JURNAL KEDOKTERAN INDONESIA, VOL. 1/NO. 1/JANUARI/2009
Indeks Efusi Pleura Sebagai Prediktor Sindrom Syok Dengue Pada Anak di RSUD Dr. Moewardi Surakarta Pleural Effusion Index as A Predictor for Dengue Shock Syndrome in Children at Dr. Moewardi Hospital Surakarta Jeannette Mila Hardiani Cahyaningrum RS Ibu dan Anak Yadika Kebayoran Lama, Jakarta
ABSTRACT Background: The extent of plasma effusion in dengue hemorrhagic fever (DHF) can be identified by pleural effusion index (PEI) in the right lateral decubitus chest X photo. The PEI is expected to help predict the course of DHF. This study aimed to estimate the PEI values that can be used to predict dengue shock syndrome (DSS) in children. Methods: This was a prospective cohort study conducted in the pediatric ward at Dr. Moewardi Hospital in Surakarta from February to March 2009. The study involved 50 study subjects. Complete blood examination, rapid anti-dengue serology test, right lateral decubitus X photo, and PEI, were performed. The cutoff point was determined by receiver operating characteristic curve (ROC). Sensitivity, specificity, likelihood ratios, positive and negative predictive values, relative risk, and odds ratio were calculated. Results: The data showed DSS prevalence of 30%, and pleural effusion prevalence of 60%. Using the ROC, the PEI cutoff point of > 9% resulted in AUC 0.7 (CI 95% 0.6 to 0.8, p = 0.002), sensitivity 80% (CI 95% 51.9 to 95.4), specificity 60% (CI 95% 42.1 to 76.1), positive likelihood ratio 2 (CI 95% 1.4 to 2.9), positive predictive value 46.2% (CI 95% 26.6 to 66.6), and negative predictive value 87.5% (CI 95% 66.4 to 97.1). The association between PEI > 9% and DSS was statisticall significant. Using logistic regression to control for confounding factors resulted in an OR for PEI > 9% of 6.0 (CI 95% 1.4 to 25.2, p = 0.014) relative to PEI = 9%. Conclusion: PEI can be used to predict the occurnce of DSS. PEI > 9% has higher risk of DSS than PEI = 9%. Jurnal Kedokteran Indonesia: 1 (1): 32-39 Keywords: pleural effusion index, right lateral decubitus X photo, dengue shock syndrome, dengue hemorrhagic fever
PENDAHULUAN Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit endemis di negaranegara beriklim tropis dan subtropis dengan angka morbiditas dan mortalitas cukup tinggi (Albar et al., 1996; Wang et al., 2007). World Health Organization (WHO) memperkirakan terdapat 100.000.000 kasus infeksi dengue per tahun di mana 250.000 sampai 500.000 kasus merupakan infeksi berat (Setiati, 2007). Angka keparahan dengue di Indonesia tahun 2005 adalah 13.7 per 100.000 penduduk (Setiati, 2006). Sindrom Syok Dengue (SSD) merupakan manifestasi klinis infeksi dengue yang paling membahaya-
32
kan, bila tidak mendapat penanganan secara tepat akan menyebabkan kematian (Hammond et al., 2005). Perjalanan penyakit yang memburuk dapat dicegah dengan menegakkan diagnosis lebih awal dan penggantian cairan yang adekuat (Tantracheewathorn, 2007). Patofisiologi utama pada DBD dan SSD adalah peningkatan permeabilitas akut, yang menyebabkan keluarnya plasma ke rongga ekstraseluler. Kebocoran plasma dapat dibuktikan dengan adanya timbunan cairan dalam rongga pleura, peritoneum dan perikardium, hemokonsentrasi, dan hipoproteinemia (Gubler, 1998; Tumbelaka, 2007). Pemeriksaan radiologis toraks posisi lateral dekubitus kanan secara bermakna lebih sensitif daripada posisi anteroposte-
CAHYANINGRUM/ INDEKS EFUSI PLEURA SEBAGAI PREDIKTOR SINDROM SYOK DENGUE PADA ANAK
rior tegak (Albar et al., 1996; Metersky, 2003; Balasubraimanian et al., 2006). Pemeriksaan indeks efusi pleura pada saat masuk memiliki peranan penting dalam memprediksi terjadinya syok pada dengue. Indeks efusi pleura > 6% memiliki hubungan yang bermakna dengan terjadinya syok (Mardiana, 2008). Penelitian terdahulu tentang indeks efusi pleura sebagai prediktor SSD tidak mengontrol pengaruh status gizi dan derajat perdarahan. Padahal status gizi berhubungan dengan sistem imunitas. Malnutrisi menekan respons imunitas seluler. Integritas respons imunitas seluler berkorelasi dengan DBD/ SSD (Hung et al., 2005). Dengan latar belakang tersebut peneliti meneliti nilai indeks efusi pleura sebagai prediktor beratnya demam berdarah dengue pada anak, dengan mengontrol pengaruh status gizi dan berat perdarahan. SUBJEK DAN METODE DESAIN PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian kohor prospektif. Penelitian dilakukan di ruang perawatan anak Bagian / SMF IKA FK UNS – RSUD Dr. Moewardi antara bulan Februari 2009 – Maret 2009. Sampel penelitian adalah pasien yang dirawat di bangsal infeksi RSUD Dr.Moewardi Surakarta secara konsekutif, dengan kriteria inklusi meliputi: semua anak berusia 1 tahun sampai dengan 14 tahun, mempunyai keluhan demam selama 2 – 4 hari, memenuhi kriteria demam berdarah dengue berdasarkan WHO 1997, setuju mengikuti penelitian dengan penandatanganan informed consent penelitian oleh orang tua/ wali. Kriteria eksklusi meliputi: penderita datang dalam keadaan syok, telah diketahui menderita kelainan paru, jantung, ginjal, dan hati sebelumnya, telah diketahui menderita kelainan hematologi sebelumnya (Ugrasena, 2005a, b; Permono dan Ugrasena, 2005), penderita dan orangtua / wali menolak mengikuti penelitian. Ukuran sampel untuk studi kohor menggunakan uji hipotesis perbedaan proporsi dua kelompok dan dibutuhkan 50 subjek. DEFINISI OPERASIONAL 1. Indeks efusi pleura Indeks efusi pleura adalah rasio dalam persentase antara lebar maksimum efusi pleura kanan dengan
lebar maksimum hemitoraks kanan (CDC, 2002; Mardiana, 2008) Tempat yang ditentukan sebagai lebar maksimum efusi pleura kanan adalah batas atas diafragma kanan dengan paru kanan, karena cairan efusi sebagian besar akan terkumpul di sudut kostofrenikus kanan akibat pengaruh gravitasi (Chaudry et al., 2004). 2. Demam berdarah dengue Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis kerja demam berdarah dengue dapat dibuat bila terdapat 2 gejala klinis ditambah 2 gejala laboratoris yang telah ditentukan (Satari, 2002). Kriteria klinis: demam mendadak tinggi selama 2 – 7 hari, adanya tanda perdarahan (termasuk uji bendung positif ), seperti petekie, epistaksis, hematemesis, dan lain-lain, adanya hepatomegali, adanya tanda-tanda kegagalan sirkulasi (syok), yang ditandai dengan nadi kecil dan cepat dengan tekanan nadi = 20 mmHg, atau hipotensi disertai gelisah dan akral dingin. Kriteria laboratoris: trombositopenia (= 100.000/uL), hemokonsentrasi (kadar hematokrit = 20% dari normal). Jenis infeksi pada penelitian ini dibedakan menjadi: (1). Pasti infeksi dengue primer bila hasil pemeriksaan IgM (+) dan IgG (-); (2). Pasti terinfeksi dengue (bisa infeksi dengue primer atau sekunder) bila hasil pemeriksaan IgM (+) dan IgG (+); (3). Pernah terinfeksi dengue / tersangka infeksi dengue sekunder IgM (-) dan IgG (+); (4). Tersangka infeksi dengue IgM (-), IgG (-), namun secara klinis dan laboratorium lain mendukung infeksi dengue (Tumbelaka, 2007; WHO, 2008). Beratnya demam berdarah dengue diklasifikasikan menurut kriteria WHO 1997: (1). Demam berdarah dengue tanpa syok, yang meliputi DBD Derajat I dan DBD Derajat II; (2). Sindrom syok dengue, yang meliputi DBD Derajat III dan DBD Derajat IV (Satari, 2002). 3. Manifetasi Perdarahan Manifestasi perdarahan pada penelitian ini dibedakan menjadi: (a). Perdarahan ringan bila didapatkan perdarahan berupa uji bendung positif.; (b). Perdarahan sedang bila manifestasi perdarahan berupa perdarahan ringan ditambah epistaksis, petekie spontan, purpura, perdarahan gusi atau hematuria mikroskopis/ makroskopis; (c). Perdarahan 33
JURNAL KEDOKTERAN INDONESIA, VOL. 1/NO. 1/JANUARI/2009
berat bila didapatkan manifestasi perdarahan hematemesis atau melena. 4. Status Gizi Status gizi ditentukan dari hasil perhitungan antropometri, dengan mengukur berat badan (BB) dan tinggi badan (TB). Penentuan status gizi berdasarkan kriteria WHO tahun 2005 sebagai berikut: (a). Gizi kurang bila z skor BB menurut TB antara 3 SD sampai dengan -2 SD; (b). Gizi baik bila z skor BB menurut TB antara -2 SD dan +2 SD; (c). Gizi lebih bila z skor BB menurut TB > + 2 SD; (d). Obesitas bila BB menurut TB di atas persentil 90, atau 120% BB ideal, atau untuk anak diatas usia 2 tahun menggunakan indeks masa tubuh (IMT), dengan hasil perhitungan IMT di atas persentil 95 sesuai jenis kelamin. CARA KERJA Penelitian telah mendapat persetujuan dari Komite Etik yang ada di RSUD Dr. Moewardi Surakarta dan disetujui orangtua atau wali dengan cara menandatangani informed consent, setelah sebelumnya mendapat penjelasan mengenai tujuan dan manfaat dari penelitian tersebut. Kemudian peneliti mengajukan pertanyaan kepada orangtua atau wali sesuai formulir isian penelitian selanjutnya dilakukan pemeriksaan fisik, laboratorium, pemeriksaan foto toraks lateral dekubitus kanan pada hari ke-4 sakit, dan pemeriksaan IgM dan IgG anti dengue pada hari ke-5 sakit. Alur penelitian ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Alur penelitian
34
PENGOLAHAN DATA Data dianalisis dengan program SPSS 15.0, MedCalc 10.2.0.0, dan Stata 7.0. Cara menghitung cut-off point menggunakan kurve ROC (receiver operating curve). Hubungan antara indeks efusi pleura dan SSD dianalisis dengan analisis regresi logistik ganda. Perbedaan berbagai variabel lainnya antara kelompok dengan dan tanpa SSD diuji dengan uji chi2. Bila tidak memenuhi syarat uji parametrik maka dilakukan uji Fisher. HASIL-HASIL KARAKTERISTIK DASAR SUBJEK PENELITIAN Tabel 1 menunjukkan, kelompok usia 6 – 10 tahun menempati persentase terbesar yaitu 25 subjek (50%). Laki–laki lebih banyak dibanding perempuan (60% dibanding 40%). Dari pemeriksaan serologi anti dengue didapatkan 54% subjek pasti terinfeksi dengue dengan hasil IgM (+) dan IgG (+). Dari kelima puluh subjek penelitian sebagian besar (84%) mengalami efusi pleura. Analisis bivariat dengan uji chi2 menunjukkan hubungan yang secara statistik bermakna antara efusi pleura dan terjadinya SSD (p = 0.002). Tabel 1. Karakteristik dasar subjek penelitian (N = 50)
CAHYANINGRUM/ INDEKS EFUSI PLEURA SEBAGAI PREDIKTOR SINDROM SYOK DENGUE PADA ANAK
Tabel 1 juga menunjukkan, sebagian besar subjek penelitian memiliki status gizi baik, yaitu 36 subjek (72%). Dari seluruh subjek yang memiliki status gizi kurang terdapat 60% subjek yang mengalami SSD, sedangkan dari subjek yang memiliki status gizi lebih, 50% di antaranya mengalami SSD. Tidak didapatkan subjek penelitian yang obes. Uji chi2 menunjukkan hubungan yang bermakna secara statistik antara status gizi dan SSD (p = 0.031). Manifestasi perdarahan dibedakan menjadi perdarahan ringan, dan perdarahan sedang dan berat dengan persentase berturut - turut adalah 84% dan 16%. Uji chi2 menunjukkan, manifestasi perdarahan memiliki hubungan yang bermakna secara statistik dengan terjadinya SSD (p = 0.029). DEMAM BERDARAH DENGUE
Dari Tabel 4 diketahui, indeks efusi pleura > 9% memiliki hubungan yang bermakna dengan terjadinya sindrom syok dengue (p = 0.009). Studi ini merupakan suatu penelitian kohor, sehingga dilakukan pula analisis untuk mencari risiko relatif (RR) dari indeks efusi pleura > 9% untuk terjadinya SSD. RR terjadinya syok pada subjek penelitian yang memiliki indeks efusi pleura > 9% adalah 3.7 (CI 95% 1.1 sd 11.5, p = 0.024) dan hubungan ini bermakna secara statistik. Tabel 4. Hubungan titik potong indeks efusi pleura (9%) dengan terjadinya SSD
INDEKS EFUSI PLEURA
Analisis khusus untuk menyingkirkan bias akibat variabel perancu dilakukan dengan regresi logistik. Tabel 5 menampilkan hasil analisis regresi logistik tentang indeks efusi pleura sebagai prediktor SSD dengan memperhitungkan status gizi dan jenis perdarahan. Hasil analisis menunjukkan pada analisis kasar IEP memiliki OR 6.0 (CI 95% 1.4 sd 25.1, p = 0.014). Setelah dilakukan analisis terkontrol, IEP ternyata memiliki OR 5.9 (CI 95% 0.9 sd 37.0, p = 0.057). Status gizi kurang merupakan faktor risiko terhadap terjadinya SSD dengan OR analisis terkontrol 6.1 (CI 95% 1.1 sd 33.0, p = 0.036). Status gizi lebih memiliki OR 9.2 (CI 95% 0.6 sd 131.2, p = 0.100), jenis perdarahan sedang dan berat memiliki OR 2.4 (CI 95% 0.3 sd 16.2, p = 0.341).
Hasil analisis ROC pada Tabel 3 menunjukkan indeks efusi pleura > 9% memiliki nilai diagnosis paling tepat dengan luas area di bawah kurva (AUC) 0.69 (CI 95% 0.5 sd 0,8; p = 0.024). Spesifisitas 60% (CI 95% 42.1 sd 76.1). Sensitivitas 80% (CI 95% 51.9 sd 95.4). LR (+) 2,0 (CI 95% 1.4 sd 2.9). PPV 46.2% (CI 95% 26.6 sd 66.6), dan NPV 87;50% (CI 95% 66.4 sd 97.1).
Bias pada analisis ini diperoleh dengan perhitungan sebagai berikut: 100 dikalikan [(OR analisis kasar– OR analisis terkontrol)/OR analisis terkontrol] . Bila didapatkan nilai < 10% maka bias dapat diabaikan, sehingga OR yang digunakan adalah OR dari crude analysis (analisis kasar). Dari hasil perhitungan, pada analisis regresi logistik ini didapatkan bias 1.3%.
Tabel 2 memuat derajat DBD dan insidensi SSD pada penelitian ini. Insiden sindrom syok dengue pada penelitian ini adalah sebesar 30%. Tabel 2. Insidensi beratnya demam berdarah dengue
Tabel 3. Titik potong nilai indeks efusi pleura (IEP) untuk diagnosis sindrom syok dengue
LR = Likelihood Ratio, PPV = Positif Predictive Value, NPV = Negative Predictive Value , CI = Confidence Interval, AUC= Area Under Curve * AUC 0.6; nilai p = 0.024; (CI 95% 0.5 sd 0.8)
35
JURNAL KEDOKTERAN INDONESIA, VOL. 1/NO. 1/JANUARI/2009
Tabel 5. Hasil analisis regresi logistik tentang indeks efusi pleura sebagai prediktor SSD dengan memperhitungkan status gizi dan jenis perdarahan.
No observerasi : 50 Log likehood: -23.1 Log likehood: -26.9 Adjusted R2 : 24.3 Crude R2 : 11.6 p= 0.005 p= 0.008
PEMBAHASAN Penelitian ini menggunakan 50 subjek anak yang dirawat di ruang perawatan anak RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Data berasal dari data primer berdasarkan anamnesis untuk mengetahui saat dimulainya demam, adanya manifestasi perdarahan, dan adanya pernyakit lain yang diderita selain DBD. Selain itu, sumber data primer lain adalah hasil pemeriksaan laboratorium dan foto toraks miring ke kanan. Hasil analisis dengan uji chi 2 pada tabel 1 menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara efusi pleura dengan terjadinya SSD (p = 0.002). Hal ini sesuai dengan beberapa penelitian di Thailand dan di Hongkong bahwa efusi pleura merupakan salah satu karakteristik klinis yang berhubungan dengan SSD (Tantracheewathorn dan Tantracheewathron, 2007; Wang et al., 2007). Penelitian di Bangkok tahun 1995 – 1999 juga menunjukkan bahwa efusi pleura terjadi pada 84.2% penderita DBD dan 96.1% penderita SSD (Kalayanarooj et al., 2002). Peneliti tidak dapat membedakan apakah infeksi yang terjadi merupakan infeksi primer atau sekunder dari hasil serologi anti dengue. Sebab untuk menentukan infeksi primer atau sekunder harus dilakukan pemeriksaan serologi pada masa akut dan masa konvalesen dengan jarak waktu pemeriksaan 7 hari (Gubler, 1998; Chuansumrit dan Tangnararachakit, 2006; WHO, 2008). Pada penelitian ini pemeriksaan serologi hanya dilakukan
36
satu kali pada hari ke-5 sakit.. Bila didapatkan hasil pemeriksaan negatif baik pada IgM maupun IgG, namun secara klinis dan laboratoris sesuai dengan gejala DBD, maka subjek disebut tersangka infeksi dengue, atau kemungkinan mengalami infeksi dengue primer dengan kadar IgM masih terlalu rendah sehingga tidak terdeteksi oleh alat pemeriksaan (Gubler, 1998; WHO, 2008) . Analisis statistik dengan chi2 untuk mengetahui hubungan antara hasil pemeriksaan serologi dengan terjadinya SSD, ternyata didapatkan hubungan yang tidak bermakna secara statistik (p = 0.528). Hasil ini bertolak belakang dengan penelitian Shah di Bangladesh yang menyatakan bahwa pada hasil pemeriksaan IgM dan IgG (+) serta IgG saja yang (+) memiliki hubungan yang bermakna secara statistik dengan terjadinya DBD maupun SSD (Shah et al., 2006). Perbedaan hasil ini kemungkinan besar karena pemantauan yang ketat pasien DBD, pemberian cairan yang adekuat, sehingga meskipun pasien mengalami infeksi sekunder, kejadian SSD dapat dihindari. Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa status gizi ternyata memiliki hubungan yang bermakna secara statistik dengan terjadinya SSD (p = 0.031). Pada penelitian ini tidak didapatkan status gizi obesitas. Pada kelompok SSD, persentase anak yang memiliki status gizi baik mempunyai persentase terbesar dalam penelitian ini. Pada kelompok anak dengan status gizi kurang 60% diantaranya mengalami SSD, sedangkan pada kelompok status gizi lebih persentase yang mengalami SSD dengan yang tidak mengalami SSD sebanding. Kejadian SSD yang lebih banyak pada kelompok status gizi lebih serupa dengan penelitian Pichainarong dkk di Bangkok tahun 2005, di mana obesitas memiliki risiko 3 kali untuk mengalami DBD yang lebih berat, sedangkan Kalayanarooj melakukan penelitian pada 4,532 anak, menunjukkan bahwa status gizi baik dan obesitas memiliki OR 1.9 terhadap SSD (Kalayanarooj dan Nimmannitya, 2005; Pichainarong et al., 2006). Hal ini dapat dijelaskan bahwa perkembangan penyakit DBD maupun SSD sangat dipengaruhi respon imun penderita. Pada seseorang dengan status gizi kurang atau buruk, terjadi penurunan nyata imunitas seluler yang ditandai dengan penurunan
CAHYANINGRUM/ INDEKS EFUSI PLEURA SEBAGAI PREDIKTOR SINDROM SYOK DENGUE PADA ANAK
jumlah sel T helper CD4+ dan penurunan rasio CD4+ / CD8+. Selain itu juga terdapat penurunan produksi sIgA dan berbagai macam komplemen (C3, C4, dan faktor B) dan gangguan fagositosis. Pada status gizi lebih, terdapat respon imun yang lebih kuat dibanding anak yang kurang gizi, sehingga kebocoran plasma akibat respon imun yang meningkat terhadap virus dengue akan meningkatkan risiko terjadinya SSD Kalayanarooj dan Nimmannitya, 2005; Hung et al., 2005). Analisis mengenai manifestasi perdarahan dimuat dalam Tabel 1. Tabel ini mengemukakan hasil uji chi2 di mana jenis perdarahan berhubungan secara statistik dengan terjadinya SSD (p = 0.029). Pada Tabel 1 juga dapat dilihat bahwa 62.4% perdarahan sedang dan berat berkembang menjadi SSD. Dalam suatu penelitian di Bangkok, manifestasi perdarahan baik epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan melena yang terjadi pada fase awal penyakit DBD (sebelum fase defervescence) meningkatkan risiko terjadinya SSD (Tantracheewathorn dan Tantracheewathron, 2007). Angka yang diperoleh dari kurva ROC pada Tabel 3 dianggap sebagai hasil terbaik dari seluruh hasil perhitungan indeks efusi pleura pada penelitian ini. Penderita DBD dengan indeks efusi pleura > 9% memiliki probabilitas 46.2% untuk mengalami SSD, sedangkan penderita DBD yang mengalami indeks efusi pleura = 9% memiliki probabilitas 87.5% untuk tidak mengalami SSD. Probabilitas terjadinya SSD yang relatif tidak besar pada indeks efusi pleura > 9% kemungkinan karena pemberian cairan dan penatalaksanaan yang tepat sehingga dapat mencegah terjadinya SSD. Indeks efusi pleura > 9% memiliki sensitivitas cukup tinggi, sehingga angka > 9% baik digunakan sebagai uji skrining DBD terhadap terjadinya SSD. Nilai ini kemudian dianalisis dengan uji chi 2 , ternyata menunjukkan hubungan yang bermakna secara statistik dengan terjadinya SSD (0,009). Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Setiati tahun 2004 di Semarang yang menyatakan bahwa indeks efusi pleura > 6% pada saat pasien masuk rumah sakit memiliki hubungan yang bermakna secara statistik dengan terjadinya SSD (Mardiana, 2008). Hal ini kemungkinan disebabkan perbedaan metode pengukuran dan waktu saat indeks efusi pleura
dihitung. Pada penelitian ini foto toraks dan pengukuran indeks efusi pleura dilakukan pada hari ke-4 sakit, sedangkan penelitian Setiati melakukan pengukuran indeks efusi pleura pada saat pasien masuk ke rumah sakit. Indeks efusi pleura pada penelitian ini diukur dengan menghitung rasio dalam persentase antara lebar maksimum efusi pleura kanan dengan lebar maksimum hemitoraks kanan (CDC, 2002; Mardiana, 2008). Tempat yang ditentukan sebagai lebar maksimum efusi pleura kanan adalah batas atas diafragma kanan dengan paru kanan, karena cairan efusi sebagian besar akan terkumpul di sudut kostofrenikus kanan akibat dipengaruhi gravitasi. dan akan lebih jelas terlihat pada pengambilan foto posisi lateral dan lebih obyektif karena tidak selalu cairan yang terlihat dari hasil foto seperti yang terlihat dalam teori. Sehingga pemikiran ini dianggap lebih sesuai dengan rumus bahwa indeksi efusi pleura merupakan 100 dikalikan lebar maksimum efusi pleura kanan dibagi lebar maksimum hemitorak kanan. Hasil analisis regresi logistik pada Tabel 5 untuk mencari OR indeks efusi pleura setelah memperhitungkan status gizi dan jenis perdarahan adalah IEP > 9% memiliki risiko 6 kali untuk mengalami SSD dibanding IEP = 9%, hasil ini berbeda dengan hasil pada Tabel 3, karena pada Tabel 3 belum memperhitungkan variabel perancu. Didapatkan bias sebesar 1.3% dari hasil perhitungan, sehingga sebagai hasil akhir tetap digunakan OR dari hasil dari analisis kasar regresi logistik Hasil analisis regresi logistik terhadap variabel perancu menunjukkan bahwa status gizi kurang memiliki risiko lebih tinggi untuk terjadinya SSD dibanding status gizi baik, namun tidak demikian dengan status gizi lebih dan jenis perdarahan, kedua variabel tersebut tidak dapat dikatakan merupakan faktor risiko maupun faktor protektif terhadap terjadinya SSD. Dari penelitian ini hanya dapat disimpulkan bahwa status gizi yang tidak baik (status gizi kurang dan status gizi lebih) lebih banyak yang mengalami SSD dan memiliki risiko lebih tinggi untuk terjadinya SSD dibandingkan status gizi baik. Kelemahan penelitian ini jumlah sampel penelitian yang relatif sedikit sehingga rentang confidence interval menjadi lebar. Penelitian ini juga tidak dapat membedakan apakah infeksi virus dengue yang terjadi merupakan infeksi primer atau sekunder.
37
JURNAL KEDOKTERAN INDONESIA, VOL. 1/NO. 1/JANUARI/2009
Penelitian ini belum dapat mengendalikan bias pengukuran. Pemeriksaan foto toraks lateral dekubitus kanan dan perhitungan indeks efusi pleura dilakukan secara tersamar. Sehingga apabila waktu yang dibutuhkan dalam pengambilan foto toraks kurang tepat, dapat mempengaruhi jumlah cairan yang dapat terlihat pada hasil foto, dan akan mempengaruhi hasil perhitungan indeks efusi pleura. Penelitian ini menyimpulkan bahwa indeks efusi pleura dapat digunakan sebagai prediktor beratnya DBD. Nilai indeks efusi pleura > 9% mempunyai kemungkinan mengalami SSD 6 kali lebih besar dibandingkan penderita DBD dengan indeks efusi pleura = 9% setelah memperhitungkan status gizi dan jenis perdarahan. Nilai indeks efusi pleura ini memiliki sensitivitas yang cukup tinggi sehingga sesuai digunakan untuk uji skrining terhadap terjadinya SSD. DAFTAR PUSTAKA Albar H, Tanra A, Daud D, Farid M (1996). Manfaat pemeriksaan radiologik toraks posisi lateral dekubitus kanan sebagai alat bantu diagnosis demam berdarah dengue di rumah sakit kabupaten. Cermin Dunia Kedokteran; 107: 5-8. Balasubraimanian S, Janakiraman L, Kumar SS, Muralinath S, Shivbalan S (2006). A reappraisal of the criteria to diagnose plasma leakage in dengue hemorrhagic fever. Indian Pediatrics; 43: 334 – 9. CDC Division of vector-borne infectious diseases (2002). Diagnosis dengue: clinical and public health aspects. http://www.cdc.gov/ncidod/ dvbid/ dengue/slideset/set1/vi/slide08.htm. [Diakses tanggal 19 September 2008]. Chaudry HJ, Grieco AJ, Macklis M, Mendelshon M, Mudge Jr.GH (2004) Fundametals of clinical medicine: an introductory manual. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkin; h. 141-2.
tritional status, severity of dengue, hemorrhagic fever, and immune status in infants with dengue hemorrhagic fever. Am. J. Trop. Med. Hyg.; 72(4): 370 – 4. Gubler DJ (1998). Dengue and dengue hemorrhagic fever. Clinical microbiology reviews; 11(3): 48096. Hammond SN, Balmaseda A, Perez L, Tellez Y, Saborio SI, Mercado JC, Videa E, et al. (2005). Differences in dengue severity in infants, children, and adults in a 3 – year hospital-based study in Nicaragua. Am. J. Trop. Med. Hyg.; 73(6): 1063 – 70. Kalayanarooj S, Chansiriwongs V, Nimmannitya S (2002). Dengue patients at the Children’s Hospital, Bangkok: 1995-1999 Review. Dengue Bulletin; 26: 33 – 43. Mardiana (2008). The role of imaging in diagnosis of dengue hemorrhagic fever. Dalam: Workshop penyakit infeksi tropis. Metersky ML (2003). Is the lateral decubitus radiograph necessary for the management of parapneumonic pleural effusion? Chest; 124: 1129-32. Pichainarong N, Mongkalangoon N, Kalayanarooj S, Chaveepojnkamjorn W (2006). Relationship between body size and severity of dengue hemorrhagic fever among children aged 0 – 14 years. Southeast asian j trop med public health; 37(2): 283 – 8. Kalayanarooj S, Nimmannitya S (2005). Is dengue severity related to nutritional status? Southeast Asian J Trop Med Public Health. 2005; 36(2): 378 – 84. Permono B, Ugrasena IDG (2005). Leukemia akut. Dalam: Permono HB, Sutaryo, Ugrasena IDG, Windiastuti E, Abdulsalam M. Buku ajar hematologi-onkologi anak. Jakarta: BP IDAI; h. 23747.
Chuansumrit A, Tangnararachakit K (2006). Pathophysiology and management of dengue hemorrhagic fever. Journal Compilation Transfusion Alternatives in Transfusion Medicine; 8 (1) : 3 –11.
Satari HI (2002). Petunjuk praktis terapi cairan: demam berdarah dengue. Dalam: Gunardi H, Tehuteru E, Setyanto DB, Advani N, Kurniati N, Wulandari HF, Handryastuti S, penyunting. Bunga rampai tips pediatrik buletin IDAI. Jakarta: BP IDAI; h. 132 – 46.
Hung NT, Lan NT, Lei HY, Lin YS, Lien LB, Huang KJ, et al. (2005). Association between sex, nu-
Setiati TE, Wagenaar JFP, Kruit MD, Mairuhu ATA, van Gorp ECM, Soemantri A (2006). Chang-
38
CAHYANINGRUM/ INDEKS EFUSI PLEURA SEBAGAI PREDIKTOR SINDROM SYOK DENGUE PADA ANAK
ing epidemiology of dengue haemorrhagic fever. Dengue Bulletin: 1 – 14. Setiati TE, Mairuru ATA, Koraka P, Supriatna M, Mac Gillavry MR, Brandjes DPM, Osterhaus ADME, van der Meer JVM, van Gorp ECM, Soemantri A (2007). Dengue disease severity in Indonesian children: an evaluation of the World Health Organization classification system. BMC Infectious Disease; 7 (22): 1 – 8. Shah GS, Islam S, Das BK (2006). Clinical and laboratory profile of dengue infection in children. Kathmandu University Medical Journal; 4: 1: (13): 40-43. Tantracheewathorn T, Tantracheewathron S (2007). Risk factors of dengue shock syndrome in children. J Med Assoc Thai; 90(2): 272 – 277. Tumbelaka AR (2007). Pathogenesis of dengue viral infection. Dalam: Pelatihan tata laksana dengue hemorrhagic fever.
Ugrasena IDG (2005). Anemia aplastik. Dalam: Abdulsalam M, penyunting. Buku ajar hematologi – onkologi anak. Jakarta: BP IDAI; h. 10–5. Ugrasena IDG (2005). Gangguan kelainan jumlah trombosit. Dalam: Abdulsalam M, penyunting. Buku ajar hematologi – onkologi anak. Jakarta: BP IDAI; h. 133 – 43. Wang CC, Wu CC, Liu JW, Lin AS, Liu SF, Chung YH, et al. (2007). Chest radiographic presentation in patients with dengue hemorrhagic fever. Am. J. Trop. Med. Hyg; 77(2): 291-6. Wang CC, Wu CC, Liu JW, Lin AS, Liu SF, Chung YH, Su MC, Lee IK, Lin MC (2007). Chest radiographic presentation in patients with dengue hemorrhagic fever. Am. J. Trop. Med. Hyg.; 77(2): 291-6. WHO Regional Office for South-East Asia 2008. Laboratory Diagnosis. 2008. http://www.searo. who.int/EN/Section10/Section332/Section 554_2566.htm Diakses 19 September 2008.
39