www.raconquista.wordpress.com
[email protected]
“SISTEM POLITIK INDONESIA: MENGINTEGRASIKAN TEORI SISTEM DENGAN SEJARAH”
Sistem Politik Indonesia merupakan suatu cara memahami Realpolitik (aktifitas politik pada satu masa tertentu) Indonesia yang berbeda-beda baik dari segi struktur maupun fungsinya. Indonesia sebagai bagian dari sistem politik dunia memiliki kekhasan dan keunikan tersendiri. Sesungguhnya, Indonesia dengan karakter sistem politik yang khusus mampu menempatkan diri kita dalam pergaulan internasional yang sama dan setara walaupun pada kenyataannya sangat jauh dari harapan. Oleh karena itu, proses dalam sistem politik amat menentukan perjalanan suatu sistem selanjutnya. Apakah sistem akan bertahan atau hancur, sangat tergantung dari bagaimana struktur kelembagaan memainkan peranannya dalam memberikan wadah bagi terselenggaranya sosialisasi berupa pendidikan politik bagi rakyat di dalamnya. Sosialisasi politik dengan rekrutmen dan komunikasi yang baik akan membuat rakyat sadar bahwa mereka adalah aktor sesungguhnya yang dapat menentukan Realpolitik Indonesia. Tentu saja peran pemerintah sangat diharapkan dalam menumbuhkan kesadaran berpolitik rakyat yang dipimpinnya. Namun, maraknya kemunculan kembali sentimen ketidakpuasan yang dimotori oleh kelompok separatisme di masa pemerintahan SBY-Kalla mengindikasikan bahwa pemerintah belum cukup mampu meminimalisir rasa ketidakadilan, setidaknya bagi kelompok berbasis etno-regional seperti Republik Maluku Selatan (RMS) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Seperti berbanding lurus, hasil survey Lembaga Survey Indonesia (LSI) tahun 2007 menunjukan indeks kepercayaan masyarakat terhadap duet kepemimpinan reformis tersebut turut menghunjam drastis dalam 2 tahun terakhir, dari 80 persen pada akhir 2004 ke 54 % persen pada Oktober 2007. 1 Boleh jadi faktor kegagalan SBY-Kalla dalam memenuhi janji reformasi di bidang politik, meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat ternyata dijawab dengan pilihan kebijakan ‘kurang’ berpihak pada rakyat. Terbukti janji pemerataan pembangunan kawasan barat dan timur belum bisa menghambat niatan penduduk di timur Indonesia untuk mencari penghidupan di Pulau Jawa 2 . Belum lagi kebijakan mempersilahkan investor asing mengeksploitasi besar-besaran sumber daya mineral di bumi Papua ternyata tidak menyisakan kemakmuran, kecuali 1% total pendapatan tahunan bagi penduduk asli suku Komoro papua, dan masih banyak lagi kebijakan yang pada akhirnya mengorek luka lama kelompok-kelompok minoritas tersebut. Kita pahami bersama bahwa Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki lebih dari 17.000 pulau, dimana 6000 diantaranya berpenghuni. Negara makmur memiliki sumber daya alam luar biasa termasuk diantaranya minyak bumi, gas alam, batu bara, bijih timah, nikel, bauksit, tembaga, emas, perak, kayu, dan tanah yang subur. Populasi penduduk berjumlah 234,693,997 per July 2007 orang. 3 Indonesia juga memiliki keragaman etnik dan kepercayaan, dengan prosentase suku jawa 45% dari keseluruhan populasi, suku sunda 7.5%, suku madura 7.5%, suku melayu 7.5%, dan suku lain sejumlah 26%. Sedangkan dari kepercayaan, pemeluk agama Islam berjumlah 88%, protestan 5%, katolik roma 5%, hindu 2%, budha 1%, dan lainnya 1%. 4
1
Lembaga Survei Indonesia, Prospek Kepemimpinan Nasional Evaluasi Publik Tiga Tahu Presiden: Survei Nasional November 2004-Oktober 2007, electronik copy (Oktober 2007), diakses pada www.lsi.or.id/file_download/38 2 GNU/GLP, “Proyeksi Penduduk 2000-2025: Urbanisasi,” Free source GNU/GLP (15 Juli 2007) http://www.datastatistik-indonesia.com/proyeksi/index.php?option=com_content&task=view&id=923&Itemid=939 (diakses 16 Juli 2007). Menurut sumber, tingkat urbanisasi di Indonesia akan mencapai 68 persent di tahun 2025. Pada saat itu, angka urbanisasi paling besar akan terkonsentrasi pada empat provinsi seperti Jawa, Bali, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, dan Banten. 3 Indonesia, “Population of Indonesia by Province 1971, 1980, 1990, 1995 and 2000.“ Statistic Indonesia Population Census (2000) http://www.bps.go.id/index.shtml (diakses 17 Juli 2007). 4 CIA, “Indonesia,” In CIA The Worldfact Book (2007) https://www.cia.gov/library/publications/the-worldfactbook/geos/id.html (diakses 17 Juli 2007).
www.raconquista.wordpress.com
[email protected] Ditinjau dari keberagaman tersebut, Indonesia memiliki tingkat heterogenitas kepentingan berbasis etno-regional dan etno-religious sangat tinggi. Perjalanan bangsa Indonesia menuju ke satu bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia seperti sekarang tidak terlepas dari tarik ulur kepentingan politik Oleh karena itu, prinsip seperti unity in diversity atau Bhinneka Tunggal Ika dianggap paling sesuai bagi bangsa Indonesia. Prinsip dimana kepentingan pribadi, suku, agama, dan golongan harus mengalah pada kepentingan umum. Beberapa tokoh politik dan cendekiawan, seperti halnya mantan presiden Abdurrahman Wahid, tokoh reformasi Amien Rais, Alfitra Salamn, Harun Alrasid, Y.B. Mangunwijaya, dan Adnan Buyung Nasution, berargumen bahwa Indonesia semestinya kembali ke sistem negara federasi. Sementara, menurut mereka pemerintah Indonesia takut menerapkan sistem federal tersebut karena khawatir akan cenderung memicu ketidakstabilan politik dan gerakan pemisahan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh karena itu, pemerintah melihat sistem negara unitarian dengan desentralisasi kewenangan merupakan alternatif yang lebih baik. Perdebatan mengenai bangunan negara yang paling sesuai bagi Indonesia melatarbelakangi perjalanan sejarah sistem politik Indonesia. Sistem politik Indonesia tidak akan pernah terlepas dari corak peninggalan penguasa kolonial di masa lalu. Oleh karena itu, perubahan ataupun reformasi sistem politik Indonesia tidak dapat serta merta terjadi tanpa mengkaji perubahan peta politik dari sejak berdirinya negara Indonesia,17 Agustus 1945, sampai era reformasi pasca mei 1998. Menurut C.F. Strong, perbedaan antara konsep pembagian kekuasaan atau “shared sovereignty” dari negara unitarian adalah kekuasaan kedaulatan tidak dipat dibagi-bagi. Artinya kekuasaan dari pemerintah pusat tidak terbatas karena konstitusi sebuah negara kesatuan tidak menerima lembaga pembuat undang-undang lain selain yang ada di tingkat pusat. Konsep desentralisasi dan dekonsentrasi selanjutnya diciptakan untuk mengimbangi sentralisasi kekuasaan yang terlampau besar. Sedangkan konsep pembagian kekuasaan negara federasi yang sebenarnya saja bertumpu pada desentralisasi dan dekonsentrasi, menawarkan pembagian kedaulatan dan kekuasaan antara pemerintah federal dan lokal. Dimana umumnya teori residual bertumpu pada pemerintah lokal, mendeskripsikan kewenangan pemerintah loka pada konstitusi, kemudian menyerahkan sisanya kepada pemerintah federal. Kanada dan India merupakan contoh negara federasi yang menganut teori residual lokal. Sedangkan Amerika Serikat menganut sistem negara federal dengan menganut teori residual bertumpu pada federal. Indonesia sendiri, walaupun menganut sistem unitarian, tampaknya condong memberlakukan teori residual yang mirip dengan Amerika Serikat. Kegagalan Republik Indonesia Serikat Sebagai Negara Federal Menurut hasil penelitian Adnan Buyung Nasution (2000), konsep federalisme pertama kalinya diperkenalkan oleh Ritsema van Eck, Kepala Kehutanan di Jawa pada masa pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia. 5 Saat itu konsep Ritsema yang juga mengikutsertakan nasib kelompok etnis luar Indonesia di bawah kekuasaan kerajaan Belanda, Curacao dan Suriname, dipertanyakan oleh Prof. Van Vollenhoven, Prof. Snouck Hurgronje, dan Prof. Colenbrader, yang intinya mengatakan bahwa ide Ritsema hanyalah untuk memenuhi maksud Belanda untuk meningkatkan kekuatannya dengan membagi Indonesia ke dalam kelompok-kelompok etnis. Nasution mengatakan bahwa perdebatan tentang konsep negara federal di Indonesia tidak surut, malah terus berkembang sejalan dengan perkembangan detik-detik bersejarah menjelang kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno dan Mohammad Hatta mendeklarasikan Indonesia sebagai negara merdeka setelah mengalami masa penjajahan kolonial Belanda lebih dari 300 tahun lamanya dan Jepang untuk 3 ½ tahun. Soekarno dan Mohammad Hatta kemudian menjadi presiden dan wakil presiden pertama dari Negara Republik Indonesia. 5 Adnan B. Nasution, “Unitary and Federal States: Judicative Aspects,” in Unitary State Versus Federal State: Searching for an Ideal Form of The Future Indonesian State, ed. Ikrar N. Bhakti dan Irinye H. Gayatri (Bandung: Mizan Media Utama, 2000) 38-48.
www.raconquista.wordpress.com
[email protected] Pada saat itu deklarasi masyarakat international yang diwakili oleh Perserikatan BangsaBangsa tidak mengakui Indonesia sebagai negara merdeka. Setelah Jepang dikalahkan oleh tentara sekutu, Belanda berusaha untuk mengembalikan kembali kekuasaaan kolonialnya. Indonesia memasuki masa negosiasi dengan pemerintah Belanda. Konstitusi 1945 membangun landasan berdirinya pemerintah negara kesatuan Indonesia tanpa bahasa tegas sehingga memberikan kekuasaan sangat besar kepada eksekutif dibandingkan legislatif. Ketika perang memperjuangkan kemerdekaan, negosiasi diplomatik antara pemerintah Indonesia dan Belanda berlangsung. Pada bulang September 1946 perwakilan pemerintah Indonesia mulai melakukan pertemuan dengan perwakilan dari pemerintah Belanda di Linggarjati pada perundingan yang diprakarsai oleh Inggris. Belanda memaksa untuk berdirinya sistem federal di Indonesia. Pada bulan Desember 1946, negara Indonesia Timur berdiri pada konferensi di Bali sebagai bagian dari usulan negara federasi. Pada bulan Maret, 1947, perjanjian Linggarjati ditandatangani dengan pernyataan bahwa pemerintah Belanda dan Indonesia harus bekerjasama untuk menciptakan negara demokrasi yang berdaulat dengan sebutan Negara Republik Indonesia Serikat (RIS). RIS termasuk di dalamnya Republik Indonesia (termasuk di dalamnya Sumatra dan Jawa), Borneo, dan Negara Indonesia Timur. 6 Ide memiliki sistem federal langsung dikaitkan dengan maksud terselubung pemerintah Belanda untuk mendestabilisasikan Indonesia. Imperialis Belanda tersohor akan taktik memecah belah Indonesia ke dalam unit-unit kecil agar mereka lebih mudah dikontrol dan gerakan kemerdekaan nasional tidak muncul ke permukaan. Di masa ini, selalu saja ada elit nasional yang mementingkan kepentingan pribadi untuk berkuasa kemudian bersekongkol dengan pemerintah Belanda. 7 Banyak orang Indonesia tidak puas dengan perjanjian Linggarjati dan bergabung dengan pergerakan gerilya melawan tentara Belanda. Pada bulan Juli 1947, pemerintah Belanda melanggar perjanjian dengan melancarkan serangan pada pasukan gerilya. Pada bulan Januari 1947, perjanjian Renville ditandatangani untuk mengakhiri peperangan. Pada bulan Desember 1948, Belanda kembali melakukan serangan ke Yogyakarta, ibukota Republik Indonesia. Presiden Soekarno dan wakil presiden Mohammad Hatta ditangkap dan dijebloskan ke penjara di kepulauan Bangka. Pada tahun berikutnya, di bawah tekanan PBB, pemerintah Belanda dipaksa untuk membebaskan Soekarno, Hatta, dan lainnya. Pada tahun berikutnya, di bawah tekanan PBB, Belanda dipaksa untuk membebaskan Soekarno, Hatta, dan lainnya. Setelah Konferensi Meja Bundar yang disponsori oleh PBB, Indonesia kembali ke sistem unitarian pada tanggal 27 Desember 1949. 8 Periode antara tahun 1950 sampai 1957 dikenal sebagai masa paling demokratis di Indonesia. Pada bulan September 1955, pemilihan umum pertama yang demokratis berlangsung, memilih anggota parlemen baru dari 30 lebih partai politik. Di dalam parlemen baru tidak menghasilkan koalisi yang jelas, sehingga sulit untuk mencapai kesepakatan untuk merubah konstitusi sementara tahun 1950. Soekarno harus berhadapan dengan tekanan politik yang semakin kuat, dan perdebatan seputar Indonesia akan menjadi negara sekular atau Islam semakin memuncak. Presiden Soekarno, dengan didukung oleh angkatan bersenjata, mencabut konstitusi sementara tahun 1950 dan memberlakukan kembali konstitusi tahun 1945. Antara tahun 1959 dan 1965 Soekarno menjadi lebih otoriter dengan label pemerintah bertajuk demokrasi terpimpim. Pada tahun 1960 Soekarno berusaha untuk menyeimbangkan hubungan antara tiga kekuatan politik negara: Islam, angkatan bersenjata atau nasionalis, dan partai komunis. Perlahan tapi pasti, ia condong memihak ke kiri, meningkatkan ketegangan antara angkatan bersenjata dan komunis. Masa Orde Baru: Di Bawah Bayang-Bayang Rejim Militer Soeharto (1966-1998)
6
Arthur A. Schiller, The Formation of Federal Indonesia 1945-1949 (The Hague, Bandung: W. van Hoeve Ltd, 1955), 22. Lawrence S. Finkelstein, “The Indonesian Federal Problem,” Pacific Affairs 24, no. 3 (1951): 288. 8 Arthur A. Schiller, The Formation of Federal Indonesia 1945-1949 (The Hague, Bandung: W. van Hoeve Ltd, 1955), 24. 7
www.raconquista.wordpress.com
[email protected] Pada tanggal 30 September 1965, Partai Komunis Indonesia (PKI) melancarkan kudeta berdarah dan membantai beberapa perwira militer dalam pemerintahan Soekarno. 9 Seketika Indonesia ditempatkan dalam situasi darurat. Pada tanggal 11 Maret 1966, Soekarno memindahkan kekuasaan kepada Soeharto. Sebuah surat mandat (Supersemar) diberikan untuk melegitimasi kekuasaan Soeharto sebagai kepala negara dalam situasi darurat nasional. Sampai sekarang masih terdapat kontroversi mengenai keberadaan surat tersebut dan apa isi surat sebenarnya yang telah dinyatakan hilang. Dengan demikian aksi Soeharto dapat dikategorikan sebagai kudeta tidak berdarah. Awal mula keterlibatan militer dalam pemerintahan indonesia diawali ketika lahir doktrin dwifungsi ABRI di masa pemerintahan Soeharto. Dwifungsi ABRI ini pulalah yang menjadi bumerang dalam perjalanan pemerintah Soeharto yang mengedepankan pendekatan keamanan untuk menjaga stabilitas politik Indonesia. Pemerintahan berkembang sedemikian rupa sehingga menumbuhkan penguasa-penguasa kecil di daerah yang patuh pada penguasa tertinggi yaitu Soeharto, mengeksploitasi kekayaan alam bagi kepentingan elit semata. Di sinilah terjadi sentralisasi pemerintahan di tangan pemerintah pusat. Penggunaan kekuatan militer menjadikan Indonesia sebagai negara yang stabil namun semu karena rakyat tidak memiliki kebebasan sebenarnya dalam bernegara. Suara tidak puas dari rakyat di daerah dan lawan politik Soeharto yang menderita dan tertindas berujung pada terjadinya demonstrasi besar-besaran menuntut Soeharto mundur pada tahun 1998. Namun bukti-bukti keterlibatan Soeharto dalam pembunuhan massal terhadap berjuta-juta jiwa rakyat yang dicurigai mengikuti paham komunis bahkan setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI) menjadi bibit tumbuhnya rasa kekecewaan mendalam di hati rakyat yang terpinggirkan, hidup penuh penderitaan sebagai orang miskin maupun pesakitan. Bahkan kejatuhan Soeharto pada bulan Mei 1998 belum dapat dijadikan momen membongkar kekerasan yang terjadi pada masa Orde Baru. Sejak saat itu gelombang kekecewaan dari pihak teraniaya baik kalangan media masa dan kelompok-kelompok yang mengusulkan pembongkaran bukti-bukti pembunuhan massal diancam dengan kekerasan. 10 Ketakutan akan kembalinya rejim otoriter yang menggunakan kekuatan senjata dalam menekan aspirasi kritis rakyatnya bahkan masih terjadi sampai saat ini. Kenyataan berbicara bahwa Indonesia memiliki sejarah kelam berlatar budaya yang penuh kekerasan (a violent culture). 11 Soeharto memimpin Indonesia selama 32 tahun (1966-1998) dalam era yang dikenal sebagai orde baru. Di dalam konstitusi (Undang-undang Dasar 1945 atau UUD 1945), ia merupakan kepala negara dan memiliki kewenangan sangat besar dalam militer sebagai panglima komando tertinggi. Pasal 10 dari UUD 1945 mengatakan bahwa “The President shall hold the highest authority over the Army, the Navy and the Air Force.” Kemudian di dalam penjelasan UUD 1945 tertera, “The President holds the powers provided in these Articles by virtue of his position as President and after the MPR (the People National Assembly), the President is the highest executive of the State. Authority and responsibility are vested in the hands of the President.” 12 Pada tahun 1958, Jenderal Abdul Harris Nasution, kepala staf angkatan darat dalam pemerintahan Soekarno, mencetuskan doktrin militer yang disebut sebagai dwifungsi ABRI, dimana militer memiliki peran dalam bidang pertahanan dan juga di dalam pembangunan sosial.
9
“There are two conflicting versions of events surrounding the attempted coup. The official Army version insists that the Indonesian Communist Party (PKI) was behind the coup attempt, while the communist version asserts that the coup was an internal matter of the Army. In fact, several members of PKI's central bureau were involved, as well as many Army officers and personnel.” See “Indonesia History: Indonesia in Transition,” The Jakarta Post, 25 October 2005, http://www.thejakartapost.com/history/history.asp (October 25, 2005). 10 Vaudine England, “Coffins Broken into as Multi-Faith Service for People Killed in Anti-Communist Crackdown Prevented,” SCMP, 27 Maret 2001. 11 Elizabeth Fuller Collins, Asian Survey, vol. xlii no. 4, Juli/Agustus 2002, hal. 582-604. Diterjemahkan oleh Nico Harjanto dan Putut Widjanarko atas ijin penulisnya.. 12 Bourchier, David and Vedi R. Hadiz, eds. Indonesian Politics and Society (USA: RoutledgeCurzon, 2003), 36.
www.raconquista.wordpress.com
[email protected] Pada tahun 1971, Ali Moertopo, perwira militer andalan di masa orde baru, kemudian membahas mengenai doktrin dwifungsi dalam makalah berjudul, The Acceleration and Modernization of 25 Years’ Development. Ia berpendapat bahwa rakyat dan angkatan bersenjata bersatu karena “Militer Indonesia lahir dari rakyat pada masa perang gerilya melawan pemerintah kolonial Belanda, “the Indonesian military had been generated by the people in the guerilla struggle against Dutch colonialism. 13 Alhasil, militer harus terlibat bekerja bahu membahu dengan rakyat untuk membangun dan memimpin Indonesia. Ali Moertopo bersama dengan para cendekiawan berlatar pendidikan Amerika kemudian mendirikan the Centre for Strategic and International Studies (CSIS) yang kemudian menjadi lembaga pemikir orde baru. Soeharto kemudian banyak mengeluarkan dekrit presiden yang menguatkan posisinya sebagai kepala negara, seperti halnya dekrit presiden nomor 11/1963, disebut juga ssebagai undang-undang anti subversif dan digunakan untuk melawan para pengkritik Soeharto. 14 Soeharto juga menekan kebebasan pers dengan mendirikan badan sensor nasional. Kemudian muncul pasal nomor 134-137 dan Undang-undang tentang Kriminalitas yang menjerat orang atau lembaga yang dicurigai menyebarkan kebencian terhadap pemerintah. Soeharto menciptakan sistem seleksi pegawai negeri sipil (PNS). Setiap pelamar yang memiliki kaitan hubungan persaudaraan dengan Partai Komunis dahulu akan gugur dalam seleksi masuk PNS. Akibatnya banyak kandidat berkualitas untuk pemerintahan yang lebih baik dan juga posisi di bidang akademis yang ditolak dalam proses ini. Banyak mata-mata berkeliaran di lingkungan kampus untuk memonitor mahasiswa atau para dosen yang dicurigai menyebarkan pandangan politik berseberangan dengan Soeharto. Namun demikian, Soeharto tergolong sebagai pemimpin karismatik bagi banyak rakyat Indonesia. Sebagian besar rakyat tersebut mendambakan seorang penyelamat yang dapat meningkatkan kondisi perekonomian mereka. Program ekonomi lima tahunan (Repelita) mengantarkan Indonesia menjadi salah satu kekuatan ekonomi Asia. Pencapaian ini didapat melalui penggunaan kekuatan militer dalam lingkup sosial dan politik. Soeharto menunjuk sejumlah perwira militer yang setia untuk mengisi posisi gubernur untuk mengamankan rencana lima tahunannya. Lembaga internasional dan pemerintah negara Barat memuji keberhasilan Soeharto. Undang-undang Pemerintah Daerah Nomor 5/1974 memainkan peranan penting dalam meluaskan kekuasaan pemerintah pusat di daerah. Penunjukan perwira militer dalam posisi gubernur membuka jalan bagi anggota militer untuk mendapatkan keuntungan dari menjalankan peran dwifungsi dengan berpartisipasi dalam banyak bisnis untuk mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia seperti minyak bumi, kayu, dan bijih mineral. Sementara perwira militer bergabung dalam bisnis berlaba besar, perwira di pangkat lebih rendah menjual jasa pengamanan di manapun dibutuhkan. Kadang kala perwira rendahan ini menjual jasa pelayanan sebagai penjaga keamanan perusahaan yang terlibat konflik dengan rakyat di daerah. Di bawah pemerintahan Soeharto, warga negara elit keturunan tionghoa bekerja sama erat dengan penguasa militer sehingga terciptalah kesenjangan ekonomi bertambah lebar antara warga negara asli Indonesia dan warga keturunan tersebut. Pembangunan yang terpusat di wilayah bagian barat Indonesia (Jawa dan Sumatera) daripada di wilayah timur (Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Papua). Akibatnya terjadi pembangunan tidak merata dan kemiskinan semakin meluas di daerah pedesaa. 15 Demikian pula dengan masalah sosial, seperti kejahatan, kemiskinan, dan rawan gizi dan nutrisi. Soeharto tidak dapat memberikan pemecahan masalah yang tegas untuk mengatasi persoalan tersebut. Soeharto tumbuh menjadi pemimpin yang otoriter. Segala hal berkaitan dengan negara harus tunduk pada titahnya. Soeharto telah menyalahgunakan kewenangannya sebagai kepala negara dan panglima komando tertinggi militer untuk memperkaya keluarga dan 13
Ibid, 35. Joseph Saunders, “Academic Freedom in Indonesia: Dismantling Soeharto-Era Barriers,” Human Rights Watch (August, 1998) http://www.hrw.org/reports98/indonesia2/Borneote-02.htm. (accessed May 30, 2005). 15 William R. Liddle, “Asia: Indonesia,” in Comparative Governance, ed. W. Phillips Shively (USA: The McGraw-Hill Companies, 2005), 200. 14
www.raconquista.wordpress.com
[email protected] kroninya, termasuk para perwira militer yang setia padanya. Eksploitasi besar-besaran perusahaan minyak multinasional pada wilayah yang memiliki sumber minyak mentah hanya mendatangkan keuntungan bagi elit di Jakarta dan kroninya di daerah, bukan bagi rakyat daerah. Pada tahun 1997 terjadi krisis ekonomi Asia yang menumbangkan Soeharto dengan mempertontonkan hasil pembangunan ekonomi tidak merata yang disembunyikan oleh orde baru. Pada tanggal 21 Mei 1998, gerakan reformasi diprakarsai oleh mahasiwa memaksa Soeharto untuk turun dari pucuk kekuasaan. Analisa Sejarah Kasus G30S Gerakan 30 September atau lebih dikenal dengan sebutan Gestapu memang masih sangat kontroversial di kalangan para sejarawan. Kesulitan dalam memaknai peristiwa tersebut berkaitan dengan pemaknaan terhadap peristiwa. Paul Veyne (1971), sejarawan dari Perancis, mengatakan bahwa sejarah adalah “penceritaan mengenai peristiwa dan bukan peristiwa itu sendiri.” 16 Pemaknaan tersebut tidak akan lengkap apabila kesaksian berupa dokumen tertulis maupun saksi-saksi hidup tidak diberikan kesempatan untuk berkontestasi dihadapan publik yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya secara ilmiah. Ilmu sejarah berupaya menguak peristiwa di balik Gestapu dengan berbagai versinya, namun berhadapan langsung dengan dunia politik yang dimiliki oleh segelintir elit penguasa yang cenderung menafikan masa lalu demi kepentingan kekuasaan. Begitu pula yang terjadi ketika Kejaksaan Agung RI berupaya untuk memberangus buku-buku pelajaran sejarah SMP karena tidak menyebutkan PKI di belakang G30S. Langkah kejaksaan sebagai instrumen kekuasaan tampak nyata dalam memundurkan pelurusan sejarah bangsa dengan tidak memberikan keleluasaan interpretasi para pendidik ataupun sejarawan dalam pembelajaran generasi muda Indonesia. Banyak pertimbangan yang digunakan oleh penguasa saat itu (baca: Orde Baru) ketika menggunakan PKI di belakang G30S, antara lain menurut Asvi Marwan Adam (2007), sejarawan terkemuka Indonesia, adalah faktor kesengajaan untuk digandengkan dan seakan tidak terpisahkan sampai akhir zaman. Sehingga tafsiran yang lahir di kalangan masyarakat akan menunjuk pada keterlibatan kuat PKI sebagai dalang peristiwa Gestapu. Adam membeberkan beberapa fakta di balik Gestapu antara lain: pertama, yang diculik adalah perwira militer (khususnya Angkatan Darat). Kedua, yang menculik berasal dari unsur Angkatan Darat. Ketiga, beberapa pimpinan PKI (dalam hal ini Biro Chusus) seperti Aidit dan Sjam dipercayai telibat dalam gerakan tersebut. Namun keberadaan Sjam masih belum ketahuan, begitu pula status dirinya sebagai double agent (AD dan Biro Chusus PKI) bahkan triple agent ketika berbicara mengenai keterlibatan CIA di dalam gerakan tersebut. Terakhir, keterlibatan Kodam Diponegoro di Jawa Tengah sebagai pelaku dan pemberantas gerakan ini amatlah kentara. 17 Indikasi kuat adanya skenario dalam gerakan tersebut menandakan bahwa G30S merupakan suatu upaya sistematis dalam menjatuhkan pemerintahan Soekarno yang ketika itu berhaluan sangat kiri. Soebandrio 18 misalnya, mengemukakan dua skenario dan peran Soeharto di dalam keduanya. Skenario pertama adalah -Soeharto-Untung-Latief –merupakan skenarion yang sengaja digagalkan atau dikorbankan. Sedangkan skenario kedua adalah – SoehartoYoga Sugama-Ali Murtopo-yang dimenangkan. Skenario terakhir inilah yang mengantarkan Soeharto ke puncak kekuasaan. Sungguhpun terdapat berbagai versi peristiwa mewarnai pemaknaan sejarah G30 S, pendapat sejarawan yang menghimbau untuk menganalisis dampak dari peristiwa sejarah tentu perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerhati sejarah dan politik. Betapa banyak orang menjadi korban setelah peristiwa tersebut berlalu bahkan sampai merasakan ketidakberdayaan sosial dan ekonomi di masa orde baru. Peminggiran kaum bercap PKI bahkan terasa diwariskan generasi ke generasi sehingga luka batinpun tak dapat terobati begitu saja dengan sekedar pemintaan maaf sekalipun dari mantan penguasa, sang Jenderal Besar Soeharto, yang sampai detik akhir maut menjemputnyapun tidak merasa bersalah. 16
Adam, Asvi Marwan, Pelurusan Sejarah Indonesia (Ombak: Jogjakarta, 2007), hal. 20. Ibid, Adam. Hal. 22. Diambil dari hasil narasi sejarah Mantan Waperdam/Menlu Soebandrio tentang dua trio dalam Gestapu. 18 Soebandrio selanjutnya mengatakan mereka semua yang terdapat dalam scenario tersebut berasal dari Kodam Diponegoro. Lihat Soebandrio, Kesaksianku tentang G-30-S (Jakarta: Forum Pendukung Reformasi Total, 2001). 17
www.raconquista.wordpress.com
[email protected] Namun demikian, sebagai pemerhati dan akademisi politik, kita perlu melihat peristiwa tersebut dalam konteks sistem politik dunia saat itu. Dimana kekuataan bipolar yang dimainkan Barat dengan ideologi kapitalis dan Timur dengan ideologi komunis merambah sampai Asia Tenggara. Gejolak yang timbul di negara seperti Vietnam, Kamboja, Indonesia saat itu tentu berkaitan erat dengan peran Soviet dan Cina yang berupaya menularkan ideologi komunis sebagai pembendung kekuataan kapitalis Amerika Serikat dan sekutunya. Rejim otoritarian membuka jalan pintas bagi penyebaran ideologi komunis yang diterapkan oleh sang pemimpin besar revolusi, Soekarno, yang memberlakukan demokrasi terpimpin saat itu. Tentu saja, Amerika Serikat gerah melihat perkembangan yang terjadi di negaranegara Asia Tenggara. Perlombaan senjata secara diam-diam tidak akan berhasil bila tidak memenangkan pengaruh dalam perang urat syaraf (cold war). AS membutuhkan rekan membendung pengaruh komunis di Asia setelah sebelumnya mereka babak belur di Asia Timur dan Tengah. Kondisi seperti Indonesia bukanlah satu-satunya di Asia Tenggara, banyak pemerintahan diktator terbentuk semasa itu. Bedanya, letak strategis Indonesia merupakan sasaran empuk AS dalam membendung pengaruh komunis ke Australia sebagai sekutu AS. Inilah titik balik sejarah Indonesia, dimana pengaruh lingkungan internasional merombak tatanan struktur dan fungsi sistem politik yang telah ditanamkan semenjak bangsa Indonesia merdeka di tahun 1945. Soeharto tidak dapat disalahkan dalam hal ini, karena ia hanyalah pelaku sejarah. Banyak pemimpin lain di Asia Tenggara yang berkuasa selama beliau, sebutlah Mahathir Mohammad dari Malaysia, yang membedakan mereka berdua adalah sejauh mana kepemimpinan mereka terlibat dalam korupsi, kolusi, dan nepotisme. Soeharto berkuasa selama hampir 32 tahun lamanya, sampai tahun 1970 beliau sangatlah demokratis. Namun ketika memasuki tahun-tahun berikutnya, kepemimpinannya sudah terpengaruh oleh lingkungan sekitarnya yang cenderung dekat dengan budaya KKN sampai akhir kekuasaaannya di tahun 1998.
Hubungan Sipil-Militer Pasca Orde Baru Sipil dan militer pada hakekatnya adalah dua entitas yang berbeda. Sipil dalam istilah politik dapat diartikan sebagai rakyat jelata atau public yang merupakan sekelompok obyek yang dikenai kebijakan politik pemerintahan suatu negara. Sedangkan militer merupakan alat negara dalam menjamin keamanan dan ketertiban sehingga pelaksanaan kebijakan politik dapat berjalan lancar tanpa mengalami gangguan dan melindungi rakyat sipil agar haknya sebagai warga negara tidak terlanggar. Penjelasan mengenai keberadaaan dua entitas memerlukan interaksi agar terjadi hubungan yang harmonis. Sipil butuh perlindungan militer, begitu pula militer butuh sipil untuk dilindungi dan dijaga ketertiban dan keamanannya. Amatlah naif apabila kita beranggapan bahwa keamanan dan ketertiban datang dengan sendirinya. Apalagi apabila suatu masyarakat mempercayakan keamana dan ketertiban yang dijaga oleh segerombolan sipil bersenjata yang memiliki kuasa menindak apabila ada anggota masyarakat berlaku di luar batas normal. Pertanyaannya, siapa yang berhak menghukum anggota gerombolan bersenjata tersebut apabila salah seorang anggotanya bertindak sewenang-wenang? Karena militer nasional berada di bawah payung pemerintahan dengan kepala negara sebagai panglima komando angkatan bersenjata tertinggi, maka kedudukannya dapat dengan mudah terjawab bahwa militer Indonesia patuh pada pemerintah yang berkuasa. 19 Oleh karena presiden mendapat mandat dari rakyat melalui pemilihan umum langsung untuk memerintah, maka militer secara implisit wajib patuh pada rakyat. Pendekatan Orde Baru yang selalu mengedepankan dwi fungsi ABRI karena latar belakang sejarah lahirnya militer dari rakyat yang berjuang di daerah-daerah dengan bergerilya melawan penjajah kolonial Belanda, merupakan usaha rejim Soeharto dalam memberikan pembenaran bahwa tindakan represif militer yang selama ini dilakukan adalah demi kepentingan stabilitas rakyat juga. Padahal yang terjadi rakyat telah menjadi bulan-bulanan pemerintahan Orde Baru, terpinggirkan karena suara mereka menjadi penting hanya pada saat pemilihan umum saja. 19
UUD 1945 pasal Presiden angkatan bersenjata.
www.raconquista.wordpress.com
[email protected]
Definisi lain dari hubungan sipil-militer masa Orde Baru datang dari tulisan Agus W. Kusumah, seorang militer intelektual yang semasa hidupnya diabdikan untuk menjunjung tinggi martabat militer yang bersih, jauh dari intervensi politik yang menguntungkan bisnis elit militer dan politik semata. Beliau menekankan pentingnya ABRI (saat ini TNI minus POLRI), sebagai kekuatan bersenjata, untuk melakukan perubahan. Karena menurutnya, “tangan ABRI telah merambah ke segenap ruang Orde Baru. Keberadaannya lalu tidak hanya dalam batas-batas fungsi ke militeran saja, tapi juga menjadi aktor penting yang memegang kendali kehidupan politik rakyat Indonesia. Karena itu, tidaklah berlebihan jika secara institusional sebenarnya ABRI adalah pihak yang juga bertanggung jawab terhadap baik buruknya Orde Baru, dan logis pula kalau turunnya Pak Harto tersebut bisa juga ditafsirkan sebagai akhir "kedigdayaan" ABRI.” 20 Saat itu militer Indonesia sedang mengalami krisis kepercayaan akibat hujatan dan cacian yang datang berkaitan dengan keterlibatan mereka dalam peristiwa berdarah di Aceh, Lampung, Tanjung Priok, Irian Jaya, Timor Timur, penculikan para mahasiswa dan aktivis politik, dan banyak pihak mengkritisi kegagalan militer dalam mengatasi kerusuhan yang timbul di berbagai tempat sejak Mei 1998. Di luar pakem militer berkecimpung dalam politik, Agus berpendapat bahwa ABRI harus sesegera mungkin meninggalkan panggung politik. ABRI yang selama ini hidup di balik dominasi kekuasaan sentralistis yang mampu memaksakan kehendak politik mereka atas nama stabilitas politik, sekarang dihadapkan dengan perubahan yang memaksa mereka untuk peka terhadap tuntutan sipil, termasuk tuntutan untuk melindungi mereka bukan mengintimidasi pihak yang berseberangan dengan penguasa karena berbeda pendapat. Akibatnya militer seolah-olah lupa akan fungsinya dalam menjaga ketertiban dan keamanan serta melindungi rakyat. Kenyataan ini menurut Agus datang dari pemahaman militer bahwa ada “dua hal penting di dalam tubuh ABRI yaitu doktrin "perang semesta" (total war) dan pengidentifikasian sebagai "tentara rakyat". Doktrin perang semesta merupakan kerangka untuk melihat Indonesia. Dalam doktrin ini sebuah negara (Indonesia) dibayangkan selalu berada di bawah ancaman perang, dan ancaman perang itu tidak hanya datang dari luar negeri tapi juga dari dalam negeri sendiri.” 21 ABRI yang lahir dan datang dari rakyat sesungguhnya merupakan bentuk penafsiran tentang diri (militer) sendiri yang berbeda dengan penafsiran yang dikemukakan oleh kalangan akademisi dan dikutip di berbagai media sebagai tentara rakyat, namun tidak lebih sebagai jargon politik ABRI dalam melanggengkan tindakannya di arena politik. Menurut Agus, “ABRI memahami tentara rakyat secara "khas" pula (berdasarkan tafsirannya sendiri), dan pemahaman itu lebih bersifat "politis" daripada "historis". Sebutan tentara rakyat lebih sebagai "pernyataan", bukan "kenyataan". 22 Amat disayangkan pemikir politik berseragam militer seperti Agus harus berpulang ketika puncak usia dan karir militer sedang menanjak di tahun 2001. Walaupun banyak pihak menduga indikasi keterlibatan elit politik dan militer yang anti-reformasi di balik kematiannya, namun yang pasti, beliau sudah memberikan pemahaman lain dari dalam tubuh militer sendiri bahwa pola hubungan sipil-militer di kemudian hari harus Hubungan sipil-militer untuk Indonesia tidak dalam bentuk dikotomi sipil-militer lagi. Suatu harapan yang memang sedikit demi sedikit menjadi kenyataan di era pemerintahan SBY-JK. Senada dengan semangat Wirahadikusumah menghapuskan dikotomi sipil-militer, Arif Yulianto dalam bukunya Hubungan Sipil Militer Pasca Orba Di tengah Pusaran Demokrasi (2002) menawarkan alternatif dari teori Alfred Stepan mengenai penyebab terjadinya hubungan sipil-militer demokratis, karena adanya lima tipe hubungan: 20
Jakarta, 25 Mei 1999, disampaikan oleh Mayjen TNI Agus Wirahadikusumah, saat menjabat Asisten Perencanaan Umum Panglima TNI, dalam seminar nasional "Mencari Format Baru Hubungan Sipil-Militer" Jurusan Ilmu Politik Fisip UI, 24 - 25 Mei 1999. Agus Wirahadikusumah (1951-2001), Hubungan Sipil-Militer= Visi, Misi dan Aksi 21 Ibid, Agus (2001). 22 Ibid, Agus (2001).
www.raconquista.wordpress.com
[email protected]
“(1) posisi bagi pemimpin militer yang tidak dapat dipertahankan lagi; (2) posisi bagi para pemimpin sipil demokratis yang hampir tidak dapat dipertahankan lagi; (3) akomodasi sipil yang tidak seimbang; (4) kontrol sipil; dan (5) akomodasi sipilmiliter.” 23 Yulianto juga menyebutkan bahwa hasil dari penelitian, terdapat lima masalah yang memerlukan pemecahan menuju militer profesional, yaitu: (1) posisi militer dalam sistem dan kegiatan politik nasional; (2) koordinasi dan kerja sama lintas institusi di sektor pertahanankeamanan; (3) peran militer dalam intelijen negara; (4) keterlibatan militer dalam bisnis; serta (5) pelanggaran HAM dan tindak kekerasan militer. Lebih lanjut Yulianto menuturkan bahwa dari kelima hubungan tersebut, maka tugas paling berat dari militer adalah penanganan pelanggaran HAM dan tindak kekerasan militer. Di indikator ini, hubungan sipil-militer berada di kotak merah yang menunjukkan militer masih otonom dan independen dari pengawasan dan kendali otoritas politik sipil. Pasca Orde baru, ditandai dengan terpisahnya lembaga Kepolisian dan TNI dari ABRI merupakan langkah awal menuju militer profesional. Tanggung jawab mereformasi tubuh TNI diikuti pula dengan gerakan kembalinya militer ke barak, menandakan era militer dalam politik sudah ditinggalkan. Tidak ada lagi pemberian jatah kursi khusus di legislatif untuk militer, tidak ada lagi hak istimewa. Militer hanyalah orang biasa yang direkrut oleh negara, dilatih dan dipersenjatai untuk menjaga kehormatan bangsa dan negara. Oleh karena itu mereka sewajarnya berhutang budi pada rakyat dengan memberikan perlindungan pada rakyat sipil. Namun demikian, menurut Yulianto, reformasi di militer di tubuh TNI masih sukar terwujud karena militer masih otonom dan independen dari pengawasan dan kendali otoritas politik sipil. TNI masih enggan melepaskan dirinya dari politik oleh karena pencitraan dirinya yang sangat lekat dengan label tentara politik. Lebih lanjut, TNI tampaknya masih akan menikmati hak-hak privilege-nya lebih lanjut dalam politik Indonesia karena belum lengkapnya regulasi politik yang mengatur posisi TNI dalam sistem politik Indonesia. Perundangan atau regulasi yang mengatur TNI selama ini, misalnya: UUD 1945 (Pembukaan UUD 1945 dan Bab Pertahanan Keamanan Negara), Tap MPR No VI dan VII (2002), UU No 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta UU No 3/2002 tentang Pertahanan Negara, masih berjalan sendiri-sendiri bahkan menguatkan peran militer di satu sisi. Yulianto menambahkan bahwa sekurangnya ada empat regulasi yang perlu segera dibuat dalam rangka percepatan reformasi militer, yaitu: regulasi tentang kebijakan pertahanan nasional, regulasi tentang institusi dan prajurit TNI, regulasi tentang sumber daya pertahanan, dan regulasi tentang prosedur pengerahan TNI. 24 Hubungan sipil-militer tampaknya masih menunggu langkah para pembuat kebijakan, eksekutif dan legislatif, dalam menghasilkan kesepakatan politik Keberadaan pemimpin tertinggi pemerintahan dari kalangan militer non-aktif masih perlu pembuktian, mewujudkan janji politik SBY berpihak pada sipil yang membawanya ke tampuk kepemimpinan di tahun 2004. Harga Mahal Kelahiran Orde Reformasi Segera setelah peristiwa mei 1998, Soeharto menyerahkan kekuasaan eksekutif kepada wakil presiden B.J. Habibie. Selang beberapa waktu setelah penyerahan mandat tersebut, presiden baru B.J. Habibie harus bergulat dengan beragam konflik separatis di berbagai daerah seperti Timor Timur, menstabilkan iklim politik, dan mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan untuk mengembalikan kekuatan ekonomi mereka. 23 Arif Yulianto, Hubungan Sipil Militer Pasca Orba Di Tengah Pusaran Demokrasi:, Cetakan I , Jakarta: Rajawali Pers, November 2002. Lihat Andi Widjajanto (2002), “Mencari Pola Hubungan Sipil-Militer untuk Indonesia 24 Ibid, Yulianto, 2002.
www.raconquista.wordpress.com
[email protected]
Namun, usaha Habibie untuk mengembalikan stabilitas politik Indonesia menemui jalan tidak mulus. Kebijakannya semisal membiarkan propinsi termuda Indonesia, Timor Timur untuk melepaskan diri dari NKRI dinilai oleh sebagian pemain lama politik justru mendorong lepasnya wilayah lain. Berikut kemampuan Habibie sebagai seorang teknokrat diragukan banyak kalangan untuk memimpin Indonesia. Keinginan elit militer dan politik untuk kembali ke puncak kekuasaan memaksa Habibie untuk melangsungka pemilihan umum dengan membuka akses berdirinya partai baru di luar 3 partai rekayasa Orde baru, Golkar, PDI, dan PPP, akhirnya membuka babak baru demokrasi Indonesia yang terlanjur diwarnai munculnya gerakan di daerah memisahkan diri dari NKRI. Sementara itu, krisis ekonomi telah meluluhlantakan tatanan ekonomi Indonesia. Pemerintah pasca reformasi sudah kehabisan akal untuk mengeluarkan bangsa Indonesia dari krisis sosial ekonomi tak berkesudahan. Di tengah-tengah keterpurukan Indonesia, muncul lembaga donor internasional sebagai ‘malaikat’ penyelamat dengan skema bantuan berupa pinjaman. Sayangnya lembaga donor internasional yang diwakili oleh IMF dengan program restrukturisasi dan World Bank dengan program desentralisasinya, ternyata tidak hanya menolong Indonesia keluar dari krisis, akan tetapi semakin menjerumuskan Indonesia ke dalam jerat hutang internasional. Krisis ekonomi Asia di tahun 1997 membawa dampak jatuhnya penguasa militer di Indonesia. Situasi memaksa Indonesia untuk berpaling pada lembaga donor internasional untuk mendapatkan pinjaman, dan bantuanpun datang dalam bentuk program restrukturisasi berupa Structural Adjustment Programs (SAPs). Dalam pengawasan ketat dari lembaga donor, Indonesia kemudian meluncurkan program desentralisasi yang ekspansif. Pasca reformasi memunculkan rancangan perundangan baru mengenai desentralisasi pemerintahan dengan maksud memperbaiki sistem pemerintah otoriter masa lalu. Tidaklah mengherankan, undang-undang mengenai desentralisasi kemudian dirancang tanpa melihat kondisi nyata di daerah yang beragam. Perpindahan kekuasaan seketika dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah kemudian dirayakan dengan munculnya euphoria rakyat di daerah. Terbutakan oleh kekuasaan yang baru diperoleh dan terlalu banyaknya beban tanggung jawab dalam waktu singkat, pemerintah daerah berjuang keras untuk mengikuti perubahan. Pegawai pemerintah daerah di beberapa tempat menemukan cara baru untuk memperkaya diri, keluarga, dan kroninya. Ketika rakyat di daerah kemudian menyadari bahwa kepentingan mereka tidak penting bagi pemerintahnya yang hanya tertarik untuk memperkaya diri, merekapun perlahan mulai memperjuangkan hak-hak mereka. Seringkali perjuangan rakyat daerah mencetuskan kekerasan etnik dan keagamaan ketika rakyat daerah terbagi-bagi berdasarkan etnik dan agama. Di lain tempat, masih terdapat pasukan gerilya yang telah berjuang sejak lama untuk melawaan kesewenangan eksploitasi hasil alam oleh pemeirntah pusat seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh. Secara garis besar, pemerintah pusat menolak pelimpahan kewenangan pada pemerintah daerah demi mempertahankan kekuasaannya sedapat mungkin. Pemerintah pusat kemudian menarik kembali Undang-undang Pemerintah Daerah Nomor 22/1999 untuk direvis menjadi Undang-undang Pemerintah Daerah Nomor 32/2004 yang menyebabkan pemerintah daerah kembali sebagai obyek, menjadikan mereka curiga terhadap upaya mengembalikan kekuasaan pada pemerintah pusat. Oleh karena itu, peraturan mengenai desentralisasi kekuasaan politik, ekonomi, dan pemerintahan menyalakan konflik pemerintah pusat dan daerah sehingga mengantarkan Indonesia ke arah ketidakstabilan politik akibat ketidakjelasan pembagian kekayaan dan kekuasaan antara tiap tingkatan pemerintah dan munculnya revisi perundangan mengenai desentralisasi. Pola hubungan fungsional kelembagaan pusat dan daerah di Indonesia mengalami perubahan sangat drastis, dengan terbitnya Undang-undang Pemerintah Daerah Nomor 22
www.raconquista.wordpress.com
[email protected] tahun 1999, bergerak dari kekuasaan sentralistis kearah desentralisasi. Konstitusi Negara Indonesia adalah Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang mengatur kedudukan dan tanggung jawab penyelenggara negara; kewenangan, tugas, dan hubungan antara lembaga-lembaga negara (legislatif, eksekutif, dan yudikatif). UUD 1945 juga mengatur hak dan kewajiban warga negara. Sampai tahun 2002 telah dilakukan 4 kali amandemen terhadap UUD 1945 (konstitusi) yaitu: pertama pada tahun 1999; kedua pada tahun 2000; ketiga pada tahun 2001; dan keempat pada tahun 2002. Hubungan kelembagaan pusat dan daerah melibatkan lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Sistem pemerintahan Indonesia tidak lagi menganut pembagian kekuasaan, akan tetapi lebih kepada mekanisme checks and balances melalui pemisahan kekuasaan ketiga lembaga, Trias Politica, ala Montesquieu. Pola lama pembagian kekuasaan yang mengedepankan fungsi kelembagaan daripada pengkotak-kotakan hak dan kewajiban lembaga negara telah menyebabkan inefisiensi dan tumpang tindih kewenangan dengan lembaga eksekutif sebagai penguasa. Lembaga legislatif terdiri atas Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Selaku lembaga legislatif, DPR berfungsi mengawasi jalannya pemerintahan dan bersama-sama dengan pemerintah menyusun Undang-undang. Jumlah anggota DPR adalah 560 orang yang dipilih melalui Pemilihan Umum setiap lima tahun sekali. Pasca amandemen konstitusi IV, lembaga legislatif Indonesia berbentuk bicameral bukan unicameral seperti terdahulu. Namun bentuk parlemen dua kamar tersebut masih menimbulkan pertanyaan karena posisi MPR dengan struktur kepemimpinan dan organisasi yang berbeda dengan DPR maupun DPD menimbulkan kesan seolah sistem parlemen di Indonesia adalah tricameral (tiga kamar). Amandemen UUD 1945 telah mengarahkan sistem parlemen Indonesia menjadi dua kamar, dimana MPR tidak lebih daripada lembaga tinggi negara saja. Sedangkan masalah kewenangan dalam parlemen dua kamar masih berbeda antara DPR dan DPD. Pangkal polemik yang terjadi dalam mengatur kewenangan MPR adalah adanya UU Nomor 22/2003 tentang Susduk, menjadikan MPR seperti parlemen tiga kamar. Ketua MPR ketika tidak sedang menjalani sidang, kembali kepada fungsinya sebagai anggota DPR ataupun DPD dari tempat ia berasal. 25 Munculnya DPD dalam komposisi anggota DPR telah menimbulkan wacana amandemen V di MPR. MPR sebagai lembaga yang berwenang mengubah konstitusi sedang bergulat mengkaji perluasan kewenangan DPD setara dengan DPR. Persoalan kewenangan DPD yang demikian sempit, sebatas mengajukan rekomendasi atas peraturan yang berkaitan dengan konflik daerah dalam pembahasan DPR, ternyata menimbulkan kemandulan terhadap lembaga baru tersebut. Anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan langsung di daerah merasa kewenangannya tidak sebanding dengan kapasitasnya sebagai wakil suara rakyat daerah. Sementara itu, MPR setelah amandemen konstitusi IV telah ‘dikebiri’ kewenangannya dari pengemban kedaulatan rakyat tertinggi, diatas lembaga tinggi lain, namun sekarang menjadi setara dengan lembaga tinggi lainnya. MPR sebagai wadah joint session anggota DPR dan DPD untuk bertemu membahas permasalahan berkaitan dengan pergantian kepemimpinan puncak negara dan konstitusi ternyata merasa tidak berdaya lagi. Di tahun 2007, beberapa anggota MPR mengusulkan untuk untuk memperluas kewenangan lembaga dan mendapatkan banyak tantangan. Wacana ini dianggap oleh sebagian besar anggota DPR, bahkan Ketua DPR, Agung Laksono, sekalipun sebagai mengada-ada. Beliau mengatakan bahwa kewenangan pimpinan MPR ada dalam UUD 1945 tidak perlu dipertanyakan lagi, apalagi diperluas. Agung mensinyalir bahwa perluasan kewenangan sengaja dihembuskan untuk memberikan peluang anggota MPR mengisi kekosongan pekerjaan. Setelah amandemen IV, kewenangan MPR tereduksi menjadi lembaga yang amat terbatas kewenangannnya. Bahkan kewenangan terbatas tersebut menurut Direktor 25
Ibid, Gumay.
www.raconquista.wordpress.com
[email protected] Eksekutif Center for Electoral Reform, Hadar Gumay, harus diikuti dengan struktur harus sederhana dan bersifat ad-hoc. 26
Lembaga eksekutif, dengan presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi eksekutif berhak memimpin secara sah berdasarkan konstitusi dan memiliki kewenangan untuk menunjuk para menteri kabinet. President berfungsi sebagai kepala negara dan pemerintahan. Lembaga Eksekutif terdiri atas Presiden, yang dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh seorang wakil presiden dan kabinet. Di tingkat regional, pemerintahan provinsi dipimpin oleh seorang gubernur, sedangkan di pemerintah kabupaten/kotamadya dipimpin oleh seorang bupati/walikota. Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD 1945 dan dalam melaksanakan kewajibannya, presiden dibantu oleh seorang wakil presiden. Dalam sistem politik Indonesia, Presiden adalah Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan yang kedudukannya sejajar dengan lembaga tinggi negara lainnya. Presiden juga berkedudukan selaku mandataris MPR, yang berkewajiban menjalankan Garis-garis Besar Haluan Negara yang ditetapkan MPR. Presiden mengangkat menteri-menteri dan kepala lembaga non-departemen (TNI/Polri/Jaksa Agung) setingkat menteri untuk membantu pelaksanaan tugasnya. Lembaga yudikatif, yaitu Mahkamah Agung (MA) yang memiliki kewenangan peradilan, dipilih oleh presiden dari daftar kandidat yang disetujui oleh DPR. Mahkamah Agung (MA) adalah pelaksana fungsi yudikatif, yang kedudukannya sejajar dengan lembaga tinggi negara lainnya. MA bersifat independen dari intervensi pemerintah dalam menjalankan tugasnya menegakkan hukum dan keadilan, meski penunjukan para hakim agung dilakukan Presiden. Lembaga tinggi negara lainnya adalah Badan Pengawas Keuangan (BPK). Fungsi utama BPK adalah melakukan pemeriksaan keuangan pemerintah. Temuan-temuan BPK dilaporkan ke DPR, selaku badan yang menyetujui Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Di tingkat daerah, sebuah provinsi dikepalai oleh seorang gubernur sedangkan kabupaten/kotamadya dikepalai oleh seorang bupati/walikota. Saat ini terdapat 33 provinsi dan 450 kabupaten/kota. Sejak diberlakukannya UU Nomor 22/1999 tentang pelaksanaan Otonomi Daerah pada tanggal 1 Januari 2001, kewenangan pengelolaan daerah dititikberatkan ke Kabupaten, sehingga hubungan antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten lebih bersifat koordinasi. UU Nomor 22/1999 mengalami perubahan dengan dikeluarkannya UU Nomor 32/2004 yang menata ulang pola hubungan pemerintah pusat dan daerah dengan mengembalikan fungsifungsi pemerintah daerah yang bersifat strategis dan nasional ke pemerintah pusat. Terbitnya Undang-undang Nomor 32/2004 memicu kontroversi di daerah karena kecenderungan kembalinya sentralisasi kekuasaan. Hubungan lembaga legislatif, eksekutif, dan legislatif di tingkat daerah sama halnya dengan hubungan antarlembaga di tingkat nasional. Contohnya, tugas DPR Tingkat I adalah mengawasi jalannya pemerintahan di tingkat provinsi dan bersama-sama dengan Gubernur menyusun peraturan daerah. Lembaga yudikatif di tingkat daerah oleh Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri. Pada kenyataannya, pembagian kekuasan ketiga lembaga di pusat mewarnai praktek pembagian kekuasaan di daerah. Fungsi mahkamah agung di daerah digantikan oleh perwakilan aparatur penegak hukum di daerah berupa pengadilan tinggi daerah. Sedangkan kondisi ketatanegaraan pasca amandemen konstitusi IV, melahirkan lembagalembaga yang disebut sebagai komisi Negara atau lembaga Negara pembantu (state auxiliary agencies) yang dibentuk berdasarkan undang-undang dan peraturan perundangan 26
Hadar Gumay, “Gagasan Perluasan MPR Ditentang: Struktur Perlu Disederhanakan,” Kompas, 1 Februari 2007, hal. 7.
www.raconquista.wordpress.com
[email protected] lainnya. 27 Tidak kurang dari 50 bahkan lebih komisi Negara telah dibentuk, antara lain: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan lainnya. Kesemunya itu merupakan lembaga khusus yang menjalankan fungsi tertentu dan dalam pelaksanannya mengedepankan prinsip independensi. Bila melihat perbandingan pembentukan komisi di sejumlah Negara, misalnya Amerika Serikat, pembentukan komisi tersebut tercantum dalam konstitusi demi mengimbangi praktek penyelenggaraan pemerintah yang dilaksanakan oleh eksekutif. Komisi tersebut relatif independent. Begitu pula di Negara tetangga seperti Thailand dan Filipina, pembentukan komisi-komisi terlaksana seiring dengan pertumbuhan demokrasi dan perubahan konstitusi mereka. Permasalahan di Indonesia adalah keberadaan lembaga-lembaga tersebut ternyata belum terpetakan dalam konsep ketatanegaraan Indonesia. Sehingga dalam perjalanannya, komisi dapat terbentuk sebagai reaksi instant kebutuhan sesaat yang dituntut dari sistem politik saat tertentu saja, belum dipetakan kesinambungannya. Sehingga beberapa komisi dapat timbul dan tenggelam tanpa memiliki landasan pemikiran yang jelas. Oleh karena itu, perubahan sistem politik Indonesia yang cepat tanpa kejelasan sistem ketatanegaraan sangat mungkin disebabkan oleh pragmatisme politik yang seharusnya mengedepankan cita-cita bersama seperti yang tercantum dalam tujuan negara. Kemunculan ideologi-ideologi berlandaskan agama dan etnis tertentu akan sangat berbahaya karena pada akhirnya akan memunculkan konflik kepentingan. Akibatnya stabilitas negara akan terancam memupuskan proses demokrasi yang telah kita jalani dari tahun 10 tahun sejak 1998. Sudah saatnya kita memunculkan kembali ideologi pemersatu bangsa yang “mati suri” yaitu Pancasila. Hanya falsafah bangsa yang dapat mengatasi segala golongan etnis keagamaan. Baru setelah ideologi bangsa diperkuat, maka langkah selanjutnya akan lebih mudah termasuk melakukan studi akan kemungkinan berubahnya ketatanegaraan kita dan bahkan bangunan negara kita suatu masa nanti.
27
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional Bekerjasama dengan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara (Konsorsium Reformasi Hukum Nasional: Jakarta, 2005) 3.