SISTEM PENGENDALIAN SOSIAL DRS. PERTAMPILAN S. BRAHMANA, M.SI
[email protected] Fakultas Sastra Jurusan Sastra Indonesia Universitas Sumatera Utara BAB I 1.1 Pendahuluan Pada dasarnya dalam kehidupan manusia, manusia itu mengharapkan harmonisasi antar sesama manusia, dengan lingkungannya, namun untuk mewujudkan harmonisasi itu sulit terlaksana bila diserahkan kepada individu perindividu. Penyebabnya karena ada perbedaan kepentingan, dalam perebutan banyak hal seperti energi (sumberdaya) di antara sesama manusia itu atau di antara manusia dengan mahluk lainnya. Tujuan perebutan ini ada yang untuk hanya menyenangkan hatinya, menyenangkan kelompoknya, dan ada untuk kekuasaan: dengan memenangkan perebutan yang ada, seseorang bisa berkuasa, sehingga menguasai yang lain secara semena-mena. Maka agar terjadi sinergi dalam kehidupan manusia, sehingga ketika terjadi perebutan karena perbedaan kepentingan ini, agar manusia itu tidak saling memangsa perlu diatur tatacaranya. Tatacara ini dikenal dengan berbagai istilah yang berbeda-beda seperti adat istiadat, norma-norma, hukum dan sebagainya. Menurut Thomas Hobbes (Ritzer, 1992:34-35) bellum omniom contra omnes, masyarakat seperti tidak pernah aman dari pertikaian dan pertentangan. Manusia adalah serigala bagi sesama manusia dan hidup manusia adalah terkucil, miskin, jahat, kasar dan pendek. Pandangan Hobbes ini, ditentang oleh John Locke (16321704) (Laeyendecker, 1991: 84), dalam pandangan John Locke, tertib masyarakat terjadi karena interaksi bebas. Melalui interaksi bebas ini terjadilah lembagalembaga untuk misalnya mengatur hubungan-hubungan hak milik. Lembagalembaga mengatur kelakuan dan karenanya juga adalah kebebasan. Makanya kemudian oleh Hume (Laeyendecker, 1991: 88) dikatakan bahwa manusia adalah semata-mata suatu mahluk sosial. Sejak awal eksistensinya ia hidup di dalam keluarganya. Kenyataan yang tidak dipungkiri memang manusia adalah mahluk sosial. Dia tidak hidup sendiri, dia harus hidup berkelompok, di dalam kelompoknya dia terikat kepada satu sama lain dalam keterkaitan saling membutuhkan. Hidup berkelompok ini, dapat dalam jumlah besar, namun dapat pula dalam jumlah kecil, dengan maksud agar dapat saling tolong menolong untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama mulai dari keperluan yang sederhana sampai kepada keperluan yang sangat komplek sifatnya. Agar terlaksana hidup berkelompok secara damai dan aman, sudah tentu ada aturan-aturan yang harus dipatuhi, misalnya adat istiadat, hukum, norma-norma yang mengikat atau mengatur kehidupan kelompok tersebut baik dalam hal bergaul antar sesama maupun dalam memanfaatkan saran dan fasilitas bersama. Aturanaturan ini sifatnya mulai dari yang kongkrit dan jelas sampai kepada yang ideal misalnya pandangan hidup, kepercayaan dan sebagainya. Melalui aturan-aturan yang mengikat ini akan membatasi, mengendalikan perilaku masyarakat tersebut menuju arah tujuan yang hendak dituju. Pembatasan disebut pengendalian sosial.
©2003 Digitized by USU digital library
1
Dalam kaitan ini apa yang dikatakan oleh Umar bin Khatab yang mengatakan manusia dilahirkan bebas dan merdeka, tidak benar. Manusia dilahirkan untuk tidak bebas dan tidak merdeka. Atau masih dalam jalur pengertian Umar bin Khatab di atas, manusia dilahirkan bebas dan merdeka di dalam tanggungjawab. Kalau manusia dilahirkan bebas dan merdeka tanpa disertai dengan tanggungjawab, yang ada hanyalah kekacauan, justru yang kuat ototnyalah yang berkuasa. Lebih lanjut dikatakannya (Laeyendecker, 1991: 79-80) sifat manusia hanyalah dapat diketahui dari cara manusia berkelakuan... gerakan-gerakan manusia di satu pihak timbul dari reaksi terhadap pengaruh-pengaruh ekstern dan di lain pihak dari kecenderungan untuk menghindari segala sesuatu yang mungkin akan mendekatkan kematian kepadanya. Manusia menurut alamnya, juga cenderung untuk meneruskan meneruskan gerakan ini. Ini pun mempunyai dua aspek. Manusia mengenal rangsangan-rangsangan untuk meneruskan gerakan itu dan rangsanganrangsangan untuk menghindarkan segala sesuatu yang mungkin akan dapat menghentikan gerakan tersebut. Rangsangan yang terpenting adalah keinginan akan kekuasaan. Kekuasaan adalah sebagai sarana waktu sekarang untuk memperoleh sesuatu yang tampak baik di waktu yang akan datang. Hobbes membedakan antara kekuasaan alamiah yang bertumpu pada keunggulan kemampuan-kemampuan jasmani dan rohani. Lebih lanjut dijelaskan oleh Hobbes setiap orang, sedikit banyak berusaha memperoleh kekuasaan karena kekuasaan akhirnya perlu untuk memungkinkannya agar bertahan hidup. Sekarang apa akibat yang dihasilkan oleh usaha manusia memperoleh kekuasaan, Hobbes menjelaskannya dalam keadaan seperti ini (perebutan kekuasaan, pen) tidak terdapat otoritas pusat yang dapat menjamin tertib masyarakat dan pengaturannya. Maka berkecamuklah perang semua melawan semua. Menurut Thomas Hobbes suatu masyarakat tidak mungkin hidup tanpa adanya suatu unsur yang berdaulat. Pemegang kedaulatan itu tugasnya mengeluarkan perintah-perintah yang merupakan hukum. Pada tahap kehidupan pra hukum atau pra sosial atau alamiah, manusia saling menghancurkan. Untuk menghentikan keadaan demikian, menurut Hobbes, diperlukan pemenuhan dua syarat. Syarat pertama adalah berfungsinya hukum yang menurut Hobbes berintikan penegakkan ketertiban. Syarat kedua berkaitan dengan prasyarat struktural atau institusional eksistensi hukum yakni adanya kedaulatan politik yang seragam dan terpusatkan. Hobbes menyederhanakan keadaan tanpa hukum dengan situasi tanpa ketertiban (Soekanto, 1988:35). Apa yang dikemukakan Thomas Hobbes adalah awal terbentuknya pengendalian sosial moderen. Dalam pengendalian sosial moderen ini tindakan individu dalam kehidupan bermasyarakat tidak dipandang sebagai tingkah laku biologis tetapi sebagai tingkah laku yang mempunyai makna sosial. Tingkah laku individu itu selalu dapat diberi tempat dalam suatu hubungan sosial tertentu, sehingga hal itu merupakan tindakan yang berstruktur. Dengan demikian, tingkah laku individu selalu mendapat tempat dalam kerangka sistem sosial yang terbagi dalam berbagai sub-sistem (Soemitro, 1985:69). Sedangkan dalam masyarakat tradisional, pengendalian sosial dilakukan secara sederhana. Artinya pengendalian sosial yang terjadi hanya tegas dalam halhal tertentu saja. Ini berkait dengan masalah sosial yang ada pada masyarakat tradisional tidak sebanyak dan serumit pada masyarakat moderen. Dalam hal mata pencarian hidup, misalnya masalah-masalah sosial yang muncul dapat dikatakan minim sekali, hal ini karena lingkungan keluarga dan lingkungan alam masih mampu memberikan penghidupan kepada masyarakat tradisional. Masyarakat tradisional masih bebas membuka lahan untuk menciptakan lapangan kerja, sedangkan pada masyarakat moderen, tidak demikian. Lahan semakin sempit, masyarakat yang
©2003 Digitized by USU digital library
2
membutuhkannya semakin banyak, akibatnya, dalam hal perebutan lapangan kerja menjadi sulit dan bersaing. Demikian juga dengan dukungan keluarga, keluarga dalam masyarakat tradisional, masih mampu memberikan lapangan kerja kepada anggota keluarga dari sektor pertanian, karena masyarakat tradisional memiliki lahan dan kebun yang memadai, namun dalam masyarakat moderen, lahan kepemilikan tanah semakin sempit, bahkan ada keluarga moderen sama sekali tidak memiliki lahan walau hanya untuk mendirikan rumah sendiri, apalagi punya lahan persawahan yang dapat dijadikan matapencaharian hidup. Hal inilah yang menyebabkan masalah-masalah sosial dalam masyarakat moderen semakin banyak dan rumit. Kalau masalah ini tidak ditangani secara baik, masyarakat itu punya kecenderungan saling menghancurkan hanya untuk merebut lapangan kerja. Dalam konteks inilah pernyataan Thomas Hobbes di atas dapat dipahami dalam konteks masyarakat moderen. Dalam masyarakat moderen, masyarakat tidak mungkin hidup aman tanpa adanya suatu unsur yang berdaulat. Pemegang kedaulatan itu tugasnya mengeluarkan perintah-perintah yang merupakan hukum yang harus ditaati segenap masyarakat. Hal ini pula yang menyebabkan bentuk-bentuk pengendalian sosial dan moderen berbeda, bentuk, cara dan paradigmanya, baik terhadap sanksi yang akan diterapkan maupun terhadap metode pendekatannya. 1.3 Perbedaan Antara Pengendalian Sosial Yang Bersumber (Politik)
Dari Adat Dan Negara
1.3.1 Adat Istiadat Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian adat (1) aturan (perbuatan dan sebagainya) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala, (2) kebiasaan; cara (kelakuan dan sebagainya yang sudah menjadi kebiasaan, (3) cukai menurut peraturan yang berlaku (dipelabuhan dan sebagainya), (4) wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturanaturan yang satu dengan yang lainnya berkaitan menjadi suatu sistem. Adat berbeda dengan kebudayaan. Menurut Koentjaraningrat, (1974:19,27) kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya. Sedangkan adat adalah merupakan wujud ideel dari kebudayaan yang berfungsi sebagai tata kelakuan. Sedangkan adat merupakan wujud ideal dari kebudayaan yang berfungsi sebagai tata kelakuan. Radcliffe-Brown percaya akan adanya suatu kompleks ide-ide umum yaitu adat yang berada di atas individu yang sifatnya mantap dan kontinyu dan yang mempunyai sifat memaksa (Koentjaraningrat, 1974:27-28). Kebudayaan mempunyai tiga wujud yaitu wujud ideel, wujud kelakuan dan wujud fisik. Sedangkan adat adalah wujud ideal dari kebudayaan atau disebut juga wujud tatakelakuan, karena fungsi adat sebagai pengatur kelakuan. Adat dapat dibagi empat tingkatan (1) tingkat nilai budaya, (2) tingkat norma-norma, (3) tingkat hukum, (4) tingkat aturan khusus. 1. Tingkat Nilai. Tingkat ini adalah lapisan yang paling abstrak, karena merupakan ide-ide yang mengkonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat, tingkat ini berakar dalam bagian emosional dari dalam jiwa manusia. Tingkatan ini disebut juga sistem nilai budaya. 2. Tingkat Norma-Norma. Tingkatan ini lebih kongkrit yang merupakan sistem norma. Norma-norma ini adalah nilai-nilai budaya yang sudah terkait kepada peranan-peranan tertentu dari manusia di dalam masyarakat.
©2003 Digitized by USU digital library
3
3. Tingkat Hukum. Tingkat ini jauh lebih kongkrit dari yang kedua, adalah sistem hukum. 4. Tingkat Aturan Khusus. Tingkat yang trakhir ini adalah aturan-aturan khusus yang mengatur aktivitas-aktivitas yang jelas dan terbatas ruang lingkupnya dalam kehidupan masyarakat. Adapun fungsi adat adalah untuk mengatur hubungan antar sesama warga, untuk mengatur hubungan antara manusia dengan alam (lingkungan hidup) yang mencakup manusia dalam hubungannya dengan kepercayaan, upacara kelahiran, upacara kematian, upacara perkawinan dan lainnya. Juga untuk mengatur manusia dalam hubungannya dengan lingkungan alam, hubungan manusia dengan Tuhan (agama) Kemudian di dalam adat ada sifat: 1. Masih menjunjung Tinggi hal-hal yang gaib, seperti Tuhan dalam kaitan demi kebaikan bersama. 2. Sanksinya berupa pengucilan oleh warga. 3.Alat pengendalinya adat istiadat, nilai-nilai atau norma-norma, kebiasaankebiasaan yang berlaku di dalam lingkungan masyarakat itu. 4. Hasil dari pengendalian untuk kebaikan bersama di dalam kelompok masyarakat tersebut. 1.3.2 Negara Negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut dari warganegara ketaatan pada peraturan perundang-undangan melalui penguasaan monopolitis dari kekuasaan yang sah (Cahyono dan Alhakim, 1982:216). Dari definisi ini jelas bahwa untuk mengendalikan masyarakat agar taat dan patuh kepada pejabat yang memerintah, dibuatlah peraturan perundang-undangan, seperti undang-undang dasar, hukum apakah itu hukum negara dan atau mengakui eksistensi hukum adat, dan sebagainya yang sifatnya mengikat dan ada hukuman bagi warga yang tidak melaksanakannya, termasuk di dalamnnya adat-istiadat dari etnik yang ada yang tidak menimbulkan atau merugikan pihak lain dalam pelaksanaannya dan tidak bertentangan dengan hukum positip negara. Inilah yang mengendalikan masyarakat di dalam suatu negara. Peraturan yang dibuat negara tersebut, khususnya bagi negara Indonesia, masih tetap: 1. Menjunjung tinggi hal-hal yang gaib, seperti Tuhan, akan tetapi penjunjung itu untuk membenarkan kebijaksanaan, keputusan yang diambil. Bahkan bila perlu sebagai alat melegitimasi kebijaksanaan tersebut dalam kaitan kepentingan politik tertentu. 2. Sanksinya jelas berupa hukuman fisik yang bersifat memaksa. 3. Alat pengendalinya peraturan, undang-undang, hukum yang sifatnya tertulis dan dilegalisasi oleh badan-badan tertentu yang sah. 4. Hasil dari pengendalian untuk atas nama kepentingan bersama, baik antar masyarakat maupun antar pejabat dengan pengelola negara. 1.4 Kedudukan Pengendalian Di Dalam Unsur Kebudayaan Secara umum Koentjaraningrat (Koentjaraningrat, 1974:18) membagi wujud kebudayaan atas tiga wujud. Pertama wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma dan peraturan dan sebagainya. Ini disebutnya dengan wujud ideal dari kebudayaan. Sifatnya abstrak, tidak dapat diraba atau difoto. Lokasinya ada di dalam kepala-kepala. Dalam bahasa
©2003 Digitized by USU digital library
4
lain, wujud ini berada dalam alam pikiran dari warga masyarakat dimana kebudayaan yang bersangkutan hidup. Kebudayaan ideal ini dapat juga disebut adat tata kelakuan. Fungsinya sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendali dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Kedua wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitet kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujud kedua ini sering disebut sistem sosial, mengenai kelakuan berpola dari manusia itu. Sistem sosial ini terdiri dari aktifitas-aktifitas manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan yang lain, yang selalu menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sebagai rangkaian aktifitas manusia-manusia dalam suatu masyarakat, maka sistem sosial itu bersifat kongkret, terjadi di sekeliling kita, dapat diobservasi, difoto dan didokumentasikan. Ketiga wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud ini disebut juga kebudayaan fisik. Ketiga wujud kebudayaan ini dalam kehidupan sehari-hari tidak berdiri sendiri-sendiri, namun satu rangkaian yang bersifat timbal balik, yang satu mempengaruhi yang lain. Misalnya kebudayaan ideal dan adat istiadat mengatur dan memberi arah kepada perbuatan dan karya manusia. Jadi berdasarkan wujud yang ada, sistem pengendalian sosial termasuk ke dalam wujud yang kedua. Dalam sejarah kehidupan manusia di muka bumi ini masalah metode pengendalian sosial ini bukanlah masalah baru, masyarakat yang sederhana sekali pun telah mengenal pengendalian sosial. Adanya pembagian tugas pada masyarakat tradisional adalah salah satu bentuk pengendalian sosial yang mereka miliki. Para pria pergi berburu dan si wanita menjaga anak-anaknya. Berdasarkan keterangan ini, sebenarnya kasus pengendalian sosial dalam kehidupan manusia di muka bumi ini, bukanlah masalah baru, yang baru mungkin dalam cara merumuskan karena harus dikemas sesuai dengan perkembangan jaman dan pradapan manusia itu sendiri. 1.5 Pengendalian Sosial Ibarat Mata Uang Bersisi Dua Pengendalian Sosial ibarat mata uang bersisi dua, namun tujuan kedua sisi ini sama yaitu bagaimana mengendalikan masyarakat beserta kelompok-kelompoknya agar mereka dapat hidup tentram, damai sesuai dengan ajaran agama, tujuan negara dan hakekat hidup. Sisi pertama walaupun berisi pelanggaran penindasan, perampasan hak asasi manusia bahkan sampai merenggut nyawa manusia itu sendiri, tetap bertujuan untuk mengendalikan manusia agar jangan sampai perilakunya, melahirkan pelanggaran hak asasi manusia yang lebih besar. Sisi kedua adalah sebaliknya dari sisi pertama yaitu berisi perlindungan, penegakkan hak asasi manusia itu sendiri. Kedua sisi bertujuan untuk melindungi, menegakkan hak asasi manusia itu sendiri, agar manusia disatu sisi manusia bebas berkarya, berbuat, tanpa diganggu, disisi lain, dalam manusia bebas berkarya, berbuat, tanpa diganggu itu dilakukannya tidak dengan melanggar hak asasi orang lain. Contoh problematik ini seperti yang dikemukakan oleh Sainoi di situs Indopubs di internet, (Sainoi:
[email protected], Date: Tue Dec 19 2000), masalah penahanan Theys dan kawan-kawan dari gerakan Papua Merdeka dan Muhammad Nazar dan kawan-kawan dari SIRA (Sentral Informasi Referendum Aceh) Aceh, dalam kaitan aktifitas mereka. Sainoi, mengatakan penahanan Theys dan kawan-kawan dari Papua dan juga Muhammad Nazar dan kawan-kawan dari SIRA Aceh, jelas-jelas tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia, dan ini jelas-jelas melanggar hak asasi manusia. Namun mengingat aktifitas mereka berdua di wilayahnya yang jelas-jelas ingin memerdekakan Papua dan Aceh (khusus SIRA Aceh ini belum menuntut merdeka
©2003 Digitized by USU digital library
5
seperti Papua, tetapi referendum yang berisi opsi, bergabung dengan negara kesatuan Republik Indonesia atau Merdeka; yang jelas-jelas menuntut merdeka adalah GAM (Gerakan Aceh Merdeka, penulis) lepas dari negara kesatuan RI, mereka terpaksa ditahan sebagai bentuk pengendalian terhadap aktifitas mereka. Sebab bila mereka dilepas, dan mereka meneruskan aktifitas mereka, justru akan melahirkan puluhan, ratusan bahkan bisa ribuan pelanggaran hak asasi manusia. Korban terbesar dari pelanggaran hak asasi manusia ini justru antara lain para pendatang, atau dari masyarakat setempat yang tidak berdosa. Maka dampak dari semakin menguatnya gerakan separatis ini, justru melahirkan masalah baru yang jauh lebih besar daripada hanya menahan beberapa orang dari tokoh gerakan separatis Papua Merdeka dan SIRA Aceh. Memang benar penahanan mereka tidak menyelesaikan masalah, namun pelepasan mereka juga bila tidak disertai dengan syarat-syarat yang melegakan sebagian besar dari rakyat Indonesia, justru akan melahirkan masalah baru. Maka penahanan mereka diharapkan meminimalkan masalah. Bila melihat UUD 45 sebenarnya penegakkan HAM di Indonesia bukan penegakkan HAM perindividu, tetapi penegakkan HAM dilihat dalam kerangka kepentingan terbesar dari seluruh rakyat Indonesia, seperti yang tertulis di dalam pembukaan UUD 45, pemerintah negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tanah tumpah darah Indonesia untuk memajukan kesejehteraan umum bukan dituliskan pemerintah negara Indonesia melindungi perindividu bangsa Indonesia. Logikanya, bila melindungi segenap bangsa Indonesia, berarti HAM individu-individu sudah terlindungi secara benar, namun bila melindungi perindividu bangsa Indonesia, jelas tidak melindungi segenap bangsa Indonesia. Ini berarti isu-isu HAM yang tidak sejalan dengan pembukaan UUD 45 di atas, seperti prinsip-prinsip hak asasi manusia seperti yang diatur di dalam Deklarasi Universal HAM PBB 1948 beserta konvensi atau aturan lain pendukungnya, pelaksananya hanya kasuistis. Ketika semakin banyak terjadi pelanggaran HAM terhadap masyarakat Indonesia, maka prinsip-prinsip hak asasi manusia seperti yang diatur di dalam Deklarasi Universal HAM PBB 1948 beserta konvensi atau aturan lain pendukungnya, tidak mutlak dipatuhi. Prinsip-prinsip hak asasi manusia seperti yang diatur di dalam Deklarasi Universal HAM PBB 1948 beserta konvensi atau aturan lain pendukungnya, bukan prinsip hak asasi semesta, tetapi prinsip hak asasi individu. Dalam kaitan inilah maka pengendalian sosial itu ibarat mata uang bersisi dua. Sisi pertama yang berisi pelanggaran HAM bertujuan untuk menegakkan HAM itu sendiri, sedangkan sisi kedua penegakkan HAM itu sendiri tanpa melalui pelanggaran HAM itu sendiri.
©2003 Digitized by USU digital library
6
BAB II ISTILAH-ISTILAH 2.1 Pendahuluan Sebelum membicarakan masalah pengendalian sosial ini ada tiga istilah yang perlu dijelaskan terlebih dahulu. Istilah-istilah tersebut adalah Sistem Pengendalian Sosial, Pengendalian Sistem Sosial, dan Pengendalian Sosial 2.2 Sistem Pada dasarnya sistem mengandung dua makna, pertama sistem sebagai wujud benda (entitas) dan kedua sistem sebagai metode, tatacara, rencana untuk mencapai sesuatu tujuan. Sebagai wujud benda sistem didefinisikan bermacam-macam, ada yang mendefinisikan sebagai suatu himpunan dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan. Sedangkan sebagai metode, tatacara, rencana untuk mencapai sesuatu tujuan sistem diartikan sebagai cara atau penerapan metode ilmiah untuk memecahkan sesuatu persoalan. Namun, walaupun pengertian sistem sebagai wujud benda dan pengertian sebagai metode, tatacara, rencana untuk mencapai sesuatu tujuan, berbeda, namun keduanya tidak mempunyai perbedaan yang berarti, sebab ketertiban, keteraturan dan adanya struktur merupakan hal yang mendasar bagi keduanya. Sistem sebagai metode, tatacara, rencana untuk mencapai sesuatu tujuan, mempunyai ciri utama. Bertalanffy, Russel L. Ackoff dan A. Angyal menjelaskan (Kantaprawira, 1990:12) ciri utama sistem adalah sebagai berikut (1) keterintegrasian (integration), (2) ketera-turan (regularity), (3) keutuhan (wholeness), (4) keter-organisasian (organization), (5) keterlekatan komponen satu sama lain (coherence), (6) keterhubungan komponen satu sama lain (coherence) dan, (7) kebergantungan kom-ponen satu sama lain (interdependence). Maka sistem itu dianggap suatu pola yang mekanismenya terus-menerus dan relatif tetap. Sedangkan unsur sistem sosial menurut Alvin L. Bertrand (Taneko, 1987:27), ada sepuluh ada sepuluh (1) keyakinan/pengetahuan, (2) perasaan/ sentimen, (3) tujuan, sasaran atau cita-cita, (4) norma, (5) kedudukkan-peranan, (6) tingkatan atau pangkat ( rank ), (7) kekuasaan atau pengaruh ( power ), (8) sanksi, (9) sarana atau fasi-litas, (10) tekanan-ketegangan ( stress-strain ). Sedangkan Amirin, (1992:54) menjelaskan (1) Secara umum tujuan sistem adalah mencapai sesuatu yang bernilai, tujuan ini bisa lebih dari satu, kriteria prioritas tujuannya adalah kualitas, kuantitas, waktu dan biaya, antara kriteria yang satu dengan dengan kriteria yang lain bisa terjadi bertolak belakang. (2) Sistem mempunyai "batas", batas sistem bisa berwujud fisik, bisa berwujud konseptual, yang di dalam batas disebut sistem dan di luar batas disebut lingkungan. Arus yang masuk ke dalam sistem disebut input dan arus yang keluar disebut out put, (3) Sistem bersifat terbuka, maksudnya sistem dapat berhubungan dengan lingkungannya. (4) Sistem terdiri dari beberapa sub-sistem. Sistem juga terdiri dari sub-sub sistem. Namun demikian suatu sistem merupakan subsistem dari sistem yang lebih luas, lebih tinggi kedudukkannya, (5) Sistem merupakan satu kebulatan yang utuh. Sistem terdiri dari berbagai bagian, unsur atau komponen. Semua ini tetap merupakan satu kebulatan keseluruhan yang bermakna, bukan kumpulan bagian-bagiannya. (6) Sistem saling berhubungan dan saling berkaitan secara internal maupun eksternal. Maksudnya unsur-unsur antara satu sistem yang lain, saling berhubungan dan saling bergantung secara timbal balik, baik terhadap sesama sistem dan subsistem, maupun dengan lingkungannya. (7) Sistem melakukan kegia-
©2003 Digitized by USU digital library
7
tan transformasi. Sistem merupakan pengolah, pemroses masukan (input) dan keluaran (output). (8) Sistem memi-liki mekanisme kontrol. Dengan adanya umpan balik, sistem mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri sendiri. Umpan balik ini berupa informasi hasil keluaran sistem, dan umpan balik ini ada yang bersifat positip dan ada yang bersifat negatif. (9) Sistem mampu mengatur diri sendiri dan menyesuaikan diri dengan diri sendiri. 2.3 Pengendalian Kendali artinya kekang. Mengendalikan artinya menguasai kendali, memegang pimpinan. Pengendalian, artinya proses, atau cara atau perbuatan mengendalikan atau pengekangan. Dalam bidang sosial tujuan pengendalian ini adalah (1) untuk menjaga agar tatatertib yang ada dalam masya-rakat yang telah disepakati bersama dapat dijalankan dengan sebaik-baiknya, (2) untuk melindungi hak asasi masyarakat dari tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh warga lain, (3) untuk menjaga kepentingan warga, baik kepentingan sosial, ekonomi, budaya maupun lainnya, (4) untuk menjaga kelangsungan hidup/kesatuan kelompok, (5) untuk menjaga proses pembentukan kepribadian sesuai dengan keinginan kelompok, (6) untuk menjaga agar tidak terjadi chaos dalam masyarakat. Jadi tujuan pengendalian ini dalam tiap-tiap bidang saling berbeda. Tergantung bidang apa. Namun secara garis besarnya tujuan akhir pengendalian ini adalah untuk ketertiban dalam kaitan menjaga kelangsungan hidup masyarakat. 2.4 Sistem Sosial dan Lembaga Sosial Sistem Sosial adalah suatu jaringan dimana bagian-bagian/elemen-elemen jaringan tersebut saling pengaruh mempengaruhi secara deterministik. Atau menurut Soleman B. Taneko (Taneko 1994:10) Sistem Sosial dapat diartikan sebagai suatu keseluruhan dari unsur-unsur sosial yang berkaitan dan berhubungan satu sama lain, dan saling pengaruh mempengaruhi dalam suatu kesatuan. Namun dapat pula diartikan adalah kumpulan individu yang terorganisir dan memiliki kepentingan bersama. Sistem sosial dapat pula diartikan sebagai suatu perangkat peran sosial yang berinteraksi; atau kelompok sosial yang memiliki nilai - norma - dan tujuan yang sama. Lebih lanjut Talcott Parsons memberikan batasan tentang sistem sosial yaitu Sistem sosial ialah proses interaksi di antara para pelaku sosial (actor), sedangkan yang merupakan struktur sistem sosial adalah relasi antara pera pelaku sebagaimana yang terlibat dalam proses interaksi (Garna, 1996:145-146) Uraian Parsons itu menjelaskan bahwa satuan yang utama dari sistem sosial terdiri dari kolektifitas dan peranan. Pola utama atau lebih jelasnya relasi yang mengkaitkan satuan-satuan adalah nilai-nilai dan norma. Berbagai jenis status dan posisi dan peranan yang saling terkait dari mereka yang berinteraksi itu (dalam keluarga, pertemanan, penjara, universitas, kelompok dan masyarakat) dapat dianggap sebagai suatu sistem sosial karena mereka membentuk suatu keseluruhan yang bersatu dengan memperhatikan nilai-nilai, norma dan tujuan serupa. Sistem sosial ini mencakup (1) merupakan sekelompok orang plus kegiatannya, tatacara, norma, nilai yang semuanya menerapkan satu kesatuan. Contoh adalah keluar-ga (sistem sosial terkecil) (2) mempunyai batas-batas yang dapat dibedakan dengan sistem sosial yang lain, (3) di dalamnya ada hubungan timbal balik yang bersifat konstan (tetap). Sistem sosial dibentuk oleh manusia, dipertahankan dan diubah atas kehendak manusia.
©2003 Digitized by USU digital library
8
2.5 Sistem Pengendalian Sosial Sistem Pengendalian Sosial adalah cara atau bagaimana mengendalikan masyarakat itu agar perilakunya tidak sampai menimbulkan masalah-masalah sosial baru, yang dapat merugikan pihak-pihak lain, atau misalnya munculnya anarki. Anarki dapat merugikan semua pihak baik bagi pelakunya sendiri maupun bagi lingkungannya. Maka obyek atau sasarannya adalah masalah manusia. Cara mengendalikan masyarakat ini ada dua yaitu langsung dan tidak langsung. Pengendalian sosial yang bersifat langsung misalnya perintah tembak ditempat, ditangkap. Pengendalian sosial secara tidak langsung dapat pula dibagi dua, pertama melalui lembaga-lembaga sosial yaitu bisa dengan banyak mendirikan lembaga-lembaga sosial tempat masyarakat menyalurkan aspirasi atau keinginannya, membina masyarakat melalui lembaga-lembaga yang sudah ada misalnya melalui departemen pendidikan dan kebudayaan, melalui organisasi kepemudaan, mensejahterakan masyarakat melalui program-program pembangunan yang dijalankan, dan kedua melalui rekayasa-rekayasa isu misalnya, dengan isu OTB, PKI, Subersiv dan sebagainya. 2.6 Pengendalian Sistem Sosial-Lembaga Sosial Pengendalian Sistem Sosial adalah cara mengendalikan sistem sosial-lembaga sosial. Sasaran utama pengendaliannya adalah sistem sosial atau lembaga sosial itu sendiri, agar dapat berfungsi sesuai dengan fungsinya dalam kaitan mengendalikan masyarakat. Menurut Taneko (1994:10) Sistem Sosial dapat diartikan sebagai suatu keseluruhan dari unsur-unsur sosial yang berkaitan dan berhubungan satu sama lain, dan saling pengaruh mempengaruhi dalam suatu kesatuan. Namun dapat pula diartikan adalah kumpulan individu yang terorganisir dan memiliki kepentingan bersama. Sistem sosial ini mencakup (1) merupakan sekelompok orang plus kegiatannya, tatacara, norma, nilai yang semuanya menerapkan satu kesatuan. Contoh adalah keluarga (sistem sosial terkecil) (2) mempunyai batas-batas yang dapat dibedakan dengan sistem sosial yang lain, (3) di dalamnya ada hubungan timbal balik yang bersifat konstan (tetap). Sistem sosial dibentuk oleh manusia, dipertahankan dan diubah atas kehendak manusia. Sistem sosial ini didukung oleh lembaga sosial. Menurut Margono Slamet (Taneko, 1994:32) adapun unsur-unsur sistem sosial ini adalah (1) keluarga, (2) ekonomi, (3) pemerintahan, (4) agama dan norma-norma, (5) pendidikan dan penerangan umum, (6) kelas masyarakat. Sedangkan menurut Soerjono Soekanto (Taneko, 1994:33-34) unsur-unsur pokok sistem sosial ini adalah (1) kepercayaan yang merupakan pemahaman terhadap semua aspek alam semesta yang dianggap sebagai suatu kebenaran mutlak, (2) perasaan dan pikiran yakni suatu keadaan jiwa manusia yang menyangkut keadaan sekelilingnya baik yang bersifat alamiah maupun sosial, (3) tujuan yang merupakan suatu cita-cita yang harus dicapai dengan cara mengubah sesuatu atau mempertahankannya, (4) kaidah atau norma yang merupakan pedoman untuk bersikap atau berperilaku pantas, (5) kedudukkan dan peranan. Kedudukkan merupa-kan posisi-posisi tertentu secara vertikal, sedangkan peranan adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban, baik secara struktural maupun prosedural, (6) pengawasan yang merupakan proses yang bertujuan untuk mengajak, mendidik atau bahkan memaksa warga masyarakat untuk mentaati kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat, (7) sanksi yakni persetujuan atau penolakkan terhadap perilaku tertentu, persetujuan terhadap
©2003 Digitized by USU digital library
9
perilaku tertentu dinamakan sanksi posi-tip, sedangkan penolakkan dinamakan sanksi negatif, (8) fasilitas yang merupakan sarana untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai dan ditentukan terlebih dahulu, (9) keserasian dan kelangsungan hidup, (10) keserasian antara kualitas hidup dengan lingkungan. Lembaga sosial atau institusi sosial adalah suatu sistem yang menunjukkan bahwa peranan sosial dan norma-norma saling berkaitan guna memuaskan suatu kehendak atau fungsi sosial. Dalam lembaga sosial ini setiap individu akan memainkan peranan yang beraneka ragam atau memiliki peranan ganda tergantung posisinya. Istilah lembaga atas institusi ini menunjukkan kepada pola tingkah laku yang disepakati, maka melalui institusi atau lembaga merupakan menjadi cara atau alat yang standar untuk mengatasi berbagai masalah masyarakat. Pengertian lembaga atau institusi sosial digunakan untuk tiga hal (1) untuk merujuk suatu badan, seperti universitas, perkumpulan, (2) organisasi yang khusus, atau disebut pula institusi total, seperti penjara, rumah sakit dan (3) suatu pola tingkah laku yang telah menjadi biasa atau suatu pola relasi sosial yang memiliki tujuan sosial tertentu, Menurut Gilian dan Gilian (Soekanto, 1996:233), lembaga atau institusi sosial ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Dari Sudut Perkembangannya. Crescive Institusions dan enacted institusions yang merupakan klasifikasi dari sudut perkembangannya. Crescive Institusions yang juga disebut lembaga-lembaga paling primer, merupakan lembaga-lembaga yang secara tak sengaja tumbuh dari adat istiadat masyarakat. Contohnya adalah hak milik, perkawinan, agama dan seterusnya. Enacted institusions dengan sengaja dibentuk untuk memenuhi tujuan tertentu, misalnya lembaga utang-piutang, lembaga perdagangan dan lembaga-lembaga pendidikan, yang kesemuanya berakar pada kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat. Pengalaman melaksanakan kebiasaan-kebiasaan tersebut kemudian disistematisasi dan diatur untuk kemudian dituangkan ke dalam lembaga-lembaga yang disahkan oleh negara. 2. Dari sudut sistem nilai-nilai yang diterima masyarakat, timbul klasifikasi atas Basic Institusions dan Subsidiary institusions. Basic Institusions dianggap sebagai lembaga kemasyarakatan yang sangat penting untuk memelihara dan mempertahankan tata-tertib dalam masyarakat. Dalam masyarakat Indonesia, misalnya keluarga, sekolah-sekolah, negara dan lain sebagainya dianggap sebagai basic institusions yang pokok. Sebaliknya adalah subsidiary-institusions yang dianggap kurang penting misalnya kegiatan-kegiatan untuk rekreasi. Ukuran apakah yang dipakai untuk menentukan suatu lembaga kemasyarakatan dianggap sebagai basic atau subsidiary, berbeda di masing-masing masyarakat. Ukuran-ukuran tersebut juga tergantung dari masa hidup masyarakat tadi berlangsung. Misalnya sirkus pada zaman Romawi dan Yunani Kuno dianggap sebagai basic institusions; pada dewasa ini kiranya tak akan dijumpai suatu masyarakat yang masih mempunyai keyakinan demikian. 3. Dari sudut penerimaan masyarakat dapat dibedakan approved atau social sanctioned-institusions dengan unsanctioned institusions. Approved atau social sanctioned institusions adalah lembaga-lembaga yang diterima masyarakat seperti misalnya sekolah, perusahan dagang dan lain-lain. Sebaliknya adalah unsanctioned institusions yang ditolak oleh masyarakat, walau masyarakat kadang-kadang tidak berhasil memberantasnya. Misalnya kelompok penjahat, pemeras, pencoleng dan sebagainya. 4. Dari Sudut Penyebarannya. Pembedaan antara general institusions dengan restricted institusions, timbul apabila klasifikasi tersebut didasarkan pada faktor penyebarannya. Misalnya agama merupakan suatu general institusions, karena dikenal oleh hampir semua masyarakat dunia. Sedangkan agama-agama Islam,
©2003 Digitized by USU digital library
10
Protestan, Katolik, Budha dan lainnya merupakan restricted institusions, oleh karena dianut oleh masyarakat-masyarakat tertentu di dunia ini. 5. Sudut fungsinya terdapat pembedaan operative institusions dan regulative institusions. Yang pertama berfungsi sebagai lembaga yang menghimpun polapola atau tata-cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan lembaga yang bersangkutan, seperti misalnya lembaga industrialisasi. Yang kedua, bertujuan untuk mengawasi adat-istiadat atau tata-kelakuan yang tidak menjadi bagian mutlak lembaga itu sendiri. Suatu contoh adalah lembaga-lembaga hukum seperti kejaksaan, pengadilan dan sebagainya. Ciri-ciri lembaga sosial ini menurut Gilian dan Gilian (Soekanto, 1996:230), sebagai berikut: 1. Suatu lembaga kemasyarakatan adalah organisasi pola-pola pemikiran dan polapola perilaku yang terwujud melalui aktifitas-aktifitas kemasyarakatan dan hasilhasilnya. Lembaga kemasyarakatan terdiri dari adat-istiadat, tata-kelakuan, kebiasaan serta unsur-unsur kebudayaan lainnya yang secara langsung maupun tidak langsung tergabung dalam satu unit yang fungsional. 2. Suatu tingkat kekekalan tertentu merupakan ciri dari semua lembaga kemasyarakatan. Sistem-sistem kepercayaan dan aneka macam tindakan, baru akan menjadi bagian lembaga kemasyarakatan setelah melewati waktu yang relatif lama. Misalnya suatu sistem pendidikan tertentu baru akan dapat diterapkan seluruhnya setelah mengalami suatu masa percobaan. Lembagalembaga kemasyarakatan biasanya juga berumur lama, karena pada umumnya orang menganggapnya sebagai himpunan norma-norma yang berkisar pada kebutuhan pokok masyarakat yang sudah sewajarnya harus dipelihara. 3. Lembaga kemasyarakatan mempunyai satu atau beberapa tujuan tertentu. Mungkin tujuan-tujuan tersebut tidak sesuai atau sejalan dengan fungsi lembaga yang bersangkutan, apabila dipandang dari sudut kebudayaan secara keseluruhan. Pembedaan antara tujuan dengan fungsi sangatlah penting oleh karena tujuan suatu lembaga adalah tujuan pula bagi golongan masyarakat tertentu dan golongan masyarakat bersangkutan pasti akan berpegang teguh padanya. Sebaliknya, fungsi sosial lembaga tersebut yaitu peranan lembaga tadi dalam sistem sosial dan kebudayaan masyarakat, mungkin tidak diketahui atau disadari oleh golongan masyarakat tersebut. Mungkin fungsi tersebut baru disadari setelah diwujudkan dan kemudian nyata berbeda dengan tujuannya. Umpamanya lembaga perbudakan, ternyata bertujuan untuk mendapatkan tenaga buruh yang semurah-murahnya, tetapi di dalam pelaksanaan ternyata sangat mahal. 4. Lembaga kemasyarakatan mempunyai alat-alat perlengkapan yang dipergunakan untuk mencapai tujuan lembaga bersangkutan, seperti bangunan, peralatan, mesin, dan lain sebagainya. Bentuk serta penggunaan alat-alat tersebut biasanya berlainan antara satu masyarakat dengan masyarakat lain. Misalnya gergaji Jepang dibuat sedemikian rupa sehingga alat tersebut akan memotong apabila ditarik. Sebaliknya gergaji Indonesia baru memotong apabila didorong. 5. Lambang-lambang biasanya juga merupakan ciri khas dari lembaga kemasyarakatan. Lambang-lambang tersebut secara simbolis menggambarkan tujuan dan fungsi lembaga yang bersangkutan. Sebagai contoh, kesatuankesatuan Angkatan Bersenjata, masing-masing mempunyai panji-panji; perguruan-perguruan tinggi seperti Universitas, Institut dan lainnya masingmasing mempunyai lambang-lambangnya dan lain-lain lagi. Kadang-kadang lambang tersebut berwujud tulisan-tulisan atau slogan-slogan. 6. Suatu lembaga kemasyarakatan mempunyai tradisi tertulis ataupun yang tak tertulis, yang merumuskan tujuannya, tata-tertib yang berlaku dan lain-lain. Tradisi tersebut merupakan dasar bagi lembaga itu di dalam pekerjaannya
©2003 Digitized by USU digital library
11
memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok masyarakat, dimana lembaga kemasyarakatan tersebut menjadi bagiannya. Sedangkan fungsi lembaga atau institusi sosial, yaitu: a. Memberikan pedoman kepada anggota masyarakat, bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapi masalah-masalah alam masyarakat yang terutama menyangkut kebutuhan pokok. b. Menjaga keutuhan masyarakat yang bersangkutan. c. Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial (social control), artinya sistem pengawasan dari masyarakat terhadap laku anggota-anggotanya. Salah satu contoh kerja sistem sosial/lembaga sosial ini sebagai alat pengendali sosial ialah pembagian kerja lembaga/sistem sosial yang ada. Tujuan pembagian kerja atau wilayah kerja ini adalah agar tidak terjadi tumpang tindih program/rencana mereka untuk menertibkan masyarakat, sebab kalau tidak ada pembagian kerja atau wilayah ini, kehadiran sistem sosial/lembaga sosial ini justru akan melahirkan masalah sosial baru. 3.1 Pengendalian Sosial Kalau sistem pengendalian sosial adalah cara atau bagaimana mengendalikan masyarakat itu agar perilakunya tidak sampai menimbulkan masalah-masalah sosial baru, yang dapat merugikan pihak-pihak lain, dan pengendalian sistem sosial adalah cara mengendalikan sistem sosial atau lembaga sosial, agar manusia yang duduk di lembaga sosial itu dapat "dikendalikan", sehingga lembaga sosial itu dapat berfungsi sesuai dengan fungsinya dalam kaitan mengendalikan masyarakat, maka pengendalian sosial adalah cara mengendalikan, menata kehidupan masyarakat. Pengendalian sosial membawahi sistem sosial dan sistem pengendalian sosial. Yang dipelajari, yang diteliti oleh sistem pengendalian sosial adalah bidang-bidang atau hal-hal yang berpotensi melahirkan masalahmasalah sosial yang sifatnya melanggar hak azasi manusia yang dilakukan secara sengaja, sistematis untuk tujuan-tujuan tertentu. Sedangkan masalah-masalah sosial yang tidak berpotensi melahirkan pelanggaran hak asasi manusia, seperti kebiasaan mengemis, kebiasaan mengkhayal, perilaku menyimpang seperti orang gila, ini menjadi kajian bidang lain. 3.1.1 Hubungan Pengendalian Sosial Dengan Demokrasi Hubungan pengendalian sosial dengan demokrasi, sangat-sangat erat dan saling mendukung. Demokrasi yang selalu disimbolkan dengan n+1 (suara terbanyak) adalah sebuah sarana bagi pelaksanaan pengendalian sosial dalam bidang politik, terutama dalam untuk mendidik untuk berperilaku sipil. Melalui demokrasi yang keluar sebagai pemenang adalah suara terbanyak (n+1). Kepada kelompok yang memperoleh suara n-1, diharapkan menahan diri, menunggu pelaksanaan hari demokrasi berikutnya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, dimana pelaksanaan demokrasi itu dilaksanakan. Untuk kasus Indonesia misalnya, pelaksanaan demokrasi yang dikenal dengan pemilu, berdasarkan undang-undang Indonesia dilakukan lima tahun sekali, yaitu untuk memilih anggota MPR yang pada giliran berikutnya memilih Presiden beserta wakilnya. Demokrasi seperti ini disebut demokrasi jegal menjegal atau demokrasi bertingkat. Dikatakan demokrasi jegal menjegal atau bertingkat karena belum tentu partai pemenang pemilu meraih kekuasaan, boleh jadi partai berada nomor dua atau tiga, yang mendapat kekuasaan. Hal ini karena partai pemenang pemilu, harus bersaing lagi melalui wakil-wakil partai yang duduk di parlemen untuk
©2003 Digitized by USU digital library
12
meraih kekuasaan. Hal ini dimungkinkan karena masyarakat pada dasarnya memilih partai politik, dan partai politiklah yang memilih Presiden beserta wakilnya. Contoh jelas adalah kasus yang dialami Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Dalam pemilu yang dipercepat yang dilakukan pada tahun 1999, PDIP yang keluar sebagai pemenang. Jumlah wakilnya yang paling banyak duduk di parlemen bila dibandingkan dengan partai-partai politik lain. Dalam tahap ini demokrasi sudah berfungsi sebagai alat pengendalian sosial yang sangat manusiawi. Namun ketika dilakukan pemilihan presiden, justru bukan calon dari PDIP yang terpilih. Calon PDIP terjegal dalam proses pelaksanaan demokrasi tahap berikutnya di Parlemen, oleh koalisi dari partai-partai non PDIP. Disini peranan demokrasi sebagai alat pengendalian sosial yang manusiawi tidak berfungsi lagi. Peranan demokrasi disini berfungsi sebagai penjegal. Demokrasi berfungsi sebagai alat perampas kekuasaan, sebagai alat perusak pengendalian sosial. Hal ini jelas terlihat, begitu calon PDIP Megawati Soekarnoputri kalah dalam pemilihan presiden, massa PDIP mengamuk dibanyak tempat. Fasilitas-fasilitas umum banyak dirusak. Fungsi demokrasi sebagai alat pengendalian sosial, justru tidak berfungsi. Hal yang berbeda kalau koalisi partai-partai yang kalah. Bila massa mereka yang mengamuk, jelas tidak berdasar. Maka dapat dikatakan proses pengendalian sosial dalam sistem demokrasi di Indonesia tidak berfungsi efektif. Hal ini tentu berbeda di negara Amerika Serikat. Proses demokrasi di sana tidak mengenal demokrasi bertingkat. Hal ini karena rakyat langsung memilih presiden. Calon presiden yang mendapat suara terbanyak dari rakyatlah yang memang, sedangkan calon presiden yang tidak mendapat suara terbanyak, harus sabar menunggu proses pelaksanaan demokrasi berikutnya. 3.1.2 Hubungan Pengendalian Sosial Dengan Negara Hubungan pengendalian sosial dengan negara dapat dikatakan sangat-sangat erat. Negara didefinisikan adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut dari warganegara ketaatan pada peraturan perundang-undangan melalui penguasaan monopolitis dari kekuasaan yang sah (Cahyono dan Alhakim, 1982:216). Maka keberadaan negara dapat juga kita pahami adalah pengembangan lebih luas dari sistem sosial dan budaya yang berkembang di dalam suatu etnis. Kalau sistem sosial budaya yang berkembang di dalam suatu etnis sifatnya etnisitas, cenderung bahkan ada yang tertutup terhadap yang bukan se-etnis, sistem sosial budaya yang dikembangkan oleh negara justru mengakomodasi dan melindungi sistem sosial budaya etnis-etnis yang ada. Pengakomodasian dan perlindungan yang diberikan oleh negara kepada sistem sosial budaya suatu etnis adalah salah satu bentuk pengendalian sosial, untuk tercapainya tujuan negara. Hubungan antar etnis, baik secara individu maupun secara kelompok (etnis), diatur negara dengan meminimalkan munculnya masalah-masalah sosial. Maka dapat pula dipahami bahwa negara berfungsi sebagai alat (saluran) komunikasi, sebagai sarana untuk membangun kerjasama antar etnis di dalam negara tersebut. Maka hubungan negara dengan (sistem) pengendalian sosial sangat erat. Negara menata sistem untuk mengendalikan etnik yang ada di dalam negara tersebut, negara membina sistem sosial budaya etnik yang ada di dalam negara tersebut. Tujuan pembinaan, penataan ini adalah untuk kepentingan bersama, agar dapat meminimalkan munculnya masalah-masalah sosial, apakah itu karena kesalahpahaman, apakah itu karena kepentingan yang berbeda.
©2003 Digitized by USU digital library
13
3.1.3 Hubungan Pengendalian Sosial Dengan HAM Hubungan HAM dengan pengendalian sosial sangat dekat sekali. Bila tidak ada pengendalian sosial, tidak akan terjadi perlindungan terhadap HAM. Justru karena ada pengendalian sosial adalah maka perlindungan HAM dapat ditegakkan. Piagam PBB tentang HAM menjelaskan semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan budi dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan (pasal 1). Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang tercantum dalam pernyataan ini dengan tidak ada pekecualian apa pun, seperti misalnya bangsa, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal usul kebangsaan atau sosial, milik, kelahiran ataupun status lain... (pasal 2). Setiap orang berhak atas penghidupan, kemerdekaan dan keselamatan seseorang (pasal 3). Tidak seorang pun boleh dianiaya atau diperlakukan secara kejam dengan tidak mengingat kemanusiaan atau pun cara perlakuan atau hukuman yang menghinakan (pasal 5). Dalam HAM yang ditetapkan oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun 1999 menjelaskan pasal 1, ayat 1, 3, 6. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan atau pengucilan yang langsung atau pun tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya (3) Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. (6) Dari kutipan deklarasi universal tentang HAM dan UU RI No. 39/1999 tentang HAM, keduanya menjunjung tinggi HAM. Hubungan Pengendalian sosial dengan HAM, dalam kasus-kasus tertentu, kadang-kadang seiring sejalan dengan HAM, dalam kasus-kasus tertentu pula, saling seiring berbeda jalan dengan HAM. Hal ini karena pengendalian sosial bertujuan untuk melindungi HAM orang lain (obyek) dari perbuatan sewenang-wenang orang lain pula (subyek). Maka dari satu sisi, pengendalian sosial adalah salah satu pelanggaran terhadap HAM, namun disisi lain pengendalian sosial justru melindungi HAM. Pengendalian sosial melakukan pelanggaran terhadap HAM, kalau HAM itu sendiri diinjak-injak. Namun kalau HAM tidak diinjak-injak, pengendalian sosial tidak akan menginjak-injak HAM. Disisi lain pengendalian sosial memang melanggar HAM
©2003 Digitized by USU digital library
14
secara Individu, tetapi disisi lain pula, pengendalian sosial melindungi HAM secara Individu dan kelompok. 3.2 Batasan Masalah Dalam Studi Sistem Pengendalian Sosial Yang dipelajari, yang diteliti oleh sistem pengendalian sosial adalah bidangbidang atau hal-hal yang berpotensi melahirkan masalah-masalah sosial yang melanggar hak azasi manusia, yang dilakukan secara sengaja, sistematis untuk tujuan-tujuan tertentu. Sedangkan masalah-masalah sosial yang tidak berpotensi melahirkan konflik yang dapat dengan pelanggaran hak asasi manusia, seperti kebiasaan mengemis, kebiasaan mengkhayal, perilaku menyimpang seperti orang gila, ini menjadi kajian bidang lain. Maka pandangan Sistem Pengendalian Sosial soal data sosial adalah ada asap tentu ada api. Keduanya perlu ditelaah, agar asap tidak sampai melebar jauh, dan api dapat dilokalisir. Dikaitkan dengan masalah sosial, api sama dengan bidang-bidang yang melahirkan konflik sosial, sedangkan asap sama dengan isu-isu yang berkembang yang berkaitan dengan konflik sosial. 3.3 Pengendalian Sosial Dan Kemajemukan Kemajemukan adalah kenyataan hidup dimana-mana di muka bumi ini. Yang majemuk bukan saja etnis, ras, tetapi juga kepentingan. Adanya perbedaan kepentingan dan perbedaan cara untuk mewujudkan kepentingan sudah termasuk ke dalam pengertian kemajemukan. Namun demikian pandangan pengendalian sosial tentang kemajemukan adalah untuk dikendalikan, dikelola agar tercipta suasana yang harmonis diantara sesama pelaku, apakah itu etnis, ras, atau dampak dari cara yang dipergunakan untuk mewujudkan kepentingan itu; bukan diseragamkan. Dalam pandangan pengendalian sosial, kemajemukan itu adalah kreativitas. Kalau terjadi penyeragaman maka, kreativitas telah mati. Pengendalian Sosial menolak penyeragaman seperti ini, karena penyeragaman sama dengan kematian kreativitas. Kalau kreativitas mandeg, budaya manusia tidak berkembang. Maka dengan adanya pengendalian, diharapkan kehidupan manusia semakin dinamis harmonis. 3.4 Konflik Dalam Pandangan Pengendalian Sosial Seperti halnya kemajemukan sebagai kenyataan hidup yang terdapat dimanamana di muka bumi ini, maka konflik pun demikian adanya. Kehidupan manusia itu tidak terlepas dari konflik. Cuma kadar konflik ini yang berbeda-beda. Ada konflik tersembunyi dan ada konflik terbuka. Konflik dalam pandangan ilmu pengendalian sosial adalah sifat dasar dari manusia yang hidup di muka bumi ini. Hal ini sesuai dengan kodrat yang diberikan alam ini kepada manusia, bahwa dunia ini selalu dikelola oleh dua pertentangan antara negatif dan positip, baik dan buruk, terang dan gelap. Dari adanya pertentangan inilah terjadi perubahan sosial. Manusia hidup dari pertentangan di atas, pertentangan di atas menghasilkan perubahan, perubahan itu bisa positip yaitu membina dan membangun, bisa negatif bisa menghancurkan dan membinasakan. Dan dalam pertentangan dan perubahan sosial di atas juga terjadi konflik dan pertentangan. Maka konflik atau pertentangan tidak bisa dihindari dari kehidupan manusia di muka bumi ini. Konflik dan pertentangan ini mengendap di dalam sistem sosial dan sistem budaya manusia. Agar masyarakat dapat survive, konflik dan pertentangan tersebut dikendalikan, pengendalian konflik dapat berupa
©2003 Digitized by USU digital library
15
penghindaran konflik, pengendalian konflik atau memanfaatkan konflik untuk tujuantujuan bersama secara humanis, agar bila terjadi benturan antara individu, antar golongan, antar kelas sosial dalam masyarakat --- yang pada umumnya benturan ini berefek negatif, berupa pengrusakan, pemusnahan penghancuran sesama --- dapat dihindari atau diminimalkan. Ahli pengendalian sosial melihat bahwa manusia itu berebut untuk mendapatkan energi. Untuk mendapatkan energi ini, tidak dapat dihindari akan munculnya konflik. 3.5 Klasifikasi Pengendalian Sosial Pengendalian sosial tidak sama dengan penataan (hubungan) sosial. Penataan (hubungan) sosial adalah cara menata hubungan-hubungan antara unsur yang ada di dalam masyarakat (sosial); yang ditata adalah hubungan unsur yang ada di dalam masyarakat. Sifatnya pasip bagi hubungan antara manusia. Sedangkan pengendalian sosial adalah menata hubungan antara masyarakat. Sifatnya aktif, bila terjadi masalah sosial, maka segera diusahakan bagaimana mengendalikan masyarakat yang bermasalah. Landasan pelaksanaan pengendalian sosial ini ada tiga: 1. Berdasarkan Hukum (Tertulis). Sanksinya jelas, mengingat. 2. Aturan atau norma-norma non Agama (Tidak Tertulis). Sanksinya cenderung tidak mengikat, namun bersifat moral. 3. Norma-norma Agama, kepercayaan. Sanksinya cenderung tidak mengikat, tetapi dipertanggung-jawabkan di hari trakhir (kiamat). Jenjang pengurutan ini berdasarkan ketatnya sanksi yang diterima seandainya terjadi pelanggaran sosial. Pengendalian sosial dapat dilakukan dengan dua cara. Cara pertama melalui pembuatan aturan-aturan yang tertulis dan cara kedua adalah melalui aturan-aturan yang tidak tertulis. Aturan-aturan yang tertulis ini misalnya pembuatan Undang-Undang (untuk tingkat pemerintah), anggaran dasar dan anggaran rumah tangga untuk tingkat organisasi kemasyarakatan. Aturan-aturan yang tidak tertulis adalah rekayasarekayasa yang dibuat oleh si pemimpin masyarakat. Dalam hal ini, adanya mitosmitos tentang kesaktian raja, misalnya dan sebagainya. Adapun sanksi yang diterima anggota bila, si anggota tidak menuruti aturan yang ada bervariasi, tergantung kepada situasi dan kondisi. Di Bali misalnya, seorang warga desa yang tidak mau patuh dan mengikuti kegiatan sosial yang dilakukan oleh desa adatnya, maka kepada warga tersebut apabila mengalami musibah, warga desa yang tidak patuh tersebut tidak boleh dimakamkan di desanya. Atau agar boleh dimakamkan, para keluarga yang meninggal tersebut diwajibkan membayar sejumlah uang kepada desanya. Namun demikian, ada juga yang tidak memberikan sanksi setegas di atas, misalnya kepada warga desa yang meninggal, para anggota keluarganya hanya beberapa orang saja yang datang melayat menghadiri pemakamannya. Jadi klasifikasi pengendalian sosial tersebut ada yang bersifat tertulis dan ada yang rekayasa, dengan sanksi sosial yang juga bervariasi tergantung kepada lokasi, situasi dan kondisinya. Pengendalian sosial juga dapat bersifat preventif dan represif. Pada pengendalian sosial yang bersifat preventif, usaha dilakukan sebelum terjadi pelanggaran, artinya tujuannya adalah untuk mencegah. Pengendalian sosial yang bersifat represif diadakan, apabila telah terjadi pelanggaran dan hendak diusahakan untuk memulihkan keadaan pada situasi semula, sebelum pelanggaran terjadi.
©2003 Digitized by USU digital library
16
Penerapan pengendalian sosial dapat dilakukan dengan berbagai cara misalnya jalur hukum, pendidikan formal dan penjatuhan sanksi (negatif/positip). (Soekanto, 1996: 47-53). Adapun Pengendalian Sosial ini mencakup: 1. Pengawasan dari individu terhadap individu lain. 2. Pengawasan dari individu terhadap kelompok. 3. Pengawasan dari kelompok terhadap individu. 4. Pengawasan dari kelompok terhadap kelompok. Jadi beda utama pengendalian sosial dengan sistem pengendalian sosial, terletak pada obyeknya. Pengendalian sosial obyeknya masyarakat langsung, sedangkan sistem pengendalian sosial obyeknya adalah sistem atau cara masyarakat itu mengendalikan masalah-masalah sosial yang timbul. 3.6 Alat Pengendalian Sosial Menurut Karl Mannheim (1986:141-149) ada 5 variabel yang dapat menstabilkan masyarakat, (1) wewenang, (2) adat istiadat, (3) norma hukum, (4) prestise dan kepemimpinan, dan (5) interpestasi filosofis dan sosiologi terhadap nilai. Sebenarnya alat pengendalian sosial ini bukan hanya lima, tetapi banyak sekali, baik yang diberikan oleh alam maupun produk dari budaya manusia. Dikatakan diberikan alam karena begitu manusia lahir ke dunia ini, alam telah mengendalikannya dengan caranya sendiri. Misalnya kasus menua pada manusia, kasus penyakit yang membawa kematian, yang kita percayai sebagai takdir adalah contoh-contoh pengendalian sosial yang bersifat alamiah ini, adanya bencana alam seperti gempa bumi, longsor, banjir, penyakit yang diakhiri dengan kematian, adanya perbedaan jender dan sebagainya. Sedangkan hasil produk budaya manusia ada dua yaitu yang tradisional dan yang moderen, yang tradisional antara lain pemberian nama kepada anak, sapaan, dan sebagainya. 3.5 Pelaksanaan Pengendalian Sosial Pengendalian sosial berdasarkan sumber masalah dapat dibagi dua : 1. Pengendalian Sosial Alamiah. Secara sederhana, sebenarnya alam juga telah memberikan bentuk-bentuk pengendalian terhadap manusia dengan segala permasalahannya. Adanya perbedaan jenis kelamin, misalnya adalah salah satu bentuk pengendalian terhadap manusia. Adanya penyakit yang menyerang manusia adalah bentuk lain, adanya orang ambisius dan non ambisius, adanya kematian dan kelahiran adalah bentuk lain yang ada yang telah disediakan alam kepada manusia sebagai alat pengendalian sosial. Jadi secara sederhana dapat dijelaskan adanya negatif positip, baik buruk, pro dan kontra, dan lainnya yang bersifat dialektika adalah bentuk-bentuk pengendalian sosial terhadap manusia dan masalahnya yang disediakan oleh alam. 2. Pengendalian Sosial Kultur. Pengendalian sosial yang bersifat alami, ternyata belum mampu mengendalikan manusia. Maka direkayasalah bentuk pengendalian sosial lain, agar perilaku manusia dapat dikendalikan, baik secara individu maupun kelompok. Rekayasa ini dibuat selain untuk menantang mengatasi alam, juga untuk mengatur dan menata hubungan antar manusia dengan sesama manusia, manusia dengan alam lingkungannya dan manusia dengan Tuhannya. Pengendalian Sosial Kultur ini dibagi lagi atas dua:
©2003 Digitized by USU digital library
17
a.
Pengendalian Sosial Kultur Tradisional. Pengendalian Sosial kultur yang bersifat tradisional ini adalah adat istiadat. Adat istiadat adalah bagian dari kebudayaan, namun kebudayaan bukanlah adat istiadat. Cakupan pengertian kebudayaan jauh lebih luas dari adat istiadat. Namun adat istiadat adalah bagian dari kebudayaan. Pengendalian sosial juga adalah bagian dari adat istiadat, tetapi adat istiadat bukanlah bagian dari pengendalian sosial. Perbedaan ini disebabkan, ruang lingkup atau cakupan adat istiadat jauh lebih luas dari adat istiadat, sedangkan cakupan pengendalian sosial hanya sebagai alat pengendali dari kegiatan masyarakat yang menyimpang dari adat istiadat. Adat istiadat berurat berakar pada nilai-nilai budaya masyarakat itu yang dalam perjalanan sejarahnya selalu mengalami penyesuaian dengan keadaan. Maka di dalam adat istiadat terjelma perasaan yang nyata dari suatu masyarakat sebagai tradisinya secara terus menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup masyarakat itu sendiri. Adat istiadat adalah budaya suatu, ia merupakan pancaran budaya masyarakat yang bersangkutan dengan segala apa yang yang menjadi milik budaya masyarakat bersangkutan. Maka bahan-bahan yang dipergunakan untuk mengembangkan adat istiadatnya dapat digali atas tiga bahagian: 1. Bahan Riil yaitu lingkungan hidup yang mengitari hidup etnis itu, baik lingkungan hidup yang bersifat fisik maupun yang bersifat suasana. 2. Bahan Idil yaitu cita-cita dan akan budi budaya etnis itu. Hal ini meliputi segala yang bersifat rasional dan irasional yang terdapat di dalam etnis tersebut, seperti cita-cita dan filsafat hidup etnis tersebut. 3. Bahasa Etnis yang bersangkutan sebagai sarana dan alatnya. Sumber Pengendalian Sosial ini dapat dilakukan melalui sistem nilai yang ada dan bisa dilakukan antara sesama manusia dengan tetap berlandaskan sistem nilai yang ada pada adat istiadat tersebut. Pengendalian sosial yang dilakukan antar sistem nilai yang ada misalnya antara nilai yang terkandung dalam filsafah hidup mereka, dikendalikan oleh nilai filsafah hidup yang lain. Maka sarana pengendalian sosial pada tiap kelompok masyarakat, berbeda-beda. Pada kelompok masyarakat etnis A misalnya sarana pengendalian sosial yang efektif adalah gosip, namun pada kelompok masyarakat etnis B adalah ejekan. Pada kelompok masyarakat etnis C adalah hukuman. Terlepas bentuk pengendalian sosial yang cocok pada sesuatu kelompok etnis, maka berdasarkan sumbernya, sumber pengendalian sosial dalam masyarakat antara lain hukum adat. Hukum adat (Koesnoe, 1992:5, Widyana, 1993:20) adalah suatu hukum yang berurat berakar pada nilai-nilai budaya rumpun bangsa Indonesia yang sepanjang perjalanan sejarahnya selalu mengalami penyesuaian dengan keadaan. Maka hukum adat menurut Supomo (Koesnoe, 1992:4) adalah hukum yang menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat dan sebagai hukum rakyat hukum adat terus menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup rakyat itu sendiri. Maka hukum adat sangat erat dengan budaya suatu etis, karena hukum itu merupakan pancaran salah satu aspek budaya etnis yang bersangkutan dengan segala apa yang yang menjadi milik budaya etnis yang bersangkutan. Dalam hukum adat ini yang diatur adalah antara lain, mengatur masalah warisan, mengatur masalah perkawinan, mengatur masalah keluarga, mengatur masalah tanah, mengatur masalah utang piutang, mengatur masalah pelanggaran.
©2003 Digitized by USU digital library
18
Nasehat-Nasehat, ungkapan-ungkapan, himbauan-himbauan, ejekan-ejekan penataan hubungan antar sesama warga masyarakat, pembagian-pembagian tugas demi kestabilan dan keseimbangan dalam masyarakat adat. b. Pengendalian Sosial Kultur Moderen. Bahwa pengendalian sosial dalam masyarakat meliputi aspek nilai budaya, yakni nilai-nilai, norma-norma, hukum dan aturan-aturan khusus, yang merupakan komponen budaya yang paling abstrak. Pengendalian sosial ini bermaksud memperbaiki, mencegah tindakan-tindakan manusia dalam mencapai tujuan agar tidak menyimpang terhadap norma-norma sosial yang ada. Bidang yang mengatur hubungan antar sesama manusia, manusia dengan alamnya dan manusia dengan Tuhannya adalah adat istiadat, hukum, normanorma hukum, kontrol sosial dan wewenang, prestise dan kepemimpinan, interpretasi filosofis dan sosiologi terhadap nilai. Pengendalian sosial yang bersifat kultur moderen ini, lebih rumit dari pengendalian sosial yang bersifat kultur tradisional. Mekanisme pengendalian sosial yang bersifat kultur moderen ini mencakup cara-cara mengorganisir peranan yang ada di dalam masyarakat untuk mengurangi tekanan dan penyimpangan. Macam-macam pengendalian sosial, ini seperti (1) pelembagaan atau institusionalisasi; (2) sanksi-sanksi antar pribadi yang dihormati para pelaku; (3) aktifitas-aktifitas ritual; (4) struktur nilai-nilai; (5) struktur reintegrasi yang berfungsi mengembalikan kecenderungan untuk menyimpang ke arah yang normal; dan (6) pelembagaan kekuatan dan paksaan ke dalam sektor-sektor tertentu dari sistem tersebut. Norma-norma sosial menghasilkan daya untuk mengatasi perbedaanperbedaan dan kepentingan di antara mereka yang menemukan keselarasan satu sama lainnya di dalam suatu tingkat integrasi sosial tertentu. Dalam hal itu, keseimbangan suatu sistem sosial terpelihara oleh berbagai proses dan mekanisme sosial. Dalam mekanisme sosial hasrat-hasrat anggota masyarakat dapat dikendalikan pada tingkat dan arah yang mampu menuju terpeliharanya kontinuitas sistem sosial (Nasikun, 1984: 13). Menurut (Black, 1976:4) tindakan-tindakan manusia tidak luput dari kesalahan-kesalahan atau penyimpangan. Agar tindakan-tindakan warga masyarakat tidak melakukan penyimpangan maka perlu dikendalikan dan diarahkan, caranya antara lain (1) pengendalian sosial penal, yakni melarang tindakan tertentu dengan ancaman pidana, (2) pengendalian sosial konpensatori (conpensatory) yakni menuntut kepada pihak lain untuk memenuhi kewajibannya, (3) pengendalian sosial therapeutik yakni berupaya untuk memperbaiki keadaan yang terganggu; dan (4) pengendalian sosial konsiliasi (conciliatory) yakni para pihak mencari pemecahan bersama secara damai dan mungkin menggunakan penengah atau mediator. Bentuk pengendalian sosial yang lain adalah konsiliasi, yaitu pihak yang menyalurkan pertentangan di antara mereka melalui melalui cara-cara yang bersifat damai. Pengendalian sosial semacam ini dapat diwujudkan melalui lembaga-lembaga tertentu, seperti lembaga politik berupa badan-badan yang bersifat parlementer. Pihak yang bertentangan dapat menggunakan pihak ketiga sebagai penengah atau mediator. Cara pengendalian sosial serupa itu disebut mediasi (mediation) di mana kedua pihak yang bersengketa sepakat untuk menunjuk pihak ketiga yang memberikan nasehat-nasehat guna menyelesaikan sengketa mereka. Cara lain adalah melalui perwasitan (arbitration) dalam hal ini kedua belah pihak yang bersengketa sepakat untuk menerima hadirnya pihak ketiga yang akan memberikan keputusankeputusan untuk menyelesaikan konflik mereka. Dalam bentuk mediasi, kedua pihak sepakat menggunakan pihak penengah, tetapi mereka bebas
©2003 Digitized by USU digital library
19
menerima atau menolak putusan-putusannya. Sedangkan dalam perwasitan, para pihak menerima keputusan-keputusan yang ditetapkan oleh wasit. Dalam pelaksanaannya pelaksanaan pengendalian sosial dapat dibagi atas dua: 1. Secara pasip. Sistem pengendalian sosial secara pasip maksudnya pengendalian sosial dilakukan dengan tetap berpegang kepada aturan-aturan yang berlaku undang-undang, yurisprudensi, perjanjian (konvensi, perjanjian internasional), kebiasaan-kebiasaan, aturan tingkah laku, aturan sosial, jasa teman, janji keluarga dan lainnya yang tujuannya untuk mengendalikan tingkah laku kelompok dan atau tingkah laku masyarakat. 2. Secara aktif yaitu dengan mengadakan rekayasa-rekayasa, berupa: 1. Berupa adu domba, apakah itu berdasarkan agama, atau kepentingankepentingan lain, memelihara dua atau tiga atau lebih kelompok-kelompok yang berbeda, yang pada suatu saat mereka saling dibenturkan secara terkendali, dari hasil rekayasa seperti ini, siperekayasa selain dapat mengendalikan tingkah laku kelompok masyarakat dan masyarakat, juga mendapatkan manfaat, keuntungan politis tertentu. 2. Berupa Isu-Isu. Isu-Isu atau pernyataan-pernyataan yang sifatnya memojokkan pihak lawan. Contoh di Indonesia, misalnya isu-isu PKI, OTB, ekstrim kanan, ekstrim kiri dan sebagainya. 3. Bentuk lain adalah menuding langsung sasaran, mencari-cari kesalahan pihak lawan. Pengendalian sosial melalui rekayasa seperti ini, dapat dilakukan melalui pembenaran sejarah, pembenaran aturan-aturan yang berlaku, undang-undang, yurisprudensi, perjanjian (konvensi, perjanjian internasional), kebiasaan-kebiasaan, aturan tingkah laku, aturan sosial, jasa teman, janji keluarga dan lainnya. 3.7 Tujuan Pengendalian Sosial Mengapa pengendalian sosial penting? sebab kalau masalah-masalah sosial tidak dapat dikendalikan atau terkendali akan melahirkan kekacauan yang hebat. Dalam kekacauan yang hebat ini, akan terjadi pelanggaran hak asasi manusia secara besar-besaran dan dilakukan secara sistematis. Yang survai hidup hanyalah yang kuat ototnya. Maka budaya yang berkembang dalam masyarakat yang kacau balau adalah budaya kekerasan. Manusia lahir menjadi tidak merdeka dan sama sekali tidak mempunyai martabat dan hak-hak yang sama, walaupun mereka dikaruniai akal dan budi. Para individu tidak berhak atas semua hak dan kebebasan yang diberikan Tuhan melalui agama. Manusia juga menjadi tidak berhak atas penghidupan, kemerdekaan dan keselamatan seseorang, maka yang akan menonjol adalah penganaiyaan dan diperlakukan secara kejam tanpa mengindahkan mengingat kemanusiaan. Untuk mencegah ini, dibuatlah suatu sistem yang disebut sistem pengendalian sosial. Paradigma sistem pengendalian sosial ini, banyak, tidak hanya satu variabel. Namun demikian tujuan akhir dari pengendalian sosial ini adalah: 1. Untuk menjaga agar tatatertib yang ada dalam masyarakat yang telah disepakati bersama dapat dijalankan dengan sebaik-baiknya. 2. Untuk melindungi hak asasi masyarakat dari tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh warga lain. 3. Untuk menjaga kepentingan warga, baik kepentingan sosial, ekonomi, budaya maupun lainnya. 4. Untuk menjaga kelangsungan hidup/kesatuan kelompok.
©2003 Digitized by USU digital library
20
5. Untuk menjaga proses pembentukan kepribadian sesuai dengan keinginan kelompok. Jadi dengan adanya pengendalian sosial ini, maka diharapkan semua sistem yang ada terintegrasi, dan kompak dalam mengatur masalah-masalah sosial (masyarakat) yang muncul di tengah-tengah masyarakat. 3.8 Syarat Terwujudnya Pengendalian Sosial Adapun yang menjadi unsur utama terwujudnya pengendalian sosial adalah undang-undang, aturan-aturan, tatatertib dan lain-lain baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Kemudian adanya aparat pengawas yang baik dan bersedianya masyarakat mentaati ketentuan yang disepakati atau yang ada. Pengendalian sosial adalah suatu sistem tingkah laku yang harus dipatuhi oleh warga masyarakat pendukung etnis, yang berupa kaidah-kaidah dan nilai-nilai sosial yang berlaku. Namun pada kenyataannya ada pula warga pendukung etnis yang tidak mau mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai sosial yang berlaku. Faktor penyebabnya kompleks tetapi pada umumnya disebabkan oleh kondisi dan lingkungan hidupnya. Menurut Koentjaraningrat (1992:217) ada tiga proses terjadinya sistemsistem pengendalian sosial: 1. Ketegangan sosial adat istiadat dan keperluan-keperluan individu. 2. Ketegangan sosial yang terjadi karena pertemuan keperluan-keperluan antara golongan khusus. 3. Ketegangan sosial yang terjadi karena individu-individu dengan sengaja menentang tata kelakuan. Sedangkan cara pengendalian ketegangan-keterangan sosial ini menurut Koentjaraningrat (1992:217) bisa dilakukan berbagai macam cara: 1. Mempertebal keyakinan para warga masyarakat akan kebaikan-kebaikan adat istiadat. 2. Memberikan ganjaran kepada warga masyarakat yang biasanya taat kepada adat istiadat. 3. Mengembangkan rasa malu dalam jiwa warga masyarakat yang menyeleweng dari adat istiadat. 4. Mengembangkan rasa takut dalam jiwa warga masyarakat yang hendak menyeleweng dari adat istiadat dengan ancaman-ancaman dan kekerasan. Namun demikian syarat utama dapat terwujudnya pengendalian sosial adalah adanya sistem nilai yang transparan dan diakui oleh semua pihak (masyarakat). Sesuai dengan hakekat pengendalian sosial sebagai perwujudan adanya kebebasan warga masyarakat yang bertanggungjawab, maka tidak ada "kebebasan" warga yang mutlak, semua warga tidak terkecuali harus mematuhi tatatertib dan ada istiadatnya, karena tatatertib dan ada istiadat pada dasarnya bertujuan untuk melindungi warga masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang individu. Di dalam masyarakat moderen, pengendalian sosial ini dibebankan kepada aturanaturan yang tertulis, seperti hukum yang jelas sanksinya. Pada masyarakat tradisional, pengendalian sosial ini lebih ditekan kepada kesadaran individu. Jadi pelaksanaannya secara efektif adalah menuntut kesadaran yang tinggi dari warga masyarakatnya. Maka dengan demikian, demikian juga halnya kedudukan masyarakat dalam hukum pada masyarakat moderen, maka kedudukan warga dalam masyarakat tradisional, sama, walaupun ada perbedaan-perbedaan yang sifatnya kekecualian.
©2003 Digitized by USU digital library
21
3.9 Bentuk Pengendalian Sosial Berdasarkan bentuknya, pembagian pengendalian sosial dapat dibagi 3 yaitu 1. Pengendalian Sosial Formal yaitu sistem yang mengawasi tingkah laku warga masyarakat berdasarkan adat, hukum resmi yang berlaku, berupa tata tertib secara tertulis dan bisanya dilengkapi dengan lembaga-lembaga seperti polisi, pengadilan dan sebagainya. 2. Pengendalian Sosial Tidak Formal yaitu sistem yang mengawasi, menekan dan menghukum warga masyarakat yang berperilaku menyimpang dari adat dan norma yang berlaku dengan cara pergunjingan, tertawaan dan lain sebagainya. Biasanya tidak tertulis, tetapi hidup dalam alam pikiran diakui dan dipatuhi oleh sebagian besar masyarakat. 3. Pengendalian Sosial Imitatif. Pengendalian sosial imitatif ini tidak hidup dalam kenyataan tetapi hanya terdapat di dalam mitologi, cerita-cerita yang biasanya ada implikasi positip bagi pemelihara lingkungan hidup. Berdasarkan Sifat Pengendalian Sosial, maka pengendalian sosial dapat dilakukan melalui tiga cara: 1. Preventif. Pada pengendalian sosial yang bersifat preventif, usaha dilakukan sebelum terjadi pelanggaran, artinya tujuannya adalah untuk mencegah. Pendekatan yang diberikan berupa pemberian ganjaran, bujukan, pendidikan, penghargaan, anjuran dan lainnya. Pengendalian sosial seperti ini disebut juga pengendalian sosial bersifat positip. 2. Represif. Pengendalian sosial yang bersifat represif diadakan, apabila telah terjadi pelanggaran dan hendak diusahakan untuk memulihkan keadaan pada situasi semula, sebelum pelanggaran terjadi. Pendekatan yang dipergunakan adalah berupa ancaman, perintah, kewajiban, hukuman dan sebagainya. Pengendalian sosial seperti ini disebut juga pengendalian sosial bersifat negatif. 3. Pengendalian Sosial Terkendali. Pengendalian sosial terkendali adalah melalui pembentukan institusi-institusi sosial seperti, partai, lembaga-lembaga sosial yang sifatnya mengintegrasikan aspirasi-aspirasi, kelompok-kelompok masyarakat yang bervokal sama. Dikatakan pengendalian sosial terkendali, karena tidak mungkin memenuhi aspirasi sosial secara tuntas selesai. Sesuai dengan kenyataan hidup ini, bahwa apa pun yang diinginkan manusia itu, manusia itu tidak mungkin sampai kepada tujuan yang direncanakannya, paling-paling mendekati, penyelesaian masalah sosial pun demikian. Tidak mungkin menuntaskan masalah sosial, secara tuntas, tetapi meminimalkannya benar dan bisa dilakukan. Pengendalian sosial terkendali maksud dan tujuannya adalah meminimalkan berkembangnya masalah-masalah sosial yang sulit dikendalikan. Melalui pembentukan lembaga-lembaga sosial, diharapkan masalah-masalah sosial yang sulit dikendalikan secara umum, dikendalikan melalui lembaga ini, sebab dengan dibentuknya lembaga sosial ini, lembaga ini akan mengatur, atau membawa sistem nilainya pula. Melalui sistem nilainya inilah diminimalkan berkembangnya masalahmasalah sosial. Adapun sarana pengendalian sosial terkendali ini ada dua bentuk, bentuk pertama berbentuk fisik seperti organisasi sosial, struktur sosial, institusi sosial, integrasi sosial dan yang berbentuk non fisik seperti akomodasi, konsensus, musyawarah mufakat, sumpah. Di dalam organisasi sosial, struktur sosial, institusi sosial, integrasi sosial ada sistem sosial, di dalam sistem sosial ada nilai-nilai, norma sosial, peranan sosial, akomodasi, konsensus, musyawarah mufakat, sumpah.
©2003 Digitized by USU digital library
22
Penggunaan atau pemakaian cara yang tepat adalah bergantung kasus masalah sosial yang terjadi. 3.10 Berdasarkan Pendekatan Berdasarkan Pendekatan, pengendalian sosial dapat dilihat dari 2 bentuk pendekatan: 1. Persuasif. Cara persuasif, apabila pengendalian sosial ditekankan kepada pada usaha untuk mengajak atau membimbing. Cara ini dapat dibagi atas dua yaitu secara langsung dan tidak langsung. 1. Secara Langsung. Pengendalian sosial persuasif yang bersifat secara langsung adalah melalui jalur sistem sosial, seperti pendidikan, keluarga, ekonomi, pemerintahan, agama dan norma-norma, pendidikan dan penerangan umum, kelas masyarakat. 2. Tidak Langsung. Pengendalian sosial persuasif yang bersifat secara tidak langsung adalah dengan memberikan penghargaan kepada masyarakat baik secara kelompok maupun individu. Penghargaan ini misalnya mengundang mereka bertemu dengan para pejabat pada acara-acara tertentu. Memberikan piagam penghargaan kepada kelompok maupun individu masyarakat yang berjasa. Membebaskan anak-anak mereka dari pembayaran uang sekolah. Memberikan bea siswa. Semua ini dilakukan untuk untuk mengajak, membimbing warga masyarakat agar mematuhi nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang berlaku. Ini adalah cara efektif untuk mempengaruhi agar dapat dikendalikan tingkah laku kelompok, agar sesuai dengan yang dikehendaki. 2. Koersif. Cara koersif, tekanan diletakkan pada kekerasan atau ancaman, dengan mempergunakan atau mengendalikan kekuatan fisik. Misalnya dengan pendekatan keamanan. Menerapkan sistem "negara polisi". Variasi munculnya cara-cara pengendalian sosial ini, bergantung kepada kasus yang muncul. Menerapkan pendekatan keamanan pada masyarakat yang aman, justru dapat menimbulkan masalah sebaliknya. Memberikan penghargaan kepada sembarang orang, juga dapat menimbulkan masalah pada sistem pengendalian sosial. Jadi cara-cara melakukan pengendalian sosial itu, bergantung kepada permasalahan yang muncul. Landasan pelaksanaan pengendalian sosial adalah, 1. Berdasarkan Hukum (Tertulis). Sanksinya jelas mengikat. 2. Aturan atau norma-norma non Agama (Tidak Tertulis). Sanksinya cenderung tidak mengikat, namun bersifat moral. 3. Norma-norma Agama, kepercayaan. Sanksinya cenderung tidak mengikat, tetapi dipertanggung-jawabkan di hari trakhir (kiamat). Jenjang pengurutan ini berdasarkan ketatnya sanksi yang diterima seandainya terjadi pelanggaran sosial. 3.11 Kode Etik Pengendalian Sosial Prinsip dasar Pengendalian Sosial adalah bagaimana cara atau metode yang dipergunakan atau diterapkan pada satu kasus dengan menekan seminimal mungkin kerugian masyarakat secara khusus (masyarakat yang bermasalah) maupun umum (dalam konteks persatuan dan kesatuan di dalam sebuah negara) atau pemerintah. Artinya cara atau metode pengendalian sosial jangan memperbesar kerusakan, atau kepentingan masyarakat secara khusus (masyarakat yang bermasalah) maupun
©2003 Digitized by USU digital library
23
umum (dalam konteks persatuan dan kesatuan di dalam sebuah negara) atau pemerintah. Kode etik ini mencakup bidang tanggungjawab: 1. Kepentingan masyarakat secara khusus masyarakat yang bermasalah. 2. Kepentingan Pemerintah yang berkuasa. 3. Untuk kepentingan pengembangan ilmu pengendalian sosial. 4. Sponsor yang meminta advis (nasehat/penyandang dana). 5. Masyarakat secara umum. 3.12 Pemilihan Alat Pengendalian Penggunaan alat pengendalian terhadap masalah sosial yang muncul bergantung kepada masalah sosial yang muncul. Kerusuhan sosial yang sudah melahirkan anarki, tidak dapat dikendalikan dengan retorika-retorika berupa himbauan-himbauan, namun harus dilakukan secara represif. Isu-isu yang tidak disertai dengan kekerasan fisik, sebaiknya harus dilawan dengan isu pula, tidak direkomendasikan dengan represif, sebab kalau dilakukan dengan represif akan melahirkan, akhirnya seperti membunuh nyamuk dengan meriam, karena itu penggunaan alat pengendalian sosial, bergantung kepada: 1. Masalah sosial yang berkembang. Penanganan terhadap masalah sosial yang terjadi, bergantung kepada masalahnya. Isu-isu yang dapat mengundang berkembang luasnya masalah sosial, harus dilawan dengan isu-isu pula. Kekerasan fisik yang terjadi dalam tingkat tertentu, dapat ditangani secara persuasif, namun dalam tingkat tertentu pula kadang kala harus represif. 2. Situasi dan kondisi di lapangan. Kalau situasi dan kondisi dilapangan masih dapat ditangani oleh pihak-pihak setempat, misalnya tokoh-tokoh adat, tokoh-tokoh masyarakat, tokoh-tokoh agama, pemda sebaiknya diserahkan saja kepada mereka, namun kalau pihak-pihak setempat seperti tokoh-tokoh adat, tokohtokoh masyarakat, tokoh-tokoh agama, pemdanya tidak mampu menanganinya, baru di datangkan bala bantuan dari pihak ketiga, dalam hal ini tangan-tangan pemerintah pusat. Dalam hal ini penerapan perangkat undang-undang yang ada misalnya darurat sipil atau darurat militer, tetap mengacu kepada situasi dan kondisi dilapangan. Untuk ini, penilaian masalah sosial dan yang berkembang dan penilaian terhadap situasi yang ada harus dilakukan dengan cermat. 3.13 Prinsip Pengendalian Sosial 1. Kendali. Kendali artinya kekang. Mengendalikan artinya menguasai kendali, memegang pimpinan. Pengendalian, artinya proses, atau cara atau perbuatan mengendalikan atau pengekangan. Sesuai dengan asal katanya, kendali, prinsip pengendalian sosial adalah kendali. Apapun harus dilakukan agar dapat dikendalikan. 2. Aspirasi Terbanyak. Prinsip pengendalian sosial selalu memperhatikan kepentingan warga masyarakat yang paling banyak. Dalam pengertian lain prinsip demokrasi yaitu dengan memperhatikan keinginan terbanyak dari warga. Tidak banyak warga yang mengendaki munculnya kerusuhan sosial di wilayahnya. Setiap tindakan pengendalian sosial yang dilakukan tetap mengacu kepada keinginan terbanyak dari warga. 3. Berbohong (Dalam Kasus-Kasus Tertentu). Dalam kasus-kasus tertentu, agar dapat mengendalikan kerusuhan sosial yang terjadi, berbohong, memanipulasi data ju-ga dibenarkan, tujuannya hanya satu yaitu agar keru-suhan sosial dapat dikendalikan minimal di minima-lisir munculnya. Sebab tidak ada gunanya
©2003 Digitized by USU digital library
24
mengatakan (data) yang sebenarnya, kalau terkendalinya kerusuhan sosial yang terjadi.
berakibat
semakin
tidak
3.14 Pendekatan Dalam (Sistem) Pengendalian Sosial Ada beberapa pendekatan dalam melaksanakan pengendalian sosial ketika terjadi masalah sosial. 1. Pendekatan Keamanan. Pendekatan keamanan ini adalah pengendalian sosial yang bersifat kuratif. Prosedur ini biasanya ditangani oleh aparat keamanan. Perintah tembak di tempat misalnya, bisa saja dilakukan seketika, bisa juga tidak, tergantung berat ringannya masalah sosial seperti kerusuhan yang terjadi. Contoh lain dari pendekatan kuratif ini adalah tindakan main hakim yang dilakukan oleh masyarakat. Pada tahap tertentu (temporer), tindakan ini dibenarkan sebagai shock therapy bagi perusuhan yang datang. Namun untuk jangka panjang tindakan main hakim sendiri ini, melahirkan anarki. 2. Pendekatan Pembangunan atau moderenisasi. Contoh memberikan bantuan sesuai dengan keperluan temporer masyarakat. 3. Pendekatan Budaya. Contoh membiarkan aspirasi masyarakat berkembang secara terkendali, memberikan tanda penghargaan, dll. 4. Pendekatan Politik. Pendekatan Politik berbeda dengan penyelesaian politik. Pendekatan Politik lebih mengakomodasi kepentingan dari yang bermasalah, sedangkan penyelesaian politik mengabulkan apa maunya dari yang bermasalah. Dalam pendekatan politik, ada negoisasi yang berkait dengan kepentingan yang lebih besar dari masyarakat, sedangkan dalam penyelesaian politik tidak ada negoisasi, yang ada pengabulan keinginan yang bermasalah. Sebagai contoh pendekatan politik adalah aspirasi masyarakat yang bermasalah ditampung, lalu dipelajari dari berbagai sisi dengan memperhatikan untung ruginya bagi pihakpihak yang terlibat. Solusi akhir yang dihasilkan adalah hasil kompromoni, pihak A disatu pihak tidak dirugikan, juga pihak B disatu pihak juga tidak dirugikan, kalau pun ada yang rugi kedua belah pihak dirugikan atas keputusan yang diambil. Dalam bahasa Inggris istilah ini disebut win-win solution . Dalam penyelesaian politik tidak demikian, ada pihak yang dirugikan ada pihak yang diuntungkan. Contoh penyelesaian politik ini adalah masalah TIMTIM. Masalah TIMTIM akhirnya diselesaikan dengan memberi pilihan kepada masyarakat TIMTIM, mau berintegrasi atau tidak. Kalau mau berintegrasi well come, kalau tidak juga good bye. Kalau masyarakat TIMTIM akhirnya memilih berintegrasi, maka pihak pro kemerdekaan akan dirugikan, demikian sebaliknya kalau pihak pro kemerdekaan yang memenangkan jajak pendapat, maka pihak pro integrasi akan rugi, demikianlah masalah penyelesaian politik yang terbaik.
©2003 Digitized by USU digital library
25
BAB IV PROSEDUR PENGENDALIAN SOSIAL 4.1 Pendahuluan Setiap lapisan masyarakat mempunyai masalah sosialnya sendiri-sendiri. Memang bisa saja terdapat masalah sosial yang sama di antara masyarakat kelompok A dan dengan masyarakat kelompok B, tetapi masalah sosial ini, bisa saja tidak harus sama metode pendekatannya, solusinya. Misalnya masalah sosial dalam bidang pendidikan, pada kelompok masyarakat A, yang diperlukan adalah peningkatan SDM, agar anak-anak mereka, menjadi lebih baik, solusi yang mereka butuhkan adalah guru-guru yang berkualitas, namun pada kelompok masyarakat B, walau pun juga peningkatan masalah SDM, tetapi sarana gedung, bukulah yang menjadi solusi mereka. Sifat solusi ini temporer atau sementara, sebab dari solusi yang diberikan, akan melahirkan masalah sosial lainnya. Demikian seterusnya. Berdasarkan lapisannya masalah sosial untuk tingkat lapisan masyarakat yang paling bawah adalah biasanya misalnya soal lapangan kerja, dengan bekerja mereka dapat memberikan makan kepada anak dan istrinya atau kepada anak dan suaminya. Sedangkan untuk lapisan menengah, bisa jadi bukan masalah lapangan kerja tetapi bisa jadi masalah aspirasi yang yang tidak tertampung. Sedangkan untuk lapisan atas, bukan masalah lapangan kerja atau aspirasinya yang tidak tertampung tetapi bisa jadi masalah kekuasaan. Karena mereka tidak ikut dalam kekuasaan yang memerintah kemudian mereka mengadu domba masyarakat agar melawan pemerintah yang berkuasa. Kelompok ini biasanya selalu berbeda pendapat dengan pemerintah, kalau pemerintah berbicara dari sisi A dia berbicara dari sisi B dalam masalah yang sama. Sebagai contoh kasus Aceh berawal dari kegiatan tentara yang berbisnis ladang ganja. Karena bisnis ladang ganja ini dilarang pemerintah dan para pelakunya dikejar-kejar aparat, maka mereka tentara yang berbisnis ladang ganja ini, akhirnya disersi dari kesatuannya. Untuk melindungi dirinya dari kejaran aparat keamanan mereka kemudian menarik simpati masyarakat dengan menghembuskan isu yang bermacam-macam, misalnya masalah ketimpangan pembangunan di daerah Aceh, masalah kemiskinan di daerah Aceh dan sebagainya. Isu-isu mereka ini mendapat simpati dari masyarakat. LSM-LSM yang anti pemerintah kemudian turut mengkomporinya. Akibatnya masalah Aceh menjadi rumit. Kalau masyarakat tidak bersimpati kepada mereka, mereka kemudian menteror masyarakat. Masyarakat menjadi terjepit antara memihak gerakan yang anti pemerintah dengan pemerintah. Karena gerakan anti pemerintah ini, berbaur dengan masyarakat, akhirnya aparat keamanan menjadi susah mengindentifikasi orang-orang yang anti pemerintah dan menangkapnya. Bila aparat salah menembak masyarakat, kemudian aparat keamanan dikatakan semena-mena, kalau dibiarkan justru aparat keamanan yang menjadi korban. Demikianlah masalah sosial itu bermula dan kemudian berkembang menjadi sulit. 4.2 Prosedur Penanganan Agar masalah sosial tidak semakin meluas, maka masalah sosial itu perlu segera ditangani. Penanganannya harus cermat dan teliti. Salah-salah menangani justru akan menambah kerumitan bagi masalah sosial tersebut. Tujuan dan solusi yang ditawarkan adalah bersifat wajar dengan tetap berpegang teguh kepada pelaksanaan UUD negara, penegakan hak azasi manusia dan keutuhan negara yaitu
©2003 Digitized by USU digital library
26
1. untuk menjaga agar tatatertib yang ada dalam masyarakat yang telah disepakati bersama dapat dijalankan dengan sebaik-baiknya, 2. untuk melindungi hak asasi masyarakat dari tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh warga lain, 3. untuk menjaga kepentingan warga, baik kepentingan sosial, ekonomi, budaya maupun lainnya, 4. untuk menjaga kelangsungan hidup/kesatuan kelompok, 5. untuk menjaga proses pembentukan kepribadian sesuai dengan keinginan kelompok, 6. untuk menjaga agar tidak terjadi chaos dalam masyarakat. Namun demikian penggunaan alat pengendalian terhadap masalah sosial yang muncul bergantung kepada masalah sosial yang muncul. Kerusuhan sosial yang sudah melahirkan anarki, tidak dapat dikendalikan dengan retorika-retorika berupa himbauan-himbauan, namun harus dilakukan secara represif. Isu-isu yang tidak disertai dengan kekerasan fisik, sebaiknya harus dilawan dengan isu pula, tidak direkomendasikan dengan represif, sebab kalau dilakukan dengan represif akan melahirkan, akhirnya seperti membunuh nyamuk dengan meriam. Karena itu penggunaan alat pengendalian sosial, bergantung kepada: 1. Masalah sosial yang berkembang. Penanganan terhadap masalah sosial yang terjadi, bergantung kepada masalahnya. Isu-isu yang dapat mengundang berkembang meluasnya masalah sosial, harus dilawan dengan isu-isu pula. Kekerasan fisik yang terjadi dalam tingkat tertentu, dapat ditangani secara persuasif, namun dalam tingkat tertentu pula kadang kala harus represif. 2. Situasi dan kondisi di lapangan. Kalau situasi dan kondisi di lapangan masih dapat ditangani oleh pihak-pihak setempat, misalnya tokoh-tokoh adat, tokohtokoh masyarakat, tokoh-tokoh agama, pemda sebaiknya diserahkan saja kepada mereka, namun kalau pihak-pihak setempat seperti tokoh-tokoh adat, tokoh-tokoh masyarakat, tokoh-tokoh agama, Pemda (Pemerintah Daerah) tidak mampu menanganinya, baru di datangkan bala bantuan dari pihak ketiga, dalam hal ini tangan-tangan pemerintah pusat. Dalam hal ini penerapan perangkat undang-undang yang ada misalnya darurat sipil atau darurat militer, tetapi tetap mengacu kepada situasi dan kondisi di lapangan. 4.2.1 Anatomi Masalah Sosial Pada dasarnya masalah sosial itu adalah kebudayaan itu sendiri, karena dia muncul dari kebudayaan itu sendiri juga. Kebudayaan mempunyai tiga wujud yaitu wujud ide, gagasan, isu-isu, aktivitas berpola (cara mewujudkan ide, gagasan, isuisu tersebut) dan hasil dari aktivitas berpola ini. Maka setiap masalah sosial yang muncul pun dapat ditelaah dari ketiga wujud ini. 1. Ide, Gagasan, Isu. Gagasan, ide atau isu menguatnya gerakan disintegrasi bangsa disebabkan ketidakadilan pusat terhadap beberapa daerah selama ordebaru, bahkan pada daerah-daerah tertentu sudah dirasakan sejak ordelama. Ketidakadilan terutama dalam hal pengelolaan kekayaan daerah. Pusat terlalu banyak mengambil hasil kekayaan suatu daerah, sementara yang dikembalikan kepada daerah tersebut sedikit. 2. Aktivitas Berpola yang dipergunakan. Oleh elit daerah setempat, isu, gagasan, ide ini dikembangkan dengan mempergunakan momentum reformasi dengan mempergunakan para mahasiswa dan pemuda. Melalui tangan para mahasiswa dan pemuda, gagasan, ide di atas di bentuk opini masyarakat setempat sedemikian rupa agar "anti" kepada pemerintah pusat. 3. Hasil dari aktivitas. Hasil dari aktivitas di atas, adalah pada beberapa daerah, terjadi bentrokan antara petugas keamanan dengan masyarakat setempat. Pada
©2003 Digitized by USU digital library
27
beberapa daerah, terjadi pengusiran etnis tertentu, terjadi pengungsianpengungsian, masyarakat setempat secara psikologis terganggu. Di Aceh misalnya bukan saja warga transmigran dari Jawa yang mengalami pengusiran, juga etnis Aceh dan non Aceh sendiri banyak yang mengungsi ke luar Aceh, gedung-gedung pemerintah banyak yang dibakar oleh OTK, demikian juga rumah-rumah penduduk setempat. Akibatnya sarana dan prasarana yang dibangun pemerintah selama ini rusak berantakan. Perekonomian masyarakat hancur, pariwisata hancur, pendidikan terganggu, sarana kesehatan kekurangan tenaga dan obat-obatan. Bentrok yang terjadi antara aparat keamanan dengan GPK, bukan saja menelan korban antara aparat keamanan dengan pihak BPK tetapi juga menelan korban dari rakyat yang tidak berdosa. Justru rakyat seperti inilah yang menjadi korban terbesar dari konflik yang muncul. Maka bukan ketenangan, kesejahteraan yang di dapat, tetapi sebaliknya. Dalam bagan dapat digambarkan sebagai berikut:
Kelompok Pembangkang
Ide-Gagasan-Isu: APA??????
Hasilnya: Bagaimana?????
Aktivitas Berpola: Bagaimana??????
Pemerintah
Ide-Gagasan-Isu: APA??????
Hasilnya: Bagaimana?????
Aktivitas Berpola: Bagaimana??????
Ide atau gagasan atau isu yang tidak terintegrasi dengan sistem nasional dilawan (counter) dengan ide, atau gagasan atau isu pula. Pelaksanaan di lapangan dilawan (counter) dengan metode kerja yang sama. Ini semua dilakukan secara terstruktur dan kontinyu.
©2003 Digitized by USU digital library
28
4.2.2 Alur Pengendalian Masalah Sosial Adapun alur pengendalian masalah sosial selalu seperti berikut ini:
Alat Pengendalian Sosial: 1. Wewenang 2. Adat Istiadat 3. Norma Hukum 4. Prestise dan Kepemimpinan Interpretasi Filosofis dan Sosiologis Terhadap Nilai
Masalah Sosial Baru: 4. ? 5. ? 6. ? 7. ?
Alat Pengendalian Sosial: 1. Wewenang 2. Adat Istiadat 3. Norma Hukum 4. Prestise dan Kepemimpinan Interpre tasi Filosofis dan Sosiologis Terhadap Nilai
Masalah Sosial Yang Muncul: 1.? 2.? 3.?
Alat Pengendalian Sosial: 1. Wewenang 2. Adat Istiadat 3. Norma Hukum 4. Prestise dan Kepemimpinan Interpre tasi Filosofis dan Sosiologis Terhadap Nilai
Masalah Sosial Baru: 1. ? 2. ? 3. ?
Masalah sosial yang muncul selalu dikendalikan. Hasil dari pengendalian ini akan melahirkan lagi masalah sosial yang baru dengan mutu yang bisa berbeda, bisa sama dengan masalah sosial yang terjadi sebelumnya. Kemudian masalah sosial ini di kendalikan lagi. Hasil dari pengendalian ini akan melahirkan lagi masalah sosial yang baru dengan kadar yang bisa berbeda bisa sama dengan masalah sosial yang terjadi sebelumnya. Demikian seterusnya. Adanya masalah sosial di atas disebabkan adanya perilaku menyimpang dari kesepakatan bersama di dalam sebuah masyarakat. Perilaku yang menyimpang ini biasanya disebabkan oleh banyak faktor. Namun bila dikembalikan kepada struktur kebudayaan, penyimpangan ini terjadi pada ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, ini sifatnya abstrak, penyimpangan dalam gagasan
©2003 Digitized by USU digital library
29
diwujudkan ke dalam tindakan, yaitu aktivitas berpola dari manusia berupa aktivitas manusia yang saling berinteraksi, ini sifatnya kongkret, dan akhirnya hasil karya yaitu penggunaan peralatan untuk mencapai tujuannya yang juga menyimpang dari kelayakan umum. Masalah sosial apapun yang terjadi, polanya tetap kepada ketiga wujud di atas. Namun demikian, apa pun jenis atau kategori masalah sosial yang muncul, struktur masalah sosial itu selalu terdiri atas dua bagian, bagian pertama berada dalam tataran ide, isu, gagasan, dan bagian kedua yaitu aktivitas berpola yaitu bagaimana ide, isu, gagasan itu diwujudkan dalam bentuk nyata. Bagian pertama tidak dapat dlihat oleh kasat mata, namun dapat dirasakan, sedangkan bagian kedua dapat dilihat dengan kasat mata. Ide melawan atasan misalnya, kalau tidak diwujudkan kedalam tindakan berpola, tidak akan dapat dilihat secara jelas, begitu diwujudkan ke dalam tindakan berpola misalnya mogok kerja, jelas dapat dilihat dengan kasat mata. 4.2.3 Pengendalian Sosial Berjangka Waktu Solusi yang diberikan atau ditawarkan haruslah berdimensi waktu. Hal ini mengingat, setiap solusi yang diterapkan akan melahirkan masalah sosial baru. Penerapan solusi pada dimensi waktu ini, ketiga wujud kebudayaan di atas (ide, gagasan, isu, aktivitas berpola yang dipergunakan dan hasil dari aktivitas berpola ini) harus diterapkan dalam pelaksanaan solusi-solusi yang diberikan. Hal ini sesuai dengan anatomi masalah sosial yang terdiri dari tiga unsur yaitu ada ide, gagasan, isu, ada aktivitas berpola yang dipergunakan untuk mewujudkan ide atau gagasan atau isu, dan ada hasil dari aktivitas berpola ini. Pengendalian Sosial Berjangka Waktu
Masalah Sosial: Apa dan Bagaimana
Jangka Waktu Solusi
Solusinya: Apa dan Bagaimana
Jangka Waktu Solusi: Berdasarkan Target dengan waktu, bisa Hari, Minggu, Bulan, tahun
DIEVALUASI: HASILNYA?? APA DAN BAGAIMANA
Masalah Sosial Baru:
©2003 Digitized by USU digital library
Jangka Waktu Solusi
30
Apa dan Bagaimana
Solusinya: Apa dan Bagaimana
Jangka Waktu Solusi: Berdasarkan Target dengan waktu, bisa Hari, Minggu, Bulan, tahun
DIEVALUASI: HASILNYA?? APA DAN BAGAIMANA Demikian Seterusnya. Setiap penanganan masalah sosial, harus dilakukan berdasarkan sumber masalah sosial. Solusi yang ditawarkan harus ada jangka waktunya berapa lama solusi itu harus diterapkan. Bila sudah selesai jangka waktunya, harus dievaluasi perubahan yang terjadi, apakah perubahan itu melahirkan masalah sosial baru. Sumber masalah sosial baru ini bisa dari solusi yang diberikan terhadap masalah yang terjadi, dapat pula dari masalah sosial lama yang belum selesai, justru solusi yang diberikan menambah masalah sosial lain. Maka masalah sosial baru ini adalah hasil evaluasi dari solusi yang diberikan. Maka solusi masalah sosial baru juga bergantung masalah sosial yang muncul kemudian. Solusi yang tawarkan, diterapkan, diberikan target atau jangka waktunya; berapa lama solusi itu ditawarkan, diterapkan. Apakah hanya untuk satu tahun, kemudian dievaluasi atau untuk dua tahun, kemudian dievaluasi atau untuk tiga tahun, kemudian dievaluasi atau untuk empat tahun, kemudian dievaluasi atau untuk lima tahun, kemudian dievaluasi demikian seterusnya. 4.2.4 Beberapa Pendekatan Terhadap Masalah Sosial Ada beberapa pendekatan yang lazim dipergunakan untuk mengendalikan masalah sosial yang muncul. Pendekatan-pendekatan tersebut antara lain: 4.2.4.1 Pendekatan Keamanan. Pendekatan Keamanan. Pendekatan keamanan ini adalah pengendalian sosial yang bersifat kuratif. Prosedur ini biasanya ditangani oleh aparat keamanan. Perintah tembak di tempat misalnya, bisa saja dilakukan seketika, bisa juga tidak, tergantung berat ringannya masalah sosial seperti kerusuhan yang terjadi. Contoh lain dari pendekatan kuratif ini adalah tindakan main hakim yang dilakukan oleh masyarakat. Pada tahap tertentu (temporer), tindakan ini dibenarkan sebagai shock therapy bagi perusuh yang datang. Namun untuk jangka panjang tindakan main hakim sendiri ini, melahirkan anarki.
©2003 Digitized by USU digital library
31
4.2.4.2 Pendekatan Pembangunan. Pendekatan Pembangunan atau moderenisasi. Pendekatan ini diberlakukan untuk memuaskan permintaan masyarakat akan pembangunan di daerah mereka. Pendekatan pembangunan ini bisa bersifat jangka pendek, bisa bersifat jangka panjang. Yang bersifat jangka pendek misalnya, memberikan bantuan sesuai dengan keperluan temporer masyarakat. Membangun Mesjid-mesjid seperti di Aceh. Mengaktifkan kembali pelabuhan bebas Sabang di Aceh. Memberikan bantuan mobil seperti yang dilakukan pertamina. Sedangkan yang bersifat jangka panjang adalah memberikan otonomi kepada daerah mereka. Melalui pemberian otonomi ini, maka masalah-masalah sosial yang bersifat disintegrasi bangsa, dapat diminimalkan. Kalau selama ini konflik disintegrasi terjadi antara masyarakat di daerah dengan pemerintah pusat, maka dengan diberlakukannya otonomi daerah ini, konflik justru berpindah dari masyarakat daerah kepada pemerintah daerah. 4.2.4.3 Pendekatan Budaya. Pendekatan Budaya. Contoh membiarkan aspirasi masyarakat berkembang secara terkendali, memberikan tanda penghargaan, memberikan beasiswa khusus kepada anak didik. Pelaksanaan syariat Islam di Aceh, penerapan hukum adat seperti yang Blang Pidie dan Tapaktuan Aceh. Mengadakan dialog-dialog, membuat jeda kemanusiaan dan lainnya. 4.2.4.4 Pendekatan Politik. Pendekatan Politik. Pendekatan Politik berbeda dengan penyelesaian politik. Pendekatan Politik lebih mengakomodasi kepentingan dari yang bermasalah, sedangkan penyelesaian politik mengabulkan apa maunya dari yang bermasalah. Dalam pendekatan politik, ada negoisasi yang berkait dengan kepentingan yang lebih besar dari masyarakat, sedangkan dalam penyelesaian politik tidak ada negoisasi, yang ada pengabulan keinginan yang bermasalah. Sebagai contoh pendekatan politik adalah aspirasi masyarakat yang bermasalah ditampung, lalu dipelajari dari berbagai sisi dengan memperhatikan untung ruginya bagi pihak-pihak yang terlibat. Solusi akhir yang dihasilkan adalah hasil kompromoni, pihak A disatu tidak dirugikan, juga pihak B disatu pihak tidak dirugikan, kalau pun ada yang rugi kedua belah pihak dirugikan atas keputusan yang diambil. Dalam penyelesaian politik tidak demikian, ada pihak yang dirugikan ada pihak yang diuntungkan. Contoh penyelesaian politik ini adalah masalah TIMTIM. Masalah TIMTIM akhirnya diselesaikan dengan memberi pilihan kepada masyarakat TIMTIM, mau berintegrasi atau tidak. Kalau mau berintegrasi well come , kalau tidak juga good bye. Kalau masyarakat TIMTIM akhirnya memilih berintegrasi, maka pihak pro kemerdekaan akan dirugikan, demikian sebaliknya kalau pihak pro kemerdekaan yang memenangkan jajak pendapat, maka pihak pro integrasi akan rugi, demikianlah masalah penyelesaian politik yang terbaik. 4.3 Kasus 4.3.1 Gerakan Disintegrasi Bangsa Gerakan disintegrasi bangsa, walaupun lebih berat kepada masalah politik, namun di dalamnya ada masalah kemasyarakatan yaitu orang-orang yang ikut mendorong dan mendukung gerakan tersebut.
©2003 Digitized by USU digital library
32
Di era reformasi ini, terlihat semakin kuat gerakan disintegrasi bangsa di Indonesia ini. Di beberapa wilayah terdengar isu-isu merdeka, terlepas dari negara kesatuan RI, misalnya Aceh, Sumut, Riau, Bali, Sulawesi, Kalteng dan Irian Jaya. Isu ini ada yang terus berlanjut seperti di Aceh dan Irian Jaya, dan ada yang hilang begitu saja. Munculnya isu merdeka tersebut, dilatarbelakangi berbagai faktor misalnya ketimpangan keuangan pusat dan daerah, sumberdaya alam daerah lebih banyak disedot ke pusat, daerah hanya kebagian ampasnya saja, sampai-sampai karena faktor perbedaan sejarah seperti yang ditiupkan di Irian Jaya (Papua). Namun demikian, kita tidaklah dapat mengindentifikasi satu persatu masalah sosial tersebut. Di Aceh masalah disintegrasi ini, lebih disebabkan faktor ketidakadilan pusat terhadap daerah. Di Riau juga demikian. Untuk mengendalikan gerakan disintegrasi ini pemerintah memberikan solusi dengan otonomi khusus melalui pendekatan dialogis terhadap Aceh dan Irianjaya. Pendekatan ini dalam skala tertentu, kalau eksesnya gagal artinya eskalasi separatisme semakin menguat akan dilanjutkan dengan pendekatan keamanan berupa darurat sipil atau darurat militer seperti yang diungkapkan Menkopolsoskam SB Yudhoyono (infopapua.com, 24/11/2000). Tindakan ini dilakukan dalam kerangka menjaga NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Pengendalian Sosial untuk kasus ini adalah sebagai berikut: Struktur Masalah
Kelompok Pembangkang
Ide-Gagasan-Isu: APA??????
Hasilnya: Bagaimana?????
Aktivitas Berpola: Bagaimana??????
Pemerintah
Ide-Gagasan-Isu: APA??????
Hasilnya: Bagaimana?????
Aktivitas Berpola: Bagaimana??????
Gerakan disintegrasi bangsa ini dilihat dari wujud kebudayaan ada tiga strukturnya yaitu ada ide, gagasan, dan isu yang merusak negara (kesatuan). Dalam bentuk fisik ide ini diwujudkan dengan aktivitas-aktivitas kekerasan seperti
©2003 Digitized by USU digital library
33
melawan aparat keamanan, melawan kekuasaan pemerintah. Semakin banyak masyarakat yang tertarik dengan gerakan disintegrasi ini akan semakin intensif perlawanan yang diberikan kepada pemerintah. Untuk mencegah agar tidak semakin meluas, pemerintah dan yang rakyat yang bersimpati kepada pemerintah harus melawan isu, ide, gagasan yang memecah bangsa ini. Bentuk perlawanan yang diberikan bergantung kepada berat ringannya masalah. Kalau masih ringan, cukup dengan melawan dengan ide, gagasan dan isu pula (ide, gagasan dan isu kontra ide, gagasan dan isu pula). Namun kalau sudah berat selain mengintensifkan perlawanan dengan isu, gagasan dan ide, juga dilakukan dengan mengambil tindakan represif dan persuasif. Pendekatan budaya, pendekatan ekonomi, pendekatan keagamaan harus tetap mengacu kepada melawan isu, ide, gagasan dari pihak separatis. Langkah-langkah ini harus ada jangka waktunya, agar sumberdaya yang ada dapat dikelola secara baik, sebab bisa saja nanti masalah sudah selesai, namun pola solusi yang diberikan tidak berubah, ini akan menghabiskan sumber daya yang ada dengan sia-sia. Maka evaluasi dari solusi yang terapkan mutlak dilakukan. 4.3.2 Kerusuhan Sosial Indonesia juga salah satu negara yang dapat dikatakan tinggi frekuensi munculnya kerusuhan sosial. Kerusuhan sosial itu biasanya bersumber SARA, (suku, agama, ras, dan antar-golongan). Bisa pula dari demonstrasi-demonstrasi yang tidak terkendali. Dampak kerusuhan sosial ini biasanya merembet ke banyak hal dan bidang (efek domino). Pola kerusuhan sosial ini dapat digambarkan sebagai berikut: Pola dan Indonesia
Perkembangan
Masalah Awal
Dan
Solusi
Sepele
Masalah
(Kerusuhan)
Ekonomi Politik Isu? Isu?
Agama Suku Aspirasi Isu? Isu? Isu?
Solusi Tergantung Kasus
Solusi?
Solusi? Solusi? Solusi?
Tujuan Solusi?
©2003 Digitized by USU digital library
di
Masa Yang Terpengaruh
Masalah BerkemBang Menjadi
Solusi?
Sosial
? Isu
Solusi?
Bahaya Laten Yang Perlu Diwaspadai.
34
Pada umumnya kerusuhan sosial selalu berawal dari hal-hal yang kecil. Sebagai contoh kasus Situbondo Oktober 1996. Timbulnya masalah sosial, ini berawal dari sepele. Umat muslim yang bermasalah, tetapi tanpa ujung pangkal bangunan gereja (simbol kristen) dan etnis Cina (simbol ras sekaligus simbol antar golongan (kaya)) yang menjadi sasaran. Masalah ini kemudian meluas karena ada yang memprovokasi. Tema permasalahan pun bukan lagi disebabkan adanya umat islam yang menghina tokoh agama islam sendiri, tetapi merembet kemasalah kesenjangan ekonomi antara pribumi dengan Cina, bercampur ke masalah agama hal ini terlihat karena gereja banyak yang dirusak. Hasil temuan Hasil temuan Tim Pencari Fakta GP Ansor Jatim, ternyata kasus kerusuhan Situbondo merupakan sebuah rekayasa yang gagal dari yang oleh Tim disebut Konspirasi Lima Kelompok (KLK) yang bertujuan utama untuk mendiskreditkan dan menyeret secara hukum KH Achmad Sofyan dan KH Kholil Asad serta sekaligus untuk menggulingkan KH Abdurrahman Wahid dari kepemimpinan NU. Tema kemudian bergeser ke masalah politik. Maka solusi tergantung kasusnya dan daerahnya. Kasus judi misalnya, di daerah tertentu, perjudian dapat diobrak-abrik masyarakat seenaknya, namun di daerah lain, Sumatera Utara misalnya, tidak demikian. Diberantasnya judi, justru melahirkan masalah sosial baru. Tujuan dari solusi yang diberikan biasanya: 1. Untuk Mengembalikan Kepercayaan Rakyat Kepada Pemerintah Yang Berkuasa 2. Untuk Mengembalikan Kepercayaan Rakyat Kepada Tujuan Negara Persatuan dan Kesatuan (Indonesia) 3. Menentramkan masyarakat. 4. dll
©2003 Digitized by USU digital library
35
BAB V PENUTUP Pengendalian sosial tidak sama dengan penataan (hubungan) sosial. Penataan (hubungan) sosial adalah cara menata hubungan-hubungan antara unsur yang ada di dalam masyarakat (sosial); yang ditata adalah hubungan unsur yang ada di dalam masyarakat. Sifatnya pasip bagi hubungan antara manusia. Sedangkan pengendalian sosial adalah menata hubungan antara masyarakat. Sifatnya aktif, bila terjadi masalah sosial, maka segera diusahakan bagaimana mengendalikan masyarakat yang bermasalah. Maka pengendalian Sosial adalah suatu proses, baik yang direncanakan atau tidak direncanakan yang bertujuan untuk mengajak, membimbing atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi nilai-nilai dan kaidahkaidah yang berlaku. Pengendalian sosial terjadi apabila suatu kelompok menentukan tingkah laku kelompok lain, apabila kelompok mengendalikan perilaku anggotanya, atau kalau pribadi-pribadi mempengaruhi tingkah laku pihak lain, baik apabila hal itu sesuai dengan kehendaknya atau tidak. Berdasarkan sifatnya pengendalian sosial dapat bersifat preventif dan represif. Pengendalian sosial yang bersifat preventif, usaha dilakukan sebelum terjadi pelanggaran, artinya tujuannya adalah untuk mencegah. Pengendalian sosial yang bersifat represif diadakan, apabila telah terjadi pelanggaran dan hendak diusahakan untuk memulihkan keadaan pada situasi semula, sebelum pelanggaran terjadi. Berdasarkan caranya pengendalian sosial dapat dilakukan secara persuasif dan koersif. Cara persuasif, apabila pengendalian sosial ditekankan kepada pada usaha untuk mengajak atau membimbing. Pada cara koersif, tekanan diletakkan pada kekerasan atau ancaman, dengan mempergunakan atau mengendalikan kekuatan fisik. Adapun sumber sistem pengendalian sosial dapat dibagi tiga pertama sistem secara pasip dan kedua sistem secara aktif, dan ketiga kombinasi aktif dan pasip. Sistem pengendalian sosial secara pasip maksudnya pengendalian sosial dilakukan dengan tetap berpegang kepada aturan-aturan yang berlaku undang-undang, yurisprudensi, perjanjian (konvensi, perjanjian internasional), kebiasaan-kebiasaan, aturan tingkah laku, aturan sosial, jasa teman, janji keluarga dan lainnya yang tujuannya untuk mengendalikan tingkah laku kelompok dan atau tingkah laku masyarakat. Sedangkan pengendalian sosial secara aktif adalah dengan mengadakan rekayasa-rekayasa. Rekayasa bentuk pertama berupa adu domba, apakah itu berdasarkan agama, atau kepentingan-kepentingan lain, memelihara dua atau tiga atau lebih kelompok-kelompok yang berbeda, yang pada suatu saat mereka saling dibenturkan secara terkendali, dari hasil rekayasa seperti ini, siperekayasa selain dapat mengendalikan tingkah laku kelompok masyarakat dan masyarakat, juga mendapatkan manfaat, keuntungan politis tertentu. Rekayasa bentuk kedua adalah berupa pernyataan-pernyataan yang sifatnya memojokkan yang anti terhadap kelompok pemegang kekuasaan. Misalnya isu-isu PKI, OTB, ekstrim kanan, ekstrim kiri dan sebagainya, untuk Indonesia. Rekayasa bentuk lain adalah menuding langsung sasaran, mencari-cari kesalahan pihak lawan. Pengendalian sosial melalui rekayasa seperti ini, dapat dilakukan melalui pembenaran sejarah, pembenaran aturan-aturan yang berlaku, undang-undang, yurisprudensi, perjanjian (konvensi, perjanjian internasional), kebiasaan-kebiasaan, aturan tingkah laku, aturan sosial, jasa teman, janji keluarga dan lainnya. Pengendalian Sosial kombinasi aktif dan pasif adalah perintah tembak di tempat, tangkap atau diciduk. Adapun tujuan akhir dari pengendalian sosial tersebut adalah (1) Untuk menjaga agar tatatertib yang ada dalam masyarakat yang telah disepakati bersama dapat dijalankan dengan sebaik-baiknya, (2) Untuk melindungi hak asasi masyarakat
©2003 Digitized by USU digital library
36
dari tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh warga lain, (3) Untuk menjaga kepentingan warga, baik kepentingan sosial, ekonomi, budaya maupun lainnya, (4) Untuk menjaga kelangsungan hidup/kesatuan kelompok, (5) Untuk menjaga proses pembentukan kepribadian sesuai dengan keinginan kelompok. Pengendalian sosial ada karena adanya masalah sosial. Masalah sosial adalah ketidaksesuaian antara unsur-unsur dalam kebudayaan atau masyarakat yang membahayakan hidup kelompok sosialnya, atau menghambat terpenuhinya keinginan-keinginan pokok para warga kelompok sosial, sehingga menyebabkan rusaknya ikatan sosial. Masalah sosial ini menyangkut nilai-nilai sosial dan moral. Masalah ini menjadi permasalahan karena menyangkut kelakuan yang immoral, berlawanan dengan hukum, adat kebiasaan yang berlaku di dalam lingkungan masyarakatnya. Berdasarkan sifatnya masalah sosial ini ada yang berdimensi dimensi kultural, dimensi politis, dimensi individu. Landasan pelaksanaan pengendalian sosial ini ada tiga (1) Berdasarkan Hukum (Tertulis). Sanksinya jelas, mengingat, (2) Aturan atau norma-norma non Agama (Tidak Tertulis). Sanksinya cenderung tidak mengikat, namun bersifat moral, (3) Norma-norma Agama, kepercayaan. Sanksinya cenderung tidak mengikat, tetapi dipertanggungjawabkan di hari trakhir (kiamat). Tujuan akhir dari pengendalian sosial ini adalah (1) Untuk menjaga agar tatatertib yang ada dalam masyarakat yang telah disepakati bersama dapat dijalankan dengan sebaik-baiknya. (2) Untuk melindungi hak asasi masyarakat dari tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh warga lain. (3) Untuk menjaga kepentingan warga, baik kepentingan sosial, ekonomi, budaya maupun lainnya. (4) Untuk menjaga kelangsungan hidup/kesatuan kelompok. (5) Untuk menjaga proses pembentukan kepribadian sesuai dengan keinginan kelompok. Dengan demikian diharapkan hak asasi warga dapat dilindungi dan dihargai. Syarat utama terwujudnya pengendalian sosial adalah adanya sistem nilai yang transparan dan diakui oleh semua pihak (masyarakat). Sesuai dengan hakekat pengendalian sosial sebagai perwujudan adanya kebebasan warga masyarakat yang bertanggungjawab, maka tidak ada "kebebasan" warga yang mutlak, semua warga tidak terkecuali harus mematuhi tatatertib dan ada istiadatnya, karena tatatertib dan ada istiadat pada dasarnya bertujuan untuk melindungi warga masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang individu. Di dalam masyarakat moderen, pengendalian sosial ini dibebankan kepada aturan-aturan yang tertulis, seperti hukum yang jelas sanksinya. Pada masyarakat tradisional, pengendalian sosial ini lebih ditekan kepada kesadaran individu. Kalau masalah sosial dikembalikan kepada wujud kebudayaan yaitu mempunyai wujud ide, gagasan, isu-isu, aktivitas berpola (cara mewujudkan ide, gagasan, isu-isu tersebut) dan hasil dari aktivitas berpola ini. Maka setiap masalah sosial yang muncul pun dapat ditelaah dari ketiga wujud ini, ide, gagasan, isu sebagai wujud pertama, aktivitas berpola yang dipergunakan, sebagai wujud kedua, dan hasil dari aktivitas tersebut sebagai wujud ketiga. Maka setiap solusi untuk masalah sosial yang muncul hendaknya solusi tersebut bersandarkan ketiga wujud di atas. Artinya solusi itu dilakukan dengan mempertimbangkan ketiga unsur di atas.
©2003 Digitized by USU digital library
37
DAFTAR BACAAN Amirin, Tatang M. 1992. Pokok-Pokok Teori Sistem. Jakarta: CV. Radjawali. Black, Donald. 1976. The Behavior of Law. New York, Sanfrancisco, London: Academic Press. Cahyono, Cheppy Hari dan Alhakim, Suparlan. 1982. Ensiklopedia Politika. Surabaya: Usaha Nasional. Dahrendorf, Ralf. 1986. Konflik Dan Konflik Dalam Masyarakat Industri. Jakarta: CV. Rajawali. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Infopapua.com, 24/11/2000. Darurat Militer Aceh-Irian Digodok NKRI Pilar Kebijakan Pemerintah. Kantaprawira, Rusadi. 1990 Pendekatan Sistem Dalam Ilmu-Ilmu Sosial: Aplikasi Dalam Meninjau Kehidupan Politik Indonesia. Bandung: Penerbit Sinar Baru. Koentjaraningrat, 1974. Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia. Koentjaraningrat, 1983. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru. Koentjaraningrat, 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI Press. Koentjaraningrat, 1990. Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta: UI Press. Koentjaraningrat, 1995. Pokok-Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat. Laeyendecker, L., 1991. Tata, Perubahan, Dan Ketimpangan Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Mannheim, Karl. 1986. Sosiologi Sistematis. Jakarta: Bina Aksara. Nasikun, 1995. Sistem Sosial Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Sainoi:
[email protected], Date: Tue Dec 19 2000 - 08:45:29 MST), Theys, Muhammad Nazar dkk Hanya Dapat Dibebaskan Kalau Dia Berjanji Akan Memberikan Ketenangan Kepada Masyarakat Dimana Dia Tinggal Soekanto, Soerjono & Tjandrasari, Heri. 1987. J.S. Roucek Pengendalian Sosial. Jakarta: Rajawali Press. Soekanto, Soerjono. 1996. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers. Soekanto, Soerjono & Salman, R. Otje (ed). 1988 Antropologi Hukum, dalam Disiplin Hukum dan Disiplin Sosial. Jakarta: Rajawali Pers. Soemardjan, Selo dan Soemardi, Soelaeman. TT. Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Taneko, Soleman B. 1987. Hukum Adat. Bandung: Eresco. Taneko, Soleman B. 1994. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: CV. Fajar Agung.
©2003 Digitized by USU digital library
38