perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
SJAFRUDDIN PRAWIRANEGARA DALAM PERCATURAN POLITIK DI INDONESIA TAHUN 1945-1961
SKRIPSI
Disusun oleh : CESILIA DEA AFIFAH WULANDARI K4408003
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit to user 2012 i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
SJAFRUDDIN PRAWIRANEGARA DALAM PERCATURAN POLITIK DI INDONESIA TAHUN 1945-1961
Oleh : Cesilia Dea Afifah Wulandari NIM : K4408003
Skripsi
Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012
commit to user ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
commit to user iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
commit to user iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK Cesilia Dea Afifah Wulandari. SJAFRUDDIN PRAWIRANEGARA DALAM PERCATURAN POLITIK DI INDONESIA TAHUN 1945-1961. Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, Juli. 2012. Tujuan penelitian ini adalah (1) Mengetahui latar belakang sosial politik Sjafruddin Prawiranegara. (2) Mengetahui peran politik Sjafruddin Prawiranegara di Indonesia tahun 1945-1961. Penelitian ini menggunakan metode sejarah (historis). Langkah-langkah metode sejarah adalah heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka. Sumber data yang digunakan adalah sumber tertulis. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis historis. Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan: 1) Sjafruddin Prawiranegara lahir di Banten 28 Februari 1911. Sjafruddin menempuh pendidikan di sekolah Belanda dan mendapat pendidikan agama secara informal. Lingkungan dan keluarga muslim mempengaruhi kehidupan Sjafruddin. Sjafruddin bergaul dengan kalangan santri modernis dan sosialis sekuler. Akibatnya Sjafruddin menjadi pribadi yang plural. Adanya kewajiban memilih partai politik pada saat itu membuat Sjafruddin memilih untuk masuk Masyumi meskipun Sjafruddin berlatar belakang pendidikan santri. Kemudian Sjafruddin berpengaruh dan memberikan gambaran ideologi pada Masyumi untuk bersifat plural. 2) Sjafruddin dikenal sebagai tokoh politik sesudah menjadi Menteri Keuangan kabinet Sjahrir III, dengan kebijakan mengeluarkan ORI yang menjadi alat perjuangan dan pembiayaan keperluan negara. Sjafruddin menjadikan ekonomi Indonesia lebih baik ketika menjadi Menteri Kemakmuran. Pada saat terjadinya Agresi Militer Belanda II, Sjafruddin diberi mandat untuk mendirikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia dan berhasil menyelamatkan Republik Indonesia serta melanjutkan perjuangan. Sjafruddin terpilih lagi menjadi Menteri Keuangan pada Kabinet Hatta dengan melakukan kebijakan penting yaitu “Operasi Gunting Sjafruddin” yang berhasil menekan inflasi. Sjafruddin menjadi orang Indonesia pertama yang menjabat Gubernur de Javasche Bank, yang kemudian menjadi Bank Indonesia. Pada tahun 1958, Sjafruddin terlibat dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia. Sebagai Perdana Menteri PRRI, Sjafruddin memimpin sebagai bentuk koreksi terhadap pemerintah pusat, dan untuk membela kebenaran dan keadilan.
commit to user v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT Cesilia Dea Afifah Wulandari. SJAFRUDDIN PRAWIRANEGARA IN POLITICAL CULTURE IN INDONESIA YEARS 1945-1961. Thesis. Surakarta: Teacher Training and Education Faculty of Surakarta, Sebelas Maret Universitas, July. 2012. The purpose of this study is (1) Knowing the background of social and political Sjafruddin Prawiranegara. (2) Knowing the role of politics Sjafruddin Prawiranegara in Indonesia years 1945-1961. This research uses historical method. Step-by-step historical method is a heuristic, criticism, interpretation, and historiography. Techniques of data collection is done through literature. Written sources used as data. The data analysis techniques used in this research is historical analysis techniques. Based on this research can be conclude: 1) Sjafruddin Prawiranegara bornin Banten February 28, 1911. Sjafruddin educated in Dutch schools and receive religious education informally. Environment and families lives of Muslim affect Sjafruddin. Sjafruddin friends with the santri modernis and the socialist secular modernists. As a result Sjafruddin be plural person. The existence of the obligation to choose a political party at that time made him choose Masyumi. Then Sjafruddin influence his ideological and gives an overview on Masjumi to be plural. 2) Sjafruddin known as a political figure after as Minister of Finance in cabinet Sjahrir III, make ORI issued apolicy as a means of struggle and state funding purposes. Sjafruddin make Indonesia a better economy when he became Minister of Prosperity. At the time of the Dutch Military Agression II, Sjafruddin mandated to establish the Emergency Government of the Indonesia Republic and managed to save the Republic of Indonesia as well as continuing the struggle. Sjafruddin elected again as Minister of Finance in Hatta Cabinet and make important policy that is "Sjafruddin Operating Scissors" which succeeded in reducing inflation. Sjafruddin became the first Indonesian who was elected as Governor de Javasche Bank, which later became Bank Indonesia. In 1958, Sjafruddin involved in the Revolutionary Government of the Republic of Indonesia. As Prime Minister of PRRI, Sjafruddin lead PRRI as a form of correction to the central government, and to defend truth and justice.
commit to user vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
Pangkat itu hanya suatu alat untuk menjalankan suatu tugas. (Sjafruddin Prawiranegara)
Sejarah sebagai pedoman untuk membangun masa depan. (Sjafruddin Prawiranegara)
Batu berlubang bukan karena kekuatan yang dashyat tapi akibat tetesan air yang berulangkali; Begitu pula manusia menjadi bijak bukan karena satu dua kali tapi karena kerapkali membaca hidup. (Renaldi)
commit to user vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan kepada: §
Bapak, Ibu, dan Kakakku Bernadus yang selalu memberikan doa dan motivasi. §
§
Romo Yakobus Priyono sebagai “Donatur Kedua”.
Thomas Renaldi Lestianto sebagai teman dalam suka duka yang sudah membantu dan memotivasi menyelesaikan studi serta setia menemani mencari sumber penelitian.
commit to user viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, atas rahmat-Nya penulis mampu menyelesaikan Skripsi untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Sarjana Pendidikan. Kesulitan dan hambatan yang penulis hadapi dalam penulisan skripsi ini dapat terlewati dengan lancar berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak. Sudah sepatutnya penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1. Dekan Fakultas Kegururan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin untuk menyusun skripsi. 2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Sosial Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah menyetujui atas permohonan skripsi ini. 3. Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Sosial Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan pengarahan dalam menyelesaikan skripsi ini. 4. Drs. Tri Yuniyanto, M. Hum selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, masukan, pengarahan dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Drs. Djono, M. Pd selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, masukan, pengarahan dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Drs. Leo Agung S, M. Pd selaku pembimbing akademik yang telah memberikan arahan, motivasi, dan bimbingan selama penulis menjadi mahasiswa di Program Pedidikan Sejarah FKIP UNS. 7. Teman-teman Sejarah angkatan 2008, Spesial Keluarga Abal Abal (Ari Kurnia, Dwi Ari, Eni Susilowati, Titis Dwi Nur, Suyono, Doni Setiawan, Tri Pujianto, Arif Nur, Tea Limostin) yang memberi semangat dan menjadi keluarga baruku di Surakarta. 8. Cahyaningrum Tri Agus Tina, Misbach, dan Bryan Andri Jatmiko sebagai kunsultan pribadi yang senantiasa membantu dan memberi saran dalam penulisan. 9. Keluarga Mas Sutarto, Mbak Widya, Dik Keisya, dan Paramita yang bersedia memberikan tumpangan, dukungan, penghidupan selama penulis berada di Jakarta commit to user dalam mencari sumber. ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga Tuhan membalas amal baik kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari skripsi ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun diharapkan supaya skripsi ini lebih baik.
Surakarta, 31 Juli 2012
Penulis
commit to user x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..........................................................................
i
HALAMAN PERNYATAAN............................................................
ii
HALAMAN PERSETUJUAN ..........................................................
iii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................
iv
HALAMAN ABSTRAK ....................................................................
v
HALAMAN MOTTO .......................................................................
vii
HALAMAN PERSEMBAHAN .......................................................
viii
KATA PENGANTAR .......................................................................
ix
DAFTAR ISI ......................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR ..........................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................
xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ................................................................
1
B. Perumusan Masalah ......................................................................
7
C. Tujuan Penelitian ..........................................................................
7
D. Manfaat Penelitian ........................................................................
7
BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Revolusi Fisik .....................................................................
9
2. Peran Politik .......................................................................
14
3. Percaturan Politik ...............................................................
19
B. Kerangka Pemikiran ......................................................................
23
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian ................................................................
25
2. Waktu Penelitian ................................................................
26
B. Metode Penelitian .........................................................................
26
C. Sumber Data ................................................................................... commit to user D. Teknik Pengumpulan Data ............................................................
28
xi
29
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
E. Teknik Analisis Data .....................................................................
30
F. Prosedur Penelitian .......................................................................
30
BAB IV HASIL PENELITIAN A. Latar belakang sosial politik Sjafruddin Prawiranegara ..............
35
B. Peran politik Sjafruddin Prawiranegara masa Revolusi Indonesia 1945-1961 1. Anggota Badan Pekerja KNIP ..............................................
43
2. Menteri Keuangan .................................................................
47
3. Menteri Kemakmuran ...........................................................
52
4. Memimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia ...............................................................................
56
5. Menteri Keuangan..................................................................
69
6. Gubernur Bank ......................................................................
75
7. Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia ......................
80
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN A. Kesimpulan ..................................................................................
93
B. Implikasi ......................................................................................
94
C. Saran ............................................................................................
95
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................
97
LAMPIRAN .......................................................................................
103
commit to user xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
1. Kerangka Berpikir ..................................................................
23
2. Prosedur Penelitian ................................................................
31
commit to user xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
No. Lampiran
Halaman
1. Sjafruddin Prawiranegara sebagai ketua PDRI akan kembali ke Yogyakarta .....................................................
104
2. Sjafruddin Prawiranegara hadir dalam Konferensi Inter-Indonesia ...........................................................................
105
3. Sjafruddin Prawiranegara disambut oleh Presiden di Yogyakarta.............................................................................
106
4. Undang Undang No 19 Th.’46 Tentang Pengeluaran Oeang Repoeblik Indonesia Dan Penjelasan ............................
107
5. Laporan Interview W. Bosshard dengan Mr. Sjafruddin...........
112
6. Berisi Garis Garis Besar Politik Perekonomian Pemerintah......
115
7. Surat Sjafruddin kepada Mr. Maramis Wakil Republik Indonesia di New Delhi, India Tentang Keadaan Perjuangan di Indonesia............................................................
118
8. Surat Sjafruddin kepada wakil kepala PTT Sumatera tentang kekuasaan PDRI ...........................................................
119
9. Penetapan Peraturan Sementara Daerah Tapanuli Selatan.........
120
10. Pendapat Kasimo mengenai Susunan Baru Anggota PDRI 21 April 1949 ...................................................
121
11. Tantang pengumuman PDRI.....................................................
125
12. Balasan surat I.J Kasimo oleh Sjafruddin Prawiranegara..........
126
13. Ketua PDRI membalas Kawat Panglima Besar PDRI..............
128
14. Kawat Sjafruddin untuk Presiden Soekarno mengenai kepergiannya ke Sumatera untuk beberapa waktu saat Sjafruddin Prawiranegara menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia .........................................................................
130
15. Mukadimah Piagam Perjuangan ..............................................
138
16. Piagam Perjuangan Menyelamatkan Negara .......................... commit user Perjuangan ...... 17. Mukadimah Pembentukan PRRI OlehtoDewan
143
xiv
146
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
18. Proklamasi RPI..........................................................................
150
19. Keterangan tentang Wilayah dan Anggota-Anggota Republik Persatuan Indonesia...................................................
158
20. Pidato Presiden RPI pada Hari Proklamasi...............................
161
21. Penyerahan Diri Sjafruddin ......................................................
170
22. Oeang Republik Indonesia .......................................................
174
23. Surat Perijinan Skripsi ..............................................................
178
commit to user xv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Revolusi kemerdekaan merupakan istilah yang digunakan negara dunia ketiga untuk perang kemerdekaan kepada negara bekas penjajah setelah Perang Dunia II usai. Revolusi merupakan ungkapan atau pernyataan akhir dari keinginan otonom dan emosi yang mendalam serta mencakup segenap kapasitas keorganisasian maupun ideologi protes sosial yang dikerjakan secara seksama. Secara khusus, aktivitas revolusi dianggap menciptakan suatu tatanan sosial baru yang lebih baik (Eisenstadt, 1986: 3). Revolusi kemerdekaan di Indonesia terjadi tahun 1945-1950, dan merupakan periode yang menentukan bagi kelangsungan hidup negara Republik Indonesia. Revolusi Indonesia dipicu atas kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II. Kekuasan Jepang di Indonesia mulai melemah, terutama sesudah Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu maka di Indonesia terjadi kekosongan kekuasaan (Ricklefs, 2008: 443). Kondisi ini digunakan para pemuda untuk mendesak Soekarno dan Hatta supaya memproklamasikan kemerdekaan (Reid, 1996: 40-41). Proklamasi mampu dicapai dengan kesepakatan antara golongan tua dan golongan muda pada tanggal 17 Agustus 1945. Negara yang baru terbentuk ini tidak langsung muncul menjadi negara yang teratur dan serasi, melainkan adanya pertarungan antar individu dan kekuatan sosial yang saling bertentangan. Meskipun di balik pertentangan itu ada keinginan untuk mempertahankan kemerdekaan. Di dalam perjuangan revolusi Indonesia, terjadi perbedaan antara kekuatan perjuangan bersenjata dengan kekuatan diplomasi, antara generasi tua terhadap generasi muda, antara golongan kanan dan golongan kiri, antara kekuatan Islam dan kekuatan sekuler. Semua perbedaan itu merupakan gambaran ketika Indonesia mengalami perpecahan yang bermacam-macam bentuknya (Ricklefs, 2008: 446-447). Pada periode tersebut penuh kekacauan, pemberontakan dan perang to user tetap terus diperjuangkan yang saudara. Upaya mempertahankancommit kemerdekaan 1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2
ditandai dengan gerakan perlawanan maupun melalui cara diplomasi. Aksi dilancarkan sebagai pertahanan stabilitas kedaulatan Republik Indonesia dalam bentuk kontak senjata pada tahun 1945-1950 yang dikenal sebagai masa Revolusi Fisik Indonesia (Kansil&Julianto, 1972: 8). Selama periode 1945-1950, muncul kekuatan sosial politik yang berasas sama, yaitu mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dan memperoleh pengakuan internasional melalui saluran diplomasi maupun perjuangan fisik. Munculnya kekuatan sosial politik, tidak lepas dari adanya kebijakan politik etis yang diprakarsai Van Deventer, seorang ahli hukum yang pernah tinggal di Indonesia. Dasar kebijakan politik Etis antara lain: (1) pendidikan; (2) pengairan; (3) perpindahan penduduk. Ratu Wilhelmina mensahkan politik etis secara resmi pada tahun 1901 (Ricklefs, 2008: 328). Salah satu kebijakan politik etis ialah pendidikan. Di dalam bidang pendidikan,
pemerintah
kolonial
mendirikan
sekolah
yang
memberikan
kesempatan pada penduduk pribumi untuk sekolah. Berdasarkan penelitian komisi pendidikan Belanda-pribumi, pendidikan barat tidak membantu perkembangan dan tidak membawa peningkatan kapitalisme pribumi (Kahin, 1996: 38). Hal itu karena jumlah sekolah yang disediakan terlalu sedikit jika dibandingkan dengan jumlah penduduk (Ricklefs, 2008: 350). Politik etis secara tidak langsung membentuk intelektual pribumi. Individu Indonesia yang memperoleh pendidikan barat mendapatkan tempat yang dianggap tidak sesuai dengan hasil pendidikan yang pernah diterima dan individu yang tidak mendapat pendidikan tidak mendapat pekerjaan. Kelompok inilah yang muncul sebagai kekuatan utama dalam pergerakan kebangsaan dan menghasilkan banyak pemimpin. Hasil pendidikan barat menyebabkan timbulnya elite Indonesia baru. Golongan baru ini terdiri dari kaum elite yang merasa kecewa, dan mempunyai gagasan sosial Modernis Islam serta ide hasil pendidikan Barat. Dengan kebangkitan elit politik Indonesia, massa Indonesia memperoleh kepemimpinan politik (Kahin, 1996: 64). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3
Konflik dalam perjuangan, berhasil menggerakkan rakyat Indonesia untuk berusaha mempertahankan kemerdekaan. Keinginan para pemuda, meyakini proklamasi bukan suatu masalah yang harus dirundingkan, namun harus dipertahankan. Pihak pemerintah Republik mempunyai komitmen merundingkan dengan pihak Belanda untuk mendapatkan simpati internasional dalam perundingan (Reid, 1996: 149). Rakyat berjuang supaya kekuatan asing dalam hal ini Belanda tidak lagi menanamkan kekuasaannya di Indonesia. Revolusi Indonesia bertujuan untuk melengkapi dan menyempurnakan proses penyatuan dan kebangkitan nasional Indonesia (Ricklefs, 2008: 447). Sesudah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, pembentukan sebuah negara dengan segala aparaturnya, dan perlengkapan negara merdeka segera dibutuhkan. Pada 18 Agustus 1945, Undang Undang Dasar disahkan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), lembaga eksekutif dipilih. Soekarno terpilih sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai wakil Presiden. Kabinet Presidensial dibentuk sesuai Undang Undang Dasar 1945, dan kemudian disusul pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada 19 Agustus 1945 yang nantinya menjadi Tentara Nasional Indonesia (Ajip Rosidi, 2011: 98). Upaya mempertahankan stabilitas kemerdekaan terus dilakukan rakyat Indonesia. Hal itu dilakukan dengan membentuk Badan Kelengkapan Negara, serta pendirian berbagai partai politik yang berlandaskan Maklumat Wakil Presiden no X tanggal 3 November 1945. Partai-partai politik dibentuk atas dasar pemikiran-pemikiran revolusioner dari para anggotanya. Pemikir-pemikir di dalam partai inilah yang mempunyai peranan penting dalam menggerakkan politik di Indonesia. Para tokoh politik menggerakan serta mengembangkan arus politik sebagai upaya dalam membentuk identitas politik Indonesia. Almon dan Powel menyatakan unit dasar dari stuktur politik ialah peran individu (Winarno, 2007: 83). Para tokoh politik merupakan seseorang yang menduduki posisi dalam struktur sosial dan memiliki peranan penting dalam aktivitas politik. Posisi atau commit to user tempat seseorang dalam proses politik merupakan unsur statis yang menunjukkan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4
peran individu dalam gerakan politik. Peranan menunjukkan pada fungsi, penyesuaian diri dan sebagai suatu proses. Peranan dalam gerakan politik individu tentu memberikan sumbangan bagi perkembangan suatu negara. Peran individu dalam aktivitas politik memberikan dampak yang begitu besar terhadap perubahan pemikiran suatu bangsa. Sederet nama penting seperti Soekarno, Hatta, Roem merupakan tokoh di masa revolusi yang selama ini melahirkan kebijakan untuk membangun bangsa Indonesia melalui aktivitas politiknya. Riwayat, jasa, serta aktivitas berpolitik mereka dicatat secara lengkap dalam berbagai buku sejarah terutama yang membahasa masa revolusi. Ini menandakan pengkajian terhadap tokoh politik di masa revolusi sangat penting, untuk melestarikan warisan berupa pemikiran dan jasa terhadap Republik Indonesia. Selain itu, pentingnya penelitian terhadap biografi tokoh politik diyakini sebagai jalan untuk mengetahui pembentukan pemikiran serta kontribusi yang diberikan kepada Republik Indonesia di masa revolusi. Salah satu tokoh politik yang memainkan peranan penting di Indonesia adalah Sjafruddin Prawiranegara. Dilahirkan di Serang, Banten pada tanggal 28 Februari 1911. Ayahnya, Raden Arsad Prawiraatmadja merupakan Camat Anyar Kidul, dan ibunya Noer’aini merupakan anak dari Mas Abidin Mangoendiwirdja juru tulis asisten residen dan camat di Cening yang termasuk karesidenan Benten (Ajip Rosidi, 2011: 18-22). Sjafruddin menempuh pendidkan di ELS (Europeesche Lagere School yaitu sekolah rendah untuk orang-orang Eropa bagi orang Belanda atau orang Eropa lainnya serta yang dianggap sederajat), dilanjutkan MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) yaitu pendidikan dasar yang diperluas kira-kira sama dengan SMP sekarang, lalu AMS (Algemeene Middlebare School yaitu Sekolah Menengah Umum, setingkat SMA sekarang) di Bandung. Sjafruddin kemudian masuk ke ke RHS (Rechts Hoge School yaitu sekolah Tinggi Hukum). Ketika masih menjadi Mahasiswa di RHS, Sjafruddin terlibat dalam organisasi commit to user Mahasiswa yang bernama USI (Unitas Studiosorum Indoneesiensis), sebagai
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5
tempat perdana bagi Sjafruddin mempelajari organisasi. Sjafruddin melalui jaringan USI berhasil mengadakan kontak dengan pemuda gerakan bawah tanah pimpinan Sjahrir (Ajip Rosidi, 2011: 91-92). Di samping itu, Sjafruddin juga bergabung dalam kelompok organisasi seperti Pagoejoeban Pasoendan, kelompok Parindra, dan Kelompok Islam. Peran Sjafruddin Prawiranegara pada Indonesia sudah ditunjukan sejak Sjafruddin menjabat sebagai Kepala Kantor Pajak Kediri tahun 1942. Sesudah Indonesia merdeka, Sjafruddin menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang dibentuk pada bulan Oktober 1945. Pada kabinet Sjahrir ke-2, Sjafruddin duduk sebagai Menteri Muda Keuangan (Ajip Rosidi, 2011: 113). Kesediaannya menjadi Menteri Muda Keuangan karena ingin mewujudkan idenya tentang Oeang Republik Indonesia (ORI) yang menurut Sjafruddin sangat penting. Pada kabinet Hatta yang diumumkan pada 29 Januari 1948, Sjafruddin Prawiranegara duduk sebagai Menteri Kemakmuran. Pada saat Agresi Belanda II tanggal 19 Desember 1948 Yogyakarta diserang oleh pasukan Belanda, pemerintah Republik Indonesia memberikan mandat kepada Sjafruddin Prawiranegara melalui radiogram untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Bukit Tinggi (Moedjanto, 1988: 42). Pada masa RIS, Hatta sebagai Perdana Menteri mengumumkan kabinetnya pada tanggal 21 Desember 1949. Dalam kabinet ini, Sjafruddin Prawiranegara duduk sebagai Menteri Keuangan. Salah satu kebijakan ekonomi yang diterapkan yaitu Gunting Sjafruddin (Ajip Rosidi, 2011: 243-250). Sjafruddin Prawiranegara terlibat dalam Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada Februari 1958. Ia diposisikan menjadi Perdana Mentri sekaligus Menteri Keuangan. Sjafruddin sebagai salah satu tokoh sentral pendirian PRRI dianggap sebagai pemberontakan daerah. PRRI dianggap sebagai pengkhianat bangsa, meskipun sebenarnya merupakan suatu bentuk protes atas pemerintahan Republik Indonesia. PRRI dibentuk atas dasar ketidak setujuan atas pembentukan kabinet Djuanda yang dibuat secara tidak sah dan merupakan wujud commit to user dari desakan kaum komunis (Ajip Rosidi, 2011: 317). Pembentukan pemerintahan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
6
revolusioner merupakan upaya perjuangan, bukan dalam konteks perjuangan berupa perlawanan antara daerah luar Jawa terhadap pemerintah pusat. Melainkan, menegakkan negara Indonesia yang adil dan Makmur. Cita-cita tersebut termaktub dalam lima prinsip dasar kebijaksanaan PRRI. Pada 16 Februari 1958 Presiden Soekarno memberikan perintah untuk menangkap Sjafruddin Prawiranegara beserta seluruh petinggi PRRI, dimulailah mobilisasi militer ke Sumatra untuk menggulingkan PRRI. Tersudutnya PRRI dan dikeluarkannya Keppres no 449/1961 tentang amnesti dan abolisi bagi semua anggota
PRRI
maka
Sjafruddin
Prawiranegara
sebagai
presiden
RPI
mengeluarkan instruksi untuk menghentikan perlawanan dan penyerangan terhadap tentara Republik Indonesia. Tanggal 17 Agustus 1961 Sjafruddin Prawiranegara menyerahkan diri. Cadangan emas yang disimpan guna pembiayaan RPI pun turut diberikan ke pemerintah Republik Indonesia sebagai kekayaan Negara (Kahin, 2005: 355). Pada masa Orde Baru Sjafruddin merupakan salah satu orang yang ikut dalam menandatangani petisi 50 masa Soeharto. A.M. Fatwa dalam Ajip Rosidi (2011: 9) menyatakan petisi 50 ditandatangani sebagai wujud kritik terhadap pemerintah Orde Baru yang otoriter dan merupakan upaya penyadaran terhadap kehidupan berkonstitusi, khususnya penegakan hukum dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Hal ini mengakibatkan Sjafruddin Prawiranegara beserta para tokoh lainnya mendapat ‘pembatasan hak sipil’. Sjafruddin justru merupakan individu yang berhasil mempertahankan keberadaan Republik Indonesia saat Presiden dan Wakil Presiden Soekarno dan Hatta ditangkap Belanda, Sjafruddin kemudian melanjutkan roda pemerintahan dengan mendirikan PDRI di pedalaman Sumatera pada 22 Desember 1948. Sumbangan yang diberikan Sjafruddin di masa revolusi maupun sesudahnya merupakan jasa yang patut untuk dicatat dalam penelitian. Sjafruddin Prawiranegara merupakan salah satu tokoh politik yang beperan penting di Indonesia. Penelitian ini mencoba untuk mengkaji “Sjafruddin Prawiranegara commit to user dalam Percaturan Politik di Indonesia Tahun 1945-1961”.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
7
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah dipaparkan sebelumnya, maka rumusan masalah adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana latar belakang sosial politik Sjafruddin Prawiranegara? 2. Bagaimana peran politik Sjafruddin Prawiranegara di Indonesia tahun 1945-1961?
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk menjawab dari rumusan masalah diatas, yaitu untuk: 1. Mengetahui latar belakang sosial politik Sjafruddin Prawiranegara. 2. Mengetahui peran politik Sjafruddin Prawiranegara di Indonesia tahun 1945-1961.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk: a. Memberikan pengetahuan tentang peranan Sjafruddin Prawiranegara sebagai tokoh penting Indonesia tahun 1945-1961. b. Memberikan sumbangan pengetahuan ilmiah yang berguna dalam rangka pengembangan ilmu sejarah. 2. Manfaat Praktis a. Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan kepada pembaca untuk digunakan sebagai wacana dan pemahaman dalam bidang sejarah, khususnya kajian tokoh yang berperan penting di Indonesia. b. Sebagai hasil penelitian yang melengkapi kajian tentang tokoh Indonesia lainnya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II KAJIAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Revolusi Fisik Revolusi dipahami sebagai upaya luar biasa, sangat kasar, dan merupakan gerakan yang paling terpadu dari seluruh gerakan sosial apa pun. Revolusi juga dipahami sebagai ungkapan atau pernyataan akhir dari suatu keinginan otonom dan emosi-emosi yang mendalam serta mencakup segenap kapasitas keorganisasian maupun ideologi protes sosial yang dikerjakan secara seksama. Aktivitas revolusi secara khusus, dianggap dapat menciptakan suatu tatanan sosial baru yang lebih baik (Eisenstadt, 1986: 3). Menurut Kartodirdjo (1982: 80) revolusi merupakan proses politik yang timbul dalam situasi kritis pada waktu golongan konflik mengusahkan perubahan politik dengan cara radikal. Pada pengertian yang lebih luas revolusi merupakan perubahan di bidang sosial politik yang serba cepat, mendadak dan disertai kekerasan. Secara lebih sempit, revolusi sering diartikan sebagai pemberontakan bersenjata. Revolusi juga diartikan sebagai perkembangan fundamental pada hampir semua bidang kehidupan supaya masyarakat lebih menikmati kebahagiaan duniawi. Revolusi bersifat menyeluruh, menjangkau semua bidang kegiatan manusia. Revolusi ialah perubahan nilai dan mitos yang dominan dalam suatu masyarakat terutama lembaga politik, struktur sosial, kegiatan dan kebijaksanaan pemerintah, yang berlangsung dengan kekerasan, mendasar dan pada waktu yang cepat (Huntington, 1984:423). Menurut Eugene Kamenka dalam Eisenstadt (1986: 5), revolusi merupakan suatu perubahan yang mendadak dan tajam dalam siklus kekuasaan sosial. Cirinya tercermin dalam perubahan radikal terhadap proses pemerintahan yang berdaulat pada segenap kewenangan dan legitimasi resmi, serta sekaligus perubahan radikal dalam konsepsi tatanan sosialnya. Transformasi demikian diyakini, tak mungkin dapat terjadi tanpa kekerasan. Tapi seandainya commit to usersebagai revolusi. dilakukan tanpa kekerasan tetap dapat dianggap 9
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
10
Perubahan secara cepat akan terjadi pada sendi-sendi atau dasar-dasar pokok dari kehidupan masyarakat (yaitu lembaga-lembaga kemasyarakatan) lazimnya dinamakan Revolusi. Di dalam revolusi, perubahan yang terjadi dapat direncanakan terlebih dahulu maupun terjadi tanpa perencanaan. Sebenarnya ukuran kecepatan suatu perubahan yang dinamakan revolusi sifatnya relatif, sebab revolusi dapat memakan waktu yang lama. Suatu revolusi dapat berlangsung dengan didahului pemberontakan dan kemudian menjelma menjadi revolusi. Supaya revolusi dapat terjadi maka harus dipenuhi syarat-syarat tertentu, antara lain: a. Ada keinginan untuk mengadakan perubahan. Di dalam masyarakat harus ada perasaan tidak puas dengan keadaan ini. b. Adanya seorang pimpinan atau sekelompok orang yang dianggap mampu memimpin masyarakat tersebut. c. Pemimpin tersebut dapat menampung keinginan-keinginan tersebut untuk kemudian merumuskan serta menegaskan rasa tidak puas dari masyarakat untuk dijadikan program dan arah bagi geraknya masyarakat. d. Pemimpin tersebut harus menunjukkan tujuan baik yang konkret dan dapat dilihat pada masyarakat maupun tujuan yang abstrak seperti ideologi tertentu. e. Harus ada momentum untuk revolusi, yaitu saat dimana segala keadaan dan faktor sosial adalah baik sekali untuk mulai dengan gerakan revolusi. Jika momentum yang dipilih keliru, maka revolusi dapat gagal (Setiadi & Kolip, 2011: 620-623). Revolusi terjadi akibat pergeseran sosial atau ketimpangan fundamental terutama perjuangan antar elite. Perpaduan pergolakan tersebut dengan kekuatan sosial maupun konflik golongan yang lebih dalam dan menyebar luas seperti konflik kelas dan dislokasi serta mobilisasi sosial juga organisasi-organisasi politik dari berbagai kelompok sosial yang lebih besar (Eisenstadt, 1986: 3). Revolusi dilakukan karena ada sesuatu yang diharapkan. Kaum revolusioner selalu bertindak sebagai kelompok yang terorganisasi dan hampir kompak, tetapi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
11
setelah kekuasaan kelihatan mulai tercapai, mereka tidak kompak lagi (Macridis&Brown, 1992: 602-604). Pada revolusi-revolusi besar, terdapat perubahan yang berupaya untuk membenahi kembali tatanan sosial terutama sekali, penghapusan aspek-aspek hierarkis dan menetapkan persamaan, solidaritas serta kemerdekaan politik dan sosial. Perubahan berupa kecenderungan ke arah perumusan sejumlah ketentuan ideologis baru tentang tatanan sosial (Eisenstadt, 1986: 217). Revolusi merupakan kasus ekstrim ledakan dari partisipasi politik. Tanpa ledakan, revolusi tidak pecah. Namun, revolusi yang utuh melibatkan tahap kedua yaitu pembentukan dan pelembagaan peta politik. Tolak ukur untuk mengkaji seberapa jauh suatu revolusi itu benar-benar revolusioner yaitu kecepatan dan ruang lingkup perluasan partisipasi politiknya. Sedangkan untuk mengetahui keberhasilan suatu revolusi ialah wewenang dan stabilitas lembaga yang melahirkannya. Semua situasi revolusioner dan kontra revolusi selalu didukung oleh kekuatan asing yang berusaha untuk menghentikan partisipasi politik dan menata kembali peta dengan sedikit keleluasaan tetapi terpusat secara tegas. (Huntington, 1984: 416-421). Ada berbagai gambaran tentang pengaruh atau akibat dari revolusi. Pertama, perubahan secara keras terhadap rezim politik yang ada, yang didasari oleh legitimasi maupun simbol-simbolnya sendiri. Kedua, penggantian elite politik atau kelas yang sedang berkuasa dengan lainnya. Ketiga, perubahan secara mendasar seluruh bidang kelembagaan utama, terutama dalam hubungan kelas dan sistem ekonomi, yang menyebabkan modernisasi disegenap aspek kehidupan sosial, pembaharuan ekonomi dan industrialisasi, serta menumbuhkan sentralisai dan partisipasi dalam dunia politik. Keempat, pemutusan secara radikal dengan segala hal yang telah lampau. Kelima, memberikan kekuatan ideologis dan orientasi kebangkitan mengenai gambaran revolusioner. Revolusi tidak hanya membawa transformasi kelembagaan dan keorganisasian, melainkan juga perubahan terhadap sistem pendidikan dan sistem moral, yang akan menciptakan commit to user atau melahirkan manusia baru (Eisenstadt, 1986: 3-4).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
12
Menurut Eisenstadt (1986: 248-249) keadaan yang dapat menimbulkan revolusi: a. Terdapat tiga aspek utama yang menerobos peradaban tradisional keperadaban modern. Aspek-aspek tersebut ialah: 1) Peralihan dari pola keabsahan kewenangan politik yang tradisional atau tertutup kesuatu pola terbuka; 2) Peralihan dari sistem stratifikasi (sistem kelas) tradisional ke sistem stratifikasi terbuka yang terbuka yang berakar atau berhubungan dengan gerakan ke arah ekonomi pasar umumnya dan ekonomi perindustrian pada umumnya; 3) Penciptaan dan/atau penyatuan unit-unit kemasyarakatan ke dalam sistem ekonomi kapitalis dan politik kebudayaan internasional yang terus berubah. b. Pertemuan aspek-aspek tersebut menyebabkan pusat dan kelompok-kelompok tradisional memperoleh sejumlah masalah yang menghendaki pengertian kembali seluruh aturan-aturan dasar interaksi sosial utama dan sumber kelembagaan mendasar, terutama sekali, aturan-aturan dasar dan sumbersumbernya yang berhubungan dengan akses ke kekuasaan dan struktur pusatpusat politik. c. Tumbuhnya diferensiasi sosio-ekonomi mengakibatkan terjadinya gerakan protes, perjuangan politik dan pembaharuan, dengan sejumlah besar kelompok yang siap untuk mobilisasi sosial. Revolusi mempunyai andil dalam perubahan integral di suatu lingkup masyarakat. Perubahan integral itu tentunya menimbulkan dampak perubahan. Menurut Kristeva (2011: 35) dampak perubahan dalam revolusi setidaknya terdapat lima hal. a. perubahan dengan cakupan terluas, menyentuh semua tingkat dan dimensi masyarakat, kehidupan sehari-hari, dan kepribadian manusia; b. perubahan terjadi secara radikal, fundamental, menyentuh inti bangunan dan fungsi sosial; c. perubahan terjadi sangat cepat, tiba-tiba; d. revolusi adalah commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
13
perubahan paling menonjol; e. waktu kejadiannya luar biasa cepat dan karena itu sangat mudah diingat. Menurut Goldstone dalam Kristeva (2011: 40) revolusi akan terjadi bila ada persaingan yang mampu memobilisasi sumber daya secara besar-besaran yang diperlukan untuk merebut kekuasaan dari rezim lama. Terdapat dua kekuasaan besar yang saling bersaing untuk menjaga eksistensi kekuasaan. Pada kasus ini PDRI; bersaing dengan Belanda untuk mempertahankan eksistensi kekuasan di Indonesia. Tentunya persaingan itu melibatkan kotak senjata dan mobilisasi militer. Persaingan yang timbul antara kedua belah pihak merupakan tindakan revolusioner. Atau merupakan tindakan untuk mengubah dengan tindakan kekerasan. Tindakan revolusi merupakan situasi persaingan terhadap kedaulatan ganda. Menurut Tilly dalam Kristeva (2011: 41) ciri dari bentuk revolusioner yaitu kedaulatan ganda atau dengan kata lain pelipat gandaan pemerintahan yang sebelumnya di bawah kontrol tunggal kemudian menjadi sasaran persaingan antara dua atau lebih kekuatan yang berbeda. Situasi ini akan berakhir bila kontrol atas pemerintahan diraih kembali oleh kekuasaan tunggal. Terdapat situasi dan kondisi khusus yang menyebabkan meletusnya revolusi. Pergolakan revolusi mempunyai sebab-sebab tertentu. Sebab-sebab itu tertanam dalam: a. Struktur masyarakat; b. perubahan kependudukan; c. struktur dan konjuktur ekonomi; d. perkembangan pemikiran dari kelas menengahnya; e. evolusi politik. Keseluruhan alasan inilah yang selalu menjadi sebab musabab sebuah revolusi. Revolusi fisik Indonesia merupakan gerakan anti penjajahan dan perubahan atas rezim lama. Mencakup perubahan pada aspek masyarakat Republik Indonesia. Para pemimpin Republik Indonesia memprakarsai terjadinya revolusi fisik dan rakyat mendukung pergerakan itu dengan terlibat secara langsung. Revolusi Indonesia pada hakikatnya adalah gerakan dari atas yang diprakarsai dan dipimpin oleh elite politik. Selanjutnya, menyusul segera gerakan masa di kalangan rakyat yang sangat spontan dan penuh antusiasme . . . mampu membangkitkan kesadaran anti imperalis dan nasional (Kartodirjo, 1999: 133). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
14
2. Peran Politik Apabila seseorang melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka seseorang berarti sudah menjalankan peranannya. Antara peranan dan kedudukan sama-sama memiliki fungsi yang saling terkait, bagaikan dua sisi mata uang, artinya tidak ada kedudukan tanpa peranan. Demikian juga sebaliknya, tidak ada peranan tanpa kedudukan. Masingmasing kedudukan dan peranan akan ditentukan oleh norma-norma sosial setelah seseorang berhubungan dengan orang lain. Peranan dan kedudukan seseorang akan sangat erat hubungannya dengan orang lain. Dengan demikian, jika seseorang sudah menjalankan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka orang itu telah menjalankan suatu peran sosial (Setiadi & Kolip, 2011: 435436). Setiap orang memiliki berbagai macam peranan yang berasal dari pola pergaulan hidupnya. Kesempatan-kesempatan yang diberikan oleh masyarakat menentukan apa yang diperbuat bagi masyarakat. Peranan sangat penting karena peranan itu mengatur perilaku seseorang. Peranan menyebabkan seseorang berada pada batas-batas tertentu. Peranan menunjuk pada fungsi, penyesuaian diri dan sebagai suatu proses. Jadi, seseorang dapat menduduki suatu posisi dalam masyarakat serta melaksanakan suatu peranan. Menurut Levinson dalam Soekanto (1982: 243-244) peranan mencakup tiga hal: a. Meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat; b. Suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi; c. Perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat. Posisi atau tempat seseorang dalam proses politik merupakan unsur statis yang menunjukkan peran individu dalam gerakan politik. Peranan menunjukkan pada fungsi, penyesuaian diri dan sebagai suatu proses. Sesorang yang menduduki suatu posisi atau tempat serta menjalankan suatu peranan tentu melaksanakan commit to user tindakan politik. Setiap peranan bertujuan supaya antar individu yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
15
melaksanakan peranan tadi dengan orang-orang disekitarnya yang tersangkut, atau ada hubungannya dengan peranan tersebut, terdapat hubungan yang diatur oleh nilai-nilai sosial yang diterima dan ditaati kedua belah pihak. Menurut Miriam Budiarjo (1977:8) politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat dan bukan tujuan pribadi seseorang. Menurut Hoogerwerf dalam Ng. Philipus & Nurul Aini (2006: 90) politik sebagai pertarungan kekuasaan. Peran politik adalah fungsi seseorang dalam suatu sistem politik yang menyangkut proses menentukan dan melaksanakan tujuan dari sistem politik. Proses menentukan dan melaksanakan tujuan menyangkut perilaku penting yang dilakukan bagi kepentingan orang banyak, konsep pemikiran yang dicetuskan dalam sebuah sistem, dan selalu terkait dengan perebutan kekuasaan. Setidaknya melalui ketiga hal itu peran politik dapat terjadi. Unsur dasar dari proses politik ditopang dengan adanya peran individu yang berpolitik. Peran menjadi struktur dari bangunan politik itu sendiri. Ini diungkapkan Almond dan Powell demikian, “Unit dasar struktur politik adalah peran individu. Peran merupakan pola-pola perilaku yang teratur, yang ditentukan lewat harapan-harapannya sendiri dan tindakan-tindakan dan orang lain” (Winarno, 2007: 83). Berdasarkan uraian di atas, peran politik menyangkut aktivitas dalam kegiatan berpolitik. Aktivitas berpolitik merupakan keterlibatan atau partisipasi individu dalam kegiatan politik. Pembacaan dari partisipasi individu dalam kegiatan berpolitik akan memperlihatkan perannya pada suatu sistem politik. Menurut David dalam Arifin Rahman (1998: 128-129) partisipasi adalah penentuan sikap dan keterlibatan hasrat setiap individu dalam situasi dan kondisi organisasinya sehingga pada akhirnya mendorong individu tersebut untuk berperan serta dalam pencapaian tujuan organisasi, serta ambil bagian dalam commit to user setiap pertanggungjawaban bersama.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
16
Menurut Sudijono Sastroatmodjo (1995:67-68) partisipasi politik merupakan kegiatan yang dilakukan oleh warga negara untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan dengan tujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan pemerintah. Sedangkan Menurut Huntington partisipasi politik hanya sebagai kegiatan warga negara yang bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah. Ramlan Surbakti mengartikan partisipasi politik sebagai kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan umum dan dalam ikut menentukan pemimpin pemerintah. Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, dengan jalan memilih pimpinan negara, dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah. Menurut Herbert McClosky dalam Miriam Budiarjo (1981:1) partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat yang mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum. Menurut Verba, Nie dan Kim dalam Afan Gafar (1991: 26) partisipasi politik merupakan tindakan yang dilakukan oleh individu dan bertujuan untuk mempengaruhi pemerintah dalam mengisi jabatan yang ada, serta dalam mengambil keputusan. Partisipasi politik mengacu pada semua aktivitas yang sah oleh semua warga negara yang kurang lebih langsung dimaksudkan untuk mempengaruhi pemilihan pejabat pemerintahan dan atau tindakan-tindakan yang mereka ambil. Istilah partisipasi politik diterapkan pada aktivitas orang dari semua tingkat sistem politik. Perbandingan pada setiap negara dalam menentukan tingkat partisipasi politik warganya sangat bervariasi, bahkan untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan politik, memberi suara, atau untuk menduduki jabatan pemerintah telah dibatasi hanya untuk kelompok kecil orang yang berkuasa, kaya, dan keturunan terpandang.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
17
Menurut Myron Weiner dalam Mohtar Masoed&Colin MacAndrews (1993:45-46), terdapat lima hal yang menyebabkan timbulnya gerakan kearah partisipasi dalam proses politik, yaitu: a. Modernisasi: komersialisasi pertanian,
industrialisai, urbanisasi
yang
meningkat, penyebaran kepandaian baca tulis, perbaikan pendidikan, dan pembangunan media komunikasi massa. b. Perubahan-perubahan struktur kelas sosial. Begitu terbentuk suatu kelas pekerja baru dan kelas menengah yang meluas dan berubah selama proses industrialisasi dan modernisasi, masalah tentang siapa yang berhak berpartisipasi dalam pembuatan keputusan politik menjadi penting dan mengakibatkan perubahan-perubahan dalam pola partisipasi politik. c. Pengaruh kaum intelektual dan komusikasi massa modern. d. Konflik di antara kelompok-kelompok pemimpin politik. e. Keterlibatan pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi dan kebudayaan. Bentuk-bentuk partisipasi politik: konvensional (pemberian suara /voting). Diskusi politik, kegiatan kampanye, membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan, komunikasi individual dengan pejabat politik dan administratif)
maupun
konvensional
(pengajuan
petisi,
berdemonstrasi,
konfrontasi, mogok, tindakan kekerasan politik terhadap harta benda, tindakan kekerasan politik terhadap manusia, perang gerilya dan revolusi). Menurut Gabriel A. Almond dalam Mohtar Mas’oed & MacAndrews Colin (1993: 45-49) faktor-faktor yang mempengaruhi keaktifan seseorang dalam parsipasi politik antara lain: pendidikan tinggi, perbedaan jenis kelamin dan status sosial ekonomi, dan keanggotaan dalam partai politik. Menurut Surbakti dalam Sudijono Sastroatmodjo (1995: 74) partisipasi politik dibedakan menjadi partisipasi aktif dan partisipasi pasif. Partisipasi aktif mencakup kegiatan warga negara mengajukan usul dan alternatif kebijakan umum yang berbeda dengan kebijakan pemerintah, mengajukan kritik dan saran perbaikan untuk meluruskan commit to user kebijaksanaan, membayar pajak, ikut serta dalam pemilihan pemerintah.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
18
Sedangkan partisipasi pasif berupa mentaati peraturan, menerima, dan melaksanakan begitu saja keputusan pemerintah. Partisipasi politik merupakan bentuk tingkah laku baik menyangkut aspek sosial maupun politik. Tindakan-tindakan dan aktivitas politik tidak hanya menyangkut apa yang telah dilakukan, tetapi juga menyangkut hal-hal atau motif apa yang mendorong individu untuk berpartisipasi. Saint dalam Sudijono Sastroatmodjo (1995: 95) menyebutkan ada lima faktor yang mendorong partisipasi politik masyarakat Indonesia. a. adanya kebebasan berkompetisi disegala bidang; b. adanya kenyataan berpolitik secara luas dan terbuka; c. adanya keleluasaan untuk mengorganisasi diri sehingga organisasi masyarakat dan partai dapat tumbuh subur; d. adanya penyebaran sumber daya politik di kalangan masyarakat yang berupa kekayaan dalam masyarkat; e. adanya distribusi kekuasaan di kalangan masyarakat sehingga tercipta suatu pertimbangan kekuatan. Menurut Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson dalam Afan Gafar (1991: 27) menggolongkan partisipasi politik dalam beberapa bentuk kegiatan seperti berikut: a. Electoral Activities, yang mencakup segala kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilihan umum, mulai dari pendaftaran pemilih, pencalonan, kampanye, pemberian suara dan juga penghitungan suara. b. Lobbying, aktivitas individual ataupun kelompok untuk menghubungi pejabat pemerintah atau pemimpin politik untuk mempengaruhi keputusan mereka tentang sesuatu hal. Umumnya tindakan ini diharapkan untuk memperoleh dukungan ataupun untuk menciptakan oposisi. c. Organizatonal Activities, yang mencakup kegiatan yang berkaitan dengan dukungan terhadap suatu organisasi baik politik maupun non politik, termasuk di dalamnya menjadi anggota organisasi untuk mempengaruhi pemerintah. d. Contacting, tindakan individu yang menghubungi secara langsung pejabat commit to user pemerintah untuk menyampaikan segala sesuatu persoalannya.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
19
e. Violence, tindakan yang berbentuk unujuk rasa dapat juga dimasukkan dalam kategori partisipasi politik, seperti misalnya demonstrasi, bahkan kekerasan politik. Biasanya tindakan seperti ini dijalankan kalau saluran untuk menyampaikan aspirasi politik tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
3. Percaturan Politik Menurut Hotman M. Siahaan dalam John Pieris (2004: 19-20) percaturan politik di Indonesia pada umumnya disebabkan oleh adanya konflik-konflik yang melibatkan umat beragama, struktur-struktur sosio-religius, lembaga-lembaga keulamaan, dan ideologi-ideologi keagamaan. Keempat kategori ini jelas terpisah satu sama lain, namun terikat sebagai bagian-bagian yang tak terpisahkan. Para tokoh politik, baik dari kalangan ulama maupun awam, sama-sama berusaha menggunakan lambang-lambang keagamaan sebagai salah satu alat perjuangan untuk mendapatkan kekuasaan. Hotman mengingatkan bahwa langkah politik juga diambil ketika orang mulai menyadari bahwa mereka bagian dari kelompok politik yang memiliki identitas yang sama. Menurut Kuntowijoyo (1991: 143-144) terdapat tiga teori kerangka percaturan politik dalam hubungannya dengan mobilisasi dan partisipasi politik, yaitu: a. Kebudayaan politik Pola kebudayaan politik dikemukakan oleh Clifford Geertz, Robert Jay, dan Donald Emerson bahwa tiga kebudayaan besar yaitu kebudayaan tinggi priyayi, kebudayaan rakyat abangan, dan kebudayaan santri merupakan kebudayaan pengelompokkan politik. b. Politik patron-client W. F. Wertheim mengajukan politik Patron-Client sebagai pola kehidupan politik Indonesia. Ini berarti bahwa pengelompokkan politik tidak berdasarkan budaya maupun solidaritas kelas, tetapi berdasarkan hubungan patron-client, yang merupakan hubungan berantai yang tak putus-putus. commit to user Massa akan mengikuti para pemimpin yang alami. Menurut Leslie Palmer
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
20
bahwa para anggota birokrasi yang memerintah benar-benar memperoleh penghormatan tertentu dari penduduk, dengan demikian mampu memegang kekuasaan atas penduduk itu. c. Ekonomi politik Menurut Richard Robison, suatu kelas pemilik modal birokratik telah tumbuh subur karena kebijaksanaan pembangunan. Persekutuan mereka dengan kapitalisme dunia telah membuat Indonesia hanya jadi satu mata rantai dari serangkaian bagian kerja dan eksploitasi ekonomi internasional. Percaturan politik dalam pembahasan ini berkaitan dengan kebudayaan politik. Pola kebudayaan politik dikemukakan oleh Clifford Geertz, Robert Jay, dan Donald Emerson bahwa tiga kebudayaan besar yaitu kebudayaan tinggi priyayi, kebudayaan rakyat abangan, dan kebudayaan santri merupakan kebudayaan pengelompokkan politik. Ini merupakan pandangan tahun 1950-an ketika Republik Indonesia menganut politik liberal. Politik liberal ini memberikan peluang kepada partai-partai politik untuk mengelompok menurut kelompok solidaritas budaya atau aliran. Aliran dalam hal ini berarti tiap partai politik senantiasa terkait dengan para pengikut dari suatu kebudayaan tingkat bawah. Demikianlah elit birokrasi priyayi bergabung dalam PNI, kaum abangan dalam PKI, dan kaum santri dalam Masyumi (Kuntowijoyo, 1991: 143-144). Emerson (1976: 24) melihat elite Indonesia dari individu yang berperan penting dalam kebudayaan politik. Elite dalam konteks budaya politik di latar belakangi oleh perbedaan orientasi. Emerson melihat percaturan politik di Indonesia dari sisi kebudayaan politik. Elite dalam konteks budaya politik itu menurut Emerson sebagai percaturan politik yang ia sebut Political Culture. Menurut Emerson (1976: 63-64) Islam memiliki peranan penting dalam menentukan arah maupun perkembangan budaya politik Indonesia. Hal ini diamati oleh Emerson berlandaskan apa yang dilakukan oleh Geertz, yang membagi 3 ciri Islam di Indonesia, yaitu Santri, Priyayi, dan Abangan. Secara khusus Emerson mengamati 2 bentuk kebudayaan yaitu kebudayaan politik santri commit to user dan kebudayaan politik abangan. Dua bentuk kebudayaan tersebut dianalogikan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
21
melalui dua individu yaitu Usman dari kebudayaan politik santri dan Purwoko dari kebudayaan politik abangan. Budaya politik santri lebih menyebar dibandingkan dengan kebudayaan politik abangan yang hanya terpusat di Jawa. Elite politik santri lebih lemah dari elite politik abangan. Golongan santri memperoleh kekuatan yang kuat namun terasing oleh masyarakat. Pengasingan dilakukan oleh Belanda. Santri dilarang berbaur dalam masyarakat terutama masalah politik, apalagi yang dianggap menentang kolonialisme. Budaya politik merupakan fenomena dalam masyarakat yang memiliki pengaruh dalam struktur dan sistem politik. Almond dan Verba dalam Sudijono Sastroatmodjo (1995: 36) mengartikan kebudayaan politik suatu bangsa sebagai distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik antara masyarakat bangsa itu. Tidak lain adalah pola tingkah laku individu yang berkaitan dengan kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota suatu sistem politik. Gabriel A. Almond menunjukkan bahwa kebudayaan politik meliputi sikap-sikap dari warga suatu negara terhadap kehidupan pemerintahan politiknya (Mohtar Masoed & Colin MacAndrews: 1993: 33). Sikap warga negara berupa tuntutan, respon, dukungan, terhadap sistem politik terdapat pada hubungan antara kebudayaan politik dan sistem politik. Di dalamnya terdapat maksud individu untuk melakukan kegiatannya beserta faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran politik dalam sistem politik (Sastroatmodjo, 1995: 37). Menurut Almon dalam Mohtar Masoed & Colin MacAndrews (1993: 42) terdapat tiga model kebudayaan politik: model pertama adalah masyarakat demokratis industriil. Dalam sistem ini terdapat banyak aktivis politik yang menjamin adanya kompetisi partai-partai politik dan kehadiran pemberi suara, publik pemberi minat politik yang mendiskusikan secara kritis moral-moral kemasyarakatan dan pemerintahan. Model kedua adalah sistem otoriter. Dalam model ini terdapat kelompok masyarakat yang memiliki sikap politik yang berbeda. Mahasiswa dan kaum intelektual yang berusaha menentang dan mengubah sistem melalui tindakan commit to user protes. Kelompok pengusaha, kepala gereja, dan tuan tanah mendiskusikan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
22
masalah pemerintahan dan aktif dalam lobying. Sebagian masyarakat sebagai subjek pasif, mengakui pemerintahan dan tunduk kepadanya, tetapi tidak melibatkan diri dalam urusan masyarakat. Model ketiga yaitu sistem demokrasi praindustri. Negara dengan model seperti ini memiliki sedikit sekali partisipan terutama dari profesional terpelajar, usahawan, tuan tanah. Sebagian besar warga negara secara langsung terkena kebijakan pemerintah, memiliki pengetahuan dan keterlibatan dalam kehidupan politik yang sangat kecil. Budaya politik suatu masyarakat dengan sendirinya berkembang di dalam dan dipengaruhi kompleks nilai yang ada dalam masyarakat tersebut. Budaya politik bertujuan untuk memelihara stabilitas sistem politik yang demokratis. Berfungsinya budaya politik dengan baik pada prinsipnya ditentukan oleh tingkat keserasian antar budaya itu dengan struktur politiknya (Sodijono Sastroatmodjo, 1995: 40-41). Partisipasi politik dan mobilisasi memiliki hubungan dengan percaturan politik. Partisipasi berkaitan dengan inisiatif untuk melakukan aktifitas yang berasal dari diri individu sendiri, yang bertujuan untuk membantu pemerintah dalam menyeleksi individu tertentu untuk mengisi jabatan politik yang ada dan untuk membantu pemerintah dalam menentukan pilihan kebijaksanan yang diperlukan. Mobilisasi merupakan tindakan yang dilakukan individu bukan atas keinginannya sendiri melainkan digerakkan oleh orang lain, baik secara individu maupun kelompok (Prospektif, 1991: 28). Kegiatan seseorang dalam partai politik merupakan suatu bentuk partisipasi politik. Partisipasi politik mencakup semua kegiatan sukarela melalui mana seseorang turut serta dalam proses pemilihan pemimpin-pemimpin politik dan turut serta secara langsung atau tak langsung dalam pembentukan kebijaksanaan umum. Kegiatan-kegiatan ini mencakup kegiatan memilih dalam pemilihan umum; menjadi anggota golongan politik seperti partai; kelompok penekan, kelompok kepentingan; duduk dalam lembaga politik seperti dewan perwakilan rakyat atau mengadakan komunikasi dengan wakil-wakil rakyat yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
23
duduk dalam badan itu; berkampanye, dan menghadiri kelompok diskusi, dan sebagainya (Miriam Budiarjo, 1977: 161).
B. Kerangka Pemikiran
Kemerdekaan Republik Indonesia
Revolusi Fisik Indonesia
Percaturan Politik Indonesia
Peran Politik
Sjafruddin Prawiranegara Gambar 1. Kerangka Berpikir
Keterangan: Rakyat Indonesia berhasil mencapai kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Negara yang baru terbentuk ini tidak langsung muncul menjadi negara yang teratur, negara yang serasi, melainkan adanya pertarungan antara individu-individu dan kekuatan sosial yang bertentangan. Pada periode ini penuh dengan kekacauan, pemberontakan dan perang saudara. Aksi dilancarkan sebagai pertahanan stabilitas kedaulatan Republik Indonesia dalam bentuk kontak senjata pada tahun 1945-1950 yang dikenal sebagai masa Revolusi Fisik Indonesia. Selain membentuk Badan Kelengkapan negara, dan juga dilaksankan kebijakan pendirian berbagai partai politik yang berlandaskan Maklumat Wakil Presiden no X tanggal 3 November 1945. Parta-partai politik dibentuk atas dasar pemikiran-pemikiran revolusioner dari para anggotanya. Partai-partai politik ini mengelompok menurut kelompok solidaritas budaya atau aliran. Aliran dalam hal ini berarti tiap partai politik senantiasa terkait dengan para pengikut dari suatu commit to user kebudayaan tingkat bawah. Elit birokrasi priyayi bergabung dalam PNI, kaum
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
24
abangan dalam PKI, dan kaum santri dalam Masyumi. Sjafruddin Prawiranegara yang hidup di lingkungan muslim yang taat memilih untuk ikut bergabung menjadi anggota partai Masyumi. Unsur dasar dari proses politik ditopang dengan adanya peran individu yang berpolitik. Sjafruddin Prawiranegara merupakan salah satu tokoh Indonesia yang memiliki peran politik penting, baik dalam bidang ekonomi maupun politik. Setelah Indonesia merdeka, Ia menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang dibentuk pada bulan Oktober 1945. Pada kabinet Sjahrir yang ke-2, Sjafruddin Prawiranegara duduk sebagai Menteri Muda Keuangan. Pada kabinet Hatta yang diumumkan pada 29 Januari 1948, Sjafruddin Prawiranegara duduk sebagai Menteri Kemakmuran. Menjadi Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatera Barat saat terjadinya Agresi Militer Belanda II tanggal 19 Desember 1948. Pada masa RIS dalam kabinet Hatta, Sjafruddin Prawiranegara menjadi Menteri Keuangan. Salah satu kebijakan ekonomi yang diterapkan yaitu “Gunting Sjafruddin”. Menjadi Gubernur Bank Indonesia yang pertama tahun 1953. Sjafruddin terlibat dalam Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia tahun 1958 sebagai Perdana Mentri sekaligus Menteri Keuangan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Penelitian yang berjudul “Sjafruddin Prawiranegara dalam Percaturan Politik di Indonesia Tahun 1945-1961”, dilakukan menggunakan teknik pengumpulan data melalui studi pustaka dengan membaca literatur-literatur yang terdapat di berbagai perpustakaan maupun koleksi pribadi. Beberapa lokasi perpustakaan yang dipergunakan guna melakukan penelitian studi pustaka antara lain: a. Perpustakaan Program Pendidikan Sejarah, Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Universitas Sebelas Maret Surakarta; b. Perpustakaan Fakultas dan Keguruan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta; c. Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta; d. Perpustakaan Daerah Surakarta; e. Perpustakaan Monumen Pers (perpustakaan, arsip surat kabar dan majalah) Surakarta; f. Perpustakaan Daerah Yogyakarta; g. Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi, Daerah Istimewa Yogyakarta; h. Jogja Library Center; i. Perpustakaan Ignatius Yogyakarta; j. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia; k. Arsip Nasional Republik Indonesia; l. Buku koleksi Pribadi.
commit to user 25
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
26
2. Waktu Penelitian Waktu penelitian yang digunakan untuk penelitian ini direncanakan mulai dari disetujuinya judul skripsi yaitu pada bulan Juli 2011 sampai selesainya penulisan skripsi ini pada bulan Juli 2012.
B. Metode Penelitian Sejak penelitian dan penulisan sejarah dilakukan secara ilmiah, maka penelitian dan penulisan sejarah menggunakan metode sejarah. Metode itu sendiri berarti suatu cara, prosedur, atau teknik untuk mencapai sesuatu tujuan secara efektif dan efisien. Metode bersifat lebih praktis ialah memberikan petunjuk mengenai cara, prosedur, atau teknik pelaksanaannya secara sistematik. Pada umumnya, metode diketahui sebagai cara atau prosedur untuk mendapatkan objek. Juga didefinisikan metode adalah cara untuk berbuat atau mengerjakan sesuatu dalam suatu sistem yang terencana dan teratur. Jadi, metode erat hubungannya dengan prosedur, proses, atau teknis yang sistematis untuk melakukan penelitian disiplin tertentu. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan objek penelitian (Gottschalk&Garraghan dalam Suhartono, 2010: 11). Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode historis atau metode sejarah. Metode historis digunakan karena penelitian ini bertujuan untuk merekonstruksi peristiwa masa lampau secara sistematis dan obyektif, dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasi serta mensintesiskan buktibukti untuk menegakkan fakta dan untuk memperoleh kesimpulan yang kuat. Metode sejarah dapat diartikan sebagai metode penelitian dan penulisan sejarah dengan menggunakan cara, prosedur atau teknik yang sistematik sesuai dengan asas-asas dan aturan ilmu sejarah. Pengertian metode historis secara konvensional adalah telaah terhadap dokumen atau sumber lain yang berisi informasi tentang masa lampau dan dilaksanakan secara sistematis. Penelitian dengan metode historis menitikberatkan pada telaah dokumen yang merupakan hasil rekaman para ahli dari commit to user berbagai bidang (Suharsimi Arikunto, 2003: 332).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
27
Nasir (1985: 55-56) menyatakan metode historis atau metode sejarah adalah usaha untuk merekonstruksi masa lampu secara objektif dan sistematis dengan mengumpulkan, mengevaluasi fakta dan menarik kesimpulan secara tepat. Metode historis juga menjadi suatu prosedur pemecahan masalah dengan menggunakan data masa lalu atau peninggalan untuk memahami kejadian atau suatu keadaan yang berlangsung pada masa lalu terlepas dari keadaan masa sekarang. Serta memahami kejadiaan masa sekarang dalam hubungannya dengan kejadian masa lampau (Nawawi, 1993: 79). Gilbert J. Garragan, S. J (1957: 33) dalam bukunya A Guide to Historical Method mendefinisikan metode sejarah sebagai seperangkat asas dan aturan yang sistematik yang didesain guna membantu secara efektif untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah, menilainya secara kritis, dan menyajikan sintesis hasilhasil yang dicapainya, yang pada umumnya dalam bentuk tertulis. Richard F. Clarice (1927: 462) dalam bukunya Logic (London and New York, 1927) mengartikan metode sejarah sebagai sistem prosedur yang benar untuk mencapai kebenaran sejarah. Louis Gottschalk (1983:18;19;32) memaknai metode sejarah sebagai proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman, dokumen-dokumen, dan peninggalan masa lampau yang otentik dan dapat dipercaya, serta membuat interpretasi dan sintesis atas fakta-fakta tersebut menjadi kisah sejarah yang dapat dipercaya (Daliman, 2012: 27). Menurut Nugroho dalam Louis Gottschalk (1987: 18) prosedur penelitian dan penulisan sejarah bertumpu pada empat kegiatan pokok, yaitu: a. Pengumpulan objek yang berasal dari suatu jaman dan pengumpulan bahan-bahan tertulis dan lisan yang relevan; b. Menyingkirkan bahan-bahan yang tidak otentik; c. Menyimpulkan kesaksian yang dapat dipercaya dari bahan-bahan yang otentik; d. Penyusunan kesaksian yang dapat dipercaya itu menjadi suatu kisah atau suatu penyajian yang berarti. commit to user e. Prosedur itulah yang disebut metode sejarah Sejarah.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
28
Metode historis yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara: pertama, mencari dan mengumpulkan sumber-sumber yang terkait dengan Sjafruddin Prawiranegara tahun 1945-1961 di Indonesia. Kedua, sesudah sumber terkumpul, dilakukan pengujian dan analisis sumber dengan cara membandingkan antara satu sumber dengan sumber yang lain. Apabila dari sumber yang dibandingkan mempunyai kesamaan isi, berarti sumber tersebut valid. Maksudnya apabila sumber satu dengan lainnya menuliskan berita yang sama tentang Peranan Sjafruddin Prawiranegara dalam Percaturan Politik masa Revolusi di Indonesia, berarti sumber tersebut dapat dijadikan sebagai data dalam penulisan karya ilmiah ini. Ketiga, mencari dan mengumpulkan dokumen atau arsip yang terkait dengan Peran Sjafruddin Prawiranegara Masa Revolusi Indonesia. Selanjutnya dokumen tersebut dijadikan sebagai alat penguji kebenaran bagi sumber sekunder yang berhasil dikumpulkan, di samping sebagai sumber primer. Melalui metode sejarah, usaha merekontruksi secara kritis dilakukan sebagai upaya menghasilkan historiografi sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
C. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data sejarah. Helius Sjamsuddin (1994:73) mengemukakan tentang pengertian sumber sejarah, yaitu segala sesuatu yang langsung atau tidak langsung menceritakan kepada kita tentang sesuatu kenyataan atau kegiatan manusia pada masa lalu (past actuality). Sumber sejarah merupakan bahan-bahan mentah (raw materials) yang mencakup segala macam avidensi (bukti). Bukti itu menunjukkan segala aktivitas mereka di masa lalu, baik berupa tulisan atau lisan serta sudah ditinggalkan manusia. Sumber data dalam penulisan ini menggunakan sumber tertulis. Sumber tertulis dibedakan menjadi sumber primer dan sekunder. Sumber primer adalah kesaksian seorang saksi secara empiris. Dapat juga seperti alat mekanis seperti dektafon yakni orang atau alat yang hadir pada peristiwa yang diceritakannya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
29
Sedangkan sumber sekunder, yakni kesaksian dari siapapun yang bukan saksi dan tidak hadir pada peristiwa yang dikisahkannya (Louis Gottschalk, 1986:35). Penelitian ini menggunakan sumber primer dan sumber sekunder. Sumber tertulis primer berupa arsip dan koran. Sumber primer arsip seperti Arsip Sjafruddin Prawiranegara (Arsip no 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 9, 10, 12, 14, dan 15), Arsip Mohammad Rasjid (Arsip no. 5, 25, 28, 32, 57, dan 80), dan Arsip Kementerian Penerangan (Arsip no. 1, 23, 139, dan 216). Sumber primer koran seperti: Kedaulatan Rakjat tahun 1945, tahun 1946, tahun 1949, dan tahun 1950. Sumber tertulis sekunder berupa buku-buku yang relevan. Sumber sekunder yang digunakan antara lain: Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia karya George Mc Turnan Kahin tahun 1995. Islam sebagai Pedoman Hidup: Kumpulan Karangan Terpilih Jilid I karya Sjafruddin Prawiranegara yang disunting Ajip Rosidi tahun 1986. Ekonomi dan Keuangan: Makna Ekonomi Islam Kumpulan Karangan Terpilih Jilid 2 karya Sjafruddin Prawiranegara yang disunting Ajip Rosidi tahun 2011. Revolusi Nasional Indonesia karya Anthony J. S. Reid tahun 1996. Ekonomi Neo-Klasik dan Sosialisme Religius: Pragmatisme Pemikiran Ekonomi Politik Sjafruddin Prawiranegara karya M. Dawam Rahardjo Tahun 2011. Terminologi Sejarah 1945-1950 & 1950-1959 karya A.B. Lapian, Susanto Zuhdi, Sumardi, dkk tahun1996. Sjafruddin Prawiranegara Lebih Takut Kepada ALLAH SWT karya Ajip Rosidi tahun 2011. Ekonomi dan Keuangan. Makna Ekonomi Islam. Kumpulan Karangan Terpilih Jilid 2 karya Sjafruddin Prawiranegara, yang disunting Ajip Rosidi tahun 2011.
D. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan teknik studi pustaka. Studi pustaka merupakan cara untuk mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis berupa arsip dan buku-buku tentang pendapat, teori, dalil, atau
hukum
yang
berhubungan dengan masalah penyelidikan. Untuk commit to user mempermudah seorang peneliti dalam melakukan studi pustaka, diperlukan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
30
pengetahuan tentang peraturan dan organisasi perpustakaan sebagai sumber literatur yang diperlukan. Di samping itu, diperlukan juga pemahaman tentang sistem bibiliography dan cara mencari materi yang berhubungan dengan masalah yang diselidiki dari literatur yang tersedia (Nawawi, 1993: 133). Kegiatan studi pustaka pada penelitian ini dilakukan dengan langkahlangkah sebagai berikut: (1) mengumpulkan sumber primer, sumber sekunder, ensiklopedi
dan
buku-buku
literatur
yang
terkait
dengan
Sjafruddin
Prawiranegara; (2) membaca, mencatat, meminjam dan memfotokopi buku-buku literatur karangan sejarawan yang dianggap penting dan relevan dengan tema penelitian yaitu tentang Sjafruddin Prawiranegara, berdasarkan periodisasi waktu atau secara kronologis; (3) mengumpulkan data yang sudah diperoleh dari perpustakaan untuk digunakan dalam penyusunan karya ilmiah.
E. Analisis Data Dalam penelitian ini, teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis historis. Menurut Kuntowijoyo dalam Dudung Abdurahman (2007: 73) interpretasi sejarah sering kali disebut juga dengan analisis sejarah. Analisis sendiri berarti menguraikan, dan secara terminologis berbeda dengan sintesis yang menyatukan. Analisis dan sintesis dipandang sebagai metode-metode utama dalam interpretasi. Analisis pada penelitian ini dilakukan sesudah kegiatan pengumpulan data. Tindakan analisis dimulai dari klasifikasi data. Data-data yang diklasifikasikan, selanjutnya diseleksi dan dibandingkan. Kemudian diinterpretasikan menjadi keterangan lengkap tentang fakta sejarah. Fakta sejarah tersebut dirangkai menjadi satu kesatuan di dalam penulisan.
F. Prosedur Penelitian Penulisan ini menggunakan metode penelitian historis. Tahap-tahap prosedur penulisannya melalui langkah-langkah heuristik, kritik, interpretasi, commit to user dan historiografi. Prosedur penulisan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
31
Heuristik
Peristiwa Sejarah
Kritik
Interpretasi
Historiografi
Fakta Sejarah
Gambar 2. Prosedur Penelitian Sejarah
Keterangan: 1. Heuristik Kegiatan pengumpulan data yang relevan dilakukan melalui studi kepustakaan, yaitu usaha mendapatkan data tertulis dari buku-buku literatur, majalah, surat kabar, dan sumber tertulis lainnya. Heuristik merupakan keterampilan dalam menemukan, menangani, dan memerinci, bibilografi, atau mengklasifikasikan dan merawat catatan-catatan (Abdurahman, 2007). Tak lupa tindakan membaca buku-buku tersebut satu per satu dan pencatatan apabila ditemukan bagian yang terkait dengan tema penulisan. Melalui usaha tersebut data-data yang relevan dapat terkumpul guna kepentingan penulisan.
2. Kritik Sumber-sumber yang telah berhasil dikumpulkan tidak begitu saja diterima. Langkah berikutnya yaitu menyaringnya secara kritis. Langkah-langkah inilah yang disebut kritik sumber. Yang dimaksud dengan kritik adalah kerja intelektual dan rasional yang mengikuti metodologi sejarah guna mendapatkan objektivitas suatu kejadian (Gottschalk&Garraghan dalam Suhartono, 2010: 35). commit to user Tindakan kritik diperlukan guna memperoleh keabsahan sumber.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
32
Data-data sejarah yang terpercaya yang dapat digunakan dalam pendirian sejarah sebagai bukti-bukti sejarah. Bukti-bukti sejarah adalah kumpulan faktafakta atau informasi-informasi sejarah yang sudah diuji kebenarannya melalui proses validasi, yang dalam ilmu sejarah disebut kritik. Melalui kritik sumber diinginkan supaya setiap data sejarah yang diberikan informan diuji terlebih dahulu validitas dan reliabilitasnya, sehingga semua data itu sesuai dengan faktafakta sejarah yang sesungguhnya. Kritik meliputi kritik ekstern dan kritik intern.
a. Kritik Ekstern Kritik ekstern adalah usaha mendapatkan otentisitas sumber dengan melakukan penelitian fisik terhadap suatu sumber. Kritik ekstern ini mengarah pada pengujian terhadap aspek luar dari sumber. Otentisitas mengarah pada materi sumber yang sejaman. Jenis-jenis fisik dari materi sumber seperti kertas dengan ukuran, jenis, kualitas dan bahan yang bagaimana, dokumen ditulis atau diketik, atau diketik komputer, jenis tinta yang bagus atau isi ulang (Suhartono,2010: 36). Menurut Helius Sjamsuddin (1996: 104) kritik ekstern adalah cara melakukan verifikasi atau pengujian terhadap aspek-aspek luar dari sumber sejarah. Kritik ekstern mencoba menguji otentisitas serta integritas sebuah sumber sejarah. Jadi, setiap sumber harus dinyatakan dahulu otentik dan integralnya. Aktivitas lain yang dilakukan dalam kegiatan kritik ekstern ialah mengkaji satu per satu sumber-sumber yang digunakan dalam penulisan. Pengkajian meliputi siapa pengarangnya, apakah pengarangnya seorang sejarawan atau tidak? Umumnya kalau pengarangnya seorang sejarawan maka sumber tersebut dapat dipercaya. Kalau bukan dapat diragukan kebenaran sumber itu. Selanjutnya usaha pengkajian bahasa dan tulisannya apakah masih menggunakan ejaan lama atau ejaan yang telah disempurnakan. Kajian terakhir ialah melihat kapan dan di mana sumber itu dibuat. Kegiatan kritik ekstern tersebut juga berlaku pada sumbersumber yang lain.
b. Kritik Intern
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
33
Kritik intern adalah kritik yang mengacu pada kredibilitas sumber, maksudnya apakah isi dokumen itu terpercaya, tidak dimanipulasi, mengandung bias, dikecohkan, dan sebagainya. Kritik intern ditujukan untuk memahami isi teks. Pemahaman isi teks diperlukan latar belakang pikiran dan budaya penulisnya. Isi teks sering bermakna ganda dan dimaksudkan sesuai dengan sudut pandang penulis. Dalam teks banyak hal yang tersembunyi dan tidak disampaikan dalam bahasa yang lugas, tetapi dalam bahasa yang tertutup dan berlebihan (Suhartono, 2010: 37). Kritik intern mencoba melihat dan menguji dari dalam reliabilitas dan kredibilitas isi dari sumber-sumber sejarah (Helius Sjamsuddin, 1996: 118). Aktivitas dalam melakukan kegiatan kritik intern ialah membaca satu per satu sumber-sumber yang digunakan dalam penulisan. Usaha memahami isi dari masing-masing sumber tersebut diperlukan untuk menafsirkan semua yang ditulis dalam sumber itu benar adanya dan dapat dipercaya. Untuk membuktikan kebenaran tersebut perlu dibandingkan antara satu sumber dengan lainnya. Perbandingan tersebut merupakan upaya mendapatkan fakta sejarah yang dapat mendukung karya ilmiah ini.
3.
Interpretasi
Interpretasi dapat dilakukan dengan analisis dan sintesis. Menganalisis sama dengan menguraikan. Dari data yang berfariasi dapat dianalisis setelah ditarik sacara induktif sehingga dapat disimpulkan. Sedangkan sintesis melakukan penyatuan. Data yang dikelompokkan menjadi satu kemudian disimpulkan. Proses berpikir kedua cara ini memang bisa dibedakan namun hasil yang diharapkan tidak berbeda (Suhartono, 2010: 56). Bentuk upaya interpretasi pada penelitian ini dilakukan dengan meninggalkan unsur subyektivitas. Karena keanekaragaman data yang diperoleh dari berbagai buku diperlukan usaha membandingkan dengan diperlukan sikap obyektif. Interpretasi dalam penulisan penelitian ini, dilakukan dengan commit to user menetapkan makna serta hubungan fakta-fakta yang ada.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
34
4. Historiografi Historiografi merupakan cara penulisan, pemaparan atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan. Historiografi harus dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai proses penelitian dari awal (fase perencanaan) sampai dengan akhir (penarikan kesimpulan). Jadi dapat dilihat mutu dari penelitian itu sendiri (Dudung Abdurahman, 2007: 76). Syarat umum yang harus diperhatikan peneliti dalam pemaparan sejarah adalah peneliti harus memiliki kemampuan mengungkapkan dengan bahasa yang baik; terpenuhinya kesatuan sejarah; menjelaskan apa yang ditemukan peneliti dengan menyajikan bukti-buktinya dan membuat garis-garis umum yang akan diikuti secara jelas oleh pemikiran pembaca; pemaparan haruslah argumentatif, maksudnya saat mengerahkan ide-idenya dalam merekostruksi masa lampau itu didasarkan atas bukti-bukti yang terseleksi, bukti yang cukup lengkap, dan detail fakta yang akurat. Alur pemaparan data harus selalu diurutkan kronologisnya, walaupun yang ditunjukkan dalam pokok setiap pembahasan adalah tema tertentu (Dudung Abdurahman, 2007: 76-77). Dari langkah-langkah tersebut dapat tersusun sebuah hasil penelitian berupa skripsi dengan judul “Sjafruddin Prawiranegara Dalam Percaturan Politik Di Indonesia Tahun 1945-1961”.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Latar Belakang Kehidupan Sosial Politik Sjafruddin Prawiranegara Sjafruddin Prawiranegara lahir di Anyar Kidul, Banten 28 Februari 1911. Sjafruddin Prawiranegara merupakan anak dari Raden Arsjad Prawiraatmadja dan Noer’aini. Raden Arsjad Prawiraatmadja seorang asisten Wedana (camat) di Anyar Kidul, Kabupaten Serang, Karesidenan Banten. Raden Arsjad masih keturunan Sultan Banten dari perkawinan R. H. Chattab Aria Prawiranegara dengan istri kedua yaitu Nyi Mas Hajah Salbiah. Noer’aini, merupakan puteri dari Mas Abidin Mangoendiwirja camat di Cening, Kawedanan Kubangkondang, kabupaten Pandeglang, Karesidenan Banten. Mas Abidin Mangoendiwirdja putera Soetan Alam Intan dari Minangkabau yang masih keturunan Pagaruyung (Kahin, 1989: 101). Sejak kecil Sjaffruddin Prawiranegara dididik untuk menjalankan Syariat Islam. Setelah dikhitan, diajari mengaji Al-Qur’an, dan berpuasa yang dimulai dari usia 4 atau 5 tahun. Sjafruddin kemudian masuk ke ELS (Europeesche Lagere School, atau Sekolah Rendah untuk orang-orang Eropa yaitu orang Belanda atau Eropa lainnya serta yang dianggap sederajat). Di ELS, Sjafruddin diwajibkan untuk menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa yang dipakai di sekolahnya dan juga dibiasakan menggunakan bahasa Belanda dengan Raden Arsjad saat berada di rumah, walaupun dengan saudara yang lain menggunakan bahsa Sunda (Rosidi, 2011: 49-50). Pada tahun 1924, Raden Arsjad dipindahkan tugasnya ke Ngawi di Jawa Timur (Rosidi, 2011: 36-38). Pemindahan seorang pegawai pamong praja dari satu tempat ke tempat lain, asalkan satu provinsi adalah hal yang biasa. Namun pemindahan sampai ke karesidenan lain, bahkan ke provinsi lain dari Serang di Provinsi Jawa Barat ke Ngawi di Provinsi Jawa Timur, mempunyai arti pemindahan sebagai hukuman administratif (Prawiranegara, 1986: 251). Raden Arsjad meninggal pada tanggal 3 Maret 1939 ketika sedang commit to user anggota Dewan Provinsi Jawa berpidato dalam suatu rapat untuk pemilihan 35
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
36
Timur. Pidatonya diselingi kutipan ayat Al-Qur’an untuk memperkuat maksud uraiannya, dan banyak mendapat perhatian dari rakyat Jawa Timur. Perilaku dan langkah-langkah ayahnya sebagai priyayi yang tetap berjuang untuk kepentingan rakyat dengan berpedoman pada Kitab suci Al-Qur’an, banyak dicontoh oleh Sjafruddin Prawiranegara. Sebagai priyayi Raden Arsjad berjuang untuk kepentingan rakyat dengan tetap berpedoman kepada Al-Qur’an, merupakan watak yang diturunkan kepada Sjafruddin yang selalu memperlihatkan sikap tegas dan dalam menghadapi suatu dilema (Rosidi, 2011: 41-43). Kehidupan Raden Arsjad sebagai priyayi tidak menghalanginya untuk dekat dan memperjuangkan nasib rakyat. Walaupun menjadi anggota Sarekat Islam, Raden Arsjad memakai pakaian Barat, karena SI tidak mengharamkan orang Islam berpakaian Barat. Raden Arjad juga menghendaki anak-anaknya bersekolah secara Barat, tidak seperti masa kecilnya yang dimasukkan ke pesantren. Tiap sore anak disuruh belajar mengaji dan tetap berpedoman kepada Al-Qur’an sambil tetap melaksanakan semua kewajiban sebagai seorang muslim yang taat sesuai dengan aturan-aturan Islam. Raden Arsjad sering ceramah dengan mengutip ayat-ayat Al-Quran. Kombinasi budaya dan gaya hidup itulah yang menyebabkan Raden Arsjad dapat diterima kalangan santri dan abangan. Semua sikap Raden Arsjad dan lingkungan beragama itu menjadi pedoman yang membuat Sjafruddin dapat bergaul dengan kalangan santri modernis dan kaum sosialis sekuler (Rahardjo, 2011:69). Sjafruddin mengikuti ayahnya pindah ke Ngawi. Di Ngawi Sjafruddin dimasukkan ke ELS juga (Prawiranegara yang disunting oleh Rosidi, 1986:251), sesudah tamat dari ELS, Sjafruddin melanjutkan sekolah ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, yaitu Pendidikan Dasar yang diperluas, sama dengan SMP sekarang) atas saran K. De Bijl yang merupakan kepala guru ELS Ngawi. Sjafruddin belanjutkan lagi sekolah ke AMS (Algemeene Middlebare School, Sekolah Menengah Umum, setingkat dengan SMA sekarang) A di Bandung karena ketertarikannya terhadap kesusasteraan. Sesuadah menamatkan AMS pada commit to user tahun 1931, Sjafruddin melanjutkan ke RHS (Rechts Hoge School, Sekolah
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
37
Tinggi Hukum) yang didirikan di Jakarta tahun 1924. Awalnya Sjafruddin ingin melanjutkan ke Perguruan Tinggi Sastra, namun di Indonesia belum ada, dan baru didirikan tahun 1941. Tidak mungkin juga untuk pergi ke Belanda karena keadaan keuangan keluarga, maka Sjafruddin memutuskan masuk ke RHS. Pada bulan September 1939, Sjafruddin lulus sebagai Meester in de Rechten/Sarjana Hukum (Tim Penulis, 1990: 379). Sjafruddin melamar pekerjaan di Perserikatan Perkumpulan-perkumpulan Radio Ketimuran (PPRK) yang diketuai oleh M. Soetardjo Kartodikoesoemo, setelah menamatkan pendidikannya di RHS. Sjafruddin diterima di PPRK dan ditempatkan sebagai administratur PPRK merangkap sebagai redaktur Soeara Timoer yaitu majalah PPRK. Pada tahun 1940 Sjafruddin diterima bekerja di Departement van Financien (Departemen Keuangan), dan ditempatkan di Kantor Inspeksi Pajak Kediri, Jawa Timur. Kemantapan kehidupannya dengan jabatan yang cukup tinggi pada masa itu membut Sjafruddin merasa sudah saatnya menikah. Pernikahan dilangsungkan di Buahbatu, Bandung pada tanggal 31 Januari 1941. Sjafruddin menikah dengan Tengku Halimah, puteri dari Radja Sahaboedin seorang Camat di Buahbatu Bandung keturunan dari raja Minangkabau dari Pangaruyung (Kahin, 1989:101). Sjafruddin pernah aktif dalam organisasi mahasiswa yang bernama USI (Unitas
Studiosorum
Indonesiensis)
ketika
menjadi
mahasiswa
RHS.
Perhimpunan mahasiswa ini didirikan pada tahun 1933. Para mahasiswa Indonesia memilih menjadi anggota USI karena tidak suka berpolitik tetapi juga tidak ingin masuk Studenten Corps yang anggotanya terutama mahasiswa-mahasiswa Belanda yang hanya bersenang-senang, dan terlalu mahal bagi mahasiswa Indonesia. Aktivitas USI terbatas hanya dalam bidang rekreasi dan kegiatan yang menunjang studi. Organisasi ini tidak ikut campur dalam politik. Kegiatankegiatan yang diselenggarakan antara lain berdiskusi, bermain olahraga, membaca, dan berdarmawisata (Rosidi, 2011: 79-80). Komunitas USI dibentuk oleh sejumlah Profesor konservatif Belanda untuk menekan kecenderungan commit to user radikal kelompok pemuda dan mahasiswa yang mengusung nasionalisme.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
38
Perkumpulan USI ini berorientasi pada budaya dan gaya hidup Eropa (Rahardjo, 2011:62). Para mahasiswa USI merupakan laki-laki dan perempuan dengan pendidikan Belanda yang baik. Kebanyakan berasal dari keluarga pribumi berada dan melakukan kegiatan yang necis. Anggota USI memiliki lagu kebangsaan yang terdapat dalam Liedboek (Mrazek, 2006: 210-211). Lagu-lagu ini yang dapat mereka nyanyikan pada pertemuan-pertemuan, pesta-pesta, dan piknik USI. Lagu pertama yaitu Gaudeamus, Wij Usianen (Kami, para anggota USI), dan USI Lied (Lagu USI). Lagu-lagu lain dalam Liedboek van USI adalah Mutsenlied (Lagu Sebuah Topi), Crambambuli, Jingle Bels, Groenenlied (Lagu Kesibukan), Stein Song (Lagu Tempat Air), dan sebagainya (Nordholt, 2005: 207-209). Anggota-anggota
dari
organisasi
USI
antara
lain
Sjafruddin
Prawiranegara, Subadio Sastrosatomo, Ali Budiarjo, Poppi Saleh dan saudaranya, Soedjatmoko, Koesoemo Soetojo, Mr. Ismael Thajeb, Soedarpo, Mohammad Kosasih Purwanegara dan lainnya. Sjafruddin tidak tertarik untuk ikut dalam gerakan kebangsaan. Namun, bukan berarti Sjafruddin tidak menaruh perhatian pada kegiatan-kegiatan pergerakan nasional. Melalui surat kabar, majalah dan buku, juga melalui kuliah di RHS, Sjafruddin memahami dan mengamati soal-soal kemasyarakatan, termasuk kegiatan pergerakan nasional (Rosidi, 2011: 80). Sjafruddin menginginkan kemerdekaan Indonesia lepas dari jajahan Belanda. Namun tidak setuju pada tuntutan sebagian besar kaum nasionalis bahwa Indonesia harus merdeka saat itu. Menurut Sjafruddin, bangsa Indonesia saat itu belum matang untuk hidup sebagai bangsa yang merdeka. Sjafruddin termasuk golongan kooperatif, yaitu orang-rang yang beranggapan bahwa untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia haruslah melakukan kerjasama dengan pihak Belanda (Prawiranegara, 1972: 319). Pandangan Sjafruddin ini banyak dipengaruhi oleh guru besarnya di RHS, seperti Prof. Logemann dan Prof. Van Asbek. Keduanya termasuk orang Belanda yang menganut pandangan Politik Etis. Untuk mencapai kemerdekaan itu, bangsa Indonesia haruslah maju dahulu commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
39
dalam segala bidang. Kemajuan itu hanya dapat dicapai melalui pendidikan (Tim Penulis, 1990: 379). Sjafruddin melihat bahwa pemerintah kolonial tidak bersungguh-sungguh untuk memajukan Indonesia. Dibandingkan dengan jumlah penduduk dan kebutuhannya, terlalu sedikit orang Indonesia yang mendapatkan pendidikan, yang mendapatkan latihan dan mendapat kesempatan bekerja (Tim Penulis, 1990: 379). Kenyataan ini menimbulkan keraguan pada diri Sjafruddin. Keraguan itu menjadi ketidakpercayaan ketika pada bulan November 1938 pemerintah menolak Petisi Soetardjo. Isi dari Petisi Soetardjo yaitu mendesak pemerintah agar segera menyelenggarakan konferensi guna membahas hubungan antara Nederland dengan Hindia Belanda (Ricklefs, 1991: 288-289). Indonesia mempunyai anggapan bahwa kedatangan Jepang akan memerdekakan bangsa Indonesia dari cengkraman penjajah, maka kedatangan Jepang ke Indonesia disambut dengan gembira oleh rakyat. Sjafruddin segera melihat dalam waktu dekat bahwa harapan untuk terjadinya perbaikan seperti yang dipropagandakan Jepang hanyalah kata-kata kosong. Sjafruddin melihat kesengsaraan rakyat yang diakibatkan oleh Jepang jauh lebih buruk dari penjajahan Belanda. Kemunduran ekonomi, kelaparan yang semakin meningkat, sebagai akibat pengurasan kekayaan dan tenaga manusia oleh Jepang. Sjafruddin merasa heran melihat banyak pemimpin bangsa Indonesia yang mau bekerjasama dan membantu tentara Jepang. Padahal mereka menolak bekerjasama dengan pemerintahan Belanda. Jepang lebih kejam dari Belanda dan orang Indonesia tidak akan berani secara terang-terangan menentangnya. Namun, menurut Sjafruddin bukan berarti orang Indonesia harus menjilat kepada Jepang dengan menindas bangsa sendiri. Sjafruddin sebagai pegawai negeri bekerjasama dengan Jepang, tetapi kerjasama itu dilakukan karena keadaan yang memaksa negara (Prawiranegara, 1972: 321). Sikap Belanda yang tidak mau kompromi pada masa akhir pemerintahan, yang tidak mau memberikan kesempatan pada bangsa Indonesia untuk menjadi commit to user bangsa matang dan merdeka, serta penderitaan rakyat yang luar biasa di bawah
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
40
penjajahan Jepang, membuat Sjafruddin mulai sadar bahwa bangsa Indonesia harus berjuang untuk merdeka. Sjafruddin mengadakan diskusi dengan kelompokkelompok yang sepaham dengannya. Seperti kelompok Pagoejoeban Pasoendan dengan tokohnya Oto Iskandar Dinata dan Ir. Oekar Bratakoesoemah, kelompok Parindra dengan tokohnya Gondokusumo dan Dr. Erwin, kelompok Islam dengan tokohnya Arudji Kartawinata dan M. Natsir. Sjafruddin juga berhubungan dengan teman-teman semasa mahasiswa di USI dulu seperti Subandio Sastrosatomo, Koesoema Soetojo, Mr. Ismael Thajeb, dan Ali Budiardjo yang mempunyai sikap dan pikiran yang sama. Melalui mereka, Sjafruddin mengadakan kontak dengan gerakan bawah tanah yang dipimpin oleh sutan Sjahrir di Jakarta (Rosidi, 2011: 91-93). Pada tanggal 6 April 1945 di Karesidenan Bandung, diadakanlah pertemuan para pengusaha seluruh Jawa dan Madura itu. Pertemuan ini dihadiri tokoh-tokoh pengusaha, dan tokoh-tokoh ekonomi non-pengusaha. Pertemuan besar para pengusaha seluruh Jawa dan Madura melahirkan sebuah badan baru yang dinamakan Persatuan Tenaga Ekonomi (PTE). Pusatnya di Jakarta, dengan cabang-cabang dibeberapa daerah Jawa. Dalam sidang-sidang selanjutnya, Sjafruddin Prawiranegara sempat memimpin salah satu sidangnya. Suasana pada umumnya didominasi oleh para pengusaha meskipun banyak juga tokoh-tokoh non-pengusaha yang hadir. Pada pemilihan pengurus, Sjafruddin Prawiranegara yang saat itu menjadi pegawai pajak dan pegawai Departemen Keuangan di Bandung terpilih sebagai ketua. Setelah rapat di Bandung dan rapat-rapat berikutnya sampai sampai dibubarkannya organisasi ini kelak tahun 1949, di Yogyakarta, Sjafruddin tidak pernah memimpin atau duduk di kursi ketua di Kantor Pusat PTE Jakarta (Halilintar, 1986: 140-142). Pada pertengahan bulan Agustus 1945, Sjafruddin sudah mendengar tentang kemungkinan Jepang menyerah pada Sekutu. Setelah membicarakan berita itu dengan teman-temannya, Sjafruddin dan Hasbullah Siregar diberi kepercayaan untuk mencari keterangan lebih lanjut tentang kebenaran berita itu di commit to user Jakarta (Prawiranegara, 1972: 320). Sjafruddin dan Hasbullah berangkat ke
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
41
Jakarta tanggal 15 Agustus dan orang yang pertama kali ditemuinya adalah Oto Iskandar Dinata. Sewaktu mendengar berita yang disampaikan Sjafruddin dan Hasbullah, ternyata Oto Iskandar Dinata tidak percaya dan menasehati supaya berhati-hati berbicara dan dapat celaka jika didengar Jepang. Adanya ketakutan seperti itu, Sjafruddin dan Hasbullah tidak terus mencoba untuk menghubungai yang lainnya, dan juga tidak berani pulang ke Bandung (Rosidi, 2011: 93-95). Sjafruddin dan Hasbullah tinggal di rumah salah seorang teman Hasbullah di Bilangan Jatinegara selama dua hari. Setelah mendengar berita penyerahan Jepang dan kemerdekaan Indonesia sudah diproklamasikan, mereka baru berani keluar. Bagi Sjafruddin, proklamasi kemerdekaan itu merupakan puncak perjuangan pergerakan nasional sebagai keharusan sejarah dan kemerdekaan itu merupakan satu-satunya alternatif untuk keselamatan dan kesejahteraan bangsa Indonesia. Meskipun Sjafruddin merasa bangsa Indonesia masih belum mempunyai tenaga yang terampil dan ahli dalam berbagai bidang untuk mengelola sebuah negara yang merdeka, namun menjadi yakin bahwa segala kekurangan akan segera dapat diatasi dalam perjalanan waktu. Bangsa Indonesia harus belajar bagaimana menyelenggarakan sebuah pemerintahan dan mengelola sebuah negara (Prawiranegara, 1972: 320). Sjafruddin
menyatakan
revolusi
Indonesia
bertujuan
untuk
menghapuskan sistem penjajahan dan menyatukan seluruh bangsa Indonesia. Tujuan dari revolusi Indonesia yakni keadilan sosial dan kemakmuran rakyat. Sistem yang diperlukan lebih lanjut ialah sistem masyarakat, susunan politik dan ekonomi yang dapat menjamin terlaksananya keadilan sosial serta kemakmuran rakyat yang tidak dapat dicapai pada masa lampau karena adanya kolonialkapitalisme Belanda. Paham yang cocok untuk kebutuhan revolusi nasional ialah paham “sosialis religius”. Dasar dari sosialisme sebagai pedoman revolusi nasional Indonesia itu disandarkan pada kewajiban manusia terhadap Tuhannya. Bagi sosialisme religius, sosialisasi atau nasionalisasi dari berbagai alat produksi masyarakat itu, bukan merupakan tujuan akhir, melainkan hanya suatu alat atau commit to user cara mewujudkan keadilan sosial dan kemakmuran rakyat. Sosialisasi perlu
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
42
dilaksanakan serta harus dihubungkan dengan kondisi dan situasi (Noer, 2000: 143). Pandangan “sosialis religius” yang dicetuskan dalam buku Politik dan Revolusi Kita (1948) menekankan sosialisme sebagai cita-cita kemasyarakatan berdasarkan pandangan hidup Islam. Pengaitan Sjafruddin dengan gagasan sosialisme lebih terkait dengan kritikannya terhadap komunisme. Komunisme adalah ideologi atheis yang bertentangan dengan Islam dan semua agama. Islam tidak mengakui adanya masyarakat tanpa kelas. Walaupun Islam mengakui kelaskelas dalam masyarakat, Sjafruddin tidak menyetujui perjuangan kelas. Sjafruddin memilih cara lain, yakni menetapkan kewajiban kepada orang kaya untuk membantu orang miskin, supaya kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin berkurang (Rahardjo, 2011: 90-96). Pikiran-pikiran yang disampaikan pada ceramah yang diterbitkan dengan judul “Tinjauan Singkat tentang Politik dan Revolusi Kita” sangat realistis, terus terang dan penting. Kahin menganggap tulisan Sjafruddin itu cukup penting. Disebutnya uraian itu tentang gagasan sosialis religius, pemikiran Sjafruddin terpengaruh oleh pandangan modern Islam, sedang Sjafruddin disebut sebagai pemimpin yang sangat berpengaruh sekali dan dikatakan bahwa gagasan-gagasan itu menyebabkan Partai Masyumi semakin berpengaruh pada waktu itu (Kahin, 1989: 102). Sjafruddin
menjadi
anggota
Masyumi
tahun
1945
setelah
diikeluarkannya maklumat Wakil Presiden tanggal 3 November 1945 tentang pembentukan partai politik yang mengharuskan setiap anggota KNIP harus memilih dan masuk kedalam salah satu partai. Hidup dalam lingkungan muslim terutama ayahnya yang saleh, maka Sjafruddin memilih masuk Masyumi. Sjafruddin masuk dalam anggota pimpinan pusat Masyumi. Peran Sjafruddin dalam partai Masyumi sangat besar, pemikiran Sjafruddin banyak memberikan gambaran ideologi dan kebijakan Masyumi. Seperti pendapatnya mengenai menjaga persatuan untuk sanggup mengorbankan supaya jangan sampai terjadi commit to user perpecahan di antara rakyat Indonesia. Pendapatnya ini menjadi salah satu asas
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
43
Masyumi yang mengajak penganut agama lain untuk bersama-sama berada di jalan Tuhan. Masyumi menganjurkan untuk tidak membenci partai dan melenyapkannya (Noer, 2000: 147).
B. Peran Sjafruddin Prawiranegara di Indonesia 1945-1961 1. Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat Pasca diproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, tatanan mengenai kehidupan kenegaraan dan perlengkapan sebuah negara merdeka segera dibutuhkan. Pada tanggal 18 Agustus 1945, Undang Undang Dasar disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Pancasila sebagai Dasar Negara, lembaga eksekutif dipilih. Soekarno terpilih sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai wakil Presiden. Kabinet pun dibentuk berupa kabinet Presidensial sesuai dengan Undang Undang Dasar. Pada 19 Agustus 1945 ditetapkan bahwa adanya 12 Kementerian Negara dan wilayah Republik Indonesia dibagi menjadi 8 provinsi yaitu Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sunda Kecil, Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan (Raliby, 1953: 14-15). Pada tanggal 22 Agustus 1945 dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang bermarkas di Jakarta. Mulai tanggal 5 Oktober BKR diubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), yang nantinya pada 7 Januari 1946 TKR berubah nama menjadi Tentara Keselamatan Rakyat dan pada 25 Januari 1946 Tentara Keselamatan Rakyat diganti menjadi Tentara Republik Indonesia. Sejak 3 Juni 1947 ditetapkan berdirinya Tentara Nasional Indonesia yang merupakan gabungan dari laskar laskar dengan Tentara Republik Indonesia. Panitia Persiapan Kemerdekaan yang sebelumnya bertindak sebagai penasihat presiden dibubarkan dan sebagai gantinya dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Presiden dan Wakil Presiden melantik 135 orang. KNIP kemudian mengangkat salah seorang anggotanya yang berasal dari tiap daerah untuk mendirikan Komite Nasional Indonesia di daerah, yang bertugas membantu gubernur masing-masing commit to user provinsi (Poespaonagoro & Notosusanto, 1993: 145-146).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
44
Pembentukan Komite Nasional Indonesia daerah Karesidenan Priangan dilangsungkan pada hari Jumat tanggal 24 Agustus 1945. Pengurus yang terbentuk ialah, Niti Sumantri sebagai ketua, Ir. Oekar Bratakoesoemah sebagai Wakil Ketua, Anwar Sutan Pamuntjak dan Hamdani sebagai anggota. Dibentuk juga sekretariat yang pimpinannya diserahkan pada Sjafruddin. Dalam pertemuanpertemuan yang diselenggarakan oleh Komite Nasional Indonesia daerah Priangan di Bandung, tidak hanya membahas persoalan setempat saja. Para anggota Komite Nasional Indonesia daerah Karesidenan Priangan sering mendiskusikan masalah yang bersifat nasional, untuk membantu pemerintah pusat dengan usul dan saran yang bermanfaat. Salah satu hasil pertemuan itu lahirlah usul agar pemerintah mengeluarkan uang Republik Indonesia sendiri, menggantikan uang Jepang yang masih berlaku sebagai alat pembayaran yang sah. Usul tentang pembuatan uang Republik Indonesia akan disampaikan kepada Wakil Presiden Mohamad Hatta (Rosidi, 2011: 99-102). Sjafruddin bersama Oekar Bratakoesoemah menemui Mohamad Hatta dan menyampaikan tentang perlunya membuat uang Republik. Mohamad Hatta memandang tidak perlu membuat uang sendiri karena kawatir kalau dituduh memalsukan uang oleh dunia internasional. Menurut Hatta, dilanjutkan saja pemakaian uang yang dicetak Jepang tanpa membuang waktu dan tenaga untuk mengeluarkan uang baru. Sebagai contoh pemerintahan Bolsyewik di Rusia tatkala pemerintahan Tsar yang berhasil digulingkan pada tahun 1917. Permerintah komunis tidak mengeluarkan uang baru, tetapi memakai uang lama. Sjafruddin berusaha meyakinkan Wakil Presiden dengan memberikan pendapat bahwa contoh dari Rusia itu tidak berlaku bagi Indonesia. Pemerintah Bolsyewik tidak mendirikan negara baru, hanya pemerintahannya yang ditukar. Di Indonesia tidak hanya menukar pemerintahan Belanda dengan pemerintahan Indonesia, tetapi status jajahan ditukar dengan status negara yang merdeka dan berdaulat. Maka perlu adanya uang baru sebagai salah satu atribut kemerdekaan (Prawiranegara, 1972: 323).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
45
Pada awal bulan Oktober 1945 beberapa anggota KNIP mengemukakan saran untuk mengubah sistem pemerintahan Presidensil menjadi sistem Parlementer dengan kekuasaan legislatif berada ditangan KNIP. KNIP tidak hanya sebagai penasihat presiden, melainkan sebagai lembaga legislatif kepada siapa kabinet harus bertangungjawab. Ditetapkan bahwa KNIP akan membentuk Badan Pekerja yang akan bertugas sebagai wakil pleno yang sulit bersidang lengkap karena
anggota-anggotanya
bertebaran
diseluruh
tanah
air
sedangkan
perhubungan saat itu sangat sulit (Rosidi, 2011: 107). Dalam rapat Pleno KNIP pada tanggal 16 dan 17 Oktober 1945, dibentuklah Badan Pekerja dengan Sutan Sjahrir sebagai ketua dan Amir Sjarifudin sebagai wakil. Seluruh Badan Pekerja terdiri atas 1 orang teramsuk ketua dan wakil ketua. Adapun kelima belas anggota Badan Pekerja itu ialah: Sutan Sjahrir(ketua), Amir Sjarifudin (wakil ketua), Mr. Suwandi, Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Wachid Hasjim, Mr. R. Hindromartono, Mr. R. M. Sunaria Kolopaking, Dr. A. Halim, Subadio Sastrosatomo, Tan Ling Djie, Supeno, S. Mangunsarkoro, Adam Malik, Tadjaludin, dan Dr. Sudarsono (Koesnadi Prodjo, 1951: 141). Hasil pertama Badan Pekerja KNIP ialah sebuah rancangan undangundang tentang pembentukan KNI di daerah-daerah dan perubahan sistem pemerintahan dari presidensil ke parlementer dengan banyak partai. Tentang pembentukan partai-partai dibuat maklumat yang ditandatangani oleh Wakil Presiden, terkenal sebagai Maklumat Wakil Presiden nomor X tanggal 3 November 1945. Setelah dikeluarkan Maklumat Wakil Presiden nomor X tanggal 3 November 1945, mengenai anjuran Pemerintah tentang pembentukan Partai Politik. Pembentukan partai-partai ini untuk memperlihatkan kepada luar negeri bahwa Indonesia benar-benar menjunjung demokrasi dengan menciptakan sistem multi partai. Sebab ada kekuatiran dari kalangan kaum intelektual khususnya Sjahrir dan pengikut-pengikutnya bahwa jika hanya satu partai politik saja, nanti akan dipandang sebagai negara totaliter buatan Jepang (Prawiranegara, 1986: 256). Pendirian Partai-Partai politik ini pula hendaknya memperkuat perjuangan, commit to user mempertahankan kemerdekaan dan menjamin keamanan masyarakat. Pemerintah
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
46
menyukai timbulnya partai-partai politik karena dengan adanya partai-partai itulah dapat dipimpin kejalan yang teratur. Pemerintah berharap supaya partai-partai tersusun sebelum pelaksanaan Pemilihan anggaota Badan-Badan Perwakilan Rakyat pada bulan Januari 1946 (Koesnadi Prodjo, 1951: 76). Dikeluarkannya maklumat Wakil Presiden tanggal 3 November 1945 tentang pembentukan partai politik, maka setiap anggota KNIP harus memilih dan masuk kedalam salah satu partai. Pembentukan partai politik ini menimbulkan kebingungan dalam diri Sjafruddin, akan memilih partai Sosialis atau Masyumi. Sutan Sjahrir bersama kelompoknya mencalonkan Sjafruddin sebagai anggota Badan Pekerja KNIP atas dasar keyakinan yang sepaham, dan setelah pembentukan partai wajar jika mengharapkan Sjafruddin masuk dalam partai yang dibentuk Sjahrir, yakni Partai Sosialis. Tetapi Sjafruddin pun sadar sebagai muslim, akan keluarganya yang taat menjalankan syariat, ayahnya yang rajin beribadah dan meninggal pada saat sedang berpidato sambil mengutip ayat-ayat Al-Qur’an. Sepantasnya Sjafruddin masuk Masyumi. Tetapi jika masuk Masyumi, akan mengecewakan orang-orang yang sudah menaruh simpati dan kepercayaan padanya. Jika menjadi anggota Partai Sosialis, Sjafruddin merasa mengkhianati ayahnya (Rosidi, 2011: 110-111). Rasa cinta kepada orang tuanya terutama kepada ayahnya sebagai muslim yang saleh, maka pilihannya jatuh pada Masjumi. Sadar akan kekurangan pengetahuan tentang Islam, Sjafruddin berjanji akan memperbaiki kelemahan-kelemahan itu dengan mempelajari Bahasa Arab (Prawiranegara, 1986: 256). Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masjumi) dibentuk pada tanggal 7 November 1945 (Raliby, 1953: 84) yang meliputi praktis semua organisasiorganisasi Islam yang berarti kecuali Perti yang organisasi dan pengaruhnya terutama di Sumatera Barat (Prawiranegara, 1986: 256). Masyumi secara organisasi adalah sebuah badan federasi, di dalamnya terdapat anggota biasa (perorangan), dan anggota luar biasa (kolektif), seperti Muhammadiyah dan NU. Sjafruddin masuk Masyumi melalui perorangan. Dalam Dewan eksekutif yang commit to user umumnya terdiri dari kelompok modernis terdapat dua atau tiga kelompok yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
47
mempunyai orientasi ideologi politik yang sedikit berbeda. Menurut Abu Hanifah kelompok pemikir terdiri dari pemimpin-pemimpin intelektual muslim yang lebih muda seperti Sjafruddin Prawiranegara, Mohamad Roem, Kasman, Jusuf Wibisono dan Abu Hanifah sendiri. Kelompok yang lebih muda ini termasuk kedalam sosialis religius (Maarif, 1985: 112-113).
2. Menteri Keuangan Pada kabinet pertama setelah sistem pemerintahan menjadi Parlementer, Sjahrir ditunjuk sebagai formatur kabinet pada tanggal 14 November 1945 (Ricklefs, 1991: 327). Sjahrir mencari Mentri Keuangan dan ditawarkan pada Sjafruddin, namum ditolak. Sjafruddin merasa belum pantas untuk memikul tanggungjawab sebesar itu, belum cukup pengalaman dalam keuangan, dan tidak pernah berkecimpung dalam politik (Thee Kian Wie, (ed)., 2005:41). Sjahrir menyerahkan mandatnya pada Presiden pada bulan Februari 1946 karena tidak mendapat kepercayaan dari KNIP (Rosidi, 2011: 113). Presiden menerima penyerahan itu, namun untuk kedua kalinya Sjahrir ditunjuk sebagi formatur. Dalam kabinet Sjahrir ke-2 yang dibentuk pada tanggal 12 Maret 1946, Sjafruddin duduk sebagai Menteri Muda Keuangan. Pada tanggal 2 Oktober 1946 Kabinet Sjahrir III dilantik. Pada Kabinet Sjahrir III ini Sjafruddin duduk sebagai Menteri Keuangan (Raliby, 1953:419). Wakil presiden menyetujui gagasan yang dikemukakan delegasi dari Bandung untuk membuat uang Republik Indonesia yang baru menggantikan uang Jepang, maka masalah itu secara teknis selanjutnya diserahkan kepada Kementerian Keuangan. Menteri Keuangan Mr. A. A. Maramis, pada tanggal 7 November 1945 membentuk suatu panitia yang dinamakan Panitia Penyelenggara Pencetakan Uang Kertas Republik Indonesia yang diketuai oleh T. R. B. Sabaruddin, Direktur Bank Rakyat Indonesia. Tugasnya ialah menyelenggarakan segala sesuatu yang bersangkutan dengan pencetakan uang. Ketika ditawari untuk menjadi Menteri Keuangan dalam Kabinet Sjahrir III, Sjafruddin menyatakan commit to user kesediannya. Salah satu faktornya ialah karena Sjafruddin ingin segera
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
48
mempercepat proses pencetakan “Oeang Republik Indonesia” (ORI). Sjafruddin yakin bahwa terwujudnya ORI dapat menjadi alat perjuangan yang ampuh dalam mencerminkan eksistensi negara Republik Indonesia yang berdaulat dan besar pula artinya untuk membiayai perjuangan seperti menggaji pegawai negeri dan tentara, membeli perlengkapan administrasi pemerintah dan lain-lain. Keluarnya ORI bukanlah tujuan utama. Tujuan ini baru akan tercapai apabila ditempuh dengan kerja keras yang ditinjau dari sudut ekonomi berarti meningkatkan produksi, bukan dengan mencetak uang (Rosidi, 2011: 127-137). Dalam pelaksanaan tugasnya, panitia menghadapi kesulitan dan rintangan. Pencetakan ORI menggunakan alat yang harus dicari di dalam negeri. Tidak mungkin mendatangkan mesin pentjetak uang dari luar negeri melihat kondisi saat itu (Sikap, Bagian III no 11-24 Maret1949). Kesukaran memperolah bahan-bahan baku yang diperlukan seperti kertas, tinta, bahan kimia untuk fotografi dan zinkografi, pelat seng untuk klise dan alat-alat lainnya seperti mesin aduk untuk membuat tinta. Pembuatan klise dikerjakan di percetakan de Unie dan percetakan Balai Pustaka. Pembuatan gambar lithografi dilakukan di percetakan de Unie. Percetakan perdana dilakukan di percetakan Balai Pustaka dengan pertama-pertama mencetak lembaran uang seratus rupiah (Rosidi, 2011: 129). Terjadinya pertempuran Surabaya November 1945 dan kondisi politik Indonesia saat itu menyebabkan pencetakan uang yang beberapa bulan dilaksanakan di Jakarta dipindahkan ke pedalaman dengan alat yang serba kurang lengkap (Sikap, 24 Maret 1949). Pihak Inggris yang pro Belanda memberikan pendapat tentang rencana pemerintah mengeluarkan uang sendiri, bahwa lebih baik menerima uang Hindia Belanda karena mempunyai kurs internasional, dan dapat dipergunakan untuk membayar keluar negeri. Ditambahkan, kalau pemerintah RI mengeluarkan uang sendiri, uang itu tidak laku di luar negeri. Pada kenyataannya uang NICA sekalipun mempunyai kurs internasional tidak diterima dan ditolak oleh rakyat. Uang Jepang ditarik, sebagai gantinya, ORI yang diterima penuh kepercayaan commit to user oleh rakyat. Penolakan terhadap uang Belanda merupakan suatu bukti nyata
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
49
bahwa selain ORI uang lain sudah tidak dapat dijadikan alat penukar. Oleh karena itu, tidak perlu uang yang memiliki kurs luar negeri, yang dibutuhkan adalah uang yang diterima rakyat (Kedaulatan Rakyat, 26 Desember 1945). Pada tanggal 29 sampai 30 Oktober 1946 uang yang dibuat sendiri oleh pemerintah Republik Indonesia dikeluarkan secara resmi sebagai alat penukaran, alat pembayaran yang sah, dan alat pengukur harga di seluruh wilayah yang secara de facto berada dibawah kekuasaan negara Republik Indonesia, yaitu Jawa, Madura dan Sumatra. Sebelum ORI dikeluarkan, pemerintah terlebih dahulu menarik semua uang Jepang dan uang Hindia Belanda dari peredaran dengan cara yang sedikit sekali menimbulkan kerugian bagi masyarakat dan menggantinya dengan uang baru, yang mempunyai harga tinggi serta dapat diawasi peredarannya (Sikap, 12 Maret 1949). Langkah pertama dimulai tanggal 22 Juni 1946 pemerintah Republik Indonesia melarang orang Indonesia membawa uang lebih dari ƒ 1.000 dari daerah Karesidenan Jakarta, Semarang, Surabaya, Bogor dan Priangan ke daerahdaerah lain di Jawa dan Madura tanpa izin lebih dahulu dari pemerintah daerah yang bersangkutan. Demikian juga dilarang membawa uang dari luar masuk ke pulau Jawa dan Madura melebihi ƒ 5.000 uang Jepang tanpa seijin Menteri Perdagangan dan Perindustrian. Mulai tanggal 15 Juli 1946 di Jawa dan Madura, seluruh uang Jepang dan uang Hindia Belanda yang ada di tangan masyarakat, perusahaan-perusahaan dan badan-badan lain harus disimpan pada bank-bank yang ditunjuk, yaitu Bank Negara Indonesia, Bank Rakyat Indonesia, Bank Surakarta, Bank Nasional, Bank Tabungan Pos dan Rumah Gadai (Beng To, 1991: 76-77). Pengeluaran ORI didasarkan atas dua undang-undang yaitu pertama Undang-Undang no. 17/1946 tertanggal 1 Oktober 1946 yang berisi pemerintah akan mengeluarkan uang sendiri yakni Uang Republik Indonesia, sedangkan tentang bentuk, warna, harga uang tersebut dan lain-lain yang berhubungan dengan pengeluaran uang itu pengaturannya diserahkan kepada Menteri Keuangan commit to user Republik Indonesia. Kedua Undang-Undang no 19/1946 yang diumumkan tanggal
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
50
24 Oktober 1946 disebut sebagai Undang-Undang tentang pengeluaran Uang Republik Indonesia, mengatur dasar nilai uang baru dengan uang Jepang, tentang pembayaran hutang lama yang belum lunas pada waktu berlakunya ORI, tentang uang Jepang yang masih berlaku sekarang, dan pengaturan harga-harga maksimum bagi barang-barang yang dipandang perlu yang penetapannya diserahkan kepada Menteri Kemakmuran. Dasar nilai ditentukan 10 rupiah ORI sama dengan emas murni seberat 5 gram. Emas murni jang dimaksud dalam pasal ini yaitu emas 24 karat. Sebagai dasar penukaran 50 rupiah uang Jepang sama dengan 1 rupiah ORI untuk wilayah Jawa dan Madura serta 100 rupiah uang Jepang sama dengan 1 rupiah ORI untuk wilayah Sumatera (Arsip Kementerian Penerangan no 1). ORI berlaku sebagai alat pembayaran yang sah pada tanggal 29 malam 30 Oktober 1946 jam 24.00. Pada saat itu juga menurut putusan tersebut ORI menjadi satu-satunya alat pembayaran yang sah di daerah Republik di Jawa dan Madura. Di Sumatera, peredaran ORI, karena kesukaran-kesukaran dalam lapangan
tehnik
(kesulitan
mengadakan
pengangkutan
dan
menjamin
keamanannya) tidak dapat diadakan dengan segera. Di Sumatera uang Jepang masih terus berlaku sebagai alat pembayaran yang sah, di samping uang sementara (Uang Republik Indonesia untuk provinsi Sumatera) sampai kira kira pertengahan tahun 1948 (Sikap, 12 Maret 1949). Pada awal penyebarannya, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 19/1946 yang memuat tentang pembagian uang sebesar 1 rupiah ORI pada setiap orang, dan ditambah 3 sen untuk tiap kepala keluarga. Uang itu dimaksudkan sebagai modal untuk setiap orang. Adapun pertimbangan pemerintah mengenai jumlah uang 1 rupiah tersebut adalah dengan dasar bahwa pada saat itu setiap orang mempunyai uang tunai sebesar 50 rupiah uang Pendudukan Jepang, yang sebelumnya sudah diputuskan. Pembagian uang dilakukan secara serentak pada hari dan waktu yang bersamaan di seluruh Jawa dan Madura. Pembagian uang baru diberikan langsung kepada masyarakat secara commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
51
merata sebagai imbalan atas uang lama yang tidak berlaku lagi, dan juga agar masyarakat tidak dirugikan (Nurhajarini, 2006: 36). Pada tanggal 29 Oktober 1946 malam, sebelum keluarnya ORI, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Menteri Keuangan Sjafruddin Prawiranegara menyampaikan pidato melalui RRI. Dalam pidato itu disampaikan pemberitahuan tentang keluarnya dan diresmikannya ORI pada pagi hari tanggal 29 Oktober 1946 sebagai alat pembayaran yang sah. Sjafruddin Prawiranegara selaku Menteri Keuangan menyampaikan pesan guna mengurangi keguncangan ekonomi dengan keluarnya ORI tersebut. Isi pesan Sjafruddin antara lain mengajak rakyat untuk berhemat, bagi perusahaan-perusaan terutama toko-toko, warung-warung jangan menjual barang terlalu banyak untuk keperluan sehari-hari dan jangan menutup toko, pembeli dibatasi, toko-toko dan warung-warung diberi kesempatan untuk menyimpan uangnya di bank-bank sampai tanggal 30 Oktober 1946, memberi kelebihan persediaan makanan kepada tetangga yang kekurangan, jangan pergi ke bank untuk jumlah kecil untuk mencari untung, tetapi harus berani menderita kerugian (Prawiranegara, 2011: 32). ORI tidak dapat diedarkan di Sumatra, maka untuk mengatasi kesullitan keuangan, pada akhir tahun 1947 beberapa daerah di Sumatra mengeluarkan jenis uang sendiri. Diantaranya, ORIPS (Oeang Repoeblik Indonesia Provinsi Sumatra), URISU (Oeang Repoeblik Indonesia Sumatra Utara), URIDJA (Oeang Repoeblik Indonesia daerah Djambi), URIDA (Oeang Repoeblik Indonesia daerah Aceh), ORITA (Oeang Repoeblik Indonesia daearah Tapanuli), dan Uang Mandat yang dikeluarkan oleh Dewan Perahanan daerah sumatra Selatan. Bahkan daerah Banten yang terisolasi, dikeluarkan URIDAB (Oeang Repoeblik Indonesia daerah Banten) (Beng To, 1991: 71). Di wilayah Indonesia tidak hanya ada satu jenis uang. Pihak NICA (Belanda) mengeluarkan uang baru sendiri yang dinamakan uang NICA. Peredaran uang NICA bersamaan dengan ORI telah menimbulkan kesukaran bagi rakyat, khususnya penduduk daerah perbatasan anatara daerah yang dikuasai commit to user Belanda dan daerah yang dikuasai Republik. Pada satu pihak penduduk takut
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
52
diketahui memiliki ORI oleh tentara NICA, dipihak lain takut pula diketahui memiliki uang NICA oleh pasukan Republik. Ternyata makin lama uang Republik makin populer dikalangan rakyat (Rosidi, 2011: 141). ORI dalam sejarah kemerdekaan Indonesia telah menjalankan peranan sebagai alat yang mempersatukan bangsa Indonesia untuk bersama-sama dengan pemerintah Republik yang masih muda itu berjuang mempertahankan dan menegakkan negara Indonesia. Dengan kata lain ORI telah berperan sebagai alat perjuangan kemerdekaan, baik dalam menghimpun tenaga maupun dalam membiayai berbagai macam keperluan negara. ORI berfungsi juga sebagai alat revolusi yang mendukung dan memungkinkan pemerintah Indonesia mangatur administrasinya, mengorganisasi dan memperkuat tentaranya, memelihara keamanan dan ketertiban, mengurus kesejahteraan rakyat dalam menentang agresi Belanda (Beng To, 1991: 69-84). ORI telah berfungsi tidak hanya sebagai alat pembayaran yang sah, alat penukaran, alat pengukur harga, alat pembayaran yang mempunyai tenaga pembeli jauh lebih besar dari uang Jepang yang baru saja dicabut dari peredaran di daerah Republik Indonesia, melainkan ORI adalah Uang Republik Indonesia. Negara baru dengan segala cita-cita dan semangat yang terkandung didalamnya. Belum pernah dalam sejarahnya rakyat Indonesia mengalami uang yang memuat gambar seorang dari bangsanya sendiri sebagai kepala negara (Sikap, 31 Maret 1949). 3. Sebagai Menteri Kemakmuran Presiden Soekarno mengangkat Mohammad Hatta sebagai formatur kabinet setelah Amir Sjarifuddin mengundurkan diri sebagai Perdana Menteri. Alasan Amir Sjarifuddin mengundurkan diri karena masyarakat sudah tidak mempercayai lagi kepemimpinan berpolitiknya, baik melalui delegasi partai-partai yang terdiri dari Masyumi dan PNI, maupun langsung kepada Perdana Menteri melalui demonstrasi secara tertib ke Istana Negara. Pada kabinet Hatta yang commit to user diumumkan pada 29 Januari 1948, Mohammad Hatta sendiri sebagai Perdana
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
53
Menteri merangkap Menteri Pertahanan, Dr. Soekiman Wirjosandjojo sebagai Menteri Dalam Negeri, H. Agoes Salim sebagai Menteri Luar Negeri, M. Natsir sebagai Menteri Penerangan, Sjafruddin Prawiranegara sebagai Menteri Kemakmuran, dan K.H. Masjkur yang menjadi Menteri Agama (Kahin, 292-293). Program kabinet Hatta ialah melaksanakan Persetujuan Renville yang dibuat oleh Amir Sjarifuddin dengan perantaraan Komisi Tiga Negara (KTN), mempercepat terbentuknya Negara Indonesia Serikat, melakukan reorganisasi dan rasionalisasi dalam tubuh ketentaraan dan sedapat mungkin menyelenggarakan pembangunan ekonomi. Sebagai Menteri Kemakmuran, Sjafruddin mendapat tugas untuk memperbaiki dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, termasuk perekonomian (Poespaonagoro & Notosusanto, 1993: 151). Pada awal tahun 1948 keadaan perekonomian rakyat di daerah Republik Indonesia sangat buruk sekali. Agresi Militer Belanda mengakibatkan berbagai daerah yang memiliki nilai ekonomi tinggi, seperti daerah perkebunan, kawasan industri dan pelabuhan jatuh ketangan Belanda. Blokade ekonomi atas daerah perairan yang dikuasai Republik Indonesia mengakibatkan lumpuhnya kegiatan perdagangan dan sulitnya pemasukan uang ke kas negara (Ricklefs, 1991:338339). Sementara itu pihak Belanda pun mengacaukan nilai uang Republik Indonesia dengan jalan mencetak dan mengedarkan ORI palsu sehingga ORI mengalami inflasi yang hebat. ORI itu tidak memenuhi syarat penting yang harus ada pada tiap macam uang yaitu harus sukar sekali dipalsu orang. Kekurangan ini tidak dapat dibebankan kepada pengusaha-pengusaha yang mencetak uang tersebut, karena mencegahnya itu di luar kemampuan pencentaknya. Demikian maka mudah sekali Belanda mencetak uang palsu di dalam peredaran (Sikap, 24 Maret 1949). Menghadapi situasi yang demikian, Sjafruddin Prawiranegara sebagai Menteri Kemakmuran melakukan usaha-usaha seperti mengeluarkan Peraturan Pemerintah nomor 5 tahun 1948 tertanggal 22 Maret 1948 tentang pengumpulan bahan makanan rakyat oleh pemerintah. Peraturan ini dimaksudkan untuk commit to user menjaga persediaan bahan makanan yang cenderung semakin menipis dan terjadi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
54
pula pemindahan makanan ke daerah pendudukan Belanda. Pada tanggal 9 Juli 1948 ditetapkan Peraturan Pemerintah nomor 15 untuk menghitung ternak berupa kuda, kerbau, kambing, domba dan sapi. Peraturan ini dikeluarkan dengan pertimbangan bahwa untuk memajukan perekonomian perlulah diketahui jumlah ternak yang sebenarnya yang ada di seluruh daerah Republik. Data statistik tersebut dapat dijadikan dasar rencana pekerjaan dalam pembangunan, baik dalam lapangan peternakan, lapangan pertanian maupun lapangan perekonomian rakyat pada umunya. Peraturan Pemerintah nomor 29 tahun 1948 tentang pemberantasan penimbunan barang-barang penting seperti beras, gabah, padi, menir, tepung beras, gula, minyak tanah, jagung, gaplek, tapioka, garam, kopi dan teh. Peraturan ini ditetapkan untuk memberantas penimbunan bahan makanan penting supaya peredaran barang-barang tersebut berjalan lancar (Rosidi, 2011: 163). Program lain Kementerian Kemakmuran yang lain adalah memberikan kepada rakyat kesempatan yang sepenuh-penuhnya untuk berusaha sendiri. Caranya ialah dengan melakukan propaganda dan mencetak berbagai buku tentang pembuatan bermacam-macam barang keperluan hidup sehari-hari, seperti cara membuat sabun, gelas, sikat gigi dan sebagainya. Mengadakan transmigrasi besar-besaran ke Sumatera. Kalau bisa akan dilakukan dalam sepuluh tahun sepuluh juta pemindahan penduduk dari Jawa ke Sumatera. Di berbagai daerah telah dilaksanakan dengan menggali waduk-waduk dan memperbaiki usaha irigasi yang sudah ada. Berusaha sekeras-kerasnya untuk memperbesar produksi. Pendapat Sjafruddin tentang program yang dibuat, sebagian besar penduduk Indonesia adalah tani dan tani ini hampir semua tergabung dalam persatuan tani. Oleh karena kebanyakan rakyat Indonesia beragama Islam, dengan demikian Sjafruddin yakin bahwa selama mentri kemakmuran dari Masjumi tentu program ini dapat dijalankan dengan pertolongan penuh dari pihak rakyat (Arsip Kementerian Penerangan No 216). Pandangan mengenai kapital asing menurut Sjafruddin sama sekali tidak keberatan bahwa kapital asing masuk di Indonesia, syaratnya rakyat Indonesia commit to user jangan menderita. Untuk membangun negara yang masih muda ini dibutuhkan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
55
sekali kapital asing misalnya untuk usaha membangun yang sangat membutuhkan banyak mesin-mesin dari luar (Arsip Kementerian Penerangan No 216). Kesulitan yang dihadapi Menteri Kemakmuran dalam usahanya menyehatkan dan meningkatkan perekonomian rakyat dan negara adalah dengan rasionalisasi yaitu penyesuaian antara beban kerja dengan jumlah karyawan. Namun program rasionalisasi sukar dilaksanakan karena terpaksa mengurangi karyawan. Tindakan ini akan menimbulkan gejolak hebat dari kaum buruh yaitu peristiwa pabrik karung Delanggu, Klaten yang terjadi pada tanggal 26 Februari 1948 yang dipimpin OBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) dan SARBUPRI (Serikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia). Sikap terbuka dan kesediaan pemerintah menyelesaikan kasus Delanggu itu ternyata tidak mendapat sambutan baik dari pihak penuntut (buruh). Pihak penuntut melontarkan tuduhan yang bukan-bukan terhadap pemerintah dan orang-orang dari kalangan pemerintah (BTN). Jelaslah bahwa kasus Delanggu bukan hanya masalah buruh, melainkan telah berkembang menjadi masalah politik yang berkaitan dengan sikap oposisi dengan golongan kiri yang bergabung dibawah naungan FDR (Front Demokrasi Rakyat) yang dibentuk pada tanggal 26 Februari 1948, terhadap Kabinet Hatta (Rosidi, 2011: 164-167). Selama beberapa bulan pihak FDR telah menghasut dan menyiarkan berita-berita bohong terhadap dan tentang pemerintah. Untuk itu, menurut Sjafruddin penting dikemukakan tentang politik perekonomian pemerintah Republik Indonesia yang prinsipnya berbeda dengan politik kolonial Belanda. Belanda kolonial mengutamakan kepentingan negeri Belanda dan warganya dengan menjalankan politik perekonomian yang bersifat export bahan-bahan mentah untuk pasar dunia. Politik ini dijalankan dengan konsekuen dan berpedoman mendapat keuntungan sebesar-besarnya untuk kaum modal barat (Belanda): upah pekerja dan sewa tanah untuk perusahaan-perusahaan dipertahankan serendah-rendahnya; pengangkutan bahan dari Indonesia sedapat mungkin dikerjakan oleh maskapai-maskapai Belanda; penjualan bahan ke pasar commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
56
dunia sebanyak mungkin dijalankan lewat negeri Belanda, sehingga keuntungan menjadi berlipat ganda (Arsip Kementerian Penerangan no 139). Sebaliknya pemerintah Republik Indonesia sebagai suatu pemerintah nasional, suatu dari, oleh, dan untuk rakyat, dalam segala tidakan-tindakannya terutama berpedoman pada kepentingan rakyat banyak. Begitupun politik ekonominya ditujukan pada sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia, sehingga perekonomian yang berdasar export, sedang keperluan barang-barang penting guna hidup rakyat sehari-hari digantungkan pada import, ditinggalkan sama sekali. Export masih perlu, yaitu untuk membiayai import barang-barang yang memang tidak/belum mungkin dibuatnya dinegeri kita sendiri dan untuk membiayai keperluan-keperluan kota di luar negeri. Akan tetapi yang didahulukan ialah membangun industri. Disamping membangun industri, maka transmigrasi secara besara-besaran dari Jawa ke Sumatera dan pulau-pulau lain, akan memberi perluasan tanah kepada petani di Jawa dan akan membuka tanah-tanah baru yang amat subur (Arsip Kementerian Penerangan no 139). Menasionalisir seluruh perusahaan bangsa asing tidak mungkin dan tidak perlu karena sempitnya keuangan negara; Perusahaan yang dinasionalisir pada masa sekarang tidak selalu memberi jaminan memberi faedah yang sebesarbesarnya. Sering lebih efisien dalam tangan partikelir tetapi dibawah pengawasan negara; Banyak perusahaan-perusahaan asing berdasar atas export ekonomi lama yang tidak cocok dengan politik ekonomi pemerintah sekarang. Modal asing dibutuhkan oleh Indonesia, perlu pada modal tersebut diberikan kemungkinan mendapat keuntungan yang cukup besar untuk menarik modal asing (baru) ke Indonesia. Supaya modal asing itu tidak akan merajalela disini, dengan menetapkan syarat-syarat mengenai jaminan buruh, sewa tanah dan sebagainya (Undang-Undang Sosial). Pemerintah tidak menghalang-halangi gerakan buruh dan tani, bahkan sebaliknya: pemerintah menghendaki gerakan buruh dan tani yang kuat (Arsip Kementerian Penerangan no 139). commit toDarurat user Republik Indonesia 4. Memimpin Pemerintahan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
57
Pemerintah Republik Indonesia dengan segenap bangsa Indonesia sebenarnya tidak dapat menerima Persetujuan Renville. Oleh karena itu Pemerintah Republik Indonesia dengan Kabinet Hatta ketika telah mengadakan persiapan-persiapan seperlunya untuk menghadapi kemungkinan datangnya serangan-serangan dan aksi militer dari pihak Belanda dengan tiba-tiba. Sehubungan dengan itulah maka dalam bulan November 1948 Wakil Presiden/Perdana Menteri Moh. Hatta beserta Menteri Kemakmuran Mr. Sjafruddin Prawiranegara telah mengadakan perjalanan ke Bukittinggi di Sumatera Tengah (Arsip Sjafruddin Prawiranegara No 14). Mr. Sjafruddin Prawiranegara sebagai Menteri Kemakmuran Republik Indonesia berada di Bukittinggi untuk meninjau keadaan kemakmuran di Sumatera (Rasjid, 1982: 10) dan untuk mempersiapkan kemungkinan pembentukan pemerintahan darurat di Sumatera seandainya ibukota Republik jatuh ke tangan Belanda (Kahin, 2005: 211). Selain Sjafruddin, ada pula Mr. Lukman Hakim (Komisaris Negara Urursan Keuangan), dan Ir. Mananti Sitompul (Pegawai Tinggi Jawatan Pekerjaan Umum) (Imran, Djamhari, dan Chaniago, 2003: 60). Pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda melakukan serangan mendadak di lapangan terbang Maguwo dengan mengkhianati Persetujuan Renville. Gerakan ke Yogya dimulai pukul 12.00 pada waktu pertempuran di Maguwo masih berlangsung, Belanda menembaki beberapa bangunan penting dalam kota Yogya. Yang menjadi sasaran utama ialah Markas Besar Komando Djawa (MBKD), Markas Besar AURI, dan gedung-gedung disekitar Istana Presiden (Imran, Djamhari, dan Chaniago, 2003: 43). Belanda yakin dengan ditangkapnya Bung Karno dan Bung Hatta dan sebagian besar pemimpin-pemimpin yang lainnya yang merupakan inti dari pimpinan pusat Republik, Republik Indonesia tidak ada lagi (Prawiranegara, 1986: 241). Pembatalan secara sepihak atas Perjanjian Renville diumumkan jam 23.30 tanggal 18 Desember 1948, jadi hanya beberapa jam sebelum melakukan agresi. Pihak Belanda tentu saja sengaja melakukan hal itu supaya penyerangannya ke kota Yogyakarta mengejutkan tentara Indonesia commit to user sehingga dapat dengan mudah dilumpuhkan (Rosidi, 2011: 174-175).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
58
Dalam suasana pertempuran pada tanggal 19 Desember 1948 itu, kabinet RI masih sempat mengadakan sidang kilat istimewa di Istana Negara Yogyakarta (Moehadi, 1981:17). Dalam sidang itu diambil keputusan bahwa pemerintah akan tetap tinggal di dalam kota. Keputusan penting yang lain yaitu memberikan mandat kepada Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara yang saat itu sudah ada di Bukittinggi untuk memebentuk Pemerintahan Darurat di Sumatera jika dalam keadaan mendesak pemerintah tidak dapat menjalankan kewajibannya lagi. Mandat lainnya diberikan kepada dr. Sudarsono, L. N. Palar, dan A. A. Maramis dengan alamat New Delhi (India) untuk membentuk pemerintahan di luar negeri jika Sjafruddin tidak berhasil membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (Rasjid, 1982: 19-21). Menurut Mohammad Hatta kemudian, dipilihnya Mr. Sjafruddin Prawiranegara untuk memimpin Pemerintah Darurat adalah dengan pertimbangan bahwa Sjafruddin yang dipandang oleh Wakil Presiden/Perdana Menteri Mohammad Hatta anggota kabinet yang paling cakap dan paling cepat bergerak (Rosidi, 2011: 177). Keputusan untuk memberikan mandat kepada Sjafruddin, dr. Sudarsono, L. N. Palar, dan A. A. Maramis tersebut diambil berdasarkan pertimbangan bahwa Pemerintah Pusat Republik Indonesia yang berada di Yogyakarta tidak mungkin lagi meneruskan tugas-tugasnya memimpin bangsa dan negara Indonesia, disebabkan serdadu-serdadu Kolonial Belanda sudah memasuki kota Yogyakarta (Arsip Sjafruddin Prawiranegara No 14). Pemboman serentak oleh Belanda atas Yogyakarta dan Bukittinggi pada hari minggu pagi tanggal 19 Desember 1948 tidak diduga. Setelah Bukittinggi di bom oleh serdadu-serdadu kolonial Belanda pada hari minggu tanggal 19 Desember 1948 itu juga, maka pada sorenya Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara dan Panglima Tentara Teritorial Sumatera Kolonel R. Hidajat, mengunjungi ketua Komisariat Pemerintah Pusat untuk Sumatera Mr. T.M. Hasan untuk mengadakan perundingan Yogjakarta (Arsip Sjafruddin Prawiranegara No 14). Mr. Sjafruddin Prawiranegara mengusulkan bahwa karena belum diketahui commit to user nasib pemimpin-pemimpin pemerintahan di Yogyakarta, apakah tidak lebih baik
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
59
didirikan Pemerintahan Darurat yang diketahui oleh Sjafruddin sendiri karena saat itu Sjafruddin merupakan salah satu anggota Kabinet Hatta. Menjadi wakilnya adalah T.M Hasan. Keputusan ini belum dapat diambil, karena teman-teman sejawat yang lain perlu diminta pendapat (Rasjid, 1982: 11). Sjafruddin hampir tidak percaya berita tentang jatuhnya Ibukota Yogyakarta dan tertangkapnya Presiden Soekarno, Wakil Presiden/Perdana Menteri Mohammad Hatta dan sejumlah pembesar tinggi lainnya. Sjafruddin menduga berita radio tersebut hanya propaganda Belanda. Karena kurang pasti dengan legalitas kekuasaannya, Sjafruddin menunda pembentukan Pemerintah Darurat (Kahin, 2005: 212). Gagasan untuk membentuk PDRI diambil didasarkan rasa tanggungjawab terhadap kelanjutan perjuangan kemerdekaan yang telah membawa korban begitu banyak. Perjuangan itu tidak boleh dihentikan begitu saja dengan ditawannya Presiden, Wakil Presiden dan anggota kabinet RI lainnya. Menghentikan perjuangan berarti pengkhianatan pada cita-cita semula dan terhadap korban yang telah mati, cacat seumur hidup di medan juang. Sambil menunggu konfirmasi lebih lanjut dari Yogyakarta, Sjafruddin mengambil inisiatif untuk bergerak (Rosidi, 2011: 179). Pemerintah Daerah Sumatera Barat di Bukittinggi di bawah pimpinan komisaris negara/residen telah mengadakan pula musyawarah dengan segenap lapisan masyarakat, pimpinan-pimpinan jawatan dan angkatan perang RI. Setelah memberi petunjuk kepada segenap aparat pemerintahan maupun kepada rakyat di Bukittinggi akan tetap tinggal di dalam kota, maka dilancarkan bumi hangus dan kemudian kota Bukittinggi dinyatakan sebagai kota terbuka (Arsip Sjafruddin Prawiranegara No 14). Tokoh-tokoh di Bukittinggi sepakat untuk meninggalkan kota. Dengan demikian mereka terhindar dari penangkapan Belanda dan selanjutnya mempunyai kesempatan untuk melanjutkan perjuangan. Pengungsian para pejabat pun diatur. Gubernur Sumatera Tengah M. Nasrun dan Ketua DPRST Ilyas Yacoub disertai beberapa pejabat lain dengan kawalan pasukan Brimob commit to user mengungsi ke Lubuk Sikaping. PTTS Kolonel Hidayat bergerak ke Utara dan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
60
selanjutnya menetap di Aceh. Sjafruddin Prawiranegara dan beberapa tokoh lain termasuk T. M. Hasan mengungsi ke Halaban (Imran, Djamhari, dan Chaniago, 2003: 81). Di dusun Halaban pada tanggal 22 Desember 1948 jam 03.00 rombongan Mr. Sutan Mohamad Rasjid bertemu dengan rombongan Mr. Sjafruddin Prawiranegara. Ada pula Ketua Kompempus untuk Sumatera Mr. T. M. Hasan, Komisaris Negara Urusan Keuangan Mr. Lukman Hakim dan stafnya, Koordinator Perhubungan untuk Sumatera Ir. Indratjaja, Kepala Djawatan PU Sumatera Ir. Mananti Sitompul, Kolonel Laut M. Hazir, Kolonel Laut Adam, Kolonel Udara H. Soejono, M. Danu Broto, Direktur BNI, Mr. A. Karim, Kepala Djawatan Kooperasi Pusat Rusli Rahim, Koordinator Kementerian Kemakmuran untuk Sumatera Mr. Latif, semuanya masing-masing dengan stafnya (Arsip Sjafruddin Prawiranegara No 14). Setelah
rombongan
berkumpul,
rapat
segera
dimulai.
Waktu
menunjukkan pukul 04.30 tanggal 22 Desember 1948. Kesepakatan yang kemudian disetujui bersama untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (Imran, Djamhari, dan Chaniago, 2003: 82). Lahirnya PDRI sematamata menjamin kelangsungan hidup Republik Indonesia dan memenuhi tuntutan hukum internasional. Seperti diketahui bahwa menurut hukum internasional, satu negara terdiri atas 3 unsur pokok yaitu, satu wilayah, sejumlah penduduk, dan pemerintahan.
Serangan
Belanda
tanggal
19
Desember
1948
hendak
menghancurkan pemerintahan Indonesia untuk menghilangkan salah satu syarat hukum internasional, sehingga Republik Indonesia tidak lagi menjadi suatu negara. Itulah salah satu peranan penting PDRI (Rasjid, 1982: 13-14). Lahirnya PDRI atas kehendak dan inisiatif dari pemuka-pemuka Pemerintahan di Sumatera, didorong oleh rasa tanggungjawab terhadap kelangsungan hidup Republik Indonesia dan untuk melanjutkan Perjuangan (Prawiranegara, 1986: 242). Adapun susunan dari PDRI sebagai berikut: a. Ketua, merangkap Menteri Pertahanan dan Penerangan, Mr. Sjafruddin commit to user Prawiranegara.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
61
b. Wakil ketua, merangkap menteri kehakiman, Mr. Soesanto Tirtoprodjo. Setelah terdengar kabar bahwa sdr. Supeno gugur karena dibunuh Belanda, maka Beliau merangkap juga Menteri Pembangunan dan Pemuda. c. Menteri Luar Negeri, Mr. A. A. Maramis. d. Menteri Dalam Negeri merangkap Menteri Kesehatan, dr. Soekiman. e. Menteri Keuangan, Mr. Loekman Hakim. f. Menteri Kemakmuran (termasuk pmr), I. Kasimo. g. Menteri Agama, Masjkoer. h. Menteri Pendidikan , Pengajaran dan Kebudayaan, Mr. TM. Hasan. i. Menteri Perhubungan, Ir. Indratjaja. j. Menteri Pekerjaan Umum Ir. Sitompoel. k. Menteri Perburuhan dan Sosial, Mr. ST. Mohd. Rasjid. Menteri-menteri yang ada di Jawa melakukan pekerjaan komisariat pemerintah pusat yang dapat memutuskan segala urusan yang khusus mengenai Jawa (Arsip M. Rasjid no 57). Setelah
diadakan
perundingan,
dilanjutkan
untuk
penyempurnaan
pemerintahan yang selaras dengan keadaan saat ini, susunan PDRI dirubah dan diperlengkap dengan memasukkan menteri-menteri yang sekarang di Jawa masih dapat melakukan kewajibannya sebagai para anggota juga. Kabinet itu dapat disusun sebagai berikut: Mr. Sjafruddin prawiranegara sebagai ketua, Menteri Pertahanan dan Penerangan; Mr. AA. Maramis sebagai Menteri Luar Negeri; dr. Sukiman sebagai Menteri Dalam Negeri dan Kesehatan; Mr. Lukman Hakim sebagai Menteri Keuangan; I. Kasimo sebagai Menteri Kemakmuran termasuk PMR; Mr. Susanto Tirtoprodjo sebagai Menteri Kehakiman; Maskur sebagai Menteri Agama; Mr. Teuku Mohamad Hasan sebagai Menteri Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan; Ir. Indradjaja sebagai Menteri Perhubungan; Ir. Sitompul sebagai Menteri Pekerdjaan Umum; Mr. St. Moh Rasjid sebagai Menteri Perburuhan dan Sosial; Supeno sebagai Menteri Pembangunan dan Pemuda. Kementerian PMR dihapuskan dan urusan PMR dimasukkan dalam kementerian commit to user kemakmuran (Arsip M. Rasjid no.44).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
62
Menanggapi surat dari PDRI, Kasimo setuju dengan susunan baru dari PDRI dan dengan nama darurat. Ketika anggota-anggota kabinet yang ada di Jawa belum berkumpul disatu tempat, hendaknya tiap-tiap menteri di Jawa dalam keadaan mendesak diberi hak mengatur soal yang masuk kekuasaan menteri lain yang bertindak atas nama menteri lain (misalnya, saya sendiri sampai kini sering bertindak pada lapangan kementerian penerangan (Arsip M. Rasjid No 80). Dalam sidang pada tangal 16 Mei 1949 telah diputuskan oleh PDRI bahwa segala urusan yang mengenai Sumatera diselesaikan oleh para anggota yang berada di Sumatera, yang disamping kewajibannya masing-masing diserahi pula urusan-urusan yang termasuk kewajibannya salah seorang anggota PDRI di luar sumatera, yakni sebagai berikut: a. Mr. Sjafruddin Prawiranegara (Ketua, Menteri Pertahanan dan Penerangan mewakili Menteri Luar Negeri) b. Mr. Teuku Mohamad Hasan (Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan mewakili Menteri Dalam Negeri dan Agama) c. Mr. St. Mohamad Rasjid (Menteri Perburuhan dan Sosial mewakili Menteri Pembangunan dan Pemuda serta mengurus soal-soal keamanan) d. Mr. Likman Hakim (Menteri Keuangan mewakili menteri Kehakiman) e. Ir. Sitompul (Menteri Pekerdjaan Umum mewakili Menteri Kesehatan) f. Ir. Indradjaja (Menteri Perhubungan mewakili Menteri Kemakmuran) (Arsip M. Rasjid No 80). Menyambung pengumuman pada tg 19 Bulan Mei no 457/pem/pdri mengenai pembagian pekerjaan antara anggota-anggota PDRI di Sumatera maka perlu kiranya ditegaskan, bahwa segala urusan yang khusus mengenai Jawa commit to user diselesaikan oleh para menteri yang berada di Jawa, yakni:
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
63
a. Mr. Soesanti Tirtiprodjo - Menteri Kehakiman b. I. Kasimo
- Menteri Kemakmuran
c. Hadji Maskoer
- Menteri Agama
Urusan Dalam Negeri sementara dipegang oleh R. P Soeroso. Putusanputusan yang mengenai politik umum diambil bersama-sama oleh menteri-menteri di Sumatera dan Jawa seperti umum mengetahui Menteri Luar Negeri Mr. A. Maramis masih berada di Luar Negeri (Arsip M. Rasjid No 80). Selain mengangkat para menteri tersebut diangkat pula beberapa pejabat lain. Marjono Danubroto ditetapkan sebagai Sekretaris PDRI. Jenderal Soedirman diangkat sebagai Panglima Besar Angkat Perang RI, sedangkan Kolonel Hidayat ditetapkan sebagai Panglima Tentara dan Teritorium Sumatera (PTTS). Kolonel Laut M. Nazir sebagai Kepala Staf Angkatan Laut, Komodor Muda Hubertus Soejono sebagai Kepala Staf Angkatan Udara, dan Komisaris Besar Umar Said sebagai Kepala Jawatan Kepolisian Negara. Jabatan Menteri Luar Negeri kemudian di serahkan kepada Mr. A. A. Maramis. Maramis diberi wewenang untuk mewakili PDRI dalam persoalan luar negeri. Maramis juga diminta agar selalu mengadakan hubungan dengan PDRI untuk menyampaikan masalahmasalah penting (Imran, Djamhari, dan Chaniago, 2003: 81-86). Sehari setelah PDRI didirikan, Sjafruddin Prawiranegara selaku Ketua PDRI menyampaikan pidato radio yang ditujukan kepada semua stasiun radio. Pidato tersebut dapat ditangkap oleh stasiun radio Singapura dan juga disadap oleh Radio Belanda di daerah Riau. Isi pidato itu antara lain: mengemukakan serangan yang tiba-tiba dari Belanda telah berhasil menawan Presiden dan Wakil Presiden, Perdana Menteri dan beberapa pembesar lain. Belanda mengira bahwa dengan ditawannya pemimpin-pemimin yang tertinggi, pemimpin-pemimpin lain akan putus asa. Negara Republik Indonesia tidak tergantung kepada SoekarnoHatta, sekalipun kedua pemimpin itu adalah sangat berharga bagi bangsa kita. Hilang pemerintahan Soekarno-Hatta, sementara atau selama-lamanya, rakyat Indonesia akan menghadirkan pemerintahan yang baru, hilang pemerintahan ini commit to user akan timbul yang baru lagi. Pemerintahan PDRI dibentuk karena ada
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
64
kemungkinan besar bahwa pemerintahan Soekarno-Hatta tidak dapat menjalankan tugasnya seperti biasa. Kepada seluruh angkatan perang Republik Indonesia kami serukan: bertempurlah, gempurlah Belanda dimana saja dan dengan apa saja mereka dapat dibasmi (Imran, Djamhari, dan Chaniago, 2003: 86-87). Sjafruddin mengirim surat kepada Maramis yang membicarakan tentang keadaan militer di Indonesia jauh lebih baik dari pada segala dugaan semula. Di Jawa, kedudukan Belanda merupakan kantong-kantong dibandingkan dengan daerah-daerah yang dikuasai oleh pejuang Indonesia. Di Bukittinggi telah timbul pemberontakan di kalangan tentara Belanda, 213 serdadunya ditembak mati dan Spoor datang sendiri untuk mencoba untuk menyelesaikan. Keadaan sekarang terbalik, bukan bangsa Indonesia yang bertahan tetapi Belanda bersusah payah menahan serangan-serangan yang dilakukan di semua tempat di mana tentara Belanda berada. Kelau keadaan terus menerus begini dan gelora semangat perjuangan rakyat tak dapat ditahan lagi oleh kekuatan apa dan siapa pun juga, maka dalam masa yang singkat pertahanan Belanda akan ambruk. Tentang kekuatan dan kesanggupan bangsa Indonesia untuk terus berjuang kendaknya jangan ada ragu-ragu dikalangan wakil Indonesia di luar negeri serta pemimpin dan rakyat yang berada didaerah-daerah yang sementara dikuasai Belanda (Arsip M. Rasjid No 25). Langkah selanjutnya yang dilakukan ialah memaklumkan eksistensinya kedunia luar, baik didalam wilayah Republik Indonesia maupun diluar negeri. Siaran disampaikan menggunakan zender trasnsmitter. Transmitter buatan Amerika ini milik AURI, ditangani oleh Kapten D. Tamimi (Rosidi, 2011: 194). Di India para pemuda Indonesia yang berkumpul di bawah organisasi PPI (Persatuan Pemuda Indonesia) mengorganisasi unjuk rasa secara besar-besaran. Tujuan aksi demonstrasi ialah menarik perhatian dunia, dengan cara melakukan aksi boikot terhadap kapal-kapal Belanda yang menggunakan jasa pelabuhan udara dan laut India. Hal yang sama diikuti pula oleh Pakistan dan Sri Lanka tanggal 22 Desember 1948, pemerintah Sri Lanka mengumumkan bahwa fasilitas commit to user pelabuhan laut dan udara di negerinya tertutup untuk kapal-kapal dan pesawat
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
65
terbang Belanda. Filipina juga menyatakan perasaan simpatinya sambil menyerukan agar negeri Asia bangkit melawan setiap usaha Den Haag melancarkan tindakan militernya (Zed, 1997: 220). Liga Arab di Kairo juga mengajukan imbauan keapada Dewan Keamanan PBB supaya Belanda segera menghentikan agresi militernya dan menarik mundur pasukannya dari daerah Republik Indonesia. Amerika Serikat pun menghentikan bantuan ekonominya kepada Hindia Belanda mulai tangal 22 Desember 1948 (Rosidi, 2011: 195-196). Pemerintah Darurat Republik Indonesia bersifat mobil, selalu berpindahpindah. Perpindahan tempat dilakukan untuk mempertahankan keaman dan keselamatan para pemimpin PDRI. tempat yang dijadikan markas oleh PDRI antara lain Halaban, Bangkinang, Tratak Buluh, Sungai Pagar, Teluk Kuantan, Kota Baru, dan Muara Lembu, Kiliranjao, Sungai Daerah, Bidar. Di daerah Bidar Alam, masyarakat menyiapkan beberapa rumah dan sebuah surau tua untuk tempat tinggal rombongan PDRI. Rumah-rumah itu adalah: a. Rumah Djamilah, ditempati oleh Sjafruddin Prawiranegara dan dr. Sambijono beserta istri. b. Rumah Biah, ditempati oleh Teuku Mohamad Hasan. c. Rumah Sitjah, ditempati oleh Lukman Hakim, Indratjaja dan Mardjono Danubroto. d. Rumah Lamisah, ditempati oleh dua puluh orang pegawai sipil dan militer. e. Rumah Sakidah, ditempati oleh sepuluh orang kurir dan pasukan pengawal. f. Rumah Sawida, ditempati oleh dua orang anggota staf keuangan, yakni Nasrul dan Hamid. Pada waktu kemudian Sjafruddin beserta dr. Sambijono dan Istri pindah ke rumah Siti Rapat. Letak rumah-rumah itu cukup berdekatan, umumnya di pinggir pasar, kecuali rumah Siti Rapat (Imran, Djamhari, dan Chaniago, 2003: 89-106). Sjafruddin dan rombongan meninggalkan Bidar Alam pada tanggal 23 April 1949. Pada saat Sjafruddin meninggalkan Bidar Alam, sedang berlangsung commit to user perundingan antara RI dan Belanda (Imran, Djamhari, dan Chaniago, 2003: 259).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
66
Perundingan dibawah pengawasan UNCI ini bertujuan untuk mengadakan pertemuan pendahuluan di Jakarta. Adanya perundingan pendahuluan ini berawal dari Konferensi New Delhi yang dihadiri oleh negara-negara Asia, Timur Tengah, Australia dan Selandia Baru (Zed, 1997: 224). Perundingan antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda mencetuskan apa yang dikenal dengan Pernyataan Roem-Royen tanggal 7 Mei 1949 (Rasjid, 1982: 41). Diadakanlah Pertemuan di Sumpur Kudus dimulai pada tanggal 14 Mei 1949. Dalam musyawarah itu PDRI membicarakan sikap yang harus diambil sehubungan dengan prakarsa pihak Bangka mengadakan perundingan tanpa terlebih dahulu membicarakannya dengan PDRI. Sjafruddin menyatakan kekecewaannya dan dengan tegas menolak perundingan. Sjafruddin mengatakan sudah dua kali RI mengadakan perundingan dengan pihak Belanda yang menghasilkan Perjanjian Linggajati dan Persetujuan Renville, dan dikhianati Belanda, lebih-lebih perundingan diadakan dengan pemimpin yang masih berada dalam status tawanan. Sjafruddin menganggap pihak Bangka dengan sengaja telah melecehkan PDRI, termasuk Dirinya. Padahal Sjafruddin telah diberi mandat untuk mendirikan pemerintahan darurat dan memimpin perjuangan (Imran, Djamhari, dan Chaniago, 2003: 261-262). Sebagai konsekuensi dari sikap PDRI, Sjafruddin mendesak keras untuk secepatnya mengembalikan mandat pada Soekarno-Hatta. Alasannya yaitu, pertama, pada kenyataannya Sjafruddin merasa tidak lagi memiliki wewenang untuk memimpin Republik, sesuai dengan posisi yang diserahkan kepadanya sebagai ketua PDRI. Kedua, lebih terhormat kiranya bagi Sjafurddin untuk mengembalikan mandat lebih dahulu dari pada mandat itu dicabut oleh SoekarnoHatta (Zed, 1997: 273-274). Dalam musyawarah di Sumpur Kudus pada umumnya mengecam kebijaksanaan Bangka. Akan tetapi Sjafruddin menambahkan, bahwa dunia luar mengakui Soekarno dan Hatta (Zed, 1997: 275). Kalau yang hadir dalam musyawarah di Sumpur Kudus hendak berpegang teguh pada pendirian masingcommit to user masing, maka akan terlihat dua golongan yaitu golongan Soekarno dan golongan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
67
yang mendukung PDRI. Sjafruddin memperingatkan adanya perbedaan paham akan sangat tidak menguntungkan perjuangan dan membahayakan keutuhan bangsa dan negara. Untuk mencegah perpecahan, Sjafruddin mengatakan bersedia mundur dan menyerahkan mandatnya kembali kepada Soekarno-Hatta (Imran, Djamhari, dan Chaniago, 2003: 263). Protes-protes PDRI dan pimpinan angkatan perang terhadap Pernyataan Roem-Royen tentu saja terdengar oleh para pemimpin yang ada di Bangka. Hatta menanggapinya dengan usaha menemui Sjafruddin utnuk memberikan penjelasan mengenai latar belakang kabijakan yang diambil pihak Bangka. Hatta ditemani oleh Ali Sastroamidjojo dan Moh. Natsir. (Imran, Djamhari, dan Chaniago, 2003: 264). Pada 5 Juni 1949, Hatta bersama anggota rombongannya berangkat berangkat ke Aceh. Hattalah yang paling merasa berkepentingan utuk mencari Sjafruddin ke sumatera, guna menunjukkan bahwa para pemimpin di Bangka sama sekali tidak mengabaikan PDRI. Akan tetapi Hatta tidak bertemu dengan Sjafruddin di Kotaraja. Hatta bertemu dengan Kol. Hidayat, Panglima Sumatera (Zed, 1997: 279). Dalam
pertemuan
dengan
rombongan
Hatta,
kolonel
Hidayat
menyampaikan isi radiogram dari Sjafruddin tanggal 2 Juni yang ditujukan kepada Hatta. Isinya antara lain: a. PDRI merasa menyesal bahwa Presiden dan Wakil Presiden telah menyetujui terhadap persetujuan yang tidak dirundingkan terlebih dahulu dengan PDRI. Kalau KTN didesak, kami yakin bahwa Belanda pasti mengijinkan pemimpin-pemimpin di Bangka berhubungan dulu dengan pihak PDRI. PDRI kurang digunakan oleh para pemimpin di Bangka dalam perundingan. b. Persetujuan itu memberi kesan: 1) Tidak ada jaminan yang nyata bahwa Belanda akan menyerahkan kedaulatan sepenuhnya dan tidak bersyarat. 2) PDRI tidak akan menghalang-halangi penyerahan kembali kekuasaan kepada pemerintah Soekarno Hatta, tetapi apabila persetujuan dipandang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
68
tidak memuaskan, mungkin beberapa anggota akan meletakkan jabatannya. 3) Untuk penyerahan kekuasaan di Yogya, harap kami dijemput dari Piobang (Payakumbuh). Untuk penyiapan lapangan terbang dibutuhkan sekitar 2 hari. Kami menunggu ditempat Zender (Imran, Djamhari, dan Chaniago, 2003: 265-267). Sebelum Hatta meninggalkan Aceh apda 10 Juni 1949, Sjafruddin mengirimkan lagi radiogram tertanggal 8 Juni 1949. Isinya antara lain mengucapkan selamat jalan dan menyampaikan ucapan terima kasih dari PDRI atas ikhtiar Wakil Presiden mencari hubungan dengan PDRI. Hatta menyambut radiogram Sjafruddin dengan penuh perhatian. Hal ini terbukti, Hatta mengirimkan orang-orangnya untuk menemui Sjafruddin (Zed, 1997: 279). Setelah tiba di Bangka, Hatta membentuk tim yang akan ditugasi menemui PDRI. Tujuan utusan Hatta adalah meyakinkan Mr. Sjafruddin Prawiranegara bahwa inisiatif yang diambil kelompok Bangka merupakan hasil maksimal yang dapat dilakukan pemerintah pada waktu itu. Diharapkan Sjafruddin dapat menerima keputusan itu apa adanya, dan dengan demikian bersedia ikut kembali Yogyakarta (Zed, 1997: 284). Tim ini diketuai oleh dr. Leimena, Natsir dan dr. A. Halim sebagai anggota dan Agus Jamal sebagai sekretaris. Pada tangal 5 Juli 1949 tim Leimena tiba di Suliki. Dan pada 6 Juli 1949 bertemulah utusan Hatta dan utusan PDRI (Imran, Djamhari, dan Chaniago, 2003: 270). Sjafruddin bersedia untuk kembali ke Yogyakarta dengan syarat-syarat sebagai berikut: a. TNI harus tinggal tetap pada posisinya yang diduduki pada waktu itu. b. Tentara Belanda harus berangsur-angsur ditarik kembali dari kedudukannja. c. Pengembalian Pemerintah RI ke Yogyakarta, setelah daerah Yogyakarta dikosongkan harus mutlak dilaksanakan oleh Belanda. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
69
d. Belanda harus mengakui kedaulatan RI atas daerah Jawa , Sumatera, Madura, dan kepulauan-kepulauan disekitarnya sesuai dengan Persetujuan Linggajati (Arsip Sjafruddin Prawiranegara No 14). Sjafruddin bersedia untuk memenuhi permintaan utusan Hatta, dan Leimena beserta anggota memberikan jaminan bahwa tuntutan PDRI seperti yang diajukan Sjafruddin akan disampaikan dalam sidang BP KNIP (Imran, Djamhari, dan Chaniago, 2003: 271-272). Sebelum meninggalkan Nagari Padang Japang, pada tanggal 8 Juli 1949 Sjafruddin mengadakan pertemuan dengan para pemuka mayarakat. Sjafruddin mengatakan adalah lebih baik menerima Pernyataan RoemRoyen walaupun kurang menguntungkan dari pada mengorbankan persatuan. Dan juga disampaikannya bahwa Sjafruddin berjanji akan memimpin perjuangan kalau persetujuan yang dicapai tidak sesuai dengan tujuan perjuangan Indonesia. Sjafruddin juga masih menghormati pentingnya kedudukan Soekarno-Hatta bagi persatuan Republik Indonesia di mata dunia luar, dan ingin memelihara kesatuan kepemimpinan Republik Indonesia secara keseluruhan (Zed, 1997: 287). Pada tangal 10 Juli 1949, Sjafruddin kembali ke Yogyakarta. Sjafruddin disambut oleh Soekarno setibanya di Yogyakarta. Sjafruddin menerangkan bahwa PDRI tidak berada di belakang Roem-Royen, tapi berada di belakang rakyat, berjuang dengan rakyat dan untuk rakyat (Kedaulatan Rakyat, 11 Juli 1949). Pada tanggal 13 Juli 1949, kabinet Hatta bersidang. Hatta melakukan perombakan kabinet. Kabinet yang baru terbentuk itu disebut Kabinet Hatta II. Dalam kabinet ini, Sjafruddin diangkat sebagai Wakil Perdana Menteri (Noer, 2000: 207). Pada sidang kabinet Hatta ini juga, Sjafruddin menegaskan bahwa mandat yang dikirimkan kepadanya oleh Soekarno dan Hatta tidak pernah diterima. Sjafruddin dan tokoh-tokoh lain di Sumatera membentuk PDRI sematamata beradasarkan ilham untuk mengisi kevakuman pemerintahan. Dalam sidang itu pula, Sjafruddin mengembalikan mandat kepada Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta. Pengembalian mandat oleh Sjafruddin kepada Soekarno yang pada tanggal 1 Juli 1949 diartikan sebagai bersatunya dua komponen kedalam commit to user Republik Indonesia. Tinggal dua kelompok yang ada yakni kelompok Republik
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
70
Indonesia dan BFO. Kedua kelompok ini akan menghadapi Belanda dalam Konferensi Meja Bundak (KMB) di Den Haag, Belanda. Untuk menyatukan pandangan dalam menghadapi Belanda, RI dan BFO mengadakan dua kali Konferensi. Konferensi Inter-Indonesia pertama dilaksanakan pada tanggal 19-22 Juli 1949 di Yogyakarta, dan Sjafruddin hadir dalam Konferensi pertama ini. Pada tanggal 30 Juli-2 Agustus 1949 di Jakarta diadakan Konferensi Inter-Indonesia yang kedua. Konferensi berhasil mencapai persetujuan untuk membentuk Panitia Persiapan Nasional yang siap mengadakan suasana tertip sebelum dan sesudah KMB (Imran, Djamhari, dan Chaniago, 2003: 272-289).
5. Menteri Keuangan Delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) yang diselenggarakan di Den Hag dari tanggal 23 Agustus sampai 2 November 1949 dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammad Hatta. Pokok-pokok yang penting dari hasil Konferensi Meja Bundar ialah bahwa pemerintah Belanda akan mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat yang akan dibentuk oleh negara Republik Indonesia dengan negara-negara bagian yang sudah ada. Dalam bidang ekonomi-keuangan ada beban yang harus dipikul oleh pemerintah Republik Indonesia Serikat yang akan dibentuk, yaitu pembayaran utang-utang pemerintah Hindia Belanda sampai tahun 1949. Termasuk di dalamnya biaya-biaya yang dikeluarkan untuk keperluan militer yang memerangi Republik Indonesia (Kahin, 1995: 549-557). Pada tanggal 16 Desember 1949 dilakukan pemilihan presiden RIS yang pertama oleh wakil-wakil negara bagian dan wakil Republik Indonesia. Ir. Soekarno terpilih secara bulat sebagai presdien Republik Indonesia Serikat yang pertama. Pada tanggal 21 Desember 1949, Mohammad Hatta sebagai Perdana Menteri mengumumkan kabinetnya, yang merupakan kabinet pertama bagi Republik Indonesia Serikat (Poesponegoro & Notosusanto, 1993: 205). Di dalam kabinet Republik Indonesia Serikat, Sjafruddin Prawiranegara commit to user duduk sebagai Menteri Keuangan (Kahin, 1995: 569). Tugas Menteri Keuangan,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
71
termasuk dalam program kabinet RIS yang pertama itu nomor 4, yaitu: berusaha memperbaiki keadaan ekonomi rakyat, keadaan keuangan, perhubungan, perumahan dan kesehatan; mengadakan persiapan untuk jaminan sosial dan penempatan tenaga kembali ke dalam masyarakat; mengadakan peraturan tentang upah minimum; pengawasan pemerintah atas kegiatan ekonomi agar kegiatan terwujud kepada kemakmuran rakyat seluruhnya (Rosidi, 2011: 244). Banyak kesulitan dalam bidang keuangan yang dihadapi oleh pemerintah yang baru itu, yang harus segera diselesaikan. Mata uang yang beredar dalam masyarakat bermacam-macam; ada uang NICA atau secara populer disebut “uang merah” ada ORI (di daerah) dan bermacam uang Republik lain yang berlaku di wilayahnya sendiri-sendiri. Uang itu semuanya harus diganti dengan uang baru yang berlaku di seluruh Indonesia. Tetapi masalahnya bukan semata-mata mengganti uang, karena segala macam uang itu mengalami inflasi yang tingkatnya tinggi. Penukaran dengan uang baru menimbulkan masalah praktis pula seperti penentuan kurs dari macam-macam uang itu terhadap uang baru, yang menyangkut pula utang-piutang dan lain-lain. Neraca perdagangan dari tahun ketahun yang memperlihatkan defisit yang kian membengkak. Ini menyebabkan cadangan devisa dan emas di bank kian menyusut. Disamping itu pemerintah Republik Indonesia Serikat menerima beban utang pemerintah Hindia Belanda, baik utang dalam maupun luar negeri (Beng To, 1991:116). Semua masalah yang bertimbun itu merupakan tantangan buat Sjafruddin sebagai Menteri Keuangan. Suatu tindakan drastis harus dilakukan. Masalah pokok ekonomi yang dihadapi ialah karena produksi yang rendah, karena banyaknya mesin yang rusak, perkebunan yang tidak terpelihara, jalan yang tidak dapat dilalui, transportasi yang buruk, pegawai yang terlalu banyak ditambah pula oleh adanya masalah kepegawaian kembar, penyelundupan, dan lain-lain. Bagi Menteri Keuangan RIS tidak dibatasinya kebebasan dalam langkah-langkah persetujuan KMB dalam bidang keuangan telah mengikat langkah-langkahnya. Seperti penentuan langkah-langkah kebijaksanaan devisa, bahkan pengangkatan commit to user Presiden dan para direktur Bank Sirkulasi itu pun hanya dapat dilakukan setelah
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
72
mengadakan perundingan dengan Belanda. Begitu pula lalu lintas pembayaran antara Indonesia dengan negara-negara luar hampir seluruhnya harus disalurkan melalui negeri Belanda (Parera,ed., 2005: 27). Pada tanggal 11 Maret 1950 dikeluarkanlah peraturan oleh Lembaga Alat-Alat Pembayaran Luar Negeri (yang mulai berlaku tanggal 13 Maret 1950) untuk memperbaiki perkembangan neraca pembayaran dengan memakai sistem Sertifikat Devisa. Tanpa melakukan perubahan kurs resmi rupiah terhadap mata uang asing, peraturan itu menetapkan kurs efektif bagi pembelian dan penjualan devisa yang berbeda. Orang-orang yang mengekspor barang dari Indonesia, selain memperolah uang sebanyak harga barang-barangnya dalam rupiah Indonesia, juga memperoleh Sertivikat Devisa sebesar 50% dari harga barang yang diekspornya itu (Beng To, 1991:200-201). Setiap orang yang hendak mengimpor barang, selain harus mempunyai ijin untuk memperoleh devisa, juga harus mempunyai Sertifikat Devisa yang besarnya sama denagn harga barang yang hendak diimpornya. Maksud peraturan ini adalah hendak menggiatkan ekspor dan menekan impor. Timbul reaksi yang bermacam-macam terhadap peraturan baru. Di samping yang menggerutu (kebanyakan importir pendatang baru yang tidak mempunyai modal yang cukup kuat), banyak menyambut dengan antusias, karena menganggap peraturan baru ini akan mendorong ekspor dan memberikan perangsang kepada penghasil bahan ekspor yang kebanyakan petani kecil (Rosidi, 2011: 248-249). Akibat dari peraturan Devisa yang baru ini antara lain, apabila ekspor meningkat maka akan terjadi lebih banyak lagi alat-alat pembayaran asing guna pembelian di luar negeri; Kurs rupiah Indonesia sesudah beberapa lama akan tetap pada tingkat yang semestinya; adanya sistem baru ini, perdagangan gelap akan kurang menarik; dan dengan penyehatan peredaran uang ini, maka luar negeri akan menunujukkan kesediaan yang lebih besar untuk menanamkan modal di Indonesia berupa perbungaan oleh kaum partikelir asing dan berupa pinjamanpinjaman pemerintah (Kedaulatan Rakyat, 14 Maret 1950). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
73
Peraturan Sertifikat Devisa kemudian disusul dengan Putusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Serikat tanggal 19 Maret 1950 tentang “Operasi Gunting Sjafruddin” karena sebagi Menteri Keuangan Sjafruddin Prawiranegara mengambil keputusan untuk memotong dua dengan gunting uang merah dengan uang de Javasche Bank dari pecahan Rp 5 ke atas. Pecahan Rp 2,50 dan yang lebih kecil tidak mengalami pengguntingan. Uang ORI juga tidak digunting. Keputusan ini menembak beberapa sasaran: pengganti uang yang bermacammacam itu dengan mata uang baru, mengurangi jumlah uang yang beredar untuk menekan inflasi dengan demikian menurunkan harga barang, mengisi kas pemerintah dengan pinjaman wajib (Beng To, 1991: 209). Pengguntingan uang pada tanggal 19 Maret 1950 dilakukan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan No.PU/1 tanggal 19 Maret 1950 terhadap uang kertas De Javasche Bank dan uang pendudukan Belanda (Parera,ed., 2005: 96). Sejak pukul 8 malam tanggal 19 Maret 1950, uang kertas pecahan Rp 5 keatas digunting menjadi dua. Bagian kiri tetap berlaku sebagi alat pembayaran yang sah dengan nilai setengah dari nominalnya, tetapi sejak tanggal 22 Maret 1950 bagian kiri itu harus ditukarkan dengan uang kertas baru di bank dan tempattempat lain yang ditentukan. Batas terakhir penukaran itu sampai dengan tangal 16 April 1950. Sesuah itu, kalau belum ditukarkan juga, bagian kiri itu tidak laku. Sedangkan bagian kanan dari uang itu dinyatakan tidak laku, tetapi dapat ditukar dengan surat obligasi pemerintah sebesar setengah dari nilai nominalnya. Obligasi yang dikeluarkan oleh pemerintah itu dinamakan Obligasi Pinjaman Darurat 1950. Bunganya ditetapkan sebesar 3% setahun (Rosidi, 2011: 250-251). Pemaroan dilakukan juga terhadap simpanan-simpanan pada bank dan surat-surat perbendaharaan. Yang dimaksud dengan simpanan pada bank ialah simpanan pihak ketiga yang dapat ditagih sewaktu-waktu maupun yang penagihannya tergantung pada suatu masa, serta segala simpanan yang dipandang oleh atau atas nama Menteri Keuangan sebagai simpanan di bank. Bank diwajibkan memindahkan setengah dari simpanan-simpanan itu kepada sebuah commit to user rekening khusus yang dinamakan “Pendaftaran Pinjaman Negara 3% 1950” yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
74
hanya dapat digunakan untuk membeli obligasi negara. Langkah pembersihan uang pada bulan Maret 1950 berhasil mengurangi jumlah uang kartal sekitar 1,6 milyar, sehingga posisi uang yang beredar dapat ditekan menjadi sebesar 4,3 milyar pada akhir tahun 1950 (Parera,ed., 2005: 96-97). Manurut Sjafruddin, uang boleh menjadi sampah, cita-cita boleh terbang dan hancur binasa, tetapi manusia yang hidup dan mengerti akan kewajibannya tak boleh jemu-jemu berjuang dan bekerja, berikhtiarlah mencara jalan baru untuk mencapai kebahagiaan, yang menjadi sumber bagi segala cita-cita. Untuk menyelamatkan negara, pemerintah harus mengambil tindakan-tindakan yang cepat dan radikal. Dan satu-satunya jalan yang menurut pendapat pemerintah dapat membawa ketujuan yang kita maksud, ialah mengadakan pinjaman negara dan mengurangi peredaran uang (Prawiranegara, 2011: 36-40). Ditinjau dari sudut kemakmuran, maka peraturan devisa baru akan memberikan keuntungan kepada kaum eksportir jauh lebih besar daripada di masa lampau. Oleh karena itu maka ekspor akan bertambah, dan oleh sebab itu, maka impor pun dapat diharapkan akan bertambah pula. Peraturan itu memang memberatkan para importir bangsa yang baru saja timbul, yang sangat kekurangan modal, tetapi kepentingan para petani yang menghasilkan sebagian besar dari pada barang-barang ekspor tidak boleh dikurbankan (Rosidi, 2011: 253-254). Mengenai obligasi yang akan dikeluarkan oleh pemerintah RIS dinyatakan, bahwa sebelum keluar obligasi itu bagian-bagian kanan dari mata uang yang sudah dipotong sekarang ini boleh diperdagangkan, sebab diketahui paling sedikit harga obligasi itu adalah dari seratus rupiah. Dianjurkan kepada rakyat dalam memperdagangkan itu jangan sampai terlalu rendah dari harga yang semestinya. Mengenai usaha untuk menaikkan harga sesudah dikeluarkann peraturan baru itu akan diadakan tindakan-tindakan keras oleh pemerintah. Berhubung dengan adanya tindakan-tindakan oleh berbagai perusahaanperusahaan perkapalan dan lain-lain dari pihak asing yang menaikkan harga hingga 200%, maka pemerintah membentuk panitia untuk mengadakan commit to user perundingan dengan perusahaan-perusahaan asing. Menurut pendapat pemerintah,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
75
tidak pada tempatnya perusahaan-perusahaan itu menaikkan tarifnya hingga 200%, karena perusahaan-perusahaan tersebut banyak sekali mendapat jasajasanya di Indonesia (misalnya pembayaran upah buruh) yang dalam mata uang Indonesia tidak naik. Demikian pula pemerintah tidak menaikkan ongkos-ongkos yang harus dibayar perusahaan. Kalau perusahaan-perusahaan asing itu tetap pada tindakan yang sudah diambilnya, maka pemerintah akan juga mengadakan tindakan-tindakan pembalasan, misalnya menaikkan ongkos-ongkos pelabuhan hingga beberapa persen (Kedaulatan Rakyat, 22 Maret 1950). Sjafruddin sebagai Menteri Keuangan juga mengatur penukaran uang ORI dan jenis-jenis uang lain. Tanggal 1 Januari 1950 Menteri Keuangan sudah mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa ORI dan mata uang sejenisnya sebagai alat pembayaran yang sah akan ditarik mulai tanggal 1 Mei 1950, tetapi karena keputusan Menteri Keuangan 19 Maret 1950 itu, maka soal penukaran ORI dan uang-uang lain sejenisnya dipercepat. Uang-uang itu sudah dapat ditukarkan sejak tanggal 27 Maret 1950 sekalian dengan penukaran bagian kiri uang federal. Tetapi berlainan dengan bagian kiri uang federal yang harus ditukarkan paling lambat tanggal 17 April 1950, maka penukaran ORI dan uang-uang lain sejenisnya dapat dilakukan sampai dengan tanggal 1 Juni 1950 yang kemudian diperpanjang lagi sampai tanggal 21 Juni 1950 (Rosidi, 2011: 259). Sebagai upaya untuk mencegah salah paham ditegaskan bahwa Kurs yang ditetapkan merupakan kurs yang akan digunakan saat penukaran ORI dengan uang RIS sementara mulai 30 Maret 1950, di rumah-rumah pegadaian. Segala uang yang ada akan ditukar semuanya, dan untuk penukaran itu akan diberi kesempatan seluas-luasnya sehingga siapa pun juga layak menukarkan ORI yang ada padanya. Selama penukaran itu boleh dipakai sebagai alat pembayaran yang sah sampai 1 Mei 1950. Untuk dapat menukarkan ORI orang harus mempunyai surat keterangan dari lurah atau pamong praja yang sederajat. Untuk anggota Angkatan Perang sebagai pengganti lurah dapat diterima surat keterangan dari Komandan yang bersangkutan. Di kantor-kantor penukaran diadakan panitia commit to user Pemeriksaan uang palsu, anggotanya akan diangkat dari pamong praja dan Polisi.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
76
Setiap orang selama masa penukaran hanya dibolehkan menukarkan satu kali (Kedaulatan Rakyat, 28 Maret 1950). Karena daya beli ORI berbeda-beda dengan jenis uang lainnya, maka kurs yang ditetapkan untuk penukaran pun tidaklah sama. ORI misalnya ditetapkan kursnya 125 buat tiap f 1; sedangkan URIBA yang beredar di Aceh, 175 buat setiap f 1; untuk ORIPS yang beredar di Sumatera Tengah 125 buat setiap f 1; untuk URITA yang beredar di Tapanuli, 350 buat setiap f 1; URISU yang beredar di Sumatera Utara, 450 buat setiap f 1, dan sebagainya. Tetapi setiap orang paling banyak hanya boleh menukarkan sampai senilai f 50 saja, tidak boleh lebih (Beng To, 1991: 144). Ada beberapa faedah yang dapat dicapai dengan peraturan yang dikeluarkan Sjafruddin, ialah: a. Merupakan cambuk bagi masyarakat untuk bekerja lebih keras. Dengan dikuranginya peredaran uang, bisa diharapkan bahwa harga-harga barang tentu akan turun, sedangkan upah-upah akan tetap sebagaimana biasa; b. Kekacauan dalam soal uang, yang juga merupakan salah satu sebab kurang lancarnya perekonomian, akan lenyap. Juga ORI baik di Jawa maupun Sumatera akan bersam-sama ditarik dari peredaran. Uang federal yang lama akan lenyap pada tanggal 17 April, uang ORI pada tanggal 1 Mei 1950; c. Kepercayaan dunia luar terhadap Indonesia dalam masalah-masalah keuangan dan perekonomian akan bertambah besar, sehingga kemungkinan untuk mendapatkan kredit atas dasar-dasar yang sehat akan menjadi lebih besar lagi. Dunia luar akan melihat, bahwa Indonesia dengan kekuatan sendiri, dengan tidak menggantungkan nasibnya pada belas kasihan dari negara-negara asing, benarbenar sanggup menyelesaikan soal-soalnya sendiri. Dengan sendirinya kedudukan politik Indonesia akan kuat (Prawiranegara, 2011: 40-41).
6. Gubernur Bank Pemerintahan RIS yang baru berjalan tujuh bulan, sudah timbul suarasuara yang menginginkan negara kesatuan. Mayoritas bangsa Indonesia tidak puas commit to user dengan sistem federasi. Negara-negara bagian berusaha untuk meleburkan diri ke
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
77
dalam Republik Indonesia, sehingga jumlahnya menyusut. Mulailah diadakan perundingan antara negara Republik Indonesia dengan Pemerintah RIS yang pada tanggal 19 Mei 1950 bersepakat untuk membentuk Negara Kesatuan. Langkah selanjutnya ialah menyusun Undang-Undang Dasar RIS. Penyusunan rencana Undang-Undang Dasar itu selesai pada tanggal 20 Juli 1950 dan Presiden Soekarno menandatanganinya pada tanggal 15 Agustus 1950. Undang-Undang Dasar itu kemudian terkenal dengan sebutan Undang-Undang Dasar Sementara (Poesponegoro&Notosusanto, 1993: 209-210). Pada tanggal 17 Agustus 1950, Negara RIS dibubarkan dan dilanjutkan oleh negara Republik Indonesia yang berbentuk negara kesatuan. Ir. Soekarno terpilih kembali sebagai presiden, dan Mohammad Hatta terpilih sebagai Wakil Presiden.
Karena
Undang-Undang
Dasar
Sementara
menganut
sistem
parlementer, maka pemerintah akan diselenggarakan oleh kabinet yang mendapat kepercayaan dari parlemen. Sebagai formatur kabinet yang pertama berhasil membentuk pemerintahan ialah M. Natsir yang pada bulan September menyusun sebuah kabinet yang kuat karena banyak tokoh yang ahli dan cakap duduk di dalamnya. Dalam kabinet ini intinya adalah Partai Masyumi, dan Sjafruddin duduk sebagai Menteri Keuangan (Kahin, 1995: 594). Banyaknya pemogokan dan karena produksi belum berjalan, maka Sjafruddin sebagai Menteri Keuangan mempunyai tanggungjawab untuk mengatasi masalah tersebut. Salah satu sumber pemasukan uang negara yang dilihatnya masih belun berjalan denagn baik ialah pemungutan pajak. Untuk itu Sjafruddin mengajukan sebuah rencana Undang-undang ke parlemen tentang Pajak Peredaran. Setelah Undang-undang Darurat tentang Pajak Peredaran itu diundangkan, timbul reaksi yang keras dalam parlemen. Resuna Said dan kawankawannya sesama anggota parlemen mengajukan sebuah mosi yang menghendaki agar Undang-undang Darurat tentang Pajak Peredaran itu dicabut kembali. Namun ternyata sebelum parlemen membahas mosi Rasuna Said itu, pada Maret 1951 kabinet Natsir sudah terlebih dahulu jatuh karena Kabinet mengambil alih commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
78
kebijaksanaan Menteri Dalam Negeri Mr. Assaat mengenai otonomi daerah yang menyebabkan beberapa anggota Parlemen mengajukan mosi (Ricklefs, 1991:364). Kabinet berikutnya yaitu kabinet Soekiman dan sampai pembentukan PRRI, Sjafruddin tidak duduk dalam kabinet. Meskipun tidak duduk dalam kebinet, Sjafruddin masih menyumbangkan pemikirannya kepada pemerintah. Sjafruddin Prawiranegara mengkritik perlunya selalu berkepala dingin dalam menghadapi persoalan-persoalan negara. Misalnya mengenai nasionalisasi De Javasche Bank. Sjafruddin menganjurkan agar persoalan De Javasche Bank harus dipikirkan baik-baik. Bukan karena tidak setuju dengan nasionalisasi, tetapi Sjafruddin sadar bahwa tenaga Indonesia belum cukup mampu untuk menanganinya. Juga dalam menggunakan tenaga-tenaga ahli Belanda. Sjafruddin mengkritik orang-orang yang tidak menggunakan sebagaimana mestinya tenagatenaga ahli itu, padahal sudah dibayar dan tenaga mereka memang bermanfaat. Kalau tidak dipakai dengan sebaik-baiknya, mereka mungkin tidak mau memperpanjang kontraknya, lalu mereka melamar ke badan-badan internasional yang tidak mustahil mengirimkannya kembali ke Indonesia karena kita memang memerlukannya. Kalau begitu, Indonesia harus membayar mereka lagi, bahkan dengan harga yang lebih mahal (Rosidi, 2011: 266-267). Ketika Mr. Jusuf Wibisono yang menjadi Menteri Keuangan dalam kabinet Soekiman, Ia mengambil langkah-langkah ke arah nasionalisasi De Javasche Bank. Pada tanggal 28 Mei 1951, Perdana Menteri Dr. Soekiman menyampaikan maksud itu kepada parlemen yang juga menyetujui gagasan tersebut. Pada tanggal 19 Juni 1951 dibentuklah suatu panitia oleh pemerintah yang bertugas untuk mengajukan usul-usul mengenai nasionalisai De Javasche Bank (Prawiranegara, 2011: 106). Setelah Presiden De Javasche Bank Dr. A. Houwik mengajukan permohonan berhenti karena Houwik merasa tidak dipercayai lagi dengan tidak diberitahu oleh pemerintah mengenai nasionalisasi (Thee Kian Wie,ed., 2005: 34), maka salah satu Direksi Bank Paul Spies mencalonkan Sjafruddin Prawiranegara commit to user sebagi penggantinya Presiden De Javasche Bank. Sjafruddin menerima tawaran
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
79
pemerintah, tetapi dengan syarat bahwa peraturan gaji para petugas bank, juga setelah dinasionalisasikan nanti tidak akan diubah dan dinasionalisasikan. Dengan perkataan lain, tingkat pengupahan para karyawan bank tidak akan diturunkan pada tingkat pegawai negeri Indonesia. Syarat itu diterima oleh Dr. Soekiman dan kabinet. Sjafruddin kawatir kalau pimpinan De Javasche Bank yang baru tidak memelihara kelanjutan usaha Indonesianisasi, akan timbul kekacauan dalam kehidupan perbankan. Sebaliknya dengan menerima tawaran itu, maka dia akan dapat melanjutkan proses Indonesianisasi. Sjafruddin Prawiranegara diangkat sebagai Presiden De Javasche Bank pada tanggal 12 Juli 1951 (Rachbini,ed., 2000: 2). Pada tanggal 15 Desember 1951 keluarlah Undang-undang tentang Nasionalisasi De Javasche Bank NV (Prawiranegara, 2011: 106). Dalam pasal 2 undang-undang tersebut dinyatakan bahwa saham-saham De Javasche Bank yang belum dimiliki oleh Republik Indonesia segera dicabut haknya oleh Republik dan pindah menjadi milik penuh dan bebas dari negara (Beng To, 1991: 248-249). Sebagai Presiden De Javasche Bank yang saham-saham sudah dinasionalisasikan, Sjafruddin harus melakukan langkah-langkah Indonesianisasi dan nasionalisasi lebih lanjut. Sudah sejak ketika Sjafruddin menjadi Menteri Keuangan, De Javasche Bank melakukan pendidikan tanaga-tanaga ahli bank bagi orang-orang Indonesia yang muda-muda. Setelah berlangsung dua tahun baru ada 26 tenaga muda yang menjadi tenaga staf (Rosidi, 2011: 278-279). Setelah dilakukan nasionalisasi De Javasche Bank tahun 1951, Pemerintah menyampaikan rencana Undang-undang pokok Bank Indonesia yang merupakan Undang-undang bagi Bank Sentral kepada parlemen. Sjafruddin mengemukakan pendapatnya mengenai hubungan antara Bank Sentral dengan Pemerintah. Menurut Sjafruddin jika Bank Sentral didudukkan di bawah pemerintah akan berbahaya karena menurut sejarah semakin lama pemerintah akan ikut campur dalam urusan uang dengan berbagai alasan. Antara lain untuk mencegah pemalsuan uang atau untuk menguasai uang itu agar memperoleh commit to user keuntungan. Jika Bank Sentral diberikan otonomi terhadap pemerintah, maka
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
80
selain sebagai alat dan kasir pemerintah, Bank Sentral dapat pula menjadi penyedia keuangan bagi pemerintah dan bila perlu dapat menolak permintaan kredit dari pemerintah berdasarkan tanggungjawab Bank Sentral terhadap pemeliharaan nilai mata uang. Dalam hal ini pemerintah hanya menjadi pengawas. Untuk maksud tersebut, pemerintah dapat menempatkan seorang atau beberapa komisaris pada Bank Sentral sebagai wakil pengawasan (Parera,ed., 2005: 32-34). Pada tanggal 2 Juni 1953, diundangkanlah Undang-Undang Pokok Bank Indonesia (UUPBI) tahun 1953 no.11 yang sudah disahkan tanggal 19 Mei 1953 sebelumnya. Dan pada tanggal 1 Juli 1953, didirikanlah Bank Indonesia. Berdasarkan Undang-undang tersebut, kedudukan Bank Indonesia adalah menggantikan De Javasche Bank dan bertindak sebagai Bank Sentral Indonesia (Parera, ed., 2005:38). Di Indonesia, octrooi atau hak untuk mengeluarkan uang kartal hanya diberikan kepada satu bank sirkulasi saja yaitu Bank Indonesia. monopoli untuk mengeluarkan uang itu terdapat dalam pasal 8 UUPBI 1953 yang berbunyi antara lain bank berhak mengeluarkan uang kertas bank, dan uang kertas itu bersifat alat pembayaran yang sah sampai setiap jumlah (Prawiranegara, 2011:184). Sebagai Presiden De Javasche Bank yang akan menjadi Gubernur Bank Indonesia kalau sudah berdiri, maka Sjafruddin sejak awal aktif membantu penyusunan rencana Undang-undang Pokok tentang Bank Indonesia. Banyak gagasannya yang diterima dan masuk dalam undang-undang, misalnya tentang adanya suatu Dewan Moneter yang unik dan bersifat khas Indonesia. Karena tidak terdapat di dalam susunan perbankan yang lain ataupun di negeri lain. Dewan Moneter itu merupakan pimpinan tertinggi Bank Indonesia, tetapi juga merupakan Dewan Pemerintah yang didalamnya turut duduk Gubernur Bank Indonesia (Rosidi, 2011: 281). Tugas Dewan Moneter itu menurut pasal 22 UUPBI tahun 1953 ialah: menetapkan kebijaksanaan moneter umum dari bank, memberi petunjuk kepada Direksi tentang kebijaksanaan bank dalam urusan-urusan yang lain, sekedar commit to user kepentingan umum memerlukannya dan melakukan pekerjaan-pekerjaan bank
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
81
seperti mengatur nilai satuan uang Indonesia supaya tetap stabil, memajukan perkembangan urusan kredit dan urusan bank dan mengawasinya, mengurus dan menyelenggarakan administrasi persediaan alat-alat pembayaran luar negeri dan lain-lain. Dewan Moneter terdiri dari tiga orang, yaitu Menteri Keuangan sebagai Ketua, Menteri Perekonomian, dan Gubernur Bank Indonesia. Dengan demikian Dewan Moneter itu merupakan kuasa sehari-hari pemerintah dalam soal politik moneter dan Direksi Bank Indonesia dengan aparatnya merupakan badan pelaksanaan dari politik moneter itu. Dalam UUPBI tahun 1953 dengan tegas dicantumkan bahwa tanggungjawab terakhir atas kebijaksanaan moneter berada ditangan pemerintah (pasal 22 ayat 2) (Parera,ed., 2005: 43-44).
7. Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia Menjelang Musyawarah Nasional pada tanggal 7 dan 8 September 1957, di Palembang diadakan sebuah pertemuan rahasia yang dihadiri diantaranya Letnan Kolonel Ahmad Husein dari Sumatera Tengah, letnan Kolonel Ventje Samual dari Sulawesi Utara, dengan Letnan Kolonel Barlian sebagai tuan rumah, Kolonel M. Simbolon, dan Kolonel Zulkifli Lubis. Sebagai hasil pertemuan itu, mereka berhasil menelurkan persetujuan formal yang disebut juga sebagai Piagam Palembang. Isinya antaralain: a. Mengembalikan dwitunggal Soekarno-Hatta. b. Menggantikan kepemimpinan militer pusat yaitu Mayor Jenderal A.H. Nasution. c. Melaksanakan kebijaksanaan desentralisasi dengan memberikan otonomi yang lebih luas ke daerah-daerah. d. Pembentukan Senat untuk membela kepentingan daerah dalam pemerintahan. e. Melarang komunis (Kahin, 2005: 307). Sejak Januari 1958, daerah-daerah yang bergolak menunjukkan penentangan pada pemerinta Pusat. Sesuai dengan ultimatum yang disampaikan dalam Piagam Palembang bahwa jika dalam waktu 5x24 jam pemerintah pusat commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
82
tidak memperdulikan seruan daerah, maka akan dilakukan pemutusan hubungan daerah dengan pemerintah pusat (Nuryanti, 2011:75). Ketika berangkat ke Palembang, Sjafruddin disertai dengan harapan bahwa gerakan-gerakan daerah di Sumatera akan memberikan alternatif bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Sjafruddin menganggap bahwa situasi yang makin memburuk disebabkan juga oleh sikap Soekarno yang ingin menumpuk kekuasaan ditangannya sendiri dengan bantuan orang-orang komunis. Meskipun Sjafruddin tidak menyukai gaya kepemimpinan Presiden Soekarno, tetapi Sjafruddin juga sadar bahwa peranan Soekarno dalam kehidupan politik Indonesia tidak mudah diganti oleh orang lain (Rosidi, 2011: 317). Suatu pertemuan di Sungai Daerah yang diadakan pada tanggal 9-13 Januari 1958 dihadiri oleh sipil dan militer. Pertemuan ini diadakan karena muncul suatu dugaan bahwa pemerintah pusat akan melekukan kekerasan dalam menangani daerah bergolak. Maka mulai disiapkan tentara untuk menghadapi pusat. Yang hadir dalam pertemuan antara lain Kolonel Simbolon, Letkol. Ahmad Husein, Letkol. Vintje Sumual, Kolonel Dahlan Djambek, M. Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Soemitro Djojohadikusumo, dan Burhanudin Harahap (Nuryanti, 2011: 75). Walaupun tidak mencapai kata sepakat dalam pertemuan di Sungai Daerah ini, menimbulkan desas desus bahwa para kolonel memutuskan untuk membentuk sebuah negara Sumatera. Husein menolak tuduhan pembentukan negara Sumatera, melalui Radio Bukittinggi Husein mengemukakan bahwa pertemuan di Sungai daerah ialah untuk melindungi negara kesatuan dan mendorong pemerintah mencari jalan keluar dari kesulitan-kesulitan yang sedang dihadapi (Kahin, 2005: 320-326). Setelah pertemuan di Sungai Daerah, terjadi perdebatan antara sipil dan militer. Sjafruddin mulai mempertanyakan hasil keputusan dalam sidang terlalu radikal dan mengundang kekerasan bahkan perang. Sjafruddin mengingatkan Ahmad Husein agar mempertimbangkan kembali untuk mengultimatum Jakarta, meskipun gertakan kepada pusat dapat mempersatukan daerah-daerah yang commit to user bergolak. Yang menjadi pertimbangan yaitu Barlian di Sumatera Selatan yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
83
daerahnya kaya akan minyak membelot ke pusat. Jika Barlian membelot, rencana menggertak pemerintah akan gagal. Tanpa cadangan minyak dari Sumatera Selatan, kekuatan daerah bergolah akan mudah hancur. Namun Ahmad Husein tidak mau mendengarkan saran dari Sjafruddin dan justru mengatakan bahwa Dewan Banteng harus berjalan sendiri, dan akan terus melanjutkan perjuangan (Nuryanti, 2011: 77). Sjafruddin menulis surat kepada Presiden Republik Indonesia sehari sebelum cutinya habis yaitu pada tanggal 15 Januari 1958. Isinya menyatakan setelah mempelajari dan merenungkan sedalam-dalamnya keadaan negara dan rakyat Indonesia yang tidak lagi ada dasar berpijak dan ruang bergerak, memutuskan untuk sementara sampai keadaan berubah, meninggalkan Jakarta dan menetap di salah satu daerah yang penguasa-penguasanya masih menghargai demokrasi. Suatu daerah yang masih tetap melindungi kemerdekaan berpendapat, berbicara dan bekerja. Presiden hendaknya kembali kepada jabatannya yang konstitusional, dan pemerintah yang hendaknya dipimpin oleh dan terdiri dari tokoh-tokoh nasional yang disegani bukan karena menaiki mobil menteri, melainkan karena kejujuran, integritas kepandaian dan keberanian untuk bekerja dan berjuang guna kepentingan negara (Arsip Sjafruddin No 2). Menteri Keuangan Mr. Sutikno Slamet mengirimkan panggilan pada tanggal 20 Januari 1958, agar Mr. Sjafruddin Prawiranegara sebagai Gubernur Bank kembali ke post. Sjafruddin menjawab bahwa akan kembali ke Jakarta kalau sudah berdiri pemerintah nasional yang kuat. Maka dalam rapat Kabinet tanggal 30 Januari 1958, atas usul Dewan Moneter, diambil keputusan untuk memecat Sjafruddin Prawiranegara sebagai Gubernur Bank, dan Mr. Loekman Hakim selah seorang anggota Direksi Bank Indonesia diangkat sebagai Gubernur yang baru. Sjafruddin sebenarnya ragu karena perhitungan rasionya tidak memperlihatkan janji kemenangan. Dengan hati yang berat, Sjafruddin dengan kawan-kawan politiknya terus berjuang. Selain perasaan malu, ada pula solidaritas (Rosidi, 2011: 328-330).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
84
Pada tanggal 10 Februari 1958 Dewan Perjuangan mengumumkan mukadimah piagam perjuangan untuk bangkit berjuang menyelamatkan Republik Indonesia dari malapetaka (Arsip Sjafruddin Prawiranegara No.3) dan mengajukan tuntutan supaya dalam waktu 5x24 Kabinet Djaunda mengembalikan mandatnya
kepada
Presiden/Pejabat
Presiden.
Presiden/Pejabat
Presiden
mengambil kembali mandat kabinet Djuanda. Segera setelah tuntutan tersebut dilaksanakan, supaya Hatta dan Hamengku Buwono ditunjuk untuk membentuk satu zaken kabinet. Apabila tuntutan tersebut tidak dilaksanakan dan tidak dipenuhi, maka dengan ini Dewan Perjuangan menyatakan bahwa sejak saat itu menganggap terbebas dari pada wajib taat kepada Dr. Ir. Suakrno sebagai Kepala Negara. Maka segala akibat dari tidak dipenuhinya semua tuntutan diatas itu, menjadi tanggung jawab dari mereka yang tidak memenuhinya, terutama Presiden Soekarno (Arsip Sjafruddin Prawiranegara No.4). Sjafruddin menyampaikan kecemasan, kalau-kalau terjadi perang saudara, karena Letnan Kolonel Barlian, teman yang penting yang menguasai ladang-ladang minyak di Sumatera Selatan, di perkirakan akan membelot. Sjafruddin pun menyarankan agar kalau sampai menimbulkan perang saudara, maka sebaiknya pembentukan kabinet yang direncanakan itu ditunda atau dibatalkan. Namun saran ini tidak dihiraukan. Bagi Kolonel Ahmad Husein dan kawan-kawan militernya tidak ada jalan lain kecuali terus tanpa menghiraukan perubahan-perubahan dan perkembangan dalam situasi faktual yang tidak mustahil membawa perubahan-perubahan dalam perbandingan kekuatan diantara dua pihak yang berhadapan (Rosidi, 2011: 333). Tidak adanya respon dari pemerintah, maka pada tanggal 15 Februari 1958, Dewan Perjuangan memutuskan membentuk Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia. Yang berdaulat penuh kedalam dan keluar dan yang berkedudukan di Bukittinggi. Adapun tugas PRRI yaitu: a. Menghentikan Kabinet Djuanda dan menghapuskan konsepsi Sukarno, yang menjadi penghalang bagi pelaksanaan cita-cita Piagam Perjuangan, dengan commit to user pengertian, bahwa nanti sebagaimana termaksud dalam Piagam Perjuangan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
85
pasal 7 yakni bahwa kami akan menganggap diri kami terbebas dari wajib taat kepada Dr. Ir. Sukarno sebagai Kepala Negara, akan berjalan jika dalam waktu yang layak, dari sikap, pernyataan dan atau fakta-fakta lain, sudah jelas bahwa Dr. Ir. Sukarno tidak bersedia kembali kepada kedudukannya yang konstitusionil dan tidak bersedia menunjuk Hatta-Hamengku Buwono sebagai formatur/pimpinan satu Zaken Kabinet Nasional. b. Menjalankan
pemerintahan
berdasarkan
Piagam
Perjuangan
dan
menyerahkan pimpinan Pemerintahan kepada Hatta-Hamengku Buwono, pada setiap saat bila mereka sanggup dan bersedia mengambil pimpinan itu dan/ atau membentuk satu kebinet baru dan apabila jaminan-jaminan yang cukup, bahwa cita-cita yang kami perjuangkan, dapat terlaksana. Dengan susunan kabinet PRRI sementara sebagai berikut: a. Perdana Menteri
- Mr. Sjafruddin Prawiranegara
b. Menteri Keuangan
- Mr. Sjafruddin Prawiranegara
c. Menteri Luar Negeri
- Kol. M. Simbolon
d. Menteri Dalam Negeri
- Kol. Moh. Dahlan Djambek
e. Menteri Pertahanan
- Mr. Boerhanoedin Harahap
f. Menteri Kehakiman a. i.
- Mr. Beorhanoedin Harahap
g. Menteri Perdagangan
- Dr. Soemitro Djojohadikusumo
h. Menteri Perhubungan/Pel a. i.
- Dr. Soemitro Djojohadikusumo
i. Menteri PPK
- Mohd. Sjafei
j. Menteri Kesehatan
- Mohd. Sjafei
k. Menteri Pembangunan
- Kol. J. Warow
l. Menteri Pertanian
- Saladin Sarumpait
m. Menteri Perburuhan a. i.
- Saladin Sarumpait
n. Menteri Penerangan
- Let. Kol. Saleh Lahadu
o. Menteri Agama
- Muchtar Lintang
p. Menteri Sosial
- Abd. Gani Usman (ajah Gani)
Sebagai susunan ini dalam waktu yang singkat akan diperlengkap dan commit to user disempurnakan (Arsip Sjafruddin Prawiranegara No.5).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
86
Keputusan Dewan Perjuangan tentang pembentukan Dewan PRRI itu hanya ditandatangani oleh Ketua Dewan Perjuangan yaitu Letnan Kolonel Ahmad Husein. Kepada Sjafruddin tadinya diminta pula untuk tanda tangan di atas dokumen itu, karena mengenai pengangkatan dirinya sebagai Perdana Menteri dan sebagai tanda, Sjafruddin pun turut bertanggungjawab atas pembentukan PRRI. Tetapi Sjafruddin menolak, justru supaya orang tahu bahwa penanggung jawab atas pembentukan PRRI itu adalah Ketua Dewan Perjuangan/Ketua Dewan Banteng: Kolonel Ahmad Husein. Walaupun demikian, Sjafruddin berjanji akan memimpin PRRI dan menjalankan tugas sebaik-baiknya (Rosidi, 2011: 335). Proklamasi PRRI yang diumumkan pada tanggal 15 Februari 1958 mendapat sambutan dari Indonesia bagian Timur. Dalam rapat-rapat raksasa yang diselenggarakan di beberapa tempat di daerah tersebut KDMSUT (Komando Daerah Militer Sulawesi Utara dan Tengah) Kolonel D.J. Somba mengeluarkan pernyataan bahwa sejak tanggal 17 Februari 1958 wilayah Sulawesi Utara dan Tengah menyatakan memutuskan hubungan dengan pemerintah Pusat serta mendukung Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (Harvey, 1989: 129130). Sebagai Perdana Menteri yang baru dilantik, Sjafruddin menyampaikan sebuah pidato radio yang menjelaskan sebab-sebab dan tujuan pembentukan PRRI, yaitu untuk membela kebenaran dan keadilan. Sambil mengenangkan kembali pembentukan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) hampir sepuluh tahun sebelumnya, Sjafruddin pun mengemukakan perbedaan-perbedaan antara kedua macam pemerintah itu. Yang terpenting ialah karena waktu memimpin PDRI Sjafruddin berhadapan dengan penjajah asing yang hendak menjajah Indonesia kembali, sedangkan sekarang harus berhadapan dengan pemerintah Bangsa sendiri (Moedjanto, 1988: 106). PRRI merupakan suatu pergerakan sebagai bentuk protes atas pemerintahan Republik Indonesia, bukan bertujuan untuk menggulingkan kekuasaan Soekarno pada waktu itu. Meskipun demikian pada prakteknya PRRI tetap dianggap sebagai pergerakan yang dapat commit to user mengancam stabilitas dan kedaulatan Republik Indonesia (Gusman, 2007: 33-35).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
87
Pada tanggal 16 Februari 1958, Presiden Soekarno mengeluarkan perintah penangkapan dan penahanan terhadap Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Mr. Boerhanoeddin Harahap, Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo dan Mohammad Sjafe’i. Sedangkan kepada Kolonel J.F. Warouw, Letnan Kolonel Saleh Lahade, Mochtar Lintang, Saludin Sarupaet dan Abdul Gani Usman diberi waktu 3x24 jam untuk menyatakan sikap yang tegas, apakah akan menerima penunjukkan kabinet dalam PRRI ataukah tidak (Nuryanti, 2011: 81-82). Berbagai pihak di Jakarta mencoba mencari penyelesaian. Partai Politik mulai dari Masyumi, NU, PNI, PSII sampai PRI (Partai Rakyat Indonesia) di DPR pernah mencoba menyelesaikannya sebelum tenggang waktu sampai 15 Februari 1958 habis dan bahkan sempat mengirimkan telegram kepada pihak Dewan Perjuangan di Bukittinggi supaya jangan melakukan suatu tindakan dahulu karena sedang diusahakan penyelesaian secara politis. Orang-orang di Jakarta kecuali orang-orang kiri, percaya bahwa pihak Dewan Perjuangan akan bersedia berunding jika Jakarta memberikan kemungkinan penyelesaian. Bung Hatta sebagai tokoh yang disegani Dewan Perjuangan, hendak mencoba pula mencarikan jalan keluar secara politisi dengan Presiden Soekarno. Tetapi sebelum pertemuan itu berlangsung, pada tanggal 21 Februari 1958, pesawat AURI sudan menjatuhkan bom di Painan, seperti Padang, Bukittinggi, Manado, dan lain-lain. Setelah pemboman itu Bung Hatta tidak bersedia lagi berunding dengan presiden Soekarno (Rosidi, 2011: 338). Untuk menghadapi PRRI pemerintah dan KSAD memutuskan untuk melancarkan operasi militer. Operasi gabungan Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara di Sumatera Tengah disebut Operasi 17 Agustus. Selain untuk menghancurkan separatis, operasi juga berusaha mencegah turut campurnya kekuatan asing yang dikhawatirkan akan mengadakan intervensi dengan dalih melindungi modal asing dan warga negaranya. Gerakan APRI ditujukan kepada Pekan Baru untuk mengamankan sumber minyak. Pada 14 Mei 1958 Bukittinggi dapat direbut (Tim Penulis, 1990:338). Pasukan RPKAD mengamankan daerah commit to user Riau (Syamdani, 2009:81).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
88
Sjafruddin beserta beberapa anggota yang semula hendak menghindarkan diri kearah Selatan, ke Bidar Alam, tempat dahulu memimpin PDRI, terpaksa menuju kearah sebaliknya, karena jalan ke arah Selatan sudah tertutup. Tatkala masih bergerak di Minangkabau Utara dan keadaan relatif bebas maka untuk menghidupkan semangat rakyat, Dewan Perjuangan memutuskan untuk mentransformasikan Indonesia sebagai Republik Persatuan Indonesia (RPI). Ketika Republik Persatuan Indonesia diproklamirkan pada 8 Februari 1960, Sjafruddin
terpilih
sebagai
presiden
yang
pertama
(Arsip
Sjafruddin
Prawiranegara no. 10). Pada tanggal 8 Februari 1960, dibacakan mukadimah sebelum proklamasi disampaikan. Melihat kenyataan bahwa jalan musyawarah yang telah diusahakan baik dalam ataupun di luar parlemen sudah gagal sama sekali, maka Dewan Perjuangan, pada tanggal 10 Februari 1958 menyatakan tuntutannya dan seruannya atas nama seluruh rakyat Indonesia kepada Kepala Negara, Parlemen, serta tokoh Nasional Hatta dan Hamengku Buwono, agar kembali kepada Undang-Undang Dasar yang sedang berlaku, memulihkan Republik Indonesia kepada dasar hukum dan demokrasi dan keTuhanan Yang Maha Esa. Tidak adanya respon dari pemerintah pusat maka Dewan Perjuangan, selain dari pada membentuk PRRI pada tanggal 15 Februari 1958, menyerukan pada pemerintahan yang akan diserahkan kepada satu kabinet yang mempunyai kewibawaan di bawah pimpinan Hatta dan Sri Sultan Hamengku Buwono. Namun Ir. Sukarno menghadapinya dengan tindakan-tindakan pembalasan dengan mengerahkan alatalat kekuasaan negara, Angkatan Darat, Laut, Udara untuk menindas rakyat yang mempertahankan Undang Undang dan hak-hak asasi (Arsip Sjafruddin Prawiranegara no. 7). Daerah-daerah yang dikuasai, Soekarno melumpuhkan partai-partai politik, menyerukan agar masyarakat menerima Demokrasi Terpimpin dan kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945. Puncaknya yaitu dikeluarkannya dekrit 5 Juli 1959.
Perkembangan ini merupakan bukti bagaimana sistem commit to user ketatanegaraaan berbentuk kesatuan dan pemerintah yang sentralistik merupakan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
89
tempat munculnya kekuasaan ditangan satu orang atau satu golongan yang mudah bertindak sewenag-wenang (Arsip Sjafruddin Prawiranegara no. 7). Dewan Perjuangan/PRRI memproklamirkan Bahwa Republik Indonesia mulai hari senin 8 Februari 1960 berbentuk federasi, dengan nama Republik Persatuan Indonesia; Bahwa Republik Persatuan Indonesia adalah negara hukum dan kebangsaan, berdasarkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan; Bahwa Undang Undang Dasar sementara Republik Indonesia 17 Agustus 1950 tidak berlaku lagi bagi Republik Persatuan Indonesia. Meminta dan mendesak kepada PBB dan kepada anggota-anggotanya untuk memberi pengakuan kepada Republik Persatuan Indonesia sebagai suatu subyek hukum baru di dunia internasional yang mempunjai Undang-Undang Dasar dan Pemerintahan sendiri serta derah kekuasaan yang nyata, agar supaya mereka membantu pemerintah Republik Persatuan Indonesia dalam usahanya membebaskan daerah-daerah dan suku-suku bangsa Indonesia yang sekarang meringkuk di bawah penindasan diktatur Sukarno, hingga mereka ini masing-masing dapat menyatakan keinginannya secara bebas dan demokratis, berdasarkan hak menentukan nasib sendiri (Arsip Sjafruddin Prawiranegara no.9). Wilayah dan negara-negara bagian yang menjadi anggota pertama dari Republik Persatuan Indonesia, dari pihak proklamator diterangkan sebagai berikut: a. Pasal 2 Republik Persatuan Indonesia terdiri dari negara-negara Bagian dan Daerah-daerah Swatantra. b. Pasal 3 Undang-Undang Dasar Republik Persatuan Indonesia berbunyi Wilayah Republik Presatuan Indonesia meliputi seluruh wilayah Republik Indonesia proklamasi 17 Agustus 1945. Pada saat Republik Persatuan Indonesia diproklamirkan, belum semua wilayah Republik Indonesia Proklamasi 17 Agustus 1945, yakni seluruh wilayah Hindia Belanda dulu, de facto dikuasai oleh Pemerintah Republik Persatuan Indonesia, namun de jure RPI berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia. Tugas commit to user pertama dan utama dari pemerintah Republik Persatuan Indonesia, ialah:
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
90
membebaskan daerah-daerah Indonesia dari kekejaman dan kekuasaan sewenangwenang dari rezim Sukarno dan memberi kesempatan kepada daerah-daerah dan suku-suku bangsa Indonesia setelah dibebaskan dari cengkeraman regime Sukarno itu untuk menyusun dirinya dalam Republik Persatuan Indonesia sebagai Negara Bagian atau Daerah Swatantra menurut hak menentukan nasibnya sendiri bagi masing-masing daerah dan suku bangsa itu. Tugas selanjutnya membebaskan Irian Barat dari penjajahan Belanda dengan cara damai. Daerah-daerah Indonesia yang pada permulaan menjadi anggota Republik Persatuan Indonesia sebagai Negara Bagian adalah sebagai yang disebut dalam pasal 179 ajat 1, dan meliputi seluruh Suamtera dan kepulauan disekitarnya serta Indonesia bagian Timur. Kedudukan hukum dari daerah-daerah Indonesia selebihnya akan ditentukan berangsur-angsur sejalan dengan pembebasan daerah-daerah itu, dari cengkeraman regime Sukarno. c. Pasal 179 ajat 1 Undang-Undang Dasar Republik Persatuan Indonesia berbunyi sebagai berikut: Negara-Negara Bagian yang menjadi anggota pertama dari Republik Persatuan Indonesia adalah sbb: a. Negara Bagian Republik Islam Aceh. b. Negara Bagian Tapanuli/Sumatera timur(Sum. Utara). c. Negara Bagian Sumatera Barat. d. Negara Bagian Riau. e. Negara Bagian Djambi. f. Negara Bagian Suamatera Selatan. g. Negara Bagian Sulawesi Utara. h. Negara Bagian Republik Islam Sulawesi Selatan. i. Negara Bagian Maluku Utara. j. Negara Bagian Maluku Selatan. Berhubungan
dengan
sukarnya
perhubungan
yang
mempersulit
mengadakannya musyawarah sebagai akibat agresi Sukarno yang menghalanghalangi kemungkinan bagi rakyat untuk menyatakan pendapatnya secara bebascommit to user demokratis, maka jumlah dan batas negara-negara bagian yang pertama ini
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
91
tidaklah mutlak. Pada prinsipnya berdirinya sesuatu daerah sebagai negara bagian harus memenuhi syarat-syarat sebagai yang ditentukan dalam pasal 47 UndangUndang Dasar ini. Yang terpenting diantaranya ialah, syarat sanggup memenuhi kewajiban keuangan, dan keinginan rakyat yang dinyatakan secara demokratis (Arsip Sjafruddin Prawiranegara No. 10). Dalam pidato ulang tahun RPI Sjafruddin sebagai Presiden RPI menyampaikan 5 Azas Pokok UUD RPI. Kalau dirumuskan asas-asas pokok dari UUD RPI yang disepakati dengan bulat dapat dikemukakan sebagai berikut: a. Tali pengikat yang mempersatukan suku bangsa baik secara kolektif maupun secara individual, dari seluruh daerah daerah dan pulau-pulau di Indonesia, hingga mereka menjadi satu bangsa dan satu negara adalah keimanan kepada Tuhan Jang Maha Esa, Tuhan Yang Maha Kuasa. b. Pengakuan yang menjadi dasar kewajiban dari penguasa, baik penguasa federasi, maupun penguasa negara bagian untuk menghormati dan melindungi hak-hak asasi manusia. c. Semua manusia adalah sama harganya atau nilainya di sisi Tuhan. Tetapi justru karena persamaan itu, maka adalah kewajiban bagi yang kuat untuk melindungi yang lemah, bagi yang kaya untuk membantu yang miskin, bagi yang pandai untuk menolong sesamanya yang kurang cerdas. d. Pemerintahan diatur dan diselenggarakan dengan cara musyawarah atau demokrasi. e. Hak atau kebebasan menetukan nasibnya sendiri. Usaha untuk memperbaiki nasib sendiri, baik dari individu maupun dari sesuatu golongan atau kaum, tidak boleh dihalang-halangi oleh orang atau golongan lain. f. Perasaan solidaritas dengan seluruh bangsa-bangsa di dunia (Arsip Sjafruddin Prawiranegara No 12). Pada kesempatan memperingati Hari Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1961, Presiden Soekarno menetapkan dan mengundangkan Keppres no. 449/1961 memutuskan untuk memberikan amnesti dan abolisi kepada commit to user orang-orang yang tersangkut dengan pemberontakan Daud Bereueh di Aceh,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
92
pemberontakan “Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia” dan “Perjuangan Semesta” di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, yang selambat-lambatnya pada tanggal 5 Oktober 1961 telah melaporkan dan menyediakan membaktikan diri kepada Republik Indonesia (Arsip Sjafruddin Prawiranegara No.6). Sjafruddin sudah mengetahui lebih dahulu tentang isi Keppres tersebut, maka berdasarkan hasil perundingan dengan kawan-kawannya, pada hari itu juga 17 Agustus 1961, Sjafruddin sebagai presiden RPI dia mengeluarkan instruksi demi cinta terhadap Nusa dan Bangsa, marilah menghentikan segala permusuhan dan perlawanan terhadap Pemerintah Republik Indoensia, sambil memohon ampun dan berserah diri kepada Tuhan, serta menjadikan tenaga dan kepandaian yang dimiliki guna rehabilitasi bangsa dan tanah air Indonesia bila diminta dan diperlukan serta sesuai dengan kemampuan masing-masing. Sejak dikeluarkan putusan ini, hendaknya semua petugas dan pejuang Republik Persatuan Indonesia yang masih aktif memberi perlawanan terhadap Pemeritnah Republik Indonesia dan Angkatan Perangnya, menghentikan segala tindakan yang dapat dipandang sebagai tindakan perlawanan dan permusuhan, sambil menunggu instruksi kami selanjutnya tentang melaksanakan maksud dari putusan (Arsip Sjafruddin Prewiranegara No.6). Keluarnya instruksi dari Sjafruddin Prawiranegara disusul dengan penyerahan diri para tokoh dalam RPI. Dimulai dengan Ahmad Husein menyerah pada 23 Juni 1961 dan keterangannya kepada Pers di Solok, seluruh pasukannya yang akan turun berjumlah 13.500 orang. Simbolon beserta Divisi Pusukbuhit menyerah pada tanggal 27 Juli 1961. Kolonel Zulkifli Lubis beserta 19 orang anakbuahnya menyerah pada 18 Agustus 1961. Sjafruddin Prawiranegara, Burhanuddin
Harahap,
Amalz,
Buaya Malik,
Haji
Djaramel
Damanik
menyerahkan diri pada 28 Agustus 1961 (Anwar, 1981: 71-91). Kolonel Abdurachman Prawirakusumah diutus Jenderal Nasution untuk melihat keadaan bekas pemimpin-pemimpin RPI dan kemudian melaporkannya commit to user kepada KSAD. Kepada Kolonel Abdurachman Prawirakusumah yang merupakan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
93
adiknya, Sjafruddin melaporkan bahwa RPI masih punya sejumlah emas yang dipendam, berupa batangan dan uang emas yang ditinggalkan di sekitar Koto Tinggi. Sjafruddin ingin supaya emas itu selekas mungkin digali untuk diserahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia. Emas itu berasal dari Bank Indonesia Padang, yang merupakan cadangan untuk membiayai perjuangan PRRI/RPI. Dari jumlah beberapa puluh kilogram, hanya sebagian kecil saja yang sudah dikeluarkan, dipakai untuk membiayai perjuangan. Setelah masalah emas diberitakan kepada Jenderal Nasution, maka tidak lama kemudian, di bawah pimpinan Kolonel Abdurachman dan atas petunjuk orang kepercayaan Sjafruddin yang mengetahui tempat emas itu dipendam, dilakukan penggalian dan emasnya pun diambil, jumlah semuanya ada 29 kilogram. Emas itu secara resmi kemudian diserahkan oleh Sjafruddin kepada Pejabat Presiden Djuanda pada bulan Maret 1962, dan kemudian meneruskannya kepada Menteri/Gubernur Bank Indonesia sebagai kekayaan negara (Kahin, 2005: 355). Sjafruddin dan teman-teman tidak lama tinggal di Padang Sidempuan Medan. Mereka dimasukkan ke “karantina politik”. Dari keterangan M. Yunan Nasution dalam bukunya Kenang-kenangan di Belakang Trali Besi di Zaman Orde Lama, dasar hukum
yang dipergunakan rezim Soekarno untuk
mengkarantina Sjafruddin dan teman-temannya sama dengan peraturan hukum yang dipakai sebagai landasan hukum untuk menahan M. Yunan, Mr. Mohammad Roem, Sutan Sjahrir, Prawoto Mangkusasmito, dan lain-lain. Peraturan tersebut ialah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Keadaan Bahaya (PPUKB) no. 23 tahun 1959, yang menggantikan ordonansi Belanda. Jadi, meskipun bekas pimpinan PRRI/RPI sudah diberi amnesti dan abolisi, tetapi berdasarkan keadaan bahaya yang telah dinyatakan dalam PPUKB itu, dapat ditahan buat waktu yang tidak ditentukan lamanya. Pada permulaan tahun 1962, Sjafruddin dan teman-temannya dibawa dari Padang Sidempuan ke Jakarta, selanjutnya dibawa ke Cipayung, Bogor. Disana disediakan beberapa buah rumah untuk menampung Sjafruddin dan kawan-kawannya. Walaupun di Cipayung commit to user bebas bergerak, tetapi Sjafruddin dan teman-temannya tidak boleh meninggalkan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
94
kota kecil itu tanpa izin dari perwira yang bertugas mengawasi mereka (Rosidi, 2011: 227-345).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. SIMPULAN 1. Sjafruddin Prawiranegara lahir di Banten 28 Februari 1911. Ayahnya, seorang birokrat dan agamis, sementara ibunya berdarah Minang. Sjafruddin dididik dalam lingkungan sekolah Belanda dan hanya mendapatkan pendidikan agama secara informal dari lingkungan keluarga dan kampungnya. Sjafruddin menempuh pendidkan di ELS, MULO, dan AMS di Bandung. Sjafruddin kemudian masuk ke RHS dan terlibat dalam organisasi Mahasiswa yang bernama USI (Unitas Studiosorum Indoneesiensis). Kehidupan Ayahnya sebagai priyayi yang taat pada ajaran agama Islam, dekat dengan dan memperjuangkan nasib rakyat, namun cara berpakaian secara Barat, menjadi pedoman yang membuat Sjafruddin bisa bergaul dengan kalangan santri modernis dan kaum sosialis sekuler, selalu berlandaskan pada ajaran agama Islam saat mengambil keputusan, dan berani melawan arus dalam memutuskan kebijakan. Dikeluarkannya maklumat Wakil Presiden tanggal 3 November 1945 tentang pembentukan partai politik, maka setiap anggota KNIP harus memilih dan masuk kedalam salah satu partai. Rasa cinta kepada orang tuanya terutama kepada ayahnya sebagai muslim yang saleh, maka Sjafruddin memilih menjadi anggota Masyumi. Peran Sjafruddin dalam partai Masyumi sangat besar, pemikiran Sjafruddin banyak memberikan gambaran ideologi dan kebijakan Masyumi. 2. Peran Politik Sjafruddin bagi Indonesia tahun 1945-1961 yaitu diawali dengan dipilihnya Sjafruddin menjadi salah satu anggota Badan Pekerja KNIP
pada
tanggal 16 dan 17 Oktober 1945. Peran penting Sjafruddin selanjutnya yaitu menjadi Menteri Keuangan Kabinet Sjahrir III dengan kebijakan mengeluarkan Oeang Republik Indonesia (ORI). Peristiwa dikeluarkannya ORI merupakan tonggak sejarah dalam perkembangan ekonomi Indonesia yang baru saja memproklamasikan kemerdekaan dan sedang membebaskan diri dari kolonialisme ekonomi, sebagai alat perjuangan kemerdekaan dalam membiayai berbagai commit to user macam keperluan negara. 93
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
94
Sjafruddin Prawiranegara sebagai Menteri Kemakmuran memperbaiki ekonomi Indonesia. Sjafruddin ditunjuk untuk membentuk PDRI pada tahun 1948 guna menyelamatkan Republik dengan menjamin kelangsungan hidup negara Republik Indonesia, memenuhi tuntutan hukum internasional, dan untuk melanjutkan Perjuangan. Sebagai Menteri Keuangan pada Kabinet Hatta tahun 1949, Sjafruddin mengeluarkan kebijakan penting yaitu “Operasi Gunting Sjafruddin” yang berhasil menembak beberapa sasaran yaitu pengganti uang yang bermacam-macam itu dengan mata uang baru, mengurangi jumlah uang yang beredar untuk menekan inflasi dengan demikian menurunkan harga barang, mengisi kas pemerintah dengan pinjaman wajib. Pada tahun 1951 Sjafruddin Prawiranegara terpilih menjadi Gubernur De Javasche Bank, dan pada 1953 Sjafruddin menjadi Gubernur Pertama Bank Indonesia. Ketika menjadi Gubernur Bank Indonesia, Sjafruddin berhasil mengelola manajemen keuangan yang bagus dan juga meletakkan dasar-dasar kebijakan moneter Bank Indonesia yang masih menjadi pedoman sampai sekarang.
Pada tanggal 15 Februari 1958, Dewan
Perjuangan memutuskan Sjafruddin menjadi Perdana Menteri. Sjafruddin memimpin PRRI sebagai bentuk koreksi atas pemerintahan Republik pusat, dan untuk membela kebenaran dan keadilan.
B. IMPLIKASI Dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan muncul implikasi yang dapat dipandang dari berbagai segi sebagai berikut : 1. Teori Sjafruddin Prawiranegara memberikan kontribusi besar bagi Indonesia. Peran yang dilakukan Sjafruddin adalah upaya untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses politik yang berlangsung di Indonesia. Partisipasi tidak dilakukan karena keinginan Sjafruddin, namun atas desakan dari berbagai pihak serta kondisi dan kemampuan yang dimiliki Sjafruddin. Kemampuan dan kompetensi yang dimiliki Sjafruddin membuatnya menjadi elite politik yang berperan penting commit to user dalam perkembangan politik Indonesia. Sebagai contoh Sjafruddin bergabung
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
95
dengan Masyumi. Dalam percaturan politik Indonesia, sistem koalisi dan oposisi yang terjadi pada masa demokrasi liberal yang menempatkan Sjafruddin sewaktuwaktu sebagai koalisi dan oposisi, telah mengakar pada sistem politik Indonesia saat ini, terlihat dalam pola oposisi terselubung. Partai politik dihuni oleh para elite politik yang berperan penting dalam kebudayaan politik. Elite politik melakukan suatu aktivitas politik yang menyebabkan
terjadinya
pergeseran
dalam
sistem
politik.
Sjafruddin
Prawiranegara merupakan salah satu elite politik yang berperan aktif dalam kebudayaan politik Indonesia. Sebagai seorang elite Sjafruddin Prawiranegara merealisasikan pemikirannya menjadi kebijakan yang bersifat umum. Seperti kebijakan mengeluarkan ORI, kebijakan “Operasi Gunting Sjafruddin”, dan meletakkan dasar-dasar kebijakan moneter Bank Indonesia yang masih menjadi pedoman sampai sekarang. Perannya berfungsi sebagai pemeliharaan atas stabilitas politik di Indonesia pada tahun 1945-1961.
2. Praktis Implikasi praktis dari penelitian ini terhadap pendidikan adalah sebagai wacana baru tentang peran seorang tokoh besar dengan kepribadian yang patut dicontoh generasi muda. Prinsip hidup Sjafruddin yakni seluruh kegiatan manusia sebagai ibadah dan bagian dari agama, membuat setiap keputusan dan kebijakan yang diambil selalu berlandaskan ajaran agama Islam. Sikap Sjafruddin yang jujur, berpikir kritis, berpedoman dan taat pada ajaran agama dapat diterapkan pada pelajar dan mahasiswa.
C. SARAN Berdasarkan kesimpulan di atas, saran yang dapat penulis ungkapkan ialah sebagai berikut: 1. Bagi Peneliti Bagi para peneliti yang tertarik untuk memperdalam kajian tentang commit to user Sjafruddin Prawiranegara, diharapkan dapat meneliti lebih mendalam dari
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
96
kebijakan Sjafruddin agar dapat mengangkat peran Sjafruddin di Indonesia. Seperti kebijakan ekonomi yang berdasarkan pada ekonomi Islam. Mengingat kajian yang membahas ekonomi Islam yang di kembangkan Sjafruddin masih sangat sedikit, dan juga pandangan monetaris Sjafruddin merupakan salah satu kebijakan pembangunan yang digunakan pemerintah Orde Baru. Selain itu, diharapkan muncul penelitian yang mengkaji mengenai tokoh-tokoh lain yang berperan penting dalam sejarah Indonesia.
2. Bagi Institusi Pendidikan Keteladanan Sjafruddin Prawiranegara sebagai pemimpin dan memiliki kepribadian dengan sifat jujur, integritas dan intelektual yang tinggi, berhati-hati dalam mengambil keputusan, keyakinan yang tinggi dan berani memutuskan kebijakan yang terkadang melawan arus, sikap realistis, selalu mendasarkan kebijakan dan pemikirannya pada ajaran Islam, sikap kritis, berpedoman dan taat pada agama, merupakan panutan yang harus dicontoh institusi pendidikan untuk mengambil kebijakan dan keputusan. Untuk meningkatkan jiwa nasionalisme para pelajar, maka kajian mengenai tokoh-tokoh yang berperan penting bagi Indonesia perlu diangkat sebagai sumber pembelajaran, terutama generasi penerus bangsa.
commit to user