SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
ISBN : 978-602-72198-4-7 Diterbitkan : 02 Desember 2016
PROSIDING SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 SFN XXIX “Physics for Future Development of Science and Technology”
19-21 September 2016 Universitas Hasanuddin Makassar Indonesia
Tim Editor & Reviewer : Prof. Dr. Dahlang Tahir, M.Si Dr. Tasrief Surungan, M.Sc Dr. Arifin, MT Nur Hasanah, S.Si, M.Si
Layout : Muhammad Nur Gazali Yunus Sultan Cover Design : Muhammad Fauzi Mustamin Diterbitkan Oleh : Fakultas MIPA Universitas Hasanuddin
Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang © Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Hasanuddin
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, hidayah serta perlindungan, pertolongan dan rdho-Nya kepada kita semua sehingga dapat melaksanakan Seminar Fisika Nasional XXIX pada tahun 2016 ini. Seminar Fisika Nasional ini merupakan wadah temu ilmiah berkala tahunan oleh Himpunan Fisika Indonesia (HFI) yang pada tahun ini dilaksanakan oleh HFI Cabang Makassar. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan ilmu fisika dan terapannya di berbagai universitas dan instansi lainnya di seluruh Indonesia. Sebagai forum interaksi, kolaborasi dan integrasi antara dosen, peneliti dan praktisi fisika. Melalui Seminar Fisika Nasional ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif dan berperan aktif dalam pengembangan sains dan teknologi di Indonesia. Seminar Fisika Naional XXIX tahun 2016 ini bertemakan “Physics for Future Development of Science and Technology”. Seminar ini menghadirkan tiga pembicara utama yaitu Dr. Isnaeni, M.Sc., Dr. Camelia Panatarani, dan Dr. Nurlela Rauf, M.Sc. Makalah Seminar Fisika Nasional dikelompokan dalam 5 bidang kajian ilmu yaitu: Fisika Teori dan Komputasi, Fisika Material dan Energi, Biofisika dan Pendidikan, Fisika Lingkungan dan Geofisika, serta Instrumentasi dan Optik. Ucapan terima kasih kepada Rektor Universitas Hasanuddin yang telah memberikan dukungan terhadap pelaksanaan seminar ini. Terima kasih juga kepada Dekan FMIPA UNHAS, pengurus Cabang HFI Makassar, sponsor dan semua pihak yang telah memberikan dukungan dan kontribusi guna terselenggaranya kegiatan ini. Apresiasi kepada seluruh peserta seminar dari berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta serta instansi lain yang telah berpartisipasi dalam kegiatan Seminar Fisika Nasional ini. Kami mohon maaf apabila dalam penyelenggaraan seminar ini masih terdapat kesalahan dan kekurangan. Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Ketua Panitia SFN XXIX
Dr. Arifin, M.T.
ii
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
SAMBUTAN KETUA JURUSAN FISIKA UNIVERSITAS HASANUDDIN
Puji Syukur Kehadirat Allah SWT atas terselenggaranya The 6th International Conference on Theoretical and Applied Physics (The 6th ICTAP) in conjunction with the 29th National Physics Symposium (SFN XXIX) Makassar Tahun 2016 yang di selenggarakan atas kerjasama antara Program Studi Fisika UNHAS dengan Himpunan Fisika Indonesia (HFI) sebagai forum interaksi, kolaborasi antar dosen, peneliti, pemerhati fisika. SFN merupakan salah satu program kerja Tahunan HFI yang pada tahun ini bertemakan, Physics for Future Development of Science and Technology maka melalui symposium ini diharapkan dapat terbangun komunikasi antar sesama peneliti bidang fisika dan bidang terkait sehingga dapat memperkuat jaringan peneliti di Tanah Air. Keluarga besar PSF dan HFI cabang Makassar menyambut gembira sambutan dan partisipasi dari berbagai pihak sehingga kegiatan ini dapat terselenggara. Ucapan terima kasih disampaikan kepada para peneliti yang telah bersedia berkontribusi sebagai pemakalah, baik dari kalangan internal PSF, maupun dari kalangan eksternal. Secara khusus PSF berterima kasih kepada para pemakalah tamu (invited speakers): Dr. Isnaeni, M. Sc. dari kelompok peneliti laser optic dan fotonika (LIPI), Dr. Camelia Panatarani dari Universitas Padjajaran, dan Dr. Nurlaela Rauf dari Jurusan Fisika Universitas Hasanuddin,. Atas nama Ketua HFI cabang Makassar dan Ketua Jurusan Fisika UNHAS, saya menyampaikan apresiasi dan terima kasih kepada Panitia Pelaksana atas usaha dan kerja kerasnya sehingga kegiatan simposium ini dapat terlaksana sesuai rencana. Bantuan dan dukungan dari civitas akademik jurusan Fisika juga diucapkan terima kasih. Tak kalah penting, dukungan Pimpinan Fakultas MIPA dan Pimpinan Universitas Hasanuddin yang saling melengkapi, menjadikan kegiatan ini dapat berjalan lancar. Saya berharap tema kegiatan ini, seperti disebutkan di atas, cepat atau lambat benar-benar dapat diwujudkan oleh kalangan fisikawan di tanah air, sehingga suatu saat kelak Bangsa kita dapat sejajar dengan Bangsa-bangsa lain yang lebih dulu maju.
Wassalam, Ketua Jurusan Fisika
Dr. Tasrief Surungan, M.Sc.
iii
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
DAFTAR ISI Halaman Kata Pengantar Ketua Panitia
ii
Sambutan Ketua Jurusan Fisika Universitas Hasanuddin
iii
Daftar Isi
iv
TC-SA01
RUANG A Segmentasi Citra USG dengan Menggunkan Metode Thresholding Manogari Sianturi
1-8
TC-SA02
Konstruksi Vektor Eigen Persamaan Schrö dinger Menggunakan Metode Elemen Hingga Galerkin Eko Juarlin, Irene Devi Damayanti
1
9-12
TC-SA04
Karakterisasi Sifat Fisis Karbon Aktif Sebagai Adsorben dengan Variasi Daya Iradiasi Gelombang Mikro Rakhmawati Farma, Heryani Fujiati, Awitdrus
13-16
TC-SA05
Pengukuran Laju Endapan Eritrosit dengan Menggunakan Persamaan Stokes Sri Suryani, Salmen Manurun Pabuaran
17-20
TC-SA07
Studi Struktur Proton Melalui Fungsi Distribusi Parton Muhammad Fauzi Mustamin, Tasrief Surungan
21-25
TC-SA10
Penelusuran Sifat-sifat Termodinamika Lubanghitam Vaidya-EinsteinSchwarzchild (VES) Bansawang BJ, Muh. Syahrul Padli
26-30
TC-SA11
Metrik Medan Gravitasi Einstein-Klein-Gordon Statik Simetri Bola Bansawang BJ, Tasrief Surungan, Abdul Muin Banyal
31-35
TC-SA13
Interpretasi Data Geokimia Mata Air Panas di Daerah Geothermal Wala: Studi Kasus di Kabupaten Tana Toraja Maria, Muh. Altin Massinai, Dahlang Tahir, Sernita Domapa
36-40
ME-SB01
Dimensi
RUANG B Analisa Data XRD pada Daerah Penyusutan Sintering Fasa Cair Material Dielektrik Mg0,8Zn0,2TiO3 Muhammad Saukani, Suasmoro
41-44
ME-SB03
Pengaruh Penambahan Inhibitor Ekstrak Kulit Buah Manggis (Garcinia mangostana L) Terhadap Laju Korosi Baja St-37 Sri Mulyadi Dt. Basa, Sri Handani, Aninda Tifani Puari
45-49
ME-SB05
Sifat Mekanik Purun Tikus sebagai Bahan Komposit Ninis Hadi Haryanti, Henry Wardhana
50-54
ME-SB07
Studi Interaksi Elektrolit Cair dan Gel dalam Elektroda Karbon Aktif Mesopori pada Sebuah Sel Superkapasitor Erman Taer, Rika
55-58
ME-SB10
Potensi Cangkang Kerang Simping (Placuna placenta) Sebagai Filler Dalam Pembuatan Papan Komposit Ahmad Abtokhi, Ahmad Mufidun
59-62
iv
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
ME-SB11
Pengaruh Perbedaan Komposisi Terhadap Sifat Fisis pada Campuran Nanokomposit Berbahan SiO2-ZnO Erika Rani, Moh. Sinol
63-69
ME-SB14
Analisis Limpasan Permukaan di Daerah Tangkapan Air (DTA) Sungai Besar Kota Banjarbaru Sri Rohyanti, Ichsan Ridwan, Nurlina
70-79
ME-SB15
Pengaruh Dosis Radiasi Gamma Terhadap Sifat Struktur Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas L.) Berdasarkan Data Difraksi Sinar-X (XRD) Dahlang Tahir, Eko Juarlin, Ariesna
80-83
BE-SC01
RUANG C Pengukuran Energi Efektif dan Nilai HVL dengan Variasi Ketebalan Filter Menggunakan Pesawat Linear Accelerator (LINAC) untuk Radioterapi dengan Objek Pantom Air Syamsir Dewang, Bualkar Abdullah, Fauziah
84-88
BE-SC02
Indeks Vegetasi Untuk Estimasi Cadangan Karbon Atas Permukaan Lahan Gambut Nuri Arbiyanti Fakumullah, Nurlina, Ichsan Ridwan
89-94
BE-SC03
Simulasi Laju Penurunan Glukosa Darah pada Penderita Diabetes Tipe 2 Setelah Melakukan Aktivitas Fisik Agus Kartono, Muhammad Khalid, Ardian Arif Setiawan, Mersi Kurniati
95-99
BE-SC04
Simulasi Dinamika Glukosa Dalam Darah Menggunakan Persamaan Oral Minimal Model dengan Penambahan Aktivitas Fisik Heriyanto Syafutra, Agus Kartono, Citra Kusumawardhani
100-104
BE-SC06
Kombinasi Cahaya dan Suhu untuk Menonaktifkan Biofilm Bakteri Staphylococcus epidermidis Mokhamad Tirono, Yusro Ahmadiyah, Suhariningsih, Retna Apsari, M. Yasin
105-109
BE-SC07
Physical Analysis of Biofilters Composite Cigarette Smoke Made Date Palm Seed and Pomegranate Leaf to Catch Free Radicals (Of Effort Improve the Quality of Cigarette Smoke) Agus Mulyono, Ahmad Abtokhi, Lilik Harianie, Bilqis, Ririn, Muthmainnah, Umaiyatus
110-116
BE-SC11
Pengaruh Lama Penyimpanan Data Rekaman TLD LiF Terhadap Dosis Radiasi Standar 0,1 mSv dan 3 mSv dari Cs-137 Herlita, Bualkar Abdullah, Bannu
117-119
BE-SC12
Pengaruh Perubahan Jarak Dwell Position Terhadap Sebaran Dosis Pasien Kanker Serviks dengan Treatment Brakiterapi Sucih Rahmawati, Bualkar Abdullah, Satrial Male
120-124
BE-SC14
Penyiapan Data Meteorologi untuk Pemodelan Dispersi Polutan Alimuddin Hamzah Assegaf
125-129
EG-SD02
RUANG D Studi Hubungan Antara Resistivitas dengan Waktu Propagasi Gelombang Seismik Untuk Tranformasi Resistivitas Menjadi Pseudo Seismik Lantu, D. A. Suriamiharja, Amiruddin, Ramlis D. S
v
130-134
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
EG-SD06
Rancangan Alat Pengukuran Percepatan Gravitasi (Gerak Benda Jatuh Bebas) Muhammad Hamzah Syahruddin, Rezky Hari Sandi, Maria
135-137
EG-SD07
Inversi Data Self-Potential Perumahan Bukit Baruga Antang Makassar Muhammad Hamzah Syahruddin, Asraf, Sudarmadi, Wahyudin, Muh. Nur Iqlal Manai
138-140
EG-SD08
Kumpulan Nilai Koefisien untuk Penentuan Suhu Udara dan Kelembaban Relatip Rata-Rata Harian Kota Palembang Arsali, Surya Dwi Yurisman Prabu Oktarino, Muhammad Guntur, Ngudiantoro
141-145
EG-SD10
Karakterisasi Kandungan Bijih Besi Alam Sebagai Bahan Baku Magnetit Nanopartikel Sadang Husain, Eka Suarso, Akhiruddin Maddu, Sugianto
146-150
EG-SD12
Identifikasi Material Sedimen Dasar Perairan Estuari Sungai Duri Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat Muliadi, Muhammad Ishak Jumarang, Apriansyah Hakim, Dede Tri Zunika, Suci Handayani
151-156
EG-SD14
Morfotektonik DAS Malino dan DAS Tallo Ditinjau dari Segi Percabangan dan Kerapatan Pengaliran Muhammad Altin Massinai, Maria
157-165
EG-SD15
Inversi Data Topografi Perumahan Bukit Baruga Antang Makassar Muhammad Hamzah Syahruddin, Sudarmadi, Asraf, Muh. Jayadhi, Abd. Cholid
166-168
IO-SE02
RUANG E Analisis Kestabilan Sensor Kelembaban DHT22 terhadap Waktu Lama Pemanasan Rahmat Rasyid, Muharmen Suari, Wendri
169-174
IO-SE03
Sensor Gas Amonia Transistor Efek Medan (Field Effect Transistor) Berbasis Film Poly 3-hexylthiophene (P3HT) sebagai Material Aktif Akhiruddin Maddu, Andri Gunawan, Irmansyah Sofian
175-180
IO-SE04
Aplikasi Spektroskopi Fluoresensi dan LSI (Laser Speckle Imaging) pada Buah Tomat dan Apel Zulkarnain, Minarni, Saktioto, Rasmiana Poja
181-186
IO-SE05
Aplikasi Metode Spektroskopi Fluoresensi untuk Assesmen Kematangan Buah Kelapa Sawit Minarni Shiddiq, Arian Trianov Solistio, Reza Umami, Annesa Auliya, Ria Fitriani
187-193
IO-SE08
Pengaruh Penambahan Karbon Aktif pada Sifat Listrik Proton Exchange Membrane (PEM) dari Kitosan-PVA Erna Hastuti, Istianah
194-198
IO-SE09
Penentuan Kualitas Cahaya Lampu dari Spektrum Fotometri Bambang Mukti Wibawa, Liu Kin Men, Nurman Aris, Camellia Panatarani, I Made Joni
199-204
IO-SE10
Karakterisasi Unjuk Kerja dan Pembuatan Light Sun Concentrator dan Collector sebagai Sumber Panas Mesin Stirling Tenaga Surya Farid Samsu Hananto
205-209
IO-SE11
Prototipe Stasiun Cuaca Terintegrasi Menggunakan Arduino Abdul Muid, Andi Ihwan
210-217
vi
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
IO-SE12
Pengukuran Regangan dan Suhu Secara Simultan Menggunakan Sensor Berbasis Serat Optik Struktur SMS dan OTDR Arifin
218-224
IO-SE13
Analisis Kualitatif Batuan Beku Gunung Batur dengan Plasma Laser Hery Suyanto
225-230
IO-SE14
Sistem Pengukuran Frekuensi Getaran Akustik Berbasis Pergeseran Mikro Menggunakan Sensor Serat Optik Harmadi, Bayu Hadi Saputro, Firmansyah, Wildian
231-233
IO-SE15
Lampu LED Hemat Energi Bertenaga Surya Sebagai Alat Bantu Penangkapan Ikan pada Nelayan Arifin, Bualkar Abdullah, Syamsir Dewang, Dahlang Tahir, Nurhasanah, Metusalach
234-241
IO-SE16
Fosfor dan Pemrosesannya untuk Masa Depan Pembangunan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Camellia Panatarani, I Made Joni
242-250
251-252
Indeks
vii
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Segmentasi Citra USG Dengan Menggunakan Metode Thresholding Manogari Sianturi Program Studi Pendidikan Fisika, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Kristen Indonesia Jakarta Jl. Mayjen Sutoyo No 2 Cawang-Jakarta 13630 email:
[email protected]
Abstrak Segmentasi dan feature extraction citra ultrasonic (USG) memberikan suatu tantangan yang unik karena citra-citra ini mengandung spekel noise dan atenuasi artifact yang sangat kuat. Segmentasi citra USG merupakan bagian segmentasi yang masih sulit dibandingkan dengan citra CT maupun MRI. Pencitraan dengan menggunakan CT maupun MRI dapat secara jelas mengidentifikasi batas-batas antar tissue. Akan tetapi hal ini sangat sulit dalam mengidentifikasi maupun membedakan batas-batas antar tepi (tissue) dengan menggunakan pencitraan USG. Kebanyakan teknik segmentasi citra ultrasonik yang telah ada berfokus pada bagian pertumbuhan (region growing) atau kontur yang aktif. Segmentasi yang telah ada kebanyakan memberikan hasil yang kurang jelas batas tepi dari objek dan masih mengandung banyak noise karena gray level antara objek dan background hampir sama sehingga masih mengandung banyak noise yang menyebabkan kualitas citra yang dihasilkan kurang begitu jelas. Hal ini sebenarnya dapat berhubungan langsung dengan akusisi data dari ultrasonik (USG) itu sendiri, oleh sebab itu pemilihan phantom yang kita pakai sangat menentukan kualitas sumber citra yang akan kita lakukan segmentasinya. Dalam penelitian ini kami memilih dengan menggunakan median filter untuk mengurangi noise, kami juga melakukan segmentasi dengan menggunakan metode closing thresholded image dengan membagi citra dalam dua gray level yaitu 0 dan 1, kemudian melakukan clutering dengan metode pengklasteran berdasarkan kode warna. Hasil yang diperoleh melalui metode yang dikembangkan menunjukkan akurasi yang cukup baik dan mampu menghilangkan noise disekitar objek dan batas antara objek dengan background dapat dibedakan dengan jelas. Kata kunci: segmentasi, akuisisi, filter, threshold, phantom.
Abstract Segmentation and feature extraction ultrasonic image (USG) provides a unique challenge because of these images contain of speckle noise and attenuation artifact was very strong. Ultrasound image segmentation is part of segmentation are still difficult compared with CT or MRI image. Imaging using CT or MRI can clearly identify the boundaries between tissue. But it is extremely difficult to identify and distinguish the boundaries between the edge of the (tissue) using ultrasound imaging. Most ultrasonic image segmentation technique focuses on the growth (region growing) or active contour. Segmentation has existed mostly provide inconclusive results and limits the edges of the object still contains a lot of noise because the gray level between the object and the background is almost the same so it still contains a lot of noise so that the quality of the resulting image is less clear. It is actually directly related to the acquisition of data from ultrasound (USG) itself, so that the phantom elections are taking decisive quality imagery sources we will do the segmentation. In this study we use a median filter to reduce noise, we also perform segmentation using closing thresholded image method by dividing the image into two gray level 0 and 1, then do clutering with clustering method based on a color code. The results obtained through the methods we developed showed good accuracy and is able to remove noise around the object and the boundary between the object with the background can be distinguished clearly. Keywords: segmentation, acquisition, filter, threshold, phantom.
pendeteksian ini adalah ukuran, posisi, bentuk, densitas dari obyeknya (organ tubuh). Kelebihan dari USG dibanding peralatan lain untuk deteksi tersebut diatas karena relatif aman untuk bayi, karena gelombang ultrasonik yang digunakan bukan merupakan radiasi pengion, seperti yang banyak digunakan dalam peralatan sinar-x. Pada saat ini telah dilakukan
1. PENDAHULUAN USG merupakan peralatan medik yang dapat digunakan untuk memvisualisasikan organ tubuh manusia. Selain itu alat ini dapat dipergunakan untuk deteksi berbagai jenis penyakit, seperti pembengkakan pembuluh darah di otak yang sering terjadi pada bayi. Informasi yang ingin diperoleh dari proses
1
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
penelitian tentang pengukuran ketebalan dari tumor kulit melanositik dengan 3 pengukuran yang berbeda yaitu pengukuran ketebalan histologis Breslow, pengukuran ketebalan manual dan otomatis ultrasound (USG), dari hasil pengukuran ketebalan kulit melanositik menunjukkan pengukuran otomatis USG memiliki jangkauan lebih tinggi dibandingkan dengan dua pengukuran yang lain. Akurasi USG dalam memperkirakan ketebalan kulit tumor melanositik sangat tergantung pada resolusi transduser dan frekuensi dasar USG [1]. Akan tetapi, sering kali citra yang dihasilkan dari USG tersebut mengandung banyak noise sehingga kualitas citra yang diperoleh kurang baik, hal ini dapat menimbulkan keraguan yang mengakibatkan analisis citra dan diagnosa penyakit menjadi kurang tepat. Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan berbagai cara salah satunya adalah dengan melakukan reprosesing dan segmentasi citra sehingga deteksi dini berbagai jenis penyakit yang diderita oleh pasien dengan cepat dan tepat dapat diketahui, terutama untuk jenis penyakit tumor, kanker atau penyakit penyakit organ tubuh lainnya.
yang terlibat pada posisi dan orientasi yang tepat. Banyak teknik segmentasi citra USG yang telah dilakukan seperti metoda thresholding, multiresolution Bayesian, region growing, pendekatan segmentasi otomatis dan lain sebagainya. Penelitian ini dilakukan dengan pengembangan membuat algoritma untuk melakukan segmentasi hasil citra USG 2-dimensi dari phantom dengan menerapkan metode ‘closing the thresholded image’ dan teknik analisa citra USG semi otomatis untuk deteksi bentuk, lokasi dan ukuran obyek dari citra USG. Proses analisa citra tersebut dimulai penapisan, segmentasi, dan ekstraksi ciri dari citra USG tersebut. 2. TEORI DASAR 2.1 Segmentasi Citra USG Ultrasonography (USG) adalah suatu teknik pencitraan medik yang menggunakan gelombang ultrasonik berfrekuensi antara 0.5 MHz sampai dengan 30 MHz. Hasil citra yang diperoleh oleh monitor USG (CRT) tergantung teknik yang dipergunakan. Ada 3 macam metoda yang digunakan dalam memperoleh citra yaitu: A-scanning, B-scanning, Mscanning. Metoda B-Ssanning adalah metoda yang paling banyak digunakan di klinik oleh karena metoda ini bisa memperoleh citra dua dimensi dari bagian tubuh [3]. Citra USG yang dihasilkan dari pemeriksaan medis umumnya menggunakan teknik B-scanning ini.
Segmentasi merupakan proses dekomposisi atau pengelompokan sebuah citra kedalam sub-bagian yang lebih kecil yang mempunyai kesamaan sifat atau karakteristik. Tujuan dari segementasi disini adalah untuk mengidentifikasi daerah dalam citra yang pixelpixelnya merepresentasikan sebuah obyek. Berbagai penelitian tentang segmentasi citra USG terus berkembang salah satunya adalah pengembangan algoritma segmentasi yang banyak digunakan dan memiliki banyak varian dengan metode Fuzzy CMeans (FCM) [2]. Hasil pengamatan menunjukkan segmentasi menggunakan metode FCM dengan informasi spasial lebih baik dibandingkan menggunakan metode Kmeans, hal ini terlihat dari jumlah partisi daerah obyek pada gambar hasil segmentasi menggunakan metode FCM dengan informasi spasial yang lebih sedikit dibandingkan dengan gambar hasil segmentasi menggunakan metode K-means.
Segmentasi citra USG merupakan pekerjaan yang cukup sulit dibandingkan dengan CT maupun MRI. Pencitraan dengan menggunakan CT maupun MRI dapat secara jelas mengidentifikasi batas-batas antar tissue. Akan tetapi hal ini sangat sulit dalam mengidentifikasi maupun membedakan batasbatas antar tepi (tissue) dengan menggunakan pencitraan USG. Ketidak jelasan ini disebabkan karena adanya noise yang disebabkan karena interaksi antara gelombang ultrasound dengan tissue. Disamping itu adanya pantulan specular menyebakan sinyal pantulan yang diterima oleh transducer dapat dalam keadaan kuat maupun lemah bergantung kepada arah dari gelombang datang. Material dengan kerapatan tinggi kemungkinan menyerap gelombang ultrasound yang ditransmisikan sehingga menyebabkan struktur anatomi yang jauh dari transduser tidak dapat terlihat.
Segmentasi citra ultrasonik adalah sutau permasalahan yang sangat penting didalam analisis dan visualisasi kedokteran (medis). Karena citra ini mengandung spekel noise dan attenuasi artifact yang sangat kuat, sehingga sulit untuk melakukan segmentasi secara otomatis citra-citra ini untuk mendeteksi objek
2
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Tujuan dari segementasi disini adalah untuk mengidentifikasi daerah dalam citra yang pixel-pixelnya merepresentasikan sebuah obyek. Salah satu teknik segmentasi yang banyak digunakan adalah teknik thresholding. Operasi thresholding dapat dikategorikan sebagai sebuah classifier yang dapat membedakan pixel kedalam kelompokkelompok berdasarkan atas nilainya. Dimana nilai pixel tersebut merepresentasikan besarnya intensitas. Untuk 8 bit citra USG, maka nilai nol merepresentasikan intensitas minimum, sedangkan nilai 255 merepresentasikan intensitas maximum. Sebuah nilai batas (threshold value) dipilih sebagai kriteria pengelompokan. Jika nilai pixel kurang dari nilai batas tersebut maka pixel tersebut dikelompokan kedalam sebuah kelas tertentu, jika nilai pixel lebih besar dari nilai ambang maka pixel tersebut masuk kelompok lainnya. Keberhasilan dari teknik ini sangat bergantung pada pemilihan yang tepat dari nilai ambang.
Proses thresholding dilakukan dengan tujuan untuk mengatur jumlah derajat keabuan dari suatu citra yang kita peroleh melalui proses scanning. Dengan menggunakan thresholding maka derajat keabuan dari suatu citra dapat diubah sesuai keinginan, misalkan diinginkan menggunakan derajat keabuan 16, maka tinggal membagi nilai derajat keabuan dengan 16. Proses thresholding ini pada dasarnya adalah proses pengubahan kuantisasi pada citra, sehingga untuk melakukan thresholding dengan derajat keabuan dapat digunakan rumus: 𝑥=
(2)
dimana w adalah nilai derajat keabuan sebelum thresholding, b adalah jumlah derajat keabuan yang diinginkan dan x adalah nilai derajat keabuan setelah thresholding seperti terlihat pada gambar 1 dimana semakin tinggi thresholding semakin tidak terlihat perbedaan objek dengan background [9].
Kebanyakan metode segmentasi citra berfokus pada pertumbuhan daerah (region growing) atau geometri kontur aktif (aktif contour) [4,5]. Teknik lain yang biasa digunakan untuk segmentasi adalah metoda yang dikenal dengan quadtree-structured multiresolution texture segmentation yang diperkenalkan oleh Muzzolini et al [6]. Teknik segmentasi ini menggunakan algorithma Metropolis [7] untuk memperoleh pelabelan optimum dari blok-blok citra pada gray level tertentu kemudian dilakukan pemisahan dan penggabungan blok diantara gray level sedemikian rupa sehingga diperoleh konfigurasi energi minimum [8]. Kesulitan dengan menggunakan algorithma ini adalah batas daerah tertentu harus match dengan pembatas blok. Dengan menggunakan metoda interated conditional modes yang diperkenalkan oleh Besag [7] untuk meminimalisai energi dapat meningkatkan kemampuan dari algorithma tersebut.
GAMBAR 1. Grey-Scale dengan beberapa tingkat Thresholding
Untuk mendeteksi batas tepi citra dapat dilakukan dengan 3 metode, yaitu metode Sobel, Canny, dan LoG dengan hasil seperti paa gambar 2a, 2b dan 2c [10,11]. Hasil penelitian menunjukkan deteksi tepi yang dihasilkan dengan metode Canny merupakan deteksi tepi yang paling sempurna, karena garis yang dihasilkan dari deteksi tepi dengan metode Canny morfologinya sangat halus, dan semua garisnya terlihat terhubung dengan sempurna .
2.2 Thresholding Pada penelitian ini proses segmentasi dilakukan dengan menggunakan teknik thresholding dengan beberapa nilai ambang.
1 jika f ( x, y ) T g ( x, y ) 2 jika f ( x, y ) T
𝑤 𝑏
(1)
3
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
set-up percobaan dalam penelitian ini dapat kita lihat seperti gambar dibawah ini. Transduser
computer
USG
GAMBAR 2a. Hasil Deteksi Tepi Sobel frame grabber
Fukuda Denshi
Phantom
GAMBAR 3. Diagram blok Set-Up akuisisi citra USG-2D
Gambar 3 adalah diagram blok untuk setup percobaan. Sistem ini terdiri 3 komponen utama yakni: Fukuda Densi Ultrasound Scanner, space locator, dan personal komputer. Dalam personal komputer terdapat frame grabber yang fungsinya adalah untuk menangkap sinyal video dan seterusnya didigitisasi dan ditampilkan di layar komputer. Pada percobaan ini digunakan water gel phantom untuk mensimulasi tissue manusia. Didalam phantom tersebut diletakan beberapa lucite. Jarak lucite dengan dengan permukaan transduser sekitar 5 cm.
GAMBAR 2b. Hasil Deteksi Tepi LOG
GAMBAR 2c. Hasil Deteksi Tepi Canny
Proses selanjutnya yang dilakukan pada citra USG-2D adalah melakukan visualisasi citra USG yang dapat ditampilkan dengan bantuan program MATLAB 6.1, kemudian dilakukan pemfilteran terhadap citra USG-2D tersebut. Dalam penelitian ini jenis median filter-lah yang dipilih karena jenis penapis tersebut selain dapat menghilangan derau dan speckle, juga tidak merubah karakteristik batas tepi obyek yang ditapis. Proses penapisan dengan menggunakan median filter dilakukan dengan menggunakan jendela (mask) berukuran 3 x 3. Dengan menggunakan teknik penapisan ini sebuah pixel yang mempunyai nilai intensitas tinggi yang disebabkan karena adanya noise atau speckle akan digantikan dengan nilai median dari intensitas dari pixelpixel yang ada dalam jendela tersebut. Teknik penapisan ini terbukti telah menghasilkan kulitas citra yang cukup bagus.
3. SET-UP EKSPERIMEN Citra USG diperoleh dengan cara menscan objek polyorithane phantome dengan menggunakan Fukuda Denshi UF-3500 dengan transduser linier yang mempunyai frekuensi operasi sekitar 3.5 MHz dalam bentuk pencitraan 2D ultrasonik, yang biasa dihasilkan dalam sistem pencitraan medik standar seperti jenis peralatan USG yang tersedia di berbagai rumah sakit di Indonesia maupun praktek dokter. Citra keluaran dari scan ultrasonik yang dihasilkan dikirim ke komputer melalui frame grabber untuk diproses lebih lanjut. Penelitian ini dilakukan dengan pengembangan perbaikan phantom dan membuat algoritma untuk melakukan segmentasi hasil citra USG dengan menerapkan metode ‘closing the thresholded image’ dimana citra langsung dibagi dalam dua kelompok gray level yaitu untuk objek memiliki gray level 0 dan untuk background mempunyai gray level 1. Secara keseluruhan
Setelah proses penapisan langkah berikutnya adalah melakukan segmentasi
4
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
dengan metode closing thresholded image yang dikombinasikan dengan gradien operator sehingga kita dapat melihat dengan jelas batas tepi masing-masing objek. Setelah proses segmentasi dilakukan maka langkah selanjutnya adalah malakukan feature extraction yaitu menghitung luas dan pusat massa dari masing-masing objek dan seterusnya malakukan clustering berdarsarkan pengelompokan kode warna dari masingmasing objek. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambar 4a merepresentasikan salah satu citra ultrasonic 2 D yang diperoleh dari eksperimen menggunakan obyek berupa phantom, pada percobaan ini phantom yang digunakan adalah untuk mensimulasi tissue manusia. Daerah pada objek yang dekat dengan probe USG batas antara objek dengan sekitarnya tampak jelas tervisualisasi, sedangkan bagian permukaan lainnya yang lebih jauh dari probe misalnya objek ke lima dari atas batas antara objek dengan sekitarnya tidak kelihatan dengan jelas. Hal ini disebabkan karena gelombang ultrasonik yang merambat melalui objek sepanjang phantom telah melalui berbagai objek dan gelombang ulrasonik yang diterima telah banyak diserap media. Gambar 4b menunjukkan distribusi intensitas dari citra ultrasonic 2D tersebut. Terlihat bahwa intensitas citra tersebut terkonsentrasi pada gray level rendah yaitu antara 0 dan 40.
GAMBAR 4b. Histogram citra polyorithane phantom
Gambar 5a. menunjukan citra ultrasonic yang telah ditapis dengan menggunakan median filter, dari citra tersebut tampak bahwa derau banyak berkurang dan batas antara obyek dengan water gel disekitarnya masih nampak jelas hal ini dapat kita perhatikan pada objek kelima dari atas pada citra orginal objek tidak kelihatan dengan jelas namun setelah dilakukan median filter objek tersebut kelihatan lebih jelas dan banyak noise disekitarnya dapat dihilangkan. Gambar 5b menunjukkan distribusi intensitas dari citra ultrasonic yang telah ditapis. Terlihat bahwa intensitas citra tersebut lebih terkonsentrasi pada gray level yang lebih rendah dari gambar 4b, hal ini disebabkan setelah mengalami median filter pixel-pixel yang mempunyai gray level yang intensitasnya tinggi akan digantikan dengan nilai median dari intensitas dari pixel-pixel yang ada dalam jendela yang dibuat dalam percobaan.
GAMBAR 4a. Citra original polyorithane phantom
GAMBAR 5a. Citra setelah dilakukan median filter
5
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
intensitas dari citra original dan obyek setelah dilakukan median filter, ada 2 puncak dari citra ultrasonic 2D tersebut hal ini menunjukkan bahwa obyek yang diperlihatkan ada dua jenis pada posisi yang berbeda. Pada kedua gambar juga memperlihatkan tinggi puncak yang berbeda ini disebabkan karena pada gambar 6b citra telah dilakukan median filter. Gambar 7a. dibawah ini menunjukan citra ultrasonic yang telah disegmentasi dengan metode closing thresholded image yang dikombinasikan dengan gradien operator sehingga kita dapat melihat dengan jelas batas tepi masing-masing objek dan yang paling menonjol yang dapat kita lihat dari penelitian ini bahwa pada objek kelima dari atas dapat ditampilkan dengan jelas padahal pada citra original (gambar 4a.) kita lihat objek tersebut sangat tidak jelas ditampilkan yang diakibatkan oleh banyaknya noise. Hasil segmentasi ini dapat dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya yaitu dengan deteksi tepi dengan metode Canny seperti terlihat pada gambar 2c. Gambar 7b. dibawah ini adalah citra setelah dilakukan clustering berdasarkan kode warna. Hasil pengklasteran tersebut dengan jelas membedakan kelima jenis objek dengan jelas sesuai dengan warna yang berbeda. Langkah terakhir setelah dilakukan segmentasi dan clutering adalah kita akan menentukan pusat massa dari masing-masing objek terhadap sumbu X dan terhadap sumbu Y yang dalam hal ini dapat kita bagi dalam 5 kelompok (sesuai dengan citra original), masing-masing pusat massa terhadap sumbu X dan sumbu Y dalam algoritma kami nyatakan dengan Xc dan Yc seperti kita lihat pada gambar 8.
GAMBAR 5b. Histogram citra setelah median filter
GAMBAR 6a. distribusi intensitas citra original
GAMBAR 6b. distribusi intensitas setelah median filter
Pada gambar 6a dan 6b diatas memperlihatkan masing-masing distribusi
GAMBAR 7a. Citra setelah dilakukan proses segmentasi
6
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
6. UCAPAN TERIMA KASIH Peneliti mengucapkan banyak terimakasih kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Kristen Indonesia (LPPKM-UKI) yang telah mendanai penelitian ini. 7. REFERENSI 1. Kristina Andrekute et.al, “Automated Estimation of Melanocytic Skin Tumor Thickness by Ultrasonic Radiofrequency Data”, Ultrasound Med 35, 857–865 (2016). 2. Charles Jhony Mantho Sianturi, “Analisis Segmentasi Citra USG Hati Menggunakan Metode Fuzzy C-Mean”, Citec Journal, Vol. 2, No. 3, 2354-5771 (2015). 3. Havlice, J.F., dan Taenzer, J.C., “Medical ultrasonic imaging: an overview of principles and instrumentation”, Proc. IEEE 67, 620-641 (1979).
GAMBAR 7b. Citra setelah dilakukan clustering
4. Ainatul Mardhiyah, Agus Harjoko, “Metode Segmentasi Paru-paru dan Jantung Pada Citra Xray Thorax”, IJEIS, Vol.1, 35-44 (October 2011).
GAMBAR 8. Hasil pengitungan pusat massa masingmasing objek pada gambar 5b
Dari penelitian ini diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
5. Ingrid Nurtanio et.al, “Cyst and Tumor Lesion Segmentation on Dental Panoramic Images using Active Contour Models”, IPTEK, The Journal for Technology and Science, Vol. 22, No. 3, (August 2011).
1. Pemilihan phantom phantom untuk mensimulasi tissue manusia dan resolusi transduser dan frekuensi dasar USG sangat menentukan kualitas citra yang ditampilkan pada peralatan USG.
6. Muzzolini, R.Yang, Y.-H. Pierson, R Saskatchewan, “Multiresolution texture segmentation with application to diagnostic ultrasound images”, Medical Imaging, IEEE, Vol. 12, 108-123 (1993).
2. Pemilihan jenis median filter adalah sangat baik untuk citra USG, karena median filter mampu meremove noise disekitar objek dan tidak merubah objek itu sendiri sehingga tampilan citranya jauh lebih baik dan lebih jelas dari citra originalnya seperti terlihat pada gambar 5a.
7. Park, S.B, dan Lee, M.H., “A new scan convertion algorithm for real time sector scanner”, IEEE Ultrasonic Symposium, 723727 (1984).
5. KESIMPULAN
8. Chung –Ming Chen, Henry Horng-Shinglu, Yu-Chenlin, “An Early Vision-Based Snake Model For Ultrasound Image Segmentation”, Ultrasound in Med. & Biol., Vol. 26, No. 2, 273–285 (2000).
3. Segmentasi
yang dikembangkan yaitu penggabungan metode closing thresholded image dengan gradien operator memberikan hasil yang sangat baik, dimana hasil segmentasi ini selain mampu membuang noise juga mambu memperlihatkan batas tepi dari masing-masing objek dengan jelas seperti terlihat pada gambar 7a.
9. Marvin Chandra Wijaya, Semuil Tjiharjadi, “Mencari Nilai Threshold yang Tepat untuk Perancangan Pendeteksi Kanker Trofoblas”, Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi 2009 (SNATI 2009), Yogyakarta, (20 Juni 2009).
7
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
10. Merly Indira, Eva Yuliana dkk, “Perbandingan Metode Pendeteksi Tepi Studi Kasus Citra USG Janin”, Proceeding, Seminar Ilmiah Nasional Komputer dan Sistem Intelijen (KOMMIT 2008).
11. Dinggang Shen, Yiqiang Zhan, and Christos Davatzikos, “Segmentation of Prostate Boundaries From Ultrasound Images Using Statistical Shape Model”, IEEE, Transaction On Medical Imaging, Vol. 22, No. 4, (April 2003).
8
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Konstruksi Vektor Eigen Persamaan Schrö dinger Dimensi Satu Menggunakan Metode Elemen Hingga Galerkin Eko Juarlin1), Irene Devi Damayanti2) 1 Jurusan Fisika FMIPA, Universitas Hasanuddin email:
[email protected] 2 Pascasarjana Matematika, Universitas Hasanuddin
Abstrak Dalam makalah ini konstruksi vektor eigen Persamaan Schrodinger menggunakan metode elemen hingga Galerkin dijelaskan. Persamaan Schrodinger dimasukkan ke dalam metode elemen hingga Galerkin lalu dibuat matriks lokal dan matriks global. Solusi matriks dengan menggunakan metode invers menentukan fungsi probabilitas. Gambar fungsi probabilitas sesuai dengan teori di beberapa kasus, diantaranya potensial kotak, potensial tangga, potensial harmonik dan potensial inti atom. Kata kunci: Metode Elemen Hingga Galerkin, Persamaan Schrodinger, Metode Invers.
Abstract In this paper the eigen vector construction of Schrodinger equation attempted by Galerkin finite element method is explained. Schrodinger equation is inserted into Galerkin finite element method. Galerkin finite element local matrix and global matrix are construted. To obtain solution, inverse method is applied. Probability function is agreed with theorem in some cases, such as square potential, step potential, harmonic potential and nuclear atom potential. Keywords: Galerkin Finite Element Method, Schrodinger Equation, Inverse method.
digunakan adalah metode elemen hingga (MEH).
1. PENDAHULUAN Pada awal abad 20-an mekanika kuantum mengalami perkembangan yang sangat pesat khususnya dalam dunia atom dan subatom. Segala sesuatu yang bersifat diskrit menjadi pusat perhatian, seperti energi dan momentum sebagai konseptual pemodelan partikel sebagai gelombang telah memberikan efek yang mendalam dalam dunia mikroskopis. Masalah hamburan dalam mekanika kuantum untuk kasus 1 dimensi (1D) banyak menjelaskan gagasan aktual dengan berbagai pendekatan. Maka, saat ini terdapat banyak artikel yang membahas lebih lanjut mengenai hamburan dalam mekanika kuantum untuk kasus 1D [1].
Olek Zienkiewicz adalah seorang yang ahli dalam mengaplikasikan metode beda hingga (MBH). Dia adalah salah satu pelopor penulisan buku pertama MEH dalam bidang sains dan keteknikan [2]. Meskipun demikian, MEH sedikit lebih rumit dibandingkan MBH. Salah satu keuntungan MEH yaitu kemampuannya yang handal dalam menyelesaikan masalah geometri (dan batasan) yang kompleks menjadi lebih mudah. 2. METODE ELEMEN HINGGA GALERKIN PERSAMAAN SCHRODINGER
Fenomena kuantum dapat dideskripsikan melalui persamaan Scroedinger. Hamburan dari potensial penghalang 1D dapat diselesaikan dengan persamaan Schrödinger tidak bergantung waktu. Terdapat dua jenis metode yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persamaan Schrödinger; yaitu metode analitik dan numerik. Salah satu metode numerik yang
Persamaan Schrödinger tidak bergantung waktu untuk sebuah partikel dalam 1D: 𝑑2 𝜓(𝑥) 2𝑚 + 2 (𝐸 − 𝑉)𝜓(𝑥) = 0 𝑑𝑥 2 ħ
9
(1)
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
2𝑚
dimana, 𝛾 = ħ2 (𝐸 − 𝑉). Maka, persamaan (1) dapat dituliskan sebagai berikut:
(aproksimasi) elemen hingga menggunakan fungsi basis 𝑁𝑖 : 𝜓(𝑥) = ∑ 𝜓𝑖 (𝑥) 𝑁𝑖 = 𝑁𝜓̅ (𝑥) 𝜙(𝑥)
𝑑2 𝜓(𝑥) + 𝛾 𝜓(𝑥) = 0 𝑑𝑥 2
(2)
𝑖
= ∑ 𝜙𝑖 (𝑥) 𝑁𝑖 𝑖
= 𝑁𝜙̅ (𝑥)
dengan syarat batas: 𝜓(0) = 0
𝑑𝜓(𝑥) 1 = [−1 1] 𝜓̅(𝑥) 𝑑𝑥 𝑙𝑒
𝑉 adalah energi potensial yang bentuknya telah diketahui sebelumnya, sedangkan fungsi gelombang 𝜓(𝑥) dan energi 𝐸 dari partikel merupakan solusi yang dicari dari persamaan tersebut.
dengan
0 𝐿
∫ 0
0 𝐿
1
− ∑ ∫ 𝜙̅ † 𝐵† 𝐵 𝜓̅(𝑥)
𝑑𝜙(𝑥) 𝑑𝜓(𝑥) 𝑑𝑥 𝑑𝑥 𝑑𝑥
𝑒 −1
1
𝑒
𝑑𝜓(𝑥) 𝑑𝜙(𝑥) 𝑑𝜓(𝑥) 𝐿 𝜙(𝑥) | − ∫ 𝑑𝑥 0 𝑑𝑥 𝑑𝑥 𝑑𝑥
𝑙𝑒 2 𝛾 2 1 1 −1 † ̅ ]− [ ]} 𝜓̅(𝑥) − ∑ 𝜙 {[ −1 1 6 1 2 𝑒
𝐿
+ ∫ 𝛾 𝜓(𝑥)𝜙(𝑥) 𝑑𝑥 (3)
{𝐴′ +
𝑑𝜙(𝑥) 𝑑𝜓(𝑥) 𝑑𝑥 𝑑𝑥 𝑑𝑥
{𝐴′ +
𝐿
+ ∫ 𝛾 𝜓(𝑥)𝜙(𝑥) 𝑑𝑥 0
=0 Langkah selanjutnya mengimplementasikan
=0
(9)
Dengan demikian, pendekatan dengan elemen hingga Schrödinger untuk 𝑁 elemen:
Eliminasi suku pertama karena terdapat syarat 𝑑𝜓(𝑥) 𝐿 batas pada persamaan (3) 𝑑𝑥 𝜙 (𝑥) | = 0, 0 diperoleh: −
(8)
Persamaan matriks dengan elemen hingga:
𝐿
=0
−1
=0
0
0
𝑙𝑒 𝑑𝜉 2
𝑙𝑒 𝛾 ∫ 𝜙̅ † 𝑁 † 𝑁 𝜓̅(𝑥) 𝑑𝜉 +∑ 2
+ ∫ 𝛾 𝜓(𝑥) 𝜙 (𝑥) 𝑑𝑥 = 0
0
(7)
Maka, dengan mensubstitusikan persamaan (7) dan (5) ke dalam persamaan (4), diperoleh:
𝑑 𝑑𝜓(𝑥) { + 𝛾 𝜓(𝑥)} 𝜙(𝑥) 𝑑𝑥 𝑑𝑥 𝑑𝑥 − ∫
[−1 1] = 𝐵. Maka,
𝜓̅(𝑥) adalah vektor pendekatan dengan elemen hingga dari fungsi kontinu 𝜓(𝑥).
𝑑 2 𝜓(𝑥) + 𝛾 𝜓(𝑥)} 𝜙(𝑥) 𝑑𝑥 = 0 𝑑𝑥 2
𝐿
1 𝑙𝑒
(6)
𝑑𝜓(𝑥) = 𝐵 𝜓̅(𝑥) 𝑑𝑥
Dengan menerapkan metode Galerkin pada persamaan (2) dan dengan fungsi coba 𝜙, dan kemudian diintegralkan: ∫{
(5)
Pendekatan elemen hingga dari turunan sebuah fungsi 𝜓, sebagai berikut:
𝜓(𝐿) = 0
𝐿
yang
{𝐴′ +
(4) adalah pendekatan 10
𝑚 𝑙𝑒 2 ħ2 𝑚 𝑙𝑒 2 ħ2
𝑚 𝑙𝑒 2
𝑙𝑒 2 𝛾 ′ 𝐵 − 𝐶 } 𝜓̅(𝑥) 6 ħ2 =0 ′
(10)
𝑙𝑒 2 2𝑚 (𝐸 − 𝑉)𝐶 ′ } 𝜓̅(𝑥) ħ =0 (11)
𝐵′ −
𝑙𝑒 2 2𝑚 𝑉 ′ 𝐶 } 𝜓̅(𝑥) ħ 𝐸 𝑙𝑒 2 2𝑚 ′ = 𝐶 𝜓̅(𝑥) ħ
𝐵′ +
(12)
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
dimana 𝐸 adalah energi.
2.5 Pot. Harmonik/40 Probabilitas
Solusi menggunakan vektor eigen dan nilai eigen:
2
1.5
𝐴𝑋 = 𝐵 𝜆𝑋
1
𝑋 = (𝐵−1 𝐴)−1 𝜆
(13) 0.5
dimana 𝜆 adalah nilai eigen.
0 -1
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
GAMBAR 3. Grafik potensial harmonik dan probabilitas pada tingkat energi ke-2.
3. HASIL DAN DISKUSI Pada penelitian ini dijelaskan fungsi gelombang untuk empat tipe potensial yaitu potensial kotak, potensial harmonik, potensial tangga, dan potensial inti atom.
3 Pot. Harmonik/40 Probabilitas
2.5
2
1.5
a. Potensial Kotak 1
Energi value tidak sesuai (Eval < 0), tetapi gambar menunjukkan hasil probabilitas yang sesuai dengan teori untuk semua tingkat energi.
0.5
0 -1
pada Energi pada Energi pada Energi pada Energi pada Energi
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
GAMBAR 4. Grafik potensial harmonik dan probabilitas pada tingkat energi ke-3.
0.025 Prob. Prob. Prob. Prob. Prob.
-0.8
ke-1 ke-2 ke-3 ke-4 ke-5
0.02
c. Potensial Tangga Energi value menunjukkan hasil yang sesuai. Terjadi peluruhan di tangga khusus pada tingkat energi ke-1 dan energi ke-2, λ probabilitas mengalami pertukaran khusus Eval > 1. Hanya terdapat beberapa probabilitas sesuai dengan teori. Ketidaksesuaian terjadi pada 𝜆 dan amplitudo.
0.015
0.01
0.005
0 -1
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
GAMBAR 1. Grafik probabilitas pada tingkat energi ke-1 sampai tingkat energi ke-6.
b. Potensial Harmonik
Probabilitas Penemuan Elektron
Energi value sesuai (Eval > 0), dimana probabilitas menunjukkan hasil yang baik sampai pada tingkat energi ke-7. Namun, beberapa kegagalan terjadi diakibatkan oleh posisi dan puncak probabilitas yang tidak simetri.
Potensial Prob. pada Energi Prob. pada Energi Prob. pada Energi Prob. pada Energi Prob. pada Energi
1
ke-1 ke-2 ke-3 ke-4 ke-5
0.8
0.6
0.4
0.2
2.5
0 Pot. Harmonik/40 Probabilitas
-1
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
2
GAMBAR 5. Grafik potensial dan probabilitas pada tingkat energi ke-1 sampai tingkat energi ke-6.
1.5
d. Potensial Inti Atom
1
Untuk 1 tingkat energi dihasilkan dari 2 energi value (kiri dan kanan). Terdapat 2 tingkat energi yang sesuai dengan teori. Tingkat energi lainnya memiliki probabilitas pada suatu titik dengan potensial lebih besar dari probabilitas pada titik dengan potensial kecil. Hal tersebut
0.5
0 -1
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
GAMBAR 2. Grafik potensial harmonik dan probabilitas pada tingkat energi ke-1.
11
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
berlawanan dengan teori, yaitu semakin besar energi value separasi kedua energi value yang berdekatan semakin jauh.
15 Pot. Inti Atom/10000 Probabilitas
10
5
25 Pot. Inti Atom/10000 Probabilitas
0
20
15
-5
10
-10
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
5
GAMBAR 8. Grafik potensial dan probabilitas pada tingkat energi ke-19 dan tingkat energi ke-20.
0
-5
-10
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
4. KESIMPULAN
GAMBAR 6. Grafik potensial dan probabilitas pada tingkat energi ke-1 dan tingkat energi ke-2.
Metode Elemen Hingga Galerkin bisa digunakan untuk menyelesaikan persamaan Schrodinger dimensi 1.
30 Pot. Inti Atom/10000 Probabilitas 25
20
15
5. REFERENSI
10
1. Sehra, Avtar S., “Finite Element Analysis of The Scrodinger Equation”, Master Thesis, Swansea University, 2007.
5
0
-5
-10
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
2. Zienkiewicz, O. C. and Cheung Y. K., The Finite Element Method in Engineering Science, London: McGraw-Hill, 1967.
1
GAMBAR 7. Grafik potensial dan probabilitas pada tingkat energi ke-3 dan tingkat energi ke-4.
12
1
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Karakterisasi Sifat Fisis Karbon Aktif Sebagai Adsorben Dengan Variasi Daya Iradiasi Gelombang Mikro Rakhmawati Farma*, Heryani Fujiati , Awitdrus Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Riau, 28293 Pekanbaru, Riau, Indonesia * email:
[email protected]
Abstrak Karbon aktif merupakan salah satu bahan penyerap yang banyak digunakan karena mempunyai luas permukaan spesifik yang besar. Pada penelitian ini peningkatan luas permukaan karbon aktif untuk mendapatkan daya serap yang besar dengan melakukan aktivasi kimia dan iradiasi gelombang mikro. Daya iradiasi gelombang mikro divariasikan dengan daya 450 watt, 540 watt dan 630 watt dengan waktu masingmasing 20 menit. Analisis struktur mikro menunjukkan karbon aktif bersifat semikristalin dengan kehadiran dua puncak (100) pada sudut 2 sebesar 21,492 dan puncak (002) pada sudut 2 sebesar 43,362. Semakin besar daya iradiasi maka nilai Lc semakin besar. Nilai Lc terbesar pada daya iradiasi gelombang mikro 630 watt dengan nilai 2,818 nm. Data ini konsisten dengan analisis morfologi permukaan, luas permukaan sebesar 321,095 m2/g dan daya serap metilen biru 86,6 mg/g. Kata Kunci: Serabut tandan kosong kelapa sawit, Karbon aktif, Daya serap, Gelombang mikro.
lainnya seperti kacang almond [4], tembakau [5], bambu [6], serabut tandan kosong kelapa sawit [7] dan limbah pertanian lainnya. Pada penelitian ini karbon aktif dibuat berazaskan biomassa, yaitu serabut tandan kosong kelapa sawit yang belum dimanfaatkan secara optimal dari industri pengolahan minyak kelapa sawit. Karbon aktif dihasilkan dari proses pra-karbonisasi dan pengaktifan kimia menggunakan kalium hidroksida (KOH) berbantuan iradiasi gelombang mikro dengan memvariasikan daya iiradiasi. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan karbon aktif yang mempunyai daya serap yang tinggi.
1. PENDAHULUAN Proses adsorpsi merupakan salah satu proses unggulan untuk menghilangkan zat pengotor. Proses adsorpsi juga menjadi proses yang paling efisien karena desainnya yang sederhana, mudah digunakan, tidak sensitif terhadap zat beracun dan mampu membersihkan bahan pengotor dengan sangat banyak, bahkan dari lingkungan gas [1]. Zat yang digunakan pada proses adsorpsi disebut adsorben. Karbon aktif merupakan salah satu adsorben yang paling banyak digunakan. Karbon aktif sangat cocok digunakan sebagai adsorben karena mempunyai luas permukaan spesifik yang besar, distribusi ukuran pori yang baik sehingga karbon aktif banyak digunakan secara luas untuk mengontrol polusi udara dan penjernihan air [2]. Gelombang mikro memiliki banyak keunggulan yakni dapat menghasilkan panas yang cepat dan merata karena pemanasan dengan iradiasi gelombang mikro merupakan pemanasan internal dan volumetrik, efisiensi energi yang besar dan nilai panas yang tinggi [3] sehingga dapat membentuk karbon aktif dengan struktur yang baik. Karbon aktif dapat dibuat dari bahan organik dan anorganik seperti batubara, coke dan bahan yang mengandung lignosesulosa seperti kayu, dan berbagai macam biomassa
2. METODE PENELITIAN Serabut tandan kosong kelapa sawit (STKS) sebagai bahan baku pembuatan karbon aktif di pra-karbonisasi pada suhu 280 oC selama 4 jam dalam tungku pemanas dan selanjutnya dilakukan penghalusan dan pengayakan dengan ukuran butiran 106 m sehingga menghasilkan serbuk karbon swamerekat (SKSM). Proses aktivasi kimia dilakukan pada SKSM dengan menggunakan kalium hidroksida (KOH) dengan perbandingan SKSM dengan KOH adalah 2:1. Proses Irradiasi gelombang mikro terhadap SKSM dilakukan yang telah diaktivasi dengan variasai daya irradiasi gelombang mikro 450 watt, 540 Watt dan 630 watt dengan waktu
13
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
masing-masing 20 menit. Proses selanjutnya sampel dicuci dengan menggunakan air suling sampai pH netral atau mendekati 7 dan setelah itu sampel dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 24 jam. Karakterisasi karbon aktif meliputi struktur mikro, morfologi permukaan dan kandungan unsur-unsur masing-masing dilakukan dengan menggunakan difraksi sinar-X (XRD), mikroskop pindaian elektron (SEM), dan energi dispersif sinar-X (EDX), sedangkan uji daya serap karbon aktif menggunakan uji daya serap metilen biru.
dan d100) dan dimensi mikrokristalit karbon aktif. TABEL 1. Jarak antar bidang dan dimensi mikrokristalit karbon aktif
Sampel SKSM KA450 KA540 KA630
d002 (nm) 0,399 0,409 0,411 0,413
d100 (nm) 0,209 0,210 0,210 0,208
Lc (nm) 2,484 2,674 2,746 2,818
La (nm) 1,071 1,298 1,381 1,282
Jarak antar bidang karbon aktif, baik d002 maupun d100 relatif tidak berpengaruh terhadap kenaikan daya iradiasi gelombang mikro. Jarak antar bidang d002 meningkat sedikit dalam orde 0,41 nm dan jarak antar bidang d100 menurun sedikit dalam orde 0,209 nm. Daya iradiasi gelombang mikro memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan dimensi mikrokristalit. Kenaikan daya iradiasi gelombang mikro menyebabkan tinggi timbunan (Lc) meningkat dan sebaliknya lebar timbunan (La) menurun. Hal ini mengindikasikan bahwa kenaikan daya iradiasi gelombang mikro menyebabkan karbon aktif yang dihasilkan memiliki daya serap yang lebih baik. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi proses penataan ulang atomatom karbon dengan memperbesar jarak vertikal dan memperkecil jarak horizontal karbon aktif. Menurut [8] semakin besar luas permukaan karbon aktif maka akan memperkecil lebar lapisan (La) dan memperbesar tinggi lapisan (L c). Jumlah lapisan Np yang didefinikan sebagai L c/d002 menunjukkan tren yang sama, yaitu kenaikan daya iradiasi gelombang mikro menyebabkan jumlah lapisan Np meningkat.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Pola difraksi sinar-X karbon aktif, sebelum dan sesudah aktivasi memiliki dua puncak yaitu puncak (002) dan (100) yang terdapat pada sudut 2 di sekitar 22o dan 43o seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Sampel sebelum diaktifasi dan diiradiasi dinamakan sebagai SKSM, sedangkan KA450, KA540 dan KA630 merupakan karbon aktif yang masing-masing diradiasi dengan daya 450 Watt, 530 Watt dan 630 Watt.
GAMBAR 1. Pola difraksi sinar-X untuk sampel SKSM, KA450, KA540 dan KA630
Morfologi permukaan karbon sebelum dan setelah diaktivasi dengan perbesaran 1000x ditunjukkan pada Gambar 2. Sampel SKSM memiliki pori-pori yang sangat sedikit, hal ini disebabkan karbon tersebut belum melalui proses aktivasi kimia dan diiradiasi gelombang mikro sehingga pori-pori masih tertutup oleh zat pengotor seperti ditunjukkan pada Gambar 2 (a). Gambar 2 (b,c,d) menunjukkan permukaan karbon aktif sampel KA450, KA540 dan KA630 setelah melalui proses aktivasi kimia dan iradiasi gelombang mikro. Pori-pori yang terbentuk pada sampel KA630 memiliki pori-pori yang paling banyak dan lebih teratur dibandingkan sampel KA450 dan KA540. Pori-pori menjadi lebih lebar karena
Pola difraksi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1 menunjukkan bahwa karbon aktif yang dihasilkan adalah bersifat semikristalin. Pola difraksi ini dapat digunakan untuk menentukan jarak antar bidang dhkl dan dimensi mikrokristalit, yaitu lebar lapisan (stack width (La)) dan tinggi lapisan (stack height (Lc) dengan bantuan perangkat lunak microcal origin untuk mendapakan latar yang lebih baik dan menghitung nilai lebar puncak setengah maksimum yang lebih akurat. Tabel 1 menunjukkan nilai jarak antar bidang (d002
14
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
hilangnya sebagian rongga yang tertutup di dalam partikel karbon [9].
GAMBAR 3. Kandungan atom karbon sampel SKSM, KA450, KA540 dan KA630.
Luas permukaan spesifik karbon aktif yang dihasilkan sebelum dan setelah aktivasi dan irradiasi gelombang mikro dapat dilihat pada Tabel 2.
GAMBAR 2. Morfologi permukaan karbon aktif (a) SKSM (b) KA450, (c) KA540 (d) KA630 pada perbesaran 1000x.
TABEL 2. Luas permukaan karbon aktif
Gambar 3 menunjukkan hasil pengujian EDX untuk karbon sebelum dan sesudah aktivasi dan irradiasi gelombang mikro. Sampel KA630 mengandung atom karbon terbesar yaitu 77,87% dan 22,13% untuk oksigen. Karbon aktif setelah aktivasi kimia dengan bantuan iradiasi gelombang mikro memiliki kandungan atom karbon dan oksigen yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan sebelum aktivasi yang memiliki atom karbon sebesar 51,08% dan oksigen sebesar 48,92%. Hal ini menunjukkan bahwa proses aktivasi dan iradiasi gelombang mikro memiliki peranan penting dalam meningkatkan jumlah kandungan atom karbon di dalam sampel. Persentase karbon yang meningkat ini disebabkan terjadinya penurunan persentasi atom oksigen dan karbon setelah melalui proses iradiasi menggunakan gelombang mikro.
Sampel SKSM KA450 KA540 KA630
Luas Permukaan spesifik (m2/gr) 118,533 280,087 284,016 321,095
Sampel KA630 memiliki luas permukaan spesifik terbesar dibandingkan dengan sampel SKSM, KA450 dan KA540 yaitu sebesar 321,095 m2/gr. Luas permukaan karbon aktif yang dihasilkan sampel KA630 sudah memenuhi standar minimum yang ditetapkan SNI yaitu sebesar 300 m2/gr – 3500 m2/gr. Daya serap karbon aktif terhadap metilen biru untuk sampel SKSM, KA450 KA540 dan KA630 dapat dilihat pada Gambar 4. Karbon yang dihasilkan dari proses pra-karbonisasi (SKSM) memiliki daya serap terhadap metilen biru yang rendah yaitu 31,97 mg/g yang merupakan daya serap terhadap metilen biru terendah dari semua sampel yang didapatkan dari penelitian ini. Hasil ini menunjukkan bahwa karbon yang belum diaktivasi memiliki jumlah pori-pori yang sedikit sehingga kemampuan karbon untuk menyerap metilen biru menjadi rendah [11] Sampel KA450 memiliki daya serap terhadap metilen biru sebesar 75,55 mg/g dan meningkat pada sampel KA540 yaitu sebesar 76,6 mg/g dan terus mengalami peningkatan hingga 86,6 mg/g pada sampel KA630. Daya serap karbon aktif terhadap metilen biru dalam penelitian ini lebih besar dibandingkan dengan karbon aktif
Kandungan unsur karbon pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian [10] yang menghasilkan unsur karbon sebesar 73,33% yang terbuat dari pelepah kelapa yang dikarbonisasi pada suhu 500oC. Kandungan karbon aktif yang didapatkan pada penelitian ini tergolong rendah sebagai akibat kurangnya pemanasan untuk mengubah selulosa, hemiselulosa dan lignin menjadi karbon. Menurut [9] kandungan karbon berjumlah 90% apabila dipanaskan pada suhu 927 oC dan 99% jika dipanaskan pada suhu 1327oC dan tergantung pada biomassa yang digunakan.
15
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
yang dihasilkan oleh [12] yang menghasilkan karbon aktif dengan nilai daya serap terhadap metilen biru sebesar 18,37 mg/g.
2. Y. Z. Zhuo, Y. Qi, L. Xiao-Ming, L. Kun, L. Yang and M. Z. Guang. Ind. Crops. Prod. 37, 178-185 (2012). 3. Z. Chen and Hashisho. Fuel Gas 178-276 (2012). 4. A. Omri, M. Benzina and N. Ammar. J. Ind. Eng. Chem. 19, 2092-2009 (2013). 5. W. Li, Z. Li-bo, P. J-Hui, Ning-Li and Z. Xue-Yun. Ind. Crops. Prod. 27, 341-347 (2008). 6. Q. -S. Liu, T. Zheng, N. Li, P. Wang and G. Abuliku. App. Surf. Sci. 256, 3309-3315 (2010). 7. R. Farma, M. Deraman, , A. Awitdrus, I. A. Talib, E. Taer, N. H. Basri, J.G. Manjunatha, M. M. Ishak, B. N. M. Dollah and S. A Hashmi. Bioresour. Technol. 132, 254-261 (2013).
GAMBAR 4. Daya serap metien Biru terhadap sampel SKSM, KA450, KA540 dan KA630.
8. J. M. Boyea, S. P. Camacho and W. J. Ready. Nanotechnology Law and Business 4, 585-593 (2007).
4. KESIMPULAN Daya irradiasi gelombang mikro mempengaruhi sifat fisis karbon aktif yang terbuat dari biomassa serabut tandan kelapa sawit dengan aktivasi kimia menggunakan kalium hidroksida dan berbantuan irradiasi gelombang mikro, hasil analisa XRD menunjukkan sampel KA630 mempunyai nilai Lc paling besar didukung dengan hasil luas permukaan sebesar 321,095 m2/gr dengan daya serap sebesar 86,6 mg/g.
9. H. Marsh and F. Rodriguez.-Reinoso. Activated Carbon. Netherlands: Elsevier Sciences and Technology Books (2006). 10. F. A Ramdja, M. Halim, J. Handi. Jurnal Teknik Kimia 15, 1-8 (2008). 11. M. Sudibandriyo. A Generalized Ono Kondo-Lattice Model for High Pressure on Carbon Adsorben. Disertation Oklohama State University, Oklohama (2003).
5. REFERENSI
12. A. Imawati dan Adhitiyawarman. Jurnal Kimia 4, 50-61 (2015).
1. K. Y. Foo and B. H. Hameed. Microporous and Mesoporous Mater. 148, 191-195 (2012).
16
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Pengukuran Laju Endapan Eritrosit Dengan Menggunakan Persamaan Stokes Sri Suryani*, Salmen Manurun Pabuaran Fakultas MIPA, Universitas Hasanuddin * email:
[email protected]
Abstrak Pembuluh darah manusia yang utama dapat dibedakan menjadi dua, yaitu aorta dan vena. Aorta mengalirkan darah yang dikatakan bersih, karena kaya akan oksigen, sebaliknya vena mengalirkan darah kotor yang mengandung sisa metabolisme tubuh. Proses metabolisme di tubuh, juga fungsi organ tubuh dapat diketahui melalui karakteristik darah dan urin, sehingga setiap orang yang terganggu kesehatannya, dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium, yang meliputi pemeriksaan darah dan urin. Salah satu pemeriksaan yang berhubungan dengan darah adalah mengukur laju endapan eritrosit atau laju endap darah. Laju endap darah umumnya diukur dengan menggunakan tabung Westergen dengan satuan mm/jam. Selain dengan tabung Westergen dapat dilakukan juga pengukuran laju endap darah dengan menggunakan persamaan Stokes Hasil penelitian menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan tingkat penyimpangan 13,87 %. Kata kunci: Laju endapan eritrosit, Hukum Stokes.
Abstract In general there are three types of human blood vessel, artery which carries oxygenated blood away from the heart, vein which carries de-oxygenated blood to the heart, and capillaries which are located in the muscles and lungs. Specially vein, besides carries de-oxygenated blood, it also carries products of metabolic reactions or metabolites. Metabolites are produced from human metabolic reactions which catalyzed by various enzymes or hormones. Abnormal chemical reactions in organs can produce metabolic disorder, and it can be detected in the blood, urine, and faecess. Therefore, laboratory tests consist three tests: blood, urine, and faecess. One of blood parameters test is erithrocyte sedimentation rate (ESR). Usually, ESR is determined using Westergen tube by observing the sedimentation rate of erithrocyte in 30 minutes. In fluide mechanics, Stokes equation is used to calculate sedimentation rate of material in fluide. For this reason, Stokes equation was applied to calculate ESR. Results showed that Stokes equation could be used to calculate ESR, but the deviation was 13.87 %. Keywords: Erithrocyte Sedimentation Rate, Stokes Equation.
organ yang berupa enzim dan hormon tidak maksimal, bahkan kadangkala organ tidak berfungsi sama sekali. Kekurangan hingga ketiadaan salah satu jenis hormon ataupun enzim akan mempengaruhi metabolisme tubuh. Hasil metabolisme tubuh atau yang sering disebut sebagai metabolit dikeluarkan tubuh dalam urin, faeces, dan juga di dalam darah. Oleh sebab itu, melalui pemeriksaan zat yang terkandung di urin, faeces, maupun darah selalu dilakukan dalam menunjang pemeriksaan kesehatan. Hasil pengukuran secara fisika, kimia, dan biologi dari urin, darah, dan faeces dapat diketahui ketiadaan, kekurangan, kelebihan, ataupun perubahan bentuk dari metabolit tersebut. Dengan mengetahui jenis metabolit yang bermasalah, maka dapat diprediksi organ yang bermasalah.
1. PENDAHULUAN Kesehatan tubuh merupakan hal terpenting dalam kehidupan manusia, karena tubuh yang sehat dapat membuat seorang manusia bebas beraktifitas dan produktif. Walaupun demikian, tidak selamanya tubuh dalam keadaan sehat. Banyak sekali hal yang dapat menyebabkan tubuh menjadi tidak sehat, seperti makanan yang tidak bersih dan tidak cukup gizi, pencemaran lingkungan, tidak melakukan pola hidup bersih dan sehat, perubahan udara yang mendadak (hujan atau panas yang mendadak), dan faktor usia. Perubahan kesehatan tubuh ditandai dengan gangguan fungsi organ tubuh atau organ tubuh tidak berfungsi maksimal. Keadaan tersebut akan menyebabkan produk
17
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Salah satu parameter pemeriksaan darah yang dapat digunakan untuk mendeteksi gangguan metabolisme tubuh adalah laju endapan darah atau LED. Laju endapan darah sebenarnya yang dimaksud adalah laju endapan eritrosit. Laju endapan eritrosit ini umumnya dihitung melalui pengamatan dengan menggunakan tabung Westergren. Darah dimasukan dalam tabung Westergren yang selanjutnya diamati pengendapannya selama 30 menit.
TABEL 1. Laju sedimentasi eritrosit berdasar kelompok umur (sumber: medical-labs.net)
Dalam ilmu Fisika, dikenal juga pengukuran lahu endapan atau sedimentasi dengan menggunakan persamaan Stokes. Oleh karena prinsip kerja tabung Westergren dan persamaan Stokes sama, maka pada makalah ini dicoba dilakukan pengukuran laju endapan darah dengan menggunakan persamaan Stokes.
Laju endapan darah diukur dengan cara mengamati penurunan eritrosit per satuan waktu pada tabung Westergren, tetapi pada kasus tertentu, seperti pencemaran udara dan air, laju endapan tidak dapat dilakukan melalui pengamatan. Hal itu disebabkan ukuran partikelnya kecil, dan sulit diamati karena keterbatasan resolusi mata manusia. Ambil contoh partikel yang tersuspensi dalam satu larutan. Partikel tersebut mempunyai rapat massa ρ, sedangkan larutan mempunyai rapat massa ρl. Bila ρ > ρl, maka partikel akan berada dalam pengaruh gaya grafitasi, sehingga perlahan-lahan partikel akan turun ke dasar dan membentuk sedimen. Laju pengendapan partikel disebut laju sedimentasi atau laju terminal (vs) [5].
Laju sedimentasi eritrosit (mm/h)
Usia Usia < 50 tahun Pria Wanita Usia > 50 tahun Pria Wanita
2. KAJIAN LITERATUR Salah satu parameter pemeriksaan darah yang dapat digunakan untuk mendeteksi gangguan metabolisme tubuh adalah laju endapan darah atau LED. Sebenarnya yang diukur laju endapannya adalah sel darah merah atau eritrosit [1,2]. Eritrosit atau sel darah merah adalah bagian darah yang membawa oksigen ke seluruh tubuh. Ukuran eritrosit tidak selalu sama, karena beberapa jenis zat dapat menempel pada eritrosit, seperti glukosa, kolesterol, dan lain sebagainya. Akibatnya, ukuran eritrosit dapat membesar di satu saat atau melebihi ukuran normal. Oleh karena ukurannya yang besar, maka eritrosit mudah mengendap, atau mudah ditarik oleh gaya grafitasi [3]. Alasan itulah yang digunakan sebagai dasar dilakukannya pengukuran laju endapan darah yang akan dapat digunakan untuk mengetahui aktivitas suatu penyakit. Bila laju endapan darah atau laju sedimentasi eritrosit tinggi, menunjukan penyakit yang kondisinya aktif (infeksi, kanker, inflamasi, dan lain sebagainya) [3]. Laju sedimentasi eritrosit biasanya diukur dengen menggunakan tabung Westergren. Tabung Westergren diisi dengan darah, yang selanjutnya diamati sedimentasinya dalam selang waktu 30 menit [4].
< 15 < 20 ≥ 20 ≥ 30
Asumsikan bahwa yang gaya yang bekerja pada partikel hanya gaya grafitasi (W), gaya gesek yang disebabkan oleh larutan yang kental (Fv), dan gaya tekan ke atas oleh larutan (FA). Akibatnya pada sistem dapat digunakan hukum I Newton untuk memperoleh persamaan Stokes [5,6].
F0 W - F - F 0 atau W - F F mg - volume x ρ l x g 6 π R η v s 4 4 π R 3 ρ g - π R 3 ρl g 6 π R η vs 3 3 jadi diperoleh persamaan Stokes sebagai berikut :
Pada suhu ambien yaitu 25ºC, nilai acuan laju sedimentasi eritrosit berdasar kelompok umur adalah:
vs
18
2 R 2 g (ρ - ρ l ) 9η
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
dari persamaan Stokes di atas terlihat bahwa:
tekanan darah sampel dapat terlihat pada gambar 1 di bawah ini.
a. vs sebanding dengan gaya grafitasi g, sehingga bila gaya grafitasi diperbesar, misalkan melalui alat yang disebut sentrifugasi ,maka laju sedimentasi menjadi lebih besar. b. Dengan mengukur laju sedimentasi dan mengetahui nilai rapat massa partikel, rapat massa larutan, dan kekentalan larutan, maka akan diperoleh nilai R atau ukuran partikel.
GAMBAR 1. Keadaan tekanan darah sampel
Pada pemeriksaan kesehatan, pemeriksaan laboratorium secara lengkap memerlukan biaya yang cukup tinggi, sehingga pengukuran laju endapan darah tidak sering dilakukan. Beberapa parameter pemeriksaan baku seperti jumlah hematokrit dan kandungan plasma darah dapat digunakan untuk menghitung laju endapan darah.
Keadaan tekanan darah sampel, secara umum dapat dikatakan dalam batas normal, yaitu tekanan sistolik antara 110 – 130 mmHg dengan tekanan diastolik berada pada daerah 75 – 85 mmHg. Terdapat tiga sampel yang mempunyai tekanan darah cukup tinggi yang dapat dikategorikan sebagai tekanan darah tinggi pada tingkat 1. Dua diantaranya dapat dikatakan wajar, karena faktor usia yang sudah lebih dari 50 tahun.
3. METODE PENELITIAN Sampel merupakan darah dari beberapa orang yang bersedia diambil darahnya untuk diteliti. Untuk menjaga ketelitian pengukuran, maka proses pengambilan sampel darah dan pengukuran dilakukan di laboratorium klinik kesehatan. Parameter pengukuran darah meliputi: tekanan darah, hematokrit, dan jumlah plasma protein.
Pada saat pengukuran parameter darah, dilakukan pencatatan keluhan yang dialaminya. Data keluhan ini dapat digunakan sebagai pendukung adanya kesesuaian antara jumlah hematokrit dan laju endapan darah. Hal ini telah dijelaskan bahwa laju endapan darah menunjukkan adanya infeksi, adanya inflamasi, kanker, dan lain sebagainya.
Perhitungan laju endapan darah dihitung dengan persamaan Stokes. Oleh karena laju endapan dipengaruhi oleh viskositas, maka harus dilakukan perhitungan viskositas darah terlebih dahulu dengan menggunakan persamaan:
TABEL 2. Gangguan kesehatan pada sampel.
Jenis gangguan / keluhan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
µterhitung (poise) = (0,12 × jumlah hematokrit) + 0,17 (jumlah plasma protein – 2,07) Nilai rapat massa darah, rapat massa eritrosit, dan ukuran eritrosit, diambil dari nilai baku menurut beberapa peneliti [7,8,9,10]. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Sakit kepala Sakit gigi Sakit perut Tegang pada tengkuk Tegang pada leher Nyeri ulu hati Flu Batuk Tidak ada keluhan Total
Jumlah orang 5 1 1 1 1 3 1 1 16 30
a. Karakteristik sampel b. Hasil perhitungan laju endapan darah
Jumlah sampel pada penelitian ini berjumlah 30 orang dengan perbandingan lelaki dan perempuan yang sama, yaitu 15 orang. Usia sampel berada antara 19 tahun hingga 23 tahun dengan 2 orang yang mempunyai usia lebih dari 50 tahun. Variasi
Hasil perhitungan laju endapan darah dengan menggunakan persamaan Stokes, serta hasil pengukuran laju endapan darah di laboratorium dapat dilihat pada gambar 2 di bawah ini. 19
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
sehingga penyimpangan yang terjadi disebabkan oleh kekurangtepatan pada perhitungan viskositas darah. 6. REFERENSI 1. Agrawal, R, Thomas Smart, Sciencetific Reports 6, 2016.
etc,
2. Sharland, D.E., Journal American Geriatrics Society, volume 28, issue 8, 1980, pp. 346 – 348. 3. Plebani, M, American Journal of Clinical Pathology, volume 117, issue 4, 2002, pp. 621 – 626. 4. Dissanayake, D., Journal of Diagnostic Pathology, 5(1), 47–51 (2011).
GAMBAR 2. Laju endapan darah, baik terukur dan terhitung
Hasil perhitungan laju endapan darah dengan menggunakan persamaan Stokes, ternyata tidak berbeda jauh, walaupun besar deviasi berada pada nilai 13,87 %. Nilai perhitungan laju endapan darah mempunyai nilai yang hampir sama pada sampel yang mempunyai keluhan atau terdeteksi adanya gangguan pada kesehatannya, sedangkan untuk sampel yang tidak mempunyai keluhan, nilai laju endapan darah sedikit berbeda. Selain itu, terdapat sampel yang mempunyai nilai endapan darah terukur yang rendah. Hal ini umumnya disebabkan adanya ketidaknormalan jumlah eritrosit, leukosit, dan adanya ketidaknormalan pada beberapa protein di darah [1,11]. Untuk hal tersebut diperlukan data pendukung lain, seperti jumlah eritrosit, maupun leukosit untuk mendapatkan data adanya gangguan lain pada tubuh.
5. Halliday, D, dan Robert Resnick, New York: John Wiley & Sons, Inc., 1980. 6. Ismailov, R.M., Nikolai A. Shevchuk, dan Higmat Khusanov, Biomedical Engineering On Line, 4:24, 2005. 7. Benson, K, MCAT University, 1999.
Review,
Emory
8. Hinghofer-Szalkay, H.G. dan Greenleaf J.E., Journal of Applied Physiology, vol. 63, 1003 – 1007 (1987). 9. Trudnowski, R. J. Dan Rodolfo C. Rico, Clinical Chemistry 20/5, 1974, pp. 615616. 10. Gábor Késmárky, Péter Kenyeres, Miklós Rábai dan Kálmán Tóth, Clinical Hemorheology and Microcirculation 39, 243–246 (2008).
5. KESIMPULAN Dari hasil pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa persamaan Stokes dapat digunakan untuk menentukan laju endapan darah. Besar penyimpangan atau deviasi sebenarnya masih cukup besar, karena darah mempunyai komposisi yang kompleks,
11. Gretchen Holm, Health Line, 2015, internet, available on http://www.healthline.com/health/esr.
20
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Studi Struktur Proton melalui Fungsi Distribusi Parton Muhammad Fauzi Mustamin* dan Tasrief Surungan Laboratorium Fisika Teori dan Komputasi, Jurusan Fisika, FMIPA, Universitas Hasanuddin Makassar, Indonesia 90245 * email:
[email protected]
Abstrak Model parton merupakan bagian dari teori gangguan dalam kromodinamika kuantum (Quantum Chromodynamics (QCD)) yang digunakan untuk menelaah hasil eksperimen hamburan proton energi tinggi. Model ini memandang nukleon terdiri dari kumpulan partikel titik. Hal tersebut memungkinkan perhitungan penampang melintang hamburan elektron – proton, serta perolehan fungsi struktur dari proton yang dikenal sebagai fungsi distribusi parton (Parton Distribution Functions (PDFs)). Makalah ini akan mengulas model parton serta perolehan fungsi struktur dari proton sebagai acuan untuk menentukan penyusunnya. Diperlihatkan pula hasil perolehan PDFs terbaru dari beberapa laboratorium pemercepat partikel. Kata kunci: PDFs, Model Parton, QCD.
Hamburan elektron-proton energi tinggi diilustrasikan oleh Gambar 1. Notasi 𝑷 merupakan momentum proton, sementara 𝒑 momentum awal quark. Sementara momentum awal dan momentum akhir dari elektron masingmasing 𝒌 dan 𝒌′ . Saat mengukur elektron akhir, dapat dideduksi bahwa terjadi momentum transfer, 𝒒 = 𝒌 − 𝒌′ , dari foton virtual menuju sistem hadron. Vector 𝒒 merupakan rupa-ruang, dan secara kesepakatan dituliskan 𝒒𝟐 = −𝑸𝟐.
1. PENDAHULUAN Salah satu bidang terdepan ilmu fisika saat ini adalah fisika partikel. Telah banyak pengembangan yang dilalui dengan menggunakan pendekatan partikel untuk menyelidiki struktur objek komposit [1]. Dimulai dari penggunaan partikel alpha oleh Rutherford pada 1911, ditemukan bahwa struktur atom terdiri dari inti bermuatan positif massif dikelilingi oleh elektron. Kemudian Zweig dan Gell-Mann pada 1964 mengajukan model quark, idenya adalah bahwa nukleon merupakan suatu partikel komposit. Pengkajian lebih lanjut dari SLAC (Standford Linear Accelerator Center) pada tahun 1967 mendorong Feynman memperkenalkan model parton dari hamburan takelastis dalam (deep inelastic scattering (DIS)). Model parton mengasumsikan bahwa terdapat suatu objek bebas yang disebut parton di dalam proton [2]. Konfigurasi distribusi parton dari nukleon diselidiki dengan baik melalui eksperimen DIS, proses bombardir proton (hadron) menggunakan elektron (lepton) pada energi tinggi. Formulasinya dianalisis dengan diagram Feynman untuk hamburan elektronproton tidak elastis. Model ini saat dihubungkan dengan kromodinamika kuantum (QCD) didapati bahwa parton dapat berupa quark, antiquark, gluon, foton, serta partikel lain pada Model Standard.
GAMBAR 1. Diagram hamburan takelastis dalam pada teori QCD menggambarkan aliran momentum saat elektron berenergi tinggi terhambur dari sebuah quark diambil dari fungsi gelombang proton [3].
Secara khusus massa total invarian dari sistem hadron akhir cukup besar. Hal ini diakibatkan oleh quark yang terkena elektron membawa momentum yang cukup besar dibandingkan dengan quark lain yang tidak terkena electron [3]. Penentuan struktur penyusun nukleon selanjutnya ditentukan oleh fungsi distribusi parton (PDFs). Fungsi distribusi parton,
21
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
𝒇𝒊 (𝒙, 𝑸𝟐 ), memberikan peluang menemukan parton dengan flavour 𝒊 (quark atau gluon) di dalam proton dengan fraksi 𝒙 dari momentum proton dengan 𝑸 merupakan skala energi dari interaksi kuat [2,4]. Fungsi distribusi ini menjadi masukan penting dalam penentuan penampang melintang pada laboratorium pemercepat hadron. Perhitungan PDFs berasal dari teori gangguan, diberikan oleh persamaan evolusi DGLAP [5]. Kondisi awal persamaan ini berasal dari fisika tanpa-gangguan pada 𝑸𝟐 rendah. PDFs yang digunakan dalam perhitungan dibangun dengan postulasi sebuah fungsi bentuk, yang memenuhi persamaan DGLAP dengan beberapa parameter bebas, kemudian melakukan pencocokan fungsi tersebut dengan data bervariasi dari pemercepat partikel [6]. Fungsi distribusi parton pada tulisan ini disajikan menggunakan paket aplikasi APFEL Web. Berbagai data PDFs dari berbagai kelompok peneliti disediakan oleh aplikasi ini [7,8].
(
𝒅𝝈 𝜶𝟐 𝑬′ ) = 𝒅𝛀 𝒍𝒂𝒃 𝟒𝑬𝟐 𝐬𝐢𝐧𝟒 𝜽 𝑬 𝟐
𝜽 𝒒𝟐 𝜽 × (𝐜𝐨𝐬 𝟐 − 𝐬𝐢𝐧𝟐 ), 𝟐 𝟐 𝟐𝒎 𝟐
dimana 𝒒𝟐 = 𝟐𝒎𝒑 (𝑬′ − 𝑬) dengan 𝜽 merupakan sudut hamburan dan 𝒎𝒑 massa proton. Namun, karena diperkenalkannya QCD membuat diperlukannya koreksi pada hasil ini [2]. Diperoleh persamaan penampang lintang Rosenbluth 𝒅𝝈 𝜶𝟐 𝑬′ ( ) = 𝒅𝛀 𝒍𝒂𝒃 𝟒𝑬𝟐 𝐬𝐢𝐧𝟒 𝜽 𝑬 𝟐 × {(𝑭𝟐𝟏 −
𝒒𝟐 𝟐 𝜽 𝑭𝟐 ) 𝐜𝐨𝐬 𝟐 𝟐 𝟐 𝟒𝒎𝒑 𝟐 𝒒 (𝑭 − 𝟐𝒎𝟐 𝟏
(3)
𝜽 + 𝑭𝟐 )𝟐 𝐬𝐢𝐧𝟐 }. 𝟐
2. METODE PENELITIAN Struktur Proton
Perolehan penampang lintang untuk proses DIS secara umum dapat dituliskan persamaan [2,3,9]
Percobaan menganalisis struktur proton ditemukan melalui eksperimen DIS antara elektron dengan target proton serta memecahnya, 𝒆𝑷 → 𝒆𝑿. Disini 𝑿 merepresentasikan setiap kemungkinan keadaan akhir hamburan. Perilaku hadron target pada DIS ditentukan oleh dua hal: hamburan keras, termasuk target parton dan distribusi parton tersebut pada hadron [5]. Penampang lintang total untuk suatu reaksi secara umum dituliskan [5,9] : 𝒅𝟐 𝝈 𝒅𝟐 𝝈 = ( ) |𝑮𝑬 (𝒒)|𝟐 , 𝒅𝛀𝟐 𝒅𝛀𝟐
(2)
(
𝒅𝝈 𝜶𝟐 𝑬′ 𝝁𝝂 ) = 𝑳 𝑾𝝁𝝂 , 𝒅𝛀 𝒅𝑬′ 𝒍𝒂𝒃 𝒒𝟒 𝑬
(4)
dengan 𝑬 dan 𝑬′ masing-masing adalah energi datang dan energi keluar dari electron, 𝜶 adalah konstanta struktur, dan 𝒒 adalah transfer momentum. Notasi 𝑳𝝁𝝂 adalah tensor lepton dan 𝑾𝝁𝝂 adalah tensor hadron, masing-masing memenehui
(1)
𝝁
𝝂
𝑳𝝁𝝂 = 𝟐(𝒌′ 𝒌𝝂 + 𝒌′ 𝒌𝝁 − 𝒌 ∙ 𝒌′ 𝒈𝝁𝝂 ) , 𝒒 𝝁 𝒒𝝂 )+ 𝒒𝟐 𝑷∙𝒒 𝑾𝟐 (𝑷𝝁 − 𝟐 𝒒𝝁 ) 𝒒 𝑷∙𝒒 𝝂 𝝂 (𝑷 − 𝟐 𝒒 ) . 𝒒
dimana faktor pertama merepresentasikan peristiwa hamburan keras dan faktor kedua merepresentasikan distribusi parton. Faktor kedua sering dituliskan sebagai 𝑭(𝒒) = |𝑮𝑬 (𝒒)|𝟐 yang merupakan fungsi struktur proton. Saat proton dianggap partikel titik, penampang lintang elektron-proton memenuhi
(5)
𝑾𝝁𝝂 = 𝑾𝟏 (−𝒈𝝁𝝂 +
22
(6)
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Notasi 𝒈𝝁𝝂 merupakan tensor metrik, sementara notasi 𝑾𝟏 dan 𝑾𝟐 adalah fungsi struktur takelastis dan merupakan variabel skalar Lorentz dari momentum empat pada simpul hadron [9]. Pada penjabaran berbagai reaksi, penampang lintang dapat dituliskan menggunakan beberapa variabel [1]
𝒙=
𝑸𝟐 , 𝟐𝑷 ∙ 𝒒
𝒚=
𝑷∙𝒒 , 𝒑∙𝒌
𝑸𝟐 𝑸𝟐 𝜹 (𝟏 − ), 𝟐𝒎𝝂 𝟐𝒎𝝂 𝑸𝟐 𝝂𝑾𝟐 (𝝂, 𝑸𝟐 ) = 𝜹 (𝟏 − ). 𝟐𝒎
𝟐𝒎𝑾𝟏 (𝝂, 𝑸𝟐 ) =
Model Parton foton
(7)
quark
𝑸𝟐 = −𝒒𝟐 ≡ −(𝒌 − 𝒌′ )𝟐 ,
proton
dimana 𝑷 adalah momentum nukleon dan 𝒒 adalah momentum dari pertukaran boson. Variabel 𝒙, dikenal juga sebagai 𝒙 Bjorken [1,2,3,5], merupakan fraksi dari momentum proton target yang diambil oleh parton pada kerangka momentum takhingga dimana parton memiliki momentum transfer nol. Ketidakelastisan ditentukan oleh kuantitas 𝒚 yang merupakan fraksi energi hilang dari lepton pada kerangka rehat dari nukleon target. Sementara 𝑸𝟐 merupakan energi dengan satuan 𝑮𝒆𝑽𝟐 . Ketiga kuantitas tersebut berhubungan dengan energi pusat massa lepton-nukleon, √𝒔, dengan 𝑸𝟐 = 𝒔𝒙𝒚 yang tetap pada pendekatan takbermassa akibat 𝒔 = (𝒌 + 𝒑)𝟐. Penjabaran tersebut mengantarkan pada persamaan penampang lintang untuk proses DIS pada kerangka laboratorium 𝒅𝝈 ) 𝒅𝛀 𝒅𝑬′ 𝒍𝒂𝒃 𝜶𝟐 𝜽 [𝑾𝟐 (𝝂, 𝒒𝟐 ) 𝐜𝐨𝐬𝟐 = 𝜽 𝟐 𝟒𝑬𝟐 𝐬𝐢𝐧𝟒 𝟐 𝜽 + 𝟐𝑾𝟏 (𝝂, 𝒒𝟐 ) 𝐬𝐢𝐧𝟐 ] . 𝟐
(9)
GAMBAR 2. Diagram tumbukan elektron-proton menghasilkan quark penyusun proton.
Gambar 2 menunjukkan proses tumbukan elektron dengan proton yang menghasilkan quark. Proses ini dapat dituliskan dalam persamaan 𝒆𝑷 → 𝒆𝑿 = ∑ ∫ 𝒅𝒙𝒆𝟐𝒊 𝒇𝒊 (𝒙).
(10)
𝒊
dengan 𝒊 merupakan penyusun dari proton, atau disebut juga sebagai parton. Kuantitas 𝒆𝒊 merupakan muatan parton sementara 𝒇𝒊 (𝒙) adalah distribusi momentum parton. Setiap parton memiliki peluang 𝒇𝒊 (𝒙) membawa 𝒙 fraksi dari proton, sehingga memiliki energi 𝒙𝑬, momentum longitudinal 𝒙𝒑𝑳, momentum transversal 𝒑𝑻 = 𝟎 (karena asumsi hanya pada sumbu-𝒛), serta massa 𝒙𝑴. Saat elektron menumbuk parton di dalam proton pada skala 𝑸𝟐 cukup besar, persamaan (10) dihubungkan dengan fungsi struktur proton memberikan
(
(8)
𝝂𝑾𝟐 (𝝂, 𝑸𝟐 ) → 𝑭𝟐 (𝐱) = ∑ 𝒆𝟐𝒊 𝒙𝒇𝒊 (𝒙),
Percoban hamburan pada DIS, dimana panjang gelombang foton cukup kecil, menandakan bahwa adanya partikel tidak berstruktur di dalam sistem kompleks seperti proton [9]. Perolehan penampang lintang proton oleh persamaan (8) berubah menjadi (2) akibat hal ini. Pembandingan kedua persamaan tersebut memberikan fungsi struktur untuk proton
𝐢
𝑴𝑾𝟏 (𝝂, 𝑸
𝟐)
𝟏 → 𝑭𝟏 (𝒙) = 𝑭 (𝒙), 𝟐𝒙 𝟐
(11)
atau 𝟐𝒙𝑭𝟏 (𝒙) = 𝑭𝟐 (𝒙) = ∑𝒊 𝒆𝟐𝒊 𝒙𝒇𝒊 (𝒙), yang merupakan hubungan Callan-Gross. Fungsi 𝑭𝟏 dan 𝑭𝟐 merupakan merupakan fungsi struktur takelastis yag hanya bergantung pada variabel 𝒙.
23
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Tidak bergantungnya terhadap 𝑸𝟐 pada 𝒙 tetap dikatakan memenuhi skala Bjorken [9]. Fungsi distribusi 𝒇𝒊 (𝒙) pada struktur fungsi proton memenuhi suatu aturan penjumlahan yang dapat menjelaskan sifat dari proton. Saat dijumlahkan untuk setiap komponen 𝒊, berlaku ∑ ∫ 𝒅𝒙(𝒙𝒇𝒊 (𝒙)) = 𝟏,
(12)
𝒊
Fungsi Distribusi Parton Perolehan PDFs menjadi acuan penting pada prediksi Model Standard pada penumbuk hadron [4]. Penentuannya didasarkan pada postulasi bentuk fungsional, yang memenuhi persamaan DGLAP, dengan beberapa parameter bebas, dan mencocokkan fungsi tersebut dengan beragam data dari penumbuk partikel [5]. Persamaan evolusi DGLAP untuk pencocokan dengan data berbagai proses eksperimen memenuhi
GAMBAR 3. PDFs untuk NLO pada 𝑄 = 4𝐺𝑒𝑉 (atas) dan 𝑄 = 103 𝐺𝑒𝑉 (bawah) menggunakan data dari percobaan ATLAS.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
𝒅 𝒇 (𝒙, 𝑸𝟐 ) 𝒅 𝐥𝐨𝐠 𝑸𝟐 𝒊 𝜶 𝟏 𝒅𝒚 𝒙 ∫ = 𝒇𝒊 (𝒚, 𝑸𝟐 )𝑷𝒒𝒒 ( ) 𝟐𝝅 𝒙 𝒚 𝒚
Fungsi distribusi parton (PDFs) dapat ditentukan dengan analisis data dari hamburan takelastis lepton-nukleon. Perhitungan PDFs berada pada wilayah batas antara QCD gangguan dan non-gangguan [5]. Pada makalah ini digunakan APFEL Web, aplikasi berbasis web yang menyediakan alat visualisasi fungsi distribusi parton [7,8]. Aplikasi ini mengingtegrasikan pustaka dari LHAPDF5 dan LHAPDF6 dan memungkinkan pengguna melakukan evolusi PDFs dengan konfigurasi yang disediakan oleh pustaka APFEL. Gambar 3 menunjukkan masing-masing grafik fungsi distribusi parton untuk up, anti-up, down, anti-down, strange, anti-strange, charm, anti-charm, dan gluon pada percobaan DIS pada 𝑸 = 𝟒𝑮𝒆𝑽 dan 𝑸 = 𝟏𝟎𝟑𝑮𝒆𝑽. Hasil perolehan ini menggunakan data PDFSet dari ATLASepWZ12-EIG. Sebagai bandingan, disertakan pula hasil data PDFs dari HERAPDF dan CT10nlo pada Gambar 4.
(14)
Dimana variabel 𝑷𝒒𝒒 merupakan fungsi pemisah, mendeskripsikan peluang dari parton awal 𝒒 menghasilkan parton anakan 𝒒. Fungsi pemisah untuk quark-quark, quarkgluon, dan gluon-quark pada leading order (LO) dapat dituliskan [1] 𝟒
𝟏+𝒛𝟐
𝟑
𝑷𝒒𝒒 (𝒛) = 𝟑 [(𝟏−𝒛) + 𝟐 𝜹(𝟏 − 𝒛)], +
𝟏
𝑷𝒒𝒈 (𝒛) = 𝟐 [𝒛𝟐 + (𝟏 − 𝒛)𝟐 ], 𝟒 𝟏+(𝟏−𝒛)𝟐
𝑷𝒈𝒒 (𝒛) = 𝟑 [
𝒛
(15)
]. 𝟏
dengan [𝒇(𝒛)]+ ≡ 𝒇(𝒛) − 𝜹(𝟏 − 𝒛) ∫𝟎 𝒇(𝒚)𝒅𝒚. Persamaan (14) secara matematis mendeskripsikan quark dengan fraksi momentum 𝒙 dapat berasal dari quark induk dengan fraksi momentum 𝒚 yang lebih besar.
Pada skala 𝒙 kecil semua penyusun proton saling berdekatan. Distribusi gluon mendominasi dikedua skala tersebut. Hal ini menjadi penanda
24
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
bahwa sebagian besar penyusun proton adalah gluon. Sementara untuk valensi quark up dan valensi quark down mengalami pengaruh saat skala 𝒙 mendekati 𝟏. Puncak quark up lebih tinggi dibanding puncak quark down. Hal ini menunjukkan bahwa distribusi quark up lebih banyak dibanding quark down dalam menyusun proton. Adapun untuk distribusi partikel lain (anti-up, anti-down, strange, anti-strange, charm, dan anti-charm) terlihat berbentuk eksponensial menurun sepanjang 𝒙. Distribusi penyusun terakhir ini mewakili distribusi momentum penyusun sisa dari proton yang grafiknya sama. Penyusun dengan sumbangsih kurang pada struktur proton ini dikelompokkan kedalam sea quark [2].
PDFs dari HERAPDF dan CT10nlo pada energi 𝟒𝑮𝒆𝑽. Hasilnya menunjukkan quark valensi up lebih mendominasi dibanding quark valensi down. Hal ini juga berkesesuaian dengan teori mapan bahwa proton terdiri dari kombinasi 𝒖𝒖𝒅. 5. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis berterima kasih kepada Wira B. Nurdin, Bansawang B.J., dan Dahang Tahir di Program Studi Fisika, Universitas Hasanuddin atas diskusi dan masukannya. Serta kepada David Zaslavsky yang telah memperkenalkan pustaka LHAPDF. 6. REFERENSI 1.
E. Perez and E. Rizvi, Rep. Prog. Phys. 76 (2013). 2. M.D. Schwartz, Quantum Field Theory and the Standard Model, New York: Cambrdige University Press, 2014. 3. M.E. Peskin and D.V. Schroeder, An Introduction to Quantum Field Theory, Massachusetts: Perseus Books, 1995. 4. R. Placakyte, “Parton Distribution Functions” in XXXI Physics in Collission-2011. 5. D. Zaslavsky, “Probing Hadron Structure in Proton-Nucleus Collisions”, Ph. D. Thesis, The Pennsylvania State University, 2014. 6. K.A. Olive et al., (Particle Data Group), Chinese Physics C38, 090001 (2014). 7. V. Bertone, S. Carrazza and J. Rojo, "APFEL: A PDF Evolution Library with QED corrections", Comput. Phys. Commun. 185, 1647 (2014), arXiv:1310.1394. 8. S. Carrazza et al.,"APFEL Web: a web-based application for the graphical visualization of parton distribution functions", J. Phys. G: Nucl. Part. Phys. 42 057001, arXiv:1410.5456. Labtalk. 9. F. Halzen and A.D. Martin, Quarks & Leptons: An Introductory Course in Modern Particle Physics, Toronto: John Wiley & Sons, 1984. 10. A. Buckley et al., Eur. Phys.J.C 75, 132 (2015).
GAMBAR 4. Perolehan PDFs dari menggunakan data HERAPDF dan CT10nlo
4. KESIMPULAN Pada makalah ini telah dipaparkan perolehan struktur bentuk dari proton melalui proses DIS. Struktur bentuk proton kemudian terdiri dari fungsi distribusi parton (PDFs). PDFs merupakan fungsi distribusi momentum parton, partikel bebas di dalam proton. Sebaran PDFs diperoleh dari APFEL Web. Hasil grafik PDFs diperoleh dari laboratorium ATLAS dengan menggunakan energi 𝟒𝑮𝒆𝑽 dan 𝟏𝟎𝟑 𝑮𝒆𝑽. Diperlihatkan pula
25
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Penelusuran Sifat-sifat Termodinamika Lubanghitam Vaidya-EinsteinSchwarzschild (VES) Bansawang BJ1), Muh. Syahrul Padli2) 1
Lab. Fisika Teori dan Komputasi, Jurusan Fisika FMIPA Universitas Hasanuddin email:
[email protected] 2 Riemann Physclub Research Group email:
[email protected]
Abstrak Telah diturunkan sifat-sifat termodinamika lubanghitam Vaidya-Einstein-Schwarzschild. Sifat-sifat termodinamika yang diturunkan yaitu luasan cakrawala peristiwa, entropi, temperatur lubanghitam dan gravitasi permukaan. Hasil yang didapatkan merupakan bentuk umum dari kasus lubanghitam Schwarzschild dengan ruangwaktu komposit bersemesta latar Einstein berdasarkan transformasi Nayak, MacCallum dan Vishveshwara dan dapat tereduksi seperti hasil sebelumnya pada kasus Schwarzschild umum dengan menerapkan kondisi khusus pada metrik. Dalam penelusuran ini, juga ditinjau konsekuensi fisis dari pengaruh perbandingan parameter jari-jari lubanghitam Schwarzschild dengan jejari semesta latar Einstein. Kata kunci: cakrawala peristiwa, entropi, gravitasi permukaan, lubanghitam, Vaidya-Einstein-Schwarzschild
Abstract The thermodynamic properties of Vaidya-Einstein-Schwarzschild black hole have been derived. The properties which derived were event horizon area, entropy, black hole temperature and surface gravity. These result were general form from Schwarzschild black hole case with composite spacetime background based on Nayak, MacCallum and Vishverwara transformations and could be reducted like a result before on general Schwarzschild case with applied special case on metric. In this research, the physical consequence from the effect of radius parameter comparison of Schwarzschild black holes with Einstein universe background radius also have been viewed. Keywords: event horizon, entropy, surface gravity, black hole, Vaidya-Einstein-Schwarzschild
mana ekspansi alam semesta dipertimbangkan sebagai variabel yang berpengaruh juga.
1. PENDAHULUAN Lubanghitam adalah sebuah area di mana efek gravitasi begitu kuat bahkan cahaya pun tak mampu meloloskan diri [1,2]. Dalam tinjauan elemen jarak, secara teoretis hal tersebut terjadi ketika massa objek sama dengan radius Schwarzschildnya sehingga mengakibatkan elemen waktu menjadi nol dan elemen radialnya menjadi tidak terdefinisi [1]. Hasil observasi pada efek hadirnya lubanghitam membuat para astronom mendukung ide tentang kehadiran lubanghitam secara fisis di alam semesta [1].
Pada dekade belakangan, perkembangan kajian lubanghitam yang diinisiasi oleh Hawking dan Bekenstein membawa pada kesimpulan bahwa lubanghitam memiliki sifatsifat termodinamika dan beradiasi. Sifat-sifat termodinamika tersebut dapat berupa entropi, entalpi, perubahan energi dalam dan temperature Hawking [3]. Penelitian tentang sifat-sifat termodinamika telah dilakukan oleh beberapa fisikawan teoretik sebelumnya. Ramchandra meneliti bagaimana efek fisis dari lubanghitam Kerr-Vaidya-Einstein [4]. B. Malakolkalami meneliti bagaimana sifat-sifat termodinamika dari lubanghitam Schwarzschild dan ReisnerrNordstrom dengan mempertimbangkan fungsi quintessense [5]. Jarmo Makela meneliti bagaimana fungsi partisi dari lubanghitam
Umumnya tinjauan lubanghitam hanya difokuskan pada kasus lubanghitam terisolasi misalnya pada ruangwaktu Schwarzschild vakum. Pendekatan tersebut terus dikembangkan pada kasus di mana ruangwaktu Schwarzschild ada dalam semesta latar. Hal itu lebih mendekati keadaan nyata di alam di
26
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Schwarzschild [6]. Peninjauan ulang cakrawala peristiwa Vaidya telah dilakukan Alex B. Nielsen [7]. K. S. Virbhadra dan F.R. Ellis telah meneliti bagaimana pembeolkan yang diakibatkan oleh lubanghitam Schwarzschild [8]. Takeshi Morita dan Shotaro Shiba meneliti bagaimana lubanghitam mikroskopik pada alam semesta brane [9]. A. Alekseev dkk meneliti tentang area pada sebuah lubanghitam. Sedangkan penelusutan perubahan energi dalam dan entalpi lubanghitam telah dilakukan Dipo Mahto dkk [2]. K. Rajesh Nayak, M.A.H. MacCallum dan C.V. Vishveshwara meninjau metrik Schwarzschild pada semesta Einstein [10].
parameter massa Vadiya-EinsteinSchwarzshild, r adalah jejari ruangwaktu Schwarzschild.
Penelitian sebelumnya belum meninjau secara langsung luasan cakrawala peristiwa, entropi, entalpi, perubahan energi dalam, temperatur lubanghitam dan gravitasi permukaan pada kasus lubanghitam Schwarzschild-Vaidya-Einstein. Juga belum ada yang meneliti bagaimana metrik VaidyaEinstein-Schwarzschild dalam tinjauannya tidak bisa didekati dengan mentransformasi koordinat ke dalam koordinat baru EddingtonFinkelstein lalu menerapkan formalisme Nielsen sehingga inilah alasan ditelusurinya kembali metrik ini.
Area lubanghitam berdasarkan formula Bekenstein-Hawking [3] yaitu:
Kondisi lubanghitam terpenuhi jika elemen waktu sama dengan nol yang merupakan singularitas koordinat. 2m 1 dt 2 0 r R tan R
r rves R tan R
r A 4 R tan R
S
2
A r R tan 4 R
(6)
c2 4mG
(8)
c2 2
1 2
(9)
c2 2GM 4GM 1 R
(1)
gravitasinya termodifikasi (7)
2Ms 4Ms 1 R
2 m 2 m 2 2 dr 2 ds 1 dt 1 r r R tan R tan R R
Dimana semesta
(5)
Sedangkan permukaan mengacu pada rumusan [1,3,4,5] yaitu:
1
2
Sedangkan luasan cakrawala peristiwa yang berkaitan dengan entropi [1,3] yaitu:
Vaidya-Einstein-Schwarzschild
(4)
Sehingga dengan menyulihkan persamaan (3) ke dalam persamaan (4) didapatkan bentuk eksplisit dari rumusan luasan cakrawala peristiwa.
Metrik Schwarzschild adalah solusi persamaan medan Einstein untuk kasus simetri bola statik vakum [1]. Nayak, MacCallum dan Vishveshwara [1] mengembangkan sebuah metrik yang merupakan metrik Schwarzschild dengan latar semesta Einstein. Metrik ini merupakan keadaan khusus dari metrik Schwarzschild dalam semesta latar Einstein.
r R 2 sin 2 d 2 sin 2 d 2 R
(3)
A 4 (rves ) 2
2. LUBANGHITAM VAIDYA-EINSTEINSCHWARZSCHILD
Metrik yaitu:
(2)
2
1 2
Sedangkan untuk mendapatkan temperatur digunakan jalinan dari BekensteinHawking [1,3,4] yaitu:
adalah parameter pengaruh latar Einstein dan m adalah R
27
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
2GM 2 2GM 1 R T 2 c c3
perubahan energi dalam lubanghitam pada persamaan (19).
1 2
Dengan memplot fungsi tangensial kuadrat didapatkan kontur dari luasan cakrawala peristiwa pada persamaan (5).
(10)
3. ENERGI DALAM DAN ENTALPI Berdasarkan termodinamika
hukum
pertama
dQ dU P dV
(11)
Energi dalam didapatkan dengan mengolah persamaan di atas [11] dU dQ P dV
dS
(12) GAMBAR 1. Kontur luasan cakrawala peristiwa
dQ T
(13)
dQ T dS
(14)
dU T dS P dV
(15)
Jika dV 0 maka dU T dS
(16)
Sedangkan untuk entalpi [11] H U PV
(17)
dH dU P dV V dP
(18)
dH T dS V dP
(19)
GAMBAR 2. Visualisasi luasan cakrawala peristiwa dalam tiga koordinat
Diambil kondisi untuk dP 0 . Jika diambil keadaan untuk kasus lubanghitam Vaidya-Einstein-Schwarzschild maka 2GM 2 2GM 1 R dU 2 c c3
1 2
(20)
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Telah diturunkan gravitasi permukaan yang bentuk eksplisitnya diberikan persamaan (8), temperatur permukaan pada persamaan (9), luasan cakrawala peristiwa (4) dan
GAMBAR 3. Entropi pada lubanghitam VES
28
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
kasus lubanghitam Vaidya-EinsteinSchwarzschild yang mentransformasi metrik ke dalam koodinat Eddington-Finkelstein. Hal tersebut dikarenakan fungsi tangensial pada elemen jarak yang membuat suku radial tidak lenyap pada persamaan umum [1]. Seharusnya, rumusan yang dipakai dalam peninjauan adalah apparent horizons di mana perubahan massa terhadap suatu parameter dipertimbangkan dalam penelusuran luasan cakrawala, namun karena keunikan metrik Vaidya-Einstein-Schwarzschild dengan suku radial tak lenyap pada saat transformasi metrik ke dalam koordinat EddingtonFinkelstein [3] maka penelusuran tersebut tak dapat dilakukan dan kembali peninjauan menggunakan rumusan standar semiklasik [1,3,5,9].
GAMBAR 4. Entropi pada lubanghitam VES dalam tiga koordinat
Sedangkan gravitasi permukaan hanya didapatkan pada kasus dengan pengamat diam di titik ketakterhinggaan. Berbeda dengan tinjauan pada kasus semesta latar yang lain yang bisa dicari melalui rumusan killing Vektor [7] sehingga mendapatkan gravitasi permukaan pada alam semesta statik dan gravitasi permukaan pada kasus semesta latar yang mengembang [7].
Sebagaimana diketahui bahwa fungsi tangensial tidaklah sinambung dalam rentang tertentu, maka terlihat bahwa kontur berwarna putih menandakan area tak terdefinisi dari fungsi pada gambar (1). Juga terlihat titik-titik di antara warna merah yang merupakan area tidak terdefinisi. Lebih jelasnya dapat terlihat pada gambar (2) untuk plot dalam tiga dimensi. Sedangkan warna merah, orange menandakan titik terdefiinisi dari luasan cakrawala peristiwa.
5. KESIMPULAN Telah didapatkan persamaan luasan cakrawala, temperatur permukaan, entropi, dan perubahan energi dalam lubanghitam dengan mempertimbangkan pengaruh semesta latar Einstein yang secara eksplisit diberikan oleh persamaan (5), (6), (9), (10) dan (20). Pengembangan persamaan dapat tereduksi kembali ke dalam persamaan umum dengan menerapkan syarat batas di mana semesta latar diabaikan.
Pada gambar (3) dan (4), terlihat area terdefinisi yang lebih luas dibandingkan dengan rentang semesta latar Einstein yang lebih besar. Pada hasil plot juga terlihat bahwa keunikan dari metrik ini adalah terdefinisinya fungsi pada perbandingan antara r dan R tertentu. Juga hanya akan terdefinisi jika pengaruh jejari lubanghitam Schwarzschild (ruangwaktu lokal) lebih dominan.
Nilai besaran-besaran termodinamika hanya ada untk perbandingan bulat antara jejari Schwarzschidl dengan jejari semesta latar. Semakin kecil perbandingan jejari ruang lokal (Schwarzschild) dengan jejari global (semesta Einstein) maka entropinya semakin menurun dan luasan cakrawalanya juga semakin menurun. Namun, semakin meningkat perbandingan antara jejari lokal dan global didapatkan hasil minus untuk entropinya yang menandakan bahwa hasil yang didapatkan tidaklah fisis.
Persamaan baru yang mempertimbangkan pengaruh semesta latar bisa tereduksi kembali pada persamaan umum [1]. Pengaruh semesta latar ditinjau pula dengan membandingkannya dengan jejari Schwarzschild. Hasil tersebut memiliki kesamaan efek seperti persamaan pada kasus semesta latar yang lain [5,9]. Tetapi, peninjaun dengan rumusan Nielsen [7] belum dapat diterapkan untuk
29
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
5. K. Ghaderi, B. Malakolkalami, “Thermodynamics of The Schwarzschild and the Reissner-Nordstrom black holes with quintessence”, Nuclear Physics B 903, 10-18 (2016). 6. Jarmo Makela, “Partition Function of the Schwarzschild Black Hole”, Entropy 13, 1324-1354 (2011). doi:10.3390/e13071324. 7. Alex B. Nielsen, “Revisiting Vaidya Horizons”, Galaxies 2, 62 – 71 (2014). doi:10.3390/galaxies2010062.
6. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis berterimakasih pada Jurusan Fisika FMIPA Unhas atas dukungannya. Juga pada RiEman Physclub Research dan Komunitas Mejakotak dalam pengembangan bahasan ini. Tak lupa pula penulis berterimakasih atas dukungan Prof. Dahlang Tahir. 7. REFERENSI 1. Ryder, Lewis, Introduction to General Relativity, Cambridge University Press, New York, 2009.
8. K. S. Virbhadra and George F. R. Ellis, “Schwarzschild black hole lensing”, arXiv:astro-ph/9904193.
2. Andrew J. S. Hamilton, General Relativity, Black Holes, and Cosmology, 2015, (http://jila.colorado.edu/~ajsh/astr5770_14/ notes.html).
9. Takeshi Morita and Shotaro Shiba, “Thermodynamics of black M-branes from SCFTs”, http://arxiv.org/abs/1305.0789. 10. K. Rajesh Nayak, M.A.H. MacCallum and C.V. Vishveshwara, “Black Holes in Nonflat Backgrounds: the Schwarzschild Black Hole in the Einstein Universe”, http://arxiv.org/abs/gr-qc/0006040v2. 11. Dipo Mahto et. al, “Change in internal energy & enthalpy of the black holes”, doi:10.11648/j.ijass.20130104.12.
3. B. S., Ramchandra, “Black holes in cosmological background”, Master Thesis, University of Calicut, India, 2003. 4. B. S., Ramchandra, “The Vaidya-EisnteinSchwarzschild Black holes: Some physical effects”, University of Calicut, India, 2003.
30
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Metrik Medan Gravitasi Einstein-Klein-Gordon Statik Simetri Bola Bansawang BJ*, Tasrief Surungan, Abdul Muin Banyal Laboratorium Fisika Teori dan Komputasi Jurusan Fisika Fakultas MIPA Universitas Hasanuddin
Abstrak Dalam tulisan ini ditinjau perumusan dan mencari solusi medan gravitasi Einstein-Klein-Gordon (EKG) stasioner untuk kasus simetri bola dengan tensor energi-momentum medan skalar riil. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa selain massa, terdapat pula pengaruh medan lain (medan skalar) terhadap geometri ruangwaktu disekitar benda bermassa. Kata kunci: Medan gravitasi, persaman Einstein-Klein-Gordon, simetri bola.
melenyapkan rapat energi sebagai sumber gravitasi diberikan oleh [4]. Selain solusi Schwarzschild, terdapat juga solusi Reissner-Nordstrom yakni sebuah solusi statik dari perpaduan medan elektromagnet dan gravitasi, yang memerikan geometri ruangwaktu di sekitar massa bermuatan listrik simetri bola [5]. Adapun pengembangan dari solusi Reissner-Nordstrom untuk kasus black hole berotasi dalam dimensi yang lebih tinggi diberikan oleh [6]. Solusi Reissner-Nordstrom merupakan model yang sangat teoretis. Hal ini disebabkan karena pada kenyataanya, berbagai objek astrofisika seperti bintang, planet dan lubang hitam yang berperan sebagai sumber gravitasi di alam ini haruslah berotasi stasioner atau tidak statik. Meskipun demikian, solusi Reissner-Nordstrom tetap merupakan model yang memiliki aspek teoretis yang sangat menarik terutama mengenai kajian unifikasi dua interaksi fundamental yang tercakup pada model tersebut yakni Gravitasi dan Elektromagnetik [7]. Salah satu model yang memiliki aspek teoretis yang tidak kalah menariknya adalah solusi perpaduan medan skalar dan medan gravitasi. Meskipun solusi ini masih kurang mendapat perhatian dalam perkembangannya, Yilmas telah memperoleh salah satu solusi eksak dalam teori gravitasi barunya yang mana persamaan medannya sangat mirip dengan persamaan EKG [8,9]. Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis terdorong untuk menelusuri ulang solusi dari persamaan medan Einstein untuk kasus statik simetri bola dengan tensor energi-momentum yang mendeskripsikan medan skalar. Selain itu, dilakukan pula peninjauan rumusan medan skalar dalam ruangwaktu melengkung sebagai
1. PENDAHULUAN Teori relativitas umum yang dibangun oleh Einstein berdasarkan prinsip ekuivalensi dan prinsip kovariansi umum yang menetapkan hubungan fundamental antara medan gravitasi dan geometri ruangwaktu yakni bahwa ruangwaktu bukanlah suatu kuantitas absolut melainkan dapat melengkung oleh kehadiran massa dan energi yang masif [1]. Meskipun persamaan medan Einstein adalah merupakan sebuah persamaan diferensial parsial yang sangat tidak linear, namun dewasa ini telah banyak diperoleh solusi eksak maupun noneksak dari persamaan medan tersebut [2]. Salah satu solusi eksak pertama dari persamaan medan Einstein adalah solusi Schwarzschild yang merupakan solusi vakum simetri bola. Solusi Schwarzschild sukses dalam memberikan gambaran mengenai geometri ruangwaktu di sekitar massa statik yang menjadi pusat gravitasi, termasuk meramalkan eksistensi suatu objek astrofisika dengan medan gravitasi sangat kuat yang kemudian lebih populer dengan istilah lubang hitam. Akan tetapi, solusi tersebut menyisakan beberapa kajian lanjut misalnya koordinat ruangwaktu yang menjadi tak terhingga mulai dari jejari Schwarzschild ( rS ) yang merupakan batas horizon peristiwa lubang hitam sampai pada pusat gravitasi atau yang lebih dikenal sebagai singularitas lubang hitam. Keberadaan singularitas ini pada dasarnya tidak bersifat intrinsik, yaitu dengan melakukan transformasi koordinat tertentu singularitas pada jejari Schwarzschild ( rS ) tersebut dapat dihilangkan [3]. Adapun tinjaun dari solusi Schwarzchild yang tidak
31
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
indikasi dari kehadiran medan gravitasi. Perumusan medan skalar dalam ruangwaktu datar juga akan ditinjau sebagai pendekatan yang memerikan interpretasi fisis pada metrik yang diperoleh. Adapun solusi perpaduan gravitasi dan medan skalar dengan jumlah dimensi tertentu yang lebih tinggi telah diberikan oleh [10]. Adapun dalam tulisan ini terdiri atas beberapa bagian, yakni pendahuluan, persamaan dalam relativitas umum, medan skalar rill dan medan gravitasi, solusi persamaan EKG dan bagian akhir berisi kesimpulan.
Dan skalar Ricci R. Bila ada medan luar selain medan gravitasi, maka tensor energimomentum T dapat dihitung dari rapat Lagrangian medan luar melalui persamaan: 2
T
g
I g R 2K L M d 4 x
(1)
1 g R K T 2
(2)
tensor
ds 2 e c 2 dt 2 e dr 2 r 2 d 2 sin 2 d 2
g adalah tensor metrik
G
dalam
Untuk bentuk
menghitung
g 00 e 1
komponen-
komponen tensor metrik maka terlebih dahulu dihitung lambang Christoffel, yakni:
g 11
g g g 1 1 g g [ ] (3) 2 2 x x x
x
x
(7)
2GM rc
2
2GM e 1 rc 2
1
(8)
Dengan demikian bentuk elemen garis Schwarzschild yang berasal dari sumber gravitasi statik simetri bola secara lengkap dapat dituliskan sebagai berikut:
Kemudian menghitung elemen-elemen tensor Ricci, yakni: R
dimana elemen garis Schwarzchild untuk komponen tensor metrik g 00 dan g11 diberikan oleh:
T adalah tensor energi-momentum
c4
(6)
tidak adanya medan lain selain gravitasi. Bentuk umum elemen garis simetri bola diberikan oleh [12]:
dimana G adalah tensor Einstein, R adalah tensor Ricci, R adalah kelengkungan skalar Ricci yang diungkapkan sebagai
8 G
(5)
Sebelum merumuskan dan menyelesaikan persamaan medan gravitasi Einstein- KleinGordon simetri bola, terlebih dahulu ditinjau solusi Schwarzchild yang merupakan solusi vakum dari persamaan medan Einstein. Pada solusi vakum R 0 yang mengindikasikan
maka diperoleh:
K
g LM ) [ ] x g ,
2.2.1 Geometri Simetri Bola
sedangkan
2.2. Medan Skalar Riil Dan Medan Gravitasi
Persamaan Einstein dalam relativitas umum dapat diturunkan dari prinsip aksi dengan rapat Lagrangian Einstein-Hilbert [11]:
dan
g
1 R K [ T Tg ] 2
2.1. Persamaan Einstein Dalam Relativitas Umum
R g R ,
( g LM )
Dari hitungan tensor akan tampak merupakan persamaan diferensial parsial yang sangat tidak linear sehingga kadang-kadang diambil trace dari persamaan Einstein dengan mengontraksikan sehingga:
2. KAJIAN LITERATUR
G R
{
ds 2 (1
(4)
32
2GM 2 2 1 )c dt dr 2 r 2 d 2 sin 2 d 2 2GM rc2 1 2 rc
(9)
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Dapat dilihat bahwa metrik (9) juga mempunyai sifat datar asimtotik. Hal ini berarti bahwa distorsi dari geometri ruangwaktu yang ditimbulkan oleh distribusi materi berbentuk bola ini bersifat lokal, dimana semakin jauh dari sumber distorsinnya semakin mengecil. Dalam limit jarak tak berhingga, metrik (9) kembali menjadi geometri ruangwaktu Minkowski. Selain itu bentuk metrik ini mengandung singularitas pada r 0 dan r rS
2GM rc 2
dan jika rapat Lagrangian persamaan (11) disubstitusi ke dalam persamaan (5) maka diperoleh tensor energi momentum medan skalar, yakni: T
disebut sebagai jari-jari Schwarzschild yang menunjukkan bahwa suatu objek akan berkelakuan sebagai lubang hitam jika jarijarinya memenuhi r rS 2.2.2 Tensor Energi-Momentum Medan Skalar Riil
T00 T22 T33
Selanjutnya akan ditinjau rapat Lagrangian medan skalar dalam ruangwaktu datar tanpa kehadiran gravitasi (ruang Minkowski) dimana Lagrangiannya diberikan oleh [13].
T11
harus
1 2 2 1 2 m e (14) 2 2
1 2 2 1 2 m e 2 2
(15)
dengan tanda aksen pada persamaan di atas menandakan turunan terhadap r.
(10)
2.2.3 Persamaan Medan EinsteinKlein-Gordon
Untuk memperoleh persamaan Klein-Gordon dengan kehadiran gravitasi, dengan berdasar pada prinsip ekuivalensi dan kovariansi umum maka rapat Lagrangian persamaan (10) akan di perluas untuk ruangwaktu yang melengkung. Dalam ruangwaktu melengkung, rapat Lagrangian
(13)
Adapun potensial medan skalar riil yang ditinjau dalam keadaan stasioner yang berarti hanya merupakan fungsi dari jari-jari yang kemudian didefinisikan sebagai (r ) . Berdasarkan formulasi tensor energimomentum yang telah diperoleh pada persamaan (13) memberikan empat komponen tensor energi momentum yang tidak nol. Dalam hal ini digunakan tensor campuran yakni:
dimana rS
1 1 L m 2 2 2 2
1 1 g [ g m 2 2 ] 2 2
Komponen tensor energi momentum yang tidak lenyap pada persamaan (14) dan (15) dapat digunakan untuk merumuskan hubungan antara geometri ruangwaktu dengan kontribusi materi-energi medan skalar dengan mengubah persamaan (2) menjadi tensor campuran yakni:
memuat g dan
kemudian diganti dengan g . Dengan demikian rapat Lagrangian persamaan (10) dapat ditulis kembali dalam bentuk:
G K T
1 1 L g ( g m 2 2 ) (11) 2 2
(16)
Hasil dari komponen-komponen tensor Ricci dan skalar Ricci untuk gravitasi simetri bola kemudian digunakan untuk menghitung tensor Einstein. Dalam kasus ini digunakan
Dengan mensubstitusi rapat Lagrangian medan skalar persamaan (11) ke dalam persamaan Euler-Lagrange maka akan diperoleh persamaan Klein-Gordon dalam ruangwaktu melengkung dengan kehadiran gravitasi, yakni:
tensor campuran G sebagai tensor Einstein
yang mendeskripsikan geometri ruangwaktu (gravitasi) dan tensor energi-momentum yang mendeskripsikan bagi distribusi materi-energi (medan skalar). Dengan demikian, kopling antara komponen tensor Einstein dan tensor energi-momentum pada persamaan (14) dan
( g g ) m 2 g 0 (12)
33
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
(15) di atas akan diperoleh persamaanpersamaan medan sebagai berikut: G 00 e [ G 11
e
1 r
[
r
2
r
1 r2
1
]
]
r
1 r2
2
2
2
dari solusi Schwarzschild diperoleh hubungan
, maka:
[m 2 2 e 2 ] (17)
[m e ] 2
2
2
1 2 2 2 G 22 G 33 e [ ] [m e 2 ] 2 2 2 2 2
e g
(18) (19)
2 r
2
) m 2e 0
2 r
m 2 0
linear dari e mr . Adapun solusi yang dipilih adalah e mr mengingat e mr akan divergen. Dengan demikian solusi persamaan (24) di atas akan menghasilkan potensial seperti model potensial Yukawa, yaitu:
Penyelesain Persamaan Medan EKG Salah satu upaya yang dilakukan untuk memperoleh solusi persamaan medan gravitasi EKG adalah dengan menganggap bahwa geometri ruangwaktu dipengaruhi oleh distribusi materi-energi yang menempatinya seperti yang ditunjukan oleh persamaan (17)(19), yang merupakan empat persamaan diferensial yang akan diselesaikan dengan meninjau komponen ke (00) dan (12). Solusi dari komponen ke (00) dan (12) dilakukan dengan menjumlahkan serta mengurangkan persamaan (17) dan (18) yakni 0 0
g
r
2 2 ] 2 m 2 2 2 r r (21) 2 r
T00 T22 T33
T11
Untuk partikel skalar tidak bermassa (m = 0) persamaan (20) dan (21) akan diperoleh sangkutan:
e 1
r
e mr r
(25)
Dengan g merupakan konstanta interaksi yang erat kaitanya dengan konstanta g pada persamaan (23). Selanjutnnya kita tinjau hubungan antara tensor energi-momentum dalam limit medan lemah dengan medan gravitasi sehingga tensor energi momentum pada persamaan (14) dan (15) direduksi menjadi:
G 11 T00 T11 maka diperoleh:
e [
(24)
Persamaan (24) di atas merupakan persamaan diferensial Bessel yang mempunyai solusi berupa kombinasi linier dari sinh (mr) dan cosh (mr) atau kombinasi
(20)
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
G
(23)
Selanjutnya dalam limit medan lemah persamaan Klein-Gordon (20) akan teruduksi dalam ruangwaktu datar (ruang Minkowski) yang memberikan persamaan:
Adapun tanda aksen pada persamaan diatas menandakan turunan terhadap r. Demikian pula persamaan Klein-Gordon dapat diturunkan dari persamaan (12) sehingga diperoleh:
(
e 2 r 4
1 2 2 1 2 m 2 2
1 2 2 1 2 m 2 2
(26) (27)
Dengan demikian untuk tensor energimomentum dalam limit medan lemah maka solusi persamaan medan yang diungkapkan oleh persamaan (18) di atas akan diperoleh:
(22)
e 1
Sedangkan diperoleh dengan e menggunakan hubungan antara persamaan (21) dengan (22) dan mengingat pula bahwa
1 r
g 2 e 2mr 2M r 2r 2 1 r
[ (m
34
1 g 2 e 2mr ) ]e 2r r2
(28) (29)
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
dengan M pada persamaan (28) merupakan konstanta integral yang kemudian dapat didefinisikan sebagai massa gravitasi benda dari titik sumber, sedangkan untuk partikel skalar tak bermassa (m 0) maka komponen g00 dapat dicari dengan mengintegralkan persamaan (29) yang memberikan: r M M 2 g 2 / 2 e 2 2 r M M g / 2
seperti pada solusi Schwarschild. Selain itu, juga diperoleh perumusan medan skalar dalam ruangwaktu datar sebagaimana diberikan oleh persamaan (24). Berikutnya penelitian ini akan dilanjutkan dengan mengambil model benda berotasi (aksial stasioner) atau dengan memilih medan skalar bermassa dari rapat Lagrangian dengan potensial ϕ.
M M 2 g 2 / 2
(30)
5. REFERENSI
Adapun untuk partikel skalar tak bermassa (m 0) maka persamaan (28) akan tereduksi menjadi:
e 1
2M g 2 2 r 2r
Valeria, F dan Gualtieri L, “General Relativity”, INFN Roma, (2012).
2.
Kramer, D., et al., Exact Solution of Einstein's Field Equation, Cambridge: Cambridge University Press, (1990). Biswas Tarun, “Physical Interpretation of Coordinates for the Schwarzschild Metric”, (2008), arXiv.org/grqc/arXiv:0809.1452. Ahmad Iftikhar., et al., “Static Solutions of Einstein Equations with Spherical Symmetry”, arXiv.org, (2014). Mammadov G., “Reissner-Nordstrom Metric”, Syracuse University, (2009). Tanabe, K., “Charged rotating black holes at large D”, arXiv.org, (2006).
3.
(31)
Suku kedua metrik pada persamaan (31) adalah kontribusi massa sebagaimana pada metrik Schwarzschild, sedangkan suku ketiga memberikan gambaran pengaruh medan skalar dalam ruangwaktu di sekitar benda bermassa. Dengan demikian diperoleh solusi persamaan medan gravitasi EKG untuk partikel skalar tak bermassa yang kemudian dinyatakan dalam elemen garis berikut ini. r M M 2 g 2 / 2 dS 2 r M M 2 g 2 / 2
1.
4.
5. 6. 7.
Ariansyah., “Metrik Medan Gravitasi Maxwell-Einstein Benda Bermuatan Simetri Aksial Statik”, Skripsi Fisika, (2016).
8.
Yilmaz, H., Physical Review 111, 147 (1958).
9.
Yilmaz, H., Nuovo Cimento 10B(1), 79 (1972).
M M 2 g 2 / 2
c 2 dt 2
2M g 2 2 2 1 2 dr r d 2 sin 2 d 2 r 2r
(32)
10. Xanthopoulos, B. C. dan Zannias T., “Einstein gravity coupled to a massless scalar field in arbitrary spacetime dimensions”, arXiv.org, (1989).
4. KESIMPULAN Persamaan medan gravitasi benda bermassa simetri bola dan medan skalar riil bermassa khususnya dalam limit medan lemah yang telah diperoleh dan mempunyai solusi seperti yang ditunjukan oleh elemen garis pada persamaan (32). Pada elemen garis tersebut terlihat bahwa selain massa, terdapat pula pengaruh medan lain (medan skalar) terhadap geometri ruangwaktu disekitar benda bermassa simetri bola. Dengan adanya suku tambahan pada metrik Schwarschild menunjukkan bahwa metriknya tidak menuju singularitas
11. BJ., Bansawang, “Buku Ajar Teori Relativitas Umum”, Jurusan Fisika FMIPA Unhas, Makassar, (2014). 12. Carmeli M., Classical Fields: General Relativity and Gauge Theory, New York: John Wiley and Sons, (1982). 13. Davis, W.R., Classical Fields, Particles and the Theory of Relativity, New York, (1972).
35
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Interpretasi Data Geokimia Mata Air Panas di daerah Geothermal Wala: Studi Kasus di Kabupaten Tana Toraja Maria*, Muh. Altin Massinai, Dahlang Tahir, Sernita Domapa Jurusan Fisika FMIPA Universitas Hasanuddin, Makassar * email:
[email protected]
Abstrak Daerah panas bumi Wala merupakan daerah dengan panas bumi temperatur tinggi, terletak di Kecamatan Sangalla Selatan Kabupaten Tana Toraja Propinsi Sulawesi Selatan. Dalam tulisan ini, data yang digunakan adalah contoh air dari tiga mataair panas. Komposisi kimia dari air dianalisa dengan metodemetode standar dan selanjutnya karakteristik kimia dari mataair panas diklasifikasikan dengan menggunakan diagram trilinier klorida-sulfat-bikarbonat (Cl-SO4-HCO3). Berdasarkan plot ion-ion pada diagram trilinier CL-HCO3-SO4 maka tipe fluida yang terdapat pada 3 stasiun di daerah penelitian yaitu tipe klorida. Berdasarkan perhitungan geotermometer, temperatur reservoir diperkirakan 250.7061 oC – 282.85oC yang tergolong reservoir entalpi tinggi. Dengan gradien geotermal daerah penelitian yaitu 3.3 oC, maka kedalam reservoir diperkirakan antara 7.2980 km – 6.3850 km dari permukaan. Pemanfaatan panas bumi pada daerah penelitian dapat dijadikan sebagai sebagai objek wisata alam dan terapi pengobatan untuk penyakit kulit tetapi tidak dapat dikonsumsi secara berkepanjangan karena mengandung klorida yang tinggi, sehingga berbahaya bagi kesehatan. Kata kunci: Mata air panas, Geotermometer, Reservoir, Gradien Geoterma, Diagram Trilinier.
Abstract The Wala area is a high-temperature geothermal area in south Sangalla district, Tana Toraja, in South Sulawesi Province. In this paper data from three hot springs are presented. The chemical composition of these waters was analysed by standard methods, and subsequently the chemical characteristics of the hot springs were classified by the use of the chloride-sulphate-bicarbonate (Cl-SO4-HCO3 ) ternary diagram. Based on the ions plot of terniary diagram CL-HCO3-SO4, the type of fluid contained in three research stations is chloride type. Chemical geothermometer were used to predict subsurface temperature. According to Na/K geothermometer calculation, reservoir temperature is estimated at 250.7061 oC - 282.85oC which is a relatively high enthalpy reservoir. With geothermal gradient at 3.3oC, the depth of reservoir is estimated at 6.3850 km7.2980 km under the surface. Utilization of geothermal energy in the research area can be used for natural excursion and skin treatment/therapy, but can not be consumed for a long time because it contains chloride is high, so harmful for human's health. Keywords: Hot spring, Geothermometry, Reservoir, Geothermal Gradient, Ternary Diagram.
mataair yang suhu atau temperaturnya lebih tinggi dari suhu lingkungannya. Mataair panas ini, jika dikelola dengan baik akan memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat di sekitarnya. Untuk mengetahui karakteristik dari mataair panas salah satunya dilakukan analisis geokimia terhadap sampel mataair panas tersebut. Analisis terhadap data geokimia mataair panas akan memberikan informasi tentang tipe fluida, asal fluida, temperature reservoir dan kedalaman reservoir.
1. PENDAHULUAN Panasbumi merupakan energi panas yang berasal dari dalam bumi dan muncul di permukaan bumi berupa mataair panas, uap air (stream), batu panas, fumarola dan lumpur panas yang disebut sebagai manifestasi. Kemunculan sumber manifestasi panasbumi dapat disebabkan oleh aktivitas vulkanis atau adanya aktivitas tektonik di bawah permukaan. Keberadaan sesar aktif di suatu daerah dapat memicu kemunculan manifestasi panasbumi di daerah tersebut. Salah satu dari ribuan manifestasi panasbumi di Indonesia terdapat di Dusun Wala, Kecamatan Sanggala Selatan, Kabupaten Tana Toraja. Manifestasi tersebut berupa mataair panas (hot spring) yaitu
Keberadaan mataair panas pada suatu daerah, dapat terbentuk oleh dua sebab yaitu oleh aktivitas tektonik aktif dan vulkanisme [1].
36
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Penyelidikan geokimia yang pernah dilakukan di kecamatan Sangalla, Makale [2], menyatakan bahwa air panas di daerah ini termasuk tipe air klorida dengan temperatur bawah permukaan diperkirakan 1100 C. Penyelidikan geokimia pernah dilakukan di Kabupaten Lebong Provensi Bengkulu, Sumatra untuk menentukan asal dan tipe fluida serta temperature dan kedalaman reservoir [3]. Penelitian lain yang pernah dilakukan di Kecamatan Sangalla, Makale dan sekitarnya [4], menyatakan bahwa daerah tersebut merupakan daerah yang umumnya disusun oleh batuan karbonat dari Formasi Toraja dan Formasi Makale. Struktur lipatan membentuk perbukitan dan lembah, struktur lipatan dipotong oleh struktur sesar. Berdasarkan penelitian terhadap anomali gravitasi dan kerentanan magnet batuan [5] di daerah Sangalla, diketahui bahwa struktur sesar yang teridentifikasi oleh metode gravitasi dan metoda geomagnet memperlihatkan kesamaan dalam arah struktur yaitu baratlaut tenggara dan baratdaya timurlaut dan yang mengontrol kenampakan mata air panas kepermukaan adalah sesar Makula yang berarah timurlaut barat daya.
laboratorium untuk menganalisis Na, K, Li dan B dengan menggunakan metode Spektrometri Serapan Atom [6] sedangkan untuk ion SO4, HCO3, Ca, Mg dan Cl menggunakan metode titrasi.
2. METODE PENELITIAN
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
2.1 Analisis Laboratorium
Berdasarkan hasil pengamatan dan pengukuran dengan menggunakan Global Position System (GPS) dan thermometer, diperoleh hasil pengamatan disajikan pada Tabel 1.
2.2 Penentuaan Tipe dan Asal Fluida Penentuan tipe fluida mataair panas dengan memplot ion CL, ion SO4 dan ion HCO3 menjadi diagram Trilinier Cl, SO4 dan HCO3, maka tipe air panas dapat dikalsifikasikan, sedangkan asal fluida dapat diklasifikasikan dari diagram Trilinier berdasarkan kandungan ion yang dominan dari Cl, Li dan B [7]. 2.3 Temperatur dan Kedalamam Reservor Perhitungan temperatur reservoir menggunakan geotermometer Na-K karena sangat baik diterapkan untuk air tipe klorida yang berasal dari reservoir temperatur tinggi yaitu >1800 C (Agus, 2012). Kedalaman reservoir dihitung dengan menggunakan asumsi yang dikemukakan oleh Dickson dan Fenelli [8].
Bahan yang dianalisis di laboratorium berupa sampel air panas dari tiga sumber mataair panas di Dusun Wala Kecamatan Sanggala Kabupaten Tana Toraja. Analisis
TABEL 1. Tabel Hasil Pengukuran mataair panas di Dusun Wala Nama Stasiun
Waktu (WITA)
Koordinat
1
WL1
14.14
2
WL2
3
WL3
No
Elevasi (Mdpl)
Jenis Manifestasi
3O 6' 36.1" S 119O 55' 15.4" E
882
15.26
3O 6' 40.1" S 119O 55' 13.8" E
16.00
3O 6' 41.6" S 119O 55' 12.4" E
Suhu (oC) Lingkungan
Permukaan
Mata air panas
26
42
861
Mata air panas
27
40
856
Mata Air Panas
28
38
Berdasarkan pengamatan di lokasi penelitian, stasiun WL1 merupakan sumber berupa mataair panas yang disertai dengan gelembung dan uap. Adanya gelembung dan
uap mengindikasikan telah terjadi interaksi dengan oksigen sebelum sampai di permukaan. Mataair ini telah dialirkan warga pada satu bak penampungan untuk selanjutnya dialirkan ke
37
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
rumah-rumah warga menggunakan pipa. Stasiun WL2 telah digunakan sebagai ekowisata dan pada stasiun WL3, sumber mataair panas digunakan warga untuk ekowisata dan dialirkan ke rumah warga. Dari data temperatur yang diperoleh di lapangan, lokasi penelitian merupakan sumber manifestasi panasbumi yang muncul akibat aktivitas tektonik aktif dicirikan oleh manifestasibertemperatur rendah dengan suhu antara 200 – 1000 C [1].
3.1 Hasil Analisis Laboratorium Uji kualitas air di laboratorium bertujuan untuk mengetahui ion-ion tertentu yang terkandung dalam fluida panasbumi di lokasi penelitian sebagai parameter penentuan tipe fluida, asal fluida dan temperatur reservoir. dari hasil analisis kimia dari ketiga mataair panas seperti ditunjukkan pada table 2.
TABLE 2. Komposisi kimia dari tiga stasiun mataair panas No
PARAMETER
SAMPEL
SATUAN 1
2
3
1
pH
7.060
7.85
8.67
2
Kalsium (Ca)
28.028
32.032
24.024
3
Natrium (Na)
3.440
3.0443
3.3886
4
Kalium (K)
0.604
0.3802
0.4318
5
Klorida (Cl)
110
110
107
tt
tt
tt
tt
tt
tt
ppm
6
Lithium (Li)
7
Boron (B)
8
Sulfat (SO4)
48.86
38.93
41.23
9
Magnesium (Mg)
36.036
34.034
30.03
33.5
31.0
26.0
10
Bikarbonat (HCO3
-)
Dilihat dari hasil uji laboratorium, mataair panas di Dusun Wala merupakan mata air panas yang bersifat basa dengan kandungan ion klorida tertinggi. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan [9], air panas daerah penelitian merupakan air yang tidak layak dikonsumsi karena mengandung ion klorida yang sangat tinggi. Jika dikonsumsi secara berkepanjangan akan mengakibatkan berbagai penyakit diantaranya kanker kandung kemih, dubur ataupun usus besar. Dari parameter fisis, mata air panas daerah penelitian memiliki rasa dan bau sulfur yang dapat menyebabkan sakit kepala, kejang-kejang dan muntah.
GAMBAR 1. Diagram Trilinier Cl-SO4-HCO3 memperlihatkan tipe mataair panas Wala.
3.2 Tipe dan Asal Fluida
Asal fluida panasbumi dapat ditentukan berdasarkan persentase kandungan klorida (Cl), litium (Li) dan boron (B), kemudian ionion tersebut diplot kedalam diagram trilinier Cl-Li-B [7]. Berdasarkan hasil uji laboratorium, kandungan lithium dan boron pada ketiga mataair panas tidak dapat dideteksi oleh karenanya, diagram trilinier Cl-Li-B tidak dapat ditampilkan. Tetapi asal fluida panasbumi di daerah penelitian masih bisa diketahui berdasarkan jumlah konsentrasi
Berdasarkan Tabel 2, terlihat ion yang dominan adalah ion Cl, SO4 dan HCO3, sehingga cara terbaik untuk menentukan tipe fluida digunakan diagram trilinier Cl-SO4HCO3 (Giggenbach, 1991). Dari plot diagram trilinear pada gambar 1, dapat disimpulkan bahwa ketiga mataair yang ada di Dusun Wala merupakan mataair tipe klorida. Hasil ini sama dengan penelitian tipe fluida mataair panas yang dilakukan sebelumnya [1].
38
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
klorida dalam sampel mataair panas yang mengindikasikan bahwa fluida berasal langsung dari reservoir [8]. Kehadiran klorida mengindikasikan fluida berasal langsung dari reservoir tanpa terkontaminasi dengan mineral batuan yang dilalui ataupun fluida lainnya. Fluida dari reservoir bergerak ke permukaan melalui sesar-sesar yang ada di daerah penelitian [4] dan sesar-sesar tersebut berperan mengontrol sistem panas bumi. Struktur sesar tersebut berupa struktur sesar mendatar (strikeslip-fault), berarah N55°E-N60°E [1]. Sama dengan hasil penelitian [5], menyatakan bahwa struktur sesar yang terindentifikasi oleh metode geomagnet yang mengontrol kenampakan mataair panas Makula kepermukaan adalah sesar Makula yang berarah timur laut baratdaya.
dikarenakan proses geologi yang bekerja di daerah tersebut [8]. Dengan menggunakan nilai gradien geotermal daerah penelitian yaitu 3.3oC, dan berdasarkan asumsi tersebut, maka kedalaman reservoir satsiun WL1 adalah 7,298 km, WL2 6,385 km dan WL3 yaitu 6,497 km. 4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian mataair panas di Dusun Wala Kecamatan Sanggala, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Mataair panas di lokasi penelitian merupakan mataair panas tipe klorida dengan persentase klorida sebesar 84.56 % pada stasiun WL1, 70.17 % pada stasiun WL2 dan 70.14 % pada stasiun WL3. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No.416 Tahun 1990, air panas daerah penelitian merupakan air yang tidak layak dikonsumsi dalam jangka waktu lama karena mengandung ion klorida yang sangat tinggi hal ini dapat menyebabkan gangguan kesehatan.
3.3 Temperatur dan Kedalaman Reservoir Persamaan yang digunakan untuk menghitung temperature reservoir adalah persamaan geotermometer Na-K [10], sebagai berikut: T (0C) =[
1.390 (1.750 + 𝑙𝑜𝑔(
𝑁𝑎 )) 𝑘
] − 273.15oK
2. Berdasarkan diagram trilinier Cl-SO4HCO3, menyatakan bahwa ketiga mataair yang ada di Dusun Wala merupakan mataair tipe klorida. 3. Asal fluida panasbumi di daerah penelitian diketahui berdasarkan jumlah konsentrasi klorida dalam sampel mataair panas yang mengindikasikan bahwa fluida berasal langsung dari reservoir (Fathan, 2013). Kehadiran klorida mengindikasikan fluida berasal langsung dari reservoir tanpa terkontaminasi dengan mineral batuan yang dilalui ataupun fluida lainnya. 4. Mataair panas berasal langsung dari reservoir dan muncul di permukaan melalui sesar-sesar yang ada di daerah penelitian [4] dan sesar-sesar tersebut berperan mengontrol sistem panas bumi. Merupakan struktur sesar mendatar (strikeslip-fault), berarah N55°E-N60°E [1]. Struktur sesar yang terindentifikasi oleh metode geomagnet yang mengontrol kenampakan mataair panas Makula kepermukaan adalah sesar Makula yang berarah timurlaut baratdaya [5].
(1)
Hasil perhitungan temperatur reservoir dengan menggunakan geotermometer Na-K diperoleh bahwa Temperatur reservoir pada stasiun WL1 adalah 282,85oC, stasiun WL2 adalah 250,7061oC dan stasiun WL3 adalah 252,42oC. Sebagaimana yang dijelaskan oleh [11] yang mengatakan bahwa tipe klorida adalah tipe fluida pada sistem panas bumi dengan temperature tinggi. Nilai ini menunjukkan bahwa ketiga stasiun merupakan reservoir mataair panas entalpi tinggi [12]. Kedalaman yang dapat dicapai oleh pengeboran dengan teknologi modern mencapai 10.000 m, rata-rata gradien geotermalnya adalah 2.5 – 3 oC/100m. Misalnya, jika temperatur pada beberapa meter pertama di bawah permukaan tanah sesuai dengan temperatur rata-rata tahunan udara luar yaitu 15 °C, maka dapat diasumsikan bahwa suhu akan menjadi sekitar 65° -75°C pada kedalaman 2.000 m, 90° - 105°C pada 3000m dan seterusnya sampai beberapa ribu meter. Namun ada daerah yang gradien geotermalnya jauh diatas rata-rata dan juga dibawah rata-rata
5. Temperatur reservoir pada daerah penelitian antara 250.70610 C - 282.850 C.
39
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Temperatur reservoir daerah penelitian merupakan reservoir entalpi tinggi [12]. 6. Berdasarkan perhitungan dengan gradien geothermal, maka kedalaman reservoir pada adalah 6.3850 km - 7.2980 km dari permukaan bumi.
Kabupaten Tana Toraja, Propinsi Sulawesi Selatan”. Pusat Sumber Daya Geologi, Bandung, 2006. 6.
J. A. Anshori, “Materi Ajar: Spektrometri Serapan Atom”, Staf Laboratorium Kimia Bahan Alam dan Lingkungan Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Padjadjaran, Bandung, 2005.
7.
W. F. Giggenbach, Chemical techniques in geothermal exploration. In: D’Amore, F. (coordinator), Application of geochemistry in geothermal reservoir development, Rome: Unitar/Undp publication, 1991, pp. 119-142.
8.
M. H., Dickson dan M. Fanelli, “What is Geothermal Energy?”, Istituto di Geoscienze e Georisorse, CNR, Pisa, Italy, 2004. Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor: 416/MEN.KES/PER/IX/1990 Tentang Syarat-syarat Dan Pengawasan Kualitas Air, 1990.
5. REFERENSI 1.
K. Nicholson, “Geothemal Fluids Chemistry and Exploration Technique”, School of applied sciences, the Robert Gordon University Aberdeen AB1 1HG: Scotlandia, United Kingdom, 1993.
2.
Y. Rezky, Kasbani, D. Kusnadi, “Penyelidikan Geologi Dan Geokimia Daerah Panas Bumi Sangalla-Makale Kabupaten Tanatoraja – Sulawesi Selatan”, Proceeding Pemaparan HasilHasil Kegiatan Lapangan Dan Non Lapangan Tahun 2006, Pusat Sumber Daya Geologi, 2006. Q. Fathan, “Studi Potensi Panasbumi Daerah Hululais Kabupaten Lebong Provinsi Bengkulu, Sumatera”, Geosains, Vol.09, No.02, 125-134 (2013).
3.
4.
5.
9.
10. W. F. Giggenbach, “Geothermal solute equilibria, Derivation of Na-K-Mg-Ca geoindicators”, Geochimica et Cosmochimica Acta, New Zeland, 1988. 11. A. J. Ellis and Mahon, Chemistry and Geothermal System, Orlando, Floride: Academic Press, Inc., 1977.
Lantu, dkk., “Landsekap Lembah Sangalla dan Sekitarnya”, Jurusan Fisika Fakultas MIPA, Universitas Hasanuddin: Makassar, 2007. D.S. Kusuma, T. Situmorang, A. Idral dan Liliek, “Penyelidikan Gaya Berat Dan Geomagnet Daerah Panas Bumi Makula,
12. R. Agus, “Fluida Panas Bumi”, Teknik Geologi Universitas Diponegoro, Malang, 2012.
40
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Analisa Data XRD Pada Daerah Penyusutan Sintering Fasa Cair Material Dielektrik Mg0,8Zn0,2TiO3 1
Muhammad Saukani1), Suasmoro2) Jurusan Teknik Mesin, Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al-Banjari, Banjarmasin email:
[email protected] 2 Jurusan Fisika, Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), Surabaya email:
[email protected]
Abstrak Kajian fenomena penyusutan pada material keramik dielektrik Mg0,8Zn0,2TiO3 yang disintesis dengan metode pencampuran larutan (dissolved metal route). Proses sinter dilakukan dengan penambahan fasa cair 4wt% B2O3 dan 4wt% Bi2O3. Hasil uji dilatometri menunjukkan adanya daerah perlambatan penyusutan. Untuk mempelajari lebih lanjut dilakukan pengujian menggunakan metode difraksi sinar-X pada sampel-sampel yang telah dipelet dan disinter pada suhu 900ºC – 1300ºC. Analisis data difraksi secara kuantitatif menggunakan perangkat lunak Match2! dan analisis secara kuantitatif menggunakan perangkat lunak Rietica. Hasil analisa ini menunjukkan fasa utama Mg0,8Zn0,2TiO3 masih terbentuk hingga 93% dan diikuti oleh pembentukan fasa sekunder lainnya seperti, MgTi2O4, Mg5TiO4(BO3)2 dan (Mg3TiO2(BO3)2 untuk sampel dengan aditif 4% B2O3 sedangkan untuk sampel dengan aditif 4%Bi2O3 terbentuk MgTi2O4, dan Bi4Ti3O12. Perlambatan shrinkage dalam tahapan densifikasi diduga akibat pembentukan fasa MgTi 2O4, Mg5TiO4(BO3)2. Kata kunci: Dielektrik, MgTiO3, Rietica, Sinter, XRD
Sintering merupakan proses pemanasan pada material keramik yang bertujuan untuk menaikkan kohesi antar partikel-partikel melalui eleminasi porositas [1]. Permasalahan yang dihadapi dalam aplikasi MgTiO3 sebagai material dengan dielektrik gelombang mikro adalah suhu sinter di atas 1350° [6]. Salah satu cara yang dilakukan untuk menurunkan suhu sinter adalah menambahkan dopan yang memiliki titik leleh yang lebih rendah ke dalam host material [4,7,8].
1. PENDAHULUAN MgTiO3 dikenal dengan nama geikelite merupakan salah satu fasa magnesium titanat yang berstruktur ilmenite (MgTiO3) dengan space group R-3 H. MgTiO3 memiliki konstanta dielektrik εr ~ 17, koefisien temperatur τf rendah dan mendekati nol, nilai faktor kualitas Qf ~ 160.000 pada frekuensi 7 GHz [1]. Aplikasi material dielektrik pada daerah kerja gelombang mikro harus memenuhi spesifikasi yaitu konstanta dielektrik (εr) yang tinggi sehingga mampu dilakukan miniaturisasi komponen, nilai faktor kualitas (Qf) yang tinggi agar mampu meningkatkan rasio frekuensi terhadap noise dan koefisien temperatur (τf) pada frekuensi resonansi rendah sebagai penentu stabilitas frekuensi transmisi [2]. Secara keseluruhan spesifikasi ini dipenuhi oleh MgTiO3, sehingga material ini telah digunakan dalam berbagai aplikasi seperti multilayer ceramic capasitor [3] pada frekuensi sangat tinggi (GHz), band-pass filter [4], telepon seluler, global positioning system, direct broadcasting satellite, radar, antena [5] dan lain sebagainya.
Dalam artikel ini akan dilaporkan hasil pengamatan pengujian dilatometri dan hasil uji difraksi sinar X pada daerah shrinkage, mengalami perlambatan pada sampel MgTiO3 yang diberikan doping Zn untuk membentuk Mg0,8Zn0,2TiO3 (MZT02) dan disinter dengan tambahan zat aditif masing-masing 4wt% B2O3 dan 4wt% Bi2O3. 2. METODE PENELITIAN Sampel MZT02 disintesis dengan metode pencampuran basah (wet mixing method) menggunakan logam Ti (>98%, Merck), Zn (>99%, Merck), Mg (>88%, Merck) yang dilarutkan dalam HCl (37%, LIPI). Langkah
Tahapan proses yang penting dalam pemprosesan MgTiO3 adalah proses sintering.
41
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
lebih rinci mengikuti ekperimen Saukani dan Suasmoro (2015) [9]. Kajian penyusutan dilakukan dengan mempersiapkan bubuk sampel kalsinasi MZT02 yang telah ditambahkan 4wt% B2O3 (MZTB) dan 4wt% Bi2O3 (MZTC) yang dipadatkan berdimensi balok 2 x 2 x 20 mm dengan penekanan 50 kg/mm2. Kemudian dilakukan pengukuran dilatometri (Linseis L75) dari suhu ruang hingga suhu 1300°C pada atmosfer udara bebas. Setelah diketahui daerah penyusutan, serbuk kalsinasi dipadatkan berbentuk disk dengan dimensi 1,340 x 0,295 cm. Kemudian disinter pada suhu 900°C, 1000°C, 1100°C, 1200°C dan 1300°C pada kondisi bebas dalam furnace Carbolite 1400 dan berikutnya dilakukan Difraksi Sinar X (Philips X’Pert MPD).
GAMBAR 1. Kurva dilatometer dari sampel MZT02 dengan berbagai variasi zat aditif9.
Fenomena-fenomena yang terjadi selama proses densifikasi terutama pada daerah-daerah perlambatan penyusutan dipelajari dari pola difraksi sinar X. Seluruh sampel yang disinter pada suhu 900°C, 1000°C, 1100°, 1200°C dan 1300°C diuji difraksi sinar X dan selanjutnya dilakukan analisis kualitatif dan kuantitatif. Pola difraksi sampel MZTB dan MZTC yang telah disinter ditunjukkan berturut-turut oleh gambar 2 dan 3.
Seluruh fasa yang terbentuk hasil Difrasi sinar X diidentifikasi menggunakan perangkat lunak Match2! kemudian dilakukan analisa rietvield untuk mengetahui komposisi fasa yang terkandung dengan menggunakan perangkat lunak Rietica. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Kajian dilatometri dilakukan untuk mengetahui zona penyusutan material (shringkage) yang berubah terhadap suhu. Gambar 1. menunjukkan kurva penyusutan terhadap suhu yang diukur pada suhu ruang hingga suhu 1300°C dengan penyusutan terbesar adalah 14,5% [9]. Sampel MZTB mengalami ekspansi hingga suhu 185°C kemudian menyusut secara perlahan hingga suhu 660°C (1,2%), menyusut sebanyak 2% dari suhu 660°C hingga suhu 730°C, terjadi perlambatan penyusutan hingga suhu 970°C (0,6%), kemudian menyusut secara kontinu hingga suhu 1200°C (10,6%) dan kembali mengalami perlambatan penyusutan hingga suhu 1300°C. Sampel MZTC mengalami ekspansi hingga suhu 790°C, kemudian mengalami penyusutan secara konstan hingga suhu 1040°C sebesar 14,2% selanjutnya mengalami perlambatan penyusutan.
Gambar 2. menunjukkan pola difraksi sampel MZT02 dengan penambahan 4wt% B2O3. Hasil identifikasi fasa menunjukkan fasa-fasa yang terbentuk hasil sinter ini adalah Mg0,8Zn0,2TiO3 dengan nomor COD #969011262, Qandalite (Mg2TiO4) dengan nomor COD #969013399, pentamagnesium titanium (IV) tetraoxide bis(borate) (Mg5TiO4(BO3)2 (MTB5)) dengan nomor COD #962017848 dan trimagnesium titanium(IV) dioxide bis(borate) ((Mg3TiO2(BO3)2 (MTB3)) dengan nomor COD #962229265. Sampel yang disinter pada suhu 900°C teridentifikasi mengandung fasa MZT02 sebesar 86,48% dan fasa MTB5 sebesar 13,53%. Sampel yang disinter pada suhu 1000°C teridentifikasi fasa MZT02 sebesar 90,20% dan MTB3 9,80% dan sedangkan sampel yang disinter pada suhu 1100°C terdiri dari 85,27% MZT02 dan 14,73% MTB3. Pada sampel yang disinter pada suhu 1200°C komposisi fasa MZT02 sebesar 72,83%, MTB3 14,26% serta teridentifikasinya fasa MT4 sebesar 12,91%. Sedangkan pada suhu sinter 1300 °C terbentuk MZT02 sebesar 93,49%, 6,51% MT4 dan MTB3 tidak teridentifikasi lagi.
42
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Tidak teridentifikasinya fasa yang mengandung Boron diduga fasa aditif ini telah mencair sepenuhnya membentuk amorf dan menempati batas butir.
berikutnya tidak teridentifikasi lagi karena keseluruhan fasa tersebut mencair membentuk amorf. Komposisi fasa secara lengkap diuraikan pada Gambar 4.
GAMBAR 2. Pola difraksi sinar-x sampel MZTB pada berbagai suhu sinter ditahan 4 jam. (ket : Δ = Mg0,8Zn0,2TiO3, ♦ = Mg2TiO4, ↑ = Mg5TiO4(BO3)2, = Mg3TiO2(BO3)2)
GAMBAR 3. Pola difraksi sinar-x sampel MZTC pada berbagai suhu sinter ditahan 4 jam. (ket : Δ = Mg0,8Zn0,2TiO3, ♦ = Mg2TiO4, # = Bi4Ti3O12)
Fenomena-fenomena yang ada pada kurva dilatometri sampel MZTB dapat dijelaskan dengan dugaan berikut: 1. Pembentukan Mg5TiO4(BO3)2 berlangsung dari suhu sinter 730°C hingga suhu 970°C terjadi perlambatan penyusutan 2. Pembentukan Mg3TiO2(BO3)2 yang berperan untuk mempercepat penyusutan hingga suhu 1195°C 3. Terbentuknya Mg2TiO4 sehingga perlambatan penyusutan kembali terjadi seiring makin berkurangnya komposisi Mg3TiO2(BO3)2.
GAMBAR 4. Komposisi fasa yang terbentuk pada berbagai suhu sinter.
Gambar 3. menunjukkan pola difraksi sampel MZT02 dengan penambahan 4% Bi2O3. Hasil identifikasi fasa menunjukkan fasa-fasa yang terbentuk hasil sinter ini adalah MZT02, MT4 dan Bismuth titanate (Bi4Ti3O12) dengan nomor COD #965910229 berikutnya disingkat BTO4. Secara keseluruhan sampel yang disinter dengan suhu 900°C, 1000°C, 1100°C, 1200°C dan 1300°C menunjukkan tren penurunan komposisi fasa MZT02 masing masing 89,26%, 87,68%, 83,48%, 77,88% dan 72,91% serta peningkatan fasa MT4 masing-masing 6,51%, 9,26%, 12,10%, 16,52%, 22,12% dan 27,09. Pada sampel MZTC munculnya fasa BTO4 hanya ada pada suhu sinter 900°C sebesar 1,48% dan 1000°C 0,23%. Berdasarkan kurva dilatometer diduga bahwa fasa BTO4 terbentuk dari suhu 895°C hingga suhu 1020°C dan
4. KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat disampaikan dalam paper ini adalah: Fenomena perlambatan penyusutan khususnya terjadi pada sinter fasa cair yang diberikan pada sampel MZTB adalah akibat adanya pembentukan Mg5TiO4(BO3)2 dan pembentukan Mg2TiO4. Pada sampel MZTC meskipun terbentuk Bi4Ti3O12, namun karena kuantitasnya yang sangat kecil dan hanya terbentuk pada suhu 895°C hingga suhu 1020°C sehingga tidak berpengaruh pada proses penyusutan namun sebaliknya diyakini berfungsi sebagai pelumas yang membasahi permukaan Mg0,8Zn0,2TiO3 untuk mempercepat tahapan densifikasi.
43
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
dielectric ceramics at low sintering temperature. Mater. Res. Bull. 36, 2741–2750 (2001).
5. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih ini disampaikan kepada Ucapan terimakasih ini ditujukan
5. Surendran, K. P., Wu, A., Vilarinho, P. M. & Ferreira, V. M. Sol−Gel Synthesis of LowLoss MgTiO3 Thin Films by a NonMethoxyethanol Route. Chem. Mater. 20, 4260–4267 (2008).
kepada Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi yang telah memberikan dukungan dana riset serta Institut Sepuluh November Surabaya yang telah memberikan dukungan fasilitas laboratorium baik untuk keperluan sintesis maupun karakterisasi.
6. Vigreux, C., Deneuve, B., El Fallah, J. & Haussonne, J. M. Effects of acceptor and donor additives on the properties of MgTiO 3 ceramics sintered under reducing atmosphere. J. Eur. Ceram. Soc. 21, 1681–1684 (2001).
6. REFERENSI 1. Rahaman, M. N. Ceramic Processing and Sintering. (CRC Press, 2003).
7. Huang, C.-L., Pan, C.-L. & Shium, S.-J. Liquid phase sintering of MgTiO3–CaTiO3 microwave dielectric ceramics. Mater. Chem. Phys. 78, 111–115 (2003).
2. Zhang, M., Li, L., Xia, W. & Liao, Q. Structure and properties analysis for MgTiO 3 and (Mg0.97M0.03)TiO3 (M = Ni, Zn, Co and Mn) microwave dielectric materials. J. Alloys Compd. 537, 76–79 (2012). 3. Bernard, J., Houivet, D., El Fallah, J. & Haussonne, J. M. MgTiO3 for Cu base metal multilayer ceramic capacitors. J. Eur. Ceram. Soc. 24, 1877–1881 (2004).
8. Hsieh, M.-L. et al. Effect of oxide additives on the low-temperature sintering of dielectrics (Zn,Mg)TiO3. Mater. Res. Bull. 43, 3122– 3129 (2008). 9. Saukani, M. & Suasmoro, S. Characterization of Mg0.8Zn0.2TiO3 Prepared via Liquid Phase Sintering. Adv. Mater. Res. 1112, 11–14 (2015).
4. Huang, C.-L. & Weng, M.-H. Improved high q value of MgTiO3-CaTiO3 microwave
44
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Pengaruh Penambahan Inhibitor Ekstrak Kulit Buah Manggis (Garcinia mangostana L) Terhadap Laju Korosi Baja St-37 Sri Mulyadi Dt. Basa1),*, Sri Handani1), Aninda Tifani Puari2) 1
Fakultas MIPA, Universitas Andalas, Padang * email:
[email protected] [email protected] 2 Laboratorium Dasar dan Sentral, Universitas Andalas
Abstrak Penelitian tentang pengaruh penambahan inhibitor ekstrak kulit buah manggis terhadap laju korosi St-37 dalam larutan NaCl 3%. Potensiodinamik dan mikroskop optik trinokuler digunakan untuk menentukan laju korosi dan sifat inhibisi tanpa dan penambahan larutan inhibitor dengan variasi konsentrasi (2%, 4%, 6%, 8% dan 10%). Kondisioptimum ditunjukan pada penambahan 2% larutan inhibitor dengan efisiensi inhibisi sebesar 26,55%. Analisis morfologi hasil foto mikroskop optik menunjukan penambahan ekstrak kulit buah manggis membentuk lapisan pelindung pada permukaan St-37. Kata kunci: korosi, inhibitor, Garcinia mangostana L, potensiodinamik
Abstract The research about the inhibiting effect of skin fruit extract mangoesteen (Garcinia mangostana L) as inhibitor for st-37 steel in NaCl solution (3%) were investigated. Potentiodynamic and Trinokuler Optical Microscope were applied as methods to study corrosion rate and behavior in the absence and presence of different concentrations of inhibitor (2%, 4%, 6%, 8% and 10%). The study revealed that optimum condition was at addition of 2% inhibitor with inhibition efficiency up to 26.55%. The results of morphological analysis used Optical Microscope Trinokuler showed that addition of skin fruit extract mangoesteen (Garcinia mangostana L) formed a protective layer on st-37 surface. Keywords: corrosion, inhibitors, Garnicia mangosteen, potentiodynamic
Baja merupakan salah satu jenis logam yang mengalami korosi. Salah satu baja yang mudah terkorosi adalah baja St-37 yang banyak digunakan untuk industri dan konstruksi jembatan. Hal ini karena baja St-37 memiliki beberapa keunggunlana yaitu mudah diperoleh dipasaran, mudah dibentuk untuk berbagai konstruksi, dan harganya relatif murah.
1. PENDAHULUAN Peristiwa korosi mengakibatkan degradasi atau penurunan mutu material, sehingga logam menjadi material yang kurang bermanfaat. Korosi merupakan masalah yang sering muncul dalam berbagai peralatan yang berbahan dasar logam seperti kapal, mesin, mobil, gedung dan lain sebagainya. Di negara maju, sekitar 3,5% dari penghasilan negara digunakan untuk perbaikan, pemeliharaan, dan penggantian peralatan yang menggunakan logam [1].
Korosi tidak bisa dihentikan tetapi laju korosi bisa diperlambat. Untuk megurangi kerusakan yang diakibatkan korosi, dilakukan pengendalian dan perlindungan terhadap logam, seperti pemilihan material, pelapisan (coating), potensi katodik dan inhibitor [3].
Korosi pada logam sangat dipengaruhi oleh lingkungan yang mengandung gas limbah (sulfur dioksida, sulfat, hydrogen sulfida, klorida), kandungan O2, pH larutan, temperatur, kelembaban, kecepatan alir, dan aktifitas mikroba [2].
Kandungan senyawa organik ekstrak tumbuhan yang memiliki kemampuan mengurangi laju korosi pada beberapa logam
45
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
diantaranya tanin, alkaloid, pigmen, saponin karbohidrat da asam amino. Salah satu ekstrak tumbuhan yang sering digunakan sebagai inhibitor adalah kandungan senyawa tanin.
2.1 Persiapan Bahan Uji Persiapan bahan uji dilakukan dengan tiga cara yaitu: a. Persiapan sampel baja
Tanin mempunyai kemampuan membentuk senyawa kompleks karena memiliki unsur-unsur yang memiliki pasangan bebas yang berfungsi sebagai pendonor elektron terhadap logam Fe2+ yang berfungsi sebagai inhibitor.
1) Menentukan Jenis Korosi Material baja berdiameter 2,5 cm dipotong setebal 1 cm. Sampel diamplas dan dicuci menggunakan aquades kemudian dicelupkan ke dalam aseton. Selanjutnya baja dikeringkan dengan oven pada suhu 40°C selama 15 menit.
Penelitian menggunakan ekstrak bahan alam yang mengandung tanin telah dilakukan sebelumnya yakni dengan daun inai dalam medium korosif air dan asam nitrat (HNO3) dengan efisiensi sebesar 78,92% [4], ekstrak daun pepaya dalam medium asam sulfat dengan efisiensi sebesar 96,09% [5], dan ekstrak daun teh dalam medium korosif NaCl 35 dan HCl 3% dengan efisiensi sebesar 92% pada NaCl dan 86,3% pada HCl [6].
2) Metode Potensiodinamik Sampel baja dipotong membentuk jarum berdiameter 0,2 cm dan panjang 9,8 cm kemudian dilapisi dengan resin. b. Pembuatan larutan inhibitor Kulit buah manggis dikeringkan, dihaluskan kemudian di ekstrak dengan metode maserasi. Kulit buah manggis dicampurkan dengan etanol 70%. Hasil maserasi disaring dengan kertas saring. Filtrat yang dihasilkan diuapkan menggunakan alat penguap putar vakum (rotary evaporator) dengan kecepatan 200 rpm dengan suhu 60°C hingga menghasilkan ekstrak pekat.
Kulit manggis memiliki kandungan tanin lebih tinggi dibandingkan daun inai, daun pepaya dan daun teh sebesar 16,8% [7]. Buah manggis juga banyak terdapat di Indonesia. Pada penelitian ini digunakan kulit buah manggis sebagai inhibitor alami. Laju korosi ditentukan dengan menggunakan metode potensiodinamik. Metode ini memiliki kelebihan yaitu pengukuran laju dapat dilakukan dengan cepat dan teliti serta dapat mengamati laju korosi pada saat korosi berlangsung [8].
2.2 Penentuan Laju Korosi Sampel Baja Sampel baja yang telah dilapisi dengan resin kemudian dilakukan pengujian laju korosi dengan metode potensiodinamik. a. Pengujian sampel Potensiodinamik
dengan
metode
Pengujian laju korosi dilakukan dengan 5 variasi konsentrasi penambahan larutan inhibitor. Digunakan alat potensiotat dengan elektroda pembanding dan pembantu dan diberi potensial dari 1 V sampai -1V. Keluaran berupa grafik yang memiliki kerapatan arus korosi (Icorr) dan potensial korosi (Ecorr).
2. METODE PENELITIAN Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah timbangan digital, oven dengan merk memmert, kertas amplas dengan merk nikken C-Cw P240, galvanostat, mikroskop optik trinokuler, rotary evaporator dan botol ukuran 1 liter.
b. Analisis Morfologi Permukaan Baja
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Baja St-37, kulit buah manggis (Garcinia mangostana L), natrium klorida (NaCl) sebagai medium korosif, etanol, aquades dan aseton.
Dilakukan pada baja yang direndam selama 10 hari pada larutan NaCl 3% tanpa penambahan inhibitor. Analisisdilakukan menggunakan Mikroskop optik trinokuler dengan perbesaran 100 kali untuk mengetahui jenis korosi pada sampel baja.
46
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
TABEL 1. Variasi penambahan inhibitor untuk pengujian metode potensiodinamik Sampel
Penambahan Inhibitor (%)
A
0
B
2
C
4
D
6
E
8
F
10
Besar kecilnya arus korosi yang dihasilkan menetukan transfer muatan yang terdiri dari katoda maupun anoda. Arus korosi yang terkecil terjadi pada penambahan inhibitor 2%, ini berarti pada penamabahan inhibitor 2% terjadi penghambatan transfer muatan. Transfer muatan terhambat karena adanya lapisan pelindung pada permukaan logam, sehingga reaksi di katoda berkurang karena suplai elektron dari anoda juga berkurang. Pada pengujian laju korosi dalam larutan korosif natrium klorida (NaCl) 3% menggunakan metode potensiodinamik,
Dalam proses analisis metode potensiodinamik didapatkan kurva Tafel untuk menentukan karakteristik sampel. Dari pengukuran ini didapatkan kerapatan arus korosi (Ikor) dan potensial korosi (Ekor). Arus korosi yang didapat digunakan untuk menentukan laju korosi menggunakan Persamaan 1.
sampel yang diberi larutan inhibitor dan tanpa inhibitor memiliki perbedaan laju korosi yang dapat dilihat pada Gambar 1. 2.0 1.5
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
1.0
Laju Korosi dengan metode Potensiodinamik
0.5
Hasil pengukuran potensiodinamik sampel menunjukkan nilai Icorr dan Ecorr antara blanko dengan penambahan inhibitor terjadi perubahan. Nilai arus yang didapat digunakan untuk menentukan laju korosi. Semakin besar arus yang dihasilkan maka laju korosi yang terjadi juga besar begitu juga sebaliknya.
0.0 0
Ekorosi (V)
0
1,19
-0,7
2
0,88
-0,62
4
0,96
-0,72
6
0,9
-0,78
8
0,95
0,79
10
1,05
0,7
15
GAMBAR 1. Grafik pengaruh konsentrasi larutan inhibitor terhadap laju korosi
Gambar 1 menunjukkan laju korosi baja dengan adanya penambahan ekstrak kulit buah manggis dalam larutan NaCl 3% menurun jika dibandingkan dengan tanpa penambahan inhibitor ekstrak kulit buah manggis. Hal ini dikarenakan kulit buah manggis mengandung senyawa tanin. Senyawa tanin pada ekstrak dapat membentuk kompleks di permukaan baja, yang membuat laju korosi pada permukaan baja menurun. Kompleks ini akan menghalangi serangan ion-ion korosif pada permukaan baja sehingga laju korosi baja menurun. Laju korosi terendah terjadi pada penambahan larutan inhibitor sebesar 2% yaitu 1,211 mpy. Hal ini membuktikan bahwa ekstrak kulit buah manggis dapat menghambat laju korosi.
TABEL 2. Tabel ekstrapolasi tafel dengan dan tanpa penambahan inhibitor pada medium NaCl 3% Ikorosi (μA/cm2)
10
Konsentrasi Larutan Inhibitor
Penambahan inhibitor menurunkan nilai arus korosi seperti yang terlihat pada tabel 2.
Konsentrasi Inhibitor (%)
5
47
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Terjadinya penurunan laju korosi dengan penambahan larutan inhibitor karena larutan inhibitor ini membentuk lapisan pelindung di permukaan sampel. Apabila penambahan inhibitor belum mencapai konsentrasi minimum maka lapisan pelindung yang terbentuk tidak mampu melindungi seluruh permukaan sampel sehingga lapisan pelindung akan bersifat katodik sedangkan bagian yang tidak tertutupi lapisan pelindung akan bersifat anodik. Pada bagian yag tidak tertutup oleh lapisan pelindung inilah korosi akan terjadi.
perbesaran 100 kali. Foto morfologi permukaan baja yang tanpa perlakuan dapat dilihat pada Gambar 3.
Efisiensi Inhibitor
(a)
Penambahan larutan inhibitor dapat mengurangi laju korosi dan bisa menaikkan efisiensi inhibisinya. Nilai efisiensi ini bergantung pada konsentrasi larutan inhibitor yang diberikan. Hubungan efisiensi inhibisi dengan konsentrasi larutan inhibitor terlihat pada Gambar 2.
(b) GAMBAR 3. Foto morfologi permukaan baja (a) tanpa penambahan inhibitor, (b) dengan penambahan inhibitor
Gambar 3(a) menunjukkan ada garis halus-halus dan tipis yang mana garis tersebut pengaruh dari pengamplasan. Gambar 3(a) juga menunjukkan bahwa permukaan dari baja masih rata dan bersih. Permukaan baja yang terlihat tidak berlobang dan berpori. Hal ini menunjukkan permukaan dari baja tersebut belum terkena korosi karena belum ada berinteraksi dengan larutan korosif NaCl 3%.
GAMBAR 2. Grafik pengaruh konsentrasi larutan inhibitor terhadap laju korosi
Pada grafik terlihat nilai efisiensi inhibitor yang tertinggi mencapai 26,05% dengan konsentrasi inhibitornya 2% sedagkan efisiensi terendah terjadi pada penamabahan inhibitor 10% dengan nilai 11,8%. Dari grafik juga ditunjukkan bahwa konsentrasi larutan inhibitor bekerja dengan efektif sampai konsentrasi 8%. Pada konsentrasi 10% tidak efektif lagi untuk melindungi permukaan baja dari korosi.
Gambar 3(b) merupakan morfologi permukaan baja yang telah direndam selama 10 hari dalam larutan NaCl 3% tanpa penambahan larutan inhibitor. Dari gambar terlihat bahwa korosi terjadi dengan cepat yang ditandai dengan terbentuknya karat pada permukaan baja yang berwarna coklat. Karat ini terbentuk karena reaksi kimia yang merata pada permukaan baja.
Analisis Morfologi Permukaan Sampel
Morfologi permukaan baja didapat menggunakan mikroskop optik dengan
48
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
3. Jones, D.A., Principlesand Prevention of Corrosion, 2nd Edition, Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, 1996.
4. KESIMPULAN Dari hasil penelitian pengujian korosi pada baja St-37 didapat kesimpulan bahwa, ekstrak kulit buah manggis bisa digunakan untuk menghambat laju korosi. Terbukti dari pengujian dengan metode potensiodinamik tanpa penambahan inhibitor dan dengan penambahan inhibitor terjadi penurunan laju korosi. Nilai efisiensi inhibitor yang paling besar terjadi pada konsentrasi 2% sebesar 26,05%. Foto morfologi permukaan dengan mikroskop optik trinokuler memperlihatkan terjadi perubahan morfologi permukaan pada baja St-37. Morfologi permukaan sampel yang telah direndam dalam larutan NaCl 3% dengan penambahan inhibitor memperlihatkan permukaan baja dapat dilihat bahwa karat yang terbentuk pada permukaan baja berkurang. Hal ini ditandai dengan terbentuknya lapisan pelindung pada permukaan baja.
4. Wildani, S., “Pengaruh Inhibitor Ekstrak Daun Inai (Lawsonia Inermis) terhadap Laju Korosi Baja St-37 dengan Metode Pengurangan Massa”, Skripsi, Jurusan Fisika, fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Andalas, Padang, 2009. 5. Emriadi, Risandi, Y., dan Stiadi, Y., “Ekstrak Daun Pepaya (Carica papaya) sebagai Inhibitor Korosi Baja St-37 dalam medium Asam sulfat”, Jurnal Kimia, Jurusan Kimia, Universitas Andalas, Vol.1, No.1, (2012). 6. Sari, D.M., “Pengendalian Laju Korosi baja St-37 dalam Medium Asam Klorida dan natrium Klorida menggunakan Inhibitor Ekstrak Daun Teh (Camelia Sinensis)”, Skripsi, Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Andalas, Padang, 2013.
5. UCAPAN TERIMAKASIH Terimakasih disampaikan kepada Pimpinan Laboratorium Kimia FMIPA Unand dan Laboratorium Teknik Mesin Unand yang telah memberikan fasilitas semaksimalnya
7. Ardly, H.S., Hernawan, I., dan Tanuwira, U.H., “Pengaruh Pemberian Ekstrak Kulit Manggis (Garcinia mangostana L) pada Ampas Tahu terhadap Kadar NH3 dan VFA Cairan Rumen (In Vitro)”, Jurnal Ilmiah Penelitian Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran, Vol.1, No.1, (2012).
6. REFERENSI 1. Trethewey, K.R., Korosi, untuk Mahasiswa Sains dan Rekayasa, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1991.
8. Boy, D., “Pengaruh Inhibitor Anorganik (Na2CrO4) dan (NaNO3) terhadapa Laju Korosi dan Struktur Mikro Bahan Struktur Suhu Tinggi AISI-430”, Skripsi, Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Andalas, Padang, 2004.
2. Asdim, “Penentuan Efisiensi Inhibisi Ekstrak Kulit Buah Manggis (Garcinia mangostana L) pada Reaksi Korosi Baja dalam Larutan Asam”, Jurnal Gradien, Jurusan Kimia, Universitas Bengkulu, Vol.3, No.2, 273-276, (2007).
49
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Sifat Mekanik Purun Tikus Sebagai Bahan Komposit Ninis Hadi Haryanti1), Henry Wardhana2) FMIPA, Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Banjarmasin Komp. Buncit Indah IV no 105 Banjarmasin, Kalimantan Selatan email:
[email protected] 2 FTeknik, Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Banjarmasin email:
[email protected] 1
Abstrak Indonesia kaya akan bahan alam yang dapat dipakai sebagai material komposit. Serat alam umumnya terbuat dari bermacam-macam tumbuhan. Serat alam mempunyai beberapa kelebihan antara lain: merupakan sumber daya yang dapat diperbarui, produk organik alami, ringan, sangat murah dibanding serat sintetis, berlimpah. Berbagai jenis tanaman serat tumbuh subur di Indonesia, seperti purun tikus (Eleocharis dulcis). Keberadaan purun tikus ini masih belum dimanfaatkan secara optimal, oleh karenanya perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui sifat mekanik purun tikus. Hasil penelitian sebelumnya tentang analisis sifat kimia dan fisika purun tikus pada bagian pucuk, batang dan pangkal tidak jauh berbeda. Komposit dengan penguat serat alam semakin banyak dikembangkan. Hal ini berkaitan dengan meluasnya penggunaan komposit pada berbagai bidang kehidupan serta tuntutan penggunaan material yang murah, ringan, sifat mekanik yang kuat dan tidak korosif. Dari uji sifat mekanik purun tikus diperoleh hasil untuk sampel bagian bawah purun tikus rata-rata Gaya 13,28 N, Diameter 2,158 mm, Luas 3,66 mm2 dan Kuat tarik 3,63 MPa. Sedangkan untuk sampel bagian atas purun tikus rata-rata Gaya 14,08 N, Diameter 2.064 mm, Luas 3,35 mm2 dan Kuat Tarik 4,21 MPa. Hasil uji untuk sampel bawah dan atas purun tikus tidak jauh berbeda. Untuk penggunaan purun tikus sebagai bahan komposit disarankan dipakai bagian atas purun tikus karena kuat tariknya 116,15% dari bagian bawah purun tikus. Kata kunci: purun tikus, sifat mekanik
Kevlar-49, Carbon/ Graphite, Silicone Carbide, Aluminium Oxide, dan Boron. Bahkan, asbes yang dulu merupakan penggunaan serat sintetis yang hanya dipakai di Indonesia bahkan dunia, sekarang sudah ditinggalkan karena memberikan dampak yang negatif terhadap lingkungan. Walaupun tak sepenuhnya menggeser, tetapi penggunaan serat alam menggantikan serat sintesis adalah sebuah langkah bijak dalam menyelamatkan kelestarian lingkungan dari limbah yang dibuat dan keterbatasan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui.
1. PENDAHULUAN Munculnya peraturan pemerintah dan berkembangnya kesadaran masyarakat untuk melestarikan lingkungan hidup telah memicu pergeseran paradigma untuk mendisain material yang ramah lingkungan. Serat alam sebagai jenis serat yang memiliki kelebihankelebihan mulai diaplikasikan sebagai bahan campuran material. Perkembangan ini ditopang pula oleh kondisi alam Indonesia yang kaya akan bahanbahan serat alam, seperti kapas (cotton), kapuk, goni (jute), sisal, kenaf, pisang, kelapa, sawit, rami kasar (flax), rami halus (hemp). Material komposit dengan penguatan serat alam (natural fibre) seperti bambu, sisal, hemp, dan pisang telah diaplikasikan pada dunia automotive sebagai bahan penguat panel pintu, tempat duduk belakang, dashboard, dan perangkat interior lainnya [1].
Jenis-jenis serat alam seperti serat rami, serat kelapa, serat enceng gondok, serat aren mulai digunakan sebagai bahan penguat untuk material komposit. Manfaat utama dari penggunaan komposit adalah mendapatkan kombinasi sifat kekuatan serta kekakuan tinggi dan berat jenis yang ringan. Berbagai jenis tanaman serat tumbuh subur di Indonesia, seperti kenaf (Hibiscus canabinus), alang-alang (Imperata cylindrica),
Serat alam telah dicoba untuk menggeser pengunaan serat sintetis, seperti E-Glass,
50
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
dan purun tikus (Eleocharis dulcis). Purun tikus merupakan tumbuhan liar yang menjurus sebagai gulma pada lokasi terbuka.
(higroskopis), mudah kusut, dan jika dilakukan uji pembakaran menimbulkan bau dan arang seperti terbakar.
Purun tikus atau nama ilmiahnya Eleocharis dulcis, dalam ilmu taksonomi digolongkan cyperaceae adalah tumbuhan khas lahan rawa. Lahan ini sepanjang tahun atau selama waktu yang panjang dalam setahun selalu jenuh air (waterlogged) atau tergenang [2]. Jenis-jenis gulma atau vegetasi tertentu sering dijadikan penciri atau tanaman indikator bagi status kesuburan lahan tersebut. Misalnya tanaman purun tikus (Eleocharis dulcis) mencirikan keadaan tempat air (waterlogging) dan kemasaman akut.
Serat selulosa dapat berasal dari: Batang (seperti: serat flax atau linen, henep, jute, kenaf, sunn, rami, purun tikus dll); Buah (seperti: serat serabut kelapa), Daun (seperti: Abaca atau Manilla, henequen dan sisal), Biji (seperti: serat kapas dan kapok). Pada umumnya serat alam mempunyai sifat mudah menyerap dan melepaskan air, serta mudah lapuk sehingga tidak dianjurkan digunakan pada beton bermutu tinggi. Serat alam mempunyai kelebihankelebihan antara lain: merupakan sumber daya yang dapat diperbarui, produk organik alami, ringan (densitasnya kurang dari setengah densitas serat gelas), sangat murah dibanding serat gelas, berlimpah, mempunyai sifat hambatan panas dan akustik yang baik dikarenakan strukturnya berbentuk pipa [3].
Keberadaan purun tikus ini masih belum dimanfaatkan secara optimal. Sifat ringan purun tikus ini selaras dengan filosofi rekayasa material komposit, yaitu menghasilkan disain ringan. Pemanfaatan purun tikus sebagai bahan penguat (serat) pada material diharapkan dapat menggantikan penggunan bahan penguat sintesis impor dari luar negeri. Purun tikus yang diyakini sebagai satu diantara tanaman yang memiliki kandungan serat yang cukup tinggi, diharapkan dapat dimanfaatkan untuk pengembangan bahan komposit. Oleh karenanya perlu dilakukan penelitian. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui sifat mekanik serat purun tikus, sehingga dapat digunakan sebagai bahan komposit.
Serat sintetis merupakan serat buatan yang sangat bergantung dari bahan pembentuknya, serat ini terbagi dalam dua jenis yaitu serat mineral dan serat polimer. Serat buatan menurut [4], yaitu serat yang molekulnya disusun secara sengaja oleh manusia. Sifat-sifat umum dari serat buatan, yaitu kuat dan tahan gesekan. Rayon merupakan serat buatan yang paling awal dibuat. Purun Tikus (Eleocharis dulcis) Purun tikus atau nama ilmiahnya Eleocharis dulcis, dalam ilmu taksonomi digolongkan cyperaceae adalah tumbuhan khas lahan rawa [5]. Tanaman air ini banyak ditemui pada tanah sulfat masam dengan tipe tanah lempung atau humus. Biasanya dapat dijumpai pada daerah terbuka atau tanah bekas kebakaran. Tumbuhan purun tikus ini dapat dikatakan bersifat spesifik lahan sulfat masam, karena sifatnya yang tahan terhadap kemasaman tinggi (pH 2,5-3,5). Oleh karena itu, tumbuhan ini dapat dijadikan vegetasi indikator untuk tanah sulfat masam [6].
2. KAJIAN LITERATUR Serat Alam dan Serat Sintetis Serat (fiber) adalah suatu jenis bahan berupa potongan-potongan komponen yang membentuk jaringan memanjang yang utuh. Serat dapat digolongkan menjadi dua jenis yaitu serat alam dan serat sintetis (serat buatan manusia). Serat alam umumnya terbuat dari bermacam-macam tumbuhan. Beberapa serat yang termasuk dalam serat alam antara lain rami, sisal, ijuk, jute, serabut kelapa, purun tikus (Eleocharis dulcis) dan lain-lain. Secara umum serat tumbuhan hampir sama atau mirip dimana tersusun dari tiga komponen utama, yaitu selulosa, hemiselulosa, lignin ditambah bahan-bahan lain. Sifat umum serat yang dari selulosa adalah mudah menyerap air
Adapun ciri morfologi tumbuhan purun tikus, yaitu: batang tegak, tidak bercabang, warna abu-abu hingga hijau mengkilat dengan panjang 50-200 cm dan ketebalan 2-8 mm. Sedangkan daun mengecil sampai ke bagian
51
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
basal, pelepah tipis seperti membran, ujungnya asimetris, berwarna cokelat kemerahan [6].
Dibanding dengan material konvensional keunggulan komposit antara lain yaitu memiliki kekuatan yang dapat diatur, tahanan lelah yang baik, tahan korosi, dan memiliki kekuatan jenis (rasio kekuatan terhadap berat jenis) yang tinggi. Manfaat utama dari penggunaan komposit adalah mendapatkan kombinasi sifat kekuatan serta kekakuan tinggi dan berat jenis yang ringan. Dengan memilih kombinasi material serat dan matriks yang tepat, dapat dibuat suatu material komposit dengan sifat yang tepat sama dengan kebutuhan sifat untuk suatu struktur tertentu dan tujuan tertentu pula.
Purun tikus biasanya tumbuh di daerah rawa pasang surut. Tanaman ini biasa ditata dan ditanam pada saluran irigasi masuk dan atau keluar sebagai biotreatmen untuk mencegah masuknya zat beracun ke sawah. Dalam sebuah penelitian, dikemukakan bahwa tanaman ini juga dapat menaikan pH air 0,1– 0,3 dan menurunkan 6-27 ppm Fe dan 30–75 ppm SO4 [7]. Purun tikus dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik, biofilter, dan penyerap unsur beracun seperti logam berat timbal (Pb), besi (Fe) dan sulfat (SO4) [7]. Selain itu, [8] mengemukakan bahwa pada jaringan akar purun tikus terdapat konsentrasi Fe dan SO4 sebesar jaringan batang sebesar 0,648% dan 1,706%. Dengan demikian purun tikus dapat dimanfaatkan sebagai biofilter untuk perbaikan kualitas air karena purun tikus mampu menyerap senyawa toksik terlarut seperti SO4 dan Fe.
Komposit dengan penguat serat alam semakin banyak dikembangkan. Hal ini berkaitan dengan meluasnya penggunaan komposit pada berbagai bidang kehidupan serta tuntutan penggunaan material yang murah, ringan, sifat mekanik yang kuat dan tidak korosif. Sehingga dapat menjadi bahan alternatif selain logam. Mulai dari yang sederhana seperti alat-alat rumah tangga sampai sektor industri baik industri skala kecil maupun industri skala besar. Keuntungan mendasar yang dimiliki oleh serat alam adalah jumlahnya berlimpah, memiliki cost yang rendah.
Dari analisis kimia purun tikus yang dilakukan diperoleh hasil kadar air (9,50% pada pucuk), kadar ekstraktif (4,45% pada pangkal) dan kadar holo selulosa yang rendah (52,62% pada pucuk) serta kadar lignin yang sedang (25,80% pada batang), maka purun tikus dimungkinkan untuk digunakan sebagai bahan serat alam dalam pembuatan bahan konstruksi [9]. Hasil analisis sifat kimia dan fisika purun tikus pada bagian pucuk, batang dan pangkal tidak jauh berbeda.
3. METODE PENELITIAN Purun tikus dengan panjang 100-160 cm yang sebelumnya dikeringkan dengan dijemur pada matahari selama 2 x 8 jam kemudian disimpan pada ruang tertutup minimal 3 bulan. Tahap selanjutnya untuk menentukan sifat mekanik purun tikus dibagi menjadi dua bagian (atas dan bawah) untuk mendapatkan dimensi dan batas kuat tarik purun tikus.
Komposit Perkembangan teknologi material telah melahirkan suatu material jenis baru yang dibangun secara bertumpuk dari beberapa lapisan. Material tersebut adalah material komposit. Material komposit terdiri dari lebih dari satu tipe material dan dirancang untuk mendapatkan kombinasi karakteristik terbaik dari setiap komponen penyusunnya.
Penelitian untuk menentukan sifat mekanik purun tikus di lakukan di laboratorium Fisika bahan baru LIPI Serpong dengan bahan serat purun tikus yang sudah dikeringkan. Purun tikus berasal dari daerah Marabahan Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan.
Pada dasarnya, komposit dapat didefinisikan sebagai campuran makroskopik dari serat dan matriks. Serat merupakan material yang (umumnya) jauh lebih kuat dari matriks dan berfungsi memberikan kekuatan tarik. Sedangkan matriks berfungsi untuk melindungi serat dari efek lingkungan dan kerusakan akibat benturan.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Penentuan sifat mekanik serat purun tikus bertujuan untuk mengetahui dimensi serat. Hal ini dilakukan menurut standar SNI. Uji fisik dilaksanakan pada bagian atas dan bawah purun tikus, dalam hal ini panjang serat
52
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
merupakan sifat utama untuk menentukan kekuatan komposit.
bahan komposit disarankan dipakai bagian atas karena kuat tariknya 116,15% dari bagian bawah purun tikus.
Sifat-sifat mekanik dari bahan serat dapat dinyatakan dalam beberapa parameter, diantaranya adalah kekuatan tarik (tensile strength). Kekuatan tarik adalah salah satu sifat dasar yang terpenting dan sering digunakan untuk karakterisasi suatu bahan.
Komposit memiliki sifat fisik dan mekanik yang unik, yang tidak mungkin dihasilkan oleh serat atau matrik saja. Serat purun tikus sebagai elemen penguat sangat menentukan sifat mekanik dari komposit karena meneruskan beban yang didistribusikan oleh matrik. Sifat mekanis komposit sangat dipengaruhi oleh orientasi gabungan.
Hasil analisis sifat mekanik serat purun tikus bagian atas dan bagian bawah seperti pada grafik berikut.
5. KESIMPULAN Dari uji sifat mekanik purun tikus diperoleh hasil untuk sampel bagian bawah purun tikus rata-rata Gaya 13,28 N, Diameter 2,158 mm, Luas 3,66 mm2 dan Kuat tarik 3,63 MPa. Sedangkan untuk sampel bagian atas purun tikus rata-rata Gaya 14,08 N, Diameter 2.064 mm, Luas 3,35 mm2 dan Kuat Tarik 4,21 MPa. Hasil uji untuk sampel bawah dan atas purun tikus tidak jauh berbeda. Untuk penggunaan purun tikus sebagai bahan komposit disarankan dipakai bagian atas karena kuat tariknya 116,15% dari bagian bawah purun tikus.
GAMBAR 1. Sifat Mekanik Purun Tikus Bagian Atas. (Sumber: Hasil Uji Sampel Purun Tikus di Laboratorium Fisika Bahan Baru LIPI Serpong).
6. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada teman-teman LIPI pak Perdamaian Sebayang dan pak Mulyono atas kerjasama nya dalam melakukan uji. 7. REFERENSI
GAMBAR 2. Sifat Mekanik Purun Tikus Bagian Bawah. (Sumber: Hasil Uji Sampel Purun Tikus di Laboratorium Fisika Bahan Baru LIPI Serpong).
Dari uji sifat mekanik purun tikus seperti pada gambar 1 dan 2 diperoleh hasil untuk sampel bagian bawah purun tikus rata-rata Gaya 13,28 N, Diameter 2,158 mm, Luas 3,66 mm2 dan Kuat tarik 3,63 MPa. Sedangkan untuk sampel bagian atas purun tikus rata-rata Gaya 14,08 N, Diameter 2.064 mm, Luas 3,35 mm2 dan Kuat Tarik 4,21 MPa. Hasil uji untuk sampel bawah dan atas purun tikus tidak jauh berbeda. Untuk penggunaan purun tikus sebagai
53
1.
Boeman, R. G. and Johnson, N. L., Development of a Cost Competitive, Composite Intensive, Body-in-white, Journal SAE. No. 2002-01-1905, 2002.
2.
http://www.indo-peat.net., diakses Mei 2015.
3.
Golbabaie, M., “Applications of Biocomposites in Building Industry”, Department of Plant Agriculture, University of Guelph, 2006.
4.
Jumberi, A., M.Sarwani dan Koesrini, Laporan Tahunan Penelitian Pertanian Lahan Rawa Tahun 2003, ”Komponen Teknologi Pengelolaan Lahan dan Tanaman Untuk Meningkatkan Produktivitas dan Efisiensi Produksi di
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Lahan Sulfat Masam” dalam Alihamsyah, T dan Izzuddin, N., Balai Penelitian Pertanian Lahan rawa, Banjarbaru, 2014, pp. 9-14. 5.
6.
Masam, Jakarta: PT Persada, 2004.
Setyorini A., Krisdianto, dan Asikin S., Biomassa Purun Tikus (Eleocharis dulcis) pada Tiga Titik Sampling di Desa Puntik Kecamatan Alalak Kabupaten Barito Kuala, Universitas Lambung Mangkurat, Kalimantan Selatan, BIOSCIENTIAE Volume 6, No. 1, 1-10 (2009). Noor, M., Lahan Rawa Sifat dan Pengelolaan Tanah Bermasalah Sulfat
54
Raja
Grafindo
7.
Noor, M., Pertanian Lahan Rawa Lebak, Yogyakarta: Kanisus, 2007.
8.
Indrayati, L., Purun Tikus Berpotensi Perbaiki Kualitas Air di Rawa Pasang Surut Dalam Inovasi Sumber Daya Lahan Dukung Swasembada Pangan, Sinar Tani No. 3400 Tahun XLI, Edisi 6−12 April 2011, 2011.
9.
Wardhana, H., Analisa Sifat Kimia Purun Tikus, Banjarmasin, 2015.
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Studi Interaksi Elektrolit Cair dan Gel dalam Elektroda Karbon Aktif Mesopori pada Sebuah Sel Superkapasitor Erman Taer1) dan Rika2) 1 Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Riau Simpang Baru, 28293, Pekanbaru, Riau email:
[email protected] 2 Jurusan Teknik Industri, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Simpang Baru, 28293, Pekanbaru, Riau email:
[email protected]
Abstrak Studi Interaksi elektrolit bentuk cair (EC) dan gel (EG) pada elektroda karbon aktif mesoporos (EKAM) pada sel superkapasitor telah berhasil dilakukan. Elektrolit cair yang digunakan adalah asam sulfat 1M sedangkan elektrolit gel dibuat dari pati kentang sebagai rumah dan ditambahkan 5 M KOH. Sampel EKAM dibuat dari serbuk gergaji kayu karet. Pembuatan EKAM diawali dengan proses pra-karbonisasi pengilingan, aktivasi kimia menggunakan ZnCl2 dan dilanjutkan dengan proses pencetakan, karbonisasi dan aktivasi fisika menggunakan gas CO2. Pengujian sifat fisika pada EKAM yang dilakukan adalah pengujian luas permukaan dengan metoda serapan gas N2. Pengujian interaksi elektrolit dan elektroda superkapasitor dilakukan dalam sebuah sel superkapasitor dengan metoda siklik votametri. Hasil pengujian serapan gas N2 menunjukkan sampel EKAM menpunyai luas permukaan sebesar 609,36 m2/g dengan ukuran pori rata-rata 2,7 nm. Interaksi elektrolit dan sampel EKAM ditunjukkan dari nilai kapasitansi spesifik (Csp), energi spesifik (E) dan daya spesifik (P). Nilai Csp, E dan P untuk masing-masing jenis elektrolit adalah 112 F/g, 0,9 Wjam/kg, 84 W/kg dan 100 F/g, 085, 30 W/kg untuk EC dan EG. Secara umum dari penelitian ini telah dapat ditunjukkan bahwa jenis elektrolit berpengaruh pada interaksi elektrolit dan elektroda karbon pada sebuah sel superkapasitor. Kata kunci: Elektrolit, kapasitansi spesifik, mesoporos karbon, superkapasitor.
untuk penyimpanan dan transportasi ion dalam pembentukan pasangan muatan. Ukuran pori meso berada pada ukuran diameter pori dalam rentang 2 sampai dengan 50 nm. Banyak laporan yang telah mendukung tentang pemilihan ukuran meso pori sebagai pori yang sesuai dalam menghasilkan kapasitansi spesifik, energi dan daya yang optimum pada sebuah sel superkapasitor [3]. Elektrolit dipercaya sebagai komponen lain selain elektroda yang berperan dalam menyumbang prestasi ideal sebuah sel superkapasitor. Secara umum ada beberapa jenis elektrolit yang diguanakan pada sebuah sel superkapasitor yaitu: elektrolit cair dan gel. Elektrolit cair dipilih karena keunggulan pada sifat konduktivitas yang lebih baik namun rentan pada kebocoran dalam sebuah kemasan sel superkapasitor. Elektrolit gel merupakan sebuah solusi yang coba ditawarkan untuk mengurangi kebocoran pada sebuah sel superkapasitor. Pada tulisan ini akan ditampilkan tentang perbandingan kinerja sebuah sel superkapasitor yang menggunakan
1. PENDAHULUAN Superkapasitor atau dikenal juga sebagai kapasitor lapisan ganda merupakan perangkat elektronit yang berfungsi sebagai penyimpan energi listrik selain baterai, kapasitor dan fuel cell [1]. Superkapasitor terdiri dari beberapa komponen penyusun seperti: pengumpul arus, elektroda, pemisah dan elektrolit [2]. Komponen utama yang menentukan energi dan daya yang dapat disimpan oleh sebuah sel superkapasitor adalah elektroda dan elektrolit yang digunakan. Penyimpanan energi dan daya sel superkapasitor tejadi karena interaksi elektron pada permukaan elektroda berpori dan ion yang dihasilkan oleh elektrolit. Eletroda berpori yang biasanya terbuat dari bahan karbon dengan luas permukaan tinggi berfungsi sebagai rumah bagi terbentuknya pasangan elektron dan ion. Ukuran pori yang sesuai dengan ukuran dan jenis ion menjadi faktor kunci dalam pencapaian energi dan daya yang optimum. Ukuran pori rata-rata dalam rentang meso pori dipercaya sebagai pori yang ideal
55
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
elektroda karbon dengan ukuran pori rata-rata dalam rentang meso pori dan interaksinya dengan elektrolit cair dan gel. Pembahasan lebih difokuskan pada sifat elektrokimia sel superkapasitor seperti: kapasitansi spesifik, energi dan daya.
telah dikalibrasi. Pengukuran CV dikontrol dengan sofware C++. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengujian sifat pori elektroda karbon menggunakan metoda serapan gas N2 ditunjukkan pada Gambar 1. Gambar ini menunjukkan hubungan tekanan relatif dan volume serapan gas N2. Pola kurva yang dihasilkan sesuai dengan pola tipe 4 berdasarkan pengelompokan UIPAC. Kelompok pengukuran sifat bahan berpori tipe 4 ini menandakan bahan memiliki kombinasi dari pori mikro dan pori meso. Luas permukaan, ukuran pori rata-rata, volume serapan optimum dari pengukuran elektroda karbon ditampilkan pada Tabel 1. Ukuran diameter pori rata-rata yaitu sebesar 2,7 nm menunjukan bahwa rata-rata pori elektroda karbon berada dalam rentang meso pori.
2. METODE PENELITIAN a. Pembuatan elektroda karbon mesopori Elektroda karbon mesopori di buat dari serbuk gergaji kayu karet dengan kombinasi aktivasi fisika dan kimia seperti yang telah dilaporkan sebelumnya [4]. Elektroda karbon dibuat dalam bentuk monolit dengan bentuk seperti cakram. Pengujian sifat pori seperti luas permukaan spesifik dan ukuran pori rata-rata dilakukan melalui pengukuran serapan gas N2 menggunakan alat Quanta crom. Sedangkan morphologi permukaan elektroda di analasisa menggunakan alat mikroskop imbasan elektron. b. Pembuatan elektrolit Elektrolit cair 1 M asam sulfat dibuat dari pencairan asam sulfat pekat denngan persentasi 19% dari FULKA. Pencairan dilakukan dengan penambahan air suling dengan volume yang sesuai. Pada bahagian lain elektrolit gel dibuat dengan cara penambahan pati kentang dan KOH dengan perbandingan berat tertentu sehingga diperoleh konsentrasi KOH dalam rumah gel pati kentang adalah sebesar 5 M. Perbandingan molaritas asam sulfat dan KOH untuk kedua jenis elektrolit ini adalah perbandingan yang setara dan telah dilaporkan oleh banya peneliti sebelumnya [5].
GAMBAR 1. Grafik serapan gas N2 pada elektroda karbon.
TABEL 1. Luas permukaan BET, Ukuran pori rata-rata dan volume serapan untuk elektroda karbon
c. Pengukuran sifat elektrokimia Pengukuran sifat elektrokimia sel superkapasitor dilakukan dengan membangun sel uji berbentuk koin. Sel uji terdiri dari dua pengumpul arus dari stanlis steel, dua elektroda mesopori dari serbuk gergaji kayu karet dan sebuah pemisah dari membran kulit telor itik dan kain kasa masing-masing untuk elektrolit cair dan gel. Sel uji ini pada bahagian luar disangga dengan sepasang teflon. Pengukuran sifat elektrokimia dilakukan dengan menggunakan metoda siklik voltammetri dengan laju imbasan 1 mv/s pada jendela potensial 0 sampai 500 mV. Pengkuran siklik voltammetri dilakukan dengan alat Physic CV UR rad 586 yang dikembangkan sendiri dan
SBET (m2/g)
D (nm)
V (cc/g)
609,36
2,7
0,423
Gambar 2 menunjukkan tampilan permukaan dari patahan elektroda karbon mesopori. Tampilan gambar SEM mikrograf ini menunjukkan bentuk dan ukuran partikel penyusun elektroda yang tidak teratur. Ukuran partikel penyusun elektroda karbon berada dalam rentang 5 sampai 20 µm. Tampilan permukaan partikel yang terlihat dengan warna yang terang menunjukkan bahwa permukaan
56
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
partikel ini dipenuhi oleh pori-pori yang berkuran halus. Gambar ini juga dapat diamati bahwa pori-pori antara partikel terlihat cukup lebar yang menjadi jalan bagi transpor ion menuju pori meso dan mikro pada permukaan partikel penyusun elektroda karbon.
berkaitan dengan banyaknya aliran ion dalam pembentukan pasangan elektron dan ion dalam elektroda. Elektrolit cair jelas mempunyai kebebasan pergerakan ion yang lebih tinggi dibandingkan dengan elektrolit gel. Perbedaan nilai arus yang dihasilkan untuk kedua jenis sel superkapasitor ini tentu berpengaruh pada nilai kapasitansi spesifik, energi dan daya yang dapat dihasilkan. Nilai kapasitansi spesifik dihitung berdasarkan persamaan yang telah dilaporkan dalam rujukan [6], sedangkan nilai energi dan daya dihitung dari persamaan yang ditampilkan dalan artikel [7]. Hasil perhitungan nilai kapasitansi spesifik, energi spesifik dan daya spesifik ditampilkan dalam Tabel 2. TABEL 2. Sifat kapasitif sel superkapasitor dengan elektrolit yang berbeda.
GAMBAR 2. Morfologi patahan elektroda karbon aktif perbesaran 1500 X.
El Sel
Csp (F/g)
E Wh/kg
P W/kg
Cair Gel
112 100
0,9 085
84 30
Rapat Arus (mA/cm2)
Tabel 2 memperlihatkan perbedaan sifat kapasitif sel superkapasitor dengan elektrolit yang berbeda. Perbedaan hasil yang tidak terlalu signifikan ini menunjukkan bahwa ionion dalam kedua jenis elektrolit ini masih dapat meresap kedalam pori dari elektroda karbon meso pori. Ukuran rata-rata pori yang cukup besar memungkinkan kedua jenis elektrolit dapat masuk kedalam pori secara sempurna sehingga dapat menghasilkan sifat kapasitif yang relatif baik. Hasil pengukuran sifat kapasitif ini masih berada dalam rentang yang wajar untuk sebuah sel superkapasitor [8].
Potensial (V)
GAMBAR 3. Grafik I-V hasil pengukuran siklik voltametri.
Data pengukuran siklik voltammetri (CV) sel superkapasitor menggunakan dua jenis elektrolit yang berbeda di tunjukkan pada Gambar 3. Gambar 3 menapilkan hubungan arus dan tegangan saat cas dan discas untuk kedua jenis sel superkapasitor. Secara umum bentuk data yang dihasilkan adalah hampir serupa, yaitu menyerupai bentuk empat persegi panjang. Bentuk ini merupakan bentuk tipikal untuk sel superkapasitor dua lapisan. Perbedaan yang dapat diamati untuk kedua hasil pengukuran CV pada kedua jenis sel superkapasitor ini adalah pada lebar daerah I-V yang dihasilkan. Sel superkapasitor yang menggunakan elektrolit cair mempunyai nilai arus yang sedikit lebih besar dibandingkan dengan sel superkapasitor menggunakan gel elektrolit. Perbedaan data arus ini jelas
4. KESIMPULAN Berdasarkan analisa yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa jenis elektrolit berpengaruh pada nilai kapasitansi, energi dan daya sel superkapasitor. Perbedaan ini dipengaruhi oleh kebebasan ion dalam proses transportasi memasusi pori meso dan mikro dala pembentukan lapisan ganda pasangan elektron dan ion. 5. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terimakasih disampaikan pada Kemenristek-Dikti atas bantun pendanaan melalui projek HIKOM tahun kedua pada peneliti Dr. Erman Taer, M.Si.
57
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
5. Inagaki, M., Konno, H. and Tanaike. O., Journal of Power Sources 195, 7880-7903 (2010).
6. REFERENSI 1. Burke, A., Journal of Power Sources 91, 3750 (2000).
6. E.Taer, M. Deraman, I.A.Talib., A.A. Umar, M. Oyama and R.M.Yunus., Current Applied Physics 10, 1071-1075 (2010).
2. Kötz, R. and Carlen, M., Electrochimica Acta 45 (15-16), 2483-2498 (2000). 3. Simon, P. and Gogotsi, Y., Philosophical Transactions of the Royal Society A 368, 3457-3467 (2010).
7. E. Taer, M. Deraman, I.A.Talib., A. Awitdrus, S.A. Hashmi and A.A Umar., International Journal of Electrochemical Science 6, 3301-3315 (2011). 8. Erman Taer, Yusriwandi, Rika Taslim, I.D.M. Syam, and Mohamad Deraman, KnE Engineering, vol. 2016, 6 pages. DOI 10.18502/keg.v1i1.499.
4. E. Taer, M. Deraman, R. Taslim, Iwantono, AIP conference proceeding series, 1554, 3337 (2013).
58
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Potensi Cangkang Kerang Simping (Placuna placenta) Sebagai Filler Dalam Pembuatan Papan Komposit Ahmad Abtokhi1) dan Ahmad Mufidun Jurusan Fisika, Fakultas Saintek, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang 1 email:
[email protected]
Abstrak Kebutuhan masyarakat terhadap papan kayu yang meningkat berdampak terhadap kelangkaan dan meningkatnya harga bahan dasar kayu di pasaran. Perlu dilakukan upaya nyata yang dapat menanggulangi permasalahan tersebut, yaitu dengan memanfaatkan limbah alam sebagai bahan dalam pembuatan papan komposit. Salah satu limbah yang jumlahnya relative melimpah adalah cangkang Kerang Simping (Placuna placenta). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang potensi Kerang Simping (Placuna placenta) sebagai filler dalam pembuatan papan komposit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahwa Kerang Simping (Placuna placenta) memiliki kandungan 99% kristal kalsit murni, mengandung mineral dengan struktur mikro berlapis, memiliki ketahanan terhadap deformasi plastis yang lebih baik dibanding kristal kalsit dari alam (sekitar 50%). Selain itu, melalui proses uji nano-indentasi didapatkan bahwa kerusakan yang dialami cangkang Kerang Simping berupa jenis retakan dan volume pada daerah bekas indentasi jauh lebih toleran dibanding dengan kristal kalsit dari alam. Pada penelitian lanjutan didapatkan bahwa papaan komposit dengan penambahan filler 40% serbuk cangkang Kerang Simping (Placuna placenta) termasuk dalam kategori papan dengan densitas tinggi, tidak mudah menyerap air, nilai kuat tarik dan lentur memenuhi kesesuaian dengan standar SNI papan partikulat, dan mampu menghemat bahan matriks resin poliester hingga 40% w/w, dengan jumlah komposisi filler yang lebih banyak jika dibandingkan dengan menggunakan filler serbuk kalsit alam. Kata kunci: Kerang simping, filler, papan komposit.
Kerang Simping (Placuna placenta) tersebar di beberapa wilayah pesisir perairan Indonesia, tepatnya dibeberapa wilayah muara sungai.
1. PENDAHULUAN Maraknya penggundulan hutan menyebabkan kerusakan alam, kelangkaan, dan meningkatnya harga bahan dasar kayu yang berdampak pada peningkatan biaya produksi pembuatan papan. Penggunaan papan berbahan kayu oleh masyarakat banyak digunakan sebagai bahan dasar perabot rumah tangga, termasuk sebagai bahan dasar pembuatan perahu tradisional. Meningkatnya kebutuhan akan kayu sebagai bahan bangunan juga memberikan andil pada kerusakan lingkungan terutama hutan.
Untuk mengetahui potensi dan informasi tentang pemanfaatan cangkang Kerang Simping (Placuna placenta) sebagai filler pada papan komposit, diperlukan beberapa informasi yang diharapkan dapat memberikan gambaran umum tentang ketersediaan Kerang Simping (Placuna placenta), morfologi, persebaran, sifat fisis dan mekanisnya, termasuk penelitian terbaru yang berkaitan dengan pemanfaatannya sebagai filler.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah memanfaatkan potensi limbah alam sebagai bahan filler pada proses pembuatan papan komposit [1]. Limbah cangkang Kerang Simping (Placuna placenta) relatif mudah ditemukan di wilayah pesisir, dan sementara ini oleh masyarakat sering dimanfaakan sebagai bahan cinderamata [2], sementara secara umum masyarakat nelayan hanya mengambil isi kerang dan menjual cangkangnya dengan harga yang relatif murah.
2. METODE PENELITIAN Metode yang dipakai dalam penelitian ini diawali dengan studi literatur tentang morfologi, potensi SDA (Sumber Daya Alam), sebaran Kerang Simping di Indonesia, sifat fisis, sifat mekanisnya, dilanjutkan dengan studi hasil penelitian yang bertujuan untuk memanfaatkan cangkang Kerang Simping (Placuna placenta) sebagai filler pada papan komposit.
59
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
3. HASIL DAN DISKUSI Kerang Simping Kerang Simping (Placuna placenta) merupakan biota avertebrata dengan cangkang yang simetris memiliki cangkang seperti pada Gambar 1. Panjang maksimum mencapai ±140 mm, dengan kedua cangkangnya datar dan bentuk cangkang hampir bundar. Kerang yang berumur muda bercangkang tipis dan transparan, sedangkan kerang yang berumur tua bercangkang tebal dan berwarna seperti pelangi. Ligamen internal memiliki struktur bentuk V yang terletak di atas dekat umbo yang membentuk sudut 4-60o [3].
GAMBAR 2. Spektrum XRD dari cangkang Kerang Simping (Placuna placenta) dengan standar puncak kalsit dibandingkan dengan PDF #01-075-6049
Karakterisasi Sifat Mekanis Li dan Ortiz menjelaskan cangkang Kerang Simping (Placuna placenta) memiliki struktur-struktur yang terdiri dari lapisan luar yang digunakan untuk menahan dan melokalisasi kerusakan akibat penerobosan, daerah tahan patah dapat menyerap kelebihan energi tanpa menimbulkan kerusakan pada cangkang dan dapat digunakan untuk mempertahankan diri dari berbagai serangan predator [7].
GAMBAR 1. Cangkang Kerang Simping (Placuna placenta)
Distribusi Kerang Simping (Placuna placenta) di Indonesia
Pada pengamatan menggunakan SEM (Scanning Electron Microscopy) didapatkan bahwa struktur mikro Kerang Simping adalah mineral dengan struktur berlapis-lapis pada Gambar 3a dan 3b [7].
Kerang Simping (Placuna placenta) hidup pada perairan dangkal dengan kedalaman maksimum 80 meter, tetapi ada juga yang hidup pada kedalaman 50 meter [3]. Jenis kerang ini memiliki distribusi yang sangat luas, tersebar dari Laut India, Laut Cina Selatan, Indo-Cina, Jepang, Philipina, Papua New Guinea, Indonesia dan Australia [4]. Di wilayah Indonesia, Kerang Simping (Placuna placenta) tersebar secara luas antara
lain di Kenjeran (Jawa Timur), Pasuruan (Jawa Timur), Demak (Jawa Tengah), Kupang (NTT), dan Tangerang (Banten) [5].
GAMBAR 3. Hasil pengamatan SEM dari Kerang Simping (Placuna placenta)
Karakterisasi Sifat Fisis Cangkang Kerang Simping memiliki transmisi cahaya sekitar 80% dan kandungan 99% murni kristal kalsit hasil dari pengujian termografimetri. Hasil dari pengujian XRD (XRay diffraction) didapatkan karakteristik puncak yang mirip dengan kalsit seperti pada gambar 2 [6].
Uji nano-indentasi telah dilakukan untuk mengetahui nilai kekuatan yang ada pada Kerang Simping (Placuna placenta) dan membandingkannya dengan kristal kalsit yang berasal dari alam. Analisis kuantitatif menggunakan yang digunakan menentukan nilai modulus dan kekerasan dari pengujian indentasi, pada Kerang Simping didapatkan nilai Eo-p = 71.11 ± 3.25 GPa, Ho-p = 3.88 ±
60
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
0.17 GPa sedangkan pada kristal kalsit didapatkan nilai E o-p = 73.4 ± 1.7 GPa, Ho-p = 2.51 ± 0.04 GPa. Secara signifikan cangkang Kerang Simping (Placuna placenta) meningkatkan ketahanan terhadap deformasi plastik yang ditunjukkan oleh peningkatan sebesar ~50% dalam hal nilai kekerasan relatif terhadap kristal kalsit [7].
resin poliester kemudian ditimbang menggunakan dengan variasi komposisi filler 20%, 40% dan 60% w/w. Bahan resin poliester yang digunakan adalah Yukalaq 157® BQTNEX, dengan katalis MEKP (Methyl Ethyl Keton Peroxide) [1]. Dalam penelitian selanjutnya, dilakukan pengujian sifat fisis untuk mengetahui nilai densitas, daya serap air, dan pengembangan tebal. Selain itu, dilakukan pula pengujian sifat mekanis yang ditujukan untuk mengetahui kekuatan tarik dan lentur [1].
Bekas uji nano-indentasi dengan ujung tajam conoshpherical pada bahan cangkang Kerang Simping saat dikenai beban menggunakan indentor (Gambar 4b) menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan dibandingkan dengan bekas indentasi pada kristal kalsit (Gambar 4a), karena menunjukkan perbedaan jenis retakan dan volume pada daerah bekas indentasi. Kerusakan yang dialami cangkang Kerang Simping (Placuna placenta) jauh lebih toleran karena batas spasial deformasi plastis sangat terlokalisasi dan sifat material yang isotropik sehingga fragmen cangkang retak dan terpotong pada daerah deformasi yang berukuran nano [7].
Hasil penelitian yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa penggunaan serbuk cangkang Kerang Simping (Placuna placenta) sebagai filler pada pembuatan papan komposit dengan komposisi filler 40% dan matriks poliester telah didapatkan bahwa nilai densitasnya adalah 1,359-1,756 g/cm2, termasuk dalam kategori papan dengan densitas tinggi, sifat papan yang tidak mudah menyerap air karena memiliki daya serap air sebesar 0,50-5,97%, nilai kuat tarik sebesar 0,1705-1,462 MPa dan nilai kuat lentur sebesar 39,420-132,840 MPa memenuhi kesesuaian dengan standar SNI papan partikulat [1]. Penggunaan serbuk cangkang Kerang Simping (Placuna placenta) mampu menghemat bahan matriks resin poliester hingga 40% w/w, yang jumlahnya lebih banyak jika dibandingkan dengan dengan penggunaan bahan filler serbuk kalsit alam [1,8].
GAMBAR 4. Pengamatan SEM untuk Hasil Indentasi pada Kristal Kalsit (a) dan Kerang Simping (b)
Hasil perhitungan volume bekas indentasi dan pengukuran energi dissipasi pada kedua bahan didapatkan nilai densitas dissipasi energi deformasi perbagian volume pada cangkang Kerang Simping (Placuna placenta) sebesar ediss = 0.290 ± 0.072 nJ dan lebih tinggi dibandingkan pada kristal kalsit sebesar ediss = 0.034 ± 0.013 nJ [7].
4. KESIMPULAN Keberadaan limbah cangkang Kerang Simping (Placuna placenta) sebagai hasil samping tangkapan para nelayan di wilayah pesisisir pantai Indonesia relatif melimpah. Beberapa wilayah perairan yang menjadi habitat Kerang Simping antara lain di sepanjang Pantai Kenjeran (Jawa Timur), Pasuruan (Jawa Timur), Demak (Jawa Tengah), Kupang (NTT), dan Tangerang (Banten). Selain dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku kerajinan, cangkang Kerang Simping (Placuna placenta) dapat pula dimanfaatkan sebagai bahan filler untuk pembuatan papan komposit.
Serbuk Cangkang Kerang Simping (Placuna placenta) Sebagai Filler
Penelitian tentang pemanfaatan Kerang Simping (Placuna placenta) sebagai filler pada papan komposit telah dilakukan dengan cara mencampurkan butiran serbuk Kerang Simping (Placuna placenta) dengan 3 variasi ukuran, yaitu: kasar (0,297-6,73 mm), sedang (0,149-0,297 mm) dan halus (<0,149 mm). Serbuk Kerang Simping (Placuna placenta) dan
Kerang Simping (Placuna placenta) memiliki kandungan 99% kristal kalsit murni, mengandung mineral dengan struktur mikro
61
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
berlapis, memiliki ketahanan terhadap deformasi plastis yang lebih baik dibanding kristal kalsit dari alam (sekitar 50%). Kerusakan yang dialami cangkang Kerang Simping (Placuna placenta) berupa jenis retakan dan volume pada daerah bekas indentasi jauh lebih toleran dibanding dengan kristal kalsit dari alam. Pada penelitian lanjutan didapatkan bahwa papaan komposit dengan penambahan filler 40% serbuk cangkang simping termasuk dalam kategori papan dengan densitas tinggi, tidak mudah menyerap air, nilai kuat tarik dan lentur memenuhi kesesuaian dengan standar SNI papan partikulat, dan mampu menghemat bahan matriks resin poliester hingga 40% w/w, dengan jumlah komposisi filler yang lebih banyak jika dibandingkan dengan menggunakan filler serbuk kalsit alam.
lndonesia”, Prosiding Seminar Nasional Molusca II, 2009, pp. 15-19. 3. Swennen, C., dkk., The Molluscs of the Southern Gulf of Thailand, Thai Studies in Biodiversity: 1-210 (2001). 4. Carpenter, K.E. dan V.H. Niem., Introduction, Molluscs, Crustaceans, Hagfishes, Sharks, Batoid Fishes and Chimaeras, Vol. I, Rome: Food and Agriculture Organization of the United Nations, 2002. 5. Pagcatipunan, R.N., Turtell dan J. Silaen, “A Preliminary Survey of Development Potential of Shellfish Farming in Indonesia”, Preparatory Assistance in Seafarming, FAO project, 1981. 6. Li, Ling dan Christine Ortiz, “Biological Design for Simultaneous Optical Transparency and Mechanical Robustness in the Shell of Placuna placenta”, Advanced Matter 25, 2344-2350 (2013).
5. REFERENSI 1. Mufidun, Ahmad, “Pengaruh Variasi Komposisi dan Ukuran Filler Serbuk Cangkang Kerang Simping (Placuna placenta) pada Matriks Poliester Terhadap Sifat Fisis dan Mekanis Papan Komposit, Skripsi, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang, 2016.
7. Li, Ling dan Christine Ortiz, “Pervasive Nanoscale Deformation Twinning as a Catalyst for Efficient Energy Dissipation in a Bioceramic Armour”, Nature Materials 13, 501-507 (2014). 8. Rahman, G.M.S., Enhanced Physicomechanical Properties of Polyester Resin Film Using CaCO3 Filler, Fibers and Polymers 17, 59-65.
2. Wipranata, B., Irwan dan Sunarjo Leman, “Meningkatkan Peran Seni Kriya Kerang dan Siput pada Sektor lndustri Kreatif di
62
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Pengaruh Perbedaan Komposisi Terhadap Sifat Fisis pada Campuran Nanokomposit Berbahan SiO2-ZnO Erika Rani1) dan Moh. Sinol Jurusan Fisika, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Jl. Gajayana 50 Malang, Jawa Timur 1 email:
[email protected]
Abstrak Nanokomposit SiO2-ZnO telah disintesa pada variasi komposisi dengan menggunakan metoda simple mixing. Sifat fisis yang meliputi fasa yang terbentuk dan ukuran butir telah dikarakterisasi dengan menggunakan X-Ray Diffraction. Sedangkan sifat listrik yang meliputi permitivitas (riil dan imajiner), impedansi (riil dan imajiner) dan konduktivitas telah dianalisa menggunakan RCL meter. Pembentukan fasa baru tidak teramati dalam proses sintesa nanokomposit SiO2-ZnO. Nanokomposit dengan variasi komposisi 3SiO2: 7ZnO memiliki nilai permitivitasriil dan permitivitas imajiner paling tinggi serta waktu relaksasi yang paling singkat. Komposisi 7SiO2: 3ZnO memiliki impedansi riil yang paling rendah dan impedansi imajiner yang paling tinggi. Sedangkan Komposisi nanokomposit 5SiO2:5ZnO memiliki nilai konduktivitas yang paling tinggi. Ukuran butir berpengaruh terhadap nilai impedansi baik riil dan imajiner, konduktivitas dan waktu relaksasi. Frekuensi berpengaruh terhadap nilai permitivitas dan impedansi. Semakin tinggi frekuensi maka nilai permitivitas dan impedansi memiliki kecenderungan menurun. Kata kunci: Nanokomposit SiO2-ZnO, konduktivitas Listrik, simple mixings.
yang tepat sebagai perangkat light emitting diodes (LED) dan perangkat optoelektronik lainnya [2]. Selain itu ZnO merupakan material yang potensial diaplikasikan pada solar sel, elektronik transparan, perangkat emisi cahaya, perangkat gelombang akustik permukaan, transistor, sensor (baik sensor gas dan kimia) [3-8].
1. PENDAHULUAN Kemajuan teknologi bergantung pada ilmu dan teknik dalam pembuatan material dengan memanfaatkan sifat fisik dan mekaniknya. Salah satu teknologi modern tersebut yakni teknologi lapisan tipis. Lapisan tipis adalah suatu lapisan yang sangat tipis dari bahan organik, anorganik, metal, maupun campuran metal-organik yang dapat memiliki sifat-sifat konduktor, semikonduktor, superkonduktor, maupun isolator yang memiliki ketebalan mulai dari nanometer sampai beberapa mikrometer. Teknologi lapisan tipis ini sudah banyak mengalami perkembangan, baik dari segi cara pembuatan, bahan yang digunakan, dan aplikasinya dalam kehidupan masyarakat. Dalam teknik material khususnya lapisan tipis, bahan yang biasa digunakan adalah In2O3, WO3,SiO2, TiO2, ZnO, ITO, MgO dan masih banyak lagi bahan lainnya.
Akhir-akhir ini material komposit berbasis ZnO mendapatkan perhatian khusus untuk diteliti [3]. Sebagai contoh, nanokomposit ZnO-SiO2 diketahui memiliki beberapa karakteristik yang menarik seperti emisi sinar UV, cahaya putih, cahaya tampak [9]. Nanokomposit ZnO-SiO2 dapat ditumbuhkan dengan beberapa teknik, yakni Sol-gel [9], deposisi lapisan atom [10], hidrotermal gelombang mikro [11], chemical vapor deposition [12,13], Magneton sputtering [14,15]. Kecuali metode sol-gel, metode lain membutuhan piranti yang mahal dan canggih, temperature tinggi serta kondisi vakum. Akan tetapi metode simple mixing merupakan teknik yang mudah, murah, temperatur tidak terlalu tinggi serta mudah untuk mengkontrol komposisi kimianya dan morfologinya.
ZnO merupakan salah satu material yang menarik perhatian karena memiliki lebar celah pita energi sebesar 3.3 eV dan energi ikat eksitasi sebesar 60 MeV pada suhu kamar. Disamping itu, struktur kristalnya memiliki sifat piezoelektrik dan termikromik [1]. Untuk itu, ZnO memiliki sifat yang stabil dan material
63
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Pada penelitian ini, nanokomposit ZnOSiO2 disintesa dengan variasi komposisi dengan menggunakan metoda simple mixing dan selanjutnya dianalisa sifat fisis dan sifat listriknya. 2. METODE PENELITIAN Alat-alat yang digunakan antara lain: Neraca Digital, Mesin press, Furnace, Beaker Glass, Spatula, Mortar dan alu, Cawan Petri, Magnetic Stirrer, RCL meter, XRD, Gelas Crushible, Ayakan. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan antara lain: Serbuk ZnO, Serbuk SiO2, Alkohol 70 %, dan Pasta Perak.
GAMBAR 1. Grafik Hasil Semikonduktor Nanokomposit temperatur pemanasan 600ºC
Uji XRD SiO2-ZnO
Sampel dengan
Pada gambar di atas, pencampuran bahan 7SiO2:3ZnO maupun bahan campuran 5SiO2:5ZnO terbentuk puncak (terlihat puncak) SiO2nya. Kemunculan puncak-puncak ini dipengaruhi oleh temperatur pemanasan yang terlalu rendah sehingga pada grafik 3SiO2:7ZnO tidak adanya puncak yang terlihat berdasarkan hasil X-Ray Diffraction.
Proses eksperimen diawali dengan mencampur kedua bahan yakni Serbuk ZnO dan SiO2 dengan beberapa variasi komposisi (0:10, 3:7, 5:5, 7:3, 10:0) menggunakan magnetic stirrer pada suhu 80°C dengan kecepatan 300 rpm dengan bantuan pelarut alkohol 100 ml selama 45 menit dan dilanjutkan pada suhu 100 °C selama 45 menit. Setelah kedua bahan tercampur, selanjutnya dilakukan pengeringan di udara terbuka sampai kedua bahan tersebut benar-benar kering dan kembali pada keadaan semula yakni dalam bentuk serbuk. Serbuk selanjutnya digerus sehalus mungkin dan diayak.
Analisa search Match menunjukkan bahwasanya setelah dicocokkan antara hasil standart dengan exsperimen pada bahan SiO2 muncul fase kristobalit dan quartz. Sedangkan untuk ZnO menunjukkan pola XRD dengan puncak tertinggi pada sudut 2θ: 31.80, 34.45, 36.28, 47.56 dan 56.61 yang dapat dikategorikan dalam struktur wurtzite dari kristal ZnO (fase hexagonal). Pada pembuatan semikonduktor dengan variasi komposisi 7SiO2:3ZnOdan 5SiO2:5ZnO terbentuk puncak pada 2θ sekitar 21° dan 24°, sedangkan untuk pencampuran 5SiO2:5ZnO pada 2θ sekitar 21°, 24° dan 26°.
Sampel dipanaskan pada suhu kalsinasi sebesar 600°C selama 1 jam. Pemanasan ini ditujukan untuk menghilangkansenyawa lain yang tidak dibutuhkan dalam pembuatan semikonduktor SiO2-ZnO sehingga terbentuk serbuk keramik dengan kemurnian yang tinggi dan ukuran partikel yang optimum. Selanjutnya dibuat pallet dan dilakukan sintering pada suhu 1100 ºC dengan holding time 1 jam dengan tiap-tiap kenaikan suhu 5 menit. Terakhir, Sampel dianalisa dengan menggunakan XRD dan RCL Meter.
Berdasarkan gambar 3 di atas dapat dilihat puncak tertinggi dari ukuran kristal masingmasing lapisan dapat dihitung dengan menggunakan Scherrer Formula yaitu dengan mengukur hasil kali lebar dengan setengah tinggi pada pita XRD yang tertinggi, sehingga mampu menghasilkan SiO2-ZnO dalam skala nanometer.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Telah dilakukan penelitian tentang sintesa dan karakterisasi bahan semikonduktor SiO2ZnO dengan grafik hasil X-Ray Diffraction (XRD), dengan perbandingan masing-masing 0:10, 3:7, 5:5, 7:3 dan 10:0 pada temperatur pemanasan 600 ºC. Hasil XRD (X-Ray diffraction) tampak pada gambar 1.
Puncak tertinggi dari ukuran kristal masing-masing lapisan dan selanjutnya dapat dihitung dengan menggunakan Scherrer Formula, Pers. (1) untuk menentukan ukuran Kristal, yakni:
64
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
D≈
𝜆
Cd
𝜀r = ε˳ A
(1)
𝐵 𝑐𝑜𝑠𝜃𝐵
dengan C d A ε˳
Dimana: D = ukuran (diameter) kristal λ = panjang gelombang sinar-x θB = sudut Bragg B = FWHM satu puncak yang dipilih Dengan: B=
2 √𝐹𝑊𝐻𝑀𝑠𝑝
−
2 𝐹𝑊𝐻𝑀𝑠𝑡
: Kapasitansi (F) : Tebal sampel (m) : Luas sampel (8,26x10-7 m2) : Permitivitas ruang vakum (8,85x10-12 F/m)
Permitivitas riil ditentukan menggunakan persamaan:
(2)
𝜀 2
𝜀𝑟′ = ε˳ 𝑟 A
2 FWH𝑀𝑠𝑝 = lebar puncak difraksi sampel pada setengah maksimum 2 FWH𝑀𝑠𝑡
𝜀𝑟′′ = 𝜀𝑟′ . D
6,79
3 SiO2 : 7 ZnO
65,04
5 SiO2 : 5 ZnO
35,42
7 SiO2 : 3 ZnO
77,92
(5)
Pengaruh frekuensi dan konstanta dialektrik nanokomposit SiO2-ZnO dengan variasi komposisi digambarkan pada gambar 2.
TABEL 1. Data ukuran butir rata-rata tiap sampel
0 SiO2 : 10 ZnO
(4)
dengan D adalah faktor disipasi, yaitu faktor yang menunjukkan besarnya daya yang hilang di dalam kapasitor.
Ukuran butir campuran nanokomposit SiO2-ZnO disajikan dalam tabel 1 berikut
Drata-rata (nm)
dengan
Sedangkan permitivitas imajiner didapatkan dengan menggunakan persamaan:
= lebar puncak difraksi kristal yang sangat besar yang lokasi puncak berada disekitar lokasi puncak sampel yang akan dihitung.
Sampel
(3)
Dari tabel 1 tampak bahwa pada komposisi campuran 7SiO2 : 3ZnO memiliki ukuran butir rata-rata terbesar yakni 77,92 nm sedangkan komposisi campuran 5SiO2 : 5ZnO memiliki ukuran butir rata-rata terkecil yakni 35,42 nm. Untuk komposisi 10SiO2 : 0ZnO tidak disajikan karena sifat SiO2 yang amorf sehingga panjang gelombang tidak tampak.
GAMBAR 2. Pengaruh frekuensi dan konstanta dialektrik nanokomposit SiO2-ZnO pada komposisi yang bervariasi.
Gambar 2 menunjukkan penurunan nilai permitivitas (konstanta dielektrik) seiring dengan peningkatan frekuensi. Hal ini disebabkan karena peningkatan frekuensi meningkat mengakibatkan medan listrik berosilasi dengan sangat cepat, sehingga beberapa muatan yang mengalami proses redistribusi dan tidak dapat mengikuti perubahan arah medan listrik sehingga menyebabkan berkurangnya polarisasi. Nilai permitivitas tertinggi terdapat pada sampel dengan perbandingan komposisi 3SiO2 : 7ZnO dan permitivitas terendah terdapat pada sampel 0SiO2 : 10ZnO.
Konstanta dielektrik merupakan rasio antara permitivitas mutlak material dan permitivitas mutlak ruang hampa. Dalam sistem sentimeter-gram-detik konstanta dielektrik identik dengan permitivitas. Permitivitas relatif atau dikenal sebagai konstanta dielektrik merupakan perbandingan energi listrik yang tersimpan pada bahan jika diberi sebuah potensial dan relatif terhadap ruang hampa. Konstanta dielektrik ditentukan dengan menggunakan persamaan:
65
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Hubungan frekuensi dan permitivitas riil dideskripsikan pada gambar 3.
Permitivitas imajiner menggambarkan kemampuan suatu bahan untuk menghamburkan atau melepaskan energi dan mengkonversinya menjadi panas yang nilainya selalu positif dan besarnya lebih kecil dari permitivitas riil. Dari gambar 4 tampak bahwa semakin besar frekuensi maka permitivitas imajiner cenderung mengalami penurunan. Permitivitas imajiner terbesar pada sampel dengan komposisi 3SiO2 : 7ZnO sebesar 3.25 x 1010 dan yang terkecil pada sampel 0SiO2:10ZnO. Permitivitas riil dan imajiner dapat dihubungkan dengan membentuk grafik cole cole plot. Secara teori cole-cole plot digunakan untuk mengetahui besarnya waktu relaksasi dari suatu bahan dielektrik. Waktu relaksasi ini merupakan waktu yang dibutuhkan dipol-dipol untuk kembali pada keadaan semula. Grafik cole-cole plot ditunjukkan pada gambar 5 dibawah ini.
GAMBAR 3. Pengaruh frekuensi terhadap permitivitas riil nanokomposit SiO2-ZnO pada komposisi yang bervariasi
Permitivitas riil menunjukkan kemampuan suatu bahan untuk menyimpan muatan atau energi listrik. Dari gambar 3 tampak bahwa permitivitas riil memiliki kecenderungan menurun ketika frekuensi semakin besar. Frekuensi yang tinggi menyebabkan medan listrik semakin besar dan menyebabkan berkurangnya polarisasi. Semakin kecil polarisasi, maka kemampuan bahan untuk menyimpan muatan listrik juga semakin kecil. Permitivitas riil tertinggi dimiliki oleh sampel dengan komposisi 3SiO2:7ZnO sebesar 2.5 x 109 dan permitivitas riil terendah dimiliki sampel dengan komposisi 10SiO 2:0ZnO sebesar 7x105. Hubungan frekuensi dan permitivitas imajiner dideskripsikan pada gambar 4.
GAMBAR 5. Hubungan permitivitas riil dan imajiner nanokomposit SiO2-ZnO pada komposisi yang bervariasi
Cole-cole plot yang dihasilkan oleh semua sampel membentuk semiserkel. Akan tetapi komposisi 7SiO2 : 3ZnO membentuk semisirkel hampir sempurna. Semakin besar jari-jari sirkel, maka waktu yang dibutuhkan untuk relaksasi semakin lama. Sebaliknya, semakin kecil jari-jari sirkel, maka waktu relaksasinya singkat. Untuk itu, apabila semakin besar frekuensi, maka pergerakan dipol semakin cepat dan sirkel yang terbentuk kecil sehingga mengakibatkan waktu relaksasinya singkat. Jari-jari sirkel terendah untuk nanokomposit dengan variasi komposisi 3SiO2 : 7ZnO.
GAMBAR 4. Pengaruh frekuensi dan permitivitas imajiner nanokomposit SiO2-ZnO pada komposisi yang bervariasi
Disamping itu tampak pengaruh frekuensi sangat dominan pada frekuensi rendah sehingga
66
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
terbentuk polarisasi muatan ruang. Polarisasi muatan ruang terjadi karena pemisahan muatan ruang yang merupakan muatan bebas dalam ruang dielektrik. Dengan proses ini terjadi pengumpulan muatan sejenis pada dua sisi dielektrik. Polarisasi ini berlangsung lebih lambat dan terjadi pada frekuensi 100 – 106 Hz.
juga nilai reaktansi kapasitif menurun. Impedansi riil tertinggi terdapat pada nanokomposit dengan komposisi 5SiO2 : 5ZnO sebesar 1,1 x 107 Hz dan impedansi riil terendah dimiliki oleh sampel dengan komposisi 7SiO2:3ZnO sebesar 1,32x 103 Hz. Hubungan frekuensi dan impedansi imajiner disajikan pada gambar 7. Dari gambar 7 terlihat bahwa nilai rata-rata impedansi imajiner semakin kecil seiring bertambahnya frekuensi. Impedansi tertinggi dimiliki sampel dengan komposisi 7SiO2 : 3ZnO sebesar 3.5 x 1018 dan impedansi imajiner terendah pada komposisi nanokomposit 5SiO2 : 5ZnO, yakni 8 x 103.
Impedansi (Z) merupakan hambatan total dari suatu bahan dengan rangkaian AC (bolak balik) yang dipengaruhi oleh resistansi dan frekuensi. Seperti halnya dengan permitivitas, impedansi juga mempunyai dua bagian yaitu bagian riil dan bagian imajiner. Impedansi listrik suatu material dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan: Zimj =
𝑅 2𝜔 1+( 𝑅 2 𝜔 2𝐶 2 )
(6)
dan Zriil = dengan Zimj Zriil R ω C
= = = = =
𝑅 1+( 𝑅 2 𝜔 2𝐶 2 )
(7)
Impedansi imajiner Impedansi riil Resistansi Frekuensi Kapasitansi
Dengan menggunakan pers. (6) dan (7) diperoleh nilai impedansi riil, impedansi imajiner maupun hubungan keduanya. Gambar 6 memperlihatkan grafik hubungan frekuensi dengan impedansi riil.
GAMBAR 7. Pengaruh Frekuensi Terhadap Impedansi Imajiner Semikonduktor Nanokomposit SiO2-ZnO pada komposisi berbeda
Hubungan impedansi riil dan imajiner ditunjukkan pada gambar 8 berikut ini.
GAMBAR 6. Pengaruh Frekuensi Terhadap Impedansi Riil Semikonduktor Nanokomposit SiO2-ZnO pada komposisi berbeda
Dari gambar 6, terlihat dengan semakin tinggi frekuensi maka impedansi riil memiliki kecenderungan menurun dan menyebabkan
GAMBAR 8. Hubungan Impedansi Riil dan Terhadap Impedansi Imajiner Semikonduktor Nanokomposit SiO2ZnO pada komposisi berbeda
67
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Berdasarkan gambar 8, bentuk semisirkel pada masing-masing komposisi mempunyai hambatan. Bentuk sirkel paling terbesar dimiliki sampel dengan komposisi nanokomposit 5SiO2 : 5ZnO dan bentuk sirkel paling terkecil dimiliki sampel dengan komposisi nanokomposit 7SiO2 : 3ZnO. Ukuran butir memberikan pengaruh terhadap nilai impedansi dan waktu relaksasi. Semakin kecil ukuran butir nanokomposit maka semakin rendah impedansi imajiner, semakin tinggi impedansi riil dan semakin lama waktu relaksasi. Sebaliknya semakin besar ukuran nanokomposit butir maka semakin tinggi impedansi imajiner, semakin rendah impedansi riil dan semakin singkat waktu relaksasinya.
dimana ukuran butirnya paling besar dibanding campuran lainnya terdapat pada komposisi 7SiO2 : 3ZnO yaitu sebesar 0,726549 (Ωm)-1. 4. KESIMPULAN Telah disintesa nanokomposit SiO2-ZnO pada variasi komposisi dengan menggunakan metoda simple mixing. Ukuran butir berpengaruh terhadap nilai impedansi riil,impedansi imajiner, waktu relaksasi dan konduktivitas. Semakin kecil ukuran butir nanokomposit maka semakin rendah impedansi imajiner, semakin tinggi impedansi riil dan konduktivitasnya serta semakin lama waktu relaksasi. Ini juga berlaku sebaliknya. Dalam hal ini, komposisi nanokomposit 5SiO2 : 5ZnO memiliki ukuran butir yang paling kecil sedangkan komposisi nanokomposit 7SiO2 : 3ZnO memiliki ukuran butir paling besar. Untuk komposisi nanokomposit 3SiO2 : 7ZnO memiliki permitivitas riil dan imajiner yang paling tinggi.
Dalam penentuan nilai konduktivitas listrik digunakan Persamaan sebagai berikut: σ= dengan σ = ρ = 𝑙 = R= A=
1 𝜌
=
𝑙 𝑅𝐴
(8)
Konduktivitas listrik (Ωm)-1 Resistivitas listrik (Ωm) Jarak antara 2 titik pengukuran (m) Resistansi (Ω) Luas penampang (m2)
5. UCAPAN TERIMA KASIH Kami ucapkan terima kasih kepada Fakultas Saintek UIN Maulana Malik Ibrahim yang telah membantu secara financial hingga penelitian ini selesai.
selanjutnya dianalisa pengaruh variasi komposi terhadap konduktivitas sebagaimana gambar 9 berikut ini:
6. REFERENSI 1. P.S. Gupta, Appl. Phys Research, Vol. 2 No.
1, pp. 19-28 (2010). 2. L. Shi, X., Pure UV photoluminescence from ZnO thin film by thermal retardation and using an amorphous SiO 2 buffer layer, Luminescence 131, 834–837 (2011). 3. F.A. Harraz, A.A. Ismail, A.A. Ibrahim, S.A. Al-Sayari, M.S. Al-Assiri, Highly sensitive ethanol chemical sensor based on nanostructured SnO2 doped ZnO modified glassy carbon electrode, Chem. Phys. Lett. 639, 238–242 (2015).
GAMBAR 9. Pengaruh Variasi Komposisi Terhadap Konduktivitas Listrik Semikonduktor Nanokomposit SiO2-ZnO
4. A.M. Ali, A.A. Isma il, R. Najmy, A. AlHajry, Zinc oxide-silica films prepared by sol–gel technique for chemical sensing applications, Thin Solid Films 558, 378–384 (2014).
Tampak dari gambar 9 bahwa tren kenaikan jumlah komposisi SiO2 menurunkan nilai konduktivitas nanokomposit SiO2-ZnO, Namun peningkatan konduktivitas terjadi pada komposisi 5SiO2:5ZnO yaitu sebesar 23,36729(Ωm)-1. Hal ini dikarena pada komposisi campuran ini memiliki ukuran paling kecil. Sedangkan konduktivitas terendah
5. A.A. Ismail, A.A. El-Midany, E.A. AbelAal, H. El-Shall, Application of statistical design strategies to optimize the preparation
68
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
of ZnO nanoparticles via hydrothermal technique, Mater. Lett. 59, 1924–1928 (2005).
conductive oxide, Thin Solid Films 518, 1145–1148 (2009). 11. N. Shojaee, T. Ebadza deh, A. Aghaei, Effect of concentration and heating conditions on microwave-assisted hydrothermal synthesis of ZnO nanorods, Mater. Charact. 61, 1418–1423 (2010).
6. O. Marin, G. Grinblat, A.M. Gennaro, M. Tirado, R. R. Koropecki, D. Comedi, On the origin of white photo luminescence from ZnO nanocones / porous silicon hetero structures at room temperature, Superlattice. Microst. 79, 29–37 (2015).
12. S. L. Diedenhofen, G. Vecchi, R. E. Algra, A. Hartsuiker, O. L. Muskens, G. I mmink, E.P.A.M. Bakkers, W.L. Vos, J.G. Rivas, Broad-band and omni directional anti reflection coatings based on semiconductor nanorod, Adv. Mater. 21, 973–978 (2009).
7. P. Barquinha, E. Fortunato, A. Gonçalves, A. Pimentel, A. Marques, L. Pereira, R. Martins, Superlattice. Microst. 39, 319–327 (2006). 8. P. Strubel, S. T hieme, T. Biemelt, A. Helmer, M. Oschatz, J. Brückner, H. Althues, S. Kaskel, ZnO hard templating for synthesis of hierarchical porous carbons with tailored porosity and high performance in lithium–sulfur battery, Adv. Funct. Mater. 25, 287–297 (2015).
13. G.Z. Wang, Y. Wang, M.Y. Yau, C.Y. To, C.J. Deng, D.H.L. Ng, Synthesis of ZnO hexagonal columnarpins by chemical vapor deposition, Mater. Lett. 59, 3870–3875 (2005). 14. T. Yoshida, K. Nishimoto, K. Sekine , K. Etoh, Fluoride anti reflection coatings for deep ul traviolet optics deposited by ionbeamsputtering, Appl. Opt. 45, 1375–1379 (2006).
9. A.M. Ali, F.A. Harraz, A.A. Ismail, S.A. AlSayari, H. Algarni, A.G. Al-Sehemi, Synthesis of amorphous ZnO–SiO2 nanocomposite with enhanced chemical sensing properties, Thin Solid Film, (2015).
15. J. Nguyen, J.S. Yu, A. Evans, S. Slivken, M. Razeghi, Optical coatings by ion-beam sputtering deposition for long-wave infrared quantum cascade lasers, Appl. Phys. Lett. 89, 111113–111115 (2006).
10. M. Godlewski, E. Guziewicz, T. Krajewski, A. Wachnicka, K. Kopalko, A. Sarem, B. Dalat, ZnO layers grown by atomic layer deposition: a new material for transparent
69
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Analisis Limpasan Permukaan di Daerah Tangkapan Air (DTA) Sungai Besar Kota Banjarbaru Sri Rohyanti, Ichsan Ridwan*, Nurlina Program Studi Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lambung Mangkurat Jalan A. Yani Km. 36 Banjarbaru, Kalsel * email:
[email protected]
Abstrak Perkembangan pembangunan yang begitu pesat cenderung menyebabkan semakin banyaknya alih fungsi lahan menjadi bangunan gedung-gedung dan permukiman baru yang berakibat pada semakin berkurangnya area resapan air. Air hujan yang tidak dapat meresap secara langsung ke dalam tanah akan menjadi limpasan. Limpasan yang tidak tertangani dengan baik akan menimbulkan berbagai masalah bagi masyarakat, terutama banjir. Solusi yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan banjir terutama untuk daerah pemukiman padat atau yang mempunyai lahan resapan air hujan yang minim dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi biopori. Penelitian ini menganalisis limpasan dan pemaksimalan resapan air hujan di DTA Sungai Besar Kota Banjarbaru menggunakan metode rasional, bertujuan mengetahui jumlah limpasan permukaan dan menentukan jumlah lubang resapan biopori yang diperlukan untuk mencegah banjir. Metode yang digunakan adalah metode analisis yang meliputi pengolahan data sekunder dan data primer hsasil interprestasi citra serta pengukuran lapangan. Analisis spasial menggunakan overlay pada sistem informasi geografis. Hasil penelitian ini menunjukan debit limpasan di DTA Sungai Besar adalah 21,88 m3/detik atau m3/jam dengan potensi banjir sebesar 47.963,01 m3. Diperlukan 48.454 Lubang Biopori untuk luas DTA Sungai Besar 1399,44 ha atau 33 sampai 36 Lubang Biopori per hektar. Kata kunci: Biopori, DTA Sungai Besar, Limpasan Permukaan, SIG
Abstract The progress of development rapidly cause the increasing number of dysfuntion. Land into building and settlements cause on decreas of water catchment area. The rain water can not direcly seep into the soil that will be runoff. Runoff that not handled will cause a several problem for society espesially flood. To resolve the problem of flooding in dense settlement or has minimal water catcment area can be done using technology of biopore. This study analyzed of runoff and maximizing obsorption of rain in Besar River Banjarbaru City to determine sum of runoff and infiltration holes of biopore to prevent flood. This analysis used the method of secondary data from institutions and primary data from interpretation image and measurements field. Overlay is used as spatial analysis on system information of geographic. The research show that debit of runoff water catchment area Besar River is 21.88 m3/sec or 48,454 m3/hour with the potential offlood is 47,963.01 m3. 48,454 hole of biopore are needed for water catchment area Sungai Besar 1399.44 ha or 33 – 36 Biopore holes in hectare. Keywords: Biopore, Sungai Besar Catchment Area, Surface Runoff, GIS
Sebagian besar air hujan yang turun ke bumi tidak dapat meresap secara langsung ke dalam tanah dan akhirnya menjadi limpasan (run off) atau yang sering disebut dengan air permukaan. Limpasan air hujan yang tidak tertangani dengan baik akan menimbulkan berbagai masalah bagi masyarakat, terutama adalah banjir. Dampak negatif dengan berubah atau hilangnya daerah resapan adalah tidak dapat menahan laju aliran air akibat curah hujan sehingga menyebabkan genangan air
1. PENDAHULUAN Perkembangan pembangunan yang begitu pesat cenderung menimbulkan masalah baru di suatu wilayah bila dalam perencanaannya kurang atau tidak memperhitungkan keadaan cuaca. Kondisi demikan juga terjadi di Banjarbaru. Hal ini disebabkan oleh semakin banyaknya jumlah gedung dan permukimanpermukiman baru, sehingga berakibat pada semakin berkurangnya area resapan air hujan.
70
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
atau bahkan banjir. Bahaya banjir pada kawasan perumahan sering terjadi akibat perubahan tata guna lahan dari area resapan menjadi area kedap air. Solusi yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan banjir terutama untuk daerah pemukiman padat atau yang mempunyai lahan resapan air hujan yang minim dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi biopori.
Kota Banjarbaru memiliki topografi bervariasi antara ± 0 – 500 meter dari permukaan air laut (mdpl) dengan bentuk bentang alam (morfologi) yang cukup variatif (beragam). Sebagian besar wilayah Kota Banjarbaru berada di ketinggian 7 – 25 mdpl yaitu sekitar 10.615 ha atau 33,23% dari luas Kota Banjarbaru. Dari segi kemiringan tanah, Kota Banjarbaru memiliki kemiringan tanah bervariasi antara 0 - 15%, namun cenderung landai. Kemiringan berkaitan dengan kepekaan terhadap erosi tanah. Semakin tinggi/terjal, semakin peka terhadap erosi.
Teknologi biopori ini dapat mengurangi limpasan air hujan dengan meresapkan lebih banyak volume air hujan ke dalam tanah sehingga meminimalkan kemungkinan terjadinya banjir. Penelitian diharapkan dapat menjadi solusi dalam upaya pencegahan banjir dan juga menjadi satu upaya mendorong pembangunan yang berkelanjutan. Berdasarkan Hal-hal tersebut dapat dirumuskan beberapa permasalahan yakni bagaimana menganalisis limpasan permukaan di DTA Sungai Besar Banjarbaru dan bagaimana menentukan jumlah lubang resapan biopori yang dibutuhkan untuk mencegah banjir di DTA Sungai Besar Banjarbaru. Tujuan Penelitian ini adalah menganalisis debit limpasan permukaan dan menentukan jumlah lubang resapan biopori yang diperlukan untuk mencegah banjir akibat curah hujan di daerah tangkapan air yang selanjutnya disebut DTA di Sungai Besar Banjarbaru.
b. Klimatologi Berdasarkan sistem Koppen, suhu udara bulanan 28,1°C dengan sedikit variasi musiman pada bulan September (36,2°C) dan suhu minimum terendah terjadi pada bulan Juli (20,0 °C). Rata-rata tekanan udara tahun 2009 berkisar antara 1.010,60 - 1012,70 mb dan rata-rata kecepatan angin sekitar 3,3 knots. Curah hujan bulanan rata mm/bulan dengan jumlah yang terendah terjadi pada bulan September (21 mm) dan tertinggi terjadi pada bulan Januari (384 mm). Sedangkan jumlah hari hujan 16 hari hujan dengan jumlah hari hujan terbanyak pada bulan Januari (30 hari), sebaliknya jumlah hari hujan terendah pada bulan Agustus (2 hari). Hal ini berpengaruh terhadap tingkat kenyamanan dalam beraktivitas terutama aktivitas di luar ruangan dari PDAM.
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Wilayah Penelitian Secara geografis Kota Banjarbaru terletak antara 114º 41’ 22”- 114º 54’ 25” BT dan 3º 25’ 40” - 3º 28’ 37” LS. Kota Banjarbaru sesuai dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 1999 memiliki wilayah seluas ±371,38 km2 atau hanya 0,88% dari luas wilayah Provinsi Kalimantan Selatan. Secara administratif saat ini Kota Banjarbaru terdiri dari 5 Kecamatan dengan 20 kelurahan, yaitu Kecamatan Banjarbaru Utara, Kecamatan Banjarbaru Selatan, Kecamatan Landasan Ulin, Kecamatan Liang Anggang dan Kecamatan Cempaka [1]. Banjarbaru ditunjang oleh dua buah Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai catchment area, yaitu DAS Barito/Riam Kanan dan DAS Maluka.
c. Kondisi Fisik Tanah Secara umum jenis tanah di Banjarbaru terdiri dari tanah podsolik (63,82%), organosol (29,82%) dan lathasol (6,36%). Jenis tanah podsolik merah kuning (Ultisols) tersebar di Kacamatan Cempaka dan Banjarbaru Selatan, sedangkan aluvial (Entisols dan inceptisols), Gambut (Histosols) dan Spodosols tersebar di Kacamatan Landasan Ulin. Dilihat dari segi tekstur tanah, wilayah Banjarbaru memiliki tiga tekstur tanah, yaitu halus, sedang dan kasar. Sebagian besar wilayah bagian tengah (seluas 88% dari luas keseluruhan) memiliki tekstur tanah cendrung halus dengan kedalaman 90 cm dan tekstur kasar dibagian selatan (4% dari luas keseluruhan). Kondisi ini mengindikasikan adanya potensi pengembangan budidaya karena
a. Topografi
71
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
memiliki kecenderungan baik untuk ditanami dan tahan terhadap erosi [2].
Laoh [4] mengatakan bahwa pada lahan bervegetasi lebat, air hujan yang jatuh akan tertahan pada vegetasi dan meresap ke dalam tanah melalui vegetasi dan seresah daun di permukaan tanah, sehingga limpasan permukaan yang mengalir kecil. Pada lahan terbuka atau tanpa vegetasi, air hujan yang jatuh sebagian besar menjadi limpasan permukaan yang mengalir menuju sungai, sehingga aliran sungai meningkat dengan cepat.
d. Hidrologi Kondisi air permukaan di Banjarbaru ditunjang oleh adanya 2 (dua) buah Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai catchment area, yaitu DAS Barito/Riam Kanan dan DAS Maluka. Daerah Aliran Sungai tersebut merupakan aset kawasan yang berpotensi besar bagi aspek-aspek kehidupan masyarakat, yakni sebagai bahan baku air minum, perikanan dan pariwisata. Namun, Di sepanjang hamparan aliran DAS/Sub-DAS telah mengalami degradasi lahan (kategori lahan kritis) disebabkan kegiatan penduduk yang tidak sesuai peruntukan. Sedangkan air tanah di Kota Banjarbaru dapat ditemukan dengan kulitas yang cukup baik.
Hujan merupakan komponen masukan yang paling penting dalam proses hidrologi DAS, karena jumlah hujan dialihragamkan menjadi aliran sungai (runoff) melalui limpasan permukaan, aliran bawah tanah, maupun aliran air tanah. Menurut Haan [5] dalam Setyowati [6], hujan dan aliran adalah saling berhubungan dalam hal hubungan antara volume hujan dengan volume aliran, distribusi hujan per waktu mempengaruhi hasil aliran, dan frekuensi kejadian hujan mempengaruhi aliran.
2.2 Limpasan Permukaan Limpasan permukaan merupakan air hujan yang tidak dapat ditahan oleh tanah, vegetasi atau cekungan dan akhirnya mengalir langsung ke sungai atau laut. Besarnya nilai aliran permukaan sangat menentukan besarnya tingkat kerusakan akibat erosi maupun banjir. Besarnya nilai aliran permukaan dipengaruhi oleh curah hujan, vegetasi (penutup lahan), adanya bangunan penyimpan air dan faktor lainnya.
2.3 Metode Rasional Metode Rasional banyak digunakan untuk memperkirakan debit puncak yang ditimbulkan oleh hujan deras pada daerah tangkapan (DAS) kecil. Suatu DAS disebut DAS kecil apabila distribusi hujan dapat dianggap seragam dalam suatu ruang dan waktu, dan biasanya durasi hujan melebihi waktu konsentrasi. Metode Rasional dapat menggambarkan hubungan antara debit limpasan dengan besar curah hujan.
Limpasan permukaan atau aliran permukaan juga merupakan bagian dari curah hujan yang mengalir di atas permukaan tanah dan mengangkut partikel-partikel tanah. Limpasan terjadi karena intensitas hujan yang jatuh di suatu daerah melebihi kapasitas infiltrasi, setelah laju infiltrasi terpenuhi air akan mengisi cekungan-cekungan pada permukaan tanah. Setelah cekungan-cekungan tersebut penuh, selanjutnya air akan mengalir (melimpas) di atas permukaan tanah (surface runoff). Jika aliran air terjadi di bawah permukaan tanah disebut juga sebagai aliran di bawah permukaan dan jika yang terjadi adalah aliran yang berada di lapisan aquifer (air tanah), maka disebut aliran air tanah. Air limpasan permukaan dibedakan menjadi sheet dan rill surface runoff akan tetapi jika aliran air tersebut sudah masuk ke sistem saluran air atau kali, maka disebut sebagai stream flow runoff [3].
Data untuk penentuan debit banjir pada penelitian ini adalah data curah hujan, dimana curah hujan merupakan salah satu dari beberapa data yang dapat digunakan untuk memperkirakan besarnya debit banjir rencana dengan persamaan rasional, seperti berikut [7]: Q = C.I.A Keterangan: Q : laju aliran (debit) puncak (m3/detik) C : koefisien aliran permukaan (0 ≤ C ≤ 1) I : intensitas curah hujan (m/detik) A : luas DAS (m2)
72
(1)
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
disebabkan gaya gravitasi dan gaya kapiler tanah. Laju infiltrasi yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi dibatasi oleh besarnya diameter pori-pori tanah [3].
2.4 Waktu Konsentrasi Waktu konsentrasi (tc) adalah waktu yang diperlukan untuk mengalirkan air hujan dari titik terjauh daerah tangkapan hujan ke saluran keluar (outlet) atau waktu yang di butuhkan oleh air dari awal curah hujan sampai terkumpul serempak mengalir kesaluran keluar (outlet). Waktu konsentrasi (tc = t0 – td) terdiri dari :
Diantara arti penting dari infiltrasi adalah dimana daya infiltrasi menentukan banyaknya air hujan yang dapat diserap kedalam tanah. Makin besar daya infiltrasi, perbedaan antara intensitas hujan dengan daya infiltrasi menjadi makin kecil. Akibatnya limpasan permukaan makin kecil, sehingga debit puncaknya juga akan lebih kecil. Perpindahan air dari atas ke dalam permukaan tanah baik secara vertikal maupun secara horizontal disebut infiltrasi. Banyaknya air yang terinfiltrasi dalam satuan waktu disebut laju infiltrasi. Besarnya laju infiltrasi (f) dinyatakan dalam mm/jam atau mm/hari.
a. Inlet time (to) adalah waktu yang diperlukan oleh air untuk mengalir dimuka tanah menuju saluran drainase. b. Conduct time (td) adalah waktu yang diperlukan oleh air untuk mengalir disepanjang saluran [8]. Salah satu metode yang digunakan untuk memperkirakan waktu konsentrasi adalah rumus yang dikembangkan oleh Kirpich [9] sebagaimana berikut :
2.6 Penentuan Jumlah Biopori Jumlah lubang yang perlu dibuat dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:
(2) Keterangan: tc : waktu konsentrasi dalam jam L : Panjang sungai dalam km S : Kemiringan sungai
(3) Daerah dengan intensitas hujan 50 mm/jam (hujan lebat), dengan laju peresapan air perlubang 3 liter/menit (180 liter/jam) pada 100 m2 bidang kedap perlu dibuat sebanyak (50 x 100) / 180 = 28 lubang. Bila lubang yang dibuat berdiameter 10 cm dengan kedalaman 100 cm, maka setiap lubang dapat menampung 7.8 liter sampah organik. Ini berarti bahwa setiap lubang dapat diisi dengan sampah organik selama 2-3 hari. Dengan demikian 28 lubang baru dapat dipenuhi dengan sampah organik yang dihasilkan selama 56 - 84 hari. Dalam selang waktu tersebut lubang yang pertama diisi sudah terdekomposisi menjadi kompos sehingga volumenya telah menyusut. Dengan demikian lubang-lubang ini sudah dapat diisi kembali dengan sampah organik baru dan begitu seterusnya.
2.5 Infiltrasi Infiltrasi adalah aliran masuknya air kedalam tanah sebagai akibat gaya kapiler (gerakan air kearah vertikal). Setelah tanah lapisan atas jenuh, kelebihan air tersebut mengalir ke tempat yang lebih dalam sebagai akibat gaya gravitasi bumi yang dikenal sebagai proses perkolasi. Laju maksimal gerakan air masuk kedalam tanah dinamakan kapasitas infiltrasi. Ketika air hujan jatuh pada permukaan tanah, tergantung pada kondisi biofisik permukaan, sebagian atau seluruh air hujan tersebut akan masuk ke dalam tanah melalui pori-pori permukaan tanah. Proses mengalirnya air hujan ke dalam tanah
73
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Citra penginderaan jauh merupakan gambaran yang menyerupai wujud asli dari objek yang direkam. Identifikasi objek di lapangan melalui citra dapat dilakukan dengan inteprestasi atau penafsiran citra penginderaan jauh agar dapat menilai arti pentingnya objek tersebut [10]. Kualitas objek yang terekam pada citra bergantung pada resolusi citra tersebut. Menurut Purwadhi [10], resolusi adalah parameter limit atau daya pisah objek yang masih dapat dibedakan.
3. METODE PENELITIAN Tahap-tahap peneltian dapat dilihat pada diagram alir berikut: Citra Ikonos
Peta RTRWK
Peta Land System
Citra Satelit TRMM
Aster GDEM
Peta Tutupan Lahan
Peta Kemiringan Lahan
Peta Jenis Tanah
Data Curah Hujan
DTA
Koefisien Limpasan (C)
Intensitas Curah Hujan (I)
Ikonos adalah satelit milik Space Imaging (USA) yang diluncurkan bulan September 1999 dan menyediakan data untuk tujuan komersial pada awal 2000. Ikonos adalah satelit dengan resolusi spasial tinggi yang merekam data multispektral 4 kanal pada resolusi 4 m dan sebuah kanal pankromatik dengan resolusi satu meter. Ini berarti ikonos merupakan satelit komersial pertama yang dapat membuat image beresolusi tinggi. Spesifikasi ini memberikan kemampuan citra ikonos untuk dapat merekam objek lebih detai dibandingkan dengan citra lain yang memiliki resolusi spasial yang lebih rendah.
Luas Area (A)
Q = C. I. A (Debit Limpasan)
Analisis Jumlah Biopori
Jumlah Biopori
GAMBAR 1. Diagram Alir Penelitian
Pengolahan data citra ikonos perekaman tahun 2015 melalui proses digitasi diperolah informasi panjang sungai yakni 7.753,02 m dan peta tutupan lahan yang merupakan penggambaran muka bumi pada DTA Sungai Besar. Citra yang didesain untuk tujuan pemetaan kota, yakni mendeteksi pemukiman atau daerah perkotaan yang padat bangunan secara rinci, sumber daya alam dan bencana alam, pertanian dan kehutanan hingga eksplorasi pertambangan ini menjadi penting dalam penelitian ini.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dimulai dengan pengumpulan data-data pendukung dalam analisis yang akan dilakukan. Data-data yang dimaksud adalah citra Ikonos, Aster GDEM, peta RBI dan data curah hujan. Citra ikonos adalah citra satelit yang memiliki resolusi spasial tinggi dengan ketelitian piksel satu meter untuk pankromatik dan empat meter untuk multispektral. Spesifkasi ini memberikan citra Ikonos kemampuan merekam objek sebesar satu meter. Citra Ikonos sendiri mempunyai ketelitian tinggi (225 kali ketelitian citra Landsat 7 band 8 atau saluran pankromatik) yang hasil rekamannya sebanding dengan foto udara.
4.1 Tutupan Lahan Seiring dengan perkembangan pembangunan di wilayah Kota Banjarbaru, kini kawasan terbuka cenderung beralih fungsi menjadi kawasan terbangun. Sementara, sebagaimana diketahui alih fungsi lahan terbuka akan mempengaruhi luas kawasan resapan air yang merupakan salah satu media pengendali banjir. Citra Ikonos yang ditunjukan Gambar 2 merupakan data raster (gambar peta dasar) yang diolah dengan proses digitasi dan interprestasi untuk memperolah peta tutupan lahan.
GAMBAR 2. Citra Ikonos Kota Banjarbaru
74
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Digitasi merupakan proses pembentukan data yang berasal dari data raster menjadi data vektor. Dalam sistem informasi geografis dan pemetaan digital, data vektor banyak digunakan sebagai dasar analisis dan berbagai proses. Proses digitasi didahului dengan pembuatan sebuah shapefile kosong. Peta hasil digitasi selanjutnya dapat digunakan dalam proses overlay. Interprestasi peta adalah kegiatan membaca peta dengan memberikan penafsiran atau memaknai isi peta atas dasar simbol-simbol yang ada. Menurut Lillesand dan Keiffer [11] dan Sutanto [12] kunci-kunci yang harus diperhatikan dalam interpretasi adalah:
secara individual. Tekstur sering dinyatakan dari kasar sampai halus. Misalnya: Hutan bertekstur kasar, belukar bertekstur sedang dan semak bertekstur halus. e. Pola Pola merupakan ciri yang menandai bagi banyak objek bentukan manusia dan bagi beberapa objek alamiah lainnya. Misalnya pola aliran sungai menandai struktur geologis. Pola aliran trelis menandai struktur lipatan. Permukiman transmigrasi dikenali dengan pola yang teratur, yaitu ukuran rumah dan jaraknya seragam, dan selalu menghadap ke jalan.
a. Rona atau Warna
f. Bayangan
Rona atau tone adalah tingkat kecerahan atau kegelapan suatu objek yang terdapat pada foto udara atau pada citra lainnya. Pada foto hitam putih rona yang ada biasanya adalah hitam, putih atau kelabu. Sedangkan warna adalah wujud yang tampak oleh mata dengan menggunakan spektrum sempit, lebih sempit dari spektrum tampak oleh mata dengan menggunakan spektrum sempit, lebih sempit dari spektrum tampak.
Bayangan sering merupakan kunci pengenalan yang penting bagi beberapa objek yang justru lebih tampak dari bayangannya. Dengan bantuan bayangan, dapat juga meentukan arah mata angin serta pengenalan terhadap suatu objek yang kemungkinan sulit diamati sebelumnya. g. Situs Situs sering dikaitkan antara objek dengan melihat objek yang lain di sekitarnya. Misalnya permukiman pada umumnya memanjang pada pinggir beting pantai, tanggul alam atau sepanjang tepi jalan.
b. Bentuk Bentuk merupakan konfigurasi atau kerangka suatu objek, sehingga dapat mencirikan suatu penampakan yang ada pada citra dapat di identifikasi dan dapat dibedakan antar objek.
h. Asosiasi Asosiasi yaitu keterkaitan antara objek yang satu dengan yang lain, hampir sama dengan situs. Contoh stasiun kereta api berasosiasi dengan jalan kereta api yang jumlahnya lebih dari satu (bercabang).
c. Ukuran Ukuran adalah atribut objek yang antara lain berupa jarak, luas, tinggi, lereng dan volume. Ukuran merupakan perbandingan yang nyata dari objek-objek dalam citra maupun foto udara, yang menggambarkan kondisi di lapangan. Ukuran objek pada citra berupa skala, karena itu dalam memanfaatkan ukuran sebagai interpretasi citra, harus selalu diingat skalanya. d. Tekstur Tekstur adalah frekuensi perubahan rona pada citra atau pengulangan rona kelompok objek yang terlalu kecil untuk dibedakan
GAMBAR 3. Peta Tutupan Lahan DTA Sungai Besar
75
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Melalui proses digitasi dan interprestasi diperoleh hasil klasifikasi dan luas DTA Sungai Besar adalah 1.397,18 ha dengan kalsifikasi penggunaan lahan tanpa tanaman seluas 1.133,47 ha, lahan Pertanian 13,68 ha, Padang Rumput 138,30 dan hutan 111,74 ha. Seperti disajikan pada tabel 3 berikut: TABEL 1. Klasifikasi Tutupan Lahan No Klasifikasi 1 2 3 4
Hutan Padang Rumput Tanpa Tanaman Pertanian
Luas (ha) 111,74 138,30 1133,47 13,68
GAMBAR 5. Peta kemiringan lereng DTA Sungai Besar
Berdasarkan klasifikasi kemiringan yang dilakukan melalui pengolahan Peta Land System Kota Banjarbaru untuk kawasan DTA Sungai Besar yang menjadi objek penelitian merupakan kawasan yang datar dan begelombang dengan nilai koefisien aliran (C) sebesar 0,08. Kondisi topografi ini menjadikan aliran air permukaan (surface run off) menjadi lambat dan potensial menciptakan genangan baik secara tetap maupun secara priodik.
4.2 Aster GDEM Data DEM (Digital Elevation Model) merupakan bentuk penyajian ketinggian permukaan bumi secara digital. DEM merupakan data yang banyak digunakan untuk data awal perencanaan regional, kota, pemetaan mitigasi bencana, dengan skala menengah dan kecil. Digital Elevation Model (DEM) merupakan salah satu model untuk menggambarkan bentuk topografi permukaan bumi sehingga dapat divisualisasikan kedalam tampilan 3D (tiga dimensi).
Menurut Pratomo, A.J. [13], kemiringan lereng mempengaruhi jumlah dan kecepatan limpasan permukaan, drainase permukaan, penggunaan lahan dan erosi. Diasumsikan semakin landai kemiringan lerengnya, maka aliran limpasan permukaan akan menjadi lambat dan kemungkinan terjadinya genangan atau banjir menjadi besar, sedangkan semakin curam kemiringan lereng akan menyebabkan aliran limpasan permukaan menjadi cepat dan tidak menggenangi daerah tersebut, sehingga resiko banjir menjadi kecil. 4.4 Jenis Tanah
GAMBAR 4. Data Aster GDEM Sungai Besar
Berdasarkan analisis Data DEM diperoleh area suatu daerah tangkapan air dan pola aliran air seperti yang ditunjukan pada Gambar 4. Pola alur sungai yang menunjukan area DTA.
Jenis tanah menjadi satu penentu dalam mendapatkan nilai koefisien permukaan karena merupakan cerminan mudah atau tidaknya meresapkan air hujan yang akan menjadi limpasan. Hal ini tentunya sangat terkait dengan sifat fisik tanah yang bersangkutan. Adapun diantara sifat-sifat fisik tanah yang terkait dengan respon terhadap air hujan yang jatuh di permukaan tanah adalah tekstur dan permeabilitas. Respon sifat fisik terhadap air hujan secara kualitatif akan berkisar dari mudah meresap sampai sulit meresap ke dalam tanah. Berarti yang mudah meresap akan menghasilkan air permukaan yang lebih kecil dibanding dengan sulit meresap dalam tanah.
4.3 Kemiringan Lereng Kemiringan lereng merupakan ukuran kemiringan lahan relatif terhadap bidang datar yang secara umum dinyatakan dalam persen atau derajat. Kemiringan, panjang dan bentuk lereng akan mempengaruhi erosi dan aliran permukaan. Kemiringan lereng pada DTA sungai besar ditunjukan dengan Gambar 5 berikut.
76
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Intensitas Curah hujan adalah ketinggian curah hujan yang terjadi pada kurun waktu dimana air tersebut terkonsentrasi per satuan waktu. Sifat umum hujan makin singkat hujan berlangsung intersitasnya cenderung makin tinggi dan makin besar periode ulangnya makin tinggi pula intensitasnya. Intensitas curah hujan yang tinggi pada umumnya berlangsung dengan durasi yang pendek dan meliputi daerah yang tidak begitu luas. Durasi adalah lamanya suatu kejadian hujan. Nilai yang diperoleh dari data satelit TRMM dalam penelitian ini merupakan curah hujan harian maksimum tahun 2005- 2014, yakni sebesar 38,28 mm/jam.
GAMBAR 6. Peta Jenis Tanah DTA Sungai Besar
Jenis tanah yang masuk klasifikasi lempung berpasis yang terdapat di DTA Sungai Besar merupakan jenis tanah yang memiliki nilai koefisien aliran sebesar 0,08. Nilai koefisien ini menjadi bagian dari perhitungan besarnya debit limpasan dari curah hujan. Tanah lempung adalah jenis tanah yang cepat jenuh dalam kondisi basah dan memiliki pori-pori yang rapat. Jika hujan yang turun cukup deras akan mengakibatkan proses infiltrasi berjalan lambat sehingga akan menimbulkan genangan air di permukaan.
4.6 Koefisien Limpasan Permukaan Limpasan permukaan merupakan sebagian dari air hujan yang mengalir di atas permukaan tanah. Jumlah air yang menjadi limpasan sangat bergantung kepada jumlah air hujan per satuan waktu (intensitas), keadaan penutupan lahan, topografi (terutama kemiringan lereng), jenis tanah. Sedangkan jumlah dan kecepatan limpasan permukaan bergantung pada luas area tangkapan, koefisien runoff dan intensitas hujan maksimum.
Perbedaan jenis tanah di masing-masing daerah menurut Rasmita [14] termasuk satu faktor yang mempengaruhi laju resapan air. Jenis tanah lempung berpasir pada DTA Sungai Besar masuk pada ordo tanah ultisol. Tanah yang termasuk ordo Ultisol merupakan tanah-tanah yang terjadi penimbunan tanah liat di horison bawah, bersifat masam, kejenuhan basa pada kedalaman 180 cm dari permukaan tanah kurang dari 35%. Padanan dengan sistem klasifikasi lama adalah termasuk tanah Podzolik Merah Kuning, Latosol, dan Hidromorf Kelabu dan memiliki laju resapan 147,32 liter/jam [14].
GAMBAR 7. Koefisien Limpasan
Limpasan permukaan ini berasal dari overland flow (aliran darat) yang segera masuk kedalam alur sungai. Aliran ini merupakan komponen aliran banjir yang sama. Nilai Koefisien limpasan permukaan ini diperoleh dangan menjumlahkan masing-masing nilai koefisien (C) pada peta penggunaan lahan, kemiringan dan juga jenis tanah.
4.5 Intensitas Curah Hujan Data curah hujan diperoleh dari data hasil analisis citra satelit Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM). Program TRMM adalah untuk penelitian jangka panjang yang didesain untuk studi tentang tanah, laut, udara, es, dan sistem total kehidupan di bumi [15]. TRMM mampu mengobservasi struktur hujan, jumlah dan distribusinya di daerah tropis dan sub tropis serta berperan penting untuk mengetahui mekanisme perubahan iklim global dan memonitoring variasi lingkungan.
4.7 Debit Limpasan Air limpasan (run off) adalah bagian dari curah hujan yang mengalir diatas permukaan tanah yang menuju ke sungai. Perhitungan
77
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
m3/detik atau 78.768 m3/jam dapat diketahui jumlah volume air perhari sebanyak 1.890.432 m3 sedangkan jumlah volume per waktu konsentrasi dengan debit limpasan per jam adalah sebanyak 204.176,60 m3. Daya tampung sungai yang diketahui sebesar 156.213,58 m3 dikurang volume per waktu konsentrasi akan menjadi nilai potensi banjir. Dari pengurangan keduanya diperoleh nilai potensi banjir sebesar 47.963,01 m3.
debit limpasan pada penelitian ini adalah air hujan yang tidak terinfiltrasi dangan baik sehingga mengalir di atas permukaan tanah ke tempat yang lebih rendah. Melalui data curah hujan ini dan beberapa data seperti digunakan untuk memperkirakan besarnya debit limpasan menggunakan metode rasional. Limpasan ini berlangsung ketika jumlah curah hujan melampaui laju infiltrasi air ke dalam tanah. Analisis ini dilakukan untuk mendapat debit limpasan sebagai masukan untuk penentuan jumlah biopori. Debit limpasan dihitung menggunakan persamaaan 1. Hasil perhitungan debit limpasan akan dibandingkan dengan kapasitas sungai untuk melihat mampu atau tidaknya sungai menampung debit limpasan. Hasil perhitungan debit limpasan sangat dipengaruhi oleh kawasan kedap air, lereng dan intensitas hujan. Nilai debit limpasan yang diperoleh pada penelitian ini adalah sebanyak 21,88 m3/det atau 78.768 m3/jam.
Untuk mengetahui jumlah biopori yang diperlukan di DTA Sungai Besar dapat dihitung menggunakan persamaan 3 dengan beberapa perhitungan tahapan analisis pendukung yang dilakukan. Nilai laju resapan biopori diketahui berdasarkan jenis tanah sebagaimana Tabel 2. Jenis tanah, ordo entisol memiliki laju resapan 147,32 ltr/jam. Dari nilai laju resapan biopori dan waktu konsentrasi ini bisa kita ketahui laju infiltrasi yang merupakan banyaknya air yang terinfiltrasi dalam satuan waktu sebesar 0,3818 m3/jam. Selanjutnya volume per waktu konsentrasi dapat diperoleh dengan menghitung perkalian antara waktu konsentrasi dengan laju infiltrasi sebesar 0,9898 m3. Sehingga secara keseluruhan banyaknya biopori yang diperlukan di DTA Sungai Besar dengan luas 1.399,44 ha sebanyak 48.454 lubang. Jumlah ini diperolah dari pembagian jumlah potensi banjir dengan volume per konsentrasi waktu lubang biopori. Maka dapat pula dihitung jumlah biopori dalam tiap hektar berkisar antara 33 sampai 36 lubang.
4.8 Analisis Jumlah Biopori Analisis jumlah biopori dilakukan dengan melalui tahapan-tahapan perhitungan pendukung. Diketahui elevasi hulu sungai adalah 44 m dan elevasi hilir sungai adalah 10 m angka ini diperoleh melalui pengukuran data lapangan. Dari kedua nilai elevasi ini akan diperoleh beda tinggi elevasi Sungai sebesar 34 m. Dengan panjang sungai 7.753,02 m maka diperoleh angka kemiringan rata-rata 0,0044 m. Berdasarkan data ini pula waktu konsentrasi (tc) akan diperoleh. Waktu konsentrasi adalah waktu yang diperlukan oleh air hujan yang jatuh pada permukaan tanah dan mengalir sampai di satu titik di saluran drainase terdekat. Hasil perhitungan waktu konsentrasi (tc) di hitung menggunakan persamaan 2 dan diperoleh waktu konsentrasi 2,5921 jam. Dengan nilai debit limpasan 21,88 TABEL 2. Analisis Perhitungan Jumlah Biopori No Sub DTA Luas (ha) Qc
Analisis jumlah biopori mengikuti pola aliran air seperti yang ditunjukan pada Gambar 2 dimana untuk daerah tangkapan air sungai besar terbagi menjadi lima sub DTA. Pola aliran dan sub DTA ini merupakan hasil terrain analysis dari data DEM. Analisis jumlah biopori tersebut dapat disajikan pada Tabel 4 berikut :
% Qc
Jumlah Biopori
Jumlah Biopori/ ha
1
DTA 1
473,97
7,51
34,32
16.631
36
2 3 4 5
DTA 2 DTA 3 DTA 4 DTA 5
181,29 340,10 127,61 276,46
2,87 5,39 2,02 4,09
13,12 24,63 9,23 18,69
6.356 11.936 4473 9.057
36 36 36 33
Perkembangan kota yang semakin pesat dalam setiap tahunnya akan menyebabkan terjadi perubahan yang signifikan pada
pembangunan, perdagangan dan jasa, serta permukiman. Perkembangan ini akan menimbulkan terjadi alih fungsi terutama
78
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
terhadap lahan-lahan persawahan, hutan, perkebunan dan lahan kering. Hal ini akan mendorong semakin kurangnya daerah resapan air dan berganti manjadi daerah kedap air yang pada akhirnya berimbas pada terjadinya banjir. Karakteristik lubang resapan biopori (LRB) yang ukurannya kecil, yaitu mempunyai diameter 10- 30 cm dengan kedalaman 80-100 cm, dapat ditempatkan pada kawasan permukiman padat, sehingga diharapkan dengan adanya beberapa jumlah LRB setidaknya dapat menampung air yang tidak terserap oleh tanah yang dikarenakan banyaknya lahan kedap air, yang pada akhirnya dapat berfungsi sebagai media konservasi air tanah juga sebagai suatu upaya pelestarian air tanah dan penanganan genangan air di kawasan perkotaan.
4.
5.
6.
Laoh, O. E. H., “Keterkaitan Faktor Fisik, Faktor Sosial, Ekonomi, dan Tata Guna Lahan di Daerah Tangkapan Air dengan Erosi dan Sedimentasi (Studi Kasus Tondano, Sulawesi Utara)”, IPB, Bogor 2002. Haan, C. T., Johnson, and D. L. Brakensiek, “Hydrologic Modeling of Small Watershed”, An ASAE Monograph, Michigan, 1982. Setyowati, D. L., “Hubungan Hujan dan Limpasan pada Berbagai Dinamika Spasial Penggunaan Lahan di DAS Kreo Jawa Tengah”, Disertasi, 2010.
7.
Suripin, Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan, Yogyakarta: ANDI, 2004.
8.
Feidas, H., “Validation of satellite rainfall products over Greece”, Theoretical and Applied Climatology 99, 193–216 (2010).
5. KESIMPULAN
Kirpich, Z. P., “Time of Concentration of Small Agricultural Watersheds”, The Original Source for the Kirpich Equation, Civil Engineering 10 (6), 362 (1940). 10. Purwadhi, F., Sri Hardiyanti, Intepretasi Citra Digital, Jakarta: Grafindo, 2001. 11. Lillesand, T. M., Kiefer, R. W., dan Chipman, J. W., Remote Sensing and Image Interpretation, Edisi ke-5, New York: John Wiley & Sons, 2004, pp. 763. 9.
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Besarnya nilai aliran permukaan sangat menentukan besarnya tingkat kerusakan akibat erosi maupun banjir. Besarnya limpasan permukaan di DTA sungai besar 21,88 m3/detik atau 78.768 m3/jam dan memiliki potensi banjir 47.963,01 m3. 2. Jumlah biopori yang diperlukan di DTA Sungai Besar sebanyak 48.454 lubang atau sebanyak 33 sampai 36 lubang setiap hektar luas lahan.
12. Sutanto, Penginderaan Jarak Yogjakarta: UGM Press, 1986.
13. Kooman, E., J. Stillwell, A. Bakema, and H. J. Scholten, “Modelling Land-Use Change Progress and Application”, Springer, The Netherlands, 2007. 14. Ginting, R., “Laju Resapan Air Pada Berbagai Jenis Tanah Dan Berat Jerami Dengan Menerapkan Teknologi Biopori Di Kacematan Medan Amplas”, Universitas Sumatera Utara, Medan, 2010. 15. Xie, P., A. Yatagai, M. Chen, T. Hayasaka, Y. Fukushima, C. Liu, and S. Yang, “A Gauge-Based Analysis of Daily Precipitation over East Asia”, Journal of Hydrometeorology 8, 607–626 (2007).
6. REFERENSI 1.
2. 3.
Jauh,
Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana, “Pengenalan Karakteristik Bencana dan Upaya Mitigasinya di Indonesia”, 2007. www.bnpb.go.id/uploads/pubs/470.pdf (Diakses pada 10 Agustus 2015). Buku Putih Sanitasi Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan, 2011. Asdak, C., Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Edisi ke-3, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2010.
79
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Pengaruh Dosis Radiasi Gamma Terhadap Sifat Struktur Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas L.) Berdasarkan Data Difraksi Sinar-X (XRD) Dahlang Tahir1), Eko Juarlin, Ariesna Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Hasanuddin 1 email:
[email protected]
Abstrak Telah dilakukan penelitian tentang “Penentuan Pengaruh Dosis Radiasi Gamma Terhadap Sifat Struktur Ubi Jalar Ungu Berdasarkan Data Difraksi Sinar-X (XRD)”. Dalam penelitian ini, sampel ubi jalar ungu dibuat menjadi serbuk kemudian diradiasi dengan sinar gamma dengan variasi dosis 0 mSv, 20 mSv, 40 mSv, 80 mSv dan 100 mSv. Struktur dan komposisi yang terkandung dalam ubi jalar ungu dianalisis dari data XRD yang diolah menggunakan software MATCH!. Komposisi mineral yang dominan pada ubi jalar ungu antara lain C16AlCuF36O4P8, MgSO4(H2O)5 (Pentahydrite), Cu0.445H14Mg0.555O11S (Alpersite) dan Ca0.494H12K0.255O17.944Si6 (Rhodesite). Struktur kristal komposisi mineral tersebut adalah orthorhombic dan monoclinic. Analisa sifat struktur seperti ukuran kristal yang diperoleh dari hasil XRD mengalami perubahan dengan adanya variasi dosis radasi gamma pada serbuk ubi jalar ungu. Kata kunci: Ubi jalar ungu, Sinar gamma, XRD.
Abstract It has been conducted research on "Determining Effect of Gamma Radiation Dose of Sweet Potato Purple to the Structure Properties by Using X-ray Diffraction (XRD)". In this study, samples of purple sweet potato made into a powder and then irradiated with dose varied is 0 mSv, 20 mSv, 40 mSv, 80 mSv and 100 mSv. Structures and compositions contained in the purple sweet potato are analysed with XRD properties which are processed using software MATCH!. The dominant mineral compositions of the purple sweet potato are C16AlCuF36O4P8, MgSO4(H2O)5 (Pentahydrite), Cu0.445H14Mg0.555O11S (Alpersite) and Ca0.494H12K0.255O17.944Si6 (Rhodesite). Crystalline structure of those mineral compositions are orthorhombic and monoclinic. Analysis of structural properties such as crystallite size obtained from XRD results change with the variation of doses of gamma radiation on purple sweet potato powder. Keywords: Purple sweet potato, Gamma rays, XRD
terbesar dibandingkan spektrum gelombang elektromagentik yang lain [2].
1. PENDAHULUAN Radiasi adalah energi yang dipancarkan dalam bentuk partikel atau gelombang elektromagnetik (foton) dari sumber radiasi [1]. Radiasi dapat berupa radiasi gamma dan sinar-X, sinar tampak seperti sinar lampu, gelombang microwave, radar dan lain sebagainya.
Spektroskopi difraksi sinar-X (X-ray diffractometer/XRD) merupakan salah satu metode karakterisasi material yang paling sering digunakan. Difraksi sinar-X adalah metode untuk mengkarakterisasi struktur kristal material melalui parameter struktur kisi dan ukuran partikel. Keuntungan utama penggunaan sinar-X dalam karakterisasi material adalah kemampuan penetrasinya, sebab sinar-X memiliki energi sangat tinggi akibat panjang gelombangnya yang pendek (panjang gelombang sinar-X adalah 10-10 m sampai 10-7 m).
Sinar gamma adalah gelombang elektromagnetik dari pancaran inti atom zat radioaktif yang mempunyai panjang gelombang antara 1Å (10-10 m) sampai 10-4Å (10-14 m). Sinar gamma memiliki panjang gelombang yang paling kecil dan energi
80
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Kurniawan telah menganalisis pengaruh penyinaran radiasi gamma terhadap perubahan komposisi dan antioksidan dari ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L.) [3]. Hasil yang diperoleh menunjukkan ikatan OH meningkat dan terjadi perubahan komposisi sesuai data XRF. Dosis radiasi yang diberikan meningkatkan aktivitas antioksidan ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L.) sampai 40 mSv, tetapi belum menganalisis hubungan dosis dengan struktur ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L.). Pada penelitian ini ditentukan pengaruh dosis radiasi gamma terhadap sifat struktur menggunakan data difraksi sinar-X (XRD).
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
GAMBAR 1. Kurva pola difraksi sinar-X dari sampel ubi jalar ungu
2. METODOLOGI PENELITIAN Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah ubi jalar ungu dan irradiator Cs-137. Sementara alat yang digunakan adalah XRD (X-Ray Diffractometer), ayakan nilon 80 mesh, sendok tanduk, spatel stainles steel, gabus (steroform), timbangan digital, toples, mortar dan alu.
Gambar 1 merupakan hasil XRD dengan variasi dosis radiasi gamma 20 mSv, 40 mSv, 80 mSv dan 100 mSv. Grafik pola difraksi gambar 1 menunjukkan hubungan antara 2𝜃 dengan intensitas. Pola difraksi suatu bahan merupakan sidik jari bahan tersebut. Setiap pola serbuk dicirikan dengan sekumpulan posisi sudut difraksi 2𝜃 dan sekumpulan intensitas relatif (I/I1). Intensitas mengalami peningkatan seiring dengan penambahan dosis radiasi.
Pertama, ubi jalar ungu yang telah dikupas, diiris tipis-tipis dan dikeringkan. Setelah kering, ubi jalar ungu ditumbuk halus menjadi serbuk dengan ayakan 80 mesh. Sampel diletakan pada sumber radiasi Cs-137 dengan jarak 100 cm. Dengan variasi dosis 0 mSv, 20 mSv, 40 mSv, 80 mSv, dan 100 mSv untuk massa serbuk ubi jalar ungu masingmasing 10 g. Sampel penelitian yang digunakan yaitu serbuk ubi jalar ungu. Serbuk ubi jalar ungu dimasukan ke dalam plat kemudian dilakukan pengujian menggunakan X-Ray Diffractometer (XRD) pada sudut 2θ = 0 - 60o, dengan sumber sinar-X dari logam tembaga (Cu) dengan panjang gelombang (λ) Kα1 sebesar 1,540600 A. Data hasil pengujian XRD digunakan untuk menentukan kristalografi mineral serbuk ubi jalar ungu diantaranya; komposisi mineral, struktur dan ukuran kristal. Perhitungan ukuran kristal dihitung dengan menggunakan persamaan Debye Scherrer dengan nilai panjang gelombang, intensitas, 2θ, dan FWHM yang dihasilkan dari uji XRD.
GAMBAR 2. Difraktometer Ubi Jalar Ungu
Pola difraksi pada gambar 2 di atas menunjukkan perubahan intensitas pada setiap penambahan dosis radiasi dengan perubahan yang terus meningkat terjadi pada sudut 44,25° dengan dosis radiasi 40 mSv dan intensitas berkurang pada dosis 80 mSv serta 100 mSv. Pada grafik dapat pula diamati tejadi pelebaran pada puncak-puncak difraksinya seiring
81
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
penambahan dosis radiasi. Suatu material dimungkinkan mengalami pelebaran puncak difraksi sinar-X yang disebabkan oleh ukuran kristal yang kecil dan lattice strain [4].
Untuk menentukan ukuran kristal, maka digunakan persamaan Scherrer yaitu: 𝑡=
Untuk mengetahui jenis-jenis senyawa kimia yang ada pada peak yang ditampilkan dari hasil XRD, maka dilakukan pencocokan pola XRD dari sampel dengan pola XRD dari database dengan menggunakan program MATCH! sehingga diperoleh hasil seperti pada tabel 1.
𝑘𝜆 𝐵𝑐𝑜𝑠 𝜃
(1)
dengan: 𝐵 = FWHM (Full Width at Half Maximum) λ = panjang gelombang sinar-X 𝑘 = 0.9 𝜃 = sudut Bragg 𝑡 = ukuran kristal
TABEL 1. Hasil pencocokan senyawa kimia pada dosis radiasi 20 mSv, 40 mSv, 80 mSv dan 100 mSv
20
40
80
100
-
Tanpa radiasi (0 mSv) (%) 33,3
64,6
20,6
48,3
51
MgSO4(H2O)5
Pentahydrite
23,5
-
63,1
51,7
38,9
Cu0.445H14Mg0.555O11S
Alpersite
21,7
35,4
16,2
-
9,5
Ca0.494H12K0.255O17.944Si6
Rhodesite
21,4
-
-
-
-
Nama mineral
Formula kimia C16AlCuF36O4P8
Radiasi Gamma (mSv) (%)
TABEL 2. Peak tertinggi untuk sampel dengan variasi dosis radiasi gamma
Dosis Radiasi (mSv)
2𝜃 (deg)
d (A)
I/I1
FWHM (deg)
Intensity (counts)
20 40 80 100
15,3800 15,1400 15,2400 15,4000
5,75653 5,84724 5,80910 5,74910
75 76 76 73
1,86000 1,70660 1,77600 2,04400
1505 1471 1558 1348
Dari hasil perhitungan diperoleh bahwa ukuran kristal untuk peak tertinggi pada sampel sebelum dan sesudah radiasi gamma dengan variasi dosis 20 mSv, 40 mSv, 80 mSv, dan 100 mSv adalah 0 mSv sebesar 40,347 Å, 20 mSv sebesar 42,733 Å, 40 mSv sebesar 46,574 Å, 80 mSv sebesar 44,754 Å, dan 100 mSv sebesar 38,886 Å. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa radiasi gamma dapat mempengaruhi ukuran kristal.
mengalami perubahan bentuk struktur yaitu orthorhombic dan monoclinic. Senyawasenyawa kimia yang terkandung dalam ubi jalar ungu mengalami perubahan dengan bertambahnya persentase senyawa pentahydrite seiring dengan penambahan dosis radiasi. Ukuran kristal (crystallite size) sampel ubi jalar ungu mengalami perubahan (ukuran kristal terkecil pada 100 mSv = 38,886 Å dan terbesar pada 40 mSv = 46,574 Å).
4. KESIMPULAN
5. REFERENSI
Berdasarkan hasil penelitian, analisis data dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa struktur kristal ubi jalar ungu sebelum dan sesudah diradiasi sinar gamma tidak
1. Fauziyah, A., Pengaruh Radiasi Sinar-X Terhadap Motilitas Sperma Pada Tikus Mencit (Mus muculus), Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, Vol. 93, No. 98, (Januari
82
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
2013). http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/jpfi .28-06-2014.
Komposisi dan Antioksidan dari Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas L.), Makassar: Jurusan Fisika FMIPA Universitas Hasanuddin, 2013.
2. Wahyudi, Priyo, dkk., Pengaruh Pemaparan Sinar Gamma Isotop Cobalt-60 Dosis 0,25– 1 Kgy Terhadap Daya Antagonistik Trichoderma harzianum pada Fusarium oxysporum, UNSOED, Vol. 10, No. 143, (2005).
4. Subagja, Bagus, Pengaruh Variasi Persen Berat Bi dan Pemberian Tekanan pada Parameter Kisi dan Ukuran Kristal Sistem Material Sn-Cu-Bi dan Sn-Cu, Depok: Jurusan Fisika FMIPA Universitas Indonesia, 2011.
3. Kurniawan, Didik, Pengaruh Penyinaran Radiasi Gamma Terhadap Perubahan
83
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Pengukuran Energi Efektif dan Nilai HVL dengan Variasi Ketebalan Filter Menggunakan Pesawat Linear Accelerator (LINAC) untuk Radioterapi dengan Objek Pantom Air Syamsir Dewang1), Bualkar Abdullah, Fauziah Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Hasanuddin, Makassar 1 email:
[email protected]
Abstrak Pesawat Linear Accelerator (LINAC) digunakan untuk pengobatan radioterapi pada pasien yang mengalami penyakit kanker atau tumor. Untuk mematikan sel kanker atau tumor tersebut, dilakukan penyinaran dengan radiasi sinar-X, atau radiasi elektron. Agar kualitas keluaran radiasi dari pesawat LINAC tetap baik sesuai standar maka perlu dilakukan uji pengukuran parameter fisis seperti mengukur energi efektif dan nilai HVL. Metode pengukuran dilakukan dengan menggunakan variasi ketebalan filter dari bahan plat tembaga (Cu) pada energi elektron 6 MV (Mega Volt) dan 10 MV menggunakan objek pantom air (water phantom). Pengukuran menggunakan filter dengan tebal 2,5 mm dan 4,5 mm untuk menentukan nilai HVL, sedangkan nilai energi efektif diperoleh dari proyeksi hasil pergitung nilai HVL. Hasil keluaran energi radiasi tanpa filter pada sumber 6 MV adalah rata-rata sebeser 5,514 MV, penggunaan filter plat tembaga dengan tebal 2,5 mm diperoleh sebesar 3,577 MV dan pada tebal 4,5 mm diperoleh sebesar 2,714 MV. Hasil perhitungan diperoleh nilai HVL= 3,91 mm dan nilai energi efektif untuk sumber 6 MV adalah sebesar E f = 2,913 MV. Selanjutnya penggunaan sumber 10 MV tanpa filter diperoleh energi sebesar 8,344 MV, dan pada ketebalam filter 2,5 mm menghasilkan energi sebesar 5,824 MV serta tebal 4,50 mm menghasilkan energi rata rata sebesar 4,231 MV. Hasil perhitungan nilai HVL diperoleh sebesar HVL = 4,59 mm dengan nilai energi efektif sebesar 4,322 MV. Hasil ini menujukkan energi efektif akan berkurang dengan penambahan variasi filter Cu. Nilai energi efektif yang diperoleh dapat menjadi dasar dalam pemberian energi radiasi yang efektif kepada pasien, agar treatment radiasi yang diberikan dapat bekerja secara efektif. Kata kunci: LINAC, HVL, energi efektif, pantom air.
Abstract Linear Accelerator (LINAC) machine is used for radiotherapy to treat the patient. The source of X-ray or electron beam radiation is used to destroy the cancer or tumor cells. So, the quality of beam radiation need according to the standard. It is necessary to evaluate the physical parameters such as measuring energy effective and value Half Value Layer (HVL). The experiment is done by variation of the thickness of the filter material copper plate on energy 6 MV (Mega Volt) and 10 MV using the object phantom water. The measurement results obtained the value of energy without a filter on the source 6 MV is average 5.514 MV. The use of filter copper plate with 2.5 mm thick obtained energy is 3.577 MV, The HVL calculation was derived HVL= 3.91 mm, and effective energy of 6 MV was Ef = 2.913 MV. Furthermore, the use of unfiltered source of 10 MV obtained energy of 8.344 MV, and at 2.5 mm filter yield 5.824 MV. So the filter equal to 4.5 mm thick yield of 4.231 MV of average energy. The result of HVL calculation was HVL = 4.59 mm, and effective energy is derived by Ef = 4.322 MV. These results demonstrate the value of effective energy will be reduced by the addition of a copper plate thickness variation. The effective energy value obtained can be the basis in providing effective radiation to the patient, so that the radiation treatment that is given will work effectively. Keywords: LINAC, HVL, effective energy, water phantom.
sinar-X (radiasi photon) dan radiasi elektron yang semuanya merupakan gelombang elektromagnetik. Besaran sumber radiasi sinarX dinyatakan dalam mega volt (MV) dan radiasi elektron dinyatakan dalam skala mega elektron volt (MeV). Kedua sumber radiasi ini
1. PENDAHULUAN Pesawat linear accelerator (LINAC) merupakan penggunaan teknologi tinggi dalam bidang kedokteran untuk aplikasi radioterapi, sumber radiasi yang digunakan adalah radiasi
84
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
digunakan dalam pesawat LINAC dan diaplikasikan kepada pasien yang mengalami penyakit seperti kanker dan tumor, tergantung pada jenis penyakitnya. Pengobatan dengan radioterapi menggunakan LINAC merupakan salah satu teknik pengobatan moderen saat ini, dengan meradiasi penyakit baik tumor atau kanker yang dimaksudkan agar sel sel tumor atau kanker dapat mati dengan mengurangi atau tanpa melakukan operasi kepada setiap penderita penyakit kanker atau tumor [1]. Dengan demikian perencanaan pemberian dosis radiasi dan jumlah pemberian radiasi setiap ekspos menjadi hal penting dalam bidang radio terapi, termasuk mengetahui besarnya volume objek kanker dan kedalaman objek dalam tubuh pasien. Perencanaan pemberian dosis radiasi kepada setiap pasien dimaksudkan agar sel kanker dapat mati / hancur atau tidak bisa berkembang lagi.
2. KAJIAN LITERATUR 2.1 Linear Accelerator (LINAC) untuk Radioterapi Merupakan salah satu aplikasi teknologi tinggi dalam bidang kedokteran khususnya radio terapi untuk pengobatan (treatment) pada penyakit tumor atau kanker. Menggunakan gelombang elektromagnetik frekuensi tinggi untuk mempercepat muatan partikel elektron pada energi kinetik mulai 4 sampai 25 MeV melalui tabung linear [3]. Menggunakan gelombang RF microwave pada range frekuensi dari 103 MHz (L band) sampai 104 MHz (X band), dengan operasi pada daerah frekwensi 2.856 MHz (S band). Berkas elektron berenergi tinggi ini ditumbukkan pada target untuk menghasilkan sinar-X. Oleh karena itu, linear accelerator dapat mengahasilkan berkas sinarX pada tingkat energi yang berbeda (multienergi units) dan/atau menghasilkan sinar-X dan elektron (multimodal units).
Penggunaan pesawat LINAC yang menggunakan sumber radiasi sinar-X dan atau radiasi elektron untuk keperluan radioterapi harus diatur agar radiasi yang dipancarkan kepada pasien sesuai dengan standar yang telah ditentukan secara internasional oleh badan energi atom Internasional dan secara nasional telah diatur oleh Badan pengawas tenaga nuklir (BAPETEN). Pemberian radiasi tersebut diatur agar aman terhadap pasien dan aman terhadap lingkungan sekeliling termasuk bagi pekerja radiasi. Salah satu metode untuk mengetahui kualitas berkas sinar-X adalah menentukan nilai HVL (Half Value Layer) dan nilai energi efektif [2]. Sumber radiasi yang dipancarkan melalui filter penghalang plat uji dengan ketebalan tertentu dari material standar yang digunakan, sehingga dapat mengurangi intensitas berkas radiasi menjadi setengah dari nilai radiasi awal. Detektor radiasi sinar-X atau elektron yang digunakan telah dikalibrasi untuk pengukuran paparan radiasi. Hasil nilai HVL dapat menentukan besarnya nilai energi efektif, yang merupakan energi yang dapat digunakan secara efektif dalam terapi radiasi terhadap pasien. Penelitian ini menggunakan sumber radiasi sinar-X dengan energi 10 MV dan 6 MV, digunakan filter dari bahan Cu (tembaga) dengan variasi ketebalan masing masing 2,50 mm, dan 4,50 mm, sumber radiasi sinar-X melalui filter tersebut akan diukur radiasi keluaran pada objek pantom air, untuk menghitung nilai HVL dan menentukan energi efektif dari keluaran radiasi tersebut.
Radioterapi adalah jenis terapi yang menggunakan radiasi tingkat tinggi untuk menghancurkan sel-sel kanker [4]. Baik sel-sel normal maupun sel-sel kanker bisa dipengaruhi oleh radiasi ini. Radiasi akan merusak sel-sel kanker sehingga proses multiplikasi ataupun pembelahan sel-sel kanker akan terhambat. Sekitar 50-60% penderita kanker memerlukan radioterapi. Tujuan radioterapi adalah untuk pengobatan secara radikal yaitu untuk mengurangi dan menghilangkan rasa sakit atau tidak nyaman akibat kanker yang diderita pasien dan untuk mengurangi risiko tumbuh kembali kanker tersebut. Dengan pemberian setiap terapi, maka akan semakin banyak sel-sel kanker yang mati dan tumor akan mengecil. Sel-sel kanker yang mati akan hancur, dibawa oleh darah dan diekskresi keluar dari tubuh. Sebagian besar sel-sel sehat akan bisa pulih kembali dari pengaruh radiasi. Tetapi bagaimanapun juga, kerusakan yang terjadi pada sel-sel yang sehat merupakan penyebab terjadinya efek samping radiasi. Radiasi mempunyai efek yang sangat baik pada jaringan yang membelah dengan cepat [5]. 2.2 Half Value Layer (HVL) dan Energi Efektif Besarnya nilai radiasi yang diperbolehkan adalah setengah atau 50% dari nilai radiasi awal/sumber yang dinyatakan sebagai HVL (Half Value Layer) dalam satuan jarak mm atau
85
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Cm [1,2]. Jika energi awal Eo maka energi radiasi yang ditransmisikan sebesar E=0.5Eo, sehingga energi radiasi yang dihasilkan akan meluruh secara eksponensial sesuai persamaan berikut:
ta tb Do Da
𝐸 = 𝐸𝑜 𝑒 −𝜇𝑋 ,
Db
atau 0,5𝐸𝑜 = 𝐸𝑜 𝑒 −𝜇𝑥
: Tebal plat pada lapisan awal. : Tebal plat pada penambahan lapisan akhir. : Nilai dosis radiasi tanpa perisai (layer). : Nilai dosis radiasi pada penggunaan perisai awal : Nilai dosis radiasi setengah dari radiasi awal pada tambahan penggunaan perisai.
(1) 3. METODE PENELITIAN
Eo : menyatakan energi radiasi awal pada sumber. 𝜇 : koefisien attenuasi (pelemahan), x: tebal lapisan plat sebagai filter radiasi. Jika tebal x dinyatakan sebagai HVL, maka persamaan (1) dinyatakan dalam logaritma natural (Ln) diperoleh sebagai berikut [6]: 𝐻𝑉𝐿 =
𝐿𝑛(0,5) −𝜇
atau
𝐻𝑉𝐿 =
0.693 𝜇
Penelitian ini dilaksanakan di bagian Radioterapi Onkologi Rumah Sakit Pendidikan Universitas Hasanuddin menggunakan Pesawat radioterapi Linear accelerator (LINAC) dengan sumber radiasi elektron pada energi 10 MV dan 6 MV. Filter yang digunakan adalah plat dari bahan tembaga (Cu), tebal masing masing 2,50 mm; dan 4,50 mm. Adapun langkah penelitian untuk penentuan nilai HVL adalah: sumber cahaya yang keluar dari pesawat LINAC diatur energi keluaran pada 6 MV dan diarahkan ke objek Phantom solid water, kemudian diukur energi keluaran dengan meletakkan detektor pada phantom air tersebut tanpa filter, besarnya energi yang terukur tanpa filter dinyatakan sebagai Ko. Selanjutnya letakkan filter dengan ketebalan 2,50 mm yang dinyatakan dengan tebal (ta) pada mulut tabung pesawat LINAC dan diukur energi paparan radiasi tersebut yang dinyatakan sebagai (Ka). Tambahkan filter Cu pada ketebalan 4,50 mm, dan ukur nilai energi radiasi yang dihasilkan sampai diperoleh energi mendekati setengah dari energi keluaran radiasi tanpa filter. Tebal filter yang digunakan tersebut diukur dengan tebal plat (tb) dan energi radiasi yang keluar dicatat sebagai (Kb). Untuk pengukuran dengan energi 10 MV dilakukan langkah yang sama untuk menentukan nilai HVL pada energi tersebut dengan menggunakan persaman (3). Adapun nilai energi efektif diperoleh setelah melakukan proyeksi pada nilai HVL yang telah diperoleh masing masing pada sumber radiasi 6 MV dan 10 MV. Mengingat penambahan ketebalan filter maka energi radiasi yang dipancarkan melalui filter akan mengalami penurunan secara eksponensial seperti yg terlihat pada gambar 1.
(2)
E0 𝑬 = 𝑬𝒐 𝒆−𝝁 𝑿
Eef = ½ Eo
0
HVL
X
GAMBAR 1. Kurva eksponensial energi radiasi sinar X untuk menentukan nilai HVL dan energi efektif
Nilai energi efektif (Eef) diperoleh setengah dari nilai energi awal Eo tanpa penggunaan filter sehingga setelah penggunaan filter maka energi akan berkurang secara eksponensial dengan kedalaman X yang menentukan besarnya nilai HVL. Penentuan nilai HVL pada pesawat sinar X dapat dilakukan secara langsung tanpa mengetahui nilai koefisien attenuasi (𝝁) dengan meletakkan plat sebagai filter radiasi pada tabung sumber sinar X dengan mengukur radiasi keluaran, selanjutnya dilakukan penambahan plat dengan mengukur radiasi akhir. Besarnya nilai HVL dapat dituliskan sesuai persamaan berikut [7]: 𝑯𝑽𝑳 =
𝒕𝒃 𝐥𝐧(
𝟐𝑫 𝟐𝑫𝒂 )−𝒕𝒂 𝐥𝐧( 𝒃 ) 𝑫𝒐 𝑫𝒐 𝑫 𝐥𝐧( 𝒂 ) 𝑫𝒃
(3)
dengan: HVL
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengukuran radiasi keluaran dilakukan dengan mengatur sumber pada 6 MV, dan diukur radiasinya menggunakan
: half value layer adalah nilai setengah radiasi dengan penggunaan Tebal plat/perisai atau filter radiasi dalam (mm).
86
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
detektor solid pada water phantom tanpa penggunaan filter dan dilanjutkan dengan penggunaan filter masing masing untuk 2,5
mm, dan 4,2 mm. Hasil pengukuran data dapat ditunjukkan pada Tabel 1 berikut:
TABEL 1. Hasil Pengukuran Untuk Energi 6 MV
Hasil Pengukuran keluaran radiasi (MV)
No.
Plat Tembaga
I
II
III
IV
V
VI
RataRata
1.
Tanpa Plat
5,541
5,519
5,556
5,414
5,523
5,531
5,514
2.
2,50 mm
3,553
3,604
3,644
3,564
3,542
3,558
3,577
3.
4,50 mm
2,795
2,649
2,701
2,786
2,651
2,706
2,714
Hasil pengukuran pada Tabel 1 digunakan untuk menghitung nilai HVL dengan menggunakan persamaan 3. Data hasil pengukuran diambil nilai rata rata. Diperoleh D0 = 5,514 MeV, Da = 3,577, Db = 2,714, tebal filter Cu diperoleh t a = 2,5 mm, tb = 4,5 mm. Nilai tersebut dimasukkan kedalam persamaan 3 diperoleh nilai HVL = 3,91 mm untuk sumber 6 MV. Hasil pengolahan data digambarkan dalam kurva diperoleh seperti Gambar 2 dengan energi efektif sebesar Ef = 2,913 MV.
Data hasil yang diperoleh pada Tabel 2 untuk sumber 10 MV diperoleh nilai rata rata untuk 6 kali pengukuran, untuk menghitung nilai HVL menggunakan persamaan 3. Data tersebut diperoleh hasil pengukuran radiasi tanpa filter Do = 8,344 MV, dengan menggunakan filter Da = 5,824 MV, pada tebal filter ta = 2,50 mm, dan nilai radiasi keluaran yang menghasilkan atau mendekati setengah dari nilai radiasi tanpa filter adalah Db = 4,231 MV pada ketebalan filter sebesar tb = 4,5 mm. Hasil perhitungan menggunakan persamaan 3 diperoleh nilai HVL = 4,59 mm, dan energi efektif yang diperoleh seperti ditunjukkan pada Gambar 3.
5.000
Energi 10 MV
4.000 3.000
Cacahan Keluaran radiasi (MV)
Cacahan Keluaran radiasi (MV)
Energi 6 MV 6.000
Ef y = -0.7171x + 5.5016 R² = 0.9636
2.000 1.000
HVL
0.000 0.00
2.00
4.00
6.00
Ketebalan filter (mm) CACAHAN
Linear (CACAHAN)
10.000 8.000 6.000
Ef
4.000
y = -1.0287x + 8.3999 R² = 0.9785
2.000
HVL
0.000 0.00
2.00
GAMBAR 2. Kurva hasil pengukuran radiasi dengan ketebalan filter untuk menentukan nilai HVL dan energi efektif.
4.00
6.00
Ketebalan filter (mm) CACAHAN
Linear (CACAHAN)
GAMBAR 3. Grafik perbandingan ketebalan filter besarnya cacahan pada energi 10 MV guna penentuan nilai HVL dan energi efektif.
Selanjutnya pengukuran menggunakan sumber 10 MV diperoleh hasil seperti Tabel 2.
TABEL 2. Hasil Pengukuran Untuk Energi 10 MV
Hasil Pengukuran keluaran radiasi (MV)
No.
Plat Tembaga
I
II
III
IV
V
VI
RataRata
1.
Tanpa Plat
8,373
8,378
8,257
8,376
8,296
8,386
8,344
2.
2,50 mm
5,817
5,748
5,866
5,789
5,875
5,854
5,824
3.
4,50 mm
4,304
4,203
4,219
4,224
4,216
4,223
4,231
Hasil perhitungan diperoleh Nilai HVL = 4,59 dengan energi efektif sebesar Ef = 4,322 MV
seperti ditunjukkan pada Gambar 3. Energi efektif yang diperoleh tersebut dapat menjadi
87
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
standar pemberian treatment radiasi kepada setiap pasien yang efektif digunakan untuk meradiasi penyakit bagi pasien. Hasil tersebut dapat ditunjukkan bahwa penambahan ketebalan filter akan menurunkan energi keluaran dari pesawat LINAC.
Simposium Fisika Nasional (SFN) atas pelaksanaan kegiatan ini dengan baik, dan atas dukungan pimpinan perguruan tinggi. 7. REFERENSI 1. S. Li, K. Kang, Y. Wang, J. Li, J. Song, dan Y. Li, Using Cerenkov Detector in HVL Measurements for Industrial Electron Linacs, Jurnal Radiation Measurements 46, 726 – 729 (2011). 2. E. Ariga, S. Ito, S. Deji, T. Sazedan, K. Nishizawa, Determination Of Half Value Layers Of X-Ray Equipment Using Computed Radiography Imaging Plates, Jurnal Physica Medica 28, 71-75 (2012).
5. KESIMPULAN Dari pembahasan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan pesawat Linear Accelerator (LINAC) di bidang radio terapi diperlukan energi keluaran radiasi melalui uji pengukuran parameter fisis seperti mengukur energi efektif dan nilai HVL guna pemberian radiasi secara efektif kepada pasien. Metode pengukuran dilakukan dengan menggunakan variasi ketebalan filter dari bahan plat tembaga (Cu) pada energi elektron 6 MV dan 10 MV menggunakan objek pantom air (water phantom). Pengukuran menggunakan filter dengan tebal 2,5 mm dan 4,5 mm untuk menentukan nilai HVL, sedangkan nilai energi efektif diperoleh dari proyeksi hasil pergitung nilai HVL. Hasil perhitungan diperoleh nilai HVL = 3,91 mm dan nilai energi efektif untuk sumber 6 MV adalah sebesar Ef = 2,913 MV. Selanjutnya penggunaan sumber 10 MV diperoleh nilai HVL = 4,59 mm dan nilai energi efektif sebesar 4,322 MV. Hasil nilai energi efektif yang diperoleh dapat menjadi dasar dalam pemberian energi radiasi yang efektif kepada pasien, agar treatment radiasi yang diberikan dapat bekerja secara efektif. Hasil tersebut menunjukkan peningkatan tegangan sumber akan meningkatkan nilai HVL dan nilai efektif keluaran radiasi dari pesawat LINAC.
3. Khan, F., the Physics of Radiation Therapy, 3rd ed., Lippincott, Williams and Wilkins, Baltimore, MD, (2003). 4. Sibtain, Amen et.al, Radiotherapy in Practice: Physics for Clinical Oncology, OXFORD, UK, (2012). 5. Podgorsak, E. B., Radiation Oncology Physics: A Handbook for Teachers and Student, IAEA, Austria: IAEA, (2005). 6. E. A. Waly, M. A. Fusco dan M. A. Bourham, Gamma-ray Mass Attenuation Coefficient and Half Value Layer Factor of Some Oxide Glass Shielding Materials, Journal Annals of Nuclear Energy 96, 26 – 30 (2016). 7. L.D. Godfrey, D.J. Adeyemo, U. Sadiqdan, R. Onoja, Evaluation of Half Value Layer (HVL) and Homogeneity Factor (HF) of Some Hospitals in Zaria Enviros Kaduna State Nigeria, Jurnal Archives of Applied Science Research, 7(5), 1 – 3 (2015).
6. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Rektor Unhas, dakan FMIPA Unhas dan panitia
88
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Indeks Vegetasi untuk Estimasi Cadangan Karbon Atas Permukaan Lahan Gambut Nuri Arbiyanti Fakumullah, Nurlina*, Ichsan Ridwan Program Studi Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lambung Mangkurat Jalan. A. Yani Km. 36 Banjarbaru, Kalsel * email:
[email protected]
Abstrak Estimasi Cadangan karbon pada lahan gambut sangat diperlukan karena Salah satu emisi yang paling besar di wilayah tropis adalah akibat deforestasi dan degradasi hutan rawa gambut yang menyimpan cadangan karbon baik di atas maupun di bawah permukaan. Kebanyakan kawasan lahan gambut sangat luas dan memiliki medan yang sulit, sehingga inventarisasi secara terestrial di seluruh areal gambut sangat sulit dilakukan karena akan terkendala dari waktu, tenaga dan biaya. Oleh sebab itu teknologi penginderaan jauh memanfaatkan Transformasi indeks vegetasi untuk mengestimasi cadangan karbon. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa transformasi indeks vegetasi terbaik yang dapat dimanfaatkan untuk menganalisa cadangan karbon, sehingga akan diketahui korelasi antara masing-masing indeks vegetasi dengan cadangan karbon lapangan serta akurasinya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini dengan melakukan perhitungan kandungan karbon pada beberapa titik sampel lapangan dan melihat korelasi antara kandungan karbon pada titik sampel lapangan dengan nilai dari masingmasing transformasi indeks vegetasi yang digunakan. Hasil penelitian berupa korelasi beserta tingkat akurasi dan kandungan karbon total dari masing-masing transformasi indeks vegetasi yang digunakan (NDVI, TVI, EVI) dengan data lapangan. TVI merupakan indeks vegetasi yang memiliki korelasi dan akurasi terbaik untuk mengestimasi kandungan karbon atas permukaan lahan gambut dengan nilai R2 dari TVI= 0,89 dengan nilai Estimasi cadangan karbon sebesar 12,63 ton/ha sedangkan cadangan karbon dari data lapangan sebesar 14,2 ton/ha dengan akurasi sebesar 88%. Kata kunci: Biomassa, Cadangan Karbon, Indeks vegetasi, Lahan Gambut, Penginderaan Jauh
(biomasa) adalah masa dari bagian vegetasi yang masih hidup diantaranya ialah batang, ranting, dan tajuk pohon (berikut akar atau estimasinya), tumbuhan bawah atau gulma dan tanaman semusim. Bagian mati (nekromasa) adalah masa dari bagian pohon yang telah mati baik yang masih tegak di lahan (batang atau tunggul pohon), kayu tumbang/ tergeletak di permukaan tanah, tonggak atau ranting, dan daun-daun gugur (seresah) yang belum terlapuk. Tanah (bahan organik tanah) adalah sisa mahluk hidup (tanaman, hewan dan manusia) yang telah mengalami pelapukan, baik sebagian maupun seluruhnya, dan telah menjadi bagian dari tanah. Ukuran partikel biasanya lebih kecil dari 2 mm.
1. PENDAHULUAN Lahan gambut tropis terdiri dari timbunan bahan organik yang belum terdekomposisi sempurna sehingga menyimpan karbon dalam jumlah yang besar. Vegetasi yang tumbuh di atasnya (aboveground living forest biomass) dan membentuk hutan rawa gambut akan mengikat karbondioksida dari atmosfer melalui proses fotosintesis dan menambah simpanan karbon dalam ekosistem tersebut [1,2]. Karbon yang disimpan dalam tanah dipengaruhi langsung oleh deforestasi dan degradasi. Degradasi hutan rawa gambut selain disebabkan oleh penebangan hutan, juga disebabkan oleh kebakaran gambut. Kombinasi keduanya menyebabkan tingginya emisi karbon.
Konsep dalam penginderaan jauh yang menerangkan bahwa objek-objek dimuka bumi memiliki karakteristik pantulan spektral yang khas terhadap sumber energi yang datang, memungkinkan studi vegetasi ini dilakukan. Transformasi indeks vegetasi merupakan salah satu teknik analisis citra yang sering dilakukan
Biomassa adalah jumlah keseluruhan bahan organik pohon yang berada di atas dan di bawah permukaan tanah dalam Siwi [3]. Pada ekosistem daratan, cadangan karbon disimpan dalam 3 komponen pokok, yaitu: Bagian hidup
89
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
dalam analisis vegetasi secara umum, terdapat banyak jenis transformasi indeks vegetasi yang dapat digunakan, tetapi transformasi indeks vegetasi yang cocok untuk diterapkan pada estimasi cadangan karbon khususnya pada kawasan gambut masih menjadi kerancuan. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Yaya [4] mengenai Korelasi Stok Karbon dengan Karakterisik Spektral Citra Landsat Studi Kasus Gunung Papandayan menjelaskan bahwa transformasi indeks vegetasi yang digunakan untuk mengestimasi adalah NDVI (Normalize Difference Vegetation Index). Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Annisa [5] mengenai Korelasi Stok Karbon Hutan dengan Menggunakan Citra ALOS AVNIR-2 di Sebagian Kecamatan Long Panangai, Kabupaten Kutai Barat menggunakan TVI (Triangular Vegetation Index) pada penelitiannya.
biomas pada tanaman bertajuk selain dilakukan dengan menggunakan persamaan allometri, sebagai pembanding dilakukan juga dengan cara semi destruktif, yakni diprediksi dengan menggunakan persamaan yang dipublikasikan oleh ICRAF (2010), yaitu : BK = (0.0976 x H) + 0,0706
(1)
Atau dapat pula diprediksi dengan menggunakan persamaan allometri, yaitu: BK = 0,11ρ D. 2.62
(2)
Keterangan: BK : Berat kering (kg/pohon), H : Tinggi pohon (cm), D : Diameter pohon (cm), dan ρ :Berat jenis kayu (g cm3)
Disebabkan oleh keanekaragaman pemakaian transformasi indeks vegetasi untuk pendugaan cadangan karbon, maka penelitian mengenai “Estimasi Cadangan Karbon Atas Permukaan Lahan Gambut Dengan Menggunakan Citra Satelit Landsat 8 OLI TIRS Di Desa Tegal Arum Banjarbaru Kalimantan Selatan.” dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan komparasi nilai indeks vegetasi terbaik yang selanjutnya akan digunakan untuk mengestimasi cadangan karbon di kawasan gambut tersebut.
2.2. Transformasi Indeks Vegetasi Menurut Ray [8] dalam Danoedoro [9] menjelaskan bahwa terdapat dua jenis asumsi dasar dalam penggunaan dan pengembangan indeks vegetasi. Suatu bentuk transformasi spektral yang diaplikasikan ke dalam citra multisaluran untuk menonjolkan kerapatan vegetasi maupun aspek lain yang berkaitan dengan kerapatan dinamakan dengan indeks vegetasi. Sebagai contoh bahwa yang bisa berkaitan dengan kerapatan diantaranya ialah biomassa, Leaf Area Index (LAI), konsentrasi klorofil, dan lain-lain. Sederhanaya, indeks vegetasi tersebut merupakan suatu bentuk transformasi matematis yang melibatkan beberapa saluran sekaligus yang mana menghasilkan citra baru yang lebih representatif dalam menyajikan gejala perubahan pada vegetasi.
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Cadangan Karbon Vegetasi Cadangan Karbon di lahan gambut juga tersimpan dalam biomasa tanaman (above ground C-stock). Nilai cadangan karbon dalam biomasa tanaman sangat bervariasi, tergantung pada keragaman dan kerapatan tanaman, kesuburan tanah, kondisi iklim, ketinggian tempat dari permukaan laut, lamanya lahan dimanfaatkan untuk penggunaan tertentu, serta cara pengelolaannya.
a. Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) NDVI =
Teknik pengamatan dan pengukuran cadangan karbon atas tanaman mengacu pada Juknis yang dikemukakan oleh Haeriah dan Rahayu [6,7] dengan beberapa modifikasi. Ukuran plot pengamatan mengikuti ukuran calon plot perlakuan pada plot. Pendugaan berat kering
(3)
b. Triangular Vegetation Index (TVI) TVI = ( 120 (ρ NIR- ρ green)) – 200 (ρ red – ρ green)
90
(4)
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
c. Enhanced Vegetation Index (EVI) EVI=G
(1+L)
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Penentuan Nilai Indeks Vegetasi (NDVI, TVI, dan EVI)
(5)
Penentuan nilai indeks vegetasi berdasarkan titik koordinat penelitian atas pengukuran cadangan karbon atas permukaan lahan gambut dapat dilihat pada Tabel 1. Pengolahan citra digital pada citra Landsat 8 OLI TIRS yang meliputi beberapa indeks vegetasi yaitu NDVI (Normalized Difference Vegetation Index), TVI (Triangular Vegetation Index), dan EVI (Enhanced Vegetation Index).
2.3. Analisis Statistik Analisis statistik yang digunakan adalah analisis korelasi dan analisis regresi. Analisis korelasi digunakan untuk mengukur keeratan hubungan antara variabel, dimana pada penelitian ini variabel yang digunakan adalah nilai indeks vegetasi yang digunakan dan nilai biomassa pada masing-masing sampel. Besarnya koefisien korelasi bergerak antara -1 sampai 1. Sedangkan analisis regresi digunakan untuk mengukur seberapa besar variabel bebas mampu menjelaskan variabel terikat, dimana yang menjadi variabel bebas adalah nilai indeks vegetasi yang digunakan dan yang menjadi variabel terikat adalah nilai kandungan karbon pada masing-masing sampel.
4.2. Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) Berdasarkan hasil analisis regresi antara NDVI dengan nilai karbon pada lokasi sampel lapangan sebanyak 6 titik sampel diperoleh model persamaan Y = -0,0882x + 0,6128, dengan nilai koefisien determinasi (R 2) yaitu sebesar R² = 0,44 atau dapat dikatakan 44 % nilai karbon dapat dijelaskan oleh varibel NDVI seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2. Nilai karbon total yang diperoleh dengan menggunakan indeks vegetasi NDVI ini sebesar 6,38 ton, nilai karbon rata-rata untuk setiap piksel diketahui sebesar 3,40 ton/piksel dan nilai karbon rata-rata untuk setiap meter diketahui sebesar 0,213 ton/m2.
3. METODE PENELITIAN
4.3. Enhanced Vegetation Index (EVI) Berdasarkan hasil analisis regresi antara EVI dengan nilai karbon pada lokasi sampel lapangan sebanyak 6 titik sampel diperoleh model persamaan Y= 0.1407x + 0.4344, dengan nilai koefisien determinasi (R2) yaitu sebesar R² = 0,6377 atau dapat dikatakan 63% nilai karbon dapat dijelaskan oleh varibel EVI, seperti ditunjukkan pada Gambar 3. Nilai karbon total yang diperoleh dengan menggunakan indeks vegetasi EVI ini sebesar 9,6 ton, nilai karbon rata-rata untuk setiap piksel diketahui sebesar 2,402944 ton/piksel dan nilai karbon rata-rata untuk setiap meter diketahui sebesar 0,15 ton/m2. GAMBAR 1. Bagan Tahapan Penelitian
91
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
TABEL 1. Hasil analisa indeks vegetasi menggunakan NDVI, TVI, dan EVI Plot plot 1 plot 2 plot 3 plot 4 plot 5 plot 6
Biomass (Ton) 1,9 0,46 0,184 2,11 0,41 1,42
Stock karbon (Lapangan) (Ton) 4,2 1 0,4 4,6 0,9 3,1
(a)
NDVI 0,493 0,609 0,632 0,339 0,459 0,570
TVI 48,03 39,316 31,305 50,75 32,323 48,41
EVI 0,578 0,562 0,359 0,807 0,547 0,662
(b)
GAMBAR 2. (a) Citra Hasil NDVI Desa Tegal Arum (b) Grafik Hasil Analisa Regresi (R2 ) NDVI dan Biomassa
dapat dijelaskan oleh varibel TVI, seperti ditunjukkan pada Gambar 4. Nilai karbon total yang diperoleh dengan menggunakan indeks vegetasi TVI ini sebesar 12,63 ton, nilai karbon rata-rata untuk setiap piksel diketahui sebesar 4,4 ton/piksel dan nilai karbon rata-rata untuk setiap meter diketahui sebesar 0,14 ton/m2.
4.4. Triangle Vegetation Index (TVI) Berdasarkan hasil analisis regresi antara TVI dengan nilai karbon pada lokasi sampel lapangan sebanyak 6 titik sampel diperoleh model persamaan Y= 0,0919 x – 2,75, dengan nilai koefisien determinasi (R2) yaitu sebesar R² = 0,89 atau dapat dikatakan 89% nilai karbon
(a)
(b)
GAMBAR 3. (a) Citra Hasil Analisis EVI Desa Tegal Arum (b) Grafik Hasil Analisa Regresi (R2 ) EVI dan Biomassa
92
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
dapat dijelaskan oleh varibel TVI, seperti ditunjukkan pada Gambar 4. Nilai karbon total yang diperoleh dengan menggunakan indeks vegetasi TVI ini sebesar 12,63 ton, nilai karbon rata-rata untuk setiap piksel diketahui sebesar 4,4 ton/piksel dan nilai karbon rata-rata untuk setiap meter diketahui sebesar 0,14 ton/m2.
4.5. Triangle Vegetation Index (TVI) Berdasarkan hasil analisis regresi antara TVI dengan nilai karbon pada lokasi sampel lapangan sebanyak 6 titik sampel diperoleh model persamaan Y= 0,0919 x – 2,75, dengan nilai koefisien determinasi (R2) yaitu sebesar R² = 0,89 atau dapat dikatakan 89% nilai karbon
(a)
(b)
GAMBAR 4. (a) Citra Hasil Analisis TVI Desa Tegal Arum (b) Grafik Hasil Analisa Regresi (R2 ) TVI dan Biomassa
Penggunaan indeks Vegetasi TVI untuk mengidentifikasi vegetasi pada citra sangat baik. Terlihat dari nilai regresi yang dihasilkan sebesar 0,89 yang berarti memiliki hubungan sangat kuat. Hal ini menjelaskan bahwa antara variabel X dan variabel Y yang dijelaskan oleh nilai biomassa dan nilai TVI memiliki keterkaitan yang cukup tinggi. Penggunaan TVI ini sangat cocok untuk mengidentifikasi vegetasi pada citra dikarenakan saluran yang digunakan tidak hanya NIR (Near Infrared) dan Saluran Merah. Tetapi indeks vegetasi TVI juga menggunakan Saluran Hijau (Green) yang membantu untuk mengidentifikasi vegetasi. Penggunaan indeks vegetasi TVI juga memiliki akurasi yang tinggi karna hanya menghasilkan nilai error sebesar 1,2% dibandingkan dengan NDVI dan EVI yang memiliki nilai error 1,5% dan 1,6%.
1. Analisis regresi pada masing-masing indeks vegetasi dengan nilai biomassa lapangan sebesar 0,45 untuk NDVI (Cukup), 0,64 untuk EVI (Cukup), dan 0,89 untuk TVI (Kuat). 2. Analisa cadangan karbon menggunakan indeks vegetasi TVI menghasilkan estimasi cadangan karbon sebesar 12,63 ton/ha dibandingkan dengan cadangan karbon dari data lapangan sebesar 14,2 ton/ha menghasilkan akurasi sebesar 88%. 6. REFERENSI 1. Mudiyarso, D., Widodo, M, & Suyanto, D., “Fire Risks In Forest Carbon Projects In Indonesia”, Science in China (Series C), Vol. 45, 65 -74 (2002). 2. Brown S. and Gaston G., “Use of forest inventories and geographic information systems to estimate biomass density of tropical forests: the applications to tropical rain forest”, Africa Environ Monit Assess 38, 157-168 (1995).
5. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian serta pembahasan diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
93
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Penggunaan Lahan”, World Agroforestry Centre-ICRAF, South East Asia, Bogor, 2007.
3. Huete, A., Didan, K., Miura, T., Rodriguez, E. P., Gao, X., & Ferreira, L. G., “Overview of the radiometric and biophysical performance of the MODIS vegetation indices”, Remote sensing of environment, 83(1), 195-213 (2002). 4. Campbell, J. B., Intruduction to Remote Sensing, 3rd Ed., The Guilford Press, New York, 2002.
7. Ekadinata, A., S. Dewi, D. Hadi, D. Kurnia, & F. Johana, “Sisitem Informasi Geografis dan penginderaan jauh Menggunakan ILWIS Open Source”, Word Agoforestry Centra ICRAF, South East Asia, Regional Office, Bogor, 2008.
5. Pambudhi, Annisa, Sigit HM, Zuharnen, “Estimasi Stok Karbon Hutan Dengan Menggunakan Citra Alos Avnir-2 Di Sebagian Kecamatan Long Pahangai, Kabupaten Kutai Barat, Indonesia”, 2015.
8. Warring RH, Way J., Hunt ER. Jr, Morrissey L., Ranson KJ., Weishampel JF., Oren R. & Franklin SE., “Imaging radar for ecosystem studies”, BioScience 45, (1995). 9. Danoedoro, Projo, Pengantar Penginderaan Jauh Digital, Yogakarta: Andi, 2012.
6. Hairiah, K., & S. Rahayu, “Pengukuran Karbon Tersimpan Di Berbagai Macam
94
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Simulasi Laju Penurunan Glukosa Darah Pada Penderita Diabetes Tipe 2 Setelah Melakukan Aktivitas Fisik Agus Kartono1), Muhammad Khalid, Ardian Arif Setiawan, Mersi Kurniati Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor Kampus IPB Dramaga-Bogor, 16680 1 email:
[email protected] Abstrak Pemodelan laju penurunan glukosa darah diabetes tipe 2 setelah melakukan aktivitas fisik yang dibuat oleh Roy tidak menambahkan faktor konsumsi glukosa. Pada kenyataannya, penderita diabetes melitus tipe 2 (DMT2) mengonsumsi glukosa sebelum melakukan aktivitas fisik. Konsumsi glukosa tersebut dapat berasal dari makanan ataupun minuman. Pada penelitian ini, kami memodifikasi pemodelan yang dibuat oleh Roy dengan menambahkan konsumsi glukosa. Hasil modifikasi model tidak jauh berbeda dengan data eksperimen. Hal ini terbukti dari nilai R2 yang diperoleh sebesar 99,30%. Selain itu, hasil modifikasi model ini tidak jauh berbeda pula dengan pemodelan yang dibuat oleh Roy yang memiliki nilai R2 sebesar 99,25%. Nilai parameter yang digunakan untuk modifikasi model tersebut diatur sama dengan jumlah insulin yang disuntikan (u 1) sebesar 15 µU min-1, durasi melakukan aktivitas fisik selama 60 menit, berat badan penderita sebesar 80 kg, dan konsumsi glukosa (D) sekitar 10 mg min-1 dl-1 (untuk nilai parameter modifikasi model). Hipoglikemia akan terjadi jika jumlah insulin yang disuntikan ke penderita terlalu banyak, sedangkan hiperglikemia dapat terjadi bila jumlah insulin yang disuntikan ke penderita terlalu sedikit. Kata kunci: aktivitas fisik, diabetes melitus, glukosa, hiperglikemia, hipoglikemia
Abstract Decline rate modeling of blood glucose in type 2 diabetes after exercise that made by Roy not attach consumption glucose factor. In the fact, type 2 diabetes mellitus (T2DM) consume the glucose before exercise. Consumption of glucose can from food or drinks. In the research, we modify Roy’s model by attached glucose consumption. Result of modification model isn’t too different to experiment data. This is evident from R2 value obtained for 99.30%. In addition, this modification result isn’t much different with Roy’s model that have R 2 value is 99.25%. Parameter values used for this model modification it’s identic, they are insulin injection (u1) is 15 µU min-1, exercise duration is 60 minute, patient body mass is 80 kg, and glucose consumption (D) is around to 10 mg min-1 dl-1 (for parameter values in modification model). Hypoglycemia will occur if amount of insulin injected into patient too much, while hyperglycemia can occur if amount of insulin injected into patient too little. Keywords: diabetes mellitus, exercise, glucose, hyperglycemia, hypoglycemia
mengakibatkan terjadinya hiperglikemia, yaitu peningkatan kadar gula dalam darah atau terdapat kandungan gula dalam air kencing, zat-zat keton dan asam (keton-acidosis) [1].
1. PENDAHULUAN Diabetes mellitus (DM) sudah dikenal sejak lebih kurang dua ribu tahun yang lalu. Dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah Diabetes Mellitus (bahasa Latin: diabetes = penerusan; mellitus = manis). Diabetes mellitus diketahui sebagai suatu penyakit yang disebabkan oleh adanya gangguan pada sistem metabolisme karbohidrat, lemak, dan juga protein dalam tubuh. Gangguan metabolisme tersebut disebabkan berkurangnya produksi hormon insulin yang diperlukan dalam proses pengubahan gula menjadi energi serta sintesis lemak. Kondisi yang demikian itu,
Pengaruh latihan fisik untuk meningkatkan aksi insulin telah dilakukan dalam penelitian selama 20 tahun dan dikenal sebagai fakta klinis oleh diabetologi. Dalam berbagai studi latihan fisik dapat membantu untuk mengontrol kadar gula darah dan kenaikan sensitivitas insulin pada tubuh. Latihan fisik yang teratur dapat mengurangi resiko serangan diabetes tipe 2 atau yang dikenal dengan NonInsulin Dependent Diabetes (NIDD).
95
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Pemodelan yang sudah ada hanya untuk kondisi ketika penderita melakukan olahraga dan besar jumlah insulin yang diperlukan. Namun bagaimana ketika pasien sebelumnya mengonsumsi glukosa yang dalam hal ini bisa makanan ataupun minuman belum pernah dimodelkan. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan cara memodifikasi model yang sudah ada dengan menambahkan konsumsi glukosa, agar dapat sesuai dengan kondisi sebenarnya.
glycogenolysis selama aktivitas fisik akibat berkurangnya jumlah glikogen hati. merupakan laju pemindahan insulin dari sistem peredaran darah karena perubahan fisiologi akibat aktivitas fisik. Laju glycogenolysis mulai berkurang ketika energi yang dikeluarkan melebihi nilai ambang batas kritis ( yang merupakan fungsi dari intensitas dan durasi. Ambang batas kritis ( dimodelkan dengan fungsi: (7)
2. TEORI
dengan laju sebagai:
Pemodelan laju penurunan glukosa darah yang dikembangkan oleh Roy [2] belum memperhatikan faktor konsumsi glukosa. Adapun pemodelan hasil pengembangan oleh Roy [2] adalah sebagai berikut:
prod
gly
upt
2
Vol g
dimana merupakan integrasi dari intensitas aktivitas fisik. Adapun persamaan integrasinya adalah sebagai berikut:
,
……………………… Gb G0
(1)
dI t nI t I t p5 u1 t , dt ……………………… I b I 0
(2)
dX t p 2 X t p3 I t I b , dt ……………………… X 0 0
(3)
dG prod t dt
dt
(9)
dengan adalah intensitas aktivitas fisik dan = 0.001 min. Pada modifikasi pemodelan tersebut, Roy [2] menambahkan faktor konsumsi oksigen selama melakukan aktivitas fisik dengan bentuk pemodelannya sebagai berikut:
dPV 0 max 2 t 0.8PV 0 max 2 t 0.8u ex t dt ………………… PV 0 max (10) 2 0 0
a1 PV 0 max 2 t a 2 G prod t
……………………… G prod 0 0
dGupt t
dirumuskan
(8)
dGt p1 Gt Gb p 4 X t Gt dt
W G t G t G u t
glyvogenolysis
(4)
a3 PV 0 max 2 t a 4 G prod t
……………………… Gupt 0 0
(5)
dI t a5 PV 0 max 2 t a 6 I t dt ……………………….. I 0 0
(6)
Modifikasi pemodelan yang dilakukan yakni memberikan faktor baru berupa laju penyerapan glukosa akibat adanya konsumsi glukosa yang bersumber dari makanan ataupun minuman sebelum melakukan aktivitas fisik. Bentuk persamaan yang digunakan mengacu pada penelitian yang dilakukan Friis [3] dan memiliki bentuk sebagai berikut:
Variabel merupakan laju penyerapan glukosa, sedangkan variabel merupakan laju produksi glukosa hepatik dan adalah laju penurunan
(11)
96
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
dengan merupakan parameter penyerapan glukosa di dalam tubuh yang bersumber dari makanan ataupun minuman. Persamaan tersebut disubtitusikan pada Persamaan (1) menghasilkan persamaan dibawah ini:
……………………………………
(15) dimana dengan
merupakan data hasil eksperimen standar deviasi sebesar , merupakan data hasil pemodelan, N banyak data, dan merupakan nilai rata-rata data eksperimen. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN
(12)
Pengujian dilakukan untuk (12) menentukan kelayakan suatu model dengan cara membandingkan dengan data eksperimen. Pengujian hasil model termodifikasi memerlukan beberapa parameter untuk memproses simulasi. Parameter yang digunakan untuk pengujian tertera pada Tabel 2.
Modifikasi ini dilakukan untuk mengembangkan model yang dilakukan pada penelitian ini supaya sesuai dengan kondisi sebearnya yakni penderita mengonsumsi glukosa sebelum melakukan aktivitas fisik. 3. METODE PENELITIAN
TABEL 2. Parameter simulasi model termodifikasi
Metode analisa data yang digunakan untuk pengujian kelayakan pemodelan adalah metode koefisien deterministik atau koefisien korelasi (R2). Hasil simulasi akan diuji tingkat korelasinya dengan data eksperimen penderita diabetes tipe 2. Pada model termodifikasi akan dilakukan pengujian untuk mengetahui kelayakan model tersebut. Adapun bentuk variasi pengujian model yang dilakukan tertera pada Tabel 1.
Parameter
1 0.098 0.142 117.0 98.0 0.0013
Variasi insulin dan konsumsi glukosa dilakukan untuk mengetahui kadar insulin yang diperlukan ketika penderita sebelum melakukan aktivitas fisik terlebih dahulu mengonsumsi glukosa.
0.0441 0.0015
TABEL 1. Variasi insulin dan konsumsi glukosa
Variasi 1 2 3 4 5
-1
u1(µU min ) 15 20 15 15 15
Metode koefisien dirumuskan sebagai:
-1
dan
0.0912 0.0131 10.14
Satuan min-1 min-1 ml µU-1 min-2 min-1 ml-1 min-1 dl mg dl-1 mg kg-1 min-2 min-1 mg kg-1 min-2 min-1 µU ml-1 min-1 min-1 mg kg-1 min-2 min
Data eksperimen yang digunakan berasal dari jurnal penelitian Brun et al. [4] Data eksperimen ini digunakan sebagai pengujian model terhadap variasi insulin dan konsumsi glukosa. Data eksperimen tersebut tertera pada Tabel 3.
tersebut
, dengan
0.0617 0.0010
-1
D(mg min dl ) 10 10 15 20 100 korelasi
Nilai Parameter 0.035 0.05 0.000028
(13)
adalah sebagai berikut:
(14)
97
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
TABEL 3. Data eksperimen
Waktu (min)
Glukosa (mg dl-1)
0 1 3 5 7 9 11 15 19 20 22 25 31 41 70 90 180
81 363.6 372.6 351 322.2 306 289.8 246.6 216 198 196.2 176.4 144 82.8 59.4 68.4 88.2
GAMBAR 1. Hasil variasi 1, 3, dan 4.
Variasi pertama (u1 = 15 µU min-1, D = 10 mg min-1 dl-1), variasi ketiga (u1 = 15 µU min-1, D = 15 mg min-1 dl-1), dan variasi keempat (u1 = 15 µU min-1, D = 20 mg min-1 dl-1) memiliki bentuk grafik yang sama dan saling berhimpit satu sama lain dan hal ini terlihat pada Gambar 1.
Kondisi penderita diabetes tipe 2 memiliki berat badan sebesar 80 kg, melakukan aktivias fisik selama 60 menit, penyuntikan insulin (u1) = 15 µU min-1, stimulus glukosa (u2) = 10 mg min-1, dan konsumsi glukosa sebesar 10 mg min-1 dl-1. Modifikasi pemodelan yang sudah dijustifikasi dilakukan variasi penyuntikan insulin (u1) dan konsumsi glukosa (D). Insulin tersebut disuntikan ke tubuh penderita diabetes tipe 1 dengan laju aliran dari alat suntik ke bagian tubuh yang disuntikan sebesar µU selama satu menit. Sebelum melakukan aktivitas fisik, penderita tersebut juga mengonsumsi glukosa sebanyak mg dl-1 selama satu menit. Adapun nilai R2 hasil variasi insulin (u1) dan konsumsi glukosa (D) tertera pada Tabel 4.
GAMBAR 2. Hasil variasi 2 dan 5.
Namun variasi kedua (u1 = 20 µU min-1, D = 10 mg min-1 dl-1) memiliki bentuk grafik yang tidak berhimpit dengan yang lainnya dan berada di bawah dari ketiga grafik hasil variasi. Nilai R2 untuk masing-masing variasi tertera pada Tabel 4. Pada Gambar 2 menunjukkan bahwa ketika jumlah insulin yang disuntikan diperbanyak (variasi 2), laju penurunan glukosa darah begitu cepat dan berada di bawah rentang basal glukosa normal pada menit ke-36. Kondisi seperti ini mengakibatkan penderita mengalami hipoglikemia lebih cepat. Hipoglikemia merupakan keadaan dimana kadar Glukosa darah seseorang di bawah basal glukosa normal.
TABEL 4. Nilai R2 hasil variasi insulin dan konsumsi glukosa
Variasi
u1 (µU min-1)
D (mg min-1 dl-1)
Nilai R2
1
15
10
99.30%
2
20
10
98.67%
3
15
15
99.29%
4
15
20
99.28%
5
15
100
99.15%
98
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
glukosa yang berlebihan berpotensi menyebabkan hiperglikemia. Hal ini terlihat pada variasi 5 (Gambar 2) yang menunjukkan data hasil pemodelan berada di atas data hasil eksperimen dari menit ke-3 sampai menit ke60. Kadar insulin yang optimal yang harus disuntikan ke penderita diabetes mellitus tipe 2 sebesar 15 µU min-1 dengan kondisi penderita memiliki berat badan 80 kg dan melakukan aktivitas fisik selama 60 menit serta jumlah kadar glukosa yang diperbolehkan untuk dikonsumsi berada pada kisaran 10-20 mg min-1 dl-1. GAMBAR 3. Hasil variasi 1, 2, 3, 4, dan 5.
6. UCAPAN TERIMA KASIH
Gambar 3 menunjukan bahwa ketika konsumsi glukosa diperbesar maka laju penuruan kadar glukosa darah berjalan lambat. Kondisi ini berpotensi menyebabkan penderita mengalami hiperglikemia. Hiperglikemia merupakan keadaan dimana kadar glukosa darah seseorang di atas basal glukosa normal.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Hibah Penelitian melalui Program Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi (PUPT), Tahun Anggaran 2015 and 2016, Nomor: 603/IT3.11/PI/2015 and 613/IT3.11/PN/2016, Institut Pertanian Bogor (IPB), Indonesia.
Selain itu, variasi 5 mengalami kondisi hipoglikemia pada menit ke-45. Pada kondisi menit ke-32 sampai dengan menit ke-120 merupakan kondisi penderita mengalami hipoglikemia dan menyebabkan insulin tidak bekerja serta tubuh kembali menghasilkan glukosa. Pada menit ke-120 sampai dengan menit ke-180 insulin bekerja kembali dan menjaga kadar glukosa darah berada pada rentang basal glukosa normal.
7. REFERENSI 1. E. Lanywati, Diabetes Mellitus Penyakit Kencing Manis, Yogyakarta (ID): Penerbit Kanisius, 2001, pp. 7. 2. A. Roy, “Dynamic Modeling of Free Fatty Acid, Glucose, and Insulin During Rest and Exercise in Insulin Dependent Diabetes Mellitus Patien”, Disertasi, Pennsylvania (US): University of Pittsburgh, 2008. 3. E. J. Friis, “Modeling and Simulation of Glucose-Insulin Metabolism”, Tesis, Denmark: Technical University of Denmark, 2007.
5. KESIMPULAN Penambahan faktor konsumsi glukosa mempengaruhi laju penurunan kadar glukosa darah. Jumlah insulin yang diberikan secara berlebihan menyebabkan penderita diabetes mellitus tipe 2 mengalami hipoglikemia. Hal ini terlihat pada variasi 2 (Gambar 2) yang menunjukkan data hasil pemodelan berada di bawah data hasil eksperimen. Jika jumlah insulin yang diberikan rendah atau konsumsi
4. J. F. Brun, R. Guintrand-Hugret, C. Boegner, O. Bouix, A. Orsetti, Influence of Short-Term Submaximal Exercise on Parameter of Glucose Assimilation Analyzed With Minimal Model, Metabolism, WB Sounders, 1995.
99
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Simulasi Dinamika Glukosa Dalam Darah Menggunakan Persamaan Oral Minimal Model dengan Penambahan Aktivitas Fisik Heriyanto Syafutra1), Agus Kartono2), Citra Kusumawardhani3) Departmen Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, Jl. Meranti, Gd. Wing S lantai 2, Kampus IPB Darmaga Bogor, Indonesia 16680 1 email:
[email protected] 2 email:
[email protected] 3 email:
[email protected]
Abstrak Glukosa dalam darah dapat berubah dengan adanya asupan makanan ataupun aktivitas fisik. Perubahan tersebut dapat disimulasikan dengan menggunakan persamaan oral minimal model dengan penambahan aktivitas fisik. Persamaan tersebut merupakan persaman differensial laju perubahan glukosa dan insulin yang terkopel satu sama lain. Pada persamaan tersebut terdapat konstanta – konstanta yang mempengaruhi kemampuan persamaan dalam memfitting data eksperimen hasil pengukuran perubahan glukosa terhadap waktu. Dua dari tujuh konstanta pada persamaan oral minimal model, menggambarkan kemampuan penghilangan glukosa dalam darah yaitu sensitivitas glukosa (Sg) dan sensitivitas insulin (Si). Untuk dapat menentukan konstanta – konstanta tersebut digunakan algoritma partikel swarm optimizitation (PSO). Algoritma ini dapat melakukan pencarian nilai konstanta yang tepat sehingga hasil simulasi dapat memfitting data eksperimen dengan tepat yang ditunjukkan oleh nilai R 2 yang besar. Pada penelitian ini didapatkan hasil R2 di atas 0,87 untuk semua data eksperimen yang digunakan, dan aktivitas fisik dapat merubah nilai Sg dan Si yang artinya aktivitas fisik mempengaruhi kemampuan penghilangan glukosa dalam darah. Kata kunci: diabetes, dinamika glukosa, latihan fisik, oral minimal model, particles swarm optimization.
tubuh mengatur kadar glukosa dalam darah. Pada beberapa kasus, menurunnya kemampuan mengatur kadar glukosa dalam darah terjadi pada anak-anak. Pada kasus ini, biasanya terjadi pada anak yang orang tuanya terkena diabetes.
1. PENDAHULUAN Aktivitas fisik dan asupan makanan dapat mempengaruhi kadar glukosa dalam darah. Ketika tubuh melakukan aktivitas fisik, glukosa dalam darah dapat dirubah menjadi energi, tentu hal ini akan menyebabkan kadar glukosa dalam darah turun. Penurunan kadar glukosa dalam darah akan memicu sel-α pada pancreas melepaskan glukogen ke dalam darah. Glukogen ini akan dirubah oleh hati menjadi glukosa, sehingga kadar glukosa dalam darah kembali ke kondisi awal. Ketika tubuh mendapat asupan makanan yang mengandung glukosa, maka kadar glukosa dalam darah akan meningkat. Peningkatan kadar glukosa akan menyebabkan sel-β pada pancreas melepaskan insulin ke dalam darah. Insulin ini dapat merubah glukosa menjadi energi oleh otot dan menjadi glikogen oleh hati. Sehingga kadar glukosa dalam darah kembali ke kondisi awal.
Kondisi lingkungan juga berperan terhadap terjadinya penurunan kemampuan tubuh merespon dinamika kadar gula dalam darah. Beberapa peneliti telah melakukan penelitian tentang perbandingan jumlah penderita penyakit diabetes untuk tiap eknik dan lingkungannya [1-5]. Dari penelitian tersebut menunjukkan jumlah penderita diabetes untuk setiap etnik dibelahan dunia ini tidak sama. Perbedaan ini disebabkan oleh pola hidup setiap etnik sebagai respon terhadap lingkungan tempat tinggal. Dinamika kadar glukosa dalam darah dapat didekati dengan pesamaan matematika yang dikenal dengan persamaan minimal model glukosa-insulin. Persamaan ini merupakan persamaan laju perubahan konsentrasi glukosa dan insulin terhadap waktu. Kemampuan persamaan mendekati
Orang yang memiliki pola hidup kurang sehat, seperti mengkonsumsi makanan berlebih dan jarang melakukan aktivitas fisik akan menyebabkan menurunnya kemampuan
100
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
hasil pengukuran konsentrasi glukosa terhadap waktu bergantung pada konstanta-konstanta yang ada di persamaan tersebut. Konstanta Si (sensitivitas insulin) dan Sg (efektivitas glukosa) pada persamaan dapat memberikan informasi tentang kemampuan tubuh dalam mengatur kadar glukosa dalam darah. Untuk mendapatkan nilai konstanta yang tepat, pada penelitian ini digunakan algoritma PSO.
Persamaan 1. Suku tersebut menggambarkan proses penyerapan glukosa pada makanan. Dengan demikian Persamaan 1 menjadi: Ra meal t dG t S g Gb G t X t G t , dt V G to Go
Ra meal t
Penelitian ini bertujuan melihat pengaruh aktivitas fisik terhadap dinamika glukosa dalam darah pada subjek penderita diabetes dan tidak menderita diabetes (subjek normal) pada orang kewarganegaraan Jepang dan Denmark.
Hasil penelitian dari beberapa peneliti [68] menunjukkan bahwa aktivitas latihan fisik memberikan pengaruh yang signifikan terhadap efektivitas insulin dalam menurunkan kadar gula dalam darah. Ketika seseorang melakukan aktivitas fisik, otot memerlukan sumber energi yang didapat dengan cara mengkonversi glukosa menjadi energi. Proses konversi ini dibantu oleh insulin yang dilepaskan oleh sel-β pada pankreas. Laju perubahan glukosa dan insulin dalam darah dapat pada tes intravenous glucose tolerance test (IVGTT) dimodelkan menggunakan persamaan differensial orde pertama oleh Pacini and Bergman [9] dan Riel [10]. Sedangkan laju perubahan glukosa dan insulin dalam darah pada tes Oral Glucose Tolerance Test (OGTT) dimodelkan oleh persamaan differensial oder pertama oleh [11,12].
dI t k I t I b dt jika G t Gb , I to I o
dG t
S g q1 Gb G t 1 q2 X t G t
dt
dX t
dI t dt
Ra meal t V
,
G to Go
p2 X t ,
G to Go
dt
k q3 I t I b
V
9
k q3 I t I b U t jika G t Gb , I to I o
10
Keterangan masing-masing variable di Persamaan 1 – 10 dapat dilihat pada Table 1.
1
TABEL 1. Variable, satuan dan keterangan simbol pada Persamaan 1 – 10.
2
3
Simbol G(t)
Satuan mg/dl
X(t)
menit-1
I(t)
μU/ml
Gb
mg/dl
4
Ra meal t
8
q1 G t Gb t jika G t Gb , I to I o
dI t
7
p3 q3 I t I b
dt
Persamaan 1 – 4 merupakan persamaan dinamika glukosa dan insulin dalam darah pada tes IVGTT, sedangkan pada tes OGTT terdapat penambahan suku
6
Pengaruh aktivitas fisik terhadap dinamika glukosa dan insulin dalam darah dapat dimodelkan dengan memodifikasi Persamaan 1 – 4. Modifikasi tersebut berupa penambahan parameter q1, q2 dan q3 [13,14]. Dengan demikian persamaan dinamika glukosa dan insulin dalam darah pada tes OGTT menjadi:
2. TINJAUAN PUSTAKA
dG t S g Gb G t X t G t , G to Go dt dX t p2 Si I t I b X t , G to Go dt dI t G t Gb t k I t I b dt jika G t Gb , I to I o
ai ai 1 ai 1 t t t ti 1 i i 1 ; ti 1 t t , i 1,...8 ;lainnya 0
5
pada
101
Keterangan konsentrasi glukosa pada saat t aksi insulin mengembalikan konsentrasi glukosa ke tingkat basal pada saat t konsentrasi insulin pada saat t konsentrasi glukosa basal sebelum diberi masukan glukosa secara oral
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Simbol Ib
Satuan μU/ml
G0
mg/dl
Sg
menit-1
Si = p3/p2
menit-2 (μU/m)-1
p2
menit-1
p3
(µUdl)/(ml mg menit-2)
k
menit-1
p5
mg/dl
γ
(µU dl)/(ml mg menit-2) menit mg kg-1 menit-1
t Rα meal(t)
V
dl/kg
αi ti
mg kg-1 menit-1 menit
q1
menit-1
q2
menit-1
q3
ml menit-1 µU-1
U(t)
µU/ml menit
makanan [18]. Di metode ini dikenal beberapa istilah kecepatan dan posisi tiap individu yang disimbolkan oleh vj(i) dan xj(i), posisi terbaik yang berhasil ditemukan tiap individu Pbest,j dan posisi terbaik yang berhasil ditemukan oleh kawanan Gbest,j. Persamaan kecapatan dan posisi pada PSO diberikan oleh:
Keterangan konsentrasi insulin basal sebelum diberi masukan glukosa secara oral konsentrasi glukosa teoritis dalam plasma pada saat t sama dengan nol efektivitas glukosa, yaitu penyerapan glukosa tanpa bantuan insulin Sensitivitas insulin, yaitu respon insulin terhadap konsentrasi glukosa konstanta laju penurunan kemampuan penyerapan glukosa Peningkatan kemampuan serapan yang disebabkan oleh insulin konstanta waktu penghilangan insulin Konsentrasi glukosa darah yang dicapai Respon pankreas terhadap glukosa Waktu tingkat masuknya glukosa endogen ke dalam sirkulasi sistemik per unit berat tubuh (mg. kg1menit-1) terhadap waktu volume distribusi glukosa per unit berat tubuh amplitudo serapan glukosa ke i waktu serapan glukosa ke i Pengaruh latihan fisik dalam mempercepat pemanfaatan glukosa oleh otot dan hati Pengaruh latihan fisik dalam meningkatkan sensitifitas otot dan hati terhadap aksi insulin Pengaruh latihan fisik dalam meningkatkan pemanfaatan insulin Pengaruh latihan fisik untuk meningkatkan glukosa hilang dalam darah
v j i v j i 1 c1 r1 Pbest , j x j j 1 c2 r2 Gbest , j x j j 1 x j i x j i 1 v j i
(11)
12
Dimana ω adalah faktor bobot, c1, dan c2 adalah kecerdasan individu dan kecerdasan sosial tiap partikel, r1 dan r2 merupakan nilai random. 3. METODE PENELITIAN Pada penelitian ini, persamaan dinamika glukosa dan insulin didekati menggunakan Persamaan 7–10 dan data eksperimen yang digunakan diambil dari J. B. Møller and H. Madsen [1]. Konstanta α1 sampai α8 dan V juga diambil dari J. B. Møller and H. Madsen [1]. Nilai q1, q2 dan q3 untuk menggambarkan aktivitas fisik ringan dan berat diambil dari jurnal Derouich and Boutayeb [13]. Latihan fisik ringan nilai q1, q2 dan q3 berturut-turut adalah 0,000010; 0,65 dan 0,0000090. Untuk latihan fisik berat nilai q1, q2 dan q3 berturutturut adalah 0,000030; 0,95 dan 0,000010. Nilai konstanta Si, Sg, p2, γ, k, Gb, dan Ib dicari menggunakan algoritma PSO. Ketepatan algoritma PSO menentukan nilai konstanta tersebut berdasarkan nilai koefisien korelasi (R2) antara hasil simulasi dan data eksperimen konsentrasi glukosa terhadap waktu mendekati nilai 1. Dengan demikian, nilai R2 merupakan posisi terbaik individu dan kawanan dari sekumpulan serangga yang sedang mencari posisi makanan. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Algoritma PSO mempermudah dalam menentukan nilai konstanta Si, Sg, p2, γ, k, Gb, dan Ib. Karena pada algoritma ini memiliki kemampuan mengingat kembali nilai konstanta terbaik yang menghasilkan nilai R2 terbesar untuk satu kali proses pencarian. Sehingga dapat mencari nilai konstanta tersebut berdasarkan nilai konstanta terbaik
PSO merupakan metode optimasi stokastik yang dapat diterapkan pada berbagai fungsi [15-17]. Metode ini meniru perilaku kawanan serangga dalam menemukan posisi sumber
102
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
TABEL 5. Nilai Sg, Si dan R2 untuk subjek subjek kewarganegaraan Jepang kondisi menderita Diabetes Militus tipe 2.
yang pernah ditemukan tiap individu dan kawanan secara bersamaan. Nilai koefisien korelasi (R2) untuk data eksperimen subjek kewarganegaraan Denmark lebih besar dibandingkan dengan subjek kewarganegaraan Jepang. Nilai R2 kewargenegaraan Denmark baik kondisi sehat ataupun terkena diabetes militus tipe 2 (DM2) semua di atas 0,9 baik itu kondisi tanpa latihan, latihan ringan dan latihan berat. Sedangkan nilai R 2 kewarganegaraan Jepang untuk semua kondisi kurang dari 0,9 tetapi lebih besar dari 0,86. Nilai R2 ini memberikan iformasi bahwa persamaan differensial dinamika glukosa dan insulin beserta konstantanya dapat mendekati data eksperimen dengan baik. Nilai R2 untuk setiap data eksperimen dapat dilihat pada Tabel 2–5.
Sg (menit-1) Si (menit-2 μU/m)-1) R2
-1
Sg (menit ) Si (menit-2 μU/m)-1) R2
Meningkatnya kemampuan penyerapan glukosa dengan melakukan aktivitas fisik pada subjek kewarganegaraan Denmak kondisi menderita DM2 tidak terjadi pada subje kewarganegaraan Jepang. Pada subjek ini, aktivitas fisika akan menurunkan efektivitas glukosa, sementara sensitivitas insulin cenderung tetap. Nilai efektvitas glukosa dan sensitivitas insulin dapat dilihat pada Tabel 5.
Latihan berat 0,0392 0,0029 0,9115
5. KESIMPULAN Persamaan minimal model dan algoritma PSO dapat menggambarkan dinamika glukosa dalam darah dengan baik pada tes OGTT. Modifikasi persamaan minimal model, berupa penambahan aktivitas fisik dapat memperlihatkan pengaruh aktvitas fisik terhadap kemapuan penyerapan glukosa oleh tubuh.
TABEL 3. Nilai Sg, Si dan R2 untuk subjek subjek kewarganegaraan Jepang kondisi sehat.
Sg (menit-1) Si (menit-2 μU/m)-1) R2
Tanpa latihan 0,04999 0,00316 0,8774
Latihan ringan 0,06 0,0029 0,8630
Latihan berat 0,06 0,0031 0,8658
Pengaruh aktivitas fisik terhadap kemampuan penyerapan glukosa tidak sama pada subjek dengan kewarganegaraan Denmark dan Jepang. Demikian juga pada subjek dengan kondisi sehat dan DM2, pengaruh aktivitas fisik terhadap kemampuan penyerapan glukosa tidak sama. Pada subjek kewarganegaraan Denmark kondisi DM2, aktivitas fisik dapat meningkatkan kemampuan penyerapan glukosa oleh tubuh.
TABEL 4. Nilai Sg, Si dan R2 untuk subjek kewarganegaraan Denmark kondisi menderita Diabetes Militus tipe 2.
Sg (menit-1) Si (menit-2 μU/m)-1) R2
Tanpa latihan 0,011 0,00019 0,9428
Latihan ringan 0,0196 0,0002 0,9226
Latihan berat 0,009 0,0002 0,8718
Pada subjek kewarganegaraan Denmark kodisi menderita DM2, aktivitas fisik memberikan respon terjadinya kenaikan kemampuan penyerapan glukosa tanpa bantuan insulin yang ditunjukkan oleh naiknya nilai Sg. Pada subjek ini, juga terjadi kenaikan sensitivitas insulin terhadap glukosa seperti terlihat pada Tabel 4.
TABEL 2. Nilai Sg, Si dan R2 untuk subjek kewarganegaraan Denmark kondisi sehat. Latihan ringan 0,0392 0,0029 0,9109
Latihan ringan 0,0086 0,0002 0,8697
Pada subjek kewarganegaraan Jepang kondisi sehat, aktivitas fisik justru menaikkan efektvitas glukosa dan menurunkan sensitivitas insulin seperti yang terlihat pada Tabel 3. Ini artinya penurunan konsentrasi glukosa dalam darah tidak didominasi oleh pengaruh insulin.
Pada subjek kewarganegaraan Denmark kondisi sehat, adanya latihan fisik memberikan respon terjadinya penurunan efektivitas glukosa. Nilai efektivitas glukosa pada latihan fisik ringan maupun berat pada subjek ini bernilai sama, seperti yang terlihat pada Tabel 2. Hal sebaliknya terjadi pada nilai sensitivitas insulin, pada subjek ini sensitivitas insulin mengalami kenaikan. Kenaikan sensitivitas insulin disini untuk mengimbangi adanya penurunan efektivitas glukosa, artinya penurunan glukosa lebih didominasi oleh bantuan insulin.
Tanpa latihan 0,046095 0,002857 0,9013
Tanpa latihan 0,01 0,0002 0,8764
Latihan berat 0,02 0,0002 0,9300
103
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
9. G. Pacini and R. N. Bergman, “MINMOD: a computer program to calculate insulin sensitivity and pancreatic responsivity from the frequently sampled intravenous glucose tolerance test”, Comput. Methods Programs Biomed, vol.23, no.2, 113–122 (1986).
6. REFERENSI 1. J. B. Møller and H. Madsen, “Model Based Analysis of Ethnic Differences in Type 2 Diabetes”, Technical University of Denmark, Kgs. Lyngby, Denmark, 2012. 2. L. Bennet, L. Groop, and P. W. Franks, “Ethnic differences in the contribution of insulin action and secretion to type 2 diabetes in immigrants from the Middle East compared to native Swedes”, Diabetes Res. Clin. Pract., vol.105, no.1, 79–87 (2014).
10. N. van Riel, “Minimal Models for Glucose and Insulin Kinetics; a Matlab implementation”, Eindhoven Univ. Technol., 1–12 (2004). 11. C. Dalla Man, “Minimal model estimation of glucose absorption and insulin sensitivity from oral test: validation with a tracer method”, AJP Endocrinol. Metab., vol.287, no.4, E637–E643 (2004).
3. P. P. C. Chiang, E. L. Lamoureux, C. Y. Cheung, C. Sabanayagam, W. Wong, E. S. Tai, J. Lee, and T. Y. Wong, “Racial Differences in the Prevalence of Diabetes but Not Diabetic Retinopathy in a Multiethnic Asian Population”, Investig. Opthalmology Vis. Sci., vol.52, no.10, 7586 (2011).
12. C. Cobelli, C. Dalla Man, G. Toffolo, R. Basu, A. Vella, and R. Rizza, “The Oral Minimal Model Method”, Diabetes, vol.63, no.4, 1203–1213 (2014). 13. M. Derouich and A. Boutayeb, “The effect of physical exercise on the dynamics of glucose and insulin”, J. Biomech., vol.35, no.7, 911–917 (2002). 14. A. Kartono, “Modified minimal model for effect of physical exercise on insulin sensitivity and glucose effectiveness in type 2 diabetes and healthy human”, Theory Biosci., vol.132, no.3, 195–206 (2013).
4. P. L. Lutsey, M. A. Pereira, A. G. Bertoni, N. R. Kandula, and D. R. Jacobs, “Interactions Between Race/Ethnicity and Anthropometry in Risk of Incident Diabetes: The Multi-Ethnic Study of Atherosclerosis”, Am. J. Epidemiol., vol.172, no.2, 197–204 (2010). 5. N. Abate and M. Chandalia, “The impact of ethnicity on type 2 diabetes”, J. Diabetes Complications, vol.17, no.1, 39–58, (2003). 6. S. E. Kahn, R. L. Prigeon, D. K. McCulloch, E. J. Boyko, R. N. Bergman, M. W. Schwartz, J. L. Neifing, W. K. Ward, J. C. Beard, J. P. Palmer, and A. Et, “Quantification of the relationship between insulin sensitivity and beta-cell function in human subjects. Evidence for a hyperbolic function”, Diabetes, vol.42, no.11, 1663– 1672 (1993).
15. J. Barrera and C. A. Coello Coello, Test Function Generators for Assessing the Performance of PSO Algorithms in Multimodal Optimization, in Hand Book of Swarm Intelligence, 2011, pp. 89–117. 16. X. Wang and X. Qiu, “Application of Particle Swarm Optimization for Enhanced Cyclic Steam Stimulation in a Offshore Heavy Oil Reservoir”, Int. J. Inf. Technol. Model. Comput., vol.1, no.2, 37–47 (2013). 17. E. A. Kaur and E. M. Kaur, “A Comprehensive Survey of Test Functions for Evaluating the Performance of Particle Swarm Optimization Algorithm”, Int. J. Hybrid Inf. Technol., vol.8, no.5, 97–104 (2015).
7. K. R. Short, J. L. Vittone, M. L. Bigelow, D. N. Proctor, R. A. Rizza, J. M. CoenenSchimke, and K. S. Nair, “Impact of Aerobic Exercise Training on Age-Related Changes in Insulin Sensitivity and Muscle Oxidative Capacity”, Diabetes, vol.52, no.8, 1888–1896 (2003).
18. J. Kennedy and R. Eberhart, “Particle swarm optimization”, in Proceedings of ICNN’95 - International Conference on Neural Networks, vol. 4, 1942–1948 (1995).
8. J. H. Cox, R. N. Cortright, G. L. Dohm, and J. A. Houmard, “Effect of aging on response to exercise training in humans: skeletal muscle GLUT-4 and insulin sensitivity”, J. Appl. Physiol., vol.86, no.6, 2019–2025 (1999).
104
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Kombinasi Cahaya dan Suhu untuk Menonaktifkan Biofilm Bakteri Staphylococcus epidermidis Mokhamad Tirono1),*, Yusro Ahmadiyah1), Suhariningsih2), Retna Apsari2), M. Yasin2) 1
Jurusan Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN MALIKI Malang * email:
[email protected] 2 Jurusan Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga
Abstrak Pada alat medis, implan dan beberapa perangkat lain seringkali ditumbuhi biofilm. Salah satu biofilm yang diketahui menyebabkan infeksi adalah Staphylococcus epidermidis. Biofilm terbukti sangat tahan terhadap beberapa jenis disinfektan antibiotik dan kimia. Sementara itu paparan cahaya dengan intensitas sedang pada biofilm bakteri dibutuhkan waktu yang lama agar terjadi penurunan bakteri yang lebih besar, terutama pada kondisi koeffisien absorbsinya rendah. Kombinasi antara cahaya dan suhu akan membuat penurunan indeksbias bakteri lebih bersar, sehingga peningkatan permeabilitasnya lebih besar. Biofilm bakteri Staphylococcus epidermidis pada penelitian ini ditumbuhkan pada kateter dengan ukuran 1 x 1 cm 2, sedangkan cahaya yang digunakan berasal dari laser diode panjang gelombang 405 nm. Paparan dilakukan pada intensitas 15 mW/cm2, 35 mW/cm2, 60 mW/cm2 dan suhu lingkungan 30oC, 40oC, 50oC, 60oC selama 30 menit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan energi cahaya yang sama paparan dengan suhu yang lebih basar terjadi penurunan jumlah bakteri yang lebih besar. Paparan dengan intensitas cahaya 60 mW/cm2 pada suhu 30oC terjadi penurunan 0,30 log10 sedangkan pada suhu 60oC terjadi penurunan 0,93 log10. Sementara itu paparan dengan suhu yang sama yaitu 60oC dengan intensitas cahaya 35 mW/cm2 terjadi penurunan jumlah bakteri 0,85 log10 dan pada intensitas 60 mW/cm2 terjadi penurunan 0,93 log10. Dengan demikian peningkatan suhu akan memiliki dampak yang lebih besar terhadap penurunan jumlah bakteri dibandingkan dengan peningkatan intensitas cahaya. Kata kunci: bakteri, biofilm, intensitas cahaya, penurunan, suhu
Teknik sterilisasi konvensional yang selama ini dan umum digunakan adalah dengan pemanasan, dimana bahan dipanasi pada suhu antara 121-148oC selama 10 sampai 60 menit [4], sehingga sangat terbatas penggunaannya. Teknik lain yang sedang diteliti adalah memapar dengan cahaya tampak sebagaimana yang dilakukan oleh [5-8].
1. PENDAHULUAN Infeksi nosokomial merupakan permasalahan pada beberapa tahun terakhir dan menjadi topik pembicaraan di berbagai negara. Di beberapa negara maju, angka kejadian infeksi nosokomial telah dijadikan salah satu tolok ukur mutu pelayanan rumah sakit. Di ketahui bahwa satu dari sepuluh pasien rumah sakit terjangkit infeksi nosokomial atau sekitar dua juta pasien setahun [1]. Kondisi ini bisa terjadi akibat pemakaian alat medis yang kurang steril atau beberapa penyebab lain. Oleh karena itu pemakaian alat medis dan implan yang steril sangat dianjurkan dalam menangani pasien di Rumah Sakit.
Teknik penghambatan pertumbuhan bakteri menggunakan cahaya dilakukan akibat adanya sifat molekul yang menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu. Penyerapan cahaya oleh molekul menyebabkan terjadinya eksitasi dari tingkatan energi dasar ke tingkat energi yang lebih tinggi [9,10]. Kondisi eksitasi tidak bertahan lama dan cenderung meluruh ke energi dasar dengan memancarkan cahaya atau panas [10]. Elektron dalam keadaan eksitasi ini dapat meluruh dan terperangkap ke atom lain atau intercrossing [11] sehingga membangkitkan medan listrik muatan ruang dan menyebabkan peningkatan permeabilitas membran plasma.
Biofilm sering terbentuk pada permukaan perangkat medis seperti urin dan vena kateter, implan payudara, dan alat pacu jantung [2]. Kasus infeksi akibat biofilm juga sering terjadi pada sendi buatan, katup jantung prostetik dan kateter [3]. Bahan implan yang ada tidak semuanya tahan terhadap suhu tinggi, sehingga sterilisasi dengan suhu tinggi tidak senantiasa bisa digunakan.
105
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
biofilm pada kateter kemudian dipapari sinar laser sebagaimana terlihat pada Gambar 1. Laser yang digunakan adalah laser diode single mode dengan panjang gelombang 405 nm. Kateter yang sudah dipapari sinar laser selanjutnya dimasukkan ke dalam 10 ml NaCl 0,9% dan divorteks selama 1 menit untuk melepas sel biofilm. Berikutnya dilakukan pengenceran dan diinkubasi selama 24 jam dengan suhu 370C pada cawan petri. Perhitungan jumlah bakteri yang masih aktif dilakukan dengan Colony Counter.
2. KAJIAN LITERATUR Biofilm bakteri Staphylococcus epidermidis mempunyai absorbansi 1,8 pada panjang gelombang 405 nm, sehingga material mungkin bersifat photorefractive. Bahan photorefractive umumnya berperilaku fotokonduktif dan elektro-optik, serta memiliki kemampuan untuk mendeteksi dan menyimpan distribusi spasial intensitas optik dalam bentuk perubahan pola spasial indeks bias [12]. Ketika pola intensitas cahaya tidak seragam mengenai material, maka phothocarrier yang dihasilkan dan didistribusikan menciptakan medan listrik muatan ruang yang mengubah indeks bias local [12]. Secara matematis perubahan indeksbias lokal Δ𝑛(𝑥) memenuhi persamaan [12] 1
∆𝑛(𝑥) = − 2 𝑛3 𝑟𝐸(𝑥)
(1)
Dengan 𝐸(𝑥) =
𝑘𝐵 𝑇 1 𝑑𝐼
(2)
𝑒 𝐼(𝑥) 𝑑𝑥
Dimana r disebut koefisien Pockels kB adalah konstanta Boltzman, T adalah suhu mutlak, I(x) adalah intensitas cahaya pada 𝑑𝐼 kedalaman x, e adalah muatan elektron, dan 𝑑𝑥 adalah perubahan intensitas cahaya akibat ketebalan.
GAMBAR 1. Susunan alat paparan sinar laser pada biofilm
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Persamaan 2 mengungkapkan penurunan jumlah bakteri penyusun biofilm akibat paparan cahaya dan perubahan suhu. Bilamana C = 0,83 , r = 7.25 x 10-8 m/V, 𝜎𝑑 − 𝜎𝑖 = 0,26 mho, dan k = 1,25, e = 1,6 . 10-19C, kB = 1,38 x 10-23 J/K, T = 303oK, dan x = 3 x 10-6 m diperoleh grafik hubungan antara intensitas atau suhu dengan persentase derajad penurunan jumlah bakteri penyusun biofilm sebagaimana Gambar 2.
Akibat perubahan indeksbias, maka terjadi peningkatan permeabilitas membran plasma yang akhirnya terjadi peningkatan aliran air dan ion melalui membran plasma [13]. Peningkatan aliran air dan ion akan meningkatkan konduktivitas membran dan akhirnya menonaktifkan bakteri [14]. Secara matematis kematian bakteri penyusun biofilm diungkapkan sebagai 𝑃 (%) ≈ (
𝑒 𝐼(𝑥)𝑑𝑥
(𝜎𝑑 −𝜎𝑖 )
)
72 70
× 100%
Penurunan Jumlah Bakteri (%)
1⁄ 𝑘 𝑇 1 𝑑𝐼 𝑘 𝐶 (𝑟 𝐵 )
(3)
Dimana C adalah tetapan yang tergantung pada jenis bakteri 𝜎𝑑 , dan 𝜎𝑖 berturut-turut adalah konduktivitas sel rusak, dan sel baik.
68 66 64 62 60 58 56 54 52 30
3. METODE PENELITIAN
35
40
45 Suhu (oC
(a)
Pembuatan biofilm dilakukan dengan memasukkan kateter steril berukuran 1 cm2 ke dalam 50 ml media NB yang sudah ditumbuhi bakteri staphylococcus epidermidis, kemudian media tersebut digoyang dengan kecepatan 120 rpm suhu 370C selama 6 hari. Setelah terbentuk
106
50
55
60
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
90
-0,1 85
Penurunan jumlah bakteri (log10)
Penurunan Jumlah Bakteri (%)
-0,2 80 75 70 65 60 55 50
0
10
20 30 40 Intensitas Cahaya (mW/cm2)
50
60
Intensitas 0 mW/cm2 Intensitas 15 mW/cm2 Intensitas 35 mW/cm2 Intensitas 60 mW/cm2
-0,3 -0,4 -0,5 -0,6 -0,7 -0,8 -0,9 -1,0 30
35
40
(b)
50
55
60
(b)
GAMBAR 2. (a) Grafik hubungan antara suhu lingkungan dengan penurunan jumlah bakteri pada intensitas cahaya 60 mW/cm2, (b) Grafik hubungan antara intensitas cahaya dengan penurunan jumlah bakteri pada suhu 40oC
GAMBAR 3. Grafik hubungan antara suhu dengan penurunan jumlah bakteri (a) dalam persen, (b) dalam log10
Paparan cahaya pada biofilm bakteri Staphylococcus epidermidis dilakukan selama 30 menit. Paparan dilakukan dengan merubah suhu lingkungan dari 30oC sampai 60oC dan intensitas cahaya 0-60 mW/cm2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa paparan dengan intensitas cahaya 60 mW/cm2 terjadi penurunan 50,22% atau -0,3 log10 pada suhu lingkungan 30oC dan 88,31% atau -0,93 log10 pada suhu lingkungan 60oC. Penurunan jumlah bakteri penyusun biofilm akibat perubahan suhu terlihat pada Gambar 3. Penurunan bakteri akibat perubahan intensitas cahaya menunjukkan bahwa paparan dengan suhu 60oC terjadi penurunan 75,32 % atau -0,61 log10 tanpa dipapari cahaya dan 88,31% atau -0,93 log10 jika dipapar cahaya dengan intensitas 60 mW/cm2. Penurunan jumlah bakteri penyusun biofilm akibat perubahan intensitas cahaya terlihat pada Gambar 4.
Persentase penurunan bakteri (%)
90
80
70
Suhu 30oC Suhu 40oC Suhu 50oC Suhu 60oC
60
50
40
30 0
10
20
30
40
50
60
Intensitas Cahaya (mW/cm2)
(a) -0,1
Penurunan jumlah bakteri (log10)
-0,2
90
Penurunan jumlah bakteri (log10)
45
Suhu (oC)
-0,3 Suhu 30oC Suhu 40oC Suhu 50oC Suhu 60oC
-0,4 -0,5 -0,6 -0,7 -0,8 -0,9 -1,0
80
0
10
20
30
40
50
60
Intensitas Cahaya (mW/cm2)
70
(b)
60 50
GAMBAR 4. Grafik hubungan antara intensitas cahaya dengan penurunan jumlah bakteri (a) dalam persen, (b) dalam log10
Intensitas 0 mW/cm2 Intensitas 15 mW/cm2 Intensitas 35 mW/cm2 Intensitas 60 mW/cm2
40 30 30
35
40
45
50
55
Dari grafik Gambar 3 dan 4 menunjukkan bahwa perubahan suhu memiliki dampak yang lebih besar bilamana dibandingkan dengan perubahan intensitas cahaya. Kondisi ini terjadi, karena dengan penambahan suhu, maka memungkinkan terjadinya heat shock destabilizes pada membran plasma [15].
60
Suhu (oC)
(a)
107
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Kondisi heat shock destabilizes terjadi pada suhu 40, 50, dan 60oC, sedangkan untuk suhu 30oC tidak terjadi, karena pertumbuhan optimum biofilm Staphylococcus epidermidis terjadi pada suhu 37oC [16].
Drug Delivery Systems,” Advanced Drug Delivery Reviews 57, 1539–1550 (2005). 4. Patel M., Medical Sterilization Methods – White Paper, Lemo Usa, Inc., 2003. 5. Maclean M., MacGregor S. J., Anderson J. G., dan Woolsey G., “Inactivation of Bacterial Pathogens following Exposure to Light from a 405-Nanometer Light-Emitting Diode Array,” Applied and Environmental Microbiology, 1932–1937, (2009). 6. Omar G. S. M., Killing of Organisms Responsible for Wound Infections Using a Light-Activated Antimicrobial Agent, Division of Microbial Diseases UCL Eastman Dental Institute University College London, 2010.
Penambahan intensitas cahaya tidak terlalu signifikan untuk menambah jumlah penurunan bakteri penyusun biofilm. Kondisi ini terjadi karena kuat medan listrik muatan ruang yang dihasilkan belum mencapai kondisi ambang elektroporasi sel bakteri [17]. Dari persamaan (2) , bilamana intensitas cahaya yang masuk biofilm 60 mW/cm2 dan tidak ada cahaya yang hilang, maka medan listrik muatan ruang yang dihasilkan 1,67 kV/cm pada tebal biofilm 1 m dan suhu 30oC. Namun demikian ketika suhu sampel 60oC, maka medan listrik muatan ruang yang dihasilkan 1,84 kV/cm. Medan listrik muatan ruang yang dihasilkan belum mencukupi untuk mencapai fenomena elektroporasi, sehingga penurunan jumlah bakteri yang terjadi 88,31% atau -0,93 log10 untuk lama paparan 30 menit.
7. De Lucca A. J., Carter-Wientjes C., Williams K.A., dan Bhatnagar D., “Blue light (470 nm) effectively inhibits bacterial and fungal growth,” Letters in Applied Microbiology 55, 460 – 466 (2012). 8. Montgomery N. L., dan Banerjee P., “Inactivation of Escherichia coli O157:H7 and Listeria monocytogenes in biofilms by pulsed ultraviolet light,” BMC Research Notes, (2015). 9. Castano AP., Demidova TN., Hamblin MR., “Mechanisms in Photodynamic Therapy: Part One – Photosensitizers, Photochemistry and Cellular Localization,” Photodiagnosis and Photodynamic Therapy 1, 279 – 293 (2004).
5. KESIMPULAN Sterilisasi bakteri Staphylococcus epidermidis penyusun biofilm diperlukan waktu yang cukup lama apabila menggunakan cahaya dengan panjang gelombang 405 nm. Paparan dalam waktu 30 menit menggunakan intensitas cahaya 60 mW/cm2 dan suhu 60oC terjadi penurunan jumlah bakteri 88,31% atau -0,93 log10. Hal ini terjadi, karena absorbansi yang dimiliki kurang cukup untuk dapat membangkitkan medan listrik muatan ruang yang dapat mencapai kondisi ambang elektroporasi.
10. Plaetzer K., Krammer B., Berlanda J., Berr F., Kiesslich T., “Photophysics and Photochemistry of Photodynamic Therapy: Fundamental Aspects”, Lasers Med Sci 24, 259 – 268 (2009). 11. Calzavara-Pinton P.G., Venturini M., Sala R., “Photodynamic Therapy: Update 2006. Part 1: Photochemistry and photobiology”, J Eur Acad Dermatol Venereol 21, 293 – 302 (2007).
6. REFERENSI 1. Drummond, M., Missouri Nosocomial Infection Reporting Data: Report to the Governor and General Assembly for 2007, 2007.
12. Saleh B. E. A., Teich M.C., Fundamentals of Photonics, Hoboken New Jersey, Canada: John Wiley & Sons, Inc., 2007. 13. Kakorin S, dan Neumann E., “Electrooptical relaxation spectrometry of membrane electroporation in lipid vesicles”, A: Physicochemical and Engineering Aspects 209, (2002).
2. Lazar V, Chifiriuc, M., “Medical Significance and New Therapeutical Strategies for Biofilm Associated Infections.” Roum Arch Microbiol Immunol, (2010). 3. Smith A. W., “Biofilms and Antibiotic Therapy: Is There a Role for Combating Bacterial Resistance by The Use of Novel
108
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
14. Pagan R., dan Mackey B., “Relationship between Membrane Damage and Cell Death in Pressure-Treated Escherichia coli Cells: Differences between Exponential- and Stationary-Phase Cells and Variation among Strains”, Applied and Environmental Microbiology, (2000).
16. Holá V., Růžička F., Votava M., “The dynamics of Staphylococcus epidermidis biofilm formation in relation to nutrition, temperature, and time”, Scripta Medica (Brno) 79(3), 169 – 174 (2006).
15. Brooke R., Hopkins J., Laflamme E., dan Wark P., “Effects of Temperature-Induced Changes in Membrane Composition on Transformation Efficiency in E. coli DH5α”, Journal of Experimental
17. Wang Z., Electromagnetic Field Interaction with Biological Tissues and Cells, School of Electronic Engineering and Computer Science, Queen Mary, University of London, 2009.
Microbiology and Immunology (JEMI), (2009).
109
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Physical Analysis of Biofilters Composite Cigarette Smoke Made Date Palm Seed and Pomegranate Leaf to Catch Free Radicals (Of Effort Improve the Quality of Cigarette Smoke) Agus Mulyono*, Ahmad Abtokhi, Lilik Harianie, Bilqis, Ririn, Muthmainnah, Umaiyatus FSAINTEK UIN MALIKI MALANG * email:
[email protected]
Abstrak Radikal Bebas dari asap rokok merupakan bagian berbahaya yang perlu dicarikan cara untuk menangkalnya. Tujuan dari penelitian ini adalah membuat membran Biofilter Komposit berbahan kurma dan delima untuk menangkal/menangkap radikal bebas asap rokok. Membran biofilter ini dibuat dengan bahan biji kurma dan delima di tambah dengan polietilen glikol dan atau putih telur sebagai matriknya. Membran biofilter kemudian dilihat karakter fisisnya yaitu diuji kerapatan dan porositasnya menggunakan SEM. Selanjutnya membran biofilter digunakan untuk menyaring asap rokok. Asap rokok yang melewati biofilter kemudian dianalisis kandungan radikal bebasnya dengan menggunakan ESR. Hasil Penelitian menunjukkan Biofilter berbahan biji kurma dan delima mampu menyerap beberapa jenis dugaan radikal bebas pada asap rokok. Penggunaan PEG sebagai matriks lebih baik dalam penyerapan radikal bebas dibandingkan dengan penggunaan putih telur sebagai matriks, namun biofilter yang dihasilkan lebih kuat pada penggunaan putih telur sebagai matriks jika dibandingkan dengan penggunaan PEG sebagai matriks. Biofilter menggunakan PEG sebagai matriks dengan massa 0.9 gr paling efektif menyerap dugaan jenis radikal bebas. Biofilter menggunakan putih telur sebagai matriks dengan massa 0.9 gr juga paling efektif menyerap beberapa jenis dugaan radikal bebas asap rokok (kretek). Uji SEM menunjukkan rata-rata ukuran pori-pori 3-4 µm untuk massa 0.9 gr dengan putih telur sebagai matriks. Kata kunci: membran komposit, biofilter, asap rokok, kurma, delima.
Abstract The free radical from cigarette smoke was a dangerous part which is need to find a way to block it. The purpose of this research was to make a membrane composite biofilter which was made from pomegranate and date palm to ward off and catch the free radical cigarette smoke. The biofilter membrane material is made with pomegranate and date palm seeds with addition a polyethylene glycol and white of eggs as its matrics. The density and the porosity of biofilter membrane would be testing. The membrane biofilter used to filter the cigarettes smoke. Free radical of cigarette smoke that passes biofilter would be analyzed with ESR. The results of this research showed that biofilter which is made from pomegranate and date palm seeds was capable for absorbing some of free radicals in cigarette smoke. PEG as a matrix for absorption of free radical is better than white of egg, but biofilter production was more powerful on the use of white of eggs than PEG as a matrix. PEG as a matrix on biofilter with mass the 0.9 gr is the most effective for absorbing the free radicals. White of egg as a matrix of biofilter with the mass 0.9 gr also the most effective for absorbing some of free radical (clove cigarette smoke). The result of SEM testing showed that using white of egg as a matrix produced average size pores 3-4 µm for a mass 0.9 gr. Key words: composit membrane, biofilter, cigarette smoke, date palm, pomegranate
pro-kontra atau kontestasi yang tidak pernah selesai.
1. PENDAHULUAN Fenomena isu rokok dalam beberapa tahun belakangan ini memang sedang hangat untuk diperbincangkan, bahkan rokok telah menjadi bagian dari isu politik, sosial, budaya, kesehatan, dan bahkan hubungan antar negara di dunia. Banyaknya faktor kepentingan yang berperan menjadikan isu rokok menimbulkan
Merokok merupakan sebuah tradisi turuntemurun bagi sebagian besar masyarakat di Indonesia dan di negara-negara berkembang lainnya. Kebiasaan merokok masyarakat Indonesia yang dilakukan di tempat terbuka terbukti mampu memberikan suatu dorongan
110
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
ketertarikan seseorang yang tidak merokok atau belum merokok untuk mencoba kenikmatan suatu rokok. Bahkan saat ini, merokok sudah dianggap sebagai suatu sarana penyambung dalam pergaulan. Kebiasaan merokok sambil berbincang-bincang dengan teman, saudara atau keluarga sudah seakan menjadi tradisi sebagian masyarakat yang sulit ditinggalkan [1].
pohonnya berbuah dan (perhatikan pulalah) kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman”. (QS. Al-An’am: 99). Merujuk pada beberapa keterangan di dalam al-Qur’an bahwa apa yang telah diturunkan oleh Allah swt, adalah untuk dimanfaatkan oleh manusia dalam rangka meningkatkan kualitas hidupnya. Artinya bahwa tembakau sebagai bahan dasar juga merupakan anugerah bahwa hasil karya Allah swt tidak pernah sia-sia apabila dimanfaatkan secara bertanggung jawab dan tidak akan pernah merugikan umat manusia. Seperti firman-Nya dalam QS. ali-’Imran : 191.
Beberapa paradigma yang melekat pada masyarakat sering di alamatkan kepada rokok mulai dari penyebab penyakit degeneratif seperti jantung, paru-paru, dan kelainan pada janin, selain itu juga penyebab penyakit pernafasan, penyebab kantong kering, penyebab kenakalan remaja dan awal mula pembelajaran menjajal narkoba namun ada pula yang memujinya seperti teman sejati, teman setia di kala sepi, teman yang bisa di ajak berpacu untuk berfikir.
. ار َ َ… َربَّنَا َما َخلَ ْقتَ ٰه َ َذا ٰبَ ِط ًًل ُس ْب ٰ َحن َ ك فَ ِقنَا َع َذ ِ َّاب ٱلن ”...Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (Q.S ali-’Imran: 191).
Pada dasarnya pemanfaatan bahan alam sangat tergantung pada pengetahuan manusia terhadap bahan alam itu sendiri. Penggunaannya sebagai obat atau racun sangat tergantung pada kedalaman komprehensivitas pengetahuan yang ada.
Dari ayat di atas, makna dari kata بطًل sendiri sebenarnya adalah yang akan hilang atau yang akan pergi. Manshubnya kata ini dikarenakan ia sebagai sifat dari mashdar yang tidak disebutkan, yaitu ماخلقت هدا (خلقا) بطًل yang artinya ”Engkau tidak akan menciptakan semua ini sebagai ciptaan yang sia-sia”. Dalam tafsir ath-Thabari, Allah berfirman ماخلقت هدا (خلقا) بطل, tidak berfirman, ماخلقت هده atau menggunakan lafadz هؤالء, karena yang dimaksud dengan lafadz هداadalah الخلق الدى فى السموات واالرضyakni penciptaan yang ada di langit dan di bumi [2].
Dalam Al-Qur’an secara spesifik menyebut beberapa tanaman diantaranya kurma dan delima. Ini menunjukkan ada seseuatu yang istimewa pada tanaman tersebut. َوهُ َو ال َّ ِذي أَ ْن َز َل مِنَ ال َّس َما ِء َما ًء فَأ َ ْخ َرجْ نَا ِب ِه نَبَاتَ ُك ِّل ش َْي ٍء َضرًا نُ ْخ ِر ُج ِم ْنهُ َحبًا ُمتَ َرا ِكبًا َومِنَ النَّ ْخ ِل ِم ْن ِ فَأ َ ْخ َرجْ نَا ِم ْنهُ خ َب َوال َّز ْيتُونَ َوالرُّ َّمان ٍ طَ ْل ِعهَا قِ ْن َوانٌ دَانِيَةٌ َو َجنَّاتٍ ِم ْن أَ ْعن َا
Al-Qarni dalam tafsirnya menjelaskan bahwa Allah swt tidak menciptakan semua ini dengan sia-sia, bahkan memberikan manfaat, hikmah dan kekuasaan yang mahasuci dari segala tandingan ataupun lawan [3]. Begitu juga Abu Ja’far dalam tafsirnya ath-Thabari memaknai bahwa Allah swt tidak menciptakan penciptaan ini dengan sia-sia dan senda gurau, dan Allah swt tidak menciptakannya kecuali karena perkara besar, yakni pahala, siksa, perhitungan, dan pembalasan [2]. Sebagian ulama menghukumi halal karena memandang bahwasanya tembakau tidaklah memabukkan, dan hakikatnya bukanlah benda yang memabukkan, disamping itu juga tidak
ُم ْشتَ ِبهًا َو َغ ْي َر ُمتَشَا ِب ٍه ۗ ا ْنظُرُوا إِلَىٰ ثَ َم ِر ِه إِ َذا أَ ْث َم َر َويَ ْن ِع ِه ۚ ِإنَّ فِي . َت ِلقَوْ ٍم ي ُْؤ ِمنُون ٍ ٰ َذ ِل ُك ْم ََليَا “Dan Dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan Maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau. Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak; dan dari mayang korma mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebunkebun anggur, dan (Kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak serupa. Perhatikanlah buahnya di waktu
111
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
membawa mudarat bagi setiap orang yang mengkonsumsinya.
menghasilkan rokok dengan karateristik yang lebih baik. Kitin-kitosan mampu menurunkan tar, nikotin serta komponen asam yang ada pada asap rokok.
Hasil Penelitian Dr. Gretha dan Prof. Sutiman tentang Divine Kretek juga menyimpulkan bahwa rokok yang berpotensi sebagai penyebab kanker juga mempunyai potensi sebagai obat setelah menggunakan filter khusus (filter dengan tambahan scavenger). Peran aktif scavenger pada divine kretek mentransformasi asap rokok yang mengandung materi berbahaya dan radikal bebas menjadi tidak berbahaya bagi kesehatan [4].
Penelitian penggunaan biofilter untuk menangkap radikal bebas telah dilakukan oleh penulis, antara lain penggunakan biofilter berbahan kopi yang terbukti mampu menangkap radikal bebas secara efektif, penggunaan biofilter berbahan tembakau juga terbukti mampu menangkap radikal bebas, juga penggunaan biofilter berbahan cengkeh dan daun kelor.
Menurut Gretha (2011), rokok yang paling berbahaya ada radikal bebasnya. Radikal bebas adalah molekul yang kehilangan satu buah elektron dari pasangan elektron bebasnya, atau merupakan hasil pemisahan homolitik suatu ikatan kovalen. Elektron memerlukan pasangan untuk menyeimbangkan nilai spinnya, sehingga molekul radikal menjadi tidak stabil dan mudah sekali bereaksi dengan molekul lain, membentuk radikal baru. Radikal bebas dapat dihasilkan dari hasil metabolisme tubuh dan faktor eksternal seperti asap rokok, hasil penyinaran ultraviolet, zat pemicu radikal dalam makanan dan polutan lain. Penyakit yang disebabkan oleh radikal bebas bersifat kronis, yaitu dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk penyakit tersebut menjadi nyata. Contoh penyakit yang sering dihubungkan dengan radikal bebas adalah serangan jantung, kanker, katarak dan menurunnya fungsi ginjal. Untuk mencegah atau mengurangi penyakit kronis karena radikal bebas diperlukan antioksidan.
Buah kurma, biji kurma dan Delima mempunyai kandungan antioksidan yang tinggi, sehingga dapat digunakan untuk menjadi bahan pembuatan biofilter untuk menangkap radikal bebas pada asap rokok. Pada penelitian ini, akan digunakan salah satu bahan tanaman yang disebut dalam AlQur’an yaitu kurma dan delima sebagai bahan pembuatan membran komposit biofilter untuk menangkal radikal bebas pada asap rokok. 2. METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Pembuatan Biofilter
Antioksidan atau peredam radikal bebas adalah suatu senyawa yang dapat melindungi sistem biologis terhadap efek yang merusak dari suatu proses atau reaksi yang dapat menyebabkan oksidasi berlebih. Antioksidan juga merupakan senyawa yang dapat menghambat oksigen reaktif dan radikal bebas dalam tubuh. Senyawa antioksidan ini akan menyerahkan satu atau lebih elektron kepada radikal bebas sehingga menjadi bentuk molekul yang normal kembali dan menghentikan berbagai kerusakan yang ditimbulkan [5].
GAMBAR 1. Skema alur proses pembuatan biofilter
Hasil penelitian pada filter rokok kretek yang ditambahkan kitosan menunjukkan adanya perbedaan dengan rokok filter komersial. Penambahan kitin-kitosan
112
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
sebagai wadah pengukuran. Pipet tes terbukti tidak mempengaruhi hasil resonansi.
Perlakuan
Analisis Data Analisis data dilakukan melalui perhitungan dari perolehan pengukuran rokok kretek yang ditambah dengan biofilter berbahan komposit serbuk biji kurma dan daun delima. Proses perhitungan ini menggunakan persamaan:
B = µ0 (4/5)3/2 I ; hf = g µB B g = GAMBAR 2. Skema alur proses penelitian
g=
(1)
Hasil perhitungan nilai faktor g yang didapatkan kemudian dibandingkan dengan tabel nilai faktor g pada literatur untuk menentukan jenis radikal bebas pada asap rokok. Kemudian hasil penyerapan asap rokok pada biofilter komposit difoto dengan set peralatan Scanning Electron Microscope (SEM). Data yang diperoleh dari Scanning Electron Microscope (SEM) berupa foto kerapatan dan porositas komposit dari masingmasing variasi. Pengujian kerapatan dan porositas pada biofilter juga dilakukan menggunakan perumusan:
GAMBAR 3. Sampel biofilter
Pengambilan Data dan Pengukuran Sampel Proses pengambilan data dilakukan dengan membakar rokok kretek dan diberikan biofilter yang telah dibuat kemudian dihubungkan dengan pipet dan penghisap. Penghisapan dilakukan secara berkala hingga asap mengalir. Setelah itu sampel dalam tabung/pipet yang terletak di tengah-tengah kumparan dimana kumparan yang dipilih adalah kumparan yang sesuai jangkauan frekuensinya dengan sampel, seperti ESR yang memiliki jangkauan f yang berbeda-beda.
Kerapatan (ρ) = (%) =
x
;
Porositas
x 100%
(2)
Data yang diperoleh melalui perhitungan B (medan magnet) sehingga didapatkan nilai faktor g dari asap rokok kretek yang telah terfilter dengan biofilter komposit dibandingkan dengan faktor g dari teori yang tanpa dilakukan pemfilteran agar diketahui jenis radikal bebas tersebut dan apakah radikal bebas pada rokok kretek mengalami pengurangan atau tidak. Sedangkan perolehan data dari perhitungan kerapatan dan porositas komposit dari masing-masing variasi dianalisis dan dibahas faktor-faktor yang berpengaruh di dalamnya.
Pengamatan dilakukan pada kurva hasil bentukan oleh osciloskop. Apakah muncul hasil resonansi berbentuk cekungan ,diamati dan direkam data kurvanya pada osciloskop dan dicatat f dan I sambil terus melakukan penghisapan agar asap tetap berada pada pipet pengukuran. Dimana pengubahan dilakukan untuk nilai f saja. Pada saat proses pengukuran, pipet pengukuran ESR diganti dengan pipet tetes
113
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Data Hasil Karakterisasi Biofilter
Bagian Pengujian penyerapan radikal bebas pada asap rokok ini menggunakan ESR (Electron Spin Resonance) Leybold Heracus, memberikan hasil sebagai berikut:
Pengujian karakterisasi biofilter untuk mendapatkan hasil dari porositas dan kerapatan. Pada pengujian (porositas) ini menggunakan SEM (Scanning Electron Microscope), di dapatkan hasil sebagai berikut:
TABEL 1. Jenis dugaan radikal bebas asap rokok kretek
No.
Jenis Radikal Bebas Asap Rokok Kretek
1.
Hidroperoksida
2.
CO₂⁻
3.
C
4.
Peroxy
5.
O₂⁻
6.
CuOx
7.
CuGeO₃ GAMBAR 4. Hasil foto SEM 0.2 + 0.7g serbuk biji kurma dan serbuk daun delima dengan matriks PEG pada perbesaran 1000 kali
TABEL 2. Hasil pengujian radikal bebas pada biofilter serbuk biji kurma dan serbuk daun delima sebagai filler dan PEG sebagai matriks
Pada pengujian kerapatan biofilter diukur massa dan volume dan selanjutnya di hitung nilai kerapatan (ρ), diperoleh data sebagai berikut:
Jenis Radikal Bebas Uji
I
II
III
Massa
Biofilter
O₂⁻ Hidroperoxida
CO₂⁻
C
CuOx
CuGeO₃
Peroxy
0.7
v
V
0.8
V
V
0.9
V
1
V
V
0.7
V
V
0.8
V
V
0.9
V
1
V
V
0.7
V
V
0.8
V
V
0.9
V
1
V
TABEL 4. Kerapatan pada Biofilter dengan PEG sebagai Matriks
V
TABEL 3. Hasil Pengujian Radikal Bebas pada Biofilter serbuk biji kurma dan serbuk daun delima sebagai Filler dan Putih telur sebagai Matriks Uji
0.7 I
O₂⁻ Hidroperoxida
CO₂⁻
C
V
0.8
V
V
0.9
V V
V
V
V
0.8
V
V
0.9
V
V
1
V
V
V
V
0.8
V
V
0.9
V
1
V
0.7 III
v (cm3)
ρ (g/cm3)
0.7
1.03
0.992
1.038
0.8
1.05
1.035
1.014
0.9
1.10
1.045
1.053
1
1.10
1.046
1.051
CuGeO₃
V
1
II
CuOx
TABEL 5. Kerapatan pada Biofilter dengan putih telur sebagai Matriks
Peroxy
V
0.7
m (g)
Jenis Radikal Bebas
Massa Biofilter
Membran (g)
V
V
114
Membran (g)
m (g)
v (cm3)
ρ (g/cm3)
0.7
0.44
0.560
0.786
0.8
0.47
0.567
0.828
0.9
0.5
0.570
0.877
1
0.56
0.580
0.965
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Pada pengujian porositas biofilter diukur massa kering, massa basah dan volume dan selanjutnya di hitung nilai porositas (%), diperoleh data sebagai berikut:
mampu menyerap radikal bebas jenis Hidroperoxida, CO2-, C, Peroxy, O2-, CuGeO3. Karakterisasi biofilter menggunakan SEM (Scanning Electron Microscopy) dengan pembesaran 1000x dan 5000x pada biofilter serbuk biji kurma dan daun delima menunjukkan rata-rata ukuran pori-pori sebesar 3-4 µm. Sedangkan Jari-jari radikal bebas rata-rata memiliki ukuran nm [6] Sehingga penyerapan radikal bebas pada asap rokok kretek tidak dipengaruhi oleh pori-pori biofilter, namun dipengaruhi oleh kandungan filler pada komposit biofilter tersebut.
TABEL 6. Nilai porositas pada biofilter dengan PEG sebagai Matriks Membran (g)
Massa Kering (g)
Massa Basah (g)
Volume (ml)
Porositas (%)
0.7
1.03
1.10
0.992
7.056
0.8
1.05
1.14
1.035
8.695
0.9
1.10
1.21
1.045
10.526
1
1.10
1.25
1.046
14.340
Penyerapan radikal bebas asap rokok ini dipengaruhi oleh komposisi sebuah komposit yang tepat. Biji kurma dan daun delima sebagai filler yang memiliki kandungan antioksidan yang tinggi sehingga mampu mempengaruhi penyerapan radikal bebas pada asap rokok kretek.
TABEL 7. Nilai Porositas pada biofilter dengan putih telur sebagai Matriks Membran (g)
Massa Kering (g) Massa Basah (g)
Hasil penelitian di atas adalah menggunakan komposisi daun delima yang lebih banyak. Ketika penelitian ini kemudian dilanjutkan dengan komposis biji kurma yang lebih banyak (mencontoh proporsi tanaman kurma dan delima yang disebutkan dalam Al Qur’an) maka hasilnya sangat berbeda.
Volume (ml) Porositas (%)
0.7 0.44
0.78
0.678
50.147
0.47
0.90
0.680
63.235
0.5
0.99
0.688
71.221
0.8
0.9
TABEL 8. Hasil Pengujian Radikal Bebas pada Biofilter serbuk Biji Kurma (BK) dan serbuk Daun Delima (DD) sebagai Filler dan PEG sebagai Matriks
1 0.52
1.05
0.690
76.811
Jenis Radikal Bebas Uji
Pada rokok kretek dengan biofilter menunjukkan dugaan radikal bebas pada asap rokok kretek mampu menyerap beberapa jenis radikal bebas. Pada biofilter serbuk biji kurma dan daun delima dan PEG dengan massa 0.7 gr mampu menyerap radikal bebas jenis Hidroperoxida, CO2-, C, Peroxy, O2-, begitu juga dengan massa serbuk kurma dan daun delima 0.8 g, dan 1 g, berbeda pada massa serbuk biji kurma dan daun delima 0.9 g mampu menyerap radikal bebas jenis Hidroperoxida, CO2-, C, Peroxy, O2-, CuGeO3.
I
II
III
Massa filler
O₂⁻ Hidroper oxida
CO₂⁻ C
0.9 BK + 0.1 DD -
-
-
0.8 BK + 0.2 DD -
-
-
0.7 BK + 0.3 DD -
-
-
0.9 BK + 0.1 DD -
-
-
0.8 BK + 0.2 DD -
-
-
0.7 BK + 0.3 DD -
-
-
0.9 BK + 0.1 DD -
-
-
0.8 BK + 0.2 DD -
-
-
0.7 BK + 0.3 DD -
-
-
CuOx
CuGeO₃
Peroxy
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Dari data di atas tampak bahwa semua radikal bebas asap rokok dapat efektif tertangkap oleh biofilter dengan komposisi serbuk biji kurma yang lebih banyak. Ini menunjukkan bahwa penyebutan kata kurma sebanyak 21 kali dalam Al-Qur’an dan kata delima yang hanya disebutkan sebanyak 3 kali
Pada biofilter serbuk biji kurma dan daun delima dan putih telur dengan massa 0.7 g mampu menyerap radikal bebas jenis Hidroperoxida, CO2-, C, O2-, peroxy dan pada massa 0.8 g dan 1 gr mampu menyerap radikal bebas jenis Hidroperoxida, CO2-, C, Peroxy, O2-, sedangkan pada massa 0.9 g
115
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
bukan suatu kebetulan tetapi memberi makna yang sangat luar biasa.
kretek. Pembuatan biofilter serbuk biji kurma dan daun delima dengan massa 0.9 g lebih mampu menyerap radikal bebas pada asap rokok kretek dibandingkan dengan variasi massa yang lain (0.7 g, 0.8 g, 1 g). Begitu juga pada biofilter serbuk biji kurma dan daun delima dan putih telur dengan massa 0.9 g lebih mampu menyerap radikal bebas pada asap rokok kretek dibandingkan dengan variasi massa yang lain. 5. REFERENSI 1. Armstrong, Sue, Pengaruh Rokok Terhadap Kesehatan, Jakarta: Arcan, 1991. 2. Abu Ja’far Muhammad bin Jarir AthThabari, Tafsir Ath-Thabari, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008. 3. Aidh Al-Qarni, Tafsir Muyassar, Jakarta: Qisthi Press, 2007.
GAMBAR 5. Hasil foto SEM biofilter berbahan 0.9 serbuk Biji Kurma dan 0.1 serbuk Daun Delima dengan matriks PEG pada perbesaran 1000 kali
4. Zahar, Gretha., Sumitro, Sutiman Bambang, “Divine Kretek Rokok Sehat”, Masyarakat Bangga Produk Indonesia (MBPI), 2011.
4. KESIMPULAN 1. Kesimpulan Biofilter berbahan serbuk biji kurma dan daun delima mampu menyerap beberapa jenis dugaan radikal bebas pada asap rokok.
5. Dalimarta S. dan Soedibyo M., “Awet Muda dengan Tumbuhan Obat dan Diet Suplemen”, Trubus Agriwidya, Jakarta, 1-9 (1999).
2. Penyerapan radikal bebas asap rokok ini dipengaruhi oleh variasi komposisi biofilter komposit. Serbuk biji kurma dan daun delima sebagai filler yang memiliki kandungan antioksidan juga mempengaruhi penyerapan radikal bebas pada asap rokok
6. Callister, W., An Introduction Materials Science and Engineering, USA: John Wiley & Sons, 2007.
116
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Pengaruh Lama Penyimpanan Data Rekaman TLD LiF Terhadap Dosis Radiasi Standar 0,1 mSv dan 3 mSv dari Cs-137 Herlita, Bualkar Abdullah1) dan Bannu Jurusan Fisika, FMIPA Universitas Hasanuddin 1 email:
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menentukan pengaruh lama penyimpanan data rekaman TLD LiF: Mg,Cu,P (700H) terhadap dosis radiasi standar 0,1 mSv dan 3 mSv dari sumber radiasi Cs-137 dengan variasi waktu penyimpanan 1 hari, 14 hari, 21 hari dan 24 hari. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa untuk 0,1 mSv diperoleh masing-masing 0,112 mSv untuk penyimpanan 1 hari; 0,107 mSv untuk 14 hari; 0,091 untuk 21 hari dan 0,082 untuk 24 hari. Sedangkan untuk dosis 3 mSv diperoleh masing-masing 2,993 mSv; 2,861 mSv; 2,713 mSv dan 2,529 mSv. Dari hasil evaluasi TLD, respon TLD yang dievaluasi setelah disimpan selama 1 hari belum mengalami pemudaran, respon TLD yang dievaluasi setelah disimpan selama 14 hari mengalami pemudaran sebesar 0,3%, respon TLD yang dievaluasi setelah disimpan selama 21 hari seebesar 1%, dan respon TLD yang dievaluasi setelah disimpan selama 24 hari mengalami pemudaran sebesar 5%. Kata kunci: Respon TLD, TLD LiF:Mg,Cu,P, Sumber Cs-137, Pemudaran TLD. evaluasi dosis dapat dilakukan lebih cepat dari dosimeter lainnya, mampu memantau radiasi dengan rentang dosis dari rendah hingga tinggi, dapat dipakai ulang dan tidak peka terhadap faktor-faktor lingkungan. Namun demikian, TLD juga mempunyai kelemahan yaitu data dosis langsung hilang setelah proses pembacaan, sehingga tidak bisa dilakukan pembacaan ulang apabila terdapat hal-hal yang meragukan [3].
1. PENDAHULUAN Peristiwa penyerapan energi yang diikuti dengan pancaran cahaya disebut luminisensi. Ada dua peristiwa luminisensi, yaitu fluorisensi dan fosforisensi. Peristiwa luminisensi dengan bantuan energi panas dari luar disebut termoluminisensi. Proses termoluminisensi didefinisikan sebagai pancaran cahaya dari suatu benda padat sebagai akibat proses eksitasi yang disebabkan oleh radiasi pengion [1].
Bahan yang paling banyak dan paling murah digunakan untuk pembuatan TLD adalah litium fluoride (LiF). Sifat dari bahan ini adalah ekivalen dengan jaringan tubuh manusia [4]. TLD LiF terdiri atas beberapa jenis, salah satunya yang mulai digunakan secara luas dalam aplikasi medik adalah TLD LiF dengan aktifator Mg,Cu,P (LiF:Mg,Cu,P). Salah satu kelebihan TLD LiF:Mg,Cu,P adalah memiliki sensitivitas atau tanggapan yang tinggi terhadap radiasi [3].
Fenomena termoluminisensi pertama kali diperkenalkan dan dimanfaatkan sebagai metode pengukuran radiasi pada tahun 1953. Pada saat itu belum sepenuhnya diketahui bahwa metode termoluminisensi dapat dikembangkan untuk tujuan pemantauan dosis perorangan. Salah satu alat yang digunakan untuk memantau dosis radiasi perorangan adalah dosimeter termoluminisensi atau lebih dikenal dengan singkatan TLD (Thermoluminescence Dosemeter) [1]. TLD pada umumnya dapat memberikan tanggapan terhadap sinar-X, sinar gamma, sinar beta, dan neutron dengan jangkauan dosis radiasinya dari 0,1 mGy sampai dengan kira-kira 1.000 Gy [2].
Untuk meningkatkan hasil pemantauan dosis radiasi eksternal yang presisi dan akurat, dibutuhkan dosimeter dengan karakteristik dosimetri yang baik, seperti sensitivitas yang tinggi dan fading yang dapat diabaikan. Fading merupakan pemudaran informasi dosis setelah dosimeter menerima paparan radiasi pengion [5].
Beberapa keuntungan dalam penggunaan TLD ini adalah mudah dalam pengoperasian,
117
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
TABEL 1. Hasil respon TLD yang disinari menggunakan sumber Cs-137 yang dievaluasi setelah disimpan selama 1 hari, 2 minggu, 3 minggu dan 4 minggu
Pada penelitian ini dilakukan penyinaran terhadap TLD dan dievaluasi setelah disimpan selama 1 hari, 2 minggu, 3 minggu dan 4 minggu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis sejauh mana TLD mengalami pemudaran informasi dosis (Fading). 2. METODE PENELITIAN Dilakukan penyinaran TLD menggunakan sumber Cs-137. Dalam penyinaran ini, TLD dibagi atas empat kelompok yaitu kelompok A yang disinari langsung dan dievaluasi setelah disimpan selama 1 hari, kelompok B yang disinari langsung dan dievaluasi setelah disimpan selama 2 minggu, kelompok C yang disinari langsung dan dievaluasi setelah disimpan 3 minggu dan kelompok D yang disinari langsung dan dievaluasi setelah disimpan selama 4 minggu. TLD disinari sumber Cs-137 dengan dosis 0,1 mSv, dan 3 mSv. Untuk masing-masing dosis digunakan kartu TLD sebanyak tiga buah. Teknik penyinaran TLD dengan sumber Cs-137 dilakukan dengan cara menempelkan kartu TLD pada permukaan phantom yang berperan sebagai simulasi tubuh manusia yang menggunakan TLD.
Dosis Terukur TLD setelah Dievaluasi (mSv)
Dosis Standar (mSv)
1 hari
14 hari
21 hari
24 hari
0,1
0,112
0,110
0,108
0,103
3
2,993
2,992
2,987
2,951
Pada Tabel 1. menunjukkan perbandingan hasil respon TLD yang dievaluasi setelah disimpan selama 1 hari, 14 hari, 21 hari dan 24 hari mengalami penurunan jumlah dosis sebagai hasil respon dari TLD dapat dilihat pada grafik di bawah ini. Respon TLD yang Dievaluasi Setelah 1 Hari, 14 hari, 21 hari dan 24 hari
Dosis Standar (mSv)
3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 1 hari
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
minggu 2
minggu 3
minggu 4
Waktu Evaluasi TLD
Penelitian ini dilakukan di laboratorium Kalibrasi Alat Ukur (KAUR) Badan Pengamanan Fasilitas Kesehatan (BPFK) Makassar. Pada penelitian ini TLD disinari menggunakan sumber Cs-137 terhadap dosis standar yaitu 0,1 mSv, dan 3 mSv dengan memvariasikan waktu evaluasi TLD yakni TLD dievaluasi setelah disimpan selama 1 hari, 2 minggu, 3 minggu dan 4 minggu.
Dosis 0,1 mSv
Dosis 3 mSv
GAMBAR 1. Grafik perbandingan hasil respon TLD yang disinari menggunakan sumber Cs-137 yang dievaluasi setelah disimpan 1 hari, 14 hari, 21 hari dan 24 hari
Gambar 1. menunjukkan grafik hasil respon TLD yang dievaluasi setelah disimpan selama1 hari, 14 hari, 21 hari dan 24 hari. Baik dosis 0,1 mSv maupun 3 mSv menunjukkan terjadinya penurunan respon TLD karena penundaan dalam evaluasi TLD. Penurunan hasil evaluasi ini disebut pemudaran (fading). Fading merupakan pemudaran informasi dosis setelah dosimeter menerima paparan radiasi pengion yang disebabkan paparan suhu lingkungan.
Dalam proses penyinaran, radiasi yang diterima TLD tidak semua berasal dari sumber Cs-137. Radiasi yang berasal dari dalam ruang penyinaran dan radiasi yang berasal dari sumber-sumber radiasi alamiah juga dapat diserap oleh TLD dan dapat mempengaruhi nilai bacaan TLD. Radiasi ini biasa disebut dengan radisi latar (radiasi background). Nilai yang diperoleh dari pengukuran radiasi latar adalah 0,024 mSv.
Pemudaran pada TLD terjadi karena adanya perangkap-perangkap dalam kristal TLD yang tidak stabil secara termik sehingga TLD melepaskan tangkapan elektronnya pada
Pada Tabel 1. disajikan data hasil bacaan TLD yang telah dievaluasi dan telah dikurangkan dengan radiasi latar.
118
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
suhu lingkungan. Apabila waktu antara penyinaran dan pembacaan TLD relatif lama, maka akan banyak elektron-elektron dalam perangkap metastabil yang terlepas dalam perangkap. Pemudaran akan mengakibatkan terjadinya pengurangan hasil bacaan respon TLD terhadap radiasi sehingga hasil evaluasi dosis yang diterima TLD lebih rendah dibandingkan dosis sebenarnya [1].
5. REFERENSI 1. Akhadi, M., Dasar-dasar Proteksi Radiasi, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000. 2. Cember, H., Pengantar Fisika Kesehatan Edisi Ke-2, Terjemahan Ahmad Toekiman, Semarang: IKIP Semarang Press, 1983. 3. Sofyan, H., Kusumawati, D., “Perbandingan Tanggapan Dosimeter Termoluminisensi LiF:Mg,Ti dan LiF:Mg,Cu,P Terhadap Dosis dalam Aplikasi Medik”, Jurnal Sain dan Teknologi Nuklir Indoneia vol.13, no.2, ISSN 1411-3481, PTKMR-BATAN, 109 – 119 (2012).
Dari penelitian ini dapat diketahui bahwa Respon TLD yang dievaluasi setelah disimpan selama 14 hari mengalami pemudaran sebanyak 0,3 %, TLD yang dievaluasi setelah disimpan selama 21 hari mengalami pemudaran sebesar 1% dan TLD yang dievaluasi setelah disimpan selama 24 hari mengalami pemudaran sebesar 5 %.
4. Akhadi, M., Hernina, N., Pardi., “Tanggapan TLD-600 Terhadap Dosis Neutron Cepat yang Diterima Secara Terus Menerus dan Terputus-Putus”, Prosiding Presentasi Ilmiah Keselamatan Radiasi dan Lingkungan, ISSN: 0854-4085, PSPKRBATAN, 48 – 53 (1996). 5. Sofyan, H., “Keunggulan dan Kelemahan Dosimeter Luminisensi Sebagai Dosimeter Personal dalam Pemantauan Dosis Radiasi Eksternal”, Semnas Keselamatan, Kesehatan, dan Lingkungan VIII, PTKMRBATAN, 1 – 16 (2012).
4. KESIMPULAN Dari data dan hasil evaluasi data serta analisis yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa semakin lama data rekaman TLD disimpan maka akan terjadi pemudaran yang semakin besar yang terindikasi pada menurunnya hasil pembacaan TLD yang digunakan.
119
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Pengaruh Perubahan Jarak Dwell Position Terhadap Sebaran Dosis Pasien Kanker Serviks dengan Treatment Brakiterapi Sucih Rahmawati, Bualkar Abdullah1), Satrial Male
Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Hasanuddin 1
email:
[email protected]
Abstrak Telah dilakukan penelitian mengenai pengaruh perubahan jarak dwell position terhadap sebaran dosis pasien kanker serviks dengan treatment brakiterapi. Jarak dwell position yang digunakan yaitu 0.1 cm, 0.2 cm, 0.3 cm , 0.4 cm, 0.5 cm, 0.6 cm, 0.7 cm, 0.8 cm dan 0.9 cm. Dengan menganalisis kurva Dose Volume Histogram (DVH) yang merupakan salah satu bagian dari Treatment Planing System (TPS), diketahui sebaran dosis yang diterima pasien kanker serviks dan posisi optimal sumber radiasi terhadap sel kanker serviks pada Planing Target Volume (PTV). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah membandingkan letak kurva DVH untuk suatu volume tertentu dengan mengunakan variasi jarak dwell position ( 0.1 cm sampai 0.9 cm). Hasil menunjukkan bahwa jarak yang dekat dengan target yaitu kanker serviks memberikan kontribusi besar pada kedalaman dan permukaan kanker. Sementara dengan menganalisis kurva DVH, diperoleh hasil bahwa penggunan jarak dwell position sumber radiasi yang dekat dengan target (kanker) yaitu kisaran 0.1 sampai 0.3 cm memberikan kontribusi sebaran dosis terbesar pada keseluruhan PTV bila dibandingkan dengan penggunaan jarak dwell position yang lainnya. Kata kunci: Brakiterapi, Dwell Position, DVH, PTV
Abstract The research concerning about change affection of dwell position distances on cervical cancer patients dose distribution has been conducted with brachyterapy treatment. The dwell position was used with different distances are 0.1 cm, 0.2 cm, 0.3 cm, 0.4 cm, 0.5 cm, 0.6 cm, 0.7 cm, 0.8 cm and 0.9 cm. With the analyzing the Dose Volume Histogram (DVH) curve which is one of Treatment Planing System (TPS). Showed that the dose distribution received by cervical cancer patients and optimal position of radiation source on Planing Target Volume (PTV) cervical cancer cell. The method used was comparing the DVH curve position for a certain volume using the dwell position distance variations (0.1 cm – 0.9 cm). The results showed use that the nearest distance of target which is cervical cancer gave the important contribution to the depth and surface of the cancer. Mean while, the analyzing of DVH curve showed that by using the radiation source dwell position distance close to target (cancer) which is about 0.1 cm – 0.3 cm gave contribution about the larger dose distribution on the overall of PTV if we comparing the other dwell position distance. Keywords: Brachytherapy, Dwell Position, DVH, PTV
radiasi partikel yaitu radiasi alpha, beta, dan neutron [1]. Radiasi dimanfaatkan dalam bidang kesehatan, contohnya dalam bidang radiodiagnostik, kedokteran nuklir, dan radioterapi. Salah satu contoh pemanfaatannya dalam bidang radioterapi yaitu pada alat brakiterapi. Brakiterapi merupakan salah satu metode terapi radiasi menggunakan sumber radioaktif tertutup yang dimasukkan ke dalam rongga tubuh sehingga terjadi kontak langsung dengan jaringan yang sakit (kanker) dan daerah yang memerlukan terapi radiasi ini mendapatkan dosis yang maksimal sedangkan daerah disekitar jaringan yang normal atau
1. PENDAHULUAN Radiasi adalah energi yang dipancarkan baik dalam bentuk gelombang maupun partikel yang berukuran sub atomik. Secara umum, radiasi terbagi menjadi dua jenis yaitu radiasi elektromagnetik dan radiasi partikel. Radiasi elektromagnetik terdiri dari radiasi non-ionisasi (non-pengion) dan radiasi ionisasi (pengion). Contoh radiasi non-pengion: gelombang radio, sinar tampak, microwave dan ultra violet. Contoh radiasi pengion: sinar-x dan isotop sinar gamma yang diperoleh dari unsur radium, sesium, kobalt, dan iridium, sedangkan contoh
120
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
sehat mendapatkan dosis minimal [2]. Salah satu contoh pemanfaatan brakiterapi yaitu pada pengobatan kanker serviks. Metode yang digunakan untuk penanganan kanker serviks dilakukan dengan cara penyinaran internal dengan menggunakan sumber radiasi tertutup yang secara langsung memberikan dosis yang tinggi pada volume target [3-5]. Keberhasilan treatment brakiterapi ini sangat bergantung dengan Treatment Planing System (TPS). TPS merupakan bagian paling penting dari proses brakiterapi yaitu kegiatan TPS tersebut harus dilakukan terlebih dahulu sebelum menjalankan proses terapi. Treatment Planing System (TPS) adalah proses yang sistematik dalam membuat strategi perencanaan dalam terapi radiasi. Meliputi sekumpulan instruksi dari prosedur radioterapi, kinerja algoritma, mensimulasikan distribusi dosis yang diupayakan semaksimal mungkin pada daerah target dan meminimalkan di daerah sekitar jaringan sehat berdasarkan pada informasi geometrik/topografi yang ada pada pencitraan dan perhitungan dosis pada saat perlakuan terapi [6].
dalam ruang simulator yaitu mengatur posisi pasien dengan sistem imobilisasi. Selanjutnya melakukan eksposi radiografi atau melakukan CT-Scan di bagian sekitar pinggul pasien. Setelah itu, operator TPS melakukan scanning terhadap gambar CT-Scan dan melakukan tahap-tahap yang akan menjadi target penelitian. Operator yang didampingi fisika medis dan seorang dokter akan merencanakan tindakan brakiterapi sebelum melakukan tindakan sesungguhnya. Dari gambar CT-Scan akan mengetahui posisi tepat aplikator dalam tubuh pasien khususnya di daerah leher rahim. Hal-hal yang dilakukan dalam TPS seperti melacak posisi penempatan aplikator (posisi sumber radiasi) di dalam tubuh pasien, melakukan countouring organ (menentukan volume target dan organ-organ beresiko), intensitas sumber, jarak antara sumber radioaktif (dalam aplikator) dengan sumbu referensi, waktu penyinaran. Jika perencanaan di TPS yang dilakukan dokter dengan fisika medis sudah diyakini benar, maka selanjutnya melakukan tindakan Brakiterapi dengan menggunakan Treatment Delivery System (TDS). Dari hasil TPS tersebut, hal yang dilakukan yaitu mencatat dosis dan koordinatnya pada garis kurva Dose Volume Histogram (DVH). Kemudian menganalisis sebaran dosis terhadap pengaruh perubahan jarak dwell position sumber radioaktif dan menganalisis dosis radiasi yang diterima pada Planning Target Volume (PTV) yaitu kanker serviks dari hasil kurva Dose Volume Histogram (DVH) yang diperoleh dan menentukan posisi optimal sumber radiasi terhadap sel kanker serviks.
Salah satu hal yang dilakukan dalam TPS pada brakiterapi yaitu menentukan posisi sumber radiasi. Dwell position adalah posisi sumber diam ditempatkan untuk memberikan dosis radiasi pada target. Dwell position ini sangat bergantung pada pengaturan jarak. Faktor jarak berhubungan erat dengan fluks radiasi. Fluks radiasi pada suatu titik akan berkurang berbanding terbalik dengan kuadrat jarak antara titik tersebut dengan sumber radiasi. Variasi perubahan jarak berpengaruh terhadap fluks radiasi (jumlah radiasi yang menembus volume target). Apabila jarak antara sumber dengan suatu titik sedemikian dekatnya atau sangat dekat, maka laju dosis pada titik tersebut sangat besar dan dosis yang diterima besar [7].
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan pada 5 pasien kanker serviks dengan treatment Brakiterapi untuk menganalisis sebaran dosis yang diterima kanker serviks dan posisi optimal sumber radiasi terhadap kanker serviks dengan melakukan variasi jarak dwell position sumber radiasi yaitu 0.1 cm, 0.2 cm, 0.3 cm, 0.4 cm, 0.5 cm, 0.6 cm, 0.7 cm, 0.8 cm dan 0.9 cm. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh pola Sebaran dosis pada pasien.
2. METODE PENELITIAN Alat dan bahan yaitu Sumber radioaktif yaitu Iridum-192 (192Ir), Perangkat Brakiterapi dengan Treatment Delivery System (TDS) dan seperangkat komputer pada ruang Treatment Planing System (TPS). Mempersiapkan pasien. Kemudian dokter akan memasukkan aplikator ke dalam tubuh pasien melalui saluran vagina tepatnya di leher rahim. Selanjutnya, mempersiapkan pasien
121
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
maksimum 100% diterima pada volume target yaitu volume kanker (pada bagian PTV). Selanjutnya diperoleh sebaran dosis pada pasien D.
GAMBAR 1. Pola sebaran dosis pasien A
Pada gambar 1, pola sebaran dosis tersebut dapat diketahui bahwa dosis yang sangat kecil 10% diterima pada daerah disekitar kanker dan dosis maksimum 100% diterima pada volume target yaitu volume kanker (pada bagian PTV). Selanjutnya diperoleh pola sebaran dosis pasien B.
GAMBAR 4. Pola sebaran dosis pasien D.
Pada pola sebaran dosis gambar 4 dapat diketahui bahwa dosis yang sangat kecil 10% diterima pada daerah disekitar kanker dan dosis maksimum 100% diterima pada volume target yaitu volume kanker (pada bagian PTV). Selanjutnya diperoleh pola sebaran dosis Pasien E.
GAMBAR 2. Pola sebaran dosis pasien B.
Pada gambar 2, pola sebaran dosis tersebut dapat diketahui bahwa dosis yang sangat kecil 10% diterima pada daerah disekitar kanker dan dosis maksimum 100% diterima pada volume target yaitu volume kanker (pada bagian PTV). Selanjutnya diperoleh pola sebaran dosis pasien C.
GAMBAR 5. Pola sebaran dosis pasien E.
Pada pola sebaran dosis gambar 5 dapat diketahui bahwa dosis yang sangat kecil 10% diterima pada daerah disekitar kanker dan dosis maksimum 100% diterima pada volume target yaitu volume kanker (pada bagian PTV). Selain pola sebaran dosis, diperoleh pula Dose Volume Histogram (DVH) pada Planing Target Volume (PTV) dengan variasi jarak dwell position sumber radiasi yaitu 0.1 cm, 0.2 cm, 0.3 cm, 0.4 cm, 0.5 cm, 0.6 cm, 0.7 cm, 0.8 cm dan 0.9 cm untuk setiap pasien A sampai dengan E, hal ini berguna untuk menentukan posisi optimal penyinaran sumber radiasi terhadap sel kanker serviks.
GAMBAR 3. Pola sebaran dosis pasien C.
Pola sebaran dosis pada gambar 3 dapat diketahui bahwa dosis yang sangat kecil 10% diterima pada daerah disekitar kanker dan dosis
122
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
maksimum yang maksimal mengenai volume kanker. Jadi dapat diketahui posisi optimal sumber radiasi terhadap kanker serviks pada pasien C yaitu pada jarak 0.2 cm seperti yang ditunjukkan pada gambar 8. Selanjutnya diperoleh DVH pada pasien D.
GAMBAR 6. Grafik PTV Pada Pasien A.
Untuk menentukan posisi optimal penyinaran maka dilihat dari dosis radiasi maksimum yang maksimal mengenai volume kanker. Jadi dapat diketahui posisi optimal sumber radiasi terhadap kanker serviks pada pasien A yaitu pada jarak 0.1 cm seperti yang ditunjukkan pada gambar 6. Selanjutnya diperoleh DVH pada PTV untuk pasien B.
GAMBAR 9. Grafik PTV Pada Pasien D.
Untuk menentukan posisi optimal penyinaran maka dilihat dari dosis radiasi maksimum yang maksimal mengenai volume kanker. Jadi dapat diketahui posisi optimal sumber radiasi terhadap kanker serviks pada pasien D yaitu pada jarak 0.3 cm seperti pada gambar 9. Selanjutnya diperoleh DVH pada PTV untuk pasien E.
GAMBAR 7. Grafik PTV Pada Pasien B.
Untuk menentukan posisi optimal penyinaran maka dilihat dari dosis radiasi maksimum yang maksimal mengenai volume kanker. Jadi dapat diketahui, posisi optimal sumber radiasi terhadap kanker serviks pada pasien B yaitu pada jarak 0.1 cm, 0.2 cm, 0.3 cm dan 0.4 cm seperti yang ditunjukkan pada gambar 7. Hal ini terjadi karena pada pasien B, ukuran kankernya sudah mengecil dan treatment yang dilakukan yaitu treatment ketiga. Selanjutnya diperoleh DVH pada PTV untuk pasien C.
GAMBAR 10. Grafik PTV Pada Pasien E.
Untuk menentukan posisi optimal penyinaran maka dilihat dari dosis radiasi maksimum yang maksimal mengenai volume kanker. Jadi dapat diketahui posisi optimal sumber radiasi terhadap kanker serviks pada pasien E yaitu pada jarak 0.2 cm seperti pada gambar 10. Salah satu faktor yang mempengaruhi volume relatif yang berbedabeda pada setiap jarak dwell position, dikarenakan struktur materi di sekitar kanker yang akan dilalui radiasi juga berbeda. 4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan mengenai pengaruh perubahan jarak dwell position terhadap sebaran dosis pasien kanker serviks
GAMBAR 8. Grafik PTV Pada Pasien C.
Untuk menentukan posisi optimal penyinaran maka dilihat dari dosis radiasi
123
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
dengan treatment brakiterapi, maka diperoleh kesimpulan: pertama, perubahan jarak dwell position mempengaruhi sebaran dosis dan nilai serapan dosis pada volume kanker serviks yaitu pada kedalaman dan permukaan kanker. Semakin jauh jarak dwell postionnya, nilai serapan dosis pada daerah kedalaman dan permukaan kanker semakin kecil. Pada pasien A sampai dengan Pasien E, dosis yang sangat kecil 10% diterima pada daerah disekitar kanker dan dosis maksimum 100% diterima pada volume target yaitu volume kanker pada bagian PTV (Planing Target Volume).
Terbanyak di Negara Berkembang”, Saintis. Vol.1, Nomor 1, ISSN: 2089-0699, 112-123 (2012). 3. Harjanto, T., Suntoro, Atmojo, S. M., dan Syamsurizal R., “Pembuatan Prototip Brakiterapi Dosis Rendah dengan Isotop Ir192”, Prosiding PPI–PDIPTN, Puslitbang Teknologi Maju–BATAN Yogyakarta, Pusat Pengembangan Perangkat Nuklir (P2PN)Batan, ISSN 0216 – 3128, 225-233 (2005). 4. Saptiama, I., Subechi M., Pujiyanto A., Lubis, H., Setiawan H., “Permanent Seed Implant Dosimetry (Psid)™ Versi 4.5 sebagai Program Isodosis dan Treatment Planning System (TPS) untuk Brakiterapi”, Vol.17, Nomor 1, ISSN 1410-8542, 7-14 (2014).
Kedua, posisi optimal sumber radiasi terhadap kanker serviks pada pasien A yaitu jarak 0.1 cm, pada pasien B yaitu jarak 0.1 sampai dengan 0.4 cm, pada pasien C dan E yaitu jarak 0.2 cm. Serta pada pasien D, posisi optimalnya yaitu pada jarak 0.3 cm. Pada kelima pasien tersebut, posisi optimal penyinaran terhadap kanker serviks yaitu berada pada kisaran 0.1 cm sampai 0.3 cm.
5. Khan, F. M., The Physics Of Radiation Therapy Third Edition, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, PA 19106 USA, pp. 357-400. 6. Gora, J., “WP13 - D.1 Report on Basic Principles for Treatment Planning Software for Llight Ions”, PARTNER Grant Agreement Number 215840, PARTNER GA number 215840-2, 1-11 (2010).
5. REFERENSI 1. Hiskia, “Perkembangan Teknologi Sensor Dan Aplikasinya Untuk Diteksiradiasi Nuklir”, Prosiding PPI – PDIPTN, ISSN 0216 – 3128, 9 – 20 (2007). 2. Arisusilo, C., “Kanker Leher Rahim (Cancer Cervix) Sebagai Pembunuh Wanita
7. Akhadi, M., Dasar – Dasar Proteksi Radiasi, Jakarta: Rineka Cipta, 2000, pp. 177-202.
124
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Penyiapan Data Meteorologi Untuk Pemodelan Dispersi Polutan Alimuddin Hamzah Assegaf Center for Environmental Studies (CES), Hasanuddin University Kampus UNHAS Tamalanrea, Jl. Perintis km. 10, Makassar, 90245 email:
[email protected]
Abstrak Tulisan ini memaparkan hasil analisis data meteorologi yang dipersiapkan dalam rangka simulasi dispersi polutan udara dengan model AERMOD. Data meteorologi permukaan dan data meteorologi profil diproses dengan model AERMET. Dalam studi ini digunakan data meteorologi prognostic jam-jaman untuk periode tahun 2011-2015 dari model Mesoscale MM5. Hal ini disebabkan area studi berada di daerah terpencil dan tidak terdapat stasiun BMKG yang dapat menyediakan data yang dibutuhkan. Data meteorologi permukaan yang dianalisis yaitu: kecepatan dan arah angin, suhu, tutupan awan, serta data morfologi untuk menghitung: albedo, kekasaran permukaan dan rasio bowen. Data meteorologi profile yang dianalisis berupa: kecepatan dan arah angin, kelembaban relatif, dan tekanan udara dalam beberapa level (ketinggian). Hasil analisis yang diperoleh dari studi ini berupa parameter meteorologi permukaan seperti: kecepatan friksi, panjang Monin-Obukov, skala kecepatan konvektif, skala tempratur, tinggi percampuran, dan panas permukaan. Sebagai tambahan, dihitung pula parameter profil seperti: profil vertikal dari kecepatan angin, profil lateral dan profil vertikal dari flukltuasi turubulen, gradien dan tempratur potensial. Analisis windrose menunjukkan bahwa angin dominan berhembus dari utara, kecuali pada periode DJF dan MAM dengan hembusan angin relatif lebih lemah. Pada malam hari angin berhembus dari selatan, dan sebaliknya pada siang hari angin dominan dari utara. Kondisi atmosfir umumnya stabil di malam hari dan kurang stabil di siang hari yang diindikasikan oleh panjang Monin-Obukov dominan negatif hari pada siang hari. Tebal boundary layer dapat mencapai 2000 m pada sore hari. Convective velocity scale dapat mencapai 2 m/s yang menggambarkan derajad pergerakan massa udara yang membawa polutan. Keseluruhan gambaran meteorologi memberikan indikasi bahwa polutan akan bergerak dominan ke arah selatan dengan jangkauan puluhan kilometer. Kata kunci: AERMET, data meteorologi permukaan, data meteorologi profil, MM5.
yang dihasilkan selanjutnya dianalisis dengan statistik deskriptif. Hasil analisis dapat membantu menerangkan kecenderungan pola dispersi polutan.
1. PENDAHULUAN Penyiapan data meteorologi merupakan salah satu tahapan penting dalam pemodelan kualitas udara. Kualitas data meteorologi menjadi faktor penentu keakuratan hasil simulasi. Data meteorologi jam-jaman dapat diperoleh dari data stasiun pengamat dan radiosonde, data satelit atau data prognostik. Data yang paling akurat selalu bersumber dari data dari pegamat. Sayangnya ketersediaan data masih menjadi kendala di Indonesia. Ketersediaan data meteorologi permukaan dan profil jam-jaman hanya teramati pada stasiun meteorologi pada beberapa bandara besar. Pengamatan radiosonde lebih diperuntukkan untuk meteorologi penerbangan. Untuk daerah yang jauh dari stasiun bandara, maka data meteorologi dapat diperoleh dari data satelit atau data prognostik.
2. TEORI DASAR 2.1. Data Sintesis Data meteorologi prognostic jam-jaman untuk periode tahun 2011-2015 telah diperoleh dari model Mesoscale MM5 [1]. Output selanjutnya diformat ulang untuk menghasilkan data meteorology permukaan dan upper air yang sesuai dengan format input AERMET. Pusat grid diset pada koordinat 4.787917 S dan 119.616722 E dengan luas sel 12x12 km yang berimpit dengan cerobong utama. Tinggi anemometer dan elevasi dasar masing-masing adalah 15 meter dan 149 meter di atas permukaan laut. Data DEM diekstrak dari citra satelit SRTM30, sementara landuse ditentukan melalui observasi visual. Hasil prediksi dengan
Pada studi ini data prognostik MM5 [1] digunakan sebagai input file dan diproses dengan prosessor AERMET. Hasil perhitungan
125
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
menggunakan data seperti ini memberikan hasil yang cukup bagus [2].
data pada stasiun pengamat, dapat ditutupi dengan perhitungan. Pada prinsipnya, data pengukuran akan diutamakan, tetapi jika tidak tersedia, maka data diestimasi. Dilengkapi pula dengan algoritma diagnostik yang berfungsi sebagai quality assurance (QA) terhadap data yang diproses.
Lokasi Studi
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis data meteorologi akan dilakukan dengan menganalisis data angin sepanjang tahun dan karakterisasi turbulensi harian dan stabilitas atmosfir.
GAMBAR 1. Lokasi Studi.
2.2. Model AERMET Model AERMET merupakan bagian dari model AERMOD [3, 4, 5] yang berfungsi sebagai prosessor meteorologi. Terdapat pula model AERSURFACE sebagai prosessor terrain/ morfologi. AERMET memanfaatkan prinsip kesetimbangan panas permukaan untuk menghitung friction velocity dan convective velocity scale, serta Monin-Obukhov Length dan menentukan apakah atmosfir dalam kondisi stabil atau tidak stabil (convective). Tidak seperti pendekatan klasik oleh Pasquil-Gifford, dimana kestabilan atmosfir disajikan secara diskrit [6,7]. Pada AERMET, kestabilan atmosfir dihitung secara kontinu dengan memanfaatkan teori similaritas MoninObukhov [8] dan [4]. Dalam perhitungan transfer panas permukaan ke atmosfir dan sebaliknya, maka AERMET mengacu pada formula yang dikemukakan oleh Holtslag dan Van Ulden (1983) dan Holtslag dan de Bruin (1988) [9,10,11] yang menghitung flux radiasi matahari sebagai fungsi dari temperatur, cloud cover dan sudut ketinggian matahari. Selanjutnya sensible heat flux dihitung sebagai fungsi dari flux radiasi matahari dan bowen ratio. Perbedaan formula dikenakan jika kondisi atmosfir convective. Monin-Obukhov length akan dihitung secara iteratif berdasarkan informasi convetive velocity scale, temperatur dan kecepatan angin. Selanjutnya dihitung kestabilan atmosfir dan tebal lapisan batas (convective boundary layer). Untuk menghitung kestabilan atmosfir secara kontinu, maka diperlukan data atmosfir profil, selain data permukaan. Data ini diperlukan untuk menghitung potential temperature profile dan vertical/horizontal turbulence profile.
3.1. Karakteristik Angin Data angin jam-jaman sepanjang tahun 2011-2015 dengan jumlah data 43824 (calm ±5%) dianalisis dengan windrose dan histogram. Penelaahan dilakukan dengan meninjau angin sepanjang tahun, angin musiman dan angin harian. Gambar-2a dan 2b menunjukkan windrose dan histogram angin permukaan dan profile sepanjang tahun. Angin dominan berhembus dalam arah utara-selatan. Angin dari utara lebih dominan dibandingkan angin dari arah selatan. Kisaran kecepatan dominan berada pada jangkauan 2~3 m/s dengan kecepatan rata-rata 2,34 m/s (angin permukaan) dan 2,27 m/s (angin profile). Hal ini mengindikasikan bahwa polutan dominan akan menyebar ke arah selatan (ke arah daratan) dan kadang ke arah laut (utara). Analisis lebih lanjut pada musim-musim tertentu menunjukkan pola yang lebih beragam. Pada periode DJF dan MAM angin lebih menyebar dalam berbagai arah, tetapi masih cenderung ke arah utara. Lain halnya pada periode JJA dan SON, angin konvergen pada arah utara-selatan, dengan arah dominan ke selatan (darat). Kecepatan angin pada periode JJA dan SON cenderung lebih besar, jika dibandingkan pada periode DJF dan MAM (lihat Gambar 2c dan 2d). Pola angin harian yang diperlihatkan pada Gambar 3, menunjukkan bahwa pada malam hari angin dominan berhembus dari selatan, sebaliknya pada siang hari angin dominan berhembus dari utara. Kecepatan angin pada malam hari cenderung lebih besar dibandingkan pada siang hari. Hal ini memberi petunjuk bahwa polutan cenderung menyebar ke utara (laut) pada malam hari, dan sebaliknya cenderung menyebar ke selatan (darat) pada siang hari dengan intensitas penyeberan lebih lemah, jika dibandingkan pada malam hari.
Dalam aplikasinya AERMET secara flexible dapat menyesuaikan diri terhadap ketersediaan data. Ketiadaan suatu parameter
126
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
(a) Windrose Angin Permukaan Sepanjang tahun
(b) Windrose Angin Profile Sepanjang tahun
NORTH
NORTH
10%
10%
2% EAST
EAST
WEST
EAST
WIND SPEED (m/s)
Resultant Vector
5.70 - 8.80170 deg - 13%
>= 11.10
8.80 - 11.10
Resultant Vector 331 deg - 22%
3.60 - 5.70
3.60 - 5.70
2.10 - 3.60
2.10 - 3.60
0.50 - 2.10
0.50 - 2.10
Maret-April-Mei (MAM)
Calms: 3.87%
Calms: 5.07%
EAST
WIND SPEED (m/s) >= 11.10
Resultant Vector
8.80 - 11.10
8.80 - 11.10
5.70 - 8.80
SOUTH
WEST
WIND SPEED (m/s)
>= 11.10
8.80 - 11.10
Desember-JanuariFebruari (DJF)
2%
4%
WEST
>= 11.10
SOUTH
4%
8%
WIND SPEED (m/s)
Resultant Vector
6%
12%
4% 2%
WEST
8%
16%
6%
6% 4%
10%
20%
8%
8%
133 deg - 27%
NORTH
NORTH
253 deg - 8% 5.70 - 8.80
SOUTH
5.70 - 8.80
SOUTH
3.60 - 5.70
3.60 - 5.70 2.10 - 3.60
Juni-Juli-Agustus (JJA)
0.50 - 2.10 Calms: 4.38%
2.10 - 3.60
September-OktoberNopember (SON)
0.50 - 2.10 Calms: 5.60%
(c) Winrose Angin Permukaan pada Beberapa Musim GAMBAR 2. Pola Angin Sepanjang Tahun NORTH
NORTH
NORTH
10%
20%
8% 6%
WEST
(a) Jam 19:23
12%
6%
8%
3% EAST
WIND SPEED (m/s)
16%
9%
8% 4%
EAST
20%
12%
12%
4%
SOUTH
15%
16%
2% WEST
NORTH
WEST
4% EAST
WIND SPEED (m/s)
WEST
WIND SPEED (m/s)
>= 11.10
>= 11.10
>= 11.10
8.80 - 11.10
8.80 - 11.10
8.80 - 11.10
5.70 - 8.80 3.60 - 5.70 2.10 - 3.60 0.50 - 2.10 Calms: 13.53%
5.70 - 8.80
SOUTH
(b) Jam 00-07
3.60 - 5.70 2.10 - 3.60 0.50 - 2.10 Calms: 3.77%
EAST
SOUTH
(c) Jam 07:13
5.70 - 8.80 3.60 - 5.70 2.10 - 3.60 0.50 - 2.10 Calms: 4.19%
WIND SPEED (m/s) >= 11.10 8.80 - 11.10
SOUTH
(d) Jam 13:19
GAMBAR 3. Pola Angin Sepanjang Hari (waktu dalam WITA)
angin, temperatur, kelembaban relatif dan tutupan awan (cloud cover). Berdasarkan karakteristik permukaan, maka dapat dihitung albedo, bowen ratio dan friction velocity. Parameter-parameter lain akan dihitung berdasarkan data utama tersebut.
3.2. Stabilitas dan Turbulensi Atmosfir Proses dispersi sangat dipengaruhi oleh kondisi meteorologi, khususnya turbulensi. Proses dispersi pada saat atmosfir dalam keadaan stabil akan sangat berbeda dibandingkan pada saat tidak stabil. Kondisi stabil biasanya ditemui pada malam hari, dimana mata hari berhenti menyalurkan radiasi panas dan sumber panas hanya berasal dari permukaan bumi. Sebaliknya, pada siang hari kondisi atmosfir cenderung tidak stabil. Akibat pemanasan oleh matahari, maka akan terjadi proses konveksi yang menyebabkan turbulensi semakin dominan. Data utama yang diperlukan dalam proses meteorologi adalah
Beberapa parameter hasil perhitungan oleh AERMET ditampilkan pada Gambar 4c ~ 4h. Variasi harian sensibel heat flux sangat dipengaruhi oleh radiasi mata hari. Sebagai konvensi, diasumsikan matahari terbit pada jam 07:00 dan terbenam pada jam 18:00. Sensible heat flux (SHF) akan bernilai positif pada siang hari dan mencapai puncaknya pada jam 12:00.
127
5.70 - 8.80 3.60 - 5.70 2.10 - 3.60 0.50 - 2.10 Calms: 1.62%
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Terdapat outlier di bawah nilai mean yang disebabkan oleh tutupan awan. Convective velocity scale (CVS) merupakan suatu variabel yang diasosiasikan dengan derajad siklus konvektif dari boundary layer. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa CVS menunjukkan pola yang sama dengan SHF yang mencapai puncak pada jam 12:00. Monin-Obukhov Length (MOL) merupakan indikasi kestabilan atmosfir. Apabila MOL bernilai negatif, menunjukkan bahwa atmosfir dalam keadaan tidak stabil dan sebaliknya jika bernilai positif, maka kondisi atmosfi dalam keadaan stabil. Terdapat transisi dari kedua keadaan ini yang terjadi pada waktu mata hari terbit dan terbenam. Merujuk pada hasil (a)
(e)
perhitungan yang tertera pada Gambar 4f, Kondisi konvektif terjadi pada siang hari yang menghasilkan keadaan tidak stabil dan sebaliknya ketiadaan konveksi akan menyebabkan stabilitas atmosfir. Proses konveksi dimulai dari jam 07:00 (konvensi AERMET) dan mencapai puncaknya pada sore hari di jam 18:00 (Gambar 4g). Lapisan konveksi pada siang hari dapat mencapai 2 km. Lapisan boundary layer yang terbangkit secara mekanik signifikan pada siang hari dan cenderung mengecil pada malam hari. Kedua lapisan ini dijumlahkan oleh AERMOD.
(b)
(c)
(d)
(f)
(g)
(h)
GAMBAR 4. Hasil Analisis Parameter Meteorologi Harian: (a) Relative Humidity; (b) Temperature; (c) Surface Friction Velocity; (d) Sensible Heat Flux; (e) Convective Velocity Scale; (f) Monin-Obukhov Length; (g) Height of Convectively Generated Boundary Layer CBL; (h) Height of Mechanically Generated Boundary Layer SBL
Variasi mixing height secara konvektif dan mekanik dalam variasi bulanan ditunjukkan dalam Gambar 5. Tinggi mixing height pada CBL secara umum lebih besar dibandingkan pada SBL. Nilai mean mixing height CBL berada pada kisaran 1200 m ~ 1300 m dan tinggi mixing layer SBL hanya berada pada kisaran 30 m ~ 50 m. Secara umum tinggi mixing layer total berada pada kisaran 2000 m. Dengan ketinggian mixing layer yang demikian, maka efek perangkap oleh lapisan inversi tidak terlalu dominan pada dispersi polutan udara di dekat sumber/emisi.
(a) Mixing Height Bulanan pada CBL
(b) Mixing Height Bulanan pada SBL
GAMBAR 5. Pola Mixing Height Bulanan pada CBL dan SBL
128
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
4. KESIMPULAN Dari hasil analisis data meteorologi untuk pemodelan dispersi polutan, maka disimpulkan sebagai berikut: 1. Angin dominan bertiup dari utara (dari laut ke darat), kecuali pada periode DJF dan MAM; 2. Pada malam hari angin dominan bertiup dari utara (dari laut ke darat) dan sebaliknya pada siang hari angin bertiup dari selatan (darat ke laut). Kecepatan angin cenderung lebih besar pada malam hari; 3. Tinggi boundary layer sekitar 2000 m pada sore hari yang didominasi oleh lapisan CBL; 4. Aliran udara relatif stabil pada malam hari dan relatif tidak stabil pada siang hari yang ditandai oleh perubahan nilai MoninObukhov. Tingkat ketidakstabilan maksimum terjadi pada saat mata hari terbit dan terbenam.
4.
US Environmental Protection Agency, “AERMOD: Revised Draft – User’s Guide for the AMS/EPA Regulatory Model – AERMOD”, Office of Air Quality Planning and Standards, Research Triangle Park, NC., (1998a).
5.
US Environmental Protection Agency, “Revised Draft – User’s Guide to the AERMOD Terrain Preprocessor (AERMAP)”, Office of Air Quality Planning and Standards, Research Triangle Park, NC., (1998b).
6.
Pasquill F., “Estimation of the dispersion of windborne material”, Meteorol. Mag. 90, 33–49 (1961).
7.
Gifford F.A., “Use of routine meteorological observations for estimating atmospheric dispersion”, Nuclear Safety 2, 47–51 (1961).
8.
Monin, A.S. and A.M. Obukhov, “Basic laws of turbulent mixing in the surface layer of the atmosphere (english translation by John Miller for Geophysics Research Directorate, AF Cambridge Research Centre, Cambridge, Massachusetts, by the American Meteorological Society)”, Originally published in Tr. Akad. Nauk SSSR Geophiz. Inst. 24(151), 163-187 (1954).
9.
Holtslag A.A.M. and van Ulden A.P., “A simple scheme for daytime estimates of the surface fluxes from routine weather data”, J. Clim. Appl. Meteorol. 22, 517–529 (1983).
5. DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
3.
G. A. Grell, J. Dudhia and D. R. Stauffer, “A Description of the fifth generation Penn State / NCAR mesoscale model (MM5)”, NCAR Tech Note, NCAR/TN-398+STR, 117 (1994). Jesse L. Thé, Russell Lee, Roger W. Brode, “Worldwide Data Quality Effects on PBL Short-Range Regulatory Air Dispersion Models”, Weblakes Environment Consultants Inc., (2011).
10. van Ulden A.P. and Holtslag A.A.M., “Estimation of atmospheric boundary layer parameters for diffusion applications”, J. Climate Appl. Meteorol. 24, 1196–1207 (1985).
Cimorelli, A. J. et. al., “AERMOD: A Dispersion Model for Industrial Source Application. Part I: General Model Formulation and Bundary Layer Characterization”, Journal of Applied Meteorology 44, 682-693 (2005).
11. Holtslag, A.A.M. and de Bruin H.A.R., “Applied Modeling of the Nighttime Surface Energy Balance over Land”, J. Appl. Meteorol. 27, 689–704 (1988).
129
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Studi Hubungan Antara Resistivitas Dengan Waktu Propagasi Gelombang Seismik Untuk Transformasi Resistivitas Menjadi Pseudo Seismik Lantu*, D.A. Suriamiharja, Amiruddin, Ramlis, D.S Program Studi Geofisika FMIPA Universitas Hasanuddin * email:
[email protected]
Abstrak Studi resistivitas dengan waktu propagasi gelombang merupakan bagian dari kajian hubungan antara sifat listrik dan elastis pada suatu formasi batuan. Sifat listrik pada formasi batuan dijelaskan melalui model resistivitas Bussian. Sedang sifat propagasi gelombang pada batuan poro-elastik dapat dipahami melalui pendekatan persamaan waktu rata-rata dari Wyllie. Ditunjukkan bahwa hubungan keduanya sangat dipengaruhi oleh variable porositas. Penerapan hubungan ini menggunakan metode yang mendefinisikan zona litoresistivitas sebagai interval litologi yang berhubungan formasi yang sama dan menunjukkan kecilnya variasi resistivitas antara sumur pengeboran. Penentuan log pseudo seismik yang diturunkan dari log resistivitas telah dilakukan pada dua sumur pengeboran yang setiap formasinya tidak tersaturasi hidrokarbon. Hasil prediksi log peudo seismik berdasarkan model Bussian –Wyllie memiliki keseuaian dengan log sonik aslinya. Kata kunci: log resistivitas, log pseudo sonic, porositas.
permasalahan kadang pula ditemukan seperti jeleknya data log seismik akibat gejala cycle skipping [1] atau krancuan log seismik yang tidak sensitive terhadap indikasi fluida [2]. Permasaalahan tidak tersedianya data log seismik maupun buruknya kualitas data yang diperoleh dari log sumuran mendorong dilakukannya penelitian untuk mencari metode lain untuk memecahkan persoalan tersebut diatas. Metode neural metode network yang memanfaatkan log gamma ray, densitas, neutron dan log resistivitas biasanya umum digunakan. Dalam dunia industry migas sering digunakan metode log densitas untuk menentukan log pseudo seismik (log sonik sintetis) melalui persamaan Gadner [3].
1. PENDAHULUAN Sumber daya alam merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia baik dalam perspektif ekonomi maupun politik. Pemanfaatan sumber daya energy dan mineral, kususnya minyak dan gas bumi memiliki peran yang strategis dalam meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Seiring dengan semakin meningkatnya akan kebutuhan sumber energi, maka metode untuk peningkatan produksi perlu juga ditingkatkasecara secara efektif dan efesien. Pemanfaatan gelombang bunyi sebagai alat untuk mengetahui kandungan lapisan bumi yang ada di bawah permukaan yang pelaksanaannya melalui pemberian usikan mekanis. Informasi yang diperoleh diinterpretasi untuk mengetahui kondisi dan lokasi reservoir khususnya minyak dan gas bumi yang lokasinya bisa sampai kedalaman ribuan meter dibawah permukaan bumi. Usaha peningkatan produksi secara efektif dan efesien mendorong dilakukannya evaluasi ulang terhadap cadangan kecil terutama pada sumur tua.
Pada penelitian ini penentuan log pseudo seismik dilakukan dengan memanfaatkan log resistivitas yang kemudian ditransfomasikan ke dalam waktu propagasi gelombang. Beberapa peneliti sebelumnya telah berusaha mencari hubungan antara kecepatan gelombang bunyi dengan resistivitas batuan diantaranya adalah, Brito d.Santos [4], Dahyar [5] dan Carcione [6]. Kesimpulan yang diperoleh dari hubungan antara kecepatan gelombang bunyi dengan resistivitas batuan adalah kesamaan fungsinya untuk mengukur porositas batuan.
Pada kegiatan evaluasi sumur tua kadang tidak tersedia data pengukuran log seismik. Hampir pada semua sumur tua tidak tersedia data log seismik mengingat metode ini baru ditemukan pada tahun 1954. Beberapa
Tujuan umum dari penelitiani adalah mencari kelayakan log pseudo seismik yang diperoleh dari log resistivitas sehingga
130
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
diharapkan dapat diterapkan pada suatu sumur pengeboran yang tidak memiliki data log seismik. Untuk mencapai maksud tersebut di atas dilakukan dengan mencari fungsi transformasi yang sesuai dengan data yang diproses dalam pembuatan log pseudo sonic dari log resistivitas. Hasil log pseudo seismik yang diperolehe kemudian dibandingkan dengan log seismik sebenarnya melalui studi komparatif. Selanjutnya menganlisis secara kualitatif hasil log pseudo seismik yang diperoleh dari resitivitas untuk mengetahui factor-faktor yang mempengaruhi proses pembuatan log pseudo sonik.
(2) Bila persamaan diatas disederhanakan akan diperoleh sebagai : (3) Carsione dkk [6] mengajukan bahwa porositas batuan sebagai fungsi dari konduktivitas terukur, konduktivitas matriks dan konduktivitas fluida pengisi batuan yang dikenal dengan model self similar. Ternyata persamaan self similar yang diajukan oleh Carsione dkk identik dengan persamaan Bussian. Sehingga persamaan Bussian adalah persamaan umum yang dapat digunakan untuk menentukan porositas batuan sebagai fungsi resistivitas.
2. BAHAN DAN METODE Resistivitas Batuan Resistivitas suatu batuan ditentukan oleh sifat listrik bahan pembentuk batuannya. Suatu batuan terbentuk dari gabungan berbagai mineral dan memiliki rongga yang biasanya diisi oleh fluida. Oleh karena itu, jenis mineral, fluida rongga merupakan faktor yang mempengaruhi nilai resistivitas. Hubungan dasar untuk interpretasi data resistivitas pertama kali diformulasikan oleh Archie [7] yang menyatakan bahwa data resistivitas terukur merupakan fungsi dari resistivitas fluida pada batuan dan faktor resistivitas formasi. Sedang faktor resistivitas formasi merupakan fungsi dari porositas dan faktor sementasi.
Kecepatan Gelombang Dalam Batuan Teori mengenai propagasi gelombang elastis melalui medium berpori yang tersaturasi fluida pertama kali diperkenalkan oleh Gasmann [8] dimana dinyatakan bahwa kecepatan gelombang elastis merupakan fungsi dari tetapan elastis dan massa jenis batuan. Gasmann merumuskan : (4) Dimana =massa jenis, K = modulus Bulk dan μ = mdulus hear. Gasmann juga menunjukkan bahwa densitas batuan bergantung pada densitas matriks, densitas fluida dalam batuan dan porositas yang dirumuskan sebagai:
Dalam perkembangan selanjutnya faktor resistivitas formasi juga ditentukan oleh faktor kekelokan yang melewti pori formasi. Kedua faktor tersebut merupakan tetapan yang bergantung pada jenis sedimen, bentuk pori ,jenis porotsitas dan distribusinya. Ada beberapa model yang telah di rumuskan oleh beberapa peneliti selanjutnya diantaranya adalah model Bussian [1]. Bussian menyatakan bahwa resistivitas batuan yang terukur dipengaruhi oleh sifat listrik yang mengalir pada matriks batuan. Bussian meruskan modelnya sebagai:
(5) Rumusan Gasmann sangat sulit untuk diaplikasikan karena sulit untuk menentukan tetapan elastis. Selanjutnya Wyllie [9] menemukan bahwa waktu tempuh gelombang persatuan panjang pada suatu formasi batuan merupakan hasil rata-rata dari waktu tempuh persatuan panjang dalam matriks batuan dan waktu tempuh persatuan panjang dalam fluida. yang dipengaruhi oleh porositas. Secara matematis Wyllie merumuskan hubungan tersebut di atas sebagai :
(1) Atau
131
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
berdasarkan pada identifikasi kesamaan formasi batuan yang menunjukkan kemiripan litologi serta variasi resistivitas yang tidak jauh berbeda antara sumur refrensi dengan sumur target yang dianggap tidak memiliki log sonic. Penentuan sumur refrensi dipilih sumur yang berdekatan dengan sumur yang tidak memiliki log sonic. Hal ini dilakukan untuk menghindari pengaruh penyebaran facies di sekitar sumur. Korelasi log seismik dan log resistivitas dilakukan dengan menggunakan model persamaan Bussian-Wyllie melalui crossplot nilai log sonic dengan masingmasing resistivitas sesuai zona litoresitivitas. Kemudian dilanjutkan dengan analisis regresi non linier leastsquare.
(6) Gadner dkk. [3] mendapatkan persamaan empiris hubungan antara kecepatan gelombang dengan densutas sebagai : (7) Hubungan Antara Kecepatan Gelombang dan Resistivitas Batuan Hal yang sangat penting untuk mendapatkan hubungan antara kecepatan gelombang dan reistivitas adalah porositas. Pengaruh yang diberikan terjadi akibat adanya bahan yang mengisi pori batuan mempunyai sifat listrik dan elastis yang berbeda. Sehingga hubungan keduanya dapat dinyatakan sebagai : dan
.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
(8)
Identifikasi Zona Litoresistivitas Proses identifikasi litoresistivitas diawali dengan penentuan suatu sumur yang dijadikan sebagai target untuk menentukan log pseudo sonic. Sumur target tersebut kemudian dipilih selang interval kedalaman yang menunjukkan batas-batas formasi. Pada sumur SR1 yang dijadikan sebagai refrensi dipilh dua formasi bauan yakni formasi baturaja yang terletak pada kedalaman antara 1355 m – 1385 m, dengan litologi terdiri dari batu pasir, batu gamping dan batu serpih yang tersisipi lempung dengan log resistivity lateralogdepp (RLD) 4.72 m, log resistivity lateralog shallow(RLS) 4.91 m dan log resistivity microsperically focus log (RSFL) 3.31 m. Selanjutnya dengan menggunakan metode regresi nonlinier pada persamaan (10) diperoleh bahwa pada log reistivitas RLD, konstanta A=427.2, B=86.2 dan C =-91.36 , dengan koefisien korelasi sebesar 81.96 % dan error sebesar 7.5 % . Pada log resistivitas RLS diperoleh konstanta A=335.1 , B= 3707 dan C= 53.51, pada zona resistivitasi ini diperoleh tingkat korelasi 80.71 % dengan kesalahan 7.75 % . Hasil analisi secara lengkap dari kedua sumur seperti pada tabel berikut
Kedua hubungan ini dapat memberikan suatu fungsi transformasi resistivitas menjadi kecepatan gelombang : (9) Jika persamaan (5) disubtitusikan kedalam persamaan (3) akan diperoleh hubungan sebagai berikut. (10) dimana
,
,
Untuk mendapatkan konstanta A, B dan C dapat diseelesaikan dengan menggunakan metode least square dengan menggunakan program Matlab. Data-data penunjang yang digunakan adalah data log resistivitas dan log seismik pada dua sumur. Tahapan penting dalam pembuatan log pseudo seismik dari log resistivitas adalah penentuan zona litoresistivitas yang dilakukan
132
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
TABEL 1. zona litoresistivitas sumur SR1 sesuai karakteristik litologi model Bussian-Wyllie ZONA LITO RESISTIVITAS
No
1
2
Formasi
Baturaja
pendopo
Kedalaman (m) 1355-1385
1385-1496
Model Bussian- Wyllie
Resistivitas Maksimum (m)
A
B
C
KR (%)
e (%)
RLD
4.72
427.2
86.22
-91.4
81.96
7.5
RLS
4.91
335.1
37.1
53.5
80.7
7.75
RSFL
3.31
3.43
-27.2
365
30.5
14.7
RLD
221
218.9
11.02
158.8
25
34.2
RLS
273.7
211.3
10
1671
22
34.8
RSFL
62.4
-0.65
-19.8
322.5
25
34.2
Kurva koefisien korelasi pada setiap formasi batuan diperoleh seperti pada gambar berikut:
GAMBAR 1. Karelasi resistivitas vs waktu propagasi Pada sumur SR1 pada kedalaman 1355-1385 m
GAMBAR 2. Karelasi resistivitas vs waktu propagasi Pada sumur SR1 pada kedalaman 1385-1496
GAMBAR 3. Karelasi resistivitas vs waktu propagasi Pada sumur SR1 pada kedalaman 1375-1385 m
GAMBAR 4. Karelasi resistivitas vs waktu propagasi Pada sumur SR1 pada kedalaman 1415-1420 m
Pada formasi baturaja sumur SR1 (acuan) dengan interval 1355m -1385 responsi dari log resistivitas RLD cenderung lebih baik dibanding dengan log resistivitas lainnya. Hubungan antara log resistivitas dengan waktu penjalaran gelombang bersifat non linier sehingga ada kesesuaian dengan persamaan (10) sehingga dapat digunakan menentukan log pseudo seismik pada SR3 (target). Sedangkan pada formasi pondopo, dengan kedalaman antara 1385 m – 1496 m memiliki nilai koefisien korelasi yang sangat rendah demikian pula tingkat kesalahannya cukup tinggi.
Kecilnya nilai korelasi yang diperoleh karena resitivitas RLD dan RLS sangat besar dibanding dengan nilai resistivitas RSFL. 4. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil analisis data dan pembahasan yang telah dikemukakan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa: 1. Sifat listrik dan sifat mekanika formasi batuan dapat dilukiskan melalui suatu model matematik yang bersifat non linier. 133
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
2. Hubungan antara resistivitas dan waktu propagasi gelombang terdapat pada variabel porositas yang dapat mempengaruhi konduktivitas dan laju propagasi gelombang seismik. 3. Dengan menggunakan model BussianWyllie menunjukkan bahwa log pseudo sonic umumnya memiliki tingkat korelasi yang baik dengan kesalahan yang cukup kecil 4. Untuk formasi yang tidak tersaturasi dengan hidrokarbon diperoleh bahwa semakin rendah waktu propagasi gelombang akan diikuti dengan semakin tingginya resiativitas batuan.
Resistivity Measurement”, Dissertation of Doctor Phylosophy, Departemen of Geophysics, Stanford University, 2009. 3. Gardner, GH.F., Gardner, L.W., Gregory, A.R., “Formation Velocity And Density The Diagnostic Basic For Stratigrafi Trap”, Geophysics 39, 770-780 (1974). 4. Brito dos Santos, W.L., Ulrych, TJ., and De Lima, O.A.L., “A new Approach for Deriving Pseudovelocity log from Resistivity log”, Geophysical Prospection 36, 83-91 (1988). 5. Dahyar, M., “Studi Pemakaian log resistivitas untuk pembuatan seismogram sintetis”, Thesis Program Pasca Sarjana Geofisika Resesrvoir, FMIPA UI Jakarta, 2001.
Saran
6. Carcione, J.M., B. Ursin, “Cross Property Relations Between electrical Conductivity and the velocity of Rocks”, Geophysics 72, E193-E204 (2007).
Pada penelitian selanjutnya sebaiknya factor tekanan dan temperatur disepanjang pengeboran diperhatikan untuk mencari korelasi antara sifat listrik dan sifat elastis batuan khususnya pada pengeboran yang dalam. Hal ini disebabkan karena pada lokasi yang dalam degeradasi tekanan dan tempueratur cukup besar.
7. Archie, G.E., “The Electrical Resistivity log as an Aid in determining some reservoir characteristic”, Transsaction AIME, vol. 146, 54-62 (1942). 8. Gasman, F., “Elastics Wave Through a Picking of sphere”, Geophysics 16, 770780. 9. Wyllie, M.RJ., and Gregory A.R., “Electrical Conductance in a Porous Media”, Geophysics SEG 21(1), 41-70 (1956).
5. REFERENSI 1. Bussian, A.E., “Electrical Conductance in a Porous Media”, Geophysics 48, 1258-1265 (1983). 2. Gomes, C.T., “Reservoir Characterization Combining Elastic Velocity – Electrical
134
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Rancangan Alat Pengukuran Percepatan Gravitasi (Gerak Benda Jatuh Bebas) Muhammad Hamzah Syahruddin*, Rezky Hari Sandi, Maria Program studi Geofisika, Jurusan Fisika Fakultas MIPA Universitas Hasanuddin * email:
[email protected]
Abstrak Alat pengukuran percepatan gravitasi dibutuhkan mahasiswa geofisika Unhas untuk kuliah lapangan dalam melakukan percobaan eksplorasi sumber daya alam dengan metoda gravity. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut dilakukan perancangan alat ukur gravitasi berdasarkan prinsip benda jatuh bebas. Alat ini menghitung waktu tempuh benda yang mengalami jatuh bebas dengan ketinggian (h) dengan kecepatan awal (v o). Penghitung waktu benda jatuh bebas menggunakan sensor cahaya. Waktu yang diperoleh diproses dalam mikrokontroler arduino menggunakan bahasa pemrograman C untuk menghasilkan nilai percepatan garavitasi. Nilai percepatan gravitasi yang dihasilkan oleh alat pengukuran percepatan gravitasi adalah 9,781149176 m/s2 atau 978,1149176 Gal. Kata kunci: gravitasi, alat ukur, sensor cahaya, mikrokontroler arduino
dan teknis operasional peralatan manual. Dari sisi lain, dunia modern mengakui dukungan teknologi perangkat lunak dan perangkat keras sebagai bagian integral revitalisasi sistem telah menciptakan proses yang lebih efisien dan efektif. Dengan telah berkembangnya terapan instrumentasi dan computer tidak dapat dipungkiri bahwa pemanfaatan teknologi menjadi kebutuhan untuk mendapatkan hasil eksperimen yang memiliki validitas tinggi.
1. PENDAHULUAN Geofisika merupakan bidang ilmu yang mengkaji sifat-sifat fisis bumi dengan prinsip terapan teori ilmu fisika dan dengan penunjang disiplin ilmu lainnya (Geologi, Oseonografi, dan lain-lain) untuk menghasilkan deskripsi analisis/intrepretasi objek observasi. Kemajemukan sifat-sifat fisis bumi, diantaranya resistivitas, variasi rapat massa, densitas, cepat rambat gelombang menjadi objek kajian Geofisika yang dapat diperoleh dari proses akuisisi/observasi. Sifat-sifat tersebut diperoleh dengan melakukan pengukuran menggunakan alat-alat atau instrument Geofisika. Semua instrument tersebut menerapkan prinsip fisika berdasarkan pada sifat fisis yang hendak diperoleh sebagai data akusisi [1]. Salah satu diantaranya adalah berdasarkan perbedaan densitas (kerapatan) massa antar batuan. Sifat fisis ini sangat berpengaruh dengan medan gravitasi, sehingga terjadi variasi nilai percepatan gravitasi (anomaly gravitasi).
Berdasarkan latarbelakang tersebut diatas, maka peneliti mendesain dan membuat set piranti pengukur besaran percepatan gravitasi berbasis komputer. Diharapkan dapat diterapkan dalam skala laboratorium dan juga observasi lapangan Geofisika. 2. KAJIAN LITERATUR 2.1 Gerak Jatuh Bebas Benda Jatuh Bebas adalah benda apapun yang bergerak bebas hanya karena disebabkan oleh pengaruh gravitasi, terlepas dari jenis gerak awalnya. Sebuah benda yang dilempar keatas atau kebawah dan yang dilepaskan dari posisi awal diam merupakan benda jatuh bebas ketika benda-benda tersebut memiliki percepatan gravitasi (g) yang mengarah langsung ke pusat bumi [2]. Secara sederhana benda jatuh bebas dapat dilihat pada Gambar 1.
Berbagai metode eksperimen berdasarkan prinsip dasar mekanika yang dapat diterapkan untuk menetukan besaran percepatan gravitasi, seperti metode ayunan pendulum, peregangan pegas, dan gerak jatuh bebas yang dapat diterapkan skala laboratorium maupun di lapangan. Dalam prakteknya, diantara kelemahannya yaitu pada tingkat akurasi data yang sebagian besar disebabkan human error
135
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Development Environment (IDE) yang canggih. IDE adalah sebuah software yang sangat berperan untuk menulis program, meng-compile menjadi kode biner dan mengupload kedalam memori mikrokontroller. Adapun yang dimaksud dengan Physical Computing adalah membuat sistem atau perangkat fisik dengan menggunakan software dan hardware yang sifatnya interaktif yaitu dapat menerima rangsangan dari lingkungan dan memberi respon balik. Dengan kata lain, menghubungkan bentuk digital dari bentuk analog yang bersumber dari lingkungan fisik. Arduino sebagai salah satu prototype yang berbasis mikrokontroler yang hardware dan software-nya digratiskan kepada setiap penggunanya (open source), salah satu jenisnya adalah Arduino Uno [4].
GAMBAR 1. Skema Gerak Jatuh Bebas
Formulasi benda jatuh bebas dari konsep fisika dapat dilihat pada persamaan berikut.
(1) Dimana : h = ketinggian benda (m) ho = ketinggian awal benda v0 = kecepatan awal (m/s) g = percepatan gravitasi (m/s2) t = waktu (s)
3. METODE PENELITIAN Rancangan Alat Ukur Garavity Rancangan alat pengukuran gravity dapat dilihat pada Gambar 2.
2.2 Sensor Cahaya Secara umum, sensor merupakan peralatan yang digunakan untuk merubah besaran fisik menjadi besaran listrik sehingga dapat dianalisa dengan rangkain listrik tertentu. Sensor sebagai bagian dari transducer yaitu alat yang mengubah suatu bentuk energi kebentuk energi lain yang pada umumnya kebentuk energy listrik [3]. Selain itu transducer, berfungsi sebagai sensing atau “merasakan dan menangkap” perubahan energi eksternal yang akan masuk kebagian input dari transducer, sehingga perubahan kapasitas energi yang ditangkap segera dikirim kepada bagian converter dari transducer untuk dirubah menjadi energy listrik. Adapun secara spesifik, sensor cahaya merubah besaran cahaya menjadi besaran listrik dengan prinsip kerja merubah energi foton menjadi elektron.
GAMBAR 2. Sketsa Alat Gravity
Alat yang dirancang memiliki cara kerja berikut ini: 1. Nilai kecepatan awal (V0) benda yang akan jatuh bebas menjadi nilai ketetapan alat yang akan digunakan untuk mengujian alat. Nilai ini diproleh dengan melakukan pengujian pada sebuah titik yang telah diketahui nilai gravitasinya (base station).
2.3 Mikrokontroler Arduino Arduino merupakan sebuah platform dari physical computing yang bersifat open source. Lebih tepat disebut sebagai platform karena Arduino tidak hanya sekedar sebuah alat pengembangan, tetapi ia adalah kombinasi dari hardware, bahasa pemrograman dan Integrated
2. Benda yang jatuh akan terbaca oleh sensor 1 (on) untuk menerima sinyal mengaktifkan program timer hingga benda melewati sensor 2 (off) yang kemudian menghentikan timer. Nilai waktu tempuh
136
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
oleh mikrokontroler (Arduino Uno) diubah dan ditampilkan dalam bentuk angka digital pada serial monitor software Arduino IDE 1.6.4.
ini sebagai nilai ketetapan alat yang akan digunakan sebagai acuan pada percobaan ini untuk mendapatkan nilai gravitasi. Dengan nilai v0 di atas, pengujian nilai gravitasi dilakukan pada posisi berbeda dengan hasil data sebagai berikut:
3. Sensor yang digunakan terdiri dari 2 bagian yaitu, pemancar gelombang inframerah dan penerima gelombang berupa fotodioda. Pemacar gelombang aktif ketika alat dalam keadaan hidup (on), pada saat benda yang dijatuhkan melewati sinar infra merah maka gelombang tersebut akan terpantul kembali dan diterima oleh fotodioda. Respon fotodioda ini yang diterima oleh mikrokontroller sebagai pemicu timer mulai dan berhenti mencacah waktu benda jatuh bebas dari sensor 1 ke sensor 2 pada alat tersebut.
TABEL 1. hasil data pengujian gravitasi
No.
h (cm)
t (ms)
g (Gal)
1.
9,00513
0,070
978,1143487
2.
8,04546
0,064
978,1149545
3.
7,12101
0,058
978,1145656
5. KESIMPULAN
4. Bahasa program alat (sketch) yang disusun pada software Arduino IDE 1.6.4 kemudian di compile dan di upload kemikrokontroller Arduino Uno sebagai penghubung atau pelaksana perintah program tersebut dan juga memproses data input alat pencacah waktu (timer) untuk menghasilkan output nilai gravitasi kemudian ditampilkan pada serial monitor.
Alat pengukuran percepatan gravitasi ini dirancang dengan menggunakan perangkap sensor cahaya infra merah. Nilai percepatan gravitasi yang dihasilkan oleh alat pengukuran percepatan gravitasi adalah 9,781149176 m/s2 atau 978,1149176 Gal. 6. REFERENSI 1. Warsito, A., “Implementasi instrumentasi dalam penentuan besaran gravitasi di laboratorium fisika FST UNDANA berdasarkan Prinsip jatuh bebas”, 2015.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari persamaan h = v0 t + 1/2gt2, untuk mendapatkan nilai g maka diperlukan nilai v0 sebagai kecepatan awal benda yang bergerak jatuh bebas. Dari hasil percobaan yang dilakukan pada base station Universitas Hasanuddin dengan nilai gravitasi (g) 978,11145 Gal dan alat mencatat waktu (t) 0,092 millisekon pada ketinggian (h) 12,8 cm, maka diperoleh nilai v0 = 94,41071208. Nilai
2. Syahruddin, M. H., “Mengekstrak Parameter Fisis dari Data Observasi”, Jurnal Elektronik, UNJ Jakarta, 2015. 3. Anonim, “Sensor”, (14 Januari 2016), www.storage.jak-stik.ac.id. 4. Djuandi, F., “Pengenalan Arduino”, Universitas Trisakti Jakarta, 2011.
137
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Inversi Data Self-Potential Perumahan Bukit Baruga Antang Makassar Muhammad Hamzah Syahruddin*, Asraf, Sudarmadi, Wahyudin, Muh. Nur Iqlal Manai Program Studi Geofisika, Jurusan Fisika Fakultas MIPA Universitas Hasanuddin * email:
[email protected]
Abstrak Bagaimana bentuk Self-Potential perumahan bukit baruga Antang Makassar? Bagaimana parameter fisis Self-Potential perumahan Bukit Baruga Antang Makassar? Koordinat dan Self-Potential perumhan Bukit Baruga diukur menggunakan alat yang sederhna voltmeter digital merek Sanwa PC500 dengan ketelitian 0,01 mV. Hasil pengukuran GPS diplot menggunakan surfer sehingga diperoleh gambar peta Self-Potential perumahan Bukit Baruga Antang Makassar. Data koordinat perumahan Bukit Baruga Antang Makassar diproses dengan metoda inversi untuk mendapatkan parameter fisis Self-Potentialnya. Parameter fisis SelfPotential perumahan Bukit Baruga Antang Makassar merupakan karakteristik daerah tersebut. Perumahan Bukit Baruga Antang Makassar berupa perbukitan dengan ketinggian 1 smpai 27 mV diatas elipsoid bumi. Parameter fisis Self-Potential perumahan Bukit Baruga Antang Makassar adalah -0,0000757149, 0,004337903, -1,042991549. Kata kunci: Self-Potential, inversi, parameter fisis, perummahan Bukit Baruga Antang Makassar
Lokasi penelitian ini dilakukan di daerah perumahan Bukit Baruga Antang dan sebagian deerah sekitarnya. Luas daerah yang disurvei adalah 1000 meter kali 1000 meter atau 1,0 km2. Di daerah tersebut dilakukan pengukuran Self-Potential, menggunakan alat yang sederhna voltmeter digital merek Sanwa PC500 dengan ketelitian 0,01 mV. Titik-titik pengukuran memunyai spasi 100 meter.
1. PENDAHULUAN Pemodelan inversi adalah pemodelan yang dilakukan untuk mendapatkan parameter fisis secara langsung dari data [1]. Untuk mendapatkan parameter fisis dari data SelfPotential maka digunakan pemodelan inversi. Sebaliknya untuk memperoleh data prediksi hasil pengukuran berdasarkan parameter fisis yang sudah diketahui, maka proses ini disebut proses forward atau forward modelling [2]. Anomali SP dapat ditimbulkan oleh berbagai proses di alam. Secara umum, ada tiga mekanisme yang dapat menimbulkan SP di alam. Pertama, potensial elektrokinetik (PE) atau streaming potential adalah potensial listrik yang ditimbulkan oleh aliran fluida pada media berpori [3]. Kedua, potensial elektrokimia yang muncul karena adanya perbedaan konsentrasi elektrolitik dalam larutan [4]. Ketiga, potensial termoelektrik yang berkaitan dengan gradien termal [5]. Parameter-parameter yang dapat mempengaruhi potensial elektrokinetik adalah salinitas, konduktivitas hidrolik, tekanan, pH, suhu, ukuran butir mineral, jenis mineral, fasa fluida dan lain-lain.
Lokasi pengukuran berada pada koordinat geodetik 119⁰ 29’ 9,5'’E - 119⁰ 29’ 41,4'’E dan 05⁰ 09' 10.2''S - 05⁰ 09’ 36,4’’S. Lokasi penelitian di perumahan Bukit Baruga Antang dan sekitarnya dapat dilihat pada Gambar 1. Ada beberapa titik dalam koordianat tersebut yang tidak dapat diukur karena berada di daerah rawah.
2. KAJIAN LITERATUR Data Self-Potential Baruga Antang
Perumahan
Bukit
GAMBAR 1. Lokasi Penelitian Perumahan Bukit Baruga Antang
138
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Pengukuran Self-Potential dilakukan pada awal bulan April 2015. Hasil pengukuran SelfPotential di Perumahan Bukit Baruga Antang dapat digambarkan dalam kontur dua dimensi menggunakan software surfer 10. Kontur tiga dimensi hasil pengukuran Self-Potential Kota Makassar dapat dilihat pada Gambar 2.
Dengan menerapkan data Self-Potential pada persamaan (3) diperoleh parameter fisis m. Parameter fisi m masing-masing m1 sama dengan -0,0000757149, m2 sama dengan 0,004337903, dan m3 sama derngan 1,042991549. Hasil pemodelan inversi SelfPotential perumahan Bukit Baruga Antang adalah: -0,0000757149 + 0,004337903xi 1,042991549yi = SPi
(4)
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pemodelan inversi Self-Potential perumahan Bukit Baruga Antang dapat digambarkan. Caranya adalah melakukan substitusi koordinat latitude, longitude dan data Self-Potential ke dalam persamaan (4). Hasil pemodelan inversi Self-Potential perumahan Bukit Baruga Antang dapat dilihat pada Gambar 3.
GAMBAR 2. Data hasil pengukuran Self-Potential Bukit Baruga Antang
Self-Potential Perumahan Bukit Baruga Antang mempunyai nilai 1 sampai 27 mV. 3. METODE PENELITIAN Metode Inversi Data Self-Potential adalah data dua dimensi. Oleh karena itu inversi yang digunakan adalah Inversi model bidang. Inversi model bidang yang diterapkan pada data Self-Potential untuk mencari parameter fisis data Self-Potential yang merupakan karakteristik Self-Potential suatu daerah. Inversi linier model bidang dapat dinyatakan dalam model matematika berikut ini [6]: m1 + m2xi + m3yi = SPi
GAMBAR 3. Hasil Pemodelan Inversi Self-Potential perumahan Bukit Baruga Antang
Hasil pemodelan inversi Self-Potential perumahan Bukit Baruga Antang secara linier menunjukkan bahwa perumahan tersebut berada pada ketinggia rata-rata 5,8 mV di atas permukaan elipsoid bumi.
(1)
Dimana xi longitude, yi latitude, m1, m2 dan m3 merupakan parameter fisi SelfPotential yang akan dicari. Adapun yang berlaku sebagai data Self-Potential adalah SP1, SP2, SP3, ..., SPi. Berdasarkan model matematika tersebut, kita bisa nyatakan: GTGm = GT SP
Bila dilakukan pengurangan antara data Self-Potential dengan data Self-Potential hasil inversi maka diperoleh nilai residu SelfPotential. Nilai residu Self-Potential dapat dilihat pada Gambar 4.
(2)
Dimana G adalah matrik kernel dan T adalah transpos matriks. Untuk mendapatkan nilai parameter fisis m maka diakukan proses inversi pada persamaan berikut, m=inv(GT G).GT SP
(3) 139
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
memberikan bantuan dana dalam melakukan penelitian tindakan kelas untuk pengembangan metoda pembelajaran. Terima kasih kepada semua mahasiswa saya yang mengambil matakuliah metoda inversi Geofisika semester genap tahun 2015 dengan pembelajaran experiential learning. Mereka mengambil data Self-Potential di lapangan .dan belajar melakukan inversi data lapangan baik inversi satu dimensi maupun inversi dua dimensi. Hasil pembelajaran experential learning metoda inversi geofisika 2015 menjadi karya tulis yang dipublikasikan dalam SNF 2016.
GAMBAR 4. Nilai residu Self-Potential perumahan Bukit Baruga Antang
Nilai residu Self-Potential perumahan Bukit Baruga Antang menunjukkan bahwa Self-Potential tinggi hanya karena kompensasi dari Self-Potential yang rendah atau sebaliknya Self-Potential yang rendah merupakan kompensasi dari Self-Potential tinggi. Jadi kalau Self-Potential tinggi digunakan untuk menutup Self-Potential yang rendah maka diperoleh perumahan Bukit Baruga antang menjadi rata dengan nilai 5,8 mV.
7. REFERENSI 1. Grandis, H., Pengantar Pemodelan Inversi Geofisika, HAGI (2009). 2. Supriyanto, “Memahami Teori Inversi”, Universitas Indonesia, (2007). 3. Kim, G., Heinson, G., dan Joseph, J., “Laboratory Measurements of Electrokinetic Potential from Fluid Flow in Porous Media”, Regolith 2005, 176-178 (2005). 4. Sato, M., and Mooney, H.M., “The electrochemical mechanism of sulfide self potential”, Geophysics 25, 226-49 (1960).
5. KESIMPULAN Perumahan Bukit Baruga Antang berupa perbukitan dengan ketinggian 2 smpai 28 mV diatas elipsoid bumi. Parameter fisis SelfPotential perumahan Bukit Baruga Antang adalah -0,0000757149, 0,004337903, 1,042991549. Dapat disimpulkan bahwa parameter fisis sebagai karakteristik SelfPotential suatu wilayah dapat diketahui dengan metoda inversi.
5. Yasukawa, K., Andan, A., Kusuma, D.S., dan Uchida, T., “Self-Potential Survey in the Mataloko Geothermal Prospect Flores”, Proceedings World Geothermal Congress, Kyushu - Tohoku, Japan, (2000). 6. Meju, A Max., “Geophysical Data Analysis: Understanding Inverse Problem Theory and Practice”, Society of Exploration Geophysicists (SEG), (1994).
6. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terimah kasih saya sampaikan kepada pimpinan UNHAS dan LKPP yang
140
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Kumpulan Nilai Koefisien untuk Penentuan Suhu Udara dan Kelembaban Relatip Rata-Rata Harian Kota Palembang Arsali1), Surya Dwi Yurisman Prabu Oktarino2), Muhammad Guntur3), Ngudiantoro4) FMIPA, Universitas Sriwijaya 1 email:
[email protected] 2 email:
[email protected] 3 email:
[email protected] 4 email:
[email protected]
Abstrak Sepasang kumpulan nilai, {0.405, 0.261, 0.323} dan {0.488, 0.231, 0.279}, hasil perhitungan Metoda Least Square (LS), masing-masing terhadap data observasi tiap jam suhu udara dan kelembaban relatip dari Stasiun Meteorologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang selama tahun 2007-2012, diusulkan sebagai pengganti Kumpulan Nilai Koefisiean BMKG, KNKBMKG = {½, ¼, ¼}, guna menentukan nilai rata-rata harian suhu udara
dan rata-rata harian kelembaban relatip , dari data observasi terkait pada pukul 07:00, 13:00, dan 18:00 waktu setempat. Perhitungan dan menggunakan kumpulan nilai yang bersesuaian di atas menghasilkan kedekatan terhadap nilai rata-rata suhu udara sebenarnya Tr dengan koefisien korelasi CORR = 0.88, simpangan rata-rata ME = 0.02 0C, simpangan rata-rata absolut MAE = 0.34 0C, dan simpangan rata-rata akar kuadrat RMSE = 0.44 0C, dan kedekatan terhadap nilai rata-rata kelembaban relatip sebenarnya Tr dengan CORR = 0.92, ME =0.01%, MAE = 1.38%, dan RMSE = 1.74%, lebih baik daripada hasil perhitungan menggunakan KNKBMKG maupun KNK pasangannya.
Kata kunci: Suhu Udara rata-rata Harian (SUrH), Kelembaban Relatip rata-rata Harian (RHrH), Metoda Least Square (LS), Kumpulan Nilai Koefisien (KNK).
Abstract A couple set of values {0.405, 0.261, 0.323} and {0.488, 0.231, 0.279} resulted by Least Square (LS) Method each from hourly observational data of air temperature and relative humidity respectively of the Agency for Meteorology, Climatology and Geophysics (BMKG)’s Meteorological Station of Sultan Mahmud Badaruddin II Airport in Palembang, in 2007-2012, has been proposed as a replacement of The Coefficient Value Collection of BMKG, KNKBMKG = {½, ¼, ¼} to determine the daily mean air temperature and daily mean relative humidity , from the observational data above at 07:00, 13:00 and 18:00 local time. Calculation of and by using it’s related set of values above resulting in conformity with true daily mean air temperature Tr with correlation coefficient CORR = 0.88, mean error ME = 0.02 0C, mean absolute error MAE = 0.34 0 C, and root mean square error RMSE = 0.44 0C, and with true daily mean relative humidity Tr, with CORR = 0.92, ME = 0.01 %, MAE = 1.38 %, and RMSE = 1.74 %, better than calculation by the KNKBMKG nor by it’s spouses. Keywords:
Daily mean Air Temperature (SUrH), Daily mean Relative Humidity (RHrH), Least Square (LS) Method, Coefficient Value Collection (KNK).
〈𝑋〉𝑜𝑝 = 12𝑋7 + 14𝑋13 + 14𝑋18
1. PENDAHULUAN Guna penetapan nilai rata-rata harian hasil pengamatan suhu udara dan kelembaban relatip, yang diukur pada pukul 07.00, 13.00, dan 18.00 waktu setempat setiap harinya, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geo-fisika (BMKG) menetapkan sebuah formula operasional, FO-BMKG, yang secara umum dirumuskan sebagai
(1)
X adalah suhu udara atau kelembaban relatip, dengan angka indeks menyatakan waktu (pukul) pengukuran data terkait. Secara utuh {X7, X13, X18} menyatakan Kelompok Data Utama (KDU) dan {½, ¼, ¼} adalah Kumpulan Nilai Koefisiean (KNK) terkait dengan FO-BMKG di atas [1,2]. Hal penting dari persamaan (1) di atas adalah bahwa KNKBMKG = {½, ¼, ¼}
141
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
diberlakukan (sebagaimana dinyatakan di dalam Peraturan Kepala BMG, [1]) untuk dua kasus sekaligus, penentuan suhu udara rata-rata harian op dan penentuan kelembaban relatip ratarata harian op, suatu keputusan yang sejauh ini belum dibuktikan oleh hasil kajian ilmiah yang cukup mendalam.
Di dalam SUrH, maupun pada Kelembaban Relatip rata-rata Harian (RHrH), sesungguhnya persoalan yang lebih mendasar bukanlah pada penentuan KNK, melainkan pada penentuan KDU [7], yaitu menyangkut penetapan waktu dan jumlah pengamatan dalam sehari- semalam. Dalam hal ini, sebagai contoh, untuk jumlah pengamatan yang sama tetapi dilakukan pada waktu-waktu berbeda juga dapat menghasilkan nilai SUrH yang bebeda [8,9]. Berbeda dengan SUrH, kajian tentang RHrH belum banyak dilakukan. Satu kajian sederhana, termasuk dalam penetapan KDU, telah dilakukan baru-baru ini [10]. Namun dengan mengingat mekanisme pengamatan dan keterkaitan data diantara keduanya adalah mungkin untuk memperlakukannya dengan metoda dan formula yang mirip, sebagaimana yang dilakukan oleh BMKG melalui Formula Operasional (FO-BMKG) yang sama [1]. Keputusan BMKG untuk menggunakan KNKBMKG yang sama pada perhitungan op maupun op boleh jadi disebabkan oleh korelasi yang amat kuat diantara data runtun waktu pengamatan T dan RH sebagaimana diperlihatkan pada [3].
Tulisan ini bertujuan ingin mendapatkan KNK yang tepat, guna penentuan, masingmasing, dan . Seperti pada [2], di sini juga akan digunakan Metoda Least Square (LS). Karena bersumber dari data yang berbeda, penentuan KNK untuk perhitungan dan dilakukan secara terpisah, sehingga secara umum KNK keduanya juga diperkirakan akan berbeda. Namun demikian dengan adanya korelasi spesifik antara data runtun waktu pengamatan suhu dan kelembaban relatip [3], maka diharapkan akan dapat dijembatani adanya kedekatan hubungan atau kemiripan KNK diantara dua kelompok data tersebut. 2. KAJIAN LITERATUR Penetapan formula, guna penentuan nilai rata-rata suatu parameter fisis telah lama menjadi bahan perdebatan, terutama di bidang klimatologi. Persoalan ini utamanya muncul manakala pengukuran yang bersifat lokal dan temporal perlu ditransformasikan ke parameter berskala regional hingga global, dan dalam skala waktu yang lebih panjang. Telah sama-sama diketahui bahwa kajian perubahan iklim melibatkan parameterparameter dalam perioda waktu panjang dan lingkup wilayah yang luas. Dengan demikian, bagaimana cara mendefinisikan nilai-nilai besaran terukur pada kondisi sesaat di lokasi pengamatan menjadi nilai rata-rata yang mewakili banyak pengukuran pada waktu berurutan dan sekaligus pada banyak lokasi yang berbeda adalah sebuah permasalahan. Persoalan penentuan nilai rata-rata, dalam waktu, di bidang klimatologi telah dimulai dari sejarah panjang pengukuran itu sendiri, terutama pada pengukuran suhu udara. Dengan mengingat bahwa pada awalnya pengukuran dilakukan secara manual dan dilakukan hanya beberapa kali dalam sehari-semalam, maka persoalannya adalah pada bagaimana menen-tukan Suhu Udara rata-rata Harian (SUrH) berdasarkan nilai-nilai pengamatan tersebut di atas [4,5,6].
32
100
31
95
30
90
29
85
28
80
27
75
26
4:00
1:00
22:00
19:00
60
16:00
65
23
13:00
24
10:00
70
7:00
25
RH (%)
T (0C)
T dan RH Palembang 2007-12
Waktu (WIB) GAMBAR 1. Pola suhu udara dan kelembaban relatip kota Palembang dalam sehari semalam, hasil perata-rataan data observasi tiap jam Stasiun Meteorologi Bandara SMB II tahun 2007-12.
3. METODE PENELITIAN Data digunakan dalam kajian ini adalah data runtun waktu tiap jam hasil observasi suhu udara dan kelembaban relatip di permukaan,
142
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
pada tiap jam selama tahun 2007-2012 dari Stasiun Meteorologi Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II (2.890 LS, 104.700 BT, 10 m). Total terlibat 105024 data (99.72% dari data lengkap). Sementara itu, kelayakan data ini diuji secara visual terhadap pola tipikal data sepanjang siang-malam, juga deviasi standar dari masing-masing kumpulan data tersebut. Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1, terlihat pola tipikal suhu udara dan kelembaban relatip sepanjang siang-malam. Secara utuh terlihat pula trend perubahan yang saling berlawanan diantara keduanya. Kondisi ini sangat sesuai dengan yang ditunjukkan pada [3], dengan bentuk grafik yang menunjukkan korelasi kuat (namun berlawanan) diantara mereka. Perhitungan KNK dilakukan sebagaimana pada [2] masing-masing untuk penentuan dan , menggunakan data runtun waktu terkait dengan mengambil Perioda Data (PD) maksimum, 6 tahun. Dalam hal ini, apabila pada masing-masingnya diperoleh lebih dari satu KNK yang mungkin maka KNK yang akan dipilih adalah KNK terbaik berdasarkan pada nilai indikator kinerja yang digunakan. Selanjutnya dengan menyatakan bentuk umum KNK terpilih sebagai KNK LS = {𝑎, 𝑏, 𝑐} maka formula untuk penentuan <X>, sebagai-
mana halnya persamaan (1), dengan metoda LS (Formula LS) dapat dituliskan sebagai 〈𝑋〉 = 𝑎 𝑋7 + 𝑏 𝑋13 + 𝑐 𝑋18
(2)
dengan tingkat kinerja Formula LS dinyatakan melalui nilai-nilai indikator koefisien korelasi (CORR), simpangan rata-rata (ME), simpangan rata-rata absolut (MAE), dan simpangan ratarata akar kuadrat (RMSE) antara pasangan data 〈𝑋〉 dan 〈𝑋〉 𝑇𝑟 , di mana 1
〈𝑋〉 𝑇𝑟 = ∑23 𝑋 24 𝑖=0 𝑖
(3)
adalah nilai T atau RH rata-rata sebenarnya (mean value), dengan indeks i menyatakan saat (jam) pengukuran dilakukan (WIB). 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. KNK dan Kinerja Terkait Sebagaimana telah dijelaskan pada [2], dengan menetapkan KDU (KNK) berisi tiga komponen maka untuk setiap pilihan perioda data penerapan Metoda LS akan menghasilkan empat buah KNK yang mungkin. Perhitungan terhadap data yang ada menghasilkan tiga KNK
TABEL 1. KNK dan Kinerja terkait untuk perhitungan , data Stasiun Meteorologi Bandara SMB II Palembang tahun 2007-2012. KNK-1, KNK-2, dan KNK-3 adalah hasil perhitungan Metoda LS dari data T. KNK-4 = KNK-1 pada Tabel 2, adalah KNK berkinerja terbaik untuk perhitungan . KNK-5 = KNKBMKG. Sebagaimana data pada dua kolom paling kanan, KNK-1 memberikan kinerja terbaik sementara KNK-5 menghasilkan kinerja terburuk. 2007 Mean StDev
2008 Mean StDev
2009 Mean StDev
2010 Mean StDev
2011 Mean StDev
2012 Mean StDev
Mean StDev
KNK
INDI KATOR
KNK-1
CORR
0.88
0.08
0.86
0.13
0.90
0.05
0.88
0.05
0.91
0.04
0.87
0.05
0.88
0.06
0.405
ME
0.00
0.07
0.00
0.07
0.02
0.10
0.00
0.07
0.02
0.06
0.06
0.10
0.02
0.08
0.261 0.323
AME RMSE
0.35 0.44
0.06 0.09
0.32 0.42
0.05 0.07
0.35 0.45
0.04 0.07
0.35 0.44
0.06 0.06
0.29 0.37
0.06 0.08
0.39 0.49
0.07 0.08
0.34 0.44
0.06 0.07
KNK-2
CORR
0.87
0.08
0.84
0.13
0.89
0.04
0.87
0.05
0.90
0.04
0.85
0.05
0.87
0.07
0.459
ME
-0.01
0.08
-0.01
0.09
0.02
0.09
-0.04
0.07
0.01
0.04
0.07
0.10
0.00
0.08
0.228 0.313
AME RMSE
0.35 0.45
0.07 0.09
0.33 0.44
0.04 0.07
0.35 0.45
0.04 0.07
0.36 0.45
0.05 0.05
0.30 0.37
0.06 0.07
0.40 0.50
0.06 0.07
0.35 0.44
0.05 0.07
KNK-3
CORR
0.87
0.08
0.85
0.14
0.89
0.04
0.87
0.05
0.91
0.04
0.86
0.05
0.88
0.07
0.446
ME
0.00
0.08
-0.01
0.09
0.01
0.10
-0.03
0.08
0.01
0.05
0.07
0.11
0.01
0.09
0.205 0.349
AME RMSE
0.35 0.45
0.06 0.09
0.33 0.44
0.05 0.08
0.36 0.46
0.04 0.07
0.36 0.45
0.06 0.06
0.30 0.38
0.06 0.08
0.39 0.50
0.06 0.07
0.35 0.45
0.06 0.07
KNK-4
CORR
0.86
0.09
0.83
0.14
0.88
0.05
0.86
0.05
0.89
0.04
0.84
0.06
0.86
0.07
0.485
ME
0.07
0.08
0.08
0.09
0.11
0.08
0.04
0.06
0.10
0.05
0.16
0.10
0.09
0.08
0.236 0.279
AME RMSE
0.37 0.46
0.07 0.08
0.36 0.46
0.05 0.06
0.37 0.47
0.05 0.07
0.38 0.47
0.04 0.04
0.32 0.40
0.06 0.07
0.43 0.53
0.06 0.07
0.37 0.47
0.05 0.07
KNK-5
CORR
0.85
0.09
0.82
0.14
0.87
0.05
0.85
0.05
0.88
0.05
0.82
0.07
0.85
0.07
0.500
ME
0.09
0.09
0.10
0.09
0.14
0.08
0.06
0.06
0.13
0.07
0.19
0.10
0.12
0.08
0.250 0.250
AME RMSE
0.39 0.48
0.07 0.08
0.38 0.48
0.05 0.07
0.39 0.49
0.06 0.08
0.39 0.48
0.04 0.04
0.34 0.42
0.06 0.06
0.46 0.56
0.07 0.07
0.39 0.49
0.06 0.07
143
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
suhu udara (KNKT) yang berbeda, yaitu: {0.405, 0.261, 0.323}, {0.459, 0.228, 0.313}, dan {0.446, 0.205, 0.349} serta tiga KNK kelembaban relatip (KNKRH) yang berbeda pula, yaitu: {0.488, 0.231, 0.279}, {0.481, 0.236, 0.283}, dan {0.485, 0.241, 0.275}. KNK ke-4 dari tiap kelompok di atas sama persis dengan KNK ke-3 dari masing-masing mereka. Tabel 1 memperlihatkan KNKT di atas seperti dinyatakan pada KNK-1, KNK-2, dan KNK-3, sementara hal yang sama untuk KNKRH juga dinyatakan pada KNK-1, KNK-2, dan KNK-3 di dalam Tabel 2. Hal yang unik, sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 1 dan Tabel 2, adalah bahwa perhitungan Metoda LS selalu memberikan kinerja terbaik pada KNK1, KNK yang diperoleh murni dari persyaratan kondisi minimum pada Metoda LS, walaupun jumlah komponen nilai KNK yang diperoleh daripadanya tidak selalu tepat = satu. Sebagaimana juga disimpulkan dari [2] kinerja KNK-1, KNK-2, dan KNK-3, sebagai produk Metoda LS, selalu lebih baik dari kinerja KNKBMKG. Kecuali untuk indikator kinerja CORR, walaupun tidak sebaik kinerja KNK dalam kelompok KNKT, pada hampir semua kasus KNK dalam kelompok KNKRH secara signifikan berkinerja lebih baik dibandingkan dengan kinerja KNKBMKG.
4.2. Adakah KNK Terbaik untuk Perhitungan Sekaligus ? Penempatan KNKBMKG sekaligus pada Tabel 1 dan Tabel 2 adalah ungkapan bahwa KNK dimaksud dapat memberikan kinerja yang baik, pada perhitungan maupun . Namun pada kenyataannya KNKBMKG (KNK-5) memberikan kinerja terburuk pada perhitungan . Walaupun setingkat lebih baik pada perhitungan namun posisinya tetap masih pada kategori berkinerja buruk. Hal yang serupa dengan KNKBMKG di atas juga berlaku untuk KNK-4, yang adalah pasangan dari KNK-1 pada Tabel yang sama, karena dia merupakan KNK-1 (dengan kinerja terbaik) pada Tabel yang lainnya. Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa sebuah KNK terbaik untuk perhitungan tidak otomatis menjadi KNK terbaik untuk perhitungan , demikian pula sebaliknya. Secara teoretik sebuah KNK dapat menjadi KNK terbaik untuk perhitungan maupun bila diperoleh hubungan linear 𝑅𝐻 = 𝑅𝐻0 + 𝑚𝑇
(4)
diantara pasangan data runtun waktu T dan RH yang digunakan untuk menghitung KNK tersebut di atas. Dalam hal ini RH0 dan m masingmasing di atas menyatakan intercept dan slope hubungan pasangan parameter tersebut.
TABEL 2. KNK dan Kinerja terkait untuk perhitungan data Stasiun Meteorologi Bandara SMB II Palembang tahun 2007-2012. KNK-1, KNK-2, dan KNK-3 adalah hasil perhitungan Metoda LS dari data RH. KNK-4 = KNK-1 (Tabel 1), adalah KNK berkinerja terbaik untuk perhitungan . KNK-5 = KNKBMKG. Sebagaimana data pada dua kolom paling kanan, KNK-1 memberikan kinerja terbaik sementara KNK-4 menghasilkan kinerja terburuk. KNK KNK-1 0.488 0.231 0.279 KNK-2 0.481 0.236 0.283 KNK-3 0.485 0.241 0.275 KNK-4 0.405 0.261 0.323 KNK-5 0.500 0.250 0.250
INDI KATOR CORR ME AME RMSE CORR ME AME RMSE CORR ME AME RMSE CORR ME AME RMSE CORR ME AME RMSE
2007 Mean StDev 0.91 0.05 0.12 0.28 1.38 0.19 1.81 0.30 0.91 0.05 0.15 0.27 1.38 0.19 1.81 0.30 0.91 0.05 0.07 0.27 1.38 0.20 1.81 0.31 0.92 0.05 2.59 0.30 2.74 0.28 3.18 0.26 0.90 0.06 0.00 0.28 1.41 0.23 1.84 0.34
2008 Mean StDev 0.93 0.03 0.12 0.39 1.31 0.19 1.64 0.23 0.93 0.03 0.14 0.37 1.30 0.18 1.64 0.23 0.93 0.03 0.05 0.37 1.30 0.20 1.64 0.24 0.93 0.03 2.60 0.34 2.74 0.32 3.11 0.31 0.93 0.02 -0.05 0.40 1.33 0.25 1.67 0.27
2009 Mean StDev 0.94 0.02 -0.09 0.46 1.45 0.33 1.82 0.45 0.94 0.02 -0.05 0.46 1.45 0.33 1.83 0.45 0.94 0.02 -0.15 0.44 1.45 0.33 1.83 0.44 0.94 0.02 2.46 0.57 2.68 0.58 3.14 0.65 0.93 0.03 -0.25 0.42 1.46 0.34 1.83 0.44
144
2010 Mean StDev 0.92 0.02 -0.03 0.29 1.28 0.19 1.61 0.25 0.92 0.02 -0.02 0.29 1.29 0.20 1.62 0.25 0.92 0.02 -0.11 0.28 1.29 0.19 1.62 0.25 0.93 0.02 2.37 0.30 2.54 0.28 2.92 0.35 0.92 0.02 -0.18 0.27 1.30 0.18 1.63 0.26
2011 Mean StDev 0.92 0.02 -0.15 0.26 1.39 0.25 1.70 0.28 0.93 0.02 -0.11 0.24 1.38 0.25 1.69 0.28 0.92 0.02 -0.21 0.26 1.39 0.25 1.71 0.27 0.93 0.02 2.43 0.35 2.53 0.33 2.97 0.38 0.92 0.03 -0.32 0.34 1.43 0.26 1.76 0.27
2012 Mean StDev 0.91 0.04 0.09 0.40 1.46 0.12 1.86 0.16 0.91 0.04 0.13 0.40 1.47 0.13 1.86 0.16 0.91 0.04 0.04 0.39 1.46 0.12 1.86 0.16 0.91 0.04 2.70 0.54 2.91 0.45 3.33 0.44 0.90 0.04 -0.06 0.39 1.47 0.15 1.87 0.18
Mean StDev 0.92 0.03 0.01 0.35 1.38 0.21 1.74 0.28 0.92 0.03 0.04 0.34 1.38 0.21 1.74 0.28 0.92 0.03 -0.05 0.34 1.38 0.21 1.74 0.28 0.93 0.03 2.52 0.40 2.69 0.38 3.11 0.40 0.92 0.03 -0.14 0.35 1.40 0.23 1.77 0.29
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
dan Geofisika No.K.32/TL.202/KB/BMG2006.
5. KESIMPULAN Dari uraian di atas, sebagaimana telah disimpulkan pada kajian [2], perhitungan dengan Metoda LS senantiasa mampu menghasilkan KNK (KNKLS) dengan kinerja terbaik. Bila dibandingkan dengan KNKBMKG, secara umum KNKLS menghasilkan kinerja lebih baik untuk hampir semua kasus (waktu kejadian) maupun indikator kinerja yang digunakan. Secara unik hasil perhitungan Metoda LS juga menghasilkan pertama (KNK-1) dari antara empat KNK yang mungkin sebagai KNK dengan kinerja terbaik, walaupun jumlah komponen di dalamnya tidak senantiasa bernilai = satu.
2.
3.
Hasil kajian ini juga menyimpulkan bahwa secara umum tidak akan diperoleh satu KNK dengan kinerja terbaik untuk perhitungan Suhu Udara rata-rata Harian (SUrH) sekaligus Kelembaban Relatip rata-rata Harian (RHrH), sebagaimana juga hal ini tak dapat dipenuhi oleh KNKBMKG. Namun demikian bila diperoleh hubungan linear untuk seluruh pasangan data runtun waktu T-RH yang digunakan maka secara teoretik KNK tunggal untuk keduanya akan didapat. Khusus menyangkut hipotesis tentang keberadaan KNK tunggal ini, perhitungan dan kajian lebih lanjut masih diperlukan.
4.
Brooks, C. E. P., “True mean temperature”, Monthly Weather Review 49, 226-229, (1921).
5.
Conner G, Foster S., “Searching for the daily mean temperature”, Extended Abstracts, Paper 4.3, 17th Conference on Applied Climatology, 88th Annual Meeting American, (2008).
6.
Yuting Ma & Peter Guttorp, “Estimating daily mean temperature from synoptic climate observations”, International Journal of Climatology 33:5, 1264-1269 (2013).
7.
M. Guntur, “Penentuan Suhu Udara RataRata Harian di Kota Palembang Menggunakan Metoda Korelasi dan Metoda Least Square”, Skripsi, Jurusan Fisika FMIPA Universitas Sriwijaya, 2016.
6. UCAPAN TERIMA KASIH Tulisan ini merupakan rangkaian utuh dari kajian terkait penerapan KNKBMKG, terutama di lingkungan kerja stasiun klimatologi dan meteorologi BMKG di Palembang. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada segenap pimpinan dan staf Stasiun Meteorologi BMKG Bandara SMB II Palembang yang telah memfasilitasi data untuk seluruh rangkaian kajian ini. Juga terima kasih tak terhingga untuk Octavianus Cakra Satya, staf Jurusan Fisika FMIPA Unsri yang telah banyak meluangkan waktu untuk mendiskusikan materi kajian dan tulisan ini.
Baker, G. B., “Effect of observation time on mean temperature estimation”, J. Appl. Meteor., 14, 471–476 (1975). 9. Belcher, B. N., & A. T. De Gaetano, “A method for operational detection of daily observation-time changes”, J. Appl. Meteor., 42, 1823–1836 (2003). 10. Surya D.Y.P.O., “Penerapan Metoda Korelasi dan Metoda Least Square dalam Penentuan Nilai Kelembaban Relatip RataRata Harian di Kota Palembang”, Skripsi, Jurusan Fisika FMIPA Univer-sitas Sriwijaya, 2016. 8.
7. REFERENSI 1.
Arsali, Octavianus, C. S. Supardi & Indra, P., “Penentuan Koefisien Untuk Perhitungan Suhu Udara Rata-Rata Harian Data Stasiun Klimatologi Palembang”, Jurnal Meteorologi dan Geofisika, Vol. 16, No. 1, 37-45 (2015). Met Office, Observations: National Meteorological Library and Archive, Fact sheet 17 – Weather observations over land. www.metoffice.gov.uk/learning/library/pu blications/factsheets, (diakses 12 Desember 2015).
Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), 2006, Peraturan Kepala Badan Meteorologi
145
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Karakterisasi Kandungan Bijih Besi Alam Sebagai Bahan Baku Magnetit Nanopartikel Sadang Husain1) ,*, Eka Suarso1), Akhiruddin Maddu2), Sugianto3) 1 Prodi Fisika, FMIPA Universitas Lambung Mangkurat 2 Departemen Fisika, FMIPA, Institut Pertanian Bogor 3 Prodi Pendidikan Fisika, Universitas Muhammadiyah Jakarta * email: [email protected]
Abstrak Telah dilakukan karakterisasi kandungan bijih besi di daerah Tanah Laut Kalimantan Selatan. Bijih besi merupakan sumber daya alam yang cukup melimpah di Indonesia, salah satunya di Pulau Kalimantan. Kalimantan Selatan merupakan salah satu daerah penghasil bijih besi terbesar di Indonesia. Bijih besi mengandung material magnetik berbasis besi (Fe) dalam bentuk mineral oksida besi yaitu Magnetit (Fe 3O4), Maghemit (γ-Fe2O3), dan Hematit (α-Fe2O3). Karakterisasi bijih besi menggunakan XRF dan XRD. Hasil karakterisasi bijih besi dari Tanah Laut Kal-Sel adalah jenis Hematit (α-Fe2O3) yang didukung oleh warna merah kecoklatan. Bijih besi memiliki kandungan rata-rata Silikon (Si) 0.3%, Fosfor (P) 0.1%, Kalsium (Ca) 0.15%, Krom (Cr) 0.09%, Mangan (Mn) 0.26%, Besi (Fe) 98.23%, Nikel (Ni) 0.1%, Tembaga (Cu) 0.1%, Brom (Br) 0.17%, Lantanum (La) 0.07%, Iterbium (Yb) 0.02%, Seng (Zn) 0.04%, Renium (Re) 0.05%, Rubidium (Rb) 0.21%, Vanadium (V) 0.01%, Europium (Eu) 0.17%. Kata kunci: Bijih Besi, XRF, Tanah Laut, XRD
Abstract Characterization of iron ore deposits in the Tanah Laut, South Kalimantan. Iron ore is a natural resource that is abundant in Indonesia, one of them on the island of Borneo. South Kalimantan is one of the largest iron ore producer in Indonesia. Iron ore-based magnetic material containing iron (Fe) in mineral form of iron oxide that is Magnetite (Fe3O4), Maghemit (γ-Fe2O3) and Hematite (α-Fe2O3). Characterization of iron ore using XRF and XRD. The results of iron ore characterization of Tanah Laut Sout Kalimantan is a type of Hematite (α-Fe2O3) which is supported by a brownish-red color. Iron ore contains an average of Silicon (Si) 0.3%, Phosphorus (P) 0.1%, Calcium (Ca) 12:15%, chromium (Cr) 12:09%, manganese (Mn) 12:26% Iron (Fe) 98.23%, Nickel (Ni) 0.1% Copper (Cu) 0.1%, bromine (Br) 12:17%, Lanthanum (La) 12:07%, ytterbium (Yb) of 0.02%, Zinc (Zn) 12:04%, Rhenium (Re) of 0.05%, Rubidium ( rb) 0:21%, Vanadium (V) a 0.01%, Europium (Eu) 12:17%. Keywords: Iron Ore, XRF, Tanah Laut, XRD
381.107206,95 ton dengan cadangan mencapai 2.216.005 ton [1]. Ini menunjukkan potensi yang cukup besar sebagai bahan baku besi baja. Salah satu daerah penghasil besi terbesar di Indonesia yaitu Kalimantan Selatan. Di Kalimantan Selatan,cadangan bijih besi mencapai 7,472,600 ton [2].
1. PENDAHULUAN Bijih Besi merupakan salah satu komoditas tambang yang cukup memadai di Indonesia. Berdasarkan data Neraca Sumber Daya Mineral Logam dan Non Logam, Pusat Sumber Daya Geologi 2008 didapatkan bahwa sumber daya bijih besi Indonesia sebesar
TABEL 1. Komposisi kimia (%) bijih besi Kalimantan Selatan Tipe bijih Fe Tot SiO2 CaO MgO Al2O3 Lateritic 40-56 3-12 0,5-2 0,5-2 5-13 Metasomatic 30-63 3-15 0,5-2 0,5-2 2-15 (Magnetite&Hematit) Sumber: [2]
Daerah Tanah Laut merupakan salah satu Daerah di Kalimantan Selatan yang memiliki
Cr2O3 1-2,5 <0,1
P S Ni LOI 0,05-0,1 0,05-0,1 0,15-0,25 5-15 <0,1 <0,1 <2
sumber daya bijih besi yang cukup melimpah. Namun, bijih besi yang terkandung yang ada
146
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
memiliki tingkat pengotor (zat lainnya) yang cukup beragam. Untuk itu perlu dilakukan uji terlebih dahulu sebelum sintesis lebih lanjut Bijih besi secara umum memiliki komposisi utama besi oksida (Fe2O3 dan Fe3O4), silikon oksida (SiO2) serta unsur-unsur lain seperti Ni, Mg, Ca, Si, Cr dan Zn dengan kadar rendah [3]. Bijih Besi dengan kandungan Fe2O3 dapat didistribusikan secara luas dan merupakan sumber terpenting besi pada kondisi murni mengandung 70% besi dan sisanya mengandung silika dan aluminium serta sulfur dan fosfor dengan kandungan yang sangat rendah. Namun ada juga bijih besi kelas rendah dengan kandungan besi 20% - 40% berkadar silika tinggi, beberapa diantaranya telah berhasil ditambang [4].
tersebut mampu mereduksi zat warna 24,40% dengan kondisi awal zat warna 100 mg/L pada pH larutan 6 dengan jumlah magnetit 0,8 g/L selama 30 menit [8].
GAMBAR 2. Pola difraksi XRD pada magnetit [7,8]
2. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di laboratorium material Fisika FMIPA ULM, dengan analisis XRD dan XRF dilakukan di laboratorium Material dan Laboratorium Mineral dan Material Maju FMIPA UM. Bahan yang dipakai adalah biji besi daerah Tanah Laut. Adapun alat-alat yang digunakan antara lain SEM dan EDX, palu, magnet permanen, dan ayakan mesh.
Magnetit Magnetit adalah salah satu senyawa oksida besi dalam bentuk Fe2O3.FeO atau Fe3O4. Magnetit memiliki banyak manfaat terutama jika memiliki ukuran nanometer di antaranya: 1. Memiliki separasi gradien magnet yang tinggi 2. Sebagai teknologi Resonansi magnetik 3. Sebagai drug delivery 4. Sebagai agen reaktif pada biomolekul membran [5]. 5. Sebagai adsorben [6]
(a)
GAMBAR 1. Struktur Magnetit [5]
Penelitian tentang magnetit telah banyak dilakukan. Pembuatan nanopartikel magnetit dari pasir besi telah berhasil membuat superparamagnetik magnetit dengan rata-rata ukuran 12,6 nm dan magnetisasi saturasi 36,68 emu/g [7]. Sintesis magnetit Fe3O4 juga telah dilakukan untuk penghilang zat warna pada larutan. Magnetit yang dihasilkan memiliki ukuran rata-rata 5-20 nm dan magnetisasi saturasi sebesar 89,46 emu/g. Penelitian
(b) GAMBAR 3. Sampel bijih besi (a) sebelum digerus, dan (b) setelah digerus
Penelitian diawali dengan studi pustaka, pengambilan sampel, diteruskan dengan preparasi sampel di laboratorium. Sampel bijih
147
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
besi ditunjukkan seperti pada Gambar 3. Bijih tersebut dibersihkan dari pengotor yang menempel dengan menggunakan aquades. Setelah dicuci, dilanjutkan dengan mebuat serbuk besi dengan menggunakan palu dan mortar dan pastel. Bijih besi digerus hingga lewat ayakan 230 mesh.Selanjutnya sampel dikarakterisasi. Uji karakterisasi bijih besi menggunakan XRF untuk melihat komposisi.
Biasanya keberadaan besi pada bijih besi berupa senyawa oksida. Bijih besi yang diuji juga mengandung unsur-unsur logam yang lain. Sebagai pembanding, kandungan besi yang ada di daerah Solok Selatan Sumatera Barat memiliki kandungan besi 87,5% [9], penelitian yang dilakukan oleh Septityana, dkk mendapatkan bahwa kandungan besi pada bijih besi sebesar 75,5% [10][11]. Penelitian Kumari, et al. (2010), bijih besi yang berasal dari Karnataka, India mengandung kadar besi sebesar Fe 63,84% [12], sedangkan Kecamatan Batu Licin, Kalimantan Selatan mengandung kadar Fe 56,6% [13]. Untuk Kabupaten Trenggalek Provinsi Jawa Timur mengandung kadar besi sebesar Fe total 22,28 s.d 51,26 % [14].
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil karakterisasi dengan XRF pada bijih besi ditunjukkan seperti pada Tabel 2. Berdasarkan tabel tersebut, dapat dilihat nilai unsur Fe yang mencapai 99,04% dengan ratarata 98,23%. Kandungan unsur Fe yang ada pada bijih besi tersebut cukup besar dibandingkan dengan unsur logam lainnya. TABEL 2. Kandungan unsur bijih besi Unsur
Persentase atom (%) Sampel 1
Sampel 2
Sampel 3
Sampel 4
Sampel 5 Sampel 6 Rerata
Si
0.82
0.38
0.3
0.3
-
-
0.30
P
0.1
-
0.1
-
0.18
0.19
0.10
Ca
0.13
0.25
0.11
0.12
0.18
0.13
0.15
Cr
0.091
0.088
0.095
0.094
0.095
0.092
0.09
Mn
0.13
0.21
0.19
0.2
0.095
0.74
0.26
Fe
98.02
98.77
98.94
99.04
98
96.59
98.23
Ni
0.089
0.11
0.11
0.12
0.1
0.081
0.10
Cu
0.15
0.071
0.097
-
0.1
0.17
0.10
Br
0.52
-
-
-
0.47
-
0.17
La
0.06
0.06
0.09
0.08
0.08
0.02
0.07
Yb
0.08
Zn
-
0.058
-
-
0.098
0.08
0.04
Re
-
0.2
-
-
0.1
-
0.05
Rb
-
-
-
-
0.62
0.63
0.21
V
-
-
-
-
-
0.039
0.01
Eu
-
-
-
-
-
1
0.17
0.05
Sampel bijih besi yang dikarakterisasi masih banyak mengandung unsur lain selain besi. ada silikon (Si), fhosfor (P), kalsium (Ca), krom (Cr), mangan (Mn), nikel (Ni), tembaga (Cu), Brom (Br), lantanum (La), iterbium (Yb), seng (Zn), renium (Re), rubidium (Rb), vanadium (V), dan europium (Eu). Unsur silikon memiliki kandungan terbanyak dibanding unsur lain yang mencapai 0,82%.
0.02
Banyaknya unsur logam lain dalam bijih besi menjadi kendala tersendiri untuk menghasilkan nanopartikel magnetik yang murni. Unsur-unsur tersebut bisa mengotori sifat nanopartikel magnetik yang dihasilkan. Namun, unsur-unsur logam lainnya memiliki kandungan yang sangat kecil sehingga bisa diabaikan. Jenis oksida besi yang terdapat pada bijih besi dominan senyawa hematit Fe2O3. Gambar
148
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
6. REFERENSI T. Ishlah, “POTENSI BIJIH BESI Indonesia Dalam Kerangka Pengembangan Klaster Industri Baja”, 2009. 2. B. Pardiarto, “Tinjauan Rencana Pembangunan Industri Besi-Baja di Kalimantan Selatan”, 2009. 3. R. Cornell and U. Schwertmann, Less Common or Rare Iron Oxides in Iron Oxides in the Laboratory, Extended. Wiley VCH, 2000. 4. E. Harianto, “Studi Pemanfaatan Bijih Besi (Hematit dan magnetit Low Grade dan Grade di Indonesia Sebagai Bahan Baku Pembuatan Besi Co.,” in Prosiding Pertemuan Ilmiah Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Bahan, (2008). 5. L. Blaney, “Magnetite (Fe3O4): Properties, Synthesis, and Applications”, Lehigh Rev., vol. 15, pp. 32–81 (2007). 6. P. L. Hariani, M. Faizal, and D. Setiabudidaya, “Synthesis and Properties of Fe3O4 Nanoparticles by Coprecipitation Method to Removal Procion Dye”, Int. J. Environ. Sci. Dev., vol. 4, no. 3, pp. 336–340 (2013). 7. T. Rusianto, M. W. Wildan, K. Abraha, and K. Kusmono, “Iron Sand as Renewable Resource for Production Magnetic Nano Particles Materials”, in Engineering International Conference 2013 Proceeding, (2013). 8. H. El Ghandoor, H. M. Zidan, M. M. H. Khalil, and M. I. M. Ismail, “Synthesis and Some Physical Properties of Magnetite (Fe3O4) Nanoparticles”, Int. J. Electrochem. Sci., vol. 7, pp. 5734–5745 (2012). 9. R. Rantawulan, “Karakterisasi Bijih Besi Alam Sebagai Bahan Baku Magnetit Pada Tinta Kering”, 2010. 10. K. D. Septityana, T. P. Rahman, W. Nugroho, R. Ikono, N. N. Maulana, and N. T. Rochman, “Sintesis dan Karakterisasi Pigmen Hematit (α - Fe2O3) dari Bijih Besi Alam Melalui Metode Presipitasi”, in Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung, pp. 451– 455 (2013). 11. K. D. Septityana, P. Priyono, N. T. Rochman, Yuswono, T. P. Rahman, D. W. Nugroho, R. Ikono, Nofrizal, and N. N. Maulana, “Sintesis Dan Karakterisasi 1.
208
119 220 223 128 02 10
024 116 018 214 300
110 006
113
012
104
6 menunjukkan pola difraksi XRD pada bijih besi sebagai fase hematit dengan ukuran kristal 60.12 nm. Ini juga didukung warna yang ada pada sampel bijih besi merah kecoklatan. Pernyataan ini juga didukung oleh hasil sintesis bijih besi tersebut. Bijih besi yang diberikan asam klorida (HCL) dan Sodium hidroksida (NaOH) akan menghasilkan warna merah kecoklatan yang merupakan ciri dari hematit Fe2O3. Bijih besi yang diberikan HCL dan besi Fe2+ akan menghasilkan Fe3O4 [15].
GAMBAR 4. Pola difrasi XRD pada bijih besi
Bijih besi+FeSO4 +HCL+NaOH Bijih besi+HCL+NaOH GAMBAR 5. Sintesis bijih besi
4. KESIMPULAN Karakterisasi kandungan bijih besi berhasil dilakukan dengan unsur besi mencapai 99,04% dengan fase dominan hematit. Sampel bijih besi bisa dijadikan sebagai bahan baku magnetit nanopartikel dengan unsur pengotor kurang dari 1%. 5. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih Kementerian Riset, Tinggi yang telah Penelitian ini penyelesaian.
kami ucapkan kepada Teknologi dan Perguruan mendanai penelitian ini. masih dalam proses
149
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Pigmen Hematit (Α - Fe2O3) Dari Bijih Besi Alam Melalui Metode Presipitasi”, Youngster Phys. J., vol. 1, no. 4, pp. 95– 100 (2013). 12. N. Kumari, A. Vidyadhar, J. Konar, and R. . Bhagat, “Beneficiation Of Iron Ore Slimes From Karnataka Though Dispersion And Selective Flocculation”, in Proceedings of the XI International seminar on Mineral Processing Technology (MPT-2010), pp. 564–571 (2010). 13. N. S. Ningrum, “Uji Sulfidasi Biji Besi Kalimantan Selatan dan Ampas
Pengolahan Tembaga PT. Freeport Indonesia Untuk Katalis Pencair Batu Bara”, in Seminar Rekayasa Kimia dan Proses, pp. 1411–4216 (2010). 14. W. Widodo, P. Bambang, and Sari, “Model Keterdapatan Bijih Besi Di Kabupaten Trenggalek Provinsi Jawa Timur”, www.psdg.bgl.esdm.go.id, 2012. 15. T. A. Kusumawati, “Sintesis Nanopartikel Pigmen Oksida Besi Hitam (Fe3O4), Merah (Fe2O3) dan Kuning (FeOOH) Berbasis Pasir Besi Tulungagung,” Universitas Negeri Malang, 2013.
150
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Identifikasi Material Sedimen Dasar Perairan Estuari Sungai Duri Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat Muliadi, Muhammad Ishak Jumarang *, Apriansyah Hakim, Dede Tri Zunika, dan Suci Handayani Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Tanjungpura Jl. Prof. Dr. Hadari Nawawi, Kota Pontianak, Kalimantan Barat * email: [email protected]
Abstrak Telah dilakukan penelitian tentang identifikasi material sedimen dasar perairan estuari Sungai Duri Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat. Identifikasi dilakukan untuk melihat jenis material sedimen penyusun dasar perairan dalam kaitannya dengan aktifitas arus di daerah estuari Sungai Duri. Pengambilan sampel dilakukan pada tiga lintasan berbeda yang sejajar dengan garis pantai estuari Sungai Duri dan pada tiga penampang melintang badan sungai. Hasil analisis data menunjukkan bahwa material sedimen estuari Sungai Duri terdiri atas lempung, lanau dan pasir. Material sedimen penyusun dasar estuari Sungai Duri yang terdapat pada penampang melintang badan sungai terdiri atas lanau + 50 %, lempung + 40 % dan pasir + 10 %. Material sedimen penyusun dasar estuari yang terdapat pada lintasan satu yang sejajar garis pantai didominasi oleh material lanau dan lempung dengan persentasi yang bervariasi yakni 37% s.d 55%. Arah arus susur pantai yang dominan ke arah utara menyebabkan lanau dan lempung di bagian kanan mulut muara persentasinya lebih besar dibandingkan di bagian kiri muara sungai. Material pasir pada bagian tengah dan kiri mulut muara Sungai Duri didominasi oleh material pasir dengan persentasi berturut-turut 48% dan 68%, sedangkan pada bagian kanan mulut muara didominasi oleh lempung dan lanau dengan persentasi masing-masing 42% dan 45%. Kata kunci: estuari, lanau, lempung, Sungai Duri
sebagai representasi material sedimen perairan estuari Sungai Duri.
1. PENDAHULUAN Salah satu penyebab kompleksitas daerah perairan pantai Kalimantan Barat yaitu karena bermuara beberapa sungai besar yang berderet dari utara ke selatan dengan bentangan daratan pantai yang bergambut. Interaksi proses hidrodinamika (arus, gelombang dan pasut) dan proses sedimentasi di sekitar muara berpengaruh terhadap karakteristik material sedimen estuari sebuah perairan. Interaksi tersebut menyebabkan perubahan daerah estuari dalam skala ruang dan waktu. Perubahan dan karakter daerah estuari sebagai salah satu aspek lingkungan penting untuk diketahui agar pengelolaan daerah estuari dapat dilaksanakan dengan tepat. Pemahaman tentang pentingnya pengelolaan daerah pesisir membutuhkan penanganan yang berkelanjutan (sustainable) agar dampak yang ditimbulkan oleh interaksi beberapa proses di daerah estuari dapat diatasi atau dicegah. Jenis material sedimen sangat berpengaruh terhadap proses hidrodinamika dan perubahan pada daerah estuari. Identifikasi material sedimen di daerah estuari Sungai Duri dilakukan dengan menganalisis material sedimennhya. Sampel sedimen di pantai dan sungai digunakan
2. KAJIAN LITERATUR Karakter sedimen menurut sifat-sifat alami yang dimilikinya yaitu: ukuran butir (grain size), densitas, kecepatan jatuh, komposisi, porositas dan bentuk material sedimen. Ukuran butir merupakan karakter sedimen yang sangat penting karena dipakai untuk mempresentasikan resistensinya terhadap agen pengangkut. Berdasarkan ukuran butirnya, sedimen diklasifikasikan menurut: lumpur (mud), pasir (sand) dan krikil (gravel). Klasifikasi yang lengkap adalah menurut skala Wentworth berikut ini: TABEL 1. Klasifikasi ukuran partikel oleh skala Wentworth [1]
Deskripsi Partikel Cobble Gravel Very coarse sand Medium sand Fine sand Silt Clay
151
Ukuran Partikel (mm) 256 – 64 64 – 2 2–1 1 – 0,5 0,5 – 0,25 0,125 – 0,063 0,062 – 0,004
Properti Kohesif Non-kohesif Sedimen nonkohesif Sedimen kohesif
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Sedimen yang memiliki ukuran besar/kasar dapat menunjukkan bahwa arus dan gelombang pada daerah itu relatif kuat, fraksi kasar umumnya diendapkan pada daerah terbuka yang berhubungan dengan laut lepas, sedangkan sedimen kecil/halus diendapkan pada arus dan gelombang benar-benar tenang [2]. Angkutan sedimen yang ada di perairan estuari Sungai Duri sangat dipengaruhi oleh sirkulasi arus yang terjadi di daerah perairan tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Jumarang, dkk, 2015 tentang sirkulasi arus perairan pantai Kalimantan Barat yang mencakup perairan estuari Sungai Duri menunjukkan bahwa arus bergerak dari utara ke selatan pada kondisi surut menuju pasang dan pasang tertinggi purnama dengan kecepatan arus 0,1 s.d 0,5 m/s. Pada kondisi pasang menuju surut dan surut terendah purnama arus bergerak dari selatan ke utara [3]. Proses transpor sedimen sejajar pantai dapat mengakibatkan perubahan garis pantai seperti erosi yang berdampak pada mundurnya garis pantai (abrasi) yang akhirnya mengurangi fungsi pantai [4]. Transpor sedimen pantai adalah gerakan sedimen di daerah pantai yang disebabkan oleh gelombang dan arus yang dibangkitkannya. Transpor sedimen dibedakan menjadi dua macam yaitu: transpor menuju dan meninggalkan pantai (onshore-ofshore transport) yang mempunyai arah rata-rata tegak lurus garis pantai, sedangkan transpor sepanjang pantai (longshore transport) mempunyai arah rata-rata sejajar pantai [5].
antar titik pengambilan sampel pd lintasan pertama yaitu + 25 meter. Pengambilan sampel sedimen dilakukan dengan bantuan alat Sedimen Grab. Proses pertama yang dilakukan pada sampel sedimen yaitu proses pengeringan. Proses ini dilakukan untuk mengurangi serta menghilangkan kandungan air yang terdapat dalam sampel. Pengeringan sampel dilakukan dengan proses penjemuran menggunakan bantuan cahaya matahari dan wadah kain sebagai media sampel. Pengeringan dilakukan selama beberapa hari. Selanjutnya sampel di oven selama 24 jam agar kandungan air dan udara nya hilang. Sampel yang telah kering kemudian ditumbuk hingga halus dan diayak/disaring menggunakan saringan bertingkat. Ukuran saringan sedimen yang digunakan sesuai standard ASTM (SNI 036388-2000) sebagai berikut: TABEL 2. Standart Ukuran Saringan Sedimen
NO 1 2 3 4 5 6 7
SARINGAN Nomor mm 10 2,00 20 0,850 40 0,425 60 0,250 80 0,180 120 0,125 200 0,075
Sampel tiap titik stasiun kemudian diuji dengan beberapa tahap berikut:
a. Pengujian
berat jenis. Pengujian ini dilakukan pada sampel sedimen yang telah diperoleh dengan menggunakan piknometer. Sampel sedimen yang digunakan dalam pengolahan berat jenis sebanyak 3 sampel dan diambil secara acak. Hal ini dilakukan mewakili klasifikasi berat jenis dari sampel yang diperoleh. Berat jenis dari masing-masing sampel sedimen dapat dihitung menggunakan persamaan berikut:
3. METODE PENELITIAN Pengambilan sampel dilakukan pada tiga lintasan berbeda yang sejajar dengan garis pantai estuari Sungai Duri dan pada tiga penampang melintang badan sungai. Sketsa lintasan dan titik pengambilan sampel seperti ditunjukkan pada Gambar 1 dan Gambar 2. Lintasan pertama dibuat sejajar dengan garis pantai dengan jarak sekitar + 38 meter dari garis pantai, sedangkan lintasan kedua dan ketiga berturut turut pada jarak + 136 meter dan + 206 meter dari mulut muara. Titik pengambilan sampel pada lintasan pertama dibuat sedemikian rupa sehingga terdapat masingmasing lima titik pengambilan sampel yang terdapat pada bagian kanan dan kiri muara sungai serta terdapat empat titik pengambilan sampel pada bagian depan muara sungai. Jarak
𝐺𝑠 =
∆𝑊21
(1)
∆𝑊
𝑅𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 𝐺𝑠 =
∑(𝐺1+𝐺2+𝐺3 ) 𝑛
dengan: ∆𝑊 = 𝑊21 − 𝑊43 ∆𝑊21 = 𝑊2 − 𝑊1
152
(2)
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
∆𝑊43 = 𝑊3 − 𝑊4 W21= Selisih Piknometer 2 & 1 W43= Selisih Piknometer 4 & 3 W1 = Piknometer kosong + tutup W2 = Piknometer + sedimen W3 = Piknometer + sedimen + air W4 = Piknometer + air Gs = Berat jenis n
= Jumlah Sampel Uji GAMBAR 1. Sketsa lokasi pengambilan sampel di muara Sungai Duri Kab. Bengkayang.
b. Penghitungan Persentase Butiran Persentase butiran diperlukan untuk mengetahui jenis butiran yang mendominasi tiap sampel. Menghitung persentase butiran dapat menggunakan persamaan berikut ini:
K2
a x100 % w
(3)
dengan: a = faktor koreksi hidrometer, w = Massa sedimen.
Lokasi 1
c. Klasifikasi Jenis dan Ukuran Butiran Diameter butiran diperoleh dengan menggunakan Persamaan (4) berikut: 𝐷 =𝐾√
𝐿
(4)
𝑇
dengan D = Diameter partikel, L = Kedalaman (tabel), K = Konstanta (tabel), m = faktor koreksi hidrometer.
Lokasi 2 Lokasi 3
Jenis butiran/partikel dapat diketahui berdasarkan ukuran butir/partikel dan melalui Klasifikasi USDA (United State of Depatment Agricultural), sebagai berikut:
GAMBAR 2. Peta Lokasi Penelitian
TABEL 3. Klasifikasi USDA
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Partikel
Ukuran Partikel
Pasir / Sand Lanau / Silt Lempung / Clay
(0.05-2.00 mm) (0.002-0.05 mm) (≤ 0.002 mm)
Sumber: Dasar-Dasar Ilmu Tanah, hal 61
Selanjutnya persentase ukuran butiran ini dibuat grafik pergerakan sedimen dari masing-masing sampel sedimen tiap titik pengambilan sampel.
153
Material Sedimen pada Badan Sungai Duri Persentase dan kandungan material penyusun sedimen dasar Sungai Duri dapat dilihat pada Gambar 3. Pengambilan sampel sedimen dilakukan pada tiga lintasan/stasiun pengambilan sampel dengan masing-masing stasiun sebanyak empat titik pengambilan sampel. Stasiun 1 berada pada muara sungai dan Stasiun 3 berada pada hulu sungai. Posisi stasiun pengambilan sampel dapat dilihat pada Gambar 2.
Angkutan Material Sedimen Dasar
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
70% 60% 50% 40% Pasir 30%
Lanau
20%
Lempung
10% 0% 1a 1b 1c 1d
2a 2b 2c 2d
3a 3b 3c 3d
Stasiun Pengamatan
Persentase %
GAMBAR 3. Persentase sedimen dasar Sungai di Desa Sungai Duri
60 55 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Pasir
Lanau Lempung 5L 4L 3L 2L 1L 1M1 2M1 3M1 4M1 1R 2R 3R 4R 5R Titik Pengambilan Sampel GAMBAR 4. Pola sebaran material sedimen dasar muara Sungai Duri
Dari Gambar 3, terlihat bahwa material sedimen dasar pada tiga stasiun yang ada pada badan Sungai Duri terdiri atas pasir, Lanau dan Lempung. Sedimen dasar sungai didominasi oleh material Lanau (41 % s.d 68 %), sedangkan persentase material lempung dan pasir berturut-turut pada kisaran 36% s.d 59% dan 5% s.d 10%. Hasil pengukuran sedimen pada tiga stasiun menunjukkan bahwa semakin ke muara, persentase kandungan lanau semakin berkurang sedangkan kandungan pasir semakin bertambah. Kandungan material lempung pada tiga stasiun pengamatan cenderung tidak mengalami perubahan signifikan (pada kisaran 40%).
Berdasarkan hasil analisis sampel sedimen dasar yang diperoleh dari setiap titik pengamatan yang ada pada Lintasan 1, Lintasan 2 dan Lintasan 3 di lokasi penelitian, jenis material sedimen yang pada muara Sungai Duri sama dengan material sedimen pada badan Sungai yaitu pasir (sand), lanau (silt) dan lempung (clay). Hal ini menunjukkan bahwa material sedimen yang ada pada muara Sungai Duri merupakan suplai dari Sungai Duri. Ketiga jenis material tersebut tersebar dengan komposisi yang bervariasi pada sisi kanan muara, sisi kiri muara dan sisi depan mulut muara Sungai Duri (lihat Gambar 4). Dari Gambar 4, terlihat bahwa material lempung dan lanau mendominasi daerah muara sungai dengan persentase sekitar 40% s.d 55%,
Material Sedimen pada Muara Sungai Duri
154
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
sedangkan material pasir hanya pada kisaran 4% s.d 30%. Material pasir pada bagian tengah mulut muara sampai ke bagian kanan muara sungai (Stasiun 3M1 s.d Stasiun 5R) persentasi pasirnya sangat rendah (hanya sekitar 5%), sedangkan pada bagian tengah muara sampai ke bagian kiri muara, material pasirnya semakin bertambah ke arah bagian ujung kiri muara. Hal ini menunjukkan bahwa kecepatan arus yang besar di muara Sungai Duri terjadi ke arah kiri muara sungai sehingga arus tersebut mampu mengangkut material pasir. Hal tersebut mengindikasikan juga bahwa kecepatan arus susur pantai yang besar terjadi pada saat arus bergerak ke arah Barat Daya (ke arah kiri) muara Sungai Duri. Pada saat arus bergerak ke arah bagian kanan muara sungai, kecepatan arusnya rendah sehingga material yang mampu dibawa hanya material dengan diameter yang kecil.
dari mulut muara Sungai Duri. Material pasir pada Lintasan 2 ini lebih dominan dibandingkan lanau dan lempung, terutama pada bagian kiri mulut muara. Hal ini menunjukkan tingginya kecepatan arus yang melalui bagian tersebut. Hal ini terjadi pada saat suplai air dari Sungai Duri besar, kecepatan aliran membawa material pasir ke jarak yang lebih jauh dari mulut muara Sungai. Persentasi pasir yang rendah (7 % s.d 11%) pada Lintasan 3 dibandingkan lanau dan lempung menunjukkan bahwa pada saat debit air dari Sungai Duri besar, aliran air dengan kecepatan tinggi tidak melalui titik pengambilan sampel pada Lintasan 3 tetapi terbelokkan ke arah bagian kiri muara sungai. Material lanau dan lempung yang terendapkan pada titik pengamatan merupakan material yang terbawa dengan kecepatan arus yang kecil. Hal ini bersesuaian dengan pendapat Poerbandono dan Djunarsjah, (2005) yang menyatakan bahwa sedimen yang berukuran lebih kecil cenderung terangkut sebagai suspensi dengan kecepatan dan arah yang mengikuti kecepatan arah dan arus [6].
Persentase %
Material sedimen yang terdapat pada Lintasan 2 dan Lintasan 3 pada daerah muara Sungai Duri dapat dilihat pada Gambar 5 dan Gambar 6. Lintasan tersebut terletak sejajar dengan Lintasan 1 dengan jarak yang lebih jauh 75 70 65 60 55 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Pasir Lanau Lempung
1M2
2M2
3M2
Stasiun Pengambilan Sampel GAMBAR 5. Pola Sebaran Sedimen Lintasan 2 Muara Sungai Duri Kabupaten Bengkayang
155
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
55 50 45 40
Persentase %
35
30
Pasir
25 20
Lanau
15
Lempung
10 5 0 1M3
2M3
Stasiun Pengambilan Sampel GAMBAR 6. Pola Sebaran Sedimen Lintasan 3 Muara Sungai Duri Kabupaten Bengkayang
yang telah membantu dalam riset dan terbitnya makalah ini.
5. KESIMPULAN Material sedimen penyusun dasar estuari Sungai Duri yang terdapat pada penampang melintang badan sungai terdiri atas lanau + 50 %, lempung + 40 % dan pasir + 10 %. Material sedimen penyusun dasar estuari yang terdapat pada lintasan yang sejajar garis pantai didominasi oleh material lanau dan lempung dengan persentasi yang bervariasi yakni 37% s.d 55%. Arah arus susur pantai yang dominan ke arah utara menyebabkan lanau dan lempung di bagian kanan mulut muara persentasinya lebih besar dibandingkan di bagian kiri muara sungai.
7. REFERENSI 1. Wentworth, C.K., “A scale of grade and class term for clastic sediment”, J. Geology, 30, 337-392 (1922). 2. Nugroho, S. H., dan Basit, A., “Sebaran Sedimen Berdasarkan Analisis Ukuran Butir Di Teluk Weda, Maluku Utara”, Pusat Penelitian Laut Dalam Ambon, 2014. 3. Jumarang, M. I., N. S., Ningsih, Muliadi, “Sirkulasi Arus dan Elevasi Perairan Kalimantan Barat pada Kondisi Pasang Purnama”, Prosiding Simposium Fisika Nasional XXVII, HFI, Kendari, 2015.
6. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih penulis sampaikan kepada Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang telah membiayai penelitian penulis melalui skema Hibah Bersaing tahun 2016, Pengurus Himpunan Fisika Indonesia yang telah memfasilitasi pelaksanaan Simposium Fisika Nasional XXIX dan kepada seluruh panitia pelaksana dan pihak
4. Munandar, F. A., dan Baeda, A.Y., “Kajian Laju Transpor Sedimen Di Pantai Akkarena”, Universitas Hasanuddin, 2014. 5. Triatmodjo, Bambang, Pelabuhan, Yogyakarta: Beta Offset, 1996. 6. Poerbandono dan Djunarsjah, E., Survei Hidrografi, Bandung: Refika Aditama, 2005.
156
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Morfotektonik DAS Malino dan DAS Tallo Ditinjau dari Segi Percabangan dan Kerapatan Pengaliran Muhammad Altin Massinai* dan Maria Program Studi Geofisika FMIPA UNHAS Makassar * email: [email protected]
Abstrak Daerah Aliran Sungai (DAS) Malino dan DAS Tallo merupakan dua DAS yang membentang di Daerah Gowa dan Makassar. Kedua DAS tersebut telah dilakukan penelitian tentang morfotektonik dengan objek penelitan pada morfometri percabangan dan kerapatan pengaliran. Penelitian ini menggunakan data lapangan, citra satelit dan diproses dengan analisis stastistik parametris. Hasil penelitian menggunkan statistik uji kenormalan secara parametrik memperlihatkan data berdistribusi normal. Nilai rata-rata nisbah percabangan dan kerapatan pengaliran di bawa angka 3 menunjukkan geomorfologi kedua DAS mengalami deformasi akibat pengaruh tektonik. Tektonik yang berperanan adalah sistem tektonik Sulawesi bagian selatan. Kata kunci: DAS Malino, DAS Tallo, morfotektonik, percabangan pengaliran, kerapatan pengaliran.
Kerapatan pengaliran (drainage density) menggambarkan kapasitas banyaknya pengaliran yang mengalir pada suatu DAS [2]. Kerapatan pengaliran dapat dihitung dari rasio total panjang jaringan sungai terhadap luas DAS yang bersangkutan. Kerapatan pengaliran adalah suatu angka indeks yang menunjukkan banyaknya anak sungai di dalam suatu DAS. Indeks tersebut dapat diperoleh dengan persamaan:
1. PENDAHULUAN Morfotektonik merupakan karakter bentangalam yang berhubungan dengan tektonik [1]. Dalam perkembangannya, karakteristik bentangalam secara kuantitatif turut memperkaya pemahaman tentang morfotektonik. Pada skala lokal dan regional fenomena tektonik dapat dikenali dari bentangalam yang khas, seperti gawir, bentuk lembah, kelurusan perbukitan, kelurusan sungai, pola pengaliran dan lain-lain [1]. Morfometri DAS (Daerah Aliran Sungai) merupakan ukuran kuantitatif karakteristik DAS yang terkait dengan aspek geomorfologi suatu daerah. Karakteristik ini terkait dengan proses pengatusan (drainase) air hujan yang jatuh di dalam DAS. Salah satu parameter tersebut adalah percabangan dan kerapatan pengaliran. Jumlah alur sungai (pengaliran) suatu orde dapat ditentukan dari angka nisbah percabangan sungai ('bifurcation ratio'), dengan persamaan berikut : (1)
(2) Dalam hal ini : Dd : Indeks kerapatan pengaliran (km/km2). L : Jumlah panjang sungai termasuk panjang anak-anak sungai (km). A : Luas DAS (km2). Berdasarkan persamaan tersebut dapat diketahui bahwa indeks kerapatan pengaliran menjadi kecil pada kondisi geologi yang permeabel, tetapi menjadi besar untuk daerah yang curah hujannya tinggi. Jenis batuan dan morfologi medan badan sungai, selain mempengaruhi kerapatan pengaliran, juga dapat mencirikan karakteristik sungai yang meliputi perkembangan profil, pola pengaliran, dan genetis sungai [2,3]. Di daerah yang tersusun oleh batuan intrusif dengan tekstur kasar, menunjukkan kerapatan pengaliran yang rendah. Namun sebaliknya pada aliran sungai yang didominasi oleh batuan sedimen memperlihatkan kerapatan yang tinggi [4]. Indeks kerapatan sungai dapat digunakan untuk mengkaji aktivitas tektonik pada suatu wilayah. Penelitian bertujuan mengetahui tingkat keaktifan tektonik di daerah Gowa dan Makassar
Dalam hal ini : Rb : Nisbah percabangan sungai. Nu : Jumlah alur sungai untuk orde ke-u. Nu+1 : Jumlah sungai untuk orde ke-(u+1) DAS yang memiliki nisbah percabangan sungai (Rb) kurang dari 3 atau lebih dari 5 diindikasikan telah mengalami deformasi akibat pengaruh tektonik. Nisbah percabangan sungai dapat digunakan untuk mengkaji tektonik di suatu wilayah [2,3].
157
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
dengan objek penelitian pada morfometri percabangan dan kerapatan pengaliran. Pengukuran Percabangan dan kerapatan pengaliran dilakukan dengan metoda lapangan dan laboratorium.
perbandingan antara jumlah alur sungai orde tertentu dengan orde sungai satu tingkat di atasnya. Nilai ini menunjukkan bahwa semakin tinggi rasio percabangan sungai berarti sungai tersebut memiliki banyak anak sungai. Kerapatan sungai menggambarkan kegiatan tektonik pada suatu wilayah. Kerapatan aliran sungai dapat dihitung dari rasio total panjang jaringan sungai terhadap luas DAS yang bersangkutan. Rasio kerapatan dengan nilai rendah menandakan kondisi geologi yang permeabel. Pengukuran rasio percabangan sungai dan rasio kerapatan sungai (Dd) meliputi kedua DAS, yaitu DAS Tallo dan DAS Malino. Nilai rata rasio percabangan sungai (Rb) dan rasio kerapatan sungai (Dd) pada kedua DAS tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Data percabangan dan kerapatan sungai diperoleh dari Peta Rupa Bumi (RBI). Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2 s/d 6.
2. METODE PENELITIAN Peranan tektonik yang mempengaruhi morfologi DAS Tallo dan DAS Malino diamati dengan memformulasikan variabel-variabel di lokasi penelitian. Penggunaan metoda statistik akan memverifikasi hubungan antara tektonik, dan morfologi di DAS Tallo dan DAS Malino [5]. Kedua DAS ini berada di kabupaten Gowa dan Kota Makassar Sulawesi Selatan. Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah : 1) Citra Landsat 7 ETM, Daerah Gowa dan Makassar. 2) Data DEM/SRTM (Digital Elevation Model/Shuttle Radar Topography Mission) srtm_60_14. 3) Peta Geologi Lembar Ujungpandang, dan Gowa. Metode penelitian pada dasarnya menitikberatkan pada pengamatan lapangan, dibantu oleh penelitian laboratorium untuk mengolah citra satelit. Penelitian lapangan mengutamakan pada perolehan data geomorfologi berupa data percabangan sungai dan kerapatan sungai. Data penelitian yang terkumpul diolah dengan menggunakan statistik parametris. Penggunaan statistik parametris bekerja dengan asumsi bahwa data setiap variabel penelitian yang akan dianalisis membentuk distribusi normal. Jadi sebelum melanjutkan analisis dengan uji-uji yang lain maka harus dibuktikan terlebih dahulu apakah data yang akan dianalisis berdistribusi normal atau tidak dengan menggunakan uji normalitas. Selanjutnya dengan penggunaan statistik untuk mengetahui apakah data sampel homogen atau tidak. Data seperti ini diolah dengan menggunakan statistik yang sesuai varian kedua kelompok sampel dengan uji homogenitas [5].
TABEL 1. Nilai rata-rata Rasio Percabangan (Rb) dan Rasio Kerapatan sungai (Dd) pada DAS Tallo, Malino. Nilai rerata Rasio Percabangan (Rb) dan Rasio Kerapatan sungai (Dd) DAS
Rb
Dd
Tallo
2,988
1,476
Malino
2,784
3,579
Berdasarkan dari nilai rata-rata baik nisbah percabangan sungai maupun rasio kerapatan sungai, semuanya di bawah angka 3 yang menandakan geomorfologi DAS Jeneberang telah mengalami deformasi akibat pengaruh tektonik aktif. Nilai Dd pada DAS Malino yang relatif tinggi merupakan refleksi dari sifat batuan gunungapi yang menyusun DAS tersebut. DAS Malino disusun oleh batuan Gunungapi Camba (Tmcv) [6]. Rombakan material longsoran Gunung Bawakaraeng yang mengisi Sungai Jeneberang Hulu pada DAS Malino yang menyebabkan terberainya sungai tersebut sebagai diindikasikan tingginya nilai rasio kerapatan sungai. Data sampel rasio percabangan sungai (Rb) dan rasio kerapatan sungai (Dd) di DAS Tallo dan DAS Malino, dapat lihat pada Tabel 2 dan 3. Sementara hasil uji normalitas data dapat dilihat pada Tabel 4.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Percabangan sungai merupakan salah satu jaringan sungai yang terdiri dari anak-anak sungai. Parameter ini dapat diukur secara kuantitatif dari rasio percabangan sungai, yaitu
158
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
TABEL 2. Data sampel rasio percabangan sungai (Rb) dan kerapatan sungai (Dd) DAS Tallo
No 1 2 3 4 5 6 7
Data 1,500 2,000 2,000 2,000 2,000 2,333 2.333
Rb DAS Tallo No Data No 14 8 2,500 15 9 2,600 16 10 3,000 17 11 3,000 18 12 3,000 19 13 3,333
Data
No 1 2 3 4 5 6 7
3,500 3,500 3,667 4,000 4,500 6,000
Min Max Rerata Standar deviasi
1,500 6,000 2,988 1,076
Data 0,685 0,963 0,971 1,127 1,128 1,175 1,196
Dd DAS Tallo No Data No 14 8 1,219 15 9 1,238 16 10 1,366 17 11 1,483 18 12 1,577 19 13 1,577
Min Max Rerata Standar deviasi
Data 1,629 1,789 1,958 2,061 2,762 2,871 0,685 2,871 1,476 0,581
TABEL 3. Data sampel rasio percabangan sungai (Rb) dan kerapatan sungai (Dd) DAS Malino
Rb DAS Malino No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Data 1,500 1,625 1,667 1,833 1,833 2,000 2,000 2,000 2,000 2,000 2,333 2,333
No Data 13 2,333 14 2,600 15 2,600 16 2,600 17 2,600 18 2,600 19 2,600 20 2,667 21 2,667 22 2,75 23 2,750 24 3,333 Min Max Rerata Standar deviasi
Dd DAS Malino No 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
Data 3,333 3,333 3,333 3,333 3,500 3,500 4,000 4,000 4,000 4,000 4,333 4,333 1,500 4,333 2,784 0,814
TABEL 4. Hasil uji normalitas rasio percabangan sungai (Rb) dan rasio kerapatan sungai (Dd) pada DAS Tallo dan DAS Malino Variabel yang diuji DAS Tallo
Rb
N 19
Dd Das Malino
Rb Dd
Dmax
Ln(α)
Kesimpulan
0,114
Ln(0,20)= 0,163
Normal
Ln(0,15)= 0,131
Normal
0,158 36
0,128 0,107
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Data 1.182 1.363 1.459 1.484 1.562 1.677 1.729 1.793 2.275 2.362 2.475 2.521
No Data 13 2.593 14 2.609 15 2.774 16 2.797 17 3.000 18 3.000 19 3.479 20 3.479 21 3.676 22 3.909 23 3.928 24 3.932 Min Max Rerata Standar deviasi
No 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
Data 4.102 4.290 4.315 4.426 4.688 4.955 5.581 5.686 5.947 6.882 7.745 9.180 1,182 9,180 3,579 1,870
dengan uji Lilliefors memperlihatkan bahwa dengan taraf nyata 20% (Tallo) dan 15% (Malino), asumsi rasio percabangan sungai dan rasio kerapatan sungai pada kedua DAS tersebut berdistribusi normal. Hasil pengujian homogenitas rasio percabangan sungai (Rb) dan rasio kerapatan sungai (Dd) pada DAS Tallo, dan DAS Malino, dapat dilihat pada Tabel 5, berikut.
Normal
Normal
Metoda pengolahan data menggunakan statistik uji kenormalan secara parametrik,
159
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
TABEL 5. Pengujian homogenitas rasio percabangan (Rb) dan rasio kerapatan sungai (Dd)
Homogenitas Varians DAS
2
n
S
Fhitung
Rb
Dd
Tallo
19
1,158
0,332
Malino
36
0,663
3,498
Fn1-1, n2-1 (0,05)
Rb
Dd
Rb
Dd
1,747
10,53
1,907
2,082
Kesimpulan Rb tidak berbeda, uji-t dengan polled varians, Dd berbeda, uji-t dengan separated varians
pada DAS Tallo – DAS Malino, menerima hipotesis nol dan menolak hipotesis alternatif, sehingga uji-t menggunakan polled varians. Sementara Dd pada DAS Tallo-Malino, menolak hipotesis nol, uji-t menggunakan persamaan separated varians. Hasil uji-t rasio percabangan sungai dan kerapatan sungai di DAS Tallo dan DAS Malino dapat dilihat pada Tabel 6.
Dari hasil pengujian homogenitas rasio percabangan (Rb) dan rasio kerapatan sungai (Dd) pada DAS Tallo – DAS Malino, sebagaimana yang tertera dalam kriteria uji, yaitu: Tolak hipotesis nol bila F hasil perhitungan lebih besar atau sama dengan F tabel. Sebaliknya terima hipotesis nol bila F tabel lebih besar atau sama dengan F hasil perhitungan. Dengan membandingkan nilai F tabel dan F hitung, dapat disimpulkan bahwa: Rb
TABEL 6. Uji-t uji beda rata-rata rasio percabangan sungai di DAS Tallo dan DAS Malino
DAS
N
Tallo Malino
19 36
S2
thitung
Rb
Dd
Rb
Dd
Rb
Dd
2,988 2,784
1,514 3,579
1,158 0,663
0,332 3,498
0,788
6,098
Dari hasil pengujian uji beda dengan menggunakan uji-t rasio percabangan (Rb) dan rasio kerapatan sungai (Dd) pada DAS Tallo – DAS Malino, sebagaimana yang tertera dalam kriteria uji, yaitu: Tolak hipotesis nol bila t hasil perhitungan lebih besar atau sama dengan t tabel. Sebaliknya terima hipotesis nol bila t tabel lebih besar atau sama dengan t hasil perhitungan. Dengan membandingkan nilai t tabel dan t hitung, dapat disimpulkan bahwa: Rb pada DAS Tallo – DAS Malino, menerima hipotesis nol dan menolak hipotesis alternatif. Dd pada DAS Tallo – DAS Malino, menolak hipotesis nol dan menerima hipotesis alternatif. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa rasio percabangan sungai di kedua DAS yaitu Tallo dan Malino tidak berbeda, berarti kedua DAS dipengaruhi sistem tektonik yang sama. Rasio percabangan sungai dan kerapatan sungai mengindikasikan telah terjadinya proses tektonik di DAS Malino dan DAS Tallo. Rasio percabangan sungai pada semua DAS mempunyai nilai di bawah 3. Hal ini mengindikasikan wilayah kedua DAS tersebut dipengaruhi tektonik aktif. Sementara kerapatan sungai berbeda hal ini disebabkan batuan dasar penyusun DAS berbeda.
tab(0,05) Rb, Dd
Kesimpulan
2,006 2,041
Rb tidak berbeda dan Dd berbeda
4. KESIMPULAN Dari hasil pembahsan dapat disimpulkan beberapa hal, sebagai berikut: 1. Uji kenormalan menghasilkan taraf nyata 15 % pada DAS Malino dan 20 % pada DAS Tallo, sehingga berdistribusi normal. 2. DAS Malino dan Das Tallo yang merefresentasikan Daerah Gowa dan Kota Makassar merupakan wilayah tektonik aktif. 3. Perbedaan batuan dasar (basement rock) menyebabkan perbedaan kerapatan sungai antara DAS Malino dan DAS Tallo. 5. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kami ucapkan kepada mahasiswa Geofiska Unhas yang telah membantu dalam pengadaan data penelitian. Kepada teman penelitia kami ucapkan terimakasih atas bantuan literatur dan kepustakaan.
160
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
The Northern Apennines (Italy)”, J. Geogr. Fis. Dinam. Quat., V.28, 103–113 (2005). 4. Sanda, Martin, Cislerova, Milena, “Transforming Hydrographs in The Hillslope Subsurface”, J. Hydrol. Hydromech., V.57, No. 4, 264–275 (2009).
6. REFERENSI 1. Massinai, Muhammad Altin, Geomorfologi Tektonik, Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2015. 2. Hirnawan, Febri, “A Measure of Intense Tectonism in West and Central Java Through Manifestation of River Basin Morphometry Development on Quaternary Volcanic Deposits”, Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 4, No.4, 285-300 (2009).
5. Sugiono,
Statistik untuk Penelitian, Bandung: Penerbit Alphabeta, 1999, pp. 306.
6. Massinai, Muhammad Altin, “The Role of Morphotectonics in Controlling the Geomorphology of Lengkese-Jenelata Watershed, South Sulawesi”, Indonesian Journal of Applied Sciences, Vol. 2, No. 1, 6-9 (2013).
3. Spagnolo, Matteo & Pazzaglia, Frank. J., “Testing The Geological Influences On The Evolution Of River Profiles: A Case From
161
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
LAMPIRAN HIPOTESIS Tektonik berpengaruh terhadap DAS Malino - DAS Tallo ditandai dengan respon percabangan sungai dan kerapatan sungai. 1. Terdapat kesamaan pola percabangan dan kerapatan sungai di DAS Tallo dengan DAS Malino. DAS Tallo disusun batuan sedimen laut, sedang DAS Malino disusun oleh batuan Gunungapi Formasi Camba 1.1. Uji normalitas data rasio percabangan dan kerapatan sungai di DAS Tallo H01 : Data rasio percabangan DAS Tallo berdistribusi normal H11 : Data rasio percabangan DAS Tallo tidak berdistribusi normal H02 : Data kerapatan sungai DAS Tallo berdistribusi normal H12 : Data kerapatan sungai DAS Tallo tidak berdistribusi normal = 20% Statistik uji:
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Tabel L.1. Perhitungan uji normalitas data rasio percabangan dan kerapatan sungai di DAS Tallo Rasio Percabangan (RB) Kerapatan Sungai (DD) Data Data Zi F(Zi) S(Zi) |F(Zi) - S(Zi)| No Zi F(Zi) S(Zi) |F(Zi) - S(Zi)| (Xi) (Xi) 1.5 2 2 2 2 2.333 2.333 2.5 2.6 3 3 3 3.333 3.5 3.5 3.667 4 4.5 6
-1.382 -0.918 -0.918 -0.918 -0.918 -0.608 -0.608 -0.453 -0.360 0.011 0.011 0.011 0.321 0.476 0.476 0.631 0.941 1.405 2.799
0.083 0.179 0.179 0.179 0.179 0.272 0.272 0.325 0.359 0.505 0.505 0.505 0.626 0.683 0.683 0.736 0.827 0.920 0.997
0.053 0.105 0.105 0.105 0.105 0.316 0.316 0.421 0.474 0.526 0.526 0.526 0.684 0.737 0.737 0.842 0.895 0.947 1.000
0.031 0.074 0.074 0.074 0.074 0.044 0.044 0.096 0.114 0.022 0.022 0.022 0.058 0.054 0.054 0.106 0.068 0.027 0.003
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
0.685 0.963 0.971 1.127 1.128 1.175 1.196 1.219 1.238 1.366 1.483 1.577 1.577 1.629 1.789 1.958 2.061 2.762 2.871
-1.439 -0.957 -0.943 -0.672 -0.671 -0.589 -0.553 -0.513 -0.480 -0.258 -0.055 0.108 0.108 0.199 0.476 0.770 0.948 2.165 2.354
0.075 0.169 0.173 0.251 0.251 0.278 0.290 0.304 0.316 0.398 0.478 0.543 0.543 0.579 0.683 0.779 0.829 0.985 0.991
0.053 0.105 0.158 0.211 0.263 0.316 0.368 0.421 0.474 0.526 0.579 0.632 0.632 0.737 0.789 0.842 0.895 0.947 1.000
0.022 0.064 0.015 0.040 0.012 0.038 0.078 0.117 0.158 0.128 0.101 0.088 0.088 0.158 0.106 0.063 0.066 0.037 0.009
Dari tabel di atas didapatkan statistik uji D max = Max|F(Zi) – S(Zi)| masing-masing untuk rasio percabangan dan kerapatan sungai DAS Tallo adalah sebesar 0.114 dan 0.158. Kriteria uji: Tolak H0 apabila Dmax ≥ Dcrit (), terima dalam hal lainnya. Berdasarkan tabel Lilliefors, dengan n = 19, dan taraf nyata 20% didapatkan nilai D crit () sebesar 0.163.. Dengan membandingkan kedua nilai Dmax tersebut, diambil kesimpulan untuk menerima H01 dan H02. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan data rasio percabangan dan kerapatan sungai DAS Tallo berdistribusi normal. 1.2. Uji normalitas data rasio percabangan dan kerapatan sungai di DAS Malino H01 : Data rasio percabangan Sub DAS Malino berdistribusi normal H11 : Data rasio percabangan Sub DAS Malino tidak berdistribusi normal H02 : Data kerapatan sungai Sub DAS Malino berdistribusi normal H12 : Data kerapatan sungai Sub DAS Malino tidak berdistribusi normal = 15%
162
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Statistik uji:
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
Tabel L.2. Perhitungan uji normalitas data rasio percabangan dan kerapatan sungai di DAS Malino Rasio Percabangan (RB) Kerapatan Sungai (DD) Data Data Zi F(Zi) S(Zi) |F(Zi) - S(Zi)| No Zi F(Zi) S(Zi) |F(Zi) - S(Zi)| (Xi) (Xi) 1.500 1.625 1.667 1.833 1.833 2.000 2.000 2.000 2.000 2.000 2.333 2.333 2.333 2.600 2.600 2.600 2.600 2.600 2.600 2.667 2.667 2.750 2.750 3.333 3.333 3.333 3.333 3.333 3.500 3.500 4.000 4.000 4.000 4.000 4.333 4.333
-1.577 -1.423 -1.372 -1.168 -1.168 -0.963 -0.963 -0.963 -0.963 -0.963 -0.554 -0.554 -0.554 -0.226 -0.226 -0.226 -0.226 -0.226 -0.226 -0.144 -0.144 -0.042 -0.042 0.674 0.674 0.674 0.674 0.674 0.879 0.879 1.493 1.493 1.493 1.493 1.902 1.902
0.057 0.077 0.085 0.121 0.121 0.168 0.168 0.168 0.168 0.168 0.290 0.290 0.290 0.411 0.411 0.411 0.411 0.411 0.411 0.443 0.443 0.483 0.483 0.750 0.750 0.750 0.750 0.750 0.810 0.810 0.932 0.932 0.932 0.932 0.971 0.971
0.028 0.056 0.083 0.111 0.111 0.167 0.167 0.167 0.167 0.167 0.306 0.306 0.306 0.389 0.389 0.389 0.389 0.389 0.389 0.556 0.556 0.611 0.611 0.667 0.667 0.667 0.667 0.667 0.806 0.806 0.861 0.861 0.861 0.861 0.972 0.972
0.030 0.022 0.002 0.010 0.010 0.001 0.001 0.001 0.001 0.001 0.016 0.016 0.016 0.022 0.022 0.022 0.022 0.022 0.022 0.113 0.113 0.128 0.128 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083 0.005 0.005 0.071 0.071 0.071 0.071 0.001 0.001
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
1.182 1.363 1.459 1.484 1.562 1.677 1.729 1.793 2.275 2.362 2.475 2.521 2.593 2.609 2.774 2.797 3.000 3.000 3.479 3.479 3.676 3.909 3.928 3.932 4.102 4.290 4.315 4.426 4.688 4.955 5.581 5.686 5.947 6.882 7.745 9.180
-1.282 -1.185 -1.134 -1.120 -1.079 -1.017 -0.989 -0.955 -0.697 -0.651 -0.590 -0.566 -0.527 -0.519 -0.431 -0.418 -0.310 -0.310 -0.054 -0.054 0.052 0.176 0.186 0.189 0.279 0.380 0.393 0.453 0.593 0.736 1.070 1.126 1.266 1.766 2.227 2.994
0.100 0.118 0.128 0.131 0.140 0.155 0.161 0.170 0.243 0.258 0.277 0.286 0.299 0.302 0.333 0.338 0.378 0.378 0.479 0.479 0.521 0.570 0.574 0.575 0.610 0.648 0.653 0.675 0.723 0.769 0.858 0.870 0.897 0.961 0.987 0.999
0.028 0.056 0.083 0.111 0.139 0.167 0.194 0.222 0.250 0.278 0.306 0.333 0.361 0.389 0.417 0.444 0.472 0.472 0.528 0.528 0.583 0.611 0.639 0.667 0.694 0.722 0.750 0.778 0.806 0.833 0.861 0.889 0.917 0.944 0.972 1.000
0.072 0.062 0.045 0.020 0.002 0.012 0.033 0.052 0.007 0.020 0.028 0.048 0.062 0.087 0.083 0.107 0.094 0.094 0.049 0.049 0.063 0.041 0.065 0.092 0.084 0.074 0.097 0.103 0.082 0.064 0.003 0.019 0.019 0.017 0.015 0.001
Dari tabel di atas didapatkan statistik uji D max = Max|F(Zi) – S(Zi)| masing-masing untuk rasio percabangan dan kerapatan sungai DAS Malino adalah sebesar 0.128 dan 0.107. Kriteria uji: Tolak H0 apabila Dmax ≥ Dcrit (), terima dalam hal lainnya. Berdasarkan tabel Lilliefors, dengan n = 36, dan taraf nyata 15% didapatkan nilai D crit () sebesar 0.131.. Dengan membandingkan kedua nilai Dmax tersebut, diambil kesimpulan untuk menerima H01 dan H02. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan data rasio percabangan dan kerapatan sungai DAS Malino berdistribusi normal. 2. Uji homogenitas varians H01:
;
H11:
;
H02:
;
H12:
;
Tidak terdapat perbedaan varians antara data rasio percabangan sungai pada DAS Tallo dan DAS Malino Terdapat perbedaan varians antara data rasio percabangan sungai pada DAS Tallo dan DAS Malino Tidak terdapat perbedaan varians antara data kerapatan sungai pada DAS Tallo dan DAS Malino Terdapat perbedaan varians antara data kerapatan sungai pada DAS Tallo dan DAS Malino 163
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
= 5%
Rasio Percabangan (RB) Untuk keperluan pengujian, dari data didapatkan informasi sebagai berikut: ; ; ;
;
Statistik uji:
Kriteria uji: Tolak H0 apabila , terima dalam hal lainnya. Dengan membandingkan kedua nilai tersebut maka diambil keputusan untuk menerima H 0. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan varians antara data rasio percabangan sungai pada DAS Tallo dan DAS Malino dan dalam pengujian beda rata-rata sampel independen digunakan statistik uji t. Kerapatan Sungai (DD) Untuk keperluan pengujian, dari data didapatkan informasi sebagai berikut: ; ; ;
;
Statistik uji:
Kriteria uji: Tolak H0 apabila , terima dalam hal lainnya. Dengan membandingkan kedua nilai tersebut maka diambil keputusan untuk menolak H0. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan varians antara data kerapatan sungai pada DAS Tallo dan DAS Malino dan dalam pengujian beda rata-rata sampel independen digunakan statistik uji t’. 3. Uji beda rata-rata sampel independen antara data rasio percabangan sungai dan kerapatan sungai DAS Tallo dengan DAS Malino 3.1. Uji beda rata-rata sampel independen antara data rasio percabangan sungai DAS Tallo
dengan DAS Malino H0:
;
H1:
;
= 5%
Tidak terdapat perbedaan rata-rata antara data rasio percabangan sungai DAS Tallo dengan data rasio percabangan sungai DAS Malino Terdapat perbedaan rata-rata antara data rasio percabangan sungai DAS Tallo dengan data rasio percabangan sungai DAS Malino
Untuk keperluan pengujian, dari data didapatkan informasi sebagai berikut: ; ; ; ; ; ; Statistik uji:
Terlebih dahulu dicari nilai s sebagai berikut:
164
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Kriteria uji: Tolak H0 apabila nilai mutlak , terima dalam hal lainnya. Dengan membandingkan kedua nilai tersebut maka diambil keputusan untuk menerima H0. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan rata-rata antara data rasio percabangan sungai DAS Tallo dengan data rasio percabangan sungai DAS Malino. 3.2. Uji beda rata-rata sampel independen antara data kerapatan sungai DAS Tallo dengan DAS Malino H0:
;
H1:
;
= 5%
Tidak terdapat perbedaan rata-rata antara data kerapatan sungai DAS Tallo dengan data kerapatan sungai DAS Malino Terdapat perbedaan rata-rata antara data kerapatan sungai DAS Tallo dengan data kerapatan sungai DAS Malino
Untuk keperluan pengujian, dari data didapatkan informasi sebagai berikut: ; ; ; ; ; ; Statistik uji:
Terlebih dahulu dicari nilai t crit sebagai berikut:
Kriteria uji: Tolak H0 apabila nilai mutlak , terima dalam hal lainnya. Dengan membandingkan kedua nilai tersebut maka diambil keputusan untuk menolak H 0. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan rata-rata antara data kerapatan sungai DAS Tallo dengan data kerapatan sungai DAS Malino.
165
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Inversi Data Topografi Perumahan Bukit Baruga Antang Makassar Muhammad Hamzah Syahruddin*, Sudarmadi, Asraf , Muh. Jayadhi, Abd. Cholid Program Studi Geofisika, Jurusan Fisika Fakultas MIPA Universitas Hasanuddin * email: [email protected]
Abstrak Bagaimana bentuk topografi perumahan bukit baruga Antang Makassar? Bagaimana parameter fisis topografi perumahan Bukit Baruga Antang Makassar? Koordinat dan Topografi perumhan Bukit Baruga diukur menggunakan GPS map merek GRN 60 CSX. Hasil pengukuran GPS diplot menggunakan surfer sehingga diperoleh gambar peta topografi perumahan Bukit Baruga Antang Makassar. Data koordinat perumahan Bukit Baruga Antang Makassar diproses dengan metoda inversi untuk mendapatkan parameter fisis topografinya. Parameter fisis topografi perumahan Bukit Baruga Antang Makassar merupakan karakteristik daerah tersebut. Perumahan Bukit Baruga Antang Makassar berupa perbukitan dengan ketinggian 2 smpai 28 meter diatas elipsoid bumi. Parameter fisis topografi perumahan Bukit Baruga Antang Makassar adalah -0,000115322, 0,023657157, -2,633045841. Kata kunci: topografi, inversi, parameter fisis, perumahan Bukit Baruga Antang Makassar
deerah sekitarnya. Luas daerah yang disurvei adalah 1000 meter kali 1000 meter atau 1,0 km2. Di daerah tersebut dilakukan pengukuran topografi, menggunakan GPS map merek GRN 60 CSX. Titik-titik pengukuran memunyai spasi 100 meter.
1. PENDAHULUAN Pemodelan inversi adalah pemodelan yang dilakukan untuk mendapatkan parameter fisis secara langsung dari data [1]. Untuk mendapatkan parameter fisis dari data topografi maka digunakan pemodelan inversi. Sebaliknya untuk memperoleh data prediksi hasil pengukuran berdasarkan parameter fisis yang sudah diketahui, maka proses ini disebut proses forward atau forward modelling [2].
Lokasi pengukuran berada pada koordinat geodetik 119⁰ 29’ 9,5'’E - 119⁰ 29’ 41,4'’E dan 05⁰ 09' 10.2''S - 05⁰ 09’ 36,4’’S. Lokasi penelitian di perumahan Bukit Baruga Antang dan sekitarnya dapat dilihat pada Gambar 1. Ada beberapa titik dalam koordianat tersebut yang tidak dapat diukur karena berada di daerah rawah.
Setiap daerah mempunyai topografi yang berbeda-beda. Apa yang membedakan topografi suatu wilayah dengan wilayah lainnya. Tentu adalah parameter fisis yang membedakannya. Bagaimana memdapatkan parameter fisis topografi suatu wilayah tersebut. Pada penelitian ini penentuan parameter fisis topografi suatu wilayah dilakukan dengan metoda inversi. Metoda inversi yang digunakan adalah metoda inversi linier dua dimensi (2D). Parameter fisis yang diperoleh dari hasil inversi merupakan karakteristik topografi suatu wilayah. Parameter fisis inilah yang membedakan suatu wilayah dengan wilayah lainnya.
GAMBAR 1. Lokasi Penelitian Perumahan Bukit Baruga
2. KAJIAN LITERATUR
Pengukuran topografi dilakukan pada awal bulan April 2015. Hasil pengukuran topografi di Perumahan Bukit Baruga Antang dapat digambarkan dalam kontur dua dimensi menggunakan software surfer 10. Kontur tiga dimensi hasil pengukuran topografi Kota Makassar dapat dilihat pada Gambar 2.
Data Topografi Perumahan Bukit Baruga Antang Lokasi penelitian ini dilakukan di daerah perumahan Bukit Baruga Antang dan sebagian
166
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
dengan -0,000115322, m2 sama dengan 0,023657157, dan m3 sama derngan 2,633045841. Hasil pemodelan inversi topografi perumahan Bukit Baruga Antang adalah, -0,000115322+ 0,023657157xi 2,633045841yi = hi
(4)
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
GAMBAR 2. Data hasil pengukuran Topografi Bukit Baruga Antang
Hasil pemodelan inversi topografi perumahan Bukit Baruga Antang dapat digambarkan. Caranya adalah melakukan substitusi koordinat latitude, longitude dan data topografi ke dalam persamaan (4). Hasil pemodelan inversi topografi perumahan Bukit Baruga Antang dapat dilihat pada Gambar 3.
Topografi Perumahan Bukit Baruga Antang mempunyai ketinggian 2 sampai 28 meter di atas elipsoid Bumi. Topografi daerah perumahan Bukit Baruga Antang berupa perbukitan yang miring ke arah utarat dan selatan. Sedangkan di sebelah timur terdapat rawa-rawa dan di sebelah barat adalah perbukitan. 3. METODE PENELITIAN Metode Inversi Data topografi adalah data dua dimensi. Oleh karena itu inversi yang digunakan adalah Inversi model bidang. Inversi model bidang yang diterapkan pada data topografi untuk mencari parameter fisis data topografi yang merupakan karakteristik topografi suatu daerah. Inversi linier model bidang dapat dinyatakan dalam model matematika berikut ini [3]: m1 + m2xi + m3yi = hi
GAMBAR 3. Hasil Pemodelan Inversi topografi perumahan Bukit Baruga Antang
Hasil pemodelan inversi topografi perumahan Bukit Baruga Antang secara linier menunjukkan bahwa perumahan tersebut berada pada ketinggia rata-rata 16,5 meter di atas permukaan elipsoid bumi.
(1)
Dimana xi longitude, yi latitude, m1, m2 dan m3 merupakan parameter fisi topografi yang akan dicari. Adapun yang berlaku sebagai data topografi adalah h1, h2, h3, ..., hi. Berdasarkan model matematika tersebut, kita bisa nyatakan GTGm = GTh
Bila dilakukan pengurangan antara data topografi dengan data topografi hasil inversi maka diperoleh nilai residu topografi. Nilai residu topografi dapat dilihat pada Gambar 4.
(2)
Dimana G adalah matrik kernel dan T adalah transpos matriks. Untuk mendapatkan nilai parameter fisis m maka diakukan proses inversi pada persamaan berikut: m=inv(GT G).GT h
(3)
Dengan menerapkan data topografi pada persamaan (3) diperoleh parameter fisis m. Parameter fisi m masing-masing m1 sama
GAMBAR 4. Nilai residu topografi perumahan Bukit Baruga Antang
167
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Nilai residu topografi perumahan Bukit Baruga Antang menunjukkan bahwa topografi tinggi hanya karena kompensasi dari topografi yang rendah atau sebaliknya topografi yang rendah merupakan kompensasi dari topografi tinggi. Jadi kalau topografi tinggi digunakan untuk menutup topografi yang rendah maka diperoleh perumahan Bukit Baruga antang mewnjadi rata dengan ketinggian 16,5 m.
penelitian tindakan kelas untuk pengembangan metoda pembelajaran. Terima kasih kepada semua mahasiswa saya yang mengambil matakuliah metoda inversi Geofisika semester genap tahun 2015 dengan pembelajaran experiential learning. Mereka mengambil data topografi di lapangan .dan belajar melakukan inversi data lapangan baik inversi satu dimensi maupun inversi dua dimensi. Hasil pembelajaran experential learning metoda inversi geofisika 2015 menjadi karya tulis yang dipublikasikan dalam SNF 2016.
5. KESIMPULAN Perumahan Bukit Baruga Antang berupa perbukitan dengan ketinggian 2 smpai 28 meter diatas elipsoid bumi. Parameter fisis topografi perumahan Bukit Baruga Antang adalah -0,000115322, 0,023657157, 2,633045841. Dapat disimpulkan bahwa parameter fisis sebagai karakteristik topografi suatu wilayah dapat diketahui dengan metoda inversi.
7. REFERENSI 1. Grandis, H., “Pengantar Pemodelan Inversi Geofisika”, HAGI, (2009). 2. Supriyanto, “Memahami Teori Inversi”, Universitas Indonesia (2007). 3. Meju, A. Max, “Geophysical Data Analysis: Understanding Inverse Problem Theory and Practice”, Society of Exploration Geophysicists (SEG), (1994).
6. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terimah kasih saya sampaikan kepada pimpinan UNHAS dan LKPP yang memberikan bantuan dana dalam melakukan
168
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Analisis Kestabilan Sensor Kelembaban DHT22 terhadap Waktu Lama Pemanasan Rahmat Rasyid1),*, Muharmen Suari2), Wendri2) 1
Jurusan Fisika FMIPA Universitas Andalas, Kampus Limau Manis, Padang 2 Bagian Teknisi Laboratorium Dasar Universitas Andalas, Padang * email: [email protected]
Abstrak Uji kestabilan sensor kelembaban DHT22 terhadap waktu lama pemanasan udara di sekitar sensor telah dilakukan. Sensor kelembaban DHT22 adalah alat ukur yang digunakan untuk menentukan tingkat kelembaban relatif dari uap air yang terkandung dalam udara dan merupakan jenis sensor kapasitif dimana nilai permitivitas sensor akan berubah jika uap air yang terkandung dalam udara terjadi perubahan. Metode pengujian menggunakan ukuran kotak gelap (150x50x30) cm untuk memeriksa nilai kelembaban yang sudah terkoreksi melalui karakterisasi dan mengkalibrasinya dengan instrumen "Humidity meter" Lutron HT-3005HA dalam dua cara yang berbeda: pertama dengan tidak ada peningkatan suhu ( suhu kamar) dan kedua dengan kenaikan suhu 0,02 ℃ / 𝑠. Untuk menentukan kestabilan sensor terhadap waktu lama pemanasan di ruang sekitar sensor, kita hidupkan pemanas yang berjarak 25 cm dari sensor. Hasil penelitian menunjukkan untuk mencapai kestabilan sensor terhadap suhu sekitar akibat pemanasan dibutuhkan waktu setiap 1,50 menit untuk setiap detik waktu lama pemanasan. Sedangkan efek pemanasan sensor terhadap deteksi kelembaban terjadi penyimpangan pengukuran setiap -5,43 % dan deteksi suhu menyimpang setiap 1,02 0C untuk setiap detik waktu lama pemanasan. Kata kunci: kelembaban, kestabilan, nilai penyimpangan, suhu, waktu lama pemanasan
berhubungan erat dengan kelembaban. Udara yang lembab merupakan lingkungan cocok bagi perkembangbiakan bakteri, jamur, dan virus berbahaya. Untuk alasan ini, gedunggedung publik harus memastikan tingkat kelembaban ruangan sesuai dengan standar yang direkomendasikan untuk menjamin kesehatan penghuninya [2]. DHT22 Module adalah sebuah modul sensor yang dirancang untuk dapat mengukur suhu dan kelembaban udara secara bersamaan. Modul sensor ini sudah memiliki keluaran digital dan sudah terkalibrasi, jadi pengguna tidak perlu lagi melakukan konversi A/D ataupun kalibrasi data sensor. Sensor DHT22 mampu mengukur suhu dengan tingkat keakurasian +/-20C dengan jangkauan pengukuran dari – 400C hingga + 800C dengan jangkauan pengukuran dari 0 - 100% RH [3].
1. PENDAHULUAN Kelembaban udara adalah kadar uap air yang ada di udara. Merupakan bagian dari komponen iklim yang memiliki pengaruh terhadap lingkungan. Kelembaban udara dapat dinyatakan sebagai kelembaban mutlak dan kelembaban nisbi (relatif). Jumlah uap air yang terdapat di udara pada waktu tertentu disebut kelembaban mutlak. Sedangkan kelembaban nisbi adalah perbandingkan antara kandungan/tekanan uap air aktual dengan keadaan jenuhnya atau pada kapasitas udara untuk menampung uap air. Kapasitas udara untuk menampung uap air (pada keadaan jenuh) tergantung pada suhu udara. Pengembunan akan terjadi bila kelembaban mencapai 100% [1]. Dalam dunia industri pengaturan kelembaban udara memiliki peranan yang sangat besar untuk menghasilkan kualitas bahan sesuai yang diharapkan. lainnya adalah dalam industri pemrosesan dan pengawetan makanan /minuman, berbagai macam proses pembuatan roti dan kue membutuhkan kelembaban antara 40%-80%, produk listrik 15%-70%, farmasi 15%-50% dan industri tembakau 55%-88% dan sebagainya [2]. Selain itu kondisi atau penyakit pernapasan juga
2. KAJIAN LITERATUR Sistem Akuisisi Data Sistem akuisisi data atau biasa dikenal dengan Data Acquisition Sistem (DAS) adalah sebuah sistem instrumentasi elektronika yang terdiri dari beberapa elemen yang secara bersama bertujuan melakukan pengukuran,
169
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
menyimpan dan mengelola hasil pengukuran untuk menghasilkan data yang dikehendaki Besaran Fisika
Sensor
Adapun blok diagram sistem tersebut seperti pada gambar 1 berikut: Perangkat DAQ
Komunikasi data
Komputer (PC)
GAMBAR 1. Sistem Akuisisi Data
Berdasarkan gambar 1 di atas terdapat elemenelemen pendukung akuisisi data, yaitu besaran fisika yaitu kelembaban dan suhu. Sensor mengubah energi dari satu bentuk ke bentuk energi listrik. Perangkat DAQ (Data Acquisition Equipment) digunakan untuk proses pengambilan data dengan mengukur fenomena fisik kemudian mengubahnya ke dalam nilai digital yang dapat diinterpretasikan oleh komputer dengan menggunakan sistem mikropengendali Arduino UNO dengan komunikasi data serial untuk pengiriman data dari perangkat kompute komputer PC. Sebuah PC diperlukan untuk operasi akuisisi data secara keseluruhan [4].
Mulai
Sensor Mendeteksi Kelembaban, Suhu
Apakah ada perubahan nilai?
Mengirim Data ke PC melalui Komunikasi Serial
Selesai
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah: perancangan perangkat keras (hardware), perancangan perangkat lunak (software) dan teknik pengambilan data. Perancangan perangkat keras adalah pembuatan sistem rangkaian terpadu berdasarkan blok diagram seperti gambar 2 di bawah ini: Mikropengendali Arduino Uno
Tidak
Ya
3. METODE PENELITIAN
Sensor (DHT22)
Arduino Mengambil Data dari Sensor
Inisialisasi Program
GAMBAR 3. Perancangan Perangkat Lunak
Penjelasan dari alur kerja perangkat lunak dalam pengukuran suhu dan kelembaban adalah, inisialisasi program artinya mikropengendali akan melakukan inisialisasi meliputi nilai-nilai awal variabel, fungsi serta pengaturan berbagai perangkat. Sensor mendeteksi kelembaban, suhu dalam ruang tertutup, kemudian mikropengendali memanggil rutin read_sensor untuk membaca nilai kelembaban, suhu.
Komputer (PC)
GAMBAR 2. Perancangan Perangkat Keras
Arduino mengambil data dan memeriksa perubahan nilai. Pada tahap ini jika terdapat perubahan maka akan menampilkan hasil pengukuran suhu dan kelembaban, jika tidak ada perubahan maka akan kembali ke tahap membaca data. Proses terakhir adalah menampilkan data kelembaban dan suhu ke PC.
Sensor DHT22 dirangkai di atas papan breadboard dan dihubungkan dengan papan Arduino UNO R3 mengikuti skematik yang ditunjukkan dalam gambar 2 kemudian ditampilkan ke PC melalui komunikasi serial. Perancangan perangkat lunak adalah menyusun program dalam bentuk algoritma bahasa pemograman arduino dan ditanamkan ke mikropengendali Arduino Uno.
Teknik pengambilan data kalibrasi sensor DHT22 adalah dengan menggunakan kotak tertutup rapat ukuran (150x50x30) cm3 yang di dalamnya berisi sensor DHT22 dan sensor kalibrasi.
170
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
disekitar sensor melalui alat pemanas yang berjarak 25 cm dan jarak celah 1 cm seperti terlihat pada gambar 5 dibawah ini:
150 cm D
B
50 cm
D
AB C
F
A
E
C
25 cm 1 cm
GAMBAR 4. Teknik Pengambilan Data Kalibrasi Sensor
GAMBAR 5. Teknik Pengambilan Data Kestabilan Sensor
Keterangan gambar: A. Sensor Kelembaban DHT22 B. Sensor Kalibrasi Kelembaban C. Kotak Mikropengendali D. Pemanas udara E. Humidity Meter" Lutron HT-3005HA F. Tampilan komputer
Keterangan gambar: A. Pemanas udara B. Tabung pipa C. Sensor DHT22 D. Kotak Mikropengendali E. Tampilan computer
Dari gambar 4 dapat dijelaskan langkahlangkah pengambilan data sebagai berikut : 1. Sensor DHT22 dikalibrasi dengan alat kalibrasi Humidity Meter" Lutron HT3005HA dengan cara memberikan pemanasan bertahap mulai dari suhu kamar 250C pada setiap 50C hingga suhu mendekati 350C untuk mendapatkan nilai faktor koreksi kelembaban dan suhu dalam bentuk persamaan kalibrasi. 2. Nilai persamaan kalibrasi yang diperoleh kemudian dimasukkan ke program mikropengendali Arduino. 3. Menguji tingkat kestabilan pengukuran kelembaban dan suhu dari sensor DHT22 pada suhu kamar (~250C). 4. Pemanas dihidupkan pada kecepatan perubahan suhu rata-rata 0,02 0C/s kemudian untuk setiap menit dicatat nilai kelembaban dan suhu yang ditampilkan di layar komputer dan alat kalibrasi hingga suhu mencapai 650C.
Adapun langkah-langkah pengambilan data dari gambar 5 adalah sebagai berikut : 1. Menyusun peralatan seperti gambar 5. 2. Mencatat kelembaban dan suhu udara sebelum dipanaskan. 3. Menghidupkan pemanas selama waktu pemanasan 1 detik, kemudian matikan. 4. Mencatat kelembaban dan suhu udara setelah dipanaskan. 5. Mencatat lama waktu kestabilan sensor setelah mencapai nilai kelembaban dan suhu udara sebelum dipanaskan. 6. Mengulangi langkah 3 s/d 5 sebanyak 5 kali. 7. Mengubah waktu pemanasan menjadi 2, 3, 4, 5 dan 6 detik. 8. Untuk setiap waktu pemanasan ulangilah langkah 3 s/d 5 masing-masing sebanyak 5 kali.
Untuk mendapatkan data kestabilan sensor sebagai efek dari lama pemanasan udara di sekitar sensor dengan cara melakukan pengamatan dengan cara memanaskan udara
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Kalibrasi Sensor
171
E
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
65,0 60,0 55,0 50,0 45,0 40,0
KALIBRASI SUHU LUTRON (oC)
LUTRON (%)
KALIBRASI KELEMBABAN
y = 1,0087x - 8,8849 R² = 0,9966 50
55
60
65
37,0 35,0 33,0 31,0 29,0 27,0
70
y = 1,193x - 4,6918 R² = 0,9983 26
28
30
32
34
DHT22 (oC)
DHT22 (%)
GAMBAR 6. Hasil Kalibrasi Sensor
Berdasarkan hasil kalibrasi gambar 6 diatas dari sensor DHT22 terhadap alat kalibrasi Lutron HT-3005HA diperoleh persamaan koreksi untuk kelembaban y = 1,0087x-8,8849 dan persamaan untuk suhu y = 1,193x-4,6918. Persamaan koreksi ini dilakukan agar nilai pengukuran kelembaban dan suhu dapat sesuai dengan nilai kondisi riil di lapangan. Hasil koreksi ini kemudian
ditanamkan Arduino.
ke
program
mikropengendali
4.2. Pengujian Sensor Setelah proses kalibrasi dilakukan, maka pengujian sensor dilakukan dalam dua cara yaitu pertama tanpa kenaikan suhu ekstrim (pada suhu kamar) dan kedua dengan kenaikan suhu ekstrim (0,02 0C/s).
TABEL 1. Pengujian sensor (suhu kamar) NO. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
WAKTU (menit) 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
KELEMBABAN DHT22 ALAT % % 67,1 66,9 67,9 67,7 68,6 68,4 69,2 68,8 69,5 69,1 69,9 69,7 69,6 69,2 69,9 69,5 70,4 70,0 70,6 70,2 70,6 70,2
SUHU DHT22 ALAT o o C C 25,6 25,8 25,6 25,8 25,6 25,8 25,6 25,8 25,6 25,8 25,6 25,8 25,6 25,8 25,6 25,8 25,6 25,8 25,6 25,8 25,6 25,8
Hasil yang diperoleh bahwa sensor DHT22 stabil pada rentang pengukuran suhu kamar diperoleh rentang koreksi pengukuran
ERROR
ERROR
% -0,2 -0,2 -0,2 -0,4 -0,4 -0,2 -0,4 -0,4 -0,4 -0,4 -0,4
o C 0,2 0,2 0,2 0,2 0,2 0,2 0,2 0,2 0,2 0,2 0,2
kelembaban antara 0,2% s/d 0,4% dan koreksi pengukuran suhu yang stabil 0,2%.
TABEL 2. Pengujian sensor (0,02 0C/s) NO. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
KELEMBABAN DHT22 ALAT % % 67,9 67,8 70,4 70,3 69,3 69,2 68 67,4 64,6 63,3 62,8 60,3 60,9 57,5 57,9 54,0 54,9 51,0 52,2 48,3
SUHU DHT22 ALAT o o C C 27 27,0 28,6 28,0 29,7 29,0 30,5 30,0 31,6 31,0 32,5 32 33,6 33 34,8 34 35,6 35 36,7 36
172
ERROR
ERROR
% -0,1 -0,1 -0,1 -0,6 -1,3 -2,5 -3,4 -3,9 -3,9 -3,9
o C 0,0 -0,6 -0,7 -0,5 -0,6 -0,5 -0,6 -0,8 -0,6 -0,7
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Pada kenaikan suhu rata-rata 0,02 0C/s kestabilan sensor menurun. Hal ini ditandai dengan bertambahnya nilai faktor koreksi
kelembaban mulai dari 0,1% hingga 3,9% dan nilai faktor koreksi suhu sekitar 0,60C.
4.3. Efek Lama Pemanasan Udara di Sekitar Sensor
Kestabilan Sensor (menit)
Efek Lama Pemanasan vs Waktu Pemulihan Kestabilan Sensor 14
12 10 8 y = 1,5006x + 2,4947 R² = 0,9376
6 4 2 0 0
1
2
3
4
5
6
7
Lama Pemanasan (detik) GAMBAR 7. Kestabilan Sensor Akibat Pemanasan Suhu Sekitar Sensor membutuhkan waktu pemulihan kestabilan pengukuran jika terjadi perubahan suhu secara mendadak. Dari gambar 7 dapat kita simpulkan bahwa untuk setiap detik perubahan suhu secara mendadak dibutuhkan waktu pemulihan kestabilan pengukuran
sensor setiap 1,50 menit. Adapun penyimpangan pengukuran kelembaban dan suhu sebagai efek dari lama pemanasan udara sekitar sensor kita dapatkan dari gambar 8 di bawah ini:
Efek Lama Pemanasan vs Simpangan Pengukuran Suhu 7 6 Suhu (0C)
5 4 y = 1,022x - 0,232 R² = 0,9922
3
2 1 0 0
1
2
3
4
5
6
Lama Pemanasan (detik)
GAMBAR 8. Simpangan Pengukuran Kelembaban dan Suhu
Penyimpangan pengukuran data kelembaban dan suhu dari sensor akibat perubahan suhu udara di sekitar sensor. Untuk setiap detik perubahan suhu sekitar sensor diperoleh nilai penyimpangan pengukuran kelembaban mengalami penurunan setiap 5,434 %, sedangkan terhadap penyimpangan pengukuran suhu mengalami kenaikan setiap 1,020C.
5. KESIMPULAN Dari penelitian diatas di dapat kesimpulan sebagai berikut: 1. Persamaan koreksi untuk kelembaban y = 1,01x - 8,88 dan untuk suhu y = 1,19x 4,69. 2. Pada pengujian suhu kamar (~250C) sensor DHT22 sangat stabil dimana nilai koreksi
173
7
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
pengukuran kelembaban antara 0,2% s/d 0,4% dan suhu tetap pada nilai 0,20C. 3. Kestabilan sensor DHT22 pada kenaikan suhu rata-rata 0,02 0C/s bersifat menurun dimana nilai faktor koreksi kelembaban mulai bertambah dari 0,1% hingga 3,9% dan nilai faktor koreksi suhu menjadi sekitar 0,60C. 4. Untuk setiap detik perubahan suhu secara mendadak dibutuhkan waktu pemulihan kestabilan pengukuran sensor setiap 1,50 menit. 5. Penyimpangan pengukuran kelembaban untuk setiap detik waktu pemanasan udara sekitar sensor mengalami penurunan setiap -5,434%, sedangkan terhadap
penyimpangan pengukuran suhu untuk setiap detiknya mengalami kenaikan setiap 1,020C 6. REFERENSI 1. Holman, J.P., Perpindahan Kalor, Jakarta: Erlangga, 1994. 2. Anonim, (2002), max232 max232i dual eia-232 drivers/receivers. 3. Aosong Electron Co., Temperature and Humidity Module, DHT22 Product Manual, Guangzhou, China, 2012. 4. Setiawan R., Teknik Akuisisi Data, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008.
174
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Sensor Gas Amonia Transistor Efek Medan (Field Effect Transistor) Berbasis Film Poly 3-hexylthiophene (P3HT) sebagai Material Aktif Akhiruddin Maddu*, Andri Gunawan dan Irmansyah Sofian Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor Kampus IPB Dramaga, Bogor Telp. (0251)-8615728, HP. 081213302332 * email: [email protected]
Abstrak Telah dibuat sensor gas amonia piranti Transistor Efek Medan (Field Effect Transistor, FET) dengan menggunakan lapisan poly 3-hexylthiophene (P3HT) sebagai material aktif. Piranti FET dibentuk diatas substrat silikon tipe-p dengan menumbuhkan lapisan silikon dioksida (SiO2) diatasnya sebagai lapisan dielektrik melalui pemanasan pada suhu 1000 oC dengan mengalirkan gas oksigen (O2). Sebagai material aktif ditumbuhkan lapisan polimer konduktif P3HT diatas permukaan lapisan SiO2 dengan metode spin coating. Hasil karakterisasi EDX menunjukkan bahwa pada substrat silikon yang telah dioksidasi terdapat kandungan unsur O2 sekitar 35% dan unsur silikon sekitar 65%. Pengujian karakterisasi I-V menunjukkan arus drainsource (Id-s) dipengaruhi oleh perubahan tegangan gate (Vg). Semakin besar Vg yang diberikan maka Id-s yang dihasilkan semakin meningkat. Pengaruh gas amonia terhadap kurva karakteristik I-V menunjukkan bahwa Id-s semakin menurun seiring dengan meningkatnya konsentrasi gas amonia. Respon dinamik piranti FET terhadap gas amonia memperlihatkan bahwa semakin besar Vg semakin tinggi sensitivitas piranti FET. Pada saat diberi Vg = -8 volt, setiap kenaikan 1% konsentrasi gas amonia maka akan terjadi kenaikkan tegangan sebesar 0,264 volt. Sedangkan ketika Vg = 0 volt, setiap kenaikan 1% konsentrasi gas amonia maka terjadi kenaikkan tegangan sebesar 0,236 volt. Kata kunci: Gas amonia, poly 3-hexylthiophene, silikon dioksida, transistor efek medan
gas amonia bermacam-macam, salah satunya ialah menggunakan material polimer konduktif. Penelitian pembuatan sensor gas berbasis polimer konduktif telah banyak dilakukan mulai dari awal tahun 1980. Polimer konduktif sering digunakan sebagai lapisan aktif sensor yang dapat mendeteksi keberadaan gas sekaligus dengan konsentrasinya. Sensor berbasis polimer konduktif memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan sensor komersial yang terbuat dari oksida logam. Sensor berbasis polimer konduktif memiliki sensitivitas yang tinggi, waktu respon yang singkat dan beroperasi pada suhu ruangan, sedangkan sensor berbasis oksida logam dioperasikan pada suhu yang tinggi [4]. Tingginya suhu operasi yang dibutuhkan oleh sensor gas berbasis oksida logam menyebabkan pemakaian piranti ini menjadi tidak efisien, tidak portable, dan menghabiskan energi yang besar. Oleh karena itu dibutuhkan material lain yang tidak memerlukan suhu operasi yang tinggi. Polimer konduktif sebagai lapisan aktif pada sensor gas telah terbukti memiliki sensitivitas yang tinggi dalam mendeteksi gas, meskipun beroperasi pada suhu ruang.
1. PENDAHULUAN Gas amonia yang berbau tidak sedap dan menyengat dapat membahayakan kesehatan manusia. Efek jangka pendek mengakibatkan iritasi terhadap saluran pernapasan, hidung, tenggorokan, dan mata. Kontak dengan mata dapat menimbulkan iritasi hingga kebutaan total. Kontak dengan kulit dapat menyebabkan luka bakar (frostbite). Efek jangka panjang (kronis) menghirup gas amonia dengan konsentrasi yang tinggi secara terus-menerus dapat mengakibatkan kerusakan pada paruparu dan bahkan menyebabkan kematian [1]. Sehubungan dengan bahaya yang ditimbulkan oleh gas amonia, maka diperlukan suatu sistem atau alat yang dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan gas amonia tersebut [2]. Pendeteksian bahan-bahan kimia beracun di lingkungan akan lebih efektif jika menggunakan teknik sederhana dan alat yang mudah digunakan. Alat tersebut harus memiliki kemampuan memonitor lingkungan, seperti lingkungan kerja, pabrik dan rumah secara kontinyu, sehingga dapat melaporkan tingkat pencemaran setiap saat [3]. Salah satu bentuk dari alat tersebut ialah sensor. Sensor
175
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Dalam beberapa tahun belakangan ini, piranti field effect transistor (FET) telah banyak diteliti untuk digunakan dalam beberapa aplikasi seperti light emitting field effect transistor, memory devices, smart cards, dan sensor gas [5-8]. Konfigurasi sensor berbentuk FET memiliki parameter pengukuran yang lebih banyak dibandingkan dengan chemiresistor, serta memiliki sensitivitas yang lebih baik [9]. Pada penelitian ini dikembangkan FET berbasis polimer konduktif poly 3-hexylthiophene (P3HT) untuk mendeteksi gas amonia. Lapisan polimer konduktif yang telah terbentuk dapat berinteraksi dengan gas amonia, sehingga besarnya konsentrasi gas amonia yang ikut bereaksi dapat diubah dalam bentuk besaran fisika. Struktur piranti sensor FET ditunjukkan pada Gambar 1.
dicuci dicuci dengan aseton didalam ultrasonic bath selama 30 menit untuk menghilangkan kotoran organik dapat larut yang menempel pada silikon. Selanjutnya silikon direndam dalam asam peroxymonosulphuric selama 15 menit untuk melepaskan kotoran organik tak larut pada silikon. Kemudian substrat silikon dibilas dengan dry water. Setelah itu dilakukan proses pemanasan di dalam furnace selama 3 jam pada suhu 1000 oC, sambil dialirkan gas oksigen (O2) selama proses pemansan. 2.3 Karakterisasi EDX (energi dispersif sinar-X) Karakterisasi EDX dilakukan untuk memastikan SiO2 telah tumbuh pada substrat silikon yang telah dioksidasi. Data yang diperoleh dari pengujian EDX adalah spektrum energi sinar-X dan intensitas. Jenis atom-atom atau unsur-unsur yang terkandung dalam sampel dapat diketahui dari spektrum energi sinar-X. Persentase unsur-unsur yang terkandung dalam sampel dapat diketahui dari tingginya intensitas. 2.4 Penumbuhan lapisan 3-hexylthiophene (P3HT)
poly
Lapisan aktif poly 3-hexylthiophene (P3HT) ditumbuhkan diatas permukaan substrat yang telah terlapisi SiO2 dengan metode spin coating. Sebanyak 2 mg P3HT dilarutkan ke dalam 4 ml kloroform diatas hotplate dan pengaduk magnetik dengan laju pengadukan 400 rpm selama 10 menit. Larutan diteteskan diatas permukaan SiO2, kemudian diputar dengan laju sekitar 1000 rpm menggunakan spin coater. Selanjutnya dilakukan proses pemanasan dengan hotplate pada suhu 80 oC selama 1 jam.
GAMBAR 1. Struktur piranti FET
2. METODE PENELITIAN 2.1 Alat dan Baha Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah gelas piala, gelas ukur, kaca preparat, kaca silinder, alumunium foil, penggaris, pipet volumetric, sarung tangan, maskar, pipet tetes, pemotong kaca, neraca analitik, syringe, chamber, ultrasonic bath, hotplate, furnace, spin coater, I-V meter Khetley 2400, dan PASCO ScienceWorkshop 750. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah wafer silikon, gas oksigen, poly 3-hexylthiophene (P3HT), kloroform, akuades, dry water, H2O2, H2SO4, aseton, dan gas amonia. 2.2 Penumbuhan lapisan SiO2 permukaan substrat silikon
aktif
2.5 Pembuatan kontak Pembuatan kontak dilakukan di Laboratorium MOCVD Institut Teknologi Bandung. Pembuatan kontak dilakukan dengan metode evaporasi pada tekanan -5 10 barr. Pelapisan alumunium ditumbuhkan diatas permukaan lapisan polimer konduktif sebagai elektroda source dan elektroda drain. Sedangkan elektroda gate, ditumbuhkan pada permukaan belakang substrat silikon.
pada
Lapisan SiO2 ditumbuhkan diatas permukaan atas substrat silikon tipe-p dengan metode oksidasi termal. Pertama-tama substrat
176
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
2.6 Karakterisasi arus-tegangan
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Lapisan SiO2
Karakterisasi arus-tegangan (I-V) dilakukan dengan menggunakan alat Keithley 2400 SourceMeter dan catu daya (Power Supply). Pengukuran dilakukan dengan menghubungkan elektroda negatif dari catu daya pada elektroda gate dan elektroda negatif dari I-V meter dihubungkan pada elektroda drain. Sedangkan elektroda positif catu daya maupun I-V meter dihubungkan pada elektroda source (Gambar 2).
Lapisan silikon dioksida (SiO2) sebagai lapisan dielektrik pada piranti FET telah ditumbuhkan di permukaan atas substrat silikon dengan metode oksidasi termal. Substrat wafer silikon dipanaskan di dalam furnace pada suhu 1000 oC selama 3 jam, sambil dialirkan gas oksigen (O2) ke dalam furnace selama proses pemanasan berlangsung hingga membentuk lapisan SiO2. Lapisan SiO2 yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 4, tampak lapisan SiO2 berwarna kekuningan
2.7 Pengujian respon gas amonia Pengujian dilakukan di dalam test chamber. Tegangan konstan diberikan pada elektroda gate (Vg). Variasi tegangan diberikan pada elektoda drain (Vd), dan arus drain (Id) diukur. Pengukuran dilakukan sambil memberikan gas amonia ke dalam chamber dengan konsentrasi gas yang berbeda-beda. Arus yang dihasilkan akan berubah ketika piranti berinteraksi dengan molekul gas. Selanjutnya dilakukan pengujian respon dinamik terhadap gas amonia. Pengujian dilakukan dengan menggunakan interface PASCO ScienceWorkshop 750. Piranti dimasukkan ke dalam test chamber, piranti dirangkai seri dengan resistor. Rangkaian tersebut dihubungkan dengan baterai 9 volt sebagai sumber tegangan, dan dihubungkan dengan inteface PASCO ScienceWorkshop 750 (Gambar 3).
GAMBAR 4. Lapisan SiO2 diats permukaan substrat silikon.
Karakterisasi EDX dilakukan untuk mengetahui kehadiran lapisan SiO2 pada substrat silikon. Hasil karakterisasi EDX menunjukkan bahwa terdapat kandungan O2 sekitar 35% dan unsur silikon sekitar 65%. Berdasarkan hasil karakterisasi EDX lapisan SiO2 telah berhasil ditumbuhkan pada permukaan substrat silikon. 3.2 Karakterisasi I-V Karakterisasi I-V dilakukan dengan menggunakan alat Keithley 2400 SourceMeter (I-V meter). Elektroda drain dan source dihubungkan pada I-V meter, elektroda gate dihubungkan pada power supply. Tegangan drain yang digunakan bervariasi dari 0 sampai -10 volt dan tegangan pada elektroda gate divariasikan dari 0 sampai -8 volt. Karakteristik I-V FET dapat dilihat pada Gambar 11, yaitu kurva arus drain-source (Id-s) terhadap tegangan drain-source (Vd-s) dengan variasi tegangan gate (Vg). Hasil karakterisasi I-V FET ditunjukkan pada Gambar 5, pada saat tegangan gate diberikan, arus drain-source akan mengalami perubahan. Semakin besar tegangan gate yang diberikan maka arus drain-source yang dihasilkan semakin besar. Hal ini karena
GAMBAR 2. Rangkaian pengujian I-V
GAMBAR 3. Skema pengujian respon dinamik
177
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
lapisan aktif (polimer) yang digunakan merupakan polimer tipe-p, sehingga ketika diberikan tegangan negatif pada elektroda gate terjadi akumulasi muatan positif pada lapisan aktif di sekitar permukaan dielektrik [10]. Akumulasi muatan inilah yang menyebabkan arus drain-source meningkat.
3.3 Respon Gas Amonia Karakterisasi I-V FET
Pengujian dilakukan dengan memasukkan piranti FET ke dalam test chamber kemudian diberikan tegangan konstan pada elektroda gate sebesar -8 volt dengan menggunakan catu daya. Piranti FET dihubungkan dengan I-V meter yang sudah terhubung pada komputer (PC) dengan menggunakan sebuah interface. Mula-mula I-V meter dijalankan pada kondisi tanpa gas amonia, kemudian dimasukkan gas amonia dengan menggunakan syringe ke dalam chamber, I-V meter kembali dijalankan. Setelah itu dilakukan penambahan konsentrasi gas amonia ke dalam chamber yang konsentrasinya sama dengan konsentrasi yang pertama sehingga konsentrasi gas amonia dalam chamber menjadi 2 kali konsentrasi gas amonia awal dan I-V meter kembali dijalankan. Selanjutnya penambahan konsentrasi gas amonia sehingga menjadi 3 kali konsentrasi gas amonia awal, sehingga diperoleh kurva pengaruh konsentrasi gas amonia terhadap karakterisasi I-V. Gambar 7 memperlihatkan hubungan arus drain-source (Id-s) terhadap tegangan drainsource (Vd-s) dengan berbagai konsentrasi gas amonia. Ketika diberi gas amonia, Id-s mengalami perubahan. Kurva karakteristik I-V menunjukkan nilai Id-s semakin menurun seiring dengan penambahan konsentrasi gas amonia. Penurunan nilai Id-s pada tegangan gate konstan (Vg = -8 volt) disebabkan oleh adanya kenaikkan resistansi pada lapisan aktif P3HT [11]. Gambar 7 menunjukan kurva I-V berturut-turut untuk empat variasi konsentrasi gas amonia yang diberikan, yaitu 0%, 1,887%, 3,774% dan 5,660%.
-250 Vg= 0 volt Vg= -2 volt Vg= -4 volt Vg= -6 volt Vg= -8 volt
-200
Id-s (A)
-150 -100 -50 0 0
-2
-4 -6 Vd-s (volt)
-8
terhadap
-10
GAMBAR 5. Karakteristik I-V FET pada variasi tegangan gate (Vg).
Interaksi kimia antara gas amonia dengan P3HT menyebabkan dedoping pada konsentrasi yang lebih rendah. Dalam kondisi normal (tanpa paparan NH3) piranti berperilaku sebagai p-channel dengan hole sebagai pembawa muatan mayoritas. Kenaikkan nilai resistansi P3HT ketika berinteraksi dengan gas amonia terjadi karena pembawa muatan positif (hole) pada P3HT semakin berkurang, yang mengakibatkan penurunan arus yang mengalir pada P3HT [11].
-120 Vg= -8 volt
-100
0 % gas amonia 1,887 % gas amonia 3,774 % gas amonia 5,660 % gas amonia
Id-s (A)
-80 -60 -40 -20 0 0
GAMBAR 6. Interaksi kimia antara gas amonia dengan P3HT [11].
-2
-4 -6 Vd-s (volt)
-8
-10
GAMBAR 7. Kurva arus drain-source (Id-s) vs. tegangan drain-source (Vd-s) pada variasi konsentrasi gas amonia.
178
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Gambar 8 memperlihatkan kurva arus drain-source (Id-s) terhadap konsentrasi gas amonia pada tegangan drain-source (Vd-s) sebesar -10 volt dengan tegangan gate (Vg) konstan sebesar -8 volt, yang diperoleh dari kurva hubungan arus drain-source (Id-s) terhadap tegangan drain-source (Vd-s) dengan berbagai konsentrasi gas amonia (Gambar 7). Dari data yang diperoleh dapat dilihat bahwa kurva linier pada gas amonia dengan konsentrasi dari 0 - 3,774%. Kondisi ini menunjukkan bahwa daerah kerja piranti FET yang efektif berada pada rentang konsentrasi 0% sampai 3,774%.
1,887% dan ditahan beberapa saat, tegangan naik sampai ke keadaan stasioner. Penambahan gas amonia lebih lanjut 3,774% dan ditahan beberapa saat, tegangan naik lagi hingga keadaan stasioner kedua. Demikian juga konsentrasi gas amonia ditambahkan menjadi 5,660%, tegangan naik hingga stasioner ketiga. Selanjutnya chamber dibuka sehingga gas amonia keluar dari chamber hingga habis, tegangan turun kembali ke tegangan mula-mula ketika tanpa gas amonia. Kurva respon dinamik (Gambar 9), memperlihatkan bahwa variasi tegangan gate (Vg) mempengaruhi tegangan keluaran. Semakin besar tegangan gate yang diberikan, maka tegangan keluaran yang dihasilkan semakin kuat.
-120 Vg= -8 volt Vd-s= -10 volt
-80
5.5
-60
5
-40
4.5
Tegangan (V)
Id-s (A)
-100
-20 0 0
1
2 3 4 Konsentrasi amonia (%)
5
6
4 3.5 3 2.5
GAMBAR 8. Hubungan arus drain-source terhadap konsentrasi gas amonia.
3.4 Respon Dinamik FET Konsentrasi Gas Amonia
2 0
20
40 60 80 Waktu (detik)
100
120
terhadap GAMBAR 9. Respon dinamik sensor amonia FET pada Vg = 0V (Biru) dan Vg = -8V (Merah).
Pengujian dilakukan dengan memasukkan piranti FET ke dalam test chamber kemudian diberikan tegangan 9 volt dari baterai. Elektroda gate dihubungkan pada catu daya. Piranti FET dihubungkan dengan sensor tegangan yang sudah dihubungkan dengan komputer dan sebuah interface. Pengujian dilakukan pada 2 kondisi yaitu pada kondisi tidak diberikan tegangan gate (Vg = 0V) dan pada kondisi diberi tegangan gate (Vg = -8V). Mula-mula sensor dijalankan pada kondisi tanpa gas amonia, kemudian diberi gas amonia dengan menggunakan syringe ke dalam chamber dan ditahan beberapa saat. Proses ini dilakukan sebanyak tiga kali dengan variasi konsentrasi gas ammonia yang meningkat dari 0%, 1,887%, 3,774% hingga 5,660%. Tahap terakhir gas ampnia dikeluarkan dari chamber, kemudian sensor dimatikan. Gambar 9 menunjukkan respon dinamik sensor FET terhadap konsentrasi gas amonia. Ketika diberi gas amonia dengan konsentrasi
Berdasarkan kurva respon dinamik tersebut, tampak tiga nilai tegangan stasioner yang meningkat seiring kenaikkan konsentrasi gas amonia. Dari data tersebut dibuat kurva tegangan stasioner terhadap konsentrasi gas amonia. Kemudian dapat ditentukan nilai sensitivitas sensor FET terhadap konsentrasi gas amonia yang diperoleh dari perbandingan perubahan tegangan keluaran dengan konsentrasi gas amonia. Gambar 10 menunjukkan kurva hubungan tegangan stasioner terhadap konsentrasi gas amonia. Berdasarkan kurva tersebut didapat nilai tegangan stasioner keluaran sensor berbanding lurus terhadap konsentrasi gas yang diberikan. Tegangan gate (Vg) mempengaruhi nilai sensitivitas sensor FET. Semakin besar tegangan gate maka sensitivitas dari sensor FET semakin tinggi. Pada saat diberi Vg = -8V, setiap perubahan konsentrasi 1% maka akan terjadi kenaikkan tegangan sebesar 0,264V. Sedangkan ketika Vg = 0V,
179
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
setiap perubahan konsentrasi sebesar 1% maka terjadi kenaikkan tegangan sebesar 0,236V.
semakin tinggi. Pada Vg = -8 volt, setiap perubahan konsentrasi 1% maka akan terjadi kenaikkan tegangan sebesar 0,264 volt. Sedangkan ketika Vg = 0 volt, setiap perubahan konsentrasi sebesar 1% maka terjadi kenaikkan tegangan sebesar 0,236V.
6 Vg= 0 volt Vg= -8 volt
Tegangan (V)
5
V = 0,264x + 3,668
5. REFERENSI
4
V = 0,236x + 3,462
3
1.
D.P. Christopel, “Pembuatan dan karakterisasi sensor gas amonia berbasis polianilin”, Skripsi, Institut Pertanian Bogor, 2009.
2.
L.O. Muliadi, “Pembuatan sensor fiber optik dengan cladding polianilin untuk mengukur gas ammonia”, Skripsi, Institut Pertanian Bogor, 2006. J. Flueckiger, K. Frank and C. Cheung. Sensors 9, 9196-9215 (2009). H. Bai and S. Gaoquan, Sensors 7, 267307 (2007).
2 0
2 4 Konsentrasi amonia (%)
6
GAMBAR 10. Kurva tegangan stasioner terhadap konsentrasi gas amonia pada Vg = 0V dan Vg = -8V.
3. 4. KESIMPULAN 4.
Lapisan dielektrik SiO2 telah berhasil ditumbuhkan di permukaan atas substrat silikon dengan menggunakan metode oksidasi termal, kandungan O2 sekitar 35% dan silikon sekitar 65%. Sensor FET dengan menumbuhkan lapisan aktif poly 3-hexylthiophene (P3HT) diatas lapisan SiO2 dengan metode spin coating. Kurva karakteristik I-V menunjukkan arus drainsource (Id-s) dipengaruhi besarnya tegangan gate (Vg). Semakin besar Vg yang diberikan maka Id-s yang dihasilkan semakin meningkat. Respon sensor FET terhadap gas amonia dipelajari dari kurva karakteristik I-V dan kurva respon dinamik sensor terhadap konsentrasi gas amonia. Pengaruh gas amonia terhadap menunjukkan bahwa Id-s semakin menurun seiring dengan penambahan konsentrasi gas amonia. Berdasarkan hasil respon dinamik sensor FET terhadap gas amonia memperlihatkan bahwa semakin besar Vg yang diberikan maka sensitivitas piranti
5.
T. Ahn, Organic Electronics 9, 711-720 (2008).
6.
A. Facchetti, M.H. Yoon and T.J. Marks, Adv. Mater., 17, 1705 (2005).
7.
H. Sirringhaus, Adv. Mater., 17, 20, 24112425 (2005).
8. 9.
S.R. Forrest, Nature 428, 911-918 (2004). J. Janata and M. Jozowicz, Nature Materials 2, 19 - 24 (2003) 10. J. B. Chang, “Functionalized polytiophene thin-film transistor for lowcast gas sensor array”, Ph.D Thesis, University of California at Berkley, 2006. 11. S. Tiwari, A. K. Singh, L. Joshi, P. Chakrabarti, W. Takashima, Keiichi Kaneto, Sensors and Actuators B: Chemical 171-172, 962-968 (2012).
180
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Aplikasi Spektroskopi Fluoresensi dan LSI (Laser Speckle Imaging) pada Buah Tomat dan Apel Zulkarnain*, Minarni, Saktioto, Rasmiana Poja Jurusan Fisika, Fakutas MIPA, Universitas Riau Jl. H.R. Soebrantas km 12,5 Simpang Baru,Pekanbaru 28293, Indonesia * email: [email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menggunakan metode spektroskopi fluoresensi klorofil menggunakan kamera dan Laser Speckle Imaging untuk mengevaluasi kondisi buah tomat dan apel. Kedua metode menggunakan sistem yang sama tetapi dengan laser yang berbeda. Spektroskopi fluoresensi dengan sumber laser dioda 405 nm dan 650 nm, sedangkan LSI menggunakan sumber laser He-Ne 632,8 nm. Sampel yang digunakan yaitu buah apel dan tomat yang berwarna hijau. Buah apel terdiri dari 5 sampel tanpa perlakuan. Tomat diberi perlakuan berupa dilebamkan, ditusuk, dan direndam dengan air panas. Hasil dari spektroskopi fluoresensi adalah intensitas Red Green Blue (RGB values), sedangkan LSI adalah gray value yang diperoleh dengan menggunakan software imageJ. Hasil penelitian dari kedua metode menunjukkan perbedaan nilai RGB dan gray values dari keadaan tomat normal dibandingkan dengan setelah diberi perlakuan. Kedua metode dibedakan berdasarkan beda persentase untuk setiap tomat yang diberi perlakuan dan yang normal. Metode LSI memberikan beda persen yang lebih tinggi dari metode spektroskopi fluoresensi untuk kedua sumber laser yang berbeda. Hasil gray value dan RGB untuk apel adalah lebih rendah dari tomat normal. Metode LSI memberikan beda persen sebesar 17,23% untuk tomat lebam, 13,65% untuk tomat rendam, dan 2,4% untuk tomat tusuk. Pada metode spektroskopi fluoresensi, untuk kedua jenis laser, beda persen yang didapatkan berada dibawah 9%. Kata kunci: spektroskopi fluoresensi, Laser Speckle Imaging, tomat, apel, imageJ
Abstract This research aimed to use fluorescence spectroscopy imaging and laser speckle imaging (LSI) methods to assess tomato and apple conditions. Both methods used the same experiment setup but different laser type. The fluorescence spectroscopy used diode lasers with wavelength of 405 nm and 650 nm, while the LSI used HeNe laser of 632.8 nm. The samples were green tomatos and apples. Three treatments were given to the tomato samples which were bruised, stabbed, and soaked by hot water, and normal tomatos, each with 5 duplicates. The result of fluorescence spectroscopy was represented by Read Green Blue intensities (RGB values) and for LSI represented by gray values. Comparison for both methods was represented by percentage difference of RGB and gray values for each treatment of the tomatos than normal tomatos. The LSI method showed higher percentage difference between treatments than those obtained using the fluorescence spectroscopy for diode laser and He-Ne laser used. For Apples, the average values were lower than those of tomatoes. The percentage differences of gray values for LSI method were 17,23% for bruised tomato, 13,65% for soaked tomato, and 2,4% for stabbed tomato compared to normal tomatos, while fluorescence spectroscopy using different wavelengths of light source, the percentage difference was under 9%. Keywords: Fluorescence spectroscopy, Laser Speckle Imaging, Tomato, Apple, ImageJ
adalah serangan penyakit pada buah, masalah penyortiran pada waktu panen, dan proses penyimpanan dan penyortiran buah pada saat distribusi. Salah satu permasalahan penting dalam bidang pertanian adalah masalah penanganan produksi pangan khususnya buah dan sayuran. Dua hal utama yang menjadi topik untuk produksi tanaman buah adalah masalah buah sebelum panen dan setelah panen. Untuk produksi buah secara besar-besaran pada suatu
1. PENDAHULUAN Tanaman pangan dan buah merupakan komoditas pertanian Indonesia yang sangat penting. Namun, beberapa masalah dapat menurunkan produktifitas tanaman pangan dan buah tersebut. Masalah-masalah tersebut antara lain adalah gangguan pada tanaman karena beberapa hal seperti karena patogen, hama, dan kondisi lingkungan. Masalah – masalah yang dijumpai pada tanaman buah
181
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
perkebunan, deteksi kerusakan pada buah, kematangan (maturity) dan kemasakan (ripeness) secara elektronik perlu dilakukan terutama untuk panen yang dilakukan secara otomatis oleh mesin. Masalah pasca panen yang menjadi topik adalah dalam hal penyortiran buah yang berkualitas setelah melalui penyimpanan dan pendistribusian sehingga sampai ke konsumen. Alat yang dapat menyortir dengan akurat dan cepat perlu dikembangkan terutama yang ekonomis dan portable [1]. Penelitian-penelitian tentang masalah ini telah banyak dilakukan terutama sensor yang akan digunakan. Sensor yang digunakan dapat berupa sensor gas atau disebut electronic nose [2] dan fotodetektor [3] Penelitian-penelitian lanjutan perlu dilakukan untuk memperoleh sistem penyortiran yang reliable, low cost, dan portable. Penanganan buah pasca panen merupakan masalah tersendiri. Buah mengalami kerusakan karena dua hal yang pertama karena faktor internal seperti jamur atau bakteria, yang kedua karena proses penyimpanan dan pendistribusian. Faktor lainnya adalah kemasakan (ripeness) yang direkayasa mengunakan zat kimia sehingga buah yang diterima konsumen tidak sesuai dengan yang diharapkan. Sistem elektronik yang cepat untuk penyortiran perlu dikembangkan terutama untuk buah-buah yang mengalami kerusakan namun tidak terlihat dipermukaannya. Permasalahan yang terjadi pada pasca panen yaitu pada saat pendistribusian ke pedagang-pedagang dimana sering terjadinya kerusakan baik kerusakan mekanis maupun kerusakan fisis yang dalam hal ini kebanyakan tidak tampak secara langsung pada kulit buah namun berdampak pada daging buah serta kualitasnya. Kerusakan mekanis merupakan kerusakan yang diakibatkan adanya benturan antara buah dengan buah, benturan antara buah dengan wadah atau kemasan serta gesekan dan himpitan. Penyebab kerusakan mekanis selama pengangkutan antara lain adalah isi kemasan terlalu penuh, isi kemasan kurang, kelebihan tumpukan dan waktu pendistribusian yang terlalu lama. Sedangkan kerusakan fisis terjadi karena adanya suhu panas pada saat pengangkutan sehingga dapat menimbulkan terjadinya proses transpirasi atau pengurangan jumlah air.
2. KAJIAN LITERATUR Laser sudah dikenal sejak lama dan mempunyai banyak aplikasi karena sifat-sifat khusus cahaya laser yang berbeda dari cahaya tampak yaitu monokromatis, koheren, terarah dan memiliki sifat kecerahan yang tinggi (brightness). Aplikasi laser ini telah meluas diberbagai bidang seperti bidang industri, kesehatan, instrumentasi dan terutama saat ini dibidang pertanian (agriculture). Aplikasi laser dalam bidang pertanian biasanya digunakan untuk instrumentasi atau pengukuran yaitu deteksi dini pada tanaman dan deteksi pasca panen baik untuk penyakit pada tanaman maupun kualitas hasil panen. Metode ini sedang dikembangkan karena sifatnya yang tidak merusak bahan, memiliki sensitivitas yang tinggi, low cost dan pengerjaannya yang sederhana. Beberapa metode atau teknik yang digunakan yaitu spektroskopi, LIF (Laser Induced Fluorescence) dan LSI (Laser Speckle Imaging). Slaughter telah membahas beberapa macam metode non-destructive untuk memperkirakan kematangan buah manga [4]. Spektroskopi NIR juga telah digunakan untuk mendapatkan spektra Dry matter dan karbohidrat guna membantu memprediksi kualitas konsumsi manga [5]. LSI (Laser Speckle Imaging) merupakan salah satu metode non-destructive untuk mendeteksi sinyal optik dari jaringan biologi. Teknik LSI ini telah banyak digunakan dalam bidang penelitian pada tanam-tanaman seperti untuk mendeteksi formalin pada tomat [6], perkiraan kualitas jeruk [7]. Pada penelitian ini sebuah sistem pengukuran menggunakan metode optik yaitu Pencitraan spektroskopi fluoresensi (LIF) dan LSI dibuat untuk mendapatkan spektrum fluoresensi yang diwakili oleh Intensitas Red Green Blue (RGB) dan Gray Value dari pola spekel dari buah tomat dan apel yang berbeda keadaannya. Tomat dan apel yang menjadi sampel adalah yang berwarna hijau. Apel yang digunakan adalah varitas Manalagi. Tomat dan Apel pada penelitian ini digunakan sebagai sampel untuk mengetahui hubungan antara spektrum fluoresensi dan pola spekel yang dihasilkan setelah disinari cahaya laser. Laser dioda dengan panjang gelombang 405 nm dan 650 nm digunakan untuk spektroskopi fluoresensi LIF dan laser He-Ne dengan
182
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
panjang gelombang 632,8 nm untuk sistem LSI. Gambar hasil spektroskopi fluoresensi dan LSI yang telah direkam kemudian dianalisa menggunakan software ImageJ. Hubungan antara spektrum fluoresensi, pola spekel pada apel dan pada tomat dengan 3 perlakuan, kemudian membandingkan dua metode dalam mendeteksi perbedaan. Partikel penyusun buah akan menghamburkan kembali cahaya yang diserap tersebut. Jumlah cahaya yang diserap dapat diketahui dengan mengukur jumlah cahaya yang dipantulkan dan diteruskan oleh suatu materi [8]. Klorofil pada tumbuhan terdiri dari dua jenis yaitu klorofil a dan klorofil b. Gambar 1 menunjukkan bahwa pigmen klorofil menyerap lebih banyak cahaya tampak pada warna biru (400-480 nm) dan merah (630-700 nm) dibanding hijau (500-600 nm). Tumbuhan dapat memperoleh semua kebutuhan energi dari spektrum merah dan biru di dalam wilayah spektrum cahaya tampak sedangkan pada wilayah antara 500-600 nm (spektrum hijau) sangat sedikit cahaya yang diserap.
kembali cahaya dengan panjang gelombang yang lebih besar [10]. LSI merupakan salah satu metode optik yang digunakan untuk pencitraan pola spekel menggunakan cahaya laser. LSI merupakan salah satu teknik yang bersifat tidak merusak bahan yang digunakan dalam pengukuran jaringan biologis karena memiliki responsivitas dan sensitivitas yang baik dengan mendeteksi perubahan kontras yang kecil [5]. Metode LSI menggunakan pola spekel yang menyimpan informasi dari kekasaran permukaan objek yang disinari. Spekel merupakan pola butiran terang gelap yang terbentuk dari hamburan cahaya koheren dari permukaan objek yang saling interferensi. Masing-masing hamburan memiliki distribusi intensitas relatif yang acak. Spekel hanya akan terbentuk jika panjang gelombang cahaya yang mengenai permukaan objek lebih kecil dari variasi ketinggian permukaan atau kekasaran permukaan objek. Spekel digunakan dalam teknik LSI dengan cara pola spekel direkam dalam bentuk citra (image). Pencitraan pola spekel dengan metode LSI mendeteksi perubahan intensitas laser spekel yang dihamburkan oleh sampel dan dianalisa sebagai kontras spekel. Citra (image) hasil rekaman terdiri dari piksel-piksel yang dapat diolah menggunakan program open source seperti ImageJ. Analisa kontras yang digunakan adalah analisa intensitas gray level (tingkat keabu-abuan) dari hasil citra yang ditunjukkan oleh histogramnya [6]. 3. METODE PENELITIAN
GAMBAR 1. Absorpsi klorofil a dan klorofil b pada cahaya tampak
Alat dan bahan yang digunakan pada metode spektroskopi fluoresensi yaitu laser dioda merah dengan panjang gelombang 650 nm, laser dioda violet dengan panjang gelombang 405 nm, power supply untuk laser dioda, kamera CMOS 3 MP yang dilengkapi dengan software perekaman gambar, lensa kamera dengan fokus 35 mm dan apertur maksimum f/20, Filter, lensa, cermin, dan software pengolahan citra ImageJ, sedangkan pada metode LSI hanya penggunaan laser yang diganti yaitu laser He-Ne dengan panjang gelombang 632,8 nm. Sampel yang digunakan pada kedua metode sama yaitu apel manalagi dan tomat hijau. Sampel buah tomat hijau diberi perlakuan berupa dilebamkan, ditusuk, dan direndam.
Proses fotosintesa terdiri dari tiga bagian yaitu fotokimia, pemancaran energi dalam bentuk panas, dan fluoresensi. Ketiga proses ini saling berkompetisi. Peningkatan pada salah satu proses menyebabkan penurunan efisiensi pada dua proses yang lain. Cahaya yang diserap untuk proses fotosintesis hanya sekitar kurang dari 5 % yang digunakan untuk fotokimia. Sebagian cahaya hilang dalam bentuk panas yaitu lebih dari 95% dari cahaya yang diserap daun [9]. Fluoresensi adalah sifat beberapa atom atau molekul untuk menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu dan memancarkan
183
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Tomat dilebamkan dengan cara dipukul dengan benda keras seperti besi, untuk perlakuan ditusuk, tomat ditusuk-tusuk dengan menggunakan jarum, sedangkan perlakuan direndam, tomat direndam dengan menggunakan air dengan suhu sekitar 50o C selama lebih kurang 15 menit. Gambar 2 memperlihatkan skema dari sistem spektroskopi fluoresensi dan Laser Speckle Imaging. Kamera CMOS yang telah dihubungkan ke komputer dipasang tepat lurus didepan sampel untuk menangkap spektrum fluoresensi dan pola spekel yang dihasilkan. Laser yang digunakan sebagai sumber cahaya diatur seperti pada Gambar 2 bersama komponen alat lainnya. Berkas laser diarahkan ke cermin yang kemudian dipantulkan oleh cermin dan melewati ND filter serta lensa.
Setiap perlakuan terdiri dari 5 buah tomat sehingga terdapat 15 buah tomat secara keseluruhannya. Tiga perlakuan tersebut adalah di lebamkan, di rendam dengan air panas, dan ditusuk-tusuk dengan menggunakan jarum. Untuk apel, tidak diberi perlakuan apapun. Pengolahan citra untuk hasil dari kedua metode dilakukan dengan menggunakan software ImageJ. Metode spektroskopi fluoresensi akan menampilkan diagram berupa intensitas warna dan metode LSI akan menampilkan diagram kontras spekel. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Perlakuan yang diberikan pada buah tomat dalam penelitian ini dimaksudkan untuk membuat keadaan tomat seperti keadaan tomat yang telah mengalami kerusakan mekanis maupun fisis dari pendistribusian. Tomat yang dipilih merupakan tomat yang bagus fisiknya kemudian diberi perlakuan Sehingga setiap perlakuan memiliki tomat normalnya masingmasing.
a. Tomat Normal
b. Tomat Lebam
c. Tomat Rendam
d. Tomat Tusuk
GAMBAR 2. Skema Penelitian untuk Metode Spektroskopi Fluoresensi dan LSI
Sinar laser yang mengenai sampel akan menghasilkan spektrum fluoresensi atau pola spekel pada sampel. Untuk pengukuran spektrum fluoresensi, lensa konvek digunakan didepan kamera untuk menfokuskan sinar fluoresensi. Kamera CMOS akan merekam spektrum dari sampel dan pola spekel yang kemudian akan diolah menggunakan software pengolahan citra ImageJ. Pengukuran dilakukan pada satu jenis tomat dan satu jenis apel dimana setiap jenis terdapat 5 sampel dan menggunakan sumber cahaya laser yang berbeda yaitu laser He-Ne 632.8 nm untuk ekperimen LSI dan laser dioda dengan dua panjang gelombang 405 (Violet), dan 650 nm (merah) untuk spektrum fluoresensi. Sampel berupa tomat dan apel diberi perlakuan yang berbeda. Buah tomat diberi 3 perlakuan yang berbeda dan setiap perlakuan memiliki buah kontrolnya masing-masing.
GAMBAR 3. Permukaan tomat normal dan diberi perlakuan
GAMBAR 4. Grafik perbandingan intensitas fluoresensi maksimum pada buah tomat dengan sumber laser dioda 405 nm.
184
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Hasil metode spektroskopi fluoresensi menampilkan tingkat intensitas fluoresensi untuk setiap sampel. Nilai intensitas fluoresensi pada apel yaitu sebesar 199,2721 a.u untuk sumber laser dioda 405 nm dan 196,2188 a.u untuk sumber laser dioda 650 nm, sedangkan pada tomat normal dan tomat yang diberi perlakuan diperlihatkan pada Gambar 3 untuk sumber laser dioda 405 nm dan Gambar 4 untuk sumber laser dioda 650 nm.
Hasil metode LSI menampilkan tingkat gray value dari pola spekel. Sumber cahaya yang digunakan yaitu laser He-Ne 632,8 nm. Pada sampel apel tingkat gray value adalah sebesar 66,1823 a.u sedangkan pada tomat normal dan tomat yang diberi perlakuan diperlihatkan pada Gambar 6. Gambar 6 memperlihatkan tingkat gray value maksimum pada buah tomat yang diberi perlakuan yaitu dilebam, direndam, dan ditusuk. Tingkat gray value mengalami penurunan dari normalnya untuk setiap perlakuan. Hal ini terjadi karena adanya perubahan kontur permukaan tomat setelah diberi perlakuan. Untuk tomat lebam dan rendam, permukaan buah tomat menjadi lebih halus karena faktor kandungan air didalam tomat. Kandungan air pada tomat rendam menjadi lebih banyak akibat dari rendaman air dengan suhu sekitar 50o C. Sedangkan pada tomat ditusuk, terjadi perubahan kontur pada permukaan tomat sehingga sinar laser yang mengenai bekas tusukan menyebabkan sinar lebih banyak dihamburkan dan sedikit yang ditangkap oleh kamera dan menyebabkan terjadinya penurunan gray value pada pola spekel.
GAMBAR 5. Grafik perbandingan intesitas fluoresensi maksimum pada buah tomat dengan sumber laser dioda 650 nm.
Tingkat intensitas fluoresensi menggunakan sumber laser dioda 405 nm setelah diberi perlakuan mengalami peningkatan pada tomat yang diberi perlakuan dilebamkan dan direndam dibandingkan dengan normalnya, sedangkan pada tomat yang diberi perlakuan ditusuk tingkat intensitas fluoresensi mengalami penurunan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4. Berdasarkan grafik pada Gambar 5, intensitas fluoresensi menggunakan sumber laser dioda 650 nm mengalami peningkatan pada perlakuan direndam dan ditusuk sedangkan pada perlakuan dilebamkan tingkat intensitas fluoresensi menurun.
GAMBAR 7. Diagram persen perbedaan menggunakan dua metode untuk setiap tomat yang diberi perlakuan.
GAMBAR
6.
Gambar 7 memperlihatkan diagram beda persen antara tomat normal dan tomat yang diberi perlakuan untuk setiap sumber laser yang berbeda. Metode spektroskopi fluoresensi dengan sumber laser dioda 405 nm beda persen antara tomat normal dan tomat
Grafik perbandingan Gray Value maksimum pada buah tomat dengan sumber laser He-Ne 632,8 nm.
185
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
yang diberi perlakuan adalah sebesar 5,14% untuk tomat lebam, 1,66% untuk tomat rendam, dan 8,76% untuk tomat tusuk, sedangkan sumber laser 650 nm sebesar 0,39% untuk tomat lebam, 4,5% untuk tomat rendam, dan 0,68% untuk tomat tusuk. Pada metode LSI beda persennya adalah sebesar 17,23% untuk tomat lebam, 13,65% untuk tomat rendam, dan 2,4% untuk tomat tusuk. Hasil ini menunjukkan bahwa metode LSI memberikan beda persen yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode spektroskopi fluoresensi.
2.
Barson, N., Röck, F., Weimar, U., “Electronic Nose: Current Status and Future Trends.”, Chem. Rev. 2008, 108, 705-725 (2008).
3.
Chopra, S., Kingsly, A.R.P., Jha, S.N., “Non-Destructive Determination Of Firmness And Yellowness Of Mango During Growth And Storage Using Visual Spectroscopy”, Biosystems Engineering July 2006, vol.94(3): 397-402 (2006).
4.
Slaughter, D. C., “Nondestructive Maturit Assessment Methods For Mango : A Review Of Literature And Identification Of Future Research Needs”, 2009, (http://www.mango.org/media/55728/non destructive maturity assessment methods for mango.pdf)
5.
Kawano, S, Saranwong, S., Sornsrivichai, J., “Prediction Of Ripe-Stage Eating Quality Of Mango Fruit From Its Harvest Quality Measured Nondestructively By Near Infrared Spectroscopy”, Postharvest Biology and Technology 31, 137-145 (2004).
6.
Fitrya, N., Sandra, Harmadi, “Analisis Kontras Spekel Menggunakan LSI (Laser Speckle Imaging) Untuk Mendeteksi Formalin Pada Tomat (Lycopersicum Esculentum Mill)”, Jurnal Fisika dan Apliksinya, 9(2), 80-85 (2013).
7.
Rabelo, G. F., Roberto A., B. Junior, I. M. D. Fabbro, “Laser Speckle Techniqes In Quality Evaluation Of Orange Fruits”, Revista Brasileira de Engenharia Agricola e Ambiental, 9(4), 570-575 (2005).
8.
Bergkvist, A., “Biospeckle-based Study of the Line Profile of Light Scattered in Strawberries”, Thesis, Lund University, Argentina, 1997.
9.
Maxwell, K., Johnson, G.N., “Review Article: Chlorophyll Fluoresence – a Practical Guide”, J. of Experimental Botany 51, 659-668 (2000).
5. KESIMPULAN Suatu sistem optoelektronik untuk mengukur intensitas fluoresensi klorofil dan sistem Laser Speckle Imaging untuk deteksi keadaan pada permukaan buah apel dan tomat yang diberi perlakuan telah berhasil dibangun. Spektroskopi fluoresensi digunakan untuk menganalisa intensitas fluoresensi klorofil dan LSI untuk menganalisa pola spekel pada buah apel dan tomat yang diberi perlakuan berupa dilebam, ditusuk, dan direndam. Berdasarkan hasil penelitian terjadi perubahan nilai intensitas fluoresensi klorofil dari tomat normal dan setelah diberi perlakuan. Diantara kedua metode yang digunakan dalam penelitian ini yang memberikan beda persen yang paling besar adalah metode LSI. LSI memberikan beda persen sebesar 17,23% untuk tomat lebam, 13,65% untuk tomat rendam, dan 2,4% untuk tomat tusuk, sedangkan pada metode spektroskopi fluoresensi baik menggunakan sumber laser dioda 405 nm maupun 650 nm beda persen yang didapatkan dibawah 9%. Kedua metode ini dapat digunakan untuk mendeteksi keadaan pada buah apel dan tomat yang diberi perlakuan, namun berdasarkan beda persen yang cukup tinggi, metode LSI memberikan respon yang lebih baik dari pada spektroskopi fluoresensi. 6. DAFTAR PUSTAKA 1.
10. Lemboumba, Saturnun Ombinda, “Laser Induced Chlorophyll Fluorescence of Plant Material”, Thesis, Univesity of Stellenbosch, 2006.
Golic, M., Greensil, C. V., Walsh K. B., “Sorting Of Fruit Using Near Infrared Spectroscopy: Application To A Range Of Fruit And Vegetables For Soluble Solids And Dry Matter Content”, J. Near Infrared Spectrosc. 12, 141-148 (2004).
186
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Aplikasi Metode Spektroskopi Fluoresensi untuk Assesmen Kematangan Buah Kelapa Sawit Minarni Shiddiq*, Arian Trianov Solistio, Reza Umami, Annesa Auliya, Ria Fitriani Jurusan Fisika, FMIPA, Universitas Riau Jl. HR. Soebrantas km 12,5 Pekanbaru 28293 * email: [email protected]
Abstrak Metode optik telah banyak dikembangkan untuk mengevaluasi kematangan buah berdasarkan interaksi cahaya dengan buah seperti refleksi, hamburan, dan fluoresensi. Metode ini dapat digunakan untuk membuat sebuah sistem yang cepat, tidak merusak, dan ekonomis untuk penyortiran buah berdasarkan tingkat kematangan. Penentuan kematangan tandan kelapa sawit masih dilakukan secara tradisional mengunakan warna buah dan jumlah buah yang lepas dari tandan. Pengembangan sistem assemen kematangan mengunakan metode optik perlu dilakukan untuk mengantikan metode tradisional. Pada penelitian ini, metode spektroskopi fluoresensi digunakan untuk menentukan hubungan antara intensitas fluoresensi dan tingkat kematangan buah kelapa sawit. Hubungan ini nantinya akan dijadikan model untuk assesmen kematangan buah kelapa sawit dan sistem. Cahaya laser dioda dengan panjang gelombang 532 nm dan 650 nm, digunakan untuk mengeksitasi fluoresensi dan Spektrometer emisi Ocean Optics USB2000+ untuk menentukan intensitas dan panjang gelombang fluoresensi. Pengukuran intensitas reflektansi ketika buah dikenai cahaya putih dilakukan sebagai pembanding. Sampel adalah buah kelapa sawit varitas Tenera yang telah dipanen dengan 4 tingkat kematangan. Kadar antosianin dari buah sawit diukur mengunakan spektrofotometer UV-VIS sebagai pembanding. Hasil riset menunjukkan bahwa deteksi mengunakan cahaya putih memberi intensitas tertinggi pada tingkat F3 (Matang). Deteksi dengan laser hijau memberikan intensitas yang semakin besar dengan bertambahnya tingkat kematangan. Kadar Antosianin berkurang dengan bertambahnya tingkat kematangan, selaras dengan hasil fluoresensi mengunakan laser merah dimana intensitas nya berkurang dengan bertambahnya tingkat kematangan. Kata kunci: spektroskopi fluoresensi, minyak buah kelapa sawit, kematangan, variasi panjang gelombang, laser dioda
Abstract Optical methods have been developed to assess ripeness stages of fruits using interaction of light and fruit tissue such as reflection, scattering, and fluorescence processes. These methods can be used to make an optical sorting system which are nondestructive, fast, and low cost based on ripeness stages of fruits. Traditional methods are still used to classifiy the ripeness levels of oil palm fresh fruit bunches (FFBs) which based on fruit color and number of loose fruits. Development of ripeness assessment system based on the optical methods for oil palm FFB was proposed. In this present study, a fluorescence spectroscopy method was used to derive relations between the fluorescence intensity and the ripeness stages. These relations will be used to make an assessment model for oil palm FFB. Light from diode lasers with two wavelengths of 532 nm dan 650 nm, is applied to excite fluorescence from the fruit mesocarp. The emission spectrometer of Ocean Optics USB2000+ was used to measure the fluorescence and wavelength. Reflectance intensity of white light illuminating the samples was also measured as comparison. The samples were oil plam fruits loosed from Tenera variety wih 4 ripeness stages. Anthocyanin content of the fruits was also measured using a UV-VIS spectrophotometer. The results show that detection using white light and magenta filter obtain the highest intensity for F3 ripeness. Using green laser shows decrease in intensity as ripeness level increase. Antocyanin content reduces as the ripeness increase, it relates to the decrease in intensity using red laser and magenta filter. Keywords: Fluorescence Spectroscopy, oil palm fruits, ripeness, wavelength variation, diode lasers
mencapai 26,4 juta ton. Menurut Kementerian Pertanian, luas total perkebunan kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Indonesia telah mencapai 8 juta hektar pada tahun 2016 dan dapat bertambah mencapai 13 juta menjelang tahun 2020 [1]. Namun berbagai permasalahan
1. PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu negara terbesar di dunia sebagai pengekpor Crude Palm Oil (CPO) disamping Malaysia. Pada tahun 2015, pengiriman CPO Indonesia
187
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
dihadapi industri kelapa sawit, salah satunya adalah mutu CPO. Salah satu penyebab rendahnya mutu CPO Indonesia adalah kandungan asam lemak bebas (ALB) yang tinggi. Penyebab utama tingginya ALB tersebut adalah masuknya buah kelapa sawit yang terlalu matang (over ripe) dalam proses pengolahan (milling). Mutu buah kelapa sawit ditentukan oleh 3 hal yaitu kematangan buah, parameter fisika, dan parameter kimia. Parameter fisika dapat berupa massa, ukuran, tektur, dan warna. Parameter kimianya antara lain kandungan minyak, kandungan air, dan kandungan asam lemak bebas. Untuk mendapatkan mutu CPO yang optimal, alat penentuan kematangan tandan buah segar (TBS) kelapa sawit sewaktu panen, sistem penyortiran pasca panen, dan sistem penentuan mutu (grading) yang reliable, cepat, ekonomis sangat diperlukan. Penentuan kematangan buah kelapa sawit secara tradisional dapat dilakukan dengan dua cara yaitu berdasarkan warna buah dan jumlah buah yang lepas atau membrondol dari TBS. Berdasarkan warna, jenis tanaman kelapa sawit terdiri dari dua jenis yaitu Nigrescence dan Virecence. Warna TBS jenis Nigrescence berubah dari hitam atau ungu gelap ke jingga atau merah gelap sedangkan warna TBS jenis Virecence berubah dari hijau ke jingga pekat [2]. TBS yang siap panen sering ditentukan juga dari buah yang lepas dan jatuh dari tandan yang disebut sebagai fraksi. Berdasarkan jumlah buah yang lepas, tingkat kematangan dibagi menjadi tujuh fraksi mulai dari mentah sampai dengan sangat matang [3]. Penentuan tingkat kematangan secara tradisional mengandalkan penglihatan (visual) pemanen atau grader yang berpengalaman, yang bersifat subjektif, lambat, tidak menyeluruh, membutuhkan biaya yang tinggi. Penentuan tingkat atau fraksi kematangan TBS kelapa sawit mengunakan alat atau secara moderen diperlukan. Pengukuran mutu dan kematangan buah mengunakan alat lebih disukai karena beberapa alasan yaitu lebih objektif, secara potensial lebih akurat, hasil yang diperoleh sama pada setiap pengukuran (reproducible) [4]. Pengunaan cahaya atau optik juga telah banyak dikembangkan untuk deteksi kematangan buah seperti metode spektroskopi [5,6]. Salah satu yang telah banyak dilakukan untuk buah kelapa sawit adala metode computer vision [7]. Computer vision adalah metode yang mengantikan fungsi
visual mata dengan kamera digital. Inti dari metode ini adalah pengolahan citra buah untuk mendapatkan berbagai informasi dari buah seperti warna, tekstur, dan bentuk. Metode ini telah dikembangkan menjadi sistem penyortiran untuk tandan kelapa sawit [8,9]. Metode spektroskopi mulai dikembangkan untuk deteksi kematangan buah kelapa sawit yang mengunakan metode hyperspectral [10] dan fluorescence. Kedua metode ini dapat mengunakan spektrometer atau mengunakan kamera digital CMOS (complimentary metal oxide semiconductor) [11] atau CCD (charged coupled devices) sebagai detektor cahaya. Metode spektroskopi dan computer vision adalah metode yang tidak destruktif. Metode destruktif berdasarkan pigmen seperti antosianin dan flavonoid yang terkandung pada buah kelapa sawit juga telah dilakukan utuk menentukan kematangan buah kelapa sawit [12]. Penelitian ini bertujuan mengunakan metode spektroskopi sederhana untuk assesmen kematangan buah kelapa sawit. Sistem tersebut terdiri dari laser dioda dengan panjang gelombang 532 nm dan 650 nm sebagai sumber cahaya pengeksitasi, spektrometer emisi USB 2000+ OceanView beserta software Spectra Optica, filter neutral density, filter warna magenta dan filter hijau. Lampu neon juga digunakan untuk sumber cahaya putih. Hubungan intensitas fluoresensi terhadap tingkat kematangan buah kelapa sawit untuk kedua jenis sumber cahaya, dan dua panjang gelombang laser dibandingkan. Sampel yang digunakan adalah buah kelapa sawit varitas tenera dengan 4 tingkat kematangan. Setiap tingkat terdiri dari 5 buah sampel. Penelitian ini merupakan studi awal untuk melihat hubungan antara intensitas fluoresensi terhadap tingkat kematangan buah dan panjang gelombang yang dominan untuk setiap kematangan. 2. KAJIAN LITERATUR Spektroskopi merupakan bidang ilmu yang mempelajari interaksi berbagai radiasi atau gelombang elektromagnetik dengan materi. Radiasi elektromagnetik terdiri dari beberapa bagian yang disebut spektrum gelombang elektromagnetik. Bagian - bagian ini disusun berdasarkan jangkauan energi, frekuensi, atau panjang gelombang. Bagian – bagian tersebut dimulai dari energi yang tinggi
188
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Kualitas buah atau tandan kelapa sawit ditentutan oleh tingkat kematangan, sifat-sifat fisika dan kimianya. Penentuan kematangan buah secara tradisional mengunakan warna buah dan jumlah buah yang lepas dari tandan ketika dipanen. Warna pada buah ditentukan oleh pigmen pada kulit buah. Pigmen adalah molekul-molekul penentu warna buah seperti antosianin, klorofil, flavonoid, dan karatenoid [7,12]. Buah kelapat sawit jenis Nigrescence sebagai contoh, mengalami perubahan warna dari keadaan mentah sampai matang dimana kandungan atau kosentrasi masing – masing pigmen berkurang atau bertambah selama proses kematangan. Buah kelapa sawit yang tidak matang kulitnya berwarna ungu kehitaman sedangkan serabut buah berwarna hijau kekuningan. Warna kulit buah berubah menjadi jingga kemerahan ketika matang dan serabut buah berwarna kuning dan kulit buah akan berubah kehitaman saat lewat matang. Pengukuran kualitas dan kematangan buah dapat dilakukan secara optik. Metode optik sedang dikembangkan karena bersifat nondestruktif. Buah adalah biomaterial yang terdiri dari molekul-molekul yang mempunyai fungsi masing-masing didalamnya. Kulit buah (eksocarp) mengandung zat-zat warna yang menentukan warna buah. Bagian buah yang
ke rendah adalah sinar -, sinar-X, sinar-UV, cahaya tampak, sinar-IR, gelombang Mikro, dan Radio. Spektroskopi dapat diartkan juga suatu metode yang mengunakan radiasi, ion, elektron atau partikel lainnya sebgai probe yang dipancarkan pada suatu material, untuk mempelajari struktur material tersebut berdasarkan responnya terhadap bagian tertentu dari spektrum. Spektrum yang dimaksud disin adalah suatu plot atau grafik antara intensitas versus energi (panjang gelombang atau frekuensi) dari radiasi atau partikel. Interaksi cahaya dan materi merupakan dasar dari metode yang digunakan untuk mendeteksi karakteristik suatu materi. Cahaya diartikan secara sempit sebagai cahaya tampak dan secara luas sebagai radiasi gelombang elektromagnetik. Bagaimana cahaya berinteraksi dengan benda bergantung pada energi dari cahaya tersebut. Materi adalah zat yang terdiri dari atom, molekul, dan elektron yang dapat berupa padat, cair, atau gas. Interaksi cahaya dengan materi dapat menghasilkan beberapa proses seperti pemantulan, penghamburan, penyerapan, atau fluoresesni cahaya oleh partikel- partikel pembangun materi yang bergantung pada energi cahaya yang datang. Spektroskopi terdiri dari beberapa jenis berdasarkan jangkauan panjang gelombang (energi) dan proses – proses yang terlibat. Alat atau sistem yang digunakan dalam bidang spektroskopi disebut spektrometer. Spektrometer dapat dibagi lagi menjadi dua jenis yaitu spektroskop atau spektrometer emisi yang mengukur cahaya yang diemisikan oleh material dan spektrofotometer yang mendeteksi cahaya yang diserap oleh material. Sebuah spektrometer emisi terdiri dari beberapa bagian utama yaitu sumber cahaya, celah, kisi difraksi atau prisma, dan detektor. Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) adalah tanaman perkebunan yang mengandalkan buah sebagai penghasil minyak nabati. Varitas tanaman kelapa sawit dapat dibedakan berdasarkan beberapa hal. Jenis berdasarkan ketebalan cangkang buah yaitu Dura, Pisifera, dan Tenera, dimana Tenera merupakan perkawinan dari Dura dan Psifera yang paling banyak dijumpai. Berdasarkan perubahan warna buah, jenis tanaman kelapa sawit terdiri dari dua jenis yaitu Nigrescence dan Virecence.
lebih dalam (mesocarp) mengandung berbagai hal seperti kandungan air, minyak, protein, atau gula. Interaksi antara cahaya dan lapisan-lapisan ini bergantung pada panjang gelombang (UV, Visible, atau IR) dan energi cahaya yang datang. Proses yang diamati dapat berupa pemantulan, hamburan, atau fluoresesnsi. Sistem pengukuran biasanya terdiri dari sumber cahaya, komponen optik seperti lensa dan filter daya, filter warna atau monokromator untuk cahaya putih, sampel buah, filter warna atau monokromator untuk menyaring panjang gelombang tertentu, dan detektor cahaya. Detektor cahaya dapat berupa photomultiplier (PMT), fotodioda, kamera digital (imaging), atau spektrometer emisi [5, 13]. 3. METODE PENELITIAN Penelitian ini terdiri dari 4 tahap. Tahap pertama adalah penyusunan sistem optik
189
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
spektroskopi fluoresensi. Tahap kedua adalah persiapan sampel buah lepas kelapa sawit. Tahap ketiga adalah ekperimen pengunaan cahaya putih dan cahaya laser pada buah kelapa sawit. Tahap terakhir adalah pengukuran kadar antosianin dari buah kelapa sawit. Penyusunan fluoresensi
sistem
optik
cahaya pengeksitasi yang digunakan adalah cahaya putih (L) dari lampu neon, laser dioda warna hijau 532 nm dan warna merah 650nm untuk mengakses pigmen-pigmen pada buah kelapa sawit. Filter-filter warna yang digunakan adalah filter yang menyaring jangkauan panjang gelombang tertentu saja (bandwidth). Filter yang digunakan adalah filter hijau (505 nm 15 nm) dan magenta (395 nm-440 nm dan 645-750nm).
spektroskopi
Persiapan Sampel
Tahap pertama dimulai dengan penyusunan sistem optik untuk assesmen kematangan buah kelapa sawit mengunakan metode spektroskopi fluoresensi. Gambar 1 adalah skema susunan sistem optik yang digunakan.
Tahapan kedua yaitu persiapan sampel. Sampel adalah buah kelapa sawit yang dilepas dari tandan buah segar (TBS) varitas Tenera jenis A dengan ciri khas buah-buah yang tidak terlalu besar tetapi densitas buah pada tandan sangat besar. Sampel diambil dari TBS – TBS dengan 4 tingkat kematangan yaitu ripe (F2 dan F3) dan over ripe (F4 dan F5). Setiap tingkat kematangan ada 3 TBS. Sampel diambil dari setiap TBS sebanyak 5 buah sehingga setiap tingkat kematangan ada 15 buah. Tingkat kematangan sesuai dengan fraksi/ tingkat kematangan yang dijumpai pada saat panen dan ditentukan oleh pemanen yang berpengalaman berdasarkan warna buah dan jumlah brondolan yang lepas dari TBS kelapa sawit sewaktu dipanen. TBS kelapa sawit yang telah dipanen kemudian dibawa ke Laboratorium untuk dibersihkan kemudian buah kelapa sawit dilepas sesuai tingkat kematangan, kemudian diameter lintang dan bujur serta massanya diukur. Variasi diameter buah yang digunakan adalah 1,91 cm - 3,12 cm, panjang buah 3,50 cm - 4,71 cm.
GAMBAR 1. Susunan sistem optik untuk assesmen kematangan buah kelapa sawit.
Gambar 1 adalah sistem optik spektrometer fluoresensi yang digunakan. Sistem berada dalam kotak hitam yang berukuran 60 cm 60 cm 90 cm dengan bagian dalamnya dilapisi kain beludru warna hitam agar tidak ada pemantulan dari dinding. Buah kelapa sawit (B) diletakkan pada sebuah penyangga yang juga berwarna hitam (A) dengan tinggi 60 cm dari lantai. Komponen alat optik yang digunakan pada sistem ini adalah laser dioda sebagai sumber cahaya eksitasi (E dan G), susunan lensa cekung beserta filter ND (F dan H) dan , beberapa filter warna (C). Sistem ini juga dilengkapi dengan seperangkat instrumen spektrometer USB 2000 Ocean Optics terkalibrasi yang terdiri dari lensa pengumpul (D), kabel serat optik (I), spektrometer (J), dan kabel USB (K). Sistem juga dilengkapi komputer (Desktop) dan software. Jarak dari kamera terhadap sampel sejauh 6 cm agar spektrum terdeteksi dan terlihat pada monitor komputer. Sumber
Pengujian Sampel dengan spectrometer Tahap ke tiga adalah pengunaan Spektrometer USB 2000 Ocean Optic untuk menentukan hubungan antara intensitas fluoresensi terhadap panjang gelombang dan tingkat kematangan buah kelapa sawit. Pada Gambar 1, Cahaya laser dioda diteruskan ke sampel melewati lensa cekung atau konkaf dengan panjang fokus -50 mm untuk memperlebar berkas sehingga menyinari seluruh permukaan buah bagian atas. Kemudian cahaya melewati filter Neutral Density (ND) yang berfungsi untuk memperkecil intensitas cahaya laser yang sampai ke buah agar tidak menimbulkan photo bleaching. Cahaya tersebut diteruskan
190
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
mengenai sampel berupa buah kelapa sawit sehingga akan menimbulkan interaksi antara cahaya penginduksi dengan atom yang terdapat pada buah kelapa sawit, peristiwa ini disebut fluoresensi. Cahaya pendaran fluoresensi tersebut diteruskan secara tegak lurus menuju lensa pengumpul dan melalui serat optik diteruskan ke spektrometer. Data spektrum dari cahaya yang diteruskan tersebut dikirim melalui kabel USB ke komputer sehingga muncul intensitas versus panjang gelombang. Prosedur ini diulang untuk buah dan jenis cahaya yang berbeda.
spektrometer UV-Vis. Pada saat pengujian absorbansi, panjang gelombang yang digunakan adalah 520 nm [14]. Nilai absorbansi yang dihasilkan pada layar spektrometer UV-Vis dan beberapa parameter lainnya digunakan untuk menentukan kadar antosianin pada buah kelapa sawit. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini mengunakan spektrometer USB 2000+ Ocean View untuk mengevaluasi tingkat kematangan buah kelapa sawit mengunakan tiga jenis cahaya. Ekperimen pertama adalah mengunakan cahaya putih dari lampu neon pada sisi kiri dan kanan buah. Ekperimen ini mengunakan magenta untuk mengevaluasi peran pigmen antosianin. Ekperimen kedua dan ketiga mengunakan laser hijau dengan filter hijau dan laser merah dengan filter magenta.
Penentuan kadar antosianin pada buah Tahapan keempat adalah uji fitokimia sampel untuk mengukur kadar antosianin pada buah untuk tiap tingkat kematangan. Penentuan kadar antosianin bertujuan untuk mendeteksi tingkat kematangan buah melalui kandungan senyawa antosianinnya seperti yang diusulkan oleh Hazir et al. [12]. Metode ini menggunakan metode ekstraksi seperti yang dilakukan oleh Bridgers et al. [14]. Buah kelapa sawit yang telah dipilih berdasarkan tingkat kematangannya ditimbang menggunakan neraca digital, kemudian dipotong kecil-kecil dan diambil bagian mesocarp dan eksocarpnya. Irisan buah tersebut kemudian digerus hingga halus menggunakan mortar. Hasil gerusan selanjutnya ditimbang seberat 0,4 gr, kemudian ekstrak dimasukan ke dalam tabung reaksi. Larutan metanol yang telah diasamkan pada pH 3,5 ditambahkan 10 mL pada bahan ekstrak tersebut. Larutan dihomogenkan dengan menggunakan vortex mixer hingga antara larutan dan ekstrak tercampur dan mengeluarkan warna tertentu, setelah itu larutan ekstraksi diperoleh. Larutan ekstraksi tersebut kemudian dipanaskan ke dalam water bath pada suhu 55℃ selama 1 jam, suhu dibuat tidak terlalu tinggi agar senyawa antosianin tidak rusak. Sonikasi pada larutan ekstraksi dilakukan dengan menggunakan ultrasonic bath selama 15 menit tanpa pangaturan suhu. Larutan ekstraksi didiamkan di dalam kulkas selama beberapa jam hingga terjadi pengendapan. Pada larutan ekstraksi yang telah mengendap filtrat dan residunya akan terpisah, kertas saring digunakan untuk mendapatkan filtratnya. Pengujian nilai absorbansi dilakukan setelah larutan filtrat diperoleh. Pengujian menggunakan alat
GAMBAR 2. Hubungan Intensitas fluoresensi dan tingkat kematangan dengan cahaya putih dan filter magenta dan hijau
Gambar 2 dan 3 adalah hubungan antara intensitas fluoresensi dan tingkat kematangan untuk cahaya putih dan laser hijau. Untuk cahaya putih, beberapa puncak spektrum terlihat. Hasil diatas adalah rata rata dari setiap puncak dan diambil puncak yang tertinggi. Untuk laser hijau, puncak untuk setiap kematangan berada pada panjang gelombang yang sama tetapi intensitas berbeda.
191
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
mengunakan nilai FWHM (Full wave half maximum). Hal-hal yang lain yang menyebabkan deviasi pengukuran adalah bentuk dan ukuran buah yang tidak sama untuk setiap sampel. 5. KESIMPULAN Penelitian ini merupakan penelitian studi awal hubungan intensitas fluoresensi dengan kandungan pigmen, panjang gelombang eksitasi dan tingkat kematangan. Deteksi mengunakan cahaya putih memberi intensitas tertinggi pada tingkat F3 (Matang). Deteksi dengan laser hijau memberikan intensitas yang semakin besar dengan bertambahnya tingkat kematangan. Kadar Antosianin berkurang dengan bertambahnya tingkat kematangan, selaras dengan hasil fluoresensi mengunakan laser merah dimana intensitas nya berkurang dengan bertambahnya tingkat kematangan.
GAMBAR 3. Hubungan intensitas fluoresensi dan tingkat kematangan dengan laser hijau dan filter hijau.
6. UCAPAN TERIMA KASIH GAMBAR 4. Hubungan intensitas fluoresensi dan tingkat kematangan dengan laser merah dan filter magenta.
Ucapan terimakasih disampaikan pada Universitas Riau dan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) di bawah Kementerian Keuangan yang telah mendukung dan mendanai penelitian ini. Ucapan terimakasih juga disampaikan ke Laboratorium Inkubator Fakultas Pertanian Universitas Riau dan PT. CARL Plantation yang telah mendukung dalam penyediaan sampel tandan kelapa sawit. 7. REFERENSI 1.
GAMBAR 5. Hubungan kadar antosianin dan tingkat kematangan untuk F2 (matang) dan F4 (lewat matang).
Gambar 4 adalah hubungan antara intensitas dan tingkat kematangan untuk laser merah dengan filter magenta. Intensitas menurun dengan bertambahnya kematangan. INi dapat dihubungkan dengan kadar antosianin pada Gambar 5 yang berkurang dengan bertambahnya kematangan. Pada Gambar 5, kadar antosianin berbeda untuk buah bagian ujung (U), tengah (T), dan pangkal (P) dari tandan kelapa sawit. Hasil yang diperoleh pada Gambar 2, 3, 4 diperoleh dari intensitas maksimum. Nilai yang lebih akurat dapat diperoleh dengan
2.
3.
4.
192
GAPKI, Refleksi Industri Kelapa Sawit Indonesia 2015 dan Prospek 2016 http://www.gapki.id (2016), (Diakses pada tanggal 20 September 2016). K. Sunilkumar dan D. S. Sparjan Babu., African Journal of Agricultural Research Vol. 8(6), 564-569 (2013). BACP, Practical Guides: Budidaya Kelapa Sawit Ramah Lingkungan untuk Petani Kecil, BACP - PanEco Booklet PP, 2014, www.ifc.org, (Diakses pada tanggal 20 September 2015). A. E. Solovchenko. O.B. Chivkunova, A.A. Gitelson, dan M.N. Merzlyak, Fresh Produce: Global Science Books, 2010.
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
5.
6.
7.
8.
9.
Van Beers, R., L. L. Gutiérrez, A. Schenk, B. Nicolaï, E. Kayacan, and W. Saeys, Proceedings, International Conference of Agricultural Engineering, Zurich, 06-10.07.2014 (2014). H. Zhang, J. Huang, T. Li, X. Wu, S. Svanberg, K. Svanberg, Journal of Biomedical Optics 19(6), 067001 (2014). M.H. Razali, A.S. Somad, M.A. Halim, S.A. Roslan, International Journal of Agriculture and Crop Sciences, 14(2), 5463 (2012). J. Roseleena, J. Nursuriati, J. Ahmed, dan C.Y. Low, International Food Research Journal 18(3), 999-1005 (2011).
10. O.M. Bensaeed, A.M. Shariff, A. B. Mahmud, H. Shafri, M. Alfatni, IOP Conf. Series: Earth and Environmental Science 20, 012017 (2014).
M. Makky, P. Soni, Vi.M. Salokhe, Int. Agrophys., 28, 319-329 (2014).
14. E. N. Bridgers, M.S. Chinn, V.D. Trung, Journal Industrial Corps and Products, Vol., 613-620 (2010).
11. M. Shiddiq, Zulkarnaen, R. Poja, ICoSe Conference Proceeding, KnE Engineering, DOI:10.18502/keg.v1i1.480 (2016) 12. M. H.M. Hazir, A.R. M. Sharif, M.D. Amiruddin, Industrial Crops and Products 36, 466-475 (2012). 13. L. Bodria, M. Fiala, R. Guidetti, R. Oberti, Journal American Society of Agricultural Engineers, 47(3), 815-820 (2004).
193
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Pengaruh Penambahan Karbon Aktif pada Sifat Listrik Proton Exchange Membrane (PEM) dari Kitosan-PVA Erna Hastuti*, Istianah Jurusan Fisika UIN Maulana Malik Ibrahim Malang * email: [email protected]
Abstrak Perkembangan teknologi membran pada bidang energi alternatif, salah satunya adalah PEM yang mengkonversi energi kimia menjadi energi listrik. Pada penelitian ini, membran dibuat dari campuran kitosanPVA dan ditambah variasi komposisi 0; 0,1; 0,2; 0,3; 0,4 (%wt) karbon aktif untuk meningkatkan selektifitas membran terhadap proton. Pengujian dilakukan untuk mengetahui gugus fungsi dan sifat listrik (konduktivitas, permitivitas, impedansi) pada membran kitosan–PVA dengan penambahan karbon aktif. Hasil pengujian FTIR menunjukkan adanya gugus fungsi C=C atau cincin aromatik yang terkonjugasi dengan ikatan C-H, N-H, C-N bersifat polar, sehingga membran bersifat konduktif. Nilai Impedansi (Z) dan Permitivitas (ɛ) yang diperoleh menyatakan bahwa pada membran terjadi polarsisasi muatan ruang (Space Charge). Konduktivitas tertinggi pada penambahan konsentrasi karbon aktif 0.4 (%wt) yaitu 1,18 S/cm-1.
Kata kunci: Karbon aktif, Kitosan, Membran, PVA, konduktivitas Abstract The development of membrane technology in alternative energy, one of them is PEM that convert chemical energy into electrical energy. In this study, membranes were syntesized from a mixture of chitosanPVA and added activated carbon with compositions 0; 0.1; 0.2; 0.3; 0.4 (% wt) to improve the proton selectivity of membranes. The electrical properties of activated carbon filled chitosan-PVA membranes (conductivity, permittivity and impedance) have been analized. FTIR spectrum indicated functional groups C = C or an aromatic ring conjugated with the C-H, N-H, C-N are polar, so that the membrane is conductive. Impedance (Z) and permittivity (ɛ) values showed space charge polarization. The highest conductivity in the addition of activated carbon concentration of 0.4 (wt%) is 1.18 S / cm-1. Keywords: activated carbon, chitosan, membrane, PVA, Conductivity
terhadap kadar nitrogen kitin. Semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu deproteinase kadar protein semakin rendah sedangkan derajat deasetilasi menjadi semakin tinggi [1].
1. PENDAHULUAN Proton Exchange Membran (PEM) merupakan membran konduktif yang dapat menghantar proton. Salah satu pembuatan membran yang digunakan dalam aplikasi bahan bakar hidrogen adalah Proton Exange Membran Fuel Cell (PEMFC) yang dibuat dari ionomer dan dirancang agar dapat menghantar proton namun bersifat impermeable terhadap gas oksigen dan hidrogen. Sintesis PEM Fuel Cell menggunakan senyawa kitosan dari hewan crutacea seperti kulit udang, kerang dan kepiting dengan proses ektraksi secara kimia. Kitosan mempunyai fungsi sebagai absorben logam berat, pengawet bahan makanan, dan sebagai matriks membran komposit. Martati, dkk (2009) mengisolasi kitin dari cangkang rajungan (Portunus Pelagicus). Hasilnya menunjukkan bahwa perlakuan suhu dan waktu deprotinase memberikan pengaruh
Dalam penelitian ini, Kitosan digabungkan dengan polivinil alkohol sebagai matrik komposit yang kemudian ditambah dengan variasi komposisi karbon aktif. Pembuatan membran kitosan yang diberi pelarut asam asetat sudah bisa menghantarkan arus listrik, untuk mendapatkan membran yang lebih baik dan elastis maka ditambah suatu bahan polimer yaitu polivinil alkohol yang mempunyai sifat mekanik yang baik, sedangkan untuk meningkatkan konduktivitas listrik ditambah dengan karbon aktif yang sifatnya bisa menghantarkan arus listrik.
194
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
berpengaruh pada sifat fisik dan menunjukan tingkat penyerapan membran terhadap partikel yang tersaring. Nilai densitas pada membran Fuel Cell menunjukan bahwa partikel yang terperangkap berkurang, seiring dengan bertambahnya kosentrasi CaCO3 karena kerapatan yang diperoleh semakin besar [5]. Gugus NH3+ pada kitosan berinteraksi dengan gugus OH- yang terdapat pada polivinil alkohol melalui ikatan hidrogen sehingga membentuk komposit. Pada pencampuran ini tidak semua gugus NH3+ berikatan dengan gugus OH- karena kemungkinan jumlah gugus NH3+ pada kitosan yang banyak [6]. Oleh karena itu penambahan kosentrasi polivinil alkohol lebih tinggi daripada kitosan untuk memproduksi gugus OH- lebih banyak sehingga membran yang terbentuk memiliki ion-ion negatif yang dominan sehingga memiliki nilai selektifitas proton (Ion positif) yang tinggi [5]. Karbon aktif digunakan sebagai pendoping kitosan–PVA, karena mempunyai keistimewaan gugus fungsional pada permukaannya. Gugus kompleks oksigen di permukaan karbon aktif akan membuat membuat permukaan karbon aktif menjadi reaktif secara kimiawi dan menentukan sifat adsorpsinya seperti sifat hidrofilik, keasaman dan potensial negatif. Konduktivitas proton pada membran ditentukan oleh ketebalan, resistansi dan luas permukaan [7].
2. KAJIAN LITERATUR Membran elektrolit adalah material pertukaran ion yang pada umumnya terdiri dari polimer dimana kelompok asam sulfat diperoleh melalui proses sulfonasi. Molekul asam diperoleh dari polimer yang tidak dapat keluar, sementara proton dari kelompok asam ini dapat bebas berpindah melalui membran. Kelompok sulfat yang diikat dapat menahan air yang relatif tinggi karena meningkatnya kapasitas antifouling dan menguntungkan membran hidrodinamik, yang juga merupakan mekanisme penting pada konduksi proton [2]. Membran polimer elektrolit berfungsi sebagai insulator antara katoda dan anoda, penghantar proton (H+) dengan arah dari anoda menuju katoda dan tempat menempelnya katalis pada anoda dan katoda. Proton yang terdapat di anoda akan mengalir melalui PEM menuju katoda, sedangkan elektron tidak dapat melewati PEM sehingga seluruh elektron akan menumpuk di anoda dan seluruh proton akan menumpuk di katoda. Membran yang mempunyai kemampuan untuk menghantarkan proton bergantung pada asam dan daya muat air pada membran dan dipengaruhi oleh kekutan asam yang terkandung, struktur kimia, morfologi membran, dan temperatur. Membran elektrolit yang digunakan dari polimer adalah membran nafion. Salah satu membran alternatif pengganti nafion adalah membran kitosan yang penukarannya pada kondisi basah (kaya akan air). Transfer proton pada membran kitosan melibatkan transfer proton pada air dan interaksi antara proton tersebut dengan gugus amina pada membran kitosan. Adanya gugus amina membantu terjadinya transfer proton [3]. Kitosan memiliki gugus aktif amina bebas dan hidroksil. Dengan adanya gugus-gugus ini maka kitosan dapat dimodifikasi menjadi berbagai produk. Modifikasi yang dapat dilakukan adalah alkilasi, sililasi, tosilasi, pembentukan garam kuarterner, sulfatasi, fosforilasi dan tiolasi. Kitosan juga dapat dimodifikasi dengan cara dicampur dengan polimer lain seperti PVA (polivinil alkohol). Modifikasi lainnya adalah dengan menambahkan crossilinker seperti glutardialdehida dan epiklorohidrin sehingga terbentuk ikatan silang antara rantai polimer kitosan [4]. Kombinasi Kitosan–PVA dengan penambahan kalsium karbonat (CaCO3) sangat
σ=
(1)
3. METODE PENELITIAN ATAU SETUP EKSPERIMEN Penelitian ini dilakukan dengan pembuatan larutan polivinil alkohol dilarutkan 280 ml air panas pada perbandingan 1:10 (w/v) dengan suhu 100 oC. 7 gram kitosan dicampur dengan asam asetat yang kosentrasinya 2% pada perbandingan 1:10 (w/v), kemudian diaduk selama 6 jam. Campuran kitosan dimasukkan ke dalam PVA pada perbandingan 1:4 (%wt). Campuran kitosan-PVA ditimbang 2,3 gram kemudian ditambah dengan 40 ml asam asetat (CH3COOH)10% [6]. Karbon aktif dimasukkan pada masingmasing campuran kitosan-PVA dengan perbandingan komposisi 0; 0,1; 0,2; 0,3; 0,4 (%wt). Larutan dipanaskan sambil diaduk
195
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
menggunakan magnetic stirrer pada suhu 70 o C dengan kecepatan 600 rpm. Campuran kitosan-PVA dan variasi karbon aktif tempurung kelapa dituang ke dalam cawan petri dengan diameter 10 cm. Semua sampel disimpan selama 24 jam pada suhu kamar. Membran yang didapat direndam pada larutan Formaldehida 1 ml dan dicampur dengan asam sulfat (H2SO4) 6% sebanyak 30 ml selama 1 hari. Membran dicuci menggunakan aquades dan dikeringkan pada suhu kamar selama 24 jam [6]. Data yang diperoleh dari alat spektroskopi FT-IR berupa kromatografi yang menunjukkan terjadinya vibrasi pada gugus fungsi arah vertikal dan adanya serapan panjang gelombang pada yang berbeda pada arah horizontal sehingga dapat diketahui senyawa-senyawa yang terbentuk pada membran. Data LCR-meter menunujukkan sifat listrik pada membran meliputi Resistansi (R) dengan impedansi dan kapasitansi (C) dengan faktor disispasi, kemudian ditentukan nilai konduktivitas proton impedansi dan permitivitas dengan memasukkan data yang diperoleh.
GAMBAR 1. Spektrum FT-IR campuran kitosan-PVA pada (a) 0% karbon aktif (b) 0,1 (%wt) karbon aktif (c) 0,2 (%wt) karbon aktif (d) 0,3 (%wt) karbon aktif (e) 0,4 (wt%) karbon aktif.
Pengujian sifat listrik dilakukan menggunakan LCR Meter Fluke PM 6306. Tegangan yang digunakan 1,5 volt dan frekuensi 1 KHz – 1000 KHz. Sebuah kapasitor dialiri arus bolak-balik (AC), maka akan timbul resistansi semu atau disebut reaktansi kapasitif (Xc) yang bergantung pada nilai kapasitansi (C) dan frekuensi pada jangkauan 1 KHz-1000 KHz. Besarnya reaktansi kapasitif berbanding terbalik dengan perubahan frekuensi dan kapasitansi.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Gugus fungsi yang dihasilkan dari membran kitosan-PVA dengan penambahan karbon aktif diukur menggunakan Varian FTIR 1000. Gambar 1 menunjukkan gugus fungsi kitosan-PVA yang muncul adalah O-H, N-H dan C-H, sedangkan pada penambahan komposisi karbon aktif gugus fungsi yang muncul adalah O-H, C=N, C=C, C=S, C-O-C, dan C-H meskipun tidak berikatan langsung dengan gugus fungsi kitosan-PVA. Gugus fungsi yang menunujukkan konduktivitas proton adalah gugus C=C atau lebih dikenal dengan cincin aromatik yang terkonjugasi dengan ikatan C-H, N-H, C-N dan bersifat polar. Hal ini dikarenakan masing-masing ikatan terkonjugasi memiliki kemampuan keelektronegativitas yang berbeda, sehingga menjadi polimer yang konduktif. Selain gugus fungsi C=C, yang berperan dalam konduktivitas listrik adalah gugus fungsi OH yang merupakan ikatan kovalen polar antara O dan H.
GAMBAR 2. Nilai resistansi membran
Gambar 2 menunjukkan pada frekuensi 1 KHz – 1000 KHz nilai resistansi mengalami penurunan pada penambahan komposisi 0,1 gram dan 0,3 gram karbon aktif, begitu juga resistansi mengalami kenaikan pada penambahan 0,2 gram karbon aktif. Penambahan komposisi 0,4 gram karbon aktif terjadi sedikit kenaikan resistansi pada frekuensi 1 KHz – 10 KHz dan terjadi sedikit penurunan resistansi pada frekuensi 100 KHz – 1000 KHz. Hal ini tidak terjadi pemutusan antara atom C dan H, atom H tidak dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lain mengisi daerah yang kosong sehingga membran memiliki nilai resistansi yang tinggi dan konduktivitas yang rendah.
196
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
karbon aktif didalam matriks polimer yang menentukan komposit membran menjadi konduktif. Faktor penentu dari konduktivitas listrik pada karbon aktif adalah konduktivitas dari serbuk karbon aktif sendiri, fraksi volume dan karakteristik serbuk seperti ukuran partikel, bentuk karbon aktif dan luas permukaan karbon aktif dan orientasi serbuk mengisi matriks [8]. Permitivitas suatu bahan dipengaruhi oleh banyaknya muatan yang tersimpan dalam bahan dielektrik yang disebabkan pengaruh medan listrik dari luar. Jika kapasitor diisi dengan bahan dielektrik maka sifat yang terjadi dianalisa menggunakan permitivitas kompleks.
GAMBAR 3. Nilai konduktivitas membran
Gambar 3 menunjukkan konduktivitas listrik pada frekuensi 100 KHz dengan penambahan karbon aktif 0,2 gram terjadi penurunan sedangkan pada penambahan karbon aktif 0,3 gram dan 0, 4 gram karbon aktif terjadi kenaikan. Hubungan konduktivitas dengan resistansi pada frekuensi 100 KHz dengan penambahan karbon aktif 0,2 gram dan 0,4 gram konduktivitas mengalami penurunan sedangakan resistansi mengalami kenaikan karena konduktivitas listrik berbanding terbalik dengan resistansi dan konduktivitas listrik juga ditunjukkan pada gugus fungsi C=C. Konduktivitas listrik dilihat dari gugus fungsi dipengaruhi oleh adanya gugus C=C yang terkonjuasi dengan ikatan CH, N-H dan C-N yang bersifat polar dan memiliki sifat keelektronegativitas yang berbeda sehingga menjadi membran yang konduktif. Selain itu konduktivitas dipengaruhi oleh pemutusan gugus fungsi ikatan atom C dan H sehingga atom H dapat berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain mengisi daerah kosong yang terjadi pada penambahan 0,3 gram karbon aktif pada frekuensi 1KHz – 1000KHz dan 0,4 gram karbon aktif pada frekuensi 100KHz – 1000KHz. Sedangkan pada penambahan 0,2 gram karbon aktif pada frekuensi 1KHz – 1000KHz dan 0,4 gram karbon aktif pada frekuensi 1KHz – 10KHz tidak terjadi pemutusan atom C dan H. Karbon aktif memiliki sifat konduktif setelah melalui proses karbonisasi, sehingga penambahan karbon aktif dengan berat molekul yang tinggi menyebabkan partikelpartikel terdispersi dengan baik, dan karbon aktif bertindak sebagai anion dalam membran dan berinteraksi dengan proton. Konduktivitas membran bergantung pada fraksi berat serbuk karbon aktif yang diberikan pada matriks polimer. Serbuk karbon aktif membentuk jaringan kerja yang bersambung dengan matriks polimer dan jarak antar serbuk
GAMBAR 4. Nilai permitivitas pada membran
Gambar 4 menunjukkan polarisasi space charge pada frekuensi 2 KHz – 32 KHz, penurunan permitivitas yang paling tajam pada penambahan 0,1 gram karbon aktif sedangkan penurunan yang paling rendah pada penambahan 0,2 gram karbon aktif. Pada penambahan 0,1 gram karbon aktif terjadi polarisasi yang disebabkan adanya elektron donor dari pemutusan ikatan atom C dan atom H yang didonorkan kepada gugus NH + pada kitosan. Pada kapasitor impedansi berperan sebagai hambatan suatu medan listrik yang diberikan pada rangkaian keping kapasitor. Impedansi dipengaruhi oleh frekuensi, resistansi dan reaktansi total. Frekuensi pengukuran membran pada jangkauan terendah 1 KHz -1000 KHz.
GAMBAR 5. Nilai impedansi pada membran
197
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Gambar 5 menunjukkan pada penambahan komposisi 0,1 gram karbon aktif impedansi mengalami penurunan dan resistansi juga terjadi penurunan pada frekuensi 1 KHz, impedansi mengalami kenaikan penambahan 0,2 gram karbon aktif begitu juga dengan resistansi mengalami kenaikan pada frekuensi 10KHz, hal ini disebabkan pada penambahan karbon aktif tidak terjadi pemutusan atom C dan H sehingga atom H tidak bisa berpindah mengisi tempat yang kosong disamping itu impedansi berbanding lurus dengan resistansi semakin besar resistansi impedansi juga semakin besar.
7. REFERENSI
5. KESIMPULAN
4. Hara, et al., “Utilization of Agrowastes for Building Material”, Japan: International Research and Development Coorpration Division, AIST, MITI, 1986.
1. Martati, dkk., “Isolasi Khitin Dari Cangkang Rajungan (Portunus Pelagicus) Kajian Suhu dan Waktu Proses Deportinase”, Brawijaya, Malang, 2009. 2. Robertson, G.P. et al., “Casting Solvent With Sulfonated Poly(eter keton) During proton Exange Membrane”, Fabrication, Journal of Membrane Science (219), 113121 (2003). 3. Shahidi, Aplication of Chitin and Chitosan. Trend in food science and Technology, Vol. 10, no. 2, (1999).
Pembuatan membran kitosan-PVA dengan penambahan karbon aktif dari tempurung kelapa menunjukkan adanya gugus fungsi C=C dan nilai konduktivitas terbaik pada penambahan 0,4 gram karbon aktif sebesar 1,18 S/cm pada frekuensi 100 KHz. Nilai resistansi tertinggi pada penambahan karbon aktif 0,2 gram sebesar 242,66 Ω pada frekuensi 10 KHz. Permitivitas menunjukkan penurunan yang tajam seiring penambahan karbon aktif dan terjadi polarisasi Space charge pada frekuensi 2000 Hz – 32000 Hz. Impedansi mengalami penurunan dengan bertambahnya frekuensi dan nilai tertinggi pada penambahan karbon aktif 0,2 gram karbon aktif.
5. Khotim dan Hastuti, “Electrical Properties of CaCO3 Filled Chitosan-PVA Membranes”, Proceeding, International Conference Green Technology, 2013. 6. Riyanto, Bambang, dkk., “Karakteristik Composit Biofiber Textile Berbahan Dasar Kitosan dan Polivinil Alkohol (PVA) Melalui proses Pemintalan Basah”, Bogor: Jurnal Penelitian, (2010). 7. Liong, A., “Chitosan-poly (Vinil Alcohol) and Calcium Oxide Composite Membrane for Direct Methanol Fuel Cell Application”, Malaysia: Engginering Letters, (2009).
6. UCAPAN TERIMA KASIH
8. Ara, dkk., “Pengaruh Penambahan Karbon Aktif Terhadap Sifat Mekanik dan Konduktivitas Listrik Komposit Karbon/ Epoksi Sebagai Plat Bipolar Polimer Elektrolit Membran Sel Bahan Bakar”, [Polymer Exchange Membran (PEMFC)], 2013.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu terlaksananya penelitian ini.
198
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Penentuan Kualitas Cahaya Lampu dari Spektrum Fotometri Bambang Mukti Wibawa1), Liu Kin Men2),*, Nurman Aris2),**, Camellia Panatarani2),*** dan I Made Joni2),**** 1 Departemen Teknik Elektro, FMIPA, Universitas Padjadjaran Jl. Raya Bandung – Sumedang km. 21 Jatinangor 45363, Sumedang, Jawa Barat, Indonesia email: [email protected] 2 Departemen Fisika, FMIPA, Universitas Padjadjaran Jl. Raya Bandung – Sumedang Km. 21 Jatinangor 45363, Sumedang, Jawa Barat email: * [email protected], ** [email protected], *** [email protected], **** Penulis korespodensi: [email protected]
Abstrak Program perhitungan kualitas cahaya lampu dari spektrum fotometri telah berhasil dibuat dengan fitur tampilan berupa nilai koordinat xy dalam CIE chromatocity diagram, nilai CCT dan nilai CRI. Nilai koordinat xy juga dapat ditampilkan berupa gambar dalam CIE chromatocity diagram. Sebagai pembanding kinerja, hasil perhitungan program dibandingkan dengan color calculator dari OSHRAM.Berdasarkan hasil pengujian, program yang telah dibuat memiliki selisih nilai sebesar 0,422%-2,455% untuk perhitungan koordinat xy, 5%10% untuk perhitungan CRI dan tidak lebih dari 2 K pada rentang 2856 K sampai 6500 K untuk perhitungan CCT. Kata Kunci: Kualitas cahaya, diagram chromaticity, CCT, CRI.
Abstract The program for calculating the lighting quality of a light source from photometry spectra successfully developed with output features such as a CIE chromaticity diagram, CCT and CRI. The coordinate of xy also displayed in the CIE chromaticity diagram. The performances of the calculation were compared with the Color calculator made by OSRAM. The result showed that the errors of the calculation were 0.422% - 2.455% for the xy coordinates, 5% - 10% for the CRI and the CCT error was not more than 2 K for the temperature 28566500 K. Keywords: color quality, chromaticity diagram, CCT, CRI.
radiasi dalam bentuk spektrum warna yang bersesuaian dengan warna yang dipancarkan benda. CIE juga telah mengeluarkan kriteria kualitas sebuah lampu berdasarkan color rendering index (CRI) yang merupakan kemampuan suatu sumber cahaya untuk menampilkan warna suatu benda dibandingkan dengan kemampuan sumber cahaya ideal atau sumber cahaya alami. Parameter kualitas cahaya lampu berupa koordinat CIE chromaticity diagram, CCT dan CRI dapat diketahui dari spektrum fotoluminisensi. Sebuah program yang digunakan untuk menghitung kualitas cahaya sebuah sumber cahaya (color calculator) telah dikembangkan oleh OSHRAM, namun program ini tidak mencantumkan lampu referensi yang digunakan untuk perhitungan CRI.
1. PENDAHULUAN Kualitas cahaya sebuah lampu merupakan hal yang sangat penting dalam pertimbangan aplikasi lampu untuk pencahayaan umum. International Commission on Illumination (CIE) telah memberikan standarisasi terhadap warna suatu sumber cahaya yakni dengan CIE chromaticity diagram. CIE chromaticity diagram menyatakan nilai kuantitatif yang menghubungkan warna murni secara fisis (panjang gelombang) dalam spektrum cahaya tampak dengan warna persepsi manusia secara fisikologis. Disamping koordinat dalam CIE chromaticity diagram, kriteria warna suatu sumber cahaya juga ditentukan berdasarkan nilai correlated color temperature (CCT). Color temperature dari sebuah sumber cahaya berhubungan dengan suhu saat suatu benda hitam dipanaskan sehingga mengeluarkan
199
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Dalam rangka memenuhi kebutuhan untuk penentuan kualitas suatu sumber cahaya (lampu), suatu alat terintegrasi dengan spektrofotometer telah kami kembangkan. Dalam tulisan ini diuraikan pembuatan program untuk mengetahui kualitas cahaya dari sebuah lampu yang dipetakan dalam CIE chromaticity diagram, correlated color temperature (CCT) dan color rendering index (CRI) berdasarkan spektrum yang diperoleh dari fotometer.
XYZ diperoleh nilai x dan y seperti dimuat dalam Persamaan 1 dan Persamaan 2.
X X Y Z Y y X Y Z
x
(1) (2)
Tahap tiga adalah penentuan color correlated temperature (CCT) dengan menggunakan persamaan Mc.Camy yang dimuat dalam Persamaan 3 [3].
2. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimen kualitatif dengan tahapan perhitungan dimuat dalam Gambar 1. Tahap pertama adalah penentuan spektrum cahaya lampu menggunakan spektrofluorophotometer Perkin Elmer LS 55. Tahap kedua adalah penentuan koordinat dalam CIE chromaticity diagram. Untuk memperoleh koordinat dalam CIE chromaticity diagram, terlebih dulu dicari nilai tristimulus XYZ dengan metode trapesium secara analitik. Berdasarkan nilai tristimulus
(3) dengan
Tahap ke empat adalah penentuan lampu referensi yang memiliki nilai CCT mendekati nilai CCT lampu uji [2]. Lampu referensi yang digunakan adalah lampu referensi yang dikeluarkan oleh CIE yakni lampu A, C, D50, D55, D65dan D75.
Gambar 1. Diagram alir tahapan perhitungan 200
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Tahap ke lima adalah penentuan spektrum cahaya lampu dengan cara memfilter LED uji (k) dan lampu referensi (r) dengan delapan warna uji yang dinyatakan dalam power reflectivity spectral [1]. Proses pemfilteran lampu uji dan lampu referensi dilakukan secara matematis menggunakan Persamaan 4 dan Persamaan 5. Pk ,i ( ) Pk ( ) Pwarna _ uji (i ) ( ) (4)
Pr ,i ( ) Pr ( ) Pwarna _ uji (i ) ( )
Wk*,i 25 Yk ,i 3 17
(8)
U k*,i 13Wk*,i u 'k ,i uk
(9)
1
U r*,i 13Wr*,i ur ,i ur Vr*,i 13Wr*,i vr ,i vr
Vk*,i 13Wk*,i v 'k ,i vk
(10)
Tahap ke delapam adalah penentuan perbedaan warna ( Ei* ) menggunakan Persamaan 11 yang menunjukkan perubahan warna kuantitatif yang muncul ketika sampel warna uji terlebih dahulu diterangi oleh sumber cahaya referensi dan kemudian dilanjutkan dengan sumber cahaya uji [2].
(5)
dengan
Pk ,i ( ) = Intensitas lampu uji hasil filter pada
salah satu delapan warna uji (i) pada panjang gelombang tertentu ( ). Pr ,i ( ) = Intensitas lampu referensi hasil filter
Ei*
pada salah satu delapan warna uji (i) pada panjang gelombang tertentu ( ) Pk ( ) = Intensitas lampu uji pada panjang
U
* r ,i
U k*,i Vr*,i Vk*,i Wr*,i Wk*,i 2
2
2
(11)
Tahap ke sembilan adalah penentuan CRI tiap warna uji khusus untuk salah satu dari delapan warna uji [2] menggunakan Persamaan 12.
gelombang tertentu ( ) Pr ( ) = Intensitas lampu referensi pada panjang gelombang tertentu ( ) Pwarna _ uji (i ) ( ) = Power reflectivity salah satu
CRIi 100 4.6Ei*
(12)
Tahap ke sepuluh adalah penentuan CRI secara umum dengan menggunakan Persamaan 13.
warna uji (i) pada panjang gelombang tertentu ( )
CRI general
Tahap ke enam adalah penentuan koordinat CIE 1931 dengan menggunakan Persamaan 1 dan Persamaan 2 dan mengkonversi ke koordinat CIE 1960. Untuk mengubah
1 8 CRIi 8 i 1
Perhitungan dilakukan dengan menggunakan program bahasa C.
koordinat CIE 1931 ke CIE 1960, digunakan Persamaan 6 dan Persamaan 7 [1]. 4X 4x (6) u X 15Y 3Z 2 x 12 y 3 6Y 6y (7) v X 15Y 3Z 2 x 12 y 3
(13) komputasi
Koordinat kartesian hasil perhitungan program diubah menjadi sebuah koordinat pixel pada CIE chromaticity diagram.Ukuran CIE chromaticity diagram yang dipergunakan adalah lebar 300 pixel dan tinggi 332 pixel. Dengan menggunakan koordinat pixel pada koordinat (0, 0), (0.1, 0) dan (0, 0.1) diperoleh persamaan untuk mengubah koordinat xy hasil perhitungan ke pixel pada CIE chromaticity diagram pada Persamaan Persamaan 14 dan Persamaan 15.
Tahap ke tujuh adalah penentuan adaptive color shift dengan menghitung koordinat * chromaticity color shift yakni menghitung U ,
pixel _ x ((koordinat _ x) ( jarak _ koordinat _ 0 0.1) 10) ( pixel _ x 0)
pixel _ x ((koordinat _ x) (62 30) 10) 30
V * , W * untuk lampu uji (k) dan lampu
pixel _ x ((koordinat _ x) 320) 30
referensi (r) menggunakan Persamaan 8 – Persamaan 10 [2].
(14)
pixel _ y ((koordinat _ y) ( jarak _ koordinat _ 0 0.1) 10) ( pixel _ y 0)
Wr*,i 25 Yr ,i 3 17 1
201
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
pixel _ y ((koordinat _ y) (61 29) 10) 29
pixel _ y ((koordinat _ y) 320) 29
Hasil perhitungan CCT (15)
Hasil perhitungan CCT menggunakan persamaan Mc.Camy untuk lampu Osram 2700 K, 4000 K dan 5700 K yang diplotkan secara manual pada CIE diagram 1960 dimuat dalam Gambar 2. Perhitungan interpolasi untuk lampu referensi dilakukan dengan skala pengukuran setiap 5 nm (tanpa interpolasi) dibandingkan dengan data lampu referensi setiap 0,5 nm (dengan interpolasi). Berdasarkan perhitungan CCT, simpangan yang dihasilkan kurang dari 5 K pada CCT dari 2856 K sampai 6500 K, sesuai dengan yang pernyataan Mc.Camy.
Program yang dibuat akan diujicobakan untuk mengkarakterisasi lampu uji yaitu Philip 2700 K. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Koordinat xy pada CIE chromaticity diagram Hasil perhitungan koordinat xy pada CIE chromatocity diagram dan simpangannya dimuat dalam Tabel 1. Berdasarkan data tersebut diperoleh simpulan bahwa simpangan pernitungan xy hasil perhitungan dibandingkan dengan referensi adalah sebesar 0,422% – 2,452%. Kurang akuratnya hasil perhitungan kemungkinan disebabkan karena metode yang digunakan untuk perhitungan integral nilai tristimulus menggunakan metode trapesium.
Hasil perhitungan CRI Hasil perhitungan CRI dimuat dalam Table 2. Berdasarkan Tabel 2, simpangan pada program perhitungan CRI yang telah dibuat yakni bersikar pada 5 % – 10 %, nilai yang cukup besar disebabkan lampu referensi yang digunakan tidak terletak tepat pada planckian locus atau memiliki CRI kurang dari 100. Tabel 2. CRI hasil perhitungan
Gambar 2. CIE chromaticity diagram dengan titik CCT
Lampu
CRI
Lampu A Lampu C Lampu D50 Lampu D55 Lampu D65 Lampu D75
95 90 92 91 90 90
Simpangan (%) 5 10 8 9 10 10
Tabel 1. Hasil perhitungan koordinat xy dan error yang didapat No 1 2 3 4 5 6
Lampu A C D50 D55 D65 D75
Program yang dibuat 0,449 0,.314 0,349 0,336 0,316 0,303
Koordinat x CIE Simpangan stand (%) ar 0,447 0,422 0,310 1,314 0,346 1,131 0,332 1,165 0,313 1,204 0,299 1,228
202
Program yang dibuat 0,413 0,324 0,366 0,355 0,336 0,322
Koordinat y CIE standar 0,407 0,316 0,358 0,347 0,329 0,315
Simpangan (%) 1,384 2,452 2,207 2,217 2,187 2,144
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
warna dari lampu yang diuji. Dari pengujian karakteristik lampu menggunakan program yang dibuat, diperoleh bahwa lampu Philip 2700 K memiliki warna putih kekuningkuningan
Hasil ujicoba program untuk karakterisasi lampu Ujicoba program yang dibuat untuk karakterisasi lampu Philip 2700 K dimuat dalam Gambar 3 sampai Gambar 6 dan Tabel 3.
Gambar 3. Spektrum lampu Philip 2700 K hasil karakterisasi LS55
Gambar 5.
Berdasarkan Gambar 3 terlihat bahwa warna dari lampu Philips 2700K terdiri dari dua buah spektral yaitu pada spektrum biru dan orange. Tampilan hasil perhitungan kualitas cahaya lampu berupa koordinat CIE, CCT dan CRI dimuat dalam Gambar 4.
Kualitas warna lampu
Tampilan hasil perhitungan program secara lengkap dapat dilihat dalam Gambar 6. Program yang dibuat dapat menampilkan kualitas lampu uji secara lengkap.
Gambar 6. Tampilan hasil pengujian lampu Selanjutnya kualitas cahaya lampu hasil perhitungan program yang telah dibuat dibandingkan dengan hasil perhitungan menggunakan color calculator. Hasil perhitungan tersebut dimuat dalam Tabel 3.
Gambar 4. Tampilan hasil pengujian lampu
Nilai CCT lampu uji sebesar 4911 K (cool white) dan nilai CRI sebesar 71,57. Hal tersebut menandakan lampu philip 2700 K baik untuk dijadikan sebagai lampu penerangan.
Tabel 3 Perbandingan hasil program lampu Philip 2700 K Program
Gabungan dari spektrum biru dan orange yang terdapat pada spektrum fotometri dalam Gambar 3 selanjutnya digambarkan dalam CIE chromatocity diagram (Gambar 5). Dalam Gambar 5, dapat dilihat titik hitam pada CIE chromatocity diagram yang menunjukkan
203
x
y
CCT
CRI 71 / Moderate
Program yang dibuat
0,354
0,418
4911 K/ Cool white
Color Calculator
0,345
0,401
5127 K
71
Selisih
0,009
0,017
216
0
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Berdasarkan Tabel 3, hasil yang didapat dari program yang dibuat dengan color calculator memiliki selisih 0,009 dan 0,017 berturut-turut untuk perhitungan koordinat xy, selisih 216 K untuk perhitungan CCT dan tidak ada selisih untuk perhitungan CRI.
6. REFERENSI 1. Schubert and E. Fred, "Light-Emitting Diodes" in Human Vision. UK; Cambridge University Press, 2003. pp.219-245. 2. R. Dangol, “Color rendering Index and color rendering of LEDs", Master thesis, Aalto University, 2011.
4. SIMPULAN Program perhitungan kualitas cahaya lampu telah berhasil dibuat. Berdasarkan pengujian diperoleh bahwa simpangan untuk perhitungan koordinat xy sebesar 0,422% – 2,455% dan simpangan untuk perhitungan CRI sebesar 5% – 10%. Untuk perhitungan CCT, simpangan yang dihasilkan kurang dari 5 K pada CCT dari 2856 K sampai 6500 K. Program yang dihasilkan dapat digunakan untuk menganalisa dan memberikan kriteria kualitas lampu secara langsung. Selain itu program dapat melakukan plotting koordinat xy hasil perhitungan pada CIE chromaticity diagram secara otomatis.
3. C. S. McCamy, Color Res. Appli. 17:142– 144 (1992) 4. Schanda and Jảnos,The Concept of Colour Rendering Revisited. Hungary: University of Veszprem. 5. CIE, CIE Technical Report (2004): Colorimetry. Publication 15:2004 (3rd ed.). CIE Central Bureau, Vienna. ISBN 3 901 906 33 9, (2004). 6. Ohno, Yoshi. Color Rendering and Luminous Efficacy of White LED Spectra. USA: National Institute of Standards and Technology. 7. C. J. Humphreys, MRS Bulletin 33, 459470, (2008).
5. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Universitas Padjadjaran atas bantuan dana untuk pelaksanaan penelitian ini.
204
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Karakterisasi Unjuk Kerja dan Pembuatan Light Sun Concentrator dan Collector sebagai Sumber Panas Mesin Stirling Tenaga Surya Farid Samsu Hananto Jurusan Fisika Fakultas Sains dan Teknologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang email: [email protected]
Abstract Matahari merupakan salah satu sumber energi terbarukan yang semakin banyak dipertimbangkan. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalis unjuk kerja mesin striling untuk mengubah tenaga matahari menjadi energi mekanik dengan memanfaatkan sun collector dan concentrator. Sinar matahari difokuskan dengan sun collector dan concentrator. Kemudian sinar terfokus ini digunakan untuk sumber panas mesin striling. Dengan memanfaatkan Light sun collector dan concentrator sebagai sumber panas pada Mesin Stirling tipe gamma telah dihasilkan mesin pengubah energi matahari menjadi energi mekanik dengan dihasilkannya putaran pada rotor. Tenaga mekanik ini dapat digunakan untuk menggerakkan generator, pompa, dan tenaga penggerak lainnya. Mesin stirling yang telah diuji menunjukkan kinerja dengan dihasilkannya RPM sebesar rata-rata 147,3 RPM dan torsi rata-rata sebesar 0,00186 Nm. Mesin ini berpotensi dalam sistem konversi energi. Kata kunci: sun collector, sun consentrator, mesin stirling.
surya tersedia dalam jumlah luar biasa banyak di seluruh dunia. Berdasarkan studi ilmiah, planet Bumi menerima energi surya 6000 kali lebih banyak daripada yang dikonsumsi oleh 6.8 milliar manusia saat ini [1]. Konservasi energi adalah penggunaan energi yang disertai usaha-usaha mencari teknologi baru dengan memanfaatkan sumber energi terbarui (misalnya sinar matahari, tenaga air dan panas bumi) dengan lebih efisien. Untuk jangka panjang, konservasi energi dapat menggunakan energi sedemikian rupa sehingga dapat menekan kerugian energi seminimal mungkin. Sedangkan untuk jangka pendek, konservasi energi dapat dilakukan melalui langkah-langkah penghematan energi maupun penggunaan energi yang terdapat di alam, misalnya panas matahari digunakan sebagai energi panas pada mesin strirling. Beberapa penelitian tentang aplikasi penelitian mengenai Mesin Stirling antara lain [2,3]. Tentang pembangkit listrik tenaga panas matahari berbasis Mesin Stirling untuk skala rumah tangga, didapatkan hasil bahwa kecepatan putaran mesin maksimal yang dapat dicapai pada suhu 86,9 oC adalah 482 rpm. Mesin Striling TD 295 jenis Gamma dengan sumber panas dari matahari [4]. Hasil penelitiannya pada putaran motor 275 rpm, suhu masukan 31,90oC dan flow rate 4,30 L/min menghasilkan daya output sebesar 569,18 watt.
1. PENDAHULUAN Pemanasan global dan perubahan iklim yang semakin tidak menentu memaksa Indonesia dan beberapa negara lain di dunia harus segera menggeser penggunaan energi fosil menjadi energi terbarukan (renewable energy) yang jauh lebih bersih dan ramah lingkungan. Sumber-sumber energi terbarukan ketersediaannya jauh lebih banyak dibanding bahan bakar fosil, belum dimanfaatkan secara optimal. Energi terbarukan seperti hydrogen, air, panas bumi, dan sebagainya masih dianggap sebagai energi alternatif, yang penggunaannya hanya mencapai lima persen. Cadangan sumber energi fosil di seluruh dunia terhitung sejak 2002 yaitu 40 tahun untuk minyak, 60 tahun untuk gas alam, dan 200 tahun untuk batu bara. Dengan semakin menipisnya sumber energi fosil tersebut, di dunia sekarang ini terjadi pergeseran dari penggunaan sumber energi tak terbahurui menuju sumber energi yang terbahurui. Dari sekian banyak sumber energi terbahurui seperti angin, biomass dan hydro power, penggunaan energi melalui solar cell/sel surya merupakan alternatif yang paling potensial, hal ini dikarenakan jumlah energi matahari yang sampai ke bumi sangat besar, sekitar 700 Megawatt setiap menitnya. Bila dikalkulasikan, jumlah ini 10.000 kali lebih besar dari total konsumsi energi dunia. Energi
205
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
malam menuntun pada keterbatasan alam, baik dari aspek waktu maupun ruang. Cahaya dan panas adalah dua perwujudan berbeda radiasi elektromagnetik. Dalam semua perwujudannya, radiasi elektromagnetik merambat di ruang angkasa dalam gelombang yang serupa dengan gelombang yang terbentuk ketika sebuah batu dilemparkan ke danau. Riak air yang terbentuk oleh batu itu dapat memiliki ketinggian yang berbeda, dan jarak antar puncak riak mungkin bervariasi pula. Demikian juga radiasi elektromagnetik, dapat memiliki panjang gelombang yang berbeda. Namun, analogi ini sebaiknya tidak diambil terlalu jauh karena ada perbedaan yang sangat besar dalam panjang gelombang radiasi elektromagnetik. Beberapa di antaranya memiliki panjang beberapa kilometer sedangkan lainnya lebih pendek dari sepermiliar sentimeter, dan panjang gelombang lain dapat ditemukan pada spektrum kontinu dan tanpa tersela di antara kedua angka ini. Untuk mempermudah, para ilmuwan membagi spektrum ini berdasarkan panjang gelombang, dan mereka memberi nama berbeda bagi setiap bagian. Misalnya, radiasi dengan panjang gelombang terpendek (10-9 cm) disebut "sinar Gamma"; sinar Gamma memiliki energi yang sangat besar. Panjang gelombang terpanjang disebut "gelombang radio"; gelombang ini panjangnya mencapai beberapa kilometer namun membawa energi sangat kecil (karena kandungan energi ini, gelombang radio sama sekali tidak berbahaya bagi manusia, sementara terpapar sinar Gamma bisa berakibat fatal). Cahaya adalah sebuah bentuk radiasi elektromagnetik yang terletak di antara kedua ekstrem panjang gelombang tersebut [6]. Mesin Striling pertama kali ditemukan oleh Robert Stirling dari Skotlandia pada tahun 1816 (belum dinamakan Mesin Striling). Pada awal 1884, nama Mesin Striling disarankan oleh Fleeming Jenkin, dengan hanya berlandaskan bahwa semua mesin itu harus dinamakan berdasarkan penemunya. Mesin Stirling beroperasi melalui penggunaan sumber panas eksternal dan heat stink eksternal, masing-masing dijaga agar memiliki perbedaan temperature yang cukup besar. Proses peredaran termodinamika dikenal dua jenis proses yaitu [7]: Proses irreversible adalah proses termodinamik yang berlangsung secara alami
2. KAJIAN LITERATUR Bintang-bintang memancarkan energinya dalam bentuk sinar, selama bintang tersebut ada, bintang memancarkan sinar dan mengisi seluruh ruang dan sebagai akibatnya, seluruh langit akan menjadi terang benderang. Artinya manusia di bumi hanya bisa merasakan atau berada pada waktu siang tanpa malam hari meski bumi berputar pada porosnya dan sebagian permukaannya membelakangi matahari [5]. Suatu bintang yang memancarkan sejumlah J paket kuantum cahaya atau foton persatuan waktu, cahaya ini memancar ke segala arah dan ruang pada jarak R dari sumber paket cahaya terdistribusi pada permukaan bola (dengan radius R) seluas 4πR2. Karena itu jumlah paket cahaya persatuan waktu persatuan luas sejauh R dari bintang adalah J/4πR2. Misalkan jari-jari bumi r maka bumi mempunyai penampang lintang seluas πr2 (dipandang sebagai lingkaran dengan jari-jari r), dan jika jarak antara bumi dan bintang adalah R, maka jumlah foton yang sampai pada permukaan bumi persatuan waktu adalah [5]: (1) Matahari ada dalam keadaan menyimpan sejumlah besar energi di dalam volume yang kecil. Energi ini dipancarkan dan menghangatkan alam semesta sampai akhirnya mencapai keadaan setimbang dengan seluruh ruangan yang tetap dingin. Menurut perhitungan para ahli astrofisika, seandainya energi seluruh bintang dijagat raya ini dipancarkan seluruhnya maka energi tersebut masih belum mampu untuk membuat alam semesta ini hangat atau terang benderang. Pergantian malam dan siang mengisyaratkan adanya paket-paket dari kondisi tidak seimbang di alam semesta. Kehidupan bergantung pada keberadaan paketpaket ini. Sulit dibayangkan jika bumi berada posisi Saturnus atau Neptunus. Alam semesta sedang mengalami perubahan karena alam tidak dapat selalu mempunyai keadaan seperti ini dalam langit atau ruang dalam skala luas yang masih gelap. Jika alam semesta senantiasa berubah dan bahkan pernah lahir, maka alam semesta pasti juga akan berakhir atau mati. Singkat kata, fenomena siang dan
206
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
seluruhnya. Proses tersebut berlangsung secara spontan dalam satu arah tapi tidak pada arah sebaliknya. Contoh kalor berpindah dari benda bersuhu tinggi ke benda bersuhu rendah. Preses Reversibel adalah proses termodinamik yang dapat berlangsung secara bolak-balik. Sebuah system yang mengalami idealisasi, proses reversibel selalu mendekati keadaan kesetimbangan termodinamik antara sitem itu sendiri dengan lingkungannya. Proses reversibel merupakan proses seperti keseimbangan (quasi equilibrium process). Siklus stirling menggunakan generator diperlihatkan pada diagram p-v dan T-s pada gambar 2.6. Siklus tersebut terdiri dari empat proses yang reversibel secara internal: kompresi sotermal dari kondisi 1 sampai kondisi 2 pada temperatur Tc, pemanasan pada volum dari kondisi 2 sampai kondisi 3, ekspansi isotermal dari kondisi 3 sampai kondisi 4 pada temperatur TH, pendinginan pada volume konstan dari kondisi 4 menuju kondisi 1 untuk melengkapi siklus ini. Regenerator yang memiliki nilai keefektifan 100% mengijinkan kalor yang terbuang selama proses yang 4-1 untuk digunakan sebagai masukan kalor di dalam proses 2-3. Oleh sebab itu, proses penambahan kalor secara eksternal ke dalam fluida kerja terjadi di dalam proses isotermal 1-2. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa nilai efisiensi termal pada stirling diberikan melalui persamaan yang sama seperti yang digunakan pada siklus Carnot maupun ericsson.
dalam fluida kerja dari produk hasil pembakaran yang dijaga terpisah. Mesin ini merupakan mesin pembakaran luar [8]. 3. METODE PENELITIAN Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Mesin Stirling tipe Beta, collector dengan desain parabola, concentrator berupa lensa air, generator, stopwatch, thermometer, wattmeter, dan beberapa alat pendukung lain yang tersedia di bengkel elektronika dan mekanika. Pada penelitian ini akan dilakukan desain rangkaian alat sekaligus desain penelitian yang dapat digambarkan sebagaimana gambar berikut:
GAMBAR 2. Desain Rangkaian Alat
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Spesifikasi Mesin Striling: Diameter Hot air Chamber Diameter Cold air Chamber Panjang Cold air Chamber Diameter piston Stroke Jari jari flying wheel
100 mm 100 mm 20 mm 17 mm 5 mm 45 mm
Dari data spesifikasi mesin stirling dapat dihitung volume dari mesin stirling yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut: GAMBAR 1. Siklus Stirling
Volume = ¼ (diameter piston)2 x stroke = ¼ (17)2 x 5 = 226.98 mm2 ( 2.27 cc)
Mesin Stirling menawarkan peluangpeluang untuk mencapai efisiensi tinggi bersama dengan penguranan emisi dari produk hasil pembakaran, karena pembakaan terjadi secara eksternal dan bukan di dalam silinder seperti pada motor pembakaran dalam. Di dalam mesin Stirling, energi dipindahkan ke
Unjuk Kerja mesin Stirling beta yang digunakan dalam penelitian ini menghasilkan nilai suhu dan putaran mesin seperti terlihat pada Tabel 1 berikut:
207
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
TABEL 1. Data Suhu Silinder dingin dan Panas terhadap Putaran Mesin T1 (OC)
T2 (OC)
T (OC)
59
34
25
3.17
58
35
23
2.77
58
36
22
2.59
57
36
21
2.32
56
37
19
2.08
55
37
18
1.80
f (Hz)
T1 adalah suhu silinder (ruang) panas sedangkan T2 adalah suhu silinder (ruang) dingin. Mesin stirling bekerja berdasarkan perbedaan suhu kedua ruang ini. Ruang panas membuat fluida dalam ruang berekspansi dan mendorong piston sehingga menghasilkan tenaga putar, displacer ikut bergerak mendesak udara dingin ke ruang panas sehingga suhu menurun lagi. Akibat suhu turun maka fluida dalam ruang akan menyusut dan membuat piston tertarik lagi. Karena ada sumber panas dari luar maka udara ini kembali panas dan siklus akan berjalan terus.
GAMBAR 3. Grafik Hubungan Selisih Suhu terhadap Frekuensi Mesin
Secara umum fungsi hubungan antara selisih suhu dengan frekuensi putaran mesin berbanding lurus dengan konstanta kesebandingan sebesar 0,1902 yang artinya untuk setiap kenaikan suhu 1 derajat akan menaikkan frekuensi sebear 0,1902 Herts atau setara dengan 11,4 rpm. Pengukuran Torsi
Perubahan volume fluida (udara) dalam ruang menyebabkan naik turunnya piston sehingga menghasilkan tenaga reciprocal (bolak-balik) yang kemudian diubah menjadi gerakan memutar dengan bantuan roda gila (flying wheell). Tenaga yang dihasilkan oleh mesin ini tergantung pada diameter piston yang dipakai, namun diameter piston dan jarak langkah (stroke) harus disesuaikan dengan ruang silinder panas yang dipakai. Dalam penelitian ini digunakan volume ruang panas berupa silinder dengan diameter 8 cm dan tinggi 1 cm. Sedangkan silinder untuk piston tenaga digunakan diameter tabung 1 cm dan langkah stroke sebesar 1 cm.
Data Pengukuran Torsi untuk titik titik utama mesin stirling adalah sebagai berikut: Torsi TMB = 0.00172 Nm Torsi TMA = 0.00215 Nm Torsi antara TMB dan TMA = 0.00172 Nm 5. KESIMPULAN Dengan memanfaatkan Light sun collector dan concentrator sebagai sumber panas pada Mesin Stirling beta telah dihasilkan mesin pengubah tenaga matahari menjadi tenaga mekanik dengan dihasilkannya putaran pada rotor. Tenaga mekanik ini dapat digunakan untuk menggerakkan generator, pompa, dan tenaga penggerak lainnya.
Dari data didapatkan bahwa semakin besar selisih suhu ruang panas dan dingin maka putara mesin akan semakin tinggi. Seperti terlihat pada Gambar 3.
Mesin stirling yang telah diuji menunjukkan kinerja yang cukup baik yang ditunjukkan dengan dihasilkannya rpm sebesar rata-rata 147,3 rpm dan torsi rata-rata sebesar 0,00186 Nm. Mesin ini berpotensi dalam sistem konversi energi.
208
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
indonesia.html, (Diakses November 2015).
6. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Jurusan Fisika Fakultas Sains dan Teknologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang yang telah memfasilitasi penelitian ini.
pada
23
4. Rizki, Ahda, “Unjuk Kerja Stirling Engine Type Gamma 40cc terhadap Variasi Tekanan”, Universitas Jember, Jember, 2013.
7. REFERENSI
5. Purwanto, Agus, Ayat-ayat Bandung: Penebit Mizan, 2008.
1. Shields, Craig, “Renewable Energy Facts and Fantasies”, Clean Energy Press, ISBN 0615388353, United States of America, 2010.
Semesta,
6. http://www.harunyahya.com, (Diakses tgl 2 Agustus 2016). 7. Cronenberg G., “The Stirling Engine”, Uppsala Univeristy, Swedia, 2005.
2. Famdi Alphan Muhakiqi, “Perancangan stirling engine”, Program Studi Teknik Mesin, Universitas Indonesia, Jakarta, 2003.
8. Michel J. Moran and Howard N. Shapiro, “Fundamentals of Engineering Thermodynamics”, Iowa State University of Science & Technology, 2003.
3. http://www.esdm.go.id/news-archives/56artikel/3347-pemanfaatan-energi-surya-di-
209
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Prototipe Stasiun Cuaca Terintegrasi Menggunakan Arduino Abdul Muid1), Andi Ihwan2) Fakultas MIPA, Universitas Tanjungpura 1 email: [email protected] 2 email: [email protected]
Abstrak Pengetahuan tentang cuaca dan iklim sangatlah penting karena sering terjadinya pergeseran awal musim, dimana fenomena pergeseran awal musim ini sangat mempengaruhi kegiatan pertanian (awal tanam dan panen). Pada penelitian ini telah dirancang sebuah prototipe stasiun cuaca yang terdiri dari pengukur curah hujan, suhu dan kelembaban udara, tekanan udara, intensitas cahaya, kecepatan dan arah angin. Sistem ini terdiri dari beberapa sensor dan terhubung dengan sebuah mikrokontroler sebagai pengolah sinyal. Pada penelitian ini digunakan mikrokontroler Atmega 328P, modul Arduino Uno R3, sensor suhu dan kelembaban SHT11, sensor intensitas cahaya BH1750, sensor curah hujan tipe tipping bucket rain gauge, sensor kecepatan dan arah angin tipe magnetic reed switches. Hasil pengujian menunjukkan bahwa alat ini dapat membaca cuaca secara real time dan hasil pengukuran tersebut ditampilkan pada layar laptop dan LCD serta tersimpan di dalam kartu memori. Ratarata error alat adalah 1,003%, 1,009% 0,956% 1,020%, 1,140%, dan 1,002% secara berturut-turut untuk curah hujan, kecepatan angin, arah angin, suhu dan kelembaban serta intensitas cahaya. Hasil pengukuran cuaca ini dapat digunakan untuk prediksi cuaca pada skala jam-jaman dan harian secara otomatis serta akan diinformasikan secara on-line melalui alamat website. Kata kunci: Stasiun Cuaca, Arduino, Sensor Abstract The knowledge about the weather and climate is important because often occur a shift in the early of the season, where the phenomenon of the early shift this season greatly affect in agricultural activities (as early planting and harvesting). In this study, a prototype has been designed the weather station which consists of measuring rainfall, temperature and humidity, air pressure, light intensity, wind speed and direction. This system consists of multiple sensors and it is connected to a microcontroller as a signal processor. In this study used microcontroller ATmega 328P, Arduino Uno R3, SHT11 temperature and humidity sensors, BH1750 light intensity sensor, rainfall sensor by type tipping bucket rain gauge, wind speed and direction sensor by type a magnetic reed switch. The test results show that this tool can be read the weather in real time and the measurement results can displayed on a computer/laptop screen, LCD and recorded in the memory card. The average error tool is 1,003%, 1,009% 0,956% 1,020%, 140%, and 1,002% for rainfall, wind speed and direction, temperature and humidity, and light intensity. The results of this weather measurements can be used for estimation the weather in a scale of hourly or daily automatically and will be shared by on line on the website. Keywords: Weather Station, Arduino, Sensors
mengakibatkan mutu hasil pertanian yang diperoleh kurang memuaskan bahkan dapat mengakibatkan gagal panen. Pengetahuan yang memadai dalam mempelajari karakteriktik iklim dan perilaku cuaca sangat dibutuhkan saat ini. Salah satu caranya adalah dengan menganalisis dan mengintrepetasi data iklim dan cuaca yang ada. Karena keadaan iklim dan cuaca selalu berubah maka analisis keduanya harus secara kompeherensif dan berkelanjutan, untuk itu diperlukan rekaman data
1. PENDAHULUAN Masalah utama iklim dan cuaca pada saat ini adalah fluktuasi data-data cuaca yang sangat tinggi sehingga pola cuaca, terutama curah hujan, tidak tetap lagi sehingga awal musim sering berubahubah. Hal ini berdampak pada berbagai sektor yang bergantung pada cuaca dan iklim seperti sektor pertanian. Bergesernya awal musim akan mempengaruhi jadwal tanam dan panen pada tanaman-tanaman musiman. Kondisi ini
210
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
keadaan atmosfer (curah hujan, suhu udara, kelembaban udara dan unsur lainnya) di suatu tempat yang komprehensif dan akurat. Kebutuhan terhadap perangkat yang dapat merekam data cuaca sangat penting dan mendesak. Oleh karena itu perlu adanya penelitian untuk merancang dan membuat alat ukur dan perekam data cuaca seperti curah hujan, suhu dan kelembaban, tekanan, intensitas cahaya, kecepatan dan arah angin yang terintegrasi dalam satu sistem dalam bentuk stasiun cuaca.
dasarnya perilaku atmosfer di wilayah khatulistiwa sulit untuk diprediksi [2]. b. Mikrokontroler Mikrokontoler adalah sebuah sistem komputer yang seluruh atau sebagian besar elemennya dikemas dalam satu keping IC (Integrated Circuit) yang mempunyai satu atau beberapa tugas yang sangat spesifik. Mikrokontroler menjadi salah satu pilihan untuk memenuhi kebutuhan alat kontrol yang fleksibel dan portabel serta dapat diprogram ulang (programmable). Dalam perkembangannya, mikrokontroler telah mengambil peran penting dalam dunia elektronika terutama dalam aplikasi elektronika [3]. Untuk memenuhi semua tugasnya, mikrokontroler dilengkapi dengan berbagai fasilitas pendukung yang semuanya berada dalam satu chip. Fasilitas tersebut antara lain adalah serial port, paralel port, timer, counter, dan memori (RAM dan ROM). Beberapa jenis mikrokontroler juga dilengkapi dengan pengubah sinyal analog menjadi data digital (Analog to Digital Converter) [4]. Pada tahun 2005 dikembangkan pengendali mikro single board yang bersifat open source yang diberi nama Arduino. Hardwarenya meiliki prosesor Atmel AVR dan softwarenya memiliki bahasa pemograman sendiri yang sintaxnya mirip dengan bahasa pemograman C. Arduino menggunakan keluarga mikrokontroler ATMega [5].
2. KAJIAN LITERATUR a. Cuaca dan Iklim di Indonesia Secara garis besar pola curah hujan di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga bagian yang pertama pola curah hujan monsun dengan distribusi curah hujan bulanan berbentuk “V”. Daerah yang mempunyai curah hujan jenis monsun sangat luas, sebagian besar melingkupi wilayah di Indonesia. Kedua Pola curah hujan ekuator dengan distribusi curah hujan bulanan mempunyai dua maksimum. Tempat di daerah ekuator seperti Pontianak dan Padang mempunyai pola curah hujan jenis ekuator. Kemudian yang ketiga adalah pola curah hujan lokal dengan distribusi curah hujan bulanannya kebalikan dari jenis monsun. Pola curah hujan jenis lokal lebih banyak dipengaruhi oleh sifat lokal misalnya interaksi antar pulau pulau kecil. Daerah yang mempunyai jenis lokal sangat sedikit, misalnya daerah Ambon [1]. Intensitas hujan yang tinggi, biasanya saling mempengaruhi terhadap kecepatan angin. Intensitas curah hujan yang cukup tinggi ini, terutama dipengaruhi oleh daearahnya yang berhutan tropis yang lebat dan disertai dengan kelembaban udara yang tinggi. Intensitas hujan yang tinggi biasanya saling mempengaruhi terhadap kecepatan angin. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Ihwan (2014) menunjukkan bahwa wilayah khatulistiwa (Kota Pontianak) memiliki karakteristik yang unik dan berbeda dibandingkan dengan wilayah lintang tinggi, yakni ditandai dengan konveksi kuat dan instabilitas yang merupakan penghasil awan dan hujan yang besar. Dinamika atmosfer di wilayah ini bersifat nonlinear, tidak setimbang, dan tidak adiabatik, yang berbeda dengan wilayah lintang tinggi. Pada
GAMBAR 1. Perangkat Keras Arduino
211
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
kalibrasinya telah diprogramkan ke dalam OTP memori. Sensor SHT11 ini bekerja dengan sumber tegangan 5 Volt dan komunikasi bidirectonal 2wire. Sistem sensor ini mempunyai 1 jalur data yang digunakan untuk perintah pengalamatan dan pembacaan data. Pengambilan data untuk masingmasing pengukuran dilakukan dengan memberikan perintah pengalamatan oleh mikrokontroler. Kaki serial Data yang terhubung dengan mikrokontroler memberikan perintah pengalamatan pada pin Data SHT11 “00000101” untuk mengukur kelembaban relatif dan “00000011” untuk pengukuran temperatur. SHT11 memberikan keluaran data kelembaban dan temperatur pada pin Data secara bergantian sesuai dengan clock yang diberikan mikrokontroler agar sensor dapat bekerja [6].
c. Penakar Hujan Penakar curah hujan (juga disebut sebagai Udometer atau Pluviometer) adalah tipe instrument yang digunakan oleh meteorologi dan hidrologi untuk mendapatkan dan mengukur jumlah curah hujan pada periode tertentu. Salah satu penakar hujan adalah jenis tipping bucket. Seperti halnya penakar hujan lainnya, tipping bucket bertujuan untuk mendapatkan jumlah curah hujan yang jatuh pada periode dan waktu tertentu. Penakar hujan tipping bucket ini adalah penakar hujan semi elektrolit dan otomatis. Artinya bahwa pengukuran hujan dilakukan oleh alat melalui pias yang bergerak secara grafik setiap curah hujan yang terukur. Jadi setiap akhir pengamatan kita akan langsung mendapatkan data curah hujan. Salah satu desain penakar hujan tipe tipping bucket seperti terlihat pada gambar 2.
GAMBAR 3. Modul sensor suhu dan kelembaban SHT11 (Sumber : www.fahmizaleeits.wordpress.com)
e. Sensor Intensitas Cahaya Modul BH1750FVI adalah sebuah chip digital sensor cahaya. IC ini sangat cocok untuk menentukan tingkat kecerahan cahaya lingkungan dan disesuaikan dengan LCD. Sensor ini memungkinkan untuk mendeteksi jangkauan yang besar dengan resolusi tinggi (1 sampai 65535 lux).
GAMBAR 2. Tipping bucket (Sumber: www.d1gsvnjtkwr6dd. cloudfront.net)
d. Sensor Suhu dan Kelembaban Sistem sensor yang dapat digunakan untuk mengukur suhu dan kelembaban adalah SHT11. SHT11 adalah sebuah single chip sensor suhu dan kelembaban relatif dengan multi modul sensor yang outputnya telah dikalibrasi secara digital. Dibagian dalamnya terdapat polimer sebagai eleman untuk sensor kelembaban relatif dan sebuah pita regangan yang digunakan sebagai sensor temperatur. Sensor ini mengahasilkan sinyal keluaran yang baik dengan waktu respon yang cepat. SHT11 ini dikalibrasi pada ruangan dengan kelembaban yang teliti menggunakan hygrometer sebagai referensinya. Koefisien
GAMBAR 4. Sensor Cahaya BH1750FVI (Sumber: www.aliexpress.com)
212
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Sensor ini merupakan modul dengan 16 bit ADC built-in yang output langsung sinyal digital, Sensor ini lebih akurat dan lebih mudah untuk menggunakanna, dari pada menggunakan versi foto dioda, atau LDR sederhana yang outputnya tegangan dan perlu dihitung untuk mendapatkan data intensitas. Sensor BH1750FVI ini dapat langsung mengukur intensitas cahaya dengan keluaran luxmeter (lx), tanpa perlu untuk membuat perhitungan [7].
Perancangan sistem ini meliputi bagian mekanik, rangkaian elektronika dan pemograman (software) seperti terlihat pada gambar 5. a. Bagian Mekanik Bagian mekanik merupakan salah satu bagian yang digunakan untuk membantu sensor dalam membaca parameter cuaca. Sistem mekanik ini meliputi bentuk dan desain baling-baling, tipping bucket, dan sirip arah angin. Bagian ini sangat memperhatikan ukuran dan material penyusunnya. b. Rangkaian Elektronik Rangkaian elektronik merupakan sistem utama alat ukur cuaca ini. Sistem elektronik digunakan untuk membaca, mengolah dan mengeluarkan data cuaca di lapangan. Sistem elektronik meliputi rangkaian pengendali utama (main controller) yaitu mikrokontroler, rangkaian sensor, dan juga rangkaian LCD dan kartu memori. c. Pemograman (Software) Pemograman atau perangkat lunak yang digunakan yaitu Arduino IDE, digunakan dalam menulis kode program atau instruksi pada mikrokontroler.
3. METODE PENELITIAN Perancangan alat terdiri dari bagian mekanik, rangkaian elektronik dan pemograman (software). Sebagai input terdiri dari sensor suhu dan kelembaban udara, kecepatan dan arah angin, intensitas cahaya, curah hujan serta tekanan udara. Perangkat output merupakan perangkat yang digunakan untuk menampilkan hasil pengukuran dan juga sebagai jalur komunikasi untuk transmisi data, terdiri dari LCD, kartu memori dan computer/laptop. Perangkat input dan output diintegrasikan dan dikendalikan oleh sebuah perangkat pengendali utama yaitu Arduino. Bagian Mekanik
Rangkaian Elektronik
Skema perancangan alat secara keseluruhan dapat dilihat seperti pada gambar 6. Semua perangkat elektronik dikemas dalam satu wadah yang dapat melindungi komponen listrik dari panas dan hujan sehingga dapat bertahan lama.
Pemrograman (Software)
GAMBAR 5. Diagram Blok Perancangan Alat
GAMBAR 6. Skema Hubungan antara perangkat untuk membuat stasiun cuaca
213
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
4. HASIL DAN PEMBAHASAN a. Pengukuran Curah Hujan Untuk mengukur curah hujan digunakan penakar hujan tipe tiping bucket. Bagian corong berbentuk kotak dengan diameter bagian bawah semakin mengecil seperti terlihat pada Gambar 7. Wadah ini menampung air hujan kemudian keluar secara menetes dan masuk pada bagian penakar seperti terlihat pada Gambar 8. Bagian penakar akan terisi air hingga penuh kemudian terjungkit ke bawah karena berat air tersebut. Air kemudian tumpah dari penakar dan mengalir ke bagian pembuangan. Terdapat dua bagian penakar yang akan terisi secara bergantian. Bagian penakar yang kosong kemudian akan terisi kembali oleh air hingga penuh dan terjungkit dan demikian seterusnya.
GAMBAR 9. Hasil pengujian sensor curah hujan.
Hasil pengujian terhadap sensor pengukur curah hujan diperoleh grafik seperti terlihat pada Gambar 9. Dari hasil pengujian menunjukkan bahwa alat pengukur curah hujan yang dibuat memilki error rata-rata sebesar 1,003% dibandingkan dengan perhitungan curah hujan secara manual. b. Pengukur Kecepatan dan Arah Angin Alat ukur kecepatan angin (anemometer) terdiri dari baling-baling dan sensor kecepatan. Baling-baling berupa sudu berbentuk setengah lingkaran sebanyak tiga buah disusun secara diagonal menyilang seperti ditunjukkan pada Gambar 10. Baling-baling ini terbuat dari bahan yang ringan sehingga sensitif terhadap gerak angin yang kecil sekalipun. Balingbaling berputar ketika ada hembusan angin.
GAMBAR 7. Sensor curah hujan tipe Tipping Bucket (tampak bagian luar)
GAMBAR 8. Sensor curah hujan tipe Tipping Bucket (tampak bagian dalam)
GAMBAR 10. Baling-Baling Pengukur Kecepatan Angin
214
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Sumbu pada sirip terhubung dengan rangkaian resistor yang terdiri dari beberapa resistor yang dirangkai secara parallel seperti ditunjukkan pada gambar 13 sehingga berfungsi sebagai pembagi tegangan. Tegangan keluaran dari rangkaian ini akan berbeda-beda mengikuti posisi dari sirip penunjuk arah angin. Hasil pengujian terhadap sensor arah angin diperoleh data seperti terlihat pada gambar 14. Dari hasil pengujian menunjukkan bahwa alat pengukur arah angin yang dibuat memiliki eror rata-rata 0,956% dibandingkan dengan perhitungan secara manual.
GAMBAR 11. Hasil pengujian sensor kecepatan angin
Hasil pengujian kecepatan angin diperoleh data seperti terlihat pada Gambar 11. Dari hasil pengujian menunjukkan bahwa alat pengukur kecepatan angin yang dibuat memiliki eror rata-rata 1,009% dibandingkan dengan cara perhitungan manual. Untuk mengetahui arah angin, dibuat perangkat yang berbentuk sirip seperti ditunjukkan pada Gambar 12. Alat ukur arah angin terdiri dari sirip dan rangkaian resistor. Sirip berupa pelat berbentuk pipih sehingga dapat bergerak mengikuti arah angin.
GAMBAR 14. Hasil Pengujian Sensor Arah Angin
c. Pengukuran Suhu dan Kelembaban Hasil pengujian pada pengukuran suhu dan kelembaban dapat dilihat pada gambar 15 dan gambar 16. Pengujian dilakukan dengan membandingkan alat yang dibuat dengan alat ukur suhu dan kelembaban yang standar yaitu menggunakan alat ukur digital dengan merk DEKKO. Hasil pengujian menunjukkan bahwa alat pengukur suhu yang dibuat memiliki eror ratarata 1,020% dan 1,140% untuk kelembaban dibandingkan dengan alat standar.
GAMBAR 12. Sensor Pengukur Arah Angin
GAMBAR 13. Rangkaian Resistor Sensor Arah Angin
215
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
GAMBAR 15. Hasil pengujian sensor suhu
GAMBAR 17. Hasil pengujian sensor intensitas cahaya
e. Pengujian Alat Secara Keseluruhan Proses pengujian alat secara keseluruhan dilakukan setelah semua sensor diintegrasikan dengan modul Arduino. Pengujian dilakukan di luar ruangan seperti terlihat pada gambar 18. Parameter cuaca yang diukur adalah suhu, kelembaban udara, intensitas cahaya, tekanan udara, kecepatan dan arah angin serta curah hujan. Hasil pengujian alat secara keseluruhan dapat dilihat seperti pada gambar 18. Hasil pengukuran dari sensor ditampilkan pada layar laptop dan juga LCD serta disimpan pada kartu memori. Alat ini mampu menampilkan hasil pengukuran secara real time karena menggunakan Real Time Clock (RTC) sehingga waktunya selalu sesuai dengan waktu kejadian.
GAMBAR 16. Hasil pengujian sensor kelembaban
d. Pengukuran Intensitas Cahaya Hasil pengujian alat pada pengukuran intensitas cahaya dapat dilihat pada grafik seperti pada gambar 17. Pengujian dilakukan dengan membandingkan alat yang dibuat dengan alat ukur yang standar yaitu menggunakan alat ukur intensitas cahaya Light Meter merk Lutron tipe LX-105. Hasil pengujian menunjukkan bahwa alat pengukur intensitas cahaya yang dibuat memiliki eror rata-rata 1,002% dibandingkan dengan alat standar.
GAMBAR 18. Pengujian alat di luar ruangan
216
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
1. Prototipe stasiun cuaca yang dapat mengukur curah hujan, kecepatan angin, arah angin, intensitas cahaya, suhu udara, kelembaban udara, dan tekanan udara dapat dibuat menggunakan Arduino. 2. Hasil pengukuran dapat ditampilkan pada layar laptop, LCD dan dapat disimpan di dalam kartu memori. 3. Rata-rata error alat adalah 1,003%, 1,009% 0,956% 1,020%, 1,140%, dan 1,002% secara berturut-turut untuk curah hujan, kecepatan angin, arah angin, suhu dan kelembaban serta intensitas cahaya. 6. UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terimakasih yang sebesarbesarnya kami sampaikan kepada Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat, Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (KEMENRISTEKDIKTI) yang telah membiayai penelitian ini.
GAMBAR 19. Tampilan Hasil pengukuran pada layar laptop.
Alat ini dilengkapi dengan LCD, kartu memori dan RTC dimana bagian-bagian dari alat ini dapat dibongkar-pasang dengan mudah seperti ditunjukkan pada gambar 20. Daya listrik yang dibutuhkan dapat menggunakan baterai 5 volt atau power bank sehingga bersifat portable sehingga mudah dibawa kemana-mana dan mudah disimpan Alat ini dapat digunakan di daerah yang jauh dari sumber listrik seperti di pantai dan pegunungan.
7. DAFTAR PUSTAKA 1. Bayong, Tj, Klimatologi, Bandung: ITB Press, 2004. 2. Ihwan A., Baihaki dan Jumarang I., ”Kajian Karakteristik Angin Di Kota Pontianak”, Jurnal Aplikasi Fisika, Universitas Halu Oleo, Kendari, Sulawesi Tenggara, Vol. 5, No. 2, 116 – 124, (2009). 3. Budiharto, Widodo, Aneka Proyek Mikrokontroler, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011. 4. Datasheet Atmel, Microcontroller with 4/8/16/32 KBytes In-System Programmable Flash, Atmel Corporation, USA, 2009. (Diakses pada www.atmel.com tanggal 2 September 2015). 5. www.Arduino.or.id, (Diakses pada tanggal 4 Agustus 2015).
GAMBAR 20. Bagian dari alat yang dapat dibongkarpasang
5. KESIMPULAN
6. Datasheet SHT11, 2010. (Diakses pada https://fahmizaleeits.wordpress.com tanggal 3 september 2015).
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan:
7. Datasheet BH1750, 2014. (Diakses dari http://www.aliexpress.com/item/NewDigital Light-Intensity-Sensor-Module).
217
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Pengukuran Regangan dan Suhu Secara Simultan Menggunakan Sensor Berbasis Serat Optik Struktur SMS dan OTDR Arifin Jurusan Fisika FMIPA Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10, Makassar 90245 email: [email protected]
Abstrak Seiring dengan perkembangan teknologi instrumentasi, maka kebutuhan akan sensor yang dapat mengukur beberapa variabel secara simultan sangat diperlukan. Oleh karena itu, pada makalah ini akan dilaporkan hasil penelitian tentang sensor berbasis serat optik struktur SMS untuk pengukuran regangan dan suhu secara simultan menggunakan optical time domain reflectometer (OTDR). Sensor berbasis serat optik struktur SMS dibuat dengan menyambungkan kedua ujung serat optik moda jamak dengan serat optik moda tunggal. Kedua sensor disambungkan dengan OTDR untuk memantau perubahan rugi daya akibat regangan dan suhu yang terjadi pada serat optik moda jamak. Jika terjadi perubahan regangan atau suhu, maka pada sensor serat optik moda jamak akan mengalami perubahan panjang dan kelengkungan yang dapat mengakibatkan perubahan rugi daya yang dapat diukur pada OTDR. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin besar regangan dan suhu pada serat optik moda jamak panjang 100,00 mm, maka semakin kecil rugi daya yang yang terukur pada OTDR. Sebaliknya, semakin besar regangan dan suhu pada serat optik moda jamak panjang 140,25 mm, maka semakin besar pula rugi daya yang terukur pada OTDR. Adapun kelebihan dari sensor regangan dan suhu secara simultan ini adalah menawarkan desain yang lebih sederhana, fabrikasi yang mudah, biaya murah, teknik pengukuran sederhana serta memiliki resolusi dan sensitivitas yang tinggi. Kata kunci: Serat optik, Struktur SMS, OTDR, sensor regangan dan suhu.
regangan berbasis sensor serat struktur SMS dilaporkan oleh Hatta dkk. [6]. Untuk aplikasi pemantauan kondisi bangunan menggunakan sensor regangan terdistribusi berbasis serat optik, telah dilakukan oleh Murayama [7]. Beberapa penelitian tetang pengukuran suhu menggunakan serat optik telah dilaporkan pula oleh Hatta dkk. [8] di antaranya adalah serat struktur SMS untuk pengukuran suhu berbasis sistem interogasi intensitas sederhana, selanjutnya penelitian tentang analisis ketergantungan suhu untuk sistem pengukuran panjang gelombang ratiometrik menggunakan serat struktur SMS berbasis filter tepi oleh Hatta dkk. [9]. Pada penelitian berikutnya tentang serat struktur SMS melengkung untuk pengukuran suhu oleh Wu [10], sensor suhu berbasis serat optik efek multimode interferensi yang dilaporkan oleh Soto [11] dan serat struktur SMS untuk pengukuran suhu menggunakan OTDR yang juga dilakukan oleh Hatta dkk. [12]. Penelitian lain melaporkan bahwa sensor regangan dan suhu dapat menggunakan struktur SMS yang dilaporkan oleh Kumar dkk. [13], sensitivity regangan dan suhu pada modatunggal serat optik plastik yang dilakukan oleh Lopez [14]. Penelitian selanjutnya tentang sensor regangan dan suhu terdistribusi dalam
1. PENDAHULUAN Teknologi sensor pada beberapa tahun terakhir ini sudah sangat maju, begitupula dengan pemanfaatan sensor berbasis serat optik berkembang dengan cepat. Sensor berbasis serat optik telah banyak diteliti dan dikembangkan karena memiliki keunggulan dibanding dengan sensor konvensional. Keunggulan sensor berbasis serat optik antara lain adalah ukuran kecil, ringan, sensitivitas tinggi, frekuensinya lebar, mudah dioperasikan, dapat digunakan untuk pengukuran jarak jauh, tidak terpengaruh oleh interferensi medan magnet dan medan listrik yang dinyatakan oleh Lee [1]. Berbagai macam sensor serat optik yang dapat mengukur berbagai macam parameter fisika dan kimia diantaranya adalah dapat digunakan untuk mendeteksi dan mengukur regangan, pergeseran, getaran, tekanan, retak, pH, suhu dan kelembaban yang telah dilaporkan oleh Kuang dkk. [2] dan Arifin dkk. [3]. Telah banyak dilakukan penelitian tentang pengukuran regangan dan suhu berbasis serat optik antara lain adalah pengukuran regangan besar menggunakan sensor berbasis fiber bragg grating yang dilaporkan oleh Kiesel dkk. [4] dan Feng dkk. [5]. Sedangkan pengukuran
218
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
serat optik plastik menggunakan hamburan Rayleigh yang dilaporkan oleh Kreger [15]. Selanjtnya penelitian tentang karakteristik tegangan tarik dan suhu terhadap FBG dalam serat optik polimer oleh Yuan [16]. Beberapa penelitian juga telah melakukan pengukuran regangan dan suhu secara simultan, di antaranya adalah menggunakan serat optik berbasis rangkap resonansi kisi perioda panjang yang diteliti oleh Tripathi [17]. Penggunaan sensor suhu dan regangan secara simultan dengan teknik ujung tunggal berbasis Brillion OTDR yang dilaporkan oleh Weng [18] dan penginderaan secara simultan regangan dan suhu untuk sensor serat optik juga dilakukan oleh Sangeetha [19]. Pada makalah ini akan dilaporkan hasil penelitian tentang pengukuran regangan dan suhu secara simultan berbasis serat optik struktur SMS dengan menggunakan OTDR. Sensor regangan dan suhu berbasis serat optik struktur SMS ini menggunakan teknik pengukuran yang sederhana, fabrikasi yang mudah dan biaya murah dengan menggunakan teknik pengukuran intensitas. Kebaruan penelitian ini adalah penggunaan sensor serat optik struktur SMS dengan serat moda-tunggal indeks tangga dan serat moda-jamak indeks tanjak yang digunakan secara bersamaan. Pengukuran rugi daya pada serat struktur SMS menggunakan sistem interogasi Optical Time Domain Reflectometer untuk pengukuran regangan dan suhu secara simultan.
berbasis serat optik silika dengan struktur singlemode-multimode-singlemode (SMS). Sensor menggunakan dua macam serat optik yaitu moda-tunggal indeks tangga dengan tipe SMF-28 (ITU-T rekomendasi G.655) dan moda-jamak indeks tanjak dengan tipe GIF50C (ITU-T rekomendasi G.651). Sensor regangan dan suhu struktur SMS masing-masing dibuat dengan cara menyambungkan kedua ujung serat optik moda-jamak indeks tanjak dengan serat optik moda-tunggal indeks tangga dengan menggunakan fusion splicer. Fabrikasi sensor regangan dan suhu dibuat menggunakan serat optik moda-jamak indeks tanjak dengan ukuran panjang yang sama yaitu 100,00 mm dan 140,25 mm. Pemotongan sensor serat optik moda-jamak indeks tanjak dilakukan dengan presisi dan rapi untuk menghindari ketidak sejajaran (misaligment) pada sambungan. Sensor regangan dan suhu yang terbuat dari serat optik moda-jamak indeks tanjak disambungkan dengan serat optik moda-tunggal indeks tangga sehingga membentuk rangkaian seri. Pada salah satu ujung serat optik modatunggal (SMF) dihubungkan dengan OTDR dan ujung lainnya dibiarkan terbuka, seperti ditampilkan pada Gambar 1. Sensor regangan dipasang pada alat microdisplacement dan plat tetap untuk memberikan efek perubahan regangan pada sensor. Sedangkan pada sensor suhu diletakkan pada ruang pemanas untuk memberikan efek perubahan suhu. Pengujian sensor regangan dan suhu dilakukan secara simultan dan menggunakan panjang sensor yang sama dengan mengukur perubahan rugi daya yang terbaca pada OTDR.
2. METODE PENELITIAN Pada penelitian pengukuran regangan dan suhu secara simultan menggunakan sensor
GAMBAR 1. Pengukuran regangan dan suhu secara simultan menggunakan sensor struktur SMS
Pengukuran regangan dan suhu secara simultan dilakukan menggunakan Agilent Mini OTDR E6000C dengan panjang gelombang operasional 1310 nm yang disambungkan pada salah satu ujung serat muda-tunggal. Cahaya laser dari OTDR dipancarkan masuk ke dalam serat optik moda-
tunggal indeks tangga dan diteruskan ke serat optik moda-jamak indeks tanjak. Perubahan regangan dan suhu pada ke serat optik modajamak indeks tanjak mengakibatkan perubahan rugi daya pada sensor regangan dan suhu yang sebanding dengan perubahan ruga daya yang terbaca pada OTDR.
219
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Perubahan respon logaritmik yang terjadi pada OTDR akibat adanya perubahan rugi daya pada serat optik berstruktur SMS yang sebanding dengan perubahan regangan dan suhu yang terjadi pada sensor tersebut, seperti ditampilkan pada Gambar 2. Perubahan respon yang terjadi pada OTDR adalah non-reflective event berupa penurunan daya dengan slope tertentu. Besarnya rugi daya tersebut dibatasi dengan menggunakan metode penandaan (marking), dimana penandaan A dan penandaan B merupakan daerah tempat penyambungan serat optik moda-jamak indeks tanjak. Penandaan A terletak pada panjang serat optik moda-tunggal yaitu pada jarak 561 m dan penandaan B terletak pada jarak 601 m. Sehingga jarak antara kedua penandaan adalah 40 m dimana pada daerah ini terletak sensor regangan yaitu serat optik moda-jamak indeks tanjak yang akan diukur perubahan rugi dayanya. Begitupula dengan perubahan rugi daya pada sensor suhu yang diletakkan pada posisi sebelah kanan sensor regangan.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Proses pengambilan data pada sensor regangan dan suhu berbasis serat optik struktur SMS dilakukan dengan cara mengatur perubahan regangan dan suhu pada sensor. Perubahan regangan mulai dari 0 sampai 2 mɛ yang diterapkan pada sensor regangan, dan perubahan suhu mulai dari 25C sampai dengan 75C yang diterapkan pada pada sensor suhu. Data perubahan rugi daya pada setiap perubahan regangan dan suhu pada sensor dibaca pada layar OTDR. Keunggulan menggunakan OTDR pada pengukuran regangan dan suhu ini karena memiliki display visual berupa respon logaritmik yang merepresentasikan daya yang terdistribusi di setiap titik. Sehingga analisa pengaruh perubahan regangan dan suhu terhadap serat optik berstruktur SMS dapat dilihat melalui respon perubahan rugi daya secara simultan.
SMS-1 SMS-2
GAMBAR 2. Hasil Pengukuran respon logaritmik pada OTDR
Jika pada sensor diterapkan perubahan regangan dan suhu, maka perubahan rugi daya pada serat struktur SMS dapat terbaca pada OTDR. Setiap terjadi perubahan regangan dan suhu, maka rugi daya serat optik berstruktur
SMS berubah dibandingkan dengan sebelum terjadi perubahan regangan dan suhu. Hasil pengujian sensor regangan dan suhu berbasis serat struktur SMS secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 3 berikut.
220
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
GAMBAR 3. Perubahan rugi daya terhadap regangan
Grafik pada Gambar 3 menunjukkan bahwa perubahan regangan pada sensor serat optik struktur SMS mengakibatkan perubahan rugi daya yang terbaca pada OTDR. Pada grafik menunjukkan bahwa pada panjang sensor 100,00 mm, semakin besar regangan
pada sensor maka semakin kecil rugi daya yang terbaca pada OTDR. Sebaliknya pada panjang sensor 140,25 mm, semakin besar regangan yang diterapkkan pada sensor maka semakin besar rugi dayanya.
GAMBAR 4. Perubahan rugi daya terhadap perubahan suhu
Pada sensor suhu dengan panjang serat moda-jamak indeks tanjak 100,00 mm, semakin besar suhu pada sensor maka semakin kecil rugi dayanya. Sebaliknya pada panjang serat moda-jamak indeks tanjak 140,25 mm, semakin besar suhu maka semakin besar rugi daya yang
dihasilkan. Perubahan rugi daya pada sensor sangat bergantung pada panjang serat modajamak indeks tanjak yang digunakan. Hal ini terjadi karena jarak self-imaging berubah secara periodik pada jarak tertentu sesuai dengan spesifikasi bagian serat moda-jamak indeks
221
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
tanjak yang digunakan pada struktur SMS. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa titik re-imaging terletak pada jarak 0,572 mm dan kelipatannya terbentuk intensitas cahaya maksimum. Sedangkan pada jarak 0,286 mm dan kelipatannya, terbentuk intensitas cahaya minimum. Sehingga pada jarak 0 sampai 0,286 mm serta kelipatannya adalah posisi yang menjauhi titik re-imaging, rugi daya pada serat moda-jamak indeks tanjak semakin besar. Sebaliknya, pada jarak antara 0,286 sampai 0,572 mm serta kelipatannya adalah posisi mendekati titik re-imaging yaitu rugi daya pada serat moda-jamak indeks tanjak semakin kecil. Analisa data hasil pengukuran dapat dihitung karakteristik sensor yaitu range, sensitivitas dan resolusinya. Range pengukuran dapat dihitung menggunakan persamaan. 𝛥 = 𝑑𝐵𝑚𝑎𝑥 − 𝑑𝐵𝑚𝑖𝑛
𝑆=
(2)
ɛ𝑚𝑎𝑥 −ɛ𝑚𝑖𝑛
dimana ɛmax adalah regangan maksimum, dan ɛmin adalah regangan minimum Atau sensitivitas sensor suhu juga dapat dihitung menggunakan persamaan: 𝑆=
𝑑𝐵𝑚𝑎𝑥 −𝑑𝐵𝑚𝑖𝑛
(3)
𝑇𝑚𝑎𝑥 −𝑇𝑚𝑖𝑛
dimana Tmax adalah suhu maksimum dan Tmin adalah suhu minimum. Sedangkan resolusi didefinisikan sebagai nilai terkecil yang dapat dideteksi oleh alat ukur. Resolusi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan: 𝑅=
𝑁
(4)
𝑆
dimana N adalah skala terkecil yang dapat dideteksi oleh alat ukur OTDR dan S adalah sensitivitas. Setelah menganalisa data dengan menggunakan persamaan sebelumnya, maka sensitivitas dan resolusi dari masing-masing panjang sensor dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.
(1)
dimana dBmax adalah rugi daya maksimum dan
dBmin adalah rugi daya minimum. Sensitivitas sensor regangan dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:
No.
𝑑𝐵𝑚𝑎𝑥 −𝑑𝐵𝑚𝑖𝑛
TABEL 1. Karakteristik sensor regangan berbasis serat optik struktur SMS Panjang Sensor Range Rugi Daya Sensitivitas Resolusi (mm)
(dB)
(dB/mɛ)
(μɛ)
1
100,00
0,471
0,236
4,246
2
140,25
0,666
0,466
2,145
No.
TABEL 2. Karakteristik sensor suhu berbasis serat optik struktur SMS Panjang Sensor Range Rugi Daya Sensitivitas Resolusi (mm)
(dB)
(dB/°C)
(°C)
1
100,00
1,240
0,025
0,040
2
140,25
0,818
0,016
0,061
Pada Tabel 1 terlihat bahwa karakteristik sensor regangan pada panjang serat moda jamak 140,25 mm lebih baik dibandingkan dengan 100,00 mm. Hal ini menunjukkan bahwa range dan sensitivitas sensor pada panjang 140,25 mm lebih tinggi serta resolusi lebih kecil dibandingkan dengan panjang serat moda jamak 100,00 mm yaitu 1,240 dB, 0,466 dB/mɛ dan 2,145 μɛ. Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa pada sensor suhu berbasis serat optik struktur SMS dengan panjang serat moda-jamak 100,00 mm memiliki range dan sensitivitas yang lebih
besar dibandingkan dengan panjang sensor 140,25 mm serta resolusi sensor lebih kecil. Hal ini berarti bahwa sensor pada pengukuran suhu, karakteristik sensor pada panjang serat moda-jamak 100,00 mm lebih baik dibandingkan dengan serat 140,25 mm. Hasil penelitian secara eksperimen menunjukkan bahwa perubahan regangan dan suhu pada sensor serat optik berstruktur SMS sebanding dengan perubahan rugi daya yang terukur pada OTDR. Hasil ini sesuai dengan yang diperoleh penelitian sebelumnya yang melakukan pengukuran secara terpisah yaitu
222
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
sensor berbasis serat optik struktur SMS untuk pengukuran regangan menggunakan OTDR oleh Hatta dkk. (2013a) dan untuk pengukuran temperatur yang juga dilakukan oleh Hatta dkk. (2013b). Hasil penelitian pengukuran regangan dan suhu secara simultan berbasis serat struktur SMS menggunakan OTDR diperoleh nilai range, sensitivitas dan resolusi pada sensor regangan pada panjang sensor 140,25 mm lebih baik dibandingkan dengan panjang sensor 100,00 mm. Sedangkan pada sensor suhu diperoleh bahwa karakteristik sensor pada panjang sensor 100,00 mm lebih baik dibandingkan dengan sensor 140,25 mm. Sehingga dengan menggunakan sensor serat optik berstruktur SMS dengan panjang tertentu dapat digunakan sebagai sensor untuk pengukuran regangan dan suhu secara simultan yang dapat diterapkan pada sistem pemantauan kesehatan struktur.
4.
5.
6.
7.
4. KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan regangan dan suhu pada sensor sebanding dengan perubahan rugi dayanya. Semakin besar regangan dan suhu pada serat optik moda jamak dengan panjang 100,00 mm, maka semakin kecil rugi daya yang terukur pada OTDR. Sebaliknya, semakin besar regangan dan suhu pada serat optik modajamak dengan panjang 140,25 mm, maka semakin besar pula rugi daya yang terukur pada OTDR. Hasil pengukuran sensitivitas dan resolusi sensor regangan yang terbaik adalah 0,466 dB/mɛ dan 2,145 μɛ, sedangkan pada sensor suhu adalah 0,016 dB/°C dan 0,061 °C.
8.
9.
10. 5. REFERENSI 1.
2.
3.
Lee, B., “Review of the present status of optical fiber sensors”, Optical Fiber Technology, vol. 9, no. 2, pp. 57–79 (Apr. 2003). Kuang, K. S. C., Quek, S. T., Koh, C. G., Cantwell, W. J. and Scully, P. J., “Plastic Optical Fibre Sensors for Structural Health Monitoring: A Review of Recent Progress”, Journal of Sensors, vol. 2009, (Oct. 2009). Arifin, A., Hatta, A. M., Sekartedjo, Muntini, M. S., and Rubiyanto, A., “Long Range Displacement Sensor Based on SMS Fiber Structure and OTDR”,
11.
12.
13.
223
Photonic Sensor, vol. 5, no. 2, pp. 166-171 (2015a). Kiesel, S., Peters, K., Hassan T., and Kowalsky M., “Behaviour of Intrinsic Polymer Optical Fibre Sensor for LargeStrain Applications”, Measurement Science and Technology, vol. 18, pp. 3144-3154 (2007). Feng, A., Chen, D., Li, C., and Gu, X., “Flat-Cladding Fiber Bragg Grating Sensors for Large Strain Amplitude Fatigue Tests”, Sensors, vol. 10, pp. 76747680 (2010). Hatta, A. M., Permana, H. E., Setijono, H., Kusumawardhani, A., and Sekartedjo, “Strain Measurement Based on SMS Fiber Structure Sensor and OTDR”, Microwave and Optical Technology Letters, vol. 55, no. 11, pp. 2576-2578 (2013a). Murayama, H., Wada, D., and Igawa, H., “Structural Health Monitoring by Using Fiber-Optic Distributed Strain Sensors with High Spatial Resolution”, Photonics Sensors, vol. 2, no.4, pp. 355-376 (2013). Hatta, A. M., Rajan, G., Semenova, Y., and Farrel, G., “SMS Fiber Structur for Temperature Measurement Using A Simple Intensity-Based Interrogation System”, Electronics Letters, vol. 45, pp. 1069-1071 (2009). Hatta, A. M., Semenova, Y., Rajan, G., Wang, P., Zheng, J., and Farrel, G., “Analysis of Temperature Dependence for A Ratiometric Wavelength Measurement System Using SMS Fiber Structure-Based Edge Filters”, Optics Communications, vol, 283, pp. 1291-1295 (2010). Wu, Q., Semenova Y., Hatta, A. M., Wang, P., and Farrell, G., “Bent SMS Fiber Structure for Temperature Measurement”, Electronics Letters, vol. 46, pp. 1-5 (2010). Soto, J. G. A., Lopez, J. E. A., Mondragon, J. J. S., and Arriojo, D. A. M., “Fiber Optic Temperature Sensor Based on Multimode Interference Effects”, Journal of Physics: Conference Series 274, pp.1-4 (2011). Hatta, A. M., Indriawati, K. Bestariyan, T., Humada, T., and Sekartedjo, “SMS Fiber Structure for Temperature Measurement Using OTDR”, Photonic Sensors, vol. 3, no. 3, pp. 262-266 (2013b). Kumar, A., Marin, E., Meunier, J. P., Antony, C. S., and Varshney, R. K., “A
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Simple and Novel Fiber Optic Temperature/Strain Sensor Using SMS Structure”, International Conference on Fiber Optics and Photonics, pp.1-6 (2004). 14. Lopez, M. S., Fender, A., MacPherson, W. N., Barton, J. S., and Jones, J. D. C., “Strain and Temperature Sensitivity of A Single-Mode Polymer Optical Fiber”, Optics Letters, vol. 30, no. 23, pp. 31293131 (2005). 15. Kreger, S. T., Sang, A. K., Gifford, D. K., and Froggatt, M. E., “Distributed Strain and temperature Sensing in Plastic Optical Fiber using Rayleigh Scatter”, Proc. of SPIE, vol. 7316, pp. 73160A 1-8 (2009). 16. Yuan, W., Stefani, A., Andresen, S., and Bang, O., “Tensile Strain and Temperature Characterization of FBGs in Preannealed Polymer Optical Fibers”, Opto Electronics and Communications Conference (OECC)
Technical Digest, Sapporo Convention Center, Japan, pp. 810-811 (2010). 17. Tripathi, S. M., Verma, D. S., Bock, W. J., and Mikulic, P., “Simultaneous, inherently temperature and strain insensitive bio sensors based on duel-resonance longperiod gratings”, (2015), *[email protected]; phone +91-512-259-6871; fax 91 512 2590914. 18. Weng, Yi, Ip, E., Pan, Z., and Wang, T., “Single-end simultaneous temperature and strain sensing techniques based on Brillouin optical time domain reflectometry in few-mode fibers”, Optics Express, vol, 23, no. 7, pp. 1-16 (2015). 19. Sangeetha, N., Kakkar, M., and Tiwari, N., “Simultaneous sensing of strain and temperature for fiber optic sensors”, International Journal of Engineering Research and General Science, vol. 3, no. 3, pp. 79-88 (2015).
224
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Analisis Kualitatif Batuan Beku Gunung Batur dengan Plasma Laser Hery Suyanto Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Udayana Jl. Kampus Bukit Jimbaran, Badung Bali email: [email protected] [email protected]
Abstrak Telah dilakukan penelitian tentang analisis unsur-unsur yang terkandung dalam batuan beku hasil letusan Gunung Batur Bali. Analisis dilakukan dengan memfokuskan laser Nd-YAG (1064 nm, 7 ns) energi 120 mJ pada permukaan batu dan menghasilkan plasma yang berisikan elektron-elektron, atom-atom netral, ion-ion, molekulmolekul dan atom-atom tereksitasi. Elektron-elektron dalam atom-atom tereksitasi kembali ke keadaan dasar sambil mengemisikan photon dengan panjang gelombang tertentu sesuai jenis atomnya. Setelah 0,5 µs, photon ditangkap spektrometer HR 2500+ yang kemudian ditampilkan sebagai intensitas fungsi panjang gelombang yang menyatakan konsentrasi dan jenis unsurnya. Penelitian dilakukan pada dua kondisi yaitu dilingkungan udara dan gas He. Hasil menunjukkan bahwa batuan beku mengandung unsur-unsur utama diantaranya Si, Ti, Al, Fe, Mg, H, O, Ca, Na dan K yang homogen hingga kedalaman sekitar 48 µm. Penggunaan gas He dilingkungan sampel menyebabkan signal latar turun sebesar 13 % , signal intensitas emisi meningkat sebesar 23 % dan nilai full width at half maximum (FWHM) menyempit dari 2,08 nm menjadi 0,42 nm dibandingkan dilingkungan udara. Batu beku Gunung Batur tergolong keras berdasarkan berbandingan intensitas atom Ca ion dan netral adalah 1,12. Kata kunci: Batuan beku, plasma laser, analisis kualitatif, Gunung Batur, Gas He
Abstract The aim of this research is to identify the main elements contained in igneous stone from Batur mountainBali. The stone was analyzed by LIBS method. When a 120 mJ- fundamental Nd-YAG laser was focused on stone surface, small amount of stone ablated with high speed and adiabatic compression take placed with surrounding air that produced plasma. Plasma contains electrons, ions, molecules, neutral and ion atoms as well as excited atoms. Emission radiation produced by excited atoms in this plasma, captured by HR 2500+ spectrometer after delay time detection of 0.5 µs and plotted in intensity as function of wavelength. Data show that the stone contains some main elements such as Si, Ti, Al, Fe, Mg, H, O, Ca, Na and K that homogenous till to about 48 µm. Application of helium gas as surrounding gas enhanced emission intensities and reduced background signal were to about 23 % and 13 % respectively compare to surrounding air gas, as well as the full width at half maximum (FWHM) sharped from 2.08 nm to 0.42 nm. Besides, based on emission intensity ratio of ion Ca atom to its neutral (Ca II/Ca I = 1.12), the stone is categorized as hard. Keywords: igneous stone, laser plasma, qualitative analysis, Batur Mountain, He Gas
perubahan suhu dan tekanan yang sangat tinggi [3].
1. PENDAHULUAN Batuan merupakan benda padat yang mana dapat diklasifikasikan dalam tiga jenis yaitu sedimen, metamorf, dan batuan beku. Penggolongan ini didasarkan pada proses pembentukannya, struktur, tekstur dan kandungan mineral dalam batu [1,2]. Batuan sedimen terbentuk dari suatu endapan sedimen yang mengalami tekanan oleh bahan tertentu, batuan beku merupakan batuan yang terbentuk dari magma cair hasil letusan gunung berapi yang membeku, sedangkan batuan metamorf adalah batuan beku atau batuan sedimen yang mengalami perubahan bentuk karena
Magma merupakan cairan silikat kental yang pijar dengan suhu sekitar 2000 0C dan bersifat dapat bergerak serta berada pada kerak bumi bagian bawah. Dalam magma tersebut terdapat beberapa bahan yang larut, bersifat volatile (air, CO2, chlorine, fluorine, iron, sulphur, dan lain-lain) yang menyebabkan magma dapat bergerak, dan non-volatile (Silicon, aluminum, calcium dan lain-lain) yang merupakan pembentuk mineral yang lazim dijumpai dalam batuan beku [4]. Berdasarkan proses pembentukan dan kandungan batuan
225
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
beku ini, maka pada penelitian ini mengalisis secara kualitatif unsur-unsur yang terkandung dalam batuan beku hasil letusan Gunung Batur Bangli – Bali. Analisis mencakup jumlah unsur penyu sun batu beku, homogenitas dan kekerasan berdasarkan perbandingan intensitas unsur kalsium ion dan netral yang ada dalam batu tersebut. Semua penelitian ini menggunakan metode laser-induced breakdown spectroscopy (LIBS).
ditunjukkan pada gambar 1. LIBS terdiri dari laser Nd-YAG (model CFR 200, 7 ns, 1064 nm, 200 mJ), spektrometer HR 2500+ (14,336 CCD pixels, resolusi 0.1 nm, spectra range 200 – 980 nm), tempat sampel dan komputer beserta software AddLIBS. Laser dioperasikan pada mode Q-switch, frekuensi 5 Hz dengan energi120 mJ difokuskan pada permukaan sampel batu akan menghasilkan plasma. Emisi foton dari atom-atom dalam plasma ditangkap oleh spectrometer dengan akumulasi 3, waktu tunda deteksi 0,5 μs yang kemudian ditampilkan sebagai spektra intensitas fungsi panjang gelombang di komputer. Intensitas berkorelasi dengan jumlah atau konsentrasi suatu atom dalam sampel sedangkan panjang gelombang menunjukkan jenis unsurnya. Eksperimen dilakukan di lingkungan udara bertekanan 1 atm dan gas He dengan kecepatan aliran 40 ml/s.
LIBS merupakan salah satu metode spektroskopi yang dapat menganalisis sampel baik secara kualitatif maupun kuantitatif dengan cepat dan akurat. Hal ini disebabkan karena menganalisis dengan LIBS hampir tidak membutuhkan preparasi sampel, sekali analisis memperoleh semua unsur dengan konsentrasi hingga dibawah 10 ppm. Prinsip kerja LIBS, laser difokuskan pada permukaan sampel dan sebagian kecil sampel (˞ 0.01 mg) terablasikan menjadi partikel-partikel bergerak dengan kecepatan tinggi dan terjadi kompresi adiabatik dengan lingkungan menyebabkan terbentuknya gelombang kejut (shock wave) [5,6]. Energi dari gelombang ini diabsorpsi oleh electronelektron dalam atom untuk pindah ke level energi yang lebih tinggi. Dalam waktu sangat singkat elektro-elektron tersebut kembali ke keadaan dasar (ground state) dengan mengemisikan foton dengan panjang gelombang sesuai jenis atomnya. Selanjutnya foton ditangkap oleh spektrometer dan ditampilkan pada spektra intensitas fungsi panjang gelombang yang masing-masing menyataan konsentrasi dan jenis unsur yang dikandung dalam batu.
Mirror
Nd-YAG laser
LIBS 2500+ + spectrometer
Lens A bundle
computer of fiber optic
Plasma Sampel Cu
Gas He GAMBAR 1. Setup Eksperimen [8]
Untuk mengalisis homogenitas unsur-unsur yang terkandung dalam bahan hingga kedalaman tertentu melalui metode depth profile. Pada metode ini laser difokuskan pada suatu titik tetap yang kemudian dilakukan pengambilan data dengan akumulasi 3 sebanyak 6 kali pengulangan.
2. METODE PENELITIAN 2.1. Bahan Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah batu beku yang berasal dari Gunung Batur- Bangli- Bali. Batu dibersihkan dengan air demineralisasi dan kemudian dikeringkan di terik matahari bersuhu sekitar 40 0C selama 4 jam. Kemudian Batu dipotong berukuran 3 x 2 x 1 cm sebagai sampel.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambar 2 merupakan foto potongan batu beku Gunung Batur yang mana terlihat permukaan batu tidak rata dan seolah-olah kumpulan dari batu-batu kecil. Keadaan tekstur semacam itu dapat terjadi apabila lava hasil letusan Gunung Batur diperkirakan membeku dengan sangat lambat, sehingga akan terbentuk batuan dengan ukuran kristal yang agak besar – besar.
2.2. Metode Penelitian Laser-induced Breakdown spectroscopy (LIBS) merupakan salah satu metode analisis bahan baik secara kualitatif dan kuantitatif secara cepat dan akurat [7]. Susunan peralatan LIBS yang digunakan pada penelitian ini 226
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
O I 777.19 nm
Na I 588,99 Si II 518.53 nm
Ti I 453,32 nm
Ca I 422.67 nm
Fe I 438,35 nm
Al I 396.14 nm Ca II 396.85 nm
Mg I 279.08 nm
sampel : Batu beku G. Batu energi laser : 120 mJ akumulasi : 3 lingkungan gas : udara 1 atm
K I 766.49 nm K I 769.90 nm
Untuk mengetahui elemen-elemen yang terkandungan pada batu beku Gunung Batur, maka dianalisis dengan LIBS dengan energi
H I 656.2 nm
GAMBAR 2. Foto batu betu Gunung Batur Bangli-Bali
Na I 589.59
laser 120 mJ, akumulasi 3, waktu tunggu deteksi 0,5 µs dilingkungan udara 1 atm yang hasil spektranya seperti pada gambar 3. Gambar 3, menunjukkan spectra intensitas emissi suatu atom fungsi panjang gelombang yang mana masing-masing menyatakan konsentrasi dan jenis atomnya. Berdasarkan data yang ada pada gambar 3, bahwa batu beku tersebut mengandung sepuluh unsur kimia yang dominan, yaitu Silika (Si) , Aluminium (Al), Kalsium (Ca), Besi (Fe), Natrium (Na), Hidrogen (H), Oksigen (O), Titanium (Ti) , Magmesium (Mg) , dan Kalium (K). Dalam penelitian ini tidak menghitung besarnya kadar atau konsentrasi dari masing-masing elemen yang terkandung dalam batu beku tersebut.
GAMBAR 3. Spektra dari batu betu Gunung Batur dianalisis dengan LIBS
Untuk memastikan bahwa elemen-elemen tersebut merupakan penyusun utama batu beku dan bukan merupakan elemen impuritas selama proses pembekuan di permukaan bumi, maka dilakukan analisis elemen fungsi kedalaman yang sering disebut depth profile analysis dan hasilnya ditunjukkan pada gambar 4 [9].
dianalisis setiap tiga kali irradiasi laser sampai 18 irradiasi laser pada tempat yang sama. Spektra menampilkan nilai intesitas yang hampir sama dari irradiasi laser pertama hingga ke 18. Ini menunjukkan bahwa elemen-elemen tersebut merupakan unsur utama penyusun batu beku dan bukan elemen impuritas. Untuk melihat intensitas fungsi kedalaman, maka dianalisis unsur Ca dan hasilnya seperti pada gambar 5.
Gambar 4 adalah spektra batu beku pada daerah panjang gelombang 375 - 485 nm, yang
227
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
500
intensitas emisi, a.u
1000
Ti I 453,32 nm
Fe I 438,35 nm
Ca I 422,67 nm
Ca II 396,85 nm
Al I 396.14 nm
1500
3
la
irr ad
12
ia si
9
se
rk
e
6
15
375
400
425
450
475
Panjang gelombang, nm
GAMBAR 4. Spectra batu beku fungsi kedalaman (depth profile) pada daerah panjang gelombang 375–485 nm dianalisis dengan LIBS
900
Intensitas emisi, cacah
800 700
sampel : Batu beku G. Batu energi laser : 120 mJ akumulasi : 3 lingkungan gas : udara 1 atm waktu tunggu deteksi: 0,5 µs
600 500
Ratio rata-rata = Ca II/Ca I = 1,12
400 Ca I 422.55 nm --> y = -7.5714x + 806.44
300
Ca II 396.57 nm --> y = -4.5683x + 861.58
200
Linear (Ca I 422.55 nm)
100
Linear (Ca II 396.57 nm)
0 0
3
6
9 12 irradiasi laser ke
15
18
21
GAMBAR 5. Intensitas emisi atom Ca fungsi kedalaman
Berdasarkan data pada gambar 5, bahwa intensitas emissi baik atom calcium netral (Ca I) maupun ion (Ca II) menurun dengan gradient masing-masing adalah -7,57 dan -4,56. Kemiringan ini bila dikonversikan ke sudut adalah kurang dari satu derajat yang mana dapat diasumsikan bahwa atom Ca mempunyai intensitas yang sama atau homogen dari permukaan batu hingga irradiasi ke 18 (atau sekitar 48 µm). Untuk mengetahui kekerasan batu beku ini, maka perlu dibandingkan nilai intensitas emisi atom Ca antara ion dan netral yang mana diperoleh nilai sebesar 1,12. Nilai ini menunjukan bahwa batu beku mempunyai kekerasan yang cukup tinggi [10].
Untuk meningkatkan kualitas signal intensitas emisi, maka dilakukan eksperimen di lingkungan gas He dengan kecepatan aliran 40 ml/s dan hasilnya ditampilkan pada gambar 6. Spektra pada gambar 6 menunjukkan bahwa intensitas emisi semua elemen meningkat ratarata sekitar 23 % dan signal latarnya menurun rata-rata sebesar 13 %. Khusus untuk atom hidrogen bahwa intensitas di lingkungan udara tampak lebih tinggi dibandingkan di lingkungan gas He. Ini disebabkan karena intensitasnya merupakan akumulasi dengan intensitas hidrogen yang berasal dari udara disekitar sampel. Akan tetapi, penggunaan gas He menyebabkan nilai full width at half
228
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
maximum (FWHM) dari atom hidrogen menyempit dari 2,08 nm menjadi 0,42 nm. Keadaan ini sangat baik untuk analisis kualitatif
yang mana dapat memisahkan dua garis emisi yang sangat berdekatan.
700
H I 656.2 nm
intensitas emisi, cacah
900
500
300
di Gas He di Udara
100 600
620
640 panjang gelombang, nm
660
680
GAMBAR 6. Spektra batu beku pada daerah panjang gelombang 600 – 680 nm di lingkungan udara dan gas He dianalisis dengan LIBS
4. Turner dan Verhoogen, dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Batuan_beku (Diakses 20 Mei 2016).
4. KESIMPULAN 1. Batu beku Gunung Batur Bangli-Bali mengandung unsur-unsur utama yaitu Silika (Si) , Aluminium (Al), Kalsium (Ca), Besi (Fe), Natrium (Na), Hidrogen (H), Oksigen (O), Titanium (Ti), Magmesium (Mg) , dan Kalium (K)
5. Koo H. Kurniawan, T. Kobayashi and K. Kagawa, “The Effect of Different Atmospheres on the Excitation Process of TEA CO2 Laser Induced Shock Wave Plasma”, Appl. Spectrosc., 46, 4, pp. 581586 (1992). 6. H. Kurniawan, M. O. Tjia, M. Barmawi, S. Yokoi, Y. Kimura and K. Kagawa, “A time-resolved spectroscopic study on the shock wave plasma induced by the bombardment of a TEA CO2 laser”, Journal of Physics D: Applied Physics, Vol. 28, No. 5, (1994).
2. Konsentrasi 10 elemen yang dikandung dalam batu beku Gunung Batur adalah homogen hingga kedalaman sekitar 48 µm dengan kekerasan yang cukup tinggi berdasarkan perbandingan intensitas atom kalsium ion terhadap netralnya (CaII / Ca I =1,12) 3. Penggunaan lingkungan gas He dibandingkan udara akan meningkatkan intensitas emisi dari masing-masing unsur rata-rata sebesar 23 % , menurunkan signal latar sebesar 13 % serta menyempitkan full width at half maximum (FWHM) dari 2,08 nm menjadi 0,42 nm.
7. David A. Cremers and Leon J. Radziemski, Handbook of Laser-Induced Breakdown Spectroscopy, John Wiley & Sons, Ltd., 2006. 8. Hery Suyanto, Prosiding Seminar Fisika Nasional (SFN XXVIII), Kendari, (23-25 November 2015).
5. REFERENSI
9. Hery Suyanto, “Identifikasi Unsur Utama Penyusun Permukaan Bahan Baja Ringan dengan Laser-Induced Breakdown Spectroscopy (LIBS)”, Jurnal Energy dan Manufaktur, vol. 6, no. 2, pp. 151-156 (Oktober 2013).
1. Walter T. Huang, Petrology, New York: McGraw-Hill, 1962. 2. https://id.wikipedia.org/wiki/Batu (Diakses 15 Mei 2016). 3. Blatt, Harvey and Robert J. Tracy, Petrology, W.H.Freeman, 2nd ed., 1996.
229
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
the Emission IntensityRatio Between Ca(II) 396.8 nm and Ca(I) 422.6 nm in a Nd:YAG Laser-Induced Plasma”, Applied spectroscopy, Vol. 60, No. 1, (2006).
10. Kenichiro
Tsuyuki, Satoru Miura, Nasrullah Idris, Koo Hendrik Kurniawan, Tjung Jie Lie, and Kiichiro Kagawa, “Measurement of Concrete Strength Using
230
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Sistem Pengukuran Frekuensi Getaran Akustik Berbasis Pergeseran Mikro Menggunakan Sensor Serat Optik Harmadi1) ,*, Bayu Hadi Saputro2), Firmansyah1), Wildian1) Departemen Fisika FMIPA Universitas Andalas, Padang 25163 * email: [email protected] 2 Program Pascasarjana FMIPA Universitas Andalas, Padang 25163 1
Abstrak Sistem Pengukuran frekuensi getaran akustik berbasis pergeseran mikro telah dilakukan. Sistem menggunakan sensor serat optik terdiri dari pemancar cahaya berupa LD merah (λ=650 nm), serat optik moda jamak step indek dari bahan PPMA (Polymethyl Metacrylate), rangkaian penerima berupa fotodetektor OPT 101. Mikrokontroler Arduino sebagai pemroses sinyal dan monitor PC sebagai penampil nilai frekuensi getaran akustik. Pergeseran mikro diukur dengan menggunakan metode sensor serat optik ekstrinsik. Pengukuran pergeseran mikro yang dapat dipakai adalah berada pada jarak 1 mm sampai 2 mm. Berdasarkan hasil pengujian, memperlihatkan sistem dapat mengukur frekuensi getaran akustik dari rentang pengukuran 1 Hz hingga 30 Hz. Kata kunci: Pengukuran, frekuensi getaran akustik, pergeseran mikro, serat optik
sebagai awal untuk mengukur frekuensi. Metode yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti tersebut merupakan penelitian awal bagaimana menentukan frekuensi getaran dari sebuah obyek. Serat optik merupakan sebuah media transmisi gelombang elektromagnetik yang terbuat dari bahan kaca atau plastik. Prinsip kerja dari serat optik yakni menggunakan prinsip pemantulan sempurna (total internal reflection) dengan memanfaatkan perbedaaan indeks bias antara lapisan core dan claddingnya [4].
1. PENDAHULUAN Berbagai macam instrumen dan metode telah dikembangkan untuk pengamatan getaran. Pengukuran yang banyak dilakukan bersifat kontak langsung. Pengukuran secara kontak banyak menimbulkan kelemahankelemahan. Lingkungan yang bersuhu tinggi, posisi obyek yang sulit dijangkau dan kondisi tak ideal lainnya membuat metode pengukuran secara kontak langsung tidak dapat dilakukan. Pengukuran getaran menggunakan serat optik merupakan salah satu jenis penelitian yang dipakai untuk mengatasi kendala dalam melakukan pengukuran tersebut. Pergeseran mikro merupakan karakteristik awal untuk pengembangan sistem sensor serat optik [1]. Pada penelitian ini akan memanfaatkan serat optik sebagai sensor untuk pengukuran frekuensi getaran akustik. Sistem pengukuran dilakukan dengan memanfaatkan pergeseran mikro pada obyek yang bergetar.
3. METODE PENELITIAN Penelitian sistem pengukuran berbasis pergeseran mikro dengan menggunakan sensor serat optik ekstrinsik, dimana proses pengindraan terjadi diluar serat optik. Seperti yang diperlihatkan pada Gambar 1. Penelitian dilakukan di Laboratorium Elektronika dan Instrumentasi Jurusan Fisika FMIPA Universitas Andalas.
2. KAJIAN LITERATUR Getaran dapat diinterpretasikan melalui frekuensi. Pengukuran frekuensi getaran dengan menggunakan serat optik telah dikembangkan antara lain oleh Wang [2] memanfaatkan rugi daya akibat pergeseran mikro, Jafari [1] melihat efek dari posisi serat optik pada pengukuran pergeseran mikro, dan Binua [3] menggunakan pergeseran mikro
GAMBAR 1. Pergeseran mikro sensor serat optik
231
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Jenis serat optik yang digunakan adalah serat optik plastik FD 620-10 bertipe stepindex multimode dari bahan PPMA (Polymethyl Metacrylate) dengan indeks bias inti n1 = 1.44 dan indeks bias cladding n2 = 1.426. Pergeseran mikro sensor serat optik untuk pengukuran frekuensi getaran akustik menggunakan metode variasi jarak antara sumber getar dengan ujung sistem sensor. Karakterisasi sistem sensor dilakukan dengan mengukur kemampuan sistem sensor serat optik dalam mendeteksi jarak antara ujung sensor serat optik dengan membran cermin speaker yang bergetar. Perubahan jarak antara ujung sensor serat optik dan membran cermin speaker dibandingkan dengan tegangan keluaran dari fotodetektor. Pengukuran dilakukan dengan cara menggandengkan dua buah kabel serat optik yang digunakan sebagai transmitter dan receiver. Transmitter digunakan untuk mengirimkan sinyal dalam bentuk cahaya. Receiver digunakan untuk mengirimkan sinyal hasil pengindraan terhadap obyek kepada fotodetektor. Sinyal cahaya yang ditransmisikan melalui serat optik transmitter akan dipantulkan oleh sumber getaran dan ditransmisikan kembali oleh serat optik receiver kepada fotodetektor. Fotodetektor akan mengubah Intensitas cahaya yang diterimanya menjadi besaran listrik berupa tegangan analog. Tegangan analog dari fotodetektor terlebih dahulu dikondisikan dengan komparator Op-Amp sebelum diproses oleh Arduino. Susunan sistem pengukuran frekuensi getaran akustik secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 2.
ini berupa mode counter yang akan menghitung jumlah tegangan yang masuk dari sensor persatuan waktu. Data yang didapatkan dari mikrokontroler akan ditampilkan dalam bentuk nilai frekuensi pada PC. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai pergeseran mikro sensor serat optik ditampilkan dalam bentuk kurva grafik pada Gambar 3.
GAMBAR 3. Hubungan antara jarak dan tegangan yang dihasilkan pada pergeseran mikro
Berdasarkan kurva grafik pada Gambar 3 dapat dijelaskan bahwa perubahan posisi jarak pergeseran membran cermin speaker dengan ujung sensor serat optik mempengaruhi tegangan keluaran dari fotodetektor. Pada jarak 0 mm sampai 1 mm menunjukkan kecenderungan (trend) grafik meningkat, sedangkan pada jarak 2 mm sampai 15 mm menunjukkan kecenderungan grafik menurun. Nilai pergeseran mikro yang dapat dipakai adalah berada pada jarak 1 mm sampai 2 mm. Nilai tertinggi pada hasil karakterisasi sensor serat optik antara perubahan tegangan dengan jarak pergeseran adalah pada 1 mm. Jarak ini merupakan jarak ideal untuk pegukuran frekuensi. Agar pengukuran frekuensi dapat berjalan optimal, maka peneliti menetapkan jarak 1mm sebagai acuan untuk pengukuran frekuensi getaran akustik. Secara teori, perhitungan sudut NA (Numerical Aperture) yang dimiliki serat optik FD-620-10 sebesar 11,55o. Hasil ini dapat digunakan sebagai acuan untuk mengembangkan sensor serat optik untuk mengukur frekuensi getaran akustik. Nilai perubahan tegangan maksimum dan minimum dari fotodetektor akan dicacah dengan menggunakan modul counter pada mikrokontroler Arduino. Modul counter pada mikrokontroler Arduino akan menghasilkan
GAMBAR 2. Susunan sistem pengukuran frekuensi getaran akustik
Proses pengolahan informasi tegangan dari fotodetektor akan dilakukan oleh mikrokontroler yang ada pada Arduino. Proses
232
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
nilai frekuensi yang akan dikirimkan melalui antar muka USB ke PC untuk ditampilkan. Frekuensi yang terukur ditampilkan secara visual melalui program Delphi seperti ditampilkan pada Gambar 4.
5. KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sistem pengukuran frekuensi getaran akustik dapat dikembangkan dengan memanfaatkan pergeseran mikro sensor serat optik. Berdasarkan rentang pengukuran yang dilakukan mulai dari 0 mm sampai dengan 15 mm, nilai pergeseran mikro yang dapat dipakai adalah berada pada jarak 1 mm sampai 2 mm. Sensor serat optik dapat mengukur frekuensi getaran akustik pada rentang 1 Hz sampai dengan 30 Hz.
Frekuensi Terukur
GAMBAR 4. Frekuensi yang terukur dalam program Delphi
6. UCAPAN TERIMA KASIH Terimakasih kepada Kepala dan staf Laboratorium Elektronika dan Instrumentasi Jurusan Fisika FMIPA Universitas Andalas yang telah memberi fasilitas sehingga penelitian ini dapat terlaksana.
Penelitian untuk menghitung frekuensi getaran akustik dari sumber getaran (membran cermin speaker) dilakukan dengan cara memberikan variasi terhadap input frekuensi generator. Analisa hasil pengukuran secara grafik diperlihatkan pada Gambar 5.
7. REFERENSI 1. R. Jafari, H. Golnabi, “Fibre position
effects on the operation of opto-pair fibre displacement sensors”, Optics & Laser Technology (Elsevier), Vol. 43, Issue 4, pp. 814–819 (2011). 2. P. Wang, “A Fiber-Optic Voltage Sensor Based On Macrobending Structure“, Optics & Laser Technology (Elsevier), Vol. 43, Issue 5, pp. 922–925 (2011).
GAMBAR 5. Perbandingan antara frekuensi input generator dengan frekuensi yang terukur
3. S. Binua, V.P. Pillaia, N. Chandrasekaran, “Fiber Optic Displacement Sensor for the Measurement of Amplitude and Frequency of Vibration”, Optics & Laser Technology (Elsevier), Vol. 39, Issue 8, pp. 1537–1543 (2007). 4. E. Udd, Fiber Optic Sensors: An introduction for engineers and scientist, Canada: John Wiley and Sons, Inc., (1991).
Hasil pengukuran frekuensi getaran akustik menggunakan sensor serat optik memiliki kecenderungan (trend) yang sama dengan sinyal input frekuensi generator yakni ketika input frekuensi generator dinaikkan, maka hasil pengukuran frekuensi getaran akustik menggunakan sensor serat optik juga naik.
233
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Lampu LED Hemat Energi Bertenaga Surya Sebagai Alat Bantu Penangkapan Ikan pada Nelayan Arifin1), *, Bualkar Abdullah1), Syamsir Dewang1), Dahlang Tahir1), Nurhasanah1) dan Metusalach2) 1 Jurusan Fisika FMIPA Universitas Hasanuddin 2 Jurusan Perikanan FIKP Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10, Makassar 90245 * email: [email protected]
Abstrak Pengabdian masyarakat Ipteks bagi Wilayah (IbW) yang dilaksanakan oleh Universitas Hasanuddin bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Bone dengan kegiatan penyuluhan dan pelatihan pembuatan lampu LED (Light Emitting Diode) hemat energi bertenaga surya sebagai alat bantu penangkapan ikan pada nelayan. Kegiatan ini diikuti oleh masyarkat nelayan yang pelaksanaannya ditempatkan di Kelurahan Lonrae Kecamatan Tanete Riattang Timur Kabupaten Bone. Materi penyuluhan tentang pemanfaatan lampu LED hemat energi bertenaga surya sebagai alat bantu penangkapan ikan pada nelayan. Kemudian dilanjutkan dengan pelatihan pembuatan lampu LED hemat energi bertenaga surya oleh masyarakat nelayan. Pembuatan lampu nelayan menggunakan teknologi sederhana, biaya murah dan mudah dibuat sendiri oleh nelayan. Lampu nelayan menggunakan LED jenis DIP (dual-in-line package) yang memiliki jangkauan pencahayaan yang cukup jauh. Mula-mula lampu dirangkai menggunakan 3 LED masing-masing 1 Watt dan 1 resistor yang dipasang seri pada papan rangkaian PCB. Kemudian lampu LED diuji dengan menghubungkan kedua ujung rangkaian dengan sumber tegangan 12 Volt yang telah tersambung dengan kontroler pengisian aki dan panel sel surya. Jika rangkaian berhasil dipasang dengan benar, maka ketiga lampu LED dapat menyala dengan baik pada tegangan 12 Volt dengan daya maksimum 3 Watt. Selanjutnya, untuk membuat lampu LED berdaya 63 Watt, maka dibutuhkan 63 LED dan 21 resistor. Rangkaian lampu LED yang sudah diuji dapat diperbanyak dengan membuat rangkaian sebanyak 21 kali, kemudian semua ujungnya disambungkan membentuk rangkaian paralel dengan sumber tegangan 12 Volt. Lampu LED dengan daya 63 watt ini dilakukan pengukuran intensitas dan daya jangkau pencahayaan yang dihasilkan. Hasil pengujian lampu LED berdaya 63 Watt menghasilkan intensitas cahaya pada arah horizontal sebesar 52,34 Klux pada jarak 0 meter dengan daya jangkau pencahayaan sejauh 49,5 meter. Sedangkan intensitas cahaya pada arah vertikal adalah 77,60 Klux pada jarak 0 meter dengan daya jangkau pencahayaan 83,45 meter. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa lampu LED dengan daya 63 watt memiliki intensitas cahaya dan daya jangkau pencahayaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan lampu petromaks dan lampu lampu neon kompak (fluorescent ballast electronic). Kelebihan lain dari lampu LED ini adalah lampu dapat dipasang dalam box lampu kedap air yang dapat dicelup ke dalam air, sehingga intensitas cahaya yang diteruskan tidak terpantulkan oleh permukaan air. Keunggulan lain dari lampu LED ini adalah mudah dibuat, biaya murah, mudah dioperasikan dan dapat digunakan di atas permukaan air maupun di bawah permukaan air. Kata kunci: Lampu LED, sel surya, nelayan
Bone, produksi perikanan laut yang dicapai pada tahun 2013 sebesar 67.866,163 ton, potensi tambak seluas 11.475,9 ha dengan produksi sebesar 14.896,2 ton. Perikanan di Kabupaten Bone didukung dengan jumlah perahu penangkap ikan tanpa motor ukuran kecil dan sedang adalah 1.014 unit dan perahu motor tempel 491 unit dan kapal motor adalah 1.480 unit. Sehingga jumlah perahu dan kapal penangkap ikan di Kab. Bone sebanyak 2.985 unit [1]. Aspek sumber daya alam yang mendukung potensi pengembangan perikanan laut lainnya yang dimiliki Kabupaten Bone adalah wilayah Pantai Teluk Bone. Penangkapan ikan tuna, cakalang di wilayah ini cukup potensial
1. PENDAHULUAN Lokasi mitra pengabdian Ipteks bagi Wilayah (IbW) adalah Kabupaten Bone yang merupakan salah satu kabupaten yang memiliki potensi perikanan yang cukup besar di Sulawesi Selatan. Potensi perikanan yang terdiri atas panjang garis pantai sejauh 130,45 km yang terbentang dari Utara sampai ke Selatan, yaitu dari Kecamatan Cenrana sampai Kecamatan Kajuara. Berdasarkan geografisnya, Kabupaten Bone memiliki berbagai potensi sumber daya alam sehingga memberi peluang untuk dikembangkan sebagai pusat pelayanan di Kawasan Timur Indonesia. Berdasarkan data base potensi sumber daya alam Kabupaten
234
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
terutama pada puncak musim antara bulan JuliSeptember. Melalui dimensi ini kegiatan pembangunannya dapat diarahkan pada pengembangan usaha penangkapan ikan yang bernilai ekonomis tinggi khususnya ikan tuna, cakalang, layang, tongkol dan tenggiri. Jenis alat tangkap ikan semakin meningkat jumlahnya seperti halnya dengan produksi perikanan dan armada perikanan yang ada di Kabupaten Bone. Jenis alat tangkap ikan seperti payang, sero, pukat pantai, purse seine, jaring ingsan tetap, jaring klitik, bagan apung, pole and line, rawai tetap, bubu, jaring lingkar, pancing tonda, hold line, rawai hanyut, bagan tancap, rumpon dan gillnet [1]. Salah satu pusat perikanan Kabupaten Bone yang terbesar berada di Kecamatan Tanete Riattang Timur dengan luas wilayah 48,88 Km2 yang terdiri dari 8 kelurahan yaitu Tibojong, Cellu, Bajoe, Lonrae, Toro, Panyula, Waetuo, dan Pallette dengan ketinggian 0-25 meter dpl. Jumlah penduduk Kecamatan Tanete Riattang Timur tercatat sebanyak 37.381 jiwa atau 8.028 kepala keluarga. Sebagian besar wilayahnya berada di daerah pantai dengan panjang pantai 10,8 Km dan memiliki pengembangan industrialisasi kelautan dan perikanan bertempat di Pelelangan Ikan (TPI) Kelurahan Lonrae yang telah diresmikan oleh Gubernur Sulawesi Selatan pada tahun 2015 [2]. Di sebelah Timur dari Kecamatan Tanete Riattang Timur adalah Teluk Bone yang memiliki sumber daya perikanan yang cukup besar dan terdapat pelabuhan transportasi laut menuju ke Sulawesi Tenggara yaitu di Kelurahan Bajoe. Pada umumnya nelayan di Kabupaten Bone masih menggunakan lampu petromaks berbahan bakar minyak tanah atau lampu neon kompak (fluorescent ballast electronic) menggunakan sumber energi listrik yang di hasilkan dari generator set (genset) berbahan bakar bensin atau solar. Kelemahan dari lampu petromaks atau lampu neon kompak ini adalah memiliki intensitas cahaya yang rendah dan daya jangkau pencahayaan yang pendek. Hasil penelitian sebelumnya telah dilaporkan bahwa intensitas cahaya maksimum lampu petromaks adalah 15 K.lux dengan daya jangkau pencahayaan maksimum 2,45 meter pada arah horizontal. Lampu neon kompak memiliki intensitas pencahayaan pada arah horizontal 32 K.lux dengan jarak pencahayaan maksimum 35 meter. Sedangkan intensitas cahaya pada arah vertikal adalah 9 K.lux dengan jangkauan pencahayaan maksimum adalah 9 meter [3].
Selain itu biaya operasional lampu petromaks dan lampu neon kompak masih mahal, hal ini disebabkan karena harga bahan bakar minyak tanah, bensin atau solar masih sangat mahal [4]. Hasil penelitian analisis pendapatan nelayan di wilayah pesisir pantai Sulawesi Selatan, menyatakan bahwa kenaikan harga dan kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) dapat menurunkan pendapatan nelayan [5-6] Lampu bagi nelayan selain merupakan alat penerangan perahu pada malam hari juga merupakan alat untuk menarik perhatian ikan serta menjaga ikan agar tetap terkonsentrasi pada area tertentu sehingga mudah ditangkap [7]. Salah satu faktor pendukung keberhasilan penamgkapan ikan pada bagan adalah cahaya [8]. Pergerakan ikan mendekati lampu dapat disebabkan oleh tertariknya ikan pada cahaya lampu dan juga dapat disebabkan karena ikan melihat makanan di sekitar cahaya lampu. Lampu petromaks dan lampu neon kebanyakan di operasikan di atas permukaan air. Sedangkan lampu di atas permukaan kurang efektif karena terjadinya pemantulan cahaya yang di akibatkan oleh permukaan air [9]. Salah satu teknologi dalam bidang lampu yang berkembang saat ini dan mampu mendukung usaha peningkatan hasil tangkapan ikan adalah penggunaan lampu LED sebagai lampu nelayan. Lampu ini mempunyai intensitas pencahayaan dan efisiensi yang tinggi bila dibandingkan dengan lampu petromaks maupun lampu neon kompak. Bentuknya yang kecil akan memudahkan dalam perancangan untuk dapat digunakan baik di atas permukaan air maupun di bawah permukaan air. 2. METODE PENELITIAN Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai Oktober 2016 di Bengkel Elektronika dan Lab. Elektronika & Instrumentasi Jurusan Fisika FMIPA Universitas Hasanuddin. Perancangan dan pembuatan lampu LED hemat energi bertenaga surya melibatkan peneliti, teknisi dan mahasiswa yang sedang mengerjakan tugas akhir. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah panel sel surya, kontroler pengisian aki (battery), aki, lampu LED, cas (charger) aki, dan dimmer. Peralatan pendukung terdiri dari solder, timah solder, PCB, kabel, stekker listrik, jepitan kabel, jepitan aki, bor listrik. Sedangkan komponen listrik utama yang digunakan adalah LED DIP
235
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
10 mm putih daya 1 watt dan resistor 1 watt yang dirangkai pada papan PCB titik. Untuk pembuatan box lampu menggunakan bahan akrilik, resin, baut, mur, kabel kedap air, stekker listrik. Pengukuran intensitas cahaya dan daya jangkau pencahayaan dilakukan pada malam hari di Jurusan Fisika FMIPA UNHAS. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya bias hasil pengukuran yang disebabkan oleh sumber cahaya lain. Alat ukur intensitas cahaya yang digunakan adalah lux meter sedangkan jarak jangkauan cahaya menggunakan meteran. Pengukuran intensitas cahaya dimulai pada jarak 0 meter dari lampu LED sampai dengan jarak dimana intensitas cahaya menunjukkan nilai 0 lux. Pada titik ini merupakan jarak jangkauan pencahayaan maksimum dari lampu LED. Perubahan jarak pengukuran disesuaikan dengan intensitas cahaya yang terukur, dimana perubahan intensitas cahaya di dekat lampu LED sangat besar sehingga dibutuhkan selang perubahan pengukuran setiap 1 cm. Sedangkan pada jarak yang jauh dari lampu LED dimana perubahan intensitas cahaya sangat kecil, sehingga selang perubahan jarak dapat dilakukan semakin besar. Pengukuran intensitas cahaya dan jangkauan pencahayaan maksimum dilakukan pada arah horizontal dan arah vertikal serta kemiringan 450 dari arah horizontal dan vertikal. Lampu LED hemat energi bertenaga surya yang telah dibuat akan dilakukan uji coba pemakaian di perahu atau kapal nelayan. Pengujian lampu akan dilakukan di Pantai Bajoe Kecamatan Tanete Riattang Timur Kabupaten Bone yang berdekatan dengan Kelurahan Lonrae. Daerah ini dipilih karena tempat ini ramai pada malam hari dan banyak nelayan yang akan pergi melaut serta berdekatan dengan Pelabuhan Bajoe. Penggunaan lampu pada perahu atau kapal
nelayan yang dijadikan contoh untuk pemasangan lampu LED. Hasil pencahayaan lampu LED akan disosialisasikan kepada masyarakat nelayan di daerah tersebut untuk meyakinkan mereka mengenai keunggulan lampu LED baik dari segi intensitas cahaya dan daya jangkau pencahayaan yang dihasilkan maupun dari segi biaya pembuatan dan pemakaian lampu. Kegiatan utama pengabdian masyarakat Ipteks bagi Wilayah ini adalah mengadakan penyuluhan dan pelatihan pembuatan lampu nelayan di Aula Kelurahan Lonrae Kecamatan Tanete Riattang Timur Kabupaten Bone. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil perancangan dan pembuatan lampu LED hemat energi bertenaga surya diperoleh lampu dengan daya maksimum 63 watt. Model PCB tempat pemasangan rangkaian lampu berbentuk segi empat memanjang dengan masing-masing segi dipasang 12 LED berdaya 1 watt dan 4 resistor dan bagian depan atau bagian atas dipasang 15 LED berdaya 1 watt dan 5 resitor. Jumlah total LED dan resistor yang digunakan adalah sebanyak 63 x 1 watt = 63 watt dan 21 resistor. Perancangan lampu LED berdaya 63 watt ditampilkan seperti pada Gambar 1. Lampu LED ini disambungkan dengan pengatur pencahayaan menggunakan dimmer dan saklar yang disambungkan dengan aki (accu/battery) dengan tegangan 12 volt dan arus 35 Ah. Untuk pengisian aki digunakan sumber energi matahari menggunakan panel sel surya. Panel sel surya mengubah energi matahari menjadi energi listrik dan selanjutnya disambungkan dengan aki melalui pengontrol pengisian aki. Blok diagram rangkaian lengkap lampu LED hemat energi bertenaga surya ditampilkan seperti pada Gambar 2.
GAMBAR 1. Prototipe lampu LED hemat energi
236
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Panel Sel Surya
Kontrol Pengisian Aki
Aki
Dimmer
Lampu LED
GAMBAR 2. Skema lampu LED hemat energi bertenaga surya
Hasil pengukuran intensitas cahaya dan jarak jangkauan pencahayaan maksimum lampu LED hemat energi bertenaga surya pada arah
horizontal seperti diperlihatkan pada Gambar 3 dan pada kemiringan 450 dari arah horizontal seperti pada Gambar 4.
GAMBAR 3. Intensitas cahaya lampu LED terhadap perubahan jarak pada arah horizontal 90 0
Pada Gambar 3 diperoleh bahwa hasil pengujian intensitas pencahayaan maksimum pada arah horizontal dengan jarak minimun 0 cm dari lampu LED 63 watt diperoleh sebesar
52,34 K.lux. Sedangkan jarak jangkau pencahayaan dimana pada jarak tersebut intensitas cahaya minimum atau 0 lux, diperoleh pada jarak sebesar 49,5 meter.
GAMBAR 4. Intensitas cahaya lampu LED terhadap perubahan jarak pada arah horizontal 45 0
237
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Untuk Gambar 4 diperoleh bahwa hasil pengujian intensitas pencahayaan maksimum pada arah horizontal dengan kemiringan 450 dari horizontal diperoleh jarak minimun 0 cm dari lampu LED 63 watt adalah sebesar 2,75 K.lux. Sedangkan jarak jangkau pencahayaan dimana pada jarak tersebut tidak diperoleh intensitas cahaya atau 0 lux, diperoleh jarak sebesar 21,2 meter. Hasil yang diperoleh bahwa
intensitas cahaya pada arah horizontal lebih tinggi dibandingkan intensitas cahaya pada kemiringan 450 dari arah horizontal. Pengukuran intensitas cahaya dan jarak jangkauan pencahayaan lampu LED hemat energi bertenaga surya berdasarkan arah vertikal dan kemiringan 450 dari arah vertikal seperti ditampilkan pada Gambar 5 dan Gambar 6 berikut.
GAMBAR 5. Intensitas cahaya lampu LED terhadap perubahan jarak pada arah vertikal 90 0
Hasil pengukuran pada Gambar 5 diperoleh bahwa intensitas pencahayaan maksimum pada jarak minimal 0 cm dari arah vertikal lampu
LED diperoleh sebesar 67,60 K.lux. Sedangkan jarak pencahayaan minimum dengan intensitas cahaya 0 lux diperoleh pada jarak 83,45 meter.
GAMBAR 6. Intensitas cahaya lampu LED terhadap perubahan jarak pada arah vertikal 45 0
Pada Gambar 6, diperoleh bahwa hasil pengukuran intensitas pencahayaan maksimum
pada jarak minimum 0 cm dari lampu LED adalah sebesar 26,20 K.lux. Sedangkan jarak
238
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
jangkau pencahayaan minimum dimana intensitas cahaya adalah 0 lux diperoleh pada jarak 18,33 meter. Lampu LED berdaya 63 watt memiliki intensitas cahaya pada arah vertikal lebih tinggi dibandingkan dengan arah horizontal. Intensitas cahaya maksimum pada arah vertikal dengan jarak 0 meter yaitu sebesar 67,60 K.lux, sedangkan intensitas cahaya maksimum pada arah horizontal adalah sebesar 52,34 K.lux. Hal ini disebabkan karena jumlah LED DIP yang dipasang pada bagian atas atau ujung lampu adalah sebanyak 15 LED dengan daya 15 watt, sedangkan pada satu sisi bagian samping hanya berjumlah 12 LED dengan daya 12 watt. Begitupula dengan penempatan lampu LED bagian depan lebih rapat dibandingkan dengan LED bagian samping yang kurang rapat. Sehingga pada bagian vertikal intensitas cahaya yang dihasilkan lebih besar dibandingkan dengan arah horizontalnya. Hal ini juga terjadi pada posisi 450 dari arah vertikal, dimana intensitas cahaya dan jarak jangkauan pencahayaan yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan 45 0 dari arah horizontal. Bentuk konstruksi mempengaruhi pola sebaran cahaya yang dihasilkan oleh lampu. Pada bagian samping arah horizontal dari lampu LED, penyebaran cahaya yang dihasilkan di sisi samping lebih baik dibandingkan dengan bagian depan yang hanya terkonsentrasi pada bagian tertentu saja. Hal ini menyebabkan lampu LED menghasilkan pencahayaan yang menyebar secara merata pada bagian horizontal, tetapi pada bagian vertikal pencahayaan menjadi kurang merata. Jarak jangkau pencahayaan lampu LED berdaya 63 watt ini lebih tinggi dibandingkan dengan jarak jangkau pencahayaan arah horizontal. Dimana pada arah vertikal jarak jangkau pencahayaan dengan intensitas cahaya minimum adalah sebesar 83,45 meter, sedangkan pada arah horizontal yaitu sebesar 49,50 meter. Desain lampu LED dibuat untuk penggunaan lampu celup bawah air (lacuba) dengan tujuan untuk mengurangi pantulan cahaya oleh permukaan air. Dengan desain penggunaan lampu LED dalam air, maka diharapkan dapat memaksimalkan pencahayaan lampu dalam air dengan daya jangkau pencahayaan semakin jauh. Oleh karena itu, pemilihan bahan box lampu sangat berpengaruh sehingga dapat melindungi lampu yang terendam dalam air dan memaksimalkan pencahayaan lampu [10]. Menurut William D.
C. (2004) [11] dan William F. S. (1996) [12] bahwa dalam perancangan sebuah produk lampu ada persyaratan terkait dengan sifat dari produk yang akan dibuat, pemilihan material menjadi salah satu yang harus dipertimbangkan dan harus memperhatikan fungsi, batasan, tujuan, dan variabel bebas. Selain itu, perancangan lampu harus memperhatikan pengaturan intensitas cahaya lampu dalam pengoperasiannya. Pengaturan intensitas cahaya lampu dapat menggunakan dimmer, hal ini dibutuhkan untuk mengganti lampu hauling. Hal ini sangat dibutuhkan untuk dapat mengatur intensitas cahaya lampu sesuai dengan kebutuhan. Karena pada saat jaring mau ditarik atau diangkat, maka intensitas cahaya akan dikurangi guna mengkonsentrasikan ikan dalam jaring. Desain lampu juga memperhatikan sebaran cahaya yang dapat memancarkan cahaya ke semua arah dan seluas-luasnya. Oleh karena bentuk tabung atau silinder vertikal dan bentuk kerucut pada bagian bawah sangat baik digunakan untuk pembuatan lampu [13]. Rangkaian lampu adalah bagian yang sangat penting dalam perancangan dan pembuatan lampu LED, agar dapat digunakan dengan baik dan dapat bertahan pada tekanan yang tinggi dalam laut. Pemilihan komponen lampu, pemilihan material box lampu, dan pemilihan kabel kedap air adalah faktor yang sangat penting diperhatikan. Lampu LED harus terjaga dari kemungkinan terjadinya kerusakan, tahan terhadap goncangan, korosi dan kebocoran. Pemilihan komponen dan material yang akan digunakan merupakan hal yang sangat penting dipertimbangkan dalam merancang dan membuat lampu celup bawah air [14]. Pemakaian lampu sebagai alat bantu penagkapan ikan pada nelayan telah berkembang sangat cepat seiring dengan perkembangan teknologi lampu listrik. Penggunaan lampu oleh nelayan semakin bertambah dengan intensitas pencahayaan yang semakin tinggi. Hal ini terjadi karena sebagian besar masyarakat nelayan beranggapan bahwa semakin besar intensitas pencahayaan lampu yang digunakan, maka akan semakin banyak hasil tangkapan ikan yang diperoleh. Anggapan tersebut dibantah oleh Wiyono (2006) dengan alasan bahwa masing-masing ikan mempunyai respon terhadap intensitas pencahayaan yang berbeda-beda. Hal iini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Natanubun dan Patty (2010) bahwa intensitas cahaya lampu 54
239
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
watt hasilnya tidak sebaik dengan lampu 36 watt pada bagan apung di Selat Rosenberg Kabupaten Maluku Tenggara Kepulauan Kei. Selanjutnya dilaporkan oleh Puspito (2008) [15] bahwa ikan memiliki batas toleransi yang berbeda-beda terhadap intensitas cahaya. Dengan intensitas cahaya lampu yang rendah akan membuat ikan lebih mendekat ke sumber cahaya, tetapi kemampuan untuk mengumpulkan ikan sedikit dan kumpulan ikan tidak bertahan lama di bawah bagan (Yami, 1998) dan (Puspito, 2008) [15]. Berkumpulnya ikan-ikan kecil seperti ikan teri, udang, pepe, permato dan petek) di sekitar bagan, maka akan memicu berkumpulnya ikan-ikan lain dengan ukuran yang lebih besar. Hal ini terjadi karena adanya siklus rantai makanan antara ikan kecil dengan predatornya yang berukuran lebih besar untuk memperoleh makanan [16].
5. UCAPAN TERIMA KASIH Dana penelitian ini didukung oleh “Pengabdian Ipteks bagi Wilayah (IbW) Tahun 2016, Universitas Hasanuddin” dengan No. Kontrak 35814/UN4.3.2/LK.23/2016. 6. REFERENSI 1.
Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bone, “Informasi Perikanan Kabupaten Bone Provinsi Sulawesi Selatan”, Bone, 2013.
2.
Situs Resmi Kabupaten Bone, “Gubernur Sul-Sel Resmikan Kawasan Industri Kelautan dan Perikanan di Kabupaten Bone”, Bone, 2015.
3.
Arifin dan Metusalach, “Optimalisasi Sistim Pencahayaan Ikan dengan Menggunakan Lampu Listrik Dalam Air Bertenaga Surya Untuk Meningkatkan Produktivitas Nelayan Di Sulawesi Selatan”, Penelitian DIPA UNHAS 2009, Makassar, 2009. Arifin & Muhammad Syarif, “Pelatihan Pembuatan Lampu Fluorescent Ballast Elektronik pada Nelayan Di Desa Siddo Kecamatan Soppeng Riaja Kabupaten Barru”, Penerapan IPTEKS DP2M DIKTI 2008, Makassar, 2008.
4. KESIMPULAN Kegiatan pengabdian Ipteks bagi Wilayah (IbW) yang dilaksanakan oleh Universitas Hasanuddin dan Pemda Kabupaten Bone dapat terlaksana dengan baik atas dukungan dari Dinas Kelautan dan Perikanan serta partisipasi masyarakat nelayan di Kabupaten Bone. Pada kegiatan ini, telah berhasil dibuat lampu LED hemat energi bertenaga surya dengan daya 63 watt dengan tegangan sumber 12 volt dari aki atau baterai. Sumber energi dari cahaya matahari yang dikonversi menjadi energi listrik melalui panel sel surya yang disambungkan dengan kontrol pengisian aki yang dapat mengontrol energi listrik yang tersimpan pada aki. Hasil pengujian lampu LED diperoleh bahwa intensitas cahaya lampu pada arah vertikal yaitu 67,60 K.lux lebih tinggi dibandingan intensitas cahaya pada arah horizontal yaitu 52,34 K.lux. Begitupula dengan daya jangkau pencahayaan arah vertikal dengan intensitas cahaya minimum yaitu 83,45 meter lebih jauh dibandingkan dengan daya jangkau pencahayaan arah horizontal yaitu 49,5 meter. Kelebihan dari lampu LED ini adalah lampu dapat dipasang di dalam box lampu yang kedap air yang dapat dicelup ke dalam air, sehingga intensitas cahaya yang diteruskan tidak terpantulkan oleh permukaan air. Keunggulan lain dari lampu LED ini adalah mudah dibuat, biaya murah, mudah dioperasikan dan dapat digunakan di atas permukaan air maupun di bawah permukaan air.
4.
240
5.
Rahim, A., “Analisis Pendapatan Usaha Tangkap Nelayan, dan Faktor-Faktor yang mempengaruhinya di Wilayah Pesisir Pantai Sulawesi Selatan”, J. Sosek KP, vol. 6, no. 2, (2011).
6.
Arifin, Ernawati Jassin, & Nasaruddin, “Rancang Bangun Lampu Celup Bawah Air (Lacuba) Dengan Sumber Energi Surya Sistem Ganda (Hibrid)”, Program Vucer LPPM UNHAS 2009, Makassar, 2009.
7.
Notanubun, J., Patty W., “Perbedaan Penggunaan Intensitas Cahaya Lampu Terhadap Hasil Tangkapan Bagan Apung di Perairan Selat Rosenberg Kabupaten Maluku Tenggara Kepulauan Kei”, Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Surakarta, Solo, Vol. VI-3, (2010).
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
8.
Sudirman H., Nessa N., “Perikanan Bagan dan Aspek Pengelolaannya”, UMM Press. Malang, 2011.
Kerucut untuk Siswa SMP Kelas IX”, Universitas Negeri Malang, Malang, EJournal, vol. VI, 8-11 (2011).
9.
Syafrie H., “Efektivitas Lampu Tabung pada Perikanan Bagan. Thesis Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor”, Bogor, 2012.
14. Taufiq, Mawardi, W., Baskoro, M. S., Zulkarnain, “Rekayasa Lampu LED Celup untuk Perikanan Bagan Apung di Perairan Patek Kabupaten Aceh Jaya Propinsi Aceh”, Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan, vol. 6, no. 1, 51-67 (2015).
10. Yulianto E. S., Purbayanto, A., Wisudo, S. H., Mawardi, W., “Lampu LED Bawah Air Sebagai Alat Bantu Pemikat Ikan pada Bagan Apung”, Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan, vol. 5, no. 1, 8393 (2014).
15. Puspito G., “Lampu Petromaks: Manfaat, Kelemahan dan Solusinya pada Perikanan Bagan”, Staf Pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor, 2008.
11. William D. Callister Jr., An Introduction Materials Science and Engineering, Wiley, 2004.
16. Oktafiandi, H., Asriyanto, Sardiyatmo, “Analisis Penggunaan Lampu LED dan Lama Perendaman Jaring terhadap Hasil Tangkapan Ikan Teri (Stolephorus Spp.) Bagan Tancap (Lift Net) di Perairan Morodemak”, Journal of Fisheries Resources Utilization Management and Technology, vol. 5, no. 1, 94-101 (2016).
12. William F. Smith, Principle of Materials Science and Engineering, Mc Graw Hill, 1996. 13. Firdawati C., “Pengembangan Media Interaktif Berbasis Komputer pada Materi Luas Permukaan dan Volume Tabung dan
241
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Fosfor dan Pemrosesannya untuk Masa Depan Pembangunan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Camellia Panatarani1,2),* dan I Made Joni 1,2) Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran, Jl.Raya Bandung-Sumedang km 21 Jatinangor 45363, Jawa Barat 2 Pusat Penelitian dan Pengembangan Institusi Nanoteknologi dan Graphene, Universitas Padjadjaran, Jl.Raya Bandung-Sumedang km 21 Jatinangor 45363, Jawa Barat * email: [email protected] 1
Abstrak Fosfor atau material luminisensi adalah suatu material yang dapat menghasilkan emisi cahaya tampak bila diberi inisiasi energi tertentu. Luminisensi dapat dihasilkan dari berbagai mekanisme, antara lain perubahan kimia, energi listrik, gerakan subatomik, reaksi dalam kristal, atau stimulasi sistem atom dalam suatu materi. Mekanisme tersebut sangat berperan dalam pengembangan teknologi material maju. Menghasilkan bahan berluminisensi dengan berbagai mekanisme fungsionalisasi yang diinginkan memerlukan rekayasa pemrosesan material. Dalam tulisan ini akan dibahas ilmu dan teknologi rekayasa pemrosesan fosfor dengan berbagai metode pemrosesan (padatan, larutan, sol-gel dan gas (spray pyrolysis)), teknologi nano dan investigasi mekanisme luminisensi yang dihasilkan yang dihubungkan dengan karakteristik material dan kemungkinan aplikasinya. Kata Kunci: fosfor, spray pyrolysis, sol gel
Abstract Phosphors or luminisence materials is a material that generating a visible light emiision when excited with certain energy. Luminisence is generated from various mechanisms such as chemical conversion, subtomic deformation, crystal reaction, or atomic stimulation in the materials. Those mechanisms play an important role on the engineering of the advanced materials. In order to obtain luminisence materials with various mechanism of desired functionalization, the engineering of materials processing is necessary. This paper reports the science and technology of the engineering of phosphor processing with various processing methods (solid, liquid, solgel and gas (spray pyrolysis)), nanotechnology, and invetstigation on the mechanism of the luminisence in relation to their caharateristics and also their potential applications. Keywords: Phosphor, spray pyrolysis, sol gel
raman lingkungan [1]. Artikel ini bertujuan untuk menyajikan ulasan singkat mengenai tantangan fungsionalisasi fosfor untuk berbagai aplikasi.
1. PENDAHULUAN Saat ini orang mengandalkan pendaran fosfor untuk pencahayaan, seperti untuk lampu fluoresensi, light emitting diode, cat dan pelapis. Masing-masing aplikasi fosfor membutuhkan fitur pendaran tersendiri. Sebagian besar aplikasi pencahayaan menggunakan fosfor berbasis tanah jarang (rare earth, RE), walaupun harga RE sangat tinggi. Tantangan utama dalam pengembangan fosfor untuk aplikasi pencahayaan adalah bagaimana memenuhi fitur luminisensi yang dibutuhkan, seperti: efisiensi kuantum yang tinggi, penyerapan dalam spektrum biru dan UV yang kuat, stabilitas termal yang tinggi, waktu peluruhan emisi yang pendek, stabilitas jangka panjang, biaya pemrosesan rendah, penggunaan bahan baku yang murah dan
2. MEKANISME LUMINISENSI Fosfor (material luminisensi) adalah zat padat yang dapat mengkonversi berbagai tipe energi menjadi radiasi elektromagnetik. Kata fosfor berasal dari bahasa Yunani yang berarti pembawa cahaya. Radiasi gelombang elektromagnetik yang diemisi oleh fosfor biasanya dalam spektrum cahaya tampak (visible), tetapi dapat juga pada daerah lain seperti daerah ultraviolet (UV) atau inframerah (infrared, IR) [2]. Beberapa jenis luminisensi diklasifikasikan berdasarkan jenis energi pengeksitasinya, seperti fotoluminisensi
242
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
(Al2O3:Cr3+) yang dikenal sebagai batu merah delima. Ruby memancarkan cahaya merah delima yang indah apabila diberi radiasi ultraviolet atau cahaya tampak. Ion Cr 3+ (aktifator) bertanggung jawab terhadap absorbsi ultraviolet dan cahaya tampak. Sedangkan Al2O3 (host) tidak berwarna dan tidak berperan dalam peristiwa luminisensi, selain hanya sebagai pengikat ion Cr 3+ dengan kuat. Seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi serta melesatnya penelitian dalam dimensi nano, berkembang pula penelitian mengenai fosfor nano. Fosfor nano memiliki dimensi berukuran nanometer (10 -9 m) baik dalam bentuk dua dimensi (film tipis), 1 dimensi (nanowire) maupun 0 dimensi (partikel/dot). Selain itu, fosfor yang memiliki struktur (struktur lapisan, struktur kristal, dll) yang berukuran nano dikategorikan pula sebagai fosfor nano.
(dieksitasi oleh energi foton, biasanya energi uv), katodoluminisensi (oleh berkas elektron berenergi tinggi), elektroluminisensi (oleh suatu tegangan listrik), triboluminisensi (oleh energi mekanik), x-ray luminisensi (oleh sinar x), kemoluminisensi (oleh energi yang berasal dari reaksi kimia) dan lain-lain. Sebagian besar fosfor terbentuk dari kristal host (atau sebuah matriks) dan sebuah aktifator, yaitu sejumlah kecil atom impuritas (pengotor) yang terdistribusi di dalam kristal host. Interaksi antara kristal host dan aktifator yang menyangkut peristiwa absorpsi, refleksi dan transmisi optik tentu saja tidak sederhana. Mekanisme luminisensi secara sederhana diilustrasikan oleh Blasse seperti dimuat pada Gambar 1 [2].
3. REKAYASA PEMROSESAN FOSFOR 3.1. Metode Sintesis Fosfor Secara konvensional, fosfor disintesis dengan metode zat padat (solid state). Metode zat padat membutuhkan konsumsi energi yang tinggi untuk mempromosikan reaksi kimia antar bahan-bahan pembentuknya. Metode ini seringkali menghasilkan fosfor yang tidak homogen dan mengarah ke penurunan intensitas luminisensi secara drastis. Disamping itu, untuk mengaktifasi pusat luminisensi dibutuhkan perlakuan pemanasan lanjutan. Pemrosesan fosfor dengan metode zat padat diilustrasikan dalam Gambar 2. Konsep umum metode zat padat untuk menghasilkan fosfor terdiri dari tiga bagian utama, yaitu preparasi bahan mentah, sintesis dan perlakuan lanjutan. Dalam metode zat padat, pemilihan dan penggunaan bahan baku sangat berarti untuk menghasilkan fosfor dengan kualitas yang tinggi. Kemurnian bahan baku sangat penting untuk mencegah terjadinya pengotoran pada produk. Sedikit saja pengotor, biasanya berdampak pada perubahan karakteristik fosfor secara drastis. Secara umum, pemurnian dan penghalusan bahan baku harus melalui langkah-langkah yang kompleks. Fosfor halus (fine, nano-submikrometer) sangat sulit diperoleh bila menggunakan metode konvensional zat padat karena penggunaan temperatur yang tinggi dapat
GAMBAR 1. Mekanisme luminisensi (a) ion aktifator (A) dalam hostnya dan (b) skema tingkat energi. E: Eksitasi, M: Emisi (elektron kembali ke keadaan dasar secara radiatif, R); H: elektron kembali ke keadaan dasar secara non-radiatif (NR), *adalah indeks keadaan tereksitasi.
Energi radiasi yang mengenai fosfor akan diserap oleh aktifator (A) sehingga menyebabkan elektron-elektron dalam atom aktifator tereksitasi. Elektron-elektron yang tereksitasi tentu saja akan kembali ke keadaan energi dasarnya (ground state) baik melalui proses radiatif (R) maupun non radiatif (NR). Proses radiatif akan membangkitkan luminisensi, sedangkan proses non radiatif akan membangkitkan panas. Apabila proses non radiatif terjadi, perbandingan jumlah foton yang diemisi dan jumlah foton yang diserap oleh fosfor (efisiensi kuantum, q) sama dengan satu. Dipihak lain, apabila proses non radiatif mendominasi (q = 0), emisi tidak akan terjadi. Rekombinasi non radiatif seringkali dibangkitkan oleh cacat yang berada dalam kristal host atau kerusakan pada lapisan permukaan. Dalam mengoptimalkan intensitas luminisensi, proses non radiatif harus diminimalisir. Hal tersebut merupakan tantangan besar yang dihadapi dalam pemrosesan fosfor. Salah satu fosfor yang memancarkan cahaya dengan mekanisme seperti diilustrasikan dalam Gambar 1 adalah ruby
243
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
menyebabkan aglomerasi material sehingga diperlukan penggerusan (milling) atau perlakuan lain untuk memperoleh ukuran partikel yang lebih kecil (halus). Proses lanjutan berupa penggerusan dapat menurunkan intensitas luminisensi. Dalam proses sintesis, reaksi antara matriks host dan aktifator terjadi secara simultan dalam proses pembakaran (firing). Proses pendekatan matriks host dengan aktifator dilakukan melalui pencampuran (blending) dan penggerusan (milling). Pencampuran bahan dasar harus dilakukan secara merata. Semakin merata pencampuran, semakin baik fosfor yang dihasilkan. Namun pencampuran yang homogen kerap kali sangat sulit dicapai dan pencampuran merata merupakan tantangan tersendiri dalam pemrosesan fosfor. Selain itu, untuk menghasilkan reaksi solid state yang sempurna, temperatur pembakaran yang tinggi sangat dibutuhkan. Metode pemrosesan selain zat padat telah dikembangkan untuk memperoleh fosfor halus. Beberapa metode yang telah dikerjakan antara lain sol gel (SG), combustion, spray pyrolysis (SP), microwave, hydrothermal dan lain-lain. Dalam tulisan ini akan diuraikan pemrosesan fosfor dengan metode SG yang
dimodifikasi dan metode spray pyrolysis sebagai alternatif metode pemrosesan. Metode Sintesis Larutan: Sol-Gel Sol gel (SG) adalah metode yang biasa digunakan untuk pengolahan gelas dan keramik. Proses sol gel dapat digambarkan sebagai pembentukan jaringan oksida melalui reaksi polikondensasi dari molekul prekursor dalam cairan. Teknologi SG telah diperluas secara dramatis untuk mengolah berbagai bentuk bahan seperti film, coating, monolit, serat (fiber), partikel (powder), butiran (grain), bola, gel berpori dan membran. Melalui metode SG dimungkinkan pula untuk memproduksi fosfor dengan komposisi yang baru dengan kemurnian tinggi, homogenitas tinggi dan pengontrolan distribusi ukuran partikel yang dapat dikontrol dalam level skala nano. Kebutuhan aplikasi fosfor dengan ukuran partikel yang halus membuat metode SG banyak dipilih sebagai metode pemrosesannya. Selain itu, pemrosesan menggunakan metode SG menggunakan temperatur yang cukup rendah. Beberapa fosfor yang diolah dengan proses SG direview dalam Tabel 1.
GAMBAR 2. Proses preparasi fosfor dengan metode zat padat
244
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Tabel 1. Phosphor yang disintesis menggunakan metode sol gel
makromolekul padat yang berada dalam fase cairan. Pembentukan monomer (hidrolisis) merupakan proses kimia yang memecahkan molekul air (H2O) menjadi kation hidrogen (H+) dan anion hidroksida (OH−). Kata hidrolisis berasal dari bahasa Yunani yaitu hydro yang berarti air dan lysis yang berarti pemisahan. Hidrolisis biasanya terjadi setelah penambahan molekul air ke dalam zat kimia tertentu. Reaktivitas kimia dalam proses hidrolisis dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: pH, jumlah air yang ditambahkan, konsentrasi, temperatur dan kondisi pengeringan. Pembentukan sol (polikondensasi) terjadi melalui reaksi kondensasi atau perubahan fase cair menjadi padat. Peristiwa kondensasi dan hidrolisis terjadi secara simultan. Proses kondensasi bersifat dinamis, dan dapat dikendalikan dengan mengatur parameter yang tepat. Parameter yang mempengaruhi proses kondensasi antara lain: tipe prekursor, rasio antara alkoksida dan air, tipe katalis yang digunakan, tipe pelarut, suhu, pH, konsentrasi relatif dan konsentrasi mutlak dari reaktan. Laju kondensasi dapat dikontrol melalui penambahan katalis untuk mempercepat laju kondensasi. Umumnya, partikel sol berinteraksi dengan gaya van der Waals atau ikatan hidrogen. Gel dapat terbentuk dari hubungan rantai polimer secara ikat silang (crosslink). Jika gel dikeringkan dengan penguapan, maka gaya kapiler akan mengakibatkan penyusutan, jaringan gel akan runtuh, dan xerogel akan terbentuk. Jika pengeringan gel dilakukan pada kondisi superkritis, struktur jaringan mungkin dapat dipertahankan dan gel dengan pori-pori yang besar (aerogel) dapat dibentuk. Dalam pemrosesan fosfor, temperatur tinggi diperlukan untuk pembentukan kristal yang sempurna dan untuk mengaktifkan ionion pusat luminisensi. Penggunaan temperatur tinggi tersebut dapat menyebabkan timbulnya sintering antar partikel, yang mengakibatkan ukuran partikel menjadi besar. Oleh karena itu untuk memperoleh partikel dalam ukuran kecil, Panatarani dkk melakukan modifikasi metode sol gel dengan menggunakan campuran logam alkoksida dengan logam klorida sebagai sumber prekursor seperti diperlihatkan pada Gambar 3.
Phosphor Emisi Merah Gd2Ti2O7:Eu2+ (Film) Gd2(WO4)3:(Eu3+,Dy3+) (Partikel) ZnO:(La,Eu) (Ga doped) (Film) Y2O3:Eu3+ CaSiO3:Eu3+,(CaA)SiO3:Eu3+ (A=Ba atau Sr) Y2O3:Eu3+(Nanokristal) (EuxY1-x)SiO5(X=0,005; 0,01;0,02;0,03 & 0,005)(Film) Ca2Y5(SiO4)6O2:Eu (Film) Y2O3:Eu3+(Partikel) CaO-SiO2:Eu3+ (Film)
Emisi Hijau YAG:Tb (Powder) SiO2-B2O3-NaF:Tb (Gelas) (Ge0,67Tb0,33)MnxMg1-xAl11O19 (Partikel) (RexY1-x)SiO5 (RE=Tb,Ce, x=0,005; 0,01; 0,03 & 0,05) (Film)
Emisi Biru Sr2CeO4 (Partikel) Sr2ZnSi2O7:Eu2+,Dy3+ Strontium aluminate:Eu (Partikel) BaMgAl10O17:Eu (Partikel) BaMg2 Al16O27:Eu2+
Ide penggunaan sol gel dalam sintesis fosfor didasarkan pada beberapa keuntungan antara lain: • Pencampuran bahan dasar dapat dilakukan pada tingkat atomik sehingga homogenitas kimia dapat tercapai. Homogenitas tersebut sangat penting untuk mencegah peristiwa luminescent quenching. • Fosfor multi komponen dapat dibuat dengan stoikiometri yang dapat dikendalikan melalui pencampuran senyawa yang berbeda. • Ukuran partikel fosfor yang dihasilkan relatif kecil. Pengolahan fosfor (jenis oksida logam) melalui rute SG melibatkan tiga tahapan dasar, yaitu (1) pembentukan monomer (hidrolisis parsial), (2) pembentukan sol (polikondensasi) dan (3) gelasi (crosslink). Dalam proses SG, prekursor (bahan awal) untuk pengolahan koloid terdiri dari logam atau elemen logam (metaloid) yang dikelilingi oleh berbagai ligan. Walaupun secara ekonomis tidak efisien, prekursor jenis alkoksida dan jenis organometalik adalah prekursor yang paling banyak digunakan dalam metode SG karena jenis alkoksida dapat larut dalam air dengan mudah. Sol merupakan partikel koloid padat (tidak terlarut) tetapi tidak menggumpal (sedimen) yang terdispersi secara stabil dalam fase cairan. Gel merupakan suatu
245
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
dan mist decomposition (pembentukan aerosol memanfaatkan tekanan udara). Sedangkan berdasarkan reaksi thermolysis-nya, SAT kategorikan menjadi spray pyrolysis (terjadi reaksi pyrolysis/thermolysis) dan spray drying (tidak terjadi reaksi thermolysis) [3]. Metode SP mengkombinasikan proses fase larutan dan fase gas secara kontinu. SP memiliki sejumlah keuntungan dibandingkan metode lain seperti dapat digunakan untuk memproduksi partikel yang berbentuk bulat, distribusi ukuran partikel yang seragam dan dapat dikontrol dari ukuran submikrometer sampai mikrometer, kemurnian dari produk tinggi dan proses sintesis berlangsung secara kontinu [4]. Dalam SP, sumber prekursor dilarutkan pada level molekul. Setelah proses atomisasi, seluruh komponen pembentuk partikel terintegrasi dalam droplet. Karena setiap droplet memiliki komposisi yang sama, material multi-komponen dan komposit dapat diperoleh dengan mudah. Dalam metode SP, karateristik fisika dan kimia dari bahan-bahan kimia dari prekursor sangat mempengaruhi karakteristik partikel yang dihasilkan.
polymer
hydrolysis
+
Evaporation of solvent
heat
Metal Alkoxide + Metal Chloride
precursor sources
sol
wet gel
xerogel
fine particles
Gambar 3. Modifikasi sintesis metode sol-gel
Modifikasi lain yang diperkenalkan dalam metode sol gel adalah dengan menambahkan satu jenis polimer yang memiliki berat molekul yang tinggi dalam proses sintesis. Penggunaan polimer tersebut didesain untuk menghindari terjadinya aglomerasi secara besar-besaran selama proses pemanasan. Selain itu, reaksi eksotermik dari polimer selama proses sintesis dapat membantu penumbuhan kristal. Metode Sintesis Spray Pyrolysis Spray pyrolysis (SP) merupakan salah satu metode sintesis yang dapat digunakan untuk preparasi partikel maupun film. Kata spray berarti percikan/tetesan kecil (droplet) yaitu zat yang berfasa cair atau padat terdispersi pada medium pendispersi berupa gas (atau disebut juga sebagai aerosol). Sedangkan pyro berarti pemanasan atau pembakaran dan lysis berarti pemisahan atau penguraian yang dapat diartikan juga sebagai dekomposisi zat. Spray pyrolysis dapat diartikan sebagai dekomposisi atau penguraian komposisi kimia menggunakan energi termal dengan proses pemanasan. Berdasarkan mekanisme yang terjadi saat sintesis berlangsung, beberapa peneliti menuliskan istilah lain untuk spray pyrolysis, antara lain solution aerosol thermolysis, evaporative decomposition of solution, ultrasonic spray pyrolysis, mist decomposition, spray roasting, chemical reaction with aerosol, plasma vaporization of solution atau aerosol decomposition [3]. Spray pyrolysis merupakan salah satu metode sintesis yang termasuk dalam metode solution aerosol thermolysis (SAT). SAT merupakan sintesis yang menggunakan prinsip pembentukan larutan prekursor menjadi droplet-droplet yang kemudian disalurkan menuju tabung pemanas. Berdasarkan mekanisme pembentukan aerosol-nya, SAT terbagi menjadi beberapa jenis, diantaranya; ultrasonic spray pyrolysis (pembentukan aerosol menggunakan ultrasonic nebulizer), electrostatic spray atomization (pembentukan aerosol memanfaatkan medan elektrostatis)
4. KARAKTERISTIK FOSFOR DAN APLIKASINYA Fosfor biasanya diaplikasikan dalam bentuk film atau dalam bentuk partikel. Ada beberapa keuntungan performa aplikasi fosfor dalam bentuk partikel dibandingkan dalam bentuk film. Dalam aplikasi display emisif, bentuk partikel memiliki potensi untuk dijadikan display dengan area tanpa batas (satu gram partikel dapat menutupi lebih dari satu kaki persegi luas display). Efisiensi daya fosfor dalam bentuk partikel lebih tinggi dari bentuk film. Kehilangan cahaya selama refleksi internal dan sebagainya dapat diminimalisir, sementara dalam bentuk film, kehilangan cahaya pada ujung-ujung film, menyebabkan hilangnya kecerahan cahaya yang dipancarkan fosfor. Lebih jauh, untuk aplikasi display multi warna, kemungkinan satu lapisan yang terdiri dari semua warna dapat terealisasi. Dalam bentuk film, masih belum ada metode yang membuat fosfor dengan berbagai warna dalam satu lapisan. Ukuran partikel dan distribusinya merupakan parameter krusial untuk mengoptimalkan paket layar fosfor. Semakin tinggi resolusi, volume unit sel dari piranti
246
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
semakin kecil. Selain itu, kecerahan (brightness) dari piranti peraga yang sangat dipengaruhi oleh interaksi partikel dengan sumber cahaya eksternal dapat dinaikkan. Peran ukuran partikel dan morfologinya dalam mempengaruhi sifat-sifat fosfor untuk aplikasi menjadi tantangan yang paling besar. Efek yang paling mencolok dari ukuran partikel dalam host adalah melebarnya energi gap (Eg) antara tingkat energi valensi dan konduksi yang secara langsung mempengaruhi sifat optik dari nanopartikel fosfor bila dibandingkan dengan material dalam bentuk padat (bulk). Kurva absorsi spektrum optik dari fosfor bergeser kearah panjang gelombang yang lebih pendek (blue shift) jika ukuran partikel diperkecil (quantum size effect). Oleh karena itu, nanopartikel meningkatkan interest baik secara teknologi maupun industri khususnya dengan sifat optik barunya yang mempengaruhi lifetime emisi, efisiensi kuantum dan konsentrasi quenching. Keunikan sifat-sifat nano material tersebut menarik perhatian para peneliti dari berbagai bidang untuk mensintesis nano-fosfor maupun menggali potensi untuk berbagai aplikasi dalam teknologi baru. Berdasarkan hasil penelitian, secara umum, struktur nano memperlihatkan geometri yang merefleksikan ikatan secara atomik analog dengan struktur bulk [5]. Nanomaterial sangat menarik karena dapat menjadi jembatan antara bulk, molekul dan atom. Berdasarkan definisi nanomaterial (1-100 nm) dan berdasarkan teori MO, pengurungan kuantum dapat terjadi pada material yang berdimensi dekat dengan jari-jari Bohr. Dengan demikian, perlu dicatat bahwa tidak semua fosfor berorde nano memperlihatkan efek ukuran kuantum (blue shift). Namun, nano-fosfor memperlihatkan sifat yang sangat menarik karena sifat intrinsik dari material ditentukan oleh faktor ukuran, bentuk, cacat, kemurnian dan kristalinitas yang juga berhubungan dengan perubahan rasio permukaan-volume yang ditentukan oleh ukuran. Meskipun berbagai metode telah diterapkan untuk pembuatan fosfor, tujuan utama para peneliti adalah untuk memperoleh sifat intrinsik yang menentukan efisiensi kinerja fosfor. Secara umum sifat fosfor dapat ditingkatkan dengan kristalisasi yang lebih baik dan pemurnian material. Tantangan dalam
pengembangan fosfor untuk aplikasi pencahayaan saat ini secara singkat dirangkum dalam Tabel 2, yaitu fitur luminisensi dan efisiensi kuantum, reduksi penggunaan RE untuk host, morfologi dan ukuran, metode pemrosesan dan pengembangan fosfor jenis baru. Tabel 2. Tantangan dan Pengembangan Fosfor No 1
Teknik Fitur luminisensi dan efisiensi kuantum tinggi
2
Reduksi penggunaan RE
3
Morfologi dan ukuran
4
Metode preparasi/ sintesis
5
Fosfor baru
Catatan Dicapai dengan host RE dan non RE dengan pilihan komposisi/elemen bahan yang tepat bahan Fosor jenis gelas, nitrida dan jenis RE dari limbah fosfor tiga warna (tricolor), jenis sulfida alkali tanah berbasis fosfor tungstate. Nanomaterial (sferis, tabung, kawat, kristal), koomposit dan fosfor yang diberi pelapis Sol gel dengan penambahan flux, metode hidrolisis dan oksidasi, garam cair, spark plasma sintering, ball mill temperatur tinggi, hidrotermal, solvotermal kopresipitation, gelombang mikro, hidrolitik sol gel, selfassemblies, flameassisted spray pyrolysis dan pulse combustion spray pyrolysis Fosfor dengan komposisi baru
Ref. [7-12]
[13-22]
[23-35]
[14, 36-53]
[54-59]
Tujuan umum dari pengembangan fitur luminisensi dan efisiensi fosfor adalah peningkatan efisiensi kuantum, dan waktu peluruhan emisi yang lebih pendek [7-12]. Saat fosfor dieksitasi oleh fluks fosfor tinggi, karakteristik waktu peluruhan emisi menjadi sangat penting karena berhubungan dengan saturasi emisi atau efisiensi emisi fosfor. Perhatian lainnya adalah pada pengembangan fosfor untuk mendapatkan stabilitas pengoperasian jangka panjang (stabilitas kimia dan degradasi) untuk aplikasi pencahayaan (CFL atau pcLED). Karena beberapa bahan baku (raw material) dari fosfor merupakan bahan yang banyak diperlukan (highly demanding) dalam
247
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
aplikasi lain (khususya RE), harga bahan baku menjadi mahal. Upaya lain yang dilakukan adalah mengganti RE material yang digunakan sebagai host dengan material lain [13-22]. Namun beberapa masih menggunakan RE sebagai elemen aktivator. Oleh karena itu, pemilihan bahan baku dan menjadi sangat penting dalam menekan ongkos produksi. Selain itu, kualitas tinggi fosfor dapat dicapai dengan merekayasa karakteristik morfologi partikel seperti, pelapisan, penurunan ukuran, dan peningkatan kristalinitas dapat mengurangi penggunaan fosfor dalam aplikasi.
dari pulse combustion (pulse combustion spray pyrolysis, PCSP). Sistem ini telah berhasil diaplikasikan untuk pembuatan berbagai jenis fosfor, diantaranya LaPO4:Ce,Tb danY2O3:Eu dengan laju produksi tinggi (150 gram/jam). 6. SIMPULAN Pengembangan fosfor saat ini difokuskan pada upaya untuk mengatasi isu-isu utama seperti fitur luminisensi yang diinginkan, efisiensi kuantum, stabilitas termal, waktu peluruhan emisi, stabilitas jangka panjang, biaya pemrosesan yang rendah dan penggunaan bahan yang murah. Beberapa metode sintesis bahan fosfor berhasil dilakukan di laboratorium kami. Selain itu, saat ini dikembangkan sistem pulse combustion SP untuk menghasilkan fosfor dengan tingkat produksi yang tinggi untuk memenuhi persyaratan aplikasi pencahayaan industri fosfor.
5. LITBANG FOSFOR DI UNIVERSITAS PADJADAJARAN Selain pengembangan metode modifikasi SG dan SP, kami telah mengembangkan jenis host-center fosfor dengan memodifikasi komposisi melalui rute SP. Luminisensi biru dari ZnO: Zn nanokristal telah berhasil dibuat dengan menggunakan SP satu langkah tanpa reduksi gas [38]. Luminisensi biru dari ZnO: Zn sangat menjanjikan untuk aplikasi emiter dalam waktu dekat untuk white light emitting diode (W-LED). Intensitas luminisensi tertinggi yang diradiasi oleh panjang gelombang 250 nm diperoleh dari sampel yang dipreparasi menggunakan laju gas pembawa sebesar 5L/min dan temperatur reaktor 700oC. Intensitas luminisensi biru yang tinggi diperoleh akibat adanya kekosongan oksigen dalam ZnO:Zn. Nanokristal fosfor LaPO4:Eu3+ telah dibuat juga dengan metode larutan sederhana dengan penambahan poliethylene glycol (PEG) yang memiliki berat molekul berbeda untuk memungkinkan terjadinya reaksi eksotermik. Reaksi eksotermik tersebut dapat meningkatkan kristalinitas LaPO4:Eu3+. Telah diamati bahwa penambahan PEG mempengaruhi struktur kristal dan sifat luminisensi. Berat molekul PEG yang lebih tinggi menekan spektrum luminisensi. Puncak emisi yang berasal dari transisi 5D0-7F4 musnah dengan penambahan PEG dengan berat molekul 500.000 dan 2.000.000. Dalam meningkatkan laju produksi fosfor melalu metode SP, kami meperkenalkan desain baru dari untuk atomizer [60]. Sistem ini menggunakan two-fluid nozzle untuk menghasilkan laju produksi tinggi aerosol. Peralatan yang dikembangkan dapat mengontrol laju masa, pompa dan temperatur
7. UCAPAN TERIMA KASIH Kami mengucapkan terimakasih kepada Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi untuk bantuan dana penelitian yang diberikan (No. 393/UN6.R/PL/2015). 8. REFERENSI 1. Y. Tian, J. Solid State Light. 1(11), 1-15 (2014). 2. G. Blasse, Luminescent Materials, Springer Verlag, New York, 1994. 3. G. L. Messing, S. C. Zhang, G. V. Jayanthi, J. Am. Ceram. Soc. 76 (11), 1993, 2707-2726. 4. I. W. Lenggoro, T. Hata, F. Iskandar, M. M. Lunden dan K. Okuyama, J. Mater. Res. 15 (2000) 733. 5. A. H. Kitai (Ed), Luminescent Materials dan Applications, John Wiley and Sons, 2008. 6. E. Polikarpov, D. Catalini, A. Padmaperuma, P. Das, T. Lemmon, B. Arey and C.A. Fernandez, Opt. Mater. 46, 614-618 (2015). 7. S. Long, J. Hou, G. Zhang, F. Huang and Y. Zeng, Ceram. Int. 39(5), 6013-6017 (2013). 8. C. Ouyang, S. Ma, Y. Rao, X. Zhou, X. Zhou and Y. Li, J. Rare Earth. 30(7), 637-640 (2012). 9. X. Zhang, J. Song, C. Zhou, L. Zhou and M. Gong,J. Lumin. 149, 69-74 (2014).
248
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
10. Z. Zhang, L. Wang, L. Han, F. Han, X. Ma, X. Li and D. Wang, Mater. Lett. 160, 302-304 (2015). 11. J. Lu, J. Zhou, H. Jia and Y. Tian, Physica B: Cond. Matter. 476, 50-54 (2015). 12. C. Ren, X. Zhang, L. Zhou, Z. Lu, J. Lin, X. Xu, L. Li, X. Zhang, Y. Xue, F. Meng, J. Zhao and C. Tang, J. Lumin. 153, 338342 (2014). 13. H. Q. Trinh, J. O. Jo, S. B. Lee and Y. S. Mok, Curr. Appl. Phys. 14, 1051-1056 (2014). 14. Y. Wu, X. Yin, Q. Zhang, W. Wang and X. Mu, Resour. Conserv. Recy. 88, 21-31 (2014). 15. C. Zhu, X. Zhang, H. Ma and C. Timlin, J. Alloy. Compd. 647, 880-885 (2015). 16. E. Malchukova and B. Boizot, J. Rare Earth. 32, 217-220 (2014). 17. H. Masai, T. Fujiwara, S. Matsumoto, Y. Tokuda and T. Yoko, J. Non-Cryst. Solid. 383, 184-187 (2014). 18. H. A. A. S. Ahmed, O. M. Ntwaeaborwa and R. E. Kroon, J. Lumin. 135, 15-19 (2013). 19. G. A. Kumar, D. -X. Liu, Y. Tian, M. G. Brik and D. K. Sardar, Opt. Mater. 50, 199-203 (2015). 20. E. Polikarpov, D. Catalini, A. Padmaperuma, P. Das, T. Lemmon, B. Arey and C. A. Fernandez, Opt. Mater. 46, 614-618 (2015). 21. S. Long, J. Hou, G. Zhang, F. Huang and Y. Zeng, Ceram. Int. 39(5), 6013-6017 (2013). 22. I. W. Lenggoro, C. Panatarani and K. Okuyama, Mater. Sci. Eng. B 113, 60-66 (2004). 23. C. Panatarani, I. W. Lenggoro, N. Itoh, H. Yoden and K. Okuyama, Mater. Sci. Eng. B 122, 188-195 (2005). 24. M. Abdullah, C. Panatarani, T. O. Kim and K. Okuyama, J. Alloy.Compd. 377, 298-305 (2004). 25. W. Widiyastuti, I. Maula, T. Nurtono, F. Taufany, S. Machmudah, S. Winardi and C. Panatarani, Chem. Eng. J. 254, 252258 (2014). 26. C. He, K. Yang, L. Liu and Z. Si, J. Rare Earth. 31, 790-794 (2013). 27. F. Li, H. Liu, S. Wei, W. Sunand L. Yu, J. Rare Earth. 31, 1063-1068 (2013).
28. M. Wang, B. Tian, D. Yue, W. Lu, M. Yu, C. Li, Q. Li and Z. Wang, J. Rare Earth. 33,355-360 (2015). 29. S. Ćulubrk, Ž. Antić, M. MarinovićCincović, P. S. Ahrenkiel and M. D. Dramićanin, Opt. Mater. 37, 598-606 (2014). 30. H. Sun, X. Zhang and Z. Bai, J. Rare Earth. 31(3), 231-234 (2013). 31. K. W. Park, S. G. Lim, G. Deressa, J. S. Kim, T. W. Kang, H. L.Choi, Y. M. Yu, Y. S. Kim, J. G. Ryu, S. H. Lee and T. H. Kim, J. Lumin. 168, 334-338 (2015). 32. Z. Chen, X. Qin, Q. Zhang, Y. Li and H. Wang, J. Coll. Interface Sci. 459, 44-52 (2015). 33. S. H. Yang, J. S. Lin, F. S. Juang, D. C. Chou, M. H. Chung, C.M. Chen and L. C. Liu, Curr. Appl. Phys. 13, 931-934 (2013). 34. J. Zhang, Y. Fan, Z. Chen, S. Yan, J. Wang, P. Zhao, B. Hao andM. Gai, J. Rare Earth. 33, 922-926 (2015). 35. C. Panatarani, I. W. Lenggoro andK. Okuyama, J. Phys. Chem. Solids 65, 1843-1847 (2004). 36. C. Panatarani, D. Anggoro and F. Faizal, AIP Conf. Proc. 1284, 2010, 77-79. 37. C. Panatarani, D. G. Muharam, B. M. Wibawa and I. M. Joni, Mater. Sci. Forum 737, 20-27 (2013). 38. C. Panatarani and I. M. Joni, AIP Conf. Proc. 1554, 2013, 109–111. 39. Y. Qiang, Y. Yu, G. Chen and J. Fang, Mater. Res. Bull. 74, 353-359 (2016). 40. M. Upasani, B. Butey, S. V. Moharil, J. Alloy. Compd. 650, 858-862 (2015). 41. X. Wnag, Y. Hu, X. Meng, Y. Li, M. Zhu and H. Jin, J. Rare Earth. 33(7), 706-711 (2015). 42. Lin Gan, Zhi-Yong Mao, Fang-Fang Xu, Ying-Chun Zhu, Xue-Jian Liu, Ceram. Int. 40(3), 5067-5071 (2014). 43. M. Li and B. Jia, J. Rare Earth. 33(3), 231-238 (2015). 44. T. T. H. Tam, N. V. Du, N. D. T. Kien, C. X. Thang, N. D. Cuong, P. T. Huy, N. D. Chien, D. H. Nguyen, J. Lumin. 147, 358362 (2014). 45. L. Jia, Z. Shao, Q. Lü, Y. Tian and J. Han, Ceram. Int. 40(1), 739-743 (2014). 46. Z. Li, X. Zhao and Y. Jiang, J. Rare Earth 33(1), 33-36 (2015)
249
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
47. Z. Xue, S. Deng, Y. Liu, B. Lei, Y. Xiao and M. Zheng, J. Rare Earth. 31(3), 241246 (2013). 48. S. Hu, C. Lu, W. Wang, M. Ding, Y. Ni and Z. Xu, J. Rare Earth. 31(5), 490-496 (2013). 49. P. F. S. Pereira, I. C. Nogueira, E. Longo, E. J. Nassar, I. L.V. Rosa and L. S. Cavalcante, J. Rare Earth. 33(2), 113-128 (2015). 50. R. Zhang, J. Shang, J. Xin, B. Xie, Y. Li and H. Möhwald, Adv. Coll. Interface Sci. 207, 361-375 (2014). 51. R. K. Tamrakar, D.P. Bisen, K. Upadhyay, I. P. Sahu, J. Alloy. Compd. 655, 423-432 (2016). 52. Z. Song, J. Liao, X. Ding, X. Liu and Q. Liu, J. Cryst. Growth 365, 24-28 (2013). 53. R. Yu, N. Xue, J. Li, J. Wang,N. Xie, H. M. Noh and J. H. Jeong, Mater. Lett. 160, 5-8 (2015).
54. T. Abe, S. W. Kim, T. Ishigaki, K. Uematsu, K. Toda and M. Sato, Opt. Mater. 38, 57-60 (2014). 55. Y. Zhai, X. Li, J. Liu and M. Jiang, J. Rare Earth. 33(4), 350-354 (2015). 56. Y. Deng, S. Yi, J. Huang, W. Zhao and X. Fang, J. Rare Earth. 31(10), 962-968 (2013). 57. G. M. Caia, H. X. Liua, J. Zhanga, Y. Taoc and Z. P. Jina, J. Alloy. Compd. 650, 494–501 (2015). 58. R. Pang, R. Zhao, Y. Jia, C. Li and Q. Su, J. Rare Earth. 32(9), 792-796 (2014). 59. C. Panatarani, T. A. Demen, L. K. Men, D. W. Maulana, D. Hidayat and I M. Joni, AIP Conf. Proc. 1554, 2013, 201–204. 60. C. Panatarani, T. A. Demen, L. K. Men, D. W. Maulana, D. Hidayat and I M. Joni, AIP Conf. Proc.1554, 2013, 201–204.
250
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
INDEKS A
D
Abd. Cholid, 166 (EG-SD15) Abdul Muid, 210 (IO-SE11) Abdul Muin Banyal, 31 (TC-SA11)
D. A. Suriamiharja, 130 (EG-SD02) Dahlang Tahir, 36 (TC-SA13), 80 (ME-SB15), 234 (IO-SE15)
Agus Kartono, 95 (BE-SC03), 100 (BE-SC04)
Dede Tri Zunika, 151 (EG-SD12)
Agus Mulyono, 110 (BE-SC07)
E
Ahmad Abtokhi, 59 (ME-SB10), 110 (BESC07) Ahmad Mufidun, 59 (ME-SB10)
Eka Suarso, 146 (EG-SD10) Eko Juarlin, 9 (TC-SA02), 80 (ME-SB15)
Akhiruddin Maddu, 146 (EG-SD10), 175 (IOSE03)
Erika Rani, 63 (ME-SB11)
Alimuddin Hamzah Assegaf, 125 (BE-SC14)
Erna Hastuti, 194 (IO-SE08)
Amiruddin, 130 (EG-SD02) Andi Ihwan, 210 (IO-SE11)
F
Andri Gunawan, 175 (IO-SE03) Aninda Tifani Puari, 45 (ME-SB03)
Farid Samsu Hananto, 205 (IO-SE10) Fauziah, 84 (BE-SC01)
Annesa Auliya, 187 (IO-SE05)
Firmansyah, 231 (IO-SE14)
Erman Taer, 55 (ME-SB07)
Apriansyah Hakim, 151 (EG-SD12) Ardian Arif Setiawan, 95 (BE-SC03) Arian Trianov Solistio, 187 (IO-SE05)
H Harmadi, 231 (IO-SE14)
Ariesna, 80 (ME-SB15)
Henry Wardhana, 50 (ME-SB05)
Arifin, 218 (IO-SE12), 234 (IO-SE15)
Heriyanto Syafutra, 100 (BE-SC04) Herlita, 117 (BE-SC11)
Arsali, 141 (EG-SD08) Asraf, 138 (EG-SD07), 166 (EG-SD15) Awitdrus, 13 (TC-SA04)
Hery Suyanto, 225 (IO-SE13) Heryani Fujiati, 13 (TC-SA04)
B
I
Bambang Mukti Wibawa, 199 (IO-SE09) Bansawang BJ, 26 (TC-SA10), 31 (TC-SA11)
I Made Joni, 199 (IO-SE09), 242 (IO-SE16) Ichsan Ridwan, 70 (ME-SB14), 89 (BE-SC02) Irene Devi Damayanti, 9 (TC-SA02)
Bayu Hadi Saputro, 231 (IO-SE14)
Irmansyah Sofian, 175 (IO-SE03)
Bilqis, 110 (BE-SC07)
Istianah, 194 (IO-SE08)
Bualkar Abdullah, 84 (BE-SC01), 117 (BESC11), 120 (BE-SC12), 234 (IOSE15)
L
Bannu, 117 (BE-SC11)
Lantu, 130 (EG-SD02) Lilik Harianie, 110 (BE-SC07)
C
Liu Kin Men, 199 (IO-SE09)
Camellia Panatarani, 199 (IO-SE09), 242 (IOSE16)
M
Citra Kusumawardhani, 100 (BE-SC04)
M. Yasin, 105 (BE-SC06)
251
SIMPOSIUM FISIKA NASIONAL 2016 (SFN XXIX), 19-21 September 2016, Makassar-Indonesia
Manogari Sianturi, 1 (TC-SA01)
Ria Fitriani, 187 (IO-SE05)
Maria, 36 (TC-SA13), 135 (EG-SD06), 157 (EG-SD14)
Rika, 55 (ME-SB07) Ririn, 110 (BE-SC07)
Mersi Kurniati, 95 (BE-SC03)
S
Metusalach, 234 (IO-SE15) Minarni Shiddiq, 187 (IO-SE05) Minarni, 181 (IO-SE04)
Sadang Husain, 146 (EG-SD10) Saktioto, 181 (IO-SE04)
Moh. Sinol, 63 (ME-SB11)
Salmen Manurun Pabuaran, 17 (TC-SA05)
Mokhamad Tirono, 105 (BE-SC06) Muh. Jayadhi, 166 (EG-SD15)
Satrial Male, 120 (BE-SC12)
Muh. Nur Iqlal Manai, 138 (EG-SD07)
Sri Handani, 45 (ME-SB03) Sri Mulyadi Dt. Basa, 45 (ME-SB03)
Sernita Domapa, 36 (TC-SA13)
Muh. Syahrul Padli, 26 (TC-SA10) Muhammad Altin Massinai, 36 (TC-SA13), 157 (EG-SD14)
Sri Rohyanti, 70 (ME-SB14)
Muhammad Fauzi Mustamin, 21 (TC-SA07)
Suasmoro, 41 (ME-SB01)
Muhammad Guntur, 141 (EG-SD08) Muhammad Hamzah Syahruddin, 135 (EGSD06), 138 (EG-SD07), 166 (EGSD15)
Suci Handayani, 151 (EG-SD12)
Muhammad Ishak Jumarang, 151 (EG-SD12)
Sugianto, 146 (EG-SD10) Suhariningsih, 105 (BE-SC06)
Sri Suryani, 17 (TC-SA05)
Sucih Rahmawati, 120 (BE-SC12) Sudarmadi, 138 (EG-SD07), 166 (EG-SD15)
Muhammad Khalid, 95 (BE-SC03) Muhammad Saukani, 41 (ME-SB01) Muharmen Suari, 169 (IO-SE02)
Surya Dwi Yurisman Prabu Oktarino, 141 (EG-SD08) Syamsir Dewang, 84 (BE-SC01), 234 (IOSE15)
Muliadi, 151 (EG-SD12) Muthmainnah, 110 (BE-SC07)
T
N
Tasrief Surungan, 21 (TC-SA07), 31 (TCSA11)
Ngudiantoro, 141 (EG-SD08) Ninis Hadi Haryanti, 50 (ME-SB05) Nurhasanah, 234 (IO-SE15)
U
Nuri Arbiyanti Fakumullah, 89 (BE-SC02)
Umaiyatus, 110 (BE-SC07)
Nurlina, 70 (ME-SB14), 89 (BE-SC02) Nurman Aris, 199 (IO-SE09)
W Wahyudin, 138 (EG-SD07)
R
Wendri, 169 (IO-SE02)
Rahmat Rasyid, 169 (IO-SE02)
Wildian, 231 (IO-SE14)
Rakhmawati Farma, 13 (TC-SA04) Ramlis D. S, 130 (EG-SD02) Rasmiana Poja, 181 (IO-SE04)
Y Yusro Ahmadiyah, 105 (BE-SC06)
Retna Apsari, 105 (BE-SC06)
Z
Reza Umami, 187 (IO-SE05) Rezky Hari Sandi, 135 (EG-SD06)
Zulkarnain, 181 (IO-SE04)
252