SIMULASI DINAMIKA SISTEM KETERSEDIAAN UBI KAYU (Studi Kasus di Kabupaten Bogor)
Oleh RAHAYU UTAMI F34101027
2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Rahayu Utami. F34101027. Simulasi Dinamika Sistem Ketersediaan Ubi Kayu (Studi Kasus Di Kabupaten Bogor). Dibawah Bimbingan Machfud dan Agus Supriatna S. 2005. RINGKASAN Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang memiliki potensi cukup besar untuk dikembangkan sebagai bahan baku industri. Komoditas ubi kayu dalam pembentukan PDRB (Product Domestic Regional Bruto) Kabupaten Bogor 2003 memiliki kontribusi sebesar 9,9% dari sub sektor tanaman bahan makanan yang memberikan kontribusi sebesar 5,68% terhadap total PDRB (BPS Kabupaten Bogor, 2004). Kabupaten Bogor merupakan salah satu kabupaten sentra produksi ubi kayu di Jawa Barat. Total produksi ubi kayu Kabupaten Bogor periode 1995-2003 adalah 7-12% dari total produksi ubi kayu Jawa Barat atau sekitar 1% dari total produksi ubi kayu nasional (BPS, 2004, diolah). Perkembangan produksi ubi kayu Kabupaten Bogor berfluktuatif setiap tahunnya. Dinamika produksi ubi kayu tersebut antara lain dapat dipengaruhi oleh faktor alam (iklim), waktu panen (delay), harga di tingkat petani, dan sebagainya. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis ketersediaan ubi kayu sebagai bahan baku industri maupun konsumsi di masa mendatang, membuat simulasi model dinamik terhadap kemungkinan beberapa skenario perencanaan penyediaan ubi kayu, dan memberikan alternatif kebijakan bagi para pengambil keputusan. Metode yang digunakan adalah pemodelan dengan pendekatan sistem dinamik yang dilanjutkan dengan simulasi berdasarkan beberapa skenario yang telah ditetapkan. Pemodelan sistem dinamik dilakukan dengan alat bantu diagram simpal kausal (loops) yang menghasilkan struktur model dinamis dan perilaku sistem dinamis. Perangkat lunak yang digunakan untuk membantu penyelesaian model dinamik adalah Powersim versi 2.5 for windows. Pengembangan model Cassava.Sim terdiri atas 3 sub model yaitu sub model penyediaan, sub model kebutuhan konsumsi, dan sub model kebutuhan industri. Pada masing-masing sub model tersebut terdapat variabel input (dynamic object) yang berfungsi untuk menginputkan data pada setiap skenario yang dibuat sesuai dengan kondisi nyata. Model sistem dinamik ini mempunyai lima skenario, yaitu (1) skenario tanpa adanya kebijakan (upaya pelestarian); (2) skenario dengan kebijakan pendayagunaan sumber daya lahan; (3) skenario dengan kebijakan peningkatan produktivitas; (4) skenario dengan kebijakan pendayagunaan sumber daya lahan dan peningkatan produktivitas; (5) skenario dengan pengaruh peningkatan kebutuhan konsumsi dan industri. Hasil analisis menunjukkan bahwa apabila terjadi pergeseran/penurunan luas areal tanam sebesar 2% per tahun maka persediaan ubi kayu di Kabupaten Bogor diperkirakan akan habis pada tahun 2008 jika tidak ada upaya pelestarian (skenario 1). Upaya pelestarian melalui perluasan areal tanam 1% per tahun mampu memenuhi kebutuhan ubi kayu selama 10 tahun ke depan (skenario 2). Sedangkan upaya pelestarian melalui peningkatan produktivitas sebesar 19 ton/ha tidak terlalu banyak memberikan pengaruh hanya mampu memenuhi kebutuhan
ubi kayu hingga tahun 2011 (skenario 3). Upaya pelestarian dengan perluasan areal tanam 0,5% per tahun dan peningkatan produktivitas sebesar 19 ton/ha (skenario 4) telah mampu memenuhi kebutuhan ubi kayu sampai 10 tahun ke depan. Upaya ini merupakan alternatif yang lebih baik, bahkan membuka peluang yang besar bagi pengembangan diversifikasi pangan non beras dan industri berbasis ubi kayu. Apabila diasumsikan terjadi perubahan tingkat konsumsi sebesar 0,009 ton/kapita/tahun diikuti peningkatan kebutuhan industri khususnya industri aci sebesar 2,5 ton/unit/hari maka produksi ubi kayu tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut selama lebih dari 10 tahun (skenario 5). Upaya untuk mengatasi persoalan pada skenario 5 adalah dengan melakukan upaya perluasan lahan sebesar 1% per tahun dan peningkatan produktivitas rata-rata 19 ton/ha. Upaya tersebut mampu memenuhi kebutuhan ubi kayu selama 10 tahun ke depan. Secara keseluruhan model dinamik yang dirancang telah mampu menganalisis ketersediaan ubi kayu dan implikasinya terhadap alternatif kebijakan yang dapat diambil untuk mendukung teknologi pengembangan ubi kayu baik untuk kebutuhan konsumsi maupun industri. Model yang telah dibuat memungkinkan untuk dapat dipakai sebagai alat dalam pengambilan keputusan maupun penentuan kebijakan pengembangan ubi kayu di masa mendatang secara lebih komprehensif.
Rahayu Utami. F34101027. Dynamic Simulation of Cassava’s Supply System (Case Study in Bogor Regency). Under Supervision of Machfud and Agus Supriatna S. 2005.
SUMMARY Cassava (Manihot esculenta Crantz), one of agriculture commodities, has a big potential to be developed as industrial raw material. Cassava contributes 9,9% of sub sector food plant which provides 5,68% from total Bogor regency Product Domestic Regional Bruto (PDRB) in 2003 ( BPS of Bogor Regency, 2004). Bogor regency has become one of cassava’s production centre in west java. It’s productivity during 1995-2003 period is 7-12% of total cassava production in west java or approximately 1% from national production. (BPS, 2004, processed). The development of cassava’s production fluctuates every year. This cassava’s production dynamics can be caused by natural factor (climate), harvest time, industrial needs, price at farmer level, etc. The objectives of this research are to analyze the cassava’s supply as industrial raw material as well as for consumption in the future, to make dynamic simulation model of several cassava’s supply planning scenarios, and to give policy alternatives to the decision makers. The method used is modelling with dynamic system approach followed by simulation based on the determined scenario. Dynamic system modelling conducted by using simple causal diagram (loops) that produce structure and behaviour of dynamic system. The supporting software used to built dynamic model is Powersim version 2.5 for Windows. Cassava.Sim model development consists of 3 sub models : supply, consumption needs, and industrial needs sub models. There are input variables (dynamic object) on each sub model, to input data on every scenario made according to the real condition. This system dynamic model consist of five scenarios according to model purposes, which are (1) scenario without policy (preservation effort); (2) scenario with land-resource efficiency policy; (3) scenario with productivity improvement policy; (4) scenario with land-resource efficiency and productivity improvement policy; (5) scenario with consumption and industrial needs improvement impact. Analysis result indicates that if there is a descent of plant area 2% annually, cassava’s supply in Bogor regency estimated will be run out in 2008 if there is no preservation effort (scenario 1). Preservation effort by expanding 1% of plant area annually would be able to fulfil cassava’s need for the next 10 years (scenario 2). While preservation effort through productivity improvement of 19 ton/ha would only be able to fulfil cassava’s need until 2011 (scenario 3). Preservation by plant area expansion of 0,5% annually and productivity improvement of 19 ton/ha (scenario 4) would be able to fulfil cassava’s need for the next 10 years. These effort is a better alternative, even create big opportunity for the development of cassava based food and industry diversification. Assumed that the change of consumption level is 0,009 ton/capita/year followed by the change of industrial needs, especially tapioca industry, 2,5 ton/unit/day then cassava’s production would not be able to fulfil cassava’s need for more than 10
years (scenario 5). To overcome the problem on scenario 5, land expansion of 1% annually and productivity improvement rate of 19 ton/ha should be conducted. This effort would be able to fulfil cassava’s need for the next 10 years. As a whole, the dynamic model designed is able to analyze cassava’s supply and its implication to the policy alternatives that can be conducted to support cassava’s development technology for consumption and industrial needs. The model made can be used as a tool in decision making as well as policy making of cassava’s development in the future more comprehensively.
SIMULASI DINAMIKA SISTEM KETERSEDIAAN UBI KAYU (Studi Kasus di Kabupaten Bogor)
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh RAHAYU UTAMI F34101027
2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
: Rahayu Utami
NRP
: F34101027
Judul Skripsi : Simulasi Dinamika Sistem Ketersediaan Ubi Kayu (Studi Kasus di Kabupaten Bogor) menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul di atas adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.
Bogor, Desember 2005 Yang membuat pernyataan
RAHAYU UTAMI
BIODATA PENULIS
Penulis dilahirkan di Sragen, Jawa Tengah pada tanggal 9 Oktober 1983. Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara dari keluarga Bapak Darsono dan Ibu Mulyarsih. Riwayat pendidikan penulis dimulai dari Taman Kanak-kanak Pertiwi Kebonromo V pada tahun 1988-1989. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri Kebonromo II pada tahun 1995, Sekolah Menengah Pertama Negeri II Sragen pada tahun 1998, dan Sekolah Menengah Umum Negeri I Sragen pada tahun 2001. Pada tahun terakhir SMU, penulis mendapat kesempatan untuk mengikuti Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan pada tahun 2001 penulis diterima sebagai mahasiswa pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada bulan Juni-Agustus 2004, penulis melakukan kegiatan Praktek Lapang di PT. Diamond Cold Storage Cimahi, Bandung dengan topik “Proses Produksi, Perencanaan Produksi dan Pengendalian Persediaan”.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul ”Simulasi Dinamika Sistem Ketersediaan Ubi Kayu (Studi Kasus di Kabupaten Bogor).” Skripsi ini diajukan sebagai syarat untuk menyelesaikan studi dan meraih gelar Sarjana Teknologi Pertanian di Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada : 1. Dr. Ir. Machfud, MS., selaku pembimbing I yang berkenan memberikan bimbingan, pengarahan, dan nasehat selama penyusunan skripsi. 2. Ir. Agus Supriatna S., selaku pembimbing II yang berkenan memberikan bimbingan, pengarahan, dan nasehat selama penyusunan skripsi. 3. Ir. Sugiarto, selaku penguji yang telah memberikan saran dalam penyelesaian skripsi ini. 4. Ayahanda Darsono, ibunda Mulyarsih, dan kakak-kakakku tercinta atas do’a, dukungan moral dan material hingga terselesainya skripsi ini. 5. Ibu Noviana, selaku Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Bogor yang telah memberikan izin kepada penulis untuk memperoleh data dan informasi. 6. Ibu Ellyza, selaku Ka.Bid Produksi dan Bapak Dedi Supriadi, selaku Ka.Bid Program dan Pengendalian Dinas Pertanian Kabupaten Bogor atas diskusi dan masukan yang diberikan demi perbaikan model. 7. Bapak Ganda Sudiana, selaku Ka.Si Perlindungan Tanaman dan Bapak Mahmud, selaku staff Bina Usaha Dinas Pertanian Kabupaten Bogor yang telah memberikan informasi lapang dan bantuan dalam survei pendahuluan. 8. Eko Suwarno (KSH ’38), Mas Sugeng (MNH ’35), dan Sari S. (TIN ’38) atas bantuan dalam pengumpulan data primer selama survei lapang. 9. Teman-temanku Dian K, Dinny, Nieken, Yana, Bunga, Freddy, Pipink, Jaki (TEP ’38) atas persahabatan, semangat, dan masukan selama penyusunan skripsi. 10. Keluarga besar wisma Zulfa : Anggi, Novi, Mba Weni, Her-Her, Wulan, Ina, Ika, De’ Anis, De’ Ela, atas keceriaan dan kekeluargaan yang terjalin selama ini.
11. Rekan-rekan TIN ’38 atas dorongan, bantuan, kerjasama, dan persahabatannya. 12. Serta semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi. Kritik dan saran sangat diharapkan guna perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Bogor, Desember 2005
Penulis
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ....................................................................................
i
DAFTAR ISI .................................................................................................
iii
DAFTAR TABEL .........................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
vi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. viii I.
II.
PENDAHULUAN ..................................................................................
1
A. LATAR BELAKANG ......................................................................
1
B. TUJUAN ..........................................................................................
3
C. RUANG LINGKUP ..........................................................................
3
D. MANFAAT .....................................................................................
4
TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................
5
A. UBI KAYU ......................................................................................
5
B. SISTEM DINAMIK .........................................................................
8
1. Definisi .......................................................................................
8
2. Pemodelan Dinamik ....................................................................
9
3. Pendekatan Sistem Dinamik ....................................................... 10 4. Sistem Umpan Balik ................................................................... 12 5. Komponen Pemodelan Sistem Dinamik ...................................... 14 C. TEKNIK SIMULASI ....................................................................... 24 D. LANDASAN TEORI ....................................................................... 25 1. Demografi .................................................................................. 25 2. Validasi Model ........................................................................... 26 E. PENELITIAN TERDAHULU .......................................................... 27 III. METODOLOGI ..................................................................................... 29 A. KERANGKA PEMIKIRAN ............................................................. 29 B. PENDEKATAN SISTEM ................................................................ 30 1. Analisa Kebutuhan ..................................................................... 32
2. Formulasi Permasalahan ............................................................ 33 3. Identifikasi Sistem ...................................................................... 33 C. PEMODELAN DINAMIKA SISTEM ............................................. 36 1. Konseptualisasi Model ............................................................... 36 2. Spesifikasi Model ...................................................................... 36 3. Evaluasi Model .......................................................................... 36 D. TATA LAKSANA ........................................................................... 37 1. Identifikasi Masalah ................................................................... 37 2. Teknik Pengumpulan Data ......................................................... 37 3. Perancangan Model .................................................................... 38 4. Pembuatan Model dan Simulasi ................................................. 38 5. Verifikasi dan Validasi Model ................................................... 39 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 40 A. KEADAAN UMUM UBI KAYU DI KABUPATEN BOGOR ........ 40 1. Usaha Tani Ubi Kayu ................................................................ 40 2. Agroindustri Ubi Kayu .............................................................. 43 B. RANCANGAN MODEL ................................................................ 47 1. Deskripsi Sistem ........................................................................ 47 2. Konseptualisasi Model ............................................................... 48 3. Formulasi Model ........................................................................ 55 C. SKENARIO DAN HASIL SIMULASI ............................................ 66 D. VALIDASI MODEL ....................................................................... 81 E. SARAN KEBIJAKAN ..................................................................... 82 V.
KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 89 A. KESIMPULAN ............................................................................... 89 B. SARAN ........................................................................................... 90
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 91 LAMPIRAN .................................................................................................. 95
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. PDRB sektor pertanian Kabupaten Bogor atas dasar harga berlaku (milyar rupiah) .....................................................................
1
Tabel 2. Kandungan gizi dalam tiap 100 gram ubi kayu dan berbagai produk olahannya .............................................................................
5
Tabel 3. Perbedaan sifat-sifat umbi yang dikehendaki untuk kebutuhan makanan dan pembuatan tepung tapioka ...........................................
7
Tabel 4. Luas panen dan produksi komoditas tanaman pangan Kabupaten Bogor .............................................................................. 40 Tabel 5. Rincian luas areal tanam ubi kayu di Kabupaten Bogor ..................... 41 Tabel 6. Hasil simulasi skenario tanpa perubahan kebijakan ........................... 72 Tabel 7. Hasil simulasi skenario dengan perluasan areal tanam 1% per tahun .. 73 Tabel 8. Hasil simulasi skenario dengan perluasan areal tanam 1% per dua tahun ................................................................................................. 75 Tabel 9. Hasil simulasi dengan skenario upaya peningkatan produktivitas (intensifikasi) .................................................................................... 77 Tabel 10. Hasil simulasi dengan skenario kebijakan pendayagunaan lahan dan peningkatan produktivitas ......................................................... 79 Tabel 11. Hasil simulasi dengan skenario pengaruh perubahan tingkat kebutuhan ubi kayu ......................................................................... 81 Tabel 12. Varietas ubi kayu yang telah dilepas ............................................... 83 Tabel 13. Jenis dan dosis pemupukan pada tanaman ubi kayu ......................... 85
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Produksi ubi kayu Kabupaten Bogor tahun 1995-2004 ..................
2
Gambar 2. Pohon industri ubi kayu ................................................................
6
Gambar 3. Tahapan pendekatan sistem dinamik ............................................. 11 Gambar 4. Diagram lingkar umpan balik ........................................................ 13 Gambar 5. Lingkar umpan balik positif dan negatif ........................................ 14 Gambar 6. Simbol variabel ”level” ................................................................. 15 Gambar 7. Simbol variabel ”rate” ................................................................... 15 Gambar 8. Simbol variabel ”auxiliary” ........................................................... 16 Gambar 9. Simbol ”konstanta” ....................................................................... 16 Gambar 10. Simbol ”fungsi tabel” .................................................................. 16 Gambar 11. Simbol ”delay” ............................................................................ 17 Gambar 12. Simbol ”sumber dan penampung” ............................................... 17 Gambar 13. Simbol ”garis penghubung” ........................................................ 18 Gambar 14. Simbol urutan komputasi simulasi sistem dinamik ...................... 19 Gambar 15. Diagram alir kerangka penelitian ................................................. 30 Gambar 16. Tahapan pendekatan sistem ......................................................... 31 Gambar 17. Diagram sebab akibat dinamika sistem ketersediaan ubi kayu ..... 34 Gambar 18. Diagram input-output dinamika sistem ketersediaan ubi kayu ..... 35 Gambar 19. Sketsa tata niaga ubi kayu di Kabupaten Bogor ........................... 42 Gambar 20. Skema proses produksi usaha kecil tapioka ................................. 44 Gambar 21. Skema proses produksi keripik singkong ..................................... 45 Gambar 22. Skema proses produksi tape peuyeum ......................................... 47 Gambar 23. Diagram sebab akibat sub model penyediaan ubi kayu ................ 50 Gambar 24. Diagram alir sub model penyediaan ubi kayu .............................. 51 Gambar 25. Diagram sebab akibat sub model kebutuhan konsumsi ................ 52 Gambar 26. Diagram alir sub model kebutuhan konsumsi ............................. 53 Gambar 27. Diagram sebab akibat sub model kebutuhan industri ................... 54 Gambar 28. Diagram alir sub model kebutuhan industri ................................. 55 Gambar 29. Diagram Simulasi Monte Carlo ................................................... 58
Gambar 30. Luas areal tanam ubi kayu dan kecenderungannya ....................... 67 Gambar 31. Perilaku model dasar sistem dinamis ........................................... 69 Gambar 32. Hasil simulasi pada skenario tanpa perubahan kebijakan ............. 70 Gambar 33. Hasil simulasi dengan upaya perluasan areal tanam 1% per tahun
73
Gambar 34. Hasil simulasi dengan upaya perluasan areal tanam 1% per dua tahun............................................................................................ 74 Gambar 35. Hasil simulasi dengan skenario upaya peningkatan produktivitas (intensifikasi) ............................................................................... 77 Gambar 36. Hasil Simulasi dengan skenario kebijakan pendayagunaan lahan dan peningkatan produktivitas ..................................................... 78 Gambar 37. Hasil simulasi dengan skenario pengaruh perubahan tingkat kebutuhan ubi kayu ..................................................................... 80 Gambar 38. Model kemitraan ubi kayu ........................................................... 88
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Sketsa wilayah Kabupaten Bogor ............................................... 96 Lampiran 2. Luas panen, produktivitas, produksi ubi kayu Kabupaten Bogor tahun 1999-2004 ............................................. 97 Lampiran 3. Tingkat konsumsi ubi kayu (kg setara ubi segar/kapita/minggu) menurut kelas pengeluaran ......................................................... 99 Lampiran 4. Keadaan umum usaha kecil (pengrajin) tapioka yang disurvei di Kabupaten Bogor .................................................................... 100 Lampiran 5. Daftar industri kecil/home industry pangan berbasis ubi kayu di Kabupaten Bogor ................................................................... 104 Lampiran 6. Formulasi model Cassava.Sim pada perangkat lunak Powersim .. 108 Lampiran 7. Uji distribusi data produktivitas ubi kayu Kabupaten Bogor tahun 1999-2004 ........................................................................ 112 Lampiran 8. Kesesuaian lahan bagi tanaman ubi kayu di Kabupaten Bogor .... 113 Lampiran 9. Hasil perhitungan rate pertumbuhan penduduk Kabupaten Bogor tahun 1999-2004 ....................................................................... 114 Lampiran 10. Tampilan model Cassava1.Sim ................................................ 115 Lampiran 11. Tampilan model Cassava2.Sim ................................................ 116 Lampiran 12a. Validasi model penduduk dengan uji MAPE .......................... 117 Lampiran 12b. Validasi model produktivitas ubi kayu dengan uji MAPE ...... 117 Lampiran 12c. Validasi model produksi ubi kayu dengan uji MAPE ............. 117
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang memiliki potensi cukup besar untuk dikembangkan sebagai bahan baku agroindustri. Selain dapat dikonsumsi secara langsung sebagai makanan, ubi kayu dapat menjadi bahan baku bagi industri tepung tapioka dan tepung ubi kayu (gaplek) yang selanjutnya dipergunakan untuk berbagai macam industri seperti makanan, pakan ternak, kertas, kayu lapis dan sebagainya. Komoditas ubi kayu memiliki kontribusi dalam pembentukan PDRB (Product Domestic Regional Bruto) Kabupaten Bogor pada tahun 2003 yaitu sebesar 9,9% dari sub sektor tanaman bahan makanan yang memberikan kontribusi sebesar 840,15 milyar rupiah atau 5,68% terhadap total PDRB (BPS Kabupaten Bogor, 2004). Nilai tersebut berdasarkan PDRB sektor pertanian atas dasar harga berlaku yang dapat disimak pada Tabel 1. Tabel 1. PDRB sektor pertanian Kabupaten Bogor atas dasar harga berlaku (milyar rupiah) Lapangan Usaha 1. Pertanian a. Tanaman bahan makanan b. Tanaman perkebunan c. Peternakan d. Kehutanan e. Perikanan Total PDRB
2003 Semester I Semester II
2003 *)
2004 **) Semester I
781,51 417,54
817,95 422,61
1.599,46 840,15
842,05 429,63
26,89
27,68
54,57
26,80
324,99 2,19 9,90
355,04 2,28 10,34
680,03 4,47 20,24
370,39 2,35 10,86
7.152,43
7.632,10
14.784,53
7.990,45
Sumber : BPS, Kabupaten Bogor bekerja sama dengan BAPEDA, Kabupaten Bogor (2004) Keterangan : *) Angka Perbaikan **) Angka Sementara
Kabupaten Bogor dengan luas wilayah 2.388,93 km2 merupakan salah satu kabupaten sentra produksi ubi kayu di Provinsi Jawa Barat. Kriteria suatu daerah sebagai kabupaten sentra produksi ubi kayu menurut Hafsah (2003) antara lain memiliki areal tanam yang cukup luas, produksi yang relatif tinggi, memiliki akses terhadap pasar, terdapat industri yang memanfaatkan bahan baku ubi kayu seperti pabrik tapioka dan chips/pellet, home industry pembuatan keripik/ceriping singkong dan lain-lain, jaringan kemitraan usaha, serta memiliki sarana dan prasarana penunjang. Total produksi ubi kayu Kabupaten Bogor periode 1995-2003 adalah sekitar 7-12% dari total produksi ubi kayu Jawa Barat atau sekitar 1% dari total produksi ubi kayu nasional (BPS, 2004, diolah). Jumlah produksi ubi kayu Kabupaten Bogor sebagian besar digunakan untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan ubi kayu seperti industri tepung tapioka (aci), keripik, tape, dan lain-lain. Perkembangan produksi ubi kayu Kabupaten Bogor tahun 1995–2004 dapat dilihat pada Gambar 1.
250,000
Jumlah (Ton)
200,000 150,000 100,000 50,000 0 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Tahun
Gambar 1. Produksi ubi kayu Kabupaten Bogor tahun 1995-2004 (Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Bogor, 2004) Dinamika tingkat persediaan (produksi) ubi kayu di atas selain dapat dipengaruhi oleh faktor alam (iklim), waktu panen (delay), harga di tingkat petani, juga dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor. Pada dasarnya kebijakan-kebijakan yang diterapkan
bersifat
operasional
dan
bertujuan
untuk
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Untuk itu diperlukan suatu model ketersediaan
dinamik yang diharapkan dapat membantu Pemerintah dalam menentukan kebijakan penyediaan ubi kayu bagi kepentingan konsumsi maupun kepentingan agroindustri. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk memahami perilaku dinamis tingkat persediaan ubi kayu di Kabupaten Bogor adalah dengan pendekatan simulasi model “System Dynamics”. B. TUJUAN Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Menganalisis ketersediaan ubi kayu sebagai bahan baku industri maupun konsumsi
di
Kabupaten
Bogor
pada
masa
mendatang
dengan
menggunakan pendekatan model dinamik. 2. Membuat simulasi model dinamik terhadap kemungkinan beberapa skenario perencanaan penyediaan ubi kayu. 3. Memberikan alternatif kebijakan dalam rangka perencanaan agrobisnis dan pengembangan agroindustri ubi kayu khususnya di Kabupaten Bogor. C. RUANG LINGKUP Penelitian ini dilaksanakan dengan mengambil studi kasus wilayah Kabupaten Bogor, sebagai salah satu kabupaten sentra produksi ubi kayu di Jawa Barat. Pemilihan komoditas ubi kayu tersebut mengingat peranannya sebagai bahan pangan berkarbohidrat tinggi serta sebagai bahan baku industri. Aspek yang dikaji dalam dinamika sistem ketersediaan ubi kayu meliputi sub sistem penyediaan dan sub sistem kebutuhan. Sub sistem penyediaan ubi kayu dianalisis berdasarkan pada jumlah produksi komoditas ubi kayu di wilayah Kabupaten Bogor. Dalam hal ini komoditas ubi kayu yang masuk ke wilayah Kabupaten Bogor dan keluar dari wilayah Kabupaten Bogor tidak dimasukkan dalam pemodelan sistem. Sub sistem kebutuhan terdiri atas sub sistem kebutuhan konsumsi dan industri. Sub sistem kebutuhan konsumsi dianalisis berdasarkan dinamika populasi penduduk dan tingkat konsumsi ubi kayu per kapita penduduk. Sedangkan sub sistem kebutuhan industri dianalisis berdasarkan dinamika
jumlah industri dan kebutuhan ubi kayu bagi bahan baku industri
yang
meliputi industri kecil/home industry berbasis ubi kayu. D. MANFAAT Manfaat dari penelitian ini adalah dapat memberikan arah perencanaan sebagai alternatif kebijakan bagi para pengambil keputusan dalam upaya pendayagunaan ubi kayu secara maksimal bagi masyarakat Bogor, baik dalam penyediaan ubi kayu sebagai bahan baku industri maupun kebutuhan konsumsi.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. UBI KAYU Ubi kayu dalam taksonomi tumbuhan termasuk ke dalam kingdom Plantae, divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, famili Euphorbiaceae, genus Manihot dengan spesies esculenta Crantz dengan berbagai varietas. Umbi yang terbentuk merupakan akar yang berubah bentuk dan fungsinya sebagai tempat penyimpanan cadangan makanan. Umbi ubi kayu memiliki bentuk bulat memanjang dan daging umbi mengandung zat pati. Setiap tanaman ubi kayu dapat menghasilkan 5-10 umbi (Rukmana, 1997). Awalnya, ubi kayu ditanam untuk diambil umbinya dan dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Selanjutnya ubi kayu dimanfaatkan sebagai bahan pakan dan industri. Selain dapat dikonsumsi langsung dalam berbagai jenis makanan, yakni ubi kayu rebus, ubi kayu kukus, ubi kayu bakar, ubi kayu goreng, kolak, keripik, opak, tape, dan enyek-enyek, umbi ubi kayu dapat diolah menjadi produk antara (intermediate product), seperti gaplek dan tepung tapioka (Rukmana, 1997). Ubi kayu dan produk olahannya memiliki kandungan gizi yang masing-masing dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kandungan gizi dalam tiap 100 gram ubi kayu dan berbagai produk olahannya No
Kandungan Gizi
Ubi Kayu Biasa
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Kalori (kal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Zat Besi (mg) Vitamin A (SI) Vitamin B1(mg) Vitamin C (mg) Air (g) Bagian yang dapat dimakan (%)
146,00 1,20 0,30 34,70 33,00 40,00 0,70 0 0,06 30,00 62,50 75,00
Banyaknya dalam Ubi Kayu Gaplek Tapioka Kuning 157,00 0,80 0,30 37,90 33,00 40,00 0,70 385,00 0,06 30,00 60,00 75,00
338,00 1,50 0,70 81,30 80,00 60,00 1,90 0 0,04 0 14,50 100,00
362,00 0,50 0,30 86,90 0 0 0 0 0 0 12,00 100,00
Tepung Gaplek 363,00 1,10 0,50 88,20 84,00 125,00 1,00 0 0,04 0 9,10 100,00
Sumber : Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI (1981) di dalam Rukmana (1997)
Ubi kayu sebagai bahan baku industri dapat diolah menjadi berbagai produk antara lain tapioka, glukosa kristal, fruktosa, sorbitol, high fructose syrup (HFS), dekstrin, alkohol, etanol, asam sitrat (citric acid), dan monosodium glutamate. Dekstrin digunakan antara lain pada industri tekstil, kertas perekat plywood dan farmasi/kimia. Asam sitrat digunakan sebagai pemberi rasa asam dalam pembuatan makanan kaleng, minuman, jams, jelly, obat-obatan dan dapat pula digunakan sebagai pemberi rasa asam pada sirup, kembang gula dan saus tembakau. Monosodium glutamate digunakan sebagai penyedap makanan. Sorbitol (produk akhir ubi kayu) dibuat dari tapioka cair berwarna putih bening seperti gel/putih mengkilat digunakan antara lain pada industri kembang gula/permen dan minuman instan yang produknya mempunyai nilai jual yang tinggi, serta dapat dimanfaatkan sebagai bahan pemanis untuk pasta gigi, kosmetik, dan cat minyak (Hafsah, 2003). Pohon industri ubi kayu dapat dilihat pada Gambar 2.
Dikeringkan (Dried) Pelet (Pellets) Gaplek (Manioc)
Tepung Gaplek (Manioc Flour) Lain-Lain (Other Product of Manioc)
Ubi Kayu (Cassava)
Tapioka (Tapioc)
Tapioka Berbentuk Mutiara (Pearl Tapioca)
Makanan Ringan (Snack) Dekstrin (Dextrin) Glukosa (Glucose) Sorbitol (Sorbitol)
Serpihan (Flakes) Fruktosa (Fructose) Etanol (Etanol) Onggok (Residues)
Asam Sitrat (Citric Acid)
Asam Asetat (Acetic Acid)
Gambar 2. Pohon industri ubi kayu (Bank Indonesia, 2004)
Ubi kayu merupakan bahan campuran pakan ternak yang cukup baik. Namun demikian, penggunaannya di Indonesia masih sangat terbatas. Hal ini antara lain disebabkan industri pakan ternak di Indonesia masih banyak menggunakan jagung dan kedelai sebagai bahan baku utamanya. Negara pemakai hasil ubi kayu untuk pakan ternak yang cukup besar adalah Jerman dan Belanda, dimana > 50% menggunakan campuran ubi kayu sebagai pakan ternak. Bahan ubi kayu yang digunakan pada industri pakan ternak antara lain gaplek, chips, gaplek pellet, tepung gaplek, ampas, dan tepung ampas tapioka (Hafsah, 2003). Menurut Darjanto dan Murjati (1980), umbi ubi kayu yang digunakan sebagai bahan pangan dan pakan adalah umbi yang manis, memiliki kandungan HCN dalam umbi kurang dari 50 miligram HCN per kilogram umbi. Sedangkan umbi pahit dengan kandungan HCN lebih banyak, digunakan sebagai bahan baku pembuatan tepung tapioka. Tapioka banyak dimanfaatkan dalam industri tekstil, kertas, bahan perekat kardus, industri pengolahan pangan, dan sebagainya. Selanjutnya sifat-sifat umbi yang dikehendaki untuk makanan dan pembuatan tepung tapioka dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Perbedaan sifat-sifat umbi yang dikehendaki untuk kebutuhan makanan dan pembuatan tepung tapioka No Sifat-sifat Umbi 1. Racun HCN dalam umbi 2. Rasa umbi 3. Umur panen 4. Kadar protein 5. Faktor lain yang diperlukan
Untuk Makanan < 50 mg/kg umbi
Untuk Tepung Tapioka > 100 mg/kg umbi
Enak manis 5 – 8 bulan Dikehendaki tinggi Mengandung vitamin, warna tidak menjadi soal
Boleh pahit 1 – 2 tahun Rendah (<1,3 %) Memberi kualitas tepung yang baik antara lain : a. Halus, bersih, sama rata. b. Warnanya putih. c. Viskositasnya tinggi. d. Ampas, serat & kotoran lain tidak boleh banyak. e. Tidak mengandung air.
Sumber : Darjanto dan Murjati (1980)
B. SISTEM DINAMIK 1. Definisi Sistem dinamik pertama kali diperkenalkan oleh Jay W. Forrester di Massachussetts Institute of Technology (MIT) pada tahun 1950-an, merupakan suatu metode pemecahan masalah-masalah kompleks yang timbul karena adanya kecenderungan sebab-akibat dari berbagai macam variabel di dalam sistem. Metode sistem dinamik pertama kali diterapkan pada permasalahan manajemen seperti fluktuasi inventori, ketidakstabilan tenaga kerja, dan penurunan pangsa pasar suatu perusahaan. Hingga saat ini aplikasi metode sistem dinamik terus berkembang semenjak pemanfaatannya dalam bidang-bidang sosial dan ilmu-ilmu fisik. Berikut ini pengertian sistem dinamik adalah sebagai berikut : a. Sistem dinamik adalah suatu metode analisis permasalahan dimana waktu merupakan salah satu faktor penting, dan meliputi pemahaman bagaimana suatu sistem dapat dipertahankan dari gangguan di luar sistem, atau dibuat sesuai dengan tujuan dari pemodelan sistem yang akan dibuat (Coyle, 1979). b. Sistem dinamik adalah metodologi untuk memahami suatu masalah yang kompleks. Metodologi ini dititikberatkan pada kebijakan dan bagaimana kebijakan tersebut menentukan tingkah laku masalahmasalah yang dapat dimodelkan oleh sistem dinamik (Richardson dan Pugh, 1986). c. Sistem dinamik adalah suatu metode pendeskripsian kualitatif, pemahaman, dan analisis sistem kompleks dalam ruang lingkup proses, informasi, dan struktur organisasi, yang memudahkan dalam simulasi pemodelan kuantitatif dan analisis kebijakan dari struktur sistem dan kontrol (Wolstenholme, 1989 di dalam Daalen dan Thissen, 2001). d. Sistem dinamik adalah suatu bidang untuk memahami bagaimana sesuatu berubah menurut waktu. Sistem ini dibentuk oleh persamaanpersamaan diferensial. Persamaan diferensial digunakan untuk masalah-masalah biofisik yang diformulasikan sebagai keadaan di masa datang yang tergantung dari keadaan sekarang (Forrester, 1999).
2. Pemodelan Dinamik Pemodelan merupakan alat bantu dalam pengambilan keputusan. Model didefinisikan sebagai suatu penggambaran dari suatu sistem yang telah dibatasi. Sistem yang dibatasi ini merupakan sistem yang meliputi semua konsep dan variabel yang saling berhubungan dengan permasalahan dinamik (dynamic problem) yang ditentukan (Rhichardson dan Pugh, 1986). Model yang dikembangkan dengan sistem dinamik mempunyai karakteristik sebagai berikut : a. Menggambarkan hubungan sebab akibat dari sistem b. Sederhana dalam mathematical nature c. Sinonim dengan terminologi dunia industri, ekonomi, dan sosial dalam tatanama d. Dapat melibatkan banyak variabel e. Dapat menghasilkan perubahan yang tidak kontinyu jika dalam keputusan memang dibutuhkan (Forrester, 1961 di dalam Noorsaman dan Wahid, 1998). Pada
umumnya
model
dibangun
untuk
tujuan
peramalan
(forecasting) atau perancangan kebijaksanaan. Berbeda dengan model statis, pendekatan model dinamik bersifat deduktif dan mampu menghilangkan kelemahan-kelemahan dalam asumsi-asumsi yang dibuat sehingga kesepakatan atas asumsi-asumsi dapat diperoleh. Model dinamik menekankan pada proses perubahan dari satu kondisi ke kondisi lainnya. Karena perubahan memakan waktu, delay menjadi hal penting dalam pemodelan dinamik. Apabila dalam model statis tingkat variabel keadaan dan kelakuan sistem yang lalu menentukan tingkat stok dan kelakuan sistem sekarang, maka dalam model sistem dinamik hubungan temporal hanya berlaku untuk tingkat stok saja dan tidak untuk kelakuan sistem. Kelakuan sistem pada saat sekarang tidak dapat diterangkan oleh kelakuannya pada waktu yang lalu, melainkan oleh mekanisme interaksi struktur mikro dalam sistem (Tasrif, 1993 di dalam Noorsaman dan Wahid, 1998).
Dalam menyusun model dinamik terdapat tiga bentuk alternatif yang dapat digunakan (Muhammadi et al., 2001), yaitu : a. Verbal Model verbal adalah model sistem yang dinyatakan dalam bentuk katakata. b. Visual (analog model kualitatif) Deskripsi visual dinyatakan secara diagram dan menunjukkan hubungan sebab akibat banyak variabel dalam keadaan sederhana dan jelas. Analisis deskripsi visual dilakukan secara kualitatif. c. Matematis Model visual dapat direpresentasikan ke dalam bentuk matematis yang merupakan perhitungan-perhitungan terhadap suatu sistem. Semua bentuk perhitungannya bersifat ekuivalen, yang mana setiap bentuk berperan sebagai alat bantu untuk dimengerti bagi yang awam. 3. Pendekatan Sistem Dinamik Permasalahan dalam sistem dinamik dilihat tidak disebabkan oleh pengaruh dari luar namun dianggap disebabkan oleh struktur internal sistem. Tujuan metodologi sistem dinamik berdasarkan filosofi kausal (sebab akibat) adalah mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang tata cara kerja suatu sistem (Asyiawati, 2002). Tahapan dalam pendekatan sistem dinamik adalah : a. Identifikasi dan definisi masalah b. Konseptualisasi sistem c. Formulasi model d. Simulasi model e. Analisa kebijakan f. Implementasi kebijakan Tahapan dalam pendekatan sistem dinamik ini diawali dan diakhiri dengan pemahaman sistem dan permasalahannya sehingga membentuk suatu lingkaran tertutup. Proses dari pendekatan sistem dinamik dapat dilihat pada Gambar 3.
Implementasi model Pemahaman sistem Identifikasi masalah
Analisa kebijakan Simulasi model
Konseptualisasi sistem Formulasi model
Gambar 3. Tahapan pendekatan sistem dinamik (Widayani, 1999) Pendefinisian masalah merupakan tahap yang sangat penting dilakukan untuk mengetahui dimana sebenarnya pemodelan sistem perlu dilakukan. Tahap selanjutnya adalah menetapkan tujuan dan batas permasalahan dari sistem yang akan dimodelkan. Batas sistem menyatakan komponen-komponen
yang
termasuk
dan
tidak
termasuk
dalam
pemodelan sistem. Batas sistem ini meliputi kegiatan-kegiatan di dalam sistem sehingga perilaku yang dipelajari timbul karena interaksi dari komponen-komponen di dalam sistem (Purnomo, 2003). Selanjutnya,
konseptualisasi
model
dilakukan
atas
dasar
permasalahan yang didefinisikan. Ini dimulai dengan identifikasi komponen atau variabel yang terlibat dalam pemodelan. Variabel-variabel tersebut
kemudian
dicari
interrelasinya
satu
sama
lain
dengan
menggunakan ragam metode seperti diagram sebab akibat (causal), diagram kotak panah (stock and flow), dan diagram sekuens (aliran). Konseptualisasi model ini memberikan kemudahan bagi pembaca agar dapat mengikuti pola pikir yang tertuang dalam model sehingga menimbulkan pemahaman yang lebih mendalam atas sistem (Purnomo, 2003. Kemudian pada tahap formulasi (spesifikasi) model dilakukan perumusan makna yang sebenarnya dari setiap relasi yang ada dalam model konseptual, ini dilakukan dengan memasukkan data kuantitatif ke dalam diagram model. Spesifikasi model dilakukan terhadap variabel-
variabel yang saling berhubungan dalam diagram. Pemodel dapat menentukan nilai parameter dan melakukan percobaan-percobaan terhadap pengembangan model dengan mengkomunikasikan kepada aktor-aktor yang terlibat. Dalam hal ini, model diformulasikan dengan persamaan matematik (Purnomo, 2003). Pada prinsipnya, model sistem dinamik dapat dinyatakan dan dipecahkan secara numerik dalam sebuah bahasa pemrograman. Perangkat lunak khusus untuk sistem dinamik telah banyak tersedia seperti Dynamo, Stella, Powersim, Vensim, Ithink, dan lain-lain. Pemilihan Powersim sebagai perangkat lunak untuk simulasi model adalah karena kemudahan dan kecanggihannya yang terus berkembang. Dalam Powersim, model kualitatif disajikan dalam bentuk grafik dari satu atau lebih variabel terhadap waktu. Pada model yang telah dibuat, data kuantitatif berupa data, informasi dimasukkan dengan mengklik variabel-variabel yang tersedia seperti level, rate, auxiliary, dan konstanta dan kemudian nilai/formula dimasukkan ke dalam variabel-variabel tersebut. Selanjutnya, metode numerik dan time step dapat dipilih untuk mengkalkulasi model (Muhammadi et al., 2001). Tahap selanjutnya adalah melakukan simulasi terhadap model dan melakukan validasi model yang juga akan menimbulkan umpan balik terhadap pemahaman sistem. Menurut Muhammadi et al. (2001) simulasi model dilakukan untuk memahami gejala atau proses sistem, membuat analisis dan peramalan perilaku gejala atau proses tersebut di masa depan. Sedangkan validasi model dilakukan untuk mengetahui kesesuaian antara hasil simulasi dengan gejala atau proses yang ditirukan. Hasil validasi ini kemudian akan menimbulkan proses perbaikan dan reformulasi model. Akhirnya dilakukan analisis kebijakan pada model yang telah valid dan ini akan menambah pemahaman terhadap sistem. 4. Sistem Umpan Balik (feedback system) Permasalahan yang dimodelkan dengan pendekatan sistem dinamik sebaiknya mengandung dua karakteristik (Richardson dan Pugh, 1986), yaitu :
a. Masalah yang akan dimodelkan mempunyai sifat dinamik, yakni menyangkut kuantitas yang berubah menurut waktu, sehingga dapat direpresentasikan dalam grafik kuantitas terhadap waktu. b. Adanya sistem umpan balik (feedback system). Lingkaran umpan balik merupakan suatu lingkaran tertutup dimana sederetan keputusan dihubungkan untuk menentukan tindakan, keadaan (level) sistem serta informasi mengenai keadaan sistem (Richardson dan Pugh, 1986). Informasi tersebut kemudian akan kembali kepada keputusan. Hal-hal yang mempengaruhi keputusan bukanlah keadaan (level) saja, melainkan juga informasi tentang keadaan yang mungkin berbeda dari keadaan sebenarnya akibat kesalahan atau keterlambatan (delay) yang terjadi dalam lintasan. Diagram lingkar umpan balik dapat dilihat pada Gambar 4.
Keputusan
Informasi keadaan system (level)
Keadaan (level)
Gambar 4. Diagram lingkar umpan balik Menurut Muhammadi et al. (2001), lingkar umpan balik dibedakan menjadi dua, yaitu positif dan negatif. Lingkar umpan balik positif menghasilkan proses pertumbuhan yang menghasilkan kegiatan yang selalu meningkat, hal ini akan merupakan gangguan terhadap sistem yang dicirikan sebagai ketidakstabilan, ketidakseimbangan, makin memperkuat pertumbuhan. Lingkar umpan balik positif jika jumlah tanda (-) dalam loop genap. Tanda (-) ini dibentuk dari hubungan antara dua parameter. Hubungan positif jika :
Parameter A menambah terhadap parameter B. Atau, jika parameter A berubah maka parameter B berubah searah. Lingkar umpan balik negatif jika jumlah tanda (-) dalam loop ganjil. Hubungan negatif jika : Parameter A sifatnya mengurangi terhadap parameter B Atau, jika parameter A berubah maka parameter B berubah berlawanan arah. Lingkar umpan balik hubungan positif dan hubungan negatif dapat disimak pada Gambar 5.
+ Kelahiran
+
(+)
+
Penduduk
(-)
Kematian
-
Gambar 5. Lingkar umpan balik positif dan negatif Lingkar umpan balik tersebut terdiri atas lingkar umpan balik positif yaitu hubungan antara kelahiran dengan penduduk, dimana semakin banyak kelahiran bayi semakin bertambah jumlah penduduk, di lain pihak semakin banyak jumlah penduduk semakin banyak jumlah kelahiran bayi. Sebaliknya, lingkar umpan balik negatif yaitu hubungan antara kematian dengan penduduk, dimana semakin banyak kematian bayi semakin berkurang jumlah penduduk, di lain pihak semakin banyak jumlah penduduk semakin banyak jumlah kematian bayi. 5. Komponen Pemodelan Sistem Dinamik Dalam pemodelan sistem dinamik terdapat besaran-besaran pokok yang terdiri atas variabel-variabel. Variabel dalam Powersim yang digunakan adalah variabel ”level”, variabel ”rate”, variabel ”auxiliary”, dan variabel ”konstanta” (Powersim, 2005).
a. ”Level” ”Level” merupakan variabel yang menyatakan akumulasi dari sejumlah benda (nouns) seperti orang, uang, inventori, dan lain-lain, terhadap waktu. ”Level” dipengaruhi oleh variabel ”rate” dan dinyatakan dengan simbol persegi panjang. Pada bagian bawah simbol variabel ”level” menunjukkan nama variabel (Powersim, 2005).
Gambar 6. Simbol variabel ”level” b. ”Rate” ”Rate” merupakan suatu aktivitas, pergerakan (movement), atau aliran yang berkontribusi terhadap perubahan per satuan waktu dalam suatu variabel ”level”. ”Rate” merupakan satu-satunya variabel yang mempengaruhi variabel ”level” (Tasrif, 2004). Dalam Powersim simbol
”rate”
dinyatakan
dengan
kombinasi
antara
”flow”
dan ”auxiliary”. Simbol ini harus terhubung dengan sebuah variabel ”level”.
Gambar 7. Simbol variabel ”rate” c. ”Auxiliary” ”Auxiliary”
merupakan
variabel
tambahan
untuk
menyederhanakan hubungan informasi antara ”level” dan ”rate” (Shintasari, 1988). Seperti variabel ”level”, variabel ”auxiliary” juga dapat digunakan untuk menyatakan sejumlah benda (nouns). Simbol ”auxiliary” dinyatakan dengan sebuah lingkaran (Powersim, 2005).
Gambar 8. Simbol variabel ”auxiliary” d. ”Konstanta” ”Konstanta” merupakan input bagi persamaan ”rate” baik secara langsung maupun melalui ”auxiliary”. ”Konstanta” menyatakan nilai parameter dari sistem real. Simbol ”konstanta” dinyatakan dengan segiempat (Powersim, 2005).
Gambar 9. Simbol ”konstanta”
Simbol-simbol lain yang digunakan dalam diagram aliran model adalah simbol fungsi tabel, simbol fungsi tunda (delay), simbol sumber dan penampung (sink), dan simbol garis-garis aliran. a. Fungsi Tabel Fungsi tabel menyatakan hipotesa pembuat model tentang hubungan dua variabel yang tidak dapat dinyatakan dalam sebuah persamaan matematik (Shintasari, 1988). Persamaan tabel juga merupakan persamaan ”auxiliary”. Nilai variabel ”auxiliary” dalam fungsi/persamaan
tabel
ditentukan
melalui
suatu
tabel
yang
menggambarkan pengaruh satu variabel terhadap variabel lainnya (Tasrif, 2004). Simbol fungsi tabel dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Simbol ”fungsi tabel”
b. Fungsi Tunda (delay) Fungsi tunda (delay) menyatakan penundaan waktu yang terjadi pada aliran material (barang) maupun informasi. Dalam Powersim fungsi delay dibedakan menjadi tiga yaitu DELAYMTR-Nth (delay material orde ke-1,2,3...,n), DELAYINF-N-th (delay informasi orde ke-1,2,3...,n) dan DELAYPPL (delay pipeline, infinite order material) (Radzicki, 1994). Simbol ”delay” dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Simbol ”delay” c. Sumber dan Penampung Sumber dan penampung menggambarkan sesuatu di luar sistem (lingkungan sistem). Sumber dan penampung memiliki kapasitas tidak terbatas dan tidak mempengaruhi dalam model aliran. Sumber menyatakan asal aliran, sedangkan penampung menyatakan tujuan dari suatu aliran (Powersim, 2005). Simbol sumber dan penampung dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12. Simbol ”sumber dan penampung” d. Garis Penghubung Garis penghubung (link) menghubungkan antara satu variabel dengan variabel lainnya atau antara variabel dengan konstanta. Simbol
link dalam Powersim dinyatakan dengan sebuah panah halus (Shintasari, 1988).
Gambar 13. Simbol ”garis penghubung” Dalam proses simulasi, perhitungan persamaan dilakukan setahap demi setahap terhadap waktu. Pertambahan waktu yang kontinyu, dipecahpecah dalam interval waktu yang pendek dan sama besar. Tasrif (2004) mengemukakan persamaan model sistem dinamik merupakan persamaan discrete differential. Sistem persamaan tersebut memiliki bentuk umum sebagai berikut : Lsk
= Lsb + PLsb→sk
PLsb→sk = f (Lsb)
.................... (1) .................... (2)
Persamaan (1) menyatakan nilai variabel level (L) pada saat sekarang (Lsk) adalah sama dengan nilai variabel L pada saat sebelumnya (Lsb) ditambah dengan perubahan nilai variabel L dari sebelumnya sampai sekarang (PLsb→sk). Persamaan (2) menyatakan bahwa perubahan nilai variabel L dari sebelumnya (sb) sampai sekarang (sk), PLsb→sk, merupakan suatu fungsi dari nilai variabel sebelumnya (Lsb). Apabila interval waktu antara sb→sk dinyatakan sebagai ∆t, dan dipilih cukup kecil, maka perilaku L terhadap waktu mendekati perilaku suatu sistem kontinyu. Dalam formulasi pemodelan sistem dinamik digunakan operasi aritmatika sebagai barikut : +
Penjumlahan
/
Pembagian
-
Pengurangan
^
Pangkat
*
Perkalian
( )
Pengelompokan
Dalam simulasi sistem dinamik, urutan komputasi simulasi dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 14. Urutan komputasi simulasi sistem dinamik (Tasrif, 2004) dimana, Sb : Sebelumnya Sk : Sekarang Ya : Yang akan datang Dt : Interval waktu simulasi (∆t) Sesuai dengan banyaknya jenis variabel dan konstanta, dikenal beberapa macam persamaan yaitu : 1. Persamaan ”level” Persamaan ”level” merupakan persamaan yang menghitung akumulasi aliran masuk dan aliran keluar pada selang waktu tertentu. Harga baru suatu level dihitung dengan menambah atau mengurangi harga ”level” suatu interval waktu sebelumnya dengan ”rate” yang bersangkutan dikalikan dengan interval waktu yang digunakan. Harga variabel ”level” dapat diubah oleh beberapa buah variabel ”rate” (Shintasari, 1988). Contoh : Lsk = Lsb + DT * (RMsb→sk – RKsb→sk) dimana, L
: ”level” (unit)
Lsk : harga baru dari ”level” yang akan dihitung pada saat sekarang (sk) Lsb : harga ”level” pada saat sebelumnya (sb) DT : interval waktu (satuan waktu) RM : “rate” yang akan menambah “level” L (“rate” masuk) RK : ”rate” yang akan mengurangi ”level” L (“rate” keluar)
RMsb→sk : harga ”rate” yang akan menambah ”level” L selama interval waktu sb→sk (unit/satuan waktu) RKsb→sk : harga ”rate” yang akan mengurangi ”level” L selama interval waktu sb→sk (unit/satuan waktu) 2. Persamaan ”rate” Persamaan ”rate” menyatakan bagaimana aliran di dalam sistem diatur. Harga variabel ”rate” dalam suatu interval waktu sering dipengaruhi oleh variabel-variabel ”level”, ”auxiliary”, atau ”konstanta dan tidak dipengaruhi oleh panjangnya waktu. Persamaan ”rate” dihitung pada saat sk, dengan menggunakan informasi dari ”level” atau ”auxiliary” pada saat sk untuk mendapatkan ”rate” aliran selama interval waktu selanjutnya (sk→ya). Asumsi yang diambil dalam perhitungan ”rate” ini adalah bahwa selama interval waktu DT, harga ”rate” konstan. Hal ini merupakan pendekatan dari keadaan sebenarnya dimana ”rate” berubah terhadap waktu secara kontinyu (Shintasari, 1988). Bentuk persamaan ”rate” adalah : RMsk→ya = f (”level”, ”auxiliary”, dan ”konstanta”) 3. Persamaan ”auxiliary” Persamaan
”auxiliary”
berfungsi
untuk
membantu
menyederhanakan persamaan ”rate” yang rumit. Harga ”auxiliary” dipengaruhi oleh variabel ”level”, variabel ”auxiliary” lain dan konstanta yang telah diketahui (Shintasari, 1988). Contoh : Ask = Lsk / C dimana, A
: variabel ”auxiliary”
Ask : harga variabel ”auxiliary” A yang akan dihitung pada saat sk Lsk : harga variabel ”level” L pada saat sk C
: harga konstanta
4. Persamaan ”konstanta” / parameter Suatu konstanta mempunyai harga yang tetap sepanjang selang waktu simulasi, sehingga tidak memerlukan notasi waktu di belakangnya. Persamaan konstanta menunjukkan nilai parameter yang selalu mengikuti persamaan variabel ”level”, ”rate”, atau ”auxiliary” (Shintasari, 1988). Contoh : Const = 0,04 dimana, Const : nama dari suatu konstanta 5. Persamaan ”Fungsi Tabel” (Graph) Persamaan fungsi tabel nilainya ditentukan melalui sebuah tabel sebagai fungsi dari besaran tertentu. Dalam Powersim, tabel ini dinyatakan dalam fungsi ”GRAPH” yang dapat memberikan solusi hubungan antara dua variabel dalam bentuk grafik. Fungsi ”GRAPH” digunakan bila data berupa tabel atau data menunjukkan hubungan yang nonlinier. Disamping fungsi ”GRAPH” sendiri, terdapat beberapa bentuk fungsi ”GRAPH” antara lain GRAPH CURVE, GRAPH LINAS, dan GRAPH STEP. Perbedaan keempat fungsi GRAPH tersebut adalah terletak pada output yang dimunculkan (Muhammadi et al, 2001). Contoh : GR = GRAPH [X, X1, Dx, Y(N)] dimana, X
: variabel input, variabel independen (bebas), disebut juga sumbu X
X1
: nilai pertama dari variabel X
Dx : pertambahan nilai (increment) dari variabel bebas X, nilainya selalu positif Y(N) : vektor (sumbu Y, disebut juga output) 6. Persamaan Fungsi Tunda (Delay) Delay merupakan suatu bentuk kelambatan (waktu) yang terjadi pada aliran material, informasi, ataupun aliran lainnya dan
merupakan aspek yang penting dalam sistem dinamik. Delay sering terjadi dalam sistem riil, misalnya dalam pengambilan keputusan, dalam transportasi, penyebaran informasi, dan lain-lain (Muhammadi et al., 2001). Dalam Powersim terdapat tiga bentuk persamaan yang dapat digunakan
untuk
menyatakan
"delay".
Delay
aliran
material
dinyatakan oleh fungsi DELAYMTR, delay aliran informasi dinyatakan oleh fungsi DELAYINF, dan delay aliran material dengan infinite order dinyatakan dengan fungsi DELAYPPL. Contoh bentuk fungsi delay adalah : DELAYMTR (Input, Delay_Time, n, “Initial”) DELAYINF (Input, Delay_Time, n, “Initial”) DELAY PPL (Input, Delay_Time, “Initial”) dimana, Input
: variable yang menjadi input bagi variable yang mengalami delay
Delay_Time : rata-rata waktu delay n
: orde delay
Initial
: nilai inisial dari delay
7. Persamaan Fungsi Logika Beberapa fungsi logika yang terdapat dalam Powersim adalah fungsi IF, TIMECYCLE, MAX, dan MIN (Tasrif, 2004). a. IF Digunakan untuk menggambarkan suatu kondisi (conditional function). IF (Condition, Val1, Val2) dimana, Condition : suatu logical value (true or false) Val1
: angka sembarang (computational parameter)
Val2
: angka sembarang (computational parameter)
b. TIMECYCLE Digunakan untuk menguji siklus waktu atau interval waktu.
TIMECYCLE (First, Interval) dimana, First
: waktu pertama untuk pengecekan
Interval : waktu diantara pengecekan satu ke pengecekan berikutnya c. MAX Digunakan untuk memilih nilai yang paling besar dari beberapa nilai. MAX (X1, X2, X3,...., Xn) d. MIN Digunakan untuk memilih nilai yang paling kecil dari beberapa nilai. MIN (X1, X2, X3,...., Xn) 8. Persamaan Fungsi Bilangan Acak (Random Number) Beberapa fungsi bilangan acak antara lain fungsi RANDOM, dan fungsi NORMAL (Tasrif, 2004). a. RANDOM Digunakan untuk membangkitkan sejumlah bilangan acak yang berdistribusi uniform. RANDOM (0.5,1.5) b. NORMAL Digunakan untuk memberikan bilangan acak yang sebarannya sesuai dengan sebaran normal. NORMAL (mean, StdDev) dimana, Mean
: mean nilai yang ditentukan
StdDev : nilai standar deviasinya Setiap persamaan yang telah disebutkan di atas dalam Powersim diberi simbol sesuai dengan jenis persamaan yang diwakilinya, yaitu : : persamaan ”level”
: persamaan ”auxiliary”
: persamaan ”rate”
: persamaan ”konstanta”
Persamaan
”level”
merupakan
penjumlahan/akumulasi, atau
persamaan integral. Persamaan ”rate” dan ”auxiliary” adalah perhitungan aritmatik. Sedangkan persamaan ”konstanta” merupakan masukan nilai untuk parameter yang harganya konstan selama simulasi (Shintasari, 1988).
C. TEKNIK SIMULASI Simulasi adalah proses perancangan suatu model dari suatu sistem nyata dan melakukan percobaan-percobaan dengan model tersebut dengan tujuan untuk memahami tingkah laku sistem atau mengevaluasi berbagai strategi untuk pengoperasian sistem (Shannon, 1975 di dalam Tasrif, 2004). Simulasi menurut Subagyo et al. (1989) adalah duplikasi atau abstraksi persoalan dalam kehidupan nyata dalam model matematika. Dalam hal ini biasanya dilakukan penyederhanaan, sehingga pemecahan dengan modelmodel matematika bisa dilakukan. Teknik simulasi bersifat luwes terhadap perubahan-perubahan, sehingga sesuai dengan keperluan sistem yang sebenarnya. Teknik simulasi digunakan karena : 1. Sistem dunia nyata dengan elemen-elemen stokastik sangat kompleks sehingga tidak dapat digambarkan dengan model matematika dan dianalisa dengan teknik analisis. 2. Simulasi dapat memperkirakan dari tingkah laku sistem yang ada. 3. Alternatif desain tujuan sistem dapat dibandingkan melalui simulasi. 4. Pada simulasi dapat dilakukan pengendalian terhadap kondisi-kondisi eksperimen yang lebih baik dibanding melakukan eksperimen langsung terhadap sistem tersebut. 5. Simulasi memungkinkan untuk kajian yang memerlukan waktu lama. Keuntungan penggunaan simulasi (Chase dan Aquilano, 1991) : 1. Simulasi mampu mengembangkan model dari sistem sehingga dapat memberikan pemahaman yang lebih baik terhadap sistem nyata. 2. Simulasi jauh lebih umum dibandingkan model matematik dan dapat digunakan dimana model analitik matematik tidak dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan.
3. Model simulasi memberikan replikasi yang lebih realistis terhadap sistem nyata karena memerlukan asumsi yang lebih sedikit. Sedangkan kekurangan dalam penggunaan simulasi (Siagian, 1987) : 1. Simulasi tidak menghasilkan sebuah jawaban tetapi menghasilkan cara untuk menilai jawaban termasuk jawaban optimal. Simulasi bukan sebuah presisi dan juga bukan sebuah proses optimisasi. 2. Model simulasi yang baik dan efektif adalah sangat mahal dan memerlukan waktu lama dibandingkan model analitik. 3. Tidak semua situasi dapat dinilai melalui simulasi kecuali situasi yang memuat ketidakpastian. D. LANDASAN TEORI 1. Demografi Demografi adalah studi matematik dan statistik terhadap jumlah, komposisi, dan distribusi spasial dari penduduk manusia, dan perubahanperubahan dari aspek-aspek tersebut yang senantiasa terjadi sebagai akibat bekerjasamanya lima proses yaitu : fertilitas, mortalitas, perkawinan, migrasi dan mobilitas sosial (Bogue, 1969 di dalam Rusli, 1994). Variabel-variabel demografi yang pokok adalah kelahiran, kematian, dan migrasi yang juga dikenal sebagai komponen-komponen atau determinandeterminan pertumbuhan penduduk. Menurut Rusli (1994), sistem regristrasi penduduk seperti data jumlah kelahiran, kematian, dan migrasi dapat digunakan untuk menghitung jumlah penduduk pada akhir suatu periode dari daerah dengan persamaan penduduk berimbang sebagai berikut : Pt = Po + B – D + I – E dimana, Pt = jumlah penduduk pada akhir periode t Po = jumlah penduduk pada awal periode t B = jumlah kelahiran yang terjadi dalam periode t D = jumlah kematian yang terjadi dalam periode t I = jumlah imigran atau migran masuk
E = jumlah emigran atau migran keluar Berdasarkan persamaan penduduk berimbang tersebut dapat dihitung rate perkembangan penduduk untuk tahun tertentu dengan rumus : r=∑
B−D+I −E × 100% Ptt
dimana, Ptt = jumlah penduduk pada pertengahan tahun Disamping menggunakan persamaan penduduk berimbang, rate perkembangan penduduk per tahun juga dapat dihitung dengan persamaan geometrik dan eksponensial berdasarkan data total penduduk tahunan. Selanjutnya, berdasarkan rate perkembangan penduduk tahunan geometrik dan eksponensial dapat dilakukan estimasi penduduk total pada titik-titik waktu yang diperlukan (Rusli, 1994). Persamaan geometrik : Pt = P0 (1 + r)t Persamaan eksponensial : Pt = P0 ert (e= 2,71828) dimana, P0 = jumlah penduduk pada awal periode waktu t Pt = jumlah penduduk pada akhir periode waktu t r
= rate perkembangan penduduk per tahun
2. Validasi Model Validasi merupakan tahap terakhir dalam pengembangan model untuk memeriksa model dengan meninjau apakah keluaran model sesuai dengan sistem nyata, dengan melihat konsistensi internal, korespondensi, dan representasi (Simatupang, 2000). Menurut Daalen dan Thissen (2001), validasi dalam pemodelan sistem dinamik dapat dilakukan dengan beberapa cara meliputi uji struktur secara langsung (direct structure tests) tanpa merunning model, uji struktur tingkah laku model (structureoriented behaviour test) dengan merunning model, dan pembandingan tingkah laku model dengan sistem nyata (quantitative behaviour pattern comparison).
Validasi pada pemodelan ini dilakukan dengan membandingkan tingkah laku model dengan sistem nyata (quantitative behaviour pattern comparison) yaitu dengan uji MAPE. Uji MAPE (Mean Absolute Percentage Error) Mean Absolute Percentage Error (nilai tengah persentase kesalahan absolut) adalah salah satu ukuran relatif yang menyangkut kesalahan persentase. Uji ini dapat digunakan untuk mengetahui kesesuaian data hasil prakiraan dengan data aktual.
MAPE =
Xm − Xd 1 × 100% ∑ n Xd
Keterangan : Xm = data hasil simulasi Xd = data aktual n = periode/banyaknya data Kriteria ketepatan model dengan uji MAPE (Lomauro dan Bakshi, 1985 di dalam Somantri, 2005) adalah : MAPE < 5%
: sangat tepat
5% < MAPE < 10% : tepat MAPE > 10%
: tidak tepat
E. PENELITIAN TERDAHULU Waskito (2005) membuat pemodelan ekonometrik dan dinamik sistem terhadap daya saing ekspor komoditas agroindustri karet alam Indonesia. Daya saing ekspor melalui pemodelan dinamik terbagi menjadi tiga subsistem (submodel) yaitu submodel agroindustri, submodel perdagangan, dan submodel makroekonomi. Pada setiap subsistem terdapat faktor-faktor yang saling mempengaruhi dalam hubungan sebab akibat. Nuroniah menggunakan
(2003)
melakukan
pendekatan
model
penjadwalan dinamik.
Model
produksi dinamik
dengan yang
dikembangkan mendeskripsikan dinamika jumlah produksi pada setiap
tahapan produksi berdasar data historis permintaan produksi. Sistem yang dibuat bertujuan menentukan alternatif terbaik dari penjadwalan produksi dengan meminimumkan inventori, waktu proses, dan kekurangan produk yang berlebihan. Shintasari (1988) melakukan penelitian terhadap dinamika persediaan daging sapi dengan pendekatan model dinamik untuk wilayah DKI Jakarta. Simulasi model dibuat berdasarkan fluktuasi tingkat persediaan daging sapi dengan software Dynamo untuk menghasilkan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang mampu mengatasi ketidakstabilan dalam produksi dan persediaan sehingga dapat menghemat sejumlah besar biaya.
III. METODOLOGI
A. KERANGKA PEMIKIRAN Ubi kayu merupakan tanaman pangan yang digunakan tidak hanya sebagai bahan makanan, tetapi juga untuk keperluan industri dan pakan. Pengembangan pengolahan pangan dari ubi kayu dilakukan dengan mengolah umbi segar atau dengan pengeringan, yaitu pembuatan gaplek dan tepung tapioka. Pengolahan ini dapat dilakukan dalam skala kecil sebagai industri kecil, industri rumah tangga dan dalam skala besar oleh pabrik sebagai industri pengolahan. Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri tersebut diperlukan upaya-upaya peningkatan produksi dan mutu ubi kayu di tingkat usaha tani, menciptakan keterpaduan/kemitraan antar petani dan pihak agroindustri (pengrajin, pabrik) yang melakukan pengolahan, pemasaran, dan ekspor. Permasalahan ketersediaan ubi kayu secara regional merupakan suatu permasalahan sistem yang cukup kompleks dengan melibatkan berbagai komponen, variabel di dalamnya yang saling berinteraksi dan terintegrasi. Secara disengaja atau tidak, sistem pengembangan ubi kayu tersebut akan berusaha mencapai tujuan tertentu, seperti pemenuhan bahan baku bagi industri, pemenuhan kebutuhan/penyediaan pangan, keperluan ekspor, dan lain-lain. Penelitian ini bertujuan untuk mencoba mengembangkan suatu model dinamik yang dapat menerangkan mekanisme penyediaan ubi kayu di masa mendatang. Struktur model dinamik yang akan dikembangkan merupakan gambaran dari interaksi antara elemen-elemen sebuah sistem. Untuk memudahkan proses perancangan model, maka perlu dilakukan pembagian sistem secara keseluruhan menjadi beberapa sub sistem yaitu sub sistem penyediaan dan sub sistem kebutuhan untuk keperluan konsumsi dan industri. Setiap struktur dari masing-masing sub sistem menunjukkan kebergantungan sebab akibat dari perilaku masing-masing sub sistem penyediaan dan permintaan. Sub sistem penyediaan antara lain meliputi luas
areal tanam, luas panen, produktivitas, produksi, dan siklus pertanaman ubi kayu. Sedangkan sub sistem permintaan dipengaruhi oleh perilaku konsumen (masyarakat dan pihak industri) dalam upaya memenuhi kebutuhan pangan dan bahan baku bagi industrinya.
Identifikasi Masalah
Tijauan Pustaka
Tujuan Penelitian
Pemilihan Metode
Perancangan Diagram Sebab Akibat
Pengumpulan Data
Perancangan Model Simulasi
Simulasi Model
Validasi Model
Tidak
Ya Pemilihan Alternatif
Implementasi
Gambar 15. Diagram alir kerangka penelitian
B. PENDEKATAN SISTEM Sistem adalah sekumpulan entitas yang bertindak dan berinteraksi bersama-sama untuk memenuhi tujuan akhir yang logis (Law et al., 1982). Pendekatan sistem merupakan metode pemecahan masalah yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi dan analisa kebutuhan serta diakhiri dengan sistem operasi yang efektif. Pendekatan sistem ini memiliki beberapa unsur
antara lain adanya metodologi untuk perencanaan dan pengelolaan, bersifat multidisiplin dan terorganisir, mampu berfikir secara non-kuantitatif, menggunakan model matematika, teknik simulasi dan optimasi, serta dapat diaplikasikan dengan komputer (Eriyatno, 1998). Tahapan pendekatan sistem dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16. Tahapan pendekatan sistem (Manetsch dan Park, 1976 di dalam Shintasari, 1988)
1. Analisa Kebutuhan Tahap analisa kebutuhan merupakan tahap awal dari pengembangan suatu sistem. Pada tahap ini dicari secara selektif apa saja yang dibutuhkan dalam analisa sistem. Komponen-komponen yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam pemodelan dinamik ketersediaan ubi kayu adalah sebagai berikut a. Dinas Pertanian Membina kemitraan antara petani dengan pihak industri Mengontrol produktivitas ubi kayu di tingkat petani Menekan fluktuasi harga di tingkat petani b. Petani Harga jual ubi kayu tinggi, sehingga merangsang minat untuk meningkatkan produksi Jalur pemasaran mudah c. Pihak Agroindustri Kebutuhan bahan baku terpenuhi dalam kuantitas, kualitas, dan waktu yang tepat Kontinuitas produksi dan suplai ke pasar Keuntungan usaha yang optimal Kemudahan memperoleh modal Jalur pemasaran mudah d. Koperasi Kemudahan pengumpulan produk Kepercayaan dalam pengorganisasian petani dalam produksi dan penjualan produk Jalur pemasaran mudah e. Konsumen Kemudahan memperoleh produk Harga produk stabil Jaminan kualitas produk tinggi dan stabil
2. Formulasi Permasalahan Formulasi permasalahan dilakukannya setelah analisa kebutuhan. Pada tahapan ini dilakukan formulasi permasalahan untuk pengembangan sistem ketersediaan ubi kayu. Masalah utama yang timbul dalam sistem ketersediaan ubi kayu adalah tidak tersedianya kuantitas bahan baku secara kontinyu dan terjadinya fluktuasi harga ubi kayu pada tingkat petani sehingga mempengaruhi minat petani untuk menanam ubi kayu. Kedua hal tersebut akhirnya dapat menimbulkan ketidakstabilan dalam persediaan ubi kayu. Faktor penting yang berpengaruh dalam pemodelan sistem dinamik ketersediaan ubi kayu adalah delay (waktu tunda). Ini terjadi karena ubi kayu merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang memiliki umur panen cukup lama rata-rata 9-12 bulan dan memiliki sifat barang mudah rusak tanpa adanya penanganan khusus (penyimpanan dalam tanah dan dalam sekam lembap). Faktor penyebab lainnya adalah adanya kelancaran informasi, terutama dalam hal ini informasi pasar yang dapat mempengaruhi sistem. Semua faktor tersebut perlu dimasukkan dalam model dinamik sistem yang dibuat agar model dapat mewakili keadaan yang sebenarnya. 3. Identifikasi Sistem Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan khusus dari masalah yang harus dipecahkan untuk mencukupi kebutuhan tersebut. Berdasarkan kepentingan komponen-komponen yang terlibat, keterkaitan komponen dalam sistem dapat dilihat pada Gambar 17. Diagram input output dari sistem ini dapat dilihat pada Gambar 18.
+
+ Laju kelahiran
Penduduk Kab. Bogor
(+) +
(-)
Laju kematian
+ Jumlah ubi kayu_konsumsi
Tingkat konsumsi ubi kayu
+
+
Kebutuhan ubi kayu_tapioka
+ Kebutuhan ubi kayu
+ Jumlah ubi kayu_industri
-
+ Neraca ketersediaan ubi kayu
Kebutuhan ubi kayu_produk makanan
+ Penyediaan ubi kayu
+ Produksi Produktivitas
+
Penyusutan luas panen
-
+ Luas panen + Delay +
+ Laju ekstensifikasi +
(+)
Luas areal tanam
(-)
Laju konversi +
+ (-) Gap +
Potensi lahan
Gambar 17. Diagram sebab akibat dinamika sistem ketersediaan ubi kayu
Input Lingkungan - Kebijaksanaan pemerintah - Kondisi sosial budaya Input Tak Terkendali -
Output Dikehendaki
Serangan hama penyakit Iklim Tingkat konversi lahan Laju pertumbuhan penduduk
- Persediaan ubi kayu sesuai dengan permintaan konsumen - Stabilitas harga ubi kayu SIMULASI MODEL DINAMIK KETERSEDIAAN UBI KAYU
Input Terkendali
Output Tak Dikehendaki
- Produktivitas tanaman - Luas lahan
- Mutu produk rendah - Persediaan ubi kayu tidak kontinyu Manajemen Pengendalian
Gambar 18. Diagram input-output dinamika sistem ketersediaan ubi kayu
C. PEMODELAN DINAMIKA SISTEM 1. Konseptualisasi Model Pada tahap ini pemahaman tentang sistem yang akan dimodelkan dituangkan dalam sebuah konsep. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh tentang model yang akan kita buat. Tahap ini dimulai dengan mengidentifikasi semua komponen penting yang terlibat atau yang akan dimasukkan ke dalam pemodelan dan menetapkan batas model (model boundaries). Komponen-komponen tersebut kemudian dicari interrelasinya satu sama lain dengan menggunakan metode diagram sebab akibat. Tanda panah pada diagram diberi tanda (+) atau (-) tergantung pada hubungan yang terjadi apakah positif atau negatif. Tanda (+) digunakan untuk menyatakan hubungan yang terjadi antara dua faktor yang berubah dalam arah yang sama. Sedangkan tanda (-) digunakan jika hubungan yang terjadi antara dua faktor tersebut berubah dalam arah yang berlawanan. 2. Formulasi Model Pada tahap ini dilakukan perumusan makna sebenarnya dari setiap relasi yang ada dalam model konseptual. Sistem dinamik menggunakan persamaan matematika (differential equations) untuk menggambarkan sebuah sistem ke dalam model. Pada tahap ini dilakukan kuantifikasi model dengan memasukkan data kuantitatif ke dalam diagram sistem dinamik sehingga diperoleh hubungan yang sesuai antara variabel-variabel dalam diagram. Identifikasi parameter dan pengembangan model juga dilakukan untuk mendapatkan model yang konsisten. 3
Evaluasi Model Evaluasi model meliputi verifikasi dan validasi model. Verifikasi dilakukan untuk mengetahui konsistensi model yang dibuat, dengan mengecek dimensi variabel yang digunakan dalam model dan mengetahui ketepatan penggunaan metode integrasi (time step) yang dipilih. Sedang validasi dilakukan dengan cara membandingkan model simulasi dengan
keadaan yang sebenarnya. Validasi meliputi uji struktur secara langsung (direct structure tests) tanpa merunning model, uji struktur tingkah laku model (structure-oriented behaviour test) dengan merunning model, dan pembandingan tingkah laku model dengan sistem nyata (quantitative behaviour pattern comparison). D. TATA LAKSANA 1. Identifikasi Masalah Masalah yang mungkin timbul dalam suatu sistem dinamik adalah adanya permasalahan yang cukup kompleks, banyaknya variabel yang terkait, dan banyaknya pengaruh waktu yang sangat signifikan. Untuk memperjelas lingkup permasalahan diperlukan pembatasan masalah dan asumsi yang relevan dalam membangun model. Beberapa variabel yang diperlukan nilai awalnya antara lain populasi penduduk, luas areal tanam ubi kayu, luas panen, produktivitas rata-rata ubi kayu, banyaknya industri berbasis ubi kayu, dan rata-rata kebutuhan ubi kayu untuk pangan dan industri. 2. Teknik Pengumpulan Data Pengambilan data dilakukan melalui data primer dan data sekunder. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data primer adalah dengan cara survei melalui wawancara secara langsung dan menggunakan kuesioner terhadap stakeholder. Dalam hal ini, stakeholder adalah praktisi yang terlibat dalam bidang produksi, perlindungan tanaman, dan bina usaha di Dinas Pertanian, dan pengrajin tapioka (aci). Wawancara ini bertujuan untuk memperoleh informasi dan mengetahui kondisi lapang. Wawancara dengan kuesioner dilakukan terhadap responden yaitu pengrajin tapioka. Kuesioner ini bertujuan untuk mengetahui kebutuhan bahan baku ubi kayu dan kondisi usaha kecil (pengrajin) tapioka. Pemilihan responden dilakukan dengan teknik sampling yaitu Judgement Sampling. Sampel diambil berdasarkan kriteria-kriteria yang telah
ditentukan sebelumnya sesuai dengan tujuan penelitian yaitu sebagai berikut : 1. Merupakan daerah yang memiliki karakteristik wilayah yang relatif sama 2. Memiliki karakteristik usaha pengolahan ubi kayu yang relatif sama 3. Merupakan daerah pusat budidaya tanaman ubi kayu 4. Memiliki jarak yang relatif dekat dengan industri pengolahan tepung tapioka Berdasar kriteria tersebut, daerah yang terpilih sebagai sampel penelitian adalah Kecamatan Sukaraja, Babakan Madang, dan Citeureup. Ukuran sampel ditetapkan sebanyak 30 pengrajin aci yang dianggap telah dapat mewakili populasi dan memenuhi syarat untuk dilakukan uji statistik. Data sekunder diperoleh dari studi pustaka dan data dari instansiinstansi
terkait.
Data
sekunder
yang
digunakan
meliputi
data
kependudukan, data luas areal tanam, luas panen, produksi, produktivitas, data kapasitas produksi industri pengolahan ubi kayu dan data pendukung lainnya. Sumber data sekunder adalah Badan Pusat Statistik Pusat (Jakarta) dan Daerah (Kabupaten Bogor), Dinas Pertanian Kabupaten Bogor, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bogor, Dinas Kependudukan Kabupaten Bogor, BAPEDA Kabupaten Bogor, Balai Besar Industri Agro, dan lain-lain. 3. Perancangan Model Model yang digunakan untuk analisis ketersediaan ubi kayu mengacu pada pendekatan sistem dinamik berdasarkan diagram lingkar sebab akibat. Penyusunan model ketersediaan ubi kayu menggunakan software powersim 2.5, berbentuk simbol-simbol dan simulasinya mengikuti suatu metode yang dinamakan dinamika sistem (system dynamic). 4. Pembuatan Model dan Simulasi Pembuatan model, simulasi dan analisis dilakukan dengan mengacu pada tujuan, sasaran, dan skenario yang dibuat. Sebelum
menjalankan simulasi, maka perlu dimasukkan nilai-nilai parameter yang diperlukan. Nilai awal variabel yang dikaji, fraksi atau parameter dan pengaruh keterkaitan antara suatu variabel dengan variabel lain yang signifikan ditentukan berdasarkan data empirik maupun informasi yang dapat dikumpulkan dari narasumber dan pustaka relavan. 5. Verifikasi dan Validasi Model Verifikasi model dilakukan dengan pengecekan secara dimensional (satuan ukuran) terhadap variabel-variabel model meliputi level, rate, dan konstanta terhadap data sekunder, mengetahui ketepatan penggunaan metode integrasi dan time step yang dipilih, serta meminta stakeholder untuk mengevaluasi model yang dibuat. Sedangkan validasi model dilakukan sesuai dengan tujuan pemodelan yaitu dengan membandingkan perilaku dinamis model dengan kondisi sistem nyata. Apabila model telah dianggap valid, selanjutnya model ini dapat dipergunakan sebagai wakil sistem nyata.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. KEADAAN UMUM UBI KAYU DI KABUPATEN BOGOR 1. Usaha Tani Ubi Kayu Ubi kayu merupakan salah satu komoditas unggulan Kabupaten Bogor. Luas panen ubi kayu pada tahun 2004 mencapai 11.550 ha dengan produksi sebesar 192.357 ton atau 26,69% dari seluruh produksi sub sektor tanaman pangan. Luas panen dan produksi komoditas tanaman pangan di Kabupaten Bogor disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Luas panen dan produksi komoditas tanaman pangan Kabupaten Bogor 2002 Komoditi
2003
2004
Luas (ha)
Produksi (ton)
Luas (ha)
Produksi (ton)
Luas (ha)
Produksi (ton)
Padi - Padi sawah - Padi gogo
87.702 5.209
462.538 13.647
72.075 3.544
373.421 9.746
84.975 2.809
445.958 7.656
Ubi kayu Ubi jalar Jagung Padi ladang
10.117 4.144 2.795 5.209
177.630 67.515 8.562 13.633
10.047 3.882 2.707 3.544
189.888 67.519 8.378 9.757
11.550 3.656 2.626 2.809
192.357 56.213 8.374 7.656
2.374
2.808
2.042
2.436
1.757
2.236
246
289
146
184
153
176
Kacang tanah Kedelai
Sumber : BPS Kabupaten Bogor dalam Angka (2003) dan Dinas Pertanian Kabupaten Bogor (2004)
Tanaman ubi kayu di Kabupaten Bogor sebagian besar ditanam di lahan kering yaitu sekitar 50-70% dan sisanya ditanam di lahan sawah. Rincian luas areal tanam ubi kayu pada lahan sawah dan lahan kering selama tahun 1998-2004 dapat disimak pada Tabel 5. Ubi kayu dihasilkan di hampir semua kecamatan di Kabupaten Bogor. Daerah yang memiliki rata-rata luas panen terbesar selama tahun 1999-2004 adalah Kecamatan Sukaraja yaitu seluas 1.970 ha dengan ratarata produksi sebesar 36.018 ton/tahun. Luas panen dan produksi ubi kayu
setiap kecamatan di Kabupaten Bogor selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2. Tabel 5. Rincian luas areal tanam ubi kayu di Kabupaten Bogor Tahun 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Luas pemanfaatan (ha) pada Lahan sawah Lahan kering 4.955 9.841 3.641 7.878 3.542 8.323 3.189 6.528 3.746 7.610 3.245 7.207
Luas areal tanam (ha) 14.796 10.032 11.519 11.865 9.717 11.356 10.452
Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Bogor (2004) Keterangan : (-) Data tidak tersedia
Ubi kayu cukup diminati oleh petani di Kabupaten Bogor. Para petani mengusahakan ubi kayu baik sebagai komoditas pokok maupun komoditas sampingan pada lahan pertaniannya. Keputusan petani untuk menanam tanaman ubi kayu antara lain didasarkan kondisi iklim yang sesuai untuk budidaya ubi kayu, sifat usaha yang turun-temurun (tradisi), dan teknik budidaya dan sistem pemeliharaan yang relatif mudah. Pola pertanaman ubi kayu yang dilakukan oleh petani di Kabupaten Bogor umumnya adalah pola tanam monokultur. Hingga saat ini beberapa varietas ubi kayu yang ditanam oleh petani di Kabupaten Bogor adalah Adira 1, Adira 2, Adira 4, dan Mangi. Menurut narasumber, varietas Adira 1 dan 4 adalah varietas yang paling banyak ditanam di Kabupaten Bogor. Waktu tanam yang dianjurkan untuk tanaman ubi kayu di tanah tegalan adalah awal musim hujan atau akhir musim hujan (Hafsah, 2003). Hal ini karena tanaman ubi kayu memerlukan cukup air pada awal masa tanam untuk pertumbuhan vegetatifnya. Waktu penanaman ubi kayu di Kabupaten Bogor dapat dilakukan setiap bulannya karena merupakan daerah dengan curah hujan cukup tinggi. Pemanenan ubi kayu dilakukan sesuai dengan keperluan. Untuk keperluan industri tapioka, pemanenan ubi kayu terbaik biasanya dilakukan pada saat tanaman mencapai umur 12-18 bulan. Sedangkan
untuk keperluan industri pangan, pemanenan ubi kayu dapat dilakukan pada umur tanaman 6-9 bulan. Sistem penjualan hasil panen ubi kayu yang dilakukan petani di Kabupaten Bogor antara lain melalui pedagang perantara/pengumpul, dijual langsung ke industri rumah tangga yang mengolah produk makanan, dijual langsung ke usaha kecil (pengrajin) tapioka. Penjualan ubi kayu oleh petani langsung ke pengrajin tapioka biasanya terjadi karena adanya jalinan kemitraan di antara keduanya. Secara umum jalur tata niaga ubi kayu yang terjadi di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar 19.
Petani
Umbi segar
Umbi segar
Pedagang pengumpul
Industri kecil (produk makanan)
Pengrajin tapioka kasar
Tepung
Industri kecil (produk makanan)
Pabrik tapioka
Produk makanan
Hasil olahan
Distributor/pedagang
Distributor
Konsumen
Konsumen (industri, dll)
Gambar 19. Sketsa tata niaga ubi kayu di Kabupaten Bogor 1)
1)
Berdasarkan wawancara dengan narasumber, Sub Dinas Bina Usaha Tani, Dinas Pertanian Kabupaten Bogor (dimodifikasi)
2. Agroindustri Ubi Kayu Industri pengolahan ubi kayu atau singkong di Kabupaten Bogor cukup banyak jenisnya meliputi industri tapioka, industri keripik singkong, tape, dan lain-lain. Industri tersebut umumnya tergolong dalam industri skala kecil atau rumah tangga dan industri skala sedang. a. Industri tepung tapioka Industri tepung tapioka merupakan industri pengolahan ubi kayu yang cukup banyak jumlahnya di Kabupaten Bogor. Menurut narasumber, hingga akhir tahun 2004 belum terdapat industri yang mengolah ubi kayu secara langsung menjadi tepung tapioka. Industri tepung tapioka di Kabupaten Bogor terdiri atas usaha kecil (pengrajin) tapioka dan pabrik penggilingan tapioka. Umumnya pengrajin tapioka mengolah ubi kayu menjadi tepung tapioka kasar. Selanjutnya tapioka kasar tersebut diolah menjadi tepung tapioka halus oleh pabrik penggilingan tepung tapioka. Berdasarkan survei lapang, rata-rata produksi pabrik penggilingan tapioka adalah 7-10 ton tapioka kasar per hari. Sedangkan rata-rata produksi pengrajin tapioka adalah 1,5-2 ton ubi kayu per hari. Tahapan proses produksi pada pengrajin tapioka secara umum bersifat tradisonal dan semi modern. Tahapan proses produksi tersebut meliputi pembersihan, pencucian, pemarutan, pemerasan, pengendapan, pengeringan, penggilingan, dan pengemasan (Gambar 20). Setelah dikemas biasanya tapioka kasar oleh pengrajin tapioka langsung dikirim ke pabrik penggilingan tapioka halus dengan harga jual sekitar Rp 2.250,00 - Rp 2.800,00. Selanjutnya pabrik penggilingan tapioka halus melakukan pemasaran produk akhirnya (tepung tapioka) ke beberapa daerah di luar wilayah Bogor seperti Surabaya, Tasikmalaya, Kuningan, dan Sumatera. Dalam pembuatan tapioka diperlukan bahan baku ubi kayu yang tersedia secara kontinyu. Berdasarkan survei lapang, para pengrajin tapioka pada waktu tertentu mengalami kekurangan bahan baku. Untuk
memenuhi kekurangan bahan baku tersebut pengrajin tapioka biasanya mendatangkan bahan baku dari daerah sekitar Kabupaten Bogor seperti Sukabumi, Cianjur, Garut, dan Bandung. Pengrajin tapioka di Kabupaten Bogor tersebar di beberapa kecamatan sekitar daerah Ciluar, sedangkan pabrik tapioka sebagian besar terkonsentrasi di daerah Ciluar. Usaha kecil (pengrajin) tapioka tersebut cukup menyerap tenaga kerja yaitu sekitar 2-20 orang. Jumlah tenaga kerja pada pengrajin tapioka bervariasi sesuai dengan kapasitas produksi dan jumlah ubi kayu yang diolah.
Ubi kayu
1,5 m3
Air
1 ton
Pengupasan (Manual)
Kulit & kotoran
Pencucian (Manual)
Limbah cair
± 1,5 m3
Ekstraksi (Manual)
Ampas
± 400 kg
Pengendapan (Batch)
Limbah cair
± 8,8 m3
100 kg
Pemarutan (Semi mekanis) 8,5 m3
Air
Penjemuran Penggilingan Tapioka kasar
± 300 kg
Pengemasan
Gambar 20. Skema proses produksi usaha kecil tapioka (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2000)
2. Industri keripik singkong Industri keripik singkong di Kabupaten Bogor umumnya tergolong sebagai industri makanan ringan dan merupakan industri tradisional serta tidak jarang berskala kecil atau rumah tangga. Industri keripik singkong yang tercatat di Dinas Pertanian Kabupaten Bogor dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bogor hingga akhir tahun 2004 berjumlah kurang lebih 25 buah. Tahapan proses produksi pada industri kecil keripik singkong umumnya meliputi pembersihan, pencucian, pengirisan, perendaman (bumbu), penirisan, penggorengan, dan pengemasan (Gambar 21).
Ubi kayu Pengupasan Pencucian Pengirisan Perendaman dalam bumbu (setiap air mendidih 1 lt + garam 1 gr + bawang putih 20 gr)
± 3 menit
Penirisan Penggorengan Keripik singkong Pengemasan
Gambar 21. Skema proses produksi keripik singkong (Dewan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Industri Sumbar, 2001)
Pemasaran produk keripik singkong oleh sebagian industri kecil dilakukan di pasar lokal Bogor yaitu di sekitar lokasi industri. Selain di pasar lokal Bogor, beberapa industri kecil melakukan pemasaran produk keripik singkong di luar wilayah Bogor seperti Jakarta, Banten, Tangerang, Bekasi. Industri kecil keripik singkong di Kabupaten Bogor cukup menyerap tenaga kerja 2-20 orang. Besarnya jumlah tenaga kerja bergantung pada kapasitas produksi dan permintaan pasar. 3. Industri tape Industri tape di Kabupaten Bogor umumnya merupakan industri tradisional dan tergolong skala kecil atau rumah tangga. Industri tape yang tercatat di Dinas Pertanian Kabupaten Bogor hingga akhir tahun 2004 berjumlah kurang lebih 4 buah. Tape merupakan produk olahan ubi kayu dengan cara fermentasi. Tahapan proses produksi tape meliputi pembersihan, pemotongan, pencucian, pengukusan, peragian, pembungkusan dan penyimpanan (pemeraman) ubi kayu yang telah diberi ragi selama 2-7 hari (Gambar 22). Pemasaran produk tape dilakukan tidak hanya di wilayah Bogor tetapi juga di luar wilayah Bogor seperti Pasar Minggu dan Tangerang. Industri kecil tape umumnya membutuhkan tenaga kerja 2-10 orang. Pembuatan tape tersebut dapat dilakukan secara sendiri (keluarga) karena tidak memerlukan keterampilan khusus.
U b i kay u P en gu p asan P em o to ng an P en cu cian P en g u ku san (seten g ah m asak ) P en irisan P erag ian P em b un g k u san (d en g an p lastik , d au n talas) P em eram an (2 -7 h ari) T ap e p eu y eu m
Gambar 22. Skema proses produksi tape peuyeum (Margono dkk., 1993)
B. RANCANGAN MODEL 1. Deskripsi Sistem Permasalahan ketersediaan ubi kayu merupakan suatu permasalahan sistem yang cukup kompleks dengan melibatkan berbagai komponen, variabel
di
dalamnya
yang
saling
berinteraksi
dan
terintegrasi.
Ketersediaan ubi kayu secara regional dapat dipandang sebagai suatu masalah dinamika sistem yang berubah sepanjang waktu dan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang juga bersifat dinamis. Ubi kayu merupakan komoditas palawija unggulan di Kabupaten Bogor sehingga pemantauan terhadap ketersediaannya perlu dilakukan setiap tahunnya. Tujuan pemodelan ketersediaan ubi kayu ini adalah untuk melihat pola ketersediaan ubi kayu di masa mendatang sebagai pemenuhan
bahan baku bagi agroindustri, pengembangan agroindustri, pemenuhan kebutuhan pangan dalam upaya diversifikasi pangan non beras, pemenuhan keperluan ekspor, dan lain-lain dengan berbagai alternatif pengembangan skenario yang sesuai dengan kondisi nyata. Model dinamika sistem yang dikembangkan dibatasi pada hal-hal yang berkaitan dengan penyediaan (produksi) ubi kayu dan permintaan terhadap ubi kayu bagi kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri. Untuk memudahkan dalam pemodelan, sistem ketersediaan ubi kayu dibagi menjadi tiga sub sistem yaitu sub sistem penyediaan, sub sistem kebutuhan konsumsi, dan sub sistem kebutuhan industri. Simulasi model dinamik ketersediaan ubi kayu merupakan suatu model yang dirancang dengan menggunakan pendekatan sistem dinamik dan diberi nama dengan Cassava.Sim. Model ini dibuat berdasar identifikasi permasalahan yang dituangkan ke dalam diagram sebab akibat (causal loop), diformulasikan dalam diagram alir (stock dan flow) dan disimulasikan dengan menggunakan software Powersim versi 2.5. 2. Konseptualisasi Model Untuk menganalisa sistem ketersediaan ubi kayu dibuat model simulasi sesuai dengan formulasi permasalahan guna mempermudah dan mempercepat keluaran yaitu sebagai arah kebijakan dalam pengambilan keputusan. Model Cassava.Sim yang dibuat merupakan replikasi dari sistem nyata yang terbagi menjadi tiga sub sistem (sub model) yaitu sub model penyediaan ubi kayu, sub model kebutuhan ubi kayu konsumsi, dan sub model kebutuhan ubi kayu industri. a. Sub Model Penyediaan Pada sub model penyediaan ubi kayu dipengaruhi oleh variabelvariabel antara lain luas areal tanam, alih fungsi lahan (konversi), perluasan areal tanam (ekstensifikasi), luas panen, dan produktivitas. Disamping variabel-variabel tersebut, dibutuhkan pula konstanta sebagai input bagi model sehingga memudahkan dalam modifikasi model apabila terjadi perubahan-perubahan yang sesuai dengan kondisi
nyata. Konstanta tersebut antara lain persen ekstensifikasi, persen konversi dan produktivitas ubi kayu. Hubungan sebab akibat antar variabel pada sub model penyediaan dapat digambarkan oleh diagram sebab akibat (causal loops). Bahasa gambar tersebut adalah panah yang saling mengait, dimana hulu panah mengungkapkan sebab dan ujung panah mengungkapkan akibat. Jika terjadi hubungan umpan balik (feedback) antar variabel dalam diagram sebab akibat maka keterkaitan tersebut disebut sebagai suatu loop. Pada sub model penyediaan terdapat dua loop yang dapat disimak pada Gambar 23. Loop pertama menyatakan bahwa semakin banyak perluasan areal tanam (ekstensifikasi) yang dilakukan untuk budidaya tanaman ubi kayu, maka semakin banyak areal tanam untuk budidaya tanaman tersebut. Sedangkan jika semakin banyak areal tanam, maka semakin banyak perluasan areal tanam. Ini berkaitan dengan alternatif kebijakan perluasan areal tanam yang dapat diambil oleh pemerintah seperti kebijakan perluasan areal tanam ubi kayu secara kontinyu per tahun, per tiga tahun, dan sebagainya. Selanjutnya hubungan yang terjadi antara variabel perluasan areal tanam dengan areal tanam dapat dinyatakan sebagai feedback positif yang memiliki sifat memperkuat (reinforcing/R1). Perluasan areal tanam dapat dilakukan apabila masih terdapat potensi lahan yang belum dimanfaatkan untuk budi daya tanaman ubi kayu. Dalam hal ini potensi lahan merupakan variabel pembatas bagi kegiatan perluasan areal tanam. Ini dapat dinyatakan dengan loop tambahan (ballancing/B1) yang dapat dilihat pada loop pertama (Gambar 23).
+
Penyediaan ubi kayu
Produksi Produktivitas
+
Penyusutan luas panen
-
+ Luas panen + Delay +
+ Laju ekstensifikasi +
R1
+ B1
Luas areal tanam
Laju konversi
B1 +
Gap +
Potensi lahan
Gambar 23. Diagram sebab akibat sub model penyediaan ubi kayu Pada loop B1 digunakan variabel perantara yaitu gap yang menyatakan selisih antara potensi lahan dengan luas areal tanam riil. Semakin besar luas areal tanam untuk budidaya tanaman ubi kayu, maka semakin kecil luas gap. Semakin kecil luas gap, maka semakin kecil perluasan areal tanam yang dapat dilakukan. Atau semakin besar luas gap, maka semakin besar perluasan lahan yang dapat dilakukan. Variabel gap pada loop B1 akan menghasilkan hubungan feedback negatif yang memiliki sifat memperlemah (ballancing/B1). Sementara itu loop kedua menyatakan bahwa semakin banyak luas areal tanam yang tersedia untuk budidaya tanaman ubi kayu maka semakin besar peluang terjadinya alih fungsi lahan (konversi). Sedangkan jika semakin besar alih fungsi lahan yang terjadi maka semakin sedikit luas areal tanam untuk budidaya tanaman ubi kayu. Hubungan yang terjadi pada loop kedua adalah feedback negatif yang memiliki sifat memperlemah (ballancing/B2). Selanjutnya luas areal tanam akan memberikan pengaruh positif terhadap luas panen. Pada proses luas areal tanam menjadi luas panen terdapat delay (waktu tunggu) yaitu sejak tanaman ubi kayu ditanam sampai dengan dipanen yang memerlukan waktu rata-rata 9-12 bulan.
Dalam variabel luas panen terdapat penyusutan luas panen yang akan memberikan pengaruh negatif terhadap luas panen. Hal ini berarti semakin besar penyusutan luas panen yang terjadi maka semakin berkurang luas panen. Penyusutan luas panen dapat terjadi sebagai akibat kerusakan tanaman karena serangan hama/penyakit, bencana alam, atau penggantian tanaman yang diusahakan. Luas panen akan memberikan pengaruh positif terhadap produksi yang berarti semakin besar luas panen ubi kayu, maka semakin besar produksi ubi kayu yang dihasilkan. Selanjutnya produksi akan memberikan pengaruh positif terhadap penyediaan ubi kayu yang berarti semakin banyak produksi ubi kayu, maka semakin banyak ubi kayu yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan. Berdasarkan hubungan sebab akibat antar variabel pada sub model penyediaan di atas dilakukan penterjemahan diagram sebab akibat ke diagram alir (diagram stock dan flow). Penyusunan struktur program ini menggunakan perangkat lunak Powersim 2.5 seperti dapat dilihat pada Gambar 24.
Gambar 24. Diagram alir sub model penyediaan ubi kayu
b. Sub Model Kebutuhan Konsumsi Pada sub model kebutuhan ubi kayu untuk konsumsi sangat dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dalam mengkonsumsi ubi kayu baik dalam bentuk segar maupun dalam bentuk olahannya seperti gaplek, tepung gaplek, dan tepung ubi kayu. Dalam hal ini perilaku masyarakat yang berada di pedesaan dan perkotaan Kabupaten Bogor diasumsikan sama dengan perilaku masyarakat Provinsi Jawa Barat. Sehubungan dengan hal tersebut maka kebutuhan konsumsi ubi kayu Kabupaten Bogor menggunakan data neraca bahan makanan Provinsi Jawa Barat berdasarkan Susenas tahun 2003, seperti dapat dilihat pada Lampiran 3. Pada sub model kebutuhan konsumsi dapat dilihat dinamika perkembangan penduduk yang sangat berpengaruh terhadap permintaan ubi kayu untuk konsumsi. Dinamika model penduduk ini akan menghasilkan output berupa prakiraan jumlah penduduk di masa mendatang. Dinamika perkembangan penduduk dalam sub model ini terbentuk melalui interaksi antara variabel Penduduk Kab.Bogor dengan variabel laju pertumbuhan penduduk yang membentuk sebuah loop seperti dapat dilihat pada Gambar 25.
Gambar 25. Diagram sebab akibat sub model kebutuhan konsumsi Hubungan yang terjadi pada loop di atas adalah feedback positif yang memiliki sifat memperkuat (reinforcing/R2). Ini berarti bahwa semakin besar laju pertumbuhan penduduk per tahun maka semakin besar jumlah penduduk tahunan. Di lain pihak, semakin besar jumlah
penduduk per tahun mengakibatkan semakin besar laju pertumbuhan penduduk per tahun. Pada loop R2, variabel Penduduk Kab.Bogor menyatakan jumlah penduduk pada akhir tahun. Sistem registrasi penduduk Kabupaten Bogor pada dasarnya menggunakan persamaan penduduk berimbang untuk menghitung jumlah penduduk pada akhir tahun yaitu dengan menjumlahkan jumlah penduduk pada awal tahun, jumlah kelahiran, dan jumlah migrasi masuk dikurangi jumlah kematian, dan jumlah migrasi keluar per tahun. Sedangkan variabel laju pertumbuhan penduduk menggambarkan perkembangan/pertumbuhan penduduk tahunan dan dihitung berdasar jumlah penduduk pada akhir tahun. Berdasarkan sub model kebutuhan konsumsi dapat dilihat pola konsumsi berdasarkan dinamika penduduk dan rata-rata kebutuhan ubi kayu untuk konsumsi yang dikonversi dalam satuan ton/kapita/tahun. Untuk mengetahui kebutuhan konsumsi ubi kayu diperlukan variabel (konstanta) tingkat konsumsi ubi kayu yang menginputkan rata-rata konsumsi ubi kayu sesuai dengan kondisi nyata. Variabel tingkat konsumsi ubi kayu tersebut selanjutnya akan memberikan pengaruh positif terhadap jumlah ubi kayu_konsumsi. Ini berarti semakin besar tingkat konsumsi ubi kayu per kapita, maka semakin besar jumlah ubi kayu yang diperlukan untuk konsumsi. Berdasarkan hubungan sebab akibat antar variabel pada sub model konsumsi tersebut dilakukan penterjemahan diagram sebabakibat ke dalam diagram alir (diagram stock dan flow) dengan perangkat lunak Powersim 2.5 seperti dapat dilihat pada Gambar 26.
Gambar 26. Diagram alir sub model kebutuhan konsumsi
c. Sub Model Kebutuhan Industri Sub model kebutuhan industri dibangun melalui pendekatan kebutuhan bahan baku pada industri kecil/home industry yang meliputi industri tapioka, industri keripik dan industri tape. Industri tersebut merupakan industri primer yang mengolah secara langsung ubi kayu menjadi produk setengah jadi maupun produk jadi. Data yang digunakan pada sub model kebutuhan industri adalah data kebutuhan ubi kayu pada pengrajin tapioka dan industri kecil/home industry lainnya. Data rata-rata kebutuhan ubi kayu pada pengrajin tapioka diperoleh secara langsung dari lapang melalui wawancara yang hasilnya dapat dilihat pada Lampiran 4. Sedangkan data kebutuhan ubi kayu pada industri kecil/home industry diperoleh dari data sekunder Dinas Pertanian Kabupaten Bogor yang dapat dilihat pada Lampiran 5. Pada sub model kebutuhan industri variabel-variabel yang berpengaruh terhadap variabel Jumlah ubi kayu_industri adalah jumlah industri dan kebutuhan ubi kayu bagi industri (Gambar 27). Kedua variabel ini masing-masing memberikan pengaruh positif terhadap Jumlah ubi kayu_industri. Ini berarti semakin bertambah jumlah industri tapioka, keripik, dan tape, maka semakin banyak bahan baku yang diperlukan untuk proses produksi pada industri tersebut. Di lain pihak, semakin besar kebutuhan ubi kayu bagi industri akan mengakibatkan total kebutuhan ubi kayu meningkat.
Gambar 27. Diagram sebab akibat sub model kebutuhan industri
Pada sub model kebutuhan industri digunakan variabel konstanta yang berfungsi menginputkan besarnya kebutuhan ubi kayu pada masing-masing industri yang disesuaikan dengan kondisi nyata. Penterjemahan diagram sebab akibat sub model kebutuhan industri ke dalam diagram alir (diagram stock dan flow) dengan perangkat lunak Powersim 2.5 dapat dilihat pada Gambar 28.
Gambar 28. Diagram alir sub model kebutuhan industri
3. Formulasi Model a. Asumsi Model Asumsi merupakan pikiran-pikiran dasar yang digunakan sebagai titik tolak atau alasan dalam menjelaskan suatu fenomena dan diyakini kebenarannya (Simatupang, 2000). Dalam pembuatan model dinamik ketersediaan ubi kayu Kabupaten Bogor digunakan beberapa asumsi antara lain :
1. Pemodelan ketersediaan yang dibangun berlaku untuk kedua jenis ubi kayu yaitu manis dan pahit. 2. Terjadi alih fungsi lahan atau pergeseran pemanfaatan lahan ubi kayu menjadi tanaman palawija lain atau untuk keperluan non pertanian sebesar 2 % per tahun. 3. Permintaan ubi kayu adalah untuk kebutuhan industri dan kebutuhan konsumsi. 4. Umur panen rata-rata ubi kayu diasumsikan 12 bulan. Hal ini karena kebutuhan ubi kayu di Kabupaten Bogor sebagian besar digunakan untuk industri tapioka. Asumsi ini mengacu pada Rukmana (1997), ubi kayu (varietas dalam) memiliki kadar karbohidrat (pati) maksimal pada umur tanaman 9-12 bulan. 5. Laju pertumbuhan penduduk dianggap tetap selama periode tahun 1998-2013. 6. Konsumsi rata-rata ubi kayu penduduk Kabupaten Bogor baik dalam bentuk segar maupun dalam bentuk olahannya diasumsikan sama dengan konsumsi penduduk Jawa Barat yaitu sebesar 0,008 ton/kapita/tahun (Susenas, 2003, diolah) dan dianggap tetap selama tahun 1998-2003. 7. Jumlah industri tapioka, industri keripik, dan industri tape dianggap tetap selama tahun 1998-2013. 8. Periode analisis simulasi dibatasi untuk periode tahun 1998 sampai dengan tahun 2013. b. Formulasi Model Formulasi model merupakan perumusan masalah ke dalam bentuk matematis yang dapat mewakili sistem nyata. Formulasi model menghubungkan variabel-variabel yang telah diidentifikasi dalam model
konseptual
dengan
bahasa
simbolik.
Formulasi
model
Cassava.Sim dalam perangkat lunak Powersim selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 6.
1. Sub Model Penyediaan Sub model penyediaan dirumuskan dalam persamaan matematis sebagai berikut : Penyediaan = Produksi_UK
(1)
dimana, Produksi_UK : jumlah produksi ubi kayu Kabupaten Bogor Persamaan 1 menyatakan penyediaan sama dengan produksi ubi kayu. Dalam hal ini penyediaan ubi kayu diasumsikan hanya berasal dari wilayah Kabupaten Bogor. Sedangkan jumlah ubi kayu yang masuk ke Kabupaten Bogor dan keluar dari Kabupaten Bogor tidak dimasukkan dalan pemodelan. Prod_UK_1 = (L_Panen*Prdktvts_UK)/10
(2)
dimana, Prod_UK_1
: produksi ubi kayu (ton)
L_Panen
: luas panen ubi kayu (ha)
Prdktvts_UK : produktivitas ubi kayu (ku/ha) Persamaan 2 menyatakan produksi ubi kayu sebagai perkalian antara luas panen dengan prakiraan produktivitas ubi kayu. Pada persamaan ini prakiraan produktivitas ubi kayu di masa mendatang dilakukan dengan teknik simulasi Monte Carlo. Simulasi Monte Carlo merupakan simulasi probabilistik yang menggunakan distribusi peluang dengan penarikan contoh secara acak. Teknik simulasi dengan penarikan contoh secara acak ini mempunyai kelebihan yaitu dapat mengatur jumlah simulasi yang akan diulang sehingga diperoleh peubah acak dengan deviasi kecil (Watson dan Blackstone, 1989).
Parameter Distribusi Peluang Bil
Pembangkitan acak Pembangkitan Bilangan Acak Peubah Acak
Cetak Peubah Acak
n=N?
Ya
Selesai
tidak
N = n+1
Gambar 29. Diagram simulasi Monte Carlo (Eriyatno, 1998) Tahap awal simulasi Monte Carlo adalah pengujian distribusi data untuk menentukan parameter distribusi. Pengujian distribusi data dilakukan terhadap data aktual produktivitas ubi kayu setiap kecamatan di Kabupaten Bogor periode tahun 1999 sampai dengan 2004 dengan uji Kolmogorov Smirnov. Berdasarkan pengujian Kolmogorov Smirnov menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan bagi data tersebut untuk menyebar sesuai distribusi normal dengan D sama dengan 0,095. Nilai ini lebih kecil dari D tabel (0,0964) sehingga dapat disimpulkan Ho diterima. Berdasarkan angka probabilitas didapatkan angka pada Asymp.sig adalah 0,053 yang berarti lebih besar dari 0,05 dan disimpulkan Ho diterima. Ini berarti distribusi data produktivitas mengikuti distribusi normal. Menurut
Walpole
(1995),
Sebaran
peluang
normal
bergantung pada dua parameter µ dan σ, yaitu nilai tengah dan simpangan baku. Berdasarkan pengujian Kolmogorof Smirnov data produktivitas ubi kayu memiliki nilai µ dan σ masing-masing sebesar 172,07 dan 11,17. Pengujian distribusi data produktivitas tersebut selengkapnya dapat disimak pada Lampiran 7. Dalam simulasi Monte Carlo terdapat pembangkitan bilangan acak dan variabel acak (Gotfried, 1984). Dalam proses simulasi, pengambilan sampel dengan bilangan acak mencerminkan suatu sistem yang nyata.
Bil_acak_prdktvts = Bil acak*Prdktvts
(3)
Bil_acak = RANDOM (0.8-1.2) Prdktvts = NORMAL (172.07,11.17) Pada persamaan 3, pembangkitan bilangan acak dilakukan dengan menggunakan fungsi RANDOM. Sedangkan pembangkitan variabel/peubah acak dilakukan dengan menggunakan fungsi NORMAL. RANDOM (0.8-1.2) menunjukkan pembangkitan bilangan acak antara 0,8-1,2. Sedangkan NORMAL (172.07,11.17) menunjukkan variabel acak dengan parameter distribusi µ dan σ masing-masing sebesar 172,07 dan 11,17. Selanjutnya hasil simulasi produktivitas ubi kayu dengan simulasi Monte Carlo tersebut digunakan sebagai input dalam sub model penyediaan. Berikut persamaan 4 merupakan hasil simulasi model dengan teknik Monte Carlo yang disederhanakan dalam fungsi GRAPH. Prdktvts_UK = GRAPH (TIME, 1998, 1, [166,174,169,177,169,159, 173,174,174,183,172,175,179,176,174,167 ”Min:159; Max:183”])
(4)
dimana, Prdktvts_UK : produktivitas ubi kayu hasil simulasi dengan teknik Monte Carlo (ku/ha) Prod_UK_2 = (L_Panen*Prdktvts_per_Ha)
(5)
dimana, Prod_UK_2
: produksi ubi kayu (ton)
L_Panen
: luas panen ubi kayu (ha)
Prdktvts_per_Ha
: produktivitas ubi kayu per ha melalui upaya intensifikasi (bagian dari skenario)
Persamaan 5 menyatakan produksi ubi kayu sebagai bagian dari skenario simulasi. Prod_UK_2 merupakan perkalian antara luas
panen dengan produktivitas ubi kayu. Produktivitas ubi kayu merupakan
konstanta
yang menginput
dalam model yang
diasumsikan sebagai hasil dari upaya peningkatan produktivitas (intensifikasi) yang merupakan bagian dari skenario. L_panen = DELAYMTR (L_tanam, wkt_delay, 1, 10172) – RANDOM (0.05,0.1)*L_tanam
(6)
Persamaan 6 menyatakan luas panen ubi kayu sebagai fungsi delay orde pertama dari luas areal tanam. Waktu delay (waktu tunggu) luas areal tanam menjadi luas panen diasumsikan selama 12 bulan. Sedangkan initial delay adalah 10172, ini menunjukkan luas panen riil pada tahun sebelumnya yaitu luas panen pada tahun 1997 sebesar 10.172 ha. Pada variabel L_panen ini terdapat penyusutan luas panen yang dapat mengurangi besarnya luas panen yaitu diasumsikan sebesar 5%-10% dari luas areal tanam. RANDOM (0.05,0.1) menyatakan penyusutan luas panen sebesar 5%-10% dari luas areal tanam. L_tanam =14796+dt*Lj_perluasan_lhn–dt*Lj_alih_fungsi_lhn (7) dimana, L_tanam
: luas areal tanam (ha)
Lj_perluasan_lhn
: laju perluasan areal tanam
Lj_alih_fungsi_lhn : laju alih fungsi lahan atau pergeseran areal tanam Persamaan 7 menyatakan bahwa luas areal tanam mengakumulasi perbedaan antara laju perluasan lahan dan laju pergeseran areal tanam terhadap keadaan L_tanam sebelumnya yaitu luas tanam pada tahun 1998 (tahun dasar simulasi) sebesar 14.796 ha. Luas areal tanam adalah besarnya luas lahan yang digunakan untuk tanaman ubi kayu. Perluasan areal tanam adalah besarnya lahan yang dapat diusahakan untuk menambah luas areal
tanam yang ada. Alih fungsi lahan merupakan istilah untuk pergeseran lahan tanaman ubi kayu menjadi tanaman non ubi kayu (palawija lain) dan pemanfaatan lahan bagi keperluan non pertanian. Lj_perluasan_lhn = Gap*fktr_perluasan_lhn
(8)
dimana, Lj_perluasan_lhn
: laju perluasan areal tanam (ha/th)
fktr_perluasan_lhn : angka perluasan areal tanam (%/th) Pada persamaan 8 menyatakan laju perluasan lahan sebagai perkalian antara gap dengan angka perluasan areal tanam. Besarnya angka perluasan lahan merupakan input data yang dimasukkan dalam model dan disesuaikan dengan kondisi nyata. Lj_alih_fungsi_lhn = L_tanam*fktr_alih_fungsi_lhn
(9)
dimana, Lj_alih _fungsi_lhn
: laju alih fungsi lahan tanaman ubi kayu (ha/th)
fktr_alih_fungsi_lhn : angka alih fungsi lahan (%/th) Laju alih fungsi lahan/pergeseran fungsi lahan tanaman ubi kayu dinyatakan dengan persamaan 9 sebagai perkalian antara luas areal tanam riil dengan angka alih fungsi/pergeseran lahan tanaman ubi kayu. Besarnya angka alih fungsi lahan merupakan input data yang dimasukkan dalam model dan disesuaikan dengan kondisi nyata. Gap = Potensi_lahan – L_tanam
(10)
dimana, Gap
: luas lahan yang masih potensial dikurangi luas areal tanam riil (ha)
Potensi_lhn : luas lahan yang masih potensial untuk tanaman ubi kayu (ha) L_tanam
: luas areal tanam (ha)
Persamaan 10 menyatakan gap yaitu variabel yang menggambarkan selisih antara luas lahan yang masih potensial untuk budi daya tanaman ubi kayu dengan luas areal tanam riil. Luas lahan yang masih potensial untuk tanaman ubi kayu dapat dilihat pada Lampiran 8. 2. Sub Model Kebutuhan Konsumsi Sub model kebutuhan konsumsi dirumuskan dengan persamaan matematis sebagai berikut : Kbthn_UK_kons = Penduduk_Kab_Bogor*Tingkat_konsumsi (11) dimana, Kbthn_UK_kons
: kebutuhan/jumlah ubi kayu untuk konsumsi (ton/th)
Penduduk_Kab_Bogor : jumlah penduduk Kabupaten Bogor (jiwa) Tingkat_konsumsi
: fraksi (tingkat) konsumsi (ton/jiwa/th)
Persamaan 11 merupakan persamaan untuk mengetahui kebutuhan/jumlah ubi kayu yang diperlukan untuk konsumsi. Besarnya merupakan perkalian antara jumlah penduduk dengan tingkat konsumsi. Tingkat konsumsi dihitung berdasarkan data konsumsi rata-rata ubi kayu dalam bentuk segar dan olahannya seminggu menurut golongan pengeluaran per kapita sebulan (Susenas, 2003). Konsumsi ubi kayu tersebut dikonversi dalam satuan yang sama yaitu dalam bentuk ubi segar dan dikonversi untuk kebutuhan selama satu tahun. Berdasarkan perhitungan tersebut diperoleh fraksi konsumsi sebesar 0,008 ton/kapita/tahun.
Tingkat konsumsi merupakan nilai parameter (input) yang dilambangkan dengan konstanta sehingga perubahan-perubahan nilai parameter dalam model dapat dilakukan sesuai kondisi nyata. Penduduk_Kab_Bogor = 2917524+dt*Lj_pertumbuhan
(12)
Lj_pertumbuhan = Penduduk_Kab_Bogor*Rate_pertumbuhan dimana, Lj_pertumbuhan
: laju pertumbuhan penduduk (jiwa/th)
Rate_pertumbuhan
: rate pertumbuhan penduduk (%/th)
Persamaan 12 menyatakan bahwa jumlah penduduk Kabupaten Bogor mengakumulasi keadaan awal jumlah penduduk pada tahun 1998 sebagai tahun dasar simulasi sebesar 2.917.524 jiwa terhadap laju pertumbuhan penduduk per tahun. Dalam hal ini laju pertumbuhan penduduk per tahun dipengaruhi oleh rate pertumbuhan
penduduk.
Berdasarkan
hasil
perhitungan
menggunakan persamaan geometris diperoleh rate pertumbuhan penduduk selama periode tahun 1998-2004 sebesar 2,77% per tahun. Rate pertumbuhan penduduk ini merupakan input bagi variable Penduduk_Kab_Bogor dan diasumsikan tetap selama kurun waktu simulasi.
Hasil
perhitungan
rate
pertumbuhan
penduduk
selengkapnya dapat disimak pada Lampiran 9. 3. Sub Model Kebutuhan Industri Sub
model
kebutuhan
industri
dirumuskan
dengan
persamaan matematis sebagai berikut : Kbthn_UK_tapioka = Ind_tapioka*Rata2_kbthn_UK_1*300
(13)
Ind_tapioka
(14)
= 269+dt*Lj_buka_1-dt*Lj_tutup_1
dimana, Kbthn_UK_tapioka : kebutuhan ubi kayu untuk industri tapioka (ton/th)
Rata2_kbthn_UK_1 : rata-rata kebutuhan ubi kayu untuk industri tapioka (ton/unit/hari) Ind_tapioka
: jumlah industri tapioka (unit)
Lj_buka_1
: laju industri tapioka buka/tumbuh (unit/th)
Lj_tutup_1
: laju industri tapioka tutup (unit/th)
Persamaan 13 menyatakan perkalian antara jumlah industri tapioka
dengan
kebutuhan
rata-rata
ubi kayu
yang
akan
menghasilkan kebutuhan total ubi kayu untuk industri tapioka. Besarnya rata-rata kebutuhan ubi kayu pada industri tapioka dihitung berdasarkan data hasil survei lapang terhadap 30 unit/pengrajin tapioka (Lampiran 4). Selanjutnya kebutuhan ratarata ubi kayu per hari tersebut dikonversi menjadi kebutuhan ratarata per tahun dengan angka konversi 300 (asumsi 1 tahun 300 hari produksi). Besarnya kebutuhan ubi kayu di setiap pengrajin tapioka bervariasi bergantung pada kapasitas produksi mesin, modal pengrajin, luasan tempat penjemuran tapioka, dan sebagainya. Persamaan 14 menyatakan jumlah industri (pengrajin) tapioka mengakumulasi perbedaan jumlah industri yang tumbuh (buka) dan jumlah industri yang tutup. Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber diperoleh informasi jumlah unit pengrajin tapioka hingga tahun 2004 adalah sekitar 269 unit. Jumlah industri (pengrajin) tapioka sebanyak 269 unit selanjutnya akan menjadi inisial (keadaan awal) simulasi. Kbthn_UK_keripik = ind_keripik*Kbthn_UK_2
(15)
ind_keripik = 25+dt*Lj_buka_2-dt*Lj_tutup_2
(16)
dimana, Kbthn_UK_keripik : kebutuhan total ubi kayu untuk industri keripik (ton/th) Kbthn_UK_2
: kebutuhan rata-rata ubi kayu industri keripik (ton/unit/th)
ind_keripik
: jumlah industri keripik ubi kayu/singkong (unit)
Lj_buka_2
: laju industri keripik singkong buka/tumbuh (unit/th)
Lj_tutup_2
: laju industri keripik singkong tutup (unit/th)
Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Dinas Perindustrian (2004) diperoleh jumlah industri keripik singkong sekitar 25 buah, terdiri atas industri kecil dan home industry. Persamaan 15 menyatakan kebutuhan ubi kayu untuk industri keripik singkong merupakan perkalian antara jumlah industri yang tercatat dengan kebutuhan rata-rata ubi kayu pada industri keripik. Kebutuhan ubi kayu bagi industri keripik merupakan hasil konversi produk jadi (keripik) ke dalam bentuk ubi kayu segar. Persamaan 16 menyatakan jumlah industri keripik singkong mengakumulasi perbedaan jumlah industri keripik singkong yang tumbuh (buka) dan jumlah industri yang tutup. Jumlah industri keripik singkong pada keadaan awal simulasi adalah sebanyak 25 unit. Kbthn_UK_tape = ind_tape*Kbthn_UK_3
(17)
ind_tape
(18)
= 4+dt*Lj_buka_3-dt*Lj_tutup_3
dimana, Kbthn_UK_tape
: kebutuhan total ubi kayu untuk industri tape (ton/th)
Kbthn_UK_3
: kebutuhan rata-rata ubi kayu industri tape (ton/unit/th)
ind_tape
: jumlah industri tape (unit)
Lj_buka_3
: laju industri tape buka/tumbuh (unit/th)
Lj_tutup_3
: laju industri tape tutup (unit/th)
Persamaan 17 menyatakan kebutuhan ubi kayu untuk industri tape merupakan perkalian antara jumlah industri yang
tercatat dengan kebutuhan rata-rata ubi kayu pada industri tape. Kebutuhan ubi kayu bagi industri tape merupakan hasil konversi produk jadi (tape) ke dalam bentuk ubi kayu segar. Persamaan
18
menyatakan
jumlah
industri
tape
mengakumulasi perbedaan jumlah industri yang tumbuh (buka) dan jumlah industri yang tutup. Berdasarkan data Dinas Pertanian (2004) tercatat jumlah industri tape sekitar 4 buah. Jumlah industri tersebut selanjutnya menjadi inisial (keadaan awal) simulasi. Kbthn_industri = Kbthn_UK_tapioka + Kbthn_UK_keripik + Kbthn_UK_tape
(19)
Persamaan 19 menyatakan penjumlahan dari kebutuhan ubi kayu untuk industri tapioka, industri keripik, dan industri tape. Industri (pengrajin) tapioka merupakan jenis industri hulu yang mengolah bahan baku ubi kayu menjadi produk setengah jadi berupa tapioka kasar yang kemudian diolah lagi menjadi tepung tapioka halus di pabrik pengolahan tepung tapioka. Sedangkan industri keripik dan industri tape merupakan jenis industri kecil/industri rumah tangga yang mengolah bahan baku ubi kayu menjadi produk jadi.
C. SKENARIO DAN HASIL SIMULASI Pada pemodelan dinamika sistem ketersediaan ubi kayu, rancangan model, simulasi dan analisis dilakukan dengan mengacu pada tujuan dan skenario pada setiap model. Beberapa skenario kebijakan yang akan digunakan dalam analisis ketersediaan ubi kayu antara lain : 1. Skenario tanpa perubahan kebijakan Model yang dirancang akan menggambarkan kondisi luas areal tanam ubi kayu selama periode tahun 1998-2004 dimana terjadi kecenderungan menurun dari 14.796 ha pada tahun 1998 menjadi 10.452 ha pada tahun 2004 (Gambar 30).
Gambar 30. Luas areal tanam ubi kayu dan kecenderungannya Berdasar kondisi tersebut kemudian diprediksi untuk melihat situasi di masa mendatang. Dalam model ini diasumsikan tidak terdapat kegiatan intensifikasi maupun perluasan areal tanam. Situasi ini menggambarkan ketidak aktifan pemerintah dalam mengatur penyediaan ubi kayu di Kabupaten Bogor. Dengan model ini dapat dianalisis situasi dan perilaku sistem penyediaan ubi kayu di Kabupaten Bogor tanpa adanya intervensi dari pemerintah sebagai akibat perilaku masyarakat terhadap pendayagunaan ubi kayu saat ini. 2. Skenario kebijakan pendayagunaan sumberdaya lahan (perluasan areal tanam) Model yang dirancang akan menjelaskan pengaruh kebijakan pendayagunaan sumber daya lahan terhadap ketersediaan ubi kayu di masa mendatang. Skenario ini merupakan salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan yang timbul pada skenario 1. Berdasar hasil simulasi dapat dilihat perubahan yang terjadi karena pengaruh perluasan areal tanam maupun karena adanya alih fungsi lahan. 3. Skenario kebijakan peningkatan produktivitas (upaya intensifikasi) Model yang dirancang menggambarkan pengaruh ketersediaan ubi kayu terhadap upaya pemerintah dalam meningkatkan produktivitas ubi kayu melalui upaya intensifikasi. Upaya intensifikasi ini juga merupakan
alternatif pemecahan masalah yang timbul pada skenario 1. Kebijakan intensifikasi ini dapat dilakukan apabila kebijakan perluasan areal tanam pada skenario 2 tidak dapat diterapkan. 4. Skenario kebijakan pendayagunaan sumber daya lahan dan peningkatan produktivitas Model yang dirancang merupakan gabungan antara skenario 2 dan skenario 3 dan akan mewakili gambaran perhatian pemerintah terhadap masalah ketersediaan ubi kayu yaitu melalui pendayagunaan sumber daya lahan dan upaya intensifikasi untuk meningkatkan produktivitas. Skenario 4 juga merupakan salah satu alternatif pemecahan masalah pada skenario 1.
5. Skenario pengaruh peningkatan kebutuhan konsumsi dan industri Model yang dirancang akan menggambarkan perubahan tingkat konsumsi ubi kayu dan perubahan kebutuhan rata-rata ubi kayu khususnya untuk industri tapioka/aci. Melalui model ini dapat dilihat perubahan kebutuhan
ubi
kayu
terhadap
penyediaannya.
Skenario
5
ini
menggambarkan dinamika kebutuhan ubi kayu baik untuk keperluan konsumsi maupun bahan baku industri. Hasil simulasi model dinamik ini dilengkapi dengan fasilitas interaktif (dynamic object) berupa slide bar untuk memudahkan dalam menginputkan atau menjalankan skenario yang ingin ditampilkan. Pada bagian pertama (Cassava1.Sim) ditampilkan perilaku pertumbuhan penduduk, luas areal tanam akibat adanya alih fungsi lahan (pergeseran luas areal tanam), dan produksi ubi kayu. Pada bagian kedua (Cassava2.Sim) ditampilkan perilaku produksi atau penyediaan ubi kayu dengan beberapa skenario dan perilaku kebutuhan ubi kayu untuk konsumsi dan industri. Tampilan model Cassava1.Sim dan Cassava2.Sim masing-masing dapat dilihat pada Lampiran 10 dan Lampiran 11. Perilaku dinamis bersumber dari struktur model dan dikenali dari hasil simulasi model. Dalam hal ini hasil simulasi dapat digunakan untuk memahami perilaku gejala atau proses serta mengetahui kecenderungannya di
masa mendatang melalui struktur sebab akibat model. Menurut Sterman (2004) terdapat beberapa macam perilaku dinamis dari model dasar antara lain exponential growth, goal seeking, dan oscillation. Masing-masing dari perilaku dinamis ini dibentuk oleh struktur umpan balik (feedback structure) yang sederhana. Growth muncul dari feedback positif, goal seeking muncul dari feedback negatif, dan oscillation muncul dari feedback negatif dengan waktu delay dalam loop. Perilaku dinamis dari model lain yang dapat muncul antara lain S-shaped growth, S-shaped growth with overshoot and oscillation, dan overshoot and collapse, muncul dari interaksi non linier dari struktur dasar umpan balik. Perilaku dari model dasar dalam sistem dinamis dapat disimak pada Gambar 31.
Gambar 31. Perilaku model dasar sistem dinamis (Sterman, 2004) Berdasarkan struktur model dan skenario model yang telah disebutkan sebelumnya diperoleh hasil simulasi sesuai dengan tujuan pemodelan adalah sebagai berikut 1. Skenario tanpa perubahan kebijakan Pada skenario tanpa perubahan kebijakan dapat dilihat perubahan yang terjadi selama kurun waktu 15 tahun apabila diasumsikan beberapa komponen tidak mengalami perubahan, seperti tingkat konsumsi ubi kayu, kebutuhan ubi kayu untuk industri, dan alih fungsi lahan. Pada skenario ini rata-rata konsumsi ubi kayu baik dalam bentuk segar maupun dalam bentuk olahannya adalah 0,008 ton/kapita/tahun (Susenas (2003), diolah). Besarnya rata-rata konsumsi ubi kayu tersebut diasumsikan tetap selama
tahun 1998-2013. Sementara itu, kebutuhan ubi kayu untuk industri dilihat berdasar kebutuhan rata-rata industri hulu (primer) yaitu industri kecil/industri rumah tangga seperti industri tapioka, industri keripik, dan industri tape. Jika diasumsikan terjadi pergeseran/alih fungsi lahan tanaman ubi kayu baik untuk keperluan tanaman palawija lain maupun keperluan non pertanian secara kontinyu sebesar 2% per tahun, maka pola kecenderungan dari skenario 1 ini dapat dilihat pada Gambar 32.
Gambar 32. Hasil simulasi pada skenario tanpa perubahan kebijakan
.
Gambar 32. Hasil simulasi pada skenario tanpa perubahan kebijakan (lanjutan) Berdasar hasil simulasi di atas terlihat bahwa produksi ubi kayu berfluktuatif setiap tahunnya dan memiliki kecenderungan menurun sebagai akibat adanya pergeseran areal tanam ubi kayu. Sementara itu kebutuhan ubi kayu baik untuk keperluan konsumsi maupun industri mengalami pertumbuhan (growth). Produksi ubi kayu yang fluktuatif dapat menyebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan ubi kayu sesuai jumlahnya. Pada Gambar 32 terlihat bahwa neraca ketersediaan ubi kayu mengalami surplus pada pertengahan tahun 1998 sampai dengan tahun 2008. Ini berarti bahwa penyediaan atau produksi ubi kayu hanya mampu memenuhi kebutuhan ubi kayu hingga tahun 2008. Pada tahun 2003 dan tahun 2008 terlihat bahwa kebutuhan dan penyediaan ubi kayu bertemu pada satu titik, artinya neraca ubi kayu nol atau produksi dapat memenuhi kebutuhan. Sedangkan pada tahun 2008 sampai dengan tahun 2013 terlihat bahwa grafik produksi ubi kayu berada di bawah grafik kebutuhan, artinya neraca ubi kayu defisit atau dapat dikatakan bahwa produksi sudah tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan. Hasil simulasi produksi dan kebutuhan ubi kayu untuk konsumsi dan industri (skenario 1) secara kuantitatif disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Hasil simulasi skenario tanpa perubahan kebijakan
2. Skenario kebijakan pendayagunaan sumberdaya lahan Skenario kedua adalah skenario kebijakan pendayagunaan sumber daya lahan untuk memperluas areal tanam ubi kayu secara kontinyu sebesar 1% per tahun. Upaya perluasan areal tanam tersebut masih dapat dilakukan di wilayah Kabupaten Bogor mengingat masih terdapat jumlah lahan yang sesuai dan potensial untuk tanaman ubi kayu yaitu seluas 57.164 ha (Dinas Pertanian Kabupaten Bogor, 2000 di dalam Nurmalawati, 2001). Luas lahan tersebut merupakan total luas tegalan di setiap kecamatan yang dianalisa berdasarkan karakteristik kesesuaian tanaman ubi kayu dan karakteristik wilayah/lahan yang ada dan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 8. Pada simulasi model ini, peningkatan luas areal tanam yang tetap setiap tahun akan menyebabkan penyediaan atau produksi ubi kayu meningkat pula. Pada Gambar 33 dapat dilihat bahwa dengan peningkatan luas areal tanam sebesar 1% per tahun mengakibatkan penyediaan ubi kayu meningkat sehingga dapat memenuhi kebutuhan ubi kayu selama 10 tahun ke depan. Selanjutnya neraca ketersediaan ubi kayu yang surplus setiap tahunnya dapat menjadi pertimbangan bagi pengembangan agroindustri berbasis ubi kayu maupun untuk memenuhi permintaan ekspor.
Gambar 33. Hasil simulasi skenario dengan upaya perluasan areal tanam 1% per tahun Selanjutnya hasil simulasi tersebut secara kuantitatif dapat disimak pada Tabel 7. Tabel 7. Hasil simulasi skenario dengan perluasan areal tanam 1% per tahun
Disamping kebijakan pendayagunaan sumber daya lahan secara kontinyu per tahun, dapat pula dirancang suatu kebijakan pendayagunaan sumber daya lahan secara periodik (berkala) seperti kebijakan perluasan areal tanam per dua tahun, per tiga tahun, dan per lima tahun. Sehubungan
dengan hal tersebut, pada skenario kedua dikembangkan kebijakan perluasan areal tanam sebesar 1% secara berkala per dua tahun. Simulasi model dilakukan terhadap kebijakan perluasan areal tanam sebesar 1% secara berkala per dua tahun dengan fungsi PULSE (Gap*Fktr_knvrs,1998,2) dan diasumsikan berlaku mulai dari tahun 1998 sebagai tahun dasar simulasi. Hasil simulasi (Gambar 34) menunjukkan bahwa pengambilan kebijakan pendayagunaan sumber daya lahan (perluasan areal tanam) sebesar 1% per dua tahun mampu menyediakan produksi ubi kayu yang masih dapat memenuhi kebutuhan ubi kayu hingga 10 tahun ke depan. Sedangkan pada tahun berikutnya (tahun 2015) produksi ubi kayu tersebut sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan ubi kayu (Tabel 8).
Gambar 34. Hasil simulasi skenario dengan upaya perluasan areal tanam 1% per dua tahun
Tabel 8. Hasil simulasi skenario dengan perluasan areal tanam 1% per dua tahun
3. Skenario kebijakan dengan peningkatan produktivitas (upaya intensifikasi) Skenario ketiga adalah skenario dengan peningkatan produktivitas tanaman ubi kayu dengan upaya intensifikasi. Peningkatan produktivitas dan produksi ubi kayu dapat dilakukan melalui upaya konkrit yaitu penerapan teknologi tepat guna yang berdaya saing dan berkelanjutan serta dapat diterapkan secara mudah oleh petani. Penerapan teknologi pada tingkat usaha tani dapat dilakukan dengan teknologi budidaya antara lain penelitian dan pengembangan teknologi untuk program jangka menengah dan panjang yang diarahkan pada penggunaan varietas unggul berpotensi hasil tinggi, berumur pendek (varietas genjah) 5-7 bulan, dan tahan hama penyakit sehingga diperoleh nilai hasil yang tinggi dan berdampak pada peningkatan pendapatan petani. Untuk mendapatkan produktivitas ubi kayu yang tinggi dapat dilakukan dengan membuat penangkaran benih sehingga dapat diperoleh bibit yang bermutu tinggi dari varietas ubi kayu yang telah ada (Hafsah, 2003).
Teknologi pemupukan yang efisien diupayakan untuk peningkatan produktivitas lahan dan kesuburan tanah dengan menggunakan pupuk anorganik maupun pupuk organik (pupuk kandang, mulsa, jerami, dan sebagainya). Disamping itu, peran penyuluh sangat diperlukan dalam memperkenalkan teknologi budidaya yang telah dikembangkan dan cara pemakaiannya kepada petani. Berdasarkan data Dinas Pertanian Kabupaten Bogor (2004, diolah), produktivitas rata-rata ubi kayu dari beberapa varietas yang ditanam di Kabupaten Bogor selama periode tahun 1999-2004 mencapai 17,20 ton/ha. Pada skenario ini diasumsikan dapat dilakukan peningkatan produktivitas rata-rata menjadi 19 ton/ha. Peningkatan
produktivitas
tersebut
masih
dapat
dilakukan
mengingat potensi hasil dari masing-masing varietas unggul dapat mencapai 22 ton/ha (varietas Adira 1); 21 ton/ha (varietas Adira 2); 35 ton/ha (varietas Adira 4); dan 20 ton/ha (varietas Mangi) (Hafsah, 2003). Peningkatan produktivitas dengan menanam varietas unggul dapat dilakukan dengan memperhatikan kesesuaian lahan, pola tanam pada suatu daerah, dan preferensi penggunaan varietas ubi kayu yang disesuaikan untuk keperluan konsumsi maupun industri. Berdasarkan hasil simulasi (Gambar 35) terlihat bahwa perubahan produksi melalui upaya peningkatan produktivitas rata-rata ubi kayu sebesar 19 ton/ha tersebut hanya mampu memenuhi kebutuhan ubi kayu sampai tahun 2011. Sehingga diperlukan keterpaduan upaya untuk dapat memenuhi kebutuhan ubi kayu. Selanjutnya hasil simulasi skenario dengan kebijakan peningkatan produktivitas ubi kayu secara kuantitatif dapat dilihat pada Tabel 9.
Gambar 35. Hasil simulasi dengan skenario upaya peningkatan produktivitas (intensifikasi)
Tabel 9. Hasil simulasi dengan skenario upaya peningkatan produktivitas (intensifikasi)
4. Skenario kebijakan pendayagunaan sumber daya lahan dan peningkatan produktivitas Skenario keempat merupakan gabungan skenario 2 dan skenario 3 yaitu dengan kebijakan pendayagunaan lahan (perluasan areal tanam) sebesar 0,5% per tahun dan upaya intensifikasi yang dapat menghasilkan produktivitas rata-rata sebesar 19 ton/ha. Adanya upaya perluasan areal
tanam sebesar 0,5% dan peningkatan produktivitas rata-rata 19 ton/ha ini telah mampu memenuhi kebutuhan ubi kayu hingga 10 tahun ke depan (Gambar 36).
Gambar 36. Hasil simulasi dengan skenario kebijakan pendayagunaan lahan dan peningkatan produktivitas Untuk mengatasi kelebihan produksi ubi kayu dapat dilakukan beberapa alternatif antara lain melakukan penjualan ubi kayu ke luar wilayah Bogor sehingga akan menambah pendapatan daerah. Disamping itu, kelebihan produksi ubi kayu dapat diarahkan pada pengembangan produk-produk pangan tradisional, seperti kerupuk, ceriping, dan produkproduk makanan jajanan dan camilan seperti lemet, combro dengan teknik pembuatan yang lebih baik dengan meningkatkan mutu dan penampilan produk sehingga potensi pemasarannya diharapkan menjadi lebih besar. Selanjutnya kelebihan produksi tersebut juga dapat membuka peluang bagi pengembangan agroindustri ubi kayu dalam jangka waktu menengah/ panjang antara lain usaha diversifikasi pangan, pengembangan produk pangan dan non pangan, dan sebagainya. Hasil simulasi dengan skenario kebijakan pendayagunaan lahan dan peningkatan produktivitas secara kuantitatif disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10. Hasil simulasi dengan skenario kebijakan pendayagunaan lahan dan peningkatan produktivitas
5. Skenario dengan pengaruh peningkatan kebutuhan konsumsi dan industri Pada model yang dirancang diasumsikan terjadi perubahan kebutuhan ubi kayu bagi industri dan peningkatan konsumsi sebagai akibat berhasilnya diversifikasi hasil olahan ubi kayu. Jika diasumsikan kebutuhan rata-rata ubi kayu untuk konsumsi dan industri tapioka meningkat menjadi 0,009 ton/kapita/tahun dan 2,5 ton/unit/hari maka kebutuhan ubi kayu keseluruhan akan meningkat pula. Akibat adanya perubahan tersebut maka diperkirakan produksi ubi kayu tidak dapat memenuhi kebutuhan ubi kayu bagi industri dan konsumsi (seperti dapat dilihat pada neraca kebutuhan ubi kayu_1). Oleh karena itu perlu dilakukan upaya pendayagunaan sumber daya lahan dan peningkatan produktivitas. Untuk memenuhi kebutuhan ubi kayu yang meningkat tersebut dapat dilakukan upaya perluasan areal tanam sebesar 1% per tahun dan peningkatan produktivitas rata-rata sebesar 19 ton/ha. Berdasarkan hasil simulasi dapat dilihat bahwa dengan upaya tersebut telah dapat memenuhi kebutuhan ubi kayu yang meningkat (neraca kebutuhan ubi kayu_2). Hasil simulasi selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 37.
Gambar 37. Hasil simulasi dengan skenario pengaruh perubahan tingkat kebutuhan ubi kayu Selanjutnya hasil simulasi dengan skenario pengaruh perubahan tingkat kebutuhan ubi kayu secara kuantitatif disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11. Hasil simulasi dengan skenario pengaruh perubahan tingkat kebutuhan ubi kayu
D. VALIDASI MODEL Validasi model Cassava.Sim dilakukan dengan membandingkan keluaran model (hasil simulasi) dengan data aktual yang diperoleh dari sistem nyata (quantitative behaviour pattern comparison). Validasi model dilakukan terhadap data aktual yang tersedia meliputi data kependudukan, produksi ubi kayu, dan produktivitas ubi kayu. Berdasarkan hasil simulasi, jumlah penduduk Kabupaten Bogor pada tahun 2004 adalah sebesar 3.444.968 jiwa. Sedangkan data aktual penduduk Kabupaten Bogor pada tahun 2004 adalah sebesar 3.437.083 jiwa. Perhitungan uji MAPE (Mean Absolute Percentage Error) yang dilakukan terhadap data jumlah penduduk Kabupaten Bogor tahun 1998-2004 diperoleh nilai sebesar 0,4%. Ini berarti bahwa terdapat penyimpangan sebesar 0,4% antara hasil simulasi dengan data aktual. Berdasarkan kriteria ketepatan model nilai MAPE tersebut adalah lebih kecil dari 5% sehingga dapat disimpulkan model sangat tepat dan model dapat diterima. Perhitungan validasi penduduk tersebut selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 12a.
Berdasarkan hasil simulasi, produktivitas ubi kayu pada tahun 2004 menunjukkan nilai sebesar 173 ku/ha. Sedangkan data aktual produktivitas ubi kayu pada tahun 2004 adalah sebesar 167 ku/ha. Perhitungan dengan uji MAPE terhadap data produktivitas ubi kayu tahun 1998-2004 diperoleh nilai sebesar 5,3%. Nilai tersebut lebih besar dari 5% dan kurang dari 10% sehingga dapat disimpulkan bahwa model tepat dan dapat diterima. Perhitungan validasi produktivitas ubi kayu tersebut selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 12b. Hasil simulasi produksi ubi kayu pada tahun 2004 menunjukkan nilai sebesar 209.079 ton. Sedangkan data aktual produksi ubi kayu pada tahun 2004 adalah sebesar 192.357 ton. Berdasarkan perhitungan uji MAPE terhadap data produksi ubi kayu tahun 1998-2004 diperoleh nilai sebesar 8,4%. Nilai tersebut lebih besar dari 5% dan kurang dari 10% sehingga dapat disimpulkan bahwa model tepat dan dapat diterima. Perhitungan validasi produksi ubi kayu tersebut selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 12c. E. SARAN KEBIJAKAN Saran kebijakan yang dapat menjadi pertimbangan dalam usaha menumbuhkembangkan sentra-sentra produksi ubi kayu, pengembangan agroindustri, serta sebagai alternatif ketahanan pangan non beras di Kabupaten Bogor adalah sebagai berikut 1. Peningkatan produktivitas/produksi ubi kayu (intensifikasi) Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas/produksi ubi kayu antara lain melalui penggunaan varietas unggul, pengaturan pola tanam dan waktu tanam sesuai ketersediaan air, pemupukan berimbang, dan konservasi lahan sehingga kelestarian lahan tetap terjaga. a. Penggunaan varietas unggul Penggunaan varietas unggul berpotensi hasil tinggi dan berumur genjah (pendek) perlu dilakukan untuk penganekaragaman varietas dan peningkatan produksi ubi kayu. Penggunaan varietas ubi kayu pada
umumnya berbeda untuk keperluan konsumsi maupun industri. Ubi kayu untuk konsumsi antara lain dikehendaki umbinya memiliki rasa enak/tidak pahit, warna umbi kuning/putih, dan memiliki kadar HCN (racun) rendah <50 mg/kg. Sedangkan untuk industri antara lain umbinya harus memiliki kandungan pati tinggi, boleh pahit dengan kadar HCN >100 mg/kg. Berikut Tabel 12 adalah varietas-varietas unggul ubi kayu yang dapat menjadi pertimbangan untuk meningkatkan produksi, disamping varietas ubi kayu yang sudah ada atau telah ditanam. Tabel 12. Varietas ubi kayu yang telah dilepas Tahun pelepasan
Umur (bulan)
Gading Valenca SPP Bogor Muara Adira 1 Adira 2 Adira 4 Malang 1
1978 1978 1986 1992
7-8 8 10-11 8-10 7-10 7-10 8-12 10,5-11,5 9-10
10. Malang 2 11. DarulHidayah 12. Uj 3
1992 1998
8-10 8-12
2000
8-10
13. Uj 5 14. Malang 4 15. Malang 6
2000 2001 2001
9-10 9 9
Varietas 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Potensi hasil (ton/ha)
Rasa
Kadar tepung (%)
Kadar HCN (mg/kg)
Putih Putih Putih Putih Putih Kuning Putih Putih Putihkekuningan Kuning muda Putih
15-20 15-20 20-30 20-30 20-30 22 21 35 36,5
Manis Manis Pahit Pahit Pahit Sedang Sedang Agak pahit Manis
45 41 18-22 32-36
< 45 < 45 > 100 > 100 > 100 27,5 124 68 < 40
31,5 102
Putihkekuningan Putih Putih Putih
20-35
Manis Kenyalseperti ketan Pahit
25-38 39,7 36,4
-
Warna
32-36 25-31,5 20-27 19-30 -
< 40 < 40 -
Sumber : Balitkabi Malang (2001) di dalam Hafsah (2003)
Menurut Kelompok Peneliti Umbi-umbian (2000), untuk mendapatkan bibit unggul dengan enam tepat (tepat jenis, jumlah, mutu, waktu, tempat, dan harga) antara lain dapat dilakukan : (1) memilih varietas unggul berdasarkan preferensi dan kesesuaian agroekosistem, (2) membentuk penangkar benih secara berkelompok maupun individu, dan (3) menyediakan lokasi khusus pembibitan untuk menghindari penyimpanan bibit yang menyebabkan penurunan mutu bibit. Batang ubi kayu yang baik untuk dijadikan bibit/stek antara lain bagian pangkal batang dengan panjang 20-25 cm; tanaman berumur cukup tua, 10-12 bulan; pertumbuhan normal dan sehat; batang telah
berkayu, berdiameter ± 2,5 cm, dan lurus; belum tumbuh tunas-tunas baru (Rukmana, 1997). b. Pengaturan waktu tanam dan pola tanam Waktu tanam yang dianjurkan untuk menanam ubi kayu yang disesuaikan dengan ketersediaan air untuk pertumbuhan vegetatif 4-5 bulan antara lain : (1) pada daerah beriklim basah sepanjang tahun (bulan basah > 4 bulan), dapat ditanam sepanjang tahun; (2) pada daerah yang bulan keringnya > 4 bulan berturut-turut, dapat ditanam pada musim hujan; (3) di tanah tegalan penanaman dilakukan pada awal musim hujan (Oktober-November) atau akhir musim hujan; dan (4) di sawah tadah hujan, penanaman dilakukan pada akhir musim hujan (Maret-April) setelah penanaman padi (Hafsah, 2003). Pola tanam ubi kayu umumnya terdiri atas pola tanam monokultur dan tumpangsari. Dalam usaha meningkatkan produktivitas ubi kayu pada lahan kering sekaligus konservasi kesuburan tanah, pola bertanam tumpangsari dengan tanaman lain dapat dilakukan. Pola bertanam yang serasi untuk stabilisasi makanan dan pendapatan petani di Jawa Barat yang dianjurkan (Rukmana, 1997) adalah sebagai berikut
Jagung ditanam dengan jarak tanam 300 cm x 50 cm dan padi gogo 30 cm x 15 cm. Pemupukan untuk kedua jenis tanaman ini menggunakan urea 75 kg, TSP 40 kg, dan KCl 25 kg per ha. Kedelai ditanam dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm dan ubi kayu 300 cm x 50 cm. Pupuk yang digunakan untuk tanaman kedelai dan ubi kayu terdiri atas urea 125 kg, TSP 75 kg, dan KCl 75 kg per ha. Pada pola tanam tumpangsari, pemberian pupuk harus sebanding dengan banyaknya jenis tanaman yang ditumpangsarikan.
c. Pemupukan sesuai dosis anjuran Hasil penelitian di Puslitbang Tanaman Pangan menunjukkan bahwa dengan pemupukan dapat meningkatkan hasil ubi kayu 61,28%404,38% (Rukmana, 1997). Jenis dan dosis pupuk anjuran pada tanaman ubi kayu dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Jenis dan dosis pemupukan pada tanaman ubi kayu Dosis pemupukan
Saat tanam
A. Dosis Umum 1. N = 60-90 kg N/ha (133-200 kg urea) 2. P = 30-50 kg P2O5/ha (60-100 kg TSP) 3. K = 60-100 kg K2O/ha (120-200 kg KCl)
1/3 dosis N (44-66 kg urea) Seluruh dosis P (60-100 kg TSP) 1/3 dosis K (40-66 kg KCl)
2/3 dosis N (89-134 kg urea) -
1/3 dosis urea (33-83 kg urea) Seluruh dosis P (50-200 kg TSP) (17 kg KCl)
2/3 dosis N (67-167,5 kg urea) -
B. Dosis di Jawa Barat 1. Urea 100-250 kg/ha 2. TSP 50-200 kg/ha 3. KCl 50 kg/ha
Umur 2-3 bulan
2/3 dosis K (80-234 kg KCl)
(33 kg KCl)
Sumber : R Sunaryo D (1978) dan BIP Jawa Barat (1988) di dalam Rukmana (1997)
Pemupukan susulan (kedua) dilakukan pada waktu tanaman ubi kayu berumur 2-3 bulan dengan pupuk N (urea) dan K (KCl), masingmasing 2/3 dosis anjuran. Pemupukan tersebut pada dasarnya dapat disesuaikan dengan kondisi daerah (spesifik lokasi). Untuk meningkatkan produksi ubi kayu yang optimal, disamping pemberian pupuk NPK juga harus diberi pupuk Ca atau dilakukan pengapuran dan pemberian pupuk organik. Dosis efisien untuk pupuk anorganik dan organik tersebut adalah urea 100-200 kg/ha, TSP 50-100 kg/ha, KCl 50-100 kg/ha dan pupuk kandang 3-5 ton/ha (Hafsah, 2003). 2. Perluasan areal tanam (ekstensifikasi) Usaha-usaha perluasan areal tanam ubi kayu dapat dilakukan dengan memanfaatkan lahan kering (tegalan) yang potensial di setiap kecamatan dan memenuhi persyaratan bagi pengembangan budi daya ubi kayu serta belum dimanfaatkan sebelumnya. Dalam usaha perluasan areal
tanam, pengapuran lahan dapat dilakukan untuk mengurangi keasaman tanah yang memiliki pH < 4,0-8,5 sehingga lahan dapat memenuhi karakteristik tanaman ubi kayu. Perluasan areal tanam secara keseluruhan dapat dilakukan sebesar 1% per tahun dari total luas lahan (tegalan) potensial. Melalui upaya tersebut diharapkan produksi ubi kayu mampu memenuhi kebutuhan ubi kayu hingga 10 tahun ke depan. Perluasan areal tanam dapat dilakukan dengan memperhatikan kondisi agroekosistem wilayah, permintaan pasar terhadap produk-produk olahan ubi kayu, dan jaminan harga ubi kayu yang layak. 3. Pengembangan agroindustri Pengembangan
agroindustri
ubi
kayu
dapat
meningkatkan
penyerapan produksi dari petani, mendorong usaha diversifikasi pangan, substitusi komoditas impor seperti terigu, peningkatan nilai tambah, dan membuka peluang ekspor produk ubi kayu, serta perbaikan gizi masyarakat. Pengembangan pada industri skala kecil/pedesaan dapat diarahkan pada pengembangan produk-produk tradisional seperti tape, kerupuk, ceriping, kue-kue tradisional dengan pendidikan dan pelatihan cara pengolahan ubi kayu yang lebih baik untuk meningkatkan mutu, penampilan sehingga pemasarannya menjadi lebih besar. Pengembangan pada industri skala menengah dan besar diarahkan pada pengembangan produk-produk pangan dan non pangan yang belum pernah ada sebelumnya seperti tepung ubi kayu (tepung kasava), gaplek, tepung gaplek, HFS (high fructose syrup), alkohol, dekstrin, dan lain-lain dengan pemanfaatan teknologi canggih. Pada tingkat konsumsi, sasaran pemecahan masalah adalah mengubah citra ubi kayu sebagai makanan konsumen miskin menjadi makanan yang bercitra tinggi. Gizi produk ubi kayu dapat ditingkatkan dengan penambahan tepung yang terbuat dari komoditas pangan lainnya (tepung komposit). Selain itu, nilai gizi olahan ubi kayu dapat pula
ditingkatkan dengan penambahan protein seperti kedelai, ikan, dan sumber protein lainnya. 4. Kelembagaan/kemitraan dan Permodalan Peran Pemerintah Daerah dalam hal ini Dinas Pertanian sangat diperlukan untuk memediasi dan memfasilitasi terbentuknya kelembagaan dan organisasi petani dalam rangka pemberdayaan petani. Hafsah (2003) mengemukakan bahwa kelembagaan petani ubi kayu dapat diarahkan untuk membentuk kelompok tani dan apabila kelompok tani berkembang, kelompok tersebut dapat bergabung dalam Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN) selanjutnya membentuk Koperasi Tani (KOPTAN) atau koperasi Agribisnis. Pemberdayaan organisasi petani tersebut antara lain dilakukan melalui penyuluhan, kursus, pelatihan magang, dan studi banding. Selanjutnya Koperasi Tani atau Asosiasi Petani ubi kayu yang terbentuk diharapkan dapat berperan dalam menjembatani kepentingan petani dengan pihak industri hulu dan hilir, mewujudkan kemitraan usaha, meningkatkan posisi tawar dengan lembaga bisnis lainnya, saling berkomunikasi untuk mendapatkan informasi teknologi, sarana produksi, pembiayaan dan pemasaran, dan lain-lain. Terciptanya kelembagaan/asosiasi petani yang kokoh dan kompak selanjutnya menjadi modal dalam membina hubungan kemitraan antara petani/kelompok tani dengan industri pengolahan ubi kayu (pengrajin, pabrik
pengolahan
tepung
tapioka,
dan
lain-lain)
yang
saling
menguntungkan. Model kemitraan antara petani ubi kayu yang tergabung dalam wadah kelompok tani/koperasi yang sudah kokoh dengan perusahaan/pihak agroindustri dapat dilihat pada Gambar 38. Pada model kemitraan ini petani bertanggung jawab dalam kegiatan usaha tani meliputi penyediaan lahan, tenaga kerja, penerapan teknologi budidaya yang dianjurkan, dan menjual hasil produksi ke pihak agroindustri. Sedangkan perusahaan/pihak agroindustri menyediakan bimbingan saprodi, bimbingan teknis, dan membeli ubi kayu yang
dihasilkan petani sesuai dengan harga kesepakatan yang telah ditetapkan bersama. Untuk meningkatkan upaya kemitraan tersebut maka peran pemerintah daerah dan masyarakat ubi kayu sangat diperlukan dalam melakukan pembinaan dan bertindak sebagai fasilitator, mediator, dan regulator untuk menciptakan iklim berusaha yang kondusif (Hafsah, 2003).
Gambar 38. Model kemitraan ubi kayu (Hafsah, 2003) Sementara itu, permodalan merupakan salah satu faktor penting dalam kegiatan produksi ubi kayu maupun perluasan areal tanam. Penumbuhan sumber-sumber modal yang mudah diakses oleh para pelaku ekonomi mutlak diperlukan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan agar modal tersedia dan fleksibel dalam penyalurannya (Hafsah, 2003) adalah : (1) tersedianya kredit yang murah dan mudah bagi petani untuk membeli sarana produksi/peralatan pertanian seperti kredit usaha tani (KUT), kredit usaha kecil (KCK), dan lain-lain; (2) tersedianya kredit yang murah dan mudah untuk membiayai dan investasi bagi industri pengolahan; (3) tersedianya bank khusus yang secara konsisten mendukung permodalan usaha agrobisnis seperti Bank Pertanian, ataupun Bank Agribisnis, Bank Pembangunan Daerah, dan sumber-sumber pembiayaan dari lembaga keuangan lainnya, dengan menyesuaikan pola perkreditannya dengan karakteristik agrobisnis sehingga diharapkan bank tersebut dapat mendukung keberhasilan pengembangan agrobisnis ubi kayu; (4) menumbuhkembangkan kelembagaan dan sumber-sumber permodalan di tingkat masyarakat melalui pengoptimalan sumberdaya dan potensi yang dimiliki.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Model
sistem
dinamis
yang
dikembangkan
telah
dapat
mendeskripsikan kondisi ketersediaan ubi kayu baik sebagai bahan baku industri maupun konsumsi dengan berbagai skenario kebijakan. Hasil simulasi terhadap model yang dikembangkan menunjukkan bahwa jika terjadi pergeseran luas areal tanam ubi kayu secara kontinyu sebesar 2% per tahun dengan tingkat kebutuhan konsumsi dan industri tetap, maka produksi ubi kayu hanya mampu memenuhi kebutuhan ubi kayu hingga tahun 2008. Jika tidak terdapat perubahan kebijakan maka pada tahun 2009 produksi ubi kayu tidak dapat mencukupi kebutuhan ubi kayu sebanyak 4.317,48 ton. Beberapa skenario kebijakan untuk mengatasi masalah ketersediaan ubi kayu antara lain : (1) kebijakan pendayagunaan sumber daya lahan sebesar 1% per tahun yang mampu memenuhi kebutuhan ubi kayu hingga 10 tahun ke depan, (2) kebijakan peningkatan produktivitas rata-rata ubi kayu melalui upaya intensifikasi sebesar 19 ton/ha yang hanya mampu memenuhi kebutuhan ubi kayu hingga tahun 2011, (3) kebijakan pendayagunaan sumber daya lahan disertai dengan peningkatan produktivitas rata-rata ubi kayu masing-masing sebesar 0,5% per tahun dan 19 ton/ha yang juga mampu memenuhi kebutuhan ubi kayu hingga 10 tahun ke depan. Pengembangan skenario dilakukan terhadap perubahan tingkat konsumsi ubi kayu menjadi 0,009 ton/kapita/tahun dan peningkatan kebutuhan rata-rata ubi kayu (industri tapioka) menjadi 2,5 ton/unit/hari menyebabkan kebutuhan total ubi kayu pun meningkat. Upaya yang dapat diambil untuk mengatasi perubahan kebutuhan tersebut adalah dengan pendayagunaan sumber daya lahan dan peningkatan produktivitas masing-masing sebesar 1% per tahun dan 19 ton/ha. Upaya ini juga mampu memenuhi kebutuhan ubi kayu selama 10 tahun ke depan. Secara umum kebijakan yang paling efektif dalam menanggapi permasalahan ketersediaan ubi kayu adalah melalui upaya perluasan areal
tanam ubi kayu sebesar 0,5% per tahun disertai dengan upaya peningkatan produktivitas rata-rata (intensifikasi) sebesar 19 ton/ha. B. SARAN Pengembangan model dapat dilakukan dengan memasukkan aspekaspek finansial untuk mengetahui pengaruh harga ubi kayu dan harga input produksi (sarana produksi) terhadap jumlah penggunaan ubi kayu bagi industri dan konsumsi dengan mengidentifikasi variabel-variabel secara lebih detail dalam model sistem dinamis. Untuk verifikasi dan validasi model diperlukan data yang lebih lengkap sehingga diperoleh model yang dapat mendekati sistem nyata. Pengkajian lebih lanjut dapat dilakukan untuk studi kasus wilayah kecamatan sentra produksi ubi kayu sebagai bagian dari rencana pengembangan wilayah agrobisnis ubi kayu. Disamping itu, pengkajian sistem dinamis pada ruang lingkup/wilayah yang lebih spesifik akan memudahkan dalam identifikasi variabel-variabel yang lebih lengkap. Dalam kaitannya dengan penyediaan ubi kayu perlu memperhitungkan pasokan ubi kayu dari luar wilayah Kabupaten Bogor dan ekspor ubi kayu ke luar wilayah Kabupaten Bogor.
DAFTAR PUSTAKA
Asyiawati, Y. 2002. Pendekatan Sistem Dinamik dalam Penataan Ruang Wilayah Pesisir (Studi Kasus Wilayah Pesisir Kabupaten Bantul, Propinsi DIY). Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Badan Pusat Statistik. 2003. Statistika Indonesia. BPS, Jakarta. Badan
Pusat Statistik. 2003. Kabupaten Bogor.
Kabupaten
Bogor
Dalam
Angka.
BPS,
Badan Pusat Statistik. 2003. Konsumsi Rata-rata per Kapita Menurut Jenis Pengeluaran dan Golongan Pengeluaran per Kapita Sebulan, Jawa Barat 2002. Survei Sosial Ekonomi Nasional. BPS, Kabupaten Bogor. Badan Pusat Statistik. 2004. Statistika Indonesia. BPS, Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2004. Perkembangan Ekonomi dan Keuangan Kabupaten Bogor Semester I 2004. BPS, Kabupaten Bogor Kerjasama dengan BAPEDA Kabupaten Bogor. Bank Indonesia. 2004. Sistem Informasi Komoditas Berbasis Ekspor (SIABE): Komoditi Ubi Kayu. http:// www.bi.go.id [3 Februari 2005]. Chase, R.B dan N.J. Aquilano. 1991. Production and Operations Management; A Life Cycle Approach 6th Edition. Irwin, Boston. Coyle, R.G. 1996. System Dynamics Modelling, A Practical Approach. Chapman & Hall, United Kingdom. Daalen, V. dan W.A.H. Thissen. 2001. Dynamics Systems Modelling Continuous Models. Faculteit Techniek, Bestuur en Management (TBM). Technische Universiteit Delft. Darjanto dan Moerjati. 1980. Khasiat, Racun, dan Masakan Ketela Pohon. Yayasan Dewi Sri, Bogor. Dinas Pertanian. 2004. Laporan Tahunan. Pemerintah Kabupaten Bogor, Bogor. Djafar, T.F. dan S. Rahayu. 2003. Ubi Kayu dan Olahannya. Penerbit Kanisisus, Yogyakarta. Eriyatno. 1998. Ilmu Sistem, Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen. IPB Press, Bogor.
Forrester, J.W. 1999. System Dynamics : The foundation Under System Thinking. Sloan School of Management MIT. Cambridge, MA 02139. ftp://sysdyn.mit.edu/ftp/sdep/papers/D-4828.html [30 Januari 2005]. Furlong, N.E., E.A. Lovelace, dan K.L. Lovelace. 2000. Researh Methods and Statistics, An Integrated Approach. Harcourt College Publisher, New York. Hermanto, M.O. Adnyana, dan A. Mussadad. 1993. Prospek Pengembangan Agroindustri Tepung Kasava. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hafsah, M.J. 2003. Bisnis Ubi Kayu Indonesia. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Law, A.M. dan W.D. Kelton. 1982. Simulation, Modelling and Analysis. McGrawHill. New York. Mahmud, Staf Sub Dinas Bina Usaha Tani, Dinas Pertanian Kabupaten Bogor. Komunikasi Pribadi [April 2005]. Margono, T., D. Suryati, dan S. Hartinah. 1993. Buku Panduan Teknologi Pangan : Peuyeum. Pusat Informasi Wanita dalam Pembangunan PDIILIPI bekerjasama dengan Swiss Development Cooperation http://www.ristek.go.id [14 November 2005]. Muhammadi, E. Aminullah, dan B. Soesilo. 2001. Analisis Sistem Dinamis Lingkungan Hidup, Sosial, Ekonomi, dan Manajemen. UMJ Press, Jakarta. Noorsaman S., A. dan A. Wahid. 1998. Pemodelan industri minyak bumi dan gas alam Indonesia dengan pendekatan sistem dinamik. Jurnal Teknologi Edisi No.1/Tahun XII/Maret/1998:27-29. Nurmalawati, D. 2001. Pengembangan Agroindustri Terpadu dan Komoditas Unggulan Berbasis Ubi Kayu (Studi Kasus di Kabupaten Bogor). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nuroniah, N.S. 2003. Penjadwalan Produksi dengan Pendekatan Metode Dinamik (Studi Kasus di PT. Goodyear Indonesia, Tbk.). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Purnomo, H. 2003. Analisis Sistem. Pemodelan Sistem. Bahan Kuliah. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Radzicki, M.J. 1994. Powersim, The Complete Software Tool For Dynamic Simulation. User’s Guide and Reference. Model Data As, Norway. Richardson, G.P. and A.L. Pugh. 1986. Introduction to System Dynamics Modelling with Dynamo. The MIT Press, Cambridge, Massachussete, and London, England.
Rukmana, R.H. 1997. Ubi Kayu, Budidaya dan Pasca Panen. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Rusli, S. 1994. Pengantar Ilmu Kependudukan. PT. Pustaka LP3ES Indonesia. Shintasari, I. 1988. Dinamika Persediaan Daging Sapi : Suatu Model Dinamik Untuk DKI Jakarta. Skripsi. Jurusan Teknologi Industri Pertanian. Fateta IPB, Bogor. Simatupang, T.M. 2000. Pemodelan Sistem. Penerbit Nindika, Klaten. Sterman, J.D. 2004. Business Dynamics System Thinking and Modelling for a Complex World. Mc Graw Hill, New York Subagyo, P., A. Marwan dan T.H. Handoko. 1989. Dasar-Dasar Operation Research. BPFE-UGM, Yogyakarta. Sudiana, G., Ka.Si Perlindungan Tanaman, Dinas Pertanian Kabupaten Bogor. Komunikasi Pribadi [April 2005]. Tasrif, M. 2004. Model Simulasi Untuk Analisis Kebijakan : Pendekatan Metodologi System Dynamics. Kelompok Peneliti dan Pengembangan Energi. Institut Teknologi Bandung. Walpole, R.E. 1995. Pengantar Statistika. Edisi Ke-3. Terjemahan. Penerbit PT Gramedia Pustaka Umum, Jakarta. Waskito, A.B. 2005. Pemodelan Ekonometrik dan Dinamika Sistem Daya Saing Ekspor Komoditas Agroindustri Karet Alam Indonesia. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Watson, H.J. and J.H. Blackstone, Jr. 1989. Computer Simulation. John Wiley and Sons Inc., Singapore. Widayani, K. 1999. Analisis Perencanaan Kebijakan Pengembangan Produksi Buah-buahan di Indonesia dengan Pendekatan Sistem Dinamik (Studi Kasus Pengembangan Produksi mangga di Jawa Barat). Tesis. Fakultas Pascasarjana. Institut Teknologi Bandung, Bandung. --------------------. 2005. Powersim Studio Professional 2005 : User’s Guide. Powersim Software AS, Copyright ©1993-2005. --------------------. 2000. Tepung Tapioka. Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. http://www.pdii.lipi.go.id [31 Maret 2005].
--------------------. 2001. Teknologi Tepat Guna Agroindustri Kecil Sumatera Barat : Keripik Renyah Ubi Kayu. Dewan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Industri Sumatera Barat. http://www.ristek.go.id [14 November 2005].
Lampiran 1. Sketsa wilayah Kabupaten Bogor
Sumber : BAPEDA, Kabupaten Bogor (2000)
Lampiran 2. Luas panen, produktivitas, produksi ubi kayu Kabupaten Bogor tahun 1999-2004
Kecamatan
Luas panen (ha)
1999 Produktivitas (ku/ha)
Produksi (ton)
Luas panen (ha)
1. Tenjo 588 157 9.219 522 2. Parung . 766 158 12.128 574 Panjang 3. Jasinga 968 149 14.441 668 4. Cigudeg 193 164 3.181 106 5. Nanggung 179 158 2.816 123 6. Rumpin 263 155 4.087 778 7. Leuwiliang 475 169 8.004 557 8. Cibungbulang 466 175 8.142 417 9. Pamijahan 330 174 5.748 283 10. Ciampea 1.454 175 25.422 580 11. Gunung 126 156 1.966 101 Sindur 12. Parung 232 165 3.840 327 13. Bojonggede 197 165 3.247 224 14. Kemang 451 161 7.250 197 15. Dramaga 107 170 1.821 101 16. Ciomas 119 168 1.991 126 17. Cijeruk 264 165 4.353 179 18. Caringin 158 158 2.510 123 19. Megamendung 230 166 3.814 207 20. Ciawi 93 162 1.511 120 21. Cisarua 48 166 803 66 22. Sukaraja 1.031 172 17.765 2.252 23. Citeureup 1.099 153 16.757 283 24. Babakan Madang 0 0 0 471 25. Cibinong 427 162 6.934 405 26. Gunung Putri 215 162 3.489 211 27. Cileungsi 290 157 4.556 203 28. Jonggol 377 159 5.995 225 29. Sukamakmur 0 0 0 0 30. Cariu 133 155 2.062 167 31. Cimanggis 55 153 839 0 32. Sawangan 179 164 2.924 0 33. Limo 12 148 181 0 34. Pancoranmas 7 146 96 0 35. Beji 8 49 127 0 36. Sukmajaya 22 153 331 0 Kab. Bogor 11.561 163 188.352 10.737 Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Bogor (1999-2004)
2000 Produktivitas (ku/ha)
Luas panen (ha)
2001 Produktivitas (ku/ha)
Produksi (ton)
Produksi (ton)
165
8.602
154
184,74
2.845
164
9.411
453
178,21
8.073
158 170 165 165 173
10.565 1.807 2.039 12.865 9.604
248 184 142 727 608
170 184,35 171,62 171,27 180,28
4.216 3.392 2.437 12.451 10.961
176 179 180
7.348 5.051 10.432
476 109 594
183,47 190,18 186,89
8.733 2.073 11.101
168
1.694
102
172,84
1.763
172 178 169 175 172 169 166
5.641 3.976 3.328 1.772 2.178 3.013 2.038
916 154 235 64 118 174 104
181,92 190,78 180,6 188,59 186,1 179,83 180,38
16.664 2.938 4.244 1.207 2.196 3.129 1.876
169 167 174 178 167
3.494 1.997 1.149 40.139 4.723
291 59 96 2.907 476
181,13 181,19 184,38 188,74 182,04
5.271 1.069 1.770 54.866 8.665
163 169
7.660 6.845
296 453
171,93 175,76
5.089 7.962
164 165 161
3.462 3.346 3.630
95 192 213
178,53 178,85 166,57
1.696 3.434 3.548
0 155 0 0 0
0 2.586 0 0 0
240 180 0 0 0
168,17 170,17 0 0 0
4.036 3.063 0 0 0
0 0 0 168.77
0 0 0 182.766
0 0 0 11.060
0 0 0 179,65
0 0 0 200.768
Lampiran 2. (Lanjutan)
Kecamatan
Luas panen (ha)
2002 Produktivitas (ku/ha)
Produksi (ton)
Luas panen (ha)
1. Tenjo 292 167,05 4.878 161 2. Parung Panjang 597 164,94 9.847 386 3. Jasinga 483 158,14 7.638 182 4. Cigudeg 185 170,38 3.152 151 5. Sukajaya 118 168,56 1.989 167 6. Nanggung 122 167,79 2.047 76 7. Rumpin 312 175,48 5.475 155 8. Leuwiliang 441 170,09 7.501 454 9. Cibungbulang 547 179,32 9.809 440 10. Pamijahan 67 164,03 1.099 21 11. Ciampea 574 175,64 10.082 827 12. 12. Gunung Sindur 239 164,90 3.941 512 13. Parung 309 177,48 5.484 163 14. Ciseeng 291 175,70 5.113 226 15. Bojonggede 192 184,84 3.549 290 16. Kemang 121 169,29 2.048 261 17.Rancabungur 95 168,53 1.601 190 18. Dramaga 123 176,75 2.174 141 19. Ciomas 37 176,76 654 76 20. Tamansari 95 179,26 1.703 208 21. Cijeruk 155 175,42 2.719 175 22. Caringin 88 164,43 1.447 186 23. Megamendung 89 174,04 1.549 54 24. Ciawi 75 168,80 1.266 232 25. Cisarua 107 175,33 1.876 64 26. Sukaraja 1.711 185,25 31.696 1.456 27. Citeureup 365 165,73 6.049 652 28. 28. Babakan Madang 527 168,58 8.884 716 29. Cibinong 593 175,50 10.407 598 30. GunungPutri 92 165,76 1.525 115 31. Cileungsi 79 171,14 1.352 67 32.Klapanunggal 104 172,12 1.790 5 33. Jonggol 151 165,43 2.498 49 34. Sukamakmur 472 165,36 7.805 356 35. Cariu 269 162,71 4.377 235 Kab. Bogor 10.117 171,16 175.024 10.047 Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Bogor (1999-2004)
2003 Produktivitas (ku/ha)
Produksi (ton)
2004 Produktivitas (ku/ha)
Produksi (ton)
182
2.924
220
162
3.556
181 174 187 183 180 185 183
6.971 3.137 2.827 3.053 1.371 2.872 8.330
367 286 181 356 155 74 540
158 157 164 161 162 163 161
5.787 4.491 2.966 5.722 2.516 1.206 8.691
189 185 192
8.337 389 15.899
180 84 1.532
168 155 168
3.028 1.306 25.777
187 192 192 194 189 187 193 193 194 192 187
9.565 3.134 4.334 5.615 4.930 3.568 2.717 1.463 4.035 3.366 3.469
284 213 330 113 289 174 69 49 198 190 247
165 169 169 168 164 164 168 172 172 167 162
4.689 3.607 5.561 1.896 4.737 2.845 1.161 843 3.397 3.180 3.990
188 191 192 193 182
1.015 4.438 1.228 28.784 11.885
286 82 20 2.463 413
167 163 171 174 159
4.765 1.333 341 42.861 6.582
184 193
13.247 11.520
548 733
162 169
8.881 12.417
189 188 194 183 185 190 187,8
2.171 1.257 97 896 6.569 4.459 189.888
101 93 17 111 454 98 11.550
163 165 166 159 163 161 164,6
1.650 1.537 282 1.767 7.409 1.580 192.357
Luas panen (ha)
Lampiran 3. Tingkat konsumsi ubi kayu (kg setara ubi segar/kapita/minggu) menurut kelas pengeluaran Jawa Barat Perkotaan+Pedesaan Kelas pengeluaran (Rp/kapita/bulan) Jenis Makanan Ubi kayu/singkong (kg) Gaplek (kg) Tepung gaplek (tiwul) (kg) Tepung ubi kayu (kg)
<40.000 40.000- 60.000- 80.000- 100.000- 150.000- 200.000 300.000- 500.000+ 59.999 79.999 99.999 149.999 199.999 299.999 499.999 -
0,208 -
0,150 0,001
0,131 0,001
0,154 0,000 0,000 0,001
0,148 0,001 0,000 0,001
Keterangan : - 1 kg gaplek setara dengan 2,86 kg ubi segar (konversi gaplek 35 %) - 1 kg tepung gaplek setara dengan 3,33 kg ubi segar (konversi tepung gaplek 30 %) - 1 kg tepung ubi kayu setara dengan 4 kg ubi segar (konversi tepung ubi kayu 25 %) Sumber : Diolah dari Data Susenas (2003)
0,133 0,001 0,000 0,001
0,105 0,002 0,001
0,079 0,003 0,001
Rata-rata /kapita 0,138 0,001 0,000 0,001
Lampiran 4. Keadaan umum usaha kecil (pengrajin) tapioka yang disurvei di Kabupaten Bogor No 1.
2.
3.
4.
Aspek Bahan Baku a. Jumlah - Maksimum - Minimum - Rata-rata b. Harga c. Asal
Produk a. Rendemen - Tapioka/aci - Onggok b. Pemasaran - Pedagang - Pabrik c. Harga Jual - Tapioka/aci - Onggok a. Jumlah Hari Kerja - Per Minggu - Per Tahun b. Jumlah Karyawan c. Upah/hari Permasalahan yang dihadapi
1
2
3
4
5
6
7
8
3 ton/hari 1,5 ton/hari 2 ton/hari Rp 370,-/kg Pelabuhan Ratu, Cianjur
5 ton/hari 3 ton/hari 4 ton/hari Rp 600/kg Sukabumi, Gadog
5 ton/hari 2,5 ton/hari 4,5 ton/hari Rp 600/kg Citeureup, Bogor; Sukabumi; Tasikmalaya
5 ton/hari 1 ton/hari 1 ton/hari Rp 450/kg Citeureup, Bogor; Sukabumi
4 ton/hari Rp 500/kg Citeureup, Bogor; Sukabumi
3 ton/hari Citeureup, Bogor; Sukabumi
6 ton/hari 4 ton/hari 5 ton/hari Rp 500/kg BabakanMadang, Bogor; Sukabumi
5 ton/hari 4 ton/hari 5 ton/hari Rp 500,-/kg Citeureup, Bogor; Sukabumi
20 % -
30 % -
26,67 % 8%
30 % 6%
26,67 % 13,69 %
28,57 % 2,86 %
20 % 10 %
20 % 5%
Kp. Misbar -
Ciluar
Ciluar
Ciluar
Ciluar
Ciluar
Ciluar
Ciluar
Rp2.400,-/kg
Rp2.500,-/kg Rp 500,-/kg
Rp2.500,-/kg Rp 600,-/kg
Rp2.000,-/kg Rp 500,-/kg
Rp 2.600,-/kg Rp 650,-/kg
Rp 2.500,-/kg Rp 500,-/kg
Rp 2.500,-/kg Rp 500,-/kg
Rp 2.500,-/kg Rp 450,-/kg
6 300 3 Rp 15.000,Kekurangan bahan baku
7 300 6 Rp 17.000,Musim hujan
7 300 7 Rp 17.500,Musim hujan
6 300 5 Rp 15.000,Musim hujan
7 300 6 Rp 17.500,Musim hujan
6 300 7
6 300 5 Rp 16.000,Musim hujan
6 300 5 Rp 15.000,Harga bahan baku mahal
Kekurangan bahan baku
Lampiran 4. (Lanjutan) No 1.
2.
3.
4.
Aspek Bahan Baku a. Jumlah - Maksimum - Minimum - Rata-rata b. Harga c. Asal
Produk a. Rendemen - Tapioka/aci - Onggok b. Pemasaran - Pedagang - Pabrik c. Harga Jual - Tapioka/aci - Onggok a. Jumlah Hari Kerja - Per Minggu - Per Tahun b. Jumlah Karyawan c. Upah/hari Permasalahan yang dihadapi
9 2 ton/hari Rp 500/kg Jampang, Sukabumi
10 1,5 ton/hari Rp 400/kg Citeureup, Bogor; Cianjur
11
12
13
14
15
16
3 ton/hari 1 ton/hari 2,1 ton/hari Rp 450/kg Citeureup, Bogor; Sukabumi
1 ton/hari Rp 600/kg Sukaraja, Bogor
1,5 ton/hari
4 ton/hari Rp 500/kg Babakan Madang, Bogor
1,5-2 ton/hari Rp 600,-/kg Babakan Madang, Bogor
1,5 ton/hari Rp 600/kg Babakan Madang, Bogor
Sukaraja, Bogor
25 % 5%
33,33 % 10 %
22,5 % 5%
25 % 4%
30 % 6,67 %
30 % 10 %
30 % 7%
30 % 7%
Ciluar
Ciluar
Ciluar
Ciluar
Ciluar
Ciluar
Koperasi,
Ciluar
Rp 2.250,-/kg Rp 400,-/kg
Rp 2.500,-/kg Rp 600,-/kg
Rp2.600,-/kg Rp 700,-/kg
Rp 2.600,-/kg Rp 600,-/kg
Rp 2.800,-/kg Rp 700,-/kg
Rp 2.700,-/kg Rp 500,-/kg
Rp 2.700,-/kg Rp 675,-/kg
Rp 2.700,-/kg Rp 650,-/kg
8 300 6 Rp 20.000,-
6 300 7 Rp 17.500,-
7 300 5-6 Rp 20.000,-
6 300 6 Rp 16.000,-
6 300 5 Rp 20.000,-
6 300 10 Rp 20.000,-
6 300 10 Rp 20.000,-
6 300 6
Kekurangan bahan baku
Kekurangan bahan baku
Musim hujan
Bahan baku susah didapat
Kekurangan bahan baku
Musim hujan
Harga bahan baku
Rp 17.000,Kekurangan bahan baku
Lampiran 4. (Lanjutan) No 1.
2.
3.
4.
Aspek Bahan Baku a. Jumlah - Maksimum - Minimum - Rata-rata b. Harga c. Asal
Produk a. Rendemen - Tapioka/Aci - Onggok b. Pemasaran - Pedagang - Pabrik c. Harga Jual - Tapioka/Aci - Onggok a. Jumlah Hari Kerja - Per Minggu - Per Tahun b. Jumlah Karyawan c. Upah/hari Permasalahan yang dihadapi
17
18
19
20
21
22
23
24
3-4 ton/hari Rp 650/kg BabakanMadang, Bogor
3-4 ton/hari Rp 600/kg BabakanMadang, Bogor
1,5 ton/hari Rp 600/kg BabakanMadang, Bogor
4 ton/hari 1,5 ton/hari 2 ton/hari Rp 600/kg BabakanMadang, Bogor
1.5 ton/hari Rp 650/kg BabakanMadang, Bogor
2 ton/hari Rp 500,-/kg BabakanMadang, Bogor
1 ton/hari Rp 600/kg BabakanMadang, Bogor
1 ton/hari Rp 500/kg BabakanMadang, Bogor
30 % 10 %
30 % 10 %
30 % 10 %
30 % 8%
30 % 6%
30 % 5%
28 % 5%
30 % 3%
Ciluar
Ciluar
Ciluar
Ciluar
Ciluar
Ciluar
Ciluar
Ciluar
Rp 2.800,-/kg Rp 650,-/kg
Rp 2.800,-/kg Rp 650,-/kg
Rp2.750,-/kg Rp 600,-/kg
Rp 2.500,-/kg Rp 600,-/kg
Rp 2.600,-/kg Rp 500,-/kg
Rp 2.600,-/kg Rp 750,-/kg
Rp 2.500,-/kg Rp 500,-/kg
Rp 2.600,-/kg Rp 650,-/kg
6 300 10-20 Rp 15.000,Musim hujan
6 300 10-15 Rp 15.000,Musim hujan
7 300 6 Rp 17.500,Musim hujan
6 300 7 Rp 15.000,Kekurangan bahan baku
6 300 5 Rp 16.000,Musim hujan
6 300 2 Rp 15.000,Harga bahan baku mahal, musim hujan
4 210 4-5 Rp 15.000,Harga bahan baku
4 210 2 Rp 15.00,Musim hujan
Lampiran 4. (Lanjutan) No 1.
2.
3.
4.
Aspek Bahan Baku a. Jumlah - Maksimum - Minimum - Rata-rata b. Harga c. Asal
Produk a. Rendemen - Tapioka/aci - Onggok b. Pemasaran - Pedagang - Pabrik c. Harga Jual - Tapioka/Aci - Onggok a. Jumlah Hari Kerja - Per Minggu - Per Tahun b. Jumlah Karyawan c. Upah/hari Permasalahan yang dihadapi
25
26
27
28
29
30
2 ton/hari Rp 450/kg BabakanMadang, Bogor
2 ton/hari Rp 560/kg BabakanMadang, Bogor
1,5-2 ton/hari Rp 500/kg BabakanMadang, Bogor
1 ton/hari Rp 500/kg BabakanMadang, Bogor
1,5-2 ton/hari Rp 500/kg BabakanMadang, Bogor
2 ton/hari Rp 350/kg Bogor, Cianjur
28 % 5%
30 % 5%
30 % 5%
28 % 8%
28 % 8%
20 % 6%
Ciluar
Ciluar
Ciluar
Ciluar
Ciluar
Ciluar
Rp 2.600,-/kg Rp 600,-/kg
Rp 2.700,-/kg Rp 600,-/kg
Rp2.700,-/kg Rp 600,-/kg
Rp 2.700,-/kg Rp 500,-/kg
Rp 2.700,-/kg Rp 500,-/kg
Rp 2.500,-/kg Rp 500,-/kg
6 300 5 Rp 17.000,Musim hujan
6 300 4 Rp 20.000,Bahan baku susah didapat
6 300 5 Rp 18.000,Kekurangan bahan baku
6 300 4 Rp 17.000,Musim hujan
6 300 4 Rp 17.000,Musim hujan
5 300 5 Rp17.500,Kekurangan bahan baku
Lampiran 5. Daftar industri kecil/home industry pangan berbasis ubi kayu di Kabupaten Bogor No
Nama Pemilik/Usaha
1.
Andi Sofyan
2.
H. Janim
3
Emad
4
Ahmad Yani
5
Dasim
6
Rosidi
7
Udin
Alamat
Bahan Baku
Hasil Olahan
Kapasitas Produksi/bln
Jumlah Bahan Baku/bln**)
Jumlah Tenaga Kerja
Pemasaran
Ds.Gunung Malang, Ciampea Ds. Cibinong, Gunung Sindur Ds.Curug, Gunung Sindur
Singkong
Keripik
200 kg
0.67 – 0.8 ton
8 orang
Lokal Bogor
Singkong
Tape
1 kw/hari
10 orang
Singkong
Tape
2 kw/hari
0.143 – 0.167 ton/minggu 0.286 – 0.333 ton/minggu
4 orang
Ps.Ciputat, Tanggerang Tanggerang
Pisang, Singkong
Keripik
20 kg/minggu
0.133 – 0.160 ton
2 orang
Ds.Sirnajaya
Pisang, Singkong Pisang, Singkong Talas Ubi Jalar Pisang Singkong Talas Ubi Jalar
Keripik
25 kg/minggu
0.167 – 0.200 ton
2 orang
Keripik
9 ton
7.5 – 9 ton
20 orang
Sirnajaya,Wargajaya, Sukamulya Jakarta,Banten, Tanggerang, Bogor
Keripik
9 ton
7.5 – 9 ton
20 orang
Kp.Tegalega, Sukamakmur Kp.Tegalega,Su kamakmur Ds.Pasir Jambu, Sukaraja
Ds.Pasir Jambu, Sukaraja
Jakarta, Banten, Tanggerang, Bogor
Lampiran 5. (Lanjutan) No
Nama Pemilik/Usaha
Alamat
Bahan Baku
Hasil Olahan
Kapasitas Produksi/bln
Jumlah Bahan Baku/Bln**)
Jumlah Tenaga Kerja
Pemasaran
8
H.Abdul Hamid Kp.Kaca Singkong Pandak, Rt 01/3 Cibanon,Sukaraja
Keripik
0.5 ton/ minggu
6.67 – 8 ton
10 orang
Pasar Ciluar
9
Usman
Parung Panjang
Singkong
Keripik
1 ton
3.33 – 4 ton
3 orang
10
Aneka Keripik, Karya Mekar
Kp.Cengal Rt 01/05 Kracak
Singkong Pisang
Keripik
200 kg 160 kg
0.667 – 0.8 ton
5 orang
Parung Panjang, Ds.Kabasiron Leuwiliang
11
Oom
Sukajadi, Tamansari
Singkong
Keripik
20 kg/hari
3 orang
Tamansari
12
Titing
200 kg
4 orang
Bogor
Iyum
Keripik
150 kg
0.5 – 0.6 ton
4 orang
Tamansari
14
Aa Suhandi
Pisang, Singkong Pisang, Singkong Singkong
Keripik
13
Sukaresmi, Tamansari Sukaresmi, Tamansari Sukajadi, Tamansari
1.333 – 1.6 ton (20 hr produksi) 0.667 – 0.8 ton
Tape
500 kg
0.714 – 0.833 ton
3 orang
Bogor
15
Sukamaju
Cibituk udik, Ciseeng
Singkong
Keripik
200 kg
0.667 – 0.8 ton
3 orang
Parung, Ciseeng
16
Bina Usaha
Ds.Cogred, Kec.Parung
Singkong
Keripik
50 kg/hari
3.333 – 4 ton (20 hr produksi)
25 orang
Ciseeng, Parung, Ciampea
Lampiran 5. (Lanjutan) No
18 19
Nama Pemilik/Usaha Nani Sari/ Delima Teratai Putih Mandiri
20
Wiwit
Ds.Petir, Dramaga
21
Kel Tani SumberSari
22
Dadang
Ds.Pagelaran Kec.Ciomas Ds.Gn.Bunder I, Pamijahan
23
Marno
Ds.Gn.Bunder I, Pamijahan
Ubi Kayu
Keripik
100 kg/ minggu
1.33 – 1.6 ton
5 orang
Ps.Lokal Leuwiliang
24
Indah Karya
Cibeuteung Udik, Ciseeng
Singkong
Tape
200 kg
0.286 – 0.333 ton/minggu
5 orang
25
Harapan
Cihowe, Ciseeng
3.33 – 4 ton
4 orang
Itoh Masitoh
Ds.Cibatok II
Keripik Rengginan Keripik
2 ton
26
Singkong Beras Ketan Singkong
Ciputat, Pasar Minggu Parung, Ciseeng
160 kg/ minggu
2.13 – 2.56 ton
5 orang
Lokal, Leuwiliang
17
Alamat
Hasil Olahan Keripik
Kapasitas Produksi/bln 0.1 ton
Jumlah Bahan Baku/Bln**) 0.333 – 0.4 ton
Jumlah Tenaga Kerja 2 orang
Pemasaran
Semplak Barat
Bahan Baku Singkong
Kemang Kemang
Singkong Singkong
Keripik Keripik
0.1 ton 0.1 ton
0.333 – 0.4 ton 0.333 – 0.4 ton
10 orang 10 orang
Bogor Bogor
Singkong Pisang Singkong
Keripik
100 kg
0.143 – 0.167 ton
4 orang
Dramaga, Bogor
Keripik
200 kg
0.667 – 0.8 ton
4 orang
Bogor,Jakarta, Sukabumi
Ubi Kayu
Keripik
3 kg/hari
0.200 – 0.240 ton (20 hr produksi)
3 orang
Ps.Lokal Leuwiliang
Bogor
Lampiran 5. (Lanjutan) No 27
Nama Pemilik/Usaha Dudung
28
Alamat Gn.Picung
Bahan Baku Singkong
Hasil Olahan Keripik
Marno
Gn.Bunder I
Singkong
Keripik
Kapasitas Produksi 100 kg/ minggu 200 kg/hari
29
Elih
Ciasihan
Keripik
300 kg/hari
30
Rineka Rasa *)
Keripik
1 kw/hari
31
Sumber Sari*)
Kp.Muara Suadiri Rt. 03/04, Ds. Ciburuy, Kec. Cijeruk Jl. Sukamaju No.1 Rt. 01/01, Ds. Pagelaran, Kec. Ciomas
Singkong Pisang Pisang Talas Singkong Ubi jalar
Keripik
30-35 kg/hari
Pisang Singkong
Sumber : Dinas Pertanian (2004) dan *) dan Hasil wawancara Ningsih (2004) Keterangan : **) Jumlah bahan baku ubi kayu/bulan dari hasil konversi : 1. Keripik singkong = 25 – 30 % X jumlah produk setiap kali produksi 2. Tape = 60 – 70 % X jumlah produk setiap kali produksi
Jumlah Bahan Baku/Bln**) 1.33 – 1.6 ton
Jumlah Tenaga Kerja 3 orang
Lokal, Leuwiliang
13.333 – 16 ton (20 hr produksi) 20 – 24 ton (20 hr produksi) 6.667 – 8 ton (20 hr produksi)
5 orang
Lokal, Leuwiliang
6 orang
Leuwiliang, Pasar Bogor Bogor, Sukabumi, Bekasi
2.1 – 2.8 ton (90 – 120 kg singkong tiap Produksi)
8 orang
4 orang
Pemasaran
Bogor,Bekasi, Karawang
Lampiran 6. Formulasi model Cassava.Sim pada perangkat lunak Powersim
Lampiran 7. Uji distribusi data produktivitas ubi kayu Kabupaten Bogor tahun 1999-2004 One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
N Normal Parameters(a,b) Most Extreme Differences
Mean Std. Deviation Absolute Positive Negative
Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) a Test distribution is Normal. b Calculated from data.
VAR0000 4 199 172.07 11.176 .095 .095 -.050 1.347 .053
Lampiran 8. Kesesuaian lahan bagi tanaman ubi kayu di Kabupaten Bogor Nama Daerah Nanggoeng Leuwiliang Cibungbulang Pamijahan Ciampea Ciomas Dramaga Cijeruk Caringin
Luas Lahan (ha) 517 2460 222 1.008 715 539 27 1.527 1.519
Ciawi Cisarua Megamendung Cariu Jonggol Citeureup Cileungsi Gunung Putri Cibinong Sukaraja Kemang Bojonggede Parung Gunung Sindur Rumpin Cigudeg Jasinga Parung panjang Tenjo Jumlah Lahan sesuai
604 1.597 2.519 5.408 6.527 2.207 3.541 1.064 1.299 1.342 716 1.745 1.149 1.153 1.336 9.189 8.463 756 1.061 57.164
Kesesuaian Sesuai dengan penambahan kapur pada lahan Sesuai dengan penambahan kapur pada lahan Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai dengan penambahan kapur pada lahan Sesuai dengan penambahan kapur pada lahan Tidak sesuai, kemiringan lahan terlalu besar Tidak sesuai, suhu terlalu rendah dan kemiringan lahan terlalu besar Sesuai Sesuai Sesuai dengan penambahan kapur pada lahan Sesuai dengan penambahan kapur pada lahan Sesuai Sesuai Sesuai dengan penambahan kapur pada lahan Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai dengan penambahan kapur pada lahan Sesuai dengan penambahan kapur pada lahan Sesuai dengan penambahan kapur pada lahan Sesuai dengan penambahan kapur pada lahan Sesuai dengan penambahan kapur pada lahan Sesuai dengan penambahan kapur pada lahan Sesuai dengan penambahan kapur pada lahan Sesuai dengan penambahan kapur pada lahan Sesuai dengan penambahan kapur pada lahan
Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Bogor (2000) di dalam Nurmalawati (2001)
Lampiran 9. Hasil perhitungan rate pertumbuhan penduduk Kabupaten Bogor tahun 1999-2004 Tahun 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Keadaan penduduk per 1 Januari 3.170.400 3.340.151 3.408.810
Keadaan penduduk per 1 Juli 2.947.872 3.071.708 3.144.453 3.184.165 3.354.653 3.423.610
Jumlah Jumlah kelahiran kematian 27.566 26.642 24.006 17.868 16.470 16.884
8.171 8.990 8.741 5.531 6.733 6.787
Migran masuk
Migran keluar
Total penduduk
31.077 54.207 36.930 84.656 23.570 23.227
11.512 15.707 8.507 17.612 5.680 5.051
3.004.444 3.100.154 3.170.400 3.249.781 3.408.810 3.437.083 rata-rata
Rate pertumbuhan Penduduk/tahun (%) 2,98 3,19 2,27 2,50 4,89 0,83 2,78
Sumber : BPS, Kabupaten Bogor dalam Angka tahun 1998 s.d 2003 dan Dinas Kependudukan Kabupaten Bogor (2004, diolah)
Keterangan :
Total penduduk : Jumlah penduduk per 1 Januari + jumlah kelahiran – jumlah kematian + migran masuk – migran keluar
Rate pertumbuhan penduduk tahun 1999-2004 : Pt = P0 (1 + r)t 3.437.083 = 3.004.444 (1+ r)6 r = 2, 776 %
Lampiran 10. Tampilan model Cassava1.Sim
Lampiran 11. Tampilan model Cassava2.Sim
Lampiran 12a. Validasi model penduduk dengan uji MAPE Tahun 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Simulasi (Xm) 2.917.524 2.999.459 3.083.694 3.170.296 3.259.329 3.350.863 3.444.968
Aktual (Xd) 2.917.524 3.004.444 3.100.154 3.170.400 3.249.781 3.408.810 3.437.083
│ Xm – Xd│ 0 4.985 16.460 104 9.548 57.947 7.885 total MAPE
│ Xm – Xd │/ Xd 0 0,0016 0,0053 0,000032 0,0029 0,0170 0,0023 0,0292 0,4 %
Lampiran 12b. Validasi model produktivitas ubi kayu dengan uji MAPE Tahun Simulasi (Xm) 1998 166 1999 174 2000 169 2001 177 2002 169 2003 159 2004 173
Aktual (Xd) 157 163 170 181 173 189 167
│ Xm – Xd│ 9 11 1 4 4 30 6 total MAPE
│ Xm – Xd │/ Xd 0,059 0,067 0,007 0,020 0,022 0,161 0,038 0,373 5,3 %
Lampiran 12c. Validasi model produksi ubi kayu dengan uji MAPE Tahun Simulasi (Xm) 1998 154.012 1999 192.885 2000 200.501 2001 217.527 2002 212.321 2003 199.015 2004 209.079
Aktual (Xd) 159.556 188.352 182.766 200.768 175.024 189.888 192.357
│ Xm – Xd│ 5.544 4.533 17.735 16.759 37.297 9.127 16.722 total MAPE
│ Xm – Xd │/ Xd 0,0347 0,0240 0,0970 0,0834 0,2131 0,0480 0,0869 0,5871 8,4 %