JURNAL KEDOKTERAN INDONESIA, VOL. 1/NO. 1/JANUARI/2009
Skor Pediatric Risk of Mortality III (Prism III) Sebagai Prediktor Mortalitas Pasien di Ruang Rawat Intensif Anak RSUD Dr. Moewardi Surakarta Pediatric Risk of mortality (PRISM III) Score as a Predictor of Mortality among Patients at The Intensive Pediatric Inpatient Care Unit at Dr. Moewardi Hospital Surakarta Mayasari Dewi UPF Anak RSUD Dr. Soetrasno Rembang
ABSTRACT Background: Mortality can be predicted from a score system for patient in pediatric intensive care unit. The score system in each intensive care unit is different. It depends on human resources and facilities. PRISM III score is the most common score system. The objective of this study is to predict patient’s mortality in pediatric intensive care unit using PRISM III and to obtain the best PRISM III cut off point. Methods: A cohort study was conducted in pediatric intensive care unit Dr. Moewardi Hospital Surakarta from August 2008 – February 2009 with 80 samples. In the first 24 hours all of the patients had 17 examinations from PRISM III score. The patients received standard treatment, then was followed until they was discharged from pediatric intensive care unit (death/alive). Results: The results showed that surgery cases were about 57.5% and non surgery cases were 42.5%. The best cut off point PRISM III score was 8. Cox regression analysis demonstrated that patients with PRISM III score 8 had 3.5 mortality risk than PRISM III score < 8. Survival rate patients with PRISM III score 8 was lower than PRISM III score < 8. Conclusion: PRISM III score can be used as a predictor of mortality for patient in pediatric intensive care unit Dr. Moewardi Hospital Surakarta and the best cut-off point PRISM III is 8. Jurnal Kedokteran Indonesia: 1 (1): 40-48 Keywords: pediatric intensive care unit, PRISM III, mortality
PENDAHULUAN Kebutuhan akan pelayanan perawatan di ruang rawat intensif anak meningkat pada akhir abad ke-20, kirakira dalam dekade 1970-an dan 1980-an (Gemke, 1994). Perkembangan tersebut diikuti oleh kemajuan yang pesat dari terapi medis dan tehnologi di bidang gawat darurat. Harapan bagi para klinisi dari kemajuan tersebut adalah menurunnya angka mortalitas, sehingga penelitian mengenai mortalitas selalu dilakukan berulang-ulang sebagai evaluasi. Penelitian yang menjadi tantangan bagi para intensivis adalah bagaimana memprediksi mortalitas atau analisis hasil pada pasien yang dirawat di ruang rawat intensif anak dimana hal tersebut berhubungan dengan keagresifan terapi yang diberikan, kelengkapan sarana dan prasarana serta biaya yang dikeluarkan (Fisher, 1996)
40
Ruang rawat intensif anak RSUD Dr. Moewardi Surakarta (RSDM) mengelola 683 kasus selama Januari 2006 sampai Desember 2007. Terdapat 33.5% pasien (229 pasien) dirawat karena sepsis dan sebanyak 50.2% dari jumlah tersebut meninggal dunia (Pudjiastuti, 2008). Prediksi mortalitas banyak dilakukan di ruang rawat intensif anak di rumah sakitrumah sakit berbagai negara dan hasilnya berbedabeda tergantung dari derajat berat penyakit, sumber daya manusia serta sarana yang dimiliki oleh tiap rumah sakit. Salah satu alat ukur yang dipakai untuk memprediksi mortalitas adalah menggunakan sistem skoring. Berbagai macam penelitian menggunakan sistem skoring telah dilakukan di dalam maupun di luar negeri seperti Pediatric Index of Mortality (PIM) maupun Pediatric Risk of Mortality (PRISM) (Choi, 2005). Penelitian yang dilakukan di Mesir
DEWI/ SKOR PEDIATRIC RISK OF MORTALITY III (PRISM III) SEBAGAI PREDIKTOR MORTALITAS
menyebutkan bahwa titik potong skor PRISM untuk seorang pasien di ruang rawat intensif anak adalah 26 (El-Nawawy, 2003). Hal tersebut menunjukkan mortalitas akan meningkat bila seorang pasien memiliki skor di atas 26. Penelitian di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung seperti yang disampaikan pada Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak (KONIKA) ke-13 di Bandung yang menggunakan sistem skoring Pediatric Logistic Organ Dysfunction (PELOD) menyimpulkan bahwa semakin tinggi skor PELOD maka mortalitas akan semakin meningkat (Metta, 2005).
CARA KERJA
Penelitian di Rumah Sakit Sardjito Yogyakarta yang disampaikan pada KONIKA ke-14 di Surabaya menyebutkan bahwa skor PRISM III diatas 9 memiliki risiko kematian sebesar 4,65 kali (Yustinah, 2008). Di sini terlihat bahwa setiap rumah sakit memiliki titik potong skor yang berbeda-beda sehingga penelitian ini dapat dilakukan pada setiap rumah sakit yang memiliki ruang rawat intensif anak. Penelitian di Yogyakarta tidak menyebutkan apakah penggunaan ventilator diperhitungkan. Penelitian yang akan dilakukan di ruang rawat intensif rumah sakit Dr. Moewardi Surakarta akan memperhitungkan penggunaan ventilator dalam mencari titik potong PRISM III sebagai prediktor mortalitas pasien.
Setiap pasien yang masuk ke ruang rawat intensif bagian anak ditentukan apakah memenuhi kriteria inklusi. Pencatatan dilakukan terhadap identitas pasien, diagnosis masuk, pemeriksaan fisik dan laboratorik yang kemudian dijumlahkan menurut sistem skoring PRISM III. Hal tersebut dilakukan pada kurun waktu 24 jam pertama sejak pasien dirawat di ruang rawat intensif sehingga didapat skor PRISM III-24. Pasien diikuti perkembangannya sampai keluar dari ruang rawat intensif dalam keadaan hidup atau meninggal. Dilakukan pencatatan kondisi pasien saat keluar dari ruang rawat intensif anak serta lama perawatannya.
Semua anak yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi dilakukan pemeriksaan fisik dan laboratorik. Peneliti mengajukan pertanyaan kepada orangtua atau wali sesuai formulir isian penelitian. Penelitian ini akan dilakukan atas persetujuan dari Komite Etik yang ada di RSUD Dr. Moewardi Surakarta dan persetujuan orangtua atau wali dengan cara menandatangani informed consent. ALUR PENELITIAN
SUBJEK DAN METODE DESAIN PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian kohor prospektif untuk mengetahui hubungan antara skor PRISM III dengan mortalitas pasien di ruang rawat intensif anak. Populasi target pada penelitian ini adalah anak berusia lebih dari 1 bulan dan kurang dari 18 tahun yang dirawat di ruang rawat intensif anak. Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah anak berusia lebih dari 1 bulan dan kurang dari 18 tahun yang dirawat di ruang rawat intensif anak Dr. Moewardi Surakarta antara Agustus 2008 – Januari 2009. Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif dengan kriteria inklusi semua anak berusia 1 bulan dan 18 tahun yang dirawat di ruang rawat intensif anak lebih dari 2 jam dan orangtua/wali menandatangani informed consent penelitian. Kriteria eksklusi penderita pulang paksa.
Gambar 1. Kerangka Penelitian
PENGOLAHAN DATA Data yang didapat dilakukan analisis dengan program SPSS 16.0. Karakteristik dasar subjek (usia, jenis kelamin, dan diagnosis masuk) dideskripsikan dalam
41
JURNAL KEDOKTERAN INDONESIA, VOL. 1/NO. 1/JANUARI/2009
persentase. Variabel bebas dideskripsikan dalam nilai nominal (di bawah titik potong-di atas titik potong). Cara menghitung titik potong menggunakan median. Variabel tergantung dideskripsikan dalam nilai nominal (hidup-meninggal). Untuk menguji pengaruh variabel bebas terhadap variabel tergantung dilakukan uji chi 2 . Apabila tidak memenuhi syarat uji parametrik maka dilakukan uji Fischer. Hasil disebut bermakna jika nilai p < 0.05. Untuk melihat hubungan antara variabel bebas dan variabel tergantung dihitung odds ratio (OR). Analisis kesintasan digunakan memakai metode Kaplan-Meier untuk memperhitungkan waktu terjadinya efek (mortalitas). Data dan hasil analisis statistik ditampilkan secara tekstular, tabel dan diagram.
Usia rerata subjek adalah 48,5 bulan. Usia termuda adalah 1 bulan dan tertua adalah 180 bulan. Usia subjek dibagi menjadi 3 kelompok yaitu usia bayi (1-12 bulan), usia anak (>12 bulan – 144 bulan), dan usia remaja (>144 bulan). Kelompok usia bayi terdapat sebesar 37.5% dari total subjek dengan mortalitas sebesar 36.7%. Kelompok usia anak menempati porsi terbesar dengan 57.5% dari total subjek dengan mortalitas sebesar 43.5%. Kelompok usia remaja paling sedikit diantara ketiganya yaitu hanya sebesar 5% dari total subjek dan seluruhnya meninggal dunia. Usia memiliki hubungan yang berada di ambang batas (borderline) dengan mortalitas subjek (p = 0.056). Tabel 2. Distribusi diagnosis masuk subjek di ruang rawat intensif anak Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta (n = 80)
HASIL-HASIL Penelitian dimulai dari bulan Agustus 2008 sampai Januari 2009 di ruang rawat intensif anak RSDM Surakarta dengan perkiraan besar sampel sejumlah 80 subjek. Pasien yang dirawat selama 6 bulan sebanyak 110 orang. Subjek berasal dari bagian bedah dan bagian non bedah (Anak dan THT). Dari total 80 pasien yang dirawat di ruang rawat intensif anak terdapat 35 pasien meninggal dan 45 pasien hidup. Semua pasien mendapat perawatan sesuai dengan prosedur terapi yang diterapkan di ruang rawat intensif anak. Karakteristik dasar subjek penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik dasar subjek penelitian (n = 80)
Analisis data menunjukkan subjek dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 55% dari total subjek terdapat 43.2% meninggal, sedangkan subjek dengan jenis kelamin perempuan 45% dari total subjek terdapat 44.4% meninggal. Dari hasil perhitungan statistik jenis kelamin tidak memiliki hubungan dengan mortalitas subjek (p = 0.910). 42
Distribusi diagnosis masuk subjek di ruang rawat intensif anak RSDM Surakarta terlihat pada Tabel 2. Kasus dibagi menjadi 2 golongan besar. Kasus bedah terdiri dari kasus bedah digestif, bedah thoraks, dan bedah saraf. Kasus non bedah berasal dari bagian Anak yang terdiri dari gangguan respirasi, gangguan susunan saraf pusat, gangguan gastrointestinal, dengue shock syndrome, dan kasus dari bagian THT. Tabel 3 menunjukkan hubungan nilai rerata hasil pengukuran sampel dengan mortalitas. Nilai rerata tekanan sistolik pada subjek meninggal (94.7 mmHg) lebih rendah dari nilai rerata tekanan sistolik subjek yang hidup (101.5 mmHg). Tekanan sistolik memiliki hubungan yang signifikan dengan mortalitas (t = 1.93; p = 0.057). Nilai rerata denyut jantung pada subjek meninggal (141.2 kali/menit) lebih tinggi dari nilai rerata denyut jantung subjek yang hidup (101.5 kali/ menit). Denyut jantung tidak memiliki hubungan dengan mortalitas (t = -1.44 ; p = 0.152). Nilai rerata suhu pada subjek meninggal (37.5oC) lebih tinggi dari nilai rerata suhu subjek yang hidup (36.4oC). Suhu memiliki hubungan yang sangat signifikan dengan mortalitas (t = -4.52 ; p = <0.001). Nilai rerata GCS pada subjek meninggal (9.5) lebih tinggi dari nilai rerata GCS subjek yang hidup (14.5). GCS memiliki hubungan yang sangat signifikan dengan mortalitas (t = 7.31 ; p = <0.001).
DEWI/ SKOR PEDIATRIC RISK OF MORTALITY III (PRISM III) SEBAGAI PREDIKTOR MORTALITAS
Tabel 3 Hubungan nilai rerata hasil pengukuran sampel dengan mortalitas (n = 80)
a l
=mmHg, b=x/mnt, c=oC, d=mmHg, e=mEq/L, f= mmHg, g= gr/dL, h=mEq/L, i=mg/dL, j=mg/dL, k=/uL, =/uL, m=detik, n=detik
Nilai rerata pH pada subjek meninggal (7,3) lebih tinggi dari nilai rerata pH subjek yang hidup (7.4). pH memiliki hubungan yang signifikan dengan mortalitas (t = 2.26 ; p = 0.026). Nilai rerata PCO2 pada subjek meninggal (35.7 mmHg) lebih tinggi dari nilai rerata PCO2 subjek yang hidup (33.0 mmHg). PCO 2 tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan mortalitas (t = -0.65 ; p = 0.512). Nilai rerata tCO2 pada subjek meninggal (10.8 mEq/L) lebih rendah dari nilai rerata tCO2 subjek yang hidup (13.1 mEq/L). tCO2 memiliki hubungan yang signifikan dengan mortalitas (t = 3.26; p = 0.002). Nilai rerata PaO 2 pada subjek meninggal (10.8 mmHg) lebih rendah dari nilai rerata PaO2 subjek yang hidup (13.1 mmHg). PaO2 tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan mortalitas (t = 3.26 ; p = 0.002). Nilai rerata GDS pada subjek meninggal (111.5 gr/dl) lebih rendah dari nilai rerata GDS subjek yang hidup (122.6 gr/dl). GDS tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan mortalitas (t = 0.91 ; p = 0.364). Nilai rerata kalium pada subjek meninggal (4.4 mEq/L) lebih rendah dari nilai rerata kalium subjek yang hidup (4.2 mEq/L). Kalium tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan mortalitas (t = 1.04 ; p = 0.300). Nilai rerata kreatinin pada subjek meninggal (0.6 mg/dl) lebih tinggi dari nilai rerata kreatinin subjek yang hidup (0.4 mg/dl). Kreatinin memiliki hubungan yang signifikan dengan mortalitas (t = 2.80 ; p = 0.006).
Nilai rerata ureum pada subjek meninggal (36,6 mg/dl) lebih tinggi dari nilai rerata ureum subjek yang hidup (19.9 mg/dl). Ureum memiliki hubungan yang signifikan dengan mortalitas (t = -2.82 ; p = 0.006). Nilai rerata lekosit pada subjek meninggal (13,543.7/uL) lebih tinggi dari nilai rerata lekosit subjek yang hidup (12,314.4/uL). Lekosit tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan mortalitas (t =-0.69 ; p = 0.490). Nilai rerata trombosit pada subjek meninggal (197,285.7/uL) lebih rendah dari nilai rerata trombosit subjek yang hidup (342,111.1/uL). Trombosit memiliki hubungan yang sangat signifikan dengan mortalitas (t =3.67 ; p = <0.001). Nilai rerata PT pada subjek meninggal (18,4 detik) lebih tinggi dari nilai rerata PT subjek yang hidup (16.5 detik). PT tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan mortalitas (t =-0.86 ; p = 0.389). Nilai rerata aPTT pada subjek meninggal (39.2 detik) lebih tinggi dari nilai rerata aPTT subjek yang hidup (34.4 detik). aPTT tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan mortalitas (t =-1.30 ; p = 0.197). Tabel 4 menunjukkan hubungan asidosis dan respon pupil dengan mortalitas. Kelompok subjek dengan (pH 7.0–7.2) atau (tCO2 5–16.9 mEq/L) memiliki jumlah 95% dari total sampel. Keadaan asidosis tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan mortalitas (p = 0.127). Kelompok subjek dengan respon pupil reaktif di kedua mata memiliki jumlah 86.2% dari total sampel. Respon pupil 43
JURNAL KEDOKTERAN INDONESIA, VOL. 1/NO. 1/JANUARI/2009
Tabel 4. Hubungan asidosis dan respon pupil dengan mortalitas (n = 80)
PRISM III < 7. Skor PRISM III 7 tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan mortalitas (OR 2.7; CI 95% 0.9 sd 8.2; p = 0.069). Hasil analisis regresi Cox pada titik potong skor PRISM III = 8 menunjukkan nilai skor PRISM III 8 memiliki risiko terjadinya mortalitas 3.5 kali lebih besar dibandingkan skor PRISM III < 8. Skor PRISM III 8 memiliki hubungan yang bermakna dengan mortalitas dan rentang confidence interval yang tidak lebar (OR 3.5; CI 95% 1.3 sd 9.4; p = 0.012).
memiliki hubungan yang sangat signifikan dengan mortalitas (p = <0.001). Hasil penelitian menunjukkan nilai skor PRISM III dalam 24 jam berkisar antara 2 sampai 36. Nilai tengah dari nilai skor PRISM III adalah 7, nilai rerata skor PRISM III adalah 9.6±0.8. Peneliti akan melihat hubungan nilai skor PRISM III yang berada di sekitar nilai tengah dan nilai rerata dengan mortalitas dengan memperhitungkan penggunaan ventilator. Skor yang dimaksud adalah skor 6, 7, 8, 9, dan 10. Masing-masing skor akan diperhitungkan menggunakan analisis regresi Cox. Tabel 5. OR dan nilai p berbagai titik potong PRISM III dengan memperhitungkan ventilator
Hasil analisis regresi Cox pada titik potong skor PRISM III = 6 dengan memperhitungkan penggunaan ventilator yang ditampilkan pada Tabel 5 menunjukkan nilai skor PRISM III 6 memiliki risiko terjadinya mortalitas 8.5 kali lebih besar dibandingkan skor PRISM III < 6. Skor PRISM III 6 memiliki hubungan yang bermakna dengan mortalitas walaupun rentang confidence interval paling lebar diantara skor-skor yang lain (OR 8.5; CI 95% 1,1 sd 64.7; p = 0.038). Hasil analisis regresi Cox pada titik potong skor PRISM III = 7 menunjukkan nilai skor PRISM III 7 memiliki risiko terjadinya mortalitas 2.7 kali lebih besar dibandingkan skor
44
Hasil analisis regresi Cox pada titik potong skor PRISM III = 9 yang menunjukkan nilai skor PRISM III 9 memiliki risiko terjadinya mortalitas 3,8 kali lebih besar dibandingkan skor PRISM III < 9. Skor PRISM III 9 memiliki hubungan yang bermakna dengan mortalitas dan rentang confidence interval yang tidak lebar (OR 3.8; CI 95% 1.5 sd 9.4; p = 0.004). Titik potong skor PRISM III = 9 dibandingkan dengan titik potong skor PRISM III = 6 maupun 8 memiliki hasil perhitungan statistik yang lebih baik serta lebih signifikan. Hasil analisis regresi Cox pada titik potong skor PRISM III = 10 menunjukkan nilai skor PRISM III 10 memiliki risiko terjadinya mortalitas 4.7 kali lebih besar dibandingkan skor PRISM III < 10. Skor PRISM III 10 memiliki hubungan yang bermakna dengan mortalitas dan rentang confidence interval yang tidak lebar (OR 4.7; CI 95% 2.1 sd 10.4; p < 0.001). Titik potong skor PRISM III = 10 memiliki hasil perhitungan statistik yang paling baik dan paling signifikan dibandingkan keempat skor sebelumnya. Untuk mengambil kesimpulan apakah titik potong skor PRISM III = 10 perlu dipertimbangkan hal-hal lainnya dan akan dijelaskan di dalam pembahasan. Tabel 6 menunjukkan hubungan nilai rerata pengukuran yang signifikan terhadap mortalitas yaitu tekanan sistolik, suhu, GCS, pH, tCO2, kreatinin, ureum, dan trombosit dengan titik potong PRISM III = 8. Terlihat bahwa hanya tekanan sistolik dan pH yang memiliki nilai p yang tidak signifikan (p = 0.167 dan p = 0.130). Tabel 7 menunjukkan hubungan respon pupil dengan titik potong PRISM III = 8 dan didapat nilai p = 0.001. Diagnosis subjek terbagi menjadi dua bagian besar yaitu bedah dan non bedah. Tabel 8 menunjukkan hasil analisis regresi Cox pada titik potong PRISM III
DEWI/ SKOR PEDIATRIC RISK OF MORTALITY III (PRISM III) SEBAGAI PREDIKTOR MORTALITAS
Tabel 6. Hubungan nilai rerata tekanan sistolik, suhu, GCS, pH, tCO2, kreatinin, ureum, trombosit dengan titik potong PRISM III = 8 (n=80)
a
Tabel 9. Hasil analisis regresi Cox pada titik potong skor PRISM III =8 dengan memperhitungkan penggunaan ventilator dan diagnosis non bedah
=mmHg, b=oC, c=mEq/L, d=mg/dL, e=mg/dL, f=/uL
Tabel 7. Hubungan respon pupil dengan titik potong PRISM III = 8 (n=80)
8 dengan memperhitungkan ventilator dan diagnosis bedah. Dari perhitungan didapatkan skor PRISM III 8 memiliki risiko terjadinya mortalitas sebesar 3.9 kali dibandingkan skor PRISM III < 8 untuk subjek dengan diagnosis bedah. Tabel 9 menunjukkan hasil analisis regresi Cox pada titik potong PRISM III 8 dengan memperhitungkan ventilator dan diagnosis non bedah. Dari perhitungan didapatkan skor PRISM III 8 memiliki risiko terjadinya mortalitas sebesar 3.3 kali dibandingkan skor PRISM III < 8 untuk subjek dengan diagnosis non bedah.
Tabel 8. Hasil analisis regresi Cox pada titik potong skor PRISM III =8 dengan memperhitungkan penggunaan ventilator dan diagnosis bedah
Hasil penelitian selanjutnya adalah memperhitungkan lama rawat penderita sejak hari pertama masuk di ruang rawat intensif sampai hari keluar baik dalam keadaan hidup atau meninggal. Nilai rerata lama rawat subjek yaitu 78 jam atau sekitar 3 hari.
Gambar 2. Perbedaan kelangsungan hidup pasien di ruang rawat intensif anak antara skor PRISM III < 8 dengan skor PRISM III 8
Analisis statistik untuk menghitung waktu terjadinya efek, dalam hal ini mortalitas, menggunakan metode Kaplan-Meier. Gambar 2 menunjukkan adanya perbedaan kelangsungan hidup pasien di ruang rawat intensif anak antara skor PRISM III < 8 dengan skor PRISM III 8. Saat masuk ke ruang rawat intensif anak (jam ke-0), garis vertikal (cumulative survival) skor PRISM III < 8 menunjukkan angka 1.0 sedangkan skor PRISM III 8 berada sedikit dibawahnya (antara 0.8-1.0). Hal tersebut menunjukkan subjek dengan skor PRISM III < 8 memiliki kelangsungan hidup lebih
45
JURNAL KEDOKTERAN INDONESIA, VOL. 1/NO. 1/JANUARI/2009
tinggi daripada subjek dengan skor PRISM III 8. Pada akhir pengamatan, subjek dengan skor PRISM III < 8 memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi daripada skor PRISM III 8. PEMBAHASAN Dari hasil pengamatan terdapat 45 orang subjek hidup dan 35 orang subjek meninggal. 35 orang subjek yang meninggal terdiri dari 19 laki-laki dan 16 perempuan. Menurut hasil perhitungan statistik, tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan mortalitas (p = 0.910). Hal ini sesuai dengan penelitian Singhal di India tahun 2001 (Singhal, 2001). Kelompok usia bayi terdiri dari 30 subjek dimana 11 subjek meninggal, kelompok usia anak terdiri dari 46 subjek dimana 20 subjek meninggal, kelompok usia remaja terdiri dari 4 subjek dan semuanya meninggal. Hasil perhitungan statistik menunjukkan adanya hubungan yang signifikan (p = 0.056). Hal ini berbeda dengan penelitian Singhal yang menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara kelompok usia dengan mortalitas (Singhal, 2001). Perbedaan ini disebabkan dari penelitian terdapat 100% subjek meninggal pada kelompok usia remaja sehingga pada perhitungan statistik nilai p berada di ambang batas. Diagnosis pada kelompok usia remaja yaitu penurunan kesadaran, anemia aplastik, gagal jantung, dan nefritis. Kelompok usia remaja yang dirawat di ruang intensif anak memiliki diagnosis yang mempengaruhi organ-organ penting dan sudah mengalami komplikasi dibanding kelompok usia bayi dan anak. Distribusi diagnosis subjek yang dirawat di ruang rawat intensif anak cukup bervariasi. Bagian bedah menempati urutan teratas yaitu sebanyak 57.5% karena RSDM merupakan rumah sakit rujukan yang memiliki dokter bedah subspesialis sehingga banyak pasien dari luar daerah yang dirujuk ke RSDM. Pasien pasca operasi yang dirawat di ruang rawat intensif terutama yang memiliki kecenderungan untuk mengalami gagal napas dan membutuhkan bantuan ventilator. Kasus non bedah sebanyak 42.5% didominasi oleh gangguan respirasi yang mengalami gagal napas sehingga membutuhkan ventilator.
46
Skor PRISM III terdiri dari 17 macam pemeriksaan dan hasil pemeriksaan dituangkan dalam bentuk nilai rerata, kecuali asidosis dan respon pupil. Uji t digunakan untuk mencari hubungan antara nilai rerata dengan mortalitas, sedangkan uji X 2 digunakan untuk mencari hubungan asidosis dan respon pupil dengan mortalitas. Dari hasil perhitungan didapatkan denyut jantung, asidosis, PCO2, PaO2, GDS, kalium, lekosit, PT, dan aPTT memiliki hubungan yang tidak signifikan terhadap mortalitas subjek. Tekanan sistolik, suhu, GCS, respon pupil, pH, tCO 2, kreatinin, ureum, dan trombosit memiliki hubungan yang signifikan terhadap mortalitas subjek. Skor PRISM III dihitung pada kurun waktu 24 jam pertama perawatan di ruang rawat intensif anak. Subjek kemudian diberi tatalaksana sesuai standar pelayanan dan beberapa diantaranya mendapat bantuan ventilator. Skor PRISM III diperhitungkan nilai tengah dan nilai reratanya. Hasil yang didapat yaitu 7 untuk nilai median dan 9.6 untuk nilai reratanya. Peneliti mencari nilai-nilai terdekat dari nilai tengah dan rerata untuk dicari hubungannya dengan mortalitas. Nilai yang dimaksud adalah 6, 8, dan 10. Skor PRISM III yang didapat kemudian dicari hubungannya dengan mortalitas subjek dengan memperhitungkan pemberian ventilator. Dari hasil perhitungan terlihat bahwa skor PRISM III 6 terhadap mortalitas subjek memiliki OR yang paling besar dan nilai p yang signifikan, tetapi juga memiliki rentang CI yang lebar dibandingkan nilai skor PRISM III yang lain. Skor PRISM III 7 terhadap mortalitas tidak bermakna secara statistik karena memiliki nilai p > 0.05 walaupun rentang CI sempit. Untuk skor PRISM III 8, skor PRISM III 9, dan skor PRISM III 10 memiliki hubungan yang bermakna secara statistik terhadap mortalitas dengan nilai p 0.012, 0.004, dan <0.001 secara berturutan. Masing-masing juga memiliki rentang CI yang sempit. Disini terlihat bahwa semakin tinggi skor PRISM III yang didapat mortalitas yang terjadi akan semakin besar. Dalam penggunaan klinis, peneliti cenderung menggunakan titik potong skor PRISM III 8 untuk memprediksi mortalitas seorang pasien karena selain bermakna secara statistik, dokter akan
DEWI/ SKOR PEDIATRIC RISK OF MORTALITY III (PRISM III) SEBAGAI PREDIKTOR MORTALITAS
segera waspada akan kemungkinan terjadinya mortalitas sebesar 3.5 kali. Walaupun skor PRISM III 10 memiliki perhitungan statistik lebih baik, tetapi secara klinis keadaan pasien secara pemeriksaan fisik dan laboratorik lebih buruk daripada skor PRISM III 8 atau skor PRISM III 9. Hasil perhitungan ini hampir sama dengan penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Sardjito Yogyakarta dimana titik potong skor PRISM III > 9 memprediksi mortalitas sebesar 4.6 kali (Yustinah, 2008). Peneliti kemudian menghitung kembali hubungan antara rerata hasil pengukuran PRISM III yang signifikan dengan mortalitas dengan titik potong PRISM III = 8. Dari beberapa pemeriksaan tersebut hanya tekanan sistolik dan pH yang tidak mempengaruhi skor PRISM III pada titik potong 8 oleh karena dengan rerata hasil pengukuran yang hampir sama pada subjek dengan skor PRISM III < 8 dan 8 ternyata tekanan sistolik dan pH dapat mempengaruhi mortalitas. Sistem skor PRISM III dibuat berdasarkan berbagai macam diagnosis termasuk didalamnya kasus bedah. Peneliti ingin menguji apakah skor PRISM III pada titik potong = 8 dapat digunakan untuk menilai kasus bedah maupun non bedah dengan memperhitungkan penggunaan ventilator. Ternyata dari hasil perhitungan OR yang didapat untuk kasus bedah (OR 3.9; CI 95% 1.0 sd 14.4; p < 0.037) hampir sama dengan OR yang didapat untuk kasus non bedah (OR 3.3; CI 95% 1.2 sd 8.7; p < 0.016), sehingga skor PRISM III bisa digunakan untuk kasus bedah maupun non bedah. Peneliti juga menghitung kelangsungan hidup subjek dengan skor PRISM III < 8 dibandingkan dengan skor PRISM III 8 menggunakan metode Kaplan-Meier. Dari hasil perhitungan didapatkan subjek dengan PRISM III < 8 memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan subjek dengan skor PRISM III 8. Hal ini bisa diterima dengan logika bahwa subjek dengan skor PRISM III < 8 memiliki hemodinamika dan kondisi organ-organ vital yang lebih baik dan belum mengalami komplikasi lebih lanjut. Penelitian ini memperhitungkan pemakaian ventilator dalam proses tatalaksana pasien, tetapi ventilator tidak termasuk dalam skor PRISM III. Ventila-
tor digunakan pada pasien yang mengalami gagal napas dan membutuhkan bantuan napas secara kontinyu. Kapasitas ruang rawat intensif anak rumah sakit Dr. Moewardi adalah sebanyak 4 tempat tidur dan 2 inkubator serta memiliki 3 ventilator. Beberapa subjek tidak dapat menggunakan ventilator karena semua ventilator terpakai. Selain itu ada juga orangtua pasien yang tidak mau menggunakan bantuan ventilator karena alasan-alasan tertentu. Hal ini menimbulkan perbedaan tatalaksana dalam hal penanganan kegawatan. Penelitian ini menyimpulkan skor PRISM III dapat digunakan sebagai prediktor mortalitas pasien di ruang rawat intensif anak Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta. Titik potong skor PRISM III = 8 merupakan titik potong yang paling baik secara klinis dan bermakna secara statistik dibandingkan titik potong skor PRISM III lain (OR 3.5; CI 95% 1.3 sd 9.4; p = 0.012). Pengukuran tekanan sistolik dan pH pada titik potong PRISM III = 8 bermakna secara statistik terhadap mortalitas. Sistem skoring PRISM III dapat digunakan untuk kasus bedah maupun non bedah karena memiliki nilai OR yang hampir sama pada titik potong skor PRISM III = 8 dimana subjek dengan skor PRISM III 8 memiliki risiko mortalitas rata-rata sebesar 3 kali dibandingkan subjek dengan skor PRISM < 8. Kelangsungan hidup pasien dengan skor PRISM III 8 lebih rendah dari skor PRISM III < 8. DAFTAR PUSTAKA Choi KM (2005). Assessment of the Pediatric Index of Mortality (PIM) and the Pediatric Risk of Mortality (PRISM) III score for prediction of mortality in a paediatric intensive care unit in Hong Kong. Hong Kong Med J, 11, 97-103. El-Nawawy A (2003). Evaluation of the outcome of patients admitted to the pediatric intensive care unit in Alexandria using the pediatric risk of mortality (PRISM) score. J Trop Ped, 49, 109114. Fisher DH (1996). Outcome analysis. Dalam: MC Rogers, Nichols DG, penyunting. Textbook of pediatric intensive care, Edisi 3. Baltimore, USA: Williams and Wilkins.
47
JURNAL KEDOKTERAN INDONESIA, VOL. 1/NO. 1/JANUARI/2009
Gemke RJ (1994). Outcome assessment of pediatric intensive care: Principles and applications. Dalam desertasi tesis doktoral di University of Utrecht, Uthrect, Netherlands.
Pudjiastuti. (2008). Imunoglobulin intravena pada anak dan bayi dengan sepsis. Dalam National Symposium: The second Indonesian sepsis forum.
Metta D (2005). Usage of pediatric logistic organ dysfunction score to determine the prognosis of patients treated in pediatric intensive care unit Hasan Sadikin general hospital Bandung. 13th National Congress of Child Health Bandung.
Sanghal N (2001). Prediction of mortality by application of PRISM score in intensive care unit. Indian Ped, 38, 714-719.
48
Yustinah (2008). Simplified PRISM III score and mortality in PICU. 14th Indonesian Congress of Pediatrics Surabaya.