pihak perusahaan dapat mengetahui suplier-suplier mana saja yang termasuk ke dalam zona aman, dan dapat mewaspadai suplier-suplier yang sering berada di zona merah maupun kuning. VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN PT. Mina Global Mandiri melakukan analisis residu antibiotik chloramphenicol pada setiap daging rajungan yang dipasok serta pada produk akhir. Sampel-sampel yang terdapat pada hasil analisis terdiri dari sampel produk akhir, sampel retest dan sampel daging dari pemasok. Berdasarkan analisis bagan kendali I-MR pada keempat jenis produk rajungan, dapat disimpulkan bahwa mutu yang berdasarkan jumlah residu chloramphenicol masih dalam standar perusahaan dan proses tidak terkendali karena masih terdapat titik yang berada di luar batas atas. Namun pada produk special dapat dikatakan proses dalam keadaan terkendali karena tidak ada titik yang berada di luar batas atas dan bawah. Pada produk claw meat, terdapat dua titik yang melebihi standar yang ditetapkan oleh perusahaan. Terdapatnya produk yang melebihi standar perusahaan akan merugikan perusahaan karena harus dilakukan pengulangan proses dan membutuhkan biaya operasional tambahan. Diagram sebab akibat merupakan diagram yang diperoleh dengan cara observasi dan wawancara. Dari diagram sebab akibat ini dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor utama yang mungkin mengakibatkan tingginya residu chloramphenicol pada produk rajungan adalah pekerja pabrik, metode analisis dan bahan baku. Dari data hasil kuisioner yang dibagikan dapat disimpulkan bahwa pada umumnya responden (pekerja) mengerti tentang SSOP, bekerja dengan disiplin dan mengerti tentang antibiotik chloramphenicol. Dapat diasumsikan bahwa pihak manajemen perusahaan
27
telah melakukan tindakan pencegahan terhadap kontaminasi residu antibiotik chloramphenicol di internal perusahaan dengan baik. Faktor yang terbesar yang mempengaruhi tingginya residu ini adalah berasal dari bahan bakunya. Bahan baku berupa daging rajungan yang berasal dari pemasok. Pemasok mempunyai peranan penting untuk menyediakan bahan baku yang dibutuhkan perusahaan. Pihak pemasok memiliki standar tersendiri dalam mengeluarkan produknya. Pihak manajemen perusahaan sulit untuk mengendalikan pemasok. Hal ini dikarenakan pihak pemasok masih memegang kendali akan bahan baku yang dibutuhkan perusahaan. B. SARAN Pekerja membawa peranan penting pada produk yang dihasilkan. Diperlukan komitmen yang tinggi dalam bekerja dengan memperhatikan perlunya menjaga mutu dari proses agar proses dapat berjalan dengan baik. Kesadaran akan mutu karyawan harus ditingkatkan serta peningkatan keahlian pekerja dengan jalan memberikan pelatihan-pelatihan bagi karyawan akan meningkatkan motivasi dan kedisiplinan karyawan. Pelatihan yang dilakukan harus efektif dan efisien. Efektif dan efisien yang dimaksud adalah situasi pelatihan yang mengharapkan semua karyawan memahami dan mengerti akan materimateri yang disampaikan dalam pelatihan. Cara yang sederhana adalah mengadakan pelatihan dengan jumlah peserta pelatihan yang tidak terlalu banyak dan membuat kelompokkelompok. Sehingga materi dapat disampaikan dengan efektif. Pelatihan diberikan secara rutin minimal 1 bulan sekali. Hal ini dimaksudkan mengingat tingkat pendidikan pekerja yang rendah. Perusahaan dapat menggunakan teknik sampling statistik untuk penarikan sampel produk yang akan dianalisis residu chloramphenicolnya. Dengan menggunakan teknik sampling tersebut maka produk yang dianalisis lebih dapat diterima dan dapat mewakili mutu produk yang dihasilkan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Untuk lebih meningkatkan keakuratan dan ketelitian peralatan untuk analisis, sebaiknya melakukan kalibrasi alat secara rutin. Laboran disarankan selalu mempersiapkan peralatan analisis yang sudah siap untuk digunakan. Kebersihan peralatan analisis juga harus diperhatikan. Suhu ruangan analisis diusahakan stabil karena bahan-bahan reaksi sangat sensitif terhadap perubahan suhu. Faktor utama penyebab dari tingginya residu chloramphenicol adalah karena asal bahan baku yang sudah memiliki residu yang tinggi. Disarankan pada pihak manajemen perusahaan menandai pemasok mana saja yang memiliki masalah terhadap residu ini dengan mengelompokkannya menjadi zona-zona tertentu. Misalkan untuk zona hijau yang residunya selalu jauh di bawah standar, zona kuning yang residunya hampir mendekati standar serta zona merah yang residunya selalu melebihi standar. Dapat dilakukan pula pencampuran daging antara pemasok yang telah diketahui tinggi residunya dengan pemasok yang rendah residunya. Diusahakan perbandingan jumlah banyaknya daging lebih banyak yang rendah residunya. Perlunya teknik brainstorming secara rutin dilakukan oleh pihak manajemen perusahaan. Dengan menggunakan teknik ini, kita dapat mengidentifikasikan dan mengurangi penyebab-penyebab terjadinya masalah yang terdapat pada proses produksi.
28
DAFTAR PUSTAKA 2003/181/EC: Commission Decision of 13 March 2003 Amending Decision 2002/657/EC as Regards the Setting of Minimum Required Performance Limits (MRPLs) For Certain Residues in Food of Animal Origin, Official Document C (2003) 0077. Di dalam: Scrotichini, G. et. Al. 2005. ELISA qualitative screening of chloramphenicol in muscle, eggs, honey and milk: method validation according to the Commission Decision 2002/657/EC criteria. www.sciencedirect.com Afrianto dan Liviawaty. 1992. Pemeliharaan Kepiting. Kanisius, Jakarta Anonim
a. 2006. en.wikipedia.org/wiki/Chloramphe nicol. [6 Februari 2006]
Anonim b. 2006. http://www.minitab.com [12 Juni 2006]. Anonim c. 2006. Sodium Acid Pyrophosphate (Na2H2P2O7). http://food. oregonstate.edu/glossary/s.html [19 Juli 2006] Anonim d. 2006. www.pom.go.id/public/hukum_per undangan/pdf/Regulation no. 722 n food additives.pdf [12 Juli 2006] Ariani, D.W. 1999. Manajemen Kualitas. Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta. BBPMHP. 1995. Petunjuk Teknis Pengolahan Kepiting dan Rajungan. Balai Bimbingan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan, Jakarta. Cazemier, G. Haasnoot, W. And Stouten, P. 1996. Screening of Chloramphenicol in Urine, Tissue, Milk and Eggs in Consquence of Prohibitive Regulation. Proceedings Euroresidue III, Eds. N. Haagsma and A. Ruiter, hal. 315 Claus, James. R., Jhung-Won Colby dan George J. Flick. 1994. Processed
Meat/Poultry/Seafood. Di dalam: Klinsman, D. M. et. Al. (ed). Muscle Food, Meat Poultry and Seafood Technology. Champman and Hall, New York-London Crowther, Jhon. R. 1995. ELISA: Theory and Practice. Humana Press, Totowa-New Jersey Cockey, R. R. dan Tuu-jyi-chai. 1994. Processed Meat/ Poultry/Seafood. Di dalam Klinsman, D.M. et. Al. (ed.). Muscle Food, Meat Poultry and Seafood Technology. Champman and Hall, New YorkLondon. Dixon-Holland, Deborah E. 1992. Elisa and Its Application For Residue Analysis Of Antibiotics and Drugs in Products Of Animal Origin. Di dalam Agarwal, Vipin K (ed). Analysis of Antibiotic/Drug Residues in Food Products of Animal Origin. Plenum Press, New York-London. Ensiklopedia Indonesia. Vol. 5. Ichtiar Baru Van Hoeve dan Elsevier Publishing Project, Jakarta. Hal 2837. Fryman, M. A. 2002. Quality and Process Improvement. Delmar, Thomson Learning, Inc., United States of America. Gaspersz, V. 1998. Statistical Process Control, Penerapan Teknik-Teknik dalam Manajemen Bisnis Total. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. John, Peter. W. Meredith. 1990. Statistical Methods In Engineering And Quality Assurance. John Willey and Son, Inc,. New York. Ishikawa, K. 1989. Teknik Penuntun Pengendalian Mutu (terjemahan). Mediatama Sarana Perkasa, Jakarta. Mar-Less. 2006. Seafood 101: Pasteurized Crab Meat. http://www.marlees.com/crabs_101 .html. [19 Juli 2006] Montgomery, D.C. 1998. Introduction to Statistical Quality Control. Jhon Wiley & Sons, Arizona.
29
Muchtadi, Tien R. dan Sugiyono. 1992. Petunjuk Laboratorium Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. PAU Pangan dan Gizi. IPB, Bogor.
Zinski, Steven C. 2005. http://www.bluecrab.org/anatomy.html. [6 Februari 2006]
Muhandri, T. dan Darwin Kadarisman. 2005. Sisitem Jaminan Mutu Pangan. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Neuhaus, Barbara K, Jeffrey A. Hurlburt, dan Walter Hammack. 2002. LC/MS/MS Analysis of Chloramphenicol in Shrimp. Laboratory Information Buletin No. 4290 (www.cfsan.fda.gov/~frf/lib4290.ht ml) Philips Seafood. 2005. Grades of Crab Meat. (http://whirlwind.phillipsseafood.ne t/index.cfm?fa=iPa.page&page_id= 23) R-Biopharm. 2006. RIDASCREEN® Chloramphenicol: Enzyme Immunoassay for the quantitative analysis of chloramphenicol. Rbiopharm, Germany Roybal, J. E. 1998. Chloramphenicol and Related Drugs. di dalam Turnipseed, S.B dan A.R Long (ed). Analytical Procedures for Drug Residues in Food of Animal Origin. Science Technology System, Sacramento (CA) Saparinto, Cahyo. 2002. www.suaramerdeka.com/harian/02 09/14/ragam1.htm. [31 Januari 2006] Sudjana. 1996. Metoda Statistika Untuk Bidang: Biologi, Farmasi, Geologi, Industri, Fisika, Teknik, Kedokteran, Pendidikan dan Sosiologi Edisi ke 6. Tarsito, Bandung. Wayworld. 2001. Statistical Process Control. www.wayworld.com, Wayworld Inc. [20 Mei 2006] Winarno, F. G. 2004. Keamanan Pangan, Jilid 1. M-brio Press. Jakarta.
30
31
32
Lampiran 2. Bagan alir persiapan sampel (r-Biopharm, 2006)
Sampel 75 g dihomogenisasi (halus) 3 gr sampel + spiking 500 ppt chloramphenicol 30 μl+ Etil asetat 6 ml
3 g sampel + Etil asetat 6 ml
Pengocokan 10’ Sentrifugasi 2000 RPM, 10’ (RT/Room Temperature)
Supernatan 2 ml
Etil asetat 6 ml (tanpa sampel)
Pengeringan di atas waterbath 500 C (dengan dialirkan gas N2)
+ 1ml isooctane : chloroform (2:3), divortex + 1 ml buffer 1, divortex Jika terbentuk emulsi dilakukan pemanasan di waterbath 800 C, 5’ Sentrifugasi 3000 RPM, 10’ (RT) Supernatan 50 μl dan masukkan ke dalam well
Analisis ELISA
33
Lampiran 3. Diagram alir analisis ELISA (r-Biopharm, 2006) Langkah 1: Pembuatan larutan standar dan larutan conjugate-antibodi Larutan standar Konsentrasi Standar Larutan Penambahan yang standar concentrate buffer 1 setelah harus standar (μl) pengenceran dipipet (ppt) (ppt) (μl) Std 1 : 0 50 450 0 Std 2 : 500 50 450 50 Std 3 : 50 450 150 1500 Std 4 : 50 450 450 4500 Std 5 : 50 450 1350 13500 Std 6 : 50 450 4050 40500 Pembuatan larutan conjugate-antibodi Conjugate
200 μl + 2 ml buffer 1
+ 2 ml buffer 1
Diagram
alir
Langkah 2: Analisis ELISA Dimasukkan well ke dalam frame holder (jumlah well disesuaikan dengan jumlah sampel) Dimasukkan 50 μl larutan standar ke dalam well
Ket: campuran larutan ini cukup untuk 4 strip atau 32 well
(Tandai sebagai standar)
Dimasukkan sebanyak 50 μl larutan sampel ke dalam well yang masih kosong (Tandai sebagai sampel) Penambahan 50 μl larutan conjugate ke masing-masing well Penambahan 50 μl larutan antibody ke masing-masing well Inkubasi 2 jam, 20-250 C dalam keadaan tertutup
Cuci well dengan air bebas ion sebanyak 250 μl selama 3 kali, dikeringkan dengan cara dibalik
Antibody
200 μl
Lampiran 3(lanjutan). analisis ELISA
Penambahan 50 μl substrat, 50 μl chromogen ke masing-masing well Inkubasi 30 menit, 20-250 C dalam keadaan tertutup
+ 100 μl stop solution ke dalam masing-masing well Pembacaan dengan menggunakan microtitter reader pada λ 450 nm
34
Lampiran 4. Kuesioner penelitian KUISIONER PENELITIAN TINGKAT PENGARUH TINGGINYA RESIDU CHLORAMPHENICOL Saya Yudhan Nur Akhmadi, mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor (IPB), sedang melakukan penyusunan laporan magang di PT.Mina Global Mandiri, Purwakarta. Saya mohon kesediaan anda untuk meluangkan waktu mengisi kuisioner ini secara lengkap dan jujur. Kerahasian anda sebagai responden terjamin. Atas bantuan dan kerjasamanya, saya ucapkan terimakasih. A. Identitas Responden No..........(Diisi oleh peneliti) Usia : ………………Tahun Tingkat Pendidikan : a. SD b. SMP c. SMA d. Diploma Unit produksi : a. Sortir b. Mixing c. Filling ……………(lainnya) Jabatan : ……………………
e. S1 e.
B. Tingkat Pengetahuan Responden Tentang SSOP(Sanitation Standard Operating Procedure) atau Prosedur Standar Operasional Kebersihan 1. Apakah anda mengerti apa yang dimaksud dengan SSOP? a. Ya b. Tidak c. Ragu-ragu 2. Apakah ditempat anda bekerja saat ini telah terdapat SSOP? a. Ya b. Tidak c. Ragu-ragu (Jika anda menjawab tidak, silahkan langsung menjawab pertanyaan pada bagian C) 3. Apakah anda mengetahui tujuan dari dibuatnya SSOP? a. Ya (Jika Ya, sebutkan salah satunya) ......................................................................................... b. Tidak c. Ragu-ragu 4. Apakah anda tahu isi dari SSOP yang ada? a. Ya (Jika Ya, sebutkan salah satunya) ......................................................................................... b. Tidak c. Ragu-ragu 5. Apakah SSOP yang terdapat di perusahaan dapat anda terapkan dengan baik? a. Ya b. Tidak c. Ragu-ragu 6. Apakah SSOP yang ada cukup efektif dan efisien? a. Ya b. Tidak c. Ragu-ragu 7. Apakah SSOP yang ada telah disosialisakan dengan baik kekaryawan? a. Ya b. Tidak c. Ragu-ragu
C. Tingkat Disiplin Karyawan Berilah tanda cheklist (√) sesuai dengan jawaban anda No
Pernyataan
1. 2.
Apabila sedang sakit, saya tetap akan bekerja Anggota badan saya terluka pada saat saya bekerja Apabila terluka pada saat bekerja, saya diamkan saja hingga luka sembuh dengan sendirinya Apabila terluka pada saat bekerja, saya akan langsung mengobatinya Apabila terluka pada saat bekerja, saya akan membersihkannya dengan alkohol dan/atau klorin Saya menggunakan obat betadin atau obat merah
3. 4. 5. 6.
Selalu
Sering
Kadang Jarang kadang
35
Tidak pernah
7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
untuk mengobati luka Saya menggunakan pembalut luka atau plester untuk mengobati luka Saya menggunakan salep untuk mengobati luka Saya menggunakan kosmetik (lipstik, bedak, eye shadow dan lain-lain) pada saat akan bekerja Saya menggunakan parfum pada saat akan bekerja Saya menggunakan minyak rambut pada saat akan bekerja Saya mencuci tangan terlebih dahulu pada saat akan bekerja Saya mencuci muka terlebih dahulu pada saat akan bekerja
D. Tingkat Pengetahuan Responden Tentang Antibiotik Chloramphenicol 1. Apakah anda mengetahui apa itu antibiotik chloramphenicol? a. Ya b. Tidak c. Ragu-ragu 2. Apakah anda mengetahui tentang standar tingkat keamanan residu antibiotik chloramphenicol? a. Ya b. Tidak c. Ragu-ragu 3. Apakah anda mengetahui efek samping dari adanya residu antibiotik chloramphenicol? a. Ya (Jika Ya, sebutkan salah satunya) ......................................................................................... b. Tidak c. Ragu-ragu 4. Apakah anda mengetahui faktor-faktor sumber penyebab kontaminasi antibiotik chloramphenicol pada daging rajungan? a. Ya (Jika Ya, sebutkan salah satunya) ......................................................................................... b. Tidak c. Ragu-ragu 5. Apakah anda mengetahui jika anda merupakan salah satu dari faktor sumber penyebab kontaminasi antibiotik chloramphenicol pada daging rajungan? a. Ya b. Tidak c. Ragu-ragu 6. Apakah anda menyadari jika anda telah bebas dari sumber penyebab kontaminasi residu antibiotik chloramphenicol? a. Ya b. Tidak c. Ragu-ragu 7. Pernahkah dilakukan sosialisasi tentang pentingnya tingkat kontaminasi residu antibiotik chloramphenicol di perusahaan anda? a. Ya b. Tidak c. Ragu-ragu
36
Lampiran 5. Contoh form hasil analisis ELISA
37
Lampiran 5 (Lanjutan). Contoh form hasil analisis ELISA
38
Lampiran 5 (Lanjutan). Contoh form hasil analisis ELISA
39
Lampiran 6. Konstanta bagan kendali
Ukuran sampel (n) 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 Sumber : Fryman (2002)
Bagan kendali R D3 0 0 0 0 0 0.076 0.136 0.184 0.223 0.256 0.283 0.307 0.328 0.347 0.363 0.378 0.391 0.403 0.415 0.425 0.434 0.443 0.451 0.459
D4 3.269 2.574 2.282 2.114 2.004 1.924 1.864 1.816 1.777 1.744 1.717 1.693 1.672 1.653 1.637 1.622 1.608 1.597 1.585 1.575 1.566 1.557 1.548 1.541
Bagan kendali X-bar A2 1.880 1.023 0.729 0.577 0.483 0.419 0.373 0.337 0.308 0.285 0.266 0.249 0.235 0.223 0.212 0.203 0.194 0.187 0.180 0.173 0.167 0.162 0.157 0.153
Simpangan baku proses d2 1.128 1.693 2.059 2.326 2.534 2.704 2.847 2.970 3.078 3.173 3.258 3.336 3.407 3.472 3.532 3.588 3.640 3.689 3.735 3.778 3.819 3.858 3.895 3.931
c4 0.7979 0.8862 0.9213 0.9400 0.9515 0.9594 0.9650 0.9693 0.9727 0.9754 0.9776 0.9794 0.9810 0.9823 0.9835 0.9845 0.9854 0.9862 0.9869 0.9876 0.9882 0.9887 0.9892 0.9896
d3 0.853 0.888 0.880 0.864 0.848 0.833 0.820 0.808 0.797 0.787 0.778 0.770 0.763 0.756 0.750 0.744 0.739 0.734 0.729 0.724 0.720 0.716 0.712 0.708
40
Lampiran 7. Data analisis residu chloramphenicol pada produk akhir pengolahan daging rajungan Tanggal Produksi 15-Mar-06 16-Mar-06 18-Mar-06 19-Mar-06 20-Mar-06 21-Mar-06 22-Mar-06 23-Mar-06 24-Mar-06 25-Mar-06 27-Mar-06 28-Mar-06 29-Mar-06 31-Mar-06 01-Apr-06 03-Apr-06 04-Apr-06 05-Apr-06 06-Apr-06 07-Apr-06 08-Apr-06 11-Apr-06 12-Apr-06 13-Apr-06 14-Apr-06 17-Apr-06 18-Apr-06 19-Apr-06 21-Apr-06 22-Apr-06 23-Apr-06 25-Apr-06 26-Apr-06 27-Apr-06 28-Apr-06 29-Apr-06 30-Apr-06 02-Mei-06 23-Mei-06
Residu Chloramphenicol Berdasarkan Jenis Daging (ppb) Super Lump Backfin Claw Meat Spesial No No No No 1 0,034 1 0,034 1 0,038 * * 2 0,048 2 0,096 2 0,054 * * 3 0,008 3 0,019 3 0,023 * * 4 0,006 4 0,010 4 0,007 * * 5 0,041 5 0,004 5 0,005 * * 6 0,024 6 0,042 6 0,041 * * 7 0,024 7 0,040 7 0,023 * * 8 0,016 8 0,166 8 0,011 * * 9 0,078 9 0,023 9 0,048 * * 10 0,000 10 0,031 10 0,048 * * 11 0,031 11 0,070 11 0,028 * * 12 0,000 12 0,036 12 0,031 * * 13 0,052 13 0,032 13 0,054 1 0,095 14 0,008 14 0,000 14 0,001 2 0,017 15 0,000 * * 15 0,046 3 0,046 16 0,044 15 0,016 16 0,086 4 0,178 17 0,026 16 0,060 17 0,070 5 0,150 18 0,032 17 0,074 18 0,205 6 0,014 19 0,056 18 0,060 19 0,051 * * 20 0,074 * * 20 0,106 7 0,088 21 0,043 19 0,078 21 0,036 8 0,021 * * 20 0,169 22 0,200 9 0,132 * * 21 0,100 23 0,066 * * 22 0,164 22 0,150 24 0,166 10 0,157 23 0,192 23 0,232 25 0,264 11 0,038 24 0,200 24 0,233 26 0,124 12 0,142 25 0,045 25 0,061 27 0,034 13 0,017 26 0,051 26 0,027 28 0,046 14 0,027 27 0,036 27 0,052 29 0,048 15 0,128 28 0,096 28 0,010 30 0,092 16 0,063 29 0,000 29 0,000 31 0,000 17 0,000 30 0,000 * * 32 0,000 18 0,000 31 0,000 * * 33 0,000 * * 32 0,110 * * 34 0,070 * * 33 0,016 30 0,022 35 0,008 * * 34 0,014 * * 36 0,040 19 0,061 35 0,032 * * 37 0,092 20 0,000 36 0,041 * * 38 0,373 21 0,047 37 0,017 31 0,108 39 0,034 22 0,031
41
Lampiran 7 (Lanjutan). Data analisis residu chloramphenicol pada produk akhir pengolahan daging rajungan 24-Mei-06 38 0,082 32 0,031 40 0,178 23 26-Mei-06 39 0,030 33 0,070 41 0,080 24 27-Mei-06 40 0,029 34 0,029 42 0,000 25 28-Mei-06 41 0,000 35 0,130 43 0,140 26 30-Mei-06 42 0,000 36 0,138 44 0,001 27 (*) Produk tidak diproduksi
0,069 0,090 0,000 0,160 0,110
42
Lampiran 8. Panduan dalam teknik pipeting
1. Hindari tetesan
3. Jangan menekan tips hingga masuk ke dalam larutan
2. Hindari penggunaan sudut yang terlalu tajam
4. Pastikan ujung tips menyentuh sisi dari sumur dan larutan
Multi-channel pipetting
Periksa ketinggian sampel Periksa apakah ada gelembung Periksa apakah ada lubang tips yang terhalang • •
Isi pipet hingga perhentian pertama Keluarkan isi pipet hingga perhentian pertama
43
Lampiran 9. Tabel t-hitung
df\p
0.90
0.95
0.975
0.99
0.995
1
3.078
6.314
12.706
31.821
63.657
2
1.886
2.920
4.303
6.965
9.925
3
1.638
2.353
3.182
4.541
5.841
4
1.533
2.132
2.776
3.747
4.604
5
1.476
2.015
2.571
3.365
4.032
6
1.440
1.943
2.447
3.143
3.707
7
1.415
1.895
2.365
2.998
3.499
8
1.397
1.860
2.306
2.896
3.355
9
1.383
1.833
2.262
2.821
3.250
10
1.372
1.812
2.228
2.764
3.169
11
1.363
1.796
2.201
2.718
3.106
12
1.356
1.782
2.179
2.681
3.055
13
1.350
1.771
2.160
2.650
3.012
14
1.345
1.761
2.145
2.624
2.977
15
1.341
1.753
2.131
2.602
2.947
16
1.337
1.746
2.120
2.583
2.921
17
1.333
1.740
2.110
2.567
2.898
18
1.330
1.734
2.101
2.552
2.878
19
1.328
1.729
2.093
2.539
2.861
20
1.325
1.725
2.086
2.528
2.845
21
1.323
1.721
2.080
2.518
2.831
22
1.321
1.717
2.074
2.508
2.819
23
1.319
1.714
2.069
2.500
2.807
24
1.316
1.708
2.060
2.485
2.787
25
1.316
1.708
2.060
2.485
2.787
26
1.315
1.706
2.056
2.479
2.779
27
1.314
1.703
2.052
2.473
2.771
28
1.313
1.701
2.048
2.467
2.763
29
1.310
1.697
2.042
2.457
2.750
30
1.310
1.697
2.042
2.457
2.750
∞
1.282
1.645
1.960
2.326
2.576
(John, 2000)
44