SINERGI ANTARINSTANSI PEMERINTAH DALAM IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KEWIRAUSAHAAN PEMUDA (STUDI KASUS PROVINSI DI. YOGYAKARTA) Didik Darmanto * I.
PENDAHULUAN
Penelitian ini menganalisa tentang sinergi antarinstansi pemerintah dalam implementasi kebijakan kewirausahaan pemuda di Provinsi DI Yogyakarta (DIY). Tema ini dipilih dengan alasan sinergi antarinstansi memiliki arti penting dalam pelaksanaan kebijakan kewirausahaan pemuda yang bersifat lintas bidang dan lintas sektor, yaitu meliputi bidang perdagangan, perindustrian, perbankan, ketenagakerjaan, kesejahteraan sosial dan pendidikan, serta melibatkan sektor publik, privat dan civil society (masyarakat). Dengan demikian, implementasi kebijakan kewirausahaan pemuda membutuhkan kehadiran instansi terkait untuk memberikan intervensi kegiatan yang sejalan dengan tupoksi masing-masing instansi serta sesuai dengan kebutuhan wirausahawan muda. Bila dipetakan berdasarkan teori tahapan pertumbuhan usaha, maka skema intervensi dari setiap instansi pemerintah dalam implementasi kebijakan kewirausahaan pemuda dapat digambarkan sebagai berikut: * Fungsional Perencana Muda di Direktorat Agama, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga
52
Edisi 01/Tahun XIX/2013
Gambar 1: Tahapan Kewirausahaan dan Instansi Terkait Sumber: Winardi (2005: 68)
Pada tahapan awal (pre start-up stage), wirausahawan membutuhkan peran dari instansi pemerintah yang menangani urusan pendidikan, UKM, dan ketenagakerjaan untuk dapat memberikan pelatihan tentang perencanaan bisnis, penentuan target pasar, strategi pemasaran, dan manajemen keuangan. Selain itu, pada tahap ini wirausahawan juga memerlukan instansi yang menangani keahlian khusus seperti pertanian, perkebunan, kehutanan, pariwisata, kelautan, perikanan untuk dapat memberikan pelatihan teknis yang berhubungan dengan keahlian instansi tersebut. Semisal, Dinas Pertanian menyelenggarakan kegiatan kewirausahaan pemuda di bidang pelatihan agrobisnis, Dinas Kelautan dan Perikanan menyelenggarakan kegiatan kewirausahaan pemuda di bidang pelatihan mina-industri, Dinas Kehutanan dan Perkebunan menyelenggarakan kegiatan kewirausahaan pemuda di bidang pelatihan bisnis hortikultura, Dinas Pariwisata melatih para pemuda untuk mengembangkan usaha di bidang pariwisata, dll. Selanjutnya pada tahap usaha sudah mulai dijalankan (the start-up stage), wirausahawan membutuhkan kehadiran instansi pemerintah yang menjalankan urusan permodalan, karena wirausahawan membutuhkan modal investasi dan modal kerja untuk membuka usaha. Modal investasi merupakan modal yang diperlukan oleh para wirausaha muda untuk pengadaan barang modal, seperti peralatan usaha, sewa lokasi, bahan baku. Sementara modal kerja berkaitan dengan modal yang diperlukan untuk mendukung kegiatan operasional usaha, seperti upah karyawan, tagihan listrik, telepon, dan pembelian stok barang. Kedua modal ini – modal investasi dan modal kerja – mutlak diperlukan oleh para pemuda yang hendak memulai usaha. Adapun pada tahap pertumbuhan awal (early-growth stage) wirausahawan mengharapkan kehadiran instansi pemerintah yang menangani urusan perindustrian dan perdagangan untuk membantu mengembangkan usaha, meningkatkan produksi, membuka pasar baru baik di dalam maupun di luar negeri. Secara sederhana, pada tahap ini kehadiran instansi pemerintah diperlukan untuk mengindustrialisasikan usaha yang telah dirintis oleh para pemuda. Selain itu, tahap ini juga memerlukan kehadiran instansi pemerintah yang menangani masalah permodalan agar dapat memberikan suntikan modal tambahan bagi wirausaha muda. Usaha yang sudah mulai membesar membutuhkan tambahan dana segar untuk dijadikan daya ungkit bagi perkembangan usaha.
Kemudian pada tahap pertumbuhan lanjutan (later-growth stage), wirausahawan mengharapkan kehadiran instansi pemerintah yang menangani urusan pendidikan untuk membantu mengembangkan manajemen dan kepemimpinan perusahaan. Pasalnya, usaha yang sudah menuju industri tidak dapat lagi ditangani a la manajemen usaha kecil. Pada tahap ini diperlukan pelatihan manajemen untuk mendukung perkembangan usaha. Selain itu juga dipersiapkan suksesi kepemimpinan agar usaha tetap dapat berkelanjutan. Uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa pada setiap tahapan pertumbuhan usaha, dibutuhkan koordinasi yang berkelanjutan antarinstansi yang terkait. Semua instansi memiliki peran masing-masing yang saling melengkapi/komplementer. Artinya, setiap instansi seharusnya berperan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya agar kebijakan kewirausahaan pemuda dapat berjalan dengan baik. Keberhasilan dari implementasi kebijakan kewirausahaan pemuda ini akan sangat berarti bagi keberlangsungan pembangunan kepemudaan. Terlebih seiring dengan merangkaknya tingkat pengangguran, kebijakan kewirausahaan pemuda diharapkan dapat mengentaskan pemuda dari jurang pengangguran dan perangkap kemiskinan. Namun yang menjadi persoalan adalah di antara stakeholder kepemudaan tersebut belum terjalin sinergi dan koordinasi yang optimal. Tidak adanya sinergi antarinstansi pemerintah akan menimbulkan tumpang tindih program, kegiatan, dan sasaran. Sehingga implementasi program dan kegiatan belum memberikan dampak yang signifikan bagi pemuda untuk meningkatkan kemampuannya berwirausaha. II. LANDASAN KONSEPTUAL Dengan bantuan definisi dari beberapa ahli, kebijakan publik dapat disederhanakan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan oleh publik untuk menyelesaikan permasalahan publik melalui tiga tahap utama, yaitu: (1) proses penyusunan kebijakan; (2) isi kebijakan; dan (3) implementasi kebijakan. Ketiga tahap ini dipengaruhi oleh lingkungan dan para aktor kebijakan. Apabila memperhatikan proses kebijakan publik, maka implementasi kebijakan merupakan satu rangkaian proses yang tidak terpisahkan dari kebijakan publik itu sendiri. Dalam hal ini, implementasi kebijakan merupakan kegiatan menterjemahkan isi kebijakan untuk dioperasionalisasikan, sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan yang telah dirumuskan oleh para aktor pada saat proses penyusunan kebijakan. Dengan kata lain, kebijakan hanya akan dapat mencapai tujuan yang diinginkan, jika diikuti dengan implementasi kebijakan yang baik. Tanpa adanya implementasi, maka Edisi 01/Tahun XIX/2013
53
kebijakan publik hanya akan menjadi material dokumen politik yang tidak berdaya. Sebagaimana disampaikan Van Meter dan Van Horn (Winarno 2007: 146), implementasi kebijakan merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu atau kelompok-kelompok pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusankeputusan kebijakan sebelumnya. Kompleksitas implementasi menuntut kemampuan para aktor pelaksana kebijakan untuk membangun hubungan dalam mata rantai sebab-akibat agar kebijakan publik dapat memberikan dampak kepada masyarakat. Rincian kegiatan implementasi sebagaimana disebutkan oleh para ahli tersebut dapat disederhanakan, bahwa implementasi adalah usaha dari policy makers untuk memengaruhi apa yang oleh Lipsky disebut “street level bureaucrats” untuk memberikan pelayanan atau mengatur perilaku kelompok sasaran (target group). Dalam hal ini, implementasi memang merupakan suatu kegiatan yang komplek, melibatkan banyak aktor, dipengaruhi oleh berbagai variabel yang kompleks, baik variabel individual maupun variabel organisasional, dan masing-masing variabel juga saling berinteraksi satu sama lain (Subarsono, 2006: 88-89). III. METODE DAN ALUR PIKIR PENELITIAN 3.1. Metode Penelitian Penelitian “Sinergi Antarinstansi Pemerintah dalam Implementasi Kebijakan Kewirausahaan Pemuda di Provinsi DI Yogyakarta” menggunakan pendekatan kualitatif. Alasan digunakannya pendekatan kualitatif adalah karena penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi, mendeskripsikan, dan kemudian memahami mengenai sinergi antarinstansi pemerintah dalam implementasi kebijakan kewirausahaan pemuda. Mengingat penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, maka analisa akan dilakukan dari hal-hal khusus menuju kesimpulan umum. Dalam hal ini, penelitian akan menggunakan penalaran induktif analitik, yaitu penalaran yang mendasarkan pada data dan bukan angka-angka. Dengan penalaran induktif analitik, maka kesimpulan akhir didasarkan dan dinyatakan dalam deskripsi kata-kata semata. 3.2.
Alur Pikir Penelitian
Berdasarkan serangkaian kajian pustaka yang telah dibahas sebelumnya, maka alur pikir penelitian ini difokuskan pada empat variabel sebagai berikut.
54
Edisi 01/Tahun XIX/2013
Gambar 2: Alur Pikir Penelitian Pertama, variabel kebijakan. Penelitian ini difokuskan untuk menganalisa kebijakan kewirausahaan pemuda di tingkat nasional dan daerah. Analisa kebijakan di tingkat nasional dilakukan dengan menelaah (1) Undang-undang No. 40 tahun 2009 tentang Kepemudaan, (2) Rencana Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014, dan (3) Rencana Strategis Kementerian Pemuda dan Olahraga Tahun 2010-2014. Sementara analisa kebijakan di tingkat daerah dilakukan dengan menelaah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi DIY tahun 20092013 dan Rencana Strategis Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Provinsi DIY tahun 2009-2013. Kedua, variabel aktor. Penelitian ini mengidentifikasi instansi yang terkait dan terlibat dalam implementasi kebijakan kewirausahaan pemuda. Hal ini dikarenakan implementasi kebijakan kewirausahaan pemuda seharusnya dilakukan oleh beberapa instansi terkait. Tetapi belum tentu semua instansi terkait pada kenyataannya terlibat dalam implementasi kebijakan kewirausahaan pemuda. Ketiga, variabel program dan kegiatan. Penelitian ini menganalisa program dan kegiatan kewirausahaan pemuda yang dilakukan oleh masing-masing instansi. Melalui identifikasi dan analisa program dan kegiatan ini dapat diketahui fokus intervensi dari masing-masing instansi pelaksana kebijakan kewirausahaan pemuda, sehingga dapat dipetakan letak overlapping dari masing-masing instansi pelaksana. Keempat, variabel pola sinergi antarinstansi. Penelitian ini akan memetakan pola sinergi antarinstansi dalam pelaksanaan kebijakan kewirausahaan pemuda. Dengan pemetaan pola sinergi ini dapat diketahui bentuk-bentuk sinergi antarinstansi pelaksana.
IV. HASIL PENELITIAN
4.2.
4.1.
4.2.1. Instansi Pelaksana di Daerah
Sinergi Antarinstansi Pusat dan Daerah
4.1.1. Kebijakan Kewirausahaan Pemuda Secara nasional, kebijakan kewirausahaan pemuda menjadi kebijakan berskala nasional yang telah memiliki kejelasan arah kebijakan. Secara konstitusi, kebijakan pengembangan kewirausahaan pemuda memiliki landasan hukum yang kuat. Artinya, kebijakan pengembangan kewirausahaan pemuda ini wajib dilaksanakan oleh pemerintah, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, sampai dengan pemerintah kabupaten/kota, termasuk amanat untuk menjalin kemitraan dan sinergi dengan pihak lain dalam penyelenggaraan pelayanan kepemudaan. Pada tingkat daerah, kebijakan kewirausahaan pemuda belum dirumuskan secara lebih operasional yang mengacu pada kebijakan di tingkat nasional. Sinergi dengan aktor lain dalam pelayanan kepemudaan juga belum diatur dalam kebijakan pembangunan kepemudaan di Provinsi DIY.
Sinergi Antarainstansi Daerah
Di Provinsi DIY, tidak semua instansi yang terkait dengan kebijakan kewirausahaan pemuda, terlibat menjadi pelaksana kebijakan. Penelitian ini menyimpulkan hanya terdapat empat instansi pemerintah yang menjadi implementator kebijakan kewirausahaan pemuda, yaitu: (1) Balai Pemuda dan Olahraga (BPO) – Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Disdikpora); (2) Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans); (3) Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan UKM (DisperindagkopUKM); dan (4) Dinas Sosial (Dinsos). Sementara instansi terkait yang tidak terlibat dalam implementasi kebijakan kewirausahaan pemuda antara lain: Dinas Pertanian (Distan), Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP), Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun), serta Dinas Pariwisata (Dispar).
4.1.2. Sinergi Kegiatan antara Pusat dan Daerah Terdapat beberapa SKPD yang memiliki keterkaitan kegiatan dengan kementerian/lembaga. Semisal, Balai Pemuda dan Olahraga (BPO)-Disdikpora dengan Kemenpora dan Kemendiknas, Disnakertrans dengan Kemennakertrans, Disperindagkop-UKM dengan Kemenkop-UKM, dan Dinsos dengan Kemensos. Namun ada juga kegiatan kementerian/lembaga yang tidak diikuti oleh instansi terkait di daerah. Semisal, kegiatan yang dilaksanakan oleh Kementerian Agama, Kementerian PDT, serta Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata tidak diikuti oleh SKPD yang berhubungan dengan kementerian/lembaga tersebut.
Gambar 3: Keterkaitan Kegiatan Instansi Pusat dan Daerah
Gambar 4: Instansi Pelaksana Kebijakan Kewirausahaan Pemuda
Secara kelembagaan, Balai Pemuda dan Olahraga (BPO) yang merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) dari Disdikpora merupakan leading sector dalam pembangunan kepemudaan, termasuk di dalamnya pembangunan kewirausahaan pemuda. Namun secara struktural kelembagaan, BPO sebagai leading sector memiliki struktur eselon lebih rendah dibandingkan dengan instansi pelaksana lain, dimana BPO adalah lembaga setingkat Eselon III, sementara instansi lain adalah lembaga setingkat Eselon II.
Perbedaan aktor pelaksana kegiatan kewirausahaan pemuda di tingkat pusat dan daerah ini menunjukkan bahwa belum ada sinergi program dan kegiatan antara instansi di tingkat pusat dan daerah.
Edisi 01/Tahun XIX/2013
55
Adapun program dan kegiatan yang memberikan intervensi pada masalah pengembangan usaha agar menjadi industri, perluasan pasar di dalam dan di luar negeri, akses permodalan untuk meningkatkan pertumbuhan usaha, dan pengembangan manajemen dan kepemimpinan bisnis masih belum dilakukan oleh para instansi pelaksana di daerah.
Gambar 5: Hubungan Struktural Kelembagaan Antarinstansi Pelaksana
Perbedaan struktur kelembagaan ini menjadi hambatan bagi BPO untuk menjalin koordinasi dengan instansi lain. Kesenjangan Eselon ini berdampak tidak diacuhkannya kewenangan BPO sebagai leading sector pembangunan kepemudaan. Sehingga sejauh ini BPO yang menyandang tupoksi sebagai leading sector belum dapat mengembangkan koordinasi dan kemitraan dengan instansi pelaksana kebijakan kewirausahaan pemuda lainnya. 4.2.2. Program dan Kegiatan Instansi Daerah Berdasarkan hasil identifikasi yang dilakukan pada penelitian ini, setidaknya terdapat 7 (tujuh) program dan 12 (dua belas) kegiatan kewirausahaan pemuda yang tersebar di empat instansi. Namun dari masing-masing instansi tersebut tampak bahwa ada banyak kesamaan program dan kegiatan yang dilakukan. Dimana sebagian besar program dan kegiatan dalam bentuk pelatihan soft skill dengan tujuan untuk menyiapkan mental pemuda menjadi wirausaha, sementara kegiatan yang memberikan pelatihan keterampilan sekaligus membekali peserta dengan modal awal untuk berwirausaha, hanya dilakukan oleh BPO dan Disnakertrans. Modal yang diberikan pun merupakan modal investasi berupa peralatan usaha. Adapun modal kerja untuk mendukung operasional usaha belum ada.
Gambar 6: Fokus Intervensi Kegiatan Kewirausahaan Pemuda [Teori tahap pertumbuhan usaha diadopsi dari Winardi (2005: 68)]
56
Edisi 01/Tahun XIX/2013
Berdasarkan pemetaan program dan kegiatan tersebut, terlihat bahwa telah terjadi tumpang tindih (overlapping) antaraktor pada fokus intervensi dari program dan kegiatan yang dilakukan. Dimana terjadi penumpukan intervensi pada tahap persiapan usaha (pre start-up stage dan start-up stage), sementara tahapan yang lain terabaikan. 4.3.
Sinergi Antarinstansi Pelaksana di Daerah
Berdasarkan hasil pemetaan yang dilakukan pada penelitian ini, dapat diketahui bahwa tidak semua instansi yang terlibat dalam pelaksanaan kewirausahaan pemuda saling menjalin kerjasama. DisperindagkopUKM merupakan instansi pelaksana yang sama sekali tidak melibatkan instansi pemerintah lain dalam pelaksanaan kebijakan kewirausahaan pemuda, sementara Dinas Sosial merupakan instansi pelaksana yang paling banyak melibatkan instansi pemerintah.
Gambar 7: Pemetaan Kerjasama Antarinstansi
Adapun kerjasama antarinstasi pemerintah dalam implementasi kebijakan kewirausahaan pemuda masih sangat terbatas. Hal ini karena pelaksanaan kebijakan kewirausahaan pemuda pada tingkat program masih bersifat sektoral. Upaya untuk merintis sinergi ini masih pada tahap wacana, menunggu adanya payung hukum yang mengatur tentang kemitraan antardinas, seperti MoU atau yang saat ini sedang dilakukan Bappeda dengan menyusun RAD Kepemudaan. Sejauh ini kerjasama antar instansi terjadi pada level pelaksanaan kegiatan, meliputi: Pertama,
kerjasama sebagai pemateri, yaitu dinas lain diundang sebagai pemateri pada kegiatan kewirausahaan yang dilakukan; Kedua, kerjasama sebagai peserta, yaitu dinas lain diundang untuk berpartisipasi sebagai peserta pada kegiatan kewirausahaan yang dilakukan; Ketiga, kerjasama pelatihan teknis, yaitu meminta bantuan dinas lain untuk memberikan pelatihan teknis dalam kegiatan kewirausahaan; dan Keempat, kerjasama pertukaran informasi, yaitu suatu dinas meminta informasi dari dinas lain terkait dengan kewirausahaan pemuda.
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010-2014; dimana kebijakan dalam Undang-undang Kepemudaan meliputi: pengembangan pusat kewirausahaan pemuda, partisipasi masyarakat, permodalan, serta mekanisme koordinasi dan kemitraan. Tetapi kebijakan kewirausahaan pemuda pada tingkat daerah belum dirumuskan secara lebih operasional dengan mengacu pada kebijakan di tingkat nasional. Lebih dari itu, kebijakan kewirausahaan pemuda belum mengatur tentang mekanisme koordinasi dan kemitraan. Terdapat beberapa K/L yang memiliki keterkaitan kegiatan kewirausahaan pemuda dengan instansi daerah, antara lain: BPO-Disdikpora dengan Kemendiknas dan Kemenpora, Disnakertrans dengan Kemennakertrans, Disperindagkop-UKM dengan Kemenkop-UKM, Dinsos dengan Kemensos.
Gambar 8: Bidang Kerjasama Antarinstansi Berdasarkan pemetaan tersebut di atas dapat diketahui bahwa kerjasama yang dilakukan belum membentuk suatu keterkaitan antara satu instansi pelaksana dengan instansi pelaksana lainnya. Lebih dari itu, kerjasama antarinstansi masih bersifat parsial dan berbasiskan kegiatan; dimana sinergi hanya terjadi pada pelaksanaan kegiatan yang menghasilkan output berupa keberhasilan pelaksanaan kegiatan, dengan indikator ketercapaian jumlah peserta. Kerjasama pada level kegiatan ini tidak akan bisa menjadi landasan untuk mewujudkan kemitraan yang sinergis dalam pelaksanaan kebijakan kewirausahaan pemuda. V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Mengacu pada pembahasan yang telah dikemukakan sebelumnya, maka penelitian ini menarik kesimpulan sebagai berikut: Kebijakan kewirausahaan pemuda pada tingkat nasional telah memiliki kejelasan arah kebijakan dengan diterbitkan Undang-undang No. 40 tahun 2009 tentang Kepemudaan dan Rencana
Selain itu, ada juga kegiatan kewirausahaan pemuda yang dilaksanakan oleh instansi pusat akan tetapi tidak diikuti oleh instansi daerah, antara lain: Kementerian Agama, Kementerian PDT, dan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Kegiatan instansi pusat tersebut tidak diikuti oleh SKPD yang berhubungan dengan kementerian/lembaga tersebut. Berdasarkan hasil pemetaan aktor, di Provinsi DIY terdapat 8 (delapan) instansi pemerintah yang terkait dengan implementasi kebijakan kewirausahaan pemuda, namun tidak semua instansi menjadi pelaksana kebijakan. Instansi yang menjadi pelaksana kebijakan kewirausahaan pemuda yaitu: Balai Pemuda dan Olahraga (BPO) – Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Disdikpora), Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans), Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan UKM (Disperindagkop-UKM), serta Dinas Sosial (Dinsos). Sedangkan instansi terkait yang tidak terlibat dalam implementasi kebijakan kewirausahaan pemuda yaitu: Dinas Pariwisata (Dispar), Dinas Pertanian (Distan), Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP), serta Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun). Balai Pemuda dan Olahraga didapuk sebagai leading sector dalam pelaksanaan kebijakan kewirausahaan pemuda, namun secara kelembagaan, BPO memiliki struktur eselon lebih rendah dibanding-
Edisi 01/Tahun XIX/2013
57
kan dengan instansi pelaksana lainnya. BPO adalah lembaga setingkat Eselon III, sementara instansi lain adalah lembaga setingkat Eselon II. Perbedaan struktural kelembagaan ini menjadi hambatan bagi BPO untuk menjalin koordinasi dengan instansi lain. Program dan kegiatan instansi pelaksana saling tumpang tindih pada fokus intervensi. Dimana sebagian besar program dan kegiatan difokuskan pada upaya persiapan pemuda menjadi wirausaha. Sedangkan program dan kegiatan yang memberikan intervensi pada masalah permodalan, industrialisasi usaha, perluasan pasar, dan pengembangan manajemen belum ada instansi yang melaksanakan. Kerjasama yang dilakukan belum membentuk suatu keterkaitan antara satu instansi pelaksana dengan instansi pelaksana lainnya. Kerjasama yang terjadi masih bersifat parsial dan berbasiskan kegiatan meliputi: kerjasama sebagai pemateri, kerjasama sebagai peserta, kerjasama dalam penyelenggaraan pelatihan teknis, dan kerjasama pertukaran informasi.
5.2.
Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, penelitian ini mengajukan beberapa saran untuk perbaikan sinergi antarinstansi pemerintah dalam implementasi kebijakan kewirausahaan pemuda, sebagai berikut:
untuk mewujudkan sinergi antarinstansi pemerintah dalam implementasi kewirausahaan pemuda. Membentuk sistem perencanaan yang integral sehingga dapat menghasilkan rumusan program dan kegiatan kewirausahaan pemuda yang harmonis, sinkron dan sinergis antarinstansi pelaksana. Mengembangkan sinergi antarinstansi secara holistik dan integralistik dengan berbasis program. Holistik berarti sinergi yang terjadi mencakup semua tahapan kebutuhan pemuda untuk berwirausaha, sedangkan integralistik berarti sinergi yang terjalin saling terkait antara satu instansi dengan instansi pelaksana lainnya sesuai dengan tupoksi masingmasing. --o0o-Didik Darmanto … DAFTAR PUSTAKA Abayomi, Sofoluwe Olumade., 2008. University Education and Youth Entrepreneurship in Nigeria, International Journal of Educational Management (IJEM), Volume 5 & 6 tahun 2008, sumber: http:// www.unilorin.edu.ng/ejournals/index.php/ijem/ article/view/133, diunduh pada tanggal 14 Juni 2011, pukul 03.32 WIB. Abidin, Said Zainal., 2002. Kebijakan Publik, Yayasan Pancur Siwah, Jakarta.
Membentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur mekanisme koordinasi dan sinergi antarinstansi pelaksana. Peraturan perundang-undangan ini dapat berupa Perda, Pergub, atau nota kesepakatan (Memorandum of Understanding – MoU) antarinstansi pelaksana.
Alma,
Meningkatkan peran Kemenpora sebagai leading sector pembangunan kewirausahaan pemuda di tingkat nasional untuk melakukan koordinasi dalam rangka harmonisasi dan sinkronisasi program dan kegiatan kewirausahaan pemuda antara instansi pusat dan instansi daerah.
Darwin, Muhadjir., 1994. Modul Matrikulasi Teori Organisasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Membentuk lembaga kemitraan yang dipimpin langsung oleh Gubernur melalui Sekretaris Daerah
Dunn, William N., 2003, Analisis Kebijakan Publik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
58
Edisi 01/Tahun XIX/2013
Buchari., Bandung.
2002.
Kewirausahaan,
Alvabeta,
Ariadi, Lalu Gita., 2001. Kemitraan Pemerintah dan Swasta dalam Industri Media Massa Daerah: Kasus Penerbitan Lombok Post (Tesis), Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan., 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Kedua), Balai Pustaka, Jakarta.
Dwidjowijoto, Riant Nugroho., 2006. Kebijakan Publik untuk Negara-Negara Berkembang, Elex Media Komputindo, Jakarta.
Oktober 1998 Volume 36, sumber: http://www. joe.org/joe/1998october/rb2.php, diunduh pada tanggal 16 Februari 2011, pukul 14.46 WIB.
Eaton, Joseph W., 1986, Pembangunan Lembaga dan Pembangunan Nasional dari Konsep ke Aplikasi, UI Press, Jakarta.
Lobina, Emanuele., & Hall, David., 2006. Public-Public Partnerships as a Catalyst for Capacity Building and Institutional Development: Lessons from Stockholm Vatten’s Experience in the Baltic Region, Public Services International Research Unit – University of Greenwich, UK, sumber: www.psiru. org/reports/2006-09-W-PUPs.doc, diunduh pada tanggal 22 Agustus 2011, pukul 06:11 WIB.
Eilbert, Kay W., 2003. A Community Health Partnership Model: Using Organizational Theory to Strengthen Collaborative Public Health Practice (Disertasi), George Washington University. Sumber: http:// aladinrc.wrlc.org/handle/1961/123, diunduh pada tanggal 19 Juli 2011, pukul 09.47 WIB. Greene, Francis J., 2005. Youth Entrepreneurship: Latent Entrepreneurship, Market Failure and Enterprise Support, Working Paper No. 87 - June 2005, Centre for Small and Medium-Sized Enterprises, University of Warwick, UK, sumber: http://www2. warwick.ac.uk/fac/soc/wbs/research/csme/ research/working_papers/wp87.pdf, diunduh pada tanggal 14 Juni 2011, pukul 06.05 WIB. Hall, David., Lethbridge, Jane., & Lobina, Emanuele. 2005. Public–Public Partnerships in Health and Essential Services, Public Services International Research Unit – University of Greenwich, UK, sumber: http://www.equinetafrica.org/bibl/ docs/DIS23pub.pdf, diunduh pada tanggal 22 Agustus 2011, pukul 05:48 WIB. ILO., 2010. Global Employment Trends for Youth August 2010, Special Issue on The Impact of The Global Economic Crisis on Youth, Geneva. Indey, Daniel Eduard., 2006. Kemitraan dalam Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) di Kota Ambon (Tesis), Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Keban, Yeremias, T., 2008. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik Konsep, Teori dan Isu, Penerbit Gava Media, Yogyakarta. Kemenpora-Bappenas., 2010. Rencana Aksi Nasional (RAN) Kepemudaan Tahun 2010-2014 (draft belum diterbitkan).
Mailani, Liana., 2008. Kepribadian big five dan pengetahuan kewirausahaan terhadap minat berwirausaha pada mahasiswa (Tesis), Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Marckwardt, Albert H., Cassidy, Frederic G., McMillan, James G., 1996. Webster Comprehensive Dictionary Encyclopedic Edition, J.G. Ferguson Publishing Company, Chicago-USA. Pardede, Pantun Josua., 2007. Pola Kemitraan dalam Praktek Tanggung Jawab Sosial Perusahaan pada Program Community Development PT. Toba Pulp Lestari, TBK. di Kabupaten Toba Samosir (Tesis), Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Parsons, Wayne., 2005. Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan, Kencana. Putra, Fadilah., & Arif, Saiful., 2001. Kapitalisme Birokrasi: Kritik Reinventing Goverment Osborne-Gaebler, LkiS, Yogyakarta. Rosenbaum, Dennis P., 2002. Evaluating Multi-Agency Anti Crime Partnerships: Theory, Design, and Measurement Issues, Crime Prevention Studies, volume 14, tahun 2002, sumber: http://www. p o p ce nte r. o rg / l i b ra r y / c r i m e p re ve nt i o n / volume_14/06-Rosenbaum.pdf, diunduh pada tanggal 1 Juli 2011, pukul 13.34 WIB. Siagian, Sondang P., 2001. Administrasi Pembangunan: Konsep, Dimensi, dan Strateginya, Bumi Aksara, Jakarta.
Kotler, Philip., & Lee, Nancy., 2007. Pemasaran Sektor Publik, Penerbit Indeks.
Sinambela, Lijan Poltak., 2007. Reformasi Pelayanan Publik, Teori, Kebijakan, dan Implementasi, PT. Bumi Aksara, Jakarta.
Lindner, James R., & Cox, Kathryn J., 1998. Youth Entrepreneurship, Journal of Extension, edisi
Subarsono, AG., 2006. Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori dan Aplikasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Edisi 01/Tahun XIX/2013
59
Suharyanto, Hadriyanus., 2005. Administrasi Publik: Entrepreneurship, Kemitraan, dan Reinventing Government, Media Wacana, Yogyakarta.
Wibawa, Samodra., 2005. Reformasi Administrasi Publik Bunga Rampai Pemikiran Administrasi Negara/ Publik, Penerbit Gava Media, Yogyakarta.
Sulistyani, Ambar Teguh., 2004. Kemitraan dan ModelModel Pemberdayaan, Gava Media, Yogyakarta.
Winardi, J., 2005. Entrepreneur dan Entrepreneurship, Kencana, Jakarta.
Sunarso, Siswanto., 2005. Hubungan Kemitraan Badan Legislatif dan Eksekutif di Daerah, Penerbit Mandar Maju, Bandung.
Winarno, Budi., 2007. Kebijakan Publik: Teori dan Proses, Media Pressindo, Yogyakarta.
Wibawa, Samodra., 1994. Kebijakan Publik Proses dan Analisis, Intermedia, Jakarta.
60
Edisi 01/Tahun XIX/2013
Winarno, Budi., 1989. Teori Kebijakan Publik, PAU-Studi Sosial UGM, Yogyakarta.