75
SISTEM CORPORATE GOVERNANCE DALAM PERSPEKTIF AKUNTANSI SYARIAH 75 Zulhelmy Fakultas Ekonomi Universitas Islam Riau Firdaus A. Rahman Fakultas Ekonomi Universitas Islam Riau
Abstract At this time, the system of Islamic governance based lively discussed by various groups, especially economists and Islamic finance. Been much discussed concept of corporate governance by various experts, but not many experts who study the governance system from the perspective of Islamic accounting. We know the model of corporate governance has developed very rapidly, namely agency theory, stewardship theory, political theory, stakeholder theory, myopic market theory, strategic management theory, path dependency theory. None tried to discuss how to build corporate govervenance from the perspective of Islamic spiritual perspective in this Islamic accounting. The two main approaches used in building the Islamic principles of corporate governance. According Shamsad Akhtar, there are two unique governance for Islamic financial institutions, namely: (1) faith based approach and (2) the profit motive that recognizes trade and investment and maximizing shareholder wealth. Keywords: Islamic corporate governance, faith based approach, Islamic accounting PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Telah disadari bahwa sebab utama kegagalan perusahaan adalah lemahnya penerapan sistem tata kelola perusahaan. Lemahnya penerapan tata kelola perusahaan menyebabkan perusahaan tidak mampu bertahan dalam keadaan krisis ekonomi khususnya krisis keuangan. Banyak pakar keuangan telah memberikan cadangan pelbagai konsep yang berkenaan dengan upaya mengatasi lemahnya capaian perusahaan. Capaian yang dimaksud adalah memperoleh keuntungan bagi perusahaan. Salah satunya adalah menerapkan sistem informasi keuangan yang mampu memberikan informasi
tentang keuntungan. Pakar keuangan berpendapat bahwa untuk menerapkan sistem tata kelola p e r u s a h a a n ya n g b a i k t e r h a d a p perusahaan adalah menerapkan sistem akuntansi (accounting system). Sistem akuntansi bisa menghasilkan informasi yang berguna terhadap pihak-pihak yang berkaitan, seperti direktur keuangan. Adanya sistem akuntansi yang baik yang diterapkan terhadap perusahaan, bisa membantu perusahaan dalam memperoleh capaian-capaian khususnya keutungan. Sistem akuntansi yang baik memberikan panduan dalam mengambil keputusan sehingga perusahaan bisa berkembang dan berhasil bertahan dalam keadaan
76
Jurnal Ekonomi, Manajemen dan Akuntansi I Vol. 15 No. 1 Juni 2009
krisis ekonomi dan keuangan. Walaupun begitu, sistem tata kelola dan akuntansi yang baik adalah yang berasaskan terhadap konsep Islam iaitu berasaskan al-Qur’an dan as sunnah. Islam mengutamakan asas kesadaran bahwa perbuatan yang dilakukan di dunia akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah SWT. Konsep ini dikenalpasti dengan akuntabilitas (accountability), sama ada akuntabilitas horizontal maupun vertikal. B. Akuntabilitas dan Akuntansi Akuntabilitas diartikan sebagai kewajiban para pemegang kekuasaan (pejabat publik) untuk mempertanggungjawapkan segala aktivitasnya yang mengatasnamakan publik. Pejabat publik tersebut adalah mereka yang atas nama publik diberi kewenangan politik, keuangan, atau bentuk lain daripada kekuasaan. Berteraskan pengertian tersebut, ada 3 elemen penting dalam akuntabilitas yang bersifat melekat, iaitu: Elemen hak terhadap pihak berkuasa (right of authority); bahwa akuntabilitas merupakan respon terhadap otoriti yang d i b e r i k a n . S e h i n g g a p i h a k ya n g berkewajipan melakukan akuntabilitas adalah mereka yang memang diberi otoriti. Elemen pertanggungjawapan (answerability); bahwa kerana adanya pemberian otoritas, maka sudah menjadi kewajiban penerima otoriti untuk meinformasikan & menjelaskan apa yang mereka lakukan terhadap instansi terkait dan publik. Elemen penguatkuasaan (enforcement); bahwa dalam akuntabilitas ada kapasitas untuk menjatuhkan sanksi dan memberikan ganjaran terhadap para pemegang otoritas. Dengan demikian ada unsur pihak eksternal dalam elemen ini
yang ditempatkan sebagai penilai. Dalam pengertian tersebut, maka akuntabilitas merupakan sebuah proses yang aktif, dimana lembaga-lembaga publik berkewajipan meinformasikan segala sesuatunya untuk melakukan justifikasi terhadap segala bentuk pejangkaan, implementasi dan output yang dihasilkan. Akuntabilitas yang mesti dilakukan oleh organisasi terutama organisasi sektor publik terdiri dari beberapa dimensi. Ellwood menjelaskan terdapat empat dimensi akuntabilitas yang mesti dipenuhi oleh institusi tersebut , iaitu; (1) akuntabilitas kejujuran dan akuntabilitas hukum; (2) akuntabilitas proses; (3) akuntabilitas program; dan (4) akuntabilitas polisi (Sheila Elwood, 1993). Muslim meyakini bahwa segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah yang memiliki maksud dan tujuan. Tujuan tersebut memberikan erti penting dan keberertian bagi keberadaan manusia. Manusia memiliki akuntabilitas terhadap Tuhannya dan keberjayaannya bergantung pada prestasinya dalam kehidupan dunia ini (Maliah Sulaiman, 2005). Akuntansi dalam artian luas merupakan sentral bagi Islam, akuntabilitas terhadap Tuhan dan komunitas untuk semua aktivitas adalah keyakinan tertinggi bagi umat Islam. Salah satu tujuan utama sistem akuntansi adalah memperkuat atau membantu akuntabilitas. Dalam pemakaian sumber-sumber alam ekonomik mesti bertanggungjawab terhadap kemanajemennya, sama ada yang berhubungan dengan organisasi pemerintahan maupun yang berhubungan
Sistem Corporate Governance Dalam Perspektif... (Zulhelmy & Firdaus A. Rahman)
dengan entiti sektor swasta. Akuntabilitas berasaskan pada shari’a yang merupakan etik komprehensif dapat secara khusus diformulasikan bagaimana perniagaan semestinya dijalankan, bagaimana perdagangan semestinya diorganisasi dan dikelola, dan bagaimana pelaporan keuangan semestinya dibuat (Mervyn K Lewis, 2006). Dalam masyarakat muslim, akuntansi diharapkan dipengaruhi oleh sistem ekonomi yang dikelola dan menjadi pilosopi mendasar dalam sistemnya. Jika kita menguji peran aktivitas ekonomik dalam Islam, kita akan menjumpai bahwa pilosofi akitivitas manusia semestinya diarahkan menuju pencapaian falah (kemenangan) berupa kesejahteraan komprehensif baik di dunia maupun di akhirat. Untuk mencapai falah ini, aktivitas ekonomi mesti bermoral. Dalam pelbagai keputusan ekonomik, termasuk pelaporan keuangan terhadap aktivitas ekonomi, nilai etik semestinya bertindak sebagai norma dan hubungan ekonomik mesti dipertimbangkan sebagai hubungan moral. (Abdul Rahim Abdul Rahman, 2008). Peran akuntabilitas dan peningkatan nilai terhadap tata kelola perusahaan berkait rapat dalam konteks pelaporan keuangan. Koh, Laplante dan Tong telah melakukan kajian yang berkenaan dengan hubungan dan pengaruh struktur tata kelola terhadap perannya terhadap proses pelaporan keuangan. Hasilnya adalah struktur tata kelola memiliki peranan langsung terhadap proses pelaporan keuangan. (Ping-Sheng Koh, Stacie Kelley Laplante dan Yen H. Tong, 2007). Pada bulan July 2005, International Accounting Standard Board (IASB)
77
bersetuju bahwa akuntabilitas atau pengawasan semestinya tidak menjadi tujuan yang terpisah dari pelaporan keuangan oleh entitas bisnis dalam rancangan memusat (converged framework). Agaknya, rancangan memusat semestinya menyatakan bahwa informasi keuangan diarahkan pada tujuan utama penyediaan informasi yang bermanfaat terhadap pelaburan, kredit, dan keputusan alokasi sumberdaya yang sama berguna untuk tujuan lain, meliputi penilaian pengawasan manajemen (IASB 2005a, para. 24) (Vincent O’ Connell, 2007). Pelaporan pertanggungjawapan (stewardship reporting) secara utama berkait rapat dengan gagasan akuntabilitas terhadap kelompok dalaman dan luaran, sama ada dalam bentuk penilaian prestasi masa lalu maupun pengendalian aksi manajemen masa hadapan. Namun demikian, tidak ada definisi yang umum mengenai pengawasan dalam literatur, dan konsep itu sendiri kelihatan subjek terhadap berbagai interpretasi alternatif. Berbagai pertanyaan muncul sebagai berikut: (Vincent O’ Connell, 2007). 1. Apa pemahaman kontemporari istilah pengawasan diantara kelompok yang berbeda seperti penyedia, pembuat aturan, pemakai, dan akademik? Apakah penafsiran istilah tersebut berbeda secara bererti dengan kelompok lainnya? Apa perbezaan dan tindih menindih antara istilah: ”pengawasan”, ”akuntabilitas”, dan ”pengendalian”? 2. Sejauh mana definisi dan arti pengawasan berbeda lintas negara? 3. A p a k e p e r l u a n p e l a p o r a n pertanggungjawapan spesifik bagi kelompok pemakai alternatif?
78
Jurnal Ekonomi, Manajemen dan Akuntansi I Vol. 15 No. 1 Juni 2009
4. B a g a i m a n a ( j i k a s e m u a n y a ) pengawasan berkesan terhadap pilihan-pilihan polisi akuntansi firma? A ku n t a b i l i t a s ( a cco u n t a b i l i t y ) merupakan konsep yang lebih luas daripada pengawasan (stewardship). Pengawasan mengacu pada pengelolaan atas suatu aktivitas secara ekonomis dan efisien tanpa dibebani kewajipan untuk melaporkan, sedangkan akuntabilitas mengacu pada pertanggungjawapan oleh pramugara (steward) terhadap pemberi tanggungjawab. Adanya akuntabilitas merupakan tujuan utama daripada reformasi sektor publik termasuk sektor swasta. Tuntutan akuntabilitas publik dan swasta mengharuskan institusi-institusi lembaga sektor publik dan swasta untuk lebih menekankan terhadap pertanggungjawapan horizantal (horizontal accountability) maupun pertanggungjawapan vertikal (vertical accountability). Tuntutan yang kemudian muncul adalah perlunya dibuat laporan keuangan luaran yang dapat menggambarkan prestasi institusi sektor publik dan swasta (Mardiasmo, 2005). G ray j u ga m e nya t a k a n b a hwa akuntabilitas dalam Islam mencakup semua hal baik akuntabilitas vertikal iaitu bertanggungjawab terhadap Tuhan, maupun akuntabilitas horizontal iaitu bertanggungjawab terhadap sesama manusia (Gray, Owen, and Maunders, 1987). Hal ini sesuai yang disampaikan oleh Hameed bahwa dalam perspektif Islam ada dua tingkat akuntabilitas: peringkat pertama berhubungan dengan akuntabilitas manusia terhadap Tuhan (primary accountability) dan peringkat kedua (secondary accountability) yang
m e nya t a ka n b a hwa a ku n t a b i l i t a s individual terhadap perusahaan (top management to shareholders or managers to top management) (Hamid, 2000). Adapun konsep akuntabilitas Tom Mouck dalam tulisannya “Corporate Accountability and Rorty’s Utopian Liberalism’ menyatakan bahwa konsep akuntabilitas perusahaan diasumsikan untuk menyediakan jaminan yang memadai bahwa kepentingan pemegang saham (rakyat) akan dijaga. Ketika pemilik (rakyat) menggunakan basis prestasi manajemen, maka direktur akan cuba untuk memaksimumkan kesejahteraan rakyatnya ( Mouck, Tom, 1994). Menurut Watts dan Zimmerman’s dalam bukunya “Positif Accounting Theory” menyatakan bahwa pemegang saham dan pemiutang memerlukan jaminan bahwa direktur memenuhi bentuk-bentuk dari ko n t ra k m e r e k a ( Wa t t s , R . a n d Zimmerman, J. 1986). Kemudian menurut B e n s to n d a l a m te o r i nya te n t a n g akuntabilitas perusahaan ada dua kelompok yang berhubungan dengan sistem pengendalian sama ada dalaman maupun luaran iaitu pemegang saham dan pihak berkepentingan (Benston, G.J. 1982). Fungsi akuntansi menjalankan tugas akuntabilitas perusahaan sebagai akibat daripada pemisahan kepemilikan dan manajemen. Penggunanya bisa jadi pemegang saham, kreditor, pelabur potensial, dan publik. Dalam masyarakat muslim, konsep akuntabilitas berurat berakar dalam penciptaan manusia sebagai khalifah Allah di bumi. Misi manusia di bumi adalah memenuhi tujuan keberadaannya dalam keuniversalan (Abdullah Rahim Abdul Rahman, 2008).
Sistem Corporate Governance Dalam Perspektif... (Zulhelmy & Firdaus A. Rahman)
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa akuntabilitas merupakan sesuatu yang sangat penting dalam menguji isuisu keberkesanan Islam pada akuntansi dan praktik-praktik penyingkapan perusahaan (Maliah Sulaiman, 2005). C. Corporate Governance Islam Penerapan tata kelola perusahaan terhadap perusahaan konvensional termasuk perbankan telah diakui selama lebih kurang dua dekade. Namun demikian tata kelola perusahaan justru menjadi unsur kelemahan pada perusahaan –perusahaan di sejumlah negara-negara berkembang (Stepen Prowse 1998). Hal ini disebabkan kerana semua institusi yang semestinya berperanan penting dalam mengawasi dan menjamin efisiensi dan integriti pasaran justru tidak berfungsi dengan baik. Senjangan informasi (information gap) sangat menonjol, para pelaku pasaran kurang berpengalaman, dan undang-undang, meskipun ada, tidak berdaya mengatur dengan efektif dan bebas kerana mental korupsi dan sejumlah kelemahan sistem kehakiman (jurisdiction system). Konsep transparansi tidak diterapkan dengan baik, begitu juga dengan praktik akuntansi yang tidak berkembang secara optima (Stepen Prowse 1998). Akibatnya, perusahaan-perusahaan tersebut menjadi tidak efisien sehingga menyebabkan kerugian bagi seluruh stakeholder. Kerugian yang disebabkan oleh lemahnya penerapan tata kelola perusahaan dapat menjadi lebih serius lagi jika terjadi pada instansi keuangan kerana jumlah pihak berkepentingan yang lebih banyak dan risiko sistemik lebih besar (M.Umer Chapra dan Habib Ahmed, 2008).
79
Berbagai faktor penyebab kegagalan atau lemahnya perusahaan yaitu; konflik kepentingan, penggunaan asset perusahaan untuk kepentingan pribadi, dan penemuan kesalahan faktur yang nilainya jutaan dollar yang dapat diklasifikasikan sebagai pencurian dan rompakan. Inti daripada permasalahan semua tersebut adalah kelemahan etika dan akuntabilitas dalam mengurus perusahaan (Tan Sri Dato’ Seri Ahmad Sarji bin Abdul Hamid, 2003). Tidak ada alasan untuk berasumsi bahwa meskipun selama ini institusi keuangan Islam telah berjalan dengan baik, institusi keuangan ini tetap mesti mampu menyingkap dan menyikapi kelemahan tata kelola perusahaan yang ada di negara-negara berkembang. Institusi keuangan Islam juga mesti dapat meningkatkan prestasinya secara sungguh-sungguh dan mematuhi kepentingan pihak berkepentingan d e n g a n m e n e ra p k a n t a t a ke l o l a perusahaan secara efektif (Tan Sri Dato’ Seri Ahmad Sarji bin Abdul Hamid, 2003). Perusahaan yang kuat dan tata kelola bank yang bagus adalah elemen yang penting untuk pengembangan sebuah industri keuangan Islam yang bagus. Tata kelola bukanlah sesuatu hal yang baru bagi Islam. Sebagaimana telah ditunjukkan oleh Mustapha dan salleh, konsep tata kelola perusahaan Islam bertumpu pada tiga elemen yang utama: akuntabilitas, ketelusan, dan kepercayaan (Bala Shanmugam & Vignesen Perumal, 2005). Islam memerintahkan muslim untuk menerapkan Islam secara keseluruhan (kaffah), tidak menerima sebahagian hukum Islam dan menolak sebahagian
80
Jurnal Ekonomi, Manajemen dan Akuntansi I Vol. 15 No. 1 Juni 2009
hukum Islam lainnya. Penerimaan sebahagian dan penolakan sebahagian merupakan bentuk perlawanan terhadap hukum Allah SWT secara keseluruhan. Oleh itu, seorang muslim mesti menjadi muslim yang sejati, bukan menjadi muslim yang sekuler. Untuk menjadi muslim yang sejati maka mesti menerapkan hukum Islam secara keseluruhan. Dua aspek yang membentuk sifat tata kelola perusahaan (Islamic corporate governance). Pertama, hukum Islam, kedaulatan mesti berada pada hukum syara’ terhadap seluruh aspek kehidupan baik etik, sosial dan mencakup masalah kriminalitas dan kehakiman. Prinsip etika didefinisikan apa itu benar, wajar, adil, sifat daripada pertanggunjawaban, prioritas terhadap masyarakat, bersama dengan sejumlah standar tata kelola spesifik. Kedua, Selain menyediakan satu rangkaian etika perdagangan, prinsip ekonomi dan keuangan Islam (zakat, riba, larangan spekulasi) memiliki dampak terhadap kebijakan dan penerapan tata kelola perusahaan (Choudhary Slahudin & Iftikhar Ahmad, 2008). Menurut Shamsad Akhtar, ada dua keunikan tata kelola untuk instansi keuangan Islam, yaitu: (1) pendekatan berasaskan keyakinan (faith based approach) yang mngharuskan penerapan urusan perdagangan sesuai dengan prinsip syariah; dan (2) motif keuntungan yang mengakui transaksi perdagangan dan investasi dan pemaksimalan kesejahteraan pemegang saham (Shamsad Akhtar (2006). Responsibilitas seperti akuntabilitas, menyatakan pertanggungjawaban tidak hanya terhadap manusia saja akan tetapi juga dalam menjalankan peranan dalam
kehidupan. Peranan ini diberikan sebagai amanah (trust) dari Allah SWT. Jika seseorang mengabaikan tanggungjawab ini maka ini adalah bentuk pengkhianatan (betrayal) terhadap Allah SWT. Konsep kerja dan dedikasi kerja adalah sebuah bentuk ibadah (worship) dan amal salih (virtuos act). Disamping itu khilafah menekankan bahwa kualitas pemimpin yang bagus juga menjalankan fungsinya sebagai muslim. Menurut para sarjana syariah, tujuan daripada tata kelola perusahaan adalah untuk menjamin “kewajaran” terhadap stakeholders untuk mencapai transparansi dan akuntabilitas. Setuju pada kandungan definisi tersebut, bagaimanapun juga tidak membantu kita memahami bagaimana tata kelola perusahaan terhadap perniagaan yang Islami yang berbeda dari perniagaan non Islami. Perbedaan tersebut terletak pada apakah struktur transaksi perdagangan diterapkan sesuai dengan Islam atau tidak. Islam melihat pertama kali pada struktur transaksional untuk meyakinkan apakah transaksi melibatkan elemenelemen yang mengharamkan keuntungan (gains) atau laba (profits). Sehingga Islam menjadikan asas bahwa transaksi yang dijalankan tersebut sesuai dengan hukum syara’ (Ali Adnan Ibrahim, 2006). Untuk menjamin apakah seluruh transaksi yang dijalankan oleh institusi keuangan Islam sesuai dengan prinsip syariah (syariah based transactions), maka diperlukan pengawasan syariah. Institusi perniagaan Islam termasuk bank Islam dan bank konvensional yang menawarkan aktivitas perbankan Islam dimestikan beraktivitas sesuai dengan kode etika Islam.
Sistem Corporate Governance Dalam Perspektif... (Zulhelmy & Firdaus A. Rahman)
Semua instansi keuangan Islam termasuk perbankan mesti memiliki Dewan Pengawasan Syariah (DPS) yang bertanggungjawab untuk menjamin bahwa instansi keuangan Islam sesuai dengan prinsip syariah. Anggota DPS adalah penasihat syariah yang memiliki penguasaan dan pengetahuan fiqah muamalat. Mereka biasanya dipilih oleh shareholder perusahaan atas rekomendasi dari manajemen bank. Di Malaysia, semua pengawas syariah mesti disetujui oleh Bank Sentral (Bank Negara Malaysia) (Abdul Rahim Abdul Rahman, Nur Barizah Abu Bakar, & Ade Wirman Syafie, 2005). Adapun di Indonesia, Lembaga Pengawasan Syariah diartikan sebagai Lembaga Pengawasan Syariah yang diangkat oleh Lembaga Syariah Nasional (LSN). Lembaga Syariah Nasional tersebut dipilih dan dilantik oleh Majlis Ulama Indonesia (MUI). Lembaga Pengawasan Syariah yang ditempatkan pada lembaga keuangan syariah atas rekomendasi Lembaga Syariah Nasional sebelum disetujui oleh manajemen bank bersangkutan (Muhammad Syafi’i Antonio, 2001). Peranan dan fungsi ulama muslim, khususnya pada dewan pengawasan syariah (syariah supervisory board) dalam hal pengembangan dan peningkatan keuangan dan perbankan Islam merupakan sesuatu yang sangat segera. Kontribusi mereka merupakan sebuah kunci kejayaan perbankan Islam, samada dalam memenangkan kepercayaan shareholders dan masyarakat publik maupun dalam inovasi produk yang sesuai dengan aktivitas perbankan yang berhemat dan modern. Untuk mencapai rancangan kerja yang
81
sah yang mendukung usahawan untuk meningkatkan modal dari bursa saham, reformasi modern yang sesuai dengan masalah wakalah atau perwakilan (agency problem) dan transparansi dan sebagainya semestinya mempertimbangkan pilihan agama daripada masyarakat tertentu. Di negeri-negeri Islam, prinsip keuangan Islam merupakan pilihan utama dalam menjalankan perniagaan mereka.Ali A. Ibrahim, 2006). D. Kesimpulan Sistem tata kelola korporat Islam (Islamic corporate governance) dalam perspektif ekonomi konvensional telah banyak dibahas bahkan telah dipraktekkan selama puluhan tahun di negeri ini. Namun seiring perjalanan waktu, sistem tata kelola yang berbasis konvensional mengalami kegagalan dalam mempertahankan perusahaan untuk meraih capaian-capaian prestasi. Menariknya, dari berbagai fakta yang ada seperti bertahannya bank-bank Islam dalam keadaan krisis keuangan, menunjukkan bahwa konsep Islam mampu memberikan alternatif konsep dan praktek keuangan. Sesungguhnya, baik secara teori normatif, praktek empiris dan historis, sistem tata kelola perusahaan dalam hubungan dengan akuntansi Islam telah lama terbukti. Hanya saja, ketika daulah khilafah telah runtuh sejak 3 maret 1924, maka sistem tata kelola baik di ranah perusahaan maupun di ranah pemerintahan tidak diterapkan lagi. Wajar sejak itu, sistem ekonomi dan keuangan khususnya dalam sistem tata kelola berbasis konvensional (kapitalisme) mengalami kegoncangan berkali-kali dan gagal menyelematkan perusahaan dalam
82
Jurnal Ekonomi, Manajemen dan Akuntansi I Vol. 15 No. 1 Juni 2009
perspektif mikro dan negara dalam perspektif makro. Untuk itu, maka para pakar keuangan Islam khususnya akuntan syariah mesti mampu membangun dan menerapkan
sistem tata kelola Islam sehingga laporan keuangan baik perusahaan maupun pemerintah memiliki kualitas pelaporan yang dapat dipertanggungjawabkan tidak hanya di dunia maupun di akhirat.
DAFTAR PUSTAKA Ali A. Ibrahim. 2006. Convergence of Corporate and Islamic Financial Services Industry: Toward Islamic Financial Services Securities Market. George Law. Georgetown Law Graduate Paper Series.Paper 3. H. 8. Ali Adnan Ibrahim .2006. Convergence of Corporate Governance and Islamic Financial Services Industry: Toward Islamic Financial Securities Market, H. 10. tersedia pada http://lsr.nellco.org/georgetown/gps/papers/3. Benston, G.J. .1982. Accounting and Corporate Accountability. Accounting. Organizations and Society, Vol. 7 No. 2., : H. 87. M. Umer Chapra & Habib ahmad (tt), Corporate Governance in Islamic Financial Institutions (IRTI Publication Management System, Jeddah, Saudi Arabia, tersedia pada http://www.irtipms.org/PubDetE.asp?pub=93). M. Umer Chapra dan Habib Ahmed. 2008. Corporate Governance Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Bumi Aksara H. 12. Maliah Sulaiman. 2005. Islamic Corporate Reporting; Between the desirable and the desired. Research Centre International Islamic University Malaysia. First Edition, H.19. Mardiasmo. 2005. Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta: Penerbit Andi Ofsset H. 21. Mervyn K Lewis. 2006. Accountability and Islam., Fourth International Conference on Accounting and Finance in Transition., Adelaide April 10 December, H.2. Ping-Sheng Koh, Stacie Kelley Laplante dan Yen H. Tong. 2007. Accountability and Value Enhancement Roles of Corporate Governance. Accounting and Finance 47, H. 305 Shamsad Akhtar 2006. Shariah Compliant Corporate Governance. Paper presented at the annual Corporate Governance Conference. Dubai 27 November, H.1. Sheila Elwood. 1993. “Parish and Town Councils: Financial Accountability and management. Local Government Studies, Vol. 19. H. 368-386. Stepen Prowse. 1998. Corporate Governance: Emerging Issues and Lesson for Easst Asia. (World Bank). www.world.org/html/extdr/pos981, H.16-17. Tan Sri Dato’ Seri Ahmad Sarji bin Abdul Hamid. 2003. Ethics and Accountability For Good Governance in The Private Sector and The Civil Service. Essays on Islamic
Sistem Corporate Governance Dalam Perspektif... (Zulhelmy & Firdaus A. Rahman)
83
Management and Organizational Performance Mesurements. Al-Hikmah Sd. Bhd. Selangor, H. 86. Abdul Rahim Abdul Rahman. 2008. Accounting Regulatory Issues on Investments in Islamic Finance. Essential ReadingsIn Islamic Finance. CERT. Kuala Lumpur, H. 349. Abdul Rahim Abdul Rahman, Nur Barizah Abu Bakar, & Ade Wirman Syafie. 2005. Syariah Governance of Islamic Banks: Perceptions of the Responsibility & Independence of Syariah advisers. Corporate Governance: an Islamic Paradigm. Universiti Putra Malaysia Press. Selangor Darul Ehsan, H. 20. Abdullah Rahim Abdul Rahman. 2008. Accounting Regulatory Issues on Investments in Islamic Finance, Essential Readings in Islamic Finance, CERT Publications, Sdn Bhd, Kuala Lumpur. H. 349. Bala Shanmugam & Vignesen Perumal. 2005. Governance Issues and Islamic Banking. Corporate Governance: an Islamic Paradigm. Universiti Putra Malaysia Press. Selangor Darul Ehsan, H. 2. Choudhary Slahudin & Iftikhar Ahmad. 2008. Corporate Governance in Islam: A Comparative Study of OECD Principles and Islamic Principles of Corporate Governance. Choudary Slahudin. OECD Principles and The Islamic Perspective on Corporate Governance. Review of Islamic Economics.VOl. 12.No. 1. H. 34. Gray , Owen, and Maunders. 1987. Corporate Social Reporting: Accounting and Accountability, Prentice Hall International. UK, H. 2. Hamid. 2000. The Need for Islamic Accounting: Perceptions of its Objectives and characteristics of Islamic Accounting : Perceptions of Malaysian Muslim Accountant and Accounting Academics, Unpublished Ph.D Thesis, University of Dundee (UK), H.1. Mohd. Daud Bakar (tt), The Shari’a supervisory board and issues of Shari’a rulings and their harmonization in Islamic banking and finance. Islamic Finance: Innovation and Growth. Simon Archer and Rifaat Ahmed Abdel Karim, H.74. Mouck, Tom. 1994. Corporate Accountability and Rorty’s Utopian Liberalism. Accounting, Auditing & Accountability Journal. 1994. Vol. 7 No. 1, H. 6. Muhammad Syafi’i Antonio. 2001. Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik. Gema Insani Jakarta: Pers & Tazkia Cendekia, H. 234. Vincent O’ Connell. 2007. Reflections on Stewardship Reporting. Accounting Horizons. Vol. 21.No. 2. June, H. 215. Watts, R. and Zimmerman, J. 1986. Positive Accounting Theory, Prentice-Hall, Englewood Cliffs, New Jersey, H. 196.
84
Jurnal Ekonomi, Manajemen dan Akuntansi I Vol. 15 No. 1 Juni 2009